RINGKASAN DISERTASI M.Yusuf Wibisono NIM 3.209.4.0014 KEBERAGAMAAN MASYARAKAT PESISIR: Studi Perilaku Keagamaan Masyarakat PesisirPatimban Kecamatan Pusakanegara Kabupaten Subang Jawa Barat THE RELIGIOCITY OF A COASTAL SOCIETY A Study on Religious Behavior of the Coastal Society of Patimban, Pusakanegara, Subang
TIM PROMOTOR Prof.Dr.H. Dadang Kahmad, MSi Prof.Dr.H. Asep Saepul Muhtadi, MA Dr.Abdul Syukur, MA
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG 1434 H/2013 M
1
2
I PENDAHULUAN A. Permasalahan Secara spesifik, ada dua fenomena sosial-keagamaan di masyarakat muslim pesisir Patimbanyang menarik untuk dikaji. Pertama, wujud keragaman perilaku keagamaan masyarakat pesisir Patimban kadang memunculkan kohesi sosial, tapi sesekali menjadi pemicu disintegrasi meski tidak terlalu ekstrim.Kedua, Keberagamaan masyarakat pesisir Patimban mengalami perubahan disebabkan persentuhan dengan budaya luar (interaksionalisasi budaya), terutama dengan budaya urban. Kedua fenomena tersebut diatas, gilirannya menghadirkan dua permasalahan yang cukup signifikan, antara lain; (1) Dalam konteks ritual keagamaan, memunculkan proses perpaduan antara unsur Islam di satu sisi, dan tradisi lokal di sisi lain. Dari perpaduan ini memproduk berbagai perspektif tipologi Islam, yakni Islam sinkritik (Geertz), atau Islam akulturatif (Woodward) dan Islam Kolaboratif (Nur Syam).Permasalahan pokoknya adalah, beberapa tipologi itu tidak dikenal dalam ajaran Islam Ortodoks (genuin),semisal, ritual nadran dan ruwat bumi, dan yang sejenisnya.-- yang didalamnya terkait dengan aspek-aspek teologis. Selanjutnya, (2) Adanya kesenjangan sosial-keagamaan yaitu munculnya budaya permisif yang dilakukan sebagian warga disebabkan salah satunya pengaruh budaya luar. Semisal adanya “lokalisasi” di sekitar wilayah Patimban, budaya konsumtif yang tinggi karena ada tempat hiburan (café dan sejenisnya), dan kegiatan-kegiatan lainnya yg memerlukan “biaya” tambahan (boros) – imitatif dari budaya urban yang destruktifnya. Pada konteks ini terkait erat dengan persoalan-
3
persoalan yang bersifat sosiologis, karena di dalamnya terdapat unsur-unsur interaksionalisasi sosial-budaya. B. Identifikasi dan Rumusan Masalah Dalam perspektif kebudayaan, perubahan-perubahan sikap dan tindakan individu ataupun masyarakat, dalam banyak hal dipengaruhi oleh interaksionalisasi dan integrasi kultural. Seperti halnya nilai-nilai budaya luar yang beragam bersentuhan dengan nilai-nilai budaya lokal, akan menjadi basis dalam pembentukan sub-sub kebudayaan yang berdiri sendiri dengan dinamika ekspresinya. Oleh karenanya, berbagai dimensi kehidupan mengalami redefinisi dan diferensiasi yang terjadi secara massif dan selanjutnya memunculkan berbagai problem sosio-kultural tersendiri.Apalagi hal itu berdampak perubahannya pada dimensi sikap dan tindakan individu maupun masyarakat pesisir Desa Patimban Subang Jawa Barat berkenaan dengan aktivitas keagamaannya. Untuk itu, sesuai dengan arah perspektif yang digunakan, layaknya diajukan pertanyaan penelitian seperti berikut: 1. Bagaimanakah masyarakat pesisir Desa Patimban memposisikan agama sebagai nilai-nilai budaya yang dianggap sakral yang berisi pedoman hidup dan etos -serta merta digunakan sebagai acuan untuk melakukan tindakan-tindakan dalam rangka pemenuhan kebutuhan kehidupan mereka? 2. Bagaimanakah dinamika kapasitas ruang budaya lokal masyarakat pesisir Desa Patimban memberikan daya tampung (toleransi) terhadap unsur-unsur baru (budaya) yang berasal dari luar lingkungannya yang berkaitan dengan keberagamaan mereka?
4
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini antara lain adalah: (1)Menganalisis masyarakat Desa Patimban dalam memposisikan agama sebagai nilai-nilai budaya yang dianggap sakral yang berisikan pedoman hidup dan etos -- pandangan hidup tradisi lokal -- serta merta digunakan sebagai acuan untuk melakukan tindakan-tindakan dalam rangka pemenuhan kebutuhan psikologis, sosial dan berbagai kebutuhan integratifnya. Hal ini pula yang menjadi titik tekan (entry point) dalam menganalisis kesadaran teologisnya; dan (2) Menganalisis dinamika kapasitas ruang budaya lokal masyarakat pesisir Desa Patimban di dalam memberikan daya tampung atau toleransi terhadap masuknya elemen-elemen baru yang berasal dari luar – berkaitan dengan keberagamaan mereka.Dalam konteks ini, yang menjadikan titik tekan (entry point) adalah kesadaran sosiologisnya.
D. Kegunaan Dari hasil temuan penelitian ini diharapkan berguna untuk; (1)Menambah khazanah teori-teori keberagamaan masyarakat pesisir dengan aspek perubahan sosialnya yang selama ini dianggap masih terbatas. Oleh karenanya, dari temuan-temuan yang sudah terumuskan secara sistematis ini, seyogyanya bisa menjelaskan gejala-gejala keagamaan yang sudah menjadi budaya di masyarakat setempat, khususnya di wilayah pesisir Jawa Barat; dan (2) Secara pragmatis, penelitian ini diharapkan dapat pula digunakan sebagai rujukan
5
kebijakan oleh lembaga-lembaga yang berkompoten dalam upaya pembangunan masyarakat di wilayah pesisir Jawa Barat. Lebih khususnya lagi bagi lembaga pemerintah terkait, baik daerah maupun pusat yang bertujuan untuk membangun dan memberdayakan masyarakat di pesisir Desa Patimban, terutama di bidang sosial keagamaan.Demikian juga bagi para agen perubahan seperti para agamawan dan lembaga-lembaga keagamaan yang secara praktis terlibat dalam persoalanpersoalan sosial keagamaan – yang ingin memahami konstelasi perubahan sosial keagamaan dalam konteks keindonesiaan. E. Kerangka Berfikir Masalah pokok dalam penelitian disertasi ini bertolak dari kajian tentang agama yang ditempatkan dalam ranah kebudayaan.Maksudnya, agama diposisikan sebagai nilai-nilai budaya yang diasosiasikan ke dalam dan melalui proses internalisasi kebudayaan tertentu. Dengan demikian, ia bersifat lokal atau sekurang-kurangnya sesuai atau disesuaikan dengan rasionalitas lingkungan yang dihadapi. Istilah lain, pengetahuan dan keyakinan yang mendasari tindakan, atau makna-makna di balik tindakan-tindakan dan hasil-hasil tindakan keagamaan -- adalah bertolak dari nilai-nilai budaya yang disepakati dan yang berlakudi kalangan komunitas keagamaan tertentu.Untuk itu, agama dipandang sebagai keyakinan dan pengetahuan yang ada dan hidup dalam masyarakat manusia sesuai dengan kondisi masyarakat, sejarah, lingkungan hidup, dan kebudayaannya yang bersifat lokal. Memahami agama dari pendekatan kebudayaan, dapat diartikan sebagai sudut pandang atau cara pandang (world view) dalam memperlakukan suatu gejala keagamaan yang menjadi titik tolaknya dengan menggunakan kebudayaan
6
sebagai perspektif dalam melihat, dan mengkajinya (Suparlan,1998). Sedangkan agama dalam penelitian ini pun dimaknai sebagai pengetahuan dan keyakinan yang bersifat sakral, yang secara fungsional menjadi atau dijadikan pedoman bagi tindakan-tindakan manusia sebagai makhluk sosial, untuk pemenuhan kebutuhan biologi, sosial dan kebutuhan integratif atau adabnya. 1Dengan begitu, untuk memahami dan menjelaskan gejala-gejala keagamaan masyarakat yang dijadikan sasaran penelitian seperti di Desa Patimban adalah pendekatan kebudayaan menjadi keniscayaan.
1
Kebutuhan manusia secara universal terdiri dari: 1. Kebutuhan biologi yang dikatagorikan sebagai kebutuhan utama atau primer, yang bersumber pada aspek-aspek biologi dan organisme tubu manusia yang mencakup kebutuhan-kebutuhan akan: (a) makanan/minuman/air, zat asam dll; (b) buang besar/kecil, berkeringat dll; (c) perlindungan dari iklim/cuaca/suhu, dll; (d) istirahat/tidur dll; (e) pelepasan dorongan seksual atau reproduksi dan; (f) kesehatan yang baik. 2. Kebutuhan sosial atau kebutuhan sekunder, yang terwujud sebagai hasil akibat dari usaha-usaha untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang tergolong sebagai kebutuhan primer, yang harus dipenuhinya dengan cara melibatkan orang/sejumlah orang lain, yang mencakup kebutuhan-kebutuhan akan: (a) berkomunikasi dengan sesamanya; (b) kegiatan-kegiatan bersama; (c) kepuasan akan benda-benda material/kekayaan; (c) sistem-sistem pendidikan; dan (d) keteraturan sosial dan kontrol sosial. 3. Kebutuhan integratif atau adab, yang muncul dan terpencar dari hakikat manusia sebagai makhluk pemikir dan bermoral (yang berbada dari jenis-jenis makhluk lainnya) yang fungsinya adalah mengintegrasikan berbagai kebutuhan dan kebudayaan menjadi suatu satuan sistem yang bulat dan menyeluruh serta masuk akal bagi para pendukung kebudayaan tersebut, yakni mencakup kebutuhankebutuhan emosional akan: (a) adanya perasaan benar-salah; adil-tidak adil dll; (b) mengungkapkan perasaan-perasaan dan sentimen-sentimen kolektif/kebersamaan; (c) perasaan keyakinan diri (confidence) dan keberadaannya (existence); (d) ungkapan-ungkapan estetika dan keindahan; dan (e) rekreasi dan hiburan. (Suparlan, 1985:4-5) dan (Mudjahirin Thohir, 2002:11).
7
Selanjutnya dalam penelitian ini, lebih tepat jika pembahasan kerangka pemikirannya ditampilkan melalui konteks antropologi interpretatif Geertz, untuk memahami agama sebagai suatu sistem yang terdiri atas berbagai simbol yang mempunyai makna. Menurut Geertz (1973:90), agama adalah, “(1) suatu sistem simbol yang bertindak untuk, (2) menetapkan dorongan hati dan motivasi yang kuat, menembus, dan bertahan lama pada manusia (3) dengan cara memformulasikan berbagai konsep tentang suatu tatanan umum dari yang hidup dan (4) mewarnai konsep-konsep ini dengan aura faktualitas sehingga dorongan hati dan motivasi itu tampak sangat realistis.
II KEBERAGAMAAN YANG BERAGAM: TRADISI SLAMETAN DANRUWATAN DI JAWA Dalam kajian ilmu agama-agama,bahwa keberagamaan sebagai bentuk pertautan antara manusia dengan Realitas Mutlak yang diwujudkan dalam berbagai ekspresi ritual. Sedangkan untuk memperkokohnya diperlukan manifestasi tingkah laku atau perbuatan yang bernuansa religi.Dalam konteks ini, perbuatan agama bisa berwujud pemujaan, upacara-upacara ritual sebagai responsif penghayatan terhadap Realitas Mutlak (Tuhan).Van Hugel yang dikutip Joachim Wach (1958) memberikan komentarnya bahwa, “Tuhan akan hadir kepada manusia, ketika manusia mendekati-Nya”.Ini dapat dimaknai eksistensi Tuhan harus terus-menerus diperkokoh oleh manusia melalui praktek-praktek keagamaan agar terjaga keterpautan dengan-Nya.
8
Kegiatan keagamaan yang pokok adalah,aktifitas ritual yang diwujudkan melalui kedalaman spritual untuk menuju “kekuatan” yang lebih tinggi.Proses menuju kedalaman spiritual menuju Realitas Mutlak, salah satunya diperlukan sebuah aksi ritual yang secara terus-menerus dilakukan dengan beragam motivasi atau niyah. Untuk mewujudkan hal tersebut, ekspresi keberagamaan seseorang dapat terbentuk dari pengalaman kognitif (pengetahuan) yaitu seperti proses penurunan melalui belajar dan pewarisan dari generasi ke genarasi – seperti tradisi ritual. Terdapat beberapa contoh ekpresi keberagamaan yang terkait dengan kegiatan tradisi ritual seperti slametan, ruwatan, dan ritual lain yang sejenis – terutama untuk masyarakat Jawa pada umumnya. Menyangkut ritual, terdapat dua katagori, yakni ritual personal dan komunal.Ritual personal dilakukan dalam rangka pemenuhan hajat spiritualitas personal agar selamat dan mendapatkan keberkahan dalam menjalani kehidupannya.Sedangkan ritual komunal, adalah ritual yang dilakukan secara bersama-sama (kolektif) agar terwujud kebutuhan-kebutuhan yang bersifat spiritual dan sosial. Ritual komunal ini, biasanya dilakukan dalam suatu komunitas dan lingkungan yang sama, serta ekspresi keagamaan yang sama terkait dengan respon realitas tertentu. Respon terhadap realitas yang dihadapi secara kolektif itu, dapat berupa keadaan yang buruk seperti bencana alam, wabah penyakit dan lainnya, juga keadaan yang baik seperti ritual slametan, syukuranruwat bumi,mapag sripesta laut (Nadran) dan yang sejenisnya. Hal yang demikian ini banyak ditemukan di berbagai wilayah, terutama di pulau Jawa pada umumnya. Secara antropologis, kajian tentang tradisi slametan dan ruwatan merupakan ciri khas dari masyarakat Jawa, meminjam istilah Andrew Beatty (2001), slametan adalah jantungnya agama Jawa. Diperkuat lagi oleh Clifford Geertz (1960), bahwa
9
di sentral sistem agama Jawa, terdapat suatu upacara keagamaan yang sederhana, formal, jauh dari keramaian dan dramatis, itulah yang dinamakan slametan. Slametan secara sederhana dimaknai sebagai suatu upacara makan-makan (manganan) yang terdiri atas sesajen, makanan simbolik, sambutan resmi, dan doa-doa atau mantera.Dengan demikian, slametan dalam tradisi Jawa merupakan aktifitas ritual yang selalu mendapatkan tempat utama dalam kehidupan masyarakatnya.Sehingga ada istilah tertentu bagi masyarakat Jawa yang sering meninggalkan tradisi slametan, yaitu “ora njawani”, artinya perilaku yang tidak sesuai dengan budaya Jawa sejati. Slametan ini biasanya dipimpin oleh seorang kuncen, sesepuh adat, dukun, pawang, ataupunlebê -- dengan membacakan doa-doa atau mantera-mentera yang terkait dengan kegiatan tersebut. Unsur lain yang turut serta melengkapi dalam slametan jenis ini adalah berbagai sesajen, tungku kecil untuk bakar kemenyan, tempat-tempat dan fasilitas/barang yang dianggap keramat. Momentum ini berdasarkan kelenderikal atau terjadual sesuai dengan tradisi leluhur mereka yang didasarkan pada momen-momen khusus.Selain itu, terdapat tradisi slametan yang sering dilakukan orang muslim Jawa dengan menyerap dari ajaran Islam, seperti tahlilan, aqiqah, khitanan dan yang sejenisnya. Slametan jenis ini dalam pelaksanaannya (prosesi)menggunakan tata cara tradisi lokal Jawa, tapi doadoanya menggunakan bahasa Arabyang diambil dari AlQur’an. Umumnya, tujuan slametan adalah untuk menciptakan keadaan sejahtera, aman, dan bebas dari gangguan makhluk yang tampak maupun yang halus, sehingga tercipta suatu keadaan yang disebut slamet. Alasan utama untuk menyelenggarakan slametan meliputi perayaan siklus hidup --
10
seperti kelahiran, kematian, menempati rumah baru, panenan, ruwatan bumi, ruwatan laut dan sejenisnya -- adalah dalam rangka pencapaian keadaan hidup yang lebih aman dan sejahtera. Terkait dengan slametan yang melibatkan banyak orang seperti ruwatan laut (Nadran), banyak ditemui di wilayah pesisir Jawa dan sekitarnya.Pelaksanaannya tergolong bersifat massal dan melibatkan banyak orang yang tidak ada batas dan di ruang terbuka seperti di pinggir pantai, lapangan atau di sawah dan ladang. Slametan sejenis Ngeruwat laut di pesisir Jawa dan sekitarnya menggambarkan ciri-ciri mendasar yang mirip dengan daerah lainnya, termasuk di Patimban. Syarat-syarat yang diwajibkan dalam setiap ruwatan hampir sama, kalau pun terdapat perbedaan hanya sebagian kecil. Seperti ada kemenyan, sesajen berbagai rupa tergantung acara ruwatannya, para elit lokal, dan acara sarat seremonial yang diiringi parade sambutan serta doa-doa atau bacaan manteramantera.Kesamaan persepsi di sekitar Jawa dan sekitarnya tentang tujuan slametandan ruwatan,yaitu untuk menciptakan keadaan sejahtera, aman, dan bebas dari gangguan makhluk yang nyata maupun halus – suatu keadaan yang demikian itu disebut slamet.Dengan demikian, inti keberagamaan (Islam) yang dilakukan masyarakat Jawa terutama di wilayah pesisir cenderung beragam. Keragaman itu disebabkan adanya perpaduan antara Islam di satu sisi dan tradisi lokal di sisi lain.
III. KEBERAGAMAAN MASYARAKAT PESISIR PATIMBAN A. Pesantren, Madrasah dan Majelis Taklim
11
Keberadaan lembaga pendidikan agama Islam di Patimban memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap perubahan sosial-keagamaan pada masyarakatnya.Dari mulai Pesantren, Madrasah sampai Majelis Taklim berperan membina warganya dalam kegiatan sosialkeagamaan yang juga berpengaruh pada aspek lainnya.Seperti yang dilakukan oleh Pesantren dan Madrasah (Tsanawiyah dan Aliyah) Huda Paramadani Patimban yang didirikan ustadz Mufidz, membina pendidikan agama Islam dari kalangan remaja.Sebagian besar santri putra-putri berasal dari warga setempat. Lembaga pendidikan yang didirikan pada tahun 2007 ini cukup memberikan pengaruh terhadap proses pembinaan karakter generasi mudanya, yaitu memperkecil potensi kenakalan remaja di sekitar Patimban. Selain itu menambah jumlah anak-anak Patimban yang dapat meneruskan jenjang pendidikan yang lebih tinggi, yang sebelumnyakebanyakan hanyasampai Sekolah Dasar. Demikian juga kehadiran beberapa lembaga pendidikan agama Islam (madrasah) di sekitar Desa Patimban pada umumnya, memberikan kontribusi yang tidak sedikit terhadap pemberdayaan masyarakat di bidangsosial-keagamaan.Dampak lainnya, sebagian anak-anak warga yang menginginkan sekolah dan menjadi santri di pesantren yang cukup dikenal seperti di Cirebon, Brebes dan tempat luar lainnya.Artinya, keberadaan pesantren dan madrasah tersebutmemberikan motivasi kepada para santrinya untuk selalu menuntut ilmu sampai jenjang yang lebih tinggi.Alhasil, lambat laun perubahan sikap mental sebagian warga Patimban mengalami kemajuan yang berarti, setelah adanyalembaga pendidikan agama Islam (pesantren dan madrasah) yang ada di sekitarnya. Faktor lain yang tampak berubah adalah sikap dari sebagian warga, terutama dari sebagian kalangan mudanya
12
yang mengurangi aktivitas “nongkrong-nya” di tempat hiburan/café dikarenakan kegiatan di madrasah. Bagi kalangan orang dewasa dan para orangtua, kegiatan majelis taklim memberikan pengaruh yang cukup signifikan. Salah satu contoh, sebagian mereka menjadi lebih aktif dalam melakukan ibadah ritual (paling tidak rukun Islam), setelah mengikuti pengajian rutin di majelis taklim.Intinya, keberadaan pesantren, madrasah dan mejelis taklim dapat memperkecil budaya permisif sebagianwarga Patimban. Selain itu, keberadaanmajelis taklim dan yang sejenis – berfungsi sebagai medium ruang budaya (cultural sphere)yang dapat memelihara kohesitas dan soliditas antar warga di Patimban. Dalam konteks ini yang berperan besar terhadap keberlangsungan lembaga pendidikan agama ini adalah para ustadz dan kalangan santri. Mereka ini juga yang berupaya melakukan proses dakwah kultural (islamisasi) di wilayah Patimban. Kalangan ini beranggapan bahwa dakwah yang dilakukannya adalah manifestasi dari ajaran Islam yang harus mereka lakukan.Bagi kalangan santri, hal ini adalah bentuk refleksi ketaatan terhadap Allah SWT (kesadaran teologis).
B. Sumur Keramat Ki Buyut Siwalan Sumur Ki Buyut Siwalan, dalam keyakinan sebagian masyarakat Patimban dibuat hanya dengan “garukkan” tangan orang yang mempunyai “kenuragan” atau kesaktian seorang keturunan walisongo yaitu Sunan Gunung Jati. Orang yang dianggap sakti itu dikenal dengan sebutan Ki Buyut Sangkan atau Ki Buyut Siwalan. Dengan begitu, sumur yang dibikin oleh sang keturunan Sunan Gunung Jati dianggap keramat dan sakral, oleh sebagian besar warga Patimban.
13
Bagi warga yang mempercayai kekeramatan sumur Ki Buyut Siwalan, secara rutin mengadakan slametan dan ruwat bumi di tempat sekitar sumur. Kalau dulu pemimpin doa dalam upacara ruwatan oleh dukun dengan bacaan mantera bahasa Jawa, tapi belakangan sudah diganti oleh lebe atau ustadz yang bacaannya pun diganti dengan doa-doa bahasa Arab yang sebagian dari Al Quran. Jadi dalam ritual ruwatan ada percampuran antara tradisi lokal pada prosesi pelaksanaannya, sedangkan doa-doa diambil dari ajaran Islam.Tahapan-tahapan prosesinya tidak banyak berubah, tapi aktor atau elit lokal dan bacaan-bacaannya ada pergeseran. Kecenderungan ini dikarenakan proses “islamisasi kultural” dari kalangan santri merembes sampai pada tradisi ritual masyarakat setempat -tanpa berupaya menghilangkan keberadaannya sama sekali. Pada umumnya, orang-orang yang datang mencari keberkahan dari “penunggu/makhluk gaib” sumur keramat dengan berbagai cara. Ada yang sekedar membawa sesajen dan berdoa yang dipimpin kuncen, ada pula yang bertapa sampai beberapa hari di sekitar sumur keramat.Pada dasarnya, keberadaan sumur air mempunyai makna keberkahan, karena sebagai wujud penampungan air yang merupakan sumber kehidupan semua makhluk hidup. Apalagi jika sumur itu sudah tua usianya dan punya legenda cikal bakal terbentuknya desa atau dibuat seorang tokoh spiritual, biasanya selalu dikeramatkan dan dianggap bertuah.Di samping itu, setiap benda-benda tertentu di sekitar sumur keramat mempunyai fungsi masing-masing yang berhubungan erat dengan berbagai ritual yang dilakukan. Keberadaan ritual di sumur keramat Ki Buyut Siwalan, merupakan ruang budaya yang berfungsi sebagai ekspresi kesadaran teologis dan kesadaran sosiologis (kohesitas) masyarakat Patimban.Kesadaran teologis yang dimaksud adalah ekspresi keyakinan terhadap sesuatu yang gaib (Tuhan
14
dan makhluk gaib lainnya). Sedangkan kesadaran sosiologis adalah ekspresi persekutuan, yaitu untuk memelihara kebersamaan dan solidaritas, karena dalam prosesinya diperlukan kerja kolektif warga.Kegiatan ini melibatkan elit lokal, terdiri dari tokoh pemerintah setempat, kuncen, lebe (ustadz) dan warga pada umumnya. C. Ritual Nadran (Pesta Laut) Nadran atau upacara “pesta laut” yang dikenal warga Patimban adalah wujud ritual pemujaan terhadap makhluk gaib, yaitu “sesuatu” yang dianggap sebagai penguasa laut.Selain mempercayai Allah SWT, sebagian masyarakat Patimban juga mempercayai makhluk gaib yang disebut bhudug baso, atau sejenis makhluk supernatural yang dianggap dapat menentukan nasib para nelayan yang sedang mencari ikan dan hasil laut lainnya.Ekspresi ritual Nadran warga Patimban ini tentunya bertolak dari kepercayaan dan pemahaman (kognitif)berbasis lokalitasnya. Prosesi ritual Nadran yang dilaksanakan satu atau dua tahun sekali (sesuai kesepakatan warga), adalah dengan memberikan sesajen; kepala kerbau, beragam hasil bumi, jajanan pasar, rokok, minuman dan bunga tujuh rupa.Keberadaan sesajen ini adalah simbol dari ungkapan terima kasih kepada Tuhan dan makhluk gaib (bhudug baso) yang telah memberikan berbagai rezki berupa hasil laut dan keselamatan terhadap masyarakat nelayan.Berbagai sesajen itu merupakan wujud simbol yang mempunyai makna sesuai yang dikehandaki elit lokalnya (kuncen).Makna yang paling pokok adalah, kehidupan para nelayan tak dapat dilepaskan dari kekuatan-kekuatan gaib (supernatural).
15
Nadran juga bagian dari mitos – meminjam istilah Eliade -- yang dilestarikan oleh masyarakat Patimban. Bagi mereka Nadran memiliki beberapa fungsi, di antaranya : 1. Menyadarkan manusia bahwa ada kekuatan-kekuatan gaib yang ikut menentukan kehidupannya. Nadran tidak hanya memberikan informasi tentang kekuatan gaib, juga membantu manusia agar dapat menghayati daya-daya itu sebagai spirit yang mempengaruhi dan menguasai alam dan kehidupan nelayan. 2. Nadran sebagai mitos masyarakat Patimban bertalian erat dengan fungsinya yang pertama, sekaligus memberi jaminan bagi masa kini dan masa yang akan datang. 3. Nadran juga berfungsi sebagai medium antara manusia dengan daya kekuatan alam. 4. Nadran pun menjadi sarana kohesi sosial yang efektif bagi masyarakat Patimban. 5. Nadran juga sebagai sarana wisata bahari dan pemberdayaan ekonomi masyarakat setempat (komodifikasi). Pada dasarnya semua tindakan ritual Nadran, merupakan sarana bagi warga Patimban --yang mayoritas muslim -- untuk bisa mentransformasikan dari dimensi profan 2
2
Bagi masyarakat tradisional, yang disebut sebagai manusia religius arkhais oleh Mircia Eliade, mitos merupakan bagian dasar kehidupan sosial dan kebudayaannya yang mengungkapkan berbagai cara bertahan hidup di dunia ini. Eliade berpandangan, bahwa mitos merupakan realitas kultural yang kompleks dan karena itu sulit untuk memberikan batasan-batasan yang definitif terhadap mitos. Eliade pun memberikan batasan praktis tentang mitos yakni, sebagai usaha manusia arkhais (tradisional) untuk mengekspresikan lintasan yang supra-natural ke dalam dunia dan memiliki makna yang esensial. Sehingga mitos menjadi suatu kebenaran yang pasti dan menetapkan kebenaran absolut yang tak bisa diganggu gugat. Untuk lebih lengkapnya lihat, Mercia Eliade, The Sacred and The Profan, The Nature Of Religions, (Florida, Harcourt BJ. Inc., 1959)
16
ke dimensi sakral. Transformasi tersebut memerlukan proses yang tidak sederhana, sebab hal itu berkaitan dengan aspek emosi keagamaan. Salah satu contoh transformasi dari profan ke sakral, seperti sesajen kepala kerbau yang semula bersifat profan –karena dijadikan sesajen untuk sesuatu yang sakral dan supernatural, maka sesajen (bendawi) pun menjadi berubah sifatnya yakni menjadi sakral (suci) dan dianggap bertuah. Begitu juga dengan munculnya keragaman ekspresi ritual Nadranyang dikenal denganmultivokal-- meminjam istilah Beatty (2010) -- berdampak pada munculnya transformasi sebaliknya, yaitu dari sakral ke profan.Hal ini nampak pada tindakan komodifikasi Nadran yang sebelumnya murni ritual yang sakral, berikutnya bergeser pada wisata bahari yang profan. Dengan demikian, ritual Nadran yang menjadi bagian dari tradisi masyarakat pesisir Patimban menggambarkan kompleksitas dari semua kepentingan manusia yang berujung pada bertahan hidup (survival), dengan berbagai cara dan pendekatan yang beragam. Keberlangsungan kegiatanritual Nadran di Patimban ini didukung oleh berbagai elit lokal, mulai dari aparat pemerintahan (dari Kabupaten sampai Desa), juga tokoh masyarakat, termasuk paratokoh agamawannya (lebe, dan ustadz). Di samping itu, hampir seluruh warga Patimban memberikan respon yang positif terhadap keberadaan ritual Nadran dengan beragam motivasinya.
17
IV KONSTRUKSI KEBERAGAMAANMASYARAKAT PESISIR PATIMBAN Gambar 4.1.Peta Konsep Temuan Penelitian I
18
Gambar di atas menjelaskan tentang keberagamaan umat Islam Patimban, kadangkala mencerminkan nuansa Islam sinkritik (Geertz), Islam akulturatif (Woodward), bahkan Islam kolaboratif (Nur Syam), tergantung pada kasus yang melingkupinya. Artinya, tidak ada pola tunggal dalam keberagamaan umat Islam Patimban yang menjadi ciri khas lokalitasnya. Lebih jelasnya, tidak semua praktik keberagamaan orang-orang Patimban bernuansa sinkritik ataupun akulturatif an-sich. Dalam konteks tertentu, bisa jadi keberagamannnya cenderung sinkritik, karena ritual yang dilakukan sebagian besar mengambil unsur tradisi lokalnya ketimbang ajaran Islam.Jadi inti utamanya adalah tradisi lokal, sedangkan Islam menjadi varian pelengkap.Seperti dalam ritual Nadran dan ngeruwat bumi, seluruh prosesinya merupakan murni tradisi lokal, hanya dalam doa-doanya berasal dari Islam, itupun bercampur dengan sebagian dengan mantera-mantera Jawa. Pada tataran ini, kesan yang tampak adalah, Islam berusaha untuk mamasuki domain tradisi lokal melalui berbagai cara,termasuk melibatkan diri meskipun hanya dalam porsi yang lebih kecil. Secara detil dapat dilihat dalam gambar peta konsep di bawah ini: Gambar 4.2. Peta Konsep A (Inti: Budaya Lokal)
19
Sementara itu, dalam waktu yang bersamaan umat Islam Patimban bisa juga cenderung akulturatif, atau bahkan kolaboratif.Hal itu dikarenakan ritual yang dilakukan bermula dari ajaran Islam dan sebagian lainnya diambil dari tradisi lokal yang dianggap tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.Dalam Islam akulturatif, kaitan antara Islam dan tradisi lokal saling menerima dan memberi, sehingga terbentuk Islam yang khas dan bukan yang menyimpang. Dengan begitu akan terwujud seperti sebutan Islam India, Islam Persia, Islam Indonesia, Islam Jawa, bahkan Islam Patimban. Jadi inti utamanya bertolak dari ajaran Islam, sedangkan tradisi lokal adalah varian pelengkap. Semisal dalam ritual aqiqah,khitan, dan tahlil bermula dari ajaran Islam termasuk dengan doadoanya, akan tetapi prosesinya diambil dari tradisi lokal dengan berbagai ciri khasnya. Prinsip Islam akulturatif ini adalah, bertolak dari nilai-nilai Islam yang prosesinya disesuaikan dengan budaya lokal dan dianggap tidak bertentangan dengan ajaran Islam, bahkan bisa saling melengkapi satu sama lain. Lebih jelasnya dapat dilihat dari gambar di bawah ini:
20
Gambar 4.3. Peta Konsep B (Inti: Islam)
Bacaan yang muncul dari perpaduan ini adalah, adanya kompromi yang seimbang antara tradisi lokal dengan Islam sebagai agama atau ajaran yang datang kemudian. Jelasnya, antara tradisi lokal di satu sisi dan Islam di sisi lain mengalami proses pergumulan intensif (dialogis), yang dilakukan para elit lokalnya agar keduanya dapat bertahan (survival) tanpa menegasikan satu sama lain – pada gilirannya diambil alternatif kompromi. Dengan begitu, proses keberislaman masyarakat pesisir Patimban yang sudah dijelaskan di atas,dapatdisebut Islam Kompromi. Selain itu, karakteristik masyarakat pesisir Patimban yang cenderung lugas, apa adanya, mudah nrimo, dan pasrah, berpengaruh pada pola keberagamaannya. Karena ketergantungan terhadap keberadaan alam (laut) sangat tinggi, maka hal itu berakibat pada munculnya kesadaran spiritual (teologis) dengan mengekspresikan melalui berbagai macam ritual keagamaan. Hal itu juga, berpengaruh pada aspek
21
kesadaran kemanusiaan (sosiologis), yaitu memunculkan sikap solidaritas di antara mereka, dikarenakan terbiasa di saat melaut antar mereka saling bekerja sama agar semuanya bisa selamat. Karakteristik yang demikian itu memunculkan perilaku yang mudah beradaptasi dengan lingkungan apa saja, agartetap dapat bertahan hidup (survival). Dengan kata lain, masyarakat pesisir Patimban melakukan berbagai ritual keagamaan, dan adaptasi sosiologis untuk bertahan hidup. Untuk mewujudkan semuanya itu, dapat dijelaskan dari lima dimensi keagamaan seperti yang digagas Glock dan Strak (1968) yaitu;belief, praktice, experience, knowladge, consequence. Kelima dimensi keberagamaan tersebut dilandasi oleh tindakan dan pemahaman yang mencirikan lokalitasnya, baik yang bernuansa sinkritik, akulturatif ataupun kolaboratif.Oleh karena itu, seluruh aktivitas sosial-keagamaan masyarakat pesisir Patimban dengan berbagai keunikannya dapat dikatagorikan beragama ala pesisir atau istilah lainnya agama pesisir. Untuk memudahkan dalam memahami struktur kehidupan keberagamaan masyarakat pesisir Patimban dapat dilihat dari gambar peta konsep di bawah ini. Gambar 4.4.Peta Konsep Temuan Penelitian II
22
Singkatnya, dari ilustrasi yang sudah digambarkan beberapa peta konsep di atas, memunculkan tiga proposisi teoritik sebagai berikut: Pertama, antara agama Islam dan tradisi lokal saling mempengaruhi satu sama lain (dialogis), agar dapat bertahan dan lestari (survival). Hal ini dapat membentuk keragaman perilaku keberagamaan penganutnya.Sebagian ada yang lebih
23
mengedepankan tradisi lokalnya, sebagian lagi lebih memprioritaskan ajaran Islam sebagai pedoman utama. Kedua, tipologi keberagamaan masyarakat pesisir tidak tunggal, tergantung pada konteks yang melingkupinya.Pada saat tertentu terdapat unsur sinkritik (Geertz), tapi di saat bersamaan ada unsur akulturasi (Woodward), atau kolaboratif (Nur Syam). Tipologi kombinasi ini disebut Islam Kompromi; Ketiga,tradisi keberagamaan (Islam) pesisir adalah hasil konstruksi sosial para elit lokal yang memiliki keunikan tersendiri, yakni tidak bercorak genuin Islam, juga bukan tradisi lokal (kejawen) murni. Ia membentuk tradisi keberagamaan yang sarat dengan kekhasannya yang dapat dikatagorikan sebagai Agama Pesisir.
V PENUTUP Keragaman muslim pesisir Patimban terefleksikan ke dalam kegiatan ritual keagamaan yang mereka lakukan. Berbagai varian muslimmelakukan ritual keagamaan yang bercorak tradisi lokal.Dalam konteks tertentu mereka pun saling bekerja sama meskipun tujuannya berbeda. Bagi sebagian warga (non-santri), melaksanakan tradisi ritual warisan leluhur adalah keharusan karena bagian dari “menghormati” agar dilindungi oleh para leluhurnya dari berbagai bencana.Artinya, kalangan non-santri mempercayai tradisi ritualnya bernuansa religius dan mempunyai mana (kekuatan supernatural). Sedangkan sebagian warga yang lain (santri), melestarikan tradisi leluhur merupakan bagian dari semangat memelihara kohesitas sosial dengan masyarakat lokal pada umumnya, dan tidak ada kaitannya dengan unsur
24
religiusitas ataupunmana. Selain itu juga, bagi kalangan santri momentum itu sebagai medium“islamisasi” tradisi, dengan memasukkan unsur Islam ke dalam tradisi lokal, seperti mengganti mantera dengan doa-doa dari Al-Quran. Hal itu terbukti dalam setiap kegiatan tradisi ritual seperti Nadran, ngeruwat bumi di sumur keramat dan lainnya, yang semula dengan mantera-mantera bahasa Jawa kuno, diganti dengan doa-doa bahasa Arab dari Al-Quran, meski tidak menegasikan prosesi ritualnya. Kecenderungan demikian menjelaskan bahwa, Islam yang dianut warga pesisir Patimban mempunyai karakter khusus yang berbeda dengan tempat lain. Karakter khusus itu menjelaskan bahwa, keberagamaan seseorang ataupun kelompok tidak lepas dari konteks lokalitasnya.Dalam arti, tidak berlaku generalisasi dalam mendefinisikan keberagamaan seseorang atau kelompok, dikarenakan perbedaan tradisi lokalitasnya.Kritik ini pun berlaku untuk perspektif katagorisasi terhadap umat Islam yang dianggap bersifat tunggal, dan mengabaikan konteks yang melingkupinya.Seperti temuan Geertz tentang Islam Sinkritik, atau Islam Akulturatifnya Woodward, juga Islam Kolaboratif yang digagas Nur Syam. Ketiga tipologi tersebut tidak memberikan “ruang” pada polarisasi keberagamaan dalam waktu dan subyek yang sama. Artinya, seseorang atau kelompok yang sama dapat melakukan kegiatan keagamaan yang memuat unsur sinkritis, juga akulturatif atau kolaboratif – dalam konteks ruang dan waktu yang bersamaan. Bertolak dari hal di atas, bahwa keberagamaan seseorang tidak dapat dilepaskan dari konteks yang melingkupinya. Berbagai tipologi keberagamaan dapat dilakukan oleh seseorang atau kelompok dalam waktu dan ruang yang sama. Kecenderungan ini dalam rangka mengedepankan aspek-aspek kompromi -- ketimbang
25
konfrontasi -- terutama yang berkaitan dengan tradisi lokal di satu sisi dengan Islam di sisi lain.Realitas yang demikian ini menjelaskan bahwa Islam – melalui penganutnya – lebih memilihIslam Kompromi menjadi alternatif yang tepat agar tetap dapat bertahan (survival).
26
DAFTAR BACAAN Andrew Beatty, (2001).dalamVarieties of Javanese Religion, (Ahli Bahasa Achmad Fedyani Saefudin), Jakarta: RajaGrafindo Persada. Anthony Gidden, (1981), The Class Structure of The Advanced Societies, London, Hutchinson, Second Edition, Connolly, P. (Ed.). (1999). Aneka Pendekatan Studi Agama. (Alih Bahasa Imam Khoiri). Yogyakarta: LKiS. Clifford Geertz, (1960). The Religion of Java, Glencoe: The Free Press. Clifford Geertz, (1973), Interpretation of Cultures, (New York, Basic Book Inc. Clifford Geertz.(1992). Tafsir Kebudayaan. (Alih bahasa Francisco Budi Hardiman). Yogyakarta: Kanisisus. Clifford Geertz, (1992), Kebudayaan dan Agama, Yogjakarta: Kanisius. Daniel L.Pals, (1996), Seven Theories of Religion, New York, Oxford University Press. Emile Durkheim. (2001). The Elementary Forms of Religious Life. Oxford University Press. Eliade, Mircea. (1987). The Sacred & The Profane The Nature of Religion. New York: HBJ Book Publishing. Irwan Abdullah. (2007). Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Cetakan Kedua. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Joachim Wach, (1958), The Comperative Study of Religions, New York: Colombia University Press, Mark R. Woodward, (1989). Islam in Java, Universitas of Arizona Press. Max Weber. (2002). Sosiologi Agama. (Alih Bahasa Muhammad Yamin). Yogyakarta: IRCiSoD. Nur Syam, (2005), Islam Pesisir, Yogyakarta: LKiS. Peter L. Berger, The Sacred Canopy, (Alih Bahasa Hartono), Jakarta: LP3ES.
27