PROPOSAL KEMAMPUAN MATEMATIKA SISWA SMP KALIMANTAN TIMUR DALAM MENYELESAIKAN SOAL MODEL PISA DAN TIMSS
Oleh: ANWARIL HAMIDY 15709251018
Pembimbing: Dr. Jailani, M.Pd
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2016
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Manusia abad 21 menghadapi berbagai macam isu dan permasalahan yang lebih besar dan kompleks dibandingkan abad sebelumnya, seperti pemanasan global, konflik internasional, ketersediaan air bersih, perkembangan informasi dan IPTEK yang begitu pesat, dan sebagainya. Hal ini berimplikasi kepada kebutuhan kompetensi yang berbeda dengan kompetensi pada abad sebelumnya agar siap menghadapi isu dan permasalahan tersebut. Shute & Becker (2010) menjelaskan bahwa dalam menghadapi isu di abad 21, manusia dituntut memiliki kemampuan berpikir kritis, kreatif dan kolaboratif serta mampu berkomunikasi secara efektif agar dapat menjadi solusi sekaligus mampu bertahan hidup. Hal inilah yang menjadi tantangan bagi pendidikan abad ini dalam mempersiapkan generasi bangsa. Pendidikan abad 21 tidak cukup hanya memberikan akses informasi kepada peserta didik, tetapi juga membantu mereka untuk belajar untuk berpikir dan membuat mereka mampu bertindak secara efektif dalam menghadapi perubahan dunia yang begitu cepat dan kompleks (Heppell, Chapman, Millwod, Constable & Furness, 2004). Selain itu, pendidikan juga harus memberikan suatu pengalaman yang baru, ide yang unik dan kreatif serta mengembangkan sikap kolaboratif sebagai bekal bagi peserta didik dalam menghadapi kehidupan di dunia kerja, bermasyarakat dan kehidupan sehari-hari (Kuhlthau, Maniotes & Caspari, 2007). Matematika merupakan satu di antara bidang pengetahuan yang memiliki peran sentral dalam
2
membentuk kompetensi-kompetensi tersebut. Organisation for Economic Cooperation and Development (2013) menjelaskan bahwa Matematika merupakan alat yang penting bagi remaja dalam menghadapi isu dan permasalahan baik dalam lingkup pribadi, pekerjaan, masyarakat, maupun ilmiah di kehidupan sehari-hari mereka. Hal ini sejalan dengan visi Matematika sekolah yang dikembangkan NCTM (2000: 5) bahwa, In this changing world, those who understand and can do mathematics will have significantly enhanced opportunities and options for shaping their futures. Mathematical competence opens doors to productive futures. A lack of mathematical competence keeps those doors closed. Oleh karena itu, peningkatan literasi Matematika menjadi salah pertimbangan dalam merumuskan kebijakan pendidikan di abad 21. Landasan empiris dari perubahan kurikulum pendidikan Indonesia menjadi kurikulum 2013 di antaranya adalah karena rendahnya kemampuan literasi siswa pada aspek bacaan, Matematika dan IPA jika dibandingkan dengan benchmark internasional (Kemendikbud, 2012). Hasil penelitian Programme for International Student Assessment (PISA) yang telah diikuti Indonesia sejak tahun 2000 menunjukkan bahwa rata-rata skor literasi Matematika siswa Indonesia pada usia kisaran 15 tahun masih di bawah standar internasional dan cenderung tidak mengalami peningkatan yang signifikan. Tabel 1. Skor Rata-Rata dan Peringkat Kemampuan Literasi Matematika Siswa Indonesia pada PISA 2000-2009 Tahun Skor RataSkor Rata-Rata Peringkat Jumlah Negara Rata Indonesia Internasional Indonesia Peserta 2000 367 500 39 41 2003 360 500 38 40 2006 391 500 50 57 2009 371 500 61 65 (Sumber: Kemendikbud, 2011)
3
Studi PISA tahun 2012 menunjukkan bahwa siswa Indonesia memperoleh nilai rata-rata skor Matematika sebesar 375 dan menempati peringkat 64 dari 65 negara peserta studi PISA (OECD, 2014). Meskipun mengalami peningkatan skor dibandingkan hasil PISA tahun 2009, namun rata-rata skor tersebut masih berada di bawah rata-rata skor internasional, yakni 494. Persentase kecakapan Matematika siswa Indonesia pada level yang tinggi pun tergolong rendah jika dibandingkan dengan standar internasional. Selain itu, 75,7% siswa Indonesia berada di bawah level 2, yang merupakan batas terendah kecakapan Matematika yang ditentukan pada PISA 2012 (OECD, 2014). Tabel 2. Persentase Banyak Siswa Indonesia pada Tiap Level Kecakapan Matematika pada PISA 2012 Di Level Level Level Level Level Level bawah 1 (%) 2 (%) 3 (%) 4 (%) 5 (%) 6 level 1 (%) (%) 42,3 33,4 16,8 5,7 1,5 0,3 0,0 Indonesia 92 77 54,5 30,8 12,6 3,3 Internasional 8 (Sumber: OECD, 2014) Selain PISA, hasil penelitian Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) juga menunjukkan hal yang serupa, yakni kemampuan Matematika siswa Indonesia kelas VIII tergolong rendah dan tidak mengalami peningkatan signifikan sejak tahun 1999 hingga 2007. Tabel 3. Skor Rata-Rata dan Peringkat Prestasi Matematika Siswa Indonesia pada TIMSS 1999-2007 Tahun Skor Rata- Skor Rata- Peringkat Jumlah Rata Rata Indonesia Negara Indonesia Internasional Peserta 1999 403 487 34 38 2003 411 467 35 46 2007 397 500 36 49 (Sumber: Kemendikbud, 2011)
4
Studi TIMSS tahun 2011 menunjukkan bahwa siswa Indonesia memperoleh skor rata-rata prestasi sebesar 386 dan menempati peringkat 38 dari 42 negara peserta (di luar dari negara yang mengirim partisipan dari siswa kelas IX) (Mullis, Martin, Foy, & Arora, 2012). Skor tersebut masih berada di bawah skor rata-rata prestasi Matematika internasional, yakni 500. Rendahnya prestasi Matematika siswa Indonesia tersebut berlaku pada semua domain penilaian TIMSS. Tabel 4. Rata-Rata Persentase Jawaban Benar Siswa Indonesia Kelas VIII pada TIMSS 2011 bidang Matematika Domain Penilaian Indonesia Internasional (%) (%) 24 43 Bilangan 22 37 Aljabar Domain Konten 24 39 Geometri 45 Data dan Peluang 29 31 49 Pengetahuan 23 39 Domain Kognitif Penerapan 17 30 Penalaran (Sumber: Mullis et al., 2012) Padahal di satu sisi siswa Indonesia memiliki prestasi yang gemilang di kancah Olimpiade Matematika Internasional. Pada International Mathematics Olympiad (IMO) tahun 2015, Indonesia berhasil meraih dua medali perak dan empat medali perunggu serta menempati peringkat peringkat 29 dari 104 negara peserta (Dolinar, 2015). Hasil yang lebih membanggakan diraih delegasi Indonesia pada IMO tahun 2016, yakni meraih tiga medali perak dan tiga medali perunggu serta menempati peringkat 20 dari 109 negara peserta (Dolinar, 2016). Artinya, siswa Indonesia cukup baik dalam menyelesaikan soal olimpiade yang termasuk soal level tinggi dan mampu bersaing dengan 109 negara lainnya, yang jauh lebih banyak daripada kuantitas negara peserta PISA maupun TIMSS. Hal ini seakan
5
berbanding terbalik dengan rendahnya kemampuan literasi dan prestasi Matematika siswa Indonesia pada penelitian PISA dan TIMSS. Fenomena ini terjadi disebabkan oleh kurangnya penggunaan permasalahan yang memiliki karakter seperti soal PISA ataupun TIMSS dalam proses pembelajaran (Wardhani & Rumiati, 2011), sehingga siswa kurang terlatih dalam mengerjakan soal yang kontekstual dan menuntut untuk berpikir tingkat tinggi (Budiman & Jailani, 2014). Guru cenderung mengajar hanya menitikberatkan pada penyampaian konsep tanpa mengaitkannya dalam konteks kehidupan sehari-hari siswa. Hal ini berdampak kepada kemampuan literasi Matematika siswa yang tidak mengalami peningkatan signifikan. Oleh karena itu, proses pembelajaran Matematika perlu mengakomodir dan mengembangkan kemampuan-kemampuan yang diujikan pada tes PISA dan TIMSS seperti kemampuan representasi, komunikasi, pemecahan masalah dan penalaran. Upaya tersebut mulai direalisasikan dengan dimuatnya soal-soal model TIMSS dan PISA pada soal Ujian Nasional. Nizam menjelaskan bahwa ada sekitar 5-10% soal Ujian Nasional 2016 bercirikan soal PISA (Wiwoho, 2015). Beberapa contohnya adalah sebagai berikut. Nomor 28 Panjang sisi-sisi segitiga adalah p, q dan r, dengan p > q > r. Pernyataan yang paling benar adalah ... a. p + q < r b. r + q > p c. p – q > r d. r > p +q Nomor 37 “Pengunjung Perpustakaan” Suatu hari Ani menemukan sobekan koran yang memuat data pengunjung perpustakaan berupa gambar diagram batang sebagai berikut.
6
Gambar 1. Grafik Pengunjung Perpustakaan Rata-rata pengunjung 41 orang selama lima hari Informasi yang ada pada koran tersebut menunjukkan data pengunjung perpustakaan selama 5 hari. Ani penasaran tentang banyak pengunjung pada hari Rabu. Tolong bantu Ani, berapa banyak pengunjung pada hari Rabu? a. 55 orang b. 60 orang c. 65 orang d. 70 orang (Sumber: Paket Soal UN Berbasis Kertas Provinsi Kalimantan Timur, 2016) Soal nomor 28 tidak hanya mengukur pemahaman siswa terhadap konsep segitiga, namun juga kemampuan justifikasi siswa dalam menentukan pernyataan yang benar berdasarkan informasi yang tersedia. Sedangkan soal nomor 37 lebih menitikberatkan dari konteks kehidupan sehari-hari siswa. Selain itu, soal nomor 37 menuntut siswa untuk menginterpretasikan grafik yang tersedia kemudian menggunakannya untuk menemukan solusi dari permasalahan. Kedua soal tersebut memiliki tingkat kesulitan lebih tinggi daripada soal UN biasanya. Level kesulitan soal Ujian Nasional yang meningkat dari tahun sebelumnnya ini berdampak pada penurunan hasil UN secara nasional, yakni dari 56,28 pada tahun 2015 menjadi
7
50,24 pada tahun 2016 (Fizriyani, 2016). Hal ini menunjukkan bahwa siswa masih belum terlatih dengan soal PISA dan TIMSS. Oleh karena itu, penggunaan soalsoal model PISA dan TIMSS dalam perlu ditingkatkan dalam proses pembelajaran. Selain itu, meskipun kemampuan literasi Matematika siswa Indonesia secara internasional telah tergambarkan dalam penelitian PISA dan TIMSS, namun upaya pemetaannya secara detail di setiap wilayah belum dilakukan. Hal diperlukan karena sekolah yang menjadi sampel pada penelitian PISA dan TIMSS masih terbatas pada wilayah dan strata sekolah tertentu. Wulandari & Jailani (2015) menjelaskan bahwa sampel sekolah yang digunakan pada penelitian PISA di Indonesia menggunakan sekolah-sekolah dengan kategori rendah sehingga belum mencerminkan karakteristik sebenarnya dari kemampuan Matematika siswa Indonesia. Upaya pemetaan kemampuan Matematika siswa dalam menyelesaikan soal PISA dan TIMSS mulai dilakukan oleh Wulandari (2015), di mana populasi penelitian di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai representasi dari Indonesia bagian barat. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kemampuan Matematika siswa DIY dalam menyelesaikan soal model PISA dan TIMSS lebih tinggi daripada kemampuan siswa Indonesia pada PISA 2012 dan TIMSS 2011. Namun, Kalimantan Timur sebagai representasi dari Indonesia bagian tengah merupakan salah satu daerah yang belum pernah menjadi sampel untuk kedua penelitian internasional tersebut. Pemetaan ini penting karena selain memberikan gambaran yang lebih mendalam tentang kemampuan Matematika siswa di setiap daerah, juga memberikan evaluasi terhadap implementasi kurikulum 2013 secara
8
tidak langsung. Oleh karena itu, perlu adanya penelitian terhadap kemampuan Matematika siswa di Kalimantan Timur dalam menyelesaikan soal model PISA dan TIMSS. Penelitian terhadap kemampuan menyelesaikan soal model PISA dan TIMSS sebagai tolok ukur kesiapan generasi bangsa menghadapi globalisasi lebih urgent ditujukan kepada segmentasi siswa SMP kelas VIII dan IX yang memiliki usia kisaran 14-16 tahun. Hal ini berdasarkan teori perkembangan kognitif Piaget bahwa anak pada usia 14 atau 15 tahun berada tahap operasional konkrit, di mana anak-anak mampu berpikir logis dan abstrak, mampu mengajukan hipotesis dan menggunakannya dalam memecahkan masalah kehidupan (Hergenhahn & Olson, 2012). Kemampuan berpikir tersebut diperlukan dalam menyelesaikan soal model PISA dan TIMSS yang mencakup kemampuan berpikir tingkat tinggi. Penelitian PISA pun menggunakan sampel anak yang berusia kisaran 15 tahun karena pada usia tersebut siswa telah berada di penghujung usia wajib belajarnya bagi kebanyakan negara OECD (OECD, 2013). Sedangkan penelitian TIMSS menggunakan sampel siswa SMP kelas VIII, yang merupakan akhir dari pendidikan menengah bagi kebanyakan negara peserta TIMSS (Mullis, Martin, Ruddock, O’Sullivan & Preuschoff, 2009). Dengan demikian, hasil dari penelitian ini dapat menjadi gambaran atas kualitas generasi masa depan sekaligus pertimbangan dalam mengambil kebijakan terhadap kurikulum pendidikan di kota Samarinda secara khusus, di Indonesia secara umum. Selain itu, pemberian soal model PISA dan TIMSS kepada siswa SMP kelas VIII dan IX diharapkan dapat membuat mereka
9
lebih siap dalam menghadapi Ujian Nasional, mengingat soal UN mulai memuat soal-soal model PISA dan TIMSS. Oleh karena itu, berdasarkan beberapa rasionalisasi yang disertai data dan fakta pendukung di atas, maka perlu adanya penelitian tentang kemampuan siswa SMP di Kalimantan Timur dalam menyelesaikan soal model PISA dan TIMSS sebagai upaya untuk memetakan kemampuan matematika siswa SMP di Indonesia. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi sumber informasi tentang peta kemampuan Matematika siswa di setiap daerah dan pertimbangan bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan strategis untuk meningkatkan kualitas output dari pendidikan.
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang, terdapat beberapa masalah yang diidentifikasi sebagai berikut. 1.
Rendahnya kemampuan literasi Matematika siswa Indonesia pada studi PISA.
2.
Rendahnya prestasi Matematika siswa Indonesia pada studi TIMSS.
3.
Rendahnya peringkat prestasi Matematika siswa Indonesia pada kedua survei Matematika internasional (PISA dan TIMSS) berbanding terbalik dengan prestasi positif siswa Indonesia di olimpiade Matematika internasional.
4.
Masih kurangnya penggunaan dan pengembangan soal-soal model TIMSS dan PISA dalam proses pembelajaran Matematika.
10
5.
Soal Ujian Nasional yang mulai memuat soal dengan tingkat kesulitan tinggi dan bercirikan soal model PISA dan TIMSS berdampak pada menurunnya hasil Ujian Nasional.
6.
Belum adanya pemetaan kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal model PISA dan TIMSS di wilayah Indonesia, khususnya di Kalimantan Timur.
C. Batasan dan Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan sejumlah permasalahan yang diidentifikasi, penelitian dibatasi pada cakupan siswa kelas VIII dan IX SMP Kalimantan Timur. Penelitian ini fokus mengukur kemampuan siswa SMP dalam menyelesaikan soal model PISA berdasarkan domain proses, konten dan konteks; dan TIMSS berdasarkan domain konten dan kognitif. Dengan demikian, rumusan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1.
Bagaimana kemampuan siswa SMP Kalimantan Timur dalam menyelesaikan soal model PISA?
2.
Bagaimana kemampuan siswa SMP Kalimantan Timur dalam menyelesaikan soal model TIMSS?
D. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1.
Untuk memberikan deskripsi kemampuan siswa SMP Kalimantan Timur dalam menyelesaikan soal model PISA.
11
2.
Untuk memberikan deskripsi kemampuan siswa SMP Kalimantan Timur dalam menyelesaikan soal model TIMSS.
E. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1.
Manfaat Teoritis Memperkaya wawasan peneliti, siswa, guru, pemerhati dan pemegang kebijakan pendidikan tentang survei PISA dan TIMSS serta memberikan gambaran kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal PISA dan TIMSS khususnya di Kalimantan Timur.
2.
Manfaat Praktis a.
Bagi Pemerhati dan Pemegang Kebijakan Pendidikan Referensi dalam menentukan kebijakan strategis bagi kemajuan pendidikan di Kalimantan Timur secara khusus, Indonesia secara umum.
b.
Bagi Guru Sarana evaluasi dan penilaian terhadap proses pembelajaran yang telah dilakukan sekaligus sumber inovasi dalam mengembangkan kegiatan belajar mengajar yang mengakomodir literasi Matematika.
c.
Bagi Siswa Sarana latihan bagi siswa SMP kelas IX dalam menghadapi Ujian Nasional yang akan datang.
12
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori 1.
Hakikat Matematika Pembahasan tentang Matematika telah ada sejak zaman Yunani kuno dan
menghasilkan berbagai definisi yang diungkap oleh para ahli. Definisi-definisi tersebut berkaitan erat dengan filosofi, cara pandang, dan latar belakang kepakaran dari para perumusnya. Plato menganggap bahwa Matematika merupakan gagasan yang bersifat ideal, absolut, tunggal, abadi, tidak berubah, bebas dari nilai moral dan kemanusiaan, dan diperoleh dari pengamatan terhadap dunia nyata sehingga diperoleh kesimpulan umum (induktif) (Marsigit, Rizkianto & Murdiyani, 2015). Anggapan yang dianut oleh kaum absolutis ini menjadikan Matematika sebagai pengetahuan ideal yang hanya dapat diraih dengan menemukannya dalam pikiran masing-masing
manusia.
Akibatnya
setiap
manusia
akan
berbeda-beda
pencapaiannya dalam mempelajari Matematika. Dengan demikian, pengetahuan yang diperoleh bersifat subjektif. Salah satu implikasinya dalam hal pengukuran, objek Matematika tidak dapat dicapai dalam sudut pandang yang berbeda sehingga tidak dapat diukur dengan sangat akurat (Pimm, 1995). Konsep ini juga berimplikasi kepada pemahaman bahwa Matematika telah ada dalam diri matematikawan, sebagaimana keberadaan mereka dalam diri mereka sendiri. Sehingga Matematika harus diajarkan dan dipelajari agar dapat mengetahui kebenaran dan struktur yang universal. Gagasan Matematika merupakan sesuatu
13
yang murni dan jelas kebenarannya, sedangkan para matematikawan hanya mengungkap struktur, hubungan, dan sebagainya. Dunia Matematika pada dasarnya tidak bergantung kepada aktivitas para matematikawan dan di luar pemahaman. Namun ia dapat diakses melalui persepsi dan dan kontemplasi (Stech, 2008). Selain itu, sifat Matematika yang absolut, abadi dan tidak berubah menjadikannya sarana komunikasi yang bersifat universal sehingga menjadikannya bahasa yang unggul (Noyes, 2007). Namun sifat ini juga berimplikasi kepada Matematika sebagai pengetahuan yang diskrit dan terisolasi dari pengetahuan lainnya sehingga perkembangan Matematika sebagai pengetahuan pun mengalami hambatan. Selain itu, sifat Matematika yang bebas dari nilai sosial dan kemanusiaan menunjukkan bahwa tidak adanya landasan kemanfaatan pengetahuan bagi manusia. Berbeda dengan kaum absolutis, aliran fallibis menganggap Matematika sebagai suatu muatan nilai yang berhubungan dengan nilai moral dan sosial yang berperan dalam perkembangan matematika (Marsigit et al, 2015). Pandangan ini sejalan dengan Noyes (2007) bahwa Matematika merupakan keterampilan yang memiliki beragam kegunaan daripada dianggap sebagai sesuatu yang absolut dan di luar pemahaman. Definisi tersebut menunjukkan bahwa Matematika tidak berada di luar manusia, tetapi ia merupakan hasil usaha manusia yang berhimpun dan memiliki peranan dalam perubahan perilaku sosial. Dengan demikian, Matematika bukan tentang menemukan dalam pikiran atau di bagian yang tersembunyi dari dunia, tetapi mencipta (kreasi). Karenanya Stech (2008) menyatakan bahwa Matematika merupakan kreasi sejarah dari banyak orang dalam upaya menemukan jawaban dari suatu permasalahan. Penerapan matematika dalam menghadapi
14
permasalahan di berbagai aspek kehidupan manusia menunjukkan bahwa Matematika merupakan alat berpikir yang berkembang pesat. Tossavainen & Pehkonen (2013) menjelaskan bahwa kelengkapan Matematika tidak dapat dijelaskan dalam satu gambaran tunggal yang tidak berubah, tetapi Matematika selalu berevolusi dan berkembang tanpa henti. Begitu pula yang dijelaskan oleh Howson (2005) bahwa Matematika merupakan kumpulan dari hasil, teknik, dan peningkatan derajat proses, seperti suatu organisme yang senantiasa tumbuh ke berbagai arah. Perkembangan pengetahuan Matematika tidak terlepas dari interaksi ide-ide di antara manusia sehingga menghasilkan pengetahuan yang objektif dan teruji kebenarannya. Sebagaimana penjelasan Marsigit et al (2015) bahwa Matematika merupakan himpunan dari kebenaran dalam bentuk himpunan pernyataan yang dilengkapi dengan bukti. Selain itu, Matematika sebagai bagian dari intelegensi merupakan akumulasi dari skema pengetahuan yang dibangun berdasarkan interaksi manusia terhadap lingkungannya (Skemp, 1971). Matematika sebagai bagian dari kehidupan manusia memiliki peran vital dalam menyelesaikan permasalahan kehidupan sehari-hari. Kaum utilitarian memandang Matematika sebagai seperangkat alat (Noyes, 2007). Artinya, Matematika dapat dideskripsikan sebagai suatu instrumen yang menyajikan solusi dari suatu permasalahan. Hal inilah yang dijelaskan oleh Pinto & Moreira (2008: 282) sebagai kondisi ‘functioning mathematically’, di mana Matematika yang digunakan sebagai instrumen dalam menyelesaikan permasalahan dari suatu disiplin ilmu memberikan pemaknaan yang berbeda pada disiplin ilmu lainnya. Secara lengkap Adams & Hamm (2010) mendefinisikan Matematika sebagai
15
kombinasi antara keterampilan pemecahan masalah dan pemahaman secara teoritis. Matematika sebagai alat pemecahan masalah memiliki sifat dan karakteristik yang khas dan berkaitan dengan pengukuran (Pimm, 1995), pola keteraturan dan urutan logis (van de Walle, 2007). Sifat dan karakteristik yang khas tersebut meliputi sifat formal, abstrak, logis, konsisten, koheren, berstruktur dan analitik. Sifat-sifat ini menunjang proses generalisasi, penarikan kesimpulan yang valid, justifikasi dan penalaran dalam Matematika. Adams & Hamm (2010) menjelaskan bahwa struktur abstrak merupakan hal yang penting dalam Matematika. Begitupula konsep pengukuran, estimasi, generalisasi, dan peluang berperan besar dalam Matematika sebagai alat penyelidikan. Aktivitas Matematika dapat diidentifikasi dari cara orang berbicara, apa yang mereka bicarakan, apa yang menjadi fokus mereka, bagaimana mereka mengklasifikasikan pengalaman, bagaimana tingkat dan jenis generalitas dari yang mereka sampaikan, apa yang berubah-ubah dan yang tetap, hubungan apa yang sedang mereka amati dan bagaimana mereka menjelaskannya. Sehingga dengan mudah dapat ditemukan praktik sosial yang bersifat matematis, alat yang menggunakan prinsip Matematika, wawasan individu yang bersifat Matematis, serta situasi yang memuat Matematika ketika diamati dalam perspektif matematis. Hal ini yang disebut sebagai situated learning (Stech, 2008), yakni pembelajaran pada ekstrakulikuler, dalam konteks kehidupan sehari-hari maupun di lingkungan sekolah, sebagai mana yang dijelaskan oleh Vygotsky sebagai konsep belajar saintifik.
16
Matematika telah menjadi bagian yang lekat dalam kehidupan sehari-hari dan memiliki peranan penting dalam perkembangan peradaban manusia. NCTM (2000) telah merangkum beberapa alasan mengapa Matematika penting di abad ini, di antaranya sebagai berikut. a.
Matematika sebagai bagian dari warisan budaya terbesar sekaligus pencapaian tertinggi intelektual manusia.
b.
Kebutuhan masyarakat terhadap kemampuan Matematika meningkat drastis di lingkungan kerja, khususnya kemampuan berpikir matematis dan pemecahan masalah
c.
Selain setiap pekerjaan saat ini memerlukan pondasi Matematika, beberapa siswa lainnya memerlukan kemampuan Matematika tingkat lanjut untuk meraih karir sebagai matematikawan, ahli statistik, teknisi, dan saintis. Berdasarkan
alasan
tersebut,
pembelajaran
Matematika
perlu
dikembangkan untuk membekali siswa agar siap menghadapi tantangan zaman dan menjadi solusi dari permasalahan. Oleh karena itu, sekolah sebagai wadah mempersiapkan generasi penerus bangsa perlu membenahi kurikulum dan meningkatkan kualitas pembelajaran agar kebutuhan siswa terhadap Matematika di masa depan terpenuhi dengan optimal. Matematika sebagai mata pelajaran di sekolah idealnya memuat ketiga perspektif yang telah dijelaskan sebelumnya. Matematika merupakan pengetahuan tentang bilangan, operasi bilangan, hubungan antar bilangan, kombinasi, abstraksi dan bentuk ruang. Sifat-sifat Matematika yang ideal, absolut, konsisten, dan abstrak merupakan pondasi yang penting dalam membangun komunikasi. Namun dalam
17
perkembangan dan kebermanfaatannya, Matematika harus berkaitan erat dengan konteks dalam kehidupan sehari-hari sehingga Matematika pun berperan sebagai alat pemecahan masalah. Hal ini sejalan dengan rangkuman Adams & Hamm (2010) tentang pandangan guru Matematika terhadap Matematika itu sendiri, yaitu sebagai berikut. a.
Matematika sebagai suatu cara berpikir dan mengajukan pertanyaan
b.
Matematika sebagai suatu pemahaman terhadap pola dan hubungan
c.
Matematika sebagai suatu alat yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari
d.
Matematika sebagai sebuah permainan puzzle
e.
Matematika sebagai suatu seni
f.
Matematika sebagai suatu bahasa, komunikasi yang bermakna
g.
Matematika sebagai suatu ide besar yang terhubung dengan berbagai macam ilmu pengetahuan
Poin-poin tersebut selanjutnya menjadi sebuah frame dalam mengembangkan pembelajaran Matematika yang sesuai dengan tuntutan zaman.
2.
Pembelajaran Matematika Proses dan produk dari Matematika merupakan fokus utama dari aktivitas
Matematika. Keduanya juga dapat menjadi alat Matematika dan menjadi dasar dalam pembelajaran Matematika (Watson & Winbourne, 2008). Mempelajari Matematika artinya melakukan sesuatu dengan Matematika, seperti mencipta, memproduksi, dan menjadikan konsep dan prosedur Matematika sebagai alat pemecahan masalah, yang meliputi aktivitas seperti menghapal definisi, latihan
18
rutin dan membentuk gabungan beberapa operasi matematis, hingga merumuskan hipotesis suatu permasalahan tertentu (Stech, 2008). Mempelajari Matematika juga berarti mempelajari tentang cara baru dalam menyelesaikan permasalahan yang rumit atau mustahil diselesaikan dengan cara yang lama (Sutherland, 2007). Untuk bisa menemukan solusi dari suatu permasalahan, pembelajaran Matematika tidak sekedar mengabstraksi suatu struktur atau bentuk dari suatu aktivitas, tetapi memerlukan proses kompleks yang melibatkan tindakan, representasi dan praktik di masyarakat (Hoyles, 2005). Hal ini berkaitan dengan pendidikan sebagai kegiatan sosial dan Matematika sebagai bagian dari kehidupan masyarakat sehingga pemilihan kompetensinya berdasarkan tujuan dan kebutuhan masyarakat. Oleh karena
itu,
pembelajaran
di
sekolah
merupakan
pembelajaran
yang
merepresentasikan masyarakat ilmiah (Stech, 2008). Selain itu, hal tersebut berimplikasi kepada pemilihan kompetensi Matematika yang diajarkan bergantung kepada kesepakatan masyarakat matematikawan, guru Matematika dan pihak yang bertanggungjawab terhadap pendidikan (Keitel & Kilpatrick, 2005). Pendidikan
Matematika
memiliki
berbagai
kemungkinan
tujuan.
Kemungkinan-kemungkinan tersebut berkaitan dengan perbedaan praktik, cara mempelajari dan mengembangkan objek Matematika serta penggunaan simbol dan teknologi dalam mempelajarinya (Sutherland, 2007). Dan tidak dapat dipungkiri bahwa pembelajaran Matematika yang ideal dipengaruhi oleh orientasi dan tujuan dari pendidikan itu sendiri. Noyes (2007) memberikan suatu implikasi bahwa jika perhatian pendidikan tertuju kepada pembekalan kemampuan Matematika serta persiapan lulusan Matematika di masa depan, maka pendidikan hanya akan fokus
19
kepada sebagian kecil dari populasi sekolah. Jika tujuan pendidikan adalah ketersediaan tenaga kerja yang berkualitas maka pembelajaran Matematika mesti sejalur dengan keterampilan dengan kebutuhan dunia kerja. Namun jika pendidikan fokus kepada pembentukan manusia secara utuh, maka kedua implikasi sebelumnya menjadi tidak cukup. Di antara tujuan pembelajaran Matematika adalah agar siswa dapat meningkatkan pemaknaan terhadap diri mereka sendiri sebagai proses mencari jati diri (Pimm, 1995). Sejalan dengan pernyataan tersebut, Stech (2008) menjelaskan bahwa Matematika tidak hanya sekedar meningkatkan wawasan dan kemampuan seseorang dalam menghadapi berbagai situasi, tetapi juga meningkatkan fungsi mental dan kepribadiannya. Sehingga pembelajaran Matematika seharusnya dibuat bermakna, yakni konten pembelajarannya merefleksikan latar belakang siswa (Skovsmose, 2005). Selain itu, Matematika yang bermakna bagi setiap siswa juga menuntut pembelajaran yang dikembangkan secara tepat, kaya akan pertanyaan, memberikan ruang bagi siswa untuk menggali lebih dalam, dan memberikan tantangan dalam proses pembelajaran (Adams & Hamm, 2010). Sehingga konteks dalam pembelajaran pun dituntut semakin kaya sehingga sekolah tidak cukup dijadikan satu-satunya konteks dalam pembelajaran Matematika. Hal ini sejalan dengan tuntutan di era demokrasi, di mana pendidikan Matematika perlu mempersiapkan dan mendidik siswa untuk menghadapi pengaruh Matematika di lingkungan sosial (Pimm, 1995). Pembelajaran Matematika sebagai aktivitas manusia yang kompleks idealnya berkelanjutan dalam konteks sosial, politik maupun ekonomi (Watson & Winbourne, 2008). Untuk memastikan keberlanjutan
20
proses belajar tersebut, guru perlu merancang sebuah mekanisme pembelajaran yang mendorong siswa untuk menjadi pembelajar aktif. Skemp (1971) menjelaskan bahwa agar siswa dapat menyelesaikan permasalahan Matematika yang semakin kompleks di masa yang akan datang, guru perlu meletakkan pondasi Matematika yang kokoh kepada siswa, mengajarkan mereka cara menemukan ide-ide pokok dari matematika, mengajarkan mereka untuk siap mengakomodasi skema pengetahuan mereka, serta meningkatkan kemampuan analisis mereka secara bertahap sehingga mampu secara mandiri mencerna materi pelajaran. Selain itu, Van de Walle (2007) menjelaskan bahwa terdapat beberapa hal dalam meningkatkan kemandirian dan kemampuan siswa dalam mempelajari Matematika. a.
Siswa harus diarahkan untuk mengonstruk pengetahuan dan pemahaman mereka sendiri, karena guru tidak dapat mentransfer gagasannya kepada siswa yang pasif.
b.
Pengetahuan dan pemahaman tiap siswa berbeda-beda, sehingga tidak dapat disamaratakan
c.
Siswa dilibatkan dalam berfikir reflektif, yakni mengkreasikan gagasan dan menghubungkannya dalam jaring-jaring pengetahuan. Hal ini penting sebagai bagian dari pembelajaran efektif
d.
Menciptakan lingkungan komunitas pembelajar Matematika yang dapat berinteraksi dan mengembangkan pemahaman Matematika siswa
e.
Memodelkan Matematika untuk membantu siswa dalam menggali dan berdiskusi tentang Matematika
f.
Berpusat pada siswa
21
Selain untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk menggali ideide, gambaran, bahasa, simbol dan penggunaan Matematika, pembelajaran Matematika juga bertujuan meningkatkan kemampuan penalaran dan pemecahan masalah sehingga dengannya manusia dapat berkembang lebih jauh. Karena Matematika saat ini tidak hanya tentang keterampilan berhitung, tetapi juga kemampuan berpikir dan bernalar matematis untuk menyelesaikan permasalahan baru dan mempelajari gagasan baru yang akan siswa hadapi di masa depan (van de Walle, 2007). Namun, di antara tantangan (sekaligus kekuatan) dalam mempelajari Matematika adalah sifatnya yang abstrak dan bersifat general (Adams & Hamm, 2010). Matematika merupakan suatu struktur di luar dari individu yang perlu diekstrak dalam bentuk ide-ide yang saling berkaitan. Meskipun begitu, Matematika bukanlah ilmu yang sukar dipahami. Ide-ide Matematika dapat digali dan ditemukan melalui manipulasi objek-objeknya. Hal inilah yang menjadi pondasi epistemologi dari pembelajaran Matematika saat ini di mana siswa diajarkan menggunakan konsep Matematika dalam situasi praktis yang beragam. Hal ini ditegaskan oleh Van Oers bahwa abstraksi bergantung pada konteks, yakni suatu proses kontekstualisasi suatu pengalaman, pengasumsian suatu sudut pandang dalam bangunan relasi antar objek situasional (Ozmantar & Monaghan, 2008). Meskipun begitu, pengasumsian tidak terjadi secara berubah-ubah, namun bergantung kepada pemaknaan yang melekat pada situasi atau objek yang terlibat. Dengan demikian, suatu proses yang berdiri sendiri memiliki satu pemaknaan yang tepat di mana pemaknaan yang baru akan diakomodasi secara interaktif. Konteks bukanlah sesuatu yang diberikan, tetapi diciptakan melalui proses penafsiran yang
22
komunikatif dan dipengaruhi oleh tujuan, sarana yang menjadi perantara tindakan manusia, pengaturan objek, sosial, budaya dan kondisi sejarah. Melalui pembelajaran Matematika yang praktis dan beragam siswa akan merasakan kegunaan Matematika dalam kehidupan sehari-hari sekaligus memiliki penalaran terhadap konsep, struktur, dan aturan-aturan yang mereka yang mereka pelajari (Stech, 2008). Ketika pembelajaran semakin erat dengan kondisi kehidupan seharihari, maka siswa dapat mengamati, menemukan, mengenali, berargumen dan sebagainya. Hal ini sejalan dengan gagasan Pimm (1995) dan Howson (2005) bahwa Matematika perlu diajarkan dan dipelajari oleh siswa dalam setting yang realistik dan dalam konteks kehidupan sehari-hari, sehingga siswa memiliki kesempatan untuk terlibat dan menafsirkan representasi yang kompleks dan beraktivitas dalam tugas yang kaya akan konteks. Konsep Matematika pada level generalitas yang lebih tinggi kemudian dibedakan berdasarkan kebutuhan belajar siswa. Namun dewasa ini masih banyak ditemukan pembelajaran Matematika konvensional yang identik dengan pembelajaran tutur kapur atau metode ceramah dan berfokus pada keterampilan berhitung aritmatika (penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian) semata. Selain itu, terdapat beberapa tantangan dalam pembelajaran Matematika yang dirangkum dari beberapa pakar dan lembaga pendidikan Matematika sebagai berikut (NCTM, 2000; Noyes, 2007; Watson & Winbourne, 2008; Pimm, 1995).
23
a.
Kurikulum yang ditawarkan kepada siswa tidak melibatkan mereka secara aktif sehingga mereka minim komitmen dalam belajar. Hal ini juga dipengaruhi oleh kualitas pengajaran yang berubah-ubah.
b.
Penelitian terhadap penggunaan Matematika dalam dunia kerja menunjukkan bahwa terdapat begitu banyak aktivitas Matematika yang kompleks dalam konteks kehidupan nyata. Namun Matematika tersebut tidak sama dengan yang diajarkan di sekolah. Matematika sekolah cenderung hanya dapat digunakan dalam satu konteks saja. Sehingga isu bahwa Matematika sekolah dipersiapkan bagi generasi muda agar berguna dalam dunia kerja patut menjadi perhatian bagi guru dan sekolah.
c.
Terdapat pemisah antara kurikulum tradisional dan pengalaman hidup seharihari masyarakat. Oleh karena itu, Matematika tidak cukup hanya melekat secara eksplisit maupun implisit dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga perlu bercampur dengan proses berpikir dan bertindak .
d.
Terdapat perbedaan konteks antara Matematika sekolah, Matematika seharihari dan Matematika dalam dunia kerja.
e.
Nilai-nilai implisit dari Matematika dalam praktik kehidupan sehari-hari maupun dalam dunia kerja ditolak secara sistematis ketika Matematika sekolah diajarkan pada pendidikan tinggi sebagai satu-satunya bentuk sejati dari Matematika. Selain itu, efek utama dari Matematika sekolah yang seperti itu membuat masyarakat tidak mampu mengoperasikan Matematika secara semi formal maupun informal. Legitimasi Matematika sekolah sebagai Matematika
24
yang sebenarnya telah menggerus kepercayaan bahwa setiap manusia memiliki kemampuan matematis. Tantangan-tantangan tersebut mendorong terjadinya perubahan mindset, sistem, kurikulum, serta standar kemampuan guru dan siswa dalam pendidikan Matematika di setiap negara. Matematika sekolah di abad 21 telah berevolusi dengan cara yang berbeda pada masing-masing negara. Hal ini dipengaruhi dengan sistem sekolah dan pendekatan pedagogi yang digunakan dalam mengajarkan Matematika (Sutherland, 2007). Hal ini tidak terlepas dari realitas bahwa Matematika memiliki peran dan fungsi yang beragam di setiap masyarakat. Sehingga sistem pendidikan perlu memastikan bahwa pembelajaran Matematika mampu memberikan bekal yang cukup bagi siswa untuk hidup bermasyarakat. NCTM (2000) pada awal abad 21 telah memberikan garis besar pengembangan pembelajaran Matematika dalam bentuk enam prinsip pembelajaran Matematika sebagai berikut. a.
Kesetaraan (Equity). Setiap siswa berhak memperoleh dukungan dan harapan yang setara dalam
proses pembelajaran. Namun kesetaraan tidak berarti setiap siswa mendapatkan cara pengajaran yang sama, melainkan mengakomodir kebutuhan setiap siswa dalam belajar dan meraih prestasi secara tepat dan mendasar. Siswa dengan latar belakang dan kemampuan Matematika yang beragam menuntut guru untuk bekerja keras dalam mengakomodir keragaman tersebut (Adams, 2010). Siswa dengan perhatian rendah, memiliki masalah dalam mengingat, disabilitas motorik, serta kesulitan visual dan auditori memerlukan akomodasi khusus oleh guru selama
25
pembelajaran agar mereka dapat mencapai potensi mereka. Pada beberapa siswa permasalahan terdapat pada disabilitas atau kecakapan berbahasa, namun pada siswa lainnya justru pada motivasi dan sikap mereka terhadap Matematika.Van de Walle (2007) menjelaskan bahwa prinsip kesetaraan dalam pendidikan Matematika meliputi aspek-aspek berikut 1) Pembelajaran dengan pemahaman berdasarkan pada keterhubungan dan organisasi pengetahuan pada satu konsep yang besar 2) Pembelajaan dibangun berdasarkan apa yang telah siswa ketahui 3) Pengajaran di sekolah memanfaatkan pengetahuan informasl siswa tentang Matematika Adams & Hamm (2010) merumuskan target dari prinsip kesetaraan sebagai berikut 1) Meningkatkan tantangan dan keterlibatan siswa dalam menyelesaikan tugas 2) Menciptakan aktivitas pengajaran berdasarkan kebutuhan terhadap topik, konsep, dan keterampilan Matematika, sains dan teknologi serta menyediakan ruang bagi siswa untuk menampilkan apa yang telah pelajari. 3) Materi dan pengajaran dengan pendekatan yang fleksibel 4) Memperhatikan kesiapan, kebutuhan dan minat belajar siswa 5) Menyesuaikan standar kurikulum terhadap masing-masing siswa b.
Kurikulum (Curriculum). Kurikulum merupakan penentu utama terhadap kesempatan belajar dan
aktivitas siswa. Kurikulum merupakan kumpulan aktivitas yang koheren, fokus kepada kemampuan Matematika yang penting, dan berkelanjutan dalam setiap
26
tingkatan kelas. Koherensi merupakan kriteria yang penting dalam kurikulum dan pengajaran di kelas. Siswa perlu dibantu untuk memandang bahwa Matematika merupakan bidang studi yang terpadu, bukan potongan yang terpisah satu-sama lain (van de Walle, 2007). c.
Pengajaran (Teaching). Pengajaran Matematika yang efektif memerlukan pemahaman terhadap apa
yang siswa ketahui dan butuhkan dalam proses belajar serta mendukung dengan memberikan tantangan kepada mereka untuk belajar secara optimal. Agar efektif, guru mesti mengetahui dan memahami secara mendalam Matematika yang akan diajarkan dan mampu mengilustrasikan pengetahuan tersebut dengan secara fleksibel. Karena pembelajaran Matematika erat kaitannya antara keyakinan guru dengan cara mengajar mereka di dalam kelas (Noyes, 2007). Guru perlu memahami dan berkomitmen terhadap siswa bahwa mereka adalah pembelajar sekaligus manusia. Mereka juga perlu memiliki keterampilan dalam menentukan beragam pilihan strategi mengajar dan penilaian. Selain itu, pengajaran yang efektif mensyaratkan refleksi dan upaya yang berkelanjutan dalam meningkatkan kemampuan mengajar. Guru mesti memiliki waktu dan sumber daya yang cukup dan rutin untuk meningkatkan dan memperbarui pengetahuan mereka (NCTM, 2000). d.
Pembelajaran (Learning). Siswa mesti belajar dengan pemahaman, melalui proses aktif dalam
membangun pengetahuannya yang baru berdasarkan pengalaman dan pengetahuan sebelumnya. Hal ini sejalan dengan penjelasan Adams & Hamm (2010) bahwa
27
Pemahaman Matematika siswa dibangun melalui keterlibatan mereka secara aktif dalam tugas dan pengalaman yang didesain untuk memperdalam dan mengoneksikan pengetahuan mereka. Penelitian psikologi dan pendidikan terhadap mata pelajaran yang kompleks seperti Matematika pun mengungkapkan bahwa pemahaman konseptual memiliki peranan yang penting dalam membangun kecakapan di bidang Matematika. Pembelajaran dengan pemahaman dapat ditingkatkan melalui interaksi selama pembelajaran, seperti mengajukan gagasan dan dugaan matematis, mengevaluasi pikiran mereka sendiri dan orang lain serta meningkatkan keterampilan penalaran (Adams & Hamm, 2010). Mendorong siswa untuk saling mengungkapkan idenya secara verbal merupakan proses yang sama penting dengan mengungkapkannya pikirannya secara tertulis, baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain (Brodie, 2010). Dengan demikian pembelajaran dalam bentuk kelompok kerja merupakan pendekatan yang sangat membantu dalam menciptakan suasana komunikatif. e.
Penilaian (Assessment). Penilaian
sebaiknya
mendukung
pembelajaran
Matematika
dan
memberikan informasi yang berguna bagi guru dan siswa. Penilaian atau asesmen tidak hanya sebuah tes untuk melihat hasil belajar siswa pada akhir pembelajaran, tetapi penilaian seharusnya menjadi bagian yang terintegrasi dalam proses pembelajaran. Artinya informasi yang diperoleh dari asesmen memberikan informas dan panduan bagi guru dalam mengambil keputusan dalam proses pembelajaran. Begitu pula asesmen tidak sekedar menilai siswa, tetapi juga menjadi informasi bagi siswa sebagai panduan dalam meningkatkan hasil belajar mereka.
28
Agar asesmen menjadi efektif, van de Walle (2007) menjelasakan bahwa guru mesti menggunakan teknik penilaian yang beragam, memahami tujuan pembelajaran secara mendalam, dan memiliki wawasan yang baik terhadap perkembangan kemampuan berpikir siswanya. f.
Teknologi (Technology). Teknologi saat ini merupakan hal yang penting dalam meningkatkan belajar
dan pembelajaran Matematika. Sutherland (2007) menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang erat antara individu dan teknologi yang berimplikasi kepada transformasi pembelajaran Matematika. Namun, hal ini tidak berarti bahwa teknologi menggantikan peran mendasar dari pemahaman dan intuisi, tetapi teknologi digunakan untuk membantu dalam peningkatan pemahaman dan intuisi tersebut. Dalam pembelajaran Matematika, teknologi sebaiknya digunakan secara optimal dan bertanggungjawab dengan tujuan untuk memperkaya sumber belajar bagi siswa. Keenam prinsip tersebut saling berkaitan, yakni setiap siswa memerlukan akses belajar yang berkelanjutan, kurikulum Matematika yang menantang dan didukung oleh guru yang kompeten. Lebih dari itu, perlu dilakukan penilaian terhadap proses dan prestasi belajar siswa sebagai pertimbangan peningkatan pembelajaran. Berdasarkan lima prinsip tersebut, van de Walle (2007) menyatakan bahwa perlu adanya pergeseran pandangan terhadap lingkungan kelas sebagai berikut. a.
Dari pandangan bahwa kelas merupakan kumpulan individu kepada kelas sebagai komunitas Matematika.
29
b.
Dari pandangan bahwa guru adalah satu-satunya otoritas kebenaran kepada logika dan bukti matematis sebagai alat verifikasi
c.
Dari aktivitas menghapal semata kepada penalaran Matematika
d.
Dari aktivitas menemukan jawaban kepada kegiatan menduga, mencipta dan memecahkan masalah
e.
Dari anggapan bahwa matematika merupakan konsep dan prosedur yang terisolasi kepada mengoneksikan ide-ide Matematika. Selain prinsip pembelajaran Matematika yang dirumuskan oleh NCTM,
National Research Council (2002) menyatakan bahwa pembelajaran Matematika setidaknya harus mampu meningkatkan lima kecakapan Matematika siswa sebagai berikut. a.
Pemahaman (Understanding). Kecakapan ini meliputi pemahaman konsep, operasi dan relasi Matematika
yang komprehensif serta memahami makna simbol, diagram dan algoritma. Pengetahuan yang dipelajari dengan pemahaman akan memberikan pondasi dalam mengingat yang lebih kuat, merekonstruksi fakta dan metode Matematika, menyelesaikan permasalahan non rutin, dan untuk membangun pengetahuan baru. Pemahaman juga membantu siswa dalam menghindari kesalahan fatal dalam memecahkan masalah. b.
Berhitung (Computing). Kecakapan ini meliputi kemahiran dalam penjumlahan, pengurangan,
perkalian dan pembagian serta mengetahui kapan dan bagaimana prosedur tersebut digunakan secara tepat, akurat, efisien dan fleksibel.
30
c.
Penerapan (Applying). Hal ini merupakan kemampuan untuk merumuskan masalah secara
matematis berdasarkan konsep dan prosedur yang tepat sehingga diperoleh strategi dalam menyelesaikannya. Di dalam sekolah, siswa diberikan permasalhan yang spesifik untuk diselesaikan, tetapi di luar sekolah mereka menghadapi situasi permasalahan yang sulit diterka dengan pasti strukturnya. Oleh karena itu, siswa juga dituntut mampu mengajukan permasalah, merencanakan strategi penyelesaian, dan menentukan strategi yang paling tepat dalam menyelesaikan masalah. d.
Ketertarikan (Engaging). Yakni sikap terhadap Matematika sebagai sesuatu yang berguna dan dapat
dilakukan sehingga muncul keinginan untuk mengerjakannya. Kunci kesuksesan mempelajari Matematika adalah dengan mengenalkannya pada konteks dunia nyata (Adams & Hamm, 2010). Pemecahan masalah Matematika yang melibatkan interaksi dan ketergantungan antar grup merupakan cara yang efektif untuk menarik perhatian siswa untuk mendapatkan pengalaman Matematika dalam konteks dunia nyata. Siswa sebaiknya memiliki komitmen bahwa Matematika merupakan sesuatu yang dapat dipahami, dipelajari dan digunakan baik di dalam maupun di luar sekolah. Karena siswa yang menganggap Matematika sebagai hal yang berguna dan berharga meyakini bahwa setiap usahanya akan terbayar sehingga mereka pun menjadi pembelajar, pelaku dan pengguna Matematika yang efektif. e.
Penalaran (Reasoning). Penalaran
adalah
menggunakan
logika
untuk
menjelaskan
dan
menjustifikasi solusi dari suatu permasalahan atau memperluasnya dari sesuatu
31
yang diketahui kepada hal yang belum diketahui. Penalaran memiliki interaksi yang kuat antara kecakapan Matematika lainnya, khususnya dalam hal pemecahan masalah. Ketika siswa menalar suatu permasalaham, mereka sekaligus membangun pemahaman mereka, melakukan komputasi yang bersesuaian, mengaplikasikan pengetahuan mereka, menjelaskan penalaran mereka kepada yang lain, dan Matematika pun menjadi sesuatu yang dapat dilakukan oleh siswa. Pembelajaran yang menekankan pada pembentukan lima kecakapan di atas akan membuat pengetahuan siswa semakin kuat, tahan lama, mudah beradaptasi, berguna dan relevan. Hal ini dilakukan dengan menciptakan kelas sebagai masyarakat belajar, materi dan penilaian yang mengintegrasikan kelima kecakapan tersebut, guru yang memahami dan menguasai kelima kecakapan tersebut serta pengelolaan yang sistematis dan terevaluasi melalui bukti ilmiah seperti penilaian internasional.
3.
Pembelajaran Matematika di SMP Ketika memasuki masa remaja, siswa akan mengalami perubahan fisik,
emosional dan intelektual di mana masa sekolah menengah merupakan titik tolak yang signifikan. Pada masa tersebut, siswa akan mulai memantapkan konsepsinya tentang pelajaran Matematika, meliputi kompetensi, sikap, minat dan motivasi. Konsepsi-konsepsi tersebut akan memengaruhi bagaimana pendekatan siswa terhadap Matematika pada tahun terakhirnya, yang pada akhinya akan berpengaruh pula pada kehidupannya. Sehingga usia tersebut merupakan usia yang krusial dalam membentuk sikap siswa terhadap Matematika. Pada saat yang sama, NCTM (2000)
32
berpendapat bahwa pembelajaran Matematika bagi siswa kelas menengah sebaiknya melibatkan mereka secara rutin dalam aktivitas yang erat kaitannya dalam meningkatkan kemampuan menemukan dan menentukan struktur, menduga dan melakukan verifikasi, berpikir hipotetik, memahami sebab akibat, serta abstraksi dan generalisasi. Hal ini sejalan dengan perkembangan kognitif Piaget bahwa siswa tingkat menengah pertama (usia 11 hingga 15 tahun) telah mampu berpikir abstrak, logis, serta menyusun hipotesis untuk menyelesaikan permasalahan kehidupan (Hergenhahn & Olson, 2012). Secara khusus NCTM (2000) telah merumuskan standar kemampuan Matematika bagi siswa menengah sebagai berikut. a.
Bilangan dan Operasinya Matematika merupakan seni dalam membuat dan menginterpretasikan
model numerik dari proses berhitung (Adams & Hamm, 2010). Penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian merupakan contoh dari perhitungan atau kalkulasi peluang aritmatika. Dalam praktiknya, aritmatika dan Matematika berjalan berdampingan. Kemampuan ini diperlukan untuk memahami dan menggunakan hubungan antar bilangan, memahami dan memperhitungkan rerata, dan mengembangkan metode perhitungan yang menggunakan kalkulator atau alat hitung lainnya (Hudson, 2008). Adapun kemampuan siswa tingkat menengah pada materi bilangan adalah sebagai berikut.
33
Tabel 5. Kemampuan Siswa Tingkat Menengah pada Materi Bilangan Kemampuan Inti Kemampuan Dasar Siswa Tingkat Menengah Memahami konsep 1. Mampu mengerjakan permasalahan yang memuat bilangan bilangan, cara-cara pecahan, desimal dan persen menyajikan 2. Mampu membandingkan dan mengurutkan bilangan pecahan, bilangan, hubungan desimal, dan persen secara efisien dan mampu meletakkan antar bilangan dan bilangan tersebut pada garis bilangan dengan perkiraan yang sistem bilangan. tepat 3. Mampu mengembangkan pengertian dari persen yang lebih dari 100 dan kurang dari 1 4. Memahami dan mampu menggunakan rasio dan proporsi untuk menyajikan hubungan kuantitatif 5. Mampu mengembangkan pemahaman tentang bilangan besar, mengenali dan menggunakan secara tepat notasi pada eksponen, saintifik dan kalkulator 6. Mampu menggunakan faktor, perkalian, faktorisasi prima dan bilangan relatif prima dalam menyelesaikan permasalahan 7. Mampu mengembangkan, menyajikan dan membandingkan kuantitas dari bilangan bulat Memahami 1. Memahami pengertian dan pengaruh operasi aritmatika dengan pengertian operasi pecahan, desimal dan bilangan bulat dan bagaimana 2. Menggunakan sifat asosiatif dan komutatif pada penjumlahan hubungannya satu dan perkalian, sifat distributif pada perkalian suatu sama lain. penjumlahan untuk menyederhanakan perhitungan bilangang bulat, pecahan dan desimal. 3. Memahami dan menggunakan hubungan invers penjumlahan dan pengurangan, perkalian dan pembagian, perpangkatan dan penarikan akar pangkat untuk menyederhanakan perhitungan dan menyelesaikan permasalahan Mampu 1. Memilih metode dan sarana yang tepat dalam menghitung menghitung dengan dengan pecahan dan desimal yang berkaitan dengan mahir dan perhitungan, estimasi, penggunaan komputer atau kalkulator, membuat estimasi dan manual sesuai dengan situasi, lalu menerapkan metode yang rasional yang dipilih. 2. Mampu mengembangkan dan menganalisa algoritma perhitungan dengan pecahan, desimal, dan bilangan bulat serta mampu mengembangkan kemahiran dalam penggunaannya 3. Mampu mengembangkan dan menggunakan strategi dalam mengestimasi hasil perhitungan bilangan rasional dan menjustifikasi kebenaran hasil tersebut. 4. Mampu mengembangkan, menganalisa, dan menjelaskan metode dalam pemecahan masalah yang melibatkan proporsional, seperti penskalaan dan menemukan perbandingan yang setara (Sumber: NCTM, 2000)
34
b.
Aljabar Kemampuan aljabar diperlukan untuk memahami dan menggunakan rumus
dan lambang, serta untuk menginterpretasi dan mengevaluasinya dalam kehidupan nyata menggunakan komputer dan kalkulator jika diperlukan (Hudson, 2008). Adapun kemampuan siswa tingkat menengah pada materi aljabar adalah sebagai berikut. Tabel 6. Kemampuan Siswa Tingkat Menengah pada Materi Aljabar Kemampuan Inti Kemampuan Dasar Siswa Tingkat Menengah Memahami pola, 1. Mampu menyajikan, menganalisa, dan hubungan, dan fungsi. menggeneralisir berbagai pola dengan menggunakan tabel, grafik, kata-kata dan jika mungkin menggunakan aturan simbolik 2. Mampu menghubungkan dan membandingkan dua representasi yang berbeda untuk menyatakan kterehubungan 3. Mampu mengidentifikasi fungsi sebagai fungsi linier atau non linier dan mampu membedakan sifat-sifatnya berdasarkan tabel, grafik dan persamaan Mampu menyajikan 1. Mampu mengembangkan konsep awal dan menganalisa pemahaman dari penggunaan variabel yang situasi dan struktur berbeda matematis dengan 2. Mampu menggali hubungan antara bentuk menggunakan simbol simbolik dan grafik garis lurus serta memahami aljabar makna dari perpotongan dan kemiringan garis. 3. Mampu menggunakan simbol aljabar untuk menyajikan situasi dan menyelesaikan suatu masalah, khususnya yang memiliki hubungan secara linier 4. Mampu mengenali dan membangun bentuk yang senilai dari bentu aljabar sederhana dan mampu menyelesaikan persamaan linier. Mampu menggunakan Mampu membuat model dan menyelesaikan model matematis permasalahan kontekstual menggunakan berbagai untuk menyajikan dan representasi seperti tabel, grafik dan persamaan memahami hubungan kuantitatif Mampu menganalisa Mampu menggunakan grafik untuk menganalisa perubahan dari perubahan alami suatu kuantitas dalam hubungan yang berbagai konten linier
35
c.
Geometri Kemampuan siswa tingkat menengah pada materi geometri adalah sebagai
berikut. Tabel 7. Kemampuan Siswa Tingkat Menengah pada Materi Geomteri Kemampuan Inti Kemampuan Dasar Siswa Tingkat Menengah Mampu menganalisa 1. Mampu mendeskripsikan, mengelompokkan, dan karakteristik dan sifat memahami hubungan antar objek bidang datar dan dari geometri bidang ruang secara tepat berdasarkan sifat-sifatnya datar dan ruang dan 2. Memahami hubungan antar sudut, sisi, keliling, luas mengembangkan daerah dan volume dari objek yang sebangun argumen matematis 3. Mampu mencipta dan mengkritisi argumen induktif tentang hubungan dan deduktif yang terkait gagasan geometri dan geometris hubungannya, seperti kongruensi, kesebangunan, dan hubungan Phytagoras Mampu menetapkan 1. Mampu menggunakan koordinat geometri untuk lokasi dan menyajikan dan menguji sifat dari bangun datar mendeskripsikan 2. Mampu menggunakan koordinat geometri untuk hubungan spasial menguji bentuk geometri yang khusus seperti menggunakan koordinat segibanyak beraturan atau bangun yang memiliki geometri dan sistem sepasang sisi yang sejajar atau berpotongan representasi lainnya Mampu menerapkan 1. Mampu mendeskripsikan ukuran, posisi, dan arah dari transformasi dan suatu bentuk geomteri menggunakan transformasi menggunakan prinsip informasl seperti membalik, memutar, dan sebagainya simetris untuk 2. Mampu menguji kekongruenan, kesebangunan, dan menganalisa suatu sifat simetri lipat maupun putar dari suatu objek situasi matematis menggunakan transformasi Mampu menggunakan 1. Mampu melukis objek geometri dengan sifat tertentu visualisasi, penalaran seperti panjang rusuk atau ukuran sudutnya spasial, dan pemodelan 2. Mampu menggunakan representasi dua dimensi dari geometri dalam objek tiga dimensi untuk menvisualisasikan dan menyelesaiakan menyelesaikan permasalahan yang melibatkan luas masalah permukaan dan volume 3. Mampu menggunakan alat visual seperti jaring-jaring untuk menyajikan dan menyelesaikan masalah 4. Mampu menggunakan model geometri untuk menyajikan dan menjelaskan hubungan numerik dan aljabar 5. Mampu mengenali dan menerepkan gagasan geometri dan hubungannya di luar lingkungan kelas Matematik seperti pada kelas seni, sains atau kehidupan seharihari (Sumber: NCTM, 2000)
36
d.
Pengukuran Kemampuan siswa tingkat menengah pada materi pengukuran adalah
sebagai berikut. Tabel 8. Kemampuan Siswa Tingkat Menengah pada Materi Pengukuran Kemampuan Inti Kemampuan Dasar Siswa Tingkat Menengah Memahami sifat-sifat 1. Memahami sistem pengukuran metrik dan pengukuran objek serta unit, umum sistem dan proses 2. Memahami hubungan antar unit dan mampu pengukuran mengonversi dari satu unit ke unit lainnya dalam sistem yang sama 3. Memahami, memilih dan menggunakan ukuran dan tipe yang tepat dalam mengukur sudut, keliling, luas daerah, luas permukaan, dan volume Mampu menerapkan teknik, 1. Mampu menggunakan standar pengukuran alat dan rumus yang tepat dalam memilih metode estimasi pengukuran dalam menentukan hasil yang tepat pengukuran 2. Mampu memilih dan menerapkan teknik dan alat untuk menemukan panjang sisi, luas daerah, volume dan sudut secara akurat berdasarkan tingkat presisi yang tepat 3. Mampu mengembangkan dan menggunakan rumus untuk menentukan keliling lingkaran dan luas daerah dari segitiga, jajargenjang, trapesium, dan lingkaran serta mampu mengembangkan strategi dalam menemukan luas daerah dari bentuk geometri yang lebih kompleks 4. Mampu menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan rasio dan proporsi 5. Mampu menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan peningkatan dan turunan pengukuran seperti kecepatan dan kepadatan (Sumber: NCTM, 2000) e.
Analisis Data dan Peluang Kemampuan ini diperlukan untuk mengolah dan menginterpretasikan data,
grafik dan diagram serta mengevaluasinya secara kritis (Hudson, 2008).
37
Kemampuan siswa tingkat menengah pada materi analisis data dan peluang adalah sebagai berikut. Tabel 9. Kemampuan Siswa Tingkat Menengah pada Materi Analisis Data dan Peluang Kemampuan Inti Kemampuan Dasar Siswa Tingkat Menengah Mampu merumuskan 1. Mampu merumuskan pertanyaan, desain pertanyaan yang berkaitan penelitian, dan mengumpulkan data tentang dengan data serta mampu suatu karakteristik dari dua populasi atau mengumpulkan, mengatur, karakteristik yang berbeda dari satu populasi dan menampilkan data yang 2. Mampu memilih, mencipta, dan relevan untuk menjawabnya menggunakan representasi data secara grafis dengan tepat, termasuk histogram, box plot dan scatterplot Mampu memilih dan 1. Mampu menemukan, menggunakan dan menggunakan metode menginterpretasikan dari pemusatan dan statistik yang tepat untuk penyebaran data meliputi rerata dan jarak menganalisis data interquartil 2. Mampu mendiskusikan dan memahami korespondensi antara kumpulan data dan representasi grafisnya khusus histogram, diagram batang dan daun, box plot dan scatterplot Mampu mengembangkan 1. Mampu menggunakan pengamatan tentan dan mengevaluasi perbedaan antara dua atau lebih sampel kesimpulan dan prediksi untuk membuat dugaan tentang populasi dari berdasarkan data sampel yang diambil 2. Mampu membuat dugaan tentang kemungkinan hubungan antara dua karakteristik dari suatu sampel berdasarkan scatterplot 3. Mampu menggunakan dugaan untuk merumuskan pertanyaan baru dan merencakan penelitian untuk menjawabnya Memahami dan menerapkan 1. Memahami dan menggunakan istilah yang konsep dasar dari peluang tepat untuk mendeskripsikan kejadian kompelen dan eksklusif 2. Mampu menggunakan proporsionalitas dan dasar pemahaman tentang peluang untuk membuat dan menguji dugaan dari hasil suatu eksperimen dan simulasi 3. Mampu menghitung peluang suatu kejadian sederhana, menggunakan metode diagram pohon dan sebagainya (Sumber: NCTM, 2000)
38
f.
Pemecahan Masalah Pemecahan masalah pada siswa tingkat menengah dapat meningkatkan
pembelajaran Matematika. Kemampuan pemecahan masalah berdampak kepada kemampuan metakognisi dan disposisi. Pemecahan masalah mengacu kepada keterlibatan siswa dalam tugas yang belum diketahui penyelesaiannya (Adams & Hamm, 2010). Siswa dapat belajar dan memperdalam pemahamannya terhadap suatu konsep Matematika melalui proses penyelesaian permasalahan pilihan yang memberikan kesempatan siswa untuk menerapkan Matematika dalam konteks lainnya. Banyak permasalahan menarik yang dapat disarankan berdasarkan pengalaman sehari-hari. Pembelajaran Matematika di sekolah menengah seharusnya mengunakan perluasan kemampuan Matematika siswa untuk mengerjakan permasalahan yang lebih kompleks yang memadukan topik seperti peluang, statistik, geometri dan bilangan rasional. Situasi dan pendekatan harus membentuk dan memperluas keterampilan, pemahaman, dan bahasa Matematika siswa. Van de Walle (2007) menjelaskan bahwa permasalahan dalam pembelajaran Matematika memiliki fitur sebagai berikut. 1) Pemilihan masalah berdasarkan pengetahuan yang telah dimiliki siswa 2) Aspek permasalahan fokus kepada materi Matematika yang akan dipelajari siswa dan meminimalisir aspek yang tidak berkaitan 3) Mendorong siswa melakukan justifikasi dan eksplanasi terhadap penyelesaian. Pemecahan masalah dalam Matematika merupakan kemampuan berpikir aplikatif.
Merumuskan,
mendefinisikan,
39
mengimplementasikan,
serta
mempertimbangkan kemungkinan penyelesaian merupakan bagian penting dari pembelajaran Matematika saat ini (Adams & Hamm, 2010). Pemecahan masalah juga berkaitan dengan membuat dan memonitoring keputusan yang diambil dalam memecahkan masalah yang dimanifestasikan dalam bentuk peninjauan kemajuan, pengecekan dan evaluasi terhadap penyelesaian (Hudson, 2008). Sutherland (2007) menjelaskan bahwa terdapat tiga pendekatan siswa dalam menyelesaikan masalah. Beberapa siswa menyelesaikan masalah menggunakan pendekatan uji coba dan perbaikan. Siswa lainnya menggunakan pendekatan lengkap atau bagian. Ada pula yang menggunakan pendekatan visual dengan membuat sketsa. Selain itu, permasalahan geometri seperti persegi panjang juga dapat diselesaikan dengan pendekatan aljabar. g.
Penalaran dan Pembuktian Pada pendidikan tingkat menengah, siswa perlu mendapatkan bermacam-
macam pengalaman dalam penalaran matematis seperti menguji pola dan struktur untuk mendeteksi keteraturan, merumuskan generalisasi dan dugaan terhadap keteraturan yang diamati, mengevaluasi dugaan serta mengonstruk dan mengevaluasi suatu argumen Matematika. Terdapat dua kunci praktis dalam penalaran Matematika, yaitu generalisasi dan justifikasi. Sedangkan simbolisasi, representaasi, dan komunikasi merupakan faktor pendukungnya. Selain itu, justifikasi dan generalisasi juga berkaitan erat dengan pembuktian matematis. Faktanya, banyak Matematikawan dan kurikulum Matematika yang menyatakan bahwa penalaran matematis sama dengan pembuktian (Brodie, 2010).
40
h.
Komunikasi Komunikasi matematis diperlukan untuk memahami bahasa dan notasi
Matematika, menggunakan bentuk Matematika untuk berkomunikasi (termasuk diagram, tabel, grafik, dan print out komputer), menginterpretasikan tampilan matematis dari beragam bentuk dan menguji serta mengevaluasinya secara kritis (Hudson, 2008). Komunikasi pada umumnya lebih kompleks dan abstrak daripada Matematika pada tingkat pendidikan yang lebih rendah. Perbedaan kedua berkaitan dengan aturan dalam menilai pikiran siswa. Ketika siswa pada tingkat menengah menjelaskan apa yang ada dalam pikiran, mereka berpegang kepada standar yang lebih ketat daripada yang berlaku pada siswa yang lebih rendah tingkatnya. Setiap siswa tidak hanya menyajikan dan menjelaskan strategi yang mereka gunakan dalam memecahkan masalah, tetapi juga menganalisa, membandingkan, dan membedakan kebermaknaan, efisiens, dan elegansi dari berbagai strategi. Penjelasan juga meliputi argumen matematis dan rasionalisasinya, tidak hanya sekedar deskripsi prosedural atau rangkuman semata. Perbedaan ketiga lebih berkaitan dengan norma sosial pada siswa tingkat menengah daripada konten dari diskusi siswa. i.
Koneksi Siswa menemukan cara mengkoneksikan gagasan-gagasan ketika mereka
menjawab pertanyaan seperti, Apa yang membuatmu berpikir begitu? Mengapa hal tersebut bisa masuk akal? Di manakah kamu pernah melihat permasalahan yang sama sebelumnya? Bagaimana gagasan-gagasan ini berkaitan? Apakah ada orang lain yang memikirkannya dengan cara yang berbeda? Bagaimana tugas kali ini
41
berkaitan dengan apa yang telah kita lakukan sebelumnya? Melalui diskusi tersebut, siswa dapat mengembangkan koneksi yang baru dan meningkatkan pemahaman Matematika melalui menyimak pemikiran teman sekelasnya. j.
Representasi Siswa tingkat menengah menyelesaikan banyak permasalahan dengan
menciptakan dan menggunakan representasi untuk mengorganisasikan dan merekam pikiran mereka tentang Matematika. Ketika menyelesaikan permasalahan yang melibatkan proporsionalits, siswa dapat menciptakan representasi yang menggabungkan informasi visual dan numerik untuk menggambarkan hubungan antar kuantitas. Pembelajaran Matematika di Indonesia berdasarkan kurikulum 2013 memiliki kualifikasi kemampuan yang mesti dicapai oleh siswa pada setiap satuan pendidikan yang disebut dengan standar kompetensi kelulusan (Kemendikbud, 2016). Kualifikasi tersebut meliputi ranah sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Pada aspek pengetahuan, standar kompetensi lulusan kurikulum 2013 merujuk pada Bloom Taxonomy yang dikembangkan lebih lanjut oleh Anderson dan Krathwohl. Dimensi pengetahuan tersebut meliputi pengetahuan faktual, konseptual, prosedural dan metakognitif (Nitko & Brookhart, 2011). Pengetahuan faktual merupakan pengetahuan dasar yang mesti dimiliki siswa untuk mengenal dan menyelesaikan suatu masalah. Pengetahuan konseptual adalah hubungan antara pengetahuan dasar dalam struktur yang lebih besar sehingga dapat difungsikan secara bersama. Pengetahuan prosedural berkaitan dengan bagaimana seseorang melakukan sesuatu dan kriteria yang diperlukan dalam menggunakan suatu skill,
42
algoritma, teknik maupun metode. Metakognitif adalah pengetahuan sebagai bentuk kesadaran kognitif atau dipahami dengan pengetahuan dalam memahami pikiran sendiri dan orang lain. Sedangkan dimensi kategori kognitif meliputi mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi dan mencipta (Anderson & Krathwohl, 2001). Dimensi pengetahuan tersebut akan dikembangkan dalam beberapa isu, 1) ilmu pengetahuan, 2) teknologi, 3) seni, dan 4) budaya. Selain itu, siswa diharapkan mampu mengaitkan dimensi pengetahuan tersebut dalam konteks diri sendiri, keluarga, sekolah, masyarakat dan lingkungan alam sekitar, bangsa, negara, dan kawasan regional. Adapun standar kompetensi yang mesti dicapai oleh siswa SMP di Indonesia telah diatur dalam lampiran Permendikbud tahun 2016 nomor 021 sebagai berikut. Tabel 10. Standar Kompetensi Siswa SMP pada Kurikulum 2013 Kompetensi Ruang Lingkup Materi a. Memahami konsep bilangan rasional dilengkapi operasi a. Bilangan dan urutan. Rasional. b. Memberi estimasi penyelesaian masalah dan b. Aljabar membandingkannya dengan hasil perhitungan. (pengenalan). c. Memberi estimasi dengan menggunakan perhitungan c. Geometri mental dan sifat-sifat aljabar. (termasuk d. Memahami operasi pangkat, akar, bilangan dan transformasi kaitannya dengan konsep urutan. dan bangun e. Menjelaskan dan memvisualisasikan pecahan yang tidak ekuivalen. beraturan). f. Visualisasi dan deskripsi proporsi persentase, rasio, dan d. Statistika dan laju. Peluang g. Mengidentifikasi pola dan menggunakannya untuk (termasuk menduga perumuman/aturan umum dan memberikan metode prediksi. statistik h. Mengidentifikasi kecenderungan dan menyajikannya sederhana). dalam aturan bilangan (barisan dan deret) atau relasi e. Himpunan. lainnya. i. Menggunakan simbol dalam pemodelan, mengidentifikasi informasi, menggunakan strategi lain bila tidak berhasil.
43
j. Menggunakan simbol dalam pemodelan, mengidentifikasi informasi, memilih strategi yang paling efektif. k. Mengenal bentuk aljabar sederhana (linear, kuadrat). l. Mengenal dan berbagai manipulasi/transformasi aljabar (mengkuadratkan dan memfaktorkan) dan menggunakannya dalam penyelesaian masalah seperti persamaan dan pertidaksamaan. m. Memanfaatkan interpretasi geometri fungsi kuadrat dalam menyelesaikan persamaan. n. Menggunakan konsep diskriminan dalam mengidentifikasi eksistensi solusi dan interpretasi geometrisnya. o. Memahami bangun datar berdasarkan sifat-sifat atau fitur- fitur (banyak sisi, keteraturan, ukuran), dan transformasi yang menghubungkannya. p. Mengelompokkan bangun datar menurut kesebangunan dan/atau kekongruenan. q. Membandingkan, memberi interpretasi berbagai metoda penyajian data. r. Membandingkan, memberi interpretasi berbagai metoda penyajian termasuk penyajian data yang disertai statistik deskriptif. s. Memahami konsep peluang empirik dan teoritik t. Memahami konsep himpunan dan operasinya serta fungsi dan menyajikan (diagram, tabel, grafik). (Sumber: Kemendikbud, 2016) Untuk mencapai standar kompetensi tersebut, kurikulum 2013 telah merumuskan prinsip pembelajaran yang bersifat reformis, yaitu sebagai berikut (Kemendikbud, 2016). a.
Dari peserta didik diberi tahu menuju peserta didik mencari tahu
b.
Dari guru sebagai satu-satunya sumber belajar menjadi belajar berbasis aneka sumber belajar
c.
Dari pendekatan tekstual menuju proses sebagai penguatan penggunaan pendekatan ilmiah
d.
Dari pembelajaran berbasis konten menuju pembelajaran berbasis kompetensi
44
e.
Dari pembelajaran parsial menuju pembelajaran terpadu
f.
Dari pembelajaran yang menekankan jawaban tunggal menuju pembelajaran dengan jawaban yang kebenarannya multi dimensi
g.
Dari pembelajaran berbasis verbalisme menuju keterampilan aplikatif
h.
Peningkatan dan keseimbangan antara keterampilan fisikal dan mental
i.
Pembelajaran yang mengutamakan pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik sebagai pembelajar sepanjang hayat
j.
Pembelajaran yang menerapkan nilai-nilai dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas siswa dalam proses pembelajaran
k.
Pembelajaran yang berlangsung di rumah, di sekolah, dan di masyarakat
l.
Pembelajaran yang menerapkan prinsip bahwa siapa saja adalah guru, siapa saja adalah siswa, dan di mana saja adalah kelas.
m. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembelajaran n.
Pengakuan atas perbedaan individual dan latar belakang budaya siswa.
Prinsip-prinsip pembelajaran di atas kemudian dikembangkan dalam proses pembelajaran dalam bentuk silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan penilaian hasil belajar.
4.
Kemampuan Matematika Siswa SMP Berdasarkan PISA Programme for International Student Assessment (PISA) merupakan suatu
penilaian standar internasional ditujukan kepada anak usia 15 tahun yang mengikuti
45
pendidikan formal. Diinisiasi oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), survei ini pertama kali diselenggarakan pada tahun 2000 dan 2002 dengan melibatkan 43 negara dan secara rutin dilaksanakan dalam siklus 3 tahunan (OECD, 2013). Survei PISA mencakup kemampuan Matematika, membaca dan Sains. Kemampuan membaca meliputi memahami, menggunakan dan merefleksikan dalam bentuk tulisan. Kemampuan Matematika meliputi mengidentifikasi, memahami dan menggunakan dasar-dasar Matematika yang diperlukan dalam menghadapi kehidupan sehari-hari. Kemampuan sains meliputi menggunakan pengetahuan dan mengidentifikasi masalah untuk memahami faktafakta dan mengambil keputusan tentang alam serta perubahan yang terjadi pada lingkungan (Kemendikbud, 2011). Tiap siklus memiliki fokusan domain yang akan dikaji secara mendalam. Pada tahun 2000 dan 2009, fokusan utama adalah kemampuan membaca. Pada tahun 2006 dan 2015, fokusan utama adalah kemampuan Sains. Pada tahun 2003 dan 2012, fokusan utama adalah kemampuan Matematika. Dua domain lainnya yang termasuk dalam PISA 2012 adalah kemampuan pemecahan masalah dan literasi finansial. Keduanya tidak diikuti oleh seluruh negara disebabkan karena masalah teknis dan bersifat opsional. Berbeda dengan penilaian formatif maupun sumatif, survei PISA tidak hanya menilai kemampuan siswa dalam menghasilkan suatu pengetahuan tertentu tetapi juga memprediksi kemampuan mereka dalam menerapkan pengetahuan yang mereka miliki dalam situasi yang baru. Penilaian PISA menggunakan pendekatan yang lebih luas dalam mengukur pengetahuan, keterampilan dan sikap yang mencerminkan perubahan tertentu pada prioritas pendidikan, dari pendekatan
46
berbasis sekolah kepada penggunaan pengetahuan dalam menyelesaikan tugas dan tantangan yang siswa hadapi di luar sekolah, baik itu dalam kehidupan sehari-hari dan dunia kerja. Pendekatan ini berdasarkan model dinamis dari pembelajaran sepanjang hayat di mana pengetahuan dan keterampilan baru diperlukan untuk mampu beradaptasi terhadap perubahan dunia secara berkelanjutan (OECD, 2013). Artinya, survei ini menitikberatkan kepada kemampuan proses, pemahaman konsep dan kemampuan untuk menggunakannya dalam situasi yang beragam. PISA fokus kepada kompetensi yang akan diperlukan oleh siswa usia 15 tahun di masa depan dan mencari tahu apa yang dapat mereka lakukan dengan apa yang telah mereka pelajari yang tercermin dalam kemampuan siswa untuk terus belajar sepanjang hidupnya dengan menerapkan apa yang telah mereka pelajari di sekolah kepada lingkungan non sekolah, mengevaluasi pilihan-pilihan yang mereka miliki dan mengambil keputusan. Usia 15 tahun dipilih karena pada usia ini hampir semua siswa di negara OECD mencapai masa wajib belajarnya di sekolah (OECD, 2013). Dengan demikian, selain menilai pengetahuan siswa, PISA juga menguji kemampuan mereka dalam memikirkan dan menerapkan pengetahuan dan pengalaman mereka kepada isu-isu yang terjadi sehari-hari. Metode yang digunakan adalah paper-and-pencil tests, dimana setiap siswa mengerjakan paket soal yang berbeda dengan durasi pengerjaan selama dua jam pada setiap domain. Bagi negara yang menggunakan komputer, diberikan tambahan waktu 40 menit khusus untuk Matematika dan membaca. Butir soal tes merupakan campuran dari pilihan ganda pertanyaan yang menuntut siswa untuk mengonstruk
47
sendiri jawabannya. Beberapa butir soal disusun dalam satu grup berdasarkan setting situasi nyata dalam kehidupan sehari-hari (OECD, 2013). Penelitian ini menghasilkan profil pengetahuan dan keterampilan siswa pada usia 15 tahun dalam beberapa indikator. Indikator kontekstual menjelaskan tentang hubungan antara hasil dengan karakteristik siswa dan sekolah. Indikator trend menunjukkan bagaimana perubahan hasil dari waktu ke waktu (OECD, 2013). Hasil penelitian ini berguna sebagai dasar dalam analisis kebijakan dan penelitian lebih lanjut. Penilaian ini bersifat informatif, tetapi tidak dipaksakan sebagai penentu suatu kurikulum nasional. Di antara hal yang menarik dari penelitian PISA adalah framework pengembangan penilaian yang menggunakan istilah literacy. Konsep literacy ini menitikberatkan kepada kapasitas siswa dalam menerapkan pengetahuan dan keterampilannya pada area mata pelajaran inti dan kemampuan menganalisa, menalar
dan
berkomunikasi
(seperti
mengajukan,
menyelesaikan
dan
menginterpretasikan permasalahan) secara efektif pada situasi yang beragam. Untuk mata pelajaran Matematika, kemampuan literasi Matematika didefinisikan sebagai berikut. Mathematical literacy is an individual’s capacity to formulate, employ, and interpret mathematics in a variety of contexts. It includes reasoning mathematically and using mathematical concepts, procedures, facts and tools to describe, explain and predict phenomena. It assists individuals to recognise the role that mathematics plays in the world and to make the wellfounded judgments and decisions needed by constructive, engaged and reflective citizens. (OECD, 2013: 25).
Literasi Matematika merupakan kapasitas
individu dalam merumuskan,
menggunakan, dan menafsirkan Matematika dalam berbagai konteks. Hal tersebut
48
termasuk aktivitas menalar dan menggunakan konsep, prosedur, fakta dan alat Matematika untuk mendeskripsikan, menjelaskan, dan memprediksi suatu fenomena. Hal tersebut membantu individu dalam mengenali peran Matematika di dunia serta membuat penilaian dan keputusan mendasar yang diperlukan oleh warga negara yang konstruktif, berperan serta dan reflektif. Konsep literasi Matematika ini dibangun berdasarkan tiga domain utama yang saling berhubungan satu sama lain sehingga seorang siswa dipandang sebagai problem solver, yaitu domain proses, konten, dan konteks. Definisi literasi Matematika telah menjelaskan secara eksplisit bahwa terdapat tiga proses utama dalam memecahkan masalah Matematika, yaitu formulate, employ, dan interpret. Ketiga proses tersebut memberikan gambaran penting dan berguna dalam mengorganisir proses matematisasi permasalahan yang kontekstual sehingga dapat diselesaikan. Proses “formulate” merujuk kepada kemampuan individu dalam mengenali dan mengidentifikasi peluang untuk menggunakan Matematika dan menyajikan struktur Matematika terhadap permasalahan kontekstual yang dihadapi. Kemampuan ini mampu mentranslasikan permasalahan dari setting kehidupan sehari-hari kepada struktur dan representasi Matematika secara khusus. Proses ini meliputi aktivitas sebagai berikut (OECD, 2013). a.
Mengidentifikasi aspek Matematika dari suatu masalah kehidupan nyata dan mengidentifikasi variabel berperan signifikan
b.
Mengenali struktur Matematika (keteraturan, hubungan, dan pola) pada suatu masalah atau situasi
49
c.
Menyederhanakan suatu situasi atau masalah sehingga memungkinkan untuk dianalisis secara matematis
d.
Mengidentifikasi
batasan
dan
asumsi
pemodelan
Matematika
dan
penyederhanaan dari suatu konteks e.
Menyajikan situasi secara matematis dengan menggunakan variabel, simbol, diagram, dan model yang tepat.
f.
Menyajikan suatu masalah dengan cara yang berbeda, termasuk mengaturnya berdasarkan konsep Matematika dan membuat asumsi yang tepat
g.
Memahami dan menjelaskan hubungan antara bahasa konteks dari suatu masalah dan bahasa formal simbolik yang diperlukan untuk menyajikannya secara matematis.
h.
Mentranslasi suatu masalah ke bahasa Matematika atau suatu representasi
i.
Mengenali aspek dari suatu masalah yang berkorespondensi dengan masalah yang diketahui atau dengan konsep, fakta, atau prosedur Matematika
j.
Menggunakan teknologi untuk menggambarkan suatu hubungan matematis yang melekat pada permasalahan kontekstual
Proses “employ” merujuk kepada kemampuan individu dalam menerapkan konsep, fakta, proedur dan penalaran Matematika untuk menyelesaikan permasalahan yang telah diformulasikan untuk memperoleh solusi matematis. Proses ini meliputi aktivitas sebagai berikut (OECD, 2013). a.
Merencanakan dan mengimplementasikan strategi dalam mencari solusi matematis
b.
Menggunakan alat Matematika, seperti teknologi untuk memperoleh solusi
50
c.
Menerapkan fakta, aturan, algoritma, dan struktur Matematika ketika mencari solusi
d.
Memanipulasi bilangan, grafik dan data statistik, persamaan dan bentuk aljabar, dan representasi geometris.
e.
Membuat diagram, grafik, dan konstruksi matematis serta mengekstrak informasi darinya
f.
Menggunakan dan mengganti antara representasi yang berbeda dalam proses memperoleh solusi
g.
Membuat generalisasi berdasarkan hasil penerapan prosedur matematis untuk memperoleh solusi
h.
Merefleksikan argumen matematis serta menjelaskan dan menjustifikasi hasil matematis.
Selanjutnya, proses “interpret” merujuk kepada kemampuan individu dalam merefleksi solusi, hasil, dan kesimpulan Matematika serta menginterpretasikannya dalam permasalahan di kehidupan sehari-hari. Proses ini mentranslasikan kembali solusi Matematika kepada masalah konteks masalah dan menentukan apakah hasil yang diperoleh masuk akal terhadap konteks. Proses ini meliputi aktivitas sebagai berikut (OECD, 2013). a.
Menginterpretasikan kembali hasil Matematika kepada konteks kehidupan nyata
b.
Mengevaluasi kesesuaian antara solusi Matematika terhadap konteks permasalahan
51
c.
Memahami pengaruh kehidupan nyata terhadap hasil dan perhitungan dari prosedur dan model Matematika untuk membuat penilaian kontekstual apakah hasil yang diperoleh perlu disesuaikan atau dapat diterapkan.
d.
Menjelaskan alasan mengapa hasil atau kesimpulan sesuai atau tidak sesuai dengan konteks permasalahan
e.
Memahami keluasan dan batasan konsep dan solusi Matematika
f.
Mengkritisi dan mengidentifikasi keterbatasan model yang digunakan untuk menyelesaikan masalah
Penerapan ketiga proses tersebut (formulate, employ, interpret) memerlukan kompetensi Matematik yang spesifik dan mendasar dengan bentuk dan derajat yang beragam. Framework penilaian PISA merumuskan tujuh kompetensi Matematika yang bersesuaian dengan ketiga proses pemecahan masalah dalam literasi Matematika. Tabel 11. Kompetensi Matematika Proses Formulate Membaca, Komunikasi memecahkan kode, memahami pernyataan, pertanyaan, tugas, object, gambar, atau animasi untuk membentuk model dari situasi Mengidentifikasi Matematisasi variabel dan struktur Matematika yang terdapat pada permasalahan di dunia
pada PISA dan Kaitannya dengan Domain Employ Menyampaikan suatu solusi, menunjukkan cara kerja dalam mencapai suatu solusi dan/atau merangkum dan menampilkan hasil Matematika Menggunakan pemahaman terhadap konteks sebagai panduan dan memudahkan proses
52
Intepret Mengonstruk dan mengkomunikasikan penjelasan dan argumen pada konteks masalah
Memahami keluasan dan batasan solusi Matematika sebagai konsekuensi dari model Matematika yang digunakan
Representasi
Menciptakan representasi Matematika berdasarkan informasi kehidupan seharihari
Penalaran dan Menjelaskan, mempertahankan argumentasi pendapat atau menjustifikasi representasi yang dirancang berdasarkan situasi nyata
Merencanakan strategi
Memilih dan merencanakan strategi untuk membentuk kerangka permasalahan kontekstual
penyelesaian masalah Memahami, menghubungkan dan menggunakan berbagai representasi ketika berinteraksi dengan suatu masalah
Menginterpretasikan hasil Matematika dalam berbagai format yang berkaitan dengan situasi dan penggunaannya; membandingkan dan mengevaluasi dua atau tiga lebih representasi kaitannya dengan situasi Menjelaskan, Merefleksikan solusi mempertahankan Matematika serta pendapat atau membuat penjelasan menjustifikasi dan argumen yang proses yang mendukung, digunakan untuk menyangkal atau menentukan menilai kualitas solusi solusi Matematika Matematika. terhadap konteks Menghubungkan permasalahan potongan informasi untuk memperoleh solusi Matematika, membuat generalisasi atau membuat argumen dengan multi langkah. Mengaktifkan Merencanakan dan mekanisme melaksanakan kontrol yang strategi dalam efektif dan menginterpretasikan, berkelanjutan mengevaluasi, dan terhadap menvalidasi solusi langkah-langkah Matematika penyelesaian, terhadap konteks penarikan permasalahan kesimpulan dan generalisasi
53
Menggunakan operasi dan bahasa simbol, formal dan teknik
Menggunakan variabel, simbol, diagram dan model standar yang tepat untuk merepresentasikan permasalahan sehari-hari menggunakan simbol atau bahasa formal
Memahami dan menggunakan konstruk formal dan menjalankan algoritma berdasarkan definisi, aturan dan sistem formal
Menggunakan alat Matematika
Menggunakan alat Matematika untuk mengenali struktur Matematika atau menggambarkan hubungan matematis
Mengetahui dan mampu menggunakan berbagai alat secara tepat untuk membantu dalam menjalankan proses dan prosedur dalam menentukan solusi masalah
Memahami hubungan antara konteks permasalahan dan representasi dari solusi Matematika. Menggunakan pemahaman tersebut untuk membantu dalam menginterpretasikan solusi ke dalam konteks dan mengukur kemungkinan batasan dari solusi. Menggunakan alat Matematika untuk memastikan kelayakan dan keterbatasan dari solusi Matematika terhadap konteks masalah
(Sumber: OECD, 2013) Permasalahan yang akan diselesaikan dengan ketiga proses tersebut ternyata tidak cukup hanya dengan berbekal tujuh kompetensi di atas, mengingat pemecahan masalah dan interpretasinya akan berhadapan dengan berbagai situasi. Permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari pada dasarnya memiliki ciri sebagaimana sifat dari fenomena Matematika yang mendasar. Sehingga pemahaman terhadap konten Matematika dan penerapannya merupakan hal yang penting dalam definisi literasi Matematika. OECD (2013) merumuskan empat
54
kategori konten Matematika untuk mengidentifikasi dan menganalisa fenomena Matematika yang terdapat pada suatu masalah, yaitu sebagai berikut. a.
Perubahan dan hubungan (Change and relationship) Terdapat banyak perubahan dan hubungan antar objek dan kenyataan yang
ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, baik yang bersifat temporer maupun permanen. Tidak jarang perubahan suatu objek yang terjadi dipengaruhi oleh objek yang lain. Pertumbuhan organisme, musik, siklus musim, pola cuaca, tingkat pekerjaan dan kondisi ekonomi merupakan salah satu fenomena sehari-hari yang berkaitan dengan perubahan dan hubungan. Hal ini menunjukkan pentingnya literasi terhadap konten perubahan dan hubungan untuk dapat menjelaskan dan memprediksi fenomena yang terjadi di kehidupan sehari-hari. Pengetahuan tentang konten perubahan dan hubungan merupakan pengetahuan tentang pemodelan fenomena perubahan dan hubungan menggunakan fungsi dan persamaan yang tepat,
termasuk
di
dalamnya
menciptakan,
menginterpretasikan,
dan
mentranslasikan representasi simbol dan grafik dari keterhubungan. b.
Ruang dan bentuk (Space and shape) Ruang dan bentuk mencakup fenomena sehari-hari yang ditangkap secara
visual dan fisik meliputi pola, sifat objek, posisi dan arah, representasi objek, memecahkan dan membuat sandi visual, navigasi serta interaksi dinamis terhadap bentuk nyata. Geometri dan pengukuran merupakan pondasi yang penting bagi konten ini. Di dalam PISA, kemampuan ini mencakup sekumpulan konsep dan keterampilan yang dikembangkan dari topik geometri tradisional, visualisasi spasial, pengukuran dan aljabar. Di antaranya adalah pemahaman perspektif (dalam
55
menggambar), membuat dan membaca peta, mentransformasi bentuk dengan dan tanpa teknologi, menginterpretasi dimensi tiga dari berbagai perspektif dan mengonstruk representasi bentuk. c.
Kuantitas (Quantity) Istilah kuantitas sangat erat kaitannya antara aspek Matematika dan
kehidupan sehari-hari. Kuantifikasi dalam kehidupan sehari-hari meliputi pemahaman terhadap pengukuran, pencacahan, besaran, unit, indikator, ukuran relatif, dan pola bilangan. Dalam literasi Matematika, aspek penalaran kuantitatif seperti number sense, representasi majemuk dari bilangan, perhitungan yang elegan, kelayakan estimasi dan hasil penilaian merupakan hal yang esensial. d.
Ketidakpastian dan data (Uncertainty and data) Ketidakpastian selalu ditemui dalam konteks sains, teknologi dan
kehidupan sehari-hari. Sehingga konten ketidakpastian merupakah jantung dari analisis Matematika di mana teori peluang dan statistik merupakan teknik representasi data yang disusun untuk mengatasi hal tersebut. Ketidakpastian dalam kehidupan sehari-hari berkaitan dengan prediksi, hasil jajak pendapat, ramalan cuaca dan model perekonomian. Pemahaman tentang ketidakpastian dan data meliputi kemampuan mengenali letak variasi dalam suatu proses, memiliki sense kuantifikasi yang bervariasi, mengetahui ketidakpastian dan kesalahan dari suatu pengukuran dan mengetahui suatu peluang. Termasuk pula kemampuan membentuk, menginterpretasikan dan mengevaluasi kesimpulan dalam situasi di mana ketidakpastian menjadi hal yang penting. Pengetahuan terkait bilangan dan
56
representasi grafik dan simbol memiliki peran yang penting dalam menyelesaikan soal dengan konten ketidakpastian dan data. Domain literasi Matematika yang tak kalah penting dalam penelitian PISA adalah domain konteks, yakni kemampuan memahami konteks permasalahan dan menentukan strategi yang sesuai dengan konteks tersebut. Kemampuan ini penting dimiliki oleh generasi abad 21 ketika mereka menghadapi berbagai permasalahan yang kompleks. Sehingga penilaian PISA menggunakan soal Matematika yang memuat beragam konteks untuk mengukur kemampuan literasi Matematika. Sesuai dengan literasi Matematika, PISA mengklasifikasikan setidaknya terdapat empat kategori konteks yang dikembangkan dalam penelitian. a.
Pribadi. Permasalahan yang diklasifikasikan sebagai konteks pribadi adalah permasalahan yang melibatkan dirinya sendiri, keluarganya, atau teman sekelompoknya. Contohnya seperti konteks menyiapkan makanan, berbelanja, kesehatan, olahraga dan keuangan pribadi.
b.
Pekerjaan. Permasalahan ini fokus terhadap permasalahan yang berkaitan dengan dunia kerja. Konteks pekerjaan berkaitan dengan level tingkat kesulitan pekerjaan, mulai dari yang tidak memerlukan skill tertentu hingga ke level profesional. Hal ini meliputi aktivitas mengukur, menghitung biaya pengeluaran, memesan bahan bangunan, dan desain arsitektur.
c.
Sosial. Permasalahan termasuk dalam konteks sosial adalah permasalahan yang fokus terhadap permasalahan komunitas, baik pada tingkat lokal, regional, nasional maupun internasional. Contohnya adalah sistem pemilihan
57
umum, transportasi publik, pemerintahan, kebijakan publik, periklanan, statistik dan ekonomi nasional. d.
Ilmiah. Konteks ilmiah berkaitan dengan penerapan Matematika dalam ilmu pengetahuan alam dan teknologi. Contohnya adalah permasalahan terkait cuaca, lingkungan, luar angkasa, genetik, pengukuran dan Matematika itu sendiri. Konsep literasi Matematika yang terdiri dari komponen proses, konten dan
konteks
yang
saling
berhubungan
merupakan
landasan
teori
dalam
mengembangkan instrumen survei PISA sehingga dapat mengukur kesiapan siswa di berbagai negara dalam menerapkan pengetahuan Matematika yang mereka miliki pada situasi yang baru dan beragam. Literasi Matematika menekankan pada pemecahan masalah yang bersifat kontekstual. Artinya permasalahan berasal dari kehidupan sehari-hari yang memuat fenomena Matematika, dimana PISA mengidentifikasi empat kategori yang tercipta, yaitu kuantitas, ketidakpastian dan data, perubahan dan hubungan, serta ruang dan bentuk. Untuk menyelesaikan permasalahan yang kontekstual, seseorang perlu memiliki bekal pengetahuan dan keterampilan Matematika
yang beragam
seperti
komunikasi
matematis,
perencanaan strategi, penalaran dan argumentasi, dan sebagainya. Kemampuan Matematika tersebut kemudian diterapkan untuk memecahkan masalah melalui proses merumuskan masalah ke dalam model Matematika, menyelesaikan model Matematika,
dan
menginterpretasikan
hasil
ke
dalam
konteks
serta
mengevaluasinya. Konstruksi dan hubungan antara domain ditunjukkan pada gambar berikut.
58
Permasalahan Kontekstual Konten Matematika: Kuantitas, Ketidakpastian dan data, Perubahan dan hubungan, Ruang dan bentuk Konteks Dunia Nyata: Personal, Sosial, Pekerjaan, dan Ilmiah Berpikir dan Bertindak Matematis Kemampuan Dasar Matematika: Komunikasi, Representasi, Perencanaan Strategi, Matematisasi, Penalaran dan argumen, Penggunaan bahasa formal, simbolik dan teknik, Penggunaan alat Matematika Permasalahan kontekstual
Merumuskan
Permasalahan matematis Menyelesaikan
Evaluasi
Hasil dalam konteks
Menginterpretasikan
Hasil Matematika
Gambar 2. Hubungan antara Domain Proses, Konten dan Konteks dalam Literasi Matematika (Sumber: OECD, 2013) Berikut ini merupakan contoh butir soal PISA yang mengilustrasikan tipe soal, domain proses, konten dan konteks. “Penjualan Kaset” Pada bulan Januari, band SO7 dan Padi mengeluarkan album terbaru. Disusul album band D’Masiv dan Ungu pada bulan berikutnya. Grafik berikut menunjukkan penjualan kaset mereka dari bulan Januari hingga Juni (Gambar 3). Pertanyaan 1 Berapa banyak kaset band Ungu yang terjual pada bulan April? a. 250 b. 500 c. 1000 d. 1270 Pertanyaan 2 Pada bulan apa, untuk pertama kalinya kaset band D’Masiv terjual lebih banyak daripada band Padi?
59
a. b. c. d.
Tidak ada Maret April Mei
Pertanyaan 3 Tim penjualan kaset band Padi merasa khawatir karena angka penjualan kaset mereka menurun dari bulan Februari hingga Juni. Berapa perkiraan jumlah penjualan kaset mereka pada bulan Juli jika penurunan terus terjadi? a. 70 b. 370 c. 670 d. 1340
Penjualan Kaset Per Bulan 2250
Jumlah kaset yang terjual per bulan
2000 1750 1500 SO7
1250
PADI 1000
D'MASIV UNGU
750 500 250 0 Jan
Feb
Mar
April
Mei
Juni
Gambar 3. Grafik Penjualan Kaset Per Bulan (Di adaptasi dari: OECD, 2013) Ketiga butir soal disajikan dalam bentuk pilihan ganda dengan satu topik tertentu, yaitu grafik penjualan kaset. Ketiganya merupakan contoh soal dari domain konten ketidakpastian
dan
data,
di
mana
60
siswa
diminta
untuk
membaca,
menginterpretasikan dan menggunakan grafik yang disajikan untuk melakukan estimasi atau perkiraan. Adapun dari segi domain konteks, ketiga soal tersebut termasuk dalam konteks sosial karena data yang disajikan adalah informasi umum tentang penjualan kaset musik yang dapat diperoleh dengan mudah di koran, majalah maupun halaman website, Dari domain prosesnya, pertanyaan 1 dan 2 merupakan bentuk dari interpretasi, penerapan dan evaluasi hasil Matematika (interpret), di mana pertanyaan melibatkan proses interpretasi informasi berbentuk Matematika ke dalam konteks yang disajikan. Sedangkan pertanyaan ketiga merupakan bentuk dari penggunaan fakta, konsep, prosedur dan penalaran Matematika (employ), karena fokus terhadap penerapan pengetahuan prosedural untuk mengubah representasi matematis sehingga diperoleh kesimpulan.
5.
Kemampuan Matematika Siswa Berdasarkan TIMSS Trends in International Mathematics and Science (TIMSS) merupakan studi
internasional yang mengukur prestasi siswa kelas IV SD dan VIII SMP pada bidang Matematika dan Sains. Di bawah koordinasi International Association for the Evaluation of Educational Achievement (IEA), studi ini dilaksanakan dalam siklus empat tahunan sehingga memberikan informasi tentang progres prestasi pendidikan Matematika dan Sains pada suatu negara. Studi TIMSS pertama kali dilaksanakan pada tahun 1995 dan berlanjut hingga TIMSS 2015 yang terakhir dilaksanakan. Pada tahun 2011, sekitar 70 negara yang berpartisipasi dalam TIMSS. Selain mengukur prestasi siswa, studi TIMSS juga mengumpulkan informasi seperti ketersediaan sarana dan prasarana, kualitas kurikulum dan pengajaran. Dari
61
informasi tersebut disajikan gambaran dari perubahan dan dampak implementasi kebijakan pendidikan dan praktik pembelajaran terhadap prestasi belajar siswa sehingga dapat membantu pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikaan. Dari tahun ke tahun, data hasil TIMSS memberikan dampak besar terhadap reformasi dan pengembangan pendidikan Matematika dan Sains di dunia (Mullis, Martin, Ruddock, O’Sullivan & Preuschoff, 2009). Studi TIMSS menyediakan informasi yang berharga bagi suatu negara dalam hal memonitor dan mengevaluasi pembelajaran Matematika dan Sains dari waktu ke waktu pada setiap tingkatan. Mullis et al (2009) menjelaskan manfaat bagi suatu negara yang berpartisipasi dalam TIMSS sebagai berikut. a.
Memiliki data tentang konsep, proses dan sikap siswa terhadap Matematika dan Sains secara komprehensif dalam lingkup internasional.
b.
Mampu menilai perkembangan kemampuan Matematika dan Sains siswa dalam rentang waktu tertentu secara internasional.
c.
Mampu
mengidentifikasi
aspek
yang
mempengaruhi
perkembangan
pengetahuan dan keterampilan Matematika dan Sains siswa d.
Memonitor efektivitas pembelajaran pada siswa kelas IV SD dan VIII SMP
e.
Memahami dalam konteks apa saja siswa belajar secara optimal. Studi TIMSS memungkinkan untuk melakukan komparasi sejumlah variabel kebijakan, kurikulum, metode mengajar dan sarana belajar yang berkaitan dengan tingginya prestasi siswa.
f.
Menjadikan hasil TIMSS untuk merumuskan isu kebijakan internal sebagai upaya peningkatan kualitas pendidikan.
62
Studi TIMSS terhadap prestasi Matematika dilatarbelakangi oleh kesadaran bahwa Matematika merupakan bagian fundamental dalam pembelajaran di sekolah. Mullis et al (2009) menjelaskan bahwa peningkatan efektivitas dan kesuksesan seseorang di dunia kerja dipengaruhi oleh pengetahuan dan kemampuan menerapkan Matematika. Berbagai jurusan saat ini memerlukan kecakapan Matematka tingkat tinggi dan berbagai bentuk berpikir matematis juga berkaitan erat dengan teknologi dan manajemen modern. Oleh karena itu, studi TIMSS melakukan penilaian terhadap efektivitas kurikulum suatu negara dalam mempersiapkan siswa menghadapi tantangan dunia kerja ditinjau dari prestasi siswa di bidang Matematika dan Sains. Penilaian prestasi Matematika siswa oleh TIMSS dirancang berdasarkan suatu frameworks. Frameworks penilaian tersebut terbagi menjadi dua dimensi utama, yaitu dimensi konten dan dimensi kognitif (Mullis et al, 2009). Dimensi konten merupakan kumpulan materi Matematika yang dinilai dalam TIMSS. Dimensi konten pada siswa kelas IV SD berbeda dengan kelas VIII SMP berdasarkan keluasan materi yang telah diajarkan di kelas. Pada siswa kelas VIII SMP, dimensi konten Matematika meliputi bilangan, aljabar, geometri, data dan peluang (Mullis et al, 2009). a.
Bilangan Kecakapan siswa dalam bilangan perlu ditingkatkan dengan konsep
bilangan cacah yang lebih kompleks dan prosedur yang menambah wawasan terhadap bilangan rasional, seperti konsep pecahan, desimal dan bilangan bulat. Pecahan dan desimal merupakah konsep yang penting dalam kehidupan sehari-hari
63
dan memerlukan pemahaman tentang kuantitas untuk dapat mengoperasikannya. Bilangan rasional memiliki beberapa bentuk seperti rasio, proporsi dan persen. Suatu bilangan rasional dapat direpresentasikan dalam banyak simbol tertulis yang berbeda-beda dan siswa perlu mengenali perbedaan masing-masing interpretasi, membangun keterhubungan di antaranya, dan bernalar menggunakannya. Ada tiga topik utama dalam domain bilangan beserta kompetensi yang dinilai oleh TIMMS. Tabel 12. Kompetensi Domain Bilangan Versi TIMSS Topik Kompetensi yang Dinilai Bilangan Cacah 1. Mendemonstrasikan pemahaman terhadap bilangan cacah dan operasinya (operasi aritmatika, letak nilai, sifat komutatif, asosiatif dan distributif). 2. Menghitung menggunakan bilangan cacah pada situasi masalah tertentu. 3. Menemukan dan menggunakan faktor suatu bilangan, mengidentifikasi bilangan prima, mengevaluasi pangkat dan akar pangkat suatu bilangan hingga 144. Pecahan, Desimal dan 1. Mengidentifikasi, membandingkan, atau Bilangan Bulat mengurutkan bilangan rasional (Pecahan, desimal dan bilangan bulat) menggunakan berbagai model dan representasi (seperti garis bilangan); dan mengetahui bahwa ada bilangan yang tidak rasional. 2. Menghitung dengan bilangan rasional (pecahan, desimal dan bilangan bulat) termasuk kumpulan permasalahan pada suatu situasi. Rasio, Proporsi dan 1. Mengidentifikasi dan menemukan rasio senilai; Persen dan membuat model dari suatu situasi menggunakan rasio dan membagi suatu kuantitas menggunakan rasio yang diketahui. 2. Mengonversi di antara persen, proporsi dan pecahan. 3. Menyelesaikan permasalahan yang melibatkan bentuk persen dan proporsi. (Sumber: Mullis et al, 2009)
64
b.
Aljabar Aljabar merupakan sesuatu yang lekat dalam kehidupan kita. Dengan
aljabar, suatu pola dapat dinyatakan dalam suatu rumus sehingga perhitungan tidak perlu dilakukan berulang-ulang dan generalisasi dapat dilakukan. Permasalahan dalam kehidupan nyata yang dihadapi oleh siswa dapat diselesaikan dengan model aljabar dan dijelaskan keterhubungannya dengan konsep aljabar. Pemahaman siswa terhadap konsep persamaan garis dapat digunakan untuk menghitung suatu peningkatan yang bersifat konstan. Begitu pula konsep tentang bentuk kuadrat dapat digunakan untuk mempelajari gerakan suatu objek. Kompetensi yang dinilai oleh TIMMS pada konten Aljabar terbagi menjadi tiga topik sebagai berikut. Tabel 13. Kompetensi Domain Aljabar Versi TIMSS Topik Kompetensi yang Dinilai Bentuk dan 1. Menemukan nilai dari suatu bentuk aljabar ketika Operasi diketahui nilai variabelnya. Aljabar 2. Menyederhanakan bentuk aljabar meliputi penjumlahan, perkalian, bentuk pangkat; dan membandingkannya untuk menentukan kesetaraannya 3. Menggunakan bentuk aljabar untuk merepresentasikan suatu masalah Persamaan dan 1. Menuliskan bentuk persamaan dan pertidaksamaan dari Pertidaksamaan suatu masalah. 2. Menyelesaikan persamaan, pertidaksamaan dan sistem persamaan linier dua variabel. Relasi dan 1. Mengeneralisir pola dari suatu barisan, di antara dua suku Fungsi yang berdekatan, atau di antara dua barisan bilangan menggunakan bentuk bilangan, kata dan aljabar. 2. Menginterpretasikan, menghubungkan dan membangung representasi fungsi dari suatu tabel, grafik, atau kata-kata. 3. Mengidentifikasi fungsi linier atau non linier, membedakan perbedaan sifat suatu fungsi berdasarkan tabel, grafik atau persamaan; dan menginterpretasikan makna dari gradien dan perpotongan di sumbu-y pada fungsi linier. (Sumber: Mullis et al, 2009)
65
c.
Geometri Siswa kelas VIII SMP seharusnya mampu menganalisa sifat dan
karakteristik suatu gambar dimensi dan tiga serta mampu melakukan pengukuran geometris (keliling, luas permukaan, dan volume) sebagai bentuk perluasan dari materi ketika kelas IV SD. Selain itu, siswa kelas VIII SMP juga dituntut mampu menyelesaikan masalah dan memberikan penjelasan berdasarkan pada hubungan geometris. Kompetensi yang dinilai oleh TIMMS pada konten geometri terbagi menjadi tiga topik sebagai berikut. Tabel 14. Kompetensi Domain Geometri Versi TIMSS Topik Kompetensi yang Dinilai Bentuk Geometri 1. Mengidentifikasi berbagai jenis sudut dan menggunakan hubungan antara sudut pada garis dan gambar geometri 2. Mengidentifikasi sifat geometri dimensi dua dan tiga termasuk simetri lipat dan simetri putar. 3. Mengidentifikasi segitiga dan segiempat yang kongruen serta ukurannya yang bersesuaian; dan mengidentifikasi segitiga dan segiempat yang sebangun dan menggunakan sifat-sifatnya. 4. Menghubungkan bentuk dimensi tiga dengan representasi dimensi duanya 5. Menggunakan sifat-sifat geometri, termasuk teorema Phytagoras untuk menyelesaikan masalah Pengukuran Geometri 1. Melukis dan mengestimasi ukuran dari suatu sudut, ruas garis dan keliling; dan mengestimasi luas permukaan dan volume. 2. Memilih dan menggunakan rumus pengukuran yang tepat untuk menentukan keliling, luas, luas permukaan dan volume; dan menentukan ukuran dari bidang gabungan. Lokasi dan Perpindahan 1. Menentukan letak titik koordinat dan menyelesaikan masalah yang menyertakan titik pada bidang Cartesius. 2. Mengenali dan menggunakan transformasi geometri (translasi, refleksi dan rotasi) pada bentuk dua dimensi. (Sumber: Mullis et al, 2009)
66
d.
Data dan Peluang Kemampuan Matematika siswa kelas VIII SMP pada materi data meliputi
kemampuan membaca dan mengekstrak informasi penting dari berbagai tampilan visual grafik, familiar dengan distribusi data seperti rerata, median dan modus, serta memahami hubungan antara distribusi data dengan bentuk grafik. Selain itu, siswa diharapkan telah memiliki pemahaman awal tentang konsep peluang. Kompetensi yang dinilai oleh TIMMS pada konten geometri terbagi menjadi tiga topik sebagai berikut. Tabel 15. Kompetensi Domain Data dan Peluang Versi TIMSS Topik Kompetensi yang Dinilai Karakteristik Data 1. Mengidentifikasi dan membandingkan karakteristik beberapa data ditinjau dari rerata, modus, range, dan bentuk distribusi. 2. Mengkalkulasi, menggunakan atau menginterpretasikan rerata, median, modus, dan range untuk memecahkan masalah. Interpretasi Data 1. Membaca data dari suatu jenis tampila data visual 2. Menggunakan dan menginterpretasikan data untuk menyelesaikan masalah 3. Mengidentifikasi dan mendeskripsikan pendekatan dalam mengatur dan menampilkan data yang dapat berakibat kesalahan interpretasi. Peluang 1. Menentukan peluang suatu kejadian dalam istilah umum. 2. Menggunakan data, termasuk data eksperimen untuk memperkirakan peluang kejadian di masa depan. 3. Jika proses dilakukan secara acak, dapat menentukan peluang suatu kejadian. (Sumber: Mullis et al, 2009)
Prestasi Matematika siswa versi TIMSS tidak hanya dinilai berdasarkan kemampuan siswa mengenali semua domain konten di atas dengan baik, tetapi siswa juga perlu menunjukkan suatu keterampilan dalam proses berpikir. Oleh
67
karena itu, domain kognitif memiliki peran yang krusial dalam pengembangan penilaian TIMSS. Soal-soal matematika yang dikembangkan
oleh TIMSS
menuntut peserta didik untuk berpikir tingkat rendah sampai tingkat tinggi (Budiman & Jailani, 2014). Domain kognitif terdiri dari tiga komponen, yaitu mengetahui (knowing), menerapkan (applying), dan menalar (reasoning). Ketiganya merupakan kemampuan berpikir yang diperlukan dalam memecahkan masalah dengan Matematika (Mullis et al, 2009). a.
Mengetahui (Knowing). Kemampuan menerapkan Matematika dan penalaran terhadap situasi
Matematika bergantung kepada pemahaman terhadap konsep Matematika dan kemahiran
siswa
menggunakan
keterampilan
Matematika.
Pengetahuan
memungkinkan siswa untuk memanggil kembali dan memperluas konsep yang telah ia pahami sehingga kesempatan ia untuk terlibat dalam situasi pemecahan masalah yang lebih luas menjadi besar. Tanpa adanya pengetahuan dasar yang memudahkan siswa untuk memanggil kembali fakta, prosedur, bilangan, simbol dan hubungan spasial, tidak mungkin ia mampu berpikir matematis secara tepat. Kompetensi dari domain kognitif knowing adalah 1) Recall, memanggil kembali definisi, istilah, sifat bilangan dan geometri serta notasi; 2) Recognize, mengenali objek Matematika seperti bentuk geometri, bilangan, bentuk aljabar dan kuantitas. Mengenali entitas yang senilai secara matematis; 3) Compute, melakukan prosedur operasi bilangan cacah, pecahan, desimal dan bilangan bulat. Melakukan prosedur aljabar biasa; 4) Retrieve, memperoleh informasi dari grafik, tabel dan sumber lainnya. Membaca skala sederhana; 5) Measure, menggunakan instrumen
68
pengukuran dan menentukan unit pengukuran yang tepat; dan 6) Classify/Order, mengelompokkan objek, bentuk geometri, bilangan dan aljabar berdasarkan sifat yang sama; membuat keputusan yang tepat terkait keanggotan suatu himpunan; mengurutkan objek dan bilangan berdasarkan sifatnya. b.
Menerapkan (Applying). Penerapan Matematika mencakup konteks tertentu, di mana fakta, prosedur,
dan konsep Matematika serta permasalahan mesti menjadi hal yang familiar bagi siswa. Sejumlah pengetahuan Matematika tersebut diterapkan untuk membentuk representasi Matematika. Representasi tersebut membentuk inti dari berpikir dan komunikasi matematis dan kemampuan membentuk representasi yang setara merupakan hal yang fundamental untuk berhasil menyelesaikan permasalahan Matematika. Pemecahan masalah merupakan aktivitas utama dari domain penerapan (applying) pada soal-soal rutin dan familiar. Permasalahan tersebut dapat berupa situasi dalam kehidupan nyata atau pertanyaan Matematika murni. Kompetensi dari domain kognitif applying adalah 1) Select, memilih operasi, metode dan strategi pemecahan masalah yang tepat; 2) Represent, menampilkan informasi dan data Matematika dalam bentuk diagram, tabel atau grafik dan membuat representasi yang sama dengan relasi atau entitas Matematika yang diketahui; 3) Model, membentuk model yang tepat, seperti persamaan, gambar geometri atau diagram untuk menyelesaikan permasalahan rutin; 4) Implement, menjalankan sekumpulan prosedur Matematika; dan 5) Solve routine problems, menyelesaikan permasalahan standar yang sering ditemui dalam pembelajaran, dapat berupa permasalahan dalam kehidupan nyata maupun Matematika murni.
69
c.
Menalar (Reasoning). Penalaran Matematika meliputi kemampuan berpikir logis dan sistematis,
kemampuan mengamati dan membuat dugaan, serta membuat deduksi logis berdasarkan asumsi dan aturan tertentu, lalu menjustifikasinya. Termasuk di dalamnya menalar secara intuitif dan induktif berdasarkan pola dan keteraturan yang digunakan untuk dapat sampai pada solusi permasalahan yang baru atau tidak familiar. Tipe permasalahan ini mencakup proses transfer pengetahuan dan keterampilan pada situasi yang baru. Kompetensi dari domain kognitif reasoning adalah 1) Analyze, menentukan, mendeskripsikan atau menggunakan hubungan antara variabel atau objek Matematika pada suatu situasi permasalahan, dan membuat kesimpulan yang valid berdasarkan informasi yang diberikan; 2) Generalize/specialize, menggunakan hasil berpikir matematis dan pemecahan masalah untuk menyatakan hasil dalam bentuk lebih umum agar dapat diterapkan lebih luas; 3) Integrate/Synthesize, membuat koneksi antara unsur pengetahuan yang berbeda dengan representasinya dan membuat hubungan antar ide Matematika. Mengombinasikan fakta, prosedur, dan konsep untuk memperoleh hasil serta mengombinasikan hasil-hasil tersebut untuk memperoleh hasil yang lebih luas; 4) Justify, memberikan justifikasi berdasarkan hasil dan sifat Matematika yang diketahui; dan 5) Solve non routine problems, kemampuan menyelesaikan permasalahan Matematika yang belum pernah siswa temui dalam pembelajaran, serta kemampuan menerapkan fakta, konsep dan prosedur Matematika dalam menyelesaikan masalah dalam konteks yang lebih kompleks atau tidak familiar.
70
Contoh soal TIMMS yang menilai prestasi Matematika siswa kelas VIII SMP adalah sebagai berikut. Pertanyaan 1 Azwar dan Anwar membagi uang sebesar Rp560.000,- di antara mereka berdua. 3 Jika Anwar mendapatkan 8 dari uang tersebut, berapa banyak uang yang didapatkan Azwar? Jawaban: ______________________ Pertanyaan 2 Terdapat sebanyak m laki-laki dan n perempuan dalam sebuah pawai. Setiap orang membawa dua balon. Bentuk aljabar manakah yang menunjukkan banyaknya balon yang dibawa pada pawai tersebut? a. 2 (m + n) b. 2 + (m + n) c. 2m + n d. m + 2n Pertanyaan 3 Perhatikan gambar segitiga ABC C
A
X
Diketahui AC = BC Panjang AB dua kali panjang CX Berapakah ukuran sudut B?
B
Jawaban: __________________________ (Diadaptasi dari: Mullis et al, 2009)
Ketiga contoh di atas merupakan representasi dari kemampuan Matematika siswa kelas VIII SMP yang dinilai oleh TIMSS, baik dari domain konten maupun domain kognitif. Pertanyaan 1 berbentuk isian singkat dengan domain konten berupa materi bilangan, yaitu topik tentang pecahan dan desimal. Soal ini memerlukan kemampuan kognitif siswa berupa penerapan (applying) konsep pecahan pada
71
masalah kontekstual yaitu pembagian uang. Pertanyaan 2 berbentuk pilihan ganda dengan domain konten berupa materi aljabar, yaitu bentuk aljabar. Soal ini tergolong mudah karena hanya memerlukan pemahaman (knowing) tentang notasi bentuk aljabar yang sesuai dengan situasi permasalahan. Pertanyaan 3 berbentuk isian singkat dengan domain konten berupa materi geometri, yaitu tentang bentuk geometri.
Pertanyaan
ini
termasuk
soal
non
rutin,
sehingga
dalam
menyelesaikannya diperlukan penalaran (reasoning) berupa sintesis terhadap informasi-informasi yang diketahui dari pertanyaan untuk memperoleh kesimpulan yang tepat.
B. Kajian Penelitian yang Relevan Beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut. 1.
Penelitian Yilmaz, Koparan & Hanci (2016) yang berjudul Determination of the Relationship between 8th Grade Students Learning Styles and TIMSS Mathematics Achievement. Di antara hasil penelitiannya adalah kemampuan Matematika siswa kelas VIII di Bayburt, Turki dalam menyelesaikan soal TIMSS 2011 tergolong rendah dan berada di bawah rata-rata internasional. Hasil penelitian ini mirip dengan hasil TIMSS 2011 Turki yang sebenarnya. Selain itu tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara gaya belajar dengan prestasi Matematika dalam menyelesaikan soal TIMSS.
2.
Penelitian Wulandari (2015) yang berjudul Kemampuan Matematika Siswa SMP dan SMA di Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Menyelesaikan Soal
72
Model TIMSS dan PISA. Di antara hasil penelitian ini adalah kemampuan siswa SMP kelas VIII di DIY dalam menyelesaikan soal model TIMSS lebih tinggi dari siswa Indonesia pada TIMSS 2011, meskipun masih tergolong kategori rendah. Siswa SMP kelas VIII DIY lemah dalam menyelesaikan soal pada domain konten aljabar, geometri, data dan peluang; serta pada domain kognitif penerapan dan penalaran. Kemampuan siswa usia 15 tahun di SMP dan SMA DIY dalam menyelesaikan soal model PISA lebih tinggi dari siswa Indonesia pada PISA 2012, meskipun masih tergolong kategori rendah. Siswa usia 15 tahun DIY lemah dalam menyelesaikan soal pada domain proses menformulasikan dan menginterpretasikan; serta kebanyakan siswa berada pada level 1. 3.
Penelitian Wijaya, Heuvel-Panhuizen, Doorman & Robitzsch (2014) yang berjudul Difficulties in Solving Context-Based PISA Mathematics Tasks: An Analysis of Students’ Errors. Di antara hasil penelitiannya adalah kemampuan Matematika siswa kelas IX SMP dan X SMA di DIY dalam menyelesaikan soal model PISA lebih baik daripada siswa Indonesia pada PISA 2003. Rendahnya kemampuan siswa menyelesaikan soal model PISA disebabkan oleh rendahnya kemampuan dalam merumuskan masalah ke dalam model Matematika dan melakukan prosedur matematis dalam menyelesaikan soal kontekstual.
4.
Penelitian Edo, Hartono & Putri (2013) yang berjudul Investigating Secondary School Students’ Difficulties in Modeling Problems PISA-Model Level 5 And 6. Di antara hasil penelitiannya adalah siswa mengalami kesulitan
73
menyelesaikan soal model PISA level 5 dan 6 dalam hal: a) Memformulasikan situasi secara matematis, seperti merepresentasikan suatu situasi secara matematis dan mengenali struktur Matematika pada suatu masalah; b) Mengevaluasi kelayakan suatu solusi Matematika terhadap konteks masalah dalam kehidupan nyata. Namun siswa tidak mengalami kendala dalam menyelesaikan soal yang telah mereka konstruk. 5.
Penelitian Gregory & Bankov (2006) yang berjudul Exploring the Change in Bulgarian Eighth-grade Mathematics Performance from TIMSS 1995 to TIMSS 1999. Dari penelitian ini ditemukan penyebab dari rendahnya prestasi Matematika siswa kelas VIII di Bulgaria adalah adanya ketidaksesuaian antara kurikulum penilaian TIMSS dengan kurikulum kelas VIII di Bulgaria. Banyak topik dari domain kognitif TIMSS 1995 dan 1999 yang telah diajarkan pada kelas yang lebih awal daripada kelas VIII sehingga pengetahuan siswa pada topik tersebut telah menghilang.
6.
Penelitian
Ogura
(2006)
yang
berjudul
Background
to
Japanese
Students’Achievement in Science and Mathematic. Di antara hasil penelitiannya adalah prestasi siswa kelas VII dan VIII Jepang pada TIMSS 1995 di sekolah negeri baik di kota dan pedesaan relatif sama meskipun motivasi siswa beragam.
C. Kerangka Pikir Matematika merupakan ilmu pengetahuan yang erat dalam kehidupan manusia dan memiliki peranan yang penting dalam perkembangan peradaban
74
manusia, sehingga pembelajaran Matematika seharusnya mempersiapkan siswa dalam menghadapi tantangan di masa depan. Landasan empiris perubahan kurikulum pendidikan Indonesia menjadi kurikulum 2013 adalah rendahnya kemampuan Matematika dan Sains siswa dalam penilaian internasional, seperti PISA dan TIMSS. Hasil penelitian PISA dari tahun 2000 hingga 2012 menunjukkan tidak adanya peningkatan signifikan terhadap kemampuan Matematika siswa Indonesia, bahkan cenderung mengalami penurunan. Kemampuan literasi Matematika siswa Indonesia pada PISA 2012 tergolong rendah. Hal yang sama juga ditunjukkan pada hasil TIMSS dari tahun 1999 hingga 2007, yakni kemampuan Matematika siswa tergolong rendah dan tidak mengalami peningkatan yang signifikan. Hal ini berbanding terbalik dengan prestasi gemilang yang diraih siswa Indonesia pada Olimpiade Matematika Internasional. Siswa Indonesia menempati peringkat 20 pada International Mathematics Olympiad (IMO) dari 109 negara yang berpartisipasi. Prestasi tersebut menunjukkan bahwa siswa Indonesia memiliki kemampuan yang baik dalam menyelesaikan soal olimpiade yang termasuk soal dengan tingkat kesulitan tinggi serta mampu bersaing dengan 109 negara lainnya. Selain itu, sampel penelitian PISA dan TIMSS masih terbatas pada wilayah dan strata sekolah tertentu sehingga belum mencerminkan karakteristik sebenarnya dari kemampuan Matematika siswa Indonesia. Kalimantan Timur sebagai representasi dari Indonesia bagian tengah merupakan salah satu daerah yang belum pernah menjadi sampel untuk kedua penelitian internasional tersebut. Pemetaan ini penting karena selain memberikan gambaran yang lebih mendalam tentang
75
kemampuan Matematika siswa di setiap daerah, juga memberikan evaluasi terhadap implementasi kurikulum 2013 secara tidak langsung. Oleh karena itu, perlu adanya penelitian terhadap kemampuan Matematika siswa SMP di Kalimantan Timur dalam menyelesaikan soal model PISA dan TIMSS. Kemampuan Matematika siswa SMP bergantung kepada kurikulum pembelajaran
Matematika
yang
diberlakukan.
Kurikulum
pembelajaran
Matematika di Indonesia meliputi standar proses pembelajaran dan standar isi yang harus dicapai oleh siswa. Standar isi yang termasuk di dalamnya kompetensi Matematika meliputi ranah sikap, pengetahuan dan keterampilan. PISA merupakan penelitian yang tidak hanya menilai kemampuan siswa usia 15 tahun dalam menghasilkan suatu pengetahuan tertentu tetapi juga memprediksi kemampuan mereka dalam menerapkan pengetahuan yang mereka miliki dalam situasi yang baru, yang disebut dengan literasi Matematika. Literasi Matematika diukur berdasarkan tiga domain utama yaitu domain proses, konten dan konteks. Sedangkan TIMSS lebih menitikberatkan evaluasi terhadap efektivitas kurikulum Matematika sekolah ditinjau prestasi Matematika siswa kelas IV SD dan VIII SMP. Prestasi Matematika siswa terbagi menjadi dua dimensi, yaitu dimensi konten dan dimensi kognitif. Berdasarkan komponen dari literasi Matematika dan prestasi Matematika tersebut, penelitian ini dirancang untuk mengukur kemampuan Matematika siswa SMP Kalimantan Timur dalam menyelesaikan soal model PISA dan TIMSS ditinjau dari masing-masing domain di dalamnya.
76
D. Pertanyaan Penelitian 1.
Bagaimana kemampuan Matematika siswa kelas IX SMP kategori tinggi sedang, dan rendah di Kalimantan Timur dalam menyelesaikan soal model PISA?
2.
Bagaimana kemampuan Matematika siswa kelas IX SMP di Kalimantan Timur dalam menyelesaikan soal model PISA ditinjau dari domain proses, konten dan konteks?
3.
Bagaimana kemampuan Matematika siswa kelas VIII SMP kategori tinggi sedang, dan rendah di Kalimantan Timur dalam menyelesaikan soal model TIMSS?
4.
Bagaimana kemampuan Matematika siswa kelas VIII SMP di Kalimantan Timur dalam menyelesaikan soal model TIMSS ditinjau dari domain konten dan kognitif?
77
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif berupa survei yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi tentang karakteristik suatu populasi berdasarkan temuan-temuan yang diperoleh dari sampel (Ary, Jacobs, Sorensen & Razavieh, 2010). Di dunia pendidikan, penelitian survei sangat membantu dalam membentuk kebijakan pendidikan untuk meningkatkan kondisi yang telah ada (Gall & Borg, 2003). Penelitian ini bersifat dekriptif (Cohen, Manion & Morrison, 2007), yakni penelitian ini mendeksripsikan kemampuan siswa Kalimantan Timur dalam menyelesaikan soal model PISA dan TIMSS ditinjau dari beberapa domain, sehingga tipe pengukuran yang digunakan adalah tes kemampuan siswa.
B. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di SMP yang ada di Kalimantan Timur selama bulan Januari hingga Maret 2017. Kalimantan Timur merupakan provinsi di wilayah Indonesia tengah yang memiliki 10 kabupaten/kota dan 608 SMP baik yang berstatus negeri maupun swasta. Survei terhadap kemampuan siswa SMP dalam menyelesaikan soal model PISA dilakukan kepada siswa kelas IX SMP. Hal ini berdasarkan kriteria sampel untuk penelitian PISA adalah anak usia sekitar 15 tahun (kelas IX SMP atau X SMA). Sedangkan survei terhadap kemampuan siswa SMP
78
dalam menyelesaikan soal model PISA dilakukan kepada siswa kelas VIII SMP, sebagaimana ketentuan dari penelitian TIMSS.
C. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi target penelitian untuk soal model TIMSS adalah seluruh siswa kelas VIII SMP di Kalimantan Timur sebanyak sekitar 50000 siswa. Sedangkan populasi target penelitian untuk soal model PISA adalah seluruh siswa kelas IX SMP di Kalimantan Timur sebanyak sekitar 50000 siswa. Karena ukuran populasi yang sangat besar, maka perlu diambil sampel penelitian. Sudman menjelaskan bahwa ukuran sampel penelitian yang diambil dari populasi berdasarkan prinsip dasar dari penelitian kuantitatif, yaitu 100 sampel pada masing-masing subgrup (Gall & Borg, 2003). Sampel ditentukan dengan tiga tahapan dan menggunakan teknik yang berbeda. Tahap pertama menggunakan nonproportional stratified sampling, yakni penentuan sampel yang sedemikian sehingga diperoleh beberapa subgrup pada populasi yang mewakili sampel secara tepat (Ball & Borg, 2003). Subgrup yang dibentuk berupa level sekolah berdasarkan hasil Ujian Nasional 2016 sekolah pada mata pelajaran Matematika yaitu level tinggi, sedang dan rendah. Masing-masing subgrup memiliki kuota sampel sebanyak 100 orang. Setelah diperoleh subgrup dari populasi, selanjutnya diambil sekolah sebagai sampel dengan teknik convenience sampling (Ball & Borg, 2003), yakni dengan cara setiap level sekolah diambil tiga sekolah yang berada di kota Samarinda dan sekitarnya. Teknik yang kedua dipilih dengan pertimbangan daya jangkau, biaya operasional dan keterbatasan waktu yang
79
dimiliki oleh peneliti. Namun, karakteristik sampel (distribusi jenis kelamin, usia, agama, pendidikan guru dan sebagainya) memiliki derajat kesamaan yang tinggi dengan karakteristik populasi untuk menjamin validitas populasi dan penarikan kesimpulan. Tahapan terakhir menggunakan teknik cluster sampling (Ball & Borg, 2003), yakni diambil satu kelas sebagai sampel pada masing-masing sekolah yang telah terpilih sebelumnya. Langkah-langkah penentuan sampel dalam penelitian ini dijelaskan sebagai berikut. 1.
Mendaftar seluruh SMP Kalimantan Timur baik yang negeri maupun swasta.
2.
Menentukan kategori subgrup sekolah (X) berdasarkan rerata (𝑋̅) dan simpangan baku (s) nilai UN mata pelajaran Matematika pada tahun 2016. Tabel 16. Kriteria Penentuan Level Sekolah (Subgrup) Interval Kriteria Tinggi 𝑋 ≥ 𝑋̅ + 0,5𝑠 ̅ ̅ 𝑋 − 0,5𝑠 ≤ 𝑋 < 𝑋 + 0,5𝑠 Sedang Rendah 𝑋 < 𝑋̅ − 0,5𝑠 (Sumber: Ebel & Frisbie, 1991)
3.
Mengelompokkan SMP berdasarkan kriteria subgrup (level sekolah).
4.
Memilih tiga SMP yang berada di kota Samarinda dan sekitarnya pada masingmasing subgrup.
5.
Mengambil secara acak satu kelas dari SMP yang terpilih sebagai sekolah sampel.
6.
Mengambil seluruh siswa pada kelas sampel sebagai subjek penelitian
Dengan demikian, sampel penelitian yang digunakan sebanyak 300 siswa untuk masing-masing soal model PISA dan TIMSS.
80
D. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan instrumen tes tertulis berupa soal model PISA dan TIMSS. Soal model PISA yang dibuat sebanyak 13 butir (OECD, 2014), sedangkan soal model TIMSS sebanyak 28 butir (Mullis et. al, 2009). Masing-masing instrumen tes dikerjakan oleh siswa selama 45 menit. Jawaban siswa kemudian dikumpulkan, direkap dan diberi skor berdasarkan pedoman penskoran yang telah dibuat sebelumnya. Instrumen tes dikembangkan oleh peneliti berdasarkan frameworks dari PISA dan TIMSS di mana butir soal berbentuk pilihan ganda, isian singkat atau uraian. Instrumen tes untuk mengukur kemampuan menyelesaikan soal model PISA berdasarkan standar PISA yang mencakup domain konten, konteks, dan proses dengan proporsi sebagai berikut. Tabel 17a. Proporsi Soal PISA Berdasarkan Domain Konten Domain Konten Persentase (%) Quantity 25 Change and relationship 25 Space and shape 25 Uncertainty and data 25
Tabel 17b. Proporsi Soal PISA Berdasarkan Domain Konteks Domain Konteks Persentase (%) Personal 25 Occupational 25 Societal 25 Scientific 25
Tabel 17c. Proporsi Soal PISA Berdasarkan Domain Proses Domain Proses Persentase (%) Formulate 25 Employ 50 Interpret 25 (Sumber: OECD, 2013) 81
Sedangkan instrumen untuk mengukur kemampuan menyelesaikan soal model TIMSS berdasarkan domain kognitif dan konten dengan proporsi sebagai berikut. Tabel 18a. Proporsi Soal TIMSS Berdasarkan Domain Konten Domain Konten Persentase (%) Number 30 Algebra 30 Geometry 20 Data and chance 20
Tabel 18b. Proporsi Soal TIMSS Berdasarkan Domain Kognitif Domain Kognitif Persentase (%) Knowing 35 Applying 40 Reasoning 25 (Sumber: Mullis et al: 2009)
E. Validitas dan Reliabilitas Instrumen Validitas instrumen perlu diketahui sebagai pertimbangan apakah instrumen yang dibuat layak digunakan untuk mengukur kemampuan siswa atau tidak. Validitas suatu instrumen tes ditunjukkan dengan bukti validitas, di antaranya adalah validitas isi. Validitas isi merupakan bukti penting yang pertama dan utama bagi suatu instrumen tes (Allen & Yen, 1979). Validitas isi dibuktikan melalui penilaian orang yang pakar di bidang instrumen yang dikembangkan. Pada penelitian ini, instrumen akan dinilai, diberikan saran dan komentar oleh dua orang dosen pascasarjana prodi Pendidikan Matematika Universitas Negeri Yogyakarta sebagai perbaikan berdasarkan kriteria penilaian. Untuk memudahkan proses validasi, peneliti menyusun lembar validasi instrumen tes. Selain validitas, suatu tes juga harus reliabel, artinya pengukuran memberikan hasil yang konsisten atau ajeg. Estimasi reliabilitas dilakukan untuk 82
mengetahui tingkat keajegan instrumen sehingga kesalahan dalam pengukuran dapat diminimalisir. Reliabilitas skor yang dihasilkan instrumen pada penelitian ini diestimasi dengan koefisien Alpha Cronbach, yaitu 𝜌𝑥𝑥′
2 𝜎𝑋2 − ∑𝑁 𝑁 𝑖=1 𝜎𝑌𝑖 ≥𝛼=[ ][ ] 𝑁−1 𝜎𝑋2
Keterangan: 𝛼 = koefisien estimasi reliabilitas 𝑋 = skor amatan 𝜎𝑋2 = varian populasi X 𝜎𝑌2𝑖 = varian popolasi dari komponen ke-i, Yi 𝑁 = banyaknya komponen yang dikombinasikan ke bentuk X (Sumber: Allen & Yen, 1979) Nitko & Brookhart (2011) menjelaskan bahwa standar koefisien reliabilitas suatu instrumen pilihan ganda berada dalam interval 0,85 hingga 0,95; sedangkan untuk instrumen soal terbuka standar koefisien reliabilitasnya dalam interval 0.65 hingga 0.80. Dengan demikian, standar koefisien reliabilitas untuk instrumen ini menggunakan interval 0.65 hingga 0.80 karena bentuk butir soal yang mencakup pilihan ganda, isian singkat dan uraian. Estimasi reliabilitas diperoleh dengan melakukan uji coba instrumen kemudian menganalisisnya menggunakan program SPSS 20.0.
F. Teknik Analisis Data Data yang diperoleh berupa skor siswa dalam menyelesaikan soal model PISA dan TIMSS. Data dideskripsikan menggunakan statistik deskriptif meliputi, rerata, simpangan baku, skor maksimum dan skor minimum. Selanjutnya, dilakukan perhitungan persentase menjawab benar dengan menggunakan rumus
83
𝑃=
∑𝐵 × 100% ∑𝑇
Keterangan: P: persentasi menjawab benar ∑ 𝐵: jumlah skor jawaban siswa yang benar ∑ 𝑇: skor total Selain itu, kemampuan Matematika siswa dalam menyelesaikan soal model PISA dan TIMSS baik secara keseluruhan maupun berdasarkan domain yang terdapat pada PISA dan TIMSS dikonversi berdasarkan kriteria yang dirumuskan oleh Ebel & Frisbie (1991) sebagai berikut. Tabel 19. Kriteria Kemampuan Siswa Berdasarkan Skor Interval Skor Kriteria Sangat Tinggi 𝑀𝑖 + 1,5𝑠𝑖 < 𝑋 ≤ 𝑀𝑖 + 3𝑠𝑖 Tinggi 𝑀𝑖 + 0,5𝑠𝑖 < 𝑋 ≤ 𝑀𝑖 + 1,5𝑠𝑖 Sedang 𝑀𝑖 − 0,5𝑠𝑖 < 𝑋 ≤ 𝑀𝑖 + 0,5𝑠𝑖 Rendah 𝑀𝑖 − 1,5𝑠𝑖 < 𝑋 ≤ 𝑀𝑖 − 0,5𝑠𝑖 Sangat Rendah 𝑀𝑖 − 3𝑠𝑖 < 𝑋 ≤ 𝑀𝑖 − 1,5𝑠𝑖 Keterangan: 1 𝑀𝑖 = rata-rata skor ideal = 2 (skor maksimum ideal + skor minimum ideal) 1
𝑠𝑖 = simpangan baku ideal = 6 (skor maksimum ideal − skor minimum ideal) 𝑋 = skor empiris (Sumber: Ebel & Frisbie, 1991)
Persentase menjawab benar dan kriteria kemampuan siswa digunakan untuk mendeskripsikan kemampuan Matematika siswa dalam menyelesaikan soal model PISA dan TIMSS dengan rincian sebagai berikut 1.
Kemampuan Matematika siswa Kalimantan Timur dalam menyelesaikan soal model PISA dan TIMSS secara keseluruhan
2.
Kemampuan Matematika siswa Kalimantan Timur dalam menyelesaikan soal model PISA dan TIMSS berdasarkan level sekolah (tinggi, sedang dan rendah)
84
3.
Kemampuan Matematika siswa Kalimantan Timur dalam menyelesaikan soal model PISA dan TIMSS berdasarkan domain pada standar PISA (proses, konten dan konteks) dan TIMSS (konten dan kognitif), dibandingkan dengan kemampuan siswa Indonesia berdasarkan PISA 2012 dan TIMSS 2011 dan rata-rata kemampuan internasional
4.
Kemampuan Matematika siswa Kalimantan Timur dalam menyelesaikan soal model PISA dan TIMSS berdasarkan level sekolah (tinggi, sedang dan rendah) ditinjau dari domain pada standar PISA dan TIMSS Selanjutnya dilakukan analisis statistik inferensial untuk menggeneralisir
hasil temuan pada sampel kepada populasi dengan terlebih dahulu dilakukan uji normalitas data. Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan statistik skewness, di mana suatu data berdistribusi normal jika nilai statistik skewness berada dalam rentang ±2,58 (Ghozali, 2013). Jika data telah berdistribusi normal selanjutnya dilakukan uji z dengan rumus sebagai berikut. 𝑧=
𝑥̅ − 𝜂0 𝑠 √𝑛
Keterangan: 𝑥̅ : nilai rata-rata sampel 𝜂0 : nilai yang dihipotesiskan s : simpangan baku sampel n : ukuran sampel (Sumber: Walpole, 1992) Perhitungan uji z dilakukan dengan menggunakan bantuan SPPS dengan kriteria 𝐻0 1
ditolak jika nilai 2 sig(2 − tailed) kurang dari 𝛼(0,05).
85
DAFTAR PUSTAKA
Adams, D. & Hamm, M. (2010). Demystify math, science, and technology. Plymouth: Rowman & Littlefield Education. Allen, M.J. & Yen, W.M. (1979). Introduction to measurement theory. California: Wadsworth, Inc. Anderson, L. W. & Krathwohl, D. R (Eds.). (2001). A taxonomy for learning, teaching and assessing: a revision of Bloom’s taxonomy of educational objectives. New York, NY: David McKay Companny, Inc. Ary, D., Jacobs, L. C., Sorensen, C. et al. (2010). Introduction to research in education (8th ed.). Belmont, CA: Wadsworth. Balitbang Kemendikbud. (2011). Survei internasional PISA. Diambil pada tanggal 23 Juli 2016, dari http://litbang.kemdikbud.go.id/index.php/surveiinternasional-pisa/tentang-pisa Balitbang Kemendikbud. (2011). Survei internasional TIMSS. Diambil pada tanggal 23 Juli 2016, dari http://litbang.kemdikbud.go.id/index.php/surveiinternasional-timss/tentang-timss Brodie, K. (2010). Teaching mathematical reasoning in secondary school classrooms. New York, NY: Springer Science+Business Media, LLC. Budiman, A. & Jailani. (2014). Pengembangan instrumen asesmen higher order thinking skill (HOTS) pada mata pelajaran matematika SMP kelas VIII semester 1. Jurnal Riset Pendidikan Matematika, 1, 139-151. Cohen, L., Manion, L. & Morrison, K. (2007). Research methods in education (6th ed.). New York, NY: Routledge. Dolinar, G. (2015). 56th IMO 2015: country result. Diambil pada 26 Juli 2016, dari https://www.imoofficial.org/year_country_r.aspx?year=2015&column=total&order=desc Dolinar, G. (2016). 57th IMO 2016: country result. Diambil pada 26 Juli 2016, dari https://www.imoofficial.org/year_country_r.aspx?year=2016&column=total&order=desc Ebel, R. L. & Frisbie, D. A. (1991). Essentials of educational measurement. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, Inc.
86
Edo, S. I., Hartono, Y. & Putri, R. I. I. (2013). Investigating secondary school students’ difficulties in modeling problems PISA-model level 5 and 6. IndoMS Journal Mathematics Education, 4, 41-58. Fizriyani, W. (10 Juni 2016). Nilai matematika paling turun pada UN 2016. Republika. Diambil pada 29 Juli 2016 dari http://m.republika.co.id/berita/pendidikan/eduaction/16/06/10/o8k0jf284nilai-matematika-paling-turun-pada-un-2016
Gall, M. D., Gall, J.P., & Borg, W.R. (2003). Educational research: an introduction (7th ed.). Boston, MA: Pearson Education, Inc. Gregory, K. D. & Bankov, K. (2006). Exploring the change in Bulgarian eighthgrade Mathematics performance from TIMSS 1995 to TIMSS 1999. Dalam S. J. Howie & T. Plomp (Eds.), Contexts of Learning Mathematics and Science (pp. 245-264). New York, NY: Routledge. Heppel, S., Chapman, C., Millwood, R., Constable, M. & Furness, J. (2004). 21st century school: learning environments of the future. London: CABE & RIBA. Hergenhahn, B. R. & Olson, M. H. (2012). Teori belajar. (Terjemahan Triwibowo B.S.). Boston: Pearson Education. (Buku asli diterbitkan tahun 2009) Howson, G. (2005). "Meaning" and school mathematics. Dalam J. Kilpatrick, C. Hoyles & O. Skovsmose (Eds.), Meaning in Mathematics Education (pp. 17-38). New York, NY: Springer Science+Business Media, LLC. Hoyles, C. (2005). Making mathematics and sharing mathematics: two paths to coconstructing meaning. Dalam J. Kilpatrick, C. Hoyles & O. Skovsmose (Eds.), Meaning in Mathematics Education (pp. 139-158). New York, NY: Springer Science+Business Media, LLC. Hudson, B. (2008). Learning mathematically as social practice in a workplace setting. Dalam A. Watson & P. Winbourne (Eds.), New Directions for Situated Cognition in Mathematics Education (pp. 287-302). New York, NY: Springer Science+Business Media, LLC. Keitel, C & Kilpatrick, J. (2005). Mathematics education and common sense. Dalam J. Kilpatrick, C. Hoyles & O. Skovsmose (Eds.), Meaning in Mathematics Education (pp. 105-128). New York, NY: Springer Science+Business Media, LLC.Kemendikbud. (2012). Dokumen kurikulum 2013.
87
Kemendikbud. (2016). Permendikbud Nomor 20, Tahun 2016, tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah. Kemendikbud. (2016). Permendikbud Nomor 21, Tahun 2016, tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah. Kemendikbud. (2016). Permendikbud Nomor 22, Tahun 2016, tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah. Kilpatrick, J. & Swafford, J. (Eds.). (2002). Helping children learn mathematics. Washington, DC: National Academy Press. Kuhlthau, C. C., Maniotes, L. K. & Caspari, A. K. (2007). Guided inquiry: learning in the 21st century school. Westport, CT: Libraries Unlimited, Inc. Marsigit, Rizkianto, I. & Murdiyani, N. M. (2015). Filsafat matematika. Yogyakarta: UNY Press. Mullis, I. V. S., Martin, M. O., Foy, P. et al. (2012). TIMSS 2011 international result in mathematics. Chestnut Hill, MA: TIMSS & PIRLS International Study Center. Mullis, I. V. S., Martin, M. O., Ruddock, G. J. et al. (2009). TIMSS 2011 sssessment frameworks. Chestnut Hill, MA: TIMSS & PIRLS International Study Center. NCTM. (2000). Principles and standards for school mathematics. Reston, VA: NCTM, Inc. Nidya Ferry Wulandari. (2015). Kemampuan matematika siswa SMP dan SMA di daerah istimewa yogyakarta dalam menyelesaikan soal model PISA dan TIMSS. Tesis magister, tidak diterbitkan, Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta. Nidya Ferry Wulandari & Jailani. (Mei 2015). Indonesian students’ mathematics problem solving skill in PISA and TIMSS. Makalah disajikan dalam International Conference On Research, di Universitas Negeri Yogyakarta. Nitko, A.J. & Brookhart, S.M. (2011). Educational assessment of students. Boston, MA: Pearson Education, Inc. Noyes, A. (2007). Rethinking school mathematics. London: Paul Chapman Publishing.
88
OECD. (2013). PISA 2012 assessment and analytical framework: mathematics, reading, science, problem solving and financial literacy. Paris: OECD Publishing. OECD. (2014). PISA 2012 result: what students know and can do-student performance in mathematics, reading and science (volume I) (Rev. ed.). Paris: OECD Publishing. Ogura, Y. (2006). Background to Japanese students’achievement in Science and Mathematics. Dalam S. J. Howie & T. Plomp (Eds.), Contexts of Learning Mathematics and Science (pp. 313-334). New York, NY: Routledge. Ozmantar, M. F. & Monaghan, J. (2008). Are mathematical abstractions situated?. Dalam A. Watson & P. Winbourne (Eds.), New Directions for Situated Cognition in Mathematics Education (pp. 103-128). New York, NY: Springer Science+Business Media, LLC. Pimm, D. (1995). Symbols and meanings in school mathematics. New York, NY: Routledge. Pinto, M. & Moreira, V. (2008). School practices with the mathematical notion of tangent line. Dalam A. Watson & P. Winbourne (Eds.), New Directions for Situated Cognition in Mathematics Education (pp. 261-286). New York, NY: Springer Science+Business Media, LLC. Shute, V. J. & Becker, B. J. (2010). Prelude: Assessment for the 21st century. Dalam V. J. Shute & B. J. Becker (Eds.), Innovative Assessment for the 21st Century (pp. 1-12). New York, NY: Springer Science+Business Media, LLC. Skemp, R. R. (1971). The psychology of learning mathematics. Maryland: Penguin Books, Inc. Skovsmose, O. (2005). Meaning in mathematics education. Dalam J. Kilpatrick, C. Hoyles & O. Skovsmose (Eds.), Meaning in Mathematics Education (pp. 83-100). New York, NY: Springer Science+Business Media, LLC. Stech, S. (2008). School mathematics as a developmental activity. Dalam A. Watson & P. Winbourne (Eds.), New Directions for Situated Cognition in Mathematics Education (pp. 13-30). New York, NY: Springer Science+Business Media, LLC. Sutherland, R. (2007). Teaching for learning mathematics. New York, NY: Open University Press.
89
Tossavainen, T & Pehkonen, E. (2013). Three kinds of mathematics: scientific mathematics, school mathematics and didactical mathematics [versi elektronik]. Far East Journal of Mathematical Education, 11, 27-42. Van de Walle, J. A. (2007). Elementary and middle school mathematics. Boston, MA: Pearson Education, Inc. Walpole, R. E. (1992). Pengantar statistika. (Terjemahan Bambang Sumantri). London: Macmillan Publisher. Wardhani, S. & Rumiati. (2011). Instrumen penilaian hasil belajar matematika SMP: belajar dari PISA dan TIMSS. Yogyakarta: PPPPTK Matematika. Watson, A. & Winbourne, P. (2008). Introduction. Dalam A. Watson & P. Winbourne (Eds.), New Directions for Situated Cognition in Mathematics Education (pp. 1-12). New York, NY: Springer Science+Business Media, LLC. Wijaya, A., Heuvel-Panhuizen, M. V., Doorman, M. et al. (2014). Difficulties in solving context-based PISA mathematics tasks: an analysis of students’ errors. The Mathematics Enthusiast, 11, 555-584. Wiwoho, L. H. (25 Januari 2015). Mulai 2016, UN pakai sistem komputer. Kompas. Diambil pada 29 Juli 2016 dari http://edukasi.kompas.com/read/2015/01/25/08000091/Mulai.2016.UN.Pa kai.Sistem.Komputer Yilmaz, G. K., Koparan, T. & Hanci, A. (2016). Determination of the relationship between 8th grade students learning styles and TIMSS mathematics achievement. Journal of Bayburt Education Faculty, 11, 35-58.
90