Rezim landas…, Nikki Krisadtyo, FH UI, 2014
Rezim Landas Kontinen Ekstensi dalam Hukum Internasional Nikki Krisadtyo Melda Kamil Ariadno Arie Afriansyah Ilmu Hukum, Fakultas Hukum
[email protected],
[email protected]
Abstrak Setiap negara tentu bermaksud melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya mineral. Salah satu cara memperbesar area eksplorasi dan eksploitasi sumber daya mineral adalah dengan menggunakan rezim Landas Kontinen Ekstensi (“LKE”). Skripsi ini pertama menjelaskan perkembangan dan pengaturan rezim LKE yang mencakupi syarat-syaratnya, hak negara pantai diatasnya, peran Commission on the Limits of the Continental Shelf, dan lain-lain. Skripsi ini kemudian menganalisa rezim LKE di Indonesia. Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yang bersifat eksplanatoris dan analitis deskriptif, dan menggunakan jenis data primer, sekunder, dan tersier. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Indonesia tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk menerapkan rezim LKE dan tidak memiliki rencana utilisasi LKE. Rezim tersebut dapat diterapkan di barat laut Sumatera, selatan Nusa Tenggara, dan utara Papua. Indonesia telah membuat submisi untuk LKE di barat laut Sumatera dan telah diterima. Penulis menawarkan saran sebaiknya Indonesia memiliki dasar hukum lebih lanjut untuk penerapan rezim LKE dan melakukan studi manfaat untuk utilisasi LKE di Indonesia.
Extended Continental Shelf Regime in International Law Abstract Indeed, every state intends to explore and exploit its mineral resources. One of the ways to increase the area on which states can explore and exploit its mineral resources is by applying the Extended Continental Shelf (“ECS”) regime. This research explains the development and regulation of the ECS regime which include its requirements, sovereign rights over it, the role of the Commission on the Limits of the Continental Shelf, et cetera. This research then analyzes the ECS regime in Indonesia. This research uses a legal normative research method—which is of an explanatory and descriptive-analytical character—and uses primary, secondary, and tertiary data. This research shows that Indonesia does not have a strong legal basis to apply the ECS regime nor a utilization plan for its ECS. This regime can be applied in north-west of Sumatera, south of Nusa Tenggara, and north of Papua. Indonesia has made a submission for the ECS in north-west Sumatera which has been accepted. The writer offers some advice: Indonesia should have further legal basis to apply the ECS regime and a utilization plan for its ECS. Key words: Extended Continental Shelf; natural prolongation; sovereign rights.
1
Rezim landas…, Nikki Krisadtyo, FH UI, 2014
Pendahuluan Landas Kontinen adalah sangat penting untuk sebuah negara, maka lebih lebar dapat dikatakan lebih baik. Sebagian besar sumber daya alam yang terkandung dalam Landas Kontinen adalah minyak dan gas bumi yang mencapai 90% seluruh hasil dari Landas Kontinen. Selain itu, Landas Kontinen juga merupakan tempat dimana terdapat banyak macam-macam besi seperti perak, berlian, seng, tembaga, dan lain-lain.1 Oleh karena itu lah negara-negara menarik batas sejauh mungkin lebih dari 200 Mil Laut untuk memperoleh keuntungan-keuntungan komersil dari Landas Kontinen. Keuntungan ini juga bukan hanya atas hal-hal yang sudah dapat diketahui terdapat dalam Landas Kontinen, tapi juga termasuk hal-hal yang mungkin di kemudian hari baru diketahui oleh manusia. Keinginan negaranegara untuk meluaskan Landas Kontinen mereka terlihat dari jumlah negara yang telah memberikan informasi kepada Commission on the Limits of the Continental Shelf (selanjutnya disebut “CLCS”) untuk mendapatkan rekomendasi. Hingga 2014, terdapat 59 negara yang telah melakukannya.2 Sebagai konklusi, publikasi naskah ringkas ini akan membahas beberapa hal secara garis besar. Pertama, mengenai perkembangan rezim Landas Kontinen Ekstensi mulai dari sejarah hingga perkembangan terkini. Kedua, mengenai pengaturan Landas Kontinen Ekstensi dalam hukum internasional baik didalam maupun diluar United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (selanjutnya disebut “UNCLOS 1982”). Ketiga, penerapan rezim Landas Kontinen Ekstensi di Indonesia yang akan mencakup penerapannya di peraturan perundangundangan dan di daerah barat laut Sumatera yang telah disetujui dan daerah selatan Nusa Tenggara dan daerah Utara dari Papua yang baru akan dibuat. Adapula pokok-pokok permasalahan untuk skripsi ini yang kemudian akan dijawab dalam bagian penutup yaitu: 1. Bagaimana perkembangan rezim Landas Kontinen Ekstensi? 2. Bagaimana pengaturan Landas Kontinen Ekstensi dalam hukum internasional? 3. Bagaimana penerapan Landas Kontinen Ekstensi di Indonesia? 1
R. R. Churchill, A. V. Lowe, The Law of the Sea, ed. 3, (Manchester: Manchester University Press, 1999) hal. 141-142. 2
Commission on the Limits of the Continental Shelf, “Submissions through the Secretary-General of the United Nations, to the Commission on the Limits of the Continental Shelf, pursuant to article 76, paragraph 8, of the United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982,” http://www.un.org/Depts/los/clcs_new/commission_submissions.htm diakses pada 17 Februari 2014.
2
Rezim landas…, Nikki Krisadtyo, FH UI, 2014
Berdasarkan pokok-pokok permasalahan tersebut, maka tujuan dari penulisan ini adalah: 1. Mengetahui perkembangan rezim Landas Kontinen Ekstensi. 2. Mengetahui pengaturan Landas Kontinen Ekstensi dalam hukum internasional. 3. Mengetahui penerapan Landas Kontinen Ekstensi di Indonesia. Tinjauan Teoritis Dalam penelitian ini terdapat beberapa istilah yang perlu terlebih dahulu diketahui dan dipahami maknanya. Beberapa istilah tersebut adalah sebagai berikut: 1. Landas kontinen: adalah kelanjutan alamiah dari teritori darat sebuah negara pantai yang mencakup dasar laut dan isi dari dasar laut.3 2. Garis pangkal: adalah garis yang digunakan untuk mengukur luas laut teritorial. Garis tersebut adalah garis pantai saat laut sedang surut. Garis pantai yang digunakan untuk laut teritorial juga merupakan garis yang digunakan untuk mengukur Landas Kontinen.4 3. Garis pangkal kepulauan: adalah garis yang digunakan untuk mengukur luas laut teritorial. Garis tersebut adalah garis yang menghubingkan titik-titik terluar pulau-pulau terluar.pantai saat laut sedang surut. Garis pantai yang digunakan untuk laut teritorial juga merupakan garis yang digunakan untuk mengukur Landas Kontinen.5 4. Tepi kontinen: meliputi kelanjutan bagian daratan negara pantai yang berada dibawah permukaan air, dan terdiri dari dasar laut dan tanah dibawahnya dari dataran kontinen, lereng (slope) dan tanjakan (rise). Tepian kontinen ini tidak
3
UNCLOS 1982, Pasal 76 ayat (1): “The continental shelf of a coastal State comprises the seabed and subsoil of the submarine areas that extend beyond its territorial sea throughout the natural prolongation of its land territory to the outer edge of the continental margin, or to a distance of 200 nautical miles from the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured where the outer edge of the continental margin does not extend up to that distance.” 4
UNCLOS 1982, Pasal 5: “Except where otherwise provided in this Convention, the normal baseline for measuring the breadth of the territorial sea is the low-water line along the coast as marked on large-scale charts officially recognized by the coastal State.”; Lihat UNCLOS 1982, Pasal 76 ayat (1) dan (5). 5
UNCLOS 1982, Pasal 5: “Except where otherwise provided in this Convention, the normal baseline for measuring the breadth of the territorial sea is the low-water line along the coast as marked on large-scale charts officially recognized by the coastal State.”; Lihat UNCLOS 1982, Pasal 76 ayat (1) dan (5).
3
Rezim landas…, Nikki Krisadtyo, FH UI, 2014
mencakup dasar samudera dalam dengan bukti-bukti samudera atau tanah di bawahnya.6 5. Tanjakan kontinen: adalah bagian dasar laut yang merupakan bagian dari tepi kontinen yang berada di antara lereng kontinen dan dasar samudera.7 6. Lereng kontinen: adalah bagian dasar laut yang merupakan bagian dari tepi kontinen yang berada di antara Landas Kontinen dan tanjakan kontinen.8 7. Kaki lereng kontinen: adalah, apabila tidak ada bukti sebaliknya, titik perubahan gradien terbesar di bawah laut. Kaki lereng kontinen adalah titik terbawah lereng kontinen sebelum kecuraman berkurang dengan besar. 8. Dasar samudera dalam: adalah permukaan di dasar samudera dalam dengan bukit-bukitnya di luar tepi kontinen.9 9. Isobath (garis kedalaman): adalah sebuah garis yang menggambarkan kontur horizontal dari dasar laut di suatu kedalaman.10 10. Bukit dasar laut: adalah sebuah bukit panjang di dasar laut, dengan topografi tidak menentu atau mulus dan bagian samping yang curam.11 11. Batu sedimen: adalah bebatuan yang terbentuk oleh konsolidasi sedimen yang telah membentuk lapisan-lapisan.12 12. Submisi parsial: adalah submisi suatu negara atas Landas Kontinennya yang masih belum lengkap karena di masa depan masih akan melakukan submisi untuk area lain. Metode Penelitian Untuk membedah isu mengenai Landas Kontinen Ekstensi, metode penelitian yang dipakai adalah sebagai berikut: Metode yang dipakai adalah penelitian hukum normatif (legal 6
Lihat UNCLOS 1982, Pasal 76 ayat (3).
7
International Oceanographic Commission, International Hydrographic Organization, International Association Of Geodesy, A Manual on Technical Aspects of the United Nations Convention on the Law of the Sea – 1982, ed. 4, (Monaco: International Hydrographic Bureau, 2006) hlm. Appendix 1-10. 8
Ibid.
9
International Oceanographic Commission, International Hydrographic Organization, International Association Of Geodesy, op. cit., hlm. Appendix 1-11 10
Ibid., hlm. Appendix 1-18.
11
Ibid., hlm. Appendix 1-27.
12
Ibid., hlm. Appendix 1-24.
4
Rezim landas…, Nikki Krisadtyo, FH UI, 2014
research) atau penelitian hukum kepustakaan, yakni penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.13 Tipologi penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah penelitian yang bersifat eksplanatoris dan analitis deskriptif, yaitu menjelaskan mengenai rezim Landas Kontinen Ekstensi. Dipandang dari bentuknya maka penelitian ini adalah penelitian preskriptif yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah tertentu. Jenis data yang dipakai adalah data primer, sekunder, dan tersier. Jenis data primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat, dalam hal ini adalah UNCLOS 1982, serta Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut).14 Untuk menjelaskan bahan hukum primer tersebut digunakan pula bahan hukum sekunder. Bahanbahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer.15 Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui bahan-bahan pustaka.16 berupa buku-buku, skripsi, tesis, disertasi dan artikel-artikel dari surat kabar dan internet. Terakhir, bahan hukum tersier adalah bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder berupa kamus Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, ataupun kamus-kamus istilah hukum, serta pedoman untuk penulisan juga digunakan.17
13
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3, (Jakarta: UI-Press, 1986), hal 52; Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2006), hal. 13-14; Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukm dan Jurimetri, cet. 4, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hal. 11. 14
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2006), hal 13; Morris L. Cohen dan Kent C. Olson, Legal Research in A Nutshell, (St. Paul, MN: West Publishing Co., 1992), hal. 3. 15
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukm dan Jurimetri, cet. 4, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hal 12; Morris L. Cohen dan Kent C. Olson, Legal Research in A Nutshell, (St. Paul, MN: West Publishing Co., 1992), hal. 6. 16
Sri Mamudji, et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 6; Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2006), hal. 24. 17
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukm dan Jurimetri, cet. 4, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hlm. 12.
5
Rezim landas…, Nikki Krisadtyo, FH UI, 2014
Hasil Penelitian Pada bagian ini penulis akan membahas mengenai hasil penelitian yang penulis dapat yang berkaitan dengan perkembangan rezim Landas Kontinen Ekstensi, pengaturan rezim Landas Kontinen Ekstensi dalam hukum internasional, dan penerapan rezim Landas Kontinen Ekstensi di Indonesia. Pada tahun 1945, Harry S. Truman—Presiden Amerika Serikat—membuat proklamasi yang sering disebut sebagai Proklamasi Truman. Pembukaan Proklamasi Truman menarik karena beberapa hal. Dalam paragraph pertama, disebutkan bahwa Amerika Serikat membutuhkan gas bumi dan kekayaan mineral lainnya yang terdapat di bawah tanah. Paragraf kedua menyebutkan bahwa kekayaan tersebut banyak terdapat dalam Landas Kontinen yang dalam masa dekat dapat diambil. Paragraf ketiga menyebutkan bahwa jurisdiksi diatas Landas Kontinen diperlukan untuk konservasi dan utilasi saat perkembangan dilakukan. Pembukaan Proklamasi Truman paragraf keempat menyebutkan bahwa klaim jurisdiksi atas Landas Kontinen adalah “reasonable” dan “just” karena beberapa hal, yaitu: (1) efektifitas dari utilasi atau konservasi kekayaan alam tersebut akan tergantung terhadap kerja sama dan perlindungan dari pantai, (2) landas kontinen dapat dianggap sebagai kelanjutan dari daratan negara pantai sehingga merupakan tambahan natural, (3) kekayaan alam tersebut sering merupakan kelanjutan alamiah dari sumber yang berada di teritori, dan (4) perlindungan sendiri memaksa negara pantai untuk terus mengawasi aktivitas di pantainya yang diperlukan untuk utilasi kekayaan alam tersebut.18 Proklamasi Truman merupakan percikan yang memancing negara-negara lain untuk mengklaim Landas Kontinen yang melampaui Laut Teritorial. Namun, sama seperti sebelum Proklamasi Truman, masih belum terdapat kodifikasi hukum mengenai Landas Kontinen dalam hukum internasional—hanya terdapat klaim-klaim individu masing-masing negara. Kodifikasi pertama dalam hukum internasional mengenai Landas Kontinen terjadi pada tahun 1958 saat PBB membuat Geneva Convention on the Continental Shelf 1958 (selanjutnya disebut “Konvensi Jenewa tentang Landas Kontinen 1958”). Permulaan dibentuknya Konvensi Jenewa tentang Landas Kontinen 1958 adalah dengan kodifikasi yang dilakukan International Law Commission (selanjutnya diseut “ILC”) yang kemudian dilanjutkan oleh United Nations Conference on the Law of the Sea I yang pada akhirnya
18
Proklamasi Harry S. Truman (Proklamasi Amerika Serikat no. 2667), Policy of the United States With Respect to the Natural Resources of the Subsoil and Sea Bed of the Continental Shelf, September 28, 1945.
6
Rezim landas…, Nikki Krisadtyo, FH UI, 2014
membuat Konvensi Jenewa tentang Landas Kontinen 1958. Konvensi Jenewa tentang Landas Kontinen 1958, sampai adanya UNCLOS 1982, diratifikasi oleh 58 negara. Konvensi Jenewa tentang Landas Kontinen 1958 memberikan definisi atas Landas Kontinen itu sendiri dan memberikan standar atas panjang dari Landas Kontinen, sesuai pengaturannya dalam Pasal 1 yang menyebutkan: “For the purpose of these articles, the term "continental shelf" is used as referring (a) to the seabed and subsoil of the submarine areas adjacent to the coast but outside the area of the territorial sea, to a depth of 200 metres or, beyond that limit, to where the depth of the superjacent waters admits of the exploitation of the natural resources of the said areas; (b) to the seabed and subsoil of similar submarine areas adjacent to the coasts of islands.” Dapat dilihat Konvensi Jenewa tentang Landas Kontinen 1958 menetapkan jarak Landas Kontinen pada kedalaman 200 meter atau sampai kedalaman dimana eksploitasi masih bisa dilakukan. Konvensi ini juga mengatur mengenai hak negara diatas Landas Kontinen, yaitu hak berdaulat untuk kepentingan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam.19 Hal penting lain yang diatur dalam konvensi ini adalah mengenai cara negara mendapatkan Landas Kontinen, dimana disini diatur hak atas Landas Kontinen tidak tergantung pada okupasi atau proklamasi, sehingga hak atas Landas Kontinen adalah melekat pada negara pantai.20 UNCLOS 1982 adalah kodifikasi terakhir mengenai hukum laut dalam hukum internasional. Pembuatan UNCLOS 1982 dimulai dengan United Nations Conference on the Law of the Sea III pada tahun 1974. Konvesi Hukum Laut adalah instrumen hukum pertama yang mengatur secara jelas mengenai Landas Kontinen Ekstensi. Per 29 Agustus 2013 terdapat 166 negara peserta UNCLOS 1982;21 hal ini menunjukkan sifat UNCLOS 1982 yang universal sekarang. Pengaturan mengenai Landas Kontinen terdapat dalam Part VI UNCLOS 1982 yang berjudul “Landas Kontinen”. Saat ini sudah ada banyak negara yang melakukan submisi kepada CLCS. Total sudah ada 59 negara yang mengajukan submisi kepada CLCS untuk mendapatkan rekomendasi penetapan batas Landas Kontinen Ekstensi. Dari total 59 negara tersebut, total submisi sudah diterima CLCS berjumlah 71 karena beberapa negara 19
Konvensi Jenewa tentang Landas Kontinen 1958, Pasal 2 ayat (1): “The coastal State exercises over the continental shelf sovereign rights for the purpose of exploring it and exploiting its natural resources.” 20
Konvensi Jenewa tentang Landas Kontinen 1958, Pasal 2 ayat (3): “The rights of the coastal State over the continental shelf do not depend on occupation, effective or notional, or on any express proclamation.” 21
Perserikatan Bangsa-Bangsa, “Chronological lists of ratifications of, accessions and successions to the Convention and the related Agreements as at 29 October 2013”, http://www.un.org/Depts/los/reference_files /chronological_lists_of_ratifications.htm, diakses pada 26 Maret 2014.
7
Rezim landas…, Nikki Krisadtyo, FH UI, 2014
mengajukan submisi lebih dari sekali dan/atau harus melakukan revisi atas submisinya yang lama.22 Dari 71 submisi tersebut, baru 18 yang diberikan rekomendasi oleh CLCS. Selanjutnya penulis akan membahas mengenai pengaturan Rezim Landas Kontinen Ekstensi dalam hukum internasional. Instrumen hukum internasional yang mengatur rezim tersebut adalah UNCLOS 1982, Annex II UNCLOS 1982 mengenai CLCS, dan Scientific and Technical Guidelines of the Commission on the Limits of the Continental Shelf (selanjutnya disebut “Pedoman Ilmiah dan Teknis CLCS”). UNCLOS 1982 mengatur bahwa Landas Kontinen negara pantai mencakup dasar laut dan isi yang melebihi Laut Teritorial sepanjang kelanjutan alamiah dari teritori daratnya sampai batas terluar continental margin (tepi kontinen),23 atau sampai jarak 200 mil laut dari garis pangkal dari mana lebar Laut Teritorial diukur dimana batas terluar dari pinggiran kontinen tidak sampai jarak tersebut.24 Selanjutnya, batas terluar pinggiran kontinen didefinisikan untuk meliputi kelanjutan alamiah daratan negara pantai yang tenggelam, dan terdiri dari dasar laut dan isi dari dasar laut, continental slope (lereng kontinen)25 dan continental rise (tanjakan kontinen)26 dan tidak termasuk dasar samudera dan isi dari dasar
22
Commission on the Limits of the Continental Shelf, “Submissions through the Secretary-General of the United Nations, to the Commission on the Limits of the Continental Shelf, pursuant to article 76, paragraph 8, of the United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982,” http://www.un.org/Depts/los/clcs_new/commission_submissions.htm, diakses pada 17 Februari 2014 23
International Oceanographic Commission, International Hydrographic Organization, International Association Of Geodesy, A Manual on Technical Aspects of the United Nations Convention on the Law of the Sea – 1982, ed. 4, (Monaco: International Hydrographic Bureau, 2006) hlm. Appendix 1-9: “As defined in Art. 76.3 as follows: "The continental margin comprises the submerged prolongation of the land mass of the coastal State, and consists of the sea-bed and subsoil of the shelf, the slope and the rise. It does not include the deep ocean floor with its oceanic ridges or the subsoil thereof". 24
UNCLOS 1982, Pasal 76 ayat (1): “The continental shelf of a coastal State comprises the seabed and subsoil of the submarine areas that extend beyond its territorial sea throughout the natural prolongation of its land territory to the outer edge of the continental margin, or to a distance of 200 nautical miles from the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured where the outer edge of the continental margin does not extend up to that distance.” 25
International Oceanographic Commission, International Hydrographic Organization, International Association Of Geodesy, op. cit., hlm. Appendix 1-10: “That part of the continental margin that lies between the shelf and the rise. Simply called the slope in Art. 76.3.” 26
Ibid.: “A submarine feature which is that part of the continental margin lying between the continental slope and the deep ocean floor; simply called the Rise in the Convention.”
8
Rezim landas…, Nikki Krisadtyo, FH UI, 2014
samudera.27 Dari sini dapat dilihat bahwa UNCLOS 1982 menggunakan dua definisi Landas Kontinen, yaitu pertama menggunakan ilmu geologis, kedua menggunakan jarak.28 Pasal 77 ayat (1) UNCLOS 1982 menyebutkan bahwa negara pantai menjalankan hak berdaulat di landas kontinen untuk tujuan mengeksplorasi dan mengekploitasi sumber kekayaan alamnya. “Hak berdaulat” diatas Landas Kontinen menandakan kontrol yang lebih kecil dibandingkan “kedaulatan penuh,” tetapi lebih besar dari pada hanya “jurisdiksi.”29 Hak berdaulat adalah seluruh hak yang dibutuhkan untuk dan terkait dengan eksploitasi Landas Kontinen termasuk jurisdiksi dengan hal yang berkaitan dengan pencegahan dan hukuman pelanggaran hukum negara pantai.30 Hak berdaulat atas Landas Kontinen adalah hak yang ekslusif. Oleh karena itu, tidak ada negara lain yang dapat melakukan eksploitasi dan eksplorasi tanpa persetujuan negara pantai yang bersangkutan.31 Hak suatu negara pantai atas Landas Kontinen tidak tergantung pada okupasi atau pada proklamasi apapun. Oleh karena itu, hak atas Landas Kontinen dianggap sebagai hak yang melekat atau inheren.32 Perbedaan utama Landas Kontinen yang berada di dalam 200 mil laut dengan Landas Kontinen Ekstensi adalah kewajiban melakukan pembayaran atau sumbangan dari eksploitasi sumber kekayaan non hayati landas kontinen di luar 200 mil laut kepada International Seabed Authority (selanjutnya disebut “ISA”). Hal ini karena Landas Kontinen Ekstensi negara pantai memperkecil kawasan dasar laut yang merupakan common heritage of mankind.33 Batas terluar Landas Kontinen Ekstensi ditentukan dengan menggunakan formula dan batasan yang terdapat dalam UNCLOS 1982. Formula pertama adalah Gardiner Formula atau 27
UNCLOS 1982, Pasal 76 ayat (3): “The continental margin comprises the submerged prolongation of the land mass of the coastal State, and consists of the seabed and subsoil of the shelf, the slope and the rise. It does not include the deep ocean floor with its oceanic ridges or the subsoil thereof.” 28
Sharveen Persand, A Practical Overview of Article 76 of the United Nations Convention on the Law of the Sea, (The United Nations - The Nippon Foundation of Japan Fellowship Programme:, 2005), hlm. 5. 29
Charlotte Breide, Phillip Saunders, Challenges to the UNCLOS Regime: National Legislation Which is Incompatible with International Law, (International Hydrographic Organization, 2008), hlm. 1. 30
International Law Commission, Yearbook of the International Law Commission 1956, Volume II,
hlm. 297. 31
Ibid; UNCLOS 1982, Pasal 77 ayat (2): “The rights referred to in paragraph 1 are exclusive in the sense that if the coastal State does not explore the continental shelf or exploit its natural resources, no one may undertake these activities without the express consent of the coastal State.” 32
Clive Schofield, I Made Andi Arsana, “Beyond the Limits?: Outer Continental Shelf Opportunities and Challenges in East and Southeast Asia”, Contemporary Southeast Asia, Vol. 31, No. 1 (April 2009), hlm. 31. 33
International Seabed Authority, “Implementation of Article 82 of the United Nations Convention on the Law of the Sea”, ISA Technical Study: No.12, (Kingston: International Seabed Authority, 2013, hlm. 2.
9
Rezim landas…, Nikki Krisadtyo, FH UI, 2014
Irish Formula yang menetapkan batas terluar tepian kontinen berdasarkan Pasal 76 ayat (4) huruf (a) butir (i) UNCLOS 1982. Pasal tersebut menyebutkan bahwa negara pantai menetapkan pinggiran luar tepian kontinen dengan menarik suatu garis dimana ketebalan batu endapan adalah paling sedikit 1% dari jarak terdekat antara titik tersebut dan kaki lereng kontinen. Formula kedua adalah Hedberg Formula yang merujuk pada pengaturan dalam Pasal 76 ayat (4) huruf (a) butir (ii) UNCLOS 1982. Pasal 76 ayat (4) huruf (a) butir (ii) UNCLOS 1982 mengatur bahwa negara pantai dapat menetapkan pinggiran luar tepian kontinen dengan menarik suatu garis dengan menunjuk pada titik-titik tetap yang tereltak tidak lebih dari 60 mil laut dari kaki lereng kontinen. Terhadap kedua formula ini ditetapkan batasan yang tidak dapat dilewatinya. Batasan tersebut sesuai pengaturan dalam Pasal 76 ayat (5) adalah jarak 350 mil laut terhitung dari garis pangkal atau garis kedalaman 2500 meter ditambah 100 mil laut. Annex II UNCLOS 1982 mengatur menenai CLCS. CLCS memiliki dua tugas, yaitu adalah untuk membuat rekomendasi untuk negara yang membuat submisi kepadanya dan memberikan masukan teknis dan ilmiah apabila diminta oleh negara yang hendak membuat submisi.34 Perlu dijelaskan bahwa CLCS bukan merupakan badan penyelesaian sengketa, sehingga ia tidak mengajudikasi submisi—ia adalah badan teknis yang kapasitasnya untuk evaluasi apakah ketentuan Landas Kontinen Ekstensi dalam Pasal 76 UNCLOS 1982 terpenuhi dalam penetapan batas terluarnya oleh suatu negara pantai.35 Terakhir, Pedoman Ilmiah dan Teknis CLCS. Pedoman Ilmiah dan Teknis CLCS adalah dasar bagi CLCS untuk membuat rekomendasi atas submisi dan berlaku sebagai arahan bagi negara pantai yang berniat untuk membuat submisi.36 Secara keseluruhan Pedoman Ilmiah dan Teknis CLCS memiliki 12 bab dan 4 annex. Pedoman Ilmiah dan Teknis CLCS lebih banyak membahas mengenai formula dan batas yang memperhatikan kontur dasar laut. Oleh karena itu, Pedoman Ilmiah dan Teknis tidak membahas secara mendalam mengenai Hedberg Formula dan batasan 350 mil laut yang penetapannya tidak memperhatikan kontur dasar laut. 34
Ted L. McDorman, “The Role of the Commission on the Limits of the Continental Shelf: A Technical Body in a Political World,” The International Journal of Marine and Coastal Law, Vol 17, No 3, (2002), hlm. 302; Annex II, Pasal 3 ayat (1). 35
Schofield, op.cit., hlm. 33.
36
Paulo Neves Coelho, What is the Commission on the Limits of the Continental Shelf?, (Monaco: l’Institut Océanographique, 2013), hlm. 2.
10
Rezim landas…, Nikki Krisadtyo, FH UI, 2014
Setelah membahas mengenai perkembangan rezim Landas Kontinen Ekstensi dan pengaturannya dalam hukum internasional. Selanjutnya penulis akan menjelaskan mengenai penerapannya dala peraturan perundang-undangan Indonesia serta di berbagai bagian Indonesia. Saat ini Indonesia tidak memiliki pengaturan tersendiri mengenai Landas Kontinen Ekstensi. Kendati demikian, Indonesia memiliki pengaturan secara general mengenai Landas Kontinen, dan rencana untuk memperbaharui pengaturan tersebut. Pengaturan mengenai Landas Kontinen di Indonesia terdapat dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia (selanjutnya disebut “UU Landas Kontinen”). Namun, sayangnya pengaturan tersebut sudah tidak konsisten lagi dengan hukum internasional saat ini dan tidak memiliki pengaturan mengenai Landas Kontinen Ekstensi. UU Landas Kontinen dibuat pada tahun 1973—lama sebelum UNCLOS 1982.37 UU Landas Kontinen dibuat secara konsisten dengan Konvensi Jenewa tentang Landas Kontinen 1958 yang sudah tidak berlaku lagi bagi Indonesia. Oleh karena itu, walaupun UU Landas Kontinen belum dicabut, UU Landas Kontinen tersebut sudah tidak terpakai lagi. Undang-Undang yang menjadi dasar hukum eksplorasi dan eksploitasi di Landas Kontinen—Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi—juga tidak mengatur mengenai Landas Kontinen Ekstensi. Selain itu, Undang-Undang No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara menyebutkan mengenai batasan-batasan Landas Kontinen, tetapi tidak menyebutkan formula-formulanya. Terakhir, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut) (selanjutnya disebut “UU Pengesahan UNCLOS 1982”) adalah dasar keberlakuan UNCLOS 1982 dan tentu rezim Landas Kontinen Ekstensi. Namun, UU Pengesahan UNCLOS 1982—seperti Undang-Undang Pengesahan lainnya—tidak memiliki pengaturan yang merinci, dimana rezim Landas Kontinen Ekstensi hanya dibahas sekilas dalam penjelasannya. Saat ini, Indonesia sedang dalam proses memperbaharui UU Landas Kontinen dan pada tahun 2011 dan 2012 telah membuat Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Undang-Undangnya sendiri tentang Landas Kontinen Indonesia yang baru. Di dalamnya sudah ada pengaturan mengenai Landas Kontinen Ekstensi yang sesuai dengan UNCLOS 1982. Selanjutnya penulis akan membahas mengenai penerapan rezim Landas Kontinen Ekstensi di berbagai daerah di Indonesia. Berdasarkan wawancara penulis dengan Tri 37
Suzette V. Suarez, The Outer Limits of the Continental Shelf: Legal Aspects of their Establishment, (Heidelberg: Springer, 2008), hlm. 39-40.
11
Rezim landas…, Nikki Krisadtyo, FH UI, 2014
Patmasari, Kepala Pusat Pemetaan Laut Badan Informasi Geospasial (selanjutnya disebut “BIG”), Indonesia telah melakukan kajian awal menggunakan desktop study yang menunjukkan potensi-potensi Landas Kontinen Ekstensi di Indonesia sejak awal dasawarsa lalu. Desktop study yang telah dilakukan, menunjukkan potensi pada tiga daerah di Indonesia: daerah barat laut Sumatera, daerah selatan Nusa Tenggara dan daerah utara Papua.38 Untuk Landas Kontinen Ekstensi di daerah barat laut Sumatera, pada 16 Juni 2008, Indonesia telah membuat submisi. Lalu pada tanggal 24 Maret 2009, Arif Havas Oegroseno membuat presentasi di hadapan CLCS.39 Akhirnya pada 28 Maret 2011, CLCS mengadopsi Recommendations of the Commission on the Limits of the Continental Shelf in regard to the submission made by Indonesia in respect of the area North West of Sumatra on 16 June 2008 dengan 11 suara mendukung, 2 suara tidak mendukung, dan 2 suara tidak voting. Selanjutnya rekomendasi ini diberikan kepada Pemerintah Republik Indonesia dan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.40 Untuk Landas Kontinen Ekstensi di daerah selatan Nusa Tenggara, selain desktop study yang diterangkan di atas, pada tahun 2008, BIG telah melakukan survei di bagian tersebut. Menurut Tri Patmasari, di masa mendatang survei tambahan kemungkinan masih perlu dilakukan lagi dan sekarang submisi untuk daerah selatan Nusa Tenggara tengah dipersiapkan.41 Untuk Landas Kontinen Ekstensi di daerah utara Papua, BIG juga telah melakukan survei sebanyak tiga kali, yaitu pada tahu 2008, 2013, dan—paling kini—pada tahun 2014. Survei dilakukan terutama di Eauripik Rise.42 Selain itu, Indonesia juga telah melakukan tindakan-tindakan diplomatis dengan negara-negara yang relevan untuk Landas Kontinen Ekstensi di daerah utara Papua. Negara yang relevan dengan Landas Kontinen Ekstensi di daerah tersebut adalah Papua New Guinea dan Micronesia. Kedua negara tersebut berbatasan dengan Indonesia. Pada tahun 2012, Indonesia bersama dengan Papua New Guinea dan 38
Wawancara dengan Tri Patmasari, Kepala Pusat Pemetaan Laut Badan Informasi Geospasial pada 9
Mei 2014. 39
Saat melakukan presentasi, Arif Havas Oegroseno adalah Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional, Kementerian Luar Negeri dan adalah ketua delegasi Indonesia untuk melakukan submisi CLCS. 40
Commission on the Limits of the Continental Shelf CLCS/70, Twenty-seveth session, hal. 3.
41
Wawancara dengan Tri Patmasari, Kepala Pusat Pemetaan Laut Badan Informasi Geospasial pada 9
Mei 2014. 42
Ibid.
12
Rezim landas…, Nikki Krisadtyo, FH UI, 2014
Micronesia telah melakukan pertemuan trilateral untuk membicarakan Landas Kontinen Ekstensi di daerah utara Papua. Dari fakta-fakta yang ada, terlihat bahwa persiapan Indonesia untuk submisi di daerah utara Papua sudah lebih matang dibandingkan dengan persiapan submisi di daerah selatan Nusa Tenggara. Menurut Tri Patmasari, diperkirakan pada akhir tahun 2014, submisi untuk utara Papua akan diajukan kepada CLCS. Untuk submisi tersebut, Indonesia membuka kemungkinan untuk membuat submisi secara bersama (joint submission).43 Berdasarkan wawancara penulis dengan Arif Havas Oegroseno, sampai saat ini eksplorasi dan eksploitasi masih belum dilakukan di atas Landas Kontinen Ekstensi di bagian berat laut Sumatera. Menurutnya hal ini karena beberapa hal: biaya yang tinggi dan tidak adanya dasar hukum untuk melakukannya.44 Selain itu, berdasarkan wawancara penulis dengan Tri Patmasari, hingga saat ini, Indonesia masih belum melakukan studi manfaat atau analisis manfaat untuk menentukan rencana utilisasi Landas Kontinen Ekstensi. Indonesia hingga sekarang juga belum pernah melakukan penelitian untuk mengetahui kandungan Landas Kontinen Ekstensi kita.45
Pembahasan Pada bagian ini penulis akan membahas permasalahan Landas Kontinen Ekstensi terhadap Indonesia. Permasalahan paling utama untuk penerapan rezim Landas Kontinen Ekstensi di Indonesia adalah tidak adanya dasar hukum yang kuat untuk penerapan rezim ini. UU Landas Kontinen saat ini pada dasarnya sudah tidak berlaku lagi, walaupun masih beum dicabut. UU Landas Kontinen dibuat lama sebelum UNCLOS 1982 dan masih menggunakan pemahaman dalam Konvensi Jenewa tentang Landas Kontinen 1958 yang sudah tidak berlaku lagi bagi Indonesia semenjak Indonesia menjadi peserta UNCLOS 1982. Undang-Undang lain yang mengatur mengenai Landas Kontinen adalah UU MIGAS. Namun, UU MIGAS pun tidak mengenali rezim Landas Kontinen Ekstensi dan hanya membahas mengenai Landas Kontinen. Selain UU Landas Kontinen dan UU MIGAS, Undang-Undang 43
Commission on the Limits of the Continental Shelf, CLCS/62, Twenty-third session, hlm 9.
44
Wawancara penulis dengan Arif Havas Oegroseno, Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional, Kementerian Luar Negeri dan ketua delegasi Indonesia untuk melakukan submisi CLCS, pada 20 Mei 2014. 45
Wawancara dengan Tri Patmasari, Kepala Pusat Pemetaan Laut Badan Informasi Geospasial pada 9
Juni 2014.
13
Rezim landas…, Nikki Krisadtyo, FH UI, 2014
yang membahas Landas Kontinen adalah UU Wilayah Negara. UU Wilayah Negara sedikit lebih aplikatif terhadap rezim Landas Kontinen Ekstensi karena di dalam definisi Landas Kontinen, UU Wilayah Negara menyebutkan adanya kemungkinan memperpanjang Landas Kontinen hingga 350 mil laut terhitung dari garis pangkal atau 100 mil laut terhitung dari garis kedalaman 2500 meter. Namun, UU Wilayah Negara juga bermasalah. Apabila UU Wilayah Negara dibaca sendiri, seakan-akan Indonesia dapat memperpanjang Landas Kontinennya sampai batas maksimum tanpa proses apapun. Hal ini diperburuk lagi dengan ketentuan dalam UU Wilayah Negara yang menyatakan bahwa penetapan batas Landas Kontinen dapat dilakukan secara unilateral saja. Walaupun UU Wilayah Negara menyebutkan bahwa penetapan tersebut dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan dan hukum internasional, tetapi ketentuan itu sendiri tidak sesuai dengan UNCLOS 1982 yang mengharuskan adanya proses melalui CLCS. Keberlakuan rezim Landas Kontinen Ekstensi terkuat di Indonesia adalah UU Pengesahan UNCLOS 1982. Namun, layaknya UndangUndang Pengesahan lainnya, batang tubuh UU Pengesahan UNCLOS 1982 hanya terdiri atas dua Pasal. Rezim Landas Kontinen Ekstensi disebut dalam Penjelasannya, walaupun tidak secara merinci. Tidak adanya dasar hukum yang kuat untuk penerapan rezim Landas Kontinen Ekstensi di Indonesia berakibat pada beberapa hal. Pertama adalah hak dan kewajiban Indonesia di atas Landas Kontinen Ekstensi yang tidak jelas berdasarkan hukum nasional. Secara garis besar hak di atas Landas Kontinen di dalam 200 mil laut dan Landas Kontinen Ekstensi tidak jauh berbeda. Namun, terdapat beberapa perbedaan signifikan yang membuat diperlukannya dasar hukum yang kuat. Rezim kolom air di atas Landas Kontinen di dalam 200 mil laut adalah ZEE. Namun, rezim kolom air di atas Landas Kontinen Ekstensi adalah laut bebas. Laut bebas adalah warisan bersama umat manusia, sehingga penerapan hak Indonesia di atas Landas Kontinen Ekstensi berbeda. Selain hak yang berbeda, kewajiban Indonesia di atas Landas Kontinen Ekstensi berbeda pula. Dimana di atas Landas Kontinen di dalam 200 mil laut Indonesia tidak memiliki kewajiban apapun terhadap komunitas internasional, di atas Landas Kontinen Ekstensi, Indonesia memiliki kewajiban melakukan pembayaran kepada ISA. Hal ini tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan kita. Kedua—selain hak dan kewajiban—tidak adanya dasar hukum yang kuat berarti bahwa Indonesia tidak memiliki mandat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi di atas Landas Kontinen Ekstensi. Hal ini dipandang Arif Havas Oegroseno sebagai salah satu alasan utama—selain biaya yang tinggi—mengapa Indonesia belum memulai eksplorasi dan eksploitasi di Landas Kontinen Ekstensi. 14
Rezim landas…, Nikki Krisadtyo, FH UI, 2014
Selain permasalahan tidak adanya dasar hukum yang kuat untuk penerapan rezim Landas
Kontinen
Ekstensi,
permasalahan
lain
adalah
tidak
dilakukannya
studi
manfaat/analisis manfaat sebelum Indonesia melakukan submisinya kepada CLCS. Hal ini berarti Indonesia membuat submisi tanpa mengetahui keuntungan apa yang akan didapat ketika submisi tersebut disetujui CLCS. Hal ini juga berarti bahwa sebelum melakukan submisi, Indonesia tidak memiliki rencana utilisasi Landas Kontinen Ekstensi. Arif Havas Oegroseno memberikan pendapat bahwa Indonesia tidak melakukan eksplorasi dan eksploitasi karena alasan tidak adanya dasar hukum dan tingginya biaya. Walaupun hal itu benar, tetapi—berdasarkan pendapat Tri Patmasari—Indonesia tidak melakukan eksplorasi dan eksploitasi bahkan karena memang tidak adanya rencana utilisasi sejak dini. Selanjutnya penulis akan membahas mengenai pengaturan rezim Landas Kontinen Ekstensi dalam hukum internasional. Instrumen yang terait adalah UNCLOS 1982, dan Annex II mengenai CLCS, serta Pedoman Ilmiah dan Teknis CLCS.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dijabarkan dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Perkembangan rezim Landas Kontinen Ekstensi berasal dari munculnya rezim Landas Kontinen. Rezim Landas Kontinen pada awalnya muncul dari praktek beberapa negara yang melakukan klaim terhadap dasar laut dan isinya yang berada di luar laut teritorialnya. Pada tahun 1945 Presiden Amerika Serikat—Harry S. Truman—membuat proklamasi yang menjadi dasar rezim Landas Kontinen modern. Proklamasi tersebut menyebutkan hal-hal yang hingga sekarang masih diakui seperti konsep natural prolongation (kelanjutan alamiah), bentuk hak berupa hak berdaulat untuk eksplorasi dan eksploitasi di Landas Kontinen, ketidakberpengaruhan Landas Kontinen terhadap kolom air dan kebebasan navigasi, dan lain-lain. Proklamasi Truman mendorong banyak negara untuk melakukan proklamasi yang sama. Konvensi Jenewa tentang Landas Kontinen 1958 menentukan panjang Landas Kontinen sampai kedalaman 200 meter atau sampai batas eksploitabilitas. Sampai titik ini, hukum nasional maupun internasional masih belum memiliki rezim Landas Kontinen Ekstensi. Rezim Landas Kontinen Ekstensi disetujui oleh United Nations Conference on the Law of the Sea III setelah dicapainya sebuah kompromi antara negara-negara pantai dan negara-negara tidak berpantai dan negara yang negara yang secara geografis tak beruntung. 15
Rezim landas…, Nikki Krisadtyo, FH UI, 2014
Kompromi tersebut adalah negara pantai dapat memperpanjang Landas Kontinennya melampaui 200 mil laut, dengan catatan harus memberikan bayaran atau sumbangan kepada ISA. UNCLOS 1982 memandatkan pembentukan CLCS. Tugas CLCS adalah untuk membuat rekomendasi untuk negara yang membuat submisi kepadanya dan memberikan masukan teknis dan ilmiah apabila diminta oleh negara yang hendak membuat submisi. Penetapan batas Landas Kontinen Ekstensi berdasarkan rekomendasi tersebut adalah final dan mengikat. Dewasa ini, banyak negara yang melakukan submisi kepada CLCS. Tepatnya sudah ada 59 negara yang melakukan submisi. Dari total 59 negara tersebut, total submisi sudah diterima CLCS berjumlah 71 karena beberapa negara mengajukan submisi lebih dari sekali dan/atau harus melakukan revisi atas submisinya yang lama. Dari 71 submisi tersebut, baru 18 yang diberikan rekomendasi oleh CLCS. 2. Pengaturan rezim Landas Kontinen Ekstensi dalam hukum internasional terkodifikasi dalam UNCLOS 1982. Selain itu, CLCS juga mengeluarkan Pedoman Ilmiah dan Teknis CLCS yang mengatur rezim Landas Kontinen Ekstensi secara lebih merinci. Negara pantai memiliki hak berdaulat untuk kepentingan eksplorasi dan eksploitasi atas Landas Kontinennya. Hak ini bersifat ekslusif dan tidak tergantung pada okupasi atau proklamasi. Hak negara pantai di atas Landas Kontinen di dalam 200 mil laut dan di luar 200 mil laut berbeda. Perbedaannya terletak pada kewajiban membayar atau memberikan sumbangan kepada ISA untuk keuntungan di Landas Kontinen Ekstensi. Batas terluar Landas Kontinen sudah sangat jelas—yaitu 200 mil laut dari garis pangkal. Batas terluar Landas Kontinen Ekstensi lebih rumit. Penetapan batas terluar Landas Kontinen Ekstensi sangat teknis. Pertama, negara pantai harus menetapakan kaki lereng kontinen yang merupakan titik di dasar laut dimana perubahan gradien terbesar terjadi. Kedua, berdasarkan titik-titik kaki lereng kontinen, negara pantai dapat menggunakan dua formula secara alternatif untuk menentukan kelanjutan alamiahnya. Formula pertama disebut Gardiner Formula/Irish Formula yang menetapkan batas kelanjutan alamiah dengan menarik suatu garis dimana ketebalan batu endapan adalah paling sedikit 1% dari jarak terdekat antara titik tersebut dan kaki lereng kontinen. Formula kedua disebut Hedberg Formula yang menetapkan batas kelanjutan alamiah pada titik 60 mil laut dari kaki lereng kontinen. Terhadap dua formula tersebut, UNCLOS 1982 memberikan dua batasan secara alternatif berdasarkan panjang dan kedalaman air. Batasan pertama adalah panjang 350 mil laut yang dihitung dari garis pangkal dan batasan kedua adalah 100 mil laut dari garis kedalaman 2500 meter.
16
Rezim landas…, Nikki Krisadtyo, FH UI, 2014
Annex II dalam UNCLOS 1982 mengatur mengenai CLCS. Berdasarkan Annex II, tugas CLCS adalah untuk membuat rekomendasi untuk negara yang membuat submisi kepadanya dan memberikan masukan teknis dan ilmiah apabila diminta oleh negara yang hendak membuat submisi. CLCS adalah sebuah badan teknis yang tidak berwenang untuk menyelesaikan sengketa antara negara mengenai Landas Kontinen Ekstensi. Annex II menetapkan batas bagi negara pantai untuk membuat submisi dalam waktu 10 tahun setelah mulai berlakunya Konvensi ini untuk negara tersebut. Pada akhirnya, CLCS membuat keputusan yang menyatakan bahwa dalam hal UNCLOS 1982 berlaku bagi suatu negara sebelum 13 May 1999, batas 10 tahun dalam Annex II dianggap mulai berlaku sejak 13 May 1999. 3. Indonesia saat ini sudah melakukan submisi Landas Kontinen Ekstensi. Namun, saat ini Indonesia masih belum memiliki dasar hukum yang kuat untuk pelaksanaan dan penerapan rezim Landas Kontinen Ekstensi. Peraturan perundang-undangan mengenai Landas Kontinen yang ada masih berasal dari tahun 1973—lama sebelum dibuatnya UNCLOS 1982. Dua undang-undang lain yang menyebutkan Landas Kontinen—UU MIGAS dan UU Wilayah Negara—tidak mengatur secara merinci mengenai Landas Kontinen, apa lagi mengenai Landas Kontinen Ekstensi. Dasar rezim Landas Kontinen Ekstensi di Indonesia adalah UNCLOS 1982 yang telah diratifikasi dengan UU Pengesahan UNCLOS 1982. Saat ini Indonesia sedang dalam proses membuat Undang-Undang Landas Kontinen Indonesia yang baru. Hingga saat ini, Indonesia telah membuat dua Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Landas Kontine Indonesia dimana di dalam kedua Naskah Akademik tersebut, rezim Landas Kontinen Ekstensi menjadi pokok pembahasan. Rezim Landas Kontinen Ekstensi menjadi salah satu pokok pembahasan dan Indonesia sendiri sudah menerapkan rezim tersebut dengan membuat submisi Landas Kontinen Ekstensi kepada CLCS. Melihat pengaturan yang ada saat ini mengenai Landas Kontinen Ekstensi yang hampir tidak ada, dapat disimpulkan bahwa untuk kepentingan submisi, Indonesia langsung melandaskannya pada UNCLOS 1982 karena tidak ada instrumen nasional apa pun yang memandatkan pembuatan submisi. Sebelum membuat submisi, Indonesia membuat desktop study dimana terlihat Indonesia memiliki potensi untuk memperpanjang Landas Kontinen pada tiga area di Indonesia—barat laut Sumatera, selatan Nusa Tenggara, dan utara Papua. Indonesia telah melakukan submisi parsial untuk Landas Kontinen Ekstensi di barat laut Sumatera dan CLCS telah memberikan rekomendasi yang menyetujui submisi ini. Untuk bagian selatan Nusa
17
Rezim landas…, Nikki Krisadtyo, FH UI, 2014
Tenggara dan utara Papua, submisi masih disiapkan dengan yang belakangan ini kemungkinan akan diajukan tahun ini. Eksplorasi dan eksploitasi di Landas Kontinen Ekstensi hingga saat ini masih belum dilakukan. Beberapa alasannya adalah karena biaya yang tinggi dan tidak adanya dasar hukum untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi di Landas Kontinen Ekstensi. Namun, selain itu alasan utama tidak dilakukannya eksplorasi dan eksploitasi di Landas Kontinen Ekstensi adalah karena tidak adanya rencana sejak awal oleh Indonesia untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi di Landas Kontinen Ekstensi akibat tidak dilakukannya studi manfaat/analisis manfaat. Saran Melihat penerapan rezim Landas Kontinen Ekstensi di Indonesia, penulis menawarkan dua saran. Pertama adalah perlu adanya dasar hukum nasional yang kuat untuk penerapan rezim Landas Kontinen Ekstensi di Indonesia. Dalam UU Landas Kontinen yang kelak akan diperbaharui, sebaiknya memuat ketentuan mengenai Landas Kontinen Ekstensi sesuai UNCLOS 1982. Selain UU Landas Kontinen yang baru, sebaiknya ada aturan pelaksanaanya yang bersifat implementatif untuk eksplorasi dan eksploitasi di atas Landas Kontinen Ekstensi. Kedua adalah perlu adanya studi manfaat/analisis manfaat untuk Landas Kontinen Ekstensi baik di barat laut Sumatera yang telah direkomendasikan oleh CLCS, maupun di selatan Nusa Tenggara dan utara Papua untuk mengetahui manfaat Landas Kontinen Ekstensi di kemudian hari, sehingga ketika submisi kita disetujui CLCS, Indonesia sudah memiliki rencana utilisasi Landas Kontinen Ekstensi yang baik.
Daftar Referensi Perjanjian Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa. Geneva Convention on the Continental Shelf, 1958. Perserikatan Bangsa-Bangsa. United Nations Convention on the Law of the Sea, 1982. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut). Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. 18
Rezim landas…, Nikki Krisadtyo, FH UI, 2014
Peraturan Lainnya Proklamasi Harry S. Truman. (Proklamasi Amerika Serikat no. 2667), Policy of the United States With Respect to the Natural Resources of the Subsoil and Sea Bed of the Continental Shelf, September 28, 1945 Commission on the Limits of the Continental Shelf. Scientific and Technical Guidelines of the Commission on the Limits of the Continental Shelf, 1999. Buku Churchill, R. R. and A. V. Lowe. The Law of the Sea. Ed. 3. Manchester: Manchester University Press, 1999. Cohen, Morris L. and Kent C. Olson. Legal Research in A Nutshell. St. Paul, MN: West Publishing Co., 1992. International Oceanographic Commission, International Hydrographic Organization and International Association Of Geodesy. A Manual on Technical Aspects of the United Nations Convention on the Law of the Sea – 1982, ed. 4. Monaco: International Hydrographic Bureau, 2006 Persand, Sharveen. A Practical Overview of Article 76 of the United Nations Convention on the Law of the Sea. The United Nations - The Nippon Foundation of Japan Fellowship Programme:, 2005. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3. Jakarta: UI-Press, 1986. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2006. Soemitro, Ronny Hanitijo. Metodologi Penelitian Hukm dan Jurimetri, cet. 4. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990. Suarez, Suzette V. The Outer Limits of the Continental Shelf: Legal Aspects of their Establishment. Heidelberg: Springer, 2008. Jurnal dan Artikel Breide, Charlotte and Phillip Saunders. “Challenges to the UNCLOS Regime: National Legislation Which is Incompatible with International Law” dalam International Hydrographic Organization, (2008). Coelho, Paulo Neves. “What is the Commission on the Limits of the Continental Shelf?” dalam Monaco: l’Institut Océanographique, (2013). International Law Commission. “Yearbook of the International Law Commission 1956” dalam ILC Volume II, (1956). International Seabed Authority. “Implementation of Article 82 of the United Nations Convention on the Law of the Sea” dalam ISA Technical Study: No.12, (2013).
19
Rezim landas…, Nikki Krisadtyo, FH UI, 2014
McDorman, Ted L. “The Role of the Commission on the Limits of the Continental Shelf: A Technical Body in a Political World” dalam The International Journal of Marine and Coastal Law, Vol 17, No 3, (2002). Schofield, Clive and I Made Andi Arsana. “Beyond the Limits?: Outer Continental Shelf Opportunities and Challenges in East and Southeast Asia” dalam Contemporary Southeast Asia, Vol. 31, No. 1, (2009). Dokumen Commission on the Limits of the Continental Shelf. CLCS/62. Twenty-third session. Commission on the Limits of the Continental Shelf. CLCS/70. Twenty-seveth session. Laman Web Commission on the Limits of the Continental Shelf. “Submissions through the SecretaryGeneral of the United Nations, to the Commission on the Limits of the Continental Shelf, pursuant to article 76, paragraph 8, of the United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982.” http://www.un.org/Depts/los/clcs_new/commission_submissions.htm. Diunduh pada 17 Februari 2014 Perserikatan Bangsa-Bangsa. “Chronological lists of ratifications of, accessions and successions to the Convention and the related Agreements as at 29 October 2013.” http://www.un.org/Depts/los/reference_files /chronological_lists_of_ratifications.htm, diakses pada 26 Maret 2014.
20
Rezim landas…, Nikki Krisadtyo, FH UI, 2014