PUPUR, DAPUR, KASUR Oleh: Vasiliki Ralli Tujuh orang seniman kontemporer perempuan yang mengenyam pendidikan di pascasarjana ISI
Yogyakarta menggelar pameran disalah satu galeri di Yogyakarta, galeri
tersebut tak lain adalah “Kersan Art Studio”, yang dikelola oleh seorang perempuan bernama Lenny Ratnasari Weichert yang kerap kali mensupport seniman perempuan untuk memamerkan karya-karya mereka. Saya mendapatkan kehormatan untuk dapat menulis dalam event ini, saya seorang perempuan dari barat (Yunani) yang juga belajar pada institusi yang sama dengan para pameris. Tema yang diangkat pada pameran kali ini adalah “Pupur, Dapur, Kasur” yang juga dapat memiliki pengertian lain “Berhias, Dapur dan Tempat Tidur”. Jika seseorang membaca paragraph diatas, secara otomatis berfikir bahwa ini adalah pameran para feminis. Jadi sangat esensial untuk mengomentari isu seperti: Mengapa tema tersebut dipilih oleh para pameris? Apa yang difikirkan para seniman perempuan tersebut mengenai feminisme, dan bagaimana konsep tersebut mereka refleksikan pada karya mereka. “pupur, dapur, kasur” adalah sebuah terminologi yang banyak digunakan oleh orang Indonesia untuk mendeskripsikan peran domestik seorang perempuan. Mita Ketawa dan Yogi Antari menjelaskan kepada saya istilah ini sering digunakan untuk perempuan di Jawa dan Bali. Yang mereka maksudkan dengan “sebutan” itu adalah pertanyaan saya selanjutnya. Yang mereka maksudkan disini adalah anggapan tersebut seringkali dianggap sebagai “kodrat” atau “takdir”. Lalu apa itu “kodrat”? dalam kamus Indonesia-Inggeris dapat diartikan sebagai “Natural Destiny” dan dalam konsepsi Islam dapat didefinisikan sebagai “Kodrat itu adalah gerakan atau takdir yang sudah diberikan Tuhan kepada umatnya. Masing-masing manusia memiliki kodrat” kodrat tersebut ada dalam akal dan tujuan religious yang juga terkait dengan pengertian lahiriah yang ambigu. Sesungguhnya kodrat lahiriah adalah pencitraan ambigu dari wacana para feminis barat dan disini saya hendak mengklarifikasi konsepsi feminisme, ketubuhan dan lahiriah mengandung pengertian berbeda dengan perempuan di Indonesia. Ada hal-hal tertentu yang saya yakini dari diskusi dengan beberapa seniman perempuan tersebut, setidaknya beberapa dari mereka berusaha menciptakan dialog dan kritik mengenai wacana patriaki dalam budaya Jawa dan Bali melalui karya-karya mereka. Saya juga memahami
bahwa konsep feminisme di Indonesia berbeda dengan konsep di barat. Feminisme ini tidak dapat didefinisikan secara tunggal dalam ranah otonomi individual berkaitan dengan kebebasan seksual dan pengaktualisasian diri (seperti dalam feminisme radikal) dikotomi tentang seks atau gender, pikiran atau tubuh, kultur dan kodrat sebagai idiologi utama penyimpangan tradisional barat (Pikiran utama feminis) dibangun tidak semestinya dengan cara yang sama disini di Indonesia. Dengan kata lain sosok sosial ditentukan lebih holistik dan tubuh, jiwa serta pikiran tidak dapat terpisahkan. Tubuh tidak sekedar anatomi namun juga sosial, fisik dan ruang spiritual dan dicitrakan dari kapasitas dan keseluruhannya1. Dengan begitu beberapa seniman perempuan terfokus pada jiwa dan tubuh yang selanjutnya ada dari pengembangan yang sebelumnya. Dialog tersebut difokuskan pada tubuh yang membentuk keseluruhan yang mencakup jiwa dan roh. Sebenarnya feminis yang menggunakan pendekatan dengan fokus pada ketubuhan merupakan strategi para perupa di Amerika Utara yang mendominasi di era 70an. Strategi ini berkembang dalam frame ganda seperti yang telah disebutkan diatas. Melalui sudut pandang tersebut jenis kelamin dikaitkan dengan kebudayaan yang menentukan bagaimana jenis kelamin akan diproduksi, dihitung dan direpresentasikan. Pemikiran feminis baru sekitar tahun 1990-an (Judith Butler and Michelle Foucault) sudah mengenali bahwa tubuh tidak sekedar anatomi tetapi juga kultur dan ruang fisik yang memiliki sejarah dan lokasi geografis.2 Tidak perlu diragukan lagi sudah jelas kritik dari teori feminis “buta warna” dari perempuan dengan latar belakang non-barat telah menemukan heterogenitas dan perbedaan sebagai kunci konseptual strategis yang didominasi oleh konsepsi feminis barat sebelumnya. Seperti kritik tersebut hanya mengiluminasikan pengalaman perempuan-perempuan kulit putih amerika dan eropa.
3
Ella Shohat menggaris bawahi isu ini ketika dia mengangkat “tubuh yang
terjajah” sebagai bagian lapisan dalam membaca karya seni dari seniman perempuan bukan kulit putih, dimana dunia feminisme kulit putih lebih dulu yang sesungguhnya bagian dari permasalahan.4 Dalam pameran “Pupur, Dapur, Kasur” menggunakan pendekatan isu yang bervariasi dalam karya mereka. Ika Yulianti dan Monika Hapsari secara konseptual bekerja pada sebuah isu mengenai perempuan Indonesia dan memori kesejarahan. Umumnya seni memiliki pemaknaan penting dalam pengertian dan pengembangan kultur serta politik dengan menyajikan, menjaga bahkan kadang-kadang mengaburkan sejarah, bahkan berabad-abad kemudian namun bagaimanpun juga
seni sesungguhnya memiliki peran dalam sejarah. Ika Yulianti mengkomentari bahwa perempuan Indonesia berjuang dimasa penjajahan, tidak sepenuhnya terekam meskipun perempuan tersebut melawan penjajahan dengan “jiwa dan raga”. Dari instalasinya yang berjudul “Melawan Bisu” (“Against Silence”) tefokus pada “jugun lanfu” (“comfort women”), Perempuan-perempuan dimasukkan ketempat pelacuran yang dibuka di Indonesia oleh militer Jepang, selama perang dunia ke-2 (1942-45), ketika jepang menguasai Indonesia. Mereka memberi julukan halus kepada perempuan-perempuan tersebut sebagai “woman of comfort” atau perempuan pemberi kenyamanan. Dan menurut pernyataannya “mereka adalah korban dari perbudakan seksual. Saat ini 1500 Jugun Lanfu masih hidup akan tetapi mereka tidak mendapatkan bantuan moral maupun material dari pemerintah”. Ika yulianti membuat instalasi dari kawat berduri dan karung goni. Dari ujung pembuka karung goni tampak sebuah monitor yang menampilkan wajah perempuan yang dianiaya disertai lirik sebuah puisi yang ditulisnya sendiri. Puisi tersebut berakhir dengan kalimat “Tuhan yang menguasai keadilan, dimanakah diri-Mu?” Video Monica Hapsari yang berjudul “Mute” atau “Bisu” menyoal tentang sejarah Indonesia yang merujuk pada “Gerwani” (Gerakan Wanita Indonesia) Monica menggunakan film propaganda G30 SPKI yang diproduksi pada era Soeharto untuk menginformasikan publik tentang penyiksaan dan pembunuhan 6 Jenderal oleh perempuan-perempuan Gerwani. Monica Hapsari mencari jawaban “Apakah benar perempuan-perempuan tersebut penyiksa? Tanyanya, “Tidak pernah ada bukti-bukti nyata yang menunjukkan kalau merekalah pelakunya” tambahnya. Untuk mengungkapkan kebenaran tersebut, monica memodifikasi beberapa bagian film dengan mengganti bagian silet berdarah, yang tampak sebagai instrument penyiksaan difilm utama dengan wajah jenderal yang bersih dan “hidup”. Memori dan emosi personal diekspresikan dalam karya fotografi Agra Locita yang berjudul “thinking of you” potret close up berwarna hitam putih dari seorang perempuan paruh baya dengan tatapan penuh nostalgia dan kesedihan seakan menghanyutkan perasaan para penikmatnya. Tatapan sebuah mata tertangkap dalam satu karya foto lainnya (yang juga hitam dan putih) menatap langsung kepada penikmatnya. Agra menyatakan bahwa melalui karya tersebut dia hendak mengekspresikan bentuk penghargaannya terhadap ibunya dan disaat yang sama dia juga merepresentasikan kesedihan dan kesepian diusia paruh baya yang perempuan kelas menengah bisa rasakan.
Dira Herawati juga menggunakan media fotografi. Dia memamerkan dua karya fotografi dengan warna-warna yang intens. Karya pertamanya berjudul “Menapak Jejak” (“Retracing the trail”) berusaha untuk mendeskripsikan tentang waktu, jejaknya mensimbolisasikan masa lalu sedangkan kakinya mendeskripsikan waktu yang akan dating. Waktu terus berjalan seperti kaki kita ketika melangkah. Bila kita melihat kembali jejak kita berarti kita sedang memandang masa yang sudah lalu. Yang kedua adalah “Doa untuk Langkah masa depan” (“Prayer for the future steps”) memperlihatkan kedua tangan orang dewasa dalam posisi menengadah seperti berdoa yang terlihat menopang kaki bayi dikedua telapaknya. Seniman tersebut menyatakan “Dalam sebuah harapan memiliki banyak warna seperti juga banyak warna dalam doa” warna sepertinya merupakan aspek penting dalam karyanya seperti umumnya terjadi pada seniman Jawa serta Bali yang seringkali menghubungkan emosi, warna dan kepercayaan terhadap karya mereka. Warna juga dominan dalam karya Yogi Antari yang berjudul “Confession” atau pengakuan. Video Yogi menantang eliminasi postmodern dari subjek dan potensi subjek untuk keterhubungan penuh makna dengan subjek lainnya. Menurut Yogi : “Perempuan adalah makhluk yang mudah dibungkam. Perempuan “suka” menempatkan diri mereka dalam posisi yang lemah, posisi yang membuat mereka menjadi diam. Mereka mudah menangis dan mengkontrol orang lain melalui tangisan mereka. Perempuan macam ini adalah lintah. Perempuan adalah makhluk yang mudah dibungkam dengan uang ataupun ancaman. Mulut mereka tetap bisu dan mereka berbohong ketika mereka bilang “Tidak apa-apa” akan tetapi pikiran perempuan tidak akan bisa diam. Perempuan memiliki hasrat tanpa henti. Perempuan seperti riak air, warna maupun gelombangnya. Dengan kata lain karya video Yogi warna intens dan meletup-letup mensimbolisasikan kekuatan dan pikiran dari jiwa perempuan yang tidak dapat diekspresikan dalam masyarakat patriaki dan tetap merupakan fenomena bisu. Yang kemudian ditampilkan dalam karyanya yang berjudul “Confession”. Mita Ketawa juga mengekspresikan dirinya melalui karya video. Videonya yang berjudul “Rahim” atau “Uterus” menampilkan suara scan ultrasonic pada kehamilan. Embrio terlihat seperti rusak perlahan dalam kandungan. Dengan suara-suara ritmis tambahan yang mengiringi proses pengrusakan embrio tersebut. Suara seorang perempuan meninggalkan kota kecil di jawa dapat terdengar, Mita menyatakan: “Video ini mengundang penonton untuk melihat bahwa ada kemungkinan bayi dalam kandungan dapat menangkap apa yang terjadi didunia luar, pada
faktanya tak ada dari kita yang masih mengingat apa yang terjadi ketika kita dalam kandungan” Wahyu Utami berpartisipasi dalam pameran ini dengan satu buah video berjudul “Killing The Desire” atau “ Membunuh Hasrat” yang mungkin akan banyak feminis barat mengagumi karena jelas mengusung ketubuhan perempuan melalui ikon boneka Barbie. Pertama-tama Barbie tampil bergaun resmi dalam posisi terbalik bagian kepala dibawah lalu dari angle kamera terlihat fokus pada tangan serta kepala boneka tersebut, seiring berjalannya waktu bagian tubuh Barbie tersebut tepotong-potong dan tercerai-berai. Selanjutnya diikat didinding dengan jarum dan benang. Dalam karya ini seniman menggunakan ikon barat yang juga sudah hadir di timur, karena produsen Barbie kini telah memproduksi boneka Barbie dalam berbagai warna kulit dan pakaian untuk meningkatkan omset penjualan mereka diseluruh dunia. Tubuh boneka dalam karya ini tidak semata-mata hanya merepresentasikan sensualitas (pencitraan dari berbagai iklan) tapi juga simbolisasi ruang pertahanan untuk identitas perempuan bisa individual maupun sosial. Catatan: 1. Flaudette May V. Datuin, Reclaiming the Southeast Asian Goddess:Examples from Contemporary Art by Women (Philippines, Thailand and Indonesia), Image & Gender, vol. 6, 2006, pp.105-119. 2. ibid 3. Wulan Dirgantoro, University of Tasmania Defining Experience: Exploring Feminism In Indonesian Visual Arts 4. Shohat, Ella (ed.) 1998, Multicultural Feminisms in Transnational Age, The MIT Press