ISSN 1410-1939 PRODUKSI BIBIT PISANG RAJA NANGKA (Musa sp.) SECARA KULTUR JARINGAN DENGAN EKSPLAN ANAKAN DAN BUNGA [SEED PRODUCTION IN BANANA (Musa sp.) cv. RAJA NANGKA VIA TISSUE CULTURE USING SUCKERS AND FLOWERS AS EXPLANT MATERIALS Rainiyati1, A. Chozin2, Sudarsono, I. Mansyur Abstract The objective of this study was to investigate the growth and development of banana (Musa sp.) cv. Raja Nangka explants obtained from sucker and floral segments. The experiment was conducted at the Plant Biotechnology Laboratory, Agricultural Faculty, University of Jambi, from June 2004 through to July 2005. The variables tested were two types of explant sources, i.e. suckers and floral parts. Cultures were maintained on MS medium supplemented with vitamins, sucrose, BA, IAA, Ca-pantothenate, and solidified with agar. The results indicated that there was differences in time required from shoot and root initiation to complete plantlet regeneration. Explants originated from suckers directly formed shoots following 2 weeks of culture initiation, whereas explants from floral segments produced embryogenic structures with nodulations after 2 months of culture. Plantlets were regenerated from sucker explants within 4 months of culture. On the other hand, floral explants required longer time to produce plantlets, i.e. 6 months. Key words: plant tissue culture, micropropagation, banana, Musa sp. Kata kunci: kultur jaringan tanaman, mikropropagasi, pisang, Musa sp.
PENDAHULUAN Penanaman pisang dalam skala besar menggunakan bibit anakan sulit dilakukan karena membutuhkan bibit dalam jumlah banyak. Di samping itu, penanaman dalam skala besar ini membutuhkan bibit yang seragam pula, baik secara genetik maupun morfologi (fisik) agar diperoleh hasil yang optimum dengan kualitas baik. Hal ini dikarenakan jumlah anakan setiap rumpun tanaman pisang sangat terbatas, yakni hanya sekitar 2 - 6 (Sunarjono, 2002). Alternatif yang dapat digunakan dalam memenuhi kebutuhan bibit sebagaimana dikemukakan di atas adalah melalui perbanyakan tanaman secara kultur jaringan. Perbanyakan pisang secara kultur jaringan bertujuan untuk mendapatkan bibit bermutu dalam jumlah banyak dan cepat selama kurun waktu tertentu. Bibit bermutu artinya seragam atau homogen secara genetik dan fisik, bebas dari segala jenis patogen berbahaya bagi pertumbuhan tanaman, mempunyai sifat yang 1 2
identik dengan induknya, serta mampu menghasilkan buah bermutu tinggi. Kultur jaringan merupakan cara pembiakan vegetatif yang cepat dan dapat menghasilkan tanaman anak yang secara genetik seragam atau memiliki sifat yang sama atau identik dengan induknya. Dalam teknik kultur jaringan, komposisi medium dan rasio zat pengatur tumbuh yang tepat serta sumber eksplan yang digunakan perlu mendapat perhatian serius untuk menghasilkan plantlet sebagaimana yang diharapkan, di samping faktor-faktor lain, seperti cahaya, suhu dan kelembaban. Proses produksi bibit pisang dengan kultur jaringan terbagi dua proses, yaitu di laboratorium dan di lapangan. Proses di laboratorium adalah proses pembiakan kultur yang dimulai dari sterilisasi bahan eksplan dan alat, ruang kultur serta pembuatan media, penanaman eksplan, subkultur sampai pada terbentuknya plantlet. Proses di lapangan meliputi aklimatisasi dan pembesaran bibit.
Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian Universitas Jambi Kampus Pinang Masak, Mendalo Darat, Jambi 36361. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Jl. Raya Padjadjaran, Bogor
27
Jurnal Agronomi 9(1):27-31
Aklimatisasi merupakan proses adaptasi dari kondisi in vitro ke kondisi in vivo. Fungsi biologis plantlet mengalami perubahan yang cepat dan ekstrim ketika dipindahkan dari kondisi in vitro ke in vivo. Dalam kondisi tersebut plantlet mengalami perubahan dari kondisi heterotropik ke autotropik, sehingga fotosintesis menjadi hal yang penting untuk diperhatikan agar plantlet dapat bertahan hidup. Percobaan ini bertujuan untuk mendapatkan bibit tanaman pisang Raja Nangka yang bebas patogen dari dua sumber eksplan, yaitu anakan dan tunas bunga. BAHAN DAN METODA Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Tanaman, Fakultas Pertanian Universitas Jambi dari bulan Juni 2004 hingga Juli 2005. Bahan tanaman (eksplan) yang digunakan adalah anakan yang sehat dan segar dengan tinggi 5 20 cm, dan bunga pisang. Anakan diambil dari lapang, yaitu daerah Kabupaten Merangin Propinsi Jambi, sebagai sentra produksi tanaman pisang Raja Nangka. Penanaman eksplan dilakukan di dalam Laminar Air Flow Cabinet (LAFC) yang telah disterilkan dengan sinar ultra violet selama satu jam dan disemprot alkohol 70%. Semua bahan dan alat dimasukkan ke dalam kotak pindah setelah disemprot alkohol 70%. Anakan pisang dibersihkan, lalu dikupas sampai bagian yang paling dalam, kemudian disterilkan dengan Benlate™ dan Agrept™ selama 24 jam. Lalu eksplan dicuci dengan air steril dan direndam di dalam larutan NaClO 0,5% selama 30 menit, lalu dibilas dengan air steril dan dikupas kembali sampai berukuran 1,5 cm. Kemudian eksplan dibelah menjadi dua bagian untuk selanjutnya ditanam pada medium yang telah disiapkan. Demikian pula halnya dengan bunga pisang. Bunga pisang dikupas sampai bagian paling dalam, lalu disterilkan di dalam larutan yang mengandung NaClO 0,5 % selama 15 menit. Selanjutnya eksplan dicuci dengan air steril dan dikupas kembali sampai berukuran 1,0 cm dan dibelah menjadi 2 untuk selanjutnya siap ditanam. Eksplan ditanam pada media MS0 dan dipelihara selama 1 bulan untuk melihat perkembangannya. Setelah tunas terbentuk, eksplan dipindahkan ke media MS yang mengandung zat pengatur tumbuh (ZPT) untuk penggandaan tunas, yaitu medium MS yang dilengkapi dengan gula 40 g L-1, BA 5 mg L-1, Ca-
28
pantotenat 1 mg L-1, IAA 0,1 mg L-1 dan agar-agar 7 mg L-1. Eksplan dipelihara pada medium ini selama dua bulan. Untuk membentuk plantlet, masingmasing tunas dipindahkan ke medium perakaran (MSA), yaitu medium MS½ yang dilengkapi dengan gula 40 g L-1, BA 0,2 mg L-1, Ca-pantotenat 1 mg L-1, IBA 2,5 mg L-1, agar-agar 7 mg L-1 serta arang aktif 2 g L-1 (Rosita, 2001). Setiap botol berisi satu tunas dan dipelihara selama 1 bulan. Pada prosedur aklimatiasi, plantlet yang terbentuk dikeluarkan dari media perakaran lalu dicuci dengan dengan air sampai bersih. Plantlet yang telah bersih ditanam di dalam pot yang berisi media sekam hitam yang telah disterilisasi, lalu disungkup dengan plastik selama 2 minggu di dalam ruang kultur (suhu 25 ± 1 oC). Setelah 2 minggu sungkup dibuka dan pot dipindahkan ke rumah kaca selama 2 minggu berikutnya. Tanaman yang telah mengalami aklimatisasi, dipindahkan ke polybag yang berisi media tanah dan sekam hitam dengan perbandingan 1:1 yang masing-masing telah disterilisai dengan autoclave. Pada media ini plantlet dipelihara selama 2 bulan pada kondisi in vivo. HASIL DAN PEMBAHASAN Permasalahan awal yang muncul pada penelitian ini adalah mencari metoda sterilisasi eksplan yang tepat agar tidak terjadi kontaminasi pada eksplan. Hal ini mengingat eksplan yang digunakan berasal dari lapang yang banyak mengandung mikroorganisme. Pada kenyataannya sangat sulit sekali untuk menghasilkan eksplan yang benar-benar steril dan bebas dari mikroorganisme. Hal ini baru teratasi setelah 6 bulan dicoba berbagai metoda sterilisasi. Mikroorganisme yang menyebabkan kontaminasi paling banyak adalah bakteri. Bakteri yang muncul dari eksplan. Pemunculannyapun berbedabeda waktunya yaitu 1 hari setelah tanam, 1 minggu setelah tanam, setelah keluar tunas atau 1-2 bulan setelah tanam dan setelah keluar tunas. Menurut Taji et al. (1997), eksplan awal merupakan sumber utama infestasi, namun infestasi dapat pula terjadi pada berbagai tahapan proses kultur. Adanya kontaminasi ini diduga karena sumber eksplan yang berasal dari lapang banyak mengandung mikroorganisme, disamping itu diduga adanya mikroorganisme endogen yang hidup pada jaringan eksplan dan muncul setelah eksplan tersebut bertunas. Organisme yang hidup di dalam jaringan lebih sulit diatasi, dan adakalanya dijumpai infestasi yang terjadi setelah beberapa generasi pada kultur yang steril. Hal ini kemungkinan dise-
Rainiyati et al.: Kultur Jaringan Pisang Raja Nangka.
babkan oleh agen infestasi yang telah bertahan di dalam jaringan sampai kondisi yang menguntungkan untuk pertumbuhannya (infestasi laten) (Taji et al., 1997). Hasil penelitian menunjukkan bahwa eksplan yang berasal dari anakan meregenerasikan tunas pada umur 2 minggu setelah tanam. Sedangkan eksplan yang berasal dari bunga tidak langsung meregenerasikan tunas tetapi membentuk nodul morfogenik seperti yang terlihat pada Gambar 1. Tunas yang terbentuk dari eksplan anakan kemudian disubkulturkan pada medium penggandaan tunas.
Gambar 1.Tunas yang terbentuk dari eksplan anakan pada umur 2 minggu setelah disubkulturkan ke media pertunasan (A). Nodul-nodul morfogenik yang terbentuk dari bunga pisang 2 bulan setelah disubkulturkan ke media pertunasan (B). Penggandaan tunas mulai terjadi setelah 2 minggu tanaman disubkulturkan ke medium pertunasan (Gambar 2.). Penggandaan tunas terjadi karena beberapa faktor yang mendukung, yaitu eksplan dan lingkungan tumbuh (suhu, cahaya dan zat pengatur tumbuh). Sedangkan nodul yang terbentuk pada eksplan bunga meregenerasikan tunas setelah 4 bulan pada medium pertunasan.
bentuk menyusul 2 minggu subkultur (Gambar 3.). Pembentukan akar ini dipengaruhi oleh pemberian zat pengatur tumbuh auksin dengan konsentrasi tinggi yaitu IBA 2,5 mg L-1 dan sitokinin dengan konsentrasi rendah yaitu 0,5 mg L-1 BA. Adanya perimbangan zat pengatur tumbuh ini pada media menghasilkan sistim perakaran yang baik pada kultur yang berasal dari anakan. Plantlet dipelihara sampai siap untuk diaklimatisasikan. Pemberian BA dengan konsentrasi tinggi (5,0 mg L-1) pada media memacu sitokinin endogen dari eksplan untuk merangsang pembentukan tunas dan memacu pembentukan tunas majemuk. Menurut Bhojwani dan Razdan (1983), sitokinin (BAP) sangat efektif dalam merangsang pembentukan tunas. Semakin tinggi konsentrasi sitokinin yang diberikan, maka jumlah tunas yang terbentuk akan semakin bertambah. Akan tetapi pemberian BAP konsentrasi tinggi ini menghambat terbentuknya akar. Untuk merangsang terbentuknya akar maka pada media perakaran diberikan auksin (IBA) dengan konsentrasi tinggi 2,5 mg L-1, sehingga jumlah auksin total eksplan meningkat dengan penambahan tersebut. Kandungan auksin endogen hasil sintesis tunas juga meningkat sehingga mampu mengatasi pengaruh BAP. Wattimena (1987) mengemukakan bahwa auksin disintesis pada bagian meristem pu-cuk, sehingga peningkatan jumlah tunas akan me-ningkatkan sintesis auksin endogen.
Gambar 3.Tunas yang berasal dari anakan setelah 1 minggu disubkulturkan ke medium perakaran (A). Akar yang muncul dari tunas setelah 1 bulan disubkulturkan ke medium perakaran (B).
Gambar 2.Tunas majemuk yang terbentuk dari eksplan anakan pada umur 1 bulan setelah disubkulturkan pada media pertunasan (A). Nodul morfogenik yang terbentuk dari bunga pisang 4 bulan setelah disubkulturkan ke media pertunasan (B). Tunas yang terbentuk dari eksplan anakan setelah berumur 2 bulan disubkulturkan ke media perakaran untuk membentuk plantlet. Perakaran ter-
Plantlet yang telah berakar dipindahkan ke pot kecil yang berisi media pra-aklimatisasi, yaitu arang sekam (hasil pembakaran sekam mentah yang tidak sempurna) yang telah disterilisasi dengan otoklaf. Plantlet disungkup plastik selama 2 minggu pada lingkungan yang diusahakan sama dengan seperti di dalam ruang kultur. Hal ini bertujuan supaya akar yang baru terbentuk dapat berfungsi dengan baik. Persentase tumbuh tanaman yang diaklimatisasikan adalah 100%, Hal ini menunjukkan bahwa
29
Jurnal Agronomi 9(1):27-31
medium yang digunakan sudah cocok dengan tanaman pisang. Kemampuan adaptasi tunas dan akar pada medium yang digunakaan cukup tinggi. Kondisi lingkungan, seperti kelembahan, intensitas cahaya dan suhu sangat mendukung plantlet untuk beradaptasi dengan lingkungan baru. Menurut Yusnita (2003), pada minggu pertama aklimatisasi kelembaban lingkungan harus dipertahankan agar tetap tinggi, kemudian menurun secara bertahap pada minggu-minggu berikutnya. Selain itu, cahaya diatur dari intensitas rendah dan meningkat secara bertahap, sedangkan suhu tetap dijaga agar tidak melebihi 32 oC.
nodul baru, namun secara pasti belum dipelajari lebih jauh dari mana asal-usul penggandaan tersebut.
Gambar 5. Bibit tanaman pisang Raja Nangka yang siap di pindahkan ke lapang.
Gambar 4.Plantlet yang siap untuk mendapat perlakuan pra-aklimatisasi setelah 1 bulan pada media perakaran (A). Plantlet yang mendapat perlakuan pra-aklimatisasi pada media sekam hitam steril dan disungkup plastik selama 1 minggu (B). Pada penelitian ini sungkup plastik dibuka setelah tanaman berumur 2 minggu, untuk selanjutnya pot dipindahkan ke rumah kaca selama 1 minggu. Setelah 8 minggu di dalam polybag berisi media tanah dan arang sekam dengan perbandingan 1:1, tinggi tanaman mencapai rata-rata 35,45 cm sehingga siap untuk digunakan sebagai bibit (Gambar 5.). Menurut Wattimena (1999), pada pisang abaca, bibit hasil kultur jaringan siap dipindah ke lapang pada saat tingginya mencapai 30 – 50 cm. Eksplan yang berasal dari bunga pisang pada awalnya membentuk nodul morfogenik. Setelah 6 bulan pada medium perakaran terjadi perbanyakan nodul, pembentukan tunas yang kemudian diikuti oleh pembentukan akar (Gambar 6.). Wattimena et al. (1992) menyatakan bahwa nodul merupakan sekelompok sel pada tempat tertentu pada kalus yang menyerupai kambium, yang sering juga disebut meristemoid. Penggandaan nodul diduga berasal dari sel peri-peri yang membelah dan membentuk
30
Diperlukan waktu yang cukup lama membentuk tunas pada nodul tersebut, hal ini diduga karena perimbangan zat pengatur tumbuh yang ada pada medium belum tepat sehingga belum mampu untuk memacu pertumbuhan tunas dengan cepat.
Gambar 6.Tunas-tunas yang terbentuk dari eksplan yang berasal bunga setelah 6 bulan pada medium pertunasan KESIMPULAN Eksplan yang berasal dari anakan membentuk tunas setelah 2 minggu disubkulturkan ke medium MS0, sedangkan eksplan yang berasal dari bunga pisang tidak langsung menghasilkan tunas tetapi membentuk nodul morfogenik
Rainiyati et al.: Kultur Jaringan Pisang Raja Nangka.
Penggandaan tunas pada eksplan yang berasal dari anakan terjadi setelah 2 bulan tanaman disubkulturkan ke media pertunasan. Penggandaan nodul pada eksplan yang berasal dari bunga terjadi 4 bulan setelah disubkulturkan ke medium pertunasan, sedangkan tunas baru muncul setelah tanaman berumur 6 bulan. Tanaman siap digunakan sebagai bibit setelah berumur 2 bulan di polybag dengan tinggi rata-rata 35,45 cm. DAFTAR PUSTAKA Bhojwani, S. S. dan M. K. Razdan. 1983. Plant Tissue Culture: Theory and Practice. Development in Crop Science 5. Elsevier Press, Amsterdam. Rosita, N. 2001. Pengaruh Jenis Media Preservasi dan Lama Penyimpanan Gelap terhadap Kemampuan Tumbuh Platlet Abaca (Musa textiles var.
tangongon). Skripsi Sarjana Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sunarjono, H. 2002. Budidaya Pisang dengan Bibit Kultur Jaringan. Penebar Swadaya, Jakarta. Taji, A. M., W. A. Dodd dan R. R. Williams. 1997. Plant Tissue Culture Practice. University of New England, Armidale. Wattimena, G. A. 1987. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Wattimena, G. A. 1999. Produksi Massal Bibit Pisang Abaca melalui Proses Bioteknologi. Makalah Seminar tanggal 24 November 1999 di Semarang. Wattimena, G. A., L. W. Gunawan, N. A. Mattjik, E. Sjamsudin, N. M. A. Wiendi dan Ernawati. 1992. Bioteknologi Tanaman. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Yusnita. 2003. Kultur Jaringan: Cara Memperbanyak Tanaman Secara Efisien. Agromedia Pustaka, Jakarta.
31
32