PROLOG
Samar-samar, dari balik jendela sebuah kamar di lantai empat asrama, salju yang telah membeku membuat engsel-engsel jendela tak dapat dibuka. Butiran demi butiran salju terlihat berjatuhan di atas pucuk cemara juga sudah memutih. Di dalam kamar tersebut, yang gelap karena sengaja dimatikan lampunya, seorang perempuan ber-sweater tebal dengan hidung merah karena flu tengah menyandarkan dahinya yang hangat di jendela. Setiap embusan napasnya yang bersuhu lebih tinggi dari suhu ruangan berubah menjadi kabut di hadapannya. Sebagian lagi menjadi titik-titik embun yang menempel di kaca jendela yang tengah disandarinya itu. Di dadanya, sebuah berkas dibungkus amplop cokelat yang ujung-ujungnya terlipat, ia peluk erat-erat. Berkas yang dari tadi siang diabaikan dan tidak dihiraukannya itu kini benar-benar mengimpitnya, membuatnya sesak. Dengan pandangan kosong, ditatapnya tempat tidur di seberang ranjang yang sedang di dudukinya. Di sana, teman sekamarnya tengah terlelap tenang dengan dada naik turun seirama napasnya yang teratur. Getaran handphone, yang entah berada di mana, di atas ranjangnya, menyadarkannya dari lamunan. Sebuah SMS baru masuk. Dengan malas, dicarinya handphone itu. Halaman yang menampilkan e-mail yang tengah dibukanya beberapa jam lalu dan tidak ia balas terpampang di layar handphone.
From
:
[email protected]
Subject : ...
Gimana flunya? Masih? Di sini cuaca gak tentu... Parah... Pulang tanggal berapa? Orang-orang pada kangen... (Gue khususnya... hehehe...)
Tanpa membaca ulang e-mail itu—apalagi membalasnya—si perempuan me-log-out akunnya dan menutup beberapa aplikasi sebelum membuka pesan singkat baru yang diterimanya.
From : ibuku
Geulis, gimana flunya? Udah baikan?
Jika saja pesan tersebut diterimanya 24 jam yang lalu, maka ia akan merasa sangat senang. Namun kini, yang ia rasakan hanya setumpuk rasa bersalah dan penyesalan yang menjadi-jadi. Betapa hati bisa dengan mudah berganti suasana karena sebuah peristiwa. Sambil menyimpan handphone, ditariknya napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Dia menyandarkan kepalanya yang berat ke dinding. Andai sebuah masalah bisa dihitung dalam satuan massa, entah berapa ratus kilogram telah membebani kepalanya. Sudah beberapa menit ia diam dalam posisi seperti itu. Mematung. Namun rasa bersalah, sedih, dan sesal belum juga hilang. Seperti kacang hijau yang berkecambah, lama-lama kecambah itu semakin besar dan merambah mencari ruang sampai ke dadanya. Setetes air keluar dari matanya, meluncur bebas ke pipinya yang pucat. Butiran air mata tersebut disusul oleh butiran-butiran lain yang tak bisa ditahannya. Dia menggigit bibir bawah, berusaha menahan isakan-isakan kecil yang keluar dari mulutnya, takut mengganggu tidur lelap teman sekamarnya.
She is Kaila
Sebuah bus kota sarat penumpang berhenti di halte, di depan sebuah SMA. Halte sesak oleh pelajar berseragam putih abu-abu yang sedang menunggu bus, plus yang sedang nongkrongnongkrong. Beberapa saat kemudian, bus pergi meninggalkan halte, meninggalkan asap hitam pekat. Setelah asap menipis, yang tersisa di sana hanya segerombolan murid perempuan yang sedang berceloteh seperti burung parkit; seorang murid laki-laki berkacamata tebal, seorang murid perempuan berponi pagar dan seorang murid perempuan dengan rambut panjang terurai. Si perempuan berambut panjang memperhatikan murid berponi itu yang duduk jauh di sebelah kanan, dengan penuh minat dari ujung kepala sampai kaki. Ada yang menarik, entah apa. Menyadari sedang diperhatikan, si perempuan berponi menatap perempuan berambut panjang yang cepat-cepat memalingkan mukanya. Si perempuan berambut panjang memandang jam tangannya, berharap orang yang sedang ditunggunya segera datang dan membawanya pergi dari keadaan canggung tersebut. Tak lama kemudian, sepeda motor merah yang dikendarai seorang laki-laki berseragam putih abu-abu berhenti di depan halte tersebut. Bukan untuk menjemput si perempuan berambut panjang, karena si laki-laki menyodorkan helm kepada si perempuan berponi yang bergegas menghampirinya. Mereka pun pergi. Si perempuan berambut panjang memperhatikan kepergian mereka dari sudut matanya. Ketika mereka tidak terlihat lagi, ia mulai berkutat dengan lamunannya sampai sebuah Picanto berhenti di depannya dan pengendaranya membunyikan klakson. Ia segera masuk dan duduk di kursi depan, di sebelah perempuan setengah baya yang terlihat masih segar dan menarik. "Maaf, Ibu telat," ujarnya dari balik kemudi. "Gimana rapornya?" lanjutnya sambil memajukan mobil perlahan. "Bagus," ujar singkat si perempuan berambut panjang. Ia tidak suka membicarakan nilai. Ibunya tersenyum dengan pandangan lurus ke depan. Hening sejenak. "Sekarang Ibu antar kamu ke bengkel, setelah itu Ibu kembali lagi ke toko. Bintang, nggak apa-apa kan pulang sendiri?" lanjut sang ibu. "Iya," ujarnya pelan, pikirannya sibuk mencari-cari bayangan perempuan berponi tadi.
******
Dua kotak kardus berada di pelukan Bintang. Ia berdiri di depan pintu, di sebelah deretan pintu yang tertutup. Sebuah kardus terletak di sebelah kaki ibunya yang sedang memasukkan kunci. Pintu terbuka. Bintang langsung masuk, disusul ibunya yang menyeret kardus. Dua kardus di pelukan Bintang kini sudah terletak di lantai. Bintang sedang memijat-mijat lengannya yang pegal ketika ibunya duduk di atas ranjang berukuran single di sebelahnya. "Ini kosannya. Deket banget ke kampus kamu," ujar sang ibu sambil menghempaskan tubuhnya di tempat tidur dan menghembuskan napas lega. Lega karena akhirnya sampai di tempat yang dituju setelah lima jam mengemudi dengan penuh stres karena macet. Bintang mengedarkan pandangannya di ruangan bercat putih tersebut. Sebuah ranjang berada di sebelah jendela yang lumayan besar. Meja rias dan lemari berada di sisi dinding yang lain. Di bagian lain ruangan itu terdapat juga sebuah sofa cokelat kecil, berhadap-hadapan langsung dengan meja yang menempel ke dinding dengan TV di atasnya. Terlalu mahal, pikir Bintang. "Gimana, Bintang?" tanya ibunya. "Bagus, Bu," ujarnya singkat. Senyuman tergambar di wajah awet muda ibunya. "Kalau gitu kita lihat kamar mandi dan pantry-nya." Sang ibu sambil menarik Bintang ke pintu yang berada di ujung tempat tidur—tembus langsung ke ruang pantry. "Biar bisa masak sendiri," lanjut Ibu sambil menyalakan keran di tempat cuci piring. Hanya mengecek. Bintang, yang berdiri di depan pintu toilet, merasa kosannya terlalu mewah untuk ukuran seorang mahasiswa. Terlalu berlebihan. Dia menatap ibunya ragu-ragu, sementara jarinya mengggesek-gesek permukaan meja pantry yang mengilat. "Pasti kosan ini mahal sekali. Gimana kalau cari yang lebih... murah aja?" tanyanya pelan. Ibunya hanya tertawa. "Kamu mau pindah?" "Nggak perlu mewah-mewah lah. Yang lebih kecil daripada ini juga nggak apa-apa," ujar Bintang. "Kosan ini sudah dibayar." Bintang merasakan tangan ibunya menyentuh lembut bahunya, seolah memberi tanda supaya dia tidak banyak membantah. "Lagi pula, repot kalau kita harus
ngangkat-ngangkat barang lagi." Ibunya tersenyum. "Yang penting, kamu tak boleh lupa pulang ke Bandung."
*****
Penerimaan anggota himpunan baru dibuka. Yang ingin ikut silakan terima tantangannya. Yang tidak ingin ikut silakan jadi mahasiswa kupu-kupu, alias kuliah-pulang-kuliah-pulang. Bintang tidak terlalu suka himpunan, tapi ia lebih tidak suka lagi menjadi bukan siapa-siapa. Jadilah ia terdampar di sebuah perkemahan dalam acara penerimaan anggota baru tersebut. Di salah satu petak perkemahan, empat perempuan sedang berkutat dengan sebuah tenda. Mengira-ngira bagaimana mendirikannya. Seumur hidup, Bintang—salah satu dari empat perempuan tersebut—belum pernah berkemah. Berbeda dengan beberapa laki-laki yang berada tak jauh dari petak perkemahan mereka. Mereka seperti tak menemui kesulitan mendirikan tenda dalam waktu singkat. Sekarang mereka beristirahat di depan tenda kebanggaan yang suddah berdiri itu, mengawasi para perempuan yang masih saja heboh sendiri dengan tenda yang tak kunjung jadi. Mereka tertawa-tawa. Bintang, yang tadinya berdiri membelakangi mereka, akhirnya panas sendiri. Tanpa sepengetahuan orang-orang itu, tangannya meraup segenggam lumpur, melemparkan asal ke arah kelompok laki-laki. Kena laki-laki yang sedang memegang gitar, tepat di mukanya. Baik teman-teman Bintang maupun teman laki-laki yang malang itu sama-sama terdiam. "Jika kalian memang tak ada niat membantu, berhentilah tertawa," ujar Bintang angkuh. "Lo lempar lumpur ke orang yang salah," ujar laki-laki itu dingin sambil membersihkan pipinya yang terkena lumpur dengan tangan. "Buang-buang waktu saja buat ngetawain kalian." Ucapannya tenggelam di suara tawa teman-temannya.
*****
Bintang berlari di koridor sekolahnya yang sepi. Setiap entakan langkah kakinya yang memantul di lantai terdengar ke kelas-kelas yang dilewatinya. Ini hari pertamanya masuk di tahun ajaran baru, kelas tiga. Di depan pintu bercat hijau dengan tulisan '3 IPA 2' di atasnya, ia berhenti. Dibukanya pintu berat itu. Sedikit gelisah akan omelan wali kelasnya yang baru, Bintang masuk ke kelas. Suara ribut seketika menyergap telinganya ketika ia masuk. Anak-anak sedang berceloteh dan berjalan ke sana-sini. Ternyata, belum ada guru yang masuk. Bintang bernapas lega. Tak ada yang menyadari kehadirannya di kelas tersebut. Semuanya sibuk sendiri-sendiri. Bintang mengedarkan pandangannya mencari bangku kosong. Sepertinya semua bangku sudah terisi penuh. Dilihatnya sebuah meja di deretan ketiga dari kiri, kedua dari belakang, diduduki oleh seorang perempuan. Kursi di sebelahnya kosong. Hati Bintang mencelos. Ia mengenali orang itu. Diedarkan pandangannya sekali lagi. Berharap masih ada bangku yang kosong selain bangku tersebut. Sayangnya tidak ada. Bintang melangkah menuju satu-satunya kursi yang masih kosong itu dengan perasaan waswas yang tidak ia mengerti. Beberapa orang memandangnya dan melemparkan senyum ketika ia lewat. Yang lainnya tidak peduli. Akhirnya, setelah perjalanan empat meter yang terasa satu kilometer, Bintang sampai di depan meja yang dituju, tempat seorang perempuan berponi pagar dengan rambut dikucir duduk sendirian. Tak sepert anak-anak laindi kelas tersebut yang mulai bersosialisasi dengan penghuni bangku tetangga, perempuan cantik berponi itu hanya duduk diam dan memandang yang lainnya dengan bosan. "Sorry, kursi sebelahnya kosong?" tanya Bintang. Perempuan berponi pagar mengalihkan pandangannya pada Bintang. Angkuh seperti kucing, pikir Bintang. "Kosong." Perempuan itu menjawab datar. "Aku belum punya teman sebangku," lanjutnya sambil memiringkan badan agar Bintang bisa melewatinya untuk duduk di kursi sebelah. Bintang melewatinya sambil sekilas melirik kursi yang diduduki seorang laki-laki jangkung bermata sipit. Laki-laki itu yang sedang asyik menggambar anime. "Thanks," jawab Bintang. Ia menaruh tas di atas meja yang baru dicat untuk menutupi jejak-jejak vandalisme siswa yang terlalu kreatif. Si perempuan berponi hanya duduk diam, memperhatikan orang-orang di sekelilingnya dengan pandangan bosan. Sangat pendiam, pikir Bintang. "Aku Bintang." Bintang mengulurkan tangannya.
"Kaila." Perempuan itu menjabat tangan Bintang. Desiran aneh melintasi dada Bintang, seolah menyedot semua suara bising di sekitarnya. Bintang segera menarik tangannya dan mulai menyibukkan diri dengan mengaduk-aduk isi tas. Kaila sepertinya tak merasakan apa pun; ia hanya kembali memandangi sekitarnya dengan tatapan bosan.
*****
Tengah hari, matahari tepat berada di atas ubun-ubun dan memaksa pori-pori untuk mengeluarkan lebih banyak keringat. Bintang berjalan di koridor kampusnya dengan gitar akustik di punggungnya. Gitar tersebut dipinjamnya dari Dewa untuk mengiringi presentasi kelompoknya di salah satu mata kuliah tadi pagi. Koridor yang Bintang lewati dipenuhi oleh mahasiswa yang memilih duduk-duduk bersandar ke dinding. Mereka menunggu kelas siang itu dimulai sambil mengipas-ngipaskan kertas, berharap angin menghampiri. Langkah-langkah Bintang yang cepat—karena ingin segera keluar dari kampus dan bertemu Dewa untuk mengembalikan gitarnya—sedikit melambat ketika ia tiba di depan sebuah kelas. Bintang melambatkan langkahnya, bukan karena terhalang laki-laki yang malang melintang di depannya, tetapi karena salah satu mahasiswa yang duduk-duduk di sana adalah orang yang pernah dilempari lumpur olehnya saat perkemahan, yang kemudian ia ketahui bernama Noval. Sudah setahun berlalu sejak kejadian tersebut, tetapi perang dingin masih berlangsung di antara mereka. Bintang sebenarnya malu karena merasa telah berbuat salah dan ingin minta maaf. Namun, ego dan meminta maaf memang dua hal yang bertabrakan. Sampai sekarang, Bintang selalu menghindari berpapasan dengan Noval selagi bisa. Ketika Bintang menyadari bahwa ia harus berjalan melewati Noval, otaknya menyuruhnya untuk berbalik arah. Sayang sekali, dari sudut matanya, ia melihat Noval sudah melihatnya datang. Akan sangat memalukan jika Noval tahu ia menghindarinya. Akhirnya, Bintang memaksakan diri untuk berjalan melewati Noval. Kelegaan muncul setelah Bintang melewati Noval yang tak mengacuhkannya. Dengan segera, Bintang kembali mempercepat langkahnya dan berbelok ke kantin tempat Dewa menunggunya. Di kantin yang ramai karena saat itu jam makan siang, Bintang mencari-cari Dewa. Akhirnya, sosok yang berkulit coklat eksotis dan terlihat seperti Marcell KW-2 itu terlihat sedang duduk
berhadapan dengan seorang perempuan berambut panjang terurai—seperti gadis-gadis di iklan sampo—di meja pojok. Bintang segera menghampirinya. "Hei, Wa," ujarnya saat tiba di meja Dewa. "Eh, Bintang. Udah selesai?" Dewa menyapa seraya mengaduk batagor kuahnya. "Udah," jawab Bintang sambil melepaskan gitar dari punggungnya. "Kenalin, ini Marsha." Dewa memperkenalkan perempuan di hadapannya. "Bintang." Bintang menjabat tangan Marsha. Sejenak Bintang mengagumi tangan lentik Marsha yang halus. "Marsha." Perempuan tersebu memperkenalkan diri. Saat itu, selain mengagumi tangan Marsha, Bintang juga mengagumi Marsha yang sanggup membiarkan rambutnya terurai di udara sepanas itu. Rambutnya sendiri sudah digulung sedemikian rupa agar tidak terasa gerah. "Nih gitarnya. Presentasinya sukses." Bintang menyodorkan gitar pada Dewa, "Thanks, ya." "Sip." Dewa menerima gitarnya dan menyimpannya di bangku panjang yang didudukinya. "Makan dulu, yuk?" "Nggak, ah. Hari ini Ibu dateng ke kosan." Bintang menyeka dahinya yang berkeringat. Tumbuh di Bandung yang berudara dingin membuatnya tersiksa ketika harus beraktivitas di tengah hari pada musim kemarau di Jakarta. "Oh, lagi ada kunjungan." Dewa tertawa menyebalkan. Ia tahu Bintang akan kerepotan karena harus menyembunyikan cadangan makanan instan yang ia stok di kosannya. Sang ibu sangat memperhatikan kesehatan anaknya. "Iya. Ya udah, pergi dulu ya. Udah telat." Bintang pamit pada keduanya. "OK. Hati-hati," ujar Dewa. Marsha hanya melemparkan senyum manis. "Thanks." Bintang segera pergi meninggalkan mereka berdua. Tidak tahan berlama-lama diam di dalam ruangan yang bising, pengap, dan panas tersebut, walaupun ada bidadari di dalamnya.
*****
Dua telur masuk ke teflon panas yang diletakkan di atas api, membentuk telur mata sapi setengah matang. Setelah pinggirannya berwarna cokelat, masing-masing telur berpindah ke atas nasi di atas piring putih yang dipegang Bintang. Dengan dua tangannya, ia membawa dua piring tersebut keluar dari pantry. "Ibu belum makan siang, ya? Cuma ada ini," ujar Bintang sambil memberikan satu piring ke ibunya yang terlihat sangat lesu dan tegang. Bintang menduga-duga sesuatu sedang terjadi karena sejak datang satu jam yang lalu ibunya diam saja. Bahkan ia tidak memeriksa lemari tempatnya menyimpan mi instan, bubur instan, dan minuman serbuk instan. Nasi dan telur mata sapi di piring Bintang sudah hampir habis, tetapi makanan di piring ibunya belum tersentuh sama sekali. "Kok, nggak dimakan?" tanya Bintang heran. Ibunya diam saja dan duduk dengan gelisah di tempatnya. "Sebentar." Bintang beranjak ke pantry. Tak lama kemudian ia kembali dengan dua kotak jus, meletakkan yang satu di meja dan memegang yang satunya. "Ibu, ada apa?" tanya Bintang pada ibunya yang sedang menusukkan sedotan ke kotak jusnya. "Toko kita kebakaran. Semuanya habis." Suara ibunya bergetar ketika mengatakannya. Bintang tak percaya dengan apa yang di dengarnya. Untuk sesaat, jantungnya seakan berhenti berdetak. "Toko kita diasuransiin, nggak?" tanyanya buru-buru. Ibunya menggeleng. Tubuh Bintang langsung lemas. Satu-satunya sumber pendapatan keluarganya lenyap. "Ibu sudah ambil semua tabungan untuk membangun toko kita." Ibunya berhenti sejenak. Ia tampak lebih rileks setelah mengatakan keadaan yang sebenarnya. "Ibu juga sudah menjual mobil untuk membeli barang, dan..." Ia terdengar ragu, "Mobil yang sekarang kamu pakai juga mau Ibu jual buat nutupin kekurangannya. Bintang, sepertinya kamu harus pindah ke kosan yang lebih murah karena beberapa bulan ini kita defisit. Nggak ada pemasukan sama sekali." "Oke, nggak apa-apa. Nggak masalah," sahut Bintang, "tapi rumah kita nggak perlu dijual, kan?" "Nggak. Tentu saja nggak," jawab ibunya. Bintang bernapas lega. Setidaknya dia masih memilki rumah untuk pulang dan tak kehilangan tempat penuh kenangan bersama ayahnya ketika beliau masih hidup. "Bu..." Bintang memandang ibunya. Ia baru sadar, ibunya terlihat kurus. Wanita itulah yang menanggung tanggung jawab berat atas dirinya dan menghadapi semuanya sendirian. Bintang meraih tangan ibunya. "Semuanya pasti akan baik-baik aja," ujarnya.
Ibu tersenyum. "Ayo makan dulu. Habis itu kita jalan-jalan sore. Siapa tahu Ibu dapet temen kencan buat refreshing," ujar Bintang sambil tertawa. "Halah. Kalau sekeren ayahmu bolehlah," balas ibunya yang sudah sedikit melepaskan ketegangannya.
Es yang Meleleh
Kantin kampus setelah jam makan siang terlihat lengang dan sepi. Beberapa menu sudah habis, sisanya tidak begitu menggairahkan lagi. Dari banyaknya meja yang berjejer, hanya beberapa meja yang ditempati, membuat para karyawan yang bekerja di sana bisa bersantai sejenak sebelum mulai berberes untuk pulang. Di salah satu meja dekat pintu, Bintang sedang menghamparkan koran pagi yang belum sempat dibacanya. Kali ini, tidak seperti biasanya, Bintang meloncati berita dan langsung membaca kolom ikan. Dengan cekatan, matanya tertuju ke kolom lowongan pekerjaan. "Nyari lowongan, ya?" Mei yang baru datang dengan sepiring nasi dan gado-gado duduk di hadapan Bintang. "Ya." Sejenak Bintang melirik Mei sebelum kembali ke korannya. "Gado-gado tuh nggak cocok buat diet," lanjutnya tanpa memandang Mei. Ia heran, Mei yang sudah memiliki badan proposional masih ingin menurunkan lagi berat badannya. "Gue nggak jadi diet. Gue berencana jadi vegetarian aja." Mei menyuapkan sesendok sayuran yang disiram kuah kacang penuh kolesterol tersebut ke mulutnya. "Lo ngapain nyari kerja lagi? Kan udah dapet job ngajar. Nggak repot, tuh?" tanya Mei setelah menelan gado-gadonya. "Nyari yang part-time lagi." Bintang menjawab singkat. Dengan jari ditelusurinya kolom lowongan pekerjaan yang sebagian besar mencari penjahit partai dan kapster salon itu. Sayang sekali, Bintang tidak berbakat di keduanya. Iklan-iklan yang lain pun hanya berisi pekerjaan yang tak masuk akal dan terlalu mengada-ada, seperti casting film atau iklan bertopeng lowongan pekerjaan yang sebenarnya hanya memanfaatkan kekurangan informasi dari beberapa orang yang sedang gelisah mencari peruntungan untuk meningkatkan pengunjung website-nya demi mendulang rupiah. "Blogger tak profesional," gumamnya. Bintang tersenyum kecut dan kembali membaca iklan yang lain. Setelah beberapa saat menelusuri iklan, akhirnya Bintang menghentikan jarinya ketika menemukan iklan yang cukup pantas untuk dicoba. Iklan lowongan pekerjaan part-time untuk sebuah franchise ayam goreng tepung yang tak terlalu jauh dari kosan barunya.
*****
Bintang berjalan tergesa-gesa menuju gedung serbaguna. Ia hendak menghadiri seminar yang diadakan UKM Fotografi dengan Dewa sebagai ketua pelaksananya. Fotografi sebenarnya bukan hal yang terlalu menarik bagi Bintang. Namun, karena tidak ingin kesetiakawanannya dipertanyakan, ia setuju untuk datang tanpa berdebat ketika Dewa menawarkan free pass dengan menggebu-gebu. Saat hendak menuju meja penerimaan tamu, dari ujung matanya Bintang melihat Noval. Cowok yang sedang memegang gitar itu berbicara serius dengan beberapa temannya, seperti membahas sebuah masalah. Salah satu dari mereka sedang sibuk menelepon ketika Bintang tak sengaja bertemu pandang dengan Noval yang cepat-cepat memalingkan muka dan kembali bicara pada temannya. Dua perempuan berseragam kaus warna hitam dan pink menyambut Bintang dengan senyum manis. Bintang menandatangani buku tamu. Ketika hendak beranjak dari meja tamu, ia mendapati Noval sudah berdiri di sebelahnya. "Bintang? Bisa ngomong sebentar?" tanya Noval. Bintang yang bertanya-tanya apa tujuan Noval mengangguk saja dan mengikuti Noval menemui teman-temannya. Ia merasa canggung berada di antara Noval dan teman-temannya. "Bintang, ya?" tanya salah satu teman Noval yang bertubuh kurus dan tinggi yang berdiri di sebelah temannya yang berbadan gemuk. "Iya." Bintang menjawab singkat. "Gini, Bintang, pemain drum kita kena musibah. Terus teman-teman yang lain lagi pada mudik, kalaupun ada terlalu mepet buat dateng ke sini..." Ia berhenti sebentar. "Lo mau nggak bantuin kita?" tanyanya. "Aku nggak bisa main drum," ujar Bintang cepat-cepat. "Maksud gue, lo yang main gitar, Noval yang main drum. Dia bilang pernah liat lo main gitar. Mau, nggak? Kita bawain lagu populer kok, bukan lagu band kita." Bintang melirik Noval yang berdiri di sebelahnya. 'Kapan dia liat gue main gitar? Kalo liat bawa gitar sih iya,' batinnya.
"Oke, deh. Tapi dapet bagian, ya?" ujarnya setengah bercanda. Mereka semua terlihat lega walau si laki-laki berbadan gemuk tampak ragu. "Sip, lah," sahut mereka. "Yuk, latihan." Noval mengajak Bintang mengikuti mereka ke ruang persiapan.
*****
Gitar di tangan Bintang terasa licin karena keringat dingin, tanda demam panggung. Bintang menatap ratusan penonton di hadapnnya. Seumur hidup ia tak pernah tampil di panggung bersama sebuah band. Di ujung panggung, dilihatnya Dewa menatapnya sambil terheran-heran. Alih-alih berada di deretan penonton, ia berada di stage bersama Noval dan teman-temannya sambil memegang gitar. Bintang tersenyum kecil. Teman Noval yang kurus dan ternyata vokalis band tersebut membuka penampilan mereka dengan berbasa-basi. Pertunjukan pun dimulai. Bintang yang merasa berada di dunia lain mulai memetik gitarnya. Tiga lagu dimainkan. Lagu pertama baik-baik saja. Lagu kedua terpeleset di beberapa bagian, tapi tak ada yang menyadari. Lagu ketiga dibawakan dengan baik walau harus berusaha keras mengingat kunci-kunci gitarnya karena lagu 'Life is a Rollercoaster' dari Ronan Keating bukan lagu yang familier di telinganya. Kelegaan yang hangat menjalar di badan Bintang setelah semuanya selesai dan mereka kembali ke panggung. Semua berjalan baik walaupun permainan Bintang masih jauh dibandingkan dengan permainan Noval.
*****
Bintang menenggak cola sambil bersandar ke dinding di luar gedung serbaguna karena keadaan di dalam terlalu panas dan sibuk. Membuatnya pusing. Noval berjalan cepat menghampiri Bintang. "Kita semua nyariin kamu. Dikirain ke mana," ujar Noval. "Oh, di dalem panas," jawab Bintang. Kecanggungan dan perang dingin yang dilancarkan sejak PAB tahun lalu akhirnya mencair. "Oh ya, Val." Bintang menatap Noval yang kini ikut bersandar santai ke dinding. "Inget kejadian waktu kemping?" tanya Bintang malu-malu. "Nggak mungkinlah gue lupa. Gue nggak pernah dilemparin lumpur." Noval tertawa mengingat betapa kesalnya ia saat itu. "Well, gue minta maaf, ya," Bintang menyampaikan apa yang sudah lama ingin dikatakannya tapi terhambat gengsi. Noval hanya tersenyum. "Hei, kalian." Laki-laki kutilang yang memperkenalkan diri sebagai Regi menghampiri mereka, disusul dua anggota band lainnya, Rizky dan Tio. "Makan, yuk," ajak Regi, yang kemudian ditolak Bintang secara halus karena ia akan mengikuti seminar. Dewa pasti akan kecewa jika Bintang menelantarkan free pas yang diberikannya.
Bukan Sesuatu yang Wajar
Guntingan kertas, pensil warna dan beberapa alat tulis lainnya terhampar di atas karpet tempat Kaila berbaring menelungkup. Ia asyik menghiasi tugas portfolio Bahasa Inggris. Tak jauh darinya, Bintang duduk menyandar ke tempat tidur dengan laptop di pangkuannya. Alih-alih menghiasi portfolio-nya dengan cara manual seperti Kaila, ia menghiasinya dengan gambargambar yang sudah ada. Ia sangat bodoh dalam menggambar. "Argh, kok nggak selesai-selesai, sih," keluh Kaila yang kini memijat-mijat tangannya yang pegal. Bintang mengalihkan pandangannya dari laptop. "Ya iyalah, ini kan tugas selama satu semester, Kai. Lagian kamu kerajinan amat ngehias pake ngegambar," ujarnya kepada Kaila yang sepertinya sudah bosan mengerjakan tugasnya. Kaila hanya tidur-tiduran dalam posisi menyamping sambil memainkan pensil warna yang bertebaran di sisinya. Bintang ikut-ikutan berhenti mengerjakan tugasnya dan menghampiri Kaila. Bintang memperhatikan lembaran-lembaran tugas yang sudah dikerjakan Kaila. Lembaranlembaran tersebut berisi tulisan rapi Kaila yang dihiasi anime buatannya yang halus. Dalam menggambar, manusia di dunia ini terbagi dua, yang pandai menggambar dan yang tak pandai menggambar. Jika Bintang tanpa ragu termasuk golongan kedua, maka Kaila jelas-jelas termasuk golongan pertama. "Gambar kamu bagus, Kai. Lebih halus dari gambar si Daniel," ujar Bintang yang masih memperhatikan gambar-gambar di lembaran tugas Kaila. Sepertinya Kaila lebih serius menggambari tugasnya daripada mengerjakan isi tugas itu sendiri. "Masa, sih? Daniel mana?" Kaila ikut-ikutan memperhatikan lembaran tugasnya yang dipegang Bintang. "Ya ampun Kai, Daniel yang jangkung, putih, sipit, duduk di belakang kita. Udah mau satu semester masih belom hafal temen sekelas juga," ujar Bintang heran. Kadang sikap Kaila yang tidak acuh dan tertutup membuat Bintang berpikir ia menderita austisme ringan atau setidaknya apatis kronis. "Oh." Kaila merespons singkat. "Oiya kamu jadi nginep nggak?" tanya Kaila. Bintang melihat jam berwarna biru di dinding kamar Kaila yang berwarna pink dan benarbenar seperti kamar Barbie.
"Jadi. Nanggung, udah pukul sepuluh malem," jawabnya. Ditaruhnya lembaran tugas Kaila dan kembali ke laptop-nya. Handphone Bintang berbunyi. Sebuah SMS masuk. Ucapan selamat malam dari Kevin, orang yang sudah hampir sembilan bulan menjadi pacarnya. Karena Bintang merasa SMS itu tidak memerlukan balasan, ia menaruh kembali handphone-nya. Tanpa sengaja, ia melihat Kaila yang duduk menatapnya aneh. "Dari pacar kamu, ya?" tanya Kaila dingin. Bintang mengangguk pelan sambil bertanya-tanya apa salahnya. Kaila beringsut menjauh darinya dan kembali mengerjakan portfolionya dalam diam.
*****
Kamar bercat pink yang mirip kamar Barbie itu kini tak terlihat jelas warnanya karena kekurangan cahaya. Cahaya hanya datang dari lampu kecil yang terletak di atas meja di pinggir tempat tidur. Setelah mencuci muka dan mengganti baju dengan piyama milik Kaila, Bintang menutup pintu kamar mandi di belakangnya. Dengan canggung ia naik ke tempat tidur yang berseprai pink pucat dan merebahkan dirinya di sisi kanan ranjang. Sisi kiri ditempati Kaila yang masih diam seribu bahasa dengan wajah menghadap dinding. "Kai." Perlahan Bintang mengguncang bahu Kaila yang tak tertutup karena ia menggunakan atasan tanktop biru tua. "Kamu marah, ya? Aku salah apa, Kai?" tanya Bintang pelan. Tak ada respons dari Kaila. Bintang yang merasa tak enak kembali merebahkan badannya dan memandang punggung Kaila yang naik turun seiring embusan napasnya. Tanpa diduga, Kaila membalikkan tubuh dan menatap wajah Bintang yang tepat berada di depannya. Entah dari mana datangnya, desiran yang Bintang rasakan saat pertama kali menjabat tangan Kaila kembali melintas. "Bintang." Kaila menatap Bintang dengan sungguh-sungguh. Bintang diam saja. Selain ingin mendengar apa yang akan dikatakan Kaila, ia juga sibuk mengamati mata Kaila yang terlihat seperti buah zaitun yang melancip sempurna di ujungnya.
"Aku sayang kamu. Aku nggak pernah ngerasain ini sebelumnya. Ke cowok aku juga rasanya nggak kayak gini," ujar Kaila lirih setelah pertarungan sengit antara kelaziman dan perasaan di dalam dirinya dimenangi oleh kenyataan yang ia rasakan. Bintang yang tak menyangka Kaila akan mengatakan itu terdiam sejenak sebelum euforia yang bagaikan gebyar kembang api berpindah ke hatinya.
*****
Saat itu pukul tiga sore. Sebuah restoran franchise ayam goreng tepung sarat pengunjung karena pada jam-jam tersebut ada program paket hemat. Bintang yang bekerja paruh waktu di restoran tersebut sedang sibuk di belakang counter, melayani pengunjung. Seorang perempuan bercelana pendek memesan dua paket hemat. Di belakangnya mengantre seorang laki-laki. "Noval? Mau pesen apa?" tanya Bintang saat melihat laki-laki yang akan memesan. "Paket hemat aja, dua," jawab Noval yang tak menyangka akan bertemu Bintang di sana. Karyawan yang lain mengambilkan pesanan sementara Noval mengeluarkan dua lembar uang sepuluh ribuan. Setelah Noval dan temannya memperoleh pesanan mereka dan mendapatkan kembalian, mereka berjalan menuju satu-satunya meja yang masih kosong. Baru beberapa langkah beranjak dari counter, Noval kembali lagi, menghampiri Bintang. "Tiap malam Kamis band gue main di Cafe Taman," ujar Noval. "Mau dateng?" "Gue kerja sampai malam, Val. Sorry." Bintang memberikan kode dengan matanya bahwa di belakang Noval ada orang yang ingin memesan. "Oh, OK." Noval berjalan menuju meja yang sudah ditempati Regi.
*****
Dua perempuan itu memiliki tinggi badan yang hampir sama dan sama-sama memakai baju putih abu-abu. Yang satu dikucir kuda, yang satunya lagi menggerai rambutnya yang sedikit ikal di bagian ujung. Keduanya bergandengan tangan. Bukan naluri persahabatan perempuan, melainkan nafsu manusia yang ingin dekat dengan manusia lain yang cocok feromonnya. Keduanya berjalan melewati pertokoan yang memajang banyak barang berkilauan, sesekali menertawakan model pakaian yang aneh dan hanya cocok digunakan di atas catwalk, bukan di dunia nyata. Perempuan yang dikucir kuda menarik lengan perempuan yang digandengnya, yang sedang asyik membaca iklan salon yang diskon 50%, ke sebuah photo box.
*****
Perempuan yang dikucir kuda dan berponi itu tengah memperhatikan foto-foto di tangannya. Melihatnya dari berbagai sudut. Perempuan yang duduk di sebelahnya ikut memperhatikan fotofoto yang dipegangnya. Lagu 'Technicolor' dari Paloma Faith mengalun sayup dari tape sebuah Swift ungu yang terparkir di basement mall. "Bintang, yang ini bagus, nih." Bintang, perempuan yang rambutnya tergerai, mencondongkan badan untuk melihat foto yang dipegang perempuan berponi pagar. "Iya, bagus. Kalau kamu mau, yang itu buat kamu aja, Kai," ujarnya pada Kaila, perempuan yang berponi pagar. Kaila hanya tersenyum dan melihat foto-foto yang lain. Bintang tak terlalu berminat memperhatikan foto secara detil.
*****
Demam panggung adalah musuh utama yang sudah lama dapat Noval taklukkan meski kadang masih hinggap dalam kadar rendah dan tidak mengganggu. Di stage kecil yang terletak di bagian utara Cafe Taman, Noval duduk santai di kursi sambil memainkan gitarnya untuk mengiringi sang vokalis. Di tengah lagu yang sedang ia mainkan, Noval melihat dua orang melangkah masuk. Salah satu dari mereka membuat demam panggung yang sudah ia taklukkan sekian lama kembali menguat. Bintang, yang malam itu memakai kaus putih bergambar Marylin Monroe dan cardigan hitam, berjalan menuju sebuah meja kosong diikuti seorang perempuan yang dikenali Noval sebagai teman Bintang. Sekilas, Noval bertemu pandang dengan Bintang yang menatapnya mantap dengan penuh senyum. Noval cepat-cepat mengalihkan pandangan ke gitar yang dipegangnya. Sesekali diliriknya Bintang yang tengah sibuk mengobrol dengan temannya. Jika Noval beruntung, ia melihat Bintang sedang memperhatikan permainnya, tapi hal tersebut justru membuatnya salah tingkah. Beberapa lagu dimainkan Noval dalam durasi biasa. Namun, pertunjukan yang hanya sekitar 15 menit malam itu dirasakannya sebagai pertunjukan terpanjang dalam hidupnya.
*****
Ulang tahun ketujuh belas biasanya merupakan hari sakral bagi beberapa orang, sampai mereka rela menghamburkan uang untuk merayakan sweet seventeen. Bintang tak pernah mengerti itu. Baginya, ulang tahun ketujuh belas sama saja dengan ulang tahun lainnya. Lagi pula, ia tak terlalu suka pesta meriah macam itu. Ia lebih suka pesta kecil dikelilingi orangorang terdekatnya. Namun sayangnya, saat ini, ia sedang terjebak di sebuah pesta sweet seventeen yang tak diragukan lagi menghabiskan dana besar. Bintang berdiri linglung di tengah-tengah orang yang menyita perhatian banyak perempuan malam itu. Sepanjang malam tangannya digenggam erat oleh laki-laki tersebut dan ia berjalan ke sana kemari untuk diperkenalkan kepada teman-teman si laki-laki, Handphone Bintang bergetar, menandakan panggilan masuk. Sebenarnya handphone-nya tak pernah diam sejak ia sampai di pesta. Kaila mengirim SMS secara berkala setiap sepuluh menit sekali. Untuk memastikan Bintang tidak macam-macam dengan Kevin, laki-laki yang mengajaknya ke pesta sekaligus yang diketahui orang-orang sebagai pacarnya.
"Kevin, sebentar ya," ujar Bintang sambil memberi kode akan mengangkat telepon di sudut yang sepi. Ia tak mungkin menjawab telepon di tengah teman-teman Kevin yang sedang asyik berkelakar."Siapa?" Kevin mengangkat alis. Bintang menunjukkan layar handphone-nya yang menampilkan nama Kaila. "Oh, OK," ujar Kevin yang kembali asyik dengan teman-temannya sambil memberikan senyum ke beberapa orang yang lewat. Tebar pesona, pikir Bintang yang cepat-cepat pergi ke sudut, dekat meja makanan. Sejenak ia miris melihat banyaknya makanan yang tersisa di sana. "Halo," bisik Bintang. "Lama banget ngangkatnya. Sekarang di mana?" Suara ketus Kaila langsung menusuk telinganya. "Masih di pesta." Bintang menjawab singkat. "Lama banget. Ini udah jam sebelas. Pokoknya cepet pulang. Jangan ngapa-ngapain sama si Kevin," ujar Kaila dalam satu tarikan napas. Belum sempat Bintang menjawab, hubungan telepon sudah diputuskan.
*****
Suara penyiar radio memecah kesunyian malam di dalam Katana milik Kevin. Kevin yang sedang menyetir memperhatikan Bintang yang sedang menyetir memperhatikan Bintang yang sedang membalas SMS Kaila. "Dari tadi SMS-an mulu. Sama siapa, sih?" tanya Kevin. "Kaila," jawab Bintang. "Kaila lagi? Kayaknya kalian sahabatan banget, ya." Komentar Kevin sambil meminggirkan Katana-nya. Toko-toko yang sudah tutup karena malam semakin larut berjajar di sepanjang jalan. Bintang hanya tersenyum simpul. "Bintang..." Kevin yang sudah menghentikan mobilnya, menggeser duduknya agar lebih dekat ke cewek itu. Bintang, yang baru memasukkan handphone-nya ke tas dan tak menyadari Kevin
menghentikan mobil, kaget karena wajah cowok itu begitu dekat dengan wajahnya. Spontan, ia menjauh. Kevin kembali mendekatinya. Wajahnya sudah sangat dekat dengan wajah Bintang. Hidung Bintang mendeteksi aroma yang aneh dari Kevin. Ia memalingkan muka. "Gue nggak mau," tolak Bintang. "Lo minum bir tadi?" tanyanya kepada Kevin yang tampak kesal. "Kita udah mau setahun. Masa gitu aja nggak boleh, sih?" ujar Kevin. Bintang diam saja. Kevin kembali mendekati Bintang. Bintang mendorongnya sampai membentur pintu. Kevin merapikan penampilannya dan menarik napas pelan, mencoba menenangkan diri. "Keluar," ujarnya pelan. Bintang memandang Kevin, tak yakin dengan apa yang didengarnya. "Gue bilang keluar," ulang cowok itu. Bintang mengambil tasnya. "Kita putus," kata Bintang sambil membanting pintu Katana yang kemudian melaju meninggalkannya. Setelah kemarahannya reda, ketakutan mulai menghinggapi Bintang yang berdiri seorang diri dengan gaun selutut tanpa lengan di pinggir jalan, di depan pertokoan yang sudah tutup. Bingung bagaimana ia harus pulang.
*****
Air menetes dari rambut Bintang yang basah ketika ia keluar dari kamar bilas yang terletak di ruang ganti perempuan. Jejak kaki tercetak di sepanjang jalan yang dilewatinya menuju wastafel. Kaus putihnya yang berlengan pendek sedikit kusut di bagian bawah, ujung celana jeans-nya pun sedikit basah meski tidak terlalu kentara. Selain dua hal itu, penampilannya tidaklah buruk. Setelah merasa dirinya rapi, Bintang menyandang tasnya dan keluar dari kamar ganti. Beberapa kali ia menyapa teman-teman klub renangnya ketika mereka berpapasan di sepanjang jalan menuju pintu keluar. "Bintang." Ia mendengar seseorang memanggilnya ketika ia sudah berjarak 1m dari pintu keluar. Bintang menoleh. Noval yang sedang membeli karcis memanggilnya. "Eh, Val." Bintang menghampiri Noval yang juga berjalan mendatanginya, masih memegang karcis masuk dan uang kembalian.
"Mau berenang?" tanya Bintang, retoris. "Iya," jawab Noval. "Lo sendiri habis berenang, ya?" "Iya. Gue ikut klub renang," sahut Bintang. "Wah, jago dong renangnya." Noval menanggapi sambil memasukkan karcis dan uang kembalian dengan asal ke saku celananya. "Biasa aja. Ya udah, gue balik duluan, ya," ujar Bintang dengan canggung. "OK. Hati-hati," kata Noval sambil tersenyum, menampilkan deretan gigi yang rapi. Noval langsung beranjak menuju kolam renang. Bintang melangkahkan kakinya ke pintu keluar dengan ringan. Senyum Noval manis sekali, pikirnya.
*****
Handphone di saku rok Bintang bergetar dua kali yang menandakan bahwa sebuah SMS baru masuk. Di tengah beberapa karyawan berseragam merah yang sedang sibuk menggoreng ayam, Bintang membuka handphone-nya. Ia bebas menerima SMS dan telepon karena waktu sudah menujukkan pukul delapan malam, yang menandakan shift kerjanya sudah habis.
From : Val Mlm, Bintang, besok ada acara ga?
Bintang tersenyum sendiri membaca SMS tersebut. Sejak mereka bertemu di kolam renang sekitar dua bulan lalu, Noval jadi sering menghubunginya hanya untuk saling bertukar cerita. Dan ini membuat Bintang merasa nyaman. Bintang membalas SMS dari Noval, laki-laki pertama yang bisa membuatnya terus menarikan jari-jarinya di atas keypad handphone.
*****
Dua orang wanita berpakaian stylish berjalan melewati Noval yang sedang bersandar ke tiang yang berjarak beberapa meter dari basement gedung FPBS. Seorang wanita dan laki-laki yang berpakaian serba hitam dengan pin merah di dada tersenyum ramah memberikan selembar kertas kepada mereka. Noval yang mengenakan pakaian kebangsaannya, kaus dan jaket, melirik arloji yang menunjukkan pukul 16:10. "Udah telat sepuluh menit," gumamnya. Beberapa orang kembali melewati Noval menuju basement. Tak satu pun dari mereka orang yang ia tunggu. Beberapa menit kemudian, di belakang segerombolan orang yang berjalan sambil memegang brosur, Noval melihat seorang perempuan berlari kecil, membuat rambutnya yang diekor kuda bergerak-gerak. "Lo telat, Bintang," ujar Noval ketika perempuan tersebut menghampirinya dengan napas tak teratur. "Sorry, baru selesai ngajar," jawab Bintang sambil membetulkan kausnya. "Nyantai aja. Yuk," ajak Noval yang merasa geli melihat rambut Bintang yang sedikit berantakan dengan beberapa helai rambut mencuat dari ikatannya. Bersebelahan, mereka berjalan menuju basement. Masing-masing mendapatkan selembar kertas sebelum masuk, tempat pameran foto yang diadakan oleh UKM Fotografi. Kertas tersebut berisi pertanyaan:'Karya apa yang paling Anda sukai? Alasannya?' Bintang memasukkan kertas tersebut ke saku celananya. Saat masuk ke ruangan itu, baik Noval maupun Bintang merasa seperti berada di kebun ketimbang basement. Basement yang biasanya gelap dan kotor kini diberi penerangan di spotspot yang tepat dengan banyak sekali tanaman dan karya foto yang disusun apik. Awalnya, Bintang dan Noval menikmati foto bersama-sama, tapi setelah beberapa saat akhirnya mereka terpisah. Noval memilih foto seorang anak laki-laki yang sedang meloncat ke sungai sebagai karya yang paling ia sukai, karena pasti sulit memotret objek bergerak dengan pose yang tepat.
Selesai mengisi kertasnya, Noval mulai merasa bosan karena sudah hampir semua foto ia lihat. Akhirnya ia memutuskan mencari Bintang. Ia menyerahkan kertasnya pada panitia berpakaian serbahitam yang berjaga di dekatnya. Dengan jantung berdebar mengingat hal yang akan ia utarakan, Noval mencari Bintang. Setelah beberapa saat mencari, akhirnya ia menemukan Bintang yang tengah berdiri memperhatikan sebuah foto. Sepertinya Bintang begitu menikmati foto di hadapannya sampai tidak menyadari Noval sudah berada tepat di belakangnya. Noval melihat foto yang sedang ditatap perempuan itu. Foto tersebut menggambarkan dua orang mengenakan rok merah kotak-kotak hitam pendek. Yang satu berjinjit dan yang satunya memeluk pinggang orang yang berjinjit. Di bagian bawah foto tersebut tertulis, "May I?". Bintang mengeluarkan kertasnya dan menuliskan kode foto tersebut sebagai foto yang paling ia sukai, tanpa mencantumkan alasan. Noval mengerutkan dahi, merasa tak ada yang istimewa dari foto tersebut. "Bintang," panggil Noval. Bintang buru-buru melipat kertas di tangannya seraya menoleh ke arah Noval. "Udah selesai?" tanya Noval. "Udah," ujar Bintang. "Mau kasihin ini dulu," lanjutnya sambil menunjukkan kertasnya yang terlipat. Noval mengangguk. Dengan langkah cepat, Bintang menghampiri salah satu panitia yang hanya berjarak sekitar 5m di depannya. "Udah," ujar Bintang ketika ia kembali. Noval yang masih diam di depan foto yang dipilih Bintang mulai gelisah di tempatnya berdiri, memikirkan cara menyampaikan apa yang ingin ia katakan. "Kok, lo suka foto yang ini?" Dalam hati, Noval merutuki dirinya sendiri. Sudah berkali-kali ia berlatih untuk menyampaikan maksudnya sebelum pergi ke pameran fotografi, tetapi yang terlontar dari mulutnya justru pertanyaan tersebut. Bintang tersipu menyadari bahwa Noval tahu apa foto terbaik pilihannya. "Nggak apa-apa. Aneh aja." Bintang menjawab sambil menatap sepatu tepleknya. Setelah itu, ia sengaja diam, menunggu apa yang akan dikatakan Noval. Agaknya Bintang sudah tahu maksud Noval mengajaknya ke pameran fotografi.
Keajaiban Sebuah Cutter
Laboratorium Biologi tampak ramai dengan anak-anak yang sedang melakukan praktik uji kandungan pada makanan. Percobaan sederhana yang biasanya dilakukan oleh anak kelas satu kini dilakukan oleh anak kelas tiga untuk persiapan ujian praktik di akhir tahun. Tujuannya agar para siswa tidak lupa—siapa tahu materi tersebut keluar dalam ujian. Kertas folio Bintang yang terkena cipratan berbagai makanan berbau amis sudah lengkap terisi, siap untuk di kumpulkan. Tabung-tabung uji dan peralatan lainnya sudah menunggu untuk dicuci. Anak-anak lain pun sudah selesai dengan pekerjaan masing-masing, beberapa masih mengoreksi kesimpulan mereka. Daniel yang bekerja di sebelah Bintang bahkan sudah mengumpulkan kertasnya dan baru kembali ke mejanya dengan tabung-tabung uji yang sudah dicuci. Diletakkannya tabung-tabung itu dengan hati-hati di rak. Tak ingin berlama-lama, Bintang mengangkat gelas uji yang dipakainya untuk menguji amilum dari atas kompor spiritus kecil berwarna biru bening yang masih menyala, kemudian diletakannya di atas meja. Tanpa pikir panjang, Bintang meniup api pada sumbu di lampu teplok. Betapa terkejutnya Bintang karena api tersebut malah membesar, hampir mengenai wajahnya. "Bego," ujar Daniel yang berdiri di sebelahnya dengan dingin. Ia menutup sumbu kompor spiritus dengan tutupnya. Api langsung padam. Sesederhana itu. "Masa cara matiin ini aja nggak tahu," rutuk Daniel sambil melengos pergi, menaruh rak tempat menyimpan tabung-tabung uji ke lemari. Bintang sendiri merutuki dirinya yang dengan bodohnya lupa cara mematikan api dari kompor spiritus. "Argh, moron," ujarnya dalam hati.
*****
Sore itu udara begitu kering. Setiap semilir angin menerbangkan debu ke kulit-kulit yang lengket karena keringat.
Angin yang membawa debu menyentuh wajah Bintang. Tubuhnya berkeringat dingin. Kepalanya pening. Jika saja ia berada di kamarnya, bukan tempat parkir, ingin sekali ia menghempaskan badannya dan tidur untuk waktu yang lama. "Nih." Noval menyodorkan helm ke arahnya. Bintang diam saja. Matanya berat sekali. Sepertinya ia berada di ruangan hampa udara, karena ia tak bisa mendengar apapun. Bahkan suara motor yang berlalu di belakangnya. "Bintang?" Noval memperhatikan Bintang yang hanya diam mematung dengan wajah yang pucat. "Bintang?" tanyanya lagi. Barulah saat itu Bintang menangkap suara Noval. "Ya?" ujarnya bingung. Noval menyodorkan helmnya. "Oh." Bintang mengambil helm yang disodorkan Noval dan memakainya. Noval terlihat khawatir. "Nggak apa-apa, kok." mempermasalahkannya.
Bintang
menenangkan
dan
meminta
Noval
untuk
tak
"Baik-baik aja, kan?" tanya Noval kepada Bintang yang kini duduk di belakangnya untuk meyakinkan. "Baik-baik aja." Bintang menyahut pelan.
*****
Bel sudah berbunyi. Kelas sudah usai. Semua orang bersemangat memasukkan buku kimianya ke tas, lalu menyelempangkannya ke bahu. "Kai, mau pulang bareng, nggak?" tanyanya sambil bersandar ke meja. Beberapa orang melewati meja mereka yang berada dekat pintu. Kaila yang masih memasukkan barangbarangnya terlihat tidak enak."Ehm, aku pulang bareng Reno. Sorry." Kaila menyodorkan cutter kepada Bintang. Benda itu tadi dipinjamnya untuk menajamkan pensil karena tak ada yang membawa rautan.
"Oh, OK." Bintang mengambil cutter tersebut, kemudian pergi meninggalkan Kaila yang sebentar lagi akan dijemput oleh 'cowoknya'. Tak ingin melihat hal-hal yang membuatnya merusak harinya, ia langsung menuju parkiran. Di belokan menuju tempat parkir, Bintang menyenggol Daniel yang baru keluar dari sana sambil membawa sebuah bungkusan entah berisi apa. "Sorry," ujarnya tanpa menoleh, kemudian buru-buru pergi. Daniel yang tak mempersalahkannya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Bintang berjalan di antara deretar motor yang terparkir. Suasana sangat sepi, tak satu orang pun tampak di sana. Ia berhenti di depan sebuah motor merah—motor Reno—dan menendangnya dengan kesal. Bintang diam sejenak, berpikir-pikir. Cahaya matahari memantul dari logam cutter yang dipegangnya. Menari-nari indah di matanya.
*****
Bintang membuka pintu mobilnya, masuk kemudian menyalakan AC. Dari spion ia melihat Daniel kembali ke parkiran dengan membawa bungkusan lain. Untuk percobaan kimia sepertinya, karena sebuah kompor spiritus mencuat dari kresek hitam tersebut. Handphone Bintang berbunyi. Sebuah pesan baru masuk.
From : Kai Ia mau. Bentar ya.
Ketika ada keinginan, pasti ada jalan. Itu memang benar, pikir Bintang. Senyum tersungging di bibirnya. Menit demi menit berlalu. Pada menit kesepuluh akhirnya seorang perempuan berponi berlari kecil menuju mobilnya. Membuka pintunya, lalu duduk di sebelahnya. Wajahnya menyiratkan ada sesuatu yang baru terjadi. Bintang pura-pura tak menangkap ekspresi tersebut. "Katanya mau bareng Reno," ujar Bintang kalem sambil menjalankan mobilnya untuk keluar dari parkiran.
"Aneh banget tau nggak, sih. Ban motor Reno kempes. Kayak disayat gtu. Kayaknya ada yang jail, deh," ujar Kaila cepat-cepat sambil mencondongkan badannya ke arah Bintang saking semangatnya. "Oh gitu." Bintang merespons santai sambil menjalankan mobilnya menyusuri kompleks yang ditanami pepohonan rindang di kiri dan kanan. Hari ini memuaskan, pikirnya.
*****
Hujan menepati janjinya dengan datang di malam hari. Membasahi tanah kering yang berasap saat tersentuh air. Membawa angin yang memberi rasa dingin. Menimbulkan dentingan di atapatap rumah yang didatanginya, terutama di asbes kosan petak Bintang yang sempit. Di dalam kosan tersebut, Bintang meringkuk di bawah selimut. Badannya menggigil, bukan hanya karena dingin yang dibawa malam dan hujan, tapi karena panas tubuhnya yang melonjak tinggi. Suhu yang tidak terlalu dingin jadi terasa sangat dingin. Bintang yang sudah merebahkan diri di tempat tidur sejak sampai di kosannya merasa badannya yang semula tidak enak menjadi benar-benar sakit. Kepalanya terasa sangat pening. Badannya lemas. Handphone yang sejak tadi menampung SMS-SMS yang masuk dibiarkan begitu saja sampai sebuah panggilan masuk. Dalam keadaan setengah sadar, Bintang mengangkat handphone. Ia tak pernah ingat benar kepada siapa ia bicara atau apa yang ia bicarakan.
*****
"Halo, Bintang?" Noval yang sejak tadi mencoba menghubungi Bintang karena cemas dengan keadaannya merasa lega ketika teleponnya diangkat. Kelegaan itu tidak bertahan lama karena
jawaban dari Bintang yang tidak jelas dan terbata-bata menunjukkan bahwa perempuan itu tidak baik-baik saja.
*****
Noval memarkir motornya di depan kosan Bintang. Membiarkannya terkena hujan. Dengan terburu-buru, ia menuju kamar Bintang yang ternyata terkunci. "Bintang." Noval mengetuk pintu dengan tidak sabar. Sebuah taksi biru muda yang setengah jam lalu dipanggilnya untuk berjaga-jaga berhenti di depan kosan Bintang. Noval memberikan kode dengan tangannya, meminta taksi itu menunggu. Noval kembali memanggil-manggil Bintang, tapi tetap tak ada jawaban. Dengan terpaksa dan diiringi perasaan was was, Noval mendobrak pintu rapuh di depannya. Dalam keadaan basah dan bahu sakit, Noval masuk ke kosan Bintang dan menghampiri Bintang yang tengah menggigil di atas kasur busa yang terletak di lantai. "Bintang..." Noval membalikkan badan Bintang yang menghadap ke dinding. Bintang hanya menggigil dengan mata tertutup. Noval bisa merasakan betapa tingginya suhu badan Bintang. Tanpa menunggu lebih lama, ia memanggul badan Bintang yang kurus dan membawanya ke taksi. Seorang perempuan dari kamar sebelah—yang sepertinya terbangun saat Noval mendobrak pintu—melongok untuk mencari tahu apa yang terjadi. Noval yang tak punya waktu untuk menjelaskan melewatinya begitu saja. Ia berusaha berlari menuju taksi. Sang sopir taksi segera membukakan pintu ketika melihat Noval menggendong seorang perempuan yang jelas-jelas harus segera di bawa ke rumah sakit.
*****
Di depan rumah, Bintang menengadah ke langit yang berwarna abu-abu tua nyaris hitam. Di angkasa pun semuanya tampak seperti film animasi. Di atas sana, seorang laki-laki kartun duduk santai sambil memancing di atas bulan sabit yang juga digambar animasi. Logo 'Dreamlight' itu tampak begitu nyata di hadapannya. Bintang bertanya-tanya, bagaimana caranya naik ke sana. Ditatapnya bulan sabit dengan laki-laki yang sedang memancing itu lekat-lekat. Merasa di perhatikan, si laki-laki pemancing menatap ke bawah, memandang dirinya. Tatapannya dingin. Tak lama kemudian, bulan sabit dan laki-laki pemancing yang masih menatapnya terlihat semakin jauh. Bintang melihat sekitarnya, semua benda tampak semakin jauh dan mengecil."Argh." Sesuatu di bawah kaki Bintang menariknya ke tanah. Semuanya lenyap sampai cahaya yang begitu menyilaukan menyakiti matanya. Refleks, Bintang menutup mata. Dibukanya lagi kelopak matanya. Cahaya itu sudah tidak ada, digantikan wajah samar-samar seseorang yang menjauh dan berbicara pada orang lain yang berdiri di sebelahnya dengan suara yang samarsamar pula sebelum kemudian pergi. Bintang mengerjapkan mata. Objek-objek di sekitarnya mulai tampak lebih jelas. Seorang perempuan yang berdiri di sebelah tempat tidurnya mencondongkan badan ke arah Bintang. "Selamat bangun kembali, Bintang," ujar perempuan itu sambil tersenyum meledek. Bintang memicingkan matanya. "Mei?"Perempuan itu tertawa. "Iya, ini gue." Bintang memperhatikan keadaan di sekitarnya yang serba putih. Di ruangan itu hanya ada Mei yang sedang duduk di sebelah ranjangnya. Bintang berusaha menggerakan tubuh. Rasa linu dan sakit di persendian langsung menyerangnya, berkonspirasi dengan rasa sakit di kepalanya. Membuat deritanya berlipat-lipat. "Gue kenapa, Mei?" tanyanya bingung sambil mengamati tangannya yang dijejali jarum infus. Bau antibiotik yang bercampur obat lainnya memenuhi rongga hidung Bintang. Pengalamannya menunggui orang sakit selama beberapa bulan sekitar lima tahun lalu membuatnya akrab dengan berbagai aroma yang ada di rumah sakit. Namun tidak membuatnya terbiasa, apalagi suka. "Demam berdarah. Semalem Noval bawa lo ke rumah sakit," Mei diam sebentar. "Keren banget ya, dia," Mei menggoda Bintang yang tak begitu memperhatikan ucapannya karena rasa pening dan nyeri belum juga meninggalkan dirinya. "Terus sekarang dia ke mana?" tanya Bintang lemas. "Lagi benerin pintu kosan lo," jawab Mei sambil menahan tawa. Bintang menatapnya heran sambil memijat-mijat keningnya.
"Tanyain sendiri deh ntar ke orangnya," lanjut Mei yang kini benar-benar tertawa melihat kebingungan di wajah Bintang. "Oh, ya, nyokap lo udah dikabarin, kayaknya sebentar lagi dateng," sambung Mei. Seorang perawat masuk untuk mengecek keadaan pasien sementara. Bintang sibuk membayangkan sepanik apa ibunya jika melihat keadaannya nanti.
*****
Ada banyak kecintaan yang dimiliki oleh makhluk hidup yang dianugerahi hati dan akal, di antaranya adalah kecintaan terhadap minat. Kecintaan terhadap minat dan kecintaan terhadap pasangan ada kalanya tarik-menarik. Membuat satu pihak merasa tidak dimengerti dan pihak yang lain merasa diabaikan. Hal itu pula yang dirasakan Bintang saat ini. Di atas kursi cokelat di kamarnya yang bercat putih tulang monoton dengan furniture yang didominasi warna cokelat kusam, Bintang duduk memperhatikan Kaila yang menelungkup di atas ranjangnya yang berseprai krem dengan laptop di hadapannya. Ia sedang asyik dengan hobinya mengedit foto. Bintang, yang tidak ditanggapi sejak tadi, menyalakan komputernya dengan kesal. Kesal karena ia harus berebut cinta dengan kegemaran Kaila akan fotografi. Komputer menyala, menampilkan foto mereka berdua yang dijadikan Bintang sebagai wallpaper. Diliriknya Kaila yang masih asyik mengedit foto. Bintang memperkirakan perempuan itu akan mengabaikannya dalam waktu yang lama. Untuk menunggu Kaila kembali dari dunianya, Bintang membuka game legendaris yang ada hampir di setiap komputer, Spider Solitaire. Tak ada yang bicara, hanya suara 'klik' mouse saat Bintang memindahkan kartu yang terdengar. Lima putaran Spider Solitaire sudah dimainkan Bintang, cukup untuk membuatnya jenuh. "Udah selesai belum sih, Kai?" tanya Bintang sambil menutup Spider Solitaire. "Iya, udah." Kaila menjawab singkat. Matanya masih tertuju pada layar laptop di hadapannya. Bintang menghampiri Kaila dan ikut menelungkup di sampingnya. "Liat, ya," ujar Kaila antusias.
Bintang melihat foto-foto hasil editan Kaila. Sama seperti penilaian-penilaian sebelumnya, menurut Bintang semuanya bagus. Namun, ia tidak mengatakannya karena masih kesal pada Kaila. Membuat Kaila yang mengharapkan komentar menahan kecewa. Satu per satu, foto-foto tersebut dilihat Bintang. Mulai dari foto di sekolah, di kamar Kaila, di kebun teh, sampai foto terakhir. Bintang terdiam melihat foto terakhir yang entah mengapa membuatnya terpaku. Permainan warna dan cahaya serta sentuhan yang diberikan Kaila menghidupkan rasa yang ada pada dua wanita di foto tersebut. "Aku minta softcopy-nya, ya," ujar Bintang akhirnya. Membentuk senyuman di bibir merah jambu Kaila. "OK. Besok, ya. Aku masukkin yang lainnya juga," ujar Kaila.
Pengintip, Mata Buah Zaitun
Ujung rambut hitam panjang itu dimainkan oleh Bintang. Dipilin dan ditelusuri sampai hampir ke tempatnya melekat, kulit kepala Kaila. Mereka berdua berbaring di atas lantai semen dingin di lantai tiga rumah Bintang yang tidak beratap itu. Tempat yang siang harinya dijadikan tempat menjemur pakaian. Kaila yang rambutnya dimainkan diam saja. Pandangannya tertuju ke langit di atasnya yang malu tidak berbintang. Ia seperti sedang melamun, atau mungkin sedang mengamati sesuatu yang tidak dapat dipahami Bintang maupun teman-temannya yang lain. "Sayang, kamu baca shout-out aku, nggak?" Kaila mengalihkan perhatiannya dari langit gelap tanpa bintang kepada Bintang yang berbaring di sebelahnya. "Shout-out?" Bintang menghentikan kegiatannya memainkan ujung rambut Kaila yang wangi sampo sambil mengerutkan keningnya. "Friendster, Kai?" "Apa lagi," jawab Kaila datar. Kini pandangannya kembali tertuju ke langit yang gelap, tanpa ekspresi. "Ya ampun, Kai. Orang-orang tuh udah pada hijrah ke Facebook," ujar Bintang setengah tertawa. "Aku aja dah lupa kapan terakhir kali buka Friendster. Kamu bikin akun Facebook kenapa?" lanjut Bintang. Kaila memang tidak memiliki akun Facebook walaupun sepertinya semua siswa di dunia sudah memilikinya. "Nggak, ah. Gue orang yang setia," jawabnya dingin tanpa memandang Bintang. "Setia itu juga harus tau tempatnya, Kai. Kalo ada produk yang nge-provide fasilitas yang lebih bagus, kenapa nggak?" Bintang ikut-ikutan memandangi langit. Ternyata kalau dipandang berlama-lama indah juga. "Jadi kamu juga bakal ninggalin aku kalo ada orang yang nge-provide hal-hal yang lebih bagus dari aku?" Kaila menatap Bintang tajam. Bintang cepat-cepat menoleh kepada Kaila sampai sepertinya ada beberapa pembuluh darah yang salah jalur. "Kamu bukan hal yang termasuk kategori 'produk' yang aku maksud, Kai," ujarnya menjelaskan. "Kamu gak tergantikan." Senyum malu-malu tersungging di bibir Kaila. Ia kembali menatap langit gelap. Namun, saat itu ia tidak sedang benar-benar menatap langit gelap. Ia sedang bahagia mendengar kata-kata Bintang.
"Jam berapa?" tanyanya untuk menghadirkan pembicaraan. Padahal, diam tanpa kata-kata sebenarnya hal yang menyenangkan jika berada di samping orang yang disayangi. "11:55," Bintang mengecek jam di handphone-nya. Sejenak, wajahnya diterangi cahaya dari LCD sampai akhirnya semua kembali menjadi gelap seiring meredupnya sinar LCD. "Sebentar lagi," ucap Kaila pelan. Mereka berdua sama-sama diam. Mulut mereka yang diam. Karena otak mereka berlari dengan pikiran masing-masing. Sebuah kembang api meluncur ke langit gelap dari tempat yang jauh entah dari mana. Pecah menjadi titik-titik cahaya warna-warni membentuk lingkaran indah. Kembang api pertama yang disusul kembang api lainnya pada pukul 00:01 itu. Happy New Year, Kaila. Welcome, 2008, ujar Bintang dalam hati. Tak satu pun dari mereka berbicara. Pandangan mereka sama-sama tertuju pada langit gelap yang kini berwarna-warni oleh percikan kembang api. Tangan Kaila yang dingin berada di genggamannya. Makin lama makin hangat, seiring berpindahnya panas dari tubuh Bintang ke tangannya.
*****
Sore itu, lapangan basket terbuka yang biasa dipakai anak-anak basket untuk berlatihh atau dipakai futsal jam istirahat, disulap menjadi tempat pertunjukan drama. Pertunjukan drama yang dilaksanakan selama seminggu ini sudah menjadi agenda rutin setiap tahun untuk tugas akhir semester ganjil dalam pelajaran seni bagi anak-anak kelas tiga. Ajang refreshing sebelum UAN ini selalu dinantikan oleh anak-anak, baik yang menjadi pemain maupun yang hanya menonton. Bagian ujung utara lapangan dipasangi stage untuk band, bagian depannya yang tanpa stage dijadikan tempat untuk menampilkan drama. Sisanya dijadikan tempat untuk para penonton. Di barisan kedua dari depan, Bintang duduk lesehan di lapangan basket yang dilapisi semen. Semen itu terasa hangat karena beberapa jam yang lalu terpapar sinar matahari. Bintang datang untuk menonton drama dari kelas 3 IPA 5 yang baru saja dimulai. "Dance lo bagus," ujar suara di sebelahnya. Bintang menengok. Daniel duduk di sebelahnya sambil memotret pertunjukan drama dengan kamera digital kecil di tangannya.
Bintang dan teman-teman sekelasnya, termasuk Daniel, baru saja menampilkan drama kelas mereka tepat sebelum drama yang mereka tonton sekarang. Pada drama tersebut, Bintang mendapatkan peran sebagai dancer dan memainkan beberapa peran kecil lain. Ia tidak begitu pandai bermain peran. "Thanks," ujar Bintang yang masih heran karena Daniel tiba-tiba ada di sana. "Lo suka fotografi, ya?" tanya Bintang pada Daniel yang masih memotret drama yang sedang berlangsung. Dilihat dari setting-nya, drama tersebut berisi cerita kerajaan. Cerita basi, pikir Bintang. "Gue nggak terlalu suka fotografi," ujar Daniel yang sudah berhenti memotret dan kini duduk santai di sebelahnya. "Terus, ngapain foto-foto?" tanya Bintang heran, memandang cowok yang masih memakai baju sobek-sobek dan celana pendek dari drama kelas mereka, saat itu Daniel berperan sebagai gelandangan. "Gue disuruh jadi seksi dokumentasi sama Pak Joni," jawabnya tanpa nada antusias. Pak Joni adalah guru kesenian mereka. Daniel yang pandai menggambar dan bermain alat musik menjadi semacam tangan kanannya. "Oh, gitu. Kasihan banget ya lo," ujar Bintang tanpa rasa kasihan. Ia kembali memfokuskan perhatian pada drama. Seorang putri, yang diperankan oleh teman SMP-nya, Marina, sedang mencak-mencak pada seorang pengawal yang tidak ia kenali. Gaun pink berhias manik-manik yang dipakai Marina terlihat berkilauan terkena sinar matahari sore. Niat banget, pikir Bintang yang tahu bahwa menyewa gaun seperti itu tidaklah murah. "Lu nyaman pake riasan tebel kayak gitu?" tanya Daniel. Bintang refleks memegang mukanya yang dipoles make-up untuk tampil. Ia lupa menghapusnya. Bintang menurunkan tangannya. "Nyaman-nyaman aja, sampe gue lupa buat ngehapus," ujarnya sambil tertawa. "Lo sendiri nyaman pake baju rombeng kayak gitu?" Bintang mengedikkan kepalanya ke arah pakaian cowok itu. Daniel mengikuti pandangan Bintang dan menunjuk bajunya. "Nyaman kok, adem," ujarnya. Namun Bintang seakan tak mendengar apa yang diucapkan Daniel. Saat itu ia melihat Kaila dan Reno, 'cowoknya', sedang duduk-duduk sambil asyik mengobrol di koridor kelas. Selama sepersekian detik, ia beradu pandang dengan Kaila yang kemudian memalingkan wajahnya. Daniel yang merasa tak didengarkan mengikuti arah pandang Bintang. Setelah
melihat apa yang kira-kira dilihat Bintang, Daniel mengangkat kamera digital-nya dan kembali memotret.
*****
"Bintang, liat sini," Noval melihat Bintang melalui LCD handycam-nya. Bintang yang sedang membaca buku tebal yang entah apa judulnya tak menghiraukannya. Hal itu membuat Noval tambah bersemangat mengganggunya. "Hei, Bintang," ia berjalan mendekati Bintang yang masih asyik dengan bukunya sambil selonjoran di lantai dengan punggung bersandar ke lemari Noval yang penuh stiker band-nya sendiri. Noval men-zoom wajah serius Bintang. "Baca apaan, sih?" Noval mengalihkan handycam ke buku di pangkuan Bintang. Dengan tangannya ia sengaja membalik-balik halaman buku tersebut. Hanya untuk membuat Bintang marah. Dan berhasil. "Arg! Val, apaan sih?! Ganggu mulu," Bintang menyingkirkan lengan cowok itu dari bukunya. Noval hanya tertawa dan kembali menyorot wajah kesal si cewek. "Ayo marah," ujarnya sambil tertawa. Bintang yang sudah tak berminat untuk membaca, mengejar Noval dan berusaha merebut handycam dari tangannya. Noval mengangkatnya tinggitinggi, jauh di atas jangkauan Bintang, kemudian menarik Bintang ke pelukannya. Noval mengarahkan handycam ke arah mereka berdua. "Ini Noval." ia mengarahkan lensa kepada dirinya. "Ini Bintang." Ia mengalihkan lensanya kepada Bintang. "Pendek ya dia?" ujarnya sambil melirik Bintang yang hanya setinggi bahunya. Bintang pura-pura marah. "Tapi gue suka," ujar Noval. Diletakannya handycam-nya di atas meja kecil yang penuh tumpukan buku dan barang lainnya. Ia tersenyum pada Bintang dan menyelipkan rambut panjang Bintang yang terurai ke belakang telinganya. Sebuah ciuman lembut mendarat di bibir Bintang. Dipejamkannya mata. Tiba-tiba, tanpa diketahui apa sebabnya, seperti film lama yang diputar berulang-ulang, mata berbentuk buah zaitun dengan ujung lancip sempurna melintas di benak Bintang. Menatapnya dingin. Spontan Bintang menarik dirinya dari Noval dan menjauhinya.
"Sorry." Noval yang merasa bersalah karena mengira Bintang marah dengan apa yang ia lakukan terlihat kikuk. "Tidak. Bukan, bukan karena lo." Bintang kembali menyibukkan diri dengan buku yang tadi dibacanya untuk mengalihkan perhatian.
*****
"Nggak pulang bareng Reno?" suara Bintang menimpa lagu 'Close To You' yang mengalun dari radio di dalam mobilnya yang terparkir di sekolah. Pertunjukan drama hari itu sudah usai dan akan dilanjutkan besok pagi dengan diakhiri acara penutupan. Orang-orang, yang menonton maupun yang bermain hari ini, sebagian besar sudah pulang. "Nggak, dia ada acara sama temen-temennya sampai malam," jawab Kaila yang duduk di sebelahnya. "Oh," ujar Bintang pelan sambil memundurkan mobilnya untuk keluar dari parkiran yang sudah kosong. Dari cerita-cerita Kaila, Bintang merasa bahwa Reno sering sekali berkumpul dengan temantemannya sampai malam, tapi ia memilih diam saja. Beberapa siswa perempuan tengah berjalan sambil berceloteh ketika mereka keluar dari gerbang. Matahari mulai terbenam dan suara adzan sayup-sayup terdengar. Bintang mengecilkan volume radionya. "Kamu suka Daniel, ya?" tanya Kaila tiba-tiba saat mobil melewati pasar yang sudah sepi dengan sampah menggunung di bagian sudut. Bintang mengangkat alisnya. "Maksudnya apa sih, Kai? Aku kan cintanya sama kamu aja," ujar Bintang. "Tapi kamu asyik banget tadi ngobrol sama dia," Kaila menatap Bintang tajam. Bintang kesal dengan sikap Kaila. Ia tahu Kaila cemburu, tetapi Kaila seolah tidak menyadari bahwa ia juga cemburu ketika cewek itu berduaan dengan Reno dan selalu dielu-elukan oleh teman-temannya sebagai pasangan ideal; si cantik dan si ganteng.
Bintang menarik napas berat. "Kamu juga asyik ngobrol sama Reno. Kamu suka sama Reno? Nggak, kan? Ya gue juga sama aja," jawab Bintang ketus, membuat Kaila diam. Kaila dulu merasa tenang ketika mengetahui bahwa Bintang putus dengan Kevin, tapi sepertinya itu tak akan bertahan lama. Bintang pasti akan mencari orang baru untuk menghindari kecurigaan orang-orang akan hubungan mereka, dan Daniel sepertinya mulai tertarik pada Bintang. Ia tak tahan membayangkan Bintang berpacaran dengan orang yang satu sekolah dengannya. "Oh ya, mana foto yang waktu itu, Kai?" tanya Bintang pada Kaila yang sepertinya sedang ngambek karena dari tadi diam saja. "Ada di flashdisk." Kaila menjawab datar. Tangannya mencari-cari sesuatu di dalam tas. Namun, tiba-tiba ia berhenti. Wajahnya terlihat tegang. Dengan cepat, wajahnya berubah pucat. "Kenapa, Kai?" tanya Bintang yang menyadari perubahan pada ekspresi Kaila. "Flashdisk-nya dipinjem Reno."
*****
Jam istirahat membuat kelas sepi. Anak-anak yang sudah penat dengan atmosfer kelas yang berbau pelajaran lebih senang nongkrong di kantin atau di koridor. Seperti Bintang dulu. Namun, kini Bintang lebih senang beristirahat di kelas yang kosong dan sepi bersama Kaila. Kaila sedang pergi ke kantin membeli minuman. Bintang duduk bengong menatap papan tulis, memikirkan artikel yang akan ditulisnya. Seolah akan muncul tulisan di papan tulis tersebut dan memberinya ilham. Namun, ide itu tak kunjung datang. Papan tulisnya juga masih tetap kosong. Sedang buntu-buntunya memikirkan ide tulisan, Daniel yang baru selesai bermain basket di lapangan dengan seragam abu-abunya masuk membawa bau keringat dan matahari. Bintang tahu bahwa Daniel yang duduk di belakangnya memiliki kebiasaan selama jam istirahat. Biasanya ia bermain futsal atau basket sekitar 15 menit, kemudian masuk ke kelas dan 'bermain' dengan kertas A4 dan pensil. Benar saja, setelah duduk di bangkunya, Daniel langsung mengeluarkan pensil dan kertas A4. Tertarik dengan kebiasaan Daniel, Bintang membalikkan tubuhnya. Merasa diperhatikan,
Daniel menghentikan goresan pensilnya. Gambar yang dibuat Daniel tertutup lembaran kertas yang lain sehingga Bintang tak dapat melihatnya. Tiba-tiba sebuah ide muncul di benaknya. "Niel, bisa ngelukis orang nggak?" tanya Bintang. Daniel diam sejenak. "Bisa. Kenapa?" jawabnya sambil mengambil kertas baru dan mulai menggambar lagi. "Lukis Kaila, ya," pinta Bintang, bersemangat membayangkan lukisan Kaila terbingkai frame hitam polos dan dipasang di dinding kamarnya. "Orangnya nggak ada," ujar Daniel tanpa memandang Bintang. "Sebentar lagi juga dateng. Sekarang daripada gambar Om-om begitu, mending lukis gue dulu aja," ujar Bintang ketika melihat Daniel mengggambar orang berambut kribo berbaju ketat dengan celana ala Rhoma Irama. Daniel menatap Bintang dengan heran. PD banget sih, nih anak, pikirnya. "Ayo." Bintang sedikit memaksa. Akhirnya, Daniel menyingkirkan gambarnya yang belum selesai dan mengambil kertas A4 yang lain dari tasnya. Bintangg bertanya-tanya, berapa banyak kertas A4 yang dibawa Daniel setiap hari. Sebuah buku bergambar jamur menarik perhatian Bintang ketika Daniel mengeluarkan selembar kertas A4. "Buku itu tentang apa?" tanyanya. Daniel mengikuti arah pandang Bintang. "Budidaya jamur," jawabnya singkat. "Buat apa? Tertarik bisnis jamur?" ujar Bintang sambil berpikir-pikir, mungkin jamur bisa dijadikan bahan tulisannya. "Keluarga gue punya budidaya jamur. Jadi gue juga perlu nambah pengetahuan soal jamur," jawab Daniel. Bintang mengangguk-angguk. "Wah, menarik juga. Kapan-kapan boleh main ke tempat budayanya, ya?" pinta Bintang serius. "Gimana ntar. Jadi nggak mau dilukis?" tanya Daniel. "Jadi, jadi," jawab Bintang cepat-cepat sambil membetulkan posisinya. Dalam posisi tidak bergerak, Bintang bertanya-tanya kenapa Kaila begitu lama membeli minuman, padahal jam di tangan Daniel menunjukkan bahwa sepuluh menit lagi mereka masuk. Ketika punggungnya mulai pegal, Bintang melihat sesuatu yang membuatnya kesal. Dari sudut matanya, melalui kaca, ia melihat Reno memandangnya dengan ekspresi mengejek sambil menggandeng Kaila yang memalingkan wajah. Saking sebalnya, Bintang lupa bahwa ia tidak boleh bergerak. Ia balas memandang Reno dengan galak. Daniel yang merasa terganggu oleh
gerakan Bintang berhenti menggambar dan mencari tahu apa yang mengalihkan perhatian Bintang. "Masih mau dilukis lagi, nggak?" tanyanya ketika Reno dan Kaila sudah tak terlihat. Handphone Bintang berbunyi ketika ia hendak kembali pada posisi semula. Sebuah pesan baru masuk.
From: 08xxxxxxxxx Jauhin ce gw!
Bintang tersentak membaca SMS tersebut. Meskipun tak tahu itu nomor siapa, ia bisa menebak siapa pengirimnya. Siapa lagi kalo bukan Reno. Kok, Reno bisa tahu? batinnya. Rasa takut mulai menjalari dirinya. Namun, sebuah perasaan baru muncul. Kesal. Siapa dia nyuruh-nyuruh gue jauhin Kaila, pikir Bintang. Diletakannya handphone-nya kemudian kembali ke posisinya. "Ayo terusin," ujarnya pada Daniel. "Lama-lama lo kayak mandor." Daniel melengos dan mulai melukis Bintang yang wajahnya masih menyiratkan kekesalan.
Dan Para Setan pun Bernyanyi
Dua bukit kecil yang jelas artifisial tetapi masih bisa mengobati kerinduan akan alam mengapit jalan sebuah perumahan. Di sore hari, bukit yang dilapisi rumput yang terpangkas pendek dan menawarkan kehangatan tersebut sering dijadikan tempat untuk berpacaran. Jalan di ujung bukit yang ditutup dijadikan tempat untuk latihan skateboarding oleh anak-anak sekitar. Di sore Jingga itu, Bintang yang selalu mencibir orang-orang yang berpacaran di sana terpaksa mengutuki diri sendiri. Kali ini ia dan Noval menjadi salah satu dari mereka. Bintang duduk sambil memicingkan mata melihat anak-anak yang terjatuh beberapa kali saat belajar skateboarding. Noval terlentang di atas rumput kering di sebelahnya. Cowok itu terlihat begitu lelah karena harus kuliah setelah semalaman mengisi acara pembukaan sebuah kafe. Namun, ia lebih memilih beristirahat di udara terbuka ketimbang tidur di kosannya yang pengap. Bosan memperhatikan anak-anak, Bintang mengalihkan perhatiannya pada Noval yang memejamkan matanya. "Capek banget ya, Val?" tanyanya lembut. Noval membuka matanya, menarik napas panjang, kemudian duduk di sebelah cewek itu. Ia memandang Bintang dengan sayu sambil tersenyum. "Banget," ujarnya. Ia memegang tangan Bintang dan memainkan jemarinya yang kurus. "Halus banget. Uangnya diabisin buat luluran, ya?" canda Noval. Bintang hanya tersenyum. Ia tak ingin mengatakan apa-apa, karena berada di dekat Noval saat itu sudah cukup baginya. Sekilas, ia melihat sebuah bekas jahitan yang selama ini tak disadarinya di telapak tangan kiri cowok itu, dekat ibu jari. "Ini kenapa?" tanya Bintang. Ternyata bekas jahitan yang melintang itu cukup lebar dan mengganggu. "Ini?" Noval menunjukkan bekas lukanya. Bintang hanya mengangguk. "Ini nggak sengaja kekait besi rangka komputer waktu benerin punya temen," jelas Noval. "Baik banget mau benerin komputer temen," ujar Bintang tanpa menatap Noval. Jari telunjuknya menyusuri bekas jahitan tersebut. "Bayarannya lumayan." Noval tertawa pelan. "Tangannya jelek, ya?" lanjutnya karena melihat Bintang masih mengamati tangannya.
"Hmm... justru ini tangan cantik, Val," komentar Bintang. "Cantik karena dipakai untuk berusaha."
*****
Uap muncul saat air panas dari dispenser meluncur masuk ke dalam gelas berisi kopi dan gula yang dipegang oleh Bintang. Wangi khas kopi bercampur air panas tercium ketika Bintang mengaduk kopi di gelas itu. "Mau kopi juga nggak, Val?" tanya Bintang sambil menghampiri Noval yang sedang memegang gitar dengan telinga menempel pada benda itu untuk memastikan suara gitarnya tidak sumbang. "Nggak ah," sahut Noval. Bintang menyeruput kopinya yang masih panas sedikit demi sedikit sambil duduk di sebelah cowok itu. Aroma kopi dan keberadaan Noval di sisinya mampu mengusir penat Bintang. Ia baru saja menghabiskan delapan jam, pada hari libur kuliah, di belakang counter untuk melayani pembeli yang kebanyakan memasang wajah menyebalkan. Tubuhnya terasa pegal. "Bintang, kok lo bisa main gitar, sih?" Noval berhenti memainkan gitarnya. Ditaruhnya gitar akustik tersebut di sebelah kasur busanya. "Ya belajar, lah. Kenapa gitu Val?" "Nggak apa-apa, jarang aja ada cewek yang mau belajar gitar. Biasanya kan sukanya nyanyi." Noval meminum kopi dari gelas Bintang. "Kenapa lo mau belajar gitar?" "Buat bikin orang senang," Bintang menjawab spontan dengan mata menerawang, seperti mengingat sesuatu yang sudah hampir terlupakan. Noval mengernyitkan dahi. "Cowok, ya?" tanya Noval dengan nada yang terdengar seperti tuduhan. "Hah? Bukan." Bintang sadar ia telah mengatakan sesuatu yang salah. "Bukan buat cowok, kok," sambungnya cepat. Noval memalingkan mukanya dan mendengus tak percaya. Bintang meraih pipi Noval dan menatap matanya yang merah karena kurang tidur. Setelah mengisi acara di pembukaan sebuah kafe baru sampai dini hari. Setelah itu ia hanya sempat tidur beberapa jam karena ada kuliah pagi.
"Cemburu, ya?" tanya Bintang pelan. Tangan halusnya menyapa rambut Noval. "Lo satu-satunya cowok yang pernah gue cinta, Val." Senyum tersungging dari bibir merah jambunya yang meluncurkan pengakuan. Aroma kopi segar menyapa indra penciuman Noval saat ia mengecup Bintang yang kini berada dalam rangkulannya. Bintang yang tenggelam dalam pelukan Noval bisa merasakan embusan napasnya yang begitu dekat. Jutaan saraf yang tersentuh oleh setiap kecupan menghantarkan aliran hangat. Setiap sentuhan jari memberi euforia yang mengaburkan kesadaran. Membuat mereka sejenak amnesia akan wilayah tabu di setiap desiran yang menuntut penyelesaian. "Argh! Sakit, Val!" pekik Bintang yang menemukan kembali kesadarannya yang datang terlambat. Sang penyusup telah menemukan celah. Mahkota sang putri berhasil dicuri. Dan para setan pun bernyanyi, "Kerja kami tuntas sudah. Dua manusia bodoh terperangkap dalam jerat kami yang 'indah'."
*****
Dalam balutan kaus bolong dan jeans hitam, Bintang duduk dengan kedua kaki ditekuk ke dada di lantai kosan Noval yang berlapis karpet meteran abu-abu. Rambut basahanya meneteskan titik-titik air ke kausnya. Membuat kaus tersebut menempel ke punggungnya. Perasaannya campur aduk. Bintang mengutuki diri sendiri karena dengan mudahnya melanggar aturan. Suara pintu yang dibuka ketika Noval keluar dari kamar mandi tidak didengar oleh Bintang yang masih duduk dengan kaki ditekuk. Noval yang hanya memakai celana pendek dan kaus usang menghampiri Bintang dengan canggung dan duduk di sebelahnya. Mendadak, Bintang merasa risih berdekatan dengan Noval. "Bintang," panggil Noval pelan. Bintang memalingkan mukanya. Tiba-tiba wajahnya terasa panas ketika mendengar suara Noval. Melihat gelagat kekasihnya, Noval mengurungkan niat untuk bicara. Ia hanya menggenggam tangan perempuan itu. Merasa bersalah karena tak bisa menjaganya dengan baik.
Perlahan, tanpa bisa dicegah, tetesan air bening merangsek ke luar dari sudut mata Bintang. Setiap tetes yang meluncur disusul oleh tetesan-tetesan lain yang dengan cepat terbentuk. Bintang hendak menyeka air matanya dengan punggung tangan, tapi ditahan oleh Noval yang kini duduk di hadapannya. Noval memperhatikan wajah basah Bintang yang mati-matian berusaha disembunyikannya. Di tengah kegelisahannya, Bintang merasa gusar diperlakukan seperti itu. Apa maksud Noval memandanginya seperti itu? Ingin melihatnya jelek di tengah linangan air mata dan mata sembap? Sekuat tenaga ia mencoba menghentikan air mata, tapi yang terjadi malah sebaliknya. Air mata yang keluar bertambah banyak, diikuti isakan kecil. Membuatnya malu. "Lo nyesel, Bintang?" Noval bertanya dengan ekspresi datar walau ia tidak bermaksud begitu. Direngkuhnya bahu Bintang. Puncak kepala Bintang menyentuh dagunya. "Gue minta maaf," ujarnya pelan. Kemudian ia mengelus punggung Bintang yang berada dalam pelukannya. Ia tak akan tahu cara menghadapi perempuan yang sedang menangis seandainya ia tak pernah secara tak sengaja melihat ibunya melakukan hal yang sama terhadap adik perempuannya ketika putus cinta. "Gue takut lo ninggalin gue, Val," ucap Bintang di sela-sela tangisnya. "Jangan bilang gitu. Gue nggak suka," ujar Noval sambil mengeratkan pelukannya. Ia dapat merasakan kausnya basah oleh air mata Bintang. "Lo milik gue dan gue sayang sama lo." Dikecupnya ubun-ubun Bintang.
*****
Suara gesekan antara kertas dan pulpen memenuhi kelas yang hening. Semua kepala tertunduk ke arah buku sambil sesekali memandang whiteboard. Para siswa berseragam putih abu sedang sibuk mencatat soal latihan matematika yang tertera di sana. Bintang yang duduk di bangku belakang mendongakkan kepala karena pandangannya terhalang oleh kepala Anita yang duduk di depannya. "Nomor lima apa, sih? Nggak keliatan," tanyanya pada Kaila. Kaila diam saja, tak menjawab.
"Kai," ulang Bintang, yang mengira Kaila tak mendengarnya. Tetapi Kaila tetap diam. Jika diingat-ingat, sejak beberapa hari lalu Kaila memang jarang sekali bicara. Bahkan terkesan mendiamkannya. "Kai, kenapa sih? Marah?" tanya Bintang, kesal karena didiamkan. Ia sudah tidak berminat mengerjakan soal matematika, yang disukainya. Kaila tetap bergeming. "Kai?" Bintang mengeraskan suara, tetapi suara yang lebih keras terdengar di sampingnya. "Bintang, coba kerjakan nomor lima." Bintang menoleh, mencari sumber suara. Bu Titi, sang guru matematika tersenyum 'manis' di sebelahnya. Dengan langkah sedikit sombong setelah mengerjakan latihan matematika dan menggagalkan usaha sang guru untuk mempermalukannya, Bintang kembali ke tempat duduknya di sisi Kaila. Kaila sepertinya tidak merasakan kehadiran Bintang—bisa dikatakan ia tidak merasakan kehadiran siapa pun. Ia terus mencatat, rambut panjangnya yang berponi pagar menutupi sebagian wajahnya. Hanya beberapa menit setelah Bintang kembali ke kursinya, bel istirahat berbunyi. Bak sebuah robot, saat itu pula Kaila mengangkat wajahnya yang tanpa ekspresi, membereskan alat tulisnya dan bangkit dari kursi tanpa memperhatikan sekitarnya untuk kemudian keluar dari kelas sebelum Bintang sempat mengajaknya bicara.
*****
Bintang mendapati sebuah tas selempang tergeletak di kursi Kaila. Dengan penasaran, diamatinya tas tersebut. Dengan segenap usahanya, Bintang berusaha mengingat apakah Kaila memiliki tas macam itu. Rasa-rasanya Kaila tidak pernah memakai tas putih. Tas baru? Tapi tas putih tersebut tidak asing bagi Bintang, dan tidak tampak baru. Masih dengan pandangan penasaran, ditaruhnya ransel cokelatnya di kursinya lalu duduk. Tak lama kemudian, beberapa siswa masuk ke kelas. Daniel yang tinggi dengan tas selempang di bahu bidangnya melewati meja Bintang dengan acuh sebelum duduk di kursinya. Di belakang Daniel berjalan Rina yang mungil dan berkerudung, kemudian duduk di sebelah Bintang. Pantas saja Bintang merasa pernah melihat tas tersebut, Rina memakainya setiap hari.
"Hai, Bintang. Kaila minta tukeran tempat duduk. Nggak apa-apa, kan?" tanya Rina yang kini sedang membuka-buka tasnya. "Oh, nggak apa-apa." Bintang cepat-cepat mengatupkan mulutnya, berusaha tidak menunjukkan keheranannya akan pertukaran tempat duduk yang tidak terduga itu. Beberapa saat kemudian, dilihatnya sosok Kaila yang baru datang berjalan masuk, menyimpan tasnya di kursi barisan depan, di sebelah Arini, teman sebangku Rina sebelumnya. Setelah itu, Kaila hanya duduk diam memandangi whiteboard tanpa sedikit pun menoleh pada Bintang.
Yang Maha Pencemburu
Sebuah pick-up hitam dengan dempul di sana-sini yang sebenarnya sudah layak untuk dipensiunkan menyusuri jalan bergelombang yang berlubang di banyak tempat. Puluhan plastik berisi jamur segar tersusun dan terikat rapi di bagian belakang mobil tersebut. Berguncang naik turun sesuai irama jalan yang dilewati. Daniel yang berada di belakang kemudi tidak terganggu dengan keadaan jalan. Ia dengan mudah menghindari lubang dan memilih bagian jalan yang tidak rusak. Pengetahuan Daniel akan keadaan jalan tersebut tak dapat diragukan karena sudah menjadi rutinitasnya untuk melewati jalan tersebut. Setiap hari Sabtu, ia menggantikan ayahnya mengantarkan jamur dari tempat budidaya milik keluarga ke pasar-pasar tradisional. Tugas mengantar jamur di hari Sabtu sudah dijalani oleh Daniel sejak tahun lalu, saat ia duduk di kelas 2 SMA. Biasanya Daniel ditemani Toni, salah satu pegawai ayahnya. Namun, hari ini berbeda. Ia ditemani oleh seorang perempuan yang duduknya kurang nyaman akibat goncangan yang ditimbulkan jalan. Perempuan itu adalah Bintang. Pagi itu, Bintang yang sebenarnya lebih suka berbaring di bawah selimut tebalnya memilih untuk bangun dan ikut dengan Daniel mengantar jamur ke pasar. Daniel berjanji akan mengajak Bintang berkeliling ke tempat budidaya jamur setelahnya. Bintang, yang tertarik dengan proses budidaya jamur setelah mendengar cerita Daniel, menyetujuinya. Akibatnya, kini ia terdampar di dalam kaleng bermesin alias pick-up yang dikendarai Daniel, di pagi buta yang dingin dengan mata terkantuk-kantuk. "Masih jauh, nggak?" tanya Bintang sambil merapatkan jaket cokelatnya. "Sebentar lagi," jawab Daniel santai. Bintang berharap bahwa 'sebentar' itu benar-benar sebentar, mengingat 15 menit yang lalu Daniel mengatakan hal yang sama. Dalam usaha menghilangkan kantuk, Bintang memperhatikan keadaan jalan yang masih sepi dan gelap di daerah pemukiman padat penduduk. Warung-warung yang terlewati masih tutup, rumah-rumah masih menyalakan lampu. Sebagian besar orang masih berada di alam mimpi, pikir Bintang. Dipandangnya Daniel yang sedang mengemudikan kaleng bermesin dengan santainya. Bintang merasakan kekaguman. Ketika anak-anak muda seusia mereka tengah asyik bersenang-senang menghamburkan uang orang tua, membuat geng, bahkan merusak sarana umum, manusia sipit di sebelahnya justru menanggalkan gengsi dengan pergi ke pasar mengantarkan jamur.
Terlahir di tengah keluarga yang memiliki banyak usaha dan penghasilan yang lebih dari cukup tidak membuat Daniel manja. Ke sekolah pun ia masih memakai motor bebek keluaran lama. Saat melihat mobil yang dikemudikan Daniel—padahal Bintang yakin mereka mampu membeli pick-up kapsul keluaran baru—Bintang menyimpulkan bahwa keluarga Daniel memang mendidiknya untuk hidup sederhana dan bekerja keras. "Kenapa, Bintang?" tanya Daniel. Menangkap basah Bintang yang sedang memperhatikannya. "Nggak apa-apa," jawab Bintang, cepat-cepat mengalihkan perhatian ke jalan di depannya. Mereka sudah memasuki daerah pasar. Banyaknya orang yang lalu-lalang dengan pasar tumpah yang mempersempit bahu jalan membuat Daniel harus memelankan laju kaleng bermesinnya. "Udah nyampe. Jangan lupa bantuin ngangkut-ngangkut," ujar Daniel sambil mematikan mesin pack-up. Bintang hanya tertawa dan keluar dari kaleng bermesin penuh dempul tersebut. Mengira Daniel hanya bercanda. "Bintang, tunggu apa lagi?" tanya Daniel yang telah selesai melepas ikatan-ikatan yang mengamankan plastik berisi jamur dan kini tengah mengangkat dua plastik besar jamur. Bintang bengong.
*****
Bintang, Mei, dan Dewa sedang berdiri di depan poster film besar di sebuah bioskop. Jika Bintang dan Dewa memusatkan perhatian mereka ke poster Ninja Assassin, Mei lebih memusatkan pandangannya pada poster Twilight. Selalu begitu setiap kali mereka hendak menonton. Mei memiliki selera film yang berbeda dengan Bintang dan Dewa. "Jadi, mau nonton apa nih?" tanya Bintang. "Twilight," jawab Mei. Bintang melirik Dewa, meminta jawaban. "Ninja Assassin," jawab Dewa. "Yah, gue juga mau nonton Ninja As..." Ucapan Bintang terpotong getaran handphone yang tersimpan di kantong celana jeans-nya. Bintang mengambil handphone dan membaca pesan singkat yang masuk. Seperti yang sudah diduganya, itu pesan dari Noval, menanyakan ia sedang apa.
"Noval, ya?" tanya Mei. Bintang hanya mengangguk karena sedang sibuk membalas SMS. "Perhatian banget, dari tadi SMS melulu," komentar Mei sambil tertawa meledek. Posesif dan berlebihan kayaknya lebih tepat, pikir Bintang yang hanya tersenyum simpul. Setelah selesai membalas SMS, ia memasukkan handphone ke tas serutnya. "Gini aja," ujar Bintang, "waktu kita nonton terakhir kali kan gue udah nemenin, sekarang lo nonton Twilight sendirian nggak apa-apa?" tanyanya pada Mei. "Ya udah, nggak apa-apa," ujar Mei dengan nada biasa, membuat Bintang merasa lega karena ia tak perlu menonton film yang sudah ia baca bukunya itu.
*****
"Gimana filmnya?" tanya Mei yang duduk di hadapan Bintang. Mereka makan di foodcourt yang lumayan penuh walau bukan waktunya makan siang. Mereka memang sepakat untuk bertemu di foodcourt setelah selesai menonton film. "Bagus," jawab Dewa singkat. Tidak seperti biasanya, ia sibuk dengan handphone-nya. "Iya, keren lho Mei," tambah Bintang. "Wah? Twilight juga keren..." Mei mulai menceritakan film yang baru saja ditontonnya. Bintang yang sudah bosan mendengarkan cerita Mei pura-pura mendengarkan sambil ikut-ikutan Dewa mengecek handphone-nya. Sepuluh pesan baru masuk, sembilan di antaranya berasal dari Noval. Semuanya berisi pesan yang serupa, menanyakan sudah selesai nonton atau belum, dengan siapa, ada di maan, dan menyuruh Bintang segera membalas. Intonasi yang ditangkap Bintang dari satu pesan ke pesan lainnya menunjukkan betapa kesalnya sang pengirim. Bintang cepat-cepat membalas.
Mav, ru lez. Ud slese ko, ni lg ma dewa n mei di fc.
Tak lama kemudian, SMS balasan masuk. Suara Mei masih terdengar saat Bintang membuka SMS dari Noval.
From: Val Lima menit aja gak punya waktu bwt blz?
Bintang sedang asyik mengetik pesan balasan untuk Noval ketika ia merasa seseorang menariknarik bagian bawah bajunya. "Apa, sih?" tanya Bintang ketika menyadari ulah Dewa yang duduk di sampingnya. Dewa memberi kode dengan matanya ke arah Mei yang ekspresinya sangat mirip dengan singa yang siapa menerkam mangsa. "Kalian dengerin gue nggak, sih?"
*****
Bintang meloncati dua anak tangga sekaligus untuk mempercepat geraknya menuju parkiran tempat Noval menunggunya. Ia hampir jatuh ketika meloncati dua anak tangga terakhir. Untungnya tak ada orang yang melihat, membuatnya terhindar dari rasa malu. Namun rona merah jambu tipis tetap muncul di pipinya yang pucat. Bintang melangkah cepat. Kulitnya terasa kering dan kencang karena tak sempat memakai lotion setelah lama berkubang dalam air kaporit. Bintang berbelok menuju parkiran. Di sana ia melihat Noval yang mengenakan kaus oblong hitam sedang bertengger di atas motornya, di antara deretan motor-motor lain. "Udah lama?" Bintang menghampiri Noval. "Belum. Baru nyampe," jawab Noval, membuat Bintang bersyukur karena ia tak perlu melewati hari ini dengan pertengkaran.
Bintang memakai helm yang disodorkan Noval, kemudian duduk di belakangnya dengan tenang. Mereka akan makan siang bersama. Bintang sudah memikirkan menu yang akan dipesannya, namun Noval belum juga menjalankan motornya. "Kenapa?" tanya Bintang yang mengira motor Noval bermasalah. Noval menatapnya tajam dari spion. Membuat Bintang merasa serbasalah. Akhir-akhir ini, Noval sering sekali menatapnya dengan pandangan yang membuatnya merasa seperti anak kecil yang ketahuan melanggar peraturan. "Apa?" tanyanya lagi. Mulai kesal karena ia merasa tidak melakukan kesalahan apa pun hari itu. Noval mengedikkan kepalanya ke arah paha Bintang yang tak sepenuhnya tertutup rok selutut berwarna hitam. "Mau pamer?" sindir Noval. "Lain kali jangan pakai rok atau celana pendek lagi. Gue nggak suka," lanjutnya. Bintang ingin membantah, tapi ia menelan kata-katanya, mengingat hal itu hanya akan membuat Noval bertambah kesal. "Iya," jawab Bintang sebagai ganti dari penolakannya.
*****
"Tutup pintunya," ujar Noval bersemangat sambil menyalakan lilin berbentuk angka satu yang tertancap di atas kue black forest mini. Lilin itu tak kunjung menyala karena tertiup angin yang masuk melalui celah pintu. Bintang berlari kecil menuju pintu dan menutupnya. Setelah itu ia kembali duduk di hadapan Noval. Lilin berbentuk angka satu tersebut kini dimahkotai api yang bergoyang-goyang tak stabil. Setitik api menerangi ruangan yang temaram dan berantakan tersebut. Bintang dan Noval beradu pandang sejenak dan tertawa kecil, mengingat lebih dari setahun yang lalu mereka masih menjadi musuh terbesar bagi satu sama lain. "Tiup bareng-bareng," ujar Bintang sambil merapikan blus putih berkancing dan berlengan panjang yang dikenakannya. Noval tertawa melihat Bintang yang begitu antusias. "Tiga... Dua... Satu." Noval menghitung mundur. Pada hitungan terakhir, mereka meniup dengan penuh semangat. Pijar api pada lilin pergi dibawa angin. Asap kecil putih dari sumbu yang
terbakar menggantikannya dan melayang-layang di atasnya. Meliuk-liuk melewati dua pasang mata yang penuh tawa sebelum mencapai langit-langit dan hilang dibawa angin.
*****
Lilin merah berbentuk angka satu masih tertancap di atas black forest mini berbentuk bulat yang tinggal setengah. Asap lilin tak lagi mengepul. Sumbu lilin menghitam, dingin karena sudah lama ditinggalkan api. Dua piring kertas bertebaran di lantai. Beberapa jengkal dari sana, sebuah blus dan kaus tergeletak tak terlipat, tak jauh dari kasur busa yang tengah menopang berat badan dua orang. "Setahun. Kita udah setahun," kata-kata tersebut diucapkan Bintang yang tengah berbaring. Ia hanya mengenakan tanktop putih. Rambutnya tergerai. Noval yang berbaring di sebelahnya hanya menanggapinya dengan gumaman tak jelas sambil memperhatikannya. Dengan jarinya, Noval menelusuri tulang selangka Bintang yang menonjol di bawah lehernya. "Belang," komentar Noval saat melihat perbedaan warna kulit yang mencolok di antara dada dan leher Bintang. "Karena berenang. Ntar juga ilang sendiri." Bintang mengangkat jari Noval dari tulang selangka yang sedang ditelusurinya dan memainkan jari-jari panjang tersebut. Pemilik jemarin yang tengah dimainkan Bintang terdiam sejenak, seperti memikirkan sesuatu yang sudah lama ingin diutarakan. "Bintang," ucap Noval ragu. "gimana kalo lo berhenti ikut klub renang?" Bintang tersentak kaget mendengar ucapan Noval. Dengan cepat, dipalingkannya wajahnya untuk menatap wajah Noval. Dahinya menabrak dagu Noval karena mereka berbaring sangat dekat. "Maksudnya?" Bintang terheran-heran. "Gue nggak suka lo pakai baju minim di depan orang." Bintang tertawa tak percaya. "Itu kan kolam renang, Val. Lagian, di klub renang cewek sama cowok dipisah."
"Tapi pelatihnya kan cowok, Bintang." Noval berujar cepat. Bintang menatapnya marah. "Lo cemburu sama pelatih gue, Val?" Bintang mendengus kesal. Banyak sekali yang Noval cemburui, mulai dari Dewa, Mei, buku, murid-muridnya, dan banyak lagi. "Bintang, cowok normal mana sih yang nggak nafsu liat cewek pakai baju minim? Gue nggak mau lo dijadiin objek onani pelatih lo." Bintang yang marah mendengar kalimat terakhir Noval bangkit dari kasur dan menyambar blus putihnya. Dengan cepat, dipakainya blus tersebut. "Mau ke mana?" Noval ikut-ikutan memakai kausnya. Yang ditanya tak menjawab, sibuk mengancingkan blus putihnya. Kancing terakhir di baju itu terlepas dari lubangnya ketika Noval menarik tangan Bintang dengan keras. "Mau ke mana? Ini jam 1 malem," ulang Noval. "Val, gue nggak mau berantem. Gue mau pulang," Bintang melepaskan pegangan Noval pada pergelangan tangannya. Tanpa diduga, Noval mencengkeram wajah Bintang dengan kedua tangannya. Wajah Noval yang dibentuk oleh tulang-tulang bergurat tegas berubah kaku dan dingin, membuatnya tampak lebih tegas dan mengembuskan rasa takut pada orang yang menatapnya. Baru kali ini ia melihat Noval seperti itu, wajahnya mengingatkan Bintang pada gang-gang gelap yang dilewatinya ketika pulang terlalu malam. Yang menimbulkan rasa was-was. Bintang berjalan mundur sampai punggungnya menabrak dinding, tetapi Noval tidak melepaskannya. "Lo marah?" Cowok itu bertanya sinis. Bintang berusaha menggelengkan kepala, tapi cengkeraman cowok itu begitu kuat. Dirasakannya ujung-ujung jari Noval menekan kulit wajah dan kepalanya. "Lo milik gue, Bintang," ujar Noval dingin. Cengkeramannya semakin kuat. Dengan kedua tangannya yang jauh lebih kecil dari milik Noval, Bintang berusaha melepaskan cengkeraman. Jauh di dalam hatinya, Bintang tidak suka dilabeli sebagai milik seseorang dan ingin membantah, tapi rasa takut melihat wajah Noval yang tampak kejam membuatnya menelan kembali katakatanya. "Milik gue. Dan gue nggak mau bagi-bagi sama orang," ujar Noval, layaknya membicarakan permen. "Ngerti lo..." "Sakiiit..." Bintang meringis, memotong ucapan Noval ketika kuku-kuku Noval menembus kulitnya dan meninggalkan jejak bebercak merah di permukaan wajah dan kulit kepalanya.
Lembayung untuk Senja, Siapa?
Bintang menatap pantulan wajahnya di cermin. Disentuhnya bekas kuku yang cukup dalam di beberapa tempat di pipinya satu per satu. Bintang mengoleskan salep antiradang tipis-tipis, berharap bekas-bekas itu cepat hilang. Beberapa saat kemudian terdengar ketukan di pintu kosannya. Di depan pintu, Dewa, Mei, dan Nindya berdiri menunggu. "Ada apa rame-rame dateng ke kosan gue?" tanya Bintang bingung. Ketiga temannya terlihat lebih bingung. "Kita kan mau kerja kelompok," ujar Nindya. "Oh, iya. Lupa." Bintang mempersilakan mereka masuk kemudian menutup pintu. Mereka duduk melingkari meja persegi pendek berukuran 1x1 meter yang terletak di sebelah kasur busa. Bintang mengambil air dari dispenser yang menempel ke dinding untuk disuguhkan kepada teman-temannya, sementara mereka bertiga berkomunikasi dengan mata. Bertatap-tatapan dengan heran. Bintang menaruh tiga gelas air putih di meja tersebut. Teman-temannya serentak terdiam. "Mmm... Bintang, muka kamu kenapa?" Mei memberanikan diri untuk bertanya. Refleks, Bintang menyentuh luka berbentuk lengkungan kuku di wajahnya. Ia lupa bahwa wajahnya belum bisa dianggap baik-baik saja. "Oh, ini. Bukan apa-apa, kok." Bintang tak ingin membahas hal tersebut lebih lanjut. Mereka terdiam dalam kecanggungan yang ditimbulkan pertanyaan itu. "Oh, ya udah." Dewa mengakhiri pembicaraan. Tahu bahwa Bintang tak mungkin bercerita di depan mereka semua.
*****
Satu per satu, anak tangga yang terbuat dari kayu tua yang berderit setiap kali dipijak itu dinaiki oleh sepasang kaki pucat yang warnanya seperti kulit ayam broiler. Pemilik sepasang kaki itu melangkah dengan tenang karena sudah mendapat izin dari nyonya rumah untuk menemui anaknya di kamarnya yang terletak di lantai dua di bagian ujung rumah tersebut. Ia sampai di depan pintu yang dituju. Seharusnya, dengan norma kesopanan yang berlaku, sang pemilik kaki—yang juga pemilik sepasang tangan pucat—mengetuk pintu. Namun, ia tidak menghiraukan aturan tersebut dan langsung membuka pintu di hadapannya. Sebuah ruangan berwarna pink yang mirip kamar Barbie terpampang di hadapannya ketika pintu terbuka. Yang pertama Bintang lihat adalah pandangan kaget dari seorang perempuan berponi pagar yang sedang duduk di atas tempat tidurnya sambil melamun. "Bintang? Ngapain ke sini?" tanya Kaila gugup. Bintang yang selama beberapa minggu terakhir dihindarinya kini berdiri di hadapannya. Diliriknya pintu yang sudah tertutup sehingga memungkinkan mereka berbicara dengan leluasa. "Mau ketemu," jawab Bintang singkat. Masih berdiri di hadapan Kaila yang menghindari adu pandang dengannya. "Kenapa mengindar terus? Ada apa?" Bintang bertanya dingin. Ia marah karena Kaila membuat hatinya terkatung-katung sekian lama. Ia sudah tidak tahan untuk diam dan hanya menonton, ia perlu mencari jawaban. Kaila beberapa kali menelan ludah sebelum memandang Bintang dengan tajam. "Karena kita sama-sama cewek," ucap Kaila dingin. Ia diam beberapa saat. "Hubungan kita nggak wajar," lanjutnya sambil setengah tertawa, seperti orang gila. "Oh, kenapa nggak bilang dari kemarin-kemarin?" ujar Bintang yang entah bagaimana dapat berbicara begitu tenang dan santai. Mungkin amarahnya sudah melampaui batas sehingga tidak terasa lagi. "Gue sayang lo, Kai, dan gue nggak akan mungkin maksain apa yang gue mau sama lo." Bintang mendekati Kaila yang terlihat serbasalah. Dengan sebelah tangan, ia memeluk Kaila yang tampak canggung. "Kalo itu mau lo, gue terima, kok," Bintang berbisik sebelum melepaskan pelukannya. Ia berbalik dan melangkah pergi. "Bintang." Terdengar suara Kaila yang tercekat ketika Bintang membuka pintu kamarnya untuk keluar. Tiba-tiba Kaila berlari dan memeluknya erat sekali, membuat Bintang hampir terjengkang.
"Gue sayang lo, Bintang. Maafin gue," ujar Kaila. Ia sedikit tersedak. Bintang merasakan bahunya yang terbalut seragam SMA perlahan basah. Air mata Kaila menghujani bahunya. "Gue... gue pergi bukan mau gue," ujar Kaila dengan susah payah. "Apa pun yang gue lakuin, inget... gue... selalu sayang sama lo... jangan tanya-tanya lagi... gue nggak akan bisa bilang..." Dalam kebingungan akibat tindakan impulsif Kaila, Bintang membelai punggung Kaila yang berguncang. "Gue sayang lo... sayang...," lanjut Kaila. "Sekarang, tolong tinggalin gue sendiri." Kaila melepaskan diri dari pelukan Bintang dan cepatcepat berbalik. Tak ingin memperlihatkan wajahnya yang basah dan merah.
*****
Handphone candybar tipis berwarna hitam dengan goresan di beberapa bagian bergetar di atas ranjang yang sedang ditiduri Bintang. Setelah melihat siapa yang mencoba menghubunginya— Noval, seperti dugaannya—Bintang meletakkan kembali handphone-nya. Sudah hampir seminggu berlalu sejak Noval memberi tanda di wajah Bintang dengan kukukukunya. Bintang terpaksa diam beberapa hari di kosan sampai wajahnya kembali normal. Selama itu pula handphone-nya selalu bergetar. Noval terus berusaha menghubunginya. Bintang tak pernah menjawabnya, dibiarkannya handphone-nya terus bergetar. Noval pasti akan kebanjiran pahala, karena ia yang begitu tidak sabaran mau tidak mau harus bersabar menghadapi Bintang akibat kelakuannya sendiri. Luka bekas kuku di wajah Bintang sudah hilang, tapi perasaan kecewa saat ia merasakan bekas kuku-kuku Noval tertancap di mukanya yang masih jelas terlihat di wajahnya masih jelas terasa. Alasan yang kuat untuk enggan berkomunikasi dengan Noval. Getaran dari handphone Bintang akhirnya berhenti. Dengan tenang ia kembali membolak-balik majalah yang sedang dibacanya, sebagian besar berisi referensi pakaian. Terdengar suara ketukan di pintu. Bintang tak dapat menerka siapa yang malam-malam berkunjung ke kosannya. Dengan gontai dan sedikit kesal ia berjalan menuju pintu. Gerimis di luar membuatnya malas untuk beranjak dari tempat tidurnya yang hangat di malam minggu itu.
Seorang laki-laki berperawakan tinggi yang memakai kaus bertuliskan 'Djogja' di dalam jaket tebalnya berdiri di hadapan Bintang ketika ia membuka pintu. "Val?" Bintang terkejut melihat Noval yang berdiri di balik pintu. Berarti selama handphone-nya bergetar, Noval berada beberapa meter darinya, hanya dipisahkan oleh pintu dan dinding. Bintang hendak menolak kedatangan Noval, tapi ia merasa kasihan ketika melihat rambut Noval yang basah, menunjukkan bahwa cowok itu berhujan-hujan untuk datang ke kosannya. "Masuk, Val," putus Bintang setelah berpikir beberapa saat. Noval membuka jaketnya yang basah dan menaruhnya di lengan sofa yang didudukinya. Bintang sendiri duduk di sofa yang sama, tetapi di ujung yang berlawanan. Noval mendekati Bintang yang diam saja. Tiba-tiba, ia meraih wajah Bintang dan menyingkapkan rambut yang terurai di wajah itu. Diperhatikannya wajah Bintang dengan saksama, seperti mencari-cari sesuatu. "Sudah hilang, tak berbekas," ujar Noval lega sambil mengelus pipi Bintang yang sempat berhiaskan bekas kuku yang cukup dalam. Bintang, yang awalnya diam saja karena kaget, cepatcepat menyingkirkan tangan Noval dari wajahnya. "Bintang, gue minta maaf," ujar Noval kepada Bintang yang tidak menanggapinya. "Gue harus gimana lagi?" tanya Noval tidak sabar. "Gue bener-bener minta maaf." Bintang masih diam. Noval tak dapat menebak apa yang sedang dipikirkan Bintang saat itu, karena wajahnya tak menampakkan ekspresi apa pun. "Mau minum apa, Val?" Bintang beranjak dari duduknya. "Oh... apa aja, lah," sahut Noval bingung, tak menyangka dan tak mengerti maksud Bintang menawarinya minuman. Dipandanginya punggung Bintang yang sedang mengambil sesuatu di lemari kecil. "Nih." Bintang menyerahkan segelas susu putih pada Noval. "Aku tahu kamu nggak suka susu, tapi yang ada di lemari cuma ini," lanjutnya karena Noval terlihat ragu meminumnya. "Bintang, lo maafin gue, nggak?" tanya Noval, memastikan. Bintang tak menjawab. Ia menghilang di balik pintu lemari dan sesaat kemudian kembali dengan selembar handuk putih. "Iya, asal kukunya dipotong pendek." Bintang menyerahkan handuk tersebut pada Noval. "Keringin dulu rambutnya, ntar masuk angin." "Jangan lupa gantiin salep antiradang," lanjut Bintang pada Noval yang mulai mengeringkan rambutnya.
"Hah? Salep antiradang? Emang berapaan, sih?" tanya Noval. Rambutnya tampak jabrik dan acak-acakan karena belum benar-benar kering. "Aku bercanda kali, Val." Bintang menjawab dingin sambil menghabiskan susu yang hanya diminum sepertiganya oleh Noval. Noval tertawa hambar sambil memandang kotak kaca yang berisi hamster di sebelah lemari kecil di hadapannya. Rasanya ia ingin sekali mencekik sepasang hamster peliharaan Bintang yang sedang asyik berlari-lari bahagia di atas kincir di dalam kotak tersebut.
*****
Noval bersandar dekat pintu toilet laki-laki yang menghadap pintu toilet perempuan di sebuah mall sambil mengecek handphone-nya. Seorang perempuan yang mengenakan tanktop dengan rambut dikucir kuda keluar dari toilet dan melewatinya. Noval memperhatikan sebuah gambar kecil di tengkuk perempuan itu. Tato kupu-kupu. Tak lama kemudian, Bintang keluar dari toilet perempuan. Ia mengenakan celana jeans panjang dan kaus oblong berlengan panjang. Rambutnya tergerai. "Lama amat," ujar Noval ketus. "Masa?" tanya Bintang yang merasa dirinya hanya sekejap berada di toilet. "Maaf ya, thanks udah nunggu." "Bintang," panggil Noval. "Ya?" Bintang menjawab sambil memeriksa jadwal film yang akan mereka tonton di tiket yang dipegangnya. "Gue pengin lo ditato. Disini." Noval memegang bahu kanan Bintang. Senyum tersungging di wajah Noval. Ia tahu ia menang dan Bintang akan melakukan apa yang ia mau.
*****
Dari cermin, tampak sebuah jari kurus menyusuri gambar kupu-kupu mungil yang terukir di bahu kiri. Gambar kupu-kupu mungil itu terlihat menari-nari. Jari-jari kurus tersebut berhenti menyusuri gambar kupu-kupu dan kini tergantung lunglai di samping tubuh pemiliknya. "Bisa-bisanya gue nurutin maunya tuh orang," rutuk Bintang. Ditariknya kaus longgar yang tadi diturunkannya untuk melihat tato kupu-kupu di bahunya itu. Kini si kupu-kupu aman tersembunyi di balik kaus. "Kalo nggak cinta, mana mau gue," ujarnya berat.
*****
Pukul 9 malam, sebuah toko yang terletak di kompleks ruko sebuah perumahan masih buka dan melayani pembeli. Bintang yang berada di belakang etalase sedang membuat bon untuk seorang perempuan setengah baya yang membeli kebutuhan sehari-hari ketika ibunya masuk membawa dua kantung plastik berwarna hitam. Sang ibu menghampiri dua karyawan laki-laki yang sedang membereskan barang. Ia memberikan sebuah kantung kepada salah satu dari mereka. "Makasih ya, Bu," ujar Bintang ramah seraya memberikan kembalian kepada perempuan setengah baya tersebut. Ibunya menghampirinya ketika perempuan tadi pergi dengan barang belanjaannya. Ia mengeluarkan dua kotak nasi goreng dari dalam kantung plastik. "Makan dulu, yuk," ajak ibunya sambil menyodorkan satu kotak nasi goreng kepada Bintang. Bintang mengambil kotak tersebut dan duduk di kursi plastik di sebelah ibunya. Aroma nasi goreng kambing menggelitik hidungnya, membuat perutnya yang lapar bertambah lapar. "Bintang nggak capek bantuin ibu jaga toko sampai malem gini?" "Nggak. Lagian besok libur, kok," jawab Bintang yang sedang berkonsentrasi melahap nasi goreng kambing yang mengepulkan asap. Selama beberapa saat, yang terdengar hanya suara kendaraan yang lewat dan bunyi gigitan kerupuk.
"Oh ya," ujar ibu Bintang. "Tadi ibunya Kaila telepon..." Beliau berhenti sebentar untuk mengunyah makanannya. Bintang ikut berhenti makan, gelisah menunggu apa yang akan dikatakan ibunya. "...nanyain Kaila, bareng kamu atau nggak. Katanya akhir-akhir ini Kaila sering banget pulang malem. Kamu tahu dia kenapa?" lanjut ibu. "Nggak tahu, Bu," Bintang menjawab pendek dan kembali menyantap nasi goreng kambing yang kini terlihat tidak begitu menggiurkan lagi. Kamu kenapa sih, Kai? Bintang membatin.
Kupu - Kupu di Batu Pualam
Hari Jumat hanyalah hari biasa bagi sebagian besar orang. Namun, bagi Bintang, hari Jumat adalah istimewa karena hari itu adalah hari pengganti weekend baginya. Satu-satunya hari libur dalam seminggu. Tak ada jadwal kuliah, tak ada jadwal mengajar, dan kebetulan bertepatan dengan hari liburnya dari pekerjaannya di salah satu franchise ayam goreng tepung yang bertebaran di seantero Jakarta. Bagaimana dengan hari Sabtu dan Minggu? Pada kedua hari tersebut ia harus bekerja dan mengajar anak SD yang hendak menghadapi Ujian Nasional. Jumat pagi adalah waktu yang dijadwalkan Bintang untuk mencuci baju kotor yang sudah ditumpuknya selama seminggu, memanjakan diri dan bermalas-malasan sepanjang hari dengan menonton TV, memasak makanan kesukaan, luluran, bahkan tidur seperti bangkai. Seperti bangkai, karena ia tak bergerak sama sekali, hanya napasnya yang naik turun pertanda ia masih hidup. Pagi itu, karena belum menyelesaikan cuciannya yang menggunung, Bintang harus menunda acara malasmalasannya dan memaksakan diri untuk mencuci baju yang sudah direndamnya sejak dua puluh menit yang lalu. Sedang asyik-asyiknya menuci di bagian belakang kosan petaknya, Gina, teman sekosan Bintang, memberitahunya bahwa ibu Bintang datang dan sedang menunggu di depan pintu kamarnya. Bintang segera mencuci tangannya yang penuh busa deterjen lalu menemui ibunya. Ibunya tengah duduk di atas tembok rendah yang memisahkan kamar petak yang satu dengan yang lain ketika ia datang. "Kenapa nggak langsung masuk aja, Bu?" tanya Bintang setelah mencium tangan ibunya. "Kamarnya dikunci, Ibu lupa bawa kunci serepnya," jawab sang ibu. Bintang mengeluarkan kunci dari sakunya. Ia sengaja mengunci kamar sekalipun ia berada di dalam karena kosannya yang berupa kamar petak rawan kecurian. Bintang mempersilakan ibunya masuk ketika pintu terbuka. Ia mengikutinya. Dibiarkannya pintu terbuka agar cahaya matahari dan udara pagi masuk ke dalam dan membunuh jamur-jamur yang dibawa oleh udara lembap. Seperti biasa, wajah ibunya langsung berubah iba ketika masuk ke kamar kos sempit dengan kamar mandi dan dapur terpisah yang dipakai ramai-ramai. Padahal Bintang sendiri sudah terbiasa tinggal di sana. "Ada apa ibu dateng pagi-pagi banget?" tanya Bintang sambil memberikan segelas air pada ibunya yang duduk bersandar ke dinding.
"Nggak apa-apa. Pengin aja," ujar ibunya. Bintang duduk di sebelahnya. "Gimana toko, Bu?" tanyanya. "Udah kayak biasa lagi. Cuma memang belum naik modal," jawab ibunya. "Bintang, kamu udah bisa pindah ke kosan yang lama," lanjut beliau. Bintang memandang wajah ibunya yang masih terlihat lelah tapi lebih segar dari terakhir kali mereka bertemu. Bintang menatap ibunya dengan heran. "Lho? Katanya belum balik modal. Kan kosan yang dulu mahal, Bu," ajarnya. "Ya kalau buat bayarin kosan, kuliah dan jajan kamu sih masih cukup," sahut ibunya datar seraya menyeruput air putih yang diberikan Bintang. "Nggak usah, ah. Disini juga enak kok. Sayang uangnya. Mending ditabung aja." Bintang ngotot. "Kosannya sudah Ibu bayar. Besok kamu bisa pindah," kilah sang ibu. Bintang memandang ibunya dengan bingung. Sadar bahwa sifat keras kepala ibunya menurun kepadanya. Namun, ia juga mengerti bahwa ibunya tak akan memikirkan anak satu-satunya yang tidur di kosan petak yang kurang aman, dengan triplek sebagai pemisah kamar, serta selalu disapa banjir jika hujan turun. Lagi pula kosan baru itu sudah dibayar. Jika saja belum, maka Bintang akan terus mencoba bernegosiasi dengan ibunya. "Ya sudah. Besok pindah. Hari ini beres-beres dulu." Dalam hati, Bintang mengucapkan selamat tinggal pada hari memanjakan diri.
*****
Kotak kardus besar diturunkan Noval di sebuah kamar yang terbilang luas dengan pantry dan kamar mandi sendiri. Diamatinya kosan tersebut dan pikirannya mulai bekerja. Satu kata dalam benaknya: mahal. "Bintang, kalau ibu kamu bisa bayarin kosan ini, kenapa kamu masih kerja?" Noval bertanya heran. Selama ini ia pikir Bintang bekerja untuk menyambung kuliah karena ibunya yang ditinggal mati ayahnya tidak mencukupi kebutuhannya. Bintang yang sedang membuka kardus yang lain terdiam sejenak.
"Buat nambah biaya S2 nanti. Ya, seenggaknya short-course, lah," jawab Bintang sambil mengeluarkan isi kardus yang sebagian besar berisi buku, peralatan makan, dan jam dinding. Pakaian dan barang besar yang berat sudah dipindahkan sehari sebelumnya. Noval memandang Bintang yang sibuk mengeluarkan isi kardus. Seorang pemimpi yang bangun dan berupaya, pikirnya kagum. "Kok diem aja?" tanya Bintang yang menyadari tengah diperhatikan. "Nggak apa-apa," sahut Noval. Ia cepat-cepat membongkar isi kardus kedua. Suara SMS masuk terdengar dari handphone Bintang. Bintang membuka dan membalasnya di bawah tatapan curiga Noval. "Dari siapa?" tanya Noval. "Dari Rian," jawabnya ringan. Rasa kagum yang tadi singgah di benak Noval segera terdepak oleh rasa cemburu. "Sering banget di-SMS cowok?" tanyanya sinis. Bintang menatapnya dengan lelah. "Ya ampun, cuma jarkom," jawab Bintang. Ia sudah malas ribut karena masalah SMS. Noval mendengus sebal. "Ya udah, tukeran nomor aja kalo gitu," Bintang ingin segera mengakhiri masalah SMS yang sudah berhari-hari hilang dan kini timbul tanpa diduga. "Males." Noval menjawab ketus dan kembali membantu Bintang membongkar barang. Bintang diam dengan kaku, berusaha sekuat tenaga untuk tidak melemparkan buku statistik tebal yang sedang dipegangnya ke wajah Noval. Setelah menarik napas dan menenangkan diri, Bintang mengeluarkan buku-buku yang lain. Ditariknya sebuah album foto. Sudah lama ia tak membuka album tersebut. Seolah ada kekuatan magis yang menariknya untuk membuka album foto itu di tengah barang yang berserakan. "Apa itu?" tanya Noval. Bintang diam saja. Cowok itu mendekati Bintang dan ikut melihat-lihat album yang sebagian besar berisi foto Bintang dengan seragam abu-abu. Sisanya foto Bintang dengan teman-temannya. "Siapa itu?" Noval menunjuk Daniel yang tertawa lebar di sebelah Bintang di depan whiteboard. "Temen," Bintang menjawab singkat. "Bukan mantan?" tanya Noval, karena di album itu hanya laki-laki itu yang berfoto berdua dengan Bintang. Bintang tak menjawab. "Kalau yang itu?" Noval menunjuk foto Bintang dengan Kevin yang memakai pakaian formal.
"Itu baru mantan," jawab Bintang. "Kok masih disimpan?" Noval terlihat marah. Bintang mengeluarkan foto tersebut dari album dan menyerahkannya pada Noval. "Buang aja," ujarnya singkat, tak ingin bertengkar sekaligus sebal mengingat kejadian saat ia diturunkan di jalan. Noval mengambil foto tersebut dan benar-benar membuangnya ke tempat cucian kotor karena belum ada tempat sampah. Setelah itu, ia kembali berjalan mendekati Bintang untuk melihat album foto yang masih dipegangnya. "Ayo liat-liat lagi." Noval mengabaikan tatapan heran Bintang atas sikapnya dan kembali melihat foto di album berdebu tersebut. Setelah kedua foto itu, Noval tidak lagi menemukan foto Bintang dengan laki-laki. Sebagian besar sisa album diisi oleh foto Bintang bersama seorang perempuan. "Ini siapa? Fotonya banyak amat." Noval menunjuk foto perempuan tersebut. Bintang hanya tersenyum. Mengelus foto perempuan yang tersenyum ke kamera dengan telunjuknya, penuh rindu. "Cantik banget ya dia," ujarnya lirih. Noval menatap perempuan dalam foto itu. Memang cantik, tapi nggak nyambung sama pertanyaan gue, ujarnya dalam hati. Namun, Noval tidak peduli dan kembali ikut melihat foto-foto lain yang diisi oleh Bintang dan perempuan tersebut.
*****
Dengan helm di tangan kiri, Noval berdiri di belakang Bintang yang sedang membuka kunci kosannya. Jarang sekali orang lewat di lorong kosan Bintang, sebagian besar penghuni samasama sibuk dan bukan anak muda lagi. Jika kebetulan berpapasan pun mereka tidak terlalu peduli. Bintang sendiri hanya beberapa kali melihat wajah tetangga-tetangganya. Hanya penghuni kos kanan-kiri yang ia ketahui namanya. Bintang yang memang tidak suka keramaian tidak mempersalahkan hal tersebut. Ia justru merasa beruntung. Tidak ada gosip, tidak ada jam malam, dan tidak ada yang peduli ia pulang dengan siapa.
Sofa kecil yang menempel ke dinding kini menopang tubuh Noval. Dengan mata tajamnya, diperhatikannya Bintang yang sedang berdiri di depan lemari terbuka, mencari pakaian. Setelah menarik baju yang akan dipakainya, Bintang bergegas menutup lemari dan berjalan menuju kamar mandi. Bintang berusaha mengabaikan tatapan Noval, tetapi di ambang pintu kamar mandi akhirnya ia berhenti, diam sejenak, lalu kembali ke ruangan tempat Noval duduk. "Apa lagi, sih?" tanyanya kesal. Noval memalingkan mukanya. "Kan gue bilang, gue nggak suka lo pakai rok," ujar Noval. Bintang memutar matanya dengan kesal. "Val, ini seragam kerja gue. Gue nggak bisa nawar." Ditunjuknya seragam oranye yang dipakainya. "Lagian gue kan di belakang counter, nggak ada yang merhatiin." "Kalau baliknya? Atau perginya? Terus karyawan cowok gimana?" Noval menatapnya. Bintang hanya mengibaskan tangan dan melengos sambil pergi ke kamar mandi. Dengan sebal, ditutupnya pintu kamar mandi. Pintu tertutup dengan suara keras. Selesai menukar seragam kerjanya dengan kaus oblong dan celana training, Bintang duduk di atas ranjang, bukan di sofa di sebelah Noval, lalu menyalakan televisi. Beberapa kali dicarinya channel yang tepat, tapi tak ada acara bagus pada pukul sepuluh malam. "Bintang, gue baru inget. Kapan lo mau ngundurin diri dari klub renang?" tanya Noval. Bintang menatap Noval dengan heran. Seingatnya, ia tak menyetujui keinginan Noval untuk berhenti dari klub itu. "Gue kan nggak bilang setuju keluar dari klub renang," jawabnya. Wajah Noval yang rileks dengan cepat berubah menjadi dingin mendengar jawaban Bintang. Didekatinya cewek itu yang entah mengapa merasa bulu kuduknya berdiri setiap kali wajah Noval berubah seperti itu. "Lo ngerti gue nggak, sih? Gue nggak akan masalahin baju kerja lo lagi, tapi soal klub renang, gue bener-bener nggak suka," ucap Noval pelan. "Tapi Val, itu hobi gu..." "Cari hobi lain," potong Noval. "Please banget, Val." Bintang memohon, memelas. Noval diam saja, masih dengan tatapan dinginnya. Titah sang raja sudah final. Ia menggunakan hak prerogatif yang entah diperoleh dari mana.
"OK, OK. Puas?" sembur Bintang yang kemudian beranjak dari ranjang yang didudukinya, tetapi tertahan karena pergelangan tangannya dipegang cowok itu. Noval menariknya dengan kasar sampai ia kembali terduduk. "Kapan?" tanyanya, masih dengan suara dinginnya. "Ntar." "Kapan?" tanya Noval dengan suara setengah oktaf lebih rendah tanpa melepas pandangannya dari Bintang. Sekilas Bintang melihat kilatan di mata Noval yang dingin itu. Kilatan yang serupa tampak ketika kuku-kuku Noval menancap di mukanya dua minggu lalu. "Hari Selasa," ujarnya sambil mencoba melepaskan tangannya yang terasa kebas. "Lepasin tangan gue. Sakit." Wajah Noval yang beberapa detik lalu terlihat kejam tiba-tiba kembali ke asal, seakan terkejut dengan perilakunya sendiri. Cepat-cepat dilepaskannya cengkeraman dari pergelangan tangan kekasihnya. Bintang memijat-mijat tangannya yang memerah. "Sorry." Noval ikut-ikutan memijat pergelangan tangan Bintang dengan wajah bersalah. "Val..." Bintang bersuara pelan."Apa?" tanya Noval tanpa melihatnya. Bintang memandang jari-jari Noval yang sedang memijat pergelangan tangannya, berpikir sejenak untuk memilih kata-katanya. "Gue takut kalo lo kayak tadi," ujarnya sambil menatap Noval sembunyi-sembunyi. Noval mengangkat wajahnya dan menatap Bintang dengan hangat, jauh berbeda dengan tatapan sebelumnya. "Iya, gue nggak akan gitu lagi. Maafin gue, ya." Dipeluknya Bintang dengan penuh penyesalan. Bintang yang berada dalam pelukan Noval mulai merasa sedikit lega dan rileks. "Oh ya, lo bilang tato-nya udah jadi. Mana? Gue mau lihat," Pesan dari otak Noval yang berbentuk getaran bunyi merambat di udara dan menghampiri telinga Bintang. Setelah ditransfer ke telinganya, dikirim ke otaknya, diproses, dan dikodifikasi, dari pesan yang disampaikan Noval mendapat respons, 'Aduh, mau apa lagi?' dari otak Bintang tapi tanpa dikoordinasikan dengan mulutnya.
*****
Leher jenjang di depannya putih dan dingin seperti pualam. Diselipkannya rambut panjang hitam ke belakang telinga pemilik leher pualam tersebut. Dengan embusan napas yang terasa hangat di telinga, ia berbisik parau, "Jangan ikut klub renang lagi." Setelah itu, bibirnya tak lagi bicara, sibuk menelusuri leher jenjang itu, meninggalkan jejak-jejak merah di alur yang ia lewati. Ia berhenti di bahu. Terdapat sebuah gambar kupu-kupu mungil di sana. "Aah, ide tato itu bagus, kan?" Ia tertawa kecil dan meneruskan apa yang sudah dimulainya.
Kecewa
"Yakin mau ngambil PLP semester ini? Ini kan baru semester tujuh." Noval memperhatikan Bintang yang sedang memegang Kartu Hasil Studi semester enam yang bertaburan huruf A, B, dan satu C yang membuatnya benar-benar kecewa, mengingat ia selalu mengerjakan tugas di mata kuliah tersebut. "Yakin, semua mata kuliah udah dikontrak, kok. Cuma mau ngulang mata kuliah yang dapet C aja," Bintang melipat KRS-nya. Dilihat berapa lama pun, huruf C itu tidak akan berubah. "PLP kan nggak boleh sambil ngontrak mata kuliah, Bintang. Kecuali skripsi. Kejahatan akademik tau nggak, sih?" Noval ngotot karena sebenarnya ia juga ingin ikut PLP, tetapi tidak bisa karena tidak nekat mengambil KKN seperti Bintang di semester sebelumnya. "Kemarin bisa ngambil KKN, sekarang juga pasti bisa. Biar semester depan tenang bikin skripsi doang," lanjut Bintang. "Val, KKN jangan nakal ya." Bintang bergurau melihat Noval diam saja karena tidak dituruti. Noval hanya mendengus kesal. Bintang diam sejenak, seperti menghitung-hitung. Seperti mengingat-ingat sesuatu, ia mengeluarkan handphone dan dengan cepat membuka kalender. "Val." Bintang tersenyum sendiri. "Sebentar lagi kita dua tahunan," ujarnya pada Noval yang tidak seperti biasanya sedang bermain game. Entah telinganya dipenuhi oleh musik game atau pura-pura tidak mendengar, Noval hanya memusatkan fokus untuk meledakkan monster-monster di layar komputernya tanpa menanggapi Bintang.
*****
Pilar yang terdapat di lobi gedung teater di kampusnya dijadikan Bintang sebagai sandaran ketika ia duduk lesehan di lantai. Tak ada orang yang keluar atau masuk ke dalam gedung tersebut karena memang sedang tidak ada pertunjukan. Bintang berada di sana bukan untuk menyaksikan pertunjukan, tetapi menunggu Noval yang pertama kalinya menjadi pemain musik
dalam sebuah pertunjukan teater. Ia bertanya-tanya, apakah rasanya masih akan sama, jika ia menonton pertunjukan teater yang Noval terlibat di dalamnya? Cukup lama Bintang menunggu Noval yang berkata latihannya tinggal sebentar lagi. Noval mengatakan itu setengah jam lalu. Kalau saja tidak terlanjur berjanji untuk nonton dengan kekasihnya, Bintang pasti sudah pulang dari tadi. Kesal menunggu, Bintang mengirim SMS kepadanya. Badannya yang lesu mulai terasa pegal. Duduk diam dan menunggu memang lebih melelahkan daripada berjalan kaki. Beberapa saat setelah SMS-nya terkirim, pintu gedung teater terbuka. Beberapa orang yang dikenal Bintang—saking seringnya ia menonton pertunjukan mereka—baru saja keluar menyapanya. Yang lain hanya berjalan melewatinya. Bintang bangkit ketika dilihatnya Noval keluar dari pintu, berjalan di belakang dua orang laki-laki. Ia hendak menghampiri Noval, tetapi diurungkannya niat itu ketika dilihatnya Noval sedang asyik berbicara pada perempuan yang berjalan di sebelahnya. Rasa cemburu muncul di hati Bintang. Noval yang asyik mengobrol akhirnya melihat Bintang yang sudah menunggunya di dekat pilar. Bintang sendiri berusaha agar ekspresinya terlihat biasa saja. Dari jarak sekitar sepuluh meter, Bintang dapat melihat Noval pamit pada perempuan tersebut dan berjalan menghampirinya. Sekilas, perempuan tersebut melempar senyum pada Bintang. Bintang balas tersenyum. "Lama nunggu?" tanya Noval yang kini berdiri di sebelah Bintang. "Banget," jawab Bintang kesal. "Sorry," ujar Noval kalem sambil menggandeng Bintang meninggalkan gedung teater. Ia tidak menyadari bahwa orang yang digandengnya sedang kesal dan cemburu berat.
*****
Batagor yang berlumuran saus kacang itu tinggal setengah. Setengahnya lagi sudah pindah ke perut Bintang yang duduk sendirian di kantin sekolah pada jam istirahat. Sejak naik ke kelas tiga, ia memang banyak menghabiskan waktu dan perhatian untuk Kaila, hingga tidak sempat berteman apalagi membuat geng bersama teman-teman lainnya. Akibatnya, ia tak punya siapasiapa ketika Kaila tidak ada. Tetapi itu tidak jadi masalah besar baginya yang memang tidak bergantung pada kebahagiaan komunal.
"Iya, katanya sih ikut geng motor gitu. Dia emang sering bolos kan, sekarang." Suara seorang perempuan di belakang Bintang mencapai telinganya. Yah, tukang gosip, ujar Bintang dalam hati, tak berminat mendengarkan pembicaraan mereka. "Dia emang aneh, sih. Tapi nggak nyangka juga," suara lain menimpali. Mau tak mau, Bintang mendengar ucapan mereka yang duduk tepat di belakang mejanya. "Eh, emang Kaila tuh yang mana sih? Kok aku nggak tau, ya?" Bintang berhenti mengunyah batagor mendengar nama Kaila diucapkan oleh suara kekanakkanakan di belakangnya. Kaila... nggak mungkin, ujarnya dalam hati. Namun, Bintang mengakui, selain menghindarinya, Kaila juga tidak masuk dan tampak mengantuk di kelas. Ia melirik meja yang ditempati empat perempuan yang sedang cekikikan dan asyik menggosip. "Itu lho, yang poninya kayak pagar. Pacar si Reno. Yang aneh, lah." Kata-kata menyebalkan itu membuat tangan Bintang yang memegang garpu bergetar. "Eh, kalo beneran masuk, berarti dia udah gituan dong." Kata-kata perempuan cempreng itu disusul gelak tawa tanpa beban. Tak ingin mendengarkan hal-hal buruk lain tentang Kaila dan kehilangan kontrol, Bintang meletakkan garpu dan meminum es tehnya cepat-cepat. Tanpa menghabiskan batagornya, ditinggalkannya kantin sekolah yang mulai sesak itu. Di pintu keluar, sekali lagi diliriknya meja tempat empat perempuan itu duduk. Mereka masih cekikikan tanpa tanda-tanda telah mengganti topik. Membuatnya sebal.
*****
Suara yang ditimbulkan oleh hak sepatu yang beradu dengan lantai terdengar setiap kali Bintang melangkah saat ia memasuki sebuah cafe. Penampilannya malam itu membuat beberapa orang menoleh. Dengan anggun, ia duduk di salah satu meja di cafe tersebut. Seorang waiter datang menghampiri mejanya dengan penuh senyum ketika Bintang menaruh tas kecilnya.
"Mau pesan apa?" tanya si waiter. "Nanti saja. Tunggu orang dulu," jawab Bintang. Sang waiter pun meninggalkannya. Bintang merapikan atasan putihnya. Diliriknya jam tangan kecil di pergelangan tangannya menunjukkan pukul sembilan kurang lima menit. Lima menit lagi, ujarnya dalam hati. Bintang tersenyum sendiri. Malam ini adalah perayaan tahun keduanya dengan Noval, dan mereka memang merencanakan untuk merayakannya. Sambil menunggu kekasihnya, Bintang menonton sebuah band indie yang sedang tampil. Melihat band tersebut mengingatkannya pada saat pertama kali ia menonton pertunjukkan Noval di kafe Taman dua tahun lalu. Ia sengaja membujuk Mei untuk menemaninya pergi ke sana dengan iming-iming makan gratis di kafe tersebut yang menguras bayaran mengajarnya selama satu minggu. Detik demi detik mengalkulasikan dirinya menjadi menit. Menit demi menit menggabungkan dirinya menjadi jam. Sudah satu jam Bintang menunggu, tetapi Noval tak kunjung datang. Beberapa kali Bintang mengirimkan SMS dengan status delivered tetapi tak ada balasan. Berkali-kali pula ia mengecek pesan-pesan tersebut, siapa tahu belum terkirm, tetapi semuanya sudah dilabeli kata 'delivered'. Bintang mulai gelisah dan sebal. Ia mencoba menelepon Noval, tetapi tidak diangkat. Bintang bertambah sebal. Ia bersandar dan menatap kosong ke arah band yang sudah berganti. Bintang mendengus kesal. Diliriknya kotak hijau yang tergeletak di atas meja, di sebelah tas kecilnya. Dibukanya kotak tersebut. Isinya sebuah scrapbook yang sengaja dibuatnya untuk diberikan kepada Noval. Satu per satu halaman scrapbook tersebut dibuka dan dipandanginya. Mulai dari foto di pameran fotografi sampai foto mereka di bukit kecil di sebuah perumahan yang diambil minggu lalu. Semua tak luput dari perhatiannya. Halaman terakhir pun dibuka oleh jari-jari lentik Bintang. Di sana, terpampang foto mereka berdua yang sedang tertawa lebar. Sampai halaman terakhir selesai dilihat, Noval tidak juga datang. Dengan tidak sabar, Bintang kembali melirik jam tangan. Sudah lewat tiga puluh menit dari pukul sepuluh. Orang-orang yang tadinya memenuhi kafe pun berangsur-angsur meninggalkan meja. Suara kendaraan di depan kafe sudah tidak terdengar begitu intens, begitu pula dengan langkah dan celoteh para pejalan kaki, menandakan malam sudah semakin larut. Beberapa kali waiter dan waitress melewati meja Bintang. Pandangan mereka menyiratkan pertanyaan, sampai kapan ia akan diam di sana tanpa memesan. Bintang menyerah. Ia menghentikan waiter yang kebetulan lewat di dekat mejanya. "Saya pesan sop buntut," ujar Bintang.
"Maaf Mbak, sudah habis," jawab waiter. "Iga bakar?" "Habis." "Soto ayam?" "Habis juga." "Saya pesan yang belum habis. Kira-kira apa?" Bintang mulai kesal. Ia sangat lelah menunggu dengan perut lapar. "Semuanya masih ada, kecuali yang tiga tadi." Si waiter menjawab dengan sabar. "Kalau begitu, nasi goreng dan teh manis hangat," ujar Bintang diiringi sedikit rasa bersalah. Waiter mengulangi pesanannya sebelum pergi meninggalkan mejanya. Bintang memasukkan scrapbook-nya yang tergeletak di atas meja ke dalam kotaknya dengan asal. Setidaknya ia pulang dalam keadaan benar-benar kecewa saja malam itu. Bukan dengan kecewa dan kelaparan.
*****
"Gue bener-bener minta maaf. Gue lupa. Lagian, gue jadi MC di pensi SMA kemarin." Noval yang duduk lesehan di lantai di sebelah Bintang berusaha menjelaskan. Bintang yang duduk dengan menekuk kakinya ke dada diam saja, pandangannya diarahkan ke jendela yang menampilkan batang pohon dan daun. Mereka sedang duduk di koridor kampus lantai tiga. "Bintang..." Noval berharap Bintang bicara, tidak diam seperti itu. Bintang memalingkan wajahnya dari jendela kepada Noval dengan dingin dan kaku. "Setidaknya lo bales SMS gue, jadi gue nggak perlu nunggu sampe malem di sana," ujar Bintang dingin. "Gue kan jadi MC, Bintang. Nggak pegang handphone." Noval menjelaskan dengan tak sabar. Bintang masih diam. Beberapa saat kemudian, ia berdiri dan menyelempangkan tasnya.
"Mau ke mana?" Noval ikut berdiri dan membuntuti Bintang yang kini menuruni anak tangga. "Lo marah banget, ya?" tanya Noval yang berjalan di belakangnya. Bintang menoleh ke arah Noval. "Gue nggak punya energi buat marah, Noval," ujar Bintang pelan. "Gue cuma pengin sendiri dulu. Ntar kalau gue kangen, gue hubungin lo," lanjutnya dengan senyum dipaksakan. Ia membetulkan posisi tas selempangnya, kemudian berbalik meninggalkan Noval yang tertegun.
Ada yang Tidak Benar
Televisi itu menyala di ruang gelap. Menghantarkan radiasi lebih kuat dari biasanya. Menayangkan gambar demi gambar dan iklan demi iklan kepada seorang penonton. Satu penonton yang pikirannya sedang berkelana dalam dunianya sendiri. Setiap gambar dan suara yang keluar dari televisi tak melintas di kepalanya. Bintang, satu-satunya penonton di ruang gelap yang lampunya dimatikan itu, sedang sibuk dengan pikirannya. Benaknya memutar ulang film dari kehidupannya sendiri. Film tentang ia dan Noval. Dari semua yang sudah dihadapinya dengan Noval, ia merasa segalanya sudah berjalan terlalu jauh. Ia ingin berhenti dan berlaku wajar seperti awal kebersamaan mereka, tapi ia sangsi Noval akan mau berhenti. Selain suara televisi yang memenuhi ruangan, suara shower dari kamar mandi ikut meramaikan suasana. Tak lama kemudian, suara shower berhenti. Noval yang bercelana pendek dan mengenakan kaus oblong keluar sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk. Dari pintu pantry yang menuju ruang televisi, ia melihat Bintang yang memandang kosong gambar bergerak di hadapannya. Noval menaruh handuk yang dipakai untuk mengeringkan rambutnya di tempat menggantungkan handuk. Setelah itu ia menuju pantry untuk membuat secangkir teh manis. Suara sendok beradu dengan gelas bergabung dengan suara dari televisi. Noval menghirup teh manisnya sambil menatap Bintang yang masih duduk dengan posisi yang sama seperti terakhir kali ia melihatnya. Bintang tampak seperti siluet. Saat televisi menayangkan gambar gelap, wajah Bintang benar-benar membentuk siluet. Saat televisi menayangkan gambar terang, barulah wajahnya terlihat jelas. Dari sana Noval dapat melihat raut Bintang yang lelah. Entah mengapa, Noval akhir-akhir ini merasa bahwa kekasihnya selalu tampak lelah. Noval menyadari, berapa lama pun ia menatap Bintang, cewek itu tak akan menyadarinya. Maka ia menghampiri Bintang dan duduk di sebelahnya. Barulah saat itu Bintang keluar dari dunianya dan menyadari ada makhluk hidup lain di kosannya. Kosan yang menyerupai apartemen dengan security, tetapi tanpa ibu kos sehingga tak ada halangan bagi Noval untuk diam di sana selama Bintang mengizinkan. "Eh, Val. Seger ya udah mandi." Bintang berbasa-basi. Noval meletakkan cangkir teh manisnya di meja. "Banget," ujar Noval sambil mencoba memperhatikan televisi yang menampilkan acara komedi.
Suara penjual mi tek-tek mencapai telinga Noval yang sedang lapar. Ia bangkit dari sofa dan berjalan menuju jendela. Melihat apakah yang lewat di jalan memang penjual mi tek-tek. Ternyata benar. "Makan, yuk. Gue laper nih," ajak Noval. "Gue males makan." Bintang menyeruput teh manis Noval. "Lo lagi diet atau apa, sih?" tanya Noval heran. "Tadi siang juga nggak makan, kan?" "Nggak tau, males aja," jawab Bintang yang baru menyadari bahwa akhir-akhir ini badannya terasa sangat tidak nyaman, sering lemas, dan tidak nafsu makan. Noval ikut-ikutan hilang selera makan dan duduk di samping Bintang. Mengambil cangkir teh manisnya yang ternyata sudah kosong. "Akhir-akhir ini lo kenapa, sih? Sering ngelamunlah, lemeslah, nggak nafsu makan pula," ujar Noval. Ia memegang kedua pipi Bintang dengan tangannya. Diperhatikannya wajah itu. "Lo jadi tambah kurus, mata cekung, bibir pucat. Kenapa, sih? Sakit?" tanyanya lagi sambil melepaskan tangannya dari pipi Bintang. "Kecapean, kali," kata Bintang singkat. "Kalau gitu berhenti kerja aja," sambar Noval cepat. Selama ini ia memang tidak suka Bintang bekerja sampai malam menjadi waitress, tapi ia tak tahu cara menyampaikannya. Bintang terkejut mendengar usul Noval. Namun, setelah ia berpikir sejenak, pekerjaannya memang banyak menyita waktu dan energi. Noval melihat kebimbangan Bintang. "Gue kangen lo yang dulu." Noval menyandarkan kepala Bintang ke bahunya. Lo nggak akan tahu betapa gue juga kangen lo yang dulu, Val, ucap Bintang dalam hati. "Iya. Gue berhenti aja jadi waitress, ya. Tapi gue masih terus ngajar," putus Bintang akhirnya. Noval tersenyum senang mendengar jawaban Bintang. Ternyata tak begitu sulit.
*****
Roda-roda troli bergerak terseok-seok mengikuti orang yang mendorongnya. Menyusuri lorong demi lorong rak-rak barang. Ribuan pasang tangan sudah menempelkan bakteri ke pegangannya, dan entah berapa banyak barang telah dibebankan kepadanya. Membuat rodanya tak lagi mulus. Bakteri yang ditransfer orang-orang sebelumnya ke pegangan troli itu kini berpindah ke tangan Bintang yang juga menyumbang bakteri tambahan, seperti barter saja. Bintang mendorong troli dan memilih-milih barang yang hendak dibelinya. Berbagai barang sudah ditampung si troli. Sebagian besar berupa keperluan rumah tangga seperti sabun dan deterjen dalam jumlah yang cukup untuk satu bulan. Bintang sengaja membeli keperluan rumah yang cukup untuk satu bulan agar ia tak perlu bolak-balik ke minimarket. Dengan begitu, ia lebih jarang menghadapi godaan berkotak-kotak cokelat dan barang-barang lain. Ia mengambil sekotak susu berkalsium yang sudah lama dikonsumsinya. Ia kembali mendorong trolinya menuju rak kapas. Di lorong yang dibentuk oleh rak-rak itu, Bintang mendorong troli tanpa halangan karena minimarket yang terletak di lingkungan kampus itu sangat sepi pengunjung. Maklum, akhir bulan. Momentum akhir Bulan dijadikan Bintang sebagai strategi berhemat, karena dengan begitu ia akan berbelanja seperlunya. Karena memang sudah tak ada uang untuk berhura-hura. Bintang berdiri di depan rak kapas yang berdampingan dengan rak popok dan pembalut. Saat sedang memilih-milih kapas yang hendak dibelinya, ia melirik pembalut dengan kemasan aneka warna. Merasa ada sesuatu yang aneh. Dengan kening mengernyit, Bintang mengorek-ngorek pikirannya. Mencari tahu apa yang membuatnya merasa janggal. Tak lama kemudian, sesuatu melintas di kepalanya, membuat kakinya lemas seketika.
*****
Jari-jari Bintang mengetuk-ngetuk kaca etalase apotek. Tak sabar menunggu karyawan apotek membawakan benda yang ia cari. Beberapa kali ia memperhatikan apotek yang kosong untuk memastikan tak ada orang yang dikenalnya di sana. Semakin lama, ia semakin gelisah berdiri di depan konter apotek tersebut. Kegelisahan yang membuatnya tak bisa berdiri diam.
Beberapa saat kemudian, penjaga apotek berkerudung hitam muncul dengan sebuah barang yang terbungkus kantung kresek putih. Bintang yang sedang bersandar ke etalase langsung berdiri tegak. Tanpa berlama-lama, ia mengambil barang yang terbungkus tersebut dan membayarnya. Setelah barang yang ia beli tersimpan aman di tasnya, buru-buru ditinggalkannya ruangan yang penuh obat itu.
Kejutan yang Tidak Menyenangkan
Parkiran sekolah sudah penuh pada pukul tujuh kurang lima belas menit. Bintang yang baru datang masih sibuk mencari lahan kosong. Tempat yang biasanya ia pakai sudah terisi. Setelah beberapa saat memicingkan mata seperti elang sedang mencari mangsa, akhirnya ia temukan juga lahan kosong di depan sebuah motor matic putih. Swift ungu itu sudah aman terparkir dan terkunci. Bintang sudah turun dengan tas gendong hitamnya. Dengan langkah ringan, ia berjalan meninggalkan tempat parkir untuk menuju kelasnya. Seseorang yang baru datang dan memarkir motornya tak sengaja beradu pandang dengannya. Tatapannya aneh. Bintang heran, tapi tak mengacuhkannya karena ia tak merasa berpenampilan aneh hari itu. Ia melangkah menuju koridor kelas yang masih dipenuhi anak-anak sambil menunggu bel berbunyi. Suasana tidak nyaman menyergap Bintang. Sejak ia menjejakkan kakinya di sana, hampir semua mata memandangnya dengan tidak ramah. Beberapa murid berbisik-bisik ketika melihatnya. Bintang mempercepat langkahnya menuju kelas untuk menghindari pandangan aneh dari anak-anak itu. Kelas yang diharapkan Bintang dapat menjadi tempat bersembunyi ternyata tidak sesuai harapan. Teman-temannya memandangnya dengan tatapan seperti mereka berkumpul di koridor. Bintang duduk di kursinya, keheranan. Sejenak dilihatnya Daniel meliriknya, tapi cowok itu cepat-cepat mengalihkan pandangan. "Ada apa, sih?" Bintang bertanya bingung pada Daniel. "Buka aja FB lo, atau liat FB anak-anak," jawab Daniel tanpa memandang Bintang.
*****
Sampai di rumah, tanpa mengganti seragam Bintang langsung menyalakan komputernya. Segera membuka akun Facebook-nya. Jemarinya mengetuk-ngetuk meja kayu cokelat tua tempat komputernya diletakkan dengan tidak sabar. Akun Facebook Bintang terbuka. Banyak sekali notifikasi di sana. Bintang sudah tidak sabar mengetahui apa yang membuat anak-anak di sekolahnya memandangnya seolah-olah ia memiliki penyakit kusta. Dengan sekali klik, dibukanya notifikasi-notifikasi itu.
Abi commented on the photo you were tagged in.
Semua berbunyi seperti itu, yang berbeda hanya nama pengomentarnya. Bintang terus menelusuri daftar notifikasi sampai menemukan notifikasi yang berbunyi, "Reno tagged a photo of you." Ia cepat-cepat membukanya. Bintang hampir terjengkang dari kursinya saat melihat foto yang terbuka. Layar komputernya menunjukkan fotonya dan Kaila yang sedang berciuman. Komentar-komentar panjang dari banyak orang terpampang di bawahnya. Mulai yang heran, tidak percaya, sampai memaki-maki. "Lesbian merajalela, bentar lagi kiamat." Itu salah satu komentar terakhir yang Bintang baca sebelum ia memutuskan untuk tidak meneruskan membaca komentar-komentar lainnya. Semakin lama, komentar-komentar tersebut menjadi-jadi. Bintang memutuskan untuk kembali ke halaman beranda. Di sana, matanya tertuju pada sebuah status. "Body si Kai asyik... penasaran?" Status tersebut disertai sebuah link. Ragu-ragu, Bintang membuka link tersebut. Seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya, Bintang mengucek matanya berkali-kali. Rasa sedih dan tak percaya menyelimuti hatinya seperti asap yang menyelimuti hutan yang terbakar. Di sana dilihatnya foto-foto Kaila hanya mengenakan pakaian dalam sedang bersama dengan beberapa laki-laki.
*****
Di atas kloset putih, dalam sebuah toilet yang menyebarkan bau karbol dan antiseptik, Bintang duduk diam dengan wajah dibenamkan di pangkuannya. Jemari kakinya yang menapak di atas marmer putih dingin mengintip dari balik celana jeans. Sudah beberapa saat ia terdiam seperti
itu, hanya dengan tangan kanannya yang menggenggam benda pipih panjang. Tangannya terlihat lunglai bergetar seperti terrkena Parkinson. Perlahan, ia mengangkat wajahnya, menghitung mundur sambil memejamkan mata sebelum akhirnya membuka genggamannya. Tempat benda pipih panjang itu berada. Jari-jarinya yang dingin dan berkeringat bergetar ketika perlahan layar mungit berembun itu tampak. Positif. Gempa parsial terjadi. Gempa yang hanya menyerang tubuhnya, bukan objek di sekitarnya. Dunia berputar begitu cepat dalam kepala Bintang, membuatnya terhuyung. Benda pipih itu meluncur ke tempat sampah di samping kloset. Tubuh Bintang berguncang di pojok kamar mandi.
*****
Ketegangan menggantung di atas kepala Bntang dan Noval. Keduanya saling diam setelah pembicaraan yang menguras pikiran itu. Noval duduk di hadapan Bintang dengan dahi berkerut. Berpikir keras untuk memecahkan masalah yang mereka buat sendiri. Detik demi detik berlalu, berjalan mengikuti teori Einstein bahwa semakin cepat sesuatu melaju, semakin lambat waktu berjalan. Noval menarik napas dalam. "Gue nggak bisa," putusnya. Seperti suara hakim yang menjatuhkan hukuman bagi sang terdakwa. Bukan hal yang mengejutkan bagi Bintang. Sudah diperkirakan. Namun, tetap saja hal itu membuat hatinya mencelos, seperti orang yang sedang menuruni jalan yang menurun di dalam kendaraan yang melaju kencang. Perlahan, Noval menghampiri meja belajar dan mengambil sesuatu dari lacinya. Lalu berbalik dengan ekspresi mantap dan mendekati Bintang yang duduk dengan kaku. Meletakkan setumpuk uang di hadapan Bintang. "Gue rasa ini cukup buat nyelesaiin masalah. Kalau kurang bilang aja. Ntar gue cari tau tempat yang aman," ujar Noval.
Eskpresi kaku Bintang seketika berubah. Rasa terkejut melintas cepat, yang kemudian digantikan oleh senyum sinis yang sama cepatnya. "Saya tidak butuh uang kamu." Bintang meraih mantelnya dan berjalan cepat, meninggalkan penghinaan dari orang yang ia pikir mencintainya.
*****
Motor matic berwarna hitam itu perlana menyusuri jalan berbatu yang diapit sawah di kanankirinya. Bintang mengendarai motornya tanpa tujuan jelas di daerah Bandung tanpa sepengetahuan ibunya. Ia ke Bandung bukan untuk pulang, melainkan sekadar berputar-putar di tempat yang ia inginkan. Matahari jingga tampak di langit sebelah kiri, memantulkan sinarnya di kaca helm yang dipakai Bintang. Membuatnya terpaksa sedikit memicingkan mata. Di sepanjang jalan tersebut, dilihatnya para pertani bersiap-siap untuk pulang karena senja telah menjelang. Bintang berhenti di sebuah jembatan yang terletak di atas sungai kecil. Diparkirnya motor di tempat yang tidak menghalangi mobilitas orang-orang yang lewat, kemudian ia duduk di atas tembok jembatan tersebut, memperhatikan pemandangan di sekitarnya. Ingin sejenak melupakan masalahnya, Bintang menganggap dirinya fotografer profesional. Ia mengeluarkan kamera murahannya dan mulai mengambil beberapa gambar dari berbagai sisi. Handphone di saku celananya bergetar. Sebuah pesan baru masuk. Dibukanya pesan itu tanpa minat.
From: Val Sumpah, gue gak siap.. Plz, ikutin aja kata gue...
Dengan perasaan hambar, Bintang menyimpan kembali handphone-nya tanpa membalas. Setelah itu, ia kembali mengangkat kamera dan memotret apa saja yang menurutnya menarik. Beberapa objek sudah dipotretnya, sebagian besar benda mati dan pemandangan di sekitarnya. Bintang sedang mencari-cari objek lain untuk difoto ketika dua orang petani tertangkap lensa kameranya. Dua petani tua yang sepertinya suami istri itu berjalan di pematang sawah. Sang kakek yang berjalan di depan menggandeng sang nenek yang berjalan di belakangnya. Bintang menurunkan kameranya. Menyadari bahwa ia merasa sangat sendirian.
*****
Dua puluh lembar uang pecahan seratus ribuan berpindah ke tangan seorang perempuan tua yang dikenal sebagai dukun beranak. Dengan kaki keriputnya, si dukun beranak memimpin seorang perempuan berjalan ke sebuah kamar. Sesaat sebelum pintu kamar tertutup, si perempuan memandang wajah laki-laki yang duduk di kursi di ruangan yang baru ditinggalkannya. Perempuan itu merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Dilihatnya si dukun beranak mengambil sebuah baskom berisi air. Ribuan tetes air mata tumpah di hatinya. Mata dan pipinya tetap kering, dingin menatapi langit-langit lapuk. Seolah tak peduli. Aku pembunuh, batinnya berteriak. Detik demi detik berlalu, mendekatkan makhluk di rahimnya ke garis eliminasi.
Yang Menatap Balik Saat Bercermin
Saat itu pukul satu malam. Tak terlihat satu nyawa pun, bahkan tidak pula seekor kucing, di teras kosan petak Noval maupun di kosan lainnya yang berjejer di kanan kiri kamar ketika Noval datang. Pekat dan sunyi yang diakomodasikan malam itu menjadi penyelimut aib. Noval bersembunyi dari mata-mata yang melirik ingin tahu dan menguliti privasi. Dengan bahu kirinya, Noval mendorong pintu kosannya. Bahu kanannya menopang Bintang yang pucat, lemas, dan berbau anyir. Dengan langkah-langkah pendek, ia membawa Bintang masuk sebelum kemudian menyalakan lampu dan menutup pintu kosan. "Mau ke mana?" tanya Noval ketika Bintang menggeliat pelan untuk melepaskan diri darinya. "Toilet. Bisa sendiri." Bintang menjawab pendek sambil menyeret kakinya di bawah tatapan Noval. Tatapan yang baru ia alihkan setelah Bintang menghilang di balik pintu toilet yang tertutup. Sambil menguap pelan, Noval membuka jaketnya untuk berganti pakaian. Baru beberapa menit Bintang masuk ke toilet, terdengar jeritan histeris. "Vaaaal!" suara histeris Bintang membuat Noval berlari setengah terbang ke toilet yang tidak terkunci. "Kena..." Noval tertegun melihat Bintang yang tengah berdiri dengan bertumpu pada pinggiran bak mandi. Rok putihnya telah berubah menjadi merah dan genangan darah di bawah kedua telapak kakinya sedikit demi sedikit bertambah besar. Darah mengalir di tungkainya.
*****
Pakaian yang dikenakan cewek itu kini kering, bersih, dan tidak anyir, tetapi keadaannya tidak lebih baik. Bintang malah berbaring tak sadarkan diri di atas tempat tidur dengan bibir sepucat lilin setelah sebelumnya memaksakan diri meminum penambah darah. Noval yang shock hanya berharap dirinya mampu menangkap pergerakan sekecil apa pun dari Bintang, karena usaha yang ia lakukan selama tiga puluh menit terakhir untuk menyadarkan Bintang tidak menunjukkan hasil.
*****
Wajah kusut dan mengantuk Noval menjadi pemandangan pertama yang dilihat Bintang ketika kesadarannya kembali dan otaknya sudah mampu mengkoordinir sepasang organ kecil yang disebut mata untuk mendapat data visual dari keadaan di sekitarnya. Noval menghembuskan napas lega melihat Bintang mengerjap-ngerjapkan matanya meski ia masih terlihat begitu lemas. Ia benar-benar dalam keadaan terjepit selama satu jam yang terasa bagai seabad itu. Ia takut Bintang meninggal kehabisan darah, tetapi juga tidak bisa membawanya ke rumah sakit karena urusannya akan panjang. "Harus makan banyak. Harus," ujar Noval tegas pada Bintang yang kesadarannya masih melayang-layang, kendati ia tidak yakin Bintang dapat mendengarnya dengan jelas.
*****
Bintang dan Noval benar-benar berterima kasih kepada para produsen suplemen penambah darah. Setelah beberapa kali meminumnya, Bintang yang sebelumnya berebut nyawa dengan kematian kini cepat membaik. Warna-warna kembali ke wajahnya yang sudah lama merindukan rona itu. Bubur berbau amis yang sengaja dipenuhi telur rebus oleh Noval berada di pangkuan Bintang yang menolak disuapi. Sambil duduk di atas kasur busa berseprai biru tua dan bersandar ke dinding, Bintang melahap buburnya sambil memperhatikan Noval yang sedang bermain game di komputernya. Sepertinya, waktu satu minggu yang mereka rencanakan untuk bolos kuliah dan meninggalkan aktivitas lainnya itu akan digunakan Noval untuk bermain game sambil menunggu Bintang bisa berlari-lari tanpa sempoyongan lagi.
Suapan bubur terakhir masuk ke mulut Bintang. Noval masih sibuk dengan game-nya. Di bola mata cokelat tua itu terpantul bayangan monster-monster yang sedang berkelahi di layar komputer. Namun, pandangan itu kosong. Entah mengapa, sejak pulang dari dukun beranak, Bintang merasa Noval menjadi begitu pendiam dan selalu menghindari beradu pandang dengannya. Seperti orang terguncang yang tengah mengalihkan perhatian. Kata-kata yang dikeluarkan Noval dalam sehari bisa dihitung jari, "Udah baikan?", "Makan dulu," dan "Minum obat." Namun, hal tersebut tidak diambil pusing oleh Bintang, karena ia juga tidak memiliki cukup energi untuk banyak bicara dan memusingkan berbagai hal.
*****
Ruangan yang diterangi sinar dari lampu-lampu halogen tersebut berbentuk persegi panjang, bercat putih dengan kedua sisi dilingkupi kaca. Boks persegi panjang berjejer di dalamnya, persis barang-barang yang dipamerkan di etalase. Bintang yang mengenakan piyama merah berdiri di koridor sepi nan temaram di depan ruangan tersebut dengan bertelanjang kaki. Kaki-kakinya yang tidak beralas membawanya memasuki ruangan tersebut. Ia tidak paham bagaimana bisa berada di sana. Setiap langkah menyebarkan rasa dingin yang berasal dari keramik putih dan menjalar melalui telapak kakinya. Di dalam ruangan, dilihatnya bayi-bayi mungil yang masih merah terlelap di dalam boks masingmasing. Ia mendekati salah satu boks. Bayi di dalamnya terlihat gelisah dalam tidurnya. Lalu tangis bayi itu pecah. Bintang yang seumur hidup tidak pernah mengasuh bayi melirik ke kiri dan ke kanan, berharap ada orang lain, tetapi tidak ada siapa pun di sana. Akhirnya, dengan tangan gemetar, disentuhnya bayi tersebut dengan maksud menenangkan, tapi tangisan bayi malah semakin menjadi. Tangisan tersebut menjalar ke bayi di seberang boks tersebut yang kemudian dihampiri Bintang. Namun, ketika ia mencoba menenangkan bayi tersebut, bayi yang lain ikut menangis. Begitu seterusnya. Setiap kali ia mencoba menenangkan seorang bayi, bayi lainnya ikut menangis, sampai akhirnya semua bayi di dalam ruangan tersebut menangis.
Tangisan bayi memekakkan telinga Bintang. Semakin lama, tangisan-tangisan tersebut semakin keras, menyakitkan. Bintang berlari menuju pintu. Pintu terkunci, sedangkan telinganya berdenyut-denyut sekali. Sambil berjongkok, ditutupnya telinganya dengan kedua tangan. Di antara tangisan-tangisan keras itu, Bintang mendengar sebuah tangisan kecil di dekat kakinya. Seorang bayi mungil tergeletak di lantai yang dingin, persis di sebelahnya. Ragu-ragu, diangkatnya bayi mungil tersebut. Rasa sayang menjalari setiap sel darahnya ketika ia mendekap si bayi di dadanya. Si bayi akhirnya berhenti menangis. Perlahan, takut membangunkan bayi yang sepertinya sudah tertidur, Bintang melepaskan bayi itu dari dadanya untuk menatap wajahnya. Kini sang bayi berada di pangkuannya dengan wajah menghadap ke arahnya. Sang bayi, dengan mata bulat yang selalu balas memandangnya setiap kali ia bercermin, menatapnya kosong. Mati. Tubuh Bintang tersentak sedetik sebelum ia terjaga. Matanya nyalang memperhatikan sekitarnya. Ia masih terbaring dalam piyama merahnya di kamar kosan Noval yang sepi dan gelap. Layar komputer berpendar-pendar menyilaukan tanpa orang di hadapannya. Sepertinya Noval sedang berada di kamar mandi karena Bintang melihat petak persegi panjang terang tercetak di lantai yang gelap dari toilet yang tidak tertutup. Terdengar suara orang yang sedang menggosok gigi. Perlahan, napas Bintang kembali normal setelah ia memastikan benar-benar tidak ada bayi di sana. Bayangan gelap terbentuk di petak terang yang tercetak di lantai, menandakan Noval hendak keluar. Bintang kembali memejamkan matanya, pura-pura tidur, tetapi ia berusaha untuk tetap terjaga sambil berdoa dalam hati. Ia takut mimpi tersebut kembali menghampirinya. Namun, mimpi adalah taman bermain jin, yang memanfaatkan kenangan dan pikiran sang pemilik jiwa. Dan jauh di dalam pikiran Bintang, ada satu bagian tersembunyi, bagian kecil yang tak terlihat yang tak pernah sama lagi, bagian tempat berkumpulnya rasa bersalah yang memicu timbulnya mimpi tersebut berulang-ulang di hampir setiap tidurnya.
*****
Bintang berjalan dengan cepat di koridor sekolah. Tubuhnya tegak dan ekspresinya angkuh. Anak-anak masih memperhatikannya walaupun sudah 2 bulan sejak fotonya disebarkan oleh
Reno. Ia tidak berjalan menunduk atau menghindari tatapan orang-orang. Ia sudah bertekad untuk tidak membiarkan perlakuan teman-temannya mempengaruhinya dan membuatnya menderita. Tekadnya semakin bulat ketika Reno yang dengan angkuh berkata bahwa ia sudah putus dengan Kaila tersenyum menyebalkan sambil melipat tangan di dada setiap kali melihatnya lewat. Kaila sendiri tidak pernah masuk sekolah sejak foto-fotonya beredar. Beberapa kali Bintang mencoba menghubunginya, bahkan nekat pergi ke rumahnya untuk meminta penjelasan atas semua hal yang terjadi. Sia-sia. Bintang tak pernah bisa menghubungi Kaila dan tak pernah diizinkan untuk menemuinya. Menurut kabar yang tak sengaja didengarnya dari beberapa orang, Kaila sudah pindah sekolah ke yayasan yang dimiliki salah seorang kerabatnya. Kini Bintang benar-benar sendirian. Namun, ia tak ambil pusing. Ia berfokus pada ujian akhir yang akan dihadapinya demi cepatcepat lulus dari sekolah. Cacian, sakit hati dan kesedihan dijadikan Bintang sebagai bahan bakar untuk memfokuskan pikirannya pada pelajaran. Cara efektif untuk melarikan diri. Di depan pintu kelas, Bintang melihat Daniel yang sedang duduk di koridor berdiri dan berjalan ke arahnya. Bintang mempercepat langkah, tak ingin berbicara pada Daniel. Selama dua bulan ini ia tak memiliki teman. Kalaupun ada yang mendekatinya, mereka hanya ingin mengorek keterangan darinya. Bintang tak pernah mau berbicara. Ia yakin, di belakangnya, mereka menjelek-jelekkan dirinya sama seperti menjelek-jelekkan Kaila. Bintang sesungguhnya yakin bahwa Daniel menghampirinya bukan untuk mengorek cerita, tapi entah mengapa hati kecilnya diliputi rasa bersalah dan malu pada cowok itu, sehingga ia memilih untuk menghindar.
*****
Koridor panjang dengan deretan pintu di kanan kiri, tampak agak gelap kendati hari masih siang. Sebuah jendela di ujung koridor tidak cukup memberi banyak cahaya. Bintang, yang sudah merasa sehat, berjalan sendirian dengan langkah ringan di koridor itu menuju kamarnya, karena Noval yang mengantarnya sampai ke depan kosan sudah hampir terlambat masuk kuliah. Dengan tangan kanan memegang sebuah tas kertas besar berisi pakaian kotor yang belum sempat dicucinya selama seminggu, termasuk seragam kerjanya yang sudah tertinggal lama di kosan
Noval, Bintang mengeluarkan kunci dari saku celananya dengan tangan kiri. Ketika hendak memutar kunci, ia kaget karena kamarnya ternyata tidak terkunci. Perlahan, Bintang mendorong pintu kosannya. Waswas karena takut menemukan maling yang sedang mengobrak-abrik kamarnya. Kamarnya masih rapi, bahkan lebih rapi dari keadannya sebelum ditinggalkan Bintang. Namun, hal itu tidak membuat Bintang lega karena hal yang lebih menakutkan dari sekadar kemalingan sudah menunggunya. Ibunya tengah duduk tegak di atas ranjang single-nya dengan pandangan dingin menelanjangi.
*****
"Dari mana kamu?" tanya ibunya ketika melihat Bintang tercengang di depan pintu. "Ngg... dari kosan Mei," jawab Bintang. Dari kemarahan yang terpancar di wajah ibunya, Bintang menduga perempuan yang dihormatinya itu sudah berada di sana sejak semalam. "Bohong," ujar ibunya. Sepertinya ia sudah menghubungi semua teman Bintang. Mereka sendiri tidak tahu Bintang ke mana. Bintang hanya berharap mereka tidak bercerita bahwa Bintang sudah menghilang selama seminggu. "Dari mana saja kamu? Ke mana semaleman?" Sesi interogasi sepertinya jauh dari usai. Bintang yang salah tingkah duduk di atas sofa karena kepalanya mulai terasa pening. Pikirannya berputar cepat. Sekilas, secarik kain oranye dari seragam kerja yang mencuat dari tas kertas besar yang dibawanya tertangkap oleh matanya. "Habis kerja, Bu," jawab Bintang tanpa menatap ibunya. "Kerja?" Ibunya tampak bingung. "Kerja di mana? Kerja apa?" tanyanya dengan nada yang lebih halus. "Waitress. Tapi baru resign," ujar Bintang pelan. Sang ibu berjalan mendekatinya dan memeluknya. "Bintang." Beliau berujar penuh haru. "Kamu nggak perlu kerja... Ibu masih bisa..." Suara ibunya bergetar. Bintang balas mendekap ibunya. Air matanya bergulir. "Maafin aku, Ibu...," bisiknya lirih.
Lucifer Menjawab
Seperti kebiasaannya sejak dulu, jendela menjadi spot favorit Bintang ketika menghadapi masalah. Pukul sepuluh malam, alih-alih tidur, di atas ranjang single-nya yang menempel ke jendela besar yang menghadap jalan, Bintang duduk memperhatikan keadaan di luar sana. Orang-orang dengan berbagai penampilan masih berlalu-lalang. Mereka memiliki masalah sendiri-sendiri. Dari sorot lampu yang terkadang menyapu wajah mereka, dapat dilihat bahwa sebagian besar orang membawa masalahnya dengan enteng, ada juga yang wajahnya kuyu, menunjukkan masalah yang berat. Hanya 5 menit pertama yang diberikan Bintang untuk mengamati orang-orang di luar dirinya melalui jendela saat itu. Selebihnya, pandangannya berubah menjadi pandangan kosong. Ia tenggelam dalam masalah-masalahnya sendiri. Memikirkan ucapan dua perempuan yang didengarnya di tangga kampus. Menyadari bahwa walaupun hubungannya dan Noval masih seperti dulu, sesuatu memang telah berubah. Sejak mereka mendapat tamparan dari perbuatan mereka yang melanggar batas dan mengatasinya dengan melakukan dosa lain, mereka jarang berbicara satu sama lain meski sedang bersama-sama. Ada sesuatu yang mencegah mereka untuk mendekat secara emosi, tetapii tidak secara fisik. Sehingga bercinta pun dilakukan dalam diam. Apakah cinta kamu untukku masih tersisa, Val? Bintang bertanya-tanya. Mulai merasakan keraguan dari semua hal yang menghampirinya saat itu. Aku masih, lanjutnya. Tak bisa membayangkan harus sendiri. Masih ada kasih di hatinya walau ia ikut terdiam sejak Noval mendiamkannya. Dering handphone yang terletak di sebelahnya mencapai telinganya, mengalihkan perhatiannya. Mei menelepon. "Halo, Mei," ujar Bintang. "Halo, Bintang. Lagi di mana?" suara Mei terdengar samar, tertimpa suara-suara berisik di belakangnya. "Di kosan. Kenapa? Lo di mana? Berisik banget." "Mmm..." Mei terdengar ragu. "Gue, mmm, lagi clubbing," jawabnya. Bintang mengerang pelan. Bosan mengingatkan Mei yang memang sudah jadi ratu pesta sejak Bintang mengenalnya. "Ya udah, itu nggak penting. Ada yang mau gue omongin," lanjut Mei cepat.
Bintang diam, mendengarkan. "Gue... ngg..." Mei kembali tampak ragu. "Apa, Mei?" tanya Bintang tak sabar. "Gue liat Noval bareng cewek. Mesra banget," ujar Mei dengan nada meminta maaf karena sudah menyampaikan kabar yang tidak baik. Bintang diam saja. Mempertimbangkan harus percaya atau tidak. Tapi Mei teman terdekatnya selain Dewa, Mei tak mungkin berbohong. "Lo nggak percaya?" Mei kembali bersuara karena Bintang diam saja. "Gue kirimin foto-fotonya mau?" "Kirim aja," ujar Bintang pelan, kemudian memutuskan hubungan teleponnya dengan Mei. Tak lama kemudian, beberapa MMS masuk. Dengan tangan gemetar, Bintang membukanya. Yang ditakutkannya terjadi. Foto-foto tersebut menunjukkan Noval bersama seseorang yang ia kenali sebagai perempuan yang berbincang dengan Noval ketika keluar dari gedung teater. Bintang kebingungan. Dengan segenap cinta yang bersarang di hatinya, ia tidak sanggup membayangkan berpisah dari Noval. Namun, ia juga tidak bodoh. Cinta membutuhkan penghargaan melalui kesetiaan. Sebuah prinsip lama muncul dalam pikirannya. Untuk membentuk sebuah hubungan diperlukan persetujuan dari kedua pihak, tapi untuk memutuskan hubungan hanya diperlukan hilangnya cinta dari satu pihak saja. Dan Bintang yakin, semakin hari cinta Noval kepadanya semakin berkurang. Ia tidak bisa memaksakan. Harus gimana? Bintang bertanya dalam hati. Ia benar-benar bingung dan tidak bisa berpikir. Ia tahu bahwa ia harus mengajak Noval bicara. Tapi itu artinya Bintang harus mempersiapkan diri untuk kehilangan, dan ia tidak siap untuk itu.
*****
Di dalam bus yang kursi-kursinya hanya terisi beberapa, Bintang duduk di baris ketiga di sebelah jendela. Kursi di sampingnya kosong. Malam itu, setelah mendapat kiriman foto dari Mei, Ia mengambil keputusan impulsif untuk pulang ke Bandung karena ia tidak tahan tinggal di kosannya.
*****
Di kamar bercat putih kusam yang telah ia tempati selama dua puluh tahun, Bintang meringkuk lelap di bawah selimut. Tidur lelapnya selama sebulan terakhir. Kamar itu sangat gelap dengan lampu dimatikan dan tirai panjang yang menutupi setiap jendela, padahal jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. "Bintang..." Ibunya berusaha membangunkan, tapi ia tak bereaksi. "Bintang," sang ibu mengguncang bahu anaknya. Bintang membalikkan badannya dan menatap ibunya dengan mata setengah terbuka. "Ada yang nunggu," ujar ibunya. Bintang hanya menatapnya sejenak, kemudian kembali membalikkan tubuhnya dan tertidur. Ibunya tidak berusaha membangunkannya lagi. Ia malah memperhatikan anak perempuannya dengan prihatin sebelum mengecupnya pelan dan meninggalkan kamarnya. Bintang baru sampai rumah pukul satu pagi, dia pasti lelah sekali, pikir beliau. Masalahnya dengan Noval membuat Bintang tidak tahan untuk diam di kosannya. Pukul setengah sebelas tadi malam, ia memutuskan untuk pulang ke Bandung walaupun minggu ini sedang UAS. Pada minggu UAS di semester ini, Bintang tidak terlalu sibuk karena ia hanya mengikuti PLP dan diam-diam mengontrak ulang dua mata kuliah. Karena PLP dan segala urusannya telah selesai dan ia sudah mengikuti satu UAS kemarin pagi, Bintang hanya perlu mengikuti satu UAS lagi besok pagi. Alih-alih pulang lusa setelah menyelesaikan UAS terakhir, ia memanfaatkan satu hari kosong untuk pulang, walau itu membuatnya harus kembali ke Jakarta sore harinya. Bintang merasa satu malam sangat besar artinya untuk mencharge kembali semangatnya. Jam terus bergerak, begitu pula matahari. Sejam sudah berlalu sejak ibu Bintang berusaha membangunkannya. Tubuh Bintang yang tak terbiasa bangun siang mulai bekerja. Ia akhirnya bangun. Sesaat setelah bangun, Bintang diam sejenak untuk mengumpulkan nyawa dan meyakinkan diri bahwa ia berada di rumah. Setelah itu, ia turun dari tempat tidur dan mengucir rambut seadanya. Cahaya matahari serentak menyerbu masuk ketika Bintang menyingkap tirai yang menutupi jendela. Saat itu, baru ia sadar, betapa siangnya ia bangun.
Bintang mengaambil gelas kosong yang terletak di atas meja kecil di dekat tempat tidurnya. Kerongkongannya terasa kering. Bintang menuruni tangga untuk mengambil air di dapur karena kamarnya terletak di lantai dua. Di dapur hanya ada Irah, perempuan setengah baya yang membantu di rumahnya. Irah sedang mencuci piring. "Ibu udah pergi, Bi?" tanya Bintang sambil mengisi gelasnya dengan air dari dispenser. "Sudah," jawab Irah. "Oh ya Teh, ada yang nungguin Teteh di ruang TV," lanjutnya ketika Bintang hendak meninggalkan dapur. Bintang mengernyitkan kening, seingatnya ia tidak mempunyai janji hari ini. Ingin mengetahui siapa yang menunggunya, Bintang cepat-cepat mencuci muka dan berkumur. Sambil mengeringkan mukanya dengan tisu, Ia berjalan menuju ruang TV. Di sana dilihatnya seorang laki-laki berkaus hitam yang mengenakan kacamata frameless sedang duduk, asyik menggambar di kertas A4. "Daniel?" Laki-laki yang asyik menggambar itu pun mendongak. Ternyata memang benar ia. "Hei, Pemalas," Daniel menyapa sambil meletakkan pensil yang dipakainya untuk menggambar. Bintang tertawa dan duduk di sebelah Daniel. "Kok ada di sini? Kena DO, ya? Atau dideportasi dari Jerman?" tanya Bintang ringan. Di dahinya tertempel potongan tisu. "Enak aja. Gue lagi libur. Gue nunggu lo bangun lama banget," Daniel berhenti sejenak. Ia menunjuk dahinya sendiri. "Tisu." Bintang meraba-raba dahinya dan menyingkirkan tisu yang menempel. "Gambar apaan, sih?" Bintang mengambil kertas yang terletak di meja. Ternyata Daniel menggambar foto keluarganya yang terdiri dari Bintang, ibunya dan almarhum ayahnya, yang terpanjang di dinding. "Masih suka ngegambar ternyata. Kayak..." Bintang terdiam. Daniel yang tahu maksud cewek itu ikut terdiam, canggung. "Eh, gimana kuliahnya? Dapet bule nggak?" Bintang mengalihkan pembicaraan. Daniel merasa lega karena tak perlu mencari-cari topik untuk menghilangkan kecanggungan. "Kuliah, ah, sama aja kali..." Daniel pun mulai bercerita tentang pengalamannya selama di Jerman. Akhirnya mereka tenggelam dalam obrolan yang serasa tak ada habisnya. Bintang bercerita pada Daniel tentang banyak hal, kecuali masalah-masalah pribadinya. Bintang menyadari, ia tidak pernah bercerita sepanjang itu seumur hidupnya.
Waktu berjalan begitu cepat. Jam di handphone cowok itu yang bergetar di atas meja menunjukkan pukul sebelas tiga puluh, yang artinya mereka sudah bercerita selama satu setengah jam. Daniel memeriksa handphone-nya, sementara Bintang yang melihat cowok berkacamata itu sibuk dengan handphone-nya pergi ke kamarnya untuk mengambil handphonenya sendiri. Bintang mengeceknya, ada dua missed call dan satu pesan masuk. Semua berasal dari Noval. Bintang membaca pesan itu.
From: Val Knp tlp gw gak diangkat? Ntar siang gw k kosan Mw ngambil bhn UAS
Kegelisahan yang meliputi Bintang sejak kemarin akhirnya muncul lagi. Bintang menarik napas dalam-dalam sebelum membalas SMS Noval.
To: Val Sorry bru bangun. Lg di bdg. Iya ambil aj.
Setelah memastikan pesannya terkirim, Bintang kembali ke ruang TV. Di sana Daniel sudah selesai menjawab teleponnya. "Bintang," ujar Daniel. "gue harus pulang nih, ada urusan," lanjutnya sambil mencari-cari sesuatu di dalam tasnya. "Kok udah mau balik, sih?" Bintang heran. "Ada urusan mendadak," jawab Daniel sambil menyodorkan secarik kertas yang terlipat. "Utang gue." Bintang membuka lipatan kertas tersebut. Lukisan dirinya yang berseragam SMA dan tengah duduk dengan raut wajah kesal di sebuah kelas terpampang di sana.
Bintang mengusap lukisan tersebut dengan penuh kerinduan. Banyak kenangan tersimpan di sana."Masih inget aja," ujarnya. "Thanks, ya." Daniel hanya tersenyum. "Gue balik, ya." Ia pamit sambil menyandang tasnya. "Sebentar," cegah Bintang. Ia berlari menuju dapur dan kembali dengan menggandeng Irah. "Fotoin, Bi." Bintang menyodorkan sebuah kamera digital. "Tinggal pencet ini aja," ujarnya sambil menunjukkan sebuah tombol. "Foto dulu buat kenang-kenangan," ujar Bintang kepada Daniel. Dengan senyum lebar, Bintang memegang sketsa dirinya dan berdiri di samping Daniel yang juga tersenyum lebar. Untuk sesaat, Bintang mampu mengalihkan perhatian dari kegelisahannya dan merasa bahagia.
*****
Bulan bersinar terang malam itu. Bulan purnama, bulat, penuh, sempurna, yang memancarkan gravitasi yang lebih besar dari biasanya. Saling tarik-menarik dengan gravitasi Bumi. Pada saat itu, gravitasi bulan yang besar menarik air laut, membuat permukaan laut lebih tinggi dan ombak lebih besar. Menjadikan laut pasang. Tapi siapa yang peduli akan laut pasang, ketika ombak yang besar ada dalam dada seseorang. Dalam kamar temaram tanpa jendela, ombak besar bergemuruh dalam dada dua orang yang sedang berbaring bersebelahan. Yang pasti, bukan gravitasi bulan penyebabnya. Jemari laki-laki itu menyusuri bibir pink pucat perempuan di sampingnya, menyingkirkan helaian-helaian rambut yang menutupi wajahnya. Sedetik kemudian, si pemilik bibir pucat merasakan janggut halus yang belum sempat dicukir menggelitik dagunya. Dipeluknya laki-laki itu dengan erat sebelum ia melepaskan diri darinya. Si laki-laki mengerang. "Kenapa?" tanya Noval kesal. Bintang mengangkat tubuhnya dan duduk di sebelah kekasihnya yang masih berbaring. "Lo masih cinta gue nggak, Val?" tanyanya, bingung harus memulai dari mana. Noval bangkit.
"Lo nanya itu? Sekarang?" ujar Noval yang kini berusaha melarikan nafsunya dengan sebatang rokok yang disulutnya. Bintang duduk di atas meja kecil di hadapan Noval. Suara orang yang lalu-lalang di luar melatari percakapan mereka. "Kenapa lo nanyain itu?" tanya Noval sambil menatap Bintang yang salah tingkah dan tampak begitu kecil. Dengan ragu, karena malam itu bisa menjadi malam terakhir kebersamaan mereka, Bintang mengeluarkan handphone tipis dari saku celana jeans-nya, membuka beberapa file sebelum menjulurkannya pada Noval yang terlihat kelelahan. Di layar terpampang foto Noval dengan seorang perempuan, si perempuan dari teater. Noval mengamati foto itu. Asap mengepul dari rokok yang menggantung di tangan kirinya. Bibirnya tersenyum sinis. "Nih." Ia mengembalikan handphone Bintang. Dimatikannya rokok yang belum sempat diisapnya itu di asbak yang terletak di atas meja yang tengah diduduki Bintang. "Dari mana lo dapet foto ini?" tanya Noval dingin, tangannya terlipat di dada. Badannya tinggi menjulang di hadapan Bintang yang duduk di atas meja kecil. Reaksi Noval yang tidak sesuai harapan membuatnya terdiam "Lo nguntit gue? Atau lo emang pergi ke tempat kayak gini tanpa bilang-bilang gue?" Noval menatap Bintang dingin, yang dibalas tatapan bingung dan tidak percaya Bintang. Jika ada orang yang seharusnya marah, maka orang itu adalah Bintang. Namun keadaannya malah terbalik. "Kok, jadi ngomongin gitu? Gue lagi di Bandung waktu lo seneng-seneng sama tuh cewek." Bintang mendengus kesal. "Hubungan lo sama dia apa?" Bintang mulai kesal. Bintang menatap Noval, berharap mendengar jawaban 'bukan siapa-siapa'. "Lo mulai nggak percaya sama gue, Bintang?" Noval justru bertanya dengan suara rendah dan dingin. Raut wajah Noval berubah menjadi ekspresi lucifer yang telah muncul beberapa kali dalam tahun itu. "Bukan... bukan gitu..." Bintang merengut saat Noval berjongkok di hadapannya sehingga tinggi mereka sejajar. Ia selalu merasa ketakutan setiap kali Noval berubah menjadi pribadi yang lain."Bukan apa?" Noval bertanya halus sambil menyelipkan rambut Bintang ke belakang telinganya. Kelembutan yang tidak biasa itu membuat Bintang bertambah takut. Sekilas, Bintang menatap wajah Noval. Ia masih dikuasai Lucifer.
"Bukan apa-apa. Lupain aja." Ia berdiri, menjauhi Noval dan mengambil jaketnya. "Gue pulang dulu." Tanpa menatap Noval, Bintang membuka pintu. Namun, cengkeraman Noval menariknya dengan keras. "Gue belum selesai," bentak Noval. Suara keras Noval yang keluar melalui pintu terbuka membuat beberapa orang yang lewat menoleh. Tatapan orang-orang rupanya mengusir Lucifer dari diri Noval. Kesempatan itu digunakan Bintang untuk melepaskan cengkeraman Noval dari pergelangan tangannya dan berlari menjauh. Ia benar-benar tak ingin dekat-dekat dengan Noval saat itu.
Toilet Kamar Barbie
Berkali-kali Bintang menekan bel sebuah rumah bercat putih yang dikelilingi pohon rindang. Beberapa saat kemudian, terdengar langkah kaki mendekat. Pintu terbuka. Seorang perempuan berumur empat puluhan berdiri di hadapannya. Perempuan yang dulu selalu menyambutnya dengan ramah. Dulu, sebelum foto-foto itu tersebar dan menggerogoti anak dan keluarganya. Perempuan itu memandang Bintang yang wajahnya turut berada di salah satu foto. Satu-satunya foto yang tidak vulgar, tapi paling aneh karena di foto tersebut Bintang mencium anaknya yang juga seorang perempuan. Perempuan itu memandang Bintang dengan sinis. "Mau apa lagi ke sini?" "Saya mengkhawatirkan Kaila. Boleh saya ketemu Kai, Bu?" Bintang memohon. Perempuan itu memandang Bintang. Menarik napas panjang, seolah-olah ingin menghempaskan beban yang menekan dadanya. "Tolong suruh dia makan. Dia sudah berhenti makan dan menolak untuk pergi ke sekolah barunya," akhirnya perempuan tersebut mengizinkan Bintang untuk masuk setelah sebelumnya berkali-kali mengusirnya. Bintang lalu masuk, menghampiri sebuah kamar. "Kai?" Bintang mengedaran pandangannya di ruangan yang mirip kamar Barbie itu. Tak ada tandatanda keberadaan Kaila di sana. Bintang masuk dan mendengar suara shower. Ia melangkah ke pintu kamar mandi yang terletak di dekat jendela. "Kai, ini Bintang, Kai..."Tak ada jawaban. Bintang duduk di atas ranjang, menunggu Kaila keluar. Beberapa menit berlalu, Kaila tak keluar juga. "Kai, kamu dengar aku?" Bintang penasaran. Masih tak ada jawaban. "Kai, kalau kamu nggak jawab, aku bakal masuk." Juga tak dijawab. Bintang memutuskan untuk membuka pintu kamar mandi yang ternyata tak terkunci. Ketika masuk, ia menemukan pecahan kaca wastafel. Ia berjalan sambil berjinjit, berusaha tak menginjak serpihan kaca yang berserakan di lantai.
"Kai?" Bintang mulai khawatir. Disibakkannya tirai plastik putih di sebelah kanannya, tempat shower mengucurkan air. Di sana, dilihatnya Kaila sedang berendam dalam genangan darahnya di bathtub.
Dead End
Untuk mengalihkan pikiran tentang kejadian beberapa malam yang lalu, Bintang mulai memikirkan judul skripsi. Semester ini Bintang sudah menyelesaikan semua mata kuliahnya dan berhak untuk mulai menulis skripsi. Ketukan di pintu membuyarkan konsentrasi Bintang yang tengah sibuk mencatat judul-judul skripsi. Dengan gontai, ia berjalan ke pintu. Dewa dengan kepala plontosnya melangkah masuk setelah Bintang membukakan pintu. Samar-samar, Bintang mendengar Dewa mengatakan suatu tentang toilet. Ia melihat Dewa menghilang di balik pintu kamar mandi. Bintang kembali bergelung di sofa. Hari ini ia meminta bantuan Dewa untuk memberikan beberapa tips dalam menulis skripsi. Bintang mendapat pebimbing skripsi yang super-sibuk sehingga waktu untuk memberikan bimbingan sangat terbatas, belum lagi ditambah kemungkinan batal. Dewa yang sudah lulus semester lalu memang anak genius super-rajin yang selalu mengambil semester padat sehingga dapat lulus lebih awal dari Bintang dan Mei. Sambil menunggu Dewa selesai dengan urusannya di toilet, ia kembali menyusun kalimatkalimat yang bisa dijadikan judul skripsi.
*****
Bintang merasa pening dan penat karena tidak satu pun judul yang melintas di kepalanya cukup bagus untuk bisa diterima. Mungkin ia perlu jalan-jalan sambil menghirup udara segar untuk mendapatkan ide. Sayang sekali, sore itu gerimis. Bintang hanya bisa memijat-mijat keningnya. Terdengar suara pintu toilet yang dibuka. Bintang berhenti memijat kening. Dari balik pintu pantry, dilihatnya Dewa masuk. Belum sempat Bintang mengeluarkan sepatah kata pun, sebuah benda pipih panjang panjang meluncur dari tangan Dewa ke atas meja. "Sekarang lo tau kan, gue kayak gimana." Rahasia yang disimpan Bintang selama 2 bulan akhirnya terbuka juga.
"Gue nggak sebaik yang lo pikir. Terserah lo mau liat gue kayak apa," lanjut Bintang ketika cowok itu terdiam dengan wajah yang menyiratkan kekecewaan. Sejenak, Dewa menarik napas panjang untuk menenangkan diri setelah mendengar pengakuan temannya yang tidak banyak bicara itu. "Bintang..." Bintang menatap Dewa yang terlihat begitu serius. "Gue bukan mau ngerecoki. Gue ngomong gini karena lo temen gue dan gue peduli sama lo," Dewa berhenti sejenak untuk memastikan Bintang mendengarkan. "Lo masih sama Noval, kan? Gue pengin lo sayangin diri lo. Jangan diulangi lagi." Ditatapnya cewek yang kini tertunduk sambil memainkan ujung kausnya. "Lo sayang ia, kan? Kalo lo sayang dia, lo nggak akan memenuhi keinginan dia buat bikin dosa, Bintang. Jangan diulangi lagi, ya?" Dewa menepuk pundak Bintang. Bintang menatap langsung ke mata Dewa. "Nggak, nggak lagi-lagi," ujarnya pelan. "Gue udah hampir gila, tiap malam dihantui tangisan dan jutaan wajah bayi dalam mimpi."
*****
Sejak mereka bertengkar, Bintang di pernah lagi di kosan Noval. Ia juga tak pernah mengizinkan Noval untuk menginap di kosannya. Bintang selalu memiliki alasan untuk menolaknya secara halus. Noval mendekati kekasihnya yang sedang menekuni kertas-kertas. "Udah selesai belum?" tanya Noval tepat di belakang Bintang, membuatnya terlonjak kaget. "Val, bikin kaget aja," ujarnya. "Belum. Kenapa, Val?" Bintang kembali berfokus ke setumpuk kertas berisi kuesioner yang belum diperiksanya.
"Nggak apa-apa," sahut Noval. Bintang bisa merasakan dagu Noval yang keras di bahunya. Ia diam sejenak, menyadari bahwa ini pertama kalinya Noval mendekatinya sejak terakhir kali ia berubah menjadi Lucifer. Bintang merasakan napas Noval yang semakin berat. Sentuhan halus mulai menyerang bagian belakang telinganya. Bintang terdiam, menerka-nerka sejauh mana Noval akan berbuat. Ia tahu, cepat atau lambat hal ini akan terjadi lagi. Dan ia tak dapat terus-terusan menghindar. Bintang menepis tangan Noval yang mulai menyusup ke bawah blus-nya. Ia melepaskan diri dari pelukannya. "Gue nggak mau ngelakuin itu lagi, Val," ujarnya sambil menunduk, tak berani menatap mata Noval. "Kenapa?" tanya Noval kesal. Ia kembali mendekati Bintang. "Ini bukan masa subur lo. Nggak perlu khawatir," lanjutnya sambil menyelipkan poni Bintang ke belakang telinganya. "Bukan." Bintang menjawab pelan. "Terus kenapa?" Noval mulai kesal. "Dosa, Val." Ucapan Bintang nyaris tak terdengar. "Gue nggak mau kayak gitu lagi." Noval menatap Bintang dengan tajam sambil menyilangkan tangan di dada. "Sejak kapan peduli sama dosa?" tanyanya dingin. Bintang diam saja. "Jadi, nggak mau lagi?" desak Noval. Bintang hanya menggeleng sebagai jawaban. "Jahat. Kita kan mulai kayak gini berdua," gerutu Noval. "Jujur ya, gue nggak bisa berhenti. Jadi selama masih mau sama gue, lo nggak bisa berhenti," ujarnya dingin. Tak ada tanggapan dari Bintang. "Sekarang lo pilih deh, ikutin mau gue, atau kita udahan aja." Kali ini Bintang memberanikan diri untuk menatap Noval yang terlihat begitu serius. Bintang menarik napas dalam berkali-kali. Tak pernah menyangka semua akan ada ujungnya, walau ia tahu keabadian tidak diberikan pada yang hidup. "Kita putus aja, Val," ujar Bintang sambil memalingkan wajah. Keheningan menyusul perkataan itu. Setelah beberapa saat, Noval berdiri dan menjauh dari Bintang. Cewek itu mulai memunguti dan mengumpulkan kertas-kertasnya. Saat ia memasukkan kertas-kertas itu ke dalam tas, didengarnya Noval tertawa. Noval berjalan mendekati Bintang dan berdiri menjulang di hadapannya.
"Yakin mau putus dari gue?" tanyanya sinis. "Gue uah dapet semua yang gue pengin dari lo. Gue bisa dengan gampang dapet cewek yang lebih baik dari lo. Tapi lo, Bintang, siapa yang mau sama lo?" lanjut Noval, seolah-olah Bintang tidak menyadari itu semua. Bintang memanang Noval dengan kecewa. "Kalau gue begitu buruk bagi lo dan lo bisa dapet yang lebih baik, kenapa nggak dari dulu lo tinggalin gue?" "Gue kasihan aja sama lo," ujar Noval singkat. Bintang menyandang tasnya. "Sekarang nggak perlu kasihan lagi," ucap Bintang sambil mengangkat bahu, kemudian berbalik dan meninggalkan Noval dengan perasaan terhina. Ia berusaha untuk tidak menangis. Noval memandang punggung Bintang yang menghilang di balik pintu kosannya. Merasa terhina ditinggalkan oleh kekasihnya.
Ilusi
Dalam balutan kebaya putih dan sanggul sederhana, Bintang berdiri di sebelah wanita paruh baya yang memakai setelan batik berwarna merah. Mereka berada di depan gedung olahraga yang kini disulap menjadi tempat prosesi wisuda berlangsung. Banyak orang yang lalu lalang, beberapa masih memakai toga, yang lain masih berfoto untuk kenang-kenangan, seperti dirinya. Wanita itu berdiri anggun di sebelah Bintang. Diciumnya pipi sang anak yang sepagian sudah menjadi landasan tempat mendaratnya ciuman-ciumannya. Bintang yang biasanya mengelak kini senyum-senyum saja. Sekitar 1 meter di depannya, Dewa, yang lulus satu semester sebelum Bintang, berdiri sambil memegang kamera. Wisuda Bintang hari itu hanya dihadiri oleh ibunya, Dewa, dan Marsha yang sedang mencari minuman. Mei, yang juga lulus berbarengan dengan Bintang, sudah pulang duluan bersama keluarganya untuk merayakan kelulusan di tempat lain. "Yang anggun dong, Bintang," ujar Dewa sambil melihat melalui lensa kameranya. "Satu... Dua... Tiga," tepat saat kamera mengambil gambarnya, Bintang mengalihkan pandangan dari kamera. Jauh di depannya, Noval yang menggandeng si perempuan teater berjalan diikuti teman-teman band-nya. "Ah, jelek," ujar Dewa yang kemudian membuang muka, kesal karena perhatian Bintang teralihkan. Bintang hanya tersenyum miris, yang diartikan ibunya sebagai senyum haru karena telah lulus. Ia memang telah mengikhlaskan semuanya, namun tak urung hatinya tercubit melihat pemandangan itu.
*****
Perempuan di depan Noval, yang memakai kebaya cokelat dan dikenalnya saat menjadi pengiring teater, sedang asyik berceloteh sambil menunggu pesanan mereka datang. Mereka berada di sebuah rumah makan khas Sunda. Tak satu pun celotehan tersebut masuk ke telinga Noval yang memakai kemeja putih bergaris vertikal. Ia duduk dengan pandangan menyimak,
padahal pikirannya terbang melayang-layang ke depan gedung olahraga tempat Bintang dan seorang perempua setengah baya difoto oleh Dewa. Kekesalannya karena Bintang dengan sukarela putus darinya masih mengumpul di hatinya. Ia pikir Bintang tak akan bisa lepas darinya karena gadis itu benar-benar mencintainya. Ilusi-ilusi dalam pikirannya terus berlari, semakin lama semakin jauh. Wajah Dewa yang sedang memotret Bintang terbayang dengan jelas di pikirannya. Dewa teman baik Bintang, ia selalu ada untuk Bintang. Apakah mereka sekadar berteman? Murahan, cerca Noval dalam hati. Padahal perempuan yang ditimpa kata 'murahan' itu hanya bercinta dengannya, selalu mengikuti keinginan-keinginannya, bahkan tidak berteman dengan banyak orang atas pintanya. Noval kembali memfokuskan pandangan pada perempuan di depannya yang masih asyik berceloteh. Ia sengaja mengajaknya untuk membuat Bintang kesal. Betapa menghancurkan hati seseorang itu bisa indah sekali rasanya. Di tengah celotehan si perempuan, seorang laki-laki yang sepertinya juga baru diwisuda masuk ke dalam restoran, diikuti beberapa orang yang terlihat seperti keluarga dan teman-temannya. Mereka mengambil meja yang jaraknya lumayan jauh dari Noval dan si perempuan teater. "Ceweknya itu seangkatan sama gue, lho, Val," ujar Rika, si perempuan teater seraya memberikan isyarat ke arah perempuan yang duduk satu meja dengan si wisudawan. "Oh." Noval bersuara pelan. "Dia tuh sering diselingkuhin, tapi tetep aja nggak mau putus," lanjut Rika. "Paling juga udah ngasih." Rika menutup kalimatnya sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi. Alis Noval naik satu. "Maksudnya?" "Biasanya kalo udah ngasihh, cewek tuh susah mau putusnya," Rika menjelaskan dengan sabar. "Kalo nggak susah?" Noval menenggak air putihnya. "Paling juga udah punya cadangan." Rika menjawab enteng.
*****
Pintu pagar yang berkarat berbunyi berisik ketika dibuka. Bintang melangkah masuk ke pekarangan rumah setelah sekilas menatap motor yang terparkir di depan pagar. Ia menghentikan langkahnya ketika melihat Daniel sedang duduk di kursi teras. Daniel berdiri dengan canggung ketika melihatnya datang. "Ngapain ke sini?" Ia merasa tak nyaman. "Kenapa nggak datang ke pemakaman?" Daniel balik bertanya. "Memangnya siapa yang mati?!" bentak Bintang yang berdiri dua meter di depannya. Ia berjalan melewati Daniel dan menyenggolnya ketika mengambil kunci dari tasnya. "Bintang, tunggu sebentar. Gue mau ngomong, bentar aja," kata Daniel, putus asa menghadapi perempuan kerasa kepala itu. "Sebentar," ulangnya. Bintang melunak dan duduk di kursi teras. Daniel duduk di sebelahnya dengan canggung. "Ada apa?" tanya Bintang. "Bintang, sebenarnya dari awal gue udah tau..." Daniel berhenti sejenak. "Tau lo pacaran sama Kaila, tau lo cuma manfaatin gue." "Terus?" ujar Bintang ketus. "Ya nggak terus terus," Daniel tampak sedikit kesal. "Gue cuma mau bilang, gue tulus cinta sama lo walaupun lo nggak cinta gue. Tapi gue tau, lo nyaman sama gue." Daniel berkata cepat. "Yah, nyaman sebagai teman," tambahnya. "Terus?" Bintang bertanya, masih dengan nada ketus. "Besok gue ke Jerman, belajar finance. Sebelum pergi, gue pengin ketemu lo dulu, siapa tau kita nggak akan bisa ketemu lagi," ujar Daniel. "Gue minta maaf, Niel." Bintang merasa sedikit bersalah. "That's OK," ucap Daniel tenang. "Tapi gue harap lo bisa menerima bahwa Kaila sudah pergi." Sejenak Daniel menanti respons dari Bintang. Melihat Bintang diam saja, Daniel melanjutkan dengan ragu-ragu.
"Cintailah laki-laki. Agar lo nggak perlu bersembunyi untuk mencintai seseorang."
*****
Ibuku calling...
Ah, tentu saja itu nomor yang menempati urutan pertama dalam daftar orang penting yang harus dijawab panggilannya. "Pagi, Bintang." Suara seorang wanita terdengar ceria dari ujung sana. "Pagi Bu, apa kabar?" sahutnya datar. "Baik, toko juga udah berjalan sangat baik. Kayak dulu lagi. Kamu gimana?" "Baik juga." Ia berbohong. "Bintang, udah diputusin mau kerja di mana? Atau mau kuliah lagi?" Perempuan yang berbicara di ujung sana berharap cemas agar Bintang memilih Bandung, kota tempatnya tinggal. "Aku mau pulang ke Bandung, Bu," jawab Bintang. "Mau kerja di sana aja." "Nggak langsung kuliah lagi?" tanya ibunya. "Aku ngajuin beasiswa," jawab Bintang singkat. "Nunggu itu aja." "Bintang?" "Ya, Bu?" "Kok diem aja? Lagi ada masalah?" "Nggak ada kok, Bu. Minggu depan kalau aku pulang kita ke makam Ayah yuk, Bu."
*****
Langkah kaki yang panjang dan cepat menyusuri koridor dengan deretan pintu yang tertutup di dini hari. Pintu-pintu tersebut terkunci. Para penghuninya tengah terlelap dalam mimpi. Ia berhenti di depan sebuah pintu dan memasukkan kunci dengan tergesa-gesa. Dalam ketergesaan, berkali-kali kunci meleset dari lubangnya. Setelah mendengar bunyi 'klik', ia langsung membanting pintu sekuat tenaga disertai emosi yang sudah ditahannya dari tadi. Perempuan yang tengah tidur di kamar tersebut terjaga. Seharusnya baru beberapa jam lagi ia bangun dan memulai harinya. Namun gangguan tak diduga di pagi buta itu memaksa dirinya tersadar. Ia memicingkan mata, menatap laki-laki yang tengah berdiri di keremangan kamar yang hanya diterangi lampu tidur. Pintu yang terbanting sudah tertutup. Memblokir cahaya lampu dari koridor. "Noval." Si perempuan bersuara. Ia sudah menduganya, karena hanya orang itu yang memiliki kunci duplikat kamar kosannya. Si perempuan hendak beranjak dari tempat tidur untuk menyalakan lampu. Namun sebelum ia menyentuhkan kakinya di lantai marmer dingin, si laki-laki sudah menyeretnya dari ranjang. "Kasih tau gue, siapa cowok itu?" Matanya penuh amarah. "Cowok apa?" Bintang kebingungan dan berusaha melepaskan cengkeraman tangan Noval di bahunya. "Jangan bego. Lo tau. Lo udah ngasih semuanya ke gue, lo nggak punya apa-apa lagi. Nggak mungkin lo berani pergi dari gue kalo nggak punya cadangan." Noval berkata pelan. Pikirannya dipenuhi ilusi laki-laki tak berwajah yang tengah bersenang-senang dengan Bintang. Menginjakinjak dirinya dan melanggar wilayahnya. "Kamu sakit, Val." Bintang meringis. Cengkeraman Noval yang semakin keras membuat bahunya kebas. Bintang yang tengah berusaha melepaskan diri jadi heran ketika Noval tiba-tiba melepaskan cengkeramannya. Cowok itu menatap lurus ke balik bahu Bintang. Berjalan ke arah rak buku yang memajang beberapa pigura berisi foto Bintang dan teman-temannya. Salah satunya adalah foto Bintang yang tengah memegang sketsa dirinya. Buatan Daniel yang tersenyum di sebelahnya.
Noval mengelus bingkai foto tersebut dengan lembut. Seperti mengelus gelembung sabun yang mudah pecah. Matanya terpancang pada tanggal yang tertera. Ia membalikkan tubuh dan berjalan ke arah Bintang. Sistem pertahanan tubuh Bintang mendeteksi adanya bahaya dari ketenangan Noval. Ia melangkah mundur dan menjauh, tetapi tidak cukup cepat untuk menghindari segala sesuatu yang berjalan begitu cepat. "PELACUR!" Tangan Noval melayang ke pipi Bintang dan membuatnya menabrak meja rias. Bintang tersungkur jatuh. Bagian belakang kepalanya yang membentur ujung meja rias berdenyut-denyut nyeri. Noval berjongkok di sebelahnya, menatapnya dengan pandangan setan. Teriakan Noval masih terngiang-ngiang di kepalanya. Kepalanya yang berdenyut-denyut terasa tak seberapa sakit dibanding ucapan Noval barusan. Di tengah denyut nyeri di kepalanya, Bintang menangkap perubahan ekspresi pada wajah Noval. Noval menatap ujung bibir Bintang yang berdarah karena 'bersentuhan' dengan tangannya. Dengan jari-jarinya yang bergetar, Noval berusaha menyentuhnya. Sebelum jari-jari Noval sampai di tujuannya, Bintang mengepalkan tangannya. Pukulan itu tepat mengenai pelipis Noval. "Lo orang jahat, Val." Bintang beringsut menjauhi Noval. Berjalan terhuyung menuju pintu. Membukanya lebar-lebar. "Pergi, Val."
It's a She, Not He
Bintang menghampiri Dewa. Di sebelah Dewa berdiri Marsha yang terlihat begitu menawan. Kebahagiaan bersinar-sinar dari seluruh tubuhnya. "Selamat ya, Wa, Sha. Semoga langgeng sampai mati," ujar Bintang sambil tersenyum palsu. Namun, doanya tidak palsu. "Makan dulu sana." Dewa mengedikkan kepala ke arah meja makan, tempat beberapa orang sedang mengambil hidangan. "Nyantai, lah," sahut Bintang. Rumah tempat acara pertunangan Dewa dan Marsha itu dipenuhi oleh orang asing bagi Bintang, terutama keluarga keduanya, mereka hanya mengundang sedikit teman. Anehnya, saat itu Bintang tidak merasa terganggu berada di tengah-tengah orang asing. Mungkin karena hal itu menghindarkannya dari pertanyaan teman-temannya yang tak menyangka bahwa Noval dan Bintang sudah putus. "Eh, nggak afdol kalo nggak makan," Dewa memaksa. Akhirnya Bintang menurut. Tak berminat makan, ia hanya mengambil cola. Bintang berjalan sambil menunduk untuk menghindari menatap orang asing. Hasilnya, ia menabrak seseorang. Cola-nya tumpah. Bintang mengangkat kepalanya. Ia menabrak seorang laki-laki jangkung yang sedang memegang pisang yang tinggal setengah. Noda cola mengotori kemeja putih yang dipakai laki-laki tersebut. "Sorry," Bintang berkata datar dan pergi tanpa merasa berdosa. Ia menghampiri Dewa dan Marsha. "Wa, Sha, thanks buat undangannya. Gue pulang dulu, ya," pamitnya. "Kok pulang? Kenalin dulu, nih. Ini sepupu gue, Median," Dewa menarik seorang laki-laki bertubuh jangkung yang sedang membersihkan kemejanya dengan tisu. Laki-laki itu menatap Bintang dengan tajam. "Oh... Hai, Dian. Mmm... sorry buat kemejanya. Ya udah, gue pulang ya." Bintang cepat-cepat meninggalkan acara syukuran itu.
*****
Kaca meja rias memantulkan bayangan seorang perempuan yang tengah berusaha menyanggul rambutnya. Ia menyelipkan sebuah jepit hitam untuk menahan sanggulnya. Mereka sudah cukup pantas untuk dilihat orang lain, ia berhenti mengurusi sanggul, lalu merapikan gaun ringan berwarna salem yang membalut tubuhnya hingga ke lutut. Tepat ketika ia meraih tas, terdengar ketukan pelan di pintu. Bintang tak dapat menebak siapa yang berkunjung ke kosannya sore itu. "Val?" Bintang mundur beberapa langkah ketika melihat orang yang sedang berdiri di depan pintu kamarnya. "Gue nggak akan nyakitin lo." Noval menangkap kegelisahan Bintang. "Janji. Mau bicara sebentar. Boleh masuk?" Bintang menatap Noval sejenak. Ia tidak berbohong. "Masuk aja." Bintang bmasuk ke dalam dan duduk di sofa. Noval menyusul, duduk di sebelah Bintang yang menghindari beradu pandang dengannya. "Bintang, liat gue," pinta Noval. Bintang memandang Noval dengan risih. "Gue mau pergi, Val." Noval memperhatikan penampilan Bintang. Ingin menyuruhnya agar tak memakai gaun ketika keluar rumah, tapi tahu bahwa ia tak memiliki kuasa untuk itu. "Sebentar, kok. Emangnya mau ke mana?" tanya Noval. "Ke acara nikahan, Dewa," jawab Bintang. "Oh..." Noval salah tingkah, "Maaf, gue udah salah paham." Rasa bersalah yang meliputinya selama beberapa hari terakhir kembali naik ke dadanya. "Lupain aja. Mau ngomong apa?" Bintang berusaha tak memedulikan kata 'pelacur' yang masih berdesing di telinganya. Kali ini Noval memandangnya dengan serius. "Cuma minta maaf, itu aja?" Bintang mengalihkan perhatiannya dari Noval ke arah dinding putih membosankan di depan mereka. Noval mengedarkan pandangannya untuk mengalihkan kecanggungan. Ia melihat foto Bintang dengan laki-laki itu masih ada. Tersimpan di sebelah foto Bintang dengan seorang perempuan
berponi pagar yang seingat Noval memenuhi album foto Bintang. Namun, ia berusaha keras untuk tidak terpancing. "Lupain aja, Val. Udah lewat." Bintang berusaha tersenyum. "Thanks," ujar Noval. "Ya udah, lo mau pergi kan?" Noval beranjak dari tempat duduknya. Bintang mengangguk. "Oh ya, cewek itu siapa, sih? Sahabat banget, ya? Banyak banget fotonya di album lo yang dulu." Noval berbasa-basi. "Oh..." Bintang mengikuti arah telunjuk Noval. "Namanya Kaila. Pacar gue waktu SMA. Meninggal empat setengah tahun lalu.
Maukah?
Pukul delapan tepat. Bintang duduk di kursi salah satu meja di sebuah kafe. Sebuah band yang sedang tampil menarik perhatiannya. Memaksa memorinya menumpahkan kenangan akan malam-malam Kamis yang ia lewatkan untuk menonton Noval dan band-nya menghibur pengunjung. Namun malam itu bukan malam Kamis, dan ia tidak sedang berada di kafe tempat mantan kekasih dan band-nya biasa tampil. Jam tangan Bintang menunjukkan bahwa ia sudah 5 menit berada di sana. Ia duduk di kafe itu untuk bertemu dengan Noval yang mengajaknya berjumpa karena kebetulan sedang berlibur di Bandung. Malam itu direncanakan Bintang sebagai pertemuan terakhirnya dengan Noval. Ia tak mungkin bisa hidup wajar jika mereka tidak berhenti bertemu. Bintang duduk gelisah di kursinya. Perasaan tidak nyaman ketika dulu ia menunggu Noval untuk merayakan anniversary kedua mereka—saat Noval tidak datang—kembali melintas. Seorang pelayan berseragam merah dengan wajah ayu datang membawa teh jahe yang Bintang pesan. Tak lama berselang, Noval muncul dan berjalan menghampiri mejanya. Karena si pelayan belum meninggalkan meja, mereka memutuskan untuk sekalian memesan makanan. "Sop buntut satu," ujar Bintang. "Iga bakar dan jus jeruk satu," pesan Noval. Si pelayan menulis pesanan itu, kemudian mengulanginya sebelum pergi meninggalkan mereka. Bintang yang duduk di depan Noval merasa ada sesuatu yang berbeda dari penampilan cowok itu malam itu. Ia memakai kemeja berlengan panjang yang digulung sedikit, padahal sebelumnya ia tak pernah memakai pakaian selain kaus dan jaket. Bintang sendiri hanya memakai jeans hitam dan blus biru yang sederhana. "Apa kabar?" Bintang mengawali percakapan. Berusaha bersikap biasa dan melupakan hal-hal yang pernah terjadi di antara mereka. "Baik," jawab Noval. "Elo sendiri? Ibu lo?" "Baik juga. Ibu juga baik," Bintang menjawab singkat. "Ngomong-ngomong, selamat ya. Akhirnya dapat juga beasiswa yang dipengenin," ujar Noval. Bintang hanya tersenyum. "Makasih," ucapnya pelan.
Dari mana dia tahu? Bintang heran, karena sudah beberapa bulan mereka sama sekali tidak bertemu dan lost contact. Namun, ia tidak berminat menanyakan hal tersebut. Tak lama kemudian, seorang pelayang datang membawa pesanan mereka. Bintang dan Noval menikmati makanan masing-masing. Untuk sementara, mereka terbebas dari keharusan mencari topik pembicaraan. Makanan mereka telah habis. Mau tak mau, mereka harus masuk ke masalah inti. Bintang menyesap tehnya sebelum berbicara. "Sebenarnya mau ngomong apa, Val?" tanyanya. "Bintang..." Noval memulai. "Gue pernah bilang, bisa dengan mudah dapet pengganti lo yang jauh lebih baik..." Noval diam sejenak. Bintang hanya memandangi jari-jari di pangkuannya. "Gue salah." Noval melanjutkan. "Kalau study lo udah selesai, dua tahun lagi..." Noval menggenggam sesuatu yang diambilnya dari saku celana, "Maukah... maksud gue, menikahlah dengan gue, Bintang?" Noval membuka genggamannya. Ada sebuah kotak kecil berwarna biru tua di sana. Noval membukanya dengan tangan gemetar. Sebuah cincin dari emas putih dengan permata mungil berkilau ditimpa cahaya. Masih dengan tangan bergetar, Noval menyodorkan kotak berisi cincin itu kepada Bintang yang tampak salah tingkah. Apa yang dilakukan Noval sama sekali tak terlintas di kepala Bintang. Setelah mampu menguasai diri, Bintang menutup kotak di tangan Noval, kemudian mengatupkan jari-jari Noval dan mendorongnya menjauh. "Lo kenapa, Val?" tanyanya serius. "Gue sungguh-sungguh." Noval meyakinkannya. "Jangan gini, Val. Ngelakuin ini cuma karena ngerasa bersalah dan buat balas jasa aja," Bintang berujar pelan. "Nggak gitu," sanggah Noval kecewa. "Gue sungguh-sungguh." "Gue baru nyadar, nggak ada yang sebaik lo. Dan gue sayang lo sama besarnya. Cuma nggak tahu cara nunjukkinnya." Noval mencondongkan tubuh, menatap langsung kedua mata Bintang. Mencari tahu, apakah Bintang masih menyisakan cinta untuknya. Lucu juga, karena beberapa bulan lalu justru Bintang yang melakukan hal tersebut. Noval kembali duduk tegak.
"Gini aja," ujarnya. "tolong lo pikirin. Di bandara nanti, ketika lo mau berangkat, kasih gue jawaban." "Kalo nerima, pakai ini di jari lo." Noval menunjukkan cincin di kotak beledru biru tua tersebut. "Kalo lo nolak, simpan di mana aja, tetapi tidak di jari." Noval menutup kotak tersebut dan menyodorkannya kepada cewek di hadapannya. Bintang memandang kotak tersebut lekat-lekat. "Gue pikirin," ujarnya. Dimasukkannya kotak biru tua tersebut ke dalam tas tangannya. Suara band indie yang sejak tadi mengalun tapi tidak didengarkannya kini kembali menghampiri mereka. "Bintang, vokalisnya cantik, ya," ujar Noval setengah bergurau. Bintang menatap si vokalis sekilas. "Tahu, Val. Tapi sekarang gue sukanya sama elo doang," ujarnya singkat. Noval tertawa pelan sekaligus lega mendengar jawaban Bintang. Lega karena perempuan di hadapannya sudah benarbenar kembali jadi miliknya.
*****
Bagi Bintang, semua bunga cantik dan merupakan pengabar yang baik. Kali ini, sebuket bunga sedap malam—yang malu-malu mengeluarkan wangi di siang hari—berada dalam genggamannya. Bintang melangkah dengan cepat, menimbulkan bayangan panjang di tanah yang ia lewati. Bayangannya sejenak hilang ketika bertemu bayangan pohon. Pohon-pohon itu lebih tinggi darinya, matahari mengintip dari sela-sela daun dan dahan. Di bawah sebuah pohon, di antara gudukan-gudukan tanah bernisan, Bintang menghentikan langkahnya walau ia belum sampai di tujuannya. Ia bersatu dengan bayangan pepohonan, yang membuat bayangannya sendiri tidak tampak. Bintang melihat laki-laki yang paling dibencinya seumur hidup sedang berdiri di samping nisan yang ia tuju. Dengan penuh kasih, laki-laki itu meletakkan setangkai bunga matahari di atas kuburan itu. Penasaran dengan apa yang sedang dilakukan laki-laki itu, Bintang berjalan mendekat.
"Lagi ngapain, Reno?" tanyanya sinis. Si laki-laki yang sudah terbiasa dengan keheningan pemakaman tersebut kaget dan menoleh ke arah sumber suara. "Bukan urusan lo. Tiap hari juga gue ke sini." Reno memalingkan wajahnya. Bintang berjalan ke kuburan yang ditujunya, berdiri di sisi yang berlawanan dengan Reno. Ditaruhnya sebuket bunga sedap malam yang dibawanya di bagian tengah makam, tak sudi meletakkannya di sebelah bunga matahari Reno. "Tiap hari?" Bintang mengerutkan dahi. "Ngapain? Bukannya lo benci banget ya sama Kaila?" Reno menatap Bintang dengan ketidaksukaan yang nyata. "Gue marah. Tapi gue nggak benci," ujar Reno, "Gue sayang, tapi nyadarnya telat." Ia tersenyum kecut. "Ya, saking sayangnya sampai lo nyebarin foto dia sama gue gitu. Jangan-jangan, foto-foto Kaila yang di web juga lo yang nyebarin, ya?" sindir Bintang. Reno terdiam. "Gue marah, masa gue harus saingan sama lo, sih?" Reno tertawa tanpa nada senang. "Gue yang maksa dia jadi nakal, dengan manfaatin foto lo sama dia. Dia capek dan nolak kemauan gue. Gue marah. Gue sebarin aja foto-foto yang lainnya," lanjut Reno dengan tawa seperti orang yang kehilangan kewarasannya. Bintang menetapnya dengan tidak percaya. Ia kehilangan kata-kata untuk mencaci Reno. "Dia mati gara-gara gue." Reno berujar pelan setelah dapat menguasai dirinya. Bintang akhirnya mendapatkan kembali suaranya. "Berengsek lo, Ren," ucapnya pelan. "Gue nggak masalah dia pergi dari gue dan milih lo. Gue pikir dia bahagia sama lo. Bisa-bisanya... bisa-bisanya lo..." Bintang gelagapan. Terlalu banyak cacian di kepalanya, sampai tak satu pun dapat keluar. "Arrrgh!" Bintang menggeram kesal. Ditendangnya batu di dekat kakinya sebelum melangkah pergi dengan terseok-seok, meninggalkan Reno. Tujuannya untuk berpamitan pada Kaila terlupakan sudah. Kemarahan dan kejutan yang tak menyenangkan memang bisa memberangus semuanya.
*****
"Kamu nunggu siapa, Bintang?" Ibunya bertanya. Mereka berada di tengah orang-orang yang lalu lalang di bandara. Ia terlihat khawatir karena 15 menit lagi pesawat yang akan mengantarkan Bintang menggapai cita-citanya lepas landas. "Nunggu temen. Sebentar lagi, kok." Bintang menjawab tenang, karena ia baru menerima SMS dari Noval bahwa ia sudah sampai. "Hai Bintang. Lama ya?" Noval melambaikan tangan ke arah Bintang sambil berjalan menuju Bintang. "Nggak, kok," jawab Bintang dengan wajah berseri. "Jadi?" Noval bertanya langsung. Bintang diam sejenak. Ia menatap sepatu ketsnya. Noval memperhatikan Bintang. Ia melirik tangan Bintang, namun kedua telapak tangannya berada di saku jaket. Ia tak mampu menebak. Sekilas, dari balik bahu Bintang, ia melihat seorang perempuan setengah baya yang menatap mereka dengan gelisah. Noval kembali menatap Bintang. Perlahan, Bintang mengeluarkan telapak tangannya dan memperlihatkannya pada Noval. Tak ada cincin di sana. Noval tertunduk lesu. "OK. Gue ngerti," ujar Noval. "Val..." Bintang bersuara. Noval menatap Bintang. Ternyata hari ini ia mengantar Bintang untuk pergi darinya. Ingin sekali ia melangkahkan kaki di sana. Tapi ia masih berdiri kaku di tempatnya dan memperhatikan Bintang mengeluarkan kotak biru tua dari sakunya. "Gue mau lo yang pakein ke jari gue," ujar Bintang sambil menyodorkan kotak tersebut pada Noval.
*****
"Bintang..." Noval berkata lemas. "Bisa-bisanya bikin gue jantungan."
Bintang hanya tersenyum malu-malu. Akhirnya cincin itu terpasang pas di jari manis Bintang. Keduanya merasa begitu lega. Dengan sedikit pilu, Bintang menatap cincin di jarinya. Coba kemarin-kemarin. Kita nggak perlu jadi pembunuh, Val, pikirnya. Noval mengeluarkan sebuah cincin dari saku celananya. Cincin yang persis sama, hanya saja tidak bermata. "Sekarang pakein ini ke gue," ujarnya sambil menyerahkan cincin tersebut pada Bintang. Bintang mengambilnya dan memasangkannya di jari cowok itu. "Dua tahun itu lama. Lo harus nunggu dua tahun. Tahan gitu?" Bintang bertanya pelan setelah cincin polos itu terpasang di jari Noval. Jari mereka kini sama-sama terikat. "Gue berusaha. Lo di sana jangan nakal, ya. Jangan tebar pesona sama bule." Noval mengecup kepala Bintang yang rambutnya tergerai bebas. Mereka berdua diam sejenak dalam keheningan yang membahagiakan. "Kenalan sama ibu gue, yuk," ajak Bintang. Ditariknya Noval yang malu-malu untuk menemui ibunya yang sudah kesal dan bertanya-tanya apa yang sedang dilakukan anaknya di injury time.
Bintang Tidak Terang
Butir-butir salju berjatuhan ke pucuk cemara yang ujungnya setinggi jendela lantai empat dormitory. Jendela tak luput dari butiran salju yang membuatnya lengket ke kusennya sehingga tidak dapat dibuka. Selain dihujani es, jendela dormitory tersebut juga tertutup oleh kabut tebal sehingga ruangan tidak dapat dilihat dari luar. Di dalam ruangan, seorang perempuan tengah meringkuk di bawah selimut tebal. Hidungnya tersumbat, matanya berair, tetapi bukan hal-hal itu yang membuatnya tersiksa. Perut bagian bawahnya benar-benar terasa sakit, seperti kram. Beberapa lembar kertas tercecer di lantai di sebelah tempat tidurnya, kertas-kertas tugas akhir yang sedang ia periksa sebelum akhirnya menyerah karena sakit perutnya. Pintu dormitory terbuka, seorang perempuan masuk. Angin dingin masuk melalui celah sebelum si perempuan menutup pintu. Dengan wajah memerah karena udara dingin, Ranti, teman sekamar Bintang, membuka sarung tangan, syal, dan mantelnya. Rambutnya yang sebahu terlihat tak beraturan ketika ia membuka topi. "Bintang, masih sakit?" tanyanya ketika melihat Bintang yang kini meringis sambil tidur-tidur ayam. Bintang hanya menggumam tak jelas. "Aneh deh, bukannya biasanya kalo dapet nggak sakit. Kok akhir-akhir ini sakit melulu, ya?" lanjut Ranti sambil menghampiri Bintang yang meringkuk di atas tempat tidur seperti bayi. "Periksain deh, takut kenapa-napa," ujar Ranti sambil menjauh dari Bintang dan berjalan ke lemari. "Nggak, ah. Flu mah nggak perlu diperiksa juga sembuh sendiri," jawab Bintang sambil menatap Ranti yang sedang memilih-milih pakaian. "Bukan flunya, Bintang, tapi perut lo yang sakit kalo dapet," tukas Ranti kesal sambil menarik sebuah sweater dari lemari. "Males ah. Eh, gimana konsulnya? Di-approve, nggak?"Ranti hanya tertawa mendengar pertanyaan itu. "Heh, apa hasilnya? Idenya di-approve, nggak?" Bintang mengulangi. "Ah, orang sakit nggak usah banyak ngobrol, deh. Istirahat aja," ujar Ranti sambil mengenakan sweater melalui kepalanya. Rambutnya yang berantakan semakin berantakan.
Bintang mendengus pelan. Dari wajah Ranti yang berseri-seri, Bintang yakin bahwa ide tugas akhir Ranti sudah diterima.
*****
[email protected]
Noval memasukkan ID-nya, dilanjutkan mengisi password e-mail tersebut. Akun e-mail-nya terbuka. Ada sebuah pesan baru di kotak masuk. Dibukanya pesan tersebut.
From
:
[email protected]
Subject : gak tahan...
Di sini musim salju berat. Bikin flu berat. Meleeer... gak pernah bisa adaptasi. Gimana di sana? Pengin pulaaaaang...
Noval tersenyum sendiri membaca e-mail tersebut. Ia cepat-cepat membalas.
To
:
[email protected]
Subject : ...
Gimana flunya? Masih? Di sini cuaca gak tentu... Parah... Pulang tanggal berapa? Orang-orang pada kangen... (Gue khususnya... hehehe...)
Setelah membacanya kembali, Noval mengirim e-mail tersebut sambil berharap Bintang cepat membalasnya.
*****
Musim dingin membuat virus flu memperoleh kemenangan besar atas imun dari banyak inang. Memaksa banyak orang keluar dari ruangan yang hangat untuk pergi ke rumah sakit. Seorang perempuan yang mengenakan mantel hitam tebal berjalan di koridor rumah sakit yang sangat ramai. Kebanyakan pasien datang dengan penyakit musiman seperti flu berat. Beberapa dari mereka hanya orang-orang dengan fobia berlebihan, yang merasa dirinya sakit dan ingin mendapatkan perawatan, sementara tubuh mereka sesungguhnya sehat. Para juru rawat yang biasanya ramah menjadi senewen menghadapi pasien yang terlalu banyak. Si perempuan bermantel hitam melambatkan langkahnya untuk membuka amplop cokelat tempat berkas hasil pemeriksaannya tersimpan. Ia ingin melihatnya lagi walaupun ia sudah mendapat penjelasan. Sekadar untuk berjaga-jaga, siapa tahu berkasnya tertukar. Tubuhnya tersenggol beberapa orang yang lewat. Mereka menatapnya dengan kesal karena menghalangi jalan. Ia memeriksa ulang berkasnya. Masih terbayang penjelasan dokter berambut pirang dengan mata biru pucat. Dokter itu duduk di hadapannya, dengan latar belakang salju yang berjatuhan di jendela. "Infeksi. Harus diangkat."
Bintang yang menatap jendela dengan salju berjatuhan di luar mengalihkan pandangannya. "Tidak ada jalan lain?" Ia bertanya datar. "Tidak ada." Dokter itu menggeleng pelan. Koridor yang sibuk kembali menyapa Bintang. Dimasukkannya berkas yang sudah selesai diperiksanya ke dalam amplop. Tidak ada yang salah, tidak ada yang tertukar. "Ah, peduli amat." Bintang bersuara pelan sambil memasukkan berkas tersebut ke dalam tas. Dengan merapatkan mantel, Bintang keluar dari rumah sakit umum itu. Butiran salju menghujani mantelnya. Setelah mencair, salju membentuk lingkaran-lingkaran hitam basah di mantelnya.
*****
Pintu salah satu dormitory yang tak terkunci itu terbuka ketika seorang perempuan mendorongnya ke dalam. Pintu itu menampilkan sebuah kamar yang ditempati oleh dua orang. Seorang perempuan tenah berbaring di atas ranjang single-nya yang menempel ke dinding sambil membaca. "Gimana hasil pemeriksaannya?" tanya teman sekamarnya sambil mengubah posisinya menjadi menyamping dan bertumpu pada sikunya. "Sehat. Nggak kenapa-kenapa," jawab si perempuan yang kini membuka sebungkus susu bubuk instan. "Gimana? Udah siap di uji?" tanyanya. "Udah. Tinggal ngoreksi spelling yang salah aja," jawab teman sekamarnya dengan nada lelah. "Aaah, kalau lancar, dua bulan lagi kita bisa pulang dan makan enak," tambahnya sambil menguap dan menegangkan otot-otot yang kaku. Perempuan yang sedang menuangkan air panas dari dispenser hanya tersenyum dan mengamini.
Diskusi Tunggal
Sinar matahari yang tak begitu terang menerobos kaca jendela dan menimpa seluruh benda di dalam kamar Bintang, termasuk dirinya yang tengah berbaring menyamping menghadap tembok putih kusam. Amplop cokelat mencuat dari balik selimut di sampingnya. Matanya yang semalam basah kini sudah kering, hanya menyisakan sembap dan bengkak. Bintang menatap tembok di hadapannya sambil melamun. Deritan terdengar dari ranjang yang menopang tubuh Ranti. Menandakan bahwa cewek itu akan segera bangun dan mulai beraktivitas. Perlahan, Bintang menarik selimut untuk menyembunyikan diri. Ia sedang ingin sendirian dan tidak ingin berbicara pada siapa pun. Ia perlu menenangkan diri dan memikirkan banyak hal.
*****
Noval menutup e-mailnya. Ia diliputi kekecewaan. Sudah lama sekali sejak ia mengirim e-mail terakhir kepada Bintang, dan sampai sekarang belum ada balasan. SMS-SMS yang dikirimnya pun tidak dibalas, begitu pula teleponnya, tidak pernah diangkat. Semua itu membuatnya tak bisa berhubungan dengan Bintang. Noval bertanya-tanya dengan heran. Rasanya mereka tidak memiliki masalah dan tidak sedang bertengkar. Ia juga tidak merasa melakukan sesuatu yang salah.
*****
Dua koper besar tergeletak di lantai dalam keadaan terbuka. Bintang dan Ranti sudah menyelesaikan masa belajar dan siap untuk pulang. Bintang sedang melipat kaus kaki dan pakaian-pakaiannya untuk dimasukkan ke dalam koper, sedangkan Ranti sibuk di balik pintu lemari. Gerakan Bintang mulai melambat. Kram perutnya datang lagi. Ranti menutup lemari. Di tangannya terdapat banyak pakaian. "Kenapa, Bintang?" tanya Ranti saat melihat Bintang yang kini bersandar pada tepian tempat tidurnya sambil meringis. Kaus putih yang dipegangnya belum sempat dilipat. "Kram," jawab Bintang. "Lho, katanya nggak kenapa-napa waktu diperiksa?" Ranti berujar heran sambil menaruh bajubaju yang dipegangnya di sebelah koper. "Ya emang nggak kenapa-kenapa." Bintang mengakhiri percakapan. Ranti tampak tidak setuju dan ingin bertanya lagi, tapi handphone Bintang berdering, menunjukkan sebuah pesan yang baru masuk. Pesan dari Noval.
From: Val Bintang, sebenarnya ada apa? Gw butuh penjelasan. Pulang kpn?
Bintang menyandarkan kepalanya sejenak untuk berpikir. Sakit di perut dan pinggangnya yang terasa menyiksa setiap haid benar-benar mengganggu. Akhirnya Bintang memutuskan untuk membalas SMS itu.
To : Val Ga kenapa2... Maaf lama ga ngasih kabar. Pulang Jumat ini Val.
Laki-Laki Matahari
Confetti, gelas, piring kotor, dan sampah bekas pesta lainnya bertebaran di mana-mana. Ruangan itu kini kosong. Bintang duduk di sudut, di antara tebaran confetti. Daniel duduk di sebelahnya. Bintang mencegah Daniel pulang untuk membicarakan sesuatu. Daniel duduk tertunduk dengan ekspresi stres di wajahnya setelah mengetahui apa yang diinginkan Bintang. "Kenapa sih lo selalu ngerepotin hidup lo sendiri?" Daniel bertanya berat. Bintang hanya mengangkat bahunya, "Tolong banget, Niel," ujar Bintang pelan. Ia sudah menjelaskan panjang lebar. Kantuk sudah menyelimuti keduanya. "Gue pikir-pikir dulu, deh. Sekarang gue pulang dulu." Daniel beranjak dari kursi dan mengambil jaketnya. "Lo juga istirahat. Itu mata udah kayak panda," tambahnya. Bintang tersenyum simpul, sepertinya ia bisa menebak jawaban Daniel.
*****
Irah yang sedang menyapu halaman membukakan pagar ketika Noval sampai di depan rumah Bintang. Itu kali kedua ia berkunjung ke sana. Mereka berencana pergi ke kebun binatang untuk melepas penat. Noval mengangguk pelan kepada asisten rumah tangga itu sebagai ucapan permisi ketika memasuki halaman rumah. Setelah membuka helm dan menggantungnya, Noval mengeluarkan handphone-nya.
To : Bintang-ku Gw udah d bwh.
"Bi, Ibu sama Bintang ada, kan?" Noval berbasa-basi sambil menunggu Bintang keluar dan mengajaknya masuk. "Ibu lagi di toko," jawab Irah. "Teteh ada di kamarnya sama Dan..." Irah berhenti bicara. Ia tampak salah tingkah. "Sama siapa?"
*****
Pintu kamar bercat putih itu terbuka. Dua orang yang berada di dalam sepertinya tidak menyadari hal itu, mereka asyik memagut bibir satu sama lain. "ANJING!!" Noval menarik laki-laki sipit jangkung yang sedang mencium tunangannya itu. Dengan sekuat tenaga, ia melepaskan tinju ke wajah si laki-laki sampai tersungkur di lantai. Bintang yang masih duduk di atas ranjangnya tampak kaget. Ia hanya mendongak memandang Noval yang berdiri penuh amarah di hadapannya. "Jadi gitu?! Hah?!" Raut dingin Lucifer kembali muncul di wajah Noval. "Lo... bisa-bisanya..." Ia terengah-engah saking marahnya. "Dasar pe... pe..." Noval tak dapat melanjutkan kata-katanya. "Aaargh!!" Sebuah vas hancur berkeping-keping setelah dilempar Noval dengan penuh amarah.
*****
Setelah Noval pergi dan langkah-langkahnya tak terdengar lagi, Bintang turun dari ranjang. Dihampirinya Daniel yang masih duduk di lantai sambil memegangi bibirnya yang berdarah.
"Sakit, Niel?" tanya Bintang sambil berjongkok. Daniel hanya mendelikkan mata. "Menurut lo?" "Makasih," ujar Bintang. "Gue ambilin iodine sama es dulu, ya. Biar nggak bengkak," lanjutnya sambil berdiri. "Kenapa sih lo nggak bilang aja?" ujar Daniel yang masih duduk sambil menekan bibirnya yang berdarah. Bintang yang berada di ambang pintu menghentikan langkahnya. "Dia bisa aja nerima lo apa adanya," lanjut Daniel. Bintang berbalik. "Gue nggak mau dia nerima gue apa adanya. Gue pengin dia bahagia," sahut Bintang. "Satu lagi," ujar Daniel sambil berdiri. "Apa?" tanya Bintang, mulai kesal. "Enakan sama gue apa Kaila?" Sandal kamar berwarna merah yang dipakai Bintang pun melayang ke arah Daniel yang tertawatawa dengan bibir bengkaknya.
*****
Di dekat jendela bertirai putih di sebuah kamar rumah sakit, seorang perempuan setengah baya berdiri mematung. Menatap keluar dengan pandangan kosong. "Bu..." Bintang yang duduk di tempat tidur sambil menunggu waktu operasi pengangkatan rahim berusaha mengajak ibunya bicara. Tetapi perempuan itu bergeming. Ia benar-benar kecewa pada keadaan anaknya. Bintang sendiri pun akhirnya tahu diri dan diam. Ia juga benar-benar kecewa dengan dirinya sendiri. Ia tak berharap dimaafkan, walau ia tahu ibunya memaafkan.
*****
Seorang perempuan menyandarkan dirinya ke bahu Noval yang pandangannya tertuju pada televisi yang menyala di depannya. "Gue nggak nyangka lo bakal hubungin gue lagi. Kita udah lama lost contact juga. Gue kaget lho, waktu tau lo batalin pertunangan lo." Si perempuan menggelayut manja. Noval hanya tersenyum pada perempuan yang tampak gembira di sebelahnya. "Gue seneng," ujar si perempuan, sesaat sebelum kilau yang berasal dari logam di jemari Noval terlihat olehnya. Tangannya menyentuh jari-jari Noval. Ditelusurinya jari itu hingga mencapai logam yang berbentuk cincin. Dewatra. Nama yang terukir di cincin tersebut. Si perempuan tersenyum kecil sebelum kemudian duduk tegak di samping Noval. Noval tampak salah tingkah. "Rika?" tanya Noval pada perempuan yang kini terdiam. Biasanya perempuan itu sangat ekspresif dalam mengungkapkan pemikiran-pemikirannya."Lo tau apa itu cemburu, Val?" Rika menatapnya sambil tersenyum. "Gue ngerti kalau lo masih inget dia. Ngelupain orang itu nggak mudah." Rika diam sejenak. "Tapi, biasa nggak sih, lo hargai perasaan gue?" lanjutnya. Noval diam saja, tak tahu harus berkata apa. "Seenggaknya, lepas dulu cincin itu waktu ketemu gue." Rika menunjuk cincin di jari Noval. "Bersikaplah seolah-olah lo seneng bareng gue, Val. Nikmati waktu bareng gue tanpa terangterangan menghadirkan kenangan mantan lo." Rika mendengus kecewa. Kemudian ia berdiri, memakai cardigan-nya dan mengambil tasnya. "Mau ke mana?" tanya Noval. Rika yang sedang mengancingkan cardigan sambil memunggunginya membalikkan tubuh. "Kali ini pun gue cuma jadi pelarian ya, Val," ucap Rika pelan. Tangannya bergetar ketika merapikan cardigan. "Kalau gue cuma orang buat nemenin lo saat sepi dan lo sendiri nggak punya niat dan usaha buat sayang sama gue, gue nyerah," ujarnya dengan senyum dipaksakan. "I'll turn around." Sekilas, Noval melihat setetes air meluncur di pipi Rika sebelum perempuan itu meninggalkannya. Rasa sesak menyelimuti dada Noval.
Inikah rasa bersalah? Noval beranjak dari tempatnya untuk mengejar Rika. Sekadar untuk mengucapkan maaf karena telah memanfaatkannya. Tidak seharusnya ia menyakiti hati seseorang untuk menghilangkan sakit hatinya sendiri. Sayang sekali, permintaan maaf tersebut tak pernah sampai. Rika yang menghilang di balik pintu kontrakan Noval sudah tak tampak ketika ia mengejarnya keluar. Yang ada hanya halaman kosong dan seorang perempuan setengah baya di teras rumah. "Noval?" Perempuan itu berkata dingin.
*****
Dua bulan sudah Bintang mendirikan restoran seafood di pinggir pantai Teluk Penyu. Pada minggu-minggu pertama, semua terasa berat, namun kini ia dan karyawan-karyawannya yang berjumlah empat orang mulai terbiasa. Meskipun belum memiliki pelanggan tetap, setiap hari restorannya selalu kedatangan pengunjung. Siang itu, Bintang duduk sambil melamun. Dua karyawan Bintang asyik mengobrol dalam bahasa Jawa yang tidak ia mengerti. Dua orang lagi, yang merupakan pasangan kekasih baru, sedang duduk berdua dan berbisik-bisik. Pacaran. Hal itu sudah lama dilupakan Bintang. Namun, melihat dua karyawannya yang sedang berpacaran dan sepertinya akan menikah muda serta cepat punya anak, sesuatu terlintas di pikiran Bintang. Ia berpikir untuk mengadopsi anak. Bagaimana pun juga, ia manusia normal yang tak ingin selamanya sendiri. Pikiran tersebut membuatnya miris. Ia ingin mengadopsi anak, sedangkan anak kandungnya sendiri dulu dibuatnya invalid. Bintang cepat-cepat menyingkirkan pikiran tersebut. Ia sudah berjanji untuk berhenti menghukum dirinya sendiri dengan menyesali masa lalu. Sambil menguap pelan, Bintang beranjak dari tempatnya. Ia ingin berjalan-jalan di pantai untuk menghilangkan jenuh. "Saya ke pantai dulu ya, sebentar," ujarnya pada karyawan-karyawannya. "Iya, Mbak." Mereka menjawab serentak, seperti paduan suara.
Di dekat pohon kelapa, dilihatnya beberapa anak sedang berjongkok mengelilingi sesuatu. Penasaran, Bintang menghampiri mereka. Anak-anak itu mengelilingi api kecil yang mereka buat sambil membakar sesuatu. Kelihatannya seperti kerang yang dijadikan sate. Bintang ikut berjongkok di antara anak berkostum sepakbola berwarna biru dan anak laki-laki botak berkaus merah usang. Semua anak berkulit gelap karena terbakar matahari dan bau keringat. "Lagi apa?" tanya Bintang. Anak-anak itu menoleh pada pendatang baru yang tidak diundang. "Sate kerang," jawab seorang anak berbaju kuning di depan Bintang. Yang lain diam saja, masih merasa aneh dengan kedatangannya. "Boleh minta nggak?" tanyanya lagi. "Nggak ada lagi." Mereka menjawab serempak. "Nanti kalo udah mateng dibagi-bagi, deh," usul seorang anak berbaju putih kusam. Bintang tersenyum senang. Sebenarnya ia hanya ingin ikut bermain, karena ia sendiri sudah bosan makan makanan laut. "Sini, dibantuin." Bintang mengambil sate yang dipegang oleh anak berbaju biru di sebelahnya. Anak itu kini duduk santai. Sambil menunggu sate kerang matang, Bintang mengedarkan pandangannya. Pantai tidak begitu ramai hari itu. Beberapa orang di depannya sedang bermain air, satu orang berjalan ke arah mereka. Bintang tak dapat melihat dengan jelas karena ia berjongkok menghadap matahari. Posisi itu membuatnya silau. Bintang kembali memusatkan perhatian pada sate yang sebentar lagi matang. Wanginya sudah tercium. Sambil membakar kerang, ia kembali melihat pemandangan di depannya. Orang yang berjalan ke arah mereka sudah dekat, tetapi wajahnya tak terlihat karena sinar matahari yang terpendar di belakangnya. Bintang tak memedulikannya. Namun, ia menangkap sesuatu yang aneh. Sepertinya ia mengenali cara berjalan orang itu. Ia berusaha memfokuskan penglihatan pada orang tersebut. "Udah mateng." Seorang anak mengingatkan Bintang. Seseorang mengambil sate kerang dari tangannya. Menyelamatkan makanan itu dari gosong. Wajah orang itu kini terlihat jelas. Bintang berdiri diikuti tatapan anak-anak kecil yang menggenggam sate kerang. Ia keluar dari lingkaran anak-anak. Noval, dengan celana pendek, baju pantai, dan sandal jepit, kini berdiri di hadapannya. Sinar matahari berpendar dari tubuhnya yang membelakangi matahari.
"Bintang Dewatra, kenapa lo bikin semuanya jadi begitu sulit?"
-The End-
Sumber: https://www.facebook.com/pages/Kumpulan-Novel-Online-BahasaIndonesia/121869111320360?fref=photo