Prospek, Masalah dan Strategi Pemenuhan Kebutuhan Pangan Pokok
PROSPEK, MASALAH DAN STRATEGI PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN POKOK Prospects, Issues, and Strategies of Staple Food Demand Fulfillment Prajogo U. Hadi dan Sri Hery Susilowati Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161
ABSTRACT Future demand for staple foods to be fulfilled will be continuously increasing. This paper aims to describe future conditions regarding prospect, problems and strategy to meet the increasing demand for the four staple foods specified by the government, i.e. rice, maize, soybean, and sugar. The results of the study are as follows: (i) Production volumes of rice, maize, soybean and sugar increase but with lower rates, except that for maize, in which the major source of growth rate is area expansion, not improved yield, except for maize; (ii) Production capability to meet the domestic needs has improved for rice, but it is still limited and susceptible to production decrease due to uncontrollable external factors such as climate anomaly; (iii) Production capabilities of other three commodities are limited that external source (import), especially for soybean and sugar, is needed; (iii) Indonesia still has large potentials to increase food production in terms of biodiversity, unutilized land and water availability, conducive geography and climate conditions, and rural labor as well as technology availability; and (iv) Attempts to increase production encounter problems related to environment, climate, agricultural infrastructure, inputs, farm tools and machinery availability, land ownership, legal aspect of land ownership, land conversion, agricultural subsidy budget, farmers institution, and inter-sektor coordination. The main strategies required to save staple food production growth involve : (i) Adaptation to climate anomaly, (ii) Construction and rehabilitation of irrigation networks and agricultural roads; (iii) Construction of new lowland (leveling-up); (iv) Effective supply and distribution of modern inputs such as improved seeds and fertilizers; (v) Prudent import policy to avoid losses incurred by domestic food commodity producers; (vi) Enhancing the role of Bulog in absorbing domestic production and stabilization of rice price; (vii) Improving the role of autonomous regions in staple food supply; and (viii) Reducing per capita rice consumption. Key words : staple food needs, production prospect and problem, and strategy ABSTRAK Jumlah permintaan akan makanan pokok akan terus meningkat di masa datang yang harus dicukupi. Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang kondisi di masa datang yang menyangkut prospek, permasalahan dan strategi pemenuhan kebutuhan empat komoditas pangan pokok yang ditetapkan pemerintah yaitu beras, jagung, kedelai, dan gula. Hasil penelitian adalah (i) produksi padi, jagung, kedelai dan gula terus meningkat, namun dengan laju yang lambat, kecuali jagung, dimana sumber utama pertumbuhan produksi tersebut adalah perkembangan luas areal panen, bukan perbaikan produktivitas, kecuali jagung; (ii) kemampuan produksi untuk memenuhi kebutuhan domestik makin tinggi untuk padi, namun masih pas-pasan sehingga masih berisiko jika terjadi penurunan
35
Prajogo U. Hadi dan Sri Hery Susilowati
produksi karena faktor eksternal yang tidak terkontrol seperti anomali iklim, dan lain-lain; (iii) sementara kemampuan produksi 3 komoditas lainnya untuk memenuhi kebutuhan domestik masih kurang, sehingga masih diperlukan sumber dari luar (impor), utamanya kedelai dan gula; (iv) Indonesia masih mempunyai potensi sangat besar untuk peningkatan produksi pangan dari segi kekayaan plasma nutfah, ketersediaan lahan dan air yang belum dimanfaatkan, kondisi geografis dan iklim yang kondusif, ketersediaan tenaga kerja di perdesaan, dan teknologi; dan (v) upaya peningkatan produksi pangan masih dihadapkan pada berbagai masalah yang menyangkut lingkungan, iklim, infrastruktur pertanian, ketersediaan sarana produksi, ketersediaan alat dan mesin pertanian, penguasaan lahan, legalitas penguasaan lahan, konversi lahan pangan, anggaran subsidi pertanian, kelembagaan petani, dan keterpaduan lintas sektor. Strategi utama yang diperlukan untuk mengamankan peningkatan produksi komoditas pangan pokok adalah (i) adaptasi terhadap anomali iklim; (ii) pembangunan dan rehabilitasi jaringan irigasi dan jalan usahatani; (iii) pencetakan sawah baru; (iv) penyediaan benih unggul bermutu dan pupuk secara efektif; (v) kebijakan impor yang hati-hati agar tidak merugikan petani produsen di Indonesia; (vi) peningkatan peran Bulog dalam penyerapan produksi dalam negeri dan stabilisasi harga gabah/beras; (vii) peningkatan peran Daerah Otonom dalam penyediaan pangan; dan (viii) pengurangan konsumsi beras per kapita. Kata kunci : kebutuhan pangan pokok, prospek dan masalah produksi, dan strategi
PENDAHULUAN Jumlah penduduk yang sangat besar saat ini yaitu sekitar 230 juta jiwa dengan laju pertumbuhan yang masih cukup cepat yaitu 1,4 persen per tahun, yang disertai dengan peningkatan daya beli, perbaikan tingkat pendidikan dan kesadaran akan kesehatan dan kebugaran jasmani, membutuhkan bahan pangan dengan kuantitas yang makin besar dan kualitas yang makin tinggi. Kebutuhan pangan yang makin besar secara kuantiatas dan kualitas tersebut perlu dipenuhi. Untuk menjamin ketersediaan pangan, maka diperlukan sistem ketahanan pangan yang makin kuat. Pembangunan ketahanan pangan nasional diarahkan untuk mencapai kemandirian pangan. Kemandirian pangan dapat diwujudkan antara lain melalui swasembada komoditas pangan strategis, peningkatan akses pangan, dan penganekaragaman pangan. Namun saat ini masih terdapat sekitar 29.9 juta jiwa (13% dari total penduduk) yang berada dalam kondisi rawan pangan. Sasaran MDG pada tahun 2015 mentargetkan jumlah penduduk rawan pangan di Indonesia kurang dari 8 persen. Upaya untuk mengatasi ancaman kelaparan dan kerawanan pangan masih menjadi agenda nasional sampai saat ini. Dalam kaitan itu, kebijakan umum Ketahanan Pangan 2010-2014 menetapkan empat pilar utama yaitu: (1) meningkatkan ketersediaan pangan; (2) mengembangkan sistem distribusi pangan; (3) meningkatkan kualitas konsumsi pangan; dan (4) membangun sistem pendukung ketahanan pangan yang kondusif (Dewan Ketahanan Pangan, 2010). Untuk mendorong kemandirian pangan ditempuh antara lain menekankan kemandirian pangan di tingkat rumah tangga sebagai basis untuk membentuk kemandirian pangan di tingkat desa, kabupaten/kota, provinsi, dan nasional. Beberapa langkah strategis adalah (1) melanjutkan program swasembada dan
36
Prospek, Masalah dan Strategi Pemenuhan Kebutuhan Pangan Pokok
swasembada berkelanjutan untuk lima komoditas pangan strategis, yaitu padi, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi; (2) meningkatkan jangkauan dan efisiensi distribusi pangan melalui perbaikan sarana dan prasarana transportasi, khususnya di wilayah Indonesia Timur dan daerah tertinggal lainnya; (3) percepatan penganekaragaman konsumsi pangan dengan memanfaatkan keanekaragaman hayati setempat (berbasis sumber daya lokal); (4) pengembangan kapasitas cadangan pangan, baik yang dikelola pemerintah pusat, pemerintah daerah (wajib menurut PP 38/2007) maupun masyarakat (Dewan Ketahanan Pangan, 2010). Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang kondisi di masa datang yang menyangkut prospek, permasalahan, dan strategi pemenuhan kebutuhan empat komoditas pangan pokok Indonesia yang ditetapkan oleh Kementarian Pertanian RI, yaitu beras, jagung, kedelai, dan gula.
PROSPEK PENINGKATAN PRODUKSI PANGAN NASIONAL
Kinerja Perkembangan Produksi Selama 10 tahun terakhir (2000-2009), produksi padi dan jagung mengalami perkembangan yang cukup baik, yaitu masing-masing 3,31 persen dan 6,81 persen per tahun (Tabel 1). Perkembangan produksi tersebut bersumber dari perkembangan luas panen dan produktivitas yaitu masing-masing 2,33 persen dan 0,98 persen untuk padi dan 2,27 persen dan 4,54 persen untuk jagung. Ini menunjukkan bahwa perkembangan produksi padi lebih tergantung pada perkembangan luas panen, sedangkan untuk jagung lebih tergantung pada perkembangan produktivitas.
37
Prajogo U. Hadi dan Sri Hery Susilowati
Sebaliknya, produksi kedelai dalam periode yang sama cenderung menurun 0,63 persen per tahun. Penurunan ini lebih disebabkan oleh penurunan luas panen 1,59 persen, karena produktivitas cenderung meningkat 0,96 persen per tahun. Untuk tebu, produksi cenderung meningkat 1,04 persen per tahun, yang lebih bersumber pada peningkatan luas panen 1,86 persen karena produktivitas cenderung menurun 0,82 persen per tahun. Lambatnya perkembangan produktivitas padi dan kedelai dan bahkan menurunnya produktivitas tebu mencerminkan lambatnya perkembangan teknologi budidaya untuk ketiga komoditas tersebut. Sementara itu, perkembangan yang cepat pada produktivitas jagung menunjukkan kemajuan yang baik pada teknologi budidaya, yang tidak terlepas dari peranan industry perbenihan swasta yang berkembangan pesat. Kemampuan Produksi dalam Penyediaan Pangan Domestik Kebutuhan pangan domestik terdiri dari konsumsi penduduk dan kebutuhan lain (industri, dll). Sementara itu, sumber pangan terdiri dari produksi domestik dan impor. Kemampuan produksi domestik untuk memenuhi total kebutuhan pangan domestik dan konsumsi mencerminkan kekuatan swasembada pangan. 1
Selama periode 2000-2007 kemampuan produksi untuk memenuhi total kebutuhan domestik dan konsumsi diperlihatkan pada Tabel 2. Dapat diketahui bahwa untuk padi, selama periode tersebut mempunyai kemampuan yang cenderung meningkat untuk memenuhi total kebutuhan domestik sehingga dapat dicapai swasembada pada tahun 2006 dan 2007, walaupun masih pada tingkat yang pas-pasan (surplus 1.58-3.93%). Untuk kebutuhan konsumsi saja, bahkan telah mencapai swasembada sejak tahun 2000. Selama periode yang sama, produksi jagung belum mampu memenuhi total kebutuhan domestik sehingga belum dapat dicapai swasembada hingga tahun 2007. Namun untuk kebutuhan konsumsi saja, telah mencapai tingkat swasembada yang sangat tinggi sejak tahun 2000, karena jagung lebih ditujukan untuk bahan baku industri pakan ternak. Yang lebih parah lagi adalah kedelai, dimana kemampuan produksi untuk memenuhi total kebutuhan domestik sangat rendah dan cenderung menurun selama 2000-2007. Namun untuk kebutuhan konsumsi saja, telah mencapai tingkat swasembada yang sangat tinggi sejak tahun 2000, karena kedelai lebih ditujukan untuk bahan baku industri tahu dan tempe. Hal yang sama juga terjadi pada gula, dimana kemampuan untuk memenuhi total kebutuhan domestik masih rendah dalam periode yang sama. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi saja masih jauh dari mencukupi. Dapat disimpulkan bahwa produksi padi sudah mampu memenuhi kebutuhan domestik namun masih berisiko tinggi karena masih pas-pasan. Untuk jagung, kedelai, dan gula masih diperlukan sumber dari luar untuk memenuhi kebutuhan domestik. 1
Data ketersediaan dan konsumsi pangan tahun 2008-2010 belum ada.
38
Prospek, Masalah dan Strategi Pemenuhan Kebutuhan Pangan Pokok
Potensi Nasional untuk Peningkatan Produksi ke Depan Keanekaragaman Hayati dan Agroekosistem Untuk meningkatkan produksi pangan dalam negeri, Indonesia mempunyai potensi sumber daya alam, termasuk keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity). Keanekaragaman hayati darat Indonesia menempati posisi kedua terbesar di dunia setelah Brazil (Kementerian Pertanian, 2010). Hal ini tercermin pada beragamnya jenis komoditas pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan, yang sudah sejak lama diusahakan sebagai sumber pangan dan pendapatan masyarakat. Keanekaragaman hayati yang didukung oleh kondisi geografis berupa dataran rendah dan tinggi yang tersebar, sinar matahari yang melimpah dan curah hujan yang hampir merata sepanjang tahun di sebagian wilayah, dan keanekaragaman jenis tanah, memungkinkan dilakukannya kegiatan budidaya aneka jenis tanaman dan ternak asli daerah tropis, serta komoditas introduksi dari daerah subtropis secara merata sepanjang tahun di Indonesia. Keanekaragaman hayati, baik yang asli Indonesia maupun introduksi yang telah beradaptasi dengan kondisi iklim tropis, juga merupakan sumber materi genetik yang dapat direkayasa untuk menghasilkan varietas dan klon tanaman unggul serta bangsa ternak.
39
Prajogo U. Hadi dan Sri Hery Susilowati
Sumber daya Lahan dan Air Di Indonesia terdapat potensi lahan sangat besar yang belum dimanfaatkan secara optimal. Pada tahun 2006, total luas daratan adalah 192 juta hektar, yang terdiri dari : (1) kawasan budidaya seluas 123 juta hektar (64,6%); dan (2) kawasan lindung seluas 67 juta hektar (35,4%). Sebagian kawasan budidaya mempunyai potensi untuk dimanfaatkan sebagai areal pertanian seluas 101 juta hektar yang terdiri dari: (1) lahan basah 25,6 juta hektar; (2) lahan kering tanaman semusim 25,3 juta hektar; dan (3) lahan kering tanaman tahunan 50,9 ha (Ditjen PLA 2006, dikutip dalam Kementerian Pertanian 2010). Dari areal yang berpotensi untuk pertanian tersebut, saat ini sudah dimanfaatkan untuk budidaya pertanian seluas 47 juta hektar. Ini berarti masih ada sisa seluas 54 juta hektar yang berpotensi untuk pelruasan areal pertanian, termasuk tanaman pangan. Jumlah luasan dan sebaran areal hutan, sungai, rawa dan danau, serta curah hujan yang umumnya cukup tinggi yang merata sepanjang tahun, apabila dikelola secara baik, merupakan potensi alamiah yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan air pertanian. Waduk, bendungan, embung dan air tanah, serta air permukaan lainnya berpotensi sangat besar untuk mendukung pengembangan budidaya pertanian.
Tenaga Kerja Pertanian Jumlah penduduk Indonesia sangat besar, yang sebagian besar berada di wilayah perdesaan dan mempunyai kultur budaya bekerja keras, merupakan potensi tenaga kerja pertanian. Hingga saat ini, lebih dari 43 juta tenaga kerja nasional masih menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian, utamanya tanaman pangan. Namun jumlah penduduk tersebut belum terdistribusi secara proporsional berdasarkan sebaran luas potensi lahan dan belum mempunyai ilmu pengetahuan dan keterampilan yang memadai untuk pengembangan pertanian yang berdaya saing tinggi. Apabila penduduk yang jumlahnya besar di suatu wilayah dapat ditingkatkan ilmu pengetahuan dan keterampilannya untuk mampu bekerja dan berusaha di sektor produksi, pengolahan dan pemasaran hasil pertanian, maka dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kapasitas produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan pasar. Peningkatan kapasitas penduduk dalam hal ilmu pengetahuan dan keterampilan pertanian dapat juga dilakukan melalui penempatan tenaga kerja pertanian terlatih di daerah yang masih kurang penduduknya dan penyediaan fasilitas pertanian dalam bentuk sarana produksi, bimbingan tekniologi dan pemberian jaminan pasar yang baik bagi hasil pertanian.
Teknologi Berbagai paket teknologi tepat guna yang dapat dimanfaatkan oleh petani untuk meningkatkan kuantitas, kualitas dan produktifitas komoditas pertanian saat ini sudah tersedia cukup banyak. Berbagai varietas, klon dan bangsa ternak berkapasitas produksi tinggi, teknologi produksi pupuk dan produk bio, alat dan
40
Prospek, Masalah dan Strategi Pemenuhan Kebutuhan Pangan Pokok
mesin pertanian, serta aneka teknologi budidaya, pascapanen dan pengolahan hasil pertanian sudah banyak dihasilkan oleh para peneliti di lembaga-lembaga penelitian, masyarakat petani dan perusahaan swasta. Namun, berbagai paket teknologi tersebut belum sepenuhnya dapat diadopsi oleh masyarakat petani karena berbagai kendala. Jika kendala-kendala itu dapat dieliminasi, maka produksi pertanian (termasuk pangan) akan tumbuh lebih cepat, baik secara kuantitas maupun kualitas.
Target Produksi Komoditas Pangan Pokok 2010-2014 Dalam rangka pembangunan pertanian Indonesia selama lima tahun ke depan (2010-2014), Kementerian Pertanian mencanangkan empat target utama, yaitu: (1) pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan; (2) peningkatan diversifikasi pangan; (3) peningkatan nilai tambah, daya saing, dan ekspor; dan (4) peningkatan kesejahteraan petani (Kementerian Pertanian, 2010). Khususnya yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan pangan, yaitu pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan, telah ditetapkan target, sasaran produksi dan rata-rata pertumbuhan selama 2010-2014 untuk lima komoditas pangan tersebut, sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 3. Tabel 3. Target dan Sasaran Produksi Empat Komoditas Pangan Pokok, 2014
Komoditas
Target
Produksi 2009 (juta ton)
Sasaran Produksi (Juta ton) 2010
2014
Pertumbuhan (%/tahun)
Padi
SSB
63.84
66.68
75.70
3.22
Jagung
SSB
17.66
19.80
29.00
10.02
Kedelai
SS 2014
1.00
1.30
2.70
20.05
Gulai
SS 2014
2.85
2.99
5.70
17.63
Sumber: Kementan (2010) Keterangan: SSB = Swa Sembada Berkelanjutan; SS = Swa Sembada
Untuk swasembada berkelanjutan telah ditetapkan untuk mencapai swasembada tiga komoditas pangan utama, yaitu kedelai dan gula pada tahun 2014. Sasaran produksi kedua komoditas pangan pokok tersebut pada tahun 2014 adalah kedelai 2,7 juta ton (meningkat 20,05%/tahun), dan gula 5,7 juta ton (meningkat 17,63%/tahun) Sementara itu, swasembada berkelanjutan ditargetkan untuk dua komoditas pangan pokok, yaitu padi dan jagung. Untuk menjamin keberlanjutan swasembada kedua komoditas tersebut, maka sasaran laju peningkatan produksinya dipertahankan minimal sama dengan laju peningkatan permintaan
41
Prajogo U. Hadi dan Sri Hery Susilowati
dalam negeri. Dengan memperhitungkan proyeksi pertumbuhan jumlah penduduk nasional, permintaan bahan baku industri dalam negeri, kebutuhan stok nasional dan peluang ekspor, maka sasaran produksi padi pada tahun 2014 ditargetkan sebesar 75,7 juta ton gabah keirng giling (naik 3,22%/tahun) dan jagung 29 juta ton pipil kering (naik 10,.02%/tahun). Untuk mampu mencapai sasaran dan target produksi kelima komoditas pangan utama tahun 2014, maka akar permasalahan krusial yang akan dihadapi selama 2011-2014 perlu diidentififkasi dan dipahami secara mendalam untuk dicarikan strategi untuk pemecahannya.
PERMASALAHAN KRUSIAL DALAM PENINGKATAN PRODUKSI PANGAN
Peningkatan Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim Global Iklim global telah mengalami perubahan yang berdampak negatif pada siklus hidrologi dalam bentuk perubahan pola dan intensitas curah hujan, kenaikan permukaan air laut, peningkatan frekuensi, dan intensitas bencana alam yang dapat menyebabkan terjadinya kebanjiran dan kekeringan. Sejak tahun 1998, telah terjadi kenaikan suhu bumi yang mencapai 1oC, sehingga diprediksi akan terjadi lebih banyak hujan dengan perubahan 2-3 persen per tahun. Dalam 5 tahun terakhir, rata-rata luas sawah yang terkena banjir dan kekeringan masing-masing sebesar 29,743 hektar terkena banjir (11,043 ha di antaranya mengalami puso karena banjir) dan 82,472 hektar terkena kekeringan (8,497 ha di antaranya mengalami puso karena kekeringan). Di masa datang, kondisi ini kecenderungannya akan meningkat. Faktor penyebab terjadinya pemanasan suhu bumi (global warning) adalah kegiatan manusia di bidang pertanian dan nonpertanian. Di bidang pertanian, sistem produksi menghasilkan emisi sangat besar dalam bentuk tiga jenis utama gas rumah kaca, yaitu karbon dioksida (CO2), metan dan nitrogen oksida. Aktivitas produksi dan panen pertanian pangan yang berdampak besar pada pemanasan suhu bumi adalah fermentasi dalam pencernakan ternak piaraan, kotoran hewan, pupuk anorganik, penebangan hutan, kerusakan tanah dan pemakaian bahan bakar fosil pada kendaraan bermotor dan industri pengolahan (Anonymous, 1995). Negara-negara yang mempunyai kontribusi besar dalam emisi gas rumah kaca adalah AS, Cina, Uni Soviet, Brazil, Kanada, dan India (Hadi dan Amien, 2010). Hasil analisis paling akhir oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memproyeksikan bahwa rata-rata suhu permukaan bumi akan meningkat antara 1,4 sampai 5,8°C selama 1990-2100, sedangkan permukaan air laut akan naik antara 9 sampai 88 cm. Selama abad ke-20, suhu permukaan bumi telah naik 0,6°C, terutama karena aktivitas manusia. Bagi Indonesia, dengan asumsi permukaan air laut naik 60 cm, potensi kehilangan lahan pertanian 2 diestimasi sebesar 34.000 km (2%) yang melibatkan 3,1 juta (1,1%) penduduk pada tahun 2050.
42
Prospek, Masalah dan Strategi Pemenuhan Kebutuhan Pangan Pokok
Variabilitas dan perubahan iklim tersebut berdampak negatif pada pertanian di Indonesia. Selama periode 48 tahun (1961-2008), variabilitas iklim telah menyebabkan luas panen padi mengalami fluktuasi dengan frekuensi penurunan 18 kali dengan tingkat penurunan yang cepat dalam beberapa tahun yaitu 1963, 1967, 1972, 1982, 1991, 1994, 1997 dan 2001 (Hadi dan Amien, 2010). Peningkatan suhu juga akan memperpendek masa generatif tanaman dan dengan meningkatnya serangan hama dan penyakit akan menurunkan produktivitas. Perubahan pola curah hujan akan merubah kalender tanam dan menunda waktu tanam. Meningkatnya frekuensi dan intensitas kejadian iklim ekstrim yang dapat memperbesar risiko banjir dan kekeringan akan menurunkan produksi pertanian. Permukaan air laut yang naik akan menggenangi lahan-lahan pertanian produktif dan meningkatkan salinitas tanah berpotensi menurunkan produktivitas pertanian. Sementara itu, meningkatnya CO2 dalam atmosfir akan mendorong fotosintesis sehingga mempercepat respirasi yang akan menurunkan produktivitas. Perubahan iklim dipastikan menyebabkan naiknya suhu, curah hujan, dan penyinaran matahari. Hasil penelitian Amien et al. (1999) yang dikutip Hadi dan Amien (2010) memperlihatkan bahwa jika konsentrasi CO2 di udara naik menjadi dua kali lipat, maka curah hujan tahunan, suhu maksimum dan minimum, serta penyinaran matahari akan meningkat secara signifikan, yang selanjutnya akan menurunkan produktivitas padi antara 14,21 sampai 58,14 persen. Perubahan pola curah hujan akan merubah masa tanam yaitu terlambatnya waktu tanam pada musim hujan yang akan berdampak pada terlambatnya waktu tanam musim kemarau sehingga membatasi peluang musim tanam ketiga jika fasilitas irigasi tidak ada atau air yang ada di jaringan irigasi itu tidak cukup. Hasil penelitian Naylor et al. (2007) mengenai pola curah hujan di Sumatra, Jawa, Bali, dan Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa perubahan iklim akan meningkatkan probabilitas mundurnya waktu tanam 30 hari, yang selanjutnya akan dapat menurunkan produksi padi. Cline (2007) memprediksikan bahwa pada tahun 2080, produktivitas pertanian di Indonesia akan turun sebesar 15-25 persen karena perubahan iklim, tetapi karena adanya efek positif dari meningkatnya CO2 di udara, maka penurunan itu menjadi lebih kecil yaitu 5-15 persen. Hasil studi Tschirley (2007) melaporkan bahwa produktivitas pertanian dapat turun sebesar 20 o persen jika suhu udara naik lebih dari 4 C, yaitu turun 5 persen untuk padi dan turun 10% untuk jagung jagung. Penurunan tersebut akan bisa lebih cepat jika degradasi sumber daya lahan diperhitungkan. Peng et al. (2004) juga melaporkan bahwa meningkatnya suhu minimum seebsar 1°C akan menurunkan produktivitas pada sebesaar 10 persen. Handoko et al. (2008) menyatakan bahwa naiknya suhu udara dapat mempengaruhi produksi pada dengan tiga cara, yaitu: (1) menurunnya luas panen karena menurunnya irigasi sebagai akibat dari peningkatan evapo-transpirasi; (2) menurunnya produktivitas tanaman karena umur panen yang lebih pendek; dan (3) meningkatnya respirasi tanaman. Hasil estimasinya menunjukkan bahwa (1) pada tahun 2050 luas panen padi akan menurun 3,3 persen di Jawa dan 4,1 persen di
43
Prajogo U. Hadi dan Sri Hery Susilowati
luar Jawa dari posisi luas panen tahun 2007; (2) penurunan produktivitas karena umur panen yang lebih pendek adalah 18,6 – 31,4 persen di Java dan 20,5 persen di luar Jawa; dan (3) peningkatan respirasi karena meningkatnya suhu akan menurunkan produktivitas sebesar 19,94 persen di Jawa Tengah, 18,2 persen di Yogyakarta, 10,5 persen di Jawa Barat dan 11,7 persen di luar Jawa dan Bali. Hasil penelitian Boer (2008) juga melaporkan bahwa peningkatan suhu karena peningkatan konsentrasi CO2 akan menurunkan produktivitas tanaman sebagai berikut: (1) jika tidak terjadi konversi lahan pertanian dan tidak terjadi perubahan intensitas pertanaman padi di tingkat kabupaten di Jawa, maka produksi padi diprediksi akan turun 12.500 – 72.500 ton pada tahun 2025; (2) jika konversi lahan sebesar 0,77 persen per tahun dipertimbangkan tanpa peningkatan intensitas pertanaman padi di tingkat kabupaten, maka produksi padi diprediksi akan turun lebih besar yaitu 42.500 – 162.500 ton pada tahun 2025; (3) jika tidak terjadi konversi lahan pertanian tetapi terjadi peningkatan intensitas pertanaman, maka efek negatif dari peningkatan suhu dapat diminimalkan; (4) peningkatan intensitas pertanaman dapat mempertahankan produksi padi di sebagian besar kabupaten di Jawa pada tahun 2025, kecuali Kabupaten Tulungagung dan Kediri di Jawa Timur, Kabupaten Purworedjo, Wonosobo, Magelang, Klaten dan Sukohardjo di Jawa Tengah, dan Kabupaten Sleman di Yogyakarta; dan (5) jika konversi lahan padi tetap sebesar 0,77 persen per tahun, makan peningkatan intensitas pertanaman tidak efektif untuk mengimbangi efek negatif dari peningkatan suhu pada tahun 2025, utamanya di Jawa Tengah, tetapi efektif hanya di beberapa kabupaten di Jawa barat dan Jawa Timur. Bagi sektor pertanian, dampak lanjutan dari perubahan iklim selain bergesernya pola dan kalender tanam serta penurunan produksi tanaman, adalah perubahan keanekaragaman hayati, eksplosi hama dan penyakit tanaman dan hewan. Karena itu diperlukan upaya khusus untuk pemetaan daerah rawan banjir dan kekeringan. Namun ada permasalahan di tingkat lapangan, yaitu kemampuan para petugas lapangan dan petani dalam memahami data dan informasi perkiraan iklim masih sangat terbatas. Akibatnya, mereka kurang mampu menentukan awal musim tanam serta melakukan antisipasi, mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim yang mungkin dapat terjadi.
Kondisi Infrastruktur Pertanian Salah satu jenis infrastruktur yang kondisinya sangat memprihatinkan saat ini adalah jaringan irigasi. Pembangunan waduk dan jaringan irigasi baru yang sangat kurang dan rusaknya jaringan irigasi yang ada menyebabkan daya dukung irigasi bagi pertanian sangat menurun. Penyebab utama kerusakan tersebut adalah banjir dan erosi, kerusakan sumber daya alam di daerah aliran sungai, bencana alam dan kurangnya pemeliharaan jaringan irigasi sampai ke tingkat usahatani. Kondisi jaringan irigasi yang kurang baik tersebut tentu berdampak pada turunnya produktivitas pertanian tanaman pangan. Kedepan, meningkatnya persaingan dalam penggunaan air oleh pertanian dan nonpertanian (industri dan rumah tangga) akan memperberat masalah menurunnya pasokan air untuk pertanian jika jaringan irigasi tidak diperbaiki, utamanya di Jawa.
44
Prospek, Masalah dan Strategi Pemenuhan Kebutuhan Pangan Pokok
Jenis infarstruktur lain yang kondisinya belum baik adalah jalan usahatani, jalan produksi, dan pelabuhan yang dilengkapi dengan pergudangan beserta alat pendingin udaranya. Terbatasnya infrastruktur tersebut menyebabkan biaya angkutan sarana produksi dan hasil pertanian menjadi makin mahal, dan tingkat kerusakan/kehilangan hasil selama pengangkutan cukup besar. Akibatnya, harga hasil yang diterima petani menjadi lebih rendah dari yang seharusnya, disamping mengurangi pasokan bahan pangan di pasar.
Ketersediaan Sarana Produksi Sarana produksi pertanian terdiri dari benih/bibit, pupuk, pakan ternak, dan obat-obatan tanaman dan hewan. Benih/bibit unggul bermutu tinggi adalah salah satu sarana produksi pertanian yang sangat esensial. Hingga saat ini, penyediaan benih unggul bermutu tinggi masih sangat kurang dan dengan daya beli petani yang masih rendah maka benih/bibit yang digunakan petani mempunyai tingkat keunggulan yang tidak maksimal. Mereka seringkali menggunakan benih/bibit F3-4 hasil panen petani, yang kapsitas produksinya sudah menurun. Usaha penangkaran benih/bibit belum berkembang luas sampai sentra produksi sehingga harga benih/bibit masih mahal, bahkan banyak beredar benih/bibit palsu di masyarakat yang sangat merugikan petani jika benih/bibit demikian digunakan. Program BLBU dengan benih padi hibrida yang berpotensi produksi sangat tinggi juga belum berhasil karena tidak cocoknya benih hibrida di lapangan sehingga petani memanfaatkannya untuk konsumsi. Pupuk tersedia bagi pertanian rakyat dengan harga subsidi yang diberikan melalui produsen pupuk. Jenis pupuk yang disubsidi adalah urea, SP36, NPK, ZA dan pupuk organik. Kebutuhan pupuk petani diajukan kepada pemerintah pusat melalui penyusunan RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok) oleh kelompok tani yang didampingi oleh PPL (penyuluh pertanian lapangan). Permasalahan pokok saat ini adalah keterbatasan anggaran pemerintah untuk subsidi pupuk yang berdampak pada terbatasnya jumlah pupuk bersubsidi yang dialokasikan untuk pertanian. Hal ini menyebabkan jumlah pupuk yang tersedia bagi petani lebih kecil dari jumlah yang dibutuhkan (sesuai dengan dosis rekomendasi) sehingga produktivitas tanaman lebih rendah dari yang seharusnya. Ketersediaan pupuk organik masih sangat terbatas, padahal jenis pupuk ini sangat diperlukan untuk perbaikan struktur tanah guna peningkatan produktivitas lahan pertanian, utamanya lahan sawah yang padat karena terlalu banyak pemakaian pupuk kimia, utamanya urea.
Ketersediaan Alat dan Mesin Pertanian Alat dan mesin pertanian yang masih bermasalah dalam ketersediaannya adalah alat pompa air serta alat perontok dan alat pengering gabah. Pompa air sangat dibutuhkan di daerah-daerah sawah irigasi yang pasokan air permukaannya terbatas dan wilayah tadah hujan yang hanya menggantungkan air hujan pada musim hujan. Fungsi utama pompa air adalah menyedot air tanah melalui sumur-sumur “patek” di lahan pertanian dan menyedot air sungai. Saat ini
45
Prajogo U. Hadi dan Sri Hery Susilowati
jumlah pompa air masih sangat terbatas, dimana peranan pemerintah masih sangat minim dalam memberikan bantuan kepada petani/kelompok tani. Tingginya harga bahan bakar minyak merupakan hambatan besar dalam pengoperasian pompa air, utamanya pada musim kemarau yang membutuhkan bahan bakar minyak dalam jumlah besar karena pemakaian pompa yang jauh lebih intensif dibanding pada musim hujan. Alat perontok gabah masih terbatas jumlahnya sehingga cara perontokan gabah masih banyak yang menggunakan cara digepyok (dibanting) dengan alas yang terbatas luasannya. Ketiadaan mesin pengering gabah, utamanya pada musim hujan, menyebabkan mutu gabah petani kurang baik sehingga rendemen beras menjadi lebih rendah dari yang seharusnya (banyak menir). Penanganan pascapanen yang kurang baik telah menyebabkan kehilangan hasil dalam jumlah cukup besar yang berdampak mengurangi ketersediaan pangan. Dari data neraca bahan pangan (food balance sheet) FAO tahun 2000-2007 dapat dihitung tingkat kehilangan hasil (waste) yaitu 7,92 persen (4.22 juta ton) untuk padi, 6,70 persen (736,2 ribu ton) untuk jagung, dan 13,38 persen (99,4 ribu ton) untuk kedelai dari produksi masing-masing jenis komoditas tersebut.
Luas, Legalitas Penguasaan dan Konversi Lahan Pertanian Mayoritas petani di Indonesia mempunyai skala usahatani yang sangat sempit (< 0.5 ha). Selama 20 tahun (1983-2003), jumlah petani berskala sangat sempit in terus meningkat yaitu dari 6.4 juta KK pada tahun 1983 naik menjadi 10.6 juta KK pada tahun 1993 (meningkat 65.81%) dan naik lagi menjadi 14,0 juta KK pada tahun (naik 31.95%), sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 4. Persentase jumlah petani berlahan sangat sempit tersebut juga meningkat dari 52.34% pada tahun 1983 naik cepat menjadi 64.12% pada tahun 1993 dan naik lagi menjadi 65.53% pada tahun 2003 yang berarti dominasi jumlah petani berskala gurem makin kuat. Tabel 4. Perkembangan Jumlah Rumah Tangga Petani Menurut Golongan Luas Lahan, 1983, 1993 dan 2003 (KK)
Tahun 1983 1993 2003
< 0.50 6.412.246 (52,34%) 10.631.887 (64,12%) 14.028.589 (65,53%)
Golongan Luas Lahan (ha) 0.50 – 0.99 1.00 – 1.99 3.671.243 (29,96%) 4.348.303 (26,22%) 4.578.053 (21,38%)
2.922.294 (23,85%) 3.132.145 (18,89%) 3.460.406 (16,16%)
Perubahan (%): 1983-1993 65,81 18,44 7,18 1993-2003 31,95 5,28 10,48 Sumber: Sensus Pertanian 1983, 1993 dan 2003 (BPS, Jakarta).
46
2.00+
Total
2.168.315 (17,70%) 1.601.409 (9,66%) 2.801.627 (13,09%)
12.251.804 (100%) 16.581.599 (100%) 21.408.269 (100%)
-26,15 74,95
35,34 29,11
Prospek, Masalah dan Strategi Pemenuhan Kebutuhan Pangan Pokok
Di lain pihak, terjadi peningkatan jumlah petani dengan luas garapan 2 hektar keatas selama 1993-2003, yaitu dari 1,6 juta pada tahun 1993 menjadi 2,8 juta pada tahun 2003 (naik 74,95%). Makin dominannya jumlah petani berlahan sempit menyebabkan proses produksi pertanian rakyat menjadi makin tidak efisien. Hal ini mempunyai kontribusi dalam pelambatan perkembangan produktivitas tanaman, yang berarti juga menghambat perkembangan produksi pertanian nasional. Sebagian besar petani belum memiliki legalitas yang kuat dalam pemilikan lahan. Data Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) tahun 2003 yang dikutip dalam Kementan (2010) menunjukkan bahwa jumlah sertifikat tanah yang diterbitkan baru mencapai 24,5 juta persil atau sekitar 30 persen dari jumlah seluruh persil yang ada di Indonesia (sekitar 75 juta persil). Dari jumlah persil yang telah memperoleh sertifikat tersebut, 50 persen adalah tanah di perkotaan (pemukiman dan industri) yang luas arealnya tidak lebih dari 3 juta hektar. Sementara itu, lahan pertanian di perdesaan yang luasnya lebih dari 25 juta hektar hanya memperoleh sertifikat sebanyak 50 persen dari seluruh sertifikat yang sudah diterbitkan (sekitar12 juta persil). Konversi lahan pertanian ke nonpertanian (jalan raya, pemukiman, perkantoran, kawasan industri, pariwisata, dll) sudah terjadi sejak lama dalam skala yang cukup masif. Selama periode 1983-1993, konversi lahan pertanian nonperkebunan besar (pertanian rakyat) mencapai 1,30 juta hektar atau 7,78 persen selama 10 tahun atau rata-rata 0,78 persen per tahun, sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 5. Sebagian besar konversi lahan terjadi di Jawa (79,6%) dan jika dilihat dari jenis lahan yang dikonversi, 68,3 persen adalah lahan sawah (Anonim, 1996). Tabel 5. Perubahan Luas Lahan Pertanian Rakyat Menurut Wilayah, 1983-2003 (Ha) Wilayah
19831)
Luas Lahan Pertanian 19932) 20033)
Perubahan 1983-2003 1993-2003
Jawa
5.442.449
4.407.029
4.019.887
-1.035.420
-387.142
Bali,NTB, NTT
1.208.164
1.060.218
1.095.551
-147.946
35.333
Sumatera
5.668.811
5.416.601
4.249.706
-252.210
-1.166.895
Sulawesi
1.637.811
1.772.444
2.184.508
134.633
412.064
Kalimantan
2.222.153
2.191.596
2.096.230
-30.557
-95.366
Maluku
378.662
400.339
351.970
21.677
-48.369
Irian Jaya
166.322
175.777
142.043
9.455
-33.734
16.724.372
15.424.004
14.139.895
-1.300.368
-1.284.109
INDONESIA
Sumber: Badan Pusat Statistik, Jakarta Keterangan: 1) Sensus Pertanian 1983; 2) Sensus Pertanian 1993; 3) Sensus Pertanian 2003
Pada periode 1993-2003, konversi lahan mencapai 1,28 juta hektar atau 8,33 persen selama 10 tahun atau rata-rata 0,83 persen per tahun, yang berarti
47
Prajogo U. Hadi dan Sri Hery Susilowati
terjadi peningkatan intensitas konversi lahan. Jumlah konversi selama 1993-2003 menurun 16.259 ha (1,25%) dibanding periode sebelumnya, namun secara kumulatif konversi lahan selama 20 tahun tersebut mencapai 2,58 juta hektar (15,45% dari posisi 1983) atau rata-rata 258.448 hektar per tahun. Dari Tabel 5 juga dapat diketahui bahwa dominasi wilayah konversi lahan pertanian rakyat selama 1993-2003 telah bergeser ke Sumatera (90,9%). Konversi lahan juga meningkat di Kalimantan, dan terjadi di Maluku dan Irian Jaya yang selama periode sebelumnya luas lahan pertanian meningkat. Konversi lahan pertanian rakyat yang terjadi sangat cepat di wilayah Sumatera (363%) dan Kalimantan (212%) disebabkan oleh pembukaan areal perkebunan kelapa sawit dan karet yang menggunakan lahan pertanian pangan. Kedua jenis komoditas tersebut memberikan pendapatan dengan frekuensi lebih tinggi dan jumlah kumulatif per tahun lebih besar dibanding tanaman pangan (Kustiari et al., 2008; Susilowati et al., 2009). Konversi lahan pertanian dalam jumlah besar dan cepat, khususnya lahan sawah produktif, akan menambah beban upaya pencapaian swasembada pangan (beras) nasional di masa datang, apalagi jika peningkatan produktivitas, intensitas tanam, dan pencetakan sawah berjalan lambat.
Subsidi Input Pertanian Total anggaran subsidi untuk pupuk, benih, kredit program, dan bantuan pangan terus meningkat selama 2004-2009 dengan peningkatan drastis pada tahun 2008 dan 2009 (Tabel 6). Subsidi yang terus meningkat tersebut menunjukkan meningkatnya dukungan pemerintah kepada petani untuk meringankan biaya produksi serta upaya untuk meningkatkan produksi nasional dalam rangka mencapai ketahanan pangan. Total subsidi input pertanian tahun 2009 sebesar Rp 20,5 trilliun yang terdiri dari subsidi pupuk Rp 17,5 trilliun, subsidi benih Rp 1,3 trilliun dan kredit program Rp 1,7 trilliun. Tabel 6. Perkembangan Anggaran Subsidi Pertanian, 2004-2009 (Rp’milyar) Jenis Subsidi Pupuk Benih Kredit Program Total
2004
2005
2006
2007
2008
2009
1.171,4
2.527,3
3.165,7
6.260,50
15.181,5
17.537,0
(91,48%) 74,2
(93,13%)
(95,04%)
(92,24%)
(93,46%)
(85,41%)
147,7
131,1
479
985,2
1.315,40
(5,79%) 34,90
(5,44%) 38,60
(3,94%) 34,20
(7,06%) 47,50
(6,07%) 77,00
(6,41%) 1,679,50
(2,73%)
(1,42%)
(1,03%)
(0,70%)
(0,47%)
(8,18%)
1.280,5
2.713,6
3.331,0
6.787,0
16.243,7
20.531,9
Sumber: Kantor Menko Perekonomian
Subsidi pupuk meningkat drastis selama dua tahun terakhir, yaitu dari Rp 6,3 trilliun pada tahun 2007 menjadi Rp 15,2 trilliun pada tahun 2008 dan naik lagi
48
Prospek, Masalah dan Strategi Pemenuhan Kebutuhan Pangan Pokok
menjadi Rp 17,5 triliun pada tahun 2009. Peningkatan subsidi pupuk yang cukup besar tersebut menimbulkan pertanyaan besar yaitu apakah subsidi tersebut efektif dan efisien dalam upaya peningkatan produksi dan produktivitas pertanian. Hasil penelitian World Bank (2009) menyimpulkan antara lain (1) peningkatan penggunaan urea 1 persen hanya dapat meningkatkan produksi padi di Jawa 0,31-0,49 persen di Jawa dan 0,15 persen di luar Jawa; dan (2) Pada tahun 2008, biaya subsidi Rp 15,2 triliun hanya mampu meningkatkan nilai produksi padi Rp 8,3 triliun. Hasil analisis IPB (2010) juga menyimpulkan bahwa pada tahun 2009 biaya subsidi pupuk Rp 17,5 triliun hanya mampu meningkatkan nilai tambah Rp 5,2 triliun. Subsidi pupuk telah meningkatkan penggunaan urea per hektar oleh petani hingga melampaui batas yang akhirnya malahan menurunkan produktivitas tanaman padi. Karena itu Bank Dunia tersebut menyarankan agar dilakukan pengurangan subsidi pupuk urea secara gradual. Jumlah subsidi benih juga meningkat cepat pada pada tahun 2009 untuk meningkatkan penggunaan benih bersertifikat yang diharapkan akan meningkatkan produktivitas tanaman secara signifikan. Namun banyak kasus yang terjadi di lapangan bahwa benih yang diberikan dalam program BLBU (Bantuan Langsung Benih Unggul) tidak dimanfaatkan oleh petani, terutama karena: (1) kualitas benih kurang bagus (daya tumbuh rendah, terutama benih padi hibrida) sehingga sering dimanfaatkan untuk konsumsi; dan (2) BLBU mensyaratkan ketersediaan air irigasi yang cukup untuk pertumbuhan tanaman optimal, namun banyak wilayah yang kondisi pengairannya belum memadai untuk penanaman benih unggul. Nilai kredit program juga terus meningkat selama 2004-2009 dengan peningkatan drastis pada tahun 2009. Jenis kredit program yang disediakan antara lain adalah KKP-E (Kredit Ketahanan Pangan dan Energi), Kredit Pembangunan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan (KPEN-RP), KUR (Kredit Usaha Rakyat) dan KUPS (Kredit Usaha Pembibitan Sapi). Suku bunga bervariasi 5-10 persen per tahun. Penyerapan skim kredit program tersebut oleh petani kecil masih terkendala oleh aksesibilitas petani yang rendah karena kurangnya pemilikan kolateral berupa sertifikat tanah sebagai syarat untuk dapat mengambil kredit. Penyaluran KKP-E dan KUPS selama ini melalui kelompok tani dimungkinkan umumnya menggunakan kolateral pengurus (ketua) atau anggota kelompok tani yang memiliki kolateral cukup. Khusus untuk KUR, yang plafonnya mencapai Rp 150 juta, selama ini hanya dapat diakses oleh masyarakat yang mempunyai nilai kolateral besar minimal senilai plafon tersebut.
Kelembagaan Petani Keberadaan organisasi petani seperti kelompok tani atau gabungan kelompok tani (gapoktan) lebih bersifat budaya, dan sebagian besar hanya berorientasi untuk mendapatkan fasilitas/bantuan melalui proyek pemerintah, belum mengarah kepada pemanfaatan peluang ekonomi yang ada melalui pemanfaatan aksesibilitas terhadap berbagai informasi teknologi, permodalan dan pasar yang dibutuhkan bagi pengembangan usahatani. Demikian pula, koperasi
49
Prajogo U. Hadi dan Sri Hery Susilowati
belum sepenuhnya mampu mengakomodasi kepentingan anggota sebagai wadah pembinaan teknis dan bisnis.
Keterpaduan Sektoral Pembangunan sektor pertanian tidak mungkin dilakukan oleh Kementerian Pertanian sendiri, tetapi bersama dengan berbagai kementerian lain yang terkait dengan pertanian. Selama ini, rapat-rapat koordinasi antarkementerian sudah sering dilakukan, tetapi pengintegrasian kegiatan fisik antarkementerian sangat sulit dilaksanakan, antara lain dalam (1) pembangunan prasarana pertanian dan perdesaan yang merupakan wewenang Kementerian PU; (2) kebijakan pertanahan yang menjadi wewenang Kementerian Dalam Negeri; (3) kebijakan harga dan perdagangan yang merupakan wewenang Kementerian Perdagangan; (4) kebijakan subsidi pupuk yang merupakan wewenang Kementerian Keuangan dan BUMN; dan (5) kebijakan industri yang merupakan wewenang Kementerian Perindustrian. Menurut Wakil Menteri Pertanian RI, Kementerian hanya mempunyai andil 30 persen dalam pengambilan putusan dalam pembangunan pertanian. Dampak dari lemahnya keterpaduan tersebut antara lain adalah kurangnya pasokan air untuk pengairan sawah pada saat dibutuhkan dan terjadinya impor berlebihan yang dapat menurunkan harga produsen di dalam negeri (kasus beras dan gula). Kelebihan impor gula rafinasi yang kemudian masuk ke pasar gula konsumsi telah menyebabkan turunnya harga gula putih asal tebu petani (Sawit, 2010).
Capaian Sasaran Produksi Pangan Pokok Tahun 2010 Sasaran produksi lima komoditas pangan tahun 2010 belum dapat dicapai. Menurut Angka Ramalan III (ARAM III) BPS, produksi padi tahun 2010 diperkirakan 65,98 juta ton gabah kering giling (GKG). Produksi ini naik 1,58 juta ton atau 2,46 persen dibandingkan produksi tahun 2009, tetapi masih merupakan 1,05 persen di bawah target produksi tahun 2010 sebesar 66,68 juta ton. Kenaikan produksi diperkirakan karena peningkatan luas panen sebesar 234,54 ribu hektar (1,82%) dan produktivitas sebesar 0,31 kuintal/hektar (0,62%). Untuk jagung, produksi tahun 2010 diperkirakan sebesar 17.84 juta ton pipil kering. Produksi ini naik 214,93 ribu ton atau 1,22 persen dibandingkan produksi tahun 2009, tetapi masih 9,98 persen di bawah target produksi tahun 2010 sebesar 19,8 juta ton. Kenaikan produksi tersebut diperkirakan bersumber dari peningkatan produktivitas sebesar 0,80 kuintal/hektar (1,89%), sedangkan luas panen diperkirakan turun sebesar 26,87 ribu hektar (0,65%). Sementara itu, produksi kedelai tahun 2010 diperkirakan mencapai 905,02 ribu ton biji kering. Produksi ini turun 69,50 ribu ton atau 7,13 persen dibandingkan produksi tahun 2009, yang berarti hanya merupakan 30,35 persen dibawah sasaran produksi tahun 2010 sebesar 1,3 juta ton. Penurunan produksi tersebut
50
Prospek, Masalah dan Strategi Pemenuhan Kebutuhan Pangan Pokok
diperkirakan berasal dari penurunan luas panen sebesar 50,55 ribu hektar (6,99%) dan juga produktivitas sebesar 0,02 kuintal/hektar (0,15%). Untuk gula, produksi tahun 2010 diperkirakan mencapai 2,72 juta ton. Produksi ini naik 3,66 persen dibandingkan produksi tahun 2009, tetapi masih 9,03 persen dibawah target produksi tahun 2010 sebesar 2,99 juta ton. Untuk daging sapi, produksi tahun 2010 diperkirakan hanya sebesar 0,33 juta ton. Produksi ini turun 17,5 persen dari posisi tahun 2009, yang berarti masih berada 19,51 persen dibawah target produksi tahun 2010 sebesar 0,41 juta ton.
STRATEGI UTAMA PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN POKOK
Peningkatan Produksi Dalam Negeri Adaptasi terhadap Anomali Iklim Untuk mencegah terjadinya ketidakstabilan produksi pangan nasional karena anomali iklim, diperlukan langkah adaptasi antara lain berupa penyiapan varietas padi unggul yang tahan cuaca buruk jangka pendek dan perubahan iklim jangka panjang. Untuk itu Kementerian Pertanian telah menyiapkan tiga varietas padi yang tahan terhadap cuaca buruk jangka pendek dan perubahan iklim jangka panjang, yaitu Inpago yang tahan kekeringan, Inpara yang tahan genangan air, dan Inpari-13 yang tahan hama wereng coklat. Kondisi cuaca yang tidak menentu dan bulan basah yang lebih panjang selama 2010 telah menyebabkan berkembangnya wereng coklat sangat cepat yang merusak sebagian areal tanaman padi di 27 kabupaten/kota. Bersamaan dengan itu perlu dilakukan: (1) optimalisasi pengelolaan sumber daya lahan dan air/irigasi; (2) penyesuaian pola tanam/pengelolaan, utamanya tanaman pangan; (3) perakitan dan penyiapan teknologi adaptif serta berbagai pedoman; dan (4) penerapan teknologi adaptif dan ramah lingkungan.
Pembangunan Infrastruktur Pertanian Infrastruktur pertanian yang utama adalah jaringan irigasi dan jalan pertanian. Untuk jaringan irigasi diperlukan pembangunan jaringan baru dan rehabilitasi jaringan lama. Lahan sawah yang belum berfungsi maksimal saat ini adalah seluas sekitar 243.321 hektar, yang memerlukan jaringan irigasi sesuai dengan kebutuhan dan potensi pengembangannya. Untuk itu diperlukan pembangunan jaringan irigasi baru dan rehabilitasi jaringan tersier dan irigasi desa/sederhana, dan meningkatkan pemanfaatan aliran permukaan (air tanah, embung, dll). Selain itu, di wilayah-wilayah sawah tadah hujan, pemerintah perlu membantu petani dalam pengadaan pompa air, baik pompa berdaya kecil untuk sumur patek maupun pompa berdaya besar untuk menyedot air sungai. Untuk jalan pertanian perlu diprioritaskan pada wilayah-wilayah sentra produksi.
51
Prajogo U. Hadi dan Sri Hery Susilowati
Pembangunan infrastruktur pertanian tersebut dapat dijustifikasi oleh hasil penelitian yang menunjukkan bahwa setiap investasi irigasi sebesar Rp 1 trilliun dapat meningkatkan output sebesar Rp 2,42 triliun, nilai tambah Rp 2,98 triliun dan pendapatan total Rp 2,23 triliun. Setiap kenaikan luas lahan beririgasi teknis sebesar 1 persen dapat meningkatkan produksi padi sebesar 1,08 persen. Penggunaan pompa air pada sawah tadah hujan dapat meningkatkan intensitas tanam sebesar 100 persen dan produktivitas tanaman hingga 50 persen. Demikian pula, pembangunan jalan pertanian dapat menurunkan biaya angkut sarana produksi ke hamparan usahatani sekitar 3-8 persen dan menekan biaya angkut hasil pertanian dari hamparan usahatani ke tujuan pemasaran hingga 10 persen.
Pencetakan Sawah Baru Peningkatan kapasitas produksi dapat dilakukan melalui perluasan lahan pertanian terutama di luar Jawa. Menurut data BPS, pada tahun 2006 luas lahan sawah yang ada di Indonesia adalah sekitar 7,89 juta hektar, yang 4,56 juta hektar diantaranya berada di luar pulau Jawa. Untuk ke depan, masih terdapat potensi perluasan lahan sawah sekitar 16 juta hektar yang sebagian besar terletak di Papua, Maluku, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Kebijakan perluasan lahan pertanian ke luar Jawa mempunyai prospek realisasi yang baik dengan adanya rencana investasi swasta yang akan difokuskan ke luar Jawa terutama di Merauke (Papua), Kalimantan dan Sulawesi melalui program pemerintah misalnya Food Estate dan Transmigrasi. Kebijakan perluasan lahan pertanian ke luar Jawa perlu disertai dengan penerapan dan perbaikan teknologi usahatani dan pengolahan hasil pertanian.
Penyediaan Benih Unggul dan Pupuk Benih unggul dan pupuk merupakan dua sarana produksi tanaman yang memerlukan penanganan lebih serius dalam penyediaan bagi petani. Pembinaan penangkar benih perlu ditingkatkan melalui kemitraan dengan BUMN perbenihan nasional (antara lain PT Sang Hyang Seri dan PT Pertani). Distribusi benih unggul hingga ke wilayah perdesaan perlu ditingkatkan yang disertai dengan pangawasan terhadap kemungkinan terjadinya pemalsuan benih. Untuk tebu sudah tersedia varietas unggul baru, dan untuk sapi potong sudah tersedia semen sapi unggul sebagai bahan inseminais buatan (IB). Penyaluran pupuk bersubsidi secara tertutup dengan menggunakan RDKK masih perlu dilanjutkan sebelum ada sistem baru yang lebih baik. Anggaran subsidi pupuk perlu ditingkatkan yang mencakup semua jenis komoditas pertanian rakyat dengan memilih komposisi pupuk yang lebih seimbang antara N, P dan K, yaitu menggunakan pupuk majemuk NPK yang lebih banyak dan mengurangi pupuk tunggal terutama urea yang saat ini sudah berlebihan penggunaannya. Pupuk NPK yang baik adalah yang proses produksinya menggunakan cara kimiawi (chemical blending). Penggunaan pupuk organik juga perlu diperbanyak untuk memperbaiki struktur tanah yang sudah keras karena pemakaian pupuk N yang belebihan dalam waktu yang lama.
52
Prospek, Masalah dan Strategi Pemenuhan Kebutuhan Pangan Pokok
Kebijakan Impor Salah satu cara untuk meningkatkan ketersediaan pangan adalah melakukan impor dari negara lain. Namun demikian impor jangan sampai menyebabkan produksi dalam negeri menjadi turun karena menjadi tidak kompetifif lagi. Selama ini, tingginya subsidi yang diberikan pemerintah di negara-negara maju kepada petaninya menyebabkan produksi pertanian di negara-negara itu dapat diekspor dengan harga murah. Hal ini berdampak pada melonjaknya impor pangan oleh negara-negara berkembang karena harga domestik menjadi lebih mahal dibanding harga impor. Karena itu, perlu mekanisme perlindungan sementara bagi negara berkembang, termasuk Indonesia, dari serbuan impor atau kejatuhan harga karena produk impor yaitu melalui SSM (Special Safeguard Mechanism) dengan menetapkan SP (Special Products). Sebelumnya kepada negara berkembang diberikan SSG (Special Safety Guard) namun tidak efektif dan hampir tidak dapat digunakan oleh negara berkembang, sehingga serbuan impor tetap berlangsung cukup pesat. Karena itu masih tetap diperlukan kebijakan impor pangan dengan melakukan proteksi terhadap komoditas strategis atau komoditas pangan utama yaitu beras, jagung, kedelai, gula dan daging sapi agar 95 persen dari kebutuhan nasional dapat dipenuhi dari produksi di dalam negeri. Selain itu, Indonesia perlu tetap gigih memperjuangkan dalam forum WTO untuk memperoleh perlindungan sementara melalui SSM/SP sehingga terlindungi dari serbuan impor dan kejatuhan harga. Volume impor beras dan gula perlu dikendalikan secara baik agar tidak menyebabkan turunnya harga di dalam negeri yang dapat merugikan petani. Masuknya gula rafinasi ke pasar gula konsumsi sebagai akibat kecerobohan dalam kebijakan impor gula tidak boleh terjadi lagi di masa datang.
Peranan Bulog Kinerja Bulog dalam penyerapan gabah petani perlu lebih dioptimalkan dalam rangka peningkatan stok beras nasional dari produksi dalam negeri sekaligus menjaga stabilitas harga pangan. Stok beras di gudang Bulog saat ini hanya di bawah 2 juta ton, padahal kapasitas gudang yang ada di berbagai wilayah di Indonesia adalah 3,8 juta ton. Selama ini Bulog lebih tertarik untuk melakukan impor dibanding membeli gabah dari petani dengan alasan: (1) pada saat panen, harga gabah dibawah HPP tetapi kualitas beras petani tidak sesuai dengan kriteria yang diinginkan; dan (2) pada saat kualitas beras petani bagus, Bulog berdasarkan regulasi tidak mungkin membeli dengan harga diatas HPP, walaupun sebenarnya bisa dijual dengan harga lebih tinggi. Impor beras oleh Bulog sebenarnya hanya solusi jangka pendek, mudah dilakukan dan mendatangkan keuntungan finansial besar bagi Bulog. Tetapi itu bukan untuk penguatan ketahanan pangan nasional secara berkelanjutan. Kalaupun Bulog tetap melakukan impor beras (dari Thailand dan Vietnam), maka
53
Prajogo U. Hadi dan Sri Hery Susilowati
sebaiknya masuk gudang sampai masa panen padi tahun 2010 selesai karena stok di gudang masih rendah.
Peranan Pemerintah Daerah Otonom dalam Peningkatan Produksi Pangan Dalam era otonomi daerah, daerah otonom mempunyai peranan sangat penting dalam penyediaan pangan lokal dalam rangka penguatan ketahanan pangan, yaitu menyediakan stok pangan yang cukup bagi seluruh penduduk di masing-masing wilayah daerah otonom tersebut. Dengan cara ini masalah kekurangan pangan dapat segera diatasi lebih dini karena Pemerintah Daerah yang paling mengetahui kondisi daerah dan masyarakatnya masing-masing. Uluran tangan Pemerintah Pusat tentu saja dapat diberikan dalam rangka penyelesaian masalah kekuarangan pangan yang lebih tuntas.
Pengurangan Konsumsi Beras Konsumsi beras per kapita sekarang masih sangat tinggi, yaitu 139 kg/kapita/tahun, jauh lebih tinggi daripada rata-rata dunia yang hanya 60 kg, dan juga jauh lebih tinggi dibanding Malaysia dan Thailand yang masing-masing hanya 80 kg dan 90 kg. Karena itu, tingkat konsumsi per kapita di Indonesia perlu dikurangi. Salah satu caranya adalah melakukan kampanye dan mempraktekkan “sehari tanpa nasi” (one day without rice), seperti halnya “sehari tanpa tembakau” (one day without tobacco) untuk kebaikan kesehatan dan “sehari tanpa mobil” (one day without car) untuk kebaikan lingkungan. Pemberlakuan “sehari tanpa nasi” bisa dilakukan seminggu sekali atau sebulan sekali. Kegiatan ini bisa dimulai lebih dahulu di kantor-kantor pemerintah di Pusat dan Daerah di seluruh Indonesia. Kampanye tersebut sudah dimulai tahun 2009 di beberapa provinsi yaitu NTB, NTT, Sulawesi Utara dan Maluku Utara, yang bervariasi dari satu hari per minggu hingga dua hari per bulan. Di kota Manado bahkan sudah dilakukan dua hari per minggu. Jika sehari saja tiap bulan tanpa nasi, maka konsumsi beras dapat dikurangi sekitar 828.000 ton per tahun. Dengan cara ini, jumlah impor dapat ditekan atau bahkan mungkin tidak perlu dilakukan. Cara kedua untuk mengurangi konsumsi beras adalah diversifikasi pangan. Di Jepang, yang harga berasnya sangat tinggi, upaya pengurangan konsumsi beras cukup berhasil melalui program “Gerakan Banyak Makan Sayur”. Program yang berdampak positif pada perbaikan gizi untuk pencerdasan dan perbaikan kesehatan masyarakat ini mungkin bisa ditiru di Indonesia. Terkait dengan diversifikasi pangan, pemerintah telah menyiapkan anggaran tahun 2011 untuk ketahanan pangan sebesar Rp 2 triliun dan untuk beras sebesar Rp 1 triliun. Cara ketiga adalah mengembalikan pangan pokok masyarakat asli suatu wilayah. Di wilayah-wilayah tertentu yang semula komoditas pangan pokoknya adalah ubi, jagung, dan sagu dikembalikan lagi ke komoditas-komoditas tersebut. Disamping itu, di wilayah-wilayah yang saat ini komoditas pangan pokoknya nonberas, dibiarkan saja komoditas pangan pokoknya seperti itu, dan tidak perlu diperkenalkan dengan beras.
54
Prospek, Masalah dan Strategi Pemenuhan Kebutuhan Pangan Pokok
KESIMPULAN
Kebutuhan pangan pokok yang terus meningkat di masa datang sebagai akibat dari peningkatan jumah penduduk dan daya beli masyarakat konsumen perlu dicukupi. Produksi komoditas pangan pokok, yaitu padi, jagung, kedelai dan gula terus meningkat, namun dengan laju yang lambat, kecuali jagung. Pertumbuhan produksi tersebut juga masih tergantung pada perkembangan luas areal panen, bukan perbaikan produktivitas, kecuali jagung. Jika luas panen turun, seperti yang terjadi pada kedelai, maka produksi akan turun. Produktivitas tebu bahkan cenderung menurun, yang berarti peningkatan produksi sangat tergantung pada ketesediaan lahan, sebagai indikasi sistem produksi yang makin tidak efisien. Kemampuan produksi untuk memenuhi kebutuhan domestik makin tinggi untuk padi, bahkan mencapai swasembada pada tahun 2006-2007. Namun kemampuan ini masih pas-pasan sehingga masih berisiko jika terjadi penurunan produksi karena faktor eksternal yang tidak terkontrol seperti anomaly iklim, dan lain-lain. Untuk tiga komoditas lainnya, kemampun produksi untuk memenuhi kebutuhan domestik masih kurang, sehingga masih diperlukan sumber dari luar (impor), utamanya kedelai dan gula yang mempunyai kemampuan sangat rendah dalam memenuhi kebutuhan domestik. Belum tercapainya sasaran produksi tahun 2010 yang ditetapkan dalam Rencana Strategis tahun 2010-2014 merupakan indikasi adanya potensi risiko tersebut. Indonesia masih mempunyai potensi yang sangat besar untuk peningkatan produksi, baik dari segi kekayaan plasma nutfah, ketersediaan lahan dan air yang belum dimanfaatkan, kondisi geografis dan iklim yang kondusif, ketersediaan tenaga kerja di perdesaan, dan teknologi. Karena itu Kementerian Pertanian telah menetapkan target swasembada untuk kedelai dan gula dan swaembada berkelanjutan untuk beras dan jagung pada tahun 2014. Untuk peningkatan produksi dalam rangka peningkatan kemampuan pemenuhan kebutuhan domestik yang terus meningkat masih dihadapkan pada berbagai permasalahan. Pokok permasalahan yang dimaksud mencakup: (a) peningkatan kerusakan lingkungan dan perubahan iklim global yang merupakan ancaman potensial bagi peningkatan produksi; (b) kondisi infrastruktur pertanian berupa jaringan irigasi yang tidak berfungsi secara optimal; (c) ketersediaan sarana produksi berupa benih unggul bermutu yang masih kurang; (d) ketersediaan alat dan mesin pertanian berupa pompa air dan perontok gabah yang masih terbatas; (e) penguasaan lahan sangat sempit yang menjadikan proses produksi pertanian kurang efisien; (f) legalitas penguasaan lahan yang masih sangat terbatas sehingga petani kurang akses terhadap sumber permodalan formal; (g) konversi lahan pangan yang sangat cepat, utamanya di Jawa, Sumatera dan Kalimantan untuk pertanian non-pangan dan nonpertanian; (h) anggaran subsidi pertanian yang terbatas; (i) kelembagaan petani yang masih lemah; dan (j) kurangnya keterpaduan lintas sektor dalam pelaksanaan pembangunan pertanian. Strategi utama yang diperlukan untuk mengamankan peningkatan produksi komoditas pangan pokok adalah: (a) adaptasi terhadap anomali iklim; (b)
55
Prajogo U. Hadi dan Sri Hery Susilowati
pembangunan dan rehabilitasi jaringan irigasi dan jalan usahatani; (c) pencetakan sawah baru; dan (d) penyediaan benih unggul bermutu dan pupuk secara efektif. Strategi lain yang diperlukan adalah: (a) kebijakan impor yang hati-hati agar tidak merugikan petani produsen di Indonesia; (b) peningkatan peran Bulog dalam penyerapan produksi dalam negeri dan stabilisasi harga gabah/beras; (c) peningkatan peran Daerah Otonom dalam penyediaan pangan; dan (d) pengurangan konsumsi beras per kapita.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 1995. Climate Change & Food Security: Reducing Our Food's Impact on Climate Change. Consequences 1(2). Anonymous. Impacts of Climate Changes on Agriculture http://www.undp.org/climatechange/adapt/maps/food.html. 2009.
and Food Security. Retrieved 10 June
Boer, Z. 2008. Pengembangan Sistim Prediksi Perubahan Iklim untuk Ketahanan Pangan. Laporan Akhir Konsorsium Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim Sektor Pertanian. Balai Besar Litbang Sumber daya Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Dewan Ketahanan Pangan. 2010. Keynote Speech Kepala Badan Ketahanan Pangan pada Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXX, Mataram, 6 Oktober 2010 Hadi, P.U., D.K.S. Swastika, F.B.M. Dabukke, D. Hidayat, N.K. Agustin and M. Maulana. 2007. Analisis Penawaran dan Permintaan Pupuk di Indonesia 2007-2012. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Hadi, P.U., B. Rachman, S.H. Susilowati, H.J. Purba and T.B. Purwantini. 2009. Perumusan Model Subsidi Pertanian untuk Meningkatkan Produksi Pangan dan Pendapatan Petani. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Hadi, P.U. and I. Amien, 2010. Long-term Effects of El-Niño on Food Security: Indonesia’s Experience. Paper presented at Workshop on Food Security Assessment Under Climate Change”. Hanoi, Vietnam, 14-15 July 2010. Handoko I, Sugiarto Y, Syaukat Y. 2008. Keterkaitan Perubahan Iklim dan Produksi Pangan Strategis: Telaah Kebijakan Independen dalam Bidang Perdagangan dan Pembangunan. SEAMEO BIOTROP for Partnership. IPCC. 2007. Climate Change 2007. IPCC Fourth Assessment Report (AR4). United Nations Intergovernmental Panel on Climate Change. http://www.ipcc.ch/ publications_and_data/ ar4/syr/en/spms4.html. Retrieved 26 April 2010. Kementerian Pertanian. 2010. Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014. Jakarta. Kustiari, R., Prajogo U. Hadi, Sugiarto, Supadi, Y.F. Sinuraya, Sunarsih, T.B. Purwantini, D. Hidayat, M. Maulana, Waluyo, B. Winarso and Risma. 2008. Panel Petani Nasional (Patanas): Analisis Indikator Pembangunan Pertanian dan Perdesaan. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
56
Prospek, Masalah dan Strategi Pemenuhan Kebutuhan Pangan Pokok
Susilowati, S.H., Prajogo U. Hadi, Sugiarto, Supriyati, W.K. Sejati, A.K. Zakaria, Supadi, T.B. Purwantini, D. Hidayat and M. Maulana. 2009. Panel Petani Nasional (Patanas): Analisis Indikator Pembngunan Pertanian dan Perdesaan” . Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Tschirley, J. 2007. Climate Change Adaptation: Planning and Practices. Power Point Keynote Presentation of FAO Environment, Climate change, Bioenergy Division, 10-12 September 2007, Rome. World Bank. 2009. Fertilizer Subsidy in Indonesia. Policy Notes. Indonesia Agriculture Public Expenditure Review, September 2009.
57