PROSES SCAFFOLDING BERDASARKAN DIAGNOSIS KESULITAN SISWA DALAM MENYELESAIKAN MASALAH PERTIDAKSAMAAN KUADRAT DENGAN MENGGUNAKAN MAPPING MATHEMATICS
Yusi Hartutik, Subanji, dan Santi Irawati SMK Negeri 1 Blitar, Dosen Pasca Sarjana Pendidikan Matematika Universitas, Dosen Pasca Sarjana Pendidikan Matematika Universitas Negeri Malang E-mail:
[email protected],
[email protected],
[email protected] ABSTRAK: Untuk membantu siswa mengatasi kesulitannya, dilakukan scaffolding. Sebelum itu, perlu dilakukan diagnosis kesulitan siswa dalam menyelesaikan masalah, berdasarkan mapping mathematicsnya.. Langkah-langkah scaffolding dalam penelitian ini mengacu pada Anghileri (2006), yaitu explaining, reviewing, restructuring, dan developing conceptual thinking. Dari hasil penelitian ditemukan letak-letak kesulitan siswa dalam menyelesaikan masalah pertidaksamaan kuadrat terdiri dari 3 bagian, yaitu: (1) menentukan model matematika, (2) menentukan batas-batas interval, menentukan interval yang memenuhi, menulis himpunan selesaian, dan (3) menarik kesimpulan. Kata kunci: Scaffolding, Kesulitan Siswa, Masalah Pertidaksamaan Kuadrat, Mapping Mathematics.
Pendekatan pembelajaran matematika harus fokus pada peningkatan kemampuan siswa dalam pemecahan masalah (problem solving). Ausubel (dalam Bell, 1978) mengemukakan bahwa pembelajaran bermakna terjadi apabila siswa mampu menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka. Ismiasri (2010) juga mengemukakan bahwa cara mengetahui konsepkonsep yang telah dimiliki siswa supaya belajar bermakna berlangsung dapat dilakukan dengan pertolongan peta konsep. Peta konsep yang dibuat dapat mengetahui miskonsepsi yang dimiliki siswa disamping untuk memperkuat pemahaman konseptual guru. Dalam pembelajaran, guru harus senantiasa reflektif terhadap respon siswa dan mampu bertindak sebagai motivator sekaligus pembimbing bagi siswa. Dalam hal ini, penerapan teori kognitif sosial yang
dikembangkan oleh Lev Vygotsky sangatlah tepat. Vygotsky (dalam Lambas 2004:21) menyatakan bahwa seseorang akan dapat menyelesaikan permasalahan yang tingkat kesulitannya lebih tinggi dari kemampuan dasarnya setelah ia mendapat bantuan dari seseorang yang lebih mampu. Vygotsky menyebut bantuan yang demikian ini dengan dukungan dinamis atau scaffolding. Dalam melakukan scaffolding terhadap siswa, guru harus tahu hal-hal yang menjadi akar kesulitan sehingga bisa ditentukan langkah-langkah untuk membantunya. Widdiharto (2008) berpendapat bahwa dalam menemukan dan mengatasi kesulitan siswa dalam belajar matematika, pekerjaan guru pada hakekatnya sama dengan pekerjaan dokter. Sebelum melakukan scaffolding terhadap siswa, guru seharusnya terlebih dahulu mendiagnosis kesulitan tersebut.
612
613, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
Menurut Eisenmann dan Otten (2011) praktek analisis tematik menggunakan mapping mathematics dapat membantu mengantisipasi kesulitan dalam proses perencanaan dan pengembangan kurikulum. Diagnosis dengan menggunakan mapping mathematics diperlukan untuk mengetahui letak kesulitan siswa dalam pemecahan masalah matematika secara akurat. Pada tes pendahuluan, kemampuan pemecahan masalah pertidaksamaan kuadrat pada siswa kelas X di SMK Negeri 1 Blitar masih lemah. Selanjutnya peneliti melakukan penelitian kualitatif eksploratif yang berjudul “Proses Scaffolding Berdasarkan Diagnosis Kesulitan Siswa dalam Menyelesaikan Masalah Pertidaksamaan Kuadrat dengan Menggunakan Mapping Mathematics ”. Tujuan yang ingin dicapai adalah memperoleh gambaran mengenai letak-letak kesulitan siswa dalam menyelesaikan masalah pertidaksamaan kuadrat dan proses scaffoldingnya. Selanjutnya dengan gambaran tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu bahan acuan untuk melakukan perbaikan perencanaan maupun pelaksanaan pembelajaran berikutnya. Masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah masalah untuk mencari, sedangkan diagnosis kesulitan siswa dilakukan berdasarkan mapping mathematics permasalahan. Langkahlangkah scaffolding yang dilakukan dalam penelitian ini mengacu pada Anghileri (2006). METODE Dari segi pengumpulan data, jenis data dan teknik analisis data, maka penelitian ini tergolong pada penelitian kualitatif (Moleong, 2004: 8 – 13), karena memiliki ciri – ciri: (1) peneliti bertindak sebagai instrumen utama, (2) mempunyai latar alami, (3) hasil penelitian bersifat
deskriptif, karena data yang dikumpulkan berupa kata – kata dan kalimat, (4) lebih mementingkan proses daripada hasil, (5) adanya batasan masalah yang ditemukan dalam fokus penelitian, (6) analisis data cenderung induktif. Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah data verbal yang mendeskripsikan letak kesulitan siswa dalam menyelesaikan masalah pertidaksamaan kuadrat dan proses scaffolding yang diberikan oleh guru. Oleh karena itu penelitian ini termasuk penelitian deskriptif eksploratif. Penelitian ini dilaksanakan di SMK Negeri 1 Blitar pada akhir semester gasal tahun pelajaran 2012 – 2013. Subjek penelitian ditetapkan dengan rincian: dua orang siswa yang kemampuan matematikanya tinggi; dua orang siswa yang kemampuan matematikanya sedang; dan dua orang siswa yang kemampuan matematikanya rendah. Peneliti memberikan dua masalah untuk diselesaikan oleh seluruh siswa di salah satu kelas X yang ada di sekolah tersebut. Kemudian subjek ditentukan. Siswa yang ditetapkan sebagai subjek penelitian diberi kesempatan untuk mengerjakan kembali tes diagnosis. Kemudian peneliti melakukan scaffolding ketika siswa mengalami kesulitan dalam menyelesaikan masalah tersebut. Setelah proses scaffolding selesai, seluruh subjek diberikan tes evaluasi secara bersama-sama. Dari hasil tes evaluasi dapat dilihat apakah kesulitan siswa dalam menyelesaikan masalah pertidaksamaan kuadrat berkurang atau tidak setelah pemberian scaffolding. HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam penelitian ini ditemukan letak-letak kesulitan siswa dalam menyelesaikan masalah pertidaksamaan kuadrat terdiri dari 3 bagian. Demikian
Hartutik, dkk, Proses Scaffolding, 614
juga bentuk-bentuk scaffolding yang sesuai dengan letak-letak kesulitannya. 1. Deskripsi Letak Kesulitan Siswa 1) Masalah Nomor 1 Tahap-tahap menyele-saikan masalah merupakan letak-letak kesulitan yang mungkin dialami siswa dalam menyelesaikan masalah tersebut. a. Bagian Pertama : membuat model matematika Langkah pertama yang harus dilakukan ketika
b. Bagian Kedua Kesulitan-kesulitan pada bagian kedua ini terdiri dari 3 tahap, yaitu (1) tahap menentukan batasbatas interval, (2) tahap menentukan interval yang memenuhi, dan (3)
menyelesaikan suatu masalah adalah membuat model matematika yang sesuai. Membuat model matematika dalam hal ini adalah (1) mengidentifikasi semua fakta yang diketahui serta fakta yang ditanyakan, dan (2) menentukan arah kerja. Kesulitan-kesulitan siswa pada bagian pertama tergambar dalam mapping berikut.
tahap menuliskan himpunan selesaian. Dalam bentuk mapping, kesulitan-kesulitan pada bagian kedua ini digambarkan sebagai berikut.
615, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
Berikut ini adalah deskripsi letakletak kesulitan siswa dalam Kode Istilah menyelesaikan masalah nomor 2. P model matematika yang berupa pertidaksamaan a. Bagiankuadrat Pertama : IB menentukan batas -batas interval menemukan model PK mengubah persamaan kuadrat dari pertidaks. yang dibentuk matematika AK menentukan akar-akar persamaan kuadrat Menemukan model IM menentukan interval yang memenuhi matematika yang sesuai dalam hal ini adalah (1) memahami TK menentukan titik uji masalah untuk mengidenPU menentukan pertidaksamaan penguji tifikasi semua fakta yang UT melakukan uji titik diketahui serta fakta yang HP menuliskan himpunan selesaian ditanyakan, dan (2) menenc. Bagian Ketiga : Menarik tukan arah kerja. Kesimpulan Kesulitan-kesulitan Kesulitan-kesulitan siswa pada bagian pertama siswa pada bagian ketiga ini tergambar dalam mapping tergambar dalam mapping berikut. berikut. KETERANGAN:
2) Masalah Nomor 2 Secara keseluruhan, tahaptahap menyelesaikan masalah nomor 2 tersebut digambarkan dalam mapping berikut.
b. Bagian Kedua Kesulitan-kesulitan pada bagian kedua ini terdiri dari 2 tahap, yaitu (a) tahap menentukan batas-batas interval, dan (b) tahap menentukan interval yang memenuhi. Dalam bentuk mapping, kesulitan-kesulitan pada bagian kedua ini digambarkan sebagai berikut.
Hartutik, dkk, Proses Scaffolding, 616
KETERANGAN: Kode
Istilah
P
model matematika yang berupa pertidaksamaan kuadrat
IB
menentukan batas -batas interval
PK
menentukan persamaan kuadrat
AK
menentukan akar-akar persamaan kuadrat
IM
menentukan interval yang memenuhi
TK
menentukan titik uji
PU
menentukan pertidaksamaan penguji
UT
melakukan uji titik
HP
menuliskan himpunan selesaian
ding, yaitu mengarahkan siswa untuk memahami masalah dengan meminta siswa membaca dengan cermat. Peneliti meminta siswa untuk membaca kembali dengan hati-hati dan lebih teliti informasi yang diketahui dan yang ditanyakan pada soal. Sedangkan kesulitan menentukan arah kerja dengan benar adalah karena ketidakmampuan siswa mencari hubungan antara fakta-fakta yang diketahui. Untuk membantu kesulitan pada tahap ini adalah scaffolding Anghileri level 2, yaitu explaining. Penjelasannya berupa penjelasan bahwa antara rumus luas dan rumus keliling
2. Deskripsi Proses Scaffolding Scaffolding yang diberikan dalam penelitian ini adalah bentuk scaffolding pada level dua dan tiga dari scaffolding yang dikemukakan Anghileri (2006). Level-level yang dimaksud mengandung komponen-komponen explaining, reviewing, restructuring, dan developing conceptual thinking. Berikut ini disajikan proses scaffolding pada setiap tahap menyelesaikan masalah yang merupakan letak-letak kesulitan menyelesaikan masalah pertidaksamaan kuadrat. 1) Masalah Nomor 1 a. Bagian Pertama Scaffolding untuk menentukan model matematika dilakukan sesuai dengan pedoman scaffold-
616
617, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
tersebut terdapat suatu hubungan yang harus dicari oleh siswa. Di samping itu pemberian scaffolding tersebut juga merupakan bentuk scaffolding pada level 3, yaitu developing conceptual thinking. Developing conceptual thinking di sini dilakukan dengan cara meminta siswa menyatakan salah satu variabel ke dalam variabel yang lain, dan kemudian mensubstitusikannya ke rumus luas hingga diperoleh bentuk pertidaksamaan yang sesuai. b. Bagian Kedua Pada bagian kedua ini, setiap siswa memungkinkan menghadapi kesulitan yang berbeda sehingga pemberian scaffolding juga bisa berbeda. Pertama, kesulitan yang disebabkan siswa tidak mengetahui persamaan kuadrat dan cara menentukan akar-akarnya. Scaffolding yang diberikan mengacu pada level 2 scaffolding Anghileri yaitu explaining, yaitu menjelaskan cara menyelesaikan persamaan kuadrat jika koefisiennya – 1 . Kedua, kesalahan menentukan titik uji, menentukan pertidaksamaan penguji, dan melakukan uji titik. Peneliti memberikan scaffolding Anghileri level 2 yaitu explaining, dengan cara memberikan penjelasan bahwa titik uji adalah titik di sebelah kiri atau kanan titik-titik batas interval yang digambarkan dalam garis bilangan. Peneliti memberikan gambar garis bilangan lain, dan meminta subjek menunjukkan titik ujinya agar subjek lebih terampil. Ketiga, kesulitan menentukan pertidaksamaan pengujinya. Scaffolding
yang diberikan adalah scaffolding Anghileri level 2 yaitu explaining, dengan cara memberikan penjelasan bahwa pertidaksamaan yang dipilih sebagai pertidaksamaan penguji adalah pertidaksamaan yang paling sederhana. Keempat, kesulitan mensubtitusikan titik uji t pada pertidaksamaan penguji yang sesuai. Scaffolding yang diberikan mengacu pada scaffolding Anghileri level 2 yaitu explaining, dengan cara memberikan penjelasan bahwa cara melakukan uji titik adalah dengan cara mensubstitusikan titik uji kedalam pertidaksamaan penguji. Kelima, untuk kesalahan menghitung pada tahap ini, scaffolding yang sesuai adalah scaffolding Anghileri level 3 yaitu developing conceptual thinking, dengan cara menekankan agar selalu teliti dalam bekerja. Keenam, kesalahan menuliskan himpunan selesaian. Peneliti memberikan scaffolding Anghileri level 2 yaitu explaining, dengan cara menjelaskan bahwa cara menuliskan himpunan selesaian pertidaksamaan adalah dengan menuliskan notasi pembentuk himpunan. c. Bagian Ketiga : Menarik Kesimpulan Kesulitan bagian ketiga ini yaitu tidak dapat menarik kesimpulan dari jawaban yang sudah diperoleh pada tahap sebelumnya. Pemberian scaffolddingnya adalah dengan memberikan pertanyaan arahan untuk membawa siswa menemukan hubungan antara himpunan selesaian yang ditemukan dengan fakta yang ditanyakan sehingga sampai pada kesimpulan. Pembe-
Hartutik, dkk, Proses Scaffolding, 618
rian scaffolding ini mengacu pada scaffolding yang dikemukakan Anghileri (2006) pada level 2 komponen restructuring dan level 3 komponen making conections. 2) Masalah Nomor 2 a. Bagian Pertama Scaffolding dalam mengidentifikasi fakta masalah nomor 2 sebagai pertidaksamaan kuadrat berbentuk pecahan dilakukan dengan mengingatkan siswa tentang syarat pecahan, yaitu penyebutnya tidak boleh nol. Pemberian scaffolding ini mengacu pada scaffolding Anghileri level 2, yaitu explaining. Sedangkan untuk kesulitan menentukan arah kerja yang jelas, maka scaffolding yang diberikan mengacu pada scaffolding Anghileri level 2 dan level 3, yaitu explaining dan developing conceptual thinking. Explaining dilakukan dengan menjelaskan tentang cara memindah ruas, menyamakan penyebut, dan menyederhanakan bentuk pertidaksamaan. Sedangkan developing conceptual thinking di sini dilakukan dengan cara meminta siswa memindah ruas, menyamakan penyebut, dan menyederhanakan bentuk pertidaksamaan. b. Bagian Kedua Pertama, kesalahan menentukan titik uji. Pemberian scaffolding ini mengacu pada scaffolding yang dikemukakan Anghileri (2006) pada level 2 komponen explaining dan reviewing. Peneliti memberikan scaffolding Anghileri level 3 yaitu developing conceptual thinking, dengan cara meminta siswa
menentukan titik uji dengan arahan peneliti. Kedua, scaffolding untuk kesulitan menentukan pertidaksamaan pengujinya. Subjek 5 saja yang masih mengalami kesulitan pada tahap ini. Peneliti memberikan scaffolding Anghileri level 2 yaitu explaining, dengan cara memberikan penjelasan bahwa pertidaksamaan yang dipilih sebagai pertidaksamaan penguji adalah pertidaksamaan yang paling sederhana. Ketiga, kesulitan dalam mensubtitusikan titik uji tersebut pada pertidaksamaan penguji yang sesuai. Peneliti memberikan scaffolding Anghileri level 3 yaitu developing conceptual thinking, dengan cara menekankan agar selalu teliti dalam bekerja. Keempat, kesalahan menuliskan himpunan selesaian. Peneliti memberikan scaffolding Anghileri level 3 yaitu developing concepttual thinking, dengan cara menekankan bahwa dalam menuliskan himpunan selesaian harus memperhatikan syarat pecahan. PENUTUP Kesimpulan dan Saran Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa secara umum kesulitan siswa dalam menyelesaikan masalah pertidaksamaan kuadrat dapat berkurang setelah dilakukan scaffolding sesuai keperluan masing-masing siswa. Hal-hal yang dapat disarankan adalah: 1) guru sebaiknya melakukan diagnosis kesulitan siswa dengan menggunakan mapping mathematics sebelum memberikan bantuan, sehingga dapat meningkatkan kemampuan siswa
619, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
dalam pemecahan masalah, 2) karena kesulitan siswa dapat berkurang dengan pemberian scaffolding, maka dalam perencanaan maupun pelaksanaan pembelajaran guru hendaknya selalu mengupayakan pemberian scaffolding terhadap siswanya, dan 3) kajian letak-
letak kesulitan siswa serta proses scaffolding dalam penelitian ini masih terbatas, untuk itu perlu adanya penelitian dengan kajian yang lebih mendalam dengan masalah yang lain.
DAFTAR RUJUKAN Anghileri, J. 2006. Scaffolding Practices That Enhance Mathematics Learning. Journal of Mathematics Teacher Education. 9:33–52 Bell, Frederick H., 1978. Teaching and Learning Mathematics in Secondary School, New York: Wm. C. Brown Company Publishers. Eisenmann, H.B.A. & Otten, S. 2011. Mapping Mathematic in Classroom Discourse. Journal for Research in Mathematics Education. 42(5): 451-485. Ismiasri, Tatiek. 2010. Penerapan Peta Konsep dalam Pembelajaran Matematika. Widya Wacana (Wadah Kreativitas dan Potensi Ilmiah Kependidikan) Vol. 12. No. 1. Edisi April 2010. Blitar: Dindik Kota Blitar. Lambas, dkk. 2004. Materi Pelatihan Terintegrasi. Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional. Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Polya, G. 1973. How To Solve It. Princeton University Press. Stuyf, V. 2002. Scaffolding as a Teaching Strategy. Adolescent Learning and Development Journal, (condor.admin.ccny.cuny.edu/.../V an%20Der.), diakses 12 Januari 2012. Subanji, 2009. Mengembangkan Pembelajaran Matematika Yang Berorientasi Pada Problem Solving Melalui Meaning Based Approach. Makalah Disajikan dalam Seminar Nasional Undang-Undang RI No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Inherent Dikti. (Online), (http://www.Inherent-dikti.net) diakses 29 Januari 2012. Widdhiharto, R. 2008. Diagnosis Kesulitan Belajar Matematika SMP dan Alternatif Proses Remidinya. Yogyakarta: Pusat pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Matematika.