Prosiding Seminar Nasional
Pendidikan Guru Sekolah Dasar Dalam rangka Dies Natalis ke -61 Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta dan memperingati Hari Pendidikan Nasional
Revolusi Mental: Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah Dasar Hak Cipta Dilindungi Undang-undang Copyright @2016 ISBN: 978-602-71993-7-8
Penyunting: Siti Anafiah, M. Pd Ayu Rahayu, M. Pd Nelly Rhosyida, M. Pd Octavian Muning Sayekti, M. Pd Trisniawati, M. Pd Desain Layout: Biya Ebi Praheto, M. Pd Diterbitkan oleh:
Alamat Penerbit: Perum Soditan Permai Blok A No. 11 Soditan, Gumpang Kartasura, Surakarta 57161 HP: 08164274703, E_mail:
[email protected]
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
i
KATA PENGANTAR Salam dan Bahagia Puji dan Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karuniaNya sehingga dapat terselenggara seminar hari ini, 28 Mei 2016. Pelaksanaan seminar ini dalam rangka Dies Natalis UST ke-61 dan memperingati Hari Pendidikan Nasional. Kami ucapkan selamat datang kepada seluruh peserta dalam seminar nasional dengan tema “REVOLUSI MENTAL: Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah Dasar”. Pemilihan tema ini karena pendidikan budi pekerti selama ini masih berupa wacana. Banyak kasus-kasus penyimpangan sosial yang terjadi pada masyarakat. Oleh karena itu pendidikan budi pekerti menjadi suatu hal yang mendesak untuk diterapkan di segala aspek kehidupan salah satunya memalui bidang pendidikan. Kegiatan ilmiah ini akan memberikan nilai kebermanfaatan, baik bagi mahasiswa, alumni, guru, dosen, seluruh peserta seminar nasional, dan masyarakat pada umumnya. Kegiatan ini bekerjasama dengan ADOBSI dan diharapkan dapat dijadikan sebagai wadah untuk menjalin silaturahim ilmiah seluruh civitas akademika di seluruh Indonesia. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Prof. Darmiyati Zuchdi, Ed.D. (Pakar Pendidikan-Guru Besar UNY), Dr. Muhammad Rohmadi, M. Hum. (Ketua Asosiasi Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia), dan para pemakalah seminar. Kepada seluruh peserta kami ucapkan selamat bersilaturahim dan selamat berseminar semoga sukses dan bermanfaat untuk kemaslahatan umat. Atas nama panitia, mohon maaf atas segala kekurangan dalam melayani seluruh peserta seminar dan mohon maaf apabila dalam penyusunan prosiding masih banyak terdapat kekurangan. Semoga prosiding ini dapat bermanfaat. Hanya ucapan terima kasih yang dapat kami sampaikan sebagai wujud apresiasi positif kepada seluruh peserta dan pemakalah pendamping. Selain itu, panitia juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh panitia keluarga besar PGSD UST yang telah dengan ihklas menyiapkan segalanya, sejak persiapan, pelaksanaan, dan tindak lanjut kegiatan seminar ini. Salam Yogyakarta, 28 Mei 2016 Redaksi
ii
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
DAFTAR ISI Makalah Utama Membangun Budi Pekerti Luhur melalui Budaya Sekolah Prof. Darmiyati Zuchdi, Ed. D.
1 - 15
Strategi Pembentukan Budi Pekerti bagi Guru dan Dosen untuk Melahirkan Generasi Emas Indonesia Berbasis Revolusi Mental Dr. Muhammad Rohmadi, M. Hum.
16 - 24
Makalah Pendamping Implementasi Pembelajaran Dongeng dalam Membangun Pendidikan Budi Pekerti dan Kecerdasan Emosional Siswa Sekolah Dasar Adenasry Avereus Rahman
25 - 30
Pembelajaran Tematik Membangun Pendidikan Budi Pekerti Siswa Kelas Rendah Sekolah Dasar Arifah Nian Ekasari
31 - 37
Penanaman Budi Pekerti Siswa Melalui Pelajaran Bahasa Jawa Di Sekolah Dasar Biya Ebi Praheto
38 - 48
Membangun Budi Pekerti Siswa Melalui Pembiasaan Penggunaan Bahasa ‘Jawa’ Di Sekolah Dasar Devy Riri Yuliyani
49 - 53
Penggunaan Lirik Lagu Anak-Anak sebagai Media Pembangun Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah Dasar Dintya Ayu Purika
54 - 59
Implementasi Pendidikan Karakter melalui Budaya Sekolah Di SD Dwi Wijayanti
60 - 74
Cerita Anak sebagai Media Pembangun Pendidikan Budi Pekerti Peserta Didik Sekolah Dasar Febriancy Ayu Valda Ciptani
75 - 89
Pengembangan Sekolah Berbudaya Lingkungan dalam Membentuk Budi Pekerti Siswa Fitri Nurmawati
90 - 94
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
iii
Nilai-Nilai Filosofis Jawa pada Permainan Tradisional di Wilayah Yogyakarta Galih Prabaswara Paripurno; Retno Setya Putri
95 - 106
Membangun Budi Pekerti Anak Sekolah Dasar melalui Budaya Peduli Gita Yuliani
107 - 112
Implementasi Pembelajaran PKn dengan Model Value Clarification Technique (VCT) dalam Membentuk Budi Pekerti Siswa Harry Irawan
113 - 120
Budaya Sekolah sebagai Wahana Perkembangan Kognitif Siswa di Sekolah Dasar Hatta Setiawan
121 - 124
Membangun Pendidikan Karakter melalui Permainan Tradisional Congklak (Dakon Pintar) Iisrohli Irawati; Tini; Samingan; Agnes Srimulat
125 - 133
Pembentukan Budi Pekerti Anak melalui Internalisasi Nilai pada Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di Sekolah Dasar Imam Alfikri Pratama
134 - 140
Pembelajaran Sains dengan Siklus Belajar Do-Talk-Do sebagai Upaya Pembentukan Budi Pekerti Siswa Jan Pieter
141 - 151
Peran Budaya Sekolah dalam Mewujudkan Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar Kristi Wardani
152 - 158
Implementasi Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah Dasar untuk Mengantisipasi Demoralisasi Bangsa Kriswantoro; Arman Efendi
159 - 170
Revolusi Mental melalui Pengembangan Budaya Sekolah Berbasis Modal Sosial di Sekolah Dasar Kurotul Aeni
171 - 181
Nilai Pendidikan Karakter Cerita Rakyat Putri Junjung Buih Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat Lizawati; Oldi
182 - 191
Implementasi Pembelajaran Tematik Dalam Membangun Budi Pekerti Di Sekolah Dasar Lusy Febia Yaomul Istar
192 - 197
iv
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
Pembinaan Budaya Sekolah Dalam Rangka Membangun Budi Pekerti Di Sekolah Dasar Maya Kartika Sari
198 - 205
Urgensi Pengembangan Buku Dongeng Berbasis Sainsmatika untuk Menanamkan Nilai-Nilai Karakter pada Siswa Sekolah Dasar Muhammad Nur Wangid; Ali Mustad; Agnestasia Ramadani P; Imroatun Nur Hidayah; Nur Luthfi Rizqa Herianingtyas; Tri Mulyani
206 - 216
Aplikasi Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar Nursaptini; Lale Aprihatin Diana Safitri
217 - 228
Nilai Pendidikan dalam Teks Drama yang Disajikan pada Buku Ajar Bahasa Indonesia Kelas 6 Sekolah Dasar Octavian Muning Sayekti
229 - 235
Strategi Pelaksanaan Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah Dasar dalam Membangun Karakter Peserta Didik Pratiwi Wulan Gustianingrum
236 - 239
Membangun Karakter Siswa Sekolah Dasar melalui Peringatan Hari Kartini Putri Zudhah Ferryka
240 - 248
Pembelajaran IPA Menumbuhkan Karakter Siswa Putu Victoria M. Risamasu
249 - 259
Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai Sarana Membangun Karakter Generasi Muda Penerus Bangsa Rini Agustina
260 - 266
Upaya Mengembangkan Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah Dasar melalui Pengoptimalan Konsep Tripusat Pendidikan Rista Ayu Mawarti
267 - 272
Implementasi Kompetensi Inti Sikap Spiritual (KI-1) di Sekolah Dasar Negeri Kota Yogyakarta Siti Aminah; Rizaldi
273 - 281
Sastra Anak sebagai Media Penanaman Pendidikan Karakter Siti Anafiah
282 - 288
Integrasi Pendidikan Nilai dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar sebagai Upaya Membentuk Moral Siswa Try Hariadi
289 - 295
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
v
Tantangan Pendidikan Dasar di Era Posmoderenisme Yoga Adi Pratama
296 - 303
Peran Etnomatematika Dalam Membangun Karakter Siswa Sekolah Dasar Zainnur Wijayanto
304 - 313
vi
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
MEMBANGUN BUDIPEKERTI LUHUR MELALUI BUDAYA SEKOLAH* Prof. Darmiyati Zuchdi, Ed. D. Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta *Makalah diprensentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Guru Sekolah Dasar dalam Rangka Dies Natalis UST ke-61 dan Memperingati Hari Pendidikan Nasional pada 28 Mei 2016 di Yogyakarta. 1. Pendahuluan Makna pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara adalah “daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budipekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran
(intellect),
dan tubuh anak (Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa disingkat MLPT, 2013: 14). Ketiga ranah ini tidak boleh dipisah-pisahkan agar dapat memajukan kesempurnaan hidup selaras dengan dunianya. Pendidikan nasional (Indonesia) berlandaskan budaya nasional dan untuk membangun “perikehidupan yang dapat mengangkat derajat negara dan rakyatnya, agar dapat bekerja bersama-sama dengan bangsa lain untuk kemuliaan segenap manusia” seluruh dunia (MLPT, 2013: 15). Kutipan ini menunjukkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah terwujudnya bangsa yang unggul, yang memiliki kemandirian sekaligus memiliki kebiasaan hidup bersinergi dengan bangsa-bangsa lain. Menurut Covey (1990: 53), dua kebiasaan ini yang pertama disebut independence (kemandirian/kemerdekaan),
yang
kedua
disebut
interdependence
(kesaling-tergantungan/kesinergisan). Dua kualitas kehidupan inilah yang seharusnya benar-benar kita sadari bersama sebagai tujuan pendidikan yang perlu dijadikan fokus agar predikat sebagai negara maju dapat tercapai. Untuk konteks masyarakat Indonesia, perlu dilengkapi dengan kualitas keimanan sebagai sumber integritas diri dan bangsa. Khusus mengenai pendidikan budipekerti sebagai salah satu aspek pendidikan nasional, Ki Hadjar Dewantara menyatakan “harus selaras dengan jiwa kebangsaan, menuju kepada kesucian, ketertiban, dan kedamaian lahir batin, sesuai dengan hal-hal yang sudah kita miliki dan sesuai dengan zaman baru yang sesuai dengan maksud dan tujuan bangsa Indonesia” (MLPT, 2013: 15). Pernyataan ini dapat kita maknai bahwa pendidikan budi pekerti mengandung nilai-nilai yang seharusnya menjadi dasar
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
1
kehidupan bangsa Indonesia, yaitu: “kebangsaan” (bangga dan memiliki jati diri, serta mensyukuri
sebagai bangsa Indonesia), “kesucian” (karena manusia dilahirkan
dalam keadaan fitri yang harus selalu dijaga), “ketertiban” (tanpa ketertiban, tidak mungkin suatu tujuan dapat tercapai), dan “kedamaian lahir batin”(kebahagiaan disebabkan terpenuhinya kebutuhan jasmani dan rohani, yang terutama berupa keimanan; dengan kata lain kebahagiaan dunia dan akhirat). 2. Pendidikan Budipekerti dan Pendidikan Karakter Pendidikan budipekerti yang merupakan gagasan Ki Hadjar Dewantara dan pendidikan karakter yang merupakan salah satu dari tujuh lingkup pembangunan karakter bangsa 2010-2025 yang bertujuan untuk
mewujudkan nilai-nilai Pancasila
dalam kehidupan (Pemerintah RI, 2010: 5-6)
memiliki banyak persamaan.
Pendidikan karakter memang menggunakan referensi hasil karya Ki Hadjar Dewantara, di samping referensi-referensi masa kini. “Budipekerti,
watak, atau karakter
adalah bersatunya gerak, perasaan, dan
kehendak atau kemauan, yang lalu menimbulkan tenaga (untuk bertindak). Pendidikan budipekerti bertujuan untuk mendorong subjek didik memiliki kecerdasan budipekerti, senantiasa
memikir-mikirkan
dan
merasa-rasakan
serta
selalu
menggunakan
dasar-dasar yang pasti dan tetap (dalam bertindak)” ( MLPT, 2013: 25). Selaras dengan pandangan ini, Lickona
secara terperinci menyajikan komponen karakter yang baik.
Karakter dapat diartikan sebagai ciri-ciri khusus seseorang atau suatu komunitas, sehingga dapat dibedakan antara orang yang satu dengan yang lain atau suatu bangsa dengan bangsa yang lain.
Menurut Lickona (1992: 51), “karakter” terdiri atas
nilai-nilai yang diketahui, diyakini, dan
dilakukan, sehingga karakter seseorang
terdiri atas tiga komponen yang saling berhubungan yaitu pengetahuan moral (moral knowing), perasaan moral (moral feeling) dan perilaku moral (moral action). Karakter seseorang dikatakan baik apabila pada dirinya terdapat “knowing the good, desiring the good, and doing the good--habits of the mind, habits of the heart, and habits of action”.
2
Hubungan tiga komponen tersebut digambarkan sebagai berikut:
Prof. Darmiyati Zuchdi, Ed. D. , Membangun Budi Pekerti
1. 2. 3. 4. 5. 6.
MORAL KNOWING Moral awareness Knowing moral values Perspective-taking Moral reasoning Decision-making Self-knowledge
1. 2. 3. 4. 5. 6.
MORAL FEELING Conscience Self-esteem Empathy Loving the good Self-control Humility
MORAL ACTION 1. Competence 2. Will 3. Habit
Gambar 1. Components of good character (Lickona, 1992: 53) Gambar di atas menjelaskan bahwa masing-masing komponen saling berhubungan satu sama lain. Setiap komponen menempati ranah (domain) psikologis tertentu dalam pribadi seseorang.
Moral knowing berada pada ranah kognitif, terdiri
atas aspek: 1) kesadaran moral (moral awareness), 2) pengetahuan nilai moral (knowing moral values), 3) cara pandang (perspective taking), 4) penalaran moral (moral reasoning), 5) pembuatan keputusan (decision making), dan 6) kesadaran diri (self knowledge).
Moral feeling menempati ranah afektif, terdiri atas enam aspek: 1)
suara hati (conscience), 2) harga diri (self esteem), 3) empati (empathy), 4) kasih-sayang (loving the good), 5) pengendalian diri (self control), dan 6) rendah hati (humility).
Moral action berupa perilaku sebagai perwujudan dari moral knowing dan
moral feeling.
Moral actions atau perilaku-perilaku moral seseorang berwujud
kompetensi (competence), niat (will), dan kebiasaan (habit) bertindak dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa untuk mengembangkan karakter
yang baik diperlukan waktu yang relatif lama karena harus mengembangkan pengetahuan moral yang baik, dorongan hati nurani untuk berbuat
baik, dan
kebiasaan-kebiasaan berperilaku yang baik. Sehubungan dengan hal tersebut, Ryan (1999: 5) juga menyatakan bahwa “good character is about knowing the good, loving the good and doing the good”.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
3
3.Metode Komprehensif Dalam bidang pendidikan karakter/budipekerti muncul kesadaran akan perlunya digunakan pendekatan komprehensif yang diharapkan dapat menghasilkan lulusan yang mampu membuat keputusan moral dan sekaligus memiliki perilaku yang terpuji berkat pembiasaan terus-menerus dalam proses pendidikan. Pada dasarnya pendekatan komprehensif dalam pendidikan budipekerti dapat ditinjau dari segi metode yang digunakan, pendidik yang berpartisipasi (guru, orang tua, unsur masyarakat), dan konteks berlangsungnya pendidikan karakter (sekolah, keluarga, lembaga atau organisasi masyarakat), yang oleh Ki Hadjar disebut “tripusat pendidikan”. Perlu dipertimbangkan adanya pusat yang keempat, yaitu “media massa” sehingga menjadi “catur pusat pendidikan”. Dari segi metode, pendekatan komprehensif meliputi: inkulkasi (inculcation), keteladanan (modeling), fasilitasi (facilitation), dan pengembangan keterampilan (skill building), seperti yang diutarakan oleh Kirschenbaum (1995: 31-42) berikut ini: (1)
Inkulkasi Nilai Inkulkasi (penanaman) nilai memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (a) mengomunikasikan kepercayaan disertai alasan yang mendasarinya, (b) memperlakukan orang lain secara adil, (c) menghargai pandangan orang lain, (d) mengemukakan keragu-raguan atau perasaan tidak percaya disertai dengan alasan, dan dengan rasa hormat, (e) tidak
sepenuhnya
mengontrol
lingkungan
untuk
meningkatkan
kemungkinan penyampaian nilai-nilai yang dikehendaki, dan mencegah kemungkinan penyampaian nilai-nilai yang tidak dikehendaki, (f) menciptakan pengalaman sosial dan emosional mengenai nilai-nilai yang dikehendaki, tidak secara ekstrem, (g) membuat aturan, memberikan penghargaan, dan memberikan konsekuensi disertai alasan, (h) tetap membuka komunikasi dengan pihak yang tidak setuju, dan (i) memberikan kebebasan bagi adanya perilaku yang berbeda-beda, apabila sampai pada tingkat yang tidak dapat diterima, diarahkan untuk memberikan kemungkinan berubah. 4
Prof. Darmiyati Zuchdi, Ed. D. , Membangun Budi Pekerti
Pendidikan budipekerti seharusnya tidak menggunakan metode indoktrinasi yang memiliki ciri-ciri yang bertolak belakang dengan inkulkasi, yakni sebagai berikut: (a) mengomunikasikan kepercayaan hanya berdasarkan kekuasaan, (b) memperlakukan orang lain secara tidak adil, (c) memfitnah atau menjelek-jelekkan pandangan orang lain, (d) menyatakan keragu-raguan atau perasaan tidak percaya secara kasar dan mencemooh atau memandang rendah, (e) sepenuhnya mengontrol lingkungan untuk meningkatkan kemungkinan penyampaian nilai-nilai yang dikehendaki dan mencegah kemungkinan penyampaian nilai-nilai yang tidak dikehendaki, (f) menciptakan pengalaman sosial dan emosional mengenai nilai yang dikehendaki, secara ekstrem, (g) membuat aturan, memberikan penghargaan, dan memberikan konsekuensi tanpa disertai alasan, (h) memutuskan komunikasi dengan pihak yang tidak setuju, dan (i) tidak memberikan peluang bagi adanya perilaku yang berbeda-beda; apabila sampai pada tingkat yang tidak dapat diterima, yang bersangkutan dikucilkan untuk selama-lamanya. (2)
Keteladanan Dalam pendidikan karakter/budipekerti,
pemberian teladan merupakan
metode yang biasa digunakan. Untuk dapat menggunakan metode ini, ada dua syarat yang harus dipenuhi. Pertama, guru atau orang tua harus berperan sebagai model yang baik bagi murid-murid atau anak-anaknya. Kedua, anak-anak harus meneladani orang-orang terkenal yang berakhlak mulia, terutama Nabi Muhammad saw. bagi yang beragama Islam dan para nabi yang lain, serta para pahlawan dan negarawan. Cara guru dan orang tua menyelesaikan masalah secara adil, menghargai pendapat anak, mengritik orang lain secara santun, merupakan perilaku-perilaku yang secara alami dijadikan model oleh anak-anak untuk diteladani. Demikian juga apabila guru dan orang tua berperilaku yang sebaliknya,
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
5
anak-anak juga secara tidak sadar akan menirunya. Oleh karena itu, para guru dan orang tua harus berhati-hati dalam bertutur kata dan bertindak, supaya tidak tertanamkan nilai-nilai negatif dalam sanubari anak. Guru dan orang tua perlu memiliki keterampilan asertif dan keterampilan menyimak. Kedua keterampilan ini sangat diperlukan untuk menjalin hubungan antarpribadi dan antarkelompok. Oleh karena itu, perlu dijadikan contoh bagi anak-anak. Keterampilan asertif adalah keterampilan mengemukakan pendapat secara terbuka, dengan cara-cara yang tidak melukai perasaan orang lain. Keterampilan menyimak ialah keterampilan mendengarkan dengan penuh pemahaman dan secara kritis. Kedua keterampilan ini oleh Bolton (lewat Zuchdi, 2010: 14) digambarkan sebagai yin dan yang. Keduanya harus dikembangkan secara seimbang karena merupakan komponen vital dalam berkomunikasi. (3)
Fasilitasi Nilai Inkulkasi dan keteladanan mendemonstrasikan kepada subjek didik cara yang
terbaik untuk mengatasi berbagai masalah, sedangkan fasilitasi melatih subjek didik mengatasi masalah-masalah tersebut. Yang terpenting dalam metode fasilitasi ini adalah pemberian kesempatan kepada subjek didik. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh subjek didik dalam pelaksanaan metode fasilitasi membawa dampak positif pada perkembangan kepribadian karena hal-hal sebagai berikut ini (Kirschenbaum, 1995: 41). (a) Kegiatan fasilitasi secara signifikan dapat meningkatkan hubungan pendidik dan subjek didik. Apabila pendidik mendengarkan subjek didik dengan sungguh-sungguh, besar kemungkinannya subjek didik mendengarkan pendidik dengan baik. Subjek didik merasa benar-benar dihargai karena pandangan dan pendapat mereka didengar dan dipahami. Akibatnya, kredibilitas pendidik meningkat. (b) Kegiatan fasilitasi menolong subjek didik memperjelas pemahaman. Kegiatan tersebut memberikan kesempatan kepada subjek didik untuk menyusun pendapat, mengingat kembali hal-hal yang perlu disimak, dan memperjelas hal-hal yang masih meragukan. (c) Kegiatan fasilitasi menolong subjek didik yang sudah menerima suatu nilai,
6
Prof. Darmiyati Zuchdi, Ed. D. , Membangun Budi Pekerti
tetapi belum mengamalkannya secara konsisten, meningkat dari pemahaman secara intelektual ke komitmen untuk bertindak. Tindakan moral memerlukan tidak hanya pengetahuan, tetapi juga perasaan, maksud, dan kemauan. (d) Kegiatan fasilitasi menolong subjek didik berpikir lebih jauh tentang nilai yang dipelajari, menemukan wawasan sendiri, belajar dari teman-temannya yang telah menerima nilai-nilai (values) yang diajarkan, dan akhirnya menyadari kebaikan hal-hal yang disampaikan oleh pendidik. (e) Kegiatan fasilitasi menyebabkan pendidik lebih dapat memahami pikiran dan perasaan subjek didik. (f) Kegiatan fasilitasi memotivasi subjek didik menghubungkan persoalan nilai dengan kehidupan, kepercayaan, dan perasaan mereka sendiri. Karena kepribadian subjek didik terlibat, pembelajaran menjadi lebih menarik. (4)
Pengembangan Keterampilan Akademik dan Sosial Ada berbagai keterampilan (yang dimaksud di sini yang termasuk soft skills)
yang diperlukan agar seseorang dapat mengamalkan nilai-nilai yang dianut, sehingga berperilaku konstruktif dan bermoral dalam masyarakat. Keterampilan tersebut antara lain: berpikir kritis, berpikir kreatif, berkomunikasi secara jelas, menyimak, bertindak asertif, dan menemukan resolusi konflik, yang secara ringkas disebut keterampilan akademik dan keterampilan sosial. Dua dari keterampilan akademik dan keterampilan sosial tersebut, yaitu keterampilan berpikir kritis dan keterampilan mengatasi konflik, akan diulas secara singkat pada bagian berikut ini. (a) Keterampilan Berpikir Kritis Ciri-ciri orang yang berpikir kritis adalah: (1) mencari kejelasan pernyataan atau pertanyaan, (2) mencari alasan, (3) mencoba memperoleh informasi yang benar, (4) menggunakan sumber yang dapat dipercaya, (5) mempertimbangkan keseluruhan situasi, (6) mencari alternatif, (7) bersikap terbuka, (8) mengubah pandangan apabila ada bukti yang dapat dipercaya, (9) mencari ketepatan suatu permasalahan, dan (10) sensitif terhadap perasaan, tingkat pengetahuan, dan tingkat kecanggihan orang lain (Kirschenbaum, 1995: 86). Kesepuluh ciri tersebut hanya dapat dikembangkan lewat latihan yang dilakukan secara terus-menerus, sehingga
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
7
akhirnya menjadi suatu kebiasaan. Berpikir kritis dapat mengarah pada pembentukan sifat bijaksana. Berpikir kritis memungkinkan seseorang dapat menganalisis informasi secara cermat dan membuat keputusan yang tepat dalam menghadapi isu-isu yang kontroversial. Dengan demikian, dapat dihindari tindakan destruktif sebagai akibat dari ulah provokator yang tidak henti-hentinya mencari korban. Oleh karena itu, sangat diharapkan peran guru dan orang tua untuk membiasakan anak-anak berpikir kritis, dengan melatihkan kegiatan-kegiatan yang mengandung ciri-ciri tersebut di atas. (b) Keterampilan Mengatasi Konflik Masih banyak orang yang mengatasi konflik dengan kekuatan fisik, padahal cara demikian itu tidak manusiawi. Apabila kita menghendaki kehidupan berdasarkan nilai-nilai religius dan prinsip-prinsip moral, kita perlu mengajarkan cara-cara mengatasi konflik secara konstruktif. Para guru dan orang tua memang harus berusaha keras untuk menyakinkan anak-anak bahwa penyelesaian masalah secara destruktif yang banyak muncul dalam masyarakat Indonesia saat ini sangat tidak manusiawi dan bertentangan dengan norma-norma agama yang harus kita junjung tinggi. 4. Penilaian Komprehensif Penilaian dilakukan untuk mengetahui ketercapaian tujuan. Oleh karena itu, perlu dibahas lebih dulu secara ringkas tujuan pendidikan karakter/budipekerti. Secara lengkap, tujuan pendidikan karakter/budipekerti harus meliputi tiga ranah yakni pemikiran, perasaan, dan perilaku, sebagai yang tergambar dalam skema di bawah ini. Moral/values reasoning (penalaran moral)
moral/values affect
moral/values action
(afek/perasaan moral)
(perilaku moral)
a. Penilaian Penalaran Moral Dari skema di atas dapat diketahui bahwa supaya tujuan pendidikan karakter/budipekerti yang berwujud perilaku yang diharapkan dapat tercapai, subjek didik harus sudah memiliki kemampuan berpikir/bernalar dalam permasalahan nilai/moral sampai dapat membuat keputusan secara mandiri dalam menentukan tindakan apa yang harus dilakukan. Dalam hal ini Kohlberg, berdasarkan penelitian
8
Prof. Darmiyati Zuchdi, Ed. D. , Membangun Budi Pekerti
longitudinal, telah berhasil meredefinisi pemikiran Dewey mengenai reflective thinking dan memvalidasi karya Piaget mengenai perkembangan berpikir, menyusun tingkat-tingkat perkembangan moral (Mosher, lewat Zuchdi, 2010: 5). Kohlberg menemukan tiga tingkat penalaran mengenai permasalahan (issue) moral dan dalam setiap tingkat ada dua tahap sehingga seluruhnya ada enam tahap penalaran moral. Tiga tingkat tersebut adalah prakonvensional, konvensional, dan pascakonvensional. Tingkat prakonvensional ditandai oleh keyakinan bahwa ”benar” berarti mengikuti aturan konkret untuk menghindari hukuman penguasa. Perilaku yang benar adalah yang dapat memenuhi keinginan sendiri atau keinginan penguasa. Pada tingkat konvensioanl, ”benar” berarti memenuhi harapan masyarakat. Keinginan bertindak sesuai dengan harapan masyarakat mengarahkan seseorang untuk berperilaku yang baik. Pandangan sosial, loyalitas, dan persetujuan oleh pihak lain merupakan perhatian utama orang yang penalarannya pada tingkat konvensional. Yang terakhir, tingkat pascakonvensional atau berprinsip ditandai oleh kebenaran, nilai, atau prinsip-prinsip yang bersifat umum atau universal yang menjadi tanggung jawab, baik individu maupun masyarakat untuk mendukungnya (Arbuthnot, lewat Zuchdi, 1988: 29). Seperti yang telah diutarakan sebelumnya, ada dua tahap dalam setiap tingkat penalaran moral, sehingga seluruhnya ada enam tahap. Tahap pertama, disebut moralitas heteronomi. Tahap ini digambarkan sebagai suatu orientasi pada hukuman dan kepatuhan. Penentuan ”benar” atau ”salah” didasarkan pada konsekuensi ragawi suatu tindakan. Penalaran pada tahap ini sangat egosentrik, penalar tidak dapat mempertimbangkan perspektif orang lain. Tahap kedua disebut tujuan instrumental, individualisme, dan pertukaran (kebutuhan dan keinginan). Tahap ini ditandai oleh pemahaman ”baik” atau ”benar” sebagai sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan, baik diri-sendiri maupun orang lain. Kebutuhan pribadi dan kebutuhan orang lain merupakan pertimbangan utama penalaran pada tingkat ini. Tahap ketiga adalah harapan, hubungan dan penyesuaian antarpribadi. Mengerjakan sesuatu yang ”benar” pada tahap ini berarti memenuhi harapan orang-orang lain dan loyal terhadap kelompok dan dapat dipercaya dalam
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
9
kelompok tersebut. Perhatian terhadap kesejahteraan orang lain dianggap hal yang penting. Kesadaran akan perlunya saling menaruh harapan dan saling memberikan persetujuan terhadap perasaan dan perspektif orang lain, serta minat kelompok menjadi perspektif sosial seseorang. Tahap keempat adalah sistem sosial dan hati nurani. Mengerjakan sesuatu yang ”benar” pada tahap ini berarti mengerjakan tugas kemasyarakatan dan mendukung aturan sosial yang ada. Tanggung jawab dan komitmen seseorang haruslah menjaga aturan sosial dan menghormati diri-sendiri juga. Tahap kelima adalah kontrak sosial dan hak individual. Yang dianggap benar menurut tahap ini adalah mendukung hak-hak dan nilai-nilai dasar, serta saling menyetujui kontrak sosial bahkan jika mengerjakan hal itu bertentangan dengan undang-undang dan aturan kelompok sosial. Orientasi penalaran tahap kelima adalah
pada memaksimalkan kesejahteraan masyarakat dan menghargai kemauan
golongan mayoritas, di samping menjaga hak-hak golongan minoritas. Apabila undang-undang dan aturan yang ada dianggap tidak sesuai, misalnya bertentangan dengan hak-hak kemanusiaan, penalar tahap kelima ini dapat mengritisinya dan mengusahakan perubahan. Tahap ini memiliki sifat utilitarianism rational, yakni suatu keyakinan bahwa tugas dan kewajiban harus didasarkan pada tercapainya kebahagiaan bagi sebagian besar manusia. Dapat terjadi timbul pertentangan antara kebenaran menurut hukum dan kebenaran secara moral, dalam hal ini penalar akan mempelajari cara mengatasinya. Yang terakhir tahap keenam adalah prinsip etis universal. Pada tahap ini yang dianggap benar adalah bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip pilihan sendiri yang sesuai bagi semua manusia. Prinsip-prinsip diterima oleh orang yang berada pada tahap ini bukan disebabkan oleh persetujuan sosial, tetapi prinsip-prinsip tersebut berasal dari ide dasar keadilan, yaitu: persamaan hak-hak kemanusiaan dan penghargaan terhadap martabat manusia. Penalar pada tahap ini sudah dapat membuat keputusan moral secara otonomi. Perhatian utamanya pada tercapainya keadilan melalui penghargaan terhadap keunikan hak-hak individu. Untuk mengetahui kedudukan seseorang dalam tahap-tahap perkembangan penalaran moral tersebut di atas, Kohlberg menggunakan dilema moral. Dari keputusan moral seseorang dalam menghadapi dilema tersebut, disertai alasan yang
10
Prof. Darmiyati Zuchdi, Ed. D. , Membangun Budi Pekerti
mendasari keputusan tersebut, dapat ditentukan pada tahap yang mana seseorang berada. Namun, diskusi dilema moral hanya dapat meningkatkan pemikiran moral seseorang, belum dapat mencapai kesatuan antara pemikiran moral dan tindakan moral. Oleh karena itu, penilaian yang dapat menggambarkan tingkat dan tahap penalaran moral tersebut harus dilengkapi dengan penilaian
afektif yang terkait
dengan permasalahan nilai/moral. b. Penilaian Afektif Penilaian afektif dapat
dilakukan
dengan menggunakan ”skala sikap” seperti
yang dikembangkan oleh Likert atau Guttman,
perbedaan semantik yang
dikembangkan oleh Nuci, atau cara yang lain. Meskipun namanya ”skala sikap”, yang dinilai dapat pula minat, motivasi, apresiasi, kesadaran akan harga diri, dan nilai. Bagaimana cara menilai capaian belajar dalam ranah afektif? Kita tidak dapat mengukur afek atau perasaan seseorang secara langsung. Namun, kita dapat menafsirkan ada atau tidaknya afek, arah afek (positif atau negatif),
dan intensitas
afek (tidak pernah s.d. selalu) dari tindakan atau pendapat seseorang. Di antara skala pengukuran yang ada, skala Likert paling banyak digunakan sebab secara relatif lebih mudah pengembangannya, dapat memiliki reliabilitas yang tinggi, dan telah diadaptasi dengan sukses untuk mengukur berbagai karakteristik afektif. Langkah pertama dalam menyusun skala Likert adalah membuat definisi operasional karakteristik yang akan diukur (misalnya nilai-nilai: kejujuran, kemandirian, kesinergisan, tanggung jawab, keadilan, kepedulian, dsb.) dan
menemukan
indikatornya.
Langkah
selanjutnya,
menyusun
sejumlah
pernyataan atau pertanyaan positif dan negatif dalam jumlah yang seimbang, disertai pilihan yang harus diisi oleh responden dalam suatu kontinum mulai dari sangat setuju sampai dengan sangat tidak setuju atau dari selalu sampai dengan tidak pernah.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
11
c. Penilaian Perilaku Perilaku moral (moral action) hanya mungkin dinilai secara akurat dengan melakukan observasi (pengamatan) dalam jangka waktu yang relatif lama, secara terus-menerus. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan apakah perilaku orang yang diamati sudah menunjukkan karakter/budipekerti atau kualitas akhlak yang akan dinilai. Misalnya, apakah orang tersebut benar-benar jujur, disiplin,
adil,
memiliki komitmen, beretos kerja, bertanggung jawab, dsb. Pengamat atau pengobservasi harus orang yang sudah mengenal orang-orang yang diobservasi agar penafsirannya terhadap perilaku yang muncul tidak salah. 3. Pendidikan Karakter/Budipekerti melalui Pengembangan Kultur/Budaya Sekolah Guna menciptakan kultur/budaya sekolah yang bermoral perlu diciptakan lingkungan sosial sekolah yang dapat mendorong murid-murid memiliki
budi pekerti
luhur/moralitas yang baik/karakter yang terpuji/akhlak mulia. Sebagai contoh, apabila suatu sekolah memiliki iklim demokratis, murid-murid terdorong untuk bertindak demokratis. Sebaliknya apabila suatu sekolah terbiasa memraktikkan tindakan-tindakan otoriter, sulit bagi murid-murid untuk dididik menjadi pribadi-pribadi
yang
demokratis. Demikian juga apabila sekolah dapat menciptakan lingkungan sosial sekolah yang menjunjung tinggi kejujuran dan rasa tanggung jawab maka
lebih
mudah bagi murid-murid untuk berkembang menjadi pribadi-pribadi yang jujur dan bertanggung jawab. Namun masyarakat secara umum juga perlu memiliki kultur/budaya yang senada dengan yang dikembangkan di sekolah. Lickona (1991: 325) mengutarakan enam elemen kultu/budaya sekolah yang baik, yaitu: 1. Kepala sekolah memiliki kepemimpinan moral dan akademik. 2. Disiplin sekolah
ditegakkan di sekolah secara menyeluruh.
3. Warga sekolah memiliki rasa persaudaraan. 4. Organisasi murid menerapkan kepemimpinan demokratis dan menumbuhkan rasa bertanggung jawab bagi murid-murid untuk menjadikan sekolah mereka menjadi sekolah yang terbaik. 5. Hubungan semua warga sekolah bersifat saling menghargai, adil, dan bergotong
12
Prof. Darmiyati Zuchdi, Ed. D. , Membangun Budi Pekerti
royong. 6. Sekolah meningkatkan perhatian terhadap moralitas
dengan menggunakan
waktu tertentu untuk mengatasi masalah-masalah moral. Kepemimpinan kepala sekolah merupakan salah satu elemen yang menentukan terciptanya kultur/budaya sekolah yang bermoral. Dari hasil penelitian Zuchdi dkk. (2005-2006) terungkap bahwa dari sepuluh kepala sekolah yang menjadi responden penelitian, baru satu yang memiliki kepemimpinan yang ideal. Oleh karena itu pengangkatan kepala sekolah, kualitas moral harus dijadikan
dalam
pertimbangan utama.
Elemen yang kedua untuk membangun kultur/budaya sekolah yang positif adalah disiplin. Penegakan disiplin sekolah dapat dimulai dengan melibatkan murid-murid dalam membuat peraturan sekolah. Kalau perlu mreka diminta menandatangani kesediaan untuk melaksanakan peraturan tersebut dan kesediaan menanggung konsekuensi jika melanggarnya. Dengan demikian mereka dilatih untuk bertanggung jawab atas semua tindakan yang mereka lakukan. Selanjutnya peraturan yang telah disetujui bersama perlu dilaksanakan secara konsekuen dan adil, berlaku bagi semua warga sekolah baik murid, guru, kepala sekolah, maupun pegawai administrasi. Rasa persaudaraan yang tinggi dapat mencegah terjadinya tindakan-tindakan yang tidak baik. Hal ini dapat dipahami karena adanya rasa persaudaraan membuat seseorang merasa tidak tega berlaku kasar bahkan menyakiti orang lain. Oleh karena itu rasa persaudaraan perlu dibangun secara terus-menerus lewat program sekolah, misalnya spanduk selamat datang bagi murid baru, kunjungan kepada yang sedang mengalami musibah, pemberian ucapan/surat terima kasih kepada murid yang telah memberikan pertolongan kepada temannya, dan berbagai kegiatan ekstrakurikuler yang dapat membangun dan memelihara persaudaraan Strategi lain untuk mengembangkan karakter lewat kultur/budaya sekolah ialah dengan melibatkan murid-murid membangun kehidupan sekolah mereka. Misalnya membangun kehidupan yang demokratis, yang menghargai pluralistik, dan yang mematuhi peraturan yang baik (pelibatan murid dalam pembuatan peraturan, evaluasi peraturan, penegakan peraturan, dan penggantian peraturan). Menurut hasil penelitian, sekolah-sekolah yang baik memiliki kualitas kehidupan moral dan kehidupan akademik yang bagus (Lickona, 1991: 342). Hubungan teman sekerja berkembang baik, guru-guru berbagi pegalaman dan gagasan, guru-guru yang
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
13
sudah berpengalaman membimbing guru-guru baru, dan pegawai administrasi memberikan bantuan sepenuhnya demi terselenggaranya kegiatan sekolah. Elemen yang keenam untuk membangun kultur/budaya sekolah yang positif ialah penyediaan waktu untuk memperhatikan masalah-masalah moral. Suasana moral yang baik perlu dibangun di sekolah. Meskipun dalam hal yang kecil, misalnya kehilangan barang yang kurang berharga bagi pemiliknya, hal ini tetap perlu perhatian khusus dari sekolah.
Misalnya suatu sekolah
menyediakan ”tempat melaporkan barang hilang
dan mengembalikan barang temuan” yang dipantau dengan tertib. Jangan sampai perhatian
terhadap pencapaian tujuan akademik menyebabkan pengabaian terhadap
perkembangan moral, sosial,
dan religiusitas
anak-anak. Semua penting sehingga
guru harus menyediakan waktu untuk memperhatikan perkembangan anak-anak secara holistik. Sekolah memang benar-benar harus memperhatikan pengembangan kultur/budaya sekolah yang positif.
Namun sayang, perhatian terhadap moralitas terkendala oleh
tuntutan keadaan yakni penentuan keberhasilan sekolah yang sangat ditentukan oleh skor tes. Reformasi akademik sungguh
sangat diperlukan. Peningkatan kualitas lulusan
sekolah banyak yang dilakukan dengan cara yang tergesa-gesa, seperti ”memasak dengan panci bertekanan tinggi”. Akibatnya bahkan counterproductive,
baik dari segi
intelektual maupun segi moral dan sosial. Anak-anak seolah-olah dipaksa melalui jalan tol untuk menjadi anak pandai. Mereka harus menggunakan hampir seluruh waktunya untuk menyelesaikan tugas-tugas sekolah dan masih ditambah tugas-tugas bimbingan belajar yang harus mereka ikuti. Hubungan guru dan murid tidak begitu akrab karena ”tidak ada waktu” (Lickona, 1991: 343-344). Hasil penelitian Darmiyati Zuchdi, dkk.(2009-2011) menunjukkan bahwa Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar dapat diintegrasikan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia, IPA, dan IPS, yang dibarengi dengan pengembangan kultur/budaya sekolah, dalam bentuk pembiasaan untuk disiplin waktu, bertanggungjawab terhadap tugas-tugas yang diberikan oleh guru, saling menolong, kerjasama, dan menjalankan ibadah sesuai dengan agama yang dipeluknya . Berdasarkan hasil penelitian tersebut, tanggung jawab, keteladanan, rasa kekeluargaan, perhatian terhadap masalah moral, dan
tindakan demokratis kepala sekolah meningkat.
Di antara murid-murid terjadi
14
Prof. Darmiyati Zuchdi, Ed. D. , Membangun Budi Pekerti
peningkatan kedisiplinan, kejujuran, dan persaudaraan. Jumlah anak yang mencontek dan tidak mengerjakan PR menurun. DAFTAR PUSTAKA Covey, Stephen R. (1990). The 7 habits of highly effective people. New York: Simon & Schuster. Kirschenbaum, H. (1995). Enhance values and morality in schools and youth. Settings. Boston: Allyn and Bacon. Lickona, T. (1992). Educating for character, How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam Books. Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa. (2013). Ki Hadjar Dewantara, pemikiran, konsepsi, keteladanan, sikap merdeka. Yogyakarta: Penerbit Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST-Press). Pemerintah Republik Indonesia. (2010). Kebijakan nasional pembangunan karakter bangsa tahun 2010-2025. Prasetyo, Zuhdan K. Taksonomi untuk pendidikan fisika (sains) Yogyakarta: Cakrawala Pendidikan Majalah Ilmiah Kependidikan. Edisi Khusus Dies, Mei 1998, 146-151. Ryan, K., & Bohlin, K. E. (1999). Building character in schools: Practical ways to bring moral instruction to life. San Fransisco, CA: Jossey-Bass Suyata dan Darmiyati Zuchdi (2007). “Ary Ginanjar Agustian dan Gerakan Pembaruan Pendidikan Karakter dengan Optimalisasi Kecerdasan Emosional Spiritual”. Pidato Promotor pada Pemberian Gelar Doctor Honoris Causa dalam Bidang Pendidikan Karakter kepada Ary Ginanjar Agustian. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Wynne, E. A. (1984). Developing character: Transmitting knowledge. Posen, IL: ARI. Diambil pada tanggal 9 April 2005, dari http://www.wilderdom.com/character. html. Zuchdi, Darmiyati. (2010). Humanisasi pendidikan: Menemukan Kembali Pendidikan yang Manusiawi. Jakarta: Bumi Aksara. Zuchdi, Darmiyati, Sukamto, dan Suryanto (2005-2006). Pendidikan karakter dengan Lifes kills development. Laporan penelitian Hibah Pasca. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Zuchdi, Darmiyati, Kunprasetyo, Zuhdan, dan Masruri, Muhsinatun Siasah. (2013). Model Pendidikan Karakter Terintegrasi dalam Pembelajaran dan Pengembangan Kultur Sekolah. Yogyakarta: Multi Presindo.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
15
STRATEGI PEMBENTUKAN BUDI PEKERTI BAGI GURU DAN DOSEN UNTUK MELAHIRKAN GENERASI EMAS INDONESIA BERBASIS REVOLUSI MENTAL Dr. Muhammad Rohmadi, M. Hum. Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP Universitas Sebelas Maret Email:
[email protected]/HP. 081391423540 Abstrak Generasi emas Indonesia sangat dinantikan oleh NKRI untuk melanjutkan dan menjaga keberlangsungan bangsa Indonesia tercinta. Generasi muda di seluruh Indonesia menjadi harapan terbesar sebagai generasi emas yang diharapkan oleh para generasi tua Indonesia. Peran penting guru dan dosen sebagai penjaga pilar pendidikan untuk membentuk budi pekerti, nasionalisme, mentalitas, dan integritas generasi muda. Integrasi setrategi pembentukan budi pekerti dan mentalitas generasi muda yang dilakukan oleh guru, dosen, orang tua, masyarakat harus sinergis dan komprehensif, baik melalui kegiatan pendidikan formal dan nonformal. Hal ini sebagai bentuk nyata yang harus diwujudkan oleh pendidikan di Indonesia khususnya guru dan dosen PAUD dan PGSD. Bukan berarti guru dan dosen untuk pendidikan dasar, menengah, dan tinggi lainnya tidak ikut berperan. Akan tetapi peran guru dan dosen PGSD sebagai pilar utama untuk membentuk budi pekerti para peserta didik sejak usia dini. Dengan demikin, para calon guru PAUD, PGSD, dan dosen PAUD dan PGSD harus memiliki virus-virus positif terlebih dahuku sebelum menularkan virus-virus positif tersebut kepada seleruh calon generasi emas Indonesia dengan revolusi mental yang dicanangkan oleh Presiden RI, Bapak Joko Widodo. Semoga kita semua dapat berpartisipasi untuk turut melahirkan generasi emas untuk NKRI tercinta. Kata kunci: setrategi, budi pekerti, guru, dosen, generasi emas, Presiden RI, dan Joko Widodo. “Jadilah guru dan dosen yang turut berperan untuk melahirkan generasi emas Indonesia. Marilah kita antarkan genrasi emas Indonesia untuk menjadi sosok pemimpin bangsa yang berintegritas, bermental baja, dan berjiwa nasionalisme untuk NKRI” A. Pendahuluan Kondisi generasi muda Indonesia saat ini sudah sangat kritis dan darurat. Masih teringat dengan jelas peristiwa, pembunuhan dosen Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Nurain Lubis, berusia 63 tahun oleh mahasiswanya RS, usia 21 tahun yang dipicu dendam RS mengaku pernah diusir dari kelas oleh Nurain (Solopos, 4 Mei 2016). Kemudian peristiwa mahasiswa UGM , Feby Kurnia yang dibunuh petugas kebersihan kampus, Eko Agus Nugroho, 26 tahun, warga Wonokromo,
16
Dr. Muhammad Rohmadi, M. Hum., Strategi Pembentukan Budi
Pleret, Bantul (Solopos, 4 Mei 2016). Masih banyak lagi peristiwa memperihatinkan yang diberitakan di koran dan televisi, seperti kasus pemerkosaan anak usia dini, usia SMP, SMA, SMK, dan PT terjadi di berbagai wilayah NKRI dengan begitu tragisnya. Terakhir peristiwa yang terjadi di Jakarta, gadis remaja yang diperkosa kemudian dimasuki gagang cangkul sampai ke ulu hatinya. Ini peristiwa yang sangat tragis dan memilukan bagi seluruh warga Indonesia. Merujuk fakta-fakta di atas, guru dan dosen di seluruh Indonesia harus turut bertanggung jawab atas kondisi degradasi moral genarasi muda Indonesia. Berdasarkan aneka fakta dan kondisi yang terjadi saat ini, pertanyaannya siapa yang salah? Siswa, guru, dosen, orang tua, masyarakat, pemerintah, teknlogi atau siapa yang salah di negeri ini. Bukan saatnya lagi untuk mencari siapa yang salah dan siapa yang benar. Yang terpenting saat ini adalah refleksi bersama untuk kita,sebagai mahasiswa, guru, dan dosen. Bagaimanakah peran guru dan dosen pendidikan guru sekolah dasar dan pendidikan anak usia dini untuk dapat ambil bagian dalam membentuk budi pekerti bagi guru dan dosen untuk melahirkan generasi emas di NKRI. Dengan demikian, kita semua dapat menanamkan nilai-nilai yang dikatakan Licona (2013:7) bahwa sejak awal masa berdirinya republik ini, sekolah-sekolah memberikan pendidikan karakter. Melalui disiplin, contoh-contoh baik dari guru, dosen, dan kurikulum, sekolah berupaya mengajarkan nilai-nilai patriotism, kerja keras, kejujuran, hemat, kedermawanan, dan keberanian dalam kebaikan kepada anak-anak didik kita. Sekarang mari kitaa lanjutkan yang sudah dan dimulai bagi yang belum. Guru dan dosen wajib berusaha bersama orang tua untuk lahirkan generasi emas NKRI. B. Metode Makalah ini merupakan kajian pustaka dengan metode deskriptif kualitatif. Data-data yang digunakan dikumpulkan berdasarkan fakta-fakta yang dirilis di media cetak dan pustaka relevan dengan permasalahan yang dikaji dalam makalah ini. Data dilakukan dengan wawancara mendalam dan menyimak dari berbagai sumber terkait, baik dari mahasiswa, guru, dosen, masyarakat, dan wartawan. Berdasarkan fakta dan data empirik yang dikumpulkan tersebut, kemudian dianalisis dengan teknik analisis interaktif Milles Hibermen, berdasarkan data-data dari awal samapai akhir sehingga
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
17
diperoleh simpulan yang komprehensif dengan permasalahan yang dikaji dalam makalah ini. C. Hasil dan Pembahasan Degradasi moral yang terjadi di NKRI saat ini menjadi pekerjaan rumah bersama antara orang tua, pelajar, mahasiswa, guru, dosen, dan masyarakat. Hal ini harus disadari secara nyata dengan adanya perkembangan teknologi yang saat ini telah banyak berpengaruh kepada seluruh generasi muda Indonesia. Perkembangan teknolgi banyak berdampak kepada seluruh generasi muda Indonesia, baik positif dan negatif. Dengan berbagai setrategi yang dicanangkan oleh guru dan dosen, melalui pendidikan formal dan nonformal harus dapat melahirkan generasi-genari emas Indonesia yang berkarakter, cerdas, kompetitif, kreatif, inovatif, menyenangkan, dan sukses untuk negeri ini. C.1 Peran Guru dan Dosen sebagai Penjaga Pilar Moralitas Generasi Sekolah dan Kampus Guru dan dosen memiliki peran penting untuk menjaga dan mendampingi pelajar dan mahasiswa sebagai anak asuh mereka di sekolah dan di kampus. Sesuai dengan Undang-Undang Guru dan Dosen No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen pasal 1 yang menyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Kemudian pada pasal 7 mengamanatkan bahwa profesi guru merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip, antara lain memiliki kualifikasi akademik, latar belakang pendidikan, sesuai dengan bidang tugasnya dan memilkii kompetensi yang diperlukan untuk melaksanakan bidang tugas tersebut. Hal ini selaras dengan pendapat Daryanto dan Rachmawati (2013:45) yang menyatakan bahwa kualifikasi akademiki guru merefleksikan kemampuan yang dipersyaratkan bagi guru untuk melaksanakan tugas sebagai pendidik pada jenjang, jenis, dan satuan pendidikan atau mata pelajaran yang diambilnya. Terkait dengan hal di atas, Rohmadi (2012) menegaskan bahwa guru harus professional dan berkarakter, baik di dalam kelas dan di luar kelas.
18
Dengan demikian, peran guru dalam
Dr. Muhammad Rohmadi, M. Hum., Strategi Pembentukan Budi
pembelajaran sebagai manajer pembelajaran sangat diperlukan sebagai penunjuk arah dan pembimbing bagi siswa dalam proses pembelajaran. Dalam perkembanganya, guru dan dosen harus sinergis dalam mendidik dan membimbing para pelajar dan mahsiswanya. Hal ini tidak dapat dilepaskan dengan perkembangan teknologi yang semakin tidak dapat terbendung lagi. Kondisi ini menjadi salah satu tantangan sekaligus peluang bagi guru dan dosen di Indonesia. Guru dan dosen di Indonesia harus mampu melahirkan aneka setrategi dan inovasi baru untuk melahirkan generasi emas Indonesia. Dengan revolusi mental yang dicanangkan oleh Presiden RI, Bapak Joko Widodo harus diterjemahkan dengan aneka indikator ketercapaian dari pendidikan formal dan nonformal. Dengan demikian, akan diperoleh beberapa kategori pemodelan setrategi untuk penerapan konsep revolusi mental dalam proses pembelajaran sehingga menghasilkan output yang tangguh, berintegritas, dan bermental baja. Hal ini selaras dengan pendapat Aedy (2009:7) bahwa manusia dalam mengarungi samudera kehidupan perlu memiliki dan menerapkan budi pekerti yang seluas-luasnya. Hanya dengan budinya, manusia dapat mencapai kehidupan yang damai, tenteram, dan bahagia. Kecerdasan yang dimiliki oleh manusia akan sangat membahayakan kehidupan manusia jika tidak disertai budi . Dengan demikian seorang manusia yang mempunyai kemampuan tenaga yang kuat tidak akan berarti apa-apa bagi kehidupan manusia apabila tidak disertai dengan budi pekerti yang luhur. Merujuk hal tersebut, dapat ditegaskan bahwa setiap guru dan dosen dalam belajar dan membelajarkan bukan sekadar mentransfer ilmu tetapi juga harus dapat menanamkan dan membimbing anak didiknya memiliki budi pekerti yang luhur. C.2 Peran Orang Tua dalam Pembentukan Budi Pekerti Generasi Emas Indonesia Orang tua memiliki peran besar untuk melahirkan generasi emas Indonesia. Hal ini dikarenakan orang tua sebagai kedua orang tua anak yang melahirkan dan menjaganya sejak awal, yakni sejak dalam kandungan dan bahkan yang memiliki niat dan mohon kepada Tuhan untuk hadirnya sang anak ke dunia ini. Oleh karena itu, orang tua memilki peran besar untuk membentuk anak mau menjadi seperti apa ke depannya. Senada hal tersebut, Arum (solopos, 4 Mei 2016) menyatakan dalam tulisanya bahwa orang tua sebagai agen pendidikan karakter. Terkait dengan hal tersebut, berdasarkan hasil penelitian mahasiswa UNS, Lia Rosina Anggreini (2010)
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
yang dimuat dalam
19
artikel Arum, wartawan solopos (4 Mei 2016) menunjukan betapa besarnya peran orang tua dalam pendidikan anak. Lia meneliti pengaruh motivasi orang tua, problema remaja, dan minat belajar terhadap prestasi belajar matematika. Merujuk hasil penelitian tersebut, diperoleh hasil penelitian bahwa motivasi dari orang tua sangat berpengaruh terhadap pendidikan anak. Tuntutan kehidupan modern memang besar. Manusia semakin cerdas. Di tengah kesibukan manusia modern, banyak hal yang bisa dilakukan orang tua untuk tetap terlibat dalam kehidupan dan pendidikan anak. Orang tua mendengarkan cerita anak dan memberikan tanggapan terhadap sikap, prestasi belajar, dan hal lainnya yang dilakukan anak bisa jadi cara mudah memotivasi mereka. Lia mengutip salah satu pendapat Othman Talib (2009) yang menyebutkan bahwa memberikan penghargaan lisan “bagus” dan “hebat” merupakan motivasi yang kuat, apalagi jika ditambah hadiah apa pun wujudnya dan tidak harus mahal sebagai wujud apresiasi orang tua terhadap prestasi dan sikap yang ditunjukkan anaknya. Peran orang tua sangat diperlukan untuk mendampingi proses pembelajaran anak-anak di rumah, sejak usia dini, remaja, dan dewasa. Fungsi pendampingan dan kontrol yang sinergis dengan fungsi guru dan dosen dalam pendidikan formal lebih bermakna bagi anak-anak. Kondisi carut marutnya moralitas anak-anak di negeri ini menjadi salah satu indikator lemahnya pendampingan orang tua di rumah. Di era teknologi dan perkembangan zaman yang terus menggerus komunikasi sosial ternyata semakin meminimalisir perhatian orang tua kepada anak-anaknya dan lebih cenderung dititipkan kepada sekolah. Orang tua merasa kalau sudah disekolahkan dibayar, dan dicukupi kebutuhanya masalah selesai. Pada hal, banyak sisi psikologis yang diperlukan anak-anak untuk dapat berkomunikasi dan didampingi oleh kedua orang tuanya, baik dalam pembelajaran sekolah maupun pembelajaran masalah kehidupan. C.3 Pengaruh Teknologi terhadap Degradasi Moralitas Generasi Emas Indonesia Era teknologi ternyata tidak hanya berdampak positif tetapi juga diiringi dampak negatif bagi genarasi muda Indonesia. Sejak munculnya handpone dengan berbagai model, internet dapat diakses di manapun berada dan fenomena yang terjadi saaat ini, bahwa anak-anak TK dan SD pun sudah pegang dan dengan bebas memainkan HP. Pengaruh teknologi berbasis internet ternyata sudah merasuk ke seluruh generasi muda Indonesia. Ini sangat menbahayakan apabila tidak dikontrol dan didamapingi oleh
20
Dr. Muhammad Rohmadi, M. Hum., Strategi Pembentukan Budi
orang tua dan guru. Khususnya untuk anak-anak usia TK, SD, SMP, dan SMA. Tidak kalah pentingnya juga para mahasiswa di perguruan tinggi. Berdasarkan fakta yang saya ditanya kepada anak-anak kelas VI SD, kemudian SMP, SMA/K, dan
mahasiswa,
hamper semua sudah melihat gambar pornografi atau sejenisnya melalui HP. Merujuk kondisi dan fakta yang terjadi di lapangan, bahwa terjadinya kekerasan seksual, pemerkosaan, sodomi, dan sejenisnya ternyata dari hasil wawancara disebabkan anak-anak ingin meniru dan mempraktikan seperti yang mereka lihat di televise, dan internet. Ini menjadi fakta yang miris dan memprihatinkan untuk guru dan dosen khususnya TK dan SD. Dengan pemahaman karakteristik anak dan kebutuhanya seharai-hari, maka orang tua dan guru akan terus dapat memantau apa yang menjadi keinginan anak sesungguhnya. Pengembangan ilmu dan teknologi adalah keniscayaan. Akan tetapi, kita sebagai pengguna harus menguasai teknologi dan bukan dikuasai oleh teknologi. Oleh karena itu, guru dan dosen harus dapat memanfaatkan teknologi sebagai sarana dan media pembelajaran yang terintegratif. Dengan demikian, banyak hal yang dapat dimanfaatkan melalui teknologi informasi. Jangan sampai justru teknologi informasi menjadi alat penghancur generasi muda Indonesia, baik usia TK, SD, SMP, SMA, SMK, dan PT. hal ini hanya dapat ditanggulangi dengan sinergisnya antara orang tua, pelajar, mahasiswa, guru, dosen, masyarakat, dan pemerintah untuk mewujudkan dan melahirkan generasi emas Indonesia. C.4 Setrategi Pembentukan Budi Pekerti Berbasis Revolusi Mental untuk Generasi Emas Indonesia Sejak Bapak Jokowi Widodo menjadi Presiden RI, telah dicanangkan revolusi mental. Salah satu agenda utama adalah membangun mentalitas sumber daya manusia. Salah satu sumber daya manusia itu adalah generasi muda Indonesia sebagai calon-calon pemimpin masa depan. Dengan demikian, diperlukan upaya untuk mengembangkan konsep revolusi mental yang dapat digunakan dan diimplementasikan kepada seluruh generasi muda di NKRI baik melalui pendidikan formal maupun informal. Salah satunya yang sudah dilakukan pemerintah dengan mereview kemabli kurikulum yang digunakan di negeri ini. Pembentukan budi pekerti tidak dapat dilakukan sepihak oleh orang tua. Pembentukan budi pekerti bagi generasi emas Indonesia harus dilakukan bersama
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
21
antara orang tua, guru, dosen, masyarakat, dan pemerintah. Pesan moral dari orang tua, guru, dan dosen harus terus ditanamkan kepada seluruh generasi emas Indonesia. Hal ini senada dengan Tang (2006:68)
yang memberitahu murid-muridnya, “Yang paling
mulia adalah orang yang lahir dengan kebijaksanaan. Berikutnya orang yang menjadi bijaksana melalui belajar. Berikutnya adalah mereka yang mau belajar setelah mengalami kesulitan hidup. Yang paling buruk adalah mereka yang tidak mau mencoba untuk belajar.” Merujuk pesan tersebut maka diperlukan penekanan kepada para generasi emas Indonesia untuk belajar, belajar, dan belajar dari mana saja dalam berbagai konteks kehidupan dengan membaca. Guru dan dosen harus dapat menjadi pelengkap orang tua di rumah untuk membentuk budi pekerti dan akhlakul kharimah generasi emas Indonesia. Hal ini menjadi tanggung jawab bersama untuk turut berpartisipasi menyiapkan generasi emas Indonesia dengan sebaik-baiknya. Selaras dengan ini, Tang (2006:68) berpesan kepada murid-muridnya “Kamu harus belajar seakan-akan kamu akan dapat menguasai apa yang telah kamu pelajari dan memegangnya seakan-akan kamu takut kehilanganya tetapi “belajar tanpa berpikir adalah usaha yang sia-sia; dan berpikir tanpa belajar adalah berbahaya.” Berdasarkan pesan tersebut, maka generasi muda Indonesia, guru dan dosen muda harus turut menjadi pengawal generasi emas Indonesia untuk menjadi calon-calon pemimpin bangsa yang cerdas, berintegritas, dan bermental baja. Generasi muda adalah harapan bangsa. Generasi muda Indonesia harus digodhok dan dipersiapkan dari sekarang karena mereka adalah harapan NKRI. Konfusius, seoranag guru dan cendekiawan dari Cina sangat menyukai orang muda. “Orang muda,“ katanya, “harus diperlakukan dengan hormat. Bagaimana kamu bisa tahu bahwa mereka tidak akan menjadi sama dengan kamu pada suatu hari? Orang yang telah mencapai usia empat atau lima puluh tahun tanpa menghasilkan apa-apa tidak patut dihormati”. Merujuk pada pesan tersebut menjadi tantangan untuk generasi muda Indonesia. Berdasarkan beberapa fakta dan deskripsi di atas, ada beebrapa setrategi yang dapat dilakukan untuk pembentukan budi pekerti generasi emas Indonesia, yakni: (1) niat yang tulus ikhlas dari orang tua, guru, dan dosen untuk ibadah dan melahirkan generasi emas Indonesia, (2) orang tua, guru dan dosen harus memilki komitmen untuk mau berubah secara bertahap, dengan belajar sepanjang hayat, (3) guru dan dosen harus
22
Dr. Muhammad Rohmadi, M. Hum., Strategi Pembentukan Budi
membangun kerja sama dengan orang tua, pelajar, mahasiswa, dan masyarakat untuk melahirkan generasi emas Indonesia, (4) orang tua, guru, dan dosen harus menyediakan media-media inovatif dan kreatif untuk membangun keseimbangan hardskill dan softskill pelajar dan mahasiswa dalam berbagai konteks kehidupan sehingga terbentuklah generasi emas yang berbudi pekerti luhur, dan (5) orang tua, guru, dan dosen harus melakukan pembiasaan positif secara terus menerus untuk berpikir, berbuat, berperilaku, dan berkumpul dengan segala kebaikan di mana pun berada. Hal ini selaras dengan Rohmadi (2016:1) dalam bukunya menjadi guru & dosen hebat dan luar biasa, bahwa “Kebahagian dan rasa syukur yang tiada tara adalah saat mimpi dan cita-cita kita dikabulkan oleh allah swt. yakni menjadi guru dan dosen. Saat itulah awal kita untuk menjadi manusia hebat yang bermanfaat untuk kemaslahatan umat”Dengan demikian, secara bertahap upaya orang tua, guru, dosen, masyarakat, dan pemerintah untuk menghasilkan generasi emas Indonesia akan dapat terwujud. Selamat mencoba turut serta melahirkan generasi emas Indonesia, mari kita mulai dari diri kita masing-masing untuk mengidap virus positif sebagai generasi emas Indonesia yang selalau ingin berbagi kebaikan dan ilmu di mana pun berada.
D. Penutup Generasi emas Indonesia dalah harapan bangsa Indonesia di masa yang akan datang. Wahai para orang tua, guru, dosen, pelajar, mahsiswa, masyarakat, dan pemerintah jangan pernah main-main dengan pendidikan saat ini karena yang akan menderita adalah anak cucu kita di masa yang akan datang. Marilah kita wujudkan generasi emas Indonesia yang cerdas, berkarakter, kreatif, produktif, kompetitif, sukses, dan menyenangkan di era MEA ini. Semua itu hanya dapat terwujud apabila kita orang tua, guru, dosen, masyrakat, dan pemerintah dapat menyatukan visi, misi, dan tujuan untuk melahirkan generasi emas Indonesia secara bersama di seluruh pelosok NKRI. Mari kita kumandangkan bersama, “Aku cinta generasi muda Indonesia, aku bangga generasi muda Indonesia, generasi muda Indonesia adalah generasi emas NKRI. “ “Bahagia itu letaknya di hati dengan mensyukuri apa yang kita miliki. Wujud rasa syukur kita adalah dengan memanfaatkan apa yang telah diberikan-Nya untuk kemaslahatan umat sebanyak-banyaknya”
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
23
DAFTAR PUSTAKA Aedy, Hasan. 2009. Karya Agung sang Guru Sejati. Bandung: Alfabeta. Arum, Tika Sekar, 2016. “Orang Tua Agen Pendidikan Karakater”, Solopos, 4 Mei 2016. Daryono dan Rachmawati, Tutik. 2013. Penilaian Kinerja Profesi Guru dan Angka Kreditnya. Yogyakarta: Gava Media. Lickona, Thomas. 2013. Pendidikan Karakter: Panduan Lengkap Mendidik Siswa Menjadi Pintar dan Baik. Bandung: Nusamedia. Rohmadi, M. 2012. Menjadi Guru Profesional dan Berkarakter. Surakarta: Yuma Pustaka. Rohmadi, M. 2016. Guru & Dosen Hebat dan Luar Biasa. Surakarta: Yuma Pustaka. Tang, C. Michael. 2006. Kisah-kisah Kebijaksanaan China Klasik: Refleksi bagi Para Pemimpin. Jakarta: Gramedia.
24
Dr. Muhammad Rohmadi, M. Hum., Strategi Pembentukan Budi
IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN DONGENG DALAM MEMBANGUN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI DAN KECERDASAN EMOSIONAL SISWA SEKOLAH DASAR Adenasry Avereus Rahman Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta Email:
[email protected]
Abstract This study aimed to describe and explain ( 1 ) the implementation of a fairy tale of learning to develop character education and ( 2 ) Learning fairytale as develop emotional intelligence elementary school students. The results of this review that the learning fairytale students can develop character education that would affect the emotional intelligence with the values and the mandate contained in the story as well as with the values of the students internalize these values in learning and everyday life , With the values of the emotional intelligence will be obtained. And with the emotional and planting kecerdeasan character value students will excel academically and emotionally capable of mastering themselves . Keywords : fairytale learning , emotional intelligence , primary school students PENDAHULUAN Bahasa Indonesia merupakan salah satu mata pelajaran wajib dikalangan pelajar. Bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional yang wajib dipelajari bagi seluruh kalangan karena dijadikan sebagai sarana komunikasi. Indonesia terdiri dari berbagai ras dan budaya, untuk menyelaraskan keaneragaman tersebut digunakan bahasa Indonesia sebagai salah satu sarana untuk menjembatani perbedaan tersebut. Dalam pembelajaran bahasa Indonesia terdapat 4 aspek yang harus dipenuhi yaitu membaca, menulis, mendengar, dan berbicara. Keempat aspek tersebut mempunyai bagian-bagian yang perlu dipelajari, karena itu merupakan satu kesatuan dalam memahami bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia sejatinya tidak hanya berbicara tentang bagaimana menulis dan membaca dengan baik atau bagaimana menggunaan ejaan serta EYD yang baik. Akan tetapi, bahasa Indonesia juga berhubungan dengan sastra. Pembelajaran tentang sastra khususnya karya sastra bisa dijadikan sebagai cerminan dalam kehidupan yang nantinya bisa dijadikan refleksi dalam kehidupan sehari-sehari. Merefleksi kehidupan sehari-hari itu bisa dengan menginternalisai nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra. Pada dasarnya sastra merupakan cipta atau karya dari sebuah tulisan yang dalam Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
25
membawakan kisahnya. Sastra menyentuh sisi kemanusiaan yang biasanya tidak tersetuh dalam kehidupan sehari-hari. Sastra bisa dijadikan sebagai cerminan dalam kehidupan bahwa apa yang telah dilakukan itu apa temasuk dalam katagori benar atau salah. Itu merupakan manfaat dari sastra selain digunakan sebagai bahan bacaan untuk dijadikan hiburan. Karya sastra yang sesuai dijadikan bahan pembelajaran untuk siswa sekolah dasar ialah dongeng. Dongeng dapat dijadikan pembelajaran bahasa Indonesia dengan tujuan siswa mampu menyampaikan pesan pendek yang terdapat dalam dongeng tersebut. Pesan pendek tersebut bisa berupa amanah yang ada dalam dongeng tersebut. Dalam amanah juga terdapat pesan moral yang didalamnya terdapat nilai-nilai budi pekerti. Selain siswa diharuskan untuk bisa menyampaikan pesan pendek dari sebuah dongeng, siswa diharapkan mampu mengambil dan memahami nilai budi pekerti dalam sebuah dongeng. Tujuan yang terakhir dalam penanaman nilai budi pekerti pada siswa sekolah
dasar
ialah
siswa
mampu
meningkatkan
kecerdasan
emosionalnya.
Kecerderdasan emosional tersebut mampu mempengaruhi tumbuh kembang siswa yang secara emosional masih dengan belajar coba-coba dan cara meniru. Oleh karena itu peran guru sangat dibutuhkan dalam kondisi seperti ini. Maka dari itu makalah ini berjudul “Implementasi Pembelajaran Dongeng Dalam Membangun Pendidikan Budi Pekerti Dan Kecerdasan Emosional Siswa Sekolah Dasar” KAJIAN TEORI Hakikat Sastra sebagai "gejala kejiwaan" di dalamnya terkandung fenomenafenomena yang terkait dengan psikis atau kejiwaan. Dengan demikian, karya sastra dapat didekati dengan menggunakan pendekatan psikologi. Hal ini dapat diterima, karena antara sastra dan psikologi memiliki hubungan yang bersifat tak langsung dan fungsional (Aminuddin, 1990:101). Penelitian psikologi sastra merupakan sebuah penelitian yang menitikberatkan pada suatu karya sastra yang menggunakan tinjauan tentang psikologi. Psikologi sastra dapat mengungkapkan tentang suatu kejiwaan baik pengarang, tokoh karya sastra, maupun pembaca karya sastra. Penelitian psikologi sastra membutuhkan kecermatan dan ketelitiaan dalam membaca supaya dapat menemukan unsur-unsur yang mempengaruhi kejiwaan. Karya sastra menampilkan aspek kejiwaan yang digambarkan melalui tokoh dan menjadikan manusia sebagai penggerak jiwa tiga cara yang dapat dilakukan 26
Adenasry Avereus Rahman , Implementasi Pembelajaran Dongeng
untuk memahami hubungan antara psikologi dengan sastra, yaitu (1) memahami unsur-unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis, (2) memahami unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional dalam karya sastra, (3) memahami unsur-unsur kejiwaan pembaca (Rama, 2004: 343). Sastra atas peran jiwa akan melahirkan sekian juta identitas diri manusia. Ada sastra yang menyuarakan jiwa sakit, jiwa buruh, jiwa priyayi, jiwa merdeka, jiwa bajingan, dan seterusnya. Hal itu semua adalah refleksi kritis. Refleksi tidak berarti mentah, tetapi telah dimasak dengan imajinasi tinggi. Fakta tidak akan disajikan secara apa adanya. Fakta hanya bahan, tetapi ramuan kejiwaan yang akan membawa ketitik tertentu hingga karya sastra itu disebut berbobot. Pendidikan Karakter Nilai-nilai Pendidikan (edukasi) adalah suatu nilai yang dapat diambil dari sebuah sikap atau perilaku dalam media. Dalam hal ini lebih kepada iklan Nutrilon Royal 3-Life Is An Adventure yang menjadi fokus penelitian dari peneliti. Adapun kriteria manusia yang baik dalam iklan Nutrilon Royal 3-Life Is An Adventure secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat. Oleh karena itu, hakikat dari nilai-nilai pendidikan dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yaknipendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda. Kecerdasan Emosional menurut Mayer (dalam subyantoro, 2013:69) emosi merupakan sistem respon yangterkoordinasi, emosi terjadi dalam keadaan biologis tertentu keadaan eksperimental tertentu, keadaan kognitif tertentu yang terjadi secara simultan. Oleh karena itu, emosi menyatuan pikiran, perasaan, dan tindakan. Pengertian tentang kecerdasan emsosional sampai saat ini masih dalam perdebatan. Menurut Salovey & Mayor (dalam subyantoro, 2013:69)
menyatakan bahwa kecerdasan
emosional ada;ah kemampuan untuk merasakan secara akurat, memahami dan mengekspresikan emosi. Kemampuan untuk mengetahui dan menjelaskan perasaan ketika perasaan tersebut mempengaruhi pikiran, kemampuan memahami perkembangan emosi serta intelektual. Pendapat lain menyatakan bahwa kecerdasan emosional adalah seuatu keterampilan memahami diri sendiri, keterampiran megatur diri sendiri, memotivasi dan empati yang merupakan predikator yang sangat kuat dan dapat dipercaya unutk meraih keberhasilann di tempat kerja. Oleh karena itu, seseorang yang mempunyai kecerdasan Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
27
emosional adalah seseorang yang menyadari emosinya sendiri dan emosi orang lain dan menyesuaikan perilaku berdasarkan pengetahuannya tentang kecerdasan emosional tersebut (Alan dalam subyantoro, 2013:70) Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional sebagai kemampuan memahami dan mengelola emosi dan sebagai ahli lainya mendefinisikan sebagai keterampiran memahami dan mengelolah emosi. Namun yang pasti, kecerdasan emosional seseorang dapat ditingkatkan melalui serangkain proses belajar. PEMBAHASAN Pembelajaran sastra khususnya tentang dongeng bisa dijadikan media dalam pembelajaran sekolah dasar, dikatakan demikian ini merujuk kepada SK dan KD siswa sekolah dasar. Dalam SK dan KD tersebut pembelajaran dongeng diajarkan dengan tujuan siswa mampu menyampaikan pesan pendek kepada orang lain setelah mendengarkan cerita dongeng yang dikisahkan. Misalnya dongeng tentang bawang merah dan bawang putih yang di dalamnya terdapat nila-nilai moral seperti tolong menolong dan saling menghargai. Dongeng tersebut dibawakan oleh guru ketika dalam pembelajaran bahasa Indonesia setelah guru bercerita tentang dongeng tersebut siswa diharapkan memahami dan bisa mengambil nilai-nilai dan amanah yang terkandung dalam dongeng tersebut. Mengisahkan sebuah dongeng merupakan peran guru yang paling utama. Guru harus benar-benar bisa mengisahkan cerita tersebut dengan penghayatan dan pemahaman yang baik, karena dengan itu siswa mampu terbawa akan suasana yang di berikan oleh guru, sehingga siswa mampu memahami nilai-nilai tersebut dapat menyampaikan pesan pendek kepada orang lain. Setelah pembelajaran guru diharapkan mampu menanamkan nilai-nilai budi pekerti yang ada dalam dongeng tersebut dengan tujuan siswa bisa menginternalisasi nilai-nilai tersebut dan dapat dijadikan sebagai pengembangan kecerdasan emosional. Menurut Goelman ada lima dimensi kecerdasan emosional, yaitu 1) memiliki pengetahuan akan emosi sendiri (keterampilan mengenali emosi diri). Keterampilan ini merupakan modal untuk membuat keputusan yang tepat. 2) Mengatur perasaan sendiri (keterampilan mengatur emosi). Sadar akan emosi sandiri dan bisa mengaturnya merupakan sumber untuk hidup tenteram, tenang dalam menghadapi kesulitan hidup dan tidak larut dalam amarah, cemas, sedih atau frustasi. 3) Memanfaatkan perasaan 28
Adenasry Avereus Rahman , Implementasi Pembelajaran Dongeng
untuk tujuan tertentu keterampila memotivasi diri sendiri. Hal ini berarti kita dapat mendominasi perasaan sendiri. 4) Mengenali perasaan orang lain, sumber empati keterampilan berempati. Ini merupakan keterampilan menangkap sinyal-sinyal sosial yang subtil sehingga kita bersedia menampung perasaan, kebutuhan, dan kehendak orang lain. 5) Mengendalikan perasaan orang lain keterampilan membina hubungan. Ini merupakan modal dalam pergaulan sosial dan dalam menjalin hubungan yang menyenangkan serta membangun popularitas, juga modal untuk fungsi kepemimpinan. Peran cerita yang nantinya membawakan kisah-kisah berupa dongeng dijadikan sebagai salah satu sarana untuk mengembangkan kecerdasan emosional anak-anak, tidak terlepas dari konsep cerita sebagai model kehidupan. Artinya, cerita menggambarkan dunia imajiner yang memiliki hubungan secara langsung maupun tidak langsung dengan kehidupan dalam nyata. Dalam hal ini keberadaan cerita yang diciptakan pengarang memang tidak dapat dilepaskan dari pengarang dan kehidupan nyata. Melalui cerita seorang pengarang merekam sebuah dunia kehidupan, karena ia ingin memahami kehdupan dengan membangun sebuah model dan menjelaskan berbagai kemungkinan dalam kehidupan dari model tersebut (Kayam dalam Subyantoro, 2013:83). Di samping itu kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial yang mencakup hubungan antarmanusia yang terjadi dalam dunia nyata. Dengan demikian peristiwa-pesritiwa yang terjadi dalam batin seseorang maupun dalam hubungan antarmanusia, yang sering menjadi bahan cerita adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain dan dengan masyarakat (Damono dalam Subyantoro, 2013.83). PENUTUP Berdasarkan pembahasan di atas dapat simpulkan bahwa dengan pembelajaran sastra khususnya dongeng, siswa dapat membangun nilai budi pekerti yang ada dalam dongeng tersebut. Karena dengan membangun nilai budi pekerti pada siswa sekolah dasar secara tidak langsung juga menanamkan kebaikan yang dimulai dari usia dini dan ini cocok dengan perkembangan otak untuk meningkatkan kecerdasan emosional dan kognitifnya. Selain itu dengan menanamkan nilai budi pekerti ini secara tidak langsung juga menghambat perkembangan tingkah laku ke arah yang negatif. Siswa telah dibekali sejak dini tentang nilai-nilai budi pekerti, sehingga secara emosional siswa mampu mengetahui perbuatan yang baik dan salah.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
29
DAFTAR PUSTAKA Aminuddin. 2006. Sekitar Masalah Sastra. Malang: Yayasan Asih Asuh. Nurgiyantoro, Burhan. 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Tehnik Penelitian Sastra: Dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme perspektif wacana naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sudjiman, Panuti. 2010. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Dunia Pustaka. Sayuti, Suminto. A. 2000. Berkenalan dengan Prosa Fiksi. Yogyakarta: Gama Media. Subyantoro. 2013. Pembelajaran Bercerita. Yogyakarya: Penerbit ombak.
30
Adenasry Avereus Rahman , Implementasi Pembelajaran Dongeng
PEMBELAJARAN TEMATIK MEMBANGUN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI SISWA KELAS RENDAH SEKOLAH DASAR Arifah Nian Ekasari Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta Email:
[email protected] Abstract This paper reviewed the obstacle factors of character education low grade primary school students and thematic learning builds character education low grade primary school students. Characteristics of students as the primary concern of teachers in designing learning activities to fit the needs of students. Character education should be integrated with subjects relevant to curriculum for elementary school students. Learning this way is referred to thematic learning, learning that focus to the theme of the material taught. Character education which is inserted on the integration of subjects will greatly assist the formation of the personality and character of elementary school students, especially for lower grade students. Keywords: thematic learning, character education, primary school, primary school teachers
PENDAHULUAN Sekolah sebagai wahana pendidikan kedua bagi anak. Kepribadian dan karakter anak akan terbentuk, sehingga peran guru sangat diperlukan. Tugas seorang guru tidak hanya menyampaikan materi ajar kepada siswanya, tetapi juga mendidik. Mendidik dalam artian mengarahkan siswa agar memiliki kemampuan dalam ranah kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Sebagaimana UU RI Nomor 21 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pendidikan sangat berperan dalam membangun pendidikan budi pekerti anak. Salah satunya melalui kegiatan pembelajaran berdasarkan kurikulum yang menekankan Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
31
pentingnya budi pekerti. Setyowati (2009: 149), pendidikan budi pekerti dapat diartikan sebagai penanaman nilai-nilai akhlak, tata krama, bagaimana berperilaku baik pada orang lain. Pada perkembangannya, pendidikan budi pekerti tidak hanya melibatkan relasi sosial anak, tetapi juga melibatkan pengetahuan, perasaan, dan perilaku anak yang berada dalam ranah pendidikan karakter. Adapun guru sebagai seorang yang memberikan tindakan secara langsung, diperlukan kepekaan guna mengidentifikasi karakteristik siswanya. Karena setiap siswa mempunyai latar belakang keluarga yang berbeda-beda, termasuk lingkungan tempat tinggalnya. Inilah yang paling berpengaruh pada pendidikan budi pekerti siswa secara personal. Kondisi tersebut akan mencerminkan cara bertutur kata, sikap/perilaku yang ditunjukkan kepada orang sekitar, maupun daya tangkap materi pelajaran di kelas. Guru hendaknya lebih memperhatikan masalah ini, penanaman nilai moral dan pendidikan budi pekerti anak-anak usia sekolah perlu tindak lanjut. Salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah menerapkan pembelajaran yang berbasis pendidikan budi pekerti pada setiap mata pelajaran yang diajarkan. Seperti halnya jenjang pendidikan sekolah dasar, pembelajaran
tematik
atau
integrasi
beberapa
mata
pelajaran.
Sebelumnya,
pembelajaran tematik diawali dengan menentukan tema yang tidak lepas dari aspek pengetahuan, aspek sikap, dan aspek keterampilan. PEMBAHASAN Faktor-faktor Penghambat Pendidikan Budi Pekerti Siswa Kelas Rendah Sekoah Dasar Ada dua faktor yang menjadi penghambat pelaksanaan budi pekerti di sekolah dasar, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berasal dari siswa dan guru. Pertama, siswa secara personal. Hal ini berkaitan dengan kepekaan dan kesadaran diri yang dimiliki oleh setiap siswa. Antara siswa satu dengan yang lainnya sangatlah berbeda, sehingga perlu peran serta guru dalam membentuk sikap ini. Kemauan diri akan terlihat dari cara siswa bersikap dengan teman maupun guru, apakah menunjukkan tingkah laku yang positif atau tidak. Kedua, guru sebagai pendidik. Sudah menjadi tugas guru untuk menanamkan nilai-nilai budi pekerti sebagaimana program sekolah sesuai kurikulum pendidikan nasional. Namun, pemahaman guru akan penyampaian pendidikan budi pekerti ini masih tergolong kurang. Dikarenakan adanya kegiatan guru yang beragam di luar kegiatan mengajar. 32
32 Arifah Nian Ekasari , Pembelajaran Tematik Membangun
Faktor eksternal diidentifikasi dari latar belakang setiap siswa, baik lingkungan keluarga maupun lingkungan tempat tinggal yang mempengaruhi sistem pergaulan siswa sekolah dasar. Seperti halnya siswa-siswi kelas rendah sekolah dasar daerah tertentu, lingkungan keluarga bertaraf ekonomi menengah ke bawah sangat mempengaruhi budi pekerti anak. Kondisi keluarga yang memprihatinkan, seperti: orang tua yang terlalu sibuk, sehingga anak-anaknya kurang mendapat perhatian. Ada pula siswa yang orang tuanya telah bercerai, berpengaruh pada kualitas belajar dan cenderung bersikap hiperaktif/ membuat kegaduhan di kelas. Orang tua yang acuh terhadap anaknya, sehingga mengakibatkan lemahnya daya tangkap materi pelajaran. Selain itu, lingkungan tempat tinggal mempengaruhi sikap maupun tingkah laku yang ditunjukkan. Ini terlihat dari cara bertutur kata dan sikap/perilaku yang ditunjukkan terhadap orang di sekitarnya. Siswa-siswi yang tinggal di suatu lingkungan yang baik, menjunjung tinggi norma dan nilai kesopanan akan menjadikan seorang anak yang berbudi. Sebaliknya, lingkungan dengan pergaulan yang tidak sehat akan menjadikan seorang anak bertingkah laku negatif, tidak terpuji, dan memicu perselisihan. Pembelajaran Tematik Membangun Pendidikan Budi Pekerti Siswa Kelas Rendah Sekolah Dasar Aspirasi seluruh rakyat Indonesia menghendaki agar budi pekerti luhur dibudayakan dalam semua aktivitas pembelajaran di sekolah. Untuk itu, domain pendidikan budi pekerti guna mengisi jiwa peserta didik dengan moral dan akhlak agar bertingkah laku yang baik untuk diwujudkan dalam kurikulum sekolah dasar, tetapi pengimplementasiannya jauh lebih penting manakala disertai adanya upaya pembiasaan, pengamalan, pengkondisian lingkungan dan keteladanan (Sutjipto, 2014: 496). Berkaitan dengan hal tersebut, pendidikan budi pekerti menjadi perhatian utama dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah. Pendidikan budi pekerti hendaknya dapat diintegrasikan dengan mata pelajaran yang relevan sesuai kurikulum. Tindakan integrasi ini sebagai tindakan sengaja untuk memadukan antarmata pelajaran untuk siswa sekolah dasar. Pembelajaran seperti ini disebut sebagai pembelajaran tematik, yaitu pembelajaran yang menitikberatkan kesesuaian tema terhadap materi pelajaran yang diajarkan. Khusus untuk siswa kelas rendah (kelas II) sekolah dasar, pembelajaran Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
33
tematik sesuai untuk dibelajarkan. Kegiatan pembelajaran ini diawali dengan ketertautan tema dengan ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Siswa diharapkan memiliki pengetahuan tentang tema. Dengan pembelajaran tersebut, siswa dapat bersikap sesuai dengan norma kehidupan bermasyarakat. Kemudian, siswa dapat memiliki keterampilan yang dilihat dari praktek berdasarkan tema yang telah dipelajari sebagai wujud pengaplikasian dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran tematik memiliki karakteristik yang berpihak kepada para siswa, yaitu: (1) berpusat pada siswa, pembelajaran tematik berpusat pada siswa (student centered); (2) pembelajaran tematik dapat memberikan pengalaman langsung kepada siswa (direct experiences); (c) pemisahan mata pelajaran tidak begitu jelas; (d) menyajikan konsep dari berbagai mata pelajaran dalam suatu proses pembelajaran; (e) hasil pembelajaran sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa; (f) menggunakan prinsip belajar sambil bermain dan menyenangkan (Depdiknas, 2006). Pembelajaran tematik disebut juga pembelajaran terpadu karena melibatkan beberapa mata pelajaran. Dalam pelaksanaannya, guru akan memberikan pemahaman berdasarkan pengalaman siswa agar dapat memahami materi pelajaran yang sedang dipelajari. Jika pembelajaran di sekolah dasar kelas rendah dilakukan secara terpisah pada setiap mata pelajaran, akan mengakibatkan siswa kurang mengekslorasi pengetahuannya. Pembelajaran tematik lebih menekankan pada penerapan konsep belajar sambil melakukan sesuatu (learning by doing). Oleh karena itu, dalam membuat RPP guru perlu merancang dan mengemas pengalaman belajar yang bermakna bagi siswa (Munasik, 2014: 111). Guru perlu melakukan pemetaan tema pada semua standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator agar dapat dipadukan dengan tema yang dipilih. Kreativitas guru sangat dituntut pada pelaksanaan pembelajaran tematik ini, karena guru perlu mengembangkan tema materi pelajaran berdasarkan kehidupan siswa atau peristiwa yang terjadi di sekitar. Selain itu, sarana prasarana atau media pembelajaran yang digunakan perlu dipersiapkan agar pelaksanaan pembelajaran berlangsung menyenangkan dan menarik bagi siswa. Pembelajaran tematik dapat membangun pendidikan budi pekerti siswa sebagai wujud keberhasilan guru sekolah dasar. Tidak hanya pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Agama saja, pendidikan budi pekerti hendaknya dapat dibelajarkan guru pada setiap mata pelajaran yang terintegrasi secara terpadu. 34
34 Arifah Nian Ekasari , Pembelajaran Tematik Membangun
Sebagaimana karakteristik pembelajaran tematik, pendidikan budi pekerti tersisip pada setiap pembelajaran yang sedang diajarkan kepada siswa. Upaya yang dilakukan guru adalah: (1) lakukan pemetaan standar kompetensi, kompetensi dasar tiap mata pelajaran; (2) pilih mata pelajaran yang relevan atau dapat dibelajarkan bersama dalam satu kali pertemuan/tatap muka; (3) penentuan tema sesuai materi ajar; (4) rencanakan jumlah pertemuan atau tatap muka pada setiap tema yang diajarkan; dan (5) siapkan alat peraga atau media pembelajaran pendukung tema sesuai materi ajar. Tahap
pelaksanaan
pembelajaran
tematik
meliputi:
(1)
kegiatan
pendahuluan/awal; (2) kegiatan inti; dan (3) kegiatan penutup (Depdiknas, 2006). Misalnya, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran kelas rendah (Kelas II) dirancang untuk membelajarkan matematika, bahasa Indonesia dan IPS selama 3 x 35 menit atau satu pertemuan/tatap muka. Tema yang diajarkan adalah tentang keluarga. Kegiatan inti pembelajaran yang dilakukan, yaitu: (1) siswa melakukan tanya jawab tentang teks yang dibaca, misalnya puisi tentang keluarga; (2) melalui tanya jawab siswa dapat menjelaskan tentang dokumen pribadi dan keluarga; (3) siswa menghitung jumlah dokumen pribadi dan keluarga yang dimiliki; (4) siswa menulis bilangan secara urut dari 1-500. Pendidikan budi pekerti dapat dibelajarkan pada tiap-tiap tahapan kegiatan pembelajaran tersebut. Tahap pertama, ketika siswa tanya jawab tentang teks puisi keluarga, guru dapat memberikan pemahaman tentang pentingnya patuh terhadap orang tua dan menjadi anak yang berbakti. Tahap kedua, melalui tanya jawab tentang dokumen pribadi dan keluarga, guru dapat memahamkan siswa arti sikap tanggung jawab di dalam keluarga, kerja sama yang baik antaranggota keluarga, sopan santun terhadap orang tua. Tahap ketiga, setelah siswa menghitung dan menulis bilangan, guru membudayakan ketelitian pada setiap penugasan siswa, tata krama dan sikap menghargai antarteman yang belum mengerti tentang materi pelajaran. Tahap keempat, setelah siswa selesai menulis bilangan hendaknya guru memberikan arahan tentang sikap disiplin (tepat waktu) dalam mengerjakan sesuatu, membudayakan antri ketika siswa berebut minta nilai kepada guru. Hal yang utama bagi guru sekolah dasar dalam merancang pembelajaran tematik adalah guru harus mampu menjabarkan kompetensi dasar menjadi indikator-indikator pembelajaran. Pemilihan tema sesuai dengan materi ajar yang diterapkan dalam Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
35
kegiatan pembelajaran sebagai upaya pencapaian kompetensi dasar setiap siswa. Adapun guru kelas rendah sekolah dasar dalam merancang kegiatan pembelajaran lebih memperhatikan karakteristik siswa agar sesuai dengan kebutuhan anak tersebut. Karena hal ini akan sangat berpengaruh pada siswa terutama daya tangkap materi pelajaran dan hasil belajarnya. Pendidikan budi pekerti yang tersisip pada integrasi mata pelajaran akan sangat membantu pembentukan kepribadian dan karakter siswa sekolah dasar terutama untuk siswa kelas rendah. Diharapkan siswa memiliki budi pekerti yang baik dan taat pada norma dimana pun ia berada, baik di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, maupun lingkungan tempat tinggal. PENUTUP Berdasarkan ulasan di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat faktor-faktor penghambat pendidikan budi pekerti, baik faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berasal dari siswa dan guru. Pada siswa, perlunya kepekaan, kesadaran diri, dan kemauan yang terlihat dari cara siswa bersikap dengan teman maupun guru, apakah menunjukkan tingkah laku yang positif atau tidak. Pada guru, kurangnya pemahaman guru akan penyampaian pendidikan budi pekerti, dikarenakan adanya kegiatan guru yang beragam di luar kegiatan mengajar. Faktor eksternal diidentifikasi dari latar belakang setiap siswa, baik lingkungan keluarga maupun lingkungan tempat tinggal yang mempengaruhi sistem pergaulan siswa sekolah dasar. Pembelajaran tematik menitikberatkan kesesuaian tema terhadap materi pelajaran yang diajarkan. Pembelajaran tematik disebut juga pembelajaran terpadu karena melibatkan beberapa mata pelajaran. Pemilihan tema sesuai dengan materi ajar yang diterapkan dalam kegiatan pembelajaran sebagai upaya pencapaian kompetensi dasar setiap siswa. Adapun guru kelas rendah sekolah dasar dalam merancang kegiatan pembelajaran lebih memperhatikan karakteristik siswa agar sesuai dengan kebutuhan anak tersebut. Selain itu, pendidikan budi pekerti yang tersisip pada integrasi mata pelajaran akan sangat membantu pembentukan kepribadian dan karakter siswa sekolah dasar terutama untuk siswa kelas rendah.
36
36 Arifah Nian Ekasari , Pembelajaran Tematik Membangun
DAFTAR PUSTAKA Badan Standar Nasional Pendidikan. 2006. Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dan Model Silabus Mata Pelajaran SD/MI. Jakarta: Depdiknas. Munasik. 2014. Kemampuan Guru Sekolah Dasar dalam Menerapkan Pembelajaran Tematik di Sekolah. Jurnal Pendidikan, 15 (2) 2014, 105-113. Setyowati, Erna. 2009. Pendidikan Budi Pekerti Menjadi Mata Pelajaran di Sekolah. Jurnal Lembaran Ilmu Kependidikan 39 (2) 2009, 148-154. Sutjipto. 2014. Pendidikan Budi Pekerti pada Kurikulum Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 20 (4) 2014, 483-498.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
37
PENANAMAN BUDI PEKERTI SISWA MELALUI PELAJARAN BAHASA JAWA DI SEKOLAH DASAR Biya Ebi Praheto Mahasiswa S3 Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret Surakarta Dosen Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Email:
[email protected] Abstract Decreased morale of young people should be a serious concern in all walks of life. This makes the moral education needs to be intensified again through various fields, one of which is integrated into the cargo subjects in school. Java language as one of the local content subjects have enormous benefits in forming the character of students. Java language classes contain not only language skills but also to load the noble values Javanese philosophy which is strongly character value. Seeing this, the Java language learning can not be underestimated. Teachers should be able to deliver the payload character value to the students well. Mastery of the Java language as a language skills have an important role in the preservation of culture, but the return of the moral character of students is far more important than just the students memorize vocabulary or the like. So that school learning not only requires students to be good at in terms of cognitive but also to be facilitated in terms of planting manners and their application in everyday life through the load of the Java language lessons. Keywords: Character, Javanese Language Lessons
PENDAHULUAN Dunia pendidikan di Indonesia sedang dicoreng oleh tingkah laku kenalakan anak. Tidak hanya siswa tingkat menengah atas saja, tetapi diseluruh tingkatan pendidikan. Banyak terjadi kasus kenakalan anak yang seharusnya menjadi tanggungjawab semua lini atau pihak. Potret kenakalan remaja tersebut selalu mewarnai berbagai media setiap harinya dari kasus yang ringan hingga kasus yang berat. Sebagai contoh kenakalan remaja antara lain penyalahgunaan obat-obatan terlarang, merokok, tidak menghargai orang lain, hingga kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh anak dibawah umur dan lain sebagainya. Lickona (2015: 5) menyebutkan bahwa perilaku anak-anak pada masa sekarang telah berubah lebih jauh dalam hal keterlibatan diri mereka sebagai bagian dari masyarakat. Perubahan-perubahan tersebut tidak hanya tergambar dari perilaku kekerasan yang dilakukan oleh remaja, tetapi juga dari berbagai bentuk ucapan dan 38
Biya Ebi Praheto, Penanaman Budi Pekerti
tindakan tidak terpuji yang juga sudah mulai dilakukan oleh anak-anak. Hal tersebut tidak hanya dititikkan pada lingkungan sekolah saja, akan tetapi lingkungan masyarakat dan lingkungan keluarga sangat berpengaruh terhadap terbentuknya karakter anak. Selain itu, kebijakan pemerintah berkaitan pelaksanaan pendidikan pun menjadi salah satu factor yang dapat mendukung berjalannya pendidikan budi pekerti di sekolah. Ki Hadjar Dewantara (2013: 70) menyebutkan bahwa di dalam kehidupan anakanak ada tiga tempat yang menjadi pusat pendidikan yang sangat penting yaitu alam keluarga, alam perguruan, dan alam pergerakan pemuda. Hal tersebut sering kita kenal dengan tripusat pendidikan yaitu pendidikan di dalam keluarga, sekolah dan masyarakat. Hal senada juga disampaikan oleh Lickona (2015: 554) yang menyatakan bahwa keberhasilan jangka panjang akan pendidikan nilai-nilai yang baru bergantung pada kekuatan di luar sekolah pada taraf ketika keluarga dan komunitas bergabung dengan sekolah dalam usaha bersama untuk memenuhi kebutuhan akan anak-anak dan membantu perkembangan kesehatan meraka. Berkaitan dengan budi pekerti, Ki Hadjar Dewantara (2013:25) menyebutkan bahwa yang dinamakan budi pekerti atau watak yaitu bulatnya jiwa manusia, yang dalam bahasa asing disebut karakter. Orang yang telah mempunyai kecerdasan budi pekerti senantiasa memikirkan dan merasakan serta selalu memakai ukuran, timbangan dan dasar-dasar yang pasti dan tetap. Budi pekerti juga merupakan bersatunya gerak fikiran, perasaan, dan kehendak atau kemauan, yang menimbulkan tenaga. Budi Pekerti berisi nilai-nilai perilaku manusia yang akan diukur menurut kebaikan dan keburukannya melalui norma agama, norma hukum, tata karma dan sopan santun serta norma budaya atau adat istiadat masyarakat. Budi pekerti dapat dirumuskan sebagai upaya membina cipta, rasa, dan karsa seseorang yang diaktualisasikan ke dalam sikap, kata-kata dan tingkah laku agar mereka tumbuh dan berkembang secara utuh berdasarkan nilai-nilai luhur dan mulia baik dalam pandangan tuhan maupun dalam pandangan manusia (Sutipto, 2014: 486). Sejalan dengan pendapat tersebut, Setyowati (2009: 151) menyebutkan bahwa pendidikan budi pekerti dapat diwujudkan dalam bentuk perbuatan, perkataan, pikiran, sikap, perasaan dan kepribadian anak didik. Pembelajaran budi pekerti di sekolah akan menuntun peserta didik dalam bersikap dan
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
39
berprilaku baik dilandasi nilai-nilai moral dan menjadikannya sebagai kebiasaan seharihari (Muslimah, 2013: 247). Istilah budi pekerti tidak jauh berbeda dengan istilah karakter seperti yang di sampaikan oleh Ki Hadjar Dewantara. Khan (2010: 1) mengemukakan bahwa karakter adalah sikap pribadi yang stabil hasil proses konsolidasi secara progresif dan dinamis, integrasi pernyataan dan tindakan. Dalam Dorland’s Pocket Medical dictionary dinyatakan bahwa karakter adalah sifat nyata dan berbeda yang ditunjukkan oleh individu; sejumlah atribut yang dapat diamati pada individu (Hidayatullah 2010). Di dalam kamus psikologi dinyatakan bahwa karakter adalah kepribadian ditinjau dari titik tolak etis atau moral misalnya kejujuran seseorang; biasanya mempunyai kaitan dengan sifat-sifat yang relatif tetap (Dali Gulo dalam Hidayatullah, 2010:12). Jika dikaitkan dengan pendidikan maka pendidikan karakter maupun pendidikan budi pekerti merupakan pendidikan yang mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan perilaku yang membantu individu untuk hidup dan bekerja bersama sebagai keluarga, masyarakat, dan bernegara
dan
membantu
mereka
untuk
membuat
keputusan
yang
dapat
dipertanggungjawabkan, pendidikan karakter juga mengajarkan anak didik berpikir cerdas, mengaktivasi otak tengah secara alami (Khan 2010:1-2). Williams & Schnaps (1999) mendefinisikan pendidikan karakter merupakan berbagai usaha yang dilakukan oleh para personil sekolah, bahkan yang dilakukan bersama-sama dengan orang tua dan anggota masyarakat, untuk membantu anakanak dan remaja agar menjadi atau memiliki
sifat peduli, berpendirian, dan
bertanggung jawab. Lebih lanjut Williams (2000) menjelaskan bahwa makna dari istilah pendidikan karakter tersebut awalnya digunakan oleh National Commission on Character Education (di Amerika) sebagai suatu istilah payung yang meliputi berbagai pendekatan, filosofi, dan program. Pemecahan masalah, pembuatan keputusan, penyelesaian konflik merupakan aspek yang penting dari pengembangan karakter moral. Oleh karena itu, di dalam pendidikan karakter semestinya memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengalami sifat-sifat tersebut
secara
langsung.
Secara khusus, tujuan pendidikan moral adalah membatu siswa agar secara moral lebih bertanggung jawab, menjadi warga negara yang lebih berdisiplin (McBrien & Brandt, 1997). Tujuan tersebut dilakukan dengan mengajarkan kepada siswa tentang
40
Biya Ebi Praheto, Penanaman Budi Pekerti
nilai-nilai dasar kemanusiaan seperti kejujuran, kebaikan, kedermawanan, keberanian, kebebasan, persamaan, dan rasa hormat atau kemuliaan. Jadi, pendidikan karakter adalah upaya penanaman nilai-nilai karakter yang meliputi berbagai aspek dalam lingkungan sekolah baik ditanamkan pada siswa maupun diimplementasikan ke seluruh perangkat sekolah. Pendidikan budi pekerti harus diintegrasikan kedalam seluruh lingkungan pendidikan baik di keluarga, masyarakat maupun sekolah. Selain itu, pendidiikan budi pekerti dapat dan harus diintegrasikan ke dalam seluruh mata pelajaran. Tidak terkecuali pelajaran bahasa Jawa. Pelajaran bahasa Jawa mengandung muatan yang cukup kompleks, tidak hanya berkaitan dengan ketrampilan berbahasa dan sastra, melainkan juga mengandung nilai-nilai kebudayaan Jawa yang luhur. Nilai-nilai luhur tersebutlah yang perlu diajarkan atau disampaikan kepada peserta didik, sehingga yang diperoleh peserta didik tidak hanya pengetahuan kognitif saja. Hal tersebutlah yang menjadi tantangan guru dalam menanamkan budi pekerti ke dalam jiwa peserta didik. Akan tetapi tidak hanya sebatas penanaman, melainkan sampai pada tataran tindakan dan perilaku siswa sehari-hari. Sutiyono (2013: 313) menyebutkan bahwa pendidikan budi pekerti merupakan pilar yang amat penting untuk membangun karakter bangsa. Namun, kekurangan pendidikan budi pekerti di Indonesia baru menyentuh pada tahap pengenalan dan pemahaman nilai-nilainya. Padahal, pendidikan budi pekerti seharusnya dilakukan pada tahapan internalisasi dan perilau nyata dalam kehidupan sehari-hari. PEMBAHASAN Anak Usia Sekolah Dasar Siswa sekolah dasar adalah mereka yang sedang menjalani tahap perkembangan masa kanak-kanak dan memasuki masa remaja awal. Pada masa usia sekolah dasar, anak diharapkan memperoleh pengetahuan dasar yang dipandang sangat penting bagi persiapan dan penyesuaian diri terhadap kehidupan di masa dewasa. Anak diharapkan memperoleh keterampilan-keterampilan tertentu yang meliputi: a) Keterampilan membantu diri sendiri. Pada masa ini, anak-anak mampu untuk membantu dirinya sendiri untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Dia mampu memecahkan
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
41
masalahnya sendiri sehingga ia dapat berintegrasi dengan lingkungannya. b) Keterampilan sosial. Pada masa ini anak-anak mampu bersosialisasi baik dengan teman seumurannya maupun dengan orang yang lebih tua/ muda darinya. c) Keterampilan sekolah. Anak-anak pada masa ini mampu untuk bersekolah, mengikuti pelajaran, dan menyerap pelajaran. e) Keterampilan bermain (Iskandarwassid, 2009: 139). Pada usia anak sekolah dasar, anak-anak mampu bermain mainan untuk usia mereka. Masa usia sekolah dasar disebut juga masa intelektual, karena keterbukaan dan keinginan anak untuk mendapat pengetahuan dan pengalaman. Sejalan dengan itu, Munjin (2008: 219) juga menyebutkan bahwa anak usia sekolah dasar terletak pada masa perkembengan intelektual. Masa ini berlangsung antara 7-13 tahun atau masa sekolah tingkat rendah. Pada fase ini perkembangan intelektual anak berlangsung secara pesat, mulai tumbuh rasa keingintahuan yang besar sehingga ia akan senantiasa mencari jawaban yang bisa memuaskan pikirannya bila ia mendapatkan masalah. Selain itu, Peaget menyatakan bahwa anak usia 7-11 tahun terletak pada tingkatan operasi-operasi berpikir konkret. Anak-anak di tingkatan operasi-operasi berpikir konkret sanggup memahami dua aspek suatu persoalan secara serentak. Di dalam interaksi-interaksi sosialnya, mereka memahami bukan hanya apa yang akan mereka katakana, tapi juga kebutuhan pendengarannya. Ketika mereka menjalani eksperimen pengkonservasian, mereka memahami bukan hanya perubahan yang terlihat mata, namun juga perubahanperubahan kompensatoris. Kalau begitu, kemampuan untuk mengkoordinasikan dua perspektig secara serempak membentuk landasan bagi pemikiran social sekaligus pemikiran ilmiah. (Crain, 2007: 199) Berkaitan dengan perkembangan anak, Semiawan (2008: 21) menyatakan ada dua hal yang terkait dengan perkembangan anak yaitu 1) perkembangan kognitif anak pada umur ini menunjukkan bahwa ia berada pada taraf praoperasional sampai tahap operasi konkret. 2) hal kedua terkait dengan fungsi otak. Seperti diketahui, kedua belahan otak kiri dan kanan memiliki fungsi yang berbeda-beda. Belahan otak kiri memiliki fungsi, ciri, dan respon untuk berpikir logis, teratur dan linier. Sebaliknya, belahan otak kanan terutama dikembangkan untuk mampu berpikir holistik, imaginatif, dan kreatif. Bila anak belajar formal (seperti banyak hafal menghafal) pada umur muda, maka belahan otak kiri yang berfungsi linier, logis, dan teratur amat dipentingkan dalam
42
Biya Ebi Praheto, Penanaman Budi Pekerti
perkembangannya dan ini sering berakibat bahwa fungsi otak kanan banyak digunakan dalam berbagai permainan terabaikan. Akibatnya kelak anak akan tumbuh memiliki sikap yang cendenrung bermusuhan terhadap sesama teman atau orang lain. Hal tersebut menunjuk pada suatu pertumbuhan mental yang kurang sehat. Melihat fase perkembangan anak usia sekolah dasar di atas, maka pada masa inilah menjadi masa yang cukup potensial dalam hal menanamkan karakter budi pekerti. Hal tersebut dikarenakan, segala sesuatu yang diterima siswa dapat bertahan dalam jangka panjang. Pada masa inilah yang nantinya akan membentuk karakter peserta didik dimasa yang akan datang. Jika pendidikan disekolah dasar sudah mengalami degradasi maka akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan peserta didik di masa yang akan datang. Oleh sebab itu, penanaman budi pekerti harus dilakukan sejak dini termasuk pada masa usia sekolah dasar melalui berbagai lingkungan, baik keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Proses Pembelajaran Sejalan dengan pendidikan budi pekerti, Mulyasana (2015: 67) menyebutkan bahwa orientasi pembelajaran antara lain diarahkan pada beberapa hal sebagai berikut: 1) membantu menumbuhkan nilai-nilai kebaikan, kejujuran, keadilan, kecerdasan, dan akhlak mulia di kalangan peserta didik; 2) membentuk mental unggul dan mental juara; 3) meningkatkan kualitas logika, akhlak, dan keimanan secara seimbang; 4) membebaskan peserta didik dari ketidaktahuan, ketidakmampuan, ketidakberdayaan, ketidakbenaran, ketidakjujuran, ketidakadilan, dan dari buruknya hati, akhlak, dan keimanan; 5) melatih daya ingat; 6) berorientasi pada manfaat praktis bagi peserta didik; 7) mempersiapkan masa depan peserta didik yang lebih berkualitas, mandiri, berkepribadian, dan berdaya saing; 8) meningkatkan kemajuan iptek, modernisasi dan industrialisasi sehingga denga itu peserta didik dapat menggali dan memberdayakan kehidupan dunia secara efektif dan optimal. Sholeh (2007: 131) menyebutkan bahwa pembelajaran dapat diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan oleh para guru dalam menciptakan lingkungan belajar untuk memiliki pengalaman belajar. Di sisi lain, makna belajar adalah perubahan yang relative permanen dalam perilaku atau potensi perilaku sebagai hasil dari pengalaman atau latihan yang diperkuat.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
43
Arti dan makna pembelajaran ialam membelajarkan siswa menggunakan asas pendidikan maupun teori belajar merupakan penentu utama keberhasilan (Kompri, 2015:225). Isdisusilo (2012: 155) menyebutkan bahwa kegiatan pembelajaran dirancang untuk memberikan pengalaman belajar yang melibatkan proses mental dan fisik melalui interaksi antarpeserta didik, peserta didik dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya dalam rangka pencapaian KD. Kemudian pengalaman belajar memuat kecakapan hidup yang perlu dikuasai peserta didik. Berdasarkan
penjelasan
mengenai
pembelajaran
di
atas
maka
tujuan
pembelajaran salah satunya adalah merubah sikap siswa dan menanamkan nilai kebaikan di dalamnya. Berkaitan pendidikan budi pekerti sudah sepatutnya untuk di integrasikan ke dalam semua bidang. Baik dalam tataran teoritis maupun aplikatifnya di dalam pendidikan sekolah, masyarakat, maupun keluarga. Penanaman Budi Pekerti Siswa Melalui Pelajaran Bahasa Jawa Bahasa Jawa merupakan bagian dari kearifan lokal bangsa Indonesia. Hingga sekarang ini bahasa Jawa masih dilestarikan melalui berbagai cara. Salah satunya yaitu dengan memasukkan bahasa Jawa menjadi salah satu pelajaran di sekolah dari tingkat SD hingga SMA. Perhatian terhadap pelajaran bahasa Jawa tidak hanya dalam tataran kognitif penguasaan bahasa, akan tetapi termasuk nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sebagai bentuk dari kebudayaan Jawa. Di dalam Perda Jawa Tengah Nomor 9 Tahun 2012 tentang Bahasa, Sastra, dan Aksara
Jawa
pada
pasal
3
menyebutkan
bahwa
perlindungan,
pembinaan,
pengembangan bahasa, sastra, dan aksara Jawa bertujuan untuk: 1) menjaga dan memelihara kelestarian bahasa, sastra, dan aksara Jawa sehingga menjadi factor penting untuk peneguhan jati diri daerah; 2) menyelaraskan fungsi bahasa, sastra, dan aksara Jawa dalam kehidupan masyarakat sejalan dengan arah pembinaan bahasa Indonesia; 3) mengenali nilai-nilai estetika, etika, moral, dan spiritual yang terkandung dalam budaya Jawa untuk didayagunakan sebagai upaya pembinaan dan pengembangan kebudayaan Nasional; dan 4) mendayagunakan bahasa, sastra, dan aksara Jawa sebagai wahana untuk pembangunan karakter dan budi pekerti. Sejalan dengan itu maka tujuan pembelajaran bahasa Jawa di sekolah tidak hanya mengajarkan kemampuan bahasa,
44
Biya Ebi Praheto, Penanaman Budi Pekerti
sastra, maupun aksara Jawa dari segi kemampuan berbahasa yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis saja. Akan tetapi juga harus mengajarkan nilai yang terkandung di dalam budaya Jawa. Muatan pelajaran bahasa Jawa sebagai bagian kebudayaan Jawa mengandung nilai-nilai luhur masyarakat Jawa. Sebagai contoh terdapat materi menyanyikan tembang dolanan Jawa seperti gundul-gundul pacul. Dalam tembang tersebut mengandung makna filosofi yang sangat tinggi sehingga tidak hanya mengajarkan siswa untuk dapat menyanyikannya melainkan juga menanamkan nilai yang terkandung di dalam tembang tersebut. Berdasarkan beberapa hal di atas maka bahasa Jawa sebagai kearifan lokal budaya Bangsa sangat sarat akan pendidikan budi pekerti. Istilah budi pekerti yang di sepadankan dengan karakter bukanlah hal yang asing. Usulan tentang pendidikan budi pekerti bukanlah sesuatu yang baru. Dalam rencana pelajaran pada tahun 1947 sudah terdapat pendidikan budi pekerti yang bersumber dari nilai-nilai tradisional, khususnya yang terdapat dalam cerita pewayangan (Azra, 2001: 27). Melihat besarnya makna pembelajaran bahasa Jawa sudah sepatutnya pembelajaran bahasa Jawa tidak lagi di nomor duakan tetapi harus sejajar dengan mata pelajaran yang lain. Hal tersebut dikarenakan, siswa pada masa sekarang tidak hanya butuh memperoleh kemampuan akademik saja akan tetapi siswa juga harus dibangun karakternya sehingga mampu menjadi manusia yang unggul di masa yang akan datang sebagai pemegang tombak estafet yang akan memajukan bangsa Indonesia. Berkaitan dengan pembelajaran bahasa Jawa di sekolah dasar, guru harus mampu mengajarkan nilai-nilai yang terkandung pada materi pembelajaran. Telah di contohkan sebelumnya terkait tembang dolanan gundul-gundul pacul. Contoh lain penanaman budi pekerti melalui pembelajaran bahasa Jawa nampak pada materi aksara Jawa, guru sebaiknya tidak hanya mengajarkan siswa bagaimana menulis dan membaca aksara Jawa tetapi juga harus mengajarkan makna di balik aksara Jawa sebagai contoh siswa diberi cerita sejarah terciptanya aksara Jawa yang mengandung banyak nilai. Selain itu, setiap larik maupun setiap huruf aksara Jawa memiliki makna yang luhur dan patut untuk disampaikan kepada siswa. Begitu pula dengan materi lain memiliki fungsi sebagai penanaman budi pekerti.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
45
Di dalam Perda Jawa Tengah Nomor 9 Tahun 2012 disebutkan fungsi Bahasa, Sastra, dan Aksara Jawa. Bahasa Jawa mempunyai fungsi sebagai berikut : 1) sarana komunikasi dalam keluarga dan masyarakat di daerah; 2) sarana pengungkapan dan pengembangan sastra dan budaya Jawa dalam bingkai keindonesiaan; 3) pembentuk kepribadian dan peneguh jatidiri suatu masyarakat di daerah; 4) sarana pemerkaya kosa kata bahasa Indonesia dan wahana pendukung dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah. Sastra Jawa mempunyai fungsi sebagai berikut: 1) sarana untuk meningkatkan kemampuan masyarakat agar dapat me-mahami nilai-nilai seni dan budaya di daerah; 2) sumber kearifan budaya lokal untuk didayagunakan dalam pembangun-an watak dan karakter bangsa; 3) sumber tata nilai budaya di daerah sebagai masukan muatan lokal dalam proses pendidikan dan pembelajaran di sekolah; 4) sumber tata nilai sosial dan kearifan budaya lokal di daerah untuk didayagunakan dalam pembinaan dan pengembangan kebudayaan nasional. Kemudian untuk aksara Jawa mempunyai fungsi sebagai berikut : 1) sarana untuk penulisan
sastra Jawa
sebagai sumber tata nilai budaya di daerah yang memiliki keunggulan; 2) sarana ekspresi dan apresiasi dalam beraksara yang memiliki nilai-nilai estetika; 3) sarana pembentukan karakter dan peneguhan jatidiri suatu daerah. Melihat fungsi di atas semua berkaitan dengan karakter atau budi pekerti. Sehingga hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi guru untuk menjadi guru yang kreatif dalam melaksanakan pembelajaran bahasa Jawa di sekolah terutama sekolah dasar. Karena pada masa usia sekolah dasar siswa terletak pada masa perkembangan konkret. Siswa melihat apa yang terjadi di lingkungan baik lingkungan sekolah, keluarga, maupun masyrakat dan dapat menjadikannya sebagai pengetahuan. Oleh sebab itu, penanaman budi pekerti harus dilakukan sedini mungkin termasuk di sekolah dasar. Melalui pembelajaran bahasa Jawa yang penuh akan nilai luhur budaya bangsa, siswa akan mendapatkan banyak hal seperti ikut melestarikan bahasa Jawa sebagai kearifan lokal, menguasai bahasa Jawa, lebih peduli terhadap budaya, dan yang paling penting adalah tertanamnya nilai budi pekerti di jiwa siswa dan akan menjadi karakter unggul di masa sekarang maupun di masa yang akan datang ketika siswa beranjak dewasa.
46
Biya Ebi Praheto, Penanaman Budi Pekerti
PENUTUP Degradasi moral sebagai akibat negative arus globalisasi sudah terjadi di berbagai bidang. Tidak terkecuali di dunia pendidikan. Menurunnya moral generasi muda patut menjadi perhatian yang serius di semua lapisan masyarakat. Hal tersebut menjadikan pendidikan budi pekerti perlu digencarkan kembali melalui berbagai bidang. Salah satunya di bidang pendidikan. Penanaman budi pekerti harus ditanamkan sejak dini seperti di sekolah dasar. Hal tersebut dikarenakan anak usia sekolah dasar berada pada masa emas yang perlu ditanamkan karakter sebagai bekal ketika mereka dewasa. Penanaman budi pekerti pada masa ini dapat diserap siswa dan disimpan dalam jangka npanjang sehingga mampu membentuk karakter yang baik dalam diri. salah satu cara penanaman budi pekerti yaitu dengan mengintegrasikan budi pekerti ke dalam muatan mata pelajaran di sekolah. Bahasa Jawa sebagai salah satu mata pelajaran muatan lokal memiliki manfaat yang sangat besar dalam pembentukan karakter peserta didik. Pelajaran bahasa Jawa tidak hanya memuat keterampilan berbahasa saja tetapi juga memuat nilai luhur falsafah Jawa yang sangat sarat akan nilai budi pekerti. Melihat hal tersebut, pembelajaran bahasa Jawa tidak dapat dianggap remeh. Guru harus mampu menyampaikan muatan nilai budi pekerti tersebut kepada siswa dengan baik. Penguasaan bahasa Jawa sebagai suatu keterampilan berbahasa memiliki peran penting dalam pelestarian budaya, akan tetapi pengembalian moral budi pekerti siswa jauh lebih penting dari sekedar siswa menghafal kosakata atau sejenisnya. Sehingga pembelajaran di sekolah tidak hanya menuntut siswa untuk pandai dalam hal kognitif tetapi juga harus difasilitasi dalam hal penanaman budi pekerti serta aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari melalui muatan pelajaran bahasa Jawa. DAFTAR PUSTAKA Azra, Azyumardi. 2001. Pendidikan Akhlak dan Budi Pekerti ‘Membangun Kembali Anak Bangsa”. Jurnal Mimbar Pendidikan. No. 1/XX/2001 Crain, William. 2007. Teori Perkembangan: Konsep dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Isdisusilo. 2012. Panduan Lengkap Menyususn Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran. Yogyakarta: Kata Pena
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
47
Iskandarwassid, dan Sunendar, Dadang. 2009. Strategi Pembelajaran Bahasa. PT Remaja Rosdakarya: Bandung Kompri. 2015. Motivasi Pembelajaran: Perspektif Guru dan Siswa. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Lickona, Thomas. 2015. Educating For Character – Mendidik Untuk Membentuk Karakter. Jakarta: PT. Bumi Aksara McBrien, J. L., & Brandt, R. S. 1997. The Language of Learning: A Guide to Education Terms. Alexandria, VA: Association for Supervision and Curriculum Development. Mulyasana, Dedy. 2015. Pendidikan Bermutu dan Berdaya Saing. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Munjin. 2008. Internalisasi Nilai-nilai Budi Pekerti pada Anak. Jurnal Dakwah dan Komunikas KOMUNIKA, Vol. 2 No. 2 Juli- Desember 2008. Muslimah, Setyarini. 2013. Pembelajaran Budi Pekerti bagi Anak Usia Dini. Jurnal Pendidikan Anak, Volume II, Edisi 1, Juni 2013 Peraturan Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Tengah Nomor 9 Tahun 2012 tentang Bahasa, Sastra, dan Aksara Jawa Semiawan, Conny. 2008. Belajar dan Pembelajaran Prasekolah dan Sekolah Dasar. PT Indeks: Jakarta Setyowati, Erna. 2009. Pendidikan Budi Pekerti Menjadi Mata Pelajaran di Sekolah. Lembar Ilmu Pendidikan Jilid 39, No. 2, Desember 2009 Sholeh, Moh. 2007. Perencanaan pembelajaran Mata Pelajaran Geografi Tingkat SMA dalam Konteks KTSP. Jurnal Geografi Vol. 4 No. 2, Juli 2007 Sutiyono. 2013. Penerapan Pendidikan Budi Pekerti Sebagai Pembentukan Karakter Siswa di Sekolah: Sebuah Fenomena dan Realitas. Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun III, No. 3, Oktober 2013 Sutjipto. 2014. Pendidikan Budi Pekerti pada Kurikulum Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 20, Nomor 4, Desember 2014 Tim Penyusun. 2013. Ki Hadjar Dewantara-Pemikiran, Konsepsi, Keteladana, sikap Merdeka Bagian I Pendidikan. Yogyakarta: UST Press dan Majelis Luhur Tamansiswa Williams, M., & Schnaps, E. (Eds.) 1999. Character Education: The foundation for teacher Education. Washington, DC: Character Education Partnership. Williams, M. 2000. “Models of Character Education: Perspectives and Developmental Issues”. Journal of Humanistic Counseling, Education and Development.
48
Biya Ebi Praheto, Penanaman Budi Pekerti
MEMBANGUN BUDI PEKERTI SISWA MELALUI PEMBIASAAN PENGGUNAAN BAHASA ‘JAWA’ DI SEKOLAH DASAR Devy Riri Yuliyani Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia Email:
[email protected] Abstract Indonesian people is known as a friendly nation, these rights can be shown from the use of language. Because language can reflect a person's personality. Java language has ‘unggahungguh’ are divided into three levels, namely language ngoko, madya and krama. The levels are distinguished by the use of adjusted interlocutor. In the Java language reflected the norms of propriety, manners, respect the younger and respect to elders. So students who are accustomed to using the Java language would have, courteous, polite, manners and can put themselves in the middle of the community association. Keywords: Character, culture, education, Java language.
PENDAHULUAN Latar belakang penulisan makalah ini diawali dengan adanya fenomena globalisasi yang terus berkembang di dalam masyarakat. Proses globalisasi mempermudah masuknya budaya asing terhadap budaya Indonesia, dimana hal tersebut dapat mempengaruhi nilai-nilai dan sistem budaya serta sikap dan perilaku manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Seperti yang dikemukakan Muhammad Amin (2011: 216) bahwa “sejarah telah membuktikan bahwa salah satu sebab kehancuran suatu bangsa adalah masuknya budaya asing yang tidak terbendung sehingga menggilas budaya bangsa sendiri, lambat laun budaya asing yang negatif mendominasi dan akibat fatalnya adalah hilangnya budaya asli suatu bangsa. Dengan kata lain, hilangnya jati diri bangsa dan sama halnya runtuhnya suatu bangsa.” Dengan hilangnya jati diri bangsa sangat berpengaruh terhadap harga diri dan eksistensi suatu bangsa. Selain itu disadari atau tidak dalam pelaksanaan pendidikan di Indonesia kurang menekankan tentang pendidikan moral. Pendidikan moral dianggap sebagai pelengkap dalam kurikulum. Hal tersebut juga diungkap oleh Apandi (2015: v) bahwa “gencarnya arus globalisasi dan belum optimalnya proses pendidikan saat ini disinyalir sebagai penyebab lunturnya karakter bangsa.” Padahal segala perilaku manusia tidak terlepas dari pendidikan, sebab pendidikan merupakan prores pembudayaan seseorang.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
49
Menurut Ristiani dalam Maryam (2010: 60) bahwa “pendidikan dapat diartikan sebagai proses penyampaian kebudayaan (process of transmitting culture) yang meliputi pengetahuan, ketrampilan, sikap, nilai-nilai, serta pola-pola perilaku tertentu.” Berdasarkan hal tersebut, maka proses pendidikan dapat mempengaruhi kepribadian dan karakter seseorang mulai dari cara berfikir dan sikap yang ditunjukkan dalam menghadapi lingkungan masyarakat. Pendidikan dengan berbasis budaya akan membuat masyarakat berperilaku sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Hal ini karena budaya dijadikan pandangan hidup mereka terhadap perilaku, nilai, dan kepercayaan. Sehingga dapat diwariskan melalui proses komunikasi dari satu generasi ke generasi berikutnya. Oleh karena itu untuk membangun karakter/ budi pekerti harus dilakukan sejak dini. Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang ramah, hal tersebut dapat ditunjukkan dari penggunaan bahasa. Bahasa dapat mencerminkan kepribadian seseorang. Sehingga untuk membangun budi pekerti dapat diupayakan dengan kebiasaan penggunaan bahasa daerah dalam proses pendidikan di sekolah. PEMBAHASAN Membangun Karakter/ Budi Pekerti Karakter sangat berkaitan dengan moral yang dimiliki seseorang dalam hal pengetahuan, perasaan dan perilaku moral yang berpengaruh terhadap cara berpikir dan bertindak. Menurut Samani dan Haryanto (2012: 41) bahwa “karakter dapat dianggap sebagai nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perilaku, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, adat istiadat, dan estetika.” Karakter sama halnya dengan budi pekerti. Karakter/ budi pekerti menunjukkan etika yang baik pada saat berhubungan dengan orang lain. Karakter harus diwujudkan melalui nilai-nilai moral yang ditanam dalam diri seseorang yang akan melandasi sikap dan perilaku seseorang tersebut. Dalam hal pembinaan karakter, lingkungan sangat berpengaruh terhadap karakter seseorang, dari lingkungan terkecil yaitu keluarga, masyarakat dalam hal sosial budaya yang kemudian meluas di kehidupan berbangsa dan bernegara. Jadi karakter tidak lahir dengan sendirinya, tetapi karakter dapat dibangun, dibina, dibentuk, dan dikembangkan. Dalam membangun karakter harus dilakukan secara terusmenerus, membangun karakter adalah proses yang tiada henti, karena karakter/ budi pekerti
50
Devy Riri Yuliyani, Membangun Budi Pekerti
terbentuk dari perilaku yang baik yang selalu dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan agar manusia memiliki karakter sesuai
dengan kebudayaan bangsanya
(Muhammad Amin, 2011; Aqib, 2011; Kesuma, 2012; Lickona, 2013; Mu’in, 2001). Huseein (2014) menjelaskan bahwa perpaduan antara budaya dan karakter dapat dimaknai sebagai proses pendidikan yang secara aktif mengembangkan potensi warga melalui proses internalisai dan penghayatan nilai-nilai yang menjadi kepribadian mereka dalam bergaul di masyarakat yang lebih sejahtera dan bermartabat yang dapat menjadi keunggulan bangsa. Kekayaan budaya suatu bangsa dapat berupa norma, bahasa, seni, tradisi intusi, artifak, simbol-simbol dan pemikiran yang menjadi ciri khas bangsa tersebut. Adapun menurut Tobroni (2012: 245) bahwa budaya dalam kontek pendidikan sebagai alat untuk membangun karakter dan budaya bangsa dalam diri anak didik. Oleh karena itu membangun karakter yang tidak didasari akan hal tersebut akan menyebabkan masyarakat tercabut dari akar budaya. Bahasa Jawa Bahasa adalah gudang kebudayaan. Bahasa merupakan ucapan bunyi yang digunakan seseorang untuk mengungkapkan maksud yang ada di pikiran, rasa atau kehendak. Jadi bahasa dapat disebut sebagai ‘alat dari budi’ manusia. Bahasa sangat penting fungsinya dalam proses pendidikan, bahkan sangat berpengaruh terhadap tumbuhnya watak luhur seseorang. Sehingga bahasa dapat mencerminkan kepribadian seseorang. Dimana bahasa menjadi alat yang penting untuk mencapai tujuan kulturil, yang mempertinggi derajat manusia (Ki Hadjar Dewantara, 2013; Maryam, 2010). Mengingat peribahasa ‘bahasa menunjukkan bangsa’ hal tersebut dapat mengandung pengertian bahwa baik buruk seeorang dan karakter seseorang dapat dilihat dari tutur kata atau bahasanya. Dahlan (dalam SaurI, 2006) mengemukakan bahwa tutur kata seseorang merupakan manifestasi kualitas pribadi seseorang. Kata-kata yang keluar dari lidah seseorang merupakan ungkapan isi kalbunya. Bahasa dapat membantu manusia untuk membangun cara berpikir dan menciptakan dirinya sendiri. Bangsa Indonesia sebagai Bangsa Timur dikenal dengan ramah tamah dan saling menghormati. Hal tersebut ditunjukkan dalam bahasa yang digunakan orang yang lebih muda kepada orang yang lebih tua. Penggunaan bahasa yang dilandasi etika akan mencerminkan jati diri bangsa yang santun. Maryam (2010) menjelaskan bahwa etika jika dihubungkan dengan penggunaan bahasa maka berhubungan dengan baik dan buruk, moral
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
51
dan tanggung jawab pada saat seseorang berbahasa. Etika berbahasa berhubungan dengan nilai rasa. Nilai rasa erat hubungannya dengan hati nurani, perilaku sistem kebudayaan dan keagamaan. Etika berbahasa dalam Bahasa Jawa merupakan bentuk sikap hormat pembicara kepada lawan bicaranya yang diwujudkan dalam tuturan yang sopan. Menurut Suharti (2004) bahwa perilaku berbahasa Jawa secara pragmatik adalah berkomunikasi dengan menggunakan alat bahasa Jawa sesuai dengan situasi dan konteksnya, atau yang dibatasi oleh faktor-faktor pragmatik, juga sikap santun yang ada pada diri pembicara dan lawan bicaranya, yang disebut ‘unggah-ungguh’ berbahasa Jawa. Bahasa Jawa memiliki tiga tingkatan bahasa yaitu ‘ngoko’ (kasar), ‘madya’ (biasa), dan ‘krama’ (halus). Tingkatan tersebut dibedakan menurut penggunaan yang disesuaikan dengan lawan bicaranya. ‘Ngoko’ digunakan untuk berbicara dengan teman sebaya atau yang lebih muda. ‘Madya’ digunakan untuk berbicara dengan orang yang cukup resmi. Bahasa ‘krama’ digunakan untuk berbicara dengan orang yang lebih tua atau orang yang dihormati. Oleh karena itu, bahasa Jawa memiliki etika bahasa yang baik yang mencerminkan karakteristik adat budaya Indonesia sebagai Bangsa Timur. Dalam upaya menghidupkan bahasa Jawa, Ki Hajar Dewantara mengungkapkan salah satunya yaitu mempergunakan bahasa Jawa untuk semua sekolah di daerah Jawa sebagai ‘bahasa pengantar’, tetapi pada tingkatan yang tinggi harus mementingkan bahasa Indonesia. Sehingga penggunaan bahasa Jawa ini cocok diterapkan dimulai dari tingkatan sekolah dasar. Seorang siswa akan memiliki sopan santun yang baik terhadap gurunya jika dapat menggunakan unggah-ungguh dalam berbahasa Jawa tersebut. Kegiatan dari berbahasa santun merupakan salah satu cermin dari perilaku budaya. Dalam bahasa Jawa tercermin adanya norma-norma susila, tata-krama, menghargai yang lebih muda dan menghormati yang lebih tua. Sehingga siswa yang terbiasa menggunakan bahasa Jawa akan memiliki, sopan, santun, tata krama dan dapat menempatkan diri di tengah pergaulan masyarakat. PENUTUP Kebudayaan sangat berpengaruh terhadap karakter/ budi pekerti seseorang, sehingga membangun karakter adalah proses yang tiada henti yang harus dilakukan secara terusmenerus hingga menjadi kebiasaan. Bahasa sebagai bagian dari kebudayaan sangat berpengaruh dalam pembentukan karakter/ budi pekerti, karena bahasa dapat mencerminkan kepribadian seseorang. Bahasa Jawa mengandung norma-norma susila, tata-krama, sopan
52
Devy Riri Yuliyani, Membangun Budi Pekerti
santun, menghargai yang lebih muda dan menghormati yang lebih tua. Sehingga kebiasaan dalam penggunaan bahasa Jawa yang diterapkan pada anak sejak dini atau dimulai dari tingkat sekolah dasar dapat membangun karakter/ budi pekerti peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA Aqib, Zainal. 2011. Pendidikan Karakter–Membangun Perilaku Positif Anak Bangsa. Bandung: Widya Wiksara Press. Huseein, Hasmar. 2014. Urgensi Pembangunan Karakter Bangsa Dalam Mewujudkan Kerukunan Antar Umat Beragama. Studi Multidisipliner. Volume 1, Edisi 1 21014/ 1435 H. Kesuma, dkk. 2012. Pendidikan Karakter: Kajian Teoritik dan Praktik di Sekolah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Ki Hadjar Dewantara. 2013. Ki Hadjar dewantara: Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka I (Pendidikan). Yogyakarta: Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST – Press). Liskona, Thomas. 2013. Educating For Character – Mendidik Untuk Membentuk Karakter. Jakarta: Bumi Aksara. Maryam, Siti. 2010. Budaya Nusantara Sebagai Basis Pendidikan: Kajian Teoritis dan Empiris. Bandung: Celtics Press. Mu’in, Fatchul. 2011. Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoritik & Praktik. Jogjakarta: ArRuzz Media. Muhammad Amin, Maswardi. 2011. Pendidikan Karakter Anak Bangsa. Jakarta: Banduose Media. Sauri, Sofyan. 2006. Pendidikan Berbahasa Santun. Bandung: Genesindo. Samani dan Haryanto. 2012. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Suharti. 2004. Pendidikan Sopan Santun dan Kaitannya dengan Perilaku Berbahasa Jawa Mahasiswa. Jurnal DIKSI. Volume II, No. 1, Januari Tahun 2004. Tobroni. 2012. Realisasi Kemanusiaan dalam Keberagaman (Mengembangkan Etika Sosial Melalui Pendidikan). Bandung: Karya Putra Darwati.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
53
PENGGUNAAN LIRIK LAGU ANAK-ANAK SEBAGAI MEDIA PEMBANGUN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI DI SEKOLAH DASAR Dintya Ayu Purika Program Studi Magister Pendidikan Bahasa Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta Email:
[email protected] Abstract The future generation largely been influenced by things that are negative, thus potentially lead to deviant behavior and morals that are less good. School institution as a center of education has an important role that the duty to give birth to men who believe, and devoted to God Almighty, noble, healthy, knowledgeable, skilled creative, independent, and become citizens of a democratic and accountable. The main target you want addressed in character education is the cultivation of noble values into self-learners. In practice in the field, character education can be embedded into all subjects. So in every subject should contain the spirit of the values of character education. Therefore, to build character education one can use children's song lyrics as a medium. Lyrics of songs kids can feel a positive influence on students. On average children or students in Indonesia has always been taught to sing. In this way the lyrics of songs sung expected to be internalized the meaning and his message, so that the children lyrics felt quite effective as a way of instilling positive values to be applied in the daily life of the learners. Keywords: children's song lyrics, Budi Character Education, Learning in Primary Schools
PENDAHULUAN Manusia adalah makhluk sosial yang selalu berinteraksi dengan masyarakat di sekitarnya. Dalam suatu komunitas masyarakat ada berbagai macam lapisan masyarakat. Mulai dari anak-anak, remaja, dewasa maupun lansia. Anak-anak juga selalu berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya terlebih lagi dengan keluarga inti. Hal ini sejalan dengan pendapat (Suparno, et. al., 2002) bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, manusia saling berhubungan dan bekerja sama, bantu-membantu untuk memenuhi berbagai kepentingan yang ada dalam kepentingan bersama, manusia memerlukan berbagai norma sosial. Menurut Suparno, et. al. (2002) bahwa sikap dan perilaku itu dapat dibagi menjadi lima bagian, yakni sikap dan perilaku dalam hubungannya dengan Tuhan, diri sendiri, keluarga, masyarakat dan bangsa, dan alam sekitarnya. Oleh karena itu, untuk menjamin keharmonisan, keserasian, dan keseimbangan antara berbagai kepentingan, 54
Dintya Ayu Purika,Penggunaan Lirik Lagu
hak, dan kewajiban dalam suatu masyarakat, norma-norma sosial tersebut seyogyanya dihormati dan ditaati oleh setiap warga masyarakat termasuk juga oleh anak-anak. Peran orangtua untuk memberikan pengertian-pengertian tentang hak dan kewajiban hidup bermasyarakat sangat penting. Para orang tua haruslah memberikan pembelajaran tersebut sejak dini. Agar saat mereka terjun langsung di sekolah maupun lingkup pendidikan hal tersebut sudah tertanam dalam dirinya masing-masing. Adapun contoh yang dapat diterapkan misalnya, anak-anak diajarkan untuk beribadah sesuai agamanya masing-masing, diajarkan untuk bertutur kata dengan santun kepada orang yang lebih tua maupun teman sebayanya, mengajarkan pada mereka untuk saling menyayangi teman-temannya, dan mengajarkan pada mereka untuk saling tolong-menolong. Pendidikan budi pekerti juga harus dibangun dalam lingkup pendidikan. Dalam hal ini lebih difokuskan pada jenjang sekolah dasar. Setidaknya dalam usia 7-12 tahun, anak-anak sudah bisa membedakan hal baik atau buruk. Dengan begitu penanaman nilai budi pekerti akan lebih mudah dicerna oleh anak-anak. Merujuk pendapat Megawangi (2004) pendidikan budi pekerti merupakan satu-satunya faktor penentu derajat seseorang, di samping sebagai pondasi bagi kecakapan hidup yang beradab dan sejahtera. Kecakapan hidup inilah yang harus dibangun sejak kecil oleh keluarga dan lingkungan sekolah dari peserta didik. Oleh karena itu, guru sebagai orangtua kedua peserta didik juga memiliki peran penting dalam pembentukan karakter siswa-siswinya. Salah satu hal yang dapat dilakukan oleh seorang guru dalam membangun pendidikan budi pekerti kepada siswa-siswinya adalah dengan memilih media belajar bagi peserta didik sebagai modal untuk membentuk budi pekerti mereka. Guru dapat menggunakan lirik lagu anak-anak yang diciptakan oleh putra-putri bangsa Indonesia sebagai media belajar budi pekerti. Memang saat ini jarang sekali di televisi menayangkan acara musik untuk kalangan anak-anak. Bahkan pencipta dan penyanyi lagu pun jarang ada yang menciptakan maupun menyanyikan lagu untuk anak-anak. Namun, hal tersebut tidak begitu masalah apabila guru-guru dapat memanfaatkan media internet saat ini. Lirik maupun lagu anak-anak di era 90-an dapat diunduh dengan cepat. Lagu-lagu di era tersebut cukup baik untuk diperdengarkan kepada peserta didik. Selain itu, masih banyak pencipta lagu-lagu anak yang sampai saat ini karyanya masih dikenal oleh orangtua maupun guru-guru. Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
55
Berdasarkan alasan-alasan di atas, hal yang akan dibahas dalam makalah ini ialah penggunaan lirik lagu anak-anak sebagai media pembangun pendidikan budi pekerti di sekolah dasar. Diharapkan dengan mengajari anak-anak menyanyikan dan menghayati makna lirik lagu tersebut dapat mempengaruhi karakter budi pekerti dalam diri peserta didik, sehingga di dalam kehidupan sehari-hari karakter pribadi masingmasing anak terbentuk dengan baik dan positif. PEMBAHASAN Musik merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa seseorang yang dibuat sebagai sarana hiburan dan mampu dinikmati siapa saja. Dalam kompleksitas musik itu sendiri, tidak bisa dipisahkan dari lirik lagu. Lirik lagu merupakan puisi yang dilagukan, dari berbagai sisi lirik lagu dan puisi memang tidak bisa dibedakan, namun pembeda utamanya adalah perlakuan terhadap karya tersebut. Pada lirik lagu sewajarnya dinyanyikan sesuai nada yang telah disiapkan, sedangkan puisi dibaca sesuai hakekat membaca puisi. Bahasa yang digunakan di dalam puisi sama dengan bahasa yang digunakan dalam lagu yakni menggunakan gaya bahasa yang estetis sebagai bentuk keindahan nilai sastra. Lirik lagu yang dapat digunakan sebagai bahan ajar untuk membentuk budi pekerti peserta didik adalah jenis-jenis lagu anak-anak, lagu kebangsaan, dan lagu-lagu daerah. Di dalam isi lirik-lirik lagu tersebut terkandung makna-makna yang berarti dan bernilai positif, sehingga member pengaruh yang baik jika dinyanyikan serta apa yang diamanatkan di dalamnya dapat diterapkan peserta didik. Melalui media dan bahan ajar berupa lirik lagu, keluarga dan lingkungan diharapkan mampu membentuk karakter seseorang. Menurut Suwandi (2012: 3) pendidikan keluarga dan lingkungan memiliki peran penting dalam membangun karakter seseorang. Keluarga dan lingkungan memiliki porsi yang besar dalam membentuk pribadi seseorang dalam kehidupannya. Pendidikan ini penting karena manusia tidak cukup hanya dibekali dengan kecerdasan intelektual saja, melainkan butuh kepribadian atau karakter yang cerdas. Dengan seperti itu diharapkan peserta didik dapat memiliki budi pekerti yang baik dan benar, sehingga tumbuh di masyarakat menjadi anak yang bisa diandalkan dan menjadi teladan.
56
Dintya Ayu Purika,Penggunaan Lirik Lagu
Beberapa lirik lagu anak-anak yang dapat diajarkan di sekolah dasar antara lain: Mengantar Ibu ciptaan Pak Kasur, Layang-layang ciptaan Pak Kasur, Kereta Baru ciptaan Pak Kasur, Kucingku ciptaan Pak Kasur, Kring-kring ciptaan NN, Ke Pasar Ikan ciptaan NN, Keranjang Sampah ciptaan NN, Ibu Pertiwi ciptaan NN, Ibu Kita Kartini ciptaan WR Supratman, Gelang Sipaku Gelang ciptaan NN, Dua Mata Saya ciptaan Pak Kasur, Kesayangan ciptaan Pak Dal (Daljono), Bangun Tidur ciptaan Pak Kasur, Bintang Kecil ciptaan Daljono, Balonku ciptaan Abdulah Totong Mahmud, Indonesia Raya ciptaan WR Supratman. Inilah beberapa lagu yang dapat diajarkan untuk siswa-siswi. Di bawah ini contoh lirik lagu berserta analisis makna yang terkandung dalam isi lagunya. Bangun Tidur Ciptaan: Pak Kasur Bangun tidur kuterus mandi Tidak lupa menggosok gigi Habis mandi kutolong ibu Membersihkan tempat tidurku Berdasarkan lirik lagu di atas dapat dilihat bahwa pada lirik pertama mengandung amanat semua anak-anak jika telah bangun dari tempat tidurnya haruslah segera ke kamar mandi untuk mandi pagi. Lirik kedua, mengandung pesan jika saat mandi anak-anak tidak lupa untuk menggosok giginya. Lirik ketiga, mengandung pesan jika selaesai mandi haruslah menolong ibunya. Lirik keempat, mengandung pesan bahwa anak-anak dapat menolong ibunya dengan membersihkan tempat tidur mereka masing-masing. Lagu Bangun Tidur karya Pak Kasur tersebut, jika diajarkan kepada peserta didik di sekolah dasar khususnya tingkat dasar akan sangat efektif untuk memberikan pengaruh positif bagi mereka. Anak-anak akan mengingat lirik-lirik lagu tersebut. Peran guru juga tidak kalah penting, guru-guru harus menasihati mereka untuk menerapkan amanat yang terkandung dalam lirik lagu Bangun Tidur di kehidupan mereka sehari-hari. Orangtua juga harus mengajari anak-anaknya untuk menyanyi lagu-lagu tesebut, sehingga nantinya mereka terbiasa melakukannya di rumah. Menurut Herawati (2004: 227) bahwa lagu merupakan sebuah wacana yang puitis, bahasanya singkat dan ada irama. Berdasarkan pendapat di atas, lagu merupakan Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
57
sebuah wacana puisi yang bahasanya indah, singkat, berirama, dan mudah dipahami pendengar atau pembacanya. Para peserta didik dapat dilatih untuk menyanyikannya, sehingga manfaat menggunakan lagu ini tidak hanya mengajarkan mereka budi pekerti yang baik dari amanat lagu tersebut. Namun, para peserta didik dapat belajar kosakata bahasa dalam lirik lagu tersebut. Guru dapat menggunakan bahan ajar lagu untuk mengajarkan pada siswanya kosakata-kosakata bahasa. Dengan menggunakan lirik lagu, guru-guru dapat mengajarkan keterampilan berbahasa pula. Musik sebagai salah satu sarana hiburan sering dijadikan panutan, berpikir dan bersikap oleh penikmatnya sehingga perlu kejelian di dalam memilih lagu yang tepat untuk dinikmati. Satiadarma (2004:185) menyatakan bahwa musik tidak hanya memberikan pengaruh positif, tetapi juga bisa memberikan pengaruh negatif. Musik yang bernuansa positif mampu memberikan nuansa positif yang bernilai edukatif bagi kehidupan, sedangkan musik bernuansa negatif dapat memengaruhi pengembangan sikap negatif pada diri seseorang. Musik berorientasi konstruktif membangun karakter karena musik tersebut akan selalu diingat, dipahami dan lama-kelamaan akan ditiru. Sementara itu, musik negatif berorientasi destruktif dapat menghembuskan nuansa dendam. Bagi anak-anak di bawah umur musik bernuansa negatif dapat membentuk pola pikir buruk karena musik tersebut akan selalu diingatnya, menimbulkan sifat kebebasan, dan sifat tidak terpuji. Oleh karena itu, diimbau kepada para guru dan orangtua untuk memilih lagu-lagu anak-anak yang baik dan mengandung makna yang positif. Jangan sampai salah dalam pemilihan lagu untuk anak-anaknya justru malah memberikan pengaruh tidak baik bagi mereka. Peran guru, orangtua dan lingkungan adalah menyaring apa saja yang akan didengar oleh anak-anak. Dengan begitu proses membentuk budi pekerti yang baik akan tercapai. PENUTUP Pendidikan budi pekerti dilakukan sebagai upaya pembinaan bagi peserta didik agar menjadi orang-orang yang berwatak luhur dan berkepribadian yang terpuji sesuai dengan nilai positif, norma agama, dan kemasyarakatan serta budaya bangsa. Pencerminan karakter tersebut berupa religius, jujur, toleran, disiplin, bertanggung jawab, percaya diri, peka terhadap lingkungan sekitar, demokratis, cerdas, kreatif, inovatif, simpati dan empati. 58
Dintya Ayu Purika,Penggunaan Lirik Lagu
Sekolah bukan hanya tempat untuk meningkatkan kemampuan intelektual saja, tetapi juga memupuk rasa kejujuran, kebenaran, dan nilai pengabdian kepada lingkungan masyarakat. Dengan menggunakan lirik lagu sebagai bahan ajar untuk membentuk budi pekerti peserta didik diharapkan dapat membantu guru maupun orangtua memberikan pengaruh positif pada anak-anaknya. Nilai-nilai positif itulah yang diharapkan dapat menjadi panutan untuk diterapkan di kehidupan sehari-hari. DAFTAR PUSTAKA Herawati, Nanik. 2004. Analisis Wacana Syair Lagu Anak-anak Karya A.T Mahmud Kajian Eksternal dan Internal. Kumpulan Analisis Wacana. Bandung : PT Intan Sejati. Megawangi, R. 2004. Pendidikan Karakter: Solusi Tepat untuk Membangun Bangsa. BP MIGAS – Star Energy. Satiadarma, P. Monty. 2004. Cerdas dengan Musik. Jakarta: PT Niaga Swadaya. Suparno, P., Moerti Y. K., Detty T., & St. Kartono. 2002. Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah, Suatu Tinjauan Umum. Yogyakarta: Kanisius. Suwandi, Sarwiji. 2012. Model Pengintegrasian Pendidikan Karakter dalam Buku Ajar Mata Kuliah Umum Bahasa Indonesia pada Mahasiswa FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta. Surakarta: UNS Institutional Repository. Wikipedia. 2016. Kumpulan Lagu Anak-anak Indonesia. Diunduh tanggal 14 Mei 2016.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
59
IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI BUDAYA SEKOLAH DI SD Dwi Wijayanti, M.Pd. Dosen PGSD UST Yogyakarta Email:
[email protected]
Abstract Character education is an education that attempt to grow the humanity values. One of the ways to do the character education is through formal education that is school. The cultivation of character values need to be done since in the age of elementary school. This is because the character development of the students always develops as they get older. If they had been equipped with education character since they were in elementary school, then the students can be expected to become good citizens. Character education in Elementary school needs to be supported by the conducive of school culture. School culture is a condition of school where the people establish good interaction between each other. The development of character values through school culture are: (1) through the self-development such as routine activities, spontaneous activities, and live-in method, (2) through the interaction among the school communities, exemplary, and the conditioning of school environment, (3) there are roles of each school community that covers the role of headmaster, teachers, staff and also students. Therefore, it is so important to develop the positive school culture because it will encourage all of the school communities to work together in applying the character values in daily life. Key words: character, character education, school culture
PENDAHULUAN Latar Belakang Pendidikan karakter sering disebut juga dengan pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Di Indonesia pendidikan karakter ini sebenarnya terus dilakukan sebagai bagian dari upaya dari nation and character building. Karakter yang ingin dibangun oleh bangsa Indonesia sudah jelas yaitu manusia yang berjiwa Pancasila dan berdasarkan UUD 1945. 60
Dwi Wijayanti,Implementasi Pendidikan Karakter
UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Persoalannya adalah mengapa akhir-akhir ini kita masih banyak menyaksikan perilaku menyimpang, dan menggangu ketertiban sosial dari warga negara Indonesia terutama dari kalangan pelajar misalnya vandalism, tawuran, bullying, pornografi maupun pornoaksi dan lain sebagainya. Ditahun 2012 saja berdasarkan data yang dihimpun dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) tercatat sebanyak 147 kasus tawuran dan sudah memakan korban jiwa sebanyak 82 anak. Kemudian sebanyak 22 persen pengguna narkoba di Indonesia berasal dari kalangan pelajar (SD, SMP, SMA). Jumlah tersebut menempati urutan kedua terbanyak setelah pekerja yang menggunakan narkoba. Di DIY sendiri, pengguna narkoba usia pelajar masih mendominasi. Mulai Januari hingga April 2013 pengguna narkoba usia pelajar tercatat 110 anak sementara usia 30 tahun ke atas hanya 32 orang (Sindonews.com edisi Kamis, 22 Agustus 2013). Kebanyakan penyebab perilaku menyimpang antara lain, minimnya pendidikan karakter di kurikulum, pengaruh tayangan kekerasan dan terbatasnya ruang ekspresi positif untuk peserta didik. Selain faktor tersebut, terdapat pemicu yang bisa dikatakan paling konkret yang terjadi di lapangan yaitu kurangnya perhatian orang tua beserta pihak sekolah pada anak. Mengingat banyaknya penyimpangan tersebut maka pendidikan karakter sangat penting untuk diberikan kepada peserta didik. Pembentukan karakter perlu dilakukan sejak dini seperti di sekolah dasar. Pembentukan karakter dapat dilaksanakan melalui kegiatan intrakurikuler, kegiatan ektrakurikuler maupun melalui budaya sekolah. Lebih lanjut dalam makalah ini akan dibahas mengenai implementasi pendidikan karakter melalui budaya sekolah bagi peserta didik sekolah dasar.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
61
PEMBAHASAN A. Konsep Pendidikan Karakter 1. Pengertian Pendidikan Karater Pendidikan karekter merupakan usaha yang menyeluruh agar orang-orang memahami, peduli, dan berperilaku sesuai nilai-nilai etika dasar. Dengan demikian objek dari pendidikan karakter adalah nilai-nilai. Nilai-nilai ini didapat melalui proses internalisasi dari apa yang diketahui, yang membutuhkan waktu sehingga terbentuklah pekerti yang baik sesuai dengan nilai (nilai-nilai hidup yang merupakan realitas yang ada dalam masyarakat) yang ditanamkan (Nurul Zuriah, 2011:38). Lickona (1991: 51) dalam bukunya Educating for Character. How Our School can Teach, Respect and Responsibility menjalaskan tentang pengertian karakter dalam pembelajaran, yaitu: Character consist of operative values, values in action. Character conceived has three interrelated parts: moral knowing, moral feeling and moral behavior. Good character consists of knowing the good, desiring the good and doing the good-habits of the mind, habits of the heart and habits of action. Pernyataan di atas dapat dijelaskan bahwa karakter terdiri dari nilai-nilai tindakan. Karakter yang dipahami mempunyai tiga komponen saling berhubungan yaitu pengetahuan moral, perasaan moral dan perilaku moral. Karakter yang baik terdiri dari pengetahuan yang baik, menginginkan yang baik dan melakukan kebiasaan yang baik pula dari pikiran, kebiasaan dan tindakan. Lickona (1991: 53) mendefinisikan tiga komponen dalam membentuk karakter yang baik, yaitu:
62
Dwi Wijayanti,Implementasi Pendidikan Karakter
Gambar 1. Components of Good Character (Lickona, 1991: 53)
1. 2. 3. 4. 5. 6.
MORAL KNOWING Moral awareness Knowing moral values Perspective-taking Moral reasoning Decision-making Self-knowledge
1. 2. 3. 4. 5. 6.
MORAL FEELING Conscience Self-esteem Empathy Loving the good Self-control Humility
MORAL ACTION 1. Competence 2. Will 3. Habit
Berdasarkan gambar 1, dalam karakter yang baik terdapat tiga komponen, yaitu pengetahuan tentang moral (moral knowing), perasaan tentang moral (moral feeling), dan perbuatan bermoral (moral actions). Hal ini diperlukan agar manusia mempu memahami, merasakan, dan sekaligus mengerjakan nilai-nilai kebajikan. Aspek-aspek dari tiga komponen karakter tersebut adalah (Lickona, 2012:86): 1) Moral knowing, terdapat enam hal yang menjadi tujuan dari diajarkannya moral knowing yaitu: 1) kesadaran moral (moral awareness), 2) mengetahui nilai moral (knowing moral values), 3) perspective taking, 4) penalaran moral (moral reasoning), 5) membuat keputusan (decision making), 6) pengetahuan diri (self knowledge). Unsur moral knowing mengisi ranah kognitif mereka. 2) Moral feeling, terdapat enam hal yang merupakan aspek dari emosi yang harus mampu dirasakan oleh seseorang untuk menjadi manusia berkarakter yakni: 1) nurani (conscience), 2) penghargaan diri (self esteem), 3) empati (empathy), 4) cinta kebaikan (loving the good), 5) control diri (self control), dan 6) kerendahan hati (humality). 3) Moral action, perbuatan atau tindakan moral ini merupakan hasil out come dari dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang untuk berbuat (act morally) maka harus dilihat tiga aspek lain dari Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
63
karakter yaitu kompetensi (competence), keinginan (will), dan kebiasaan (habit). Dari bagan tersebut dapat diketahui untuk mengembangkan karakter melalui tahap pengetahuan (knowing), kemudian berbuat (acting), menuju kebiasaan (habit) dimaksudkan bahwa karakter tidak sebatas pada pengetahuan saja, akan tetapi perlu ada perlakuan dan kebiasaan untuk berbuat sehingga membentuk karakter yang baik. Berdasarkan uraian yang dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah sebuah proses menumbuhkembangkan
nilai-nilai
kejujuran,
ketaatan,
kedisiplinan
dan
tanggungjawab terhadap organisasi sekolah serta mendewasakan kepribadian seseorang. 2. Nilai-nilai dalam Pendidikan Karakter Dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter pada satuan pendidikan telah teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu:. Tabel 1.Nilai dan Deskripsi Nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa No Karakter Deskripsi 1 Religius Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya 2 Jujur Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. 3 Toleransi Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. 4 Disiplin Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. 5 Kerja keras Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. 6 Kreatif Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki. 7 Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. 64
Dwi Wijayanti,Implementasi Pendidikan Karakter
8
Demokratis
Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. 9 Rasa ingin Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui tahu lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar. 10 Semangat Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang kebangsaan menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. 11 Cinta tanah air Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedu-lian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa. 12 Menghargai Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk prestasi menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain. 13 Bersahabat/ Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, Komunikatif bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain. 14 Cinta damai Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya. 15 Gemar Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai membaca bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya. 16 Peduli Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah lingkungan kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi. 17 Peduli sosial Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. 18 Tanggung Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas jawab dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa. Sumber : Kemendiknas.(2010). Pedoman Pendidikan Budaya Karakter Bangsa. Jakarta: Balitbang Pusat Kurikulum dan Perbukuan. Hal 9-10. B. Implementasi Pendidikan Karakter melalui Budaya Sekolah di SD Sekolah merupakan salah satu lembaga pendidikan yang memiliki peran penting dalam pembentukan karakter warga negara (good citizens). Sebagaimana ajaran ki Hadjar Dewantara tentang Tri Pusat Pendidikan (Saefudin dan Solahudin, 2009) meliputi:
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
65
1) Lingkungan keluarga; pendidikan keluarga berfungsi sebagai pengalaman pertama
masa
kanakkanak,
menjamin
kehidupan
emosional
anak,
menanamkan dasar pendidikan budi pekerti, memberikan dasar pendidikan sosial, meletakkan dasar-dasar pendidikan agama bagi anak-anak 2) Lingkungan sekolah; melatih anak-anak memperoleh kecakapan-kecakapan seperti membaca, menulis, berhitung, menggambar serta ilmu-ilmu lain sifatnya mengembangkan kecerdasan dan pengetahuan, di sekolah diberikan pelajaran budi pekerti, keagamaan, estetika, membenarkan benar atau salah, dan sebagainya. 3) Lingkungan masyarakat; merupakan lingkungan keluarga dan sekolah. Pendidikan yang dialami dalam masyarakat ini, telah mulai ketika anak-anak untuk beberapa waktu setelah lepas dari asuhan keluarga dan berada di luar dari pendidikan sekolah Ketika pendidikan di lingkungan keluarga mulai sedikit diabaikan dan dipercayakan pada lingkungan sekolah, serta lingkungan sosial yang semakin kehilangan kesadaran bahwa aksi mereka pada dasarnya memberikan pengaruh yang cukup besar pada pendidikan seorang individu. Maka lingkungan sekolah dalam hal ini guru menjadi frontliner dalam peningkatan mutu pendidikan karakter, budaya dan moral. Untuk maksud tersebut sekolah harus memiliki budaya sekolah yang kondusif, yang dapat memberi ruang dan kesempatan bagi setiap warga sekolah untuk memiliki pengetahuan moral, perasaan moral dan perilaku moral yang baik. Kultur sekolah adalah merupakan suatu pola asumsi-asumsi dasar, nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan kebiasaan-kebiasaan yang dipegang bersama oleh seluruh warga sekolah, yang diyakini dan telah terbukti dapat dipergunakan untuk menghadapi berbagai problem dalam beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan melakukan integrasi internal, sehingga pola nilai dan asumsi tersebut dapat diajarkan kepada anggota dan generasi baru agar mereka memiliki pandangan yang tepat bagaimana seharusnya mereka memahami, berpikir, merasakan dan bertindak menghadapi berbagai situasi dan lingkungan yang ada (Zamroni, 2011: 297). Di Sekolah Dasar (SD) penting sekali untuk mengembangkan Budaya sekolah yang positif, karena akan mendorong semua warga sekolah untuk 66
Dwi Wijayanti,Implementasi Pendidikan Karakter
bekerjasama yang didasarkan saling percaya, mengundang partisipasi seluruh warga sekolah,
mendorong
munculnya
gagasan-gagasan
baru,
dan
memberikan
kesempatan untuk terlaksananya pembaharuan di sekolah yang semuanya ini bermuara pada pencapaian hasil terbaik. Budaya sekolah yang baik dapat menumbuhkan iklim yang mendorong semua warga sekolah untuk belajar, yaitu belajar bagaimana belajar dan belajar bersama. Akan tumbuh suatu semangat di kalangan warga sekoalah untuk senantiasa belajar tentang sesuatu yang memiliki nilai-nilai kebaikan. Mengimplementasikan pendidikan karakter di SD melalui budaya sekolah dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1. Pendidikan Karakter melalui Pengembangan Diri Pengembangan karakter selain melalui kegiatan belajar dapat juga dilakukan melalui kegiatan pengembangan diri, yaitu: a. Kegiatan rutin Kegiatan rutin yaitu kegiatan yang dilakukan peserta didik secara terus menerus dan konsisten setiap saat. Misalnya kegiatan upacara hari Senin, upacara besar kenegaraan, pemeriksaan kebersihan badan, piket kelas, shalat berjamaah. dll. Ketika mengikuti sebuah upacara, peserta didik SD belajar mendisiplinkan diri mulai dari kelengkapan berpakaian, ketertiban berbaris hingga kekhidmatan upacara. Nilai karakter yang dapat ditanamkan melalui kegiatan ini antara lain disiplin, semangat kebangsaan, cinta tanah air. b. Kegiatan spontan Kegiatan yang dilakukan peserta didik secara spontan pada saat itu juga, misalnya, mengumpulkan sumbangan ketika ada teman yang terkena musibah
atau sumbangan untuk masyarakat ketika terjadi bencana.
Kegiatan ini dapat melatih peserta didik di SD untuk berempati (empathy) dan bersimpati (sympahty) terhadap permasalah sosial yang muncul di sekitarnya. Kegiatan ini dapat menanamkan karakter toleransi, bersahabat, peduli lingkungan dan peduli sosial. c. Kegiatan ekstrakurikuler
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
67
Kegiatan ekstrakurikuler
yang
mendukung
pendidikan
karakter
memerlukan perangkat pedoman pelaksanaan, pengembangan kapasitas sumber daya manusia, dan revitalisasi kegiatan yang sudah dilakukan sekolah. Misalnya ektrakulikuler Pramuka, nilai yang dapat diajarkan adalah disiplin, tanggung jawab, kerjasama, nasionalisme dan patriotisme dll sesuai dengan Dasa Dharma Pramuka dan tri Satya. Setiap SD memiliki kegiatan ekstrakurikuler yang berbeda-beda, sehingga kesempatan pendidikan karakter juga semakin luas. d. Metode Live In Metode live in dimaksudkan agar peserta didik mempunyai pengalaman hidup bersama orang lain langsung dalam situasi yang sangat berbeda dari kehidupan sehari-harinya. Dengan pengalaman langsung, peserta didik dapat mengenal lingkungan hidup yang berbeda dalam cara pikir, tantangan, permasalahan, termasuk tentang nilai-nilai hidup. Live in tidak harus dilaksanakan berhari-hari secara berturut-turut. Kegiatan ini dapat juga dilaksanakan secara periodik (Nurul Zuriah, 2011: 95). Misalnya peserta didik diajak berkunjung ke panti asuhan anak-anak cacat. Di sana peserta didik terlibat untuk melaksanakan tugas-tugas harian yang mungkin dijalankannya, tidak membutuhkan keahlian khusus, dan tiak berbahaya bagi kedua belah pihak. Membantu ddan melayani anggota panti asuhan yang cacat akan memberi pengalaman yang tidak hanya sekedar lewat. Dengan cara ini peserta didik diajak untuk mensyukuri hidupnya yang jauh lebih baik. Dari orang yang dilayaninya. Peserta didik perlu bimbingan untuk merefleksikan pengalaman tersebut, baik secara rasional intelektual maupun secara batin rohaniahnya. Hal ini perlu dilakukan agar anak menanggapi pengalaman ini secara wajar dan tidak berlebihan. Nilai karakter yang ditanamkan melalui metode Live In yaitu religious, peduli sosial, dan bersahabat. Metode ini memiliki kelamahan yaitu membutuhkan perencanaan yang matang, waktu persiapan yang cukup lama, mengeluarkan biaya lebih, dan juga membutuhkan pengawasan ketika peserta didik nanti terjun ke lapangan. Terlebih peserta didik SD merupakan peserta didik yang aktif. 68
Dwi Wijayanti,Implementasi Pendidikan Karakter
Baik kegiatan rutin, kegiatan spontan dan kegiatan studi lapangan (metode live-in) merupakan aspek dari moral action atau tindakan moral yang didasari oleh pengetahuan moral (moral knowing) dan perasaan moral (moral feeling). Dengan demikian pendidikan karakter jelas bahwa upaya menanamkan nilai-nilai karakter tidaklah cukup diajarakan dalam bentuk pemberian materi-materi di dalam kelas tetapi juga perlu adanya praktek dan keteladanan. 2. Pendidikan Karakter melalui Budaya Sekolah Pengembangan nilai-nilai dalam pendidikan karakter melalui budaya sekolah mencakup semua kegiatan-kegiatan yang dilakukan kepala sekolah, guru, konselor, tenaga administrasi dan peserta didik. Budaya sekolah adalah suasana kehidupan sekolah dimana anggota masyarakat sekolah saling berinteraksi. Pengembangan nilai-nilai dalam pendidikan karakter melalui budaya sekolah meliputi: a.
Interaksi Antara peserta didik berinteraksi dengan sesamanya, kepala sekolah dengan guru, guru dengan guru, guru dengan peserta didik, konselor dengan
peserta didik dan
sesamanya,
pegawai administrasi dengan
dengan peserta didik, guru dan sesamanya. Interaksi tersebut terikat oleh berbagai aturan, norma, moral serta etika bersama yang berlaku di suatu
sekolah. Misalnya ada budaya senyum, sapa dan salam dalam
interaksi tersebut. Nilai karakter yang ditanamkan dalam kegiatan berinteraksi ini antara lain toleransi, menghargai orang lain, peduli sosial dan demokratis. b. Keteladanan Keteladanan menjadi salah satu kunci berhasilnya sebuah tujuan pendidikan karakter, terutama bagi peserta didik di SD. Proses pembelajaran di SD lebih menekankan kepada hal-hal yang bersifat konkret atau nyata daripada sekedar teori-teori. Oleh karena itu keteladanan ini sangat penting. Tumpuan pendidikan karakter ada pada guru. Konsistensi dalam mengajarkan pendidikan karakter tidak sekedar melalui Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
69
sesuatu yang dikatakan dalam pembelajaran, melainkan tercermin dari perilaku guru. Karakter guru akan berpengaruh terhadap warna kepribadian peserta didik. Guru dapat menjadi idola dan panutan bagi peserta didik. Keselarasan antara kata dan tindakan dari guru akan amat berarti bagi seorang peserta didik, demikian pula apabila terjadi ketidakcocokan antara kata dan tindakan guru maka perilaku peserta didik juga akan tidak benar. Misalnya guru mengajarkan karakter kebersihan dan kedisiplinan, maka guru hendanya dapat berpenampilan rapi, sopan dan datang ke kelas tepat waktu. Apabila guru berpenampilan yang tidak sesuai (mencolok) maka bisa saja peserta didik akan meniru. Terlabih lagi apabila guru sering terlambat masuk kelas. Peserta didik juga kemungkinan besar akan menirunya. Oleh karena itu perlu da konsistensi guru sebagai pemberi teladan yng baik. c. Pengkondisian Pengkondisian yaitu penciptaan kondisi yang mendukung keterlaksanaan pendidikan karakter, misalnya kebersihan badan dan pakaian, toilet yang bersih, tempat sampah, halaman yang hijau dengan pepohonan, poster kata-kata bijak di sekolah dan di dalam kelas dll. Proses pendidikan karakter melibatkan peserta didik secara aktif dalam semua kegiatan keseharian di sekolah. Dalam kaitan ini, kepala sekolah, guru, dan tenaga kependidikan lain diharapkan mampu menerapkan prinsip ”Tut Wuri Handayani” dalam setia yang ditunjukkan peserta didik. Prinsip ini juga menyatakan bahwa proses pendidikan dilakukan dalam suasana belajar yang menyenangkan dan tidak indoktrinatif. Keterlibatan semua warga sekolah, terutama peserta didik dalam perawatan, pemanfaatan, lingkungan
sekolah
pemeliharaan
sarana
dan
prasarana
serta
sangat diperlukan dalam rangka membangun atau
membentuk karakter peserta didik. Kondisi lingkungan sekolah yang bersih, indah,
dan nyaman dengan melibatkan peserta didik secara aktif akan
menumbuhkan rasa memiliki, tanggung jawab dan komitmen dalam dirinya untuk memelihara semua itu. Dengan demikian, diharapkan seluruh warga 70
Dwi Wijayanti,Implementasi Pendidikan Karakter
sekolah, menjadi peduli terhadap lingkungan sekolah, baik fisik maupun (Jamal, 2011: 68). 3. Peran Warga Sekolah a. Peran Kepala Sekolah Kepala sekolah memiliki peranan yang strategis dalam rangka pendidikan karakter melalui kepemimpinannya dan menciptakan budaya sekolah yang kondusif. Kepemimpinan seseorang sangat berkaitan dengan kepribadian, dan kepribadian kepala sekolah sebagai pemimpin akan tercermin dalam sifat-sifat sebagai barikut : (1) jujur; (2) percaya diri; (3) tanggung jawab; (4) berani mengambil resiko dan keputusan; (5) berjiwa besar; (6) emosi yang stabil, dan (7) teladan. Budaya dan iklim kerja yang kondusif akan memungkinkan setiap guru lebih termotivasi untuk melaksanakan pendidikan karakter. Oleh karena itu, dalam upaya menciptakan budaya dan iklim kerja yang kondusif, kepala sekolah hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut : (1) para guru akan bekerja lebih giat apabila kegiatan yang dilakukannya menarik dan menyenangkan, (2) tujuan kegiatan perlu disusun dengan dengan jelas dan diinformasikan kepada para guru sehingga mereka mengetahui tujuan dia bekerja, para guru juga dapat dilibatkan dalam penyusunan tujuan tersebut, (3) para guru harus selalu diberitahu tentang dari setiap pekerjaannya, (4) pemberian hadiah lebih baik dari hukuman, namun sewaktu-waktu hukuman juga diperlukan, (5) usahakan untuk memenuhi kebutuhan sosio-psiko-fisik guru, sehingga memperoleh kepuasan. Seberapa jauh kepala sekolah dapat mengoptimalkan segenap peran yang diembannya, secara langsung maupun tidak langsung dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan kompetensi guru, dan pada gilirannya dapat membawa efek terhadap peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Apabila guru berkualitas maka diharapkan dapat menjadi model keteladanan bagi para peserta didik, sehingga pendidikan karakter tidak hanya berupa teori tentang nilai-nilai melainkan sudah menjadi praktek sehari-hari di lingkungan sekolah. Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
71
b. Peran Guru Peran Guru sebagai sumber belajar yang menguasai materi pelajaran, sebagai fasilitator yang memudahkan peserta didik dalam kegiatan proses pembelajaran, sebagai pengelola yang menciptakan iklim belajar yang memungkinkan peserta didik dapat belajar secara nyaman,
sebagai
demonstrator yang mampu menunjukkan sikap terpuji dan bagaimana caranya agar setiap materi pelajaran bisa lebih dipahami dan dihayati oleh peserta didik, sebagai pembimbing yang selalu membimbing peserta didiknya menemukan berbagai potensi yang dimiliki sebagai bekal hidup mereka untuk mencapai tujuan yang menjadi harapan bagi orang tua dan masyarakat, sebagai motivator yang selalu memotivasi peserta didiknya, dan juga sebagai evaluator yang menentukan keberhasilan peserta didik dalam mencapai tujuan juga menentukan keberhasilan guru dalam melaksanakan seluruh kegiatan yang telah diprogramkan (Fathurrohman dan Sutikno, 2010:21-32). Apabila para guru sudah mampu menjalankan peran seperti yang tersebut di atas, maka kemungkinan besar tujuan pengajaran akan dicapai baik oleh guru dan peserta didik. Guru harus menyadari peran profesinya sebagai pendidik, yang bertugas tidak hanya sebagai penyampai materi, namun juga sebagai pembimbing, motivator, fasilitator, evaluator dll bagi peserta didiknya. Guru tidak hanya mengajarkan materi tetapi juga mengajarkan nilai-nilai di setiap kegiatan belajar mengajar agar terbentuk karakter peserta didik yang berbudi pekerti baik. c. Peran Tenaga Kependidikan (Staff sekolah) Tenaga kependidikan (staff sekolah) juga memiliki peran pendidikan karakter. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memberikan keteladanan melalui pelayanan yang baik kepada peserta didik. Misalnya dalam hal pemberian informasi, ketika ada peserta didik yang menanyakan tentang sesuatu informasi maka staff dapat memberikan informasi yang dibutuhkan peserta didik dengan terbuka, jujur dan ramah. Selain itu para staff juga bisa bertindak sebagai model utnuk memberikan keteladanan yang baik kepada peserta didik. 72
Dwi Wijayanti,Implementasi Pendidikan Karakter
d. Peran Peserta didik Dalam pendidikan karakter di sekolah peserta didik menjadi fokus utamanya. Peran peserta didik dalam pendidikan karakter adalah sebagai pelaksana/ eksekutor nilai-nilai karakter yang telah diajarkan. Peserta didik dapat turut serta menciptakan budaya sekolah yang kondusif melalui kepatuhan terhadap peraturan yang ada di sekolah. Peserta didik dapat meneladani guru atau anggota sekolah yang lain yang memiliki karakter baik. Dengan mempraktekkan nilai-nilai dalam kegiatan nyata maka pendidikan karakter akan jauh lebih bermakna. PENUTUP Pendidikan karakter adalah sebuah proses menumbuhkembangkan nilai-nilai kejujuran, ketaatan, kedisiplinan dan tanggungjawab terhadap organisasi sekolah serta mendewasakan kepribadian seseorang. Pada dasarnya pendidikan karakter di sekolah dapat dilakukan melalui tiga hal yaitu dalam kegiatan beajar mengajar, pemgenbangan diri dan budaya sekolah. Dalam kegiatan belajar mengajar, guru dapat mempersiapkan RPP yang memuat karakter, menggunakan metode yang mendorong peserta didik untuk aktif, serta penggunaan berbagai instrumen penilaian untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan dari penanaman nilai karakter. Pendidikan karakter dapat pula dilakukan melalui pengembangan diri yang menjadi program sekolah. Pengembangan diri ini meliputi kegiatan rutin, spontan, ekstrakulikuler dan live in. Penanaman nilai-nilai karakter juga akan menjadi lebih efektif apabila didukung oleh budaya sekolah yang sehat. Budaya sekolah yang sehat dapat tercipta melalui pola interaksi yang baik antar anggota sekolah, adanya keteladanan yang diberikan oleh kepala sekolah, guru dan staff terhadap para peserta didik, serta pengkondisian suasana sekolah. Karakter kuat para pelajar akan terbentuk jika mereka mendapatkan pendidikan dan pembelajaran bermakna. Untuk menunjang proses pembelajaran bermakna, perlu guru yang profesional. Untuk meningkatkan keprofesionalan para guru, perlu adanya pelatihan untuk para guru dalam menyusun perencanaan pembelajaran; menggunakan alat bantu atau media belajar mengajar yang menarik dan menyenangkan bagi anak, dsb. Dengan demikian, para guru akan mampu meningkatkan akses pada anak-anak untuk mendapatkan media belajar yang menarik dan menyenangkan, sehingga Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
73
pembelajaran lebih bermakna. Selain itu perlu adanya kerjasama yang baik antar warga sekolah dalam menciptakan budaya sekolah yang kondusif agar peserta didik dapat belajar dengan lebih baik lagi. DAFTAR PUSTAKA Fathurrohman dan Sutikno.(2010). Strategi belajar mengajar. Bandung: Refika Aditama. Jamal, Ma’mur A.(2011). Buku panduan internalisasi pendidikan karakter di sekolah. Yogyakarta: Diva Press. Kemendiknas.(2010). Pendidikan karakter terintegrasi dalam pembelajaran di sekolah menengah pertama. Jakarta: Direktorat PSMP Kemdiknas. Kemendiknas.(2010). Pedoman pendidikan budaya karakter bangsa. Jakarta: Balitbang Pusat Kurikulum. Lickona, Thomas. (1991). Educating for character. how our school can teach respect and responsibility. New York: Bantam Books. Lickona, Thomas. (2012). Educating for character, mendidik untuk membentuk karakter, bagaimana sekolah dapat memberikan pendidikan tentang sikap hormat dan tanggung jawab. (Terjemahan Juna Abdu Wamaungo). New York: Bantam Books. (Buku asli diterbitkan tahun 1991). Nurul Zuriah. (2011). Pendidikan moral dan pendidikan budi pekerti dalam persepektif perubahan: menggagas plat form prndidikan budi pekerti secara kontekstual dan futuristik. Jakarta: Bumi Aksara. Saefudin, A. Azis dan M. Solahudin. (2009). Menuju Manusia Merdeka Ki Hadjar Dewantara. Yogyakarta: Leutika. Undang-undang Nomor. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Zamroni. (2011). Pendidikan demokrasi pada masyarakat multikultural. Yogyakarta: Gavin Kalam Utama. Sindonews.com edisi Kamis, 22 Agustus 2013
74
Dwi Wijayanti,Implementasi Pendidikan Karakter
CERITA ANAK SEBAGAI MEDIA PEMBANGUN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI PESERTA DIDIK SEKOLAH DASAR
Febriancy Ayu Valda Ciptani Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret, Jl. Ir. Sutami 36A, Surakarta Email:
[email protected] Abstract The importance of moral education of children make various types of learning should give an important role. It was also realized on the role of literature that gives a wide range of values to be used as guidelines for building moral education in primary school learners. One type of literature that is easily understood and included in the curriculum is a children's story. Through the children's story, learners are expected to take lessons through story content presented. Overall the children's story has merit as, (a) assist the formation of personal morals of children, (b) channeling need imagination and fantasy, (c) boost verbal skills of children, (d) to stimulate interest in writing the child, (e) to stimulate children's interest and (f) opening the horizons of knowledge of children. While the overall character value can be retrieved through a mandate in children's literature. Therefore the purpose of this paper is to indicate the benefits of children's literature as a medium to develop the moral education of students in elementary school tingkkat. Keywords: children's story, character. PENDAHULUAN Karya sastra adalah refleksi pengarang tentang hidup dan kehidupan yang dipandu dengan daya imajinasi dan kreasi, serta didukung oleh pengalaman dan pengamatannya berdasarkan
atas
kehidupan
pengalaman
hidup,
tersebut. Cerita dalam
sastra
dikreasikan
pengamatan, pemahaman, dan penghayatan
terhadap berbagai peristiwa kehidupan yang secara faktual dijumpai masyarakat. Oleh karena itu ia dapat dipandang sebagai sebagai salah satu interpretasi terhadap kehidupan itu sendir (Nurgiyantoro, 2010: 5). Selama ini pengajaran membaca sastra di sekolah cenderung konvesional dan tak lagi dapat diandalkan untuk pembelajaran pada anak. Pelajaran membaca sastra hanya diajarkan dalam bentuk skimming dan scanning sehingga pemahaman membaca
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
75
anak sangat buruk dan sering lupa akan bacaan yang telah dibacanya. Padahal penerapan membaca cepat dan sepintas tersebut disinyalir tidak efektif diajarkan pada anak. Jika pengajaran membaca cepat dan sepintas tersebut terus diajarkan ke siswa, akan berdampak lebih buruk lagi. Pengajaran membaca anak seharusnya diajarkan dengan penuh riang dan tidak ada unsur pemaksaan, karena sastra itu bersitat fleksibel/santai sehingga membuat anak merasakan tertarik untuk lebih mendalami sastra kelak dikemudian hari. Pola semacam itu jika diterapkan terus saat proses belajar mengajar hanya membuat siswa merasa jenuh untuk belajar bahasa Indonesia dan sastra. Pada umumnya para siswa menempatkan mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia pada urutan buncit dalam pilihan para siswa. Yaitu setelah pelajaranpelajaran eksakta dan beberapa ilmu sosial lain. Jarang siswa yang menempatkan pelajaran ini sebagai favorit. Hal ini semakin terlihat dengan rendahnya minat siswa untuk mempelajarinya dibandingkan dengan mata pelajaran lain. Masalah itu tidak akan pernah habis untuk dikupas dan tidak pernah tuntas dibahas. Maka dari itu, guru hendaknya dengan seprofesional mungkin, begitu juga dengan murid-murid, setiap tahun berganti murid, masalah yang dihadapi guru akan berbeda pula. Salah satu masalah yang juga menarik untuk segera ditangani secara mendalam salah satunya adalah permasalahan pembelajaran di dalam kelas. Pembelajaran sastra di sekolah dasar bertujuan agar siswa memiliki rasa peka terhadap karya sastra sehingga merasa terdorong dan tertarik untuk mempelajarinya. Siswa akan memperoleh manfaat dari karya sastra yang diapresiasinya, yakni membantu berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, dan menunjang pembentukan watak (Effendi, 1995: 76). Siswa perlu memperoleh pemahaman bagaimana memahami karya sastra tersebut, disinilah pentingnya pembelajaran apresiasi. Proses pengapresiasian unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam karya sastra (cerita anak) dalam latar, tokoh, tema, dan amanat, melalui pemahaman tentang bagaimana cara pengarang menyampaikan maksud, sikap, dan penilaian tokoh cerita. Karena itu, guru diharapkan mampu memilih cerita anak yang sesuai dan mendukung proses pengapresiasian tersebut demi tercapainya tujuan pembelajaran sastra di sekolah. Berikut tiga aspek penting yang perlu dipertimbangkan dalam memilih bahan pembelajaran sastra, yakni (1) dari sudut bahasa, (2) psikologi, dan (3) latar belakang budaya. 76
Febriancy Ayu Valda Ciptani, Cerita Anak Sebagai
Pemilihan bahan pembelajaran sastra patut dipertimbangkan sesuai atau tidaknya bahasa yang dipakai dalam karya sastra tersebut dengan tingkat penguasaan bahasa yang dimiliki oleh siswa sekolah dasar. Bukan hanya mempertimbangkan kosakata dan tata bahasa, tetapi juga mempertimbangkan situasi dan pengertian isi wacana termasuk ungkapan dan referensi yang ada (Rahmanto, 1993: 51). Jadi, sebagai indikator kesesuaian bahasa tidak hanya dilihat dari bahasa yang digunakan secara keseluruhan dalam karya sastra tersebut, tetapi juga bagaimana bahasa yang digunakan oleh para tokoh, baik dari segi kebahasaan maupun kasantunannya. Tahap-tahap perkembangan psikologis hendaknya diperhatikan karena tahaptahap ini sangat besar pengaruhnya terhadap minat dan keengganan anak didik dalam banyak hal. Tahap perkembangan psikologis ini juga sangat besar pengaruhnya terhadap; (a) daya ingat, (b) kamauan mengerjakan tugas, (c) kesiapan bekerja sama, dan (d) kemungkinan pemahaman situasi pemecahan masalah yang dihadapi. Sebuah karya sastra juga harus dilihat latar belakang yang meliputi hampir semua faktor kehidupan manusia dan lingkungannya, seperti: geografis, sejarah, pekerjaan, kepercayaan, cara berpikir, nilai-nilai masyarakat, seni, olahraga, hiburan, moral, etika, dan sebagainya. biasanya siswa akan mudah tertarik pada karya-karya sastra dengan latar belakang yang erat hubungannya dengan latar belakang kehidupan mereka, terutama bila karya sastra itu menghadirkan tokoh yang berasal dari lingkungan mereka dan mempunyai kesamaan dengan mereka atau dengan orang-orang di sekitar mereka. PEMBAHASAN Cerita Anak Apabila dilihat dari konteks penulis dan pembacanya, cerita anak bukanlah cerita yang harus ditulis oleh anak dan diperuntukkan oleh anak. Hal itu dikarenakan, pertama, anak masih memunyai tingkat keterbatasan kreativitas berhubungan dengan mencipta dan memahami kehidupan. Oleh karena itu, cerita anak terbuka untuk ditulis orang dewasa (siapapun), tetapi karya yang dihasilkan untuk bisa disebut cerita anak, secara bahasa dan isi haruslah sesuai dengan tingkat pemahaman anak terhadap kehidupan. Kedua pada aspek pembaca, cerita anak boleh, bahkan mengharuskan untuk dibaca orang dewasa, khususnya para orang tua, pemerhati anak. Dengan dibaca oleh orang tua dan orang yang berhubungan dengan anak, maka mereka bisa Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
77
lebih memahami dunia anak dan bisa menyampaikan isi cerita itu sebagai bahan dongeng pengajaran. Dengan demikian, cerita anak, pada aspek internal karyanya itu bersifat tertutup, yaitu harus disesuaikan dengan perkembangan intelektual dan emosional anak. Akan tetapi, pada aspek eksternalnya yang melibatkan penulis dan pembaca, cerita anak itu bersifat terbuka. Artinya, siapa saja boleh menulis dan membaca cerita anak. Semakin banyak masyarakat berpartisipasi
dalam
mencipta
dan
membaca cerita anak, maka pemahaman masyarakat terhadap anak semakin baik. Tentunya
dengan apresiasi yang baik, maka masyarakat akan semakin bisa
memahami dan meningkatkan kemampuan kognisi, emosi, dan psikomotor anak. Menurut Nurgiyantoro (2010: 72) terdapat beberapa kaidah yang perlu diperhatikan dalam pemertimbangan cerita anak, meliputi (1) cerita yang dikisahkan memiliki
derajat
(plauisibilitas),
memiliki
unsur
mana
suka,
memiliki
pertimbangan bahwa secara logika diterima, (2) cerita senantiasa menjaga rasa ingin tahu
(suspense)-nya
pembaca.
Cerita
yang
menarik
biasanya
mampu
menampilkan rasa ingin tahu dan atau rasa penasaran terhadap kelanjutan kisahnya, (3) cerita akan lebih mengesankan lagi jika berbagai peristiwa dan aksi seri itu sekaligus menjanjikan sebuah kejutan, atau bahkan kejutan-kejutan, dan (4) cerita yang dikisahkan haruslah merupakan satu kesatuan yang utuh. Antara aspek yang satu dengan aspek yang lain, antara peristiwa dan aksi yang satu maupun aksi yang lain, saling terkait dan saling mempengaruhi untuk membentuk sebuah totalitas yang padu. Pengalihan pola pikir orang dewasa kepada dunia anak-anak dan keberadaan jiwa dan sifat anak-anak menjadi syarat cerita anak-anak yang digemari. Dengan kata lain, cerita anak-anak harus berbicara tentang kehidupan anak-anak dengan segala aspek yang berada dan mempengaruhi mereka. Menurut Huck (dalam Subyantoro, 2006: 44) ciri esensial sastra anak, termasuk cerita anak ialah penggunaan pandangan anak atau kacamata anak dalam menghadirkan cerita atau dunia imajiner. Endraswara (2002:119) mengatakan bahwa ciri-ciri sastra anak termasuk di dalamnya cerita anak ada tiga, yakni (1) berisi sejumlah pantangan, berarti hanya halhal tertentu saja yang boleh diberikan; (2) penyajian secara langsung, kisah yang ditampilkan memberikan uraian secara langsung, tidak berkepanjangan; (3) memiliki 78
Febriancy Ayu Valda Ciptani, Cerita Anak Sebagai
fungsi terapan, yakni memberikan pesan dan ajaran kepada anak-anak. Ciri cerita anak berisi sejumlah pantangan berarti hanya hal-hal tertentu saja yang boleh diberikan. Ciri ini berkenaan dengan tema dan amanat cerita anak. Tema yang merupakan gagasan cerita atau apa yang dipersoalkan dalam cerita, maka harus dipertimbangkan tema apa yang cocok untuk anak-anak. Tidak semua tema yang lazimnya dapat ditemukan dalam cerita orang dewasa dapat dipersoalkan dan disajikan kepada anak-anak. Tema yang sesuai adalah tema yang menyajikan masalah yang sesuai dengan alam hidup anak-anak. Misalnya tentang kepahlawanan, peristiwa sehari-hari, dan sebagainya. Selain itu, biasanya amanatnya disederhanakan dengan menyediakan akhir kisah yang indah. Unsur Intrinsik dalam Cerita Anak Untuk mampu mengidentifikasi suatu, tokoh, watak, latar, tema, dan amanat dalam cerita anak, siswa harus mampu menguasai keterampilan berbahasa yaitu keterampilan membaca. Membaca itu sendiri merupakan suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan untuk memperoleh pesan yang hendak disampaikan oleh penulis kepada pembaca melalui media kata-kata atau bahasa tulis (Tarigan, 2008: 17). Sebuah teks sastra yang tersaji di hadapan pembaca adalah sebuah kesatuan dari berbagai elemen yang membentuknya. Pembicaraan unsur cerita fiksi anak berikut difokuskan
terhadap
unsur-unsur
instrinsik.
lebih
Menurut Nurgiyantoro (2010: 222-
285) unsur-unsur instrinsik sastra anak meliputi. 1) Tema Hakikat tema, secara sederhana diungkapkan Lukens (2003: 129) sebagai gagasan yang mengikat cerita, sehingga tampil sebagai sebuah kesatupaduan yang harmonis. Berbagai penjelasan tema yang teruraikan berkaitan dengan penelitian ini dinilai dan dipandang dari ide pokok secara
moral
yang
tentunya
tidak
terlepas dari nilai didaktis. Kesatupaduan ini merupakan bagian yang terbesar dari unsur moral. Tema,
setiap
fiksi
harus
memunyai
dasar
atau
tema
yang
merupakan sasaran tujuan. Dengan demikian tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa tema ini merupakan hal yang paling penting di dalam sebuah cerita. Penafsiran tema dalam cerita menurut Waluyo (2011: 9) haruslah berdasarkan pada hal-hal sebagai berikut: 1) jangan sampai bertentangan dengan setiap rincian cerita, 2) harus dapat dibuktikan secara langsung dalam teks prosa fiksi itu, 3) Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
79
penafsiran tema tidak hanya berdasarkan perkiraan; dan 4) tema cerita berkaitan dengan rincian cerita yang ditonjolkan (mungkin malahan disebutkan sebagai bagian dari judul). Keempat
hal
tersebut
merupakan
dasar
yang
harus
dilakukan
pembaca dalam menafsirkan tema dalam cerita. Karena tema merupakan makna cerita, maka tema bisa dipahami dengan proses pembacaan yang menyeluruh dengan cermat memahami setiap unsur yang membangun karya sastra. 2) Tokoh Tokoh (karakter), aktor atau pelaku dalam sebuah cerita disebut tokoh. Tokoh adalah pelaku cerita lewat berbagai aksi yang dilakukan dan peristiwa serta aksi tokoh lain yang ditimpakan kepadanya (Nurgiyantoro, 2010: 75). Jenis tokoh dalam cerita fiksi anak dapat dibedakan ke dalam berbagai
macam
kategori. Nurgiyantoro (2010:225-230) mengelompokkan jenis tokoh dalam cerita fiksi anak sebagai berikut. Pertama tokoh
rekaan
dan
tokoh
sejarah.
Tokoh-tokoh
dalam
fiksi
merupakan tokoh rekaan, artinya mereka bukan merupakan tokoh yang secara faktual dapat ditemukan di dunia nyata atau di dalam sejarah. Tokoh-tokoh itu adalah tokoh imajinatif, dalam arti tokoh yang diciptakan dari imajinasi pengarang, maka tidak terlalu berlebihan tokoh-tokoh tersebut disebut sebagai anak kandung pengarang. Tokoh sejarah yang diangkat ke dalam cerita fiksi juga tidak dapat seratus persen
mempertahankan
jati
diri
sesungguhnya.
Hal
itu
terutama
disebabkan hakikat fiksi adalah karya imajinatif yang di dalamnya terkandung unsur penciptaan. Kedua, tokoh protagonis dan antagonis. disebut hero, adalah tokoh
Tokoh protagonis sering juga
yang memanifestasikan nilai-nilai idealistik bagi
pembaca. Sementara itu tokoh antagonis menurut Lukens (dalam Nurgiyantoro, 2010: 76) adalah tokoh yang bisa dikualifikasikan sebagai tokoh jahat, pembawa bencana dan tidak diidentifikasikan walau juga hebat, bahkan sebaliknya sering dibenci. Kedua jenis peran tokoh ini mesti ada dalam cerita fiksi karena pada tarik-menarik ketegangan antara kebaikan dan kejahatan itu pula, antara lain, sebuah cerita menjadi menarik, menegangkan, dan akhirnya memberikan kepuasan lewat katarsis dengan dikalahkannya tokoh yang berkarakter jahat. Ketiga, tokoh putih dan hitam. Istilah tokoh putih dan hitam lazimnya 80
Febriancy Ayu Valda Ciptani, Cerita Anak Sebagai
dimaksudkan untuk menyebut tokoh yang berkarakter baik dan buruk. Tokoh protagonis yang adalah tokoh hero di atas dikategorikan sebagai tokoh putih, yaitu tokoh yang berkarakter baik dan sekaligus membawa dan memperjuangkan nilai-nilai kebenaran. Sebaliknya, tokoh antagonis yang notebene sebgai tokoh berkarakter jahat dan sebagai pemicu konflik dan pertentangan-pertentangan dikategorikan sebagai tokoh hitam. Keempat, tokoh datar dan tokoh bulat. Tokoh berkarakter datar adalah tokoh yang hanya memiliki karakter yang “itu-itu” saja, karakter yang tertentu dan sudah pasti mirip dengan formula. Menurut Lukens tokoh dengan karakter ini merupakan tokoh yang kurang penting. Dilihat
dari
segi
perannya
tokoh
bulat dapat merupakan tokoh protagonis dan dapat pula antagonis. Tokoh bulat adalah tokoh yang berwatak unik dan tidak bersifat hitam putih. Watak tokoh jenis ini tidak dapat segera ditafsirkan oleh pembaca karena pelukisan watak tidak sederhana. Setiap manusia ada unsur baik dan buruknya, dan berbagai kekacauan watak yang lain (Shanon Ahmad dalam Waluyo, 2011: 20). Tokoh berkarakter bulat menurut Lukers dikembangkan secara penuh dan didemonstrasikan ke dalam aksi cerita. Berkaitan dengan keseluruhan cerita menutnya, tokoh jenis ini lebih baik penampilannya, lebih mengasyikkan, lebih realistis dalam mencerminkan kehidupan yang senyatanya, dan karenanya lebih dapat dinikmati. Terakhir, Tokoh statis dan berkembang.
Tokoh statis (static character)
dimaksudkan sebagai tokoh yang secara esensial karakternya tidak
mengalami
perkembangan. Sejak awal kemunculannya hingga akhir cerita tidak mengalami perubahan dan perkembangan karakter. Tokoh berkembang (developing character) sering juga disebut sebagai tokoh yang dinamis (dynamic character), dipihak lain dipahami sebagai tokoh yang mengalami perubahan dan perkembangan karakter sejalan dengan alur cerita. 3) Alur Alur cerita sering juga disebut plot. Alur cerita merupakan jalan cerita yang dirangkaikan pada peristiwa-peristiwa yang memiliki hubungan sebab akibat. Waluyo (2011: 9) memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai alur, yaitu jalinan cerita yang disusun dalam urutan waktu yang menunjukan hubungan sebab dan akibat dan memiliki kemungkinan agar pembaca menebak-nebak Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
81
peristiwa yang akan datang. Alur atau plot sering juga disebut sebagai kerangka cerita. Hubungan sebab-akibat dalam alur cerita anak adalah sederhana, tidak membutuhkan analisis kognitif tinggi. Waluyo (2002: 147) alur cerita meliputi tujuh tahapan, yaitu (a) eksposisi adalah pemahaman awal atau awal dari suatu cerita. Pada tahap ini pengarang dapat memperkenalkan tokoh-tokoh dalam novel, (b) inciting Moment adalah pengenalan masalah yang dialami para tokoh dalam cerita, (c) rising Action adalah masalah yang dialami oleh tokoh mengalami penanjakan atau meningkatnya masalah yang dialami para tokoh cerita, (d) complication adalah masalah yang dialami para tokoh semakin beragam. Masing-masing tokoh semakin menunjukkan karakter asli mereka. Berbagai masalah muncul pada tahapan ini, (e) climax adalah puncak dari masalah yang dihadapi para tokoh. Pada tahap ini masalah semakin memanas, (f) falling Action adalah masalah yang dialami para tokoh mengalami penurunan, dan (g) denoument/tahap penyelesaian adalah tahapan yang menunjukkan adanya penyelesaian dari masalah yang dihadapi para tokoh cerita Pengarang juga dapat memasukkan sub-sub plot dalam sebuah cerita dengan
memunculkan
konflik-konflik
tambahan
yang
bersifat
menopang,
mempertegas, dan menginteksifkan konflik utama untuk sampai ke klimaks. Berdasarkan beberapa pendapat mengenai alur atau plot di atas, peneliti menyimpulkan bahwa alur atau plot adalah deretan peristiwa yang terdapat dalam sebuah karya sastra termasuk cerita anak. 4) Latar Latar (setting), sebuah cerita memerlukan kejelasan kejadian mengenai dimana terjadi
dan
kapan
waktu
kejadiannya
untuk memudahkan pengimajian dan
pemahamannya. Hal itu berarti bahwa sebuah cerita memerlukan latar, latar tempat kejadian, latar waktu dan latar sosial budaya masyarakat tempat kisah terjadi (Nurgiyantoro, 2010:85). Fungsi latar menurut Waluyo (2006: 28) berkaitan erat dengan unsur-unsur fiksi yang lain, terutama penokohan dan perwatakan. Fungsi latar adalah untuk: (1) mempertegas watak pelaku, (2) memberikan tekanan pada tema cerita, (3) memperjelas tema yang disampaikan, (4) metafora bagi situasi psikis pelaku, (5) sebagai pemberi atmosfir (kesan), dan (6) memperkuat posisi plot. Berdasarkan 82
Febriancy Ayu Valda Ciptani, Cerita Anak Sebagai
beberapa pendapat mengenai latar atau setting di atas, peneliti menyimpulkan bahwa latar atau setting adalah waktu, tempat, dan suasana dalam sebuah cerita. Latar atau setting mempunyai kaitan erat dengan unsur-unsur fiksi yang lain. 5) Watak Watak, perwatakan, dan karakter menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh yang ditafsirkan oleh pembaca, yaitu pada kualitas pribadi seorang tokoh (Jones dalam Nurgiyantoro, 2005: 165). Waluyo (2006: 9) menyebutkan bahwa watak para tokoh dalam fiksi digambarkan dalam tiga dimensi, meliputi (1) dimensi Fisiologis, yaitu keadaan fisik tokoh misalnya umur, jenis kelamin, ciri-ciri tubuh, cacat jasmaniah, ciri khas yang menonjol, suku, bangsa, raut muka, kesukaan, tinggi/pendek, kurus/gemuk, suka senyum/cemberut, dan sebagainya, (2) dimensi Psikologis, yaitu keadaan psikis tokoh meliputi watak, kegemaran, mentalitas, standar moral, temperamen, ambisi, kompleks psikologis yang dialami, keadaan emosinya, dan sebagainya, dan (3) dimensi Sosiologis, yaitu keadaan sosiologis tokoh meliputi pekerjaan, kelas sosial, ras, agama, ideologi, latar belakang kekayaan, pangkat, dan jabatan. 6) Amanat Amanat dalam karya sastra sebaiknya disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungannya. Wujud amanat dapat berupa kata-kata mutiara, nasihat, firman Tuhan, dan sebagainya. Amanat merupakan bagian integral dari dialog dan tindakan tokoh cerita. Jadi, amanat bukan merupakan bagian yang seakan-akan lepas dari kedua unsur tersebut, yaitu unsur dialog dan tindakan tokoh cerita. Amanat ialah pemecahan yang diberikan oleh pengarang bagi persoalan di dalam karya sastra. Amanat biasa disebut makna. Makna dibedakan menjadi makna niatan dan makna muatan. Makna niatan ialah makna yang diniatkan oleh pengarang bagi karya sastra yang ditulisnya. Makna muatan adalah makna yang termuat dalam karya sastra tersebut (Semi, 2003: 82). Apabila tema karya sastra berhubungan dengan arti (meaning) dari karya sastra itu, amanat berhubungan dengan makna (significance) dari karya itu. Tema bersifat sangat lugas, objektif, dan khusus, sedangkan amanat bersifat kias, subjektif, dan umum. Setiap pembaca dapat berbeda-beda menafsirkan makna karya itu bagi dirinya dan semuanya cenderung dibenarkan (Waluyo, 2002: 28). Cara penyampaian amanat, pengarang tidak hanya melakukannya secara serta-merta, melainkan lewat siratan dan terserah pembaca dalam menafsirkannya secara intenif. Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
83
Amanat dipahami pengarang untuk menjawab problem sosial yan dihadapi pengarang lewat karya sastra. Pesan yang akan disampaikan agar jelas tersurat ataupun sama. Manfaat Cerita Anak dalam Pendidikan Budi Pekerti Anak Cerita
dapat
digunakan
oleh
orang
tua
dan
guru
sebagai
sarana
mendidik dan membentuk kepribadian anak melalui pendekatan transmisi budaya atau cultural transmission approach (Suyanto dan Abbas dalam Musfiroh, 2008: 19). Dalam cerita, nilai-nilai luhur ditanamkan diri anak melalui penghayatan terhadap makna dan maksud cerita (meaning and intention of story). Anak melakukan serangkaian kegiatan kognisi dan afeksi, mulai dari interpretasi, kompreherensi, hingga inferensi, terhadap nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya. Sampai saat ini, bercerita masih menjadi salah satu pilihan bagi orang tua dan guru dalam menanamkan budi pekerti pada anak. Hal itu didasari pada keyakinan bahwa budi pekerti bukanlah mata pelajaran tetapi lebih merupakan program pendidikan untuk menciptakan kondisi atau suasana kondusif bagi penerapan nilai-nilai budi pekerti (Musfiroh, 2008: 21-22). Cerita merupakan kebutuhan universal manusia, dari anak-anak hingga dewasa. Cerita bagi anak-anak tidak sekedar memberi manfaat emotif tetapi juga membantu pertumbuhan mereka dalam berbagai aspek. Cerita bagi anak memiliki manfaat yang sama pentingnya dengan aktivitas dan program pendidikan itu sendiri. Ditinjau dari berbagai aspek, manfaat tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. 1) Membantu Pembentukan Pribadi dan Moral Anak Cerita mendorong perkembangan moral pada anak karena beberapa sebab, a) menghadapkan anak kepada situasi yang mengandung “konsiderasi” yang sedapat mungkin mirip dengan yang dihadapi anak dalam kehidupan, b) cerita dapat memancing anak menganalisis situasi, dengan melihat bukan hanya yang nampak tapi juga sesuatu yang tersirat di dalamnya, untuk menemukan isyarat-isyarat halus yang tersembunyi tentang perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain, c) cerita mendorong anak untuk menelaah perasaannya sendiri sebelum mendengar respon orang lain untuk dibandingkan, d) cerita mengembangkan rasa konsiderasi yaitu pemahaman dan penghargaan atas apa yang diucapkan atau dirasakan tokoh hingga akhirnya anak memiliki konsiderasi terhadap orang lain dalam alam nyata 84
Febriancy Ayu Valda Ciptani, Cerita Anak Sebagai
(Nasution dalam Musfiroh, 2008: 82). 2) Menyalurkan Kebutuhan Imajinasi dan Fantasi Anak-anak membutuhkan penyaluran imajinasi dan fantasi tentang berbagai hal yang selalu muncul dalam pikiran anak. Menurut Musfiroh (2008: 83) seorang anak membutuhkan cerita karena berbagai hal: a) anak membangun gambarangambaran mental pada saat guru memperdengarkan kata-kata yang melukiskan kejadian. Rangsang auditif ini menstimulasi anak untuk terus menciptakan gambaran visual; b) anak memperoleh gambaran yang masing. Hal ini menjadi bahan baku anak dalam membangun skemata-skemata dalam pikirannya, c) anak memperoleh kebebasan untuk melakukan pilihan secara mental. Hal ini membantu mereka memberikan respon yang lebih baik saat menghadapi
realitas yang
sesungguhnya, d) anak memperoleh kesempatan menangkap imaji dari citraancitraan cerita: citraan gerak, citraan visual, dan citraan auditif, e) anak memiliki tempat untuk melarikan permasalahan seperti keinginan untuk melawan, kemarahan, rasa iri dan cemburu, serta ketidakberdayaan. Pada saat yang sama anak memperoleh gambaran yang memaksa mereka melihat efek dari permasalahan itu, f) anak memperoleh kesempatan merangkai-rangkai hubungan sebab-akibat secara imajinatif.
Hal
demikian
membuat
anak
lebih
meyakini
nilai-nilai yang
dirangkainya dan cukup mempengaruhi keputusan riil yang dibuat. 3) Memacu Kemampuan Verbal Anak Cerita yang baik tidak hanya sekadar menghibur tetapi juga mendidik, sekaligus merangsang berkembangnya
komponen
kecerdasan
linguistik
yang
penting, yakni kemampuan menggunakan bahasa untuk mencapai sasaran praktis. Cerita mendorong anak bukan saja menyimak cerita, tetapi juga senang bercerita atau berbicara. Anak belajar tata cara berdialog dan bernarasi dan terangsang untuk menirukannya. Kemampuan pragmatik terstimulasi karena dalam cerita ada negosiasi, pola tindak tutur yang baik seperti menyuruh, melarang, berjanji, mematuhi larangan, dan memuji. Memacu kemampuan anak merupakan sesuatu yang penting. Kemampuan berbicara sangat memengaruhi penyesuaian sosial pribadi anak; a) anak yang pandai berbicara akan memperoleh pemuasan kebutuhan dan keinginan, b) anak yang pandai berbicara memperoleh perhatian dari orang lain, c) anak yang pandai berbicara mampu membina hubungan dengan orang lain dan Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
85
dapat memerankan kepemimpinannya daripada anak yang tidak pandai berbicara, d) anak yang pandai berbicara akan memperoleh penilaian baik, kaitannya dengan isi dan cara berbicara, e) anak yang pandai berbicara akan memiliki kepercayaan diri dan penilaian diri yang positif, terutama setelah mendengar komentar tentang dirinya, f) anak yang pandai berbicara biasanya akan memiliki kemampuan akademik yang lebih baik, g) anak yang pandai berbicara lebih mampu memberikan komentar positif dan menyampaikan
hal-hal
baik
kepada
lawan
bicara sehingga mempertinggi
kesempatan anak untuk diterima orang lain, h) anak yang cenderung pandai memengaruhi dan meyakinkan teman
pandai
berbicara
sebayanya.
Hal
ini
mendukung posisi anak sebagai pemimpin (Hurlock dalam Musfiroh, 2008: 88). 4) Merangsang Minat Menulis Anak Pengaruh cerita terhadap kecerdasan bahasa anak diakui oleh Leonhard. Menurutnya, mendengar
cerita memancing dan membaca
cerita
rasa
kebahasaan
anak
akan
anak.
memiliki
Anak
yang
kemapuan
gemar
berbicara,
menulis dan memahami gagasan rumit secara baik. Hal ini berarti selain memacu kemampuan berbicara, menyimak atau membaca cerita juga merangsang minat menulis anak. Pernyataan tersebut menunjukan bahwa cerita dapat menstimulasi anak
membuat
cerita
sendiri.
Anak
terpacu
menggunakan kata-kata yang
diperolehnya, dan terpacu menyusun kata-kata dalam kalimat dengan perspektif ceritanya sendiri. 5) Merangsang Minat Baca Anak Anak berbicara dan mendengar sebelum ia belajar membaca. Tulisan merupakan sistem sekunder bahasa, yang pada awal bahasa harus dihubungkan dengan bahasa lisan. Oleh karena itu pengembangan sistem bahasa lisan yang baik sangat penting untuk mempersiapkan anak belajar membaca. Topik cerita lisan mungkin pula dijadikan topik tertulis (Smith dan Johnson dalam Musfiroh, 2008: 94). Menurut Monks (dalam Musfiroh, 2008: 94) menstimulasi minat baca anak lebih penting daripada mengajar mereka membaca. Menstimulasi memberi efek menyenangkan, sedangkan mengajar sekaligus seringkali justru membunuh minat baca anak, apalagi bila hal tersebut dilakukan secara terpaksa. Pengalaman menunjukan, anak-anak
yang
memiliki
minat
86
dibairakan berkutat
secara
aktif
dengan
lingkungan
baca
dan kemampuan baca lebih besar daripada anak-anak yang
Febriancy Ayu Valda Ciptani, Cerita Anak Sebagai
diajarkan membaca melalui drill. Bahkan pada saat drill membaca dilakukan secara paksa dan ketat, anak menunjukan kemunduran minat baca. 6) Membuka Cakrawala Pengetahuan Anak Setiap anak pada hakikatnya sangat tertarik untuk mengenal dunia, dan arena dunia ini cenderung berkaitan dengan budaya dan identitas orang banyak, maka anak juga tertarik untuk mengenal budaya dan ras lain. Cerita menurut Lenox (dalam Musfiroh, 2008: 98) dapat menjadi sumber yang luar biasa
untuk
memperkenalkan pemahaman mengenai perbedaan ras dan etnik. Bercerita dapat membawa anak pada sikap yang lebih baik, mempertinggi rasa ingin tahu, kemisterian dan sikap menghargai kehidupan. Dalam hal ini, cerita dapat dimanfaatkan sebagi cara untuk mempersiapkan anak agar dapat hidup secara harmoni dengan orang lain (dalam konteks yang luas) dalam kehisupan dunia yang dinamik. Dengan kata lain melalui cerita seseorang dapat belajar memahami diri sendiri dan memahami orang lain, serta bagaimana memahami cerita itu sendiri. Adapun aspek-aspek yang ingin dicapai dalam pendidikan budi pekerti menurut Haidar (2004) dapat dibagi ke dalam 3 ranah, yaitu: Pertama ranah kognitif, mengisi otak, mengajarinya dari tidak tahu menjadi tahu, dan pada tahaptahap berikutnya dapat membudayakan akal pikiran, sehingga dia dapat memfungsikan akalnya menjadi kecerdasan intelegensia. Kedua, ranah afektif, yang berkenaan dengan perasaan, emosional, pembentukan sikap di dalam diri pribadi seseorang dengan terbentuknya sikap, simpati, antipati, mencintai, membenci, dan lain sebagainya. Sikap ini semua dapat digolongkan sebagai kecerdasan emosional. Ketiga, psikomotorik, adalah berkenaan dengan tindakan, perbuatan, prilaku, dan seterusnya. Apabila disinkronkan ketiga ranah tersebut dapat disimpulkan bahwa aspek pendidikan budi pekerti dicapai mulai dari memiliki pengetahuan tentang sesuatu, kemudian memiliki sikap tentang hal tersebut, dan selanjutnya berperilaku sesuai dengan apa yang diketahuinya dan apa yang disikapinya. Oleh karena itu, melalui pembelajaran cerita anak peserta didik akan mendapatkan tiga aspek sekalipun, yaitu aspek kognitif berupa pengetahuan peserta didik tentang sastra dan karya sastra, aspek afektif berkaitan tentang rasa yang didapatkan dari karya sastra, sedangkan aspek psikomotorik merupakan keterampilan peserta didik untuk menghasilkan karya sastra.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
87
PENUTUP Peran
cerita anak terhadap perkembangan pendidikan budi pekerti kiranya
perlu untuk diapresiasi. Pendidik harus mampu memilih dan memilah contoh cerita yang baik untuk anak. Nilai-nilai yang terdapat dalam cerita anak secara implisit ataupun eksplisit akan akan diterima peserta didik. Setelah membaca suatu karya berupa cerita anak, peserta didik dituntuk untuk dapat menyebutkan unsur intrinsik cerita anak. Pemahaman unsur intrinsik cerita memerlukan kemampuan daya pemahaman sesuai dengan cerita anak yang dibaca. Unsur intrinsik dalam cerita anak yaitu tema, amanat, alur atau plot, perwatakan dan latar. Maka dalam pembelajaran sastra guru hendaknya memilih bahan pembelajarannya dengan mengutamakan karyakarya sastra yang latar ceritanya dikenal oleh para siswa. Guru sastra hendaknya memahami apa yang diminati para siswa sehingga dapat menyajikan suatu karya sastra yang tidak terlalu menuntut gambaran di luar kemampuan bayangan/imajinasi yang dimiliki siswa. DAFTAR PUSTAKA Effendi, S. 1995. Panduan Berbahasa Indonesia dengan Baik dan Benar Cet. 1. Jakarta: Pustaka Jaya. Endraswara, Suwardi. 2002. Metode Pengajaran Apresiasi Sastra. Yogyakarta: CV. Radhita Buana. Haidar, Putra Daulay. 2004. Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia. Jakarta: Prenada Media. Lukens, Rebecca J. 2003. A Critical Handbook of Children`s Literature. New York: Longman. Musfiroh, Tadkiroatun. 2008. MEMILIH, Menyusun, dan Menyajikan Cerita Anak Usia Dini. Yogyakarta: Tiara Wacana. Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Sastra Anak Pengantar. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Subyantoro. 2006. Profil Cerita untuk Meningkatkan Kecerdasan Emosional; Aplikasi Ancangan Psikolinguistik. Kajian Linguistik dan Sastra,18 (35).pp. A 183-195. 88
Febriancy Ayu Valda Ciptani, Cerita Anak Sebagai
ISSN 0852-9604. Diunduh http://eprints.Ums.Ac.Id/364/01/19._subyantoro.pdf
dari
Tarigan, Henry Guntur. 2008. Membaca Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa. Waluyo, Herman J. 2002. Apresiasi Puisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Waluyo, Herman J. 2006. Pengkajian dan Apresiasi Prosa Fiksi. Surakarta: Universitas Sebelas Maret University Press. Waluyo, Herman J. 2011. Pengkajian dan Apresiasi Prosa Fiksi. Surakarta: Sebelas Maret University Press.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
89
PENGEMBANGAN SEKOLAH BERBUDAYA LINGKUNGAN DALAM MEMBENTUK BUDI PEKERTI SISWA Fitri Nurmawati UniversitasPendidikan Indonesia Email:
[email protected] Abstract Indonesia problems that happen for the moment is character problems such as throw the rubbish mistakenly, steal the traffic lamp, even corruption. Those problems have very bad impact for others. Furthermore, character problems cansee from student behavior which has bad manner to parent, teacher, and adult, fighting with their friends, using bad language, passiveness for environment, roguishness by others, using drugs and drinking bout, etc. Education system in the school must develop character of students because school is strategic environment to build moral values so that students do good things habitually. That habit attributed inside student and will be awareness for doing it based on values, moral, and norms that act. Students as the rising generation shaped to be virtuous citizen early on. In character development especially care about environment can through school based environment. School based environment educate students for developing environmentally conscious character. Environmental education applied in school based environment can do by many programs, events, and methods that integrated on every lesson, many habitual that do continuously with supported by school infrastructure and good example from teachers and school leadership. In character development need collaboration for all school parties based on their role and function. Keyword: character development, school based environment, environmental education, environmentally conscious character
PENDAHULUAN Pada dasarnya, permasalahan yang terjadi di Indonesia saat ini merupakan permasalahan mengenai budi pekerti bangsa. Indonesia dengan berbagai kekayaan sumber daya alam dan budaya dapat berkembang dengan baik jika diikuti oleh perkembangan karakter warga negaranya yang baik pula. Di Indonesia banyak sekali orang yang berprestasi secara akademik namun tidak diikuti dengan penerapan budi pekerti yang baik, sehingga terjadi hal-hal yang menimbulkan ketidakjujuran dan ketidakadilan. Permasalahan budi pekerti seperti membuang sampah sembarangan, menyerobot lampu merah, sampai korupsi memiliki dampak yang sangat besar. Dampak tersebut tidak hanya dirasakan oleh pelakunya saja melainkan juga pihak-pihak yang 90
Fitri Nurmawati , Pengembangan Sekolah Berbudaya
tidak bersalah yang justru terkena dampak negatifnya. Permasalahan budi pekerti tersebut juga terjadi pada siswa sebagai generasi muda. Tak jarang saat ini dapat dilihat perilaku siswa yang tidak sopan terhadap orang yang lebih tua darinya, banyak terjadi perkelahian antarsiswa, penggunaan bahasa yang tidak baik, ketidakpedulian terhadap sesama dan lingkungan sekitar, penggunaan obat terlarang, bahkan terjadinya pembunuhan. PEMBAHASAN Pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam mengatasi permasalahan budi pekerti ini, karena bersifat preventif dalam peranannya membangun generasi baru yang lebih baik. Pendidikan budi pekerti ini memiliki misi yang sama dengan pendidikan karakter yakni menanamkan kebiasaan yang baik kepada siswa agar ia mampu membedakan perilaku yang benar dan salah, serta memahami, merasakan, dan melakukannya dalam sebuah sikap dan tindakan. Penanaman kebiasaan baik tersebut dilakukan tidak hanya di lingkungan sekolah, namun juga di lingkungan keluarga dan masyarakat. Sebagaimana pernyataan Dewantara (2013: 70) bahwa ”tri pusat pendidikan karakter yaitu pendidikan di lingkungan keluarga, pendidikan di lingkungan keguruan, dan pendidikan di lingkungan kemasyarakatan atau alam pemuda”. Dalam mencapai tujuan pendidikan termasuk pembentukan budi pekerti seseorang dipengaruhi oleh lingkungan pendidikan yaitu pendidikan di lingkungan keluarga sebagai pendidikan informal, pendidikan di lingkungan perguruan sebagai pendidikan formal, dan pendidikan di lingkungan masyarakat sebagai pendidikan non formal. Ketiga lingkungan pendidikan tersebut memiliki peran dan fungsinya masing-masing dalam mempengaruhi pembentukan karakter seseorang. Lingkungan yang baik dan kondusif, senantiasa membentuk seseorang menjadi pribadi yang baik pula, dan sebaliknya, terlebih anak-anak yang masih perlu dididik, diajarkan, dan dibiasakan hal-hal yang baik agar karakter tersebut melekat dalam dirinya. Budi pekerti meliputi sikap dan perilaku seseorang dalam hubungannya dengan Tuhan, manusia, dan lingkungan. Seseorang yang bermoral memiliki hubungan yang baik dengan ketiga komponen tersebut yang sesuai dengan nilai-nilai moral yang dikembangkan dalam Pancasila. Nilai-nilai yang dikembangkan dalam Pancasila yaitu nilai ketuhanan, nilai kemanusiaa, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan. Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
91
Indonesia sebagai negara yang berketuhanan sangat menjunjung tinggi nilai-nilai agama yang mengajarkan kebaikan terhadap sesama manusia serta lingkungannya. Manusia diajarkan untuk mentaati setiap perintah Tuhannya, mencintai dan menghormati sesama manusia, serta menjaga lingkungannya termasuk kebersihan, keamanan, kedamaian, dan ketertiban untuk mencapai masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai tersebut ditanamkan dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Pendidikan di sekolah selayaknya mengembangkan budi pekerti siswa karena sekolah merupakan lingkungan yang strategis untuk menanamkan nilai-nilai budi pekerti agar siswa terbiasa dengan hal-hal yang baik. Kebiasaan tersebut akan melekat dalam diri siswa dan menjadi sebuah kesadaran tersendiri dalam membiasakan bertindak sesuai dengan nilai, moral, dan norma yang berlaku di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Penumbuhan budi pekerti ini bias dikatakan sebagai penanaman pendidikan karakter di sekolah kepada siswa. Siswa sebagai generasi muda dibentuk untuk menjadi warga negara yang berkarakter sejak dini. Dalam mengembangkan budi pekerti siswa khususnya budi pekerti terhadap lingkungan dapat dilakukan melalui sekolah berbudaya lingkungan. Sekolah berbudaya lingkungan mendidik siswa untuk mengembangkan kepeduliannya terhadap lingkungan. Mulyana (2009: 180) menjelaskan bahwa sekolah peduli dan berbudaya lingkungan (SPBL) merupakan pintu gerbang bagi siswa dalam membentuk perilaku yang beretika terhadap lingkungan. SPBL memberikan kontribusi yang berarti bagi peningkatan kepedulian terhadap kelestarian alam. Penanaman etika lingkungan di lingkungan sekolah secara berkelanjutan diharapkan akan dapat tertanam kuat pada hati para siswa, sehingga akan berbuah perilaku-perilaku yang mencintai alam beserta isinya. Berdasarkan pendapat tersebut dapat dijelaskan bahwa pendidikan yang dilakukan di sekolah berbudaya lingkungan berupaya meningkatkan kemampuan kognitif siswa yang berhubungan dengan pemahamannya tentang menjaga lingkungan, kemampuan afektif yang berhubungan dengan kesadarannya terhadap lingkungan dan psikomotorik yang berhubungan dengan tindakannya dalam melestarikan lingkungan. Ketiga kemampuan tersebut memiliki peranannya masing-masing dalam kehidupan sehari-hari siswa. Dengan demikian, dalam pembinaan budi pekerti siswa perlu adanya keseimbangan dalam pengembangan ranah kogntif, afektif, dan psikomotorik.
92
Fitri Nurmawati , Pengembangan Sekolah Berbudaya
Siswa yang melaksanakan pendidikannya di sekolah berbudaya lingkungan tidak hanya mendapatkan pemahamannya tentang kepedulian terhadap lingkungan yang diintegrasikan dalam berbagai mata pelajaran, namun juga menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Siswa dilatih untuk membiasakan berbagai kegiatan yang dikembangkan oleh sekolah berkaitan dengan pengembangan kepeduliannya terhadap lingkungan. Selain itu, siswa juga dilatih untuk menjaga, memelihara, dan melestarikan lingkungan sekolah dan sekitarnya yang diharapkan dapat diterapkan oleh siswa dimanapun mereka berada. Kegiatan tersebut dapat berupa piket harian di setiap masing-masing kelas setelah proses pembelajaran selesai, kerja bakti setiap hari Jumat, perlombaan kelas terbersih yang diumumkan setiap hari Senin setelah upacara bendera, membiasakan membuang sampah sesuai dengan jenisnya, adanya bank sampah untuk pengumpulan barang bekas, pengolahan limbah, dan sebagainya. Dengan membiasakan siswa untuk melaksanakan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan kepedulian lingkungan diharapkan dapat menumbuhkan etika lingkungan siswa. Prasetya, et. al. (2009: 250) mengungkapkan bahwa etika lingkungan adalah rasa menghargai/menghormati lingkungan yang berawal dari rasa cinta terhadap lingkungan dan kesadaranakan keseimbangan dalam lingkungan hidup. Oleh sebab itu, tingginya kadar etika lingkungan dapat menunjang timbulnya perilaku yang positif terhadap keseimbangan lingkungan hidup. Berdasarkan pernyataan tersebut maka etika lingkungan ini penting dimiliki siswa sebagai bekal untuk masa depannya kelak. Etika lingkungan menjadikan siswa memiliki kesadarannya dalam menjaga lingkungan. Lingkungan yang bersih dan nyaman akan menciptakan lingkungan yang sehat. Sekolah berbudaya juga menerapkan pendidikan lingkungan dalam managemennya. Melalui managemen sekolah yang berwawasan lingkungan, siswa dilatih untuk menerapkan pemahamannya dalam kepeduliannya terhadap lingkungan melalui program yang dikembangkan oleh sekolah. Program tersebut dilakukan secara konsisten dan terus menerus agar menciptakan sebuah kebiasaan dan menjadikannya kesadaran dalam diri siswa. Pengembangan sekolah berbudaya lingkungan perlu adanya kejasama dari semua pihak warga sekolah berdasarkan peran dan fungsinya masing-masing. Selain itu, hal yang perlu diperhatikan juga keteladan dari guru dan pimpinan sekolah mengingat usia siswa sekolah dasar secara tidak langsung dipengaruhi oleh sikap yang ditunjukkan Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
93
orang dewasa di sekelilingnya. Siswa akan meniru perilaku yang dilakukan oleh guru dan pimpinan sekolah, sehingga guru dan pimpinan sekolah perlu memberikan contoh yang baik kepada siswa. Siswa akan dengan mudah melaksanakan perintah yang diberikan guru maupun tata tertib yang berlaku di sekolah. Sebagaimana pernyataan Marzuki (2015: 113) bahwa metode yang sangat efektif untuk pembinaan karakter siswa di sekolah adalah melalui keteladanan. Keteladanan di sekolah diperankan oleh kepala sekolah, guru, dan karyawan sekolah. Keteladanan di rumah diperankan oleh kedua orang tua siswa atau orang-orang lain yang lebih tua usianya. Sementara itu, keteladanan di masyarakat diperankan oleh para pemimpin masyarakat dari yang paling rendah hingga yang paling tinggi PENUTUP Penanaman budi pekerti siswa dapat dilakukan melalui sekolah berbudaya lingkungan. Sekolah berbudaya lingkungan mengembangkan budi pekerti siswa khususnya
kepeduliannya
terhadap
lingkungan.
Pendidikan
lingkungan
yang
dikembangkan di sekolah berbudaya lingkungan dapat dilakukan melalui berbagai kegiatan dan metode diantaranya diintegrasikan dalam setiap mata pelajaran, melalui pembiasaan yang dilakukan sehari-hari secara terus menerus dan berkesinambungan dengan dukungan sarana prasarana sekolah yang ramah lingkungan, dan adanya keteladanan dari guru dan pimpinan sekolah. Selain itu, dalam mengembangkan budi pekerti siswa perlu adanya kerjasama antar warga sekolah berdasarkan peran dan fungsinya masing-masing. DAFTAR PUSTAKA Dewantara, K. H. 2013. Ki Hajar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa bekerjasama dengan Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa. Marzuki. 2015. Pendidikan Karakter Islam. Jakarta: Amzah Mulyana, R. 2009. Penanaman Etika Lingkungan melalui Sekolah Peduli dan Berbudaya Lingkungan. Jurnal Tabularasa PPS Unimed Vol.6 No. 2, Desember 2009 Prasetya, et. al. 2009. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: RinekaCipta 94
Fitri Nurmawati , Pengembangan Sekolah Berbudaya
NILAI-NILAI FILOSOFIS JAWA PADA PERMAINAN TRADISIONAL DI WILAYAH YOGYAKARTA Galih Prabaswara Paripurno Retno Setya Putri Program Pascasarjana, Universitas Negeri Yogyakarta Email:
[email protected];
[email protected]
Abstract This research aims to reveal Java philosophical values within traditional game in region of Yogyakarta, and to reveal its implementation in children’s social life. This research utilized qualitative descriptive approach. Data were collected through observation, indepth interview, and document study. The result is that there are values that can create children’s character in traditional game, which one of them is ‘’togetherness’’. Besides that, there is an important philosophy in traditional game such as egrang, gobak sodor, or sudhah mandhah, that ‘’the higher, stronger, or more you have or stand now, the bigger the challenge or obstacle you will faced’’. Involvement from relevant parties are needed in preserving, socializing, and mainstreaming the value or the benefit of traditional game in social life. Keywords: traditional game, philosophical values, children’s social life PENDAHULUAN Bermain
merupakan
kegiatan
yang
penting
bagi
pertumbuhan
dan
perkembangan fisik, sosial, emosi, intelektual, dan spiritual anak. Dengan bermain anak dapat mengenal lingkungan, berinteraksi, serta mengembangkan emosi dan imajinasi dengan baik. Menurut Bredekamp, S., & C. Copple, eds. (1997), bermain merupakan alat utama belajar anak. Demikian juga pemerintah Indonesia telah mencanangkan prinsip, “Bermain sambil belajar atau belajar seraya bermain”. Bermain yang sesuai dengan tujuan di atas adalah bermain yang memiliki ciri-ciri seperti: menimbulkan kesenangan, spontanitas, motivasi darianak sendiri, dan aturan ditentukan oleh anak sendiri. Kegemaran anak dalam bermain ini kemudian menyebabkan munculnya beragam permainan mulai dari permainan yang sederhana, menengah, sampai yang paling kompleks. Seiring dengan perkembangan zaman, permainan kini mulai berkembang semakin modern.Permainan yang awalnya berorientasi pada fisik kini sudah bergeser pada permainan digital.Seperti halnya permainan tradisional yang kini sudah tidak Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
95
begitu diminati lagi oleh anak-anak zaman sekarang.Permainan tradisional seperti dakon, engklek, dan engrang misalnya, permainan ini kini hanya sering menjadi permainan saat perayaan kemerdekaan saja sebagai perlombaan.Padahal, permainan fisik seperti ini tentu saja banyak memberikan nilai-nilai filosofis Jawa yang baik dan dapat diambil untuk diinternalisasikan dalam kehidupan sehari-hari, terutama untuk pembentukan karakter anak.Hal ini seperti salah satu konsep jiwa dari Ki Hajar Dewantara yang dikenal dengan “Konsep Trisakti Jiwa” yang terdiri dari cipta, rasa, dan karsa.Cipta merujuk kepada struktur logika yang berupaya untuk memperoleh nilai kebenaran.Rasa merujuk
kepada
struktur
estetika
yang
berupaya
untuk
memperoleh
nilai
keindahan.Karsa merujuk kepada struktur etika yang berupaya untuk memperoleh nilai kebaikan.Cipta-rasa-karsa, logika-etika-estetika dan kebenaran-keindahan-kebaikan merupakan satu kesatuan yang dapat membuat kehidupan menjadi selaras, serasi dan seimbang (Purwadi, 2007: 7). Berdasarkan pemaparan inilah yang selanjutnya mendorong peneliti untuk mencoba memaparkan nilai-nilai filosofis Jawa yang terdapat dalam permainan tradisional.Hakikatnya, terdapat banyak nilai filosofis yang dapat diambil dan dipelajari dari permainan tersebut, sehingga dapat diinternalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, rumusan masalah yang muncul sebagai berikut. 1. Apa saja nilai-nilai filosofis Jawa yang terkandung di dalam permainan tradisional yang ada di wilayah Yogyakarta? 2. Bagaimana implementasi nilai-nilai filosofis tersebut dalam pergaulan anak-anak di dalam kehidupan sehari-hari? TINJAUAN PUSTAKA Manfaat Permainan Ketika dua orang filsuf dan pengajar filsafat, Deleuze dan Guattari (1991; 6-11) mengungkapkan bahwa ‘‘semua hal memiliki nilai di dalamnya’’, ini adalah sebuah bukti bahwa filsafat berkaitan dengan segala hal. Hal ini didukung pernyataan Keller (2006), bahwa filsafat itu tidak dapat digolongkan sebagai bagian dari budaya maupun politik. Sebaliknya, dalam tiap ilmu terkandung filsafat. Dari pemikiran tersebut, filsafat tidak dapat digolongkan ke berbagai kelompok. Semua hal dapat menjadi bagiannya, salah satunya mengenai permainan. Untuk memahami bagaimana nilai filosofis dalam
96
Galih Prabaswara Paripurno dkk, Nilai-nilai Filosofis
sebuah atau berbagai permainan, maka perlu diketahui terlebih dahulu, bagaimana manfaat dan bentuk dari permainan yang ada. Pada dasarnya, bermain memiliki berbagai macam manfaat. Russ (2004:34) berpendapat bahwa permainan sendiri, selain memiliki filsafat sebagai latar belakang di baliknya, dapat berfungsi sebagai terapi (Russ: 34). Hal ini erat kaitannya dengan kehidupan tradisional serta kegiatan yang dilakukan bahwa jika manusia bergerak, seperti melakukan olahraga, maka dari dalam tubuhnya akan timbul kegiatan pemulihan diri. Jika dikaitkan dengan kehidupan, ada manfaat permainan, ditinjau dari segi fisik, sosial, dan kognitif. Menurut Gleave dan Cole-Hamilton (2012: 6-13),
permainan
memiliki manfaat fisik dalam hal pentingnya direct relationship between physical activity and children’s health. Dengan kata lain, bagaimana anak-anak membentuk postur tubuh, tulang kuat, kekuatan otot, bahkan mengatur kondisi tubuh diatur dalam permainan yang dilakukan. Selain itu, Gleave dan Cole-Hamilton menekankan bahwa secara sosial, yang terpenting adalah adanya manfaat bahwa anak-anak dapat berinteraksi dengan orang lain. Dengan demikian, secara langsung ataupun tidak langsung, mereka menyadari bahwa ada perbedaan budaya yang mungkin muncul dan mereka dapat menyadari adanya perbedaan tersebut, salah satunya melalui permainan yang dilakukan. Tidak hanya bermain dengan orang lain, anak-anak pun dapat bermain dengan orang tua mereka. Power (2000), mengungkapkan bahwa orangtua jelas memiliki peran penting dalam perminan dengan anak. Ketika anak-anak melibatkan orang tua mereka, atau orang yang lebih tua sekalipun, sikap mereka tampak lebih dewasa dan mengerti dibandingkan ketika mereka bermain dengan teman mereka sendiri atau bermain sendirian saja. Ada pendapat menarik darinya, bahwa ‘’‘When parents play with infants and young children, the complexity of children’s behaviour increases substantially both in the duration of the social interactions and in the developmental level of children’s social behaviour’’. Hal ini menunjukkan betapa dalamnya manfaat permainan jika ditinjau dari segi sosial, yang dapat meningkatkan bagaimana cara anak bersikap. Dalam prosesnya, anak-anak membutuhkan peran penting dari orang tua. Secara kognitif, manfaat permainan itu tidak terlihat secara eksplisit, namun menurut Piaget dan Vygotsky, permainan dapat membentuk pengetahuan anak dan pengembangan struktur kosakata anak. Contohnya, banyak permainan yang dilakukan Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
97
dengan lagu atau kata-kata, yang secara langsung menambah pengetahuan sang anak. Gleave dan Cole-Hamilton menambahkan bahwa selain menambahkan pengetahuan akan kosakata, konsep dan kemampuan memecahkan masalah (dalam permainan itu sendiri) juga merupakan poin plus dalam manfaat yang dapat terlihat secara kognitif. Bentuk Permainan Secara spesifik, Whitebread, dkk. (2012: 18-23), mengungkapkan, terdapat lima jenis permainan yang dilakukan anak-anak, yakni sebagai berikut. 1. Permainan fisik Permainan ini dilakukan anak pada masa umur mulai 4-5 tahun. Hal ini dimulai dengan pergerakan anak-anak yang suka bermain lari-larian, kejar-kejaran, bahkan hingga bermain tendang-tendangan, tarian, maupun bermain lompat-lompatan. Namun demikian, permainan fisik ini tak terbatas pada hal itu saja. Hal lain yang bisa dilakukan untuk mengasah kreativitas kedepannya seperti mewarnai, menjahit, dan lain sebagainya. 2. Permainan dengan objek Permainan ini dilakukan dengan menggunakan benda atau barang atau kosntruksi tertentu. Misalkan saja, permainan membangun rumah-rumahan dilakukan pada usia anak-anak dengan menggunakan balok-balok kayu, yang diberi warna-warna tertentu. 3. Permainan simbolis Permainan ini dilakukan dengan memperdengarkan musik atau lebih umum lagi, permainan dengan menekankan aspek bahasa di dalamnya. Misalkan saja, bermain kata untuk meningkatkan kemampuan literasi anak. Untuk contoh permainan simbolis dengan musik, hal ini banyak terdapat pada tarian-tarian yang dilakukan dengan pergerakan permainan, seperti ibu yang menari-nari sambil menggendong anaknya, bagaimana anaknya mengikuti dan senang terhadap hal tersebut. 4. Permainan peran/drama Permainan ini lumrah dilakukan oleh anak-anak berusia setingkat sekolah dasar hingga lanjutan. Hal ini digunakan untuk memberikan pengembangan kemampuan bahasa, sosial, dan akademis pada umumnya. 5. Permainan dengan peraturan Permainan ini juga lumrah dilakukan pada anak-anak hingga usia lanjut. Misalkan, permainan sepakbola, bagaimana mereka bermain dengan baik, namun sambil tetap 98
Galih Prabaswara Paripurno dkk, Nilai-nilai Filosofis
memperhatikan peraturan, bahwa mereka tak boleh menggunakan tangan (kecuali kiper), melanggar dengan keras hingga terkena kartu, dan lain sebagainya. Contoh lain juga, adalah bahwa permainan ini melatih bagaimana anak-anak maupun orang dewasa dapat berbagi, bergiliran, memahami satu sama lain, dan sebagainya. Hal ini dapat dilihat pada permainan yang dilakukan lebih dari satu orang. Misalkan: monopoli, halma, catur, dan lain sebagainya. METODE Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Pemilihan pendekatan ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran secara mendalam mengenai filosofi jawa dalam permainan tradisional anak di wilayah Yogyakarta. Data dikumpulkan melalui observasi, wawancara mendalam, dan studi dokumen. Observasi dilakukan untuk melihat implementasi yang berkaitan dengan kegiatan maupun aktivitas pembelajaran yang berhubungan dengan strategi pembentukan karakter. Data primer diperoleh melalui hasil wawancara dengan informan atau narasumber penelitian, yakni: kepala sekolah, ahli dalam permainan tradisional maupun filosofi jawa, guru, maupun anak-anak. Data sekunder diperoleh melalui studi dokumen. Analisis data dilakukan dengan menggunakan model analisis interaktif Miles & Huberman, yang terdiri dari empat komponen, yakni: pengumpulan data, pereduksian data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Data yang telah dikumpulkan akan diuji keabsahannya dengan menggunakan teknik trangulasi sumber dan metode. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini difokuskan pada beberapa permainan tradisional seperti; dakon, egrang, gobak sodor, engklek, dan cublak-cublak suweng. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh beberapa hasil, diantaranya: 1. Dakon Dhakon berasal dari kata dhaku-an, yang berarti ‘’mengaku bahwa sesuatu itu miliknya’’. Permainan ini dilatarbelakangi oleh kehidupan bertani yang digambarkan melalui bagaimana petani mengolah sawah dan menanam padi untuk mendapatkan hasil sebanyak mungkin dan kemudian disimpan di dalam lumbung. Menurut sejarah,
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
99
permainan ini pertama kali dibawa oleh pendatang dari Arab yang rata-rata datang ke Indonesia untuk berdagang atau berdakwah. Permainan dakon berjumlah dua orang. Pada permainan ini, terdapat istilah ‘’lubang’’ untuk ‘’sawah’’ dan ‘’lumbung’’. Lubang lumbung terletak di ujung kanan dan kiri. Sedangkan, lubang untuk sawah terdiri dari dua baris, yang masing-masing baris berjumlh lima, tujuh, sembilan, atau sebelas, dan terletak diantara dua lumbung. Untuk isiannya dapat menggunakan benik (kancing baju), biji buah, kerikil, dan lain sebagainya. Permainan berjalan apabila sawah berjumlah sembilan, maka isiannya masing-masing berjumlah sembilan biji pada tiap-tiap sawah. Kemudian, salah satu pemain mengambil biji dari sawah paling ujung dan satu persatu biji itu dijalankan ke lubang lainnya. Begitu juga dengan pemain yang kedua. Mereka saling bergantian mengambil isian dari sawah mana saja dari sawahnya sendiri dan dijalankan sama seperti sebelumnya hingga isian sawah habis. Ketika biji diambil dari satu lubang, ia mengisi lubang yang lain, termasuk lubang pada lumbung. Pelajaran dari fase ini adalah, setiap hari yang kita jalani, akan berpengaruh pada hari-hari kita selanjutnya, dan juga hari-hari orang lain. Apa yang kita lakukan hari ini menentukan apa yang akan terjadi pada masa depan kita. Apa yang kita lakukan hari ini bisa jadi sangat bermakna bagi orang lain.Ketika biji diambil, kemudian diambil lagi, juga berarti bahwa hidup itu harus memberi dan menerima.Untuk keseimbangan hidup, kita tidak hanya mengambil saja, namun juga memberi. Biji diambil satu persatu, tidak dapat diambil sekaligus.Maksudnya, kita harus jujur untuk mengisi lubang pada papan congklak kita.Kita harus jujur mengisi hidup kita.Satu persatu, sedikit demi sedikit, asalkan jujur dan baik, lebih baik daripada banyak namun tidak jujur.Satu persatu biji yang diisi juga bermakna bahwa kita harus menabung tiap hari untuk hari-hari berikutnya.Kita juga harus mempunyai tabungan, yaitu biji yang berada di lubang induk. Permainan dakon memerlukan siasat atau strategi yang bagus oleh si pemain.Strategi ini digunakan agar memperoleh banyak biji dan meminimalisir biji yang diambil lawan main.Maksud dari hal ini adalah hidup ini adalah persaingan, namun bukan berarti kita harus bermusuhan. Karena setiap orang mempunyai kepentingan dan tujuan yang (mungkin) sama dengan tujuan kita, maka kita harus cerdik dan strategis. Pemenang adalah pemilik biji terbanyak di lumbung 100
Galih Prabaswara Paripurno dkk, Nilai-nilai Filosofis
besarnya.Pemenang menggambarkan orang yang sukses dan merupakan orang yang mengumpulkan banyak kebaikan. Permainan dakon ini memiliki banyak manfaat antara lain melatih dalam strategi, melatih kesabaran dan ketelitian, mengajarkan untuk berhemat, melatih jiwa sportif, jujur, adil, tepa selira dan akrab dengan orang lain (Susanti, dkk., 2013). 2. Sundhah Mandhah Secara harfiah, ‘’Sundhah’’ berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti ‘’bersih, tulus, dan berkurang’’. Permainan ini sering juga disebut dengan Engklek/Ingkling. Permainan ini menggunakan benda bernama ‘’gacuk/gaco’’, yang dapat terdiri dari benda apa saja yang mungkin mewakili, sebagai penanda kotak yang akan dilompati saat bermain. Permainan ini dilakukan dengan satu kaki untuk melompat, dan satu kaki lain ditekuk. Kotak untuk lompat berjajar dua bersebelahan kanan dan kiri. Permainan dimulai dari gacuk dari kotak pertama hingga akhirnya kembali pada kotak yang pertama. Sundhah mandhah ini merupakan permaian yang bersifat fisik dan kompetitif. Di dalamnya terkandung makna keseimbangan dalam hidup, kejujuran, maupun ketepatan dalam mengambil keputusan. Permainan ini juga melatih anak untuk berkonsentrasi, melatih untuk mengendalikan diri, dan belajar untuk memecahkan masalah.Dalam implementasinya, anak dilatih berpikir bahwa keseimbangan dalam hidup, kejujuran, maupun ketepatanmerupakan hal yang esensial. Secara langsung maupun tidak langsung, permainan ini memberikan kepuasan pada anak, jika mampu memenangkan permainannya.Hal ini seperti yang disampaikan oleh Iswinarti (2010:9) dalam penelitiannya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai-nilai terapuitik yang terkandung dalam permainan tradisional Engklek meliputi hal-hal diantaranya: - nilai deteksi dini untuk mengetahui anak yang mempunyai masalah, - nilai untuk perkembangan fisik yang baik. Aktivitas fisik meliputi kegiatan untuk berolah
raga,
meningkatkan
koordinasi
dan
keseimbangan
tubuh,
dan
mengembangkan keterampilan dalam pertumbuhan anak, - nilai
untuk
kesehatan
mental
yang
baik,
yaitu:
membantu
anak
untuk
mengkomunikasikan perasaannya secara efektif dengan cara yang alami, mengurangi kecemasan, pengendalian diri, pelatihan konsentrasi. - Nilai problem solving, anak belajar memecahkan masalah sehingga kemampuan tersebut bisa ditransfer dalam kehidupan nyata. Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
101
- Nilai sosial, anak belajar ketrampilan sosial yang akan berguna untuk bekal dalam kehidupan nyata. 3. Egrang Egrang berasal dari bahasa Lampung yang berarti ‘’terompah pancung’’, yang terbuat dari bambu bulat panjang. Egrang terbuat dari batang bambu dengan panjang kurang lebih 2,5 meter. Sekitar 50 cm dari bawah, dibuat tempat berpijak kaki yang rata dengan lebar kurang lebih 20 cm. Cara memainkannya adalah dengan berlomba berjalan menggunakan egrang tersebut (dinaiki), dari satu sisi lapangan ke sisi lainnya, atau bolak-balik. Luas area permainan bebas dan dapat dimainkan beberapa orang pun selama memungkinkan. Pemain yang paling cepat dan tidak terjatuh adalah pemenangnya. Permainan egrang melambangkan suatu ilmu kearifan orang Jawa pada masa lalu, bahwa untuk mencapai derajat yang tinggi, keseimbangan menjadi salah satu syarat utama. Keseimbangan dalam bahasa politik dan hukum dinamakan keadilan, kemudian dalam olahraga dinamakan sportivitas, dan dalam bahasa asing maupun ekonomi dinamakan balance. Dalam agama, keseimbangan mengandung arti ketaqwaan. Secara luas, hilangnya keseimbangan dalam kehidupan dapat terjadi karena adanya ambisi berlebihan dan emosi yang menyebabkan hilangnya harapan untuk menggapai cita-cita. Dalam kehidupan, apabila ambisi mengejar kekuasaan serta kemenangan tidak terkendali, keseimbangan kehidupan akan terganggu. Kerendahan hati akan sirna dengan kesombongan. Permainan ini melatih ketangkasan, sportivitas, dan kepercayaan diri. 4. Gobak Sodor Permainan ini cukup unik karena secara harafiah berasal dari bahasa Inggris, dari frase ‘’Go back through (the) door’’, atau ‘’Kembali ke pintu’’. Kata ‘’Go back’’, kemudian oleh orang Jawa diucapkan sebagai ‘’Gobak’’, yang berarti mengejar atau memburu. Kemudian, ‘’to (the) door’’ diucapkan sebagai ‘’sodor’’ yang berarti penjaga yang memiliki keleluasaan bergerak di tiap wilayah (pintu/gerbang). Jumlah pemain bebas, selama dapat dibagi menjadi ke dua kelompok. Dua kelompok ini kemudian menentukan yang mana yang bertugas menjaga pintu. ‘’Pintu’’ disini diimajinasikan dalam bentuk garis pada area permainan. Setelah ditentukan, anggota kelompok yang 102
Galih Prabaswara Paripurno dkk, Nilai-nilai Filosofis
berjaga harus menjaga masing-masing garis yang telah ditentukan dan boleh bergerak sepanjang garis untuk menyentuh anggota kelompok lawan. Kelompok yang tidak berjaga berdiri di garis paling depan dan berusaha menerobos garis-garis tersebut dan tidak boleh sampai tersentuh oleh kelompok yang berjaga. Setelah berhasil menerobos garis akhir, mereka harus kembali ke tempat pertama mereka memulainya. Bila berhasil, mereka mendapatkan satu nilai. Bila ada anggota yang tersentuh, berarti kelompok yang tersentuh akan bertugas menjaga. Kelompok yang menang adalah mereka yang mengumpulkan nilai terbanyak. Permainan ini mengandung makna hidup, bahwa untuk mencapai tujuan, kadangkala dibutuhkan kerjasama agar membuahkan hasil yang maksimal. Permainan ini dapat melatih kelincahan, kegesitan, dan bagaimana cara berpikir taktis ketika saat bekerja sama dan bergerak. Pada permainan gobak sodor ini pula, didalamnya anak dapat berinteraksi sosial (kerjasa tim), mengekspresikan emosi (marah, sedih, dan gembira), tanggung jawab (memegang teguh peraturan yang sudah dibuat bersama), konsep diri (tahu mana yang baik dan tidak baik)), kemampuan pemecahan masalah (situasi dan kondisi saat main mendorong anak dapat mengambil keputusan) (Murfiah Dewi Wulandari, 2015). Selain itu, terdapat makna filosofis dan spiritual dalam permainan ini, yaitu ketika anak berusaha untuk melewati/menerobos garis akhir ini mengandung makna bahwa untuk mendapatkan kebahagiaan/keimanan hakiki maka seseorang memerlukan usaha dan perjuangan terus-menerus. 5. Cublak-cublak Suweng Kata “cublak” adalah sebuah idiom yang digunakan untuk sebuah permainan saling tebak, sedangkan kata ‘’suweng’’ artinya adalah hiasan telinga.Cublak-cublak Suweng berasal dari Jawa Timur.Permainan ini diciptakan oleh salah seorang wali songo yaitu Syekh Maulana Ainul Yakin atau yang biasa dikenal dengan Sunan Giri.Permainan cublak cublak suweng dilakukan antara 5-7 orang.Permainan Cublakcublak Suweng memerlukan perlengkapan seperti suweng (subang).Tujuan dari permainan ini adalah Pak Empo menemukan anting (suweng) yang disembunyikan seseorang.Permainan ini dimainkan dengan diiringi sebuah nyanyian “Cublak-cublak Suweng”.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
103
Cublak-cublak Suweng Cublak-cublak suweng (Tempat perhiasan) Suwenge ting gelenter (Perhiasan berserakan) Mambu ketundung gudel (Bau anak kerbau) Pak Empo lera lere (Pak ompong melihat ke kanan ke kiri) Sopo ngguyu ndhelikake (Siapa ketawa menyembunyikan) Sir sirpong dele kosong (Sir sir pong kedelai kosong) sir-sir pong dele kosong (Sir sir pong kedelai kosong) Jika diartikan lebih dalam lagi, nyanyian Cublak-cublak suweng ini mengandung pesan moral bahwa harta sejati/kebahagiaan berada di sekitar manusia (berserakan). Banyak orang berusaha untuk mencari kebahagiaan itu, bahkan orang-orang yang bodoh (diibaratkan Gudel) mencari harta dengan nafsu ego, korupsi dan keserakahan.Orangorang bodoh itu seperti orang tua ompong yang kebingungan, meskipun hartanya melimpah, ternyata harta tersebut palsu, bukan harta sejati atau kebahagiaan sejati.Hanya orang yang bijaksana yang mampu menemukan harta sejati tersebut atau kebahagiaan sejati.Selain itu, orang yang ingin menemukan kebahagiaan sejati harus melepaskan diri dari keserakahan dunia, rendah hati, tidak merendahkan sesama, serta mengasah tajam hati nuraninya.Apabila dikaitkan dengan budaya Jawa syair lagu Cublak-cublak Suweng menyimpan makna yang merujuk pada tata filsafat budaya Jawa yaitu logika dan etika. Hal ini menjadi gambaran bahwa syair lagu Cublak-cublak Suweng adalah suatu warisan nenek moyang yang memiliki nilai kearifan lokal yang merujuk pada nilai percaya diri dan nilai kejujuran (Yuliani, 2014). Nilai karakter yang terkandung dalam permainan ini adalah: 1) kerjasama, karena permainan ini dimainkan oleh sedikitnya tiga anak, dan terdapat nyanyian serta aturan yang harus dilakukan bersama-sama; 2) responsif, Rasa senang saat bermain cublak-cublak suweng akan membawa hal tersendiri bagi pemain, yakni rasa memiliki peran dalam permainan tersebut. Anak yang pendiam, jahil, bandel, keras kepala, aktif ataupun pasif dalam permainan ini biasanya akan melebur, kemudian muncul kesadaran untuk menyimpan suweng dengan teliti; 3) cermat, pada saat anak yang dadi membungkuktelungkup, dengan posisi tersebut selain melatih daya tahan otot juga niteni ‘mencermati’ jatuhnya suweng yang diputar, si pemain juga dapat mencermati dengan baik ciri fisik dan psikis anak yang menyimpan suweng. 104
Galih Prabaswara Paripurno dkk, Nilai-nilai Filosofis
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dalam permainan tradisional, terdapat nilai-nilai yang dapat membentuk karakter anak. Diantaranya adalah kebersamaan dalam unsur permaian anak. Unsur yang penting ini bersatu dengan bagaimana nilai-nilai seperti kepedulian terhadap teman maupun sesama, kekompakan, serta sportivitas. Selain itu, semangat, kejujuran, daya kompetitif, serta kerjasama, dan diakhiri dengan pengakuan kemenangan menjadi nilainilai yang membentuk karakter anak. Selain itu, terkandung pula nilai filosofis jawa dalam permainan egrang, gobak sodor, maupun sudhah mandhah, bahwa ‘’semakin tinggi, banyak, atau kuat apa yang dimiliki, dikuasai, atau dilakukan, maka semakin besar pula halangan maupun tantangan yang akan dihadapi’’. Pada penerapan, penerapan nilai-nilai tersebut belum dapat diimplementasikan seutuhnya. Hal ini termasuk salah satunya banyak permainan tradisional yang mulai ditinggalkan, ditambah dengan kurangnya pengetahuan masyarakat umum mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam permainan tradisional, yang secara langsung maupun tidak langsung, implementasinya kurang diperhatikan. Saran Supaya permainan tradisional tidak langka atau bahkan hilang sama sekali, maka diperlukan campur tangan berbagai pihak untuk melestarikannya, mensosialisasikan nilai-nilai maupun manfaat yang terkandung di dalamnya, serta pengarusutamaan permainan tradisional dalam kehidupan masyarakat, khususnya bagi anak-anak melalui pengaktifannya dalam lingkungan pendidikan maupun bermasyarakat guna turut membantu tumbuh kembang anak sekaligus menjaga kelestarian budaya Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Bredekamp, S., & C. Copple, eds. 1997. Developmentally appropri-ate practice in early childhood programs. Rev. ed. Washington, DC: NAEYC. Deleuze.G, & Guattari. F. 1991. What is philosophy? (translated by Hugh Tomlinson and Graham Burchell). New York. Columbia university press. Gleave. J, & Cole-Hamilton. I 2012. A world without play: a literature review on the effects of a lack of play on children’s live (Revised January 2012). www. playengland. org.uk. British Toy & Hobby Association.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
105
Herawati, Enis Niken. 2014. Nilai-Nilai Karakter yang Terkandung dalam Dolanan Anak pada Festival Dolanan Anak se_DIY 2013. Jurnal Penelitian. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Keller. P. May 22, 2006. What is philosophy? (Symposium de la Société suisse de philosophie, Neuchâtel, May 19, 2006). Iswinarti 2009.Nilai-Nilai Terapiutik Permainan Tradisional Engklek Untuk Anak Usia Sekolah Dasar. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang. Keller. P. May 22, 2006. What is philosophy? (Symposium de la Société suisse de philosophie, Neuchâtel, May 19, 2006). Power, T. G. 2000. Play and Exploration in Children and Animals, London: Lawrence Erlbaum Associates (in British Toy and Hobby Association (2011) Active Play and Healthy Developmen)t. Available online at: http://www.btha.co.uk/consumers/template.php?id=169 (Diakses Mei. 2016). Purwadi. 2007. Filsafat Jawa dan Kearifan Lokal. Yogyakarta: Panji Pustaka Russ, W. S. 2004. Play in child development and psychotherapy. New Jersey: lawrence erlbaum associates, Inc., Publishers. Susanti, Ika & Arih Afra I., dkk. 2013. Developing Perdasawa (Permainan Dakon Aksara Jawa) Media In The Teaching Of Javanese Alphabets To The Grade V Students Of Elementray Schools. Pelita, Volume VIII, Nomor 2, Agustus 2013. Whitebread. D. 201. The importance of play: a report on the value of children’s play with a series of policy recommendations. University of Cambridge. Wulandari, Dewi Murfiah. 2015. Meningkatkan Kompetensi Sosial Melalui Permainan Tradisional. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta. Yuliani. 2014. Nilai Kearifan Lokal dalam Syair Lagu Dolanan Jawa (Kajian Semantik).Jurnal elektronik: Portal Garuda.
106
Galih Prabaswara Paripurno dkk, Nilai-nilai Filosofis
MEMBANGUN BUDI PEKERTI ANAK SEKOLAH DASAR MELALUI BUDAYA PEDULI Gita Yuliani PKn Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia Bandung Email:
[email protected] Abstract Build human character should begin from an early age and the cultivation of the values of life will become the base of the formation as well as a direction to determine good bad attitude of a person in the future. With all the problems that afflict the nation occur then it should instil good character education in schools, at home and in the neighborhood association but not all problems can be solved easily because it is essentially just character education is a process to improve the attitude of man in order to become better in the future. And through cultural care applied to elementary school children will be the deciding factor leading to the development of the character of the nation Keywords : Manners, elementary school children, cultural care
PENDAHULUAN Ada banyak permasalahan yang dihadapi bangsa ini, maraknya kekerasan dan tindakan amoral misalnya, menghampiri para generasi muda yang usianya masih sangat belia seperti yang terjadi pada siswa SMP (Yn almh seorang gadis cilik mengalami kejadian
pemerkosaan yang dilakukan oleh 14 anak laki-laki). Contoh tersebut
merupakan salah satu dari beberapa permasalahan bangsa yang mengemuka, tragis dan memprihatinkan.
Munculnya peristiwa dan permasalahan tersebut tak lepas dari
rendahnya pendidikan dan kematangan sikap. Menilik permasalahan diatas timbul satu pertanyaan “apa yang salah dari bangsa ini?” Tidaklah perlu kita mencari tentang apa yang atau siapa yang salah tapi peran kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia harus terus ditingkatkan. Harus dipercayai bahwa pemerintah telah mengupayakan dengan berbagai cara untuk mengatasi masalah tersebut. Peran pendidikan dalam keluarga, lingkungan, dan sekolah sangat menentukan arah perkembangan karakter anak di masa depan. Orang tua dan guru adalah teladan yang mudah untuk diikuti seorang anak sekolah dasar karena pada dasarnya watak baik Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
107
atau buruk anak terbentuk dari seberapa banyak contoh sikap baik atau buruk yang anak liat. Kemampuan anak meniru sudah berlangsung sejak dini sehingga seyogyanya hal itu menyadarkan orang tua, guru, dan orang-orang disekitarnya untuk selalu berhatihati dalam bersikap. Untuk membangun budi pekerti, sekolah dapat mengambil peran strategis dan dari sinilah pendidikan nasional dapat melaksanakan fungsinya untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003). Membangun karakter berarti membangun budi pekerti karena Pendidikan karakter sering disamakan dengan pendidikan budi pekerti dan seseorang dapat dikatakan berkarakter atau berwatak jika telah berhasil menyerap nilai dan keyakinan yang dikehendaki masyarakat serta digunakan sebagai kekuatan moral dalam hidupnya. Aqib (2012:66). Begitu pula Ki Hajar Dewantara (2013:485) mengungkapkan bahwa pengajaran budi pekerti tidak lain artinya daripada menyokong perkembangan hidup anak-anak, lahir dan batin, dari sifat kodratinya menuju kearah peradaban dalam sifatnya yang umum. Megawangi (2007:46) dalam buku Character Parenting Space, telah menyusun kurang lebih ada sembilan karakter mulia yang harus diwariskan yang kemudian disebut sebagai sembilan pilar pendidikan karakter, yaitu : a) Cinta kepada Tuhan Yang Maha Esa dan kebenaran; b) Tanggung jawab, kedisiplinan dan kemandirian; c) Amanah; d) Hormat dan santun; e) Kasih sayang, kepedulian dan kerjasama; f) percaya diri, kreatif dan pantang menyerah; g) Keadilan dan kepemimpinan; h) Baik dan rendah hati; i) Toleransi dan cinta damai. Dalam Pusat Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional, 2010 menguraikan ada 18 karakter yang dikembangkan yaitu Religius, jujur, Toleransi, Disiplin, Kerja keras, Kreatif, Mandiri, Demokratis, Rasa ingin tahu, Semangat Kebangsaan, Cinta Tanah Air, Menghargai Prestasi, Bersahabat/Komunikatif, Cinta Damai, Gemar membaca, Peduli lingkungan, Peduli sosial, dan Tanggung Jawab. Sikap peduli merupakan salah satu dari 18 karakter, peduli lingkungan adalah sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di 108
Gita Yuliani, Membangun Budi Pekerti
sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi sedangkan peduli sosial adalah sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. Sikap peduli anak sekolah dasar harus ditanamkan dan terus digali dari dalam dirinya, peduli pada lingkungan dan sosial akan menjadikan seorang anak memiliki rasa cinta dan sayang pada sesama dan alam sekitarnya. Menggali rasa peduli dari dalam diri anak berarti menggali nilai karakter kebaikan yang telah ada sejak lahir namun tersembunyi. PEMBAHASAN Ada banyak budi pekerti yang tertanam dalam diri anak sekolah dasar untuk di eksplorasi diantaranya adalah sikap peduli, dalam hal ini adalah peduli lingkungan dan sosial. Untuk membangun budi pekerti melalui sikap peduli dapat dilakukan dengan berbagai cara atau pendekatan. Guru dalam proses pembelajaran di kelas dapat menggunakan pendekatan dari Thomas Lickona. Lickona (2012) menyebutkan lima pendekatan tersebut adalah: (1). Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) adalah suatu pendekatan yang memberi penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial dalam diri peserta didik. Dalam pembelajaran metode yang dapat digunakan adalah dengan keteladanan, penguatan positif dan negatif, simulasi, permainan peranan, dan lain-lain. Dalam ini guru dapat memberikan contoh dengan memasukkan uang ke dalam kotak amal
atau siswa selalu diajak untuk memberi sumbangan bagi masyarakat yang terkena musibah atau teman yang sedang sakit dengan seikhlasnya tanpa paksaaan. (2) Pendekatan perkembangan moral kognitif (cognitive moral development approach) Pendekatan ini mendorong perserta didik untuk berpikir aktif tentang masalah-masalah moral, maupun dalam membuat keputusan-keputusan moral. Tujuan yang ingin dicapai oleh pendekatan ini ada dua hal yang utama. Pertama, membantu peserta didik dalam membuat pertimbangan moral yang lebih kompleks berdasarkan kepada nilai yang lebih tinggi. Kedua, mendorong peserta didik untuk mendiskusikan alasan-alasannya ketika memilih nilai dan posisinya dalam suatu masalah moral. Proses pengajaran nilai menurut pendekatan ini didasarkan pada dilema moral, dengan menggunakan metode diskusi kelompok. Pada saat kegiatan
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
109
mengajar guru dapat membagi anak menjadi beberapa kelompok. Guru memberikan contoh peristiwa yang nyata terjadi dan mengajak anak untuk pula menjelaskan berbagai peristiwa yang terjadi dalam lingkungan sekitar siswa. Dari pengungkapan peristiwa maka anak belajar untuk mengingat dan menilai positif dan negatif dari apa yang dialami maupun yang dilihat. (3) Pendekatan analisis nilai (values analysis approach) Memberikan penekanan pada perkembangan kemampuan peserta didik untuk berpikir logis, dengan cara menganalisis masalah yang berhubungan dengan nilai-nilai sosial. Pendekatan analisis nilai dapat dilakukan guru dengan mengajak anak untuk membahas masalah lingkungan dan masalah sosial dimana hal-hal tersebut akan membuat anak menentukan pilihan dimana pilihan tersebut dapat membuat anak diuntungkan sedangkan yang lain dirugikan. Dari pilihan tersebut guru dapat mengarahkan anak untuk memilih hal yang terbaik bagi semua pihak. (4) Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach) Memberi penekanan pada usaha untuk membantu peserta didik dalam mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri, serta meningkatkan kesadaran mereka tentang nilai-nilai mereka sendiri. Adapun tujuan pendidikan nilai menurut pendekatan ini ada tiga, yaitu: pertama, membantu peserta didik untuk menyadari dan mengidentifikasi nilai-nilai mereka sendiri serta nilai-nilai orang lain. Kedua, membantu peserta didik agar mereka mampu berkomunikasi secara terbuka dan jujur dengan orang lain, berhubungan dengan nilai-nilai yang dapat diaktualisasikan dalam kehidupannya sendiri. Ketiga, membantu peserta didik, agar mereka mampu menggunakan secara bersama-sama kemampuan berpikir rasional dan kesadaran emosional, untuk memahami perasaan, nilai-nilai, dan pola tingkah laku mereka sendiri. (5) Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach). Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach) memberi penekanan pada usaha memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama dalam suatu kelompok. Anak diajak untuk melakukan perbuatan yang sesuai dengan keinginan anak sendiri baik itu secara perseorangan ataupun bersama-sama berdasarkan nilai anak itu sendiri. Bila anak mengatakan mencuri 110
Gita Yuliani, Membangun Budi Pekerti
itu tidak baik maka anak mencontohkannya dan menyampaikan bahwa perbuatan mencuri tidak boleh dilakukan. Dari hal itu maka anak akan mengetahui apa yang akan terjadi pada diri anak di dalam lingkungannya. PENUTUP Untuk menuju kehidupan yang baik tidaklah salah bila dimulai dengan membangun karakter baik siswa sedini mungkin saat ini karena hal ini sangat penting meski potensi karakter
yang baik sebenarnya sudah dimiliki seorang sebelum
dilahirkan akan tetapi tetap harus terus-menerus dikembangkan melalui proses pendidikan dan pembelajaran di sekolah. Pendekatan yang dijelaskan dalam pembahasan di atas akan membawa anak untuk belajar peduli baik itu pada lingkungan maupun sosialnya, sehingga anak memiliki kemampuan untuk menyayangi, menjaga, dan merawat lingkungan dan sesamanya. DAFTAR PUSTAKA Aqib, Zainal. 2015. Pendidikan Karakter di Sekolah. Bandung. Yrama Widya. Dalmeri. 2014. Pendidikan Untuk Pengembangan Karakter (Telaah terhadap Gagasan Thomas Lickona dalam Educating for Character). Al-Ulum Volume. 14 Nomor 1, Hal 269-288. Dewantara, Ki Hajar. 2013. Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka. Yogyakarta. Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa. Kemdiknas. 2011. Panduan Umum Pelaksanaan Pendidikan Karakter di Satuan Pendidikan , Pusat Kurikulum dan Perbukuan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional Kemdikbud, 2013, Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2010—2014 Lickona, Thomas. 1991. Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility. New York, Toronto, London, Sydney, Aucland: Bantam books. Lickona, Thomas. 2012. Character Matters: Persoalan Karakter, terj. Juma Wadu Wamaungu & Jean Antunes Rudolf Zien dan Editor Uyu Wahyuddin dan Suryani, Jakarta: Bumi Aksara.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
111
Lickona, Thomas. 2012. Educating for Character: Mendidik untUk Membentuk Karakter, terj. Juma Wadu Wamaungu dan Editor Uyu Wahyuddin dan Suryani, Jakarta: Bumi Aksara. Megawangi, Ratna. 2007. Character Parenting Space. Bandung. Mizan Publishing House. Wibowo, Agus. 2012. Pendidikan Karakter Usia Dini. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
112
Gita Yuliani, Membangun Budi Pekerti
IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN PKn DENGAN MODEL VALUE CLARIFICATION TECHNIQUE (VCT) DALAM MEMBENTUK BUDI PEKERTI SISWA Harry Irawan Universitas Pendidikan Indonesia Bandung Abstract Civics as moral value education is very strategic to build students’ affective. It is one way to form students’ character. In daily learning process on the class, a teacher should comprehend the learning process that happens among the students. This thing can be the basic for the teacher to set the more effective learning process. So far, the teacher still lack of identification towards students’ affective aspect. Learning process is still focusing on students’ cognitive aspect so that the affective ability and psychomotor aspects is not getting the attention enough. The implementation of VCT learning has a mission to build values, moral, behavior, and attitude and many other characters. VCT is not only building the students’ knowledge, but also relevant in delivering Civics. There are some models with various learning methods that developed by VCT. They are; example method, scoring analysis, list/matrix, faith card, interview, jurisprudential, and scoring inquiry. In elementary students’ level, VCT interpreted as education model, which pointed on moral value and norm. The teacher should have some competency to develop value learning model and the teacher should conduct repetitive habitual process step by step continually inside or outside school environment so that the essence of civics can be deliver effectively. The teacher can develop the value learning process as an effort and innovation in forming students’ characters. The implementation of VCT learning model is one of the models that can form students’ behavior better. There are some advantages from the learning process that applied VCT model. They are; a) it can build moral value, b) it can clarify and express the given material, c) it can clarify and assess the quality of students’ moral value in daily life, d) it can invite, involve and develop the students’ potency, e) it can block, eliminate, and subverts various morals, f) it can give learning experience in daily life and; g) it can guide students to have better moral value. It is not only civics that has a mission to teach values such as moral and behavior but this task is also the main concern for education to grow and develop the students’ characters. The teachers’ role in education is very significant in forming students’ characters because the teacher is educator, motivator, facilitator, mediator, and evaluator in learning process. Keywords: Civics-learning process, VCT model, characters forming.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
113
PENDAHULUAN Pendidikan merupakan hal penting bagi kehidupan manusia, sebab pendidikan menciptakan manusia yang dewasa dalam arti mampu menentukan benar dan salah, serta mampu menentukan antara hak dan kewajibannya. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 pasal 3 cetakan ke VII (tahun 2012) tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupaan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Selama ini proses pembelajaran masih banyak terpusat pada pengembangan aspek kognitif siswa, sehingga kemampuan afektif dan psykomotornya kurang mendapat perhatian. Judiana (dalam Puteri, N.A, 2011: 208-209) menyatakan bahwa “pendidikan di Indonesia selama ini masih mengedepankan aspek kognitif atau akademis, sedangkan soft skills atau non akademis yang mendukung pendidikan karakter belum banyak mendapat perhatian”. Tiga kecerdasan kognitif, afektif, dan psykomotor terdapat dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), yang memiliki peran penting untuk mengembangkan nilai-nilai budi pekerti siswa, seperti yang diungkapkan oleh Komalasari, K (201: 88) “Pendidikan Kewarganegaraan beresensikan
pendidikan
nilai,
sehingga
Pendidikan
Kewarganegaraan
harus
memberikan perhatiannya kepada pengembangan nilai, moral, dan sikap perilaku siswa”. Mengajarkan pendidikan nilai pada siswa di zaman sekarang banyak mengalami tantangan, sebab pendidikan di Indonesia dirasakan sedang mengalami keterpurukan. Survey tahun 2005 bahwa negara Indonesia berada di peringkat ke 110 dari 117 negara berdasarkan index pertumbuhan manusia (Human Development Index) di bidang pendidikan. Indonesia tertinggal jauh peringkatnya dari negara-negara kawasan Asia Tenggara lainnya (Darmawan, C. 2009). Agenda reformasi tentang pendidikan seakan masih menjadi cita-cita yang belum terlaksana. Lembaga Survei Indonesia (LSI) tahun 2010 menyatakan bahwa sebanyak 44,9% masyarakat Indonesia beranggapan bahwa agenda reformasi belum terpenuhi, dan sebanyak 26,9% menyatakan bahwa khusus 114 Harry Irawan, Implementasi Pembelajaran PKn
untuk bidang pendidikan agenda reformasi belum terpenuhi (Eriyanto, 2010). Melihat hasil tersebut masyarakat Indonesia pada umumnya masih menganggap pendidikan sebagai kebutuhan biasa. Pendidikan bagi sebagian orang hanya dijadikan sebagai rutinitas biasa, padahal pendidikan merupakan kebutuhan yang diperlukan oleh manusia, terlebih dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), memberikan dampak negatif bagi siswa. Melihat hasil tersebut masyarakat Indonesia pada umumnya masih menganggap pendidikan sebagai kebutuhan biasa. Pendidikan bagi sebagian orang hanya dijadikan sebagai rutinitas biasa, padahal pendidikan merupakan kebutuhan yang diperlukan oleh manusia, terlebih dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), memberikan dampak negatif bagi siswa. Globalisasi menjadi isu besar menjelang millennium ke-3 dalam era dunia tanpa batas (bordeless world), arus informasi dan barang mengalir tanpa hambatan dari suatu negara kenegara lain (Muchtar, S.A, 2015: 20). Hal ini berdampak pada rendahnya kualitas pembelajaran. Selain dari perkembangan IPTEK dan globalisasi, ada hal lain yang melatar belakangi kualitas pembelajaran, seperti dari lingkungan pergaulan yang salah, media tontonan yang tidak mendidik, ataupun kejenuhan dari faktor internal sekolah sendiri, seperti pemberian tugas yang banyak, dan cara mengajar guru yang monoton. Kemalasan belajar tersebut berdampak pada tujuan guru dalam menyampaikan materi tidak tersampaikan. Selama ini masih banyak guru mengajar dengan model dan metode belajar yang masih konvensional. Metode mengajar dalam bentuk ceramah biasa, masih menjadi hal yang sering ditemui, termasuk pada pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Dengan model dan metode konvensional seperti ceramah, guru masih memposisikan diri sebagai satu-satunya sumber belajar, dan jarang menjadi fasilitator atau menjadi mitra dialog bagi siswa. Dampaknya pada mata pelajaran PKn menjadi kurang disukai oleh siswa, dan esensi pelajaran pendidikan nilainya tidak tersampaikan dengan baik. Dibutuhkan kreatifitas guru dalam dalam pembelajaraan di kelas, agar esensi dari nilai yang terdapat pada mata pelajaran PKn dapat disampaikaan dengan baik. Salah satu cara berinovasi dalam pembelajaran untuk menyampaikan nilai-nilai dalam materi pelajaran bisa menggunakan model pembelajaran kontekstual yang didalamnya terdapat model pembelajaran nilai
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
115
PEMBAHASAN Tujuan pendidikan secara umum adalah untuk mengembangkan kepribadian manusia Indonesia seutuhnya, yakni manusia yang beriman, bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (pasal 3 Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional). Tujuan pendidikan tersebut ada dalam mata pelajaran PKn sebagai mata pelajaran nilai yang mempunyai misi besar dalam perkembangan nilai, khususnya pada perkembangan budi pekerti siswa. Esensi dari mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah mengajarkan siswa-siswinya untuk mengembangkan nilai, moral, dan sikap perilakunya, (Komalasari, 2014), artinya pendidikan nilai merupakan aspek penting dalam perkembangan nilai siswa. Secara garis besar bukan hanya PKn saja yang mengemban misi mengajarkan nilai-nilai berupa moral dan perilaku, namun tugas tersebut merupakan tugas utama dari pendidikan, yaitu menumbuh kembangkan budi pekerti. Mengajarkan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan suatu upaya untuk mengembangkan dan melestarikan nilai luhur dan budi pekerti yang berakar pada budaya bangsa Indonesia. Upaya tersebut merupakan suatu harapan yang dapat diwujudkan dalam bentuk perilaku kehidupan sehari-hari siswa sebagai makhluk Tuhan, makhluk pribadi, dan makhluk sosial. Proses pembelajaran Pendidikan Kewaraganegaraan dapat dimaknai sebagi proses interaksi antara siswa dan guru dalam kegiatan belajar mengajar di kelas baik berupa penyampaian materi, penerapan metode, penggunaan media, penggunaan sumber belajar, dan evaluasi pembelajaran. Proses pembelajaran selalu melibatkan siswa dan kondisinya dalam penentuan metode pembelajaran. Siswa merupakan subjek penting dalam proses pembelajaran di sekolah. Keberhasilan pencapaian tujuan belajar tergantung pada kesiapan dan cara belajar yang dilakukan oleh siswa. Pendidikan nilai dapat diajarkan di sekolah yang merupakan bagian dari pembelajaran kontekstual. Proses pembelajaran dengan menggunakan VCT (Value Clarification Technique) merupakan salah satu model pembelajaran nilai yang dapat digunakan pada mata pelajaran PKn. Implementasi pembelajaran VCT mengemban misi untuk membina budi pekerti siswa, disamping membina kecerdasan (knowledge) bagi siswa, sehingga model pembelajaran VCT relevan untuk diajarkan pada mata 116 Harry Irawan, Implementasi Pembelajaran PKn
pelajaran PKn. Djahiri (1985: 115) mengemukakan bahwa
Value Clarification
Technique (VCT) berfungsi untuk: a) mengukur atau mengetahui tingkat kesadaran siswa tentang suatu nilai; b) membina kesadaran siswa tentang nilai-nilai yang dimilikinya baik yang positif maupun yang negatif untuk kemudian dibina kea rah peningkatan atau pembetulannya; c) menanamkan suatu nilai kepada siswa melalui cara yang rasional dan diterima siswa sebagai milik pribadinya. Pembelajaran VCT itu sendiri menurut Djahiri, A.K (1985: 40) “ VCT (Value Clarification Technique) merupakan strategi belajar-mengajar dan terdiri dari sejumlah pilihan metode”. Ada beberapa model
dengan berbagai metode belajar yang
dikembangkan oleh VCT, yaitu : Metode Percontohan, Analisis Nilai, Daftar / Matrik, Kartu Keyakinan, Interview, Yurisprudensi, dan
inkuiri nilai. Bebrapa model
pembelajaran VCT tersebut merupakan suatu model dalam strategi pembelajaran budi pekerti siswa. Pada tingkatan siswa di sekolah dasar, model belajar VCT ini dimaknai sebagai model pendidikan yang berdimensi nilai, moral, dan norma. VCT merupakan inovasi dalam model pembelajaran yang dapat menyampaikan pendidikan nilai pada siswa. Inovasi pembelajaran VCT bertujuan pula untuk memberikan pengajaran kepada siswa, agar mereka berkemampuan untuk mempengaruhi kebijakan umum sebagai warga dalam suatu masyarakat yang demokratis (Elias dalam Komalasari, 2014: 98). Tujuan tersampaikannya materi pelajaran, khususnya materi mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan tergantung dari model yang akan diterapkan. Salah satu karakteristik inovasi model pembelajaran VCT adalah proses penanaman nilai dilakukan melalui proses analisis nilai yang sudah ada sebelumnya dalam diri siswa kemudian menyesuaikan dengan nilai-nilai yang hendak diberikan. Implementasi pembelajaran VCT merupakan salah satu dari model belajar yang memungkinkan siswa menghayati nilai hakiki tentang kehidupannya. Pembelajaran dengan menggunakan model VCT lebih menitik beratkan pada aspek afektif siswa. Djahiri (1996) menyebutkan bahwa pembelajaran VCT memiliki keunggulan sebagai inovasi pembelajaran afektif, sebab : a) mampu membina dan mempribadikan nilai dan moral; b) mampu mengklarifikasi dan mengungkapkan isi pesan materi yang disampaikan; c) mampu mengklarifikasi dan menilai kualitas nilai moral diri siswa dan nilai moral dalam kehidupan nyata; d) mampu mengundang, melibatkan dan
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
117
mengembangkan potensi siswa; e) mampu menangkal, meniadakan mengintervensi dan mensubversikan berbagai nilai moral seseorang; f) memberikan pengalaman belajar dalam berbagai kehidupan; dan g) menutntun untuk memiliki moral tinggi. Djahiri (1985) mengungkapkan bahwa VCT adalah model pembelajaran yang dapat menanamkan dan menggali/mengungkapkan beberapa nilai dalam diri siswa. Hal tersebut berfungsi untuk mengukur, membina, dan menanamkan secara rasional nilainilai kemanusiaan. Mengajarkan siswa agar memiliki budi pekerti yang baik, bukanlah pekerjaan yang mudah bagi seorang guru. Membentuk dan mendidik pribadi anak memiliki budi pekerti yang baik, membutuhkan proses yang benar dan panjang.
Guru harus
melakukan usaha dan inovasi dengan mengembangkan model pembelajaran nilai, selain itu proses habituasi secara bertahap dan berulang ulang harus terus dilakukan baik di sekolah maupun di luar sekolah agar esensi dari mata pelajaran PKn dapat tersampaikan dengan baik. Pengembangan model pembelajaran nilai dapat dilakukan guru sebagai suatu usaha dan inovasi dalam pembentukan perilaku moral siswa. Implementasi model pembelajaran VCT (Value Clarification Technique) merupakan salah satu model yang dapat membentuk budi pekerti siswa lebih baik.
PENUTUP Pendidikan Kewarganegaraan sebagai salah satu mata pelajaran penting di Indonesia, merupakan suatu pendidikan yang dapat membina warga negara agar menjadi lebih baik. Melalui mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan bahwa warga negara yang baik dibentuk dengan tujuan agar menjadi manusia yang baik, beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, memiliki rasa nasionalisme yang kuat dan mantap sebagai generasi penerus bangsa yang kuat. PKn sebagai mata pelajaran yang sangat penting bagi siswa memiliki karakteristik yang cukup berbeda dengan cabang ilmu pendidikan lainnya. Karakteristik PKn ini dapat dilihat dari objek, lingkup materinya, strategi pembelajaran,
sampai
pada
sasaran
akhir
dari
pendidikan
ini.
Pendidikan
kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warganegara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya 118 Harry Irawan, Implementasi Pembelajaran PKn
untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Implementasi pembelajarn VCT merupakan salah satu model pelajaran yang dapat melatih dan membina siswa tentang bagaimana cara menilai, mengambil keputusan terhadap suatu nilai moral untuk kemudian dilaksankan sebagai jati diri hidup sehari-hari. Implementasi pe,belajaran VCT di tingkat sekolah dasar dapat membantu siswa dalam mencari dan menentukan suatu nilai yang dianggap baik dalam menghadapi suatu persoalan dengan cara mengklarifikasi nilai-nilai budi pekerti yang tertanam dalam diri setiap siswa. Implementasi pembelajaran VCT mempunyai tujuan besar dalam mengembangkan nilai-nilai dalam diri siswa, yaitu : a) untuk mengukur atau mengetahui tingkat kesadaran siswa tentang suatu nilai, b) membina kesadaran siswa tantang nilai-nilai yang dimilikinya yang kemudian dibina dan diarahakan ke peningkatan dan pembetulannya, c) untuk menanamkan nilai-nilai tertentu pada diri siswa, melalui cara yang rasional dan diterima siswa, d) melatih siswa bagaimana cara menilai, menerima, dan mengambil keputusan terhadap suatu persoalan dalam hubungannya dengan kehidupan sehari hari.
DAFTAR PUSTAKA Darmawan, C. 2009. Merekontruksi Pendidikan Di Era Global. Jurnal Sekertariat Negara RI. Vol 181. No. 14.
Djahiri, A.K. 1985. Strategi Pengajaran afektif-Nilai-Moral VCT dan Games dalam VCT. Bandung: PMPKN FPIPS IKIP Bandung Djahiri, A.K. 1996. Menelusuri Dunia Afektif Pendidikan Nilai dan Moral. Bandung: PMPKN FPIPS IKIP Bandung Eriyanto. 2010. 65 Tahun Kemerdekaan RI dan Pemenuhan Agenda Reformasi. Jurnal Sekertariat Negara RI . Vol 177. No.17
Komalasari, K. 2014. Pembelajaran Kontekstual. Bandung. PT. Refika Aditama Muchtar, A.S. 2015. Pendidikan Dan masalah Sosial Budaya. Bandung : Gelar Pustaka Mandiri
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
119
Puteri, N.A. 2011. Penanaman Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Melalui Mata Pelajaran Sosiologi. Jurnal Komunitas. Vol 3 (2). Hlm 205-215 UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas (Cetakan ke VII / Mei 2012)
120 Harry Irawan, Implementasi Pembelajaran PKn
BUDAYA SEKOLAH SEBAGAI WAHANA PERKEMBANGAN KOGNITIF SISWA DI SEKOLAH DASAR Hatta Setiawan Universitas Pendidikan Indonesia E-mail:
[email protected] Abstract The development of a child's character is manifested in behavior has a very significant role on the cognitive development of a child. One of the building blocks of the manners of the students are influenced by their school culture conducive environment. As such development of the school culture is very important to be realized by providing examples of good deeds to the children who are on the search for concrete behaviors. Keywords: character, cognitive, school culture PENDAHULUAN Perkembangan Kognitif Siswa Menurut Para Pakar Pada dasarnya anak-anak yang bersekolah di sekolah dasar, terutama di Indonesia ialah berkisar antara umur 6-12 tahun. Schunk (2012) yang mengkonstruksi pandangannya Piaget mengemukakan bahwasanya umur 7 sampai 11 tahun merupakan tahapan operasional konkrit yang dialami oleh seorang anak. Pada fase yang dialami oleh seorang anak pada tahapan ini merupakan fase pertumbuhan kognitif yang luar biasa dan merupakan tahapan formatif dalam pendidikan sekolah. Dalam fase ini perkembangan kognitif anak akan menunjukkan berbagai perbuatan-perbuatan yang dilandasi dari pemaknaan-pemaknaan anak terhadap apa yang dia lihat. Meskipun pada tahapan ini sifat yang tumbuh masih bersifat abstrak dan membutuhkan pengawasan dari orang-orang dewasa. Tahapan operasional konkrit digambarkan sebagai sebuah tahapan awal untuk memulai peniruan dari pengalaman-pengalaman yang diperolehnya dalam kehidupan sosialnya. Adapun mengenai kaspasitas seorang siswa sebagai manusia yang memiliki kemampuan untuk mengubah lingkungan sesuai dengan keperluannya. Schunk (2012) juga mengkonstruksi pandangannya Vygotsky mengenai hal lingkungan sebagai faktor pendukung perkembangan kognitif dari seorang manusia. Adanya interaksi-interaksi yang dilakukan oleh individu akan menstimulasi proses-proses perkembangan dan
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
121
mendorong perkembangan kognitif siswa. Dalam sebuah aktfitas sosial seorang siswa akan mentransformasi pengalaman-pengalaman belajar, sehingga manusia akan melakukan perubahan dalam pikiran sadar dan membentuk perilaku. Penanaman Sifat Melalui Pembiasaan. Seorang siswa yang masih menempuh sekolah dasar dengan orientasi perkembangan kognitif yang belandaskan dari peniruan tingkah laku yang dilihatnya merupakan salah satu unsur percontohan yang akan diterima dan dikonsumsi oleh para peserta didik. Pembiasaan dalam berbuat baik seperti bersikap jujur yang dapat diberikan teladan oleh guru-guru di sekolah merupakan langkah awal dari membangun budaya sekolah yang kondusif bagi perkembangan moral seorang siswa. Lickona (2012) memaknai tahap pembiasaan sebagai salah satu unsur dalam pembentukan moral anak. Lickona menyebutkan bahwasanya tahap pembiasaan atau Habbituasi yang telah dibiasakan sejak masa kanak-kanak akan berimplikasi terhadap anak tersebut hingga dewasa. Pada perkembangannya, tahap pembiasaan yang dikembangkan oleh sekolah dapat dilakukan dengan berbagai hal kreatif dari pihak sekolah. Salah satu nilai kreatifitas sekolah yang sederhana yang dapat diwujudkan dalam mengimplikasikan pendidikan budi pekerti disekolah ialah dengan membiasakan siswa membuang sampah pada tempatnya dengan berbagai slogan yang sesuai dengan dunia anak-anak. Keteladanan yang dapat dilihat oleh seorang anak dengan menggunakan slogan-slogan atau gambar yang menarik minat anak akan memicu perkembangan kognitif anak dan mengkontruksi apa yang dilihatnya dengan logika sederhana yang dimilikinya. Misalnya dengan mengajarkan anak membuang sampah pada tempatnya anak bisa diajarkan bahwa kebersihan merupakan sebagian dari iman. Efek yang akan teramat dirasakan ialah kenyaman siswa untuk mengembangkan kemampuan-kemampuannya disekolah. Kesederhanaan lain yang dapat dikontruksi oleh seorang anak dengan memunculkan gambar-gambar di tempat-tempat tong sampah yang menarik perhatian anak akan memicu perkembangan otak anak untuk menghubungkannya dalam kehidupan nyata. Anak bisa memahami dengan dimunculkannya gambar animasi yang merupakan dampak dari pembuangan sampah sembarangan akan selalu melekat
122 Hatta Setiawan, Budaya Sekolah sebagai
diingatannya sehingga akan menjadi sebuah kebiasaan yang berulang-ulang dilakukan seorang anak hingga dewasa. Nucci dan Narvaez (2015) memberikan pemahamannya mengenai standarisasi budaya sekolah yang berlandaskan pada nilai dan norma yang berkembang disekolah. Dalam hal ini Nucci dan Narvaez sepakat bahwasanya hubungan antar siswa, dan siswa bersama gurunya merupakan faktor yang peling penting dalam mewujudkan budaya sekolah yang kondusif dengan berdasarkan norma yang ada di sekolah. Pendekatan Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwasanya dalam membangun budaya sekolah yang kondusif membutuhkan hubungan yang baik antar sesama siswa, kemudian guru dengan para siswanya. Sebagai faktor utama terciptanya sebuah lingkungan yang kondusif, maka sering kali pula faktor eksternal memicu timbulnya berbagai permasalahan mengenai budaya di persekolahan. Seperti halnya kurikulum yang sering berubah-ubah yang sedikit banyak akan mempengaruhi iklim di persekolahan. Namun pada kenyataannya hal ini sering dipandang karena kegagalan kurikulum sebelumnya sehingga membutuhkan perbaikan-perbaikan yang dapat mencakup segala permasalahan yang dihadapi sekolah. Setyowati (2009) menjelaskan mengenai pentingnya pendidikan budi pekerti di persekolahan dikarenakan sekolah memiliki kewajiban untuk mengembangkan nilainilai yang berkenaan dengan akhlak mulia. Pendidikan budi pekerti juga tidak hanya sebagai perkataan namun haruslah berbanding lurus dengan perilaku. Dirinya menggambarkan pentingnya seorang guru dalam proses penanaman budi pekerti di sekolah ialah dikarenakan keberadaan seorang guru sebagai tauladan para siswa dan bukan hanya sebagai mengajar. Beberapa pendekatan yang disarankan oleh Setyowati (2009,hlm.152) mengenai pengintegrasian budi pekerti di sekolah ialah "(1).Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach), pendekatan ini
mengajak
peserta
didik
mengenal dan menerima nilai keteladanan. (2) Pendekatan perkembangan moral kognitif (cognitive moral development approach) yaitu menekankan berbagai tingkatan moral, guru
mengarahkan dan menerapkan pada peserta didik dalam proses
mengambil keputusan tentang moral seperti: takut hukuman, melayani kehendak sendiri, berbuat kebaikan untuk orang banyak, bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip etika
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
123
yang universal. (3) pendekatan analisis nilai (values menekankan peserta didik dapat
analysis
approach),
yaitu
menggunakan kemampuan berpikir logis, rasional
dan ilmiah dalam menganalisis masalah sosial yang berhubungan dengan nilai tertentu, seperti penelitian, analisis kasus dan lain-lain; (4) pendekatan Klarifikasi nilai (values clarification approach), pendekatan ini bertujuan
menumbuhkan
kesadaran
dan
mengembangkan kemampuan peserta didik dalam mengidentifikasi nilai-nilai diri sendiri maupun orang lain". Beberpa pendekatan tersebut merupakan upaya pendekatan yang dapat kita lakukan untuk meningkatkan keberhasilan peserta didik. Dalam penerapan pendidikan budi pekerti kita dapat memilih berbagai pendekatan di atas sesuai dengan kebutuhan siswa di sekolah ataupun berbagai pendekatan tersebut dapat dilakukan secara silang agar tdak tercipta kebosanan pada peserta didik di sekolah. PENUTUP Pendidikan budi pekerti yang berorientasi pada budaya sekolah memiliki kemampuan untuk mengembangkan sisi kognitif pada peserta didik di sekolah. Metode yang digunakan akan lebih efektif dicerna oleh para peserta didik yang notabennya masih merupakan usia belia ialah sebuah metode pembiasaan atau keteladanan. Hal ini disebabkan karena para siswa di tingkat sekolah masih berorientasi pada tahap peniruan atau operational konkrit. Beberapa pendekatan yang dapat dilakukan dalam pendidikan budi pekerti ialah dengan menggunakan pendekatan penanaman nilai, perkembangan moral kognitif, analisis nilai, dan klarifikasi nilai dengan disesuaikan dengan tingkat kemampuan siswa memahaminya. DAFTAR PUSTAKA Lickona, Thomas, (2012). Educating For Character (Mendidik Untuk Karakter). Jakarta: Bumi Aksara.
Membentuk
Nucci dan Narvaez. (2015). Handbook Pendidikan Moral dan Karakter (Handbook of Moral and Character Education. Bandung: Penerbit Nusa Media. Setyowati, Erna. (2009). Pendidikan Budi Pekerti Menjadi Mata Pelajaran di Sekolah. Universitas Negeri Semarang. Jilid 39 No.2. Hal. 148-154. Schunk, Dale H (2012). Learning Theories An Educational Perspective. Jakarta: Pustaka Pelajar. 124 Hatta Setiawan, Budaya Sekolah sebagai
MEMBANGUN PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI PERMAINAN TRADISIONAL CONGKLAK (DAKON PINTAR) Iisrohli irawati Tini Samingan Agnes Srimulat SD N 2 and 3 Barenglor Email:
[email protected] Abstract Despite teaching the material, a teacher is required to teach character. Being creative and good teacher is reqired to update his teaching methods or techniques to improve the quality of teaching-learning process. Good teaching methods will enhance student’s motivation in learning. Congklak or dakon is one of traditional games. It is can be inovate to teach caracter and make the students feel happy learning in class. Keywords : character building, creative teacher, congklak/dakon pintar
PENDAHULUAN Dorothy Law Nolte pernah menyatakan bahwa anak belajar dari kehidupan lingkungannya. Lengkapnya adalah: 1) Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki; 2) Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi; 3) Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri; 4) Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyeasali diri; 5) Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri; 6) Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai; 7) Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, ia belajar keadilan; 8) Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan; 9) Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi diri; 10) Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan. Refleksi dari tulisan tersebut menyatakan bahwa anak belajar dari lingkungan dan apa yang kita ajarkan kepada mereka. Mereka belajar sejak mereka dalam kandungan ibu hingga mereka menutup usia, baik secara formal atau informal, baik melalui pendidikan maupun pengalaman hidup. Anak hidup dari masa kini hingga masa
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
125
depan yang mana selalu ada perubahan dalam hidup mereka. Anak anak belajar secara formal melalui pendidikan. Latar belakang penulisan makalah ini diawali dengan adanya fenomena globalisasi yang berkembang di dalam masyarakat. Proses globalisasi mempermudah masuknya budaya asing terhadap budaya Indonesia, dimana hal tersebut dapat mempengaruhi nilai-nilai dan sistem budaya serta sikap dan perilaku manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Salah satu penangkal pengaruh globalisasi yang kurang baik adalah melalui pendidikan. Pendidikan adalah sebuah proses. Melalui Pendidikan, atau bahasa lainya edukasi merupakan suatu sarana untuk memperoleh suatu wawasan, atau mungkin suatu proses manusia untuk menjadikan manusia yang awalnya tidak tau menjadi tau.. Pendidikan digolongkan menjadi 2 jenis, yakni Pendidikan formal dan pendidikan informal. Pendidikan formal merupakan lembaga yang memiliki struktur dan organisasi yang jelas, sering disebut dengan birokrasi. Sedangkan pendidikan informal adalah lembaga yang tidak memiliki struktur organisasi yang jelas dan peraturan tertulis serta tidak mempunyai hirarki. Hal yang utama pendidikan diajarkan sejak mereka dilingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat adalah ajaran dalam agama yang mereka anut,nilai-nilai dan karakter. Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada siswa maupun warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai kehidupan, yaitu: pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kedua, kemandirian dan tanggungjawab; ketiga, kejujuran/amanah; keempat, hormat dan santun; kelima, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama; keenam, percaya diri dan pekerja keras; ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; kedelapan, baik dan rendah hati, dan; kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan
126 Iisrohli Irawati dkk, Membangun Pendidikan Karakter
kesatuan.Kesembilan pilar karakter itu, diajarkan secara sistematis dan terkondisikan. Sehingga tumbuh kesadaran bahwa, orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan itu. Setelah terbiasa melakukan kebajikan, maka kebiasaan itu akan berubah menjadi kebiasaan.Lebih lanjut bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya. Sebagai seorang guru yang diamanahi untuk mendidik anak belajar di sekolah harus mampu menjalankan amanahnya dengan sebaik mungkin dan selalu berusaha membuat anak didiknya senang belajar. Guru harus selalu berinovasi dan berkreasi untuk menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan. Salah satunya adalah dengan permainan tradisional congklak atau di jawa dikenal dengan dakon. Permainan ini bisa dijadikan media untuk belajar yang menyenangkan dengan menambahkan kertas yang berisi soal yang memuat berbagai mata pelajaran. Inovasi pembelajaran ini bisa meningkatkan karakter kerjasama dan kompetisi yang sehat. PEMBAHASAN Pendidikan Karakter Indonesia dengan beranekaragam suku, bangsa dan agama memiliki hal yang sangat kompleks dan akan menjadi modal dasar jika kita mampu memanfaatkan dan mengolah apa yang kita punyai secara maksimal. Kita mulai dari hal yang terkecil yaitu keluarga. Pemerintah melalui programnya dan masyarakat pada umumnya. Tanpa kerjasama dari semua pihak hal tersebut tidak akan mampu terwujud dengan baik. Mewujudkan karakter melalui keluarga bisa kita mulai sejak mereka dalam usia kandungan, kedua orangtuanya memberikan pendidikan sebelum anak lahir dan melanjutkan ketika mereka lahir hingga proses dewasa bahkan sampai akhir hayatnya semampu orangtua. Melalui pendidikan bisa secara informal misal melalui pendidikan usia dini yang kemudian dilanjutkan hingga usia pendidikan dasar sd, smp, sma bahkan perguruan tinggi. Melalui masyarakat bisa kita bangun dengan kita sebagai orangtua
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
127
aktif di masyarakat dan berembug bersama untuk membentuk lingkungan yang baik dan masyarakat yang baik. Karakter sangat berkaitan dengan moral yang dimiliki seseorang dalam hal pengetahuan, perasaan dan perilaku moral yang berpengaruh terhadap cara berpikir dan bertindak. Menurut Samani dan Haryanto (2012, hlm 41) bahwa “karakter dapat dianggap sebagai nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perilaku, perkataan, dan perbuatan berdasarkan normanorma agama, hukum, tata krama, budaya, adat istiadat, dan estetika.” Sehingga karakter sama halnya dengan budi pekerti. Karakter/ budi pekerti menunjukkan etika yang baik pada saat berhubungan dengan orang lain. Pendidikan karakter adalah sebuah system yang menanamkan nilai-nilai karakter pada peserta didik, yang mengandung komponen pengetahuan, kesadaran individu, tekad, srta adanya kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nlai-nilai, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, linkungan, maupun bangsa, sehingga akan terwujud insane kamil. Tugas pendidik di semua jenjang pendidikan tidak terbatas pada pemenuhan otak anak dengan berbagai ilmu pengetahuan. Pendidik selayaknya mengajarkan pendidikan menyeluruh yang memasukkan beberapa aspek akidah dan tata moral. Oleh karenanya,
pendidik harus mampu menjadikan perkataan dan tingkah laku anak
didiknya di kelas menjadi baik yang pada akhirnya nanti akan tertanam pendidikan karakter yang baik dikelak kemudian hari. Karakter yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini. Usia dini merupakan masa kritis bagi pembentukkan karakter seseorang. Banyak pakar mengatakan bahwa kegagalan penanaman karakter pada seseorang sejak usia dini, akan membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasanya kelak. Selain itu, menanamkan moral kepada anak adalah usaha yang strategis. Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu,
128 Iisrohli Irawati dkk, Membangun Pendidikan Karakter
lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.
Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya peningkatan pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun demikian, ada perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka pendidikannya. Berhubungan dengan
tentang pendekatan dan modus
pendekatan, sebagian pakar menyarankan
penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang dikembangkan di negaranegara barat, seperti: pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian yang lain menyarankan penggunaan pendekatan tradisional, yakni melalui penanaman nilai-nilai sosial tertentu dalam diri peserta didik. Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas (2010), secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development) , Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development),dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development) 18 nilai-nilai dalam pendidikan karakter menurut Diknas adalah sebagai berikut. (1) Religius, yaitu sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain; (2) Jujur, perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan; (3) Toleransi, sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya; (4) Disiplin, Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan; (5) Kerja Keras, tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan; (6) Kreatif, yaitu berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki; (7) Mandiri yaitu sikap dan Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
129
perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas; (8) Demokratis , yaitu cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain; (9) Rasa Ingin Tahu, yaitu sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar; (10) Semangat Kebangsaan, yaitu cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya; (11) Cinta Tanah Air, yaitu cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya; (12) Menghargai Prestasi, yaitu sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain; (13) Bersahabat/Komunikatif, yaitu sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain; (14) Cinta Damai, yaitu sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain; (15. Gemar Membaca, yaitu kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya; (16) Peduli Lingkungan, yaitu sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi; (17) Peduli Sosial, yaitu sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan; (18) Tanggung Jawab, yaitu Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa. Permainan Congklak Permainan congklak merupakan permainan yang dimainkan oleh dua orang. Alat yang digunakan terbuat dari kayu atau plastik berbentuk mirip perahu dengan panjang sekitar 75 cm dan lebar 15 cm. Pada kedua ujungnya terdapat lubang yang disebut induk. Diantar keduanya terdapat lubang yang lebih kecil dari induknya berdiameter kira-kira 5
130 Iisrohli Irawati dkk, Membangun Pendidikan Karakter
cm. Setiap deret berjumlah 7 buah lubang. Pada setiap lubang kecil tersebut diisi dengan kerang atau biji-bijian sebanyak 7 buah. Permainan congklak menggunakan papan permainan yang memiliki 14 lubang dan 2 lubang induk yang ukurannya lebih besar. Dimainkan oleh 2 orang. Satu lubang induk terletak pada ujung papan dan lubang induk lainnya terletak diujung lainnya. Di antara kedua lubang induk terdapat 2 baris yang tiap barisnya berisi 7 lubang yang jumlahnya 14 lubang. Melalui proses bermain congklak/dakon pintar yang sudah di desain sedemikian rupa baik dari cara bermain maupun peralatan tambahan seperti kartu soal yang sudah dipersiapkan sebelumnya dapat meningkatkan kerjasama antar siswa mereka merasa lebih senang belajar karena seolah mereka hanya bermain. Aturan dalam Permainan Congklak Pertama, Menyiapkan potongan kertas kecil berukuran 10cm x 5 cm berbentuk persegi panjang sejumlah 14 sesuai jumlah lobang untuk bermain congklak (kertas ini berisi kartu soal). Guru menyiapkan membuat soal di potongan kertas tersebut yang memuat berbagai mata pelajaran dan memasukkan di setiap lobang coklak yang akan dimainkan. Tiap lubang kecil di isi dengan 7 biji yang biasanya terbuat dari kerang atau plastik. Kecuali lubang induk yang dibiarkan kosong. Setelah menentukan siapa yang akan mulai lebih dulu, maka permainan dimulai dengan memilih salah satu lubang dan menyebarkan biji yang ada di lubang tersebut ke tiap lubang lainnya searah jarum jam. Masing-masing lubang di isi dengan 1 biji. Bila biji terakhir jatuh di lubang yang ada biji-bijian lain maka biji yang ada di lubang tersebut diambil lagi untuk diteruskan mengisi lubang-lubang selanjutnya dengan syarat mampu menjawab soal yang ada di obang saat kita berhenti, dan jika tidk bisa menjawab berarti lawan bermain yang memainkannya. Jangan lupa untuk mengisi biji ke lubang induk kita setiap melewatinya. Sedangkan lubang induk lawan tidak perlu diisi. Kedua, bila biji terakhir ternyata masuk dalam lubang induk kita, berarti kita bisa memilih lainnya untuk memulai lagi, tetapi bila ternyata saat biji terakhir diletakkan pada salah satu lubang kosong, berarti giliran untuk lawan kita. Bila lubang tempat biji terakhir itu ada di salah satu dari 7 lubang yang ada di baris kita, maka biji yang ada di
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
131
seberang lubang tersebut beserta 1 biji terakhir yang ada di lubang kosong akan menjadi milik kita dan akan masuk dalam lubang induk kita. Ketiga, Setelah semua baris kosong, maka permainan dimulai lagi dengan mengisi 7 lubang milik kita, masing-masing dengan 7 biji dari biji yang ada di lubang induk kita. Dimulai dari lubang yang terdekat dengan lubang induk, bila tidak mencukupi maka lubang lainnya dibiarkan kosong dan selama permainan tidak boleh diisi. Manfaat dari permainan congklak tersebut bagi siswa diantaranya 1) Melatih karakter kerjasama, toleransi, kompetisi; 2) Melatih kemampuan manipulasi motorik halus; 3) Melatih konsentrasi; 4) Mendidik sifat sportifitas anak; 5) Melatih kemampuan mengatur strategi; 6) Sarana belajar berhitung; dan 7) Melatih koordinasi 2 sisi tubuh Dengan permainan dakon yang sudah dideskripsikan diatas diharapkan beberapa pendidikan karakter dapat tercapai misalnya karakter kerjasama, bermain jujur, toleransi, disiplin, kreatif, kerjakeras, rasa ingin tahu, bersahabat, komunikatif. PENUTUP Congklak atau dakon merupakan permainan tradisional, perlu kita kembangkan demi ketahanan budaya bangsa, karena kita menyadari bahwa kebudayaan merupakan nilai-nilai luhur bagi bangsa indonesia, untuk diketahui dan dihayati tata cara kehidupannya sejak dahulu. Bangsa indonesia merupakan bangsa yang besar dalam keaneka ragaman kebudayaan didalamnya, termasuk permainan tradisional didalamnya, keanekaragaman permainan tradisional adalah karena banyaknya daerah di indonesia memiliki kearifan lokal kebudayaan masing-masing, sehingga membentuk masyarakatn melakukan aktivitas kebugaran jasmani yang berbeda satu daerah dengan yang lainnya. Melalui permainan congklak yang telah diinovasi ini diharapkan mampu menjadi media mewujudkan pembelajaran karakter di Indonesia. Beberapa hal yang bisa kita cita-citakan bersama untuk Indonesia kedepan adalah sebagai berikut. 1. Membentuk Manusia Indonesia yang Inovatif dan Suka Bekerja Keras Pendidikan karakter dalam permainan congklak/dakon pintar ini merupakan pendidikan nilai yang diselenggarakan untuk menanamkan semangat suka bekerja
132 Iisrohli Irawati dkk, Membangun Pendidikan Karakter
keras, disiplin, kreatif, dan inovatif pada diri peserta didik, yang diharapkan akan mengakar menjadi karakter dan kepribadiannya. 2. Membentuk Manusia Indonesia yang optimis dan Percaya Diri Sikap optimis dan percaya diri merupakan sikap yang harus ditanamkan kepada anak sejak dini. Kurangnya sikap optimis dan percaya diri menjadi factor yang menjadikan bangsa Indonesia kehilangan semangat
utuk dapat bersaing
menciptakan kemajuan disegala bidang. Pada masa depan, tentu saja kita akan semakin membutuhkan sosok-sosok yang selalu optimis dan penuh percaya diri dalam menghadapi berbagai situasi. Dan, hal itu terwujud apabila tidak ada upaya untuk menanamkan kedua sikap tersebut kepada generasi penerus sejak dini. 3. Membentuk Anak yang cerdas iq (matematika, dan pelajaran yang lain) dan eq (karakter kerjasama, toleransi) Anak yang cerdas secara iq dan eq adalah anak yang kita harapkan mampu menjadi penerus generasi bangsa yang baik, Tanpa adanya proses dan persiapan,pembiasaan dan pendidikan karakter tidak akan mampu mewujudkan generasi yang cerdas dan berkarakter baik. DAFTAR PUSTAKA Azhar Arsyad, 2011. Media Pembelajaran Jakarta, PT RajaGrafindo Persada Samani dan Haryanto. 2012. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Virsya Norla. 2011.Panduan Jakarta:Laksana.
Menerapkan
Pendidikan
karakter
Di
sekolah,
Waridjan. 1991. Tes Hasil Belajar Gaya Objektif. Semarang: IKIP Semarang Press.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
133
PEMBENTUKAN BUDI PEKERTI ANAK MELALUI INTERNALISASI NILAI PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DI SEKOLAH DASAR Imam Alfikri Pratama Pendidikan Kewarganegaraan Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia Abstract Children’s deviate behaviour as an influence from the negative effects that they have received is a real example of the poorness of children’s character nowadays. So it must be attempted to build a good character for children since their early age. The values internalization of PKn in elementary school is one of the effort to build the children’s character. The best way in inherenting these values is by organizing and using a good approach of learning. Keywords: budi pekerti anak, internalisasi nilai, dan pendidikan kewarganegaraan
PENDAHULUAN Tumbuh kembang karakter seorang anak akan sangat dipengaruhi oleh bagaimana anak tersebut mendapat pendidikan. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mempromosikan nilai-nilai dalam prosesnya sebagai faktor utama pembentuk karakter anak. Selain habituasi nilai yang diterima anak dalam keluarga, pewarisan nilai dalam proses pendidikan formal disekolah juga merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi dalam pembentukan karakter anak. Nilai-nilai didapatkan inilah yang akan menjadi landasan bagi seorang anak dalam pola perilakunya. Mempromosikan pewarisan nilai dalam proses pembelajaran di sekolah merupakan sebuah keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar. Ditengah banyaknya pola perilaku menyimpang anak pada masa sekarang, internalisasi nilai dalam pendidikan adalah salah satu solusi mujarabnya. Banyaknya perilaku menyimpang yang dilakukan oleh anak akhir-akhir ini adalah bukti dari gagalnya pendidikan membentuk anak yang berbudi pekerti. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal seharusnya merupakan tempat yang tepat untuk mempromosikan pembentukan budi pekerti yang didalamnya terdapat upaya pengajaran nilai. Zakaria (2007) menyebutkan bahwa lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinanan generasi muda diharapkan dapat 134 Imam Alfikri Pratama, Pembentukan Budi Pekerti
meningkatkan
perananannya
dalam
pembentukan
kepribadian
siswa
melalui
peningkatan intesitas dan kualitas pendidikan budi pekerti. Pendidikan budi pekerti sebagai pengupayaan pembentukan pola perilaku anak sejatinya bisa diterapkan pada banyak pelajaran disekolah. Pendidikan sebagai satu hal yang universal memberikan kesempatan untuk memasukkan pembentukan budi pekerti melalui proses pembelajaran pada pelajaran disekolah, misalnya pada pelajaran Agama, pelajaran Pendidikan kewarganegaraaan, pelajaran pendidikan budi pekerti itu sendiiri ataupun pada pelajaran lainnya. Salah satu pelajaran yang sangat bisa menjadi bagian dari pendidikan nilai dalam rangka membentuk karakter budi pekerti adalah Pendidikan Kewarganegaraan. Dalam Pendidikan kewarganegaan sendiri, pembentukan karakter dan budi pekerti merupakan salah satu tujuan sama yang hendak dicapai. Rahmat dkk (2009) mengemukakan
bahwa
Pendidikan
Kewargangeraan
memiliki
sifat
multifaset/multidimensional, sifat multidimensional inilah yang membuat bidang studi Pedidikan Kewarganegaraan dapat disikapi sebagai; pendidikan kewarganegaraan, pendidikan politik, pendidikan nilai dan moral, pendidikan kebangsaan, pendidikan kemasyarakatan, pendidikan hukum dan hak azasi manusia, dan pendidikan demokrasi. Pendidikan nilai sebagai bagian dari pendidikan kewarganegaraan merupakan muatan wajib yang harus dimuat dalam pendidikan kewarganegaraan sebagai bagian dari pencapaian Pendidikan Kewarganegaraan itu sendiri yaitu “a good citizen”. Kemudian muncul pertanyaan, sejak kapan upaya mepromosikan nilai pekerti ini harus dilakukan sehingga bisa membentuk pola perilaku anak yang berbudi pekerti. Pendidikan nilai sejatinya harus dilakukan sejak dini, karena pembentukan karakter anak sejak usia dini akan sangat menentukan bagaimana karakter anak dikemudian hari. Pada jenjang pendidikan formal internalisasi nilai sebagai bagian dari pembentukan budi pekerti anak bisa dilakukan sejak tingkat sekolah dasar. Hal ini bisa dilakukan pada proses pembelajaran utamanya pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Yang bisa dilakukan dalam proses internalisasi nilai pada mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan utamanya disekolah dasar adalah merevitalisasi kerangka, konsep, materi serta pendekatan yang digunakan. Pengajaran yang dilakukan harus mempromosikan nilai dimulai dari konsep dan materi yang diberikan, kemudian juga pendekatan yang digunakan juga harus mengupayakan habituasi nilai yang baik. Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
135
PEMBAHASAN Pendidikan Nilai pada Mata pelajaran PKn Pendidikan kewarganegaraan merupakan pendidikan yang bertujuan membentuk karakter warga negara. Winataputra (2012) mengemukakan karakter dapat dimakani sebagai kualitas pribadi yang baik, dalam arti tahu kebaikan, mau berbuat baik, dan nyata berperliaku baik, yang secara koheren memancar sebagai hasi dari olah pikir, olah hati, olah raga dan olah karsa. Sebagai mata pelajaran yang bersingungan dengan karakter, mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan harus memiliki muatan dan pendekatan yang berhubungan dengan sikap dan perilaku baik dititik inilah pentingnya menjadikan pendidikan nilai sebagai salah satu muatan dan pendekatan dalam pembelajaran
pendidkan
kewargangeraan.
Lebih
lanjut
Winataputra
(2012)
mengemukakan bahwa pendidikan nilai/moral atau karatkter sangat diperlukan dilandasi atas argume: adanya kebutuhan nyata dan mendesak; proses transmisi nilai sebagai proses peradaban; peranan satuan pendidikan sebagai pendidik moral yang vital pada saat melemahnya pendidikan nilai dalam masyarakat; tetap adanya kode etik dalam masyarakat yang sarat konflik nilai; kebutuhan demokrasi akan pendidikan moral;kenyataan yang sesungguhnya bahwa tidak ada pendidikan yang bebas nilai; persoalan mora sebagai salah satu persoalan dalam kehidupan, dan adanya landasan yang kuat dan dukunga luas terhadap pendidikan moral disatuan pendidikan. Nilai Secara etimologis, nilai (value = velare) diartikan sebagai harga, sebenarnya tidak ada ukuran pasti untuk menentukan; angka kepandaian, banyak sedikitnya isi; sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan; serta sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya. Nilai juga bisa diartikan sebagai idea atau konsep yang bersifat abstrak tentang apa yang dipikirkan seseorang atau yang dianggap penting oleh seseorang. Djahiri (1985) mengemukakan nilai dan sejenisnya merupakan wujud daripada domain afektif serta berada dalam diri seseorang, dan secara utuh dan bulat merupakan suatus sistem, diamana aneka jenis nilai (nilai kegamaan, sosial budaya, ekonomi, hukum etis dll) berpadu jalin menjalin serta saling meradiasi (mempengaruhi secara kuat) sebagi sautu kesatuan yang utuh. Jadi yang dimaksud dengan pendidikan nilai adalah penanaman nilai-nilai dala sebuah upaya pendidikan, sehingga nilai-nilai tersebut dihayati, ditempatkan dan dilaksanakan secara integral dan utuh dalam kehidupan sehari-hari. 136 Imam Alfikri Pratama, Pembentukan Budi Pekerti
Pada jenjang sekolah dasar pendidikan kewarganegaraan sangat erat kaitannya dengan pembentukan sikap dan pola perilaku peserta didik karena pada jenjang ini, pendidikan kewarganegaraan sangat menyentuh aspek sikap dan nilai dalam tujuannya. Disnilah kemudian muncul alasan mengapa upaya internalisasi nilai melalui pendidikan kewarganegaraan sangat penting untuk dilaksanakan dalam rangka pembentukan budi pekerti anak. Rahmat dkk (2009) mengemukakan bahwa di sekolah dasar, Pendidikan Kewarganegaraan lebih dititikberatkan pada penghayatan dan pembiasaan diri untuk berperan sebagai warga negara yang demokratis dalam konteks Indonesia. Penghayatan dan pembiasaan diri tersebut hanya bisa dicapai melalui sebuah proses internalisasi nilai secara menyeluruh bukan hanya melalu sebuah transfer pengetahuan tapi lebih dari itu nilai yang diajarkan harus berhasi menjadi proses habituasi nilai yang baik. Untuk itu pembelajaran pendidikan kewargangeraan haruslah menjadi proses integral yang dirancang untuk memungkinkan terjadinya proses pewarisan nilai, hal tersebut akan menjadi daya dukung pembentukan budi pekerti yang baik bagi anak. Winataputra dan Sapriya (Rahmat dkk 2009) mengemukakan bahwa untuk pembelajaran di sekolah dasar mata pelajaran PKn seyogyanya diorganisasikan sebagai berikut : 1.
Pada jenjang SD kelas rendah (lower primary), yakni kelas 1 s/d 3, pengorganisasian materi pendidikan kewargangeraan menerapkan pendekatan terpadu (integrated) dengan fokus model pembelajaran yang berorientasi pada pengalaman (experienced oriented) dengan memanfaatkan pola pengorgansasian lingkungan yang meluas (expanding environmet/ community approach). Tujuan akhir dari pendidikan kewarganegaraan dikelas rendah ini adalah untuk menumbuhkembangkan kesadaran dan pengertian awal tentang pentingnya kehidupan bermasyarakat secara tertib dan damai. Melalui pembiasaan para peserta didik dikondisikan untuk selalu bersikap dan berperilaku sebagai anggota keluarga, warga sekolah, dan warga masyarakat dilingkungannya secara cerdas dan baik (good and smart citizen). Proses pembelajaran diorganisasikan dalam bentuk belajar sambil bermain (learning through gaming), belajar sambil berbuat (learning by doing), dan belajar melalui interaksi sosial-kultural dilingkungannya (enculturation and socialization)
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
137
2.
Pada jenjang SD kelas tinggi (upper primary) (4 s/d 6) pengorganisasian materi pembelajaran pendidikan kewarganegaraan sama dengan jenjang kelas 1 sampai 3 yakni menerapkan pendekatan terpadu (integrated) dengan model pembelajaran yang
berorientasi
pada
pengalaman
(experience
oriented)
dengan
pola
pengorganisasian lingkunan meluas (expanding environment/community approach) dengan visi utama sebagai pendidikan nilai dan moral demokrasi (democracy value and moral education). Perbedaannya, pada jenjang SD kelas tinggi, pembelajaran sudah mulai dikenalkan mata pelajaran terpisah. Guru SD sebagai guru kelas membelajarkan lima mata pelajaran (Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, PKn) secara terpisah. Namun dianjurkan pula untuk beberapa kompetensi dasar, agar guru menerapkan pendekatan tematik (integrated) sesuai dengan memperhatikan prinsip kontekstual, aktualitas, dan kebutuhan peserta didik. 3.
Untuk itu maka substansi pendidikan kewarganegraan di kelas tinggi dipilih dan diorganisasikan secara terorkestrasi (orchestrated) dengan menekankan pada tumbuh kembangnya lebih lanjut kesadaran, pengertian, tentang pentingnya kehidupan bermasyarakat secara tertib dan damai dan mulai tumbuhnya tanggungjawab kewarganegraan (civic respoblity). Para peserta didik dikondisikan, difasilitasi, dan ditantang untuk selalu bersikap dan berperilaku sebagai anggota keluarga, warga sekolah, dan warga mayarakat di lingkungannya yang cerdas dan baik. Proses pembelajaran diorganisasikan dalam bentuk belajar sambil bermain (learning through gaming), belajar sambil berbuat (learning by doing), dan belajar melalui pembiasaan serta interaksi sosial kultural dilingkungannya (enculturation and socialization) termasuk dilingkungannya. Pengorganisasian pendidikan kewargangeraan yang baik dan tepat akan berpengaruh terhadap pola sikap dan perilaku anak yang ujungnya adalah pembentukan budi pekerti yang baik. Proses pembelajaran harus bergeser dari sekedar transfer pengetahuan menjadi proses penanaman pengetahuan yang berbasis nilai. Pendidikan sebagai satu proses universal dalam prosesnya selalu terikat nilai, oleh karena itu pendekatan yang menjadi daya dukungnya pun harus memiliki pengaruh terhadap proses internalisasi nilai yang dilaksanakan dalam proses pembelajaran. Douglas Superka dalam Peter morella (Djahiri, 1985) mengemukakan
ada
delapan
pendekatan
yang
138 Imam Alfikri Pratama, Pembentukan Budi Pekerti
dapat
dipilih
sebagai
dasar/pendekatan dalam pengajaran nilai, yaitu : a) Evocation Approach ( pendekatan evokasi = ekspresi spontan), b) Pendekatan Incultation ( pendekatan sugestif terarah), c) Pendekatan Awarenessm atau Kesadaran, d) Moral Reasoning, e) Pendekatan Analysis atau analisis nilai, f) Value Clarification atau klarifikasi/pengungkapan nilai, g) Commitment Approach atau pendekatan kesepakatan, h) Union Approach atau mempersatukan/ mengintegrasikan diri. Pendekatan-pendekatan diatas dapat digunakan dalam internalisasi nilai pada mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan utamanya disekolah dasar, internalisasi nilai merupakan proses pewarisan nilai yang kemudian menjadi sebuah proses pembiasaan nilai (habituasi). Melalui pembiasaan nilai dalam kehidupan inilah maka pembentukan budi pekerti anak yang didasari oleh sikap dan perilaku yang baik akan terlaksana. Selain pendekatan diatas Zakaria (2007) menawarkan lima pendekatan yang bisa dipakai dalam pendidikan nilai, kelima pendekatan tersebut adalah pendekatan penanaman nilai, pendekatan perkembangan kognitif, pendekatan analisi nilai, pendekatan klarifikasi nilai, dan pendekatan pembelajaran berbuat. Pengorganisasian pendidikan kewarganegaraan yang baik serta penggunaan pendekatan pembelajaran yang baik akan sangat berpengaruh terhadap pencapaian hasil proses pembelajaran utamanya sikap dan perilaku peserta didik. Hasil dari proses pembelajaran inilah yang akan menjadi tolak ukur bagaimana sebuah proses pembelajaran tersebut bisa dikatakan berhasil. Proses pembelajaran dikatakan berhasil melakukan proses internalisasi nilai yang mendukung pembentukan budi pekerti anak. PENUTUP Pendidikan merupakan sebuah proses yang selalu terikat nilai, karena itu dalam setiap proses pelaksaannnya pendidikan akan selalu menuntut terjadinya internalisasi nilai.
Pada anak pewarisan nilai ini merupakan suatu hal tidak bisa ditawar lagi
ditengah banyaknya praktek perilaku menyimpang anak yang jauh dari budi pekerti yang baik, pendidikan kewargangeraan sebagai salah satu pelajaran disekolah harusnya juga bisa menjadi sarana internalisasi nilai sebagai bagian dari pembentukan budi pekerti anak ini. Pengorganisasian dan penggunanan pendekatan yang tepat dalam Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
139
mengajarkan nilai dalam proses pembelajaran pendidikan kewarganegaraan di sekolah dasar merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam proses internalisasi nilai sebagai bagian dari pembentukan budi pekerti yang baik bagi anak. DAFTAR PUSTAKA Djahiri, A Kosasih. (1985). Strategi Pengajaran Afektif-Nilai-Moral VCT dan Games dalam VCT. Bandung: Jurusan PMPKn FPIPS IKIP Bandung. Hakam, Abdul Kama. (2007). Bunga Rampai Pendidikan Nilai. Bandung. Rahmat, Dkk (2009). Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung: Laboratorium Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pendidikan Indonesia. Winataputra, Udin S. (2012). Pendidikan Kewarganegaraan dalam Perspektif Pendidikan untuk Mencerdaskan Kehidupan Bangsa ( Gagasan, Instrumentasi, dan Praksis). Bandung: Widya Aksara Press
140 Imam Alfikri Pratama, Pembentukan Budi Pekerti
PEMBELAJARAN SAINS DENGAN SIKLUS BELAJAR DO-TALK-DO SEBAGAI UPAYA PEMBENTUKAN BUDI PEKERTI SISWA Jan Pieter PendidikanFisika FKIP Universitas Cenderawasih E-mail:
[email protected] Abstract Indonesian nation are facing a major problem with many problems, especially with the moral degradation experienced by young people. Various problems that plagued the students recently predicted due to the decline of morality and manners of the young generation of Indonesia. Education is a long-term investment, through the education of social ills associated with manners among the youth generation can be improved. One of the sub-system of education that is learning, is believed to develop the morality of this nation in a positive direction with a persuasive means implemented in the form of learning in the classroom. To facilitate learning, including the IPA can be done through the learning cycle Do - Talk - Do. Learning science is to familiarize Do-Talk-Do can facilitate the development of the character, as a mental indicator of students demonstrated in behavior, character, or a character they influenced his inner nature, becomes habit and a never ending process. Keywords: Science education, learning cycle Do-Talk-Do
PENDAHULUAN Baru saja dunia pendidikan di Indonesia dikejutkan dengan kasus Yuyun di Bengkulu. Seorang anak SMP yang diperkosa oleh 12 orang yang menyebabkan Yuyun meninggal dunia akibat pendarahan yang hebat. Kemudian kasus di Surabaya, dimana siswa SMP diperkosa secara beramai-ramai oleh teman-temannya. Dan berbagai kasus perkosaaan lain dan penggunaan narkoba di tempat lain di Indonesia tercinta. Fenomena gang motor yang anggotanya adalah anak-anak sekolah, yang selalu membuat keonaran dan bertindak kriminal, membuat wajah dunia pendidikan di Indonesia semakin kelam. Yang membuat dunia pendidikan berduka adalah korban dan pelaku adalah anak-anak usia 9 hingga 15 tahun, usia dimana seharusnya anak-anak tersebut sedang bermain dan bercanda ria. Tampakanya ada yang salah dalam proses pembentukan mental dan karakter anak-anak di Indonesia.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
141
Sekolah sebagai lembaga pendidikan tampaknya telah gagal membentuk moralitas siswanya. Proses pendidikan adalah usaha yang dilakukan secara sadar dan sistematis untuk membentuk terwujudnya manusia Indonesia yang bermoral, berkarakter, berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur merupakan tujuan dari pembangunan manusia Indonesia yang kemudian diimplementasikan ke dalam tujuan pendidikan nasional. Namun kondisi ideal tersebut tampakanya jauh panggang dari api, telah terjadi krisis moral di lingkungan pendidikan di Indonesia. Ironis, demikian mungkin kata yang tepat untuk menggambarkan institusi pendidikan ini dalam medan krisis moral, yaitu jika tidak mampu lagi mewujudkan misinya membentuk insan bernurani, berbudi luhur, taat menjalankan agamanya, sopan santun, jujur, memiliki hati yang bersih, dan peka terhadap lingkungan; cendekia: tajam pemikirannya, cepat tanggap terhadap situasi, berpikir logis, dan pandai mencari jalan keluar dari permasalahan; dan mandiri: percaya diri dan mampu mencukupi kebutuhan sendiri (Zuchdi, 2011). Pada saat materi budi pekerti diintegrasikan atau disisipkan ke dalam mata pelajaran lain, maka mata pelajaran yang mendapatkan titipan itu adalah yang paling dekat dengan sifat, karakter, atau misi mata pelajaran ini, seperti Pendidikan Agama, Pendidikan Moral Pancasila, dan Pendidikan Kewarganegaraan. Namun boleh dikatakan setiap materi pelajaran seperti matematika, bahasa, olah raga bahkan IPA (sains) pasti memuat nilai-nilai budi pekerti dalam materinya. Sebagai contoh pendidikan sains, dalam pendidikan sains siswa di tekankan untuk jujur, teliti, tidak mudah menyerah, mau bekerja sama dan mau menghargai pendapat orang lain yang mungkin tidak sesuai dengan pendapatnya pribadi. Oleh karena itu, sebagai bagian kecil dalam medan pendidikan, pendidikan sains tentu dan seharusnya bersama unsur pendidikan lainnya, menunjukkan perannya dalam mengembangkan pendidikan budi pekerti untuk mengatasi carut marut moral bangsa Indonesia sekarang ini. Dalam tulisan ini akan dipaparkan bagaimana pelajaran IPA (sains) membentuk budi pekerti siswa sekolah dasar. PEMBAHASAN 1.
Pengertian pendidikan budi pekerti Menurut Ensiklopedia Pendidikan, budi pekerti diartikan sebagai kesusilaan yang mencakup segi-segi kejiwaan dan perbuatan manusia; sedangkan manusia
142 Jan Pieter, Pembelajaran Sains dengan
susila adalah manusia yang sikap lahiriyah dan batiniyahnya sesuai dengan norma etik dan moral. Dalam konteks yang lebih luas, Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (1997) mengartikan istilah budi pekerti sebagai sikap dan prilaku seharihari, baik individu, keluarga, masyarakat, maupun bangsa yang mengandung nilainilai yang berlaku dan dianut dalam bentuk jati diri, nilai persatuan dan kesatuan, integritas, dan kesinambungan masa depan dalam suatu sistem moral, dan yang menjadi pedoman prilaku manusia Indonesia untuk bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan bersumber pada falsafah Pancasila dan diilhami oleh ajaran agama serta budaya Indonesia. 2.
Makna pendidikan budi pekerti Secara konsepsional, Pendidikan Budi Pekerti dapat dimaknai sebagai usaha sadar melalui kegiatan bimbingan, pembiasaan, pengajaran dan latihan, serta keteladanan untuk menyiapkan peserta didik menjadi manusia seutuhnya yang berbudi pekerti luhur dalam segenap peranannya di masa yang akan datang. Pendidikan budi pekerti juga merupakan suatu upaya pembentukan, pengembangan, peningkatan, pemeliharaan dan perbaikan perilaku peserta didik agar mau dan mampu melaksanakan tugas-tugas hidupnya secara selaras, serasi, seimbang antara lahir-batin, jasmani-rohani, material-spiritual, dan individu-sosial. (Balitbang Puskur, Depdiknas, 2001). Sedang secara operasional, pendidikan budi pekerti dapat dimaknai sebagai suatu upaya untuk membentuk peserta didik sebagai pribadi seutuhnya yang tercermin dalam kata, perbuatan, sikap, pikiran, perasaan, dan hasil karya berdasarkan nilai-nilai agama serta norma dan moral luhur bangsa Indonesia melalui kegiatan bimbingan, pelatihan dan pengajaran. Tujuannya agar mereka memiliki hati nurani yang bersih, berperangai baik, serta menjaga kesusilaan dalam melaksanakan kewajiban terhadap Tuhan dan terhadap sesama makhluk (Balitbang Puskur, Depdiknas, 2001). Adapun aspek-aspek yang ingin dicapai dalam pendidikan budi pekerti menurut Haidar (2004) dapat dibagi ke dalam 3 ranah, yaitu: Pertama ranah kognitif, mengisi otak, mengajarinya dari tidak tahu menjadi tahu, dan pada tahaptahap berikutnya dapat membudayakan akal pikiran, sehingga dia dapat memfungsikan akalnya menjadi kecerdasan intelegensia. Kedua, ranah afektif, yang
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
143
berkenaan dengan perasaan, emosional, pembentukan sikap di dalam diri pribadi seseorang dengan terbentuknya sikap, simpati, antipati, mencintai, membenci, dan lain sebagainya. Sikap ini semua dapat digolongkan sebagai kecerdasan emosional. Ketiga, psikomotorik, adalah berkenaan dengan tindakan, perbuatan, prilaku, dan seterusnya. 3.
Strategi Implementasi Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah Secara teknis, penerapan pendidikan budi pekerti di sekolah setidaknya dapat ditempuh melalui empat alternatif strategi secara terpadu. Strategi pertama ialah dengan mengintegrasikan konten kurikulum pendidikan budi pekerti yang telah dirumuskan ke dalam seluruh mata pelajaran yang relevan, terutama mata pelajaran agama, kewarganegaraan, dan bahasa (baik bahasa Indonesia maupun bahasa daerah). Strategi kedua ialah dengan mengintegrasikan pendidikan budi pekerti ke dalam kegiatan sehari-hari di sekolah. Strategi ketiga ialah dengan mengintegrasikan pendidikan budi pekerti ke dalam kegiatan yang diprogramkan atau direncanakan. Dan strategi keempat ialah dengan membangun komunikasi dan kerjasama antara sekolah dengan orang tua peserta didik (Ali Muhtadi, 2010). Berkaitan dengan implementasinya di sekolah, maka kepala sekolah dan guru dapat mengajarkan budi pekerti kepada siswanya dengan cara: memberikan keteladanan, menunjukkan sikap budi pekerti dalam kegiatan spontan, menegur siswa yang terbukti berperilaku buruk, mengkondisikan suasana sekolah sedemikian rupa, mempraktekkannya dalam kegiatan rutin di sekolah (Ali Muhtadi, 2010).
4.
Pembelajaran Sains (IPA) Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembelajarannya menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Pendidikan IPA diarahkan untuk inkuiri dan
144 Jan Pieter, Pembelajaran Sains dengan
berbuat sehingga dapat membantu peserta didik untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar. Pembelajaran IPA di SMP/MTs menekankan pada pemberian pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan keterampilan proses dan sikap ilmiah. 5.
Pengembangan pembelajaran nilai dalam Sains Pengembangan pendidikan nilai dalam pembelajaran sains harus terkait erat dengan hakekat sains itu sendiri. Hakekat sains sebagai proses, produk, dan hasil kreativitas manusia. Sains sebagai sebuah proses akan mengandung nilai-nilai sosial dan moral. Acapkali riset-riset para ilmuwan sains ditangani secara kooperatif dan kolaboratif. Para ilmuwan pun dalam proses penemuannya, senantiasa menghargai temuan sebelumnya, sehingga perkembangan sains berjalan secara vertikal dan maju terus ke depan. Ini semua karena riset-riset yang dilakukan setelahnya memperdalam dan mengembangan riset sebelum yang dilakukan oleh ilmuwan berbeda-beda. Seorang saintis dituntut pula jujur, cermat, dan teliti dalam proses menghasilkan produk sains. Kejujuran sainstis akan diuji oleh serangkaian eksperimen berulang, uji validasi oleh ilmuwan lain, dan uji publik dihadapan para sainstis lainnya. Sains sebagai sebuah produk mengandung nilai-nilai humanisme dan religius. Produk sains acapkali memberi manfaat yang besar bagi manusia. Sains sebagai hasil kreatifitas manusia, mengandung nilai ilmiah. Produk sains yang berdaya guna dihasilkan dari sebuah proses pengindraan yang cermat terhadap fakta, rasa ingin tahu yang banyak ketika mengindra fakta, rasa ingin meneliti atau menemukan (inquri) untuk memecahkan kesenjangan antara fakta dan rasa ingin tahunya, yang semuanya dilakukan dengan pikiran yang logis, rasional, kreatif, dan kritis. Dalam konteks school science (sains yang diajarkan di sekolah), nilai-nilai moral, social, religius, dan humanis dari sains harus disumblimasikan dalam jiwa anak ketika belajar sains. Jadi pembelajaran sains bukan sekedar mempelajari rangkaian fakta di alam, tetapi bagimana upaya memperoleh dan memanfaatkan fakta-fakta itu. Upaya memperoleh fakta sains yang penuh nilai curiosity, inquiry, kejujuran, ketelitian, kecermatan, dan kerjasama.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
145
6.
Siklus Belajar dalam Pembelajaran Sains/IPA Cara-cara mengajar, termasuk IPA di SD yang tepat seperti disarankan Joyce, Weil dan Showers (1992) telah tercakup dalam membelajarkan anak dalam tahap operasional konkret, melalui pendekatan terpadu/tematik, proses, diskoveriinkuiri, pemecahan masalah, dan konstruktivistik. Untuk memfasilitasi cara-cara mengajar IPA demikian itu, diantaranya dapat dilakukan melalui siklus belajar DoTalk-Do (DTD) . Siklus belajar DTD, dikenalkan pertama kali oleh Karplus dan Their (Lawson, 1995) dalam buku panduan guru pada program Science Curriculum Improvement Study di sekitar awal Tahun 1970. Siklus belajar ini dilakukan melalui tiga fase; exploration, invention, dan discovery. Siklus belajar ini semula dikembangkan untuk mengajar fisika terutama bagi peserta didik yang kemampuan berpikirnya berada pada tahap operasional konkret. Tahap exploration dimaksudkan untuk memberi kesempatan pada peserta didik melakukan eksplorasi bahan-bahan atau ide-ide baru dengan bimbingan atau harapan minimal terhadap prestasi tertentu. Pada tahap ini, peserta didik bisa belajar melalui reaksi spontan mereka sendiri tentang topik baru. Teori Piaget tentang pengembangan kognitif menunjukkan bahwa pada tahap operasional konkret peserta didik dapat dengan lebih mudah mempelajari hal-hal abstrak apabila dimulai dengan hal-hal yang kongkret. Dalam tahap invention, guru mengenalkan konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan teori-teori baru. Untuk menjelaskan hal-hal tersebut guru hendaknya merujuk pada aktivitas dalam tahap eksplorasi. Guru hendaknya juga menjelaskan penerapan gagasan baru untuk mengembangkan pengetahuan, pikiran dan keterampilanketerampilan peserta didik. Beberapa buku rujukan menyebut tahap ini sebagai tahap pengenaIan konsep. Tahap discovery dimaksudkan untuk memberi kesempatan pada peserta didik menerapkan konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan teori-teori dalam situasi baru. Aktivitas-aktivitas peserta didik dalam tahap hendaknya juga memasukkan analisis teoritik konsep-konsep, prinsip-prinsip, atau teori-teori untuk memperkuat pemahaman mereka. Dalam beberapa buku rujukan, tahap discovery disebut tahap application.
146 Jan Pieter, Pembelajaran Sains dengan
Ketiga istilah dalam fase tersebut, yaitu eksplorasi, pengenalan istilah, dan aplikasi oleh Ramsey (1990) dimodivikasi menjadi Do-1, Talk, dan Do-2 yang kemudian disingkat menjadi DTD. Sebagai ilustrasi penggunaan siklus DTD dalam pembelajaran IPA pada topik tertentu, misalnya cara kerja lensa, dapat diuraikan sebagai berikut (Zuhdan, 2001). Do-1: eksplorasi; pada awal siklus belajar ini siswa diberi sebauh lensa konveks dan mintakan mereka menemukan apa saja yang diperoleh tentang lensa, dan membuat serta mencatat beberapa hasil pengukuran yang mereka anggap penting, sesekali siswa juga menemukan bahwa lensa memproyeksikan bayangan pada kartu. Kadangkala siswa menemukan bahwa jarak antara lensa dan bayangan pada kartu adalah sesuatu yang berubah-ubah (variable) sebab siswa menggunakan benda, biasanya lampu, yang relative dekat dengan lensa. Meraka juga sering bertanya tentang apa yang akan terjadi bila benda digerakkan mendekati (atau menjauhi) lensa. Meraka mungkin telah menemukan bahwa untuk setiap jarak antara benda dan lensa hanya ada satu jarak yang bayangannya jelas terfokus di kartu, seperti benda digerakkan mendekati lensa, akhirnya bayangan lensa menjadi besar. Efek tersebut memberikan kesempatan guru untuk memperkenalkan istilah perbesaran (M), dan setelah beberapa waktu, dengan mengulang-ulang yang mereka lakukan siswa akan menemukan bahwa tidak peduli seberapa jauh mereka menggerakkan benda dari lensa. Jarak antara lensa dan bayangan benda relatif konstan. Talk: pengenalan istilah; ketika investigasi dalam eksplorasi berlangsung, data numerik yang diperoleh dalam pengukuran perlu diuji. Minta siswa menuliskan data mereka di papan tulis. Data tersebut memuat pengukuran jarak bayangan dan jarak benda yang dilakukan. Bila belum dilakukan hal ini merupakan kesempatan untuk mengenalkan gagasan-gagasan tersebut: Seringkali dan tidak banyak waktu akan sia-sia, siswa akan mendapat bahwa bila jarak kedua diperbesar, jarak bayangan relatif konstan. Data yang telah dikumpulkan kelas akan jelas pada maksud tersebut sebelum istilah sentral dimunculkan dari siklus belajar, panjang fokus dikenalkan. Umumnya, konsep
panjang
fokus
lensa konveks dapat
dikenalkan sebagai berikut. Bila jarak antara benda dan lensa menjadi besar, jarak antara
lensa
dan bayangan (terbalik) menjadi konstan. Jarak tersebut disebut
sebagai panjang focus lensa. Sainwan sering kali berpedoman pada letak benda
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
147
berada di jauh tak terhingga dari lensa. Tetapi sering kali siswa tidak memahami pedoman tersebut walaupun hal ini akan terlambat jika guru tidak memperkenalkan sekarang. Pedoman tersebut mungkin tidak bermakna bagi siswa karena selama investigasi jarak-jarak tersebut dikenalkan menjadi besar dan bukan jauh tak terhingga. Meskipun jauh tak terhingga merupakan istilah yang agak tidak pasti. Do-2: aplikasi konsep; siswa kini siap mengaplikasikan gagasan tentang panjang fokus. Terdapat dua hal penting dalam fase siklus belajar ini, pertama mengikuti gagasan tersebut, walaupun kita sebagai guru dapat memikirkan cara lain sebagai alternatifnya. Kedua, aplikasi konsep dapat dikemukakan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan, misalnya "(1) Seberapa dekat benda dapat digeser ke lensa sebelum jarak bayangan mulai berubah?" Ketika jarak bayangan mulai berubah, hal ini tidak melebihi panjang fokus. Dalam hal ini jauh tak terhingga (dan mungkin sebaliknya) dapat dikenalkan. Data dikumpulkan untuk menjawab pertanyaan pertama dengan menggerakkan benda mendekati dan menjauhi lensa konveks dan pengukuran antara jarak lensa dan bayangan yang diproyeksikan pada kartu. Dengan demikian apa yang sesungguhnya diteliti adalab ukuran. relatif jauh tak berhingga yang pada lensa ukurannya bergantung pada ketipisan lensa. Dalam kesempatan ini salah satu tujuan fase aplikasi adalah meningkatkan pemeriksaan ulang. Bila pasangan-pasangan baru diperkenalkan siswa memahami dengan baik melalui beberapa rekannya. Satu tujuan pokok fase aplikasi adalah meningkatkan kesediaan guru-guru sebaya terlibat dalam proses ini. Namun demikian sumbangan kesimpulan dengan data lebih penting daripada kesimpulan itu sendiri. Jadi ketika evaluasi pada sumbangan siswa terhadap aplikasi suatu pengenalan gagasan baru, pembahasan data dan sifat argumentasi lebih penting daripada kesimpulan yang diperoleh. Pertanyaan (2): "Bagaimana perbandingan ketebalan dan ketipisan panjang fokus lensa?" Pengumpulan data untuk menjawab pertanyaan kedua adalah dua atau lebih lensa dapat digabungkan pada permukaan dengan selotip. Teknik yang diberikan memberikan siswa untuk memulai dengan sebuah lensa dan menambahkan bila mereka menginginkan, meskipun sainwan kadang-kadang tidak setuju karena adanya udara yang berada di antara permukaan kedua lensa konveks. Tetapi seringkali hasilnya menunjukkan bahwa ketika lensa digabungkan
148 Jan Pieter, Pembelajaran Sains dengan
menaikkan ketipisannya, panjang fokusnya menjadi lebih pendek. Seluruh proses penempelan kedua lensa bersama-sama tidak diperlukan bila tersedia lensa dengan beberapa variasi ketipisannya. Tiga fase yang dilakukan siswa melalui siklus DTD tersebut mengilustrasi an pembiasaan-pembiasaan yang secara berkelanjutan dapat mengembangkan nilainilai karakter atau sikap mental dari masing-masing fase dalam pembelajaran IPA. Pengembangan nilai-nilai pembentuk mental, pembiasaan melalui aktivitas belajar, dan fase-fase dalam siklus belajar IPA disajikan pada tabel di bawah ini. Tabel 1. Pengembangan nilai-nilai dan fase siklus DTD No.
Fase
Pembiasaan Aktivitas
Nilai-Nilai
Keterangan
Siswa 1.
Do-1:
Menemukan apa saja yang Tangguh, teliti
Nilai-nilai
Eksplorasi
diperoleh tentang lensa
yang
Membuat
dicantumkan
serta
mencatat Hemat, jujur,
beberapa hasil pengukuran
hanya
Menemukan bahwa lensa Teliti,sabar
aspek
memproyeksikan bayangan
afeksi/mental,
pada kartu
tanpa
Menanyakan apa yang akan Ingin tahu, teliti
mengabaikan
terjadi
benda
ranah
lain
digerakkan mendekati atau
yang
juga
menjauhi lensa
dapat muncul
bila
Menemukan
bahwa Disiplin,
dari
teliti, bersamaan
seberapapun jauh mereka sabar
dari kognitif
menggerakkan benda dari
maupun
lensa, jarak antara lensa dan
psikomotorik
bayangan benda konstan 2.
Talk:
Mengkomunikasikan
Pengenalan dengan Istilah
lisan
data Tanggung jawab,
maupun jujur.
tulisan Mengenali beberapa istilah- Teliti, cermat
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
149
istilah konsep sains baru 3.
Do-2:
Mengaplikasikan
gagasan Percaya diri
Aplikasi
baru
Konsep
Memahami dan mengikuti Terbuka, gagasan baru
mengakui kebesaran Tuhan
Mengemukakan
Ingin tahu
pertanyaan-pertanyaan baru Melakukan penelitian untuk Produktiv, menemukan konsep baru
inovatif
PENUTUP Pembelajaran IPA sebagai salah satu sub sistem pendidikan, seperti dalam pembelajaran bidang studi lainnya, diyakini dapat memberi sumbangan dalam upaya merubah mental dan budi pekerti anak bangsa ini ke arah positif. Pembelajaran IPA yang membiasakan Do - Talk- Do dapat memfasilitasi pengembangan karakter, sebagai indikator mental siswa yang ditunjukkan dalam tingkah laku, budi pekerti, atau tabiat mereka yang dipengaruhi sifat batinnya, menjadi habit dan proses yang tidak pernah berhenti. Dengan keyakinan itu pembelajaran IPA (sains) melalui TDT di jenjang pendidikan dasar, yang memfasilitasi pembiasaan dan kerbelanjutandalam menguak alam
semesta memberi
kesempatan
yang
seluas-luasnya
pada
siswa untuk
mengembangkan budi pekerti siswa. Saran penulis adalah hendaknya pembelajaran ini bisa diimplementasikan secara kontinyu agar terbentuk nilai-nilai positif pada diri siswa dan pembelajaran IPA menjadi sarat makna. DAFTAR PUSTAKA Ali Muhtadi. 2010. Strategi Implementasi Budi Pekerti yang Efektif di Sekolah. Jurnal Dinamika Pendidikan No. 01/XVII/Mei/2010. Dimyati Zuchdi dkk. 2011. Pendidikan Karakter dalam Perspektif Teori dan Praktis. Yogjakarta: UNY Press.
150 Jan Pieter, Pembelajaran Sains dengan
Haidar Putra Daulay. 2004. Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia. Jakarta: Prenada Media, Cet. ke-1. Joyce, Bruce., Weil, Marsha., Showers, Beverly. 1992. Models of Teaching. 4th Edition. Boston: Allyn and Bacon. Lawson, Anton E. 1995. Science Teaching and The Development of Thinking. Belmont, California: Wadsworth Pub. Co. Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan. 1997. Pedoman Pengajaran Budi Pekerti. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan kebudayaan. Ramsey, M. Jhon. 1990. Investigating and Evaluating STS Issues and Solutions. Illinois: Stipes Publising Company. Zuhdan K.P. 2001. Kapita Selekta Pembelajaran Fisika. Jakarta: Universitas Terbuka.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
151
PERAN BUDAYA SEKOLAH DALAM MEWUJUDKAN PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH DASAR Kristi Wardani Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa E-mail:
[email protected] Abstract The development of science, technology and information today raises many challenges for all mankind in the world, including Indonesia. Some of this recent period, many social phenomena, such as high crime and violence, drug abuse, corruption is an indicator of the weakness of character education in Indonesia. Schools in essence not just a mere transfer of knowledge. Schools as an educational institution should also implement value-oriented learning to build the character of students. Character formation of students to do one of them through a cultural approach of the school. The presence of school culture has a role in assisting and build character of students through habituation-conditioning as well as actions carried out continuously by the entire school community. The school culture can be classified culture and cultural observable unobservable expected to equip students for the excesses of modernity and globalization. Keywords: school culture, character education
PENDAHULUAN Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi saat ini menimbulkan banyak tantangan bagi seluruh umat manusia di dunia termasuk Indonesia. Beberapa kurun waktu belakangan ini, banyak fenomena sosial yang terjadi, diantaranya tingginya tindak kriminalitas dan kekerasan, penyalahgunaan obat terlarang, kasus korupsi merupakan indikator lemahnya pendidikan karakater di Indonesia. Krisis karakter yang dialami bangsa Indonesia saat ini sudah pada titik yang sangat mengkhawatirkan, seperti sifat tulus, kejujuran, kesopanan, dan tanggung jawab seketika digantikan dengan dengan nilai-nilai kekerasan serta budaya instan. Munculnya krisis karakter mencerminkan kegagalan sistem pendidikan yang dilaksanakan di sekolah. Menurut Koesoema praktik pendidikan yang mengutamakan angka atau hasil yang terkuantifikasi membuat pendidikan karakter di sekolah tumpul (Kompas, 2 Mei 2016 hal.15). Sistem pendidikan selama ini diterapkan hanya mengandalkan dan mengutamakan pencapaian pengetahuan semata tetapi melupakan penanaman nilai kepribadian, pembelajaran larut dalam orientasi hasil dan menafikan 152 Kristi Wardani, Peran Budaya Sekolah
proses sehingga mentalitas menerabas pun marak yang berakibat bangsa ini tidak pernah keluar dari persoalan-persoalan yang melanda dunia pendidikan. Pendidikan seharusnya berorientasi membangun karakter siswa yang diperlukan dalam rangka mengembangkan dan menguatkan sifat-sifat mulia, bertanggung jawab, disiplin, berbudi pekerti luhur, mandiri, namun melihat krisis karakter yang terjadi membuktikan bahwa sistem pendidikan belum membentuk sumber daya manusia yang diharapkan. Hal ini ditegaskan Akmad Sudrajat (2010:5), kurang berhasilnya sistem pendidikan membentuk sumber daya manusia dengan karakter yang tanggung jawab, berbudi pekerti luhur, disiplin dan mandiri, terjadi di semua lembaga pendidikan baik negeri maupun swasta. Lebih jauh dikatakan bahwa upaya nation and character building yang sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia terkesan tidak berjalan seperti yang diinginkan. Artinya sekolah belum mengoptimalkan peran budaya sekolah untuk keberhasilan pendidikan padahal budaya sekolah mempunyai peran penting dalam menumbuhkan nation and character building sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia. Sekolah pada hakikatnya bukanlah sekedar tempat transfer of knowledge belaka. Sekolah sebagai lembaga pendidikan seharusnya juga melaksanakan pembelajaran yang beroreintasi pada nilai untuk membangun karakter siswa. Pembentukan karakter siswa dapat dilakukan salah satunya melalui pendekatan budaya sekolah sebagaimana yang menjadi grand design pendidikan karakter karena karakter sebagai suatu “moral excellence” atau akhlak dibangun
di atas berbagai kebajikan (virtues) yang pada
gilirannya hanya memiliki makna ketika dilandasi nilia-nilai yang berlaku dalam budaya (Kemendiknas, 2010:iii).
Karakter yang dimiliki siswa berdasarkan nilai-nilai,
keyakinan, kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di masyarakat dan bangsa Indonesia maka pendidikan karakter melalui budaya sekolah diarahkan pada upaya membentuk kepribadian siswa yang baik. Menurut Bagus Mustakim (2011:95-96), pendekatan budaya sekolah adalah pengelolaan pendidikan karakter, artinya karakter siswa dapat dibentuk melalui budaya sekolah yang kondusif. Budaya sekolah yang kondusif adalah keseluruhan latar fisik lingkungan, suasana sekolah, rasa, sifat dan iklim sekolah yang secra produktif mampu memberikan pengalaman baik bagi tumbuh kembangnya kecakapan hidup siswa yang
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
153
diharapkan. Pendidikan karakter dan pendidikan kecakapan hidup siswa akan efektif bilamana disemaikan dalam budaya sekolah. Keberadaan budaya sekolah yang kondusif memiliki peran yang sangat vital dan strategis bagi keberhasilan pendidikan karakter karena karakter bukan dibentuk seperti ilmu pengetahuan, tetapi dibangun melalui contoh dan teladan yang dilakukan oleh semua warga sekolah yang melibatkan dimensi emosional dan sosial. Implementasi pendidikan karakter tidak sekedar dalam bentuk “menitipkan” muatan-muatan karakter ke dalam keseluruhan atau sebagian mata pelajaran tetapi pendidikan karakter akan efektif bilamana juga dikembangkan melalui kegiatan praktik dalam kurikulum tersembunyi (hidden curriculum) sekolah yang dilaksanakan secara terus menerus melalui pembiasaan-pembiasaan dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh seluruh warga sekolah. PEMBAHASAN Pendidikan Karakter Istilah “karakter” dalam bahasa Yunani dan Latin, character berasal dari kata charassein yang artinya ‘mengukir corak yang tetap dan tidak terhapuskan’. Menurut Kemendiknas (2010:7) karakter adalah nilai-nilai kebaikan yang terpateri dalam diri dan terejawantahkan dalam perilaku. Seseorang dikatakan mempunyai karakter apabila orang tersebut mempunyai kepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat dan berakhlak. Secara historis filosofis “Bapak” Pendidikan Nasional, Ki Hadjar Dewantara, menyatakan bahwa “…pendidikan merupakan daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak.Bagian-bagian tersebut tidak boleh dipisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup anak-anak kita (Kemendiknas, 2010). Berdasar rumusan tersebut menunjukkan bahwa pendidikan hendak diwujudkan peserta didik yang secara utuh memiliki berbagai kecerdasan, baik kecerdasan spiritual, emosional, sosial, intelektual, maupun kecerdasan kinestetika. Pendidikan nasional mempunyai misi mulia terhadap individu peserta didik sebagai pemilik masa depan negara kebangsaan Indonesia. Pendidikan karakter bangsa atau Nation and character building, atau pembentukan watak bangsa bukanlah hal yang mudah. Pendidikan karakter adalah sebuah proses berkelanjutan dan tak pernah berakhir (never ending process) selama 154 Kristi Wardani, Peran Budaya Sekolah
sebuah bangsa ada dan ingin tetap eksis. Membentuk watak merupakan suatu proses pembudayaan. Oleh karenanya muatan pendidikan karakter secara psikologis mencakup dimensi moral reasoning, moral feeling, dan moral behaviour (Lickona: 1991). Ketiga unsur tersebut saling berkaitan. Unsur pengertian moral adalah kesadaran moral, pengertian akan nilai, kemampuan untuk mengambil gagasan orang lain, rasionalitas moral (alasan mengapa harus melakukan hal itu), pengambilan tentang keputusan berdasarkan nilai moral, dan pengertian mendalam tentang dirinya sendiri. pengertian
Segi
atau kognitif ini cukup jelas dapat dikembangkan dalam pendalaman
bersama di kelas maupun masukan orang lain. Dari segi kognitif ini, siswa dibantu untuk mengerti apa isi nilai yang digeluti dan mengapa nilai itu harus dilakukan dalam hidup mereka. Dengan demikian siswa sungguh mengerti apa yang akan dilakukan dan sadar akan apa yang dilakukan. Unsur perasaan moral meliputi suara hati (kesadaran akan yang baik dan tidak baik), harga diri seseorang, sikap empati terhadap orang lain, perasaan mencintai kebaikan, kontrol diri, dan rendah hati.
Perasaan moral ini sangat mempengaruhi
seseorang untuk mudah atau sulit bertindak baik atau jahat; maka perlu mendapat perhatian. Dalam pendidikan nilai, segi perasaan moral ini perlu mendapat tempatnya. Siswa dibantu untuk menjadi lebih tertarik dan merasakan bahwa nilai itu sungguh baik dan perlu dilakukan. Unsur tindakan moral adalah kompetensi (kemampuan untuk mengaplikasikan keputusan dan perasaan moral dalam tindakan konkret), kemauan, dan kebiasaan. Tanpa kemauan kuat, meski orang sudah tahu tentang tindakan baik yang harus dilakukan, ia tidak akan melakukaknnya. Dalam pendidikan nilai, kemampuan untuk melaksanakan nilai dalam tindakan nyata, kemauan dan kebiasaan melakukan nilai tersebut harus dimunculkan dan ditingkatkan. Dengan demikian tampak jelas bahwa penanaman nilai ketiga unsur pengertian, perasaan, dan tindakan harus ada. Nilai harus dimengerti isinya dan alasannya mengapa harus dilakukan; perasaan akan mengiyakan penerimaan nilai tersebut, dan akhirnya nilai itu diwujudkan dalam tindakan nyata. Hal ini memerlukan keterlibatan dari orang-orang, dibentuk melalui pendidikan, yang lebih mengutamakan pembelajaran, keteladanan, serta pembiasaan . Pendidikan karakter mempunyai makna lebih tinggi dari pendidikan moral, karena bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah. Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
155
Pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal-hal yang baik, sehingga peserta didik menjadi paham (kognitif domain), mampu merasakan (afektif domain), dan biasa melakukan (psychomotor domain). Pendidikan karakter erat kaitannya dengan “habit” atau kebiasaan yang terus menerus dipraktekkan atau dilakukan (Kemendiknas, 2010: 10). Jadi belum dikatakan karakter jika belum dilakukan atau belum menjadi perilaku yang menjadi kebiasaan. Berkenaan dengan pendidikan karakter ini lebih lanjut Suyanto (2010) menjelaskan bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis, dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Sebab kecerdasan emosi ini menjadi bekal penting dalam mempersiapkan anak masa depan dan mampu menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis. Pendidikan karakter adalah mengukir akhlak melalui proses knowing the good, loving the good, and acting the good yaitu proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi kebiasaan berpikir, bersikap dan bertindak. Tinjauan Budaya Sekolah Menurut Zamroni (2011:297) budaya sekolah merupakan pola asumsi dasar, nilainilai, keyakinan-keyakinan, dan kebiasaan-kebiasaan yang dilaksanakan bersama oleh seluruh warga sekolah yang dapat dipergunakan untuk menghadapi berbagai persoalan dalam beradaptasi dengan lingkungan baru dan melakukan integrasi internal. Menurut Kemendiknas (2010:19) budaya sekolah cakupannya sangat luas, umumnya mencakup ritual, harapan, hubungan demografi, kegiatan kurikuler, kegiatan ekstrakurikuler, proses mengambil keputusan, kebijakan maupun interaksi sosial antar komponen di sekolah. Budaya sekolah adalah suasana kehidupan sekolah tempat peserta didik berinteraksi dengan sesamanya, guru dengan guru, konselor dengan sesamanya, pegawai administrasi dengan sesamanya, dan antaranggota kelompok masyarakat sekolah yang terikat oleh aturan, norma, moral serta etika bersama yang berlaku di suatu sekolah. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, bahwa budaya sekolah merupakan proses interaksi yang didasari oleh nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan, norma-norma yang berlaku dan digunakan sebagai spirit dalam 156 Kristi Wardani, Peran Budaya Sekolah
berperilaku, yang ditampakkan oleh warga sekolah secara konsisten dalam kehidupan baik di sekolah maupun di luar lingkungan sekolah untuk menghadapi dan memecahkan persoalan-persoalan kehidupan sehari-hari serta mengambil keputusan yang tepat. Peran Budaya Sekolah dalam Mewujudkan Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar Karakter seseorang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang mendasarinya dalam bersikap dan bertingkah laku. Salah satu upaya untuk membentuk karakter siswa di sekolah dasar adalah melalui peran budaya sekolah. Menurut Depdiknas (2003:10) sekolah sebagai sistem memiliki tiga aspek pokok yang erat kaitannya dengan sekolah efektig yakni proses belajar mengajar, kepemimpinan, dan manajemen sekolah serta budaya sekolah. Sekolah sebagai sistem budaya dapat dipahami dalam dua aspek meliputi; a) sekolah dapat membentuk dan membangun sistem budaya sendiri seperti yang tampak ketika lulusan atau output dari sekolah itu memiliki karakteristik dan berbeda dengan lulusan atau output dari sekolah lain; b) sekolah merupakan bagian dari sistem budaya masyarakat, misalnya budaya masyarakat yang ada di sekitar sekolah diakomodir atau fokus perhatian sekolah dalam menciptakan budaya sekolah artinya pembentukan budaya sekolah dipengaruhi oleh budaya yang ada di masyarakat sekitar sekolah. Sekolah dasar sebagai peletak dasar dalam lembaga pendidikan berperan bukan sekedar mentransmisikan pengetahuan semata, namun berkaitan nilai-nilai karakter yang dikemas melalui budaya sekolah. Budaya sekolah tersebut meliputi: a) budaya yang dapat diamati, berupa konseptual yaitu sktruktur organisasi, kurikulum, behavior (perilaku) yaitu kegiatan belajar mengajar, upacara, prosedur, peraturan dan tata tertib, material yaitu fasilitas dan kelengkapan; b) budaya yang tidak dapat diamati berupa filosofi yaitu visi, misi serta nilai-nilai; yaitu kualitas, efektivitas, keadilan, pemberdayaan dan kesidiplinan (Depdiknas, 2003:1) SIMPULAN Pendidikan
karakter
di
sekolah
dimaknai
sebagai
pendidikan
yang
mengembangkan watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian peserta didik yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) atau nilai-nilai (values) yang Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
157
diyakini oleh sekolah dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Pendidikan karakter di sekolah dasar perlu digairahkan lagi karena keberhasilan siswa-siswa dalam menghadapi kehidupan yang akan datang ditentukan oleh keterampilan mengelola diri dan orang lain dan bukan semata-mata karena penguasaan pengetahuan dan keterampilan teknis. Kehadiran budaya sekolah memiliki peran dalam membantu dan menggulawentah karakter siswa
melalui
pembiasaan-pembiasaan serta tindakan yang dilakukan secara terus menerus oleh seluruh warga sekolah. Budaya sekolah tersebut dapat diklasifikasikan budaya teramati maupun budaya yang tidak dapat diamati diharapkan dapat membekali dan membetengi para siswa untuk menghadapi ekses dari kemoderenan dan globalisasi. DAFTAR PUSTAKA Depdiknas.2003. Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kemendiknas. 2010. Desain Induk Pendidikan Karakter. Jakarta: Kemendiknas Kompas, 2 Mei 2016. “Sekolah Terjebak Pragmatisme,” Kompas. Hlm 15. Lickona, T. 1991. Educating for Character. New York; Bantam Books. Suyanto. 2010. Urgensi pendidikan karakter.http://waskitamandiribk.wordpress.com. Diunduh pada 19 September 2010. Sudrajat,
Akhmad.
2010.
Pengembangan
Budaya
Sekolah.
Diakses
melalui
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2010/03/04/manfaat-prinsip-dan-asaspengembangan-budaya-sekolah/
158 Kristi Wardani, Peran Budaya Sekolah
IMPLEMENTASI PENDIDIKAN BUDI PEKERTI DI SEKOLAH DASAR UNTUK MENGANTISIPASI DEMORALISASI BANGSA Kriswantoro Arman Efendi Magister Penelitian dan Evaluasi Pendidikan Program Pascasarjana, Universitas Negeri Yogyakarta Email:
[email protected],
[email protected] Abstract The article aims to describe (1) the implementation of moral education in elementary schools, (2) the role of moral education to anticipate of nation demoralization, and (3) the inhibiting and supporting factors of the implementation of moral education in elementary schools. The article is a literature study, by analyzing the supporting and inhibiting factors as well as the obstacles faced by educators in implementing the moral education in elementary schools. Those are necessary to face the demands of the government on the implementation of moral education that must be implemented in every level of education in Indonesia. The article concludes that moral education should be implemented in an early age, starting from the primary education to higher education. The successful of moral education cannot be separated from the role of educators and parents. Implementation of moral education should be able to anticipate the demoralization of the learners. Keywords: character education, demoralization, elementary school. PENDAHULUAN Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanahkan
agar pendidikan tidak hanya memberi
kesempatan untuk membentuk insan Indonesia yang cerdas semata, tetapi juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa
serta
agama. Tujuan yang terkandung dalam Pasal 1 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensinya yaitu kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia dan keterampilan. Secara hakiki empat komponen yang disebutkan pertama dari enam potensi peserta didik dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tersebut merupakan pengembangan karakter.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
159
Pengembangan potensi peserta didik bernuansa karakter tersebut
seharusnya
mendapat perhatian khusus dalam praktik pendidikan di Indonesia. Empat potensi peserta didik yang penting terkait dengan pendidikan karakter yakni kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, dan akhlak mulia ternyata belum mendapatkan proporsi yang memadai dalam proses pembelajaran. Potensi-potensi peserta didik itu belum terinteg-rasikan secara optimal dalam pembelajaran, sehingga terjadi pendangkalan nilai karakter di kalangan anak dan remaja dewasa ini. Pendidikan karakter sangat penting dan diperlukan dalam kehidupan
sebagai
individu, masyarakat, bangsa, dan negara. Pendidikan karakter didasarkan pada keyakinan bahwa pengembangan etika, sosial dan emosional peserta didik sama pentingnya dengan prestasi akademik. Banyak penelitian telah membuktikan dampak positif pendidikan karakter terhadap keberhasilan akademik. Dalam bulletin hasil studi Marvin Berkowitz dari University of Missouri St. Louis (2005) diungkapkan bahwa terdapat peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukkan adanya penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik. Persoalan pendidikan moral atau budi pekerti atau akhlak hingga saat ini tak habis-habisnya diperbincangkan, diperdebatkan, bahkan menjadi trending topik dalam dunia pendidikan. Belum hilang di ingatan kita, pada tanggal 2 Mei tahun 2016 bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional, dunia pendidikan negeri yang pernah Berjaya pada masanya kembali tercoreng. Seorang Mahasiswa salah satu PTS di Sumatera Utara, nekat membunuh dosennya hanya karena dendam karena persoalan nilai kuliah. Ironisnya PTS tersebut merupakan salah satu yayasan lembaga keagamaan terkemuka di negeri ini. Masih di hari, tanggal, bulan, dan tahun yang sama, dunia pendidikan Indonesia kembali terguncang, seorang pelajar SMP di salah satu pulau sumatera tepatnya Provinsi Bengkulu diperkosa dan dibunuh oleh 12 remaja yang berusia berkisar 18-22 tahun. Pengadilan belum memutuskan terhadap para pelaku pembunuhan dan pemerkosaan, pada tanggal 13 Mei 2016 berbagai media di Indonesia, membuat kaget rakyat Indonesia di seluruh penjuru negeri atas kasus pencabulan yang dilakukan oleh 8 orang terhadap seorang pelajar SMP. Bukan kaget karena persoalan pemerkosaan
160 Kriswantoro dkk, Implementasi Pendidikan Budi
tersebut, tapi para pelaku pencabulan itu merupakan siswa SD hingga SMP salah satu kota bersejarah di negeri ini Surabaya. Dunia Pendidikan Indonesia kembali berduka. Jauh sebelum kasus-kasus pembunuhan, pemerkosaan, dan pencabulan di tayangkan di berbagai media saat ini, kita juga sering mendengar kasus pemukulan, penganiayaan, pencurian, tawuran, bahkan smacdown yang dilakukan oleh pelajar sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Pada bulan Oktober tahun 2013 terjadi tawuran antar pelajar SMA dengan menggunakan air keras (kompas.com), bulan Mei tahun 2015 pelajar SMA membunuh teman sekelasnya karena sakit hati diejek tidak punya motor (kompas.com), kasus begal yang sampai saat ini terus terjadi juga melibatkan pelajar dan masih banyak lagi kasus-kasus kriminal yang dilakukan oleh anak usia sekolah di negeri ini. Untuk mengantisipasi agar tindakan kriminal tidak terus terjadi dan merasuki dunia pendidikan, berbagai usaha dan tindakan telah dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini kementerian pendidikan nasional, mengamanatkan dalam kurikulum 2006 (KTSP) tentang pelaksanaan pendidikan karakter, setidaknya terdapat 18 poin tentang pendidikan karakter yang harus dilaksanakan pada jenjang pendidikan dasar (SD) hingga pendidikan menengah atas (SMA). Seiring berjalannya waktu, kurikulum 2006 (KTSP) mengalami perubahan menjadi kurikulum 2013 (K13/Kurtilas) sebagai bentuk perbaikan kurikulum 2006. Kurikulum 2013 mengalami penambahan dan pengurangan jam pelajaran, salah satunya penambahan jam pelajaran budi pekerti pada sekolah dasar (SD). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1 struktur kurikulum SD/MI sesuai dengan Kurikulum 2013. Tabel 1 Struktur Kurikulum SD/MI ALOKASI WAKTU BELAJAR PERMINGGU MATA PELAJARAN I II III IV V VI Kelompok A 1. Pendidikan Agama dan Budi Pekerti 4 4 4 4 4 4 2. Pendidikan Pancasila dan 5 5 6 4 4 4 Kewarganegaraan 3. Bahasa Indonesia 8 9 10 7 7 7 4. Matematika 5 6 6 6 6 6 5. Ilmu Pengetahuan Alam 3 3 3 6. Ilmu Pengetahuan Sosial 3 3 3 Kelompok B 1. Seni Budaya dan Prakarya 4 4 4 5 5 5
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
161
Pendidikan Jasmani, Olah raga dan Kesehatan Jumlah Alokasi Waktu Per Minggu 2.
4
4
4
4
4
4
30
32
34
36
36
36
Ada fenomena yang menarik terkait dengan hal ini, yaitu mengenai dijadikannya pendidikan agama dan budi pekerti menjadi mata pelajaran yang berdiri sendiri mulai SD hingga sekolah menengah dalam Kurikulum 2013 (Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2014, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2014, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2014, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2014). Peraturan perundang-undangan itu, mengindikasikan bahwa pendidikan budi pekerti bukan hanya perlu tetapi wajib ad a pa da kur ikul um . Da la m ar ti an, bagaimana sistem pendidikan yang ada mengintrinsikkan pendidikan budi pekerti di dalamnya, dimana ada suatu norma-norma yang menjadi spirit kebijakan dari sistem pendidikan yang diterapkan. A da nya pe nd id ikan b ud i pe ke rt i da la m kurikulum 2013 adalah suatu upaya penting untuk lebih merangsang kepekaan peserta didik sebagai generasi muda terhadap norma-norma sosial dan memupuk kesadaran mereka untuk berbuat dan bertingkah laku sesuai dengan nor ma -nor ma sos ia l ya ng b er la ku,
untuk
senantiasa berbuat baik, menjadi manusia yang berguna bagi dirinya sendiri, bagi sesama dan alam semesta sesuai yang diamanatkan dalam UUD 1945. Bukti keseriusan pemerintah untuk mewujudkan generasi-generasi yang berbudi luhur, dan berperilaku sesuai dengan UUD 1945, nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat serta berpedoman kepada agama yang dianutnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia menerbitkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Pasal 1 ayat 2 dijelaskan bahwa: penumbuhan budi pekerti yang selanjutnya disingkat PBP adalah kegiatan pembiasaan sikap dan perilaku positif di sekolah yang dimulai sejak dari hari pertama sekolah, masa orientasi peserta didik baru untuk jenjang sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas dan sekolah menengah kejuruan, sampai dengan kelulusan sekolah. Salah satu lembaga pendidikan formal yang diamanatkan dalam UndangUndang Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti adalah Sekolah Dasar
162 Kriswantoro dkk, Implementasi Pendidikan Budi
(SD). Pendidikan budi pekerti di sekolah dasar dirancang sebagai mata pelajaran yang berdiri sendiri terdapat pada: 1) Rencana Pelajaran 1947, baik berbahasa pengantar bahasa
daerah,
yang berbahasa pengantar bahasa Indonesia maupun yang
diselenggarakan sore hari;
2) Rencana Pendidikan Sekolah Rakyat 1964, baik
berbahasa pengantar bahasa daerah maupun berbahasa pengantar bahasa Indonesia; dan 3) Kurikulum 2013. Berdasarkan sejarah panjang pelajaran budi pekerti tersebut penulis berkeinginan untuk menilik bagaimana Implementasi Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah Dasar Untuk Mengantisipasi Demoralisasi Bangsa. METODOLOGI Desain artikel ini merupakan studi literatur, dengan menganalisis faktor pendukung dan penghambat serta persoalan yang dihadapi oleh para pendidik dalam mengimplementasikan pendidikan budi pekerti di sekolah dasar. Hal ini diperlukan untuk menghadapi tuntutan pemerintah tentang implementasi pendidikan budi pekerti yang wajib dilaksanakan setiap jenjang pendidikan di Indonesia. PEMBAHASAN A. Makna Budi Pekerti Secara etimologis, istilah budi pekerti, atau dalam bahasa Jawa disebut budi pakerti, dimaknai sebagai budi berarti pikir, dan pakerti berarti perbuatan. Dalam konteks yang lebih luas, Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (1997) mengartikan istilah budi pekerti sebagai sikap dan prilaku sehari-hari, baik individu, keluarga, masyarakat, maupun bangsa yang mengandung nilai-nilai yang berlaku dan dianut dalam bentuk jati diri, nilai persatuan dan kesatuan, integritas, dan kesinambungan masa depan dalam suatu sistem moral, dan yang menjadi pedoman prilaku manusia Indonesia untuk bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan bersumber pada falsafah Pancasila dan diilhami oleh ajaran agama serta budaya Indonesia. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa budi pekerti pada dasarnya merupakan sikap dan prilaku seseorang, keluarga, maupun masyarakat yang berkaitan dengan norma dan etika.
Oleh karena itu, berbicara tentang budi pekerti berarti
berbicara tentang nilai-nilai perilaku manusia yang akan diukur menurut kebaikan dan
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
163
keburukannya melalui ukuran norma agama, norma hukum, tata krama dan sopan santun, atau norma budaya/adat istiadat suatu masyarakat atau suatu bangsa. B. Makna Pendidikan Budi Pekerti Pada hakekatnya, pendidikan budi pekerti memiliki substansi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Haidar (2004) mengemukakan bahwa pendidikan budi pekerti adalah usaha sadar yang dilakukan dalam rangka menanamkan atau menginternalisasikan nilai-nilai moral ke dalam sikap dan prilaku peserta didik agar memiliki sikap dan prilaku yang luhur (berakhlakul karimah) dalam
kehidupan sehari-hari, baik
dalam berinteraksi dengan Tuhan,
dengan sesama manusia maupun dengan alam/lingkungan. Secara
konsepsional,
pendidikan budi pekerti dapat dimaknai sebagai usaha sadar melalui kegiatan bimbingan,
pembiasaan,
pengajaran
dan
latihan, serta
keteladanan untuk
menyiapkan peserta didik menjadi manusia seutuhnya yang berbudi pekerti luhur dalam segenap peranannya di masa yang akan datang. Pendidikan budi
pekerti
juga merupakan suatu upaya pembentukan,
pengembangan, peningkatan, pemeliharaan dan perbaikan perilaku peserta didik agar mau dan mampu melaksanakan tugas-tugas hidupnya secara selaras, serasi, seimbang antara lahir-batin, jasmani-rohani,
material-spiritual, dan individu-sosial
(Balitbang Puskur, Depdiknas, 2001). Sedang
secara operasional,
pendidikan
budi
pekerti dapat
dimaknai
sebagai suatu upaya untuk membentuk peserta didik sebagai pribadi seutuhnya yang tercermin
dalam
kata,
perbuatan,
sikap, pikiran, perasaan,
dan
hasil
karya
berdasarkan nilai-nilai agama serta norma dan moral luhur bangsa Indonesia melalui kegiatan bimbingan, pelatihan dan pengajaran. Tujuannya agar mereka memiliki hati nurani yang bersih, berperangai baik, serta menjaga kesusilaan dalam melaksanakan kewajiban terhadap Tuhan dan terhadap sesama makhluk (Balitbang Puskur, Depdiknas, 2001). Tujuan pendidikan Budi Pekerti adalah untuk mengembangkan nilai, sikap dan
prilaku
siswa
yang memancarkan
akhlak
mulia/budi pekerti luhur (Haidar,2004). Hal ini mengandung arti bahwa dalam pendidikan Budi Pekerti, nilai-nilai yang ingin dibentuk adalah nilai-nilai akhlak yang mulia, yaitu tertanamnya nilai-nilai
164 Kriswantoro dkk, Implementasi Pendidikan Budi
akhlak yang mulia ke dalam diri peserta didik yang kemudian terwujud dalam tingkah lakunya. Secara umum, dapat dikatakan bahwa hakekat dari tujuan pendidikan budi
pekerti adalah membentuk pribadi anak supaya menjadi manusia yang baik,
warga masyarakat dan warga negara yang baik. Indikator manusia yang baik, warga masyarakat dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum didasarkan atas nilai-nilai sosial tertentu yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat atau bangsa tersebut. Oleh karena itu, hakikat pendidikan budi pekerti dalam konteks pendidikan di yang bersumber
Indonesia adalah pendidikan nilai-nilai luhur
dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina
kepribadian generasi muda. Berkaitan dengan hal tersebut, Pusbangkurandik (1997) mengkategorikan pendidikan budi pekerti menjadi tiga komponen yaitu: 1) Keberagamaan, terdiri dari nilai-nilai; (a) kekhusukan hubungan dengan Tuhan, (b) kepatuhan kepada Agama, (c) niat baik dan keikhlasan, (d) perbuatan baik, (e) pembalasan atas perbuatan baik dan buruk. 2) Kemandirian, terdiri dari nilai-nilai; (a) harga diri, (b) disiplin, (c) etos kerja (kemauan untuk berubah, hasrat mengejar kemajuan, cinta ilmu, teknologi dan seni), (d) rasa tanggung jawab, (e) keberanian dan semangat, (f) keterbukaan, (g) pengendalian diri. 3) Kesusilaan, terdiri dari nilai-nilai; (a) cinta dan kasih sayang, (b) kebersamaan, (c) kesetiakawanan,
(d)
tolong-menolong,
(e)
tenggang rasa, (f) hormat
menghormati, (g) kelayakan (kapatutan), (h) rasa malu, (i) kejujuran dan (j) pernyataan terima kasih, permintaan maaf (rasa tahu diri). Adapun aspek-aspek yang ingin dicapai dalam pendidikan budi pekerti menurut Haidar (2004) dapat dibagi ke dalam 3 ranah, yaitu: Pertama ranah kognitif, mengisi otak, mengajarinya dari tidak tahu menjadi tahu, dan pada tahap-tahap
berikutnya
dapat membudayakan akal pikiran, sehingga dia dapat memfungsikan akalnya menjadi
kecerdasan
intelegensia. Kedua, ranah afektif, yang berkenaan
dengan
perasaan, emosional, pembentukan sikap di dalam diri pribadi seseorang
dengan
terbentuknya sikap, simpati, antipati, mencintai, membenci, dan lain sebagainya. Sikap
ini
semua
dapat
digolongkan
sebagai kecerdasan emosional. Ketiga,
psikomotorik, adalah berkenaan dengan tindakan, perbuatan, prilaku, dan seterusnya.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
165
Apabila disinkronkan
ketiga
ranah
tersebut
dapat
disimpulkan
bahwa aspek
pendidikan budi pekerti dicapai mulai dari memiliki pengetahuan tentang sesuatu, kemudian memiliki sikap tentang hal tersebut, dan selanjutnya berperilaku sesuai dengan apa yang diketahuinya dan apa yang disikapinya. Pendidikan budi pekerti, adalah meliputi ketiga aspek tersebut. Seseorang mesti mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk. Selanjutnya bagaimanaseseorang memiliki sikap terhadap baik dan buruk, dimana seseorang sampai ketingkat mencintai kebaikan dan membenci keburukan. Pada tingkat berikutnya bertindak, berperilaku sesuai dengan nilai-nilai kebaikan, sehingga muncullah akhlak atau budi pekerti mulia. Sebagaimamana dinyatakan oleh Ki Hajar Dewantoro (1977), bahwa supaya
nilai
pengetahuan
yang ditanamkan dalam
saja, tetapi
sungguh
pendidikan tidak
menjadi
tindakan
tinggal
sebagai
seseorang, maka produk
pendidikan mestinya memperhatikan tiga unsur berikut secara terpadu, yaitu “ngertingerasa-ngelakoni” (mengetahui/memahami, memiliki/menghayati dan
melakukan).
Hal tersebut mengandung pengertian bahwa agar pendidikan budi pekerti dapat mencapai
tujuan
yang
diinginkan
maka hendaknya bentuk pendidikan dan
pengajaran budi pekerti mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotor secara terpadu. Hal
senada disampaikan
oleh Lickona
(1992),
bahwa
dalam
proses
pendidikan moral/budi pekerti, hendaknya guru tidak semata-mata terfokus pada pemberian materi tentang konsep-konsep pendidikan moral/budi pekerti kepada peserta didik, tetapi yang lebih penting adalah terbentuknya karakter yang baik, yaitu pribadi yang memiliki pengetahuan moral, perasaan moral dan tindakan atau perilaku moral. C. Strategi Implementasi Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah Secara teknis, penerapan pendidikan budi pekerti di sekolah setidaknya dapat ditempuh melalui empat alternatif strategi secara terpadu. Strategi pertama ialah dengan mengintegrasikan konten kurikulum pendidikan budi pekerti yang telah dirumuskan ke dalam seluruh mata pelajaran yang relevan, terutama mata pelajaran agama, kewarganegaraan, dan bahasa (baik bahasa Indonesia maupun bahasa daerah). Strategi kedua ialah dengan mengintegrasikan pendidikan budi pekerti
166 Kriswantoro dkk, Implementasi Pendidikan Budi
kedalam
kegiatan
sehari-hari di
sekolah. Strategi ketiga ialah
dengan mengintegrasikan
pendidikan budi pekerti ke dalam kegiatan yang diprogramkan atau direncanakan, dan strategi keempat ialah dengan membangun komunikasi dan kerjasama antara sekolah dengan orang tua peserta didik. Berkaitan dengan implementasi strategi pendidikan budi pekerti dalam kegiatan sehari-hari, secara teknis dapat dilakukan melalui: 1) Keteladanan. Dalam kegiatan sehari-hari guru, kepala sekolah, staf administrasi, bahkan juga pengawas harus dapat menjadi teladan atau model yang baik bagi murid-murid di sekolah. Sebagai misal, jika guru ingin mengajarkan kesabaran kepada siswanya, maka terlebih dahulu guru harus mampu menjadi sosok yang sabar dihadapan murid-muridnya. Begitu juga ketika guru hendak mengajarkan tentang pentingnya
kedisiplinan
kepada murid-muridnya,
maka
guru tersebut harus
mampu memberikan teladan terlebih dahulu sebagai guru yang disiplin dalam menjalankan tugas pekerjaannya. Tanpa keteladanan, murid-murid hanya akan menganggap ajakan moral yang disampaikan sebagai sesuatu yang omong kosong belaka, yang pada akhirnya nilai-nilai moral yang diajarkan tersebut hanya akan berhenti sebagai pengetahuan saja tanpa makna. 2) Kegiatan spontan. Kegiatan spontan yaitu kegiatan yang dilaksanakan secara spontan pada saat itu juga. Dalam setiap peristiwa yang spontan tersebut, guru dapat menanamkan nilai-nilai moral atau budi pekerti yang baik kepada para siswa, misalnya saat guru melihat dua orang siswa yang bertengkar/berkelahi
di
kelas
karena
memperebutkan sesuatu, guru dapat memasukkan nilai-nilai tentang pentingnya sikap maaf-memaafkan, saling menghormati, dan sikap saling menyayangi dalam konteks ajaran agama dan juga budaya. 3) Teguran. Guru
perlu menegur peserta
didik
yang
melakukan
perilaku
buruk
dan
mengingatkannya agar mengamalkan nilai-nilai yang baik sehingga guru dapat membantu mengubah tingkah laku mereka. 4) Pengkondisian lingkungan.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
167
Suasana sekolah dikondisikan sedemikian rupa melalui penyediaan sarana fisik yang dapat menunjang tercapainya pendidikan budi pekerti. Contohnya ialah dengan penyediaan tempat sampah, jam dinding, slogan-slogan mengenai budi pekerti yang mudah dibaca oleh peserta didik, dan aturan/tata tertib sekolah yang ditempelkan pada tempat yang strategis sehingga mudah dibaca oleh setiap peserta didik. 5) Kegiatan rutin. Kegiatan rutinitas merupakan kegiatan yang dilakukan peserta didik secara terus menerus dan konsisten setiap saat. Contoh kegiatan ini adalah berbaris masuk ruang kelas untuk mengajarkan budaya antri, berdoa sebelum dan sesudah kegiatan, mengucapkan salam bila bertemu dengan orang lain, dan membersihkan ruang kelas tempat belajar. Selanjutnya, untuk strategi pengintegrasian pendidikan budi pekerti ke dalam kegiatan yang
diprogramkan, dapat direncanakan oleh guru melalui
berbagai kegiatan seperti: bakti sosial, kegiatan cinta lingkungan, kunjungan sosial ke panti jompo atau yayasan yatim piatu atau yayasan anak cacat. Melalui kegiatan-kegiatan tersebut, diharapkan pendidikan budi pekerti tidak hanya berhenti pada aspek pengetahuan saja, melainkan juga mampu menyentuh aspek sikap spiritual, sikap sosial, dan psikomotor peserta didik. Dalam realitasnya antara apa yang diajarkan guru kepada peserta didik di sekolah dengan apa yang diajarkan oleh orang tua di rumah, sering kali kontra produktif atau terjadi benturan nilai. Untuk itu agar proses pendidikan budi pekerti di sekolah dapat berjalan secara optimal dan efektif, pihak sekolah perlu membangun komunikasi dan kerjasama dengan orang tua murid berkenaan dengan berbagai kegiatan dan program pendidikan budi pekerti yang telah dirumuskan atau direncanakan oleh sekolah. Tujuannya ialah agar terjadi singkronisasi nilai-nilai pendidikan budi pekerti yang di ajarkan di sekolah dengan apa yang ajarkan orang tua di rumah. D. Manfaat Pendidikan Budi Pekerti 1. Membantu para peserta didik meningkatkan diri melalui penanaman nilai-nilai moralitas dan ketatasusilaan serta membantu pesertadidik tetang pentingnya budi pekerti dalam rangka menyikapi dan menyiasati perkembangan zaman yang semakin kompleks.
168 Kriswantoro dkk, Implementasi Pendidikan Budi
2. Untuk meningkatkan sumber daya manusia melalui pendidikan budi pekrti di sekolah dalam rangka menciptakan insan yang bebudi luhur. E. Tujuan Pendidikan Budi Pekerti 1. Berusaha meminimalisasi kejadian-kejadian yang bersifat negatif. 2. Berusaha menanamkan nilai-nilai norma yang mulai berkurang dilaksanakan oleh para remaja saat ini. 3. Meningkatkan kualitas kehidupan manusia melalui pemahaman terhadap pendidikan budi pekerti. SIMPULAN Artikel
ini
menyimpulkan
bahwa
pendidikan
budi
pekerti
harus
diimplementasikan sejak usia dini mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan atas. Berhasil atau tidaknya pendidikan budi pekerti tidak terlepas dari peran serta pendidik dan orang tua. Pelaksanaan pendidikan budi pekerti diharapkan mampu mengantisipasi terjadinya demoralisasi bangsa DAFTAR PUSTAKA Dirjen Dikti, Depdikbud. (2003). Undang-undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Bandung: Citra Umbara. Haidar Putra Daulay, (2004). Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia. Jakarta: Prenada Media, Cet. ke-1. Hasan Langgulung. (1988). Asas-asas pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna. Kemendikbud. 2013. Kurikulum 2013. Jakarta: Pusat Kurikulum. Kemendikbud. 2013. Pedoman PenilaianSikap. Jakarta: Pusat Kurikulum. Ki Hajar Dewantara, (1977). Pengajaran Budi Pekerti. Yogyakarta: Taman Siswa, Bag.I. Kneller, G. F. (1967). The philosophy of education. New York: London-Sydney Laska, J. A. (1976). Schooling and education, basic concepts and problems. New York: D. Van Nostrand Company. Kurikulum 2013. Kompetensi Dasar Sekolah Dasar (SD)/Madrasah Ibtidaiyah (MI). Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2013. Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
169
Madya Ekosusilo & Kasihadi. (1989). Dasar-Dasar Pendidikan. Semarang: Effar Publishing. Marvin, B. 2005. What Works In Character Education: A research-driven guide for educators. St Louis: University of Missouri. Muhammad Ali, Kamus Lengkap bahasa Indonesia Modern. Jakarta: Pustaka Amani. Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan, (1997). Pedoman Pengajaran Budi Pekerti. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan kebudayaan. Pusat Pengembangan Kurikulum, (2001). Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata Pelajaran Budi Pekerti untuk kelas I-VI SD. Balitbang Puskur, Depdiknas. Soegarda Poerbakawatja, (1976). Ensiklopedia Pendidikan. Jakarta: Gunung Agung. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, (1991). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, edisi kedua.
170 Kriswantoro dkk, Implementasi Pendidikan Budi
REVOLUSI MENTAL MELALUI PENGEMBANGAN BUDAYA SEKOLAH BERBASIS MODAL SOSIAL DI SEKOLAH DASAR Kurotul Aeni Email:
[email protected],
Abstract Along with the advances in science and technology, the changing dynamics of culture and structure of Indonesian society as a whole have experienced fantastic changes. The values possessed by people have slowly abandoned or they tend to eliminate moral and character values that have been built by the structure and culture of society. These changes have been underlying patterns of society life both adults and youth, including the order of life of learners. Character crisis occurring today is highly worrying. The nation noble values such as mutual cooperation, kinship, harmony and togetherness have been replaced with the values of individualistic freedom as a result of the influences of globalization era. It has spawned pragmatic, consumerist and materialistic attitudes. To recover the moral education, the elements of social capital are required to support the nation's strength in facing global challenges, raising national awareness and commitment to rebuild the nation's character. Mental revolution through school culture development based on social capital at primary schools is the recovery and rebuilding of nation's philosophical values to be more applicable to implement according to the current situation and conditions. The use of social capital in school culture is able to strengthen the character through inculcating values and exemplary in integral way to learners that involve emotional and social dimensions. Strengthening the character through school culture based on social capital will fortify the nation from mental illness that damages the nation life and prepare young generation who have high immunity of the mental dangers getting wilder along with the development of globalization era. Keywords: mental revolution, school culture, social capital. PENDAHULUAN Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, membawa dampak terhadap perubahan kultur dan struktur kehidupan masyarakat Indonesia secara menyeluruh. Nilai-nilai yang dimiliki masyarakat mengalami pergeseran yang secara perlahan ditinggalkan atau bahkan cenderung menghilangkan nilai moral dan karakter yang sudah lama dibangun oleh struktur dan budaya masyarakat. Perubahan ini telah mendasari pola kehidupan masyarakat baik orang dewasa maupun pemuda, termasuk tatanan dalam kehidupan peserta didik. Krisis karakter dewasa ini sangat memprihatinkan. Nilai-nilai luhur bangsa seperti gotong royong, kekeluargaan, kerukunan dan kebersamaan telah digantikan dengan nilai-nilai kebebasan yang individualistik sebagai akibat pengaruh era
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
171
globalisasi. Hal ini telah mendorong lahirnya sikap pragmatis, konsumtif serta materialistik. Untuk memulihkan kembali pendidikan budi pekerti, maka elemenelemen modal sosial sangat dibutuhkan sehingga dapat mendukung kekuatan bangsa dalam menghadapi tantangan global, membangkitkan wawasan kebangsaan dan komitmen membangun kembali karakter bangsa. Krisis karakter mencerminkan kegagalan sistem pendidikan yang dilaksanakan di sekolah. Sistem pendidikan dewasa ini lebih berorientasi terhadap pencapaian pengetahuan daripada pencapaian sikap dan perilaku. Hal ini berakibat terjadinya kemerosotan moral atau budi pekerti peserta didik. Persoalan tersebut juga dipengaruhi oleh kepemimpinan kepala sekolah; keteladanan pimpinan/kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan; kegiatan pembelajaran; program karakter yang dikembangkan sekolah; serta budaya sekolah. Kisyani
Laksono
(2010:
7)
menyatakan
dalam
kaitannya
dengan
institusionalisasi budaya sekolah, pemimpin sekolah, pendidik, dan tenaga kependidikan harus mampu berperan aktif sebagai duta budaya, yaitu mampu mensosialisasikan keseluruhan nilai-nilai yang ditetapkan sebagai sumber budaya, mampu memberikan contoh atau keteladanan bagi seluruh siswa dalam berperilaku sesuai yang dianut sekolah. Eksistensi budaya sekolah yang kondusif memiliki peranan yang sangat penting dan strategis dalam upaya pencapaian keberhasilan pendidikan. Pendidikan yang berkualitas sangat ditentukan oleh kerjasama dari semua komponen yang selalu menjunjung tinggi rasa saling menghormati, kebersamaan, toleransi, serta kejujuran dalam menjalankan kewajiban. Dengan demikian pendidikan berkualitas dikembangkan seiring dengan penguatan kekuatan sosial atau modal sosial (social capital). Modal sosial memberi dukungan bagi penguatan pendidikan karakter di sekolah baik dalam kegiatan intrakurikuler maupun ekstrakurikuler sebagai wujud akselerasi inovasi pendidikan. Sebagaimana pernyataan yang dikemukakan oleh Ronald Burn, Nan Lin dan Alejandro Portes, bahwa modal sosial merupakan sumber daya sosial yang dapat diperoleh individu melalui manfaat atau kebaikan hubungan dengan individu dan kelompok lain, yang pada dasarnya merupakan sifat individu (Grootaert, et,al. 2004:3). Pendayagunaan modal sosial dalam budaya sekolah mampu memperkuat karakter
172 Kurotul Aeni, Revolusi Mental melalui
melalui penanaman nilai dan keteladanan secara integral kepada peserta didik yang melibatkan dimensi emosional dan sosial. Revolusi Mental melalui pengembangan budaya sekolah berbasis modal sosial di sekolah dasar merupakan upaya pemulihan dan pembangunan kembali nilai-nilai filosofis bangsa menjadi lebih aplikatif untuk dilaksanakan sesuai dengan situasi dan kondisi saat ini. Penguatan karakter melalui budaya sekolah berbasis modal sosial akan membentengi bangsa dari penyakit mental yang merusak sendi-sendi kehidupan dan menyiapkan kader bangsa yang memiliki imunitas tinggi dari bahaya mental yang semakin liar sebagai dampak dari era globalisasi. PEMBAHASAN 1. Pengembangan Budaya Sekolah Pengertian Budaya Sekolah Finnan (2000:9) budaya sekolah disusun dan dibentuk melalui hubungan dengan orang lain dan perenungan tentang kehidupan dunia dan menjadi pedoman perilaku yang berlaku di antara warga sekolah serta berkembang karena interaksi antara anggota staf satu sama lain, interaksi dengan siswa, dan masyarakat. Budaya sekolah merupakan keyakinan dan nilai yang menjadi pengikat kebersamaan warga sekolah sebagai warga masyarakat. Jika definisi ini diterapkan di sekolah, maka sekolah dapat saja memiliki sejumlah kultur dengan satu kultur yang dominan dan kultur lain sebagai kultur subordinasi (Kennedy, 1991:175) (Zamroni, 2011: 297) menjelaskan budaya sekolah merupakan pola asumsi dasar, nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan kebiasaan-kebiasaan yang dilaksanakan bersama oleh seluruh warga sekolah, yang dapat dipergunakan untuk menghadapi berbagai persoalan dalam beradaptasi dengan lingkungan baru dan melakukan integrasi internal. Pola nilai dan asumsi tersebut dapat diajarkan kepada anggota dan generasi baru agar mereka memiliki pandangan yang tepat bagaimana memahami, berpikir, merasakan dan bertindak dalam menghadapi berbagai situasi dan lingkungan yang ada. Kemendiknas (2010: 19), budaya sekolah cakupannya sangat luas, umumnya mencakup ritual, harapan, hubungan, demografi, kegiatan kurikuler, kegiatan ekstrakurikuler, proses mengambil keputusan, kebijakan maupun interaksi sosial
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
173
antarkomponen di sekolah. Budaya sekolah adalah suasana kehidupan sekolah tempat peserta didik berinteraksi dengan sesamanya, guru dengan guru, konselor dengan sesamanya, pegawai administrasi dengan sesamanya, dan antaranggota kelompok masyarakat sekolah. Interaksi internal kelompok dan antarkelompok terikat oleh berbagai aturan, norma, moral serta etika bersama yang berlaku di suatu sekolah. Berbagai definisi tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa budaya sekolah adalah pola interaksi yang didasarkan pada nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan kebiasaan-kebiasaan yang dibuat dan dilaksanakan bersama dalam proses pembelajaran oleh seluruh warga sekolah dalam rangka membangun karakter yang sesuai dengan tujuan pendidikan. Sekolah sebagai sistem budaya Syarafuddin (2008:44) menyatakan bahwa sistem merupakan suatu rangkaian dari unsur-unsur yang saling terkait, disatukan oleh desain untuk mencapai beberapa tujuan atau sasaran. Organisasi adalah sebuah sistem. Suatu sistem mempunyai beberapa sifat dasar sebuah sistem. Hal itu didesain untuk meraih suatu tujuan. Unsur-unsur dari sebuah sistem mesti memiliki rancangan mapan, saling keterhubungan harus ada di antara unsur-unsur dari individu. Hubungan ini mesti sinergi secara alamiah. Depdiknas (2003:10) mengutarakan bahwa sekolah sebagai sistem memiliki tiga aspek pokok yang erat kaitanya dengan sekolah efektif yakni proses belajar mengajar. kepemimpinan dan manajemen sekolah serta budaya sekolah. Sekolah sebagai sistem budaya dapat dipahami dalam dua aspek: pertama, sekolah dapat membentuk dan membangun sistem budaya sendiri seperti yang ditampak ketika lulusan atau output dari sekolah itu memiliki karateristik dan berbeda dengan lulusan atau output dari sekolah lain; kedua, sekolah merupakan bagian dari sistem budaya masyarakat, misalnya budaya masyarakat yang ada di sekitar sekolah diakomodir atau fokus perhatian sekolah dalam menciptakan budaya sekolah artinya pembentukan budaya sekolah dipengaruhi oleh budaya yang ada di masyarakat sekitar sekolah. Young Pai (1990: 131) menegaskan bahwa sekolah tidak hanya sistem sosial dan sistem budaya tetapi sekolah juga sebagai sistem tindakan, karena tindakan manusia diatur melalui dan dalam mempolakan makna dari objek dan orientasi dari
174 Kurotul Aeni, Revolusi Mental melalui
objek dalam dunia pengalaman manusia. Ini berarti bahwa manusia bergerak dari satu sistem ke sistem lainnya perlu mempelajari suatu budaya-budaya baru jika ia ingin berfungsi efektif. Sekolah sebagai suatu sistem budaya tentu dipengaruh oleh berbagai sub-sub sistem yang tentunya saling mempengaruhi satu sama lain, maka untuk menciptakan sekolah yang memiliki sistem budaya yang positif perlu dilakukan usaha-usaha yang mendorong terciptanya sekolah memiliki budaya yang positif. Menurut Rifai, M. (2011: 170) proses pendidikan di sekolah memiliki banyak fungsi yang erat kaitannya dengan fungsi sekolah antara lain: 1) proses transformasi budaya artinya terjadi kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke genarasi yang lain; 2) proses pembentukan pribadi karena pendidikan berfungsi sebagai suatu kegiatan yang sistematis dan sistemik terarah kepada terbentuknya kepribadian peserta didik; 3) proses penyiapan warga negara diartikan sebagai suatu kegiatan yang terencana untuk membekali peserta didik agar menjadi warga negara yang baik. Sekolah sebagai lembaga pendidikan mendidik peserta didik yang akan berinteraksi dengan masyarakat dituntut mampu memberikan pelajaran dan pengetahuan serta menanamkan nilai-nilai, norma-norma kehidupan yang sesuai dengan kebudayaan masyarakat dengan menciptakan budaya sekolah yang dapat membentuk karakter peserta didik menjadi lebih baik. Sekolah diharapkan menjadi penyelamat dari ketiadaan nilai-nilai, norma-norma sehingga sekolah bukan saja sebagai tempat atau alat untuk transfer pengetahuan tetapi juga sebagai alat atau tempat peralihan kebudayaan terutama kebudayaan yang ada di masyarakat. Sekolah adalah institusi sosial yang dibangun masyarakat dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan kesejahteraan hidup. Oleh karena itu sekolah sudah semestinya memiliki budaya yang kondusif dan mendukung dalam memberikan ruang dan kesempatan bagi setiap warga sekolah untuk mengoptimalkan dan mengembangkan potensi dalam diri masing-masing. 2. Penguatan Modal Sosial di Sekolah Dasar Pendidikan berkualitas dikembangkan seiring dengan penguatan kekuatan sosial atau modal sosial (social capital). Modal sosial memberikan dukungan bagi penguatan pendidikan karakter di sekolah baik dalam kegiatan intrakurikuler maupun ekstrakurikuler sebagai wujud pengembangan budaya sekolah.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
175
Cohen and Prusak (2001: 4) menyatakan bahwa social capital consists of the stock of the stock of active connections among people : the trust, mutual understanding, and shared values and behaviors that bind the member of human network and communities and make cooperative action possible. Modal sosial terdiri dari kepercayaan, kesepahaman, serta pertukaran nilai dan perilaku yang membangun hubungan antara individu dan komunitas yang memungkinkan kerjasama saling menguntungkan. Putnam (1995) mengartikan bahwa modal sosial sebagai “features of social organization such as networks, norms, and social trust that facilitate coordination and cooperation for mutual benefit”. Modal sosial menjadi perekat bagi setiap individu, dalam bentuk norma, kepercayaan dan jejaring kerja, sehingga terjadi kerjasama yang saling menguntungkan untuk mencapai tujuan bersama. Modal sosial juga dipahami sebagai pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki bersama oleh komunitas, serta pola hubungan yang memungkinkan sekelompok individu melakukan satu kegiatan yang produktif. Putnam dalam bukunya berjudul “Bowling alone (2000)”, menggambarkan kualitas kehidupan masyarakat Amerika yang semakin menurun dalam hal kelekatan hubungan antar sesama warga sebagai pemicu pembahasan modal sosial yang semakin menghangat. Putnam (2000: 19) “Social capital refers to connections among individuals-social network and norms of reciprocity and trustworthiness that arise from them. In that sense social capital is closely related to what some called civic virtue”. Modal sosial memiliki hubungan erat dengan pendidikan karakter dalam proses pembelajaran dan keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan dasar, yaitu meletakkan dasar kecerdasan, kepribadian, akhlak mulia, dan keterampilan untuk hidup mandiri. Di samping itu juga sesuai dengan Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional, No.20 tahun 2003, Bab II pasal 3, tujuan pendidikan yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab (Depdiknas, 2003: 5).
176 Kurotul Aeni, Revolusi Mental melalui
Wang & Morgan, (2012:5) menyatakan bahwa pendidikan menjadi sumber pengembangan modal sosial yang mendorong dan menumbuhkan serta membangun keyakinan, kepercayaan dan partisipasi. Modal sosial merupakan kerjasama positif dari semua pihak baik sekolah, keluarga, maupun masyarakat, yang outputnya melahirkan nilai-nilai saling hormat-menghormati, kebersamaan, toleransi, serta kejujuran. Menurut Field, (2005: 19) modal sosial merupakan sumber daya yang dapat dimanfaatkan individu atau kelompok untuk menjalin hubungan kerja sama dengan individu atau kelompok lain, untuk mencapai tujuan sendiri atau bersama. Salah satu faktor yang menentukan kemampuan individu atau kelompok dalam mencapai tujuan adalah hubungan sosial yang diperkuat adanya keyakinan dan nilai bersama. Coleman dalam Field (2005: 24), modal sosial memberikan kontribusi positif bagi perkembangan modal manusia, sebagai sumber daya yang berguna bagi individu yang diperoleh melalui hubungan sosial. Modal sosial merupakan nilai-nilai kebaikan yang ada di dalam masyarakat yang memberikan manfaat yang terlibat dan menjadi bagian dalam struktur masyarakat. 3. Revolusi Mental melalui Pengembangan Budaya Sekolah Berbasis Modal Sosial Krisis multidimensi bangsa Indonesia saat ini pada dasarnya dapat melemahkan karakter bangsa. Krisis karakter secara nasional dapat memperburuk identitas sosial dan budaya. Salah satu faktor yang mempengaruhi krisis karakter ini adalah peran modal sosial yang lemah. Oleh karena itu, elemen-elemen modal sosial sangat dibutuhkan dalam mendukung pendidikan karakter dan membangun kembali kekuatan bangsa dalam menghadapai tantangan global. Elemen-elemen modal sosial memainkan peranan penting dalam proses pendidikan karakter baik di dalam keluarga, sekolah dan masyarakat (Dwiningrum, 2013:1). Upaya membangun suatu masyarakat, bangsa dan negara yang baik dan berprestasi, maka peran modal sosial sangatlah penting. Hal ini terlebih di era informasi/globalisasi, maka modal sosial semakin dibutuhkan/mendesak untuk dilakukan. Dikatakan oleh Zamroni (2000: 74) bahwa pada era globalisasi wibawa guru pada khususnya dan orang tua pada umumnya di mata siswa merosot. Kemerosotan wibawa guru dan orang tua dikombinasikan dengan semakin lemahnya kewibawaan
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
177
tradisi-tradisi yang ada di masyarakat, seperti gotong royong dan tolong menolong telah melemahkan kekuatan-kekuatan sentripetal yang berperan penting dalam menciptakan kesatuan sosial. Akibatnya terjadi kenakalan dan tindak menyimpang di kalangan remaja dan pelajar yang semakin meningkat dalam berbagai bentuk, seperti: perkelahian, corat-coret, pelanggaran, pelanggaran lalu lintas sampai tindak kejahatan. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Bank Dunia (1999) modal sosial lebih diartikan kepada dimensi institusional, hubungan yang tercipta, norma yang membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat. Modal sosial pun tidak diartikan hanya sejumlah institusi dan kelompok sosial yang mendukungnya, tapi juga perekat (social glue) yang menjaga kesatuan anggota kelompok sebagai suatu kesatuan. Hasil penelitian Aeni (2015) tentang
Pendayagunaan modal sosial dalam
pendidikan karakter (Studi kasus di SD Muhammadiyah Sapen dan SD Budi Mulia Dua Yogyakarta), menemukan bahwa: Pendayagunaan modal sosial dalam pendidikan karakter di SD Sapen dan SD Budi Mulia Dua pada dasarnya ditanamkan dan diimplementasikan pada seluruh rangkaian aktivitas pembelajaran, baik di dalam kelas maupun di luar kelas, terintegrasi dengan mata pelajaran, dan program kegiatan sekolah. Perbedaannya dapat dijelaskan dari seberapa luas budaya sekolah yang ditanamkan kepada peserta didik, seberapa banyak program karakter yang dilaksanakan oleh masing-masing sekolah dan seberapa baik manajemen dan kemampuan kolaborasi kepala sekolah, guru, sivitas akademika, orang tua dan masyarakat dalam memaknai, dan mendukung pencapaian nilai-nilai karakter yang ditargetkan melalui pendayagunaan modal sosial. Dari hasil temuan penelitian tersebut bisa dimaknai bahwa semakin luas aspek budaya sekolah yang ditanamkan kepada peserta didik, semakin tinggi kemampuan guru yang diperlukan dalam menginterpretasi dan memaknai pendidikan karakter melalui modal sosial dalam pembelajaran baik di kelas maupun di luar kelas. Semakin banyak program serta kegiatan sekolah yang diikuti peserta didik, akan semakin luas dan penting capaian karakter melalui pendayagunaan modal sosial. Lebih lanjut Aeni (2015) menyatakan bahwa pendayagunaan modal sosial dalam pendidikan karakter pada kegiatan ekstrakurikuler memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap pembentukan karakter dibandingkan pada kegiatan intrakurikuler.
178 Kurotul Aeni, Revolusi Mental melalui
Intensitas pendidikan karakter peserta didik memberikan pengaruh yang sangat kuat pada capaian prestasi baik capaian
karakter peserta didik maupun capaian
akademisnya. Capaian prestasi karakter peserta didik dan capaian akademis yang kuat menentukan tercapainya upaya revolusi mental yang diharapkan. Hal ini sangat bergantung kepada kualitas hasil pembelajaran baik intrakurikuler maupun ekstrakurikuler yang dilaksanakan dengan mendayagunakan modal sosial di berbagai suasana dan kegiatan di sekolah. Dukungan atau partisipasi aktif dari semua pihak antara peserta didik, guru, kepala sekolah, sivitas akademika, orang tua, masyarakat sekitar sekolah, serta pihak-pihak terkait sangat menentukan keberhasilan upaya ini. SIMPULAN Revolusi Mental melalui pengembangan budaya sekolah berbasis modal sosial di sekolah dasar merupakan upaya pemulihan dan pembangunan kembali nilainilai filosofis bangsa menjadi lebih aplikatif untuk dilaksanakan sesuai dengan situasi dan kondisi saat ini. Pendayagunaan modal sosial dalam budaya sekolah mampu memperkuat karakter melalui penanaman nilai dan keteladanan secara integral kepada peserta didik yang melibatkan dimensi emosional dan sosial. Perkembangan anak usia sekolah dasar selalu disertai dengan perkembangan perilaku/karakternya. Perilaku/karakter sebagai hasil pembiasaan/habituation dalam kehidupan sehari-hari harus dibarengi dengan penguatan modal sosial. Hal ini dikarenakan dalam kehidupan sehari-hari mereka selalu berinteraksi dengan individu lain. Penguatan modal sosial menjadikan hidup lebih bermakna. Penguatan modal sosial yang mereka lakukan merupakan kunci keberhasilan anak dalam berinteraksi dengan sesama. Penguatan modal sosial dalam perkembangan karakter anak sekolah dasar akan terlaksana dengan baik, manakala anak-anak/peserta didik di sekolah tersebut dilibatkan dalam berbagai aktivitas dalam budaya spesifik di sekolah, baik pada kegiatan intrakurikuler maupun ekstrakurikuler. Keterlibatan anak/peserta didik tersebut tentunya sebatas kemampuan/tingkat perkembangan usia mereka. Penguatan modal sosial dalam perkembangan karakter anak sekolah dasar sangatlah penting bagi setiap satuan pendidikan sebagai upaya mencapai tujuan
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
179
pendidikan yang berkualitas. Eksistensi/keberadaan suatu sekolah/satuan pendidikan tentulah sangat dipengaruhi oleh adanya pendayagunaan elemen-elemen modal sosial dari pihak-pihak terkait dalam upaya pengembangan budaya sekolah. Penguatan modal sosial dalam perkembangan karakter anak sekolah dasar sangatlah menentukan tercapainya tujuan pendidikan di sekolah. Upaya tersebut harus dibarengi dengan upaya pembentukan nilai/karakter disertai keteladanan, sehingga ada kejelasan terhadap pilihan nilai mana yang akan dikembangkan. Dengan demikian tidak terjadi salah pilih terhadap nilai-nilai yang seharusnya tidak boleh dikembangkan/dihindari. Penguatan modal sosial dalam pendidikan karakter yakni meliputi kegiatan merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi pendidikan karakter dengan berupaya mendayagunakan modal sosial baik dalam kegiatan intrakurikuler, maupun kegiatan ekstrakurikuler di sekolah. Hal ini harus disertai dengan contoh/teladan dari guru, kepala sekolah, karyawan; serta pembiasaan-pembiasaan afektif di sekolah. Penguatan modal sosial dalam pendidikan karakter di sekolah tidak akan berhasil tanpa dukungan dari berbagai pihak seperti lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, keteladanan dari para pemimpin, serta peran media massa yang mendukungnya. Sekolah adalah institusi sosial yang dibangun masyarakat dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan kesejahteraan hidup. Oleh karena itu sekolah sudah semestinya memiliki budaya yang kondusif dan mendukung dalam memberikan ruang dan kesempatan bagi setiap warga sekolah untuk mengoptimalkan dan mengembangkan potensi dalam diri masing-masing peserta didik dengan mendayagunakan modal sosial. DAFTAR PUSTAKA Aeni, Kurotul. (2015). Pendayagunaan Modal Sosial Dalam Pendidikan Karakter (Studi kasus di SD Muhammadiyah Sapen dan SD Budi Mulia Dua Yogyakarta). (Disertasi). Yogyakarta: program pascasarjana UNY. Cohen, D. & Prusak, L. (2001). In good company. Boston: Harvard Business School Press. Depdiknas. (2003). Memahami budaya sekolah. Jakarta: Direktorat Pendidikan Umum, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas. Dewantara, K. (1977). Bagian pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa. 180 Kurotul Aeni, Revolusi Mental melalui
Dwiningrum, S.I.A. (2013). Nation’s Character Education Based on the Social Capital Theory. Asian Social Science. 9 (12), 114, 2013. Field, J. (2005). Social capital and lifelong learning. Great Britain: Policy Press. Grootaert, Christiaan. et al. (2004). Measuring social capital: An integrated questionnaire. USA: printed on recycled paper. Kemendiknas. (2010). Pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa: Pedoman sekolah. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum. Laksono, K. (2010). Pengembangan budaya sekolahuntuk meretas pendidikan karakter. UPBJJ-UT Surabaya (diakses melalui http:// Pengembangan- budaya- sekolahuntuk- meretas- pendidikan- karakter.com Lickona, T.. (2004). Educating for character. New York: Bantam Books. Putnam, R D. (1995 ). The prosperous community: Social capital and public life. TAP 4 (13). Rifai, M. (2011). Sosiologi pendidikan: Struktur dan interaksi sosial di dalam institusi pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Syarafuddin. (2008). Efektifitas kebijakan pendidikan: Konsep, strategi, dan aplikasi kebijakan menuju organisasi sekolah yang efektif. Jakarta: Rineka Cipta. Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional, No.20 tahun 2003. Depdiknas, 2003. Wang, N. and Morgan, W. John (2012). The Harmonious Society, Social Capital and Lifelong Learning in China: Emerging Policies and Practice International Journal of Continuing Education and Lifelong Learning. Young Pai. (1990). Cultural foundation of education. London: University of Missaori at Kansas City. Zamroni. (2000). Paradigma pendidikan masa depan. Yogyakarta: Bigraf publishing. _______. (2011). dalam Darmiyati edt. Strategi dan model implementasi pendidikan karakter di sekolah. Yogyakarta: UNY Press. Zuchdi, D. (2010). Humanisasi pendidikan, menemukan kembali pendidikan yang manusiawi. Jakarta: Bumi Aksara. ______. (2009-2011). Model pendidikan karakter terintegrasi dalam pembelajaran dan pengembangan kultur sekolah. Yogyakarta : UNY Press.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
181
NILAI PENDIDIKAN KARAKTER CERITA RAKYAT PUTRI JUNJUNG BUIH KABUPATEN KETAPANG KALIMANTAN BARAT Lizawati Oldi Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP-PGRI Pontianak Jl. Ampera No. 88 Pontianak 78116 Email:
[email protected] Abstract This study aimed to describe the values of character education in the story cherished daughter froth Ketapang district. This research method is descriptive qualitative approach .Teknik sociology of literature data were analyzed using content analysis with the documentary studies. The results showed that the values of character education contained in the story of the daughter cherished froth one folklore district Ketapang, namely (1) the value of education the character of God, which includes public confidence in the Lord and give thanks to perform various ceremonies. (2) the values of character education of self that includes honest, unyielding, a good personality and sincerity. (3) the values of character education to include the preservation of fellow community awareness, mutual respect and good-natured Keywords: character education, values, cherished daughter story froth
PENDAHULUAN Sastra lisan merupakan karya sastra yang dapat kita temukan dalam masyarakat. Sastra lisan merupakan karya sastra yang beredar di masyarakat atau diwariskan secara turun-memurun dalam bentuk lisan. Maka sastra lisan dapat disebut sebagai folklore. Folk merupakan sebuah komunitas masyarakat tertentu yang memiliki ciri-ciri dan budaya yang sama. Sedangkan lore merupakan sebagian kebudayaan masyarakat yang disampaikan secara turun-menurun dalam bentuk lisan. Jadi, folklore atau sastra lisan adalah suatu kebudayaan yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat tertentu yang diperoleh secara turun-menurun dari mulut ke mulut secara lisan. Secara keseluruhan folklore dapat didefinisikan yaitu sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu. Folklor dimaksudkan sebagai sekumpulan ciptaan tradisional, baik yang dibuat oleh kelompok maupun perorangan 182 Lizawati dkk, Nilai Pendidikan Karakter
dalam masyarakat, yang menunjukkan identitas sosial dan budayanya berdasarkan standar dan nilai-nilai yang diucapkan atau diikuti secara turun temurun. Cerita rakyat adalah suatu bentuk kebudayaan dalam bentuk lisan yang diceritakan secara turun temurun. Cerita rakyat merupakan bagian kekayaan budaya dan sejarah yang dimiliki oleh suatu daerah atau komunitas tertentu. Cerita rakyat merupakan sastra lisan yang memiliki nilai-nilai dan amanat tertentu. Cerita rakyat memiliki kandungan nilai yang bersifat universal dan nilainya tinggi. Ada yang nilainya dapat langsung dihayati oleh penikmatnya, namun ada juga cerita rakyat yang terbungkus rapi di dalam simbol, perumpamaan atau alegori. Dalam KBBI (2005: 210) dinyatakan bahwa, cerita rakyat adalah cerita yang dari zaman dahulu yang hidup dikalangan rakyat dan diwariskan secara lisan. Menurut Semi (1988: 78) cerita rakyat adalah cerita yang pada dasarnya disampaikan secara lisan. Tokoh-tokoh cerita atau peristiwa-peristiwa yang diungkapkan dianggap pernah terjadi di masa lalu atau merupakan suatu kreasi atau hasil rekaman semata yang terdorong oleh keinginan untuk menyampaikan pesan atau amanat tertentu, atau merupakan suatu upaya anggota masyarakat untuk memberi atau mendapatkan hiburan atau sebagai pelipur lara. Cerita rakyat merupakan warisan kebudayaan yang perlu dikembangkan karena mengandung nilai-nilai pendidikan. Cerita rakyat dapatmengetahui gambaran yang lebih banyak mengenai berbagai aspek kehidupan masyarakat tertentu dan dapat pula membina pergaulan hubungan kemasyarakatan dalam suatu bangsa yang memiliki aneka ragam kebudayaan. Terkadang peristiwa yang terdapat dalam cerita rakyat hanyalah khayalan belaka. Namun dalam rentetan peristiwa tersebut kita dapat memetik nilai-nilai yang ada di dalam cerita tersebut seperti nilai pendidikan karakter. Satu diantaranya cerita rakyat yang terdapat di kabupaten Ketapang Kalimantan Barat adalah cerita rakyat Putri Junjug Buih. Cerita sarat dengan nilai-nilai yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan, bukan hanya berfungsi untuk menghibur, tetapi juga dapat mengajarkan nilai-nilai yang terkait dengan kemanusiaan. Cerita rakyat terdapat berbagai nilai pendidikan, termasuk pendidikan karakter. Pendidikan karakter adalah proses pemberian tuntunan kepada peserta didik untuk menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa. Gaffar (Kesuma, dkk, 2011:5) menyatakan pendidikan karakter adalah sebuah proses transformasi nilai-nilai kehidupan untuk dapat
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
183
ditumbuhkembangkan dalam kepribadian seseorang sehingga menjadi satu dalam perilaku kehidupan orang itu. Hal yang menjadi dasar dalam menemukan nilai pendidikan karakter terdiri dari berbagai aspek. Megawangi dalam Mulyasa (2011: 5) menyusun sembilan pilar karakter yang mulia yang selayaknyadijadikan acuan dalam pendidikankarakter, baik di sekolah maupun di luarsekolah, yaitu (1) cinta Allah dan kebenaran, (2) tanggung jawab, disiplin dan mandiri, (3) amanah, (4) hormat dan santun, (5) kasih sayang, peduli dan kerjasama, (6) percaya diri, kreatif dan pantang menyerah, (7) adil dan berjiwa kepemimpinan, (8) baik dan rendah hati, (9) toleran dan cinta damai. Menurut Pusat Pengkajian Pedagogik Universitas Pendidikan Indonesia (P3 UPI) nilai yang perlu diperkuat untuk pembangunan karakter bangsa saat ini adalah nilai jujur, kerja keras dan nilai ikhlas (Kesuma, 2011:15-21). Berkaitan dengan nilai yang terkandung dalam cerita semangka emas tersebut, peneliti lebih memfokuskan pada pendidikan karakter. METODE Metode penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif karena dalam penelitian ini mendeskripsikan nilai-nilai pendidikan karakter dalam cerita rakyat Putri Junjung Buih kabupaten Ketapang. Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologi sastra. Penelitian ini lebih difokuskan pada pendekatan sosiologi karya sastra karena objek penelitiannya adalah karya sastra yaitu cerita Putri Junjung Buih. Sumber data berupa buku cerita Putri Junjung Buih.Teknik pengumpulan data dengan studi dokumenter. Validitas data menggunakan triangulasi teori dan ketekunan pengamatan. Teknik analisis menggunakan analisis isi (content analysis). HASIL DAN PEMBAHASAN Setelah dilakukan analisis terhadap cerita rakyat Putri Junjung Buih kabupaten Ketapang
terdapat tiga nilai pendidikan karakter dalam cerita tersebut, yaitu nilai
pendidikan karakter terhadap Tuhan, nilai pendidikan karakter terhadap tokoh dan nilai pendidikan karakter terhadap sesama masyarakat. 1. Nilai-nilai Pendidikan Karakter Masyarakat terhadap Tuhan Nilai-nilai pendidikan karakter terhadap Tuhan terbagi lagi menjadi keyakinan masyarakat terhadap cerita legenda putri junjung dimana mereka meyakini bahwa putri 184 Lizawati dkk, Nilai Pendidikan Karakter
junjung buih ialah nenek monyang mereka dan melahirkan keturunan di kerajaan Tanjungpura. Hal ini masih dapat dijumpai sampai saat ini baik yang menyakut tradisi lisan rakyat maupun peninggalan yang masih ada.berupa kepercayaan masyarakat yang berkaitan dengan legenda masyarakat yang masih melekat dan masih tetap dijalankan melalui upacara adat setiap tahunnya dengan berbagai macam upacara. Tujuan dari upacara yang akan dilakukan oleh masyarakat di kabupaten Ketapang ialah untuk menunjukkan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa dimana Dia telah memberikan kehidupan di dunia ini. Semua rasa itu ditunjukkan masyarakat kabupaten Ketapang dengan melakukan berbagai upacara adat dengan ketentuan dan tujuan masing-masing dari apa yang ia syukuri dan bisa juga untuk meminta berbagai macam keselamatan dikehidupan mereka dengan melakukan berbagai upacara adat yaitu: (1) Upacara bayar niat. Upacara ini dilakukan di tempat-tempat yang diangap keramat seperti keraton Mulia Kerta, makam keramat Tujuh, keramat Sembilan. Maksud dari upacara ini adalah untuk keselamatan bagi diri sendiri maupun keluarga dengan ia melakukan nazar pada waktu sebelumnya, jika niatnya dikabulkan.Maka ia dengan segera menunaikan niat tersebut dengan melakukan upacara bayar niat. (2) Upacara Bekalu, adalah sebuah upacara yang dilakukan secara gotong royong sesama masyarakat dari daerah satu dengan daerah yang lainnya.Pda saat memasang Belat yaitu sejenis keramba besar yang terbuat dari bambu dan dianyam menggunakan lembiding (akar paku pakis) berfungsi menangkap ikan dan dipasang dilaut tujuan nya agar diberikan keselamatan dan mendapatkan rejeki yang banyak dalam penangkapan ikan oleh nelayan yang berkerja pada setiap harinya. (3) Upacara Nyapat Taon, biasanya dilakukan oleh orang orang yang mencari rejeki di laut untuk menghidupi dirinya ,
upacara ini dilakukan dengan mengantar sesajian
kelaut yang berupa hasil bumi dengan maksud bersyukur mengucapkan terima kasih kepada penguasa dilaut yang telah memberikan rejeki kepada mereka (4) Upacara Bekasah, upacara ini dilakukan jika pada suatu daerah yang telah terjadi bencana, dan merasa terancam di daerah kehidupannya yaitu dengan memohon keselamatan kepada sang pencipta dan penguasa pada alam semesta. (5) Upacara Bebuang penyakit, upacara ini dilakukan jika ada keluarga yang sakit upacara ini dilakukan dengan melalui media telur sebagai sebuah simbol penyakit yang di hanyutkan ke dalam air, agar penyakit yang diderita hilang terhanyut terbawa air. (6) Upacara Bebuang tali pusar, upacara
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
185
dilakukan jika bayi sudah tanggal tali pusar, bisa disimpan di bawah rumah, di bawah musolla, di bawah pohon maupun di dalam air dengan menghayutkan memakai pelepah pisang.(7) Upacara Keselamatan Ikrar Damai, upacara ini bertujuan antuk keselamatan seluruh warga agar jauh dari pertikaian antarsuku satu dengan suku yang lainya Upacara Tempat Sirih, upacara dilakukan jika terjadi salah paham antarasatu dengan lainnya. Berdasarkan kutipan di atas peneliti menggambarkan upacara adat masyarakat kabupaten Ketapang yang masih dilestarikan sampai sekarang serta terjaga dengan baik hal ini tercermin pada kelangsungan upacara adat yang tetap terjadi meskipun di zaman sekarang banyak anak muda yang kurang mengetahui fungsi dari upacara adat tersebut. Selain itu, sejarah zaman dahulu yang diyakini adanya nenek moyang mereka dan selalu mensyukuri nikmat yang Tuhan Yang Maha Esa berikan dan mesyukurinya dengan melakukan upacara adat setiap tahunya untuk menunjukkan ucapan terima syukur ke pada Sang Pencipta, sehingga masyarakat selalu merasa hidup berkecukupan dan merasa senang dengan apa yang dimilikinya. 2. Nilai-nilai pendidikan karakter terhadap diri sendiri terbagi lagi menjadi jujur, pantang menyerah, kepribadian yang baik dan ikhlas. a. Jujur Cerita rakyat Putri Junjung Buih terdapat beberapa kutipan yang menggambarkan kejujuran sifat seorang Putri . Adapun penjelasan kutipan yang termasuk karakter jujur yaitu ketika seorang ibunda dan seorang wanita yaitu Putri Junjung Buih mengatakan bahwa anaknya yang satu ini selalu bersifat jujur dalam hal dari segi apapun di bandingkan dengan saudara-sudaranya yang lain, ia memiliki saudara tapi sifat yang jujur terlihat kepada anaknya yang satu ini yaitu Putri Junjung Buih dengan kehidupan yang ia jalani setiap harinya ia selalu didampingi dengan sikap yang jujur, sekalipun dikehidupan bermasyarakat Putri Junjung Buih juga dikenal dengan sikapnya yang selalu jujur di mata mereka. Putri selalu di senangi oleh masyarakat -masyarakat di kerajaan Tanjungpura . Berdasarkan kutipan di atas peneliti dapat mengambil hal yang harus kita ikuti dari cerita Putri Junjung Buih memiliki sifat yang jujur dari keenam saudaranya yang lain. Hal ini dikatakan oleh orang tua kandungnya sendiri. Jadi dapat dikatakan kita
186 Lizawati dkk, Nilai Pendidikan Karakter
harus bisa meniru sifat dari seorang Putri Junjung Buih tersebut yaitu sifat yang jujur, dengan kejujuran hidup kita menjadi lebih jauh baik dari orang yang tidak jujur. b. Pantang menyerah Cerita rakyat Putri Junjung Buih kabupaten Ketapang terdapat beberapa kutipan yang menggambarkan karakter Putri yang pantang menyerah. Adapun penjelasan kutipan yang termasuk karakter pantang menyerah dari Putri Junjung Buih yaitu ketika Putri Junjung Buih tidak memiliki sifat yang pantang menyerah hal ini kembali dikatakan oleh ibunda putri yaitu Dara Dondang, dia sempat dikucilkan oleh keenam saudaranya tersebut karena dia memiliki tubuh yang belang, hal itu diterima oleh Putri Junjung Buih, putri pun pergi dari rumah kediamannya tidak tahu entah kemana dia harus pergi. Di balik itu Putri Junjung Buih ditemukan oleh seorang pria di tepi sungai, pria tersebut sedang menjala ikan di tepi sungai, pria tersebut pun terkejut melihat seorang wanita cantik yang terdampar di tepi sungai. Pria itu pun langsung menghampiri dirinya. Seketika Putri Junjung Buih pun terkejut dengan kehadiran seorang pria yang gagah tapi juga memiliki tubuh seperti dirinya yaitu berbelang seperti ikan ulin, Putri pun langsung dibawa pria tersebut yang bernama Prabu Jaya. Sifat yang kuat dan tidak pernah rasa adanya pantang menyerah dan selalu bisa menerima keadaan dirinya yang berbeda dari saudara-saudaranya, ia tetap tidak putus asa atau pantang menyerah dengan memiliki badan yang berbelang seperti ikan ulan ulin, dengan keadaan tubuhnya yang belang tersebut dan dia selalu bersabar dan tidak pernah ada rasa putus asa dengan tanpa pantang menyerah dan tidak pernah putus asa. Putri pun hidup senang dengan seorang laki laki yang membantu dirinya. Berdasarkan pemaparan diatas dapat dikatakan bahwa sifat yang di miliki oleh Putri Junjung Buih yaitu memiliki sifat pantang menyerah. Dia tidak menyalahkan saudarasaudaranya atau pun membenci saudara-saudaranya yang telah mengucilkan dia dari keluarga besarnya. Meskipun dia merasa terhina dan dikucilkan karena keadaan tubuhnya yang berbelang, hal itu tetap membuatnya semangat dan meyakini bahwa akan selalu ada jalan keluarnya asalkan kita tidak mudah putus asa dan pantang menyerah. c. Kepribadian yang baik Kepribadian yang baik atau santun terhadap orang tua ditunjukkan oleh karakter Putri Junjung Buihkabupaten Ketapang memiliki nilai karakter yang mendidik yaitu ketika Putri Junjung Buih selalu membuat ibunya tersenyum dan selalu merasa bahagia.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
187
Kecantikan Putri Junjung Buih selaras dengan kepribadiannya yang baik, masyarakat Tanjungpura pun selalu memuji sifat dari anak seorang ibu tersebut yang bernama Dara Dondang yaitu Putri Junjung Buih. Iaadalah seorang gadis yang mempunyai kepribadian yang baik, kesopanannya, perilaku dan senyum sapanya tidak pernah membuat kegaduhan dikampung mereka. Maka tidak mengherankan warga masyarakat Tanjungpura berkata “Dari keenamsaudaranya tersebut Putri Junjung Buih lah yang sikapnya lebih menonjol dari saudara-saudara lainya”. Berdasarkan pernyatataan tersebut maka dapat diambil hal penting yaitu mengikuti sifat Putri Junjung Buih yang mempunyai sifat kepribadian yang baik, dengan adanya kepribadian yang baik terdapat di dalam diri kita , maka semua orang akan merasa senang dengan adanya kita di sekitar mereka, dan juga adanya mulai dari kepribadian yang baik maka kita akan terbiasa dengan sifat yang baik. d. Ikhlas Cerita Putri Junjung Buihyang memiliki sifat yang ikhlas yaitu ketika Putri Junjung Buih dikucilkan dari keenam saudara-saudaranya ia selalu menerima dengan ikhlas dengan keadaan yang ia alami pada dirinya sendiri, Putri Junjung Buih menerima kemauan keenam saudara-sudaranya agar Putri Junjung Buih keluar lari dari kehidupan keluarganya tanpa sepengatahuan orang tuanya. Berdasarkan pemaparan di atas dapatdiambil pelajaran penting yang terdapat pada sifat Putri Junjung Buih yaitu sifat ikhlas. Adanya rasa ikhlas di dalam hati seseorang maka kehidupan yang dijalani akanterasa tenang dan indah. Sifat ikhlas dapat kita lihat dari cerita tersebut ketika putri yang di kucilkan dari keluarga besarnya karena dengan keadaan tubuhnya yang berbelang seperti ikan ulin, iaikhlas menerimanya sebagai takdir dari dirinya. Tentu saja keikhlasan Putri Junjung Buih berbuah manis karena pada akhirnya ia hidup bahagia bersama suaminya. 3. Nilai pendidikan karakter sesama masyarakat Nilai-nilai pendidikan karakter terhadap sesama masyarakat terbagi lagi menjadi kepedulian, dan baik hati. a. Kepedulian Adapun kutipan-kutipan yang menggambarkan sifat kepadulian yang terdapat dalam cerita rakyat Putri Junjung Buihyang termasuk karakter kepedulian 188 Lizawati dkk, Nilai Pendidikan Karakter
dari
masyarakat yaitu ketika masyarakat selalu ada kerja sama antar daerah satu dengan daerah yang lainya dengan berbagai macam suku yang berbeda, tapi mereka selalu saling peduli dengan masyarakat lainnya walaupun berbeda daerah dan sukunya.Maka berdasarkan pernyataan diatas sifat kepedulian masyarakat kabupaten Ketapang selalu melakukan kerja sama dan gotong royong antar daerah maupun dengan suku yang berbeda karena mereka selalu menjaga keharmonisan daerah mereka dengan kepedulian yang tinggi dalam menjaga keharmonisan antar daerah dan suku yang berbeda. b. Saling menghormati Cerita Putri Junjung Buih kabupaten Ketapang terdapat beberapa kutipan yang menggambarkan karakter saling menghormati yang ada di sesama masyarakat. Adapun kutipan-kutipan yang termasuk karakter saling hormat ialah sebagai berikut. Masyarakat kabupaten ketapang khususnya di kerajaan tanjung pura dimana mereka selalu menjunjung tinggi sifat saling hormat antar satu sama lainya maupun dari muda sampai ketua dimana mereka mengajarkan sikap saling hormat terhadap anak anak dan cucu cucu mereka nanti karena dengan adanya sifat saling hormat yang tercipta di masyarakat mereka akan membuat sebuah kenyamanan berkehidupan disebuah masyarakat dan tidak akan pernah terjadinya kesalah pahaman antar masyarakat satu dengan masyarakat yang lainya, masyarakat tanjung pura juga memiliki sifat saling hormat dengan daerah dan suku-suku yang lainya ,mereka setiap tahunya mengadakan sebuah upacara dimana upacara tersebut bertujuan untuk menyapa dan memberikan rasa keperdulian dan saling hormat anatara satu daerah dengan daerah lainya dan berbagai macam suku yang berbeda agar terjaganya rasa keharmonisan antara suku dan daerah melakukan hal itu dimana masyarakat tanjung pura mengadakan upacara rutinitas setiap tahunya yaitu upacara upacara tertentu yaitu upacara keselamatan ikrar damai, upacara ini bertujuan untuk keselamatan seluruh warga agar jauh dari pertikaina pertikaian dan kesalah pahaman antara suku satu dengan suku yang lainya agar terjaga keharmonisan antar masyarakat , dan masyarakat juga melakukan upacara tempat sirih upacara ini dilakukan bertujuan untuk menghindari terjadinya sebuah perselisihan yang ada terjadinya kesalah pahaman antar masyarakat dan suku satu dengan suku yang lainya. Upacara tersebut juga sekaligus menghormati nenek moyang mereka yaitu putri junjung buih yang mereka yakini nenek moyang mereka tersebut memiliki sifat yang
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
189
saling hormat dan santun kepada orang lain. Adanya sikap saling hormat mereka meyakini hal itu bisa mengormati nenek moyang mereka yaitu Putri Junjung Buih. Kutipan di atas menggambarkan sifat saling hormat yang terciptanya di masyarakatkabupaten ketapang khususnya masyarakat Tanjungpura, dimana mereka meyakini untuk mengikuti sifat nenek moyang mereka yang bersifat selalu hormat sesama siapaun dengan adanya sifat saling hormat maka akan terciptanya keselamatan, kehidupan, yang harmonis, damai,sejahtera,jauh dari perselisihan,kesalahpahaman dikehidupan bermasyarakat. c. Baik hati Cerita rakyat Putri Junjung Buih kabupaten Ketapang terdapat beberapa kutipan yang menggambarkan karakter baik hati yang terdapat di dalam masyarakat.Adapun kutipan-kutipan yang termasuk karakter baik hati yaitu ketika orang-orang masyarakat kabupaten Ketapang khusunya daerah Tanjungpura mereka saling membantu.Orangorang yang ada disekeliling dikehidupan masyarakat yang ada didekat mereka sekalipun mereka sangat peduli dengan orang-orang yang tidak mereka kenali, mereka selalu menghargai pendapat satu sama lainya dan tolong menolong dalam kebaikan. Masyarakat Tanjungpura di kabupaten Ketapang tidak pernah membedakan satu sama lainnya baik orang kaya maupun orang miskin. Mereka beranggapan bahwa kita kehidupan bermasyarakat didaerah mereka tidak pernah mengucilkan orang-orang yang kecil dan mereka selalu memperhatikan orang-orang yang sedang mengalami kesusahan didalam hidup sebuah keluarga yang ada di daerah mereka. Meskipun orang yang dibantu adalah orang sakit. Hal ini dilakukan karena mereka anggap itu seperti sifat nenek moyang mereka yaitu Putri Junjung Buih yang di dalam cerita tersebut nenek moyang mereka yaitu saudara Putri Junjung Buih pernah dikucilkan dari keluarganya mendapat ganjaran yang setimpal. Jadi masyarakat Tanjungpura tidak ingin melakukan hal yang samakarena itu akan membuat sedih nenek moyang mereka yang ia yakini. Kutipan di atas menyatakan karakter masyarakat yang baik hati di dalam cerita rakyat Putri Junjung Buih tersebut di nilai oleh orang-orang yang selalu peduli dengan sesama masyarakat yang tinggal di dekat mereka , tidak pernah membandingkan yang mana miskin dan mana yang kaya, dan mereka selalu memeperhatikan orang orang di sekitar mereka serta saling membantu satu sama lainnya.
190 Lizawati dkk, Nilai Pendidikan Karakter
SIMPULAN Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dipaparkan maka nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam ceritarakyat Putri Junjung Buih kabupaten Ketapang yaitu nilai-nilai pendidikan karakter terhadap Tuhan yang meliputi keyakinan kepada Tuhan dan bersyukur, dan nilai-nilai pendidikan karakter terhadap sesama masyarakat meliputi terjaganya silaturahmi, kerja sama dan saling menghormati. DAFTAR PUSTAKA Dinas Komunikasi, Budaya dan Pariwisata. Cerita Putri Junjung Buih Kesuma, Dharma. 2011. Pendidikan karakter Kajian Teori dan Praktik di Sekolah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Mulyasa. E . 2011. Pendidikan Karakter. Jakarta: Bumi Aksara. Semi, M. Atar. 1988. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
191
IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN TEMATIK DALAM MEMBANGUN BUDI PEKERTI DI SEKOLAH DASAR Lusy Febia Yaomul Istar Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia Email:
[email protected] Abstract Education is a process of human interaction that marked the existence of a balance between the role of the educator with the sovereignty of the learners, while learning is an activity that refers to the process of teaching and learning that takes place between teachers with learners. This aims to improve the quality of human life in order to have a good character, especially in the start of elementary school education as the Foundation of the main character in growing on learners, it surely must be supported with the implementation of a learning model that suits the needs of learners in primary schools is the thematic learning. However, it is generally in the field implementation of thematic learning in primary schools has not been as expected, because many teachers who contended that this learning is considered relatively new, so many teachers who feel difficulty in implementing the thematic learning. Therefore, this article will examine about implementation of thematic learning model in building character in elementary school that surely there are some stages of activity that must be performed i.e. teachers stage planning, execution and assessment. PENDAHULUAN Pendidikan merupakan proses interaksi manusiawi yang ditandai adanya suatu keseimbangan peran antara pendidik dengan kedaulatan peserta didik, sedangkan pembelajaran merupakan suatu kegiatan yang merujuk pada proses belajar mengajar yang berlangsung antara guru dengan peserta didik. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia agar memiliki budi pekerti yang baik, terutama hal ini di awali dari pendidikan sekolah dasar sebagai pondasi utama dalam menumbuhkan budi pekerti pada peserta didik, hal tersebut tentunya harus didukung dengan adanya implementasi model pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik di sekolah dasar. Berlandaskan pada kebijakan tentang Kurikulum 2013 yang memberi ruang gerak yang luas kepada lembaga pendidikan khususnya SD/MI dalam mengelola sumber daya yang ada, dengan cara mengalokasikan seluruh potensi dan prioritas sehingga mampu melakukan terobosan-terobosan sistem pembelajaran 192 Lusy Febia Yaomul Istar, Implementasi Pembelajaran Tematik
yang lebih inovatif dan kreatif. Salah satu upaya kreatif dalam melaksanakan pembelajaran di SD/MI adalah melakukan pembelajaran tematik. Pembelajaran model ini akan lebih menarik dan bermakna bagi anak karena model pembelajaran ini menyajikan tema-tema pembelajaran yang lebih aktual dan kontekstual dalam kehidupan sehari-hari. Namun demikian masih banyak pihak yang belum memahami dan mampu menerapkan model ini secara baik. PEMBAHASAN Pembelajaran Tematik Dilihat dari perkembangan psikologi dan lingkungan interaksi sosial budaya peserta didik telah ditetapkan bahwa pelaksanaan kegitan kurikuler di SD/MI dibagi dalam penggalan. Penggalan pertama terdiri atas kelas-kelas rendah (I, II, II) yang mma kegiatan kurikulerny diorganisasikan dalam bentuk pembelajaran tematis, dan penggalan kedua terdiri atas kelas-kelas lebih tinggi (IV, V, VI) yang kurikulernya diorganisasikan dalam bentuk pembelajaran berbasis mata pelajaran. Model pembelajaran tematik merupakan model pembelajaran terpadu yang menggunakan tema tertentu yang mengakomodasikan beberapa sehingga memberikan pengaruh terhadap kompetensi dasar yang harus dicapai dari satu mata pelajaran atau beberapa mata pelajaran bermakna kepada peserta didik, yang mana tema merupakan pokok pikiran atau gagasan pokok yang menjadi pokok pembicaraan (Sapriya, dkk, 2009; Sutirjo dan Mamik, 2005). Dalam pembelajaran ini peserta didik belajar melalui pemahaman dan pembiasaan perilaku yang terkait pada kehidupannya. Peserta didik belum secara formal diperkenalkan pada mata pelajaran. Tujuan akhir dari pembelajaran tematik adalah berkembangnya potensi peserta didik secara alami sesuai dengan usia dan lingkungannya. Dalam pembelajaran, tema diberikan dengan maksud menyatukan
isi
kurikulum
dalam
satu
kesatuan
yang
utuh,
memperkaya
perbendaharaan bahasa anak didik dan membuat pembelajaran lebih bermakna (Resmini, 1996; Hadisubroto, 1998). Penggunaan tema dimaksudkan agar anak mampu mengenal berbagai konsep secara mudah dan jelas. Pembelajaran tematik banyak dipengaruhi oleh eksplorasi topik yang ada di dalam kurikulum sehingga siswa dapat belajar menghubungkan proses dan isi pembelajaran secara lintas disiplin dalam waktu yang bersamaan. Dalam pembeljaran
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
193
tematik siswa akan memahami konsep-konsep yang mereka pelajari melalui pengalaman langsung dan menghubungkannya dengan konsep lain yang sudah mereka pahami. Dengan pembelajaran tematik diharapkan dapat memberikan banyak keuntungan, diantaranya (Sudrajat, 2008): 1) Siswa mudah memusatkan perhatian pada suatu tema tertentu; 2) Siswa mampu mempelajari pengetahuan dan mengembangkan berbagai kompetensi dasar antar matapelajaran dalam tema yang sama; 3) pemahaman terhadap materi pelajaran lebih mendalam dan berkesan; 4) kompetensi dasar dapat dikembangkan lebih baik dengan mengkaitkan matapelajaran lain dengan pengalaman pribadi siswa; 5) Siswa mampu lebih merasakan manfaat dan makna belajar karena materi disajikan dalam konteks tema yang jelas; 6) Siswa lebih bergairah belajar karena dapat berkomunikasi dalam situasi nyata, untuk mengembangkan suatu kemampuan dalam satu mata pelajaran sekaligus mempelajari matapelajaran lain; 7) guru dapat menghemat waktu karena mata pelajaran yang disajikan secara tematik dapat dipersiapkaan sekaligus dan diberikan dalam dua atau tiga pertemuan, waktu selebihnya dapat digunakan untuk kegiatan remedial, pemantapan, atau pengayaan. Pembelajaran tematik meliputi seluruh mata pelajaran pada kelas I sampai dengan kelas III SD/MI, yaitu Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, Pendidikan Kewargaanegara, dan Ilmu pengetahuan social, Kerajinan Tangan dan Kesenian, serta pendidikan jasmani. Budi Pekerti Konsep budi perkerti (Balitbang Dikbud, 1995) yang menjelaskan bahwa budi pekerti secara konsepsional adalah budi yang dipekertikan (dioperasionalkan, diaktualisasikan, atau dilaksanakan) dalam kehidupan sehari-hari dlam kehidupan pribadi, sekolah, masyarakat, bangsa, dan Negara. Budi pekerti secara operasional merupakan suatu perilaku positif yang dilakukan melalui kebiasaan, artinya seseorang diajarkan sesuatu yang baik mulai dari masa kecil sampai dewasa melalui latihanlatihan , misalnya cara berpakaian, cara berbicara, cara menyapa, dan menghormati orang lai, cara bersikap menghadapi tamu, cara makan dan minum, cara masuk dan keluar rumah, dsb. Dalam melaksanakan budi pekerti tidak bisa hanya mementingkan bakat bawaan atau mementingkan factor lingkungan tetapi keduanya saling berinteraksi. Maka dari itu, adanya implementasi model pembelajaran tematik dalam membangun budi pekerti. 194 Lusy Febia Yaomul Istar, Implementasi Pembelajaran Tematik
Dalam mengimplementasikan pembelajaran tematik ini ada tahapan kegiatan yang harus dilakukan guru, yaitu tahapan perencanaan, pelaksanaan dan penilaian. Berikut ini matrik dari pembelajaran tematik.
Bahasa Indonesia: Menceritakan peristiwa alam yang penah dilihat Menjelaskan isi gambar seri tentang peristiwa alam.
Matematika: Memecahkan maslah seharihari yang melibatkan penjumlahan dan pengurangan
Pengetahuan Alam: Membedakan lingkungan sehat dan tidak sehat Mengidentifikasi penyebab pencemaran lingkungan
BANGGA BERTANAH AIR INDONESIA
PKn: Mencintai kekayaan alam Indonesia Bangga memiliki alam Indonesia Bangga sebagai anak Indonesia Kertakes : Menyanyikan lagu-lagu kecintaan kepda tanah air dengan benar Mata Pelajaran lainnya
Matrik 1. Contoh Jaringan Indikator Matrik 1 menunjukan contoh hubungan tema dari mata pelajaran PKn dengn indikator-indikator mata pelajaran bahasa Indonesia, matematika, IPA, PKN, Kertakes. Tema Bangga Bertanah Air Indonesia merupakan salah satu tema dengan tujuan untuk membangun budi pekerti peserta didik di sekolah dasar pada mata pelajaran PKn. Beberapa tahapan kegiatan yang harus dilakukan guru yaitu tahapan 1) perencanaan: menetapkan pembelajaran yang akan dipadukan, mempelajari kompetensi dasar setiap mata pelajaran, membuat/memilih tema, membuat matrik hubungan kompetensi dasar dengan tema/topic, membuat pemetaan pembelajaran tematik dalam bentuk matrik atau jaringan tema, menyusun silbus dan menyusun rencana pembelajaran tematik; 2) pelaksanaan merupakan kegiatan guru dalam membelajarkan siswa dengan menggunakan pendekatan, metode, dan pola pembelajaran tertentu yang dapat dipilih Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
195
menjadi kegiatan persiapan, pembukaan, kegiatan inti, dan penutup; dan 3) penilaian merupakan kegiatan untuk menilai proses dan hasil belajar siswa yang meliputi prosedur, jenis, bentuk, dan alat penilaian. KESIMPULAN Pembelajaran tematik merupakan suatu pembelajaran yang suatu tema tertentu sebagai bahan dasar untuk menyampaikan pembelajaran yang memberikan pengaruh terhadap satu mata pelajaran atau beberapa mata pelajaran lainnya. Pembelajaran ini tepat digunakan untuk jenjang SD/MI pada kelas rendah (I, II, dan Iii), karena pada jenjang tersebut membutuhkan pendidikan budi pekerti sejak dini yang perlu dibangun melalui implementasi pembelajaran tematik dalam membangun pendidikan budi pekerti. Dalam mengimplementasikan pembelajaran tematik ini ada tahapan kegiatan yang harus dilakukan guru, yaitu 1) perencanaan: menetapkan pembelajaran yang akan dipadukan, mempelajari kompetensi dasar setiap mata pelajaran, membuat/memilih tema, membuat matrik hubungan kompetensi dasar dengan tema/topic, membuat pemetaan pembelajaran tematik dalam bentuk matrik atau jaringan tema, menyusun silbus dan menyusun rencana pembelajaran tematik; 2) pelaksanaan merupakan kegiatan guru dalam membelajarkan siswa dengan menggunakan pendekatan, metode, dan pola pembelajaran tertentu yang dapat dipilih menjadi kegiatan persiapan, pembukaan, kegiatan inti, dan penutup; dan 3) penilaian merupakan kegiatan untuk menilai proses dan hasil belajar siswa yang meliputi prosedur, jenis, bentuk, dan alat penilaian DAFTAR PUSTAKA Hadisubroto, Tisno. (1998). Buku Materi Pokok Pembelajaran Terpadu Modul 1 sampai 6. Jakarta: Universitas Terbuka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Resmini, Novi, dkk. (1996). Penentuan Unit Tema dalam Pembelajaran Terpadu. Malang: IKIP Malang. Sapriya, dkk. (2009). Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung: Lab PKn UPI. Sudrajat, Akhmad. (2008). Model Tematik Awa. [Online]. Tersedia:akhmadsudrajat.files.wordpress.com/2008/07/model-tematik-kelasawal/ [17 Mei 2016]
196 Lusy Febia Yaomul Istar, Implementasi Pembelajaran Tematik
Sutirjo. dan Mamik, Sri Istuti. (2005). Tematik: Pembelajaran Efektif dalam Kurikulum 2004. Malang: Bayumedia Publishing. Tim Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. (1995). Balitbang Dikbud Undang-Undang No. 20 Tahun 2003. Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Pemerintah RI.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
197
PEMBINAAN BUDAYA SEKOLAH DALAM RANGKA MEMBANGUN BUDI PEKERTI DI SEKOLAH DASAR Maya Kartika Sari IKIP PGRI Madiun Email:
[email protected] Abstract School culture is the most important component in the formation of character, especially in primary school. Through habituation school students will be patterned to develop values that are developed in schools. In order to develop a school culture in building good character in school requires a strategy of modeling (modeling), teaching (teaching), and strengthening the environment (reinforcing) is carried out continuously and involve collaboration with all the schools so that school culture can build moral character of students with optimal . Keywords : School culture, Budi pekerti PENDAHULUAN Sekolah Dasar merupakan sekolah pembentukan watak pertama bagi anak. Pada tahap ini anak diajarkan budi pekerti, etika, karakter terpuji dan pendidikan moral yang akan mengakar hingga anak tersebut dewasa. Pendidik di Sekolah Dasar tidak hanya bertugas mentranfer pengetahuan saja namun juga berupaya membentuk budi pekerti/karakter/moral yang baik kepada siswa. Pembiasaan berperilaku mulia tersebut terintegrasi dan tertanam dalam budaya sekolah. Di setiap sekolah akan memiliki budaya sekolah yang berbeda-beda yang akan menyesuaikan dengan karakteristik sekolah dan kearifan lokal yang terdapat dilingkungan sekolah tersebut. Pandangan Ajat Sudrajat dalam Darmiyati (2011: 137) menyatakan bahwa budaya sekolah merupakan konteks di belakang layar sekolah yang menunjukkan keyakinan, nilai, norma, dan kebiasaan yang telah dibangun dalam waktu yang lama oleh semua warga dalam kerja sama di sekolah. Budaya sekolah berpengaruh tidak hanya pada kegiatan warga sekolah, tetapi juga motivasi dan semangatnya Penelitian di Amerika serikat membuktikan bahwa kultur sekolah berpengaruh terhadap peningkatan prestasi, motivasi siswa untuk berprestasi, sikap dan motivasi guru serta produktivitas, kepuasan kerja guru dan mampu membangun budi pekerti siswa. Budaya sekolah secara signifikan dapat membangun budi pekerti siswa di 198 Maya Kartika Sarin, Pembinaan Budaya Sekolah
sekolah terutama di sekolah dasar. Pendidikan budi pekerti berupa
upaya untuk
membekali peserta didik melalui bimbingan dan pengajaran yang berisi nilai – nilai perilaku manusia yang dapat diukur melalui norma agama, norma hukum, tata krama dan sopan santun, serta norma budaya atau adat istiadat masyarakat. Budi pekerti diwujudkan dalam bentuk perbuatan, perkataan, pikiran, sikap, perasaan dan kepribadian anak didik. Pemikiran Ki Hadjar Dewantara mengenai budi pekerti berupaya untuk mewujudkan perkembangan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intelek) dan jasmani anak, menuju ke arah masa depan yang lebih baik. Dalam mengimplementasikan pendidikan budi pekerti tersebut dilakukan melalui pemberian nasehat-nasehat, materi-materi, anjuran-anjuran yang dapat mengarahkan anak pada kesadaran akan perbuatan baik yang sesuai dengan tingkat perkembangan anak, mulai dari masa kecilnya sampai pada masa dewasanya, supaya terbentuk watak dan kepribadian yang baik untuk mencapai kebahagiaan lahir dan batin, selain itu mendidik disesuaikan urutan-urutan pengambilan keputusan untuk berbuat, yaitu metode ngerti, ngrasa dan nglakoni (mengetahui/memahami, memiliki/menghayati, dan melakukan). Program pelaksanaan budaya sekolah dalam membangun budi pekerti ini diorganisasikan dan diterapkan di lingkungan sekolah dengan menggunakan strategi pemodelan (modeling), pengajaran (teaching), dan penguatan lingkungan (reinforcing). Guru sebagai komponen utama dan penting dalam pembudayaan budi pekerti di sekolah. Oleh karena itulah guru harus memberikan pemodelan yang baik untuk siswa, memberikan pengajaran bukan hanya ilmu pengetahuan namun juga pendidikan watak atau kepribadian, selain itu guru harus memberikan motivasi positif pada siswa agar senantiasa berperilaku yang mengamalkan budi pekerti luhur. PEMBAHASAN Pendidikan Budi pekerti Ki Hadjar Dewantara Ki Hadjar Dewantara (1962: 485) pendiri Taman Siswa menyatakan bahwa pendidikan budi pekerti adalah menyokong perkembangan hidup anak-anak, lahir dan batin, dari sifat kodratinya menuju kearah peradaban dalam sifatnya yang umum. Ki Hadjar Dewantara menekankan pentingnya pendidikan budi pekerti sejak usia dini di
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
199 199
sekolah. Pendidikan ini memfasilitasi Heritage Foundation siswa guna mengkaji nilai-nilai humanitas, misalnya prinsip kejujuran, memperjuangkan keadilan, sikap tepa slira dan menghargai perbedaan yang ada. Pemikiran Ki Hadjar terimplementasi dalam pendidikan Taman Siswa, menurut Ki Hadjar Pendidikan Taman siswa mendidik anak-anak menggunakan konsep anak-anak yang dimulai dengan pembiasaan belajar dengan suasana ramah seperti suasana rumah dan lingkungan sendiri. Dasar dasar bahasa dan alam pikiran sendiri siswa ditanamkan melalui nyanyian dan permainan anak-anak, sebelum siswa mendapatkan pengajaran dalam bahasa asing. Hal itu digunakan untuk menyiapkan rasa kebebasan dan tanggung jawab, terikat dengan kebudayaan sendiri supaya terhindar dari pengaruh yang tidak baik dan tekanan dalam hubungan dengan kolonial. Anak anak dididik untuk menjadi orang yang setia, bersemangat, patriotisme dan memiliki rasa pengabdian bagi bangsa. Pada pelaksanaannya Pendidikan Taman Siswa dikembangkan sistem asrama, dimana siswa laki-laki dan perempuan tinggal bersama guru-guru pria dan guru wanita. Tiap bagian diketuai guru yang telah berkeluarga, hal itu dimaksudkan untuk menjaga dan membentuk suasana kekeluargaan. Guru menjadi pamong bagi murid-muridnya. Sementara siswa yang lebih tua diberi kebebasan dan tanggung jawab yang lebih banyak dalam menjalankan tugasnya masing masing. Di tingkat dasar anak-anak dididik di alam Taman Indriya yang sama sekali tidak menggunakan bahasa asing sebagai media pengantarnya, karena pengajaran diberikan dengan bahasa ibu mereka. Di kelas tersebut banyak materi permainan dan nyanyian nasional, sebagai usaha pengenalan terhadap rasa nasionalisme bangsa. Situasi pengajaran dasarnya pun diusahakan supaya anak-anak nyaman dengan menciptakan situasi belajar seperti bermain. Setelah tiga tahun mengenyam di taman ini, anak anak bisa meneruskan ke level lanjut di Tamansiswa. Di alam pikir Taman Siswa, Pendidikan Taman siswa, pendidikan nasional dikembangkan ke dalam pendidikan Tamansiswa berlandaskan pada garis hidup bangsa (culturel nationaal) dan ditujukan untuk kepentingan perikehidupan (maatschappelijk) yang dapat mengangkat pada derajat negara dan rakyatnya, serta supaya bisa bekerjasama dengan bangsa lain di dunia.
200 Maya Kartika Sarin, Pembinaan Budaya Sekolah
Pemikiran Ki Hadjar mengenai budi pekerti harus ditanamkan dalam pendidikan tidak tinggal sebagai pengetahuan saja, tetapi sungguh menjadi tindakan seseorang, maka produk pendidikan harus memperhatikan tiga unsur secara terpadu, yaitu “ngerti-ngrasa-ngelakoni”
(mengetahui/memahami,
memiliki/mengjayati,
dan
melakukan). Hal ini mengandung pengertian bahwa pendidikan budi pekerti mencangkup aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Ki Hadjar mempunyai konsep trisentra dalam mendidik anak yang terbagi dalam tiga wilayah; pertama keluarga yang bertanggungjawab dalam mendidik
budi pekerti
dan laku sosial, kedua perguruan sebagai balai wiyata yaitu usaha untuk mencari dan memberikan ilmu pengetahuan, dan ketiga sebagai tempat pembentukan watak. Tri sentra ini menjadi cara untuk mendidik yang saling kait mengkait satu sama lainnya, karena cara yang ditempuh adalah dengan menghidupkan, menambah dan mengembirakan perasaan hidup bersama (masyarakat sosial), harus ditujukan kearah cerdasnya
budi
pekerti
(kharaktervorming),
beraliran
kulturilnasional
(adab
kebangsaan) dan menuju arah rapatnya perhubungan alam keluarga, alam perguruan dan alam pemuda” (hal 74). Ki Hadjar mengartikan pendidikan secara umum sebagai daya upaya untuk mewujudkan perkembangan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intelek) dan jasmani anak, menuju ke arah masa depan yang lebih baik. Cara mengaplikasikan pendidikan tersebut dengan banyak memberikan nasehat-nasehat, materi-materi, anjuran-anjuran yang dapat mengarahkan anak pada kesadaran akan perbuatan baik yang sesuai dengan tingkat perkembangan anak, mulai dari masa kecilnya sampai pada masa dewasanya, supaya terbentuk watak dan kepribadian yang baik untuk mencapai kebahagiaan lahir dan batin. Metode lain yang digunakan untuk mendidik disesuaikan urutan-urutan pengambilan keputusan untuk berbuat, yaitu metode ngerti, ngrasa dan nglakoni. Secara operasional, pendidikan budi pekerti `dimaknai sebagai upaya untuk membentuk siswa sebagai pribadi seutuhnya yang tercermin dari kata, perbuatan, sikap, pikiran, perasaan, dan hasil karya berdasarkan nilai-nilai agama serta norma dan moral luhur bangsa Indonesia melalui kegiatan bimbingan, pelatihan dan pengajaran. Tujuannya agar siswa memiliki hati nurani yang bersih, berperangai baik, serta
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
201 201
menjaga kesusilaan dalam melaksanakan kewajiban terhadap Tuhan dan terhadap sesama makhluk. (Balitbang Puskur, Depdiknas, 2001). Pengertian pendidikan budi pekerti dapat dibedakan menjadi dua yaitu secara konseptional dan operasional. Nurul Zuriah ( 2007 : 197 ) menjelaskan pengertian budi` pekerti secara konseptional mencakup hal-hal sebagai berikut. (a) Usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik menjadi manusia seutuhnya yang berbudi pekerti luhur dalam segenap peranannya sekarang dan masa depan yang akan diukur menurut kebaikan dan keburukan melalui norma agama, norma hukum, tata krama dan sopan santun, norma budaya adat istiadat masyarakat. Budi pekerti berinduk pada “etika” atau filsafat moral. Etika sebagai ilmu yang mempelajari adat kebiasaan, termasuk di dalamnya moral yang mengandung nilai dan norma yang menjadi pegangan hidup seseorang maupun kelompok; (b) Upaya pembentukan, pengembangan, peningkatan dan pemeliharaan perilaku siswa tugas hidupnya selaras, serasi dan seimbang (lahir batin, material-spiritual dan individual); (c) Upaya pendidikan untuk membentuk siswa menjadi pribadi seutuhnya yang berbudi pekerti luhur melalui kegiatan bimbingan, pembiasaan, pengajaran dan latihan serta keteladanan. Tujuan pendidikan budi pekerti yaitu agar peserta didik memiliki kemampuan dan kecakapan berpikir, menjadi anggota masyarakat yang bermanfaat dan memiliki kemampuan yang terpuji. Pandangan Cahyoto (2002 : 9-13 ) dapat dijelaskan sebagai berikut : (1) mendorong kebiasaan berperilaku terpuji sesuai nilai-nilai universal dan tradisi budaya yang religius; (2) menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab; (3) memupuk ketegaran mental peserta didik agar tidak terjerumus pada perilaku yang menyimpang, baik secara individu maupun sosial, dan (4) meningkatkan kemampuan untuk menghindari sifat tercela yang dapat merusak diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Budaya Sekolah Membangun Budi Pekerti Menurut Zamroni (2011: 111), menyatakan bahwa kultur sekolah merupakan pola nilai-nilai, prinsi-prinsip, tradisi-tradisi dan kebiasaan- kebiasaan yang terbentuk dalam perjalanan panjang sekolah, dikembangkan sekolah dalam jangka waktu yang lama dan menjadi pegangan serta diyakini oleh seluruh warga sekolah sehingga mendorong munculnya sikap dan perilaku warga sekolah. Warga sekolah menurut UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional terdiri dari peserta didik, 202 Maya Kartika Sarin, Pembinaan Budaya Sekolah
pendidik, kepala sekolah, tenaga pendidik serta komite sekolah. Budaya sekolah adalah detak jantung sekolah itu sendiri, perumusannya harus dilakukan dengan sebuah komitmen yang jelas dan terukur oleh komunitas sekolah yakni guru, siswa, manajemen sekolah, dan masyarakat membangun kegiatan keseharian di sekolah yang mencerminkan perwujudan nilai-nilai budi pekerti siswa. Budaya sekolah memiliki cakupan kegiatan ritual, harapan, hubungan sosila-kultural, aspek demografi, kegiatan kurikuler, kegiatan ekstrakulikuler, proses pengambilan keputusan, kebijakan maupun interaksi sosial antar komponen disekolah. Budaya sekolah menciptakan hubungan dan suasana sekolah yang harmonis antara guru dengan siswa, guru dengan guru, siswa dengan siswa, warga sekolah dengan masyarakat, dan dengan lingkungan sekitar yang berwujud keramahan, ketauadanan dan kepemimpinan yang baik. Pendidikan budi pekerti merupakan program pengajaran di sekolah yang bertujuan mengembangkan nilai-nilai yang berakhlak mulia melalui kejujuran, disiplin dan kerja sama yang menekankan ranah afektif (perasaan dan sikap) tanpa meninggalkan ranah kognitif (berpikir rasional) dan ranah skill (keterampilan). Dalam rangka membentuk budi pekerti yang maksimal maka sekolah perlu melakukkan pembiasaan dan pemodelan di lingkungan sekolah, oleh karena itulah perlu adanya budaya sekolah dalam membentuk budi pekerti. Pendekatan yang dilakukan dalam rangka membangun budaya sekolah berbasis budi pekerti (Zuriah 2007 : 75), yakni (a) Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach), melalui pendekatan ini siswa diajak untuk menerima nilai-nilai katauladanan yang diberikan oleh guru melalui budaya sekolah; (b) Pendekatan perkembangan moral (cognitive moral development approach), yang menekankan pada pengarahan guru dalam memberikan pembiasaan kepada siswa mengenai moral kepada siswa dalam mengambil keputusan. seperti takut hukuman, melayani kehendak sendiri, berbuat kebaikan, dan bertindak sesuai dengan prinsip etika universal; (c) Pendekatan analisis nilai (values analysis approach), yang menekankan pada siswa dalam menggunakan pikiran logis, rasional dan ilmiah dalam menganalisis masalah sosial yang berhubungan dengan nilai tertentu; (d) Pendekatan klarifikasi nilai (value clarification approach), yang beryujuan untuk menumbuhkan
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
203 203
kesadaran dan mengembangkan kemampuan siswa dalam mengidentifiasi nilai-nilai dalam diri sendiri maupun orang lain. Berdasarkan pendekatan-pendekatan nilai tersebut diharapkan siswa menjadi terbiasa melakukan budi pekerti di lingkungan sekolah. Pembinaan budaya sekolah dalam membangun budi pekerti di sekolah dasar diperlukan komitmen guru dan kepala sekolah dalam mengimplementasikan budaya sekolah dengan maksimal. Strategi dalam melaksanakan pembinaan budaya sekolah dalam membangun budi pekerti dilakukan melalui; (1) dialog antara guru dengan siswa, antara orang tua dan guru, dialog dapat dilakukan secara pribadi, kelompok atau dengan seluruh siswa pada suatu kegiatan; (2) komunikatif, apabila ingin menyampaikan sesuatu hal yang penting secara pribadi dengan guru BP, jika kelompok dengan guru wali kelas dan seluruh peserta didik ole kepala sekolah, hal ini sesuai dengan birokrasi yang telah ditentukan; (3) keterbukaan, dialog ataupun komunikasi dapat dilakukan secara terbuka, siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan pendapatnya secara positif, (4) Menggunakan prinsip keteladanan dari semua pihak baik orang tua, guru, masyarakat maupun pemerintah, (5) menggunakan prinsip rutinitas dalam semua aspek kehidupan disekolah, dan (6) prinsip kesadaran untuk bertindak sesuai nilai-nilai budi pekerti yang diajarkan di sekolah. Program pelaksanaan budaya sekolah ini diorganisasikan dan diterapkan di lingkungan sekolah dengan menggunakan strategi pemodelan (modeling), pengajaran (teaching), dan penguatan lingkungan (reinforcing). Pembudayaan dan penanaman budi pekerti ini secara terus-menerus mensyaratkan proses pemodelan, pengajaran, dan penguatan lingkungan atas budi pekerti yang baik. Tim Budaya Sekolah dan budi pekerti harus menjalin kerjasama secara interkoneksi dengan semua komponen sekolah dan menyatukan langkah mereka untuk membangun lingkungan sekolah yang berbudi pekerti luhur. Ketika semua komponen sekolah dilibatkan dalam pembudayaan dan penanaman budi pekerti, ini berarti bahwa nilai, norma, kebiasaan-kebiasaan karakter yang sudah diprioritaskan harus dimodelkan oleh semua warga sekolah (kepala sekolah, guru, siswa, dan karyawan), diintegrasikan oleh setiap guru ke dalam mata pelajaran, dan dikuatkan oleh penataan lingkungan sekolah. Sementara itu, orang tua/wali siswa juga harus memperhatikan perkembangan karakter anak-anak mereka ketika berada di rumah; demikian juga dengan proyek-proyek sosial yang disiapkan oleh komite sekolah dan masyarakat. 204 Maya Kartika Sarin, Pembinaan Budaya Sekolah
PENUTUP Pendidikan budi pekerti merupakan program pengajaran di sekolah yang bertujuan mengembangkan nilai-nilai yang berakhlak mulia melalui kejujuran, disiplin dan kerja sama yang menekankan ranah afektif (perasaan dan sikap) tanpa meninggalkan ranah kognitif (berpikir rasional) dan ranah skill (keterampilan). Dalam rangka membentuk budi pekerti yang maksimal maka sekolah perlu melakukan pembiasaan dan pemodelan di lingkungan sekolah, oleh karena itulah perlu adanya budaya sekolah dalam membentuk budi pekerti melalui berbagai macam strategi atau pendekatan dalam mengimplementasikannya. Program pelaksanaan budaya sekolah ini diorganisasikan dan diterapkan di lingkungan sekolah dengan menggunakan strategi pemodelan (modeling), pengajaran (teaching), dan penguatan lingkungan (reinforcing). DAFTAR PUSTAKA Ali Muhtadi. 2010. Strategi Implementasi Pendidikan Budi Pekerti yang efektif di sekolah. Jurnal Dinamika Pendidikan No. 01/Th. XVII/Mei 2010. Cahyoto. 2002. Budi Pekerti dalam Perspektif Pendidikan. Malang: Depdiknas-Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah-Pusat Penataran Guru IPS dan PMP Malang. Darmiyati. 2011. Pendidikan Kartakter dalam prespektif Teori dan Praktik. Yogyakarta : UNY Press Darmiyati Zuchdi, dkk. 2012. Model Pendidikan Karakter, Terintegrasi dalam pembelajaran dan pengembangan kultur sekolah. Yogyakarta : UNY Press Dewantara, KI Hadjar. 1962. Karya Bagian I Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Perguruan Taman Siswa. Kemendiknas. 2010. Desain Induk Pendidikan Karakter. Jakarta : Kementrian Pendidikan Nasional. Maya Kartika. 2016. Integrasi Pendidikan Karakter Melalui Budaya Sekolah Berbasis Boarding School Di Madrasah Mu’Alimaat Muhammadiyah Yogyakarta. Prosiding Seminar Nasional Universitas Muhammadiyah Purwokerto 30 April 2016. ISBN. 978-602-14377-4-2 Nurul Zuriah. 2007. Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam prespektif perubahan. Jakarta : Bumi Aksara Pusat Pengembangan Kurikulum, (2001). Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata Pelajaran Budi Pekerti untuk kelas I-VI SD. Balitbang Puskur, Depdiknas
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
205 205
Surjomihardjo, Abdurrachman. 1986. Ki Hadjar Dewantara dan Tamansiswa dalam Sejarah Indonesia Modern. Penerbit Sinar Harapan: Jakarta. Sutrisno, Mudji. 2007. Oase Estetis: Estetika dalam Kata dan Sketza, Kanisius: Yogyakarta
206 Maya Kartika Sarin, Pembinaan Budaya Sekolah
URGENSI PENGEMBANGAN BUKU DONGENG BERBASIS SAINSMATIKA UNTUK MENANAMKAN NILAI-NILAI KARAKTER PADA SISWA SEKOLAH DASAR
Muhammad Nur Wangid Ali Mustadi Agnestasia Ramadani P Imroatun Nur Hidayah Nur Luthfi Rizqa Herianingtyas Tri Mulyani Universitas Negeri Yogyakarta Abstract The development of character values is one of orientation in education, because education is expected not only be able to produce superior seeds intelligent and knowledgeable, but also the generation who has a personality that character. Characters have different patterns of education with the knowledge, character education requires efforts in a system that is entrenched. Book of fairy tales have a civilizing character in students because fairytale fascination able to involve aspects of thinking and experience for readers. Through the depiction of characters in the story, a fairy tale reader can feel the emotional involvement with the characters. Indirectly this emotional involvement contribute to a growing sensitivity reader through the emotional experience of reading it. In order for the emotional involvement can be realized in a system that is entrenched, it is necessary initiated a fairy tale book that not only provide opportunities for children to read and know the fairy tale story line, but also capable of facilitating that how children can engage in real activity through work by problem-solving activities and experiments that the guidelines have been presented in the book of fairy tales. Through this idea, is expected to be developed based on a fairy tale book sainsmatika viable and can effectively instill character values in primary school students through habituation. Keywords: fairy tales, sainsmatika, character PENDAHULUAN Pendidikan dasar sebagai bagian dari penyelenggara pendidikan nasional memiliki misi untuk meletakkan dasar-dasar pengetahuan, keterampilan berpikir serta pondasi karakter pada anak-anak usia sekolah dasar. Keterampilan belajar seumur hidup dapat diperoleh melalui sistem pendidikan karakter dan 206
Muhammad Nur Wangid dkk, Urgensi Pengembangan Buku
pengetahuan yang terpadu. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, yang tertuang dalam Undang-undang nomor 20 Tahun 2003 dimana memiliki kesamaaan dengan Undang-undang Dasar 1945 Pasal 3 menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Artinya, pengembangan sebuah prototipe sistem pendidikan karakter dibutuhkan dalam rangka meningkatkan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter. Permendikbud Nomor 56 Tahun 2013 juga mensyaratkan penyelenggaraan pendidikan yang inovatif dan kreatif serta sesuai dengan minat dan kebutuhan peserta didik. Anak usia sekolah dasar berada dalam tahap perkembangan yang membutuhkan sistem pembelajaran kontekstual, terintegrasi dan kreatif. Diana Mitchell pada tahun 2010 melakukan survei children-like-to-read, menemukan bahwa sebagian besar anak-anak menyukai bacaan yang mengandung unsur petualangan, fiksi dan imajinasi. Dalam tahap perkembangannya, anak usia sekolah dasar membutuhkan buku-buku yang lebih imajinatif yang memiliki alur cerita, sehingga ketika membaca anak merasa memiliki pengalaman dan menemukan pengetahuan melalui proses imajinasi yang menyenangkan dan penuh petualangan. Hal ini dapat diperoleh ketika anak-anak membaca bacaan fiksi, seperti dongeng. Sains dan Matematika merupakan dua mata pelajaran yang dapat diintegrasikan sebab keduanya dapat dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari yang sifatnya kontekstual. Selain itu, sains dan matematika dapat menjadi sarana penyampaian budi pekerti dengan cara-cara yan terintegrasi dalam pembelajaran seperti bersahabat, kemandirian, rasa ingin tahu, dan bertanggung jawab. Berdasarkan potensi yang memungkinkan, maka digagas sebuah karya baru yaitu buku dongeng berbasis sainsmatika sebagai buku penunjang yang mengandung substansi materi tematik integratif. Buku dongeng tersebut diharapkan menjadi
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
207
salah satu langkah nyata menanamkan pendidikan karakter pada siswa melalui cara yang bermakna. Konsep Buku Dongeng Berbasis Sainsmatika Konsep sainsmatika berangkat dari suatu keinginan memadukan antara sains dan matematika secara utuh dan menyeluruh, sehingga tidak lain secara harfiah sainsmatika mempelajari sains dan matematika secara terpadu (sains and mathematic integrated). Sebagaimana telah diterapkan dalam kurikulum 2013 yang mengintegrasikan beberapa mata pelajaran menjadi satu kesatuan tema yang utuh, sainsmatika merupakan keberlanjutan dari konsep tersebut. Dongeng menjadi salah satu media yang sangat menarik untuk mengaplikasikan sainsmatika di sekolah dasar. Sebuah cerita dongeng dapat mengajak anak untuk melakukan aktivitas belajar dalam rangka membangun sebuah konsep dalam diri anak. Aktivitas belajar yang menantang dan menyenangkan akan lebih bermakna bagi anak, demikian juga saat belajar sainsmatika. Gallenstein (2005) menguatkan bahwa: A key element for children in understanding science and mathematics knowledge on the early childhood level (preschool-primary grades) is through active, creative, intellectual engagement. Children actively engage in acquiring basic science and mathematics concepts as they explore environment. Pendapat di atas dapat dimaknai bahwa dalam mempelajari sains dan matematika, anak dilibatkan melalui kegiatan yang aktif, kreatif, dan menantang, mereka diberikan kesempatan untuk memahami konsep tentang lingkungannya. Oleh karena itu, diperlukan panduan yang tepat dan mengarahkan aktivitas belajar siswa yang aktif dan menyajikan permasalahan yang menarik dan menantang. Panduan-panduan belajar tersebut dapat diwujudkan melalui media buku dongeng. Media ini dipilih karena dapat memberikan daya tarik pada siswa untuk mempelajari materi pelajaran dengan sesuatu yang menarik dan menyenangkan, salah satunya yaitu buku dongeng.
208
Muhammad Nur Wangid dkk, Urgensi Pengembangan Buku
Dongeng merupakan sastra anak yang berisi kisah fantasi penuh amanat dan pesan kebaikan. Dongeng memberikan kontribusi pada kehidupan pembacanya, melalui penggambaran karakter tokoh dalam cerita, pembaca dongeng dapat merasakan keterlibatan emosi dengan tokoh. Secara tidak langsung keterlibatan emosi ini turut berkontribusi dalam menumbuhkan kepekaan emosional pembaca melalui pengalaman membacanya. Fairy tales bring joy into child life. The mission of joy has not been fully preached, but we know that joy works toward physical health, mental brightness, and moral virtue. In the education of the future, happiness Together with freedom will be recognized as the largest beneficent powers that will permit the individual of four, from his pristine, inexperienced self-activity, to become that final, matured, self-expressed, self-sufficient, social development--the educated man. Joy is the mission of art and fairy tales are art products (Kready, 2004). Pernyataan ini merujuk pada satu sintesis bahwa dongeng memberikan kesempatan kepada pembaca anak untuk membangun kepribadiannya dari pengalaman yang ia alami melalui kegiatan membaca. Sejalan dengan itu, dongeng perlu memuat konten nasihat untuk anak. Kready (2004) lebih lanjut menjelaskan sebagai berikut: Fairy tales give the child a power of accurate observation. The habit of re-experiencing, of visualization, which they exercise, increases the ability to see, and is the contribution literature offers to nature study. In childhood acquaintance with the natural objects of everyday life is the central interest; and in its turn it furnishes those elements of experience upon which imagination builds. For this reason it is rather remarkable that the story, which is omitted from the Montessori system of education, is perhaps the most valuable means of effecting that sense-training, freedom, self-initiated play, repose, poise, and power of reflection, which are foundation stones of its structure. Dongeng selain sebagai hiburan bagi pembaca anak juga menjadi media penyampaian nasihat dan pesan moral, sehingga pembaca anak tidak hanya merasakan pengalaman membaca yang menyenangkan tetapi juga pengalaman membaca yang memperkaya pengetahuan moralnya sehingga membangun karakter dalam diri anak. Berkaitan itu, terdapat suatu pendapat bahwa:
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
209
The stories begin at the child’s current stage of development, and show him/her the way: just like the black-and white characterization of the fairy tales, so too is the child’s view of the world marked by polarization. Fairy tales demonstrate that an inner development has to take place, by offering solutions which the child can understand, because they correspond to childish, animistic thinking, and express, on a symbolic/visual level, the things that motivate the child (cf. Hoeppel, 1994, p. 208) dalam Orde (2013). Penyataan Hoeppel merujuk suatu kesimpulan bahwa dongeng menyajikan gambaran kepada pembaca anak bagaimana mengidentifikasi dan menyelesaikan sebuah permasalahan yang dapat dengan mudah dipahami anak. Dibutuhkan berbagai aspek yang dapat mendorong siswa melibatkan dirinya dalam aktivitas tertentu dengan penuh kesadaran dan keberminatan
sehingga aktivitas
mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah tersebut memberikan dampak pada proses pembentukan karakter dalam diri anak. Pada akhirnya buku dongeng berbasis sainsmatika ini akan memberikan warna baru dalam dunia pendidikan dan menjawab kebutuhan tersebut. Buku dongeng berbasis sainsmatika hadir tidak hanya sebagai bahan bacaan yang dapat meningkatkan
pengetahuan
serta
wawasan
anak
terkait
dengan
materi
pembelajaran sains dan matematika, namun buku dongeng tersebut memberikan panduan atau tuntunan belajar kepada siswa untuk melakukan beragam aktivitas seperti eksperimen dan penyelesaian soal/quiz yang menantang serta memberikan kebermaknaan bagi siswa dalam proses belajarnya. Nilai-Nilai Karakter yang Dikembangkan melalui Buku Dongeng Berbasis Sainsmatika Pada implementasi Kurikulum 2013, pengembangan sikap menjadi salah satu hal yang ditekankan karena peserta didik akan menjadi generasi penerus bangsa yang diharapkan memiliki pribadi-pribadi yang berkarakter. Pendidikan karakter merupakan pendidikan yang menanamkan dan mengembangkan karakterkarakter luhur yang diterapkan dalam kehidupan manusia baik dalam keluarga, masyarakat maupun warga negara. Novak (Lickona, 1991: 50) mengartikan 210
Muhammad Nur Wangid dkk, Urgensi Pengembangan Buku
karakter sebagai “a compatible mix of all those virtues identified by religious traditions, literary stories, the sages, and person of common sense down through history”. Karakter merupakan perpaduan harmonis dari nilai-nilai agama, kisahkisah sastra, cerita-cerita orang bijak dan berilmu sejak zaman dahulu hingga sekarang. Namun, tidak ada seorang pun yang memiliki semua jenis budi pekerti tersebut. Lickona (1991: 51) menyatakan bahwa “Good character consist of knowing the good, desiring the good, and doing the good”, yang artinya karakter yang baik meliputi mengetahui yang baik, menginginkan yang baik, dan melakukan yang baik. Hal ini dapat dimaknai bahwa karakter merupakan suatu sikap yang menunjukkan kebaikan (goodness) yang dilakukan oleh setiap individu di antaranya berpikir baik (thinking good), berperasaan baik (telling good), dan berperilaku baik (behaving good), sehingga mampu menjadi manusia bijak berbudi pekerti luhur. Pada buku Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter yang diterbitkan oleh Kemendiknas (2011) terdapat 18 nilai hasil kajian empirik pusat kurikulum. Diantara 18 nilai karakter tersebut, ada empat aspek yang sesuai dengan gagasan ini, yaitu: kemandirian, rasa ingin tahu, bersahabat dan peduli terhadap lingkungan. a. Kemandirian Kemendiknas (2011) menegaskan bahwa kemandirian merupakan sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan segala tugas-tugas. Suparman (2003: 31) berpendapat bahwa pendidikan karakter mandiri adalah pendidikan yang membentuk akhlak, watak, budi pekerti, dan mental manusia agar hidupnya tidak tergantung atau bersandar kepada pihak-pihak lain. Jadi dapat disimpulkan baha kemandirian merupakan sikap seseorang yang tidak tergantung pada orang lain dan mampu menentukan langkah yang akan dilakukan tanpa meniru atau diperintah oleh orang lain. b. Rasa Ingin Tahu Kemendiknas (2010) menggambarkanrasa ingin tahu sebagai sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
211
meluas dari sesuatu yang dipelajari, dilihat, dan didengar. Kondisi rasa ingin tahu terjadi karena seseorang ingin mencari jawaban atas ketidaktahuannya. Suriasumantri, J. (2007: 19) menegaskan bahwa pengetahuan dimulai dari rasa ingin tahu. Dengan demikian, pengetahuan dapat diperoleh dengan mengetahui apa alasan mempelajari pengetahuan dan apa kegunannya. Jadi dapat disimpulkan bahwa rasa ingin tahu merupakan munculnya keinginan untuk mempelajari sesuatu lebih mendalam dan mengetahui manfaat dari apa yang dipelajarinya. c. Bersahabat Kail and Cavanaugh (2013: 266) menyebutkan bahwa persahabatan adalah hubungan sukarela antara dua orang yang melibatkan rasa saling menyukai. Suyadi (2013: 9) menyebutkan karakter bersahabat yakni sikap dan tindakan terbuka terhadap orang lain melalui komunikasi yang santun sehingga tercipta kerja sama secara kolaboratif dengan baik. Jadi bersahabat merupakan suatu sikap atau tindakan yang dimiliki seseorang dengan rasa senang berbicara, bergaul dan bekerja sama dan menjalin hubungan komunikasi yang baik. d. Peduli terhadap lingkungan Menurut Kemendiknas (2011), peduli lingkungan ialah sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan lingkungan alam di sekitarnya
dan
mengembangkan
upaya-upaya
untuk
memperbaiki
kerusakan alam yang sudah terjadi. Jadi, karakter peduli lingkungan hidup merupakan kecenderungan dasar yang didasari oleh adanya pengetahuan, sikap, dan tindakan yang selalu berupaya merencanakan dan merawat kelestarian lingkungan hidup dan mencegah kerusakan lingkungan. Terkait dengan penanaman nilai-nilai karakter, maka dapat ditarik suatu sintesis indikator nilai-nilai karakter yang dikembangkan yaitu: (1) Kemandirian yang mencakup sikap mengerjakan tugas individu tanpa meminta bantuan orang lain, menentukan langkah tanpa diperintah, serta tidak meniru hasil pekerjaan orang lain; (2) Rasa ingin tahu yang mencakup perilaku bertanya, memahami, menganalisis, mencari tahu beberapa sumber yang relevan, serta menemukan 212
Muhammad Nur Wangid dkk, Urgensi Pengembangan Buku
hubungan dan makna; (3) Bersahabat, terdiri aspek: memberikan pendapat dalam diskusi kelas, menghargai pendapat teman, dapat bekerja sama dalam kelompok, berkomunikasi dengan bahasa yang santun, serta peduli dengan sesama; (4) Peduli lingkungan yang ditunjukan dengan adanya sikap siswa berupaya merencanakan dan merawat kelestarian lingkungan hidup dan mencegah kerusakan lingkungan. Urgensi Pengembangan Buku Dongeng Berbasis Sainsmatika untuk Menanamkan Nilai–Nilai Karakter pada Siswa Sekolah Dasar Pendidikan hakikatnya ialah memanusiakan manusia. Pendidikan memiliki tujuan untuk membentuk peserta didik yang memiliki akhlak dan pengetahuan yang berguna bagi kehidupannya dan mau memanfaatkannya untuk menerapkan kebaikan. Dalam kerangka acuan pendidikan karakter yang dirumuskan oleh Kemendiknas (2010), pendidikan karakter dimaknai sebagai penanaman kebiasaan yang baik sehingga peserta didik dapat membedakan hal yang benar dan hal yang salah, yang boleh dan yang tidak boleh, serta yang pantas dan tidak pantas untuk dilakukan. Pendidikan karakter memiliki kaitan yang erat dengan kegiatan yang menjadi kebiasaan. Oleh karenanya, karakter perlu ditanamkan sejak usia anak-anak. Penekanan nilai-nilai karakter pada peserta didik, diperlukan agar peserta didik memiliki karakter yang dapat terus menerus digunakan sebagai pembelajar sepanjang hayat ketika ia dewasa. Secara prinsip, pendidikan karakter tidak berdiri sendiri. Dalam pelaksanaannya, pendidikan karakter terintegrasi ke dalam kurikulum yang sudah ada. Oleh karenanya, buku dongeng sainsmatika dapat menjadi platform penanaman karakter yang terintegrasi ke dalam pembelajaran. Pendidikan karakter dilatarbelakangi adanya kebutuhan penanaman nilainilai yang mulai luntur di generasi kita. Penelitian yang dilakukan Hertinjung & Karyani (2015) pada 212 siswa kelas 4 dan 5 SD di kecamatan Laweyan Surakarta menemukan bahwa prevalensi bullying pada siswa SD adalah: 47% terlibat dalam bullying, 48% rentan untuk terlibat dalam bullying, dan hanya 5% subjek yang tidak pernah terlibat sama sekali dalam perilaku bullying. Selain itu, penelitian Hertinjung & Karyani (2015) menemukan bahwa anak-anak pelaku
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
213
bullying termasuk ke dalam kelompok keluarga SES rendah dan banyak menghabiskan waktu dengan bermain game komputer di warung internet. Data ini setidaknya menggambarkan bahwa anak-anak membutuhkan media penanaman karakter. Dongeng pada hakikatnya merupakan kisah fiksi yang menyuguhkan sejumlah cerita dan karakter tokoh yang memberikan pengalaman pembacanya secara emosional. Secara tidak langsung keterlibatan emosi ini turut berkontribusi dalam menumbuhkan kepekaan emosional pembaca melalui pengalaman membacanya (Hoogland, 1993; Kready, 2004; Hoeppel, 1994). Teori ini menguatkan sejumlah praktik pembelajaran menggunakan aktivitas mendongeng serta memanfaatkan dongeng sebagai media pembelajaran penanaman karakter. Karakter terbentuk melalui pengkondisian yang dibiasakan dan diulang-ulang sehingga aktivitas membaca saja hanya akan memberikan pengetahuan mengenai konsep karakter. Dibutuhkan berbagai aspek yang dapat mendorong siswa melibatkan dirinya dalam aktivitas tertentu dengan penuh kesadaran dan keberminatan
sehingga
aktivitas
tersebut
memberikan
dampak
pada
perkembangan karakternya. Oleh karena itu, untuk mencapai kebermanfaatan dongeng dalam pembangunan karakter anak, perlu usaha pengembangan buku dongeng yang tidak hanya memuat kisah yang menyenangkan dan penuh pesan moral tetapi juga buku dongeng yang melibatkan aspek hands-on dan minds on. Artinya bagaimana caranya sebuah cerita dapat menuntun pembaca anak untuk melakukan aktivitas belajar untuk membangun sebuah konsep. Buku dongeng berbasis sainsmatika yang mengandung materi pembelajaran tematik integratif ini disusun untuk memfasilitasi siswa dalam menanamkan nilai-nilai karakter. SIMPULAN Konsep sainsmatika berangkat dari suatu keinginan memadukan antara sains dan matematika secara utuh dan menyeluruh. Buku dongeng sainsmatika menjadi salah satu media yang menarik untuk menanamkan nilai-nilai karakter pada anak, karena pada dasarnya anak-anak menyukai cerita-cerita petualangan yang menarik dan menantang. Agar buku dongeng berbasis sainsmatika 214
Muhammad Nur Wangid dkk, Urgensi Pengembangan Buku
memberikan kontribusi pada penanaman karakter, maka harus dilakukan suatu kegiatan sebagai bentuk aplikasi aspek hands-on dan minds on yaitu bagaimana caranya sebuah cerita dapat mengajak anak untuk melakukan aktivitas belajar agar siswa dapat menanamkan karakter melalui pembiasaan kegiatan belajarnya tersebut. Oleh karena itu, di dalam buku dongeng berbasis sainsmmatika akan disajikan petunjuk-petunjuk belajar, eksperimen, quiz, serta beberapa latihanlatihan untuk siswa yang dikemas dalam alur cerita dongeng yang menarik dengan kandungan muatan materi sains dan matematika. Pendidikan karakter merupakan pendidikan yang menanamkan dan mengembangkan karakter-karakter luhur yang diterapkan dalam kehidupan manusia baik dalam keluarga, masyarakat maupun warga Negara. Pada buku Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter yang diterbitkan oleh Kemendiknas (2011) terdapat 18 nilai hasil kajian empirik pusat kurikulum. Diantara 18 nilai karakter
tersebut, ada empat aspek yang sesuai dengan gagasan ini, yaitu:
kemandirian, rasa ingin tahu, bersahabat dan peduli terhadap lingkungan. Pengembangan buku dongeng berbasis sainsmatika untuk menanamkan nilai–nilai karakter pada siswa sekolah dasar sangat diperlukan, karena buku dongeng berbasis sainsmatika akan membawa anak untuk menanamkan nilai-nilai karakter melalui pembiasaan. Bentuk pembiasaan yang dilakukan yaitu dengan mengajak siswa untuk melibatkan aspek hands-on dan minds-on nya dalam menyelesaikan
suatu
masalah
yang
sifatnya
kontekstual.
Permasalahan-
permasalahan serta berbagai bentuk praktik tersebut disajikan dengan konten materi yang dikemas pada suatu kisah menarik dalam dongeng petualangan. DAFTAR PUSTAKA Gallenstein, Nancy L. (2005). Enganging Young Children in Science and Mathematics. Journal of Elementary Science Education, Vol. 17, No. 2 (Fall 2005), pp. 27-41 Hertinjung & Karyani. (2015). Profil Pelaku dan Korban Bullying di Sekolah Dasar. The 2nd University Research Coloquium 2015. Hoogland, C. (1993). Poetics, politics and pedagogy of grimms’ fairytales. Thesis. Simona Fraser University.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
215
Kail, R.V & Cavanaugh, J.C. (2013). Human development a life-sapan view sixth edition. Canada: Wadsworth Ceangge Learning. Kemendiknas. (2011). Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter. Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum dan Perbukuan. Jakarta. Kready, L.F . (2004). A Study of fairy tales. Boston: The Riverside Press. Lickona, T. (1992). Educating For Character How Our School Can Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam Books. Orde, Heike Vom. (2007). Children Need Fairy Tales Bruno Bettelheim’s The Uses of Enchantment. Televizion Journal 26 /2013/E. Suriasumantri, Jujun S. 2007. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: PT. Penebar Swadaya. Suyadi. (2013). Strategi Pembelajaran Pendidikan Karakter. Bandung: PT Remaja Rosdyakarya
216
Muhammad Nur Wangid dkk, Urgensi Pengembangan Buku
APLIKASI PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH DASAR Nursaptini Lale Aprihatin Diana Safitri Universitas Negeri Yogyakarta Email :
[email protected]. Abstract The phenomenon of degradation of morality of today's young generation, can be observed in everyday life, such as the loss of respect for older people, culture of cheating/plagiarism in replyings or exams, free sex, social gathering sex, drug addicts, into a group of anarchicmotorcycle gangs, and many others. This is connected to the lack of character education implementation at an early age childhood. Education for character is very important that it is of great necessity to be improved and implemented as early as possible starting from the family, school, and extends into the community. Character education is in need of being strengthening, especially in the family, however, because of lack of time and much activities of parents are relatively high, the lack of parent understanding in educating children in the family environment, social influences in the environment and the influence of electronic media negatively affect a child's development. One alternative to overcome these problems is through education for character applications which optimize formal education activities in schools through the example and habituation. Keywords : character ecation, elementary school
PENDAHULUAN Seiring dengan arus globalisasi yang telah masuk dalam seluruh relung kehidupan,
pembangunan
karakter
dirasa
mendesak
untuk
dikaji
dan
diimplementasikan di sekolah terutama sekolah dasar, serta di era global seperti sekarang ini, ancaman hilangnya karakter semakin nyata. Nilai-nilai karakter yang luhur tergerus oleh arus globalisasi, utamanya kesalahan dalam memahami makna kebebasan sebagai sebuah demokrasi dan rendahnya filosofi teknologi (Barnawi & Arifin, 2012: 11-14). Hal lainnya, pendidikan saat ini lebih mengedepankan penguasaan aspek keilmuan dan kecerdasan anak. Pembentukan karakter yang dapat membangun budi pekerti anak semakin terpinggirkan (Wiyani, 2013: 176). Padahal sudah diatur dalam undang-undang sistem pendidikan nasional, bahwa fungsi
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
217
pendidikan bukan hanya membangun aspek kecerdasan saja, akan tetapi terkait dengan budi pekerti peserta didik. Sebagaimana yang tercantum dalam UndangUndang No. 20 Tahun 2003 sistem pendidikan nasional yang berbunyi “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (Pasal 3). Terkait dengan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang sudah disebutkan di atas menunjukkan bahwa bangsa Indonesia menginginkan terbentuknya generasi penerus bangsa yang berkarakter dan berkualitas akhlaknya sekaligus
cerdas
intelektualnya
(Salirawati,
2012:
215).
Supaya
dapat
mewujudkan hasil didikan yang maksimal, siswa haruslah memiliki pengetahuan secara intelektual dan pendidikan budi pekerti untuk membangun karakter bangsa (Sutiyono, 2013: 309). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
di Harvard
University Amerika Serikat, ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh faktor pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) belaka, tetapi lebih oleh faktor kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan adalah karena 20 % hard skill dan 80 % soft skill. Bahkan orang-orang tersukses dunia karena lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill mereka. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter sangat mutlak penting dan menuntut ditingkatkan (Amri et al, 2011: 30) Pendidikan karakter sangat penting ditingkatkan dan dilaksanakan sedini mungkin dimulai dari lingkungan keluarga, sekolah, dan meluas ke dalam lingkungan masyarakat (Wuryandani et al, 2014: 286). Pendidikan karakter ini perlu penguatan terutama dalam keluarga karena keluarga mempunyai peranan pertama dan utama bagi anak-anaknya. Namun, dewasa ini pendidikan informal terutama dalam lingkungan keluarga kurang memberikan kontribusi berarti dalam mendukung pencapaian kompetensi dan pembentukan karakter peserta didik. 218
Nursaptin dkk, Aplikasi Pendidikan Karakter
Kesibukan dan aktivitas kerja orang tua yang relatif tinggi, kurangnya pemahaman orang tua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga, pengaruh pergaulan di lingkungan sekitar dan pengaruh media elektronik berpengaruh negatif terhadap perkembangan dan pencapaian hasil belajar peserta didik. Salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui pendidikan karakter terpadu yang memadukan dan mengoptimalkan kegiatan pendidikan informal lingkungan keluarga dengan pendidikan formal di sekolah (Wibowo, 2012: 52-53). Berangkat dari permasalahan di atas, sekolah memiliki peran penting dalam pembentukan kepribadian anak, serta sekolah perlu terus berupaya menjadikan dirinya sebagai tempat terbaik untuk pembentukan pendidikan karakter (Saptono, 2011: 23-24). Pemerintah dan rakyat Indonesia, dewasa ini tengah gencargencarnya mengimplementasikan pendidikan karakter di institusi pendidikan, mulai dari tingkat dini (PAUD), sekolah dasar (SD/MI), sekolah menengah pertama (SMP/MTS), sekolah menengah atas (SMA/MA), hingga perguruan tinggi (Wibowo, 2013: 1). Oleh karena itu, semua pelaksana pendidikan di SD dan SMP harus memiliki kepedulian yang tinggi akan masalah moral atau akhlak tersebut, terutama para pelaku pendidikan di sekolah (Marzuki, 2015: 91). Munculnya kesadaran mengaplikasikan pendidikan karakter itu, didorong oleh fenomena degradasi moralitas generasi muda saat ini, carut marutnya moralitas anak bangsa, bisa diamati dalam kehidupan sehari-hari, seperti hilangnya
penghormatan
kepada
orang
yang
lebih
tua,
budaya
mencontek/menjiplak ketika ulangan atau ujian, pergaulan bebas, seks bebas, arisan seks (seperti yang baru-baru ini sedang marak), pecandu narkoba, menjadi kelompok geng motor yang anarkis, dan masih banyak yang lain (Wibowo, 2013: 1-2). Selain itu, realitas yang terjadi di lingkungan pendidikan saat ini guru yang seharunya menjadi model untuk anak didik dan menjadi pelindung malah sebaliknya sebagaimana yang diberitakan pada http://www.solopos.com diakses pada 17 Mei 2016 terdapat seorang guru sekolah dasar diadukan ke kepolisian karena dugaan pencabulan terhadap muridnya. Berita serupa juga pada http://news.okezone.com diakses pada 17 Mei 2016 bahwa kasus pencabulan Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
219
dengan dua korban di bawah umur pelakunya adalah salah seorang guru sekolah dasar. Fenomena di atas menunjukkan bahwa aplikasi pendidikan karakter sangat dibutuhkan di segala elemen. Oleh karena itu, pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Selanjutnya Pendidikan karakter di sekolah juga sangat terkait dengan manajemen atau pengelolaan sekolah. Pengelolaan yang dimaksud adalah bagaimana pendidikan karakter direncanakan, dilaksanakan dan dikendalikan dalam kegiatankegiatan pendidikan di sekolah secara memadai. Pengelolaan tersebut antara lain meliputi: nilai-nilai yang perlu ditanamkan, muatan kurikulum, pembelajaran, penilaian, pendidik dan tenaga kependidikan dan komponen terkait lainnya (Amri et al, 2011: 31). PEMBAHASAN Pendidikan karakter di sekolah mengacu pada proses penanaman nilai, berupa pemahaman-pemahaman, tata cara merawat dan menghidupi nilai-nilai itu, serta bagaimana seorang siswa memiliki kesempatan untuk dapat melatihkan nilai-nilai tersebut secara nyata (Koesoema, 2007: 193). Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal memiliki andil yang besar terhadap pembentukan karakter peserta didik, selain melalui proses pembelajaran (learning) juga melalui prosesproses pembiasaan pada anak. Pendidikan karakter yang didapat oleh anak dalam lingkungan keluarga dapat dikembangkan di sekolah. Agar pendidikan karakter ini lebih membekas pada pribadi peserta didik, sekolah harus mampu melakukan berbagai terobosan dan pembinaan yang mengarah pada dua hal, yaitu 1) pada tataran konsep (teori yang menyangkut pendidikan karakter baik melalui proses yang terintegrasi dengan mata pelajaran atau melalui mata pelajaran tersendiri). 2) pada tataran aplikasi (implementasi) dimana peserta didik diberikan contoh konkret
220
mengenai
pendidikan
karakter
melalui
Nursaptin dkk, Aplikasi Pendidikan Karakter
perilaku-perilaku
yang
dikembangkan di sekolah, seperti keteladanan oleh guru, keteladanan siswa, disiplin melaksanakan tugas-tugas, kejujuran dan lain-lain (Furkan, 2013: 82) Pada umumnya pendidikan karakter menekankan pada keteladanan, penciptaan lingkungan, dan pembiasaan, melalui berbagai tugas keilmuan dan kegiatan kondusif. Dengan demikian, apa yang dilihat, didengar, dirasakan dan dikerjakan oleh peserta didik dapat membentuk karakter mereka. Selain menjadikan keteladanan dan pembiasaan sebagai metode pendidikan utama, penciptaan iklim dan budaya serta lingkungan yang kondusif juga sangat penting, dan turut membentuk karakter peserta didik (Mulyasa, 2014: 9). Pendidikan karakter adalah tentang menjadikan sekolah berkarakter, satu tempat yang mengedepankan karakter terlebih dahulu. Selain itu juga bagaimana caranya sebuah sekolah menjadi komunitas kebajikan, suatu tempat kualitas moral dan intelektual seperti penilaian yang baik, usaha yang terbaik, sikap hormat, kebaikan,
kejujuran,
pelayanan,
dan
kewarganegaraan
dijadikan
model,
ditegakkan, dibahas, dirayakan, dan dipraktikkan dalam setiap bagian kehidupan sekolah tersebut dari teladan orang dewasa hingga hubungan antarteman sebaya, latihan disiplin, muatan kurikulum, ketegasan standar akademi, etos lingkungan, pelaksanaan aktivitas ekstrakurikuler, dan keterlibatan orang tua (Lickona, 2013: 271). Oleh karena itu, pada dasarnya karakter seseorang dalam proses perkembangan dan pembentukannya dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor lingkungan (nurture) dan faktor bawaan (nature). Tinjauan teoretis perilaku berkarakter, secara psikologis, merupakan perwujudan dari potensi Intellegence Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ), Spritual Quotient (SQ) dan Adverse Quotient (AQ) yang dimiliki oleh seseorang (Wiyani, 2012: 46). Sekolah sebagai Wahana Pendidikan Karakter Sekolah sebagai tempat berlangsungnya proses transformasi nilai-nilai luhur melalui pendidikan karakter. Secara operasional, tujuan pendidikan karakter dalam
setting
sekolah
adalah
sebagai
berikut:
1)
Menguatkan
dan
mengembangkan nilai-nilai kehidupan yang dianggap penting dan perlu sehingga menjadi kepribadian kepemilikan peserta didik yang khas sebagaimana nilai-nilai Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
221
yang dikembangkan. 2) Mengoreksi perilaku peserta didik yang tidak bersesuaian dengan nilai-nilai yang dikembangkan oleh sekolah. 3) Membangun koneksi yang harmoni dengan keluarga dan masyarakat dalam memerankan tanggung jawab karakter bersama (Wiyani, 2012: 58) Selanjutnya terdapat empat peran penting karakter dalam kehidupan akademik (dan pekerjaan pada umumnya): 1) Siswa memerlukan karakter performa (etos kerja, disiplin diri, ketekunan, inisiatif, kerja tim, dll) untuk melakukan tugas akademis terbaik mereka. 2) Siswa mengembangkan karakter performa mereka (kemampuan untuk bekerja keras, mengatasi hambatan, merasa senang dalam pekerjaan yang dilakukan dengan baik, dll) dari tugas sekolah mereka. 3) Siswa memerlukan karakter moral (rasa hormat, keadilan, kebaikan, kejujuran, dll) untuk membangun hubungan kelas yang menciptakan lingkungan belajar yang positif. 4) Siswa mengembangkan karakter moral dari sekolah mereka (misalnya, dengan membantu rekan-rekan mereka untuk mengerjakan tugas terbaik mereka melalui “budaya kritik” yang menawarkan umpan balik konstruktif, dengan mempelajari masalah etika dalam kurikulum, dan dengan menggunakan pembelajaran kurikuler mereka dalam proyek pengabdian yang membantu memecahkan masalah dunia nyata) (Nucci & Narvaez, 2014: 549). Prinsip-prinsip Pembinaan Karakter Siswa di Sekolah Pembinaan karakter mulia di sekolah sangat terkait dengan pengembangan kultur sekolah. Untuk mencapai hasil yang optimal dalam pengembangan kultur akhlak mulia di sekolah, perlu diperhatikan prinsip-prinsip pembinaan karakter, dalam buku Marzuki yang berjudul Pendidikan Karakter Islam (2015: 107-108) dijelaskan prinsip-prinsip pembinaan karakter siswa di sekolah antara lain sebagai berikut:1) sekolah atau lembaga pendidikan seharusnya dapat membentuk para siswa menjadi orang-orang yang sukses dari segi akademik dan nonakademik, 2) sekolah sebaiknya merumuskan visi, misi, dan tujuan sekolah yang secara tegas menyebutkan keinginan terwujudnya kultur dan karakter mulia di sekolah 3) untuk mewujudkan visi, misi, dan tujuan sekolah seperti di atas, sekolah harus mengintergrasikan nilai-nilai ajaran agama dan nilai-nilai karakter mulia pada 222
Nursaptin dkk, Aplikasi Pendidikan Karakter
segala aspek kehidupan bagi seluruh warga sekolah, terutama para peserta didiknya, 4) membiasakan untuk saling bekerja sama, saling tegur, sapa, salam, dan senyum baik pimpinan sekolah, guru, karyawan, maupun para peserta didik, 5) mengajak peserta didik untuk mencintai Alquran bagi yang beragama Islam dan juga mengajak peserta didik mencintai kitab suci agama masing-masing seperti Kristen, Katolik: Alkitab, Hindu: Weda, Budha: Tripitaka, Khonghucu, Sishui/Wujing/Xiaojing, 6) sekolah secara khusus menentukan kebijakankebijakan yang mengarah kepada pembangunan kultur akhlak mulia, terutama bagi para siswanya, seperti wajib melaksanakan shalat wajib lima waktu, 7) guru agama berperan dalam pembangunan karakter siswa melalui mata pelajaran Pendidikan Agama. Guru mata pelajaran lain juga ikut berperan seperti guru PKn, IPS, Penjas Orkes dan lain-lain, semua guru ikut bertanggung jawab dalam pembangunan pendidikan karakter siswa, 8) pengembangan karakter mulia di sekolah akan berhasil jika ditunjang dengan kesadaran yang tinggi dari seluruh warga sekolah, orang tua, dan masyarakat, 9) eksistensi pimpinan sekolah yang memiliki komitmen tinggi untuk pengembangan kultur akhlak mulia di sekolah sangat diperlukan demi kelancaran program-program yang telah dirancang sekolah, 10) untuk pengembangan kultur dan karakter mulia di sekolah juga diperlukan program-program sekolah yang secara tegas dan terperinci mendukung terwujudnya kultur tersebut. Strategi Membangun Aplikasi Pendidikan Karakter di Sekolah Strategi-strategi aplikasi pendidikan karakter secara umum bisa melalui keteladanan dan pembiasaan sebagai berikut: a.
Membangun karakter melalui keteladanan Membangun karakter manusia memang tidak semudah membalik telapak tangan. Keteladanan merupakan salah satu kunci dalam upaya dan proses pendidikan karakter (akhlak mulia). Memiliki keteladanan sosok agung dan mulia, Rasulullah Muhammad saw. Rasul melandasi setiap gerak langkahnya dengan “cinta”. Cinta adalah sikap batin yang akan melahirkan
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
223
kelembutan, kesabaran, kelapangan, kreativitas, serta tawakal (Aqib, 2012: 163) Selanjutnya di sekolah peran guru amat penting dan perilaku guru akan menjadi ukuran keteladanan peserta didiknya (Aqib, 2012: 164). Kepala sekolah dapat memberi keteladanan kepada guru. Guru dapat memberikan keteladanan kepada para peserta didiknya, demikian pula kakak kelas kepada adik kelasnya. Keteladanan jauh lebih penting daripada memberikan pelajaran secara verbal, karena keteladanan adalah memberikan contoh melalui perbuatan atau tindakan nyata (Fathurrohman et al, 2013: 154). Selain itu keteladanan di sekolah diperankan oleh kepala sekolah, guru, dan karyawan sekolah. Keteladanan di rumah diperankan oleh kedua orangtua siswa atau orang-orang lain yang lebih tua usianya (Marzuki, 2015: 113). b.
Membangun karakter melalui pembiasaan Pembentukan karakter bisa dilakukan semua warga sekolah dan menjadi pembiasaan antara lain melalui: 1) Membuat tolok ukur Menciptakan suatu tolok ukur sekolah dapat dimulai dengan memeriksa pernyataan misi sekolah (biasanya lebih panjang, lebih rumit, dan lebih sulit diingat daripada suatu pernyataan tolok ukur). 2) Memiliki motto berbasis-karakter Suatu cara yang dapat membantu agar dapat membangun karakter ialah memilih suatu motto sekolah-ideal, salah satu pernyataan kepercayaan pada tolok ukur yang menangkap esensi tolok ukur itu dan kemudian membuat motto itu sebagai bagian yang bersemangat dari budaya sekolah. 3) Mencari dukungan kepala sekolah untuk membuat karakter menjadi prioritas Peluang penerapan karakter di sekolah sangat ditentukan oleh dukungan dari kepala sekolah. Hal ini tidak berarti bahwa sang kepala sekolah harus merupakan pemimpin langsung pelaksanaan pendidikan karakter.
224
Nursaptin dkk, Aplikasi Pendidikan Karakter
4) Membentuk kelompok kepemimpinan Mengembangkan suatu sekolah karakter memerlukan suatu tim kepemimpinan untuk merencanakan dan menopang pelaksanaan. Terdapat empat saran yang bisa dilaksanakan dalam mengembangkan sekolah karakter melalui pembentukan kelompok kepemimpinan ini, yaitu: a) memanfaatkan infrastruktur sekolah yang sudah ada,c) Menciptakan beberapa komite kecil, masing-masing dengan tugas yang berbeda,d) Memperluas undangan untuk semua orang, termasuk orang-orang yang keberatan,e) memastikan semua kelompok terwakili. 5) Mengembangkan Basis Pengetahuan Tim kepemimpinan harus banyak mengetahui tentang pendidikan karakter. Sekarang ada lusinan website pendidikan karakter yang sangat membantu beberapa
untuk mendapat gambaran umum mengenai bidang itu, kelompok
kepemimpinan
menyuruh
semua
anggotanya
membaca buku yang sama. Selanjutnya Lickona sangat menganjurkan agar mengunjungi sekolah-sekolah lain yang telah melaksanakan pendidikan karakter untuk sementara waktu (idealnya selama lebih dari dua tahun) untuk melihat dari tangan pertama seperti apa programprogram itu. 6) Memperkenalkan konsep pendidikan karakter kepada seluruh staf Mengajak semua personil sekolah mengikuti pertemuan pengenalan mengenai pendidikan karakter. Pada sesi pengenalan ini harus membahas empat pertanyaan dasar a) apa tujuan pendidikan karakter?,b) apa yang akan diminta dariku, dalam pekerjaanku?,c) bagaimana
hal ini
kelihatannya jika kita melakukannya di lingkup sekolah ini?, dan d) apa manfaatnya jika kita melakukan hal itu? 7) Mempertimbangkan tipe pribadi murid seperti apa yang diinginkan? Tujuan pendidikan karakter ada tiga yaitu: pribadi yang mempunyai karakter yang baik, sekolah-sekolah yang berkarakter, dan masyarakat yang berkarakter. Hal-hal memunculkan pertanyaan, apa itu” karakter yang baik”? Staf dapat membahas pertanyaan itu dengan menanyakan, Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
225
kualitas-kualitas apa yang diinginkan dimiliki para lulusan? Kekuatan moral dan intelektual apa yang akan melengkapi mereka dengan paling baik untuk menjalani kehidupan yang memuaskan, penuh arti, produktif dan membangun suatu dunia yang lebih baik? 8) Mempertimbangkan arti pendidikan karakter Untuk membahas pernyataan ini, Lickona menganjurkan suatu kegiatan yang mudah dilakukan dengan menggunakan selebaran 100 cara untuk mendorong pendidikan karakter. Daftar itu mencakup hal-hal di antaranya seperti a) memimpin dengan contoh, memungut sampah di aula atau di halaman sekolah,b) apabila kamu menyaksikan kekejaman teman sebaya, campur tanganlah untuk menghentikannya, bantu pelaku mengerti mengapa hal itu salah c) mengajari anak-anak cara menulis ucapan terima kasih, d) secara teratur menggunakan “bahasa kebajikan” seperti istilah sikap hormat, tanggung jawab, ketulusan, kebijaksanaan, kerajinan, ketekunan, kerendahan hati dan mengajari murid-murid melakukan hal yang sama,e) bertukar pikiran dengan para murid mengenai salah satu pahlawan pribadimu dan mengapa dia menjadi pahlawan bagimu,f) membantu para murid mengembangkan kemampuan untuk menilai kebenaran dan nilai dari apa yang ditampilkan di TV, internet, dan di media lainnya (Lickona, 2012: 272-280). PENUTUP Sekolah sebagai lembaga pendidikan memiliki peran penting dalam membentuk karakter peserta didik terutama peserta didik yang masih duduk di bangku sekolah dasar, karena di sekolah berlangsung proses transformasi nilainilai luhur melalui pendidikan karakter. Sekolah juga memiliki peran dan fungsi yang sangat penting antara lain, fungsi sosialisasi, kontrol sosial, pelestarian budaya masyarakat, latihan dan pengembangan tenaga kerja, seleksi dan alokasi, pendidikan dan perubahan sosial dan pemeliharaan anak. Kemudian, dalam membangun aplikasi pendidikan karakter secara umum bisa melalui keteladanan dan pembiasaan. Selain itu, strategi-strategi untuk 226
Nursaptin dkk, Aplikasi Pendidikan Karakter
menjadi suatu sekolah karakter dapat melalui keterlibatan staf, keterlibatan murid, dan keterlibatan orang tua. Lebih lanjut untuk menerapkan keteladanan bisa dengan cara meneladani sosok agung dan mulia. Selanjutnya di sekolah peran guru amat penting dan perilaku guru akan menjadi ukuran keteladanan peserta didiknya. Kemudian langkah-langkah dalam menumbuhkan pembiasaan aplikasi pendidikan karakter dapat melalui membuat tolok ukur, memiliki motto berbasiskarakter, mencari dukungan kepala sekolah untuk membentuk karakter menjadi prioritas,
membentuk
kelompok
kepemimpinan,
mengembangkan
basis
pengetahuan, memperkenalkan konsep pendidikan karakter kepada seluruh staf, mempertimbangkan tipe pribadi murid seperti apa yang diinginkan, dan mempertimbangkan arti pendidikan karakter. DAFTAR PUSTAKA Aqib, Zainal. 2012. Pendidikan Karakter di Sekolah Membangun Karakter dan Kepribadian Anak. Bandung: Yrama Widya. Amri, Sofan et al. 2011. Implementasi Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Strategi Analisis dan Pengembangan Karakter Siswa dalam Proses Pembelajaran. Jakarta: Prestasi Pustaka. Barnawi & Arifin M. 2012. Strategi dan Kebijakan Pembelajaran Pendidikan Karakter. Yogyakarta: Ar-ruzzMedia. Fathurrohman, Pupuh et al. 2013. Pengembangan Pendidikan Karakter. Bandung: PT Refika Aditama. Furkan, Nuril. 2013. Pendidikan Karakter Melalui Budaya Sekolah. Yogyakarta: Magnum Pustaka Utama. Http://News.Okezone.Com/Read/2016/05/10/510/1384842/Oknum-GuruOlahraga-Terlibat-Kasus-Pencabulan. Diakses pada 17 Mei 2016 Http://www.solopos.com/2016/02/01/pencabulan-wonogiri-astaga-guru-sddiduga-cabuli-8-anak-didik-sendiri-686835. Diakses pada 17 Mei 2016 Koesoema, Doni. 2007. Pendidikan Karakter. Jakarta: PT Grasindo. Lickona, Thomas. 2012. Pendidikan Karakter. (Terjemahan Saut Pasaribu). New York: Touchstone.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
227
.2013. Character Matters (Persoalan Karakter). Jakarta: Bumi Aksara. Mulyasa, E. 2014. Manajemen Pendidikan Karakter. Jakarta: Bumi Aksara Marzuki. 2015. Pendidikan Karakter Islam. Jakarta: Amzah. Nucci, P. Larry & Narvaez, Darcia. 2014. Handbook Pendidikan Moral dan Karakter. (Terjemahan Imam Baihaqie & Derta Sri Widowati). New York: Routledge. Sutiyono. 2013. Penerapan Pendidikan Budi Pekerti sebagai Pembentukan Karakter Siswa di Sekolah: Sebuah Fenomena dan Realitas. Jurnal Pendidikan Karakter, 3 (3) :309-320. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Wiyani, Novan Ardy. 2013. Membumikan Pendidikan Karakter di SD Konsep, Praktik & Strategi. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. . . 2012. Manajemen Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasinya di Sekolah. Yogyakarta: PT Pustaka Insan Madani Wibowo, Agus. 2013. Manajemen Pendidikan Karakter di Sekolah (Konsep dan Praktik). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. .2012. Pendidikan Karakter Strategi Membangun Karakter Bangsa Berperadaban. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Wuryandani, Wuri et al. 2014. Pendidikan Karakter Disiplin di Sekolah Dasar. Cakrawala Pendidikan, Th. XXXIII (2): 286-295.
228
Nursaptin dkk, Aplikasi Pendidikan Karakter
NILAI PENDIDIKAN DALAM TEKS DRAMA YANG DISAJIKAN PADA BUKU AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 6 SEKOLAH DASAR
Octavian Muning Sayekti Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Email :
[email protected] Abstract This paper aims to analyze the educational values embodied in the text of the drama presented in the textbook Indonesian 6th grade . This study used descriptive qualitative method . The data in this study is the book Indonesian to 6th grade published by Department of Education . The third book , a textbook used in schools . Data collection techniques used the technique to read and record . The results showed that not all educational value contained in the text of the third drama in the book. The dominant value is the value of social and moral values . Keyword : values of education, drama text.
PENDAHULUAN Akhir-akhir ini, sering didengar berita memprihatinkan terkait dengan kasus yang menimpa siswa Indonesia. Beberapa di antaranya yaitu pemerkosaan yang dilakukan anak sekolah kepada anak di bawah umur, bullying, premanisme anak sekolah, bahkan pembunuhan dosen yang dilakukan oleh mahasiswanya. Hal di atas tentunya menimbulkan pertanyaan Ada apa dengan pendidikan di Indonesia? Padahal mereka adalah anak-anak terdidik, namun perilakunya tidak mencerminkan sebagai orang yang terdidik. Pendidikan seharusnya mampu memberikan pengetahuan dan nilai budi pekerti kepada anak didik. Pendidikan tidak hanya didapat dari lingkungan sekolah, tetapi juga didapat dari lingkungan keluarga dan masyarakat. Di sekolah, pendidikan seorang siswa tentu menjadi tanggung jawab gurunya. Di keluarga pendidikan seorang anak akan menjadi tanggung jawab orang tua. Adapun di lingkuangan masyarakat, pendidikan seorang anak akan menjadi tanggung jawab masyarakat tersebut. Tulisan ini, akan menyoroti pendidikan dan penanaman budi pekerti di sekolah. Pendidikan di sekolah harus mampu membekali siswa dalam hal kognitif, afektif, dan psikomotor. Sekolah harus mampu mencetak siswa yang cerdas akademik, sosial, religius, dan moral. Tidak hanya pengetahuan siswa saja yang dikembangkan namun juga budi pekerti
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
229
juga harus dikembangkan. Pendidikan pengetahuan dan pendidikan budi pekerti harus seimbang. Seorang anak yang cerdas, namun tidak diimbangi dengan budi pekertinya yang tinggi akan menghasilkan pribadi yang kurang baik. Lain halnya dengan anak yang cerdas dengan budi pekerti yang tinggi maka akan menghasilkan pribadi yang baik. Salah satu penanaman budi pekerti di sekolah bisa melalui pembelajaran sastra. Sastra yang mencakup dongeng, legenda, sandiwara, wayang, dan drama dapat digunakan untuk pembelajaran budi pekerti (Ki Hadjar Dewantara dalam Majelis Luhur Tamansiswa (2013: 490). Hal ini sejalan dengan tujuan pembelajaran sastra antara lain yakni (1) sastra menunjukkan kebenaran, (2) sastra untuk memperkaya rohani, (3) sastra melampaui batas bangsa, (4) sastra dapat menjadikan manusia berbudaya (Zulela, 2012: 20-23). Bertolak pada hal tersebut, pembelajarans sastra hendaklah diterapkan di sekolah. Pembelajaran sastra di Sekolah Dasar di antaranya puisi, pantun, dongeng, cerpen, drama, dan lain-lain. Adapun pembelajaran drama di sekolah dasar baru sampai tataran membaca dan memerankan naskah drama yang telah disiapkan guru. Teks drama yang disajikan, hendaklah memberikan pendidikan budi pekerti kepada siswa. Diharapkan setelah membaca dan mengapresiasi drama, siswa tidak hanya memperoleh hiburan tetapi juga memperoleh pendidikan budi pekerti. Oleh karena itu, tulisan ini akan membahas nilai budi pendidikan yang ada dalam teks drama yang disajikan pada buku ajar kelas 6 sekolah dasar. METODE Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Bodgan dan Taylor dalam Moleong (2002:3) mendefinisikan metodologi kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Data pada penelitian ini adalah teks drama yang disajikan dalam buku ajar Bahasa Indonesia kelas 6 Sekolah Dasar. Teks drama tersebut, akan dianalisis nilai pendidikan yang terkandung di dalamnya. Adapun yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah buku Bahasa Indonesia terbitan Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional. Ketiga buku tersebut antara lain Bahasa Indonesia untuk Sekolah Dasar Kelas VI dengan pengarang Umri Nur’aini dan Indriyani, Bahasa Indonesia untuk SD/MI Kelas 6 dengan pengarang Samidi dan Tri Puspitasari, dan Bahasa Indonesia untuk Kelas 6 SD/MI dengan pengarang Sukini dan Iskandar. Teknik pengumpulan data dengan menggunakan metode baca dan catat. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis isi. Holsti dalam Moleong (2002:163) menyebutkan bahwa analisis isi adalah teknik apapun yang digunakan untuk 230 Octavian Muning Sayekti, Nilai Pendidikan dalam Teks
menarik simpulan melalui usaha menemukan karakteristik pesan, dan dilakukan secara objektif dan sistematis. PEMBAHASAN 1. Nilai Pendidikan dalam Teks Drama “Ikrar” Nilai Pendidikan Sosial Wujud pendidikan sosial dalam teks drama Ikrar antara lain peduli, percaya diri, kerja keras. Mei : (merangkul pundak Ratna) ”Sama, Rat. Aku, Via, dan teman-teman yang lain juga begitu. Tapi kita tidak boleh cengeng.” Via : (merentangkan kedua tangan di depan Ratna) ”Aduh... Tuan Putri, kenapa bersedih? Adakah sesuatu yang mengganggu pikiranmu, Tuan Putri?” Mei : ”Jangan meledek begitu, Vi! Ini masalah serius.” Via : ”Ya...ya, aku juga serius. Ada apa teman?” Ratna : ”Aku sedih karena sebentar lagi kita akan meninggalkan sekolah tercinta ini.” (Bahasa Indonesia untuk Kelas 6 SD/MI : 100) Kutipan di atas memperlihatkan watak Via dan Mei yang peduli dengan kesedihan sahabatnya. Kepeduliaannya tersebut ditunjukkan dengan cara
menenangkan
sahabatnya,
Ratna
yang
bersedih
karena
akan
meninggalkan sekolah mereka. Via dan Mei digambarkan merangkul pundak Ratna. Kepedulian ini perlu ditekankan kepada siswa agar nantinya mereka mempunyai jiwa peduli terhadap sesama. Tidak menjadi manusia yang egois yang tidak tahu menahu kesedihan sesama. Ratna : (mengangkat muka) ”Via benar. Kita harus berpandangan ke depan”. Mei : ”Nah, begitu dong. Mulai sekarang, mari kita tingkatkan semangat belajar! Kita harus bisa masuk sekolah favorit!” Ratna : ”Kita harus bisa membanggakan Bapak/Ibu Guru!” Via : ”Sekarang, mari kita berikrar.” (Menggandeng tangan Ratna dan Mei. Mereka saling bergandengan tangan, membentuk lingkaran). (Bahasa Indonesia untuk Kelas 6 SD/MI : 100) Pada kutipan teks drama di atas, menunjukkan adanya nilai kerja keras. Nilai tersebut digambarkan dengan tekad Mei yang ingin meningkatkan semangat belajar agar bisa masuk sekolah favorit. Tentu saja, semangat belajar harus diiringi dengan kerja keras. Karena dengan bekerja keras untuk belajar akan mendapatkan sebuah hasil yang maksimal. Sikap kerja keras hendaklah dimiliki oleh siswa. Hal ini akan berdampak ketika mereka mengerjakan suatu pekerjaan atau meraih cita-cita. Orang yang mempunyai jiwa pekerja keras akan menjadi
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
231
orang yang sukses. Itulah yang diharapkan dari siswa Indonesia untuk mewujudkan generasi emas. 2. Nilai Pendidikan dalam Teks Drama “Rencana yang Gagal” a. Nilai Pendidikan Moral Wujud nilai pendidikan moral dalam teks drama Rencana yang Gagal antara lain, pemaaf dan mengakui kesalahan. Roni dan Dandi : (serempak menjawab) "Baik Bu, maafkan kami". Bu Desi : "Oh ya, nanti sepulang sekolah kalian mampirlah ke rumah Ibu. Ibu akan memberi kalian mangga". Roni : (tersenyum dengan malu-malu). "Baik Bu, terima kasih". Dandi : "Iya Bu, terima kasih". (Bahasa Indonesia untuk SD/MI Kelas 6 : 122) Pada kutipan di atas, menggambarkan watak Bu Desi yang pemaaf. Pemaaf di sini digambarkan dengan sikap Bu Desi yang dengan kerendahan hati memaafkan kesalahan Roni dan Dandi yang telah berniat mencuri mangga miliknya. Sikap pemaaf perlu dibiasakan sejak mereka kecil. Hal itu dikarenakan orang yang susah memaafkan kesalahan orang lain, akan menciptakan watak yang pendendam. Adapun kutipan yang menggambarkan sikap mengakui kesalahan ada pada kutipan di bawah ini : Bu Desi
: (tersenyum) "Ada apa Dandi? Kamu kelihatannya takut sekali melihatsaya". Dandi : "Tidak Bu, maafkan saya". Bu Desi : "Dandi, Budi, Ibu sudah tahu semuanya". Roni : (Tampak kaget) "Ibu sudah tahu? Dari mana? Bu Desi : "Ibu tadi mendengar semua pembicaraan kalian". Dandi : (ketakutan) "Maafkan kami, Bu". (Bahasa Indonesia untuk SD/MI Kelas : 121) Kutipan di atas, menampilkan tokoh Dandi dan Roni yang merasa bersalah dan mengakui kesalahannya karena telah mempunyai rencana mencuri mangga di rumah Bu Desi. Sikap seperti ini menggambarkan nilai moral yang tinggi. Karena dengan berani Dandi dan Roni mengakui kesalahan yang telah mereka lakukan terhadap Bu Desi sekaligus meminta maaf.
232 Octavian Muning Sayekti, Nilai Pendidikan dalam Teks
b. Nilai Pendidikan Sosial Wujud nilai pendidikan sosial dalam teks drama Rencana yang Gagal antara lain, setia kawan, pemaaf, dermawan, dan mengakui kesalahan. Roni dan Dandi : (serempak menjawab) "Baik Bu, maafkan kami". Bu Desi : "Oh ya, nanti sepulang sekolah kalian mampirlah ke rumah Ibu. Ibu akan memberi kalian mangga". Roni : (tersenyum dengan malu-malu). "Baik Bu, terima kasih". Dandi : "Iya Bu, terima kasih". (Bahasa Indonesia untuk SD/MI Kelas 6 : 122) Dari kutipan dialog yang ditampilkan di atas, diketahui bahwa Bu Desi memiliki sikap dermawan. Sikap dermawan Bu Desi ditunjukkan dengan bermaksud memberi mangga kepada Roni dan Dandi. Walaupun Roni dan Dandi telah bermaksud mencuri mangga, namun Bu Desi tetap memperlihatkan sikap dermawannya. Anak yang memiliki watak dermawan, akan melahirkan generasi yang peka terhadap penderitaan sesamanya. Sementara, saat ini banyak di antara kita yang tidak peka terhadap penderitaan saudaranya. 3. Nilai Pendidikan pada Teks Drama “Ayam Betina dan Sebuah Pohon Apel” a. Nilai Pendidikan Moral Wujud pendidkakn moral dari teks drama Ayam Betina dan Sebuah Apel adalah bersahabat. Nilai bersahabat ini ditunjukkan pada kutipan di bawah ini. Serigala Ayam Betina Serigala Ayam Betina Serigala Ayam Betina
: “Tapi, aku tidak bisa menari.” : “Kalau begitu kau ikuti gerakanku saja, Tuan Serigala. Selain cerdik, aku juga pandai menari.” : “Kalau begitu kau akan keluar dari kandangmu?” : “Tentu saja tidak, tuan, kau mengajariku untuk selalu waspada. Lagipula kau bisa melihat gerakanku dari luar kandang.” : “Baiklah, baiklah, ... mari kita menari, ... mari kita menari ...” : “Mari kita menari, ... satu, ... dua, ... tiga! “(menari bersama) (Bahasa Indonesia untuk Sekolah Dasar Kelas VI : 87)
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
233
Kutipan di atas menunjukkan sikap bersahabat yang dimiliki oleh Ayam Betina. Ayam Betina mau bersahabat dengan hewan-hewan di sekitarnya begitu juga bersahabat dengan serigala. Padahal serigala mempunyai niat jahat akan memangsanya. Sikap bersahabat hendaklah dimiliki oleh setiap anak didik. Bersahabat merupakan sikap mau bekerja sama dengan sesamanya. Hal ini akan meminimalisasi nilai individu pada anak. b. Nilai Pendidikan Sosial Wujud pendidkakn moral dari teks drama Ayam Betina dan Sebuah Apel adalah suka menolong. Nilai suka menolong, ditunjukkan pada kutipan di bawah ini. Serigala : “Tapi, aku tetap merasa kelaparan.” Ayam Betina : “Aku tahu cara mengatasi rasa laparmu. (Serigala mendekati kandang ayam)” Serigala : “Bagaimana caranya?” Ayam Betina : “Menari!” Serigala : “Menari?” Ayam Betina : “Iya, ... kita akan gembira dan lupa pada rasa lapar.” Serigala : “Tapi, aku tidak bisa menari.” Ayam Betina : “Kalau begitu kau ikuti gerakanku saja, Tuan Serigala. Selain cerdik, aku juga pandai menari.” (Bahasa Indonesia untuk Sekolah Dasar Kelas VI : 88) Kutipan di atas menunjukkan sikap suka menolong yang dimiliki oleh Ayam Betina. Ayam Betina dengan senang hati bersedia menolong Serigala. Dia mau mengatasi rasa lapar yang dialami Serigala. Caranya yaitu Serigala diajaknya untuk menari. Suka menolong merupakan sikap empati terhadap kesulitan orang dan akhirnya mau membantu meringankan bebannya. Sikap seperti ini, hendaklah ditekankan sejak kecil. Hal tersebut bertujuan agar pendidikan di negara kita menghasilkan peribadi yang peka terhadap penderitaan sesama dan dengan rela meringankan beban mereka. PENUTUP Dari pembahasan yang telah dijabarkan di awal, dapat diketahui bahwa tidak semua nilai pendidikan terkandung di dalam teks drama yang disajikan pada buku ajar Bahasa 234 Octavian Muning Sayekti, Nilai Pendidikan dalam Teks
Indonesia kelas 6 Sekolah Dasar. Hanya beberapa nilai pendidikan saja yang disajikan. Nilai sosial dan nilai moral sangat dominan disajikan pada teks drama di ketiga buku terbitan pemerintah tersebut. Bahkan dari ketiga buku tersebut, tidak ada yang mengandung nilai religius. Padahal budi pekerti seseorang juga disokong oleh nilai religius atau keimanan dia terhadap Tuhan. Seorang guru hendaklah selektif dalam memilih buku ajar yang akan digunakan. Tak hanya selektif, guru juga harus mampu memberikan penguatan kepada siswa tentang nilai pendidikan yang ada pada teks drama. Guru juga harus mampu melakukan elaborasi dalam pengajarannya sehingga pendidikan budi pekerti tersampaikan dengan baik. Pemerintah pun harus lebih memperhatikan kandungan nilai di setiap bahan bacaan buku ajar, dalam hal ini bacaan teks drama. Diharapkan pada teks drama yang disajikan mengandung unsur nilai pendidikan yang lengkap. DAFTAR PUSTAKA Tim Majelis Luhur Tamansiswa. 2013. Ki Hadjar Dewantara Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka Jilid I (Pendidikan). Yogyakarta. UST Press. Moleong, M. A. dan Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda Karya. Nur’aini, Umri dan Indriyani.2008. Bahasa Indoneisia untuk Sekolah Dasar Kelas 6. Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional. Samidi dan Tri Puspitasari.2008. Bahasa Indonesia untuk SD/MI Kelas 6. Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional. Sukini dan Iskandar. 2008. Bahasa Indonesia untuk Kelas 6 SD/MI. Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional. Zulela. 2012. Pembelajaran Bahasa Indonesia Apresiasi Sastra di Sekolah Dasar. Bandung : Rosda Karya.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
235
STRATEGI PELAKSANAAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI DI SEKOLAH DASAR DALAM MEMBANGUN KARAKTER PESERTA DIDIK Pratiwi Wulan Gustianingrum Universitas Pendidikan Indonesia Email:
[email protected] Abstract This paper examines the position of moral education in primary school in Indonesia is based on a qualitative approach. Character education is strategically placed on the curriculum in Indonesia in three ways, namely stand alone as subjects, combined with relevant subjects, and integrated into other subjects. Domain moral education that fills the soul learners with the morals and morals in order to have a good character, it is important to be incorporated into the primary school curriculum. Noteworthy in its implementation is an attempt habituation, practice, conditioning the environment, and exemplary. Keywords : moral education, character education
PENDAHULUAN Pendidikan budi pekerti ialah usaha sadar yang dilakukan dalam rangka menginternalisasikan dan menanamkan nilai-nilai moral ke dalam sikap dan perilaku para peserta didik agar nantinya mempunyai sikap dan berakhlakul karimah (perilaku yang luhur) di dalam kehidupan sehari-hari, baik di dalam berinteraksi dengan sesama manusia dengan alam/ lingkungan maupun dengan Tuhan YME (Haidar, 2004) Tujuan dari pendidikan Budi Pekerti ialah untuk mengembangkan nilai-nilai, prilaku dan sikap siswa/siswi yang memancarkan budi pekerti luhur/akhlak mulia menurut Haidar (2004). Hal yang seperti ini mengandung artian bahwa di dalam pendidikan Budi Pekerti, terdapat nilai-nilai yang ingin dibentuk ialah nilai-nilai akhlak yang mulia, yakni tertanamnya nilai-nilai akhlak yang sangat mulia ke dalam diri terhadap para peserta didik kemudian terwujud di dalam tingkah lakunya sehingga pada akhirnya para peserta didik akan memiliki karakter warga negara yang baik. Adanya pendidikan budi pekerti dalamkurikulum sekolah adalah suatu upaya pentinguntuk lebih merangsang kepekaan peserta didiksebagai generasi muda terhadap norma-normasosial dan memupuk kesadaran mereka untukberbuat dan bertingkah laku sesuai dengannorma-norma sosial yang berlaku, untuksenantiasa berbuat baik, menjadi 236 Pratiwi Wulan Gustianingrum, Strategi Pelaksanaan Pendidikan
manusia yang berguna bagi dirinya sendiri, bagi sesama danalam semesta. Dengan adanya pendidikan budipekerti akan dapat diwujudkan keharmonisan, keserasian, dan keseimbangan
dalam
kehidupanbermasyarakat,
sebagai
prasyarat
terwujudnya
kehidupan yang tenteram, damai, dan bahagia. Saat ini pendidikan budi pekerti masih menjadi permasalahan yang menuntutperhatian serius jika bangsa ini ingin dipandangsebagai bangsa yang beradab dan berbudaya.Ada fenomena yang menarik terkait dengan halini, yaitu dijadikannya pendidikanagama dan budi pekerti menjadi mata pelajaranyang berdiri sendiri mulai SD hingga sekolahmenengah dalam Kurikulum 2013 (Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2014, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2014, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RepublikIndonesia Nomor 59 Tahun 2014, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2014). PEMBAHASAN Di Indonesia, di mana masyarakatnya amatmajemuk dalam berbagai aspek kehidupannya,peranan pendidikan budi pekerti menjadi sangat penting. Melalui pendidikan budipekerti perbedaan-perbedaan dalam berbagaiaspek kehidupan bangsa akan dapat diselaraskandan diserasikan, sehingga dapat dicegah lahirnyapertentanganpertentangan yang membahayakanpersatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Pendidikan budi pekerti akan dapat dilahirkan manusia-manusia yang memiliki karakter warga negara yang berbudiluhur, mencintai sesama, serta mencintai masyarakatdan bangsanya. Selanjutnya, kehidupanmasyarakat yang maju, aman, damai, makmur dansejahtera akan dapat diwujudkan, sesuai dengancita-cita bangsa sebagaimana yang tertuang dalamPembukaan UUD 1945. Pendidikan budi pekerti yang terdapat dalamsetiap sejarah kurikulum di Indonesia sendiri masing-masingdiyakini memiliki kelebihan dan kekurangan, baikdalam aspek desain maupun pelaksanaannya.Namun, satu hal yang diyakini bahwa aspekpendidikan budi pekerti telah menjadi suatukebijakan pemerintah dalam setiap bagian daripengembangan kurikulum dan selalu dijadikankerangka acuan yang memberikan gambaran yangberisi serangkaian kemampuan, nilai dan sikapyang secara institusional harus dimiliki olehpeserta didik setelah selesai pendidikannya. Halini
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
237
sekaligus menguatkan bukti, bahwa pendidikanbudi pekerti peranannya penting sekali untukmencapai cita-cita dan misi nasional, yaitu seluruhmasyarakat Indonesia hendaknya berbudi pekertiluhur. Secara teknis, di dalam penerapan pendidikan budi pekerti di sekolah setidaknya bisa
ditempuh
melalui
4
(empat)
alternatif
strategi
yang
secara
terpadu,
diantaranya:Strategi yang pertama ialah dengan mengintegrasikan terhadap kontenkonten kurikulum di dalam pendidikan budi pekerti yang telah dirumuskan ke dalam seluruh mata pelajaran di sekolah yang sangat relevan, terutama pada mata pelajaran agama, mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan dan bahasa (baik bahasa Indonesia maupun dalam bahasa daerah).Strategi yang kedua ialah dengan mengintegrasikan pendidikan budi pekerti ke dalam kegiatan-kegiatan sehari-hari di sekolah.Strategi yang ketiga ialah dengan mengintegrasikan pendidikan budi pekerti ke dalam kegiatankegiatan yang sudah direncanakan atau pun diprogramkan.Strategi keempat ialah dengan membangun terhadap komunikasi dan kerjasama antara pihak sekolah dengan orang tua para peserta didik. Meminjam
istilah
Socratesdalam
Koesoema
(2007)
dalam
mengajarkanpendidikan budi pekerti, diperlukan karakteristikguru, yaitu ethos (kredibilitas), pathos (belaskasih), dan logos (isi pengajaran yang berguna)agar memberi
dukungan
dan
berkontribusiterhadap
penguatan
nilai-nilai
yang
sedangdiinternalisasikan. Di samping itu, adanya keberlanjutanpenerapan hingga masuk dalam ranahkeluarga dan masyarakat. Dengan demikian, padagilirannya pendidikan budi pekerti itu menyangkutbagaimana pembiasaan itu bisa membudaya danakan membentuk suatu karakter masyarakatdalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Sebagaimamana dinyatakan oleh Ki Hajar Dewantoro (1977), bahwa supaya nilai yang ditanamkan dalam pendidikan tidak tinggal sebagai pengetahuan saja, tetapi sungguh
menjadi
tindakan
seseorang,
maka
produk
pendidikan
mestinya
memperhatikan tiga unsur berikut secara terpadu, yaitu “ngerti-ngerasa-ngelakoni” (mengetahui/memahami,
memiliki/menghayati
dan
melakukan).
Hal
tersebut
mengandung pengertian bahwa agar pendidikan budi pekerti dapat mencapai tujuan yang diinginkan maka hendaknya bentuk pendidikan dan pengajaran budi pekerti mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotor secara terpadu.
238 Pratiwi Wulan Gustianingrum, Strategi Pelaksanaan Pendidikan
PENUTUP Saat ini Pendidikan budi pekerti ditempatkan secarastrategis pada kurikulum pendidikan di Indonesiaterutama dalam tiga hal, yakni berdiri sendiri sebagai matapelajaran, digabung dengan mata pelajaran yangrelevan, dan terintegrasi ke dalam mata pelajaranlain. Hal ini menandakan bahwa aspirasi seluruhrakyat Indonesia menghendaki agar budi pekertiluhur dibudayakan dalam semua aktivitaspembelajaran di sekolah. Untuk itu, domainpendidikan budi pekerti guna mengisi jiwa pesertadidik dengan moral dan akhlak agar memiliki karakter yang baik penting untuk diwujudkan dalamkurikulum sekolah dasar, tetapi pengimplementasiannyajauh lebih penting manakaladisertai adanya upaya pembiasaan, pengamalan,pengkondisian lingkungan dan keteladanan. Hal yang paling terakhir adalah pentingnya juga bantuan dari keluarga dan masyarakat dalam menumbuhkan karakter budi pekerti tersebut, karena keluarga merupakan garda terdepan dalam terbentunya karakter seorang anak dan masyarakat juga memberikan sumbangsih yang besar pula dalam membentuk karakter anak tersebut. DAFTAR PUSTAKA Haidar Putra Daulay, 2004. Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia. Jakarta: Prenada Media, Cet. ke-1. Ki Hajar Dewantara. 1977. Pengajaran Budi Pekerti. Yogyakarta: Taman Siswa, Bag I. Koesoema, A. D. 2007. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: PT.Gramedia Widiasarana Indonesia. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2014. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2014. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2014. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2014. Sutjipto. 2014. Pendidikan Budi Pekerti pada Kurikulum Sekolah Dasar. Dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 20, Nomor 4, Desember 2014. Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang: Kemdikbud. Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
239
MEMBANGUN KARAKTER SISWA SEKOLAH DASAR MELALUI PERINGATAN HARI KARTINI Putri Zudhah Ferryka Universitas Widya Dharma Klaten Email:
[email protected] Abstract Character education is a system to created value include knowledge, individual, religion. In character educate a student need a figure like R.A Kartini. She is a woman, that we known as emancipation women. She fight to be a clever women and able to do everything to her life.
PENDAHULUAN Siswa merupakan generasi yang akan menentukan nasib bangsa di kemudian hari. Dalam membentuk karakter yang berkualitas perlu dibina sejak usia dini. Usia dini merupakan masa kritis bagi pembentukan karakter seseorang. Banyak pakar mengatakan bahwa kegagalan penanaman karakter sejak usia dini, akan membentuk pribadi yang bermasalah dimasa dewasanya kelak. Karakter siswa yang terbentuk sejak sekarang akan sangat menentukan karakter bangsa di kemudian hari. Karakter siswa akan terbentuk dengan baik, jika dalam proses tumbuh kembang mereka mendapatkan cukup ruang untuk mengekspresikan diri secara leluasa. Potensi karakter yang baik sebenarnya telah dimiliki tiap manusia sebelum dilahirkan, tetapi potensi tersebut harus terus-menerus dibina melalui sosialisasi dan pendidikan sejak usia dini. Oleh karena itu penanaman moral melalui pendidikan karakter sedini mungkin kepada anak-anak adalah kunci utama untuk membangun bangsa. Proses pemahaman pendidikan karakter paling baik adalah pada usia 5-11 tahun. Di usia ini, anak cenderung masih memiliki sifat patuh dan juga sedang dalam proses meniru keteladanan dari orang lain. Lembaga Pendidikan Sekolah Dasar diharapkan dapat mengembangkan potensi perilaku anak secara maksimal. Pendidikan karakter di sekolah dasar ini memang tidak diberikan secara langsung melalui sebuah mata pelajaran, tetapi proses pemahamannya dilakukan secara tidak langsung melalui hubungan antara siswa dan guru. Guru dalam sekolah dasar harus dapat memberikan keteladanan pada anak agar anak dapat dijadikan figure yang
240
Putri Zudhah Ferryka, Membangun Karakter Siswa
ditiru oleh anak. Pendidikan karakter anak dalam tahap awal memang dilakukan melalui proses meniru, oleh karena itu anak membutuhkan figure yang tepat untuk ditiru. R.A Kartini adalah simbol gerakan perempuan Indonesia yang mengawali seluruh tradisi dan intelektual gerakan perempuan Indonesia. Kartini berpendapat bahwa bila perempuan ingin maju dan mandiri, maka perempuan harus mendapat pendidikan. Kartini selama ini kita kenal sebagai seorang pejuang emansipasi perempuan, terutama di bidang pendidikan. Kartinilah yang membangun pola pikir kemajuan, dengan cara menggugah kesadaran rakyat, bahwa kaum perempuan harus bersekolah. Setelah kebangkitan nasional, perjuangan perempuan semakin terorganisir. Kartini mengilhami dan membuka mata dan hati para wanita Indonesia untuk mendapatkan kesempatan bersama dengan kaum pria Indonesia. Hal ini kemudian berlanjut hingga masa sekarang ini. Dengan adanya momentum peringatan Hari Kartini yang diperingati setiap tanggal 21 April diharapkan dapat membangun karakter siswa sekolah dasar. Pendidikan Karakter Karakter akan terbentuk dari apa yang kita lihat, kita rasakan, dan dari sebuah aktifitas yang sering kita lakukan yang kemudian menjadi sebuah kebiasaan dan pada akhirnya akan menjadi sebuah kepribadian yang juga disebut dengan karakter. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, karakter adalah sifat - sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain. Sedangkan Menurut Ditjen Mandikdasmen - Kementerian Pendidikan Nasional, karakter adalah cara berfikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah sebuah sistem yang menanamkan nilai karakter pada peserta didik yang mengandung komponen pengetahuan, kesadaran individu, tekad serta adanya kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai - nilai baik terhadap Tuhan YME, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan maupun bangsa. Williams (2000) menegaskan bahwa makna dari pendidikan karakter awalnya digunakan oleh National Commision on Character Education (Amerika) sebagai suatu istilah payung yang meliputi berbagai pendekatan filosofi dan program pemecahan masalah, pembuatan keputusan, penyelesaian konflik merupakan aspek yang penting dari pengembangan karakter moral.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
241
Oleh karena itu dalam pendidikan karakter memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengalami sifat-sifat tersebut secara langsung. Implementasi nilai-nilai karakter yang akan dikembangkan dapat dimulai dari nilai-nilai yang esensial, sederhana, dan mudah dilaksanakan (Kemendiknas, 2011). Kedelapan belas nilai karakter tersebut dideskripsikan oleh Sari (2013) dan Widiyanto (2013) seperti berikut. a. Religius: sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. b. Jujur: perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. c. Toleransi: sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. d. Disiplin: tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. e. Kerja keras: perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaikbaiknya. f. Kreatif: berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki. g. Mandiri: sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. h. Demokratis: cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. i. Rasa ingin tahu: sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari suatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar. j. Semangat kebangsaan: cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. k. Cinta tanah air: cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.
242
Putri Zudhah Ferryka, Membangun Karakter Siswa
l. Menghargai prestasi: sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain. m. Bersahabat/komunikatif: tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain. n. Cinta damai: sikap perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya. o. Gemar membaca: kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya. p. Peduli lingkungan: sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi. q. Peduli sosial: sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. r. Tanggungjawab: sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa. Untuk mewujudkan pendidikan karakter bangsa, secara umum dapat dilakukan melalui pendidikan formal, non formal, dan informal yang saling melengkapi. Hal itu diharapkan mampu memberikan kontribusi optimal dalam mewujudkan masyarakat yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berjiwa persatuan Indonesia, berjiwa kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Pemerintah Republik Indonesia, 2010). Peringatan Hari Kartini Siapa yang tak kenal dengan nama Kartini, biasa disebut dengan Ibu Kita Kartini, merupakan pahlawan wanita dikala masa penjajahan Belanda dahulu. Raden Ajeng Kartini merupakan pahlawan perempuan di Indonesia, beliau lahir pada tangal 21 April 1879. RA Kartini lahir dari keturunan bangsawan, ayahnya bernama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, ayah Kartini kala itu merupakan seorang bupati Jepara. Sedangkan sang ibu bernama M A Ngasirah yang juga merupakan seorang keturunan dari tokoh
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
243
agama yang ada di Jepara dan sangat disegani oleh masyarakat umum yaitu Kyai Haji Madirono. Sebagai seorang dari keturunan bangsawan dan pejabat bupati Jepara, tentu Kartini berada dalam keluarga yang berkecukupan hidupnya baik dalam segi materi ataupun juga dalam dunia pendidikannya. Maka wajar seja apabila kala itu, Kartini diwaktu kecil sudah bisa menempuh pendidikan di ELD (Europese Lagere School) sekolah milik penjajah, dimana diketahui pada masa penjajahan banyak anak-anak sebayanya yang tidak bisa bersekolah karena kekurangan biaya tentunya. Setelah Kartini kemudian beranjak menjadi Kartini dewasa, ia harus memendam cita-citanya utntuk bisa bersekolah lebih tinggi karena adanya sebuah adat yang disebut pingit atau dalam artian tidak boleh seorang gadis keluar rumah. Namun, walaupun begitu Kartini tetap tidak menyerah dengan keadaan, ia tetap semangat belajar dengan cara berkirim surat kepada teman-temannya yang sebagian merupakan orang Belanda. Singkat cerita akhirnya Kartini dinikahi oleh KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, ia merupakaan seorang bupati Rembang. Walaupun sudah menjadi seorang istri dari Bupati, rupanya tak membuat semangat Kartini padam akan dunia pendidikan, ia kemudian mendirikan sebuah sekolah khusus untuk kaum wanita. Hal tersebut juga mendapat dukungan penuh dari sang suami. Akan tetapi, sayang sekali perjuangan Kartini harus terhenti dikarenakan RA Kartini akhirnya meninggal dunia beberapa hari setelah ia melahirkan seorang putera pertamanya yang diberi nama Soesalit Djojoadhiningrat dan lahir pada tanggal 13 September 1904. Beliau meninggal di usianya yang masih muda yaitu 25 tahun pada tanggal 17 September 1904. Selepas kepergian beliau, surat-suratnya dikumpulkan dan dijadikan satu kemudian diberi “Habis Gelap Terbitlah Terang”, hal tersebut adalah untuk menghargai jasa-jasa kartini atas emansipasi wanita maka dari situlah pada tanggal 21 April diperingati sebagai hari Kartini. Tujuan Peringatan Hari Kartini a. Mengapresiasi gagasan dan cita-cita serta pemikiran RA. Kartini dalam perjuangan emansipasi wanita dan kemajuan dalam bidang pendidikan. b. Meningkatkan motivasi dan semangat generasi muda dalam meneladani perjuangan para pahlawan, khususnya RA. Kartini.
244
Putri Zudhah Ferryka, Membangun Karakter Siswa
c. Meningkatkan kekreatifan siswa, kerja keras, semangat kebangsaan, cinta tanah air, dan menghargai prestasi dalam meneladani perjuangan RA. Kartini. Makna Peringatan Hari Kartini a. Mendapatkan pendidikan yang setara Seorang perempuan memiliki hak yang sama dalam memperoleh pendidikan. Itulah juga yang merupakan inti dari perjuangan Kartini dalam membebaskan kaum perempuan dari kebodohan. Kini hal tersebut tampak nyata dari banyaknya perempuan yang telah mengenyam pendidikan yang tinggi dan akhirnya memiliki profesi yang sangat baik di bidangnya. Hal ini bahkan menjadi sebuah kebanggaan bagi Indonesia karena memiliki perempuan hebat yang mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional. Kesetaraan pendidikan juga berlaku mulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Bahkan tak jarang seorang perempuan memiliki kegigihan yang lebih tinggi dibandingkan dengan para pria. Sehingga banyak dari mereka yang memiliki prestasi terbaik di bidang akademik. Mendapatkan perlakuan yang sama dalam segi kehidupan Makna hari Kartini menjadi moment tersendiri bagi mereka yang merasa ditindas di keluarga atau di lingkungannya berada. b. Membuat rasa nasionalisme kita ada dan bertumbuh. Siswa menjadi peduli dalam membangun bangsa kita, tidak menyerah dengan keadaan yang serba sulit seperti saat ini. c. Semangat Pembelajar Kartini memberikan semangat pembelajar yang luar biasa hebatnya bagi kita. Semangat untuk mencari ilmu, mencermati dan bertanya kepada semua orang tentang apa yang belum beliau ketahui patutlah kita contoh. d. Berjiwa Religius Kartini dengan kekritisannya bisa mendongkrak kemajuan beragama yang kala itu diwarnai dengan semangat puritanisme jawa dan kemampuan penjajah menciptakan dan menggunakan ‘ketakutan-ketakutan’ beberapa kyai untuk mengungkap fakta beragama agar terlihat sakral dan tabu untuk dipelajari lebih dalam lagi. Dengan hal tersebut, pelajar saat ini sebaiknya memiliki keinginan kuat untuk kembali pada semangat religius yang mantap, belajar dan terus menggali lagi ilmu agama yang
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
245
mereka yakini, sehingga diharapkan pelajar sekarang bisa menjadi pelajar yang berpikiran luas, namun tetap memiliki jiwa religius. e. Kaum perempuan memiliki hak untuk melawan dari berbagai tindakan kekerasan seperti yang terjadi dalam rumah tangga. Hukum pun menjamin kebebasan perempuan tersebut sehingga bagi mereka yang berani menyakiti perempuan dapat dikenai pasal hukum yang berat. Hal ini sungguh jauh berbeda dengan jaman dulu dimana wanita lebih banyak ditindas dan diremehkan f. Menjadikan Siswa Memiliki Moral yang Baik Masalah sosial bangsa Indonesia saat ini adalah kemerosotan moral yang tak dapat dielakkan lagi. Kartini pastinya tidak pernah mengharapkan pelajar yang tidak bermoral, meninggalkan nilai-nilai moral dan tatanan ketimuran. Banyak bagian yang harus diperbaiki oleh pelajar di zaman sekarang. Pelajarlah yang semestinya dapat mengusung perbaikan moral itu. Kaum pelajar diharapkan memiliki moralitas tinggi, dedikasi terhadap perbaikan moral, dan kepekaan terhadap kebutuhan masyarakat untuk membenahi diri dan masyarakatnya melalui sikap nyata mereka di segala bidang g. Menumbuhkan Kepekaan Sosial terhadap Sesama Kartini bisa memberikan inspirasi bagi semua rakyat Indonesia khususnya para pelajar Indonesia untuk memiliki kepekaan sosial terhadap persoalan-persoalan yang ada disekitarnya.
Pemikiran Kartini untuk menyuntikkan semangat melawan
penjajah dari sudut pandang pendidikan dan perubahan sosial memiliki efek jangka panjang. Saatnya kaum pelajar berjalan disekitar masyarakatnya untuk mengamati dan berbuat lebih banyak bagi lingkungan dan sesamanya serta membangkitkan nuansa semangat Kartini yang dulu pernah dirasakan. Beberapa Kegiatan Peringatan Hari Kartini yang Mendukung Pendidikan Karakter a. Upacara Bendera Upacara bendera adalah sebuah kegiatan yang sangat baik dalam mengenang jasa para pahlawan bangsa. Dalam upacara ada acara berdoa untuk arwah para pahlawan bangsa. Pembina upacara biasanya meminta para peserta upacara untuk berdoa, dan
246
Putri Zudhah Ferryka, Membangun Karakter Siswa
mengenang jasa-jasa para pahlawan bangsa, sambil diputarkan lagu mengheningkan cipta. Di saat-saat itulah siswa akan mengenang jasa para pahlawan bangsa yang telah mendahului kita. Merasakan benar jiwa kepahlawanan mereka. Melaksanakan upacara bendera dapat meningkatkan nilai karakter kedisiplinan, cinta tanah air, serta menumbuhkan rasa tanggung jawab. b. Pawai keliling Pawai keliling dilaksanakan siswa-siswa setelah selesai melakukan upacara bendera. Tujuan dari kegiatan ini adalah menumbuhkan rasa percaya diri siswa memakai pakaian adat meskipun berada di era saat ini, menumbuhkan kemandirian siswa, semangat kebangsaan, serta cinta tanah air. Kegiatan ini juga memancing masyarakat penasaran sehingga keluar dari rumah untuk menonton Pawai ini. c. Berbagai kegiatan lomba seperti: lomba mirip wajah tokoh pahlawan nasional Kartini, fashion show, menyanyikan lagu daerah, lomba baca puisi, menggambar dan mewarnai wajah Kartini, memasak, dan lainnya. Kegiatan ini bertujuan untuk menampung eksprersi dan kreatifitas siswa agar dapat lebih memahami makna dari peringatan hari Kartini dalam bidang kesenian, mengakrabkan tali persaudaraan di lingkungan sekolah, meningkatkan rasa nasionalisme, meneladani semangat perjuangan para pahlawan dalam kehidupan sehari-hari dengan mengisi hal-hal yang positif dan membangun Indonesia agar lebih maju. Penutup Emansipasi wanita sebagian telah terwujud, namun demikian para wanita tentunya tidak boleh meninggalkan sifat-sifat kodrat sebagai wanita. Apalagi sebagai wanita yang dibesarkan dalam tata cara adat ketimuran dimana wanita adalah lambang keluwesan, kelembutan, keindahan dan kesopanan. Kartini itu harus ada pada setiap pelajar Indonesia, yaitu pelajar yang mampu berprestasi, berjiwa sosial tinggi dan tak melupakan tugasnya dalam keluarga. Emansipasi tanpa semangat moralitas hanya menjadikan kaum pelajar kehilangan sebagian indentitasnya. Suri tauladan dari sikapsikap Kartini yang tentang kepekaan, kelembutan, pengabdian yang tulus, dan ketinggian budi harus ditumbuhkan dalam setiap pelajar sebagai bekal untuk dapat menghadapi kehidupan sekarang.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
247
Pendidikan karakter harus dilaksanakan sebagai suatu sistem penanaman nilainilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi generasi penerus yang berkarakter. Pendidikan karakter sangat penting keberadaannya karena dapat meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Bila pendidikan karakter telah mencapai keberhasilan, maka akan terwujud generasi penerus bangsa yang berkarakter dan tidak diragukan lagi masa depan bangsa Indonesia ini akan mengalami perubahan menuju kejayaan. Perjuangan R.A Kartini perlu kita lanjutkan dan kita teladani dalam kehidupan sehari-hari sehingga siswa bisa menjadi pelajar mandiri, bekerja keras, kreatif, bertanggung jawab, dan berjiwa besar dalam menghadapai tantangan hidup. DAFTAR PUSTAKA Depdiknas. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Balai Pustaka. Jakarta. Kemendiknas. 2011. Panduan melaksanakan Pendidikan Karakter. Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum dan Perbukuan. Jakarta. Widiyanto dan Sari. 2013 Pendidikan Karakter. http://dominique/2015/04/pendidikankarakter-bangsa.html. Akses: Kamis 19 Mei 2016, 06.29 AM. Williams, M. (2000). Model shof character education: Perspectives and developmental issues. Journal of Humanistic Counseling. Education and Development, 39, pp.32-40. http://makalahproposal.co.id/2014/05/contoh-makalah-pendidikan.html. Akses: Jumat 20 Mei 2016, 05.29 AM. https://www.scribd.com/doc/108817786/Proposal-Hari-Kartini. Akses: Jumat 20 Mei 2016, 05.59 AM. http://www.biografiku.com/2009/01/biografi-ra-kartini.html. Akses: Jumat 20 Mei 2016, 06.03 AM.
248
Putri Zudhah Ferryka, Membangun Karakter Siswa
PEMBELAJARAN IPA MENUMBUHKAN KARAKTER SISWA Putu Victoria M. Risamasu Universitas Cenderawasih E-mail:
[email protected] Abstract Mental crisis in all dimensions of fade even cause the loss of the noble values of the nation, then it becomes imperative for the nation to restore the ideals of this nation with a mental revolution: building mentality in a positive direction. Efforts to change the mentality in a positive direction at the start of the study. Education has a strategic role to build a generation of intelligent and humane. The character is a human psychological trait that affects a person's thoughts and behavior in the form of character or be a person's character. Mental is a character, behavior, manners, or a person's character that influenced his inner nature. Through the education of children be helped to develop their full potential to evolve so as to be fully human. Human wholeness when able to develop their thoughts, feelings, psychomotor, and most importantly the heart as the source of spirit that can move the various components. Changing negative mental state has done, one through sub-systems of education that learning science. Through science teaching children helped to understand natural phenomena and develop a number of attitudes as a result of studying science. Learn science by using approaches, models, strategies and methods of learning that integrates the skills of thinking and strategies of thinking in student activities, it will train students for skilled thinking, and able to solve problems and foster noble values: honesty, discipline, hard working, responsible, independent, conscientious, courageous communication, etc. Learning science applications that implement the principles of science and learning should a scientist is able to overcome the problems of the crisis scientific capabilities of students and student character. Growth and character development can be done through the use of models, strategies or approaches that lead to learning becomes habitual character education is not just a discourse. Keywords: Learning science, cultivate character
PENDAHULUAN Revolusi mental sekarang kembali di dengungkan pimpinan tertinggi negara kita dan di gaungkan bukan tanpa alasan, sebab kepribadian manusia Indonesia belakangan ini semakin jauh dari cita-cita bangsa. Krisis mental di segala dimensi memiriskan bagi sedikit orang yang masih tetap menjunjung nilai-nilai luhur bangsa, maka menjadi keharusan bagi bangsa ini untuk mengembalikan cita-cita bangsa ini dengan revolusi mental: membangun mentalitas ke arah yang positif.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
249
Upaya mengubah mentalitas ke arah yang positif di mulai dari pendidikan. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 3 menyebutkan, bahwa pendidikan nasional berfungsi “mengembangkan kemampuan” dan “membentuk watak” serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dengan demikian, pendidikan mempunyai peran yang strategis untuk membangun generasi cerdas dan berkarakter. Mental menyangkut psikis atau gambaran watak seseorang. Adapun watak merupakan sifat psikis manusia yang mempengaruhi pikiran dan tingkah laku seseorang berupa budi pekerti atau menjadi karakter seseorang. Singkat kata, mental merupakan karakter, tingkah laku, budi pekerti, atau tabiat seseorang yang di pengaruhi sifat batinnya (Zuhdan, 2015). Secara sederhana, pendidikan dapat dimaknai sebagai usaha untuk membantu anak untuk mengembangkan seluruh potensinya untuk berkembang sehingga menjadi manusia seutuhnya.
Keutuhan manusia ketika mampu mengembangkan pikiran,
perasaan, psikomotorik, dan yang terpenting adalah hati sebagai sumber spirit yang dapat menggerakkan berbagai komponen yang ada. Inilah yang dimaksudkan oleh Ki Hajar Dewantara dengan olah pikir, olah rasa, olah raga dan olah hati. Artinya, pendidikan harus diarahkan pada pengolahan keempat domain tersebut (Yaumi, 2014). Pembelajaran IPA Menumbuhkan Karakter Siswa Harapan bahwa Pendidikan dapat mengubah mental negatif bangsa ini telah dilakukan, salah satunya melalui sub sistem pendidikan yaitu pembelajaran. Pembelajaran di setiap jenjang pendidikan terdiri dari sejumlah mata pelajaran, salah satunya mata pelajaran IPA (Ilmu Pengetahuan Alam). Lewat pembelajaran IPA anak dibantu untuk memahami fenomena alam dan mengembangkan sejumlah sikap sebagai dampak dari mempelajari IPA. Lewat belajar IPA siswa dapat meningkatkan proses berpikirnya. Menurut Carin dan Sund (Asih, 2014), IPA memiliki empat unsur utama yaitu: 1) sebagai sikap yaitu memunculkan rasa ingin tahu, jujur, teliti, dll serta hubungan sebab akibatnya, 2) sebagai proses, yaitu adanya pemecahan masalah meliputi
250 Putu Victoria M. Risamasu, Pembelajaran IPA Menumbuhkan
metode ilmiah yang sistematis yang ditunjukkan lewat kerja ilmiah, 3) sebagai produk, yaitu berupa fakta, prinsip, teori, hukum, dan 4) sebagai aplikasi, yaitu penerapan metode ilmiah dan konsep dalam kehidupan sehari-hari. Dalam proses pembelajaran, keempat unsur ini diharapkan muncul sehingga siswa mengalami proses pembelajaran secara utuh dan dapat memahami fenomena alam melalui kegiatan ilmiah yang menerapkan metode ilmiah. Oleh sebab itu IPA sering disamakan dengan the way of thinking. Dalam mempelajari IPA, siswa menerima dan memahami pengetahuan sebagai bagian dari dirinya, dan kemudian mengolahnya sedemikian rupa untuk membekali mereka kecakapan dalam memecahkan berbagai fenomena alam dan masalah dalam kehidupan mereka. IPA berawal dari suatu penemuan oleh para ahli. Dengan demikian, proses pembelajaran IPA menitikberatkan pada suatu proses penelitian dan pemecahan masalah. Pembelajaran IPA bukan hanya sekedar materi pelajaran yang di dengar ketika diucapkan guru, terlupakan ketika guru selesai mengajar, dan baru di ingat kembali ketika memasuki masa ulangan atau ujian datang. Namun banyak kenyataan yang terjadi dilapangan menunjukkan pembelajaran IPA tidak mencerminkan tujuan pendidikan. Pembelajaran di dalam kelas lebih fokus kepada mempersiapkan siswa untuk lulus ujian (ujian sekolah dan ujian nasional/UN) serta siap bertanding di berbagai ajang lomba berorientasi kognitif seperti olimpiade sains, atau lomba sejenisnya. Metode mengajar gaya lama yang digunakan oleh banyak guru telah membuat siswa tercipta sebagai penghafal yang baik. Padahal sesungguhnya lewat proses pembelajaran IPA siswa dilatih untuk berbagai kemampuan. Sekolah bukan lagi sebagai tempat belajar, tapi berubah menjadi lembaga pelatihan yang menekankan pada menghafal materi daripada mengembangkan kemampuan atau kecakapan siswa untuk menghadapi kehidupannya. Pembelajaran akhirnya hanya menekankan pada aspek intelektual saja tanpa memperhatikan proses dan pembentukan watak/karakter anak. Proses pembelajaran di kelas masih terbatas pada “to learn to know” sedangkan aspek “learn how to learn” belum dilaksanakan secara memadai. Pembelajaran masih berpusat pada guru (teacher centered). Masih banyak guru menggangap bahwa informasi dapat dipindahkan begitu saja dari otak guru ke otak siswa. Hal ini membuat siswa jarang mendapatkan kesempatan untuk mengemukakan
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
251
idenya secara individu maupun berkelompok. Bahkan guru lebih banyak mendominasi jalannya pembelajaran. Berdasarkan hasil penelitian tentang kinerja guru dan persepsi siswa terhadap pelajaran IPA di salah satu sekolah SMP dikota Jayapura menunjukkan bahwa banyak siswa tidak menyenangi pelajaran IPA karena dianggap merupakan materi yang sulit (Rini, 2015).
Menurut siswa, belajar IPA selalu identik dengan latihan soal yang
banyak. Soal yang penuh dengan hitungan. Siswa juga mengalami kesulitan ketika menyelesaikan soal-soal yang membutuhkan penalaran. Mereka juga mengatakan tidak pernah dipelajari sebelumnya dan tidak ada jawabannya di buku. Selain itu, siswa juga mengalami krisis kemampuan ilmiah yang ditunjukkan dengan rendahnya kemampuan kinerja ilmiah siswa yaitu rendahnya penguasaan/keterampilan proses sains (KPS) dimana
siswa
tidak
terbiasa
dengan
kegiatan
mengamati,
mengklasifikasi,
menginterpretasi, mengajukan hipotesis, menggunakan alat dan bahan, melakukan percobaan, dan kegiatan lainnya yang menggunakan metode ilmiah yang biasa dilakukan para ilmuwan. Padahal sesungguhnya dengan melakukan sains (doing sains) maka siswa akan terbiasa dengan pola kerja ilmiah dan secara otomatis akan memunculkan karakter sebagai dampaknya, seperti: rasa ingin tahu, kerja keras, jujur, disiplin, teliti, mandiri, tanggung jawab, kreatif, berani/kritis, logis, demokratis,peduli lingkungan, dll. Untuk memperbaiki keadaan/situasi pembelajaran seperti itu, perlu dilakukan perubahan mindset guru dan siswa. Dengan melakukan beberapa perubahan dalam proses pembelajaran diharapkan mampu meningkatkan kemampuan ilmiah siswa dan menumbuhkan karakter siswa. Siswa dengan kinerja ilmiah yang tinggi, tentu akan mampu membentuk pengetahuannya sendiri. Hal ini sejalan dengan prinsip dari konstruktivisme, bahwa siswalah yang aktif mengkonstruksi pengetahuannya. Jadi, guru tidak perlu khawatir kekurangan waktu untuk menyelesaikan materi yang menjadi tuntutan kurikulum, karena dengan kemampuan ilmiah yang dimiliki, siswa mampu membangun pengetahuannya sendiri dan akan menumbuhkan karakter siswa. Belajar tidak lagi hanya dibatasi tempat dan terpaku pada guru di sekolah, namun siswa dapat melakukan ekplorasi pengetahuan di mana saja (Zuhdan, 2013). Orientasi pembelajaran harus diubah dari pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centered) menjadi pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered) agar pembelajaran IPA
252 Putu Victoria M. Risamasu, Pembelajaran IPA Menumbuhkan
menjadi lebih berkualitas. Pembelajaran yang berkualitas ditunjukkan oleh tingkat interaksi dan partisipasi aktif siswa dalam proses pembelajaran dan menumbuhkan karakter siswa. Penumbuhan nilai-nilai karakter secara umum dapat dilakukan dengan beberapa strategi, salah satu diantaranya adalah diintegrasikan dalam mata pelajaran, termasuk pelajaran IPA. Pembiasaan dapat dilakukan dalam kehidupan keseharian di satuan pendidikan yaitu dalam proses belajar di kelas. Lewat belajar IPA dengan menggunakan pendekatan, model, strategi dan metode belajar yang mengintegrasikan keterampilanketerampilan berpikir dan strategi-strategi berpikir dalam aktivitas siswa, maka secara tidak langsung siswa sudah berlatih untuk terampil berpikir, strategi berpikir dan kemampuan memecahkan masalah dan menumbuhkan nilai-nilai mulia, yaitu memiliki nilai-nilai : jujur, disiplin, kerja keras, bertanggungjawab, mandiri, teliti, berani berkomunikasi, dll (Asih, 2014). Dengan pembelajaran IPA melalui penyelidikan (eksperimen/demonstrasi) dan diskusi yang dilakukan,
siswa dibelajarkan dengan
aplikasi prinsip-prinsip sains dan belajar selayaknya seorang ilmuwan. Hal-hal tersebut dapat
dilakukan
dengan
penerapan
pembelajaran
menggunakan
pendekatan
pembelajaran yang mampu mengatasi permasalahan krisis kemampuan ilmiah siswa dan karakter siswa. Penumbuhan dan pengembangan karakter dapat dilakukan melalui penggunaan model, strategi atau pendekatan pembelajaran yang menyebabkan pendidikan karakter menjadi habitual bukan hanya sekedar wacana (Faiq dan Insih, 2015). Model, pendekatan, strategi, dan metode pembelajaran yang dimaksud adalah yang melibatkan proses sains bagi siswa yaitu sejumlah keterampilan yang melatih siswa berpikir untuk menemukan suatu konsep melalui sejumlah langkah-langkah ilmiah yang biasa dilakukan oleh ilmuwan. Langkah-langkah kegiatan meliputi: pengamatan, menginferensi, merumusan masalah, pengajuan hipotesis, merencanakan pengujian hipotesis, melakukan pengujian hipotesis melalui eksperimen dan demonstrasi, mencatat data hasil eksperimen, mengolah data, menganalisis data, serta membuat kesimpulan, dll (Liliasari,2009). Keterampilan proses sains ini ditemui dalam model-model pembelajaran yang mengaktifkan siswa untuk berpikir kritis dan kreatif. Saat ini dengan diberlakukannya kurikulum 2013 (K-13), diharapkan dapat menghasilkan insan yang produktif, kreatif, dan inovatif melalui penguatan sikap (tahu
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
253
mengapa), keterampilan (tahu bagaimana), dan pengetahuan (tahu apa) yang terintegrasi (Trianto, 2014). Berorientasi pada hal tersebut, maka K-13 menitikberatkan pada pembelajaran yang mengaktifkan siswa dan merangsang siswa untuk berpikir kritis dan kreatif. Pembelajaran yang dapat digunakan adalah: pembelajaran inkuiri, discovery, pembelajaran berbasis masalah, berbasis proyek, berbasis masalah, problem solving, kontekstual, kooperatif, Do-Talk-Do (DTD), dll. Melalui penerapan pembelajaran tersebut dalam pembelajaran IPA, diharapkan siswa akan memiliki kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang lebih baik. Namun sampai saat ini, belum semua guru dapat menerapkannya dalam proses belajar mengajar (PBM). Kebijakan pemerintah mengubah kurikulum tidak diikuti dengan lebih dulu mempersiapkan gurunya. Dengan kata lain, kurikulum di ubah sebelum mengubah (mempersiapkan) gurunya. Sehingga dalam pelaksanaan PBM di sekolah-sekolah pola pengajaran
lama
terkadang
masih
dilaksanakan.
Walaupun
dilaksanakan,
implementasinya masih terbatas pada eksperimen yang bersifat verifikasi saja. Banyak guru belum mampu melaksanakan PBM IPA yang membiasakan siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan mereka sendiri lewat hands on activities. Beberapa guru IPA menyatakan kurangnya pemahaman mereka terhadap implementasi model-model pembelajaran yang berbasis doing science (Rini, 2015; Sisca, 2015). Model/Pendekatan Pembelajaran Inkuiri dalam pembelajaran IPA Pembelajaran inkuiri adalah pembelajaran yang berpusat pada peserta didik yang berfokus
pada
pertanyaan-pertanyaan
(keingintahuan).
Pembelajaran
Inkuiri
dimaksudkan untuk mengembangkan keterampilan memecahkan masalah dengan menggunakan pola pikir. Keutamaan pembelajaran inkuiri yaitu: 1) Keterlibatan peserta didik secara maksimal pada proses kegiatan belajar. 2) Keterarahan secara logis dan sistematis pada tujuan pembelajaran. 3) Mengembangkan sikap percaya diri peserta didik tentang apa yang ditemukan. Inkuiri menempatkan peseta didik termotivasi untuk bersungguh-sungguh melakukan kegiatan sendiri atau berbentuk kelompok untuk menemukan jawaban dari konsep yang dipelajari. Jarolimek dalam Trianto (2014), menyebutkan tujuan utama pembelajaran yang berorientasi pada inkuiri adalah mengembangkan sikap dan keterampilan siswa sehingga mereka dapat menjadi pemecah masalah yang mandiri (independent problem
254 Putu Victoria M. Risamasu, Pembelajaran IPA Menumbuhkan
solvers). Ini berarti siswa tersebut perlu mengembangkan pemikiran spektif tentang suatu hal dan peristiwa-peristiwa yang ada di dunia ini. Pendapat yang lain datang dari Joice dan Weil dalam Trianto (2014), mengatakan bahwa tujuan umum dari inkuiri adalah membantu siswa mengembangkan kemampuan disiplin dan keterampilan intelektual yang diperlukan untuk memunculkan masalah dan mencari jawabannya sendiri melalui rasa keingintahuannya. Berdasarkan kedua pendapat di atas, dapatlah disimpulkan bahwa tujuan umum dari inkuiri adalah membantu siswa mengembangkan disiplin dan keterampilan intelektual untuk memunculkan masalah dan kemudian dapat mencari jawabannya sendiri sehingga mereka dapat menjadi pemecah masalah yang mandiri. Kelebihan inkuiri adalah: 1) Dapat membentuk dan mengembangkan “selfconcept” pada diri peserta didik, sehingga peserta didik dapat mengerti tentang konsep dasar dan ide-ide yang lebih baik. 2) Membantu dalam menggunakan ingatan dan mentrasfer pada situasi proses belajar yang baru. 3) Mendorong peserta didik untuk berfikir dan bekerja atas inisiatif sendiri (kritis/kreatif), bersifat objektif, jujur dan terbuka. Mendorong peserta didik untuk berfikir intuitif dan merumuskan hipotesis sendiri. 4) Memberikan kepuasan yang bersifat instrinsik. 5) Situasi proses belajar menjadi terangsang. 6) Dapat mengembangkan bakat atau kecakapan individu. 7) Memberi kebebasan peserta didik untuk belajar sendiri (mandiri). 8) Peserta didik dapat menghindari dari cara-cara belajar tradisional (Trianto, 2014).
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
255
Tabel 1. Pembelajaran Inkuiri dan nilai-nilai karakter yang dikembangkan No 1. 2.
Fase Menyajikan pertanyaan atau masalah Membuat hipotesis
Aktivitas siswa Siswa mengidentifikasikan masalah dengan menuliskannya di LKS Siswa mengeluarkan pendapat untuk menentukan hipotesis yang relevan dengan permasalahan dan memprioritaskan hipotesis mana yang menjadi prioritas penyelidikan. Siswa menentukan langkahlangkah percobaan yang sesuai dengan hipotesis yang dilakukan dengan bimbingan guru Siswa melakukan percobaan.
3.
Merancang percobaan
4.
Melakukan percobaan untuk memperoleh informasi Mengumpulkan Siswa mengumpulkan dan dan mengalisis data mengolah data yang terkumpul untuk membuktikan hipotesis. Membuat Siswa membuat kesimpulan kesimpulan
5.
6.
Nilai-nilai yang dikembangkan Rasa ingin tahu, kerja keras, teliti, mandiri, ……. Kritis, Kreatif, Demokratis, komunikatif,…….
Rasa ingin tahu, kerja keras, teliti, mandiri, kritis, kreatif,……. Rasa ingin tahu, kerja keras, teliti, jujur, mandiri, kritis, kreatif,……. Rasa ingin tahu, kerja keras, teliti, jujur, mandiri, kritis, kreatif,……. Jujur, mandiri, kritis, …….
Pembelajaran Discovery/Penemuan dalam Pembelajaran IPA Salah satu model instruksional kognitif yang sangat berpengaruh ialah model dari Jerome Bruner yang dikenal dengan belajar penemuan (Discovery Learning). Bruner menganggap, bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya memberikan hasil yang paling baik. Berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna (Trianto, 2014). Bruner menyarankan agar siswa-siswa hendaknya belajar melalui partisipasi secara aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, agar mereka dianjurkan untuk memperoleh pengalaman, dan melakukan eksperimen-eksperimen yang mengizinkan mereka untuk menemukan prinsip-prinsip itu sendiri.
256 Putu Victoria M. Risamasu, Pembelajaran IPA Menumbuhkan
Discovery adalah pembelajaran dimana guru memberikan kebebasan siswa untuk menemukan sesuatu sendiri karena dengan menemukan sendiri siswa dapat lebih mengerti secara dalam. Dengan menemukan sendiri, siswa akan sampai pada pengalaman gembira dan menyenangkan. Dalam pembelajaran ini siswa berperan aktif dalam proses belajar dengan : (1) menjawab berbagai pertanyaan atau persoalan, (2) memecahkan persoalan, untuk menemukan konsep dasar. Peran guru berubah dari menyajikan informasi dan konsepnya, menjadi mengajak siswa bertanya, melihat, dan mencari sendiri. Guru paling memberi arahan (Suparno, 2007). Menurut Trowbridge & Bybee dalam Suparno (2007), menjelaskan discovery sebagai proses mental dimana siswa mengasimilasikan suatu konsep atau prinsip. Discovery terjadi bila seseorang sungguh terlibat dengan proses berpikir untuk menemukan konsep atau prinsip-prinsip. Unsur penting dalam proses ini adalah siswa dengan menggunakan pikirannya sendiri mencoba menemukan sesuatu pengertian dari yang digeluti. Jadi siswa sungguh terlibat aktif. Proses discovery itu meliputi: Mengamati. Siswa mengamati gejala atau persoalan yang dihadapi.
1) 2)
Menggolongkan. Siswa mengklasifikasikan apa-apa yang ditemukan dalam pengamatan sehingga menjadi lebih jelas. 3) Memprediksi. Siswa diajak untuk memperkirakan mengapa gejala itu terjadi atau mengapa persoalan itu terjadi.
4) Mengukur.
Siswa melakukan pengukuran terhadap yang diamati untuk memperoleh data yang lebih akurat yang dapat digunakan untuk mengambil kesimpulan.
5) Menguraikan
atau menjelaskan. Siswa dibantu untuk menjelaskan atau menguraikan dari data pengukuran yang dilakukan. 6) Menyimpulkan. Siswa mengambil kesimpulan dari datadata yang didapatkan. Tabel 2. Pembelajaran Discovery /Penemuan Terbimbing No
Fase
1
Orientasi pada siswa
2
Mengorganisasi kan siswa dalam belajar
Aktivitas siswa Siswa memahami tujuan pembelajaran, tahu logistik yang dibutuhkan, terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang diberikan guru. siswa mendefinisikan tugas-tugas yang berkaitan dengan masalah serta menyediakan alat.
Nilai Karakter yang di kembangkan Rasa ingin tahu, kritis, mandiri, …….
Kritis, Kreatif, Demokratis, komunikatif,…….
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
257
3
4 5
Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok Menyajikan / mempresentasik an hasil kegiatan Mengevaluasi kegiatan
siswa melaksanakan eksperimen dan mengumpulkan informasi yang sesuai, untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah. siswa menyiapkan karya/laporan, dan mempresentasikannya Guru membantu siswa untuk merefleksi pada penyelidikan dan proses penemuan yang digunakan.
Rasa ingin tahu, kerja keras, teliti, jujur, mandiri, kritis, kreatif,……. jujur, mandiri, kritis, komunikatif, demokratis,……. kerja keras, teliti, jujur, mandiri, kritis, kreatif,…….
Penutup Pembelajaran IPA diyakini dapat menumbuhkan karakter siswa. Pembelajaran IPA yang membiasakan siswa melakukan sains (doing sains) maka siswa akan terbiasa dengan pola kerja ilmiah dan akan berdampak pada tumbuhnya karakter seperti: rasa ingin tahu, kerja keras, jujur, disiplin, teliti, mandiri, bertanggungjawab, kreatif, berani/kritis, komunikatif, logis, demokratis, peduli lingkungan, dll. Orientasi pembelajaran harus diubah dari pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centered) menjadi pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered) agar pembelajaran IPA menjadi lebih berkualitas. Pembelajaran yang berkualitas ditunjukkan oleh tingkat interaksi dan partisipasi aktif siswa dalam proses pembelajaran dan menumbuhkan karakter siswa. DAFTAR PUSTAKA Asih, Widi Wisudawati & Eka Sulistyowati. 2014. Metodologi Pembelajaran IPA. Jakarta: Bumi Aksara. Faiq Makhdum Noor & Insih Wilujeng. 2015. Pengembangan SSP Fisika Berbasis Pendekatan CTL untuk Meningkatkan Keterampilan Proses Sains dan Motivasi Belajar. Jurnal Inovasi Pendidikan IPA, Volume 1 – Nomor 1, April 2015. Liliasari & Muh. Tawil. 2014. Keterampilan-Keterampilan Sains dan Implementainya dalam Pembelajarean IPA. Makasar: UNM. Rini Kurniati. 2015. Persepsi Guru dan Siswa Terhadap Pelajaran IPA di SMP Negeri 11 Jayapura. Skripsi FKIP Universitas Cenderawasih. Tidak dipublikasikan. Batong, Sisca J.T, 2015. Persepsi Guru Terhadap Implementasi K- 13. Skripsi FKIP Universitas Cenderawasih. Tidak dipublikasikan. Suparno, Paul. 2007. Metodologi Pembelajaran Fisika Kontruktivistik & Menyenangkan. Yogyakarta. Universitas Sanata Dharma. Trianto. 2014. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif, Progresif dan Kontekstual. Jakarta: Prenadamedia. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 258 Putu Victoria M. Risamasu, Pembelajaran IPA Menumbuhkan
Mohamad Yaumi. 2014. Pendidikan Karakter – Landasan, Pilar & Implementasi. Jakarta: Kencana. Zuhdan Kun Prasetyo dkk. 2013. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Sains Terpadu untuk Meningkatkan Kognitif, Keterampilan Proses, Kreativitas Serta Menerapkan Konsep Ilmiah Siswa SMP. Yogyakarta: LPPM UNY. Zuhdan, K.P. 2015. Siklus Belajar DTD dalam Belajar IPA untuk Mengembangkan Mentalitas Siswa. Semarang: Semnas IPA VI Tahun 2015.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
259
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA SEBAGAI SARANA MEMBANGUN KARAKTER GENERASI MUDA PENERUS BANGSA Rini Agustina IKIP PGRI Pontianak Email:
[email protected] Abstract This paper aims to describe how the role of Indonesian language and literature as a means of establishing the character of the young generation of the nation's future. In UUD 1945 Bab XV Pasal 38 which reads, "The language is Indonesian nation: " The sound of that article implies meaning that all matters relating to the affairs of state must be submitted by using Indonesian”. Indonesian is the national language which is used as a means of communication, so that the Indonesian was also able to build communication skills, skills of expression, ideas and views on addressing a problem faced in life in this global era. Such skills are certainly very needed in facing the challenges of the times. Keywords: language, character, youth PENDAHULUAN Bahasa diciptakan sebagai alat komunikasi universal yang diharapkan dapat dimengerti oleh setiap manusia untuk melakukan suatu interaksi sosial dengan manusia lainnya. Bahasa terdiri dari kumpulan kata atau kalimat yang dari masing-masing susunan kata memiliki makna untuk mengungkapkan gagasan, pikiran atau perasaan seseorang. Oleh karena itu, kita harus memilih kata-kata yang tepat dan menyusun katakata tersebut sesuai dengan aturan tata bahasa yang ada, agar makna yang terkandung di setiap kalimat dapat tersampaikan dengan baik dan jelas. Tantangan di era globalisasi saat ini pada kehidupan global yang kita hadapi mengharuskan kita untuk lebih memperkuat jati diri dan karakter sebagai suatu bangsa. Penguatan jati diri dan karakter bangsa ini menjadi suatu keharusan agar bangsa Indonesia dapat tetap eksis dan mampu menunjukkan jati dirinya sebagai suatu bangsa di tengah-tengah derasnya arus kehidupan dan budaya global itu. Dengan jati diri dan karakter yang kuat, diharapkan bangsa Indonesia tetap mampu bersaing dan sekaligus ikut bermain peran dalam kancah kehidupan global. Bangsa yang berkarakter, dalam hal
260 Rini Agustina, Bahasa dan Sastra Indonesia
ini, tidak saja bangsa yang mampu memperlihatkan jati diri dan kepribadian yang kuat, tetapi juga penuh tanggung jawab, jujur, disiplin, berkualitas, dan mempunyai kompetensi yang tinggi. Terkait dengan hal tersebut, bahasa Indonesia memegang peranan yang amat penting dalam pendidikan karakter bangsa. Hal itu karena dengan mencintai bahasa Indonesia berarti juga mencintai bangsa Indonesia karena bahasa pada hakikatnya juga merupakan simbol identitas bangsa. Karakter yang bertumpu pada kecintaan dan kebanggaan terhadap bahasa dan bangsa seperti itu pada dasarnya juga merupakan refleksi dari kecintaan dan kebanggaan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai pilarnya. Bahasa menunjukkan bangsa. Ungkapan itu juga berarti bahwa bahasa menunjukkan jati diri dan karakter bangsa penuturnya. Tutur kata yang lembut dan santun, misalnya, juga dapat dipandang sebagai pencerminan dari karakter pribadi penuturnya yang santun. Untuk itu, pengajaran bahasa juga harus diarahkan padapendidikan karakter budi pekerti yang luhur, berakhlak mulia, dan sikap yang santun. Indonesia adalah negara yang sangat kaya, baik kekayaan alamnya maupun suku bangsanya. Penguatan jati diri dan karakter bangsa ini menjadi suatu keharusan agar bangsa Indonesia dapat tetap eksis dan mampu menunjukkan jati dirinya sebagai suatu bangsa di tengah-tengah derasnya arus kehidupan dan budaya global itu. Dengan jati diri dan karakter yang kuat, diharapkan bangsa Indonesia tetap mampu bersaing dan sekaligus ikut bermain peran dalam kancah kehidupan global. Bangsa yang berkarakter, dalam hal ini, tidak saja bangsa yang mampu memperlihatkan jati diri dan kepribadian yang kuat, tetapi juga penuh tanggung jawab, jujur, disiplin, berkualitas, dan mempunyai kompetensi yang tinggi. Karakter yang bertumpu pada kecintaan dan kebanggaan terhadap bahasa dan bangsa seperti itu pada dasarnya juga merupakan refleksi dari kecintaan dan kebanggaan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai pilarnya. Bahasa menunjukkan bangsa. Ungkapan itu juga berarti bahwa bahasa menunjukkan jati diri dan karakter bangsa penuturnya. Tutur kata yang lembut dan santun, misalnya, juga dapat dipandang sebagai pencerminan dari karakter pribadi penuturnya yang santun. Untuk itu, pengajaran
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
261
bahasa juga harus diarahkan pada pendidikan karakter budi pekerti yang luhur, berakhlak mulia, dan sikap yang santun. Berdasarkan paparan di atas dapat diketahui bahwa ada hubungan erat antara bahasa Indonesia dan pembangunan karakter pada generasi muda. Hal ini terlihat bagaimana peran bahasa dan sastra Indonesia sebagai sarana membangun karakter generasi muda penerus bangsa hubungan tersebut menimbulkan kaitan karena bahasa Indonesia sebagai bahasa Indonesia juga berperan sebagai sarana membangun karakter generasi muda penerus bangsa dan pemersatu bangsa. Peran Bahasa Indonesia Dalam Pendidikan Karakter Generasi Muda Mengaitkan bahasa Indonesia dengan generasi muda menyadarkan kita, bahwa bukan saja atas peran bahasa dalam sejarah awal kelahiran bangsa Indonesia, melainkan juga pada peran anak muda dalam mengukuhkan bahasa Indonesia dalam sejarah awal kelahiran tanah air. Agaknya sudah cukup lama bahasa dan Indonesia cenderung dilihat sebagai fenomena kebudayaan secara umum, tanpa mengaitkannya dengan peran dan kedudukan pemuda dalam mengukuhkan bahasa dan Indonesia itu sendiri. Sebaliknya, peran kaum muda khususnya dalam sejarah awal kelahiran Indonesia cenderung dilihat sebagai fenomena politik tanpa mengaitkannya dengan peran bahasa. Bagaimanapun, sejarah bahasa dan Indonesia tak bisa dipisahkan dari peran penting anak-anak muda. Selain itu, bahasa Indonesia mempunyai peran dalam membangun generasi muda yang dinamis dan kreatif. Peran dan tanggung jawab tentu saja selalu baik pada dirinya sendiri. Maka, harapan akan peran bahasa Indonesia dalam membangun generasi muda merupakan tantangan bagi para ahli bahasa dan seluruh masyarakat Indonesia, yang mana menuntut kesungguhan untuk meyakinkan anak-anak muda akan fungsi dan keunggulan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehingga harapannya bahasa Indonesia juga dapat berperan membangun generasi muda yang lebih baik. Pengalaman sejarah kita menunjukkan bahwa generasi mudalah yang membangun bahasa Indonesia. Dengan kata lain, dalam hubungan bahasa Indonesia dengan generasi muda, generasi muda adalah subjek yang mengukuhkan dan selanjutnya membangun bahasa Indonesia. Sebagai sarana komunikasi, bahasa juga mampu membangun keterampilan berkomunikasi, keterampilan menyampaikan pendapat, gagasan, dan pandangan dalam menyikapi suatu persoalan yang dihadapi dalam kehidupan pada era
262 Rini Agustina, Bahasa dan Sastra Indonesia
global ini. Keterampilan seperti itu tentu sangat dibutuhkan dalam menghadapi tantangan zaman. Selain sebagai sarana komunikasi, bahasa juga merupakan alat berpikir. Oleh karena itu, melalui kemampuan berbahasa, berbagai persoalan yang dihadapi dapat dipahami, disikapi, dan dicerna dengan baik sehingga dapat menambah kematangan berpikir/ intelektual seseorang. Dengan demikian, kematangan berpikir dan kemampuan menyikapi setiap masalah dengan kritis merupakan dua hal yang saling melengkapi dalam pembentukan kualitas individu untuk membangun kreativitas dan daya inovasi. Berkenaan dengan itu, kemampuan berkomunikasi yang tinggi dan daya pikir yang kritis dalam menghadapi setiap tantangan pada gilirannya juga dapat melahirkan generasi yang kreatif dan inovatif. Pada sisi lain, karya sastra dalam bahasa Indonesia juga mengandung nilai-nilai kearifan yang mampu memperhalus akal budi dan mempertajam etika dan daya estetika. Oleh karena itu, kemampuan mengapresiasi karya sastra dalam bahasa Indonesia juga berperan penting dalam membangun karakter yang berbudi luhur, bertenggang rasa, dan arif dalam mengatasi persoalan, sehingga dari pembahasan di atas dapat diketahui bahwa ada hubungan erat antara bahasa Indonesia dan pembangunan karakter pada generasi muda. Hal ini terlihat bagaimana peran bahasa dan sastra Indonesia sebagai sarana membangun karakter generasi muda penerus bangsa hubungan tersebut menimbulkan kaitan karena bahasa Indonesia sebagai bahasa Indonesia juga berperan sebagai sarana membangun karakter generasi muda penerus bangsa dan pemersatu bangsa. Memperkuat Karakter Generasi Muda dengan Pembinaan Bahasa Indonesia Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dan sedang dalam proses pembangunan. Sebagai sebuah bangsa besar yang sedang membangun, Indonesia tentulah memerlukan generasi-generasi penerus yang andal di berbagai bidang untuk dapat mewujudkan masyarakat adil, makamur, dan merata. Untuk menjadikan generasi penerus bangsa ini sebagai sumber daya manusia yang andal dan tangguh diperlukan pendidikan bermutu di setiap daerah. Dalam hal pendidikan di Indonesia, kita lebih banyak mendapatkan pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu dengan bahasa Indonesia baku atau benar.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
263
Bahasa Indonesia bagi sebagian besar orang Indonesia merupakan bahasa kedua setelah menguasai bahasa pertama atau bahasa ibu. Walaupun sebagai bahasa kedua, bahasa Indonesia menjadi bahasa pengantar dalam dunia pendidikan. Karena itu, para generasi bangsa kita harus mengusai bahasa Indonesia agar dapat memiliki banyak pengetahuan sehingga menjadi sumber daya manusia yang andal dan dapat membangun bangsa ini secara optimal. Mendapatkan pengetahuan tentulah bukan hanya dari jalur pendidikan di sekolah atau di perguruan tinggi, tetapi juga di masyarakat luas. Bahasa merupakan unsur-unsur yang tidak dapat terlepas dari kehidupan masyarakat. Agar bahasa Indonesia tetap terjaga dan dapat dihayati serta dilestarikan sehingga karakter generasi muda yang kuat pun terbentuk, maka kita harus melakukan pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan, yaitu: 1.
Pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia dalam bidang pendidikan. Usaha yang dapat dilakukan adalah dengan peran guru dan dosen untuk meningkatkan dan menimbulkan minat baca bahasa Indonesia yang dapat dikembangkan pada semua mata pelajaran dan semua mata kuliah. Dengan cara itu, bahasa Indonesia akan lebih sering digunakan dan dipraktikan kedalam kehidupan sehari-hari.
2.
Pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia kaitannya dengan bidang komunikasi. Salah satu sarana yang penting dalam pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia dalam bidang komunikasi adalah media massa, baik secara tertulis maupun secara lisan. Media massa seharusnya menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam menyampaikan berita. Hal itu dapat menjadi contoh yang baik untuk generasi penerus bahasa Indonesia.
3.
Pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia kaitannya dengan kesenian. Bahasa Indonesia yang digunakan dalam banyak karya sastra, seperti lagu, teater, buku cerita anak-anak dan film menunjukkan banyak ketimpangan. Bahasa yang digunakan dalam sastra dan buku cerita anak-anak kuarang sempurna dari kebanyakan pengarang. Pemakaian bahasa Indonesia dalam menciptakan karya sastra seharusnya dapat menjadi panutan bagi penikmat ataupun orang yang ingin menciptakan karya sastra. Agar bahasa Indonesia dapat terpelihara dengan baik.
264 Rini Agustina, Bahasa dan Sastra Indonesia
4.
Pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia kaitannya dengan bidang ilmu dan teknologi. Seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi, penggunaan bahasa Indonesia harus senantiasa dipertahankan. Apabila kita lengah dan kalah dengan banyaknya unsur budaya yang masuk dari bangsa lain, maka bahasa Indonesia sedikit demi sedikit akan mengalami kemunduran. Sebagai penerus bangsa dan bahasa Indonesia, disamping tetap menerima perkembangan ilmu dan teknologi dari bangsa luar, kita juga harus tetap pintar dalam memfilternya dan senantiasa mempertahankan bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa kita.
PENUTUP Berdasarkanan analisis data dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa keberadaan bahasa Indonesia sangat berperan. Peranan bahasa dan sastra Indonesia sebagai sarana membangun karakter generasi muda penerus bangsa. Dengan mencintai bahasa Indonesia berarti juga mencintai bangsa Indonesia karena bahasa pada hakikatnya juga merupakan simbol identitas bangsa. Selain merupakan symbol bangsa bahasa Indonesia juga mempunyai peran dalam membangun generasi muda yang dinamis dan kreatif. Peran dan tanggung jawab tentu saja selalu baik pada dirinya sendiri. Maka, harapan akan peran bahasa Indonesia dalam membangun generasi muda merupakan tantangan bagi para ahli bahasa dan seluruh masyarakat Indonesia, yang mana menuntut kesungguhan untuk meyakinkan anak-anak muda akan fungsi dan keunggulan bahasa Indonesia dalam kehidupan. Pengalaman sejarah kita menunjukkan bahwa generasi mudalah yang membangun bahasa Indonesia. Dengan kata lain, dalam hubungan bahasa Indonesia dengan generasi muda, generasi muda adalah subjek yang mengukuhkan dan selanjutnya membangun bahasa Indonesia. Sebagai sarana komunikasi, bahasa juga mampu membangun keterampilan berkomunikasi, keterampilan menyampaikan pendapat, gagasan, dan pandangan dalam menyikapi suatu persoalan yang dihadapi dalam kehidupan pada era global ini. Keterampilan seperti itu tentu sangat dibutuhkan dalam menghadapi tantangan zaman.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
265
Selain sebagai sarana komunikasi, bahasa juga merupakan alat berpikir. Oleh karena itu, melalui kemampuan berbahasa, berbagai persoalan yang dihadapi dapat dipahami, disikapi, dan dicerna dengan baik sehingga dapat menambah kematangan berpikir/ intelektual seseorang. Dengan demikian, kematangan berpikir dan kemampuan menyikapi setiap masalah dengan kritis merupakan dua hal yang saling melengkapi dalam pembentukan kualitas individu untuk membangun kreativitas dan daya inovasi. Sebagai warga Indonesia yang baik, kita seharusnya dapat menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar. Bahasa gaul memang bukanlah bahasa yang dilarang penggunaannya, tetapi kita harus ingat bahwa bahasa gaul dipakai dalam kelompok tertentu saja. Kita sebaiknya tidak menggunakan bahasa gaul di luar kapasitasnya. Dengan demikian, terciptalah penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa gaul yang terpisah atau tidak ada pengacauan bahasa gaul ke dalam bahasa Indonesia dan tidak ada pergeseran penggunaan bahasa Indonesia oleh penggunaan bahasa gaul. DAFTAR PUSTAKA Rahardi, Kunjana. 2004. Dinamika Kebahasaan: Aneka Masalah Bahasa Indonesia Mutakhir. Yogyakarta: Mitra Gama Widya. Rosidi, Ajip. 1983. Pembinaan Minat Baca Bahasa dan Sastera. Surabaya: Bina Ilmu. Hasibuan Ibnu Hasan. 2011. Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia. Bandung: Alfabeta.
266 Rini Agustina, Bahasa dan Sastra Indonesia
UPAYA MENGEMBANGKAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI DI SEKOLAH DASAR MELALUI PENGOPTIMALAN KONSEP TRIPUSAT PENDIDIKAN Rista Ayu Mawarti Universitas Pendidikan Indonesia Email:
[email protected] Abstract The impact of globalization on the resurgence individualism often becomes a factor that made the emergence of numerous social problems in the life of youth generation. Therefore, it takes an effort through education to rebuild the real Indonesian that easily avoids the negative impacts of globalization. It’s realized by Character Education that developed by optimizing the concept of Tripusat Pendidikan. Where each component of the nation and state work together to realize the better future of Indonesian. Keywords: Character Education, Tripusat Pendidikan
PENDAHULUAN Maraknya isu mengenai kebangkitan individualisme sebagai salah satu dampak negatif yang dibawa oleh arus globalisasi ternyata tidak hanya berlaku di belahan dunia bagian barat, melainkan juga bagian timur termasuk Indonesia. Hal ini dibuktikan dalam beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa pada rentang waktu 2012 hingga 2013 terdapat peningkatan kasus kekerasan atau bullying yang terjadi di dalam serta di luar lingkup sekolah. Hasil survey yang ada menunjukkan sebuah indikasi bahwa para generasi
muda
dengan
mudahnya
melakukan
kekerasan
kepada
sesamanya.
Karakteristik individualisme tercermin dari perilaku yang menjadikan orang lain sebagai pihak yang harus dicurigai dan tidak memiliki ruang untuk “dirangkul”. Rasa kepedulian, toleransi, maupun persatuan tidak lagi menjadi sebuah konsep yang harus selalu dijaga sebagai wujud dari realisasi nilai-nilai luhur Pancasila. Permasalahan yang demikian ini harus segera ditangani untuk menyelamatkan geneasi muda dan masa depan bangsa Indonesia. (Zulfani, M.H., 2014; Aldina, E., 2014). Salah satu media yang dapat digunakan untuk memperkuat kembali nilai-nilai luhur Pancasila dalam diri para generasi muda sehingga dapat terhindar dari Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
267
kebangkitan individualisme tersebut adalah melalui pendidikan. Pemerintah RI melalui kebijakan mengenai pendidikan budi pekerti berupaya untuk meningkatkan pemahaman siswa akan nilai-nilai luhur bangsa sehingga dapat merealisasikannya dalam bentuk kebajikan di kehidupan sehari-hari. Pengembangan ini dilakukan pada setiap jenjang pembelajaran, termasuk jenjang pendidikan dasar yang menjadi jenjang penentu kualitas siswa
untuk
melangkah
ke
jenjang
pendidikan
berikutnya.
Namun,
dalam
pelaksanaannya, proses pembelajaran pendidikan budi pekerti yang ada tidak cukup hanya bertumpu pada proses pembelajaran di sekolah, melainkan keluarga dan masyarakat juga harus turut serta di dalamnya agar proses pembelajaran dapat memberikan pengalaman belajar yang seutuhnya bagi siswa. Hal ini lah yang telah lama disebut sebagai Tripusat Pendidikan oleh Ki Hadjar Dewantara. Oleh karena itu, pengkajian yang ada akan dikonstruksi pada penelaahan atas upaya mengembangkan pendidikan budi pekerti di Sekolah Dasar melalui pengoptimalan konsep Tripusat Pendidikan. Konsep Tripusat Pendidikan Konsep Tripusat Pendidikan yang digagas oleh Ki Hadjar Dewantara ini mencoba untuk menjelaskan secara terperinci mengenai lingkungan belajar yang dari siswa yang turut mengambil andil dalam proses pembentukan karakter. Pada sebuah tulisannya, Ki Hadjar Dewantara. (2013: 70) mengemukakan bahwa “Di dalam hidupnya anak-anak adalah tiga tempat-pergaulan yang menjadi pusat-pendidikan yang amat penting baginya yaitu: alam-keluarga, alam-pergaulan, dan alam pergerakan pemuda”. Sebagai penjelasan mengapa tripusat pendidikan ini menjadi suatu kajian yang penting dalam pembentukan karakter, Ki Hadjar Dewantara (2013: 70) menjelaskan sebagai berikut (a) Akan mudah dan sempurnanya pendidikan tidak cukuplah usaha pendidikan itu hanya disandarkan pada sikap dan tenaganya si-pendidik, akan tetapi harus juga beserta suasana (atmosfer) yang sesuai dengan maksudnya pendidikan; oleh karena itu wajiblah kepentingan tiga alam atau pusat pendidikan tsb. Dimasukkan di dalam cara atau sistim pendidikan (Shanti Niketan, Taman Siswa);(b) “Menghidupkan, menambah dan menggembirakan perasaan kesosialan” tidak akan dapat terlaksana, jika tidak didahului pendidikan diri (pendidikan individuil), karena inilah dasarnya pendidikan budi pekerti, yang akan dapat menimbulkan rasa kemasyarakatan atau rasa 268 Rista Ayu Mawarti, Upaya Mengembangkan Pendidikan
sosial; (c) Untuk memperoleh hasil sebesar-besarnya, maka perlulah segala usaha kita itu berdasar kulturil-nasional, karena itulah syarat yang pokok untuk memudahkan, mencepatkan dan memperbaiki segala usaha; (d) Sikap kita dalam hal itu harus ditunjukkan ke arah terlaksananya perhubungan yang serapat-rapatnya, antara tiga pusat tsb. di atas, dan mempergunakan pengaruh pendidikan sebanyak-banyaknya kepada tiap-tiap pusat itu. Alasan-alasan tersebut mengisyaratkan bagaimana pentingnya seluruh komponen mendukung proses pendidikan. Ketiga komponen yang ada dapat bekerja bersama-sama membentuk sebuah sistem pendidikan, mulai dari pendidikan dengan lingkup terkecil yaitu utama keluarga, yang kemudian disempurnakan dengan bantuan ruang lingkup sekolah, dan juga didukung oleh lingkungan masyarakat. Pemahaman yang didapat melalui proses pendidikan dengan tiga komponen pun dapat lebih memaksimalkan proses maupun hasil dari pendidikan yang dirancang. Pendidikan Budi Pekerti Secara etimologis, dalam KBBI disebutkan bahwa pendidikan merupakan proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang. sedangkan budi pekerti sering dimaknai dalam bentuk ucapan dan perbuatan yang sesuai dengan nilai-nilai, norma-norma baik dari ajaran agama maupun adat istiadat yang berlaku di suatu tempat dan komunitas tertentu. Maka dari itu pendidikan budi pekerti banyak didefinisikan sebagai sebuah upaya pendidikan untuk membekali siswa akan pemahaman mengenai nilai-nilai serta norma atau adat istiadat yang berlaku melalui serangkaian proses pembelajaran dan pembiasaan yang ada. (Sutjipto, 2014; Elfrianto, 2015). Berkenaan dengan posisi pendidikan budi pekerti di Sekolah Dasar, Sutjipto (2014: 495) mengemukakan bahwa, “sejak masa pasca kemerdekaan hingga kini pendidikan budi pekerti ditempatkan secara strategis pada kurikulum pendidikan di Indonesia dalam tiga hal, yakni berdiri sendiri sebagai mata pelajaran, digabung dengan mata pelajaran yang relevan, dan terintegrasi ke dalam mata pelajaran lain”. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah cukup serius menangani permasalahan bangsa melalui pendidikan budi pekerti ini. Melalui pendidikan budi pekerti dengan setiap posisi yang dimilikinya, diharapkan akan dapat terlahir manusia-manusia Indonesia yang tidak hanya memiliki
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
269
kecerdasan intelektual melainkan juga kecerdasan sosial. Karena bagaimana pun kebermanfaatan seorang warga negara bagi lingkungannya merupakan salah satu tolok ukur keberhasilan pendidikan. Apabila sejak awal atau pada jenjang dasar pendidikan budi pekerti memiliki kualitas proses pembelajaran yang unggul, maka bangsa Indonesia dapat dikatakan juga memiliki tunas-tunas unggul yang siap mengahapi tantangan masa depan bangsa. Upaya Mengembangkan Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah Dasar Melalui Pengoptimalan Konsep Tripusat Pendidikan Dengan mengacu pada konsep dasar Tripusat Pendidikan dan hakikat serta tujuan dari pendidikan budi pekerti, pengembangan pelaksanaan pendidikan budi pekerti dapat dikonstruksi dengan mengoptimalkan peran dari setiap komponen yang ada dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Proses pembiasaan yang syarat akan nilai-nilai luhur bangsa dapat direalisasikan melalui kegiatan pembelajaran yang melibatkan keluarga dan masyarakat dalam pelaksaannya. Guru dapat memposisikan dirinya sebagai perencana yang merancang proses pembelajaran dengan membuat sinergi antar komponen tersebut. Sebagai sebuah contoh, guru Pendidikan Kewarganegaraan dapat merancang proses pembelajaran mengenai kewajiban untuk membantu sesama dengan menggunakan model pembelajaran discovery-inquiry. Dalam hal ini siswa ditugaskan untuk mecatat setiap tindakan mereka dalam membantu orang lain selain keluarga. Dasar dari proses pembelajaran ini yaitu peran masyarakat sebagai “open global classroom”. Sementara itu, keluarga dapat dilibatkan dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah dengan tugas berupa wawancara mengumpulkan pendapat dari anggota keluarga mengenai permasalahan yang berkaitan dengan toleransi. Mengingat dalam Tripusat Pendidikan, keluarga memiliki peran sebagai lingkup pertama bagi siswa untuk mempelajari nilai-nilai yang ada. Contoh-contoh yang demikian ini dapat dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan dan materi pembelajaran. Dengan demikian, selain siswa dapat mengeksplorasi lebih dalam mengenai konsep-konsep toleransi baik secara teori yang di dapat di kelas, siswa juga dapat menjalankan praktik pembiasaan langsung di masyarakat dengan menempatkan keluarga tetap sebagai sumber utama pertimbangan nilai-nilai luhur atau kebajikan yang harus mereka ilhami dan realisasikan. 270 Rista Ayu Mawarti, Upaya Mengembangkan Pendidikan
Dalam artian lain, proses pembiasaan yang merupakan inti dari pendidikan budi pekerti terus berlangsung tidak hanya di lingkup pendidikan, melainkan di semua pusat pendidikan tersebut. Apabila konsep Tripusat Pendidikan tersebut dapat benar-benar dioptimalkan guna mengembangkan pendidikan budi pekerti di sekolah dasar, maka siswa akan terlahir sebagai manusia Indonesia yang matang secara intelektual dan sosial sejak menempuh jenjang pendidikan paling dasar. Hal ini dikarenakan mereka telah mendapatkan pengalaman belajar yang utuh. Selain itu, implementasi konsep Tripusat Pendidikan dalam pengembangan pendidikan budi pekerti ini juga dapat meminimalisir adanya “pengkambing-hitaman” pada guru atau pihak sekolah oleh orang tua bahkan masyarakat sebagai pihak yang paling harus bertanggung jawab saat terjadi permasalahan sosial yang berasal dari tindakan para generasi muda yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila. Mengingat pada dasarnya Tripusat Pendidikan dalam pengembangan pendidikan budi pekerti berintikan pada sinergi dari setiap pusat pendidikan untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif dan dapat mendorong tercapainya kebijakan-kebijakan pendidikan yang berbasis pada penciptaan manusia Indonesia yang berbudi pekerti luhur dan dapat menghadapi segala tantangan zaman. PENUTUP Berdasarkan pada pembahasan yang ada, dapat disimpulkan bahwa upaya mengembangkan pendidikan budi pekerti di Sekolah Dasar melalui pengoptimalan konsep Tripusat Pendidikan adalah dengan mengoptimalkan peran keluarga dan masyarakat untuk ikut serta bersinergi bersama pihak sekolah untuk mendukung kegiatan-kegiatan pembiasaan bagi siswa. Hasil yang diperoleh dari pembiasaan dengan pengoptimalan tiga pusat pendidikan tersebut adalah siswa mendapatkan pengalaman belajar yang utuh sehingga penciptaan manusia Indonesia yang berbudi pekerti luhur tersebut akan lebih mudah untuk dicapai dibandingkan hanya menggunakan sekolah sebagai tumpuan utama. Karena tanggung jawab menciptakan generasi muda yang siap memimpin masa depan bangsa Indonesia adalah tanggung jawab bersama. DAFTAR PUSTAKA Aldina, E. 2014. Budaya Kekerasan antar Anak di Sekolah. Jurnal Info Singkat, 6(9).
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
271
Dewantara, K.H. 2013. Ki Hadjar Dewantara Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka (Kependidikan). Yogyakarta: UST Press Bekerjasama dengan Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa. Elfrianto. 2015. Pendidikan Budi Pekerti Pada Kurikulum Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Sutjipto. 2014. Urgensi Keseimbangan Pendidikan Budi Pekerti di Rumah dan Sekolah. Jurnal EduTech. Zulfani, M.H. 2014). Kampanye Pencegahan Bullying Di Lingkungan Sekolah. Jurnal Tingkat Sarjana Senirupa dan Desain.
272 Rista Ayu Mawarti, Upaya Mengembangkan Pendidikan
IMPLEMENTASI KOMPETENSI INTI SIKAP SPIRITUAL (KI-1) DI SEKOLAH DASAR NEGERI KOTA YOGYAKARTA Siti Aminah Rizaldi Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta Email:
[email protected]
Abstract The purpose of this research is to describe the implementation of the spiritual attitude core competence (KI-1) in state elementary schools in Yogyakarta in terms of: (a) planning, and (b) implementing. This research is an evaluation program with the quantitative descriptive approach, and the evaluation model used is the Discrepancy Model. The subjects in the evaluation were teachers and principals. The sample was established using the purposive random sampling technique. The variables in this study included spiritual attitude core competence (KI-1). The techniques and instruments used in this evaluation were an observation by using observation sheets, study of lesson plans using worksheet, and interview using interview guide as collecting data technique and instruments. The content validity using Aiken’s formulation was used as the instrument validity. The instruments’ reliability was obtained by applying Cohens’ Kappa technique calculation. The results of this research are as follows. First, the implementation of spiritual attitude core competence in state elementary schools in Yogyakarta City is in a good category, with the score of 20.87. Second, the planning conducted by the teachers in state elementary schools in Yogyakarta City regarding the integration of spiritual attitude core competence and social attitude core competence in lesson plan is categorized as very good with the score of 36. Keywords: Evaluation, program competence (KI-1).
implementation,
spiritual
attitude core
PENDAHULUAN Pemerintah telah melakukan berbagai upaya dalam meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan membuat kurikulum yang dijadikan acuan atau pedoman. Kurikulum merupakan seperangkat rencana yang diaplikasikan dalam pembelajaran. Upaya lain yang dilakukan pemerintah dalam
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
273
meningkatkan kualitas pendidikan dan mewujudkan pendidikan nasional yakni melalui pengembangan kurikulum 2013. Faktor faktor dikembangkannya kurikulum 2013 yakni untuk menjawab tantangan baik dari internal, eksternal, penyempurnaan pola fikir serta penguatan tata kelola kurikulum [1]. Lebih lanjut urgensi dilakukannya pengembangan kurikulum sebagaimana pendapat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) periode sebelumya, yakni Muhammad Nuh adalah untuk menyesuaikan perkembangan zaman agar tidak menciptakan generasi yang “usang”, namun menciptakan generasi yang mengikuti perkembangan zaman. Terlebih lagi ditambahkan bahwa “tidak ada kurikulum yang abadi” [2]. Jadi pengembangan kurikulum perlu dilakukan untuk mengikuti perkembangan zaman dan diharapkan dapat mewujudkan pendidikan yang berkualitas serta menghasilkan generasi yang berkualitas pula. Tujuan perubahan kurikulum 2013 yakni untuk menyeimbangkan kognitif, afektif dan psikomotor. Terlebih lagi perubahan kurikulum 2013 yakni untuk menekankan kompetensi inti spiritual, yang tidak terdapat pada kurikulum sebelumnya. yang semula hanya tertuju pada sikap sosial, sekarang berkembang dengan adanya sikap spiritual. Salah satu poin penting yang ditekankan pada implementasi kurikulum 13 yakni pada aspek kompetenasi inti (KI). Kompetensi inti (KI)
merupakan terjemahan atau
operasionalisasi SKL dalam bentuk kualitas yang harus dimiliki mereka yang telah menyelesaikan pendidikan pada satuan pendidikan tertentu atau jenjang pendidikan tertentu. Gambaran mengenai kompetensi utama yang dikelompokkan ke dalam aspek afektif, kognitif, psikomotor yang harus dipelajari peserta didik untuk suatu jenjang sekolah, kelas, dan mata pelajaan [3]. Dengan demikian, dapat disimpulkan kompetensi inti adalah kualitas yang harus dimiliki seorang peserta didik setelah mengalami proses pembelajaran. Setiap mata pelajaran yang diajarkan hendaknya memiliki dan mengajarkan keempat kompetensi dasar tersebut. Dari keempat kompetensi inti yang telah dijelasakan sebelumnya, kompetensi sikap spiritual merupakan bagian kompetensi yang tidak kalah pentingnya untuk peserta didik. Kompetensi spiritual merupakan suatu nilai yang bersifat religius, yang berhubungan dengan ajaran agama dan Tuhan. Aspek kompetensi sikap spiritual diharapkan mampu menjadikan peserta didik memiliki akhlak mulia dan taat terhadap nilai-nilai ajaran agama. Salah satu faktor yang bisa meningkatkan kompetensi sikap spiritual peserta didik adalah melalui lingkungan. Sikap spiritual dan sikap sosial seseorang dapat ditingkatkan jika 274 Rizaldi, Implementasi Kompetensi Inti
lingkungannya dapat kondusif [4]. Salah satu lingkungan yang berperan penting di sekolah adalah lingkungan kelas yang diampu seorang pendidik. Seorang pendidik tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan namun juga mendidik melalui nilai nilai yang disampaikannya. Nilai nilai yang harus disampaikan oleh pendidik di kelas yakni sikap spiritual. Oleh karena itu, pendidik hendaknya dapat mengimplementasikan kompetensi sikap spiritual pada pembelajaran dengan optimal dan maksimal. Tujuan perubahan kurikulum 2013 yakni untuk menyeimbangkan kognitif, afektif dan psikomotor. Terlebih lagi perubahan kurikulum 2013 yakni untuk menekankan kompetensi inti spiritual, yang tidak terdapat pada kurikulum sebelumnya. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Permendikbud No.64 Tahun 2013 tentang Standar Isi pada kurikulum Tahun 2013, terdapat pengembangan dari domain afektif, yang semula hanya tertuju pada sikap sosial, sekarang berkembang dengan adanya sikap spiritual [5]. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pentingnya penerapan KI-1, apabila aspek KI-1 dapat diimplementasikan dengan baik, hasil belajar peserta didik diharapkan tidak hanya berada pada ranah kognitif namun juga pada ranah afektif serta psikomotor [6]. Di samping itu, dengan diterapkannya KI-1 dalam proses pembelajaran, diharapkan peserta didik memiliki akhlak dan ketakwaan kepada Tuhan melalui pengintegrasian KI-1 dalam proses pembelajaran. Hal lain yang menjadikan pentingnya KI-I adalah karena KI-1 menjadi pembeda kurikulum 2013 dengan kurikulum sebelumnya. Berdasarkan penjelasan urgensi di atas, KI-1 hendaknya dapat diimplementasikan pada semua mata pelajaran mulai dari jenjang SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA. Salah satu cara mengimplemetasikan KI-I pada saat proses pembelajaran adalah dengan menggunakan model tematik
integratif.
Pendekatan
tematik
integratif
merupakan
pendekatan
yang
diimplementasikan pada jenjang pendidikan Sekolah Dasar. Akan tetapi, berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap guru SDN di kota Yogyakarta. diperoleh informasi bahwa secara keseluruhan para pendidik merasa kesulitan dalam mengimplementasikan KI-1 dan KI-2. Kesulitan yang dikeluhkan para pendidik adalah sulitnya dalam mengkaitkan materi dengan kompetensi inti sikap spiritual. Salah satu faktor kesulitan tersebut disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan referensi yang dimiliki pendidik. Kesulitan
lainnya
yang
dialami
para
pendidik
adalah
sulitnya
untuk
mengimplementasikan KI-1. Hal ini disebabkan jika dicermati dengan seksama kompetensi Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
275
inti pengetahuan (KI-3) dan kompetensi inti keterampilan (KI-4) bersifat tersurat dan dapat dilihat dengan kasat mata, artinya kompetensi inti pengetahuan (KI-3) dan kompetensi inti keterampilan (KI-4) dapat dilihat dengan jelas dari muatan materi dan kegiatan yang terdapat pada buku pelajaran peserta didik, sedangkan kompetensi inti sikap spiritual (KI-1) bersifat tersirat, artinya materi KI-1 tidak bisa dilihat pada buku pelajaran peserta didik, KI-1 disampaikan secara tidak langsung (inderect teaching) oleh pendidik pada saat menyampaikan KI-3 dan KI-4 pada proses pembelajaran. Selain itu penyampaian KI-1 akan akan dipengaruhi kompetensi dari seorang pendidik, karena setiap pendidik mempunyai cara yang berbeda dalam menyampaikan KI-1 pada proses pembelajaran. Faktor lain penyebab kurang maksimalnya implementasi KI-1 pada proses pembelajaran yakni kurang terbiasanya pendidik dalam mengimplementasikan KI-1, terkadang kurangnya implementasi KI-1 dan KI-2
dikarenakan
pendidik lebih
mengutamakan KI-3 yakni pengetahuan, tidak jarang pendidik mengejar target materi yang harus dijelaskan sehingga KI-1 terabaikan. Berdasarkan fakta yang di atas. Dapat disimpulkan bahwa guru merasa belum optimal dalam mengimpelmentasikan KI-1 maupun KI-1. Selain itu berdasarkan permasalahan yang telah dipaparkan di atas perlu rasanya dilakukan penelitian evaluasi. Penelitian dengan judul “implementasi kompetensi inti sikap spiritual (KI-1) di Sekolah Dasar Negeri Kota Yogyakarta” penting untuk dikaji dan dievaluasi. Hal ini dilakukan untuk melihat bagaimana perencanaan dan pelaksanaan KI-1 doleh pendidik pada proses pembelajaran,
Sehingga
dengan dilakukan penelitian evaluasi ini diharapkan kedepannya aspek K1-1 dapat diimplementasikan dengan maksimal oleh para pendidik pada proses pembelajaran, dan tujuan dikembangkannya kurikulum 2013 dapat dicapai dengan optimal. METODE PENELITIAN Desain penelitian ini merupakan evaluasi program, Model evaluasi yang akan digunakan adalah model evaluasi Discrepancy, model ini dikemukakan oleh Malcolm Provous [7]. Model evaluasi
Discrepancy dipilih karena peneliti ingin mengidentifikasi
apakah terdapat kesenjangan antara apa yang seharusnya terjadi (standar) dengan yang sebenarnya terjadi di lapangan (performance) [8], dalam penelitian ini yakni
terkait
implementasi KI-1. Pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriftif kuantitatif. Pendekatan kuantitatif untuk mengambarkan kondisi implementasi KI-1 276 Rizaldi, Implementasi Kompetensi Inti
dalam proses pembelajaran yang berlangsung. Data akan diperoleh dari lembar observasi, lembar telaah dokumentasi dalam hal ini yakni RPP. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan guna mengetahui bagaimana implementasi kompetensi inti sikap spiritual (KI-1) di Sekolah Dasar Negeri Kota Yogyakarta. Namun implementasi hanya difokuskan pada guru. Artinya peneliti ingin melihat apakah guru menyampaikan, menanamkan atau menstimulus nilai nilai sikap spiritual ketika proses pembelajaran berlangsung di kelas. Kompetensi inti sikap spiritual (KI-1) yakni nilai nilai sikap spiritual yang disampaikan, ditanamkan atau distimulus oleh pendidik secara tidak langsung ketika proses pembelajaran berlangsung, yang disesuaikan dengan tema yang akan diajarkan. Tema yang akan digunakan dalam penelitian ini yakni tema delapan mengenai ekosistem, pada sub tema satu yakni komponen ekosistem dan pada sub tema dua mengenai hubungan makhluk hidup dalam ekosistem. Tema ini akan diajarkan pada semester dua, tahun ajaran 2015/2016 pada kelas lima Sekolah Dasar Negeri Kota Yogyakarta. Komponen nilai nilai sikap spiritual yang seharusnya disampaikan,ditanamkan atau distimulus oleh guru diantaranya yakni: (1) menerima; (2) Menjalankan; dan (3) Menghargai [8].Pelaksanaan
ketiga sub indikator
tersebut akan diukur dengan menggunakan lembar observasi. Hasil Analisis 1. Pelaksanan Kompetensi inti sikap spiritual (KI-1) Hasil analisis dari penelitian evaluasi terhadap implementasi kompetensi inti sikap spiritual (KI-1) di Sekolah Dasar Negeri Kota Yogyakarta diketahui yakni, jika dilihat secara umum implementasi kompetensi inti sikap spiritual termasuk dalam kategori baik dengan perolehan skor sebesar 20,87. Hasil analisis dalam kategori tersebut diperoleh dengan membandingkan skor perolehan dengan tabel kriteria keberhasilan evaluasi. Kriteria keberhasilan evaluasi implementasi kompetensi inti sikap spiritual (KI-1) di Sekolah Dasar Negeri Kota Yogyakarta dapat dilihat dalam tabel berikut.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
277
Tabel 1: Kategorisasi Evaluasi Implementasi Implementasi Kompetensi Inti Sikap Spiritual (KI-1) Kriteria Sangat Baik Baik Kurang Baik Tidak Baik
Skor X ≥ 30 30 > X ≥ 20 20 > X ≥ 10 X < 10
Berdasarkan tabel kriteria evaluasi di atas, dapat diketahui hasil pelaksanaan kompetensi inti sikap spiritual (KI-1)) di Sekolah Dasar Negeri Kota Yogyakarta adalah sebagai berikut. Tabel 2: Hasil Evaluasi Implementasi Kompetensi Inti Sikap Spiritual (KI-1) di SDN Kota Yogyakarta: Pelaksanaan KI-1
Sko r
%
Kategor i
Menerima
13,0
32,50
Menjalankan Menghargai
29,2 20,4
73,00 51,00
Kurang Baik Baik Baik
Berdasarkan hasil analisis penelitian, diperoleh informasi bahwa pelaksanaan kompetensi inti sikap spiritual (KI-1) di Sekolah Dasar Negeri Kota Yogyakarta secara keseluruhan termasuk dalam kategori baik. Perolehan pelaksanaan kompetensi inti sikap spiritual berdasarkan hasil observasi yakni diperoleh skor sebesar 20,87, dengan persentase 52,75. Namun jika dilihat dari tiap sub indikator maka diperoleh skor yag berbeda beda. Sub indikator pertama yakni menerima diperoleh skor sebesar 13,0 dengan persentase 32,50. Sub indikator kedua yakni menjalankan diperoleh skor 29,2 dengan persentase 73, 00. Sedangkan untuk sub indikator ketiga diperoleh skor sebesar 20,87 dengan persentase 51.00. Jadi dapat disimpulkan berdasarkan skor tersebut, sub indikator kedua merupakan sub indiktor yang mendapat persentase tertingi diantara sub indikator lainya yang terdapat pada indikator kompetensi itni sikap spiritual (KI-1). Agar lebih jelas dan mudah difahami berikut rincian grafik pelaksanaan K-1 :
278 Rizaldi, Implementasi Kompetensi Inti
Gambar 1. Pelaksanaan Kompetensi Inti Sikap Spiritual (KI-1) Secara Keseluruhan Di SDN Kota Yogyakarta. 2. Perencanan Kompetensi Inti Sikap Spirtual (KI-1) Selain pelaksanaan KI-1 yang diperoleh berdasarkan teknik observasi yang dilakukan terhadap para guru di Sekolah Dasar Negeri Kota Yogyakarta, implementasi kompetensi inti sikap spiritual juga dilihat dari perencanaan yang dilakukan oleh para guru. Perencanaan tersebut dilihat dari diintegrasikanya nilai nilai sikap spiritual pada RPP. Artinya RPP yang telah dibuat oleh guru akan ditelaah oleh tiga orang penelaah untuk melihat apakah nilai nilai sikap KI-1 telah terintergrasi pada RPP yang telah dibuat para guru. Berdasarkan hasil analisis telaah RPP, diperoleh informasi bahwa perencanaan yang dilakukan para guru dalam mengintegrasikan nilai sikap spiritual ke dalam RPP dapat dikategorikan sangat baik dengan perolehan skor 30. Artinya, RPP yang dibuat para guru di Sekolah Dasar Negeri Kota Yogyakarta telah mengandung nilai nilai sikap spiritual yang akan diajarkan kepada peserta didik ketika proses pembelajaran berlangsung di kelas. Hasil analisis RPP diperoleh informasi bahwa para guru di Sekolah Dasar Negeri Kota Yogyakarta telah mencantumkan Nilai nilai sikap spiritual dibuat oleh. Hasil analis tersebut dapat dilihat pada grafik perencanaan terkait diintegrasikannya nilai kompetensi inti sikap spiritual (KI-1) ke dalam RPP oleh guru Di Sekolah Dasar Negeri Kota Yogyakarta sebagai berikut:
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
279
Gambar 2: Perintegrasian Kompetensi Inti Sikap Spiritual (KI-1) Dan Kompensi Inti Sikap Sosial (KI-2) Oleh Guru Di SDN Kota Yogyakarta Ke Dalam RPP.
SIMPULAN Berdasarkan dari hasil analisis dan pembahasan, implementasi kompetensi inti sikap spiritual (KI-1) di Sekolah Dasar Negeri Kota Yogyakarta dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Perencanaan yang dilakukan para guru di Sekolah Dasar Negeri Kota Yogyakarta terkait peintegrasian nilai nilai kompetensi inti sikap spiritual dan kompetensi inti sikap sosial pada RPP termasuk dalam kategori sangat baik. Hal ini dibuktikkan dengan perolehan skor dari telaah RPP yang dibuat para guru diperoleh skor sebesar 30. artinya para guru telah menuliskan atau mengintegrasikan nilai nilai sikap kompetensi inti sikap spiritual dan kompetensi inti sikap sosial ke dalam RPP. 2. Pelaksanaan kompetensi inti sikap spiritual di Sekolah Dasar Negeri Kota Yogyakarta termasuk dalam kategori baik. Hal ini dibuktikan dengan perolehan skor sebesar 20,87 dan persentase 52,17. DAFTAR PUSTAKA Abdul Majid & Chaerul Rochman. (2014). Pendekatan ilmiah dalam implementasi kurikulum 2013. Bandung: Remaja Rosdakarya. Abdullah. (2014) Pengembangan kurikulum teori & praktik. Jakarta: Raja Grafindo. Dana Clark Baldwin. (2008). Spiritual Identity: Evaluating a Seminar on Spiritual Identity on Spiritual Wellness. Journal by ProQuest LLC. Guler Duman. (2014). Evaluation Of Turkish Preschool Curriculum Objectives In Terms Of Values Education. Journal Of Procedia - Social And Behavioral Sciences 152, 978 – 983. Kemendikbud. (2013). Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 64, Tahun 2013, Tentang Standar Isi Pendidikan Dasar Dan Menengah. 280 Rizaldi, Implementasi Kompetensi Inti
Mulyasa (2014). Pengembangan implementasi kurikulum 2013. Bandung: Rem aja Rosda Karya. Fernandes. (1984). Evaluation of educational. Jakarta: National Education Planning. Kirkpatrick Donald. L & Kirkpatrick James. D. (2012) Evaluating training programs third edition. Kemendikbud. (2013). Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 67 Tahun 2013 Pasal 1 Tentang Kerangka Dasar Dan Struktur Kurikulum Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah. Tim Pengembangan MKDP Kurikulum dan Pembelajaran. (2011). Kurikulum dan pembelajaran. Jakarta: Rajawali Pers.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
281
SASTRA ANAK SEBAGAI MEDIA PENANAMAN PENDIDIKAN KARAKTER Siti Anafiah Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Email:
[email protected] Abstract Various problems concerning the social and cultural aberrations that occur in society today is a homework for all parties. Character education for children are issues that must be prioritized because they are the nation's future. One medium that can be used to infuse character education of children is children's literature. Children's literature is a good reading for children. Character education is contained in the builder elements of children's literature. By reading literature, children feel comforted and may benefit in it. Keywords: Character Education, Children's Literature PENDAHULUAN Kondisi masyarakat dewasa ini sangat memprihatinkan. Perkelahian, pembunuhan, kesenjangan sosial, ketidakadilan, perampokan, korupsi, pelecehan seksual, penipuan, fitnah terjadi di mana-mana. Hal itu dapat diketahui lewat berbagai media cetak atau elektronik, seperti surat kabar, televisi, dan internet. Bahkan, tidak jarang kondisi seperti itu dapat disaksikan secara langsung di tengah masyarakat. Keprihatinan terhadap kondisi masyarakat yang demikian itu, menumbuhkan semangat untuk mengkaji sebab musababnya dan mencari pemecahannya. Penelitian dan seminar mengenai masalah itu telah berkali-kali diselenggarakan oleh berbagai instansi, baik pemerintah maupun swasta. Ujungnya adalah persamaaan persepsi terhadap pentingnya menggalakkan pendidikan karakter. Selain itu pencanangan pendidikan karakter tentunya dimaksudkan untuk menjadi salah satu jawaban terhadap beragam persoalan bangsa yang saat ini banyak dilihat, didengar, dan dirasakan, yang mana banyak persoalan muncul yang diindentifikasi bersumber dari gagalnya pendidikan dalam menyuntikkan nilai-nilai moral terhadap peserta didiknya. Hal ini tentunya sangat tepat, karena tujuan pendidikan bukan hanya melahirkan insan yang cerdas, namun juga menciptakan insan yang berkarakter kuat. Membentuk siswa yang berkarakter bukan suatu upaya mudah dan cepat. Hal tersebut memerlukan upaya terus menerus dan refleksi mendalam untuk membuat rentetan Moral Choice (keputusan moral) yang harus ditindaklanjuti dengan aksi nyata, sehingga menjadi hal
282
Siti Anaf iah, Sastra Anak sebagai
yang praktis dan reflektif. Diperlukan sejumlah waktu untuk membuat semua itu menjadi kebiasaan dan membentuk watak atau tabiat seseorang. Pendidikan karakter sebenarnya sudah ada sejak dulu seperti apa yang diungkapkan Ki Hajar Dewantara melalui Metode Among, dimana ada tiga unsur pendidikan yang harus berjalan sinergis yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dengan Metode Among diharapkan anak akan tumbuh sesuai kodrat dan keadaan budaya sendiri, sehingga ada tiga hal yang patut dan perlu untuk dikembangkan dalam rangka membangun karakter yang berpendidikan yaitu membangun budaya agar siswa selalu siap dengan perubahan yang semakin kompetitif mengingat budaya itu bersifat kontinue, konvergen, dan konsentris. Perhatikan kata-kata Ki Hajar Dewantara berikut “membangun budaya agar siswa selalu siap dengan perubahan yang semakin kompetitif” artinya diperlukan sikap yang berkomitmen dan disiplin terhadap pelaksanaan pendidikan karakter itu sendiri dan semua ini dapat dimulai dari kita semua (dalam Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, 2013: 70) Sekolah merupakan salah satu sumber transformasi pengetahuan untuk mengajarkan pendidikan karakter kepada siswa. Salah satu ilmu pengetahuan yang dapat mengajarkan pendidikan karakter adalah sastra anak. Sastra merupakan media yang efektif untuk mendidik anak. Keberadaan sastra sebagai bacaan anak merupakan kontruksi yang diadakan, yang dibuat dengan maksud dan tujuan tertentu lengkap dengan ideologi yang membangunnya. Sastra adalah refleksi kehidupan masyarakat dimana sastra itu dilahirkan. Oleh karena itu, dapat disebutkan bahwa sastra tidak hanya bersifat estetik. Sastra dapat dipakai sebagai alat kontrol terhadap penyimpangan nilai-nilai kehidupan seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, hukum, dan agama. Oleh karena itu, kehadiran sastra anak juga tidak terlepas dari ideologi yang menyelubunginya. Dalam kaitannya dengan ideologi ini, ada kesadaran mental anak yang ingin diubah orang dewasa. Pendidikan karakter dapat diajarkan melalui sastra anak. Hal ini sesuai dengan manfaat sastra anak. Nilai manfaat sastra telah banyak diekspose oleh berbagai cendekia, salah satunya Horatius (via Teeuw, 2003:85) mengemukakan bahwa sastra berfungsi dulce et utile atau bermanfaat sekaligus menghibur. Tarigan (1995:35) memberi catatan tersendiri untuk sastra anak. Menurut Tarigan, sastra anak pada khususnya memberikan kontribusi yang cukup besar bagi pembacanya salah satunya adalah menanamkan pendidikan karakter. Pendidikan karakter dapat terlihat dalam unsur-unsur pembangun dalam karya sastra anak. Melalui unsur-unsur pembangun tersebut, sastra hadir untuk menanamkan nilai-nilai karakter yang bermanfaat bagi pembacanya yaitu anak. Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
283
PEMBAHASAN Sastra Anak Sastra berasal dari bahasa sansekerta. Sastra secara etimologi berasal dari kata sas dan tra. Sas berarti mengajar, mendidik dan tra berarti media, sarana, alat. Sastra berarti alat atau sarana untuk mengajar. Jadi, sastra anak berarti alat untuk mengajar anak. Cakupan sastra anak membentang luas sekali, atau yang lazim dikenal sebagai genre, bahkan melebih cakupan sastra dewasa. Ia bersifat lisan, tertulis, bahkan juga aktivitas. Sastra lisan dapat berupa cerita si Ibu kepada anaknya, Ibu Guru kepada murid-murid TK-nya, murid-murid SD kelas awalnya, nyanyian, tembang-tembang dolanan, rengeng- rengeng lagu ninabobo, dan lain-lain. Sastra tertulis dapat berupa berbagai hal yang memang secara sengaja ditulis untuk anak dengan menekankan pentingnya unsur keindahan. Jadi, ia dapat berupa puisi, cerita fiksi, biografi tokoh, sejarah, berbagai jenis buku informasi, naskah sandiwara, dan lain-lain yang lazimnya disertai gambar-gambar menarik. Sastra aktivitas adalah sesuatu yang berupa penampilan seperti drama, baca puisi/deklamasi (Nurgiyantoro, 2005:56) Santosa (via Rosdiyana, 2008:5.4) mengemukakan bahwa sastra anak adalah karya seni yang imajinatif dengan unsur estetisnya dominan yang bermediumkan bahasa, baik lisan maupun tertulis, yang secara khusus dapat dipahami oleh anak dan berisi tentang dunia yang akrab dengan anak-anak. Perkembangan kepribadian akan terlihat tatkala anak mencoba memperoleh kemampuan untuk mengekspresikan emosinya terhadap orang lain, dan mengembangkan perasaannya mengenai harga diri dan jati dirinya. Cerita dalam sastra anak secara tidak sadar telah mendorong atau mengajari anak untuk mengendalikan berbagai emosi. Sosialisasi dalam rangka perkembangan sosial mengacu pada suatu proses yang digunakan oleh anak-anak untuk memperoleh prilaku, norma-norma, dan motivasi yang selalu dipantau serta dinilai oleh keluarga dan kelompok budaya mereka. Ada tiga proses yang sangat berpengaruh terhadap proses sosialisasi dalam dunia anak-anak: (1) proses reward and punishment, (2) proses imitasi atau peniruan, dan (3) proses identifikasi. Nurgiyantoro (2005: 36-48) menyatakan bahwa sastra anak memiliki kontribusi bagi nilai personal dan pendidikan bagi anak. Nilai personal sastra bagi anak antara lain adalah perkembangan emosional anak, perkembangan intelektual, perkembangan imajinasi, pertumbuhan rasa sosial dan perkembangan rasa etis dan religius. Nilai pendidikan sastra bagi anak antara lain adalah membantu anak dalam hal eksplorasi dan penemuan, perkembangan bahasa, pengembangan nilai keindahan, nilai-nilai multikultural, penanaman kebiasaan dan membaca. 284
Siti Anaf iah, Sastra Anak sebagai
Pendidikan Karakter Pendidikan karakter merupakan bagian penting dalam dunia pendidikan seperti disebutkan dalam UU Sisdiknas No 20 Pasal 3 Tahun 2003 bahwa, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Untuk mewujudkan tujuan tersebut seharusnya pendidikan karakter diberikan pada anak-anak sedini mungkin. Karakter akan terbentuk sebagai hasil pemahaman 3 hubungan yang pasti dialami setiap manusia (triangle relationship), yaitu hubungan dengan diri sendiri (intrapersonal), dengan lingkungan (hubungan sosial dan alam sekitar), dan hubungan dengan Tuhan YME (spiritual). Setiap hasil hubungan tersebut akan memberikan pemaknaan/pemahaman yang pada akhirnya menjadi nilai dan keyakinan anak (Wibowo, 2011). Untuk itu menumbuhkan pemahaman positif pada diri anak salah satunya dengan memberikan kepercayaan untuk mengambil keputusan untuk dirinya sendiri sangatlah penting. Membiarkan anak bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungan juga mempengaruhi pembentukan karakter seorang anak. Jika anak berada pada lingkungan yang baik dan sehat tentunya dia akan tumbuh dengan karakter yang baik pula, demikian juga sebaliknya. Selanjutnya Megawangi (2006:40) merumuskan bahwa dalam pendidikan karakter terdapat sembilan nilai karakter, yang mana sembilan nilai karakter inilah yang kemudian diajarkan pada siswa yang disebut dengan sembilan pilar karakter, yaitu sebagai berikut. 1. Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya 2. Kemandirian dan tanggung jawab 3. Kejujuran/amanah, bijaksana 4. Hormat dan santun 5. Dermawan, suka menolong dan gotong royong 6. Percaya diri, kreatif dan pekerja keras 7. Kepemimpinan dan keadilan 8. Baik dan rendah hati 9. Toleransi, kedamaian dan kesatuan Pendidikan sangat berperan di dalam menentukan pembentukan karakter anak. Hal ini dapat dipahami dari ayat berikut: “Dan ALLAH mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
285
keadaan tidak mengetahui sesuatupun dan dia memberikamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”. (QS. Al-Nahl, 16: 78). Dalam ayat tersebut memberi petunjuk bahwa manusia memiliki potensi untuk dididik, yaitu penglihatan, pendengaran, dan hati sanubari. Potensi tersebut harus disyukuri dengan cara mengisinya dengan ajaran dan pendidikan yang baik. Pendapat lain menyatakan menyatakan bahwa setiap orang tua dan guru ingin membina anaknya menjadi orang yang baik, mempunyai kepribadian dan sikap mental yang kuat serta akhlak yang terpuji. Semuanya itu dapat diusahakan melalui pendidikan, baik pendidikan di sekolah atau di luar sekolah. Setiap pengalaman yang dilalui anak baik melalui penglihatan dan pendengaran akan menentukan pribadinya. Dalam hal ini sosialisasi juga berperan penting dalam pembentukan karakter anak seperti sosialisasi di dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat. Sosialisasi di dalam keluarga, keluarga yang merupakan tempat pertama dan utama dimana seorang anak dididik dan dibesarkan. Fungsi utama keluarga adalah sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh dan mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik serta memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga sejahtera. Pada kondisi keluarga yang broken home atau bermasalah, kurangnya kebersamaan, kurangnya interaksi antarkeluarga, dan orang tua yang otoriter, serta adanya konflik dalam keluarga dan kekerasan, baik kekerasan ayah terhadap ibu atau sebaliknya, kekerasan ibu terhadap anaknya atau sebaliknya, hal ini akan berpengaruh negatif terhadap perkembangan jiwa dan karakter anak. Tetapi akan berbeda jika para orang tua yang selalu memperingati dan mencegah anaknya dari sifat-sifat buruk sejak dini, memberikan kasih sayang, baik secara verbal (diberikan kata-kata cinta dan kasih sayang, kata-kata yang membesarkan hati, dorongan dan pujian), maupun secara fisik (ciuman, elusan di kepala, pelukan dan kontak mata yang mesra) karena anak-anak mudah merekam semua kejadian disekitarnya. Dengan demikian, anak- anak akan merasakan kasih sayang dari orang tua, berarti orang tua telah menyiapkan dasar kuat bagi karakter anak di masa mendatang. Dengan penjelasan di atas sangat jelas faktor yang bisa mempengaruhi karakteristik seseorang adalah faktor alami atau fitrah, bisa disebut dengan keturunan atau perwatakan dari orang tua, dan karakter juga bisa di pengaruhi oleh faktor lingkungan sekitar anak atau sosial. Bila dia besar pada lingkungan dan sosial masyarakat yang baik maka dia memiliki karakter yang baik, namun sebaliknya bila dia tumbuh pada lingkungan dan sosial yang buruk sangat
286
Siti Anaf iah, Sastra Anak sebagai
memungkinkan karakter anak tersebut akan membentuk sesuai dengan lingkungan (karakter yang buruk). Sastra Anak Media Penanaman Pendidikan Karakter Sastra memunyai peran sebagai salah satu alat pendidikan bermanfaat dalam dunia pendidikan, yakni untuk membentuk dan mengembangkan kepribadian anak,. Artinya, sastra diyakini mempunyai andil yang tidak kecil dalam usaha pembentukan dan pengembangan kepribadian anak. Jika dimanfaatkan secara benar dan dilakukan dengan strategi yang benar pula, sastra diyakini mampu berperan dalam pengembangan manusia yang seutuhnya dengan cara yang menyenangkan. Namun, usaha pembentukan kepribadian tersebut lewat kesastraan berlangsung secara tidak langsung sebagaimana halnya pembelajaran etika, norma agama, budi pekerti, atau yang lain. Sastra hadir di tengah masyarakat pastilah karena memiliki andil, manfaat, bagi kehidupan manusia. Sebagai salah satu bentuk karya seni, sastra yang notabene dihasilkan oleh individu atau komunitas tertentu, pastilah mempunyai tujuan, manfaat yang akan disampaikan. Pernyataan Horatius (via Teeuw, 2003:85) bahwa sastra bersifat sweet and useful pada hakikatnya menunjukkan bahwa sastra berfungsi pragmatis bagi kehidupan sosial masyarakat. Karya sastra dapat tampil dengan menawarkan alternatif model kehidupan yang diidealkan mencakup berbagai aspek kehidupan seperti cara berpikir, bersikap, berasa, bertindak, cara memandang dan memperlakukan sesuatu, berperilaku, dan lain-lain. Sastra dipersepsi sebagai suatu fakta sosial yang menyimpan pesan yang mampu menggerakkan emosi pembaca untuk bersikap atau berbuat sesuatu. Tarigan (1995: 9-12) mengemukakan bahwa dalam sastra terdapat nilai-nilai yang bermanfaat bagi perkembangan anak. Nilai-nilai itu antara lain; pertama, memberikan kenikamatan dan kegembiraan terkait dengan cerita yang disuguhkan. Kedua, sastra memberikan pengalaman baru. Ketiga, membantu mengembangkan imajinasi anak. Keempat, mengembangkan wawasan anak menjadi perilaku insani. Kelima, memperkenalkan kesemestaan alam bagi anak. Keenam, sumber utama penerusan dan penyebaran warisan sastra dari satu generasi ke generasi berikutnya. Nilai sastra itu akan bermanfaat bagi pendidikan anak antara lain meliputi perkembangan bahasa, perkembangan kognitif, perkembangan kepribadian, dan perkembangan sosial. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa sastra anak memiliki banyak manfaat yang bagi pembacanya khususnya anak. Salah satu manfaat sastra anak adalah Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
287
menanamkan pendidikan karakter. Karya sastra dapat tampil dengan menawarkan alternatif model kehidupan yang diidealkan seperti cara berpikir, bersikap, berasa, bertindak, cara memandang dan memperlakukan sesuatu, berperilaku, dan lain-lain. Alternatif model kehidupan tersebut ditampilkan dalam unsur-unsur pembangun karya sastra anak. PENUTUP Sastra anak merupakan bentuk karya seni yang bermanfaat dan menghibur bagi anak. Sastra hadir sebagai bacaan untuk anak selain menghibur juga dapat bermanfaat untuk mengajarkan pendidikan karakter. Hal ini dapat menjadi alternatif media dalam menanamkan pendidikan karakter yang selama ini banyak diajarkan lewat pendidikan agama, pancasila, dan ilmu sosial. Melalui sastra, anak tidak merasa digurui, karena pendidikan karakter hadir dalam unsur-unsur pembangunnya baik intrinsik maupun ekstrinsik. DAFTAR PUSTAKA Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa. 2013. Ki Hajar Dewantara: Pemikiran, konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka Bagian I Pendidikan. Yogyakarta: UST Press. Megawangi, Ratna 2006. Pendidikan Karakter: Solusi yang Tepat untuk Membangun Bangsa. Jakarta: Indonesia Heritage Foundation. Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Sastra Anak: Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Rosdiyana, Yusi. dkk. 2008. Bahasa dan Sastra Indonesia di SD. Jakarta: Universitas Terbuka. Tarigan, Henry Guntur. 1995. Dasar-dasar Psikosastra. Bandung: Angkasa. Teeuw, A. 2003. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Wibowo, Timothy. 2011. Membangun Karakter Sejak Pendidikan Anak Usia Dini, diunduh dari http://www.pendidikankarakter.com. diakses pada tanggal 21 Mei 2016
288
Siti Anaf iah, Sastra Anak sebagai
INTEGRASI PENDIDIKAN NILAI DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SEKOLAH DASAR SEBAGAI UPAYA MEMBENTUK MORAL SISWA Try Hariadi, M. Pd IKIP PGRI Pontianak Email:
[email protected] Abstract Education is an obligation that must be possessed man throughout his life. Education is very important, because without human education will be difficult to develop and backward. The emergence of symptoms among young people, even parents, who showed that they ignore the moral values and social manners that are necessary in a civilized society. Lack of success of education starting from the lack of ability of teachers in instilling the values are correct, accurate, balanced and integrated. Therefore, the integration of the values that have been planned for mempribadi into rules of behavior of learners is needed to improve the quality of learning outcomes as one indicator of the success of the strategy for education in accordance with its intended purpose. Keywords: Integration, Values Education, Education Indonesian, and Moral Students.
PENDAHULUAN Pendidikan adalah tonggak terjadinya perubahan pola pikir masyarakat. Penyelenggaraan pendidikan diyakini sebagai langkah awal perubahan positif pada diri siswa. Nilai-nilai dalam pendidikan merupakan sebuah entitas yang harus diaplikasikan pada diri anak semenjak dini dalam keseluruhan kehidupannya sehari-hari baik di rumah, sekolah maupun lingkungan masyarakat. Hal ini sejalan dengan salah satu misi pendidikan kita yaitu "transfer of values" (penyampaian nilai-nilai). Melalui pendidikan, anak mampu berinteraksi dengan lingkungan, menjaga dan memelihara tata kelola kehidupan dalam masyarakat. Mulyana (2004: 106) menyebutkan bahwa tujuan utama pendidikan adalah menghasilkan kepribadian manusia yang matang secara intelektual, emosional, dan spiritual. Dunia pendidikan di Indonesia seakan tiada hentinya menuai kritikan dari berbagai kalangan karena dianggap tidak mampu melahirkan alumni yang berkualitas Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
289
manusia Indonesia seutuhnya seperti cita-cita luhur bangsa dan yang diamanatkan oleh Undang-undang Pendidikan. Nata (2003: 45) berpendapat bahwa permasalahan kegagalan dunia pendidikan di Indonesia tersebut disebabkan oleh karena dunia pendidikan selama ini yang hanya membina kecerdasan intelektual, wawasan dan keterampilan semata, tanpa diimbangi dengan membina kecerdasan emosional. Semua guru mata pelajaran terutama pendidikan budi pekerti terlebih lagi guru kelas di SD wajib menanamkan pembentukan moral ini kepada para siswanya (UUD 1945 dan UU Pendidikan). Tidak ada alasan yang dapat digunakan bahwa membentuk moral tidak dapat diterapkan pada mata pelajaran lain, guru yang kreatif pasti mampu memasukkan pendidikan karakter di dalamnya. Begitu pula dengan mata pelajaran bahasa Indonesia. Robin dan Timothy (2008: 69) mengartikan pembelajaran sebagai perubahan perilaku yang relatif permanen terjadi sebagai hasil pengalaman. Berkaitan dengan pembelajaran, Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Bab IV pasal 19 tentang standar proses menegaskan bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memeberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologi peserta didik. Bertens (2002:6) mengartikan etika sebagai nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau sekelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Menurut Soedijarto (1997: 333) pengintegrasian nilai-nilai yang telah direncanakan untuk mempribadi ke dalam aturan tingkah laku belajar peserta didik sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas hasil belajar sebagai salah satu indikator strategi bagi keberhasilan pendidikan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Apalagi pengembangan pendidikan ke depan hendaknya merespon perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang diintegrasikan dengan etika keagamaan dalam kehidupan sehari-hari (Suderajat, 2002: 17). Berdasarkan permasalahan, fenomena, kondisi, dan kenyataan pendidikan nilai dalam pembelajaran bahasa Indonesia di atas, peneliti sangat termotivasi untuk melakukan sebuah penelitian yaitu bagaimana strategi, proses, situasi dan kondisi serta sistem evaluasi integrasi pendidikan nilai dalam pembelajaran yang sesungguhnya?.
290 Try Hariadi, Integrasi Pendidikan Nilai
Konsep Integrasian Pendidikan Nilai Dalam Pembelajaran Pendidikan nilai merupakan proses bimbingan melalui suri tauladan pendidikan yang berorientasikan pada penanaman nilai-nilai kehidupan serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat dan negara (Sumantri, 2007: 134). Mulyana, (2004: 119) mendefinisikan pendidikan nilai sebagai bantuan kepada peserta didik agar menyadari dan mengalami nilai-nilai serta menempatkannya secara integral dalam keseluruhan hidupnya. Dalam hal ini, yang menanamkan nilai kepada peserta didik bukan saja guru pendidikan nilai dan moral serta bukan saja pada saat mengajarkannya, melainkan kapan dan di manapun, nilai harus menjadi bagian integral dalam kehidupan. Integrasi menurut Sanusi (1987: 11) adalah suatu kesatuan yang utuh, tidak terpecah belah dan bercerai berai. Sedangkan yang dimaksud dengan integrasi pendidikan nilai adalah proses memadukan nilai-nilai tetentu terhadap sebuah konsep. Dalam mengimplementasikan konsep integrasi pendidikan nilai dalam pembelajaran di sekolah, kita dapat merujuk referensi yang ditawarkan Bagir, dkk. (Sauri, tt: 11) yang membaginya ke dalam empat tataran implementasi, yakni: tataran konseptual, institusional, operasional, dan arsitektural. Menurut Suwarna (2007: 33-37), dalam mengevaluasi proses integrasi pendidikan nilai, kita dapat menggunakan teknik penilaian 5 P (papers and pencils, portofolio, project, product, and performance. Sementara yang dimaksud adalah product adalah hasil karya pembelajar atas kreativitasnya. Pembelajaran dapat membuat karya-karya kreatif atas inisiatif sendiri, misalnya menghasilkan cerita pendek, karikatur atau membuat puisi yang memuat budi pekerti. menurut Ki Hadjar Dewantara (1962: 485), pendidikan budi pekerti adalah menyokong perkembangan hidup anak-anak, lahir dan batin,dari sifat kodratinya menuju kearah peradaban dalam sifatnya yang umum. Performance atau performansi adalah penampilan diri. Sebenarnya, hakikat dari pendidikan nilai adalah realisasi budi pekerti luhur dalam berbicara, bertindak, berperasaan, bekerja, dan berkarya, pendek kata cipta, rasa, dan karsa dalam kehidupan sehari-hari. Jika pembelajar telah dapat menampilkan budi pekerti luhur, berarti internalisasi dan aplikasi pendidikan nilai telah tercapai.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
291
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif analitik tipe studi kasus. Pendekatan kualitatif menuntut kehadiran peneliti di lapangan karena peneliti merupakan instrumen utama penelitian (Sugiyono, 2009: 305, Arikunto, 2006: 17, dan Moleong, 2011: 168). Lokasi penelitiannya adalah di SD N 13 Sanggau dengan subyek penelitiannya yaitu kepala sekolah, guru bahasa Indonesia, dan siswa kelas 4 - 6. Adapun dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan teknik observasi, wawancara, studi dokumentasi, survei dan kajian pustaka. Temuan Penelitian Penelitian ini menemukan beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, strategi
pengintegrasian pendidikan nilai dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di SD N 13 Sanggau dapat dilihat dari tiga tataran implementasi, yakni: konsep konseptual, konsep operasional dan konsep institutional. Dalam tataran konseptual, strategi pengintegrasian pendidikan nilai dalam pembelajaran dapat dilihat dari rumusan visi dan misi SD N 13 Sanggau. Adapun visi SD N 13 Sanggau adalah “Menjadi Sekolah Masa Depan yang Melahirkan Generasi Berkarakter”. Melalui visinya, SD N 13 Sanggau hendak menegaskan peranannya sebagai lembaga pendidikan yang memperhatikan terhadap perubahan tingkah laku peserta didiknya. Dalam tataran operasional, strategi penyampaian nilai-nilainya di SD N 13 Sanggau menggunakan strategi ekspilist. Nilai-nilai yang terkandung dalam materi pembelajaran Bahasa Indonesia disampaikan secara jelas, tegas dan tersurat. Hal ini dapat dilihat pada bacaan, contoh materi, soal, yang secara langsung mengarah pada pendidikan nilai. Selain strategi eksplisit, penyampaian nilai melalui pembelajaran Bahasa Indonesia pun disampaikan dengan menggunakan strategi induktif. Dalam strategi ini, fasilitator kelas langsung meminta kepada siswa untuk membaca, meneliti, mengkaji, nilai-nilai yang terintegrasi, kemudian mendeskripsikan dan menyimpulkan nilai-nilai tersebut. Sementara itu, dalam tataran institusional, strategi pengintegrasian pendidikan nilai di SD N 13 Sanggau adalah dengan cara pembentukan institution culture yang mencerminkan paduan antara nilai dan pembelajaran. Untuk mewujudkan strategi tersebut
SD
N
13
Sanggau
menggunakan
292 Try Hariadi, Integrasi Pendidikan Nilai
kurikulum
pembelajaran
yang
mengintegrasikan pelajaran Bahasa Indonesia dengan mata pelajaran lainnya sehingga tidak ada pendikotomian di antara mata pelajaran yang diajarkan kepada siswa. Kedua, proses pengintegrasian pendidikan nilai dapat dilihat dalam proses pembelajaran Bahasa Indonesia yang meliputi tujuan, materi, metode, media, dan sumber belajar. Tujuan pembelajaran Bahasa Indonesia di SD N 13 Sanggau adalah agar siswa mengetahui dan memahami nilai-nilai komunikasi sehingga mereka memiliki moral yang baik. Selain itu, dengan belajar Bahasa Indonesia mereka diharapkan dapat memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang empat aspek yang harus dikuasai oleh siswa yaitu listening (mendengarkan), speaking (berbicara), reading (membaca), writing (menulis). Keempat aspek tersebut saling berkaitan dan sesuai yang diamanatkan dalam kurikulum 2013, guru mendorong dan menginspirasi siswa berpikir kritis, analisis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan substansi atau materi pembelajaran. Metode pembelajaran Bahasa Indonesia: metode ceramah bervariasi, tanya jawab, diskusi, bermain peran, reward & punishment, bercerita, penugasan dan metode observasi. Metode-metode tersebut digunakan dengan mengacu kepada metode Fun Learning. Hal tersebut sesuai dengan konsep belajar SD n 13 Sanggau, yakni “belajar sesuai cara otak belajar”. White board, internet, LCD, Laptop, spidol, karton, gunting, televisi, dan VCD, menjadi media utama yang digunakan para pasilitator kelas dalam proses pembelajaran Bahasa Indonesia di SD N 13 Sanggau. Sedangkan sumber pembelajaran Bahasa Indonesia yang digunakan adalah buku Bahasa Indonesia. Dan diperkaya oleh buku-buku yang ada di perpustakaan, internet dan lingkungan alam sekitar. Ketiga, penciptaan situasi dan kondisi yang kondusif bagi pengintegrasian pendidikan nilai didukung oleh peraturan sekolah, tenaga pembina, dan sarana prasana. Salah satu dari peraturan sekolah adalah tata tertib sekolah yang memuat hak, kewajiban, sanksi, dan penghargaan bagi siswa, kepala sekolah, guru dan karyawan. Tata tertib yang berkaitan dengan kepala sekolah, fasilitator kelas dan karyawan dibuat dan disepakati ketika melakukan kontrak kerja dengan pihak manajemen yayasan. Sedangkan peraturan untuk siswa, dibuat bersama-sama berdasarkan musyawarah antara fasilitator kelas dengan siswanya masing-masing ketika awal tahun pembelajaran baru. Selain peraturan, untuk menciptakan situasi dan kondisi sekolah yang kondusif
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
293
bagi pengintegrasian pendidikan nilai juga didukung oleh tenaga pembina yang secara terus menerus melakukan bimbingan, arahan, dan pengawasan, terhadap segenap aspek yang berkaitan dengan program tersebut. Beberapa sarana dan prasarana yang diperlukan untuk menciptakan situasi dan kondisi sekolah yang kondusif bagi proses pengintegrasian pendidikan nilai dalam pembelajaran di SD N 13 Sanggau seperti kelas-kelas, tempat ibadah, perpustakaan, kamar kecil dan berbagai hiasan dinding dan ornamen lainnya. Selain faktor pendukung, faktor penghambat yaitu kurangnya media komputer dan kesulitan yang sering dihadapi para fasilitator kelas dalam menyiapkan bahan atau media pembelajaran sehingga berdampak pada berkurangnya motivasi siswa untuk mengikuti pembelajaran. Keempat¸ sistem evaluasi pengintegrasian pendidikan nilai dalam pembelajaran bahasa Indonesia di SD N 13 Sanggau cenderung menggunakan Penilaian Acuan Patokan (PAP), Prestasi belajar siswa tidak dibandingkan dengan prestasi kelompok, tetapi dengan prestasi atau kemampuan yang dimiliki sebelumnya. Dengan PAP setiap individu dapat diketahui apa yang telah dan belum dikuasainya. Bimbingan individual untuk meningkatkan penguasaan siswa terhadap materi pelajaran dapat dirancang, demikian pula untuk memantapkan apa yang telah dikuasainya dapat dikembangkan. Adapun alat evalusi yang digunakan di SD N 13 Sanggau adalah penilaian kognitif (tes tertulis dan tes lisan), penilaian psikomotorik/ keterampilan (unjuk kerja dan portofolio), dan penilaian sikap (skala sikap dan lembar pengamatan). Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa strategi pengintegrasian pendidikan nilai dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di SD N 13 Sanggau dapat dilihat dari tiga tataran implementasi, yakni: konsep konseptual, konsep operasional dan konsep institutional. Proses pengintegrasian pendidikan nilai dapat dilihat dalam proses pembelajaran Bahasa Indonesia yang meliputi tujuan, materi, metode, media, dan sumber belajar. Penciptaan situasi dan kondisi yang kondusif bagi pengintegrasian pendidikan nilai didukung oleh peraturan sekolah, tenaga pembina, dan sarana prasana. Alat evaluasi yang digunakan di SD N 13 Sanggau menggunakan penilaian kognitif, penilaian psikomotorik/keterampilan dan penilaian sikap.
294 Try Hariadi, Integrasi Pendidikan Nilai
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Bertens, K. 2002. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. DEPDIKNAS. 2009. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003. Jakarta: Dewantara, Ki Hadjar. 1962. Karya Bagian I Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Perguruan Taman Siswa. Moloeng, Lexi J. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Sinar Grafika. Mulyana, R. 2004. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta. Nata, A. 2003. “Manajemen Pendidikan; Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia”. Jakarta: Prenada Media. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Robin, Stephen P., & Judje, Timothy A. (Terjemahan: Diana Angelica, Ria Cahyani, &Abdul Rosyid). 2008. Perilaku organisasi organisation behavior. Jakarta: Salemba Empat. Sauri, S (tt). Integrasi Imtak dan Imptek Dalam Pembelajaran. Makalah: Tidak diterbitkan. Soedijarto. 1997. Memantapkan Kinerja Sistem Pendidikan Nasional dalam Menyiapkan Manusia Indonesia Memasuki Abad ke-21. Tidak diterbitkan. Suderajat, H. 2002. Konsep dan Implementasi Pendidikan berbasis Luas (BBE) yang Berorientasi pada Kecakapan Hidup (Life Skill). Bandung: Cipta Cekas Grafika. Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Pendidikan; Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. Sumantri, E. 2007. Pendidikan Nilai Kontemporer. Bandung: Program studi PU UPI. Suwarna. 2007. Strategi Integrasi Pendidikan Budi Pekerti dalam Pembelajaran Berbasi.s
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
295
TANTANGAN PENDIDIKAN DASAR DI ERA POSMODERENISME Yoga Adi Pratama Universitas Pendidikan Indonesia Email:
[email protected]
Abstract Education is one of the efforts to improve the quality of human beings is the human personality that is capable of being appreciated among our fellow beings. But in fact in an era of education posmoderenisme be interpreted as an effort to improve the human material itself, so it is not surprising that there is increasingly damaged environment, social inequalities more visible, and also a crime to use technology more and more. Thus the need to put any explanation of what should be done and also school teachers in shaping the character of students in accordance with national education goals. Keywords: Education, Postmodernism, character. Memaknai Konsep Pendidikan Pendidikan telah dilaksanakan sejak dahulu hingga sekarang, secara sadar tidak sadar setiap manusia selalu melaksanakan pendidikan.Secara etimologi pendidikan sering disebut sebagai pedagogi yang artinya bimbingan yang di berikan kepada anak. Dalam kamus besar bahasa Indonesia pendidikan diartikan sebagai proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan, proses, cara dan juga perbuatan mendidik. Di dalam undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang pendidikan nasional pendidikan sendiri diartikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
296
Yoga Adi Pratama, Tantangan Pendidikan Dasar
Jhon Dewey sebagai pakar pendidikan di dalam Ahmadi, (2001: 69) mengartikan pendidikan sebagai proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional kearah alam dan sesama manusia. Sedangkan menurut Rosseau dalam Ahmadi (2001: 69) pendidikan adalah usaha yang sengaja diadakan baik langsung maupun dengan cara yang tidak langsung untuk membantu anak dalam perkembangannya mencapai kedewasaannya. Dari beberapa penjelasan tersebut menunjukan bahwasannya setiap elemen masyarakat adalah pemeran dan juga bertanggung jawab dalam membantu keterlaksanaan pendidikan sebagai sebuah upaya mewariskan nilai-nilai kehidupan. Kemudian dari beberapa pengertian mengenai pendidikan tersebut dapat terlihat bahwa setiap lapisan masyarakat diharapkan mampu membentuk kepribadian seorang anak dalam mencapai kedewasaannya. Namun dalam pelaksanaannya pendidikan di jaman posmoderenisme pendidikan lebih ditekankan kepada peningkatan intelektual siswa dari pada emosional atau kepribadian. Banyak dari pelaksana pendidikan mengabaikan hal penting ini, dimana hal ini akan berdampak pada kehidupan yang di cita-citakan di dalam Ideologi bangsa yaitu Pancasila. Posmoderenisme menurut Mukhrizal Arif (2014: 7) dapat di pahami sebagai periode pemikiran, historis, dan kultur yang berbeda dengan era moderen. Sehingga menurut saya pribadi di era posmoderenisme ini pendidikan harus mampu berperan lebih aktif dalam meningkatkan karakter siswa tanpa mengabaikan kemampuan intelektual karena anak merupakan insan yang mampu didik, untuk mencapai hal tersebut maka di perlukan seorang guru yang memiliki kepribadian, potensi mengajarkan keahlian yang dibutuhkan sehingga apa yang telah di cita-citakan dalam pendidikan nasional dapat terlaksana. Pendidikan sendiri dapat terlaksana dalam kehidupan manusia melalui berbagai macam cara, karena setiap manusia memaknai pendidikan dengan caranya sendiri namun memiliki tujuan yang sama. Menurut Ki Hadjar Dewantara (2013: 90) mengatakan bahwa sifat yang bermacam-macam itu tidak dalam keadaan tetap, tetapi terus menerus berganti berhubungan dengan pengaruh khodrat dan keadaan tadi, pergaulan dengan bangsa lain, Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
297
sifat masyarakat macam baru dan sesamanya. Ini berarti bahwasannya setiap manusia sebagai pelaksana pendidikan
menyesuaikan dengan zamannya karena setiap zaman
memiliki karakternya tersendiri dalam mendidik dan ini lah yang akan mempengaruhi keterlaksanaan sebuah pendidikan. Zaman globalisasi seperti sekarang dimana untuk mendapatkan sebuah informasi terasa begitu mudah, sehingga pengaruh budaya barat begitu sangat terasa, hal ini harus senantiasa di bendung oleh pendidikan yang mengedepankan karakter Pancasila sebagai ideologi bangsa, dan juga kepribadian bangsa. Dimana di dalam Pancasila sendiri senantiasa mengedepankan nilai-nilai agama. Nilai-nilai ini lah yang harus di bawa di dalam pendidikan. Negara Indonesia bukanlah negara agama melainkan negara yang menjunjung tinggi nilai agama, sehingga nilai agama yang senantiasa dapat di integrasikan dalam pendidikan dan tidak memihak salah satu agama adalah senyum, salam, sapa, sopan, dan santun (5S). Budaya 5S ini dapat terlaksana melalui pendidikan budi pekerti mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi dengan harapan menjadi sebuah karakter manusia Indonesia yang di kenal dengan keramahannya. Tentu hal tersebut dapat terlaksana bukan hanya dalam sekolah, melainkan perlu dukungan juga dari keluarga. Ki Hadjar Dewantara (2013: 374) didalam pedagogik dikatakan, pendidikan orang seorang atau “pendidikan individual” itu berlaku di dalam keluarga, sedangkan kemasyarakatan adalah tugas perguruan. Jelaslah bahwa untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah dicita-citakan maka harus saling terjadi dukungan antara keluarga dan juga sekolah guna mencapai tujuan Pendidikan Nasional. Di dalam pasal 31 ayat 3 disebutkan bahwa, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.” Kemudian di dalam pasal 31 ayat 5 disebutkan juga bahwa, “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilainilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.”
298
Yoga Adi Pratama, Tantangan Pendidikan Dasar
Sedangkan fungsi dari pendidikan nasional di dalam undang-undang nomor 20 tahun 2003 pasal 3 adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dari beberapa uraian tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa dalam rangka memajukan sebuah bangsa tidak ada jalan lain selain meningkatkan mutu pendidikan yang bukan hanya memperhatikan kemampuan intelektual melainkan secara emosional. Sehingga kemajuan teknologi tidak akan di salah gunakan dan tidak akan di jadikan sebagai sebuah bahan untuk melakukan tindakan yang tidak terpuji, melainkan mampu di manfaat secara maksimal memajukan diri dan juga lingkungan yang ada di sekitar. Guru Sebagai Aktor Utama Dalam Membentuk Karakter Siswa di Sekolah Perkembangan perjalanan hidup manusia seiring berjalannya waktu akan membentuk kepada kepribadian yang lebih dewasa yang lebih memiliki etika yang mana etika sendiri tidak berbicara mengenai benar atau salah, baik atau buruk namun etika berbicara mengenai pantas atau tidak pantas. Tentu hal ini tidak di peroleh begitu saja, hal ini dapt diperoleh dengan bantuan pendidikan yang ada di sekolah terutama sekolah dasar. Sekolah dasar adalah tempat dimana anak pertama kali melaksanakan pendidikan yang sebenarnya, dan disinilah pembentukan karakter melalui budi pekerti di bentuk, yang mana budi pekerti ini perlu di biasakan dalam kehidupan sekolah dengan harapan akan di bawa di rumah dan juga lingkungan masyarakat maka guru sebagai seorang pelaksana pendidikan harus mendukung usaha ini dengan maksimal. Di dalam UU Nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen yang mana undangundang ini bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme guru dan serta meningkatkan kualitas hidup ekonomi para guru. Profesionalisme guru di lihat dari kualifikasi akdemis guru dimana dalam undang-undang ini guru mempunyai sekurang-kurangnya ijazah S1, hal ini saya kira sebagai sebuah upaya meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
299
Guru sebagaimana yang telah di ungkapkan sangatlah berperan dalam kemajuan dari siswa dan juga siswi nya di sekolah sehingga guru harus memiliki nilai plus lain yang tidak dimiliki oleh pra pekerja lain. Menurut Freddy (2012: 3) guru dahsyat adalah guru yang bisa menginspirasi dengan nilai-nilai keajaiban (miracle values) yang menyertainya dan membuat orang di sekelililng nya pun menjadi pribadi ajaib. Nilai keajaiban tersebut antara lain adalah : 1. Motivasi (Motivation) 2. Integritas dan Inovatif (Integrity and Innovative) 3. Respek terhadap yang lain ( Respect Others) 4. Nilai Tambah (add value) 5. Komitmen 100% (100% Commitment) 6. Belajar, Bertumbuh dan Bergembira (learn grow and fun) 7. Pelayanan terbaik (excellent service) Dengan nilai tersebut menjadikan ciri seorang guru dengan individu lain, karena hiup matinya sekolah, maju atau mundurnya sekolah tergantung dari seorang guru. Seperti falsafah pendidikan yang ada di Indonesia yaitu Ing Ngarso Sung Tulodo yang berarti di depan kita memberi contoh, Ing Madya Mangun Karso yang berarti ditengah membangun prakarsa dan bekerjasama dan Tut Wuri Handayani yang berarti di belakang memberi semangat dan dorongan. Kemudian dalam prakteknya semua guru harus senantiasa memiliki persamaan kehendak secara nyata sehingga akan terlihat betapa istimewanya sebuah pendidikan dengan aktor utama nya adalah guru. Nampaknya hal ini harus menjadi perhatian pemerintah dan juga perguruan tinggi keguruan dalam mempersiapkan guru disekolah, karena gelar sarjana pendidikan atau gelar sarjana magister pendidikan tidak akan berpengaruh apa-apa ketika tidak di barengi dengan kepribadian yang baik dari seorang guru itu sendiri. Dalam peribahasa kita mengenal dengan istilah “guru kencing berdiri, murid kencing berlari” ini ada sindirian bagi seorang guru agar semaksimal mungkin memiliki kepribadian yang baik, kepribadian yang dapat di contoh oleh siswa dan juga siswinya
300
Yoga Adi Pratama, Tantangan Pendidikan Dasar
dikelas. Ini juga adalah upaya untuk memajukan pendidikan budi pekerti yang ada di sekolah. Sekolah Sebagai Laboratorium Kehidupan Sebelum terjun dalam kehidupan nyata, anak didik agar memiliki kemampuan dan juga kepribadian yang baik. Pendidikan yang ada di sekolah bukan hanya memuat mengenai materi pelajaran namun juga nilai-nilai kehidupan. Salah satu yang perlu di terapkan dalam sekolah adalah pembiasaan senyum, salam, sapa, sopan dan juga santun atau istilah yang lebih familiar adalah 5S. hal ini yang perlu di integrasikan dalam pendidikan budi pekerti, mata pelajaran dan juga ekstrakulikuler yang ada di sekolah terutama Sekolah Dasar (SD). 5S berfungsi sebagai sebuah budaya yang baik yang ada di sekolah, mengingat bangsa Indonesia yang multikultur yang mana hal ini merupakan sebuah tantangan bagi bangsa Indonesia. Senyum, salam, sapa, sopan, dan santun akan menggambarkan bahwa kehidupan harus senantiasa menghargai antara satu sama lain sehingga tawuran yang sering terjadi antar anak sekolah, bully, bahkan tindakan pelecehan seksual akan mampu terkikis jika individu memiliki kepribadian yang baik.
KBM di kelas
Integrasi ke dalam KBM pada setiap mapel
Budaya sekolah kegiatan kehidupan keseharian di satuan pendidikan
Pembiasaan dakam kehidupan keseharian di satuan pendidikan
Integrasi kedalam ekstrakulikuler pramuka da, karya tulis dll
Kegiatan ekstrakulik
Kegiatan keseharian di rumah
Penerapan pembiasaan kehidupan keseharian yng sama dengan di satuan pendidikan
Sumber : Kementrian Koordinator Kesejahtraan Rakyat Republik Indonesia 2010 (Winataputra, 2012: 51) Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
301
Dari gambar tersebut di atas dapat terlihat bahwasannya kegiatan belajar mengajar yang ada di kelas, budaya sekolah, ekstrakulikuler, dan kehidupan keseharian di kelas saling berhubungan satu sama lain dan menjadi hal yang penting dalam membangun karakter siswa dan juga siswi sebagai manusia yang seutuhnya, karena pada hakikatnya manusia sendiri terdiri dari unsur jasmani dan rohani dan di lengkapi dengan panca indera. Menurut Sofyan (2014: 48) menjelaskan sistem budaya manusia ada yang bersifat ideal (das sollen) yaitu pedoman bagi seseorang untuk berprilaku sesuai dengan yang diharapkan, dan ada sistem budaya faktual hanya berbentuk hal-hal yang dianggap sesuai dengan kondisi yang mereka hadapi sehari-hari. Menurut Ki Hadjar Dewantara (2013: 344) kebudayaan Indonesia yang sekarang masih berupa kumpulnya segala kebudayaan daerah, harus mulai sekarang kita galang menjadi kesatuan kebudayaan untuk seluruh rakyat. 1. Berhubungan dengan kesatuan alam, kesatuan sejarah, kesatuan masyarakat dan kesatuan jaman, maka kesatuan kebudayaan Indonesia hanya soal waktu. 2. Sebagai bahan-bahan untuk membangun kebudayaan kebangsaan itu, perlulah segala “puncak kebudayaan” yang terdapat di segenap daerah Indonesia, di pergunakan untuk menjadi isinya. 3. Dari luar lingkungan kebangsaan perlu pula diambil bahan-bahan, yang dapat memperkembangkan dan/atau memperkaya kebudayaan kita sendiri 4. Dalam memasukkan bahan-bahan, baik dari kebudayaan daerah-daerah maupun dari kebudayaan asing perlu senantiasa diingat syarat-syarat kontinuiter, konvergensi dan konsentrisiter. 5. Jangan di lupakan bahwa kemerdekaan bangsa tidak hanya merupakan kemerdekaan “politik”, akan tetapi harus sanggup dan mampu mewujudkan kemerdekaan kebudayaan, yakni sifat kekhususan dan kepribadian dalam segala sifat hidup dan penghidupannya diatas dasar adab kemanusiaan yang luas. Dari upaya menanamkan nilai kesatuan tersebut maka sekolah ahrus mempertegas posisi sekolah sebagai sebuah lembaga pendidik yang secara konsisten terus melaksanakan upayanya dalam menanamkan karakter bangsa Indonesia dan juga mengembangkan kemampuan intelektual anak. Dengan demikian orang tua tidak lagi memaksakan 302
Yoga Adi Pratama, Tantangan Pendidikan Dasar
bahwasannya seorang anak harus mampu melakukan segalanya dalam bidang ilmu dan prestasi tidak lagi dilihat dari nilai yang tertera di rapor namun juga dapat terlihat dari kepribadiannya dalam pergaulan sehari-hari. DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, Abu dkk. 2001. Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Anwar Mufid, Sofyan. 2014. Ekologi Manusia. Bandung: PT Remaja Rosadakarya. Arif, Mukhrizal dkk. 2014. Pendidikan Posmoderenisme: Telaah Kritis Pemikiran Tokoh Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Faldi Syukur, Freddy. 2003. Mendidik dengan 7 Nilai Keajaiban. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Online) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Pendidikan Nasional. Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Winataputra, S. Udin. 2012. Pendidikan Kewarganegraan dalam Perspektif Pendidikan untuk Mencerdaskan Kehidupan Bangsa. Bandung: Widya Aksara Press.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
303
Peran Etnomatematika dalam Membangun Karakter Siswa Sekolah Dasar
Zainnur Wijayanto, M.Pd Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Email:
[email protected] Abstract Education and culture has a very important role in building the character of the nation. The influence of modernization in a climate of globalization on national life impact on eroding cultural values of the nation. The cause is a lack of understanding and application of the importance of education and cultural values in society. Characters of sublime nation can be embedded in the students, one of them through the learning of mathematics. Learning mathematics in act will form the students have the ability to think logically, systematically, honestly, and disciplined in solving a problem both in maths, as well as other areas of everyday life. One form of culture-based learning in the context of mathematics is ethnomathematics. This paper will describe how ethnomathematics role in building the character of elementary school students. Keywords: Ethnomathematics, character, culture PENDAHULUAN Pendidikan dan budaya merupakan pondasi bagi bangsa yang bermartabat. Aspek pendidikan dan kebudayaan juga merupakan aspek terpenting dalam membangun karakter bangsa. Karakter bangsa tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan harus dibentuk, dilatih, dan dikelola secara bertahap. Pembentukan karakter bangsa merupakan tanggung jawab bersama seluruh komponen bangsa untuk berkomitmen membentuk, membangun, dan mempertahankannya. Pendidikan karakter merupakan upaya yang melibatkan semua pihak baik keluarga, sekolah dan masyarakat luas. Pengaruh modernisasi dalam iklim globalisasi berdampak pada terkikisnya nilai luhur budaya bangsa. Penyebabnya dikarenakan kurangnya pemahaman dan penerapan terhadap pentingnya nilai budaya dalam masyarakat. Kebudayaan dapat dipahami sebagai suatu sistem gagasan/ide yang dimiliki suatu masyarakat melalui proses belajar dan dijadikan acuan tingkah laku dalam kehidupan sosial bagi masyarakat. Pendidikan dan budaya adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan sehari-hari, karena budaya merupakan kesatuan yang utuh dan menyeluruh, berlaku dalam suatu
304
Zainnur Wijayanto Peran Etnomatika dalam
masyarakat, dan pendidikan merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap inidividu dalam masyarakat. Karakter siswa yang berbudi luhur dapat tertanam pada diri siswa diantaranya melalui pembelajaran matematika. Hal tersebut dikarenakan belajar matematika akan membentuk kemampuan berfikir logis, sistematis, jujur, dan disiplin dalam memecahkan suatu permasalahan baik dalam bidang matematika maupun bidang lain dalam kehidupan sehari-hari. Menyadari peranannya yang semakin penting, pendidikan matematika perlu mengantisipasi tantangan masa depan yang semakin rumit dan kompleks. Salah satunya melalui melalui pembelajaran berbasis budaya. Pembelajaran berbasis budaya merupakan pembelajaran bermakna kontekstual yang sangat terkait dengan
komunitas
budaya
sehingga
menjadikan
pembelajaran
menarik
dan
menyenangkan. Pembelajaran berbasis budaya membawa budaya lokal yang selama ini tidak selalu mendapat tempat dalam kurikulum sekolah, termasuk pada proses pembelajaran beragam mata pelajaran di sekolah. Pembelajaran berbasis budaya adalah pembelajaran yang memungkinkan guru dan siswa berpartisipasi aktif berdasarkan budaya yang sudah mereka kenal, sehingga dapat diperoleh hasil belajar yang optimal (Pannen, 2005). Salah satu pembelajaran yang dapat menjembatani antara budaya dan pendidikan
khususnya
matematika
adalah
etnomatematika.
Etnomatematika
(ethnomathematics) merupakan salah satu wujud pembelajaran berbasis budaya dalam konteks matematika. Etnomatematika diperkenalkan oleh D’Ambrosio (2006) menyatakan bahwa etnomatematika dianalogikan sebagai lensa untuk memandang dan memahami matematika sebagai suatu hasil budaya atau produk budaya. Hakekat Etnomatematika Etnomatematika adalah sebuah studi yang mengkaji hubungan antara matematika dan budaya. Matematika sebagai ilmu dasar pun berkembang di seluruh negara. Setiap negara mempunyai budaya (culture) yang berbeda sehingga perkembangan matematika pun berbeda-beda karena dipengaruhi oleh culture yang ada. Studi etnomatematika adalah suatu kajian yang meneliti cara sekelompok orang pada budaya tertentu dalam memahami, mengekspresikan, dan menggunakan konsepkonsep serta praktik-praktik kebudayaannya yang digambarkan oleh peneliti sebagai
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
305
sesuatu
yang
matematis.
Sebagaimana
dikemukakan
oleh
Barton
bahwa
“Ethnomathematics is a field of study which examines the way people from other cultures understand, articulate and use concepts and practices which are from their culture and which the researcher describes as mathematical” (Barton, 1994). Etnomatematika juga didefinisikan sebagai matematika yang digunakan oleh kelompok-kelompok masyarakat/budaya, seperti masarakat kota dan desa, kelompokkelompok pekerja/buruh, golongan profesional, anak-anak pada usia tertentu, masyarakat pribumi, dan masih banyak kelompok lain yang dikenali dari sasaran/tujuan dan tradisi yang umum dari kelompok tersebut (D’Ambrosio, 2006). Etnomatematika pertama kali diperkenalkan oleh pendidik dan matematikawan dari Brazil yaitu Ubiratan D’Ambrioso pada tahun 1997 dalam sebuah presentasi untuk American Association for the Advancement of Science. D'Ambrosio (2006) menerapkan nama program ini dengan menggunakan etimologi akar Yunani, etno, mathema, dan tics untuk menjelaskan apa yang ia memahami menjadi ethnomathematics. Dia mengatakan bahwa ethnomathematics didefinisikan sebagai matematika yang dilakukan oleh para anggota kelompok yang berbeda budaya, yang diidentifikasi sebagai masyarakat adat, kelompok pekerja, kelas profesional, dan kelompok anak-anak dari kelompok usia tertentu, dll (D'Ambrosio, 2006). Ethnomathematics adalah program penelitian dalam sejarah dan filsafat matematika, dengan implikasi pedagogis, fokus pada seni dan teknik (tics) dalam menjelaskan, memahami dan mengatasi [mathema] lingkungan sosial budaya yang berbeda (etno) (D’Ambrosio, 2006:IX). Secara khusus menurut D'Ambrosio (2008) dalam Albanese dan Perales (2015:2), matematika ini adalah hasil dari salah satu kemungkinan evolusi dari sistem pengetahuan ini. Namun, ada alternatif lain yang dapat hadir dengan sistem ini beberapa persamaan dan perbedaan. Ethnomathematics lainnya ditemukan dalam masyarakat yang berbeda dengan budaya yang berbeda, perkumpulan tertentu, dan dalam kehidupan sehari-hari. Selain
itu,
etnomatematika
juga
diartikan
sebagai
penelitian
yang
menghubungkan antara matematika atau pendidikan matematika dan hubungannya dengan bidang sosial dan latar belakang budaya, yaitu penelitian yang menunjukkan bagaimana matematika dihasilkan, ditransferkan, disebarkan, dan dikhususkan dalam berbagai macam sistem budaya (Zhang & Zhang, 2010), serta politik (Knijnik, 2002).
306
Zainnur Wijayanto Peran Etnomatika dalam
Sistem budaya dan politik yang dimaksud tentunya bukan hanya sistem budaya dan politik yang berlaku di dalam masyarakat berpendidikan, tetapi juga menyangkut sistem budaya atau ide matematika dari masyarakat yang tidak atau belum melek huruf. Kajian ethomathematics yang begitu luas, menyebabkan ethnomathematics dianggap sebagai salah satu dari dua pusat pemikiran untuk memahami matematika (Wedege, 2010). Hal tersebut menimbulkan gagasan bahwa peranan etnomatematika seharusnya memiliki pengaruh yang lebih luas dalam masyarakat dan pendidikan khususnya pendidikan matematika. Peranan tersebut sebenarnya sangat nyata sekali, tetapi hal terpenting adalah bagaimana usaha dan kerja keras kita untuk menampilkan konsep matematika yang ada dalam etnomatematika kedalam kegiatan pembelajaran, sehingga konsep tersebut dapat berhubungan secara langsung dengan budaya siswa dan dengan pengalamannya sehari-hari. Jika kita dapat melakukannya, maka akan terciptalah sebuah pendekatan etnomatematika dalam pembelajaran matematika dan diharapkan mampu membuat matematika di sekolah lebih relevan dan penuh makna bagi siswa dan kualitas pendidikannya. Siswa yang menganggap bahwa matematika tidak relevan dan tidak bermakna bagi dirinya, salah satunya disebabkan karena siswa kesulitan mempelajari bahasa matematika yang tentunya tidak mudah untuk dipahami. Oleh karena itu, pengembangan bahasa asli dalam menjelaskan matematika yang berasal dari barat membutuhkan perhatian. Penggunaan istilah matematika yang memiliki konotasi yang sama baik dilihat dari segi matematika dan budaya akan membantu siswa kita dalam mempelajari matematika dengan lebih baik. Menurut Francois (2012), perluasan penggunaan etnomatematika yang sesuai dengan keanekaragaman budaya siswa dan dengan praktik matematika dalam keseharian mereka membawa matematika lebih dekat dengan lingkungan siswa karena etnomatematika secara implisit merupakan program atau kegiatan yang menghantarkan nilai-nilai dalam matematika dan pendidikan matematika. D’Ambrosio (2006) menambahkan bahwa, penggunaan etnomatematika dalam kegiatan pembelajaran seharusnya dapat digunakan sebagai alat penyokong solidaritas dan kerjasama antar siswa. Selain itu, tujuan utama etnomatematika adalah membangun masyarakat yang bebas dari kebiadaban, arogansi, intoleransi, diskriminasi, ketidakadilan, kefanatikan,
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
307
dan rasa kebencian, sehingga etnomatematika
diharapkan dapat menumbuhkan
perdamaian di antara umat manusia. Pembahasan di atas membawa kita kedalam sebuah kesimpulan bahwa etnomatematika penting untuk dikaji dan dipelajari. Begitu pentingnya kajian tentang etnomatematika
yang secara khusus disebutkan oleh D’Ambrosio (2006) sebagai
program penelitian tentang sejarah dan filsafat matematika, dengan implikasi langsungnya untuk pembelajaran, membawa kita ke dalam pembahasan tiga bidang kajian tentang kajian dalam etnomatematika yang tentuya tidak memandang bahwa kajian tentang sejarah cerita tradisional pada matematika tidak penting untuk dipelajari atau dibahas. Secara praktis, studi etnomatematika berarti melakukan dengan cara dua hal: (1) menginvestigasi aktivitas matematika yang terdapat dalam kelompok budaya tertentu; (2) mengungkap konsep matematis yang terdapat dalam aktivitas tersebut (Barton, 1994). Mengadopsi etnomatematika ke dalam kegiatan pembelajaran matematika merupakan sesuatu yang sangat mungkin dilakukan (Zhang & Zhang, 2010). Bahkan dapat pula etnomatematika dijadikan sebagai alternatif pembelajaran matematika (Owens, 2012). Kedua pendapat tersebut menjadi inspirasi bagi praktisi dalam dunia
pendidikan
matematika
untuk
mengaplikasikan
etnomatematika
dalam
kegiatan pembelajaran matematika. Bonner (2010), melakukan kegiatan pembelajaran berbasis etnomatematika dengan
subjeknya
adalah
calon
guru.
Pembelajaran
ini
dilakukan
dengan
cara mengkonstruksikan pengalaman bermakna baik di dalam maupun di luar kelas yang memfokuskan pada budaya. Kegiatan ini telah meningkatkan dan memperdalam pemahaman calon guru dalam pengajaran matematika dengan berbagai macam budaya. Selain itu, kegiatan seminar yang dilakukan Massarwe, Verner, & Bshouty (2012) menyimpulkan
bahwa,
pemahaman
tentang
geometri
para
siswa/peserta
seminar meningkat dan mereka paham terhadap pentingnya aktivitas pembelajaran etnomatematika yang berhubungan dengan siswa dan budaya yang lain. Kegiatan lain yang masih menggunakan calon guru sebagai subjek penelitiannya, menunjukkan
bahwa
etnomatematika
telah
memberi
pengaruh
terhadap
pengembangan profesionalisme calon guru matematika (Katsap & Silverman, 2008). Hal tersebut menunjukkan bahwa etnomatematika sangat penting dalam kegiatan
308
Zainnur Wijayanto Peran Etnomatika dalam
pembelajaran bagi calon guru, baik kegiatan di kelas maupun kegiatan di lapangan. Calon guru pada saat di lapangan/sekolah dapat langsung mengaplikasikan apa yang telah mereka dapat dalam kegiatan pembelajaran dengan siswanya yang tentunya juga berasal dari berbagai macamlatar belakang budaya yang berbeda (DeKam, 2007). Perbedaan latar belakang budaya yang ada telah menginspirasi Duranczyk &Higbee dalam penelitiannya. Duranczyk & Higbee (2012), telah mengintegrasikan desain pembelajaran multi-budaya dan aplikasinya dalam berpikir matematis siswa. Kegiatan tersebut tentunya untuk mengakomodasi peranan etnomatematika dalam pengajaran matematika. Hal yang perlu diingat adalah guru matematika harus mengetahui peranannya sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran, dan bukan sebagai sumber dan pengantar pengetahuan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan pemanfaatan pengetahuan siswa tentang etnomatematika di dalam pembelajaran dan ini akan mendorong pegembangan dasar pengatahuan konseptual siswa. Selain itu, kegiatan ini juga memungkinkan siswa mengembangkan perluasan strategi pemecahan masalah, sehingga membuat matematika menjadi pelajaran yang penuh arti dan reflektif (Matang, 2002). Berbagai alternatif memang bisa kita gunakan dalam kegiatan pembelajaran, tetapi yang lebih penting adalah kita harus memodifikasi secara produktif pembelajaran agar memberi dampak yang bermanfaat dari reformasi pengajaran seperti kerja kelompok dan pembelajaran berbasis masalah (Staats, 2006). Karakter dan Penguatan Karakter Karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, dan watak. Karakter berasal dari nilai tentang sesuatu. Suatu karakter melekat dengan nilai dari perilaku seseorang. Karenanya tidak ada perilaku anak yang tidak bebas dari nilai. Nilai-nilai pendidikan karakter yang dikembangkan Kementerian Pendidikan ada delapan belas karakter. Nilai-nilai tersebut bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional. Delapan belas nilai tersebut adalah: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. (Pusat
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
309
Kurikulum Kementrian Pendidikan Nasional, 2009: 9-10). Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan yang meliputi isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan kokurikuler. Karakteristik Siswa Sekolah Dasar Menurut teori Piaget, siswa SD berada pada tahap perkembangan operasional konkret. Anak-anak berpikir atas dasar pengalaman nyata/konkret, belum dapat berpikir seperti membayangkan bagaimana proses fotosintesis atau proses osmosis terjadi. Namun, kemampuan unutk melakukan penambahan, pengurangan, pengerutan serta klasifikasi telah berkembang dengan perkalian sederhana dan pembagian. Kemampuan untuk sedikit berfikir abstrak selalu harus didahului dengan pengalaman konkret. Anak usia SD masih sangat membutuhkan benda-benda konkret untuk menolong pengembangan kemampuan intelektualnya. Menurut Basset dkk (dalam Sumantri dan Permana, 2011: 11), karakteristik siswa sekolah dasar secara umum: 1) memiliki rasa keingintahuan yang kuat dan tertarik pada dunia sekitar yang mengelilingi diri mereka sendiri, 2) senang bermain dan bergembira riang, 3) suka mengatur diri untuk menangani berbagai hal, 4) bergetarnya perasaan dan terdorong untuk berprestasi sebagaimana mereka tidak suka mengalami ketidakpuasan dan menolak kegagaan-kegagalan, 5) belajar secara efektif ketika merasa puas dengan situasi yang terjadi, dan 6) belajar dengan cara bekerja, mengobservasi, berinisiatif, dan mengajar anak-anak lainnya. Peran Etnomatematika dalam Membangun Karakter Siswa Sekolah Dasar Etnomatematika adalah bentuk matematika yang dipengaruhi atau didasarkan budaya. Oleh sebab itu, jika perkembangan etnomatematika telah banyak dikaji maka
310
Zainnur Wijayanto Peran Etnomatika dalam
bukan tidak mungkin matematika diajarkan secara bersahaja dengan mengambil budaya setempat. Dalam etnomatematika juga terintegrasi nilai nilai karakter, seperti tanggung jawab, disiplin, kejujuran, ketelitian, bekerjasama, mandiri, dan lain-lain. Melalui penerapan etnomatematika dalam pendidikan diharapkan siswa dapat lebih memahami matematika dan budaya mereka, sehingga nilai budaya yang merupakan bagian karakter bangsa tertanam sejak dini. Berikut diuraikan beberapa nilai karakter yang dapat dikembangkan melalui etnomatematika: a. Jujur Pembelajaran matematika berbasis etnomatematika menuntut siswa untuk bersikap jujur dengan apa yang dia peroleh atau dapatkan. Misalnya saat guru menanyakan apakah materi yang di ajarakan hari ini semua siswanya sudah paham, maka ketika inilah siswa menjawab dengan jujur apakah paham atau tidak. Jika siswa tidak jujur maka yang akan rugi adalah siswa itu sendiri, karena dalam matematika berbasis etnomatematika antara satu materi dengan materi lainnya mempunyai keterkaitan bertingkat. Artinya kalau siswa tidak mengerti materi dasar maka mereka akan mengalami kesulitan dalam memahami materi selanjutnya. b. Disiplin Karakter disiplin dapat terbentuk dalam mempelajari matematika berbasis etnomatematika, karena dalam matematika peserta didik diharapkan mampu mengenali suatu keteraturan pola, memahami aturan-aturan dan konsep-konsep yang telah disepakati. Jadi nilai karakter yang muncul dalam belajar matematika berbasis etnomatematika adalah seseorang diharapkan mampu bekerja secara teratur dan tertib dalam menggunakan aturan-aturan dan konsep-konsep. Dalam matematika konsep-konsep tersebut tidak boleh dilanggar karena dapat menimbulkan salah arti. c. Kerja keras Karakter
yang
ingin
dibentuk
dalam
matematika
berbasis
etnomatematika selanjunya adalah tidak mudah putus asa. Dalam belajar matematika, seseorang harus teliti, tekun dan telaten, dalam memahami yang tersirat dan tersurat. Ada kalanya seseorang keliru dalam pengerjaan suatu
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
311
perhitungan, namun belum mencapai hasil yang benar, maka seseorang diharapkan dapat dengan sabar melihat kembali apa yang telah dikerjakan dengan teliti, tidak mudah menyerah terus berjuang untuk menghasilkan suatu jawaban yang benar. d. Rasa ingin tahu Memunculkan
rasa
ingin
tahu
dalam
matematika
berbasis
etnomatematika akan mengakibatkan seseorang terus belajar dalam sepanjang hidupnya, terus berupaya menggali informasi-informasi terkait lingkungan di sekitarnya. e. Kreatif Seseorang yang belajar matematika berbasis etnomatematika akan terbiasa untuk kreatif dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Dalam menyelesaikan persoalan ada yang dapat menyelesaikan dengan cara yang panjang, namun ada pula yang mampu mengerjakan dengan singkat. Bila seseorang
terbiasa
menyelesaikan
permasalahan
matematika berbasis
etnomatematika, maka orang tersebut akan terbiasa memunculkan ide yang kreatif yang dapat membantunya menjalani kehidupan secara lebih efektif dan efisien. Penutup Membangun masyarakat berkarakter merupakan tanggungjawab bersama seluruh komponen bangsa. Masyarakat yang berkarakter merupakan pondasi bangsa yang bermartabat dan unggul. Karakter bangsa tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan harus dibentuk, dilatih, dan dikelola secara bertahap sedini mungkin. Sekolah dasar merupakan salah satu wadah yang penting dalam pembentukan karakter suatu bangsa. Penerapan etnomatematika dalam pendidikan diharapkan mampu menjadikan siswa lebih memahami matematika dan budaya mereka, sehingga nilai budaya yang merupakan bagian karakter bangsa tertanam sejak dini. Etnomatematika juga memiliki konstribusi dalam pembentukan karakter pada diri siswa, antara lain nilai jujur, disiplin, kerja keras, rasa ingin tahu, dan kreatif. Apabila siswa mampu menerapkan nilai-nilai
312
Zainnur Wijayanto Peran Etnomatika dalam
karakter tersebut maka etnomatematika akan menjadi suatu pelajaran yang bermakna bagi kehidupannya.
DAFTAR PUSTAKA Albanese, Veronica. and Perales, F.J. 2015. Enculturation with Ethnomathematical Microprojects: From Culture to Mathematics. Jurnal of Mathematics and Culture, 9(1), 1-11. Barton. 1994. Ethnomathematics: Exploring Cultural Diversity in Mathematics (Ph.D. Thesis, University of Auckland). Bonner, E. P. 2010. Promoting culturally responsive teaching through action research in a mathematics methods course. Journal of Mathematics and Culture, 5(2), pp.16-30. D’Ambrosio, U. 2006. Preface. Prosiding, International Congress of Mathematics Education Copenhagen. Pisa: University of Pisa. DeKam, J. L. H. 2007. Foundations in ethnomathematics for prospective elementary teacher. Journal of Mathematics and Culture, 2(1), pp. 1-19. Duranczyk, I. M. & Higbee, J. L. 2012. Constructs of integrated multicultural instruction design for undergraduated mathematical thinking course for nonmathematics majors. Journal of Mathematics and Culture, 6 (1), pp. 148-177. Francois, K. 2012. Ethnomathematics in a European context: Towards an enriched meaning of ethnomathematics. Journal of Mathematics and Culture, 6 (1), pp.191208. Katsap, A. & Silverman, F. L. 2008. A case study of the role of ethnomathematics among teacher education students from highly diverse cultural background. Journal of Mathematics and Culture, 3(1), pp. 66-102. Matang, R. 2002. The role of ethnomathematics in mathematics education in Papua New Guinea: Implication for mathematics curriculum. Journal of EducationStudies, 24 (1) pp. 27-37. Owens, K. 2012. Policy and practices: Indigenous voices in education. Journal of Mathematics and Culture, 6 (1), pp. 51-75. Pannen, Paulina. 2005. Pendidikan sebagai Sistem. Jakarta: Depdiknas. Pusat Kurikulum dan Perbukuan Balitbang Kemdiknas. 2011. Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter: Berdasarkan Pengalaman di Satuan Pendidikan Rintisan. Jakarta: Puskur Balitbang Kemdiknas. Staats, S. 2006. The case for rich contexts in ethnomathematics lessons. Journal of Mathematics and Culture, 1(1), pp. 39-52. Sumantri, M dan Permana, J. 2011. Strategi Belajar Mengajar. Bandung: CV Maulana. Zhang, W. & Zhang, Q. 2010. Ethnomathematics and its integration within the mathematics curriculum. Journal of Mathematics Education. 3(1), pp. 151-157.
Prosiding Seminar Nasional PGSD UST, 28 Mei 2016
313