Program Pengasuhan Positif untuk Meningkatkan Kualitas Pengasuhan Ibu
Sisca Efnita
Abstrak Pengasuhan positif orangtua pada anak prasekolah dapat mencegah dan mengurangi perilaku bermasalah pada anak, serta dapat mendukung kompetensi akademik anak di sekolah formal. Namun masih banyak orangtua yang menerapkan pengasuhan negatif, karena kurangnya pengetahuan, kompetensi dan adanya pemahaman yang salah dalam pengasuhan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pengasuhan positif untuk meningkatkan kualitas pengasuhan ibu pada anak prasekolah. Model pelatihan dalam penelitian ini terinspirasi dari triple p (positive parenting program), yang dikembangkan oleh Sanders, sedangkan kualitas pengasuhan didefinisikan sebagai cara pengasuhan orangtua yang menyeimbangkan antara aspek responsiveness dan demandingness (Baumrind, 1991). Subjek penelitian adalah 10 orang ibu yang memiliki anak prasekolah (usia 3-5 tahun), yang dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok kontrol (n=5) dan kelompok eksperimen (n=5). Rancangan eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini adalah untreated control group design with pretest and posttest. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada pengaruh program pengasuhan positif terhadap kualitas pengasuhan ibu. Kata kunci: Program pengasuhan positif, anak prasekolah, kualitas pengasuhan
Pengantar
Periode awal masa kanak-kanak berlangsung dari usia 2-6 tahun. Masa ini biasa dianggap sebagai usia yang mengundang masalah atau usia sulit karena anak tampak penuh rasa ingin tahu, bereksplorasi, menjelajah, mencoba dan berpetualang dengan penuh keasyikan. Ada banyak hal yang menarik perhatian anak sehingga seringkali orangtua merasa kesulitan menghadapi pertanyaan dan perilaku anak. Orangtua terkadang menganggap anak sulit diatur, nakal, membangkang, tidak mau diam, terus bertanya dan keras kepala. Hal ini dapat terjadi karena tidak semua orangtua memahami bahwa sesungguhnya pada masa ini anak sedang berkembang pesat dan mulai memaksimalkan seluruh fungsi otak dan panca inderanya, serta anak juga masih
1
berada pada tahap perkembangan kognitif pra operasional, yang bersifat egosentrik dan belum mampu menerima dan memahami pendapat orang lain (Hurlock, 1990). Tahun awal masa kanak-kanak ini oleh para pendidik disebut sebagai usia prasekolah untuk membedakannya dari saat anak dianggap cukup mampu untuk menghadapi tugas-tugas pada saat mereka mulai mengikuti pendidikan formal (Hurlock, 1990). Faktor terpenting yang menyumbang bagi keberhasilan program
prasekolah
adalah
keterlibatan
yang
positif
orangtua
dalam
pembelajaran dan pendidikan anak-anak (Lally, Mangione, & Honig, dalam Santrock, 1995). Investigasi yang dilakukan Hess (dalam Santrock, 1995) menunjukkan bahwa perilaku pengasuhan ibu pada tahun-tahun prasekolah berkaitan dengan kompetensi akademik anak-anak di kelas enam. Perilaku pengasuhan yang diterapkan ibu sehingga menghasilkan anak yang memiliki kompetensi di kelas enam yaitu: program komunikasi yang efektif dengan anak, relasi yang hangat dengan anak, harapan-harapan positif untuk berprestasi, penerapan disiplin yang berdasarkan peraturan dan bukan disiplin yang berdasarkan kekuasaan, serta ketidakyakinan bahwa keberhasilan di sekolah didasarkan atas faktor keberuntungan. Hubungan dengan masyarakat yang menyenangkan, terutama dengan anggota keluarga, akan mendorong anak menjadi terbuka dan menjadi lebih berorientasi kepada orang lain (karakteristik yang mengarah ke penyesuaian pribadi dan sosial yang baik). Pola dan cara orangtua dalam berinteraksi dengan anak akan mempengaruhi perilaku anak. Pembentukan sikap dan perilaku anak akan efektif jika hubungan antara orangtua dan anak dilakukan dengan penuh rasa cinta dan rasa aman (Papalia, 2002). Erikson (dalam Hurlock, 1990) menerangkan, apa yang akan dipelajari seorang anak tergantung pada bagaimana orangtua memenuhi kebutuhan anak akan makanan, perhatian, dan cinta kasih. Akan tetapi, keaktifan anak usia prasekolah dapat mempengaruhi stabilitas emosi orangtua, sehingga yang terjadi anak terlalu diberikan apa yang diminta, atau sebaliknya diperlakukan dengan kekerasan seperti dipukul, dicubit, dibentak, dan ancaman-ancaman lain yang membuat anak takut secara terus menerus (Pius, 2007). Sepanjang tahun 2012 komisi nasional perlindungan anak mencatat terdapat 2.637 anak di Jabodetabek menjadi korban kekerasan, seperti
2
kekerasan seksual, kekerasan fisik, dan kekerasan psikis. Semua kasus kekerasan ini sebagian besar pelakunya adalah orang terdekat korban, terutama orangtua anak (beritajakarta.com). Berdasarkan data forum penanganan korban kekerasan perempuan dan anak (FPKKPA) DIY, pada tahun 2011 jogja mencapai 127 kasus kekerasan. Jumlah tersebut paling tinggi jika dibandingkan empat kabupaten/kota lain di seluruh DIY. Bahkan kekerasan terhadap anakanak usia di bawah 17 tahun terus meningkat dari 18 kasus pada tahun 2010 menjadi 30 kasus tahun 2011. Data tersebut sebenarnya belum cukup menunjukkan kondisi riil di lapangan. Sebab, selalu ada fenomena gunung es, dimana sebagian besar kasus kekerasan terhadap anak seringkali tidak dilaporkan (banjarmasinpost.co.id). Studi pendahuluan dilakukan peneliti melalui wawancara pada bulan Mei hingga Juni 2013 kepada ibu-ibu yang memiliki anak KB/TK di Kabupaten Sleman Yogyakarta. Wawancara dilakukan untuk mengetahui permasalahan perilaku anak di rumah, cara orangtua mendisiplinkan anak dan bagaimana cara orangtua menjalin kedekatan dengan anak. Sebagian besar ibu merasa kesulitan menangani anak yang sering berkelahi atau berebut mainan maupun makanan dengan saudaranya, merengek atau marah ketika keinginannya tidak dipenuhi, terlalu banyak nonton TV atau main, susah diajak mandi atau tidur. Cara ibu untuk mendisiplinkan anaknya adalah dengan menasehati anak; mengancam; melabel anak dengan kata-kata nakal, bandel; membentak anak; anak yang besar disuruh mengalah; membiarkan anak; memukul, mencubit, menjewer; terkadang dibiarkan dan terkadang diberi hukuman. Sedangkan untuk menjalin kedekatan
dengan
anak,
kebanyakan
ibu
merasa
kesulitan,
karena
kesibukannya dan anak akhirnya main bersama teman atau saudaranya. Berdasarkan wawancara tersebut, kebanyakan ibu tidak konsisten dalam menerapkan disiplin kepada anak. Hal ini mengindikasikan adanya kesalahan ibu dalam merespon perilaku bermasalah yang dilakukan anak. Melalui wawancara kepada dua orang guru di dua TK didapat data bahwa beberapa siswanya sering ditinggal orangtuanya karena alasan pekerjaan dan sering mendengar atau melihat orangtuanya bertengkar, sehingga anak sering murung di sekolah. Peneliti juga mengamati seorang ibu di TK B yang juga turut serta dalam mengajari anak mewarnai dan mencocokkan gambar. Ibu tersebut memaksa anaknya yang sudah putus asa agar terus mengerjakan pekerjaannya sampai
3
selesai. Hingga anaknya hampir menangis, ibu tersebut makin membentak dan melabel anaknya. Anak tersebut makin tidak mau mengerjakan pekerjaannya, akhirnya ibu tersebut menolak bahu anak dan memukulnya disertai bentakan di depan guru dan teman-temannya. Hal ini menunjukkan bahwa cara yang digunakan orangtua dalam merespon perilaku anak belum tepat dan efektif. Bagi sebagian budaya pola mendidik dengan kekerasan telah menjadi nilai budaya yang dianut turun menurun, yang sulit untuk diubah. Orangtua banyak yang tidak menyadari bahwa cacian, makian, cemoohan, omelan, bentakan,
merupakan
bagian
dari
kekerasan
pada
anak
yang
dapat
menimbulkan luka psikologis, dan anak akan belajar dengan cara menyaksikan orangtua yang menggunakan kekerasan terhadapnya, sehingga anak menjadi lebih agresif (Del Vecchio & O’Leary, 2006), karena sebagian besar dari apa yang dipelajari oleh anak adalah melalui proses peniruan dan penyajian dari contoh perilaku (Smetana, 1999). Dampak lain dari pengasuhan yang tidak tepat yaitu akan meningkatkan resiko permasalahan perilaku dan emosional pada anak (Pachter, Auinger, Palmer & Weitzman, 2006), anak akan menarik diri, rentan menjadi korban kekerasan seksual (USDHHS, dalam Papalia, Olds & Feldman, 2002), melakukan bentuk kenakalan remaja (Dannerbeck, 2005), memiliki kompetensi sosial dan harga diri yang rendah, mengalami kesulitan untuk mengelola emosi, mengalami hambatan belajar atau tinggal kelas, dan berisiko mengalami gangguan psikologis ketika dewasa (Steinberg, 2000). Bahkan menurut Grossman dan Rowat (dalam Suldo dan Huebner, 2004), orangtua yang tidak menyayangi anaknya lebih berdampak negatif dibandingkan orangtua bercerai. Berdasarkan pendapat beberapa ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa kualitas hubungan positif antara orangtua dengan anak dapat mencegah dan mengurangi perilaku bermasalah pada anak, serta dapat mendukung kompetensi akademik anak. Oleh karena itu, peningkatan kualitas pengasuhan orangtua menjadi hal penting untuk diupayakan. Menurut Sanders (2004), penyebab munculnya masalah bagi orangtua di seputar pengasuhan anak diantaranya adalah atribusi negatif orangtua terhadap perilaku anak, kontrol kemarahan yang rendah pada orangtua, dan kurangnya pengetahuan orangtua tentang pengasuhan anak, sehingga mereka mengalami kesulitan dan berdampak pada hubungan mereka dengan anak. Sedangkan
4
menurut Steinberg (2000), pengasuhan yang negatif disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya kemiskinan, ketidakstabilan mental orangtua, kurangnya dukungan sosial untuk keluarga dan pemahaman yang salah tentang pengasuhan. Misalnya anggapan bahwa anak tidak membutuhkan orangtua setelah remaja dan hukuman fisik adalah cara terbaik untuk menegakkan disiplin. Coie dan Dodge (1998) menyatakan bahwa kesalahan pengasuhan tidak terlepas dari faktor yang mempengaruhi perilaku pengasuhan yaitu budaya, pola kepribadian, sikap terhadap pengasuhan (otoriter, permisif, demokratis) dan modeling figur orangtua. Menurut Belsky (dalam Damon & Lerner, 2006, Belsky, dalam Mc Dermott, 2008), orangtua dalam mengasuh anak dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu mencakup sistem ekologi dan kompetensi orangtua. 1) Sistem ekologi meliputi: a. Mikrosistem (interaksi orangtua dengan anak); b. Mesosistem (hubungan orangtua, sekolah dan teman sebaya); c. Makrosistem (faktor budaya, institusi); d. Kronosistem (perubahan nilai-nilai sosial, komunitas), 2) Kompetensi orangtua merupakan kepekaan orangtua terhadap kemampuan anak dan cara komunikasi orangtua dengan anak. Kompetensi orangtua meliputi: a. Sumber daya/karakteristik orangtua (pengalaman terdahulu, faktor psikologis, genetik, kecerdasan, kepribadian, kontrol diri, pendidikan dan harapan dalam mengasuh anak, kemampuan dan motivasi untuk bertanggung jawab sebagai pengasuh); b. Karakteristik anak (temperamen, status kesehatan, karakteristik fisik dan biologis, tahap perkembangan/usia, urutan anak dalam keluarga dan jenis kelamin); c. Sumber kontekstual yang mendukung dan menimbulkan tekanan (kepuasan/kualitas perkawinan, jaringan sosial, sistem pendukung, latar belakang budaya, status sosial ekonomi). Baumrind
(1991)
mengemukakan
dua
faktor
pengasuhan,
yaitu
responsiveness dan demandingness. Responsiveness mengacu pada kualitas hubungan afeksi antara orangtua dan anak, meliputi kehangatan, dukungan dan keterlibatan, sedangkan demandingness mengacu pada harapan yang realistis disertai monitoring terhadap perilaku anak. Bogenschneider dan Pallock (2008) beranggapan bahwa responsiveness merupakan komponen dasar dalam kapasitas pengasuhan untuk anak. Hal ini berupa perhatian terhadap kebutuhan anak dan adanya kehangatan dalam keluarga. Responsiveness diukur melalui penerimaan kedekatan, kualitas hubungan, dan kehangatan orangtua dengan
5
anak. Sedangkan demandingness mengacu pada ketegasan dalam aturan dan standar perilaku yang diinginkan. Berdasarkan tingkat demandingness dan responsiveness, Baumrind (1991) membagi empat gaya pengasuhan, yaitu: 1. Pengasuhan authoritative adalah model pengasuhan yang mengatur perilaku anak dengan kehangatan, harapan realistis dan memotivasi berpikir mandiri (pengasuhan dengan tingkat responsiveness dan demandingness tinggi) menghasilkan anak yang positif 2. Pengasuhan
neglectful
(tidak
mempedulikan,
mengabaikan),
yaitu
pengasuhan dengan tingkat responsiveness dan demandingness yang rendah, menimbulkan perilaku bermasalah pada anak dan berkurangnya perhatian di sekolah 3. Pengasuhan authoritarian adalah cara pengasuhan yang terlalu banyak menuntut anak, tidak ada penghargaan dan kehangatan terhadap anak serta kedisiplinan
yang
keras
(memiliki
demandingness
tinggi
namun
responsiveness yang rendah). 4. Pengasuhan
indulgent,
memiliki
responsiveness
tinggi
namun
demandingness rendah. Hal ini menyebabkan anak tidak mengetahui dan mentaati norma sosial yang ada. Perilakunya semaunya sendiri, kurang diterima oleh teman sebaya dan kurang tertarik dengan kegiatan sekolah. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam pengasuhan diperlukan adanya kualitas afeksi yang baik antara orangtua dan anak, serta adanya ketegasan dalam penerapan aturan. Beberapa faktor yang menyebabkan orangtua memiliki pengasuhan negatif yaitu karena kurangnya pengetahuan, kompetensi dan ada pemahaman yang salah dalam pengasuhan. Oleh karena itu, penulis merasa perlu untuk mengupayakan adanya peningkatan kualitas pengasuhan orangtua dengan cara memberi pengetahuan, pemahaman serta keterampilan dalam mengasuh anak. Salah
satu
program
yang
terbukti
efektif
untuk
meningkatkan
keterampilan orangtua dalam pengasuhan anak adalah positive parenting program (triple P). Triple P dapat meningkatkan efikasi diri orangtua (Bodenmann dkk, 2008; Leung dkk, 2003; Sanders dkk, 2008; Sanders & Woley, 2005), mengurangi stres pengasuhan, menciptakan kerjasama orangtua dalam pengasuhan (Sanders dalam Pouretemed dkk, 2009), menurunkan pengasuhan
6
disfungsional (Bodenmann, Ledermann, & Sanders, 2008), mengurangi konflik dalam pengasuhan, meningkatkan keharmonisan interaksi keluarga (Leung dkk, 2003; Sanders dalam Pouretemed, Khooshabi, Roshanbin & Jadidi, 2009), dan mengurangi permasalahan perilaku dan emosional anak (Leung dkk, 2003; Sanders dkk, 2008). Tujuan triple P adalah mencegah terjadinya masalah perkembangan, emosional, dan perilaku pada anak, dengan cara meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kepercayaan diri orangtua (Sanders, 2008). Salah satu pengetahuan yang harus dimiliki oleh orangtua dalam mengasuh anak adalah mengenai penalaran moral anak, karena hal ini sangat terkait dengan bagaimana orangtua menetapkan aturan kepada anak yang nantinya akan berdampak pada pembentukan perilaku anak. Menurut Kohlberg (dalam Santrock (2002), sebelum usia sembilan tahun, kebanyakan anak-anak berada pada tahap penalaran moral prakonvensional, yang terdiri dari dua tahap, yaitu 1) Orientasi hukuman dan ketaatan. Pada tahap ini, penalaran moral didasarkan atas hukuman. Anak-anak taat karena orang dewasa menuntut mereka untuk taat; 2) individualisme dan tujuan. Pada tahap ini penalaran moral didasarkan atas imbalan (hadiah) dan kepentingan sendiri. Apa yang benar adalah apa yang dirasakan baik dan apa yang dianggap menghasilkan hadiah. Selanjutnya, menurut Piaget (dalam Santrock, 2002) anak usia 4-7 tahun berada pada tahap penalaran moral heteronomous morality, yaitu keadilan dan aturan-aturan dibayangkan sebagai suatu hal yang tidak boleh berubah, yang lepas dari kendali manusia, dan menilai kebenaran atau kebaikan perilaku dengan mempertimbangkan akibatakibat dari perilaku itu, bukan maksud-maksud dari perilaku itu. Anak-anak yakin bahwa pelanggaran dihubungkan secara otomatis dengan hukuman. Bila suatu aturan dilanggar, hukuman akan dikenakan segera. Pola asuh yang dterapkan dalam lingkungan keluarga oleh orangtua akan ikut berperan dalam pembentukan nilai moral pada anak (Walker & Henniq, 1999). Menurut Piaget (dalam Santrock, 2002), relasi orangtua-anak, dimana orangtua memiliki kekuasaan sementara anak tidak, tampaknya kurang mengembangkan pemikiran moral, karena aturan selalu diteruskan dengan cara yang otoriter. Studi tentang perilaku moral telah dipengaruhi oleh teori belajar sosial. Bila anak-anak diberi hadiah atas perilaku yang sesuai dengan aturan dan perjanjian sosial, mereka akan mengulangi perilaku itu. Bila model yang
7
berperilaku secara moral diberikan, anak-anak akan meniru tindakan model tersebut. Bila anak-anak dihukum atas perilaku yang tidak bermoral, perilaku itu akan berkurang atau hilang. Tetapi, karena hukuman memiliki akibat sampingan yang berbeda, hukuman perlu digunakan secara bijaksana dan hati-hati. Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis mengadakan pelatihan dengan menggunakan triple p yang berdasarkan pendekatan belajar sosial, yang memiliki teknik-teknik untuk mendisiplinkan dan mengelola perilaku anak yang salah, seperti menetapkan aturan yang jelas, bimbingan terarah, memberikan instruksi dengan jelas dan tenang, pengabaian terencana, dan konsekuensi logis (Sanders, 2008). Adapun proses belajar sosial yang dilakukan selama pelatihan yaitu, orangtua secara langsung mempelajari dan meniru apa yang dicontohkan oleh fasilitator sebagai model kemudian mendapat feedback positif terhadap apa yang dilakukan. Hal tersebut bertujuan agar orangtua menjadi model yang positif bagi anak terkait dengan interaksi dengan lingkungannya. Proses belajar tersebut dalam pendekatan belajar sosial dinamakan modeling. Proses belajar melalui modeling berlangsung melalui empat tahapan (Ormrod, 2004). Pertama, orangtua memperhatikan aspek-aspek penting perilaku baru yang dipelajari (aspek perilaku pengasuhan positif baik verbal maupun nonverbal). Kedua, orangtua mengingat perilaku yang telah diperhatikan (rehearsal) pada saat perilaku tersebut butuh dimunculkan. Individu membuat kode memori berupa representasi verbal (instruksi-instruksi) dan gambaran visual tentang perilaku yang dipelajari sebagai panduan untuk melakukan perilaku yang dipelajari, baik segera setelah memodel ataupun pada waktu yang akan datang. Ketiga, orangtua mereplikasi perilaku model (motor reproduction). Mereplikasi perilaku model ini memungkinkan orangtua untuk mempelajari perilaku bukan hanya dengan representasi verbal dan gambaran visual saja, tetapi juga memanfaatkan gerakan motorik dalam proses modeling tersebut. Selain itu, orangtua bisa mendapatkan umpan balik langsung dari model untuk melakukan perilaku dengan benar. Keempat, orangtua memiliki motivasi dan kemauan untuk mempelajari perilaku. Triple P memiliki lima prinsip untuk menghasilkan anak yang berkembang secara positif dan memiliki mental yang sehat (Sanders, 2008). Adapun kelima prinsip tersebut yaitu:
8
1. Ensuring a safe and engaging environment, yaitu menyediakan lingkungan yang aman bagi anak untuk memberinya kesempatan bereksplorasi, bereksperimen
dan
bermain.
Prinsip
ini
penting
untuk
mencapai
perkembangan yang sehat dan mencegah terjadinya luka dan kecelakaan. 2. Creating a positive learning environment, yaitu orangtua menjalankan peran sebagai guru pertama bagi anak yang harus merespon secara positif dan konstruktif ketika berinteraksi dengan anak (seperti meminta tolong, memberikan
informasi,
memberi
nasehat
dan
memberi
perhatian),
mendorong anak belajar menyelesaikan masalah mereka sendiri, belajar keterampilan sosial dan komunikasi dengan bahasa yang baik. 3. Using assertive discipline, yang merupakan pengganti bagi disiplin yang menggunakan paksaan dan disiplin praktis yang tidak efektif, seperti teriakan, ancaman, atau menggunakan hukuman secara fisik. Strategi yang digunakan untuk mengubah perilaku dalam disiplin asertif ini meliputi pemilihan aturan dasar untuk situasi tertentu; mendiskusikan aturan dengan anak; memberikan instruksi dan permintaan yang jelas dan tenang sesuai dengan usia anak; mengenalkan konsekuensi logis dan pengabaian terencana. 4. Having realistic expectations, yaitu orangtua mengeksplorasi harapanharapan, kepercayaan dan asumsi-asumsi tentang penyebab perilaku anak, kemudian
memilih
tujuan
yang
tepat
dan
realistis
sesuai
dengan
perkembangan anak. 5. Taking care of oneself as a parents, yaitu mengajarkan keterampilan pengasuhan
praktis
yang
dapat
diterapkan
oleh
kedua
orangtua,
keterampilan mengeksplorasi keadaan emosional orangtua, dan mendorong orangtua mengembangkan strategi koping untuk mengelola tekanan dan emosi negatif berkaitan dengan pengasuhan, termasuk stres, depresi, kemarahan, dan kecemasan. Dari uraian di atas terlihat bahwa prinsip dalam Triple P mengandung aspek
responsiveness
(kedekatan
dan
keterlibatan
dengan
anak)
dan
demandingness (ketegasan dalam aturan dan harapan yang realistis). Aspek responsiveness, terdapat pada prinsip ensuring a safe and engaging environment; dan creating a positive learning environment. Sedangkan aspek demandingness terdapat pada prinsip having realistic expectations; dan using assertive discipline.
9
Triple P memiliki lima level intervensi, yaitu: level 1 memberikan informasi kepada orangtua tentang strategi pengasuhan secara umum; level 2 memberi panduan kepada orangtua tentang pengasuhan anak yang memiliki kesulitan perilaku ringan, seperti kesulitan dalam mengatur jam tidur dan toilet training. Intervensi dilakukan selama satu sampai dua sesi; level 3 disediakan untuk orangtua yang membutuhkan konsultasi atau pelatihan untuk menangani anak yang memiliki kesulitan perilaku taraf sedang, seperti tantrum, rengekan, perkelahian antara saudara kandung, dan kemandirian. Intervensi dilakukan selama empat sesi; level 4 merupakan pelatihan intensif positif parenting bagi orangtua yang memiliki anak dengan masalah perilaku yang sulit, seperti agresif, oppositional defiant disorder, perilaku membangkang dan kesulitan belajar; level 5 dikhususkan bagi orangtua dengan masalah perilaku anak, bersamaan dengan disfungsional keluarga, seperti konflik perkawinan, depresi orangtua atau tingkat stres yang tinggi pada orangtua. Melihat efektivitas triple p dalam memberi pengetahuan, pemahaman dan keterampilan orangtua dalam mengasuh anak, maka penulis terinspirasi dari triple p untuk membuat program guna meningkatkan kualitas pengasuhan ibu. Kualitas pengasuhan dalam penelitian ini didefinisikan sebagai pengasuhan orangtua
yang
menyeimbangkan
antara
aspek
responsiveness
dan
demandingness (Baumrind, 1991) sebagai model pengasuhan yang positif, yang terdiri dari tiga aspek, yaitu menjalin kehangatan dengan anak, disiplin moderat dan harapan yang realistis (Berkowitz, 1993) Subjek dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki anak prasekolah (usia 3-5 tahun), karena ibu memiliki peran yang signifikan terhadap perkembangan perilaku anak. Keterlibatan ibu dalam pengasuhan anak lebih banyak dibanding ayah (Calzada dkk, 2004). Eisenberg dan Fabes (1994) meneliti tentang reaksi emosi ibu yang mempengaruhi reaksi negatif anak. Hasilnya menunjukkan bahwa stres pengasuhan, hukuman, dan problem focus emotion berkorelasi dengan kemarahan verbal dan kompetensi sosial yang rendah pada anak. Prinsip-prinsip, rincian sesi, dan hasil yang diharapkan dari program pengasuhan positif, tertera dalam tabel berikut:
10
Tabel 1. Matriks Program Pengasuhan Positif Prinsip 1. Menyediakan
Sesi Mengenal
lingkungan yang
pengasuhan
aman dan
positif
Hasil - Peserta memahami prinsip-prinsip pengasuhan positif
mendukung bagi perkembangan anak
2. Membentuk
Menjalin
- Peserta mampu menjalin dan meningkatkan
lingkungan belajar
hubungan positif
hubungan
positif
dengan
anak,
yaitu
yang positif
antara orangtua
menggunakan gaya bahasa positif, komunikasi
dengan anak
dengan gesture, mendengarkan dengan empati, memberikan waktu yang berkualitas, beraktivitas dengan anak dan memberikan teladan
3. Menerapkan disiplin asertif
Penerapan
- Peserta memahami keterampilan pengasuhan
disiplin dan
positif
yang
digunakan
untuk
menanamkan
mengelola
disiplin dan mengelola perilaku anak yang salah,
perilaku anak
yaitu dengan menetapkan aturan yang jelas, bimbingan terarah, memberikan instruksi dengan jelas
dan
tenang,
pengabaian
terencana,
konsekuensi logis, menghindari hukuman fisik
4. Memiliki harapan yang realistis
Memahami
- Peserta
memahami
perkembangan
anak
perkembangan
prasekolah, sehingga tidak menuntut anak diluar
anak
kemampuannya - Peserta
memahami
bagaimana
peran
keberadaan
anak,
dan
orangtua
terhadap
anak
mengelola
emosi
ketika
prasekolah
5. Memiliki self-care sebagai orangtua
Mengelola emosi orangtua
- Peserta
mampu
berhadapan dengan anak
Dengan adanya aspek lingkungan (environment) baru yang berupa program pengasuhan positif yang memberikan kesempatan terjadinya proses belajar pengasuhan positif, maka akan mempengaruhi karakteristik personal ibu 11
(pengalaman belajar, memori baru, persepsi baru dan regulasi diri yang semakin baik pada ibu). Kemudian, proses perubahan dalam diri ibu akan mempengaruhi perubahan perilaku ibu (behavior), yaitu pola interaksi ibu kepada anak menjadi lebih positif. Alur program dapat dilihat dalam gambar berikut: Pengasuhan ibu anak prasekolah Kurang seimbang antara aspek responsiveness dan demandingness
Program pengasuhan positif
-
- Mengenal pengasuhan positif - Perkembangan anak dan peran orangtua - Mengelola emosi orangtua - Menjalin hubungan positif antara ibu dan anak - Penerapan disiplin dan mengelola perilaku anak - Reviu dan praktik - FGD
-
-
Kurang terjalin hubungan antara ibu dan anak Meliputi banyak menggunakan bahasa yang negatif, kurang sabar mendengarkan, tidak melibatkan gesture dalam berkomunikasi, tidak atau jarang memberi waktu yang berkualitas, jarang beraktivitas dengan anak Harapan yang tidak realistis Meliputi menuntut anak di luar kemampuan dan perkembangannya Kurang disiplin atau disiplin terlalu keras Meliputi tidak menerapkan aturan kepada anak, memberikan apapun yang anak minta, menghukum secara fisik maupun psikologis
Kualitas pengasuhan ibu meningkat
Gambar 1. Alur Pikir Program Pengasuhan Positif Keterangan: Intervensi Menyebabkan
12
- Terjalin hubungan positif antara ibu dan anak Menggunakan bahasa yang positif, sabar mendengarkan, melibatkan gesture dalam berkomunikasi, memberi waktu yang berkualitas, beraktivitas dengan anak - Harapan yang realistis Tidak menuntut anak diluar kemampuan dan perkembangannya - Disiplin moderat Menerapkan aturan kepada anak sesuai usia, perkembangan dan kepribadiannya, selektif terhadap permintaan anak, tidak menghukum secara fisik dan psikologis