1
STRATEGI PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN RUMAH- TANGGA PEDESAAN Diabstraksikan oleh: Prof Dr Ir Soemarno, MS, pslp-ppsub-2010
I. PENDAHULUAN Ketersediaan pangan secara makro tidak menjamin tersedianya pangan di tingkat mikro rumah-tangga penduduk. Produksi prtanian di lokasi tertentu pada musim panen mengakibatkan terjadinya konsentrasi ketersediaan pangan di daerah produksi selama musim panen. Pola konsumsi yang relatif sama di antara individu, antar-waktu dan antar-daerah, mengakibatkan adanya masa-masa defisit (paceklik) dan lokasi-lokasi defisit pangan. Dengan demikian, mekanisme pasar dan distribusi pangan antar lokasi dan antar waktu dengan mengandalkan stok pangan, dapat berpengaruh terhadap kesetimbangan antara ketersediaan dan konsumsi, serta berdampak pada harga yang terjadi di pasar. Faktor harga juga terkait dengan daya beli rumah tangga terhadap pangan. Meskipun bahan pangan tersedia di pasar namun jika harganya tinggi (dan daya beli rumah tangga rendah) akan mengakibatkan rumah tangga tidak dapat mengakses bahan pangan yang ada di pasar. Kondisi ini memicu timbulnya kerawanan pangan. Penduduk rawan pangan adalah mereka yang tingkat konsumsi energinya rata-rata 71-89 % dari kecukupan energi normal. Sementara penduduk dikatakan sangat rawan pangan jika hanya mengkonsumsi energi kurang dari 70% dari kecukupan energi normal. Jumlah anak balita dengan status gizi buruk dan gizi kurang di daerah rawan pangan biasanya juga cukup banyak. Kondisi ini menunjukkan bahwa ketahanan pangan di tingkat nasional atau wilayah tidak selalu berarti bahwa tingkat ketahanan pangan di rumah tangga dan individu juga terpenuhi. Masalah-masalah distribusi dan mekanisme pasar yang berpengaruh pada harga, daya beli rumahtangga yang berkaitan pendapatan rumah tangga, dan tingkat pengetahuan tentang pangan dan gizi sangat berpengaruh pada konsumsi dan kecukupan pangan rumah tangga. Konsumsi pangan merupakan banyaknya atau jumlah pangan, secara tunggal maupun diversifikasi, yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis, psikologis dan sosiologis. Tujuan fisiologis adalah upaya untuk memenuhi keinginan makan (rasa lapar) atau untuk memperoleh zat-zat gizi yang diperlukan tubuh. Tujuan psikologis adalah untuk memenuhi kepuasan emosional atau selera; sedangkan tujuan sosiologis adalah untuk memelihara hubungan manusia dalam keluarga dan masyarakat. Konsumsi pangan merupakan faktor utama untuk memenuhi kebutuhan gizi dan menyediakan energi bagi tubuh, proses metabolisme, memperbaiki jaringan tubuh serta untuk pertumbuhan. Konsumsi, jumlah dan jenis pangan dipengaruhi oleh faktor-faktor: jenis pangan, jumlah / produksi pangan dan ketersediaan pangan. Tingkat konsumsi lebih banyak ditentukan oleh kualitas dan kuantitas bahan pangan. Kualitas pangan mencerminkan zat gizi esensial yang terdapat dalam bahan pangan, sedangkan kuantitas pangan mencerminkan jumlah setiap gizi
2
dalam suatu bahan pangan. Untuk mencapai keadaan gizi yang baik, maka unsur kualitas dan kuantitas harus dapat terpenuhi. Salah satu strategi penyediaan pangan dalam rumahtangga adalah memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki rumahtangga, khususnya rumahtangga miskin adalah pemanfaatan waktu dari masing-masing anggota keluarga pada kegiatan publik dan domestik yang dapat menghasilkan income. Tingkat partisipasi kerja isteri untuk kegiatan publik cukup besar, dapat mencapai hampir setengah dari tingkat partisipasi suami. Hal ini mencerminkan bahwa isteri merupakan pencari nafkah tambahan untuk rumahtangga sangat menentukan dalam memenuhi kebutuhan kecukupan pangan rumahtangga. Selain isteri ikut berpartisipasi dalam kegiatan publik, anak laki-laki dan anak perempuan kadangkala juga ikut berpartisipasi dengan tingkat tingkat partisipasi yang sangat beragam.
kelembagaandas.wordpress.com/.../
Tujuan utama petani subsisten berusahatani adalah untuk memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga. Ketahanan pangan rumah tangga petani dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain faktor agroekosistem dan iklim, perubahan orientasi dan manajemen usahatani. Penyediaan pangan melalui lumbung pangan masyarakat tidak lagi dapat difungsikan secara optimal, akibatnya ketahanan pangan keluarga menjadi lemah. Lembaga lain yang berfungsi mendukung ketahanan pangan di lahan kering belum ada. Perubahan perilaku masyarakat petani disebabkan oleh semakin meningkatnya pertumbuhan penduduk dan meningkatnya kebutuhan pangan masyarakat. Hal tersebut mendorong petani melakukan perubahan orientasi
3
dan tujuan pada pengelolaan usahatani yang berorientasi komersial tanpa melalui perencanaan yang baik terhadap stabilitas dan keberlanjutan ketahanan pangan rumah tangga. Dalam posisi sulit petani cenderung mengatasi kekurangan pangan rumah tangga melalui sistem ijon.
Sistem Ijon, Pola Lama dalam Perdagangan Pertanian yang Masih Berkembang (Akhmad S., Monday, February 12, 2007 Pak Kartawiraji (60 th) duduk di gubug kecil di tengah ladang, ubi goreng dan teh "tubruk" kiriman istrinya tinggal sisa-sisa, sementara pandanganya menyapu lembah. Sore itu, di ladangnya berkumpul banyak orang. Beberapa orang terlihat sedang memetik buah Duku, sementara anak-anak kecil berkerumun di bawah pohon memandang ke atas, mengikuti gerak orang yang berada di atas ranting. Mereka tengah asyik menungu jatuhnya buah duku yang dipetik pemanen di atas, jika ada buah jatuh, mereka ramai berebut. Mau minta sedikit, buat cucu ujarnya. Ladang tersebut milik Pak Kartawiraji, juga pohon Duku diatasnya, tapi mengapa dia harus meminta duku? Ternyata, lima pohon Duku miliknya sudah dibeli juragan sejak masih berupa bunga, atau diijonkan. Maka dia dan keluarganya tak bisa puas menikmati hasil kebun sendiri, karena hasil panen sudah bukan menjadi haknya, karena itulah dia harus meminta kepada juragan yang nebas (membeli) Duku miliknya. Walaupun sudah dibeli, Pak Kartawiraji masih harus bertanggungjawab menjaga keutuhan dan memelihara tanaman sampai masa panen. Sistem ijon, merupakan bentuk perkreditan informal yang berkembang di wilayah pedesaan. Transaksi ijon tidak seragam dan bervariasi, tetapi secara umum ijon adalah bentuk kredit uang yang dibayar kembali dengan hasil panenan. Sistem ini pada hakekatnya merupakan penggadaian tanaman yang masih hijau, artinya belum siap waktunya untuk dipetik, dipanen atau dituai. Tingkat bunga kredit jika diperhitungkan pada waktu pengembalian akan sangat tinggi, antara 10 sampai dengan 40 persen. Umumnya pemberi kredit merangkap pedagang hasil panen yang menjadi pengembalian hutang. Praktek ijon yang dilakukan pedagang/ tengkulak hasil pertanian sudah mengakar dan menjadi tradisi perdagangan hasil pertanian di pedesaan. Studi yang dilakukan BABAD untuk menganalisa rantai pemasaran produk pertanian di Pasar Sokawera, Kecamatan Somagede, Kabupaten Banyumas, menemukan bahwa praktek ijon pada komoditas buah dan rempah-rempah pertanian lahan kering melibatkan banyak aktor dalam mata rantai yang berperan sebagai distributor pinjaman sekaligus pengepul hasil pertanian dengan sistem multilevel. Tengkulak biasanya terbagi menjadi beberapa level yang mencerminkan tingkat kekuatan modalnya. Tengkulak kabupaten memiliki bawahan beberapa tengkulak kecamatan. Tengkulak kecamatan memiliki beberapa bawahan tengkulak desa, begitu seterusnya sampai level dusun. Modal yang dipinjamkan sampai dengan petani merupakan milik pemodal besar di tingkat kabupaten, sementara tengkulak kecamatan, desa dan dusun hanya mendistribusikan. Siklus peredaran modal dimulai pada setiap awal musim produksi tiap komoditas, misalnya ketika pohon Petai mulai berbunga, maka saat itu pula modal pinjaman dari tengkulak besar digelontorkan. Jika dalam waktu berdekatan terdapat lebih dari satu jenis komoditas yang mulai berbunga, misalnya sedang musim Duku, musim Melinjo, dan musim Pala berbunga, maka
4
volume modal pinjaman yang beredar juga berlipat ganda. Di Kecamatan Somagede saja terdapat setidaknya 5 tengkulak besar yang menyalurkan pinjaman dan menampung pembelian komoditas Gula Kelapa, Kelapa,Pala, Cengkih, Melinjo, Petai, Duku dan Jengkol. Petani meminjam uang dan mengijonkan tanamannya untuk kebutuhan konsumtif dan jangka pendek. Budaya konsumerisme yang merebak sampai pelosok pedesaan juga menjadi faktor pendorong maraknya sistem ijon. Dalam beberapa kasus, petani meminjam karena ada kebutuhan mendesak, dan tengkulak yang meminjamkan uang anggap sebagai penolong. Di daerah pedesaan, hubungan petani dan tengkulak pengijon memang sangat pribadi dan patronase. Antara petani dan tengkulak merasa sebagai satu keluarga yang saling tolong menolong, dan saling menjaga kepercayaan. Hal ini yang jeli dimanfaatkan pemodal besar dari luar daerah sehingga eksploitasi yang dilakukan tersamar dengan hubungan kekeluargaan dan saling tolong menolong. Petani sendiri merasa dirugikan tetapi juga diuntungkan. Mereka merasa rugi karena seharusnya dia bisa mendapatkan hasil lebih jika tanamannya tidak diijonkan, namun mereka merasa untung juga dengan adanya pengijon, karena jika ada kebutuhan mendesak, mereka akan cepat mendapatkan uang. Prosedur pinjaman dengan sistem ijon memang mudah, luwes dan informal, tidak terikat waktu dan tempat. Hal ini yang menjadi daya tarik petani untuk memperoleh pinjaman dengan cepat dan praktis. Di Desa Kemawi contohnya, meskipun telah dibentuk Badan Kredit Desa (BKD) atas kerjasama Pemerintah Desa dan BRI Unit Somagede, ternyata kurang dimanfaatkan, alasannya terlalu rumit dan prosedural, walaupun mereka mengetahui hitung-hitungan ekonomisnya akan lebih menguntungkan. Jadi maraknya ijon bukan sekedar derasnya modal yang ingin mengeksploitasi petani, namun juga karena persoalan budaya dan sesat pikir masyarakat. Tengkulak sebagai kreditor dan pembeli hasil produk pertanian mendapatkan keuntungan berlipat. Keuntungan tersebut didapat dari bunga dari pinjaman yang diberikan, dan keuntungan dari selisih harga beli di petani dengan harga jual di pasar konsumen. Sudah menjadi rahasia umum bahwa tengkulak leluasa membeli hasil panen petani dengan rendah karena posisi tawar yang sangat kuat di hadapan petani. Walaupun harga akan bergerak sesuai tarik ulur permintaan dan penawaran barang, selisih keuntungan akan lebih banyak dinikmati tengkulak atau pengepul. Sebaliknya, petani akan dirugikan karena terbebani hutang dengan bunga pinjaman tinggi, serta dirugikan untuk mendapat kesempatan memperoleh harga yang layak bagi hasil panennya. Upaya yang dilakukan untuk membebaskan petani dari jeratan ijon bukannya tidak dilakukan oleh pemerintah. Di setiap desa telah dibentuk Badan Kredit Desa dan inisiasi untuk membentuk koperasi pertanian sudah sering dilakukan. Namun jerat dan jaring sistem ijon ternyata sulit dipupuskan. Untuk mengurangi penderitaan petani dari sistem ijon, harusnya petani sendiri yang bangkit kesadarannya dan mulai merupah perilakunya. Hidup berhemat, menabung, memanfatkan fasilitas kredit yang diberikan pemerintah atau lembaga keuangan mikro lain, dan membentuk wadah bersama petani lain untuk menyelesaikan persoalan-persoalan ekonomi produksi dan konsumsi. Sistem ijon merupakan permasalahan ekonomi pertanian yang sudah usang disebutkan di buku-buku pelajaran sejak sekolah dasar, dan ternyata hingga era kemajuan teknologi dan informasi, sistem ijon seakan menjadi bangunan tua, kokoh yang tak runtuhruntuh. Begitu lebarkah kesenjangan kesadaran dan pengetahuan masyarakat desa, begitu kuatkah mitos kekeluargaan dalam hubungan ekonomi antara petani dan
5
tengkulak. Dahulu, petani mengijon karena memang tidak ada alternatif dalam pemasaran produk dan mendapat pinjaman. Namun setelah konteks sosiologis yang berubah, kondisi dan struktur ekonomi yang berubah, mengapa ijon masih menjadi pilihan padahal banyak alternatif tersedia bagi petani untuk tidak mengijon. Pembangunan infrastruktur pedesaan yang memudahkan distribusi barang dan jasa, akses informasi dan akses pasar yang cukup tersedia ternyata tidak merubah pilihan petani untuk mengijon. Apakah tengkulak dan pemodal lokal juga berhasil berbenah diri merubah pendekatan memasarkan ijon di era sekarang, atau jeratan hutang petani kepada tengkulak tak pernah putus sejak nenek moyangnya?
Petani Jeruk di Purworejo Terjerat Sistem Ijon Para petani jeruk di Kabupaten Purworejo yang sedang musim panen, ternyata banyak yang terjerat pejualan sistem ijon. Bahkan di antara petani ada yang menjual sistim kontrak tanaman jeruknya untuk jangka tahunan. Banyak pula petani jeruk yang justru menjadi buruh petik di kebunnya sendiri, ujar salah seorang petani jeruk warga Desa Jerakah, Kecamatan Bayan, Purworejo. Penjualan sistim ijon ini, berlaku di sebagian besar petani jeruk di wilayah ini. Banyak petani membutuhkan uang mendesak untuk biaya sekolah anak-anaknya. Sedang saat akan membayar, buah jeruk belum bisa dipanen, terpaksa dijual secara ijon. Dengan penjualan ijon ini, jika hasil panennya bagus seperti sekarang ini, sebenarnya petani mengalami kerugian cukup besar. Sebab dari hasil yang dipetik, keuntungan pedagang bisa dua kali lipat. Selain itu, ada pula petani yang menjual buah jeruknya dengan sistim kontrak. Tanaman jeruk yang hampir berbuah dikontrak untuk jangka waktu beberapa tahun. Biasanya sampai tiga tahun, dengan perhitungan hasil panen per tahun. Dalam sistim ini petani menjadi buruh di kebunnya sendiri, karena setelah dibeli, pemeliharaannya juga dilakukan oleh petani, dengan diberi ongkos pemeliharaan.
Sumber: http://www.krjogja.com/news/detail/44710/
6
II. KETAHANAN DAN KECUKUPAN PANGAN Definisi Ketahanan-Pangan menurut Undang-Undang Pangan No.7 Tahun 1996 adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan secara cukup, baik dari jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau . Konsep ketahanan pangan tersebut paling tidak melingkupi lima unsur pokok, yaitu: (1) berorientasi pada kebutuhan rumah tangga dan individu; (2) Setiap saat bahan pangan tersedia dan dapat diakses; (3) mengutamakan aksesibilitas pangan bagi rumah tangga dan individu; baik secara fisik, maupun sosial-ekonomi; (4) bertujuan pada pemenuhan kebutuhan gizi secara aman; (5) sasaran akhir adalah hidup sehat dan produktif. Indikator terpenuhinya kebutuhan pangan rumah tangga a.l. (1) tersedianya pangan secara cukup, kuantitas dan kualitasnya; (2) aman (dan halal); (3) merata (menurut ruang dan waktu); dan (4) terjangkau oleh individu dan/atau rumaghtangga. Upaya mewujudkan ketahanan pangan minimal harus melingkupi empat aspek berikut: a. Penyediaan pangan dalam jumlah yang cukup, ketersediaan pangan dalam arti luas, meliputi bahan pangan nabati dan hewani / ikani untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral beserta derivatifnya, yang bermanfaat bagi kesehatan manusia. b. Pemenuhan pangan dengan kondisi yang aman, bebas dari cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia, serta baik dan halal. c. Penyediaan pangan dengan kondisi yang merata, dalam arti pangan yang harus tersedia menurut dimensi waktu dan ruang. d. Penyediaan pangan yang dapat dijangkau, bahan pangan mudah diperoleh rumah tangga dan / atau dengan harga yang terjangkau. Konsep ketahanan-pangan lazimnya melingkupi lima konsep utama, yaitu: (1). Ketersediaan Pangan (food availability) : yaitu ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup aman dan bergizi untuk semua orang dalam suatu negara baik yang berasal dari produksi sendiri, impor, cadangan pangan maupun bantuan pangan. Ketersediaan pangan ini harus mampu mencukupi pangan yang didefinisikan sebagai jumlah kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif dan sehat. (2). Akses pangan (food access) : yaitu kemampuan semua rumah tangga dan individu dengan sumberdaya yang dimilikinya untuk memperoleh pangan yang cukup untuk kebutuhan gizinya yang dapat diperoleh dari produksi pangannya sendiri, pembelian
7
ataupun melalui bantuan pangan. Akses rumah tangga dan individu terdiri dari akses ekonomi, fisik dan sosial. Akses ekonomi tergantung pada pendapatan, kesempatan kerja dan harga. Akses fisik menyangkut tingkat isolasi daerah (sarana dan prasarana distribusi), sedangkan akses sosial menyangkut tentang preferensi pangan. (3). Penyerapan pangan (food utilization) yaitu penggunaan pangan untuk kebutuhan hidup sehat yang meliputi kebutuhan energi dan gizi, air dan kesehatan lingkungan. Efektifitas dari penyerapan pangan tergantung pada pengetahuan rumahtangga/individu, sanitasi dan ketersediaan air, fasilitas dan layanan kesehatan, serta penyuluhan gisi dan pemeliharaan balita. (4). Stabilitas pangan (food stability) merupakan dimensi waktu dari ketahanan pangan yang terbagi dalam kerawanan pangan kronis (chronic food insecurity) dan kerawanan pangan sementara (transitory food insecurity). Kerawanan pangan kronis adalah ketidak mampuan untuk memperoleh kebutuhan pangan setiap saat, sedangkan kerawanan pangan sementara adalah kerawanan pangan yang terjadi secara sementara yang diakibatkan karena masalah kekeringan banjir, bencana, maupun konflik sosial. (5). Status gizi (Nutritional status ) adalah outcome ketahanan pangan yang merupakan cerminan dari kualitas hidup seseorang. Umumnya satus gizi ini diukur dengan angka harapan hidup, tingkat gizi balita dan kematian bayi. Kekurangan Pangan Bebetrapa penyebab terjadinya kekurangan pangan adalah: 1. Gagal panen yang terjadi karena adanya gangguan dalam berusahatani seperti banjir yang terjadi di beberapa daerah seperti sekarang ini, serangan hama dan penyakit tanaman dan sebagainya. Semua itu mengakibatkan produksi dan ketersediaan pangan yang dihasilkan dari usahatani tidak mampu mencukupi kebutuhan masyarakat. Akibatnya, sebagian masyarakat kekurangan pangan karena tidak dapat mencukupi kebutuhannya. Untuk mencukupi kekurangan pangan di dalam negeri, pemerintah bisa saja melakukan impor, tetapi selain hanya akan menguras devisa negara, juga sangat rentan jika menggantungkan pangan dari luar negeri. Jadi idealnya ketersediaan tersebut bersumber dari dalam negeri. 2. Masih tingginya angka pengangguran di Indonesia. Menurut ILO (International Labour Organization) atau Organisasi Buruh Internasional, jumlah penganggur di Indonesia tahun 2002 mencapai 42 juta orang. Jumlah tersebut pada tahun 2003 akan meningkat dua juta orang akibat adanya perusahaan yang melakukan pemutusan hubungan kerja, mengalami kebangkrutan dan belum adanya peluang kerja baru dalam jumlah banyak. Tingginya angka pengangguran ini berkorelasi langsung terhadap menurunnya tingkat pendapatan masyarakat, yang berarti daya beli terhadap pangan menurun dan akhirnya akses terhadap pangan pun semakin sulit diwujudkan.
8
3. Kendala dalam distribusi pangan, yaitu masih terbatasnya sarana dan prasarana baik berupa alat transportasi dan perbaikan/ pembangunan jalan yang bisa mengangkut bahan pangan dari satu tempat ke tempat lainnya. Akibat kurang mendukungnya sarana dan prasarana tersebut, sering terjadi pasokan pangan di suatu daerah terlambat datang, sehingga masyarakatnya mengalami kekurangan pangan. Kendala lain dalam distribusi pangan adalah, akibat terjadinya perubahan musim seperti musim kemarau panjang atau banjir, sehingga tidak ada alat transportasi yang dapat membawa bahan pangan ke suatu daerah. Masalah lain adalah, pungutan liar yang dilakukan oknum tertentu atau preman di terminal/ pelabuhan maupun di jalan terhadap pengemudi yang membawa bahan pangan, sehingga harga jual bahan pangan di tingkat pedagang eceran sudah sangat mahal. Semua ini yang menanggung risiko "biaya kemahalan" adalah konsumen yang terpaksa membeli walaupun dengan harga tinggi. 4. Naiknya harga pangan. Kecenderungan berkurangnya stok pangan yang disebabkan gagal panen, serangan hama tanaman dan lainnya akan berpengaruh langsung terhadap ketersediaan pangan di pasaran, sehingga antara ketersediaan dan kebutuhan pangan tidak seimbang. Kalau sudah demikian, harga pangan diperkirakan akan naik. Naiknya harga pangan ini menyebabkan, sebagian kelompok masyarakat, khususnya kalangan bawah akan semakin sulit memenuhi kebutuhan pangannya. Hal ini lebih dirasakan lagi oleh mereka yang menganggur karena tidak ada pendapatan untuk membeli pangan. Cara Mengatasi Kurang Pangan 1. Untuk mengatasi turunnya produksi pangan di suatu daerah akibat gagal panen karena kebanjiran, serangan hama penyakit tanaman dan lainnya, pemerintah daerah harus berupaya membantu berbagai kesulitan petani. Misalnya memperbaiki irigasi, bantuan teknologi usahatani, penyediaan benih bermutu, penyediaan alat dan mesin pertanian, bantuan permodalan dan yang tidak kalah penting adalah bantuan pangan. 2. Mengingat masih tingginya angka pengangguran, untuk mengatasi dan membantu masyarakat yang belum memperoleh pekerjaan, pemerintah harus merancang program padat karya, sehingga bisa menyerap tenaga kerja yang banyak. Pada tahun 2003 pemerintah mengalokasikan dana untuk program beras bagi keluarga miskin (Raskin) sebesar 4,8 triliun rupiah, termasuk dari kompensasi BBM sebesar Rp.500 miliar. Setiap keluarga miskin mempunyai jatah membeli beras murah sebanyak 20 kg/ bulan untuk setiap keluarga, dengan harga Rp.1.000/kg. 3. Untuk mengatasi masalah gangguan dalam distribusi pangan, pemerintah daerah harus mampu memperbaiki dan menyediakan sarana dan prasarana jalan serta alat transportasi yang memadai. Hal yang tidak kalah penting adalah menghilangkan terjadinya ekonomi biaya tinggi berupa pungutan yang tidak logis dengan alasan untuk pemasukan kas daerah dan sebagainya. Untuk itu berbagai pungutan yang memberatkan moda transportasi bahan pangan harus dikurangi, sedangkan untuk mengatasi terjadinya pungutan liar di jalan perlu adanya pengamanan angkutan bahan pangan secara memadai. 4. Sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG) yang ada mulai dari tingkat provinsi sampai kecamatan harus dioptimalkan peranannya, terutama dalam mengantisipasi secara dini gejala terjadinya rawan pangan di
9
suatu wilayah. Untuk itu pemerintah daerah mulai dari gubernur sampai camat harus memerintahkan kelompok kerja (Pokja) SKPG yang telah dibentuk untuk membuat peta potensi pangan dan daerah yang mempunyai potensi terjadi rawan pangan. Dengan adanya peta tersebut, maka pemantauan dini terhadap ketersediaan pangan dapat dilakukan dengan baik, sehingga jika ada gejala kekurangan pangan pada sekelompok masyarakat dapat diatasi secara dini, sehingga tidak ada warga yang kekurangan atau rawan pangan dan kelaparan.
Mengatasi rawan pangan Ada lima cara untuk mengatasi kerawanan pangan : 1. Penganekaragaman pangan 2. Perlindungan lahan-lahan produktif 3. Peningkatan Konsumsi pangan lokal 4. Peningkatan produksi pangan 5. Pemanfaatan lahan non produktif untuk tanaman pangan 1. Penganekaragaman Pangan Penganeka-ragaman dilakukan agar masyarakat tidak hanya tergantung pada beras sebagai pangan pokok tetapi juga mulai mengkonsumsi pangan non beras misdalnya dari umbi-umbian, kacang-kacangan, serealia non beras, sagu, dan sebgainya. Apabila terjadi kekurangan beras, masyarakat tidak perlu kuatir lagi karena sudah tersedia bahan pangan lain yang tidak kalah dengan beras. 2. Perlindungan lahan-lahan produktif Pemerintah harus secara tegas melindungi lahan-lahan subur untuk ditanami tanaman2 penghasil bahan pangan. Jangan ada lagi penggusuran lahan produktif hanya untuk kepentingan komersial. 3. Peningkatan konsumsi pangan local Masyarakat harus mencioba mencintai bahan pangan lokal sendiri dan mengurangi bahan pangan impor. Untuk itu perlu digalakkan konsumsi pangan local dan mengurangi impor pangan. 4. Peningkatan produksi pangan Pemerintah melalui perguruan tinggi dan lembaga penelitian harus mampu memperbaiki produksi berbagai bahan pangan. Tidak hanya beras tetapi juga bahan pangan lain agar mencukupi untuk konsumsi seluruh masyarakat. 5. Pemanfaatan lahan non produktif untuk tanaman pangan Lahan-lahan non produktif yang selama ini tidak ditanami karena dianggap kurang subur harus diberdayakan agar mampu dimanfaatkan untuk tanaman pangan. Lahan rawa-rawa misalnya harus dicoba untuk ditanami padi yang cocok untuk daerah tersebut. Lahan kapur juga harus dicoba dengan tanaman pangan lain yang sekiranya mampu tumbuh di tempat tersebut.
Di Indonesia, kebijakan ketahanan pangan meliputi empat aspek, yaitu: (i) ketersediaan pangan dalam jumlah dan jenis yang cukup bagi seluruh penduduk, (ii) distribusi pangan yang lancar dan merata (menurut dimensi ruang dan waktu), (iii) konsumsi pangan setiap individu yang
10
memenuhi kecukupan gizi dan kesehatan, dan (iv) status gizi dan kesehatan masyarakat.
2.1. Food Security dan Food Adequacy Ketahanan pangan merupakan suatu wujud dimana masyarakat mempunyai pangan yang cukup di tingat wilayah dan juga di masing-masing rumah tangga, serta mampu mengakses pangan dengan cukup untuk semua anggota kelaurganya, sehingga mereka dapat hidup sehat dan bekerja secara produktif. Ada dua prinsip yang terkandung dalam ketahanan pangan, yaitu tersedianya pangan yang cukup dan kemampuan rumah tangga untuk mengakses pangan. Rumah tangga dalam konteks ini adalah semua rumah tangga masyarakat baik rumah tangga petani dan maupun rumahtangga non-petani. Ketahanan pangan mensyaratkan bahwa setiap rumah tangga dapat mengkonsumsi pangan secara cukup. Standar kecukupan dalam mengkonsumsi sekitar 2000 kalori dan ketersediaan 2.500 kalori. Standar kecukupan pangan dinyatakan dalam satuan kalori dan protein (akan terus direvisi standarnya); sedangkan pola pangan harapan merupakan kombinasi konsumsi (kalau dinilai dengan skor 100 berarti sudah cukup beragam dalam mengkonsumsi) bahan-bahan sumber karbohidrat, protein, vitamin, mineral, dst. Prinsip utama dalam membangun ketahanan pangan adalah bertumpu pada kemampuan sumberdaya, budaya dan kelembagaan lokal. Pangan sedapat mungkin dihasilkan oleh produksi sumberdaya sendiri. Pembangunan pertanian diupayakan sedemikian rupa sehingga memenuhi persyaratan keberkelanjutannya, dengan demikian kapabilitas sumberdaya alam harus dijaga kelestariannya. Dalam hubungan ini upaya pemberdayaan masyarakat menjadi sangat penting. Prinsip utama dalam pemberdayaan ini adalah memfasilitasi masyarakat untuk membangun pertanian secara berkelanjutan dan memberikan pendapatan yang layak, memberikan perlindungan dari persaingan yang tidak adil dengan barang-barang dari pasar bebas. Food adequacy can be defined as physical and economic access to sufficient, safe and nutritious foods which meet the individual s dietary needs and food preferences for an active and healthy life. There are three key dimensions to household food adequacy (food security): food availability, food access, and utilization of food by the body. Panen Raya Jagung Petani di Kabupaten Nganjuk saat ini melakukan panen raya jagung untuk kemudian beralih ke tanaman padi tadah hujan, sementara harga jagung masih stabil di kisaran Rp1.900 per kg. (*ham/arief priyono/an)
11
Buruh tani memanen jagung di Barong, Nganjuk, Jawa Timur, Minggu (25/10). Sumber: http://matanews.com/2009/10/25/panen-raya-3/
2.2. Kecukupan Pangan, Sandang dan Energi Rumah-Tangga Petani Empat kondisi utama dalam konteks pemenuhan ketahanan pangan adalah (1) kecukupan pangan; (2) stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun; (3) aksesibilitas/ keterjangkauan terhadap pangan serta ; dan (4) kualitas/keamanan pangan (baik dan halal). Keempat komponen ini dapat digunakan untuk mengukur ketahanan dan kecukupan pangan di tingkat rumah tangga. Keempat indikator ini merupakan indikator utama untuk mendapatkan indeks ketahanan pangan. Ukuran ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dapat dihitung dengan cara menggabungkan keempat indikator tersebut, untuk mendapatkan satu indeks ketahanan pangan. 2.2.1. Ketersediaan Pangan Ketersediaan pangan dalam rumah tangga yang dipakai dalam pengukuran mengacu pada pangan yang cukup dan tersedia dalam jumlah yang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga. Penentuan jangka waktu ketersediaan pangan di pedesaan biasanya mempertimbangkan jarak waktu antara musim tanam dengan musim tanam berikutnya. Perbedaan jenis makanan pokok yang dikomsumsi masyarakat berimplikasi pada penggunaan ukuran yang berbeda, misalnya: (a) Di daerah yang masyarakatnya mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok, dapat digunakan nilai 240 hari sebagai batas untuk menentukan apakah suatu rumah tangga memiliki persediaan makanan pokok cukup/tidak cukup. Penetapan niulai ini didasarkan pada panen padi yang dapat dilakukan selama tiga kali dalam dua tahun.
12
(b) Di daerah yang masyarakatnya mengkonsumsi jagung sebagai makanan pokok, dapat digunakan batas waktu selama 365 hari sebagai ukuran untuk menentukan apakan rumah tangga mempunyai ketersediaan pangan cukup/tidak cukup. Hal ini didasarkan pada masa panen jagung satu kali dalam setahun.
Panen Padi Seorang petani memisahkan gabah dari kotoran di persawahan Desa Kajenjeng, Makassar, Minggu (19/ 7). Produksi padi Sulawesi Selatan berdasarkan Angka Ramalan II (Aram II) tahun 2009 diperkirakan meningkat 1,37 persen dibanding Angka Tetap (Atap) 2008 sebesar 4,08 juta ton gabah kering giling.(*z/ Sahrul Manda Tikupadang/ant)
Sumber: http://beta.matanews.com/2009/07/19/panen-padi/
Ukuran ketersediaan pangan yang mengacu pada jangka waktu antara satu musim panen dengan musim panen berikutnya hanya berlaku pada rumah tangga dengan sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian pokok (on farm dan off farm). Dengan kata lain, ukuran ketersediaan makanan pokok tersebut memiliki kelemahan jika diterapkan pada rumah tangga yang memiliki sumber penghasilan dari sektor non-pertanian (non farm). Ketersediaan pangan dapat diukur dengan menggunakan setara beras sebagai makanan pokok: Jika persediaan pangan rumah tangga mencukupi selama 240 hari, berarti pesediaan pangan rumah tangga cukup Jika persediaan pangan rumah tangga hanya mencukupi selama 1 239 hari, berarti pesediaan pangan rumah tangga kurang cukup
13
Jika rumah tangga tidak punya persediaan pangan, berarti pesediaan pangan rumah tangga tidak cukup.
Lumbung Padi, Tradisi Ketahanan Pangan yang Hilang (Posted on November 23, 2007, M Imam Subkhi) http://cangkeman.wordpress.com/2007/11/23/lumbung-padi-tradisi-ketahananpangan-yang-hilang/ Tercatat dalam sejarah, sebagai negara agraris hasil pertanian adalah komoditas yang dibanggakan. Pulau Jawa adalah penghasil padi yang sangat potensial karena sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani yang hidup di pedesaan. Tetapi kenyataannya dalam hampir dasa warsa terakhir, impor beras selalu mengalami peningkatan yang signifikan. Hal ini jelas sangat kontras dengan predikat sebagai negara agraris. Peningkatan ini disebabkan oleh beberapa hal yaitu keterlambatan panen sebagai akibat dari panjangnya musim kemarau dan bencana banjir, sehingga sering terjadi ancaman kekurangan pangan khususnya beras. Pada masa lampau dikenal adanya lumbung padi di desa-desa untuk sistem pertahanan pangan lingkungan. Petani tidak menjual secara keseluruhan hasil panen padinya kepada pembeli atau tengkulak. Petani seharusnya bisa mengkalkulasi kebutuhan pangannya selama satu musim tanam dengan hasil tanamnya. Berapa dia bisa sisakan untuk cadangan kebutuhan pangan baik untuk keluarga maupun lingkungannya. Sehingga tidak seperti sekarang, masyarakat pedesaan yang mayoritas bekerja sebagai petani malah membeli beras karena kekurangan beras. Berkaca dari pengalaman, dengan telah kita tinggalkannya tradisi lumbung padi atau lumbung tani ternyata kita sering diguncang masalah kelangkaan pangan. Bahkan sekarang ini, petani yang menghasilkan padi malah membeli beras. Jelas ini sebuah keadaan yang aneh namun benar-benar terjadi. Kita terbuai dengan telah adanya pasar tanpa mengkalkulasi fluktuasi pasar. Padahal dalam hukum pasar, jika permintaan naik maka penawaran akan cenderung turun. Ini mengakibatkan melonjaknya harga komoditas yang sedang dicari. Begitu juga dengan harga beras dimana banyak permintaan, maka harga yang ditawarkan akan semakin melonjak. Dengan adanya lumbung padi di desa-desa, paling tidak akan menimbulkan efek positif yang dapat dirasakan oleh petani. 1. Lumbung padi sebagai media food scurity yang akan menjamin pemenuhan kebutuhan pangan di desa. Sehingga masyarakat petani tidak perlu membeli beras yang rata-rata adalah beras impor. Selain itu, jatah raskin juga tidak perlu sampai ke desa-desa karena stok beras di desa sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. 2. Dengan telah terpenuhinya kebutuhan pangan di desa, masyarakat desa akan dapat memikirkan hal yang lain untuk memenuhi kebutuhan lainnya. Misalnya menggalakkkan peternakan sebagai penopang penguatan perekonomian desa. Atau melakukan kegiatan perekonomian lain sebagai sampingan selain kegiatan pertanian. 3. Dengan adanya lumbung padi, bisa digunakan sebagai sarana untuk melawan tengkulak yang ternyata malah seringkali merugikan masyarakat. Setiap musim panen walaupun pemerintah telah menetapkan harga padi, namun kenyataannya petani tetap tidak berdaya menghadapi para tengkulak. Petani harus tetap mengikuti harga yang ditetapkan para tengkulak yang rata-rata lebih trendah dari harga yang telah ditetapkan pemerintah. Lalu ketika hasil panen padi masyarakat petani desa telah jatuh ketangan tengkulak, mengakibatkan menipisnya stok pangan khususnya beras di desa.
14
Sehingga masyarakat desa harus menggantungkan kebutuhan pangannya pada kucuran jatah raskin yang kualitasnya perlu dipertanyakan. Jika keberadaan lumbung padi bisa direalisasikan, setelah kebutuhan pangan (beras) di desa telah dipenuhi, maka petani tinggal menghitung jumlah hasil panen dikurangi kebutuhan pangan selama satu musim tanam atau satu tahun. Lalu hasil panen setelah dikurangi kebutuhan pangan tersebut misalnya lebih, maka kelebihannya tersebut bisa dijual dan didistribusikan untuk kebutuhan masyarakat perkotaan yang rata-rata bekerja di perdagangan dan industri. Sehingga jika terjadi kelangkaan pangan atau melonjaknya harga beras dari jangkauan daya beli masyarakat, imbas negatifnya tidak perlu dirasakan oleh masyarakat desa dan kota. Sebab wilayah pedesaan tidak perlu lagi membeli beras. Sehingga jatah raskin hanya perlu didistribusikan kepada masyarakat perkotaan. Jika di pedesaaan dapat digalakkan lumbung padi sebagai konsep ketahanan pangan, maka paling tidak akan semakin meningkatkan kualitas sumberdaya manusianya. Di sisi lain, keuntungan yang bisa diperoleh pemerintah adalah dapat menekan impor beras.
Menanam Padi
Cara menanam padi (Sumber: http://www.antarasumbar.com/id/index.php?sumbar=galeri&id=225
Memupuk tanaman padi muda
15
Mujiyatno memupuk sawahnya dengan urea bersubsidi. (Foto : Jarot Sarwosambodo) Sumber: http://www.krjogja.com/news/detail/68454/Stok.Pupuk.Purworejo.Tersisa.1.550.Ton. html
Ketersediaan pangan dapat diukur dengan menggunakan setara jagung sebagai makanan pokok: Jika persediaan pangan (jagung) rumah tangga dapat meliputi kurun waktu 365 hari, berarti pesediaan pangan rumah tangga cukup Jika persediaan pangan (jagung) rumah tangga hanya mencapuk waktu antara 1-364 hari, berarti pesediaan pangan rumah tangga kurang cukup Jika rumah tangga tidak punya persediaan pangan (jagung), berarti pesediaan pangan rumah tangga tidak cukup.
2.2.2. Stabilitas Ketersediaan Pangan Stabilitas ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga diukur berdasarkan kecukupan ketersediaan pangan dan frekuensi makan anggota rumah tangga dalam waktu satu hari. Satu rumah tangga dikatakan memiliki ketersediaan pangan yang stabil jika mempunyai persediaan pangan dalam waktu lebih dari masa cutting point (misalnya 240 hari atau 365 hari) dan anggota rumah tangga dapat makan tiga kali sehari sesuai dengan pola kebiasaan makan setempat.
16
Dengan asumsi bahwa di daerah tertentu masyarakat mempunyai kebiasaan makan 3 (tiga) kali sehari, maka frekuensi makan dalam sehari dapat menjadi indikator keberlanjutan ketersediaan pangan dalam rumah tangga. Salah satu cara untuk mempertahankan ketersediaan pangan dalam jangka waktu tertentu adalah dengan mengurangi frekuensi makan atau diversifikasi bahan makanan pokok (misalnya beras dengan jagung atau ubikayu). Mengurangi frekuensi makan dalam sehari merupakan salah satu strategi rumah tangga untuk memperpanjang ketahanan pangannya. Penggunaan frekuensi makan sebanyak tiga kali dalam sehari sebagai indikator kecukupan makan didasarkan pada kondisi nyata di pedesaan, dimana rumah tangga yang memiliki persediaan makanan pokok cukup pada umumnya makan sebanyak tiga kali dalam sehari. Jika mayoritas rumah tangga di satu desa, hanya makan dua kali setiap hari, kondisi ini semata-mata merupakan suatu strategi rumah tangga agar persediaan makanan pokok mereka tidak segera habis, karena dengan frekuensi makan tiga kali sehari, mungkin rumah tangga tidak dapat bertahan untuk tetap memiliki persediaan makanan pokok hingga musim panen berikutnya. Kombinasi antara ketersediaan makanan pokok dengan frekuensi makan (3 kali per hari disebut cukup makan, 2 kali disebut kurang makan, dan 1 kali disebut sangat kurang makan) sebagai indikator kecukupan pangan, menghasilkan indikator stabilitas ketersediaan pangan seperti berikut: Kecukupan ketersediaan pangan > 240 hari > 360 hari 1 -239 hari
Frekuensi makan anggota rumah tangga > 3 kali 2 kali 1 kali Stabil Kurang stabil Tidak stabil
Kurang stabil
Tidak stabil
Tidak stabil
1 364 hari Tidak ada persediaan Tidak stabil Tidak stabil Tidak stabil Keterangan: Indikator stabilitas ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga (dengan contoh Kabupaten di Provinsi Lampung dan NTT) (Tim Peneliti LIPI)
2.2.3. Aksesibilitas Pangan Indikator aksesibilitas (keterjangkauan) dalam pengukuran kecukupan pangan di tingkat rumah tangga dilihat dari kemudahan rumahtangga memperoleh pangan, yang diukur dari indikator pemilikan lahan pertanian, dan cara rumah tangga untuk memperoleh pangan. Akses yang diukur berdasarkan pemilikan lahan dapat dikelompokkan dalam 2 (dua) kategori: Akses langsung (direct access), jika rumah tangga memiliki lahan usaha pertanian Akses tidak langsung (indirect access) jika rumah tangga tidak memiliki lahan usaha pertanian.
17
Akses pangan ternyata dipengaruhi oleh tiga aspek, yakni aspek fisik (ketersediaan pangan dan infrastruktur), aspek ekonomi (daya beli masyarakat terhadap pangan), serta aspek sosial (tingkat pendidikan). Selain itu permasalahan-permasalahan distribusi pangan belum merata, pangan belum terjangkau oleh konsumen sebagai akibat infrastruktur dan prasarana distribusi yang belaum memadai. Serta pengelolaan ketersedian stok bahan pangan belum optimal, bulog hanya mampu menyerap hasil panen gabah di tingkat petani 8% dengan harga di bawah hpp (harga pokok pemerintah). Permasalahan rendahnya akses pangan yang dapat menimbulkan rawan pangan adalah kondisi fisik yang terkait dengan infrastruktur, sarana dan prasarana transportasi, yang meliputi ketersediaan pangan (konsumsi normatif terhadap ketersediaan pangan pokok padi, jagung, ubi kayu dan ubi jalar) dan infrastruktur desa yang tidak bisa dilalui kendaraan roda 4 dan tidak memiliki pasar atau jarak ke pasar > 3 km. Kondisi ekonomi terkait dengan daya beli, pendapatan dan mata pencaharian penduduk yang berpengaruh terhadap akses pangan yang meliputi penduduk hidup di bawah garis kemiskinan, penduduk yang bekerja < 36 jam per minggu dan PDRB ekonomi yang masih rendah. Kondisi sosial terkait dengan penduduk yang tidak tamat pendidikan dasar (SD), dan Kondisi budaya terkait dengan kebiasaan makan makanan lokal. Mengingat pentingnya permasalahan akses pangan masyarakat perlu dilakukan upaya pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan fasilitasi kelembagaan akses pangan, dengan harapan kelembagaan ini dapat mendorong partisipasi aktif masyarakat untuk pemenuhan kecukupan pangan masyarakat sekaligus dengan dukungan dari berbagai pihak, serta ke depan dapat berkembang ketersediaan pangan setempat secara optimal sesuai potensi sumberdaya alam yang ada. Melalui fasilitasi kelembagaan akses pangan diharapkan dapat memecahkan persoalan yang berhubungan dengan kondisi baik fisik, ekonomi, sosial dan budaya dengan mengalokasikan dana bantuan sosial (bansos) yang digunakan untuk meningkatkan aksesibilitas masyarakat melalui Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan). Fasilitasi kelembagaan akses pangan diimplementasikan dengan harapan dapat meningkatkan akses pangan masyarakat, untuk mendukung upaya pengurangan angka kemiskinan di daerah rawan pangan. Dengan dukungan ini diharapkan anggota Gapoktan dapat meningkatkan pendapatannya sekaligus dapat memperkuat akses pangan disaat paceklik dan anggota dari keluarga miskin setempat..
Hasil pengukuran indikator aksesibilitas ini digabungkan dengan indikator stabilitas ketersedian pangan, untuk menduga indikator kontinyuitas ketersediaan pangan. Indikator kontinyuitas ketersediaan pangan ini menunjukkan suatu rumah tangga apakah: Mempunyai persediaan pangan kontinyu
18
Mempunyai persediaan pangan kurang kontinyu Mempunyai persediaan pangan tidak kontinyu.
Indikator kontinyuitas ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga dapat disajikan berikut ini.
Akses Stabilitas ketersediaan pangan rumah tangga terhadap Stabil Kurang stabil Tidak stabil pangan Akses Kontinyu Kurang kontinyu Tidakkontinyu langsung Akses tidak Kurang kontinyu Tidak kontinyu Tidak kontinyu langsung Sumber: Tim penelitian Ketahanan pangan dan kemiskinan dalam konteks demografi Puslit Kependudukan LIPI.
2.2.4. Kualitas (Keamanan) pangan Kualitas jenis pangan yang dikonsumsi dapat diukur dengan nilai gizinya. Ukuran kualitas pangan seperti ini sangat sulit dilakukan karena melibatkan berbagai macam jenis makanan dengan kandungan gizi yang berbeda-beda. Sehingga ukuran keamanan pangan hanya dapat dilihat dari ada atau tidak nya bahan makanan yang mengandung protein hewani dan/atau nabati yang dikonsumsi dalam rumah tangga. Oleh karena itu, ukuran kualitas pangan dapat didekati dari data pengeluaran untuk konsumsi lauk-pauk yang mengandung protein hewani dan/atau nabati. Berdasarkan kriteria ini rumah tangga dapat dikelompokkan menjadi: 1. Rumah tangga dengan kualitas pangan baik adalah rumah tangga yang memiliki pengeluaran untuk lauk-pauk berupa protein hewani dan nabati atau protein hewani saja. 2. Rumah tangga dengan kualitas pangan kurang baik adalah rumah tangga yang memiliki pengeluaran untuk lauk-pauk berupa protein nabati saja. 3. Rumah tangga dengan kualitas pangan tidak baik adalah rumah tangga yang tidak memiliki pengeluaran untuk lauk-pauk berupa protein baik hewani maupun nabati.
Pola Pangan Harapan Kabupaten Kulon Progo Tahun 2010 Pangan merupakan kebutuhan manusia sehingga ketersediaan pangan bagi masyarakat harus selalu terjamin. Dalam perkembangan masyarakat untuk memenuhi kualitas hidup yang maju, mandiri, dalam suasana tenteram serta sejahtera lahir dan batin semakin dituntut penyediaan pangan yang cukup, berkualitas dan merata. Kecukupan pangan bagi suatu bangsa merupakan hal sangat srategis. Secara konseptual
19
penganekaragaman pangan dapat dilihat dari komponen-komponen system pangan, yaitu penganekaragaman produksi, distribusi, dan penyediaan pangan serta konsumsi pangan. Penyediaan konsumsi pangan penduduk diperlukan suatu parameter, salah satu parameter yang dapat digunakan adalah untuk menilai tingkat keanekaragaman pangan adalah Pla Pangan Harapan (PPH). Dalam hal konsumsi pangan, permasalahan yang dihadapi tidak hanya mencakup keseimbangan komposisi, namun juga masih belum terpenuhinya kecukupan gizi. Selama ini pangan yang tersedia baru mencukupi dari segi jumlah dan belum memenuhi keseimbangan yang sesuai dengan norma gizi. Seiring dengan semangat otonomi daerah, maka kebijakan di bidang ketahanan pangan melalui pendekatan Pola Pangan Harapan dalam rangka perencanaan kebutuhan konsumsi dan penyediaan pangan yang berbasis sumber daya pangan local. Pola Konsumsi Pangan dan Tingkat Kecukupan Gizi Penduduk Konsumsi energi penduduk di Kabupaten Kulon Progo Tahun 2010 sebesar 1.992,2 KKal/Kapita/Hari atau 99,6% masih berada di bawah angka standart Kecukupan Energi sebesar 2.000 KKal/Kapita/Hari. Namun demikian untuk wilayah pertanian tingkat Konsumsi Energi mencapai 2.119,5 KKal/Kapita/Hari, sedangkan wilayah perikanan dan wilayah lainnya masingmasing 1.688,9 KKal/Kapita/Hari dan 1.700,7 KKal/Kapita/Hari berada di bawah standart Kecukupan Energi sebesar 2.000 KKal/Kapita/Hari. Tingkat Kecukupan Energy untuk jenis pangan tertentu di atas standart antara lain: pangan hewani 273,3 KKal/Kapita/Hari di atas standart 240,0 KKal/Kaita/Hari atau 113,9%. Demikian juga untuk pangan buah/biji berminyak dan kacang-kacangan masing masing Tingkat Kecukupan Energi sebesar 113,4% dan 343,1%. Di sisi lain untuk jenis pangan minyak/lemak, gula dan lain-lain angka Tingkat Kecukupan Energi masing-masing sebesar 22,4%, 45,0% dan 67,5%. Data tersebut di atas menunjukkan bahwa pola konsumsi penduduk belum berimbang, yaitu kelebihan energy untuk jenis pangan hewani, buah/biji berminyak dan kacang-kacangan dan kekurangan energy untuk jenis pangan minyak/lemak, gula dan lainnya. Pola konsumsi tersebut disebabkan adanya persepsi penduduk bahwa makan harus dengan lauk pauk dalam tanda petik daging, telur atau ikan , sehingga perlu diberikan pengertian bahwa lauk pauk dapat berasal dari bahan nabati. Dengan demikian pola konsumsi pangan dapat dilaksanakan secara beragam, berimbang, dan bergizi serta aman atau B3A. Pola Pangan Harapan Menurut Agroekologi dan Ekonomi Skor Pola Pangan Harapan di Kabupaten Kulon Progo tahun 2010 mencapai 91,9 dari angka 100, dimana untuk jenis pangan hewani dan buah/biji berminyak dan kacang-kacangan telah mencapai angka maksimal masing-masing 24, 1, dan 10. Sedangkan jenis makanan padi-padian mencapai skor PPH mencapai 24,4 dari angka 25 hampir mendekati ketentuan yang disarankan, demikian pula jenis makanan umbi-umbian mencapai angka 2,2 dari 2,5. Namun demikian untuk jenis makanan minyak dan lemak, gula dan sayur-sayuran nilai skor PPH relative rendah masing-masing 1,1 dari 5,0 untuk minyak dan lemak, 1,1 dari 2,5 untuk gula dan 28 dari 30 untuk sayur-
20
sayuran. Berdasarkan data di atas pola konsumsi untuk jenis makanan pangan hewani, buah/biji berminyak dan kacang-kacangan untuk dikurangi sehingga tidak melebihi batas maksimal, sedangkan pola konsumsi untuk jenis makanan padi-padian, minyak dan lemak, gula dan sayur-sayuran untuk ditambah sehingga mencapai batas maksimal yang ditentukan. Meskipun skor Pola Pangan Harapan di Kabupaten Kulon Progo tahun 2010 mencapai 91,9 dari angka 100, tetapi persebarannya menurut agroekologi belum merata antara wilayah pertanian (Skor PPH 93,9), wilayah perikanan (Skor PPH 76,7), dan wilayah lainnya (Skor PPH 65,6). Demikian pula apabila dilihat persebarannya berdasarkan kondisi ekonomi wilayah sedang skor PPH mencapai 93,9 dan wilayah tertinggal sebesar 72,6. Korelasi data skor PPH menurut agroekologi dan ekonomi menunjukkan bahwa wilayah pertanian dikategrikan wilayah maju, wilayah perikanan dikategorikan wilayah sedang, dan wilayah lainnya dikategorikan wilayah tertinggal.
Aneka bahan makanan bergizi tinggi
Sumber: http://3.bp.blogspot.com/_UDktbxn1G0k/TSO9CinwX6I/
2.2.5. Indeks Ketahanan Pangan Indeks ketahanan pangan dihitung dengan cara mengkombinasikan keempat indikator ketahanan pangan (ketersediaan pangan, stabilitas ketersediaan pangan, Kontinyuitas/keberlanjutan dan kualitas/keamanan pangan). Kombinasi antara kecukupan, ketersediaan pangan dan frekuensi makan memberikan indikator stabilitas ketersediaan pangan. Selanjutnya kombinasi antara stabilitas ketersediaan pangan dengan akses terhadap pangan memberikan indikator kontinyuitas ketersediaan pangan. Indeks
21
ketahanan pangan diukur berdasarkan gabungan antara indikator kontinyuitas ketersediaan pangan dengan kualitas /keamanan pangan. Indeks ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dapat disajikan seperti berikut ini.
Kontinyuitas ketersediaan pangan
Kualitas pangan: Konsumsi protein hewani dan/atau nabati
Protein hewani dan nabati ; atau protein hewani saja Kontinyu Tahan Kurang kontinyu Kurang tahan Tidak kontinyu Tidak tahan Sumber: Tim penelitian Ketahanan pangan dan Puslit Kependudukan LIPI.
Protein nabati saja
Tidak ada konsumsi protein (hewani dan /atau nabati) Kurang tahan Tidak tahan Tidak tahan Tidak tahan Tidak tahan Tidak tahan kemiskinan dalam konteks demografi
Rumah tangga dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: 1. Rumah tangga tahan pangan adalah rumah tangga yang memiliki persedian pangan pokok secara kontinyu (diukur dari persediaan makan selama jangka masa satu musim panen hingga panen berikutnya dengan frekuensi makan 3 kali atau lebih per hari serta akses langsung) dan memiliki pengeluaran untuk protein hewani dan nabati atau protein hewani saja 2. Rumah tangga kurang tahan pangan adalah rumah tangga yang memiliki: - Kontinyuitas pangan/makanan pokok kontinyu, tetapi hanya mempunyai pengeluaran untuk protein nabati saja - Kontinyuitas ketersediaan pangan/makanan kurang kontinyu dan mempunyai pengeluaran untuk protein hewani dan nabati 3. Rumah tangga tidak tahan pangan adalah rumah tangga yang dicirikan oleh: - Ketersediaan pangan kontinyu, tetapi tidak memiliki pengeluaran untuk protein hewani maupun nabati - Ketersediaan pangan kurang kontinyu dan hanya memiliki pengeluaran untuk protein hewani atau nabati, atau tidak untuk kedua-duanya. - Ketersediaan pangan tidak kontinyu walaupun memiliki pengeluaran untuk protein hewani dan nabati - Ketersediaan pangan tidak kontinyu dan hanya memiliki pengeluaran untuk protein nabati saja, atau tidak untuk keduaduanya.
2.3. Konsep Desa Mandiri Pangan: MAPAN
22
Strategi perencanaan Desa Mandiri Pangan dapat ditempuh dalam beberapa tahapan. Pada tahapan kultural, perlu adanya penjelasan secara berkesinambungan tentang arti pentingnya kecukupan pangan. Dalam konteks ini, status kehormatan bagi petani atau pedagang tidak dipandang sebagai kelas sosial yang rendah, melainkan mereka sama hormatnya dengan warga masyarakat lain yang telah memberi sumbangan bermakna bagi masyarakatnya. Dengan penghormatan seperti itu, mereka tidak lagi mengukur segala aktivitasnya hanya pada pertimbangan ekonomi. Jadi, perlu ada perubahan paradigmatik yaitu kehormatan manusia diukur dari sumbangsihnya bukan pada status sosialnya. Tahapan ke dua ialah tahapan-sosial, di mana suatu aktivitas yang bermakna, baru akan memperoleh hasil yang optimal kalau tercipta sinergi di antara potensi-potensi yang ada. Dalam konteks ini, simpul-simpul sosial seperti para tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tokoh-tokoh di bidang profesinya masing-masing, dijadikan aktor-aktor penting untuk memikirkan secara bersama bagaimana mewujudkan kecukupan pangan. Proses seperti ini melibatkan banyak pihak guna mengubah ide-ide personal menjadi ide kolektif. Apabila konsep tentang kecukupan pangan telah menjadi ide kolektif, maka prinsip yang harus dianut ialah semuanya mendapat untung sesuai dengan kuantitas dan kualitas sumbang-sih nya. Tahapan ke tiga adalah level action, tokoh-tokoh dan para aktivis desa diajak untuk membiasakan aktivitas dengan mengawali perencanaan yang matang sesuai dengan kemampuan bernalar (lintas sektoral), daya tahan mental (misalnya tahan kritik, mudah menerima masukan, dsb), dengan kerangka analisis yang elevan. 2.3.1. Lumbung di Desa Mandiri Pangan Dalam program pengembangan Desa Mandiri Pangan (DMP), Desa mendapatkan dana bantuan sosial (bansos) untuk mengembangkan lumbung pangan non komersial. Warga desa dapat meminjam pangan di lumbung desa tersebut. Ada tiga kegiatan yang dapat menggunakan dana bansos untuk Desa Mandiri Pangan. Pertama, dana bansos untuk kegiatan simpan pinjam. Pinjaman dapat digunakan untuk beragam kegiatan apapun. Misalnya untuk pengobatan keluarga sakit, keperluan anak sekolah, maupun untuk mengembangkan pertanian di desa. Ke dua, dana bansos tersebut dapat digunakan untuk kegiatan produktif usaha kecil pertanian. Ke tiga, untuk pengembangan lumbung pangan masyarakat non komersial di desa. Lumbung pangan desa diharapkan dapat menciptakan kemandirian pangan masyarakat perdesaan. Masyarakat dapat meminjam pangan yang tersimpan di lumbung itu, pada musim paceklik atau tidak punya pangan. Anggota masyarakat yang meminjam harus mengembalikan pada saat panen dengan tambahan yang disepakati.
23
www.deptan.go.id/news/detailarsip_2.php?id=430
LOPO SEBAGAI LUMBUNG PANGAN (Model Pengelolaan Lumbung Pangan di Desa Dampingan Program PIDRA, Kabupaten Timor Tengah Utara-NTT, Indonesia). (Oleh : Ir. Beny. Ulu Meak Manager Program PIDRA-Kab.TTU)
Makna Sebuah Lopo. Kehidupan bagi sebagian besar orang Timor (atoin meto) atau masyarakat di wilayah Kabupaten Timor Tengah Utara-Nusa Tenggara Timur rasanya kurang lengkap apabila di depan rumahnya tidak ada sebuah bangunan yang bentuknya seperti nasi tumpeng atau rumah orang eskimo tetapi memiliki empat tiang penyangga itulah bentuk daripada sebuah lopo (istilah dalam bahasa lokal). Secara historis Lopo memiliki peran dan potensi yang sangat strategis dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat desa termasuk desadesa dampingan Program Participatory Integrated Development in Rainfed Areas (PIDRA) karena Lopo biasanya digunakan sebagai tempat penyimpanan bahan pangan keluarga dan tempat pertemuan kerabat/ keluarga untuk membahas semua persoalan yang berkaitan dengan adat istiadat setempat. Letak bangunan lopo ini selalu berada di depan rumah (dibangun di pekarangan) dimaksudkan untuk tempat peristirahatan keluarga atau kerabat yang lewat (menerima tamu) juga sebagai bentuk identitas harga diri bagi keluarga tersebut. Semua permasalahan yang timbul di keluarga atau urusan adat di desa akan terselesaikan dengan baik melalui musyawarah apabila diselesaikan didalam bagunan lopo itu , disamping itu pula masalah kecukupan/ ketersediaan pangan bagi kebutuhan konsumsi sebuah keluarga dapat terukur apabila di dalam lopo itu disimpan berbagai jenis bahan pangan.Konstruksi dari bangunan lopo ini pada umumnya, atapnya terbuat dari alang-alang dan
24
tiangnya dari kayu bulat yang kokoh serta di bagian atasnya dibuat loteng/ panggung dari papan atau bambu yang di rejam sebelumnya dan di susun rapi sehingga menyerupai lantai di atasnya .Lopo seperti ini hanya berfungsi sebagai perekat sosial bagi kerabat keluarga dimana dari aspek cadangan bahan pangan dapat dijadikan kebutuhan pangan keluarga dalam setahunnya dan persediaan bibit untuk musim tanam berikutnya. Saat ini masyarakat desa selalu dihadapkan pada persoalan ketahanan pangan (food security) yang tidak dapat dikelola secara baik, maka lopo dapat dijadikan suatu model alternatif pengelolaan lumbung pangan dan dintegrasikan dengan pelaksanaan pemberdayaan masyarakat. Sebuah lopo milik Keluarga Bapak Marselinus Siki kondisinya cukup tua, tetapi di dalamnya ada persediaan bahan pangan berupa jagung, padi ladang, kacang tanah, shorgum, dan gaplek masih melimpah bahkan jagung kulitnya ada yang masih baru dan ada yang kulitnya sudah kehitaman karena merupakan jagung dari dua tahun yang lalu yang tidak habis dikonsumsi, begitu pula halnya dengan padi ladang yang tersimpan rapi didalam karung hasil panen setahun yang lalu (Succses Story Program PIDRA, 2008).
Lopo mempunyai fungsi ganda bagi keluarga Sumber: http://oborulumeak.blogspot.com/2009/03/integrasi-loposebagai-lumbung-pangan.html
Lopo sebagai Lumbung Pangan keluarga dan keberlanjutan. Melihat kondisi alam desa-desa di kabupaten Timor Tengah Utara yang berada pada lahan kering/ tadah hujan, topografi yang berbukit dan miring, bebatuan, diperparah lagi dengan curah hujan yang sangat minim semakin membuat petani bekerja lebih keras untuk dapat memperoleh hasil panen dan mempertahankan hidup. Program Pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat dan startegi yang dikembangkan adalah menerapkan
25
inovasi Teknologi Tepat Guna (TTG) seperti olah lubang , olah jalur, teknologi konservasi tanah dan air, kebun menetap maka dari tahun ke tahun hasil panen mengalami peningkatan yang cukup menggembirakan dari segi jumlah, mutu maupun keragamannya. Dengan demikian masalah ketahanan pangan (food security) masyarakat, terutama dari aspek ketersediaan dalam kondisi aman dan yang lebih hebat lagi bahwa semua bahan pangan yang tersimpan di lopo itu dalam keadaan aman dan bebas dari gangguan hama/penyakit. Kondisi seperti ini telah memberikan suatu gambaran kepada kita bahwa lopo berperan sebagai fungsi sosial terutama dalam menyediakan cadangan pangan bagi keluarga dan masyarakat di desa. Selain itu, juga diharapkan agar lopo ini dapat berperan ganda sebagai fungsi ekonomik maupun fungsi sosial bagi keluarga dan masyarakat dengan mengintegrasikan model pemberdayaan lumbung pangan modern antara lain: (1). menguatnya permodalan usaha kelompok, (2). meningkatnya posisi tawar (bargaining position) anggota dalam penjualan hasil usaha tani, (3). berkembangnya keterampilan teknis anggota kelompok. (4). terjalinnya hubungan kemitraan dan jaringan usaha kelompok, (5). berkembangnya usaha kelompok menuju skala yang mampu memberikan peningkatan pendapatan yang layak bagi anggotanya dan (6). meningkatnya cadangan pangan minimal sebesar 3 (tiga) bulan kebutuhan konsumsi masyarakat. Keberadaan lopo ini telah merupakan suatu tradisi-kearifan lokal maka perlu untuk keberlanjutannya harus ada pendampingan dengan mengembangkan sebuah lopo induk sebagai lumbung pangan di desa sedangkan lopo yang ada sekarang tetap dijadikan lumbung pangan keluarga. Persoalannya bagaimana kita dapat melakukan proses pemberdayaan untuk penguatan kelembagaan lumbung pangan, pengembangan usaha kelompok,penguatan cadangan pangan di kelompok, penguatan modal usaha kelompok serta pelatihan teknis (technical buiding) dan pelatihan penguatan kapasitas kelompok (Capacity buiding). Beberapa prinsip yang perlu dikembangkan lagi dalam upaya pemberdayaan lumbung pangan adalah (1).pengelolaan resiko, (2). bursa komoditas dan (3). saling percaya. Sedangkan hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah melakukan pengembangan jaringan usaha dan kemitraan. Kelompok Lumbung Pangan yang ada di desa perlu melakukan : 1) Penyusunan Rencana Usaha Kelompok (RUK) untuk pengelolaan resiko; 2) Membangun fisik lumbung di desa (1 Kelompok : 1 Lumbung) dengan bursa komoditas unggulan yang disepakti sebagai bahan pangan untuk cadangan pangan kelompok; 3) Mengembangkan usaha ekonomi kelompok;
26
4) Meningkatkan kapasitas kemampuan manajemen (administrasi pembukuan-keuangan) dan ekonomi; 5) Melakukan monitoring dan evaluasi secara partisipatif untuk megetahui tingkat perkembangan kegiatan pemberdayaan lumbung pangan secara mandiri.
Bahan pangan disimpan dalam Lopo Sumber: http://oborulumeak.blogspot.com/2009/03/integrasi-lopo-sebagailumbung-pangan.html
Lopo di tingkat keluarga dapat dijadikan sebagai lumbung pangan keluarga (cadangan pangan) keluarga sedangkan Lopo induk di kelompok sebagai lumbung pangan di tingkat kelompok dan hubungan anatar lopo keluarga dan lopo induk kelompok bersifat horisontal dan saling melengkapi atau melekat dan tidak terpisah secara sendiri-sendiri. Jadi ini merupakan model BULOG di desa untuk pendistribusian bahan pangan antara desa satu dengan desa yang lainnya yang membutuhkan. Bantuan modal usaha, pelatihan dan pendampingan harus dilakukan secara terpadu, terintegrasi dengan stakeholder yang ada dengan pola satu pintu.
2.4. Konsep Desa Mandiri Energi Desa mandiri energi adalah konsep baru yang sedang dikembangkan di Indonesia. Desa diharapkan dapat mencukupi kebutuhan energinya sendiri tanpa harus bergantung terhadap BBM dan bahan energi yang tak terbarukan lainnya. Pengembangan desa mandiri energi merupakan usaha menuju swasembada energi dalam arti mencukupi kebutuhan energi di desa itu, tanpa harus mengimpor sumber energi dari luar.
27
Desa mandiri energi adalah desa yang mampu memanfaatkan bahan sumber energi (misalnya minyak jarak) untuk keperluan sehari-hari seperti memasak dan kegiatan lain di rumah tangga, sebagai pengganti BBM. Energi terbarukan (renewable energy) harus dapat dimanfaatkan dalam pengusahaan swasembada energi, salah satu syarat renewable adalah keberlanjutan, regional development, dan ramah lingkungan. Keberlanjutan berarti bahwa energi ini dapat dimanfaatkan secara terus menerus tanpa batas waktu, artinya generasi sekarang dan generasi yang akan datang dapat menikmatinya tanpa kecuali (sesuai dengan definisi keberlanjutan dari Bruntland Commision). Sedangkan regional development itu merupakan pembangunan yang bersifat regional yaitu dengan mengembangkan usaha yang sesuai dengan kemampuan daerah untuk memenuhi kebutuhan daerah tersebut tanpa harus bergantung dengan daerah lain. Konsep Desa mandiri energi ini sejalan dengan usaha pengembangan renewable energy yang saat ini sedang dikaji di penjuru dunia. Konsep Desa mandiri energi ini sesuai dengan kondisi geografi Indonesia, masyarakatnya terpencar di desa-desa yang tidak dapat mengakses pusat-pusat energi, seperti tidak adanya sambungan listrik, tidak ada jaringan distribusi BBM. Dalam Desa mandiri energi, masyarakat dapat memenuhi kebutuhan energinya sendiri tanpa harus membayar biaya transportasi yang tinggi dan dapat dialihkan sebagai opportunity cost untuk memproduksi energi sendiri. Dalam hal ini budidaya tanaman jarak sebagai bahan baku pembuatan minyak jarak atau penamanan tanaman kayu bakar. Opportunity cost yang berputar di lingkungan masyarakat desa sendiri memberikan manfaat berlipat ganda (multiplier effect). Selain meningkatkan kemandirian masyarakat terhadap energi, kesejahteraan masyarakat juga akan meningkat karena uang akan berputar di lingkup desa tersebut dengan menciptakan lapangan kerja baru yang pada akhirnya menggerakkan roda perekonomian desa secara keseluruhan. Untuk mendukung konsep Desa mandiri energi diperlukan juga perangkat, peraturan, dan dukungan finansial yang memberikan kemudahan bagi pengembangan Desa mandiri energi. Selain itu perlu juga diwaspadai efek negatif yang mungkin timbul dari pengembangan BBN (bahan bakar nabati) karena program BBN dikhawatirkan dapat merusak lingkungan hidup, misalnya pembukaan hutan untuk lahan budidaya tanaman. Ada dua tipe Desa Mandiri Energi, yaitu (1) Desa Mandiri Energi yang dikembangkan dengan non BBM seperti desa yang menggunakan mikrohidro, tenaga surya, dan biogas; dan (2) Desa Mandiri Energi yang menggunakan bahan bakar nabati atau biofuel arau agrofuels. Melalui pengembangan Desa Mandiri Pangan diharapkan masyarakat desa rawan pangan akan kembali mempunyai kemampuan untuk mewujudkan ketahanan pangan dan gizi, sehingga dapat menjalani hidup sehat dan produktif setiap harinya. Upaya tersebut dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat untuk mengenali potensi dan kemampuannya, mencari alternative peluang dan pemecahan masalah serta mampu mengambil keputusan untuk memanfaatkan sumberdaya alam secara efisien dan berkelanjutan, dan akhirnya tercapai kemandirian pangan masyarakat. Tujuan program pengembangan Desa Mandiri Pangan adalah untuk meningkatkan Ketahanan Pangan dan Gizi (mengurangi kerawanan pangan dan gizi) masyarakat melalui pendayagunaan sumber daya, kelembagaan dan budaya lokal di pedesaan. Sedangkan sasarannya adalah terwujudnya
28
ketahanan pangan dan gizi tingkat desa yang ditandai dengan berkurangnya tingkat kerawanan pangan dan gizi. Dalam pelaksanaannya, Program pengembangan Desa Mandiri Pangan difasilitasi antara lain: pembangunan instruktur, pendampingan dalam bidang manajemen kelompok dan usaha serta teknis, bantuan permodalan, sarana dan prasarana fisik, tenaga kerja, dan teknologi. Berbagai masukan ini digunakan untuk mendukung kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan seperti pemberdayaan masyarakat (pendampingan, pelatihan, fasilitasi dan penguatan kelembagaan), harmonisasi system ketahanan pangan dan pengembangan keamanan pangan, antisipasi dan penanggulangan kerawanan pangan. Strategi yang digunakan dalam pelaksanaan program desa mandiri pangan antara lain melalui: (a) Penerapan prinsip pemberdayaan masyarakat, dengan meningkatkan kapasitas masyarakat untuk menolong dirinya sendiri; (b) Penguatan kelembagaan pedesaan dalam membangun ketahanan pangan dan gizi, peningkatan pendapatan, akses dan konsumsi pangan beragam dan bergizi seimbang, sanitasi lingkungan serta antisipasi situasi darurat; (c). Optimalisasi pemanfaatan sumber daya dengan dukungan multi sektor dan multi disiplin; (d) Sinergitas antar stakeholder yang diwujudkan melalui peningkatan kemampuan Dewan Ketahanan Pangan Kabupaten / Kota dalam bekerjasama dengan stakeholder lain dan memfasilitasi Tim Pangan di tingkat desa.
29
III. SISTEM RUMAH-TANGGA PETANI Household -farm models were first introduced to explain the counter-intuitive empirical finding that an increase in the price of a staple did not significantly raise the marketed surplus in the rural sector. The search for an explanation led to a model in which production and consumption decisions are linked because the deciding entity is both a producer, choosing the allocation of labor and other inputs to crop-production, and a consumer, choosing the allocation of income from farm profits and labor sales to the consumption of commodities and services. Farm profit included implicit profits from goods produced and consumed by the same household, and consumption included both purchased and self-produced goods. As long as perfect markets for all goods, including labor, exist, the household is indifferent between consuming ownproduced and market-purchased goods. By consuming all or part of its own output, which could alternatively be sold at a given market price, the household implicitly purchases goods from itself.
3.1. Sistem Rumah-tangga Petani Model sistem diperlukan untuk dapat menjelaskan perilaku ekonomi dari: (1) usahatani keluarga yang menghasilkan net-surplus, khususnya usahatani sekala kecil dengan tingkat produktivitas medium; (2) usahatani
30
rumahtangga subsisten, khususnya yang bersekala kecil, productivitasnya rendah, seringkali berada pada kondisi pasar marjinal dan incomplete; (3) rentenir sekala kecil dan petani penggaduh; dan (4) usahatani komersial oleh petani-pemilik yang menghasilkan bahan pangan untuk konsumsi domestic dan untuk agro-industry dan pasar ekspor. Kasus-kasus seperti ini mencerminkan system usahatani yang banyak dialami oleh masyarakat pedesaan.
31
3.2. Rumah-tangga Petani Subsisten Pertanian subsisten ditandai oleh ketiadaan akses terhadap pasar. Dengan kata lain produk pertanian yang dihasilkan hanya untuk memenuhi konsumsi keluarga, tidak dijual. Sistem Produksi yang berorientasi Subsisten Untuk rumahtangga petani yang subsistence, lahan dan tenagakerja merupakan faktor produksi yang utama. Capital investment is limited to nonmonetary self-produced equipment, land improvement and livestock raised through natural reproduction. Increases in production are mainly dependent on the weather and on the quantity and quality of those factors of production controlled by the household. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi adalah: Penggunaan surplus tenagakerja untuk pengendalian erosi, konservasi tanah dan air Penggunaan pupuk kandang untuk memperbaiki kesuburan tanah Praktek pemeliharaan ternak yang lebih baik. Perkembangan produksi tampaknya berlangsung lambat, tetapi perbaikan dimungkinkan melalui kajian-kajian system usahatani, programprogram pendidikan dan pelatihan, serta penyuluhan. Hanya sedikit sekali kesempatan kerja off-farm yang tersedia secara local. Peredaran uang tidak terlalu banyak berperan dalam system ekonomi rumahtangga yang berorientasi subsisten. Untuk usahatani subsistence, output dan konsumsi biasanya identik. Rumahtangga seperti ini biasanya tidak responsive terhadap signal-signal harga dan pasar. Families living under these conditions rarely aim to maximise profit, since this would imply specialisation, with its attendant risks. Rather, the goal is to maximise the chances of survival. A mainly subsistenceoriented farmer will be reluctant to shift from a traditional practice to a new technology if doing so incurs greater risk of failure Dalam konteks seperti di atas, pertanian bukan hanya berkenaan dengan hal-hal teknis budidaya bertani, melainkan sebuah kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Karakteristik pertanian tradisional saat ini adalah sistem pertanian yang berlahan sempit, bermodal rendah, minim teknologi, jumah tenaga kerja yang banyak, dan merupakan satu-satunya penopang hidup bagi rumahtangga petani. Sistem pertanian tradisional seperti inilah yang diberi sebutan subsisten , atau Subsistensi Pertanian. Bagaimana pertanian dijalankan untuk memenuhi kebutuhan kecukupan pangan rumahtangga terlebih dahulu, sebagai bentuk pengamanan untuk ketahanan pangan bagi rumahtangga petani. Subsistensi pertanian dapat dilakukan pada sistem pertanian organik . Pertanian organik bukan hanya pada tingkat higienisitasnya saja, melainkan lebih bermakna harmonisasi sistem . Harmonis dalam kehidupan sosial ekonomi, dan siklus materi dan siklus energi yang terjadi di alam. Sistem pertanian organik menawarkan sesuatu yang berbeda dengan pertanian-industrial, namun harus hati-hati karena saat ini pertanian organik sendiri telah mengarah pada komersialisasi dan bukan pada spirit dasarnya
32
yaitu kebersaman dan kemerataan bagi semua makhluk. Subsistensi dipilih sebagai alternatif solusi dalam pengembangan pertanian di Indonesia yang sebagain besar merupakan pertanian tradisional berskala kecil. Makna subsisten yang ditawarkan adalah mengubah paradigma pasar yang diberlakukan pada dunia pertanian . Pada kenyataannya, pertanian Indonesia sangat sulit untuk bersaing dengan produk-produk pertanian negara-negara maju. Hal ini mungkin saja berkaitan dengan keterbatasan penguasaan modal oleh petani, teknologi yang rendah, rendahnya proteksi negara, skill yang minim, lahan yang sempit, jumlah tenaga kerja yang besar, dan masalah-masalah lainnya; dan ini semua merupakan karakter pertanian tradisional berskala kecil di Indonesia. Semua hal tersebut akan menjadi masalah jika analisis pertanian mengacu pada paradigma pasar.
Pada hakekat awal berkembangnya pertanian adalah untuk mencukupi kebutuhan pangan rumahtangga atau sekelompok masyarakat. Dengan demikian, pemenuhan kebutuhan pangan rumahtangga dengan kualitas yang terbaik merupakan hal yang paling penting. Dalam perkembangannya pertanian dipaksa untuk memacu produktivitasnya setinggi-tingginya dengan jumlah panen yang besar kemudian dijual ke pasar dengan asumsi mendapat untung dan dapat menghidupi keluarga petani yang melakukan usaha peningkatan produktivitas tersebut. Akan tetapi, pada kenyataannya pernahkah petani, khususnya petani kecil, yang melakukan pola ini mendapat untung seperti yang dibayangkan? Selain itu, dampak sampingan dari pola ini adalah pemenuhan kebutuhan pangan untuk rumahtangga sendiri menjadi tersingkirkan dan tergantikan oleh pengejaran profit semata.
Subsistensi dicoba dihadirkan untuk menggantikan logika pasar dalam pertanian. Logika subsisten bukan menempatkan keuntungan sebagai hal yang utama, tetapi pemenuhan terhadap kebutuhan diri sendiri yang utama. Inilah logika survivalitas dalam suasana ketidak-berdayaan pertanian. Jika seorang petani hanya memiliki luas lahan 2000 m2 dengan ratarata hasil panen padi 1,2 1,5 ton, maka dari mana petani tersebut bisa menghidupi seorang istri dan dua orang anaknya di zaman yang serba mahal ini? Oleh sebab itu, petani tersebut harus mulai memikirkan pemenuhan kebutuhan pangannya dengan meminimkan transaksi pembelian pangan, namun semua kebutuhan pangan dipenuhi oleh lahan tersebut. Jika ada kelebihan produksi baru dijual. Hal ini mengharuskan penanaman berbagai jenis komoditas (kaidah biodiversitas), dan bukan satu jenis komoditas yang diorientasikan untuk memaksimumkan profit. Di samping itu juga, penanaman berbagai komoditas tanaman bahan makanan tidak hanya menguntungkan secara ekonomis namun juga ekologis. Logika subsisten ini sangat mungkin diimplementasikan dalam sistem pertanian organik. Dalam sistem ini biaya produksi dapat
33
diminimumkan karena tidak harus membeli banyak input komersial . Kebutuhan modal usaha tidak besar, sehingga akan dapat dipenuhi oleh petani kecil. Pertanian organik menyerap tanaga kerja yang lebih besar dibanding dengan pertanian bergaya modern yang memperhitungkan efesiensi dan efektivitas. Penyerapan tenaga-kerja dalam pertanian organik cukup besar, dan dapat dikelola secara gotong-royong per kelompok. Tenaga-kerja petani yang bergotong royong tidak harus dikonversikan dalam bentuk uang, melainkan saling bantu membantu atau saling berkontribusi dalam bentuk tenaga dan waktu. Sehingga titik acuannya tidak lagi uang atau modal yang besar. Teknologi yang diterapkan merupakan teknologi sederhana dan tepat guna yang dapat diaplikasikan oleh petani kecil.
3.3. Rumahtangga Pertanian Komersial Pertanian intensif Dalam ekonomi pertanian, pertanian intensif adalah sistem pembudidayaan tanaman atau hewan yang menggunakan masukan (seperti tenaga kerja dan modal) dalam ukuran besar, relatif terhadap luas lahan. Hal ini dilakukan karena pertimbangan efisiensi lahan untuk meraih keuntungan yang besar. Masukan besar diperlukan untuk aplikasi berbagai teknologi pertanian, seperti penggunaan pupuk, pestisida, benih unggul, mesin-mesin berefisiensi tinggi dan automatisasi dalam penanaman benih/ bibit, perawatan, pemanenan, dan pemrosesan produk pascapanen. Selain itu, irigasi juga dilakukan secara terkendali sehingga memerlukan investasi yang besar. Hasil usaha tani dengan pertanian intensif biasanya sangat tinggi karena didukung oleh teknologi yang didasarkan pada berbagai riset terlebih dahulu. Pertanian industrial biasanya akan menerapkan semua teknologi yang tersedia asalkan produksi memberikan keuntungan yang besar dan memenuhi target kuantitas dan standar kualitas. Suatu usaha tani dapat menerapkan sebagian atau seluruh teknologi tinggi yang tersedia untuk melaksanakan pertanian intensif. Sebagai contoh, paket teknologi yang dipakai dalam Revolusi Hijau untuk menggenjot produksi padi dan gandum di sejumlah negara memiliki sejumlah karakteristik pertanian intensif, tetapi tidak semuanya digunakan. Kebijakan yang diarahkan menuju pertanian intensif dikenal sebagai intensifikasi.
Pertanian komersial berada pada sisi dikotomis pertanian subsisten. Umumnya pertanian komersial menjadi karakter perusahaan pertanian (farm) dimana pengelola usahatani telah berorientasi pasar. Dengan demikian seluruh output pertanian yang dihasilkan seluruhnya dijual dan tidak dikonsumsi sendiri. Kebanyakan usaha pertanian modern bersifat komersial. Usaha pertanian ini menggunakan pupuk-buatan yang banyak sekali, obat pembasmi hama, dan varietas benih yang produksi-tinggi. Umumnya juga digunakan mesin-mesin pertanian berukuran besar seperti traktor dan alat pemanen.
34
3.4. Ketahanan Pangan Rumah Tangga Pertanian Empat komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan pangan rumahtangga adalah: 1. Kecukupan ketersediaan pangan bagi rumahtangga; 2. Stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun. 3. Aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan serta 4. Kualitas/keamanan pangan . Ketersediaan pangan dalam rumah tangga dapat mengacu pada pangan yang cukup dan tersedia dalam jumlah yang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga. Penentuan jangka waktu ketersediaan makanan pokok di perdesaan biasanya mempertimbangkan jarak-waktu antara musim panen dengan musim panen berikutnya. Sustainabilitas mengandung makna kecukupan ketersediaan pangan dalam jangka panjang.
35
3.4.1. Kecukupan Pangan Food adequacy is defined as physical and economic access to sufficient, safe and nutritious foods which meet the individual s dietary needs and food preferences for an active and healthy life. Konsumsi pangan merupakan banyaknya atau jumlah pangan, secara tunggal maupun beragam, yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis, psikologis dan sosiologis. Tujuan fisiologis adalah upaya untuk memenuhi keinginan makan (rasa lapar) atau untuk memperoleh zat-zat gizi yang diperlukan tubuh. Tujuan psikologis adalah untuk memenuhi kepuasan emosional atau selera, sedangkan tujuan sosiologis adalah untuk memelihara hubungan manusia dalam keluarga dan masyarakat. Konsumsi pangan merupakan faktor utama untuk memenuhi kebutuhan gizi yang selanjutnya bertindak menyediakan energi bagi tubuh, proses metabolisme, memperbaiki jaringan tubuh serta untuk pertumbuhan. Konsumsi, jumlah dan jenis pangan dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor yang sangat mempengaruhi konsumsi pangan adalah jenis, jumlah produksi dan ketersediaan pangan. Untuk tingkat konsumsi, lebih banyak ditentukan oleh kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsi. Kualitas pangan mencerminkan adanya zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh yang terdapat dalam bahan pangan, sedangkan kuantitas pangan mencerminkan jumlah setiap gizi dalam suatu bahan pangan. Untuk mencapai keadaan gizi yang baik, maka unsur kualitas dan kuantitas harus
36
dapat terpenuhi. Apabila tubuh kekurangan zat gizi, khususnya energi dan protein, pada tahap awal akan meyebabkan rasa lapar dan dalam jangka waktu tertentu berat badan akan menurun yang disertai dengan menurunnya produktivitas kerja. Kekurangan zat gizi yang berlanjut akan menyebabkan status gizi kurang dan gizi buruk. Apabila tidak ada perbaikan konsumsi energi dan protein yang mencukupi, pada akhirnya tubuh akan mudah terserang penyakit infeksi yang selanjutnya dapat menyebabkan kematian Kecukupan gizi adalah rata-rata asupan gizi harian yang cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi bagi hampir semua (97,5%) orang sehat dalam kelompok umur, jenis kelamin dan fisiologis tertentu. Nilai asupan harian zat gizi yang diperkirakan dapat memenuhi kebutuhan gizi mencakup 50% orang sehat dalam kelompok umur, jenis kelamin dan fisiologis tertentu disebut dengan kebutuhan gizi. Kecukupan energi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, status fisiologis, kegiatan, efek termik, iklim dan adaptasi. Untuk kecukupan protein dipengaruhi oleh faktorfaktor umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, status fisiologi, kualitas protein, tingkat konsumsi energi dan adaptasi. 3.4.2. Ketersediaan Pangan Food availability yaitu ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup, aman dan bergizi untuk semua orang dalam suatu negara baik yang berasal dari produksi sendiri, impor, cadangan pangan maupun bantuan pangan. Ketersediaan pangan harus mampu mencukupi pangan yang didefinisikan sebagai jumlah kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif dan sehat. 3.4.3. Aksesibilitas Pangan Akses pangan, yaitu kemampuan semua rumah tangga dan individu dengan sumberdaya yang dimilikinya untuk memperoleh pangan yang cukup untuk kebutuhan gizinya yang dapat diperoleh dari produksi pangannya sendiri, pembelian ataupun melalui bantuan pangan. Akses rumah tangga dan individu terdiri dari akses ekonomi, fisik dan sosial. Akses ekonomi tergantung pada pendapatan, kesempatan kerja dan harga. Akses fisik menyangkut tingkat isolasi daerah (sarana dan prasarana distribusi), sedangkan akses sosial menyangkut tentang preferensi pangan.
AKSESIBILITAS PANGAN Aksesibilitas masih menjadi polemik dalam politik pangan yang digulirkan pemerintah. Apalagi musim basah berlanjut hingga Mei 2011, menyebabkan produksi pangan nasional turun drastis. Sementara jumlah penduduk Indonesia semakin meningkat setiap tahun. Beruntung jika data terakhir yang didapat dari BPS pada tahun 2011 produksi padi sedikit meningkat. Dari luas tanah yang panen 13 juta hektar ternyata petani hanya dapat memproduksi sekitar 5,08
37
ton/ hektar. Sehingga produksi padi hingga 1 Maret 2011 hanya sejumlah 67 juta ton yang sebelumnya hanya 66 juta ton dari luas tanah yang panen sekitar 13 juta hektar. Pada kenyataannya, Indonesia akan mengalami rawan pangan. Itu terjadi akibat musim hujan yang diprediksi akan terus mengguyur Indonesia hingga Mei 2011. Yang paling parah, penurunan produksi pangan akan terjadi tepatnya pada tahun 2050 hingga mencapai 20,3 persen. Produksi pangan akan menurun sekitar 10 juta ton. Salah satu faktor yang mengintai krisis pangan selain situasi alam juga terkait dengan aksesibilitas. Aksesibilitas pangan sangat erat hubungannya dengan strategi kebijakan kecukupan pangan. Sementara itu, krisis pangan bukan dilihat dari minimnya jumlah produksi atau berkurangnya pangan di lapangan saja. Namun lebih cenderung didasarkan atas ketidakmampuan masyarakat dalam membeli pangan yang berkualitas. Dengan demikian, masyarakat hanya dapat terpaku saat harga kebutuhan pangan pokoknya meningkat tajam. Oleh karena itu, soal stabilitas harga pangan harus ditegaskan oleh pemerintah. Pemerintah perlu menyusun instrumen kebijakan stabilisasi harga gabah yang lebih efektif. Logikanya jika harga barang di lapangan meningkat, otomatis Bulog tidak mampu membeli. Sehingga negara tidak memiliki cadangan pangan pokok bagi masyarakat. Situasi ini yang kita sebut dengan krisis pangan nasional.
Sumber: http://www.komhukum.com/adminkom/imgkrim/kriminal_20110328-203020.jpg
Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, karena itu pemenuhan atas pangan menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk melaksanakan pembangunan nasional. Karena itu, pembangunan pangan dan gizi perlu diposisikan sebagai central of development bagi keseluruhan pencapaian target Millenium Development Goal s (MDGs) yang menjadi komitmen bersama. Permasalahan pangan dan gizi mengalami perkembangan yang sangat cepat dan komplek. Perkembangan lingkungan global seperti adanya global climate change dan meningkatnya harga minyak dunia telah
38
mendorong kompetisi penggunaan hasil pertanian untuk pangan (food), bahan energy (fuel) dan pakan ternak (feed) yang makin tajam. Di samping itu, kecenderungan pengabaian terhadap good agricultural practices dan sumber pangan lokal (biodiversity) dikhawatirkan akan mengancam ketahanan pangan dan gizi nasional. Perkembangan ini memerlukan telaah dan respon kebijakan yang lebih menjamin terhadap pengamanan aksesibilitas pangan masyarakat. Globalisasi juga mendorong perubahan pola konsumsi pangan masyarakat yang memerlukan perhatian akan dampaknya terhadap kesehatan. Di samping itu, adanya berbagai isu di masyarakat seperti permasalahan kekurangan gizi dalam bentuk gizi kurang dan gizi buruk, masalah kegemukan atau gizi lebih, serta keamanan pangan juga memerlukan telaah yang komprehensif untuk mencari solusinya, termasuk aspek revitalisasi kelembagaan pangan dan gizi.
Sumber: http://seputarnusantara.com/?p=4912 OPERASI PASAR BERAS Pemerintah menggelar operasi pasar (OP) beras menyusul terus naiknya harga komoditi pangan pokok ini di beberapa wilayah Indonesia. Masuknya masa paceklik membuat kenaikan harga tidak bisa dihindarkan. Menghadapi hari besar keagamaan, setiap minggu pemerintah melakukan monitoring harga pangan pokok. Saat ini harga beras cenderung naik karena sudah masuk masa peceklik hingga masa panen raya Maret. Sementara itu, BUKOG siap untuk melakukan OP apabila diperlukan. OP yang dilakukan dapat merupakan operasi pasar yang targeted, dan dapat dikemas dalam kemasan kecil 5 kg.
IV. STRATEGI PEMENUHAN KEBUTUHAN Permasalahan pangan di pedesaan, sebenarnya adalah permasalahan lokal yaitu bagaimana sebenarnya kemampuan masyarakat pedesaan dalam memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga didesanya sesuai dengan preferensi dan kemampuan sumber daya yang dimiliki. Cara pandang administratif terhadap desentralisasi pangan di tingkat lokal bahwa
39
permasalahan di tingkat lokal menuntut pendekatan-pendekatan yang fleksibel dan spesifik lokasi. Desentralisasi yang demokratik dapat memfasilitasi pemecahan masalah pangan secara partisipatif, perencanaan pangan yang efektif dan sekaligus implementasinya di tingkat lokal. Pengertian ini mengandung makna pemenuhan kebutuhan pangan di pedesaan tidak semata-mata didasarkan pada produksi tanaman pangan yang ada di wilayah tersebut namun lebih pada bagaimana masyarakat pedesaan mampu menyediakan kebutuhan pangannya. Ukuran normatif dalam pemenuhan kebutuhan pangan di tingkat lokal menyangkut pada permasalahan ketersediaan, keandalan, kemudahan dan kualitasnya. Berbagai faktor harus diperhatikan dalam merumuskan kebijakan pangan di tingkat lokal yang berbasis pada sistem sosial budaya setempat. Faktor-faktor tersebut adalah culture, religion, status, community, tradition, school, home & family, geography, history, economics, science, technology, agriculture, climate, medicine, genetics. Kebijakan bercocok tanam misalnya, tidak hanya memperhatikan masalah lahan yang cukup, iklim yang cocok, ilmu pengetahuan yang mendukung; tetapi juga memperhatikan masalah sosial budaya masyarakat setempat mengenai jenis tanaman yang diterima secara baik. Cara ini seharusnya merupakan bagian dari strategi keberlanjutan (sustainability) kebijakan pangan yang harus dilaksanakan.
Pertanian merupakan sektor yang sangat penting karena terkait dengan persediaan bahan pangan. Pangan, khususnya beras, di Indonesia menempati posisi strategis, karena sebagian besar masyarakat Indonesia mengkonsumsi beras sebagai makanan pokoknya. Akan tetapi petani sebagai penghasil beras ternyata basibnya belum makmur. Tekanan sosial-ekonomi yang dialami oleh petani sangat beragam intensitas dan durasinya. Kemiskinan yang dialami oleh rumah tangga petani berpangkal pada terbatasnya pemilikan dan penguasaan lahan, kegagalan panen, mahalnya biaya produksi dan keuntungan yang kecil, serta ketersediaan cadangan
40
subsistesi yang terbatas. Kondisi ketidakpastian dan tekanan hidup yang dialami oleh rumah tangga petani, telah menimbulkan berbagai reaksi dan respon yang dilakukan oleh rumah tangga petani untuk menghadapinya. Untuk mengatasi kebutuhan hidup yang makin kompleks, rumah tangga petani menetapkan strategi untuk mempertahankan kelangsungan hidup mereka, yaitu dengan cara mencari penghasilan tambahan, menghemat pengeluaran, mencari pinjaman (hutang), serta menjalin kehidupan gotong royong dengan tetangga dan kerabat.
4lawang.wordpress.com/.../
41
Manusia (individu maupun kelompok) merupakan penggerak berbagai aset dan sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk kebutuhan pangannya. Manusia dalam hal ini memiliki akses terhadap berbagai aset dan sumberdaya produktif yang dapat dikelola untuk memenuhi kebutuhan pangan dan kebutuhan hidup lainnya. Penghidupan berkelanjutan merupakan: suatu penghidupan yang meliputi kemampuan atau kecakapan, aset-aset (simpanan, sumberdaya, claims dan akses) dan kegiatan yang dibutuhkan untuk sarana hidup . Ada lima sumberdaya kehidupan yang dimiliki oleh setiap individu atau unit sosial yang lebih tinggi dalam upayanya mengembangkan kehidupannya yaitu:
42
humane capital, yakni modal yang dimiliki berupa keterampilan, pengetahuan, tenaga kerja, dan kesehatan; Social capital, adalah kekayaan sosial yang dimiliki masyarakat seperti jaringan, keanggotaan dari kelompok-kelompok, hubungan berdasarkan kepercayaan, pertukaran hak yang mendorong untuk berkoperasi dan juga mengurangi biaya-biaya transaksi serta menjadi dasar dari sistem jaringan pengaman sosial yang informal; Natural capital adalah persediaan sumber daya alam seperti tanah, hutan, air, kualitas udara, perlidungan terhadap erosi, keanekaragaman hayati, dan lainnya; Physical capital adalah infrastruktur dasar jalan, saluran irigasi, sarana komunikasi, sanitasi dan persediaan air yang memadai, akses terhadap komunikasi, dsbnya; Financial capital, adalah sumber-sumber keuangan yang digunakan oleh masyarakat untuk mencapai tujuan-tujuan kehidupannya seperti uang tunai, persediaan dan peredaran uang reguler. Hubungan individu atau rumahtangga terhadap pangan didasarkan pada konsep entitlement atau hak terhadap pangan. Dalam konsep ini, memproduksi dan mendapatkan pangan bagi manusia adalah hak asasi. Ada beberapa cara manusia dalam mengakses pangan yaitu: direct entitlement, yakni hak atas pangan yang diperoleh melalui hubungan hubungan di dalam kegiatan proses produksi pangan; exchange entitlement, yakni hak dan akses atas pangan yang diperoleh melalui hubungan tukar menukar jasa atau keahlian; trade entitlement, yakni hak atas pangan yang diperoleh melalui hubungan jual beli komoditi yang diproduksi sendiri; dan social entitlement, yakni hak dan akses terhadap pangan yang diperoleh melalui pertukaran sosial di antara anggota komunitas sosial. Sistem pangan individu, rumahtangga atau masyarakat yang lebih luas bukanlah sesuatu yang statis tetapi dinamis. Dinamika ini antara lain dipengaruhi oleh tingkat kerentanan (vulnerability) dan kemampuan individu atau rumahtangga dalam menghadapi perubahan. Penyebab kerentanan adalah shock yaitu perubahan mendadak dan tidak terduga (karena alam, ekonomi, konflik, dan lainnya).
4.1. SPEKULAN DAN FLUKTUASI HARGA PANGAN Negara anggota G20 menduga spekulan berada di balik berfluktuasinya harga komoditas pangan dunia. Spekulasi di pasar komoditas menjadi salah satu penyebab ketidakpastian harga pangan. Sektor komoditas, baik pangan maupun energi, dianggap sebagai sektor yang paling berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Spekulasi yang terjadi mempengaruhi peningkatan sebagian besar harga komoditas yang bersinggungan langsung dengan kehidupan masyarakat luas. Menyangkut komoditas beras , harganya mengalami volatilitas. Jadi terdapat gejala dimana beras diperdagangkan sedemikian rupa sehingga
43
bisa terjadi suatu komoditas. Hal ini dapat menyebabkan volume perdagangan mencapai berpuluh kali dari volume fisik komoditas itu sendiri. Hal tersebut dapat terjadi oleh dua hal. Pertama, pengaruh murni dari supply dan demand, termasuk transportasi dan distribusi barang. Sedangkan faktor ke dua adalah perdagangan produk turunan yang menyangkut komoditas strategis, seperti gula dan minyak.
Sumber: http://m.today.co.id/index.php?kategori=ekonomi&sub=ekonomi&detail=27986
Seasonality atau musiman yang dapat diperkirakan dengan hampir pasti, seperti perubahan secara musiman dari harga, produksi, dan iklim. Setiap individu dan unit sosial yang lebih besar mengembangkan system penyesuaian diri dalam merespon perubahan tersebut (shocks, trends, dan seasonality). Respons itu bersifat jangka pendek yang disebut coping mechanism atau yang lebih jangka panjang yang disebut adaptive mechanism. Mekanisme dalam menghadapi perubahan dalam jangka pendek terutama bertujuan untuk mengakses pangan (entitlement), sedangkan jangka panjang bertujuan untuk memperkuat sumber-sumber kehidupannya (livelihood assets). Ketidakmampuan menyesuaikan diri dalam jangka pendek akan membawa ke kondisi rawan pangan. Penyesuaian rawan pangan yang tidak memperhitungkan aspek penguatan sumber-sumber kehidupan dalam jangka panjang justru tidak akan menjamin keberlanjutan ketahanan pangan individu dan rumahtangga.
4.2. Faktor Iklim Buruk Picu Krisis Pangan Cuaca yang tak menentu dapat menjadi penyebab krisis pangan yang melanda tanah air. Sebut saja, kasus melambungnya harga cabai rawit bulan lalu disusul dengan melonjaknya harga beras dan kebutuhan pokok lainnya. Memasuki bulan ke tiga, gejolak fluktuasi harga pangan masih terus terjadi. Pemerintah sendiri terus berinisiatif untuk melakukan impor dalam mengatasi krisis pangan yang dipicu dari faktor iklim.
44
Indonesia raya, tanah subur membentang luas, ijo royo-royo, katakata tersebut sekarang dipertanyakan kembali. Tanah indonesia yang luas dan berpotensi bagus dalam penanaman berbagai jenis tanaman, kenapa harus menghadapi persoalan kekurangan stok bahan pangan? Sehingga harus impor dari negara lain. Begitu besarnya ketergantungan pemerintah untuk impor bahan pangan dari negara lain, dimana kebijakan yang diambil pemerintah hanya bersifat sementara. Misalnya, berapa banyak beras yang sudah diimpor demi mencukupi kebutuhan pangan sendiri. Berdasarkan data kementrian perdagangan, realisasi impor beras tahun 2010-2011 per 2 maret mencapai 1,26 juta ton dari target 1,898 juta ton beras. Untuk cabai, tahun ini pemerintah pun mengimpor cabai sebanyak 15.000 ton, dan kedelai sekitar 1,7 juta ton per tahun. Bawang merah impor capai 17,25 juta kilogram dari Vietman dan Thailand sepanjang Januari 2011. Musim hujan sepanjang tahun 2010 hingga saat ini tentunya membuat para petani resah karena jatah mereka panen pun berkurang bahkan terancam gagal panen. Hal ini pun mendapat perhatian khusus pemerintah sehingga mengeluarkan inpres tentang pengamanan produksi beras nasional dalam menghadapi kondisi iklim ekstrim.
Sumber: http://www.google.co.id/imglanding? Ada 10 langkah yang dapat ditempuh untuk peningkatan produksi beras 2011, yaitu: 1. Mendorong sejumlah provinsi sentra produksi padi untuk menggunakan benih unggul bersertifikat 2. Melakukan pendataan lebih kurang 600 penggilingan padi, masing-masing berkapasitas 2.000-3.000 gabah kering giling perhari dan mengupayakan menekan kehilangan gabah di penggilingan padi. Upaya ini diharapkan akan memberikan tambahan produksi 60.000 ton 100.000 ton GKG.
45
3. Mengoptimalkan pemanfaatan lahan rawa untuk mengejar tambahan produksi 500.000 ton-600.000 ton GKG. 4. Meningkatkan indeks pertanaman di sejumlah daerah yang masih lebih rendah ari rata-rata nasional. 5. Membuat analisa resiko terhadap iklim yang dipetakan hingga ke kecamatan 6. Mengintersifkan lahan 7. Menjaga ketersediaan benih 8. Pengendalian organisme pengganggu tanaman 9. Mengoptimalkan petugas lapangan/ penyuluh 10. Mendorong penganekaragaman dan konsumsi nasional (Sumber: Kementrian Pertanian).
4.3. Strategi Produksi Sektor pertanian masih merupakan sumber pendapatan utama bagi mayoritas penduduk Indonesia. Sekitar 40 % penduduk Indonesia bekerja di sektor pertanian, serta sebagian besar adalah petani tanaman pangan. Ciriciri petani tanaman pangan ini adalah : 1. Sebagian besar umumnya berada di daerah Jawa 2. Mempunyai lahan yang sempit dan umumnya sekitar 0.3 hektar 3. Tingkat pendidikan sangat rendah (82 % pendidikan dibawah SLTP) 4. Penguasaan modal yang sangat rendah dan umumnya banyak yang tergolong miskin 5. Sangat taat menanam tanaman pangani, dengan elastisitas penawaran terhadap perubahan harganya kurang dari 0.3. 6. Sangat minded terhadap penggunaan pupuk dengan elastistitas permintaan pupuk terhadap perubahan harga pupuk sebesar 0.0805 (untuk urea) 7. Umumnya dalam usahatani mengutamakan penggunaan tenaga kerja dalam keluarganya sendiri. 8. Dalam perhitungan usahataninya, para petani di Indonesia tidak memperhitungkan sewa lahan maupun tenaga kerja dalam keluarga. Petani semacam ini disebut sebagai Peasant , yakni petani kecil yang menjalankan usahatani dengan serba keterbatasan. Perilaku rumah tangga petani skala kecil ini umumnya bersifat semi komersial yang berperan sebagai produsen, konsumen dan pensuplai tenaga kerja, dimana keputusan dalam usahataninya tidak dapat terpisahkan dengan keputusan aktifitas rumah tangganya. Peran ganda yang dimiliki peasant, yaitu sebagai produsen sekaligus konsumen menyebabkan adanya pola pengambilan keputusan yang unik dalam rumah tangga petani. Oleh karenanya teori maksimisasi keuntungan neoklasik dengan memandang peasant sebagai produsen tidak bisa dipertahankan. Fenomena ini juga terjadi dalam rumah tangga petani pangan di Indonesia, dimana terdapat adanya alokasi silang penggunaan sumberdaya antara kebutuhan produksi dan kebutuhan konsumsi. Akibat
46
kenyataan ini kebijakan pemerintah dalam rangka meningkatkan produktifitas usahatani yang hanya bertumpu pada kebijakan on farm seperti melalui inovasi teknologi, perkreditan dan kebijakan harga, pembenahan sistem pemasaran seringkali mengalami kegagalan. Hal ini terjadi karena keputusan dalam proses usahataninya sangat berkaitan dengan keputusan kegiatan off farm maupun keputusan dalam konsumsi baik konsumsi pangan maupun non pangan seperti pendidikan dan kesehatan. Dengan kata lain tidak tampak tegas terpisah antara pengelolaan sektor produksi dengan pengelolaan sektor konsumsi dalam suatu rumah tangga petani. Rumah tangga adalah pengambil keputusan dalam menjalankan produksi dan konsumsi serta hubungannya dengan alokasi waktu. Dalam memahami proses pengambilan keputusan di rumah tangga petani terutama dalam kegiatan produksi dan konsumsinya, dapat digunakan model yang menganalisis kegiatan atau perilaku rumah tangga petani. Model tersebut yaitu Agriculture Household Model. Dalam memaksimumkan fungsi kepuasannya melalui konsumsi barang dan konsumsi waktu, rumahtangga diasumsikan mengikuti model dasar seperti pada persamaan (1). Kepuasannya rumah tangga (U) adalah fungsi dari konsumsi barang yang dihasilan rumah tangga (Xa), konsumsi barang yang dibeli pasar (Xm) dan konsumsi waktu santai (Xi).
4.3.1. Intensifikasi Produksi Program ini diarahkan untuk peningkatan produksi melalui peningkatan produktifitas usaha pertanian. Intensifikasi dapat ditujukan pada lahan-lahan pertanian subur dan produktif yang sudah merupakan daerah lumbung pangan seperti Kerawang, Subang dan daerah pantura lainya di Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan propinsi lainnya. Penekanan program ini pada peningkatan pertanaman (dari 1 menjadi 2, dari 2 kali menjadi 3 kali ) dan ketepatan masa tanam didukung oleh adanya peralatan pertanian, kebutuhan air (jaringan irigasi baru), pupuk dan benih serta pengendalian hama penyakit terpadu.
47
Tumpang Sari Jaty Arthamas dgn Padi Gogo (Usia panen 3 bulan, 1 ha menghasilkan 6 ton padi) Sumber: http://www.jati-arthamas.com/?page=company
Sistem tumpangsari jagung dengan kacang tunggak di bawah tegakan kayu.
48
Sumber: https://www.unihohenheim.de/www380/380b/science/supraregional/ManSCPNR.htm
4.3.2. Diversifikasi Produksi Kegiatan diversifikasi ditujukan untuk meningkatkan produksi pangan pokok alternatif selain beras, penurunan konsumsi beras dan peningkatan konsumsi pangan pokok alternatif yang berimbang dan bergizi serta berbasis pada pangan lokal. Diversifikasi dilakukan dengan mempercepat implementasi teknologi pasca panen dan pengolahan pangan lokal yang telah diteliti ke dalam industri. Dukungan sektor alat dan mesin dan kredit menjadi penting pada saat transformasi dari skala laboratorium menjadi skala industri agar proses produksi berjalan efisien.
49
4.3.3. Kontinyuitas Produksi Salah satu aspek penting dalam pengembangan agribisnis adalah bahwa kualitas hasil sama pentingnya dengan kuantitas dan kontinuitas hasil. Disamping faktor tanah, produktivitas pertanian sangat dipengaruhi oleh ketersediaan air dan berbagai unsur iklim. Namun dalam kenyataannya, iklim/cuaca sering seakan-akan menjadi faktor pembatas produksi. Hal tersebut disebabkan kekurang selarasan sistem usahatani dengan iklim akibat kekurang mampuan kita dalam memahami karakteristik dan menduga iklim, sehingga upaya antisipasi resiko dan sifat ekstrimnya tidak dapat dilakukan dengan baik. Akibatnya, sering tingkat hasil dan mutu produksi pertanian yang diperoleh kurang memuaskan dan bahkan gagal sama sekali. Sesuai dengan karakteristik dan kompleksnya faktor iklim, maka kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dalam memodifikasi dan mengendalikan iklim sangat terbatas. Oleh sebab itu pendekatan yang paling efektif untuk memanfaatkan sumber daya iklim adalah menyesuaikan sistem usahatani dan paket teknologinya dengan kondisi iklim setempat. Penyesuaian tersebut harus didasarkan pada pemahaman terhadap karakteristik dan sifat iklim secara baik melalui analisis dan interpretasi data iklim. Keuntungan yang diharapkan dari sistem agroforestri ini ada dua yaitu produksi dan pelayanan lingkungan. Sistem agroforestri dapat menggantikan fungsi ekosistem hutan sebagai pengatur siklus hara dan pengaruh positif terhadap lingkungan lainnya, dan di sisi lain dapat memberikan keluaran hasil yang diberikan dalam sistem pertanian tanaman semusim. Agroforestri mempunyai banyak bentuk, bila ditinjau dari segi ruang dan waktu. Ditinjau dari segi ruang agroforestri mencakup dua dimensi yaitu vertical dan horizontal. Pada dimensi vertikal, peran agroforestri terutama berhubungan
50
erat dengan pengaruhnya terhadap ketersediaan hara, penggunaan dan penyelamatan (capture) sumber daya alam. Bila ditinjau dari segi waktu, dua komponen agroforestri yang berbeda dapat ditanam bersamaan atau bergiliran. Pola Kombinasi tanaman kehutanan dan pertanian sistem agroforestri harus memperhatikan ketersediaan hara dalam tanah terutama dari segi pemilihan jenis dan pergiliran tanaman pertanian. Agar tanah tidak terkuras unsur hara maka perlu dibuat pergiliran tanaman pertanian yang dikombinasikan dengan tanaman kehutanan. Setelah beberapa kali penanaman dan panen tanaman pertanian perlu digantikan dengan tanaman kacang-kacangan yang termasuk dalam jenis leguminosae. Jenis ini dapat bersimbiosis dengan bakteri penambat nitrogen untuk menyuburkan tanah kembali. Pergiliran tanaman ini juga perlu dilakukan terutama ketika lahan sudah ditanam dengan ubi kayu / singkong (Manihot sp). Singkong (Manihot sp) merupakan tanaman yang sangat rakus karena menguras unsur hara di dalam tanah.
Pola-tanam Ubikayu dengan palawija lainnya Pengaturan Jarak Tanam Ubikayu dan Kacang Tanah (system barisan ganda) untuk Meningkatkan Indeks Pertanaman di daerah Lahan Kering Masam.
Tumpangsari ubikayu dengan kacangtanah Sumber: http://www.litbang.deptan.go.id/berita/one/753/
Hasil ubikayu pada sistem baris ganda (60 cm x 70 cm) x 2 m (populasi ubikayu 105%) maupun (60 cm x 70 cm) x 2,6 m (populasi ubikayu 86%) lebih tinggi dibandingkan cara petani. Berat umbi pada sistem baris ganda (60 cm x 70 cm) x 2 m adalah 3,74 kg/ pohon atau 25,08% lebih tinggi dibandingkan cara petani (Gambar 3). Sedangkan hasil umbi dengan sistem baris ganda (60 cm x 70 cm) x 2,6 m adalah 56,86% lebih tinggi dibandingkan cara tanam petani. Pada sistem baris ganda (60 cm x 70 cm) x 2,6 m meskipun populasi ubikayu hanya 86% dari cara petani akan tetapi umbi yang diperoleh 56,86% lebih tinggi sehingga kekurangan
51
populasi ubikayu tersebut masih dapat dikompensasi dengan kenaikan hasil. Selain itu, menurut petani dengan cara tanam tersebut memudahkan perawatan ubikayu. Sistem tumpangsari ubikayu dengan kacang tanah mempunyai beberapa keuntungan, yaitu: (1) Meningkatkan C-organik tanah, juga dapat memperbaiki sifat kimia tanah lainnya, (2) Tanaman kacang-kacangan dapat menyumbangkan sekitar 30 % N hasil dari proses fiksasi N kepada tanaman lainnya dalam sistem tumpangsari maupun rotasi. Tambahan dari residu akar tanaman legume sekitar 515 kg N/ ha, (3) Menurunkan erosi sekitar 48% dan hasil umbi 20% lebih tinggi dibandingkan dengan hasil ubikayu monokultur, (4) Meningkatkan efisiensi penggunaan lahan dan pendapatan petani, (5) Menjamin ketersediaan pakan ternak dan (6) Menjamin kelestarian lahan dan stabilitas hasil.
4.3.4. Sustainabilitas Produksi Pengembangan agribisnis palawija memiliki keterkaitan langsung dengan upaya pemantapan ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan. Pengembangannya juga akan mendukung program diversifikasi pangan dan pertanian. Mengikutsertakan palawija dalam pola pertanaman diyakini mampu memantapkan tingkat, stabilisasi, dan kontinuitas pendapatan rumah tangga petani. Diversifikasi usaha tani dengan mengikutsertakan palawija juga diyakini mampu menjamin keberlanjutan usaha tani padi di lahan sawah. Pengembangan produk palawija melalui pengembangan agroindustri, memiliki keterkaitan kebelakang yang relatif kuat, sehingga strategis sebagai instrumen peningkatan nilai tukar dan kesejahteraan petani.
52
4.4. Strategi Pendapatan Rumah-tangga Petani (RTP) Income diversification means an attempt to widen the income base by exploring and adopting new economic opportunities. It can take place at an individual level or at household level, also an enterprise can diversify its portfolio of activities, or diversification of the economy can be a local strategy. Rural income diversification has been found rather a norm than an exception in developing countries: almost all rural households earn income from more than one source. Depending on the region and area in question, the main income source may vary, but often it is agriculture, either crops or livestock, or both. Diversification can take place ad hoc, when it is often a response to a shock, or it can be a deliberate investment in expectation of better returns to labour or capital.
53
Diversification is often a tool for risk management in the absence of insurances or credits. To protect the household against risks (e.g. weather, health, price), all eggs are not put in the same basket. Sometimes this may happen at the cost of losing the potential gains from specialisation but the poor rural households may have no choice. There are both push factors and pull factors driving to diversification. Push factors push the household members to look for new opportunities outside agriculture (or within agriculture). Such factors are e.g. poor harvest, poor prices, deteriorating environment, extra labour, sudden need for extra income, changes is agricultural policy. Pull factors can be e.g. attractive opportunities outside agriculture promising better returns or other rewards (status, access to resources and services .).
4.4.1. Diversifikasi Pendapatan On-farm Farm income consisted of crop production for sale and own consumption and livestock income. Crops constituted on average 5060% of the income and livestock 10-20 %, total 70%. Most valuable crop was horticulture (for sale), followed by maize, cassava and sweet potato (both for sale and home consumption). Major problems were access to inputs and markets, also labour, low prices. Crop income generated most of the incomes, therefore size of cultivated land was the most important income determinant. Small cultivated dryland was attached to a need to look for additional income from forests and piece work (coping). Engagement in businesses was more a deliberate choice, also dependent on availability of labour. Major changes in agricultural policy: liberalisation, privatisation, which had an impact on households possibilities to obtain income. Access to
54
inputs (seeds and fertiliser), markets and agricultural extension services deteriorated, also the use of animal draught power declined significantly. Farm income tend to decline.
4.4.2. Diversifikasi Pendapatan Off-farm The farmer participation in off-farm work is influenced positively by higher levels of education and the presence of more than one farm operator associated with the farm operation, as well as by local and regional characteristics such as high local employment rate, low regional unemployment rate and a more diversified regional economy. The family, community and regional characteristics appear more relevant in determining the joint decision to work off-farm and operate a smaller holding, compared to the decision to work off-farm and operate a larger holding . For those farmers who do work off-farm, education increases the number of hours worked off-farm. In addition, a positive influence of wages in off-farm labour participation. Any factors suggest a negative effect on the probability of farmers participation in off-farm work. Some of these factors are: dairy production (dairy production is used as a proxy for labour intensive activities); size of the farm in terms of land area, capital investment and sales (the larger the farm the lower the probability of participation), and hired non-family labour (the operator usually has to be present for supervising farm work). Additionally, increasing the complexity of the business structure apparently increases the value of on-farm work by the operator and decreases the probability of offfarm employment compared to a sole proprietorship; this is particularly evident for corporations. The market for products and services derived from farm diversification activities, in particular the ones related to direct marketing and entertainment activities, looks promising, given that consumers have developed tastes and preferences for natural products and that they, more than ever, enjoy a relatively high discretionary income. On the supply side, there are a series of initiatives, developed by government and private agencies, conducted for the promotion of these types of activities. The main motivations for farm household diversification into value-added activities were to increase profitability of the farm operation and increase the chances of survival of the farming operation as well as to be able to maintain a farm lifestyle.
55
However, profit maximization is not always the primary motive for diversification. Survival of the farm business is often a key element in the decision to undertake value-added activities, as well as better use of farm resources, and an increase in socialization with urban consumers. Value-added activities tend to be especially important for operators of small farms. Nevertheless, there are a series of obstacles and constraints that affect the operation of value-added activities. The most relevant factors identified by farmers were: regulations, availability of capital, lack of marketing skills and insufficient technical support. Furthermore, human and social capital characteristics such as farmers innovation skills, university education and participation in organizations influence positively the likelihood of farmers engagement in value-added activities. It is also more likely that farmers will participate in these types of activities if they are dedicated to production of perishable products (e.g. fruit and vegetables).
56
4.4.3. Non-farm Income Diversification Agriculture is no longer the main source of income for rural families in a certain areas. Non-farm activities develop through both salaried employment outside agriculture and non-farm self-employment activities. The rural population is risk-averse: they prefer working as salaried employees; do not think of changing their job; and yet fear losing the current position. These factors and the volatility of non-farm self-employment activities, which primarily depend on weather conditions, put high priority on policies that support non-farm activities (Dmitry Zvyagintsev, Olga Shick, Eugenia Serova, and Zvi Lerman, 2007). In order to increase family income, rural households follow two strategies. First, they increase the number of income sources, primarily from self-employment activities. Second, family members can increase family income if they work in different sectors of the rural economy. Self-employment is mainly represented by work on the household plot, but some of households are engaged in non-farm selfemployment activities, such as picking and sale of any rural products. The development of the non-farm rural sector is taking place under distress-push conditions. These conditions push family members to find additional income sources, which are not regarded as a potential for future primary employment but rather as a stopgap. The aim of income diversification is to smooth the flow of income and consequently consumption across time (minimize fluctuations). Therefore diversification should preferably take place across sectors, space and time to reduce income variability, however, many of the nonfarm income sources have been found to be closely linked to agriculture. Link to agriculture can be
57
either upstream or downstream (e.g. providing agricultural labour, processing of agricultural products). Nonfarm income consisted of forest income, wage employment (piece work) income, business income, and transfers from relatives, about 20-30% of total. Forest income: selling of grass, firewood, charcoal, timber, mushrooms, etc. Wage income: working on other people s farms. Business income: food handlings, shop keeping, trading, handycrafts, hunting. Transfer: cash and inkind from relatives, food aid, pensions, and others. Participation in non-farm business is positively influenced by managerial abilities, business experience and participation in off-farm employment. University education and production of perishable products are factors that reduce the probability of farmers participating in non-farm businesses. Farm size (in terms of gross annual revenues) also affects farmers participation in non-farm businesses. Some of farm households with gross annual farm revenues relatively low had operators or family members operating a non-farm business. On the other hand, only a few of farm households with farm gross annual revenues relatively high have any non-farm business.
4.5. Strategi Diversifikasi Pangan: Makan BERAGAM, BERGIZI SEIMBANG DAN AMAN Makan beragam dan bergizi seimbang merupakan satu kesatuan konsep ketahanan pangan bagi setiap orang dan rumahtangga agar dapat hidup sehat, aktif dan produktif. Pangan bergizi belum tentu aman, beragam dan seimbang; sebaliknya pangan yang beragam belum tentu dikonsumsi seimbang antar kelompok pangan dan antar waktu makan dalam memenuhi kebutuhan gizi setiap orang dan rumahtangga. Dalam konteks penganekaragaman konsumsi pangan, gerakan makan beragam, bergizi seimbang dan aman dilihat sebagai upaya: (1) peningkatan pemenuhan kalori masyarakat per kapita untuk mencapai kondisi ideal, (2) memberikan pemahaman kepada anggota masyarakat bahwa pangan yang dikonsumsi secara beragam, bergizi seimbang dan aman sangat diperlukan, (3) untuk menumbuhkan dan menanamkan pola makan sehari-hari yang beragam, bergizi seimbang dan aman kepada lingkungan rumahtangga, dan (4) mendorong pengenalan, pengkajian dan pemanfaatan pangan-pangan lokal non-beras sebagai pangan alternatif yang memiliki nilai gizi dan nilai ekonomi yang cukup baik. Kerangka pikir gerakan makan beragam, bergizi seimbang dan aman dalam mencapai sasaran yang ditetapkan, dapat diperhatikan pada bagan berikut.
58
Adapun langkah-langkah operasional, daerah sasaran dan output yang diharapkan dari gerakan makan beragam, bergizi seimbang dan aman dapat dilihat pada bagan berikut.
59
60
V. SISTEM PRODUKSI BERKELANJUTAN The farming and food industry has three key challenges: to compete successfully with the world s best; care for the environment; and build public confidence in what it produces. The industry needs to achieve these aims to be sustainable, and for everyone else to see real improvements in the quality of life. Konferensi tentang Pertanian dan Lingkungan di Netherland (FAO 1991) telah merevisi definsii tentang "Sustainable Agricultural Development" yang didefinisikan oleh FAO tahun 1990 dan menjabarkannya ke dalam beberapa criteria dasar untuk mengukur keberlanjutan pertanian yang ada sekarang dan kedenderungan masa depan. Kriteria ini adalah sbb: MEMENUHI KEBUTUHAN PANGAN present and future generations in terms of quantity and quality and the demand for other agricultural products. MENYEDIAKAN CUKUP PEKERJAAN, securing income and creating human living and working conditions for all those engaged in agricultural production. MELESTARIKAN, DAN KALAU MUNGKIN MEMPERBAIKI KAPASITAS PRODUKTIF of the natural resources base as a whole and the regenerative capacity of renewable resources, without impairing the function of basic natural cycles and ecological balance, destroying the socio-cultural identity of rural communities or contaminating the environment. MEMBUAT SEKTOR-SEKTOR PERTANIAN MENJADI LEBIH TAHAN against adverse natural and socio-economic factors and other risks, and strengthening the self-confidence of rural populations. Menurut criteria ini, pengelolaan produktivitas tanah pertanian secara berkelanjutan untuk generasi mendatang berarti Pengelolaan Tanah dan Air Berkelanjutan secara ekologi, ekonomi dan budaya. Pertanian berkelanjutan = proses memelihara keberlanjutan pertanian melalui praktek-praktek pengelolaan tanah yang holistik dan produksi tanaman secara terpadu.
61
Definisi komprehensif bagi pertanian berkelanjutan meliputi komponen-komponen fisik, biologi dan sosioekonomi, yang direpresentasikan dengan sistem pertanian yang melaksanakan pengurangan input bahanbahan kimia dibandingkan pada sistem pertanian tradisional, erosi tanah terkendali, dan pengendalian gulma, memiliki efisiensi kegiatan pertanian (on-farm) dan bahan-bahan input maksimum, pemeliharaan kesuburan tanah dengan menambahkan nutrisi tanaman, dan penggunaan dasar-dasar biologi pada pelaksanaan pertanian. Salah satu pendekatan pertanian berkelanjutan adalah input minimal (low input). Gagasan ini adalah bahwa sistem pertanian memiliki kapasitas internal yang besar untuk melakukan regenerasi dengan menggunakan sumberdaya-sumberdaya internal.
5.1. Integrated Farming System Pertanian terpadu atau integrated farming adalah usaha pertanian dengan kelola ber kesinambungan, sehingga tidak dikenal limbah sebagai produk sampingan, semua bagian hasil pertanian diasumsikan sebagai produk ekonomis dan semua kegiatan adalah profit center, hasil samping dari salah satu sub bidang usaha menjadi bahan baku atau bahan pembantu sub bidang lainnya yang masih terkait, ilustrasi yang sederhana adalah pada usaha budidaya jagung, produk bukan hanya jagung pipilan kering sedangkan biaya pembuangan batangnya dilahan dan dibakar menjadi beban/ cost, tetapi dalam pertanian terpadu meskipun ada biaya pengumpulan batang jagung dari lahan tetapi dapat diproses menjadi silage (pakan ternak ruminansia) atau disimpan sebagai pakan kering, sehingga untuk
62
jumlah yang memenuhi ekonomis baru.
criteria ekonomis justru akan membuka cluster
Sapi adalah makhluq yang luar biasa, dimana bahan-bahan seperti limbah-limbah pertanian yang berupa jerami, tebon (batang dan daun jagung), tinten (batang dan daun kedelai) serta rerumputan dan hijauan di sekitar rumah, dimakan dan dirubah menjadi daging dan susu sebagai sumber protein makanan bergizi dan yang tidak kalah penting sapi juga menghasilkan kotoran yang bila diolah akan menjadi pupuk kelas satu untuk meningkatkan produksi tanaman pertanian dan sekaligus recovery kualitas tanah yang menurun akibat penggunaan pupuk kimia yang terus menerus. Dalam membuat kompos dihasilkan gas methan yang akan mencukupi kebutuhan energi sehari-hari bagi rumah petani. Oleh karena itu seyogyanya peternakan tidak semata untuk menghasilkan daging, susu dan anakan sapi; tetapi juga sebagai pabrik pupuk kandang yang produktif. Apabila metode ini dipraktekan dengan sunggug-sungguh kemakmuran di daerah pedesaan niscaya akan terwujud. Dalam pelaksanaannya yang perlu diperhatikan
63
adalah teknologi pendukung yang memungkinkan pertumbuhan bobot sapi maksimal dengan menyertakan teknologi probiotik dan lain-lain, pupuk yang dihasilkan harus berkualitas tinggi dengan didukung teknologi pengomposan dan gas yang dihasilkan dirancang untuk bisa mencukupi standard kebutuhan sehingga hasilnya maksimal dan benar-benar menciptakan keluarga petani yang makmur dan mandiri.
Salah satu upaya untuk mewujudkan pengembangan ekonomi daerah tertinggal yakni dengan cara pembangunan kawasan produksi berbasis komoditas unggulan. Peternakan sapi potong dapat menjadi salah satu komoditas unggulan yang layak dikembangkan guna meningkatkan pendapatan masyarakat daerah tertinggal. Selama ini, sebagian besar pola peternakan sapi potong rakyat masih menggunakan pola tradisional dan belum tersentuh inovasi teknologi tepat guna. Masyarakat masih menganggap ternak sapi hanya sebagai alat bantu dalam pengolahan lahan pertanian. Cara beternak yang masih individual dengan pola pemeliharaan di dekat rumah tinggal dan pemberian pakan seadanya mengakibatkan populasi ternak dan produktifitasnya relatif kurang berkembang. Pola pemeliharaan ternak sapi potong rakyat selama ini perlu diubah guna mempercepat peningkatan produktifitasnya.
64
Pertanian organik terpadu berbasis peternakan terbukti sangat menguntungkan. Integrasi ternak dengan lahan pertanian merupakan upaya percepatan pengembangan peternakan dengan penerapan keterpaduan antar komoditas ternak dengan usaha tanaman pangan, perkebunan dan perikanan yang saling menguntungkan berupa limbah usaha tanaman pangan, perkebunan dan perikanan yang digunakan sebagai pakan ternak untuk ternak dan kotoran ternak dalam bentuk kompos yang digunakan untuk meningkatkan kesuburan lahan pertanian. Kegiatan pertanian terpadu membutuhkan bahan organik dalam jumlah banyak. Dari kegiatan penggemukan sapi potong dapat dihasilkan bahan organik berupa pupuk kandang dan pupuk cair. Sebagai gambaran, dari 3 ekor sapi dapat dihasilkan kotoran yang dapat dipakai untuk memupuk 5 Ha sawah per tahun. Selain itu, dengan teknologi sederhana kotoran ternak dapat juga dimanfaatkan sebagai bahan bakar alternatif menjadi biogas. Pada beberapa peternakan sapi rakyat di Pangalengan pemanfaatan kotoran ternak sudah digunakan sebagai bahan bakar alternatif.
65
5.2. Mixed Farming System Pertanian terpadu merupakan sistem yang menggabungkan kegiatan pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan dan ilmu lain yang terkait dengan pertanian dalam satu lahan, sehingga diharapkan dapat sebagai salah satu solusi alternatif bagi peningkatan produktivitas lahan, program pembangunan & konservasi lingkungan serta pengembangan desa secara terpadu. Diharapkan kebutuhan jangka pendek, menengah dan panjang petani berupa pangan, sandang dan papan akan tercukupi dengan sistem pertanian berbasis agroforestry ini. Hasil pertanian dan perikanan diharapkan mampu mencukupi kehidupan jangka pendek, sedangkan hasil peternakan dan perkebunan dapat dimanfaatkan untuk kehidupan jangka menengah. Penjualan hasil kebun dan hasil hutan rakyat sekarang dipercaya mampu mencukupi kebutuhan membayar biaya sekolah, rumah sakit, hajatan sunatan, mantenan dan kebutuhan jangka panjang lain. Dengan demikian, sistem agroforestry mampu memberikan pendapatan harian, bulanan, tahunan maupun dekade-an bagi petani.
Praktek pertanian terpadu melalui agroforestry sebenarnya sudah tidak asing lagi bagi petani di lahan kritis, bahkan kadang hanya dianggap sebagai istilah baru bagi praktek lama yang lebih bersifat mono-disipliner tersebut. Pendekatan menyeluruh agar pengelolaan sumber daya alam dapat
66
berkelanjutan menuntut keseimbangan antara produksi dan konservasi lingkungan yang hanya dapat didekati secara multidispliner lewat paradigma baru agroforestry yang menuntut partisipasi antar pihak. Agroforestry telah menjadi trade mark di daerah tropis, sehingga banyak negara maju yang berasal dari negara non-tropis yang belajar di negara tropis, termasuk Indonesia. Mixed farming system can be defined as (i).
The use of a single farm for multiple purposes, as the growing of cash crops or the raising of livestock is called as mixed farming. (ii). Farming involving both the growing of crops and the keeping of livestock is called as mixed farming. (iii). A type of commercial agriculture concerned with the production of both crops and animals on one farm. Stock on a mixed farm used to be grazed on fallow land, but many modern mixed farms produce some, or all, of their fodder crops. Mixed farming is a system of farming in which a farmer conducts different types of agricultural practices together, on a single farm in view of increasing his income through different sources, is called as mixed farming. But, what is a farm? & what is Farming? Receiving the radiant energy of sun through crops and cattle is called as farming whereas, the place where these practices are done, is called as a farm. Here is one example: Rearing of cattle and growing fodder for them on a piece of land is called as farming. In other words, Mixed farming is the combining of two independent agricultural enterprises on the same farm. In mixed farming a farmer can take up different types of practices for income generation while doing his main business of agriculture. Some of these practices that can be done together with the main agricultural practices are poultry faming, dairy farming, bee keeping, sericulture, Pisciculture, shrimp farming, goat and sheep rearing, piggery and agro forestry. Thus a farmer can raise his income manifold through carrying out different farming practices together. The greatest benefit from this type of farming is that if any one business does not pay desired benefit, the same can be recovered from the benefit of the other business. Faktor-faktor yang mempengaruhi Mixed Farming A number of factors are there to affect the system of mixed farming. These are quality of soil, quality of livestock, location of farm, topography, water facility, technologies used and economic considerations. Jasa-jasa Mixed Farming The mixed farming system is the largest category of livestock system in the world which covers about 2.5 billion hectares of land, of which 1.1 billion hectares are arable rainfed crop land, 0.2 billion hectares are irrigated cropland and 1.2 billion hectares are grassland. This system of farming produces 92% of the world s milk supply. Some of the important merits of mixed farming are mentioned below. 1. This farming system maintains soil fertility by recycling soil nutrients and allowing the introduction and use of rotations between various crops and
67
forage legumes and trees, or for land to remain fallow and grasses and shrubs to become reestablished; 2. Mixed farming maintains soil biodiversity, minimize soil erosion, help to conserve water and provide suitable habitats for birds; 3. It makes the best use of crop residues. When they are not used as feed, stalks may be incorporated directly into the soil, where, for some time, they act as a nitrogen trap, exacerbating deficiencies. In the tropical semi-arid areas, termite action results in loss of nutrients before the next cropping season. Burning, the other alternative, increases carbon dioxide emissions; and 4. Mixed farming allows intensified farming, with less dependence on natural resources and preserving more biodiversity than would be the case if food demands were to be met by crop and livestock activities undertaken in isolation. Metode-metode dalam Mixed Farming There are a number of methods that are adopted in the mixed farming system. Some of these methods are being described below: 1. Food Fodder Farming In this method of mixed farming, the fodder crops are also grown along with other crops. Farmers can grow Sorghum, Pusa Giant Napier; berseem etc. as fodder crops for their cattle alongwith food crops. It is through this system that the availability of high variety of fodder is ensured for milch cattle while growing crops for production of grains, pulses, vegetables, oil and fruits etc. 2. Crop-livestock systems Many farmers manage a mix of crops and animals. In these systems crop residues can be used to feed the animals and the excreta from the animals as nutrients for the crops. Other forms of mixing take place where grazing under fruit-trees keeps the grass short, where manure from pigs is used to 'feed' fish in a pond or where young animals bred in remote areas are fattened near urban centres with high demands for meat. In addition, inclusion of livestock alters the rate of nutrient turnover, it provides a labour opportunity in slack times for crops and adds value to crop (by)products. Livestock thus affects the socio-economic and biophysical dynamics of the entire farming system. Indeed, a wide variety of forms and processes in mixed farming are known world-wide. To different degrees they are all essential for the livelihood of farmers and for the production of food and other commodities for cities and export markets. More recently, even highly specialised crop and livestock systems in developed and developing countries have rediscovered the advantages of mixed farming. 3. Agroforestry System According to the World Forestry Centre (ICRAF) 1993, - Agroforestry system is a collective name for the land use systems and practices in which woody perennial plants are deliberately integrated with crops (and some times animals) on the same land management unit. The integration can be either in a spatial mixture or in a temporal sequence. There are normally both ecological and economic interactions between woody and non-woody components in Agroforestry". Again in the year 2003, the ICRAF further defined the agroforestry system as - a dynamic, ecology based, natural resources management system that, through the integration of trees on farms and in the agricultural landscape,
68
diversifies and sustains production for increased social, economic and environmental benefits for land users at all levels (World Agroforestry Centre, 2003).
5.3. Sustainable Agroforestry Management Penanaman berbagai macam pohon dengan/atau tanpa tanaman semusim pada lahan yang sama sudah sejak lama dilakukan petani di Indonesia. Contoh ini dapat dilihat dengan mudah pada lahan pekarangan di sekitar tempat tinggal petani di wilayah pedesaan. Jenis-jenis pohon yang ditanam sangat beragam, ada yang bernilai ekonomi tinggi seperti kelapa, karet, cengkeh, kopi, kakao (coklat), nangka, belinjo, petai, jati dan mahoni, ada pula yang bernilai ekonomi rendah seperti dadap, lamtoro dan kaliandra. Jenis tanaman semusim biasanya berkisar pada tanaman pangan yaitu padi (gogo), jagung, kedelai, kacang-kacangan, ubi kayu, sayur-mayur dan rerumputan atau jenis-jenis tanaman lainnya.
Sistem agroforestri yang lebih kompleks merupakan sistem pertanian menetap yang melibatkan beragam jenis pohon (berbasis pohon), baik sengaja ditanam maupun yang tumbuh secara alami pada sebidang lahan dan dikelola petani mengikuti pola yang menyerupai hutan. Dalam sistem ini, terdapat beraneka jenis pohon, perdu, tanaman memanjat (liana), tanaman semusim dan rerumputan dalam jumlah banyak. Agroforestri merupakan salah satu model pertanian berkelanjutan yang tepat-guna, sesuai dengan keadaan petani. Pengembangan pertanian komersial khususnya tanaman semusim menuntut terjadinya perubahan sistem produksi secara total menjadi sistem monokultur dengan masukan energi, modal, dan tenaga kerja dari luar yang relatif besar yang tidak sesuai
69
untuk kondisi petani. Selain itu, percobaan-percobaan yang dilakukan untuk meningkatkan produksi tanaman komersial selalu dilaksanakan dalam kondisi standar yang berbeda dari keadaan yang lazim dihadapi petani. Tidak mengherankan bila banyak hasil percobaan mengalami kegagalan pada tingkat petani. Agroforestri mempunyai fungsi ekonomi penting bagi masyarakat setempat. Peran utamanya bukanlah semata-mata produksi bahan pangan, melainkan sebagai sumber penghasil pemasukan uang dan modal. Misalnya: kebun damar, kebun karet dan kebun kayu manis menjadi andalan pemasukan modal petani. Agroforestri seringkali menjadi satu-satunya sumber income bagi rumahtangga petani. Agroforestri mampu menyumbang 50% hingga 80% pemasukan dari pertanian di pedesaan melalui produkproduknya, baik langsung maupun tidak langsung, yang berhubungan dengan aktivitas pengumpulan hasil, pengolahan hasil dan pemasaran hasil.
Keunikan sistem agroforestri adalah karena sistem ini bertumpu pada keragaman struktur dan unsur-unsurnya, tidak terkonsentrasi pada satu spesies tanaman saja. Usaha memperoleh produk ekonomi ternyata sejalan dengan fungsi ekologis yang lebih luas. Aneka hasil agroforestri dapat berfungsi sebagai "bank" yang sebenarnya. Pendapatan dari sistem agroforestri ini dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari yang diperoleh dari hasil-hasil yang dapat dipanen secara teratur, misalnya lateks karet, damar, kopi, kayu manis dan lain lain. Selain itu, agroforestri juga dapat membantu memenuhi kebutuhan tahunan dari hasil-hasil yang dapat dipanen secara musiman seperti buah-buahan, cengkeh, pala, dan lain-lain. Komoditas-komoditas lain seperti kayu bahan bangunan juga dapat menjadi sumber uang yang cukup besar meskipun tidak tetap, dan dapat dianggap sebagai cadangan tabungan untuk kebutuhan mendadak. Di beberapa daerah di Indonesia menabung uang
70
tunai masih belum merupakan kebiasaan, maka keragaman bentuk sumber uang sangatlah penting. Kelenturan sistem agroforestri juga penting di daerah-daerah dimana akses kredit sangat sulit. Struktur yang tetap dengan diversifikasi tanaman komersil, menjamin keamanan dan kelenturan pendapatan petani, walaupun sistem ini tidak memungkinkan adanya akumulasi modal secara cepat dalam bentuk asetaset yang dapat segera diuangkan. Keragaman tanaman melindungi petani dari ancaman kegagalan panen salah satu jenis tanaman atau resiko perkembangan pasar yang sulit diperkirakan. Jika terjadi kemerosotan harga satu komoditas, species ini dapat dengan mudah ditinggalkan saja, hingga suatu saat harga produknya baik kembali. Proses tersebut tidak menimbulkan gangguan ekologi terhadap sistem agroforestri. Petak kebun tetap utuh dan produktif dan species yang ditinggalkan akan tetap hidup dalam struktur agroforestri, dan dapat dipanen kembali sewaktu-waktu. Spesies-spesies baru dapat diperkenalkan tanpa merombak sistem produksi yang ada.
Valuasi ekonomi pertanian biasanya ditujukan pada jenis tanaman dan pola penanaman monokultur yang teratur rapi. Valuasi ekonomi masih belum banyak dolakukan terhadap nilai pepohonan dan tanaman nonkomersial. Biasanya tidak dimiliki latar belakang pengetahuan yang cukup untuk dapat mengenali manfaat ekonomi spesies pepohonan dan herba/semak.
71
Sistem agroforestri dikembangkan untuk memberi manfaat kepada manusia atau meningkatkan kesejahteraan ekonominya. Agroforestri diharapkan dapat membantu mengoptimalkan hasil dari sebidang lahan pertanian secara berkelanjutan. Sistem berkelanjutan ini dicirikan antara lain oleh tidak adanya penurunan produksi tanaman dari waktu ke waktu dan tidak adanya degradasi lingkungan. Kondisi seperti ini merupakan refleksi dari adanya konservasi sumberdaya alam yang optimal oleh sistem agroforestri. Dalam hubungan ini, sistem agroforestri diharapkan lebih banyak memanfaatkan tenaga dan sumberdaya rumahtangga sendiri (internal). Di samping itu agroforestri diharapkan dapat meningkatkan daya dukung ekologi, khususnya di daerah pedesaan. Beberapa manfaat ekonomi dan ekologi berikut menjadi acuan dalam pengelolaan sistem agroforestri.
1. Penyediaan kebutuhan kecukupan pangan = Meningkatkan persediaan pangan yang bersifat tahunan dan musiman; perbaikan kualitas nutrisi, pemasaran, dan prosesproses dalam agroindustri. = Diversifikasi produk dan meminimumkan risiko gagal panen. = Keterjaminan pangan secara berkesinambungan. 2. Penyediaan energi lokal, aneka ragam agrofuels: Suplai yang lebih baik untuk memasak dan pemanasan rumah (catatan: yang terakhir ini terutama di daerah pegunungan atau berhawa dingin) 3. Kualitatas dan diversitas produk hasil kehutanan dan pertanian: = Pemanfaatan berbagai jenis pohon dan perdu, khususnya untuk produk-produk yang dapat menggantikan ketergantungan dari luar (misal: zat pewarna, serat, obatobatan, zat perekat, dll.) atau yang mungkin dijual untuk memperoleh pendapatan tunai. = Diversifikasi produk. d. Kualitas hidup daerah pedesaan, khususnya pada daerah dengan persyaratan hidup yang sulit di mana masyarakat miskin banyak dijumpai: = Mengusahakan peningkatan pendapatan, ketersediaan pekerjaan yang menarik. = Mempertahankan orang-orang muda di pedesaan, struktur keluarga yang tradisional, pemukiman, pengaturan pemilikan lahan. = Memelihara nilai-nilai budaya. e. Pelestarian kemampuan produksi dan jasa lingkungan setempat: = Mencegah terjadinya erosi tanah, degradasi lingkungan. = Perlindungan keanekaragaman hayati.
72
= Perbaikan tanah melalui fungsi pompa pohon dan perdu, mulsa dan perdu. = Shelterbelt, pohon pelindung (shade trees), windbrake, pagar hidup (life fence). = Pengelolaan sumber air secara lebih baik.
5.4. PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (PTT) Pengelolaan tanaman secara terpadu (PTT) adalah pendekatan dalam pengelolaan lahan, air, tanaman, organisme pengganggu tanaman (OPT), dan iklim secara terpadu dan berkelanjutan dalam upaya peningkatan produktivitas, pendapatan petani, dan kelestarian lingkungan. PTT komoditas dapat dirancang berdasarkan pengalaman implementasi berbagai sistem intensifikasi yang pernah dikembangkan di Indonesia, hasil penelitian yang menunjukkan sebagian besar lahan telah mengalami kemunduran kesuburan, dan adopsi filosofi Sistem Intensifikasi Padi (System of Rice Intensification) yang semula dikembangkan di Madagaskar. Tujuan penerapan PTT komoditas (misalnya jagung) adalah untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani serta melestarikan lingkungan produksi melalui pengelolaan lahan, air, tanaman, OPT, dan iklim secara terpadu. Prinsip PTT mencakup empat unsur, yaitu integrasi, interaksi, dinamis, dan partisipatif. Integrasi Dalam implementasinya di lapangan, PTT mengintegrasikan sumber daya lahan, air, tanaman, OPT, dan iklim untuk mampu meningkatkan produktivitas lahan dan tanaman sehingga dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi petani. Interaksi PTT berlandaskan pada hubungan sinergis atau interaksi antara dua atau lebih komponen teknologi produksi. Dinamis PTT bersifat dinamis karena selalu mengikuti perkembangan teknologi dan penerapannya disesuaikan dengan keinginan dan pilihan petani. Oleh karena itu, PTT selalu bercirikan spesifik lokasi. Teknologi yang dikembangkan melalui pendekatan PTT senantiasa mempertimbangkan lingkungan fisik, biofisik, iklim, dan kondisi sosial-ekonomi petani setempat. Partisipatif PTT juga bersifat partisipatif, yang membuka ruang bagi petani untuk memilih, mempraktekkan, dan bahkan memberikan saran kepada penyuluh dan peneliti untuk menyempurnakan PTT, serta menyampaikan pengetahuan yang dimiliki kepada petani yang lain.
73
Dalam menerapkan pengelolaan tanaman secara terpadu ternyata teknologi tepat guna memegang peran sangat penting. Agar komponen teknologi yang dipilih sesuai dengan kebutuhan setempat, maka proses pemilihan atau perakitannya didasarkan pada hasil analisis potensi, kendala, dan peluang atau dikenal dengan PRA (Participatory Rural Appraisal). Dari hasil PRA dapat teridentifikasi masalah yang dihadapi dalam upaya peningkatan produksi. Untuk memecahkan masalah yang ada dipilih teknologi yang akan diintroduksikan, baik dari komponen teknologi dasar maupun pilihan. Komponen teknologi pilihan dapat menjadi komponen teknologi dasar jika hasil PRA memprioritaskan penerapan komponen teknologi tersebut untuk pemecahan masalah utama di wilayah setempat. Komponen teknologi dasar (compulsory) adalah komponen teknologi yang relatif dapat berlaku umum di wilayah yang luas, antara lain: 1) Varietas unggul, baik dari jenis hibrida maupun komposit atau bersari bebas, 2) Bibit bermutu dan sehat (perlakuan benih), 3) Populasi tanaman sekitar 66.600 tanaman/ha, benih ditanam dua biji per lubang dengan jarak tanam 75 cm x 40 cm, 4) Pemupukan berimbang, pupuk N diberikan sesuai dengan fase pertumbuhan tanaman dan menggunakan bagan warna daun (BWD) untuk menentukan waktu dan takaran pemupukan. Pupuk P dan K diberikan berdasarkan hasil analisis tanah, 5) Saluran drainase (lahan kering) atau irigasi (lahan sawah). Komponen teknologi pilihan yaitu komponen teknologi yang lebih bersifat spesifik lokasi, antara lain: 1) Penyiapan lahan dengan teknologi tanpa olah tanah (TOT) atau teknologi pengolahan tanah, bergantung pada tekstur tanah setempat, 2) Bahan organik, pupuk kandang, dan amelioran, 3) Penyiangan dengan herbisida atau secara manual, 4) Pengendalian hama dan penyakit yang tepat sasaran, 5) Penanganan panen dan pascapanen.
74
5.4.1. MENUJU PENGELOLAAN KEBUN KOPI BERKELANJUTAN Produktivitas perkebunan kopi sekala besar, baik milik swasta maupun pemerintah cenderung terus menurun, demikian pula luas arealnya. Cukup banyak areal perkebunan besar kopi yang kurang terawat, bahkan dikonversi menjadi tanaman lainnya karena mengalami kerugian besar selama beberapa tahun. Di perkebunan kopi rakyat, kondisinya tidak jauh berbeda. Dewasa ini cukup banyak kebun kopi rakyat yang kondisinya makin memprihatinkan akibat minimumnya perawatan. Di beberapa sentra produksi kopi bahkan cukup banyak yang dikonversi ke komoditas lain atau ditumpangsarikan dengan komoditas lain, seperti kakao dengan konsekuensi mengurangi populasi tanaman kopinya. Maksimalisasi biodiversitas kebun kopi merupakan upaya penanaman beberapa jenis tanaman dalam kebun kopi yang saling kompatibel satu sama lain. Sebagai contoh adalah penggunaan penaung produktif seperti pete yang sekaligus dapat digunakan sebagai penyangga tanaman lada. Sebagai penaung juga dapat dipakai pinang yang memiliki nilai ekonomi cukup baik. Selain itu, kopi juga dapat ditumpangsarikan dengan kakao yang membutuhkan kondisi lingkungan yang sama, sehingga di antara kedua jenis tanaman pokok tersebut saling kompatibel. Pemilihan jenis tanaman dan pengaturan tata tanam yang optimal dalam pola tanam tumpangsari tersebut menjadi kunci keberhasilan tumpangsari. Fakta di lapangan membuktikan bahwa petani kopi yang melakukan tumpangsari memiliki ketahanan yang lebih baik terhadap gejolak harga komoditas. Pola tumpangsari kopi dengan beberapa jenis tanaman lain yang kompatibel sangat menguntungkan ditinjau dari pencegahan degradasi lingkungan fisik. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya beberapa strata tajuk tanaman dan tingkat kedalaman akar dari beberapa jenis tanaman yang ditumpangsarikan lebih menguntungkan dalam pemanfaatan air maupun hara dari dalam tanah, mitigasi aliran permukaan, erosi dan banjir serta jenis degradasi lahan lainnya. Makin tinggi biodiversitas tanaman di atas permukaan tanah juga menyebabkan makin tingginya biodiversitas di bawah permukaan tanah dan makin baiknya kesehatan tanah.
5.4.2. Kebun Pisang PENGEMBANGAN PISANG SEBAGAI BAHAN PANGAN PENGGANTI KARBOHIDRAT DALAM RANGKA DIVERSIFIKASI PANGAN Pisang adalah tanaman buah berupa herba yang berasal dari kawasan di Asia Tenggara (termasuk Indonesia). Tanaman ini kemudian menyebar ke Afrika (Madagaskar), Amerika Selatan dan Tengah. Di Jawa Barat, pisang disebut dengan Cau, di Jawa Tengah dan Jawa Timur dinamakan gedang. Jenis pisang dibagi menjadi tiga: 1) Pisang yang dimakan buahnya tanpa dimasak yaitu M. paradisiaca var Sapientum, M. nana atau disebut juga M. cavendishii, M. sinensis. Misalnya pisang ambon, susu, raja, cavendish, barangan dan mas. 2) Pisang yang dimakan setelah buahnya dimasak yaitu M. paradisiaca forma typicaatau disebut juga M. paradisiaca normalis. Misalnya pisang nangka, tanduk dan kepok. 3) Pisang berbiji yaitu M. brachycarpa yang di Indonesia dimanfaatkan daunnya. Misalnya pisang batu dan klutuk. 4) Pisang yang diambil seratnya misalnya pisang manila (abaca).
75
Lingkungan Tumbuh Tanaman Pisang 1. Iklim tropis basah, lembab dan panas mendukung pertumbuhan pisang. Namun demikian pisang masih dapat tumbuh di daerah subtropis. Pada kondisi tanpa air, pisang masih tetap tumbuh karena air disuplai dari batangnya yang berair tetapi produksinya tidak dapat diharapkan. 2. Angin dengan kecepatan tinggi seperti angin kumbang dapat merusak daun dan mempengaruhi pertumbuhan tanaman. 3. Curah hujan optimal adalah 1.520 3.800 mm/tahun dengan 2 bulan kering. Variasi curah hujan harus diimbangi dengan ketinggian air tanah agar tanah tidak tergenang. 4. Pisang dapat tumbuh di tanah yang kaya humus, mengandung kapur atau tanah berat. Tanaman ini rakus makanan sehingga sebaiknya pisang ditanam di tanah berhumus dengan pemupukan. 5. Air harus selalu tersedia tetapi tidak boleh menggenang karena pertanaman pisang harus diari dengan intensif. Ketinggian air tanah di daerah basah adalah 50 - 200 cm, di daerah setengah basah 100 - 200 cm dan di daerah kering 50 150 cm. Tanah yang telah mengalami erosi tidak akan menghasilkan panen pisang yang baik. Tanah harus mudah meresapkan air. Pisang tidak hidup pada tanah yang mengandung garam 0,07%. 6. Tanaman ini toleran akan ketinggian dan kekeringan. Di Indonesia umumnya dapat tumbuh di dataran rendah sampai pegunungan setinggi 2.000 m dpl. Pisang ambon, nangka dan tanduk tumbuh baik sampai ketinggian 1.000 m dpl Analisis Usahatani Pisang Perkiraan analisis budidaya pisang dengan luasan 1 ha di daerah Jawa Barat pada tahun 1999. 1) Biaya produksi 1 ha pisang dari tahun ke-1 sampai ke-4 adalah: 1. Tahun ke-1 Rp. 5.338.000,2. Tahun ke-2 Rp. 4.235.000,3. Tahun ke-3 Rp. 4.518.000,4. Tahun ke-4 Rp. 4.545.300,2) Penerimaan tahun ke I sampai IV *) 1. Tahun ke-1: 0,8 x 1.000 tandan Rp. 6.000.000,2. Tahun ke-2: 0,8 x 2.000 tandan Rp. 12.000.000,3. Tahun ke-3: 0,8 x 2.000 tandan Rp. 12.000.000,4. Tahun ke-4: 0,8 x 2.000 tandan Rp. 12.000.000,3) Keuntungan 1. Keuntungan selama 4 tahun penanaman Rp. 23.363.700,2. Keuntungan/tahun Rp. 5.840.925,4) Parameter kelayakan usaha 1. Output/Input rasio = 2,150 Keterangan : *) perkiraan harga 1 tandan Rp. 7.500,-
76
Kebun pisang Sumber: http://ariessy.blogspot.com/2009/02/pengembangan-pisang-sebagaibahan.html Pisang sebagai salah satu komoditas yang dapat digunakan sebagai sumber karbohidrat alternatif karena memiliki kandungan karbohidrat dan kalori yang cukup tinggi. Kandungan gizi yang terdapat dalam setiap 100 gr buah pisang terdiri dari kalori 115 kalori, protein 1,2 gr, lemak 0,4 gr, karbohidrat 26,8 gr, serat 0,4 gr, kalsium 11 mg, posfor 43 mg, besi 1,2 mg, vitamin B 0,1 mg, vitamin C 2 mg, dan air 70,7 gr. Dengan komposisi tersebut, pisang dapat digunakan sebagai bahan pangan alternatif pengganti beras khususnya di daerah-daerah yang sering mengalami rawan pangan. Di beberapa daerah masyarakat mengkonsumsi pisang sebagai pengganti makanan pokok seperti di Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku. Disamping itu pisang memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan komoditas lain yaitu : 1. Pisang dapat diusahakan pada berbagai type agroekosistem yang tersebar di seluruh nusantara. 2. Permintaan pasar cukup besar dan produksinya tersedia merata sepanjang tahun. 3. Memiliki bermacam varietas dengan berbagai kecocokan penggunaan. 4. Usahatani pisang mampu memberikan hasil waktu yang relatif singkat (1 2 tahun). Disamping itu juga dapat dimanfaatkan sebagai tanaman penghijauan dan konservasi lahan karena tanaman pisang sangat baik dalam menahan air. Pisang sebagai salah satu komoditas unggulan saat ini masih tetap merupakan kontributor utama (34,5%) terhadap produksi buah nasional. Sejak tahun 2002 2006 produksi pisang cenderung mengalami peningkatan dengan rata-rata 4,3% pertahun. Produksi pisang pada tahun 2002 sebesar 4.384.384 ton naik menjadi 5.321.538 ton pada tahun 2006 (angka prognosa) dengan produktivitas dari 58,65 ton/ha menjadi 49,45 ton/ha. Wilayah pengembangan pisang varietas Kepok terdapat di Kalimantan yaitu di Kabupaten Kota Baru, Banjar, Pontianak, Pulang Pisau, Kapuas, Kutai, Berau, dan Pasir, sedangkan di pulau Sulawesi terdapat di Kabupaten Bone,
77 Majene, Toli-toli dan Minahasa Utara, serta sebagain besar di Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Untuk varietas pisang Nangka terdapat di Kabupaten Simalungun, Tanah Datar, Lampung Selatan, Lampung Timur, Cianjur, dan Malang. Sedangkan pisang Tanduk banyak terdapat di Kabupaten Tapanuli Selatan, Cianjur, Sukabumi, Lampung Timur dan Lampung Selatan, Pandeglang, Cilacap, Lumajang, Jembrana, dan Kutai Timur.
5.4.3. Kebun Pepaya KELAYAKAN INVESTASI BUDIDAYA PEPAYA (http://berusahatani.blogspot.com/2009/08/pembiayaan-dan-kelayakaninvestasi.html) Dalam analisis ekonomi usahatani kebun papaya dapat digunakan asumsiasumsi sebagai berikut : (a) Usaha dilakukan pada lahaan seluas 0,5 Ha. Komponen lahan diperhitungkan sebagai sewa. (b) Usaha dilakukan dengan prioritas utama sebagai penghasil buah meja, sedangkan pengolahan getah menjadi raw papain dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan nilai tambah. (c) Produksi papain diperhitungkan sebesar 23,75 kg pada tahun pertama dan masing-masing sebesar Rp 95 kg pada tiga tahun berikutnya. (d) Harga jual papain diperhitungkan Rp 270.000.000 (data e-mail dari China menyatakan bahwa harga raw papain pada tahun 1999 sebesar $US 30 - $US 40 kg dan harga pure papain mencapai $US 100). Harga pepaya diperhitungkan Rp. 750,00 per kg. (e) Pembiayaan usaha berasal dari modal sendiri dan pinjamaan bank. Struktur pendanaan mengikuti struktur yang umum yakni 35% berasal dari modal sendiri dan 65% dari pinjaman bank. Bunga pinjaman diperhitungkan 18% (kredit investasi) dan 21% (kredit modal kerja). (f) Pajak usaha diperhitungkan sesuai aturan yang bersifat progresif (pajak progresif) dengan ketentuan bahwa pajak dari laba usaha hingga sebesar 25 juta rupiah adalah sebesar 10%, sisaan berikutnya hingga sebesar 50 juta rupiah dikenakan sebesar 15%, dan sisaan berikutnya dikenakan sebesar 30%. Biaya investasi meliputi biaya bangunan, peralatan dan pengadaan (sewa) lahan. Biaya investasi yang diperlukan bagi usaha budidaya pepaya skala usaha 0,5 Ha dan pengolahan papain sebesar Rop. 14.565.600,00. Dengan modal kerja selama 3 bulan sebesar Rp. 7.766.150,00 maka kebutuhan modal awal yang diperlukan sebesar Rp. 22.331.750,00. Dengan struktur pendanaan 35% : 65%, maka modal sendiri yang harus disiapkan pada awal usaha sebesar Rp. 7.816.112,50 sedangkan sisanya (Rp. 14.515.637,50) diperoleh melalui pinjaman bank. Pada tahun pertama, usaha budidaya pepaya dan pengolahan papain belum dapat menghasilkan laba. Hal ini dapat dimaklumi mengingat bahwa pada tahun pertama sebagian besar intensitas usaha masih berada pada tahap pra produksi. Intensitas penyadapan masih relatif rendah. Demikian pula pemanenan dan penjualan buah. Laba bersih baru dapat dihasilkan secara signifikan mulai tahun kedua. Dengan asumsi bahwa harga jual buah pepaya dan papain konstan (tidak meningkat), maka laba bersih (setelah dipotong pajak) yang dapat dihasilkan sebesar Rp. 53.123.251,02 (tahun kedua) dan masing-masing sebesar Rp. 51.646.981,68 (tahun ketiga dan tahun ke empat). Berdasarkan perhitungan selama empat tahun terakhir umur proyek diperoleh nilai NPV pada tingkat suku bunga 21% yang relatif tinggi, yakni sebesar
78 Rp. 77.181.647,72. Bahkan melalui interpolasi didapatkan nilai usaha budidaya pepaya dan pengolahan papain mampu bertahan dalam suku bunga pinjaman yang tinggi. Nilai rasio BC juga relatif tinggi, yakni sebesar 5,37. Hal ini mengidentifikasikan bahwa usaha ini relatif efisien dan dapat memberikan keuntungan hampir sebesar 5,5 kali biaya produksinya. Nilai ROI yang didapatkan dari usaha ini sebesar 361,2%. Hal ini berarti bahwa lamanya modal usaha akan kembali pada setiap tahunnya (mulai tahun kedua) sebesar 251,2% atau hanya sekitar 4,6 bulan. Periode pengembalian juga relatif singkat, yakni 1,38 tahun. Analisis sensitivitas digunakan untuk melihat pengaruh perubahan tampak bahwa usaha ini masih menunjukan indikator kelayakan yang relatif bagus pada berbagai perubahan variabel usaha. Hal ine menegaskan bahwa usaha budidaya pepaya dan papain layak untuk direalisasikan. Kelayakan Ekonomi. Realisasi usaha ini akan memberika kontribusi berupa kesempatan kerja bagi 5 orang tenaga kerja. Selain itu realisasi ini juga akan memberikan sumbangan kepada daerah secara langsung dalam bentuk pajak usaha. Pajak usaha kumulatif yang dapat diterima daerah dari usaha buidaya pepaya dan pengolahan papain skala usaha 0,5 Ha sebesar Rp. 29.663.762,16. (Sumber: http: //berusahatani.blogspot.com/2009/08/pembiayaan-dan-kelayakaninvestasi.html)
Kebun papaya produktif Sumber: http://mitra-pertanian.blogspot.com/2010/08/pepaya-red-lady.html
5.5. Pengelolaan Lengas-Tanah secara Berkelanjutan Sustainable soil management (SSM) harus memanfaatkan pendekatan multidiscipliner. Pada hekakatnya ada tiga aspek dalam system pengelolaan tanah, yaitu:
79
Aspek Bio-fisik: Sustainable soil management must maintain and improve the physical and biological soil conditions for plant production and biodiversity. Aspek Socio-budaya: Sustainable soil management must satisfy the needs of human beings in a socially and culturally appropriate manner at a regional or national level. Aspek Ekonomi: Sustainable soil management must cover all the costs of individual land users and society. Konsep sustainable land management (SLM) dapat diaplikasikan pada berbagai sekala untuk menjawab beragam isu-isu, sambil menyediakan arahan dan pedoman ilmiah yang dianut dalam evaluasi pembangunan berkelanjutan di masa mendatang. Atas dasar ini, maka pengelolaan tanah berkelanjutan menjadi landasan bagi pengelolaan lahan berkelanjutan; dan SLM ini menjadi landasan bagi pembangunan berkelanjutan. Land Quality Indicators (LQIs) dikembangkan sebagai sarana memperbaiki koordinasi ketika melakukan tindakan seperti mengatasi degradasi lahan. Masih diperlukan kajian-kajian untuk menyempurnakan konsep LQI, termasuk: Bagaimana mengintegrasikan data social-ekonomi (land management) dengan informasi biofisik dalam definisi dan pengembangan LQI. Bagaimana sekala data untuk aplikasi pada berbagai tingkat hierarkhis. Indikator untuk Pengelolaan Tanah Berkelanjutan Ada enam criteria ekologis yang mendasar untuk pengelolaan tanah berkelanjutan. Kriteria ini harus digunakan untuk mengevaluasi keberlanjutan penggunaan tanah. Indikator ini adalah: Massa tanah harus dikonservasi dan dilestarikan dalam setiap unit lahan. Kesuburan tanah dan biologi tanah harus dilestarikan; kerusakan akibat substansi toksik dari sumber eksternal harus diminimumkan. Penggunaan tanah harus ditingkatkan supaya manfaat marjinalnya dapat meningkat. Semua bentuk degradasi tanah (erosi, degradasi biological, physical, dan kimia) harus dicegah. Dalam tanah-tanah yang telah mengalami degradasi, laju pembentukan tanah harus dipacu untuk dapat memperbaiki biologi tanah dan kesuburan tanah. Biodiversitas alami dan sumberdaya alam lainnya harus dikonservasi atau dipulihkan kembali, agar supaya kelangkaan suatu spesies tidak membahayakan komunitas biologis. Penggunaan lahan secara local tidak boleh bertentangan dengan pembangungan berkelanjutan suatu zona, terutama dalam hal-hal social, institutional dan ekonomi. Kualitas tanah dinilai dalam hubungannya dengan kesehatan system biologi tanah secara keseluruhan. Banyak pakar merasa bahwa definisi kualitas tanah harus mempertimbangkan fungsinya dalam ekosistem. Definisi ini didasarkan pada pemantauan kualitas tanah dalam hal: Produktivitas: Kemampuan tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman dan produktivitas biologis.
80
Kualitas Lingkungan: Kemampuan tanah untuk menetralisir pencemar lingkungan, pathogens, dan kerusakan eksternal. Kesehatan Hewan: Hubungan antara kualitas tanah dan tanaman, hewan dan kesehatan manusia. Ciri-ciri tanah untuk pemilihan kualitas tanah dan kesehatannya adalah: Indikator fisik, meliputi (1) soil texture, (2) depth of soils, topsoil or rooting, (3) infiltration, (4) soil bulk density, and (5) water holding capacity. Indikator Kimia adalah (1) soil organic matter (OM), or organic carbon and nitrogen, (2) soil pH, (3) electric conductivity (EC), and (4) extractable N, P, and K. Indikator Biologis adalah (1) microbial carbon and nitrogen (2) potential mineralizable nitrogen (anaerobic incubation) and (3) soil respiration, water content, and soil temperature.
Penyelesaian yang efektif atas masalah tanah harus melibatkan peringatan-dini oleh indicator tanah, pencegahan degradasi tanah, pendugaan secara cepat permasalahan tanah, pendugaan ekonomi produksi, pendugaan risiko pencemar tanah. Secara keseluruhan adalah cara mengelola tanah secara lestari. Banyak pilihan teknis yang dapat digunakan sebagai komponen dalam system pengelolaan tanah yang lestari. Semuanya itu harus mencapai minimal salah satu tujuan berikut: Meminimumkan erosi tanah (pengendalian erosi) Konservasi, atau kalau perlu restorasi, cirri-ciri fisika, biologis dan kimia tanah (kesuburan tanah dan struktur tanah).
81
Memungkinkan tanah menyimpan air (neraca lengas tanah) dan mengendalikan limpasan permukaan. Regulasi suhu tanah; sehingga lebih tinggi di uplands dan lebih rendah di lowlands (control suhu). Pengendalian Erosi Tanah Vegetasi penutup tanah yang bagus sangat direkomendasikan untuk menghindari kehilangan tanah melalui limpasan permukaan. Metode penanaman, termasuk early sowing, cover crops, mixed cropping, higher seed density, tumpangsari dan masa bero yang ditanami. Erosi percik dapat dikendalikan dengan mulsa, atau dengan membiarkan seresah (residu) tanaman berada di permukaan tanah. Erosi alur dan gully erosion dapat dikendalikan dengan terasering, atau dengan menempatkan barier lain sejajar dengan kemiringan seperti penanaman strip-strip menurut kontur dengan jenis-jenis rumput. Pengolahan tanah menurut garis kontur dan minimum-tillage juga efektif mengendalikan erosi tanah. Konservasi Kesuburan Tanah dan Struktur Tanah Aplikasi seresah (residu) tanaman, pupuk kandang, dan kompos ke tanah merupakan cara yang bagus untuk mempertahankan kesuburan tanah dan memelihara struktur tanah. Metode lain yang juga berhasil adalah aplikasi mulsa, dimana petani mengumpulkan bahan organik (rumput, daun, seresah, cabang-ranting) dari areal non-pertanian dan disebarkan di atas permukaan tanah pertanian untuk menghindari erosi tanah dan untuk memperbaiki kesuburan tanah. The most effective way to maintain soil fertility, soil structure and biological activity is to provide enough soil organic matter, or soil organic carbon pools, in the soil. The soil organic carbon pool is usually not enough to maintain good soil structure and crop production. An annual application of 20 mt/ ha of organic manure or compost is needed to meet the demands of crop production and provide good soil structure and biodiversity in the soil. Neraca Lengas Tanah Untuk dapat memenfaatkan air irigasi dan air hujan yang terbatas secara efektif, diperlukan pengelolaan tanah yang tepat. Teknologi yang sesuai adalah: Memperbaiki penutup muka tanah; Konservasi bahan organic tanah; Breaking up (plowing) the soil; Harrowing or roughening the soil surface; Membangun bendungan, dan parit-parit /saluran airnya; Terrasering tanah miring curam. Keterkaitan antar komponen dalam sistem pengelolaan tanah berkelanjutan dapat diabstraksikan berikut ini.
82
5.6. Sustainable Cash-crop Agribusiness Management Konsep perusahaan dan sistem agribisnis dimunculkan untuk mengubah paradigma bahwa petani bukan hanya sebagai pekerja tani atau pengusaha usahatani, tetapi pengelola atau manajer perusahaan agribisnis . Petani senantiasa berorientasi kepada kebutuhan pasar, bersama-sama perusahaan agribisnis lainnya bersinergi untuk dapat memenuhi kebutuhan konsumen. Kebersamaan dan saling ketergantungan antar perusahaan agribisnis dalam menghasilkan produk yang berkualitas sesuai permintaan pasar itulah disebut dengan sistem agribisnis. Apabila kondisi seperti ini dapat diwujudkan, diharapkan dapat diikuti dengan peningkatan pendapatan dan kesejehtaraan petani. Konsep agribisnis sebagai sistem, merupakan suatu entitas , yang tersusun dari sekumpulan subsistem yang bergerak secara bersama-sama dan saling tergantung untuk mencapai tujuan bersama. Sejalan dengan pengertian tersebut, Departemen Pertanian (2001) mengedepankan konsep perusahaan dan sistem agribisnis , yakni subsistem agribisnis hulu (perusahaan pengadaan dan penyaluran sarana produksi), subsistem agribisnis tengah (perusahaan usahatani), subsistem agribisnis hilir (perusahaan pengolahan hasil atau agroindustri dan perusahaan pemasaran hasil, serta subsistem jasa penunjang (lembaga keuangan, transportasi, penyuluhan dan pelayanan informasi agribisnis, penelitian kaji terap, kebijakan pemerintah, dan asuransi agribisnis) perusahaan atau lembaga bisnis. Masingmasing perusahaan tersebut merupakan perusahaan agribisnis yang harus dapat bekerja secara efisien, selanjutnya semua perusahaan agribisnis tersebut harus melakukan hubungan kebersamaan dan saling ketergantungan dalam suatu sistem untuk lebih meningkatkan efisiensi usaha dan mencapai tujuan agribisnis.
83
Ciri perilaku agribisnis berbudaya industri adalah: (1) tekun, ulet, kerja keras, hemat, cermat, disiplin dan menghargai waktu; (2) mampu merencanakan dan mengelola usaha; (3) selalu memegang teguh asas efisiensi dan produktivitas, (4) menggunakan teknologi terutama teknologi tepat guna dan akrab lingkungan, (5) mempunyai motivasi yang kuat untuk berhasil, (6) berorientasi kepada kualitas produk dan permintaan pasar, (7) berorientasi kepada nilai tambah, (8) mampu mengendalikan dan memanfaatkan alam, (9) tanggap terhadap inovasi, (10) berani menghadapi risiko usaha, (11) melakukan agribisnis yang terintegrasi maupun quasi integrasi secara vertikal, (12) perekayasaan harus menggantikan ketergantungan pada alam sehingga produk yang dihasilkan senantiasa memenuhi persyaratan yang diminta pasar, dan (13) professional serta mandiri dalam menentukan keputusan.
84
5.6.1. MENDORONG PETANI MENJADI PELAKU AGRIBISNIS DALAM USAHATANINYA Untuk meningkatkan pendapatan petani dalam mengelola usahataninya, salah satu upayanya adalah dengan mendorong petani menjadi pelaku agribisnis dalam mengelola usahataninya. Pengertian beragribisnis dalam mengelola usahatani adalah suatu pemahaman bahwa dari mulai merencanakan usaha yang akan dijalankan, dalam proses berusaha, sampai proses penjualan produksi; petani terus melakukan perhitunganperhitungan secara ekonomi, mana yang paling menguntungkan. Sehingga dalam pembelian sarana produksi, penggunaan sarana produksi dan kegiatan yang berhubungan dengan berusahataninya tetap berpedoman pada hal-hal yang paling efesien dan menguntungkan. Di lapangan, hal-hal yang dapat mendorong petani menjadi pelaku agribisnis di dalam mengelola usahataninya adalah penyuluh pertanian lapangan. Para penyuluh pertanian berusaha mengaplikasikan tentang ilmu agribisnis yang telah dipelajarinya. Misalnya melakukan penjajakan, survey ke pasar, ke pedagang dan ke pabrik yang mengolah produksi komoditi yang diusahakan petani. Dengan jalan demikian diharapkan penyuluh pertanian dapat memadukan antara teori yang diperoleh dengan kenyataan di lapangan. Sehingga jika terjadi hal-hal yang kurang pas antara teori dengan kenyataan di lapangan dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menjelaskan dan mengarahkan pada para petani. Para penyuluh pertanian harus melakukan penjelasan yang sejelasjelasnya kepada para petani tentang apa itu agribisnis ?, apa yang harus dilakukan dalam kegiatan berusahatani yang berbasis agribisnis ?, dan apa keuntungan para petani bila melakukan kegiatan usahataninya berbasis agribisnis ? Para penyuluh dalam menjelaskan kepada petani harus melihat keadaan petani dari segi pengetahuannya, sikapnya, keterampilannya dan wawasan petani tersebut.
85
Sebagai teladan, upaya pengembangan sistem agribisnis melinjo, mangga dan pisang, dipengaruhi oleh aktivitas dan perilaku hubungan timbalbalik antara petani, lembaga kedinasan seperti PPL, Mantan, Manbun, KUD, BRI yang memberikan modal dan IPTEK, lembaga pemasaran dan industri pengolahan hasil. Di samping itu juga sektor swasta sangat menentukan berlangsungnya aktivitas agribisnis karena ikut berperanan dalam bidang penyediaan sarana dan jasa kepada petani. Petani sebagai produsen dituntut untuk dapat meningkatkan produktivitasnya, dan menguasai pasar serta penanganan pasca panen. Lembaga pemasaran setempat seperti tengkulak, pedagang dan pengecer harus dapat menguasai pasar dan berperan aktif dalam pemasaran melinjo, mangga dan pisang di daerahnya. Aktivitas agribisnis melinjo, mangga dan pisang umumnya masih bersifat sederhana. Penanaman komoditi ini secara campuran dengan tanaman ubikayu dan jagung pada lahan tegalan dan pekarangan. Teknik budidaya tanaman mangga, melinjo, dan pisang masih belum intensif, karena petani lebih banyak memperhatikan tanaman pangan, bibit berasal dari pohon induk setempat yang belum diseleksi. Lembaga pemasaran setempat seperti pedagang, tengkulak dan pengecer belum dapat menangani pemasaran melinjo, mangga dan pisang secara maksimal. Demikian pula penguasaan teknik pasaca panen masih rendah. Lembaga kedinasan seperti PPL, KUD, BRI, masih banyak menangani usahatani tanaman pangan dan perkebunan (TRI), sedangkan perhatian terhadap usahatani melinjo, mangga dan pisang masih kurang. Kelemahan yang dijumpai dalam kegiatan agribisnis melinjo, mangga dan pisang di wilayah ini mengisyaratkan perlunya diadakan upaya pengembangan dengan memperhatikan struktur sistem agribisnisnya, yaitu (1) sektor masukan yang ditangani oleh berbagai industri hulu yang memasok bahan masukan kepada sektor pertanian, (2) sektor produksi (farm) yang ditangani oleh berbagai jenis usahatani yang menghasilkan produk-produk bio-ekonomik dan (3) sektor keluaran yang ditangani oleh berbagai industri hilir yang mengubah hasil usahatani menjadi produk konsumsi awetan-olahan yang disalurkan kedalam sistem pemasaran kepada konsumen. Selanjutnya dalam menyusun rancangan pengembangan agribisnis melinjo, mangga dan pisang harus dipertimbangkan aspek-aspek (1) maksud dan tujuan usaha, (2) perwilayahan komoditas, (3) teknik budidaya dan konservasi, (4) pengolahan hasil dan (5) pemasaran hasil (perdagangan).
Agribisnis Ubikayu Teknologi Budidaya Ubikayu Dengan Sistem Double Row (http://cybex.deptan.go.id/lokalita/teknologi-budidaya-ubikayu-dengan-sistemdouble-row) Ubikayu merupakan salah satu komoditas unggulan provinsi Lampung , namun produktivitasnya masih rendah + 18.99 ton/ha, dari sisi pengolahannya belum ada deversifikasi kalaupun ada juga masih minim, sehingga pendapatan petani ubikayu juga masih rendah, sementara impor terigu masih besar yaitu 4 juta ton/tahun atau setara dengan Rp 12 Triliun.
86
Menurut hasil pengkajian yang dilaksanakan BPTP Lampung Potensi hasil Ubikayu bisa mencapai 50-60 ton/ha dengan sitem tanam Double Row, dengan menggunakan varitas UJ5+Pemupukan. Peluang lain yang mendukung pengembangan ubikayu adalah tersedianya 130 unit Pabrik pengolahan Ubikayu dan 4 Unit Industri BBM berbahan Ubikayu yang tersebar di seluruh wilayah Provinsi Lampung yang membutuhkan ubikayu 4-5 juta ton/tahun. Penurunan luas areal tanam ubikayu akibat alih fungsi lahan menjadi tanaman Kelapa Sawit, karet, kakao dan cetak sawah. Sistem Tanam DOUBLE ROW Keuntungan system ini diantaranya: 1. Bahan tanaman lebih sedikit yaitu 10.200 tanaman dibanding cara petani sekitar 17.500 tanaman. 2. Produksi lebih tinggi (55 ton/ha) dari cara petani / biasa (20 ton/ha) E Meningkat > 100 % 3. Di antara barisan tanaman bisa ditanami tanaman sela seperti kedelai, jagung, kacang tanah, kacang hijau dan kacangkacangan lainnya Kendalanya antara lain masih banyak petani yang beranggapan bahwa makin banyak tanaman makin banyak hasilnya, sehingga perlu upaya perubahan cara pandang dan perilaku petani.
Cara penanaman ubikayu dengan barisan rangkap Sumber: Ir. Robert Asnawi, M.Si. (BPTP Lampung)
Perbandingan sistem Double Row dengan cara petani 1. Sistem Double Row. Jumlah tanaman per ha = 10.200 tanaman Varietas : UJ-5 Pemupukan 200 kg Urea + 150 kg SP36 + 100 kg KCl + 5 ton pukan
Produktivitas : 50 - 60 ton/ha Dapat dilakukan penanaman tanaman sela seperti kedele, jagung, kacang tanah, kacang hijaudan tanaman sejenis lainya
87
2. Cara Petani (Convensional) Jarak tanam rapat (60 x 70 cm atau 70 x 80 cm) Jumlah tanaman per ha = 17.500 tanaman Varietas : Thailand (dominan), Cassetsart (20 %), dll Pemupukan 75 kg Urea + 50 kg TSP + 50 kg KCl Produktivitas : 15 - 25 ton/ha
5.6.2. Memberdayakan Petani Subsisten Kabupaten Bondowoso merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Timur yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian dari sector pertanianagraris. Tingkat perekonomian masyarakat masih tergolong rendah, disamping karena sumber daya manusia (SDM) yang kurang memadai juga disebabkan letak geografis kabupaten ini yang kurang mendukung untuk sektor pertanian tanaman pangan. Peningkatan perekonomian masyarakat dapat ditempuh dengan meningkatkan usaha penanganan pasca panen hasil pertanian. Peningkatan ekonomi masyarakat dapat ditempuh dengan penanganan pasca panen yang lebih baik serta diversifikasi produk pertanian yang berlimpah di daerah tersebut. Penanganan pasca panen hasil pertanian memiliki peranan yang sangat penting, karena sifat dari produk-produk pertanian itu sendiri yang mudah rusak, musiman, kamba (voluminous), tersebar atau terpusat di suatu wilayah, dan harga yang sangat berfluktuasi. Dengan pengolahan hasil pertanian menggunakan teknologi yang tepat diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat terutama para petani. Ubikayu merupakan salah satu komoditi pertanian yang cukup banyak dijumpai di Kabupaten Bondowoso. Ubikayu merupakan salah satu komoditi pertanian yang mempunyai sifat kamba. Pengolahan ubikayu dalam suatu agroindustri dapat menghasilkan produk seperti tapioka, gaplek, keripik, serta sirup hasil hidrolisis pati seperti sirup glukosa, sirup maltosa dan sirup fruktosa. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu pengolahan produk ubikayu menjadi produk lain yang mempunyai nilai tambah yang tinggi menggunakan teknologi yang tepat guna, sehingga dapat meningkatkan taraf perekonomian masyarakat Kabupaten Bondowoso pada umumnya, serta para petani ubikayu pada khususnya.
88
Ubikayu dapat diolah menjadi gaplek Sumber: http://hendri-wd.blogspot.com/2011/01/peningkatanperekonomian-masyarakat_12.html
Tepung Ubikayu untuk cadangan pangan Tepung ubikayu adalah salah satu cara pengolahan produk hasil pertanian dalam sektor tanaman pangan melalui proses pengeringan, yaitu dengan cara mengeluarkan sejumlah air dalam bahan melalui pemanasan hingga mencapai kadar air tertentu agar dapat menekan jamur dan mikroorganisme lain yang merugikan di dalam bahan. Pengolahan tepung ubi kayu mempunyai beberapa keuntungan, antara lain : 1. Penganekaragaman pangan (diversifikasi) 2. Menambah daya simpan bahan 3. Meningkatkan nilai jual produk yang semula hanya dijual dalam bentuk ubi kayu glondongan kemudian diolah menjadi tepung ubi kayu. Cara Pembuatan Tepung Ubi Kayu : 1. Alat-alat : - Pisau - Parutan sawut - Nampan/baskom - Blender 2. Bahan: Ubikayu 3. Proses Pembuatan : - Kupas kulit ubi kayu. - Lendir pada permukaan daging ubi kayu dibersihkan dengan cara dikerok menggunakan pisau, setelah itu dicuci bersih. - Parut ubi kayu dengan menggunakan parutan sawut. - Ubikayu yang telah diparut dijemur matahari hingga kering. - Setelah kering, parutan ubikayu diblender. - Tepung ubi kayu yang telah dikemas dapat disimpan beberapa bulan.
89
5.7. Sustainable Agroindustry Management TELADAN: USAHA EMPING MELINJO Tanaman melinjo dapat tumbuh pada ketinggian tempat 0-1.200 m dpl. Dengan demikian, tanaman melinjo dapat tumbuh di pegunungan berhawa lembab, bisa juga didataran rendah yang relatif kering. Namun agar dapat berproduksi secara maksimal, melinjo sebaiknya ditanam di dataran rendah yang ketinggiannya tidak lebih dari 400 m dpl dan dengan curah hujan sekitar 3.000-5.000 mm/tahun merata sepanjang tahun. Pohon melinjo sudah dapat dipanen setelah berumur 5-6 tahun. Panen dilakukan dua kali setahun. Panen besar sekitar bulan Mei-Juli, sedangkan panen kecil sekitar bulan Oktober- Desember. Sedangkan pemungutan bunga dan daun muda dapat dilakukan kapan saja. Hasil melinjo per pohon untuk tanaman melinjo yang sudah dewasa bervariasi antara 15.000-20.000 biji. Menurut petani, tanaman melinjo umur 15 tahun hasil produksi buahnya mencapai 50 kg klatak (buah yang telah dikupas kulitnya) sekali panen, berarti produksi yang diperoleh klatak 100 kg/pohon/tahun. Usaha emping melinjo dapat dijalankan dengan keterlibatan tenaga kerja yang intensif sebagai pengrajin. Pada umumnya, pengusaha emping melinjo di Pandeglang memberi pinjaman peralatan dan bahan baku (biji melinjo) kepada pengrajin untuk digunakan membuat emping. Emping yang dihasilkan oleh pengrajin kemudian dikembalikan lagi kepada pengusaha. Sedangkan pengrajin akan memperoleh upah dari pengusaha berdasarkan jumlah emping yang dihasilkan. Pada umumnya pengusaha emping melinjo mengawali usaha dengan modal sendiri. Setelah berkembang, beberapa diantaranya mulai mengakses kredit dari perbankan. Kebutuhan kredit tersebut biasanya untuk modal kerja. Kebutuhan modal kerja terutama untuk pengadaan bahan baku biji melinjo yang relatif besar. Hal ini mengingat, masa panen buah melinjo hanya dua kali setahun. Oleh karena itu, pengusaha perlu menyediakan bahan baku yang cukup untuk keberlanjutan produksinya dalam satu tahun. Prosedur untuk memperoleh kredit antara lain kelayakan usaha, ketersediaan jaminan, fotokopi KTP, surat nikah, Kartu Keluarga, dan Perizinan Usaha. Sedangkan penilaian kredit, umumnya bank menggunakan kriteria 5C (Capital, Capacity, Collateral, Character, Condition). Dari kelima C, aspek karakter (character) dan jaminan (collateral) relatif menjadi prioritas penilaian. Karakter yang meliputi keuletan pengusaha sangat menentukan keberlangsungan usaha yang berarti mengindikasikan kelancaran pembayaran kredit. Sedangkan agunan sebagai jaminan bagi bank jika pengusaha tidak dapat mengembalikan kredit. Jaminan yang digunakan dapat berupa sertifikat tanah/bangunan tempat usaha. Perihal cara perhitungan bunga kredit, masing-masing bank menggunakan cara berbedabeda. Ada bank yang menggunakan sistem bunga menurun, yaitu perhitungan bunga dihitung berdasarkan jumlah sisa pinjaman dan ada juga bank yang menggunakan sistem bunga flat atau tetap sepanjang jangka waktu kredit. Beberapa bank yang memberi kredit untuk usaha emping melinjo antara lain Bank Pembangunan Daerah, BRI dan Bank Danamon. Kredit yang dibutuhkan adalah kredit modal kerja. Berdasarkan informasi dari pihak bank diketahui bahwa pengusaha emping melinjo tergolong nasabah yang
90
taat. Hal ini dapat diketahui dengan pengulangan kredit oleh beberapa pengusaha emping. Risalah Keragaan usaha pengolahan emping melinjo:
91
92
USAHA AGROINDUSTRI KERIPIK PISANG DI KABUPATEN KARANGANYAR (Fadhillah Diniarti, 2007) Buah-buahan merupakan bahan pangan sumber vitamin. Selain buahnya yang dimakan dalam bentuk segar, daunnya juga dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Misalnya daun pisang untuk makanan ternak, daun pepaya untuk mengempukkan daging dan melancarkan air susu ibu (ASI) terutama daun pepaya jantan. Warna buah cepat sekali berubah oleh pengaruh fisika misalnya sinar matahari dan pemotongan, serta pengaruh biologis (jamur) sehingga mudah menjadi busuk. Oleh karena itu pengolahan buah untuk memperpanjang masa simpannya sangat penting. Buah dapat diolah menjadi berbagai bentuk minuman seperti anggur, sari buah dan sirup juga makanan lain seperti manisan, dodol, keripik, dan sale. Pisang dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu : 1. Pisang yang dimakan dalam bentuk segar, misalnya : pisang ambon, raja sere, raja bulu, susu, seribu, dan emas. 2. Pisang yang dimakan setelah diolah terlebih dahulu, misalnya : pisang kepok, nangka, raja siam, raja bandung, kapas, rotan, gajah, dan tanduk. Pisang banyak mengandung protein yang kadarnya lebih tinggi daripada buah-buahan lainnya, namun buah pisang mudah busuk. Untuk mencegah pembusukan dapat dilakukan pengawetan, misalnya dalam bentuk keripik, dodol, sale, anggur, dan lain-lain. Usaha agroindustri keripik pisang yang dijalankan di Kabupaten Karanganyar sudah menguntungkan, dilakukan secara efisien dan besarnya nilai tambah produk cukup besar. Usaha agroindustri mengolah buah pisang segar menjadi keripik pisang yang berskala usaha kecil (tenaga kerja sebanyak 5-19 orang) yang masih terus berproduksi hingga saat ini. Kripik pisang merupakan produk makanan ringan dibuat dari irisan buah pisang dan digoreng, dengan atau tanpa bahan tambahan makanan yang diizinkan. Tujuan pengolahan pisang menjadi kripik pisang adalah untuk memberikan nilai tambah dan meningkatkan/memperpanjang kemanfaatan buah pisang. Syarat mutu kripik pisang dapat mengacu SNI 01-4315-1996, kripik pisang. Kripik pisang - Standar Teknis ini berlaku untuk pembuatan pisang menjadi kripik pisang. Prosedur Opersional Pengolahan kripik pisang terdiri dari beberapa kegiatan meliputi penyiapan bahan baku kripik pisang, penyiapan peralatan kripik pisang dan kemasan kripik pisang, pengupasan pisang dan pengirisan kripik pisang, pencucian kripik pisang dan perendaman kripik pisang, penggorengan kripik pisang, penirisan minyak kripik pisang, pemberian bumbu kripik pisang, pengemasan kripik pisang dan pelabelan kripik pisang, serta penyimpanan kripik pisang. Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuat keripik pisang adalah sebagai berikut: 1. PISANG. Bahan baku dalam pembuatan kripik pisang adalah pisang mentah. Pisang yang dipilih adalah pisang yang sudah tua dan masih mentah sehingga mudah diiris-iris/dirajang tipis- tipis dan dibentuk sesuai dengan selera konsumen. Syarat Mutu
93
pisang Kepok Kuning Segar dapat mengacu pada SNI 01 4481 1998. 2. Air Bersih. Air dalam pembuatan kripik pisang digunakan untuk mencuci pisang. Air yang digunakan harus memenuhi persyaratan air minum dan air bersih sesuai standar Permenkes RI No. 416/MENKES/PERK/IX/90. Air tersebut tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbau dan tidak mengandung zat yang membahayakan. 3. MINYAK GORENG. Minyak goreng yang digunakan adalah minyak kelapa atau minyak kelapa sawit yang bermutu baik (jernih dan tidak tengik), sesuai SNI 01 3741 2002. Penggunaan minyak goreng dengan kualitas rendah akan menghasilkan kripik yang tidak tahan lama(cepat tengik). 4. Larutan Natrium Bisulfit (Na2SO3). Larutan Natrium Bisulfit 0,3% 0,5% digunakan untuk merendam pisang agar tidak terjadi perubahan warna menjadi coklat. Di perdesaan larutan ini dapat diganti dengan potongan-potongan daun sirih. Dalam pembuatan kripik pisang dapat ditambahkan bahan tambahan pangan (BTP). Tujuan penambahan bahan tambahan pangan ini adalah untuk memperbaiki tekstur, rasa, dan penampakan. Penggunaan bahanbahan tersebut baik jenis maupun jumlahnya harus memenuhi persyaratan yang direkomendasikan. Persyaratan bahan tambahan pangan mengacu pada SNI 01-0222-1995, Bahan yang ditambahkan dalam pembuatan kripik pisang adalah : 2. Gula pasir. Fungsi gula dalam pembuatan kripik pisang adalah untuk memberikan rasa manis. Gula pasir dibuat sirup terlebih dahulu dengan perbandingan 1 kg gula pasir dilarutkan dalam 5 gelas air. Gula yang digunakan harus bermutu baik, yaitu kering, tidak bau apek atau masam, tidak nampak adanya ampas atau bahan asing dan berwarna putih. Standar gula kristal putih (SNI 01-3140-2001). 3. Garam dapur. Fungsi garam dapur adalah untuk memberi rasa asin. Garam yang digunakan adalah garam beryodium (SNI 01 3556 2000). Keripik pisang sudah sejak lama diproduksi masyarakat. Hasil olahan keripik pisang mempunyai rasa yang berbeda-beda, yaitu : asin, manis, manis pedas, dan lain-lain. Pembuatan keripik pisang sangat sederhana dan membutuhkan modal yang tidak terlalu besar. Pisang yang baik dibuat keripik adalah pisang ambon, kapas, tanduk, dan kepok. Bahan-bahan : Pisang tua (mengkal) 20 kg; Minyak goreng 1 kg; dan Garam secukupnya Alat-alatnya: Baskom; Alas perajang (talenan); Pisau; Ember plastic; Penggorengan (Wajan); Lilin (untuk kantong plastik); Tungku atau kompor; Tampah (nyiru); Keranjang bamboo, dan Kantong plastik (sebagai pembungkus) CARA PEMBUATAN 1. Jemur pisang selama 5~7 jam, lalu kupas; 2. Iris pisang tipis-tipis ± 1~2 mm menurut panjang pisang;
94
3.
4. 5. 6.
Siapkan minyak yang telah dibubuhi garam kemudian panaskan. Goreng irisan pisang tersebut sedikit demi sedikit agar tidak melengket satu dengan yang lainnya. Penggorengan dilakukan selama 5~7 menit tergantung jumlah minyak dan besar kecilnya api kompor; Angkat keripik setelah berubah warna dari kuning menjadi kuning kecoklatan; Saring minyak setelah lima (5) kali penggorengan, kemudian tambahkan minyak baru dan garam; Masukkan dalam kantong plastik atau stoples setelah keripik pisang cukup dingin.
DIAGRAM ALIR PEMBUATAN KERIPIK PISANG
Sumber: http://www.iptek.net.id/ind/warintek/?mnu=6&ttg=6&doc=6d13
Biaya total rata-rata yang dikeluar-kan oleh agroindustri keripik pisang sebesar Rp.4.107.934,90 per bulan. Rata-rata penerimaan yang diperoleh
95
agroindustri keripik pisang selama satu bulan adalah Rp.5.613.252,80. Dengan diketahui rata-rata jumlah penerimaan dan biaya total, dapat diperoleh besarnya keuntungan rata-rata dari usaha agroindustri keripik pisang yaitu sebesar Rp.1.505.317,82 per bulan dengan profitabilitas sebesar 36,64 % (Fadhillah Diniarti, 2007). Dengan diketahui rata-rata penerimaan dan biaya dalam agroindustri keripik pisang maka dapat diperoleh besarnya tingkat efisiensi usaha yaitu 1,37. Hal ini menunjukkan bahwa agroindustri keripik pisang sudah efisien. Resiko usaha terjadi karena ketidakpastian dari harga dan jumlah bahan baku, produksi yang laku dijual, dan harga produk. Usaha agroindustri keripik pisang berskala kecil mempunyai nilai koefisien variasi sebesar 3,46 dengan batas bawah keuntungan yang negatif yaitu sebesar (-)Rp. 8.063.813,88 setiap pengolahan buah pisang segar sebanyak 330,31 kilogram kg bahan baku. Hal ini berarti bahwa usaha keripik pisang di Kabupaten Karanganyar memiliki resiko usaha yang tinggi atau dengan kata lain usaha keripik pisang dapat memberikan keuntungan tetapi ada peluang kerugian yang harus ditanggung oleh agroindustri keripik pisang sebesar Rp. 8.063.813,88 Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa besarnya nilai tambah produk dalam agroindustri keripik pisang sebesar Rp.8.778,08 untuk setiap satu kilogram bahan baku (buah pisang).
Agroindustri Keripik Pisang di Jawa Timur: Suatu Tinjauan Kasus Agroindustri (www.indonagro.blogspot.com) Jawa Timur merupakan salah satu sentra produksi pisang di Indonesia. Kabupaten Lumajang populer sebagai sentra produksi pisang agung. Untuk meningkatkan nilai tambah, pemerintah mengembangkan agroindustri keripik pisang. Pengembangan industri dilakukan secara terpadu dan berorientasi pada upaya peningkatan nilai tambah dan pemerataan pendapatan. Meskipun industri pengolahan keripik pisang telah berkembang, petani masih menanam pisang sebagai tanaman sampingan di pekarangan atau ditanam campur dengan kopi, palawija atau hortikultura. Teknologi yang diterapkan masih sederhana sehingga produktivitasnya rendah. Petani belum mengatur jadwal tanam atau panen sehingga pasokan dan harga belum stabil.
96
Sumber: http://indonagro.blogspot.com/2011/02/agroindustri-keripikpisang-di-jawa.html
Agroindustri keripik pisang umumnya berskala kecil atau rumah tangga, dengan pengelolaan usaha dari mengolah bahan baku hingga pemasaran. Belum ada usaha yang berspesialisasi pada salah satu kegiatan, misalnya bahan baku saja, bahan setengah jadi saja, pengolahan lanjutan dan pengemasan atau pemasaran. Hal ini menyulitkan dalam mengembangkan industri dengan sistem kluster dan menghambat pemerataan perolehan nilai tambah. Agroindustri keripik pisang di Lumajang memberikan nilai tambah relatif kecil, hanya Rp6.684/kg keripik. Ini pun terpusat pada industri besar. Spesialisasi industri rumah tangga sebagai pengolah keripik setengah jadi dan finalisasi oleh industri besar akan membagi keuntungan lebih proporsional dan usaha skala besar menjadi lebih optimal. Nilai tambah yang tidak dapat dihitung adalah meningkatnya pengetahuan, keterampilan, pasar, serta aspek sosial ekonomi. Pada jejaring usaha belum terbentuk kemitraan yang formal, tetapi lebih berdasarkan kepercayaan.
97
V. PENUTUP Konsumsi pangan merupakan jumlah pangan, secara tunggal maupun beragam, yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis, psikologis dan sosiologis. Setiap orang memiliki keinginan untuk sejahtera, suatu keadaan yang serba baik, atau suatu kondisi di mana semua orang dalam keadaan makmur, dalam keadaan sehat dan damai. Ukuran kesejahteraan secara ekonomi dapat dilihat dari dua sisi, yaitu konsumsi dan produksi (skala usaha). Dari sisi konsumsi , kesejahteraan dapat didekati dengan cara menghitung seberapa besar pengeluaran yang dilakukan seseorang atau rumahtangga untuk kebutuhan pangan dan sandang, serta kebutuhan lainnya dalam waktu atau periode tertentu. Beragam cara dan strategi yang ditempuh oleh individu dan/atau rumahtangga untuk mencapai tingkat kesejahteraan yang setinggi-tingginya, termasuk di dalamnya untuk memenuhi kebutuhan kecukupan pangannya. Seorang petani atau rumahtangga tani yang bersifat komersial akan selalu berpikir bagaimana dapat mengalokasikan sarana-produksinya seefisien mungkin untuk dapat memperoleh keuntungan yang maksimal (profit maximization). Dalam hubungan ini, mereka harus memahami bagaimana hubungan input-output yang dinyatakan dalam fungsi produksi. Fungsi produksi merupakan hubungan antara tingkat produksi dengan faktor produksi yang digunakan, sedangkan faktor-faktor yang lain dianggap penggunaannya tetap pada tingkat tertentu. Hal ini berimplikasi pada bagaimana petani atau rumahtangga tani mengalokasikan sumberdayanya ke dalam aktivitas produktifnya untuk dapat menghasilkan income yang sebanyak-banyaknya. Seorang petani atau rumahtangga tani yang bersifat subsisten akan selalu berpikir bagaimana dapat menggunakan sumberdayanya untuk dapat memperoleh hasil produksi yang sebanyak-banyaknya (production maximization). Hasil-hasil produksinya ini akan dikonsumsi dan sebagian disimpan untuk dapat digunakan pada saat-saat tidak ada panen. Sebagian petani atau rumahtangga tani lain berperilaku semi subsisten, yang mempunyai ciri-ciri: (1) tidak terpisahnya antara kegiatan produksi dengan rumah tangga petani, (2) tujuan produksi tidak semata-mata untuk dipasarkan, tetapi juga untuk memenuhi konsumsi rumah tangganya, (3) penggunaan tenaga kerja keluarga lebih diutamakan, (4) terbatasnya ketersediaan tenaga kerja keluarga, dan (5) petani lebih banyak berperilaku sebagai penerima harga input dan harga output serta tidak mampu mempengaruhinya.
98
BAHAN BACAAN
Amir, P. and H. Knipscheer. 1989. Conducting On-farm Animal Research: Procedures and Economic Analysis. Singapore National Printers Unlimited, Singapore. Atmojo, S.M., Syarif Hidayat, D. Sukandar., M. Latifah. 1995. Laporan Studi Identifikasi Daerah rawan Pangan. Proyek Pengembangan Diversifikasi Pangan dan Gizi Departemen Pertanian Jurusan GMSK, Fakultas Pertanian IPB. Bogor Baliwati, Yayuk Farida. 2001. Model Evaluasi Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani (Desa Sukajadi Kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor). (Disertasi) IPB. Bogor. Beare, M.H., Tian, M. Vikram, and S.C. Srivastava. 1997. Agricultural intensification, soil biodiversity, and agro-ecosystem function. Appl. Soil Ecol. 6: 87-108. Berg, A. 1986. Gizi dalam Pembangunan Nasional. C.V. Rajawali, Jakarta. Biro Pusat Statistik. 1999. Statistik Kesejahteraan Rakyat Indonesia. BPS. Jakarta. BPS. 2002. Medan Marelan Dalam Angka. Biro Pusat Statistik. Mantri Statistik Kecamatan Medan Marelan Kota Medan. Braun JV, McComb J, Fred-Mensah BK, Lorch RP. 1993. Urban Food Insecurity and Malnutrition in Developing Countries: Trends, Policies, and Research Implication. International Food Policy Research Institut. Washington DC. Budiarti, S. 1997. Pendekatan pada Sel Hep-2 dan Keragaman Serotipe O Escherichia Coli Enteropatogenik Isolat Indonesia. J. Berkala Ilmu Kedokteran 29:105-110. Cameron, K., M.H. Beare, R.P. McLaren, and H. Di. 1998. Selecting physical chemical, and biological indicators of soil quality for degraded or polluted soils. Proceedings of 16th World Congress of Soil Science. Scientific registration No. 2516. Symposium No. 37. Aug. 20-26, 1998. Montpelier, France. Carlson SJ, Andrews MS, Bickel GW. 1999. Measuring Food Insecurity and Hunger in the United States: Development of National Benchmark Measure and Prevalence Estimates. J. Nutr. 129: 510S-516S Cassidy CM. 1987. World-View Conflict and Toddler Malnutrition; Change Agent Dilemmas. In Child Survival, ed. N. Scheper-Hughes. Dodrecht, The Nederlands; D.Reidel. Chen, Z.S. 1991. Cadmium and lead contamination of soils near plastic stabilizing materials producing plants in Northern Taiwan. Water, Air, & Soil Pollution 57-58: 745-754. Chen, Z.S. 1992. Metal contamination of flooded soils, rice plants, and surface waters in Asia. In: Biogeochemistry of Trace Metals, D.C. Adriano (Ed.). Lewis Publishers Inc., Florida, USA, pp. 85-107. Chen, Z.S. 1994. Sampling design for studying the relationships between heavy metals in soils, sediments, and discharged waste waters. In: Sampling of Environ-mental Materials for Trace Analysis, B. Market (Ed.). VCH Publisher, Weinheim and New York, Chapter 19, pp. 365378.
99
Chen,
Z.S. 1998. Management of contaminated soil remediation programmes. Land Contamination & Reclamation 6: 41-56. Chen, Z.S. and D.Y. Lee. 1997. Evaluation of remediation techniques on two cadmium polluted soils in Taiwan. pp. 209-223. In: Remediation of Soils Contaminated with Metals, A. Iskandar, and D.C. Adriano (Eds.). Science Reviews, Northwood, UK. Chen, Z.S. and Z.Y. Hseu. 1997. Total organic carbon pool in soils of Taiwan. Proc. National Science Council, ROC, Part B: Life Sciences 21: 120127. Chen, Z.S., D.Y. Lee, C.F. Lin, S.L. Lo, and Y.P. Wang. 1996. Contamination of rural and urban soils in Taiwan. In: Contaminants and the Soil Environment in the Australasia-Pacific Region, R. Naidu, R.S. Kookuna, D.P. Oliver, S. Rogers, M.J. McLaughlin (Eds.). First Australasia-Pacific Conference on Contaminants and Soil Environment in the Australasia-Pacific Region. Adelaide, Australia, Feb. 18-23, 1996. Kluwer Academic Publishers, Boston, London, pp. 691-709. Chen, Z.S., Z.Y. Hseu, and C.C. Tsai. 1998. Total organic carbon pools in Taiwan rural soils and its application in sustainable soil management system. Soil and Environment 1: 295-306. (In Chinese, with English abstract and Tables). Chung K, Haddad L, Ramakrishna J, Riely F. 1997. Identifying the Food Insecure, The Aplication on Mixed Method Approaches in India. Washington DC: International Food Policy Research Institute. Conway, G.R. and J.N. Pretly. 1991. Unwelcome Harvest: Agriculture and Pollution. Earthscan, London, England. Cuc, L.T., A. Terry Rambo, K. Fahrney, T. Duc Vien, J. Romm and D. Thi Sy. 1996. Red Books, Green Hills: The Impact of Economic Reform in the Midlands on Northern Vietnam. East-West Center, Hawaii, USA. Cuc, L.T., K. Killogly and A. Terry Rambo. 1990. Agroecosystems of the Midlands of Northern Vietnam. East-West Center, Hawaii, USA. Darmadji, S., S Padmonodewo, ET, Admodiwirjo, F.A, Hadis dan H. Lestari. 1993. Perkembangan Anak Balita, Program Bina Keluarga dan Balita Buku IV. Kantor Menteri Negara UPW. Jakarta. Departemen Pertanian. 2001. Pembangunan Sistem agribisnis Sebagai Penggerak Ekonomi Nasional. Edisi Pertama. Jakarta. Djogo, A.P.Y. 1994. Diversifikasi Komoditi Pangan dari Sudut Agroekosistem Wilayah NTT. Majalah Pangan No.19 Vol. V. Puslitbang Bulog. Jakarta. Dmitry Zvyagintsev, Olga Shick, Eugenia Serova, Zvi Lerman. 2007. Diversification of Rural Incomes and Non-Farm Rural Employment: Evidence from Russia. Papers by members of the Department can be found in their home sites: http://departments.agri.huji.ac.il/economics/indexe.html Doran, J.W., and T.B. Parkin. 1994. Defining and assessing soil quality. In: Defining Soil Quality for a Sustainable Environment, J.W. Doran, D.C. Coleman, D.F. Bezdicek, and B.A. Stewart (Eds.). Soil Sci. Soc. Am. Special Publication No. 35, Madison, Wisconsin, USA, pp. 3-21. Doran, J.W., and T.B. Parkin. 1996. Quantitative indicators of soil quality: A minimum data set. In: Method for assessing soil quality, J.W. Doran
100
and A.J. Jones (Eds.). Soil Sci. Soc. Am. Special Publication No. 49, Madison, Wisconsin, USA, pp. 25-37. Doran, J.W., M. Sarrantonio, and M.A. Liebig. 1996. Soil health and sustainability. Advances in Agronomy 56: 1-54. Downey, W.D., dan S.P. Erickson. 1992. Manajemen Agribisnis. Ed. Ke-2, Cet. Ke-3. R. Ganda.S. dan A. Sirait, Penerjemah. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Agribusiness Management. Dumanski, J. (Ed.). 1994. Proceedings of the International Workshop on Sustainable Land Management for the 21st Century. Vol. 1: Workshop Summary. Agricultural Institute of Canada, Ottawa. Dumanski, J. 1997. Criteria and indicators for land quality and sustainable land management. ITC Journal 1997-3/4: 216-222. Eswaran, H., F. Beinroth, and P. Reich. 1998. Biophysical considerations in developing resource management domains. pp. 61-78. In: Proceedings of Conference on Resources Management Domains, J.K. Syers (Ed.). Kuala Lumpur, Malaysia, Published by International Board for Soil Research and Management (IBSRAM). Proceedings No. 16. FAO (Food and Agriculture). 1991. Issues and Perspectives in Sustainable Agriculture and Rural Development. Main document No. 1 DAO/Netherlands Conference and Agriculture and Environment. SHertogenbosch, the Netherlands. April 15-19, 1991. FAO, Rome. FAO. 1996. World Food Summit, 13-17 November 1996. Rome, Italy: Food and Agriculture Organisation of the United Nations. Flynn, S.1987. Food Security in The World Development. Development and change. 8(2): 431-57. Gibson, RS., 1990. Principles of Nutritional Assessment. Oxford University Press. New York. Gregorich, E.G., D.A. Angers, C.A. Campbell, M.R. Carter, C.F. Drury, B.H. Ellert, P.H. Groenevelt, D.A. Holmstrom, C.M. Monreal, H.W. Rels, R.P. Voroney, and T.J. Vyn. 1995. Changes in soil organic matter. In: The Health of Our Soils: Toward Sustainable Agriculture in Canada, D. F. Acton and L.J. Gregorich (Eds.). Centre for Land and Biological Resources Research, Research Branch, Agriculture and Agri-Food Canada, pp. 41-50. Hardinsyah & D. Martianto. 1989. Menaksir Kecukupan Energi dan Protein serta Penilaian Mutu Gizi Konsumsi Pangan. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga, Institut Pertanian Bogor, Wirasari, Jakarta. Hardjana, AA.1994. Orientasi Perilaku Konsumen Tentang Masalah Pangan dan Gizi dari Sumber Hayati Kelautan Risalah Widyakarya Pangan dan Gizi. LIPI. Jakarta. Harper, I. J. , B. J. Draton & J. A. Driskel. 1988. Pangan, Gizi dan Pertanian (Suhardjo, penerjemah). Universitas Indonesia Press, Jakarta. Harris, R.F., and Bezdicek, D.F. 1994. Descriptive aspects of soil quality/health. In: Defining Soil Quality for a Sustainable Environment. J.W. Doran, D.C. Coleman, D.F. Bexdicek, and B. A. Stewart. (Eds.). Soil Sci. Soc. Am. Special Publication No. 35. Madison, Wisconsin, USA, pp. 23-35.
101
Hasan, I. 1995. Aku Cinta Makanan Indonesia dalam Rangka mewujudkan Ketahanan Pangan. Pengarahan Kursus Penyegar Ilmu Gizi dan Kongres Nasional PERSAGI X, 21-23 November. Bandung. Hseu, Z.Y., Z.S. Chen, and C.C. Tsai. 1999. Selected indicators and conceptual framework for assessment methods of soil quality in arable soils of Taiwan. Soil and Environment. 2: 77-88. (In Chinese, with English abstract and tables). IBSRAM (International Board for Soil Research and Management). 1994. Soil, Water, and Nutrient Management Research _ A new agenda. IBSRAM position paper, Bangkok, Thailand. ICRCL 1987 Guidance on the assessment and redevelopment of contaminated land. ICRCL paper 59/83. Department of the Environment, London, UK. ISSS Working Group RB. 1998. World Reference Base for Soil Resources: Introduction. J.A. Deckers, F.O. Nachtergaele, and O.C. Spaargaren (Eds.). First edition. International Society of Soil Science (ISSS), International Soil Reference and Information Centre (ISRIC) and Food and Agriculture Organization (FAO) of the United Nations. Leuven, Belgium. Jacobs, L.W. 1990. Potential Hazards When Using Organic Materials as Fertilizers for Crop Production. FFTC Extension Bulletin No. 313, Food and Fertilizer Technology Center of Asia and Pacific Regions (FFTC/ASPAC). 20 pp. Joan, B. 1998. Food Consumption and Public Good in Local Setting. Development monograph no. 32. Australian National University. Canberra. Johnson, D.L., S.H. Ambrosce, T.J. Bassett, M.L. Bowen, D.E. Crummey, J.S. Isaaxson, D.N. Johnson, P. Lamb, M. Saul, and A.E. WinterNelson. 1997. Meanings of environmental terms. J. Environ. Quality 26: 581-589. Karlen, D.L., M.J. Mausbach, J.W. Doran, R.G. Cline, R.F. Harres, and G.E. Schuman. 1997. Soil quality: A concept, definition, and framework for evaluation. Soil Sci. Soc. Am. J. 61:4-10. Kennedy E. 2002. Qualitative Measures of Food Insecurity and Hunger. International Scientific Symposium on Measurement and Assesment of Food Deprivation and Under-Nutrition; Rome. 26-28 Juni 2002. Rome: FAO-Netherlands Partnership Programme. Kennedy, A.C., and R.I. Papendick. 1995. Microbial characteristics of soil quality. J. of Soil and Water Conservation 50: 243-248. Khomsan, A. 1999. Indikator Ketahanan Pangan di Jawa. Media Gizi dan Keluarga. Juli, XXIII. (1) IPB.Bogor. Lal, R. 1994. Data analysis and interpretation. In: Methods and Guidelines for Assessing Sustainable Use of Soil and Water Resources in the Tropics, R. Lal (Ed.). Soil Management Support Services Technical. Monograph. No. 21. SMSS/SCS/USDA, Washington D.C, pp. 59-64. Larson, W.E., and F.J. Pierce. 1994. The dynamics of soil quality as a measure of sustainable management. In: Defining Soil Quality for a Sustainable Environment. J.W. Doran, D.C. Coleman, D.F. Bezdicek, and B.A. Stewart (Eds.). Soil Sci. Soc. Am. Special Publication No. 35. Madison, Wisconsin, USA, pp. 37-51.
102
Lawang, R.M.Z. 1999. Teori-Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Lee, D.Y. and Z.S. Chen. 1994. Plants for cadmium polluted soils in northern Taiwan. In: Biogeochemistry of Trace Elements, D.C. Adriano, Z.S. Chen, and S.S. Yang (Eds.). A Special Issue of Environmental Geochemistry and Health, Vol. 16. Science and Technology Letters, Northwood, UK, pp. 161-170. Liu, J.C., K.S. Looi, Z.S. Chen, and D.Y. Lee. 1998. The effects of composts and calcium carbonate on the uptake of cadmium and lead by vegetables grown in polluted soils. J. Chinese Institute of Environmental Engineering 8: 53-60. Lowwenberg, L. Et al. 1970. Food Policy in Local Setting. Development and change. 9(3): 439-57. Manor, J. 1999. The Political Economy of Democratic Decentralization. The World Bank, Washington. Marwati, D. 2001. Strategi Ketahanan pangan, Ketersediaan dan Pola konsumsi Pangan Keluarga Buruh Tani dan Buruh Pabrik di Desa Kebon dalam, Kota Cilegon. Skripsi yang Tidak Di Publikasikan. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Maxwell S. Frankenberger TR. 1992. Household Food Security: Concepts, Indicators, Measurements, A Technical Review. Rome: International Fund for Agricultural Development United Nations Children Fund. Maydell, O.V. 1994. Agrarpolitische Ansatze zur Erhaltung von Bodenressourcen in Entwicklungslandern. Landwirtschaft und Umwelt. Schriften zur Umwdltokonomik, Band 9. Wissenschaftscerlag Vauk. Kiel. Germany. Ministry of Housing - Netherlands. 1994. Dutch intervention values of heavy metals and organic pollutants in soils, sediments, and ground water. Physical Planning and Environmental Conservation Report HSE 94.021. Mosher, A.T. 1966. Getting Agriculture Moving. New York: Fredrick A. Praeger. Inc.Publishers. Mubyarto. 1996. Politik Kebijakan Ketahanan Pangan di Indonesia. Jurnal Ekonomi Rakyat. Vol 8 No 2 Oktober 1996. Muhilal, F. Jalal & Hardinsyah. 1998. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI. LIPI, Jakarta. Oldeman, L.R., V.W.P. Van Engelen, and J.H.M. Pulles. 1990. The extent of human induced soil degradation. Annex 5 of L.R. Oldeman, R.T.A. Hakkeling, and W.G. Sombrock. World Map of the Status of HumanInduced Soil Degradation: An Exploratory Note. 2nd Rev. ISRIC (International Soil Reference and Information Centre) (Ed.). Wageningen, Netherlands. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. 2002. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2000 Tentang Ketahanan Pangan. Jakarta: Sekretaris Negara RI. PPK-LIPI. 2004. Ketahanan Pangan, Kemiskinan dan Demografi Rumah Tangga. Seri Penelitian PPK-LIPI No. 56/2004. Jakarta: Puslit kependudukan _ LIPI. Priyatmono, G. 2005. Masyarakat Desa menjadi Investor: Perlawanan Terhadap Kapitalisme Desa. Warta Pedesaan PSPK UGM No. 05/XXIII/Mei 2005.
103
Raharto, Aswatini dan Haning Romdiati. 2000. Identifikasi Rumah Tangga Miskin , dalam Seta, Ananto Kusuma et.al (editor), Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII, hal: 259-284. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Raharto, Aswatini, 1999. Kehidupan Nelayan Miskin di Masa Krisis dalam Tim Peneliti PPT-LIPI: Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Kehidupan Keluarga Kelompok Rentan: Beberapa Kasus Jakarta: PPT-LIPI bekerjasama dengan Departeman Sosial Republik Indonesia. Rimbawan. 1999. Teknik Pengukuran Mutu Pangan dalam Penelitian Pangan dan Gizi Masyarakat. Makalah disajikan dalam Training Peningkatan Kemampuan Penelitian Bidang Kesehatan dan Gizi Masyarakat. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. Rogers B., Youssef N. 1988. The Importance of Women s Involment in Economic Activities in the Improvement of Child Nutrition and Health. Food and Nutrition Bulletin. Jossey Bass. Ruddle, K. 1991. Integrated farming systems and future directions for Asian farming systems research and extension. Journal of the Asian Farming Association 1,1: 91-99. Sajogjo, Gunardi, S. Roesli, S.S. Hardjadi dan M. Khumaidi. 1996. Menuju Gizi Baik yang Merata di Pedesaan dan di Kota. UGM Press. Yogjakarta. Sajogjo. 1994. Peranan Wanita dalam Pembangunan Masyarakat Desa. C.V. Rajawali, Jakarta. Samsudin. 1993. Pencatatan Pemantauan Tumbuh Kembang Balita. Makalah disajikan dalam Seminar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Saragih, B.2004. dalam Sunyoto Usman, Politik Pangan. Centre for Indonesia Research and Development (CIRED). Yogyakarta. Sawit, MH dan Mewa Ariani. 1997. Konsep dan Kebijakan Ketahanan Pangan. Makalah Seminar Pra Widyakarya Pangan dan Gizi. 26 27 Juni. Jakarta. Simatupang, P., 1995. Industrialisasi Pertanian Sebagai strategi Agribisnis dan Pembangunan Pertanian dalam Era Globalisasi. Orasi Pengukuhan Ahli Peneliti Utama. Bogor: Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Singh Inderjit J and Subramanian Janakiram. (1986). Agricultural Household Modelling in a Multicrop Environment. In Inderjit J. Singh, Lyn Squire and John Strauss (eds.), Agricultural Household Models Extensions, Applications and Policy. Baltimore: The Johns Hopkins University Press, 233-254. Singh, Inderjit, Lyn Squire and John Strauss (eds.). (1986). Agricultural Household Models Extensions, Applications and Policy. Baltimore: The Johns Hopkins University Press. Sisparyadi. 2005. Desa Rawan Pangan dan Program Raskin. Warta Pedesaan PSPK UGM No. 05/XXIII/Mei 2005. Sitorus, M.T.F, 1993. Peranan Sosial-Ekonomi Wanita dalam Rumah Tangga Nelayan Miskin. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Sosial RI.
104
Soekanto, S. 1990. sosiologi suatu Pengantar. Edisi Baru Ke empat. Cetakan Keduabelas. Penerbit CV. Rajawali, Jakarta. Soetomo, A.1998. Persoalan Ketahanan Pangan di Indonesia. Analisis Sosial. Vol 8 No 2 Oktober 1998. Soetrisno , N. 1998. Ketahanan Pangan. Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI. Serpong 17-20 Pebruari. LIPI. Jakarta. Soetrisno L. 1996. Beberapa Catatan dalam Upaya Meningkatkan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Indonesia. Laporan Lokakarya Ketahanan Pangan Rumah Tangga. Departemen Pertanian RI UNICEF Soetrisno, N. 1995. Ketahanan Pangan Dunia: Konsep, Pengukuran dan Faktor Dominan. Majalah Pangan No.21, Vol. IV Puslitbang Bulog. Jakarta. Soil Survey Staff. 1998. Key to Soil Taxonomy. 8th edition. USDA-Natural Resources Conservation Service. Washington, D.C., USA. Solahuddin, S. 1999. Visi Pembangunan Pertanian Abad 21. Cet. Ke-1. Diedit oleh: Arief Satria dan Amirudin Saleh. ISNB: 979-493-0660/tahun 1999. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Steiner, K.G. 1996. Causes of Soil Degradation and Development Approaches to Sustainable Soil Management. (English version by Richard Williams). CTZ, Margraf Verlag, Weilersheim, Germany. Studdert, G.A., H.E. Echeverria, and E.M. Casanovas. 1997. Crop-pasture rotation for sustaining the quality and productivity of a Typic Argiudoll. Soil Sci. Soc. Am. J. 61: 1466-1472. Suan-Eapi. 1987. Analysis of Phu Wiang Agroecosystem in Northern Thailand. Khon Kaen University, Thailand. Sukandar D., D. Briawan, Y. Heriatno., M. Ariani dan M.D. Andrestian. 2001. Kajian Indikator Ketahanan Pangan Tingkat Rumah Tangga di Propinsi Jawa Tengah. Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi Lembaga Penelitian IPB. Bogor. Suryana A. 1999. Kebijakan Sektor Pertanian dalam Pengelolaan Lahan Pesisir untuk Menunjang Diversifikasi Pangan. Makalah disampaikan pada Diskusi Panel FISIP Universitas Indonesia. Jakarta. Susanto D. 1996. Aspek Pengetahuan dan Sosio Budaya dalam Rangka Ketahanan Pangan Rumah tangga. Laporan Lokakarya Ketahanan Pangan Rumah Tangga. Departemen Pertanian RI UNICEF. Tiller, K.G. 1992. Urban soil contamination in Australia. Australian J. Soil Research 30: 937-957. Tri Margono, Detty Suryati, Sri Hartinah, 1993. Buku Panduan Teknologi Pangan, Pusat Informasi Wanita dalam Pembangunan PDII-LIPI bekerjasama dengan Swiss Development Cooperation. USEPA (United States Environmental Protection Agency). 1989. Standards for the disposal of sewage sludge: Proposed rules. Federal Register 54: 5778-5902. USA. Usman, S. 2004. Politik Pangan. Centre for Indonesia Research and Development (CIRED). Yogyakarta. Wang, Y.P., Z.S. Chen, W.C. Liu, T.H. Wu, C.C. Chaou, G.C. Li, and T.T. Wang. 1994. Criteria of soil quality: Establishment of heavy metal contents in different categories (Final reports of four years projects). Project reports of EPA/ROC (Grant No. EPA-83-E3HI-09-02). 54p. (In Chinese, with English abstract and tables).
105
Warkentin, B.P. 1995. The changing concepts of soil quality. J. Soil and Water Conservation. 50: 226-228. Waters-Bayer A. and W. Bayer. 1992. The role of livestock in the rural economy. Proceedings, International Workshop on Livestock Production in Rural Development. International Agricultural Centre, Wageningen, Netherlands. Winarno, F. G. 1990. Gizi dan Makanan bagi Bayi dan Anak Sapihan. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Zeitlin M, Brown L. 1990. Household Nutrition Security: A Development Dilema.: Food Agricultural Organization. Roma.