REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN
Krisis ekonomi yang sampai saat ini dampaknya masih terasa sebenarnya mengandung hikmah yang harus sangat berharga. Ternyata, pemberdayaan sektor pertanian merupakan syarat utama untuk keluar dari krisis ekonomi. Oleh karena itu, Revitalisasi Pertanian harus dapat diwujudkan. Sebagai sektor yang menyerap tenaga kerja terbanyak sektor pertanian sesungguhnya telah keberatan beban. Akan tetapi kini harus dapat menyerap lebih banyak tenaga kerja karena barisan penganggur yang puluhan juta jumlahnya tak mungkin dalam waktu dekat dapat diserap sektor non pertanian. Gairah dan kesadaran untuk kembali lebih memberdayakan sektor pertanian harus dibarengi dengan meningkatnya kearifan dalam merumuskan strategi pembangunan di sektor ini. Dalam hal ini ada tiga faktor penting yang harus diperhatikan. Pertama, implikasi dari perubahan lingkungan strategis. Kedua, meningkatnya kelangkaan modal dan sumberdaya alam. Ketiga, implikasi dari perubahan paradigma pembangunan yang harus dapat diwujudkan dalam sistem penyelenggaraan
pembangunan
yang
dijiwai
semangat
demokrasi.
Sistem
perencanaan, pelaksanaan dan kontrol dalam penyelenggaraan pembangunan akan lebih banyak diwarnai pendekatan bottom up dan desentralisasi. Perluasan otonomi daerah akan lebih banyak memberi ruang kepada visi, persepsi dan partisipasi masyarakat setempat dalam pendayagunaan sumberdaya dalam penyelenggaraan pembangunan. Sesuai dengan fitrahnya, pembangunan pertanian sangat diwarnai oleh keterkaitannya yang sangat erat dengan sumberdaya alam. Sumberdaya alam dapat diklasifikasikan ke dalam tiga (3) kelompok, yaitu : (1) sumberdaya alam yang tak dapat pulih atau tak dapat diperbaharui, (2) sumberdaya alam yang dapat diperbaharui, dan (3) sumberdaya alam yang mempunyai sifat gabungan antara (1) dan (2). Sumberdaya yang termasuk dalam kelompok (3) ini dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu : (i) sumberdaya biologi, dan (ii) sumberdaya tanah. Dalam konteks pendayagunaan sumberdaya alam, penggolongan seperti itu membawa implikasi berikut : 1. Dalam perencanaan, potensi ancaman terhadap kelestarian akibat ketidakpastian mengenai perkembangan teknologi terhadap sumberdaya alam yang tak
89
dapat diperbaharui lebih tinggi dari pada sumberdaya alam yang dapat diperbaharui. 2. Keberhasilan perkembangan teknologi seringkali mendorong masyarakat kurang memperhatikan potensi-potensi ancaman tersebut. 3. Adanya penemuan barang-barang sintetis tidaklah berarti dapat menolak perlunya usaha konservasi sumberdaya alam. Dari sudut pandang sumberdaya, masalah pertanahan lingkup makro di Indonesia saat ini dan masa mendatang terkait dengan implikasi dari faktor-faktor berikut: (a) Konfigurasi daratan. Indonesia terdiri dari ribuan kepulauan. Karena letaknya tersebar di sekitar garis katulistiwa, sebagian besar daratan Indonesia beriklim basah, kecuali gugus kepulauan di Nusa Tenggara bagian Timur. Pada saat ini lebih dari 30 persen (pangsa terbesar adalah untuk sektor pertanian) daratan Indonesia telah didayagunakan, sehingga luas hutan sekitar 70 persen. (b) Pertumbuhan dan persebaran penduduk antar wilayah dan antar pulau. Pertumbuhan penduduk Indonesia masih tergolong tinggi, dengan persebaran yang tidak merata, dimana 60 persen penduduk tinggal di wilayah yang luasnya hanya 6,9 persen dari luas daratan Indonesia (Pulau Jawa). (c) Konversi lahan. Konversi lahan kawasan hutan menjadi lahan budidaya berlangsung semakin cepat dan dalam luasan yang kurang terkendali. Sementara itu konversi lahan pertanian ke non pertanian juga belum berhasil dikendalikan, dan terjadi di lokasi-lokasi yang menjadi andalan produksi pangan nasional. Kebijakan yang ada maupun implementasinya belum efektif untuk mengendalikan laju alih fungsi dan minimalisasi dampak negatifnya. (d) Implementasi program konservasi sumberdaya. Perambahan dan pembakaran hutan bersifat kronis dan belum berhasil dikendalikan, dan praktek konservasi Daerah Aliran Sungai (DAS) belum memasyarakat. Masalah perencanaan di bidang produksi selalu berkaitan dengan: apa yang akan diproduksi, berapa banyak, dengan cara/metode apa, dimana, kapan, dan bagaimana mendistribusikannya. Oleh karena sebagian besar proses produksi pertanian bersifat land-base, proses produksi pertanian sangat dipengaruhi oleh karakteristik agroekosistem dimana unsur-unsur utamanya adalah tanah, air, iklim (suhu, curah hujan, kelembaban, sinar matahari), dan biota setempat; serta struktur penguasaan tanah.
90
Walaupun masih memerlukan pelengkapan informasi yang lebih rinci, informasi pertanahan di Indonesia pada saat ini telah cukup tersedia. Dengan memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan telah disusun suatu sistem pakar untuk mengevaluasi dengan cepat alternatif komoditi yang sesuai dan sistem produksi yang tepat untuk suatu lahan. Terkecuali untuk Irian Jaya, peta-peta agroekologi dan alternatif pengembangan pertanian untuk seluruh wilayah Indonesia telah disusun. Untuk kepentingan perencanaan maupun evaluasi terhadap hasil-hasil pembangunan pertanian, peta kesesuaian tanah itu sangat dibutuhkan. Akan tetapi, hal itu saja tidak cukup. Program pengembangan komoditas membutuhkan pula data dan informasi tentang struktur penguasaan tanah agar implementasi program tidak mengalami hambatan sosial-ekonomi. Dalam setiap program pertanian, hasil yang akan dicapai selalu ada kaitannya dengan struktur pemilikan dan penggunaan tanah. Inilah yang dalam literatur disebut sebagai masalah land tenure yang implikasinya sangat luas bagi keberhasilan program-program pertanian. Oleh karena itu, reforma agraria sebenarnya merupakan bagian integral dari revitalisasi pertanian. Strategi pembangunan merupakan suatu kombinasi dari kebijaksanaan dan program yang bertujuan untuk mempengaruhi pola dan laju pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini, pembangunan pertanian harus terintegrasi dengan pembangunan pedesaan. Strategi pembangunan pedesaan lazimnya mencakup : (a) program pembinaan kelembagaan, (b) program penanaman modal pada prasarana fisik, sosial, dan ekonomi, (c) program penyempurnaan pemasaran faktor produksi dan komoditas pertanian, dan (d) perumusan kebijaksanaan harga, perpajakan, dan agraria yang wajar. Kegagalan mengintegrasikan pembangunan pertanian dan pembangunan pedesaan dapat mengakibatkan terjadinya pertumbuhan output saja, dan itupun tidak berkelanjutan (sustainable). Dari sudut pandang sosial ekonomi, masalah pertanahan di Indonesia pada saat ini dan di masa mendatang masih akan berkutat dengan implikasi dari faktor-faktor berikut: 1. Disparitas pembangunan antar sektor yang kurang serasi. 2. Disparitas pembangunan antar wilayah yang cukup besar. 3. Sistem administrasi pertanahan dan penegakan hukum yang belum memadai. 4. Implementasi Undang-Undang Penataan Ruang masih lemah. 5. Penguasaan tanah tidak kondusif untuk pengembangan pertanian yang kompatibel dengan tuntutan peningkatan keunggulan kompetitif produk. Rata-rata
91
penguasaan tanah terlalu kecil dan terus menyusut seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan terus berlangsungnya pemecahan lahan melalui pewarisan. 6. Persaingan antar sektor, antar golongan masyarakat ataupun antar individu untuk memperoleh lahan semakin tajam. Peningkatan kebutuhan tanah untuk pengembangan prasarana perhubungan, industri, jasa, dan pemukiman serta untuk pertanian. Data kuantitatif yang dapat memberikan ilustrasi betapa strategisnya peranan tanah dan pertanian dalam ekonomi pedesaan (terutama bagi masyarakat berpendapatan rendah) dapat disimak misalnya dari hasil analisis data PATANAS: §
Sekitar 51 persen dari pendapatan rumah tangga adalah berasal dari pertanian (Di Jawa 33 persen, di Luar Jawa 61 persen).
§
Pertanian semakin penting peranannya sebagai gantungan nafkah utama rumah tangga pada kelas-kelas pendapatan rendah. Jika rumah tangga dipilah menjadi tiga (3) golongan, yakni : (1) 40 persen rumah tangga berpendapatan terendah, (2) 40 persen rumah tangga berpendapatan menengah, dan (3) 20 persen rumah tangga berpendapatan tertinggi maka dapat disimak bahwa proporsi pendapatan dari pertanian untuk masing-masing kelas itu adalah 62, 52, dan 45 persen. Kecenderungan seperti itu konsisten, baik di Jawa maupun pedesaan Luar Jawa. Menyimak fakta seperti tersebut di atas maka pemecahan permasalahan
yang ditujukan untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga petani maupun masyarakat pedesaan pada umumnya, harus mempertimbangkan beberapa faktor strategis berikut: 1. Perbaikan distribusi dan struktur penguasaan tanah. Ini adalah permasalahan paling strategis. Secara teoritis, redistribusi tanah (land reform) adalah jawaban paling tajam yang dapat diajukan. Akan tetapi, perumusan maupun implementasi kebijakan mengenai substansi ini memang membutuhkan suatu keputusan politik yang berani. Dalam konteks demikian itu, reforma agraria merupakan pendekatan yang secara teoritis maupun empiris layak ditempuh. Dalam reforma agraria, perbaikan distribusi penguasaan tanah ditempuh melalui dua jalur: (i) distribusi pemilikan, dan (ii) distribusi penggarapan. Sebelum sampai pada keputusan tersebut, langkah pertama yang harus dibenahi adalah sistem dokumentasi dan administrasi pertanahan. Penegakan hukum di bidang pertanahan sebagaimana tertuang dalam UUPA harus dilakukan secara konsisten dan konsekuen.
92
Simultan dengan itu, perlu dipikirkan pula kebijakan-kebijakan yang ditujukan untuk mencegah fragmentasi tanah lebih lanjut. Pola pewarisan barangkali perlu dikaji. Sistem transaksi tanah antara satu pihak dengan pihak lain harus dibatasi apabila kecenderungannya adalah untuk memperlakukan tanah sebagai komoditas. Pemanfaatan ruang harus efisien. Konversi lahan pertanian ke non pertanian harus dikendalikan sampai pada tingkat paling rendah, karena bukan hanya luasan lahan pertanian menjadi semakin sempit tetapi lahan-lahan disekitarnya pada umumnya menjadi tidak kondusif lagi untuk kegiatan pertanian. Pada saat yang sama, perbaikan persebaran penduduk harus terus diupayakan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Terkait dengan konteks ini, dalam implementasi undangundang perluasan otonomi daerah diperlukan berbagai pendekatan yang dapat mengeliminasi/meminimalkan konflik-konflik pendatang dengan penduduk setempat. 2. Perbaikan upah buruh tani. Sulit untuk membayangkan rumah tangga pedesaan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya apabila sumber pendapatan utamanya harus tergantung pada kegiatan buruh tani semata. Permintaan tenaga kerja di pertanian adalah berfluktuasi dan musiman (seasonal). Sementara itu, jumlah permintaan tenaga kerja per unit luasan usahatani semakin menurun pula. Perbaikan upah buruh tani harus dilakukan secara tidak langsung melalui peningkatan intensitas pengusahaan garapan usahatani maupun melalui penciptaan kesempatan kerja non pertanian yang dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak. Secara teoritis sulit untuk melakukan intervensi formal dalam perbaikan upah buruh tani karena posisi petani maupun buruh tani dilematis. Hal ini disebabkan sebagian besar buruh tani adalah juga petani, demikian pula sebaliknya. Akibatnya seorang petani di satu sisi berdiri sebagai pihak pemasok tenaga kerja (sisi penawaran), di bagian lain ketika berurusan dengan usahatani garapannya mereka berdiri di sisi permintaan. 3. Mempertahankan/meningkatkan luasan dan kualitas lahan pertanian Lahan-lahan pertanian yang telah ada harus dapat dipertahankan, sementara itu perluasan masih terus dibutuhkan. Mengingat luas hutan yang tersisa, perluasan lahan pertanian hanya dapat dilakukan di luar pulau Jawa, terutama di beberapa lokasi di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya. Sudah barang tentu, hal ini harus dibarengi dengan perpindahan penduduk ke lokasi-lokasi baru tersebut. Di bebarapa lokasi yang telah eksis, perluasan garapan didekati melalui peningkatan
93
intensitas penggarapan. Sudah barang tentu hal ini memerlukan pula penyesuaian pola tanam. Eksploitasi lahan yang semakin intensif tanpa adanya upaya-upaya konservasi yang memadai akan mendorong degradasi kualitas lahan. Dengan demikian perlu tindakan nyata untuk menggelorakan kembali pemanfaatan pupuk organik dan sistem usahatani yang ramah lingkungan. Tidak ada suatu kebijaksanaan yang dapat menjawab banyak masalah, dan tak ada suatu masalah yang pemecahannya hanya membutuhkan satu pendekatan. Dengan kata lain masih banyak aspek-aspek relevan yang sinergis dengan upayaupaya tersebut di atas yang harus ditempuh. Kebijaksanaan-kebijaksanaan
di
bidang harga (masukan maupun keluaran), subsidi di bidang sarana/prasarana pertanian, dan kebijakan yang ditujukan untuk pemberdayaan kelembagaankelembagaan lokal/tradisional yang berkenaan dengan redistribusi pendapatan masyarakat adalah beberapa contoh yang dimaksud.
94