RANGKUMAN ESTETIKA : MAKNA, SIMBOL DAN DAYA
Oleh :
Ida Ayu Dyah Maharani 197805102006042002
FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN INSTITUT SENI INDONESIA Denpasar 2011
DAFTAR ISI
Daftar Isi……………………………………………………………………………... ii BAB I
PENDAHULUAN
Raut Estetika …………………………………………………...………………..…... 1 Estetika dan Simbolisme …………………………………………………………..… 1 Estetika dan Moralitas ……………………………………………………………..…2 Kritik Terhadap Modernitas ………………………….……………………………… 2 Postmodernitas yang Retak-retak………………………………………………...….. 3 BAB II
PEMIKIR ESTETIKA DI INDONESIA
Keluhuran Budi……………………………………………..………………………... 4 Citra dan Orisinalitas…………………………………………………….………...… 4 Budaya yang Hidup……………………………………………..………………….…5 Keindahan yang Membumi…………………………………………………………... 6 Historisitas…………………………………………………....................................… 6 Mencumbui Makna……………………………………………..……………….…… 6 BAB III
PEMBERDAYAAN & MAKNA KARYA ESTETIS
Kembali ke Akar……………………………………………………………………... 8 Pemberdayaan…………………………………………………………………...…… 8 Penegakan Makna …………………………………………..……………………….. 9 Wacana Estetik Modern di Indonesia……………………………………………...… 10 BAB IV
KEDAYAAN NILAI ESTETIK MODERN DI INDONESIA
Wacana Kedayaan Estetik……...…………………………………………..………... 12 Peragaman Rupa………………………………………………..………...………..… 12 Keinsyafan dan Keadaban………………………………………..……………...……13 Kesantunan Intelektual…………………...…….……………………...……………...13 Membangun Cita ………………………………………….……………………...…..14 Mengais Budaya Kreatif ………………………………………………………..….... 14 Berpihak pada Sejarah…………………………………………………...…………... 15
ii
Kloning Budaya………………………………………..…………………………….. 15 Wajah Jati Diri………………………………………………………………..…….... 15 BAB V
PENUTUP
Kesimpulan…………………………………………...…………………...…..……... 17
iii
Rangkuman Estetika : Makna, Simbol dan Daya
BAB 1 PENDAHULUAN
RAUT ESTETIKA. Adanya istilah yang kerap tidak tepat digunakan dan definisi yang sangat beragam, maka bangun estetika dapat ditarik ulur, dan kemudian berujung pada simpang siurnya pemahaman estetika sebagai filsafat dan estetika sebagai praksis dalam berkesenian di Indonesia. Memandang estetika sebagai suatu filsafat, pada hakikatnya menempatkannya pada satu titik dikotomis antara realitas dan abstraksi, serta juga antara keindahan dan makna.
Estetika tidak lagi menyimak keindahan dalam pengertian
konvensional, melainkan telah bergeser ke arah sebuah wacana dan fenomena. Beberapa pandangan mengenai estetika setiap waktu mengalami pergeseran, sejalan dengan pergeseran konsep estetik dari setiap jaman. Pandangan bahwa estetika hanya mengkaji segala sesuatu yang indah (cantik dan gaya seni), telah lama dikoreksi karena terdapat kecenderungan karya-karya seni modern tidak lagi menawarkan kecantikan, tetapi lebih pada makna dan aksi mental. Kemudian dalam perkembangannya terdapat adanya istilah Kebudayaan Barat (kerap dianalogikan dengan unsur “rasionalitas”) dan Kebudayaan Timur (kerap dianalogikan dengan “suasana hati”).
Dalam peradaban dunia, dua
kebudayaan ini selalu dipertentangkan. “Timur” dan “Barat” lebih berupa perseteruan, persaingan dan perang daripada saling mengerti, bersahabat dan bekerja sama.
Bagi
kebanyakan orang “Timur”, “Barat” selalu dihubungkan dengan kapitalisme, teknologi dan imperialisme. Bagi masyarakat “Barat”, “Timur” selalu berkonotasi dengan negara-negara yang padat penduduk, serba miskin, terbelakang dan amat tradisional. Demikian pula di akhir abad ke-20, pandangan-pandangan mengenai estetika mengalami rekonstruksi dan penyegaran-penyegaran baru ketika filsafat Posmodern berkembang sejalan dengan wacana kaum Postrukturalis. ESTETIKA DAN SIMBOLISME.
Dalam dunia kesenirupaan dan budaya benda,
pembicaraan estetika yang penting adalah tentang simbolisme, karena manusia bukan saja sebagai pembuat alat melainkan juga sebagai mahluk pembuat simbol melalui bahasa visual. Menurut gagasan Ernst Cassirer tentang bentuk simbolis adalah bahwa karya estetis bukanlah semata-mata reproduksi dari realitas yang “selesai”. Seni merupakan salah satu jalan ke arah pandangan obyektif atas benda-benda dan kehidupan manusia.
1
Rangkuman Estetika : Makna, Simbol dan Daya
Seni bukan imitasi realitas tapi penyingkapan realitas, dan mengajarkan manusia untuk menjadikan benda-benda itu berwujud rupa. Lalu Susanne K. Langer mengatakan bahwa realitas yang diangkat ke dalam simbol seni hakekatnya bukan realitas obyektif melainkan realitas subyektif, sehingga bentuk simbolis yang dihasilkannya memiliki ciri khas. ESTETIKA DAN MORALITAS. Terdapat cara pandang yang berbeda antara pemikir Barat (yang memiliki kecenderungan menata nilai-nilai estetik ke arah bagaimana “manusia mendunia” yang diwujudkan dalam bentuk praksis karya seni yang menggugah pancaindra dan juga menggelitik aspek psikologis manusia) dengan pemikir Islam (yang cenderung menghampakan dunia karena sesuatu yang konkret absolut itu hanyalah Tuhan dan yang lain adalah hampa, tanpa makna dan kosong). Menurut Mohammad Iqbal, seni dapat membangkitkan emosi dengan meniru tragedi dan komedi kehidupan, dan seni sesungguhnya menyenangkan, tetapi kesenangan hanyalah salah satu akibat dan bukan tujuan. Menurutnya Iqbal, seni memiliki tiga tujuan yaitu hidup itu sendiri, pembinaan manusia dan kemajuan sosial. Sehingga seni ditempatkan di bawah moralitas, kehidupan dan kepribadian. Sedangkan menurut Seyyed Hossein an Nasr, dalam dunia Muslim nilai estetika memiliki keterkaitan langsung dengan prinsip tauhid.
Prinsip ini merupakan
penjabaran langsung dari dunia metafisika dengan berbagai tingkat pengertiannya. Makna tertinggi nilai estetik adalah kontemplasi total terhadap realitas tertinggi ilahiah sebagai substansi terakhir, atau yang disebutnya sebagai wujud murni. KRITIK TERHADAP MODERNITAS. Sejak tragedi Perang Dunia II, para pemikir filsafat mulai merenung secara mendalam tentang makna modernitas yang dicapai, dimana kecanggihan teknologi dan ilmu pengetahuan ternyata hanya menciptakan keruntuhan peradaban yang telah dibangunnya. Dalam situasi seperti inilah muncul penggagas estetika yang memberontak dan mempertanyakan kembali makna kehidupan. Menurut Albert Camus, seniman merupakan seseorang yang berkreasi melalui seni dengan logika tersendiri yang berbeda dengan logika bidang lainnya, dimana logika seni didasarkan pada nilai keindahan. Seniman mengalami pengalaman estetis yang tersusun atas empat hal yaitu obyek, intuisi, pengetahuan dan pengalaman. Sedangkan Paulo Freire mengatakan bahwa seni dan nilai estetik kerap hanya dilihat sebagai usaha mengekspresikan kreativitas melalui media seni. Tema pokok gagasannya, untuk dapat melihat kaitan ideologi dengan kebudayaan dalam perubahan sosial yang intinya mengacu pada visi “proses 2
Rangkuman Estetika : Makna, Simbol dan Daya
memanusiakan manusia”, serta melihat kebudayaan sebagai bagian dari sistem masyarakat yang justru menjadi pelanggeng proses dehumanisasi yang menganalisis tentang kesadaran (magical consciousness, naifal consciousness dan critical consciousness) atau pandangan hidup masyarakat terhadap diri mereka sendiri.
Bagi Herbert Marcuse, masyarakat
industri modern adalah masyarakat yang segala segi kehidupannya diarahkan pada satu tujuan saja yaitu keberlangsungan dan peningkatan sistem yang telah ada (sistem kapitalisme). Karya seni tidak lagi menggambarkan dan menunjukkan dimensi hidup “yang lain” tetapi justru merupakan pendukung wacana yang mapan. Karya estetik jatuh menjadi komoditas. Menurutnya, karya seni yang sungguh-sungguh memenuhi fungsinya ada pada masa sebelum rasionalitas teknologi menguasai seluruh segi kehidupan seperti sekarang ini. POSMODERNITAS
YANG
RETAK-RETAK.
mengikuti Modernisme, tapi juga mengkritiknya.
Posmodernisme bukan hanya Ketika Modernisme sangat
mengagungkan orisinalitas dalam kreasi seni, seniman Posmodern lebih suka mengambil karya seni yang sudah ada untuk dikembangkan dalam pola dan lingkup baru. Seniman Posmodern mencakup bidang yang sangat luas dalam menggubah karya seni. Komunitas ini cenderung menjadi eklektik dengan sumber inspirasi mencakup bidang yang luas, yang kebanyakan dari budaya populer. Seniman Posmodern memberontak terhadap tendensi seni modern utnuk mencari nilai-nilai universal.
Ideologi budaya Posmodern adalah
keragaman dalam implementasi yang sangat luas.
Pada seni modern, terdapat
kecenderungan membatasi penikmat seni sebagai akibat keyakinannya bahwa nilai estetis sebuah karya seni bersifat obyektif dan setiap orang harus sampai pada penilaian estetis yang sama, sehingga tidak banyak yang mampu melakukannya. Sedangkan pada Posmodern, karya seni dianggap sebagai sesuatu yang terbuka dan setiap orang berhak memahami sesuai dengan keputusannya sendiri. Derida menyatakan bahwa runtuhnya makna karena tanda, aturan dan norma sehingga apapun yang berkaitan dengan obyek ataupun subyek, kehadirannya tak lagi memiliki dasar. Keruntuhan makna terjadi ketika masing-masing
peradaban
melakukan
tekstualisasi
atas
peradaban
lain
dan
meminggirkannya.
3
Rangkuman Estetika : Makna, Simbol dan Daya
BAB 2 PEMIKIR ESTETIKA DI INDONESIA
Secara umum pemikiran estetik di Indonesia terbagi atas tiga kelompok besar, yaitu pertama, pemikir yang menekankan aspek keluhuran budi dan moralitas; kedua, pemikir yang mengutamakan citra dan orisinalitas, pemberadaban; dan ketiga, pemikir yang menempatkan estetika sebagai bagian dari makna. KELUHURAN BUDI. Para pemikir estetika yang menekankan keluhuran budi, selalu berkaitan dengan proses pendidikan manusia untuk menjadi lebih baik daripada sebelumnya, melalui proses penyadaran atau proses pembelajaran. Karya estetis yang benar-benar indah hanya muncul dari manusia yang memiliki keluhuran budi dan kehalusan rasa. Penilaian indah atau tidaknya karya, bukan dilihat semata dari artifak yang dihasilkan namun pada perilaku penciptanya. Dalam kondisi tersebut, sebenarnya estetika yang tumbuh bukanlah terbelakang dan tidak modern, namun bersifat “transendental” karena ungkapan fisiknya tidak penting dan yang penting adalah bagaimana imbasnya pada pembentukan watak satu generasi yang memiliki karakter sensitif terhadap keindahan yang utama. Oleh Ki Hajar Dewantara, ide akan kehalusan dan keseimbangan itulah yang sebenarnya mendasari estetika yang diharapkan terserap pada pribadi-pribadi anak didik untuk berbudi pekerti yang luhur dan juga keseimbangan antara keterampilan dan kecerdasan. Sedangkan filsafat keindahan menurut Ki Ageng Suryomentaram bertitik tolak dari pendekatan dikotomis antara yang indah dan yang kurang indah.
Dalam
memandang keindahan, manusia harus bebas dari pikiran rasa senang atau rasa benci karena rasa semacam itu akan menutupi keindahan yang sebetulnya. Segala sesuatu itu mengandung sifat indah sesuai dengan makna, fungsi dan keberadaannya. Gagasan estetik Diyarkara selalu bermula dari manusia sebagai pusat pelaku yang biasanya berupaya untuk menjasmani atau menduniakan diri. Estetik dapat dipandang sebagai satu fenomena manusia untuk meningkatkan kejasmaniannya, namun juga dapat dipandang sebagai sebuah pilihan yang semakin menjerumuskannya ke dalam kehidupan dunia. CITRA DAN ORISINALITAS. Citra dapat membangun nilai estetis lebih bermakna untuk menjadi tanda-tanda sebuah peradaban. Unsur kebaruan yang menyertai orisinalitas (yang menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam mewujudkan nilai estetik) suatu karya
4
Rangkuman Estetika : Makna, Simbol dan Daya
amatlah penting untuk membangun citra dan eksistensi suatu nilai yang hadir di tengahtengah kebudayaan. Citra, menurut Y.B. Mangunwijaya merupakan dimensi yang lebih tinggi dibanding guna, yang bersumber pada jati diri yang mendalam dan berkualitas. Citra berkaitan dengan gambaran (imaji) suatu kesan penghayatan yang menangkap art bagi seseorang, sehingga citra menunjukkan tingkat kebudayaan suatu bangsa dan juga lambang yang membahasakan segala hal yang manusiawi, indah dan agung. Sari arti estetis tidak dapat diserap dari kulit luar belaka, tetapi harus disuling dari pemahaman mendalam
tentang
realitas
sebenarnya.
Secara
mendalam,
Achmad
Sadali
mengungkapkan bahwa nilai estetik sebagai suatu wujud karya budaya, tidak terlepas dari dua hal pokok yaitu orisinalitas dan identitas, karena peniruan ataupun duplikasi amatlah tidak pantas dalam dunia kesenian. Tanpa orisinalitas dan identitas, karya seni yang dihasilkan tidak memiliki makna dalam kenyataan hidup berbudaya. BUDAYA YANG HIDUP. Citra peradaban suatu bangsa lebih bisa diamati melalui kualitas estetik artifak yang ditinggalkannya dibandingkan dengan skala waktu dan pencapaian-pencapaian budaya yang sejalan.
Nilai estetik sesaat yang menyertai
peradaban dapat dikategorikan kurang memiliki kedayaan yang tinggi, namun nilai estetik yang membudaya dan berlangsung selama berabad-abad membuktikan tingkat kebudayaan dan kedigjayaannya dalam menghadapi waktu. Sutan Takdir Alisyahbana menganggap bahwa
Indonesia
adalah
bangsa
yang
“menerima”
sehingga
Indonesia
tidak
menyumbangkan filsafat mendalam yang dapat mempengaruhi sejarah dunia atau berpengaruh terhadap munculnya ilmu pengetahuan baru. Namun beliau masih percaya bahwa nilai estetik memiliki kedayaan. Dalam menghadapi dunia yang semakin modern, tingkat kedayaannya harus ditambah melalui asimilasi dengan ilmu pengetahuan dan pertimbangan ekonomi sehingga nilai estetik di masa yang akan datang tetap memiliki peran yang penting dalam peradaban bangsa. Di sisi lain, Dick Hartoko mengamati bahwa pengalaman estetis memiliki kedayaan yang luar biasa dalam membentuk manusia modern. Kedayaan nilai estetis diyakininya dapat berperan dalam pendidikan kreatif yang membentuk masa depan. Sedangkan gagasan Umar Kayam tentang estetika, umumnya ditempatkan dalam konteks transformasi budaya, yang merupakan satu sudut pandang yang meyakini terdapatnya kedayaan sosial pada seni tradisi dan komunitas seni yang sedang mengalami perubahan.
5
Rangkuman Estetika : Makna, Simbol dan Daya
KEINDAHAN YANG MEMBUMI. Kedayaan nilai estetik tidak hanya dapat diamati sebagai upaya manusia untuk membangun citra ataupun kontemplasi terhadap kosmos, tetapi juga dapat dipahami sebagai upaya manusia untuk membumi. Kepedulian terhadap kenyataan di sekitar merupakan wujud lain kedayaan nilai estetik untuk memahami dunia. Gagasan estetika S. Sudjojono menyerukan pentingnya Nasionalisme, meskipun pengungkapannya internasional (universal). Estetika kejuangan memiliki analogi dengan estetika Camus (memberontak) dan Freire (pembebasan).
Untuk menjadi seorang
pengungkap nilai estetik dalam berkesenian yang terpenting adalah watak. Pandangan Sanento Yuliman tentang estetika yang juga tak kalah penting adalah bahwa nilai estetik diyakini memiliki kedayaan dalam setiap proses pembaharuan. HISTORISITAS. Menurut The Liang Gie, karya estetis adalah kumpulan segenap kegiatan budi pikiran seorang seniman yang secara mahir mampu menciptakan suatu karya sebagai pengungkapan perasaan manusia.
Hasil ciptaan kegiatan itu adalah suatu
kebulatan organis dalam suatu bentuk tertentu dari unsur-unsur yang bersifat ekspresif serta termuat dalam suatu medium inderawi. Gagasan terpentingnya adalah kesadaran akan kedayaan estetika sebagai upaya untuk mengangkat nilai kemanusiaan. Dengan demikian kehidupan budaya ini dibawa ke arah nilai-nilai yang lebih manusiawi. Sedangkan cara pandang AAM Djelantik cenderung mengadopsi cara pandang estetika klasik yang memandang estetika menjadi dua kelompok besar yaitu keindahan alami dan keindahan yang dibuat oleh manusia. Dalam proses apresiasi karya estetik, dibagi menjadi tujuh bagian yaitu sensasi, persepsi, impresi, emosi, interpretasi, apresiasi dan evaluasi. MENCUMBUI MAKNA.
Menurut Mudji Sutrisno, pengalaman estetis hakekatnya
melibatkan pengamatan inderawi yang sekaligus melibatkan unsur dalam “diri” manusia ikut terbawa oleh pengamatan itu, jiwaraga, dengan segala indera dan kemampuan lainnya. Agar pengalaman estetis dapat berkembang dalam diri manusia, perlu sikap dalam diri pengamat yang disebut the aesthetic attitude. Sedangkan obyek estetis merupakan satu bagian integral dari pengalaman dan perhatian estetis.
Mudji menilai titik pangkal
pengalaman estetis terletak pada pengamatan inderawi. Sedangkan bagi Tommy F. Awuy, kedayaan estetik suatu karya seni tetap merupakan potensi yang besar dalam wacana kebudayaan. Seni memiliki potensi yang setara dengan ekonomi, politik, teknologi bahkan
6
Rangkuman Estetika : Makna, Simbol dan Daya
agama. Sedangkan Yasraf Amir Pilliang mendudukkan estetika sebagai sebuah wacana yang mengalami pergeseran penting sejak terbangunnya masyarakat pasca industri dan dari kebudayaan modern bergeser menjadi kebudayaan Posmodern.
Obyek estetik yang
sebelumnya selalu dikaitkan dengan fenomena modernisasi, pada masyarakat sekarang, obyek estetik didefinisikan kembali dengan kode-kode baru, dengan bahasa estetik baru dan dengan makna-makna yang baru.
7
Rangkuman Estetika : Makna, Simbol dan Daya
BAB 3 PEMBERDAYAAN & MAKNA KARYA ESTETIS
Karya desain dan seni rupa memiliki makna “operasional” terhadap pencapaian peradaban masyarakat, baik yang berkaitan dengan kemampuan teknologi, situasi ekonomi, gaya hidup masyarakat, dinamika sosial, kebijakan pembangunan, hingga tingkat cita rasa masyarakatnya. KEMBALI KE AKAR. Pergeseran nilai estetik memiliki ketertautan dan keterkaitan secara langsung dengan proses transformasi budaya sebuah bangsa. Kondisi itu dipicu oleh melebarnya keterbukaan budaya. Perubahan suatu tatanan menjadi sebuah tatanan baru, bagaimanapun cepatnya (revolusioner) tetap terikat oleh kaidah-kaidah alamiah yang harus melalui suatu proses yang berjenjang.
Pemahaman proses transformasi dapat
diandaikan sebagai suatu proses perubahan total dari suatu bentuk lama kepada sosok baru yang akan mapan, dan dapat pula diandaikan sebagai tahap akhir dari suatu perubahan. Teori transformasi secara umum dapat dipahami sebagai suatu perubahan yang terjadi di masyarakat, ketika “serat-serat” budaya yang menyangga suatu peradaban tidak dapat lagi berfungsi sebagai penyangga kebudayaan yang tengah berlangsung. Transformasi dapat diandaikan sebagai kondisi perubahan pada “pilar budaya” tersebut dengan berbagai keanekaan dan kedalamannya. Dalam proses transformasi budaya, ada dua unsur penting yaitu terjadinya proses inkulturasi (suatu latihan setiap pelaku kebudayaan untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan kebudayaan yang terjadi) dan akulturasi (area bertemunya dua kebudayaan dan masing-masing dapat menerima nilai-nilai bawaannya, dimana syarat terjadinya akulturasi adalah adanya affinity, homogenity dan selection). PEMBERDAYAAN. Dalam lingkup yang lebih khusus, dinamika nilai-nilai estetik yang teraga dapat diamati sebagai bagian dari suatu proses untuk memberdayakan diri terutama dalam rangkaian upaya mengimbangi arus kebudayaan kuat dunia yang saling mengambil peran dalam wacana kebudayaan Indonesia. Untuk itu, dalam memahami nilai estetik, seorang pengamat dapat menempatkan diri dalam “perputaran” budaya yang masingmasing secara relatif mengalami pergeseran-pergeseran juga.
Pemberdayaan dalam
konteks modernisasi merupakan sebuah konsep yang lahir dari alam pemikiran Barat di abad ke-20.
Dalam dunia desain dan kesenirupaan, kelompok-kelompok pemberdayaan
8
Rangkuman Estetika : Makna, Simbol dan Daya
ini juga telah menjadi suatu fenomena yang amat reaktif terhadap kondisi dan dominasi konsep-konsep desain dari negara-negara maju. Konsep pemberdayaan oleh pengamat sejarah dinilai tidak terlepas dari akar terjadinya gelombang pemikiran baru di Eropa yang dikenal sebagai gerakan Aufklarung (pencerahan) yang melanda benua Eropa pada abad pertengahan. Dalam lingkup pembangunan, konsep pemberdayaan memiliki konsep yang lebih luas dengan mengemukakan konsep kekhasan lokal, pengumpulan kedayaan, kebhinekaan dan peningkatan kemandirian sebagai wujud dari pemberdayaan partisipatif. Dalam lingkup pergeseran nilai, pemberdayaan merupakan upaya untuk mengubah dengan cara-cara yang khusus, baik didasarkan kepada bakat seseorang, kedayaan pribadi maupun kedayaan cinta.
Nilai-nilai estetik dalam dunia desain dan kesenirupaan, terbukti
merupakan upaya manusia untuk menyesuaikan diri terhadap perkembangan wacana nilainilai modernitas universal.
Di akhir abad ke-20, fenomena pemberdayaan estetik
menunjukkan intensitas yang semakin tinggi, terutama setelah maraknya multimedia, pembangunan kawasan hunian dan produk industri. Namun, falsafah Posmodern yang menjadi rujukan budaya amatlah radikal sehingga bagi masyarakat transisi mengalami cultural shock yang menyebabkan pemiuhan tata nilai modernitas yang baru terbentuk setengah matang. PENEGAKAN MAKNA.
Dalam pemahaman tinjauan desain, nilai estetik dipahami
sebagai bagian utuh dari sebuah wujud benda fungsional. Dalam pengamatan tranformasi budaya, nilai estetik sebuah karya desain akan dinilai bermakna jika merupakan “tanda” terjadinya proses “dialog budaya” ataupun proses “sintesis budaya”.
Demikian pula
dengan peranan waktu dalam pengamatan, sebuah obyek desain yang “monumental” akan tetap memiliki makna sebagai “tanda jaman” serta menjadi bagian dalam proses transformasi budaya.
Makna budaya dapat dipahami sebagai bagian dari proses
transformasi budaya secara keseluruhan yang terjadi dalam ribuan tahun ataupun dalam periode yang lebih pendek. Dalam teori modernisasi, terdapat dua fenomena kebudayaan yang berjalan berdampingan yaitu kebudayaan tradisional dan kebudayaan modern. Dalam memberikan pemaknaan, seorang penafsir terikat oleh aspek tematis, pertama, tidak ada “titik nol” yang mutlak sebagai awal untuk menafsirkan makna; kedua, tidak ada pandangan yang bersifat total untuk memahami suatu obyek dalam sekejap; ketiga, karena tidak ada penafsiran secara total maka tidak ada situasi mutlak yang membatasi; keempat, memiliki peluang memadukan antar fenomena karena fenomena yang diamati tidak ada 9
Rangkuman Estetika : Makna, Simbol dan Daya
yang bersifat tertutup. Dalam kondisi yang serba rumit ini, estetik tetap harus memiliki makna bagi kehidupan umat manusia. Makna dalam lingkup estetika secara konvensional sering dimengerti menjadi tiga kelompok besar, pertama, makna psikologis yang merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas batin manusia, perenungan dan kemahabesaran Tuhan; kedua makna instrumental yang sebagai bagian manusia dalam menyelenggarakan kehidupan ragawinya melalui ekspresi dalam berkarya; ketiga, makna yang dimiliki oleh estetika itu sendiri dalam mewujudkan esksistensinya yang direpresentasikan dalam pengembangan ilmu, filsafat seni ataupun penyadaran baru. Makna dalam kerangka pemberdayaan, sering dianalogikan dengan upaya penyadaran masyarakat, proses pembelajaran dan juga upaya perlawanan budaya sebagai tindakan partisipatif dari masyarakat untuk melakukan program modernisasi dan pembangunan. WACANA ESTETIK MODERN DI INDONESIA. Nilai-nilai estetik modern yang hadir di Indonesia secara historis tidak dapat dipisahkan dari peranan orang-orang Belanda yang berkarya di tanah air, di samping karya bangsa Indonesia sendiri yang mulai beradaptasi dengan nilai-nilai modern baik yang melalui pendidikan maupun apresiasi terhadap gaya hidup orang-orang Eropa yang berada di Indonesia. Perkembangannya di Indonesia melalui beberapa periode yaitu 1) Masa Pertama Mooi Indie”, berkembangnya gaya naturalis yang dirintis oleh sejumlah pelukis Belanda, 2) Masa Kedua (1940-1960), yang memiliki kecenderungan pengungkapkan obyek secara emosional, mewujud dari dunia fantasi dan memiliki kecenderungan bersifat dekoratif, 3) Masa Ketiga (setelah 1960), era tumbuhnya gaya abstrak. Dalam wacana desain modern, nilai estetik telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan aktivitas desain itu sendiri. Perkembangan desain modern yang mengutamakan aspek obyektif dalam berkreasi, tidak menyurutkan nilai estetik yang berperan di dalamnya. Secara keseluruhan, terdapatnya keterbukaan dalam wacana estetik di Indonesia dapat dinilai sebagai upaya pemberdayaan desain, baik untuk meningkatkan kualitas rupa, meningkatkan kenyamanan, meningkatkan kualitas hidup ataupun sebagai rangkaian “tanda-tanda” jatidiri kebudayaan nasional yang sedang tumbuh. Tidak dapat dipungkiri bahwa peranan nilai estetik yang teraga dalam berbagai bentuk di masyarakat merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem lain yang lebih besar, terutama sistem sosial yang menjadi “narasumber” dan “bahan pertimbangan” karya tersebut.
Supaya nilai estetik tidak kehilangan makna sebagai
“tanda-tanda” peradaban yang lengkap, kegiatan desain dan nilai-nilai estetik yang 10
Rangkuman Estetika : Makna, Simbol dan Daya
terendap di dalamnya, secara keseluruhan tetap perlu “didudukkan” dalam percaturan perkembangan seni rupa modern di Indonesia. Dalam pertimbangan aksiologis, nilai-nilai estetik dalam karya desain merupakan preferensi yang mantap sebagai suatu obyek yang memberi nilai dan juga merupakan obyek yang memiliki kelayakan untuk dinilai.
11
Rangkuman Estetika : Makna, Simbol dan Daya
BAB 4 KEDAYAAN NILAI ESTETIK MODERN DI INDONESIA
Wacana estetika dapat dinilai sebagai proses pemberdayaan, serta dapat dipahami sebagai sebuah upaya yang mendorong terjadinya dinamika peradaban. Dalam hal tersebut, telah tampak peran pemberdayaan dalam pergeseran nilai-nilai estetik modern sepanjang lebih dari satu abad di Indonesia yang mengisi proses pendimanisan budaya serta sebagai oposisi terhadap “kemapanan”.
Budaya desain, dunia kesenirupaan dan sistem nilainya
merupakan sebuah wacana yang melibatkan tatanan sosial yang luas, serta terbukti menjadi pengisi penting sejarah bangsa. WACANA KEDAYAAN ESTETIK. Pergeseran nilai estetik yang dipahami sebagai suatu penyadaran merupakan proses pemahaman suatu fenomena budaya, dan pengambilan tindakan untuk memilah unsur-unsur positif dari terjadinya pergeseran-pergeseran tersebut. Pergeseran nilai estetika dalam kerangka yang lebih luas, bermakna pula proses pembelajaran dan penghalusan budi sebuah bangsa. Fenomena pergeseran yang terjadi akibat pengaruh unsur “luar” maupun dinamika proses kreasi dapat dipahami sebagai upaya peningkatan kualitas hidup manusia.
Dalam lingkup lain, pada pergeseran-
pergeseran tersebut terdapat pula upaya-upaya pemberdayaan masyarakat yang dapat ditarik hikmahnya melalui rangkaian pembelajaran budaya ke depan. PERAGAMAN RUPA. Tumbuhnya keragaman gaya pada dunia desain dan kesenirupaan di Indonesia dibentuk oleh adanya pengaruh dari kebudayaan donor yang kuat. Namun dari aspek maknawi tetap merupakan suatu proses penyadaran bahwa nilai-nilai estetik menjadi bagian penting dalam proses transformasi budaya. Di samping keragaman gaya estetik, terdapat pula keragaman tematis nilai-nilai estetik yang menyertai karya-karya pembangunan fisik dan juga dalam berekspresi. Tema tersebut amat beragam. Hal itu berkaitan dengan telah tumbuhnya atmosfer keterbukaan yang lebih luas dalam segala bidang. Tema merupakan pengelompokan gagasan berdasar wacana utama kebudayaan serta menjadi ciri utama keteragaan fisikal dalam setiap kurun waktu. Tema estetik selalu berkembang sejalan dengan dinamika sosial budaya dan percaturan peradaban. Semakin beragam tema, mencirikan terdapatnya upaya-upaya pemberdayaan nilai, baik secara
12
Rangkuman Estetika : Makna, Simbol dan Daya
“vertikal” dengan melahirkan wacana-wacana baru di dalam perbincangan falsafah keindahan, maupun secara horisontal yang melahirkan “anak-anak budaya” baru yang menghasilkan varian gaya, pengembangan bahasa rupa ataupun keunikan rupa yang bernarasumber dari tema utama. KEINSYAFAN DAN KEADABAN. Pertumbuhan nilai-nilai estetik dalam kehidupan sehari-hari secara umum dibangun oleh masyarakat itu sendiri dalam upaya meningkatkan kualitas kebudayaannya. Indikasi apresiasi masyarakat terhadap desain mulai berkembang. Pengaruh nilai-nilai estetik Barat dan kebudayaan Pop dunia semakin membesar ketika arus informasi melanda dunia. Daya tahan budaya nasional yang telah tumbuh, kemudian mulai mencair dalam wacana budaya dunia tersebut. Hal itu ditunjukkan oleh kesadaran akan demokratisasi dan hukum yang lebih mantap, menguatnya kehendak untuk berotonomi dan mencerna kebudayaan Barat secara utuh. Tali pengikat yang selama ini dipegang terutama adalah ideologi ‘Pancasila’, ‘Persatuan Bangsa’, penghormatan kepada bahasa nasional dan penghormatan terhadap keragaman etnik. Bobot suatu karya estetik juga dapat dinilai dari makna dan misinya secara makro atau posisinya dalam proses pembangunan masyarakat. Dalam karya desain, bobot umumnya dinilai oleh produkproduk yang memiliki muatan : berorientasi ekspor (besarnya minat masyarakat internasional kepada produk berbasis kria di Indonesia ditunjukkan dengan semakin besarnya permintaan ekspor produk tersebut ke berbagai negara dengan tuntutan desain yang senantiasa dikembangkan), peragaman teknologi (percepatan alih teknologi yang sekaligus di dalamnya terdapat alih desain dan nilai estetik dalam berbagai bentuk perwujudannya, dalam skala yang luas dapat diamati pada produk-produk yang dihasilkan), pemantapan nekabudaya (semakin beranekanya produk lokal membangun upaya-upaya pemantapan masyarakat Indonesia untuk menerima produk tersebut ke dalam gaya hidup masyarakat yang bervariasi daripada masa-masa sebelumnya) dan penyadaran terhadap kualitas. Karya yang dihasilkan dapat dinilai berbobot atau tidak secara estetis, tergantung dari sudut pandang melihatnya. KESANTUNAN INTELEKTUAL.
Nilai estetik modern yang mengalami proses
universalisasi di berbagai negara, secara tidak langsung menjadi rujukan dalam pelaksanaan pendidikan desain modern hampir di seluruh dunia, kemudian diadopsi di lingkungan pendidikan tinggi di Indonesia. Di lain pihak, terdapatnya hubungan sinergis 13
Rangkuman Estetika : Makna, Simbol dan Daya
antara pertumbuhan pendidikan umum modern dengan pendidikan desain di Indonesia, terutama sejak kemerdekaan, telah membangun suatu sistem nilai modernitas sendiri yang kemudian secara bertahap diterima oleh masyarakat luas.
Dalam lingkup kesantunan
intelektual, amatlah wajar jika nilai-nilai estetik dapat pula mendukung kehidupan manusia yang wajar dan sejahtera.
Norma estetik itu terbentuk melalui perannya secara
proporsional dalam masyarakat, baik secara praktis dalam memperkaya budaya benda, maupun secara filosofis yang memperkaya khasanah keilmuan. MEMBANGUN CITA. Unsur terpenting terdapatnya upaya pemberdayaan desain dalam kebudayaan adalah penampakan ragam citarasa masyarakat.
Selain itu, pergeseran-
pergeseran nilai estetik di masyarakat merupakan bagian dari wacana budaya yang menunjukkan semakin kritis dan beragamnya masyarakat memahami kebutuhan akan benda dan kualitas huniannya.
Kondisi demikian telah membentuk apresiasi yang
berperanan penting terhadap tumbuhnya nilai-nilai estetik modern di masyarakat. Tumbuhnya citarasa modern merupakan kondisi psikologis suatu masyarakat yang telah dapat menyerap makna modernitas di sekitarnya. Dalam setiap pribadi, intensitasnya amat bervariasi dan amat tergantung pada mentalitas serta aspek intelektualitas yang dimiliki. Di akhir abad ke-20, tradisi modernitas yang mengadopsi nilai estetik Barat telah membangun keragaman budaya yang semakin cepat, baik dalam bentuk keanekaan gaya, temuan teknologi baru ataupun tumbuhnya gaya hidup di masyarakat yang semakin beragam. Fenomena pengayaan citarasa dan estetikasi yang terjadi dalam masyarakat dapat ditempatkan sebagai suatu proses pemberdayaan.
Hal itu menunjukkan bahwa
melalui budaya benda yang “ditingkatkan” kualitas rupanya dapat membangun perluasan persepsi dan kepekaan terhadap wujud yang “baik” atau wujud yang “kurang baik”.
MENGAIS BUDAYA KREATIF. Kreatifitas telah menggerakkan manusia melalui aneka pemecahan masalah dengan kecerdasannya.
Melalui daya kreatifnya, manusia
mampu mengadakan restrukturalisasi dan juga melakukan evolusi dalam kebudayaannya, sedangkan syarat tumbuhnya kreatifitas dalam suatu kebudayaan adalah jika di dalamnya terdapat keberanian dan kebebasan.
Inovasi teknologi melalui proses desain serta
kerjasama secara interdisiplin merupakan paradigma baru yang diharapkan memiliki keunggulan-keunggulan tersendiri.
14
Rangkuman Estetika : Makna, Simbol dan Daya
PERPIHAK PADA SEJARAH. Proses pewarisan nilai antar peradaban telah terjadi selama berabad-abad, sebagai suatu proses yang alamiah. Namun, proses pewarisan nilai peradaban universal yang mendunia sebagai produk kebudayaan barat, baru terjadi sekitar tiga abad. Dan pewarisan nilai-nilai estetik modern pada masyarakat non Barat, baru terjadi di awal abad ke-20 sebagai upaya untuk menghadapi kebudayaan-kebudayaan non Barat. Dalam perkembangan lebih lanjut, wacana estetik di Indonesia terbagi atas lima kelompok besar yaitu estetik akademik, estetik perdagangan, estetik tradisi, estetik keagamaan dan estetik partisipan. KLONING BUDAYA. Salah satu aspek penting dalam pemberdayaan desain adalah terjadinya upaya untuk memodernisasi estetik tradisi, baik sebagai narasumber estetik ataupun yang bersifat eklektik, bahkan penggalian nilai estetik baru. Kesadaran tersebut muncul sebagai bagian “perlawanan” dan “perimbangan” terhadap semakin meluasnya pengaruh kebudayaan Barat. Di samping juga sebagai upaya untuk membangun jati diri bangsa yang semakin memudar karena “serbuan” nilai-nilai estetik dominan yang semakin meluas. Fakta utama dalam pergeseran nilai-nilai estetik modern di Indonesia adalah tumbuhnya kesadaran untuk meningkatkan kualitas nilai estetik tradisi melalui pendekatanpendekatan modern. Nilai estetik tradisi yang selama ini dipertahankan sebagai suatu “cagar budaya nasional” dalam format lain mengalami pula modernisasi karena ditemukannya teknologi baru ataupun mengalami proses modernisasi dalam proses produksinya.
Dengan demikian makna yang dibangun oleh nilai-nilai estetiknya
berkembang sejalan dengan tumbuhnya proses pemberdayaan desain dalam kehidupan pembangunan bangsa Indonesia. WAJAH JATI DIRI. Pembudayaan nilai estetik secara bertahap membangun wacana budaya baru yang mendukung terjadinya proses transformasi budaya bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Di dalam pembudayaan nilai tersebut terdapat upaya-upaya di
antaranya adalah terjadinya pembibitan nilai estetik baru dan pemuliaan jatidiri dalam dunia kesenirupaan dan desain.
Bibit-bibit baru nilai estetik yang telah dirintis oleh
generasi terdahulu, kemudian tumbuh menjadi “tunas” nilai estetik khas, baik yang bernuansa teknologi tinggi, alternatif baru, varian baru ataupun pekerjaan lintas disiplin, dimana hal itu terjadi di lingkungan profesional maupun lingkungan akademik.
15
Rangkuman Estetika : Makna, Simbol dan Daya
Pergeseran-pergeseran nilai estetik terbukti memiliki makna penyadaran sebagaimana ditunjukkan oleh bergesernya sistem nilai tradisional ke arah sistem nilai yang lebih modern. Kemudian juga memiliki makna pembelajaran, sebagaimana ditunjukkan oleh diadopsinya nilai-nilai estetik Barat dalam kelangsungan pendidikan desain dan seni rupa, upaya inovasi, peragaman gaya, proses desain di lingkungan industri dan juga diadopsinya gaya hidup modern oleh masyarakat dalam skala yang lebih luas. Adapun makna budaya ditunjukkan oleh upaya-upaya untuk pemuliaan jatidiri, revitalisasi estetik tradisi, pembibitan nilai estetik baru, pewarisan budaya dan juga pengayaan citarasa. Dalam situasi ini terbukti bahwa nilai-nilai estetik dalam karya desain di Indonesia memiliki tingkat kedayaan citra bermakna bagi kelangsungan peradaban bangsa.
16
Rangkuman Estetika : Makna, Simbol dan Daya
BAB 5 PENUTUP
Secara keseluruhan, format dunia intelektual estetika di Indonesia telah menginjak proses menjadi suatu format keilmuan yang lebih modern, terutama dengan diterimanya kebudayaan Barat tanpa “konflik” yang radikal. Demikian pula dengan budaya Posmodern yang secara sistematis “diekspor” ke wilayah Timur oleh para orang Timur sendiri yang memperoleh pendidikan Barat, kemudian mengalami reaksi kritis dan koreksi-koreksi budaya bangsanya.
Untuk memantapkan kedayaan sistem nilai estetik nasional yang
terlanjur tergiring ke dalam wacana Posmodern oleh para “aktor utama” kebudayaan nasional, langkah yang terbaik adalah kembali ke akar, mengevaluasi pemikir-pemikir estetika bangsa sendiri dan memperbandingkan dengan wacana budaya lain. Akar-akar Posmodern tumbuh ketika Modernitas mengalami batas “pertumbuhan” seperti kejenuhan budaya karena program modernisasi yang sampai tahap tertentu “kering” yang membuat masyarakat menjadi dekaden. Jika wacana Posmodern tersebut dipaksakan pada budaya bangsa yang masih dalam proses transisi ke arah modern atau bangsa yang belum mantap akar-akar modernisasinya, maka wacana yang terjadi menjadi sangat prematur dan memiliki bias yang besar.
KESIMPULAN Genetik inferior sebagai bangsa Timur akibat proses kolonialisasi yang panjang masih mengalir dalam tubuh bangsa Indonesia. Hal itu masih tampak pada cara memandang kebudayaan Barat yang terlalu dipercaya dan diagungkan.
Kesalahan dimulai dalam
memahami pandangan estetika Ki Hajar Dewantara yang dalam praksisnya ditiadakan dalam sistem pendidikan nasional, dimana pendidikan nasional lebih diarahkan pada pendidikan rasional yang mengenyampingkan sisi-sisi budi pekerti. Kesalahan ini baru disadari pada awal abad ke-21 yang ditandai dengan munculnya wacana untuk menghidupkan kembali pendidikan budi pekerti. Peristiwa yang sama terjadi ketika gagasan-gagasan budaya dan estetika ditekstualisasi oleh Bambang Sugiarto, Tommy Awuy dan Yasraf A.P., melalui beberapa tulisannya tentang pengamatan suatu praksis atau fenomena budaya Posmodern. Ternyata bukan dipahami sekadar sebagai suatu wacana dalam kajian budaya, kata-kata kunci bahasan itu
17
Rangkuman Estetika : Makna, Simbol dan Daya
justru dibalik menjadi praksis dalam berkesenian. Dalam situasi tersebut, wacana estetika Indonesia telah memasuki “perjudian” budaya ke arah narasi besar kebudayaan Barat. Lalu muncullah beberapa definisi tentang estetika, di antaranya merupakan kajian hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan seni, merupakan kajian filsafat keindahan dan juga keburukan, merupakan cabang filsafat yang berkaitan dengan proses penciptaan karya estetis dan sebagainya. Pandangan-pandangan ini kemudian selalu mengalami pergeseran dari waktu ke waktu, sejalan dengan pergeseran konsep estetik setiap jamannya. Sejalan dengan itu, proses pemberdayaan yang terjadi sejak masuknya nilai estetik modern ke Indonesia, dirasakan semakin menguat, terutama pemberdayaan untuk menjadi “Barat”. Meskipun akhirnya memicu “konflik” nilai, tetapi keberlangsungannya tidak dapat dicegah.
Akar-akar ke arah itu sebenarnya telah nampak dan semakin nyata dengan
tumbuhnya seni alternatif di berbagai kota besar. Untuk itulah, Indonesia seharusnya mulai memantapkan diri melalui kedayaan estetikanya sendiri secara lebih mengakar. Kedayaan itu yang telah terbangun dasar-dasarnya oleh pemikir estetika Indonesia, untuk kemudian dicermati dan dikembangkan melalui praksispraksis dalam berkesenian maupun merancang.
18