PRODUKSI, SIFAT FISIK, DAN SIFAT KIMIA DAGING DOMBA YANG DIBERI RANSUM MENGANDUNG LIMBAH UDANG
MUHAMMAD SAYUTI MAS’UD
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Produksi, Sifat Fisik, dan Sifat Kimia Daging Domba yang Diberi Ransum Mengandung Limbah Udang adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor,
Februari 2012
Muhammad Sayuti Mas’ud NIM. D061020131
ABSTRACT MUHAMMAD SAYUTI MAS’UD. Meat Production and Characteristics from Local Sheep Fattened on Pelleted Ration Containing Shrimp Waste. Under direction of AMINUDDIN PARAKKASI, R. EDDIE GURNADI, and RUDY PRIYANTO. An experiment had been done with 16 growing male local sheep. The experiment divides in to three different steps ie: 1) To find out the optimum length of autoclaving time needed (121ºC, 1 atm) in processing shrimp waste, in a in vitro study using sheep rumen fluid. The observation using a randomized block design. Four time autoclaving were compared (0, 3, 6, and 9 hours) their effect on digestibility dry matter, organic matter, protein, chitin, VFA production, and ammonia concentration; 2) The objective of the 2 observation is to find out the effect of level of processed shrimp waste (0, 10, 20, and 30%) on feed intake, digestibilities, body weight changes, and feed efficiency. The observation using 4 local sheep (aproximately 8 mo old, with average body weight 15,9 kg) each level, for 12 weeks; 3) Continuation of observation no. 2, after all animals were slaughtered. The effect of level of processed shrimp waste on carcass composition, meat distribution, physical and chemical characteristic, from commercial cuts. The results of studies ie: 1) Autoclaving of shrimp waste (121ºC, 1 atm) were significantly (P<0.05) affecting dry matter digestibility (fermentative, enzimatis, and for both), as well as on organic matter, protein, total chitin, VFA, and N-NH3 production, while on digestibility of total organic matter, and chitin, were not (P>0.05). In scoring system and efficiency point of view, it was found that best time of autoclaving was 6 hours; 2) The effect of shrimp waste concentration level were not affecting feed intake (P>0.05), however on the digestibilities of nutrients, was (P<0.01) except on digestibility of crude fiber and NDF. Also did no effect ruminal pH, urine allantoin and N retention (P>0.05), however significantly (P<0.01) affect on VFA production and N-NH3 concentration, slaughter weight, live body weight gain, and feed convertion; 3) The effect of level of processed shrimp waste in local sheep ration did not affected (P>0.05) percent of carcass weight, loin eye area, distribution of commercial meat cuts, except for breast, and physical characteristic of meat (pH, tenderness, cooking loss, and water holding capacity. However, it was significantly (P<0.01) affect the empty body weight, carcass weight, percentage of meat, bone, and fat on weight, and triglyceride concentration, total cholesterol, and iodium number of meat. From several results of the experiment as mentioned above, it can be concluded that the best autoclaving time (121ºC, 1 atm) for shrimp waste was 6 hours. Processed shrimp waste can reduced carcass fat concentration, triglyceride and cholesterol level of meat. The best level were 20% in ration. Keywords: shrimp waste, local sheep, carcass, meat, cholesterol, triglyceride.
RINGKASAN MUHAMMAD SAYUTI MAS’UD. Produksi, Sifat Fisik, dan Sifat Kimia Daging Domba yang Diberi Ransum Mengandung Limbah Udang. Dibimbing oleh AMINUDDIN PARAKKASI, R. EDDIE GURNADI, dan RUDY PRIYANTO. Domba adalah salah satu jenis ternak ruminansia kecil yang prospektif sebagai penghasil daging dan berperan penting dalam penyediaan protein hewani. Namun disisi lain, daging domba memiliki kandungan lemak dan kolesterol yang tinggi. Jika dikonsumsi dalam jumlah yang berlebih dapat berdampak kurang baik terhadap kesehatan sebab akan memicu timbulnya berbagai penyakit kardiovaskular, seperti tekanan darah tinggi, jantung koroner, dan atheroskelerosis (Azwar 2004; Sudana 2004). Guna menanggulangi hal tersebut, diperlukan ransum sumber serat karena bagian serat baik yang bersifat larut maupun yang tidak larut menurunkan kolesterol (Horigome et al. 1992; Sudana 2004). Salah satu limbah yang potensial digunakan sebagai sumber serat adalah limbah udang karena mengandung kitin (chitin) berupa senyawa polisakarida struktural mirip selulosa sebesar 30% dari bahan keringnya (Purwantiningsih 1992) yang mengikat nitrogen dalam bentuk N-Acetylated-glucosaminpolysacharida sebanyak 6.6 sampai dengan 6.7% (Stelmoch et al. 1985). Disamping itu, juga mengandung protein kasar sebesar 36.75% (Mirzah 2006), sehingga dapat digunakan sebagai sumber protein. Pada ternak ruminansia, protein limbah udang didegradasi oleh mikroba rumen. Tingkat degradasinya (in vitro) mencapai 57.94% (Batubara 2000), sehingga manfaat limbah udang menjadi kurang maksimal. Dengan demikian, bila limbah udang digunakan sebagai sumber protein dalam ransum ruminansia, perlu dilakukan pengolahan terlebih dahulu guna memproteksi proteinnya. Hal ini dapat meningkatkan pasokan protein by pass di pencernaan pascarumen. Kitin sebagai serat di pencernaan pascarumen berguna untuk mengikat asam lemak dan empedu menjadi bentuk senyawa yang tidak dapat di absorbsi dan diekskresikan bersama feses sehingga menurunkan kolesterol dalam tubuh ternak. Pada akhirnya, domba dapat memproduksi daging yang tinggi dengan kadar kolesterol yang rendah sehingga aman bagi konsumen. Salah satu jenis pengolahan yang sering digunakan adalah pengolahan secara fisik melalui pemanasan dengan tekanan uap panas (Prawirokusumo 1994; Mirzah 1997). Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dilakukan penelitian yang berjudul: produksi, sifat fisik, dan sifat kimia daging domba yang diberi ransum mengandung limbah udang. Tujuan Penelitian ini, untuk: mengetahui lama pengukusan (121ºC) disertai tekanan (1 atm) menggunakan autoklaf yang terbaik guna meningkatkan pasokan protein by pass dan kecernaan limbah udang dalam pencernaan pascarumen; mengetahui efek ransum yang mengandung limbah udang terhadap performa pertumbuhan, komposisi karkas, distribusi daging potongan komersial karkas, sifat fisik dan sifat kimia daging pada domba; serta mengetahui taraf terbaik penggunaan limbah udang dalam ransum domba. Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahapan. Penelitian tahap pertama dilakukan untuk mencari lama pengukusan pada suhu 121ºC disertai tekanan
1 atm menggunakan autoklaf yang terbaik pada limbah udang. Pengujian dilakukan secara in vitro guna mengetahui kecernaan dan fermentabilitas limbah udang dalam cairan rumen domba. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK). Perlakuan adalah empat waktu pengukusan pada suhu 121ºC disertai tekanan 1 atm menggunakan autoklaf pada limbah udang yaitu 0, 3, 6, dan 9 jam. Ulangan adalah tiga kelompok pengambilan cairan rumen. Peubah yang diamati adalah kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik, kecernaan protein, kecernaan kitin, produksi VFA, dan konsentrasi N-NH3. Penelitian tahap kedua dilakukan untuk mengetahui efek dan taraf limbah udang dalam ransum terhadap performa pertumbuhan domba. Pengujian dilakukan secara in vivo menggunakan domba lokal jantan berumur 8 bulan dengan rataan bobot badan 15.19 kg sebanyak 16 ekor. Pemeliharaan dilakukan selama 12 minggu dan ransum diberikan secara ad libitum. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap. Perlakuan adalah taraf hidrolisat limbah udang (hasil terbaik penelitian tahap pertama) dalam ransum yaitu 0% (kontrol), 10%, 20%, dan 30%, masing-masing empat ekor domba sebagai ulangan. Peubah yang diamati adalah konsumsi dan kecernaan nutrien ransum (bahan kering, bahan organik, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, acid detergent fiber (ADF), neutral detergent fiber (NDF), energi); produk fermentasi rumen (pH, VFA, dan N-NH3) dan alantoin urin; retensi nitrogen; bobot awal, bobot potong; pertambahan bobot hidup; dan konversi ransum. Penelitian tahap ketiga adalah lanjutan penelitian tahap kedua, dilakukan untuk mengetahui efek dan taraf limbah udang dalam ransum terhadap komposisi karkas, distribusi daging potongan komersial karkas, sifat fisik dan sifat kimia daging pada domba lokal jantan. Pengujian dilakukan dengan menyembelih domba di akhir pemeliharaan pada penelitian tahap kedua. Peubah yang diamati adalah bobot tubuh kosong; bobot dan persentase karkas; luas urat daging mata rusuk; bobot dan persentase komposisi karkas (daging, tulang, dan lemak); bobot daging, tulang, dan lemak potongan komersial karkas (leg, loin, rack, breast, shoulder, foreshank, dan flank); sifat fisik daging (pH, keempukan, susut masak, dan daya mengikat air oleh protein daging); dan sifat kimia daging (kadar trigliserida, kadar kolesterol, dan bilangan iodium). Seluruh data dari penelitian tahap pertama, kedua, dan ketiga dianalisis menggunakan sidik ragam (Analysis of Varian). Uji lanjut menggunakan uji jarak berganda Duncan. Hasil yang diperoleh pada penelitian tahap pertama yaitu perlakuan waktu pengukusan pada suhu 121ºC disertai tekanan 1 atm menggunakan autoklaf pada limbah udang berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap kecernaan bahan kering fermentatif, enzimatik, dan total; kecernaan bahan organik fermentatif dan enzimatik; kecernaan protein fermentatif, enzimatik, dan total; kecernaan kitin total; produksi VFA; dan konsentrasi N-NH3. Sedangkan kecernaan bahan organik total serta kecernaan kitin fermentatif dan enzimatik tidak berpengaruh nyata (P>0.05). Berdasarkan evaluasi yang dilakukan dengan menggunakan sistem skor dan pertimbangan efisiensi didapatkan bahwa waktu pengukusan pada suhu 121ºC disertai tekanan 1 atm menggunakan autoklaf yang terbaik pada limbah udang adalah 6 jam. Hasil yang diperoleh pada penelitian tahap kedua yaitu perlakuan taraf hidrolisat limbah udang dalam ransum tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap
konsumsi nutrien ransum, tetapi berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap kecernaan nutrien ransum (bahan kering, bahan organik, protein kasar, lemak kasar, ADF, dan energi) kecuali serat kasar dan NDF. Juga tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap pH rumen, alantoin urin, dan retensi nitrogen, tetapi berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap produksi VFA rumen, konsentrasi NNH3 rumen, bobot potong, pertambahan bobot hidup, dan konversi ransum. Hasil yang diperoleh pada penelitian tahap ketiga yaitu perlakuan taraf hidrolisat limbah udang dalam ransum tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap persentase karkas; luas urat daging mata rusuk; distribusi daging potongan komersial karkas kecuali potongan leg; distribusi tulang dan lemak potongan komersial karkas kecuali breast; dan sifat fisik daging (pH, keempukan, susut masak, dan daya mengikat air oleh protein daging). Namun, berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap bobot tubuh kosong; bobot karkas; bobot daging, tulang, dan lemak; kadar trigliserida, kolesterol total, dan bilangan iodium daging. Hasil dari penelitian ini, dapat disimpulkan sebagai berikut: Pengolahan limbah udang dengan cara pengukusan (121ºC) disertai tekanan (1 atm) menggunakan autoklaf sebaiknya dilakukan selama 6 jam. Penggunaan hidrolisat limbah udang dalam ransum domba lokal jantan mampu menurunkan bobot dan persentase lemak karkas, kadar trigliserida dan kolesterol daging. Taraf terbaik penggunaan hidrolisat limbah udang dalam ransum domba yaitu 20%, karena mampu mempertahankan pertambahan bobot hidup, bobot dan persentase karkas, bobot dan persentase daging, bobot daging pada potongan leg, dan meningkatkan kadar lemak tak jenuh (bilangan iodium) daging pada domba. Kata kunci: limbah udang, domba lokal, karkas, daging, kolesterol, trigliserida.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
PRODUKSI, SIFAT FISIK, DAN SIFAT KIMIA DAGING DOMBA YANG DIBERI RANSUM MENGANDUNG LIMBAH UDANG
MUHAMMAD SAYUTI MAS’UD
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ternak
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji pada Ujian Tertutup : Prof.(Em). Dr. drh. Rachmat Herman, M.V.Sc. Prof. Dr. Ir. Komang Gede Wiryawan
Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Ir. Bess Tiesnamurti, M.Sc. Prof.(Riset). Dr. Ir. H. M. Winugroho, M.Sc.
Judul Disertasi : Produksi, Sifat Fisik, dan Sifat Kimia Daging Domba yang Diberi Ransum Mengandung Limbah Udang Nama : Muhammad Sayuti Mas’ud NIM : D061020131
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian ini ialah Produksi, sifat fisik, dan sifat kimia daging domba yang diberi ransum mengandung limbah udang. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof.(Em). Dr. drh. H. Aminuddin Parakkasi, M.Sc., Prof.(Em). Dr. drh. H. R. Eddie Gurnadi, dan Dr. Ir. Rudy Priyanto selaku komisi pembimbing yang telah banyak meluangkan waktunya untuk memberikan arahan, bimbingan, dan motivasi kepada penulis dalam pelaksanaan penelitian hingga penyelesaian karya ilmiah ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof.(Em). Dr. drh. Rachmat Herman, M.V.Sc. dan Prof. Dr. Ir. Komang Gede Wiryawan selaku penguji pada ujian tertutup serta Dr. Ir. Bess Tiesnamurti, M.Sc. dan Prof.(Riset). Dr. Ir. H. M. Winugroho, M.Sc. selaku penguji pada ujian terbuka atas masukan dan sarannya. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dirjen DIKTI beserta jajarannya, Rektor IPB beserta jajarannya, Rektor Universitas Negeri Gorontalo beserta jajarannya, dan seluruh instansi yang telah memberi kesempatan dan bantuan kepada penulis, mulai dari masa kuliah sampai selesainya karya ilmiah ini. Kepada ayahanda H. Andi Mas’ud (alm) dan ibunda Hj. Andi Nurhayati, yang tercinta adik-adik, serta seluruh keluarga besar saya, saya haturkan terima kasih yang tulus atas doa, kasih sayang, teladan, dan dukungannya. Kepada Dr. Ir. Syahriani Syahrir, M.Si., Dr. Wisri Puastuti, S.Pt., M.Si., Dr. Syahrir Akil, S.Pt., Ir. A. Saenab Baso, M.Si., Muh. Hatta, S.Pt., M.Si., Eli Nurlaeli, S.Pt., Gladys Oktosari, S.Pt., rekan-rekan mahasiswa program studi Ilmu Ternak, Kerukunan Mahasiswa Sekolah Pascasarjana IPB asal Sulawesi Selatan, dan Ririungan Mahasiswa Gorontalo di Bogor, serta seluruh pihak yang telah ikut berperan hingga penulisan karya ilmiah ini dapat terselesaikan, terima kasih atas kebersamaan, motivasi dan bantuannya. Keterbatasan kemampuan penulis menjadikan disertasi ini terbuka dari saran dan kritik membangun. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Amin.
Bogor,
Februari 2012
Muhammad Sayuti Mas’ud
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sengkang, kabupaten Wajo (Sulawesi Selatan) pada tanggal 31 Mei 1968 sebagai anak kedua dari pasangan H. Andi Mas'ud (alm) dan Hj. Andi Nurhayati. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin Makassar, lulus pada tahun 1993. Gelar Magister sains diperoleh dari Program Studi Ilmu Ternak, Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, pada tahun 1999. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi dan perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2002. Beasiswa pendidikan pascasarjana (BPPS) program doktor diperoleh dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Sejak tahun 2006 sampai sekarang, penulis adalah staf pengajar pada Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Negeri Gorontalo. Selama mengikuti program S3, dua buah artikel telah diterbitkan dengan judul “Studi penggunaan limbah udang dalam ransum tikus putih (Rattus norvegicus) jantan” pada jurnal Media Sains 1 (2): 177-182, Oktober 2009 dan “Performa pertumbuhan tikus putih (Rattus norvegicus) yang diberi ransum berbagai taraf limbah udang” pada jurnal Agripet 10 (2): 21-27, Oktober 2009. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .............................................................................................. ix DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xi DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xii PENDAHULUAN .............................................................................................
1
Latar Belakang .......................................................................................... Tujuan Penelitian ...................................................................................... Manfaat Penelitian ....................................................................................
1 3 3
TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................
5
Limbah Udang .......................................................................................... Hidrolisis dan Pemanasan Protein ............................................................ Proses Pencernaan pada Ruminansia ........................................................ Pencernaan dan Absorpsi Karbohidrat ..................................................... Pencernaan dan Absorpsi Protein ............................................................. Pencernaan dan Absorpsi Lemak .............................................................. Domba ....................................................................................................... Pertumbuhan Ternak ................................................................................ Karkas dan Komponen Karkas ................................................................ Sifat Fisik dan Kimia Daging .................................................................. Lemak dan Trigliserida ............................................................................ Kolesterol .................................................................................................
5 8 10 11 12 15 17 18 19 22 24 26
BAHAN DAN METODE .................................................................................. 29 Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................... Penelitian Tahap Pertama: Pengujian Limbah Udang Secara in Vitro ..... Penelitian Tahap Kedua (in Vivo): Percobaan Ransum yang Mengandung Limbah Udang pada Domba ..................................... Penelitian Tahap Ketiga: Penyembelihan Domba ....................................
29 29 34 38
HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................... 45 Fermentasi in Vitro Limbah Udang dalam Cairan Rumen Domba .......... Konsumsi dan Kecernaan Nutrien pada Domba ...................................... Produk Fermentasi Rumen dan Alantoin Urin pada Domba .................... Retensi Nitrogen, Pertumbuhan dan Konversi Ransum pada Domba ...... Sifat dan Komposisi Karkas pada Domba ................................................ Distribusi Daging pada Potongan Komersial Karkas Domba .................. Distribusi Tulang pada Potongan Komersial Karkas Domba ................... Distribusi Lemak pada Potongan Komersial Karkas Domba ...................
vii
45 48 51 52 55 59 60 61
Sifat Fisik Daging Domba ........................................................................ Sifat Kimia Daging Domba ...................................................................... Aspek Ekonomis Ransum ......................................................................... Pembahasan Umum ..................................................................................
62 62 64 65
SIMPULAN DAN SARAN .............................................................................. 71 Simpulan .................................................................................................. 71 Saran ........................................................................................................ 71 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 73 LAMPIRAN ...................................................................................................... 83
viii
DAFTAR TABEL Halaman 1 Komposisi kimia tepung limbah udang, tepung ikan, dan bungkil kedelai .....................................................................................
5
2 Komposisi asam amino tepung limbah udang, tepung ikan, bungkil kedelai, dan mikroba rumen ...........................................................
6
3 Kandungan mineral tepung kepala udang, tepung ikan, dan bungkil kedelai .....................................................................................
7
4 Susunan dan kandungan nutrien ransum penelitian .................................... 35 5 Rataan kecernaan bahan kering, bahan organik, protein, kitin, dan produksi VFA, serta konsentrasi N-NH3 limbah udang dalam cairan rumen domba .................................................................................... 46 6 Skor penilaian lama pengukusan disertai tekanan yang terbaik pada limbah udang ...................................................................................... 47 7 Rataan konsumsi nutrien pada domba lokal jantan yang diberi ransum mengandung limbah udang ......................................................................... 48 8 Rataan kecernaan nutrien pada domba lokal jantan yang diberi ransum mengandung limbah udang ......................................................................... 50 9 Rataan produk fermentasi rumen dan alantoin urin pada domba lokal jantan yang diberi ransum mengandung limbah udang ..................... 52 10 Neraca nitrogen pada domba lokal jantan yang diberi ransum mengandung limbah udang ......................................................................... 53 11 Rataan bobot awal, bobot potong, pertambahan bobot hidup, dan konversi ransum pada domba lokal jantan yang diberi ransum mengandung limbah udang ......................................................................... 54 12 Rataan bobot tubuh kosong, bobot karkas segar, persentase karkas segar, dan luas urat daging mata rusuk pada domba lokal jantan yang diberi ransum mengandung limbah udang ............................................................ 56 13 Rataan bobot dan persentase daging, tulang, dan lemak, serta rasio daging dengan lemak pada karkas kanan domba lokal jantan yang diberi ransum mengandung limbah udang ......................................... 58 14 Rataan distribusi daging pada potongan komersial karkas kanan domba lokal jantan yang diberi ransum mengandung limbah udang ..................... 60 ix
15 Rataan distribusi tulang pada potongan komersial karkas kanan domba lokal jantan yang diberi ransum mengandung limbah udang ..................... 61 16 Rataan distribusi lemak pada potongan komersial karkas kanan domba lokal jantan yang diberi ransum mengandung limbah udang ..................... 61 17 Rataan pH, keempukan, susut masak, dan daya mengikat air daging domba lokal jantan yang diberi ransum mengandung limbah udang .......... 62 18 Rataan kadar trigliserida, bilangan iodium, dan kadar kolesterol total daging, serta kadar kolesterol total feses pada domba lokal jantan yang diberi ransum mengandung limbah udang ......................................... 63 19 Peubah aspek ekonomis ransum percobaan pada domba lokal jantan yang diberi ransum mengandung limbah udang ......................................... 65
x
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Struktur polimer selulosa (a), kitin (b), dan kitosan (c) ..............................
8
2 Sketsa proses denaturasi protein .................................................................
9
3 Alat pencernaan pada ruminansia ............................................................... 10 4 Skema ikhtisar degradasi protein dalam rumen dan peranan protein makanan dan protein mikroba dalam memperkaya persediaan protein dalam usus ................................................................................................... 14 5 Limbah udang windu (Penaeus monodon) kering ...................................... 30 6 Alat autoklaf merek Kormat ....................................................................... 30 7 Domba lokal jantan dari UP3J-IPB ............................................................. 34 8 Ransum percobaan ...................................................................................... 35 9 Bagian potongan komersial karkas ............................................................. 39 10 Karkas segar bagian luar dan dalam domba lokal jantan ............................ 56 11 Karkas kanan bagian luar dan dalam domba lokal jantan ........................... 59 12 Potongan komersial karkas kanan domba lokal jantan: shoulder (A), rack (B), loin (C), leg (D), flank (E), breast (F), dan foreshank (G) ....................................................................................... 60 13 Histogram kolesterol total daging dan feses ............................................... 64
xi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Analisis ragam kecernaan bahan kering fermentatif limbah udang dalam cairan rumen domba ....................................................................... 85 2 Analisis ragam kecernaan bahan kering enzimatik limbah udang dalam cairan rumen domba ......................................................................... 85 3 Analisis ragam kecernaan bahan kering total limbah udang dalam cairan rumen domba ......................................................................... 85 4 Analisis ragam kecernaan bahan organik fermentatif limbah udang dalam cairan rumen domba ......................................................................... 85 5 Analisis ragam kecernaan bahan organik enzimatik limbah udang dalam cairan rumen domba ......................................................................... 86 6 Analisis ragam kecernaan bahan organik total limbah udang dalam cairan rumen domba ......................................................................... 86 7 Analisis ragam kecernaan protein fermentatif limbah udang dalam cairan rumen domba ......................................................................... 86 8 Analisis ragam kecernaan protein enzimatik limbah udang dalam cairan rumen domba ......................................................................... 86 9 Analisis ragam kecernaan protein total limbah udang dalam cairan rumen domba ......................................................................... 87 10 Analisis ragam kecernaan kitin fermentatif limbah udang dalam cairan rumen domba ......................................................................... 87 11 Analisis ragam kecernaan kitin enzimatik limbah udang dalam cairan rumen domba ......................................................................... 87 12 Analisis ragam kecernaan kitin total limbah udang dalam cairan rumen domba ......................................................................... 87 13 Analisis ragam VFA limbah udang dalam cairan rumen domba ................ 88 14 Analisis ragam N-NH3 limbah udang dalam cairan rumen domba ............. 88 15 Analisis ragam konsumsi bahan kering ransum pada domba ..................... 88 16 Analisis ragam konsumsi bahan organik ransum pada domba ................... 88
xii
17 Analisis ragam konsumsi protein kasar ransum pada domba ..................... 88 18 Analisis ragam konsumsi lemak kasar ransum pada domba ....................... 89 19 Analisis ragam konsumsi serat kasar ransum pada domba ......................... 89 20 Analisis ragam konsumsi ADF ransum pada domba .................................. 89 21 Analisis ragam konsumsi NDF ransum pada domba .................................. 89 22 Analisis ragam konsumsi energi ransum pada domba ................................ 89 23 Analisis ragam kecernaan bahan kering ransum pada domba .................... 90 24 Analisis ragam kecernaan bahan organik ransum pada domba .................. 90 25 Analisis ragam kecernaan protein kasar ransum pada domba .................... 90 26 Analisis ragam kecernaan lemak kasar ransum pada domba ...................... 90 27 Analisis ragam kecernaan serat kasar ransum pada domba ........................ 90 28 Analisis ragam kecernaan ADF ransum pada domba ................................. 91 29 Analisis ragam kecernaan NDF ransum pada domba ................................. 91 30 Analisis ragam kecernaan energi ransum pada domba ............................... 91 31 Analisis ragam pH rumen pada domba ....................................................... 91 32 Analisis ragam VFA rumen pada domba .................................................... 91 33 Analisis ragam N-NH3 rumen pada domba ................................................. 92 34 Analisis ragam alantoin urin pada domba ................................................... 92 35 Analisis ragam nitrogen konsumsi pada domba ......................................... 92 36 Analisis ragam nitrogen feses pada domba ................................................. 92 37 Analisis ragam nitrogen urin ransum pada domba ...................................... 92 38 Analisis ragam retensi nitrogen pada domba .............................................. 93 39 Analisis ragam bobot awal pada domba ..................................................... 93 40 Analisis ragam bobot potong pada domba .................................................. 93
xiii
41 Analisis ragam pertambahan bobot hidup pada domba .............................. 93 42 Analisis ragam konversi ransum pada domba ............................................. 93 43 Analisis ragam bobot tubuh kosong pada domba ....................................... 94 44 Analisis ragam bobot karkas segar pada domba ......................................... 94 45 Analisis ragam persentase karkas segar pada domba .................................. 94 46 Analisis ragam luas udamaru pada domba .................................................. 94 47 Analisis ragam bobot daging pada karkas kanan domba ............................ 94 48 Analisis ragam bobot tulang pada karkas kanan domba ............................. 95 49 Analisis ragam bobot lemak pada karkas kanan domba ............................. 95 50 Analisis ragam persentase daging pada karkas kanan domba .................... 95 51 Analisis ragam persentase tulang pada karkas kanan domba ..................... 95 52 Analisis ragam persentase lemak pada karkas kanan domba ...................... 95 53 Analisis ragam rasio daging dengan lemak pada karkas kanan domba ...... 96 54 Analisis ragam rasio daging dengan tulang pada karkas kanan domba ...... 96 55 Analisis ragam daging leg pada karkas kanan domba ................................ 96 56 Analisis ragam daging loin pada karkas kanan domba ............................... 96 57 Analisis ragam daging rack pada karkas kanan domba .............................. 96 58 Analisis ragam daging breast pada karkas kanan domba ........................... 97 59 Analisis ragam daging shoulder pada karkas kanan domba ....................... 97 60 Analisis ragam daging foreshank pada karkas kanan domba ..................... 97 61 Analisis ragam daging flank pada karkas kanan domba ............................. 97 62 Analisis ragam tulang leg pada karkas kanan domba ................................. 97 63 Analisis ragam tulang loin pada karkas kanan domba ................................ 98 64 Analisis ragam tulang rack pada karkas kanan domba ............................... 98
xiv
65 Analisis ragam tulang breast pada karkas kanan domba ............................ 98 66 Analisis ragam tulang shoulder pada karkas kanan domba ........................ 98 67 Analisis ragam tulang foreshank pada karkas kanan domba ...................... 98 68 Analisis ragam lemak leg pada karkas kanan domba ................................. 99 69 Analisis ragam lemak loin pada karkas kanan domba ................................ 99 70 Analisis ragam lemak rack pada karkas kanan domba ............................... 99 71 Analisis ragam lemak breast pada karkas kanan domba ............................ 99 72 Analisis ragam lemak shoulder pada karkas kanan domba ........................ 99 73 Analisis ragam lemak foreshank pada karkas kanan domba ....................... 100 74 Analisis ragam lemak flank pada karkas kanan domba .............................. 100 75 Analisis ragam pH pada daging domba ...................................................... 100 76 Analisis ragam keempukan pada daging domba ......................................... 100 77 Analisis ragam susut masak pada daging domba ........................................ 100 78 Analisis ragam daya mengikat air pada daging domba ............................... 101 79 Analisis ragam kadar trigliserida pada daging domba ................................ 101 80 Analisis ragam bilangan iodium pada daging domba ................................. 101 81 Analisis ragam kadar kolesterol total pada daging domba .......................... 101 82 Analisis ragam kadar kolesterol total pada feses domba ............................ 101 83 Analisis ragam income over feed cost (IOFC) pada domba ........................ 102 84 Analisis ragam revenue cost ratio (R-C ratio) pada domba ....................... 102
xv
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Domba adalah salah satu jenis ternak ruminansia kecil yang prospektif sebagai penghasil daging dan berperan penting dalam penyediaan protein hewani. Namun disisi lain, daging domba memiliki kandungan lemak dan kolesterol yang tinggi.
Kandungan kolesterol daging domba sekitar 78 sampai dengan 124
mg/100 g, sedangkan daging sapi sekitar 81 sampai dengan 106 mg/100 g dan daging ayam sekitar 75 sampai dengan 94 mg/100 g (Soeparno et al. 2011). Jika dikonsumsi dalam jumlah yang berlebih dapat berdampak kurang baik terhadap kesehatan, sebab akan memicu timbulnya berbagai penyakit kardiovaskular, seperti tekanan darah tinggi, jantung koroner, dan atheroskelerosis (Azwar 2004; Sudana 2004). Guna menanggulangi hal tersebut, diperlukan pakan sumber serat karena bagian serat baik yang bersifat larut maupun yang tidak larut menurunkan kolesterol (Horigome et al. 1992; Sudana 2004). Salah satu limbah perikanan yang potensial digunakan adalah limbah udang. Limbah udang adalah produk samping udang yang dibuang oleh industri pengolahan udang beku berupa kepala, ekor, dan kulit udang, serta udang yang rusak atau afkir (Mirzah 2007). Ditinjau dari segi kuantitas, limbah udang sangat potensial dijadikan pakan ruminansia, sebab tersedia cukup banyak dan kesinambungannya cukup terjamin karena setiap tahun produksi udang Indonesia selalu mengalami peningkatan. Sebagai gambaran, pada tahun 2008 produksi basah udang Indonesia sebesar 470 000 ton (DKP 2009), bila diolah menjadi udang beku, maka limbah udang yang diperoleh sebesar 35 sampai dengan 70% dari bobot utuh udang (AFRIS 2000) yaitu 164 500 sampai dengan 329 000 ton basah atau 41 010 sampai dengan 82 020 ton kering, karena rendemennya 24.93% (Batubara 2000). Dari segi kualitas, limbah udang dapat digunakan sebagai pakan sumber protein karena mengandung protein kasar sebesar 36.75% (Mirzah 2006). Selain itu, juga mengandung kitin (chitin) berupa senyawa polisakarida struktural (seperti selulosa) dan dianalogikan sebagai serat dari hewani sebesar 30% dari bahan keringnya (Purwantiningsih 1992), sehingga dapat digunakan sebagai pakan sumber serat.
Kitin mengikat nitrogen dalam bentuk N-Acetylated-
2 glucosamin-polysacharida sebanyak 6.6% sampai dengan 6.7% (Stelmoch et al. 1985). Penelitian mengenai penggunaan limbah udang sebagai pakan sumber protein dan kitin (serat dari hewani) sudah dilakukan, terutama pada nonruminansia. Hasilnya dapat meningkatkan bobot badan dan produksi daging serta menurunkan kadar kolesterol serum darah dan daging pada ayam (Supadmo 1997), juga menurunkan kadar kolesterol pada telur ayam (Sudibya 1998). Pada tikus putih jantan dan betina, kadar low density lipoprotein (LDL) dagingnya menurun dan kadar high density lipoprotein (HDL) dagingnya serta persentase karkasnya meningkat (Suryaningsih dan Parakkasi 2006).
Begitu juga bobot
badan tikus putih jantan dan betina, meningkat sampai penggunaan 20% limbah udang dalam ransumnya (Mas’ud dan Parakkasi 2009). Bila limbah udang digunakan sebagai pakan ruminansia, protein yang berikatan secara kovalen dengan kitin dalam limbah udang, didegradasi oleh mikroba rumen (in vitro) sebesar 57.94% (Batubara 2000).
Hal ini dapat
menjadikan limbah udang kurang efisien, sehingga perlu dilakukan pengolahan untuk mengurangi proteinnya didegradasi oleh mikroba dalam rumen ternak. Dengan demikian, tersedia pasokan protein by pass yang mudah dicerna dalam pencernaan pascarumen.
Disamping itu, senyawa kitin dalam pencernaan
pascarumen akan mengikat asam lemak dan empedu menjadi senyawa yang tidak dapat diabsorpsi dan diekskresikan bersama feses. Kondisi ini akan menyebabkan deposisi lemak secara berlebih dalam tubuh ternak tidak terjadi, sehingga menurunkan kandungan lemak dan kolesterol pada otot ternak. Pada akhirnya, ternak dapat menghasilkan daging yang berkadar kolesterol rendah. Salah satu jenis pengolahan yang sering digunakan adalah pengolahan secara fisik melalui pemanasan dengan tekanan uap panas (Prawirokusumo 1994; Mirzah 1997). Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan penelitian tentang limbah udang sebagai sumber protein dan kitin dalam ransum domba. Terutama pengaruhnya terhadap produksi, sifat fisik dan sifat kimia daging.
3 Tujuan Penelitian 1. Mengetahui
lama
pengukusan
disertai
tekanan
yang
terbaik
untuk
meningkatkan kecernaan limbah udang dalam pencernaan pascarumen. 2. Mengetahui efek ransum yang mengandung limbah udang terhadap performa pertumbuhan, komposisi karkas, distribusi daging potongan komersial karkas, sifat fisik dan sifat kimia daging pada domba. 3. Mengetahui taraf terbaik penggunaan limbah udang dalam ransum domba. Kegunaan Penelitian 1. Memanfaatkan limbah udang dalam ransum domba guna menghasilkan daging yang berkualitas baik, sehingga aman dikonsumsi. 2. Menunjukkan daya guna atau nilai ekonomi limbah udang, terutama sebagai pakan domba. 3. Informasi terhadap penggunaan limbah udang dalam ransum domba.
5
TINJAUAN PUSTAKA Limbah Udang Limbah udang adalah hasil samping yang dibuang pada industri pengolahan udang beku (Arlius 1991). Hasil samping tersebut, berupa kepala, kulit keras (carapace), dan ekor (uropod) udang (Setyahadi 2006). Kualitas limbah udang terutama ditinjau dari kandungan nutrien dan komposisi kimianya, cukup baik dan layak dijadikan sebagai sumber protein dalam ransum ternak. Hasil analisa di laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan IPB, memperlihatkan bahwa protein kasarnya cukup tinggi yaitu 41.58%, hampir sama dengan bungkil kedelai (45.6%). Begitu juga bahan keringnya (88.32% vs 88.0%). Akan tetapi ada perbedaan pada serat kasarnya yaitu 13.72% dalam limbah udang, sedangkan bungkil kedelai 4.58%, sehingga menjadi faktor pembatas karena kecernaannya yang rendah. Walaupun demikian, serat kasarnya (kitin) bisa berguna dalam menurunkan kolesterol daging.
Oleh sebab itu,
pemanfaatan limbah udang sebagai pakan ternak sebaiknya dilakukan proses pengolahan terlebih dahulu. Perbandingan komposisi kimia antara tepung limbah udang dengan tepung ikan dan bungkil kedelai dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1
Komposisi kimia tepung limbah udang, tepung ikan, dan bungkil kedelai
Nutrien Protein kasar Serat kasar Lemak kasar Abu
Tepung limbah udang1)
Tepung ikan2)
Bungkil kedelai3)
--------------------------- (% bahan kering) --------------------------41.58 52.6 45.60 13.72 2.2 4.58 3.08 6.8 2.79 22.06 20.7 6.84
1)
Hasil analisa di laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan IPB Hartadi et al. (1997) 3) Sutardi (2001) 2)
Kualitas protein limbah udang sangat bagus karena mengandung semua asam amino esensial. Asam amino metionin yang sering menjadi faktor pembatas pada protein nabati, kandungannya lebih tinggi bila dibandingkan dengan bungkil kedelai dan hampir sama dengan tepung ikan bahkan mikroba rumen.
6 Perbandingan komposisi asam amino antara tepung limbah udang dengan tepung ikan, bungkil kedelai, dan mikroba rumen disajikan pada Tabel 2. Tabel 2
Komposisi asam amino tepung limbah udang, tepung ikan, bungkil kedelai, dan mikroba rumen Tepung limbah udang
Asam amino
Alanin Arginin Asam Aspartat Asam Glutamat Fenilalanin Glisin Histidin Isoleusin Leusin Lisin Metionin Prolin Serin Sistein Tirosin Treonin Triptophan Valin
Udang merah jambu (Pandalus borealis)1)
Udang windu (Penaeus monodon)2)
Tepung ikan3)
Bungkil kedelai4)
Mikroba rumen5)
---------------------------- (gram/100 gram protein) -----------------------------4.6 7.5 5.25 ± 0.05 2.14 6.13 ± 0.07 4.67 6.46 7.0 5.1 11.17 ± 0.01 7.52 10.9 12.2 12.85 ± 0.14 11.36 14.3 13.1 5.13 ± 0.07 5.52 4.64 3.9 5.1 4.11 ± 0.03 17.76 7.70 3.5 5.8 2.24 ± 0.09 2.35 2.78 1.8 2.0 5.78 ± 0.13 4.16 4.30 2.1 5.7 7.01 ± 0.02 8.65 7.20 7.3 8.1 6.58 ± 0.07 4.58 7.55 5.9 7.9 2.41 ± 0.08 2.47 0.7 2.6 4.20 ± 0.10 4.11 ± 0.05 1.65 4.8 4.6 0.91 ± 0.01 1.01 0.7 4.53 ± 0.01 12.13 3.46 3.0 4.9 4.14 ± 0.20 4.28 3.5 5.8 1.19 ± 0.07 0.85 6.2 5.95 ± 0.06 5.29 4.6
1)
Shahidi dan Synowiecki (1992) Purwantiningsih (1992) 3) Hartadi et al. (1997) 4) Thomas dan Beeson (1977) 5) Clark et al. (1992) 2)
Kandungan mineral tepung limbah udang terutama kalsium (Ca) lebih tinggi dari tepung ikan, perbandingannya lebih dari 3 : 1. Akan tetapi phosfornya (P) lebih rendah, perbandingannya 1 : 2. Perbandingan antara Ca dan P dalam tepung limbah udang sendiri jauh lebih besar yaitu hampir 10 : 1. Oleh sebab itu, bila digunakan dalam ransum domba, perbandingan antara Ca dan P perlu diperhatikan karena yang dapat ditolerir hanya sampai 7 : 1 (NRC 1985). Perbandingan komposisi mineral antara tepung limbah udang dengan tepung ikan dan bungkil kedelai disajikan pada Tabel 3.
7 Tabel 3 Kandungan mineral tepung kepala udang, tepung ikan, dan bungkil kedelai Mineral Ca (%) Na (%) K (%) Mg (%) P (%) Sr (%) Mn (ppm) Fe (ppm) Cu (ppm) Zn (ppm) As (ppm) Ba (ppm)
Tepung kepala udang1) 15.30 2.05 0.20 0.95 1.66 0.22 29 82 13 21 27 54
Tepung ikan2) 4.20 0.97 0.68 0.22 2.80 10.24 14.76 -
Bungkil kedelai3) 0.3 2.1 0.71 45 -
1)
Shahidi dan Synowiecki (1992) Hartadi et al. (1997) 3) Parakkasi (1999) 2)
Selain potensi di atas, dalam limbah udang juga terdapat kitin antara 20 sampai dengan 30% (Wanasuria 1990) yang di dalamnya terkandung nitrogen (N) antara 6.6 sampai dengan 6.7% (Stelmoch et al. 1985). Bila digunakan dalam ransum ternak ruminansia, N tersebut berpotensi sebagai sumber N bukan protein (NPN) bagi mikroba rumen.
Begitu juga kitinnya yang berupa polisakarida
dengan bentuk molekulnya mirip selulosa (Gambar 1), apabila lolos dari rumen atau tidak dimanfaatkan oleh mikroba rumen, maka dalam pencernaan pascarumen akan mengikat asam empedu karena dianalogikan sebagai serat. Dengan demikian asam lemak yang diemulsi oleh asam empedu ikut terikat, karena serat (kitin) tidak dapat diabsorpsi pada usus halus (Piliang dan Djojosubagio 2006). Serat pakan selain lignin dan selulosa juga mengandung hemiselulosa, gum, dan pektin serta beberapa karbohidrat lain yang biasanya tidak dapat dicerna; maka bersama asam empedu dan asam lemak, diekskresikan bersama feses. Kondisi ini dapat menurunkan kolesterol serum darah dan daging pada ayam (Supadmo 1997).
8
Gambar 1 Struktur polimer selulosa (a), kitin (b), dan kitosan (c) (Hawab 2006). Hidrolisis dan Pemanasan Protein Hidrolisis protein diartikan sebagai pemecahan banyak ikatan menjadi satu ikatan atau putusnya ikatan peptida yang menghubungkan asam-asam amino (Girindra 1986). Pada limbah udang, hidrolisis yang baik untuk meningkatkan kecernaannya adalah dengan HCl 6% disertai pemanasan tekanan tinggi menggunakan pressure cooker selama 45 menit (Sudibya 1998). Pemanasan mengakibatkan terjadinya perubahan pada suatu protein yang dikenal sebagai denaturasi (Lehninger 1982). Denaturasi dapat diartikan suatu perubahan atau modifikasi terhadap struktur sekunder, tersier, dan kuartener terhadap molekul protein, tanpa terjadinya pemecahan ikatan-ikatan kovalen.
9 Denaturasi dapat pula diartikan suatu proses terpecahnya ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik, ikatan garam, dan terbukanya lipatan molekul (Winarno 1991). Dua macam denaturasi, yaitu (1) pengembangan rantai peptida dan (2) pemecahan protein menjadi unit yang lebih kecil tanpa disertai pengembangan molekul. Terjadinya kedua jenis denaturasi ini tergantung pada keadaan molekul. Denaturasi yang pertama terjadi pada rantai polipeptida, sedangkan yang kedua terjadi pada bagian-bagian molekul yang tergabung dalam ikatan sekunder (Winarno 1991).
Jadi proses denaturasi tidak merusak ikatan peptida yang
terdapat antara asam amino dalam struktur primer (Girindra 1986). Lehninger (1982) mengemukakan bahwa jika protein mengalami denaturasi, tidak ada ikatan kovalen pada kerangka rantai polipeptida yang rusak. Jadi deret asam amino khas protein tersebut tetap utuh setelah denaturasi.
Selanjutnya
dikemukakan bahwa rantai polipeptida yang berikatan kovalen pada protein asli (natif) melipat dalam tiga dimensi dengan suatu pola yang khas bagi tiap jenis protein. Jika suatu protein terdenaturasi, susunan tiga dimensi khas dari rantai polipeptida terganggu dan molekul ini terbuka menjadi struktur acak, tanpa adanya kerusakan pada struktur kerangka kovalen (Gambar 2).
Gambar 2 Sketsa proses denaturasi protein (Brandts 1967 disitir Winarno 1991). Denaturasi dan koagulasi protein yang terjadi selama pemanasan mengakibatkan menurunnya kelarutan protein (Cheftel et al. 1985). Besarnya tingkat kelarutan protein setelah pemanasan dipengaruhi oleh suhu dan lama pemanasan yang digunakan (Hultin 1985).
10 Proses pemanasan protein yang tidak sampai merusak kandungan nutrisinya dilakukan dengan maksud agar kurang soluble dalam rumen.
Cara ini biasa
disebut heat treated protein (HTP) dan cara pemanasan yang sedang populer disebut dry extrusion process, yaitu pemanasan yang tidak memakai sumber panas dari luar. Panas terjadi akibat friksi (friction) dan diteruskan dengan expansion melalui extrusi (extrusion) dan tekanan (pressure). Konsep ini dilakukan karena protein tidak dapat dipenuhi dari mikroba rumen (terutama pada ternak yang berproduksi tinggi) maka tambahan asam-asam amino akan dapat dipenuhi dengan pemberian HTP yang langsung dapat digunakan pada pascarumen (Prawirokusumo 1994). Proses Pencernaan pada Ruminansia Pencernaan adalah serangkaian proses perubahan fisik dan kimia dari bahan makanan di dalam alat pencernaan sampai memungkinkan terjadinya proses penyerapan. Hewan ruminansia memiliki empat bagian perut dengan fungsi yang berbeda yaitu rumen, retikulum, omasum dan abomasum (Gambar 3). Sistem pencernaan pada ruminansia melibatkan interaksi dinamis antar pakan, populasi mikroba dan ternak itu sendiri (Mertens 1993). Prosesnya terdiri atas pencernaan mekanis di mulut, pencernaan fermentatif oleh mikroba di rumen dan pencernaan hidrolisis oleh enzim pencernaan pasca rumen (Sutardi 1977).
Gambar 3 Alat pencernaan pada ruminansia. Pada hewan ruminansia, rumen dan retikulum tidak terpisah secara sempurna
sehingga
dipandang
sebagai
satu
kesatuan
(retikulorumen).
Retikulorumen berfungsi sebagai tempat fermentasi makanan melalui aktivitas sejumlah mikroba dengan produk akhirnya berupa amonia (NH3), asam lemak
11 terbang (volatile fatty acid atau VFA), gas metan, dan air. Omasum fungsinya belum jelas, tetapi pada organ ini terjadi penyerapan air, NH3, dan VFA, diduga juga memproduksi VFA dan NH3. Abomasum fungsinya sama dengan perut monogastrik (Church dan Pond 1982; Forbes dan France 1993). Makanan yang masuk ke dalam mulut akan mengalami proses pengunyahan atau pemotongan secara mekanis sehingga membentuk bolus. Pada proses ini makanan bercampur dengan saliva, kemudian masuk ke dalam rumen melalui esofagus untuk selanjutnya mengalami proses pencernaan fermentatif. Di rumen bolus dicerna oleh enzim mikroba, hasil pencernaan fermentatif berupa VFA, NH3 dan air. Selama di rumen makanan yang masih kasar dikembalikan lagi ke mulut (regurgitasi dan remastikasi). Partikel makanan yang tidak tercerna di rumen dialirkan ke abomasum dan dicerna secara hidrolitik oleh enzim pencernaan yang sama pada monogastrik. Hasil pencernaan tersebut diserap oleh usus halus dan selanjutnya masuk dalam sistem peredaran darah (Sutardi 1979). Pencernaan dan Absorpsi Karbohidrat Karbohidrat merupakan nutrien dominan dalam ransum ruminansia yaitu sekitar 60 sampai dengan 75% dari total nutrien ransum. Fungsi karbohidrat adalah sumber energi dan keambaannya bermanfaat untuk memelihara proses pencernaan. Karbohidrat berasal dari dua jenis yaitu karbohidrat dinding sel (selulosa dan hemiselulosa) banyak terkandung dalam hijauan pakan (roughage), dan karbohidrat isi sel (gula dan pati) banyak terkandung dalam pakan konsentrat. Selulosa merupakan zat penyusun tanaman, banyak mengandung unit glukosa, tersusun dalam rantai lurus, panjang dengan ikatan 1,4 dan biasanya dalam bentuk kristal. Hemiselulosa adalah karbohidrat rantai lurus terdiri atas polimer pentosa (silosa dan arabinosa), asam uronat dan galaktosa (Tillman et al. 1986). Karbohidrat pakan di rumen akan mengalami tiga tahap pencernaan. Tahap pertama gula-gula kompleks seperti selulosa dan hemiselulosa dihidrolisis oleh enzim 1,4-glukosidase menjadi gula-gula sederhana (heksosa, pentosa dan selobiosa), sedangkan pati, dan sukrosa dihidrolisis menjadi maltosa, glukosa dan fruktosa. Tahap kedua, pemecahan gula-gula sederhana menjadi piruvat melalui siklus glikolisis Embden-Meyerhoff. Tahap tiga, piruvat oleh mikroba rumen
12 diubah menjadi asam lemak terbang (VFA) yaitu asetat, propionat dan butirat (Collier 1985). Jenis karbohidrat pakan sangat besar pengaruhnya terhadap jumlah dan jenis VFA yang diproduksi. Konsentrasi VFA total di rumen bervariasi dan bergantung pada jenis ransum yang dikonsumsi (McDonald et al. 2002), pengolahan dan frekuensi pemberian makan (Sutardi 1977). Konsentrasi VFA yang optimum bagi kelangsungan hidup ternak berkisar 80 sampai dengan 160 mM, dengan proporsi 65% asetat, 20% propionat, 10% butirat dan 5% valerat serta asam lemak bercabang yaitu isobutirat, isovalerat, dan 2-metilbutirat (Czerkawski 1986). Asam lemak bercabang ini diduga berasal dari asam amino berantai cabang yaitu leusin, isoleusin, dan valin. VFA terutama yang berantai cabang, esensial bagi pertumbuhan mikroba rumen (Sutardi 1977). Proporsi VFA dapat berubah pada ransum tinggi serat, sehingga nisbah asetat/propionat lebih besar dari pada ransum tinggi konsentrat. Proporsi propionat meningkat pada ransum tinggi konsentrat, dan proporsi isobutirat serta isovalerat meningkat pada ransum tinggi protein (Sutardi 1977; Collier 1985). Produk akhir berupa VFA dalam jaringan tubuh akan dimanfaatkan sebagai sumber energi dan bahan sintesis lemak. Asam propionat diabsorpsi melalui epitel rumen dan masuk ke sirkulasi darah, dibawa ke hati untuk selanjutnya diubah menjadi glukosa dan menjadi bagian dari cadangan glukosa hati. Asam butirat sebelum masuk ke sirkulasi darah dan dibawa ke hati bersama asetat dikonversi menjadi asam beta hidroksi butirat (-hydroxybutyric acid atau BHBA) di dalam epitel rumen (Banerjee 1978; Crampton et al. 1978). Asetat dan BHBA dari hati disalurkan ke sistem sirkulasi dan digunakan oleh jaringan sebagai sumber energi melalui siklus asam sitrat (Tillman et al. 1986; Forbes dan France 1993) dan sebagai substrat lipogenesis pada lemak susu, sedangkan propionat untuk glukoneogenesis dan lipogenesis lemak tubuh. Pencernaan dan Absorpsi Protein Protein yang dikonsumsi tidak seluruhnya didegradasi oleh mikroba rumen, sebagian ada yang lolos dan masuk ke abomasum, terus mengalir ke usus halus. Protein yang tidak tercerna akan mengalir ke sekum dan kolon dan difermentasi
13 oleh mikroba menjadi VFA dan NH3 selanjutnya diabsorpsi. Protein mikrobanya tidak dapat dimanfaatkan oleh ternak dan keluar melalui feses. Sebagian senyawa protein atau nitrogen bukan protein (NPN) asal ransum yang dihidrolisis oleh enzim proteolitik mikroba rumen dirombak menjadi oligopeptida dan asam amino yang merupakan produk intermediate. Selanjutnya oligopeptida dan asam amino mengalami deaminasi dan menghasilkan asam keto, CO2, VFA, dan NH3 (Sutardi 1977). Kebanyakan mikroba rumen tidak dapat memanfaatkan asam amino secara langsung, karena mikroba terutama bakteri rumen tidak mempunyai sistem transpor untuk mengangkut asam amino ke dalam selnya. Lebih kurang 82% mikroba rumen membutuhkan N-NH3 untuk mensintesis protein selnya, oleh karena itu mereka lebih suka merombak asam amino tersebut menjadi NH3 (Sutardi 1977). Amonia merupakan sumber nitrogen utama untuk sintesis de novo asam amino mikroba rumen.
Konsentrasi N-NH3 optimum untuk sintesis protein
mikroba rumen adalah 50 mg liter-1 atau 3.57 mM (Satter dan Slyter 1974), atau antara 4 sampai dengan 12 mM (Sutardi 1979). Kadar amonia yang optimum untuk mencapai efisiensi penggunaan energi dan protein pakan adalah 7 sampai dengan 8 mM (Erwanto et al. 1993).
N-NH3 yang diproduksi tidak semua
digunakan untuk sintesis protein mikroba tetapi sisanya diserap oleh dinding rumen, masuk ke sirkulasi portal dan dibawa ke hati untuk selanjutnya diubah menjadi urea dan masuk ke sirkulasi darah (Tillman et al. 1986). Urea tersebut sebagian keluar melalui urin dan sebagian lagi masuk kembali ke rumen melalui saliva. Pada sintesis protein mikroba rumen selain membutuhkan N-NH3 juga membutuhkan asam keto- sebagai kerangka karbon dan VFA sebagai sumber energi. Setiap mol VFA yang dihasilkan akan terbentuk protein mikroba sekitar 14 sampai dengan 36 mg (Satter dan Slyter 1974). Mikroba rumen yang mati akan masuk ke usus dan berguna sebagai sumber protein bagi ternak. Protein mikroba bersama dengan protein ransum lolos degradasi di dalam usus mengalami pencernaan oleh protease usus dengan hasil akhir asam amino (Sutardi 1977; Leng et al. 1977).
14 Sumbangan protein asal mikroba rumen berkisar 40 sampai 80% (Sniffen dan Robinson 1987), sedangkan sumbangan energi asal VFA berkisar 60 sampai 80% (Ensminger et al. 1990). Pada ternak yang berproduksi tinggi, pasokan protein asal mikroba saja tidaklah cukup sehingga harus diberi protein yang tak terdegradasi oleh mikroba dalam rumen pada pakannya. Gambaran tentang degradasi protein bahan makanan dalam rumen dan peranan bahan makanan yang tahan terhadap degradasi dalam memperkaya persediaan protein pada usus seperti pada Gambar 4.
Ikhtisar tersebut
memperlihatkan bahwa mikroba dan hewan induk semangnya sama-sama memperoleh 5 masukan (input), yaitu masukan melalui jalur 1 sampai dengan 5 bagi mikroba rumen dan I sampai dengan V bagi hewan induk semang. Jalur tersebut diberi nomor berdasarkan besarnya andil senyawa yang bersangkutan (Sutardi 1979).
Gambar 4 Skema ikhtisar degradasi protein dalam rumen dan peranan protein makanan dan protein mikroba dalam memperkaya persediaan protein dalam usus (Sutardi 1979).
15 Terdapat enam asam amino pembatas dalam pakan ruminansia yang harus diperhatikan ketersediaannya, yaitu metionin (Met), leusin (Leu), isoleusin (Ileu), valin (Val), lisin (Lys) dan treonin (Thr).
Asam amino pembatas tersebut
didasarkan pada adanya transfer Met dan asam amino bercabang (Leu, Ileu dan Val) ke dalam protein mikroba rumen yang cukup besar, Lys dirombak total dalam rumen, dan tidak dijumpai Thr dalam rumen (Sutardi 1997). Sebelumnya Merchen dan Titgemeyer (1992) melaporkan bahwa ternak ruminansia membutuhkan asam amino aromatik (fenilalanin dan triptofan) dan sejumlah asam amino yang bersifat semiesensial atau koesensial. Pencernaan dan Absorpsi Lemak Pencernaan lemak dimulai di retikulorumen. Lemak pakan mengalami dua peristiwa yaitu lipolisis dan biohidrogenasi di rumen (Scott dan Ashes 1993). Pada lipolisis oleh lipase mikroba, lemak atau minyak diurai menjadi asam lemak bebas (Free Fatty Acid atau FFA), gliserol dan galaktosa.
Van Nevel dan
Demeyer (1995) melaporkan bahwa semua asam lemak yang dilepaskan dari triasil gliserol terakumulasi dalam bentuk FFA, dan gliserol serta galaktosa difermentasi lebih lanjut menjadi VFA dengan proporsi terbanyak propionat (Scott dan Ashes 1993; Jenkins 1993). Asam lemak bebas tak jenuh secara cepat dihidrogenasi oleh mikroba rumen menjadi asam lemak jenuh. Lipolisis pada beberapa lemak pakan terjadi sangat cepat di dalam rumen. Immig et al. (1993) melaporkan bahwa lipolisis minyak kedelai di rumen domba mencapai 90% selama satu jam setelah introduksi, dan di rumen sapi mencapai 85 sampai dengan 90% (Bauchart et al. 1990). Sumber lipase utama pada lipolisis berasal dari bakteri Anaerovibrio lipolytica, dan 30 persennya lipase asal protozoa (Harfoot dan Hazlewood 1988). Liposisis menurun pada ransum berprotein rendah, atau berkadar pati atau sukrosa tinggi (Gerson et al. 1983). Menurunnya lipolisis tersebut berhubungan dengan rendahnya pH rumen. Van Nevel dan Demeyer (1995) melaporkan bahwa lipolisis minyak kedelai pada inkubasi in vitro (pH 5,25) sangat lambat akibat terhambatnya pertumbuhan mikroba lipolitik atau aktivitas lipase.
16 Pada proses hidrogenasi terjadi perubahan asam lemak oleat (C18:1), linoleat (C18:2), dan linolenat (C18:3) menjadi stearat (C18:0) melalui isomerase dan reduktase. Banyaknya linoleat yang dihidrogenasi di rumen antara 60 sampai dengan 95% dan linolenat antara 80 sampai dengan 100% (Doreau dan Ferlay 1994), proses hidrogenasi menjadi rendah pada ransum berkonsentrat lebih dari 70% (Bauchart et al. 1990). Asam lemak tak jenuh berantai lebih dari C18 seperti arakhidonat, eikosa pentanoat (EPA) dan dokosa heksaenoat (DHA) tidak mengalami hidrogenasi di rumen (Ashes et al. 1992). Asam lemak yang telah mengalami lipolisis dan biohidrogenasi seperti C2 sampai dengan C14 dan VFA hasil pencernaan lemak langsung diserap melalui dinding rumen, sedangkan asam lemak rantai panjang (lebih dari C14), asam lemak jenuh hasil sintesis de novo dan lemak pakan terus mengalir ke abomasum dan diserap di usus halus. Asam empedu mengemulsi lemak di usus halus. Partikel emulsi tersebut terutama mengandung triasil gliserol. Lipase pankreas merombak triasil gliserol menjadi mono dan diasil gliserol seperti halnya asam lemak bebas. Asam lemak bebas, mono dan diasil gliserol diserap secara difusi pasif masuk ke sel epitel brush border usus halus. Selanjutnya mono gliserol dan diasil gliserol di dalam sel mukosa usus dirakit kembali menjadi triasil gliserol dan dengan penambahan protein membentuk kilomikron (Collier 1985). Asam lemak dalam triasil gliserol tersebut semuanya mempunyai panjang rantai lebih dari 12 karbon. Kilomikron yang terbentuk disekresikan melalui sistem limfe dan masuk ke aliran darah. Kilomikron plasma tersebut masuk ke dalam hati, jaringan adiposa atau jaringan perifer seperti ambing (Linder 1992; Collier 1985).
Sel hati
mengambil kilomikron langsung dari plasma, sedangkan organ lainnya harus dibantu oleh lipase lipoprotein dalam memecah kilomikron menjadi triasil gliserol. Asam lemak bebas tersebut selanjutnya masuk ke jaringan lemak dan urat daging untuk digunakan sebagai sumber energi atau disimpan kembali dalam bentuk trigliserida untuk digunakan kemudian. Kilomikron sisanya yang tidak terserap bersama-sama dengan hasil pencernaan karbohidrat dan protein dibawa ke hati melalui sistem portal untuk dimetabolisme lebih lanjut.
17 Domba Domba diklasifikasikan dalam Kingdom: Animal, Phylum: Chordata (bertulang belakang), Kelas: Mamalia (menyusui), Ordo: Artiodactyla (berkuku genap), sub ordo: Ruminansia, Famili: Bovidae, Genus: Ovis, dan spesies: Ovis aries (Devendra dan Mcleroy 1992). Domba yang dikenal di Indonesia ada tiga jenis yaitu: 1) Domba Jawa ekor kurus (JEK); 2) Domba Jawa ekor gemuk (JEG); dan 3) Domba Sumatera ekor kurus (SEK). Perbedaan masing-masing jenis domba ini dapat dilihat dari sifatsifat luarnya, antara lain domba JEK dan SEK mempunyai ekor kurus dan panjang, warna bulu domba JEK bervariasi, pada jantan umumnya bertanduk. Domba SEK umumnya berwarna coklat muda dan pada jantan jarang yang bertanduk. Kedua jenis domba ini rata-rata bulunya (wool) kasar dan tersebar tidak teratur dibagian tubuhnya. Domba JEK mempunyai beberapa kelompok atau populasi lokal yang diberi nama sesuai dengan nama daerah atau tempat keberadaannya, seperti domba Garut dan Priangan. Domba JEG mempunyai ekor yang tebal, gemuk, dan pendek, umumnya dikenal sebagai penghasil wool, berwarna putih dan tidak bertanduk. Daerah penyebaran populasi domba ini di Jawa Timur, dipelihara terisolasi, sebagai contohnya di pulau Lombok (Tomaszewska et al. 1993). Menurut Mason (1980), ada tiga jenis kelompok domba yang terdapat dipulau Jawa yaitu domba ekor tipis atau domba lokal, domba ekor gemuk, dan domba priangan atau dikenal sebagai domba ekor sedang. Domba ekor tipis merupakan domba asli Indonesia dikenal sebagai domba lokal, terdapat di daerah Jawa Barat dan Jawa Timur.
Sumoprastowo (1993) mengemukakan bahwa
domba lokal memiliki daya adaptasi yang baik pada iklim tropis. Domba jantan memiliki tanduk kecil dan melengkung kebelakang dengan bobot hidup dewasa berkisar 30 sampai dengan 40 kg. Domba betina tidak bertanduk dengan bobot hidup berkisar 15 sampai dengan 20 kg. Ukuran tubuhnya relatif kecil, warna bulunya beragam, ekor kecil dan panjangnya sedang, lambat dewasa, tidak seragam, berbulu kasar dan hasil dagingnya relatif sedikit, serta rata-rata bobot potongnya 20 kg (Edey 1983).
18 Pertumbuhan Ternak Secara sederhana Butterfield (1988) mendefinisikan pertumbuhan sebagai terjadinya perubahan ukuran tubuh dalam suatu organisme sebelum mencapai dewasa, sedangkan perkembangan adalah produk hasil perbedaan pertumbuhan dari masing-masing bagian tubuh dari suatu organisme.
Perubahan ukuran
meliputi perubahan bobot hidup, bentuk dimensi linear dan komposisi tubuh termasuk pula perubahan pada komponen-komponen tubuh seperti otot, lemak, tulang dan organ dalam serta komponen kimia terutama air, lemak, protein dan abu (Soeparno 2005). Pertumbuhan adalah bertambahnya bobot hingga ukuran dewasa tercapai atau lebih spesifik pertumbuhan dapat dijelaskan dengan bertambahnya produksi unit biokimia baru oleh pembagian sel, pembesaran sel atau persatuan dari bahanbahan (material) yang berasal dari lingkungan.
Perkembangan menunjukkan
koordinasi berbagai proses hingga kematangan (kedewasaan) tercapai, seperti diferensiasi selular dan perubahan bentuk tubuh. Pertumbuhan pada umumnya dinyatakan dengan mengukur kenaikan bobot hidup yang mudah dilakukan dan biasanya dinyatakan sebagai pertambahan bobot hidup harian atau average daily gain (ADG).
Pertumbuhan yang diperoleh dengan memplotkan bobot hidup
terhadap umur akan menghasilkan kurva pertumbuhan (Tillman et al. 1986 dan Taylor 1984). Pertumbuhan ternak terdiri atas tahap cepat yang terjadi mulai awal sampai pubertas dan tahap lambat yang terjadi pada saat kedewasaan tubuh telah tercapai (Tillman et al. 1986). Pada waktu kecepatan pertumbuhan mendekati konstan, slope kurva pertumbuhan hampir tidak berubah. Hal ini berarti pertumbuhan otot, tulang dan organ-organ penting mulai berhenti, sedangkan penggemukan (fattening) mulai dipercepat (Judge et al. 1989). Tumbuh-kembang dipengaruhi oleh faktor genetik, pakan, jenis kelamin, hormon, lingkungan dan manajemen (Judge et al. 1989). Beberapa faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan domba sebelum lepas sapih adalah genotipe, bobot lahir, produksi susu induk, jumlah anak per kelahiran, umur induk, jenis kelamin anak dan umur sapih (Edey 1983). Potensi pertumbuhan dalam periode ini dipengaruhi oleh faktor bangsa, heterosis (hybrid vigour) dan jenis kelamin.
19 Pola pertumbuhan ternak tergantung pada sistem manajemen (pengelolaan) yang dipakai, tingkat nutrisi pakan yang tersedia, kesehatan dan iklim. Batubara et al. (1993) menyatakan bahwa pertambahan bobot hidup domba lokal Sumatera jantan muda dengan menggunakan pakan konsentrat komersial yang dicampur bungkil inti sawit (40%), molases (20%) dan urea (0.5%) adalah sebesar 106 g/ekor/hari dan konversi pakan adalah 8.2, sedangkan dengan pakan konsentrat kualitas tinggi (pakan komersial) pertambahan bobot hidup adalah 100 g/ekor/hari dan konversi pakan sebesar 9.4. Perbedaan bangsa memberikan keragaman dalam kecepatan pertumbuhan dan komposisi tubuh. Ternak dari satu bangsa tertentu cenderung tumbuh dan berkembang dalam suatu sifat yang khas dan menghasilkan karkas dengan sifat tersendiri, sehingga merupakan sifat khas bangsanya (Judge et al. 1989). Karkas dan Komponen Karkas Bobot karkas adalah bobot hidup setelah dikurangi bobot saluran pencernaan, darah, kepala, kulit dan keempat kaki mulai dari persendian carpus atau tarsus ke bawah. Dijumpai sedikit modifikasi, kadang-kadang dengan atau tanpa ginjal, lemak ginjal, lemak pelvis, lemak sekitar ambing, diaphragma dan ekor. Perbedaan sangat besar adalah lemak ginjal atau lemak pelvis termasuk ke dalam karkas atau tidak (Berg dan Butterfield 1976). Karkas sebagai satuan produksi dinyatakan dalam bobot karkas dan persentase karkas. Persentase karkas adalah perbandingan antara bobot karkas dengan bobot hidup saat dipotong (dikurangi isi saluran pencernaan dan urine) dikali 100% (Berg dan Butterfield 1976; Tulloh 1978; Judge et al. 1989). Persentase karkas dipengaruhi oleh bobot karkas, bobot ternak, kondisi, bangsa ternak, proporsi bagian-bagian non karkas, ransum yang diberikan dan cara pemotongan (Berg dan Butterfield 1976). Herman (2005) menyatakan bahwa persentase karkas domba Priangan adalah sebesar 55.1 % dan domba ekor gemuk adalah sebesar 55.3% pada bobot potong 40 kg. Persentase karkas bervariasi karena umur dan perlemakan dari domba tersebut, sedangkan persentase tulang, otot dan lemak dalam karkas dipengaruhi oleh umur, bangsa dan perlemakan pada domba. Hasil penelitian Sugiyono (1997) mendapatkan bahwa bobot karkas domba lokal yang diberi
20 pakan konsentrat biasa adalah sebesar 7.5 kg dari bobot hidup 19.3 kg dan persentase karkasnya 39.1%.
Johnston (1983) menyatakan bahwa persentase
karkas pada domba yang kurus dan kondisinya buruk kurang dari 40%, sedangkan pada kondisi gemuk persentase karkas dapat melebihi 60%.
Pendapat lain
dikemukakan Tulloh (1978) bahwa apabila ternak tidak diberi makan atau minum untuk suatu periode tertentu (dua hari misalnya) maka persentase karkas akan meningkat karena berkurangnya jumlah urine dan feses selama periode tertentu. Komposisi pakan juga berpengaruh terhadap besarnya persentase karkas. Ternak yang mendapat pakan hijauan dengan mutu yang rendah, mengandung lebih banyak digesta didalam saluran pencernaannya dari pada ternak yang diberi pakan bermutu tinggi dengan proporsi biji-bijiannya yang tinggi.
Ternak yang
dipuasakan keragaman persentase karkasnya dapat mencapai 4% lebih besar (Tulloh 1978). Soeparno (2005) mengemukakan bahwa perbedaan komposisi tubuh dan karkas diantara bangsa ternak disebabkan oleh perbedaan ukuran tubuh dewasa atau perbedaan bobot pada saat dewasa. Komponen utama karkas terdiri atas jaringan otot, tulang dan lemak. Kualitas karkas sangat ditentukan oleh ketiga komponen tersebut.
Tulang
sebagai kerangka tubuh, merupakan komponen karkas yang tumbuh dan berkembang paling dini, kemudian disusul oleh otot dan yang paling akhir oleh jaringan lemak (Soeparno 2005). Proporsi komponen karkas dan potongan karkas yang dikehendaki konsumen adalah karkas atau potongan karkas yang terdiri atas proporsi daging tanpa lemak (lean) yang tinggi, tulang yang rendah dan lemak optimal (Natasasmita 1978). Komponen karkas yang dapat memberikan nilai ekonomis adalah lemak, karena lemak berfungsi sebagai pembungkus daging dan memberikan keempukan pada daging (Berg dan Butterfield 1976). Hasil penelitian Sugiyono (1997) mendapatkan bahwa domba lokal yang diberi pakan konsentrat biasa, persentase daging tanpa lemak (lean), lemak dan tulangnya berturut-turut adalah sebesar 62.63%, 5.42% dan 24% dari bobot setengah karkas.
Herman (2005) dan Rachmadi (2003) menyatakan bahwa
semakin tinnggi bobot potong yang diperoleh menyebabkan bobot karkas segar dan persentase karkas akan semakin tinggi. Herman (2005) menyatakan bahwa pada bobot potong 17.5 kg karkas, otot, tulang, dan lemak pada domba Priangan
21 berturut-turut adalah 8.290, 2.554, 720 dan 598 gram sedangkan untuk domba ekor gemuk berturut-turut 8.530, 2.521, 724 dan 794 gram. Rachmadi (2003) menyatakan bahwa domba yang diberikan pakan konsentrat yang mengadung bungkil inti sawit sebanyak 45% mempunyai bobot tubuh kosong, bobot karkas dan persentase karkasnya berturut-turut adalah sebesar 14.30 %, 6.24 % dan 43.57% dengan masa pengemukan enam bulan. Murray dan Slezacek (1976) melaporkan bahwa tidak ada perbedaan dalam proporsi daging, tulang dan jaringan ikat maupun perlemakan pada tingkat pemberian pakan dan perbedaan pada domba, tetapi berbeda dalam depot lemak tubuhnya. Domba yang mendapatkan pakan lebih banyak mempunyai lemak subkutan lebih banyak, namun lemak intramuskuler lebih rendah.
Soeparno
(2005) dan Ouhayoun (1998) mengemukakan bahwa perlemakan dipengaruhi oleh bobot karkas dan konsumsi ransum, khususnya energi.
Makin tinggi bobot
karkas, lemak karkas makin meningkat. Karkas domba dibagi menjadi dua bagian besar yaitu : Pertama foresaddle (bagian depan) meliputi: neck (leher), shoulder (bahu), shank (paha depan), rack (dada) dan breast (bagian bawah dada).
Kedua hindsadle (bagian belakang)
meliputi: leg (paha belakang), loin (pinggang) dan flank (bagian bawah perut) (Judge et al. 1989).
Domba lokal jantan mempunyai komposisi potongan
komersial karkas pada bobot potong 15 kg adalah sebagai berikut : leg (34.47%), loin (9.40%), rib (9.46%), shoulder (21.87%), shank (3.74%), breast (9.01%) dan neck (8.98%) (Triatmojo 1988). Judge et al. (1989) menyatakan bahwa komposisi leg (39%), loin (7%), rib (9%), shoulder (26%), shank (5%), breast (10%), flank (2%), ginjal dan lemak ginjal (2%). Herman
(2005)
menyatakan
bahwa
pada
irisan
karkas
utama,
memperlihatkan bahwa domba Priangan mempunyai potongan shoulder yang lebih besar dengan persentase otot lebih tinggi dan lemak lebih rendah dibandingkan dengan irisan shoulder domba Ekor Gemuk. Domba Ekor Gemuk mempunyai potongan leg yang lebih besar daripada domba Priangan, tetapi persentase lemaknya lebih tinggi dan ototnya lebih rendah. Persentase potongan leg pada domba Priangan (30.8%), Ekor Gemuk (32.3%), loin pada domba Priangan (9.1%), Ekor Gemuk (10.1%), rack pada domba Priangan (9.4%), Ekor
22 Gemuk (8.6%) dan shoulder pada domba Priangan (28.2%), Ekor Gemuk (27.3%). Peningkatan bobot karkas segar akan meningkatkan bobot leg, neck, loin, rack dan shoulder, dimana persentase peningkatan bobot terbaik ditunjukkan oleh potongan leg disusul oleh loin, rack dan shoulder (Beermann et al. 1986). Saparto (1981) menyatakan bahwa persentase shank meningkat dengan menurunnya bobot karkas, sebaliknya persentase loin dan rack meningkat dengan naiknya bobot karkas. Lebih lanjut dinyatakan bahwa pada domba jantan, otot pada shoulder, leg, loin, dan breast mempunyai sifat masak dini sehingga pertumbuhannya relatif lebih cepat dibandingkan dengan bagian bagian tubuh lainnya.
Sugana et al. (1983) melaporkan bahwa persentase loin meningkat,
persentase leg berkurang dengan meningkatnya bobot karkas. Sifat Fisik dan Kimia Daging Kualitas atau mutu daging ditentukan oleh keempukan (tenderness), cita rasa (flavour), tekstur, aroma, warna sari minyak atau jus daging (juiceness), lemak intramuskuler (marbling), hilangnya air selama perebusan atau susut masak (cooking loss), daya mengikat air oleh protein daging (water holding capacity, WHC), dan pH daging (Aberle et al. 2001). Gurnadi (1986) menyatakan bahwa ada 3 faktor sebagai kriteria untuk menentukan mutu daging yaitu : 1) nilai gizi (ditentukan oleh protein, lemak, karbohidrat, vitamin, mineral); 2) selera konsumen (penampilan: seperti warna, keempukan, marbling, ketegaran atau firmness, juiciness, dan tekstur); 3) teknologi penanganan atau pengolahan (daya mengikat air yang tinggi, memiliki kecenderungan lemak tertentu, kandungan jaringan ikat dan air tertentu). Pada dasarnya ada tiga komponen yang menentukan keempukan daging, yaitu sytruktur miofibrilar dan status kontraksi otot, kandungan jaringan ikat dan tingkat ikatan silangnya, serta daya mengikat air dan jus daging (Soeparno 2005). Komponen utama yang mempengaruhi keempukan daging adalah jaringan ikat, kelompok serat otot dan lemak. Jaringan ikat terutama kolagen dan jumlah ikatan silangnya memiliki peran yang besar terhadap keempukan daging (Aberle et al. 2001).
23 Menurut Soeparno (2005) pH ultimat daging adalah pH yang dicapai setelah glikogen otot habis atau setelah enzim-enzim glikolitik menjadi tidak aktif pada pH rendah atau setelah glikogen tidak lagi sensitif terhadap serangan enzim-enzim glikolitik.
Lawrie (2003) menyatakan bahwa penurunan pH postmortem
dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik.
Faktor intrinsik antara lain
spesies, tipe otot, glikogen otot dan variabilitas diantara ternak, sedangkan faktor ekstrinsik antara lain adalah temperature lingkungan perlakuan sebelum pemotongan dan suhu penyimpanan.
Penurunan pH otot postmortem juga
bervariasi diantara ternak. Pada sejumlah ternak dapat ditemukan bahwa pH karkas atau daging hanya menurun sedikit selama beberapa jam pertama setelah pemotongan, dan pada saat tercapainya kekakuan daging, pH tetap tinggi yaitu antara 6.5 sampai dengan 6.8. Pada ternak yang lain, pH dapat menurun dengan cepat hingga mencapai 5.4 sampai dengan 5.5 selama beberapa jam pertama setelah pemotongan (Aberle et al. 2001). Komponen air dalam jaringan daging ada 3 bentuk yaitu: 1) air bebas (free water) yang jumlahnya 4 sampai dengan 10 gram/100 gram protein; 2) air tak bergerak (immobilized water) dengan jumlah 20 sampai dengan 60 gram/100 gram protein dan 3) air yang terikat erat (tightly bound water) yang jumlahnya 300 sampai dengan 360 gram/100 gram protein.
Jika dilakukan penekanan
(pressur) atau sentrifugasi, maka hanya air yang dalam bentuk bebas saja yang terpisah, sementara air yang tak bergerak dan air yang terikat erat, tetap tertinggal dalam daging. Air yang tak bergerak dan air yang terikat erat, sangat menentukan water holding capacity (WHC) (Soeparno et al. 1990). Daya mengikat air (WHC) berkonstribusi terhadap tenderness (keempukan), warna, rasa dan semua penentu kualitas daging. Kehilangan cairan selama penyimpanan dan pemrosesan akan merugikan produsen daging, prosessor dan konsumen (Luts et al. 1992). Protein daging berdasarkan jaringan asalnya dapat dibagi dalam 3 yaitu: 1) protein sarkoplasma; 2) protein dari serat-serat daging (miofibril); dan 3) protein dari jaringan pengikat. Sedangkan berdasarkan struktur molekulnya maka protein daging adalah: myosin, aktin, globulin, mioglubin,hemoglobulin, kolagen elastin dan enzim.
24 Sementara lemak daging sekitar 95% disusun oleh trigliserida, 5% disusun oleh kolesterol, fosfolipid dan vitamin ADEK. Trigeliserida pada lemak daging disusun oleh asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh dari molekul dengan rantai atom C5 sampai dengan C20. Asam lemak tak jenuh yang menyusun lemak daging terdiri dari asam lemak tak jenuh tunggal (monosaturated fatty acids) dan asam lemak poli tak jenuh (polysaturated fatty acids). Makin tinggi imbangan asam lemak tak jenuh dengan asam lemak jenuh, maka lemak tersebut konsistensinya akan semakin lembek. Disamping itu, asam lemak tak jenuh cepat tengik karena ikatan rangkap pada asam lemak tak jenuh mudah dioksidasi oleh oksigen udara yang menghasilkan senyawa peroksida yang menimbulkan bau tengik (Soeparno et al. 1990). Lemak dan Trigliserida Lemak merupakan subtansi yang dapat ditemukan dalam jaringan tumbuhan dan hewan. Lemak tidak larut dalam air tetapi larut dalam pelarut organik seperti benzene, eter dan khloform. Lemak mengandung karbon, oksigen, dan hidrogen dengan rumus: C12H22O11 (Mc Donald et al. 2002). Lemak biasa disebut ester lemak murni dari gliserol yaitu trigliserida. Lemak merupakan ikatan organik yang masuk ke dalam klasifikasi lipid bersama-sama dengan ikatan kimia lainnya termasuk lilin, fosfolipid dan sterol (Wahyu 1985). Frandson (1992) menyatakan bahwa lemak digolongkan menjadi lemak sederhana, lemak gabungan dan lemak derivat. Lemak sederhana adalah ester dari asam-asam lemak dan alkohol termasuk macam-macam lemak (ester asam lemak dan gliserol) dan wax (ester asam lemak dan alkohol selain gliserol). Lemak gabungan mengandung beberapa gugus selain alkohol dan asam lemak seperti fosfor, nitrogen, dan karbohidrat.
Lemak derivat merupakan senyawa yang
dihasilkan oleh hidrolisa lemak sederhana ataupun lemak gabungan. Lemak dalam daging terdapat dalam bentuk trigliserida.
Trigliserida
merupakan komponen utama asam lemak dalam makanan yang dibentuk dari fraksi katalisa gliserol dengan 3 molekul asam lemak. Trigliserida merupakan bentuk lemak yang paling efisien untuk menyimpan kalori (Piliang dan Djojosoebagjo 2006). Selanjutnya dikatakan bahwa kelebihan energi terjadi jika
25 energi melebihi kebutuhan metabolisme; kelebihan energi menyebabkan akumulasi lemak yang berlebihan sehingga disimpan dalam jaringan lemak dalam bentuk cadangan lemak. Beberapa trigliserida berbentuk butir-butir kecil pada jaringan yang digunakan untuk metabolisme energi. Asam lemak adalah komponen terbesar dari beberapa lipida kompleks yang mengandung 12 sampai dengan 24 atom C yang umumnya sebagian besar terdapat pada jaringan hewan. Sebagai contoh adalah asam linoleat yang diketahui dapat menurunkan taraf kolesterol dalam darah juga dipertimbangkan sebagai asam lemak esensial, tetapi ternyata bahwa asam linoleat dapat merangsang pembentukan tumor dan penyebaran tumor (metastase) (Enser 1984). Konsumsi yang berlebihan dari lemak yang mengandung asam linoleat tinggi, dipercaya dapat merangsang kanker payudara, prostat dan kanker usus besar (Adnan 1994). Trigliserida adalah komponen utama dari penyimpanan lemak atau depot lemak pada tumbuhan dan hewan; umumnya tidak dijumpai pada membran. Bagian utama trigliserida adalah asam lemak tidak jenuh dan bila disimpan dalam suhu kamar akan berbentuk cair (Lehninger 1997). Trigliserida yang ada pada tubuh hewan, 95% berasal dari makanan, dan 5 % disintesis oleh tubuh. Murray et al. (1990) menyatakan bahwa dalam saluran pencernaan, sebagian besar trigliserida dipecah menjadi monogliserida dan asam lemak, kemudian ketika melalui epitel usus, disentesis kembali menjadi molekul trigleserida yang baru dan masuk ke dalam limfe dan bentuk droplet (butiran kecil) yang tersebar (kilomikron). Selain itu, sebagian besar kolesterol dan fosfolipid diabsorbsi dari saluran pencernaan kemudian masuk ke dalam kilomikron. Fungsi dari trigliserida adalah sebagai cadangan energi.
Trigliserida
merupakan lemak yang efisein untuk dipakai sebagai cadangan energi dan tidak banyak membutuhkan tempat serta dapat menghasilkan energi lebih besar dibandingkan karbohidrat dan protein dengan jumlah yang sama yaitu dengan perbandingan karbohidrat : protein : lemak sebesar 1 : 1: 2,5 (Piliang dan Djojosoebagio 2006). Trigliserida yang disintesis dalam hati akan digunakan untuk memproduksi lipoprotein darah dimana pemenuhan kebutuhan asam lemak, berasal dari makanan, dari jaringan adiposa melalui darah atau dari biosentesis hati.
26 Syamsuhaidi (1997) mengemukakan bahwa imbangan energi protein ransum yang diperluas dapat meningkatkan konsentrasi trigliserida yang ada di serum darah. Kolesterol Kolesterol merupakan subtansi putih yang larut dalam lemak, terdapat dalam lemak hewani dan minyak, empedu, darah, jaringan urat saraf, hati, ginjal dan kelenjar adrenal serta penting dalam metabolisme. Kolesterol dalam tubuh dapat berupa kolesterol endogenus dan kolestrol eksogenus.
Kolesterol
endogenus merupakan kolesterol yang dibentuk sendiri oleh sel-sel tubuh terutama di dalam hati. Kolesterol eksogenus merupakan kolesterol yang berasal dari makanan.
Kolesterol dibutuhkan oleh tubuh untuk tumbuh besar dan
memperbaiki sel-sel yang rusak, menghasilkan asam empedu yang dibutuhkan dalam penyerapan lemak (Murray et al. 1990). Lebih lanjut dikemukakan bahwa keseimbangan kolesterol dalam jaringan dapat meningkat atau menurun. Perubahan keseimbangan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Peningkatan terjadi karena (1) pengambilan lipoprotein yang mengandung kolesterol oleh reseptor, seperti LDL; (2) pengambilan lipoprotein yang mengandung kolesterol oleh lintasan yang tidak diantarai reseptor; (3) pengambilan kolesterol bebas dari lipoprotein yang kaya akan kolesterol itu oleh membran sel; (4) sintesis kolesterol; (5) hidrolisis ester kolesteril oleh enzim ester kolesteril hidrolase. Penurunan terjadi karena (1) aliran keluar kolesterol dari membran sel ke lipoprotein dengan potensial kolesterol rendah, khusus DHL3 atau HDL nasen, yang digalakkan oleh LCAT (lesitin:kolesterol asiltransferase); (2) esterifikasi kolesterol oleh ACAR (asil-KaO: Kolesterol asiltransferase); (3) penggunaan kolesterol untuk sintesis senyawa-senyawa steroid lainnya, seperti hormon atau asam-asam empedu dalam hati. Guyton (1994) mengemukakan bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi konsentrasi kolesterol plasma adalah kenaikan jumlah kolesterol yang dicerna tiap hari sedikit meningkatkan konsentrasi plasma. Diet lemak jenuh dapat meningkatkan konsentrasi kolesterol darah sebanyak 15-25% karena adanya penimbunan lemak dalam hati, pencernaan lemak yang mengandung asam lemak tidak jenuh yang tinggi (biasanya menekan konsentrasi kolesterol). Kolesterol darah dapat meningkat pada diabetes mellitus akibat dari
27 peningkatan umum mobilisasi lemak. Hormon seks wanita yaitu estrogen dapat menurunkan kolesterol darah dan hormon seks pria yaitu androgen dapat meningkatkan kolesterol dalam darah. Jalur utama pengeluaran kolesterol tubuh adalah melalui konversi oleh hati menjadi asam empedu. Kurang lebih separuh dari kolesterol dieksresikan ke dalam feses setelah sebelumnya diubah menjadi asam-asam empedu dan sebahagian besar kolesterol yang diekskresi ke dalam empedu akan diserap kembali (Murray et al. 1990). Arora (2007), menjelaskan bahwa kolesterol bekerja membantu mengangkut lemak yang diolah dari hati ke seluruh tubuh melalui pembuluh darah. Proses ini akan terus berjalan dan berulang-ulang. Secara garis besar, kerja kolesterol dapat dijelaskan sebagai berikut: 1.
Makanan atau lemak masuk lambung untuk diemulsi oleh asam empedu kemudian diteruskan masuk ke usus halus untuk dicerna dan diserap. Sarisari makanan yang telah diserap kemudian dikirim ke hati untuk diproses lalu dikirim ke seluruh tubuh.
2.
Hati mengandung lemak (VLDL), VLDL masuk melalui pembuluh-pembuluh darah, membongkar muatannya (lemak) diseluruh tubuh. Kemudian VLDL yang kosong berubah menjadi LDL.
3.
Beberapa potongan LDL dapat tersangkut di sepanjang dinding pembulun darah, sehinga mempersempit pembuluh darah.
4.
HDL dalam darah atau pembuluh darah berfungsi untuk melepaskan potongan LDL yang tersangkut di dinding pembuluh-pembuluh darah dan membawanya kembali ke hati. Di hati, LDL tersebut di daur ulang menjadi VLDL atau dihancurkan dan dibuang.
VLDL yang baru akan memulai
kembali proses pengiriman. Menurut Arora (2007), kolesterol dapat dikelompokan menjadi beberapa jenis, yaitu: 1.
LDL (Low Density Lipoprotein) LDL berfungsi mengangkut kolesterol dari hati ke seluruh bagian tubuh. Jika kolesterol yang tersedia lebih dari yang dibutuhkan, LDL akan beredar dalam aliran darah dan akhirnya tertimbun pada bagian dalam dinding pembuluh
28 darah yang kemudian dapat menyebabkan penyumbatan dan berkurangnya pasokan darah 2.
HDL (High Density Lipoprotein HDL merupakan lipoprotein yang berjalan mengikuti aliran darah dari bagian tubuh (perifer), sambil membawa kolesterol ke hati untuk dihancurkan. Selain itu, jenis kolesterol ini juga berfungsi untuk mengangkut kolesterol bebas yang terdapat dalam endotel jaringan perifer, termasuk pembuluh darah, ke reseptor HDL di dalam hati untuk keluar lewat empedu, sehingga penimbunan kolesterol di perifer berkurang. Dalimartha (2002) menyatakan bahwa HDL merupakan lipoprotein yang diharapkan tinggi dalam tubuh
3.
VRDL VRDL merupakan partikel-partikel lemak yang disebut siklomikro dan asam lemak pembentuk VLDL yang digunakan untuk energi dan pemindahan lemak.
4.
Trigliserida Trigliserida merupakan jenis lemak yang diproduksi oleh hati. Pada manusia, lebih dari 5% lemak yang dikonsumsi, dalam bentuk trigliserida.
5.
Lipoprotein (a) Lipoprotein (a) merupakan lemak yang berkaitan dengan aterosklerosis dan berbagai penyakit arteri koroner. LP (a) lebih berkaitan dengan gen. Tingginya kolesterol dalam tubuh sering menimbulkan ganguan bagi
kesehatan.
Gangguan tersebut berupa ateroklerosis yang diakibatkan karena
adanya penimbunan LDL dan trigliserida yang selanjutnya menjadi penyakit jantung koroner dan stroke. LDL merupakan lipoprotein yang mudah melekat pada dinding sebelah dalam pembuluh darah dan menyebabkan penumpukan lemak yang dapat menyempitkan pembuluh darah.
29
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan September 2007 sampai Maret 2009. Limbah udang Windu (Penaeus monodon) untuk pengujian in vitro (proses pengolahan) dan percobaan in vivo diperoleh dari perusahaan pembekuan udang di Muara Baru, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Pengolahan limbah udang dilaksanakan di Laboratorium Seafast PAU, IPB. Pembuatan ransum bentuk pelet dilaksanakan di PT Indo Feed Bogor.
Pengujian in vitro dilaksanakan di
Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Fapet IPB. Percobaan in vivo menggunakan domba lokal jantan yang berasal dari UP3J-IPB, dilaksanakan di kandang Ternak Ruminansia Kecil, Fapet IPB. Analisis sampel dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Fapet IPB dan Biologi Hewan PPSHB, IPB. Penimbangan dan penguraian karkas serta pengujian sifat fisik daging dilaksanakan di Laboratorium Ruminansia Besar Fapet IPB.
Pengujian sifat
kimia daging dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi Hewan FKH IPB. Penelitian Tahap Pertama: Pengujian Limbah Udang Secara in Vitro Guna mencari kecernaan yang terbaik terhadap pengolahan limbah udang, dilakukan dengan uji in vitro. Preparasi limbah udang berupa kepala, kulit, dan ekor udang (Gambar 5) dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: limbah udang basah diambil dengan menggunakan boks pendingin yang berisi es supaya tidak rusak atau berbau. Setelah sampai di laboratorium, dicuci kemudian dikeringkan di dalam oven pada suhu 60ºC selama 24 jam dan selanjutnya digiling menjadi tepung.
Pengolahan sampel limbah udang dilakukan secara fisik yaitu
pengukusan pada suhu 121ºC disertai tekanan 1 atm menggunakan autoklaf (Gambar 6) masing-masing selama 0, 3, 6, dan 9 jam sebagai perlakuan. Cairan rumen yang digunakan adalah cairan rumen domba yang belum mendapatkan ransum pada pagi hari, diambil di rumah potong hewan (RPH) Ciampea, Bogor. Pengambilan cairan rumen sebagai sumber inokulum dilakukan sebagai berikut: rumen diambil dari domba segera setelah dipotong, kemudian dibuka menggunakan gunting. Thermos berisi air panas (39 sampai dengan 40ºC)
30 yang disediakan sebelumnya dibuang airnya. Isi rumen diambil dengan tangan bersarung tangan karet untuk menghindari kontaminasi, kemudian dimasukkan ke dalam kain tipis rangkap dua. Selanjutnya diperas melalui sebuah corong dan cairannya dimasukkan ke dalam thermos.
Gambar 5 Limbah udang windu (Penaeus monodon) kering
Gambar 6 Alat autoklaf merek Kormat Metode yang digunakan sebagai berikut: Sampel limbah udang seberat 0.5 gram dari masing-masing perlakuan dimasukkan ke dalam tabung fermentor (tabung plastik polypropilen kapasitas 50 ml). Ditambahkan saliva buatan (McDougall) sebanyak 18 ml pada suhu 39 sampai dengan 40oC dan pH 6.5 sampai dengan 6.9. Diinokulasi dengan cairan rumen sebanyak 12 ml. Setiap media in vitro diberi gas CO2 selama 30 detik supaya tetap dalam kondisi anaerob, kemudian tabung ditutup dengan karet berventilasi satu arah keluar. Tabung dimasukkan ke dalam shaker water bath dan diinkubasi selama 24 jam (khusus untuk N-NH3 dan VFA hanya 3 jam). Setelah 24 jam, tutup karet dibuka lalu ke dalam tabung ditetesi 0.2 ml HgCl2 jenuh (2 sampai dengan 3 tetes). Selanjutnya tabung disentrifuse dengan kecepatan 5000 rpm selama 20 menit. Supernatan tabung yang diinkubasi selama 3 jam dipakai untuk analisa
31 konsentrasi N-amonia (N-NH3), dan volatile fatty acid (VFA). Supernatan yang diinkubasi selama 24 jam dibuang dan endapannya diperlakukan sebagai berikut: Kecernaan fermentatif: isi tabung disaring dengan kertas saring Whatman nomor 41 dengan bantuan pompa vakum. Hasil saringan dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 24 jam, kemudian ditimbang untuk menentukan kecernaan bahan kering (KcBK) fermentatif. Setelah itu dipijarkan dalam tanur listrik pada suhu 600oC selama 6 jam, kemudian ditimbang untuk menentukan kecernaan bahan organik (KcBO) fermentatif.
Guna keperluan perhitungan
kecernaan protein (KcPr) fermentatif, hasil saringan dikeringkan dalam oven pada suhu 60oC selama 24 jam, kemudian dianalisa kadar proteinnya dengan metode Kjeldahl.
Guna keperluan perhitungan kecernaan kitin (KcKt) fermentatif,
dilakukan dengan metode sebagai berikut: isi tabung dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer dan ditambahkan HCl 1 N (1:7) lalu dipanaskan dalam shaker water bath pada suhu 90ºC selama 1 jam. Selanjutnya disaring dan dicuci aquadest sampai netral (pH 7), kemudian ditambahkan NaOH 3,5 N (1:10) lalu dipanaskan dalam shaker water bath pada suhu 90ºC selama 1 jam. Setelah itu, disaring dan dicuci aquadest sampai netral (pH 7), kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 80ºC selama 24 jam. Kecernaan enzimatik: endapan yang tersisa dalam tabung fermentor ditambah 30 ml larutan pepsin 0.2% dalam suasana asam, kemudian diinkubasi selama 24 jam dalam keadaan aerob pada suhu 39 sampai dengan 40oC. Selanjutnya disaring dengan kertas saring Whatman No. 41 (yang beratnya diketahui) dengan bantuan pompa vakum. Perlakuan selanjutnya sama dengan perlakuan kecernaan fermentatif. Peubah yang diukur adalah KcBK, KcBO, KcPr, KcKt, konsentrasi N-NH3, dan VFA pada kedua fase pencernaan ruminansia (fermentatif dan enzimatik). Nilai peubah ditentukan dengan persamaan sebagai berikut: 1.
Kecernaan Bahan Kering (KcBK) dihitung dengan persamaan: KcBK
BKsampel ( BKresidu BKkontrol ) X 100% BKsampel
32 2.
Kecernaan Bahan Organik (KcBO) dihitung dengan persamaan: KcBO
3.
Kecernaan Protein Kasar (KcPr) dihitung dengan persamaan: Kc Pr
4.
( protein sampel ) ( protein residu ) X 100% ( protein sampel )
Kecernaan Kitin (KcKt) dihitung dengan persamaan: KcKt
5.
BOsampel ( BOresidu BOkontrol ) X 100% BOsampel
( kitin sampel ) ( kitin residu ) X 100% ( kitin sampel )
Konsentrasi N-NH3 Pengukuran kadar N-NH3 dilakukan dengan menggunakan metode Micro Diffusi Conway, cara kerjanya sebagai berikut: sebanyak 1 ml cairan supernatan yang didapat dari sampel yang telah disentrifuse (dari uji in vitro) dimasukkan ke dalam salah satu ruang sekat cawan Conway dan pada ruang lainnya diletakkan 1 ml natrium karbonat (NaOH) jenuh.
Posisi cawan
Conway diletakkan sedemikian rupa agar kedua larutan tersebut tidak bercampur sebelum cawan ditutup rapat. Di bagian tengah, diletakkan 1 ml asam borat 4% berindikator. Selanjutnya cawan ditutup rapat dengan vaselin. Setelah yakin cawan tertutup rapat, maka supernatan dan NaOH jenuh dicampurkan secara merata dengan menggoyang cawan, kemudian didiamkan selama 24 jam. Amonia yang dibebaskan dari reaksi akan ditangkap oleh asam borat yang diperlihatkan dengan adanya perubahan warna. Selanjutnya amonium borat yang ada ditengah cawan dititrasi dengan larutan asam sulfat (H2SO4) 0.005 N, sampai terjadi perubahan warna dari biru kewarna asam borat (kemerah-merahan). Kadar N-NH3 dihitung dengan persamaan: Kadar N-NH3 = (S – B) x N H2SO4 x 1000 mM dimana: S = ml H2SO4 yang diperlukan untuk menitrasi sampel B = ml H2SO4 yang diperlukan untuk menitrasi blanko 6.
VFA Pengukuran kadar VFA menggunakan metode destilasi uap. Sampel yang digunakan adalah supernatan hasil sentrifuse dengan kecepatan 5000 rpm selama 15 menit yang merupakan hasil in vitro setelah tiga jam inkubasi.
33 Cara kerjanya sebagai berikut: sebanyak 5 ml cairan supernatan dimasukkan ke dalam tabung destilasi yang dipanaskan dengan uap air (destilasi Markham). Tabung segera ditutup rapat setelah ditambahkan 1 ml H2SO4 15%. Kemudian uap air akan mendesak VFA melewati tabung pendingin terkondensasi atau pendingin Leibig dan destilat ditampung dengan labu erlenmeyer yang berisi 5 ml NaOH 0.5 N sampai volume mencapai sekitar 250 ml. Selanjutnya ditambahkan 2 tetes indikator fenolftalein dan dititrasi dengan HCl 0.5 N. Titrasi berakhir pada saat titik awal perubahan warna merah jambu menjadi tidak berwarna (bening). Sebagai kontrol dilakukan titrasi terhadap larutan blanko berupa 5 ml NaOH 0.5 N. Kadar total VFA dihitung dengan persamaan: Kadar total VFA = (b - s) x N HCl x 1000/5 mM keterangan: b = volume titrasi blanko (5 ml NaOH) s = volume titrasi sampel N = normalitas HCl (0.5 N) Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian tahap pertama ini adalah rancangan acak kelompok (RAK).
Perlakuan adalah empat waktu
pengukusan pada suhu 121ºC disertai tekanan 1 atm menggunakan autoklaf pada limbah udang yaitu 0, 3, 6, dan 9 jam.
Ulangan adalah tiga kelompok
pengambilan cairan rumen yang digunakan, sehingga terdapat 12 (4 x 3) unit percobaan.
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan Analisis Ragam
(Analysis of Varian). Uji jarak berganda Duncan untuk menguji perbedaan antar perlakuan dan antar kelompok (Mattjik dan Sumertajaya 2000). Model matematis analisis ragam sebagai berikut:
Y ij i j ij Keterangan: i Yij i j ij
= = = =
1, 2, 3, 4 dan j = 1,2,3 Respon pengamatan Nilai rataan umum Pengaruh lama pengukusan (121ºC) disertai tekanan (1 atm) pada limbah udang ke-i = Pengaruh kelompok pengambilan cairan rumen ke-j = Galat percobaan dari lama pengukusan (121ºC) disertai tekanan (1 atm) pada limbah udang ke-i dan kelompok pengambilan cairan rumen ke-j
34 Penelitian Tahap Kedua (in Vivo): Percobaan Ransum yang Mengandung Limbah Udang pada Domba Setelah didapatkan pengolahan limbah udang yang terbaik di penelitian tahap pertama yaitu pengukusan pada suhu 121ºC disertai tekanan 1 atm menggunakan autoklaf selama 6 jam (hidrolisat limbah udang; HLU), maka digunakan sebagai bahan ransum pada penelitian tahap kedua. Penelitian pada tahap kedua ini menggunakan domba lokal jantan (Gambar 7) berumur 8 bulan dengan rataan bobot badan 15.19 kg sebanyak 16 ekor, masing-masing 4 ekor tiap perlakuan atau 1 ekor tiap unit percobaan. Domba percobaan dipelihara dalam kandang individu yang dilengkapi tempat pakan dan minum selama 14 minggu. Pemeliharaan pada 2 minggu pertama digunakan untuk masa adaptasi dan pemeliharaan 12 minggu berikutnya digunakan untuk masa pengamatan atau pengumpulan data.
Pada awal adaptasi, domba diberikan obat cacing, obat
ektoparasit, dan antibiotik untuk mencegah bias akibat perbedaan kondisi kesehatan domba.
Gambar 7 Domba lokal jantan dari UP3J-IPB Ransum yang digunakan berbentuk pelet dengan diameter 8 mm, terdiri atas 4 taraf hidrolisat limbah udang hasil penelitian tahap pertama yaitu 0, 10, 20, dan 30% (Gambar 8). Kandungan nutrien ransum disesuaikan dengan kebutuhkan protein untuk pertumbuhan domba yaitu 14.7% (NRC 1985). kandungan nutrien ransum disajikan pada Tabel 4.
Susunan dan
35
Gambar 8 Ransum percobaan Tabel 4 Susunan dan kandungan nutrien ransum Komposisi bahan ransum (%) Hidrolisat limbah udang Bungkil kedelai Pollard Jagung kuning Onggok Crude Palm Oil (CPO) Rumput lapang Molases Urea Garam (NaCl) Kapur (CaCO3) Premix Komposisi nutrien ransum* Bahan kering (%) Protein kasar (%BK) Lemak kasar (%BK) Serat kasar (%BK) Kalsium (Ca) (%BK) Fosfor (P) (%BK) Energi bruto (kal/g)
0% 0.0 13.5 19.5 0.2 4.9 3.8 40.0 15.0 1.0 0.4 1.2 0.5
Perlakuan 10% 20% 10.0 20.0 9.0 4.5 14.0 7.9 0.1 1.5 5.5 3.7 4.5 5.5 40.0 40.0 15.0 15.0 1.0 1.0 0.4 0.4 0.0 0.0 0.5 0.5
30% 30.0 0.0 1.0 4.6 1.0 6.5 40.0 15.0 1.0 0.4 0.0 0.5
86.93 87.09 88.63 88.95 14.89 14.65 14.76 14.82 5.82 6.56 7.79 8.66 13.36 14.13 15.36 16.76 0.62 0.89 1.37 1.69 0.28 0.37 0.45 0.52 3644.00 3667.00 3727.00 3757.00
Keterangan: *Hasil analisa laboratorium
Ransum dan air minum diberikan ad libitum pada pagi (06.00 sampai dengan 07.00) dan sore (16.00 sampai dengan 17.00) hari. Sebelum diberikan, ransum terlebih dahulu ditimbang, begitu juga sisanya yang tidak dikonsumsi perhari. Penimbangan bobot badan dilakukan setiap dua minggu supaya ternak tidak stres.
36 Koleksi total (feses dan urin) dilaksanakan seminggu pada minggu ke 6 periode pengamatan. Jumlah feses dan urin perhari (24 jam) dicampur secara merata, kemudian ditimbang/diukur dan diambil sebanyak 10 %. Selanjutnya dikomposit dan fesesnya dikeringkan untuk dianalisa. Peubah yang diukur adalah konsumsi dan kecernaan nutrien ransum (bahan kering, bahan organik, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, acid detergent fiber (ADF), neutral detergent fiber (NDF), dan energi; retensi nitrogen; kondisi fisiologis rumen (pH, konsentrasi N-NH3, dan VFA); alantoin urin; kadar kolesterol total feses; dan performa pertumbuhan (pertambahan bobot hidup dan konversi ransum). Metode yang digunakan sebagai berikut: Guna keperluan perhitungan koefisien cerna bahan kering, bahan organik, protein kasar, lemak kasar, dan serat kasar, dilakukan analisa proksimat menggunakan metode AOAC (1999) pada ransum dan feses. Begitu pula pada urin untuk mengetahui kandungan nitrogennya, supaya retensi nitrogen dapat dihitung. 1.
Koefisien cerna zat makanan dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut: Konsumsi ZM ransum (g) – ZM feses (g) X 100
KcZM (%) = Konsumsi ZM ransum (g) 2.
Retensi Nitrogen (N) Retensi nitrogen dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut: Konsumsi nitrogen (g) = Konsumsi BK ransum (g) x % N ransum
3.
Nitrogen feses (g)
= Jumlah feses (g) x % N feses
Nitrogen urin (ml)
= Jumlah urin (ml) x % N urin
Retensi Nitrogen (N)
= Konsumsi nitrogen – (nitrogen feses + nitrogen urin)
Alantoin urin Analisa alantoin urin dilakukan berdasarkan metode kolorimetri. Alantoin urin dihidrolisis dalam larutan natrium hidroksida (suhu 100ºC) menjadi alantoin acid yang selanjutnya didegradasi menjadi urea dan glyoxylic dalam larutan asam khlorida (HCl).
Glyoxylic acid akan bereaksi dengan fenil
hidrazin hidroksida membentuk fenilhidrazon.
Produk tersebut bersama
37 kalium ferrisianida dapat membentuk khromosfer yang tidak stabil, yang warnanya dapat dibaca pada panjang gelombang 520 nm.
Kurva linear
standar dibuat dengan menyiapkan larutan alantoin standar dengan konsentrasi 10, 20, 30, 40, 50, 60 mg/liter. Sebanyak 1 ml sampel urin dan 1 ml larutan standar atau aquades untuk masing-masing blanko dimasukkan ke dalam tabung 15 ml lalu ditambahkan 5 ml aquades.
Selanjutnya
ditambahkan 1 ml NaOH 0.5 N dikocok dengan vortex, lalu tabung tersebut direndam dalam air mendidih selama 7 menit.
Setelah diangkat dan
didinginkan, ke dalam setiap tabung ditambahkan 1 ml HCl 0.5 N, lalu ditambahkan 1 ml larutan fenilhdrazin.
Setelah dikocok tabung segera
direndam dalam air mendidih selama 7 menit, kemudian didinginkan dalam alcohol bath. Sebanyak 3 ml HCl pekat 11.4 N dan 1ml kalium ferrisianida ditambahkan ke dalam setiap tabung. Setelah tercampur sempurna, sebagian dimasukkan ke dalam kuvet, dan dibaca nilai OD (optical density) pada spektrofotometer (single beam model).
Perhitungan konsentrasi alantoin
sampel didasarkan pada hubungan linear antara konsentrasi alantoin standar dengan OD standar 4.
Bobot hidup awal Ditentukan berdasarkan hasil penimbangan ternak pada awal pemeliharaan (pengumpulan data)
5.
Bobot potong Ditentukan berdasarkan hasil penimbangan ternak pada akhir pemeliharaan (saat ternak akan disembelih)
6.
Pertambahan bobot hidup Dihitung berdasarkan bobot badan akhir dikurangi bobot badan awal dibagi dengan jarak waktu (hari) antara dua penimbangan
7.
Konsumsi bahan kering ransum Dihitung berdasarkan jumlah bahan kering ransum yang diberikan dikurangi dengan sisa bahan kering ransum
8.
Konversi ransum Dihitung berdasarkan konsumsi bahan kering ransum dibagi dengan pertambahan bobot hidup
38 Penelitian Tahap Ketiga: Penyembelihan Domba Penelitian tahap ketiga digunakan untuk mengetahui produksi karkas, sifat fisik, dan sifat kimia daging.
Dilakukan dengan menyembelih domba hasil
pemeliharaan pada penelitian tahap kedua.
Metode yang digunakan sebagai
berikut: 12 jam sebelum pemeliharaan berakhir, domba dipuasakan untuk memperkecil variasi bobot potong akibat isi saluran pencernaan dan mempermudah pelaksanaan penyembelihan.
Sebelum penyembelihan, domba
terlebih dahulu ditimbang untuk mengetahui bobot potong.
Penyembelihan
dilakukan secara halal dimulai dengan memotong leher hingga vena jugularis, arteri carotis, oesophagus, dan trachea terputus (dekat tulang rahang bawah) supaya terjadi pengeluaran darah (eksanguasi) yang sempurna. Darah yang keluar ditampung kemudian ditimbang.
Kepala dilepaskan dari tubuh pada sendi
occipito-atlantis (tulang atlas). Kaki depan dan kaki belakang dilepaskan pada sendi carpo-metacarpal dan sendi tarso-metatarsal. Ujung oesophagus diikat supaya cairan rumen tidak keluar apabila domba tersebut digantung. Domba digantung pada tendo-achiles (paha belakang) di kedua kaki belakang kemudian dilakukan pengulitan (pelting).
Pengulitan dilakukan dengan membuat irisan
melingkar pada persendian tarsal sebelah dalam menuju dada.
Bagian perut
dibuka, kemudian dilakukan pengeluaran viscera (eviscerating). Karkas segar diperoleh setelah semua organ tubuh bagian dalam dikeluarkan, yaitu hati, limpa, jantung, paru-paru, trachea, alat pencernaan, empedu, dan pancreas kecuali ginjal. Karkas yang diperoleh ditimbang sebagai bobot karkas segar (bobot karkas panas). Karkas segar tersebut dipotong ekornya, kemudian dibelah menggunakan mesin pemotong secara simetris sepanjang tulang belakangnya dari leher (Ossa vertebrae cervicalis) sampai sakral (Ossa vertebrae sarcalis) dan ditimbang bobotnya (bobot karkas segar kiri dan kanan). Karkas kanan dimasukkan ke dalam kantong plastik lalu diikat dan disimpan di ruang pendingin (chilling room) suhu 2 sampai dengan 3ºC selama 24 jam. Karkas tersebut dikeluarkan dari ruang pendingin dan ditimbang bobotnya (bobot karkas dingin kanan). Lemak pelvis dan ginjal dipisahkan dan ditimbang bobotnya. Karkas dipotong menjadi tujuh potongan komersial yaitu leg, loin, rack, shoulder, foreshank, breast, flank (Aberle et al. 2001) seperti pada Gambar 9.
39
Gambar 9 Bagian potongan komersial karkas (Aberle et al. 2001) Selanjutnya dilakukan pemisahan (deboning) menjadi bagian tulang, daging, dan trim lemak pada masing-masing potongan komersial, lalu ditimbang bobotnya. Daging bagian loin pada rusuk XII-XIII digunakan untuk analisa sifat fisik daging dan daging loin yang lain digunakan untuk analisa sifat kimia daging. Peubah yang diukur adalah bobot potong; bobot tubuh kosong; bobot karkas segar (karkas panas); bobot karkas dingin (bagian kanan); bobot komponen karkas (daging, tulang, dan lemak) masing-masing potongan komersial (leg, loin, rack, flank, breast, shoulder, dan foreshank); luas urat daging mata rusuk (12/13); sifat fisik daging meliputi: pH (derajat keasaman), keempukan (tenderness), susut masak (cooking loss), dan daya mengikat air oleh protein daging (water holding capacity; WHC); sifat kimia daging meliputi: kadar trigliserida, lemak tak jenuh (bilangan iodium), dan kolesterol total. Metode yang digunakan sebagai berikut: 1.
Bobot tubuh kosong Dihitung berdasarkan selisih bobot potong dengan bobot isi saluran pencernaan dan urin
2.
Bobot karkas segar (karkas panas) Ditentukan
berdasarkan
hasil
penimbangan
karkas
sesaat
setelah
penyembelihan atau bobot yang diperoleh dari selisih bobot potong (bobot tubuh puasa) dengan bobot darah, kepala, kaki, kulit, organ tubuh bagian dalam (selain ginjal), dan alat reproduksi
40 3.
Persentase karkas segar (karkas panas) Dihitung berdasarkan bobot karkas segar (karkas panas) dibagi dengan bobot potong atau bobot kosong dikali 100
4.
Bobot komponen utama karkas Ditentukan berdasarkan hasil penimbangan masing-masing komponen utama karkas (daging, tulang, dan lemak) setelah dipisahkan (deboning)
5.
Persentase komponen utama karkas Dihitung berdasarkan hasil penimbangan masing-masing komponen utama karkas dibagi dengan bobot karkas dikali 100
6.
Bobot komponen utama karkas masing-masing potongan komersial Ditentukan berdasarkan hasil penimbangan komponen karkas (daging, lemak, dan tulang) pada masing-masing potongan komersial (leg, loin, rack, flank, breast, shoulder, dan foreshank).
7.
Luas urat daging mata rusuk Ditentukan dengan cara mengukur luas penampang urat daging mata rusuk (m. Longissimus dorsi) pada irisan antara rusuk ke-12 dan ke-13.
Cara
pengukurannya sebagai berikut: permukaan irisan urat daging mata rusuk ditempel dengan plastik transparan, kemudian digambar dengan spidol. Selanjutnya gambar bidang permukaan penampang melintang urat daging mata rusuk tersebut diukur luasannya dengan alat planimeter. 8.
pH (derajat keasaman) daging Sampel daging sebanyak 10 gram diiris kecil-kecil dan dicacah sampai halus. Kemudian dimasukkan ke dalam beker gelas 50 ml, lalu diencerkan dengan air suling (aquadest) sebanyak 10 ml. Selanjutnya diaduk sampai homogen dan pH diukur dengan alat pH-meter.
9.
Nilai Keempukan (tenderness) Keempukan daging diukur secara obyektif. Sampel daging dicetak dengan alat pengebor (corer) yang bagian dalamnya mempunyai diameter 1.27 cm dengan panjang kurang lebih 3 cm.
Potongan-potongan daging yang
diperoleh diukur nilai keempukannya dengan alat warner-bratzler shear force. Hasil pengukuran dinyatakan dalam satuan kg/m2. Semakin rendah nilai shear force, semakin empuk daging tersebut.
41 10. Susut masak (cooking loss) Dihitung berdasarkan selisih bobot daging sebelum dan sesudah perebusan (suhu 81ºC) dibagi dengan bobot daging sebelum perebusan dikali 100 (%). 11. Daya mengikat air oleh protein daging (WHC) Dilakukan menurut metoda penekanan dari Hamm (1972) yang dikemukakan oleh Swatland (1984) yaitu dengan menggunakan alat carver press. Sampel daging 0.3 gram diletakkan di antara dua kertas saring Whatman-1, kemudian dijepit dengan carver press yaitu di antara dua plat jepitan berkekuatan 35 kg setiap cm2 selama 5 menit. Luas area basah (watted area) adalah luas air yang diserap kertas saring akibat penjepitan, yaitu selisih luas lingkaran luar dan dalam pada kertas saring. Pengukuran lingkaran dilakukan dengan alat planimeter. Bobot air bebas (air daging yang terlepas karena proses penekanan) dihitung dengan persamaan sebagai berikut: mgH 2 O
LuasAreaBasah(cm 2 ) 8.0 0.0948
% AirBebas
mgH 2 O X 100% 300mg
Dengan mengetahui kadar air total daging, maka kadar air terikat atau WHC ditentukan dengan persamaan sebagai berikut: WHC = Kadar air total (%) – Kadar air bebas (%) 12. Kandungan lemak tak jenuh daging Ditentukan berdasarkan jumlah bilangan iodium yang terikat pada lemak tak jenuh daging dengan menggunakan metode Hanus (Apriyantono et al. 1989) dengan cara titrasi. Bahan ditimbang 0.5 gram dimasukkan dalam erlenmeyer bertutup dan ditambahkan dengan 10 ml khloroform untuk melarutkan sampel dan 25 ml pereaksi Hanus, kemudian dibiarkan selama 1 jam di tempat gelap sambil sekali-kali dikocok. Larutan KI 15% ditambahkan 10 ml lalu dikocok. erlenmeyer dan tutupnya dicuci dengan 100 ml akuades.
Titrasi dengan
larutan standar Na2S2O3 0.1 N sampai warna kuning iod hampir hilang kemudian 2 ml larutan pati 1 % ditambahkan sebagai indikator.
Titrasi
42 dilanjutkan sampai warna biru hilang.
Disamping itu, juga dilakukan
penetapan blanko. ml titrasi (blanko – sampel) x N Na2S2O3 x 12.69 Bilangan Iod = Berat sampel (gram) 13. Kadar kolesterol daging dan feses: sebanyak ± 5 g daging/feses yang sudah dicincang dimasukkan kedalam tabung dan ditambahkan 10 ml diethyl ether diekstraksi selama 5 menit, sesudah itu diuapkan pada suhu kamar sampai kering.
Daging/feses yang sudah diekstrak dibuang dan kolesterol yang
terlarut dalam ether tersebut ditambah 1 ml phosphat buffer saline pH 7.2, dikocok dan disentrifus selama 15 menit dengan kecepatan 2500 rpm. Setelah itu supernatan dituang ke dalam tabung evendorf dan siap untuk dianalisa kolesterolnya menggunakan metode CHOD-PAP yang dibuat oleh Human (KIT Human LOT H116) 14. Kadar trigliserida daging: sebanyak ± 5 g daging yang sudah dicincang dimasukkan kedalam tabung dan ditambahkan 10 ml diethyl ether diekstraksi selama 5 menit, sesudah itu diuapkan pada suhu kamar sampai kering. Daging yang sudah diekstrak dibuang dan kolesterol yang terlarut dalam ether tersebut ditambah 1 ml phosphat buffer saline pH 7.2, dikocok dan disentrifus selama 15 menit dengan kecepatan 2500 rpm. Setelah itu supernatan dituang ke dalam tabung evendorf dan siap untuk dianalisa kolesterolnya menggunakan metode CHOD-PAP yang dibuat oleh Human (KIT Human LOT H112) 15. Income Over Feed Cost Income over feed cost (IOFC) dihitung dari selisih penerimaan dengan pengeluaran. Pada penelitian ini IOFC penerimaan dihitung dari perkalian rataan konsumsi PBBH dengan harga sapi/kg BH, sedangkan pengeluaran dihitung dari perkalian rataan konsumsi pakan as fed/ekor/hari dengan harga ransum masing-masing sapi percobaan. Rumus IOFC adalah : IOFC (Rp) = Penerimaan (Rp) – Pengeluaran (Rp) 16. Revenue Cost Ratio Revenue cost ratio (R-C ratio) dihitung untuk mengetahui efisiensi ekonomis suatu usaha R-C ratio diperoleh dari perbandingan antara penerimaan dengan
43 pengeluaran.
Keuntungan suatu usaha tergambar dari nilai R-C ratio>1,
sebaliknya bila nilai R-C ratio<1, maka suatu usaha merugi. Semakin tinggi nilai R-C ratio, keuntungan usaha akan semakin tinggi pula. Pada penelitian ini perhitungan penerimaan dan pengeluaran sama dengan perhitungan penerimaan dan pengeluaran untuk mendapatkan nilai IOFC. Rumus R-C Ratio adalah : Penerimaan (Rp) Pengeluaran (Rp)
R-C Ratio =
Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian tahap kedua dan ketiga adalah rancangan acak lengkap (RAL). Perlakuan adalah taraf hidrolisat limbah udang (hasil terbaik penelitian tahap pertama) dalam ransum yaitu 0% (kontrol), 10%, 20%, dan 30%, masing-masing 4 (empat) ekor domba sebagai ulangan, sehingga terdapat 16 (4x4) unit percobaan.
Data yang diperoleh
dianalisis menggunakan analisis ragam (Analysis of Varian). Uji jarak berganda Duncan untuk menguji perbedaan antar perlakuan (Mattjik dan Sumertajaya 2000). Model matematis analisis ragam sebagai berikut:
Yij i ij Keterangan: i Yij i ij
= = = = =
1,2,3,4 dan j = 1,2,3,4 Respon pengamatan Nilai rataan umum Pengaruh taraf hidrolisat limbah udang dalam ransum ke-i Galat percobaan taraf hidrolisat limbah udang dalam ransum ke-i pada ulangan ke-j
45
HASIL DAN PEMBAHASAN Fermentasi in Vitro Limbah Udang dalam Cairan Rumen Domba Limbah udang terdiri atas kepala, ekor, dan kulit udang yang biasanya diperoleh dari pembuangan industri pengalengan dan pembekuan udang. Limbah udang mempunyai kandungan protein dan mineral yang cukup tinggi. Shahidi dan Synowiecki (1992), mengemukakan bahwa limbah udang mengandung protein kasar 41.9%, kalsium karbonat 15.30% dan kitin 17.0%. Namun bila digunakan sebagai bahan ransum mempunyai faktor pembatas, yaitu adanya kitin yang berikatan kovalen (1-4) glikosidik dengan protein dan mineral, sehingga sulit dicerna oleh enzim pencernaan pascarumen. pengolahan.
Oleh karena itu dilakukan
Metode pengolahan yang dilakukan adalah pengukusan (121ºC)
disertai tekanan (1 atm) menggunakan autoklaf dengan tujuan agar terjadi hidrolisis pada ikatan glikosidik limbah udang untuk meningkatkan kecernaannya. Selain itu, dapat melindungi protein dari fermentasi mikroorganisme rumen. Hasil pengukuran nilai kecernaan dan produk fermentasi limbah udang secara in vitro disajikan pada Tabel 5. Kecernaan fermentatif in vitro bahan kering (BK) dan bahan organik (BO) hidrolisat limbah udang secara nyata menurun (P<0.05) dengan meningkatnya waktu pengukusan disertai tekanan hingga 9 jam, walaupun antara waktu pengukusan disertai tekanan 6 dan 9 jam tidak berbeda nyata. Hasil sebaliknya terjadi pada kecernaan BK dan BO enzimatik yang secara nyata (P<0.05) meningkat seiring meningkatnya waktu pengukusan disertai tekanan. Pengukusan disertai tekanan hingga 9 jam hanya mampu meningkatkan nilai kecernaan BK total dari 59.02% menjadi 64.18% atau meningkat sebesar 8.7%. Lamanya waktu pengukusan disertai tekanan mengakibatkan sebagian protein dari limbah udang menurun kelarutannya, yang ditunjukkan oleh nilai N-NH3 yang semakin kecil berturut-turut dari 0, 3, 6, dan 9 jam adalah 18.65 mM, 15.78 mM, 12.82 mM, dan 12.12 mM. Menurunnya N-NH3 karena meningkatnya waktu pengukusan disertai tekanan mengindikasikan sejumlah protein limbah udang menurun kelarutannya akibat pemanasan, sehingga tidak mudah di degradasi oleh mikroba rumen melalui pencernaan fermentatif. Hal ini terlihat
46
dari kecernaan protein fermentatif yang secara nyata (P<0.05) menurun seiring dengan meningkatnya waktu pengukusan disertai tekanan yaitu berturut-turut dari 0, 3, 6, dan 9 jam adalah 37.27, 35.70, 32.13, dan 31.89%. Begitu pula halnya dengan kitin yang mengandung nitrogen, kecernaan fermentatifnya juga menurun seiring dengan meningkatnya waktu pengukusan disertai tekanan yaitu berturutturut dari 0, 3, 6, dan 9 jam adalah 24.29, 23.86, 23.22, dan 22.98%. Namun demikian, berdasarkan nilai N-NH3 yang dihasilkan oleh limbah udang sudah cukup untuk mendukung biofermentasi bagi mikroba rumen, sebab untuk mendukung biofermentasi di dalam rumen diperlukan kadar N-NH3 minimal sebesar 3.57 mM (Satter dan Slyter 1974). Tabel 5 Rataan kecernaan bahan kering, bahan organik, protein, kitin, dan produksi VFA, serta konsentrasi N-NH3 limbah udang dalam cairan rumen domba Peubah
Lama pengukusan (121ºC) disertai tekanan (1 atm) 0 jam 3 jam 6 jam 9 jam
KcBK: - Fermentatif (%) 40.27a ± 1.74 38.70ab ± 1.70 35.13bc ± 1.65 34.89c ± 1.58 c b a 29.29a ± 0.51 - Enzimatik (%) 18.75 ± 0.28 22.45 ± 0.34 28.82 ± 0.42 b ab a 64.18a ± 1.57 - Total (%) 59.02 ± 1.44 61.15 ± 1.53 63.96 ± 1.65 KcBO: 46.31c ± 0.23 - Fermentatif (%) 49.30a ± 0.31 48.66b ± 0.33 46.48c ± 0.25 c b a 16.62a ± 0.35 - Enzimatik (%) 12.92 ± 0.20 14.01 ± 0.37 16.58 ± 0.41 - Total (%) 62.23 ± 0.59 62.67 ± 0.62 63.06 ± 0.68 62.93 ± 0.64 KcPr: 35.70ab ± 1.87 32.13b ± 1.99 31.89b ± 2.16 - Fermentatif (%) 37.27a ± 2.02 b b a 27.19a ± 1.49 - Enzimatik (%) 17.62 ± 1.48 20.45 ± 1.94 25.82 ± 1.31 c bc ab 56.15 ± 1.10 57.96 ± 1.31 59.08a ± 0.70 - Total (%) 54.89 ± 1.10 KcKt: - Fermentatif (%) 24.29 ± 0.40 23.86 ± 0.54 23.22 ± 0.34 22.98 ± 0.56 - Enzimatik (%) 4.70 ± 0.20 4.66 ± 0.22 4.53 ± 0.15 4.50 ± 0.10 28.51ab ± 0.62 27.76bc ± 0.40 27.48c ± 0.46 - Total (%) 28.99a ± 0.28 86.25c ± 1.74 VFA (mM) 102.19a ± 2.00 101.11a ± 1.98 92.21b ± 1.79 a b c 18.65 ± 0.41 15.78 ± 0.38 12.82 ± 0.27 12.12c ± 0.20 N-NH3 (mM) Keterangan: Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05) berdasarkan uji jarak berganda Duncan. KcBK=kecernaan bahan kering, KcBO=kecernaan bahan organik, KcPr=kecernaan protein, dan KcKt=kecernaan kitin.
Menurunnya kecernaan fermentatif BK dan BO menghasilkan produk fermentasi yang berupa volatile fatty acid (VFA) sebagai sumber energi juga menurun (P<0.05) dengan semakin lamanya waktu pengukusan disertai tekanan. Pada penelitian ini ditunjukkan bahwa pengukusan disertai tekanan selama 0 jam
47
belum berbeda dengan 3 jam, namun berbeda dengan 6 dan 9 jam berturut-turut 102.19 mM, 101.11, 92.21 mM, dan 86.25 mM. Sebagai dasar untuk menentukan lama pengukusan disertai tekanan yang terbaik, dilakukan dengan membuat suatu evaluasi menggunakan sistem skor seperti pada Tabel 6, dengan kriteria penilaian sebagai berikut: 1. Konsentrasi N-NH3 yang dapat mendukung pertumbuhan mikroba secara optimal (3.74 - 14.00 mM) diberi angka 1 dan yang tidak diberi angka 0 2. Konsentrasi VFA total yang dapat mendukung pertumbuhan mikroba secara optimal (80 - 120mM) diberi angka 1 dan yang tidak diberi angka 0 3. KcBK, KcBO, dan KcPr total serta KcBK, KcBO, dan KcPr enzimatik yang tertinggi dan yang tidak berbeda dengan yang tertinggi diberi angka 1 dan yang berbeda diberi angka 0 4. KcBK, KcBO, dan KcPr fermentatif yang terendah dan yang tidak berbeda dengan yang terendah diberi angka 1 dan yang berbeda diberi angka 0. Tabel 6 Skor penilaian lama pengukusan disertai tekanan yang terbaik pada limbah udang PEUBAH N-NH3 VFA KcBK: - Fermentatif - Enzimatik - Total KcBO: - Fermentatif - Enzimatik - Total KcPr: - Fermentatif - Enzimatik - Total SKOR
Lama pengukusan (121ºC) disertai tekanan (1 atm) 0 jam 3 jam 6 jam 9 jam 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 0
0 0 1
1 1 1
1 1 1
0 0 1
0 0 1
1 1 1
1 1 1
0 0 0 3
1 0 0 4
1 1 1 11
1 1 1 11
Berdasarkan hasil penilaian, diperoleh skor tertinggi pada pengukusan disertai tekanan selama 6 dan 9 jam masing-masing dengan nilai total 11. Oleh karena beberapa variabel kecernaan in vitro secara statistik tidak berbeda, maka dipilih perlakuan 6 jam dengan pertimbangan efisiensi, sebab waktu pengukusan disertai tekanan yang lebih singkat.
48
Konsumsi dan Kecernaan Nutrien pada Domba Taraf penggunaan hidrolisat limbah udang hingga 30% dalam ransum domba lokal jantan menghasilkan konsumsi nutrien yang tidak berbeda (P>0.05) dibandingkan dengan kontrolnya maupun untuk semua taraf hidrolisat limbah udang (Tabel 7). Perbedaan taraf hidrolisat limbah udang di dalam ransum tidak menyebabkan perbedaan terhadap konsumsi BK ransum.
Pemberian ransum
dalam bentuk pelet tidak memberi kesempatan pada domba untuk memilih karena sudah menjadi satu kesatuan ransum komplit, sehingga jumlah nutrien yang dikonsumsi juga relatif sama diantara semua ransum. Bentuk pelet dari ransum menghasilkan tingkat palatabilitas relatif sama dari semua ransum walaupun taraf hidrolisat limbah udang dalam ransum berbeda-beda. Tabel 7 Rataan konsumsi nutrien pada domba lokal jantan yang diberi ransum mengandung limbah udang Taraf hidrolisat limbah udang dalam ransum 0% 10% 20% 30% BK (g/e/h) 901.79 ± 60.27 934.44 ± 61.96 1007.47 ± 66.84 977.79 ± 66.43 BO (g/e/h) 685.40 ± 14.57 684.93 ± 15.39 696.06 ± 15.48 687.62 ± 13.44 155.51 ± 7.53 155.67 ± 5.69 161.56 ± 8.76 165.48 ± 8.81 PK (g/e/h) LK (g/e/h) 52.23 ± 2.71 54.30 ± 3.38 55.73 ± 4.05 54.27 ± 3.10 SK (g/e/h) 150.16 ± 4.06 150.90 ± 4.85 152.10 ± 6.42 153.17 ± 5.23 ADF (g/e/h) 389.61 ± 13.43 400.63 ± 15.85 406.57 ± 13.52 428.68 ± 12.97 NDF (g/e/h) 556.98 ± 16.71 553.96 ± 15.44 552.01 ± 13.79 549.59 ± 13.66 Energi (kal/g) 3296.85 ± 109.18 3410.06 ± 165.67 3515.43 ± 173.41 3455.83 ± 197.30 Keterangan: BK=bahan kering, BO=bahan organik, PK=protein kasar, LK=lemak kasar, SK=serat kasar, ADF=acid detergent fiber, NDF=neutral detergent fiber Peubah
Pada penelitian ini diperoleh nilai konsumsi BK dan BO antara 901.79 1007.47 g/e/h dan 684.93 - 696.06 g/e/h. Nilai konsumsi ini lebih tinggi dari yang dilaporkan sebelumnya oleh Puastuti dan Mathius (2008) yaitu konsumsi domba jantan fase pertumbuhan yang diberi ransum mengandung hidrolisat bulu ayam sebesar 787 - 887 g/h dan 711 - 810 g/h. Ternak akan berhenti makan setelah ransum yang dikonsumsi memenuhi kebutuhannya. Domba yang digunakan pada penelitian ini memiliki rata-rata bobot hidup 19.64 kg, mampu mengkonsumsi BK ransum sebanyak 901.79 - 1007.47 g/e/h atau sebesar 4.59 - 5.13% dari bobot hidupnya. Konsumsi BK ransum ini lebih tinggi dari yang direkomendasikan Kearl (1982) bahwa jumlah BK ransum yang dibutuhkan oleh ternak sebesar 3 - 4% dari bobot hidupnya. Begitu pula halnya yang dilaporkan sebelumnya
49
yaitu sebesar 3.3 - 3.5% (Puastuti et al. 2006; Puastuti dan Mathius 2008). Hal ini diduga akibat bentuk ransum yang diberikan tidak sama, dimana pada penelitian ini ransum yang diberikan adalah ransum total lengkap (total mixed ration) dalam bentuk pelet. Konsumsi BK ransum yang tidak dipengaruhi oleh taraf penggunaan hidrolisat limbah udang menghasilkan konsumsi nutrien protein kasar (PK), lemak kasar (LK), energi, acid detergent fiber (ADF) dan neutral detergent fiber (NDF) yang tidak berbeda. Hal ini karena ransum yang diberikan adalah ransum total lengkap (total mixed ration) dalam bentuk pelet, dimana semua ransum perlakuan disusun dengan kadar protein sebesar 14.7% dan gross energy (GE) sebesar 3700 kal/g.
Jumlah konsumsi PK sebesar 155.51 - 165.48 g/e/h sudah memenuhi
kebutuhan domba untuk pertumbuhan, karena sudah melebihi dari rekomendasi Kearl (1982) yaitu sebesar 122 - 141 g/e/h untuk domba yang tumbuh dengan bobot hidup 25 kg. Konsumsi lemak yang tidak berbeda diantara taraf hidrolisat limbah udang juga menghasilkan konsumsi SK, ADF, dan NDF yang serupa. Demikian juga besarnya konsumsi energi yang dihitung sebagai gross energy (GE) tidak berbeda diantara semua ransum. Namun ada tendensi meningkat dengan meningkatnya taraf hidrolisat limbah udang (3296 kal/g vs 3460 kal/g). Berbeda dengan konsumsi nutrien yang tidak dipengaruhi oleh taraf hidrolisat limbah udang. Nilai kecernaan nutrien BK, BO, PK, LK, energi, dan ADF sangat dipengaruhi (P<0.01) oleh taraf hidrolisat limbah udang (Tabel 8). Nilai kecernaan BK dan BO menurun seiring meningkatnya taraf hidrolisat limbah udang.
Pada penggunaan hidrolisat limbah udang sebesar 10%, nilai
kecernaan BK dan BO tidak berbeda dengan ransum kontrol (0%), dan nilai kecernaan paling rendah pada taraf penggunaan hidrolisat limbah udang sebesar 30% atau terjadi penurunan sebesar 23.26% dan 16.38% masing-masing untuk BK dan BO. Hidrolisat limbah udang yang digunakan dalam ransum memiliki kecernaan yang rendah sehingga dengan meningkatnya taraf penggunaan dalam ransum menghasilkan kecernaan yang semakin menurun pula. Nilai kecernaan BK in vitro hidrolisat limbah udang dengan pengukusan disertai tekanan selama
50
6 jam sebesar 63.96% sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa pengukusan disertai tekanan yaitu 59.02% (Tabel 5). Tabel 8 Rataan kecernaan nutrien pada domba lokal jantan yang diberi ransum mengandung limbah udang Taraf hidrolisat limbah udang dalam ransum 0% 10% 20% 30% BK (%) 65.94a ± 2.15 63.72a ± 2.28 56.76b ± 1.98 50.60c ± 1.93 BO (%) 66.83a ± 1.90 65.21a ± 1.69 60.75b ± 1.86 55.88c ± 1.91 a b b PK (%) 82.17 ± 2.29 70.25 ± 2.38 67.99 ± 1.73 64.79c ± 1.77 a a a LK (%) 93.86 ± 2.59 91.66 ± 1.87 90.78 ± 1.78 87.08b ± 1.27 SK (%) 40.00 ± 0.84 40.13 ± 1.01 40.63 ± 1.13 39.89 ± 0.92 ADF (%) 60.60a ± 2.14 59.73a ± 2.21 58.38a ± 7.71 55.25b ± 1.87 NDF (%) 55.51 ± 1.85 55.35 ± 1.74 54.95 ± 1.72 54.64 ± 1.83 Energi (%) 70.00a ± 0.74 66.80a ± 3.71 58.85b ± 2.24 53.91c ± 3.60 Keterangan: Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0.01) berdasarkan uji jarak berganda Duncan. BK=bahan kering, BO=bahan organik, PK=protein kasar, LK=lemak kasar, SK=serat kasar, ADF=acid detergent fiber, NDF=neutral detergent fiber Peubah
Penggunaan hidrolisat limbah udang 10% sudah menghasilkan penurunan kecernaan PK, dan kecernaannya terus menurun dengan semakin meningkatnya taraf hidrolisat limbah udang di dalam ransum (Tabel 8) berturut-turut dari kontrol adalah 82.17%, 70.25%, 67.99%, dan 64.79%. Berbeda dengan yang dilaporkan oleh Haddad et al. (2005) dan Sato-Navarro et al. (2006) bahwa meningkatnya penggunaan protein by pass dapat meningkatkan kecernaan BK dan PK total. Nilai kecernaan PK pada penelitian ini lebih rendah dari laporan sebelumnya pada penggunaan hidrolisat bulu ayam sebesar 8.5% dalam ransum yaitu 69.66% (Puastuti dan Mathius 2008) dan pada ransum berbasis kulit buah kakao sebesar 66.8% (Puastuti et al. 2010).
Hal ini menggambarkan bahwa protein dalam
hidrolisat limbah udang sulit dicerna akibat pengukusan disertai tekanan dengan menggunakan autoklaf yang diduga akibat tingginya panas selama proses tersebut telah mempengaruhi protein terutama lisin dalam reaksi browning. Pada kecernaan lemak terjadi sedikit penurunan pada taraf penggunaan hidrolisat limbah udang sebesar 30%, sama halnya dengan nilai kecernaan serat ADF, sedangkan pada kecernaan serat NDF tidak menunjukkan perbedaan untuk semua taraf hidrolisat limbah udang.
Terjadinya sedikit penurunan pada
kecernaan lemak diikuti pula oleh menurunnya kecernaan energi ransum. Terlihat dengan jelas adanya pengaruh hidrolisat limbah udang terhadap penggunaan
51
lemak ransum, dimana lemak yang ada dalam ransum diikat oleh senyawa kitin dari hidrolisat limbah udang menjadi sulit dicerna dan pada akhirnya kecernaan energinya menurun juga. Disamping disebabkan oleh adanya kitin, menurunnya kecernaan serat ADF maupun NDF turut mempengaruhi kecernaan lemak. Kitin merupakan biopolimer yang mempunyai kemampuan mengikat lemak 4 - 5 kali lipat dari beratnya sendiri (Vahoundy et al. 1983). Produk Fermentasi Rumen dan Alantoin Urin pada Domba Guna mendukung aktivitas mikroba dalam rumen diperlukan kondisi dalam rumen yang ideal.
Hasil pengamatan terhadap fermentabilitas ransum yang
mengandung hidrolisat limbah udang pada domba, disajikan pada Tabel 9. Nilai pH cairan rumen merupakan kondisi yang diperlukan agar proses fermentasi dapat berjalan normal.
Penggunaan hidrolisat limbah udang dalam ransum tidak
mempengaruhi nilai pH cairan rumen. Pada penelitian ini ransum disusun sama dengan kadar PK sebesar 14.7%, sehingga tidak menunjukkan perbedaan nilai pH. Hal ini sesuai dengan pendapat bahwa ada perbedaan nilai pH dari ransum yang berkadar protein rendah dengan tinggi (14% vs 18%) (Ipharaguerre et al. 2005). Nilai pH cairan rumen masih dalam kisaran normal untuk mendukung biofermentasi mikroba. Bila nilai pH lebih besar dari 6, aktivitas mikroba rumen menjadi terganggu (McAllister et al. 1994). Ketersediaan N-NH3 sebagai sumber N pada sintesis protein mikroba menjadi sangat penting untuk diperhatikan.
Kadar N-NH3 berkisar antara
4.85 mM - 12.89 m. Nilai ini senada dengan pendapat sebelumnya bahwa kadar N-NH3 dalam rumen bervariasi dari 4 - 14 mM (Satter dan Slyter 1974; Sutardi 1979; Leng 1991). Jika kadar N-NH3 dalam rumen kurang dari 4 mM akan mengganggu kehidupan mikroba rumen (Satter dan Slyter 1974; Sutardi 1979) dan kadar N-NH3 yang lebih besar dari 14 mM sudah tidak lagi mendukung sintesis mikroba rumen (Leng 1991). Penggunaan hidrolisat limbah udang dalam ransum menghasilkan kadar N-NH3 yang semakin menurun dengan meningkatnya taraf dalam ransum. Hal ini sejalan juga dengan nilai kecernaan PK (Tabel 8), dimana nilai kecernaan semakin menurun dengan meningkatnya taraf penggunaan hidrolisat limbah udang.
Meningkatnya penggunaan hidrolisat limbah udang
52
menghasilkan ketersediaan protein lebih sedikit yang dapat didegradasi oleh mikroba rumen untuk menghasilkan NH3. Namun disisi lain, sebagian protein ransum yang sulit dicerna di dalam rumen (by pass) juga memiliki kecernaan pascarumen yang rendah sehingga pada akhirnya menurunkan kecernaan total protein ransum. Tabel 9 Rataan produk fermentasi rumen dan alantoin urin pada domba lokal jantan yang diberi ransum mengandung limbah udang Taraf hidrolisat limbah udang dalam ransum 0% 10% 20% 30% pH rumen 6.52 ± 0.32 6.54 ± 0.29 6.59 ± 0.30 6.66 ± 0.34 VFA (mM) 126.59a ± 6.11 116.98ab ± 8.56 110.97b ± 5.17 89.45c ± 4.64 a b c N-NH3 (mM) 12.89 ± 0.58 9.34 ± 0.38 7.05 ± 0.35 4.85d ± 0.24 Alantoin urin (g/e/h) 1.27 ± 0.09 1.24 ± 0.10 1.19 ± 0.07 1.12 ± 0.07 Keterangan: Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0.01) berdasarkan uji jarak berganda Duncan. Peubah
Ketersediaan energi dalam bentuk VFA di dalam rumen semakin menurun (P<0,01) dengan meningkatnya taraf penggunaan hidrolisat limbah udang. Keadaan ini didukung oleh kecukupan N-NH3 dalam mendukung biofermentasi di dalam rumen sehingga produk fermentasi VFA menurun. Produk metabolisme protein mikroba dalam bentuk alantoin urine sedikit menurun, sehingga efektivitas fermentasi di dalam rumen menurun sebagaimana terlihat dari VFA yang dihasilkan.
Jumlah alantoin urine pada penelitian ini lebih tinggi dari yang
dilaporkan Zain et al. (2008) yaitu sebesar 49 - 73 mg/h. Retensi Nitrogen, Pertumbuhan dan Konversi Ransum pada Domba Menurunnya kecernaan protein ransum pada penggunaan hidrolisat limbah udang pada Tabel 8 menghasilkan jumlah retensi N yang tidak berbeda di antara semua ransum. Taraf penggunaan hidrolisat limbah udang yang semakin besar tidak mempengaruhi jumlah N yang teretensi. Hal ini menggambarkan bahwa sejumlah protein yang tidak tercerna di dalam rumen juga kurang dapat dicerna di dalam pencernaan pascarumen, sehingga jumlah N yang tertinggal di dalam tubuh sama untuk semua taraf penambahan hidrolisat limbah udang. Hidrolisat limbah udang pada penelitian ini memiliki kecernaan yang rendah yaitu kecernaan fermentatif sebesar 31.89% dan enzimatis sebesar 27.19% (Tabel 5). Data neraca
53
nitogen (Tabel 10) menunjukkan bahwa konsumsi N yang ditingkatkan dengan semakin meningkatnya taraf hidrolisat limbah udang diikuti dengan meningkatnya jumlah N yang dibuang lewat feses. Keadaan ini menggambarkan bahwa protein yang by pass dari rumen memiliki kecernaan pascarumen yang rendah. Sementara itu sejumlah protein dengan kelarutan tinggi dalam rumen tidak seluruhnya dimanfaatkan untuk biosintesis mikroba rumen, sebagian besar dibuang lewat urine dalam bentuk urea. Sebagai konsekuensinya jumlah N yang teretensi menjadi tidak berbeda untuk semua taraf hidrolisat limbah udang. Nilai retensi N berkisar antara 8.19 - 8.41 g/e/h mampu mendukung pertumbuhan sebesar 88.24 - 113.24 g/h pada domba lokal jantan muda. Nilai retensi N yang dihasilkan pada penelitian ini sebanding dengan yang dilaporkan oleh Zain et al. (2008) sebesar 8.56 g/e/h pada domba lokal muda yang diberi ransum kontrol berupa rumput dan konsentrat.
Sebaliknya kecernaan N yang tinggi belum
menjamin besarnya manfaat N tersebut bagi
tubuh, karena dipengaruhi oleh
metabolisme protein di dalam sel. Semakin tinggi produk metabolit yang dibuang lewat urin menunjukkan bahwa nilai manfaat protein rendah.
Seperti yang
dilaporkan oleh Ipharraguerre dan Clark (2005) bahwa meningkatnya taraf protein ransum dari rendah menjadi tinggi menghasilkan konsumsi N dan jumlah N yang diekskresikan melalui feses dan urin yang tinggi pula. Tabel 10 Neraca nitrogen pada domba lokal jantan yang diberi ransum mengandung limbah udang Taraf hidrolisat limbah udang dalam ransum 0% 10% 20% 30% N Konsumsi 24.13bc ± 2.57 21.41c ± 1.10 26.35ab ± 1.98 27.48a ± 1.57 N Feses 4.31b ± 0.49 5.52b ± 0.38 8.52a ± 1.10 9.60a ± 1.68 a b ab 11.56 ± 2.29 7.71 ± 1.08 9.42 ± 0.69 9.55ab ± 0.40 N Urin 8.27 ± 1.17 8.19 ± 0.99 8.41 ± 1.54 8.33 ± 1.01 Retensi N (g/e/h) Keterangan: Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0.01) berdasarkan uji jarak berganda Duncan. N=nitrogen Peubah
Bobot potong dan pertambahan bobot hidup (PBH) terkait dengan pertumbuhan domba lokal jantan. Rataan bobot potong dan PBH (Tabel 11) memperlihatkan bahwa sampai taraf 20% hidrolisat limbah udang dalam ransum tidak memberikan perbedaan, tetapi berbeda (P<0.01) lebih tinggi dibandingkan dengan taraf 30%. Walau demikian, PBH terlihat ada kecenderungan menurun
54
seiring dengan meningkatnya taraf hidrolisat limbah udang dalam ransum. Penggunaan hidrolisat limbah udang hingga taraf 20% mampu menggantikan penggunaan bungkil kedelai dalam ransum domba dengan ditunjukkan oleh PBH yang tidak berbeda dengan ransum kontrolnya (108.47, 110.35 vs 113.24 g/e/h). Ransum dengan sumber protein hidrolisat limbah udang belum mampu meningkatkan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan ransum kontrol dengan sumber protein bungkil kedelai. Hal ini terkait dengan semakin meningkatnya kadar kitin dalam ransum sehingga kecernaan energi dan LK ransum semakin menurun. Oleh karena kitin mampu mengikat lemak dalam proses penghambatan absorbsi lemak sehingga lemak akan terikat oleh kitin menjadi senyawa yang tidak dapat diabsorbsi. Menurunnya PBH bisa jadi karena menurunnya deposit lemak, sementara deposit protein ke dalam jaringan otot meningkat sehingga akan meningkatkan jaringan otot/urat daging yang dihasilkan.
Ali et al. (2009)
mengemukakan bahwa meningkatnya protein by pass dalam ransum akan meningkatkan pasokan asam amino ke dalam usus halus. Ketersediaan asam amino ini selanjutnya digunakan oleh ternak untuk pertumbuhan. Tabel 11 Rataan bobot awal, bobot potong, pertambahan bobot hidup, dan konversi ransum pada domba lokal jantan yang diberi ransum mengandung limbah udang Taraf hidrolisat limbah udang dalam ransum 0% 10% 20% 30% Bobot awal (kg) 14.88 ± 0.47 15.25 ± 0.53 15.23 ± 0.52 15.38 ± 0.48 Bobot potong (kg) 24.50a ± 0.76 24.45a ± 0.72 24.58a ± 0.79 22.83b ± 0.61 a a a PBH (g/e/h) 113.24 ± 5.58 108.47 ± 7.24 110.35 ± 7.39 88.24b ± 4.96 b b b Konversi ransum 7.96 ± 0.75 8.82 ± 0.69 9.17 ± 0.71 11.08 a ± 0.84 Keterangan: Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0.01) berdasarkan uji jarak berganda Duncan. PBH=pertambahan bobot hidup PEUBAH
Bobot potong pada penelitian ini masing-masing untuk perlakuan taraf 0, 10, 20, dan 30% hidrolisat limbah udang dalam ransum yaitu 24.50, 24.45, 24.58, dan 22.83 kg, sesuai yang dilaporkan oleh Sabrani dan Levine (1993) bahwa bobot hidup tertinggi untuk domba lokal jantan adalah 25 kg. Pertambahan bobot hidup domba lokal jantan pada penelitian ini yaitu 113.24, 108.47, 110.35, dan 88.24 g/e/h masing-masing untuk perlakuan taraf 0, 10, 20, dan 30% hidrolisat limbah udang dalam ransum. Hal ini masih dalam kisaran pertambahan bobot
55
hidup domba lokal yang dilaporkan oleh Yamin et al. (2009) yaitu 54 - 174 g/e/h. Namun, sedikit lebih baik jika dibandingkan dengan hasil penelitian Joseph (2007) pada domba lokal jantan yang mendapat suplementasi sabun kalsium 5 dan 10% yaitu 104.0 dan 106.29 g/e/h. Hasil penelitian ini, juga lebih baik jika dibandingkan dengan hasil penelitian Rachmadi (2003), Kaunang (2004), dan Uhi (2005) masing-masing mendapatkan PBH tertinggi domba lokal jantan muda yaitu 54.97, 61.00, dan 75.59 g/e/h. Nilai konversi ransum mencerminkan tingkat efisiensi penggunaan ransum. Semakin kecil nilainya berarti efisiensi penggunaan ransum semakin baik. Hidrolisat limbah udang sebagai sumber protein by pass dan sumber kitin sampai penggunaan 20% dalam ransum juga menghasilkan efisiensi yang tidak berbeda dengan ransum kontrol. Nilai konversi yang semakin meningkat menunjukkan penggunaan hidrolisat limbah udang sebagai sumber protein by pass belum dimanfaatkan secara optimal oleh ternak untuk pertumbuhannya. Berbeda dengan laporan Can et al. (2004) bahwa penggunaan ransum dengan kadar PK 16% ditambah 5% protein by pass mampu meningkatkan konsumsi dan efisiensi penggunaan ransum pada domba. Nilai rataan konversi ransum (F/G) pada domba lokal jantan berkisar antara 7.96 - 11.08 (Tabel 11). Nilai ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai konversi ransum ideal untuk domba yang diberi bijibijian yaitu 7-8 (Speedy 1980). Hal ini mungkin disebabkan oleh jenis domba, perbedaan bentuk ransum, dan sumber biji-bijian yang digunakan. Bentuk ransum yang digunakan dalam penelitian ini berupa pelet. Selain itu, juga disebabkan oleh kecernaan ransum yang menurun akibat semakin meningkatnya taraf hidrolisat limbah udang dalam ransum. Sifat dan Komposisi Karkas pada Domba Bobot karkas adalah bobot hidup setelah dikurangi bobot saluran pencernaan, darah, kepala, kulit dan keempat kaki mulai dari persendian carpus atau tarsus ke bawah (Berg dan Butterfield 1976). Rataan bobot tubuh kosong, bobot karkas segar, persentase karkas segar, dan luas urat daging mata rusuk (udamaru) pada domba lokal jantan disajikan pada Tabel 12.
56
Tabel 12 Rataan bobot tubuh kosong, bobot karkas segar, persentase karkas segar, dan luas urat daging mata rusuk pada domba lokal jantan yang diberi ransum mengandung limbah udang Taraf hidrolisat limbah udang dalam ransum 0% 10% 20% 30% Bobot tubuh kosong (kg) 20.63a ± 0.58 21.21a ± 0.61 20.86a ± 0.54 18.37b ± 0.50 Bobot karkas segar (kg) 11.72a ± 0.34 11.72a ± 0.36 11.75a ± 0.37 10.17b ± 0.30 * 56.81 ± 0.43 55.25 ± 0.25 56.31 ± 0.64 55.36 ± 1.66 Persentase karkas segar (%) 10.90 ± 1.39 11.20 ± 1.77 11.92 ± 2.10 9.13 ± 1.78 Luas udamaru (cm2) Keterangan: Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0.01) berdasarkan uji jarak berganda Duncan. *Berdasarkan bobot tubuh kosong. Luas udamaru=luas urat daging mata rusuk Peubah
Bobot tubuh kosong (empty body weight) dan bobot karkas segar antara taraf 0, 10, dan 20% hidrolisat limbah udang dalam ransum tidak memberikan perbedaan, tetapi berbeda lebih tinggi (P<0.01) dibandingkan dengan taraf 30%. Hal ini sejalan dengan bobot potong dan PBH karena pada taraf 30% hidrolisat limbah udang dalam ransum sudah tidak mampu mencukupi nutrien yang dibutuhkan oleh ternak untuk bertumbuh sebagaimana yang terlihat pada kecernaan nutrien ransum (Tabel 8) yang semakin menurun.
Namun secara
persentase berdasarkan bobot tubuh kosong, karkas tidak berbeda (P>0.05) diantara taraf limbah udang dalam ransum. Hal ini disebabkan oleh rendahnya bobot tubuh kosong pada taraf 30% hidrolisat limbah udang dalam ransum dan perbedaan bobot komponen non-karkas.
Berg dan Butterfield (1976)
mengemukakan bahwa persentase karkas dipengaruhi oleh bobot karkas, bobot ternak, bangsa ternak, proporsi bagian-bagian non karkas, ransum yang diberikan dan cara pemotongan.
Gambar 10 Karkas segar bagian luar dan dalam domba lokal jantan.
57
Rataan persentase karkas segar berdasarkan bobot tubuh kosong pada penelitian ini masing-masing pada taraf 0, 10, 20, dan 30% hidrolisat limbah udang dalam ransum yaitu 56.81, 55.25, 56.31, dan 55.36%. Hasil ini masih dalam kisaran persentase karkas domba lokal yang dilaporkan oleh Amsar et al. (1984) yaitu 47.5 - 60%. Hal ini berarti bahwa penggunaan hidrolisat limbah udang sampai taraf 30% dalam ransum, secara umum masih bagus.
Jika
dibandingkan dengan penggunaan ransum konsentrat yang mengandung bungkil inti sawit 45%, dengan lama penggemukan sembilan minggu pada domba lokal, dimana persentase karkas tertinggi dan terendah yaitu 49.68% dan 48.36% (Rachmadi 2003), maka penggunaan hidrolisat limbah udang jauh lebih bagus. Rataan luas urat daging mata rusuk (udamaru) pada penelitian ini secara berurut dari perlakuan taraf 0, 10, 20, dan 30% hidrolisat limbah udang dalam ransum yaitu 10.90, 11.20, 11.92, dan 9.13 cm2 (Tabel 12). Penggunaan hidrolisat limbah udang dengan taraf yang berbeda dalam ransum, tidak menyebabkan perbedaan (P>0.05) terhadap luas udamaru. Luas udamaru tersebut sebanding yang dilaporkan oleh Rachmadi (2003), bahwa luas urat daging mata rusuk domba lokal jantan yang digemukkan 9 minggu menggunakan ransum konsentrat yang mengandung bungkil inti sawit 45% yaitu 11.27, 11.50, dan 9.88 cm2. Namun demikian, dilihat dari nilai luas udamaru pada perlakuan taraf 10 dan 20% lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan 0 dan 30%.
Hal ini mengindikasikan
bahwa proporsi urat daging karkas pada perlakuan 10 dan 20% lebih banyak daripada perlakuan 0 dan 30%. Luas urat daging mata rusuk digunakan untuk menentukan besarnya proporsi urat daging karkas. Makin luas urat daging mata rusuk berarti makin besar proporsi urat daging karkas (Romans et al. 1994). Komponen utama karkas terdiri dari jaringan otot (daging), tulang, dan lemak (Soeparno 2005). Rataan bobot dan persentase daging, tulang, dan lemak, serta rasio daging dengan lemak pada karkas kanan domba lokal jantan yang diberi ransum mengandung limbah udang disajikan pada Tabel 13. Bobot daging antara perlakuan taraf 10 dan 20% hidrolisat limbah udang dalam ransum tidak berbeda, tetapi berbeda lebih tinggi (P<0.01) dibandingkan dengan taraf 0 dan 30%, begitu juga antara 0 dengan 30%. Hal ini sejalan dengan luas udamaru (Tabel 12). Tingginya bobot daging pada perlakuan taraf 10 dan
58
20% hidrolisat limbah udang dalam ransum diduga disebabkan oleh komposisi kimia ransum yang seimbang untuk perkembangan jaringan otot/urat daging pada kedua perlakuan tersebut.
Soeparno (2005) mengemukakan bahwa diantara
individu di dalam suatu bangsa terdapat perbedaan respon terhadap nutrisi. Perbedaan respon tersebut menyebabkan adanya perbedaan kadar laju pertumbuhan, dimana komposisi kimia pakan mempunyai pengaruh yang besar. Tabel 13 Rataan bobot dan persentase daging, tulang, dan lemak, serta rasio daging dengan lemak pada karkas kanan domba lokal jantan yang diberi ransum mengandung limbah udang Taraf hidrolisat limbah udang dalam ransum 0% 10% 20% 30% Bobot daging (kg) 3.06b ± 0.11 3.29a ± 0.12 3.35a ± 0.12 2.83c ± 0.11 Bobot tulang (kg) 1.22a ± 0.04 1.23 a ± 0.04 1.24a ± 0.04 1.10b ± 0.04 a b b 1.02 ± 0.03 0.89 ± 0.03 0.89 ± 0.03 0.73c ± 0.02 Bobot lemak (kg)* b a a 57.76 ± 0.64 60.77 ± 0.52 61.14 ± 0.52 60.59a ± 0.46 Persentase daging (%) b b b 23.00 ± 0.44 22.74 ± 0.20 22.55 ± 0.60 23.79a ± 0.30 Persentase tulang (%) a b b 19.24 ± 0.25 16.50 ± 0.33 16.32 ± 0.08 15.62c ± 0.23 Persentase lemak (%) c b b 3.01 ± 0.07 3.69 ± 0.11 3.75 ± 0.02 3.88a ± 0.07 Rasio daging dengan lemak Keterangan: Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0.01) berdasarkan uji jarak berganda Duncan. *hasil trim lemak Peubah
Bobot tulang di antara perlakuan taraf 0, 10, dan 20% hidrolisat limbah udang dalam ransum tidak berbeda, tetapi berbeda lebih tinggi (P<0.01) dibandingkan dengan perlakuan taraf 30%.
Rendahnya bobot tulang pada
perlakuan taraf 30% hidrolisat limbah udang dalam ransum disebabkan oleh menurunnya kecernaan BK (Tabel 8) dan rendahnya bobot tubuh kosong (Tabel 12). Disisi lain, ketiga komponen utama karkas, tulang sebagai kerangka tubuh, merupakan komponen karkas yang tumbuh dan berkembang paling dini, kemudian disusul oleh otot dan yang paling akhir oleh jaringan lemak (Soeparno 2005). Bobot lemak antara perlakuan taraf 10 dan 20% hidrolisat limbah udang dalam ransum tidak berbeda, tetapi berbeda lebih rendah (P<0.01) dibandingkan dengan taraf 0% dan lebih tinggi (P<0.01) dengan taraf 30%. Perbedaan tersebut disebabkan oleh hidrolisat limbah udang dalam ransum terutama kitin yang semakin meningkat. Kitin mampu mengikat lemak dalam proses penghambatan absorbsi lemak, sehingga lemak akan terikat oleh kitin menjadi senyawa yang tidak dapat diabsorbsi dan diekskresikan bersama feses. Pada akhirnya, deposisi
59
lemak semakin menurun seiring dengan meningkatnya kitin dalam ransum. Selain itu, juga disebabkan oleh kecernaan energi ransum yang semakin menurun (Tabel 8) karena perlemakan karkas dipengaruhi oleh energi ransum (Ouhayoun 1998).
Gambar 11 Karkas kanan bagian luar dan dalam domba lokal jantan. Rasio daging dengan lemak adalah hasil pembagian antara bobot daging dengan bobot lemak.
Nilai rasio daging dengan lemak secara berurut dari
perlakuan taraf 0, 10, 20, dan 30% hidrolisat limbah udang dalam ransum yaitu 3.01, 3.69, 3.75, dan 3.88 (Tabel 13). Rasio daging dengan lemak dipengaruhi oleh perlakuan taraf hidrolisat limbah udang dalam ransum. Tingginya rasio daging dengan lemak pada perlakuan taraf 30% hidrolisat limbah udang dalam ransum, disebabkan oleh rendahnya lemak pada perlakuan tersebut. Hal ini terjadi karena meningkatnya kitin seiring dengan meningkatnya taraf hidrolisat limbah udang. Kitin dalam pencernaan pascarumen mengikat lemak menjadi senyawa yang tidak dapat diabsorbsi dan diekskresikan bersama feses. Pada akhirnya, deposisi lemak semakin menurun, sehingga menyebabkan rasio daging dengan lemak menjadi tinggi. Distribusi Daging pada Potongan Komersial Karkas Domba Rataan distribusi daging potongan komersial karkas kanan domba lokal jantan disajikan pada Tabel 14.
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa
penggunaan hidrolisat limbah udang dengan taraf yang berbeda dalam ransum, tidak menyebabkan perbedaan (P>0.05) terhadap potongan komersial karkas, kecuali distribusi daging potongan leg. Distribusi daging potongan komersial karkas kanan pada perlakuan taraf 0 dan 10% hidrolisat limbah udang dalam ransum tidak berbeda, begitu pula
60
antara 0% dengan 30%, dan 10% dengan 20%, tetapi 20% berbeda lebih tinggi (P<0.01) dari perlakuan taraf 0 dan 30%. Hal ini disebabkan oleh potongan leg yang masak dini, sehingga mempunyai kecepatan pertumbuhan yang tinggi. Akan tetapi pada perlakuan taraf 30% hidrolisat limbah udang dalam ransum tidak didukung oleh kecukupan nutrien untuk perkembangan jaringan otot/daging akibat menurunnya kecernaan nutrien ransum, terutama energi dan protein (Tabel 8). Tabel 14 Rataan distribusi daging pada potongan komersial karkas kanan domba lokal jantan yang diberi ransum mengandung limbah udang Taraf hidrolisat limbah udang dalam ransum 0% 10% 20% 30% Leg (g) 1070.63bc ± 19.83 1092.10ab ± 60.10 1165.93a ± 54.48 998.05c ± 59.42 Loin (g) 228.70 ± 38.98 246.03 ± 33.88 257.85 ± 51.71 211.38 ± 22.43 Rack (g) 226.75 ± 37.62 287.18 ± 29.07 290.95 ± 45.88 242.63 ± 46.35 Breast (g) 269.70 ± 51.93 289.90 ± 43.22 292.43 ± 25.69 225.40 ± 63.70 Shoulder (g) 860.58 ± 162.37 933.35 ± 94.18 939.43 ± 108.08 745.15 ± 146.60 Foreshank (g) 246.55 ± 30.40 245.50 ± 37.05 246.88 ± 25.23 241.20 ± 43.45 158.78 ± 31.18 197.03 ± 29.65 157.90 ± 14.14 167.75 ± 36.70 Flank (g) Keterangan: Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.01) berdasarkan uji jarak berganda Duncan. Peubah
Gambar 12 Potongan komersial karkas kanan domba lokal jantan: shoulder (A), rack (B), loin (C), leg (D), flank (E), breast (F), dan foreshank (G). Distribusi Tulang pada Potongan Komersial Karkas Domba Rataan distribusi tulang potongan komersial karkas kanan domba lokal jantan disajikan pada Tabel 15.
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa
penggunaan hidrolisat limbah udang dengan taraf yang berbeda dalam ransum, tidak menyebabkan perbedaan (P>0.05) terhadap potongan komersial karkas, kecuali distribusi tulang potongan breast. Distribusi tulang potongan breast semakin menurun seiring meningkatnya taraf hidrolisat limbah udang dalam ransum. Hal ini disebabkan oleh kecernaan
61
nutrien ransum yang semakin menurun (Tabel 8), seiring meningkatnya taraf hidrolisat limbah udang dalam ransum. Tabel 15 Rataan distribusi tulang pada potongan komersial karkas kanan domba lokal jantan yang diberi ransum mengandung limbah udang Taraf hidrolisat limbah udang dalam ransum 0% 10% 20% 30% Leg (g) 358.63 ± 35.79 374.93 ± 22.69 350.50 ± 62.32 338.58 ± 20.81 Loin (g) 123.13 ± 59.64 134.43 ± 41.39 137.33 ± 79.23 112.10 ± 62.07 Rack (g) 145.40 ± 27.41 140.23 ± 34.26 168.00 ± 49.18 144.28 ± 28.68 144.10a ± 14.09 124.43ab ± 29.18 105.10b ± 18.17 93.18b ± 13.55 Breast (g) 305.53 ± 52.63 354.38 ± 47.09 356.33 ± 35.75 293.33 ± 71.30 Shoulder (g) Foreshank (g) 142.05 ± 18.87 102.75 ± 6.57 118.20 ± 20.24 121.90 ± 34.94 0.00 ± 0.00 0.00 ± 0.00 0.00 ± 0.00 0.00 ± 0.00 Flank (g) Keterangan: Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05) berdasarkan uji jarak berganda Duncan. Peubah
Distribusi Lemak pada Potongan Komersial Karkas Domba Rataan distribusi lemak potongan komersial karkas kanan domba lokal jantan disajikan pada Tabel 16.
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa
penggunaan hidrolisat limbah udang dengan taraf yang berbeda dalam ransum, tidak menyebabkan perbedaan (P>0.05) terhadap potongan komersial karkas, kecuali distribusi lemak potongan breast. Tabel 16 Rataan distribusi lemak pada potongan komersial karkas kanan domba lokal jantan yang diberi ransum mengandung limbah udang Taraf hidrolisat limbah udang dalam ransum 0% 10% 20% 30% Leg (g) 212.48 ± 46.63 171.83 ± 15.57 180.30 ± 54.31 133.43 ± 38.81 Loin (g) 118.43 ± 58.43 108.93 ± 54.64 85.48 ± 25.48 78.78 ± 31.67 Rack (g) 132.33 ± 42.16 125.68 ± 37.95 124.48 ± 5.76 96.53 ± 31.59 181.23a ± 37.76 158.55ab ± 24.40 126.40bc ± 31.40 104.80c ± 24.96 Breast (g) 207.03 ± 78.63 164.60 ± 100.26 214.53 ± 57.20 165.80 ± 31.38 Shoulder (g) Foreshank (g) 71.43 ± 11.51 69.33 ± 22.37 50.38 ± 8.38 66.28 ± 35.67 96.80 ± 39.36 94.15 ± 20.36 112.93 ± 45.38 84.85 ± 27.36 Flank (g) Keterangan: Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05) berdasarkan uji jarak berganda Duncan. Peubah
Distribusi lemak potongan breast pada penelitian ini semakin menurun seiring meningkatnya taraf hidrolisat limbah udang dalam ransum.
Hal ini
disebabkan oleh kitin yang semakin meningkat seiring meningkatnya taraf hidrolisat limbah udang dalam ransum.
Kitin dalam pencernaan pascarumen
62
mengikat lemak menjadi senyawa yang tidak dapat diabsorbsi dan diekskresikan bersama feses. Pada akhirnya, deposisi lemak semakin menurun. Selain itu, juga disebabkan oleh kecernaan energi ransum yang semakin menurun (Tabel 8) karena perlemakan karkas dipengaruhi oleh energi ransum (Ouhayoun 1998). Sifat Fisik Daging Domba Sifat fisik daging seperti keempukan (tenderness), hilangnya air selama perebusan atau susut masak (cooking loss), daya mengikat air oleh protein daging (water holding capacity; WHC), dan pH daging menentukan kualitas atau mutu daging. Rataan pH, keempukan, susut masak, dan daya mengikat air oleh protein daging pada domba lokal jantan yang diberi ransum mengandung limbah udang disajikan pada Tabel 17. Penggunaan limbah udang dengan taraf yang berbeda dalam ransum domba lokal jantan tidak berpengaruh (P>0,05) terhadap pH, keempukan, susut masak, dan daya mengikat air oleh protein daging pada domba lokal jantan. Hal ini disebabkan oleh umur domba yang masih muda (kurang dari setahun). Tabel 17 Rataan pH, keempukan, susut masak, dan daya mengikat air daging domba lokal jantan yang diberi ransum mengandung limbah udang Peubah pH Keempukan (kg/cm2) Susut masak (%) Daya mengikat air (% mgH2O)
Taraf hidrolisat limbah udang dalam ransum 0% 10% 20% 30% 5.50 ± 0.17 5.64 ± 0.09 5.64 ± 0.05 5.69 ± 0.17 1.74 ± 1.33 2.20 ± 0.41 2.02 ± 0.59 1.83 ± 0.73 34.82 ± 4.47 35.23 ± 1.89 35.45 ± 0.99 31.41 ± 2.48 36.29 ± 9.71 37.53 ± 4.01 36.40 ± 5.98 43.03 ± 6.70
Sifat Kimia Daging Domba Sifat kimia daging yang dimaksud pada penelitian ini adalah kadar trigliserida, kadar kolesterol total, dan bilangan iodium. Rataan kadar trigliserida, bilangan iodium, dan kadar kolesterol total pada daging domba lokal jantan yang diberi ransum mengandung limbah udang disajikan pada Tabel 18. Penggunaan limbah udang dengan taraf yang berbeda dalam ransum domba lokal jantan berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap kadar trigliserida, bilangan iodium, dan kolesterol total daging (Tabel 18).
63
Kadar trigliserida daging pada penelitian ini menurun seiring meningkatnya taraf hidrolisat limbah udang dalam ransum (Tabel 18). Hal ini selaras dengan bobot lemak (Tabel 13) karena lemak yang dideposit dalam otot/daging sebagai cadangan energi dalam bentuk trigliserida. Menurunnya kadar trigliserida daging dengan meningkatnya taraf hidrolisat limbah udang dalam ransum diakibatkan oleh kecernaan serat terutama ADF yang semakin menurun (Tabel 8). Hal ini terkait dengan kitin yang semakin meningkat seiring meningkatnya taraf hidrolisat limbah udang dalam ransum.
Kitin dalam pencernaan pascarumen mengikat
lemak menjadi senyawa yang tidak dapat diabsorbsi dan diekskresikan bersama feses. Selain itu, juga karena kecernaan energi ransum yang semakin menurun (Tabel 8). Penimbunan lemak dapat terjadi jika enegi yang dikonsumsi melebihi energi untuk metabolisme.
Lemak tersebut disimpan dalam jaringan adipose
sebagai cadangan energi dalam bentuk lemak murni bebas atau trigliserida (Soeparno 2005). Tabel 18 Rataan kadar trigliserida, bilangan iodium, dan kadar kolesterol total daging serta kadar kolesterol total feses pada domba lokal jantan yang diberi ransum mengandung limbah udang Taraf hidrolisat limbah udang dalam ransum 0% 10% 20% 30% 60.20a ± 6.13 44.88b ± 4.22 39.68bc ± 3.56 35.93c ± 3.42 14.24c ± 0.76 18.22b ± 0.80 19.01ab ± 0.87 19.98a ± 0.94
Peubah
Trigliserida (mg/100 g) Bilangan iodium Kolesterol total (mg/100 g): 17.13b ± 1.62 11.98c ± 1.15 7.33d ± 0.81 - Daging 21.53a ± 1.74 d c b 23.58 ± 0.94 28.58 ± 3.36 35.93 ± 3.19 43.13a ± 2.87 - Feses Keterangan: Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0.01) berdasarkan uji jarak berganda Duncan.
Bilangan iodium adalah banyaknya gram iodium yang dapat bereaksi dengan 100 gram asam lemak. bilangan
iodium.
Bilangan
Makin banyak ikatan rangkap, makin besar iodium
digunakan
untuk
ukuran
derajat
ketidakjenuhan. Semakin banyak iodium yang digunakan semakin tinggi derajat ketidakjenuhan. Karena setiap ikatan kembar dalam asam lemak akan bersatu dengan dua atom iodium (Apriyantono et al. 1989). Bilangan
iodium
pada
penelitian
ini
semakin
meningkat
seiring
meningkatnya taraf hidrolisat limbah udang dalam ransum (Tabel 18). Hal ini mungkin disebabkan oleh umur ternak yang masih muda atau belum mencapai
64
tingkat dewasa sehingga lemak masih cair dan deposisi lemak intermuskuler dan intramuskuler masih sedikit. Disamping itu, mungkin juga pengaruh kitin yang terdapat dalam ransum.
Kitin berfungsi mengikat lemak dan diekskresikan
bersama feses. Kadar kolesterol total daging pada penelitian ini menurun seiring meningkatnya taraf hidrolisat limbah udang dalam ransum (Tabel 18). Hal ini selaras dengan kadar trigliserida daging yang disebabkan oleh kitin yang semakin meningkat seiring meningkatnya taraf hidrolisat limbah udang dalam ransum. Kitin dalam pencernaan pascarumen mengikat lemak menjadi senyawa yang tidak dapat diabsorbsi dan diekskresikan bersama feses. Terbukti pada kolesterol total feses yang semakin meningkat seiring meningkatnya taraf hidrolisat limbah udang dalam ransum (Gambar 13).
Gambar 13 Histogram kolesterol total daging dan feses. Aspek Ekonomis Ransum Perhitungan ekonomis ransum dilakukan dengan menghitung income over feed cost (IOFC) yaitu selisih penerimaan dengan pengeluaran dan revenue cost ratio (R-C Ratio) yaitu perbandingan antara penerimaan dengan pengeluaran. Pada penelitian ini, penerimaan dihitung dari perkalian rataan PBH/ekor/hari dengan harga domba/kg BH, sedangkan pengeluaran dihitung dari perkalian rataan konsumsi BK/ekor/hari dengan harga ransum masing-masing domba percobaan. Nilai IOFC dan R-C ratio sangat tergantung pada harga bahan pakan
65
dan harga jual produk pada waktu tertentu. Pada Tabel 19 disajikan nilai IOFC dan R-C ratio setiap ransum penelitian yang dihitung dengan menggunakan koefisien harga pada Desember 2011 - Januari 2012. Nilai IOFC dan R-C ratio ransum antara perlakuan taraf 0% dan 10% hidrolisat limbah udang dalam ransum tidak berbeda, begitu pula antara perlakuan taraf 10% dan 20%, tetapi berbeda (P<0.01) lebih tinggi dengan ransum perlakuan taraf 30%. Hal ini berarti bahwa secara ekonomis penggunaan hidrolisat limbah udang dalam ransum yang paling menguntungkan hanya sampai taraf 10%. Tabel 19 Peubah aspek ekonomis ransum percobaan pada domba lokal jantan yang diberi ransum mengandung limbah udang Taraf hidrolisat limbah udang dalam ransum 0% 10% 20% 30% Harga ransum (Rp/kg) 2 703 2 623 2 582 2 574 IOFC (Rp/ekor/hari) 1 526a 1 346ab 1 261b 571c a ab b R-C Ratio 1.63 ± 0.07 1.55 ± 0.05 1.49 ± 0.07 1.23c ± 0.09 Keterangan: Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0.01) berdasarkan uji jarak berganda Duncan. IOFC=Income Over Feed Cost. R-C Ratio=Revenue Cost Ratio. Koefisien harga pakan pada bulan Desember 2011Januari 2012 (kg): bungkil kedelai = Rp. 7 500; hidrolisat tepung limbah udang = Rp. 3 500; tepung rumput lapang = Rp. 500; pollard = Rp. 2 600; jagung kuning = Rp. 3 800; onggok = Rp. 1 250; molases = Rp. 3 500; crude palm oil (CPO) = Rp. 7 500; urea = Rp. 3 000; garam = Rp. 1 500; kapur = Rp. 500; premix = Rp. 12 500. Harga jual domba = Rp. 35 000/kg bobot hidup Peubah
Pembahasan Umum Limbah udang terdiri atas kepala, ekor, dan kulit udang yang biasanya diperoleh dari pembuangan industri pengalengan dan pembekuan udang. Ditinjau dari kuantitas, limbah udang sangat potensial sebagai bahan pakan karena tersedia cukup banyak dan berkesinambungan. Produksi limbah udang pada tahun 2008 mencapai 164 500 sampai dengan 329 000 ton basah atau 41 010 sampai dengan 42 020 ton kering. Limbah udang mempunyai kandungan protein dan mineral yang cukup tinggi, yaitu protein kasar 41.9%, kalsium 15.30% dan kitin 17.0%. Kandungan protein limbah udang mendekati kandungan protein bungkil kedelai yaitu 45.6% dengan susunan asam amino yang lengkap. Namun, bila digunakan sebagai bahan pakan mempunyai faktor pembatas, yaitu adanya kitin yang berikatan kovalen (1-4) glikosidik dengan protein dan mineral, sehingga sulit
66
dicerna oleh enzim pencernaan pascarumen. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengolahan.
Metode pengolahan yang dilakukan adalah pengukusan (121ºC)
disertai tekanan (1 atm) menggunakan autoklaf dengan tujuan agar terjadi hidrolisis pada ikatan glikosidik limbah udang untuk meningkatkan kecernaannya serta melindungi protein dari fermentasi mikroorganisme rumen. Hasil pengolahan menggunakan autoklaf (suhu 121ºC dan tekanan 1 atm) selama 0, 3, 6, dan 9 jam menghasilkan hidrolisis limbah udang dengan kecernaan BK, BO, dan PK fermentatif yang semakin menurun, sebaliknya kecernaan BK, BO dan PK secara enzimatis meningkat. Secara total kecernaan BK dan PK dari hidrolisat limbah udang mampu ditingkatkan dengan pengolahan autoklaf. Adapun nilai kecernaan kitin baik secara fermentatif maupun enzimatis tidak dipengaruhi oleh lama pengolahan, walau demikian kecernaan total kitin sedikit menurun pada lama pengukusan 9 jam. Menurunnya kecernaan fermentatif BK, BO dan PK dari hidrolisat limbah udang menyebabkan penurunan pada produk VFA dan N-NH3. Bila limbah udang digunakan sebagai pakan sumber protein, maka hidrolisat limbah udang yang terbaik dihasilkan melalui pemanasan 6 jam karena lebih efisien dibandingkan dengan pengukusan 9 jam. Penggunaan hidrolisat limbah udang hasil pengolahan dengan autoklaf (suhu 121ºC dan tekanan 1 atm) selama 6 jam hingga taraf 30% dalam ransum domba lokal jantan menghasilkan konsumsi BK yang tidak berbeda (P>0.05) dibandingkan dengan kontrolnya maupun untuk semua taraf hidrolisat limbah udang dalam ransum. Konsumsi BK ransum yang tidak dipengaruhi oleh taraf penggunaan hidrolisat limbah udang menghasilkan konsumsi nutrien protein kasar (PK), lemak kasar (LK), energi, acid detergent fiber (ADF), neutral detergent fiber (NDF) dan energi yang tidak berbeda (Tabel 7).
Pada penelitian ini
diperoleh nilai konsumsi sebagai berikut: BK sebesar 901.79 - 1007.47 g/e/h, BO sebesar 684.93 - 696.06 g/e/h dan PK sebesar 155.51 - 165.48 g/e/h. Pemberian ransum dalam bentuk pelet tidak memberi kesempatan pada domba untuk memilih karena sudah menjadi satu kesatuan ransum komplit sehingga jumlah nutrien yang dikonsumsi juga relatif sama diantara semua ransum. Bentuk pelet dari ransum menghasilkan tingkat palatabilitas relatif sama dari semua ransum.
67
Nilai kecernaan nutrien BK, BO, PK, LK, energi, dan ADF sangat dipengaruhi (P<0.01) oleh taraf hidrolisat limbah udang (Tabel 8). Hidrolisat limbah udang yang digunakan dalam ransum memiliki kecernaan yang rendah sehingga dengan meningkatnya taraf penggunaan dalam ransum menghasilkan kecernaan yang semakin menurun pula. Nilai kecernaan BK in vitro hidrolisat limbah udang dengan pengukusan disertai tekanan selama 6 jam sebesar 63.96% sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa pengukusan disertai tekanan yaitu 59.02% (Tabel 5). Penggunaan hidrolisat limbah udang 10% sudah menghasilkan penurunan kecernaan PK, dan kecernaannya terus menurun dengan semakin meningkatnya taraf hidrolisat limbah udang di dalam ransum (Tabel 8) berturutturut dari kontrol adalah 82.17%, 70.25%, 67.99%, dan 64.79%.
Penurunan
kecernaan PK menghasilkan kadar N-NH3 yang semakin menurun pula. Hal ini menggambarkan bahwa protein dalam hidrolisat limbah udang sulit dicerna akibat pengukusan disertai tekanan dengan menggunakan autoklaf yang diduga akibat tingginya panas selama proses tersebut telah mempengaruhi protein terutama lisin dalam reaksi browning. Proses ini juga mengakibatkan ketersediaan protein yang dapat didegradasi oleh mikroba rumen untuk menghasilkan N-NH3 menjadi lebih sedikit. Kecukupan N-NH3 dalam mendukung biofermentasi di dalam rumen yang menurun menghasilkan produk fermentasi VFA menurun pula.
Produk
metabolisme protein mikroba dalam bentuk alantoin urine sedikit menurun, mengindikasi efektivitas fermentasi di dalam rumen menurun sebagaimana terlihat dari VFA yang dihasilkan. Terjadinya sedikit penurunan pada kecernaan lemak diikuti pula oleh menurunnya kecernaan energi ransum. Terlihat dengan jelas adanya pengaruh hidrolisat limbah udang terhadap penggunaan lemak ransum, dimana lemak yang ada dalam ransum diikat oleh senyawa kitin dari hidrolisat limbah udang menjadi sulit dicerna dan pada akhirnya kecernaan energinya menurun.
Disamping
disebabkan oleh adanya kitin, menurunnya kecernaan serat ADF maupun NDF turut mempengaruhi kecernaan lemak.
Kitin merupakan biopolimer yang
mempunyai kemampuan mengikat lemak 4-5 kali lipat dari beratnya sendiri (Vahoundy et al. 1983).
68
Hidrolisat limbah udang sebagai sumber protein, taraf penggunaannya yang semakin besar tidak mempengaruhi jumlah N yang teretensi. Data neraca N (Tabel 10) menunjukkan bahwa konsumsi N yang ditingkatkan dengan semakin meningkatnya taraf hidrolisat limbah udang diikuti dengan meningkatnya jumlah N yang dibuang lewat feses. Keadaan ini menggambarkan bahwa protein yang by pass dari rumen memiliki kecernaan pascarumen yang rendah. Sementara itu sejumlah protein dengan kelarutan tinggi dalam rumen tidak seluruhnya dimanfaatkan untuk biosintesis mikroba rumen, sebagian besar dibuang lewat urine dalam bentuk urea. Konsekuensinya, jumlah N yang teretensi menjadi tidak berbeda untuk semua taraf hidrolisat limbah udang. Nilai retensi N berkisar antara 8.19 - 8.41 g/e/h mampu mendukung pertumbuhan sebesar 88.24 - 113.24 g/h pada domba lokal jantan muda. Pertumbuhan domba mulai menurun pada taraf penggunaan hidrolisat limbah udang sebesar 30% dalam ransum. Pada taraf 20% tidak menunjukkan perbedaan dibandingkan dengan ransum kontrol dengan sumber protein bungkil kedelai.
Bila dikaitkan dengan efisiensi penggunaan
ransum untuk pertumbuhan, maka taraf penggunaan hidrolisat limbah udang sampai 20% masih setara dengan ransum kontrolnya. Respon terhadap bobot tubuh kosong dan bobot karkas segar dari penggunaan 0, 10, dan 20% hidrolisat limbah udang dalam ransum tidak memberikan perbedaan, tetapi berbeda lebih tinggi (P<0.01) dibandingkan dengan taraf 30%. Hal ini sejalan dengan bobot potong dan PBH karena pada taraf 30% hidrolisat limbah udang dalam ransum sudah tidak mampu mencukupi nutrien yang dibutuhkan oleh ternak untuk bertumbuh sebagaimana yang terlihat pada kecernaan nutrien ransum (Tabel 8) yang semakin menurun. Terhadap rataan persentase karkas segar dan luas urat daging mata rusuk (udamaru) semua taraf penggunaan hidrolisat limbah udang memberikan respon yang serupa. Dilihat dari nilai luas udamaru pada perlakuan taraf 10 dan 20% lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan 0 dan 30% memberikan gambaran bahwa proporsi urat daging karkas pada perlakuan 10 dan 20% lebih banyak daripada perlakuan 0 dan 30%. Bobot daging antara perlakuan taraf 10 dan 20% hidrolisat limbah udang dalam ransum tidak berbeda, tetapi berbeda lebih tinggi (P<0.01) dibandingkan dengan taraf 0 dan 30%, hal ini sejalan dengan luas udamaru.
69
Penggunaan hidrolisat limbah udang dengan taraf yang berbeda dalam ransum, tidak menyebabkan perbedaan (P>0.05) terhadap komposisi karkas potongan komersial, kecuali distribusi daging potongan leg dan distribusi tulang potongan breast. Distribusi lemak potongan breast pada penelitian ini semakin menurun seiring meningkatnya taraf hidrolisat limbah udang dalam ransum.
Hal ini
disebabkan oleh karena potongan breast yang masak dini, sehingga dipengaruhi oleh kitin yang semakin meningkat seiring meningkatnya taraf hidrolisat limbah udang dalam ransum.
Kitin dalam pencernaan pascarumen mengikat lemak
menjadi senyawa yang tidak dapat diabsorbsi dan diekskresikan bersama feses. Penggunaan limbah udang dengan taraf yang berbeda dalam ransum domba lokal jantan berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap kadar trigliserida, bilangan iodium, dan kolesterol total daging (Tabel 18). Kadar trigliserida daging pada penelitian ini menurun seiring meningkatnya taraf hidrolisat limbah udang dalam ransum (Tabel 18). Hal ini selaras dengan bobot lemak (Tabel 13) karena lemak yang dideposit dalam otot/daging sebagai cadangan energi dalam bentuk trigliserida. Menurunnya kadar trigliserida daging dengan meningkatnya taraf hidrolisat limbah udang dalam ransum diakibatkan oleh kecernaan serat terutama ADF yang semakin menurun (Tabel 8). Hal ini terkait dengan kitin yang semakin meningkat seiring meningkatnya taraf hidrolisat limbah udang dalam ransum. Kitin dalam pencernaan pascarumen mengikat lemak menjadi senyawa yang tidak dapat diabsorbsi dan diekskresikan bersama feses.
Selain itu, juga karena
kecernaan energi ransum ransum yang semakin menurun (Tabel 8). Penimbunan lemak dapat terjadi jika energi yang dikonsumsi melebihi energi untuk metabolisme. Kadar kolesterol total daging pada penelitian ini menurun seiring meningkatnya taraf hidrolisat limbah udang dalam ransum. Hal ini selaras dengan kadar trigliserida daging yang disebabkan oleh kitin yang semakin meningkat seiring meningkatnya taraf hidrolisat limbah udang dalam ransum. Kitin dalam pencernaan pascarumen mengikat lemak menjadi senyawa yang tidak dapat diabsorbsi dan diekskresikan bersama feses. Terbukti pada kolesterol total feses yang semakin meningkat seiring meningkatnya taraf hidrolisat limbah udang dalam ransum.
70
Berdasarkan nilai IOFC dan R-C ratio ransum, maka penggunaan hidrolisat limbah udang dalam ransum yang paling menguntungkan hanya sampai taraf 10%. Hasil ini dapat dijadikan dasar pemilihan ransum untuk diimplementasikan tanpa mengabaikan peubah lainnya yang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, seperti produksi daging dengan kandungan kolesterol yang rendah.
71
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1.
Pengolahan limbah udang dengan cara pengukusan pada suhu 121ºC disertai tekanan 1 atm menggunakan autoklaf sebaiknya dilakukan selama 6 jam.
2.
Penggunaan hidrolisat limbah udang dalam ransum domba lokal jantan mampu menurunkan bobot dan persentase lemak karkas, serta kadar kolesterol daging.
3.
Taraf terbaik penggunaan hidrolisat limbah udang dalam ransum domba yaitu 20%. Saran Perlu dilakukan penelitian pengolahan limbah udang pada berbagai suhu,
tekanan, dan lama (waktu) pengukusan.
Sebaiknya untuk uji in vivo
menggunakan hewan pecobaan pada bobot potong yang optimal, sehingga dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai peranan hidrolisat limbah udang dalam menurunkan kolesterol daging.
73
DAFTAR PUSTAKA Aberle ED et al. 2001. Principles of Meat Science. Ed ke-4. Iowa, USA: Kendall/Hunt. Adnan SA. 1994. Komposisi tubuh kambing kacang jantan yang diberi pakan dedak padi [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, IPB. [AFRIS] Animal Feed Resources Information System. 2000. Shrimp Waste. http://www.fao.org [28 Juni 2005]. Ali CS et al. 2009. Supplementation of ruminally protected protein and amino acid: feed consumption, digestion and performance of cattle and sheep. Int J Agric Biol 11: 477-482. Amsar, Natasasmita A, Sastradipradja Dj, Gurnadi RE, Parakkasi A. 1984. Komposisi karkas domba lokal priangan berdasarkan jenis kelamin dan bobot badan. Di dalam: Rangkuti M, Soedjana TjD, Knipscheer HC, Sitorus P, Setiadi A, editor. Domba dan Kambing di Indonesia. Prosiding Pertemuan Ilmiah Penelitian Ruminansia Kecil; Bogor, 22-23 Nov 1983. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. hlm 273-277. [AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1999. Methods of Analysis. Ed ke-16. Maryland, USA: AOAC International. Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati, Budiyanto S. 1989. Analisis Pangan. Bogor: PAU Pangan dan Gizi-IPB dan IPB Press. Arlius. 1991. Mempelajari ekstrak khitosan dari kulit udang dan pemanfaatannya sebagai bahan koagulan protein limbah pindang [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, IPB. Arora A. 2007. Kontrol Kolesterol. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia. Ashes JR, Siebert BD, Gulati SK, Cuthbertson AZ, Scott TW. 1992. Incorporation of n-3 fatty acids of fish oil into tissue and serum lipids of ruminant. Lipids 27: 629-631. Azwar A. 2004. Tubuh sehat ideal dari segi kesehatan [makalah seminar]. Disampaikan pada Seminar Kesehatan Obesitas, Senat Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat UI, di Kampus UI Depok. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehatan RI. Banerjee CC. 1978. A Texbook of Animal Nutrition. New Delhi: Oxford and OBH.
74 Bastaman S. 1989. Studies on degradation and extraction of chitin and chitosan from prown shess [thesis]. Belfast: The Departement of Mechanical Manufacturing Aeronautical and Chemical Engineering, The Quenn’ University. Batubara LP, Sanchez MD, Pond KR. 1993. Feeding of lambs with palm kernel cake and molasses. J Penel Pet Sungei Putih 1: 7-13. Batubara Z. 2000. Limbah udang sebagai sumber protein pintas rumen [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, IPB. Bauchart D, Legay-Carmier F, Ferlay A, Demeyer DI. 1990. Lipid metabolism of liquid-associated and solid-adherent bacteria in rumen contents of dairy cows offered lipid-supplemented diets. Br J Nutr 63: 563-578. Beermann DH, Hogue DE, Vishell VK, Dalrymple RHD, Ricks CA. 1986. Effects of cimaterol and fishmeal on performance, carcass characteristics and skeletal muscle growth in lambs. J Anim Sci 62: 370-375. Berg RT, Butterfield RM. 1976. New Concepts of Cattle Growth. Sydney: Sydney Univ Pr. Butterfield RM. 1988. New Concepts of Sheep Growth. Departement of Veterinary Anatomi, University of Sydney.
Sydney: The
Can A, Demek ND, Tufenk S. 2004. Effect of escape protein level on finishing performance of Awassi lambs. Small Rum Res 55: 215-219. Cheftel JC, Cuq JL, Lorient D. 1985. Amino acid, peptides, and protein. Di dalam: Fennema OR, editor. Food Chemistry. Ed ke-2. New York dan Basel: Marcel Dekker. Clark JH, Klusmeyer TH, Cameron MR. 1992. Microbial protein synthesis and flows of nitrogen fraction to the duodenum of dairy cattle. Symposium: Nitrogen metabolism and amino acid nutrition in dairy cattle. J Dairy Sci 75: 2304-2323. Church DC, Pond WG. 1982. Basic Animal Nutrition and Feeding. New York: J Wiley.
Ed ke-3.
Collier RJ. 1985. Nutritional metabolic and environmental aspects of lactation. Di dalam: Larson BL, editor. Lactation. Iowa: Iowa State Univ Pr. Crampton ED, Loyd LE, McDonald BE. 1978. Fundamentals of Nutrition. ke-2. San Fransisco: W.H. Freeman.
Ed
Czerkawski JW. 1986. An Introduction to Rumen Studies. New York: Pergamon Pr.
75 Dalimartha S. 2002. 36 Resep Tumbuhan Obat untuk Menurunkan Kolesterol. Cetakan ke-6. Jakarta: Penebar Swadaya. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2009. DKP Pacu Produksi Udang Nasional. http://www.dkp.go.id/index.php/ind/news/242/dkp-pacu-produksi Udang-nasional [09 Oktober 2009]. Devendra C, McLeroy GB. 1992. Sheep breeds. Di dalam: Goat and Sheep Production in The Tropic. England: Longman. hlm 9-11. Doreau M, Ferlay A. 1994. Digestion and utilization of fatty acids by ruminant. Anim Feed Sci Technol 45: 379-396. Edey TN. 1983. Lactation, growth and body composition. Di dalam: Edey TN, editor. Tropical Sheep and Goat Production. Canberra: AUIDP. hlm 83-110. Enser M. 1984. The chemistry, biochemistry, and nutritonal importance of animal fats. Di dalam: Animal Nutrition. Wiseman J, editor. London: Butterworths. Ensminger ME, Oldfield JE, Heinemann WW. California: Ensminger.
1990.
Feed and Nutrition.
Erwanto, Sutardi T, Sastradipradja D, Nur MA. 1993. Effects of amoniated zeolite on metabolic parameters of rumen microbes. Indones J Trop Agric 5 (1): 5-12. Forbes JM, France J. 1993. Quantitative Aspect of Ruminant Digestion and Metabolism. London: CABI. Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Ed ke-4. Srigandono B, Praseno K, penerjemah; Soedarsono, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada Univ Pr. Terjemahan dari: Animal Physiology and Anatomy. Gerson T, John A, Sinclair BR. 1983. The effect of dietary N in vitro lipolysis and fatty acid hydrogenation in rumen digesta from sheep rumen digestion. J Agric Sci (Cambridge) 101: 97-101. Girindra A. 1986. Biokimia I. Jakarta: PT Gramedia. Gurnadi RE. 1986. Dasar-dasar Ilmu dan Teknologi Daging. Bogor: Fapet IPB. Haddad SG, Mahmoud KZ, Talfaha HA. 2006. Effect of varying levels of dietary undegradable protein on nutrient intake, digestibility and growth perfomance of Awassi lambs fed on high wheat straw diets. Small Rum Res 58: 231-236.
76 Harfoot CC, Hazlewood GP. 1988. Lipid metabolism in rumen. Di dalam: Hobson PN, editor. The Rumen Microbial Ecosystem. London: Elsevier Science. Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Tillman AD. 1997. Tabel Komposisi Pakan untuk Indonesia. Cetakan ke-4. Yogyakarta: Gadjah Mada Univ Pr. Hawab HM. 2006. Toksisitas dan kendala penggunaan kitin dan kitosan pada bahan makanan dan makanan. Di dalam: Santoso J, Trilaksani W, Nurhayati T, Suseno SH, editor. Prospek Produksi dan Aplikasi Kitin-Kitosan sebagai Bahan Alami dalam Membangun Kesehatan Masyarakat dan Menjamin Keamanan Produk. Prosiding Seminar Nasional Kitin-Kitosan; Bogor, 16 Mar 2006. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. hlm 65-73. Herman R. 2005. Produksi karkas dan non karkas domba Priangan dan Ekor Gemuk pada bobot potong 17,5 da 25,0 kg. Med Pet 28: 8-12. Horigome, Sakaguchi BTE, Kishimoto C. 1992. Hypocholesterolemic effect of banana (Musa sapientum L.var Cavendishii) pulp in the rat fed on a cholesterol containing diet. Br J Nutr 68: 231-244. Hultin HO. 1985. Characteristics of muscle tissue. Di dalam: Fennema OR, editor. Food Chemistry. Ed ke-2. New York dan Basel: Marcel Dekker. Immig I, Van Nevel C, Demeyer DI. 1993. Lipolysis and hydrogenation of soybean oil in the rumen of sheep. Proc Soc Nutr Physiol. hlm 59-65. Ipharraguerre IR, Clark JH. 2005. Impact of source and amount of crude protein on the intestinal supplay nitrogen fractions and performance of dairy cows. J Dairy Sci 88 (E. Suppl.): E22-E37. Ipharraguerre IR, Clark JH, Freeman DE. 2005. Varying protein and starch in the diet of dairy cow. I. Effects on ruminal fermentation and intestinal supply of nutrient. J Dairy Sci 88: 2537-2555. Jenkins TC. 1993. Lipid metabolism in the rumen. J Dairy Sci 76: 3851-3863. Johnston RG. 1983. Introduction to Sheep Farming. London: Granada. Joseph G. 2007. Suplementasi sabun kalsium dalam pakan ternak ruminansia sebagai sumber energi alternatif untuk meningkatkan produksi daging yang berkualitas [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, IPB. Judge MD, Martin TG, Outhouse JB. 1989. Prediction of carcass compositon of ewe and wether lambs from carcass weight and measurement. J Anim Sci 25: 9-14
77 Kaunang CL. 2004. Respon ruminan terhadap pemberian hijauan pakan yang dipupuk air belerang [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, IPB. Kearl LC. 1982. Nutrient Requirements of Ruminants in Developing Countries. Logan Utah: International Feedstuffs Institute, Utah Agricultual Experiment Station, Utah State University. Lawrie RA. 2003. Ilmu Daging. Parakkasi A, penerjemah. Jakarta: UI Pr. Terjemahan dari: Meat Science. Lehninger AL. 1982. Dasar-dasar Biokimia. Jilid I. Thenawidjaja M, penerjemah. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Principles of Biochemistry. Leng RA. 1991. Aplication of Biotechnology to Nutrition of Animal in Developing Countries. Animal Production and Health Paper No. 90. Rome: Food and Agriculture organization of United Nation. Leng RA, Kempton TJ, Nolan JV. 1977. Non protein nitrogen and bypass protein in ruminant diets. AMRC 33: 1-21. Linder MC. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Parakkasi A, penerjemah. Jakarta: UI Pr. Terjemahan dari: Nutritional Biochemistry and Metabolism. Luts V, Kangro V, Koppel H. 1992. Quality of beef produced in Estonia. Proceeding 38th Int Cong Meat Sci Technol 5: 935-938. Mason IL. 1980. Prolific Tropical Sheep. Animal production and Health Paper. Rome: Food and Agriculture organization of United Nation. hlm 66. Mas’ud MS, Parakkasi A. 2009. Performa pertumbuhan tikus putih (Rattus norvegicus) yang diberi ransum berbagai taraf limbah udang. J Agripet 10 (2): 21-27. Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2000. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Bogor: IPB Pr. McAllister TA, Bae HD, Jones GA, Cheng KJ. 1994. Microbial attachment and feed digestion in the rumen. J Anim Sci 72: 3004-3018. McDonald P, Edward RA, Greenhalgh JFD, Morga CA. 2002. Animal Nutrition. Ed ke-6. New York: Longman Scientific and Technical, J Wiley. Merchen NR, Titgemeyer EC. 1992. Manipulation of amino acid supply to the growing ruminant. J Anim Sci 72: 32-38. Mertens DR. 1993. Rate and extent of digestion. Di dalam: Forbes JM, France J, editor. Quantitative Aspect of Ruminant Digestion and Metabolism. Canada: CABI.
78 Mirzah. 1997. Pengaruh pengolahan tepung limbah udang dengan tekanan uap panas terhadap kualitas dan pemanfaatannya dalam ransum ayam broiler [disertasi]. Bandung: Program Pascasarjana, Universitas Padjajaran. Mirzah. 2006. Efek pemanasan limbah udang yang direndam dalam air abu sekam terhadap kandungan nutrisi dan energi metabolis pakan. J Pet 3(2): 4754. Mirzah. 2007. Penggunaan tepung limbah udang yang diolah dengan filtrat air abu sekam dalam ransum ayam broiler. Med Pet 30(3): 189-197. Murray DM, Slezacek O. 1976. Growth rate and Its effect on empty body weight, carcass weight and dissection carcass composition of equally nature sheep. J Anim Agric (Canbridge) 87: 171-172. Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW. 1990. Lipids and metabolism of lipids: II. Role of the tissue. Di dalam: Harper’s Review of Biochemistry. Ed ke-22. Maruzen, Asia: Lange Medical and Prentice Hall. Natasasmita A. 1978. Body composition of swamp buffalo (Bubalus bubalis): Study of development growth and sex differences [Ph.D thesis]. Melbourne: University of Melbourne. No HK, Meyer SP, Lee KS. 1989. Isolation and characterization of chitin from crawfish shell waste. J Agric Food Chem 37: 575-582. [NRC] National Research Council. 1985. Nutrient Requirements of Sheep. Ed ke-6. Washinton DC: National Academy Pr. Ouhayoun J. 1998. Influence of the diet on rabbit meat quality. Di dalam: The Nutrition of the Rabbit. De Blas C, Wiseman J, editor. New York: CABI. Hlm 177-195. Parakkasi A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Jakarta: UI Pr. Piliang WG, Djojosoebagio S. 2006. Fisiologi Nutrisi. Volume I. Jakarta: IPB Pr. Prawirokusumo S. 1994. Ilmu Gizi Komparatif. Yogyakarta: BPFE. Puastuti W, Mathius IW. 2008. Respon domba jantan muda pada berbagai tingkat substitusi hidrolisat bulu ayam dalam ransum. JITV 13(2): 95-102. Puastuti W, Mathius IW, Yulistiani D. 2006. Bungkil kedelai terproteksi cairan batang pisang sebagai pakan imbuhan ternak domba: In sacco dan in vivo. JITV 11: 106-115.
79 Puastuti W, Yulistiani D, Asmarasari SAA. 2010. Ransum berbasis kulit buah kakao yang disuplementasi Zn organik: Efisiensi penggunaan pakan pada domba. Di dalam: Peningkatan Produktivitas Ternak Berbasis Sumber Daya Lokal. Prosiding Seminar Nasional; Bandung, 4 Nov 2010. Bandung: Fakultas Peternakan, Universitas Padjajaran. hlm 370-376. Purwantiningsih. 1992. Isolasi kitin dan komposisi senyawa kimia limbah udang windu (Penaeus monodon) [tesis]. Bandung: Program Pascasarjana, ITB. Rachmadi D. 2003. Pemberian bungkil inti sawit dan konsentrat yang dilindungi formaldehida untuk meningkatkan kandungan asam lemak poli tak jenuh daging domba [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, IPB. Romans JR, Costello WJ, Carlson CW, Greaser ML, Jones KW. 1994. The Meat We Eat. Danville, Illinois: Interstate. Sabrani M, Levine JM. 1993. Pendekatan sistem pertanian untuk produksi ruminansia kecil. Di dalam: Produksi Kambing dan Domba di Indonesia. Tomaszewska MW, Mastika IM, Djajanegara A, Gardiner S, Wiradarya TR, editor. Solo: Sebelas Maret Univ Pr. Saparto. 1981. Pertumbuhan dan perkembangan bagian karkas domba [Karya Ilmiah]. Bogor: Fakultas Peternakan, IPB. Sato-Navarro SA, Puchala R, Sahlu T, Goetsc AL. 2006. Effect of dietary rations of fish and blood meals on sites of digestion, small intestinal amino acids disappearence and growth performance of meat goat wethers. Small Rum Res 64: 255-267. Satter LD, Slyter LL. 1974. Effect of ammonia concentration on rumen microbial production in vitro. Br J Nutr 32: 199-208. Scott TW, Ashes JR. 1993. Dietary lipids for ruminants: protection, utilization and effect on remodelling of skeletal muscle phospholipids. Aust J Agric Res 44: 495-508. Setyahadi S. 2006. Pengembangan produksi kitin secara mikrobiologi. Di dalam: Santoso J, Trilaksani W, Nurhayati T, Suseno SH, editor. Prospek Produksi dan Aplikasi Kitin-Kitosan sebagai Bahan Alami dalam Membangun Kesehatan Masyarakat dan Menjamin Keamanan Produk. Prosiding Seminar Nasional Kitin-Kitosan; Bogor, 16 Mar 2006. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. hlm 33-40. Shahidi F, Synowiecki J. 1992. Quality and compositional characteristic of newfaunland shellfish processing discard. Di dalam: Brine J, Sandford PA, Zikakis JP, editor. Advance in Chitin and Chitosan. London: Elsevier Science.
80 Sniffen CJ, Robinson PH. 1987. Microbial growth and flow as influenced by dietary manipulation. J Dairy Sci 70: 425-432. Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada Univ Pr. Soeparno, Budiharta S, Arka IB. 1990. Yogyakarta: PAU Pangan dan Gizi, UGM.
Cetakan ke-4.
Yogyakarta:
Kimia dan Teknologi Daging.
Soeparno, Rihastuti RA, Indratiningsih, Triatmojo S. 2011. Dasar Teknologi Hasil Ternak. Yogyakarta: Gadjah Mada Univ Pr. Speedy AW. 1980. Sheep Production. London: Longman. Stelmoch RL, Husby FM, Brundage AL. 1985. Application of Van Soest acid detergen fiber method for analysis of shellfish chitin. J Dairy Sci 68: 15021509. Sudana IB. 2004. Pengaruh kandungan serat pada pakan terhadap kandungan lemak dan kolesterol daging babi yang dihasilkan. J Vet 5 (1): 8-13. Sudibya. 1998. Manipulasi kadar kolesterol dan asam lemak omega-3 telur ayam melalui penggunaan kepala udang dan minyak ikan lemuru [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, IPB. Sugana N, Duldjaman M, Natasasmita A, Saparto. 1983. Paha dan lemusir domba lokal Priangan berdasarkan jenis kelamin dan pengelompokan bobot potong. Di dalam: Rangkuti M, Soedjana TjD, Knipscheer HC, Sitorus P, Setiadi A, editor. Domba dan Kambing di Indonesia. Prosiding Pertemuan Ilmiah Penelitian Ruminansia Kecil; Bogor, 22-23 Nov 1983. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. hlm 278-281. Sugiyono. 1997. Komposisi fisik karkas, sifat fisik dan komposisi kimia daging potongan komersik karkas kambing kacang dan domba lokal [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, IPB. Sumoprastowo RM. 1993. Beternak Domba Pedaging dan Wol. Jakarta: Bharata Karya Aksara. Supadmo. 1997. Pengaruh sumber khitin dan prekursor karnitin serta minyak ikan lemuru terhadap kadar lemak dan kolesterol serta asam lemak omega-3 ayam broiler [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, IPB. Suryaningsih L, Parakkasi A. 2006. Pengaruh pemberian tepung cangkang (karapas) udang sebagai sumber kitin dalam ransum terhadap kadar low density lipoprotein (LDL), high density lipoprotein (HDL), dan persentase karkas. J Ilmu Ternak 6 (1): 63-67.
81 Sutardi T. 1977. Ikhtisar Ruminologi. Bahan Penataran Kursus Peternakan Sapi Perah di Kayu Ambon, Lembang. Bogor: Departemen Ilmu Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, IPB. Sutardi T. 1979. Ketahanan protein bahan makanan terhadap degradasi oleh mikroba rumen dan manfaatnya bagi peningkatan produktivitas ternak. Prosiding Seminar Penelitian dan Penunjang Peternakan. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. hlm 91-103. Sutardi T. 1997. Peluang dan tantangan pengembangan ilmu-ilmu nutrisi ternak [orasi ilmiah]. Bogor: Fakultas Peternakan, IPB. Sutardi T. 2001. Revitalisasi peternakan sapi perah melalui penggunaan ransum berbasis limbah perkebunan dan suplemen mineral organik [laporan penelitian RUT VIII]. Bogor: Lembaga Penelitian, IPB. Swatland HJ. 1984. Structure and Development of Meat Animals. New Jersey: Prentice Hall and Englewood Cliffs. Syamsuhaidi. 1997. Penggunaan Duckweed (Family Lemnaceae) sebagai pakan serat sumber protein dalam ransum ayam pedaging [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, IPB. Taylor RE. 1984. Beef Production and The Beef Industry: A Beef Producer’s Perspective. New York: Macmillan. Thomas VM, Beeson WM. 1977. Feather meal and hair meal as protein sources for steer calves. J Anim Sci 46 (4): 819-825. Tillman AD, Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Prawirokusumo S, Lebdosoekojo S. 1986. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan ke-3. Yogyakarta: Gadjah Mada Univ Pr. Tomaszewska MW, Mastika IM, Djajanegara A, Gardiner S, Wiradarya TR. 1993. Produksi Kambing dan Domba di Indonesia. Surakarta: Sebelas Maret Univ Pr. hlm 3-7 Tulloh NM. 1978. Growth, development, body composition, breeding and management. Di dalam: Tulloh NM, editor. A Course Manual in Beef Cattle Management and Economics. Camberra: AAUCS. hlm 59-94. Uhi HT. 2005. Suplemen katalitik berbahan dasar gelatin sagu, NPN, dan mineral mikro untuk ruminansia di daerah marginal [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, IPB.
82 Vahoundy GV, Conners WE, Subramanian S, Lin DS, Gallo LL. 1983. Comparative lymphatic absorbtion of sitosterol, stigmasterol, fucosterol and differential inhibition of cholesterol absorbtion. Am J Clin Nutr 37 (5): 805809. Van Nevel CJ, Demeyer DI. 1995. Lipolysis and biohydrogenation of soybean oil in the rumen in vitro: Inhibition by antimicrobials. J Dairy Sci 78: 27972806. Wahyu J. 1985. Ilmu Nutrisi Unggas. Yogyakarta: Gadjah Mada Univ Pr. Wanasuria S. 1990. Tepung kepala udang dalam pakan broiler. Poult Indones 122: 19-21. Winarno FG. 1991. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama.
Cetakan ke-5.
Jakarta: PT
Yamin M et al. 2009. Increasing local sheep growth performance through rapid selection at fattening farm. Sustainable Animal Production for Food Security and Safety. Proceeding the 1stInternational Seminar on Animal Industry (ISAI). IPB ICC, 23 - 24 Nov 2009. Bogor: Faculty of Animal Science. hlm 57-60. Zain M, Sutardi T, Suryahadi, Ramli N. 2008. Effect of defaunation and supplementation methionine hydroxy analogue and branched chain amino acid in growing sheep diet based on palm press fiber ammoniation. Pakist J Nutr 7(6): 813-816.
85 Lampiran 1 Analisis ragam kecernaan bahan kering fermentatif limbah udang dalam cairan rumen domba Sumber keragaman Waktu autoklaf Kelompok cairan rumen Galat Total
Derajat bebas 3 2 6 11
Jumlah kuadrat 63.79 1.28 19.56 84.63
Kuadrat tengah 21.26 0.64 3.26
F hitung 6.52 0.20
*
Peluang 0.0257 0.8271
Koefisien keragaman: 4.85%, *)Berbeda nyata (P<0.05)
Lampiran 2 Analisis ragam kecernaan bahan kering enzimatik limbah udang dalam cairan rumen domba Sumber keragaman Waktu autoklaf Kelompok cairan rumen Galat Total
Derajat bebas 3 2 6 11
Jumlah kuadrat 235.32 0.09 1.26 236.66
Kuadrat tengah 78.44 0.04 0.21
F hitung 374.27 0.21
**
Peluang 0.0001 0.8192
Koefisien keragaman: 1.84%, **)Berbeda sangat nyata (P<0.01)
Lampiran 3 Analisis ragam kecernaan bahan kering total limbah udang dalam cairan rumen domba Sumber keragaman Waktu autoklaf Kelompok cairan rumen Galat Total
Derajat bebas 3 2 6 11
Jumlah kuadrat 54.46 1.69 16.94 73.09
Kuadrat tengah 18.15 0.84 2.82
F hitung 6.43 0.30
*
Peluang 0.0265 0.7521
Koefisien keragaman: 2.71%, *)Berbeda nyata (P<0.05)
Lampiran 4 Analisis ragam kecernaan bahan organik fermentatif limbah udang dalam cairan rumen domba Sumber keragaman Waktu autoklaf Kelompok cairan rumen Galat Total
Derajat bebas 3 2 6 11
Jumlah kuadrat 20.76 0.02 0.60 21.38
Kuadrat tengah 6.92 0.01 0.10
Koefisien keragaman: 0.66%, **)Berbeda sangat nyata (P<0.01)
F hitung 69.54 0.09
**
Peluang 0.0001 0.9172
86 Lampiran 5 Analisis ragam kecernaan bahan organik enzimatik limbah udang dalam cairan rumen domba Sumber keragaman Waktu autoklaf Kelompok cairan rumen Galat Total
Derajat bebas 3 2 6 11
Jumlah kuadrat 31.24 0.03 1.10 32.36
Kuadrat tengah 10.41 0.02 0.18
F hitung 57.01 0.08
**
Peluang 0.0001 0.9218
Koefisien keragaman: 2.84%, **)Berbeda sangat nyata (P<0.01)
Lampiran 6 Analisis ragam kecernaan bahan organik total limbah udang dalam cairan rumen domba Sumber keragaman Waktu autoklaf Kelompok cairan rumen Galat Total
Derajat bebas 3 2 6 11
Jumlah kuadrat 1.21 0.00 3.03 4.25
Kuadrat tengah 0.40 0.00 0.51
F hitung
Peluang
0.80 0.00
0.5377 0.9982
Koefisien keragaman: 1.13%
Lampiran 7 Analisis ragam kecernaan protein fermentatif limbah udang dalam cairan rumen domba Sumber keragaman Waktu autoklaf Kelompok cairan rumen Galat Total
Derajat bebas 3 2 6 11
Jumlah kuadrat 63.73 0.83 26.07 90.62
Kuadrat tengah 21.24 0.41 4.34
F hitung 4.89 0.10
*
Peluang 0.0473 0.9107
Koefisien keragaman: 6.09%, *)Berbeda nyata (P<0.05)
Lampiran 8 Analisis ragam kecernaan protein enzimatik limbah udang dalam cairan rumen domba Sumber keragaman Waktu autoklaf Kelompok cairan rumen Galat Total
Derajat bebas 3 2 6 11
Jumlah kuadrat 182.20 0.86 26.89 209.96
Kuadrat tengah 60.73 0.43 4.48
Koefisien keragaman: 9.30%, **)Berbeda sangat nyata (P<0.01)
F hitung 13.55 0.10
**
Peluang 0.0044 0.9099
87 Lampiran 9 Analisis ragam kecernaan protein total limbah udang dalam cairan rumen domba Sumber keragaman Waktu autoklaf Kelompok cairan rumen Galat Total
Derajat bebas 3 2 6 11
Jumlah kuadrat 31.26 0.06 9.18 40.50
Kuadrat tengah 10.42 0.03 1.53
F hitung 6.81 0.02
*
Peluang 0.0233 0.9809
Koefisien keragaman: 2.17%, *)Berbeda nyata (P<0.05)
Lampiran 10 Analisis ragam kecernaan kitin fermentatif limbah udang dalam cairan rumen domba Sumber keragaman Waktu autoklaf Kelompok cairan rumen Galat Total
Derajat bebas 3 2 6 11
Jumlah kuadrat 3.20 0.23 1.55 4.98
Kuadrat tengah 1.07 0.11 0.26
F hitung
Peluang
4.12 0.44
0.0662 0.6642
Koefisien keragaman: 2.16%
Lampiran 11 Analisis ragam kecernaan kitin enzimatik limbah udang dalam cairan rumen domba Sumber keragaman Waktu autoklaf Kelompok cairan rumen Galat Total
Derajat bebas 3 2 6 11
Jumlah kuadrat 0.08 0.07 0.14 0.29
Kuadrat tengah 0.03 0.03 0.02
F hitung
Peluang
1.21 1.46
0.3846 0.3051
Koefisien keragaman: 3.29%
Lampiran 12 Analisis ragam kecernaan kitin total limbah udang dalam cairan rumen domba Sumber keragaman Waktu autoklaf Kelompok cairan rumen Galat Total
Derajat bebas 3 2 6 11
Jumlah kuadrat 4.31 0.54 1.13 5.98
Koefisien keragaman: 1.54%, *)Berbeda nyata (P<0.05)
Kuadrat tengah 1.44 0.27 0.19
F hitung 7.61 1.42
*
Peluang 0.0181 0.3117
88 Lampiran 13 Analisis ragam VFA limbah udang dalam cairan rumen domba Sumber keragaman Waktu autoklaf Kelompok cairan rumen Galat Total
Derajat bebas 3 2 6 11
Jumlah kuadrat 517.99 5.35 22.90 546.24
Kuadrat tengah 172.66 2.68 3.82
F hitung
Peluang
45.23** 0.70
0.0002 0.5326
Koefisien keragaman: 2.05%, **)Berbeda sangat nyata (P<0.01)
Lampiran 14 Analisis ragam N-NH3 limbah udang dalam cairan rumen domba Sumber keragaman Waktu autoklaf Kelompok cairan rumen Galat Total
Derajat bebas 3 2 6 11
Jumlah kuadrat 80.45 0.01 0.83 81.29
Kuadrat tengah 26.82 0.00 0.14
F hitung 193.82 0.04
**
Peluang 0.0001 0.9649
Koefisien keragaman: 2.51%, **)Berbeda sangat nyata (P<0.01)
Lampiran 15 Analisis ragam konsumsi bahan kering ransum pada domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 26102.13 49059.11 75161.24
Kuadrat tengah 8700.71 4088.26
F hitung
Peluang
2.13
0.1499
Koefisien keragaman: 6.69%
Lampiran 16 Analisis ragam konsumsi bahan organik ransum pada domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 321.19 5585.55 5906.73
Kuadrat tengah 107.06 465.46
F hitung
Peluang
0.23
0.8737
Koefisien keragaman: 3.13%
Lampiran 17 Analisis ragam konsumsi protein kasar ransum pada domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total Koefisien keragaman: 5.15%
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 282.52 810.09 1092.61
Kuadrat tengah 94.17 67.51
F hitung
Peluang
1.39
0.2920
89 Lampiran 18 Analisis ragam konsumsi lemak kasar ransum pada domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 24.98 123.03 148.01
Kuadrat tengah 8.33 10.25
F hitung
Peluang
0.81
0.5114
Koefisien keragaman: 3.13%
Lampiran 19 Analisis ragam konsumsi serat kasar ransum pada domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 21.05 593.11 614.16
Kuadrat tengah 7.02 49.43
F hitung
Peluang
0.14
0.9328
Koefisien keragaman: 4.64%
Lampiran 20 Analisis ragam konsumsi ADF ransum pada domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 3246.04 4594.34 7840.37
Kuadrat tengah 1082.01 382.86
F hitung
Peluang
2.83
0.0836
Koefisien keragaman: 4.82%
Lampiran 21 Analisis ragam konsumsi NDF ransum pada domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 117.32 2682.26 2799.58
Kuadrat tengah 39.11 223.52
F hitung
Peluang
0.17
0.9113
Koefisien keragaman: 2.70%
Lampiran 22 Analisis ragam konsumsi energi ransum pada domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F hitung
Peluang
3
102619076462.08
34206358820.69
1.26
0.3311
12 15
325083880745.08 427702957207.16
27090323395.42
Koefisien keragaman: 4.81%
90 Lampiran 23 Analisis ragam kecernaan bahan kering ransum pada domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 583.14 52.43 635.56
Kuadrat tengah 194.38 4.37
F hitung
Peluang
44.49**
0.0001
Koefisien keragaman: 3.53%, **)Berbeda sangat nyata (P<0.01)
Lampiran 24 Analisis ragam kecernaan bahan organik ransum pada domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 289.99 40.73 330.72
Kuadrat tengah 96.66 3.39
F hitung 28.48
**
Peluang 0.0001
Koefisien keragaman: 2.96%, **)Berbeda sangat nyata (P<0.01)
Lampiran 25 Analisis ragam kecernaan protein kasar ransum pada domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 690.82 51.08 741.90
Kuadrat tengah 230.27 4.26
F hitung 54.09
**
Peluang 0.0001
Koefisien keragaman: 2.89%, **)Berbeda sangat nyata (P<0.01)
Lampiran 26 Analisis ragam kecernaan lemak kasar ransum pada domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 95.86 44.91 140.77
Kuadrat tengah 31.95 3.74
F hitung
Peluang
8.54**
0.0026
Koefisien keragaman: 2.13%, **)Berbeda sangat nyata (P<0.01)
Lampiran 27 Analisis ragam kecernaan serat kasar ransum pada domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total Koefisien keragaman: 2.44%
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 1.30 11.56 12.86
Kuadrat tengah 0.43 0.96
F hitung
Peluang
0.45
0.7228
91 Lampiran 28 Analisis ragam kecernaan ADF ransum pada domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 66.10 47.57 113.67
Kuadrat tengah 22.03 3.96
F hitung
Peluang
5.56**
0.0126
Koefisien keragaman: 3.40%, **)Berbeda sangat nyata (P<0.01)
Lampiran 29 Analisis ragam kecernaan NDF ransum pada domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 1.86 38.37 40.23
Kuadrat tengah 0.62 3.20
F hitung
Peluang
0.19
0.8987
Koefisien keragaman: 3.24%
Lampiran 30 Analisis ragam kecernaan energi ransum pada domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 647.06 96.71 743.76
Kuadrat tengah 215.69 8.06
F hitung 26.76
**
Peluang 0.0001
Koefisien keragaman: 4.55%, **)Berbeda sangat nyata (P<0.01)
Lampiran 31 Analisis ragam pH rumen pada domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 0.04 1.17 1.22
Kuadrat tengah 0.01 0.10
F hitung
Peluang
0.15
0.9264
Koefisien keragaman: 4.75%
Lampiran 32 Analisis ragam VFA rumen pada domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 2971.98 476.69 3448.67
Kuadrat tengah 990.66 39.72
Koefisien keragaman: 5.68%, **)Berbeda sangat nyata (P<0.01)
F hitung 24.94
**
Peluang 0.0001
92 Lampiran 33 Analisis ragam N-NH3 rumen pada domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 141.30 1.97 143.27
Kuadrat tengah 47.10 0.16
F hitung
Peluang
286.45**
0.0001
F hitung
Peluang
2.98
0.0739
F hitung
Peluang
8.09**
0.0033
F hitung
Peluang
22.36**
0.0001
F hitung
Peluang
Koefisien keragaman: 4.75%, **)Berbeda sangat nyata (P<0.01)
Lampiran 34 Analisis ragam alantoin urin pada domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 0.06 0.08 0.14
Kuadrat tengah 0.02 0.01
Koefisien keragaman: 6.98%
Lampiran 35 Analisis ragam nitrogen konsumsi pada domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 86.06 42.56 128.62
Kuadrat tengah 28.69 3.55
Koefisien keragaman: 7.58%, **)Berbeda sangat nyata (P<0.01)
Lampiran 36 Analisis ragam nitrogen feses pada domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 74.13 13.26 87.39
Kuadrat tengah 24.71 1.11
Koefisien keragaman: 15.05%, **)Berbeda sangat nyata (P<0.01)
Lampiran 37 Analisis ragam nitrogen urin pada domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 29.76 21.17 50.94
Kuadrat tengah 9.92 1.76
Koefisien keragaman: 13.90%, **)Berbeda sangat nyata (P<0.01)
5.62
**
0.0121
93 Lampiran 38 Analisis ragam retensi nitrogen pada domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 0.10 14.92 15.02
Kuadrat tengah 0.03 1.24
F hitung
Peluang
0.03
0.9935
F hitung
Peluang
0.72
0.5496
Koefisien keragaman: 13.44%
Lampiran 39 Analisis ragam bobot awal pada domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 0.55 2.99 3.54
Kuadrat tengah 0.18 0.25
Koefisien keragaman: 3.29%
Lampiran 40 Analisis ragam bobot potong pada domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 8.53 6.29 14.82
Kuadrat tengah 2.84 0.52
F hitung 5.46
**
Peluang 0.0136
Koefisien keragaman: 3.00%, **)Berbeda sangat nyata (P<0.01)
Lampiran 41 Analisis ragam pertambahan bobot hidup pada domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 1557.93 488.31 2046.23
Kuadrat tengah 519.31 40.69
F hitung
Peluang
12.76**
0.0005
F hitung
Peluang
Koefisien keragaman: 6.07%, **)Berbeda sangat nyata (P<0.01)
Lampiran 42 Analisis ragam konversi ransum pada domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 20.84 6.74 27.58
Kuadrat tengah 6.95 0.56
Koefisien keragaman: 8.10%, **)Berbeda sangat nyata (P<0.01)
12.36
**
0.0006
94 Lampiran 43 Analisis ragam bobot tubuh kosong pada domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 19.79 3.76 23.56
Kuadrat tengah 6.60 0.31
F hitung
Peluang
21.04**
0.0001
F hitung
Peluang
Koefisien keragaman: 2.76%, **)Berbeda sangat nyata (P<0.01)
Lampiran 44 Analisis ragam bobot karkas segar pada domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 7.29 1.43 8.72
Kuadrat tengah 2.43 0.12
20.37
**
0.0001
Koefisien keragaman: 3.05%, **)Berbeda sangat nyata (P<0.01)
Lampiran 45 Analisis ragam persentase karkas segar pada domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 6.78 10.22 17.00
Kuadrat tengah 2.26 0.85
F hitung
Peluang
2.65
0.0961
F hitung
Peluang
1.78
0.2053
Koefisien keragaman: 1.65%
Lampiran 46 Analisis ragam luas udamaru pada domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 16.82 37.90 54.72
Kuadrat tengah 5.61 3.16
Koefisien keragaman: 16.48%
Lampiran 47 Analisis ragam bobot daging pada karkas kanan domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 0.67 0.16 0.83
Kuadrat tengah 0.22 0.01
Koefisien keragaman: 3.65%, **)Berbeda sangat nyata (P<0.01)
F hitung 22.00
**
Peluang 0.0001
95 Lampiran 48 Analisis ragam bobot tulang pada karkas kanan domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 0.05 0.02 0.07
Kuadrat tengah 0.02 0.00
F hitung
Peluang
10.60**
0.0011
Koefisien keragaman: 3.23%, **)Berbeda sangat nyata (P<0.01)
Lampiran 49 Analisis ragam bobot lemak pada karkas kanan domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 0.17 0.01 0.18
Kuadrat tengah 0.06 0.00
F hitung 73.38
**
Peluang 0.0001
Koefisien keragaman: 3.13%, **)Berbeda sangat nyata (P<0.01)
Lampiran 50 Analisis ragam persentase daging pada karkas kanan domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 28.68 3.30 31.98
Kuadrat tengah 9.56 0.30
F hitung 31.83
**
Peluang 0.0001
Koefisien keragaman: 0.91%, **)Berbeda sangat nyata (P<0.01)
Lampiran 51 Analisis ragam persentase tulang pada karkas kanan domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 2.98 1.97 4.95
Kuadrat tengah 0.99 0.18
F hitung
Peluang
5.54**
0.0145
Koefisien keragaman: 1.84%, **)Berbeda sangat nyata (P<0.01)
Lampiran 52 Analisis ragam persentase lemak pada karkas kanan domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 28.70 0.63 29.33
Kuadrat tengah 9.57 0.06
Koefisien keragaman: 1.41%, **)Berbeda sangat nyata (P<0.01)
F hitung 166.29
**
Peluang 0.0001
96 Lampiran 53 Analisis ragam rasio daging dengan lemak pada karkas kanan domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 1.83 0.07 1.90
Kuadrat tengah 0.61 0.01
F hitung 112.53
**
Peluang 0.0001
Koefisien keragaman: 2.06%, **)Berbeda sangat nyata (P<0.01)
Lampiran 54 Analisis ragam rasio daging dengan tulang pada karkas kanan domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 0.10 0.06 0.16
Kuadrat tengah 0.03 0.01
F hitung 6.76
**
Peluang 0.0064
Koefisien keragaman: 2.73%, **)Berbeda sangat nyata (P<0.01)
Lampiran 55 Analisis ragam daging leg pada karkas kanan domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 57287.95 31514.78 88802.73
Kuadrat tengah 19095.98 2626.23
F hitung 7.27
**
Peluang 0.0049
Koefisien keragaman: 4.74%, **)Berbeda sangat nyata (P<0.01)
Lampiran 56 Analisis ragam daging loin pada karkas kanan domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 4950.41 17531.95 22482.36
Kuadrat tengah 1650.14 1461.00
F hitung
Peluang
1.13
0.3761
Koefisien keragaman: 16.20%
Lampiran 57 Analisis ragam daging rack pada karkas kanan domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total Koefisien keragaman: 15.41%
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 12359.10 19540.56 31899.65
Kuadrat tengah 4119.70 1628.38
F hitung
Peluang
2.53
0.1065
97 Lampiran 58 Analisis ragam daging breast pada karkas kanan domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 11545.93 27846.93 39392.86
Kuadrat tengah 3848.64 2320.58
F hitung
Peluang
1.66
0.2284
Koefisien keragaman: 17.88%
Lampiran 59 Analisis ragam daging shoulder pada karkas kanan domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 98035.38 205193.38 303228.75
Kuadrat tengah 32678.46 17099.45
F hitung
Peluang
1.91
0.1817
Koefisien keragaman: 15.04%
Lampiran 60 Analisis ragam daging foreshank pada karkas kanan domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 82.42 14462.66 14545.07
Kuadrat tengah 27.47 1205.22
F hitung
Peluang
0.02
0.9951
Koefisien keragaman: 14.17%
Lampiran 61 Analisis ragam daging flank pada karkas kanan domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 4029.19 10194.37 14223.56
Kuadrat tengah 1343.06 849.53
F hitung
Peluang
1.58
0.2454
Koefisien keragaman: 17.11%
Lampiran 62 Analisis ragam tulang leg pada karkas kanan domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total Koefisien keragaman: 10.99%
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 2793.82 18338.10 21131.92
Kuadrat tengah 931.27 1528.18
F hitung
Peluang
0.61
0.6216
98 Lampiran 63 Analisis ragam tulang loin pada karkas kanan domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 1594.00 46203.06 47797.06
Kuadrat tengah 531.33 3850.26
F hitung
Peluang
0.14
0.9354
Koefisien keragaman: 48.96%
Lampiran 64 Analisis ragam tulang rack pada karkas kanan domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 1889.54 15498.50 17388.03
Kuadrat tengah 629.85 1291.54
F hitung
Peluang
0.49
0.6972
Koefisien keragaman: 24.04%
Lampiran 65 Analisis ragam tulang breast pada karkas kanan domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 5993.69 4691.00 10684.68
Kuadrat tengah 1997.90 390.92
F hitung
Peluang
5.11*
0.0166
Koefisien keragaman: 16.94%, *)Berbeda nyata (P<0.05)
Lampiran 66 Analisis ragam tulang shoulder pada karkas kanan domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 12815.71 34049.81 46865.52
Kuadrat tengah 4271.90 2837.48
F hitung
Peluang
1.51
0.2632
Koefisien keragaman: 16.27%
Lampiran 67 Analisis ragam tulang foreshank pada karkas kanan domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total Koefisien keragaman: 18.58%
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 3138.45 6089.30 9227.75
Kuadrat tengah 1046.15 507.44
F hitung
Peluang
2.06
0.1589
99 Lampiran 68 Analisis ragam lemak leg pada karkas kanan domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 12680.21 20616.46 33296.67
Kuadrat tengah 4226.74 1718.04
F hitung
Peluang
2.46
0.1129
Koefisien keragaman: 23.75%
Lampiran 69 Analisis ragam lemak loin pada karkas kanan domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 4251.89 24154.55 28406.44
Kuadrat tengah 1417.30 2012.88
F hitung
Peluang
0.70
0.5676
Koefisien keragaman: 45.83%
Lampiran 70 Analisis ragam lemak rack pada karkas kanan domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 3019.85 12746.09 15765.94
Kuadrat tengah 1006.62 1062.17
F hitung
Peluang
0.95
0.4484
Koefisien keragaman: 27.22%
Lampiran 71 Analisis ragam lemak breast pada karkas kanan domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 13749.96 10889.88 24639.84
Kuadrat tengah 4583.32 907.49
F hitung
Peluang
5.05*
0.0172
Koefisien keragaman: 21.10%, *)Berbeda nyata (P<0.05)
Lampiran 72 Analisis ragam lemak shoulder pada karkas kanan domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total Koefisien keragaman: 38.07%
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 8423.70 61474.68 69898.38
Kuadrat tengah 2807.90 5122.89
F hitung
Peluang
0.55
0.6588
100 Lampiran 73 Analisis ragam lemak foreshank pada karkas kanan domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 1095.25 5925.21 7020.46
Kuadrat tengah 365.08 493.77
F hitung
Peluang
0.74
0.5487
Koefisien keragaman: 34.53%
Lampiran 74 Analisis ragam lemak flank pada karkas kanan domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 1637.04 14314.63 15951.66
Kuadrat tengah 545.68 1192.89
F hitung
Peluang
0.46
0.7170
F hitung
Peluang
1.61
0.2382
F hitung
Peluang
0.24
0.8670
F hitung
Peluang
1.88
0.1875
Koefisien keragaman: 35.54%
Lampiran 75 Analisis ragam pH pada daging domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 0.08 0.20 0.28
Kuadrat tengah 0.03 0.02
Koefisien keragaman: 2.28%
Lampiran 76 Analisis ragam keempukan pada daging domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 0.51 8.46 8.97
Kuadrat tengah 0.17 0.70
Koefisien keragaman: 43.15%
Lampiran 77 Analisis ragam susut masak pada daging domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total Koefisien keragaman: 8.09%
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 43.17 92.06 135.23
Kuadrat tengah 14.39 7.67
101 Lampiran 78 Analisis ragam daya mengikat air pada daging domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 122.62 573.47 696.09
Kuadrat tengah 40.87 47.79
F hitung
Peluang
0.86
0.4904
Koefisien keragaman: 18.04%
Lampiran 79 Analisis ragam kadar trigliserida pada daging domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 13.67 2.40 16.06
Kuadrat tengah 4.56 0.20
F hitung 22.81
**
Peluang 0.0001
Koefisien keragaman: 9.89%, **)Berbeda sangat nyata (P<0.01)
Lampiran 80 Analisis ragam bilangan iodium pada daging domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 76.13 8.58 84.71
Kuadrat tengah 25.38 0.72
F hitung 35.48
**
Peluang 0.0001
Koefisien keragaman: 4.73%, **)Berbeda sangat nyata (P<0.01)
Lampiran 81 Analisis ragam kadar kolesterol total pada daging domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 4.56 0.23 4.79
Kuadrat tengah 1.52 0.02
F hitung
Peluang
79.75**
0.0001
Koefisien keragaman: 9.53%, **)Berbeda sangat nyata (P<0.01)
Lampiran 82 Analisis ragam kadar kolesterol total pada feses domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 8.77 0.92 9.69
Kuadrat tengah 2.92 0.08
Koefisien keragaman: 8.44%, **)Berbeda sangat nyata (P<0.01)
F hitung 38.17
**
Peluang 0.0001
102 Lampiran 83 Analisis ragam income over feed cost (IOFC) pada domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 2097044.69 310656.79 2407701.49
Kuadrat tengah 699014.90 25888.07
F hitung 27.00
**
Peluang 0.0001
Koefisien keragaman: 13.68%, **)Berbeda sangat nyata (P<0.01)
Lampiran 84 Analisis ragam revenue cost ratio (R-C ratio) pada domba Sumber keragaman Taraf limbah udang dalam ransum Galat Total
Derajat bebas 3 12 15
Jumlah kuadrat 0.35 0.06 0.41
Kuadrat tengah 0.12 0.00
Koefisien keragaman: 4.76%, **)Berbeda sangat nyata (P<0.01)
F hitung
Peluang
23.78**
0.0001