Puslitbang tekMIRA
Telp : 022-6030483
Jl. Jend. Sudirman No. 623 Bandung
Fax : 022-6003373
40211
E-mail :
[email protected]
LAPORAN
Kelompok Pelaksana Litbang Teknologi Eksploitasi Tambang Dan Pengelolaan Sumberdaya
ESTIMASI STOK KARBON AKIBAT PERUBAHAN LUAS PENUTUPAN LAHAN DI KAWASAN PENAMBANGAN TERKAIT DENGAN SKEMA REDD (Reduction Emission from Deforestation and Forest Degradation)
Oleh : M. Lutfi, Harry Tetra Antono, Nining Puspaningsih, Retno Damayanti, Wulandari Surono, Wahyu Agus Setiawan, Lasmaria Sibarani, Komarudin, dan Jeni Gindaya
PUSLITBANG TEKNOLOGI MINERAL DAN BATUBARA - tekMIRA 2013
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Soemarwoto (2001) menyatakan bahwa radiasi matahari yang terserap bumi, kemudian dipancarkan kembali oleh permukaan bumi dalam bentuk sinar panas (inframerah) menuju atmosfer. Pada lapisan atmosfer terendah (troposfer), sebagian sinar panas tersebut terserap oleh gas-gas yang terkandung di dalamnya dan tidak dapat terlepas ke angkasa. Ini mengakibatkan suhu pada troposfer meningkat, diiringi dengan peningkatan suhu pada permukaan bumi. Gas yang menyerap sinar panas disebut juga sebagai Gas Rumah Kaca (GRK) dan peningkatan suhu yang dipicu penyerapan sinar panas oleh GRK disebut Efek Rumah Kaca (ERK). Kenaikan intensitas ERK yang berlebih, menyebabkan suhu permukaan bumi akan meningkat secara berlebihan, peristiwa ini disebut sebagai pemanasan global yang saat ini tengah menjadi isu lingkungan di berbagai negara. Ini karena pemanasan global menimbulkan dampak luas terhadap kehidupan makhluk hidup, beberapa diantaranya berupa perubahan iklim dan kenaikan permukaan laut. Perubahan iklim akibat pemanasan global menyebabkan peningkatan intensitas hujan pada satu daerah dan pada daerah lainnya akan berkurang, sedangkan kenaikan permukaan laut akan menimbulkan masalah intrusi air laut dan erosi pantai, sehingga daerah-daerah pantai yang rendah menjadi terendam (Soemarwoto 2001). GRK yang terkandung dalam atmosfer terdapat beberapa macam, antara lain : uap air (H2O), CO2, Metan, CFC (-11,-12,-22), dan N2O, dimana masing-masing gas tersebut mempunyai sifat penyerapan sinar dengan panjang gelombang berbeda-beda. Panjang gelombang yang berbeda-beda tersebut membentuk satu jalur keluar sinar (jendela atmosfer) yang dapat melepas 70 – 90 persen radiasi dari bumi, sehingga intensitas ERK di bumi tidak akan berlebih. Akan tetapi dengan adanya pencemaran udara yang berasal dari berbagai gas (emisi), menyebabkan “jendela atmosfer” menjadi tertutup sehingga sinar panas yang dapat melaluinya semakin sedikit membuat intensitas ERK di bumi menjadi berlebih dan suhu bumi meningkat (Soemarwoto 2001). Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
1
Secara global, emisi karbon paling besar dihasilkan dari negara-negara industri seperti : Amerika Serikat, Australia, Jepang, Singapura, dan Inggris, akibat dari penggunaan bahan bakar fosil dengan total emisi sekitar 65 persen dari emisi karbon dunia (World Bank 2010). Sementara itu untuk negara berkembang seperti Indonesia dan negara-negara lainnya mempunyai total kontribusi terhadap emisi karbon dunia sebesar ± 15 persen, yang diperkirakan berasal dari deforestasi dan degradasi lahan akibat illegal logging dan kebakaran hutan serta adanya kegiatan aktivitas pertambangan. Dalam rangka menghambat peningkatan emisi karbon dunia, negara maju atau industri kemudian meminta negara berkembang untuk mengurangi emisi karbon. Pada tahun 2005 isu pengurangan emisi dari deforestasi di negara berkembang (RED) muncul saat Conference of Parties (COP) ke-11, dalam kerangka United Nations Framework Conventions on Climate Change (UNFCCC) di Montreal. Selanjutnya pada COP ke-13 di Bali tahun 2007 dihasilkan kesepakatan untuk memasukkan degradasi hutan dalam skema penurunan emisi karbon, yang disingkat menjadi REDD (Reduction Emission from Deforestation and Forest Degradation). Kemudian pada COP ke-15 di Kopenhagen tahun 2009 dimasukkan istilah baru yaitu REDD+, yang menyertakan peran konservasi dan pengelolaan berkelanjutan terhadap sumberdaya hutan juga peningkatan stok karbon hutan dalam pelaksanaannya (BAPPENAS 2010). Berdasarkan hasil COP ke-13 dan ke-15, Indonesia kemudian berusaha untuk memenuhi permintaan penurunan emisi melalui program REDD, dengan cara memenuhi persyaratan internasional dan mengangkatnya menjadi kebijakan nasional. Indonesia sendiri sebagai negara berkembang memiliki areal hutan cukup luas, yang secara ekonomi memiliki sumbangan besar terhadap pendapatan nasional dan kehidupan masyarakat lokal di sekitarnya (Nawir dan Murniarti 2008). Oleh karena itu dalam pengangkatan Program REDD sebagai program nasional, memerlukan suatu metode sebagai dasar penentuan mekanisme REDD yang applicable dan dapat memberikan manfaat luas terutama bagi masyarakat local. Manfaat yang diperoleh pemerintah dengan adanya kegiatan penghitungan estimasi stock
Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
2
karbon melalui skema REDD adalah memberikan kompensasi kepada negara yang memelihara stock karbon. Perkembangan sektor pertambangan mineral di Propinsi Sulawesi Utara, Selatan dan Nusa Tenggara Barat (NTB) berkembang dengan sangat cepat sekali seiring dengan meningkatnya permintaan bahan mineral seperti emas dan nikel sebagai sumber devisa. Namun dari sisi lingkungan hidup misalnya, kegiatan tersebut dianggap paling merusak dibanding kegiatan-kegiatan eksploitasi sumberdaya alam lainnya. Karena pada kegiatan penambangan
dapat
mengubah
bentuk
bentang
alam,
menghilangkan
vegetasi,
menghasilkan limbah dan batuan limbah, serta mengganggu kualitas air tanah dan air permukaan. Jika tidak direhabilitasi, lahan bekas pertambangan tersebut akan membentuk kubangan raksasa dan hamparan tanah gersang yang bersifat asam sehingga kemampuan penyerapan karbon dioksida berkurang dan atau hilang sama sekali. Apabila hal tersebut dibiarkan menyebabkan bencana yang lebih luas seperti timbulnya lahan kritis, dan penurunan kualitas lingkungan dan kontribusi terhadap terjadinya perubahan iklim. Salah satu sektor yang menjadi sorotan yang menyebabkan timbulnya efek rumah kaca adalah sektor pertambangan dan energi. Padahal telah diketahui bahwa sektor ini merupakan salah sektor pembangunan yang sangat penting bagi Indonesia karena industri pertambangan sebagai bentuk kongkret sektor pertambangan menyumbang sekitar 11,2% dari nilai ekspor Indonesia dan memberikan kontribusi sekitar 2,8% terhadap pendapatan domestik bruto (PDB). Industri pertambangan mempekerjakan sekitar 1.139.495 tenaga kerja orang Indonesia, suatu jumlah yang tidak sedikit. (Badan Pusat Statistik, 2010) Setiawan (2013) telah melakukan penelitian pemantauan percepatan kerusakan hutan yang hasilnya menunjukkan adanya penurunan luas hutan yang diakibat aktifitas tambang dan non tambang. Dalam rangka mendukung pengurangan suhu udara yang menyebabkan adanya pemanasan global yang salah satunya adalah peralihan penggunaan lahan akibat adanya aktifitas pertambangan batubara, maka Puslitbang tekMIRA sebagai Pusat Penelitian yang mempunyai sasaran berupa penguasaan alih teknologi berencana untuk mengetahui Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
3
dampak perubahan iklim global melalui teknologi pengenderaan jauh. Berdasarkan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Lingkungan Hidup, tekMIRA juga mempunyai kewajiban di dalam melakukan penelitian lingkungan akibat pertambangan. Pada tahun 2013 akan dilakukan penelitian pemanfaatan penginderaan jauh untuk mengestimasi penyerapan karbon di daerah reklamasi pertambangan untuk daerah Provinsi Sulawesi Utara, Selatan dan Nusa Tenggara Barat (NTB) sebagai tindak lanjut penelitian sebelumnya di daerah Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan serta Sumatera Selatan dan Bengkulu. Penelitian ini untuk mendukung skenario penurunan emisi sehingga perlu dilakukan langkah-langkah rasional dalam rangka mitigasi terhadap perubahan iklim, yaitu tindakan yang diperlukan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan memperbesar potensi penyerapan karbon dalam pencegahan pemanasan global. Sedangkan adaptasi merupakan tindakan yang diperlukan untuk mengurangi efek pemanasan global, yang sangat erat kaitannya dengan perilaku manusia itu sendiri sebagai pengguna energy ini sesuai dengan renstra kelompok lingkungan – Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara yaitu pengurangan emisi karbon yang dicanangkan oleh pemerintah sebesar 26% pada tahun 2020. Adapun untuk mengetahui tingkat kerusakan luas areal hutan yang diakibatkan oleh aktifitas pertambangan terutama di daerah Sulawesi (terutama Propinsi Sulawesi Utara, Selatan) dan Nusa Tenggara Barat (NTB), maka dilakukan pendekatan melalui teknologi penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografi (SIG). Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada tahun 2010 untuk wilayah Kalimantan Timur diperoleh serapan karbon/C-stock sebesar 986.437,262 ton/ha. Sedangkan untuk wilayah Kalimantan Selatan (2011) hasil serapan karbonnya sebesar 5.802,97 ton/ha.Untuk tahun 2012 kegiatan penelitian dilakukan di Bengkulu dan Sumatera Selatan dan serapan karbonnya sebesar 7.095,365 ton/ha. Pada tahun 2013 akan dilakukan kegiatan estimasi serapan karbon dengan cara penghitungan kerapatan pohon dan biomassa hutan sebagai kegiatan lanjutan sesuai dengan road map kelompok lingkungan. Dari hasil penghitungan Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
4
kerapatan pohon tersebut diharapkan dapat diprediksi jumlah gas CO2 yang dapat diserap dan estimasi nilai ekonominya (Rp/US $). Penelitian lanjutan ini ditekankan pada wilayah yang mengalami perubahan bentang alamnya yang diakibatkan oleh adanya aktifitas penambangan khususnya penambangan mineral Propinsi Sulawesi Utara, Selatan dan Nusa Tenggara Barat (NTB). (Gambar 1.1)
GOAL 2010
2011
Besaran Penyerapan Karbon di Tambang Terbuka (Kaltim)
Besaran Penyerapan Karbon di Tambang Terbuka (Kalsel)
2012 Menaksir Kandungan Biomassa dan Karbon di Tambang Terbuka (Sumatera)
2013 Pengukuran Kandungan Biomassa dan Karbon Antar Organ Tanaman di Tambang Terbuka (Sulawesi, NTB)
Penentuan Besaran Penyerapan Karbon yang dihasilkan dari sektor Pertambangan Indikator : Besaran dan Pemodelan
Pemodelan perhitungan potensi penyerapan karbon pada kawasan reklamasi pertambangan batubara
Hasil : Stok Karbon Kaltim : 986.437,262 ton/ha
Estimasi dan Informasi kandungan karbon di hutan revegetasi dan hutan sekunder
Tersedia teknik estimasi (perhitungan) stok karbon di hutan revegetasi dan hutan sekunder di tambang batubara terbuka
Nilai estimasi jumlah stok karbon pada perubahan lahan akibat adanya kegiatan aktivitas pertambangan dan nilai ekonomi karbon yang tersimpan berlaku pada pasar karbon berdasarkan skema REDD
Hasil : Stok Karbon Kalsel : 5.802,97 ton/ha
Gambar 1.1. Road Map Kegiatan Estimasi Stock Karbon
1.2.
Ruang Lingkup Kegiatan Ruang lingkup pada pekerjaan meliputi ; Analisis perubahan dan penghitungan kerapatan pohon dan biomassa hutan Analisis estimasi nilai ekonomi dari karbon yang tersimpan berdasarkan skema REDD Pembahasan hasil analisis.
Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
5
1.3.
Tujuan
Memantau perubahan luas penutupan lahan pada kawasan aktivitas penambangan di Propinsi Sulawesi Utara, Selatan dan Nusa Tenggara Barat dengan memanfaatkan teknologi inderaja Mengestimasi jumlah karbon yang tersimpan saat ini Mengestimasi nilai ekonomi yang dapat diperoleh dari karbon yang tersimpan, menggunakan estimasi harga berdasarkan skema REDD 1.4.
Sasaran Diperolehnya nilai estimasi jumlah stok karbon pada perubahan lahan akibat adanya
kegiatan aktivitas pertambangan dan nilai ekonomi karbon yang tersimpan berlaku pada pasar karbon berdasarkan skema REDD
Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
6
1.5.
Lokasi Kegiatan Lokasi penelitian akan dilakukan di lokasi aktifitas pertambangan mineral (KK) di
Propinsi Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat. ( Gambar 1.2)
Gambar 1.2. Lokasi Penelitian
Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
7
1.6.
Penerima Manfaat Manfaat yang diperoleh dari keberhasilan kegiatan penelitian ini adalah tersedianya
informasi mengenai
potensi hilang/bertambahnya penyerapan karbon dan estimasi
ekonomi karbon yang dihasilkan sebagai akibat adanya aktivitas kegiatan penambangan terbuka
mineral.
Kegiatan
penelitian
ini
untuk
meningkatkan
kemampuan
Balitbang/tekMIRA, membantu pemerintah pusat (KESDM, Minerba), Pemda serta Industri Pertambangan dalam penyerapan karbon untuk menekan pemanasan global
dengan
memanfaatkan teknologi penginderaan jauh.
Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
8
II. TINJAUAN PUSTAKA/ KAJIAN TEORITIS
(2.1.) Hutan dan Karbon Marispatin et al. (2010) menyatakan bahwa, hutan merupakan sumberdaya alam yang
sangat penting dan bermanfaat bagi hidup dan kehidupan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Manfaat langsung dari keberadaan hutan antara lain berupa kayu, hasil hutan bukan kayu, dan satwa, sedangkan manfaat tidak langsungnya adalah jasa lingkungan, baik sebagai pengatur tata air, fungsi estetika, maupun sebagai penyedia oksigen dan penyerap karbon CO2. Sebagai modal pembangunan nasional, hutan jelas memiliki manfaat nyata bagi kehidupan bangsa Indonesia terutama untuk mendukung peningkatan ekonomi bangsa. Bahkan FWI (2002) dalam Nawir, dkk. (2008) menyatakan sekitar 10 – 20 juta masyarakat desa di hutan, memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap sumberdaya hutan. Terkait dengan pembangunan nasional, pemanfaatan sumberdaya alam mau tidak mau harus dilakukan, dimana dalam pelaksanaannya akan selalu menimbulkan dampak terhadap lingkungan sekitarnya. Pemanfaatan yang tidak berkelanjutan akan menyebabkan terjadinya degradasi lahan, yang membuat lahan menjadi kurang produktif. Lahan yang terdegradasi adalah lahan bekas hutan yang rusak parah karena terganggu secara intensif oleh kebakaran hutan atau penebangan liar. Hilangnya atau terdegradasinya habitat hutan yang disebabkan, khususnya ulah manusia disebut sebagai deforestasi hutan (Nawir, dkk. 2008). Kerusakan yang terjadi di hutan kemudian akan mengurangi manfaat tidak langsung dari hutan yang berperan penting dalam siklus karbon global. Ini karena hutan memiliki kemampuan untuk menyimpan karbon 10 kali lebih besar dibanding tipe vegetasi lain, seperti padang rumput, tanaman semusim, dan tundra (Marispatin et al. 2010). Karbon merupakan bahan dasar penyusun dasar semua senyawa organik, dimana pergerakannya dalam suatu ekosistem bersamaan dengan pergerakan energi melalui zat kimia (Novita 2010).
Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
9
Pada dasarnya karbon itu bersumber dari dua kegiatan utama, yaitu kegiatan antropogenik dan kegiatan alami. Kegiatan antropogenik menjadi sumber utama penghasil karbon dalam bentuk emisi, antara lain berupa : kegiatan industri, penggunaan bahan bakar fosil, pembukaan lahan dengan cara membakar, dan penebangan liar. Sementara itu karbon yang berasal kegiatan alami dihasilkan oleh proses respirasi dengan reaksi sebagai berikut : C6H12O6 + 6 O6 → 6 CO2 + 6 H2O + Energi Pengurangan konsentrasi karbon di atmosfer dapat terjadi melalui proses alami berupa fotosintesis oleh semua tumbuhan hijau, yang dalam prosesnya air dan CO2 diolah menjadi gula dengan menggunakan cahaya matahari sebagai sumber energinya. Reaksi umum dari fotosintesis adalah sebagai berikut : 6 CO2 + 6 H2O
C6H12O6 + 6 O2
Gula hasil fotosintesis kemudian diolah menjadi bagian tubuh tumbuhan, seperti batang, daun, akar, dan zat lainnya, sehingga semakin banyak biomassa hijau maka semakin banyak pula fotosintesis dan CO2 yang terikat atau tersimpan. Tempat penyimpanan karbon di alam disebut dengan kantong karbon aktif (active carbon pool). Hutan, tanah, laut, dan atmosfer semuanya menyimpan karbon yang berpindah secara dinamis diantara tempat-tempat penyimpanan tersebut sepanjang waktu. Simpanan karbon lain yang penting adalah deposit bahan bakar fosil, yang tersimpan jauh di dalam perut bumi dan secara alami terpisah dari siklus karbon di atmosfer, kecuali jika simpanan tersebut diambil dan dilepaskan ke atmosfer ketika bahan-bahan tersebut dibakar (Sutaryo 2009).
(2.2.) Biomassa Hutan dan Siklus Karbon Sutaryo (2009) menyatakan dalam inventarisasi karbon hutan, carbon pool yang
diperhitungkan setidaknya ada empat, antara lain : biomassa permukaan, biomassa bawah permukaan, bahan organik mati (kayu mati dan serasah) dan karbon organik tanah (tanah mineral atau tanah organik). Biomassa atas permukaan adalah semua material hidup di atas permukaan, seperti batang, tunggul, cabang, kulit kayu, biji, dan daun dari vegetasi baik dari Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
10
strata pohon maupun dari strata tumbuhan bawah di lantai hutan. Biomassa bawah permukaan merupakan semua biomassa dari akar tumbuhan yang hidup hingga ukuran diameter tertentu yang ditetapkan, karena akar dengan diameter yang kecil sulit dibedakan dengan bahan organik tanah dan serasah. Di dalam hutan tersimpan banyak karbon dalam bentuk biomassa, yang apabila ditebang dan dibakar, karbon yang tersimpan tersebut akan lepas ke udara dan membuat kadar CO2 (emisi) dalam udara menjadi naik (Soemarwoto 2001). Menurut Brown (1997) dalam Sutaryo (2009), biomassa merupakan total jumlah materi hidup di atas permukaan pada suatu pohon yang dinyatakan dengan satuan ton berat kering per satuan luas. Terkait dengan hutan, biomassa hutan adalah keseluruhan volume makhluk hidup dari semua spesies pada satu waktu tertentu, yang dibagi kedalam tiga kelompok utama yaitu pohon, semak, dan vegetasi lainnya (Clark, 1979. dalam Sutaryo, 2009). Biomassa hutan berperan penting dalam siklus biogeokimia terutama dalam siklus karbon, karena jumlah karbon yang tersimpan dalam tubuh tanaman hidup (biomassa) dapat menggambarkan banyaknya CO2 di atmosfer yang diserap tanaman (Sutaryo 2009). Fase pertumbuhan tanaman di dalam hutan, laju fotosintesisnya lebih besar daripada laju pernapasannya, sehingga terakumulasilah bahan organik dalam tubuh tumbuhan dan hutan. Pada fase ini laju pengikatan CO2 lebih besar daripada laju emisi CO2, sehingga seringkali dinyatakan
hutan
memiliki
peran
dalam
mengurangi
CO2
di
atmosfer
dengan
mengendapkan karbon. Saat tumbuhan atau hutan itu mencapai keseimbangan dinamik, maka laju pengikatan CO2 akan sama dengan laju pembentukan CO2. Berdasarkan itu maka hutan sebenarnya tidak mengurangi ataupun menambah kadar CO2 di udara, karena semakin tua hutan semakin banyak daun-daun yang saling menaungi dan proporsi tubuh yang tidak mengandung klorofil juga semakin besar seperti batang dan akar (Soemarwoto 2001). Ini berarti penggunaan kayu sebagai bahan bakar tidak akan menambah atau mengurangi kadar CO2 di udara, selama laju penggunaan kayu sama dengan laju pertumbuhan hutan atau kebun. Ini dikarenakan CO2 di alam memiliki siklus daur ulang, sehingga kadarnya di udara selalu berada dalam keseimbangan. Siklus karbon Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
11
merupakan siklus biogeokimia yang mencakup pertukaran atau perpindahan karbon diantara biosfer, pedosfer, geosfer, hidrosfer, dan atmosfer bumi. Pada areal konversi yang mengalami degradasi lahan, pengurangan emisi karbon dapat dilakukan dengan melakukan penanaman kembali seperti perkebunan atau reforestasi, agar kadar karbon yang meningkat dapat ditangkap kembali melalui fotosintesis. Adapun alur dari siklus karbon itu sendiri, secara jelas dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Sumber : http//:shifadini.files.wordpress.com/2010/04/carbon-cycle1.jpg&imgrefurl Gambar 2.1. Siklus Daur Karbon
(2.3.) Pemantauan Luas Lahan kawasan Aktivitas Penambangan FWI (2000) menyatakan deforestasi telah menjadi masalah penting di Indonesia sejak
awal tahun 1970-an, yaitu ketika penebangan liar hutan secara komersial mulai dibuka secara besar-besaran. Konsesi pembalakan hutan yang awalnya bertujuan mengembangkan sistem produksi kayu untuk jangka panjang, dan dibukanya kemudahaan dalam perijinan untuk melakukan eksplorasi bidang pertambangan pada tahun 1990 dan diperarah adanya aktivitas penambangan liar (PETI), maka lama kelamaan sering mengarah pada degradasi hutan diikuti pembukaan lahan dengan cara membakar lahan. Hasil survei yang dilakukan Pemerintah Indonesia tahun 1990, menunjukkan tutupan lahan pada tahun 1985 menurun Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
12
27 persen dari luas kawasan hutan pada tahun 1950 dikarenakan oleh deforestasi (FWI, 2000). Hartanti (2004) menyatakan deforestasi akan memberikan dampak, baik ekonomi maupun ekologi. Secara ekonomi, pendapatan negara atas pajak dari nilai kayu akan berkurang dan hilangnya kesempatan untuk memanfaatkan keragaman produk dimasa mendatang. Secara ekologi, kerugian paling besar adalah hilangnya tegakan hutan yang akan berakibat pada rusaknya lingkungan, terjadinya perubahan iklim, penurunan produktivitas lahan, erosi dan banjir, kerusakan habitat, serta hilangnya keanekaragaman hayati. Oleh karena besarnya nilai kerugian baik ekonomi maupun ekologi, maka diperlukan upaya untuk mendeteksi areal-areal mengalami deforestasi yaitu dengan memantau luas lahan hutan yang bersangkutan. Upaya
pemantauan
tersebut
dapat
dilakukan
melalui
kemajuan
teknologi
menggunakan teknik penginderaan jauh, berupa potret udara maupun citra satelit. Akan tetapi pada skala makro, penggunaan citra satelit lebih menguntungkan dibandingkan potret udara. Adapun kelebihan yang dimiliki citra satelit antara lain (Hartanti, 2004) :
Dapat meliputi daerah yang luas
Proses pengadaan dan pengolahan data lebih cepat, walau untuk daerah yang sulit harus dijelajahi secara terestrial
Periode ulang pendek
Data tersedia dalam format digital, sehingga lebih luas aplikasinya Pemanfaatan data dari penginderaan jauh telah banyak dilakukan untuk tujuan
tertentu, seperti survey kelautan, pertambangan, hidrologi, kehutanan, dan penggunaan lahan. Walau tidak semua karakteristik lahan dapat dikenal dengan sistem penginderaan jauh, namun sifatnya dapat dipelajari melalui indikator yang tampak (Mulyanto, 2004).
(2.4.) Pendugaan dan Pengukuran Biomassa serta Karbon
Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
13
Dalam mengestimasi biomassa di atas permukaan dari suatu pohon atau hutan, terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan yaitu pendekatan langsung dengan membuat persamaan allometrik dan pendekatan tidak langsung dengan menggunakan biomass expansion factor (BEF). Sementara itu untuk menghitung biomassa terdapat empat cara utama yang dapat digunakan, antara lain (Sutaryo, 2009) : Sampling dengan pemanenan (destructive sampling) Sampling tanpa pemanenan (non-destructive sampling) Pendugaan melalui penginderaan jauh Pembuatan model
(2.5.) Penginderaan Jauh Penginderaan jauh berasal dari kata Remote sensing memiliki pengertian bahwa
penginderaan jauh merupakan suatu ilmu dan teknologi untuk memperoleh data dan informasi dari suatu objek di permukaan bumi dengan menggunakan alat yang tidak berhubungan langsung dengan objek yang dikajinya (Lillesand dan Kiefer, 1979). Jadi penginderaan jauh merupakan ilmu dan teknologi untuk mengindera/ menganalisis permukaan bumi dari jarak yang jauh, dimana perekaman dilakukan di udara atau di angkasa dengan menggunakan alat (sensor), yang ditempatkan pada sebuah wahana (kendaraan).
(2.5.1.) Wahana dan sensor Penginderaan Jauh Wahana untuk menempatkan sensor satelit berkembang dengan sangat cepat
terutama
setelah
teknologi satelit. Sebelum teknologi satelit ditemukan, wahana
penginderaan jauh ditempatkan pada balon udara, dan pesawat. Spesifikasi sensor ditempatkan pada satelit sangat tergantung dari misi satelit, yaitu untuk pemantauan sumberdaya alam (terrestrial), sumberdaya laut atau atmosfer. Sebuah sensor biasanya terdiri dari kumpulan sensor yang mempunyai kemampuan untuk menangkap rentang panjang gelombang yang berbeda-beda, dan biasanya disebut chanel/band. Satelit biasanya mempunyai satu band hingga ratusan bands (Hyperspectral).
Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
14
Karakter utama dari suatu image (citra) dalam penginderaan jauh adalah adanya rentang panjang gelombang (wavelength band) yang dimilikinya. Beberapa radiasi yang bisa dideteksi dengan sistem penginderaan jarak jauh seperti : radiasi cahaya matahari atau panjang gelombang dari visible dan near sampai middle
infrared,
panas
atau dari
distribusi spasial energi panas yang dipantulkan permukaan bumi (thermal), serta refleksi gelombang mikro. Setiap material pada permukaan bumi juga mempunyai reflektansi yang berbeda terhadap cahaya matahari. Sehingga material-material tersebut akan mempunyai resolusi yang berbeda pada setiap band panjang gelombang.
(2.5.2.) Piksel Adalah sebuah titik yang merupakan elemen palong kecil pada citra satelit. Angka
numerik (1 byte) dari piksel disebut Digital Number (DN). Digital Number bisa ditampilkan dalam warna kelabu, berkisar antara putih dan hitam (greyscale), tergantung level energi yang terdeteksi. Piksel yang disusun dalam order yang benar akan membentuk sebuah citra. Berdasarkan resolusi yang digunakan, citra hasil penginderaan jarak jauh bisa dibedakan atas (Jaya, 2002): Resolusi spasial Merupakan ukuran terkecil dari suatu bentuk (feature) permukaan bumi yang bisa dibedakan dengan bentuk permukaan disekitarnya, atau sesuatu yang ukurannya bisa ditentukan. Kemampuan ini memungkinkan kita untuk mengidentifikasi (recognize) dan menganalisis suatu objek di bumi selain mendeteksi (detectable) keberadaannya. Resolusi spektral Merupakan dimensi dan jumlah daerah panjang gelombang yang sensitif terhadap sensor Resolusi radiometrik Merupakan ukuran sensitifitas sensor untuk membedakan aliran radiasi (radiation flux) yang dipantulkan atau diemisikan suatu objek oleh permukaan bumi. Resolusi Temporal Merupakan frekuensi suatu sistem sensor merekam suatu areal yang sama (revisit). Seperti Landsat TM yang mempunyai ulangan setiap 16 hari, SPOT 26 hari dan lain sebagainya. Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
15
Kebanyakan citra satelit yang belum diproses disimpan dalam bentuk grayscale, yang merupakan skala warna dari hitam ke putih dengan derajat keabuan yang bervariasi. Untuk penginderaan jauh, skala yang dipakai adalah 256 shade grayscale, dimana nilai 0 menggambarkan hitam, nilai 255 putih. Untuk citra muktispektral, masing-masing piksel mempunyai beberapa DN, sesuai dengan jumlah band yang dimiliki. Sebagai contoh, untuk Landsat 7, masing-masing piksel mempunyai 7 DN dari 7 band yang dimiliki. Citra bisa ditampilkan untuk masing-masing band dalam bentuk hitan putih maupun kombinasi 3 band sekaligus, yang disebut color composites. Citra, sebagai dataset, bisa dimanipulasi menggunakan algorithm(persamaan matematis). Manipulasi bisa merupakan pengkoreksian error, pemetaan kembali data terhadap suatu referensi geografi tertentu, ataupun mengekstrak informasi yang tidak langsung terlihat dari data. Data dari dua citra atau lebih pada lokasi yang sama dikombinasikan secara matematis untuk membuat composite dari beberapa dataset. Produk data ini, disebut derived products, bisa dihasilkan dengan beberapa penghitungan matematis atas data numerik mentah (DN) (Puntodewo, dkk, 2003)
Gambar 2.2. Reflektansi obyek pada Berbagai Panjang Gelombang
(2.6.) Citra Satelit Sistem RADAR
Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
16
RADAR (Radio Detecting and Ranging) dikembangkan sebagai suatu cara untuk mendeteksi adanya obyek dan menentukan posisi obyek tersebut dengan menggunakan gelombang radio. Karena penginderaan jauh sistem radar merupakan penginderaan jauh sistem aktif, tenaga elektromagnetik yang digunakan di dalam penginderaan jauh dibangkitkan pada sensor. Tenaga ini berupa pulsa bertenaga tinggi yang dipancarkan dalam waktu yang sangat pendek yaitu sekitar 10-6 detik (Purwadhi, 2001). Antena pada radar mentransmisi dan menerima gelombang (pulsa) pada panjang gelombang dan polarisasi tertentu. Energi gelombang radar menyebar ke seluruh bagian permukaan bumi, dengan sebagian energi yang dikenal sebagai backscatter atau hamburan balik ( Gambar 2.3.).
Gambar 2.3. Transmisi dan reflektansi pada radar (NASA 1996). Hamburan balik ini dipantulkan kembali pada radar sebagai pantulan gelombang radar yang lemah dan diterima oleh antena pada bentuk polarisasi tertentu (horizontal atau vertikal, tidak selalu sama dengan yang ditransmisikan). Pantulan gelombang tersebut dikonversikan menjadi data dijital dan dikirim ke perekaman data kemudian ditampilkan menjadi image (citra satelit). Biasanya lama waktu sebuah gelombang sampai pada obyek digunakan sebagai penghitung jarak ke obyek (bandwidth). Semakin besar bandwidth semakin baik resolusi yang dihasilkan pada dimensi obyek tersebut. Panjang antena radar menentukan resolusi pada image searah azimuth, semakin panjang antena semakin baik resolusi yang dihasilkan.
Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
17
Synthetic Aperture Radar (SAR) menunjuk pada sebuah teknik yang digunakan untuk mensintetis antena yang sangat panjang dengan mengombinasikan sinyal yang diterima radar yang bergerak pada jalur terbangnya. Aperture berarti pembukaan yang terjadi dalam proses penyerapan refleksi energi yang digunakan dalam pembuatan gambar, sebagai contoh, pada kamera pembukaan ini berarti pembukaan lensa kamera, sedangkan pada radar adalah pembukaan antena. Sebuah aperture sintetis dibangun oleh pergerakan antena pada berbagai posisi di sepanjang jalur penerbangan. Pada radar, antena dipasang di bagian bawah pesawat dan diarahkan ke samping, sistem ini dikenal sebagai Side Looking Aperture Radar (SLAR). SAR merupakan teknik yang digunakan untuk menghasilkan radar image, dan menyediakan kemampuan yang unik sebagai alat pencitraan. SAR dapat menghasilkan penerangan sendiri (pulsa radar) tidak bergantung pada penerangan matahari, sehingga dapat melakukan peliputan baik di siang hari maupun di malam hari. Di samping itu, karena panjang gelombang radar lebih besar dari sinar tampak maupun Infra merah, SAR dapat menembus awan maupun debu dimana kondisi ini tidak memungkinkan untuk sistem optik (NASA 1996). Sinyal radar dapat disaring sedemikian rupa sehingga getaran gelombang elektrik dibatasi hanya pada bidang datar yang tegak lurus arah perjalanan gelombang (Gambar 2.4.).
Gambar 2.4. Wahana dan arah tembak sensor (NASA, 1996).
Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
18
Satu sinyal radar dapat ditransmisikan pada bidang horizontal (H) ataupun vertikal (V), demikian pula dapat diterima pada bidang mendatar maupun tegak sehingga ada empat kombinasi sinyal transmisi dan penerimaan yang berbeda, yaitu dikirim H diterima H (HH), dikirim H diterima V (HV), dikirim V diterima H (VH), dan dikirim V diterima V (VV). Karena berbagai obyek mengubah polarisasi tenaga yang dipantulkan dalam berbagai tingkatan maka bentuk polarisasi sinyal memengaruhi kenampakan obyek pada citra yang dihasilkan. Citra polarisasi HH, HV dan VV ditunjukkan dalam Gambar 2.5. Untuk mereduksi efek speckle yang ada pada masing-masing citra, sebelum diproses/ diklasifikasi lebih lanjut terlebih dahulu diaplikasikan filter yang telah umum dipakai pada citra SAR yaitu Lee filter.
HH image
HV image
VV image Gambar 2.5. Citra Polarimetrik SAR Banyak sifat khas medan yang bekerja bersama panjang gelombang dan polarisasi sinyal radar untuk menentukan intensitas hasil balik radar dari obyek. Akan tetapi faktor utama yang memengaruhi intensitas hasil balik sinyal obyek adalah ukuran (geometris) dan sifat khas elektrik obyek. Efek geometri sensor/obyek dari intensitas backscatter radar terpadu dengan efek kekasaran permukaan. Permukaan yang kasar bertindak sebagai pemantul baur dan memencar tenaga datang ke semua arah dan hanya mengembalikan sebagian kecil ke antena. Suatu permukaan halus pada umumnya memantulkan sebagian Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
19
besar tenaga menjauhi sensor dan mengakibatkan sinyal hasil balik yang rendah. Meskipun demikian orientasi obyek terhadap sensor harus dipikirkan juga karena permukaan halus yang mengarah ke sensor akan menghasilkan sinyal balik yang sangat kuat (Lillesand dan Kiefer, 2008)(Gambar 2.6).
Gambar 2.6. Mekanisme hamburan balik pada radar di setiap jenis permukaan (NASA 1996). NASA (1996) mengategorikan nilai hamburan balik pada radar ke dalam beberapa kelas, yaitu nilai backscatter sangat tinggi (berkisar -5 dB ke atas) biasanya terjadi pada obyek lereng menghadap sensor, incident angle kecil, permukaan obyek yang sangat kasar, hutan yang tergenang, dan obyek buatan. Pada kelas nilai backscatter tinggi (berkisar 0 sampai -10dB) bisanya terjadi pada obyek dengan permukaan yang kasar dan vegetasi rapat. Hamburan balik pada radar merupakan ukuran kuantitatif dari intensitas energi yang kembali ke antena. Nilai hamburan balik yang dihasilkan pada sebuah sensor radar dipengaruhi beberapa faktor antara lain kedalaman penetrasi dari gelombang radar, kekasaran permukaan obyek dan sifat-sifat dielektrik volume obyek. Michigan Microwave Canopy Scattering Model (MIMICS) telah dikembangkan untuk memberikan pemahaman terhadap hamburan balik (backscatter) radar pada vegetasi. Beberapa bentuk hamburan yang dapat dikalkulasi adalah hamburan pada permukaan dan volume tajuk, hamburan langsung pada permukaan tanah, hamburan langsung pada batang, hamburan dari permukaan tanah ke batang, dan hamburan dari permukaan tanah ke tajuk (Dobson, et.al. 1992). Mekanisma hamburan balik ini digambarkan pada Gambar 2.7.
Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
20
Gambar 2.7. Mekanisme hamburan balik pada tegakan hutan (Dobson, et. al., 1992). Gelombang radar yang lebih panjang menghasilkan nilai backscatter yang tinggi pada penetrasi batang, percabangan, permukaan tanah dan tajuk. Sedangkan gelombang yang lebih pendek menghasilkan nilai backscatter yang tinggi hanya pada tajuk saja. Kemampuan gelombang panjang untuk menembuskan kanopi hutan dengan lebih baik menjadi dasar kemampuan dari sistem SAR untuk secara langsung menduga kuantiti dari struktur tegakan dalam hal ini yang berkaitan dengan biomassa dimana sebagian besar biomassa berada pada batang dan percabangan (ranting-ranting besar). Hamburan balik yang kuat dari vegetasi akan dihasilkan oleh tipe vegetasi rapat. Sistem radar L-band bekerja pada gelombang maksimum untuk citra radar yang tersedia. L-band memiliki kemampuan besar untuk menembus daun-daunan hingga ke pokok batang yang paling bawah. Banyak studi yang telah dilakukan dan menemukan hubungan yang kuat antara biomassa dan hamburan balik pada SAR (Mitchard et.al, 2009; Sarker dan Nichol, 2010). Studi-studi tersebut selain menemukan hubungan yang kuat antara biomassa dan backscatter juga menemukan bahwa backscatter SAR meningkat seiring peningkatan biomassa sampai mencapai nilai saturasi tertentu yang mana nilai pendugaan tertinggi akan berada pada frekuensi yang rendah atau memiliki nilai backscatter rendah (Bergen dan Dobson, 1999).
Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
21
(2.6.1.) Citra Satelit ALOS PALSAR ALOS (Advanced Land Observing Sattelite) merupakan satelit yang diluncurkan oleh
Badan Luar Angkasa Jepang pada bulan Januari 2006. Satelit ALOS ini membawa tiga jenis sensor yaitu PALSAR (Phased Array L-band Synthetic Aperture Radar), PRISM (Panchromatic Remote-sensing Instrument for Stereo Mapping), dan AVNIR-2 (Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2). PALSAR merupakan sensor gelombang mikro aktif yang bekerja pada frekuensi band L. Sensor PALSAR mempunyai kemampuan untuk menembus awan, sehingga informasi permukaan bumi dapat diperoleh setiap saat, baik malam ataupun siang hari. Data PALSAR ini dapat digunakan untuk pembuatan DEM, Interferometri untuk mendapatkan pergeseran tanah, maupun kandungan biomassa, monitoring kehutanan, pertanian, tumpahan minyak (oil spill), soil moisture, mineral, dan lain-lain (Rosenqvist et al., 2004). Untuk dapat bekerja dengan ketiga instrumen di atas, ALOS dilengkapi dengan dua teknologi yang lebih maju. Pertama teknologi yang mampu mengerjakan data dalam kapasitas yang sangat besar dengan kecepatan tinggi, dan selanjutnya kapasitas untuk menentukan posisi satelit dengan ketinggian yang lebih tepat. Keterangan umum tentang ALOS disajikan dalam Tabel 2.1. Tabel 2.1. Keterangan umum ALOS Alat peluncuran
Roket H-IIA
Tempat Peluncuran
Pusat Ruang Angkasa Tanagashima
Berat Satelit
4000 Kg
Power
7000 W
Waktu Operasional
3-5 Tahun
Orbit
Sun-Synchronous Sub-Recurr Orbit Recurrent period: 46 hari Sub Cycle 2 hari Tinggi lintasan: 692 km di atas ekuator Inklinasi: 98,2°
Sumber: Jaxa 2010
Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
22
Secara ringkas terdapat lima misi dari satelit ALOS (Jaxa, 2010), yaitu: 1. Kartografi
: Untuk menyediakan peta wilayah Jepang dan wilayah Asia Pasifik
2. Pemantauan regional
:
3. Monitoring bencana
: Melakukan monitoring bencana alam
4. Survei sumberdaya
: Untuk survei sumber daya alam
5. Pengembangan teknologi
: Mengembangkan teknologi penginderaan jauh yang tepat untuk masa sekarang dan akan datang.
Melakukan pemantauan regional untuk pengembangan pembangunan yang berkelanjutan dan harmonisasi antara kesediaan sumber daya alam pengembangan pembangunan
PALSAR merupakan salah satu instrumen ALOS dengan sensor aktif untuk pengamatan cuaca dan permukaan daratan pada siang dan malam hari dengan sistem yang lebih maju dari JERS-1 SAR. Sensor PALSAR mempunyai sorotan yang dapat disetir dalam elevasi, di samping mode ScanSAR. Bentuk dari instrumen PALSAR dan prinsip pengambilan obyeknya disajikan pada Gambar 2.8 dan Gambar 2.9. Sedangkan karakter teknik sensor PALSAR disajikan pada Tabel 2.2. sensor PALSAR disajikan pada Tabel 2.2.
Gambar 2.8. Instrumen PALSAR (Jaxa, 2010).
Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
23
Gambar 2.9. Prinsip geometri dari PALSAR (Jaxa, 2010).
Sensor ini merupakan sensor gelombang mikro aktif yang dapat melakukan observasi siang dan malam tanpa terpengaruh pada kondisi cuaca. Melalui salah satu observasinya, yaitu ScanSAR sensor ini memungkinkan untuk melakukan pengamatan permukaan bumi dengan cakupan area yang cukup luas yaitu 250 hingga 350 km. ScanSAR mempunyai kemudi berkas cahaya (yang dapat diatur) pada elevasi (ketinggian) dan didesain untuk memperoleh cakupan yang lebih lebar daripada SAR konvensional. Bentuk dari instrument PALSAR dan prinsip pengambilan obyeknya disajikan pada Tabel 2.2. Tabel 2.2. Karakteristik PALSAR Mode
Fine
ScanSAR
Polarimetric (Experiment Mode)
Frekuensi
1.270
MHz
(L-
Band) Lebar kanal
28/114 MHz
Polarisasi
HH/VV/HH+HV VV+VH
atau HH atau VV
Resolusi spasial
10 m (2 look)/20 m (4 100 m (multi look)
HH+HV+VH+VV 30 m
look) Lebar cakupan
70 km
250-350 km
30 km
Incidence angle
8-60 derajat
18-43 derajat
8-30 derajat
Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
24
Mode
Fine
ScanSAR
Polarimetric (Experiment Mode)
NE Sigma 0
<-23 dB (70 km)
<-25 dB
<-29 dB
5 bit
3 bit atau 5 bit
AZ:8.9 m x EL :2.9
m
<-25 dB (60 km) Panjang bit
3 bit atau 5 bit
Ukuran Sumber : Jaxa (2010)
(2.7.) Sistem Informasi Geografi Johnson (1992) mendefinisikan SIG sebagai sebuah sistem yang berguna untuk
menangani dan menganalisis data geografi untuk banyak pemakai dan aplikasi. Data yang digunakan dalam SIG adalah data geografis yang terdiri dari data geometrik dan data deskriptif. Data geometrik berhubungan dengan lokasi, bentuk dan hubungan antar kenampakan, misal peta-peta atau data dari penginderaan jauh. Sementara itu, data deskriptif berhubungan dengan sifat-sifat dari kenampakan, misal tabel, grafis dan keterangan lainnya. Data tersebut dipakai sebagai visualisasi dan menerangkan keadaan dunia yang sesungguhnya. SIG adalah informasi yang dibuat untuk berbagai data yang dikumpulkan dengan keruangan atau koordinat geografi. Dengan kata lain, SIG adalah sebuah sistem database dengan kemampuan spesifik untuk data keruangan dan juga sebuah perangkat operasi untuk bekerja dengan data. Menurut Paryono (1994) SIG memerlukan data masukan agar berfungsi dan memberikan informasi hasil analisisnya. Data masukan tersebut dapat diperoleh dari tiga sumber, yaitu : (a) Data lapangan, data ini diperoleh langsung dari pengukuran lapangan secara langsung, seperti misalnya pH tanah, salinitas air, curah hujan, jenis tanah, dan sebagainya (b) Data peta, informasi yang lebih terekam pada peta kertas atau film, dikonversikan ke dalam bentuk digital, misalnya, peta geologi, peta tanah dan sebagainya. Apabila data sudah terekam dalam bentuk peta, tidak lagi diperlukan data lapangan, kecuali Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
25
untuk mengecek kebenarannya. (c) Data citra pengideraan jauh, citra penginderaan jauh yang berupa foto udara atau radar dapat diinterpretasi terlebih dahulu sebelum dikonversi ke dalam bentuk digital. Sementara itu, citra yang diperoleh dari satelit yang sudah dalam bentuk digital dapat langsung digunakan setelah diadakan koreksi seperlunya. Ketiga sumber tersebut saling mendukung satu terhadap yang lain. Data lapangan dapat digunakan untuk membuat peta fisis, sedangkan data penginderaan jauh juga memerlukan data lapangan untuk lebih memastikan kebenaran data tersebut. Jadi ketiga sumber data saling berkaitan, melengkapi dan mendukung, sehingga tidak boleh ada yang diabaikan. Menurut Jaya (2002) pada bidang kehutanan, SIG sangat diperlukan guna mendukung pengambilan keputusan untuk memecahkan masalah keruangan (spasial) mulai dari tahap perencanaan, pengelolaan sampai dengan pengawasan. SIG sangat membantu memecahkan permasalahan yang menyangkut luasan (polygon), batas (line atau arc) dan lokasi (point). Data spasial (peta) yang umum digunakan di bidang kehutanan antara lain adalah: 1. Peta Rencana Tata Ruang, 2. Peta Rencana Tata Guna Hutan, 3. Peta Rupa Bumi (Kontur), 4. Peta Jaringan Jalan, 5. Peta Jaringan Sungai, 6. Peta Tata Batas, 7. Peta Batas Unit Pengelolaan Hutan, 8. Peta Batas Administrasi Kehutanan, 9. Peta Tanah, 10. Peta Iklim, 11. Peta Geologi, 12. Peta Vegetasi, 13. Peta Potensi Sumberdaya Hutan. Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
26
(2.8.) Biomassa Brown (1997) mendefinisikan biomassa hutan sebagai bobot total materi organisme
hidup setiap pohon di atas permukaan tanah dinyatakan dalam bobot kering ton per unit area. Biomassa dapat pula didefinisikan sebagai bobot dari material tumbuhan hidup per unit area. Total biomassa yang terdapat pada areal hutan dibagi ke dalam dua bagian yaitu biomassa di atas permukaan dan biomassa di bawah permukaan tanah. Biomassa pada dasarnya terdiri dari bobot organismae hidup di atas permukaan dan di bawah permukaan tanah, seperti pohon, semak belukar, tumbuhan menjalar, akar dan berat organisme mati dan sampah kasar yang terasosiasi dengan tanah. Karena terdapat kesulitan pada pengumpulan data lapangan biomassa di bawah permukaan (Below-Ground Biomass, BGB), penelitian estimasi biomassa yang telah banyak dilakukan sebelumnya terfokus pada biomassa di atas permukaan (Above-Ground Biomass, AGB) (Lu, 2005). Tabel 2.4 menyajikan rangkuman dari beberapa teknik pendugaan biomassa yang berbeda berdasarkan (1) pengukuran lapangan, (2) remote sensing, dan (3) GIS. Biomassa
tegakan
hutan
dipengaruhi
oleh
umur
tegakan
hutan,
sejarah
perkembangan vegetasi, komposisi dan struktur tegakan (Lugo dan Snedaker 1974). Pengukuran biomassa pada dasarnya mengacu pada empat teknik pengukuran (Lu, 2005): (a) teknik
pemetaan
pemanenan
atau
teknik
pemercontohan
destruktif
(b)
teknik
pemercontohan non-destruktif (c) pengukuran berdasarkan data remote sensing yang dihasilkan oleh sistem airborne/spaceborne, and (d) estimasi menggunakan model. Tabel 2.3. Beberapa metode untuk menduga biomassa Ketegori Metode DasarPengukuran Lapangan
Metode
Data digunakan
Karakteristik
Referensi
Penarikan contoh Destruktif
Pohon per contoh
Individu pohon
Klinge, et.al. (1975)
Allometric equations (persamaan allometric)
Pohon per contoh
Individu pohon
Overman, et.al. 1994); Honzak, et.al., (1996); Nelson, et.al. (1999)
Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
27
Metode DasarPenginderaan Jauh
Metode DasarSIG
Konversi dari volume ke biomassa
Volume dari pohon per contoh atau tegakan
Individu pohon atau tegakan vegetasi
Brown dan Lugo (1984), Brown, et.al. (1989), Brown dan Lugo (1992), Gillespie, et.al. (1992), Segura dan Kanninen (2005)
Metode berdasarkan fine spatialresolution data
Aerial photographs, IKONOS
Per-pixel level
Tiwari dan Singh (1984), Thenkabail , et.al. (2004)
Metode berdasarkan medium spatialresolution data
Landsat Per-pixel level TM/ETM+, SPOT
Roy dan Ravan (1996), Nelson, et.al. (2000a), Steininger (2000), Foody, et.al., (2003), Lu (2005)
Metode berdasarkan coarse spatialresolution data
IRS-1C WiFS, AVHRR
Per-pixel level
Barbos , et.al. (1999), Wylie, et.al. (2002), Dong, et.al. (2003)
Metode berdasarkan data Radar
Radar, lidar
Per-pixel level
Harrel, et.al. (1997), Lefsky, et.al. (1999b), Santos, et.al. (2002, 2003)
Metode berdasarkan Ancillary data
Elevasi, kemiringan, tanah, presipitasi, dll.
Per-pixel level atau per-field level
Brown, et.al. (1994), Iverso , et.al. (1994), Brown dan Gaston (1995)
Sumber: Lu (2005)
Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
28
(2.9.) Metode Pendugaan Biomassa dengan Non-Destructive Sampling Pendekatan destruktif untuk menduga biomassa memberikan hasil yang paling
akurat, tetapi penerapan teknik ini tidak dapat dilakukan pada seluruh areal hutan karena kerusakan yang diakibatkan cukup besar. Selain kerusakan yang diakibatkan, mahalnya biaya dan banyaknya waktu yang dibutuhkan dibandingkan dengan teknik pendugaan biomassa yang lain menjadi bahan pertimbangan dalam penggunaan teknik ini. Teknik pendugaan biomasa yang banyak dilakukan pada saat ini adalah pendekatan non-destructive sampling yang tidak memerlukan pemanenan pohon. Pendekatan non-destructive sampling memiliki persamaan regresi yang berbeda-beda, dengan parameter penyusunya seperti tinggi pohon, diameter pohon, volume batang, dan basal area untuk menduga biomassa. Persamaan regresi yang banyak digunakan untuk menduga biomassa menurut Husch, et.al. (2003) adalah sebagai berikut; B = C0 + C1S B = C0 + C1S + C2S2 B = exp (C1S) B = exp (C2SC1) B = C0 + C1logS
Menurut Chave dkk, (2005) berdasarkan pengujian yang telah dilakukan didapatkan bahwa diameter pohon merupakan salah satu variabel yang penting bagi pendugaan biomassa selain berat jenis pohon dan tipe hutan. Teknik estimasi biomassa non-destruktif memiliki efisiensi yang baik jika dibandingkan dengan teknik sampling destruktif. Pada kasus area hutan tropis campuran yang heterogen, survey lapangan tidak mungkin dilakukan untuk mengambil sample pada plot dengan aksesibilitas yang rendah. Untuk memonitoring area hutan tropis campuran yang heterogen maupun hutan tropis homogen, penginderaan jauh menyediakan alat yang paling sesuai dan efektivitas waktu serta biaya jauh lebih baik dibandingkan pengukuran in-situ. Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
29
Dalam beberapa tahun terakhir, teknik penginderaan jauh (remote sensing) telah menjadi hal umum dalam menduga AGB (Lu, 2005). Penginderaan jauh sistem optik pada dasarnya merespon pada struktur kimia daun seperti Normilize Difference Vegetation Index (NDVI) (Dong dkk, 2003). Berdasarkan resolusi spasial, Lu (2005) mengategorikan data penginderaan jauh (citra satelit) untuk estimasi AGB ke dalam tiga kategori yaitu fine spatialresolution data (resolusi spasial kurang dari 5 m), medium spatial-resolution data (resolusi spasial pada kisaran antara 10 m hingga 100 m), dan coarse spatial-resolution data (resolusi spasial lebih dari 100 m). Penggunaan coarse spatial-resolution data memiliki keterbatasan dikarenakan ukuran pixelnya yang besar, dimana berbagai jenis pohon dari bermacammacam area hutan terdapat di dalam pixel tersebut dan perbedaan yang amat besar antara ukuran pixel dengan plot yang dibuat untuk pengukuran lapangan.
(2.10.) Karbon Stok
Karbon stok yang dimaksudkan dalam penelitian ini merupakan jumlah C dari total biomassa terhitung pada tegakan. Umumnya, karbon pada tegakan dihitung dengan fraksi karbon sebesar 0.5 (IPCC, 2006). Untuk keperluan akutansi karbon REDD, perhitungan karbon dilakukan menggunakan metodologi tertentu berdasarkan standar internasional yang berlaku, baik itu VCS, UN-CDM, ato yang lainnya. Dalam metode-metode tersebut, digunakan istilah carbon pool sebagai sumber karbon yang diperhitungkan. Carbon pool tersebut antara lain dapat berupa:
(2.10.1) Karbon di Atas Permukaan Tanah
IPCC (2006) mengungkapkan bahwa biomasa di atas permukaan merupakan seluruh biomasa hidup yang terdapat di atas permukaan tanah mencakup batang, tunggak, cabang, daun, biji, dan kulit batang. Untuk menghitung variabel ini digunakan plot ukur dengan ukuran bervariasi dan persamaan alometrik yang sesuai.
Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
30
(2.10.2) Karbon di Bawah Permukaan Tanah
Karbon di bawah permukaan tanah yang diperhitungkan dalam carbon pool umumnya bersumber dari akar pohon hidup yang diameternya melebihi 2mm dan akar dari tunggak pohon. (IPCC 2006).
(2.10.3) Nekromasa
Merupakan batang pohon mati baik yang masih tegak atau telah tumbang dan tergeletak di permukaan tanah, yang merupakan komponen penting dari C dan diukur agar diperolehestimasi penyimpanan C yang akurat. Pengukuran nekromas berkayu di lapangan dilakukan pada plot utama dengan data yang dikumpulkan dari tiap plot yaitu diameter nekromas berkayu, tinggi atau panjang nekromas berkayu, dan berat jenis nekromasa.
(2.10.4) Serasah
IPCC (2006) mengkelaskan serasah sebagai seluruh komponen biomassa mati dengan berbagai macam kondisi pembusukan diatas tanah mineral atau organik, termasuk juga dedaunan, jamur, dan akar-akar halus yang terlihat (<2mm)
(2.10.5) Bahan Organik Tanah
Sisa tanaman, hewan dan manusia yang ada di permukaan dan di dalam tanah, sebagian atau seluruhnya dirombak oleh organisma tanah sehingga melapuk dan menyatu dengan tanah, dinamakan bahan organik tanah.
Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
31
III. PROGRAM KEGIATAN Kegiatan Estimasi Stok Karbon akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait dengan Skema REDD (Reduction Emission from Deforestation and Forest Degrafation) meliputi kegiatan persiapan, pengambilan data lapangan, pengolahan dan analisis data, serta penyusunan laporan meliputi : 3.1. Persiapan Persiapan pada kegiatan ini merupakan tahapan yang meliputi: a. Kajian hasil kegiatan sebelumnya. b. Persiapan Teknis, meliputi :
Studi Literatur
Pengumpulan data sekunder
c. Persiapan Administrasi 3.2 Pengambilan data lapangan Pelaksanaan pada kegiatan ini merupakan tahapan yang meliputi: Ground Truth, terdiri dari: -
Penentuan lokasi sampel
-
Pengukuran data lapangan pada peubah peubah biomassa hutan
-
Identifikasi jenis pohon yang telah ditanam
3.3. Pengolahan dan analisis data Pengolahan dan analisis data pada kegiatan ini merupakan tahapan yang meliputi: pengolahan Data Citra Digital, análisis Sistem Informasi Geografis (SIG) , dan statistik antara lain :
Melaksanakan pra pengolahan citra
Klasifikasi multi spektral citra
Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
32
Analisis perubahan tutupan lahan
Analisis karbon hutan
3.4. Penyusunan Laporan Hasil penelitian yang diperoleh disusun dalam bentuk laporan penelitian. IV.
PELAKSANAAN KEGIATAN
4.1.
Metodologi
Metode penelitian menggunakan data primer dan sekunder pada lahan hutan di Propinsi Sulawesi Utara (PT. J. Resources), Selatan (PT. Vale) dan Nusa Tenggara Barat (PT. Newmont) , dengan tujuan hasil penelitian dapat menjadi data penting dalam rangka persiapan pelaksanaan REDD. Wilayah yang dijadikan objek studi dalam penelitian ini akan ditentukan secara sengaja (purpossive) (KK penambangan mineral), dengan melakukan penelusuran pada beberapa aspek seperti : historikal wilayah, luas lahan reklamasi, dan laju deforestasi. Adapun desain dari penelitian ini, secara ringkas dapat terlihat pada Tabel 4.1. Tahapan penelitian secara lengkap disajikan pada Gambar 4.1. Pengolahan dan analisis data spasial yang akan dilakukan untuk mengetahui perubahan penutupan lahan lahan atau berubahnya fungsi lahan dengan metode sistem informasi geografi (SIG) dengan dibantu hasil tracking GPS yang gunanya untuk penentukan titik kontrol (GCP) di lapangan di mana titik kontrol tersebut juga diperlukan dalam proses koreksi geometrik citra. Sebagai data sekunder untuk membantu interpretasi digunakan juga peta penggunaan lahan.
Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
33
Tabel 4.1. Desain Penelitian “Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD (Reduction Emission from Deforestation and Forest Degradation)
NO 1
TUJUAN
PARAMETER
Alat
METODE Bahan
Cara Kerja
OUTPUT
Mengestim 1. Diameter 1. Meteran asi stok dan tinggi 2. Tali rafia karbon hasil survey 3. Phi-band tegakan 2. Biomassa atas permukaan
2
Mengestim asi nilai ekonomi karbon
1. Pengukura Pengolah 1. Nilai n peubah an data biomassa tegakan pada tiap dan plot ukur pengambil atau kelas 4. Kantong an sampel tegakan plastik biomassa reklamasi 5. Tally sheet atas 2. Estimasi permukaan 6. Alat tulis stok al: karbon 7. Pita ukur Pohon tiap plot 8. Komputer ukur. Tumbuhan 9. Software bawah 3. Peta Erdas Imagine Estimasi Serasah 10. Softwar Simpanan 2. Persamaan e ArcGIS Karbon Alometrik 11. SPSS 12. Microso ft Excel 1. Microsoft Excel Prakiraan Estimasi nilai Pengolah 2. Erdas harga ekonomi an data Imagine karbon karbon
Potensi nilai keekonomian pada wilayah kuasa pertambanga 3. ArcGIS n
Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
34
Data Citra
Data Pengukuran Lapangan
Pra-Proses Citra: Filter Lee-Sigma Pemotongan Citra
Perhitungan Biomassa: Persamaan Alometrik
Citra ALOS PALSAR Polarisasi HH dan HV
Biomassa Lokasi Pengukuran
Analisis Regresi Non-Linear
Ekstraksi Nilai Backscatter
Persamaan Matematis Hubungan Backscatter & Biomassa
Nilai Backscatter Lokasi Pengukuran
Raster Calculator/Erdas Modeller
Peta Potensi Biomassa
Perbandingan Multi-Waktu
Peta Perubahan Simpanan Karbon
Metodologi REDD
Nilai Keekonomian Karbon Gambar 4.1. Tahapan Penelitian Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
35
4.1.1. Pra-Pengolahan Citra ALOS PALSAR Citra ALOS PALSAR yang digunakan dalam penelitian merupakan citra dual polarisasi (HH dan HV) dengan level pengolahan ortho-4.1, dimana citra sudah dikoreksi menyesuaikan dengan keadaan permukaan bumi sebenarnya. (JAXA 2012). Penelitian ini menggunakan data multi waktu tahun 2007 hingga tahun 2012 pada masing-maisng lokasi penelitian. # Pemotongan Pemotongan citra dilakukan untuk mempercepat proses pengolahan citra. Citra ALOS PALSAR dipotong mengikuti batas kuasa pertambangan masing-masing wilayah penelitian. # Filter Lee-Sigma Speckle merupakan ketidakpastian atau fluktuasi secara statistic yang terjadi pada setiap piksel dalam citra RADAR. Citra radar dengan resolusi tinggi seperti yang digunakan pada penelitian ini memiliki banyak speckle. Hal ini dapat dikurangi melalui proses filtering. Yang digunakan dalam penelitian ini adalah filter adaptif berupa Filter Lee-Sigma. Filter ini sesuai dengan citra SAR karena nilai tengah yang tidak berubah, melainkan disesuaikan dengan ukuran filter. Dimana makin besar ukuran filter, makin kecil nilai standar deviasi. (Nurhadiatin 2011). Ukuran filter lee-sigma yang digunakan adalah 3x3 4.1.2. Estimasi Jumlah Biomassa Tersimpan pada Tegakan Estimasi jumlah karbon yang tersimpan pada tutupan lahan hutan diolah dan dianalisis dari data pengukuran lapangan. Pengolahan data hasil pengukuran di lapangan dilakukan untuk menduga biomassa atas permukaan tanah (above-ground biomass) pada setiap plot dengan menggunakan model alometrik. Pendugaan biomassa di lapangan dilakukan dengan menggunakan persamaan alometrik. Persamaan alometrik yang akan digunakan merupakan persamaan biomassa yang didasarkan atas kerapatan jenis (ρ) setiap spesies yang diukur. Adapun persamaan alometrik penduga biomassa yang digunakan adalah :
Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
36
AGB = 0.11 ρ (D)^2.62 (Ketterings et al. 2001)
Keterangan: AGB = biomassa atas permukaan tanah (above-ground biomass) D
= diameter setinggi dada (cm)
ρ
= kerapatan jenis (ton/m3)
4.1.3. Backscatter PALSAR Dalam estimasi biomassa pada daerah penelitian, didasarkan pada dua macam parameter penduga yaitu nilai backscatter pada polarisasi HH dan HV. Pengambilan acuan nilai backscatter ini dilakukan pada titik-titik survey lapangan yang ditandai menggunakan GPS. Adanya simpangan pada saat pengambilan titik di lapangan di kompensasi dengan cara memperlebar radius pengambilan sampel backscatter pada citra. Nilai backscatter yang digunakan kemudian adalah rata-rata dari backscatter dalam radius tersebut. Skema pengambilan nilai dijital pada Citra ALOS PALSAR dapat dilihat pada Gambar 4.2.
Piksel
Piksel
Simpangan Titik contoh
Radius pengambilan backscatter Piksel
Piksel
Gambar 4.2. Skema Pengambilan Nilai Dijital pada Citra ALOS PALSAR Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
37
4.1.4. Estimasi Biomassa menggunakan citra ALOS PALSAR Nilai backscatter PALSAR untuk tiap plot sampel diturunkan dari nilai backscatter tiap polarisasi dan band sintetis dan merupakan nilai rata-rata dari 5x5 piksel yang dipusatkan pada masing-masing plot sampel. Nilai backscatter (σo) dihitung dari nilai digital number menggunakan rumus: σo = 10log10 (dN2) + CF ; Keterangan : σo = Backscatter (dB) dN = Nilai dijital (degree) CF = Calibration factor dari Citra ALOS PALSAR peliputan tahun 2007 sebesar -83,0 (JAXA Publication, 2007)
Nilai backscatter ini kemudian di hubungkan dengan nilai biomassa terukur yang diperoleh melalui pengukuran langsung di lapangan. Hubungan antara nilai backscatter dan biomassa tersebut akan menghasilkan persamaan regresi matematis yang dapat dipakai untuk menduga nilai biomassa di lokasi lain dalam suatu areal perusahaan tambang yang memiliki nilai backscatter yang serupa.
4.1.5. Estimasi Jumlah Biomassa Tersimpan pada Tegakan Estimasi jumlah karbon yang tersimpan pada tutupan lahan hutan diolah dan dianalisis dari data pengukuran lapangan. Pengolahan data hasil pengukuran di lapangan dilakukan untuk menduga biomassa atas permukaan tanah (above-ground biomass) pada setiap plot dengan menggunakan model alometrik. Pendugaan biomassa di lapangan dilakukan dengan menggunakan persamaan alometrik. Persamaan alometrik yang akan digunakan merupakan persamaan biomassa yang didasarkan atas kerapatan jenis (ρ) setiap spesies yang diukur. Adapun persamaan alometrik penduga biomassa yang digunakan adalah :
Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
38
AGB = 0.11 ρ (D)^2.62 (Ketterings et al. 2001)
Keterangan: AGB = biomassa atas permukaan tanah (above-ground biomass) D
= diameter setinggi dada (cm)
ρ
= kerapatan jenis (ton/m3)
4.1.6. Regresi Biomassa dan Nilai Backscatter Pada penelitian tahun 2002 menggunakan citra radar, Imhoff (2002) menjelaskan bahwa terdapat nilai kejenuhan untuk pendugaan biomassa menggunakan radar. Selain itu, nilai backscatter yang negatif membuat hubungan berbentuk Power dan Logaritma tidak memungkinkan untuk digunakan. Adanya kejenuhan ini mempermudah penentuan bentuk model yang sebaiknya digunakan untuk menghubungkan (regresi) biomassa dengan nilai backscatter. Regresi non-linear berbentuk eksponensial merupakan bentuk yang disarankan dalam menjelaskan hubungan antara dua variabel tersebut. Dalam menganalisis hubungan antara biomassa dan backscatter, digunakan program statistik SPSS. Setelah diperoleh hubungan matematis antara backscatter dan biomassa, Erdas modeler digunakan untuk mengubah nilai dijital pada tiap-tiap piksel citra menjadi biomassa yang mewakili wilayah penelitian. Peta biomassa yang dihasilkan pada proses ini kemudian dibandingan secara multiwaktu untuk memperoleh perbandingan simpanan karbon.
4.1.7. Analisis Keekonomian Selisih Simpanan Karbon Perbandingan kandungan biomassa secara multi-waktu memungkinkan untuk melihat adanya pertambahan atau pengurangan simpanan karbon pada lokasi penelitian. Untuk melihat potensi keekonomian dari simpanan karbon tersebut maka simpanan karbon pada lokasi penelitian haruslah bertambah. Sebagai contoh penerapan kasus REDD, maka Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
39
dapat juga disimulasikan aplikasi salah satu metodologi REDD yang telah disahkan oleh UNCDM, VCS, atau lembaga akreditasi karbon internasional lainnya. Karbon umumnya diakreditasi dalam satuan tCO2e, dimana ini merupakan setara dengan satu ton emisi CO2. Untuk merubah nilai biomasa menjadi tCO2e dapat menggunakan persamaan berikut: CER = (B x CF x 44/12)/1000
Dimana: CER
= Certified Emission Reduction (tCO2e)
B
= Biomasa (kg)
CF
= Carbon Fraction (0.5)
(IPCC, 2006)
Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
40
V.
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1.
Hasil Pengambilan dan Pengolahan Data di PT. Vale Indonesia (Tbk) Pengukuran dilakukan di dua lokasi terpisah, yaitu hutan tanaman hasil reklamasi
tambang dan hutan alam. Pengukuran di hutan tanaman hasil reklamasi dilakukan pada plot ukur lingkaran berukuran 0.1 ha, dengan diameter 17.8m. Pengukuran di hutan alam dilakukan penggunakan plot persegi berukuran 20 x 20 m dan disusun dengan bentuk jalur. Data berupa diameter dan tinggi pohon kemudian dicatat untuk pendugaan biomassa tegakan di dalam plot ukur tersebut. 5.1.1. Pengolahan Data Biomassa Lapangan dan Pendugaan Simpanan Biomassa Multi-Waktu untuk Tahun 2008 dan 2010 5.1.1.1. Gambaran Umum Hasil Pengambilan Data Biomassa di PT. Vale Indonesia (Tbk.) Pengukuran lapangan terhadap parameter peubah dominan biomassa seperti diameter dan tinggi pohon di dalam wilayah kuasa pertambangan (KP) PT. Vale Indonesia (Tbk.) dilakukan di 23 lokasi terpisah. Wilayah pengamatan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu wilayah reklamasi dan wilayah berhutan alami. Pada wilayah reklamasi, dilakukan pengambilan contoh tegakan dalam plot sebanyak 17 lokasi dengan ukuran plot seluas 0.1 ha, sedangkan pada hutan alam dilakukan pengambilan contoh tegakan dalam plot sebanyak 6 lokasi dengan ukuran plot seluas 20 x 20 m. Peta Sebaran Titik Pengambilan Contoh di PT. Vale Indonesia (Tbk.) disajikan pada Gambar 5.1.
Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
41
Gambar 5.1. Peta Sebaran Titik Pengambilan Contoh di PT. Vale Indonesia (Tbk.) Spesies di hutan tanaman dan hutan alam sangat beragam, tercatat ada 33 spesies pohonpohonan yang ditemukan pada saat survey lapangan. Untuk mempermudah pendugaan biomassa secara keseluruhan, dan meminimalisir galat yang terjadi akibat tingginya jumlah persamaan alometrik yang digunakan, maka persamaan matematis yang digunakan untuk menduga jumlah biomassa pada tegakan yang ditemui dilapangan adalah persamaan yang dibuat oleh Ketterings et a,. 2001. B = 0.11 ρ D2.62 Dimana: B
: Biomassa tegakan (Kg)
Ρ
: Massa jenis spesies (ton/m3)
D
: Diameter (cm)
Katalog spesies di PT. Vale Indonesia (Tbk.) sudah cukup baik mencatat seluruh nama latin untuk tiap-tiap jenis pohon yang mungkin ditemui di lapangan, sehingga tidak ditemukan kesulitan dalam mencari referensi massa jenis tiap-tiap spesies. Untuk acuan data massa jenis digunakan data dari Database Massa Jenis Kayu, World Agroforestry Center Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
42
(ICRAF). Rangkuman pengukuran data lapangan pada hutan tanaman untuk di PT. Vale Indonesia (Tbk.) disajikan pada Tabel 5.1, sedangkan pada hutan alam disajikan pada Tabel 5.2. Tabel 5.1. Rangkuman Pengukuran Biomassa pada Hutan Tanaman Reklamasi PT. Vale Indonesia (Tbk.) No
Nama Plot
Biomasa (ton)
1
Butoh I
4.11
2
Butoh II
6.27
3
Butoh III
11.71
4
Rante I
13.68
5
Rante II
10.51
6
Debbie I
10.67
7
Debbie II
9.14
8
Evita I
16.01
9
Evita II
3.27
10
Evita III
10.97
11
Evita IV
12.46
12
Himalaya I
16.79
13
Himalaya II
10.62
14
Hasan I
11.40
15
Hasan II
6.89
16
Petea I
6.39
17
Petea II
7.79
Tabel 5.2. Rangkuman Pengukuran Biomassa pada Hutan Alam PT. Vale Indonesia (Tbk.) Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
43
Biomasa No Nama Plot
(ton)
1 HTA I
9.14
2 HTA II
10.95
3 HTA III
7.67
4 HTA IV
6.44
5 HTA V
11.31
6 HTA Liliana
21.45
Berdasarkan data hasil pengukuran tersebut, potensi simpanan biomassa untuk hutan tanaman reklamasi adalah 32.7 ton/ha untuk tegakan paling muda dan 167.9 ton/ha untuk tegakan yang sudah cukup tua. Sementara untuk hasil pengukuran di hutan alam menunjukkan bahwa potensi karbon terendah adalah 64.4 ton/ha hingga 214.5 ton/ha. Potensi yang terdapat pada hutan tanaman reklamasi cukup tinggi, terutama pada umur tua dikarenakan kerapatan yang tinggi dan juga penanaman spesies cepat tumbuh. 5.1.1.2. Pengolahan Citra ALOS PALSAR di PT. Vale Indonesia (Tbk.) Citra ALOS PALSAR yang digunakan untuk menduga potensi simpanan karbon di PT. Vale Indonesia (Tbk.) menggunakan dua polarisasi, yaitu HH dan HV. Sebelum nilai dijital pada citra dapat digunakan, terlebih dahulu perlu dilakukan Speckle Suppression menggunakan filter Lee-Sigma yang ada pada aplikasi Erdas Imagine. Teknik ini dilakukan untuk mengurangi noise yang ada pada citra radar, sehingga dugaan nilai biomassa tidak ada yang menjadi pencilan dikarenakan noise dari radar. Filter yang digunakan adalah filter dengan ukuran 3 x 3 m. Setelah dilakukan filter, nilai dijital dari citra PALSAR di-ekstrak dan di oleh menggunakan persamaan matematis untuk merubahnya menjadi nilai hamburan balik (Backscatter). Nilai hamburan balik ini yang kemudian akan mewakili tiap-tiap nilai biomassa
Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
44
terukur pada citra. Nilai dijital tersebut dikonversi menggunakan persamaan yang dipublikasi oleh Shimada et. al, 2009. NRCS(dB) = 10*Log10(DN2)+CF Dimana: NRCS : Normalized Radar Cross Section (nilai Backscatter) DN
: Nilai Dijital
CF
: Faktor kalibrasi, yaitu -83 untuk HH dan HV. Mengenai galat posisi pada citra PALSAR, data yang digunakan adalah data dengan
level pengolahan 4.1 Orthorectified. Sehingga dapat dikatakan bahwa skala pada citra telah mewakili sesuai dengan yang dilapangan. Namun begitu, tetap ada galat pada pengambilan titik dengan GPS. Untuk mengatasi hal tersebut, pengambilan nilai dijital pada citra dilakukan menggunakan buffer dengan diameter 20m kemudian merata-ratakan nilai dijital yang diperoleh dari buffer tersebut. 5.1.1.3. Hubungan Backscatter dengan Biomassa di PT. Vale Indonesia (Tbk.) Setelah dilakukan pengolahan nilai dijital, dapat dilakukan analisis hubungan antara biomassa hasil pengukuran lapangan dan nilai hambur balik pada citra. Tabel 5.3 menyajikan nilai hamburan balik dan biomassa masing-masing plot pengukuran lapangan di PT. Vale Indonesia (Tbk.) Tabel 5.3. Tabel Nilai Hamburan Balik untuk Setiap Plot Ukur di PT. Vale Indonesia (Tbk.) No 1 2 3 4 5 6 7
Nama Plot Butoh I Butoh II Butoh III Debbie I Debbie II Evita I Evita II
Biomassa Plot (ton) 4.11 6.26 11.71 10.67 9.13 16.01 3.27
Backscatter (dB) HH -16.11 -19.18 -18.60 -17.11 -17.19 -17.85 -19.61
HV -17.43 -19.12 -19.87 -17.21 -17.88 -18.83 -19.85
Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
45
8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Evita III Evita IV Himalaya I Himalaya II Hasan I Hasan II HTA I HTA II HTA III HTA IV HTA V HTA Liliana Petea I Petea II Rante I Rante II
10.97 12.46 16.79 10.61 11.39 6.89 9.13 10.94 7.66 6.44 11.31 21.44 6.38 7.79 13.67 10.51
-18.39 -20.10 -18.46 -17.67 -16.33 -17.04 -18.89 -19.38 -20.22 -18.64 -19.99 -15.55 -15.10 -16.08 -19.42 -18.90
-20.24 -17.97 -17.44 -15.55 -16.48 -16.76 -19.73 -19.63 -18.61 -20.18 -20.15 -14.37 -19.27 -16.94 -18.28 -18.66
Imhoff, (2002) menjelaskan bahwa terdapat nilai kejenuhan untuk pendugaan biomassa menggunakan radar. Berdasarkan hal ini, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang berbentuk eksponensial antara Backscatter sebagai variabel bebas dan Biomassa sebagai variabel tidak bebas. Berdasarkan hal tersebut, maka dibuatlah suatu persamaan matematis yang menghubungkan antara nilai hamburan balik HH – Biomassa dan HV – Biomassa. Seperti pada gambar 5.2.
Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
46
(a)
(b)
Gambar 5.2. Grafik Hubungan Nilai Hambur Balik HH (a) dan HV (b) dengan Biomassa di PT. Vale Indonesia (Tbk.) Menggunakan Aplikasi Statistik SPSS kemudian dilakukan analisis regresi non-linear untuk mencari koefisien yang dapat menggambarkan hubungan kedua variabel tersebut. Hasilnya disajikan pada Tabel 5.4. Tabel 5.4. Tabel Hubungan Eksponensial Antara Backscatter dan Biomassa di PT. Vale Indonesia (Tbk.)
A
b
R2
y
x
y = a*(EXP(bx))
Biomassa
Backscatter HH
930.896
0.254
69.0%
y = a*(EXP(bx))
Biomassa
Backscatter HV
567.057
0.229
87.3%
Berdasarkan hasil regresi non-linear, hubungan antara nilai hamburan balik HV dengan biomassa memiliki R2 lebih besar daripada hubungan nilai maburan balik HH dengan biomassa. Oleh karena itu, persamaan matematis yang digunakan untuk menduga potensi simpanan karbon di PT. Vale Indonesia (Tbk.) adalah hubungan antara Backscatter HV dan biomassa. Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
47
5.1.1.4. Dugaan Simpanan Karbon di PT. Vale Indonesia (Tbk.) Dengan adanya hubungan matematis antara biomassa dan nilai hamburan balik HV, maka secara remote sensing dapat diduga jumlah simpanan karbon multi-waktu pada PT. Vale Indonesia. Citra yang digunakan untuk menduga simpanan karbon di lokasi penelitian adalah citra ALOS PALSAR tahun perekaman tahun 2008-2010. Namun dikarenakan terjadi kerusakan pada beberapa citra ALOS PALSAR, maka hanya tahun 2008 dan 2010 yang dapat diduga simpanan karbonnya. Sebagai catatan, dikarenakan kesalahan sistemik, citra ALOS PALSAR tidak lagi merekam sejak April 2010, sehingga tidak mungkin diperoleh citra yang lebih mutakhir untuk perekaman setelah tanggal tersebut.
(a)
(b)
Gambar 5.3. Peta Dugaan Potensi Simpanan Biomassa PT. Vale Indonesia (Tbk.): (a) Tahun 2008; (b) Tahun 2010 Persamaan pendugaan biomassa pada Tabel yaitu y = 567.057*(EXP(0.229x), x adalah nilai hamburan balik HV dan diaplikasikan pada citra ALOS PALSAR menghasilkan suatu dugaan karbon untuk wilayah kuasa pertambangan (KP) PT. Vale Indonesia (Tbk.). Peta Dugaan Potensi Simpanan Biomassa PT. Vale Indonesia (Tbk.): (a) Tahun 2008; (b) Tahun 2010 disajikan pada Gambar 5.3. Jumlah dugaan biomassa yang tersimpan pada lokasi tersebut di tahun 2008 adalah sebesar 117.669.908,42 ton biomassa atau jika diasumsikan Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
48
factor konversi biomassa terhadap karbon adalah 0,5 maka dugaan jumlah karbon yang tersimpan di PT. Vale Indonesia (Tbk.) untuk tahun pengamatan 2008 adalah 58,834,954.21 ton.
Gambar 5.4. Grafik Dugaan Biomassa Tersimpan untuk PT. Vale Indonesia (Tbk.) Untuk tahun pengamatan 2010 digunakan citra ALOS PALSAR perekaman 9 Oktober 2010 dengan total dugaan biomassa tersimpan sebesar 70,953,535.04 ton atau setara dengan 35,476,767.52 ton karbon. Jumlah ini lebih sedikit dibandingkan jumlah simpanan tahun 2008. Hal ini dapat disebabkan karena adanya tambahan wilayah galian/penambangan dari tahun 2008 ke 2010 (Gambar 5.5) , dimana laju pertambahan biomassa dari reklamasi tidak cukup cepat menandingi biomassa yang hilang akibat pembukaan lahan.
Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
49
(a)
(b)
Gambar 5.5. Citra Satelit PT. Vale Indonesia (Tbk.): (a) Tahun 2008; (b) Tahun 2010 5.2. Hasil Pengambilan dan Pengolahan Data di PT. JResources Bolang Mongondow (JRBM) 5.2.1. Pengolahan Data Biomassa Lapangan dan Pendugaan Simpanan Biomassa MultiWaktu Tahun 2007, 2009, dan 2010 5.2.1.1. Gambaran Umum Hasil Pengambilan Data Biomassa di PT. JRBM Pengukuran lapangan terhadap parameter peubah dominan biomassa seperti diameter dan tinggi pohon di dalam wilayah kuasa pertambangan (KP) PT. JResources Bolaang Mongondow (selanjutnya disebut JRBM) dilakukan di 12 lokasi terpisah. Wilayah pengamatan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu wilayah reklamasi dan wilayah berhutan alami. Pada wilayah reklamasi, dilakukan pengambilan contoh tegakan dalam plot sebanyak 6 lokasi dengan ukuran plot seluas 0.1ha, sedangkan pada hutan alam dilakukan pengambilan contoh tegakan dalam plot sebanyak 6 lokasi dengan ukuran plot seluas 20x20m. Peta Sebaran Titik Pengambilan Contoh di PT. JResources Bolaang Mongondow disajikan pada Gambar 5.6. Spesies di hutan tanaman dan hutan alam sangat beragam, tercatat ada 18 spesies pohon-pohonan pada hutan tanaman reklamasi dan 23 spesies pada hutan alam yang ditemukan pada saat survey lapangan. Untuk mempermudah pendugaan biomassa secara Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
50
keseluruhan, dan meminimalisir galat yang terjadi akibat tingginya jumlah persamaan alometrik yang digunakan, maka persamaan matematis yang digunakan untuk menduga jumlah biomassa pada tegakan yang ditemui dilapangan adalah persamaan yang dibuat oleh Ketterings et. al. 2001. B = 0.11 ρ D2.62 Keterangan: B
: Biomassa tegakan (Kg)
Ρ
: Massa jenis spesies (ton/m3)
D
: Diameter (cm) Jenis-jenis pohon yang ditanam atau ditemui di PT. JRBM merupakan jenis yang
cukup lumrah ditanam atau dijumpai, sehingga tidak ditemui kesulitan dalam mencari massa jenis masing-masing spesies yang ditanam. Untuk acuan data massa jenis digunakan data dari Database Massa Jenis Kayu, World Agroforestry Center (ICRAF). Tabel 5.5. Rangkuman Pengukuran Biomassa pada Hutan Tanaman dan Hutan Alam PT. JRBM
No
Nama Plot
Biomasa (ton)
1 JRBM Olimpic A
0.11
2 JRBM Olimpic B
0.08
3 JRBM Plant Area
3.66
JRBM West Dam 4 Kepiting
0.62
5 JRBM West Agus Dwi
1.85
6 JRBM West Dam Lama
1.74
7 JRBM HA AP I
50.38
8 JRBM HA AP II
58.93
Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
51
No
Nama Plot
Biomasa (ton)
9 JRBM HA AP III
58.93
10 JRBM HA AP IV
22.15
11 JRBM HA AP V
15.08
12 JRBM HA Hutan X
8.49
Berdasarkan data hasil pengukuran tersebut, potensi simpanan biomassa untuk hutan tanaman reklamasi adalah 0.8 ton/ha untuk tegakan paling muda dan 36.6 ton/ha untuk tegakan yang sudah cukup berumur. Sementara untuk hasil pengukuran di hutan alam menunjukkan bahwa potensi karbon terendah adalah 84.9 ton/ha hingga 589.3 ton/ha.
Gambar 5.6. Peta Sebaran Titik Pengambilan Contoh di PT. JResources Bolaang Mongondow 5.2.1.2. Pengolahan Citra ALOS PALSAR di PT. JRBM Citra ALOS PALSAR yang digunakan untuk menduga potensi simpanan karbon di PT. JRBM menggunakan dua polarisasi, yaitu HH dan HV. Sebelum nilai dijital pada citra dapat digunakan, terlebih dahulu perlu dilakukan Speckle Suppression menggunakan filter LeeEstimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
52
Sigma yang ada pada aplikasi Erdas Imagine. Teknik ini dilakukan untuk mengurangi noise yang ada pada citra radar, sehingga dugaan nilai biomassa tidak ada yang menjadi pencilan dikarenakan noise dari radar. Filter yang digunakan adalah filter dengan ukuran 3x3. Setelah dilakukan filter, nilai dijital dari citra PALSAR di-ekstrak dan di oleh menggunakan persamaan matematis untuk merubahnya menjadi nilai hamburan balik (Backscatter). Nilai hamburan balik ini yang kemudian akan mewakili tiap-tiap nilai biomassa terukur pada citra. Nilai dijital tersebut dikonversi menggunakan persamaan yang dipublikasi oleh Shimada, et al, 2009. NRCS(dB) = 10*Log10(DN2)+CF Dimana: NRCS : Normalized Radar Cross Section (nilai Backscatter) DN
: Nilai Dijital
CF
: Faktor kalibrasi, yaitu -83 untuk HH dan HV.
Mengenai galat posisi pada citra PALSAR, data yang digunakan adalah data dengan level pengolahan 4.1 Orthorectified. Sehingga dapat dikatakan bahwa skala pada citra telah mewakili sesuai dengan yang dilapangan. Namun begitu, tetap ada galat pada pengambilan titik dengan GPS. Untuk mengatasi hal tersebut, pengambilan nilai dijital pada citra dilakukan menggunakan buffer dengan diameter 20m kemudian merata-ratakan nilai dijital yang diperoleh dari buffer tersebut. 5.2.1.3. Hubungan Backscatter dengan Biomassa di PT. JRBM Setelah dilakukan pengolahan nilai dijital, dapat dilakukan analisis hubungan antara biomassa hasil pengukuran lapangan dan nilai hambur balik pada citra. Tabel 5.6 menyajikan nilai hamburan balik dan biomassa masing-masing plot pengukuran lapangan di PT. JRBM Tabel 5.6. Tabel Nilai Hamburan Balik untuk Setiap Plot Ukur di PT. JRBM
Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
53
No
Nama Plot
Biomasa (ton)
Backscatter HH
HV
1 JRBM Olimpic A
0.11
-23.17
-23.54
2 JRBM Olimpic B
0.08
-20.30
-19.61
3 JRBM Plant Area
3.66
-17.02
-18.69
4 Kepiting
0.62
-22.28
-24.52
5 JRBM West Agus Dwi
1.85
-21.72
-22.21
6 JRBM West Dam Lama
1.74
-20.34
-21.42
7 JRBM HA AP I
50.38
-17.63
-17.06
8 JRBM HA AP II
58.93
-22.02
-24.06
9 JRBM HA AP III
58.93
-24.10
-22.51
10 JRBM HA AP IV
22.15
-20.68
-21.72
11 JRBM HA AP V
15.08
-19.58
-19.92
8.49
-19.05
-20.55
JRBM West Dam
12 JRBM HA Hutan X
Imhoff, (2002) menjelaskan bahwa terdapat nilai kejenuhan untuk pendugaan biomassa menggunakan radar. Berdasarkan hal ini, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang berbentuk eksponensial antara Backscatter sebagai variabel bebas dan Biomassa sebagai variabel tidak bebas. Berdasarkan hal tersebut, maka dibuatlah suatu persamaan matematis yang menghubungkan antara nilai hamburan balik HH – Biomassa dan HV – Biomassa. Seperti disajikan pada gambar 5.7.
Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
54
(a)
(b)
Gambar 5.7. Grafik Hubungan Nilai Hambur Balik HH (a) dan HV (b) dengan Biomassa di PT. JRBM Menggunakan Aplikasi Statistik SPSS kemudian dilakukan analisis regresi non-linear untuk mencari koefisien yang dapat menggambarkan hubungan kedua variabel tersebut. Hasilnya disajikan pada Tabel 5.7.
Tabel 5.7. Tabel Hubungan Eksponensial Antara Backscatter dan Biomassa di PT. JRBM y
x
a
b
R2
y = a*(EXP(bx))
Biomassa
Backscatter HH 15532080.17
0.718
80.6%
y = a*(EXP(bx))
Biomassa
Backscatter HV
0.429
85.3%
76027.906
Berdasarkan hasil regresi non-linear, hubungan antara nilai hamburan balik HV dengan biomassa memiliki R2 lebih besar daripada hubungan nilai maburan balik HH dengan biomassa. Oleh karena itu, persamaan matematis yang digunakan untuk menduga potensi simpanan karbon di PT. JRBM adalah hubungan antara Backscatter HV dan biomassa.
Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
55
5.2.1.4. Dugaan Simpanan Karbon di PT. JRBM Dengan adanya hubungan matematis antara biomassa dan nilai hamburan balik HV, maka secara remote sensing dapat diduga jumlah simpanan karbon multi-waktu pada PT. JRBM. Citra yang digunakan untuk menduga simpanan karbon di lokasi penelitian adalah citra ALOS PALSAR tahun perekaman tahun 2007-2010. Sebagai catatan, dikarenakan kesalahan sistemik, citra ALOS PALSAR tidak lagi merekam sejak April 2010, sehingga tidak mungkin diperoleh citra yang lebih mutakhir untuk perekaman setelah tanggal tersebut.
(a)
(b)
(c) Gambar 5.8. Peta Dugaan Potensi Simpanan Biomassa PT. JRBM (Tbk.): (a) Tahun 2007; (b) Tahun 2009; (c) Tahun 2010 Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
56
Persamaan pendugaan biomassa pada Tabel
yaitu y=76027.906*(EXP(0.429x)) , x
adalah nilai hamburan balik HV dan diaplikasikan pada citra ALOS PALSAR menghasilkan suatu dugaan karbon untuk wilayah kuasa pertambangan (KP) PT. JRBM. Peta Dugaan Potensi Simpanan Biomassa PT. JRBM (Tbk.): (a) Tahun 2007; (b) Tahun 2009; (c) Tahun 2010 disajikan pada Gambar 5.8. Jumlah dugaan biomassa yang tersimpan pada lokasi tersebut di tahun 2007 adalah sebesar 65,390,507.14 ton biomassa atau jika diasumsikan faktor konversi biomassa terhadap karbon adalah 0,5 maka dugaan jumlah karbon yang tersimpan di PT. JRBM (Tbk.) untuk tahun pengamatan 2007 adalah 32,695,253.57 ton.
Gambar 5.9. Grafik Dugaan Biomassa Tersimpan untuk PT. JResources Bolaang Mongondow
Untuk tahun pengamatan 2009 digunakan citra ALOS PALSAR perekaman 26 September 2009 dengan total dugaan biomassa tersimpan sebesar 100,293,545.43 ton atau setara dengan 50,146,772.71 ton karbon. Sementara pada tahun 2010 digunakan citra ALOS PALSAR perekaman 29 September 2010 dengan total dugaan simpanan biomassa sebesar 158,840,497.10 ton atau setara dengan 79,420,248.55 ton karbon.
Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
57
(a)
(b)
(c) Gambar 5.10. Citra Satelit PT. JRBM (Tbk.): (a) Tahun 2007; (b) Tahun 2009; (c) Tahun 2010 Pada Gambar 5.10 dapat diperkirakan bahwa pertambahan jumlah biomassa tersimpan di dalam KP PT. JRBM disebabkan karena pertumbuhan alami diluar wilayah reklamasi. Walaupun begitu, upaya reklamasi dari pihak perusahaan juga dapat dilihat hasilnya. Pada Gambar 20 dapat dilihat bahwa walaupun terjadi pertambahan luasan bukaan Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
58
tambang, ada wilayah-wilayah tertentu yang menghijau, diduga ini terjadi karena tanaman hasil reklamasi sudah cukup besar sehingga dapat dideteksi oleh satelit. 5.3. Hasil Pengambilan dan Pengolahan Data di PT. Newmont Nusa Tenggara 5.3.1. Pengolahan Data Biomassa Lapangan dan Pendugaan Simpanan Biomassa MultiWaktu Tahun 2007, 2008, 2009, dan 2010. 5.3.1.1. Gambaran Umum Hasil Pengambilan Data Biomassa di PT. Newmont Nusa Tenggara Pengukuran lapangan terhadap parameter peubah dominan biomassa seperti diameter dan tinggi pohon di dalam wilayah kuasa pertambangan (KP) PT. Newmont Nusa Tenggara dilakukan di 16 lokasi terpisah. Wilayah pengamatan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu wilayah reklamasi dan wilayah berhutan alami. Pada wilayah reklamasi, dilakukan pengambilan contoh tegakan dalam plot sebanyak 14 lokasi dengan ukuran plot seluas 0.1ha, sedangkan pada hutan alam dilakukan pengambilan contoh tegakan dalam plot sebanyak 2 lokasi dengan ukuran plot seluas 20x20m. Spesies di hutan tanaman dan hutan alam sangat beragam, tercatat ada 34 spesies pohon-pohonan pada hutan tanaman reklamasi dan 16 spesies pada hutan alam yang ditemukan pada saat survey lapangan. Untuk mempermudah pendugaan biomassa secara keseluruhan, dan meminimalisir galat yang terjadi akibat tingginya jumlah persamaan alometrik yang digunakan, maka persamaan matematis yang digunakan untuk menduga jumlah biomassa pada tegakan yang ditemui dilapangan adalah persamaan yang dibuat oleh Ketterings et.al,. 2001. B = 0.11 ρ D2.62 Dimana: B
: Biomassa tegakan (Kg)
Ρ
: Massa jenis spesies (ton/m3)
D
: Diameter (cm)
Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
59
Jenis-jenis pohon yang ditanam atau ditemui di PT. Newmont Nusa Tenggara merupakan jenis yang cukup lumrah ditanam atau dijumpai, sehingga tidak ditemui kesulitan dalam mencari massa jenis masing-masing spesies yang ditanam, walaupun ada beberapa spesies yang tidak diketahui massa jenisnya. Untuk spesies seperti ini, merujuk kepada Mascaro et. al, (2012), menggunakan nilai 0.55 sebagai massa jenisnya. Untuk acuan data massa jenis spesies teridentifikasi digunakan data dari Database Massa Jenis Kayu, World Agroforestry Center (ICRAF). Tabel 5.8. Rangkuman Pengukuran Biomassa pada Hutan Tanaman dan Hutan Alam PT. Newmont Nusa Tenggara Biomasa No Nama Plot (ton) 1 NWMT East Dump I
9.36
2 NWMT East Dump II
6.48
3 NWMT East Dump III
12.48
4 NWMT East Dump IV
4.06
5 NWMT East Dump V
8.04
6 NWMT East Dump VI
6.43
7 NWMT East Dump VII
0.45
8 NWMT East Dump VIII
0.22
9 NWMT TD I
6.92
10 NWMT TD II
9.80
11 NWMT TD III
31.12
12 NWMT Ujat I
0.40
13 NWMT Ujat II
0.01
14 NWMT Ujat III
0.01
Plot Pengukuran Hutan Alam 15 NWMT HA East Dump
8.06
Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
60
No
Nama Plot
16 NWMT HA Tongoloka
Biomasa (ton) 139.83
Berdasarkan data hasil pengukuran tersebut, potensi simpanan biomassa untuk hutan tanaman reklamasi adalah 0.1 ton/ha untuk tegakan paling muda hingga 124.8 ton/ha untuk tegakan yang sudah cukup berumur. Sementara untuk hasil pengukuran di hutan alam menunjukkan bahwa potensi karbon terendah adalah 80.9 ton/ha hingga 1398.3 ton/ha.
Gambar 5.11. Peta Sebaran Titik Pengambilan Contoh di PT. Newmont Nusa Tenggara
5.3.1.2. Pengolahan Citra ALOS PALSAR di PT. Newmont Nusa Tenggara Citra ALOS PALSAR yang digunakan untuk menduga potensi simpanan karbon di PT. Newmont Nusa Tenggara menggunakan dua polarisasi, yaitu HH dan HV. Sebelum nilai dijital pada citra dapat digunakan, terlebih dahulu perlu dilakukan Speckle Suppression Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
61
menggunakan filter Lee-Sigma yang ada pada aplikasi Erdas Imagine. Teknik ini dilakukan untuk mengurangi noise yang ada pada citra radar, sehingga dugaan nilai biomassa tidak ada yang menjadi pencilan dikarenakan noise dari radar. Filter yang digunakan adalah filter dengan ukuran 3 x 3 m. Setelah dilakukan filter, nilai dijital dari citra PALSAR di-ekstrak dan di oleh menggunakan persamaan matematis untuk merubahnya menjadi nilai hamburan balik (Backscatter). Nilai hamburan balik ini yang kemudian akan mewakili tiap-tiap nilai biomassa terukur pada citra. Nilai dijital tersebut dikonversi menggunakan persamaan yang dipublikasi oleh Shimada et. al. 2009. NRCS(dB) = 10*Log10(DN2)+CF
Dimana: NRCS : Normalized Radar Cross Section (nilai Backscatter) DN
: Nilai Dijital
CF
: Faktor kalibrasi, yaitu -83 untuk HH dan HV. Mengenai galat posisi pada citra PALSAR, data yang digunakan adalah data dengan
level pengolahan 4.1 Orthorectified. Sehingga dapat dikatakan bahwa skala pada citra telah mewakili sesuai dengan yang dilapangan. Namun begitu, tetap ada galat pada pengambilan titik dengan GPS. Untuk mengatasi hal tersebut, pengambilan nilai dijital pada citra dilakukan menggunakan buffer dengan diameter 20m kemudian merata-ratakan nilai dijital yang diperoleh dari buffer tersebut. 5.3.1.3. Hubungan Backscatter dengan Biomassa di PT. Newmont Nusa Tenggara Setelah dilakukan pengolahan nilai dijital, dapat dilakukan analisis hubungan antara biomassa hasil pengukuran lapangan dan nilai hambur balik pada citra. Tabel 5.9 menyajikan nilai hamburan balik dan biomassa masing-masing plot pengukuran lapangan di PT. Newmont Nusa Tenggara
Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
62
Tabel 5.9. Tabel Nilai Hamburan Balik untuk Setiap Plot Ukur di PT. Newmont Nusa Tenggara No
Nama Plot
Biomasa (ton)
Backscatter HH
HV
1 NWMT East Dump I
9.36
-14.78
-12.63
2 NWMT East Dump II
6.48
-16.36
-12.56
3 NWMT East Dump III
12.48
-15.65
-16.62
4 NWMT East Dump IV
4.06
-16.99
-16.56
5 NWMT East Dump V
8.04
-17.78
-21.46
6 NWMT East Dump VI
6.43
-16.69
-21.52
7 NWMT East Dump VII
0.45
-21.3
-25.77
8 NWMT East Dump VIII
0.22
-13.99
-19.65
9 NWMT TD I
6.92
-19.53
-18.80
10 NWMT TD II
9.80
-16.57
-16.58
11 NWMT TD III
31.12
-16.53
-15.87
12 NWMT Ujat I
0.40
-21.48
-24.27
13 NWMT Ujat II
0.01
-19.63
-23.01
14 NWMT Ujat III
0.01
-13.82
-15.18
15 NWMT HA East Dump
8.06
-17.31
-15.60
16 NWMT HA Tongoloka
139.83
-14.79
-12.60
Imhoff, (2002) menjelaskan bahwa terdapat nilai kejenuhan untuk pendugaan biomassa menggunakan radar. Berdasarkan hal ini, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang berbentuk eksponensial antara Backscatter sebagai variabel bebas dan Biomassa sebagai variabel tidak bebas. Berdasarkan hal tersebut, maka dibuatlah suatu persamaan matematis yang menghubungkan antara nilai hamburan balik HH – Biomassa dan HV – Biomassa. Seperti pada Gambar 5.12. Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
63
(a)
(b)
Gambar 5.12. Grafik Hubungan Nilai Hambur Balik HH (a) dan HV (b) dengan Biomassa di PT. Newmont Nusa Tenggara
Menggunakan Aplikasi Statistik SPSS kemudian dilakukan analisis regresi non-linear untuk mencari koefisien yang dapat menggambarkan hubungan kedua variabel tersebut. Hasilnya disajikan pada Tabel 5.10. Tabel 5.10. Hubungan Eksponensial Antara Backscatter dan Biomassa di PT. Newmont Nusa Tenggara b
R2
y
x
a
y = a*(EXP(bx))
Biomassa
Backscatter HH
1.476x1011
1.409
92.2%
y = a*(EXP(bx))
Biomassa
Backscatter HV 582903.551
0.661
96.9%
Berdasarkan hasil regresi non-linear, hubungan antara nilai hamburan balik HV dengan biomassa memiliki R2 lebih besar daripada hubungan nilai maburan balik HH dengan biomassa. Oleh karena itu, persamaan matematis yang digunakan untuk menduga potensi simpanan karbon di PT. Newmont Nusa Tenggara adalah hubungan antara Backscatter HV dan biomassa.
Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
64
5.3.1.4. Dugaan Simpanan Karbon di PT. Newmont Nusa Tenggara Dengan adanya hubungan matematis antara biomassa dan nilai hamburan balik HV, maka secara remote sensing dapat diduga jumlah simpanan karbon multi-waktu pada PT. Newmont Nusa Tenggara. Citra yang digunakan untuk menduga simpanan karbon di lokasi penelitian adalah citra ALOS PALSAR tahun perekaman tahun 2007-2010. Sebagai catatan, dikarenakan kesalahan sistemik, citra ALOS PALSAR tidak lagi merekam sejak April 2010, sehingga tidak mungkin diperoleh citra yang lebih mutakhir untuk perekaman setelah tanggal tersebut.
(a)
(b)
Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
65
(c)
(d)
Gambar 5.13. Peta Dugaan Potensi Simpanan Biomassa PT. Newmont Nusa Tenggara (Tbk.): (a) Tahun 2007; (b) Tahun 2008; (c) Tahun 2009; (d) Tahun 2010 Persamaan pendugaan biomassa pada Tabel
yaitu y = 582903.551*(EXP(0.661x)), x adalah
nilai hamburan balik HV dan diaplikasikan pada citra ALOS PALSAR menghasilkan suatu dugaan karbon untuk wilayah kuasa pertambangan (KP) PT. Newmont Nusa Tenggara. Peta Dugaan Potensi Simpanan Biomassa PT. Newmont Nusa Tenggara (Tbk.): (a) Tahun 2007; (b) Tahun 2008; (c) Tahun 2009; (d) Tahun 2010 disajikan pada Gambar 5.13. Jumlah dugaan biomassa yang tersimpan pada lokasi tersebut di tahun 2007 adalah sebesar 159,151,302.47 ton biomassa atau jika diasumsikan factor konversi biomassa terhadap karbon adalah 0,5 maka dugaan jumlah karbon yang tersimpan di PT. Newmont Nusa Tenggara (Tbk.) untuk tahun pengamatan 2007 adalah 79,575,651.24 ton. Untuk tahun pengamatan 2008 digunakan citra ALOS PALSAR perekaman 23 Oktober 2008 dengan total dugaan biomassa tersimpan sebesar 138,570,808.03 ton atau setara dengan 69,285,404.01 ton karbon. Pada tahun 2009 digunakan citra ALOS PALSAR perekaman 29 Oktober 2009 dengan total dugaan simpanan biomassa sebesar 130,733,304.01 ton atau setara dengan 65,366,652.01 ton karbon. Sementara pendugaan Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
66
total simpanan biomassa untuk tahun 2010 menggunakan citra ALOS PALSAR perekaman 29 Oktober 2010 adalah sebesar 140,656,145.46 ton atau setara dengan 70,328,072.73 ton karbon.
Gambar 5.14. Grafik Dugaan Biomassa Tersimpan untuk PT. Newmont Nusa Tenggara Berdasarkan perhitungan dugaan simpanan biomassa di PT. Newmont Nusa Tenggara, terdapat penurunan di tiga tahun pertama yaitu 2007 hingga 2009. Sementara mulai tahun 2010, terjadi peningkatan dugaan simpanan biomassa di dalam KP (Gambar 5.14).
Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
67
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 5.15. Citra Satelit PT. Newmont Nusa Tenggara: (a) Tahun 2007; (b) Tahun 2008; (c) Tahun 2009; (d) Tahun 2010
Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
68
Pada Gambar 5.15 dapat dilihat bahwa daerah sekitar pit sejak tahun 2007 hingga 2009 membesar. Pada tahun 2010, mulai ada beberapa tanaman hasil reklamasi yang berhasil dideteksi oleh satelit, sehingga terjadi pertambahan simpanan biomassa. Perubahan fisik pit di PT. Newmont Nusa Tenggara juga dapat dilihat pada Gambar 5.15.
5.4.
Penerapan Skenario REDD pada Lokasi Penelitian Aplikasi skema REDD pada lokasi penelitian perlu menggunakan beberapa scenario
yang telah ditetapkan oleh badan akreditasi karbon internasional, sehingga pada akhirnya karbon yang disimpan dapat dikonversi menjadi karbon kredit untuk kemudian dijual atau dijadikan cadangan karbon oleh Negara. Menaksir Cadangan Karbon secara cepat dapat dilakukan menggunakan RaCSA (Rapid Carbon Stock Appraisal) yang telah dikembangkan oleh ASB-ICRAF dan telah diuji coba di beberapa negara di Asia Tenggara dan Afrika. Di Indonesia, RaCSA telah diuji coba di Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Nusa Tenggara Barat. Metode RaCSA (Rapid Carbon Stock Appraisal) terdiri dari pengumpulan data spasial (citra satelit), pengecekan lapangan dan pembuatan peta tutupan lahan, pengukuran cadangan karbon di lahan, estimasi dinamika perubahan tutupan lahan, upscalling cadangan karbon dari tingkat lahan ke bentang lahan. Untuk dapat mengikutsertakan daerah reklamasi ke dalam program REDD dan menjamin akuntabilitas karbon yang diserap dari atmosfer, kegiatan pengukuran, penanaman, dan pemeliharaan perlu disesuaikan menurut metodologi yang tersertifikasi, salah satunya dari UN-CDM (United Nation – Clean Development Mechanism). Carbon yang tersertifikasi ini, dikenal juga dengan sebutan CER ( Certfied Emission Reduction) dapat diperjual belikan di bawah skema protocol Kyoto. Ada beberapa metodologi yang telah diverifikasi oleh UN-CDM untuk kegiatan reforestasi yang dapat diaplikasikan pada lokasi reklamasi pertambangan, yaitu AR-ACM 0001, AR-ACM0002, dan AR-AM0002. Pada kasus ini, yang akan disimulasikan aplikasinya adalah skenaro AR-ACM0001 “Afforestation and Reforestation of Degraded Land”
Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
69
5.4.1. Implikasi Skenario REDD pada Lokasi Penelitian
Sesuai dengan kriteria AR-ACM0001, metode ini hanya dapat digunakan jika lokasi penelitian akan mengalami degradasi lahan yang akan tetap terdegradasi tanpa diadakannya proyek REDD, dan lahan tersebut tidak dapat diasumsikan akan kembali ke kondisi tidak terdegradasi tanpa adanya campur tangan manusia. Dalam metode ini, carbon pool yang dihitung adalah biomasa atas permukaan, dan biomassa bawah permukaan. Sementara sumber emisi yang diikutkan dalam penghitungan adalah kandungan CH4 dan N2O hasil pembakaran biomasa berkayu (jika ada). Baseline dari metodologi ini adalah tidak adanya penanaman kembali wilayahwilayah reklamasi tambang, sehingga lahan tersebut akan tetap sebagai lahan tidak berhutan tanpa kandungan biomasa, dan kondisi ini tidak akan berubah secara alami. Sementara kondisi setelah penerapan scenario REDD pada lokasi penelitian adalah adanya penanaman kembali pada lokasi reklamasi. 5.4.2. Dugaan Nilai Ekonomi Pertambahan Karbon Tersimpan pada Lokasi Penelitian Waktu penghitungan penambahan emisi pada tiap-tiap lokasi penelitian ditentukan berbeda, tergantung pada ketersediaan data. Sementara harga yang digunakan untuk asumsi nilai keekonomian pertambahan karbon tersimpan ditentukan berdasarkan nilai rata-rata kredit karbon internasional yaitu setara dengan Rp 44,000 (US 4$, kurs Rp11,000 per US$) per tonCO2e. Penghitungan
nilai ekonomi dari penambahan carbon yang tersimpan harus
didasarkan pada business as usual (BAU). BAU dipahami sebagai scenario bisnis seperti biasa yang didasarkan pada proyeksi apa yang akan terjadi di masa depan tanpa adanya kebijakan mengenai perubahan iklim dan aksi aksi mitigasi. Hasil kajian dari penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu dasar penetapan BAU di kawasan pertambangan.
Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
70
5.4.2.1. PT. Vale Indonesia (Tbk.) Untuk keperluan pendugaan nilai ekonomi karbon tersimpan, wilayah pengukuran dan karbon terhitung dikurangi menjadi sebesar wilayah yang ditambang. Berdasarkan hasil penghitungan pada bab sebelumnya maupun setelah dilakukan pengurangan wilayah pengamatan, PT. Vale Indonesia secara keseluruhan mengalami pengurangan stok karbon tersimpan dari tahun 2008 hingga tahun 2010. Dalam skema REDD, kasus seperti ini tidak dapat diikutkan dalam penghitungan adanya tambahan nilai keekonomian dikarenakan tidak ada surplus penyerapan karbon secara keseluruhan. 5.4.2.2. PT. J Resources Bolaang Mongondow Berdasarkan
hasil
penghitungan
dan
ketersediaan
data,
PT.
JRBM
dapat
menggunakan data tahun 2008 sebagai titik mula proyek REDD. Jika diasumsikan bahwa seluruh wilayah kuasa pertambangan PT. JRBM adalah wilayah penelitan untuk metodologi AR-ACM0001, maka menurut hasil pendugaan pada bab sebelumnya, sepanjang tahun 2007-2010 terjadi penambahan simpanan karbon dengan nilai keekonomian yang dijelaskan pada Tabel 5.11. dengan asumsi BAU yang dipakai adalah simpanan Carbon pada tahun 2008. Tabel 5.11. Perhitungan Perkiraan Nilai Keekonomian Pertambahan Simpanan Karbon PT. JRBM Tahun
Total Karbon
Selisih Karbon
CER
Nilai Keekonomian
Tersimpan
Tersimpan
(tCO2e)
(Rp)
(tonC)
(tonC) 0
0
2008
32,695,253.57 0
2009
50,146,772.71
17,451,519.14
63,988,903.52
2,815,511,754,831.45
2010
79,420,248.55
29,273,475.84
107,336,078.07
4,722,787,435,197.64
5.4.2.3. PT. Newmont Nusa Tenggara Perhitungan simpanan karbon pada PT. Newmont menunjukkan penurunan stok dari tahun 2007-2009, kemudian baru terjadi peningkatan pada tahun 2009-2010. Untuk Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
71
penghitungan nilai keekonomian, digunakan tahun 2009 sebagai tahun permulaan penghitungan. Perkiraan keekonomian dapat dilihat pada Tabel 5.12. dengan asumsi BAU yang dipakai adalah simpanan Carbon pada tahun 2009. Tabel 5.12. Perhitungan Perkiraan Nilai Keekonomian Pertambahan Simpanan Karbon PT. Newmont Nusa Tenggara Tahun
Total Karbon
Selisih Karbon
CER
Nilai Keekonomian
Tersimpan
Tersimpan
(tCO2e)
(Rp)
(tonC)
(tonC)
2009
65,366,652.01
0
2010
70,328,072.73
4,961,420.73
0
0
18,191,875.99 800,442,543,693.12
5.5. Motode Pendugaan Simpanan Karbon menggunakan Penginderaan Jauh Deforestasi dan degradasi hutan akibat proses pertambangan memberikan dampak yang sangat berbahaya bagi perubahan iklim global, karena salah satu fungsi vegetasi hutan yang sangat penting adalah menyerap emisi CO2e di udara. Kegiatan revegetasi di kawasan pertambangan dilakukan dalam rangka mengembalikan vegetas hutan. Penelitian untuk mengestimasi seberapa besar kemampuan vegetasi hutan yang bertambah atau berkurang dalam menyerap CO2e melalui simpanan C nya perlu dilakukan. Teknologi penginderaan jauh melalui citra radarnya dapat digunakan untuk mengestimasi simpanan Carbon vegetasi hutan dengan lebih cepat, dan efisien. Penelitian dalam memanfaatkan teknologi penginderaan jauh melalui citra ALOS khususnya citra ALOS PALSAR untuk mengestimasi simpanan Carbon vegetasi hutan di kawasan pertambangan yang dilakukan pada tahun 2010, 2011, 2012, dan 2013 menghasilkan beberapa metoda estimasi simpanan biomasa melalui citra ALOS PALSAR. Merujuk pada hasil koefisien determinasi terkoreksi (R2 adj) yang dijadikan sebagai dasar pemilihan metoda terbaik estimasi simpanan biomasa melalui citra ALOS PALSAR di kawasan pertambangan, maka metode terbaik yang digunakan untuk menduga biomasa di atas
Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
72
permukaan tanah disajikan pada Tabel 5.13 sampai dengan Tabel 5.16
. Selanjutnya
simpanan karbon diestimasi menggunakan rumus: Simpanan Karbon = 0.5 x biomasa
Tabel 5.13.
Metoda estimasi simpanan biomasa menggunakan citra Satelit di Kawasan Pertambangan Batubara Kalimantan Timur
No.
Jenis Citra
1
Terra Aster
Persamaan Linear Polinomial
R2adj
Biomasa = 146,42 NDVI + 9,3038 Biomasa = 336,11 NDVI 2 - 305,46 NDVI + 155,26 Biomasa = 30,712e1,69 NDVI Biomasa = 147,18 NDVI + 18,774 Biomasa = 278,91x2 - 133,66x + 68,4 Biomasa = 39,174e1,4711x Biomasa= 160 + 2,52 HH - 1,25 HV
13,02% 15,54%
Exponensial 20,25% Linear 51,56% 2 Alos Avnir-2 Polinomial 63,8% Exponensial 60,15% Linear 3 Alos PALSAR ganda Keterangan: Biomassa (Ton/ha); NDVI = nilai NDVI citra; HH = Nilai backscatter polarisasi HH; HV = Nilai backscatter polarisasi HV pada citra ALOS PALSAR 12,5m (Hary et al, 2010).
Tabel 5.14.
Metoda estimasi simpanan Biomassa Berdasarkan Hubungan Biomassa dan Backscatter HH citra ALOS PALSAR Resolusi 12,5m di Kawasan Pertambangan Batubara Kalimantan Selatan
Model
Bentuk Persamaan
R2adj
Lokasi
1.
Y=Exp(9,528+(0.219*BS_HH)
60,2%
PT. Arutmin
2.
Y=Exp(9,823+(0,166*BS_HV)
76,5%
PT. Arutmin
Y=1,375*(Exp(-134,541/BS_HV)
70,6%
PT. Adaro
3.
Y = Biomassa (Ton/ha); BS_HH = Nilai backscatter polarisasi HH pada citra ALOS PALSAR 12,5m
Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
73
Tabel 5.15. Metoda estimasi simpanan Biomassa Berdasarkan Hubungan Biomassa dan Backscatter HH citra ALOS PALSAR Resolusi 12,5m di Kawasan Pertambangan Batubara Sumatera Selatan Model
Bentuk Persamaan
R2adj
Lokasi
1.
Y=Exp(14.317+(0.308xBS_HV))
69.30%
PT. Bukit Asam
2.
Y=(0.07(Exp(-301.734/BS_HV))
71.20%
PT. Bukit Asam
3.
Y=BS_HV/(2.588+0.094xBS_HV)
73.30%
PT. Bukit Asam
Tabel
5.16. Metoda estimasi simpanan Biomassa Berdasarkan Hubungan Biomassa dan Backscatter HH citra ALOS PALSAR Resolusi 12,5m di Kawasan Pertambangan Mineral Model Bentuk Persamaan R2adj Lokasi Tambang PT. Newmont Emas 1. Y = 582903(EXP(0.661_HV) 96.9% (Nusatenggara) PT. Vale Indonesia (Tbk.) Nikel 2. Y = 567 (EXP(0.229_HV) 87.3% (Sulawesi selatan) 3.
Y = 76027 (EXP(0.429_HV)
85.3%
PT. J Resources (Sulawesi Utara)
Emas
Berdasarkan hasil metoda terbaik untuk estimasi simpanan biomasa melalui citra ALOS PALSAR di kawasan pertambangan, maka metode terbaik tersebut dapat digunakan untuk menduga biomasa di atas permukaan tanah didaerah lain yang mempunyai kondisi biofisik yang sama dengan daerah tempat penelitian dimana metode tersebut dirumuskan. Tetapi hasilnya harus divalidasi, apabila hasil validasinya bagus artinya model dapat digunakan, sebaliknya apabila hasil validasi jelek model tidak dapat digunakan.
Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
74
VI.
KESIMPULAN
6.1. Kesimpulan
Terdapat perubahan luas penutupan lahan hutan dikarenakan aktivitas penambangan di wilayah penelitian. Berdasarkan analisis citra terbaru tahun 2010, jumlah karbon tersimpan untuk masing-masing lokasi penelitian adalah: o
PT. Vale Indonesia Tbk. sebanyak 35,476,767.52 tonC
o
PT. JResources Bolaang Mongondow sebanyak 79,420,248.55 tonC
o
PT. Newmont Nusa Tenggara sebanyak 70,328,072.73 tonC
Berdasarkan analisis citra multi-waktu untuk perubahan simpanan karbon dari tahun 2007-2010, estimasi nilai keekonomian untuk perubahan simpanan karbon masingmasing daerah penelitian adalah: o
PT. Vale Indonesia Tbk. tidak menghasilkan pertambahan simpanan karbon, sehingga perhitungan benefit yang dihasilkan dari perubahan stok karbon berdasarkan skema REDD tidak dimungkinkan.
o
PT. J Resources Bolaang Mongondow sebanyak Rp.7,538,269,190,029.09 menggunakan asumsi BAU simpanan Carbon tahun 2008
o
PT. Newmont Nusa Tenggara (NTB) sebanyak Rp. 800,442,543,693.12 menggunakan asumsi BAU simpanan Carbon tahun 2009
6.2. Saran
o
Dalam skema REDD penghitungan nilai ekonomi dari penambahan carbon yang tersimpan harus didasarkan pada business as usual (BAU). Diperlukan
Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
75
penelitian lebih dalam dengan menggunakan data citra time series pada periode yang lama dalam penetapan BAU di kawasan pertambangan o
Metoda hasil penelitian th 2010, 2011, 2012, dan 2013 tentang model estimasi simpanan biomasa menggunakan citra Satelit di Kawasan Pertambangan apabila akan digunakan
di kawasan pertambangan lain, maka daerah
tersebut harus mempunyai kondisi biofisik yang sama dengan daerah tempat penelitian dimana metode tersebut dirumuskan. Dan hasilnya harus divalidasi, apabila hasil validasinya bagus artinya model dapat digunakan, sebaliknya apabila hasil validasi jelek model tidak dapat digunakan.
Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
76
DAFTAR PUSTAKA
Akram M, Aftab F. 2007. In vitro micropropagation and rhizogenesis of teak (Tectona grandis L.). Pak J Biochem Mol Biol 40(3): 125-128 Amir Khosim dan Kun Marlina Lubis.2006. Geografi untuk SMA kelas XI ..Jakarta: Grasindo [BAPPENAS] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2010. Draft 1, Strategi Nasional REDD+. Jakarta : BAPPENAS. Badan Pusat Statistik, (BPS) 2010. Survei AngkatanKerja Nasional (SAKERNAS), 2009 BIOTROP.
2010.
Services
laboratory
–
SEAMEO
BIOTROP.
[terhubung
berkala].
http://sl.biotrop.org [5 Feb 2010]. [FWI] Forest Watch Indonesia. 2000. Keadaan Hutan Indonesia. Bogor : Global Forest Watch. Hartanti E. 2004. Deteksi Penebangan Liar Menggunakan Citra Landsat TM (Studi Kasus di KPH Kuningan Jawa Barat dan KPH Probolinggi Jawa Timur) [tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Imhoff, M.L. 2002. Radar backscatter and biomass saturation: ramifications for global biomass inventory. Geoscience and Remote Sensing: Vol 33 [511-518]. IPCC. 2006. Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories Volume 4: Agriculture, Forestry, and Other Land Use. Geneva: Swiss. Jaya. I.N.S. 2002. Penginderaan Jauh Satelit untuk Kehutanan. Laboratorium Inventarsisasi Hutan, Jurusan Manjemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB Mascaro, J. Hughes, R.F. Schnitzer, S.A. 2012. Novel Forests Maintain Ecosystem Processes After The Decline of Native Tree Species. Ecological Monographs: Vol 82 [221-228]. Marispatin N, Ginoga K, Pari G, Dharmawan WS, Siregar CA, Wibowo A, Puspasari D, Utomo AS, Sakuntaladewi N, Lugina M, Indartik, Wulandari W, Darmawan S, Heryansah I, Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
77
Heriyanto NM, Siringoringo HH, Damayanti R, Anggraeni D, Krisnawati H, Maryani R, Apriyanto D, Subekti B. 2010. Cadangan Karbon Pada Berbagai Tipe Hutan dan Jenis Tanaman di Indonesia. Bogor : Kampus Balitbang Kehutanan. Mulyana, Dadan; Ceng, Asmarahman, 2005. 7 Jenis Kayu Penghasil Rupiah, Jakarta: Agromedia Pustaka, Mulyanto L. 2004. Pemodelan Spasial Perubahan Tutupan Hutan Menggunakan Citra Landsat TM dan Sistem Informasi Geografis : Studi Kasus di HPH PT Duta Maju Timber Provinsi Sumatera Barat [tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Nawir AA dan Murniarti. 2008. Pendahuluan. Di dalam : Nawir AA, Murniati, Rumboko L, editor. REHABILITASI HUTAN DI INDONESIA, akan kemanakah arahnya setelah lebih dari tiga dasawarsa?. Bogor : CIFOR. hlm 1-3. Nurhadiatin, D. 2011. Aplikasi dan Evaluasi Citra ALOS PALSAR Resolusi 50m dan 12,5m untuk Identifikasi Penutupan Lahan. [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Puntodewo A, Dewi S dan Tarigan J, 2003, Sistem Informasi Geografis untuk Pengelolaan Sumber Daya Alam Novita N. 2010. Potensi Karbon Terikat Di Atas Permukaan Tanah Pada Hutan Gambut Bekas Tebangan Di Merang Sumatera Selatan [tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Soemarwoto O. 2001. Indonesia Dalam Kancah Isu Lingkungan Global. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Sutaryo D. 2009. PENGHITUNGAN BIOMASSA, Sebuah pengantar untuk studi karbon dan perdagangan karbon. Bogor : Wetland International Indonesia Programme. World Bank. 2010. Emisi CO2 Per Kapita Dunia. http://www.worldbank.com (23 -10-2010)
Estimasi Stok Karbon Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Di Kawasan Penambangan Terkait Dengan Skema REDD
78