m.k. Teknologi Pengolahan Tradisional Hasil Perairan
Dosen : Dr. Mala Nurilmala, S.Pi., M.Si.
PRODUK TRADISIONAL FILIPINA
Oleh: Ratna Wulandari
C34110021
Atika Nastaina Utami
C34110022
Vidyatami Hanum Pratiwi
C34110023
Nadia Fitriana
C34110024
Ayumi Yusida
C34110026
Aziza Nova Aulia
C34110027
Muhammad Ikhsan Siagian
C34110028
Irfan Setia Tanjung
C34110029
Asya Fathya Nur Zakiah
C34110030
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014
1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Ikan merupakan sumber bahan pangan yang bermutu tinggi, terutama
karena banyak mengandung protein yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Salah satu kelemahan ikan adalah bahan pangan ini mudah rusak (highly perishable food). Untuk menanggulangi hal tersebut diperlukan suatu cara pengawetan dan pengolahan yang dapat mempertahankan daya awet ikan dan tidak mengurangi nilai gizinya. Selain meningkatkan daya simpannya, pengolahan ikan juga bertujuan untuk meningkatkan nilai ekonomis ikan. Metode pengolahan ikan terdapat 2 macam yaitu pengolahan modern dan tradisional (Sianipar 2003). Produk olahan tradisional yang telah beredar komersil di pasaran diantaranya terasi, kecap ikan, bekasam, peda, ikan asin dan sebagainya. Umumnya pengolahan ikan secara tradisional adalah menggunakan proses fermentasi dengan garam. Fermentasi tersebut dilakukan sebagai upaya penguraian senyawa kompleks dari bahan baku menjadi senyawa yang lebih sederhana pada produk sehingga dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh konsumen (Desniar et al 2009) Ikan sebagai makhluk hidup yang dinamis menyebabkan hampir di seluruh dunia mempunyai produk olahan ikan yang khas daerahnya. Negara-negara ASEAN sendiri terkenal denga produk olahan ikan tradisionalnya contohnya negara Thailand, Indonesia, Myanmar, Malaysia dan Filipina. Negara Filipina sendiri memiliki keberagaman produk olahan ikan tradisional yang khas diataranya patis, burong isda, burong hipon dan sebagainya. Mengenal keanekaragaman
produk
perikanan
tradisional
dunia
akan
memperkaya
pengetahuan mengenai proses pengolahannya, bahan baku, lingkungan tempat pembuatannya dan kandungan gizinya. 1.2
Tujuan Mengetahui dan mengidentifikasi produk olahan ikan tradisional di negara
Filipina.
2 ISI
Banyak produk hasil laut yang dikembangkan secara tradisional oleh masyarakat di Asia, terutama Asia Tenggara, sehingga produk hasil laut terfermentasi di negara-negara Asia Tenggara hampir mirip bahkan ada yang sama dengan nama yang lain. Produk hasil laut terfermentasi berawal dari produk yang dihasilkan dengan proses tradisional. Produk-produk tersebut kemudian diproduksi pada skala industri dengan proses yang modern, dengan perkembangan teknologi. Berikut ini merupakan beberapa produk-produk tradisional khas dari Negara Filipina. 2.1
Burong Hipon (Balao Balao) Burong Hipon atau Balao Balao adalah produk fermentasi nasi dan udang
(Penaeus indicus or Macrobrachium species) Campuran ini menjadi asam selama fermentasi dan pada fermentasi ini kulit udang menjadi lunak dan kemerahan. Produk ini biasanya disiapkan diatas meja dalam bentuk tumis dan dimakan sebagai hidangan pembuka atau hidangan utama. Metode utama untuk membuat balao balao adalah degan mencampurkan udang yang telah dicuci dengan garam (sekitar 20% w/w) dan campuran tersebut didiamkan selama 2 jam atau semalaman. Kemudian udang tersebut ditiriskan dan dicampur dengan nasi dan difermentasikan selama 7 hingga 10 hari pada suhu ruang. Nilai Total Plate Count (TPC) dari produk ini menunjukkan hasil yang berfluktuasi. Hal ini dipercaya karena peran bakteri flora yang terlibat pada proses. Perubahan bakteri flora selama proses fermentasi disebabkan karena perubahan suasana produk yang asam sehingga dapat mengeliminasi bakteri tertentu dan pada waktu yang bersamaan juga dapat meningkatkan bakteri tertentu pula terutama bakteri asam laktat (IANRC 2012). 2.2
Burong Isda Burong Isda merupakan produk makanan tradisional yang populer di
daerah Luzon tengah. Biasanya produk ini dibuat dari ikan air tawar. Selama fermentasi, daging dan tulang ikan akan berubah menjadi sangat lunak ketika dimasak. Sebelum dihidangkan, biasanya produk ini ditumis dengan minyak, bawang putih, dan bawang merah. Sama dengan balao balao, produk ini dapat
dikonsumsi
sebagai
hidangan
pembuka
atau
hidangan
utama.
Metode
preparasinya hampir sama dengan Balao balao. Ikan dibersihkan lalu difillet, kemudian dicampur dengan gara dan didiamkan selama 24 jam sebelum dicampur dengan nasi. Fermentasi produk ini juga dilakukan selama 7 hingga 10 hari pada suhu ruang. Bakteri yang terdapat pada produk ini juga didominasi oleh grup bakteri asam laktat yang sama seperti pada produk Balao Balao. Selama fermentasi asam laktat ini, perubahan kimia utama yang terjadi adalah akumulasi asam laktat dari konversi karbohidrat. Hal ini akan mempengaruhi komposisi kimia dan keasaman dari produk. Burong isda merupakan produk tradisional fermentasi ikan yang berasal dari Filipina. Produk ini serupa dengan naresushi atau funasushi di Jepang. Sebelumnya dikonsumsi sebagai bahan tambahan makanan, sekarang banyak dikonsumsi sebagai makanan utama karena kondisi ekonomi. Burong isda tersedia dalam dua bentuk, tergantung kesukaan konsumen pada daerah masing-masing. Ada yang disebut burong isda putih yang memiliki warna dari produk asli, dan jenis yang lain yaitu burong isda merah yang diberi pewarna dengan penambahan agkak. Beberapa jening burong isda dijual di pasar, produknya diberi merek sesuai dengan ikan yang digunakan sebagai bahan baku, misalnya burong dalag, yaitu burong isda yang dibuat dengan bahan baku ikan mudfish, Ophicephalus striatus (IANRC 2012). 2.3
Patis (fish sauce) Patis adalah salah satu produk yang dibuat dengan mencampur 3 atau 4
bagian ikan kecil (Stolephorus spp., Sardinella spp., Leighnathus spp., atau Decapterus macrosoma) dengan tambahan garam laut. Campuran tersebut ditempatkan dalam pot gerabah, kaleng minyak tanah, minyak barel ataupun tong kayu besar dan dibiarkan pada suhu ruang selama 1 sampai 15 bulan agar proses fermentasi dapat berjalan. Pada akhir waktu fermentasi patis cair dialirkan dan disaring sebelum diletakkan kedalam botol. Ada beberapa produsen memasak terlebih dahulu patisnya sebelum dimasukkan kedalam botol. Residu dari pati dapat digunakan sebagai saus kental yang disebut bagoong. Sebuah ekstraksi kedua residu dapat ditambahkan garam selama beberapa minggu. Residu patis mengandung strain tunggal B. coagulans, B. licheniformis, Achromobacter
thalassius, dan strain B. pumilus yang berbeda metabolik dari strain yang ditemukan dalam cairan patis (Crisan 1974). Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan patis mirip dengan pasta ikan. Bedanya adalah pada periode fermentasi. Patis akan dihasilkan dengan baik apabila proses fermentasi dilanjutkan sampai bentul cairan kemudian di saring. Total jumlah bakteri akan menurun seiring dengan lamanya waktu fermentasi yang digunakan. Sebagian besar organisme yang terisolasi adalah bakteri anaerob fakultatif. Bahan padat akan dicerna secara bertahap karena adanya enzim yang menyebabkan peptida dan asam amino meningkat dalam komponen cair. Amino nitrogen dan jumlah basa volatil (TVBS) meningkat terus sampai hari ketujuh belas fermentasi. Selain itu, lemak pada ikan diyakini dipecah selama proses fermentasi untuk menghasilkan asam lemak. Ini dapat bertindak sebagai prekursor untuk rasa dan aroma senyawa dan juga dapat berpartisipasi dalam reaksi pencoklatan yang meningkat dengan jangka waktu fermentasi (Olympia 1986). 2.4
Bagoong Bagoong adalah residu yang berasal dari ikan atau udang yang
terhidrolisis. Memiliki bau seperti keju dan rasa yang asin. Karakteristik produk ini bervariasi tergantung pada daerah dimana produk itu diproduksi dan dikonsumsi. Diprovinsi Tagalog pasta ikan ini benar-benar difermentasi dengan atau tanpa pewarna yang ditambahkan. Di wilayah Ilocos produk ini hanya sebagian atau seluruhnya yang difermentasi. Sedangkan di visayas dan mindanao produk ini difermentasi tanpa cairan dan timbul garam padat pada produk bagoong. Ikan yang digunakan pada pembuatan bagoong diantaranya ikan teri, sarden, herring, silverside, udang, slipmouth, tiram kerang dan kerang lainnya. Ikan dicuci secara menyeluruh dan dikeringkan. Kemudian pencampuran garam dan dikeringkan sampai kering seccara keseluruhan. Campuran tersebut dibiarkan selama beberapa bulan atau sampai timbul rasa dan aroma khas bagoong. Bagoong dapat dimakan mentah atau dimasak. Bagoong biasanya digunakan sebagai penyedap atau bumbu dalam resep tradisional. Dapat juga digunakan sebagai appetizer dengan dicampurkan dan ditumis dengan bawang merah dan putih disajikan dengan tomat atau mangga hijau. Didaearah pesisir bagoong digunakan sebagai sumber utama protein dalam proses diet (Olympia 1986).
Produk akhir dari bagoong yang berasal dari cangkang udang diproduksi dibeberapa bagian Negara Filipina. Jika kulit udang difermentasi dalam jangka waktu yang lama maka akan terurai dan produk akan menjadi pasta semi cair seperto di Zheijiang Cina. Produk ini biasanya dikeringkan untuk mengurangi kadar air dan untuk menghasilkan produk semi padat. Produk semi padat artinya adalah memerlukan sedikit garam dan memiliki rasa umami yag kuat. Proses pengeringan diperuntukkan untuk meningkatkan intesitas daya simpan dan rasa dari produk. Pengeringan juga dapat mencegah ketengikan dari produk (Hajep 2012).
3 SIMPULAN DAN SARAN
3.1
Simpulan Produk tradisional hasil perairan dari Negara Filipina yang diketahui yaitu
burong hipon, burong isda, patis, dan bagoong. Masih banyak produk makanan tradisional dari hasil perairan di Filipina yang belum disebutkan. Produk tradisional yang terdapat pada Negara Filipina sebagian besar menggunakan teknik pengolahan secara fermentasi. 3.2
Saran Keragaman produk tradisional hasil perairan seharusnya menjadi
primadona dunia karena banyaknya ragam budaya maupun produk tradisional khas dari setiap negara. Potensi ini dapat dilestarikan dan dikembangkan dengan lebih intensif sehingga produk makanan tradisional menjadi kebanggaan.
DAFTAR PUSTAKA
[IANRC] International Affairs National Research Council. 2012. Applications of Biotechnology to Traditional Fermented Foods. Washington, D.C: National Academy Press. Crisan E.V, Anne S. 1974. Microflora of four fermented fish sauces. Applied Microbiology. 29 (1): 106-108 Desniar, Djoko Poernomo, Wini Wijatur. 2009. Pengaruh konsentrasi garam pada peda ikan kembung (rastrelliger sp.) dengan fermentasi spontan. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia 12 (1) : 73-87 Hajep , Jinap. Fermented shrimp products as source of umami in Southeast Asia. Journal Nutrition and Food Sciences. S10: 1-5 Olympia, M. A., Valenzuela, and M. Takano. 1986. Isolation of an amylolytic lactic acid bacteria in burong bangus. Paper presented at the 7th World Food Congress, September 26-October 2, Singapore. Sianipar DT. 2003. Pengaruh kombinasi bahan pengikat dan bahan pengisi terhadap sifat fisik, kimia serta palatabilitas fish nugget dari daging merah ikan tuna (Thunnus obesus) [skripsi] Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.