Rasionalitas dan Pembaharuan Muhammad 'Abduh Oleh: Zen Amiruddin * Abstrak Sekurangnya ada tiga sasaran utama pembaharuan Muhammad ‘Abduh: 1) Pembaharuan dalam bidang agama (al-ishlah al-dini) dan pembebasan akal pikir dari tirani taklid; 2) pembaharuan dalam bidang bahasa (al-ishlah al-lughawi), dan 3) pembaharuan dalam bidang politik (al-ishlah al-siyasi). Rasionalitas menjadi ciri dan basis mental yang mendasari pembaharuan pada tiga bidang tersebut. Kata kunci: rasionalitas, Muhammad 'Abduh, pendidikan islam A. Pendahuluan Menurut Nurcholish Madjid, ada perbedaan mendasar antara rasionalisme dan rasionalitas. Yang pertama adalah suatu paham yang mengakui kemutlakan rasio, sebagaimana yang dianut kaum komunis. Maka, seorang pemikir rasionalis adalah seorang yang menggunakan akal pikirannya secara sebaik-baiknya ditambah dengan keyakinan bahwa akal pikirannya sanggup menemukan kebenaran, sampai yang merupakan kebenaran terakhir sekalipun, sedangkan Islam hanya hanya membenarkan rasionalitas, yaitu dibenarkannya menggunakan akal pikiran oleh manusia dalam menemukan kebenaran-kebenaran. Akan tetapi, kebenarankebenaran yang ditemukannya itu adalah kebenaran insani, dan karena itu ia terkena sifat relatifnya manusia.1 Jika kita setuju dengan pendapat ini, maka tepat kiranya jika judul tulisan ini berbunyi Rasionalitas Muhammad 'Abduh. Ini nampaknya bisa diterima, sebab diyakini bahwa ketika Muhammad 'Abduh menyerukan pentingnya penggalian serta keterlibatan potensi akal dalam menemukan nilai-nilai kebenaran, ia sama sekali tidak menyerukan paham rasionalisme yang dianut oleh kaum komunis. Yang ia serukan adalah rasionalitas dalam pengertian seperti yang diberikan oleh Nurcholish Madjid di atas.2 Poin penting yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah pembaharuan Muhammad 'Abduh dalam aspek pemikiran Islam. *
Dosen STAIN Tulungagung Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, cet. IV, (Bandung: Mizan, 1991), p. 181. 2 Tentang seruan 'Abduh ini dapat disimak antara lain dalam Hella Mushtafa, alIslam al-Siyasi fi Mishr, Min Harakat al-Ishlah ila Jama'at al-'Unf, cet. I, (Cairo: Mu`assasah al-Ahram, 1992), pp. 45-46. Lihat juga 'Abdul Halim al-Jundi, Silsilah A'lam al-Islam: Muhammad 'Abduh, cet. II, (Cairo: Dar al-Ma'arif, t.t.), p. 108. 1
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Zen Amiruddin: Rasionalitas dan Pembaharuan Muhammad 'Abduh
676
Pembaharuan mana menekankan pentingnya pemberian porsi yang layak dan wajar serta terkendali bagi akal dalam mencari nilai-nilai kebenaran, walaupun hakikat kebenaran itu sendiri tidak dapat dijangkaunya. Namun, betapa pun 'Abduh menegaskan bahwa seorang Muslim mempunyai kebebasan, ia segera mengingatkan bahwa seorang Muslim tidak sepatutnya menyerahkan diri dan daya pikirnya selain kepada Sang Khalik.3 B. Sekilas Biografi Muhammad 'Abduh Muhammad 'Abduh (1849-1905) lahir di sebuh perkampungan Mahallah Nashr, Syubkhait, privinsi Buhaira, Mesir.4 Ayahnya, 'Abduh bin Hasan Khairullah mempunyai silsilah keturunan bangsa Turki, sedang ibunya mempunyai silsilah keturunan sampai kepada 'Umar bin alKhaththâb.5 Muhammad 'Abduh lahir dan tumbuh dewasa dalam lingkungan desa di bawah asuhan ayah dan ibunya yang tidak ada hubungannya dengan pendidikan formal, tetapi mempunyai jiwa keagamaan yang teguh.6 Oleh orang tuanya 'Abduh disuruh belajar tulis-baca agar kemudian dapat membaca dan menghafal al-Qur`an. Setelah mahir membaca dan menulis, ia pun diserahkan kepada seorang guru untuk diawasi dan dibimbing menghafal al-Qur`an. Dalam waktu dua tahun 'Abduh telah menamatkan hafalan al-Qur`an-nya. Kemudian ia dikirim ke Tanta untuk belajar agama dan pematangan tajwid al-Qur`an di masjid Ahmadi.7 Di Tanta 'Abduh bertemu dengan serorang syekh bernama Darwisy Khadhr, seorang sufi aliran Sanusiyah. Syekh Darwisy memainkan peran penting dalam sisi kehidupan kesufian 'Abduh kala itu. Pada bulan Februari 1866 'Abduh meninggalkan Tanta menuju Cairo untuk belajar di Al-Azhar. Pendidikan di Al-Azhar ditamatkannya pada tahun 1877. 'Abduh berkenalan dengan Jamaluddin al-Afghani ketika yang kedua ini mengadakan kunjungan yang keduanya ke Mesir tahun 1871. 'Abduh menulis sebuah pengantar untuk buku filsafat berjudul Risalah al-Waridat yang ditulis oleh al-Afghani tahun 1872. Pengantar yang ditulis 'Abduh ini dianggap sebagai khasanah pemikiran perdananya dan baru dipublikasikan setelah ia meninggal. Pada waktu itu 'Abduh telah 3
Al-Jundi, Silsilah …, p. 108. Hella Mushtafa, al-Islam al-Siyasi…, p. 45. 5 Muhammad 'Abduh, Risalah al-Tauhid, cet. IX,, terj. KH. Firdaus AN, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), p. vii. 6 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, cet. IX, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), p. 59. 7 Nasution, Pembaharuan dalam Islam…, p. 59. 4
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Zen Amiruddin: Rasionalitas dan Pembaharuan Muhammad 'Abduh
677
mulai menulis artikel pada surat kabar Al-Ahram pada tahun pertama surat kabar itu terbit, yaitu tahun 1876. Pada tahun1877 'Abduh berhasil menyelesaikan studinya di Al-Azhar dan pada tahun berikutnya, 1878 ia diangkat menjadi tenaga pengajar materi sejarah di Dar al-'Ulum, juga ilmu-ilmu kearaban (al-'ulum al-'arabiyah) pada Sekolah Bahasa (al-alsun) dan Sekolah Manajemen (al-idarah).8 Setamat belajar di Al-Azhar 'Abduh sibuk dengan kegiatan belajar sekaligus mengajar, dan segera setelah itu ia mulai aktif menulis ilmu mantiq (logika) dan filsafat. Dikabarkan bahwa sebelum tamat di Al-Azhar pun ia sering memberikan ceramah kepada para pelajar Al-Azhar tentang materi-materi yang ia terima dari gurunya, al-Afghani. Bersama sang guru, 'Abduh terlibat dalam gerakan-gerakan rahasia yang didirikan al-Afghani sendiri di Mesir. 'Abduh pun, bersama al-Afghani masuk gerakan Premasonry (al-Masuniyah) dan Partai Nasional Merdeka (al-Hizb alWathani al-Hurr) yang lantang meneriakkan jargon al-Mishr li al-Mishriyyin (Negara Mesir untuk Rakyat Mesir).9 Pada fase waktu itu 'Abduh banyak menulis tentang pemikiranpemikiran gurunya, yakni al-Afghani, dalam bentuk komentar dan penjelasan (syarah) terhadap beberapa buah pikiran al-Afghani seperti filsafat pendidikan (falsafah al-tarbiyah), filsafat produksi (falsafah al-shina'ah), dan buku Risalah al-Waridat. 'Abduh juga menulis buku Risalah yang kemudian diterjemahkan dan diterbitkan pada surat kabar Al-Ahram oleh Ali Basya Mubarak dengan judul al-Mudabbir al-Insani wa al-Mudabbir al'Aqli al-Ruhani.10 Sewaktu al-Afghani diusir dari Mesir pada tahun 1879 karena dituduh mengadakan gerakan penentangan terhadap Khedewi Taufiq, 'Abduh yang juga dipandang turut campur dalam soal ini, dibuang ke luar kota Cairo.11 Tetapi pada tahun 1880 'Abduh diperkenankan kembali ke Cairo dan diangkat menjadi redaktur surat kabar resmi pemerintah Mesir, al-Waqa'i al-Mishriyah. Di bawah pimpinan 'Abduh, al-Waqa'i al-Mishriyah bukan hanya menyiarkan berita-berita resmi, tetapi juga artikel-artikel tentang kepentingan-kepentingan nasional Mesir.12
8
Hella Mushtafa, al-Islam al-Siyasi …, p. 45. Ibid., p. 45. 10 Ibid., p. 45. Lihat juga Muhammad 'Imarah, al-A'mal al-Kamilah li al-Imam Muhammad 'Abduh, cet. I, (Cairo: Dar al-Syuruq, 1993), p. 26. 11 Nasution, Pembaharuan dalam Islam…, p. 61. Muhammad 'Imarah menyebutkan nama tempat pembuangan 'Abduh itu yaitu Mahallah Nashr, tempat kelahirannya (lihat 'Imarah, al-A'mal al-Kamilah…, p. 27). 12 Nasution, Pembaharuan dalam Islam…, p. 61. 9
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Zen Amiruddin: Rasionalitas dan Pembaharuan Muhammad 'Abduh
678
Pada tahun 1881 didirikan al-Majlis al-A'la li al-Ma'arif al-'Umumiyah (semacam Departemen Pendidikan Nasional) dan 'Abduh ditunjuk sebagai salah seorang anggota badan baru itu. Pada fase waktu ini 'Abduh tidak lagi sibuk dengan kegiatan mengajar tetapi sibuk dengan kegiatan barunya, jurnalistik dan politik. Menurut Muhammad 'Imarah, dunia barunya ini kemudian memunculkan corak 'Abduh yang membedakannya dengan gurunta tentang cara terbaik untuk membangkitkan bangsa Timur. Ketika 'Abduh belajar bersama al-Afghani, antara keduanya dapat dibilang tidak ada perbedaan, selain kadar minat 'Abduh pada filsafat lebih besar. Akan tetapi ketika memasuki dunia politik elite dan politik praktis, perbedaan antara keduanya nampak jelas. 'Abduh lebih tepat digolongkan sebagai reformer (al-mushlih), sementara gurunya lebih tepat disebut revolusioner (al-tsauri).13 Bersama partai Nasional, 'Abduh bergabung dengan gerakan Urabi. Pada bulan September 1882 revolusi Urabi gagal dan kalah. 'Abduh pun dipenjara selama tiga bulan lalu dibuang ke luar negeri pada penghujung tahun 1882.14 Mula-mula 'Abduh pergi ke Beirut. Selama setahun ia di sana. Kemudian atas ajakan gurunya, 'Abduh pergi ke Paris. Di sinilah bersama gurunya ia menerbitkan majalah al-'Urwah al-Wutsqa. Pada tahun 1885 'Abduh kembali lagi ke Beirut via Tunis. Di Beirut 'Abduh mengajar dan menulis pada majalah Tsamarat al-Funun. Setelah enam tahun dalam pembuangan, pada tahun 1888 'Abduh kembali lagi ke Mesir. Kini, setelah dijajah Inggris keadaan Mesir telah berubah. Keadaan inilah yang membawa 'Abduh kepada upaya-upaya pembaharuan agama dan reformasi lembaga-lembaga keagamaan seperti Al-Azhar, Badan Wakat, dan Pengadilan-pengadilan Agama. Pada tahun 1894, oleh Khedevi Abbas, 'Abduh diangkat menjadi anggota Majelis A'la Al-Azhar dan diminta agar melakukan perbaikan-perbaikan yang seharusnya diterapkan di lembaga Al-Azhar.15 'Abduh pun mengadakan perubahan-perubahan serta perbaikan-perbaikan ke dalam tubuh Al-Azhar. Pada tahun 1899, 'Abduh diangkat menjadi mufti Mesir. Kedudukan tinggi ini dipegangnya sampai ia meninggal pada tahun 1905.16 Perjalanan hidup 'Abduh secara umum terbagi ke dalam dua fase. Pertama, fase perjuangan melawan imperaliasme Barat. Dalam fase ini bersama al-Afghani, 'Abduh menyerukan persatuan Islam dalam menghadapi bahaya Barat. Kedua, fase di mana ia menyerukan 13
'Imarah, al-A'mal al-Kamilah…, p. 27. Nasution, Pembaharuan dalam Islam…, p. 62. 15 Hella Mushtafa, al-Islam al-Siyasi …, p. 46. 16 Nasution, Pembaharuan dalam Islam…, p. 62. 14
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Zen Amiruddin: Rasionalitas dan Pembaharuan Muhammad 'Abduh
679
pembaharuan sosial. Pada fase ini ia mengadakan perbaikan-perbaikan sistem pendidikan, pengajaran dan kebudayaan Islam.17 C. Rasionalitas dan Ide-ide Pembaharuan Muhammad 'Abduh Setidaknya ada tiga objek pokok yang menjadi sasaran pembaharuan ‘Abduh. Sebagai berikut: 1. Pembaharuan agama (al-ishlah al-dini) dan pembebasan akal pikr dari tirani taklid. 2. Pembaharuan dalam bidang bahasa (al-ishlah al-lughawi). Dalam hal ini ‘Abduh hendak menjadikan bahasa dan sastra (Arab-Islam) kini sebagai kelanjutan dari masa keemasannya dahulu, seraya menyingkirkan kerancuan-kerancuan yan telah membenamkan kesusastraan ArabIslam dalam formalitas, kemewahan dan keindahan semu, luput dari keindahan substansialnya yang hakiki. 3. Pembaharuan dalam bidang politik (al-ishlah al-siyasi). Bidang ini ia garap sebelum akhirnya ia tinggalkan dan mengkonsentrasikan dirinya dalam bidang terdahulu (agama dan bahasa).18 Walaupun rasionalitas menjadi ciri dan dasar mental yang mendasari tiga lahan pembaharuannya di atas, akan tetapi rasionalitas itu lebih terasa dan kentara dalam lahan yang pertama. Oleh karenanya, tulisan ini akan terfokus pada bidang tersebut. Pembaharuan agama, menurut ‘Abduh, berarti membebaskan akal piker dari ikatan taklid, memahami agama lewat pemahaman kaum salaf umat ini sebelum munculnya perselisihan, kembali kepada sumber-sumber utama dan asli dalam memperoleh pengetahuan (agama) sambil meletakkannya dalam timbangan akal sebagai karunia Allah bagi manusia agar mereka tidak tergelincir dan tersesat. Akal juga merupakan kesempurnaan hikmah Allah dalam memelihara aturan alam insani. Dalam hal ini akal merupakan teman seiring ilmu, pendorong untuk menyingkap rahasia-rahasia semesta (al-kaun), penyeru untuk menghormati hakikathakikat sejati, dan salah satu sarana terbaik untuk mendidik jiwa dan meluruskan amal.19 Pernyataan di atas memberi gambaran jelas tentang bagaimana ‘Abduh sangat menghormati akal, posisi serta kemampuannya dalam mencari, meneliti, dan menemukan hakikat-hakikat semesta dan kehidupannya. Ini sama sekali tidak mengimplikasikan makna bahwa agama dalam pemikiran ‘Abduh menempati posisi di bawah akal. Ia justru 17
Hella Mushtafa, al-Islam al-Siyasi …, p. 46. 'Imarah, al-A'mal al-Kamilah…, p. 183. 19 Ibid., p. 184. 18
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Zen Amiruddin: Rasionalitas dan Pembaharuan Muhammad 'Abduh
680
menjadikan agama sebagai sumber pertama dan asasi bagi segenap aktifitas manusia. Tentang kedudukan akal dalam peta pemikiran pembaharuan agama ‘Abduh dapat dilihat dalam beberapa poin penting di bawah ini: Pertama, ‘Abduh sangat meninggikan kedudukan akal dalam menafsirkan al-Qur`an. Dalam hal ini ‘Abduh menekankan pentingnya meningalkan beberapa sisi pandangan para mufasir terdahulu bagi orangorang yang hendak menafsirkan al-Qur`an dengan penafsiran modern. Para penafsir kontemporer hanya perlu membekali diri dengan perangkat kebahasaan, beberapa asbab nuzul, sirah Nabi dan pengetahuanpengetahuan sejarah manusia, kehidupan semesta dan bangsa-bangsa yang disebutkan al-Qur`an. Bagi ‘Abduh, pendapat para mufasir klasik terikat dengan tingkat kemampuan akal dan derajat ilmu yang mereka capai, dan berlaku hanya bagi kelompok sosial dan lingkungan budaya mereka saat itu. Dengan sendirinya maka akal nalar kita dewasa ini tidak boleh terpaku dengan apa yang mereka capai, dan hasil olah pikir kita semestinya tidak sama dengan hasil olah pikir mereka.20 Dengan sendirinya pula taklid kepada ulama lama tidak perlu dipertahankan bahkan mesti diperangi karena taklid inilah yang membuat umat Islam berada dalam kemunduran. ‘Abduh mengkritik ulama-ulama yang memunculkan paham taklid. Sikap ulama-ulama itu, kata ‘Abduh, membuat umat Islam terhenti berpikir dan akal mereka berkarat.21 Karena ‘Abduh percaya akan kekuatan akal, maka ia berpendapat bahwa pintu ijtihad perlu dibuka dan taklid perlu diberantas. Menurut pendapatnya, al-Qur`an berbicara bukan hanya kepada hati manusia tetapi juga kepada akalnya. Islam memandang akal mempunyai kedudukan tinggi.22 Kedua, menurut ‘Abduh, akal mempunyai kedudukan yang tinggi dibanding dengan kekuatan-kekuatan lain yang dimiliki manusia. Dalam posisi ini ‘Abduh sangat dekat dengan sikap para filosof ketuhanan Muslim di antaranya adalah kaum Muktazilah. ‘Abduh pernah berkata: “Akal merupakan kekuatan manusia yang paling utama, bahkan ia merupakan kekuatan bagi segenap kekuatan manusia dan pilarnya. Alam semesta merupakan lembaran dan buku yang harus dibaca dan diteliti oleh akal, dan semua hasil bacaannya merupakan petunjuk menuju-Nya juga merupakan jalan untuk bisa sampai kepada-Nya.”23 20
Ibid., p. 185. Nasution, Pembaharuan dalam Islam…, p. 64. 22 Ibid., p. 64. 23 'Imarah, al-A'mal al-Kamilah…, p. 185. 21
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Zen Amiruddin: Rasionalitas dan Pembaharuan Muhammad 'Abduh
681
Ketiga, berkenaan dengan teks-teks klasik keagamaan yang diterima dari generasi terdahulu, ‘Abduh membedakan antara teks al-Qur`an dan teks-teks selainnya. Bagi ‘Abduh, teks-teks non al-Qur`an tidak memiliki kelebihan selain sebagai argumen dan data klasik semata. Ini dikarenakan kita tidak memiliki informasi yang cukup dan orisinil tentang sanad (untaian para pembawa riwayat) yang menyampaikan berita-berita kepada kita. Oleh karena itu, kita tidak bisa menjadikannya sebagai hujjah yang bisa mengalahkan argumen akal yang merupakan kekuatan manusia paling tinggi. Tentang ini ‘Abduh pernah berkata kepada kepada salah seorang ulama dari India: “Apalah arti sebuah sanad yang aku sendiri tidak tahu pasti tentang orang-orangnya, keadaan serta kedudukan ke-tsiqah-annya dan ke-dhabith-annya. Mereka hanyalah nama-nama yang disampaikan oleh para syekh berikut sifat-sifatnya yang kita ikuti saja apa adanya, sementara kita tidak pernah punya jalan untuk membuktikan apa yang mereka katakan.”24 Sikap sebaliknya kita lihat ketika berkenaan dengan nash al-Qur`an. Untuk nash ini ‘Abduh menerima sepenuhnya tanpa sedikit pun keraguan dan bantahan. Ini bukan karena zahir nash al-Qur`an memberikan tawaran-tawaran yang sejalan dengan apa yang mungkin dicapai akal dan argumen-argumennya serta relevan dengan apa yang dicapai oleh ilmu pengetahuan, akan tetapi karena ia (nash al-Qur`an) memberikan kerangka yang jelas yang dalam kerangka itu akal manusia dapar mereguk dan menyerap pesan-pesan moral yang disampaikan al-Qur`an itu sendiri. Juga karena al-Qur`an memberikan sebuah kerangka yang di dalamnya manusia dapat mendayagunakan akal dan ilmu tanpa ada perselisihan dan benturan dengan nash-nash al-Qur`an. 25 Sikap 'Abduh seperti itu oleh Muhammad 'Imarah dikategorikan sebagai sikap salafiyah-'aqliyah (salafi-rasional). Sikap ini membedakan 'Abduh dari sikap kelompok salafiyin yang hanya mencukupkan diri dengan apa yang mereka peroleh dari kaum salaf. Pemikiran mereka bercorak salafi-nushushi (tradisional-tekstual). Pada saat yang sama juga membedakan 'Abduh dari kelompok rasionalis tulen ('aqlaniyin) yang berpijak pada akal saja. Yang menjadi ciri pemikiran kelompok pertama adalah memperlakukan teks-teks klasik yang mereka terima dan para pendahulunya dengan segala penghormatan sambil mendudukannya pada tingkat di atas akal. Sementara itu sikap kelompok kedua berbanding terbalik dengan sikap kelompok pertama. Mereka dengan seenaknya mengenyahkan semua teks-teks klasik tanpa verifikasi antara teks-teks 24 25
Ibid., p. 186. Ibid., p. 186. Lihat juga al-Jundi, Silsilah…, pp. 108-109.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Zen Amiruddin: Rasionalitas dan Pembaharuan Muhammad 'Abduh
682
klasik yang ada. Tindakan seperti ini justru dijauhi oleh 'Abduh ketika ia mengadakan pamilahan antara teks-teks mutawatir dengan teks-teks yang disampaikan para periwayat tidak dapat dipastikan kredibilitasnya, atau lewat jalur sanad yang kita tidak mempunyai perangkat untuk membuktikan kredibilitas pribadi dan validitas berita yang dibawanya.26 D. Muhammad 'Abduh dan Pembaharuan Pendidikan Islam Pembaharuan yang dilancarkan Muhammad 'Abduh mempunyai dampak yang amat luas dan menentukan terhadap perjalanan mutakhir sejarah Islam.27 Banyak tema pembaharuan Muhammad 'Abduh merupakan kelanjutan tema-tema pembaharuan Muhammad bin 'Abdul Wahab di Jazirah Arab. Meskipun 'Abduh mempunyai wawasan yang lebih luas daripada Muhammad bin 'Abdul Wahab, namun jejak-jejak pandangan keagamaan Hanbali juga nampak padanya. Juga nampak jelas pada Muhammad 'Abduh jejak-jejak pandangan keagamaan yang jauh lebih liberal daripada kaum Wahabi, sehingga 'Abduh sering disebut sebagai seorang pemikir reformasi Islam jenis "modernis". Modernisme 'Abduh antara lain tercermin dalam sikpanya yang apresiatif terhadap filsafat.28 Seperti halnya al-Afghani, 'Abduh melihat bahwa salah satu sebab keterbelakangan umat Islam yang amat memprihatinkan ini ialah hilangnya tradisi intelektual, yang intinya adalah kebebasan berpikir. Tapi berbeda dengan al-Afghani, 'Abduh melihat bidang pendidikan dan keilmuan lebih menentukan ketimbang bidang politik. Karena itu, 'Abduh kemudian memilih mencurahkan perhatiannya kepada usaha reformasi intelektual dan pendidikan, berpisah dengan al-Afghani dalam hal strategi.29 Yang pertama-tama ia usahakan adalah merombak dan mereformasi almamaternya sendiri, yakni Universitas Al-Azhar. Sebagai anggota Majlis A'la Universitas Al-Azhar, 'Abduh membawa perubahan-perubahan dan perbaikan-perbaikan ke dalam tubuh Al-Azhar. Di antara perubahan yang ia tawarkan adalah pada tahun 1896 ia mengajukan agar Al-Azhar membuka fakultas kedokteran dan farmasi. Ia menegaskan pentingnya kesehatan dan bahwasanya ia perlu didukung dengan lingkungan yang sehat. Gaji para guru pun ditingkatkan dan diperoleh secara reguler setelah sebelumnya diperoleh secara tidak menentu bahkan terkadang tidak
26
Ibid., p. 187. Madjid, Islam Kemodernan…, p. 304. 28 Ibid., p. 310. 29 Ibid., p. 310. 27
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Zen Amiruddin: Rasionalitas dan Pembaharuan Muhammad 'Abduh
683
diperoleh sama sekali. Hasilnya pun terlihat, para mahasiswa mulai semangat masuk kuliah dan mengikuti ujian.30 Reformasi Al-Azhar juga dilakukan dalam hal penambahan materimateri kuliah seperti ilmu hitung, aljabar, sejarah, geografi, dan ilmu-ilmu umum lainnya. Ilmu logika (mantiq) dan filsafat pun akhirnya mendapat tempat di Al-Azhar.31 Buku-buku baru yang sebelumya tidak pernah dikenal di Al-Azhar kini mulai diajarkan, seperti buku Dala`il al-I'jaz wa Asrar al-Balaghah karangan al-Jurjani, al-Washilah al-Adabiyah karangan Husain al-Mashrafi, al-Kamil karangan al-Mubarrad, dan al-Hammasah karangan Abu Tamam, juga Risalah al-Tauhid karya 'Abduh sendiri. Ketakutan akan hal baru yang mengandung manfaat kini kini telah pudar.32 Pandangan 'Abduh yang menyeluruh mengenai arti penting pendidikan dan pengajaran dapat dilihat dalam kata-katanya berikut: "Masalah pendidikan merupakan segalanya…Di atasnyalah segala sesuatu dibangun…Segala hal yang hilang adalah hilang karena hilangnya ilmu, dan segala yang ada adalah ada karena adanya ilmu…."33 Kata-kata ini oleh Muhammad 'Imarah dianggap sebagai kata-kata seorang idealis yang menjadikan aspek pendidikan sebagai segala-galanya, sambil mengenyampingkan aspek-aspek lain yang tidak kalah penting dalam memajukan kehidupan manusia, seperti aspek sosial, ekonomi, politik dan sebagainya.34 E. Penutup Meskipun pemikiran Muhammad 'Abduh mempunyai kesamaan besar dengan gurunya, al-Afghani, akan tetapi 'Abduh lebih terbuka terhadap pemikiran rasional. Ia banyak mempelajari teori yang dikembangkan Ibn Khaldun, juga banyak terpengaruh oleh filsafat Islam rasional, khususnya filsafat Ibn Sina.35 Pendapat-pendapat dan ajaran-ajaran Muhammad 'Abduh mempengaruhi dunia Islam pada umumnya, terutama dunia Arab melaui karangan-karangan 'Abduh sendiri dan melalui tulisan-tulisan muridmuridnya seperti Muhammad Rasyid Ridha, Qasim Amin, Tanthawi Jauhari, Muhammad Haikal, 'Abbas al-'Aqqad, dan sebagainya.36 30
Al-Jundi, Silsilah…, pp. 76-77. Ibid., p. 77. 32 Ibid., pp. 77-78. 33 'Imarah, al-A'mal al-Kamilah…, p. 153. 34 Ibid., p. 153. 35 Hella Mushtafa, al-Islam al-Siyasi …, p. 54. 36 Nasution, Pembaharuan dalam Islam…, p. 68. 31
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
684
Zen Amiruddin: Rasionalitas dan Pembaharuan Muhammad 'Abduh
Kendati demikian, Muhammad 'Abduh bukan manusia tanpa kekurangan. Sisi kelemahan dalam pemikirannya juga pasti ada. Dengan demikian, koreksi terhadapnya pun—sambil tetap mengakui kebesaran dan kedudukannya yang cukup terhornat dalam peta pemikiran dan pembaharuan Islam—tidak tertutup kemungkinannya.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Zen Amiruddin: Rasionalitas dan Pembaharuan Muhammad 'Abduh
685
Daftar Pustaka 'Abduh, Muhammad, Risalah al-Tauhid, cet. IX, terj. KH. Firdaus AN, Jakarta: Bulan Bintang, 1992. 'Imarah, Muhammad, al-A'mal al-Kamilah li al-Imam Muhammad 'Abduh, cet. I, Cairo: Dar al-Syuruq, 1993. _______, al-Imam Muhammad ‘Abduh, Mujaddid al-Dunya bi Tajdid al-Din, cet. II, Dar al-Syuruq: Kairo, 1988. Al-Jundi, 'Abdul Halim, Silsilah A'lam al-Islam: Muhammad 'Abduh, cet. II, Cairo: Dar al-Ma'arif, t.t. Madjid, Nurcholish, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, cet. IV, Bandung: Mizan, 1991. Mushtafa, Hella, al-Islam al-Siyasi fi Mishr, Min Harakat al-Ishlah ila Jama'at al-'Unf, cet. I, Cairo: Mu`assasah al-Ahram, 1992. Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Bebagai Aspeknya, cet. VI, Jakarta: UI Press, 1986. _______, Islam Rasional, cet. IV, Bandung: Mizan, 1996. _______, Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, cet. IX, Jakarta: Bulan Bintang, 1992. Sulaiman Ahmad, Abdul Hamid, Ázmat al-'Aql al-Muslim, cet. I, Virginia: International Institute of Islamic Thought, 1991
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009