perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
REKAYASA PESAN DAN PROSES AKULTURASI (Studi Etnografi Komunikasi dengan Analisis Semiologi Komunikasi atas Rekayasa Pesan dalam Proses Akulturasi Budaya oleh Masyarakat Blimbingsari, Jembrana, Bali)
TESIS Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Ilmu Komunikasi
Oleh: SIH NATALIA SUKMI NIM S220809012
PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit to user 2012
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
REKAYASA PESAN DAN PROSES AKULTURASI (Studi Etnografi Komunikasi dengan Analisis Semiologi Komunikasi atas Rekayasa Pesan dalam Proses Akulturasi Budaya oleh Masyarakat Blimbingsari, Jembrana, Bali)
TESIS Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Ilmu Komunikasi
Oleh: SIH NATALIA SUKMI NIM S220809012
PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012 commit to user
i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
REKAYASA PESAN DAN PROSES AKULTURASI (Studi Etnografi Komunikasi dengan Analisis Semiologi Komunikasi atas Rekayasa Pesan dalam Proses Akulturasi Budaya oleh Masyarakat Blimbingsari, Jembrana, Bali)
TESIS Oleh: SIH NATALIA SUKMI NIM S220809012
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing Dewan Pembimbing: Jabatan
Nama
Tanda Tangan
Pembimbing I
Prof. Andrik Purwasito, DEA .......................
Tanggal ...................
NIP: 195708131985031006 Pembimbing II
Drs. Mursito BM, S.U
......................... ...................
NIP: 195307271980031001
Mengetahui, Ketua Pascasarjana Program Studi Ilmu Komunikasi
Prof. Drs. H. Totok Sarsito, SU, MA, Ph.D NIP: 194904281979031001 commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
REKAYASA PESAN DAN PROSES AKULTURASI (Studi Etnografi Komunikasi dengan Analisis Semiologi Komunikasi atas Rekayasa Pesan dalam Proses Akulturasi Budaya oleh Masyarakat Blimbingsari, Jembrana, Bali)
TESIS
Oleh : SIH NATALIA SUKMI NIM S220809012
Telah disetujui oleh Tim Penguji : Jabatan Ketua
Nama
Tanda Tangan
Prof. Drs. Totok Sarsito, SU, MA, Ph.D
Tanggal
…………... ………
NIP. 194904281979031001 Sekretaris
Sri Hastjarjo, S.Sos, Ph.D
…………...
………
..................
.............
NIP. 197102171998021001 Anggota
Prof. Andrik Purwasito, DEA NIP: 195708131985031006
Anggota
Drs. Mursito BM, S.U
.................. .............
NIP: 195307271980031001 Mengetahui, Direktur Program Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS Pascasarjana NIP. 196107171986011001 UNS
………………..
Program Studi Ilmu Komunikasi
………………..
Prof. Drs. Totok Sarsito, SU, MA, Ph.D NIP. 194904281979031001 commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN
Yang bertanda tangan dibawah ini saya : Nama
: Sih Natalia Sukmi
NIM : S220809012 Program Studi : Ilmu Komunikasi Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul Rekayasa Pesan dan Proses Akulturasi (Studi Etnografi Komunikasi dengan Analisis Semiologi Komunikasi atas Rekayasa Pesan dalam Proses Akulturasi Budaya oleh Masyarakat Blimbingsari, Jembrana, Bali) adalah betul-betul karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi. Sepanjang pengetahuan saya, dalam tesis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemuidan terbukti saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik, berupa pencabutan gelar yang saya peroleh dari tesis ini.
Surakarta, Maret 2012 yang membuat pernyataan
Sih Natalia Sukmi
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
”Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Tuhan dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur” (Filipi 4 : 6)
”Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku” (Filipi 4 : 13)
Karya ini penulis persembahkan kepada: 1. Tuhan Yesus Kristus, atas segala berkat yang tidak dapat terlogika 2. Papi dan Mami, atas segala doa, cinta, kasih sayang yang luar biasa. 3. Mbak Ima, Mas Tanu, dan Dik Ayink untuk segala cinta dan dukungan. 4. Timotius Marsudi, untuk limpahan cinta dan spirit yang tak terungkapkan. 5. Bapak, Mamak, Kak, Nini, Blimbingsari, untuk ketulusan hati 6. Seluruh warga Blimbingsari untuk kesempatan dan cinta kasih. 7. Almamaterku Universitas Sebelas Maret Surakarta 8. Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Puji Syukur atas segala kemurahan dan limpahan berkat dari Tuhan Yang Maha Kuasa, sehingga penulis mampu menyelesaikan Tesis pada Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan judul Rekayasa Pesan dan Proses Akulturasi (Studi Etnografi Komunikasi dengan Analisis Semiologi Komunikasi atas Rekayasa Pesan dalam Proses Akulturasi Budaya oleh Masyarakat Blimbingsari, Jembrana, Bali). Penulis menyadari karya sederhana ini tidak dapat tercipta tanpa campur tangan dari berbagai pihak yang membantu. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1.
Prof. Drs. Totok Sarsito, SU, MA, Ph.D selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2.
Prof. Andrik Purwasito, DEA selaku pembimbing I atas bimbingan dan arahannya dalam menyelesaikan tesis ini.
3.
Drs. Mursito BM, S.U selaku pembimbing II atas bimbingan dan masukan yang membangun dalam menyelesaikan tesis ini.
4.
Segenap dosen pengampu mata kuliah, seluruh staf pengajar dan semua staf kantor Program Studi Ilmu Komunikasi Pascasarjana UNS.
5.
Perbekel Blimbingsari, Bapak John Ronny yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian.
6.
Pdt. I Ketut Suyaga Ayub atas segala informasi penunjang tesis ini commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
7.
digilib.uns.ac.id
Bendesa Adat Blimbingsari untuk kesempatan penulis mengumpulkan data yang dibutuhkan.
8.
Bapak, Mamak, Kak, Nini, Kak de, Chia untuk ketulusan hati memberi tumpangan dan menganggap penulis sebagai bagian dari keluarga.
9.
Seluruh warga Blimbingsari, Melaya, Jembrana, Bali atas segala ketulusan hati memberikan waktu, tenaga dan pikiran untuk penulis mengumpulkan data
10. Pdt. Fritz Yohanes DP, SSi untuk diskusi data pendukung tesis 11. Keluarga besar penulis, Papi, Mami, Mbak Ima, Mas Tanu, Ayink, dan Timoty atas segala dukungan, cinta, kasih dan hati yang luar biasa hingga penulis dapat menyelesaikan studi. 12. Keluarga besar Pascasarjana Ilmu Komunikasi 2009 khususnya kelas Riset dan Pengembangan Teori untuk persahabatan dan sharing selama ini. Kiranya Tuhan melimpahkan kasih karunia kepada semua pihak yang membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Pada kesempatan ini pula, penulis ingin mengucapakan permohonan maaf apabila dalam penulisan dan penyelesaian tesis ini terdapat kesalahan dan ketidakperkenanan dari berbagai pihak. Demikian pengantar untuk karya sederhana ini, semoga bermanfaat bagi pembaca. Tuhan Memberkati.
Surakarta, Maret 2012 Penulis commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ..........................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN TESIS ..........................................................
iii
PERNYATAAN ORISINALITAS ..............................................................
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ...............................................................
vi
KATA PENGANTAR .................................................................................
vii
DAFTAR ISI................................................................................................
ix
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR ...........................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................
xii
ABSTRAK ...................................................................................................
xiii
ABSTRACT.................................................................................................
xiv
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN......................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ......................................................
1
B. Rumusan Masalah ................................................................
16
C. Pembatasan Masalah ............................................................
16
D. Tujuan Penelitian .................................................................
17
E. Manfaat Penelitian ...............................................................
17
ORIENTASI TEORITIK .......................................................
18
A. Deskripsi Teoritik.................................................................
18
1. Komunikasi ....................................................................
18
1.1.Komunikasi Kelompok ............................................
18
1.2.Groupthink dalam Komunikasi Kelompok ..............
19
2. Komunikasi dan Budaya ................................................
21
2.1. Komunikasi dalam Konteks Budaya .......................
21
2.2. Persoalan Budaya dalam Kaitannya dengan Komunikasi .............................................................
24
2.3. Akulturasi sebagai Wujud Interaksi Makna ............ commit to Proses user Share Meaning ........... 2.4. Komunikasi sebagai
28
viii
37
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2.5. Komunikasi sebagai Proses Sosial ............................
38
3. Studi Pesan .......................................................................
43
3.1. Simbol Verbal dan Non Verbal dalam Komunikasi ..
43
3.2. Proses Produksi Pesan................................................
44
3.3. Semiologi dan Mitologi .............................................
49
B. Penelitian yang Relevan ..........................................................
51
BAB III METODE PENELITIAN ..........................................................
53
A. Tempat dan Waktu Penelitian .................................................
53
B. Jenis Penelitian ........................................................................
53
C. Data dan Sumber Data.............................................................
55
D. Teknik Pengumpulan Data ......................................................
56
E. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data .....................................
57
F. Teknik Analisis Data ...............................................................
57
BAB IV DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN DAN PENYAJIAN DATA..........................................................................................
62
A. Sejarah Blimbingsari .............................................................
62
B. Kondisi Masyarakat Blimbingsari Kini .................................
67
1. Organisasi Sosial ..............................................................
67
2. Enjungan ..........................................................................
70
3. Suka Duka ........................................................................
71
4. Sistem Mata Pencaharian Hidup ......................................
71
5. Sistem Komunikasi Masyarakat Blimbingsari.................
74
6. Adat Istiadat Blimbingsari ...............................................
76
C. Sosial Kemasyarakatan Penduduk Pulau Bali .....................
82
D. Korpus .................................................................................. commit to user
88
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V ANALISIS DATA ...................................................................... 130 A. Upaya Masyarakat Blimbingsari untuk Membangun Akulturasi Kristen dengan Hindu (Bali) .............................................. 131 B. Identitas Budaya sebagai Upaya Pertahanan Masyarakat Blimbingsari ................................................... 188 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ................................................. 194 A. Kesimpulan .......................................................................... 194 B. Saran .................................................................................... 200
LAMPIRAN DAFTAR PUSTAKA
commit to user
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL 1. Tabel 1.1. Tabel Kelompok Penduduk Berdasarkan Agama Tahun 1930 2. Tabel 1.2. Tabel Kelompok Penduduk Berdasarkan Agama Tahun 2009
commit to user
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
1. Hasil Wawancara dengan I Made Suka Bagya. Bendesa Adat Desa Kristen Bali (2009-2014). Mantan Perbekel (2003-2008). 2. Hasil Wawancara Dengan I Gedhe Sudikda. (Bagian Pariwisata Blimbingsari). 3. Wawancara dengan Pdt. Ketut Suyaga Ayub. 4. Hasil Wawancara Dengan Pdt. I Ketut Suyaga Ayub. 5. Rabu, 17 Agustus 2011. Kematian Di Tempat Pak Hozia. 6. Hasil wawancara dengan Pak I Wayan Majus (Penatua) Dari Enjungan Kaja. 7. Hasil wawancara Dengan Ni Wayan Sitingsih. 8. Hasil wawancara dengan Pdt. Fritz Yohanes DP, S.Si. 9. Awig-Awig Desa Adat Kristen Blimbingsari
commit to user
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
Sih Natalia Sukmi, S220809012. 2009. Rekayasa Pesan dan Proses Akulturasi (Studi Etnografi Komunikasi dengan Analisis Semiologi Komunikasi atas Rekayasa Pesan dalam Proses Akulturasi Budaya oleh Masyarakat Blimbingsari, Jembrana, Bali). Tesis, Program Studi Ilmu Komunikasi, Program Pascasarjana. Universitas Sebelas Maret Surakarta. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan (1) bagaimana proses akulturasi terjadi pada masyarakat Blimbingsari (Kristen) Bali dengan (Hindu) Bali dapat terjadi masing-masing karakter budaya yang saling menyerap satu sama lain dalam “share meaning” dari generasi ke generasi. (2) Identitas budaya seperti apa yang diinginkan masyarakat Blimbingsari melalui proses akulturasi yang mereka lakukan. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode etnografi komunikasi menggunakan pendekatan semiologi komunikasi. Penelitian mengambil lokasi di desa Blimbingsari, Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana Bali. Sumber data yang diambil adalah seluruh data yang berkaitan dengan Blimbingsari yang terbagi menjadi beberapa unsur budaya seperti; bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi, dan kesenian. Pengumpulan data dilakukan dari Oktober 2010 hingga Agustus 2011. Hasil dari penelitian ini mengungkapkan bahwa proses akulturasi yang terjadi di Blimbingsari antara agama Hindu dan agama Kristen dilakukan melalui beberapa medium atau saluran dalam komunikasi yaitu: Arsitektur gereja Pniel Blimbingsari, Tata Ibadah gereja Pniel Blimbingsari, dan Sistem Sosial kemasyarakatan Blimbingsari Blimbingsari menggunakan budaya sebagai media untuk melakukan perlawanan terhadap budaya dominan. Akulturasi budaya Hindu dengan Kristen di desa Blimbingsari adalah upaya yang mereka gunakan untuk melakukan perlawanan tanpa kekerasan dan sebuah bentuk konformitas yang coba dilakukan untuk mengurangi konflik yang terjadi dalam masyarakat Bali. Akulturasi budaya tersebut juga membentuk identitas budaya Blimbingsari, masyarakat Bali yang beragama Kristen dalam desa adat Kristen Blimbingsari.
Kata kunci: akulturasi budaya, rekayasa pesan, semiologi komunikasi
commit to user
xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT Sih Natalia Sukmi, S220809012. 2009. Message Engineering in Acculturation Process (A Study About Communication Using Analysis in Semiology of Communication upon Message Engineering within The Process of Cultural Acculturation by Blimbingsari Community). Thesis: Program Studi Ilmu Komunikasi, Magister Program. University of Sebelas Maret, Surakarta. The purposes of this research are to answer questions about (1) how acculturation process occurs within Christian and Hinduis society of Blimbingsari, in which every cultural character absorbs each other in “share meaning” from generation to generation.(2) Kind of Cultural Identity desired by Blimbingsari society with acculturation process conducted by them. This research is a qualitative research with methods of communication ethnography using communication semiotic approach. It took place in Blimbingsari Village, in Melaya district, Jembrana regency, Bali. The source of data taken are entirely data concerning with Blimbingsari which divided into some cultural elements, such as: language, knowledge system, social organizations, technology and ways of life systems, religious system and arts. The collection of data was from October 2010 until August 2011. The result of this research indicates that acculturation process within Cristianity and Hinduis in Blimbingsari conducted through some communication media or lines, i.e. the architectures of Pniel Church in Blimbingsari, the rituals of Pniel Church, and the social organization in villages with Christianity tradition. Blimbingsari uses culture as one of the media to fight for the dominant culture. The acculturation within Hinduis and Christian culture in Blimbingsari village is an effort to fight for without violence, and a conformity which they try to use in reducing conflicts happened inside Bali society. The acculturation of culture creates self identity of Blimbingsari culture, in Bali society which embraces Christian in a village with Christianity tradition.
Keywords : Cultural Communication.
Acculturation,
Message
commit to user
xiv
engineering,
Semiotic
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bali merupakan bagian dari wilayah Indonesia yang mempunyai keunikan adat dan perilaku. Berdasarkan keunikan tersebut, maka menurut I Gede Ardika, mantan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Bali merupakan lokasi ideal dalam mewujudkan interaksi budaya, sekaligus mewujudkan pusat budaya dunia. (www.kompas.com, 4 Agustus 2011). Bali dikatakan unik, karena dia memiliki simbol-simbol spesifik yang menjadi cerminan identitas mereka. Ting-Toomey (1999:30) dalam Turnomo Rahardjo (2005:1), mengungkapkan bahwa identitas kultural merupakan perasaan (emotional significance) dari seseorang untuk ikut memiliki (sense of belonging) atau berafiliasi dengan kultur tertentu. Masyarakat yang terbagi ke dalam kelompok-kelompok itu kemudian melakukan identifikasi kultural (cultural identification), yaitu masing-masing orang mempertimbangkan diri mereka sebagai representasi dari sebuah budaya partikular. Seseorang yang tergabung dalam suatu kelompok masyarakat akan mengidentifikasikan dirinya serupa dengan identitas kultural dalam lingkungan mereka. There is a general agreement that recognizes identity as one of the few fundamental human needs and part of condition of being human. (Ling Chen, 2011:213). Ada kesepakatan umum bahwa kesadaran identitas merupakan salah satu
kebutuhan dasar
manusia
dan
menjadi bagian kondisi
kemanusiawian. Oleh karena itu, identitas menjadi bagian penting dalam
commit to user 1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kehidupan seseorang ataupun kelompok masyarakat. Identitas dalam masyarakat mengandung sentimen primordial seperti etnis, agama dan lain sebagainya. Bagi masyarakat, identitas adalah "harga diri" dan "senjata" untuk menghadapi kekuatan luar lewat simbol-simbol bahasa dan budaya. (http://ejournal.unud.ac.id, 12 Januari 2011). Identitas etnis dibangun dari dalam, karena identitas diri suatu etnis adalah integrasi dari etnisitas dan perasaan kesamaan ras dalam satu konsep diri (Carmen Guanipa-Ho dalam Alo Liliweri, 2005: 35). Identitas menjadi lebih rumit apabila berada dalam masyarakat yang plural. Bali mempunyai masyarakat yang plural. Secara historis, Bali dan dinamikanya memiliki pluralitas dalam identitas Bali Mula atau Bali Aga1 (Bali Asli) dan Bali Majapahit (wong Majapahit)2. (Damayana, 2011: 91). Pembedaan identitas terkait dengan akses terhadap pemenuhan kebutuhan termasuk aspek budaya, agama, dan politik masyarakat. Dwipayana (2005:4) dan Wiana (1993:97) dalam Damayana (2011:91-92) mengungkapkan, “Secara geokultural, orang-orang Bali keturunan Majapahit bertempat tinggal di daerah Bali dataran yang melipah air, sehingga mereka mengenal perairan (subak). Secara politis, wong Bali dataran lebih memilih menerapkan sistem kepemimpinan tunggal dan monopolitik. Mereka lebih mengenal puri dan grya sebagai pemegang otoritas ekonomi politik dan kultural. Sedangkan Bali Aga wilayah pedalaman yang berbukit-bukit. Secara ekologis tergantung pada alam dan sumber daya hutan. Secara politis, mempunyai sistem sosial yang komunal dan kepemipinan kolektif.” Perkembangan kekuasaan dinasti Majapahit di Bali dan migrasi Jawa-Bali melahirkan pembeda yang kedua yang didasarkan pada identitas kewangsaan 1
Bali Mula atau Bali Aga merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut identitas bagi penduduk lokal Bali. 2 Bali Majapahit adalah identitas yang dikukuhkan oleh Sri Kresna Kepakisan dari Kediri yang memegang kekuasaan Majapahit atas Bali sejak tahun 1350 SM.
commit to user
2
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(tri wangsa dan jaba wangsa) sebagai sistem kasta khas Bali. (Wiana 1993: 98; Dwipayana, 2005: 5, Putra 1998: 32 dalam Damayana, 2011:92). Pluralitas Bali semakin terwujud ketika penganut agama Islam sebagai pengiring raja berdatangan sejalan dengan kudeta Patih Agung Maruti yang menyebabkan konflik dan perpecahan internal Bali menjadi beberapa kerajaan. Identitas Islam semakin terwujud dalam terbentuknya beberapa kampung Islam di Bali, seperti Kepaon, Serangan, Karangasem, Pegayaman di Buleleng dan pendirian tempat pemujaan (persimpangan betara di Mekah) pada beberapa pura di Bali (Mengwi, Badung, dan Bangli). (Ibid: 93). Selain identitas Islam, identitas Kristen juga eksis di Bali sejak zaman Kolonial Belanda, walaupun secara tidak langsung melalui beberapa misionaris. Perjalanan berikutnya misionaris Katolik, Pastor Johanes Kersten SVD menyusul membangun komunitas Katolik yang kini sebagian besar bermukim di Palasari. Kini,
Bali
semakin
kompleks
tatkala
pariwisata
menjadi
roda
perekonomian masyarakatnya. Gelombang migrasi berdatangan dari dari berbagai wilayah di Indonesia untuk mencari pendapatan di Bali. Pendatang kebanyakan tergiur untuk memperoleh penghasilan melalui sektor pariwisata dan perdagangan. Selain dari dalam negeri, wisatawan-wisatawan asing berdatangan untuk menikmati keelokan pulau ini. Pluralitas Bali memicu diskursus identitas yang semakin beragam. Dalam konteks masyarakat Bali, apa yang dimaksud dengan identitas Bali? Prof. Dr. I Made Suastra, PhD, berpendapat bahwa, sosok yang menunjukkan seseorang
commit to user 3
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
beridentitas manusia Bali dapat berwujud dalam dua kenyataan, yakni bahasa yang menampakkan diri sebagai identitas bunyi dan tradisi (pakaian dan sarana lainnya) sebagai wujud fisik. (Suastra: http://ejournal.unud.ac.id, 12 Januari 2011). Tradisi yang dipahami oleh masyarakat umum di luar konteks pluralitas Bali adalah tradisi yang bersifat ke-Hindu-an. Identifikasi ke-Hindu-an tidak dapat dipungkiri ketika mengamati data tentang jumlah penduduk Bali menurut
agama-agama
yang
mereka
anut
yang
diungkapkan
oleh
Swellengrebel pada tahun 1930. Data tersebut dapat digambarkan dalam tabel sebagai berikut: Tabel 1.1. Tabel Kelompok Penduduk Berdasarkan Agama Tahun 1930 Kelompok-kelompok penduduk (berdasarkan agama) Hindu Islam Peduduk dari kelompok lain Jumlah total
1930 Jumlah Prosentase (%) 1.062.885 97,33 16.992 1,56 12.160 1,11 1.092.037 100 Sumber: Swellengrebel, 1930
Berdasarkan data di atas dapat diamati bahwa 97,33% penduduk Bali beragama Hindu. Jumlah yang sangat menonjol dibandingkan dengan jumlah penduduk yang menganut agama lain. Dalam data tersebut, Swellengrebel memaparkan terdapat 403 orang penduduk Eropa, penduduk tersebut disinyalir berkebangsaan Belanda yang menganut agama Kristen. (Hasil wawancara dengan Pdt. I Ketut Suyaga Ayub, 11 Agustus 2011, pukul 11.05 WITA)
commit to user 4
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berdasarkan BPS (Badan Pusat Statistik) Provinsi Bali tahun 2009, Pulau Bali memiliki luas sekitar 5.632,86 km2 atau berukuran hanya 0,3% dari seluruh daratan di Indonesia. Jumlah penduduk sebanyak 3.471.195 jiwa (1.739.526 jiwa atau 50, 10% laki-laki dan 1.732.426 jiwa atau 49,90% perempuan), dengan komposisi penduduk berdasarkan agama dapat dilihat pada tabel berikut ini, Tabel 1.2. Tabel Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama Tahun 2009 Komposisi penduduk (berdasarkan agama) Hindu Islam Buddha Kristen Protestan Katolik Lain-lain Jumlah total
2009 Jumlah (jiwa) Prosentase (%) 2.751.828 87,44 323.853 10,29 16.569 0,53 30.439 0,97 23.834 0,76 476 0,002 3.471.195 100 Sumber: BPS Provinsi Bali, 2010: 83-120
Berdasarkan data tersebut, maka dapat diamati bahwa agama yang mendominasi Bali menurut survey di atas tetap Hindu, namun demikian agama di luar Hindu juga mengalami perkembangan sehingga yang pada mulanya 2,67 persen menjadi 12,56 persen. Identifikasi Bali dengan Hindu juga dibenarkan oleh Bendesa Adat ( ketua adat) desa pakraman (desa adat) Ekasari, I Wayan Winara, “Budaya Bali memang sulit dilepaskan dengan Hindu. Bali terkenal dengan seni dan budayanya. Sementara mayoritas masyarakat Bali adalah Hindu dan seni budaya tersebut selalu berhubungan dengan keagamaan. Maka, secara
commit to user 5
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
otomatis budaya yang dikenal sebagai budaya Bali adalah budaya Hindu. (hasil wawancara Rabu, pukul 09.13 WITA). Keunikan Bali identik dengan Hindu. Budaya Hindu itu pula yang kemudian menjadi penyokong bisnis pariwisata di Bali. Sejak tahun 1970 pariwisata telah menjadi sebuah bagian dari budaya Bali. (Suryawan, 2005: xxvii). Dengan kata lain, masyarakat Bali menggantungkan hidupnya melalui pariwisata. Perlu diakui bahwa keelokan Bali mampu menjadi komoditas yang luar biasa. Kekhasan budaya Bali yang juga identik dengan Hindu dilihat jelas oleh Belanda pada waktu masa penjajahan. Belanda melihat potensi Bali dapat dikembangkan sedemikian rupa terutama pariwisata, melalui keunikan sistem sosial masyarakat yang dimilikinya. Belanda membuat sistem koloni, sebuah sistem yang memisah-misahkan kelompok masyarakat Bali berdasarkan keyakinan mereka. Beberapa agama yang berkembang di luar agama Hindu dikelompokkan dalam wilayah tertentu. Pemerintah Bali pun berpikir demikian, segala upaya dikerahkan untuk menjaga ke-‘originalitasan’ Bali (walaupun untuk menjadi komoditas diperlukan penyesuaian-penyesuaian standar pariwisata yang terkadang berlawanan dengan keaslian budaya lokal). Namun, Agustus 2002 adalah bulan bersejarah bagi masyarakat Bali. Bulan yang membawa perubahan besar bagi masyarakat dengan wilayah yang terkenal dengan keeksotisan alam dan budayanya. Bom Bali merupakan peristiwa tak terlupakan, peristiwa yang mengguncang dan menelan banyak korban serta kerugian bukan saja bagi korban yang terkena bom secara langsung tetapi juga bagi masyarakat Bali secara keseluruhan.
commit to user
6
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Peristiwa bom Bali tentu menjadi tragedi yang berseberangan dengan upaya peningkatan devisa Bali. Pariwisata menjadi terpuruk, banyak masyarakat terkena PHK karena hotel-hotel ditinggal begitu saja tanpa ada wisatawan yang datang. Pendapatan warga menjadi menurun drastis dan berimbas pada banyaknya pengangguran. Kacau, demikian gambaran Bali pasca bom. Sejalan dengan peristiwa itu, media massa mulai mengambil peranan yang cukup eksklusif. Media massa menjadi saluran yang cukup efektif dalam membangun opini publik. Hal tersebut sepakat dengan pendapat Gillespie (1995: 21) dalam tulisannya yang berjudul Television, Ethnicity, and Cultural Change, “Media mediate cultures as media viewers “create or conform to personal and social identities through acts of consumption”. Media memediasi budaya pemirsa mereka, menciptakan atau menyesuaikan identitas personal dan identitas sosial melalui perilaku konsumsi. Media massa mampu membuat agenda untuk menguatkan masyarakat Bali yang mulai terpuruk pasca bom. Mereka, melalui kekuatan sebagai media, menghimpun opini publik dengan membangun jargon-jargon yang telah dirancang. Media yang gencar mempelopori gerakan ini tergabung dalam Kelompok Media Bali Post (KMB). Selama akhir tahun 1990-an Bali Post merupakan media provinsi yang kuat dan termasuk di dalamnya sebuah stasiun televisi lokal, empat stasiun radio, koran Bali Post yang prestisius, harian Denpost dan beberapa
majalah
lain.
(Suryawan,
2005:
xxx).
KMB
berupaya
membangkitkan masyarakat melalui berbagai jargon yang mereka ciptakan
commit to user 7
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dengan sebutan ajeg Bali. Peluncuran jargon ajeg Bali tersebut bersamaan dengan pembukaan Bali TV pada bulan Mei 2003 oleh Gubernur Bali, I Dewa Made Beratha. Pemahaman kata “ajeg” berpadanan dengan kata “jejeg” artinya tegak atau tidak berubah, sehingga ajeg Bali dapat diartikan sebagai Bali yang kuat, tidak berubah. (Damayana, 2011: 4). Henk Schulte Nordholt dalam Bali: an Open Fortress mengemukakan bahwa “ajeg means that we should go back to the origin. Back to the peaceful Bali, when things were in order and true.” “Ajeg means that Bali is safe and can resist terrorists.” (Ajeg berarti kita seharusnya kembali ke asal, kembali ke Bali murni dan damai, dimana semuanya teratur dan asli, ajeg berarti Bali aman dan mampu melawan teroris). (Suryawan, 2005: xxxi). Menurut seorang pemimpin Bali dalam sebuah rapat banjar (serupa desa), “Meng-ajeg-kan Bali adalah mempertahanan tradisi adat dan nilai-nilai keBali-an yang kini mulai luntur di Bali.” (Suryawan, 2005: 66). Dua istilah tersebut sering kali dipakai dalam dan dikumandangkan dalam setiap kegiatan yang dicanangkan pemerintah Bali, dalam perlombaan adu layang-layang, dialog interaktif, perbincangan karma (masyarakat) dalam bale banjar sampai pada ikrar calon gubernur dan tanda tangan prasasti ajeg Bali oleh bupati dan walikota di Bali. (Suryawan, 2005:67). Ajeg Bali dikuatkan dengan berbagai jargon untuk menjaga utuhnya budaya Bali. “Mari Bersama Jaga dan Amankan Bali, De Koh Ngomong (Jangan Malu Bicara)”. Dalam diskursus yang melibatkan dan mempermainkan asli dan non-asli Bali, pernah ada
commit to user 8
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
jargon, “Di sini Pemulung Dilarang Masuk” atau “Masuk Wilayah ini, Anda Harus Dilengkapi Identitas Diri dan Melapor Dalam 1x24 Jam.” (ibid). Jargon Ajeg Bali tidak hanya membius identitas “ke-Balian” masyarakat Bali, tetapi secara tanpa sadar di samping ia—Ajeg Bali—telah membekukan kebudayaan, menjadikannya hak milik, juga menyulut benih-benih gerakan esensialisme kebudayaan, dan juga benih-benih fundamentalisme Hindu. (Suryawan, 2009:130). Ajeg Bali menimbulkan pengerasan identitas kebalian, antara apa yang disebut Bali dan “bukan Bali”. (Suryawan dalam Damayana, 2011: 4). Ini karena ajeg Bali-bagi pengikut gerakan esensialisme budayaseharusnya berdasar pada ajaran-ajaran Hindu yang mendasari kebudayan Bali. Maka disebutlah kemudian Ajeg Bali seharusnya juga Ajeg Hindu. (Suryawan, 2009:131). Lebih menukik adalah pendalaman dari Ajeg Bali yang disampaikan haruslah Ajeg Hindu. Dalam pentas pertarungan itu, terdapat pengokohan serta pelembagaan agama, dan di dalamnya termasuk sentiment kedaerahan, dan dalam hal ini ke-BALI-an berdasarkan Agama Hindu. Dasar sentimen itulah yang menjadi benih dari gerakan-gerakan fundamentalis, seperti juga yang terjadi dalam agama Islam, Kristen, dan lainnya. Terorisme yang identik dengan Islam kini menemukan konteks dan makna baru di Bali, yaitu “teorisme budaya” dalam bentuk Ajeg Bali dan Ajeg Hindu. (Media Hindu, Ajeg Bali Proteksi Agama, Budaya, dan Tanah Bali, Edisi 21 November 2005.) (Suryawan, 2009: 143). Media massa begitu gencar mengkampanyekan jargon tersebut. Talkshow dengan kostum baju adat Bali lengkap, topik-topik tentang Bali, serial drama
commit to user 9
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ber-setting Bali, terutama dalam talkshow Ajeg Bali, budaya Bali dipresentasikan sebagai sesuatu yang seragam dan statis, yang religius secara esensial dan berakar pada desa adat. Budaya Bali semakin ditampilkan dalam bentuk Hindu secara ekslusif. (Suryawan, 2005: xxxii). Alhasil, agenda media tersebut mampu menjadi agenda politik dan mainset masyarakat Bali kini. Terbukti dengan berbagai upaya peng-ajeg-an Bali telah dilakukan. Upaya peng-ajeg-an Bali menjadi lebih nyata dalam tataran kehidupan keseharian masyarakat Bali dengan meningkatnya peran lembaga-lembaga tradisi seperti desa adat/pakraman beserta seluruh perangkatnya, dan pencalang atau satuan pengamanan tradisional Bali. Mereka menjaga Bali dengan semangat puputan, semangat membela sampai titik darah penghabisan. Pendataan atau sweeping penduduk pendatang dilakukan secara ketat. Pada waktu peneliti hendak masuk Bali melakukan pengamatan, September 2011, pemeriksaan identitas di pelabuhan Gili Manuk sangat detail, bahkan penumpang bus-pun diminta turun dulu untuk pendataan kartu tanda penduduk. Hal sama juga dirasakan para pendatang yang tinggal di Bali, pengurus desa adat/pakraman senantiasa lakukan cek identitas untuk memastikan tidak ada hal yang mencurigakan. Di Denpasar, iuran bagi pendatang dinaikkan supaya memberi efek jera pada pendatang supaya tidak mudah untuk masuk Bali. Dan upaya tersebut menuai protes dari kaum pendatang. Politik KTP tampak jelas. Lembaga adat, seperti desa pakraman, pencalang dan sekaa teruna (organisasi pemuda) terkesan sangat berkuasa untuk menentukan siapa saja yang berhak berada di pulau tersebut. Ini pula
commit to user 10
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang membuat opini bahwa, mereka hendak bermaksud menunjukkan eksistensi yang terlihat deskriminatif dalam identitas (asli atau tidak asli) Bali, dan termasuk juga dalam hal perebutan aset ekonomi masyarakat. Kekhawatiran atas tindakan deskriminasi yang cukup keras tidak hanya dirasakan oleh masyarakat pendatang. Kondisi ini juga merisaukan masyarakat Blimbingsari, sebuah desa di Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana. Kekhawatiran masyarakat Blimbingsari bukan karena mereka adalah pendatang, namun fakta yang mengungkapkan bahwa ajeg Bali memang diperuntukan untuk menjaga keaslian budaya Bali yang tak lain juga konsep Hindu, agama yang diyakini hampir seluruh masyarakat Bali. Sementara itu Blimbingsari, walaupun mereka asli warga Bali (kelahiran Bali) namun seluruh warganya beragama Kristen. Blimbingsari mempunyai sejarah cukup menarik. Bermula dari sebuah pekabaran Injil (iman percaya kepada Tuhan Yesus) yang dilakukan di Bali pada tahun 1800-an. Pekabaran Injil tersebut membuahkan hasil berpindahnya beberapa masyarakat Bali yang semula menganut agama Hindu menjadi Kristen. Pada tahun 1888, Pemerintah Belanda mengeluarkan undang-undang bahwa pemberitaan Injil dilarang untuk Pulau Bali. Larangan tersebut diputuskan setelah Pendeta Jacob de Froom mati terbunuh di Singaraja tahun 1881. Pembunuhan tersebut dilakukan oleh orang Bali yang bernama I Klana yang telah menjadi Kristen. Larangan ini berlangsung selama 48 tahun. Baru tahun 1929 pemerintah Belanda mengijinkan CMA dari Amerika bekerja di
commit to user 11
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Bali dengan mengutus Pdt. Tsang To Hang dari Chinesse Mission. Pada tanggal 11 November 1935 membaptiskan dua belas orang Kristen Bali di Tukad Yeh Poh. (Hasil wawancara dengan Pdt. I Ketut Suyaga Ayub, 24 Agustus 2011, 08.34 WITA). Pendeta Tsang To Hang menjalankan pekerjaannya dengan sungguhsungguh, bahkan pada waktu itu terkesan ekstrim. Orang Bali Kristen menolak semua budaya yang dianggap kafir, penyembahan berhala, dan pembakaran mayat. Bahkan mereka menghancurkan sanggah (family temple) mereka. Kondisi tersebut mengakibatkan ketegangan dan kekacauan di wilayah dimana masyarakat Bali Kristen berada. Mereka menjadi sangat berbeda dengan warga Bali pada umumnya. Budaya untuk menggunakan kamben (baju adat perempuan Bali) pun diganti dengan memakai celana panjang atau celana pendek. Mereka juga tidak mau terlibat dalam suka duka3. Kekacauan semakin bertambah (di Untal-untal, Buduk, Abianbase, Plambingan, Sading, Carang Sari, Bongan, Buleleng), manakala orang-orang Bali Kristen diasingkan. Warga dilarang untuk berkomunikasi dengan orang Kristen, bahkan tidak boleh berbelanja di warung orang Kristen. Demikian pula dalam hal pertanian. Sistem perairan untuk persawahan orang-orang Kristen dihentikan karena masyarakat Hindu menganggap bahwa air sawah dipercaya berasal dari Dewi Sri. Akibatnya pertanian menjadi tidak menghasilkan, lahan menjadi kering. Kondisi semakin diperparah dengan
3
Suka duka adalah istilah yang digunakan masyarakat Bali untuk menggambarkan aktivitas yang ada di masyarakat. Suka atau kesukaan adalah kondisi yang menggembirakan seperti kelahiran, perkawinan dan lain sebagainya. Sedangkan duka atau kedukaan adalah kondisi seseorang atau masyarakat yang sedang mengalami musibah, seperti kematian.
commit to user
12
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pelemparan rumah, pembakaran gedung gereja, penjarahan lumbung, dan pelarangan pemakaman mayat orang Kristen dikuburan desa, karena dianggap akan menajiskan (leteh). Kondisi tertekan yang dirasakan oleh penduduk Kristen Bali ternyata tidak menyurutkan langkah mereka untuk meyakini agama baru mereka. Ajaran yang mereka terima menguatkan mereka untuk tetap berada pada keyakinan baru mereka. Sehingga, dalam kondisi tertindas penduduk Kristen Bali tetap bertumbuh. Mereka merasa merdeka, karena ketika memeluk agama Kristen mereka terbebas dari aturan adat, seperti metajen (sabung ayam). Metajen adalah aktivitas sabung ayam yang telah menjadi tradisi masyarakat Bali Hindu dan wajib dilaksanakan karena berkenaan dengan upacara tabuh rah (dalam agama Hindu berarti menumpahkan darah ayam yang disabung). Metajen identik dengan perjudian, karena dalam aktivitas ini akan dilakukan taruhan uang oleh warga. Bagi yang menang maka berhak mendapatkan uang tersebut. Tradisi kedua yang dianggap meringankan penduduk Bali Kristen adalah terbebasnya mereka atas adat banten. Banten adalah sesaji yang dibuat dari daun kelapa yang masih muda berisikan bunga (sari) yang memang pembiayaan banten sangat tinggi apalagi ada upacara-upacara besar seperti manusa yadnya, melis, galungan dan kuningan dan banyak lagi lainnya. Tradisi berikutnya yang dianggap memberatkan adalah ngaben. Ngaben adalah pembakaran mayat yang dilakukan oleh Bali-Hindu sesuai kasta
commit to user 13
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
keluarganya dengan membuat suatu lembu atau sejenisnya setelah itu dibakar dan abunya dibuang kelaut. Namun kebebasan tersebut tidak menempatkan masyarakat Bali Kristen terbebas dari semua permasalahan. Persoalan muncul ketika masyarakat Bali Hindu tidak menganggap menjadi bagian mereka lagi maka masyarakat melarang pemakaman orang Bali Kristen di desa adat. Padahal, setiap desa hanya mempunyai satu pemakaman. Melihat kondisi tersebut Pemerintah Belanda berupaya untuk mencari penyelesaian masalah. Namun upaya tersebut tidak dapat menyelesaikan konflik yang semakin menjadi parah. Dan pada akhirnya masyarakat Bali Kristen memutuskan untuk melakukan migrasi ke Alas Angker (sekarang dikenal sebagai sebagai desa Blimbingsari). Migrasi ke Alas Angker dimaksudkan untuk mendapatkan lahan baru dan dapat juga sebagai tempat baru bagi pemeluk agama Kristen. Migrasi disetujui, karena bila tidak berpindah dikhawatirkan orang-orang Bali Kristen akan mempengaruhi masyarakat yang lain. Terlebih lagi, alas angker adalah wilayah yang sulit untuk ditaklukkan karena kondisi alamnya yang rumit, rawa, dan masih banyak hewan buas. Maka terdapat pemikiran bahwa dengan pengasingan tersebut Kekristenan tidak akan berkembang atau apabila berkembang hanya akan terisolasi di wilayah tertentu saja. Keyakinan dan kegigihan warga Bali Kristen membuahkan hasil. Alas angker dapat ditaklukkan. Bus Sapakira yang terkenal tahun 1930, membawa Kendaraan ini juga yang mengangkut para perintis (orang-orang Bali Kristen)
commit to user 14
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pada tahun 1939 sebanyak 30 orang, tepatnya tanggal 1 Juni 1939 yang berangkat dari bangsal untal-untal, Dalung Gaji menuju Melaya, wilayah Bali Barat. Hal menarik dalam proses babat alas yang mereka lakukan, mereka membangun sesuai dengan budaya Bali yang disebut nyegara gunung (gunung di utara, laut di selatan) dan berbentuk salib. Tanda salib besar tersebut ternyata mengagetkan orang yang melintasi desa yang berada di tengah hutan. Kini desa Blimbingsari menjadi desa maju bahkan telah berhasil meluaskan wilayahnya ke beberapa desa termasuk Ambyarsari dan Parigi. Namun muncul persoalan ketika pemerintah semakin giat menjalankan program ajeg Bali dengan berbagai cara. Blimbingsari terkesan mulai resah, karena Blimbingsari adalah desa Kristen, sementara program membangkitkan ke-bali-an identik dengan ke-hindu-an. Hanya saja perilaku frontal dan ekstrim yang telah dilakukan generasi pertama masyarakat Blimbingsari pada masa lampau tidak tampak lagi. Blimbingsari justru terkesan berupaya menggabungkan (pengakulturasian) dua budaya baik budaya Bali dengan budaya Kristen melalui perwujudan budaya baik secara material maupun budaya nonmaterial. Warga Blimbingsari membangun simbol-simbol yang seolah ingin mereka komunikasikan sebagai identitas mereka. Bahkan mereka membuat sebuah Awig-awig atau aturan adat yang mengesahkan beberapa bentuk perpaduan tersebut.
commit to user 15
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Rumusan Masalah Masyarakat Blimbingsari adalah masyarakat Bali yang berkeyakinan Kristen. Program “Ajeg Bali” yang dibuat oleh pemerintah provini Bali mengarahkan wacana bahwa Bali adalah Hindu, sehingga dapat dikatakan bahwa “Ajeg Bali” identik dengan “Ajeg Hindu”. Masyarakat Blimbingsari yang berkeyakinan Kristen, merasa terancam dengan kebijakan tersebut, sehingga
mereka perlu melakukan beberapa penyesuaian dalam bentuk
akulturasi budaya. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana masyarakat Blimbingsari yang berkeyakinan Kristen melakukan akulturasi dengan Hindu (Bali) agar identitas budaya mereka itu tetap Bali, sehingga eksistensi mereka tetap terjamin C. Pembatasan Masalah Perkembangan komunitas Bali-Kristen semakin pesat hingga ke beberapa wilayah, seperti Ambyarsari dan Parigi, namun kajian ini akan lebih spesifik terhadap desa Blimbingsari, kecamatan Melaya, Bali karena desa ini merupakan pusat dari desa-desa yang menjadi perluasan dari Blimbingsari. Sentral disini dimaksudkan semua aktivitas komunitas Kristen di Bali kini berada di desa ini.
D. Tujuan Penelitian Menurut Koentjoroningrat akulturasi budaya bisa dilakukan melalui 7 unsur budaya yaitu bahasa, sistem pengetahuan, organisasi social, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem ata pencaharian hidup, sistem religi, dan kesenian.
commit to user
16
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Mengingat bahwa masyarakat Blimbingsari yang berkeyakinan Kristen sebenarnya juga masyarakat asli Bali, maka tujuan penelitian lebih difokuskan untuk menjelaskan upaya masyarakat Blimbingsari yang berkeyakinan Kristen dalam melakukan akulturasi budaya melalui: 1. Arsitektur gereja Pniel Blimbingsari 2. Tata Ibadah gereja Pniel Blimbingsari 3. Sistem Sosial kemasyarakatan Blimbingsari E. Manfaat Penelitian Berdasarkan paparan di atas penelitian ini diharapkan untuk dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Manfaat teoritis Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah bahwa penelitian ini diharapkan mampu memberkan sumbangan peikiran bagi pengembangan ilmu itu sendiri, khususnya komunikasi budaya. 2. Manfaat praktis Manfaat praktis dari penelitian ini untuk memberikan pemahaman bahwa budaya dapat menjadi sebuah medium bagi masyarakat dalam hal ini Blimbingsari Jembrana Bali untuk mengkomunikasikan identitas serta menunjukkan perlawanan mereka. Penelitian ini juga bermanfaat untuk memberikan deskripsi dan informasi tentang keanekaragaman “ways of speaking” sebagai legitimasi pengetahuan itu sendiri.
commit to user 17
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II ORIENTASI TEORITIK
A. Deskripsi Teoritik 1. Komunikasi 1. 1. Komunikasi Kelompok Penelitian ini merupakan kajian komunikasi karena ingin menjelaskan bagaimana
budaya
tampaknya
menjadi
sebuah
medium
untuk
mengkomunikasikan maksud atau pesan dari si komunikator. Komunikator dalam penelitian ini adalah masyarakat Blimbingsari, sehingga komunikasi yang diamati berada pada level komunikasi kelompok. Kelompok adalah kumpulan individu-individu yang terhubung satu dengan yang lain melalui beberapa tujuan yang sama dan mempunyai derajat organisasi di antara mereka. Sebuah kumpulan dapat dikatakan sebagai kelompok apabila mempunyai beberapa karakteristik seperti berikut; kelompok merupakan kumpulan sejumlah orang, anggota kelompok terhubung satu dengan yang lain dengan tujuan yang sama, dan mereka terhubung oleh beberapa aturan atau struktur kelompok. (Devito, 2003: 249). Komunikasi kelompok merupakan komunikasi antar persona yang didasari sebuah kebutuhan tertentu yang mengarah ke sebuah conformitas. Sebuah proses
komunikasi
dimana
tiga
atau
lebih
anggota
kelompoknya
mempertukarkan pesan verbal maupun nonverbal dalam usaha untuk mempengaruhi satu dengan yang lain. Dalam wilayah kelompok atau group
commit to user 18
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ini, partisipan terdiri atas beberapa orang yang didasarkan atas dasar beberapa kesamaan mendasar seperti adanya persepsi, motivasi dan tujuan mereka bergabung dalam kelompok tersebut. (Purwasito, 2003: 56). Untuk mencapai tujuan yang telah disepakati bersama, kelompok biasanya membentuk norma kelompok sebagai guideline mereka. Norma kelompok adalah aturan atau standar-standar identifikasi tingkah laku di dalam mana tindakan anggota kelompok dimengerti sebagai tindakan yang boleh atau tidak boleh dilakukan. “Norm that regulated a particular group member’s behavior, called role expectations, identify what each person in an organization is expected to do.” Norma yang dibuat oleh kelompok pada dasarnya disesuaikan dengan harapan yang akan dicapai oleh kelompok tersebut. (op cit).
1.2. Groupthink dalam Komunikasi Kelompok Harapan atas keharmonisan dalam sebuah kelompok membutuhkan kesepakatan bersama antar anggota masyarakat. Dalam interaksi keseharian kelompok akan menemui berbagai kendala dalam pencapaian konformitas, maka ia akan membutuhkan sebuah pemecahan masalah yang akan berorientasi bagi keakuran kelompok. Groupthink merupakan teori yang diasosiasikan dalam tataran komunikasi kelompok. Janis memfokuskan pandangannya terkait dengan teori ini pada problem-solving group dan taskoriented groups.
commit to user 19
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Namun selain fokus yang diutarakan Janis tersebut, terdapat aktivitas lain yang dapat dikaji dalam komunikasi kelompok. Other activities of small groups include information sharing, socializing, relating to people and groups external to the group, educating new members, defining roles, and telling stories. (Aktivitas lain dalam kelompok meliputi pertukaran informasi, sosialisasi, berhubungan dengan orang-orang dan kelompok eksternal, mendidik anggota kelompok baru, mendefinisikan aturan atau norma, dan berbagi cerita.) ( Frey and Sunwolf, 2005; Poole & Hirokawa, 1996 dalam Richard West, 2007: 262) Dalam kelompok, interaksi melibatkan pertukaran pesan antar anggota. Pesan tersebut merupakan bentuk konsensus yang disepakati antar anggota dan kemudian, pesan yang menjadi milik kelompok tersebut dikomunikasikan keluar kelompok atau anggota kelompok yang akan masuk ke dalam kelompok tersebut. Tiga asumsi kritis dalam pendekatan ini adalah bahwa (1) kondisi dalam kelompok berpengaruh terhadap tingginya kohesifitas, (2) penyelesaian permasalahan kelompok adalah hal utama dalam proses penyatuan, (3) kelompok dan pembuatan kebijakan kelompok merupakan proses yang kompleks. Kohesifitas merupakan kondisi yang diharapkan oleh kelompok. Cohesiveness means that you and the other members are closely connected, are attracted to one another, and depend on one another to meet your needs. (West&Lynn, 2007: 249). Kohesifitas terjadi apabila antar anggota
commit to user 20
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mempunyai kedekatan yang intens. Anggota kelompok dengan kerelaannya bekerja sama demi kepentingan bersama. Ernest Borman mengungkapkan bahwa anggota kelompok pada dasarnya akan mempunyai kesamaan emosional satu dengan yang lain, dan hasilnya mereka akan senantiasa berupaya untuk membangun sebuah identitas kelompok. Upaya membangun identitas tersebut karena menurut Giddens (1984) dalam Bakker (2008: 172) mengungkapkan: “Identitas sosial diasosiasikan sebagai hak-hak normatiif, kewajiban, sanksi, yang pada kolektivitas tertentu membentuk peran. Pemakaian tanda-tanda yang terstandarisasi, khususnya yang terkait dengan atribut badaniah umur, dan gender, merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat, sekalipun ada begitu banyak variasi lintas budaya yang dapat dicatat.” Pemahaman kohesifitas tersebut yang diupayakan pula oleh desa Kristen Blimbingsari. Desa ini berusaha membangun sebuah identitas budaya sebagai bentuk kebijakan untuk melepaskan mereka dari sebuah permasalahan kelompok.
2. Komunikasi dan Budaya 2.1. Komunikasi dalam Konteks Budaya. Pemahaman komunikasi kelompok dalam penelitian ini berada dalam konteks budaya. Budaya memiliki definisi yang cukup beragam dari satu ilmuwan dengan ilmuwan yang lain. Pada dasarnya budaya merupakan cara manusia atau suatu kelompok untuk bertahan hidup, seperti yang diungkapkan oleh Edward T. Hall. Culture is the medium evolved by humans to survive.
commit to user 21
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sehingga dapat dikatakan manusia akan berupaya untuk membangun kebudayaannya untuk mempertahankan kehidupan yang dia miliki dan cara tersebut kemudian diturunkan. Budaya merupakan sesuatu yang ditransmisi dari satu orang ke orang lain dan juga dari satu generasi ke generasi yang lain. Lantas, kemudian muncul pertanyaan apa yang disebut dengan “sesuatu” tersebut. Kata sesuatu mengungkapkan adanya roh yang sama yang mendasari untuk mendefinisikan sesuatu yaitu seperangkat keyakinan-keyakinan, kebiasaan-kebiasaan, simbolsimbol atau karakteristik yang dibagikan oleh sekelompok orang. Walaupun didefinisikan dengan berbagai sudut pandang, many cultural scholars explicitly define culture as something shared among people who communicate with each other through some common language, and which is further communicated to immigrant, children, and other new members of a society (e.g., Triandis, 1994) (Fiedler, 2007. Fiedler, Klaus. Social Communication, New York: Psychology Press. p.108). Beberapa ilmuwan secara eksplisit mendefinisikan budaya sebagai sesuatu yang ditukarkan seseorang yang berkomunikasi dengan orang lain melalui kesamaan bahasa, dan kemudian dikomunikasikan pula kepada imigrant, anak-anak, dan anggota baru dalam suatu masyarakat. Artinya bahwa budaya akan ditransmisikan kepada siapa saja yang berada dalam lingkungan yang sama ketika proses komunikasi terjadi. Komunikasi
tidak
dapat
dilepaskan
dari
konteks
dimana
dia
dilangsungkan. Ketika kita ingin memahami komunikasi yang terjadi di
commit to user 22
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Blimbingsari, kita harus mempelajari karakteristik desa tersebut. Atau berarti ketika kita ingin melihat komunikasi mereka, kita harus melihat budaya mereka. Geertz mengungkapkan, “culture denotes an historically transmitted pattern of meaning embodied in symbols, a system of inherited conceptions expressed in symbolic forms by means of which men communicate, perpetuate and develop their knowledge about and attitudes towards life.” Budaya merupakan pola transmisi perwujudan makna secara historis dalam simbolsimbol, sebuah sistem pewarisan konsep-konsep yang diekspresikan dengan bentuk-bentuk simbolik di dalam seseorang berkomunikasi, mengabadikan, dan mengembangkan pengetahuan dan perilaku-perilaku kehidupan mereka. (Martin&Nakayama, 1990:79). Budaya terdiri dari hubungan yang spesifik atas gaya hidup kelompok baik nilai, kepercayaan, artefak, tingkah laku dan cara berkomunikasi. Dalam kelompok social, culture adalah segala sesuatu yang anggota kelompok hasilkan dan kembangkan. “Culture is everything that members of that group have produced dan developed-their language; ways thinking; artefact, religion; and of course, communication theories styles, and attitudes.” (Budaya adalah segala hal dimana anggota-anggota dalam kelompok menghasilkan
dan mengembangkan
–bahasa,
pola
berpikir,
artefak,
keyakinan; dan tentu saja gaya berkomunikasi dan perilaku mereka). (Devito, 2003:36). Budaya dalam komunikasi melalui berbagai wujudnya merupakan pesan yang dipertukarkan. Pesan tidak akan berguna tanpa makna. Mengutip Parsons
commit to user 23
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dan Shils (1951: 25), Geertz menegaskan bahwa perbedaan antara kultur dan sistem sosial berarti memperlakukan kultur sebagai sistem makna dan simbol yang terorganisasi yang menjadi dasar interaksi sosial dan memandang sistem sosial sebagai pola-pola interaksi sosial itu sendiri. Geertz juga mengungkapkan bahwa “Culture is a fabric of meaning in terms of which human being interpret their experience and guide their action.” (Budaya adalah pabrik makna yang mana seseorang mengintepretasi pengalaman mereka dan mengarahkan perilaku mereka). (Geertz, 1986: xiii).
2.2. Persoalan Budaya dalam Kaitannya dengan Komunikasi Budaya dan komunikasi merupakan dua konsep yang berbeda namun terhubung satu sama lain. Budaya dapat didefinisikan sebagai sistem pertukaran keyakinan, nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan, dan artefak-artefak yang digunakan oleh anggota masyarakat untuk memahami satu sama lain dan sekeliling mereka. Cultural can defined as a system of shared beliefs, values, customs, behaviours, and artifacs that members of a society use to cope with another and with their world. (Budaya dapat didefinisikan sebagai sistem pertukaran keyakinan-keyakinan, nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan, perilakuperilaku, dan artefak-artefak dimana anggota masyarakat menggunakannya untuk mengatasi permasalahan satu dengan yang lain dan juga dunia mereka). (Pearson&Nelson, 2000: 189). Budaya ditransmisikan dari satu generasi ke generasi yang lain melalui social learning. Budaya melibatkan banyak aspek termasuk juga ras, kelompok etnik dan kebangsaan.
commit to user 24
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dalam suatu kelompok budaya biasanya terdapat dominant culture dan coculture atau sub culture. Pilihan kata dominan dalam dominant culture mengimplikasikan bahwa ada kekuasaan (power) yang dimiliki kelompok ini terhadap kelompok yang lain. Kekuatan yang dimiliki biasanya mengarah pada kontrol terhadap beberapa akses yang dibutuhkan anggota kelompok. Folb dalam Samovar (2007:10), mengungkapkan bahwa “Power is often defined as the ability to get others to do what you want.” (Kekuasaan sering didefinisikan sebagai kemampuan untuk membuat orang lain melakukan apa yang kita inginkan). Ini dapat dimengerti bahwa kelompok dominan memberikan pengaruh besar terhadap persepsi-persepsi, pola komunikasi, keyakinan dan nilai yang dimiliki kelompok budaya tersebut. Kelompok dominan biasanya menggunakan uang, rasa takut, militer dan lain sebagainya untuk mewujudkan apa yang mereka kehendaki, namun hal ini tentu berbeda antara satu kelompok dengan kelompok yang lain. Sementara disisi lain terdapat co-culture atau subculture, yaitu kelompok yang mempunyai perbedaan keyakinan-keyakinan atau perilaku dengan kebudayaan yang lebih besar dimana dia menjadi bagiannya. DeVito (1986) mengungkapkan bahwa co-culture is “a group whose beliefs or behaviours distinguish it from the larger culture of which it is a part and which it shares numerous similarity.” (co-culture adalah kelompok yang keyakinankeyakinan atau perilaku-perilakunya berbeda dari budaya yang lebih besar dimana dia menjadi bagian dan di dalam mana ia menukarkan sejumlah persamaan). Pada kenyataannya akan terjadi superior dan inferioritas budaya
commit to user 25
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dalam masyarakat. Kelompok co-culture biasanya akan menjadi dominasi kelompok yang dominan. Kondisi masyarakat tersebut akan membentuk perasaan in-group dan outgroup pada masing-masing kelompok. Problem terburuk yang dapat terjadi adalah munculnya etnosentrisme budaya. Pemahaman bahwa budaya mereka jauh lebih baik dibanding dengan budaya orang lain. Etnosentrisme juga memberi kecenderungan kepada kelompok untuk menggunakan cara kelompok kita dalam melakukan sesuatu sebagai ukuran untuk menilai orang lain. (Henslin, 2006:39). Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan William Summer bahwa, “Kelompok sendiri merupakan pusat segalanya, dan semua kelompok lain ditimbang dan dinilai dengan menggunakannya sebagai rujukan.” Dalam pandangan ini yang dianggap benar adalah pandangan dari budaya yang mereka punyai. Orang atau kelompok yang berpikir etnosentris akan memandang budaya lain melalui kaca mata budaya mereka sendiri. Perbedaan budaya juga akan menimbulkan penerimaan dan penolakan budaya. Di beberapa wilayah atau negara seperti Amerika, Inggris, Denmark, Swedia, Singapura, Hongkong, Irlandia, dan India (Hofstede dalam Pearson&Nelson, 2000:194) mereka cenderung mudah menerima budaya asing. Namun tidaklah demikian dengan beberapa wilayah atau negara yang lain. Perbedaan budaya-termasuk juga budaya dominan dan subculturemenimbulkan penolakan antara satu dengan yang lain. Ada rasa kecurigaan dan tidak nyaman apabila mereka terlibat interaksi.
commit to user 26
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Problem dari komunikasi budaya adalah munculnya stereotype dan prasangka. Stereotipe merupakan kompleksitas kategorisasi yang dapat menuntun kita untuk menilai suatu kelompok. Lippman dalam Samovar (1998:246) mengindikasikan, “stereotype were a means of organizing our images into fixed and simple categories that we use to stand for the entire collection of people.” Sikap ini secara langsung atau tidak langsung akan menjadi panduan kita dalam memandang kelompok lain dalam berbagai klasifikasi. Sebenarnya sebuah kewajaran psikologis dalam kehidupan masyarakat bahwa seseorang akan meletakkan orang lain atau kelompok lain bahkan dirinya sendiri dalam sebuah klasifikasi tertentu, karena orang senantiasa akan membandingkan antara satu dengan yang lain. Namun dalam konteks komunikasi budaya, stereotype cukup mengganggu. Pandangan ini akan membawa seseorang untuk membatasi dan terkadang meletakkan atau mendeskripsikan seseorang hanya berdasarkan persepsi yang dia miliki-yang biasanya negatif. Selain stereotype, prasangka juga membawa efek yang kurang bermanfaat dalam komunikasi budaya. Prejudice refers to an unfair, biased, or intolerant attitude towards another group of people. Prasangka merujik pada perilaku yang tidak adil, bias, atau tidak toleransi terhadap kelompok yang lain. Levin dalam Samovar (1998:247) menambahkan bahwa “prejudice deals with negative feelings, beliefs, and actiontendencies, or discriminatory acts, that arise against human being by virtue of the status they occupy or are perceived to occupy as members of a minority groups.” Prasangka senantiasa merujuk
commit to user 27
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pada keyakinan yang negatif dan memicu tindakan yang diskriminatif bagi suatu kelompok tertentu-biasanya kelompok minoritas. 2.3. Akulturasi sebagai Wujud Interaksi Makna Budaya adalah sebuah sistem yang dinamis. Budaya dapat berubah. Perubahan budaya berkaitan erat dengan perkembangan masyarakatnya. Ada beberapa mekanisme budaya dalam masyarakat, mekanisme itu terdiri dari inovasi, difusi dan akulturasi. “Although cultures change throught several mechanism, the three most common are innovation, diffusion, and acculturation.
(Samovar,
1998:45).
Dalam kajian
ini penulis
akan
menitikberatkan penelitian pada mekanisme budaya yaitu akulturasi. Acculturation occurs when a society undergoes drastic culture change under the influence of a dominant culture and society with which it has come in contact. Akulturasi terjadi ketika masyarakat mengalami perubahan budaya yang begitu drastis tatkala mengalami kontak dengan masyarakat atau budaya yang berbeda. (Samovar, 1998:45). Acculturation is generally viewed as a process of change over time within individuals as they adapt to a new cultural environtment. (Akulturasi pada umumnya dipandang sebagai proses perubahan individu-individu dari waktu ke waktu dalam mereka beradaptasi atas lingkungan budaya yang baru). Berry (2003)
dalam
Chia-Fang
(Sandy)
Hsu.
(2010).
Acculturation
and
Communication Traits: A Study of Cross-Cultural Adaptation among Chinese in America. Communication Monographs (Vol. 77), No.3, hal. 414-425. Akulturasi adalah proses perubahan individu-individu dalam beradaptasi
commit to user
28
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
terhadap lingkungan mereka yang baru. Pendatang akan berkonfrontasi dengan situasi yang tidak lazim, dimana situasi tersebut sering kali tidak sesuai dengan harapan yang mereka inginkan. Tekanan bagi pendatang berkaitan dengan nilai, perilaku, dan kemampuan berkomunikasi yang serba baru. Bates and Plog dalam Samovar mengungkapkan bahwa masyarakat membutuhkan proses bertahap untuk beradaptasi atas budaya baru, tidak serta merta mengadopsi semua perilaku dan keyakinan budaya baru tersebut. Although many aspects of culture are subject to change, the deep structure of a culture resist major alterations. (Samovar, 1998:46). Most of we call culture is below the surface, or like the moon: we observe the front, which appears flat and one-dimensional, but there are other dimensions that we cannot see. (Ibid) Akulturasi merupakan proses sosial yang muncul apabila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu. Akulturasi dalam antropologi mempunyai beberapa makna (acculturation, atau culture contact), ini semua menyangkut konsep mengenai proses sosial yang timbul apabila sekelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan pada unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing sehingga unsurunsur asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri,
commit to user 29
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu.4 Hasil akulturasi berupa budaya lokal atau sebuah budaya yang mempunyai kekhasan tersendiri dengan ciri-ciri fisik dan non fisik yang dapat dibedakan dengan yang lain. Dalam konteks budaya lokal desa adat Blimbingsari, akulturasi terjadi ketika budaya Hindu Bali bertemu dengan budaya Kristen Bali. Dalam interaksi tersebut, warga Blimbingsari membentuk simbol-simbol budaya baik yang bersifat fisik maupun non-fisik. Bentukan tersebut dapat berupa bangunan atau artefak, ritual-ritual adat, simbol-simbol keagamaan, gaya hidup (pakaian, asesoris), bahkan cara berpikir. Budaya lokal Blimbingsari merupakan identitas budaya tersendiri yang terbentuk dari perpaduan dua kebudayaan atau tidak dapat dikatakan bahwa kebudayaan mereka murni dari salah satu budaya saja (Bali Kristen atau Bali Hindu). Penelitian ini ingin mencoba menguraikan bagaimana proses rekayasa simbol terjadi, pemaknaan simbol dan cara mereka mengkomunikasikan identitas mereka tersebut. Akulturasi dalam masyarakat dapat dipandang dari berbagai unsur budaya yang mereka miliki. Menurut Koentjoroningrat (1979:203) unsur-unsur kebudayaan yang ada dalam suatu masyarakat yaitu: 1. Bahasa 2. Sistem pengetahuan 3. Organisasi sosial 4. Sistem peralatan hidup dan teknologi 5. Sistem mata pencaharian hidup
4
Koentjaraningrat. 2005.Pengantar Antropologi. Jakarta:Rineka Cipta. Hal.159
commit to user
30
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
6. Sistem religi 7. Kesenian Kajian bahasa dalam sebuah studi etnografi terhubung dengan posisi penggunaan susunan sistem fonetik, fonologi, sintaks, dan semantik dalam bahasa-bahasa yang ada pada rumpun-rumpun bahasa di dunia. Bahasa juga dapat dipandang secara spesifik sebagai suatu variasi yang ditentukan oleh perbedaan-perbedaan daerah secara geografi maupun oleh lapisan serta lingkungan sosial dalam masyarakat suatu suku bangsa. (Koentjoroningrat, 1979:341). Pemahaman unsur teknologi berkaitan dengan cara-cara memproduksi, memakai, dan memelihara segala peralatan hidup dari suatu kelompok masyarakat. Teknologi tradisional mengenai paling sedikit delapan macam sistem peralatan dan unsur kebudayaan fisik yang dipakai oleh manusia, meliputi: alat-alat produktif, senjata, wadah, alat-alat menyalakan api, makanan, minuman, bahan pembangkit gairah, dan jamu-jamuan, pakaian dan perhiasan, tempat berlindung dan perumahan, dan alat-alat transpor. (Koentjoroningrat, 1979:342). Sistem mata pencaharian berkaitan dengan sistem ekonomi dimana suatu masyarakat menggantungkan hidupnya. Biasanya dalam kajian berkaitan dengan mata pencaharian hal-hal yang mendapat perhatian adalah beberapa aspek ketenagakerjaan dan pengaruh berbagai industri terhadap perekonomian masyarakat tersebut.
commit to user 31
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berkaitan dengan organisasi sosial, dalam tiap masyarakat kehidupannya diorganisasi atau diatur oleh adat istiadat dan aturan-aturan mengenai berbagai macam kesatuan di dalam lingkungan mana ia hidup dan bergaul dari hari ke hari. (Koentjoroningrat, 1979:366). Kekerabatan keluarga inti adalah kesatuan terdekat dalam masyarakat, kemudian ada ikatan diluar kekerabatan tersebut namun masih berada dalam satu komunitas. Sistem pengetahuan berkaitan dengan pengetahuan khusus yang dimiliki oleh kelompok masyarakat. Semisal pengetahuan bangsa Negrito di daerah sungai Konggo di Afrika Tengah untuk mengolah dan memasak, pengetahuan tentang obat-obatan di suatu wilayah tertentu, dan lain sebagainya. Sistem pengetahuan dimiliki oleh setiap suku bangsa di dunia, biasanya terdiri dari alam sekitarnya, alam flora di daerah tempat tinggalnya, alam fauna di daerah tempat tinggalnya, zat-zat, dan bahan mentah, dan benda-benda dalam lingkungannya, tubuh manusia, sifat-sifat dan tingkah laku sesama manusia, dan ruang dan waktu. (Koentjoroningrat, 1979:373). Perwujudan sistem pengetahuan biasanya juga berkaitan dengan unsur-unsur yang lain. Sementara unsur yang lain adalah sistem religi. Sistem religi berkenaan dengan keyakinan seseorang atau kelompok masyarakat kepada sesuatu kekuatan gaib yang dianggap lebih tinggi daripadanya, dan mengapa manusia melakukan berbagai hal dengan cara yang beraneka warna, untuk berkomunikasi dan mencari hubungan dengan kekuatan-kekuatan tadi. (Koentjoroningrat, 1979:376).
commit to user 32
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dan unsur yang terakhir adalah kesenian. Para antropolog memandang kesenian berkaitan dengan segala ekspresi hasrat manusia akan keindahan dalam kebudayaan suku-suku bangsa. Deskripsi tentang kesenian biasanya dihubungkan dengan bentuk, teknik pembuatan, motif perhiasan, dan gaya dari benda-benda kesenian tadi. Koentjoroningrat mengungkapkan lapangan kesenian dapat berupa seni rupa, seni musik, seni tari dan drama. Dalam studi komunikasi antar budaya unsur-unsur kebudayaan manusia terdiri dalam berbagai hal yaitu: sejarah kebudayaan, identitas sosial, budaya material, peranan relasi, kesenian, bahasa dan interaksi, stabilitas kebudayaan, kepercayaan atas kebudayaan&nilai, etnosentrisme, perilaku non verbal, hubungan antar ruang, konsep tentang waktu, pengakuan dan ganjaran, pola pikir dan aturan-aturan budaya. (Liliweri, 2002: 117). Sejarah kebudayaan suatu masyarakat merupakan batu sendi bagi kepentingan menganalisis dan memahami kebudayaan. (Liliweri, 2002: 118). Sejarah memampukan kita untuk menelusuri dan menjelaskan beragam sikap yang dipertukarkan antar anggota budaya. Identifikasi sosial berkaitan dengan kecenderungan orientasi dalam sebuah masyarakat. Biasanya kecenderungan tersebut akan menjadi penanda atau identitas bagi suatu kelompok masyarakat. Penelitian Cattel (1951) menerangkan bahwa orientasi individu cenderung tampil sebagai identitas kelompok. Budaya material adalah hasil produksi suatu kebudayaan berupa benda yang dapat ditangkap indera, misalnya makanan, pakaian, metode perjalanan,
commit to user 33
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
alat-alat teknologi dll. (Liliweri, 2002: 120). Budaya material sering kali dianggap sebagai simbol dari suatu kelompok masyakat. Hal yang berkaitan erat dengan peran adalah status sosial. Status akan mempengaruhi peran seseorang dalam kelompok masyarakat. Apabila status adalah gambaran tentang kedudukan seseorang dalam suatu masyarakat maka peran menunjukkan aspek dinamis dari kedudukan orang itu. Seni adalah segala sesuatu yang menampilkan estetika untuk dinikmati. Taylor mengungkapkan bahwa seni dipandang sebagai sebuah proses yang melatih
ketrampilan,
aktivitas
manusia
untuk
menyatakan
atau
mengkomunikasikan perasaan atau nilai yang dia miliki. Kesenian dapat mempunyai wujud beragam seperti foklor, seni musik, tarian, drama, seni permainan, dan teknologi seni. Unsur berikutnya adalah bahasa dan interaksi. Banyak definisi bahasa berkaitan dengan latar belakang keilmuan. Menurut Liliweri (2002:129) penggunaan bahasa dapat dipandang memberikan penjelasan yang bermanfaat tentang suatu permasalahan dengan melihat sebab akibat berdasarkan kenyataan untuk tujuan praktis. Berhubungan dengan kebudayaan bahasa diletakkan sebagai salah satu unsur kebudayaan. Sapir-Whorf mengungkapkan bahwa bahasa atau peristiwa mempengaruhi cara seseorang dalam berpikir dan memandang dunia. Stabilitas kebudayaan berkaitan erat dengan dinamika kebudayaan, sebuah studi tentang proses dan kondisi yang berkaitan dengan stabilitas kebudayaan
commit to user 34
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dan perubahan kebudayaan. Menurut Taylor (1998) para antropolog mengungkapkan bahwa semua kebudayaan selalu mengalami perubahan, juga mempunyai kemampuan untuk mempertahankan diri dari ancaman perubahan baik dari dalam maupun dari luar. Perubahan struktur sosial baru akan mempengaruhi sistem relasi antar masyarakat dan memungkinkan masyarakat untuk berinteraksi dengan berbagai kelompok masyarakat yang lain. Setiap kebudayaan memiliki pandangan hidup dan sistem kepercayaan yang menjadi dasar berperilaku bagi anggotanya. Nilai dasar tersebut digunakan anggota masyarakat untuk melihat ke dalam dan juga memandang keluar. Etnosentrisme adalah paham dimana para penganut suatu kebudayaan atau suatu kelompok suku bangsa selali merasa lebih superior daripada kelompok lain di luar mereka. (Liliweri, 2002:138). Dalam masyarakat biasanya terdapat kelompok etnis. Thomas Sowell mengungkapkan bahwa kelompok agama, asal bangsa, kelompok ras, semua berada di bawah bendera yang namanya kelompok etnik. Gordon mengemukakan bahwa kelompok etnik adalah kelompok sosial yang dapat dibedakan oleh kebudayaan, agama, dan asal kebangsaan. Unsur kebudayaan berikutnya adalah perilaku non verbal. Komunikasi non verbal merupakan tindakan dan atribusi yang dilakukan seorang kepada orang lain bagi pertukaran makna, yang selalu dikirimkan dan diterima secara sadar oleh dan untuk mencapai umpan balik atau tujuan tertentu. (Burgoon and
commit to user 35
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Saine 1978). Komunikasi non verbal dapat pula merujuk pada variasi bentukbentuk komunikasi yang meliputi bahasa. Bagaimana seorang itu berpakaian, bagaimana seseorang melindungi dirinya, menampilkan ekspresi wajah, gerakan tubuh, suara, nada, dan kontak mata, dll (Eugene Matusov dalam Liliweri, 2002: 139). Aspek lain dari penggunaan komunikasi non verbal adalah penggunaan ruang atau prosemik. Penggunaan ruang berkaitan dengan bagaimana kita memanfaatkan ruang ketika kita berhadapan atau berkomunikasi dengan orang lain. Seberapa jarak yang kita punyai untuk saling bercakap dipengaruhi juga oleh budaya dimana aktivitas itu dilakukan. Selain prosemik budaya berpengaruh pula terhadap kronemik atau konsep waktu. Persepsi waktu antar budaya berbeda satu dengan yang lain. Sebagai contoh, orang Jepang dan Amerika sangat tepat waktu sedang orang Arab akan mendahulukan basa basi emosional terlebih dahulu. Unsur kebudayaan yang lain adalah pengakuan dan ganjaran. Pengakuan adalah sebuah konformitas terhadap suatu perilaku. Norma biasanya alat yang digunakan masyarakat untuk memberikan pengakuan atau ganjaran. Dan unsure budaya yang terakhir adalah pola pikir. Pola berpikir merupakan cara yang menunjukkan bagaimana suatu kelompok memandang keputusan yang diambil. Setiap kebudayaan mengajarkan pola berpikir berbeda sesuai dengan kesepakatan anggotanya.
commit to user 36
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2.4. Komunikasi sebagai Proses Share Meaning Komunikasi antar anggota kelompok merupakan proses berbagi satu dengan yang lain. Berdasarkan asal kata, komunikasi berasal dari Latin, communicare. Kata ini mengandung pengertian “to make common”, “to share”, atau berbagi. Maka dalam pemahaman ini, “communication is defined as the process of understanding and sharing meaning.” Komunikasi dapat didefinisikan sebagai proses memahami dan menukarkan makna. Komunikasi lebih dari sekedar melemparkan pesan dari satu orang ke orang yang lain atau kelompok ke kelompok yang lain, namun komunikasi lebih pada proses. Sebuah aktivitas bahkan serangkaian perilaku yang diorganisir sedemikian rupa untuk dapat dipahami. Perilaku komunikasi diungkapkan oleh David Berlo (1960), “…When we label something as a process, we also mean that it does not beginning, an end, a fixed sequence of events. It is not static, as rest. It is moving. The ingredients within a process interact; each affects all the others.” (Ketika kita menandai sesuatu (perilaku komunikasi) sebagai proses, kita juga memaknainya tidak hanya awal, akhir, bagian dari kejadian-kejadian. Ia tidak statis, seperti berhenti sejenak. Ia bergerak. Komponen-komponen yang terlibat dalam proses interaksi; masing-masing berpengaruh terhadap yang lain). Proses berarti ada sebuah aktivitas yang dibangun terus menerus, sehingga ketika kita melakukan (proses) komunikasi -misalnya, bercakap- kita tidak selesai hanya dalam sekali pembicaraan. Namun kalimat dalam percakapan tersebut mungkin akan menjadi dasar untuk percakapan nanti, keesokan harinya atau
commit to user 37
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bahkan minggu depan dan seterusnya. Oleh karena itu, proses tentu membutuhkan pemahaman. Communication is a process that requires understanding-perceiving, interpreting, and comprehending the meaning of the verbal and nonverbal behavior of others. Komunikasi merupakan proses yang menghendaki pemahaman, penafsiran, dan pengertian makna baik perilaku verbal dan non verbal. (Pearson&Nelson, 2000:7). Komunikasi juga melibatkan pemahaman tentang “sharing” yang dapat dimengerti sebagai interaksi antara orang-orang untuk mempertukarkan makna. Setiap orang atau kelompok pada dasarnya telah memiliki makna yang dibangun bersama. Makna dalam sebuah kelompok didapat karena muncul persamaan pemahaman terhadap pesan antar anggota mereka. Oleh karena itu komunikasi dapat dilihat pula sebagai proses sosial.
2.5. Komunikasi sebagai Proses Sosial Komunikasi merupakan sebuah proses pertukaran pesan dari komunikator kepada komunikannya. Communication is a social process in which individuals employ symbols to establish and interpret meaning in the environment.
(West&Turner,
2007:3).
Atau
dapat
dikatakan
bahwa
komunikasi merupakan sebuah proses sosial dimana individu-individu menggunakan simbol-simbol untuk membangun dan mengintepretasi makna yang ada dalam lingkungannya. Pemahaman tersebut dapat digambarkan sebagai berikut, Gambar 2.1.
commit to user 38
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Unsur-Unsur dalam Definisi Komunikasi
Environment Meaning Social
Communication nn
Symbols
Process
Sumber: Richard West&Lynn H. Turner, 2007: 5
Konteks komunikasi di atas melibatkan beberapa unsur yang terdiri dari lingkungan, sosial, proses, simbol-simbol, dan makna. Mengintepretasi komunikasi sebagai proses sosial, berarti kita akan melibatkan orang-orang dan interaksi. Dalam proses tersebut, seseorang cenderung mempunyai intensitas, motivasi dan kemampuan berkomunikasi. Sebagai sebuah proses, komunikasi akan bersifat dinamis, kompleks dan berkelanjutan. Dinamis yang dimaksudkan dalam pandangan ini termasuk pula penciptaan pesan. Pada kenyataannya, ketika seseorang melakukan proses komunikasi, maka pesan tersebut akan tersimpan di dalam memori. Dan mungkin akan dapat muncul lagi ketika bercakap dengan orang lain.
commit to user 39
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Unsur berikut dalam gambaran tersebut adalah simbol. Simbol merupakan sebuah konsep yang dibangun melalui interaksi yang terus menerus antar individu. Intensitas akan membentuk kesepakatan bersama atas sebuah pemahaman makna. Itulah mengapa konsep yang sama terkadang dimaknai berbeda oleh kelompok atau individu yang lain. Ketika manusia belajar maka dia mempertukarkan simbol. Namun bukan hanya itu saja, manusia dapat mengolah simbol-simbol sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya. Walaupun antara tanda dan obyek yang ditandai sering kali tidak ada kaitannya, namun makna dapat dipahami melalui kesepakatan bersama. Pembentukan makna terjadi melalui proses secara turun temurun atau proses pewarisan budaya. Manusia memiliki pembawaan sosiokultural yang membedakannya dengan hewan. Pembawaan sosiokultural terjadi ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain. Orang tua meneruskan nilai dalam keluarga kepada anaknya. Adat dalam sebuah masyarakat menganggap tabu suatu perilaku atau pandangan mengenai benar atau salah atas suatu masalah. Dan berbagai contoh lainnya. Pemahaman budaya akan dilestarikan melalui proses turun temurun tersebut. Hingga karena perilaku itu menjadi suatu kewajaran maka orang akan menganggap itu sebagai identitas. Simbol sangat berkaitan dengan proses intepretasi. Interpretasi terjadi dalam pemikiran seseorang melalui proses encoding dan decoding seseorang terhadap sesuatu. Atau dengan kata lain logika berpikir seseorang terbentuk dari field of experience seseorang terhadap sebuah peristiwa atau sesuatu hal. Intepretasi juga dapat diturunkan dan dipelajari seseorang dari lingkungannya.
commit to user 40
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dan intepretasi tersebut kemudian disebarkan melalui keseharian interaksi antar individu. Hasil dari sebuah intepretasi tersebut adalah pemaknaan. A symbol is an arbritary label or representation of fhenomena. (Ibid, hal.7). Simbol bersifat semena-mena atau merupakan representasi dari sesuatu hal. Semisal, meja adalah simbol dari benda yang berkaki empat dan digunakan untuk meletakkan sesuatu. Simbol tersebut bersifat arbriter, karena mungkin di tempat lain, meja hanya menggunakan 3 kaki dan mempunyai fungsi yang berbeda. Sebuah label terkadang menimbulkan sebuah ambiguitas. Ia dapat terbentuk melalui proses verbal maupun non verbal, dan dapat pula terjadi dalam melalui komunikasi baik face-to-face maupun menggunakan media tertentu. Simbol biasanya merupakan konsep yang dipahami oleh sebuah kelompok tertentu. Namun menjadi ambigu bagi out-group sebuah kelompok. Atau dengan kata lain, simbol cenderung bersifat in-group karena dibangun melalui interaksi yang bersifat sehari-hari. Simbol dapat berupa concrete symbol maupun abstract symbol. Concrete symbol dapat dimaknai sebagai simbol yang merepresentasi sebuah obyek dengan nyata. Sedangkan abstract symbol dipahami sebagai simbol yang membangun ide atau pengetahuan. Dalam sebuah komunikasi, concrete symbol lebih mudah dipahami daripada abstract symbol. Contohnya, orang akan lebih mudah memahami bahwa kura-kura adalah salah satu jenis binatang, daripada ketika seseorang mengatakan, “jalanmu seperti kura-kura.” Seseorang mungkin akan mempunyai intepretasi berbeda dengan orang lain
commit to user 41
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dalam memaknai kalimat tersebut. Proses intepretasi seseorang terhadap obyek, juga dapat dipengaruhi oleh pemahaman dan pengalaman dia terhadap obyek. Komunikasi bersifat simbolik. Kenyataannya bahwa ketika seseorang berkomunikasi pada dasarnya dia sedang mempertukarkan simbol. Gudykunst and Kim mengungkapkan bahwa “The important thing to remember is that symbols are symbols only because a group of people agree to consider them as such.” (Samovar, 2007: 13). Simbol hanyalah simbol tanpa makna apabila tidak ada kesepakatan antara anggota masyarakat. Tidak ada hubungan antara simbol dengan referen mereka, hubungan tersebut bersifat arbitrair dan beragam antara budaya satu dengan budaya yang lain. Terkait dengan proses dan simbol, makna merupakan sesuatu yang sentral terhadap definisi komunikasi. Meaning atau makna merupakan “extract” dari pesan. Dalam komunikasi, pesan dapat mempunyai lebih dari satu makna. Without sharing some meaning, we would all have a difficult time speaking the same language or interpreting the same event. (Ibid, hal.7). Judith Martin dan Tom Nakayama dalam Intercultural Communication in Context menekankan bahwa makna mempunyai konsekuensi budaya. Budaya menjadi latar belakang seseorang dalam memaknai sesuatu. Unsur komunikasi yang terakhir adalah lingkungan. Lingkungan merupakan situasi atau konteks dalam mana komunikasi terjadi. Lingkungan melingkupi berbagai elemen, termasuk waktu, tempat, sejarah, hubungan, dan latar belakang komunikator dan komunikannya.
commit to user 42
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. Studi Pesan 3.1. Simbol Verbal dan Non Verbal dalam Komunikasi Komunikasi melibatkan pertukaran kode-kode. A code is a systematic arrangement of symbols used to create meanings in the mind of another person or persons. (Pearson&Nelson,2000:12). Kode merupakan rangkaian sistematik simbol-simbol yang digunakan untuk menciptakan pemahaman seseorang atau sekelompok orang. Bahasa mengatur syntax dan grammar supaya dapat dipahami. Ketika kita sedang menyeberang dan ada seseorang yang berteriak “stop!” maka secara otomatis kita akan berhenti karena mengartikan teriakan itu sebagai tanda bahaya. Apabila komunikasi dikaitkan dengan kode maka komunikasi dapat dipandang sebagai proses encoding decoding. Encoding is defined as the act of putting an idea or a thought into a code. Decoding is assigning meaning to that idea or thought. (Encoding merupakan aktivitas meletakkan ide-ide ke bentuk kode yang ada dalam pikiran kita, sementara decoding merupakan proses memahami ide-ide tersebut). (Pearson&Nelson, 2000:12). Komunikasi verbal dan Komunikasi non verbal. Komunikasi dapat diwujudkan dalam bentuk verbal dan non verbal. Komunikasi verbal identik dengan bahasa. Hal tersebut karena bahasa merupakan alat yang digunakan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk memahamkan apa yang mereka kehendaki. Language is a code, a collection of symbols, letters, or words with arbitrary meanings that are arranged according to the rules of syntax and are
commit to user 43
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
used to communicate. (Person&Nelon, 2000:52). Makna bahasa hanya dapat dimengerti
oleh
kesamaan
pemahaman
antara
komunikan
dengan
komunikator, karena bahasa merupakan serangkaian simbol yang bersifat arbitrer. Bentuk komunikasi yang kedua adalah komunikasi nonverbal. Seperti halnya komunikasi verbal, banyak gangguan yang terjadi atas pemaknaan dalam komunikasi nonverbal. Kesulitan pemaknaan dalam komunikasi nonverbal terjadi karena seringkali seseorang menggunakan kode yang sama untuk mengkomunikasikan berbagai makna, mereka menggunakan bermacam kode-kode untuk makna yang sama, atau orang-orang memiliki intepretasi yang beragam atas sebuah kode nonverbal. Nonverbal codes are codes of communication of symbols that are not words, including nonword vocalizations. (Pearson&Nelson, 2000:75). Pergerakan tubuh, logat bibir, kedipan mata, sentuhan, cara berpakaian, artefak hingga dan semua kode nonverbal. 3.2. Proses Produksi Pesan We intentionally send messages to change or modify the behavior of other people. (Samovar, 2007:45) Pada dasar manusia atau kelompok akan berupaya membuat menciptakan pesan untuk membangun pemahaman orang lain sesuai dengan pemahaman yang diinginkan. Dipaparkan di atas bahwa akulturasi adalah proses penyatuan dua budaya yang berbeda sehingga menghasilkan budaya yang baru. Devito mengungkapkan, “In acculturation your original or
commit to user 44
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
native culture is modified through direct contact with exposure to a new and different culture.” Kalimat tersebut menerangkan bahwa akulturasi merupakan proses modifikasi simbol-simbol atau pesan-pesan budaya. Andrik Purwasito membahasakan proses tersebut dengan istilah Rekayasa pesan atau Message engineering-bagaimana partisipan komunikasi yang memiliki kebebasan seluas - luasnya tersebut merekayasa pesan sesuai dengan kebebasan yang diberikan oleh ruang dan waktu dimana partisipan itu hidup, (hal ini tidak menolak pengertian umum bahwa bahasa itu bersifat konvensi, yakni digunakan dan dipertukarkan dalam kesepakatan bersama), sehingga mendapatkan hasil yang optimal dalam berkomunikasi (power). Untuk memahami pengertian tersebut, Prof Andrik Purwasito, DEA mengungkapkan, “Seven
Basic
Theory
on
Messages
Studies”
(http://ndalempoerwahadiningratan.wordpress.com), sebagai berikut: 1. Komunikasi
itu adalah kekuasaan (Communication is a power)
Komunikasi adalah sarana untuk memperoleh power (kekuasaan), dari tingkat yang paling elementer (kekuasaan sosial, haute couture intellectuelle (mode intelektual, biasanya menyebut mode intelektual strukturalis Prancis) sampai pada kekuasaan dalam kenegaraan dalam pengertian politik. Dalil pertama ini setidaknya memberikan satu fondasi bahwa studi pesan digunakan secara luas di semua bidang. 2. Bahasa itu simbol (language is symbole). Dalam rumusan ini seluruh
kegiatan komunikasi menggunakan bahasa yang berbentuk simbol verbal dan simbol non-verbal. Keduanya mendasari pemikiran studi pesan, dan
commit to user 45
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mempunyai kedudukan sentral dalam studi pesan. Boleh dikatakan studi pesan itu basis analisis (analysis unit) adalah seluruh perangkat (verbal dan
non-verbal)
(communication
yang
digunakan
process)
dalam
dalam
proses
komunikasi
sebuah
tindak
komunikasi
(communication actions). Meminjam F. De Saussure (1857-1913) bahwa kegiatan komunikasi itu melibatkan langage (susunan atau bentuk bahasa), langue (sistem bahasa) dan parole (pemakaian bahasa). Dengan demikian, metoda analisa yang digunakan adalah metode tafsir tanda, yang disebut semiologi (ilmu tentang tanda) atau kata yang mungkin mudah dimengerti simbologi. Dalam buku studi pesan, saya lebih menyukai metode tafsir pesan. 3. Pesan itu Kemasan (Message is Packaging). Dalam rumusan yang kedua
ini, saya memperkuat Mac Luhan bahwa message is medium. Berangkat dari pemikiran tersebut, terdengar bahwa message itu sesungguhnya tidak independen. Ia mempunyai kedudukan yang arbitrair (semena-mena, menyangkut relasi signifiant dan signifie) mengambil istilah Ferdinand de Saussure. Artinya para partisipan komunikasi memberi makna dan membangun pesan sesuka hati saja. Dalam buku Message Studies, disebut sebagai message engineering (rekayasa pesan). 4. Pesan itu Semena-mena (Message is arbitrair). Pada dasarnya pesan itu
arbitrair, karena partisipan komunikasi mempunyai kebebasan untuk membangun simbol pesan. Dalam pengertian, partisipan mempunyai kebebasan seluas-luasnya untuk merekayasa pesan sesuai dengan
commit to user 46
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kebebasan yang diberikan oleh ruang dan waktu dimana partisipan itu hidup. Hal ini tidak menolak pengertian umum bahwa bahasa itu bersifat konvensi, yakni digunakan dan dipertukarkan dalam kesepakatan bersama. 5. Pesan itu logis (Message is logic). Dalam rumusan ini, meskipun pesan itu
semena-mena, meminjam istilah Saussure pesan itu mengandung unsur signifiant (yang diucapkan, didengar atau yang dituliskan atau yang dibacakan) kita sebut “penandanya.” Sedangkan pesan juga mengandung unsur signifie (apa yang ada didalam pikiran dan mental kita berupa konsep-konsep) sebagai “petandanya”. Keduanya seperti dua sisi dari mata uang yang sama. Dasar inilah yang kita gunakan untuk membangun simbol atau menafsirkan makna, haruslah menggunakan akal sehat sebagai basis keputusan. Akal sehat itu bukanlah sesuatu keputusan yang semenamena, tetapi didasarkan atas dasar logika yang lurus (dalam buku Message Studies saya sebut common-sense). Oleh sebab itu, untuk menghindari penafsiran yang sesat, anda membutuhkan bantuan beberapa perangkat metodologis yang dikembangkan oleh para pemikir atau filsuf. Dalam 9 formula yang saya tulis dalam buku Message Studies, antara lain 1). intertekstualitas, meminjam apa yang digunakan oleh Julia Kristiva dalam analisis teks atau menggunakan perangkat
2). inter-subyektivitas,
meminjam istilah filsafat, yang kurang lebih untuk menghindari kesesatan tersebut dan mencapai tingkat obyektivitas yang diharapkan. Artinya, melakukan tafsir terhadap pesan membutuhkan bantuan para penafsir lain
commit to user 47
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang hasil tafsirnya telah diuji (biasanya dibukukan) dari orang yang mempunyai kredibilitas keilmuan yang memadai. 6. Pesan itu kontekstual (Message is contextual). Pesan itu tergantung pada
konteks komunikasinya. Partisipan biasanya menggunakan dua bentuk praktek komunikasi (terutama dalam interpersonal communication) yaitu high-contex dan low-contex of communication. Kedua istilah tersebut sebenarnya tetap mengacu pada pembahasan F.de Saussure tentang linguistik yaitu langage, parole dan langue, signifiant dan signifie. 7. Pesan itu Ruang dan Waktu (Message is Time and Space). Dalil terakhir
dari studi pesan adalah ketergantungan pesan terhadap ruang dan waktu. Hal ini wajib menjadi perhatian seluruh kegiatan interpretasi dan rekayasa pesan, karena setiap tempat dan setiap waktu, meminjam metode sejarah dan peradaban dari Ecole Annale Prancis, bahwa ruang dan waktu di dalamnya latar budaya, mitologi, sejarah, ideologi, pragmatisme, nilai dan norma serta adat kebiasaan yang berbeda-beda. Dalam ilmu bahasa yang dikemukakan oleh F. de Saussure bahwa bahasa bersifat sinkroni (bertepatan menurut waktu) dan diakronis (berdasar pada perjalanan historis). Selanjutnya, ahli linguistik suksesor Saussure, yaitu Roland Barthes, memberikan perhatian pada proses pemaknaan (dalam Message Studies saya sebut proses semiosis) yang bersifat signifikansi dan kedua bersifat komunikasi (pragmatik). Dalam proses semiosis komunikasi dan signifikansi, pesan itu bersifat denotatif, yaitu pengertian yang diperoleh dari terjemahan atau tafsir dari apa yang dipakai oleh masyarakat pada
commit to user 48
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
umumnya. Sedangkan makna yang bersifat konotatif adalah pengertian yang diperoleh melaui proses semiosis (dari penerjemahan atau tafsir di luar pesan yang disampaikan tersebut). Dalam bahasa kita, pemaknaan itu disebut mengungkapkan pesan yang tersirat (konotatif), itu bahasa kiasan dan bukan pesan yang tersurat (denotatif), bahasa apa adanya. 3.3. Semiologi dan Mitologi Semiologi atau semiotika adalah ilmu tentang tanda. Teori ini membantu pemahaman kita terhadap pesan yang diorganisir secara struktural dan bagaimana pesan hadir untuk diberi makna. “Sejak pertengahan abad ke-20, semiotika telah tumbuh menjadi bidang kajian yang sungguh besar, melampaui di antaranya, kajian bahasa tubuh, bentuk-bentuk seni, wacana retoris, komunikasi visual, media, mitos, naratif, bahasa, artefak, isyarat, kontak mata, pakaian, iklan, makanan, upacara-pendeknya semua yang digunakan, diciptakan, atau diadopsi oleh manusia untuk memproduksi makna.” (Danesi, 2004: 6). Secara prinsip, penyebutan semiologi sebenarnya tidak mempunyai perbedaan mendasar dengan istilah semiotika. Kalaupun ada, perbedaan itu lebih mengacu pada orientasinya. Van Zoest (1991: 2) dalam Kurniawan (2001: 51). Penambahan “logi” dalam semiologi juga tidak sepadan dengan penggunaan untuk penyebutan ilmu-ilmu yang lain. Monaco mengungkapkan sebutan ilmu dalam istilah semiologi bersifat lebih longgar. Akibatnya timbul masalah tersendiri pada semiologi, apakah semiologi merupakan ilmu tersendiri yang belum jelas bentuknya (sebagaimana diramalkan dan diyakini Saussure) ataukah menjadi bagian dari ilmu lain (sebagaimana Roland Barthes menganggapnya sebagai bagian dari linguistik). (Kurniawan, 2001:51-52).
commit to user 49
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Penggunaan semiologi menunjukkan pengaruh kubu Saussure5, sedangkan penggunaan semiotika mengacu pada Peirce6. Dalam perkembangan teori ini, Roland Barthes, seorang ilmuwan asal Perancis, mengemukakan pandangan tentang semiologi yang kemudian biasa disebut semiologi Barthes7. Hawkes dalam Kurniawan mengungkapkan bahwa pandangan Barthes melihat hubungan penanda dan petanda bukan equality tetapi ekuivalen. Bukannya yang satu kemudian membawa pada yang lain, tetapi korelasilah yang menyatukan keduanya. Kurniawan menambahkan bahwa Barthes tidak sebatas itu saja dalam memahami proses penandaan, tetapi melihat pula aspek lain dari penandaan yaitu “mitos”. Kata “mitos” berasal dari bahasa Yunani mythos “kata”, “ujaran”, “kisah tentang dewa-dewa”. Danesi (2010: 167-168) menambahkan bahwa pada tahap awal kebudayaan manusia, mitos berfungsi sebagai teori asli mengenai dunia, sehingga apabila mengkaji mitos, kita dapat mempelajari bagaimana orang-orang mengembangkan suatu sistem sosial khusus dengan banyak adat istiadat dan cara hidup, dan juga memahami secara lebih baik nilai-nilai yang mengikat para anggota masyarakat untuk menjadi suatu kelompok.
5
Ferdinand de Saussure (1857-1913) adalah seorang ilmuwan linguistik yang lahir di Genewa. Dalam materi kuliah berjudul Cours de Linguistique Generale (1916) yang dikumpulkan oleh dua muridnya di universitas, Saussure menggunakan istilah semiologi untuk merujuk pada kajian tanda. 6 Charles Sanders Peirce (1939-1914) adalah seorang filsuf dari Amerika. Peirce mempopulerkan istilah semiotika yang sebenarnya dilakirkan filsuf Inggris, John Locke, dalam tulisannya Essay Concerning Human Understanding (1690). 7 Semiologi Barthes merujuk pada Saussure dengan menyelidiki hubungan penanda dan petanda pada sebuah tanda.
commit to user
50
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dalam semiologi Barthes, mitos diistilahkan dengan mitologi. Mitologi adalah refleksi versi modern dari tema, plot, dan karakter mitos. (Danesi, 2010: 173). Kata mitologi merupakan gabungan dari mythos dan logos. Dalam konteks ini, Barthes tetap menaruhnya mitos dalam diskursus semiologi. Ia meletakkannya pada tingkat kedua penandaan; tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk petanda baru. (Kurniawan, 2001: 23). Teori tentang mitologi ini membantu peneliti dalam proses analisis.
B. Penelitian yang Relevan Penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah disertasi I Wayan Damayana yang kemudian dibukukan dengan judul Menyama Braya, Studi Perubahan Masyarakat Bali (2011) dari Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana. Konteks penelitian ini lebih pada perubahan masyarakat Bali khususnya desa Pemogan Bali dari sudut pandang teologi. Karya berikutnya yang relevan adalah tulisan I Ngurah Suryawan yang berjudul Bali, Narasi dalam Kuasa (Politik dan Kekerasan di Bali) (2005). Tema dalam buku ini adalah konstruksi wacana tentang Bali, politik dan kekerasan. Relevansi penelitian tersebut adalah lokasi penelitian yang sama yaitu di Bali. Namun demikian, dua penelitian di atas lebih menyoroti Bali dalam konteks luas. Sedangkan penelitian ini lebih spesifik di desa Kristen di Bali, Blimbingsari. Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan Pendeta dan
commit to user 51
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Bendesa Adat di Blimbingsari, selama ini belum ada penelitian berkaitan dengan desa tersebut yang ditinjau dari pendekatan komunikasi.
commit to user 52
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di Bali, tepatnya di desa Blimbingsari, kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana. Pra survey penelitian sudah dimulai sejak bulan Oktober 2010 dan pengumpulan data hingga Februari 2012.
B. Jenis Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang terbangun dalam latar belakang maka penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Induktif merupakan proses penelitian dalam pendekatan kualitatif dengan mengangkat fakta empirik secara kualitatif,
mengembangkan
asumsi,
mengembangkan
konsep,
dan
mengkonstruksi teori (constructionism). Jenis penelitian kualitatif yang diterapkan adalah etnografi komunikasi. Etnography komunikasi merupakan sebuah bidang dikenal sejak publikasi American Anthropologist muncul dengan judul tersebut (The ethnography of communication). (Gumpez and Hymes 1964), dimana didalamnya terkandung pendekatan sosiologi yang terpusat dengan analisis interaksional dan identitas peran, studi secara antropologi terorientasi pada cerita-cerita rakyat dan kerja filsuf bahasa sehari-hari. (Saviell, 2003). Dalam sebuah studi etnografi. Para etnografer mengamati dan mengajukan pertanyaan ihwal cara orang-orang berinteraksi, bekerjasama, dan berkomunikasi termasuk dengan peneliti secara alamiah dalam konteks kehidupan sehari-hari.
commit to user
53
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Etnografi komunikasi mempunyai dua fokus: bersifat umum dan khusus. Di satu sisi, ia mengarahkan deskripsi dan pemahaman "communication bahavior" pada setting budaya yang spesifik, tetapi juga mengarahkan kedalam formulasi konsep dan teori yang mana membangun metateori human communication. Dasar pendekatan ini tidaklah melibatkan daftar fakta-fakta untuk dipelajari sebagai pertanyaan namun juga menemukan jawaban diluar hal tersebut. Untuk meraih tujuan pemahaman baik secara spesifik maupun general, sederet data yang berasal dari bermacam-macam komunitas dibutuhkan (1964:2). Fokus dalam etnografi komunikasi adalah "the speech community", sebuah
cara
komunikasi
dimana
didalamnya
dia
dipolakan
dan
diorganisasikan sebagai sistem atas kejadian-kejadian komunikasi, dan caracara didalam mana interaksi dengan semua sistem budaya yang lain. Tujuan utama dalam pendekatan ini untuk memandu pengumpulan dan analisis diskriptif data tentang cara-cara didalam mana makna sosial dibawa: "If we ask of any form of communication the simple question what is being communicated? The answer is: information from the social system" (Douglas 1971: 389). Mengerjakan etnografi dalam budaya lain melibatkan berbagai lapangan kerja, termasuk juga observasi, tanya-jawab, berpastisipasi dalam aktivitas kelompok dan melakukan tes validitas. Hal yang esensial dalam etnografi adalah kedalaman pemahaman relativisme budaya. Secara komplit keluar dari subyektifitas merupakan hal yang mustahil karena pada dasarnya kita telah
commit to user 54
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
memiliki kebudayaan yang menurut kita sebagai sesuatu yang wajar. Namun demikian, berbagai batasan-batasan dan panduan-panduan metodologi dibangun untuk meminimalisir bias persepsi dan analisis. Tradisi partisipantobservation masih merupakan dasar untuk semua etnografi, namun ia dapat didukung dengan berbagai macam koleksi data yang lain dan prosedur validasi tergantung pada fokus investigasi dan hubungan investigator terhadap komunitas amatan yang dipelajari. Langkah yang dilakukan bermula dari data empirik dari lapangan. Faktorfaktor yang terbentuk secara silmultan bersifat timbal balik, kemudian mencoba untuk diuraikan. Berdasarkan data dan pengamatan di lapangan, rancangan berkembang dengan kategori-kategori yang diidentifikasi selama proses penelitian. Analisa menjadi konsep yang terus menerus dilakukan dan diletakkan pada konteks alamiahnya. Pola-pola dan teori dikembangkan untuk pemahaman. Teori dalam jenis penelitian ini menerangkan dan mendasarkan diri pada data yang diperoleh di lapangan.
C. Data dan Sumber Data Data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. 1. Data primer (korpus) dalam penelitian ini adalah data yang berkenaan secara langsung dengan subyek yang diteliti yaitu kebudayaan Desa Adat Kristen Blimbingsari, Melaya, Jembrana, Bali. Data tersebut terbagi menjadi beberapa unsur kebudayaan menurut Koentjoroningrat yang terdiri dari bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem
commit to user
55
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi, dan kesenian. 2. Data sekunder dalam penelitian ini adalah pemberitaan media massa, literature, internet, dan buku.
D. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah teknik observasi dan wawancara. Dalam konteks ilmu komunikasi, penelitian dengan metode pengamatan atau observasi biasanya dilakukan untuk melacak secara sistemais dan langsung gejala komunikasi terkait dengan persoalan-persoalan sosial, politis, dan kultural masyarakat. (Pawito, 2007: 111). Kata “langsung” berarti bahwa peneliti langsung mengamati obyek kajian. Sekalipun dasar utama daripada metode observasi adalah penggunaan indera visual, tetapi dapat juga melibatkan indera-indera lain seperti pendengaran, rabaan dan penciuman. (Slamet, 2006: 86). Observasi yang diterapkan adalah observasi berpartisipasi, dimana peneliti mempunyai peran ganda, yaitu sebagai peneliti dan pelaku kegiatan. Teknik yang kedua adalah teknik wawancara. Teknik wawancara dalam penelitian ini lebih untuk memahami bagaimana konteks kebudayaan dibangun, selain sebagai bahan pertimbangan dan pembanding observasi. Teknik pengumpulan data artefak atau dokumen juga dilakukan berdasarkan studi literatur yang mendukung analisis data.
commit to user 56
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
E. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data Ada sejumlah cara untuk memeriksa keabsahan data. Teknik ini diterapkan sebagai wujud pertanggungjawaban peneliti terhadap data-data dan analisa yang digunakan. Dalam penelitian ini, teknik pemeriksaan keabsahan data menggunakan beberapa teknik credibility. Pertama adalah prolonged engagement. Teknik ini dilaksanakan dengan cara peneliti tinggal di lokasi dalam jangka waktu cukup lama. Yang kedua adalah persistent observation. Dengan teknik ini, peneliti diharapkan melakukan pengamatan secara terus menerus. Yang ketiga adalah Trianggulation. Menurut Patton (1984) ada tiga macam trianggulasi: (1) data triangulation (membandingkan sejumlah data untuk melihat mana yang benar), (2) Investigator (menggunakan sejumlah peneliti kemudian membandingkan satu sama lain, (3) Methodological triangulation (menggunakan sejumlah metode untuk memperoleh kebenaran). Dalam teknik triangulasi, peneliti lebih menggunakan teknik triangulasi data. Dan teknik berikutnya adalah peer debriefing. Dalam teknik ini peneliti melakukan diskusi dengan teman sejawat sesama ilmuwan.
F. Teknik Analisis Data Semiologi merupakan sebuah pendekatan yang bermanfaat untuk menjelaskan bagaimana unit-unit yang berbeda mengkomunikasikan atau mempertukarkan makna. The procsess of production meaning is called semiosis. (Proses produksi makna disebut semiosis). (Samovar, 2007: 207). Pemahaman semiosis datang dari studi kritis yang dilakukan oleh Roland
commit to user 57
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Barthes (1980). Semiologi berkembang menjadi ilmu untuk menafsirkan berbagai hal berhubungan dengan tanda-tanda, termasuk berguna bagi analisis kritik ideologi (semiologie comme la methode fundamentale de la critique ideologique). Ia mengambil pembagian Roland Barthes, dalam L’Aventure Semiologie. (Purwasito, 2003). Semiologi banyak pula digunakan dalam studi linguistik dan dalam komunikasi, kita mengenal semiologi komunikasi. Sebuah kaidah tafsir akan tanda-tanda. (digilib.uns.ac.id/upload/dokumen). Semiologi komunikasi memberi makna pada tanda dalam perspektif, bukan saja rujukan, tetapi fungsi itu digunakan oleh partisipan komunikasi. Seperti dalam istilah semiotika sendiri yang berasal dari bahasa Yunani Kuno “semion” yang berarti tanda, yang pada dasarnya mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Jadi ada perbedaan antara memaknai (to signify) dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti dalam hal mana obyek itu dijelaskan, tetapi juga sistem atau struktur dari tanda. Sedangkan mengkomunikasikan berarti obyek-obyek memuat informasi (pesan) kepada komunikan, demikian sebaliknya. Semiologi dapat dibagi menjadi dua pengertian mendasar. Pertama, semiologi signifikansi dan yang kedua adalah semiologi komunikasi atau semiologi pragmatik. Semiologi signifikansi adalah alat tafsir yang digunakan masyarakat untuk memberi makna tanda-tanda sebagai pesan komunikasi, jadi tanda mempunyai maksud tertentu yaitu pesan kepada komunikan, khalayak atau publik. Jika komunikasi adalah produksi simbol-simbol oleh manusia, maka semiologi komunikasi adalah tafsiran pesan dari seluruh produk
commit to user
58
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
komunikator yang ditujukan secara jelas kepada komunikan dengan subyek berupa simbol-simbol komunikasi.
(http:/andrikpurwasito.blog.com/ diunduh 3
Maret 2011, pk. 15.00)
Andrik Purwasito mengungkapkan bahwa semiologi bertujuan untuk menginterpretasikan pesan dalam suatu komunikasi. Ketika proses interaksi, maka di sana terjadi pertukaran tanda-tanda (pesan) antar partisipan komunikasi. Proses ini dapat pula diistilahkan dengan penyandian. Penyandian digunakan dalam membangun pesan komunikasi dalam bentuk simbol-simbol. Simbol dipertukarkan oleh partisipan komunikasi secara terus menerus dalam kegiatan interaksi dan transaksi sehari-hari. Komunikasi dapat berjalan secara lancar karena simbol-simbol komunikasi yang diigunakan oleh partisipan komunikasi telah tersedia di masyarakat dan para partisipan tinggal menggunakannya. Proses interaksional dan transaksional tersebut merupakan upaya sharing of idea dan sharing of experience untuk mencapai tingkat tindak komunikasi yang berhasil. (Purwasito, 2002: 169). Namun dalam pelaksanaannya proses decoding dan encoding dalam komunikasi tidak senantiasa berjalan lancar. Atau dapat dikatakan bahwa komunikasi merupakan pertukaran simbol (sharing of symbol), dan semiologi komunikasi ini digunakan untuk menginterpretasikan simbol-simbol tersebut. “semiologi komunikasi” hanya digunakan untuk menganalisis subyek kajian yang berbasis pragmatik (praktek komunikasi). Prieto, Buyssens, Mounin, yang banyak dipengaruhi oleh Louis Hjelmslev (1961), juga menyetujui dan menganggap penting menganalisa tanda-tanda yang disertai maksud (signal)
commit to user
59
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang secara sadar digunakan oleh (komunikator) kepada mereka yang menerimanya (komunikan). Setelah melakukan studi lapangan, data yang terkumpul kemudian dianalisis dengan 9 formula untuk tafsir pesan yang diungkapkan oleh Andrik Purwasito, sebagai berikut: 1. Menguji pesan secara denotatif yaitu menguji berdasarkan konvensi masyarakat (common sense). Caranya, ujilah dengan konteks sosial dan budaya dimana pesan itu dibangun. 2. Menguji pesan secara konotatif yaitu pengujian lewat motif dan latar belakang ideologi komunikator. 3. Menguji pesan secara kontekstual yaitu pengujian konteks fisik setempat dan konteks waktu dimana tanda itu digunakan. 4. Menguji
pesan
secara
struktural,
yaitu
menguji
pesan
dengan
menghubungkannya keterkaitan dengan pesan yang di dekatnya. 5. Menguji pesan secara fungsional, caranya melihat fungsi pesan-pesan yang digunakan oleh partisipan komunikasi. 6. Menguji pesan secara intertekstual yaitu dengan cara membandingkan pesan pada fakta yang sama pada peristiwa yang berbeda. 7. Menguji pesan secara intersubyektif, caranya
adalah mengambil
penafsiran atas pesan tersebut dari penafsir lain yang digunakan untuk peristiwa yang berbeda. 8. Menguji pesan dengan cara meminta pendapat dari penafsir lain yang dianggap berkompenten dalam bidang yang berkaitan dengan pesan itu.
commit to user
60
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
9. Menguji pesan secara subyektif yaitu melakukan tafsir intuitif oleh peneliti sendiri dengan mendasarkan pada pengalaman intelektual, keyakinan dan pengembaraan ilmiahnya. Dalam proses analisisnya, Andrik Purwasito menyederhanakan 9 formula tersebut kedalam 7 kaidah pengujian. Adapun 7 kaidah (formula) pengujian yang dimaksud adalah: (1) Partisipan komunikasi, (2) Konteks komunikasi (motif komunikator), (3) Bentuk fisik non fisik tanda (konteks fisik dan sosial), (4) Fungsi tanda (struktur tanda dan tanda lain), (5) Intertekstualitas tanda, (6) Intersubyektifitas makna, dan (7) Intelektualitas penafsir.
commit to user 61
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN DAN PENYAJIAN DATA A. Sejarah Blimbingsari Sejarah Blimbingsari memiliki berbagai macam versi. Berdasarkan pengamatan peneliti terdapat tiga macam pendekatan. Namun pada dasarnya tidak terdapat perbedaan yang terlalu signifikan. Dalam penelitian ini, penulis akan memaparkan sejarah perkembangan desa Blimbingsari berdasarkan hasil wawancara dari Pendeta Ketut Suyaga Ayub, pemuka agama yang menjabat pada waktu peneliti menjalankan studi lapangan. Alasan yang lain adalah pemahaman sejarah yang akan penulis paparkan merupakan sejarah yang selama ini digunakan oleh tim pariwisata Blimbingsari. Pada masa penjajahan Belanda di Indonesia, Pemerintah Belanda mengeluarkan Undang-Undang larangan bagi pemberitaan Injil di pulau Bali. Larangan tersebut diputuskan setelah Pdt. Jacob de Froom mati terbunuh di Singaraja tahun 1881. Pada waktu itu Bali mempunyai ibukota di Singaraja dan Pendeta tersebut tinggal di sana. Pembunuhan tersebut dilakukan oleh orang Bali yang bernama I Klana yang telah menjadi Kristen. Dia mempunyai satu-satunya pengikut yang bernama I Gusti Karangasem. (nama I Gusti menggambarkan bahwa dia berasal dari kasta yang tinggi). Pada tahun tersebut, Pendeta dibunuh oleh I Gusti Karangasem karena dia mengharap sesuatu yang berlebih secara jasmani, tetapi merasa tidak mendapatkan. Maka dari kejadian itu, Belanda kemudian menutup pekabaran Injil di Bali selama 48 tahun. Pemikiran lain yang
commit to user 62
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dimiliki oleh Belanda pada waktu itu, mereka ingin menjadikan Bali sebagai museum Hindu. Namun pada tahun 1929, Pemerintah Belanda kembali membuka pekabaran Injil di Bali khususnya CMA dari Amerika. Rombongan tersebut dipimpin oleh Pdt. Tsang To Hang yang mempunyai ajaran yang sangat radikal. Pemahaman yang diberikan adalah bahwa seseorang yang masuk agama Kristen harus menghancurkan budaya. Hal ini membuat keresahan. Dan kerja pekabaran Injil tidak dapat di stop. Injil mulai masuk dari pembantu-pembantu. Hingga pada akhirnya pada 30 November 1931 dibabtislah 12 orang Bali Di Denpasar, tepatnya di sungai Yeh Poh. (Yeh artinya air). Tsang To Hang bekerja atas pimpinan Roh Kudus dan bersemangat masuk ke desa-desa di sekitar Badung. Dia bekerja dengan radikal dan menolak semua budaya yang dianggap kair, penyembahan berhala dan pembakaran mayat orang Kristen yang baru percaya itu menghancurkan sanggah mereka (family temple). Akibatnya terjadi ketegangan dan kekacauan dimana saja orang Kristen mulai tumbuh. Orang Kristen baru ini menjadi asing di desanya, tidak mau ikut dalam suka duka, memakai celana pendek atau celana panjang padahal orang Bali memakai kamben. Ketegangan bertambah dan orang Kristen diasingkan, tidak boleh berbicara dengan orang Kristen, tidak boleh berbelanja di warung orang Kristen, sawah mereka tidak boleh mendapat air karena air sawah oleh orang Hindu dipercayai dari Dewi Sri. Sawah menjadi kering, rumah mereka dilempari, gedung gereja dibakar, isi lumbung mereka dijarah, orang Kristen tidak
commit to user 63
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
diperbolehkan menguburkan mayat di kuburan desa, karena dianggap menajiskan. Orang Kristen yang baru ini mengalami banyak kesulitan dan kesengsaraan. Sebaliknya orang Kristen baru ini menghadapi hambatan tersebut dengan sukacita dan iman yang kuat. Mereka saling mengunjungi, dan saling menolong. Berjalan kaki ke desa dimana orang Kristen mulai tumbuh. Dalam kesulitan tersebut, mereka percaya Tuhan pasti memberi pertolongan. Kekacauan terjadi dimana-mana, Untal-untal, Buduk, Abianbase, Plambingan, Sading, Carang Sari, Bongan, Buleleng, dsb. Kekristenan tumbuh dari masyarakat bawah yang miskin dan klepekan, yang bekerja sebagai penggarap. Tidak ubahnya seperti budak Israel di Mesir. Karena itulah ada kerinduan dari umat Kristen mendapatkan tanah untuk hidup mereka. Dari sudut pandang Pemerintah Belanda, kekacauan yang muncul akibat Kekristenan dapat membawa malapetaka yang lebih besar. Karena itulah, Pemerintah Belanda mempunyai keinginan untuk memindahkan orang Kristen. Keputusan ini jauh dari masyarakat umum dengan maksud memberhentikan perkembangan agama Kristen, di pihak lain, kalaupun mereka hidup, biarlah mereka hidup di tempat terasing. Di Denpasar pada waktu itu bertugas asisten Yansen sebagai perwakilan pemerintah Belanda. Beliau merestui rencana perpindahan tersebut karena beliau juga orang Kristen. Orang Kristen tetap berdoa dan berusaha agar Tuhan membuka jalan untuk memperoleh tanah yang baru.
commit to user 64
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sebuah tim yang terdiri dari Made Sela, Made Rungu, dan Nyoman Regig berangkat untuk memeriksa tanah. Mereka sempat memeriksa tanah di sebelah Timur Gumrih dan hutan sebelah utara Melaya. Setelah berunding tim memutuskan memilih hutan Melaya yang sekarang bernama Blimbingsari. Sebelumnya beberapa kelompok telah berusaha membuka hutan yang penuh dengan nyamuk Malaria, binatang buas tetapi selalu gagal. Dengan persetujuan Regent Jembrana dan Sedan Agung, orang Kristen berhasil membuka desa dan pertanian yang sangat subur. Untuk persiapan kedatangan orang Kristen dari berbagai desa ke hutan ini, pemerintah telah menugaskan bogolan untuk membangun sebuah barak di dekat tibuan buaya yang sekarang disebut Dam Eka Santosa. Orang Kristen lalu datang pada tanggal 30 September 1939 dan menempati barak yang telah dipersiapkan. Perpindahan berlangsung pada tahun 1939. Menurut cerita orang tua yang masih hidup, mereka mengatakan bahwa mereka sudah dapat merayakan paskah bersama keluarga mereka pada tahun 1940. Angkatan pertama yang membuka hutan tidur barak. Mereka mulai pekerjaan dengan berdoa di pagi dan mengakhiri pekerjaan mereka sore hari dengan ibadah suryane sampun surup. Mereka bersukacita menggarap lahan yang telah diberi oleh Tuhan, seperti orang Israel keluar dari Mesir menerima tanah perjanjian Kanaan, yang penuh dengan susu dan madu. Mereka membangun desa sesuai dengan budaya Bali yaitu nyegara gunung berbentuk salib. Gunung di utara, laut di selatan. Desa di tengah hutan ini membuat kaget orang yang terbang
commit to user 65
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
melintasi daerah ini, karena mereka melihat salib besar di tengah hutan. Hal ini banyak dilaporkan dalam sejarah. Pembagian tanah dilakukan dengan cara lotere, masing-masing mendapat 2 hektar tanah termasuk 20 are pekarangan, sedangkan untuk kelian dan pemimpin rohani diberikan tempat yang sentral. Desa ini disebut Blimbingsari karena sebelum dirabas wilayah ini dipenuhi dengan pohon belimbing yang berbunga tetapi tidak berbuah. Saudara-saudara yang ikut dalam rombongan pertama adalah mereka yang membayar pajak tanah di Blimbingsari sedangkan yang belakangan membeli lahan di sebelah selatan desa Blimbingsari, dan membayar pajak ke Melaya. Rombongan dipimpin oleh Made Sela (pekak War) yang bertindak selaku Klian. Dan pemimpin rohani mereka adalah penginjil Made Cadug (Gurun Luh Sudarmi). Kemudian setelah mengikuti pendidikan teologia di Pesraman Denpasar, I Made Rungu bersama keluarganya datang untuk melayani menggantikan penginjil Made Cadug menempati rumah jemaat di selatan tenggara SD sekarang. Pada tahun 1943 Made Rungu pelayan kedua setelah Made Cadug dan sebagai Pendeta pertama melayani jemaat Blimbingsari. Blimbingsari berkembang begitu pesat. Pendatang-pendatang baru seperti dari Madangan dan keluarga lainnya menyusul. Blimbingsari dikembangkan ke Ambyarsari, Melaya, Negara, dan Gilimanuk. Penyebaran yang besar terjadi menuju Parigi (pantai timur Sulawesi Tengah).
commit to user 66
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Masyarakat membangun Blimbingsari dengan luar biasa, jalan-jalan diatur dengan baik dan luas sampai ke kebun-kebun. Awalnya mereka menanam palawija sehingga mereka dapat membantu keluarga-keluarga di asal mereka. Pada tahun 1947, mereka merasakan pendidikan sangat mendesak, lalu membangun SDK Maranatha. Ini merupakan sekolah swasta pertama di Bali. Orang Kristen mempunyai pemahaman yang sangat baik dan mengirim anak-anak mereka bersekolah sampai Perguruan Tinggi. Di bidang pendidikan Blimbingsari mendapat rekor paling tinggi di kecamatan Melaya. Beberapa kali dipakai sebagai teladan di Bali, di dalam bidang pembangunan, ekonomi, KB, dan lain-lain. B. Kondisi Masyarakat Blimbingsari Kini B.1. Organisasi Sosial Blimbingsari adalah sebuah kelurahan atau desa yang mempunyai luas 430 Ha yang terletak di Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembarana. Bali Barat. Batasbatas wilayah Blimbingsari sebagai berikut: 1. Sebelah utara
: Hutan Negara
2. Sebelah timur
: Desa Ekasari, Kecamatan Melaya
3. Sebelah selatan
: Desa Melaya, Kecamatan Melaya
4. Sebelah barat
: Hutan Negara
Blimbingsari merupakan kelurahan yang terdiri dari dua banjar atau dusun Blimbingsari dan Ambyarsari. Namun dalam penelitian ini akan dikhususkan pada banjar Blimbingsari, karena Ambyarsari pada dasarnya merupakan perluasan dari
commit to user 67
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Blimbingsari. Berdasarkan data Desa Blimbingsari, pada tahun 2010, Dusun Blimbingsari mempunyai total penduduk 200 orang dengan komposisi 177 lakilaki dan 23 perempuan. Dan menurut agama yang dianut, dari keseluruhan jumlah penduduk hanya 1 orang saja yang menganut agama Katolik. Organisasi Sosial di Bali pada dasarnya terdiri dari 2 struktur yaitu Pemerintahan Dinas dan Pemerintahan Adat. Pemerintahan Dinas dipimpin oleh Perbekel
(Kepala
Kelurahan)
berkaitan
dengan
masalah
kependudukan
masyarakat, permasalahan ekonomi, pembangunan dan perkembangan desa. Sementara untuk Pemerintahan adat dipimpin oleh Bendesa Adat, dimana mengurusi masalah-masalah adat. Pada masyarakat Bali, adat terkait dengan kepercayaan yang dianut yaitu Hindu, oleh sebab itu adat di Bali sangat identik dengan upacara-upacara keagamaan Hindu. Di Blimbingsari, sebelum menjadi desa adat Kristen, permasalahan adat diatur oleh Gereja. Berikut ini pembagian dua pemerintahan di Blimbingsari: 1. Pemerintahan Dinas Berdasarkan wawancara dengan Perbekel (kepala desa) Blimbingsari, di Kelurahan Blimbingsari terdapat 2 sistem pemerintahan, yang terdiri dari pemerintahan dinas dan desa adat Bali. Pemerintahan Dinas dipimpin oleh perbekel. Sejak tahun 1939 hingga sekarang Desa Blimbingsari mempunyai 11 Perbekel. Dan saat peneliti mengadakan penelitian, I Made John Ronny adalah Perbekel yang sedang menjabat. Berikut ini adalah struktur pemerintahan desa Blimbingsari. Tugas dari Pemerintahan Dinas adalah mengatur masalah
commit to user 68
perpustakaan.uns.ac.id
kependudukan
digilib.uns.ac.id
seperti
pembuatan
KTP
dan
hal-hal
yang
bersifat
kewarganegaraan. 2. Desa Adat Kristen Blimbingsari Sejak tahun 2010 Blimbingsari mencoba mengupayakan desa ini menjadi desa adat atau di Bali dikenal sebagai desa pakraman. Pada awalnya ide ini ditentang karena syarat dari pembentukan desa pekraman Bali adalah adanya Kayangan Tiga terdiri dari Pura Desa, Pura Pasek dan Pura Dalam. Pura Desa adalah Pura yang digunakan untuk tempat pemujaan terhadap Dewa dalam wilayah tersebut. Pura Pasek adalah Pura yang digunakan sebagai pusat wilayah untuk kegiatan-kegiatan sosial. Dalam hal ini yang berkaitan dengan permasalahan ekonomi wilayah tersebut. Dan Pura Dalam adalah tempat pemujaan untuk orang-orang meninggal. Pertentangan pembentukan desa adat Blimbingsari juga ditentang keras oleh beberapa pendahulu, hal tersebut karena pada umumnya adat Bali selalu diidentikkan dengan Hindu. Sementara Kristen mempunyai adat sendiri yang secara keyakinan bertentangan dengan Hindu. Pola masyarakat di Bali senantiasa terkait dengan Hindu, bukan hanya masalah fisik yang terlihat, namun juga masalah rohani. Namun dalam perkembanganya beberapa tokoh masyarakat sepakat untuk membentuk desa adat. Rencana untuk membuat sebuah desa pekraman dimulai dengan adanya pertemuan warga desa untuk mencapai kesepakatan. Warga dikumpulkan di gereja untuk bermusyawarah tentang hal tersebut. Setidaknya terdapat tiga kali
commit to user 69
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sosialisasi tentang rencana pembentukan desa pekraman tersebut. Langkah berikutnya adalah pembentukan tim yang khusus untuk membentuk awig-awig desa pekraman. Tim formatur tersebut terdiri dari 9 orang yang dipilih yaitu: Pdt. I Ketut Suyaga Ayub, I Made John Ronny, 2 Klian Banjar, Ketua BPD (Yohanes Oka Mona), dan beberapa tokoh seperti Suparno, I Nyoman Muspo, I Ketut Sukarya. Terdapat sedikit perdebatan dalam pembuatan awig-awig desa adat Kristen Bali, sehingga menyebabkan anggota tim yang keluar dari presidium. B.2. Enjungan Sistem kemasyarakatan di Dusun Blimbingsari terdiri dari 6 enjungan yang berada di bawah kepengurusan Kelian Dinas. Enjungan adalah sistem pengelompokan untuk memudahkan koordinasi di masyarakat. Enam enjungan tersebut yaitu, enjungan kangin (timur), enjungan tengah, enjungan kelod (utara), enjungan kaja (barat), enjungan kauh (selatan), dan enjungan kelod kauh. Mereka mempunyai bale enjungan yang digunakan sebagai tempat masyarakat berkumpul dan melakukan koordinasi. Masing-masing enjungan memiliki kepengurusan yang berbeda, termasuk pembedaan kepengurusan kelompok bapak-bapak dan ibu-ibu. Mereka mempunyai aturan yang disepakati
bersama
enjungan.
Aturan
yang tersebut
disebut
awig-awig
digunakan
untuk
mengatur sistem kekerabatan yang ada di masing-masing wilayah. Kegiatan yang
commit to user 70
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dilakukan dalam enjungan terdiri atas dua macam kegiatan yaitu kegiatan rutin dan tidak rutin. Kegiatan rutin adalah urusan simpan pinjam yang telah ditentukan waktunya setiap bulan. Sementara kegiatan non rutin dilakukan jika ada beberapa kegiatan berkaitan dengan himbauan dari pemerintah dinas atau gereja. Contohnya kegiatan kerja bakti, atau ada anggota masyarakat yang meninggal atau mempunyai hajatan perkawinan. B.3. Suka Duka Suka duka adalah sistem kekerabatan yang diterapkan oleh masyarakat Blimbingsari. Mereka meyakini bahwa sebagai anggota masyarakat mereka harus terlibat suka dan duka atas apa yang terjadi dengan anggota yang lain. Sistem kekerabatan suka duka berkaitan dengan kerja adat dan pembagian enjungan. Hasil kesepakatan bersama sejak nenek moyang Blimbingsari mereka bagi sistem suka duka dengan berpasang-pasangan. Enjungan kauh berpasangan dengan enjungan kaja, Enjungan Kangin berpasangan dengan enjungan tengah, sementara enjungan kelod berpasangan dengan kelod kauh. Namun karena sempat terjadi perselisihan antara enjungan kelod dan enjungan kelod kauh, kini mereka berjalan sendiri sendiri. (Hasil wawancara dengan I Wayan Majus (Penatua), 17 Agustus 2011, Pk. 09.36 WITA) B.4. Sistem Mata Pencaharian Hidup Berdasarkan data kependudukan Desa Blimbingsari tahun 2010, mata pencaharian yang terbanyak penduduk adalah Petani, dengan jumlah 60 orang. Dan yang lain mempunyai pekerjaan sebagai pegawai swasta 57 orang, PNS 19
commit to user 71
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
orang, Wiraswasta 28 orang, dan Buruh 36 orang. Jumlah KK Miskin atau Gakin tercatat hanya 1 KK dari 200 KK yang masuk dalam daftar keluarga miskin. Berikut ini merupakan gambaran kehidupan masyarakat Blimbingsari. Pada permulaan perpindahan warga menuju dusun Blimbingsari, sesuai dengan pembagian jatah, setiap warga mendapat 2hektar tanah dan 20 are untuk rumah. Lahan itulah yang menyebabkan hampir seluruh warga desa, walaupun mempunyai pekerjaan yang lain tetap juga mempunyai lahan untuk bertani. Hasil pertanian yang pernah dihasilkan
oleh
wargapun
beragam. Pada mulanya warga berupaya
bersawah
dengan
menanam
padi.
Namun
kurangnya air maka banyak warga yang beralih mengolah tanah dengan berkebun. Berkebun dipilih warga karena tanah tidak terlalu banyak membutuhkan air, dan tidak harus setiap hari untuk mengurus tanah. Hasil kebun pun berubah-ubah sesuai tren yang ada. Warga pernah mencoba beberapa kali jenis tanaman, seperti vanili, coklat, dan macam-macam. Namun hasil kebun yang hingga kini masih bertahan dan mampu menjadi penghasilan bagi masyarakat adalah kelapa. Kelapa merupakan jenis tanaman yang paling banyak diminati warga. Beberapa warga mempunyai usaha untuk mengirim kelapa yang telah dikupas ke
commit to user 72
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Jawa, biasanya Jawa Timur. Selain itu, usaha kelapa juga member peluang bagi warga yang lain yang tidak mempunyai kebun (biasanya warga pendatang atau anak-anak dari generasi pertama). Jenis pekerjaan yang pertama adalah panjat pohon untuk memanen kelapa yang sudah masak. Untuk memanen kelapa dibutuhkan sekelompok orang yang memanjat. Satu pohon kelapa biasa dihargai Rp. 1200,00. Sekali memanjat pohon dan memanen kelapa hanya dibutuhkan tidak lebih dari 10 menit. Jenis
pekerjaan
yang
kedua adalah mengusung kelapa dari tempat dia jatuh dibawa menuju tempat pengepul. Biasanya dilakukan ibu-ibu. Sekali angkat di atas kepala mereka biasanya mampu mampu mengusung 20 kelapa. Pekerjaan
lain
berkenaan
yang
dengan
dilakukan kelapa
warga adalah
menyumbat. Menyumbat adalah pekerjaan mengupas kelapa, memisahkan kelapa dari kulitnya sehingga terlihat batoknya. Jenis pekerjaan ini dilakukan pria dan wanita. Satu kelapa dihargai Rp. 60,00. Biasanya dalam 1 hari penyumbat menghasilkan 1000 kelapa.
commit to user 73
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Warga yang memilih usaha kelapa merasa bahwa berbisnis kelapa menguntungkan karena hampir semua bagiannya dapat diolah. Selain buah kelapa itu sendiri, sabut kelapa dapat dijual sebagai bahan bakar pembuatan bata. Kelapa yang rusak pada waktu disumbat atau mempunyai kualitas yang
tidak
baik
dapat
diolah
menjadi kopra. Selain bertani, beberapa warga bermata pencaharian ternak. Hewan yang paling banyak diternak adalah babi. Di Bali, babi merupakan
daging
yang
banyak
dikonsumi, dapat diamati hampir sebagian warung makan Bali menjual olahan daging babi sebagai menunya. Pada upacara adat, baik Hindu ataupun Kristen, babi adalah bagian dari menu yang hampir selalu tersedia. B.5. Sistem Komunikasi Masyarakat Blimbingsari Kentongan atau Kulkul Di kalangan umat Hindu
Bali pada umumnya,
kentongan tidaklah begitu asing, karena setiap organisasi kemasyarakatan yang bersifat sosial memiliki kentongan
commit to user 74
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
atau di Bali dikenal dengan kulkul, baik itu kentongan besar maupun kecil. (H. ahmad Yunus, dkk, 1994:24). Pada masyarakat Blimbingsari, komunikasi antar enjungan atau kelompok-kelompok di desa juga menggunakan kulkul. Setiap enjungan pada dasarnya memiliki kentongan untuk memanggil warga atau mengingatkan mereka mengikuti kegiatan yang telah disepakati bersama. Sesuai kesepakatan bersama kentongan akan berbunyi satu jam sebelum kegiatan dimulai. Dalam ajaran agama Hindu dalam proses pembuatan kentongan dari mencari bahan sampai proses pembuatan kentongan dari mencari bahan sampai proses pembuatannya selalu mencari hari baik (dewasa) yang baik dengan tujuan agar masyarakat pendukungnya betul-betul dapat menjaga keunikan fungsi kentongan itu, sebagaimana yang dapat dilihat bersama bahwa setiap banjar/enjungan dan organisasi yang lain di Bali memiliki kentongan. (H. Ahmad Yunus, dkk, 1994:24). Namun tidak demikian dengan warga Blimbingsari, mereka hanya menganggap kulkul sebagai alat komunikasi biasa sehingga tidak terkait dengan kepercayaan mereka. Pada dasarnya suara kentongan adalah sangat menentukan gerak dan langkah bagi masyarakat pendukungnya. Karena kentongan merupakan alat komunikasi tradisional antara sesame masyarakat terutama umat Hidup di Bali dalam keadaan aman dan lebih-lebih lagi dalam menghadapi bahaya. (H. Ahmad Yunus, dkk, 1994: 31). Demikian pula dalam masyarakat
commit to user
75
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Blimbingsari. Bunyi 3 kali secara lambat maka menandakan ada warga yang meninggal. Jika bunyi 3 kali dan diikuti pukulan secara cepat maka dapat diartikan sebagai peringatan bahwa satu jam lagi warga wajib berkumpul di enjungan. Selain kulkul, alat komunikasi masyarakat Blimbingsari adalah juru arah. Juru arah adalah orang yang ditunjuk untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat. Biasanya juru arah akan memberitakan informasi-informasi yang mendadak, bukan informasi yang rutin. Mereka akan datang ke setiap rumah warga dan memberitakan suatu informasi. B.6. Adat Istiadat Blimbingsari B.6.1. Prosesi perkawinan di Blimbingsari Prosesi perkawinan masyarakat Blimbingsari secara adat sealur dengan perkawinan orang Bali pada umumnya. Ada beberapa prosesi dari perkenalan, peminangan, hingga perkawinan yang dijalankan. Berikut ini ritual yang biasa dilakukan oleh masyarakat Bali pada umumnya. a. Perkenalan Masyarakat Bali yang sudah serius berpacaran dan akan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi yaitu pernikahan, diawali dengan perkenalan antar keluarga. Biasanya pihak laki-laki akan datang ke rumah pihak perempuan untuk memperkenalkan diri dan mengenal keluarga perempuan. Dalam acara perkenalan tersebut biasanya membicarakan
commit to user 76
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kapan akan dilakukan peminangan. Acara tersebut dihadiri oleh keluarga besar dari pihak laki-laki. b. Peminangan Peminangan biasanya dilakukan 3 bulan sebelum perkawinan dilakukan. Dalam peminangan terdapat beberapa sarana yang wajib dibawa oleh pihak laki-laki dan diserahkan pihak perempuan. Sarana itu disebut “sesajen”. Sesajen berisi beberapa perlengkapan sebagai berikut: Makanan. Makanan terdiri dari nasi, Ikan sate lilit (biasanya terbuat dari babi), jumlahnya biasanya menyesuaikan dengan jumlah keluarga perempuan. 1. Jajan yang terdiri dari: (a) Satu mangkok putih dan satu mangkok merah. Kedua jajan ini terbuat ketan. Namun
perbedaannya,
jajan
yang
mangkok merah diberi gula merah. Arti dari dua makanan tersebut adalah lengket menjadi satu. (2) Batu bedildau. Batu bedildau terbuat dari ketan dimana di dalamnya diberi gula merah dan berbentuk bulat. Makanan ini bermakna bahwa pihak laki-laki bermaksud meminang seorang perawan. 2. Tipat Bantal Tipat bantal kalau di Jawa dikenal dengan nama ketupat. Jumlah yang dibawa biasanya 36 biji. Hitungan tersebut diambil dari 3 kelan,
commit to user 77
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dimana 1 kelan berisi 12 biji ketupat. Makanan ini digunakan sebagai penanda bahwa pihak laki-laki mengenal keluarga perempuan. 3. Runtutan. Isi dari runtutan adalah tebu dan dua kelapa. Tebu mempunyai makna manis. Diharapkan dalam perkawinan mereka akan hidup bahagia. Tebu juga merupakan tanaman yang terus bertunas, maka artinya pasangan tersebut akan mempunyai keturunan/dapat beranak. Selain tebu, dua kelapa dimaksudkan bahwa kelapa adalah tanaman jangka panjang. Simbol ini menandakan pasangan akan dapat menjamin kehidupan dalam jangka panjang. Sesajen Pakaian sebagai Hantaran Selain makanan, sesajen yang dibawa ke rumah perempuan dalam peminangan adalah pakaian. Pakaian tersebut adalah pakaian lengkap. Dari pakaian atas yang sudah jadi, kamben, sabuk, stagen, hingga alatalat make up yang diperlukan perempuan. Pakaian lengkap tersebut disebut “besaluk”. Besaluk adalah pakaian “pebegat” atau pakaian pemutus. Pakaian ini merupakan tanda bahwa anak perempuan keluarga tersebut akan diambil oleh keluarga anak laki-laki. Maka dalam adat Bali, jika dalam tempo dekat ada yang cerai, besaluk biasanya diminta kembali. Runtutan kegiatan. Dalam meminang, hal yang dikerjakan adalah pembicaraan bahwa pihak laki-laki akan meminang perempuan. Bahasa yang digunakan selama prosesi berlangsung
commit to user 78
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
adalah bahasa Bali alus. Pakaian yang dikenakan juga pakaian adat Bali. Biasanya pihak laki-laki akan duduk berhadap-hadapan dengan pihak perempuan. Proses pembicaraan dipimpin oleh seseorang (biasanya wakil keluarga laki-laki) berhadapan dengan seseorang wakil keluarga perempuan. Upacara peminangan diikuti segenap keluarga, klian adat/bendesa adat, klian dinas dan juga saksi (masing-masing 1 orang). Apabila diterima dan sepakat maka keluarga akan memutuskan mengadakan perkawinan. Selama menunggu sampai hari H perkawinan, kedua mempelai dilarang untuk bertemu. Apabila ada hal-hal yang terpaksa harus menuntut mereka bertemu, masing-masing mempelai harus meminta izin kepada saksi. Dalam proses peminangan tersebut enjungan yang warganya mempunyai hajatan dan enjungan rekanan ikut membantu untuk mengurus upacara yang ada. Perkawinan adat Bali berbeda dengan perkawinan di Jawa. Sistem patrilineal mereka membuat aturan bahwa yang mempunyai kerja dalam perkawinan adalah pihak laki-laki. Di Jawa pihak perempuan yang punya kerja. Persiapan upacara perkawinan biasanya dilakukan satu minggu sebelum hari H. Dalam pertemuan tersebut biasanya ditentukan tingkatan upacara yang akan dijalankan. Di Bali pada umumnya upacara perkawinan dibagi dalam 3 tingkatan, nista, madya, dan utama. Hal yang mencolok dari 3 pernikahan adalah jumlah sate yang diberikan kepada masyarakat, apabila nista 3 tusuk sate, madya 5 tusuk sate, dan utama 11 tusuk
commit to user 79
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sate. Dalam rapat tersebut biasanya di data berapa jumlah warga enjungan yang dimana mempelai berada dan jumlah warga enjungan rekanan mereka. Jumlah keluarga, dan juga jumlah tamu undangan yang diperkirakan hadir. Jumlah tersebut akan menentukan berapa banyak nasi dan sate yang akan dibuat. Menanak nasi biasanya dibuat oleh beberapa ibu-ibu enjungan yang ditunjuk. Penyembelihan babi biasanya dilakukan satu hari sebelum hari H. Setelah disembelih, ibu-ibu dari enjungan akan bergotong-royong untuk membuat sate. Setelah matang mereka pulang. Pada jam yang ditentukan ibu-ibu yang bertugas menanak nasi biasanya akan menyetorkan nasi yang sudah matang. Dan setelah menyerahkan mereka akan dibalas dengan sejumlah upah berupa sate. Warga yang sudah pulang kemudian akan datang kembali sambil membawa nasi satu bakul. Nasi tersebut kemudian diserahkan kepada warga enjungan yang bertugas, separuh diambil dan separuh dibawa pulang lagi dengan diberi tambahan sate. Jumlah pemberian sesuai dengan tingkatan dan juga jumlah nasi yang diberikan. Selain itu, di Blimbingsari, majelis gereja juga mendapat sate lengkap, khusus dikirimkan ke masing-masing rumah mereka. Pemberian hantaran tersebut disebut “jotan”. B.6.2. Prosesi Kematian di Blimbingsari Pada saat tinggal di Blimbingsari, peneliti mendapati salah satu warga Blimbingsari (Hozia) yang meninggal dunia. Hari duka tersebut jatuh pada Rabu, 17 Agustus 2011. Rumah keluarga yang berduka terletak di wilayah Kauh (barat), maka sesuai dengan kesepakatan desa, enjungan yang menjadi partner adalah enjungan kaja (utara). Kesepakatan Banjar Blimbingsari wilayah kaja berpartner
commit to user 80
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dalam suka duka dengan wilayah kauh. Kangin dengan Tengah. Sementara kelod dan kelod kauh masing-masing. Berdasarkan cerita dari penduduk setempat kelod dan kelod kauh berjalan sendiri-sendiri dalam suka duka karena pada zaman dulu jika dalam pembuatan lubang kubur biasanya salah satu dari mereka membuat terlalu kecil sehingga itu menjadi masalah pada waktu pemakaman. Prosesi pada Upacara Kematian Pada waktu ada berita meninggal yang dilakukan pertama adalah warga akan melapor pada klian dinas. Klian dinas kemudian memukul kukul di Niti Graha sebanyak 3 kali sebagai tanda bahwa ada warga yang meninggal. Kemudian juru arah enjungan kauh memukul kentongan mereka sebanyak tiga kali sebagai tanda bahwa yang meninggal berasal dari enjungan kauh. Warga dari desa kaja dan kauh langsung menuju rumah duka untuk membantu mempersiapkan prosesi kematian. 1. Ibadah/Kebaktian Penghiburan Kebaktian dimulai pukul 19.00 ini dihadiri oleh semua warga banjar Blimbingsari. Warga yang datang biasanya akan membawa beras, gula, dan sekarang ditambah mie atau makanan lainnya untuk dibawa dan diserahkan kepada
keluarga.
Untuk
mengikuti
kebaktian
penghiburan,
warga
menggunakan baju adat terutama keluarga yang berduka. Persiapan dan gotong rotong dilakukan oleh warga enjungan kaja dan kauh. Untuk ibu-ibu sibuk untuk memasak hidangan kebaktian penghiburan. Sementara bapak-bapak membuat peti dan mempersiapkan untuk upacara pemakaman. Pada malam hari bapak-bapak dari enjungan setempat akan melakukan magebagan atau tidak tidur hingga pagi, biasanya sampai pukul 05.00. Ibu-ibu selain memasa untuk kebaktian penghiburan juga menyediakan untuk hidangan bagi yang magebagan. 2. Keesokan harinya tanggal 18 Agustus 2011, pukul 06.00 kukul berbunyai menandakan persiapan satu jam kedepan akan ada gotong royong membuat lubang kubur. Bapak-bapak dari enjungan partner (kaja) pukul 07.00 berkumpul di tempat pemakaman dan mulai membuat lubang. Sementara itu,
commit to user 81
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ibu-ibu kembali berkumpul dari pukul 09.00 untuk mempersiapkan makanan dan segala sesuai yang dibutuhkan seperti bunga, dan lain-lain. Pukul 16.00 semua warga Blimbingsari datang untuk upacara pemakaman atau dalam bahasa Bali disebut majengukan. Upacara tersebut berupa kebaktian yang dipimpin pendeta. Kebaktian diadakan di rumah keluarga duka kurang lebih satu jam. Pada waktu menghadiri upacara ini warga Blimbingsari menggunakan baju adat dengan warna putih. Warna ini disepakati warga sebagai penanda bahwa kematian itu bukan sesuatu yang mengerikan namun sebuah suka cita karena kembali kepada Tuhan. Setelah kebaktian selesai diadakan maka warga bersama-sama berjalan ke kuburan dipimpinoleh pendeta. Arak-arakan ini terdiri dari seseorang yang membawa kayu salib, pengusungan peti jenazah dan juga anak-anak yang membawa rangkaian bunga yang diberikan. 3. Ketika sampai di kuburan maka jenazah akan dikuburkan di makam yang telah digali dan dilanjutkan dengan kebaktian penutup. 4. Pada malam harinya sekitar pukul 19.00 diadakan kebaktian ucapan syukur yang dihadiri oleh beberapa warga Blimbingsari. Dan dilanjutkan dengan magebagan sampai pukul 24.00.
C. Sosial Kemasyarakatan Penduduk Pulau Bali Bali menerapkan pembagian struktur masyarakat yang bersifat otonom dalam desa pekraman. Desa pekraman dapat diartikan sebagai desa adat Hindu. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bendesa Adat Ekasari, 26 Aguatus 2011, pk. 09.13 WITA, Hirarki struktur desa pekraman di Bali sebagai berikut:
PHDI (Tingkat Pusat) commit to user 82 Majelis Agung (Tingkat Propinsi)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Desa Pekraman dipimpin oleh seorang Bendesa Adat. Sementara gabungan dari bendesa adat dari Majelis Alit sampai PHDI akan mengurus permasalahanpermasalahan adat dari tingkat kecamatan hingga pusat. Panduan dalam menjalankan sistem tersebut adalah aturan atau awig-awig desa pekraman. Dalam pelaksanaannya PHDI mempunyai awig-awig yang dapat digunakan sebagai landasan dalam membuat awig-awig desa pekraman. Atau dapat dikatakan bahwa ada beberapa aturan umum yang dilaksanakan oleh desa pekraman di seluruh Bali, namun hak otonom diberikan kepada desa pekraman untuk membuat awig-awig di masing-masing wilayah mereka. Ekasari adalah sebuah desa pekraman di timur Blimbingsari yang mempunyai penduduk dengan keyakinan yang beragam, yaitu Hindu, Kristen, dan Islam. Bendesa adat Ekasari secara pribadi setuju dengan adanya otonomi tersebut, karena masyarakat lebih tahu kondisi atau kebutuhan masing-masing
commit to user 83
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
desa. Namun di sisi lain, diakui bahwa sistem otonomi itu rawan dengan konflik. Hal itu terjadi karena adanya perbedaan pandangan dan perbedaan aturan di masing-masing wilayah. Syarat sebuah desa dapat disebut sebagai desa pekraman apabila dia mempunyai Kahyangan Tiga dan jumlah warga minimal 500KK. Kayangan Tiga terdiri dari Pura Desa, Pura Pasek dan Pura Dalam. Pura Desa adalah Pura yang digunakan untuk tempat pemujaan terhadap Dewa dalam wilayah tersebut. Pura Pasek adalah Pura yang digunakan sebagai pusat wilayah untuk kegiatan-kegiatan sosial. Dalam hal ini yang berkaitan dengan permasalahan ekonomi wilayah tersebut. Dan Pura Dalam adalah tempat pemujaan untuk orang-orang meninggal. Syarat utama untuk membangun desa pekraman adalah keharusan 3 item tersebut. I Wayan Winara mengungkapkan, “Desa pekraman sangat identik dengan agama Hindu. Hal tersebut karena segala permasalahan yang diurus oleh desa adat senantiasa berkaitan dengan Hindu. Terlebih lagi, untuk menjadi desa pekraman harus mempunyai Kahyangan Tiga.” “Di Bali terdapat wacana bahwa apabila seseorang yang tidak masuk sebagai anggota desa pekramana maka dia dianggap hanya menumpang saja. Awig-awig desa Ekasari mengatur jika dalam 1x24 jam ada warga dari luar yang berada di desa pekraman dia wajib melapor, dan jika lebih dari 1 tahun maka dia harus memenuhi kewajiban dia khususnya dalam hal urunan sebagai warga desa pekraman Ekasari.”
commit to user 84
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dalam aktivitasnya desa pekraman dipimpin oleh seorang bendesa adat dengan struktur organisasi sebagai berikut: Bendesa Adat
Sekretaris
Bendahara
Prahyangan
Pemangku
Pawongan
Sonteng
Klian Adat
Palemahan
Klian
Bendesa adat adalah pemimpin dalam desa pekraman. Bendesa adat mempunyai masa kerja 5 tahun setiap periodenya dan disahkan oleh Majelis Madya dengan memberikan patro pengeling-eling atau Surat keputusan (SK). Pemerintah Bali pun memberikan sarana transportasi, nafkah dan operasional bagi Bendesa Adat yang telah disahkan. Dalam desa pekraman posisi Bendesa Adat sejajar dengan Perbekel, sehingga dapat dikatakan bahwa dalam desa pekraman terdapat dua struktur organisasi yang mengatur interaksi sosial dalam masyarakat. Dua organisasi tersebut mempunyai peranan yang berbeda, Perbekel bertanggung jawab atas permasalahan pemerintahan seperti kependudukan, administrasi kepemerintahan, KTP, dll. Sementara Bendesa Adat bertanggung jawab terhadap permasalahan
commit to user 85
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang terkait dengan seni, budaya dan agama. Seni adalah segala sesuatu menyangkut kreatifitas baik bersifat keagamaan atau bukan keagamaan. Contoh, dalam prosesi Dewayadna maka terdapat beberapa tarian yang bersifat sakral dan wajib ditarikan oleh karma Bali. Di Bali antar wilayah mempunyai seni yang berbeda. Budaya dan agama adalah tuntunan kebiasaan masyarakat. Bendesa adat juga melayani upacara dan upakara Hindu di desa pekraman. Dalam menjalankan peranannya Bendesa adat dibantu oleh sekretaris, bendahara, dan membawahi seksi-seksi seperti Prahyangan, Pawongan, dan Palemahan. Prahyangan adalah bagian yang mengatur tempat suci, dalam hal ini adalah Pura. Setiap Pura akan dipimpin oleh Pemangku Pura. Pemangku akan membimbing permasalahan yang berhubungan dengan Tuhan atau diistilahkan dengan Dewayadna. Sementara dalam urusan-urusan agama yang terkait dengan hubungan dengan manusia yang lain atau disebut “manusayadna” akan dibawahi oleh “sonteng”. Upacara yang termasuk “manusayadna” adalah upacara “masangi” yaitu upacara potong gigi yang biasanya dilaksanakan pada waktu pernikahan. Upacara potong gigi adalah upacara wajib bagi umat Hindu yang bermakna penghapusan “sadirpu”atau sifat keangkaramurkaan. Selain “masangi” upacara yang lain adalah upacara “nyamutin”, yaitu upacara yang dilakukan pada anak yang berumur 3 bulan, upacara ini bertujuan supaya kelak anak yang dilahirkan dapat menjadi anak yang berguna.
commit to user 86
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Perkawinan dalam desa pekraman masuk dalam masalah dewayadna dan manusayadna. Dimulai dengan darmasuaka atau peminangan, kegiatan ini diwujudkan dengan kedatangan pihak keluarga laki-laki untuk melamar ke keluarga perempuan. Kemudian dilanjutkan dengan minta pelepasan kepada Dewa. Hal tersebut berkaitan dengan sanggah keluarga. Perempuan yang dipinang akan mengikuti sanggah keluarga laki-laki, sehingga dia harus mepamit kepada Dewa yang ada di Pura keluarga. Dalam konteks manusayadna, pamitan dilaksanakan karena berarti perempuan akan pindah dari pelemahan keluarganya menuju ke pelemahan keluarga laki-laki. Peranan sonteng dalam upacara ini sebagai triupasaksi atau sebagai saksi perkawinan. Bendesa adat dalam upacara juga bertindak sebagai saksi. Setelah adat dijalankan maka akan diadakan upacara keagamaan yang disebut dengan natap pabio kawenan.
commit to user 87
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Selain menangani manusayadna, Sonteng juga menangani masalah Pitrayadna. Pitryadna adalah masalah-masalah yang terkait dengan orang meninggal. Upacara yang biasa dilakukan adalah upacara Pangabenan dan Panyekahan. Upacara Pangabenan diartikan sebagai upacara kembalinya manusia ke asal mereka. Dan Upacara Panyekahan adalah upacara ketika atman menjadi dewa.
Dari
pangabenan
menuju
ke
upacara panyekahan dapat berselang, diseseuaikan
dengan
kemampuan.
Contohnya seperti pada upacara yang dilakukan di desa Ekasari ini. Gambar ini menunjukkan persiapan upacara panyekahan yang telah disepakati warganya diadakan setiap 5 tahun sekali, Mereka yang ingin melakukan upacara panyekehan akan dijadikan satu grup dan akan diadakan secara bersama. Lama upacara
pada
waktu
peneliti
melakukan
pengamatan adalah 38 hari sampai pada selesainya. Prosesi yang dijalankan meliputi: (1) pencaruan, yaitu mengatur sesajen untuk meminta restu kepada Tuhan atas upacara yang akan dilakukan, (2) Pamenakan leluhur, adalah penjemputan leluhur dari laut untuk dibuat upacara, (3) Penempatan leluhur adalah upacara kedatangan leluhur yang dibawa dari laut, dan (4) Panyekahan adalah upacara terakhir menuju ke Dewayadna.
commit to user 88
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Seksi berikutnya dalam struktur desa adat adalah Pawongan, pawongan bertugas untuk mengatur permasalahan kegiatan sosial masyarakat. Dan Palemahan berfungsi untuk mengatur tata widang atau tata ruang di desa pekraman D. Korpus Korpus adalah sebutan bagi data yang diperoleh melalui penelitian dalam kajian ini. Dalam linguistik, korpus ialah himpunan data-data mentah yang bakal digunakan untuk kajian. Contohnya adalah seperti himpunan manuskrip dan teks bertulis yang lain. (http://ms.wikipedia.org/wiki/Korpus, 12 Maret 2012). Menurut Prof. Andrik Purwasito kata “korpus” dipergunakan untuk menandai data primer dengan data sekunder. Korpus adalah data utama yang digunakan sebagai sumber analisis. Selanjutnya akan dilakukan korpusisasi atau pendataan. Tujuan korpusisasi adalah memudahkan usaha analisa yang dilakukan terhadap korpus itu sendiri. Korpusisasi dalam penelitian dilakukan dengan menyajikan beberapa data yang telah penulis bagi dalam beberapa kategori yaitu arsitektur gereja, prosesi gereja, adat istiadat yang terdiri dari perkawinan dan kematian, pakaian, dan sistem kesenian. Berikut pemaparan dari korpus tersebut: Korpus 1.
commit to user 89
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Deskripsi: Lanscape bangunan gedung gereja yang menyerupai bangunan bangunan Pura umat Hindu. Namun dapat diamati bahwa di tengah gedung gereja tersebut tampak tanda salib yang diletakkan sebagai pucuk tertinggi. Korpus 2.
Deskripsi:
commit to user 90
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gereja Pniel dibagi ke dalam 2 bagian. Bagian pertama adalah pelataran dan bagian kedua adalah tempat beribadah. Apabila masuk gereja maka selayaknya arsitektur Bali akan terlihat candi bentar. Candi bentar pada gereja Pniel adalah ciptaan arsitektur yang dikombinasikan antara budaya Bali dan Kekristenan. Korpus 3.
Deskripsi: Pekarangan pertama ketika masuk gereja melalui candi gelung terdapat pintu penghalang yang selalu ada dalam arsitektur Bali. Maka untuk masuk ke pekarangan, jemaat harus mengarah melalui sisi kanan atau sisi kiri. Korpus 4.
Deskripsi:
commit to user 91
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pada tengah pintu penghalang terdapat tulisan “Kami membangun
dan
mempersembahkan gedung gereja ini, sebagai jawaban atas berkat dan anugerah Tuhan demi kemuliaan namaNya.” Gedung gereja ini diresmikan pada 11 November 1981 oleh Gubernur Bali yang menjabat pada waktu itu, Prof. Dr. Ida Bagus Mantra. Korpus 5
Deskripsi: Sisi kiri pintu masuk tersebut terdapat gambar yang menceritakan tentang perjumpaan Tuhan dengan nabi Musa, Pniel, yang kemudian digunakan warga Blimbingsari sebagai nama gereja.
Korpus 6.
commit to user 92
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Deskripsi: Di sisi kanan pintu terdapat ukiran yang menggambarkan tentang Kanaan, sebuah daerah yang dalam cerita di perjanjian lama merupakan daerah yang dituju bangsa Israel keluar dari perbudakan Mesir. Kanaan merupakan gambaran daerah yang penuh kemakmuran, penuh dengan susu dan madu, dan makanan yang melimpah. Korpus 7.
commit to user 93
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Deskripsi: Ukiran tersebut terdapat pada sisi kiri dinding luar pelataran pertama yang bercerita tentang asal penduduk pertama Blimbingsari dari Buleleng, Plambingan, dan Abianbase yang berjalan menuju ke Alas Angker. Korpus 8.
Deskripsi: Ukiran tersebut bercerita tentang perjumpaan Allah dengan nabi Musa di gunung.
commit to user 94
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Korpus 9.
Deskripsi: Ukiran tersebut bercerita tentang penindasan bangsa Mesir terhadap bangsa Israel. Cerita tersebut menggambarkan kekejaman pemerintahan Raja Firaun. Korpus 10.
Deskripsi: Ukiran tersebut bercerita tentang Meriam adik Musa yang sedang menemui Putri Raja Firaun.
commit to user 95
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Korpus 11.
Deskripsi: Ukiran tersebut bercerita tentang Daniel yang mampu mengalahkan singa untuk menguji keimanan yang dia miliki. Sebuah cerita yang diambil dari kitab Daniel. Korpus 12.
Deskripsi: Ukiran tersebut bercerita tentang perkelahian Yakub dengan Tuhan di atas gunung
commit to user 96
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Korpus 13.
Deskripsi: Ukiran tersebut bercerita tentang Musa yang menulis Hukum Taurat di atas dua loh batu. Korpus 14.
Deskripsi: Pelataran pertama juga memuat dua bale, yaitu Bale Bengong dan Bale Kulkul. Bale Bengong dapat digunakan bagi siapa saja yang ingin menemui tamu atau
commit to user 97
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sekadar bercakap-cakap. Sementara bale kulkul adalah tempat bagi koster (penjaga gereja) untuk memukul kentongan sebagai pertanda bagi warga Blimbingsari untuk bersiap-siap mengikuti acara gereja. Biasanya dipukul satu jam sebelum kebaktian atau acara yang diadakan di gereja dimulai. Korpus 15.
Deskripsi: Selain dua bangunan tersebut, pada pelataran pertama juga terdapat bangunan menyerupai kayu yang terpotong. Benda itu menggambarkan besarnya kayu ketika generasi pertama mencoba untuk menerobos Alas Angker. Korpus 16.
commit to user 98
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Deskripsi: Pada potongan salah satu kayu tersebut ada sebuah simbol cukup menarik yaitu cap tangan warga yang merupakan generasi pertama yang ikut menerabas hutan, yaitu I Made Rentan. Sampai pada penelitian ini dilakukan, peneliti masih bertemu secara langsung dengan beliau. Di atas cap tangan terdapat kalimat yang menunjukkan bahwa Blimbingsari adalah tanah perjanjian dari Tuhan. Korpus 17.
Deskripsi: Masuk pelataran kedua ditandai dengan pintu yang berarsitektur Bali. Bangunan tersebut berundak, terbuat dari batu bata yang tersusun rapi, menyerupai Pura. Warna merah dan ukiran emas yang menghiasi pintu
identik pula dengan
asesoris-asesoris bangunan Bali. Namun perbedaan cukup mencolok pada ujung atas pintu tersebut terpasang Salib besar.
commit to user 99
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Korpus 18.
Deskripsi: Pada pintu masuk tempat ibadah terdapat ukiran salib dan dua merpati. Salib pada masyarakat beragama Kristen pada umumnya tegak lurus. Namun dapat diamati bahwa semua salib yang ada di GKPB berbentuk salib bengkok. Bagi warga Kristen Bali, mereka memahami cross/salib bukan dari kayu dimana Tuhan Yesus disalib, namun gambaran dari tubuh Yesus ketika disalib, sehingga mereka menyebutnya sebagai dancing cross. Sementara merpati melambangkan Roh Kudus yang datang menghampiri jemaat Pniel. Di bawah sabib dan Merpati terdapat tulisan PNIEL, nama gereja jemaat Blimbingsari.
commit to user 100
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Korpus 19.
Deskripsi: Terdapat dua pintu besar yang diukir menggunakan warna emas. Pada pintu yang kiri terdapat ukiran yang bercerita tentang sejarah bangsa Israel keluar dari tanah perbudakan Mesir menuju ke tanah perjanjian yaitu Kanaan. Dan di bagian sisi kanan pintu yang kiri terdapat ukiran tentang perjalanan Blimbingsari yang merasa seperti bangsa Israel, mereka keluar dari perbudakan menuju tanah perjanjian yaitu Blimbingsari. Mereka meyakini apa yang terjadi tersebut berkat dari Tuhan melalui kematian Tuhan Yesus d kayu salib. Hal tersebut tampak dari gambaran Tuhan Yesus disalib. Sementara pintu sebelah kanan memuat ukiran burung Merpati dan salib GKPB. Mereka beranggapan bahwa Roh Kudus yang digambarkan melalui merpati senantiasa akan melindungi jemaat Kristen dan pekabaran Injil di Bali.
commit to user 101
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pada pelataran kedua terdapat ruangan tempat ibadah, namun bangunan ini berbeda dengan gedung-gedung gereja pada umumnya. Gedung gereja Pniel dibuat terbuka tanpa dinding. Korpus 20.
Deskripsi: Gedung Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB) Jemaat Pniel Blimbingsari memahami bahwa Tuhan menghendaki umat memuliakanNya bersama segenap alam ciptaanNya. Oleh karena itu, gedung gereja dibuat terbuka sehingga sinar dan panas matahari, suara angin, gemercik air, hembusan angin sepoi-sepoi, kicauan burung, indahnya bunga-bunga, suara gong yang gemerincing, dan pujian umat merupakan pujian kepada Sang Pencipta oleh segenap ciptaanNya. Sinar matahari yang menembus ke dalam gedung gereja, desiran angin, dan gemercik air merupakan unsur yang sangat penting bagi kemuliaan nama Tuhan.
commit to user 102
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Korpus 21.
Deskripsi: Seperti halnya pelataran pertama, pelataran kedua juga dikelilingi oleh dinding yang penuh dengan ukiran tentang cerita di Alkitab. Ukiran di atas bercerita tentang Maria dan Yusuf yang sedang mencari tempat untuk bersalin. Korpus 22.
commit to user 103
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Deskripsi: Ukiran tersebut bercerita tentang kelahiran Yesus di kandang domba. Tampak gambar Maria dan Yusuf, orang majus, gembala dan malaikat yang bersuka. Orang-orang majus yang datang untuk memberi persembahan mas, mur, dan kemenyan bagi kelahiran bayi Yesus Korpus 23.
Deskripsi: Ukiran tersebut bercerita tentang Maria Magdalena yang membasuh kaki Yesus sebagai bentuk penghormatannya. Korpus 24.
commit to user 104
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Deskripsi: Ukiran tersebut bercerita tentang mukzizat yang dilakukan Tuhan Yesus, yaitu membangkitkan orang mati, Lazarus. Korpus 25.
Deskripsi: Ukiran tersebut bercerita tentang Tuhan Yesus membasuh kaki murid-muridnya. Korpus 26.
Deskripsi: Ukiran tersebut bercerita tentang Tuhan Yesus berjalan di atas air. Tampak gambar Petrus, muridnya, tidak mempercayai hal tersebut dan tenggelam.
commit to user 105
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Korpus 27.
Deskripsi: Ukiran tersebut bercerita tentang Tuhan Yesus yang sedang mengajar 5000 orang di atas gunung. Dan member makan mereka dengan 5 roti dan 2 ikan. Korpus 28.
Deskripsi: Ukiran tersebut bercerita tentang kenaikan Tuhan Yesus ke surge dan disaksikan oleh murid-muridNya.
commit to user 106
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Korpus 29
Deskripsi: Ukiran tersebut bercerita tentang murid-murid Tuhan Yesus yang datang ke kubur Yesus setelah kematianNya. Korpus 30.
Deskripsi: Ukiran tersebut bercerita tentang mujizat Yesus mencelikkan orang buta.
commit to user 107
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Korpus 31.
Deskripsi: Ukiran tersebut menggambarkan cerita tentang Yohanes yang sedang membabtis dengan air di sungai. Korpus 32.
Deskripsi: Ukiran tersebut bercerita tentang perumpamaan domba yang hilang.
commit to user 108
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Korpus 33.
Deskripsi: Ukiran tersebut bercerita tentang Yohanes Pembabtis yang tengah membabtis Tuhan Yesus di sungai Yordan menggunakan air. Korpus 34.
Deskripsi: Ukiran tersebut bercerita tentang Tuhan Yesus yang tengah berdoa sebelum disalib.
commit to user 109
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Korpus 35
Deskripsi: Ukiran tersebut bercerita tentang Tuhan Yesus yang bercerita perumpamaan tentang anak kecil. Tampak ketika sedang mengajar, Dia memangku anak kecil.
Korpus 36.
Deskripsi: Dalam pelataran kedua selain dinding yang berukir cerita-cerita dalam Alkitab juga terdapat beberapa simbol-simbol lain. Simbol dibawah terdapat pada dinding bagian atas pintu masuk. Gambar pertama sebelah kiri adalah gambar mahkota
commit to user 110
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang berarti Kerajaan Allah. Sementara ukiran yang kedua berbentuk Merpati yang merupakan simbol Roh Kudus. Korpus 37.
Deskripsi: Ukiran serupa mahkota yang berada di dalam ruangan tempat ibadah juga berarti simbol Kerajaan Allah. Ukiran tersebut terdapat di Altar. Di atas altar terdapat simbol mahkota (crown) yang bertuliskan Yunani, Alfa dan Omega yang berarti Kerajaan Allah tidah berubah, dulu sekarang sampai selamanya. Kristus adalah Sang Raja itu, yang diperoleh Yesus melalui salib (di bawah mahkota). Korpus 38.
commit to user 111
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Deskripsi: Pada Altar juga terdapat meja Altar. Meja ini dihiasi sedemikian rupa sebagai tempat Maha Kudus dalam Bait Allah yang patut disucikan dan dihias dengan indah. Di altar diletakkan alat-alat Perjamuan Kudus dan korban persembahan. Altar ini diapit dengan dua tedung (payung). Payung tersebut selalu berganti warna setiap tahunnya. Korpus 39.
Deskripsi: Mimbar adalah tempat pemberitaan Kabar Balik yang berintikan tiga panggilan gereja, yaitu: bersekutu (koinonia), pelayanan (diakonia), pemberitaan Injil (marturia). Koinonia bagian depan mimbar bersimbol Alkitab terbuka, simbol perempuan dan laki-laki, dan persatuan umat seluruh dunia. Diakonia digambarkan dengan “jabatan tangan” sebagai tanda kasih kepada sesama. Membangun kesejahteraan dilambangkan dengan padi dan kapas. Dan Marturia digambarkan dengan pelita, terang dunia. Firman Tuhan harus diberitakan sampai ke ujung dunia.
commit to user 112
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Korpus 40.
Deskripsi: Di dalam tempat ibadah juga terdapat tongkat yang diletakkan di dinding luar gereja dekat altar. Tongkat tersebut diletakkan di atas kolam. Korpus 41.
Deskripsi: Pada waktu kebaktian, maka di bagian altar akan diberi tanaman-tanaman atau bunga-bunga segar.
commit to user 113
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Korpus 42.
Deskripsi: Bentuk patung dengan gaya Bali dan diletakkan di setiap sudut bale kulkul. Korpus 43.
Deskripsi: Kayu yang dibentuk seperti salib dan diletakkan di setiap depan rumah warga, terdapat warna merah di bagian bawah tanda cross tersebut.
commit to user 114
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Korpus 44.
Deskripsi: Gong adalah seperangkat alat musik tradisional Bali yang biasanya digunakan untuk mengiringi upacara-upacara adat. Foto diatas menggambarkan para pemain gong pada saat ibadah kontekstual. Korpus 45.
commit to user 115
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Deskripsi: Jegog adalah alat musik khas Kabupaten Jembarana. Alat musik ini terbuat dari bambu. Cara memainkan alat musik ini dengan cara dipukul. Biasanya permainan jegog dilakukan untuk menyambut tamu. Korpus 46.
Deskripsi: Jegog biasanya dipadu padankan dengan tarian pergaulan. Seperti Tayub, tari pergaulan biasanya mengajak tamu untuk menari dengan menyentuhkan kipas mereka kepada tamu yang hadir. Gambar di atas adalah gambar salah satu tarian pergaulan yang diiringi dengan jegog untuk menyambut tamu gereja yang datang dari Jerman.
commit to user 116
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Korpus 47.
Deskripsi: Ibadah kontekstual diadakan pada minggu pertama setiap bulan. Ibadah ini mempunyai prosesi sebagai berikut: dimulai dari konsistori, Pendeta dan Majelis berjalan keluar. Ada lilin yang menyala sebuah pertanda kehadiran Allah di tempat itu, selain itu ada juga payung yang menandakan kemuliaan yang dihadirkan, dan ada juga Alkitab yang dimaknai sebagai Firman Tuhan.
commit to user 117
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Korpus 48.
Deskripsi: Selama proses jalannya Pendeta dan Majelis menuju gereja maka tabuh gong berkumandang. Korpus 49.
Deskripsi: Pendeta akan menerima Alkitab dari Majelis dan berdoa bahwa kebaktian akan dimulai. Tabuh masih dimainkan hingga pendeta sampai di mimbar. Dalam prosesi ini, jemaat berdiri sebagai simbol kesiapan kehadiran Allah.
commit to user 118
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Korpus 50.
Deskripsi: Kebaktian dilakukan dengan menggunakan bahasa Bali, dan ditutup dengan berkat. Pada akhir kebaktian, pendeta selaku imam berdoa menghadap altar dan menyerahkan Alkibab sebagai pertanda bahwa pelayanan ibadah telah selesai dan ke depan untuk memberi salam kepada jemaat.
Korpus 51.
Deskripsi:
commit to user 119
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Masyarakat Bali yang sudah serius berpacaran dan akan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi yaitu pernikahan, diawali dengan perkenalan antar keluarga. Biasanya pihak laki-laki akan dating ke rumah pihak perempuan untuk memperkenalkan diri dan mengenal keluarga perempuan. Dalam acara perkenalan tersebut biasanya membicarakan kapan akan dilakukan peminangan. Acara tersebut dihadiri oleh keluarga besar dari pihak laki-laki.
Korpus 52.
Deskripsi: Peminangan biasanya dilakukan 3 bulan sebelum perkawinan dilakukan. Dalam peminangan terdapat beberapa sarana yang wajib dibawa oleh pihak laki-laki dan diserahkan pihak perempuan.
commit to user 120
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Korpus 53.
Deskripsi: Dalam peminangan terdapat beberapa “sesajen”. Sesajen berisi beberapa perlengkapan sebagai berikut: (1) Makanan terdiri dari nasi, Ikan sate lilit (biasanya terbuat dari babi), jumlahnya biasanya menyesuaikan dengan jumlah keluarga perempuan. Jajan yang terdiri dari: Satu mangkok putih dan satu mangkok merah. Kedua jajan ini terbuat ketan. (2) Batu bedildau. Batu bedildau terbuat dari ketan dimana di dalamnya diberi gula merah dan berbentuk bulat. (3) Tipat Bantal. Tipat bantal kalau di Jawa dikenal dengan nama ketupat. Jumlah yang dibawa biasanya 36 biji. Hitungan tersebut diambil dari 3 kelan, dimana 1 kelan berisi 12 biji ketupat. Runtutan. Isi dari runtutan adalah tebu dan dua kelapa. Korpus 54.
commit to user 121
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Deskripsi: Selain makanan, sesajen yang dibawa ke rumah perempuan dalam peminangan adalah pakaian lengkap. Dari pakaian atas yang sudah jadi, kamben, sabuk, stagen, hingga alat-alat make up yang diperlukan perempuan. Pakaian lengkap tersebut disebut “besaluk”. Besaluk adalah pakaian “pebegat” atau pakaian pemutus. Korpus 55.
Deskripsi:
commit to user 122
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dalam proses peminangan tersebut enjungan yang warganya mempunyai hajatan dan enjungan rekanan ikut membantu untuk mengurus upacara yang ada. Korpus 56.
Perkawinan adat Bali diadakan di rumah. Biasanya masyarakat mempunyai lahan yang luas. Mereka menggunakan besaluk dan kamben dan didudukkan sebagai mempelai. Korpus 57.
Deskripsi:
commit to user 123
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Perkawinan adat Bali berbeda dengan perkawinan di Jawa. Sistem patrilineal mereka membuat aturan bahwa yang mempunyai kerja dalam perkawinan adalah pihak laki-laki. Di Jawa pihak perempuan yang punya kerja. Persiapan upacara perkawinan biasanya dilakukan satu minggu sebelum hari H. Dalam pertemuan tersebut biasanya ditentukan tingkatan upacara yang akan dijalankan. Di Bali pada umumnya upacara perkawinan dibagi dalam 3 tingkatan, nista, madya, dan utama. Hal yang mencolok dari 3 pernikahan adalah jumlah sate yang diberikan kepada masyrakat, apabila nista 3 tusuk sate, madya 5 tusuk sate, dan utama 11 tusuk sate. Dalam rapat tersebut biasanya di data berapa jumlah warga enjungan yang dimana mempelai berada dan jumlah warga enjungan rekanan mereka. Jumlah keluarga, dan juga jumlah tamu undangan yang diperkirakan hadir. Jumlah tersebut akan menentukan berapa banyak nasi dan sate yang akan dibuat.
Korpus 58.
Deskripsi:
commit to user 124
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berbeda dengan warga Hindu di Bali, di Blimbingsari perkawinan dilanjutkan pemberkatan setelah upacara adat. Pemberkatan dilakukan di gereja. Biasanya keesokan harinya. Dan juga akan diadakan resepsi setelahnya. Korpus 59.
Deskripsi: Ibadah/Kebaktian Penghiburan adalah ibadah yang dilakukan oleh warga yang tengah meninggal. Kebaktian yang biasanya dimulai pukul 19.00 ini dihadiri oleh semua warga banjar Blimbingsari untuk memberikan penghiburan kepada keluarga yang meninggal. Korpus 60.
Deskripsi:
commit to user 125
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Warga yang datang biasanya akan membawa beras, gula, dan sekarang ditambah mie atau makanan lainnya untuk dibawa dan diserahkan kepada keluarga. Untuk mengikuti kebaktian penghiburan, warga menggunakan baju adat terutama keluarga yang berduka. Korpus 61.
Deskripsi: Gambar prosesi Magebagan. Persiapan dan gotong rotong dilakukan oleh warga enjungan rekanan. Pada waktu foto tersebut diambil yang meninggal adalah warga desa kaja maka yang bertugas adalah enjungan kaja dan kauh. Untuk ibu-ibu sibuk untuk memasak hidangan kebaktian penghiburan. Sementara bapak-bapak membuat peti dan mempersiapkan untuk upacara pemakaman. Pada malam hari bapak-bapak dari enjungan setempat akan melakukan magebagan atau tidak tidur hingga pagi, biasanya sampai pukul 05.00. Ibu-ibu selain memasak untuk kebaktian penghiburan juga menyediakan untuk hidangan bagi yang magebagan.
Korpus 62.
commit to user 126
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Deskripsi: Gambar Bapak-bapak dari enjungan partner (kaja) pukul 07.00 berkumpul di tempat pemakaman dan mulai membuat lubang. Korpus 63.
Deskripsi: Ibu-ibu berkumpul dari pukul 09.00 untuk mempersiapkan makanan dan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk prosesi pemakaman. Korpus 64.
commit to user 127
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Deskripsi: Upacara pemakaman atau dalam bahasa Bali disebut majengukan. Upacara tersebut berupa kebaktian yang dipimpin pendeta. Kebaktian diadakan di rumah keluarga duka kurang lebih satu jam. Pada waktu menghadiri upacara ini warga Blimbingsari menggunakan baju adat dengan warna putih. Korpus 65.
Deskripsi: Setelah majengukan selesai diadakan maka warga bersama-sama berjalan ke kuburan dipimpin oleh pendeta. Arak-arakan ini terdiri dari seseorang yang membawa kayu salib, pengusungan peti jenazah dan juga anak-anak yang membawa rangkaian bunga yang diberikan.
commit to user 128
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Korpus 66.
Deskripsi: Ketika sampai di kuburan maka jenazah akan dikuburkan di makam yang telah digali dan dilanjutkan dengan kebaktian penutup.
Korpus 67 Korpus ini berisi tentang awig-awig desa adat Kristen Blimbingsari.
commit to user 129
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V ANALISIS DATA Pada bab ini penulis akan menganalisis data sebagai upaya untuk menjawab permasalahan penelitian tentang bagaimana masyarakat Blimbingsari yang berkeyakinan Kristen melakukan akulturasi dengan Hindu (Bali) agar identitas budaya mereka itu tetap Bali sehingga eksistensi mereka tetap terjamin. Analisis akan dilakukan terhadap data-data yang telah dibangun melalui korpuskorpus pada bab sebelumnya. Metode semiotika tidak hanya dipusatkan pada transmisi pesan tapi juga pada penurunan dan pertukaran makna. Dalam kajian semiotik setiap tokoh mempunyai cara masing-masing dalam menganalis data untuk menjawab problematik penelitian. Saussure memperkenalkan konsep diadik dalam menganalisis tanda, sementara Charles Sanders Pierce mengenal konsep triadik atau trikotomi dalam memaknai tanda. Sedangkan Barthes mempunyai kekhasan analisis melalui konsep mitologinya. Dalam penelitian ini penulis menggunakan formula yang telah dipaparkan oleh Andrik Purwasito yang dikenal dengan 9 formula analisis yang kemudian disederhanakan menjadi 7 tahapan analisis. Adapun 7 kaidah (formula) pengujian yang dimaksud adalah: 1. Partisipan komunikasi (Desa Blimbingsari) 2. Konteks komunikasi (motif komunikator) 3. Bentuk fisik non fisik tanda (konteks fisik dan sosial) 4. Fungsi tanda (struktur tanda dan tanda lain)
commit to user 130
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5. Intertekstualitas tanda 6. Intersubyektifitas makna 7. Intelektualitas penafsir Dalam penelitian ini, penulis telah memaparkan seluruh data dan korpus (data primer) sebagai hasil observasi melalui metode etnografi komunikasi. Penulis menyajikan paparan data berdasarkan wujud kebudayaan yang dinyatakan oleh pakar sosiologi Talcott Parsons maupun pakar antropologi A.L. Kroeber yaitu artifacts atau benda-benda fisik, sistem tingkah laku dan tindakan yang berpola, sistem gagasan, dan sistem gagasan yang ideologis. (Koentjoroningrat, 2005: 75). Keempat wujud kebudayaan tersebut memuat unsur-unsur masyarakat yang dipaparkan lebih lanjut oleh Koentjoroningrat. Adapun unsur-unsur itu adalah bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi, dan kesenian. Roh dari etnografi adalah menjawab permasalahan melalui keseluruhan aspek yang membangun sebuah masyarakat. A. Upaya Masyarakat Blimbingsari untuk Membangun Akulturasi Kristen dengan Hindu (Bali). Berdasarkan hasil pengamatan, penulis menemukan proses akulturasi antara Hindu dan Kristen terjadi pada masyarakat Blimbingsari. Akulturasi tersebut terlihat dari beberapa unsur budaya yaitu: 1. Arsitektur Gereja Pniel Blimbingsari 2. Tata Ibadah Gereja Pniel Blimbingsari
commit to user 131
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. Sistem sosial kemasyarakatan Blimbingsari Berdasarkan kategori tersebut berikut ini analisis hasil akulturasi budaya pada masyarakat Blimbingsari. 1. Akulturasi budaya Hindu dengan Kristen dalam Arsitektur Gereja Pniel Blimbingsari. 1.1. Arsitektur Gereja Pniel Blimbingsari Berdasarkan KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), kata arsitektur (architecture), berarti seni dan ilmu membangun bangunan. Menurut asal kata yang membentuknya, yaitu Archi berarti kepala, dan techton berarti tukang, maka architecture adalah karya kepala tukang. Sebenarnya pemahaman tentang arsitektur tidak hanya sebatas bentuk bangunan atau karya seni saja. Arsitektur dapat pula diartikan sebagai suatu pengungkapan hasrat ke dalam suatu media yang mengandung keindahan. Bahkan arsitektur dapat dipandang sebagai alat komunikasi. Ia tidak hanya berbicara mengenai obyek itu sendiri, melainkan fungsi dan latar belakang serta berbagai hal lain yang berkaitan dengan obyek tersebut. Semiotik adalah salah satu pisau analisis yang dapat mengungkapkan hal tersebut. Semiotics is not just a science of signs or sign systems, but it deals
with all cultural phenomena as a sign system, identifying culture as communication, which expression - architecture - is a relevant object of analysis. (Kristina Juodinytė-Kuznetsova. Architectural Space And Greimassian Semiotics. Socialinių Mokslų Studijos. 2011: 1269-1280). Semiotik bukan
hanya ilmu tanda-tanda atau sistem-sistem tanda, tetapi juga menganggap
commit to user
132
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
semua fenomena budaya sebagai sistem tanda, mengidentifikasi budaya sebagai komunikasi. Dalam memahami arsitektur, A.J. Greimas mengembangkan greimassian semiotics untuk menganalisanya. The semiotics of architecture, as developed by
the Paris School, sees an architectural work first of all as a single autonomous object and is concerned with its specific manifestation. (Ibid). Semiotik arsitektur, yang dikembangkan oleh Mazhab Paris, memandang arsitektur sebagai obyek yang otonom dan dikonsentrasikan dengan manifestasi atau perwujudan tertentu. Memaknai karya arsitektur perlu memahami berbagai manifestasi yang ikut membangunnya, sehingga ketika mengkaji ruang dalam arsitektur pemahaman tidak hanya didasarkan pada apa yang tampak secara fisik, namun juga semua rasa yang terdapat di dalamnya. The semiotics of architecture may be conceived as semiotics of space or spatial semiotics. Space is regarded as utterance (fr. ėnoncė), which is constructed and modified by a human subject, that perceives the space not only visually, but also using all the senses. (Ibid). (Semiotik arsitektur dapat dipahami sebagai semiotik ruang. Ruang dipandang sebagai ungkapan, yang dikonstruksi dan dimodifikasi oleh seseorang tidak hanya secara visual namun juga menggunakan semua rasa). Sepakat dengan Kristina Juodinytė-Kuznetsova (2011), Rasmussen (1964) dalam Experiencing Architecture mengemukakan bahwa arsitektur bukan hanya yang dapat dilihat dan diraba saja, yang didengar dan dirasa pun
commit to user 133
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
merupakan bagian dari arsitektur. Atau dapat dikatakan bahwa arsitektur adalah sebuah perwujudan seni yang kompleks. Seni ini dibangun untuk menumbuhkan rasa yang lebih mendalam sesuai dengan tujuan yang ingin diwujudkan. Tujuan yang dimaksudkan disini tentu bertalian erat dengan maksud dari pencipta arsitektur tersebut. Pura dan gereja merupakan salah satu aplikasi dari karya arsitektur. Menurut keyakinan umat Hindu Bali “Pura” atau “Kahyangan” mempunyai tujuan dan
fungsi sebagai tempat “Suci” untuk menghubungkan diri dengan para leluhur atau kawitan atau para Dewa atau Bhatara-Bhatari atau dengan Sang Hyang Widi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) serta prabhawanya (manifestasinya) untuk memohon anugrahnya. Di samping itu juga ada Pura atau Kahyangan merupakan monument peringatan dari leluhur atau kawitan atau para Dewa atau Bhatara-Bhatari yang telah berjasa terhadap umat atau pretisantana (keturunannya). (Soebandi, 2007: 64). Betapa pentingnya arsitektur Pura atau tempat ibadah juga dipahami serupa oleh umat Kristen. Arsitektur gereja tidak hanya merefleksikan cara orang-orang Kristen beribadah namun arsitektur juga membentuk ibadah atau bisa
membentuknya
secara
salah.
(Kristianto,
2002:77).
Arsitektur
merefleksikan ibadah Kristen dengan memberikan kita ruang dan pernaungan yang diperlukan oleh suatu komunitas untuk melaksanakan ibadahnya bersama-sama. (ibid). Sehingga untuk membangun tempat ibadah tidak boleh sembarangan. Semua arsitektur gereja yang baik adalah suatu kompromi dalam memenuhi kebutuhan jemaat. Seluruh sejarah bangunan gereja adalah
commit to user 134
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sejarah kompromi-kompromi antara pengaturan-pengaturan terbaik untuk berbicara dalam nama Allah dan semua yang terbaik untuk penjamahan dalam nama Allah. (White, 2005:80). Blimbingsari terkenal sebagai desa Kristen. Kekristenan tersebut semakin tampak dengan keberadaan sebuah gereja unik dengan arsitektur Bali bernama Pniel. Kata “Pniel” berarti perjumpaan dengan Tuhan. Apabila dilihat sekilas tidak tampak apabila bangunan tersebut adalah gereja, karena lebih tampak sebagai pura. Dalam perkembangannya, gereja ini telah mengalami 3 kali pemugaran. 1.2. Layout atau Tata Letak Gereja Pniel Blimbingsari Greimassian memandang perlu untuk membaca arsitektur dari sosial masyarakat dimana dia dibangun. Space is also socio-cultural phenomenon, involving the theme of place. So architectural object is not just created with the help of measurement, but it is a result of socio-cultural processes. Consequently, people arrange their space reflecting differences in social and cultural life. (Kristina Juodinytė-Kuznetsova. Architectural Space And Greimassian Semiotics. Socialinių Mokslų Studijos. 2011: 1269-1280). (Ruang
adalah fenomena sosial budaya, termasuk di dalamnya tempat. Jadi obyek arsitektur tidak hanya diciptakan dengan bantuan alat ukur, tapi dia dihasilkan dari proses-proses sosial budaya. Konsekuensinya, manusia mengatur refleksi ruang mereka berbeda-beda dalam kehidupan sosial dan budaya).
commit to user 135
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tata letak arsitektur pura berpedoman pada letak Gunung Agung tempat dimana matahari terbit. Candi atau bentuk arsitektur pura merupakan simbol dari gunung karena orang Bali percaya roh dan kehidupan yang datang atau mengalir dari gunung, sedangkan laut (kelod/lod) adalah kematian. Oleh karena itu untuk membangun pura, maka keyakinan Hindu selalu meletakkannya di arah utara. Berseberangan dengan Hindu, tidak ada keyakinan umat Kristen untuk membangun gereja berdasarkan arah mata angin. Kristen selalu memandang bahwa semua lokasi dan penjuru mata angin tidak terkait dengan bangunan gereja, sehingga jika diamati gereja tidak mempunyai pedoman harus mengarah ke mana. Berdasarkan letak Gereja Pniel dapat diamati bahwa bangunan tersebut terletak di bagian kaja atau utara desa dan berada di daerah yang paling tinggi di desa Blimbingsari. Hal tersebut senada dengan pemahaman masyarakat Hindu ketika mereka membangun sebuah Pura. Oleh karena itu, walaupun bangunan yang dibangun adalah gereja, namun masyarakat Blimbingsari masih memperhitungkan pemahaman tentang letak gereja berdasarkan filosofi Hindu. Realitas tersebut disepakati Pdt. Ayub melalui pendapatnya yang mengungkapkan bahwa Gunung juga mempunyai posisi yang sangat penting bagi umat Kristen dalam Alkitab: “Engkaulah Gunung Batuku…” dan banyak cerita yang lain.
commit to user 136
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tata ruang gereja di Indonesia pada umumnya tidak terbagi dalam beberapa tingkatan. Tata letak gereja juga tidak terbagi dalam beberapa susunan yang bermakna khusus. Berikut ini adalah contohnya.
Foto GKPI di Bandung Sumber: http://www.kabargereja.tk/2012/04 Berbeda dengan gereja, pura Bali mempunyai aturan yang khas. Aturan ini berupa struktur pura yang bertingkat-tingkat. Bertingkat dalam hal ini bukan hanya berarti bertingkat dalam hal peletakan dan ketinggian namun juga dalam hal simbolisasinya. Struktur pura ini berupa pembagian wilayah pura Bali ke dalam tiga tingkatan utama. Tiga tingkatan utama ini adalah
Bencingah
atau
disebut
dengan Jaba, Jaba Tengah serta Jeroan. (http://pusathotel.com/bagian-bagian-pura-bali_418.htm).
commit to user 137
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Akulturasi tampaknya diterapkan oleh masyarakat Blimbingsari untuk membangun tempat ibadah mereka. Gereja Pniel dibagi ke dalam 3 tingkatan.
Bagian
luar
gereja,
Bagian kedua adalah pelataran dan bagian ketiga adalah tempat beribadah. Pelataran yang ketiga yang digunakan untuk kebaktian memiliki letak yang lebih tinggi dibanding pelataran pertama dan kedua. Dan dapat dikatakan bahwa tempat ini merupakan tempat utama Gereja Pniel. Bangunan Gereja Pniel mempunyai tata letak atau layout yang sejenis dengan Pura di Bali. Secara umum, arsitektur pura Bali pasti memiliki area Utama atau disebut Mandala. Mandala ini biasanya memiliki nilai magis, suci,
hening
dan
menjadi
tempat
sembahyang
yang
utama.
(http://pusathotel.com/arsitektur-pura-di-bali_415.htm). Pembagian struktur Pura sangat berkaitan dengan simbolisasi kesucian. Pada bagian Bencingah atau yang kadang disebut dengan istilah Jaba saja merupakan bagian pura yang paling luar. Bencingah merupakan tempat penyelenggarakan
berbagai
kegiatan kemasyarakatan yang merupakan pertemuan ataupun kegiatan
commit to user 138
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
lainnya. Bencingah juga menjadi tempat beramah-tamah dan berbatasan langsung dengan jalan. Upacara Tabuh Rah yang diplesetkan menjadi Tajen juga diselenggarakan di area ini sehingga Bencingah akan selalu ramai oleh orang-orang dan juga pedagang. (Ibid). Pada gereja Pniel, tidak ada becingan yang khusus untuk jemaat. Sebelum pintu masuk gereja hanya berjarak beberapa meter langsung jalan. Jadi pelataran besar sebenarnya hanya 2 bagian. Pelataran ke dua dan pelataran ke tiga. Pada pura, bagian setelah Becingan disebut sebagai posisi Jaba Tengah atau sama dengan pelataran kedua. Posisi Jaba Tengah lebih suci dari Bencingah dan digunakan untuk peletakan gong atau gambelan, bale Kulkul, wantilan, dapur serta beberapa buah pelinggih (pura persembahyangan). Bale Bengong dan Bale Kulkul di Gereja Pniel. (Korpus 14).
Berbeda dengan Posisi Jaba Tengah di Pura, bale Kulkul dan gong tidak diletakkan pada pelataran kedua gereja Pniel. Dua bangunan tersebut
commit to user 139
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
diletakkan pada pelataran ketiga. Di pelataran kedua hanya terdapat halaman dan bale bengong. Bangunan yang paling dalam dan suci pada pura disebut sebagai Jeroan. Istilah Jeroan berasal dari kata Jero yang berarti rumah. Jeroan merupakan bagian pura paling dalam dan paling suci. Semua pelinggih ada di bagian ini dan Jeroan ini ditujukan khusus untuk bersembahyang. Ada beberapa bangunan di Jeroan, diantaranya pura-pura, pelataran untuk peletakan sesajen, balai untuk pemangku yang memimpin upacara serta tempat untuk peralatan sembahyang. Beberapa pura mempunyai gedungan untuk peletakan gong ataupun gambelan di bagian Jeroan seperti misalnya pura Ulun Danu Batur. (Ibid). Pada pelataran ke tiga di gereja Pniel terdapat ruang khusus untuk bersembahyang yang terbuka tanpa dinding. Selain ada juga bale seko gong dan Bale Kulkul serta ruang konsisturi atau ruang majelis. Ketiga struktur pura bali tersebut melambangkan Tri Loka, atau tiga bagian dunia menurut filosofi Hindu. Bagian Bencingah melambangkan dunia Bhur, yaitu dunia manusia. Dunia manusia merupakan dunia paling rendah, tempat paling kotor karena disana manusia banyak berbuat dosa. Bagian kedua atau Jaba Tengah melambangkan dunianya para leluhur atau Bvah serta tingkat ketiga merupakan dunia dewa. (ibid). Pemahaman tingkat kesucian pada Pura juga berbeda dengan Gereja. Di Gereja Pniel tidak ada pemahaman bahwa pelataran ketiga lebih suci daripada pelataran kedua. Hal tersebut terbukti dari peletakkan Bale bengong pada pelataran kedua. Fungsi dari Bale Bengong adalah menerima tamu atau sekedar bercakap-cakap.
commit to user
140
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pada setiap bangunan rumah ibadah selalu ada pintu masuk. Di gereja pada umumnya, pintu masuk hanyalah gerbang biasa. Tidak ada penanda khusus untuk menandai pintu masuk gedung gereja. Namun dalam rumah ibadah Hindu atau pura, selalu ada pintu masuk yang berbentuk candi. Dalam budaya Bali atau Hindu terdapat dua candi yang selalu ada yaitu candi bentar dan candi kurung. Candi merupakan bangunan yang telah dikenal di Indonesia (sebelum masuknya pengaruh India) sejak tradisi Megalitikum berupa Punden Berundak. Bentuk bangunan yang berpadu antara budaya India dan di nusantara dikenal sebagai candi. Dan di Bali candi banyak ditemui di berbagai tempat. Ketika masuk pura, kita akan menjumpai candi bentar dan candi gelung. Umat yang akan masuk pura akan menjumpai candi bentar dan kemudian candi kurung. Awalnya umat masuk candi bentar dengan tujuan agar saat masuk pura harus dapat memisahkan pikiran negatif sebelum bersembahyang. Lalu umat akan menjumpai candi kurung supaya mereka memfokuskan diri kepada Sang pencipta. (http://pusathotel.com/arsitektur-pura-di-bali_415.htm). Candi Bentar terdiri dari dua buah bangunan yang sama dan sebangun mengapit di sebelah kiri dan kanan sehingga ditengahnya tampak seperti sebuah celah layaknya pintu masuk. Bentuknya mirip seperti gapura. Bagian bawahnya menyatu dalam bentuk tangga sedangkan bagian atasnya terpisah sempurna. Banyak pura di Bali yang memiliki bentuk candi bentar ini. Bentuk mirip gapura ini biasanya terletak di bagian luar pura untuk menyambut para
commit to user 141
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
umat yang akan masuk. Candi Bentar ini memang berfungsi untuk memisahkan sisi dalam atau Madya dengan sisi luar atau Nista dari pura. Di balik bentuknya, ada makna yang terkandung yakni melambangkan selalu adanya dua hal yang berbeda atau berkebalikan di bumi ini. Ada hal yang baik dan jahat, ada waktu siang dan malam dan sebagainya. (ibid). Berikut ini adalah contoh candi bentar.
Foto Candi Bentar Pura Eka Wira Anantha Sumber: http://www.flickr.com
Dalam korpus 3 tampak candi bentar sebagai pintu masuk untuk pelataran pertama masyarakat
Gereja
Pniel.
Blimbingsari
Bagi makna
dibuatnya candi bentar berbeda dengan pemahaman umat Hindu. Bangunan ini adalah bagian dari
commit to user 142
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
arsitektur saja. Candi bentar pada gereja Pniel adalah ciptaan arsitektur yang dikombinasikan antara budaya Bali dan Kristen. Candi bentar Gereja Pniel mempunyai dua pintu masuk. Pembuatan gedung gereja dimaksudkan pula untuk menghargai pendahulu yang membangun gereja berbentuk salib dengan menara dua pintu masuk. Pintu masuk direnovasi dengan posisi yang sama dengan aslinya sehingga ada kelanjutan sejarah.
Foto Candi Gelung Pura Eka Wira Anantha Sumber: wiraanantha.blogspot.com
Bentuk arsitektur pura yang lainnya adalah seperti candi kurung. Jika candi bentar di tengahnya adalah jalan atau tidak bertemu di antara dua bangunan, candi kurung tidak seperti itu. Kedua bangunan di sisi kiri dan kanan candi kurung saling bertemu membentuk seperti kerucut. Kerucut ini melambangkan puncak gunung yang dipercaya sebagai tempat suci. Candi kurung sering disebut Kori Agung, Kori berarti pintu dan Agung berarti utama. Berbeda dengan candi bentar, candi kurung memisahkan antara halaman tengah
commit to user 143
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pura dan halaman utama pura. Tiap pura umumnya memiliki dua bentuk candi ini. (ibid). Pada arsitektur gereja Pniel yang tampak pada korpus 17, terlihat bahwa gereja ini memiliki candi kurung untuk masuk pelataran kedua.
Bangunan
tersebut berundak, terbuat dari batu bata yang tersusun rapi, menyerupai Pura. Warna merah dan ukiran emas yang menghiasi pintu
identik pula
dengan asesoris-asesoris bangunan Bali. Jika umat Hindu memahami bahwa kerucut sebagai tempat suci. Di atas candi kurung pada gereja tersebut diberi salib. Selain melambangkan salib Tuhan Yesus, bagi umat Kristen, salib juga dipahami sebagai simbol Trinitas Allah. Apabila salib diletakkan di atas candi kurung dalam gereja Pniel berarti dapat diartikan bahwa bangunan tersebut adalah tempat yang kudus karena melambangkan tempat hadirnya Allah. Selain salib besar pada bagian pintu juga terdapat ukiran salib, seperti yang tertera pada korpus 18. Simbol Kristen
salib
Protestan
Gereja di
Bali
(GKPB) berbeda dengan salib umat Kristen yang lain. Salib pada
masyarakat
beragama
commit to user 144
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kristen pada umumnya tegak lurus. Namun dapat diamati bahwa semua salib yang ada di GKPB berbentuk salib bengkok. Bagi warga Kristen Bali, mereka memahami cross/salib bukan dari kayu dimana Tuhan Yesus disalib, namun gambaran dari tubuh Yesus ketika disalib, sehingga mereka menyebutnya sebagai dancing cross. Bukan hanya di gereja, di setiap pintu rumah warga Blimbingsari mereka memasang dancing cross sebagai simbol kekristenan mereka. Selain bentuknya yang lain dengan salib yang lain, khusus untuk Blimbingsari salib mereka diberi tanda merah. (Korpus 43). Tanda merah berarti darah. Seperti cerita dalam Alkitab Perjanjian Lama, “Dan darah itu menjadi tanda bagimu pada rumah-rumah dimana kamu tinggal: Apabila Aku melihat darah itu, maka Aku akan lewat daripada kamu. Jadi tidak akan ada tulah kemusnahan di tengahtengah kamu, apabila Aku menghukum tanah Mesir.” (White: 2005:320). Masyarakat Blimbingsari menganalogikan diri mereka seperti bangsa Israel yang keluar dari penjajahan Mesir. Ketika Tuhan hendak menghukum orang Mesir, Tuhan melindungi Israel melalui tanda darah yang dioleskan di pintu. Maka filosofi itulah yang dianut oleh masyarakat Blimbingsari. Selain simbol salib, di gereja Pniel juga terdapat simbol-simbol agama yang dipaparkan dalam beberapa relief, seperti dalam korpus 36 dan 37. Relief mahkota berarti Kerajaan Allah. Relief crown atau mahkota tersebut diletakkan pada pintu masuk ruang ibadah. Sehingga, warga yang masuk ke tempat beribadah berarti masuk ke Kerajaan Allah. Sedangkan relief berbentuk Merpati merupakan simbol Roh Kudus.
commit to user
145
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Relief serupa mahkota yang berada di dalam ruangan tempat ibadah juga berarti simbol Kerajaan Allah. Ukiran tersebut terdapat di Altar. Di atas altar terdapat simbol mahkota (crown) yang bertuliskan Yunani, Alfa dan Omega yang berarti Kerajaan Allah tidah berubah, dulu sekarang sampai selamanya. Kristus adalah Sang Raja itu, yang diperoleh Yesus melalui salib (di bawah mahkota). Warna pada relief dalam korpus 36 dan 37 adalah kuning emas dengan dasar merah. Warna tersebut mengadopsi warna pada ornamenornamen Bali. Berdasarkan makna arsitektur gereja Pniel Blimbingsari dapat ditangkap bahwa gereja tersebut mempunyai kerangka besar layaknya sebuah Pura. Dikatakan diatas bahwa penciptaan sebuah arsitektur bukan dengan tanpa sadar, namun dengan kesadaran dan maksud tertentu. Pameo mengatakan, “Architecture is silent language.” (http://archipeddy.com/ess/term_ars.html). Arsitektur adalah bahasa yang tak terkatakan atau dipahami bahwa melalui arsitektur orang yang menciptakannya ingin mengirimkan sebuah pesan atau tanda untuk dapat dimengerti komunikan mereka. Sependapat dengan Andrik Purwasito yang merujuk pada pendapat Mc Luhan bahwa “medium is message”. Melalui arsitektur gereja Pniel Blimbingsari, masyarakat Blimbingsari ingin mengkomunikasikan bahwa mereka adalah orang Bali. Mereka menggunakan berbagai kaidah arsitektur Bali untuk membangun tempat ibadah mereka. Walaupun tidak murni layaknya membangun pura, namun secara fisik mereka ingin menyampaikan ke-Bali-an mereka dengan bangunan fisik gereja. Beberapa kaidah yang tidak
commit to user 146
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dijalankan biasanya berkaitan dengan keyakinan Kristen mereka. Oleh karena itu ada berbagai bentuk fisik yang mereka wujudkan dengan memadukan unsur (Hindu) Bali dengan Kristen, seperti peletakan cross ataupun beberapa simbol gereja Kristen pada umumnya. Selain sebagai upaya mengkomunikasikan ke-Bali-an warga Blimbingsari, seperti diketahui bahwa tulang punggung perekonomian Bali adalah pariwisata, budaya adalah obyek komoditas yang dijual di Bali dan arsitektur merupakan bagiannya. Melalui arsitektur gereja yang berbentuk pura tampaknya Blimbingsari juga menghendaki bangunan ini juga sebagai aset daerah. Hal tersebut terbukti ketika peneliti tinggal di sana, begitu banyak wisatawan asing yang berkunjung ke Blimbingsari hanya untuk menyaksikan keunikan gereja yang berbentuk pura tersebut. Hasil wawancara peneliti dengan wisatawan Belanda
dan Jepang
yang berkunjung di sana
mengungkapkan bahwa wisatawan tersebut berkunjung ke Blimbingsari memang untuk melihat gereja berbentuk pura tersebut. Mereka mendapatkan informasi tersebut melalui web tentang desa Blimbingsari. 1.3. Ukir-Ukiran Gereja Pniel sebagai Perwujudan Akulturasi Kristen dengan Hindu (Bali). Pulau Bali adalah suatu pulau dengan penduduk yang mayoritas beragama Hindu. Pemujaan terhadap dewa yang dilakukan masyarakat Bali telah dilakukan sejak ratusan tahun silam. Setiap pura yang dibangun memiliki suatu ciri khas tersendiri, yang membuatnya nampak istimewa. Salah satu bentuk
ciri
khas
tersebut
commit to user
adalah
ukirannya. 147
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(http://eksotikabaliutara.wordpress.com). Sementara di sisi lain, apabila kita mengamati dinding gereja-gereja yang ada di Indonesia kita jarang menemui ukir-ukiran untuk mempercantiknya. Simbol yang dipergunakan hanyalah simbol-simbol kekristenan seperti salib, burung merpati, dan lain sebagainya. Ukiran yang terdapat pada lingkungan pura dimana umat Hindu mengadakan persembahyangan disebut karang patra. Kata patra sendiri memiliki makna keadaan (desa, kala, patra), namun juga berarti sastra. Dan yang dimaksud dengan patra disini adalah pahatan seni ukir Bali, yang menyimpan
makna
mendalam
tentang
ajaran
agama
Hindu.
(http://vaprakeswara.wordpress.com). Dalam penyampaian ajarannya Hindu sangat memperhatikan tiga aspek yaitu keseimbangan antara kebenaran (satyam) yang memudahkan hidup, kesucian (Siwam) yang mengarahkan hidup, dan keindahan (Sundaram) yang menghaluskan hidup. Ketiganya merupakan hal yang tak dapat dipisahkan, sehingga antara satu dengan yang lainnya saling mendukung. Gereja Pniel tampaknya juga sama dengan Pura-Pura yang ada di Bali yang memberikan ukiran-ukiran pada setiap dindingnya. Ukiran pada Gereja Pniel diukir oleh seorang seniman yang berasal dari Ubud. Ide untuk membuat ukiran tersebut berasal dari Pendeta Ketut Suyaga Ayub. Dia memberikan Alkitab kepada seniman tersebut untuk dipelajari, dan direalisasikan dalam bentuk ukiran. Ukiran tersebut tampak menggunakan pendekatan Bali. Sebagai contohnya, kita akan lihat salah satu ukiran pada korpus 22 berikut ini.
commit to user 148
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Korpus di atas bercerita tentang kelahiran Tuhan Yesus. Tampak Yusuf dan Maria berada di kandang di Betlehem. Bagian atas seperti gambar Burung Merpati terbang yang menjadi simbol Malaikat Tuhan yang bersuka cita. Gembala di sebelah kiri hadir untuk ikut bersuka juga. Cerita tersebut diambil dari latar belakang Betlehem yang berada di Israel. Namun dengan sentuhan Bali, maka dapat kita lihat bahwa seorang Yusuf yang berkebangsaan Israel menggunakan udeng atau ikat kepala pria Bali. Sementara Maria juga berkebangsaan Israel juga menggunakan kamben atau pakaian adat perempuan Bali. Selain itu, tampak juga digambarkan bahwa di sekitar kandang begitu subur tumbuh-tumbuhan seperti pohon kelapa, yang banyak di Bilmbingsari. Padahal pada cerita sebenarnya Betlehem hanyalah padang gurun dan tumbuhan disekitarnya hanyalah hamparan rumput. Dan hal tersebut tampak di seluruh ukiran di Gereja Pniel. Ukiran atau ornamen Bali mempunyai terispirasi dari dari benda-benda alam seperti tumbuh-tumbuhan, binatang, unsur alam, nilai-nilai agama dan
commit to user
149
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kepercayaan. Bentuk-bentuk tersebut biasanya mempunyai maksud dan makna-makna tertentu. Adapun arti dan maksud dari ornamen flora adalah sebagai hiasan keindahan dan simbol ritual. Penampilannya dalam hubungan dengan fungsi-fungsi ritual merupakan simbol-simbol filosofis yang dijadikan landasan jalan pikiran. Ornamen pada bangunan tradisional Bali selain flora, fauna dan alam, ada juga agama dan kepercayaan. Agama dengan filosofis, etika dan ritualnya masing-masing diterapkan sebagai materi, tata cara dan upacara dalam perwujudan suatu ornamen. Falsafah bangunan atau nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama diungkapkan dalam bentuk-bentuk perwujudan ornamen pada bangunan. Tata cara penempatan, fungsi atau pemakaiannya dan bentuk-bentuk penampilannya memperhatikan ketentuanketentuan etika yang berlaku. Selain fungsinya untuk hiasan, juga berfungsi menyampaikan nilai-nilai ajaran keagamaan, bentuk-bentuk pepulasan yang mengungkapkan cerita-cerita. Arti dan maksud ornamen agama dan kepercayaan adalah menginformasikan ajaran agama secara ritual dan menanamkan kepercayaan, di dalamnya terkandung pula arti magis, sakral, dan angker sesuai dengan bentuk penampilannya. Masing-masing elemen ragam hias mengandung arti filosofis dengan maksud-maksud pengarahan dan penertiban atau pembentukan sikap hidup sesuai ajaran agama. (Dimensi Interior, Vol. 6, No.2, Desember 2008:78) Pada bangunan gereja Pniel, motif ukiran mengarah ke ornamen Bali, namun perbedaan terletak pada pemaknaan segala ornamen tersebut. Bagi masyarakat Blimbingsari, ornamen hanyalah suatu hiasan yang mempercantik
commit to user 150
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dinding ataupun bangunan gereja. Beberapa makna yang dimunculkan melalui setiap ukiran atau ornamen ditujukan untuk membangun suasana ibadah, namun tidak bersifat magis atau mengandung unsure filosofis layaknya keyakinan masyarakat Hindu pada umumnya. Korpus 7 menggambarkan dinding depan gereja sebelah kiri terdapat beberapa ukiran yang melambang nenek moyang Blimbingsari yang berasal dari beberapa daerah. Nama daerah tersebut tertera dalam ukiran seperti, Abianbase, Plambingan, dan Buleleng. Ukiran tersebut bercerita tentang sejarah masyarakat Blimbingsari mula-mula yang berpindah Kristen dan berjalan menuju ke Alas Angker. Pada dinding gereja sebelah kanan terdapat ukiran yang bercerita sejarah jemaat Kristen di Bali mula-mula. Terukir tulisan “peristiwa 1881” yang berarti pada tahun tersebut terjadi peristiwa dibunuhnya Pendeta Jacob De Froom di Singaraja oleh orang Bali bernama I Klana. Pada dinding kanan depan gereja juga terdapat ukiran yang bercerita tentang prosesi babtisan jemaat mula-mula Blimbingsari. Selain ukiran di dalam, pada pelataran ke dua atau halaman gereja, setiap dindingnya dikelilingi oleh ukiran yang bercerita. Hal tersebut tampak pada korpus 8 sampai 13. Pada pelataran ke dua ini cerita yang diusung terambil dari cerita-cerita Perjanjian Lama dalam Alkitab. Perjanjian Lama adalah kitab yang menceritakan kisah-kisah sebelum Tuhan Yesus lahir. Berbeda dengan pelataran kedua, dinding pada pelataran ke tiga dipenuhi dengan ukiran-ukiran
commit to user 151
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
cerita Alkitab Perjanjian Baru (cerita yang dimulai dari kelahiran Tuhan Yesus). Hal tersebut tampak melalui korpus 23 sampai 35. Selain dinding, ukiran juga dibuat pada pintu candi, seperti tampak pada korpus 19. Terdapat dua pintu besar yang diukir menggunakan warna emas. Pada pintu yang kiri terdapat ukiran yang bercerita tentang sejarah bangsa Israel keluar dari tanah perbudakan Mesir menuju ke tanah perjanjian yaitu Kanaan. Dan di bagian sisi kanan pintu yang kiri terdapat ukiran tentang perjalanan Blimbingsari yang merasa seperti bangsa Israel, mereka keluar dari perbudakan menuju tanah perjanjian yaitu Blimbingsari. Mereka meyakini apa yang terjadi tersebut berkat dari Tuhan melalui kematian Tuhan Yesus d kayu salib. Hal tersebut tampak dari gambaran Tuhan Yesus disalib. Sementara pintu sebelah kanan memuat ukiran burung Merpati dan salib GKPB. Mereka beranggapan bahwa Roh Kudus yang digambarkan melalui merpati senantiasa akan melindungi jemaat Kristen dan pekabaran Injil di Bali. Bentuk ukiran-ukiran pada Gereja Pniel memang memuat unsur-unsur Bali. Cara mengukir atau pendekatannya, namun secara makna, ukiran pada Gereja Pniel berbeda dengan ukiran atau patra pada masyarakat Hindu. Ukiran pada gereja hanyalah sebuah asesoris yang bercerita tentang sejarah Blimbingsari dan cerita yang terambil dari Alkitab. Sehingga tidak ada unsur sakral layaknya patra bagi umat Hindu. Berdasarkan ukir-ukiran maupun arsitektur di atas dapat dipahami bahwa pesan akan dipengaruhi motif dari partisipan komunikasi dalam hal ini adalah
commit to user 152
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Blimbingsari. Banyak sekali jenis ornamen atau ukir-ukiran. Hampir tiap daerah mempunyai kekhasan sendiri. Hingga terkadang kita dapat menandai ukir-ukiran sebagai identifikasi dari suatu kelompok atau masyarakat tertentu. Seperti contoh berikut,
Ukir-ukiran tersebut adalah ukir-ukiran dari Jepara. Bahan dan motif dapat ditandai dan menunjukkan dari mana karya seni tersebut berasal. (sumber: Indonesian.furniture.com)
Selain sebagai penanda dari mana asal ukir-ukiran tersebut. Seni ini juga mampu mengkomunikasikan identitas si komunikator. Sebagai contoh
commit to user 153
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kaligrafi di atas (sumber: kaligrafiislam.wordpress.com). Kaligrafi tersebut apabila dipasang di rumah akan menjadi penanda bahwa orang tersebut memeluk agama Islam. Kaligrafi tersebut tentu tidak asal pasang. Ada motif yang dimaksudkan oleh si pemasang kaligrafi tersebut (komunikator) kepada siapa saja yang bertamu ke rumahnya. Pada ukir-ukiran gereja Pniel Blimbingsari, Pendeta I Ketut Suyaga Ayub memilih seorang seniman Ubud Bali yang sangat lihai untuk mengukir dinding gereja khas Bali. Dia memilih seniman tersebut untuk menciptakan ukir-ukiran khas Bali sebagai pananda bahwa warga Blimbingsari adalah orang Bali. Seni ukir-ukiran adalah pesan yang disampaikan. Makna dari seni tersebut dimaksudkan untuk menandai ke-Bali-an mereka. Walaupun pemahaman seni tersebut tidak seluruhnya sama dengan orang Hindu (Bali) dan obyeknyapun dipadupadankan dengan kekristenan (cerita Alkitab) namun secara fisik goresan tampilan yang diwujudkan adalah budaya (Hindu) Bali. 2. Tata Ibadah Gereja Pniel Blimbingsari 2.1. Ritual atau Prosesi di Gereja Pniel Blimbingsari Ritual terdiri atas tindakan simbolis yang mewakili arti religius. Menurut Malefijt dalam Samovar (2010:130), “Peranan ritual bagi agama dan budaya adalah mengingatkan masa lalu, memelihara dan menyampaikan dasar suatu masyarakat. Peserta dalam ritual tersebut diidentikkan dengan masa lalu yang suci, sehingga mengabadikan tradisi ketika mereka menetapkan kembali prinsip dimana suatu kelompok hidup dan berperan.” Dengan terlibat dalam
commit to user 154
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ritual, setiap anggota tidak hanya mengingat dan menegaskan kepercayaan penting; mereka juga terhubung secara spiritual dengan agama mereka, mengembangkan rasa identitas dengan meningkatkan ikatan sosial dengan siapa mereka berbagi pandangan dan kenyataan bahwa hidup mereka memiliki arti dan struktur. (Samovar, 2010: 130). Oleh karena itu, ritual berkaitan erat dengan budaya masyarakat. Ritual dibangun masyarakat melalui simbolsimbol yang kemudian mampu menyimpan makna berdasarkan kesepakatan bersama. Keberadaan ritual sangat penting bagi peribadatan umat Hindu, sehingga dapat dikatakan bahwa segala kegiatan keagamaan Hindu senantiasa menggunakan ritual. Keyakinan dan kepercayaan umat Hindu kepada Penciptanya diwujudkan dengan berbagai ritual yang dijalankan. Mathews dalam Samovar (2010: 131) mengungkapkan, “Ajaran Hindu kaya akan kode moral…Dalam kitab Weda, Rita merupakan dasar dari tatanan yang benar dalam alam semesta; semua hal sesuai dengan kontrolnya. Bagi seorang individu dasar dari tindakan benar adalah dharma. Dharma adalah kesatuan Rita dalam kehidupan seseorang.” Ritual agama Hindu sebagai pondasi dasar adalah persembahan yang suci tulus ikhlas, yang membutuhkan kesetiaan, kejujuran dan kebenaran dalam pelaksanaannya. (http://www.parisada.org). Contohnya Tapa. Tapa merupakan disiplin religius dalam usaha menemukan hakekat din yang sejati, menyadari din menuju kesadaran universal. Dalam pelaksanaan ritual agama Hindu pengendalian din sangatlah perlu supaya kita merasa tulus ihklas tanpa beban,
commit to user
155
perpustakaan.uns.ac.id
menyesuaikan
digilib.uns.ac.id
dengan
kemampuan
tanpa
adanya
unsur
paksaan.
(http://www.parisada.org). Radhakrishnan, don Oxford terdahulu, dan presiden kedua India, mengamati, “Ajaran Hindu lebih cocok sebagai budaya dibandingkan sebagai agama.” Kepercayaan ini membentuk dasar sistem sosial dan mengatur pola interaksi dalam masyarakat kontemporer. (Samovar, 2010:163). Ajaran Hindu diungkapkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya melalui ritual, baik hubungan mereka dengan Tuhan, alam dan sesama. Masyarakat sarat dengan berbagai perilaku ritual untuk menunjukkan bakti mereka pada Sang Hyang Widhi Wasa. Ritual dalam Hindu mempunyai aturan yang jelas, termasuk cara berpakaian umat yang sedang melakukannya. Pada masyarakat Hindu, ibadah dalam bentuk apapun harus mengenakan baju adat, seperti contohnya upacara pemberian sesaji seperti gambar berikut ini. Ketika ada upacara perempuan akan menggunakan kamben dan kebaya, begitu pula para pria.
commit to user 156
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Foto Upacara Panyekahan di Desa Ekasari Sumber: Dok. Pribadi
Dalam peribadatan Kristen, istilah ritual jarang atau bahkan tidak digunakan untuk menandai sebuah prosesi. Umat Kristen biasa menyebut urutan ibadah mereka dengan tata ibadah Kristen. Tata ibadah tersebut berbeda-beda tergantung dari denominasi gereja masing-masing. Dalam pelaksanaannya prosesi ibadah diatur menggunakan liturgi. Liturgi akan memandu jemaat untuk mengikuti tata ibadah secara komunal. Misal, mengatur kapan saatnya memuji, membaca Firman, memujikan pujian sambil berdiri atau duduk, dan lain-lain. Gereja Protestan di Indonesia banyak yang menjiplak Eropa.8 Hampir sebagian besar menggunakan western culture. Berikut ini adalah gambar warga gereja Kristen ketika beribadah. Dalam berbusana ketika beribadah, pada umumnya wanita akan menggunakan baju resmi seperti rok dan atasan, sementara pria menggunakan hem atau jas serta celana panjang.
8
Misionaris dalam pekabaran Injil mempunyai 2 tipe, terbuka atau tertutup dengan budaya setempat. Misionaris yang berpandangan tertutup akan meniadakan budaya setempat, sehingga biasanya orang yang menjadi pengikutnya akan mengikuti budaya para misionaris tersebut (Eropa).
commit to user
157
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Foto ibadah jemaat GKJ Manahan Sumber: Dok. GKJ Manahan
Di Blimbingsari kebaktian dilakukan seperti gereja Kristen pada umumnya. Namun ada perbedaan tata ibadah yang dilakukan pada awal bulan. Gereja Pniel membedakannya menjadi ibadah hari biasa dan ibadah khusus. Setiap awal bulan atau minggu pertama gereja akan mengadakan ibadah kontekstual (ibadah dengan konteks Bali). Ibadah ini mempunyai prosesi sebagai berikut: dimulai dari konsistori, Pendeta dan Majelis berjalan keluar. Seperti dalam korpus 47. Ada lilin yang menyala sebuah pertanda kehadiran Allah di tempat itu, selain itu ada juga payung yang menandakan kemuliaan yang dihadirkan, dan ada juga Alkitab yang dimaknai sebagai Firman Tuhan. Selama proses jalannya Pendeta dan Majelis menuju gereja maka tabuh gong berkumandang. (Korpus 48). Pendeta akan menerima Alkitab dari Majelis dan berdoa bahwa kebaktian akan dimulai. (Korpus 50). Tabuh masih dimainkan hingga pendeta sampai di mimbar. Dalam prosesi ini, jemaat berdiri sebagai simbol kesiapan kehadiran
commit to user 158
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Allah. Kemudian kebaktian dilakukan dengan menggunakan bahasa Bali, dan ditutup dengan berkat. Pada akhir kebaktian, pendeta selaku imam berdoa menghadap altar dan menyerahkan Alkitab sebagai pertanda bahwa pelayanan ibadah telah selesai dan ke depan untuk memberi salam kepada jemaat. Apabila dalam pelayanan ibadah tersebut ada sakramen babtis dan perjamuan kudus maka selama proses tersebut akan diiringi dengan tabuh gambelan yang lembut. Hal tersebut mempunyai makna keagungan kehadiran Allah. Dan demikian pula terjadi apabila Babtisan. Ibadah Kontekstual Hari Raya Khusus. Ibadah kontekstual tersebut terdiri dari: Jumat Agung, Paskah, Pentakosta, Natal, dan Ulangtahun Gereja. Semua prosesi pada hari raya khusus dimulai dari Niti Graha yang terletak di depan gereja, berjalan hingga ke gereja. Perjalanan ini melambangkan perjalanan dari dunia ke gunung Allah atau hadirat Allah. Selama perjalanan tabuh dan kentongan dimainkan. Dalam Hindu kentongan dibunyikan bila para dewa setelah dimandikan dari pantai akan melawat ke daerah yang dituju. Prosesi itu disebut “melis”.
Maka kentongan juga dipakai pada prosesi Kristen
sebagai tanda atau simbol menggugah ke hadirat Allah. Pada perayaan Jumat Agung, prosesi kemudian adalah penyalaan lilin, pemikulan salib yang dilakukan oleh wakil wilayah (6 orang) dan kain yang panjangnya sekitar 5 meter dan dipegang oleh perwakilan dari wilayah juga. Warna dominan dari kain dan prosesi ini adalah hitam. Warna itu diambil karena Jumat Agung adalah hari kematian Tuhan Yesus, dan warna hitam menyimbolkan kematian. Dalam budaya Hindu, mereka juga ada prosesi
commit to user
159
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
memegang kain yang panjang. Kain tersebut dipegang oleh keluarga. Makna yang kemudian diambil dari prosesi agama Kristen yang disimbolkan oleh perwakilan warga enjungan/wilayah adalah bahwa mereka adalah keluarga Kristus dan mereka ikut serta mengambil bagian dari kesengsaraan Tuhan Yesus. Jumlah orang yang mengikuti prosesi tersebut sekitar 35 orang. Setelah sampai di gereja, salib kemudian dikalungi kain hitam tadi. Kain tersebut akan menjadi lambah tubuh Kristus. Dan acara berikutnya adalah tari malaikat. Tari ini bermakna panggilan untuk beribadah dengan Tuhan melalui malaikat. Prosesi kemudian adalah persembahan. Selama proses pengumpulan persembahan maka iring-iringan tabuh terus dimainkan. Tabuh gong menyanyikan lagu yang jika diterjemahkan intinya adalah bahwa mereka (warga Blimbingsari) dulu disengsarakan dan kini telah mendapatkan tanah dan memberi berkat. Persembahan pribadi maju ke depan dan berjalan sangat khidmat. Di akhir kebaktian akan ada berkat dan ditutup dengan penyerahan Alkitab sebagai tanda selesainya kebaktian. Pada perayaan Paskah, prosesi sama, jalan dari Niti Graha menuju ke Gereja, hanya yang membedakan, dalam ibadah Paskah semua warna yang dikenakan adalah Putih. Putih berarti kemenangan dan sukacita karena Tuhan Yesus telah bangkit. Salib yang ada dalam prosesi pada Paskah berjumlah 6, sejumlah dengan enjungan di banjar Blimbingsari. Perbedaan dengan prosesi Jumat Agung, setelah selesai kebaktian di gereja. Seluruh jemaat (sekitar 1000-1500 orang) bersama-sama berjalan 1,5
commit to user 160
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
km dari gereja menuju ke Giri Astana Raga (kuburan desa). Mereka mengusung 6 salib dan kain putih sepanjang 50 meter. Membawa kain putih berarti mereka ikut menyalib namun ikut dibangkitkan. Sampai di kuburan mereka melakukan ziarah. Ziarah di sini diartikan untuk mengingat kembali kebangkitan Kristus. Hal tersebut seperti yang dilakukan oleh murid-murid Tuhan Yesus yang pada pagi-pagi benar datang ke kubur Yesus. Selain itu ziarah juga berarti menengok keluarga yang telah meninggal dan memberi kesadaran bahwa kini mereka telah menjadi bagian dari kerajaan Allah dan kelak saatnya kita juga akan masuk ke Kerajaan Allah juga pada kedatangan Kristus yang kedua. Pada waktu ziarah biasanya dilakukan “mengibung” (tradisi Bali) adalah makan satu nampan secara bersama-sama dengan menggunakan tangan. Atau terkadang membawa makanan masing-masing dan mereka berbagi makanan bersama. Pada Pentakosta. Prosesi hampir sejenis hanya perlengkapan yang mereka gunakan berbeda. Ada tambahan burung merpati, Obor dan Api. Burung Merpati melambangkan kehadiran Tuhan. Sementara Obor dan Api berarti Roh Kudus. Demikian pada waktu Hari Natal, prosesi sama hanya ditambahkan simbol-simbol seperti kandang (tempat kelahiran Tuhan Yesus), dan pohon terang sebagai simbol terang. Prosesi bagi umat Kristen sebenarnya bukan hal utama, karena pandangan Kristen memuat pemikiran tentang konsep keimanan secara personal. Namun di Blimbingsari yang hidup di Bali ritual merupakan salah satu bagian yang tak terpisahkan di ibadah awal bulan. Ibadah kontekstual di Gereja Pniel
commit to user
161
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
adalah ibadah yang prosesinya didasarkan pada budaya Bali. Jemaat hadir dengan berpakaian adat Bali, lagu-lagu diiringi tabuh gong yang diawali dengan prosesi. Prosesi dalam masyarakat Hindu Bali memiliki posisi yang sangat penting. Dalam budaya Bali tidak ada ibadah apabila tidak ada prosesi. Berdasarkan hasil wawancara dengan Pdt. I Ketut Suyaga Ayub, (penggagas ibadah kontekstual di Blimbingsari), Kamis 1 September 2011, Pkl.11.10 WITA, diungkapkan bahwa sebenarnya ritual penting untuk dijalankan. Dalam agama Hindu, prosesi selalu berupa ceremony dan tabuh. Berikut hasil wawancaranya, “Dalam Alkitabpun disebutkan bahwa ketika Daud9 membawa tabut perjanjian, dia juga menari dan menabuh genderang. Alkitab juga menyebutkan bagaimana prosesi itu dilakukan ketika sebuah acara dilangsungkan. Di Indonesia, gereja protestan cenderung meniadakan ritual karena menganggap aliran protestan tidak mengutamakan ceremonial. Hal tersebut berbeda dengan Katolik yang masih kental dengan ceremony. Padahal Injil harus tumbuh dengan budaya setempat, entah dengan cara asimilasi maupun akulturasi sehingga nilai-nilai religious cultural dapat dirasakan. Prosesi adalah langkahlangkah menuju ke hadirat Allah, menuju ke persekutuan dengan Allah. Sementara, kontekstualisasi adalah action dari umat yang memahami sungguh-sungguh.” Percampuran antara pandangan keimanan dan ritual masyarakat dalam teologi biasa disebut kontekstualisasi. Kontekstualisasi menurut Pendeta Fritz Yohanes DP adalah menjadikan kekristenan sesuai dengan konteks dan mewarnai konteks dimana kekristenan tersebut berkembang. “Konteks” disini berkaitan dengan tempat, budaya, dan nilai. (Hasil wawancara dengan Pdt. Fritz Yohanes DP, SSi. (Pendeta Jemaat GKJ Manahan), 12 Februari 2012. Pk. 11.00 9
Daud adalah seorang umat pilihan Tuhan yang diceritakan sebagai teladan dalam kitab Perjanjian Lama.
commit to user
162
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
WIB). Upaya nilai-nilai kekristenan tersebut pada umumnya mempunyai landasan sesuai dengan Alkitab dan tata gereja setempat. “Misal, di Gereja Kristen menggunakan tari ronggeng, maka pada saat bagian buka kelambu tentu saja tidak dapat dihadirkan karena tidak sesuai dengan kekristenan,” tambah Pdt. Fritz. Di beberapa gereja Kristen kini kontekstualisasi mulai dikembangkan lagi, walaupun sangat jarang. Pdt. Fritz mengungkapkan bahwa GKJ Manahan Surakarta pada beberapa peristiwa tertentu menggunakan konteks budaya Jawa. Contoh ketika ada upacara kematian, maka ada biston (persekutuan) penghiburan yang disesuaikan dengan penanggalan jawa, seperti nyewu (seribu harian), ulang tahun gereja, dan lain-lain. Kontekstualisasi gereja biasanya diadakan apabila gereja sedang mengalami peristiwa yang dirasa perlu dirayakan, seperti foto berikut ini,
Foto Pentahbisan Pendeta GKJ Manahan Surakarta Sumber: Dok. GKJ Manahan
Ritual bagi sebuah agama Ibadah pada gereja protestan umumnya tidak mengenakan baju adat. Kristen merupakan agama barat, sehingga cara
commit to user 163
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berpakaian ketika ibadah juga mengenakan pakaian lazimnya orang barat ke gereja. Mengenakan hem dan celana formal bagi pria dan baju atau bawahan formal bagi perempuan. Pada masyarakat Blimbingsari, ibadah tidak selalu mengenakan baju adat. Hanya ketika pada waktu ibadah kontekstual mereka mengenakan baju adat. Pendeta Ayub mengakui bahwa Prosesi akan bisa didapatkan feel-nya apabila seluruh anggota merasakan dan membangunnya. Oleh karena itu dalam prosesi di ibadah kontekstual di Blimbingsari semua jemaat diwajibkan untuk menggunakan baju adat Bali. 2.2. Liturgi dan Alat Musik Pengiring Ibadah Gereja Pniel Blimbingsari Liturgi merupakan penuntun tata ibadah dalam kebaktian Kristen. Pedoman tertulis ini mengarahkan jemaat bagaimana harus bersikap tatkala ibadah dilaksanakan. Pada umumnya gereja-gereja di Indonesia menggunakan bahasa Indonesia dalam penerapannya. Namun untuk beberapa gereja di bawah Persatuan Gereja Indonesia (PGI) menggunakan bahasa sesuai daerahnya. Semisal, Gereja Kristen Jawa, maka dalam 4 kali kebaktian maka terdapat 2 kali ibadah berbahasa Jawa. Blimbingsari mempunyai liturgi khusus dalam ibadah kontekstual mereka. Liturgi atau tata urutan dalam kebaktian kontekstual menggunakan bahasa Bali. Dan menariknya dalam setiap prosesi yang tertulis akan diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Hal tersebut dipahami karena banyaknya wisatawan asing yang datang ke Blimbingsari untuk mengikuti kebaktian. Semisal, pada
commit to user 164
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
judul awal liturgi tertulis Tata Pangubakti Redite 4 September 2011, maka dibawahnya akan tertulis Order Of Worship, September 4, 2011. Kemudian apabila terdapat prosesi mekidung atau menaikkan pujian, maka di sebelah kanan tulisan mekidung akan diberi terjemahan Hymn Of Respons. Demikian pula ketika ada prosesi Pituduh Kauripan Anyar maka akan diberi terjemahan God’s Commandment, dan hal tersebut berlaku pada semua prosesi ibadah kontekstual. Dalam liturgi gereja Kristen pada umumnya, untuk mengawali kebaktian, jemaat akan melakukan prosesi yang pertama yaitu votum dan salam, namun di gereja Pniel dalam liturginya, dituliskan untuk mengawali ibadah, maka mereka akan melakukan votum dan Swastiastu. Swastiastu adalah salam yang biasa diucapkan oleh orang-orang yang beragama Hindu. Sedangkan bagi orang Kristen, salam yang digunakan biasanya adalah kata Syallom. Namun pada kenyataannya, swastiastu adalah kata yang dipilih untuk digunakan sebagai salah satu prosesi ketika hendak beribadah di gereja Pniel. Ketika memuji Tuhan, lagu pujian yang dinaikkan oleh jemaat Kristen di Indonesia biasanya menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa daerah dimana gereja setempat berada. Semisal Gereja Kristen Jawa (GKJ), maka dalam beberapa ibadah akan ada satu atau dua kali ibadah menggunakan bahasa Jawa dengan pujian juga berbahasa Jawa. Hal ini pun dilakukan oleh gereja Pniel yang tergabung dalam Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB). Lagu pujian tersebut terambil dari Kidung Pujian yang biasanya terjemahan dari pujian asli yang berbahasa Inggris. Sehingga dengan iringan piano atau
commit to user
165
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
organ, pujian itu akan dilantunkan. Namun di Gereja Pniel, ada beberapa hal yang perlu disesuaikan. Hal tersebut berkaitan dengan bahasa dan alat musik yang digunakan. Walaupun juga mengambil dari Kidung Pujian berbahasa Inggris yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Bali, namun nada juga sedikit disesuaikan, karena iringan gong merupakan nada pentatonis, sementara lagu asli menggunakan nada diatonis. Berikut ini adalah salah satu contoh teks Mekidung (Hymn Of Affirmation): KP 70: 1 Titiang Ngriring Sang Hyang Yesus Titiang ngiring Sang Hyang Yesus Sane Ngrahayuang titiang Manah Titiang klintang liang Tan Ajrih ring gagoan Ih jiwan tiang da ajrih Percaya ja Ring Ida Jiwan titiang satitu ja Ring Ida Sang Hyang Yesus
Musik dapat menunjukkan dari mana asal budaya dan komunitas seorang/sekelompok orang. (Liliweri, 2002: 126). Bali mempunyai alat musik khas yang ditabuh pada upacara-upacara adat, keagamaan atau kegiatan bermasyakatnya. Segala prosesi yang digelar dalam berbagai upacara agama menggunakan gong kebyar dengan penabuh yang disebut seka gong. Hanya berbeda dengan gamelan (alat musik) Jawa, jenis alunan musiknya lebih rancak.
commit to user 166
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dalam upacara adat Hindu, gong kebyar selalu mengiringi setiap prosesinya. Setiap tabuhnya mempunyai arti dan berbeda antara satu prosesi dengan prosesi yang lain. Sementara di Kristen, musik yang digunakan dalam beribadah bukanlah musik tradisional atau musik khas dimana masyarakat tersebut berasal. Umat Kristen selama beribadah biasanya menggunakan organ atau piano, bahkan beberapa gereja ada yang menggunakan band untuk mengiringi ibadah mereka. Masyarakat Blimbingsari melakukan proses akulturasi terhadap alat musik yang mereka gunakan untuk beribadah. Pada kebaktian kontekstual, masyarakat Blimbingsari menggunakan gong kebyar sebagai pengiring ibadah. (Korpus 44 dan 48). Lagu-lagu yang dibawakan adalah lagu-lagu pujian Kristen yang diubah menjadi bahasa Bali. Sementara ibadah di luar ibadah kontekstual akan menggunakan organ sebagai pengiringnya. Peran music of temple begitu penting. Di Muslim punya sholawat, Hindu punya lagu-lagu yang selalu diputar selama prosesi demikian pula di Blimbingsari. Maka spiritual sense harus dibangun untuk mendapatkan religious feeling yang kuat. Oleh karena itu dibuatlah faktor-faktor pendukung seperti beauty. Semisal keindahan dan kenyamanan rumah ibadah. Sound of harmony. Gereja Pniel terletak di jantung Blimbingsari, maka sering digiatkan acara-acara gereja sehingga lantunan musik selalu terdengar. Termasuk hal-hal seperti penyinaran atau spotlight di gereja. Itu akan membangun nuansa anggun rumah ibadah yang dimiliki warga. (Hasil wawancara dengan Pdt. I Ketut Suyaga Ayub, Kamis 1 September 2011, Pkl.11.10 WITA)
commit to user
167
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kontekstualisasi dalam ibadah gereja di Blimbingsasi sengaja diciptakan untuk membangun feel anggota jemaat sesuai konteks dimana hubungan manusia dan Tuhan dijalankan. Gereja Pniel sebelum Pendeta Ayub masuk menjadi pendeta jemaat, tidak menggunakan kontekstualisasi. Mereka beribadah seperti gereja-gereja yang lain di Indonesia. Pakaian menggunakan hem, celana panjang atau rok, bahasa menggunakan bahasa Indonesia dan musik menggunakan piano atau organ. Namun ketika Pendeta Ayub menjadi pendeta jemaat, bahasa yang digunakan dalam kebaktian kontekstual adalah bahasa Bali, liturgi (tata cara ibadah) berbahasa Bali, baju adat Bali, iringan Bali, dll. Pendeta Ayub mengupayakan budaya Bali sebagai pendekatan dalam penyampaian pesan. Dalam tataran ini dapat dikatakan bahwa pesan perlu dikemas seperti Andrik Purwasito mengungkapkan bahwa message is packaging. Pesan itu dibangun sedemikian rupa untuk tujuan yang ingin di raih. Pesan bersifat arbitrair-semena-mena si pembuat pesan. Ada motif membangun suasana untuk meningkatkan kualitas beribadah, selain juga upaya bahwa ke-Bali-an juga dimiliki oleh orang-orang Blimbingsari yang dipahami bukan beragama Hindu. Dari penggambaran tersebut, orang Blimbingsari seolah ingin mengkomunikasikan bahwa mereka adalah orang Bali walaupun beragama Kristen, karena mereka pun memiliki feeling yang sama dengan orang-orang Bali pada umumnya. Pdt. Ayub (salah seorang penggagas kontekstualisasi ibadah di gereja Blimbingsari) mengungkapkan, akulturasi yang terjadi dalam prosesi ibadah Kristen di Bali tidak berarti bahwa, “Kita meng-import. Harus dipahami
commit to user 168
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bahwa budaya Bali bukan hanya budaya Hindu. Dan diakui pula bahwa Blimbingsari hidup di Bali yang soul-nya adalah Hindu karena memang mayoritas Hindu.” Oleh karena itu budaya yang di pakai pun budaya Hindu. Upaya untuk membangun kesan ke-Bali-an melalui ibadah gereja Pniel Blimbingsari membenarkan salah satu formula Seven Basic Theory on Messages Studies, Andrik Purwasito yang ke enam bahwa pesan itu kontekstual. Selaras dengan hal tersebut Martin&Nakayama (1999: 99) juga mengungkapkan bahwa context typically is created by the physical or social aspects of the situation in which communication occurs. Konteks secara tipikal diciptakan melalui aspek fisik atau sosial situasi dimana komunikasi terjadi. Dijelaskan bahwa konteks adalah sesuatu yang diciptakan atau direkayasa. Ada maksud yang dikehendaki dari si komunikator atas perilaku komunikasi yang dilakukan. Pemikiran yang kemudian tumbuh ketika berhadapan dengan realitas yang terjadi dalam prosesi ibadah kontekstual di Bali adalah bahwa akulturasi yang terjadi tampaknta sedikit bergeser ke arah sinkretisme. Sinkretisme menurut Kamus Filsafat (Lorens, 1996:1012) diambil dari bahasa Inggris Syncretism dan bahasa Yunani, synkrasis (campuran, paduan, gabungan, bersama, kesatuan). Berdasarkan pengertian tersebut maka sinkretisme dapat diartikan sebagai penyatuan atau upaya penyatuan ideologi-ideologi yang bertentangan ke dalam suatu kesatuan pikiran dan/atau ke dalam suatu hubungan sosial yang harmonis, kerjasama.
commit to user 169
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Menurut Concise Oxford Dictionary, sinkretisme adalah upaya untuk menenggelamkan berbagai perbedaan dan menghasilkan kesatuan di antara berbagai sekte atau aliran filsafat. Dalam antropologi dan teologi modern istilah sinkretisme paling sering dipakai untuk menggambarkan upaya memadukan berbagai unsur yang terdapat di dalam bermacam pembicaraan sehubungan dengan keagamaan, tanpa memecahkan perbedaan dasar dari prinsip-prinsip yang ada di dalamnya. (Mulder, 1999:3). Dengan kata lain, sinkretisme merujuk pada perpaduan atau kontak antar budaya yang saling bertemu. Jemaat mula-mula Blimbingsari merupakan warga Hindu yang berpindah ke Kristen. Dulu tidak mau menggunakan segala sesuatu yang mengarah ke Hindu, termasuk juga pakaian Bali seperti kamben bagi perempuan dan udeng bagi pria ketika beribadah. Mereka berpakaian layaknya orang barat10, menggunakan jeans dan hem serta tidak mau melakukan ritual Bali yang identik dengan keyakinan Hindu. Namun dalam prosesi yang dibangun Blimbingsari kini tampaknya tengah bergeser. Penggunaan kata Swastiastu sebagai salam, dan penyebutan Sang Hyang dalam liturgi ibadah kontekstual merujuk pada salam dan keyakinan Hindu akan penciptanya. Landasan pencarian religious feeling dalam penggunaan baju adat Bali dan musik Bali selaras dengan ritual Hindu pada umumnya. Dan berbagai pemahaman filosofi yang kemudian diterapkan dalam
10
Orang barat di sini adalah CMA, kelompok misionaris asal Amerika. Mereka terkenal sangat ekstrim dalam mengajarkan agama Kristen.
commit to user
170
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pembangunan gereja di utara desa seturut dengan filosofi arah yang suci menurut Hindu mengungkapkan bahwa ada perpaduan prinsip yang melahirkan Kristen Bali yang utuh dan khas. Kekristenan yang tumbuh di Blimbingsari Bali adalah kekristenan yang memiliki pandangan tersendiri berkaitan dengan akar kehidupan sosial masyarakatnya. Pandangan dunia suatu komunitas adalah …Pandangan dunia mereka adalah gambaran mereka tentang alam, diri, masyarakat. Kepercayaan dan ritus religious berhadapan dan saling meneguhkan satu sama lain. (Geertz, 1992: 51). Yang membentuk sebuah sistem religius adalah serangkaian simbol sakral yang terjalin menjadi sebuah keseluruhan tertentu yang teratur. (Geertz, 1992: 53). Blimbingsari merupakan pertemuan antara Kristen dan Hindu (Bali). Perpaduan dua prinsip ini tanpa disadari ditumbuhkan penggagas ibadah kontekstual di Bali membentuk sebuah tatanan baru yang khas, bukan hanya akulturasi namun juga mengarah ke sinkretisme karena sedikit banyak filosofi yang mengakar dalam kehidupan masyarakat Bali bercampur di dalamnya. Konsep sinkretisme mungkin dapat sejajar dengan konsep lokalisasi. Mulder dalam bukunya yang berjudul Agama, Hidup Sehari-Hari dan Perubahan Budaya dalam konteks Jawa, Muangthai dan Filipina. Ia memaparkan konsep lokalisasi sebagai konsep yang menyoroti inisiatif dan sumbangan masyarakat-masyarakat lokal sebagai jawaban dan penanggung jawab atas hasil-hasil pertemuan budaya. Dengan kata lain, budaya yang
commit to user 171
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menerima pengaruh dari luarlah yang menyerap dan menyatakan kembali unsur-unsur asing, dengan cara menempa unsur-unsur asing itu sesuai dengan pandangan hidup. Mulder mengungkapkan praktek-praktek semacam itu juga berkembang di beberapa wilayah. Orang Thai mencampurkan unsur Budhaisme dengan Brahmanisme dan Animisme, orang Jawa mencampurkan praktek-praktek keagamaan asli mereka dengan Hinduisme, Budhaisme dan Islamisme, dan orang Filipina memadukan tradisi mereka dari zaman sebelum penjajahan Spanyol dengan agama Katolik. (Mulder, 1999: 3). Lebih lagi dia mengungkapkan dalam Mulder (1999: 9), “Hal serupa yang terjadi pula di Jawa, Thailand dan Filipina. Orang Jawa, Thai, dan Filipina menyambut berbagai gagasan secara selektif dan sesuai dengan pandangan mereka sendiri. Mereka tidak mengambil segala unsure asing yang ditawarkan, dan tidak pernah mengorientasikan diri mereka pada “ortodoksi”. Mereka melulu memanfaatkan unsure-unsur yang sesuai dengan berbagai kebutuhan mereka, dan yang tidak jelasjelas bertentangan dengan keyakinan mereka mengenai kehidupan.”
Dalam proses lokalisasi, unsur-unsur asing perlu menemukan akar-akar lokal atau cabang asli daerah tersebut, dimana unsur-unsur asing itu dapat dicangkokkan . Baru kemudian melalui peresapan oleh getah budaya asli itu, cangkokkan itu akan berkembang dan berbuah. (Wolter, 1982:52 dalam Mulder, 1999: 5). Blimbingsari dalam upaya mempertahankan identitas kebalian mereka melakukan perpaduan budaya Kristen dengan Hindu (Bali). Mereka menciptakan kekristenan Bali yang khas tanpa merusak pemahaman konsep keyakinan mereka. Konsep Kristen Bali.
commit to user 172
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. Sistem sosial kemasyarakatan Blimbingsari 3.1. Desa Adat Kristen Blimbingsari Pemerintah Daerah Bali menerapkan sistem desa pakraman. Jadi selain pemerintahan dinas selayaknya pemerintahan yang berada di seluruh provinsi di Indonesia, Bali juga menerapkan otonomi desa yang dipimpin oleh seorang Bendesa Adat. Desa pakraman dapat diartikan sebagai desa adat Hindu. Hirarki struktur desa pakraman di Bali sebagai berikut11:
PHDI (Tingkat Pusat)
Majelis Agung (Tingkat Propinsi)
Majelis Madya (Tingkat Kabupaten)
Majelis Alit (Tingkat Kecamatan)
Bendesa Adat
Dalam penyajian data diungkapkan bahwa syarat sebuah desa dapat disebut sebagai desa pakraman apabila dia mempunyai Kahyangan Tiga dan jumlah warga minimal 500KK. Kayangan Tiga terdiri dari Pura Desa, Pura
11
Hasil wawancara dengan Bendesa Adat desa Ekasari, I Wayan Winara, tanggal 26 Agustus 2011, pukul 09.13 wita
commit to user
173
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pasek dan Pura Dalam. Pura Desa adalah Pura yang digunakan untuk tempat pemujaan terhadap Dewa dalam wilayah tersebut. Pura Pasek adalah Pura yang digunakan sebagai pusat wilayah untuk kegiatan-kegiatan sosial. Dalam hal ini yang berkaitan dengan permasalahan ekonomi wilayah tersebut. Dan Pura Dalam adalah tempat pemujaan untuk orang-orang meninggal. Syarat utama untuk membangun desa pekraman adalah keharusan 3 item tersebut. I Wayan Winara mengungkapkan, “Desa pakraman sangat identik dengan agama Hindu. Hal tersebut karena segala permasalahan yang diurus oleh desa adat senantiasa berkaitan dengan Hindu. Terlebih lagi, untuk menjadi desa pakraman harus mempunyai Kahyangan Tiga. Di Bali terdapat wacana bahwa apabila seseorang yang tidak masuk sebagai anggota desa pakraman maka dia dianggap hanya menumpang saja.” Itulah yang menjadi masalah bagi masyarakat Blimbingsari. Warga Blimbingsari adalah orang Bali asli karena nenek moyang mereka berasal dari Bali, dan mereka lahir dan hidup di Bali. Namun dengan keyakinan Kristen yang dimiliki seluruh warga Blimbingsari, tidak memungkinkan dibangunnya Kayangan Tiga yang menjadi syarat pembuatan desa pakraman. Demikian pula dengan fungsi Bendesa Adat, dalam aktivitasnya desa pakraman dipimpin oleh seorang bendesa adat dengan struktur organisasi sebagai berikut:
commit to user 174
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Bendesa Adat
Sekretaris
Bendahara
Prahyangan
Pemangku
Pawongan
Sonteng
Palemahan
Klian Adat
Klian
Bendesa adat adalah pemimpin dalam desa pakraman. Bendesa adat mempunyai masa kerja 5 tahun setiap periodenya dan disahkan oleh Majelis Madya dengan memberikan patro pengeling-eling atau Surat keputusan (SK). Pemerintah Bali pun memberikan sarana transportasi, nafkah dan operasional bagi Bendesa Adat yang telah disahkan. Dalam desa pakraman posisi Bendesa Adat sejajar dengan Perbekel, sehingga dapat dikatakan bahwa dalam desa pakraman terdapat dua struktur organisasi yang mengatur interaksi sosial dalam masyarakat. Dua organisasi tersebut mempunyai peranan yang berbeda, Perbekel bertanggung jawab atas permasalahan
pemerintahan
seperti
kependudukan,
administrasi
kepemerintahan, KTP, dll. Sementara Bendesa Adat bertanggung jawab terhadap permasalahan yang terkait dengan seni, budaya dan agama. Seni adalah segala sesuatu menyangkut kreatifitas baik bersifat keagamaan atau
commit to user 175
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bukan keagamaan. Contoh, dalam prosesi Dewayadna maka terdapat beberapa tarian yang bersifat sakral dan wajib ditarikan oleh karma Bali. Di Bali antar wilayah mempunyai seni yang berbeda. Budaya dan agama adalah tuntunan kebiasaan masyarakat. Bendesa adat juga melayani upacara dan upakara Hindu di desa pekraman. Dalam menjalankan peranannya Bendesa adat dibantu oleh sekretaris, bendahara, dan membawahi seksi-seksi seperti Prahyangan, Pawongan, dan Palemahan. Prahyangan adalah bagian yang mengatur tempat suci, dalam hal ini adalah Pura. Setiap Pura akan dipimpin oleh Pemangku Pura. Pemangku akan membimbing permasalahan yang berhubungan dengan Tuhan atau diistilahkan dengan Dewayadna. Sementara dalam urusan-urusan agama yang terkait dengan hubungan dengan manusia yang lain atau disebut “manusayadna” akan dibawahi oleh “sonteng”. Upacara yang termasuk “manusayadna” adalah upacara “masangi” yaitu upacara potong gigi yang biasanya dilaksanakan pada waktu pernikahan. Upacara potong gigi adalah upacara wajib bagi umat Hindu yang bermakna penghapusan “sadirpu”atau sifat keangkaramurkaan. Selain “masangi” upacara yang lain adalah upacara “nyamutin”, yaitu upacara yang dilakukan pada anak yang berumur 3 bulan, upacara ini bertujuan supaya kelak anak yang dilahirkan dapat menjadi anak yang berguna. Konsep tentang desa pakraman dan peran Bendesa Adat di Blimbingsari belum seperti desa pakraman pada umumnya. Berdasarkan pemilihan warga,
commit to user 176
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Bendesa Adat Blimbingsari adalah Bapak Suka Bagya. Pembentukan desa adat Kristen di Blimbingsari mulai dibentuk secara resmi pada November tahun 2009. Pembentukan desa adat yang pada akhirnya disepakati dengan nama Desa Adat Kristen Blilmbingsari ini direalisasikan secara sungguhsungguh sebagai upaya menyelaraskan dengan kebijakan pemerintah Bali tentang ajeg Bali. Karena dipahami bahwa pemerintah bersama dengan masyarakat (Hindu) Bali berupaya sekeras mungkin untuk menyukseskan progran ajeg Bali ini. Pada realitanya, sebenarnya masyarakat Blimbingsari telah menjalankan adat atau budaya Bali dalam keseharian mereka. Ketika peneliti melakukan penelitian di Blimbingsari, dalam keseharian, masyarakat menggunakan bahasa Bali untuk berkomunikasi satu dengan yang lain. Demikian pula sistem hubungan antar warga baik keseharian atau dalam organisasi sosial masyarakat. Bahasa, sistem hubungan dan lain sebagainya merupakan simbol budaya. Ferraro dalam Samovar (2010:45) mengungkapkan bahwa simbol mengikat orang yang mungkin saja bukanlah bagian dari kelompok yang bersatu. Sehingga, apabila simbol budaya digunakan oleh suatu kelompok tertentu pada dasarnya secara tidak langung dia akan terikat dengan budaya dimana simbol tersebut disepakati. Adat yang dijalankan oleh masyarakat Hindu dalam kesehariannya semisal upacara perkawinan dan kematian, secara budaya Bali pun dilakukan oleh warga Blimbingsari, namun perbedaannya apabila proses adat istiadat dalam desa pakraman dijalankan oleh bendesa adat, di Blimbingsari upacara
commit to user
177
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dipimpin oleh Pendeta. Seperti perkawinan atau kematian, akan juga diurus oleh Pendeta yang dibantu Majelis. Di desa pekraman, Pemangku adat berada di bawah bendesa adat, namun di Blimbingsari, karena desa adat masih dalam proses transisi maka semua kegiatan masih ditangani oleh gereja. Pendeta di Blimbingsari memiliki peranan sentral. Bukan hanya masalah adat istiadat saja, namun termasuk juga permasalahan kemasyarakatan. Pada suatu ketika, penulis sedang bertamu di rumah Pendeta, dan datang pula sekretaris desa bertamu dan melapor kepada Pendeta terkait dengan permasalahan remaja yang sering kebut-kebutan. Dan hasilnya dibuatlah kegiatan sosialisasi tentang berkendaraan kerjasama dengan Kepolisian. Begitu juga berkaitan dengan permasalahan kebersihan desa, hingga perekonomian masyarakat. Sosialisasi mengenai kegiatan-kegiatan apapun biasanya dikaitkan dengan ibadah setiap minggunya. Berdasarkan pengamatan peneliti, gereja dan pendeta memiliki andil yang cukup besar bagi kehidupan warga Blimbingsari. Posisi bendesa adat di Blimbingsari belum sekuat posisi bendesa adat di desa pakraman yang lain. Fungsi itu sampai pada pengamatan berlangsung masih dipegang oleh pendeta jemaat. Itulah mengapa masyarakat dapat dikatakan sangat religius, karena hampir semua aktivitas masyarakat Blimbingsari adalah kegiatan yang berkaitan dengan gereja. 3.2. Awig-awig Desa Adat Kristen Blimbingsari
commit to user 178
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Apabila desa pakraman adalah bentuk organisasi kemasyarakatannya, awig-awig adalah tata cara untuk mengoperasionalkan komponen dalam desa pakraman tersebut. Awig-awig desa adat merupakan landasan bertindak bagi seluruh komponen desa. Bagi masyarakat Hindu, awig-awig desa pekraman bersifat suci. Berdasarkan pengalaman ketika penulis mencoba untuk sekedar melihat awig-awig desa pekraman Ekasari, I Wayan Winara (bendesa adat) dengan halus tidak memperkenankan. Ia mengungkapkan bahwa tidak setiap orang diperbolehkan melihat, menyentuh, apalagi membaca isi awig-awig, bahkan warga desa itu sendiri. Awig-awig desa pakraman Ekasari terbuat dari daun lontar, berbahasa Bali, dan berisi aturan-aturan yang disepakati warga Ekasari
yang
bersifat
turun
temurun.
Pembuatan
awig-awig
desa
membutuhkan upacara tersendiri sehingga untuk dapat membuka awig-awig tersebut diperlukan ritual khusus dan tidak sembarangan. Hanya bendesa adat yang berhak untuk menyimpan dan membukanya. Namun bagi desa adat Kristen Blimbingsari, awig-awig desa tidak dipandang sebagai sesuatu yang sakral. Walaupun pemahaman tentang kegunaan awig-awig sama dengan desa pakraman Hindu, namun persepsi tentang kesakralan awig-awig berbeda. Awig-awig tidak hanya dipegang oleh bendesa adat Blimbingsari, namun juga oleh perbekel dan pendeta. Ketika peneliti meminta salinan data awig-awig, mereka memberikan begitu saja data tersebut untuk dapat di fotocopy. Berdasarkan isi awig-awig desa Blimbingsari tersurat bahwa Blimbingsari mengkonstruksi dirinya menjadi desa adat Kristen. Hal tersebut telah disahkan
commit to user
179
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sejak November 2009. Melihat isi awig-awig desa Blimbingsari, maka dapat diamati bahwa desa ini memposisikan dirinya selayaknya desa Hindu. Mereka menyebut Tuhan Yesus dengan Ida Sang Hyang Yesus Kristus. Sama seperti umat Hindu yang menyebut junjungannya dengan Ida Sang Hyang. Kemudian tampak dipaparkan pada dasar dan latar belakang awig-awig desa adat Kristen Blimbingsari tertera Injil Matius 28:28-20; 1 Petrus 2:9, Injil Matius 28:18-20, 1 Petrus 2:9 sebagai landasannya. Perbedaan yang cukup mencolok dengan awig-awig desa pekraman yang lain karena dasar yang diambil adalah Kitab Suci Kristen, Alkitab. Demikian penyebutan tempat ibadah atau tempat yang dianggap suci. Umat Kristen biasa menyebut tempat ibadah dengan sebutan gereja. Sementara umat Hindu menyebut dengan pura. Pura adalah bangunan suci tempat beribadat bagi umat Hindu Bali. (Soebandi, 1983: v). Dalam pasal 3 ketentuan desa adat Kristen, Blimbingsari mengkonstruksi diri sama dengan warga Bali pada desa pekraman yang lain. Sebutan Pura dipilih untuk menyebut tempat ibadah mereka. Hasil wawancara dengan Pdt.I Ketut Suyaga Ayub, Pura adalah bahasa Bali yang berarti tempat yang suci, maka mereka memaknai gereja sebagai pura. Hal tersebut juga diungkapkan oleh Sudigda, bagian pariwisata Blimbingsari, bahwa dulu apabila orang tua atau nenek moyang Blimbingsari mau beribadah maka mereka mengatakan akan pergi ke pura. Maka dalam awig-awig dipilih istilah pura untuk menyebut tempat suci. Dalam pasal 3 tentang ketentuan-ketentuan, Desa Blimbingsari juga mengungkapkan bahwa semua tempat yang telah disucikan meliputi Pura
commit to user
180
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gereja Pniel Blimbingsari, Pura Gereja Immanuel Ambyarsari. Tempat kuburan (tempat peristirahatan terakhir) Giri Istana Raga untuk kepentingan masyarakat adat Kristen Blimbingsari dan kuburan Ambyarsari untuk kepentingan masyarakat adat Kristen, Ambyarsari. Hal tersebut selayaknya ketentuan untuk membuat sebuah desa pakraman. Syarat untuk membentuk desa pekraman adalah Kahyangan Tiga yang terdiri dari: Pura Desa/Bale Agung, Puseh dan Dalem hulun setra (kuburan), yang terdapat pada tiap-tiap desa pekraman (adat). (Soebandi, 1983: v). I Wayan Winara mengungkapkan bahwa Pura Puseh adalah Pura yang digunakan sebagai pusat wilayah untuk kegiatan-kegiatan sosial. Dalam hal ini yang berkaitan dengan permasalahan ekonomi wilayah tersebut. Dan Pura Dalam adalah tempat pemujaan untuk orang-orang meninggal. Selain Pura, dalam menjalankan kehidupan, masyarakat Bali berpatokan pada filsafat Tri Hita Kirana yang berarti tiga subyek yang mendatangkan kesejahteraan. Ketiga subyek itu adalah: 1. Unsur Parahyangan, yaitu Ketuhanan, yang mengacu pada kekuatan yang gaib (supernatural of powers). 2. Unsur Palemahan, yaitu territorial, yang merupakan unsur makro-kosmos. 3. Unsur Pawongan, yaitu manusia (yang menghuni teritorial itu), sebagai unsur mikrokosmos. (Ayub, dkk, 2011: 5). Berdasarkan Penjelasan atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001, tentang Desa Pekraman (Ttp dan tth, hal.2 butir 11), Tri Hita
commit to user 181
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kirana adalah landasan desa pakraman, yang sebelumnya bernama desa adat. Dalam penjelasan ini ditekankan, bahwa filsafat Tri Hita Kirana itu “mengandung karakteristik konstitutif yang menjadi tolok ukur spiritual etis bagi keseluruhan dasar-dasar yang disucikan dalam perikehidupan desa pakraman.” (ibid). Berdasarkan pemahaman itu pula awig-awig desa adat Kristen Blimbingsari membuat ketentuan pada bab III tentang Tuhan, orang, dan lingkungan. Bab IV sampai VII membahas tentang ritual secara adat untuk menjalankan filsafat tersebut. Perbedaan antara desa pakraman yang lain dengan awig-awig desa adat Kristen Blimbingsari tentu saja berkenaan sumber yang berpengaruh terhadap tata cara, dimana Blimbingsari mengacu pada Kitab Suci atau ajaran Kristen sementara desa pakraman pada umumnya berdasarkan Hindu. 3.3. Adat Istiadat Blimbingsari: Akulturasi Budaya Hindu Bali dan Kristen Adat istiadat dalam masyarakat Blimbingsari mengatur tatanan kehidupan sosial warganya. Walau nilai-nilai budaya berfungsi sebagai pedoman hidup warga suatu masyarakat, sebagai konsep sifatnya sangat umum, memiliki ruang lingkup yang sangat luas, dan biasanya sulit diterangkan secara rasional dan nyata. Namun justru karena itulah ia berada dalam daerah emosional dari alam jiwa seseorang. (Koentjoroningrat, 2005:76).
commit to user 182
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dalam kehidupan masyarakat Bali yang disebut adat istiadat Bali sulit dilepaskan dari agama Hindu. Hal tersebut karena kepercayaan Hindu senantiasa tersurat dalam perilaku sehari-hari penganutnya. Di Blimbingsari adat istiadat juga berkaitan dengan sistem religi yang mereka punya yaitu Kristen. Dalam pembahasan mengenai adat istiadat ini, penulis menemukan akulturasi terjadi pada prosesi perkawinan, kematian, dan warisan. 3.3.1. Perkawinan Masyarakat Blimbingsari Kostum merupakan salah satu penanda identitas budaya anggotanya. Pakaian dipandang memiliki suatu fungsi komunikatif. Busana, pakaian, kostum, dan dandanan adalah bentuk komunikasi artifaktual (artifaktual communication). Komunikasi artifaktual biasanya didefinisikan sebagai komunikasi yang berlangsung melalui pakaian dan penataan pelbagai artefak, misalnya, pakaian, dandanan, barang perhiasan, kancing baju, atau furniture di rumah anda dan penataannya, ataupun dekorasi ruang Anda. Karena fashion, pakaian atau busana menyampaikan pesan-pesan nonverbal, ia termasuk komunikasi non-verbal. Barnald
dalam Idi
Subandy (1996: vii). Foto sebelah kiri adalah foto perkawinan warga Hindu. Tampak mempelai menggunakan baju adat Bali dari kamben, kebaya, stagen untuk perempuan dan kain, stagen, udeng untuk pria. Sementara umat Kristen pada umumnya melakukan pemberkatan di gereja menggunakan jas dan baju modern.
commit to user 183
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Foto Pernikahan Hindu Bali Sumber: dewasuryamaharga.blogspot.com
Adapun berikut ini adalah foto pernikahan salah satu warga Blimbingsari.
Apabila diamati tampilan kedua foto tersebut tidak banyak perbedaan. Pakaian mempelai perkawinan umat Hindu sama dengan mempelai perkawinan umat Kristen Blimbingsari. Pakaian yang mereka kenakan adalah pakaian adat Bali dengan kamben, kancut, udeng dan
commit to user 184
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
segala perlengkapannya. Sehingga secara adat Bali baik Hindu maupun Kristen secara tampilan fisik tidak berbeda. Akulturasi dalam upacara perkawinan Blimbingsari adalah prosesi pemberkatan yang dilakukan oleh masyarakat Blimbingsari setelah melakukan prosesi adat. Pemberkatan dilakukan di gereja dan dipimpin oleh seorang pendeta. (Seperti pada gambar dibawah) Pada masyarakat Hindu Bali, setelah upacara perkawinan secara adat mempelai dinyatakan telah resmi menjadi suami istri dan tidak ada lagi prosesi selanjutnya.
Foto Pemberkatan Pernikahan Warga Blimbingsari
3.3.2. Kematian Masyarakat Blimbingsari
commit to user 185
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Prosesi kematian dalam agama Kristen dipimpin oleh seorang pendeta. Upacara tersebut meliputi acara kebaktian penghiburan atau biston di keluarga yang tengah berduka. Pada masyarakat Hindu yang tergabung dalam desa pakraman, upacara kematian termasuk dalam bagian upacara manusayadna. Upacara ini dipimpin oleh Soteng di bawah Bendesa Adat. Seperti halnya perkawinan, akulturasi yang terjadi dalam upacara kematian masyarakat Blimbingsari adalah penggunaan baju adat Bali. Masyarakat Hindu menganggap upacara kematian adalah upacara yang begitu sakral, sehingga dalam prosesinya akan menggunakan baju adat. Sementara warga Kristen pada umumnya hanya menggunakan baju keseharian saja. Namun masyarakat Blimbingsari mengenakan baju adat dalam prosesi kematian warga mereka. (Korpus 64). 3.3.3. Pengaturan Warisan pada Masyarakat Blimbingsari Adat (Hindu) Bali mengatur bahwa warisan diberikan kepada laki-laki. Perempuan dalam adat Bali tidak diperkenankan untuk menerima warisan. Contoh: ada sebuah keluarga yang mempunyai anak 8 perempuan semua, hanya 1 laki-laki. Ketika pembagian warisan sebesar 6 hektar tanah, hanya 1 laki-laki saja yang mendapat jatah tanah sementara 7 perempuan yang lain tidak mendapat apapun. Permasalahan terjadi apabila keluarga hanya mempunyai anak perempuan saja, maka yang kemudian dilakukan adalah proses “pekidih”, yaitu meminta anak laki-laki dari keluarga lain. Namun biasanya pewarisan ini diberikan
commit to user 186
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kepada suami dari anak perempuan keluarga tersebut. Nyentana apabila tidak ada yang mau ambil maka jatuh ke keponakan laki-laki. Dalam adat Hindu, “pekidih” tidak berarti hanya menerima warisan harta saja, namun juga menerima sanggah keluarga dan segala tanggung jawab yang harus dipikul. Biasanya mereka akan tinggal di rumah peninggalan tersebut tersebut. Namun kebanyakan banyak laki-laki yang tidak mau menerima, hal tersebut karena berarti laki-laki tersebut tidak berhak lagi untuk mengurus segala hal di keluarga atau sama dengan dia dianggap menjadi “perempuan”. Bahkan untuk memanggul
jenazah
keluarga
aslinya
yang
meninggal
saja
tidak
diperkenankan. Aspek gender dalam sistem religi Kristen merupakan nilai yang berkembang dari zaman ke zaman. Efesus 5:23 (ayat dalam Alkitab perjanjian baru) menyatakan bahwa perempuan haruslah di rumah dan menyibukkan diri di rumah, karena “laki-laki adalah kepala perempuan, sama seperti Kristus juga adalah kepala gereja…” maka berdasarkan pandangan tersebut dipahami bahwa perempuan harusnya tunduk kepada kaum lelaki. Namun dalam ajaran tersebut perkembangan zaman merubah kondisi, bahwa Kristus mengajarkan dengan memberi teladan bagaimana Ia menempatkan perempuan dalam masyarakat. “Agama yang baru menawarkan perempuan hanya status yang lebih tinggi dan pengaruh dalam gereja, namun juga perlindungan lebih sebagai istri dan ibu.” (Samovar, dkk, 2010:137). Hal itu kemudian dibuktikan dengan banyaknya perempuan yang menjadi pendeta.
commit to user 187
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pembagian warisan dalam konteks Kristen, tidak membedakan jenis kelamin. Warisan akan dibagikan kepada anak-anak dari orang tua yang telah meninggal berdasarkan kesepakatan keluarga. Pada masyarakat Blimbingsari, pembagian warisan kini mengalami pergeseran. Blimbingsari menerapkan peraturan yang berbeda dibanding masyarakat Hindu. Perempuan di Blimbingsari akan mendapatkan bagian selayaknya pria, walaupun porsinya mungkin tidak sebesar kaum pria. Pemahaman tersebut dijalankan karena masyarakat Blimbingsari menggunakan hukum kasih yang diajarkan oleh agama yang mereka anut, sehingga mereka menyamakan hak antara pria dan wanita. B. Identitas Budaya sebagai Upaya Pertahanan Masyarakat Blimbingsari Setelah kita memahami makna yang terjadi dalam setiap unsur kehidupan masyarakat Blimbingsari melalui akulturasi yang mereka bangun terhadap budaya (Hindu) Bali, maka penulis akan menjawab pertanyaan penelitian yang kedua, Identitas budaya seperti apa yang diinginkan masyarakat Blimbingsari melalui proses akulturasi yang mereka lakukan? Kebudayaan merupakan cara kelompok untuk mempertahankan hidupnya. Upaya mempertahankan hidup dari lingkungan alam membuat suatu kelompok berbeda dengan kelompok yang lain. Itulah mengapa budaya satu berbeda dengan budaya yang lain. Strategi tersebut terwujud melalui kerjasama dan komunikasi antar anggota kelompok hingga menumbuhkan rasa senasib dan rasa memiliki di antara mereka. Our cultural identities are constructed, negotiated, challenged,
commit to user 188
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
and affirmed through communication behaviours (Collier&Thomas, 1988; Philipsen, 2002). (Yangrong Chang.(2011). Performing Cultural and Personal Identities through Talk. China Media Research 7(3), hal.21-32. Pasca bom 2002, Bali semakin kuat untuk membangun kekuatan internal mereka dengan ajeg Bali. Program yang sarat dengan budaya Hindu, karena adat Bali seolah tak bisa lepas dari adat Hindu. Rasa senasib sepenanggungan terus terbangun untuk menumbuhkan kesatuan dan dikomunikasikan dari generasi ke generasi. Menurut Geerzt (1973), culture denotes an historically transmitted pattern of meaning embodied in symbols, a system of inherited conceptions expressed in symbolic forms by means of which men communicate, perpetuate and develop their knowledge about and attitude toward life (p.89 in Nakayama, 1999). Atau dapat diungkapkan bahwa budaya merupakan transmisi pola pemaknaan atas simbol secara turun temurun, pengabadian dan pengembangan pengetahuan mereka tentang perilaku cara hidup. Proses transmisi budaya berjalan dari generasi ke generasi. Manusia mengalami internalisasi dan enkulturasi dari lingkungan dimana dia berada. Proses pembudayaan atau penyesuaian tersebut berlangsung seumur hidup dan turun temurun. Dalam konteks ini, masyarakat merupakan subyek bagi lestarinya sebuah kebudayaan. Budaya ada karena masyarakat dan demikian sebaliknya. Transmisi budaya yang terjalin dari generasi ke generasi membentuk sebuah pola. Pola yang tampak tersebut dapat kita gunakan sebagai penanda kelompok. Dapat dikatakan bahwa budaya merupakan identitas kelompok masyarakat.
commit to user 189
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Ethnic identity may be seen as a set of ideas about one’s own ethnic groups membership. (Identitas etnis dapat dipandang sebagai serangkaian perangkat ide-ide tentang keanggotaan kelompok etnis mereka). (Nakayama, 1999:160). Budaya membentuk identitas etnik. Identitas ini begitu penting bagi kelompok, secara internal identitas akan menguatkan kelompok. Having an etnhic identity means experiencing a sense of belonging to a particular group and knowing something about the shared experience of group members. (Kepemilikan identitas etnis berarti berpengalaman atas rasa memiliki untuk menjadi bagian kelompok dan memahami sesuatu tentang berbagi pengalaman antar anggota kelompok). (Nakayama, 1999: 160). Hal ini sangat diperlukan untuk melestarikan budaya yang mereka miliki. Konteks eksternal, identitas akan menunjukkan eksistensi kelompok. Oleh karena itu setiap kelompok akan merasa berharga apabila dia mendapat pengakuan dari sekeliling tentang keberadaannya. Perubahan tatanan dunia yang cepat dan pergolakan struktur sosial tradisional meningkatkan tingginya ketidakpastian di antara banyak orang. Sebagai akibatnya, ”jutaan orang percaya, bahwa tempat perlindungan mereka yang aman adalah kelompok dengan etnis, iman kepercayaan, ekonomi atau pandangan politik yang sama.” (Samovar, 2010:183). Ditambahkan lagi oleh Fong dalam Samovar, identitas kebudayaan adalah, “Identifikasi komunikasi dari sistem perilaku simbolis verbal dan non verbal yang memiliki arti dan dibagikan di antara anggota kelompok yang memiliki rasa saling memiliki dan yang membagi tradisi, warisan, bahasa, dan norma-norma yang sama. Identitas budaya merupakan konstruksi sosial.”
commit to user 190
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Bali merupakan salah satu wilayah yang memiliki etnisitas yang kuat. Etnisitas tersebut dijaga secara turun temurun dengan kuat. Bukan hanya dengan budaya namun agama merupakan aspek yang begitu menonjol dalam pola kehidupan masyarakat Bali, sehingga seolah tidak dapat dibedakan antara budaya dan agama Bali. Dari sejarah menunjukkan Belanda melihat etnisitas Bali merupakan potensi yang cukup berharga untuk dilestarikan. Dan hal tersebut sejalan dengan kebijakan yang hingga kini dijalankan oleh pemerintah Bali melalui programnya ajeg Bali. Program ajeg Bali dimaksudkan untuk melestarikan budaya Bali. Ajeg Bali merupakan cara untuk mengkultuskan keberadaan Bali yang tidak dapat dipisahkan dengan Hindu. Hal tersebut tampak dari syarat pembentukan desa pakraman yang mewajibkan adanya Kahyangan Tiga atau tiga Pura dalam kelompok masyarakat. Dimana syarat tersebut sulit bagi kelompok masyarakat yang tidak memeluk agama Hindu, seperti desa Blimbingsari. Kondisi tersebut menyatakan bahwa budaya sebenarnya bukan hanya dipahami sebagai sarana untuk mempertahankan eksistensi suatu kelompok. Namun budaya juga merupakan sebuah cara untuk membangun hegemoni kekuasaan dengan landasan rasa memiliki. Move beyond hegemonic definition of culture as “shared and transmmited from generation to generation” that assume that we all experience a “common culture” and…is passed down from one generation to the next in a linear and seemingly static fashion…that is dangerous myth…that works in invisible yet extremely powerful ways to suppress and erase marginalized voice and experiences. (Gust Yep, in Collier et al., 2002, p.231 in Nakayama ,81)
commit to user 191
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Budaya seolah merupakan kontes untuk memperjuangkan kelas atau kelompok. Perjuangan atas eksistensi kelompok dapat direalisasikan dengan berbagai cara, dan akulturasi budaya merupakan cara yang ditempuh oleh Blimbingsari. Resistance is the metaphor used in cultural studies to conceptualize the relationship between culture and communication. (Nakayama, 1999: 99). Perlawanan adalah kiasan yang digunakan dalam studi budaya untuk mengkonsepsikan hubungan antara budaya dan komunikasi. Blimbingsari menggunakan budaya sebagai medium untuk melakukan perlawanan terhadap budaya dominan. Tidak dengan kekerasan yang dibangun layaknya pemerintah Bali yang merasa perlu untuk mensukseskan ajeg Bali melalui pencalang-nya namun dengan jalur budaya dan komunikasi. Trenholm and Jensen communication is a powerful way of regulating and controlling our world (Samovar, 2007:13). Moden dalam Samovar (2002:197) mengemukakan bahwa “melalui komunikasilah kita dapat mengekspresikan kesamaan dan ketidaksamaan dengan yang lain.” Ditambahkannya lagi, kegunaan komunikasi dalam membentuk dan menetapkan identitas dapat dalam bentuk, termasuk “percakapan, peringatan sejarah, musik, tarian, ritual, upacara, dan berbagai drama sosial. Blimbingsari sebagai desa Kristen tetap merasa bagian dari Bali. Mereka berupaya membangun simbol-simbol akulturasi atas keyakinan Kristen yang mereka imani dengan budaya (Hindu) Bali yang ada. Hasil akultutasi tersebut merupakan media bagi masyarakat Blimbingsari untuk mengkomunikasikan identitas mereka sebagai sebuah kelompok. Mereka membutuhkan pengakuan.
commit to user
192
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Rekayasa simbol yang dilakukan masyarakat Blimbingsari melalui akulturasi budaya yang mereka lakukan merupakan upaya mereka untuk mendapatkan identitas etnis Bali. Etnisitas atau identitas etnis berasal dari warisan, sejarah, tradisi, nilai, kesamaan perilaku, asal daerah, dan bahasa yang sama. (Samovar, 2002:187).
Dalam
beberapa unsur budaya
yang dimiliki Blimbingsari
menunjukkan bahwa mereka memiliki etnis Bali dalam darah mereka. Terbukti dengan asal daerah, kesamaan perilaku, nilai, bahasa dan lain sebagainya. Namun ada beberapa budaya fisik yang dipahami masyarakat awam sebagai wujud budaya yang tidak dimiliki Blimbingsari. Tokoh-tokoh Blimbingsari melakukan akulturasi dengan merekayasa pesan melalui penyesuaian dengan budaya Bali. Sebenarnya dalam kehidupan sehari-hari, adat istiadat Bali telah dijalankan secara turun temurun, namun pelembagaan itu belum ada, sehingga mereka perlu untuk menciptakannya. Perekayasaan simbol dimulai dari kebudayaan fisik berupa artefak, bangunan dalam masyarakat seperti yang dijelaskan di atas bagaimana gereja Pniel dibangun. Simbol juga dibangun melalui tindakan mereka. Melalui akulturasi kebudayaan fisik, dapat membangun gagasan yang dipahami oleh masyarakat Blimbingsari sendiri dan masyarakat di luar Blimbingsari sebagai identitas mereka. Sehingga mereka dapat diakui sebagai masyarakat Bali, walaupun beragama Kristen.
commit to user 193
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Menjawab rumusan masalah, bagaimana masyarakat Blimbingsari yang berkeyakinan Kristen melakukan akulturasi dengan Hindu (Bali) agar identitas budaya mereka itu tetap Bali sehingga eksistensi mereka tetap terjamin, sebagaimana telah diuraikan dalam Bab V analisa data, diperoleh kesimpulan sebagai berikut: Bahwa proses akulturasi yang terjadi di Blimbingsari antara agama Hindu dan agama Kristen dilakukan melalui beberapa medium atau saluran dalam komunikasi yaitu: 4. Arsitektur Gereja Pniel Blimbingsari. 4.1. Arsitektur Gereja Pniel Blimbingsari dan Layout atau Tata Letak Gereja Pniel Blimbingsari Akulturasi melalui medium arsitektur, unsur Hindu dan arsitektur Kristen tampak dalam tata letak atau layout gereja yang mirip dengan pura yakni bagian luar gereja, bagian pelataran dan bagian tempat beribadah. Tata letak pura yang terdiri dari tiga tingkatan utama, yaitu Bencingah atau disebut dengan Jaba, Jaba Tengah serta Jeroan. Filosofi dalam membangun gereja juga serupa dengan bagaimana umat Hindu membangun pura. Gereja Pniel berpedoman pada letak
commit to user 194
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gunung Agung tempat dimana matahari terbit yang melambangkan kehidupan. Orang Bali percaya roh dan kehidupan yang datang atau mengalir dari gunung, sedangkan laut (kelod/lod) adalah kematian. Akulturasi tampak pula dari bentuk pintu masuk dan bangunan yang berbentuk candi yakni berupa candi bentar dan candi gelung yang melambangkan tentang tujuan umat saat masuk pura harus dapat memisahkan pikiran negatif sebelum bersembahyang. Dan candi kurung supaya mereka memfokuskan diri kepada Sang pencipta. Pada gereja Pniel pintu masuk bangunan berbentuk candi bentar dan candi kurung namun demikian hanya sebatas fisik, pemahaman secara dalam tentang makna candi tidak dipahami serupa layaknya orang Hindu memahami makna candi.
Unsur-unsur
Hindu
di dalam arsitektur
Kristen
tersebut
menunjukkan adanya akulturasi Kristen dengan Hindu, namun dalam tataran fisik saja. 4.2. Ukir-Ukiran Gereja Pniel sebagai Perwujudan Akulturasi Kristen dengan Hindu (Bali). Akulturasi melalui medium ukir-ukiran, unsur Hindu dalam ukirukiran Kristen nampak dalam karya yang ada pada bangunan gereja Pniel. Ukiran yang terdapat pada lingkungan pura dimana umat Hindu mengadakan persembahyangan disebut karang patra. Kata patra sendiri memiliki makna keadaan (desa, kala, patra), namun juga berarti sastra. Dan yang dimaksud dengan patra disini adalah pahatan seni ukir Bali, yang menyimpan makna mendalam tentang ajaran agama Hindu.
commit to user 195
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Secara bentuk goresan, ukir-ukiran yang ada di gereja Pniel merupakan ukir-ukiran (Hindu) Bali yang serupa dengan ukiran di purapura Bali, karena yang membuatpun orang Hindu dari Ubud. Namun, akulturasi dalam ukir-ukiran gereja Pniel hanya bersifat fisik, karena isi dari ukir-ukirannya adalah cerita yang terambil dari Alkitab baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Sehingga makna ukir-ukiran tentu berbeda dengan ukiran yang ada di pura yang memuat ajaran Hindu.
5. Tata Ibadah Gereja Pniel Blimbingsari 5.1. Ritual atau Prosesi dan Liturgi Ibadah di Gereja Pniel Blimbingsari Akulturasi melalui medium ritual atau prosesi, unsur Hindu dalam ritual atau prosesi Kristen tampak pada pemaknaan ritual atau prosesi itu sendiri. Bentukan Ritual Kristen pada dasarnya cukup berbeda dengan keyakinan Hindu. Namun, dalam ritual atau tata ibadah kontekstualisasi gereja Pniel Blimbingsari tampak unsur Hindu mempengaruhi prosesi, sehingga pemikiran tentang penggabungan unsur Hindu dan Kristen bukan hanya dalam tataran fisik namun juga bersifat sinkretik, yakni penggunaan alat-alat pendukung seperti tata urutan ibadah atau liturgy, penggunaan salam dan bahasa serta musik dalam beribadah. Dalam liturgy ritual Kristen Blimbingsari terdapat penggunaan kata Swastiastu sebagai kata votum atau salam, penggunaan Gong kebyar dan pujian berbahasa Bali dalam ibadah kontekstual setiap awal bulan, serta pakaian adat Bali bagi jemaatnya. Ritual atau prosesi oleh kedua keyakinan baik Hindu maupun
commit to user 196
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kristen diyakini memiliki manfaat yang sama, yakni membangun sense of religious. 5.2. Alat Musik Pengiring Ibadah. Akulturasi melalui medium kesenian (musik) unsur Hindu dalam sistem kesenian Kristen tampak pada penggunaan gong kebyar bersama seka gong-nya dalam upacara keagamaan. Kristen sebagai agama barat pada umumnya menggunakan alat musik organ atau piano dalam ibadahnya, sementara Hindu (Bali) biasanya menggunakan gong kebyar beserta seka gong-nya. Pada kebaktian kontekstual di gereja Pniel Blimbingsari, ibadah diiringi dengan gong kebyar beserta seka gong-nya seperti layaknya umat Hindu ketika menggelar upacara keagamaan mereka. Tujuan dari akulturasi ini adalah membangun suasana dalam ibadah. Gong Kebyar dipilih karena gereja Pniel ingin menunjukkan bahwa mereka adalah orang Bali yang juga mempunyai kesenian Bali, serta menggunakan alat tersebut untuk membangun feeling pada saat mereka beribadah. 6. Sistem sosial kemasyarakatan Blimbingsari 6.1. Desa Adat Kristen Blimbingsari Akulturasi unsur Hindu dalam organisasi sosial warga Kristen Blimbingsari tampak dari pembentukan sebuah desa adat Kristen Blimbingsari sebagai desa pakraman sejak tahun November, 2009. Pembentukan tersebut sebagai upaya pengkomunikasian dan perlawanan
commit to user 197
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
masyarakat Blimbingsari atas kebijakan pemerintah Bali tentang ajeg Bali. Kebijakan tersebut dinilai kurang menguntungkan bagi warga non Hindu (walaupun Bali) karena untuk menjadi warga Bali haruslah tergabung dalam desa pakraman. Jika tidak, muncul asumsi bahwa mereka adalah pendatang atau orang asing. Hal ini cukup merugikan warga Blimbingsari karena mereka tidak dapat membentuk desa pakraman yang bersyarat dibangunnya Kahyangan Tiga (Pura Pasek, Pura Dalam, dan Pura Desa). Maka desa adat Kristen adalah upaya untuk membentuk organisasi sosial kemasyarakatan yang sejenis dengan desa pakraman. Desa adat Kristen Blimbingsari dibentuk dengan tata atau struktur organisasi sejenis dengan desa pakraman. Urusan adat desa yang selama ini dipegang oleh Pendeta sedikit demi sedikit akan digeser ke Bendesa Adat yang dibentuk. Dan demikian pula untuk beberapa keputusan adat yang lain. 6.2. Awig-awig Desa Adat Kristen Blimbingsari Akulturasi unsur Hindu dan Kristen terhadap terhadap warga Blimbingsari juga terjadi dalam awig-awig desa adat Kristen Blimbingsari. Awig-awig desa adat Kristen pada mulanya tidak ada. Namun seiring dengan terbentuknya desa adat Kristen maka dibuatlah awig-awig. Dalam awig-awig desa adat Kristen tercantum beberapa unsur Hindu seperti penyebutan Tuhan Yesus dengan Ida Sang Hyang Yesus Kristus. Ida Sang Hyang adalah sebutan yang biasa digunakan umat Hindu untuk menyembah junjungannya. Penyebutan gereja dengan pura, sehingga
commit to user 198
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menjadi Pura Gereja Pniel Blimbingsari. Isi awig-awig desa adat Kristen juga dibuat menggunakan filosofi masyarakat Bali tentang Tri Hita Kirana, yakni Parahyangan, Palemahan, Pawongan. Berdasarkan filosofi dan pembentukan awig-awig tersebut, warga Blimbingsari ingin mengkomunikasikan bahwa mereka juga bagian dari Bali. Mereka juga dapat menerapkan unsur Tri Hita Kirana dalam kehidupan keseharian mereka karena mereka adalah orang Bali.
6.3. Adat Istiadat Blimbingsari: Akulturasi Budaya Hindu Bali dan Kristen Akulturasi melalui medium adat istiadat, unsur Hindu dalam adat istiadat Kristen (perkawinan, kematian, dan warisan) tampak bahwa akulturasi terjadi pada tampilan fisik masyarakat ketika mereka melakukan upacara. Pakaian adat Bali senantiasa menjadi penanda di setiap upacara bahwa mereka adalah orang Bali. Selain itu, akulturasi tampak pada sistem gotong royong yang dijalankan masyarakat, baik Hindu maupun Kristen. Namun pemaknaan terhadap tampilan fisik ataupun bentuk prosesi adat antara Kristen dengan Hindu memuat perbedaan. Hal tersebut berkaitan dengan keyakinan mereka masing-masing. Tiga medium di atas merupakan medium yang digunakan warga Blimbingsari
untuk
mengkomunikasikan
identitas
mereka.
Warga
Blimbingsari merasa perlu untuk mengkomunikasikannya karena kebijakan Ajeg Bali dianggap merugikan mereka yang tidak berkeyakinan Hindu. Akulturasi merupakan upaya yang mereka gunakan untuk melakukan
commit to user 199
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
perlawanan tanpa kekerasan. Akulturasi budaya Kristen terhadap Hindu Bali oleh masyarakat Blimbingsari adalah bentuk konformitas yang coba dilakukan untuk mengurangi konflik yang terjadi dalam masyarakat Bali. Akulturasi budaya melalui tiga medium yang dimaksudkan oleh masyarakat Blimbingsari lebih pada fisik tampilan luar, tidak menyentuh aspek keyakinan kekristenan Blimbingsari. Namun pada tata ibadah atau ritual gereja Pniel Blimbingsari yang terjadi tampaknya bukan hanya pada tataran akulturasi. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa apa yang dilakukan oleh masyarakat Blimbingsari, terutama pada ritual atau tata ibadah gereja merupakan wujud sinkretisme antara Kristen dengan Hindu. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa sinkretisasi gereja Pniel Blimbingsari merupakan identitas baru Kristen Bali, sebuah identitas bahwa walaupun masyarakat Blimbingsari adalah masyarakat Kristen namun mereka tetap masyarakat Bali.
B. Saran Saran yang diberikan penulis dalam penelitian ini berkaitan dengan akulturasi yang terbangun adalah keberlangsungan budaya Blimbingsari. Selama ini, Blimbingsari dipimpin oleh seorang pendeta yang mempunyai visi atas pengakuan identitas Blimbingsari sebagai warga Bali. Hal tersebut diwujudkan melalui simbol-simbol yang secara sengaja diciptakan melalui akulturasi budaya. Permasalahan yang kelak dapat timbul adalah bagaimana kedepan jika pendeta Ayub sudah tidak lagi menjadi pendeta jemaat di Blimbingsari.
commit to user 200
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Oleh karena itu saran yang hendak penulis berikan adalah membangun kesadaran kaum muda di Blimbingsari dan penanaman nilai identitas budaya yang kuat supaya budaya Blimbingsari dapat dipertahankan. Saran yang kedua adalah bagi pemerintah Bali. Benar faktanya bahwa Bali lebih dari 90 persen warganya adalah warga Hindu, namun demikian tidak berarti bahwa warga non-Hindu adalah warga tamu atau orang asing. Mereka lahir dan beridentitas Bali maka selayaknya warga Hindu Bali, pemerintah sepatutnya memberikan perlakuan yang sama dengan memberikan ruang yang juga memadahi bagi warga Bali walaupun non Hindu.
commit to user 201