RISIKO HUKUM YANG TERJADI DI DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK DALAM KAITANNYA DENGAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH DENGGAN MAULI TOBING NIM
: 040200046
Departemen : Hukum Perdata
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008 Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
2
RISIKO HUKUM YANG TERJADI DI DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK DALAM KAITANNYA DENGAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH DENGGAN MAULI TOBING NIM
: 040200046
Departemen : Hukum Keperdataan
Disetujui Ketua Departemen Hukum Keperdataan
(Prof. Dr. Tan Kamello, SH.MS) NIP : 131 764 556
Dosen Pembimbing I
(Prof. Dr. Tan Kamello, SH.MS)
Dosen Pembimbing II
(Syaiful Azam, SH.M.Hum)
NIP : 131 764 556 NIP : 132 099 375 Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
3
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan berkatnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen”. Adapun skripsi ini penulis susun dalam rangka pemenuhan persyaratan akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum. Penulis menyadari bahwa skrispsi ini masih jauh dari kesempurnaan, karena masih banyak hal-hal yang tidak dapat penulis telaah secara mendalam dan terperinci, karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman penulis yang masih jauh dari apa yang diharapkan. Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan arahan berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terimakasih yang tulus kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 2. Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang juga sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I. 3. Bapak Syaiful Azam, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing II 4. Bapak Alwan, SH selaku Dosen Wali. Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
4
5. Para Dosen dan Pegawai Tata Usaha FH-USU yeng telah banyak membantu penulis selama masa perkuliahan termasuk dalam penyelesaian skripsi ini. 6. Kedua orang tua penulis T.P.L Tobing, SH dan R.Ritonga, S.pd atas curahan kasih sayang dan dorongan semangatnya yang tidak henti-hentinya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 7. Semua pihak yang telah banyak membantu yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Juni 2008 Penulis,
Denggan Mauli Tobing
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
5
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR .................................................................................
ii
DAFTAR ISI ...............................................................................................
iv
ABSTRAK...................................................................................................
vi
BAB I
PENDAHULUAN .................................................................
1
A. Latar Belakang .......................................................................
1
B. Perumusan Masalah ...............................................................
4
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ...............................................
4
D. Keaslian Penulisan .................................................................
5
E. Tinjauan Kepustakaan ............................................................
5
F. Metode Penelitian ..................................................................
7
G. Sistematika Penulisan .............................................................
8
:
BAB II :
TINJAUAN MENGENAI RISIKO DAN PERJANJIAN KREDIT BANK ...................................................................
10
A. Tinjauan Umum Mengenai Risiko ..........................................
10
1.
Pengertian Risiko ............................................................
2.
Hubungan Antara Wanprestasi, Keadaan Memaksa Dan Risiko ......................................................................
3.
10
14
Peraturan Tentang Risiko Dalam Perjanjian Kredit Bank .....................................................................
16
B. Tinjauan Umum Mengenai Perjanjian Kredit Bank ................
17
1.
Pengertian Kredit Bank ...................................................
17
2.
Jenis Kredit .....................................................................
19
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
6
BAB III :
3.
Prinsip-Prinsip Pemberian Kredit ....................................
25
4.
Agunan Kredit Bank ........................................................
31
KLAUSUL BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK ...................................................................
38
A. Pengertian Klausul Baku ........................................................
38
B. Klausul Baku dalam KUH Perdata dan UUPK .......................
44
C. Perjanjian Kredit Bank Merupakan Perjanjian Baku ...............
51
D. Karateristik Hukum Perjanjian Kredit Bank ...........................
63
BAB IV :
RISIKO DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK DALAM KAITANNYA DENGAN PERLINDUNGAN NASABAH SEBAGAI KONSUMEN ..................................
72
A. Risiko dalam Perjanjian Kredit Bank ......................................
72
1. Risiko Terhadap Bank .....................................................
72
2. Risiko Terhadap Debitur .................................................
76
B. Upaya-Upaya Perlindungan Bagi Nasabah Terhadap Risiko yang Timbul dalam Klausul Perjanjian Kredit Bank ...................................................................................... BAB V
:
81
KESIMPULAN DAN SARAN .............................................
102 A. Kesimpulan ............................................................................ ............................................................................................... 102
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
7
B. Saran ...................................................................................... ............................................................................................... 103 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 104
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
8
ABSTRAK
Hubungan hukum antara nasabah dengan bank terjadi setelah kedua belah pihak menandatangani perjanjian untuk memanfaatkan produk jasa yang ditawarkan oleh bank. Dalam setiap produk bank selalu terdapat ketentuanketentuan yang ditawarkan oleh bank. Dengan adanya persetujuan dari nasabah terhadap formulir perjanjian yang dibuat oleh bank, berarti nasabah telah menyetujui isi serta maksud perjanjian dan dengan demikian berlaku facta sun servanda yaitu perjanjian tersebut mengikat kedua belah pihak sebagai undangundang. Demikian pula halnya dengan kredit bank. Kredit sebagai salah satu sumber pendanaan yang penting bagi masyarakat, mempunyai risiko dalam pelaksanaannya. Risiko tersebut akan ditanggung baik oleh bank maupun oleh debitur. Perjanjian kredit bank dibuat dalam bentuk baku oleh bank di mana di dalamnya terdapat klausul-kalusul baku. Oleh karena itu bank dapat dikatakan mempunyai kedudukan yang lebih kuat jika dibandingkan dengan nasabah debitur. Ketidaksetaraan kedudukan dalam perjanjian kredit bank ini menimbulkan risiko bagi pihak nasabah debitur, terutama isi perjanjian bank yang memuat klausul eksonerasi yang membebaskan bank sebagai kreditur dari kewajibannya. Hal ini tentulah merugikan nasabah debitur sebagai konsumen dari jasa yang diberikan bank. Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999 telah mengatur pencatuman klausul baku dalam perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha termasuk bank, yaitu pada Pasal 18 UUPK. Pengaturan mengenai klausul baku ini dapat dijadikan sebagai landasan bagi perlindungan nasabah debitur dalam perjanjian kredit bank selain dari peraturan-peraturan lainnya misalnya dengan Peraturan Bank Indonesia.
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
9
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perbankan merupakan salah satu sumber dana diantaranya dalam bentuk perkreditan bagi masyarakat, perorangan, atau badan usaha untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya atau untuk meningkatkan produksinya. Kebutuhan yang menyangkut kebutuhan produktif misalnya untuk meningkatkan dan memperluas kegiatan usahanya. Kepentingan yang bersifat konsumtif misalnya untuk membeli rumah sehingga masyarakat dapat memanfaatkan pendanaan dari bank yang dikenal dengan Kredit Pembelian Rumah (KPR). Sedangkan kebutuhan yang bersifat produktif misalnya meningkatkan atau memperluas kegiatan bisnisnya, dagangannya, atau usaha lain apapun, contohnya membeli mesin-mesin pabrik, membangun pabrik dan lain-lain. Setiap orang atau badan usaha yang berusaha meningkatkan kebutuhan konsumtif dan produktif sangat memerlukan pendanaan baik dari salah satunya dalam bentuk kredit mengingat modal yang dimiliki perusahaan atau perorangan biasanya tidak mampu mencukupi dalam mendukung peningkatan usahanya. Perbankan sebagai lembaga intermediasi keuangan (financial intermediary institution) memegang peranan penting dalam proses pembangunan nasional. Kegiatan usaha utama bank berupa menarik dana langsung dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau pembiayaan membuatnya sarat akan pengaturan baik melalui peraturan perundang-undangan di bidang perbankan sendiri maupun perundangDenggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
10
undangan lain yang terkait. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Selanjutnya disebut UUPK) juga sangat terkait, khususnya dalam hal perlindungan hukum bagi nasabah bank selaku konsumen. Antara lain dengan adanya perjanjian kredit atau pembiayaan bank yang merupakan perjanjian standar (standard contract). Dilihat dari bentuknya, perjanjian kredit perbankan pada umumnya menggunakan bentuk perjanjian baku (standard contract). Berkaitan dengan itu, memang dalam praktiknya bentuk perjanjiannya sudah disediakan oleh pihak bank sebagai kreditor sedangkan debitor hanya mempelajari dan memahaminya dengan baik. Perjanjian yang demikian itu biasa disebut dengan perjanjian baku (standard contract), di mana dalam perjanjian tersebut pihak debitur hanya dalam posisi menerima atau menolak tanpa ada kemungkinan untuk melakukan negoisasi atau tawar-menawar, yang pada akhirnya melahirkan suatu perjanjian yang “tidak terlalu menguntungkan” bagi salah satu pihak. Di dalam Undang-Undang No. 8 tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen Bab V pada Pasal 18 diatur mengenai klausula baku yang melarang pembuatan atau pencantuman klausula baku pada setiap dokumen dan/ atau perjanjian dengan beberapa keadaan tertentu. Adapun
ratio
diundangkannya
UUPK
adalah
dalam
rangka
menyeimbangkan daya tawar konsumen terhadap pelaku usaha dan mendorong pelaku usaha untuk bersikap jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan kegiatannya. UUPK mengacu pada filosofi pembangunan nasional, yakni bahwa pembangunan nasional termasuk pembangunan hukum memberikan perlindungan Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
11
terhadap konsumen adalah dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya berlandaskan pada falsafah kenegaraan Republik Indonesia, yaitu dasar negara Pancasila dan Konstitusi negara UUD 1945. Konsumen jasa perbankan lebih dikenal dengan sebutan nasabah. Nasabah dalam kontek Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dibedakan menjadi dua macam, yaitu nasabah penyimpan dan nasabah debitur. Nasabah penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan. Sedangkan nasabah debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan. Dalam praktik perbankan nasabah dibedakan menjadi tiga yaitu: Pertama, nasabah deposan, yaitu nasabah yang menyimpan dananya pada suatu bank, misalnya dalam bentuk giro, tabungan, dan deposito. Kedua, nasabah yang memanfaatkan fasilitas kredit atau pembiayaan perbankan, misalnya kredit kepemilikan rumah, pembiayaan murabahah, dan sebagainya. Ketiga, nasabah yang melakukan transaksi dengan pihak lain melalui bank (walk in customer), misalnya transaksi antara importir sebagai pembeli dengan eksportir di luar negeri dengan menggunakan fasilitas letter of credit (L/C). Pengaturan melalui UUPK yang sangat terkait dengan perlindungan hukum bagi nasabah selaku konsumen perbankan adalah ketentuan mengenai tata cara pencatuman klausula baku. Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
12
dan syarat-syarat yang telah diperisiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. .
Di tingkat teknis payung hukum yang melindungi nasabah antara lain
adanya pengaturan mengenai penyelesaian pengaduan nasabah dan mediasi perbankan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI). B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, permasalahan yang akan dibahas penulis dalam penulisan skripsi ini adalah: 1. Apa saja risiko yang dapat timbul dalam pejanjian kredit bank 2. Apa saja upaya-upaya perlindungan bagi nasabah dari risiko yang timbul dalam perjanjian kredit bank. C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penulisan ini adalah: -
Untuk dapat mengetahui dan memahami risiko apa saja yang dapat timbul dalam perjanjian kredit bank
-
Untuk dapat mengetahui dan memahami upaya-upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk memberikan perlindungan terhadap nasabah debitur terhadap risiko yang timbul dalam perjanjian kredit bank Sedangkan manfaat penulisan yang dapat diambil dari skripsi ini antara
lain agar dapat memberikan masukan dan ilmu pengetahuan khususnya mengenai
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
13
dunia perbankan yang berkaitan dengan perlindungan nasabah dari risiko yang timbul dalam perjanjian kredit bank. D. Keaslian Penulisan Penulisan skripsi ini didasarkan oleh ide, gagasan maupun pemikiran penulis secara pribadi dari awal hingga akhir berdasarkan penelusuran di perpustakaan USU, penulisan mengenai masalah resiko dalam perjanjian kredit bank dalam kaitannya dengan perlindungan konsumen ini belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama. Karena itu keaslian penulisan ini terjamin adanya, walaupun ada pendapat atau kutipan dalam penulisan ini sematamata adalah sebagai faktor pendukung dan pelengkap dalam penulisan yang memang sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan tulisan ini. E. Tinjauan Pustaka Menurut Drs. Sudarsono, S.H, M.Si, pengertian dari risiko adalah suatu keharusan memegang suatu kerugian karena suatu peristiwa (yang tidak terduga). 1 Mirip dengan Sudarsono, Riduan Syahrani berpendapat bahwa risiko adalah kewajiban menanggung kerugian akibat overmacht. 2 Sedangkan yang dimaksud dengan risiko hukum adalah risiko yang timbul karena ketidakmampuan manajemen perusahaan dalam mengelola munculnya permasalahan hukum yang dapat menimbulkan kerugian atau kebangkrutan bagi perusahaan. Risiko hukum antara lain dapat bersumber dari pada operasional,
1
Sudarsono, Kamus Hukum, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal 410
2
Riduan, Syahrani, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Penerbit Alumni, Bandung, 2006, hal 238
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
14
perjanjian dengan pihak ketiga, ketidakpastian hukum dan kelalaian penerapan hukum, hambatan dalam proses litigasi untuk penyelesaian klaim, serta masalah yurisdiksi antar negara. 3 Risiko dapat terjadi pada setiap perjanjian, termasuk perjanjian kredit bank. Kata kredit berasal dari bahasa latin, yaitu Credere yang berarti percaya atau to believe atau to trust, oleh karena itu dasar pemikiran persetujuan pemberian kredit oleh suatu lembaga keuangan atau bank kepada seseorang atau badan usaha berlandaskan kepercayaan (faith). Bila dikaitkan dengan kegiatan usaha, kredit berarti suatu kegiatan memberikan nilai ekonomi (economic value) kepada seseorang atau badan usaha berlandaskan kepercayaan saat itu, bahwa nilai ekonomi yang sama akan dikembalikan kepada kreditur (bank) setelah jangka waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan yang sudah disetujui antara kreditur (bank) dengan debitur (user).4 Drs. Sudarsono dalam Kamus Hukum menyebutkan bahwa kredit adalah cara menjual dengan pembayaran tidak secara tunai; cara menjual barang cara pembayaran ditangguhkan atau diangsur; pinjaman oleh seseorang atau badan sampai batas jumlah tertentu yang diizinkan oleh bank atau badan lain. 5 Debitur dalam perjanjian kredit bank merupakan nasabah dalam bank tersebut, dalam UUPK disamakan dengan konsumen, ini dapat dilihat dari pasal 1 ayat (2) yang menegaskan bahwa konsumen adalah setiap orang pemakai barang 3
http://www.wikimediafoundation.org/
4
Mohammad, Tjoekam, Perkreditan Bisnis Inti Bank Komersial (Konsep, Teknik, dan Kasus), Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999, hal 1
5
Sudarsono,op.cit., hal 232
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
15
dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup orang lain, dan tidak untuk diperdagangkan. Apabila dilihat dari pasal tersebut maka unsur dari konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa,dan tidak untuk di perdagangkan. Nasabah adalah orang pemakai barang dan/atau jasa yang diberikan bank tidak untuk diperdagangkan. Maka dalam hal ini nasabah termasuk juga konsumen. Pengertian Perlindungan Konsumen terdapat dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. F. Metode Pengumpulan Data Dalam penulisan skripsi mengenai risiko hukum yang terjadi di dalam perjanjian kredit bank dalam kaitannya dengan perlindungan konsumen ini penulis melakukan penelitian hukum normatif yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, penelitian ini disebut juga dengan penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu penelitian yang menganalisis berdasarkan hukum yang tertulis dalam buku (law as it written in the book). Adapun sifat dari penulisan skripsi ini adalah bersifat deskriptif sebab penelitian ini akan menggambarkan dan melukiskan asas-asas atau peraturanperaturan yang berhubungan tujuan penulisan ini.
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
16
Pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsep, teori dan doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahulu yang berhubungan dengan telaahan penelitian ini juga dapat berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya. Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder yang meliputi: -
Bahan hukum primer, yaitu Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Undang-Undang No.8 Tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
-
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti pendapat dari kalangan pakar hukum (buku-buku rujukan tentang perjanjian, hukum perbankan dan perkreditan, dan perlindungan konsumen)
-
Bahan-bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus bahasa maupun kamus hukum.
G. Sistematika Penulisan Penulisan ini dibuat secara terperinci dan sistematis agar memberikan kemudahan bagi pembacanya dalam memahami maknanya dan memperoleh manfaatnya. Keseluruhan sistematika ini merupakan suatu kesatuan yang saling berhubungan antara yang satu dengan yang lain, yang dapat dilihat sebagai berikut:
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
17
Bab I
: Pendahuluan
Terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II : Tinjauan Mengenai Risiko dan Perjanjian Kredit Bank Memberikan pemahaman umum tentang risiko dan kredit bankdalam hal ini mengenai pengertian risiko, hubungan antara risiko dengan wanprestasi dan keadaan memaksa., peraturan tentang risiko dalam KUH Perdata, pengertian kredit bank, jenis kredit, prinsip-prinsip pemberian kredit dan agunan kredit bank. Bab III : Klausul Baku dalam Perjanjian Kredit Bank Memberikan pemahaman klausul baku dalam perjanjian kredit bank dalam hal ini mengenai pengertian klausul baku, pengaturan klausul baku dalam KUH Perdata dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dan karakteristik hukum perjanjian kredit bank. Bab IV : Risiko dalam Perjanjian Kredit Bank dalam Kaitannya dengan Perlindungan Nasabah Sebagai Konsumen. Merupakan pembahasan pokok penulisan yang terdiri dari apa saja risiko yang dapat timbul dalam perjanjian kredit bank, baik terhadap bank maupun debitur, dan bagaimana upaya perlindungan yang dapat diberikan kepada nasabah terhadap risiko yang timbul dalam klausul baku perjanjian kredit bank. Bab V : Kesimpulan Dan Saran Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
BAB II RISIKO DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK
A. Tinjauan Umum Mengenai Risiko 1.
Pengertian Risiko Manusia di dalam kehidupannya selalu melakukan perbuatan ataupun
usaha untuk mencapai pemenuhan kebutuhannya. Perbuatan atau usaha itu selalu mengandung kemungkinan menemui akibat yang tidak diharapkan seperti kerugian, oleh karenanya sering dikatakan orang bahwa setiap perbuatan atau usaha itu selalu mengandung risiko. Adapun pengertian etimologis risiko atau arti kata dari risiko menurut WJS.Poerwadarminta, adalah (kemungkinan,bahaya) kerugian; akibat yang kurang menyenangkan (dari suatu perbuatan,usaha). 6 Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa arti kata risiko ada 4 (empat), yaitu: 1. Kemungkinan kerugian, 2. Kemungkinan bahaya, 3. Akibat yang kurang menyenangkan dari sebuah perbuatan, 4. Akibat yang kurang menyenangkan dari suatu usaha. Risiko sering ditemui didalam aktifitas kehidupan manusia, dimana setiap melakukan perbuatan atau usahanya manusia itu seringkali menemui hal-hal tertentu yang tidak diharapkan yang menimbulkan kerugian dan di luar 6
WJS, Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, cetakan V, Penerbit PN Balai Pustaka, Jakarta, 1982, hal 829.
10
11
kemampuan manusia itu untuk mengatasinya. Terlepas apakah kerugian tersebut terjadi disebabkan oleh keadaan atau peristiwa yang merupakan kesalahannya sendiri atau tidak, tetapi yang jelas hal itu memaksanya untuk memikul akibat atau kerugian tersebut. Dari uraian diatas dapat dikatakan secara umum pengertian risiko dalam kehidupan sehari-hari adalah kewajiban untuk memikul kerugian yang menimpa diri ataupun harta milik seseorang disebabkan timbulnya suatu keadaan atau peristiwa yang tidak diharapkan yang berhubungan perbuatan atau usaha yang dilakukannya, baik keadaan atau peristiwa itu terjadi karena kesalahannya atau tidak. Di dalam hukum perdata, pengertian yuridis dari risiko selalu dihubungkan dengan orang atau pihak lain serta mempunyai tempat khusus di dalam hukum perjanjian, karena timbulnya risiko di dalam suatu perjanjian selalu mengakibatkan atau menimbulkan persoalan tentang siapakah yang wajib memikul kerugian yang timbul di dalam suatu perjanjian itu. Risiko yang terjadi di luar bidang hukum perjanjian dapat dikatakan tidak menimbulkan persoalan seperti diatas, karena apabila timbul kerugian yang tidak diharapkan serta di luar kesalahan dan kemampuannya itu, sudah dapat ditentukan bahwa yang wajib dan bertanggung jawab memikulnya adalah orang yang bersangkutan.
20
Adapun pengertian risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian yang disebabkan kejadian di luar kesalahan salah satu pihak. 7 Dari pengertian tersebut terlihatlah unsur risiko dalam perjanjian, yaitu: 1. Adanya dua pihak yang terikat pada perjanjian, 2. Adanya kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimbulkan kerugian, 3. Adanya kerugian, 4. Adanya kewajiban untuk memikul kewajiban tersebut. Apabila pengertian risiko di atas dibandingkan dengan pengertian risiko dalam pengertian sehari-hari, terlihatlah adanya perbedaan. Pada pengertian risiko sehari-hari unsur adanya dua pihak tidak ditemukan, dimana kerugian itu timbul tidak di dalam hubungan seseorang itu dengan pihak lain; dan juga mungkin terdapat unsur kesalahan. Apabila terjadi risiko yang menyangkut diri ataupun harta miliknya sendiri tentulah orang itu yang akan bertanggung jawab dengan memikul sendirian risiko yang timbul itu. Akan tetapi apabila kerugian yang timbul itu menyangkut orang lain maka tanggung jawab memikul kerugian atau risiko yang timbul itu akan lain. Sesuai dengan pengertian risiko dalam perjanjian di atas, maka tanggung jawab atau kewajiban memikul kerugian tersebut dibebankan kepada salah satu pihak ataupun kepada kedua belah pihak, padahal kerugian yang timbul itu bukan karena kesalahan mereka.
7
R, Subekti, Hukum Perjanjian, cetakan IV, penerbit PT.Intermasa, Jakarta, 1976, (I), hal
56.
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
21
Dari uraian tentang pengertian etimologis dan yuridis dari risiko diatas, terlihatlah
bahwa
risiko
merupakan
suatu
tanggung
jawab.
Sehingga
selayaknyalah setiap orang yang berbuat atau berusaha itu bertanggung jawab atas segala akibat yang mungkin timbul dari atau pun yang menimpa perbuatan atau usahanya. Walaupun pada umumnya seseorang itu bertanggung jawab atas akibat yang timbul karena kesalahannya dalam melakukan perbuatan atau usahanya. Sedangkan tanggung jawab untuk memikul kerugian yang disebabkan kejadian diluar kesalahan salah satu pihak atau risiko yang
timbul dalam perjanjian,
seseorang itu bertanggung jawab atas akibat yaitu kerugian yang timbul bukan karena kesalahannya. Tanggung jawab atau risiko dalam perjanjian tersebut diatas tentulah akan menimbulkan persoalan, oleh karena para pihak tentu tidak mau begitu saja dibebani tanggung jawab memikul kerugian yang timbul bukan karena kesalahannya dan tidak hanya menyangkut dirinya saja. Persoalan tanggung jawab atau risiko diatas semakin pelik karena ketentuan risiko Buku ke III KUH Perdata yang ditujukan untuk mengaturnya tidak memenuhi kebutuhan dalam arti menimbulkan keganjilan dan ketidakadilan apabila diterapkan. Juga oleh karena Buku ke III KUH Perdata menganut sistem terbuka, sehingga dibuka kemungkinan untuk membuat perjanjian selain dari yang dikenal dalam KUH Perdata, seperti perjanjian kredit bank yang banyak ditemui dimasyarakat, sudah barang tentu akan timbul permasalahan bagaimana membebankan tanggung jawab atau risiko yang timbul dalam perjanjian tersebut.
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
22
2. Hubungan Antara Wanprestasi, Keadaan Memaksa, dan Risiko Sebelum kita membahas permasalahan pokok skripsi ini, ada baiknya terlebih dahulu ditinjau hubungan antara wanprestasi, keadaan memaksa dan risiko karena ada hubungan satu sama lainnya. Wanprestasi artinya alpa, lalai atau cidera janji. Seseorang atau salah satu pihak dari suatu perjanjian dikatakan wanprestasi apabila seseorang itu tidak menepati kewajibannya dalam perjanjian, yang dapat berupa: 1. Tidak melakukan apa yang disanggupinya akan dilakukan 2. Melaksanakan apa yang dijanjikan ,tetapi tidak sebagaimana mestinya 3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat 4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. 8 Apabila salah satu pihak yang wajib melakukan prestasi (debitur) melakukan wanprestasi, maka diancamkan sanksi atau hukuman yang berupa: 1. Membayar ganti rugi 2. Pembatalan atau pemecahan perjanjian 3. Peralihan risiko 4. Membayar biaya perkara, apabila sampai diperkarakan dimuka hakim. 9 Sanksi wanprestasi yang ada hubungan dengan risiko adalah sanksi ketiga yaitu peralihan risiko yang terdapat secara umum diatur dalam pasal 1237 KUH 8
Ibid, hal 43
9
Ibid
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
23
Perdata ayat (2), yang berbunyi: “Jika si berutang lalai akan menyerahkannya, maka semenjak saat kelalaian, kebendaan adalah atas tanggungan si berutang.” Jadi sejak pihak yang wajib berprestasi atau debitur wanprestasi maka risiko yang harusnya dipikul pihak lawan, akan beralih menjadi dipikul olehnya. Peralihan risiko itu dapat digambarkan sebagai berikut. Menurut pasal 1460 KUH Perdata, risiko dalam perjanjian jual beli barang tertentu dibebankan kepada pembeli, walaupun barang belum diserahkan. Jika penjual terlambat menyerahkan barangnya atau lalai untuk menyerahkan barangnya dan kemudian barang itu musnah diluar kesalahannya, maka risiko atas rusaknya barang itu beralih ke penjual. Apabila satu pihak dituduh wanprestasi dan dimintakan kepada hakim agar terjadi sanksi wanprestasi, maka pihak yang dituduh wanprestasi itu dapat membela diri dengan mengajukan pembelaan berupa 10: 1. Memajukan tuntutan adanya keadaan memaksa atau Overmacht atau Force Majeur 2. Memajukan bahwa si berpiutang (kreditur) sendiri juga telah lalai (exceptio non adimpleti contractus) 3. Memajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi. Adapun keadaan memaksa atau overmacht adalah keadaan yang menyebabkan suatu hak atau kewajiban dalam suatu perhubungan hukum tidak
10
Ibid, hal 52
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
24
dapat dilaksanakan. 11 Jadi apabila keadaan memaksa terjadi terhadap salah satu pihak yang wajib melaksanakan suatu prestasi, maka pihak tersebut akan wanprestasi dan akan timbullah kerugian bagi pada pihak. Bagi debitur
yang wanprestasi sehingga menimbulkan kerugian,
diancamkan sanksi wanprestasi yang dapat berupa peralihan risiko ; tetapi apabila wanprestasinya debitur itu dapat dibuktikan disebabkan terjadinya keadaan memaksa, maka sanksi wanprestasi itu dapat dihindarkan. Terjadinya keadaan memaksa pada salah satu pihak dari suatu perjanjian membuat pihak itu wanprestasi sehingga timbullah kerugian bagi pihak-pihak. Sedangkan pengertian risiko adalah kewajiban memikul kerugian disebabkan kejadian di luar kesalahan salah satu pihak. Apabila pengertian risiko itu dihubungkan dengan pengertian keadaan memaksa, dapat dikatakan bahwa risiko adalah kewajiban memikul kerugian disebabkan wanprestasinya salah satu pihak (dari suatu perjanjian) yang ditimpa keadaan memaksa. Jadi dengan singkat dapat dikatakan bahwa risiko itu sebenarnya adalah kewajiban memikul kerugian disebabkan terjadinya keadaan memaksa. 3. Peraturan Tentang Risiko Dalam KUH Perdata Dari uraian sebelumnya, terlihatlah bahwa persoalan pokok dari risiko yang timbul dalam perjanjian adalah bagaimanakah menentukan pihak yang bertanggung jawab memikul kerugian yang timbul dalam perjanjian disebabkan kejadian atau peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak, atau dengan kata lain
11
Wiryono, Projodikoro, Asas-Asas Hukum Perdata, cetakan VIII, Penerbit Sumur, Bandung, 1981, hal 63.
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
25
bagaimanakah menentukan pihak yang memikul risiko yang timbul dalam perjanjian. Persoalan risiko itu diharapkan dapat diselesaikan dengan peraturan atau ketentuan mengenai risiko yang memuat ketentuan tentang siapakah atau pihak manakah yang berkewajiban memikul kerugian jika terjadi kejadian di luar kesalahan pihak-pihak. Peraturan atau ketentuan risiko di dalam hukum positif terdapat dalam buku ketiga KUH Perdata, yakni : Pasal 1237
: merupakan ketentuan umum risiko.
Pasal 1744 ayat (3), 1745 dan 1746: untuk perjanjian pinjam pakai. Pasal 1460, 1461, dan 1462: untuk perjanjian jual beli. Pasal 1545: untuk perjanjian tukar-menukar Pasal 1553: untuk perjanjian sewa-menyewa Beberapa pasal di atas telah menimbulkan masalah dalam praktek. Seperti pasal 1237 yang merupakan ketentuan umum risiko untuk semua perjanjian yang ketentuan risikonya tidak diatur secara khusus dalam KUH Perdata maupun dalam perjanjian itu sendiri, hanya sesuai dipakai sebagai pedoman untuk perjanjian sepihak saja. Demikian halnya pasal 1460, 1461, dan 1462 yaitu ketentuan risiko untuk perjanjian jual beli, tetapi pasal-pasal tersebut akan menimbulkan keganjilan dan ketidakadilan dalam penerapannya.
B. Tinjauan Umum Mengenai Perjanjian Kredit Bank 1. Pengertian Kredit Bank Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
26
Pengertian kredit menurut pasal 1angka 12 Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan adalah sebagai berikut: Kredit penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan, atau pembagian hasil keuntungan. Pengertian kredit di atas pada Undang-Undang No.10 tahun 1998, sebagaimana tertuang dalam pasal 1 angka 11 mengalami sedikit perubahan, selengkapnya sebagai berikut: Kredit penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank denga pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga. Dari kedua pengertian tersebut terlihat adanya suatu perbedaan mengenai kontra prestasi yang akan diterima. Semula kontra prestasi dari kredit tersebut dapat berupa bunga, imbalan atau hasil keuntungan, sedangkan pada ketentuan yang baru kontra prestasi hanya berupa bunga saja. Latar belakang perubahan tersebut mengingat kontra prestasi berupa imbalan atas hasil keuntungan merupakan kontra prestasi yang khusus terdapat dalam pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang sangat berbeda sekali penghitungannya dengan kontra prestasi berupa bunga. Namun demikian, dari kedua pengertian tersebut dalam ruang lingkup kredit maka kontra prestasi yang akan diterima kreditur pada masa yang akan datang berupa jumlah nilai ekonomi tertentu yang dapat berupa uang, barang, dan sebagainya. Dengan kondisi demikian maka tidak berlebihan apabila dari konteks ekonomi, kredit mempunyai pengertian sebagai suatu penundaan pembayaran dari Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
27
prestasi yang diberikan sekarang, sehingga dengan kata lain faktor waktulah yang memisahkan prestasi dan kontra prestasi. 12 Dari pengertian kredit yang begitu luas maka bank sebagai pemberi kredit (kreditur) dalam menjalankan perannya wajib mendasarkan kepada suatu kebijakan untuk selalu tetap memelihara keseimbangan yang tepat antara keinginan untuk memperoleh keuntungan dalam bentuk tingkat bunga pada satu sisi dengan tujuan likuiditas, dan solvabilitas bank pada sisi lainnya.
2.
Jenis Kredit Kredit khususnya kredit perbankan terdiri dari beberapa jenis apabila
dilihat dari beberapa segi kriteria tertentu. Dalam hal ini macam atau jenis kredit yang ada sekarang juga tidak dapat dipisahkan dari kebijakan perkreditan yang telah digariskan sesuai dengan tujuan pembangunan. Semula kredit berdasarkan kepercayaan murni yaitu berbentuk kredit perorangan karena kedua belah pihak saling mengenal, dengan berkembangnya waktu maka perkreditan perorangan semakin mengecil perannya digantikan oleh kredit dari lembaga perbankan. Dalam sektor perkreditan perbankan ini akhirnya berkembang pula unsur-unsur lain yang menjadi landasan kegiatan perkreditan tersebut, sehingga selanjutnya berkembang berbagai jenis kredit seperti apa yang ada sekarang. Jenis kredit perbankan dapat dibedakan dengan mengacu kepada kriteria tertentu. Pengklasifikasian jenis-jenis tersebut bermula dari klasifikasi yang
12
Muhammad, Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia,cetakan ke III, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal 368
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
28
dijalankan oleh perbankan dalam rangka mengontrol portofolio kredit secara efektif. Dari kegiatan pengklasifikasian tersebut maka saat ini dikenal jenis-jenis kredit yang didasarkan kepada: 1. Kelembagaannya 2. Jangka waktu 3. Tujuan penggunaan kredit 4. Aktivitas perputaran usaha 5. Jaminannya 6. Obyek yang ditransfer Pengelompokan kredit dengan melihat
jenisnya tersebut tidaklah
merupakan sesuatu yang kaku, pengelompokan tersebut hanyalah untuk mempermudah dalam penatalaksanaannya, karena pada dasarnya kredit tersebut mempunyai suatu kesamaan yang asasi, maksudnya satu jenis kredit dapat saja dimasukkan dalam beberapa pengklasifikasian, misalnya kredit investasi termasuk jenis kredit produktif tetapi juga dapat dimasukkan jenis kredit jangka menengah atau kredit jangka panjang apabila dilihat dari jangka waktunya. 1. Jenis kredit berdasarkan kelembagaan Kredit perbankan dengan melihat kelembagaannya maka dikenal beberapa jenis kredit. Pengelompokan demikian dengan dasar kriteria dari segi kelembagaannya, yaitu dalam arti pihak yang terkait sebagai pihak pemberi dan pihak penerima kredit terutama menyangkut struktur
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
29
kelembagaan pelaksana kredit itu sendiri. Adapun jenis kredit dengan dasar pengelompokan menurut kriteria kelembagaan ini terdiri dari13: a.
Kredit perbankan yang diberikan oleh Bank Milik Negara, atau Bank Swasta kepada masyarakat untuk kegiatan usaha, dan/atau konsumsi. Kredit ini diberikan kepada dunia usaha untuk ikut membiayai sebagian kebutuhan permodalan, dan/atau kepada individu untuk membiayai pembelian kebutuhan hidup yang berupa barang ataupun jasa.
b.
Kredit likuiditas, yaitu kredit yang diberikan oleh Bank Sentral kepada bank-bank yang beroperasi di Indonesia, yang selanjutnya digunakan sebagai dana untuk membiayai kegiatan perkreditannya.
c. Kredit langsung, kredit ini diberikan oleh Bank Indonesia kepada lembaga pemerintah atau semi pemerintah (kredit program), misalnya Bank Indonesia memberikan kredit langsung kepada Bulog dalam rangka pelaksanaan program pelaksanaan pangan, atau pemberian kredit langsung kepada Pertamina, atau pihak ketiga lainnya. d. Kredit (pinjaman antar bank), kredit ini diberikan oleh bank yang kelebihan dana kepada bank yang kekurangan dana. Peminjaman model ini merupakan sarana yang paling mudah dilakukan oleh bank yang memerlukan tambahan dana baik dalam keadaan darurat maupun dalam keadaan biasa dalam arti sekedar memerlukan tambahan dana untuk dapat diputar kembali. 13
Ibid, hal 374
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
30
2. Jenis kredit berdasarkan jangka waktu Dari segi jangka waktunya jenis kredit meliputi14: a. Kredit jangka pendek (Short Term Loan) yaitu kredit yang berjangka waktu maksimum 1 (satu) tahun. Bentuknya dapat berupa kredit rekening Koran, kredit penjualan, kredit pembeli, dan kredit wesel, juga dapat berbentuk kredit modal kerja yaitu kredit untuk membiayai kebutuhan modal kerja usaha atau proyek. b.
Kredit jangka menengah (medium term loan) yaitu kredit berjangka waktu antara 1 (satu) tahun sampai 3 (tiga) tahun, bentuknya dapat berupa kredit investasi jangka menengah.
c.
Kredit jangka panjang yaitu kredit yang berjangka waktu lebih dari 3(tiga) tahun. Kredit jangka panjang ini pada umumnya yaitu kredit investasi yang bertujuan menambah modal perusahaan dalam rangka untuk melakukan rehabilitasi, ekspansi (perluasan), dan pendirian proyek baru.
3. Jenis kredit berdasarkan tujuan penggunaan kredit Dari segi tujuan penggunaan kredit, jenis kredit dibagi atas: a. Kredit konsumtif merupakan kredit yang diberikan oleh bank pemerintah, atau bank swasta yang diberikan kepada debitur untuk membiayai keperluan konsumsinya seperti kredit profesi, kredit perumahan, kredit kendaraan bermotor, pembelian alat-alat rumah tangga, dan lain-lain sebagainya. 14
Ibid, hal 376
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
31
b. Kredit produktif yang terdiri dari: • Kredit investasi yaitu kredit yang ditujukan untuk penggunaan sebagai pembiayaan modal tetap atau untuk membeli barang modal seperti peralatan produksi, gedung, dan mesin-mesin, juga untuk membiayai rehabilitasi dan ekspansi, relokasi proyek atau pendirian proyek baru. Adapun angka waktunya dapat berjangka waktu menengah atau berjangka waktu panjang. • Kredit ekspoitasi (kredit modal kerja/working capital kredit) yaitu kredit yang ditujukan untuk penggunaan pembiayaan kebutuhan dunia usaha akan modal kerja berupa persediaan bahan baku, persediaan produk akhir, barang dalam proses produksi serta piutang. Adapu jangka waktunya berlaku jangka waktu pendek. • Kredit likuiditas yaitu kredit yang diberikan dengan tujuan untuk membantu perusahaan yang sedang kesulitan likuiditas. Misalnya kredit likuiditas dari Bank Indonesia yang diberikan untuk bankbank yang memiliki likuiditas di bawah bentuk uang. 15 c. Perpaduan antara kredit konsumtif dan kredit produktif (semi konsumtif dan semi produktif). 4. Jenis kredit berdasarkan aktivitas perputaran usaha
15
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, cetakan II, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hal 240
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
32
Dari segi besarnya aktivitas perputaran usaha, yaitu melihat dinamika, sektor yang digeluti, aset yang dimiliki dan sebagainya, maka jenis kredit terdiri dari16: a. Kredit kecil, yaitu kredit yang diberikan kepada pengusaha yang digolongkan sebagai pengusaha kecil. b. Kredit menengah yaitu kredit yang diberikan kepada pengusaha yang asetnya lebih besar daripada pengusaha kecil. c. Kredit besar Kredit besar pada dasarnya ditinjau dari segi jumlah kredit yang diterima oleh debitur. Dalam pelaksanaan pemberian kredit yang besar ini bank
dengan
melihat
risiko
yang
besar pula
biasanya
memberikannya secara kredit sindikasi ataupun konsorsium. 5. Jenis kredit berdasarkan jaminannya Dari segi jaminannya jenis kredit dapat dibedakan: a. Kredit tanpa jaminan, atau kredit blanko (unsecured loan) Adapun yang dimaksud dengan kredit tanpa jaminan ini yaitu pemberian kredit tanpa jaminan materil (agunan fisik), pemberiannya sangatlah selektif dan ditujukan kepada nasabah besar yang telah teruji bonafiditas, kejujuran dan kataatannya dalam transaksi perbankan maupun kegiatan usaha yang dijalaninya. Kredit tanpa jaminan mengandung lebih besar risiko, sehingga dengan demikian berlaku bahwa semua harta kekayaan debitur baik yang 16
Muhammad Djumhana, op.cit., hal 379
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
33
bergerak maupun yang tidak bergerak, yang sudah ada maupun yang akan ada kemudian seluruhnya menjadi jaminan pemenuhan pembayaran utang. b. Kredit dengan jaminan (secured loan) Kredit model ini diberikan kepada debitur selain didasarkan adanya keyakinan atas kemampuan debitur juga disandarkan kepada adanya agunan atau jaminan yang berupa fisik (collateral) sebagai jaminan tambahan misalnya berupa tanah, bangunan, alat-alat produksi dan sebagainya. Agunan sebagai jaminan tambahan ini dimaksudkan untuk memudahkan kreditur apabila debitur wanprestasi bank dapat segera menerima pelunasan utangnya melalui cara pelelangan atas agunan tersebut. 6. Jenis kredit berdasarkan obyek yang ditransfer Dapat dibagi kedalam 17: a. Kredit Uang (Money Credit), di mana pemberian dan pengembalian kredit dilakukan dalam bentuk uang. b. Kredit Bukan Uang (Non Money Credit, Mercantile Credit, Merchant Credit), di mana diberikan dalam bentuk barang dan jasa dan pengembaliannya dilakukan dalam bentuk uang. 3. Prinsip –Prinsip Pemberian Kredit Kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang diberikan oleh bank mengandung risiko, sehingga dalam setiap pemberian kredit atau 17
Rachmadi Usman, loc.cit.
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
34
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah harus memperhatikan asas-asas prekreditan atau pembiayaan berdasarkan prinsip kehati-hatian. Untuk itu, sebelum memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap berbagai aspek. 18 Berdasarkan penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Perbankan yang mesti dinilai oleh bank sebelum memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari nasabah debitur, yang kemudian dikenal dengan sebutan “the five C of credit analysis” atau prinsip 5 C’s. Pada sasarannya konsep 5 C’s ini akan memberikan informasi mengenai itikad baik (willingness to pay) dan kemampuan membayar (ability to pay) nasabah untuk melunasi kembali pinjaman beserta bunganya. 19 a. Penilaian watak (character) Penilaian watak atau kepribadian calon debitur dimaksudkan untuk mengetahui kejujuran dan itikad baik calon debitur untuk melunasi atau mengembalikan pinjamannya, sehingga tidak akan menyulitkan bank dikemudian hari. Hal ini dapat diperoleh terutama didasarkan kepada hubungan yang telah terjalin antara bank dan calon (debitur) atau informasi yang diperoleh dari pihak lain yang mengetahui moral, kepribadian dan perilaku calon debitur dalam kehidupan kesehariannya. b. Penilaian kemampuan (capacity) 18
Ibid, hal 246
19
Dahlan Siamat, Manajemen Bank Umum, Intermedia, Jakarta, 1993, hal 99
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
35
Bank harus meneliti tentang keahlian calon debitur dalam bidang usahanya dan kemampuan manajerialnya, sehingga bank yakin bahwa usaha yang akan dibiayainya dikelola oleh orang-orang yang tepat, sehingga calon debiturnya dalam jangka waktu tertentu mampu
melunasi atau
mengembalikan pinjamannya. Jika kemampuan bisnisnya kecil, tentu tidak layak diberikan kredit dalam skala besar. Demikian juga jika trend bisnisnya atau kinerja bisnisnya menurun, maka kredit juga semestinya tidak diberikan. Kecuali jika penurunan itu karena kekurangan biaya sehingga dapat diantisipasi dengan tambahan biaya lewat peluncuran kredit, maka trend atau kinerja bisnisnya tersebut dipastikan akan semakin membaik. c. Penilaian terhadap modal Bank harus melakukan analisis terhadap posisi keuangan secara menyeluruh mengenai masa lalu dan yang akan datang, sehingga dapat diketahui kemampuan permodalan calon debitur dalam menunjang pembiayaan proyek atau usaha calon debitur yang bersangkutan. Dalam praktek selama ini bank jarang sekali memberikan kredit untuk membiayai seluruh dana yang diperlukan nasabah. Nasabah wajib menyediakan modal sendiri, sedangkan kekurangannya itu dapat dibiayai dengan kredit bank. Jadi bank fungsinya adalah menyediakan tambahan modal, dan biasanya lebih sedikit dari pokoknya. d. Penilaian terhadap agunan (collateral)
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
36
Untuk menanggung pembayaran kredit macet, calon debitur umumnya wajib menyediakan jaminan berupa agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau pembiayaan yang diberikan kepadanya. Untuk itu sudah seharusnya bank wajib meminta agunan tambahan dengan maksud jika calon debitur tidak dapat melunasi kreditnya, maka agunan tambahan tersebut dapat dicairkan guna menutupi pelunasan atau pengembalian kredit atau pembiayaan yang tersisa. e. Penilaian terhadap prospek usaha nasabah debitur (condition of economy) Bank harus menganalisis keadaan pasar di dalam dan di luar negeri baik masa lalu maupun yang akan datang, sehingga masa depan pemasaran dari hasil proyek atau usaha calon debitur yang dibiayai bank dapat diketahui. Selain memperhatikan hal-hal diatas, bank harus pula mengetahui mengenai tujuan penggunaan kredit dan rencana pengembangan kreditnya serta urgensi dari kredit yang diminta. Bank dalam memberian kredit, selain menerapkan prinsip 5 C’s, juga menerapkan apa yang dinamakan dengan prinsip 5 P sebagai berikut 20: a. Party (Para Pihak) Para pihak merupakan titik sentral yang diperhatikan dalam setiap pemberian kredit. Untuk itu para pihak pemberi kredit harus memperoleh
20
Munir, Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer, Penerbit. PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal 24-26
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
37
suatu “kepercayaan” terhadap para pihak, dalam hal ini debitur. Bagaimana karakternya, kemampuannya, dan lain sebagainya. b. Purpose (Tujuan) Tujuan dari pemberian kredit juga sangat penting diketahui oleh pihak kreditur. Harus dilihat apakah kredit akan digunakan untuk hal-hal yang positif yang benar-benar dapat menaikkan income perusahaan. Dan harus pula diawasi agar kredit tersebut benar-benar diperuntukkan untuk tujuan seperti diperjanjikan dalam suatu perjanjian kredit. c. Payment (Pembayaran) Harus pula diperhatikan apakah sumber pembayaran kredit dari calon debitur cukup tersedia dan cukup aman, sehingga dengan demikian diharapkan bahwa kredit yang akan diluncurkan tersebut dapat dibayar kembali oleh debitur yang bersangkutan. Jadi harus dilihat dan dianalisis apakah setelah pemberian kredit nanti debitur mempunyai sumber pendapatan, dan apakah pendapatan tersebut mencukupi untuk membayar kembali kreditnya. d. Profitability (Perolehan Laba) Unsur perolehan laba oleh debitur tidak kurang pula pentingnya dalam suatu pemberian kredit. Untuk itu, kreditur harus berantisipasi apakah laba yang akan diperoleh oleh perusahaan lebih besar daripada bunga pinjaman dan apakah pendapatan perusahaan dapat menutupi pembayaran kembali kredit, cash flow, dan sebagainya. e. Protection (Perlindungan) Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
38
Diperlukan suatu perlindungan terhadap kredit oleh perusahaan debitur. Untuk itu, perlindungan dari kelompok perusahaan, atau jaminan dari holding, atau jaminan pribadi milik perusahaan penting diperhatikan. Terutama untuk berjaga-jaga sekiranya terjadi hal-hal di luar skenario atau di luar prediksi semula. Disamping menggunakan prinsip pemberian kredit di atas, bank dalam memberikan kredit juga menggunakan prinsip 3 R, yaitu 21: a. Returns (hasil yang diperoleh) Returns, yakni hasil yang diperoleh debitur, dalam hal ini ketika kredit telah dimanfaatkan dan dapat diantisipasi oleh calon kreditur. Artinya, perolehan tersebut mencukupi untuk membayar keperluan perusahaan yang lain seperti untuk cash flow, kredit lain jika ada, dan sebagainya. b. Repayment (Pembayaran Kembali) Kemampuan
bayar
dari
pihak
debitur
tentu
saja
juga
mesti
dipertimbangkan. Dan apakah kemampuan bayar tersebut match dengan schedule pembayaran kembali dari kredit yang akan diberikan itu. Ini juga merupakan hal yang tidak boleh diabaikan. c. Risk Bearing Ability (Kemampuan Menanggung Risiko) Hal lain yang perlu diperhatikan juga adalah sejauh mana terdapatnya kemampuan debitur untuk menanggung risiko. Misalnya, dalam hal terjadi hal-hal di luar antisipasi kedua belah pihak. Terutama jika dapat meyebabkan timbulnya kredit macet. Untuk itu, harus diperhitungkan 21
Ibid, hal 25-27
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
39
apakah misalnya jaminan dan/ atau asuransi barang atau kredit sudah cukup aman untuk menutupi risiko tersebut Di samping prinsip-prinsip di atas, beberapa prinsip lain dalam hal pemberian kredit yang berhubungan dengan debitur yang mesti diperhatikan oleh suatu bank adalah sebagai berikut 22: a. Prinsip Matching, yaitu harus match antara pinjaman dengan aset perseroan. Jangan sekali-kali memberikan suatu pinjaman berjangka waktu pendek untuk kepentingan pembiayaan atau investasi yang berjangka panjang. Karena hak tersebut akan mengakibatkan terjadinya mismatch. b. Prinsip Kesamaan Valuta, maksudnya penggunaan dana yang didapatkan dari suatu kredit sedapat-dapatnya haruslah digunakan untuk membiayai atau investasi dalam mata uang yang sama. Sehingga risiko gejolak nilai valuta dapat dihindari. Meskipun untuk itu tersedia apa yang disebut dengan currency hedging. c. Prinsip Perbandingan antara Pinjaman dan Modal, maksudnya mestilah ada hubungan yang prudent antara jumlah pinjaman dan besarnya modal. Jika pinjamannya terlalu besar disebut perusahaan yang high gearing. Sebaliknya, jika pinjamannya kecil dibandingkan dengan modalnya disebut low gearing. Post permohonan dalam earnings yang akan didapat oleh perusahaan tidak fixed, yaitu dalam bentuk dividen, sementara cost terhadap suatu pinjaman yaitu dalam bentuk bunga relatif tetap. Karena
22
Rachmadi Usman, op.cit., hal 250
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
40
itu, kelangsungan suatu perusahaan akan terancam jika antara jumlah pinjaman dengan besarnya modal tidak reasonable. d. Prinsip Perbandingan antara Pinjaman dan Aset, di mana alternatif lain untuk risiko dari suatu pinjaman adalah dengan memperbandingkan antara besarnya pinjaman dengan aset, yang juga dikenal dengan gearing ratio. 4. Agunan Kredit Bank Agunan merupakan jaminan tambahan yang diperlukan dalam hal pemberian fasilitas kredit. hal tersebut sesuai dengan pengertian agunan yang termuat dalam Pasal 1 angka 23 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yaitu bahwa agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Dengan kedudukannya sebagai jaminan tambahan maka bentuk agunan menurut penjelasan Pasal 8 Undnag-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan dapat berupa: ….barang, proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan. Tanah yang kepemilikannya didasarkan pada hukum adat, yaitu tanah yang bukti kepemilikannya berupa girik, petuk, dan lain-lain yang sejenis dapat juga digunakan sebagai agunan. Bank tidak wajib meminta agunan berupa barang yang tidak berkaitan langsung dengan obyek yang dibiayai, yang lazim dikenal dengan agunan tambahan. Adanya kemudahan dalam hal agunan kredit ini merupakan realisasi dari perbankan yang berasaskan demokrasi ekonomi, dengan fungsi utamanya sebagai penghimpun, dan penyalur dana masyarakat, memiliki peranan yang strategis untuk
menunjang
pelaksanaan
pembangunan
nasional
dalam
rangka
meningkatkan pemerataan pembangunan, dan hasil-hasilnya, pertumbuhan Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
41
ekonomi dan stabilitas nasional, ke arah peningkatan taraf hidup rakyat banyak. Meskipun adanya kemudahan demikian, agunan tersebut tetap ideal karena agunan mempunyai tugas melancarkan dan mengamankan pemberian kredit yaitu dengan memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapatkan pelunasan dari barang-barang yang diagunkan tersebut apabila debitur wanprestasi. 23 Dalam hal pemberian fasilitas kredit ini pada prakteknya agunan malahan lebih dominan atau diutamakan, sehingga sebenarnya agunan lebih dipentingkan daripada hanya sekedar jaminan yang berupa keyakinan atas kemampuan debitur untuk melunasi utangnya. Hal demikian sangatlah berdasar karena jaminan merupakan hal yang abstrak, dimana penilaiannya sangatlah subyektif, berbeda dengan agunan yang jelas sehingga dengan obyektif dan secara ekonomi pula apabila terjadi suatu wanprestasi dari debitur atau adanya kredit yang bermasalah maka bank dengan segera dapat mengkonversikannya kepada sejumlah uang yang lebih likuid. Sesuai dengan gambaran di atas bahwa agunan dalam prakteknya lebih dipentingkan dalam pemberian kredit ini, sehingga tidak berlebihan apabila bank memandang perlu dalam rangka menambah keyakinan atas watak dan keyakinan debitur, bank selalu meminta jaminan pemberian kredit dari pihak lain seperti jaminan pribadi, garansi dari bank lain atau jaminan dari induk perusahaan. Jaminan perorangan atau jaminan pribadi (personal guaranty), yaitu jaminan seseorang pihak ketiga yang bertindak untuk menjamin dipenuhinya kewajiban23
Muhammad Djumhana, op.cit., hal 397
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
42
kewajiban si debitur. Jaminan ini dapat dilakukan tanpa sepengetahuan si debitur. Menurut Prof. Subekti, oleh karena tuntutan kreditur terhadap seseorang penjamin tidak diberikan suatu privilege atau kedudukan istimewa dibandingkan atas tuntutan-tuntutan kreditur lainnya, maka jaminan perorangan ini tidak banyak dipraktekkan dalam dunia perbankan. Selain jaminan pribadi yang dikenal dengan avalist, pada praktek yang sebenarnya jaminan kebendaan (persoonlijke en zakelijke zekerheid) lah yang lebih banyak dipraktekkan. Jaminan kebendaan merupakan suatu tindakan berupa suatu penjaminan yang dilakukan oleh kreditur dengan debiturnya, ataupun antara kreditur dengan seseorang pihak ketiga guna menjamin dipenuhinya kewajibankewajiban debitur. Dalam praktek jaminan kebendaan diadakan suatu pemisahan bagian dari kekayaan seseorang (si pemberi jaminan), yaitu melepaskan sebagian kekuasaan atas sebagian kekayaan tersebut, dan semuanya itu diperuntukkan guna memenuhi kewajiban si debitur bila diperlukan. Kekayaan yang dapat dijadikan jaminan tersebut dapat berupa kekayaan si debitur sendiri, ataupun kekayaan pihak ketiga. Dengan demikian menurut Prof. Subekti, maka pemberian jaminan kebendaan kepada si kreditur, memberikan suatu keistimewaan baginya terhadap kreditur lainnya. Dalam konteks perkreditan istilah jaminan sangat sering bertukar dengan istilah agunan. Apabila yang dimaksud jaminan itu adalah sebagaimana dijelaskan dalam pemberian kredit menurut Pasal 2 ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang Jaminan Pemberian Kredit, maka jaminan itu adalah suatu keyakinan bank atas Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
43
kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan. Dengan demikian mencermati maksud dari istilah yang dipakai oleh Prof. Subekti dengan jaminan seperti dibawah ini, menurut penulis yang tepat sebenarnya harus memakai istilah agunan. Menurut Prof. Subekti, jaminan yang ideal (baik) tersebut terlihat dari: 1. Dapat secara mudah membantu perolehan kredit oleh pihak yang memerlukannya. 2. Tidak melemahkan potensi (kekuatan) si penerima kredit untuk melakukan (meneruskan) usahanya. 3. Memberikan kepastian kepada kreditur dalam arti bahwa yaitu bila perlu mudah diuangkan untuk melunasi utangnya si debitur. Dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, maka yang dimaksudkan dengan agunan yang ideal yaitu agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan meliputi surat berharga dan atau tagihan yang diterbitkan oleh pemerintah atau badan hukum lain yang mempunyai peringkat tinggi berdasarkan hasil penilaian lembaga pemerintahan yang kompeten dan sewaktu-waktu dengan mudah dapat dijual ke pasar untuk dijadikan uang tunai. Dengan melihat pandangan diatas maka agunan dalam perkreditan memiliki fungsi untuk menjamin pembayaran kredit yang dalam kehidupan dan kegiatan perbankan bertujuan pula untuk mengamankan dana pihak ketiga yang dikelola oleh bank yang bersangkutan, selain itu juga untuk memenuhi ketentuan perkreditan yang dikeluarkan Bank Sentral. Bank dengan demikian dituntut untuk setiap waktu Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
44
memastikan bahwa agunan yang diterima telah memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga dapat dipastikan bahwa seluruh aspek yuridis yang berkaitan dengan pengikatan agunan kredit telah diselesaikan dan akan mampu memberikan perlindungan yang memadai bagi bank. Dalam praktek perkreditan yang sesungguhnya, ternyata agunan sebagai jaminan tambahan sebenarnya merupakan hal yang sangat lebih diutamakan oleh bank daripada sekedar jaminan berupa keyakinan bahwa debitur akan membayar kembali kredit tersebut. Guna memberikan manfaat sebagai jaminan tambahan, maka agunan tersebut telah diatur sedemikian rupa dalam peraturan perundangundangan di bidang hukum perdata. Bank dalam rangka mengamankan kepentingannya selaku kreditur tidak dilarang untuk meminta agunan dan hal tersebut mempunyai dasar yang secara hukum sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata, yaitu bahwa seluruh kekayaan debitur merupakan jaminan bagi pelunasan piutang seluruh krediturnya. Dengan demikian maka hampir setiap bentuk aktiva perusahaan atau aktiva pribadi dapat digunakan sebagai agunan untuk kredit. Mengacu kepada jenis jaminan yang terdiri dari dua jenis yaitu jaminan pribadi dan jaminan kebendaan maka agunan dapat dikelompokkan sebagai jaminan kebendaan. Mengingat hal demikian maka supaya agunan tersebut menjadi suatu agunan yang ideal maka diperlukan tata cara pengikatannya. Adapun pengikatan agunan pada praktek perbankan yaitu meliputi: a. Hipotik b. Credietverband Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
45
c. Fidusia Hadirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah serta UndangUndang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia, maka peraturan mengenai pengikatan agunan telah mengalami perubahan yang sangat menyeluruh. Dalam pengikatan jaminan kredit, harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Pembedaan jenis jaminan: 1. Jaminan pokok yang terdiri dari barang-barang bergerak maupun tidak bergerak, dan tagihan yang langsung berhubungan dengan aktivitas usahanya yang dibiayai dengan kredit. 2. Jaminan tambahan dapat berupa: a) Jaminan pribadi atau jaminan perusahaan yang dibuat secara notariil serta jaminan bank. b) Barang-barang tidak bergerak dan barang-barang bergerak yang tidak dijaminkan sebagai jaminan pokok, pada umumnya berupa: sertifikat tanah
dari
Kantor
Pertanahan,
BPKB,
dan
surat-surat
bukti
kepemilikam lainnya, harus disimpan dalam berkas khusus. 3. Peminjaman dokumen yang telah ada dalam penguasaan bank kepada nasabah tidak diperkenankan. Apabila peminjaman tersebut dimaksudkan
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
46
untuk keperluan urusan dengan instansi-instansi yang berwenang, nasabah dapat meminta bantuan pada bank. Hal-hal tersebut diatas merupakan suatu yang sangat perlu diperhatikan dalam rangka penatausahaan dan pengelolaan kredit perbankan, khususnya dibidang pengikatan agunan sebagai salah satu bentuk dari jaminan tambahan.
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
BAB III KLAUSUL BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK A. Pengertian Klausul Baku Sebelum
lahirnya
Undang-Undang
No.
8
Tahun
1999
tentang
Perlindungan konsumen, yang selanjutnya disebut dengan UUPK, dalam berbagai literature lebih banyak memperkenalkan istilah “kontrak baku” atau “standard contract”. Penggunaan kedua istilah tersebut benar mengingat penggunaan istilah kontrak baku lebih luas yaitu tidak terbatas pada klausul baku yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha di dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen, tetapi juga meliputi bentuknya. 24 Dalam UUPK pengertian tentang klausul baku ini terdapat dalam Pasal 1 angka 10 yang berbunyi; Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Perjanjian atau klausul baku sebenarnya dikenal sejak Zaman Yunani Kuno. Plato (423-347), misalnya, pernah memaparkan praktik penjualan makanan yang harganya ditentukan secara sepihak oleh si penjual, tanpa memperhatikan
24
Ahmadi, Miru, Hukum Perlindungan Konsumen, Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hal 18
38
48
perbedaan mutu makanan tersebut 25. Dalam perkembangannya saat ini penentuan secara sepihak oleh produsen atau penyalur produk (penjual), tidak lagi sekedar masalah harga, tetapi mencakup syarat-syarat yang lebih mendetail. Hal ini tentu saja tidak selamanya berkonotasi negatif. Tujuan dibuatnya perjanjian standar atau perjanjian baku adalah untuk memberikan kemudahan bagi para pihak yang bersangkutan. Oleh karena itu bertolak dari tujuan tersebut, Mariam Darus Badrulzaman mendefinisikan perjanjian standar sebagai perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir. 26 Sutan Remi Sjahdeni mengartikan perjanjian standar sebagai perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Adapun yang belum dibakukan hanya beberapa hal, misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu dan beberapa hal yang spesifik dari obyek yang diperjanjikan. Sjahdeni menekankan, yang dibakukan bukan formulir perjanjian tersebut, melainkan klausul-klausulnya. 27 Sebenarnya perjanjian standar tidak selalu dituangkan dalam bentuk formulir, walaupun memang lazim dibuat tertulis. Contohnya dapat dibuat dalam bentuk pengumuman yang ditempelkan ditepat penjual menjalankan usahanya.
25
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Penerbit Grasindo, Jakarta, 2006,
hal 146 26
Mariam Darus, Badrulzaman, Perlindungan Terhadap Konsumen Dilihat dari Sudut Perjanjian Baku (Standar), Penerbit Bina Cipta, Bandung, 1986 (I), hal 58
27
Sutan Remi Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993 (I), hal 66
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
49
Jadi,perjanjian standar adalah perjanjian yang ditetapkan secara sepihak, yakni oleh produsen atau penyalur produk (penjual), dan mengandung ketentuan yang berlaku umum (massal), sehingga pihak yang lain (konsumen) hanya memiliki dua pilihan: menyetujui atau menolaknya. Adanya unsur pilihan ini oleh sementara pihak dikatakan perjanjian standar tidaklah melanggar asas kebebasan berkontrak (pasal 1320 jo. 1338 KUH Perdata). Artinya bagaimanapun pihak konsumen masih diberi hak untuk menyetujui (take it) atau menolak perjanjian yang diajukan kepadanya (leave it). Itulah sebabnya, perjanjian standar ini kemudian dikenal dengan nama take it or leave it contract.28 Jika ada yang perlu dikhawatirkan dengan kehadiran perjanjian standar, tidak lain karena dicantumkannya klausul eksonerasi (exemption clause) dalam perjanjian tersebut. Klausul eksonerasi adalah klausul yang mengandung kondisi membatasi, atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada pihak produsen atau penyalur produk (penjual). 29 Disini terlihat betapa tidak adanya keseimbangan posisi tawar menawar antara produsen atau penyalur produk (penjual) yang lazim disebut kreditur dan konsumen (debitur) dilain pihak. Sehubungan dengan pertanyaan: apakah ada kebebasan berkontrak dalam perjanjian standar ini?; ada beberapa pendapat yang mempertegas kontroversi didalamnya.
28
Shidarta, op.cit., hal 147
29
Ibid
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
50
Pendapat pertama datang dari Sluijter, yang menyatakan perjanjian standar bukan perjanjian. Alasannya, kedudukan pengusaha dalam perjanjian itu adalah seperti pembentuk undang-undang swasta (legio partuculiere wetgever). Syaratsyarat yang ditentukan pengusaha didalam perjanjian itu adalah undang-undang, bukan perjanjian! Pitlo mengatakannya sebagai perjanjian paksa (dwang contract), walaupun secara teoritis yuridis, perjanjian ini tidak memenuhi ketentuan undang-undang dan ditolak oleh berbagai ahli hukum. Namun dalam kenyataannya, kebutuhan masyarakat berjalan dalam arah yang berlawanan dengan keinginan hukum. Pendapat Pitlo ini mengingatkan kita pada pendapat Hondius, yang dalam disertasinya menyatakan bahwa perjanjian standar itu mengikat berdasarkan kebiasaan (gebruik) yang berlaku dilingkungan masyarakat dan lalu lintas perdagangan. Kemudian Stein mencoba memecahkan masalah ini dengan mengemukakan pendapat, bahwa perjanjian standar dapat diterima sebagai perjanjian berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan (fictie van wil en vertrouwen) yang membangkitkan keyakinan, para pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu. Jika debitur menerima dokumen perjanjian itu, berarti ia secara sukarela setuju pada isi perjanjian tersebut. Akhirnya, dapat disebutkan pendapat yang lebih tegas dari Asser Rutten, yang mengatakan perjanjian standar itu mengikat karena setiap orang yang menandatangani suatu perjanjian harus dianggap mengetahui dan menyetujui sepenuhnya isi kontrak tersebut. 30
30
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Penerbit Alumni, Bandung, 1994 (II),
hal 35
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
51
Ahli hukum Indonesia, Mariam Darus Badrulzaman menyimpulkan bahwa perjanjian standar itu bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab, terlebih-lebih lagi ditinjau dari asas-asas hukum nasional, dimana akhirnya kepentingan masyarakatlah yang didahulukan. Dalam perjanjian standar, kedudukan pelaku usaha dan konsumen tidak seimbang. Posisi yang didominasi oleh pihak pelaku usaha, membuka peluang luas baginya untuk menyalahgunakan kedudukannya. Pelaku usaha hanya mengatur hak-haknya dan tidak kewajibannya. Menurutnya, perjanjian standar ini tidak boleh dibiarkan tumbuh secara liar dan karena itu perlu ditertibkan. 31 Sutan Remi Sjahdeni berpendapat dalam kenyataannya KUH Perdata sendiri memberikan pembatasan-pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak itu. Misalnya, terdapat ketentuan yang mengatakan, suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kata sepakat kedua belah pihak atau karena alasan lain yang dinyatakan dengan undang-undang. KUH Perdata juga menyebutkan alasan yang dapat menyebabkan suatu perjanjian, yakni paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling),dan penipuan (bedrog). Ketiga alasan ini dimaksudkan oleh undang-undang sebagai pembatasan terhadap berlakunya asas kebebasan berkontrak. Menurut Remi Sjahdeni, agar tidak terjadi penyalahgunaan terhadap asas kebebasan berkontrak ini oleh pihak yang berkedudukan lebih kuat, maka diperlukan campur tangan melalui undang-undang dan pengadilan. Dalam hukum perburuhan, misalnya, ada pembatasan-pembatasan dalam kontrak kerja. Campur 31
Ibid, hal 54
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
52
tangan pengadilan dapat dijumpai dalam alasan penyebab putusnya perjanjian, yang dikenal dengan penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden). Dalam KUH Perdata baru negeri Belanda, penyalahgunaan keadaan ini dikukuhkan sebagai alasan keempat dari cacat kehendak. Dengan demikian, jika asas kebebasan berkontrak ingin ditegakkan, dan kepentingan dunia perdagangan tidak pula dirugikan, satu-satunya cara adalah dengan membatasi pihak pelaku usaha dalam membuat klausul eksonerasi. Tentu saja hal ini tidak mudah dilakukan. Sekalipun, seperti disarankan oleh Mariam Darus Badrulzaman, harus ada campur tangan pemerintah, kiranya tidak semua perjanjian standar dapat diperlakukan demikian. Materi perjanjian yang terjadi dimasyarakat sedemikian luas dan heterogennya. Dalam kenyatannya, campur tangan yang disarankan itu dapat dilakukan oleh pemerintah. Misalnya saja dalam lapangan perburuhan dan agraria, sangat banyak dilakukan standarisasi perjanjian. Akan tetapi untuk perjanjian-perjanjian keperdataan yang dibuat oleh notaris tentu tidak harus distandarkan. Perjanjianperjanjian yang disebutkan terakhir ini tumbuh melalui kebiasaan dan permintaan masyarakat sendiri. Campur tangan pemerintah lebih diharapkan pada perjanjianperjanjian yang berskala luas walaupun tidak sepenuhnya bersifat publik seperti dibidang perburuhan dan agraria. Perjanjian berskala luas yang dimaksud berkaitan dengan kepentingan massal, dan karena itu jika diserahkan sepenuhnya pembuatannya secara sepihak kepada pelaku usaha, dikhawatirkan akan dibuat banyak klausul eksonerasi yang merugikan masyarakat banyak.
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
53
B.
Klausul Baku dalam KUH Perdata dan UUPK Salah satu aspek penting dalam bahasan hubungan hukum antara nasabah
dengan bank adalah perjanjian antara keduanya, yang biasanya dibuat secara sepihak oleh bank. Seiring dengan perkembangan hukum dan masuknya hukum dari Negara Anglo Saxon, maka perjanjian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata yang dianut oleh Indonesia selama ini mengalami pergeseran. Diantara pergeseran dalam pembuatan perjanjian adalah perjanjian antara produsen dan konsumen yang salah satunya adalah antara bank dengan nasabah. Oleh karena itu perlu dikemukakan bahasan mengenai Undang-Undang Perlindungan Konsumen guna melengkapi pemahaman dalam pembuatan perjanjian atau hubungan hukum antara nasabah dengan bank. Perkembangan demikian tidak terlepas dari perkembangan zaman menuju tingkat kesejahteraan yang lebih baik yang salah satunya adalah memberikan perlindungan kepada konsumen. Salah satu ciri Negara kesejahteraan (welfare state) adalah adanya perlindungan terhadap konsumen. Sekalipun Indonesia belum sepenuhnya menjadi Negara kesejahteraan, tetapi Indonesia telah berusaha untuk dapat melindungi konsumen. Hal ini tercermin dalam UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (untuk selanjutnya disebut juga UUPK). Dengan Undang- Undang ini, diharapkan konsumen yang sebelum berlakunya UUPK tersebut kedudukannya lemah dibandingkan dengan produsen, maka setelah berlakunya UUPK, diharapkan dapat disetarakan. Dengan demikian, UUPK Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
54
tersebut dapat mengeliminasi konflik kepentingan kedua belah pihak dalam hal terjadi transaksi atau menyelesaikan sengketa jika terjadi dispute. Pasal 18 ayat 1 dan 2 UUPK selengkapnya berbunyi sebagai berikut. Ayat 1 : Pelaku usaha dalam menawarkan barang atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan, dilarang membuat atau mencantumkan klausul baku pada setiap dokumen dan atau perjanjian apabila: a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen; c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan atau jasa yang dibeli oleh kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; d. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; e. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa; f. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan atau pengubahan lanjutan yang
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
55
dibuat
sepihak
oleh pelaku
usaha dalam masa konsumen
memanfaatkan jasa yang dibelinya; g. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk membebankan hak tanggungan, hak gadai atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. Ayat 2 : Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausul baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas dan atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Penerapan pasal 18 ayat 1 dan 2 UUPK tersebut paling tidak akan nampak pada formulir-formulir yang digunakan dalam melakukan transaksi antara bank dengan nasabah. Guna memberikan kemudahan bagi nasabah perbankan dalam membuat perjanjian dengan bank sebagaimana diamanatkan oleh UUPK, maka bank telah menyediakan berbagai jenis formulir, baik dalam bidang dana, bidang jasa maupun dalam bidang kredit. Penyediaan formulir oleh bank tersebut dalam UUPK disebut sebagai klausul baku. Pasal 1 ayat 10 UUPK menyatakan, klausul baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Banyak alasan untuk menjawab bahwa bank selalu menyediakan formulir untu setiap hubungan hukum dengan nasabah. Hal ini dengan alasan berikut ini: 32
32
Try Widioyono, Operasional Transaksi Produk Perbankan di Indonesia, GhaliaIndonesia, Bogor, 2006, hal 68
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
56
a.
Untuk mempercepat sistem pelayanan, sebab tidak mungkin setiap nasabah harus membuat dan menegosiasikan setiap transaksi dengan bank.
b. Formulir tersebut antara lain memuat berbagai peraturan penting yang berkaitan dan berlaku dalam hubungan hukum antara nasaba dengan bank. c. Memudahkan nasabah mengetahui peraturan apa saja dan mana saja yang berlaku dalam hubungan hukum dengan bank. d. Tidak semua pegawai bank mengetahui mengenai hukum yang berlaku atas suatu produk. Dengan penyediaan formulir yang dibuat oleh bagian hukum maka pegawai lain di kantor cabang dapat dengan mudah menyediakan formulir tanpa harus berkonsultasi pada bagian hukum. Hal ini membantu mempercepat pelayanan. e. Fungsi bank sebagai intermediary dengan formulir yang dibuat secara hatihati tersebut dapat mengamankan dana masyarakat yang dikelola bank. Formulir-formulir tersebut seluruhnya dibuat secara sepihak oleh bank. Akan tetapi, pada formulir tertentu, misalnya formulir aplikasi permohonan pemindahbukuan atau transfer bagi nasabah- nasabah korporasi (nasabah besar) dimungkinkan untuk membuat aplikasi formulir tersendiri, yang dibuat oleh nasabah yang bersangkutan,dengan syarat bahwa formulir tersebut dapat diterima oleh bank. Artinya, atas formulir yang dibuat nasabah, bank berhak untuk menolak penggunaan formulir tersebut. Formulir-formulir yang diperbolehkan biasanya formulir untuk transaksi yang mengandung risiko kecil yang memang di bolehkan oleh formulir perjanjian pada produk tersebut. Dengan demikian hakikatnya seluruh formulir yang digunakan dalam hubungan hukum antara Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
57
nasabah dengan bank selalu menggunakan formulir yang disediakan secara sepihak oleh pihak bank. Perubahan suatu formulir adalah kewenangan direksi. Oleh karena itu untuk mengubah suatu klausul baku yang telah dibuat dan disediakan oleh bank harus melalui persetujuan direksi. Sulit bagi seorang nasabah, apalagi nasabah ritel untuk mengusulkan suatu perubahan atas klausul baku yang telah dibuat dan disediakan bank untuk nasabah, walaupun hakikatnya dimungkinkan. Formulir tersebut mendapat perhatin dari uraian ini karena beberapa hal sebagai berikut: 33 a. Dasar hubungan hukum antara nasabah dengan bank akan tercermin dalam perjanjian yang mereka buat. Perjanjian tersebut selalu dibuat dan disediakan secara sepihak oleh bank. Hal ini memungkinkan bahwa bank membuat formulir-formulir tersebut tidak seimbang, yang dapat merugikan konsumen. Sebagai pembuat draft perjanjian yang tidak melibatkan nasabah, bank secara manusiawi akan cenderung protektif terhadap dirinya sendiri. Hal ini menyangkut segi kepraktisan karena tidak mungkin bank membuat perjanjian yang berbeda-beda antara nasabah yang satu dengan yang lain. b. Nasabah yang akan berhubungan dengan bank pada umumnya tidak memperhatikan isi dari formulir-formulir yang akan ditandatanganinya. Mereka percaya pada bank atau paling tidak “tidak kuasa” untuk menolak
33
Ibid, hal 69
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
58
formulir yang disodorkan oleh bank karena tidak mungkin nasabah membuat draft perjanjian tersebut. c. Nasabah tidak mendapatkan informasi yang cukup mengenai isi formulir tersebut. Nasabah sering tidak memahami dengan maksud dan isi dari formulir atau perjanjian yang dibuat secara sepihak oleh bank. Tulisantulisan sangat kecil dan rumit untuk dipahami, sehingga ketika terjadi dispute, nasabah mungkin akan dirugikan. Secara yuridis formal, dalam membuat suatu perjanjian harus memenuhi asas perjanjian sebagai syarat sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata, yakni sepakat mereka yang mengikatkan diri, kecakapan untuk membuat perikatan, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang hal. Disamping itu, terdapat asas lain dalam perjanjian, yaitu asas- asas kesetaraan dalam berkontrak. Fenomena kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada dalam posisi yang lemah merupakan salah satu faktor lahirnya UUPK tersebut. Salah satu latar belakang dari lahirnya UUPK adalah agar terdapat suatu perjanjian yang seimbang antar konsumen dan produsen berdasarkan asas kesetaraan berkontrak. Terdapat beberapa hal yang mengakibatkan lembaga perbankan tidak dapat menjalankan undang-undang tersebut, dalam arti bahwa apabila ketentuan dalam pasal 18 UUPK dijalankan, maka akan sangat memberatkan lembaga perbankan. Memperhatikan kondisi tersebut, terdapat persoalan yang seakan-akan lembaga perbankan tidak mengindahkan hukum positif yakni UUPK karena Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
59
perjanjian yang dibuat antara nasabah dengan bank seharusnya tunduk pada UUPK. Hal demikian merupakan kenyataan yang kita rasakan sehari-hari dalam hubungan dengan bank. Fakta tersebut memberikan indikasi adanya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh bank dalam membuat perjanjian dengan nasabah. Sebagai hukum positif, UUPK bersifat memaksa dan dapat dipertahankan kepada siapapun. Dengan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh bank terhadap pasal 18 ayat 1 dan 2 UUPK, berarti secara sosiologis terdapat “permasalahan” hukum, baik dari segi pembuatan dan atau dari segi pelaksanaannya. Sifat bank yang mempunyai karakteristik berbeda dengan industri lain juga dijelaskan melalui beberapa asas dan pikiran serta perundang-undangan. Penjelasan ini berkaitan dengan alasan yang menjadi dasar argumen oleh bank untuk menimpangi ketentuan tersebut. Persoalan yang sering timbul dalam aplikasi pasal 18 ayat 1 dan 2 UUPK adalah perbedaan persepsi antara kedua belah pihak untuk menetapkan keseimbangan dalam berkontrak. Oleh karena itu, sering terjadi dalam suatu kontrak, terdapat anggapan subjektif bahwa perjanjian tersebut kurang atau tidak terpenuhinya keseimbangan. Hal ini dapat dilihat apabila seseorang akan berhubungan dengan bank, maka nasabah atau calon nasabah tersebut wajib menerima “klausul baku” yang dibuat secara sepihak oleh bank. Hal tersebut menyebabkan adanya ketimpangan dalam perjanjian antara nasabah dengan bank, dimana nasabah sering dirugikan oleh perjanjian yang dibuat dengan pihak perbankan. Pihak nasabah sering tidak berdaya untuk mengoreksi “klausul baku” yang disodorkan oleh bank. Pihak nasabah tanpa pikir panjang akan Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
60
menandatangani “klausul baku” tersebut dengan berbagai alasan, antara lain tulisannya kecil-kecil, bahasanya sulit dimengerti, terlalu rumit, tidak memahami isi “klausul baku” tersebut, tidak sempat membaca, dan lain-lain. Akan tetapi dengan alasan apapun setelah ditandatangani kedua belah pihak, antara nasabah dengan bank, maka hakikatnya perjanjian tersebut berlaku bagi kedua belah pihak sebagai undang-undang. Hal ini berdasarkan pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua persetujuan dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Pasal ini sebagai asas facta sun servanda.
C. Perjanjian Kredit Bank Merupakan Perjanjian Baku Perjanjian kredit merupakan perjanjian baku (standart contract), dimana isi atau klausul-klausul perjanjian kredit tersebut telah dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir (blangko), tetapi tidak erikat dalam suatu bentuk tertentu (vorn vrij). Calon nasabah debitur tinggal membubuhkan tandatangannya saja apabila bersedia menerima isi perjanjian tersebut, tidak memberikan kesempatan kepada calon debitur untuk membicarakan lebih lanjut isi atau klausul-klausul yang diajukan pihak bank. Perjanjian baku diperlukan untuk memenuhi kebutuhan yang sifatnya praktis dan kolektif. Pada tahap ini, kedudukan calon debitur sangat lemah, sehingga menerima saja syarat-syarat yang disodorkan oleh pihak bank, karena jika tidak demikian calon debitur tidak akan mendapatkan kredit yang dimaksud.
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
61
Seperti yang telah dikemukakan di atas, setiap pemberian kredit harus dituangkan dalam perjanjian kredit secara tertulis. Bentuk dan formatnya diserahkan
oleh
Bank
Imdonesia
kepada
masing-masing
bank
untuk
menetapkannya, namun sekurang-kurangnya harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 34 a. Memenuhi keabsahan dan persyaratan hukum yang dapat melindungi kepentingan bank; b. Memuat jumlah, jangka waktu, tata cara pembayaran kembali kredit serta persyaratan-persyaratan kredit lainnya sebagaimana ditetapkan dalam keputusan persetujuan kredit dimaksud. Susunan sebuah perjanjian kredit bank pada umumnya meliputi: 35 a. Judul Dalam dunia perbankan masih belum terdapat kesepakatan tentang judul atau penamaan perjanjian kredit bank ini. Ada yang menamakannya dengan perjanjian kredit, surat pengakuan utang, persetujuan pinjam uang, dan lain-lain. Judul di sini berfungsi sebagai nama dari perjanjian yang dibuat tersebut, setidaknya kita mengetahui bahwa akta atau surat itu merupakan perjanjian kredit bank. b. Komparisi Sebelum memasuki substantif perjanjian kredit bank, terlebih dahulu diawali dengan kalimat komparisi yang berisikan identitas, dasar hukum, 34
Rachmadi Usman, op.cit., hal 267
35
Ibid
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
62
dan kedudukan para pihak yang akan mengadakan perjanjian kredit bank. Di sini menjelaskan sejelasnya tentang identitas, dasar hukum, dan kedudukan subyek hukum perjanjian kredit bank. Sebuah perjanjian kredit bank akan dianggap sah apabila ditandatangani oleh subyek hukum yang berwenang untuk melakukan perbuatan hukum yang demikian itu. c. Substantif Sebuah perjanjian kredit bank berisikan klausula-klausula yang merupakan ketentuan dan syarat-syarat pemberian kredit, minimal harus memuat maksimum kredit, bunga dan denda, jangka waktu kredit, cara pembayaran kembali kredit, agunan kredit, opeinsbaar clause, dan pilihan hukum. Perjanjian kredit yang baik seyogyanya sekurang-kurangnya berisi klausul-klausul sebagai berikut: 36 a. Klausul-klausul tentang maksimum kredit, jangka waktu kredit, tujuan kredit, bentuk kredit dan batas izin tarik; b. Klausul-klausul tentang bunga, commitment fee, dan denda kelebihan tarik; c. Klausul tentang kuasa bank untuk melakukan pembebanan atas rekening giro dan rekening pinjaman nasabah debitur; d. Klausul tentang representation and warranties, yaitu klausul yang berisi pernyataan-pernyataan nasabah debitur mengenai fakta-fakta menyangkut status hukum, keadaan keuangan, dan harta kekayaan nasabah debitur pada waktu kredit diberikan, yaitu yang menjadi asumsi-asumsi bagi bank dalam mengambil keputusan untuk memberikan kredit tersebut; 36
Sutan Remy Sjahdeni (I), op.cit., hal 178-179
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
63
e. Klausul tentang conditions precedent, yaitu klausul tentang syarat-syarat tangguh yang harus terpenuhi terlebih dahulu oleh nasabah debitur sebelum bank berkewajiban untuk menyediakan dana bagi kredit tersebut dan nasabah debitur berhak untuk pertama kalinya menggunakan kredit tersebut; f. Klausul tentang agunan kredit dan asuransi barang-barang agunan; g. Klausul tentang
berlakunya syarat-syarat
dan ketentuan-ketentuan
hubungan Rekening Koran bagi perjanijian kredit yang bersangkutan; h. Klausul tentang affirmative covenants, yaitu klausul yang berisi janji-janji nasabah debitur untuk melakukan hal-hal tertentu selama perjanjian kredit masih berlaku; i.
Klausul tentang negative covenants, yaitu klausul yang berisi janji-janji nasabah debitur untuk tidak melakukan hal-hal tertentu selama perjanjian kredit berlaku;
j.
Klausul tentang financial covenants, yaitu klausul yang berisi nasabah debitur untuk menyampaikan laporan keuangannya kepada bank dan memelihara posisi keuangannya pada minimal taraf tertentu;
k. Klausul tentang tindakan yang dapat diambil oleh bank dalam rangka pengawasan, pengamanan, penyelamatan dan penyelesaian kredit; l.
Klausul tentang event of default, yaitu klausul yang menentukan suatu peristiwa atau peristiwa-peristiwa yang apabila terjadi memberikan hak kepada bank untuk secara sepihak mengakhiri perjanjian kredit dan untuk seketika dan sekaligus menagih seluruh outstanding kredit;
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
64
m. Klausul tentang arbitrase, yaitu klausul yang mengatur mengenai penyelesaian perbedaan pendapat atau perselisihan di antara para pihak melalui suatu badan arbitrase, baik badan arbitrase ad hoc atau badan arbitrase institusional; n. Klausul-klausul bunga rampai atau miscellaneous provisions atau boilerplate provisions, yaitu klausul-klausul yang berisi syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang belum tertampung secara khusus di dalam klausul-klausul lain; termasuk didalam klausul-klausul ini adalah klausul yang disebut Pasal Tambahan, yaitu klausul-klausul yang berisi syaratsyarat dan ketentuan-ketentuan tambahan yang belum diatur dalam pasalpasal lain atau berisi syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan lain yang telah tercetak didalam perjanjian kredit yang merupakan perjanjian baku. Menurut Ch. Gatot Wardoyo ada beberapa klausul yang selalu dan perlu dicantumkan dalam setiap perjanjian kredit, yaitu: 37 1. Syarat-syarat penarikan kredit pertama kali (predisbursement clause). Klausul ini menyangkut: a. Pembayaran provisi, premi asuransi kredit dan asuransi barang jaminan serta biaya pengikatan jaminan secara tunai; b. Penyerahan barang jaminan dan dokumennya serta pelaksaan pengikatan barang jaminan tersebut;
37
Muhammad Djumhana, op.cit., hal 229-232
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
65
c. Pelaksanaan penutupan asuransi barang jaminan dan asuransi kredit dengan tujuan untuk memperkecil risiko yang terjadi di luar kesalahan debitur maupun kreditur. 2. Klausul mengenai maksimum kredit (amount clause). Klausul ini mempunyai arti penting dalam beberapa hal, yaitu: a. Merupakan objek kesepakatan
dari perjanjian kredit
mengenai
materi
ini
sehingga perubahan
menimbulkan
konsekuensi
diperlukannya pembuatan perjanjian kredit baru; b. Merupakan batas kewajiban pihak kreditur yang berupa penyediaan dana selama tenggang waktu perjanjian kredit, yang berarti pula batas hak debitur untuk melakukan penarikan pinjaman; c. Merupakan penetapan berapa besarnya nilai agunan yang harus diserahkan, dasar penghitungan penetapan besarnya provisi atau commitment fee; d. Merupakan batas dikenakannya denda kelebihan tarik (overdraft). 3. Klausul mengenai jangka waktu kredit. klausul ini penting dalam beberapa hal, yaitu: a. Merupakan batas waktu bagi bank kapan keharusan menyediakan dana sebesar maksimum kredit berakhir dan sesudah dilewatinya jangka waktu ini sehingga menimbulkan hak tagih/pengembalian kredit dari nasabah; b. Merupakan batas waktu kapan bank boleh melakukan teguran-teguran kepada debitur bila tidak memenuhi kewajiban tepat pada waktunya; Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
66
c. Merupakan suatu masa yang tepat bagi bank untuk melakukan tinjauan atau analisis kembali apakah fasilitas kredit tersebut perlu diperpanjang atau perlu segera ditagih kembali. 4. Klausul mengenai bunga pinjaman (interest clause). Klausul ini diatur secara tegas dalam perjanjian kredit dengan maksud untuk : a. Memberikan kepastian mengenai hak bank untuk memungut bunga pinjaman dengan jumlah yang sudah disepakati bersama, karena bunga merupakan penghasilan bank baik secara langsung maupun tidak langsung akan diperhitungkan dengan biaya dana untuk penyediaan fasilitas kredit tersebut; b. Pengesahan pemungutan bunga diatas 6 persen pertahun asalkan diperjanjikan secara tertulis. 5. Klausul mengenai barang agunan kredit Klausul ini bertujuan agar pihak debitur tidak melakukan penarikan atau penggantian barang jaminan secara sepihak, tetapi harus ada kesepakatan dengan pihak lain. 6. Klausul asuransi (insurance clause) Klausul ini bertujuan untuk pengalihan risiko yang mungkin terjadi, baik atas barang agunan maupun atas kreditnya sendiri. Adapun materinya perlu memuat mengenai maskapai asuransi yang ditunjuk, premi asuransinya keharusan polis asuransi untuk disimpan di bank, dan sebagainya. 7. Klausul mengenai tindakan yang dilarang oleh bank (negative clause) Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
67
Klausul ini terdiri atas berbagai macam hal yang mempunyai akibat yuridis dan ekonomi bagi pengamanan kepentingan bank sebagai tujuan utama.
8. Tigger clause atau opeisbaar clause Klausul ini mengatur bank untuk mengakhiri perjanjian kredit secara sepihak walaupun jangka waktu perjanjian kredit tersebut belum berakhir. 9. Klausul mengenai denda (penalty clausul) Klausul ini dimaksudkan untuk mempertegas hak-hak bank untuk melakukan pungutan baik mengenai besarnya maupun kondisinya. 10. Expence Clause Klausul ini mengatur mengenai beban biaya dan ongkos yang timbul sebagai akibat pemberian kredit, yang biasanya dibebankan kepada nasabah dan meliputi antara lain biaya pengikatan jaminan, pembuatan akta-akta perjanjian kredit, pengakuan utang dan penagihan kredit. 11. Debet Auto Rization Clause Pendebetan rekening pinjaman debitur haruslah dengan izin debitur. 12. Representation and Warranties/ Material Adverse Change Clause Klausul ini dimaksudkan bahwa pihak debitur menjanjikan dan menjamin semua data dan informasi yang diberikan kepada bank adalah benar dan tidak di putarbalikkan. 13. Klausul ketaatan pada ketentuan bank
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
68
Klausul ini dimaksudkan untuk menjaga kemungkinan bila terdapat hal-hal yang tidak dperjanjikan secara khusus tetapi dipandang perlu, maka sudah dianggap telah diperjanjikan secara umum. 14. Miscellaneous/ Boiler Plate Provision Pasal-pasal tambahan. 15. Dispute Settlement (Alternative Dispute Resolution) Klausul mengenai metode penyelesaian perselisihan antara kreditur dan debitur bila terjadi. 16. Pasal-pasal Penutup Pasal penutup merupakan eksemplar perjanjian kredit yang maksudnya mengadakan pengaturan mengenai jumlah alat bukti dan tanggal mulai berlakunya perjanjian kredit serta tanggal penandatanganan perjanjian kredit. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa dalam sebuah perjanjian kredit bank minimal seyogyanya memuat klausul-klausul yang berhubungan dengan: 1. Ketentuan mengenai fasilitas kredit yang diberikan, diantaranya tentang jumlah maksimum kredit, jangka waktu kredit, tujuan kredit, bentuk kredit dan batas izin tarik; 2. Suku bunga dan biaya-biaya yang timbul sehubungan dengan pemberian kredit, diantaranya bea materai, provisi / commitment fee dan denda kelebihan tarik;
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
69
3. Kuasa bank untuk melakukan pembebanan atas rekening giro dan/atau rekening kredit penerima kredit untuk bunga denda kelebihan tarik dan bunga tunggakan serta segala macam biaya yang timbul karena dan untuk pelaksanaan hal-hal yang ditentukan yang menjadi beban penerima kredit; 4. Representation and Warranties, yaitu pernyataan dari penerima kredit atas pembebanan segala harta kekayaan penerima kredit menjadi jaminan guna pelunasan kredit; 5. Conditions precedent, yaitu tentang syarat-syarat tangguh yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh penerima kredit agar dapat menarik kredit untuk pertama kalinya; 6. Agunan kredit dan asuransi barang agunan; 7. Affirmative dan
negative covenants, yaitu kewajiban-kewajiban dan
pembatasan tindakan penerima kredit selama masih berlakunya perjanjian kredit; 8. Tindakan-tindakan bank dalam rangka pengawasan dan penyelamatan kredit; 9. Events of default/wanprestasi/cidera janji/trigger clause/opeisbaar clause, yaitu tindakan-tindakan bank sewaktu-waktu dapat mengakhiri perjanjian kredit dan untuk seketika akan menagih semua utang beserta bunga dan biaya lainnya yang timbul; 10. Pilihan domisili/forum/hukum apabila terjadi pertikaian di dalam penyelesaian kredit antara bank dan nasabah penerima kredit;
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
70
11. Ketentuan mulai berlakunya perjanjian dan penandatanganan perjanjian kredit. Beberapa pakar hukum menolak kehadiran perjanjian baku ini, karena dinilai: a. Kedudukan pengusaha didalam perjanjian baku sama seperti pembentuk undang-undang swasta (legio particuliere wetgever), karenanya perjanjian baku bukan perjanjian; b. Perjanjian baku merupakan perjanjian paksa (dwangcontract); c. Negara-negara common law system menerapkan doktrin unconscionability. Doktrin unconscionability memberikan wewenang kepada perjanjian demi menghindari hal-hal yang dirasakan sebagai bertentangan dengan hati nurani. Perjanjian baku dianggap meniadakan keadilan. 38 Sebaliknya beberapa pakar hukum menerima kehadiran perjanjian sebagai suatu perjanjian, hal ini karena: 39 a. Perjanjian baku diterima sebagai perjanjian berdasarkan fiksi adanya kemauan
dan kepercayaan (fictie van
wil
en
errouwen)
yang
membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu; b. Setiap orang yang menandatangani perjanjian bertanggung jawab pada isi dan apa yang ditandatanganinya. Jika ada orang yang membubuhkan tanda tangan pada formulir perjanjian baku, tanda tangan membangkitkan 38
Mariam Darus, Badrulzaman, Perjanjian Baku (Standard) Perkembangannya di Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung, 1981(III), hal 105-106
39
Ibid
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
71
kepercayaan bahwa yang bertandatangan mengetahui dan menghendaki isi formulir yang ditandatangani. Tidak mungkin seseorang menandatangani apa yang tidak diketahui isinya; c. Perjanjian baku mempunyai kekuatan hukum mengikat, berdasarkan kebiasaan (gebruk) yang berlaku di lingkungan masyarakat dan lalu lintas perdagangan. Dengan demikian keabsahan perjanjian baku terletak pada penerimaan masyarakat dan lalu lintas bisnis untuk memperlancar arus lalu lintas perdagangan dan bisnis. Dunia perdagangan dan bisnis membutuhkan kehadiran perjanjian baku guna menunjang dan menjamin kelangsungan hidup usaha perdagangan dan bisnis. Perjanjian baku pada umumnya mengandung klausul yang tidak setara antara pihak yang mempersiapkan dan pihak lainnya. Isi, aturan atau ketentuan dan syarat-syarat klausul terlebih dahulu dipersiapkan dan ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang membuat perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh pihak lainnya. Dengan sendirinya pihak yang mempersiapkan akan menuangkan sejumlah klausul yang menguntungkan dirinya sedangkan pihak lain dibebani dengan sejumlah kewajiban. Perjanjian baku yang tidak setara ini perlu diwaspadai. Sutan Remi Sjahdeni menyatakan bahwa berbeda dengan perjanjianperjanjian baku pada lazimnya, dalam perjanjian kredit bank harus diingat bahwa bank tidak hanya mewakili dirinya sebagai perusahaan bank saja tetapi juga mengemban kepentingan masyarakat, yaitu masyarakat penyimpan dana dan selaku bagian dari sistem moneter. Oleh karena itu, dalam menentukan apakah Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
72
suatu klausul itu memberatkan, baik dalam bentuk klausul eksemsi atau dalam bentuk yang lain, perimbangannya sangat berbeda bila dibandingkan dengan menentukan klausul-klausul dalam perjanjian-perjanjian baku, pada umumnya yang para pihaknya adalah perorangan atau perusahaan biasa. Atas dasar pertimbangan ini maka tidak dapat dianggap bertentangan dengan ketertiban umum dan keadilan apabila di dalam perjanjian kredit dimuat klausul yang dimaksudkan justru untuk mempertahankan atau untuk melindungi eksistensi bank atau bertujuan untuk melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang moneter.40
D. Karakteristik Hukum Perjanjian Kredit Bank Terhadap perjanjian kredit terdapat beberapa pandangan, yaitu: Subekti mengatakan bahwa dalam bentuk apapun juga penberian itu diadakan, dalam semuanya itu pada hakikatnya yang terjadi adalah suatu perjanjian pinjam-meminjam sebagaimana diatur oleh KUH Perdata pasal 17451769. 41 Mirip dengan pendapat Subekti adalah pendapat Marhais Abdul Hay yang mengatakan bahwa perjanjian kredit adalah identik dengan perjanjian pinjammeminjam dan di kuasai oleh ketentuan Bab XIII Buku III KUH Perdata. 42
40
Sutan Remy Sjahdeni (I), op.cit., hal 182-183
41
Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia,Penerbit Alumni, Bandung, 1986 (II), hal 3
42
Marhais Abdul Hay, Hukum Perbankan di Indonesia, Pradnya Paramitha, Bandung, 1975, hal 67
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
73
Mariam Darus Badrulzaman tidak sependapat dengan Subekti dan Marhais Abdul Hay, karena berdasarkan kenyataan perjanjian kredit memiliki identitas sendiri yang berbeda dengan perjanjian pinjam uang. 43 Hal senada diungkapkan pula oleh Djuhaendah Hasan yang menyatakan perjanjian kredit tidak dapat dikuasai oleh ketentuan Bab XIII Buku III KUH Perdata, sebab antara perjanjian pinjam-meminjam dengan perjanjian kredit terdapat beberapa perbedaan. 44 Perbedaan perjanjian pinjam-meminjam dengan perjanjian kredit terletak pada beberapa hal, antara lain: 1. Perjanjian kredit selalu bertujuan dan tujuan tersebut biasanya berkaitan dengan program pembangunan, biasanya dalam pemberian kredit sudah ditentukan tujuan penggunaan uang yang akan diterima tersebut, sedangkan dalam perjanjian pinjam-meminjam tidak ada ketentuan tersebut dan debitur dapat menggunakan uangnya secara bebas. 2. Peraturan yang berlaku bagi perjanjian kredit berbeda dengan perjanjian pinjam-meminjam. Bagi perjanjian pinjam-meminjam berlaku ketentuan umum dari Buku III Bab XIII KUH Perdata, sedangkan bagi perjanjian kredit akan berlaku ketentuan dalam ketentuan dalam UUD 1945, ketentuan ekonomi dalam GBHN, ketentuan umum KUH Perdata, Undang-Undang
No.
7
Tahun
1992
tentang
Perbankan,
Paket
43
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, Penerbit Alumni, Bandung, 1983 (IV), hal 11
44
Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang Melekat pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal 174
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
74
Kebijaksanaan Pemerintah dalam bidang ekonomi terutama di bidang Perbankan, Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI), dan sebagainya. 3. Dalam perjanjian kredit sudah ditentukan bahwa pemberi kredit adalah bank atau lembaga pembiayaan dan tidak dimungkinkan diberikan oleh individu, sedangkan dalam perjanjian pinjam-meminjam pemberian pinjaman dapat dilakukan oleh individu. 4. Pada perjanjian kredit, bank harus mempunyai keyakinan atas kemampuan debitur akan pengembalian kredit yang di formulasikan dalam bentuk jaminan baik materil maupun immaterial, sedangkan dalam perjanjian pinjam-meminjam jaminan merupakan pengamanan bagi kepastian pelunasan dan ini pun baru apabila diperjanjikan, dan jaminan itu hanya jaminan secara fisik atau materil saja. Pendapat lain dikemukakan oleh Sutan Remi Sjahdeni, yaitu bahwa perjanjian kredit bukanlah perjanjian riil seperti perjanjian pinjam-meminjam. Perjanjian kredit memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan perjanjian pinjammeminjam. Ciri-ciri pembeda itu adalah: 45 1. Sifat konsensual dari suatu perjanjian kredit merupakan ciri pertama yang membedakan dari perjanjian pinjam-meminjam uang yang bersifat riil. Perjanjian kredit adalah perjanjian loan of money menurut hukum Inggris yang dapat bersifat riil maupun konsensual. Setelah perjanjian kredit ditandatangani oleh bank dan nasabah debitur, nasabah debitur belum berhak menggunakan atau melakukan penarikan, atau sebaliknya setelah 45
Sutan Remy Sjahdeni, op.cit., hal 14
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
75
ditandatanganinya kredit oleh kedua belah pihak, belumlah menimbulkan kewajiban bagi bank untuk menyediakan kredit sebagaimana yang diperjanjikan. Hak nasabah debitur untuk dapat menarik atau kewajiban bank untuk menyediakan kredit masih bergantung pada terpenuhinya semua syarat yang ditentukan dalam perjanjian kredit. 2. Kredit yang diberikan oleh bank kepada nasabah debitur tidak dapat digunakan secara leluasa untuk keperluan atau tujuan tertentu oleh nasabah debitur seperti yang dilakukan oleh peminjam uang atau debitur pada perjanjian peminjaman uang biasa. Pada perjanjian kredit, kredit harus digunakan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan di dalam perjanjian dan pemakaian yang menyimpang dari tujuan itu menimbulkan hak kepada bank untuk mengakhiri perjanjian kredit secara sepihak dan untuk seketika dan sekaligus menagih seluruh baki debet atau outstanding kredit. Hal ini berarti nasabah debitur bukan merupakan pemilik mutlak dari kredit yang diperolehnya berdasarkan perjanjian kredit itu, sebagaimana jika seandainya perjanjian kredit itu adalah perjanjian peminjaman uang. Dengan kata lain, perjanjian kredit bank tidak mempunyai ciri yang sama dengan perjanjian pinjam meminjam atau pinjam mengganti. Oleh karena itu, terhadap perjanjian kredit tidak berlaku ketentuan Bab XIII Buku III KUH Perdata. 3. Yang membedakan perjanjian kredit bank dari perjanjian peminjaman uang adalah mengenai syarat cara penggunaannya. Kredit bank hanya dapat digunakan menurut cara tertentu, yaitu dengan menggunakan cek Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
76
atau perintah pemindahbukuan. Cara lain hampir dapat dikatakan tidak mungkin atau tidak diperbolehkan. Pada perjanjian peminjaman uang biasa, uang yang dipinjamkan diserahkan seluruhnya oleh kreditur ke dalam kekuasaan dengan tidak disyaratkan bagaimana cara debitur akan menggunakan uang pinjaman itu. Pada perjanjian kredit bank, kredit tidak pernah di serahkan oleh bank ke dalam kekuasaan mutlak nasabah debitur. Kredit selalu diberikan dalam bentuk rekening koran yang penarikannya selalu berada dalam pengawasan bank. Selanjutnya Sutan Remi Sjahdeni menyimpulkan bahwa perjanjian kredit memiliki pengertian secara khusus, yakni: 46 “ perjanjian antara bank sebagai kreditur dengan nasabah sebagai nasabah debitur mengenai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu yang mewajibkan nasabah-nasabah debitur untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan.” Perjanjian kredit berbeda dengan perjanjian pinjam-meminjam yang diatur dalam Bab XIII Buku III KUH Perdata, baik dari pengertian, subyek pemberi kredit, peraturan, tujuan dan jaminannya. Akan tetapi dalam perbedaan tersebut tidaklah dapat terlepas dari akarnya yaitu perjanjian pinjam-meminjam. Mengkaji rumusan kredit yang ditentukan UU Perbankan, dikatakan bahwa kredit adalah:
46
Ibid, hal 158-160
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
77
“……berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utang tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.” Demikian pula dengan pembiayaan: “……berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang di biayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.” Dari pengertian ”kredit”dan “pembiayaan” diatas, dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa: -
Kredit atau pembiayaan yang diberikan oleh bank, baik dengan sistem konvensional ataupun syariah, keduanya berakar pada satu perjanjian yang merujuk pada ketentuan yang diatur dalam Buku III KUH Perdata.
-
Pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan tidak terbatas pada cara konvensional, dimana peminjam harus memberikan imbalan berupa bunga melainkan berkembang dengan imbalan atau bagi hasil.
-
Pemberian kredit atau pembiayaan diatur secara khusus dalam beberapa ketentuan perundang-undangan, merupakan hal yang lazim mengingat kepentingan manusia senantiasa berkembang dari waktu ke waktu, sehingga kredit atau pembiayaan tidak dapat diberikan dalam satu bentuk tertentu saja.
-
Subyek pemberian kredit atau kreditur oleh suatu lembaga yaitu bank, sebagai lembaga intermediasi atau perantara. Ketentuan peraturan lembaga
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
78
intermediasi tidak hanya bank, dikarenakan didalam praktek terdapat pula lembaga lainnya, yaitu pegadaian. -
Penyediaan kredit tidak dapat dikatakan hanya bersifat konsensual saja, tetapi juga riil. Perjanjian kredit yang bersifat konsensual diberikan dalam fasilitas rekening koran, demand loan, atau fasilitas kredit lainnya. Akan tetapi terdapat pula pemberian kredit secara riil, misalnya pemberian kredit secara fixed loan atau fasilitas kredit konsumtif. Misalnya untuk pembelian rumah atau kendaraan.
-
Syarat penggunaannya tidak selalu menggunakan cara giral melalui cek, giro atau pemindahbukuan. Dalam praktek perbankan, tidak mustahil pula dilakukan penarikan secara tunai melalui kasir dengan menggunakan kwitansi sebagai bukti pengambilan. Oleh karenanya, perjanjian kredit tetap masih berakar pada perjanjian
pinjam meminjam yang diatur dalam KUH Perdata, tetapi mengalami berbagai perubahan sesuai dengan tuntutan zaman. Sebelum diuraikan lebih lanjut tentang perlindungan nasabah dalam perjanjian kredit, terlebih dahulu pada bagian ini penulis uraikan tentang keberadaan perjanjian kredit itu dalam kerangka hukum perdata. Ada satu pertanyaan yang menimbulkan perbedaan pendapat antara para pengkaji bidang hukum perjanjian. Apakah perjanjian kredit itu termasuk dalam perjanjian konsensual atau perjanjian riil.
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
79
Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang terjadi pada saat dimana kedua belah pihak telah tercapai penyesuaian kehendak untuk mengadakan perjanjian. Menurut KUH Perdata perjanjian ini adalah mempunyai kekuatan mengikat (pasal 1338 KUH Perdata). Namun demikia dalam KUH Perdata ada juga perjanjian-perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadinya penyerahan barang. Misalnya perjanjian penitipan barang (pasal 1695), pinjam pakai (1740). Perjanjian yang terakhir ini dinamakan perjanjian riil. Dengan demikian bahwa perjanjian konsensual adalah perjanjian sudah lahir dan mengikat setelah tercapai kesepakatan antara kedua belah pihak, sedangkan perjanjian riil adalah dengan sepakat saja belum mengikat para pihak tetapi harus disertai perbuatan penyerahan barangnya. Pertanyaan yang timbul dalam perjanjian kredit ini adalah apakah perjanjian kredit ini merupakan perjanjian riil? Dalam hal ini terdapat pendapat yang berbeda, yaitu: sebagaimana yang dikutip dari pendapat Marhais Abdul Hay, mengemukakan ketentuan pasal 1754 KUH Perdata tentang perjanjian pinjam mengganti mempunyai pengertian yang identik dengan perjanjian kredit bank. Maka sebagai konsekuensi logisnya, berarti perjanjian kredit bank adalah perjanjian yang bersifat riil. Mariam Barus Badrulzaman berpendapat bahwa perjanjian kredit bank adalah perjanjian pendahuluan (voovereenkomst) dari penyerahan uang. Perjanjian pendahuluan ini merupakan hasil pemufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman mengenai hubungan-hubungan hukum antara keduanya. Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
80
Perjanjian ini bersifat konsensual (facta de contra hendo) obligatore yang dikuasai oleh UUP 1967 dan bagian umum buku ke III KUH Perdata. Penyerahan uangnya sendiri adalah bersifat riil. Pada saat penyerahan uang dilakukan, barulah berlaku ketentuan yang dituangkan dalam model perjanjian kredit pada kedua belah pihak. 47 Pada umumnya setelah perjanjian kredit ditandatangani tidak serta merta penyerahan uangnya, ada kemungkinan pinjaman itu tidak diserahkan oleh karena bank mendapat informasi baru yang tidak menguntungkan mengenai pemohon. 48 Juga ada kemungkinan para pihak pemohon mengundurkan diri, tidak mengambil kredit tersebut, sehingga jelaslah bahwa perjanjian kredit itu adalah perjanjian pendahuluan. Dengan demikian jelaslah bahwa untuk mengetahui sifat perjanjian kredit bank tidak hanya cukup hanya melihat KUH Perdata dan Undang-Undang Perbankan No. 10 tahun 1998, tetapi juga harus memperhatikan ketentuanketentuan yang berlaku atau dipakai dalam praktek perbankan, yaitu model-model perjanjian kredit. Demikian juga mengenai bentuk perjanjian kredit bank ini, KUH Perdata dan Undang-Undang Perbankan tahun 1998 tidak mengatur bagaimana bentuk perjanjian kredit tersebut harus dibuat, sehingga kita harus melihat dalam praktek perbankan bagaimana perjanjian kredit tersebut dibuat. 47
Mariam Darus Badrulzaman, Beberapa Masalah dalam Undang-Undang Perbankan No. 7 tahun 1992, dalam Kumpulan Tulisan Mengenang Teuku Mohammad Radhie, Universitas Tarumanegara, Jakarta, 1993 (V), hal 28
48
Ibid, hal 26
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
81
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
BAB IV RISIKO DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK DALAM KAITANNYA DENGAN PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Risiko Perjanjian Kredit Bank 1. Risiko terhadap bank Kredit seperti halnya produk jasa perbankan lainnya mempunyai risiko yang sesuai dengan penggunaan dana tersebut. Untuk penempatan dana yang dipinjamkan. Risiko dalam kredit itu sendiri dapat dilihat dalam dua sisi, yaitu dari sisi bank sebagai kreditur dan nasabah sebagai debitur disisi lainnya. Masing-masing pihak tersebut mempunyai risiko berbeda dalam pelaksanaan perjanjian kredit bank tersebut. Setiap transaksi yang dilakukan bank, baik transaksi on balance sheet (termasuk transaksi perkreditan), maupun transaksi off balance sheet mempunyai kendala atau risiko yang akan mempengaruhi bank performance, termasuk transaksi-transaksi perkreditan. 49 Risiko terhadap bank itu sendiri dapat berupa 50: 1. Credit Risk, yang sangat mendasar dari semua product market risk suatu bank, karena risiko ini merupakan erosi nilai (erotion of value), yang disebabkan oleh terjadinya wanprestasi atau nonpayment dari debitur. Jadi, debitur tidak mau atau tidak mampu memenuhi kewajiban membayar bunga dan utang pokok atau angsuran utang pokok kreditnya atau “tidak 49
Mohammad, Tjoekam, op.cit., hal 59
50
Ibid, hal 62
72
83
prospek mampu untuk membayar” (tidak memperlihatkan tanda-tanda mampu membayar karena gagal usaha). Strategi pengelolaan credit risk oleh bank dapat dilakukan dengan : a. Suatu keputusan persetujuan kredit yang teliti, sehingga risiko dari debitur dapat dianalisis dan dinilai dengan cermat. b. Diadakan diversifikasi peminjam dalam loan portfolio bank, sehingga bila terjadi kredit yang merugi, jumlahnya tidak terpusat pada suatu waktu yang sama dan debitur yang sama. c. Harus ada pihak ketiga yang menjamin, agar bila terjadi wanprestasi seluruh atau sebagian dari jumlah kredit tersebut ditanggung oleh pihak ketiga tersebut, misalnya dengan asuransi. 2. Strategic (Bussines) Risk, yaitu risiko yang meliputi seluruh bidang usaha, berupa kemungkinan kalah bersaing atau sudah ketinggalan dalam bersaing. Dapat pula terjadi bahwa sebuah bank tidak siap atau tidak sanggup bersaing atas line of business yang baru, seperti halnya credit card, dimana bank tersebut terhambat memasuki bidang ini. 3. Regulatory Risk, yaitu risiko yang berkait dengan berbagai peraturan atau perundang-undangan yang menjadi rambu-rambu kegiatan perbankan. Bisnis bank merupakan bisnis yang bergerak dalam jasa keuangan yang amat banyak regulasinya (highly regulated financial services), bahkan lebih banyak peraturan atau ketentuan bila dibanding dengan unit usaha lainnya. Usaha, harus ada izin prinsip dan izin usaha, kemudian harus menaati undang-undang perbankan, peraturan atau ketentuan otorita Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
84
moneter, dan bila bila bank melanggar undang-undang perbankan, peraturan atau ketentuan-ketentuan perbankan, maka manajemen bank harus mempertanggungjawabkannya kepada otorita moneter, dan mungkin membawa akibat pada kesehatan banknya. 4. Operating Risk, yaitu risiko yang banyak kaitannya dengan sistem dan prosedur, yang kurang layak atau tepat dan mungkin menyebabkan kerugian atau menurunkan nilai services yang diberikan kepada nasabah. Misalnya, sistem dan prosedur yang sudah ketinggalan, penyebab bank tidak mampu bersaing dengan bank lain adalah competitive advantage tidak dimafaatkan oleh banknya, sementara kecepatan dan ekspansi terus berjalan dengan tidak efisien. 5. Commodity Risk, yaitu risiko yang berkaitan dengan harga-harga commodity. Harga komoditas mempunyai pengaruh besar terhadap kegiatan perbankan dan kegiatan lembaga keuangan lainnya, yang sulit dideteksi dan diketahui lebih dahulu (unpredictable). Misalnya, tahun 1970 harga minyak cukup tinggi, tetapi tahun 1980 turun secara drastis, kemudian membawa dampak negatif pada kegiatan perekonomian, yang terus
berlanjut
pada
kegiatan
bisinis
perbankan
(pendanaan
bank,pemberian kredit dan tingkat suku bunga). 6. Human Reseources Risk, yaitu risiko yang berkaitan dengan faktor kelemahan atau kesalahan yang ditimbulkan tindakan manusia. Risiko ini sukar diukur karena risiko atas nilai-nilai kemanusiaan tidak bersifat nyata. Risiko ini dapat diatasi dengan recruitment terpilih, pelatihan professional, Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
85
penanaman motivasi dan pembinaan daya tahan. Risiko tenaga manusia misalnya bila terjadi terhambatnya sistem karena berhentinya tenaga ahli (spesialis), baik karena meninggal atau pindah ke perusahaan lain, atau mungkin karena terjadinya pembajakan beberapa tenaga inti. 7. Legal Risk, yaitu risiko yang timbul dari legal system
yang dapat
menghapuskan atau mengurangi nilai para pemegang saham bank, karena adanya tuntutan hukum kepada bank oleh debitur. Bila bank tidak memenuhi janji atau wanprestasi, debitur yang merasa dirugikan oleh kebijaksanaan bank bisa menuntut secara hukum. Pada tahap pertama, legal risk sulit dilihat dan hampir tidak mungkin diperhitungkan. Bila kita lihat kedudukan bank sebelum pemberian kredit, bank memang mempunyai kedudukan yang lebih kuat jika dibandingkan dengan debitur. Namun kedudukan bank setelah kredit diberikan banyak bergantung pada integritas nasabah debitur. Bila nasabah debitur memang mempunyai integritas yang baik untuk menyalahgunakan kredit atau untuk secara sportif bersedia membayar kembali kredit yang telah menjadi macet, maka memang bank perlu harus mencari penyelesaian melalui bantuan hukum. Tetapi yang banyak terjadi bahwa di dalam keadaan kredit macet, baik karena kredit telah disalahgunakan oleh nasabah debitur maupun karena usaha debitur mengalami kemacetan, ternyata bank tidak dapat mengandalkan contract enforcement yang disediakan oleh hukum itu sangat tidak memadai untuk dapat memberikan perlindungan kepada bank dalam rangka pengembalian kredit itu. Begitu tidak memadainya sarana-sarana contract
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
86
enforcement yang disediakan oleh hukum untuk dapat melindungi kepentingan bank, sehinga seringkali membuat bank tidak berdaya sama sekali. 51 Dari risiko bank atas pemberian kredit di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa risiko kredit mempunyai keseimbangan kepentingan antara risiko yang terkandung di dalamnya dengan misi perbankan dalam pengembangan pemerataan pembangunan. 2. Risiko terhadap debitur Selain bank sebagai kreditur, nasabah debitur juga mempunyai risiko dalam perjanjian kredit bank ini. Dalam masyarakat ada kesan bahwa dalam hubungan antara bank dan nasabah debitur, bank selalu berada diposisi yang lebih kuat. Pada waktu kredit akan diberikan, pada umumnya bank memang pada posisi yang lebih kuat dibandingkan dengan calon nasabah debitur. Hal tersebut karena pada saat pembuatan perjanjian itu, nasabah debitur sangat membutuhkan bantuan kredit itu dari bank. Umumnya calon nasabah debitur tidak akan banyak menuntut karena mereka khawatir pemberian kredit tersebut akan dibatalkan oleh bank. Hal ini menyebabkan posisi tawar-menawar bank menjadi sangat kuat. 52 Kuatnya
posisi
tawar
bank
tersebut
mengakibatkan
terjadinya
ketidakseimbangan kedudukan antara bank dengan debitur, sehingga terkesan bank memanfaatkan keadaan tersebut untuk memaksakan kehendaknya. Hal ini dapat terlihat dari isi perjanjian kredit tersebut yang dibuat oleh bank secara sepihak. 51
Sutan Remy Sjahdeni, op.cit., hal 187-188
52
Rachmadi, Usman, po.cit., hal 274
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
87
Kedudukan para pihak yang tidak seimbang itulah yang dimanfaatkan oleh pihak bank untuk membuat klausul-klausul yang memberatkan nasabah debitur, sebaliknya pihak bank terlindungi oleh karenanya pihak nasabah debitur dibebani dengan sejumlah kewajiban dan merupakan hak-hak bank yang mesti dipenuhinya. Dengan kelemahan kedudukan nasabah debitur itulah pihak bank memanfaatkannya dengan membuat lebih banyak klausul-klausul yang tidak wajar dan tidak adil. 53 Sutan Remi Sjahdeni menyatakan klausul-klausul yang tidak wajar sangat memberatkan pihak lainnya adalah juga klausul-klausul eksemi, yang dalam Nieuw Nederland Burgerlijk Wetboek disebut “onredelijk bezwarend”
atau
“unreasonably onerous” (terjemahan bahasa Inggris), “onerous clauses” (Bernitz). Dalam hukum perjanjian Amerika Serikat menggunakan istilah-istilah “outrageously unfair term”, oppressive provision atau shockingly unfair provision. The Uniform Commercial Code 2-302 menamakan ketentuan yang demikian sebagai unconsionble clause. Klausul yang demikian adalah juga klausul-klausul eksemsi, yaitu klausul yang bertujuan untuk membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak terhadap gugatan pihak lainnya dalam hal yang bersangkutan tidak atau dengan tidak semestinya melaksanakan kewajibannya yang ditentukan didalam perjanjian tersebut. 54 Lebih lanjut Sutan Remi Sjahdeni memberikan beberapa contoh dari klasul-klausul yang secara tidak wajar sangat memberatkan nasabah debitur yaitu0 53
Ibid, hal 275
54
Sutan Remi Sjahdeni, Peranan Jaminan dan Agunan Kredit Menurut Undang-Undang Perbankan 1992, Fakultas Hukum Universitas Surabaya, Surabaya, 1993 (II), hal 10-11
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
88
bank untuk sewaktu-waktu tanpa alasan apapun dan tanpa peberitahuan sebelumnya secara sepihak menghentikan izin tarik kredit; •
Kewenangan bank untuk secara sepihak menentukan harga barang dari barang agunan dalam hal dilakukan penjualan barang agunan karena kredit nasabah debitur macet;
•
Kewenangan bank untuk secara sepihak mengubah tingkat suku bunga kredit;
•
Kewajiban nasabah debitur untuk tunduk kepada segala petunjuk dan peraturan bank yang telah ada dan yang masih akan diterapkan kemudian oleh bank;
•
Keharusan nasabah debitur untuk tunduk kepada syarat-syarat dan ketentuan- ketentuan umum hubungan rekening koran dari bank yang bersangkutan, namun tanpa sebelumnya nasabah debitur diberi kesempatan untuk mengetahui dan memahami syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan umum hubungan rekening koran tersebut;
•
Kuasa nasabah debitur yang tidak dapat dicabut kembali kepada bank untuk dapat melakukan segala tindakan yang dipandang perlu oleh bank;
•
Kuasa nasabah debitur kepada bank untuk mewakili dan melaksanakan hak-hak nasabah debitur dalam setiap Rapat Umum Pemegang Saham;
•
Pembuktian kelalaian nasabah debitur secara sepihak oleh pihak bank semata;
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
89
•
Pencantuman klausul-klausul eksemsi yang membebaskan bank dari tuntutan ganti kerugian oleh nasabah debitur atas terjadinya kerugian yang diderita olehnya sebagai akibat tindakan bank. Berdasaran uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perjanjian kredit bank
banyak mengandung klausul-klausul yang memberatkan nasabah debitur, yakni yang memuat klausul-klausul yang tidak wajar dan tidak adil, dengan menyalahgunakan keadaan nasabah debitur. Hal demikian ini terjadi karena secara ekonomis dan psikologis kedudukan bank sangat kuat dan tidak seimbang dengan nasabah debitur pada saat penandatanganan pemberian kredit. Selain hal-hal yang telah diuraikan diatas dalam praktek perbankan nasabah debitur masih memiliki banyak risiko yang harus di tanggung dalam pelaksanaan perjanjian kredit tersebut. Misalnya apabila bank tidak atau terlambat melaksanakan kewajibannya untuk mencairkan dana yang telah di perjanjikan. Sedangkan dana tersebut sangat dibutuhkan oleh nasabah debitur bagi kelangsungan usahanya. Apabila bank sebagai kreditur tidak atau terlambat melaksanakan kewajibannya yaitu mencairkan dana yang telah di perjanjikan dapat menimbulkan kerugian atau dapat menghambat kelangsungan usaha nasabah debitur. Misalnya apabila suatu perusahaan atau individu membutuhkan tambahan modal untuk suatu investasi yang akan dilaksanakannya, untuk memenuhi kekurangan modal tersebut ia mengajukan permohonan kredit kepada bank. Perusahaan atau individu tersebut telah menandatangani perjanjian kredit dengan bank tersebut dan telah memenuhi segala persyaratan yang diajukan oleh bank. Perusahaan atau individu itu berharap dengan penandatanganan perjanjian Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
90
kredit tersebut, maka pencairan dana dari kredit yang diajukannya dapat segera dilakukan dan investasinya dapat berjalan tepat waktu sehingga keuntungan yang diharapkannya dapat diperolehnya. Pada prakteknya, penandatangan perjanjian kredit tidak serta merta berarti pencairan kredit dapat dilakukan. Pencairan kredit sepenuhnya menjadi kewenangan mutlak bank sebagai kreditur. Debitur sama sekali tidak mempunyai hak untuk menentukan waktu pencairan kredit walaupun dia telah menandatangani akad perjanjian dan telah memenuhi segala persyaratan yang telah ditentukan oleh pihak bank. Bank memiliki pertimbangan-pertimbangan sendiri selain dari persyaratan yang telah diajukannya dalam hal pencairan kredit. Untuk mendapat kredit, penerima kredit terikat pada syarat-syarat tertentu. Setelah perjanjian kredit ditandatangani, tetap ada kemungkinan penyerahan kredit itu tidak diteruskan, karena pertimbangan-pertimbangan tertentu. Jika hal ini terjadi maka berarti tidak tercapai persesuaian kehendak baru untuk menyerahkan pinjaman, dan dalam hal ini, penerima kredit tidak berhak untuk menuntut ganti rugi. Sehingga jika masing-masing pihak tidak memenuhi kewajibannya, bank tidak menyerahkan uang atau pemohon kredit tidak menggunakan kredit maka keduanya saling tidak mengadakan tuntutan. 55 Dari uraian diatas telah dijelaskan bahwa walaupun telah terjadi penandatanganan perjanjian kredit antara bank sebagai kreditur dan nasabah sebagai debitur masih ada kemungkinan pencairan kredit tidak atau terlambat dilaksanakan oleh bank sebagai kreditur. Hal ini juga merupakan salah satu risiko 55
Mariam Darus Badrulzaman IV, op.cit., hal 28
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
91
yang harus dihadapi oleh nasabah sebagai debitur dalam perjanjian kredit dengan bank. Apabila hal ini terjadi maka debitur akan kehilangan banyak waktu, tenaga, pikiran, bahkan uang yang telah dikeluarkannya selama proses pengajuan permohonan kredit hingga penandatanganan akad perjanjian kredit tersebut. Bahkan kemungkinan yang paling buruk adalah debitur dapat mengalami kegagalan usaha yang dilakukannya.
B. Upaya-Upaya Perlindungan Bagi Nasabah Terhadap Risiko Yang Timbul Dalam Perjanjian Kredit Bank. Undang- Undang Perlindungan Konsumen bukan satu-satunya hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen di Indonesia. Sebelum di sahkannya UUPK pada dasarnya telah ada beberapa perundang-undangan yang materinya melindungi kepentingan konsumen antara lain : Pasal 202-205 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Ordonansi Bahan- Bahan Berbahaya (1949), Undang- Undang No. 1 Tahun 1995 tentangPerseroan Terbatas, Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dan sebagainya. Lahirnya UUPK di harapkan menjadi payung hukum (umbrella act) di bidang konsumen dengan tidak menutup kemungkinan terbentuknya peraturan perundang-undangan lain yang materinya memberikan perlindungan terhadap konsumen. Adanya perlindungan hukum bagi nasabah selaku konsumen di bidang perbankan menjadi urgen, karena secara factual kedudukan antara para pihak seringkali tak seimbang. Perjanjian kredit atau pembiayaan dan perjanjian Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
92
pembukaan rekening bank yang seharusnya dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak, karena alasan efisiensi diubah menjadi perjanjian yang sudah di buat oleh pihak yang mempunyai posisi tawar (bargaining position) dalam hal ini adalah pihak bank. Nasabah tidak mempunyai pilihan lain, kecuali menerima atau menolak perjanjian yang disodorkan oleh pihak bank (take it or leave it). Pencantuman klausul-klausul dalam perjanjian kredit atau pembiayaan pada bank sepatutnya merupakan upaya kemitraan, karena baik bank selaku kreditur maupun nasabah debitur kedua-duanya saling membutuhkan dalam upaya mengembangkan upayanya masing-masing. Klausul yang demikian ketatnya didasari oleh sikap bank untuk melaksanakan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit atau pembiayaan. Dalam memberikan perlindungan terhadap nasabah debitur perlu kiranya peraturan tentang perkreditan di realisir sehingga dapat dijadikan panduan dalam pemberian kredit. Di sisi lain pengadilan yang merupakan pihak ketiga dalam mengatasi perselisihan antara bank dengan nasabah debitur dapat menilai apakah upaya-upaya yang dilakukan oleh kedua belah pihak telah sesuai dengan yang disepakati dan tidak melanggar ketentuan perundang-undangan. Keberatan-keberatan terhadap perjanjian standar antara lain: -
Isi dan syarat-syarat sudah dipersiapkan oleh salah satu pihak;
-
Tidak mengetahui isi dan syarat-syarat perjanjian standard dan kalaupun tahu tidak mengetahui jangkauan akibat hukumnya;
-
Salah satu pihak secara ekonomis lebih kuat;
-
Ada unsur “terpaksa” dalam menandatangani perjanjian.
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
93
Adapun alasan penciptaan perjanjian standar adalah demi efisiensi. Adanya kondisi demikian melatarbelakangi substansi UUPK untuk memberikan pengaturan mengenai ketentuan pencantuman klausul baku, yaitu sebagai berikut: 1. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausul baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen; c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung, maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen untuk menjadi obyek jual beli jasa; g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
94
dibuat
sepihak
oleh
pelaku
usaha
dalam
masa
konsumen
memanfaatkan jasa yang dibelinya; h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. 2. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausul baku yang letak atau bentuknya sulit terlhat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. 3. Setiap klausul baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha dalam dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 di nyatakan batal demi hukum. 4. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausul baku yang betentangan dengan Undang- Undang ini. Dari ketentuan dari pasal 18 dimaksud yang sangat terkait erat dan sering terjadi dalam perjanjian kredit/pembiayaan yang diberikan oleh bank adalah ketentuan pada ayat (1) huruf g, yakni bahwa bank menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang di belinya. Walaupun ketentuan mengenai klausul baku sudah diatur dalam UUPK, akan tetapi pada kenyataannya seringkali masih terjadi pelanggaran sehingga akan merugikan kepentingan nasabah. Hal-hal yang harus diperhatikan oleh pihak bank untuk menghilangkan atau paling tidak meminimalisir terjadinya kerugian bagi Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
95
nasabah karena memang harus dalam bentuk perjanjian standar antara lain adalah sebagai berikut: 1. Memberikan peringatan secukupnya kepada para nasabahnya akan adanya dan berlakunya klausul-klausul penting dalam perjanjian; 2. Pemberitahuan dilakukan sebelum atau pada saat penandatanganan perjanjian kredit/ pembiayaan; 3. Dirumuskan dalam kata-kata dan kalimat yang jelas; 4. Memberikan kesempatan yang cukup bagi debitur untuk mengetahui isi perjanjian. Dengan kerjasama yang baik antara pihak bank dengan nasabah, khususnya dalam hal adanya perjanjian standar mengenai kredit atau pembiayaan, serta pembukaan rekening di bank maka diharapkan akan lebih mengoptimalkan perlindungan hukum bagi nasabah, sehingga dapat meminimalisir dispute yang berkepanjangan dikemudian hari. Khusus menyangkut larangan dalam pasal 18 ayat (1) huruf g dapat di mengerti bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi konsumen, akan tetapi dengan ketentuan ini banyak pelaku usaha “merasa” dirugikan, terutama pihak perbankan. 56 Berkenaan dengan hal tersebut, ketentuan pasal 18 ayat (1) huruf g perlu ditelaah kembali, mengingat perlindungan konsumen yang dimaksud dalam undang-undang ini tidak harus berpihak pada kepentingan konsumen yang merugikan kepentingan pelaku usaha. Sesuai dengan asas keseimbangan dalam 56
Ahmadi Miru, op.cit., hal 110
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
96
hukum perlindungan konsumen, seharusnya kepentingan semua pihak di lindungi, termasuk kepentingan pemerintah dalam pembangunan nasional, dan harus mendapatkan porsi yang seimbang. Berkenaan dengan hal tersebut, Ahmadi Miru mengatakan bahwa, praktek pembuatan klausul baku yang sekarang bertentangan dengan ketentuan pasal 18 ayat (1) huruf g tersebut sudah berlangsung sejak lama, sehingga ketentuan pasal 18 ayat (1) huruf g tersebut tentu saja di maksudkan untuk melarang praktik pembuatan klausul semacam itu. Hanya saja, jika tidak ada kemungkinan pengecualian larangan tersebut, dapat di pastikan bahwa penjual jasa tertentu, terutama bank tidak akan mematuhi ketentuan tersebut atau kalaupun bank mematuhinya, maka dalam kondisi tertentu bank tersebut akan bangkrut. Oleh karena itu menurut Ahmadi Miru, jika pelaku usaha, terutama bank, di larang mencantumkan klausul baku sebagaimana diatur dalam pasal 18 ayat (1) huruf g tersebut, maka seharusnya pemerintah juga akan memberikan jaminanjaminan tertentu kepada bank bahwa pemerintah tidak akan mengeluarkan kebijaksanaan yang merugikan bank tersebut karena mematuhi ketentuan pasal 18 ayat (1) huruf g UUPK. Sebagai contoh, dalam hal Bank Indonesia membebankan bunga 12 % per tahun kepada bank, maka kalau bank yang menyalurkan kredit kepada konsumen di larang mengubah secara sepihak bunga yang dibebankan kepada konsumen, maka Bank Indonesia pun harus menjamin bahwa pihaknya tidak akan mengubah suku bunga yang sebagaimana terjadi pada awal-awal masa krisis ekonomi, sedangkan jika hanya kenaikan-kenaikan kecil dapat saja di
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
97
anggap sudah dapat diperhitungkan oleh pihak bank berdasarkan keahliannya (sikap profesionalnya) dalam mengelola bank. Sedikit berbeda dengan pendapat diatas, Sutarman Yodo mengatakan bahwa apabila klausul baku yang menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan baru,
tambahan,
dan/atau
sejenisnya dalam
masa konsumen
memanfaatkan jasa, adalah untuk menghindari kerugian sebagai akibat kekeliruan manajemen pelaku usaha (bank) yang bersangkutan, maka larangan klausul baku seperti ini dianggap memenuhi asas keadilan atau asas keseimbangan. Adanya perubahan tingkat suku bunga dari pemerintah, pihak perbankan tidak dapat menjadikan alasan untuk membebankan risiko kepada nasabah sebagai konsumen. Hal ini didasarkan karena risiko kerugian seperti ini dikualifikasi sebagai risiko akibat kekeliruan dalam manajemen usaha yang dikelola, teristimewa dengan praktik selama ini, belum adanya perubahan tingkat suku bunga kredit yang menguntungkan nasabah dari pemerintah, ikut mengubah tingkat suku bunga kredit nasabah yang sementara berjalan. Dalam kasus perubahan tingkat suku bunga yang selalu berubah dari pemerintah, bahwa seharusnya bank secara professional bank sudah dapat memrediksikan berbagai kemungkinan yang terjadi berdasarkan pengalamannya. Demikian pula, bahwa sulit diterima itikad baik pemerintah apabila perubahan tingkat suku bunga tersebut di maksudkan untuk membebani konsumen. Jika memperhatikan penjelasan pasal 18 ayat (1) UUPK, dapat diketahui bahwa yang mendasari pembuat Undang-undang adalah upaya pemberdayaan konsumen dari kedudukan sebagai pihak yang lemah didalam kontrak dengan Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
98
pelaku usaha. Walaupun demikian, pasal 18 ayat (1) huruf g UUPK juga sebagai upaya yang bertujuan untuk mengarahkan kegiatan perbankan secara lebih professional dalam manajemen usaha (memenuhi fungsi hukum sebagai a tool of social engineering), sehingga lebih mampu bersaing terutama menghadapi jasa perbankan asing di era globalisasi, yang dengan sendirinya juga untuk kepentingan pemerintah dalam pembangunan secara berencana. Dalam era globalisasi bank-bank asing akan bersaing dengan bank-bank nasional, termasuk dengan sesamanya untuk merebut pangsa pasar yang menggiurkan di Indonesia. Bank-bank asing yang berada di Indonesia akan berusaha memberikan jasa atau pelayanan yang sebaik-baiknya, termasuk dalam hal ini bonafiditas usaha yang dijalankan dalam berhubungan dengan nasabahnya sebagai konsumen. Sudah jelas dalam persaingan ini, hanya bank-bank nasional yang professional dan bonafid dalam pengelolaan usaha yang mampu merebut pangsa pasar, sedangkan bank-bank yang kurang professional dan bonafid akan ditinggalkan oleh pasar. Walaupun antara keduanya memiliki perbedaan pendapat, namun keduanya sepakat menerima perubahan suku bunga jika hal itu dimaksudkan sebagai upaya mengurangi risiko akibat krisis moneter dan/atau ekonomi sebagaimana terjadi mulai pertengahan tahun 1997. Pengalaman di era krisis moneter, pemerintah ( Bank Indonesia) terpaksa harus mengubah tingkat suku bunga menjadi demikian tinggi, sehingga bank-bank umum terpaksa juga mengikuti perubahan tingkat suku bunga tersebut. Namun, untuk persoalan yang satu ini masih kurang adil apabila risiko perubahan itu Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
99
seluruhnya dibebankan kepada konsumen. Menurut kami berapa persen risiko perubahan tersebut hendaknya menjadi tanggungan bersama antara bank di satu pihak dan nasabah sebagai konsumen di pihak lain secara fifty-fifty, dan risiko kerugian perubahan tingkat suku bunga dari pemerintah harus dihitung berdasarkan sisa kredit yang belum terlunasi, bukan plafon kredit yang sudah disepakati di awal perjanjian. Konsep berpikir seperti ini, semata-mata didasarkan karena alasan krisis yang menyebabkan terjadinya perubahan suku bunga yang demikian tinggi ditetapkan pemerintah, dengan harapan agar pelaku usaha (pihak bank) tetap dapat menjalankan usahanya. Syarat-syarat ini menuntut semua pihak terutama pemerintah (Bank Indonesia) untuk menentukan criteria “krisis” dan criteria “perubahan suku bunga tinggi”. Kriteria ini sangat penting untuk membedakan risiko kerugian akibat perubahan tingkat suku bunga, dan sebagai akibat kekeliruan manajemen yang dilakukan oleh pihak perbankan sendiri. Fungsi lembaga perbankan sebagai perantara pihak-pihak yang memiliki kelebihan dana dengan pihak-pihak yang memerlukan dana membawa konsekuensi pada timbulnya interaksi yang intensif antara bank sebagai pelaku usaha dengan nasabah sebagai konsumen pengguna jasa perbankan Dalam interaksi yang demikian intensif antara bank dengan nasabah di atas, bukan suatu hal yang tidak mungkin apabila terjadi friksi yang apabila tidak segera diselesaikan dapat berubah menjadi sengketa antara nasabah dengan bank. Dari berbagai pengalaman yang ada, timbulnya friksi tersebut terutama disebabkan oleh empat hal yaitu: Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
100
a. Informasi yang kurang memadai mengenai karakteristik produk atau jasa yang ditawarkan bank, b. Pemahaman nasabah terhadap aktivitas dan produk atau jasa perbankan yang masih kurang, c. Ketimpangan hubungan antara nasabah dengan bank, khususnya bagi nasabah peminjam dana, dan d. Tidak adanya saluran yang memadai untuk memfasilitasi penyelesaian awal friksi yang terjadi antara nasabah dengan bank. Untuk menyikapi permasalahan tersebut, maka Bank Indonesia sebagai otoritas pengawas industri perbankan berkepentingan untuk meningkatkan perlindungan terhadap kepentingan nasabah dalam berhubungan dengan bank. Mengingat pentingnya permasalahan tersebut, Bank Indonesia telah menetapkan upaya perlindungan nasabah sebagai salah satu pilar dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang diluncurkan oleh Gubernur Bank Indonesia pada tanggal 9 Januari 2004. API sendiri merupakan suatu cetak biru sistem perbankan nasional yang terdiri dari enam pilar untuk mewujudkan visi sistem perbankan yang sehat, kuat, dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Enam pilar dalam API adalah: a. Struktur perbankan yang sehat, b. Sistem pengaturan yang efektif, c. Sistem pengawasan yang independen dan efektif, d. Industri perbankan yang kuat, Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
101
e. Infrastruktur yang mencukupi, dan f. Perlindungan nasabah. Jika selama ini Bank Indonesia selalu berpijak pada UU No. 7/1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan UU No. 10/1998 dan UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah dengan UU No. 3/2004 dalam pengaturan aspek kehati-hatian bank, maka dengan telah berlaku efektifnya UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen sejak tahun 2001 aspek pengaturan perbankan pun harus diperluas dengan aspek perlindungan dan pemberdayaan nasabah sebagai konsumen pengguna jasa bank. Apabila dilihat dari masa berlaku efektifnya UU Perlindungan Konsumen yaitu tahun 2001, maka sepintas terlihat bahwa Bank Indonesia kurang merespon pemberlakuan undangundang tersebut. Namun demikian hal ini bukan berarti perlindungan dan pemberdayaan nasabah tidak diperhatikan oleh Bank Indonesia. Pada satu sisi, UU Perlindungan Konsumen tersebut diberlakukan pada saat Bank Indonesia sedang berupaya keras untuk melakukan perbaikan-perbaikan pada sistem perbankan, termasuk didalamnya rekapitalisasi perbankan dan penyempurnaan berbagai ketentuan yang menyangkut aspek kehati-hatian. Sementara itu pada sisi lainnya Bank Indonesia sejak awal tahun 2002 mulai menyusun cetak biru sistem perbankan nasional yang salah satu aspek didalamnya tercakup upaya untuk melindungi dan memberdayakan nasabah. Upaya ini kemudian berlanjut dan dituangkan menjadi Pilar ke VI dalam API yang mencakup empat aspek, yaitu mekanisme pengaduan nasabah, pembentukan
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
102
lembaga mediasi independen, transparansi informasi produk, dan edukasi nasabah. Keempat aspek tersebut dituangkan kedalam empat program API, yaitu: 1. Penyusunan standar mekanisme pengaduan nasabah 2. Pembentukan lembaga mediasi perbankan independen 3. Penyusunan standar transparansi informasi produk 4. Peningkatan edukasi untuk nasabah Keempat program di atas saling terkait satu sama lain dan secara bersamasama akan dapat meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan hak-hak nasabah. Secara ideal, implementasi program-program di atas seharusnya dimulai dengan memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai kegiatan usaha dan produkproduk keuangan dan perbankan. Edukasi ini selain untuk memperluas wawasan masyarakat mengenai industri perbankan juga ditujukan untuk mendorong peningkatan taraf hidup masyarakat melalui pengenalan perencanaan keuangan. Langkah selanjutnya setelah edukasi adalah dilaksanakannya transparansi mengenai karakteristik produk-produk keuangan dan perbankan. Transparansi ini penting dilakukan agar masyarakat yang berkeinginan untuk menjadi nasabah (calon nasabah) bank mendapatkan informasi yang cukup memadai mengenai manfaat, risiko, dan biaya-biaya yang terkait dengan suatu produk tertentu sehingga keputusan untuk memanfaatkan produk tersebut sudah melalui pertimbangan yang matang dan sesuai dengan kebutuhan calon nasabah. Tidak kalah pentingnya dalam upaya peningkatan dan pemberdayaan nasabah ini adalah keberadaan infrastruktur di bank untuk menangani dan menyelesaikan berbagai keluhan dan pengaduan nasabah. Dalam hal ini, bank Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
103
harus merespon setiap keluhan dan pengaduan yang diajukan nasabah, khususnya yang terkait dengan transaksi keuangan yang dilakukan nasabah melalui bank tersebut. Untuk menghindari berlarut-larutnya penanganan pengaduan nasabah, diperlukan standar waktu yang jelas dan berlaku secara umum di setiap bank dalam menyelesaikan setiap pengaduan nasabah. Standar waktu ini harus ditentukan sedemikian rupa sehingga dapat dipenuhi dengan baik oleh bank dan tidak menimbulkan kesan bahwa pengaduan tidak ditangani dengan semestinya oleh bank. Apabila nasabah tidak puas dengan hasil penyelesaian pengaduan yang dilakukan bank, maka perlu pula disediakan media yang dapat menampung penyelesaian sengketa antara nasabah dengan bank. Mengingat sebagian besar nasabah bank adalah nasabah kecil, maka media penyelesaian sengketa nasabah dengan bank haruslah dapat memenuhi unsur sederhana, murah, dan cepat. Sederhana dalam arti proses penyelesaian sengketa dilaksanakan tanpa melalui proses yang berkepanjangan, murah dalam arti tidak menimbulkan beban tambahan yang memberatkan nasabah, dan cepat dalam arti penyelesaian sengketa dilaksanakan dalam jangka waktu relatif singkat. Walaupun secara ideal programprogram perlindungan dan pemberdayaan nasabah seharusnya dimulai dengan edukasi kepada masyarakat, Bank Indonesia merasa perlu untuk memprioritaskan program-program lainnya terlebih dahulu, yaitu penanganan pengaduan nasabah, transparansi informasi produk perbankan, dan pembentukan lembaga mediasi perbankan
independen.
Prioritas
pada
program-program
tertentu
ini
dilatarbelakangi oleh adanya kebutuhan untuk segera memberikan perlindungan Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
104
kepada nasabah bank terkait dengan cukup maraknya pengaduan-pengaduan nasabah yang dimuat dalam berbagai media massa. Pada PBI No. 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah, Bank Indonesia mewajibkan seluruh bank untuk menyelesaikan setiap pengaduan nasabah yang terkait dengan adanya potensi kerugian finansial pada sisi nasabah. Dalam PBI ini diatur mengenai tata cara penerimaan, penanganan, dan juga pemantauan penyelesaian pengaduan. Selain itu, bank diwajibkan pula untuk memberikan laporan triwulanan kepada Bank Indonesia mengenai pelaksanaan penyelesaian pengaduan nasabah tersebut. Pada prinsipnya, PBI diatas mengatur bahwa bank tidak diperkenankan menolak setiap pengaduan yang diajukan secara lisan maupun tertulis. Untuk pengaduan lisan, bank wajib menyelesaikannya dalam waktu 2 hari kerja sedangkan untuk pengaduan tertulis wajib diselesaikan dalam waktu 20 hari kerja dan dapat diperpanjang hingga 20 hari kerja berikutnya apabila terdapat kondisikondisi tertentu. Untuk
memastikan
bahwa
bank
telah
melaksanakan
ketentuan
penyelesaian pengaduan nasabah, maka setiap triwulan bank diwajibkan menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia mengenai kasus-kasus pengaduan yang sedang dan telah diselesaikan oleh bank. Laporan ini nantinya akan disusun sedemikian rupa sehingga akan mudah diketahui produk apa yang paling bermasalah dan jenis permasalahan yang paling sering dikemukakan nasabah. Melalui laporan ini pula Bank Indonesia akan dapat memantau permasalahan yang kemungkinan dapat berkembang menjadi permasalahan yang bersifat sistemik Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
105
sehingga dapat segera dilakukan langkah-langkah preventif untuk mencegah ekskalasi permasalahan yang dapat mempengaruhi kepercayaan masyarakat pada lembaga perbankan. Dari perspektif regulator, penerbitan PBI Penyelesaian Pengaduan Nasabah ini memiliki dua tujuan utama yaitu untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan masyarakat pada lembaga perbankan dan untuk menurunkan publikasi negatif terhadap bank yang dapat mempengaruhi reputasi bank tersebut. Dari sisi bank, keberadaan PBI ini juga akan sangat membantu bank dalam beberapa hal, antara lain: 1. Mengidentifikasi permasalahan yang terdapat pada produk-produk yang ditawarkannya kepada masyarakat; 2. Mengidentifikasi penyimpangan kegiatan operasional pada kantor-kantor bank tertentu yang mengakibatkan kerugian pada nasabah; 3. Memperoleh masukan secara langsung dari nasabah mengenai aspek-aspek yang harus dibenahi untuk mengurangi risiko operasional; dan 4. Memperbaiki karakteristik produk untuk menyesuaikannya dengan kebutuhan nasabah. Sementara itu, dari sisi nasabah keberadaan PBI ini akan sangat bermanfaat bagi upaya percepatan penyelesaian permasalahan antara bank dengan nasabah. Proses penyelesaian pengaduan yang pengaturannya ditetapkan dalam PBI tersebut diharapkan dapat memfasilitasi penanganan pengaduan secara efisien dan efektif sehingga penyelesaian pengaduan oleh bank tidak lagi berlarut-larut dan keluhan-keluhan nasabah yang sering dijumpai pada berbagai media cetak Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
106
dapat dikurangi. Dengan demikian, penerapan PBI Penyelesaian Pengaduan Nasabah secara konsisten akan dapat membawa manfaat baik untuk nasabah maupun bank dan dapat mengurangi potensi kerugian finansial pada nasabah maupun risiko reputasi pada bank. Penyelesaian pengaduan nasabah oleh bank yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah tidak akan selalu dapat memuaskan nasabah. Ketidakpuasan tersebut dapat diakibatkan oleh tuntutan nasabah yang tidak dipenuhi
bank
baik
seluruhnya
maupun
sebagian
sehingga
berpotensi
menimbulkan sengketa antara nasabah dengan bank yang dapat merugikan hakhak nasabah. Sesuai Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, upaya penyelesaian sengketa antara nasabah dan bank dapat dilakukan melalui negosiasi, konsiliasi, mediasi, arbitrase, maupun melalui jalur peradilan. Namun demikian, upaya penyelesaian sengketa melalui arbitrase atau jalur peradilan tidak mudah dilakukan bagi nasabah kecil dan usaha mikro kecil (UMK) mengingat hal tersebut memerlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa nasabah dengan bank bagi nasabah kecil dan UMK perlu diupayakan secara sederhana, murah, dan cepat melalui penyelenggaraan mediasi perbankan agar hak-hak mereka sebagai nasabah dapat terjaga dan terpenuhi dengan baik dan reputasi bank dapat tetap terjaga.
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
107
Pada PBI No.8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan dinyatakan bahwa sampai dengan akhir tahun 2007 pelaksanaan fungsi mediasi perbankan akan dilakukan oleh Bank Indonesia. Hal ini perlu dimaklumi karena Bank Indonesia berkewajiban dan berkepentingan untuk membentuk “image” yang baik mengenai penyelenggaraan mediasi perbankan, sebelum lembaga
mediasi tersebut
dilaksanakan oleh suatu lembaga yang independen pada tahun 2008. Pengaturan mengenai penyelenggaraan mediasi perbankan oleh Bank Indonesia pada intinya mencakup hal-hal sebagai berikut: 1.
Nasabah dapat mengajukan upaya penyelesaian sengketa melalui mediasi kepada Bank Indonesia.
2.
Proses mediasi yang dilakukan Bank Indonesia hanya sengketa dengan nilai klaim maksimum sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3.
Proses mediasi dapat dilaksanakan apabila kasus yang diajukan memenuhi persyaratan.
4.
Pelaksanaan proses mediasi sejak ditandatanganinya perjanjian mediasi (agreement
to
mediate)
sampai
dengan
penandatanganan
Akta
Kesepakatan dilaksanakan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja dan dapat diperpanjang sampai dengan 30 (tiga puluh) hari kerja berikutnya berdasarkan kesepakatan nasabah dan bank. 5.
Akta Kesepakatan dapat memuat kesepakatan menyeluruh, kesepakatan sebagian,
atau
tidak
tercapainya
kesepakatan
atas
kasus
yang
disengketakan.
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
108
Untuk lebih mengefektifkan program-program perlindungan nasabah diatas, diperlukan suatu upaya yang sifatnya berkelanjutan melalui pelaksanaan edukasi masyarakat mengenai hak-hak nasabah dalam berhubungan dengan bank, selain hal penting lainnya seperti pengenalan produk keuangan dan perbankan. Edukasi masyarakat yang akan dilakukan Bank Indonesia pada dasarnya akan diarahkan untuk
memberdayakan masyarakat
melalui peningkatan
pengetahuan keuangan (financial literacy) untuk mendukung terwujudnya masyarakat yang kritis dan mampu merencanakan keuangannya secara bijaksana. Dalam hal ini, edukasi masyarakat diharapkan tidak hanya memberikan peningkatan pemahaman mengenai produk keuangan dan perbankan namun juga diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada peningkatan taraf hidup masyarakat melalui perencanaan keuangan yang tepat. Mengingat faktor keragaman yang ada di masyarakat, maka pelaksanaan edukasi tidak dapat dilakukan hanya dengan mendasarkan pada asumsi-asumsi semata tetapi diperlukan perencanaan yang matang berdasarkan data dan fakta agar programprogram edukasi dapat memenuhi kebutuhan kelompok-kelompok masyarakat yang beragam tersebut. Oleh karena itu, perolehan informasi dan analisis yang komprehensif mengenai kebutuhan dan strategi saat ini Bank Indonesia sedang melakukan survey untuk melakukan pemetaan kebutuhan edukasi berdasarkan tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, faktor geografis, dan faktor domisili (desa & kota). Hasil pemetaan ini nantinya akan digunakan sebagai dasar untuk penetapan strategi dan implementasi edukasi jangka pendek, menengah dan panjang, serta dimanfaatkan pula untuk sebagai dasari pembentukan kerangka Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
109
kerja Forum Edukasi Masyarakat yang diharapkan dapat dibentuk dalam beberapa waktu kedepan. Forum Edukasi Masyarakat yang keanggotaannya direncanakan dapat merangkul berbagai lembaga dan instansi pemerintah diharapkan dapat menjadi forum koordinasi pelaksanaan edukasi sekaligus penggerak implementasi strategi edukasi di masing-masing bidang yang menjadi kewenangannya. Telah dikatakan didepan bahwa menciptakan perjanjian standar adalah untuk efisiensi. Pragmatism dan kepastian hukum. Kalau ternyata kreditur atau bank dengan perjanjian kredit standarnya masih mengalami berbagai macam kendala dalam melaksankan hak-haknya berdasarkan perjanjian kredit yang selama ini ditutup olehnya dan pihak nasabah sendiri berdasarkan keberatankeberatan yang telah dikemukakan diatas masih merasa belum cukup terlindungi, maka dengan demikian sebenarnya bukan pihak bank atau nasabah saja, tetapi bank dan nasabah sama-sama mempunyai kepentingan untuk adanya batasanbatasan perjanjian kredit standar yang memberikan lebih banyak kepastian hukum bagi mereka. Apabila perlindungan dan kepastian hukum yang selama ini diberikan oleh ketentuan Undang-Undang dan keputusan pengadilan dirasa belum cukup, apabila kepentingan umum menghendaki, maka kita dapat mendesak pihak penguasa agar mengambil sebagian dari “kebebasan berkontrak” dan mengaturnya dalam ketentuan undang-undang yang memaksa. Bila hal itu dirasakan akan memakan waktu yang terlalu lama maka pihak perbankan dengan kerjasama dengan pihak pengadilan dan lembaga konsumen, atau badan lain yang dianggap bisa mewakili kepentingan para nasabah pengambil kredit, dapat merumuskan bersama klausulDenggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
110
klausul yang memenuhi kebutuhan para pihak dan tidak melanggar unsur kepatutan demi kepastian hukum dan sekaligus juga harus diusahakan kesepakatan penafsiran atas klausul-klausul yang bersangkutan. Hanya saja yang perlu diperhatikan adalah bahwa pengaturan tersebut hendaknya dilakukan dengan memperhatikan sistem dan asas hukum yang berlaku. Disamping itu, untuk mengurangi keberatan-keberatan seperti tersebut diatas, pihak bank juga perlu memperhatikan: -
Memberikan peringatan secukupnya kepada para nasabahnya akan adanya dan berlakunya klausul-klausul penting tertentu dalam perjanjian;
-
Pemberitahuan dilakukan sebelum atau pada saat penandatanganan perjanjian kredit;
-
Dirumuskan dalam kata-kata dan kalimat yang jelas;
-
Memberikan kesempatan yang cukup kepada debitur untuk mengetahui isi perjanjian. Untuk mengatasi keberatan-keberatan yang berhubungan dengan apa yang
disebutkan diatas, bank juga dapat menempuh jalan melegalisasi tanda tangan nasabah pengambil kredit. Sementara belum ada undang-undang yang diharapkan seperti tersebut diatas, demi mengurangi ketidakpatutan dalam pelaksanaan isi suatu perjanjian, hakim bisa mengambil sikap: -
Menafsirkan klausul perjanjian secara contra proferentem (pasal 1349);
-
Menafsirkan suatu ketentuan waktu sebagai diadakan demi kepentingan debitur (pasal 1720);
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
111
-
Kata-kata yang tidak jelas diberikan penafsiran yang sempit;
-
Penjelasan lisan atau klausul tertulis, yang bertentangan dengan yang tercantum secara tertulis, dianggap sebagai perubahan atas klausul tertulis;
-
Beban pembuktian pada klausul tertulis diletakkan pada pihak yang mengusulkan pencantuman klausul yang bersangkutan.
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN 1. Risiko yang terdapat dalam perjanjian kredit bank dapat dilihat dari dua sisi, yaitu risiko yang ditanggung oleh bank sebagai kreditur dan risiko yang ditanggung oleh nasabah debitur. Risiko yang ditanggung bank sebagai kreditur dapat berupa Credit Risk, Strategic Risk, Regulatory Risk, Operating Risk, Commodity Risk, Human Resources Risk, dan Legal Risk. Sedangkan risiko yang ditanggung oleh nasabah debitur antara lain risiko yang ditanggung debitur karena bentuk dari perjanjian kredit bank yang baku (standar), sehingga debitur tidak dapat ikut menentukan isi perjanjian tersebut. Keduduka n yang berbeda antara bank dan nasabah debitur yakni dimana bank memiliki posisi tawar yang lebih kuat jika dibandingkan dengan nasabah
debitur
menyebabkan
ketidakseimbangan
dalam
pembuatan
perjanjian kredit bank. Hal ini disebabkan perjanjian kredit bank tersebut dibuat dalam bentuk yang baku (standar) oleh pihak bank, sehingga isi dari perjanjian kredit bak tersebut lebih menguntungkan pihak ban, sedangkan nasabah hanya dapat menerimanya. Bank dapat memasukkan klausul-kalusul yang menguntungkannya namun merugikan pihak nasabah debitur, seperti klausul eksonerasi yang
membebaskan bank sebagai kreditur dari
kewajibannya. 2. Upaya perlindungan bagi nasabah debitur terhadap risiko yang dialaminya dalam perjanjian kredit bank selain dapat dilakukan dengan penerapan pasal
102
113
18 UUPK, juga dapat dilakukan sesuai dengan kebijakan Bank Indonesia. Bank Indonesia sejak awal tahun 2002 mulai menyusun cetak biru sistem perbankan nasional yang salah satu aspek didalamnya tercakup upaya untuk melindungi dan memberdayakan nasabah. Upaya ini kemudian berlanjut dan dituangkan menjadi Pilar ke VI dalam API yang mencakup empat aspek, yaitu mekanisme pengaduan nasabah, pembentukan lembaga mediasi independen, transparansi informasi produk, dan edukasi nasabah.
B. SARAN 1. Untuk menjamin keseimbangan kedudukan di dalam perjanjian kredit bank yang berbentuk perjanjian baku antara bank sebagai kreditur dengan nasabah debitur diperlukan adanya pengawasan atau campur tangan dari pemerintah, misalnya dengan memberikan rekomendasi atau izin atas suatu bentuk formulir perjanjian kredit yang dibuat oleh bank. 2. Lahirnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999 diharapkan dapat menciptakan kegiatan usaha perdagangan yang jujur tidak hanya bagi kalangan pelaku usaha, melainkan secara langsung untuk kepentingan konsumen baik selaku pengguna, pemanfaat maupun pemakai barang atau jasa yang ditawarkan. 3.
Bagi calon nasabah debitur sebelum menandatangani isi perjanjian kredit bank sebaiknya mempelajari isi perjanjian dan jika perlu berkonsultasi terlebih dahulu kepada seorang konsultan hukum yang menguasai bidang perkreditan.
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
114
DAFTAR PUSTAKA
BUKU: Badrulzaman, Mariam Darus, 1981, Perjanjian Baku (Standar) Perkembangannya di Indonesia, Bandung: Alumni. _______________________, 1983, Perjanjian Kredit Bank, Bandung: Alumni _______________________, 1986, Perlindungan Terhadap Konsumen Dilihat dari Sudut Perjanjian Baku, Bandung: Bina Cipta _______________________, 1993, Beberapa Masalah Dalam Undang-Undang No. 7 tahun 1992 (Kumpulan Tulisan Mengenang Teuku Mohammad Radhie, Jakarta: Universitas Tarumanegara. _______________________, 1994, Aneka Hukum Bisnis, Bandung: Alumni. Djumhana, Mohammad, 2000, Hukum Perbankan di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti. Fuady, Munir, 1996, Hukum Perkreditan Kontemporer, Bandung: Citra Aditya Bakti. Hasan, Djuhaendah, 1996, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanag dan Benda Lain yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Bandung: Citra Aditya Bakti. Hay, Marhais Abdul, 1975, Hukum Perbankan di Indonesia, Bandung: Alumni. Miru, Ahmadi, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: RajaGrafindo persada.
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
115
Poerwadaminta, WJS, 1982, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka. Projodikoro, Wiryono, 1981, Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung: Sumur. Shidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta: Grasindo Siamat, Dahlan, 1993, Manajemen Bank Umum, Jakarta: Intermedia Sjahdeni, Sutan Remy, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian kredit Bank di Indonesia, Jakarta: Institut Bankir Indonesia. Subekti, 1976, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa ______, 1982, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut hukum Indonesia, Bandung: Alumni. Sudarsono, 2007, Kamus Hukum, Jakarta: Rineka Cipta. Syahrani, Riduan, 2006, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung: Alumni. Tjoekam, Mohammad, 1999, Perkreditan, Bisnis Inti Bank Komersial (Konsep, Teknik, dan Kasus), Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Usman, Rachmadi, 2003, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang No. 7 tahun 1992 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009
116
Peraturan Bank Indonesia No. 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah
WEBSITE www.google.com http://www.wikimediafoundation.org/
Denggan Mauli Tobing : Risiko Hukum Yang Terjadi Di Dalam Perjanjian Kredit Bank Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, 2008. USU Repository © 2009