PROCEEDING
PROCEEDING ISBN 978-979-18918-1-3
Seminar Nasional Indonesian Institute of Life Cycle Assessment on Food Products and Recent Progress in Agroindustry Jurusan Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada
Seminar Nasional Indonesian Institute of Life Cycle Assessment on Food Products and Recent Progress in Agroindustry
JUSTUS-LIEBIGUNIVERSITAT GIESSEN
Life Cycle Assessment, Packaging Design and Packaging Recycling JUSTUS-LIEBIGUNIVERSITAT GIESSEN
978- 979- 18918- 1- 3
Jurusan Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Seminar Nasional Asosiasi Profesi Teknologi Agroindustri (APTA) Indonesian Institute of Life Cycle Assessment on Food Products and Recent Progress in Agroindustry Penyunting: Dr. Ir. WahyuSupartono Dr. Atris Suyantohadi, STP, MT Dr. Jumeri, STP, MSi Desain Sampul: Galih Kusuma Aji, STP Penata Letak: Galih Kusuma Aji, STP Pemasaran: Novita Erma Kristanti, STP, MP Ir. Guntarti Tatik Mulyati, MT Sri Kurniati, SE Penerbit: Jurusan Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Desember, 2012 ISBN : 978-979-18918-1-3
i
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
KATA PENGANTAR
Menghaturkan puji syukur kehadirat Allah SWT, Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Profesi Teknologi Agroindustri (APTA) dengan tema “Indonesian Institute of Life Cycle Assessment on Food Products and Recent Progress in Agroindustry” dapat kami selesaikan. Seminar ini diselenggarakan pada tanggal 23 November 2011 bertempat di Auditorium Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada. Kami mengucapkan terima kasih atas sumbangsih pemikiran dari kalangan akademisi, praktisi industri dan perwakilan pemerintah. Hal tersebut membuat semakin berartinya APTA sebagai sarana komunikasi ilmiah dan penciptaan jaringan berbasis kepedulian terhadap Agroindustri. Prosiding ini kami susun sesuai dengan urutan penyampaian makalah. Makalah dikelompokkan menjadi empat kelompok besar terdiri Processing Technology and Quality Control, Supply Chain Management, Simulation and Modeling System, Social Economic and Business. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu tersusunnya Proceeding ini. Kami menyadari, bahwa penyajian Prosiding ini masih belum sempurna, sehingga segala kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan. Semoga Prosiding ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Yogyakarta, Januari 2012
Penyunting
ii
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ......................................................................................................
i
KATA PENGANTAR ....................................................................................................
ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................................
iii
SUB TOPIK I : PROCESSING TECHNOLOGY AND QUALITY CONTROL PENGEMBANGAN NATA DE CASSAVA SIAP SAJI DALAM KEMASAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN KANSEI ENGINEERING(Development of Packaged Nata De Cassava using Kansei Engineering Approach) Oleh : Mirwan Ushada, Novi Purnama Sari, Wahyu Supartono .................................
1
IDENTIFIKASI POTENSI NIPAH (Nipa frauticans) SEBAGAI SUMBER GULA ALTERNATIF DI JAWA TIMUR Oleh : Hendrix Yulis Setyawan dan Susinggih Wijana................................................
8
ANALISIS KELAYAKAN TEKNIK PENGOLAHAN SIRUP GULA KELAPA DARI GULA CETAK (KAJIAN KONSENTRASI ARANG AKTIF DAN LAMA ADSORBSI) Oleh : Susinggih Wijana, Dodyk Pranowo, dan Laely Okviati ................................... 14 APLIKASI EMULSIFIER DARI ALGINAT JENIS TURBINARIA CONOIDESDAN TURBINARIA DECURRENS DALAM PEMBUATAN CAKE Oleh : Wahyu Mushollaeni ........................................................................................... 20 PENGARUH SUHU DAN WAKTU TERHADAP HIDROLISIS TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT DAN BIODEGRADASINYA SECARA ENZIMATIS UNTUK PRODUKSI XILOSA Oleh : Wisnu Adi Yulianto dan Dewa Made Krismanto Panji .................................... 26 TELAAH: PENENTUAN KUALITAS DAN PEMALSUAN DAGING DAN OLAHAN DAGING DENGAN SENSOR IMPEDANSI BIOELEKTRIK Oleh : Sucipto, Taufik Djatna, Irzaman, Tun Tedja Irawadi, Anas Miftah Fauzi ...... 34 PENERAPAN HEAT MOISTURE TREATMENT PATI UBI JALAR VAR. PAPUA SALOSA UNTUK PEMBUATAN SOHUN Oleh : Yudi Pranoto dan Haryadi ................................................................................. 43 KAJIAN KONSTANTA LAJU PERUBAHAN KADAR AIR DAN UMUR SIMPAN GULA SEMUT DALAM KEMASAN METALIZED PLASTIC, POLIETILEN DAN KOMPOSIT KERTAS Oleh : Devi Yuni Susanti , Sri Rahayoe, dan Haret Bima Dwiputra ........................ 54
iii
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
EVALUASI DAN REKOMENDASI PENERAPAN GOOD HANDLING PRACTICES PADA IKAN DI PASAR IKAN TRADISIONAL PANTAI DEPOK, BANTUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Oleh : Titisari Juwitaningtyas dan Wahyu Supartono .................................................. 64
ANALISIS KEMUNDURAN KUALITAS IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) DITINJAU DARI PARAMETER KIMIAWI DAN BIAYA SELAMA PENYIMPANAN DALAM KOTAK PENDINGIN Oleh: Nensi Nevridawati, Ag. Suryandono, dan M. Prasetya Kurniawan ................... 73 PENGARUH RASIO BIJI KEDELAI HITAM (Glycine max (L.) Merr.) DAN AIR TERHADAP KARAKTERISTIK YOGURT DAN PERUBAHAN SIFAT SELAMA PENYIMPANAN Oleh : Muhammad Nur Cahyanto, Sri Kanoni, dan Restu Nugraheni ......................... 81 KAJIAN PENGGUNAAN BASIDIOMYCETES(White rot fungi) PADA TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT UNTUK MEMPERCEPAT PENGURAIAN LIGNOSELULOSA Oleh : Islamiyah, Raden Faridz, dan Sri Hastuti .......................................................... 89 PENINGKATAN MUTU GILING BERAS DENGAN METODE CURINGGABAH BASAH(Improving The Quality Of Milled Rice By Curing Of Wet Rough Rice) Oleh : Tanwirul Millati ................................................................................................. 99 PENGARUH MEDIA PADA BIOFILTER HORISONTAL TERHADAP KUALITAS LIMBAH CAIR TAPIOKA YANG DIHASILKAN Oleh : Nur Hidayat, Sri Suhartini, dan Dian Indriana .................................................. 107 EVALUASI ISOTERM SORPSI LEMBAB BERAS CEPAT TANAK YANG DILAPISI EDIBLE FILM GUM ARAB YANG DIPERKAYA EKSTRAK REMPAH-REMPAH Oleh : Ch. Lilis Suryani, Agus Slamet, dan Komarudin Siukon .................................. 113 INOVASI PRODUK PADA INDUSTRI KECIL MENENGAH (IKM) GUDEG WIJILAN MELALUI PENGEMASAN PRODUK DALAM KALENG Oleh : Tommy Hendrix dan Asep Nurhikmat .............................................................. 122 PENGARUH PROSES PENGALENGAN TERHADAP KUALITAS GUDEG WIJILAN Oleh : Asep Nurhikmat, Bandul Suratmo, Nursigit Bintoro, dan Suharwadji ............. 131 PENENTUAN NILAI Fo PADA PENGALENGAN RENDANG DAGING Oleh : Mukhammad Angwar dan Asep Nurhikmat ...................................................... 137 PENGARUH LETAK KALENG UKURAN 301 X 205 TERHADAPNILAI Fo GULAI TUNA KALENG Oleh : Agus Susanto dan Asep Nurhikmat ................................................................... 142
iv
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
EVALUASI POSTUR KERJA PADA PEKERJA BAGIAN PERAWATAN TAMAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE REBA (RAPID ENTIRE BODY ASSESSMENT) (STUDI KASUS PADA PT DEWIJAYA AGRIGEMILANG JAKARTA) Oleh : Adisty Savitri, Guntarti Tatik Mulyati, dan Ibnu Wahid Fakhrudin Aziz.... 148 PENGARUH SUHU PENYANGRAIAN BIJI TERHADAP SIFAT FUNGSIONAL PROTEIN ISOLAT BUNGKIL WIJEN (SESANUM INDICUM L) (Effect of roasting temperature on the functional properties of protein isolated from sesame cake) Oleh : Pudji Hastuti dan Masagus Muhammad Prima Putra ........................................ 158 POST-HARVEST QUALITY EVOLUTION OF JONAGORED APPLES (MALLUS DOMESTICA CV. BORKH) DURING 14 DAYS OF SHELF LIFE Oleh : Fahrizal Yusuf Affandi and Bert Verlinden ...................................................... 166 OPTIMASI KELARUTAN, RENDEMEN DAN HIGROSKOPISITAS SERBUK PERISA ALAMI RAJUNGAN (Portunus Pelagicus) (KAJIAN FAKTOR SUHU PENGERINGAN DAN LAMA PENGERINGAN). Oleh : Arie Febrianto M, Jaya Mahar Maligan, dan Ika Atsari Dewi .......................... 177 PERBAIKAN PENGOLAHAN LIMBAH PERUSAHAAN MELALUI PERHITUNGAN ENVIRONMENTAL PERFORMANCE INDICATOR DENGAN PENERAPAN GREEN PRODUCTIVITY UNTUK MENINGKATKAN NILAI PRODUKTIVITAS ( Study Kasus : PT. Varia Niaga Nusantara ) Oleh : Rakhmawati, Muhammad Fakhry, dan Agung Hariyanto ................................. 185 ISOLASI BAKTERI POTENSIAL PENGHASIL 1,3 PROPANDIOL DARI LIMBAH BIODIESEL Oleh : Juwita Ratna Dewi dan Mahyudin Abdul Rahman ........................................... 194 PRODUK OLAH KUKUS (BOLU KUKUS) DAN GORENG (KEMBANG GOYANG)YANG DIOLAH BERDASAR SIFAT KARAKTERISTIK TEPUNG GADUNG (Dioscorea hispida Dennst) Oleh : Agnes Murdiati, Suparmo, dan Rini Citaningsih .............................................. 201 PERBAIKAN KUALITAS NATA KULIT PISANG KEPOK KUNING MELALUI PENERAPAN KEBUTUHAN TEKNIS DALAM QUALITY FUNCTION DEPLOYMENT Oleh : Giantika Prihasti, Nafis Khuriyati, dan M. Affan Fajar Fallah ......................... 210 KARAKTERISTIK BAKSO IKAN TUNA (Thunnus atlanticus) YANG DIBUAT DENGAN FILLER TEPUNG GANYONG, TEPUNG GARUT DAN MOCAF Oleh : Sri Kanoni, Sri Naruki, dan Afni Fitriyana ....................................................... 216 ANALISIS PEMANFAATAN BY-PRODUCT IKAN BAKAR/GORENG DENGAN PENDEKATAN LIFE CYCLE ASSESSMENT(Studi Kasus pada Rumah Makan Putra Bahari di Pantai Kuwaru, Srandakan, Kabupaten Bantul) Oleh : Saeful Iman Nurrizki, Mirwan Ushada, dan Makhmudun Ainuri ..................... 224 v
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
PEMBUATAN TABLET EFFERVESCENT SARI BUAH MARKISA KUNING (Passiflora Edulis.var.Flarcarpa) Oleh : Supriyanto, Agnes Murdiyati, dan Asih-Duwita ............................................... 234 SUB TOPIK II :SUPPLY CHAIN MANAGEMENT ANALISIS RANTAI NILAI PADA MANAJEMEN LOGISTIK SEBAGAI DASAR PERUMUSAN STRATEGI GUNA PENINGKATAN KEPUASAN KONSUMEN (STUDI KASUS DI PT.COCA-COLA AMATIL INDONESIA PLANT JAWA TIMUR) Oleh : Dian R. Setyawati, Imam Santoso, dan Mas’ud Effendi ................................... 245 SIMULASI MODEL RANTAI PASOKAN DALAM AGROINDUSTRI MINYAK KELAPA Oleh : Banun Diyah Probowati, Yandra Arkeman, dan Djumali Mangunwidjaja ....... 254 APLIKASI LEAST COST METHOD DALAM OPTIMASI JARINGAN DISTRIBUSI RASKIN (STUDI KASUS PADA PERUM BULOG SUB DIVISI REGIONAL MALANG JAWA TIMUR) Oleh : Wike Agustin P Dania, Isti Purwaningsih, dan Deandra Kusmadewi P. .......... 264 TINJAUAN TERHADAP POWER OF TWO POLICIES DALAM MANAJEMEN PERSEDIAAN Oleh : Henry Yuliando ................................................................................................. 271 PENERAPAN SUPPLY CHAIN MANAGEMENT (SCM) DALAM PERENCANAAN PENGADAAN BAHAN BAKU PEMBUATAN PRODUK BIHUN KERING, STUDI KASUS PADA PT. TUNAS MELATI PERKASA, SURABAYA Oleh : Usman Effendi, Sakunda Anggarini, dan Didik Supriono ................................ 278 SUB TOPIK III :SOCIAL ECONOMIC AND BUSINESS TINJAUAN PROFIL PENGEMBANGAN KAWASAN HORTIKULTURA ANGGUR DI KABUPATEN BULELENG Oleh : Sri Mulyani, Bambang Admadi, Ketut Satriawan, dan M.H. Mardiana ........... 287 KLASTERISASI USAHA/INDUSTRI KECIL BERBASIS KHARAKTERISTIK DAERAH UNTUK MEWUJUDKAN EFISIENSI DAN EFEKTIVITAS PENGEMBANGAN INDUSTRI DI KABUPATEN MAGELANG Oleh : Pujo Saroyo........................................................................................................ 297 PENYUSUNAN STRATEGI PEMASARAN OBYEK WISATA PANTAI MENGGUNAKAN ANALISIS SWOT (Studi Kasus di Pantai Kuwaru, Kecamatan Srandakan, Kabupaten Bantul, Yogyakrta) Oleh : Afifah, Endy Suwondo, dan Novita Erma Kristanti .......................................... 308
vi
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
EVALUASI ASUPAN DAN KEBUTUHAN ENERGI PADA PENGUNGSI MERAPI 2010 UNTUK MELAKUKAN KEGIATAN EKONOMI (Studi Kasus di Hunian Sementara (Huntara) Gondang I, Wukirsari, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta) Oleh : Ratih Hardiyanti dan Nafis Khuriyati ................................................................ 316 ANALISIS TINGKAT KEPUASAN WISATAWAN TERHADAP SARANA WISATA PANTAI KUWARU KABUPATEN BANTUL UNTUK PERANCANGAN STRATEGI PEMASARAN OBYEK WISATA (STUDI KASUS DI OBYEK WISATA PANTAI KUWARU KABUPATEN BANTUL) Oleh : Tian Nur Ma’rifat, Endy Suwondo, dan Novita Erma Kristanti ....................... 328 PENGEMBANGAN PRODUK STEVI-COFFEE CELUP UNTUK PENGUATAN SISTEM PERKEBUNAN KOPI RAKYAT DI SLEMAN PASCA ERUPSI MERAPI (PRODUCT DEVELOPMENT OF STEVI-COFFEE BAG FOR STRENGHTENING SLEMAN SMALL COFFEE INDUSTRIAL SYSTEM PASCA MERAPI ERUPTION) Oleh : Didik Purwadi, Suharno, dan Anggita Kurniasari ............................................. 335 SUB TOPIKIV :SIMULATION AND MODELING SYSTEM RANCANG BANGUN PROTOTYPE SISTEM PAKAR BERBASIS WEB UNTUK PENGENDALIAN KUALITAS PRODUK PROTEN (Studi Kasus di PT. Otsuka Indonesia Malang) Oleh : M. Zainul Arifin, Siti Asmaul, dan Arif Hidayat .............................................. 344 PENGEMBANGAN VISUALISASI GRAFIS PEMODELAN MATEMATIS PADA APLIKASI MORPHOLOGI TANAMAN BERBASIS PROGRAM GUI MATLAB Oleh : Atris Suyantohadi .............................................................................................. 353 RANCANG BANGUN SISTEM PAKAR UNTUK ANALISIS KELAYAKAN SERTIFIKASI EKOLABEL PADA INDUSTRI KERTAS CETAK TANPA SALUT
Oleh : Ika Atsari Dewi .................................................................................................. 361 TINJAUAN METODE DYNAMIC LOT SIZING DAN APLIKASINYA Oleh : Endy Suwondo dan Henry Yuliando ................................................................. 371
vii
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
PENGEMBANGAN NATA DE CASSAVA SIAP SAJI DALAM KEMASAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN KANSEI ENGINEERING (Development of Packaged Nata De Cassava using Kansei Engineering Approach) Mirwan Ushada1) , Novi Purnama Sari2) , Wahyu Supartono1) 1) Lecturer, Department of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Technology, Gadjah Mada University 2) Undergraduate Student, Department of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Technology, Gadjah Mada University Jl. Flora No.1 Bulaksumur Yogyakarta, Indonesia, ZIP 55281 Telp/Fax: +62-274-551219 Email:
[email protected]
Abstrak Cassava is a local agricultural commodity in Bantul, Yogyakarta Special Region. It can provide stabile supply to the market due to easy cultivation and non-seasonal commodity. Liquid by product resulted from tapioca processing have been used as materials for producing a fermented product named as Nata De Cassava. Up to date, Nata De Cassava is produced as a mixture to Nata De Coco due to the lower price. We identified 2 (two) main problems of Nata De Cassava as following: 1) A ready-to-be-served product of Nata De cassava is not yet available in the market; 2) Consumer can not make different between characteristics of Nata De Cassava and Nata De Coco. Therefore in this research, we developed a packaged Nata De Cassava. Kansei Engineering approach was used to identify the consumer preference of Nata De Cassava as a new product. The consumer preferences were converted into product parameters using Value Engineering. The research methodology consists of five phases as following; 1) Information phase to identify Kansei words from consumer as a zero-th concept to acquire quality attributes, 2) Creativity phase to search for alternatives of product concept, 3) Analysis phase to determine the best concept, 4) Development phase by analyzing the strengths and weaknesses of the selected concept, 5) Recommendation phase. The results generated six alternatives product concepts as lychee, pandanus, melon, chocolate, milk and ginger flavored. Three packaging concepts were generated as plastic cups with lid, glass cup, and pouch packaging. The best concept specification were concluded as: 1) Chewy and firm texture; 2) Uniformly cut in box-shape with the dimension of (1x1x1 cm); 3) The flavor of lychee; 4) Plastic cups packaging with lid and were labeled with dominant green color; 5) The net weight of 200 gram of product in each package.
Keywords:Kansei words, nata de cassava, packaging, product development, value engineering
kapasitas produksi 2-4 kuintal singkong/perajin. Menurut Pramiyati (2006), limbah cair tapioka dihasilkan
1. PENDAHULUAN Di Pundong, Bantul Yogyakarta terdapat 52 perajin pati tapioka, dengan
1
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
sebagai output (Nagamachi, 1995). Menurut Ushada (2010), nilai Kansei yaitu berupaimage atau kesan calon konsumen terhadap suatu produk baru yang dipengaruhi oleh kearifan lokal setempat. Kansei Words merupakan salah satu bagian dari Nilai Kansei berupa kata-kata yang dapat digunakan untuk menentukan atribut mutu. Metode ini akan menentukan hubungan kuantitatif yang tepat antara emosi serta perasaan konsumen dan elemen produk yang akan digunakan sebagai spesifikasi produk, sehingga dengan menggunakan metode ini akan diketahui spesifikasi produk nata de cassava yang diinginkan konsumen. Kemudian dapat dilakukan pengembangan produk nata de cassava yang memiliki performansitinggi dengan biaya produksi yang minimal. Diharapkan dengan berkembangnya produk nata de cassava siap saji dalam kemasan di pasaran dapat meningkatkan permintaan produk yang akan berdampak pada perkembangan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) nata de cassava menjadi semakin lebih luas, sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan mengurangi tingkat pencemaran lingkungan dengan peningkatan pendayagunaan limbah cair tapioka. Oleh karena itu diperlukan penelitian mengenai pengembangan produk nata de cassava dalam kemasan agar dapat menjadi suatu produk baru yang mempunyai keunggulan kompetitif. Tujuan penelitian adalah:1) Menggunakan Kansei Words dalam metode Value Engineering untuk mengembangkan produk Nata De Cassava siap saji dalam kemasan; 2) Mengidentifikasi atribut pembeda antara nata de cassava dengan nata de coco. Penelitian ini bermanfaat untuk memperkenalkan produk nata de cassava sebagai produk baru yang memiliki potensi untuk dikembangkan di Indonesia
dari proses pengendapan pati dan pencucian bahan baku. Limbah cair yang dihasilkan dari proses pengolahan tapioka ini dapat mencemari lingkungan karena menimbulkan bau yang tidak sedap akibat degradasi bahan organik yang tidak sempurna. Berdasarkan penelitian Mayasti (2009), dalam upaya pemanfaatan limbah saat ini onggok dan limbah cair yang dihasilkan dari pengolahan tapioka dapat dimanfaatkan menjadi bahan baku dalam pembuatan nata de cassava. Nata de cassava merupakan produk olahan berserat yang berasal dari limbah cair hasil pengendapan tapioka yang telah di fermentasi oleh bakteri Acetobacter xylinum. Industri nata de cassava sangat prospektif untuk kedepannya, dikarenakan biaya produksi rendah akibat dari bahan baku yang murah dan melimpah. Limbah tapioka biasanya dihargai Rp 1.000,- per 100 liter yang dapat menghasilkan ± 100 lembar nata de cassava mentah. Selama ini nata de cassava digunakan sebagai subtitusi nata de coco yang dicampurkan ke dalam produk nata de coco terkemas, sedangkan produk nata de cassava yang siap saji dalam kemasan belum ada di pasaran, sehingga pemasaran nata de cassava masih sangat terbatas hanya ke industriindustri nata de coco tidak langsung ke konsumen di pasaran dan menyebabkan produk nata de cassava belum dikenal oleh masyarakat khususnya di kota Yogyakarta. Pengembangan produk nata de cassava siap saji dalam kemasandilakukan dengan menggunakan metode Value Engineering berdasarkan Kansei Words (Sari, 2011). Kansei Words merupakan salah satu metode untuk mengidentifikasi imajinasi konsumen terhadap produk baru dalam Kansei Engineering. Kansei Engineeringadalah metode untuk mengolah Nilai Kansei sebagai input menjadi Atribut Produk
2
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
dan dapat meningkatkan peluang Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) nata de cassava, sehingga jumlah UMKM nata de cassava lebih berkembang keseluruh daerah hingga diluar kota Yogyakarta.
yang ditawarkan terdiri dari 1 set atribut produk awal seperti sampel produk nata de cassava dan sampel produk nata de coco guna uji organoleptik, bebe beberapa pertanyaan, dan foto-foto foto kemasan produk yang telah beredar di pasaran. Kansei words ini akan menghasilkan atribut mutu produk dan kemasan yang akan digunakan sebagai parameter produk dalam kemasan. Setelah itu dilakukan penyusunan dan penyebaran kuesioner ioner I, Uji Validitas dan Reliabilitas serta penyusunan dan penyebaran kuesioner II. Tahap informasi ini digunakan dalam pengambilan keputusan dalam tahap kreativitas untuk melakukan identifikasi fungís-fungsi fungsi produk dan pemunculan alternatif-alternatif alternatif ppengembangan. Tahap informasi menggunakan metode Kansei Words ini diharapkan memberikan efektivitas dalam tahap selanjutnya dalam Value Engineering seperti tahap analisa, tahap pengembangan dan tahap rekomendasi.
2. METODE PENELITIAN Adapun diagram alir penelitian dapat dilihat pada gambar 1 berikut ini:
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengidentifikasian atribut mutu dilakukan dengan wawancara atau penyebaran kuesioner pendahuluan. Konsep kuesioner pendahulu dalam penelitian ini diadaptasi dari mentality constraint, dimana sampel referensi dari sebuah produk diperlukan untuk menstimulun timbulnya nilai Kansei dari konsumen. Sampel ini dapat berupa gambar 2 dan 3 dimensi, foto dan prototipe produk (Ushada dan Murase, 2009). Atribut produk adalah ungkapan calon konsumen baik dalam bentuk kata atau kalimat sebagai pernyataan puas terhadap produk baru (Ushada dan Murase, 2010). Menurut Chen and Chang (2008), motivasi konsumen saat membeli suatu produk tidak hanya dipengaruhi oleh aspek fungsional tetapi juga oleh aspek emosional yang ditimbulkan oleh
Gambar 1. Diagram Alir Penelitian
Dalam tahap informasi, atribut mutu diidentifikasidengan Kansei Words Words. Kansei merupakan perasaan psikologis calon konsumen terhadap suatu produk baru dan dipengaruhi oleh kearifan lokal setempat(Ushada, 2010). Pengidentifikasian atribut mutu produk dan kemasan dilakukan dengan mengumpulkan 30-40 kata Kansei atau Kansei words,, berupa kata sifat atau kalimat yang berhubungan dengan felling di bidang produk melalui kuesioner pendahuluan. Konsep kuesioner pendahulu dalam penelitian ini diadaptasi dari mentality constraint (Ushada dan Murase, 2009). Kuesioner pendahulu 3
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
berbeda-beda, dua diantaranya adalah produk nata de cassava dan dua diantaranya lagi adalah produk nata de coco sebagai pembanding. Namun setiap responden tidak diberitahu sebelumnya bahwa sampel tersebut berbeda. Asumsi responden semua produk adalah sama yaitu produk nata de coco. Hal ini dilakukan untuk mengetahui pendapat konsumen terhadap perbedaan karakteristik antara nata de cassava dan nata de coco. Adapun spesifikasi sampel sebagai berikut: 1. Sampel A = merupakan sampel nata de cassava murni tanpa tambahan perasa/flavor dan gula produk UMKM Inti Cassava 2. Sampel B = merupakan sampel nata de coco murni tanpa tambahan perasa dan gula produk UMKM di Yogyakarta 3. Sampel C = sampel nata de coco dengan tambahan perasa cocopandan berwarna putih produk industri pabrik. 4. Sampel D = sampel nata de cassava dengan tambahan perasa cocopandan berwarna merah produk UMKM Inti Cassava Adapun gambar sampel produk dan gambar-gambar kemasan yang ditawarkan ke responden awal guna memperoleh Kansei words dapat dilihat pada gambar 3 berikut ini:
penampilan fisik. Dalam metodologi Value Engineering berdasarkan Kansei words langkah yang dilakukan untuk mengidentifikasi atribut mutu dengan Kansei words. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan diperoleh beberapa tahapan dalam pengidentifikasian Kansei words pada gambar 2 sebagai berikut:
Gambar 2. Diagram alir pengidentifikasian kebutuhan konsumen berdasarkan Kansei Words Kuesioner pendahulu yang ditawarkan terdiri dari 1 set atribut produk awal seperti sampel produk nata de cassava dan sampel produk nata de coco guna uji organoleptik, beberapa pertanyaan, dan gambar-gambar kemasan produk nata yang telah beredar di pasaran. Sampel produk yang ditawarkan terdiri dari empat macam produk yang
(a)
4
(b)
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Gambar 3 (a) Sampel produk nata de cassavadan nata de coco; (b) Gambargambar model kemasan di pasaran. Adapun hasil dari kuesioner pendahuluan berupa pohon Kansei dapat dilihat pada gambar 4 dan gambar 5 sebagai berikut:
Gambar 5. Penjabaran atribut mutu primer menjadi atribut mutu sekunder dengan pohon Kansei Words Untuk mengubah atribut menjadi parameter produk digunakan Diagram Function Analysis and System Technique (FAST). FAST untuk produk nata de cassava dalam kemasan dapat dilihat pada gambar 6 berikut ini:
Gambar 4. Pohon Kansei Words
5
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
kemasan pouch. Tekstur nata de cassava yang menurut konsumen lebih kenyal dibandingkan dengan produk nata de coco. Tingkat kekenyalan nata de cassava ini dipengaruhi oleh kandungan serat nata de cassava yang lebih tinggi dibandingkan nata de coco (Mayasti, 2009). Atribut ini dapat dikonfirmasi dengan Pengetahuan awal konsumen bahwa Produk nata merupakan salah satu produk berserat yang dapat memperlancar pencernaan (60% Setuju dan 13 % Sangat Setuju). 4. KESIMPULAN 1. Dalam pengembangan produk Nata De Cassava dalam kemasan, penerapan metode Kansei Words dalam Value Engineering konsep produk nata de cassava dalam kemasan yang lebih spesifik dan sesuai dengan kebutuhan konsumen 2. Penerapan Kansei Words dapat memunculkan atribut mutu Tekstur yang membedakan nata de cassava dengan nata de coco 3. Penggunaan sample produk diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan awal (Pre knowledge) dalam mengungkapkan kebutuhannya terhadap produk baru 5. DAFTAR PUSTAKA Chen, H-Y., Y-M. Chang. 2008. Extraction of Product Form Features Critical to Determining Consumers’ Perception of Product Image using A Numerical Definition-based Systematic Approach. International Journal of Indiustrial Ergonomics. 39(1): 133-145. Mayasti, Nur. K. I. 2009. Analisis Kelayakan Pasar, Teknis dan Financial Produksi Nata De Cassava Dari Hasil Samping Industry Pati Tapioka, Pundong Bantul. Skripsi.
Gambar 6. Diagram FAST produk Nata De Cassava siap saji dalam kemasan Konsep yang dihasilkan terdiri dari enam konsep produk dengan rasa leci, pandan, melon, cokelat, susu, jahe dan tiga konsep kemasan yaitu kemasan cup plastik bertutup, cup gelas, dan
6
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Program Studi Teknologi Industri Pertanian. Universitas Gadjah Mada. Nagamachi, M. 1995.Kansei Engineering: A new ergonomic consumer-oriented technology for product development. International Journal of Industrial Ergonomics 15 (1995) 3-11. Pramiyati, 2006. Aplikasi Teknologi Pemanfaatan Limbah Tapioka dan Tahu. Politeknik Kesehatan Yogyakarta. Yogyakarta. Sari, Novi P. 2011. Pengembangan Produk Nata De Cassava Dalam Kemasan Menggunakan Metode Value Engineering Berdasarkan Kansei Word. SkripsiProgram Studi Teknologi Industri Pertanian. Universitas Gadjah Mada. Ushada, M. 2010.Pendekatan Kansei Engineering untuk Pengembangan Produk Baru Agroindustri Berbasis Kearifan Lokal.Seminar Nasional APTA Fakultas Teknologi Pertanian UGM. Yogyakarta 16 Desember 2010. Ushada, M., H. Murase. 2009. Desain of Customisable Greening Material using Swarm Modelling. Biosystems Engineering. 104 (2): 169-183.
7
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
IDENTIFIKASI POTENSI NIPAH (Nipa frauticans)SEBAGAI SUMBER GULA ALTERNATIF DI JAWA TIMUR Hendrix Yulis Setyawan1 dan Susinggih Wijana2 1,2 Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya, Jalan Veteran Malang Jawa Timur Indonesia
Abstrak Kebutuhan gula sebagai pemanis sangat tinggi dan pemenuhannya sebagian masih mengandalkan impor. Upaya yang dapat dilakukan adalah merangsang pertumbuhan industri gula alternatif skala kecil dengan memproduksi gula non-tebu seperti kelapa, nipah, aren dan siwalan. Dalam studi ini telah dilakukan identifikasi tanaman nipah yang ada di Jawa Timur, dan analisis kualitas nira yang dihasilkan sebagai bahan dasar produk olahan (gula sirup, gula cetak dan gula semut). Hasil kajian menunjukkan bahwa nipah di Provinsi Jawa Timur banyak tumbuh di Kabupaten Sumenep dan Kabupaten Gresik. Lokasi potensial untuk dikembangkan sebagai basis agro-industri gula nipah adalah Kecamatan Sangkapura dan Tambak, keduanya terletak di Pulau Bawean Kabupaten Gresik. Hasil analisis organoleptik nira nipah menunjukkan kesamaan profil nira nipah dengan nira palma lainnya. Rerata kadar gula nipah lebih tinggi dibanding nira palma lainnya sebesar 17-21o brix. Kualitas organoleptik produk olahan dari nira nipah memiliki cita rasa khas yang disukai oleh panelis/konsumen.
Kata kunci: tanaman nipah, gula, Jawa Timur
relatif masih tinggi, pabrik yang sudah tua, dan sistem penentuan rendemen yang masih bermasalah, di samping inefisiensi pada aspek manajemen. Indonesia dahulu memiliki 179 PG, dibandingkan dengan sekarang yang hanya tinggal kurang dari 60 PG (Susila, 2002). Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah ini adalah meningkatkan pertumbuhan industri gula tebu, dan merangsang pertumbuhan gula non-tebu (gula palma) sebagai pendukung. Pengolahan gula palma merupakan penopang dalam pemenuhan kebutuhan gula setelah gula pasir dari tebu, baik dalam bentuk sirup, cetak maupun kristal. Agroindustri gula palma lebih memungkinkan dikembangkan di berbagai bagian pedesaan Indonesia, karena tidak
1. PENDAHULUAN Indonesia pada mulanya merupakan salah satu negara eksportir gula terbesar pada era tahun 1930-an. Dengan rendemen berkisar antara 11%13%, produksi gula Indonesia mencapai tiga juta ton dan volume ekspor sekitar 2.4 juta ton per tahun, akan tetapi pada saat ini Indonesia justru mengimpor gula dengan volume berkisar antara 1.2 – 1.5 juta ton per tahun (Khudori, 2011)(Susila & Sinaga, 2005). Hal itu disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: pada tingkat usaha tani, inefisiensi bersumber antara lain dari porsi tanaman keprasan yang tinggi (70%), penggunaan input yang belum optimal, dan inefisiensi pada sistem panen dan transportasi. Pada tingkat pabrik sumber masalah antara lain idle capacity pabrik gula (PG) yang 8
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2010
memerlukan investasi alat dan mesin yang mahal. Hingga kini di wilayah Provinsi Jawa Timur baru memanfaatkan gula palma dari tanaman kelapa, aren dan siwalan, sedangkan dari nira nipah belum ada, oleh karena itu perlu dilaksanakan pemetaan potensi dan penelitian pengolahan nira nipah menjadi aneka produk gula (gula cetak, gula semut dan sirup) untuk mendukung penyediaan gula di Indonesia terutama di wilayah Jawa Timur. Adanya informasi peta pengembangan agroindustri gula palma nipah diharapkan dapat mendorong pertumbuhan agroindustri di wilayah sekitar pantai, sehingga dapat berperan dalam meningkakan pendapatan petani di Jawa Timur. Gula nipah dihasilkan dari tanaman nipah, sejenis palem (palma) yang tumbuh di lingkungan hutan bakau atau daerah pasang-surut dekat tepi laut. Nipah tumbuh di bagian belakang hutan bakau, terutama di dekat aliran sungai yang memasok lumpur ke pesisir. Palma ini dapat tumbuh di wilayah yang berair agak tawar, sepanjang masih terpengaruh pasang-surut air laut yang mengantarkan buah-buahnya yang mengapung. Di tempat-tempat yang sesuai, tegakan nipah membentuk jalur lebar tak terputus di belakang lapisan hutan bakau, kurang lebih sejajar dengan garis pantai. Nipah mampu bertahan hidup di atas lahan yang agak kering atau yang kering sementara air surut. Kemampuan penyebaran yang baik ini sangat potensial untuk dikembangkan sebagai perkebunan, karena nipah dapat mendominasi ekosistem mangrove (Udoidiong & Ekwu, 2011). Kegunaan tanaman nipah sangat beragam. Seperti pada tanaman lainnya struktur bagian tanaman nipah terdiri dari akar, batang atau cabang, daun, bunga, dan buah. Hampir seluruh bagian tanaman dapat dimanfaatkan oleh masyarakat di sekitar hutan nipah mulai
sumber gula, bahan pembuat atap sampai bahan penyerap logam berat (Wankasi, Horsfall, & Harcourt, 2005). Hasil pemetaan tanaman nipah secara umum diharapkan sebagai dasar pengembangan agroindustri gula palma berbasis nipah. Beberapa tujuan spesifik yang ingin dicapai dari kegiatan penelitian ini antara lain adalah mengetahui potensi tanaman nipah yang ada diwilayah sampel dan mengetahui kualitas olahan nira nipah menjadi aneka produk olahan gula (gula sirup, gula cetak dan gula semut/kristal). 2. METODE PENELITIAN Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah peta, nira nipah dan bahan-bahan untuk analisis kualitas nira dan produk gula. Alat-alat yang diperlukan adalah GPS, computer dan alat analisis laboratorium. Metode pemetaan potensi tanaman nipah di daerah pesisir Jawa Timur dilakukan dengan menetukan lokasi wilayah sampling, yang pada penelitian ini didasarkan hasil Citra satelit LANDSAT ETM+4, Satelit Terra dan Aqua pada instrumen MODIS, serta USGS Map Earth Explorer (peta bumi dengan georeference). Daerah sampel terpilih adalah daerah yang memiliki ciriciri spesifik sebagai tempat tumbuh tanaman nipah yaitu adanya vegetasi mangrove, tanaman nipah dapat tumbuh di lahan yang berjarak lebih dari 100 m dari garis pantai, dan jenis tanah yang cocok sebagai media tumbuh tanaman nipah adalah jenis tanah dengan kerapatan partikel yang kurang dari 2 nm, memiliki kadar humus yang tinggi, berlumpur dan tercampur dengan air payau. Berdasarkan hasil pemetaan awal, kemudian dilakukan verifikasi lapang untuk mengetahui keberadaan tanaman nipah. Metode dasar yang digunakan untuk mendukung data pemetaan adalah metode survey.
9
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2010
Untuk mendukung pemetaan lokasi, dilakukan juga identifikasi kualitas produk / gula yang diproduksi. Pada tahap ini dilakukan penyadapan nira kemudian diubah menjadi produk gula palma berbentuk cetak, sirup dan bubuk/gula semut. Data yang dihasilkan dari penelitian meliputi : rendemen, kualitas khemis (kadar gula total, gula reduksi, kadar air dan kadar abu, serta total padatan terlarut (TPT) khusus untuk sirup) sedangkan uji sensoris meliputi aroma, rasa, warna dan kenampakan)
Gambar 2. Koordinat lokasi sampel A di Kabupaten Sumenep. Identifikasi pada peta di Kabupaten Gresik menunjukkan bahwa terdapat 5 lokasi sasaran terpilih hasil citra satelit, yaitu: Ujung Pangkah, Pangkah Wetan, Randu Boto, Manyarejo, dan Pulau Bawean.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Daerah potensial ditumbuhi tanaman nipah Dari hasil pemantauan citra satelit yang telah dilakukan, terdapat beberapa daerah yang diduga berpotensi menjadi tempat tumbuh berbagai populasi mangrove khususnya nipah, berdasarkan kesesuaian lahan dan vegetasi diantaranya adalah Kabupaten Sumenep dan kabupaten Gresik. Beberapa lokasi di Kabupaten Sumenep yang berpotensi ditumbuhi tanaman nipah berdasarkan gambar Citra Satelit Terra 2007 (Modus Analisis EVI) seperti pada Gambar 1 adalah Dungkek, Lapalok, Saronggi, Romben Guna, Romben Barat, Lombang dan Pulai Giligenting.
3.2. Verifikasi potensi tanaman nipah Zona UTM Kabupaten Sumenep terbagi menjadi 2, yaitu : 1. UTM 49, Merupakan Bagian Daratan dengan luas : 1.146,93 Km2 (54,79 %) yang terbagi atas Tujuh Belas Kecamatan dan satu pulau di Kecamatan Dungkek 2. UTM 50, Merupakan Bagian Kepulauan dengan luas : 946,53 Km2 (45,21 %) yang meliputi 126 buah pulau, 48 pulau berpenghuni dan 78 pulau tidak berpenghuni. Berdasarkan hasil survey dan wawancara dengan pihak dinas kehutanan dan perkebunan Sumenep, divisi hutan mangrove berhasil diperoleh informasi sebagai berikut : 1. Pada UTM 50 tanaman mangrove didominasi oleh Rizhophora spp, Bruguiera spp, Avicenia spp, Sonneratia spp, Xylocarpus spp. 2. Pada UTM 49, di Desa Saronggi ditemukan tanaman nipah dengan total luas ± 9.52 Ha, seperti pada Gambar 3.
Gambar 1. Citra satelit terra 2007 (Modus Analisis EVI) Lokasi-lokasi pemetaan secara spesifik dicontohkan menurut lokasi seperti pada Gambar 2.
10
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2010
termasuk di 2 wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Sangkapura dan Kecamatan Tambak. Berdasarkan analisis lokasi dan luas lahan yang ditumbuhi tanaman Nipah tersebut, potensi yang paling besar untuk dikembangkan menjadi sentra agroindustri gula nipah di wilayah Provinsi Jawa Timur adalah P. Bawean. Pengembangan agroindustri gula palma Nipah di wilayah P. Bawean memiliki beberapa keungulan strategis, antara lain : 1). Jumlah tanaman nipah di pantai sangat luas hampir tersebar di berbagai desa pantai Bawean; 2). Pertambahan populasi dan kepadatan penduduk di Bawean relatif kecil dibandingkan Kabupaten Sumenep, sehingga kemungkinan terjadinya degradasi lahan hutan Nipah kecil; 3). Agroindusti gula Nipah sangat cocok dikembangkan dengan berbasis pada aktivitas gender, karena bunga nipah dapat disadap oleh perempuan dan sejalan dengan potensi jumlah penduduk di Bawean yang didominasi oleh kaum perempuan.
Gambar 3. Polygon populasi tanaman nipah di Desa Saronggi Vegetasi Mangrove memiliki banyak vegetasi. Tanaman nipah hanya merupakan salah satu dari puluhan vegetasi mangrove (Hinrichs, Nordhaus, & Geist, 2008). Hasil survey lapang di 5 lokasi di Kabupaten menunjukkan bahwa daerah Kabupaten Gresik daratan tidak terdapat vegetasi nipah. Vegetasi mangrove yang terpetakan adalah vegetasi cemara udang, kelapa dan bakau. Lokasi ditemukannya vegetasi nipah di Kabupaten Gresik terkonsentrasi pada Pulau Bawean.
3.3. Analisis gula palma berbasis nira nipah Pemanfaatan vegetasi mangrove sudah banyak dilakukan. Penyadapan nira dari nipah hanya salah satu contohnya (Atheull, Din, Longonje, Koedam, & Dahdouh-Guebas, 2009). Nira nipah merupakan hasil dari proses penyadapaan pada tanaman nipah. Berdasarkan hasil pengamatan visual, nira nipah tidak jauh berbeda dari nira palma lainnya seperti kelapa dan aren. Nira yang baik adalah nira yang jernih, berbau harum, rasanya manis dan mempunyai pH di atas 5. Nipah memiliki tiga tahun periode pertumbuhan sampai menjadi nipah dewasa yang mampu mengeluarkan malai dan buah, setelah dewasa nipah dapat disadap setelah diberi perlakuan prasadap, dan nira dapat dipanen selama 3 bulan. Dalam dua tahun pohon nipah dewasa dapat dipanen secara optimal
Gambar 4. Pulau Bawean P. Bawean memiliki banyak desa yang memiliki luasan hutan Nipah dipingir pantainya, diantaranya adalah desa-desa : Bululanjang, Dekat Agung, Diponggo, Gelam, Kepuh Teluk, Daun, Kepuh Legundi, Lebak, Sidogedung Batu, Sungai Teluk, Tambak, Tanjung Ori dan Teluk Jati. Desa tersebut
11
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2010
sebanyak empat kali, setelah berumur lima tahun, pemanenan tidak dilakukan pada pohon yang sama, tapi dapat dilakukan terhadap pohon lain yang telah dewasa yaitu pohon nipah yang berumur tiga tahun atau lebih (Tamunaidu & Saka, 2011). Hasil penelitian dilapangan didapatkan rata-rata produksi nira nipah dalam 1 fase pemanenan adalah 0,1-0,5 liter nira per buah yang disadap. Berdasarkan rerata hasil pengujian didapatkan profil nira segar nipah secara keseluruhan tidak berbeda nyata dari nira kelapa. Parameter dengan nilai tertinggi adalah rasa nira nipah yang lebih disukai karena mengandung sedikit rasa asin, dan ketika bercampur dengan rasa manis gula menjadikan nira nipah lebih gurih. Rasa asin ini diduga terserap dari air laut yang masuk ke batang nipah, sehingga pada nira rasa asin tersebut masih ikut terasa. Nira nipah mengandung sukrosa yang cukup tinggi (13-15%) serta berpotensi untuk dimanfaatkan (Tamunaidu & Saka, 2011). Parameter kadar gula dapat dinyatakan dalam bentuk brix. Hasil pengujian nira nipah segar bervariasi mulai dari 17,5 brix-21o brix. Rerapa nilai pH nira pada kondisi segar berkisar antara 5-7.
Gambar 5. Gula Cetak, Gula Sirup dan Gula Semut dari Nira Nipah Hasil konversi nira nipah menjadi produk gula sirup, cetak dan siwalan menunjukkan profil yang baik. Kualitas organoleptik produk gula nipah memiliki karakteristik citarasa yang khas dan disukai oleh panelis/konsumen, dan kualitas fisiko-khemis ketiga jenis gula nipah yang dihasilkan telah memenuhi SNI. 4. KESIMPULAN Beberapa kesimpulan yang dapat yang dihasilkan dari penelitan ini adalah: 1. Potensi tanaman nipah di Kabupaten Sumenep terletak di Desa Saronggi, sedangkan di Kabupaten Gresik berada di Kecamatan Sangkapura dan Tambak, yang keduanya berada di Pulau Bawean. Diantara kedua kabupaten yang paling potensial dikembangkan untuk agroindustri gula Nipah yaitu di Pulau Bawean (Kabupaten Gresik).
12
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2010
2.
3.
vegetation in the Segara Anakan lagoon, Java, Indonesia. Regional Environmental Change, 9(4), 275289. doi:10.1007/s10113-008-0074-4 Khudori. (2011). Kemelut Gula Rafinasi. Forum American Bar Association, 47. Susila, W. (2002). DINAMIKA IMPOR GULA INDONESIA: SEBUAH ANALISIS KEBIJAKAN Ringkasan. Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, 1-23. Susila, W., & Sinaga, B. (2005). Analisis kebijakan industri gula indonesia. Jurnal Agro Ekonomi, 23(Mei), 2953. Tamunaidu, P., & Saka, S. (2011). Chemical Characterization of various parts of nipa palm (Nypa fruticans). Industrial Crops and Products, November 2(34 (3)), 1423-1428. Retrieved from http://resolver.scholarsportal.info/res olve/09266690/v34i0003/1423_ccov ponpf Udoidiong, O. M., & Ekwu, A. O. (2011). Nipa Palm ( Nypa fruticans Wurmb ) and the Intertidal Epibenthic Macrofauna East of the Imo River Estuary , Nigeria. Applied Sciences, 14(9), 1320-1330. Wankasi, D., Horsfall, M. J., & Harcourt, P. (2005). Desorption of Pb 2 + and Cu 2 + from Nipa palm ( Nypa fruticans Wurmb ) biomass. Journal of Biotechnology, 4(September), 923-927.
Hasil analisis nira nipah menunjukkan kesamaan profil nira nipah dengan nira gula palma lainnya dari sisi organoleptik, akan tetapi dari parameter kimia menunjukkan rata-rata kadar gula nira nipah lebih tinggi dibanding nira dari tanaman palma lainnya, yaitu sebesar 17-21o brix. Kualitas produk gula nipah memiliki karakteristik cita rasa khas yang disukai oleh panelis/konsumen, dan kualitas fisiko-khemis memenuhi standar SNI.
5. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Provinsi Jawa Timur atas pendanaan penelitian sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan dengan baik. 6. DAFTAR PUSTAKA Atheull, A. N., Din, N., Longonje, S. N., Koedam, N., & Dahdouh-Guebas, F. (2009). Commercial activities and subsistence utilization of mangrove forests around the Wouri estuary and the Douala-Edea reserve (Cameroon). Journal of Ethnobiology and Ethnomedicine, 5, 35. BioMed Central. Retrieved from http://www.pubmedcentral.nih.gov/a rticlerender.fcgi?artid=2785752&too l=pmcentrez&rendertype=abstract Hinrichs, S., Nordhaus, I., & Geist, S. J. (2008). Status, diversity and distribution patterns of mangrove
13
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2010
ANALISIS KELAYAKAN TEKNIK PENGOLAHAN SIRUP GULA KELAPA DARI GULA CETAK (KAJIAN KONSENTRASI ARANG AKTIF DAN LAMA ADSORBSI). Susinggih Wijana *) , Dodyk Pranowo *) dan Laely Okviati*) Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang, e-mail :
[email protected]
*)
Abstrak Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbandingan air : gula cetak, serta pengaruh kadar adsorben (arang aktif) dengan lama waktu adsorbsi terhadap kualitas sirup gula kelapa yang dihasilkan. Selain itu, penggandaan skala perlu dilakukan untuk mengetahui jumlah bahan baku, bahan pembantu, utilitas dan tenaga kerja serta biaya yang digunakan pada proses pembuatan sirup. Metode yang digunakan pada penelitian skala laboratorium adalah RAK dengan 2 faktor yang terdiri dari pemakaian arang aktif (5% b/v, 10% b/v, 15% b/v) dan waktu adsorbsi (30, 60, 90 menit), selanjutnya dilakukan pengujian (fisik, kimia dan organoleptik). Hasil data di analisa untuk penentuan perlakuan terbaik, kemudian dilanjutkan penggandaan skala cuntuk mengetahui prakiraan biaya pengolahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan terbaik adalah perbandingan air: gula cetaksebesar 1:2 (b/v), serta pemakaian arang aktif 10% b/v dan waktu adsorbsi 30 menit. Produk sirup gula kelapa yang dihasilkan mempunyai karakteristik: nilai TPT 74,5% dan total gula 62,75%, sedangkan hasil organoleptik memiliki skor warna 5 (suka);aroma sebesar 3,85 (netral hingga agak suka)dan rasa sebesar 3,9 (netral hingga agak suka). Prakiraan biaya pengolahan 1 batch proses (9 kg gula cetak) sebesarRp 123.372,52atau Rp 8.225,00/botol dengan volume 650 ml.
Kata kunci : sirup gula kelapa, arang aktif, reprosesing
minuman (dawet, es cendol, kacang hijau, dan sebagainya). Menurut Issoesetiyo (2001), rata-rata konsumsi gula kelapa diperkirakan 5 kg/kapita/tahun. Bila penduduk Indonesia saat ini berjumlah 203 juta jiwa lebih, maka akan diperkirakan produksi gula kelapa sebanyak 1 juta ton per tahun. Salah satu bentuk olahan gula palma yang potensial dikembangkan adalah gula palma sirup, gula tersebut mempunyai keunggulan biaya pemasak-an rendah dibandingkan gula cetak dan gula semut, lebih siap saji mudah dilarutkan/diaplikasikan dalam pangan,
1. PENDAHULUAN Pengembangan gula palma merupakan alternatif terbaik untuk mendukung pemenuhan kebutuhan gula di Indonesia. Beberapa tanam-an palma penghasil gula di Indonesia antara lain kelapa, aren, siwalan dan nipah. Permintaan gula kelapa di dalam negeri terbagi dalam dua sektor, yaitu permintaan dari sektor industri kecap, dodol, wajit, isi roti dan minuman, dan kebutuhan rumah tangga yaitu sebagai campuran bumbu masakan, penyedap masakan, kue, pemanis, dan berbagai
14
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
dipanaskan diatas panci dengan nyala api kecil sampai mendidih kemudian disaring dengan menggunakan saringan 40 mesh. Proses embuatan sirup gula kelapa secara lebih ringkas dapat dilihat pada Lampiran 1.
serta tidak memerlukan nira yang berkualitas tinggi, bahkan dapat diolah dari gula cetak kualitas rendah (Daniati, 2004 dan Wijana et al., 2010). Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kualitas sirup gula kelapa yang diolah dari gula kelapa cetak kualitas sub-grade yang ada di pasaran dengan metode reprosesing.
b. Adsorbsi dengan karbon aktif Sirup gula hasil perlakuan terbaik pada suhu 50-60°C dengan menggunakan hot plate dan diaduk dengan kecepatan rendah (± 2-3 rpm). Setelah sirup gula mencapai suhu tersebut, arang aktif (5, 10, 15% b/v) dimasukkan dan diaduk dengan kecepatan rendah selama (30, 60, 90 menit). Setelah itu, arang aktif diambil dari sirup gula lalu didinginkan. Proses adsorbsi dengan arang aktif pada sirup dapat dilihat pada Lampiran 2.
2. METODE PENELITIAN 2.1.Alat dan bahan Bahan baku yang digunakan dalam percobaan adalah gula kelapa cetak asal Donomulyo, Kabupaten Malang, sedang-kan karbon aktif granular dan bahan kimia analisis dari Lab. Rekayasa Teknologi Produksi. 2.2. Metode penelitian Penelitian menggunakan metode eksperimental dengan rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 2 faktor. Faktor pertama adalah konsentrasi karbon aktif (5; 10 dan 15% b/v) dan faktor kedua lama adsorbsi (30; 60 dan 90 menit). Data yang diperoleh meliputi total padatan terlarut (TPT), kadar gula total dan uji organoleptik (warna, aroma dan rasa). Analisis data menggunakan Anova dan uji BNT dan uji Friedman. Penentuan perlakuan terbaik dengan metode indeks efektivitas (De Garmo et al., 1984).
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Jumlah penambahan air Pada hasil penelitian pendahuluan diperoleh nilai TPT sebesar 57,17% – 70,3% dengan penambahan air sebesar 100 ml, 125 ml, 150 ml, 175 ml dan 200 ml pada gula kelapa cetak 200 gram. Semakin banyak air yang ditambahkan pada gula kelapa cetak, maka nilai TPT sirup akan semakin rendah karena kandungan air pada campuran tersebut mempengaruhi kekentalan sirup yang dihasilkan. Dari hasil tersebut dapat ditetapkan bahwa penambahan air pada gula kelapa cetak 200 gram yang sesuai untuk sirup adalah 100 ml dengan nilai TPT 70,3%, yang telah memenuhi syarat komersial untuk produk sirup, dan digunakan sebagai acuan dalam penelitian selanjutnya. Pengaruh konsen-trasi air terhadap TPT sirup gula kelapa dapat dilihat pada Gambar 1.
2.3. Pelaksanaan penelitian Tahapan penelitian dibagi menjadi 2, proses pembuatan sirup dari gula kelapa cetak, dan proses adsorbsi dengan menggunakan karbon aktif. a. Pembuatan sirup gula kelapa Pembuatan sirup gula kelapa dilakukan dengan cara sebagai berikut : gula kelapa cetak sebanyak 200 gram diserut, kemudian dilarutkan dalam air (100; 125; 150; 175; 200 ml), sambil 15
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
75
70.30
70
TPT (%)
pengotor semakin banyak. Menurut Benrachedi (2007), karbon aktif dapat meng-hilangkan bahan pengotor organik dan warna terlarut. Adsorben tersebut memiliki kemampuan yang sama dan tidak bergantung pada senyawa alami yang dihilangkan dari larutan. Selain itu Subadra (2005) menyatakan bahwa faktor utama yang sangat berpengaruh terhadap daya adsorbsi adalah luas permukaan karbon aktif karena mekanisme adsorbsi berkaitan dengan jumlah pori-porinya. Semakin luas permukaan karbon aktif maka aktivitas daya serapnya tinggi. Sirup yang mengental disebabkan karamelisasi gula dan adsorbsi yang dilakukan oleh arang aktif sehingga menaikkan kandungan yang ada pada cairan.
y = -0.129x + 81.95 R² = 0.949
TPT
64.47 62.30
65
58.33
60
57.17
TPT
55 50
Linear (TPT)
75 100 125 150 175 200 225
Air (ml)
Gambar 1. Grafik pengaruh penambahan air terhadap TPT sirup gula kelapa 3.2. Total padatan terlarut Pada perlakuan pemakaian arang aktif, total padatan terlarut dengan nilai 59,2-90,2%. Untuk pemakaian arang aktif 15 % (b/v) dengan waktu adsorbsi 90 menit diperoleh nilai TPT tertinggi yaitu 90,2%. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin lama waktu adsorbsi, semakin tinggi nilai TPT yang diperoleh. Waktu adsorbsi yang semakin lama menghasilkan sirup yang kental karena terjadi penyerapan oleh arang aktif, penguapan dan karamelisasi. Rerata nilai total padatan terlarut tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 2.
3.3. Gula total Kisaran kadar gula total pada perlakuan pemakaian arang aktif dan waktu adsorbsi adalah 60,26 - 68,25%. Kadar gula total terkecil diperoleh pada perlakuan pemakaian arang aktif 5% dengan lama adsorbsi 60 menit, sedangkan tertinggi pada penggunaan arang aktif 15% b/v dan lama adsorbsi 90 menit. Hal ini disebabkan semakin banyak arang aktif dan semakin lama adsorbsi kotoran yang terikat granular arang aktif dan tersaring semakin besar, berdampak pada kemurnian dan kandungan gula total semakin tinggi. Rerata nilai gula total tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 1. Nilai rerata TPT sirup gula kelapa Penambahan Arang aktif (% b/v)
5
10
15%
Waktu adsorbsi (menit)
Nilai TPT (%)
30
59,2 a
60
71,4 b
90
74,2 f
30
74,5 g
60
72,8 e
90
72,3 d
30
79,3 h
60
71,7 c
90
90,2 i
Tabel 2. Rerata gula total pada sirup gula kelapa Penambahan Arang aktif (% b/v) 5
10
Konsentrasi arang aktif yang semakin banyak mempengaruhi nilai TPT karena luas permukaan arang aktif yang semakin besar, sehingga menyerap zat
15
16
Waktu adsorbsi (menit)
Gula Total (%)
30 60 90 30 60 90 30 60 90
60,94 b 60,26 a 63,35 d 62,75 c 64,63 f 66,37 h 64,56 e 65,99 g 68,25 i
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Menurut Basuki (2007), fenomena adsorbsi terjadi bila kapasitas adsorpsi masih sangat besar, sebagian besar molekul adsorbat akan teradsorpsi dan terikat di permukaan. Tetapi bila permukaan pori adsorben sudah jenuh dengan adsorbat maka akan terjadi dua kemungkinan, yaitu : terbentuk lapisan adsorpsi kedua, ketiga dan seterusnya atau tidak terbentuk lapisan adsorpsi kedua, ketiga dan seterusnya sehingga adsorbat yang belum teradsorpsi akan terus berdifusi keluar pori.
Tabel 4. Karakteristik sirup gula kelapa terbaik No 01 02 03 04 05
5
10
15
SII 67,6-75% 55-65% Normal Normal Normal
3.6. Kualitas sirup pada skala ganda Total padatan terlarut pada penelitian scale up adalah 69,43% yang masih berada dalam kisaran nilai total padatan terlarut sirup yang beredar dipasaran. Begitupula dengan hasil uji total gula yaitu 61,30%, sehingga sirup gula kelapa yang dihasilkan dalam penggandaan skala tersebut telah memenuhi acuan pembuatan sirup yaitu SII untuk total gula dan sirup komersiil untuk nilai TPT.
Tabel 3. Rerata nilai warna pada sirup gula kelapa Waktu adsorbsi (menit) 30 60 90 30 60 90 30 60 90
K2P1 74,5* 62,75* 3.9 3.85 5
Dilihat dari parameter warna dengan skor 5 (suka), aroma dan rasa skor mendekati nilai 4 (antara netral hingga agak suka) serta memenuhi syarat untuk total gula dan total padatan terlarut sirup. Kondisi tersebut yang digunakan pada peng-gandaan skala. Karakteristik sirup yang dihasilkan disajikan pada Tabel 4.
3.4. Organoleptik Hasil uji organoleptik pemakaian arang aktif dalam sirup gula kelapa menunjukkan bahwa arang aktif tidak mempengaruhi aroma dan rasa yang dihasilkan, namun mempengaruhi warna dengan menghasilkan warna sirup gula kelapa yang lebih muda atau pucat dari pada sebelum pemakaian arang aktif. Menurut Qureshi (2008), karbon aktif digunakan pada industri gula untuk menghilangkan warna dari cairan gula dan untuk perawatan air minum serta limbah industri. Skor penilaian panelis terhadap warna sirup gula kelapa terdapat pada Tabel 3.
Penambahan Arang aktif (% b/v)
Parameter TPT (%) Total Gula (%) Rasa Aroma Warna
4. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan a. Perbandingan gula kelapa cetak dan air berdasarkan nilai parameter perlakuan terbaik pada skala laboratorium sebesar 2:1 (b/v). b. Perlakuan terbaik untuk pemakaian arang aktif dan waktu adsorbsi adalah konsentrasi arang aktif 10% (b/v) dengan waktu adsorbsi 30 menit. Sirup yang dihasilkan mempunyai TPT 74,5% dan total gula 62,75%, dengan rerata skor organoleptik terhadap rasa 3,9 (netral hingga agak suka), aroma 3,85 (netral hingga agak suka), dan warna 5 (suka).
Skor Warna 4.35 d 4.25 cd 3.10 a 5,00 d 2.10 a 2.50 a 3.95 bc 3.25 ab 3.05 a
3.5. Perlakuan terbaik Perlakuan yang menghasilkan sirup gula kelapadengan kualitas yang lebih baik diantara perlakuan lain adalah sirup dengan perlakuan K2P1(arang aktif 10% (b/v) dan waktu adsorbsi 30 menit).
17
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Economy. MacMillan Publishing Company. New York. Hadiwidodo, M., Junaidi. 2007. Pengaruh Waktu Reaksi dan Waktu Tinggal Stabilisasi pada Sequencing Batch Reactor Aerob dengan Penambahan Karbon Aktif terhadap Penurunan Chemical Oxygen Demand. Jurnal PRESIPITASI. Vol. 3 No.2 September 2007, ISSN 1907-187X. Qureshi, K., I. Bhatti, R. Kazi, A.K. Ansari. 2008. Physical and Chemical Analysis of Activated Carbon Prepared from Sugarcane Bagasse and Use for Sugar Decolorisation. Inter-national Journal of Nature Sciences and Engineering 1:3 2008. Wijana, S., D. Pranowo and Sucipto, 2010. The Effect of Solid Coconut Sugar from Different Regions and Concentration of Fine Crystal Sucrose Additive on the Quality of Granular Coconut Sugar through a Reprocessing Method. Proceeding of 11th ASEAN Food Conference, October 2009 : 110. Wijana, S., D. Pranowo dan Rohmaningtyas, 2010. Efisiensi Penggunaan Utilitas dan Jenis Bahan Baku Pada Pengolahan Sirup Gula Kelapa Pada Skala Ganda. Proceeding APTA, tahun 2010 : 157162.
c. Untuk pembuatan sirup skala ganda per-batch proses (bahan baku gula 9 kg) adalah biaya utilitas dan tenaga kerja sebesarRp 123.372,52, dengan hasil 15 botol (@ 650 ml)sehingga biaya per botol sebesar Rp 8.225,00. 4.2. Saran Perlu dikaji lebih lanjut mengenai cara regenerasi arang yang tepat dalam penggunaannya sebagai adsorben pada penjernihan sirup gula kelapa, sehingga biaya produksi dapat ditekan. 5. DAFTAR PUSTAKA Basuki, K.T. 2007. Penurunan Konsentrasi CO dan NO2 pada Emisi Gas Buang dengan Menggunakan Media Penyisipan TiO2 Lokal pada Karbon Aktif.ISSN 1978-8738. JFN, Vol.1 No.1, Mei 2007. Benrachedi, K., A. Mekarzia, M.Z. Boureghda. 2007. Adsorption Study of Phenol on Activated Carbon Made from Coffe Ground, Determination of Adsorption Capacity. European Journal of Scientific Research. ISSN 1450-216X Vol. 18 No.3 (2007), pp.360-368. Daniati, I., 2005. Analisis Ekonomi Pemanfaatan Bahan Bakar pada Proses Pembuatan Gula Kelapa. Skripsi Jurusan Teknik Pertanian, Universitas Negeri Jember. DeGarmo, E.P., W.G. Sullivan dan J.R. Canada. 1984. Engineering
18
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Lampiran 1. Diagram alir proses pembuatan sirup gula kelapa Gula kelapa cetak
Ditimbang (200 g)
Diserut/dihancurkan Air (100; 125; 150; 175; 200) ml
Dilarutkan dan Dipanaskan (sampai mendidih) Disaring dengan kain saring
Sirup gula kelapa
Kotoran Analisa: • Total Padatan Terlarut (TPT) • Total Gula (%)
Lampiran 2. Diagram alir proses adsorbsi karbon aktif pada sirup gula kelapa (skala ganda) Gula kelapa cetak
Ditimbang (9 Kg)
Air 2:1 (b/v) = 4,5 L
Diserut/dihancurkan
Dimasak (sampai mendidih)
Disaring dengan kain saring
Kotoran
Dipanaskan 60°C (tangki reaktor) Arang aktif 10% (b/v) Diaduk dan dipanaskan (30 menit) (tangki reaktor berpengaduk) Disaring dengan kainsaring
Dikemas dalam Botol
Kotoran
kaca
Sirup gula kelapa
19
Analisa: • Total Padatan Terlarut (TPT) • Total Gula (%)
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
APLIKASI EMULSIFIER DARI ALGINAT JENIS TURBINARIA CONOIDES DAN TURBINARIA DECURRENS DALAM PEMBUATAN CAKE Wahyu Mushollaeni Program Studi Teknologi Industri Pertanian Universitas Tribhuwana Tunggadewi
Abstrak Penggunaan alginat dalam industri pangan, berkaitan dengan sifat biofisiknya. Pembentukan gel alginat dipengaruhi oleh konsentrasi Ca2+ atau H+. Alginat dapat mengontrol viskositas serta gel alginat membangun permiabilitas bahan terhadap air dan oksigen, sehingga meningkatkan lama simpan, mengurangi browning dan menjaga crispness (Gaze and Brown, 2007). Tujuan penelitian ini adalah mengaplikasikan alginat dari T. conoides dan T. decurrens Yogyakarta sebagai emulsifier alami, yang menghasilkan cake dengan kualitas terbaik secara fisik dan kimia. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok Faktorial dengan faktor jenis alginat (T. conoides dan T. decurrens) dan taraf alginat (0,5%, 0,75%, 1%). Analisa data yang menggunakan ANOVA, dan uji lanjut dilakukan dengan uji beda BNT 5% (Sastrosupadi, 2000). Analisa perlakuan terbaik menggunakan metode indeks efektivitas (Susrini, 2003). Rerata kadar abu cake dengan penambahan alginat dari T. decurrens, lebih besar dibandingkan dengan alginat dari T. conoides. Kadar abu alginat dari T. conoides dan T. decurrens yaitu 20,10% dan 20,28% (Penulis, 2010), sehingga dimungkinkan dengan penambahan alginat T. decurrens, menghasilkan kadar abu cake yang lebih tinggi. Rerata kadar air cake dengan penambahan alginat T. decurrens lebih besar dibandingkan dengan T. conoides, hal ini disebabkan oleh kadar air alginat pada T. decurrens lebih besar dari T. conoides (Penulis, 2010). Menurut Shue et al. (1999), kadar karbohidrat pada T. decurrens adalah 5,4%, sehingga dimungkinkan dengan penambahan alginat dari T. decurrens, menghasilkan kadar air cake yang lebih rendah. Kadar gula reduksi terendah cake, terdapat pada perlakuan T. conoides 0,75% dan kadar gula reduksi tertinggi diperoleh pada perlakuan T. conoides 0,5%. Sedangkan jenis alginat T. decurrens, kadar gula reduksi terendah cake terdapat pada perlakuan T. decurrens 1% dan kadar gula reduksi tertinggi diperoleh pada perlakuan T. decurrens 0,5%. Perbedaan kadar gula reduksi pada cake mungkin disebabkan oleh tingkat kemurnian alginat dari T. decurrens dan T. conoides yang berbeda. Kadar lemak terendah terdapat pada perlakuan T. decurrens 1% dan kadar lemak tertinggi diperoleh pada perlakuan T. decurrens 0,5%. Cake dengan kualitas fisik kimia terbaik didapatkan dengan penggunaan alginat T. decurrens sebanyak 1%, dengan kadar air 26,99%, kadar abu 1,47%, kadar gula reduksi 0,27%, dan kadar lemak 19,69%. Kadar protein, kadar mineral sodium, dan kadar kalium, masing-masing adalah 6,25%, 405,11 ppm, 41,94 ppm. Kata kunci: alginat, cake, emulsifier asam manuronat dan α-L-guluronat (Draget et al. 2005; Donati et al. 2009; Ertesvag et al. 2009). Kandungan alginat dari rumput laut coklat bervariasi (Draget et al. 2000; Mirshafiey et al. 2009),
1. PENDAHULUAN Alginat merupakan kandungan utama dari dinding sel rumput laut coklat, yang tersusun atas asam guluronat dan asam manuronat, dengan ikatan 1,4 β-D20
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
pemanfaatannya, walaupun telah berhasil diekstraksi dan diketahui komposisi kimianya oleh Penulis (2007-2010), maka penelitian ini akan mengungkapkan aplikasinya dalam pangan sebagai emulsifier, secara khusus pada cake.
tergantung dari jenis, kondisi lingkungan, musim saat panen dan metode ekstraksi yang digunakan. Selain itu, kadar alginat juga dipengaruhi oleh bagian tanaman dari rumput laut coklat yang diekstraksi (Anonymous, 2002). Menurut Atmadja (1996), ada tiga jenis Turbinaria yang dapat ditemukan diperairan Indonesia yaitu T. ornata, T. decurrens, dan T. conoides. Ketiga jenis alga ini menghasilkan alginat, sehingga disebut alginofit. Ekstrak alginat berperan dalam industri makanan, tekstil, kesehatan dan kosmetik. Dalam industri makanan, alginat sering digunakan untuk menstabilkan es krim dan melembutkan tekstur cake (McCormick and Ali, 2001). Penggunaan alginat dalam industri pangan, berkaitan dengan sifat biofisiknya, yaitu struktur 1,4 α-L guluronat (G) dan β-D manuronat (M) yang mempunyai residu piranosa pada bagian yang tidak bercabangnya. Residu ini dapat bergabung menjadi G blok, yang sangat berpengaruh pada sifat gel alginat (Brownlee et al. 2005; Mancini et al. 2002; Gujral et al. 2001). Alginat berfungsi sebagai penstabil dan pelembut adonan cake. Cake dalam pengertian umum merupakan adonan panggang dengan bahan dasar tepung terigu, gula, telur dan lemak. Cake merupakan pangan yang sangat potensial untuk dikembangkan berkaitan dengan kesukaan dan konsumsi masyarakat. Di pasaran, emulsifier yang digunakan dalam cake, dikenal dengan nama-nama dagang seperti Ovalet, SP, Spontan 88, TBM (istilah jenis cake emulsifier dalam bahasa Jerman), dan alginat. Bahan ini akan menyatukan adonan, sehingga dapat meningkatkan pengembangan kue, mengontrol busa, melembutkan tekstur dan mengurangi penggunaan telur (Brandt, 2010; Carlos, 2006; Painter, 1991). Oleh karena jenis Turbinaria dijumpai dan berhabitat pada pantai berkarang di Indonesia, yang belum diketahui secara luas tentang
2. METODE PENELITIAN Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok faktorial dengan faktor I yaitu jenis alginat (T. conoidesdan T. decurrens) dan faktor II yaitu taraf alginat (0,5%; 0,75%; 1%). Ulangan dilakukan sebanyak 4 kali. Alginat didapatkan dari ekstraksi alginofit jenis T. conoides dan T. decurrens. Cake yang dihasilkan dari tiap perlakuan, dianalisa secara fisik dan kimia. Parameter analisa yang diamati dalam penelitian ini meliputi kadar abu, air, lemak, protein, natrium dan kalsium (AOAC, 1990). Analisa data menggunakan ANOVA dan jika antar perlakuan terdapat beda nyata, maka akan dilakukan uji BNT 5% (Sastrosupadi, 2000). Analisa perlakuan terbaik menggunakan metode indeks efektivitas (Susrini, 2003). Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan cake yaitu kuning telur 20,5%; putih telur 15,38%; gula 22,43%; terigu 12,82%; coklat bubuk 6,4%; maizena 3,2%, dan margarin 19,23%. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Kadar abu Rerata kadar abu cake berkisar antara 1,10%-1,72%. Pengukuran kadar abu pada cake bertujuan untuk mengetahui besarnya kandungan mineral (seperti kalsium, selenium, zat besi, magnesium dan natrium ) yang terdapat dalam cake tersebut. Menurut Sudarmadji et al. (1989), abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Sehingga semakin tinggi kadar abu dalam bakery maka kandungan mineralnya juga tinggi. Penggunaan alginat dari T. conoides menghasilkan
21
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
cake dengan kadar abu yang lebih rendah daripada menggunakan alginat sebagai emulsifier dari T. decurrens (Gambar 1). Hal ini mengindikasikan adanya kandungan abu atau mineral-mineral yang lebih banyak pada alginat dari T. decurrens, sehingga berpengaruh pada peningkatan kadar mineral dan komponen an organik lainnya pada cake yang dihasilkan. Menurut penelitian dari Penulis (Mushollaeni, 2010), kadar abu alginat dari T. conoides adalah 20,10% dan T. decurrens adalah 20,28 %, sehingga bedasarkan nilai kadar abu tersebut, dimungkinkan dengan penambahan alginat T. decurrens, menghasilkan kadar abu cake yang lebih tinggi. Berdasarkan standar SNI pada roti, kadar abu yang ada pada cake yang dihasilkan masih memenuhi persyaratan dari SNI 01–3840–1995 yaitu kurang dari 3%.
kadar karbohidrat pada T. decurrens adalah 5,4%, sehingga dimungkinkan dengan penambahan alginat dari T. decurrens, menghasilkan kadar air yang lebih tinggi. Menurut Winarno (1997), jumlah gugus hidroksil dalam molekul pati sangat besar sehingga menyebabkan kemampuannya menyerap air lebih besar, sehingga dengan tingginya kadar karbohidrat ini akan berdampak pada daya absorbsi yang kuat terhadap air dan dapat meningkatkan kadar air produk. Menurut Suzuki et al. (1996), dari 12 spesies alga termasuk didalamnya alga coklat yang diteliti, menunjukkan bahwa rumput laut coklat memiliki daya ikat air yang tinggi. Dalam keadaan kering, rumput laut coklat dapat mengikat air hingga terjadi penggelembungan (swelling) sebesar 20 x dari keadaan biasa. Pada alga coklat memiliki daya ikat air sebesar 38,6 g/g berat kering (Goni, 2001). Sehingga kondisi ini, dapat berpengaruh pada kadar air alginat yang dihasilkan. Rerata kadar air cake berkisar antara 26,98% - 30,18% (Gambar 1), sehingga berdasarkan standar SNI kadar air yang ada pada cake yang dihasilkan masih memenuhi persyaratan dari SNI 01–3840–1995 yaitu kurang dari 40%.
3.2. Kadar Air Penggunaan alginat dari T. conoides, menghasilkan cake dengan kadar air terendah terdapat pada perlakuan T. conoides 0,5% dan kadar air tertinggi diperoleh pada perlakuan T. conoides 0,75%. Rerata menunjukkan peningkatan kadar air cake pada penambahan alginat dari T. conoides. Sedangkan pada penambahan alginat T. decurrens, kadar air terendah terdapat pada perlakuan T. decurrens 0,75% dan kadar air tertinggi diperoleh pada perlakuan T. decurrens 0,5%. Rerata kadar air cake yang dihasilkan dari jenis dan taraf alginat T. decurrens lebih besar dibandingkan dengan T. conoides, hal ini disebabkan oleh kadar air pada alginat yang berasal T. decurrens adalah 13,43% dan T. conoides adalah 13,40% (Mushollaeni, 2010). Perbedaan kadar air cake pada T. decurrens ini diduga juga disebabkan oleh tingginya kandungan karbohidrat (termasuk didalamnya kandungan pati yang tinggi) pada alginat T. decurrens. Menurut Shue et al. (1999),
35.00 30.00 27.34
28.68
30.18 27.93
26.98
26.99
25.00 22.28
22.13
21.81
21.75
20.00
20.97 19.69
15.00
Rerata kadar abu Rerata kadar air
10.00
Rerata kadar lemak Kadar Gula Reduksi
5.00 1.10 0.32
0.00 A1B1
A1B2
1.48 0.29 A1B3
1.72 0.32 A2B1
1.47 0.31 A2B2
1.59 0.29
1.47 0.27
A2B3
Gambar 1. Rerata kadar abu, kadar air, kadar gula reduksi, kadar lemak cake dengan penambahan jenis dan taraf alginat yang berbeda
22
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
kontribusi terhadap kadar lemak dalam cake diantaranya adalah telur dan coklat bubuk. Dalam satu butir telur mengandung kadar lemak 5% dan coklat bubuk 2% dalam 100%, sehingga memberikan kontribusi lemak yang cukup tinggi dalam cake. Namun demikian, kandungan lemak yang cukup tinggi ini, telah menghasilkan tekstur cake yang lembut. Tekstur yang lembut ini juga didukung oleh keberadaan alginat sebagai emulsifier, karena alginat dapat menghasilkan tekstur roti yang lunak dan lembut (Putra, 2006; Suhardi, 2006). Semakin tinggi konsentrasi alginat yang ditambahkan, semakin lembut cake yang dihasilkan. Adonan yang ditambah emulsifier alginat akan lebih stabil, mudah mengembang, tercampur dengan rata, sehingga dapat melembutkan tekstur pada cake (Dreher et al. 1997).
3.3. Kadar gula reduksi Kadar gula reduksi pada cake dengan penambahan alginat dari T. conoides, lebih tinggi dibandingkan dengan alginat dari T. decurrens, dan mengakibatkan semakin coklatnya warna cake yang dihasilkan. Rerata kadar gula reduksi pada cake berkisar antara 0,27%0,32% (Gambar 1). Kadar gula reduksi terendah terdapat pada cake yang ditambahkan alginat dari T. decurrens dengan konsentrasi 1% dan terendah pada cake yang ditambahkan alginat dari T. conoides dengan konsentrasi 0,5%. Kadar gula reduksi pada suatu bahan pangan, berkaitan erat dengan reaksi Millard. Hasil reaksi Millard menimbulkan warna coklat pada makanan. Reaksi browning terjadi bila gula pereduksi bereaksi dengan senyawa-senyawa yang mempunyai gugus NH2 (protein, asam amino, peptida, dan amonium) (Eriksson, 1981; Winarno, 1997).
3.5. Perlakuan terbaik Berdasarkan hasil analisa perlakuan terbaik, didapatkan hasil Nilai Hasil (NH) tertinggi adalah perlakuan A2B3 (penambahan alginat dari jenis T. decurrens dengan taraf penambahan 1%). Analisa kimia lanjutan dilakukan terhadap kadar protein, kadar mineral sodium, kadar kalsium cake yang dihasilkan dari perlakuan terbaik tersebut. Hasil analisa kimia terhadap kadar protein, mineral sodium dan kalsium, masing-masing yaitu 6,25%, 405,11 ppm, dan 41,94 ppm.
3.4. Kadar lemak Berdasarkan Gambar 1, perlakuan penambahan alginat sebagai emulsifier yang berasal dari T. conoides 0,5%, menghasilkan cake dengan kadar lemak tertinggi, dan perlakuan T. decurrens dengan konsentrasi penambahan 1%, memberikan kadar lemak cake yang terendah. Berdasarkan standar SNI roti, kadar lemak yang ada pada cake yang dihasilkan tidak memenuhi persyaratan dari SNI 01–3840–1995 yaitu lebih dari 3 %. Hal ini disebabkan oleh komposisi bahan dalam pembuatan cake terdapat perbedaan dengan pembuatan roti manis pada umumnya, sehingga kadar lemak pada penelitian cake ini lebih besar. Alginofit sendiri tidak mengandung lemak yang dapat meningkatkan kadar lemak cake. Tingginya kadar lemak disebabkan karena bahan yang digunakan dalam pembuatan cake mengandung kadar lemak yang cukup tinggi seperti margarin dengan kadar lemak 20% dalam 250 gr. Bahan lain yang memberikan
4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa penggunaan alginat dari jenis alginofit T. decurrens dapat menghasilkan cake dengan kualitas terbaik secara fisik dan kimia, daripada jika digunakan alginat dari T. conoides, dengan konsentrasi penggunaannya sebesar 1%. Kadar air, abu, gula reduksi, lemak, protein, mineral sodium dan kalsium, masing-masing yaitu 26,99 %;
23
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Production, and Patents. Wiley. Winheim, pp 1-30. Dreher TM, Glass J, Connor AJO, Steven GW. 1997. Effect of Rheology on Coalescence Rates and Emulsion Stability. AIChE Journal 45 (6). Eriksson, C. 1981. Maillard Reaction in Food: Chemical, Physiological and Technological Aspects. Pergamon Press, Oxford. Ertesvag H, Valla S, Skjak-Braek G. 2009. Enzimatic Alginate Modification. In: Rehm BHA (ed) Alginates: Biology and Applications. Springer-Verlag, Berlin, pp 95-115. Gaze JE, Brown GD. 2007. Application of alginate particle techniques for the assessment of lethality in UHT processes. Int J of Dairy Tech. Vol 42, 2:49-52. Goni I, L Valdivieso, M Gudiel-Urbano. 2001. Capacity of edible seaweeds to modify in vitro starch digestibility of wheat bread. Food 46 (1): 18-20. Gujral HS , Sharma P , Singh N , Sogi DS. 2001. Effect of Hydrocolloids on the Rheology of Tamarind Sauce . J Food Sci Technol 38 : 314 – 318. Mancini F , Montanari L , Peressini D , Fantozzi P. 2002. Influence of Alginate Concentration and Molecular Weight on Functional Properties of Mayonnaise . LWT Food Sci Technol 35 : 517 – 525. McCormick E, Ali. 2001. AlginateLifecasters’Gold. Art Casting Journal-September 2001. http://www.artmolds.com/ali/pdf/Ali ginate_lifecaster_ gold1.pdf Mirshafiey A, Rehm BHA. 2009. Alginate and Its Comonomer Mannuronic Acid: Medical Relevance as Drug. In: Rehm BHA (ed) Alginates: Biology and Applications. Springer-Verlag, Berlin, pp 229-260. Mushollaeni W. 2007. Ekstraksi Alginat dari Rumput Laut Coklat Jenis Sargassum, spp. dan Turbinaria spp.
1,47%; 0,27%; 19,69%; 6,25%; 405,11 ppm; dan 41,94 ppm. 5. DAFTAR PUSTAKA Anonymous. 2002. Alginates. http://www.genialab.de/inventory/alg inate.htm AOAC. 1990. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemists. 15th Edition. AOAC. Washington D.C. Atmadja, W.S., 1996. Pengenalan Jenis Algae Coklat (Phaeophyta). Dalam: Pengenalan Jenis-Jenis Rumput Laut Indonesia. Atmadja, W. S., A. Kadi, Sulistijo dan R. Satari (Eds.). Puslitbang Oseanologi LIPI. Jakarta. Brandt, L. 2010. Emulsifiers in Baked Goods. http://www.foodproductdesign.com/a rticles/1996 /02/emulsifiers-inbaked-goods.aspx. Brownlee IA , Allen A , Pearson JP , Dettmar PW , Havler ME , Atherton MR , Onsoyen E. 2005. Alginate as a source of dietary fiber . Crit Rev Food Sci Nutr 45 : 497 – 510. Carlos, H. 2006. Dry Powders for Moist Treats: Emulsifiers for Industrial Cakes. http://www. foodbeverageasia.com/FBA_archive/ FebMar06/Emulsifiers%20for%20ca kes.pdf. Donati I, Paoletti S. 2009. Materials Properties of Alginates. In: Rehm BHA (ed) Alginates: Biology and Applications. Springer-Verlag, Berlin, pp 1-54. Draget KI, Strand B, Hartmann M, Valla S, Smidsrod O, Skjak-Braek G. 2000. Ionic and Acid Gel Formation of Epimerised Alginates; the Effect of AlgE4. Int J Biol Macromol 27: 117-122. Draget KI, Smidsrod O, Skjak-Braek G. 2005. Alginates from Algae. In: Steinbuchel A, Rhee SK (eds) Polysaccharides and Polyamides in the Food Industry: Properties,
24
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Ternak. Fakultas Peternakan. Universitas Brawijaya, Malang. Suzuki T, Ohsugi Y, Yoshie Y, Shiroi T, Hirano T. 1996. Dietary fibre content, water holding capacity and binding capacity of seaweeds. Fish Sci 62: 454-461. SNI. 1995. Standar Nasional Indonesia Untuk Roti (SNI 01-3840-1995). Dewan Standarisasi Nasional. Jakarta. Hal 7. Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Laporan Penelitian Dosen Muda. 2007. _________ . 2010. Karakterisasi Alginat dari Sargassum sp., Turbinaria sp. dan Padina sp. sebagai Potensi Penghasil Alginat dan Aplikasi pada Produk Pangan. Laporan Penelitian Hibah Bersaing. 2010. Painter KA. 1991. Functions and Requirements of Fats and Emulsifiers in Prepared Cake Mixes. Journal of The American Oil Chemist Society 58: 92-95. Putra, Sinly E. 2006. Alga Laut sebagai Biotarget Industri. http://www.energi.lipi.go.id/ utama.cgi?cetakartikel&1158681917 . 26 Maret 2010. Sastrosupadi A. 2000. Rancangan Percobaan Praktisi Bidang Pertanian. Kanisius. Yogyakarta. Shue JH, Wang GH, Sung PJ, Duh CY. 1999. New Cytotoxic Oxygenated Fucosterols from the Brown Alga Turbinaria conoides. J. Nat. Prod., 62 (2): 224-227. Sudarmadji S, Haryono B, Suhardi. 1984. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Edisi Ketiga. Liberty. Yogyakarta. Suhardi. 2006. Manfaat alginat ekstrak Makroalga Coklat Dalam Industri Pangan. WartaOseanografi-LIPI Susrini, 2003. Indeks Efektifitas. Suatu Pemikiran Tentang: Alternatif Untuk Memilih Perlakuan Terbaik Pada Penelitian Pangan. Edisi kedua, Program Studi Teknologi Hasil
25
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
PENGARUH SUHU DAN WAKTU TERHADAP HIDROLISIS TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT DAN BIODEGRADASINYA SECARA ENZIMATIS UNTUK PRODUKSI XILOSA Wisnu Adi Yulianto*) dan Dewa Made Krismanto Panji *) Program Studi Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Agroindustri Universitas Mercu Buana Yogyakarta, Jl. Wates Km 10 Yogyakarta, Indonesia *)
Abstrak Hidrolisis secara asam dan pemanasan pada bahan berlignoselulosa menimbulkan masalah pencemaran lingkungan dan terbentuknya senyawa inhibitor pada hidrolisat, sehingga tidak cocok untuk media fermentasi. Pada penelitian ini dicoba hidrolisis yang ramah lingkungan dengan pemanasan pada suhu tinggi dan dilanjutkan dengan hidrolisis enzimatis. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan suhu dan waktu hidrolisis yang optimal untuk menghasilkan xilosa sebanyak-banyaknya. Pada penelitian ini dilakukan hidrolisis pada suhu 128 oC dan 200 oC selama 30, 45, 60 menit. Hidrolisat (hasil terbaik) berdasarkan uji statistik diambil kemudian dihidrolisis secara enzimatis. Analisa yang dilakukan yaitu hemiselulosa, selulosa, lignin, kadar air (bahan dasar), residu hemiselulosa, gula reduksi, kadar air (hidrolisat) dan xilosa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu dan lama hidrolisisnya gula reduksi yang dihasilkan semakin tinggi pula, serta residu hemiselulosa pada padatan yang dibuang semakin sedikit. Hidrolisis pada suhu 200 oC selama 45 menit menghasilkan gula reduksi sebesar 17,71% (db). Biodegradasi enzimatis pada hidrolisat menghasilkan peningkatan xilosa sebesar 113,79% pada jam ke-24 atau mencapai 1,24 g xilosa /100 ml.
Kata kunci : enzimatik, hemiselulosa, tandan kosong kelapa sawit, xilosa
1. PENDAHULUAN Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas non migas andalan Indonesia. Hasil olahan kelapa sawit yang utama adalah minyak sawit murni (Proccesed Palm Oil/PPO). Selain itu juga diperoleh hasil samping berupa tandan kosong kelapa sawit (TKKS) yang jumlahnya cukup besar sekitar 24% - 35% dari tandan buah segar (TBS). Pada tahun 2002 dihasilkan minyak sawit sebesar 5.028.800 ton dari 25 juta ton TBS (BPS, 2003). Dari jumlah itu diperkirakan tersedia 6 – 8 juta ton TKKS dan belum dimanfaatkan secara optimal. TKKS memiliki komponen terbesar berupa selulosa disamping
hemiselulosa dan lignin dalam jumlah yang relatif kecil. Komposisi kimia TKKS terdiri dari selulosa 35,81-40%, hemiselulosa 24-27,01%, lignin 17,721%, dan kadar abu 6,04-15% (Pratiwi dkk, 1998; Azemi dkk, 1994 dalam Gumbira-Sa’id, 1996).Pemanfaatan TKKS sampai sekarang lebih tertuju pada pemanfaatan glukosa yang terdapat pada selulosanya bukan xilosa yang banyak ditemukan dalam hemiselulosanya. Xilosa dapat dikonversi menjadi produk yang bernilai tinggi seperti xilitol (kirakira 10 kali harga sukrosa) akan memberikan sumbangan yang tak kalah dengan glukosanya (Dwivedi dalam Nabors dan Gelardi, 1992).
26
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Hemiselulosa dalam TKKS dapat dihidrolisis menjadi xilosa, yang kebanyakan dilakukan hidrolisis asam dan disertai suhu tinggi. Cara ini selain dapat mencemari lingkungan, ternyata hidrolisatnya juga mengandung senyawa inhibitor seperti asam asetat, furfural, dan vanilin sehingga tidak cocok jika hidrolisat tersebut dimanfaatkan sebagai media fermentasi, misalnya untuk produksi xilitol. Oleh sebab itu perlu dicari hidrolisis yang ramah lingkungan dan dapat meminimalkan terbentuknya senyawa inhibitor tersebut. Autohidrolisis (tanpa asam ) disertai suhu tinggi telah dilakukan oleh Rivas dkk (2002), hidrolisis tongkol dengan jagung pada suhu 202 oC perbandingan 1g bahan:8 g air menghasilkan xilosa sebesar 3,05 g/l dan xilooligosakarida yang cukup tinggi sebesar 25,4 g/l. Menurut Nunes dan Pourquie (1995), hidrolisis ennzimatis hidrolisat kayu Eucalyptus pada rotary shaker dengan suhu 50 oC selama 24 jam menghasilkan glukosa sebesar 11,67 g/l dan xilosa sebesar 11,87 g/l yang tak kalah banyak dibanding hidrolisis secara kimiawi (dengan asam) yang menghasilkan xilosa sebesar 13,71 g/l. Oleh karena itu dalam penelitian dilakukan variasi suhu dan waktu hidrolisis untuk menentukan kondisi optimalnya, kemudian dilanjutkan hidrolisis enzimatis untuk menghasilkan xilosa. Tujuan umum penelitian inia ialah dapat memproduksi xilosa dari limbah tandan kosong kelapa sawit (TKKS), dan tujuan khususnya mengevaluasi pengaruh suhu dan waktu hidrolisis TKKS, menentukan suhu dan waktu hidrolisis hemiselulosa TKKS yang optimal untuk menghasilkan xilosa, serta mengetahui biodegradasi enzimatis fraksi hemiselulosa yang terlarut menjadi xilosa.
2. METODE PENELITIAN 2.1. Bahan Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini dalah tandan kosong kelapa sawit (TKKS) diperoleh dari PT. Perkebunan nusantara VII, Gunung Sugih Lampung Tengah. Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini adalah pepton (PA), KH2PO4 (PA), MgS04 (PA), (NH4)2SO4 (PA), asam asetat (PA), Na asetat (PA), reagn Nelson A, reagn Nelson B, arsenomolybdat (PA), xilan (PA), aquades. Bahan-bahan tersebut diperoleh dari Laboratorium Analisa Hasil Pertanian Universitas Wangsa Manggala Yogyakarta kecuali xilan diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi Pusat Antar Universitas (PAU) Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Biakan murni Aspergillus niger diperoleh dari laboratorium Bioteknologi Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada. 2.2. Alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah terdiri dari seperangkat alat gelas ( pyrex) untuk analisa, spektrofotometer UV (Milton Roy Spectronic, 20D), Waterbath (Kottermann) buatan Jerman, pH Meter (Methrom 620 pH meter ) buatan Swiss, Neraca digital merk Sartorius (BL 210S), reaktor (Stainless Steel, dengan bahan bakar nikelin), sentrifuse (Hettich EBA 8 S), autoklaf (All American Pressure Sterilizer Model No. 1941 X), pemanas (merk Rinai), cabinet dryer (merk Wangdi), blender (merk National), HPLC (detektor refraksi indeks, kolom Bio_Rad HPX-87 H, eluen 0,01 NH2SO4, kecepatan alir 0,5 ml/menit, dan suhu kolom 50 oC). 2.3. Tempat Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Universitas Wangsa Manggala
27
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
dengan cara disentrifuse pada kecepatan 5000 x g. Supernatan dari media cair tersebut digunakan sebagai enzim kasar (crude enzim). Gaftar alir produksi enzim xilanase (crude enzim) tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.
Yogyakarta dan di Laboratorium Kimia, Pusat antar Universitas (PAU) Pangan dan Gizi Univesitas Gadjah Mada Yogyakarta. 2.4. Cara Penelitian 2.4.1. Penyiapan serbuk TKKS TKKS (berat awal 1,2 kg) dipotong menjadi 2-3 cm, dicuci dan dikeringkan pada suhu 70 oC dalam cabinet dryer sampai kadar air mencapai 10%. Bahan kering tersebut kemudian digiling dengan menggunakan blender (merk National ) pada kecepatan Nomer 3 selama 10 menit dan diayak dengan saringan 35 mesh sehingga dihasilkan bubuk dengan berat 1,08 kg. Serbuk TKKS yang lolos saringan digunakan sebagai bahan penyiapan hidrolisat.
2.4.4. Biodegradasi hemiselulosa TKKS secara enzimatik Hidrolisat yang diperoleh dari proses hidrolisis bubuk TKKS (hasil terbaik) diatur pHnya dengan menggunakan buffer asetat (200 mM) kemudian dicampur dengan supernatan (dengan perbandingan 1:1) dan didegradasi pada suhu 50 oC sambil digoyang selama 24 jam. Setiap 6 jam diambil (sampling dengan volume 3 ml) kemudian disentrifuse dengan kecepatan 5000 U/min sehingga terpisah antara cairan dan padatan. Supernatannya kemudian dianalisa dengan menggunakan HPLC dan parameter yang diamati adalah perubahan xilosa. Gaftar alir biodegradasi enzimatik tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.
2.4.2. Penyiapan hidrolisat TKKS Sebanyak 25 gram bubuk TKKS dimasukkan ke dalam erlenmeyer 500 ml yang telah diisi 125 ml aquades (1 gram bahan : 5 ml aquades) dibuat sebanyak 2 ulangan. Kemudian dipanaskan dengan Variasi suhu 128 oC (autoklaf) dan 200 o C (reaktor) selama 30, 45, 60 menit. Setelah proses hidrolisis tersebut campuran disaring dan hidrolisat serta residu (padatan) dianalisa. Gaftar alir penyiapan hidrolisat TKKS dapat dilihat pada Gambar 1.
2.4.5. Analisis penelitian Analisis penelitian yang dilakukan meliputi analisis bahan dasar (bubuk TKKS), yaitu kadar air (AOAC, 1995), selulosa, hemiselulosa, dan lignin (Datta, 1981), sedangkan analisis hidrolisat mencakup penentuan kadar air (AOAC, 1995), dan gula reduksi dengan metode Nelson-Somogy (AOAC, 1995), Residu hemiselulosa (Datta, 1981), serta penentuan kadar xilosa dengan HPLC, menggunakan detektor refraksi indeks, kolom Bio-Rad HPX-87 H, eluen 0,01 N H2SO4, kecepatan alir 0,5 ml/menit dan suhu 50 oC.
2.4.3. Produksi enzim xilanase (crude enzim) Produksi enzim xilanase dilakukan menggunakan media cair menurut Zhao, dkk (2002) dengan komposisi sebagai berikut : 0,05% xilan, 0,1% pepton, 0,3% KH2PO4, 0,05% MgSO4, 1% (NH4)2SO4. Kemudian dimasukkan dalam 50 ml hidrolisat (hidrolisat terpilih) yang sudah disiapkan. Jamur tersebut ditumbuhkan pada media produksi xilanase pada suhu 30 oC selam 72 jam sambil digoyang dengan kecepatan 150 rpm kemudian dipisahkan antara cairan dan padatan (biomassa)
28
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
TKKS Berat : 1,2 kg
Aspergillus niger 3 - 5 ose Hidrolisat TKKS (terpilih) 50 ml
Pencucian Pemotongan dengan pisau 2 – 3 cm
Nutrien : 0,05% xilan, 0,1% pepton, 0,3% KHPO4 0,05% MgSO4, 1% (NH4)2SO4
Pengeringan dalam cabinet dryer, suhu 70 oC, kadar air 10%
Produksi xilanase
Penggilingan dengan blender merk National pada kecepatan No.3 selama 10 menit
Ditumbuhkan dalam waterbath pada suhu inkubasi 30 oC selama 72 jam sambil digoyang dengan kecepatan 150 rpm
Pengayakan dengan saringan 35 mesh Bubuk TKKS Berat :1,08 kg
Sentrifuse Kecepatan 5000 x g
Analisa: kadar air , selulosa, Hemiselulosa, lignin
Biomassa/ padatan
25 g bahan + 125 g Aquades
Supernatan (sebagai crude enzim)
Hidrolisis Suhu : 128 oC dan 200 C Waktu: 30, 45, 60 menit
Gambar 2. Produksi enzim xilanase (crude enzim) 2.4.5. Analisis penelitian Analisis penelitian yang dilakukan meliputi analisis bahan dasar (bubuk TKKS), yaitu kadar air (AOAC, 1995), selulosa, hemiselulosa, dan lignin (Datta, 1981), sedangkan analisis hidrolisat mencakup penentuan kadar air (AOAC, 1995), dan gula reduksi dengan metode Nelson-Somogy (AOAC, 1995), Residu hemiselulosa (Datta, 1981), serta penentuan kadar xilosa dengan HPLC, menggunakan detektor refraksi indeks, kolom Bio-Rad HPX-87 H, eluen 0,01 N H2SO4, kecepatan alir 0,5 ml/menit dan suhu 50 oC.
Filtrasi Padatan Analisa residu hemiselulosa
Hidrolisat Analisa reduksi
kadar
air,
gula
Gambar 1. Penyiapan Hidrolisat TKKS
29
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Hidrolisat + supernatan (Crude enzim) dengan perbadingan 1:1, pH diatur 5,5 dengan buffer asetat 200 mM
2.4.6. Rancangan percobaan Rancangan percobaan yang dilakukan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap yang disusun secara faktorial dengan terdiri dari 2 faktor perlakuan yaitu : suhu (T) : 128 oC dan 200 oC dan waktu hidrolisis (t) : 30, 45, 60 menit. Dari hasil pengamatan dianalisis dengan sidik ragam (uji F) pada jenjang nyata 0,05 dan uji beda nyata dilanjutkan dengan DMRT (Duncan Multiple Range Test).
Biodegradasi dalam shaker waterbath pada suhu 50 o C,kecepatan 150 rpm, selama 24 jam
Sampling Volume 3 ml, secara aseptis Pada jam ke-0, 6, 12, 18, 24
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Bahan Dasar Hasil analisa bubuk tandan kosong kelapa sawit dapat dilihat dan tersaji seperti pada Tabel 1.
Sentrifuse Kecepatan 5000 x g
Padatan Supernatan
Tabel 1. Komposisi kimia TKKS Komponen Kadar (%) Hemiselulosa 22,11 (db) Selulosa 42,86 (db) Lignin 17,58 (db) Air 10,35 (wb)
Penambahan Pb-Asetat 10% sampai jernih
Filtrasi dengan kertas saring Whatman No 40
Cairan
Dari hasil penelitian komponen lignoselulosa TKKS diketahui kadar hemiselulosa, selulosa dan lignin sebesar 22,11%, 42,86%, dan 17, 58%. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Darnoko, dkk (1991) melaporkan bahwa kandungan hemiselulosa, selulosa dan lignin dari TKKS sebesar 22,84%, 45,95%, dan 16,49%. Adanya sedikit perbedaan tersebut kemungkinan karena varietas kelapa sawit dan kondisi lingkungannya yang berbeda. Menurut Chandrakant dan Bisaria (1998) kandungan hemiselulosa pada tanaman tahunan sekitar 15-30 %. Kalau dibandingkan bahan yang berbeda tersebut kadar hemiselulosanya tidak jauh berbeda, tetapi di Indonesia TKKS merupakan limbah yang sangat poternsial dimanfaatkan karena sangat melimpah jumlahnya yaitu diperkirakan mencapai 6-8 juta ton (BPS, 2003).
Padatan
Penambahan Na-Oksalat 10% sampai jernih
Filtrasi dengan kertas saring Whatman No 40
Cairan Padatan Filtrasi vacum
HPLC Analisa xilosa Gambar 3. Biodegradasi secara enzimatik
30
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Struktur hemiselulosa yang tersusun heteropolimer , terutama oleh xilosa, dan tidak kristalin lebih mudah dihidrolisis dibanding selulosa yang berbentuk kristalin dan lignin. Berdasarkan tabel tersebut diatas kandungan hemiselulosanya lebih tinggi daripada lignin, sehingga dapat diperkirakan perlakuan yang keras (dengan suhu tinggi) akan lebih efektif untuk menghilangkan hemiselulosanya dibandingkan dengan tujuan untuk menghilangkan ligninnya. Hal ini juga menunjukkan bahwa limbah ini mempunyai potensi yang besar untuk dimanfaatkan hemiselulosanya sebagai bahan baku yang kemudian dipreparasi menjadi media dalam produksi xilosa dibanding pemanfaatan glukosa dalam selulosanya yang telah banyak dilakukan. Lignin dapat menghalangi efektivitas hidrolisis hemiselulosa maupun selulosa. Kadar air yang dihasilkan pada penelitian ini adalah 10,35%(wb). Kadar air diatur sekitar 10% dengan tujuan untuk memudahkan preparasi media untuk produksi xilitol. Apabila kadar air lebih dari 10% maka massa bahan padat akan semakin sedikit sehingga hasilnya juga sedikit
bertambahnya waktu, kadar residu hemiselulosanya cenderung semakin turun. Pada perlakuan suhu 200 oC selama 45 menit dan 60 menit menunjukkan hasil yang tidak beda nyata yang berarti waktu sudah tidak berpengaruh nyata lagi. Perlakuan suhu hidrolisis 200 oC selama 45 menit merupakan kondisi yang optimal. Dengan melihat secara keseluruhan, suhu hidrolisis lebih besar pengaruhnya dibanding dengan waktu hidrolisisnya, hal ini pernah diteliti sebelumnya oleh Darnoko dkk (1991) dengan menggunakan 3 faktor yaitu konsentrasi asam, suhu, dan waktu hidrolisis hemiselulosa tandan kosong kelapa sawit. Dari ketiga faktor yang dipelajari tersebut ternyata konsentrasi asam yang paling besar pengaruhnya disusul oleh suhu hidrolisis dan waktu hidrolisis terhadap residu hemiselulosanya. Dari data tesebut semakin sedikitnya residu hemiselulosa dimungkinkan fraksi hemiselulosa yang terlarut semakin banyak. Fraksi hemiselulosa yang terlarut semakin banyak juga ditunjukkan dengan meningkatnya kadar gula reduksi. Semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu hidrolisis gula reduksinya meningkat, sama halnya dengan residu hemiselulosanya faktor suhu dan waktu sudah tidak berpengaruh nyata lagi terhadap gula reduksinya pada perlakuan 200 oC selama 45 menit. Sebagai bahan pembanding Rivas dkk (2002) melaporkan bahwa hidrolisis pada tongkol jagung dengan perbandingan 1 g bahan:8 g air menghasilkan xilooligosakarida sebesar 25,4 g/l , xilosa 3,05 g/l, arabinosa 1,75 g/l, glukosa, 0,75 g/l, furfural 0,55 g/l dan asam asetat 1,75 g/l. Peningkatan suhu dapat membantu meningkatkan fraksi tersebut.
3.2. Hasil hidrolisis TKKS Hasil hidrolisis tandan kosong kelapa sawit (TKKS) dapat dilihat seperti tersaji pada Tabel 2. Tabel 2. Komponen hasil hidrolisis Kompone n
Perlakuan Suhu(oC)/Waktu(menit) 128 oC 200 oC 30
45
60
30
45
60
16,38e 15,90d 15,43c 13,19b 9,95a 9,87a Residu hemiselul osa (%db)* Gula 12,34a 14,79b 15,53c 16,17d 17,71e 17,76e reduksi (%db)** Keterangan : angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan beda nyata * Pada ampas TKKS ** Pada hidrolisat TKKS
Dari hasil penelitian pada Tabel 2 dapat diketahui semakin tinggi suhu dan
31
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
sehingga dipilih hidrolisat hasil hidrolisis pada perlakuan yang waktunya lebih singkat yaitu pada perlakuan suhu 200 oC selama 45 menit. Kemudian dilanjutkan dengan proses bidegradasi enzimatis dengan menggunakan xilanase untuk memecah xilooligosakarida (yang terlarut dalam gula reduksi) menjadi xilosa. Perubahan xilosa yang dihasilkan dapat dilihat dan tersaji pada Tabel 3.
3.3. Biodegradasi secara enzimatik Hasil hidrolisis tanpa asam (autohidrolisis) yang dilakukan pada proses sebelumnya dengan parameter keberhasilan semakin meningkatnya suhu dan bertambahnya waktu residu hemiselulosanya semakin sedikit dan gula reduksinya semakin tinggi. Pada perlakuan suhu 200 oC selama 45 menit dan 60 menit menunjukkan hasil yang tidak beda nyata, yang berarti suhu dan waktu sudah tidak berpengaruh nyata
Media
Hidrolisat TKKS
Tabel 3. Produksi xilosa oleh Aspergillus niger Produk Waktu biodegradasi (jam)
Xilosa (g/100 ml)
0
6
12
18
24
0,58
0,78
1,01
1,08
1,24
Dari hasil penelitian pada Tabel 3 di atas dapat diketahui bahwa xilosa yang dihasilkan pada jam ke-6 meningkat dari 0,58% menjadi 0,78%. Hal ini menunjukkan bahwa enzim aktif dan dapat memotong xilooligosakarida menjadi xilosa. Pada jam ke-12 xilosa bertambah menjadi 1,01%, demikian pula pada jam ke-18 dan jam ke-24 menjadi 1,08% dan 1,23%. Selama 24 jam terjadi peningkatan xilosa cukup besar mencapai 113,79%. Hal tersebut menunjukkan semakin lama waktu biodegradasinya maka xilooligosakarida yang terpotong dan xilosa yang dihasilkan terbukti semakin banyak. Namun demikian, hasil biodegradasi pada jam ke-24 belum maksimal sebab biodegradasi masih berlangsung setelah 24 jam dan kemungkinan akan dihasilkan xilosa yang lebih banyak. Penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan oleh Yulianto dkk (2002), hidolisis TKKS dengan menggunakan asam sulfat 2,5% pada suhu 95 oC selama 10 jam (refluks) menghasilkan xilosa sebesar 0,24%,
ternyata dengan hidrolisis enzimatis hasilnya lebih besar. Berdasarkan hal tersebut, maka terbuka kesempatan untuk meneliti lebih lanjut tentang waktu biodegradasi enzimatis yang optimal untuk menghasilkan xilosa sebanyakbanyaknya. 4. KESIMPULAN Suhu dan waktu berpengaruh terhadap hidrolisis tandan kosong kelapa sawit. Semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu hidrolisisnya, gula reduksi yang dihasilkan meningkat sampai batas tertentu. Hidrolisis pada suhu 200 oC selama 45 menit menghasilkan gula reduksi sebesar 17,71% (db). Biodegradasi enzimatis pada hidrolisat menghasilkan peningkatan xilosa sebesar 113,79% pada jam ke-24 atau mencapai 1,24 g xilosa /100 ml.
32
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Rivas. B, Dominguez. J. M., Domingues H., dan Parajo J. C., 2002. Bioconversion of Posthydrolysed Authohydrolysis Liquors : An Alternative for Xylitol Production from Corn Cobs, Enzyme and Micobial Technology 31: 431-438. Yulianto, W.A., Wesniati, N., dan Indrati, R., 2002. Preparasi Hidrolisat Tandan Kosong Kelapa Sawit Sebagai Media Fermentasi untuk Produksi Xilitol oleh Candida shehatae WAY 08, Seminar Nasional PATPI, Malang, D : 47-52. Zhao J., Li Xuezhi, Qu Yinbo, dan Gao,P., 2002. Xylanase Pretreatment Leads to Enhanced Soda Pulping of Wheat Straw, Enzyme and Mikrobial Technology 30:734-740.
5. DAFTAR PUSTAKA AOAC, 1995. Official Standard of Analysis of OAC International, 16th edition AOAC International, Arlington, Virginia. BPS, 2003. Statistik Indonesia 2002, Biro Pusat Statistik, Jakarta. Candrakant, P., dan Bisaria, V.S. 1998. Simultaneous Bioconversion of Cellulose and Hemicellulose to Etanol. Crit. Rev. Biotechnol., 18 (4) : 295 – 231. Datta, R. 1981. Acidogenic Fermentation of Lignocellulose Acid Yield and Conversion of Components. Biotechnol. Bioeng, 23 : 2167 – 2170. Darnoko, Sari, M., dan Mangunwijaya, D. 1991. Pengaruh Konsntrasi Asam, Suhu dan Waktu Terhadap Hidrolisis Hemiselulosa Tandan Kosong Kelapa Sawit, Menara Perkebunan 58 (4), 115-121. Dwivedi, B.K. 1992 Sorbitol and Mannitol. Dalam L.O. Nabors dan R.C. Gelardi (eds) :Alternative Sweeterness, pp. 333-348. Marcel. Dekker, New York. Gumbira-Sa’id, E.1996. Penanganan dan Pemanfaatan Limbah Kelapa Sawit, Trubus Agriwidya, Ungaran. Nunes A. P., dan Pourquie J., 1995. Steam Explosion and Enzyimatic Hydrolysis of Eucalyptus Wood, Bioresource Technology 57:107-110. Pratiwi, W., Atmawinata, O, dan Pujusunaryo, R. 1988. Pembuatan Pulp Kertas dari Tandan Kosong Kelapa Sawit dengan Proses Soda Antrakinon. Menara Perkebunan, 52 (2) : 48-52.
33
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
TELAAH: PENENTUAN KUALITAS DAN PEMALSUAN DAGING DAN OLAHAN DAGING DENGAN SENSOR IMPEDANSI BIOELEKTRIK Sucipto1*, Taufik Djatna2 , Irzaman3, Tun Tedja Irawadi4, dan Anas Miftah Fauzi2 1
Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya, Jl. Veteran Malang, 65145; email:
[email protected] 2 Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Gedung Fateta IPB Dramaga PO Box 220 Bogor, 16002; email:
[email protected] dan
[email protected] 3 Department Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, Jl. Meranti Kampus IPB Dramaga Bogor, 16680; email:
[email protected] 4 Department Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, Jl. Meranti Kampus IPB Dramaga Bogor, 16680; email:
[email protected] * Penulis Koresponden
Abstrak Meningkatnya kesadaran konsumen menuntut penyediaan pangan berkualitas dan bebas dari pemalsuan. Diantaranya produk daging dan olahan daging. Perbedaan harga daging mendorong industri pengolahan mencampurkan daging dengan kualitas dan jenis berbeda untuk mengurangi biaya produksi. Karena itu, diperlukan penilaian kualitas dan pemalsuan daging secara cepat, akurat, dan efisien. Perkembangan teknologi sensor menjawab keperluan ini. Teknologi sensor secara bertahap menggeser metode konvensional non sensor yang perlu waktu persiapan sampel, bahan kimia, dan relatif mahal. Tulisan ini menelaah perkembangan pengukuran impedansi bioelektrik daging dan olahan daging sebagai penentu kualitas dan pemalsuan daging. Selanjutnya dikemukakan hasil riset awal kami terkait nilai impedansi beberapa lemak pangan pada frekuensi 3,8 - 5 MHz yang bernilai 0,023886 - 0,031608 Mega Ohm (MΩ). Hal ini dapat dijadikan dasar penilaian pemalsuan lemak pangan. Kombinasi impedansi bioelektrik dan teknik klustering membantu penilaian kualitas dan pemalsuan daging dan olahan daging menjadi lebih cepat, sederhana, mengarah in-situ, dan relatif murah. Pengembangan teknik deteksi kualitas dan pemalsuan berbasis sensor impedansi bioelektrik akan menunjang green manufacturing dalam agroindustri.
Kata kunci: Impedansi, bioelektrik, kualitas, pemalsuan, daging
tuntutan konsumen. Berbagai teknik deteksi kualitas dan pemalsuan daging dan olahan daging penting dikembangkan. Saat ini, berbagai teknik deteksi kualitas dan pemalsuan daging dan produk daging, non sensor telah digunakan. Diantaranya teknik ini gas chromatography (GC), gas liquid chromatography (GLC), high performent liquid chromatography (HPLC),
1. PENDAHULUAN Konsumsi daging dan olahan daging untuk memenuhi nutrisi semakin meningkat di banyak negara. Komposisi kimia daging menyebabkan produk ini mudah rusak. Perbedaan kualitas dan harga mendorong industri pengolahan mencampurkan kualitas dan jenis daging. Karena itu, kualitas dan kemurnian daging dan olahan daging sepanjang supply chain mutlak dijamin sesuai
34
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
differential scanning calorimetry (DSC); dan sebagainya. Adanya tuntutan kecepatan, keakuratan, dan efisiensi telah menggeser teknik deteksi kualitas dan pemalsuan bahan dari paradigma lead time, just in time, menuju real time. Perkembangan teknologi sensor diharapkan menjawab keperluan ini. Pengukuran sifat elektrik daging dan olahan daging telah dikembangkan untuk menilai kualitas kemurniannya secara cepat dan non destruktif, mengarah in-situ berdasar energi elektromagnetik, teknik ultrasonik, dan resonansi (Castro-Giraldez, Fito, Toldra, and Fito, 2010). Salah satunya, deteksi berbasis sensor impedansi bioelektrik untuk deteksi kerusakan daging sapi (Damez et. al., 2008) dan uji pencampuran lemak (Lizhi, Toyoda, Ihara, 2008). Teknik ini mengukur sifat listrik bahan sebagai penduga kualitas dan pencampuran bahan. Telaah ini memaparkan perkembangan penggunaan impedansi bioelektrik dikombinasikan dengan teknik klustering untuk menentukan kualitas dan pemalsuan daging dan olahan daging. Hal ini diharapkan menunjang pengembangan sensor kualitas dan pemalsuan daging dan olahan daging secara lebih cepat, akurat, dan relatif murah, serta ramah lingkungan.
adiposa secara nyata kurang bersifat konduksi daripada jaringan otot atau tulang (Scharfetter, et. al., 2001). Jaringan biologis terdiri dari sel-sel yang dikelilingi cairan ekstraselular. Membran sel bertindak sebagai insulator pada frekuensi rendah, berperilaku seperti sebuah kapasitor. Gambar 1 menunjukkan model sederhana, suatu kapasitor dan resistor pada membran sel. Jaringan biologis, terutama daging, memiliki impedansi anisotropik, yaitu impedansi yang bervariasi berdasar apakah arus berjalan sejajar atau tegak lurus terhadap serat otot (Damez, Clerjon, Abouelkaram, & Lepetit, 2007). Impedansi bioelektrik berhubungan dengan konsentrasi ion dan konduktivitas listrik serta resistensi pada bahan hidup. Impedansi daging menurun cepat saat rigor dan selama penyimpanan terus menurun meski jauh lebih lambat (Pliquett, Pliquett, Schoberlein, & Freywald, 1995). Karena setiap bahan hidup memiliki komposisi tertentu maka juga memiliki impedansi biolektrik tertentu. Sifat ini digunakan mengenali perubahan komposisi bahan akibat penurunan kualitas dan atau terjadinya pemalsuan bahan satu dengan bahan lain.
2. METODE PENELITIAN 2.1. Prinsip teknik analisis impedansi bioelektrik Analisis impedansi bioelektrik didasarkan pada prinsip bahwa kecepatan aliran arus berbeda melalui tubuh (bahan hidup) tergantung pada komposisinya. Tubuh paling banyak tersusun dari air dengan ion, dimana arus listrik dapat melaluinya (Mahshid and Anwar, 2008). Di sisi lain, tubuh tersusun dari bahan non konduksi (seperti lemak) yang menghambat aliran arus listrik. Jaringan
Gambar 1. Model sederhana kapasitor dan resistor untuk mebram sel Keterangan: Cm model membran kapasitansi Ri resistensi intraseluler Re resistensi ekstraseluler
35
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Hal ini dapat dimanfaatkan sebagai dasar sensor untuk deteksi kualitas atau pemalsuan daging dan olahan daging. Gambar 2 menunjukkan model pengukuran impedansi bioelektrik.
matematika yang menurunkan transformasi dari suatu set variabel penduga (yang berkorelasi) menjadi set (yang lebih kecil) variabel baru yang tidak berkorelasi dinamakan principal component. PCA digunakan membedakan minyak zaitun dengan minyak nabati menggunakan spektroskopi dielektrik (Lizhi, Toyoda, Ihara, 2010). Partial least squares (PLS) adalah suatu metode kalibrasi faktorial multivariabel yang memisahkan spektra data ke dalam pemuatan dan penilaian, membangun model hubungan kalibrasi dari variabel baru (Martens & Naes, 1989). PLS dipasangkan FTIR spectroscopy untuk membedakan kualitas minyak pangan. Teknik ini dapat mengevaluasi komposisi asam lemak dan kualitas virgin olive oil (Maggio et.al., 2009). Prosedur validasi silang digunakan untuk verifikasi model kalibrasi. Nilai root mean standard error of calibration (RMSEC) dan coefficient of determination (R2) digunakan sebagai kriteria validasi untuk kalibrasi. Validasi berikutnya menggunakan mean difference (MD) dan standard deviation of difference (SDD) untuk akurasi dan keberulangannya (Rohman, Sismindari, Erwanto, & Che Man, 2010).
Gambar 2. Model pengukuran impedansi bioelektrik Keterangan: M Alat mengukur impedansi C Kapasitansi R Resistansi 2.2. Teknik klustering untuk sensor Berbagai teknik klustering data sebagai pendukung sensor kualitas dan pemalsuan bahan telah dikembangkan. Data hasil pengukuran parameter kualitas dan pemalsuan bahan dapat dibedakan dengan teknik statistik. Teknik yang sering digunakan dalam chemometric method seperti principal component analysis (PCA), linear discriminant analysis (LDA), support vector machine (SVM) and K-nearest neighbor (KNN) (Di, Shuijuan, Xiaojing, Haiqing, & Yong, 2008; Pravdova, Boucon, de Jong, Walczak, & Massart, 2002; Sikorska, Gorecki, Khmelinskii, Sikorski, & De Keukeleire, 2006). Teknik ini digunakan menurunkan spektrum pengukuran pada suatu kategori di dalam training set. Perhitungan chemometrics sesuai untuk analisis campuran kompleks dan dapat mengurangi secara cepat dan simultan untuk tiap komponen campuran tanpa banyak waktu. Principal component analysis (PCA) suatu teknik exploratori multivariabel dan meliputi suatu operasi
2.3. Aplikasi impedansi bioelektrik untuk kualitas daging dan olahan daging Kualitas daging sangat heterogen terkait komposisi, teknologi dan atribut sensoris yang berpengaruh pra penyembelihan (bibit, kelamin, umur, berat, dan lingkungan) dan faktor postmortem (waktu simpan dan suhu) (Andres, et. al., 2007). Beragamnya karakteristik kualitas daging menjadi perhatian konsumen (Warriss, 2004). Beberapa publikasi memanfaatkan
36
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
impedansi biolektrik untuk beberapa kualitas daging.
deteksi
2.3.3. Kandungan lemak Penelitian sifat listrik untuk perkiraan kandungan lemak karkas hewan atau daging telah dilakukan. Lemak merupakan isolator listrik sehingga mempengaruhi impedansi jaringan. Pengukuran konduktivitas listrik sederhana pada karkas segera pasca penyembelihan dikaitkan data anatomis memberikan akurasi tinggi pada penentuan kandungan lemak (R2=0,95). Hal ini terjadi karena belum terjadi perubahan membran dan kompartemen ekstraseluler sesaat pasca penyembelihan dan pengukuran dilakukan pada suhu yang stabil. Sebuah paten sistem pengukuran kandungan lemak dalam otot telah dikembangkan (Madsen, Rasmussen, Boggaard, & Nielsen, 1999). Peralatan portabel menggunakan elektroda dimasukkan dalam otot dan kandungan lemak diperkirakan melalui pengukuran pada beberapa frekuensi. Pengukuran kandungan lemak pasca rigor tidak konsisten, karena impedansi dalam kasus ini juga dipengaruhi kondisi membran.
2.3.1. Deteksi daging beku
Awalnya diketahui sampel daging beku memiliki impedansi sangat lemah. Selanjutnya, diketahui impedansi yang rendah bukan hanya bagi daging beku, tetapi juga pada daging yang sangat lama disimpan (Damez, Clerjon, Abouelkaram, & Lepetit, 2008). 2.3.2. pH Penelitian impedansi yang mengarah pada penurunan pH atau evaluasi pH akhir, telah dilakukan pada daging babi (Swatland, 1985) dan daging sapi (Byrne, Troy, & Buckely, 2000). Pada daging babi, satu masalah yang dievaluasi water holding capacity (WHC) (Schafer, Rosenvold, Purslow, Andersen, & Henckel, 2002) dan deteksi daging pale soft exudative (PSE), yang memiliki pH rendah dan sangat eksudatif. Dalam kasus daging sapi, masalahnya adalah daging dark firm dry (DFD) yang ber-pH tinggi. Kedua cacat ini berhubungan dengan modifikasi membran dan cairan ekstraseluler, yang mempengaruhi sifat listrik daging. Pengukuran sifat listrik daging terkait pH fokus pada deteksi cacat awal daging, selama kurun waktu 45 menit sampai 1 jam pasca penyembelihan. Hasilnya menunjukkan pengukuran listrik kurang sesuai untuk deteksi dini DFD (Forrest et.al., 2000; Guerrero et.al., 2004). Kesulitan mendeteksi daging PSE selama rigor karena pH dan suhu daging berubah cepat selama periode ini. Hal ini terkait perubahan metabolik yang mempengaruhi struktur dan sifat listriknya kemudian. Namun, konduktivitas lebih mampu mendeteksi daging PSE sekaligus capaian pH akhir (Guerrero et. al., 2004).
2.3.4. Tenderness Byrne et. al. (2000) meneliti kaitan sifat listrik otot setelah memasak untuk tenderness dan berusaha menghubungkan sifat listrik dan resistensi mekanis daging. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan langsung antara tenderness daging dan pengukuran listrik langsung. Ini disebabkan jaringan penghubung yang berperan penting terhadap tenderness, memiliki impedansi sama dengan serat otot. Akibatnya tenderness tidak dapat dideteksi dengan pengukuran sifat listrik. 2.3.5. Ageing Ageing terkait proses fisika dan biokimia. Proses ini melibatkan protease endogen pada struktur serat otot, peningkatan progresif permeabilitas air membran, dan melemahnya jaringan ikat.
37
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
bernilai lebih rendah (Fajardo et.al., 2008), adanya ketidakjelasan spesies (Aida, Che Man, Wong, Raha, & Son, 2005). Selanjutnya, Ballin (2008) mengkategorikan metode authentication daging dan produk daging. (1) Meat origin- kelamin, potongan daging, pemeliharaan, pakan ternak, umur saat penyembelihan, wild meat dibanding farmed meat, daging organik dibanding konvensional, dan asal daerah; (2) substitusi daging- spesies dan jaringan daging, lemak tumbuhan atau hewan, dan protein nabati, hewani, atau komponen organik; (3) perlakuan prosesing dagingiradiasi, segar dibanding daging yang telah di-thawing, perlakuan daging; (4) bahan tambahan non daging- bahan tambahan dan air. Ducan et.al. (2008) memprediksi komposisi tubuh ikan cobia Rachycentron canadum diberi pakan tertentu dengan impedansi bioelektrik dan metode kimia. Hasilnya menunjukkan hubungan nyata antara analisis impedansi dan analisis kimia proksimat. Ini menunjukkan metode impedansi bioelektrik dapat digunakan, tidak mahal, tidak mematikan, dan dapat menentukan komposisi proksimat di tempat bahan uji. Lizhi, Toyoda, and Ihara (2010) mengaplikasikan dielektrik spektroskopi untuk mengidentifikasi pemalsuan minyak zaitun pada frekuensi 101 Hz–1 MHz. Dengan model partial least squares (PLS) dikembangkan dan digunakan untuk verifikasi konsentrasi pencampuran. Lebih jauh principal component analysis (PCA) digunakan untuk mengklasifikasi sampel minyak zaitun dibedakan dari pencampurnya berbasis spektra dielektrik. Klasifikasi PCA semua sampel mampu membedakan konsentrasi dan pencampuran hingga 5%. Sucipto, Irzaman, Tun Tedja, dan Fauzi (2011) mengemukakan salah satu sifat dielektrik, khususnya konduktansi
Lepetit, Sale, Favier, dan Dalle (2002) menunjukkan bahwa variasi hewan dari rasio impedansi frekuensi rendah sampai impedansi frekuensi tinggi berasal dari variasi ion atau lemak. Rasio impedansi tidak dipercaya menunjukkan pematangan atau kerusakan daging. Otot bersifat elektrik anisotropik, artinya otot dan daging menunjukkan perubahan sifat listrik sesuai bidang listrik dalam sampel. Pasca rigor mortis, impedansi listrik daging berkurang linear. Kekuatan serat otot dapat diprediksi secara lebih baik menggunakan resistensi mekanik serat otot dan anisotropik listrik daripada impedansi secara mandiri (Lepetit et.al., 2002). Tingkat penuaan daging sapi bervariasi antar individu hewan. Kekuatan serat otot mencapai nilai minimum dalam beberapa hari, sedang untuk serat otot yang sama pada hewan lain dapat lebih dari 2 minggu. Lepetit & Hamel (1998) menyatakan mungkin untuk memilih daging yang mengalami penuaan cepat jika kondisi penuaan diketahui pada 48-jam postmortem. Ini akan menghindarkan penyimpanan daging yang mengalami penuaaan pada periode lama. Keuntungan yang diharapkan akan mengurangi 50% biaya penyimpanan. Studi ini mengukur penuaan menggunakan metode mekanis destruktif. Penentuan penuaan dapat diperoleh dari sensor non-distruktif. Salah satunya sensor yang dibuat Damez et. al. (2008) menggunakan anisotropik impedansi listrik, dan telah dipatenkan (Lepetit et. al., 2007). 2.4. Aplikasi impedansi bioelektrik untuk pemalsuaan daging dan olahan daging Pencampuran spesies daging dan olahan daging menjadi problem meluas di pasar retail (Asensio, et.al., 2008). Evaluasi kualitas dan pemalsuan produkproduk ini meliputi beberapa isu, seperti substitusi daging bernilai tinggi dengan
38
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Impedansi (MOhm)
berpotensi untuk mendeteksi lemak babi pada frekuensi pengukuran 3,8-5 MHz. Di laboratorium kami telah dilakukan riset awal pengukuran impedansi lemak pangan yang diharapkan menjadi dasar sensor pemalsuan lemak berbasis impedansi bioelektrik. Pengukuran impedansi bioelektrik lemak menggunakan LCR HiTESTER (Hioki) tipe 3532-50 yang memiliki rentang frekuensi 42 Hz - 5 MHz. Lemak sapi, lemak babi, dan minyak sawit diukur impedansinya pada suhu ruang (26-27oC) dan frekuensi 3,8; 4,0; 4,2; 4,4; 4,6; 4,8; 5,0 MHz. Impedansi dinyatakan dalam satuan Mega Ohm (MΩ). Setiap sampel lemak dimasukkan lempeng paralel dari tembaga, 20 mm x 10 mm berjarak 5 mm. Hasil riset menunjukkan impedansi bernilai 0,023886 - 0,031608 M Ohm pada Gambar 3.
pengukuran. Hasil serupa didapat oleh Gabriel, Lau, and Gabriel (1996). Perbedaan impedansi antar lemak diduga dipengaruhi komposisi asam lemak penyusun. Lizhi, Toyoda, Ihara (2008) berhasil membedakan beberapa asam lemak dengan sifat listrik. Scharfetter, et. al. (2001) menyatakan lemak bahan non konduksi penghambat aliran listrik yang berpengaruh pada impedansi. Pengaruh asam lemak terhadap sifat listrik lain, khususnya konduktansi telah didiskusikan Sucipto, Irzaman, Tun Tedja, dan Fauzi (2011). Hasil riset awal akan dilanjutkan proses klustering untuk membedakan antar lemak. Ini akan mendukung pengembangan sensor impedansi bioelektrik deteksi pemalsuan lemak. Kombinasi impedansi dan teknik klustering membantu penilaian pemalsuan dan kualitas bahan menjadi lebih cepat, sederhana, mengarah in-situ, dan relatif murah. Hal ini menunjang green manufacturing dalam agroindustri. 3. KESIMPULAN Dari telaah pustaka dan riset awal kami, disimpulkan: • Penggunaan impedansi bioelektrik dikombinasikan teknik klustering mampu menyederhanakan penentuan kualitas dan pemalsuan daging dan olahan daging. • Riset awal kami menguatkan bahwa impedansi dipengaruhi frekuensi. Impedansi pada frekuensi 4,4 - 5,0 MHz dan suhu ruang (26-27oC) berpotensi digunakan untuk membedakan lemak pangan. • Terbuka peluang pengembangan sensor impedansi bioelektrik untuk menentukan kualitas dan pemalsuan daging dan olahan daging secara cepat, sederhana, mengarah in situ, dan relatif murah. Hal ini mendukung green manufacturing dalam agroindustri.
0.035000 0.030000 0.025000 0.020000 Minyak sawit
0.015000 0.010000
Lemak babi
0.005000
Lemak sapi
0.000000 3.8
4
4.2 4.4 4.6 4.8
5
Frekuensi (MHz)
Gambar 3. Hubungan frekuensi dan impedansi beberapa lemak pangan Hasil tersebut menunjukkan nilai impedansi sangat dipengaruhi frekuensi
39
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Di, W., Shuijuan, F., Xiaojing, C., Haiqing, Y., Yong, H. 2008. Independent component analysis and support vector machine combined for brands identification of milk powder based on visible and short-wave near-infrared spectroscopy. Image and Signal Processing. Congress on 5. 456–459.
4. DAFTAR PUSTAKA Aida, A. A., Che Man, Y. B., Wong, C. M. V. L., Raha, A. R., & Son, R. 2005. Analysis of raw meats and fats of pigs using polymerase chain reaction for halal authentication. Meat Science, 69, 47–52. Andres, S., Murray, I., Navajas, E. A., Fisher, A. V., Lambe, N. R., & Bunger, L. 2007. Prediction of sensory characteristics of lamb meat samples by near infrared reflectance spectroscopy. Meat Science, 76, 509–516. Asensio, L., Gonzalez, I., Garcia, T., & Martín, R. 2008. Determination of food authenticity by enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Food Control, 19, 1–8. Ballin, N. Z. 2010. Review Authentication of meat and meat product. Meat Science, 86, 577–587. Byrne, C. E., Troy, D. J., & Buckely, D. J. 2000. Postmortem changes in muscle electrical properties of bovine M-longissimus dorsi and their relationship to meat quality attributes and pH fall. Meat Science, 54(1), 23–34. Castro-Giraldez, M., Chenoll, C., Fito, P. J., Toldra, F., Fito, P. Physical sensors for quality control during processing. In Toldra. F. 2010. Handbook of meat processing. Wiley-Blackell. A John Wiley & Sons, Inc. Damez, J. L., Clerjon, S., Abouelkaram, S., & Lepetit, J. 2007. Dielectric behavior of beef meat in the 1–1500 kHz range: Simulation with the Fricke/Cole–Cole model. Meat Science, 77(4), 512–519. Damez, J. L., Clerjon, S., Abouelkaram, S., & Lepetit, J. 2008. Beef meat electrical impedance spectroscopy and anisotropy sensing for noninvasive early assessment of meat ageing. Journal of Food Engineering, 85 (1), 116–122.
Duncan, M., Craig, S.R., Lunger, A.N., Kuhn, D.D., Salze, G., McLean, E. 2008. Bioimpedance assessment of body composition in cobia Rachycentron canadum (L. 1766). Aquaculture, 271, 432–438. Fajardo, V., Gonzalez, I., Martin, I., Rojas, M., Hernandez, P. E., García, T. 2008. Real-time PCR for detection and quantification of red deer (Cervus elaphus), fallow deer (Dama dama), and roe deer (Capreolus capreolus) in meat mixtures. Meat Science, 79, 289–298. Forrest, J. C., Morgan, M. T., Borggaard, C., Rasmussen, A. J., Jespersen, B. L., & Anderson, J. R. 2000. Development of technology for the early post mortem prediction of water holding capacity and drip loss in fresh pork. Meat Science, 55(1), 115–122. Gabriel S, Lau R.W., Gabriel C. 1996. The dielectric properties of biological tissues: III parametric models for the dielectric spectrum of tissues. Phys Med Biol, 41, 2271– 2293. Guerrero, L., Gobantes, I., Oliver, M. A., Arnau, J., Guardia, M. D., Elvira, J. 2004. Green hams electrical impedance spectroscopy (EIS) measures and pastiness prediction of dry cured hams. Meat Science, 66(2), 289–294. Lepetit, J., & Hamel, C. 1998. Correlations between successive measurements of myofibrillar resistance of raw Longissimus dorsi
40
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Martens, H. and Naes, T. 1989. Multivariate calibration. Chichester: Wiley. Pliquett, F., Pliquett, U., Schoberlein, L., & Freywald, K. 1995. Impedance measurements to characterize meat quality. Fleischwirtschaft, 75(4), 496–498. Pravdova, V., Boucon, C., de Jong, S., Walczak, B., Massart, D. L. 2002. Three-way principal component analysis applied to food analysis: An example.Analytica Chimica Acta, 462, 133–148. Rohman, A., Sismindari, Erwanto, Y., Che Man, Y.B. 2011. Analysis of pork adulteration in beef meatball using Fourier transform infrared (FTIR) spectroscopy. Meat Science, 88, 91–95. Schafer, A., Rosenvold, K., Purslow, P. P., Andersen, H. J., & Henckel, P. 2002. Physiological and structural events post mortem of importance for drip loss in pork. Meat Science, 61, 355–366. Scharfetter H, Schlager T, Stollberger R, Felsberger R, Hutten H, HinghoferSzalkay H. 2001. Assessing abdominal fatness with local bioimpedance analysis: basics and experimental findings. Int J Obes Relat Metab Disord, 25, 502-511. Sikorska, E., Gorecki, T., Khmelinskii, I. V., Sikorski, M., De Keukeleire, D. 2006. Monitoring beer during storage by fluorescence spectroscopy.Food Chemistry, 96, 632–639. Sucipto, Irzaman, Tun Tedja I., and Fauzi A. M. 2011. Potential of conductance measurement for lard detection. International Journal of Basic & Applied Sciences IJBAS-IJENS, 11(05), 26-30. Swatland, H. J. 1985. Optical and electronic methods of measuring pH and other predictors of meat quality in pork carcasses. Journal of Animal Science, 61(4), 887–891.
muscle during ageing. Meat Science, 49(2), 249–254. Lepetit, J., Sale, P., Favier, R., & Dalle, R. 2002. Electrical impedance and tenderisation in bovine meat. Meat Science, 60(1), 51–62. Lepetit, J., Damez, J. L., Clerjon, S., Favier, R., Abouelkaram, S., & Dominguez, B. 2007. Multielectrode sensor for measurement of electrical anisotropy of a biological material [e.g. meat] and utilization of the sensor. French Patent Application (FR2880124-B1). Lizhi, H., Toyoda , K., Ihara, I. 2008. Dielectric properties of edible oils and fatty acids as a function of frequency, temperature, moisture and composition. Journal of Food Engineering, 88, 151–158. Lizhi, H., Toyoda, K. Ihara, I. 2010. Discrimination of olive oil adulterated with vegetable oils using dielectric spectroscopy. Journal of Food Engineering, 96, 167–171. Madsen, N.T., Rasmussen, A.J., Boggaard, C., & Nielsen, T. 1999. Apparatus and method for measuring the content of intramuscular fat in carcasses or parts thereof. PCT International Patent Application DK 97-0779 (19970701) [Slagteriernes Forskningsinst., DK-400 Roskilde, Denmark]. Maggio, R. M., Kaufman, T. S., Del Carlo, M., Cerretani, L., Bendini, A., Cichelli, A. 2009. Monitoring of fatty acid composition in virgin olive oil by Fourier transformed infrared spectroscopy coupled with partial least squares. Food Chemistry, 114, 1549–1554. Mahshid D. and Anwar T. M. 2008. Review Is bioelectrical impedance accurate for use in large epidemiological studies?. Nutrition Journal, 7, 26. http://www.nutritionj.com/content/71 /26
41
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Warriss, P. D. 2004. Meat Science. An introductory text. Wallingford, Oxon, UK: CABI Publishing.
42
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
PENERAPAN HEAT MOISTURE TREATMENT PATI UBI JALAR VAR. PAPUA SALOSA UNTUK PEMBUATAN SOHUN Yudi Pranoto *) dan Haryadi *) *) Jurusan Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Jl. Flora No.1, Bulaksumur, Yogyakarta, Indonesia 55281 E-mail:
[email protected]
Abstrak Diversifikasi pangan berbasis karbohidrat non beras perlu dikembangkan untuk mendukung ketahanan pangan Indonesia. Salah satu komoditas lokal yang potensial adalah ubi jalar. Hingga saat ini, pemanfaatan ubi jalar sebagai pangan pokok masih terbatas. Salah satu varietas unggulan ubi jalar yang telah dikembangkan adalah Papua Salosa. Varietas ini produktivitasnya tinggi dan tahan terhadap serangan penyakit. Pemanfaatan pati ubi jalar sebagai sohun (starch noodle) adalah cara yang tepat untuk diversifikasi pangan. Namun demikian pati alaminya umumnya memiliki kualitas yang rendah, memiliki sifat mengembang bebas dan tidak mudah memadat. Sehingga modifikasi sifat pati ubi jalar diperlukan untuk membuatnya lebih cocok untuk pembuatan sohun. Modifikasi pati secara fisik seperti heat moisture treatment (HMT) telah dikenal lebih alami dan dapat memodifikasi sifat fungsional pati menjadi lebih cocok untuk pembuatan sohun. Penelitian bertujuan menerapkan HMT pada pati ubi jalar varietas Papua Salosa untuk dibuat menjadi sohun. Pati ubi jalar dari varietas Papua Salosa diatur kadar airnya bervariasi 20, 25 dan 30%, dan selanjutnya dipaparkan dengan pemanasan pada suhu 80, 90 , 100 dan 100oC selama 3 jam. Pati alami dan yang telah mengalami perlakuan HMT dievaluasi sifat-sifat kekuatan pengembangan, kelarutan, kekerasan gel dan sifat pastingnya. Pati yang mengalami perubahan sifat terbaik dibuat menjadi sohun dengan pembanding dari pati alaminya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa HMT menurunkan kekuatan pengembangan dan kelarutan pati. Penurunan kelarutan ditunjukkan secara nyata dengan suhu dan kadar air lebih tinggi. HMT memodifikasi kekerasan gel, dan kenaikan kekerasan gel ditunjukkan dengan suhu 80oC; kekerasan gel tertinggi dicapai dengan kadar air 25%. Dalam hal sifat pastingnya, HMT sedikit memodifikasi suhu dan viskositas puncaknya, serta menaikkan viskositas akhirnya. Sohun yang dibuat dari pati dengan perlakuan HMT menghasilkan kekerasan, kekuatan tarik, dan perpanjangan putus lebih tinggi, dengan cooking loss lebih rendah dibandingkan dengan sohun dari pati ubi jalar alaminya.
Kata kunci: pati ubi jalar, heat moisture treatment, sohun, pasting, ketahanan pangan
yang cukup memprihatinkan. Tingginya konsumsi beras nasional telah mengakibatkan melemahnya ketahanan pangan di Indonesia. Keadaan ini diakibatkan kian meningkatnya permintaan terhadap beras dan
1. PENDAHULUAN Ketahanan pangan sangat diperlukan dalam pembangunan nasional karena berkaitan dengan kualitas sumber daya manusia. Ketahanan pangan di Indonesia saat ini berada dalam kondisi
43
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
menurunnya permintaan dan konsumsi bahan pangan karbohidrat alternatif seperti jagung, sagu, ketela, kentang, ubi jalar, dan lainnya. Sementara itu peningkatan jumlah konsumsi beras tidak diimbangi dengan peningkatan produksi beras nasional (Tarigan, 2003). Untuk mendukung ketahanan pangan nasional, maka diversifikasi pangan berbasis karbohidrat non beras perlu dikembangkan. Salah satu komoditas lokal yang potensial untuk dikembangkan dalam diversifikasi pangan adalah ubi jalar. Ubi jalar potensial sebagai sumber karbohidrat, dengan kandungan kalori per 100 g cukup tinggi yaitu 123 kal. Ubi jalar mengandung vitamin dan mineral yang cukup tinggi sehingga layak dinilai sebagai golongan bahan pangan sehat, dapat berfungsi dengan baik sebagai substitusi dan suplementasi makanan sumber karbohidrat tradisonal nasi beras. Ubi jalar memiliki keunggulan yaitu mudah diproduksi pada berbagai lahan dengan produktivitas tinggi. Ubi jalar varietas Papua Salosa merupakan ubi jalar hasil dari persilangan terkendali antara varietas Muara Takus dan Siate (varietas lokal Papua). Keunggulan dari ubi jalar ini adalah produktivitasnya yang tinggi, yaitu 24,230 t/ha. Selain itu ubi jalar ini dapat ditanam pada lahan sawah dan tegalan daerah pegunungan, sehingga cocok untuk ditanam di daerah Papua. Ketahanan ubi jalar ini terhadap penyakit juga cukup baik. Diharapkan ubi jalar varietas Papua Salosa ini dapat mendukung ketahanan pangan nasional utamanya di wilayah Papua. Dalam pemanfaatan pati ubi jalar dalam industri pangan, perlu diketahui karakterisasi patinya terlebih dahulu, terutama pada sifat-sifat fungsional dan fisiokimiawinya (Zaidul et al., 2007). Sifat fungsional pati yang paling penting adalah sifat termal dan pastingnya. Dalam industri pengolahan, terutama
dalam pembuatan mie berbasis pati atau sohun, pati ubi jalar memiliki sifat inferior. Pati ubi jalar menunjukkan Brabender amylograf Tipe A, lebih mengembang bebas dan tidak mengental/memadat (non-concealing) (Tian et al., 1991). Oleh karena itu diperlukan suatu modifikasi pada pati ubi jalar untuk meningkatkan sifat inferior tersebut. Modifikasi dapat dilakukan baik secara kimiawi dan biokimiawi maupun secara fisikawi (Murphy, 2000). Contoh modifikasi secara kimiawi antara lain konversi (depolimerisasi), transilglikosidasi (dekstrinisasi), crosslinking, stabilisasi/substitusi, kationisasi, dan graft kopolimerisasi. Sedangkan contoh modifikasi secara fisikawi antara lain pregelatinisasi, granular cold water soluble starch (GCWS), ball milling, annealing, heat-moisture treatment (HMT), dan dry heating. Modifikasi akan membuat pati lebih cocok untuk produkproduk yang biasanya menggunakan tipetipe pati lainnya (Singh et al., 2005). HMT merupakan hydrothermal treatment dengan mengkondisikan pati pada kombinasi kadar air dan suhu tertentu yang mampu mengubah sifat pati tanpa mengubah kenampakan ganula (Collado dan Corke, 1999). Modifikasi ini dapat menyebabkan terjadinya pegaturan kembali dan peningkatan derajat asosiasi rantai molekul penyusun pati. Metode HMT telah dilaporkan dapat meningkatkan kualitas pati ubi jalar karena mampu mengubah pola amilograf pati. Modifikasi pati secara fisikawi ini tidak menyebabkan kerusakan pada granula. Metode HMT lebih mudah dan lebih aman digunakan daripada modifikasi secara kimiawi karena menggunakan bahan alami. Pada penggunaan patinya, perlakuan HMT dapat meningkatkan kualitas tekstur pada sohun dari pati ubi jalar (Collado et al., 2001). Penelitian penerapan HMT pada pati ubi jalar terutama valietas Papua Salosa belum pernah dilakukan, untuk itu
44
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
dengan aquades hingga diperoleh kadar air yang diinginkan sesuai perhitungan yang telah dilakukan sebelumnya. Kemudian pati disimpan selama satu malam pada suhu 5oC agar kadar airnya setimbang. Tempering dilakukan pada suhu dingin agar pati tidak mengalami kerusakan mikrobiologis. Setelah dikeluarkan dari pendingin, pati diaduk kembali agar kadar airnya lebih merata. Lalu dilakukan pemanasan pada suhu 80 o C, 90 oC, 100 oC da 110 oC selama 3 jam. Pati didinginkan untuk mencegah gelatinisasi lebih lanjut dan dikeringkan pada suhu 50 oC hingga kering, disetimbangkan pada suhu kamar selama 4 jam, dan dikemas hingga siap dianalisis. Analisis yang dilakukan pada pati hasil modifikasi HMT sama dengan analisis pada pati alami, meliputi kekuatan pengembangan (Tester dan Morrison, 1990), kelarutan pati (Tester dan Morrison, 1990), kekerasan gel (Sanabria dan Filho, 2008), dan sifat pasting dengan membaca amilografinya (Shingh et al.,2005). Pati ubi jalar hasil perlakuan (HMT) yang menunjukkan peningkatan karakteristik terbaik diteliti potensinya dalam pembuatan sohun. Pembuatan sohun dilakukan berdasarkan metode yang dilakukan oleh Hormdok dan Noomhorm (2006). Pati alami dan pati HMT ditimbang, masing-masing seberat 40 g, kemudian dibuat suspensi dengan rasio pati dan air 1:2. Suspensi itu dituangkan ke dalam loyang dan diratakan hingga membentuk lapisan tipis, selanjutnya dikukus pada suhu 100oC selama 20 menit. Setelah dikukus, lembaran gel diretrogradasi selama 2 jam pada suhu 5oC, lalu lembaran gel dirajang dengan perajang mekanis. Setelah itu, dikeringkan pada suhu 50oC dalam cabinet dryer hingga kering. Sohun kering kemudian didiamkan sejenak pada suhu kamar untuk kemudian dikemas dalam plastik polyethylene (PE) hingga sohun siap untuk evaluasi atau pengujian.
perlu dikaji tingkat efektifitasnya HMT dalam memodifikasi sifat patinya. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kombinasi kadar air dan suhu HMT yang sesuai, yang dapat memberikan karakteristik pati ubi jalar yang cocok untuk digunakan sebagai bahan dasar pembuatan sohun. 2. METODE PENELITIAN 2.1. Bahan dan alat penelitian Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah ubi jalar dari varietas Papua Salosa yang diperoleh dari Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi) di Malang, Jawa Timur. Alat yang digunakan untuk penelitian ini adalah timbangan, ember, pisau, mesin penggiling, saringan, kain saring, ayakan 200 mesh, spatula dan loyang yang digunakan selama proses ekstraksi. Alat yang digunakan pada proses pembuatan starch noodle/sohun adalah timbangan, hand mixer, loyang, kukusan, kompor, perajang mekanis, cabinet dryer, dan lain-lain. Sedangkan alat-alat yang digunakan untuk analisis antara lain timbangan analit, desikator, waterbath, blender, oven, stirrer, termokopel, vortex, Lloyd’s Universal Testing Machine (tensile strength, elongasi, tekstur), kompor listrik (cooking loss, cooking time), spektrofotometer (kadar amilosa), Viscometer merk Brookfield (sifat amilografi) dan alat-alat lain. 2.2. Prosedur penelitian Penelitian diawali dengan proses ekstraksi pati ubi jalar varietas Papua Salosa menggunakan metode Collado dan Corke (1997). Selanjutnya pati dilakukan modifikasi secara HMT berdasarkan metode Collado et al. (2001). Pertama kali pati diatur kadar airnya menjadi 20%, 25% da 30%. Pengaturan ini dilakukan dengan cara pati kering ditetesi
45
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Evaluasi dan pengujian yang dilakukan terhadap sohun antara lain; kekerasan (Galvez et al., 1994), kekuatan tarik (Galvez et al., 1994), perpanjangan putus (Galvez et al., 1994) dan cooking loss (Hormdok dan Noomhorm, 2007).
Kekuatan pengembangan pati ubi jalar alami adalah sebesar 14,23 g/g (db), sedangkan kekuatan pengembangan pati HMT lebih rendah dari pati ubi jalar alami, walaupun pada pati dengan perlakuan suhu 80 dan 90oC dengan kadar air 20% penurunannya tidak terlalu signifikan. Pati HMT dengan kekuatan pengembangan terkecil adalah suhu 110oC dengan kadar air 20%, dengan kekuatan pengembangan sebesar 9,41 g/g (db).
2.3. Rancangan percobaan dan analisis statistik Penelitian dilakukan berdasarkan Rancangan Acak Lengkap. Faktor yang pertama adalah pengaturan kadar air sebelum HMT, yaitu dengan kadar air sebesar 20%, 25% dan 30%. Faktor kedua yaitu suhu HMT yaitu 80, 90, 100, dan 110°C. Setiap perlakuan dilakukan tiga kali ulangan analisis. Data yang diperoleh diolah secara tatistic dengan menggunakan ANOVA. Apabila pengaruhnya signifikan (P<0,05) maka dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT).
Tabel 1. Kekuatan pengembangan dan kelarutan pati Sam pel
Perlakuan Suhu (°C)
Kadar air (%)
Pati alami
14,23±0,43f
80
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Kekuatan pengembangan dan kelarutan pati Ketika dipanaskan dalam air berlebih, struktur kristalin pati akan terganggu (karena putusnya ikatan hidrogen) dan molekul air akan terikat dengan grup hidroksil dari amilosa dan amilopektin melalui ikatan hidrogen. Hal ini menyebabkan peningkatan pengembangan granula dan peningkatan kelarutan. Kekuatan pengembangan dan kelarutan memberikan bukti besarnya interaksi antar rantai pati dalam area amorf dan kristalin. Besarnya interaksi ini dipengaruhi oleh rasio amilosa/amilopektin, dan sifat amilosa dan amilopektin dalam hal berat molekul/distribusi, derajat dan panjang cabangnya (Singh dan Kaur, 2009). Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa terdapat penurunan kekuatan pengembangan dari pati HMT jika dibandingkan dengan pati ubi jalar alami.
Kekuatan Pengembang an (g/g) db
90
20
14,12±0,58f
25
13,42±0,11e
30
10,45±0,20c
20
14,35±0,04f
25
9,57±0,28ab 10,17±0,73ab
Pati HMT
100
110
30
c
20
9,86±0,10abc
25
9,75±0,27abc
30
11,32±1,04d
20
9,41±0,47a 10,22±0,30ab
25
c
30
11,40±0,25d
Kelaru tan (%) db 7,56± 0,55e 6,11± 0,24a 6,52± 0,56d 2,91± 0,21bc 5,84± 0,28d 2,74± 0,27abc 3,04± 0,34c 2,61± 0,32abc 2,17± 0,42ab 2,72± 0,57abc 2,14± 0,54a 2,47± 0,26abc 2,89± 0,12bc
Keterangan: huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 95% Kekuatan pengembangan pada pati dipengaruhi oleh kandungan amilosa dan amilopektin yang ada pada granula pati. Ketika dipanaskan dalam air, granula pati akan mengembang terus-
46
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
penelitian menyebutkan bahwa perubahan struktural pada granula pati setelah HMT, mungkin menyebabkan penurunan kekuatan pengembangan dan kelarutan pati (Leach et al., 1959). Penurunan kekuatan pengembangan dan kelarutan pada pati HMT dibandingkan dengan pati ubi jalar alami karena penurunan stabilitas granula, yang berakibat pada pembukaan ikatan double helix yang mungkin ada pada susunan kristalin dalam granula pati alami. Penurunan kelarutan menunjukkan adanya interaksi lain yang terjadi antara rantai amilosa-amilosa dan rantai amilopektin-amilopektin selama HMT.
menerus dan amilosa merupakan salah satu faktor penentu tingginya tingkat pengembangan tersebut (Tester dan Morrison, 1990). Selama HMT berlangsung, terjadi peningkatan interaksi ikatan molekul pati namun hal ini juga menyebabkan hilangnya beberapa ikatan double helix molekul pati sehingga membatasi kemampuan pengembangan granula pati. Penurunan kekuatan pengembangan pati setelah HMT disebabkan karena hilangnya integritas granula pati setelah mencapai pengembangan (Srichuwong et al., 2005). Adebowale (2005) berpendapat bahwa rendahnya kekuatan pengembangan pati setelah HMT berhubungan dengan pembatasan penetrasi air dengan air yang merupakan hasil dari meningkatnya kristalinitas pati setelah mengalami HMT. Tingkat pengembangan pati berhubungan dengan suhu gelatinisasi untuk melihat tingkat peregangan ikatan granula pati. Ini menunjukkan perbedaan dari kekuatan ikatan di dalam granula pati dan suhu yang dibutuhkan untuk menyebabkan peregangan (Leach et al., 1959). Dari Tabel 1 juga dapat dilihat adanya penurunan nilai kelarutan pati modifikasi dibandingkan pati ubi jalar alami. Pati ubi jalar alami memiliki nilai kelarutan sebesar 7,56 % (db). Penurunan kelarutan pada pati HMT cukup signifikan, walaupun pada pati dengan perlakuan suhu 90oC kadar air 20% terjadi kenaikan kelarutan, nilainya tetap di bawah nilai kelarutan pati alami, yaitu 5,84 % (db). Kelarutan tertinggi untuk pati HMT terukur pada perlakuan suhu 80oC kadar air 25%, yaitu sebesar 6,52 % (db). Sedangkan nilai kelarutan pati HMT terkecil adalah sebesar 2,14 % (db) pada perlakuan suhu 110oC dengan kadar air 20%. Leach et al. (1959) mengatakan bahwa semakin rendah kekuatan pengembangan pati maka kelarutan pati akan semakin berkurang. Beberapa
Tabel 2. Kekerasan gel pati Sampe l
Perlakuan Suhu Kadar air (°C) (%)
Pati alami
Kekerasan gel (N) 0,37±0,02a
80
90 Pati HMT 100
110
20
0,52±0,00f
25
0,53±0,03f
30
0,43±0,03e
20 25
0,49±0,05f 0,28±0,01bc
30
0,27±0,01bc
20
0,31±0,01c
25
0,28±0,01bc
30
0,19±0,02a
20
0,24±0,04b
25
0,18±0,01a
30 0,16±0,01a Keterangan: huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata untuk tingkat kepercayaan 95%
3.2 Kekerasan gel pati Dari Tabel 2 dapat dilihat perubahan kekerasan gel yang diberikan lewat modifikasi pati secara HMT. Hal ini menunjukkan bahwa modifikasi pati
47
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
secara HMT dapat memberikan pengaruh nyata pada kekerasan gel pati. Kekerasan gel pati ubi jalar varietas Papua Salosa alami adalah sebesar 0,37 N. Sedangkan untuk pati modifikasi, nilainya berkisar antara 0,16 N sampai dengan 0,52 N.Nilai ini lebih tinggi dibandingkan yang dilaporkan oleh Rahmayuni (2009) pada varietas yang sama, yaitu 0,13 N untuk pati alami dan 0,16 N untuk pati yang mengalami HMT selama 3 jam. Pola yang teramati adalah kekuatan gel meningkat hingga tingkat tertentu lalu perlahan menurun dengan semakin meningkatnya suhu dan waktu perlakuan. Hal ini mungkin dikarenakan gelatinisasi sebagian pada suhu tinggi dan waktu HMT yang lama sehingga membuat struktur pati rusak dan mengakibatkan gel pati yang kurang kokoh (Hormdok dan Noomhorm, 2007). Selain itu, menurunnya kekuatan gel pati mungkin juga disebabkan karena terjadinya penambahan ikatan intermolekul amilosa granula pati. HMT menyebabkan ikatan amilosa yang saling berdekatan pada granula pati melemah karena meningkatnya daya larut dari granula pati sehingga kelarutan pati yang besar menyebabkan turunnya kekuatan gel pati. Gel pati adalah suatu sistem padatan-cairan dengan jaringan kontinyu dimana fase cairan terperangkap. Molekul amilosa bebas membentuk ikatan hydrogen, tidak hanya dengan
amilosa bebas lainnya tapi juga dengan cabang-cabang amilopektin yang membentang dari granula yang membengkak, jadi granula merupakan bagian dari jaringan kontinyu yang padat. 3.3. Sifat amilografi Sifat amilografi menunjukkan perilaku viskositas pati yang diamati sebelum, di saat, dan sesudah proses gelatinisasi pati. Data sifat amilografi pati ubi jalar Papua Salosa ditunjukkan pada Tabel 3 dengan kurva pada Gambar 1. Waktu dan suhu gelatinisasi pati ubi jalar varietas Papua Salosa alami menunjukkan nilai 13 menit dan 76,2°C, sedangkan waktu dan suhu gelatinisasi pati setelah HMT tidak terlalu jauh berbeda, yaitu 13 menit dan 75,9°C untuk perlakuan suhu 80oC kadar air 25%, serta 13 menit dan 76,1°C untuk perlakuan suhu 110oC kadar air 20%. Nilai suhu gelatinisasi pati alami sedikit lebih rendah dari yang telah dilaporkan oleh Rahmayuni (2009) untuk varietas yang sama. Menurut Noda et al. (1997), kadar amilosa berpengaruh terhadap perbedaan suhu gelatinisasi. Schoch (1969) dalam Afdi (1991) menyatakan bahwa molekul amilosa memiliki kecenderungan untuk saling berikatan dengan sesamanya dengan membentuk ikatan hidrogen, sehingga menghalangi pati dalam membentuk gel.
Tabel 3. Sifat amilograf pati ubi jalar Sampel Pati Alami HMT 80oC, 25% HMT 110oC, 20%
Gelatinisasi Waktu Suhu (menit) (°C) 13 76,2
Waktu (menit) 19
Viskositas Puncak Suhu Viskositas (°C) (cP) 93,4 2880,0
Viskositas (cP) Dingin Balik 50°C 3737,6 857,6
13
75,9
20
94,1
3347,2
4679,4
1132,2
13
76,1
-
-
-
4460,8
-
Suhu gelatinisasi merupakan salah satu dari sifat gelatinisasi yang menunjukkan suhu minimum yang dibutuhkan untuk memasak pati yang
melibatkan energi yang dikeluarkan dan stabilitas komponen lain (Shimelis et al., 2006). Dibutuhkan suhu yang tinggi untuk mencapai kondisi granula dalam
48
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
keadaan tingkat penggelembungan maksimal dan pada akhirnya pecah karena struktur molekul di dalam granula mempunyai tingkat kekompakan yang tinggi serta dimungkinkan panas tinggi dengan kandungan air tertentu selama proses gelatinisasi, latinisasi, sehingga membutuhkan suhu lebih tinggi untuk memutuskan ikatan hidrogen pada molekul-molekul molekul yang terikat kuat supaya larut dalam air dan granula pati mengalami tingkat penggelembungan tertentu sampai terdisosiasi. Keadaan ini menggambarkan bahwa wa pati HMT mempunyai kestabilan yang lebih tinggi terhadap panas dibandingkan pati alaminya (Lii et al., 1995). Pada gelatinisasi pati terjadi penyerapan air dalam jumlah besar dan pembengkakan granula pati yang diikuti oleh peningkatan viskositas dan perubahan ubahan warna dari putih menjadi jernih. Bila pemanasan dilanjutkan, pembengkakan granula pati terus berlangsung dan akhirnya pecah karena tidak mampu lagi menahan keluar masuknya air dan molekul-molekul molekul pati dan diikuti dengan penurunan viskositas (Winarno,, 1992). Viskositas puncak yang diukur pada saat granula pati pecah merupakan indikator kemudahan pati saat dimasak, sedangkan viskositas balik menunjukkan kemampuan molekul pati berikatan kembali (retrogradasi) pada saat pendinginan setelah mengalami gelatinisasi tinisasi (Munarso dan Jumali, 1998).
Viskositas puncak yang dicapai oleh pati ubi jalar alami adalah sebesar 2880,0 cP, 6 menit setelah pati mengalami gelatinisasi. Sedangkan untuk pati HMT memiliki viskositas puncak sebesar 3347,2 cP untuk perlakuan suhu 80oC kadar air 25%. Sementara untuk pati dengan perlakuan 110oC kadar air 20% tidak menunjukkan viskositas puncak yang jelas, seperti yang nampak pada kurva amilograf. Nilai viskositas dingin untuk pati Papua Salosa alosa alami adalah sebesar 3737,6 cP; dengan nilai viskositas balik sebesar 857,6 cP. Setelah HMT terjadi peningkatan nilai viskositas dingin, yaitu 4679,4 cP untuk perlakuan suhu 80oC kadar air 25% dan 4460,8 cP untuk perlakuan suhu 110oC kadar air 20%. Nilai ilai viskositas balik untuk perlakuan 80oC kadar air 25% adalah sebesar 1132,2 cP, sedangkan untuk perlakuan 110oC kadar air 20% tidak terdeteksi adanya viskositas balik. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan terakhir tersebut tidak mudah terretrogradasi. Berdasarkan erdasarkan pola amilografi (Gambar 1) yang ditunjukkan pati ubi jalar varietas Papua Salosa dapat dikatakan bahwa pati alaminya memiliki pola amilografi tipe A. Sementara pati HMT menunjukkan pola amilografi tipe B (Chen., 2003). Perubahan ini mungkin dikarenakan renakan adanya perubahan dalam granula pati seperti yang dilaporkan oleh Stute (1992), yaitu adanya perubahan dalam granula pati kentang setelah perlakuan HMT yang nampak melalui pola difraksi sinar X. HMT dapat meningkatkan nilai viskositas balik pati, yang ng menunjukkan bahwa pati menjadi lebih mudah untuk terretrogradasi. 3.4. Karakteristik sohun dari pati ubi jalar Berdasarkan sifat pengujian pada pati ubi jalar sebelumnya, sehingga dinyatakan bahwa pati dengan perlakuan HMT suhu 80oC kadar air 25% dian dianggap
ati ubi jalar Gambar 1. Kurva amilograf pati
49
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
paling cocok untuk digunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan sohun. Kenampakan sohun kering dari pati ubi jalar alami dan setelah perlakuan HMT sebagimana terlihat pada Gambar 2. Sedangkan hasil pengujian kualitas sohun ditampilkan dalam Tabel 4.
tidak mudah hancur, terutama saat pemasakan. Kekuatan tarik adalah salah satu sifat fisik sohun yang menunjukkan gaya maksimal yang dibutuhkan untuk memutuskan sohun. Nilai kekuatan tarik untuk sohun dari pati alami sebesar 0,02N, sementara nilai untuk sohun pati HMT adalah 0,04N. Nilai kekuatan tarik yang lebih tinggi menunjukkan besarnya gaya yang dibutuhkan untuk menarik sohun dari pati HMT bila dibandingkan dengan sohun dari pati ubi jalar alami. Dengan perlakuan HMT akan terjadi peningkatan ikatan hidrogen dalam granula pati sehingga mengakibatkan tingginya nilai kekuatan tarik pada sohun dari pati HMT (Xu dan Seib, 1993). Menurut Leach et al., (1959), granula pati terdiri dari amilosa dan amilopektin yang dihubungkan dengan ikatan hidrogen dalam bentuk kristalin yang teratur, yang disebut misel. Ketika granula pati dipanaskan dalam air, maka ikatan hidrogen yang mempertahankan struktus pati akan melemah sehingga granula akan menyerap air dan terjadi pengembangan. Penurunan suhu terhadap gel sampai kurang dari 65oC mengakibatkan molekul tunggal maupun fragmen yang terdispersi dalam air melakukan pengikatan kembali dengan hidrogen, yang disebut dengan retrogradasi (Whistler dan BeMiller, 1999). Retrogradasi yang terjadi pada pati HMT mampu membentuk jaringan tiga dimensi yang kuat, sehingga mengakibatkan sohun dari pati HMT yang telah masak/diseduh membutuhkan gaya yang besar untuk ditarik. Perpanjangan putus menunjukkan perubahan panjang sohun secara maksimal saat mendapatkan gaya tarik sampai putus yang dibandingkan dengan panjang awal. Nilai perpanjangan putus menunjukkan kemampuan sohun memanjang. Pada sohun dari pati HMT nilai perpanjangan putus sebesar 135,38%, lebih tinggi daripada sohun dari pati ubi jalar alami yaitu sebesar
A B
Gambar 2. Sohun dari pati ubi jalar papua salosa alami (A) dan perlakuan HMT suhu 80oC kadar air 25% (B) Menurut Hormdok dan Noomhorm (2007) tekstur dari sohun masak merupakan sifat kritis yang menentukan penerimaan konsumen. Dalam penelitian ini aspek tekstur yang diuji adalah kekerasan sohun masak, kekuatan tarik dan perpanjangan putus. Dari hasil pengujian didapat nilai tekstur tersebut didapat bahwa sohun dari pati HMT lebih tinggi dibandingkan dengan sohun dari pati ubi jalar alami. Pada Tabel 4 diketahui nilai kekerasan sohun dari pati ubi jalar alami yang sudah masak sebesar 0,35N, sedangkan tekstur sohun dari pati HMT masak sebesar 0,61N. Kekerasan sohun erat kaitannya dengan kekerasan gel pati. Sifat ini berhubungan dengan konsistensi gel yang terbentuk setelah diseduh dengan air panas. Peningkatan kekerasan sohun dari pati HMT mengindikasikan bahwa sohun
50
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
102,60%. Nilai perpanjgan putus yang lebih tinggi pada sohun dari pati HMT disebabkan karena terbentuknya jaringan tiga dimensi pada pati yang telah mengalami modifikasi, sehingga memiliki ikatan yang lebih kuat (Whistler
dan BeMiller, 1999). Dengan demikian sohun dari pati HMT mengalami pemanjangan yang cukup besar saat dikenai gaya hingga akhirnya putus.
Tabel 4. Sifat sohun pati ubi jalar Bahan sohun Pati alami HMT 80oC, 25%
Kekerasan (N) 0,35
Kekuatan tarik (N) 0,02
Perpanjangan putus (%) 102,60
Cooking Loss (%) 4,79
0,61
0,04
135,38
4,60
Kualitas pemasakan dari sohun ubi jalar dapat diketahui dari nilai cookinglossnya. Pada penelitian ini, didapat cookingloss sohun dari pati HMT lebih rendah dibandingkan sohun dari pati ubi jalar alami, yaitu sebesar 4,60% untuk sohun dari pati HMT dan 4,79% untuk sohun dari pati ubi jalar alami. Cooking loss dapat juga dipertimbangkan sebagai ukuran perlawanan sohun terhadap kehancuran dengan perebusan yang diperpanjang. Diharapkan nilai cooking loss serendah mungkin. Hasil penelitian ini serupa dengan yang telah dilaporkan oleh Hormdok dan Noomhorm (2007), yang menunjukkan adanya penurunan nilai cookingloss setelah perlakuan HMT.
tarik dan perpanjangan putus dengan penurunan nilai cooking loss nya. 5. DAFTAR PUSTAKA Adebowale, K.O., Owolabi, B.I.O., Olawumi, E.K., and Lawal, O.S, 2005. Functional properties of native physically and chemically modified breadfruit (Artocarpus artilis) starch. J. Industrial Crops and Products, 21, 343-351. Afdi, E. 1991. Karakteristik pasta pati jagung sebelum dan sesudah modifikasi. Pemberitaan Penelitian Sukarami, 19, 28-32. Chen, Z., 2003. Physicochemical Properties of Sweet Potato Starches and their Application in Noodle Products. Dissertation of Wageningen University, Netherland. Collado, L.S. and Corke, H., 1997. Properties of starch noodles as effected by sweet potato genotype. Cereal Chemistry, 74 (2), 182-187. Collado, L.S., and Corke, H., 1999. Heat moisture treatment effect on Sweet Potato starches differing in amylose content. Food Chemistry, 65, 339-346. Collado, L.S., Mabesa, L.B., Oates C.G., and Corke, H., 2001. Bihon-type noodles from heat moisture treated Sweet Potato starch. J. Food Science Vol 66, No.4, 604-609.
4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa perlakuan HMT terbaik yang cocok untuk diaplikasikan dalam pembuatan sohun adalah dengan pengaturan kadar air 25% dan perlakuan suhu 80°C, karena memiliki kekuatan gel paling tinggi, dengan kekuatan pengembangan terbatas dan kelarutan pati lebih rendah dari ontrol. Perlakuan HMT dapat memperbaiki karakteristik sohun dari pati ubi jalar, ditunjukkan dengan peningkatan kekerasan, kekuatan
51
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Galvez, R.C.F., Resurreccion, A.V.A., and Ware, G.O., 1994. Process variables gelatinized starch and moisture effect on physical properties of mungbean noodle. Jornal of Food Science, 59 (2), 378-386. Hoormdok, R., and Noomhorm, A., 2007. Hydrothermal treatment of rice starch for improvement of rice noodle quality. LWT-Food Science and Technology, 40, 1723-1731. Leach, W., McCowen, D., and Schoch, T.J., 1959. Structure of the starch granule I. swelling and solubility patterns of various starches. Cereal Chemistry, 36, 534-544. Lii, C.Y., Tsai, M.L., and Tsang, K.H. 1995. Effect of amylose content of rheological of rice starch. Cereal Chemistry, 73, 415-420. Munarso, S.J. dan Jumali. 1998. Pengaruh perbedaan kadar amilosa tepung beras (Oryza Sativa) terhadap mutu kwe tiau yang dihasilkan. Dalam S. Raharjo, D.W. Marseno dan W. Supartono (Eds) Prosiding Seminar Teknologi Pangan dan Gizi. Yogyakarta, 15 Desember 1998. PATPI. p. 528-535. Murphy, P. 2000. Starch. In G. O. Phillips & P. A. Williams (Eds.), Handbook of hydrocolloids (pp. 41– 65). Boca Raton, FL: CRC Press. Rahmayuni, 2009. Perbaikan Karakteristik Pati Ubi Jalar dengan Heat Moisture Treatment untuk Pembuatan Starch Noodle. Tesis Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Sanabria, G.G.R., and Filho, F.F., 2008. Physical-chemical and functional properties of Maca root starch (Lepdium meyenii Walpers). Food Chemistry, 1-7. Shimelis, E.A., Rakhsit, S.K., and Meaza, M. 2006. Physicochemical properties, pasting behavior and functional characteristics of flours and starches from improved bean (Phaseolus
vulgaris L.) varieties grown in East Africa. Agricultural Engineering International: the CIGR Journal, 8, 119. Singh, S., Raina, C.S., Bawa, A.S., and Saxena, D.C., 2005. Effect of heat moisture treatment and acid modification on rheological, textural and differential scanning calorimetry characteristics of sweet potato starch. Journal of Food Science, Vol. 70, Nr.6, E373-E378. Singh, J. And Kaur, L., 2009. Advances in Potato Chemistry and Technology. Elsevier Inc. Oxford, United Kingdom. Srichuwong, S., Sunarti, T.C., Mishima, T., Isono, N., and Hisamatsu, M., 2005. Starches from different botanical sourches II : Contribution of starch structure to swelling and pasting properties. Carbohydrate Polymers, 62, 25-34. Stute, R., 1992. Hydrothermal modificationof starches: The difference between annealing and heat moisture treatment. Starch 44:205214. Tarigan, H. 2003. Dilema pangan beras Indonesia. Tabloid Sinar Tani, 23 April 2003. Tester, R.F., and Morrison, W.R., 1990. Swelling gelatinization of cereal starches I. Effect of amylopectin, amylase and lipids. Cereal Chemistry, 67, 551-557. Tian, S.J., Rickard, J.E. and Blanshard, J.M.V., 1991. Physicochemical properties of sweet potato starch. Journal Food Science and Agriculture, 57, 459-491. Whistler, R. and BeMiller, J.N., 1999. Carbohydrate Chemistry for Food Scientiest. 2nd Edition. Eagen Press, St. Paul, Minnesota, USA. Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Penerbit Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
52
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Xu, Y.X. and Seib, P.A., 1993. Structure tapioka pearls compared to starch noodles from mungbeans. Cereal Chemistry, 70 (4), 463-470. Zaidul, I.S.M., Norulaini, N.A.N., Omar, A.K.M., Yamauchi, H. and Noda, T., 2007. RVA analysis of mixture of wheat flour and potato, sweet potato, yam and cassava starches. Carbohydrate Polymer, 69, 784-791.
53
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
KAJIAN KONSTANTA LAJU PERUBAHAN KADAR AIR DAN UMUR SIMPAN GULA SEMUT DALAM KEMASAN METALIZED PLASTIC, POLIETILEN DAN KOMPOSIT KERTAS Devi Yuni Susanti 1), Sri Rahayoe 1), Haret Bima Dwiputra 1) 1) Dosen Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada, +Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada
Abstrak Gula semut merupakan kristal hasil olahan nira kelapa melalui proses pemanasan. Kristal gula semut mampu disimpan dalam jangka waktu yang cukup lama dalam kadar air rendah. Sebagai produk yang higroskopis, perlindungan gula semut melalui kemasan diperlukan untuk mencegah penurunan mutu gula semut selama penyimpanan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji nilai peremeabilitas, konstanta laju perubahan kadar air dan penentuan umur simpan gula semut dalam kemasan metalized plastic, polietilen, dan komposit kertas. Nilai permeabilitas kemasan diuji dengan menggunakan metode ASTM E-96. Penentuan umur simpan dilakukan menggunakan model pendekatan kadar air kristis yang berbasis pada kurva isoterm sorbsi lembab pada tiga variasi kemasan (metalized plastic, polietilen dan komposit kertas) pada RH 75 % dan 92 %. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai permeabilitas metalized plastic, polietilen dan komposit kertas berturut-turut sebesar 0,0011; 0,03; dan 0,0679 g H2O/hari.m2. mmHg. Nilai konstanta laju perubahan kadar air gula semut dalam kemasan metalized plastic, polietilen dan komposit kertas berturut-turut sebesar 1,014 - 1,052 x 10-5 /hari ; 3,5 - 4,16 x 10-2 /hari ; dan 9,03 x 10-2 /hari . Umur simpan gula semut mecapai 627 hari dalam kemasan metalized plastic, 226 hari dalam kemasan polietilen dan 104 hari dalam kemasan komposit kertas.
Kata kunci : laju, kadar air, umur simpan, gula semut, kemasan lama (dengan kadar air 2-3% dengan pengemasan yang tertutup rapat). Upaya diversifikasi gula jawa menjadi gula semut akan, mempermudah penanganan dan pemanfaatan lebih lanjut menjadi bahan pemanis kue, minuman, es krim, dan produk olahan lain serta mempanjang umur simpan sehingga meningkatkan nilai jual nira kelapa. Gula semut dibuat melalui rangkaian proses meliputi evaporasi, pengkristalan, pengeringan dan pengecilan ukuran (size reduction). Pengembangan produk gula semut melalui penambahan flavour empon-empon saat ini mampu membuka peluang berkembangnya industri
1. PENDAHULUAN Gula semut atau yang dikenal dengan brown sugar merupakan bentuk diversifikasi dan produk lanjutan gula Jawa dan gula aren. Sebagai produk alternatif pemanis pengganti gula pasir, gula semut memiliki aroma yang khas, aman dan manfaat kesehatan. Gula semut memiliki beberapa keunggulan dibanding dengan gula cetak yaitu bentuknya kristal dan mudah terlarut, dapat ditambahkan berbagai macam flavoring agent alami, nilai ekonomisnya lebih tinggi dan memiliki aroma yang khas serta memiliki umur simpan yang lebih
54
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
penempatan makanan dalam wadah kemasan. 4. Harus mempunyai kemudahan dalam membuka dan menutup dan juga memudahkan dalam tahap-tahap penanganan dalam gudang dan pengangkutan selama distribusi. 5. Ukuran, bentuk, dan bobot dari unit wadah harus tertentu. 6. Harus menampakkan identitas, formasi, dan penampilan yang penting untuk penjualan. Sebagai produk kristal, gula semut memiliki sifat higroskopis sehingga mudah rusak oleh kelembaban udara sekitar sehingga berpengaruh pada umur simpannya. Penentuan bahan kemasan, kajian perubahan kualitas produk dalam kemasan serta penentuan umur simpan produk dalam kemasan tersebut merupakan suatu rangkaian tahapan yang harus ditempuh sebelum mengedarkan produk gula semut berkemasan di pasaran. Dalam penelitian ini dilakukan kajian permeabilitas kemasan, perubahan kadar air serta penentuan umur simpan gula semut dalam kemasan metalized plastic, polietilen dan komposit kertas. Kemasan tersebut telah dipilih sebagai kemasan dalam pengangkatan potensi gula semut Program Desa Sejahtera Hargotirto, Kokap, Kulonprogo, DIY Kemitraan SIKIB-UGM. Pendugaan umur simpan bisa dilakukan dengan metode konvensional dan akselerasi (Labuza, 1984). Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode akselerasi agar dapat dilakukan dengan waktu yang lebih singkat yaitu dengan menempatkan pada kondisi percobaan yang ekstrim (suhu atau kelembaban di atas atau di bawah kondisi ruang) sehingga mempercepat proses penurunan mutu produk. Penentuan umur simpan produk dilakukan dengan menghubungkan pada persamaan matematis kecepatan penurunan mutu produk. Metode ini singkat namun tetap
minuman khas tradisional. Tingginya komoditas pohon kelapa dan pohon aren serta meningkatnya kebutuhan gula semut di dalam dan luar negeri memberikan potensi pengembangan gula semut menjadi produk ekspor. Pada prinsipnya proses produksi gula kelapa kristal meliputi : proses pengaturan pH dan penyaringan nira atau pemilihan gula cetak, pemanasan/pemasakan nira atau larutan gula, proses solidifikasi, proses granulasi/kristalisasi, pengayakan, pengeringan dan pengemasan (Mustaufik dan Haryanti, 2006). End point sudah tercapai apabila masakan tidak larut dalam air (mengendap). Selanjutnya nira kental dalam wajan segera diangkat dan didinginkan untuk proses solidifikasi (pemadatan). Langkah selanjutnya adalah granulasi/kristalisasi, lalu dilakukan pengayakan untuk mendapatkan butiranbutiran gula yang ukurannya homogen, baru kemudian dilakukan pengemasan. (Pragita, 2010). Dalam UU tahun 1996 serta PP nomor 69 tahun 1999 tentang label dan iklan Pangan, setiap industri diwajibkan mencantumkan tanggal kadaluarsa pada setiap kemasan produk pangan. Informasi ini digunakan sebagai acuan produsen, konsumen dan distributor dalam penentuan kesegaran, keamanan, cita rasa, serta kualitas produk yang dikemas. Suatu pengemas bahan pangan harus memiliki enam fungsi utama yang dapat mengontrol kemungkinan terjadinya kerusakan selama produk dalam pengangkutan dan penyimpanan Winarno (1987). Keenam fungsi tersebut adalah: 1. Menjaga produk tetap bersih dan merupakan pelindung terhadap kotoran dan kontaminasi lain. 2. Melindungi makanan terhadap kerusakan fisik, kadar air, dan cahaya. 3. Harus berfungsi dengan baik, efisien, dan ekonomis selama proses
55
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
memiliki ketepatan dan akurasi yang tepat (Arpah, 2001). Model kadar air kritis Labuza dan pendekatan perubahan massa air produk digunakan dalam penentuan mutu produk yang rentan oleh kelembaban. Perubahan massa karena masuknya air melewati kemasan dijadikan acuan untuk memperkirakan umur simpan atau batas waktu kadaluarsa gula semut. Hasil pengukuran permeabilitas kemasan dan kelembaban udara serta variasi kondisi vakum dan non vakum diperlukan sebagai pelengkap kajian penyimpanan dan penentuan umur simpan gula semut dalam 3 macam kemasan tersebut.
Gambar 1. Kemasan polietilen/PE (a), metalized plastic/MP (b), dan komposit kertas (c) Tutup dilapisi plastisin Kotak plastik
2. TUJUAN Penelitian bertujuan untuk menentukan nilai permeabilitas kemasan, konstanta laju perubahan kadar air, dan penentuan umur simpan gula semut dalam kemasan polietilen, metalized plastic dan komposit kertas. Penyimpanan dilakukan dalam kondisi RH 75 % dan 92 %.
produk gula semut dalam 5 macam kemasan Kawat kassa Kotak kaca Larutan garam jenuh pengkondisi RH 75 dan 92 %
Keterangan : Kemasan 1 : metalized plastic vakum Kemasan 2 : metalized plastic non vakum Kemasan 3 : polietilen vakum Kemasan 4 : polietilen non vakum Kemasan 5 : komposit kertas
3. METODE PENELITIAN 3.1. Alat dan bahan Bahan yang digunakan sebagai obyek pengamatan adalah gula semut yang langsung diperoleh produsen gula semut Desa Hargotirto, Kokap, Kulonprogo, DIY. Bahan kimia penstabil kelembaban lingkungan berupa NaCL dan KNO3 dari toko Alfa Kimia, Jalan Kaliurang no 54 Jogjakarta. Bahan kemasan yang digunakan adalah polietilen, metalized plastic dan komposit kertas. Alat yang digunakan meliputi desikator berisi larutan garam jenuh, termohygrometer, oven dan timbangan anallitik, pengemas vakum serta ruang inkubasi seperti tercantum dalam Gambar 2 yang disetting pada kondisi Kondisi RH 75 % dan 92 %
Gambar 2. Tata letak penyimpanan gula semut dalam kemasan pada ruang inkubasi 3.2. Lokasi penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknik Pangan dan Pascapanen Jurusan teknik Pertanian, FTP, UGM.
56
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
3.3. Prosedur Penelitian
Gambar 2. Diagram alir prosedur penelitian
3.4. Analisis Data 3.4.1. Penentuan permeabilitas kemasan Permeabilitas sebagai ukuran kerentanan bahan untuk terjadinya penetrasi air merupakan laju kecepatan atau transisi uap air melalui suatu unit luasan bahan yang permukaannya rata dengan ketebalan tertentu sebagai akibat perbedaan tekanan uap diantara dua permukaan pada kondisi suhu dan kelebaban tertentu. Permeabilitas kemasan dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain: suhu, ketebalan lapisan, orientasi dan komposisi,serta RH lingkungan (Buckle dkk., 1978).
3.4.3. Permeabilitas Kemasan ditentukan dengan menggunakan metode ASTM E-96 (1995) yang diacu dalam Fitria (2007). 3.4.4. Penentuan Umur Simpan (Me − M(t)) A.Pm.Po .(1) t =− (Me − Mi) b.Ws t = umur simpan A = luas permukaan kemasan (m2) Pm = permeabilitas kemasan (gr H2O/hari.m2.mmHg) Po = tekanan uap air murni (mmHg) b = slope kurva ISL Me = kadar air setimbang (gr H2O/gr padatan) Mi = kadar air awal (gr H2O/gr padatan) Mt = kadar air kritis (gr H2O/gr padatan) Ln
3.4.2. Penentuan Kadar air (db) dilakukan dengan metode AOAC 920.175
57
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
plastik polietilen dan metalized plastic dibuat dua variasi yaitu vakum dan nonvakum. Perubahan massa silika gel dalam kemasan disajikan dalam gambar 3 berikut:
5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Permeabilitas kemasan Permeabilitas uap air kemasan merupakan kecepatan atau laju transmisi uap air melalui suatu unit luasan bahan yang permukaannnya rata dengan ketebalan tertentu sebagai akibat perbedaan unit tekanan uap air antara permukaan produk pada kondisi suhu dan kelembaban tertentu. Permeabilitas kemasan ditentukan pada kondisi RH dan suhu konstan. Hal ini deisebabkan karena semakin tinggi suhu, maka pori-pori plastik akan semakin membesar sehingga permeabilitas plastik meningkat (Syarief dkk., 1989). Penentuan permeabilitas kemasan dilakukan dengan menggunakan suatu desikan yang dikemas dan dikondisikan dalam suatu lingkungan penyimpanan dengan suhu stabil. Perubahan massa desikan mengindikasikan adanya uap air yang lolos melewati kemasan. Persamaan yang digunakan untuk mencari permeabilitas kemasan mengacu pada hukum Ficks pertama (Raharjo, 1993). yaitu: dm dt
0.5 0.4 0.3 massa silika0.2 gel (gr) 0.1 0
komposit kertas polietilen nonvakum metalik nonvakum polietilen vakum 0 lama penyimpanan 5 10(hari)
Gambar 3. Penambahan massa air pada silica gel. Massa air pada silica gel terus bertambah seiring dengan lama waktu penyimpanan. Bertambahnya massa ini menunjukkan bahwa ada uap air yang masuk melewati kemasan. Pertambahan tertinggi terjadi pada penyimpanan silica gel dalam kemasan kaleng yang mencapai 0,4222 gram selama tujuh hari. Sedangkan ada plastik polietilen vakum dan nonvakum masing-masing 0,1854 gram dan 0,1818 gram dan pada metalized plastic pertambahanya paling sedikit bahkan grafiknya cenderung datar yaitu 0,0049 gram pada variasi vakum dan 0,0046 gram pada nonvakum. Semakin besar massa silica gel yang bertambah menunjukkan bahwa kemasan tersebut kurang mempunyai penahan (barrier) yang baik untuk menahan lolosnya uap air dari luar menuju dalam kemasan. Hasil penentuan peremabilitas kemasan disajikan dalam Tabel 1.
= Pm . A (Pout-Pin) …..(2)
Pada metode ASTM E-96 digunakan desikan berupa silika gel yang sangat mudah menyerap air, nilai tekanan dalam kemasan (Pin) dapat diabaikan. Tekanan udara luar (Pout) ditentukan dengan mengalikan tekanan uap air pada suhu penyimpanan dengan RH. Dari tabel uap yang terdapat dalam Labuza (1984), tekanan uap pada suhu 29°C adalah sebesar 30,043mmHg. Jadi harga Pout untuk penelitian ini adalah sebesar 30,043 mmHg x 0,9286 = 27,8078 mmHg. Penentuan permeabilitas kemasan dilakukan terhadap kemasan plastik polietilen (PE), metalized plastic (MP) dan komposit kertas yang diberi lapisan plastik bening di luar dan lapisan alumunium foil di dalamnya. Untuk
Tabel 1. Nilai permeabilitas pada tiap variasi kemasan Jenis Kemasan Komposit kertas PE vakum PE nonvakum MP vakum MP nonvakum
58
Permeabilitas (gH2O/hari.m2.mmHg) 0,0679 0,0389 0,0356 0,0011 0,0011
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
palma yang berbentuk butiran 3% (basis basah) seperti tercantum dalam Tabel 2. Dengan diketahuinya kadar air awal produk, dan perubahan massa produk maka perubahan kadar air selama penyimpanan dan massa padatannya dapat diketahui.
Komposit kertas memiliki nilai permeabilitas 0,0679 gH2O/hari.m2 mmHg, tertinggi daripada Polyetilen dan metalized plastic. Kemasan plastik polietilen nonvakum dan plastik polietilen vakum memiliki nilai permeabilitas hampir sama yaitu 0,0356 gH2O/hari.m2.mmHg dan 0,0389 2 gH2O/hari. m .mmHg. Pada kemasan metalized plastic baik vakum maupun nonvakum nilai permeabilitasnya sama yaitu 0,0011 gH2O/hari.m2.mmHg. Kemasan metalized plastic memiliki permeabilitas terendah daripada kedua kemasan lainya sehingga paling baik digunakan sebagai kemasan. Rendahnya nilai permeabilitas ini dikarenakan metalized plastic adalah kemasan yang tidak hanya dikombinasi berbagai macam plastik saja tetapi kombinasi antara plastik dengan alumunium sehingga mampu menjadi penahan masuknya uap air ke dalam kemasan. Selain itu menurut Brown (1992) metallized plastic memiliki ketahanan terhadap uap air dan gas yang lebih baik dari plastik tunggal, tidak meneruskan cahaya, dan menghambat masuknya oksigen dari luar kemasan. Nilai permeabilitas tertinggi didapat pada kemasan komposit kertas yaitu sebesar 0,0679 gH2O/hari.m2.mmHg. Hal ini dapat dimaklumi mengingat kertas dibuat dari serat-serat yang mempunyai pori-pori yang lebih besar dari plastik maupun alumunium foil.
Tabel 2 Persyaratan mutu gula semut menurut SNI No. 1.
2. 3. 4. 5. 6. 7.
8.
Kriteria uji Keadaan a. Bentuk b. Rasa dan aroma c. Warna
Satuan
Persyaratan
Bagian tak larut dalam air Air Abu Gula pereduksi Jumlah gula sebagai sakarosa Cemaran logam a. Seng (Zn) b. Timbal (Pb) c. Tembaga (Cu) d. Raksa (Hg) e. Timah (Sn) Arsen
% b/b
Normal Normal, khas Kuning kecoklatan sampai coklat Maksimal 0,2
% b/b % b/b % b/b % b/b
Maksimal 3,0 Maksimal 2,0 Minimal 6,0 Minimal 90,0
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
Maksimal 40,0 Maksimal 2,0 Maksimal 10,0 Maksimal 0,03 Maksimal 40,0 Maksimal 1,0
3.4.6. Perubahan kadar air Slope perubahan kadar air pada gula semut dalam kemasan komposit kertas yang disimpan pada kelembaban 92% nilainya lebih besar daripada yang disimpan pada kelembabban 75%. Hal ini disebabkan karena perbedaan tekanan uap pada dua kondisi lingkungan tersebut berbeda. Dengan nilai tekanan uap jenuh sebesar 30,043 mmHg (suhu penyimpanan 29° C) dan kondisi RH 75%, tekanan di luar kemasan adalah sebesar 22,5323 mmHg sedangkan pada kondisi RH 92% tekanan di luar kemasan sebesar 27,7703 mmHg. Padahal tekanan di dalam kemasan sendiri hanya sebesar 0,8692 mmHg. Perbedaan tekanan di dalam dan tekanan udara di luar kemasan akan menyebabkan adanya perpindahan massa air melalui membran. Tekanan uap air di luar kemasan yang lebih besar akan menyebabkan terjadinya migrasi air dari luar menuju ke dalam kemasan sehingga kadar air produk semakin lama semakin
3.4.5. Kadar air awal Gula semut disimpan dari kadar air awal 2,8119% (basis basah) atau 2,8933% (basis kering). Penentuan kadar air awal bahan dilakukan dengan menggunakan metode pemanasan (AOAC, 1970) dalam 3 ulangan. Kadar air ini masih memenuhi parameter Standar Nasional Indonesia (SNI) yang mensyaratkan kadar air maksimal gula 59
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
meningkat dan apabila sudah mencapai kadar air kritisnya, maka produk dinyatakan sudah mencapai umur simpannya. Semakin besar perbedaan tekanan luar dan dalam kemasan, maka uap air semakin mudah bermigrasi (Kusnandar, 2006) sehingga semakin singkat umur simpan produk. Pada suhu yang sama perbedaan tekanan luar dan dalam kemasan akan sebanding dengan nilai RH lingkungan penyimpanan. Slope perubahan kadar air pada kemasan polietilen vakum nilainya lebih rendah daripada nilai slope pada kemasan nonvakum. Dalam kemasan vakum, kontak langsung gula semut yang bersentuhan dengan udara dalam kemasan sangat diminimalkan sehingga massa air yang bertambah juga semakin sedikit. Selain itu, kemasan vakum memiliki luasan kemasan yang lebih kecil daripada kemasan nonvakum karena gula semut dimampatkan dan tidak ada rongga udara di dalam kemasan. Kenaikan kadar air gula semut selama penyimpanan pada kemasan Metalized Plastic terjadi sangat perlahan, bahkan perbedaan kemiringan garis sangat kecil pada penyimpanan pada kondisi RH 75% dan RH 92%. Namun demikian, dapat diamati bahwa gula semut yang disimpan pada kondisi RH 92% penyerapan airnya terjadi lebih cepat daripada produk yang disimpan pada RH75%. Hal ini dikarenakan pada RH tinggi perbedaan tekanan di dalam dan di luar kemasan lebih besar sehingga daya dorong terjadinya pelolosan uap air melalui kemasan juga tinggi. Perbedaaan tekanan yang lebih tinggi di dalam dan diluar kemasan yang menjadi driving force laju pelolosan uap air.
yang terbesar berturut-turut dimiliki komposit kertas, kemasan polietilen dan metalized plastic. Nilai konstanta ini juga menunjukkan seberapa mudah kadar air produk mengalami peningkatan selama penyimpanan. Semakin besar nilai konstantanya maka perubahan kadar airnya juga semakin cepat. Tabel 3. Konstanta laju perubahan kadar air gula semut Jenis Kemasan
Komposit kertas PE vakum PE nonvakum MP vakum MP nonvakum
Konstanta Laju Perubahan Kadar Air Pada RH 75% Pada RH 92% 9,033 x 10-2 hari9,03 x 10-2 hari-1 1
3,53 x 10-2 hari-1 3,74 x 10-2 hari-1 1,014 x 10-5 hari-1 1,050 x 10-5 hari-1
3,51 x 10-2 hari-1 4,16 x 10-2 hari-1 1,015 x 10-5 hari-1 1,052 x 10-5 hari-1
Nilai konstanta laju perubahan kadar air pada gula semut selama penyimpanan kemudian digunakan untuk memprediksi kadar air berdasarkan persamaan 3. Mt = Mi − Me. e
. . .
+ Me….. (3)
Prediksi kadar air berdasarkan persamaan tersebut cukup tepat menggambarkan perubahan kadar air yang terjadi selama observasi. Aplikasi model perubahan kadar air gula semut selama penyimpanan dapat dilakukan pada dua hal, yang pertama adalah untuk mengetahui perubahan kadar air selama penyimpanan dan yang kedua adalah untuk menentukan umur simpan gula semut dengan menentukan terlebih dahulu kadar air kritisnya. Perubahan kadar air produk selama penyimpanan juga dapat diketahui dengan menggunakan persamaan 3. Misalkan diketahui bahwa umur simpan gula semut adalah selama 1 tahun, maka kadar airnya setelah satu tahun penyimpanan akan berubah seperti disajikan dalam Tabel 4.
3.4.7. Konstanta perubahan laju kadar air gula semut selama penyimpanan Hasil perhitungan konstanta tersebut ditampilkan pada Tabel 3. Konstanta laju perubahan kadar air dari 60
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Tabel 4. Prediksi kadar air setelah satu tahun penyimpanan Jenis Kemasan Komposit kertas PE vakum PE nonvakum MP vakum MP nonvakum
RH 75% (%) 10,8118 8,5237 10,2647 3,2176 3,1739
penampakan/visual, perubahn rasa serta aroma. Apabila kadar air kritis gula semut sudah ditentukan maka umur simpannya dapat diketahui dengan menggunakan persamaan 3. Dengan menggunakan kadar air kritis gula semut sebesar 6% maka umur simpan gula semut disajikan pada Tabel 5
RH 92% (%) 15,5152 11,0847 14,2192 3,3692 3,3944
Setelah satu tahun penyimpanan, kadar air gula semut yang disimpan pada kemasan komposit kertas mengalami kenaikan yang paling tinggi. Hal ini sesuai dengan nilai permeabilitas kemasan komposit kertas yang paling besar diantara kedua kemasan lainya. Rendahnya kenaikan pada kemasan vakum selain dipengaruhi oleh luasan kemasan yang lebih kecil juga disebabkan karena uap air yang ada di dalam kemasan dikeluarkan sehingga tidak ada penambahan massa air dari lingkungan dalam kemasan. Gula semut yang disimpan pada kemasan metalized plastic kenaikan kadar airnya yang paling rendah, bahkan pada variasi vakum dan nonvakum selisihnya tidak mencapai 0,5%. Permeabilitas metalized plastic yang sangat kecil ditengarai sebagai faktor utama penyebab laju kenaikan kadar air gula semut berjalan lambat.
Tabel 5. Umur simpan gula semut pada tiap variasi kemasan Jenis Kemasan Komposit kertas PE vakum PE nonvakum MP vakum MP nonvakum
Umur Simpan (hari) Pada RH 75% Pada 92% 104 30 266 77 251 65 627 241 605 233
RH
Umur simpan gula semut dalam kemasan komposit kertas merupakan yang terpendek bila dibandingkan dengan umur simpan pada jenis kemasan lain. Pendeknya umur simpan ini ditandai oleh cepatnya massa air yang bertambah yang disebabkan oleh barrier kemasan yang kurang baik dalam menahan masuknya uap air sehingga kadar air gula semut terus bertambah hingga mencapai kadar air kritisnya. Perhitungan menggunakan kedua variasi RH memberikan hasil yang berbeda. Pada RH 75% umur simpan gula semut mencapai 104 hari sedangkan pada RH 92% umur simpanya hanya mencapai 30 hari. Umur simpan pada kemasan polietilen vakum dan nonvakum menghasilkan nilai yang hampir sama. Hal ini dikarenakan selisih nilai permeabilitasnya sangat kecil yaitu 0,0355 gH2O/hari.m2.mmHg (polietilen nonvakum) berbanding 0,0389 gH2O/hari.m2.mmHg (polietilen vakum). Umur simpan tertinggi dicapai pada kemasan Metallized Plastic vakum pada RH 75% umur simpannya mencapai 627 hari sedangkan pada RH 92% umur simpannya sampai 241 hari. Panjangnya umur simpan ini bisa dimaklumi karena nilai permeabilitas metalized plastic
3.4.8. Penentuan umur simpan Umur simpan gula semut pada tiap variasi kemasan ditentukan dengan menggunakan metode pendekatan kadar air kritis berdasarkan konstanta laju perubahan kadar air. Secara umum umur simpan gula semut ditentukan berdasarkan tercapainya kadar air kritis gula yang disebabkan oleh lolosnya uap air melewati kemasan. Oleh karena itu, penentuan umur simpan dengan kedua cara ini sangat bergantung pada kadar air awal produk, permeabilitas kemasan dan kadar air kritis yang telah ditentukan. Kadar air kritis ditentukan menggunakan bermacam parameter seperti perubahan tekstur, perubahan warna,
61
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
yang sangat kecil (0,0011 2 gH2O/hari.m .mmHg) sehingga sangat sulit bagi uap air menembus ke dalam kemasan. Besarnya selisih umur simpan pada kedua kondisi RH disebabkan oleh oleh tingginya kadar air kesetimbangan gula semut pada RH 92% . Gula semut pada RH ini terus menyerap air karena sifat kelarutanya dan kandungan sukrosanya yang sangat tinggi.
Brown, E. W. 1992. Plastic in Food Packaging, Properties, Design, and Fabrication. Marcell Dekker Inc., New York. Buckle, K.A., Edward, R.A., Fleet, G.H., and Wooton, M. 1978. Food Science. Australian Vice Cohancellor’s Committee, Press Etching Pty.Ltd., Brisbane Fitria, Mona. 2007. Pendugaan Umur Simpan Produk Biskuit dengan Metode Akselerasi Berdasarkan Pendekatan Kadar Air Kritis. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB Bogor. Kusnandar, F. 2006. Disain Percobaan dalam Penetapan Umur Simpan Produk Pangan dengan Metode ASLT (Model Arrhenius dan Kadar Air Kritis). Modul Pelatihan: Pendugaan dan Pengendalian Umur Simpan Bahan dan Produk Pangan. 7-8 Agustus 2006, Bogor. Labuza, T. P. 1984. Moisture Sorption: Practical Aspects of Isotherm Measurement and Use. American association of Cereal Chemist, St. Paul, Minnesota. Mustaufik dan P. Haryanti. 2006. Evaluasi Mutu Gula Kelapa Kristal yang Dibuat dari Bahan Baku Nira dan Gula Kelapa Cetak. Laporan Penelitian.Peneliti Muda Dikti Jakarta. Jurusan Teknologi Pertanian Unsoed. Purwokerto. Peleg. K. 1985. Produce Handling Packaging and Distribution. The AVI Publishing. Co. Inc. Westport. Connecticut. Pragita, Tegar Eka. 2010. Evaluasi Keragaman dan Penyimpangan Mutu Gula Kelapa Kristal (Gula Semut) di Kawasan Home Industri Gula Kelapa Kabupaten Banyumas. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Syarief.R., S. Santausa dan Isyana. 1989. Teknologi Pengemasan Pangan, PAU Pangan dan Gizi. Bogor: IPB.
4. KESIMPULAN Nilai permeabilitas kemasan dari yang terkecil sampai yang terbesar berturut-turut dimiliki metalized plastic, polietilen dan komposit kertas. Nilai konstanta laju perubahan kadar air pada gula semut selama penyimpanan pada tiga variasi kemasan dari yang terkecil sampai yang terbesar berturut-turut dimiliki metalized plastic (berkisar antara 1,014 - 1,052 x 10-5 hari-1), polietilen (berkisar 3,5 - 4,16 x 10-2 hari-1) dan komposit kertas (di kisaran 9,03 x x 10-2 hari-1) Umur simpan gula semut 627 hari dalam kemasan metalized plastic vakum, 226 hari dalam kemasan polietilen vakum dan 104 hari dalam kemasan komposit kertas pada penyimpanan RH 75 %. Gula semut yang disimpan pada kondisi lingkungan yang lembab (RH 92%), umur simpannya lebih pendek daripada gula semut yang disimpan pada kondisi kering (RH 75%). Kemasan vakum meningkatkan kemampuan kemasan dalam memperpanjang umur simpan karena mampu mememinimalkan kontak langsung gula semut yang bersentuhan dengan udara dalam kemasan dan meminimalkan luasan permukaan kemasan. 5. DAFTAR PUSTAKA Arpah, M. 2001. Buku dan Monograf Penentuan Kadaluwarsa Produk Pangan. IPN Pasca Sarjana IPB, Bogor. 62
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Winarno, F.G. 1987. Mutu, Daya Simpan, Transportasi dan Penanganan Buah-buahan dan Sayuran. Konferensi Pengolahan Bahan Pangan dalam Swasemba da Eksport. Departemen Pertanian. Jakarta.
63
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
EVALUASI DAN REKOMENDASI PENERAPAN GOOD HANDLING PRACTICES PADA IKAN DI PASAR IKAN TRADISIONAL PANTAI DEPOK, BANTUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Titisari Juwitaningtyas1, Wahyu Supartono2 Mahasiswa Program Sarjana Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada 2 Dosen Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada 1
Abstrak Kualitas dan keamanan pangan merupakan hal yang sangat berpengaruh dalam kualitas kehidupan manusia. Terlebih pada produk perikanan yang bersifat mudah busuk (perishable). Kerusakan pada produk perikanan sering terjadi akibat adanya kesalahan dalam penanganan, atau pada praktik yang biasa disebut dengan Good Handling Practices. Penelitian ini bertujuan untuk melihat dan mengevaluasi penerapan Good Handling Practices pada usaha perikanan tradisional di Pasar Ikan Pantai Depok. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah pengujian mikrobiologis dan sensoris pada ikan segar yang dijual, evaluasi menggunakan checklist GHP, serta observasi persepsi konsumen untuk rekomendasi perbaikan menggunakan Importance-Performance Analysis. Hasil menunjukkan bahwa nilai organoleptik pada sampel ikan segar bernilai 5,07,0 dari batas standar 7,0 (SNI 01-2346-2006); nilai keberadaan Esherichia coli berkisar 3,6-15 MPN/ gram lebih tinggi dibanding standar yaitu < 3 MPN/gram (SNI 01-2332.12006), serta nilai TPC berkisar antara 14.000-33.000 TPC/ gram lebih rendah dari batas standar 500.000 TPC/gram (SNI 01-2332.3-2006). Dari evaluasi berdasarkan penerapan GHP, semua persyaratan belum dapat dipenuhi oleh pasar ikan yaitu tidak adanya penerapan sistem rantai dingin yang memadai, jumlah penggunaan es untuk menjaga kesegaran ikan yang kurang dari yang dibutuhkan, penataan display ikan yang belum benar, peralatan yang kontak langsung dengan ikan terlihat kotor, serta hygiene personal pedagang ikan yang belum baik. Kemudian, dari analisis menggunakan metode IPA, konsumen menghendaki adanya prioritas perbaikan pada kebersihan meja display penjualan ikan, pengelolaan sampah di sekitar area pasar, serta perbaikan sistem drainase. Kesimpulan dari penelitian ini bahwa praktik penerapan GHP pada usaha perikanan tradisional di Pantai Depok masih belum memenuhi standar. Prioritas perbaikan yang dilakukan sebaiknya berdasar pada penilaian konsumen di atas agar efektif dan sesuai sasaran.
Kata Kunci : kualitas, keamanan pangan, Good Handling Practices, pasar ikan, sistem rantai dingin
kepedulian mereka terhadap keamanan pangan yang dikonsumsi. Begitu pula untuk komoditas perikanan. Kualitas keamanan pangan pada ikan harus sangat diperhatikan mengingat adanya sifat
1. PENDAHULUAN Isu keamanan pangan menjadi hal yang banyak diperbincangkan masyarakat saat ini. Semakin maju pengetahuan masyarakat, maka semakin baik pula 64
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Penelitian ini diarahkan dengan mengambil sampel salah satu pasar ikan lokal atau tradisional di Pantai Depok, Bantul, Yogyakarta. Pasar ikan ini merupakan kekuatan utama daya tarik Pantai Depok sehingga menjadi salah satu tujuan wisata utama pesisir selatan Daerah Istimewa Yogyakarta.
produk perikanan yang perishable atau mudah busuk. Penanganan produk perikanan yang salah atau kurang tepat merupakan faktor utama terjadinya kerusakan pada produk perikanan segar sehingga mengakibatkan turunnya kualitas produk yang seringkali berada di bawah persyaratan yang ditetapkan. Hal ini didukung dengan adanya sifat produk perikanan yang mudah busuk dikarenakan adanya aktivitas mikroorganisme yang merusak bahan pangan segera setelah ikan mati. Mikrobia cepat berkembang biak di daerah tropis seperti Indonesia sehingga mempercepat laju kerusakan produk perikanan. Selain itu aktivitas enzim dan kimiawi juga mendorong cepatnya tingkat kerusakan pada ikan. Kondisi tempat dimana ikan mengalami penanganan merupakan hal yang sangat potensial mempengaruhi mutu produk. Rendahnya kualitas pemenuhan persyaratan tempat penanganan ikan serta kecilnya penggunaan es untuk penyimpanan ikan, merupakan faktor pendorong terjadinya penurunan kualitas produk perikanan. Salah satu tempat yang banyak dijumpai adanya kesalahan pada penanganan ikan adalah pasar ikan khususnya pasar ikan tradisional. Pasar ikan tradisional memainkan peran yang penting dalam rantai pasok dalam distribusi ikan yang efektif dari titik penangkapan ikan sampai dengan pedagang berikutnya atau konsumen (Sato, 2010 : hal 1-2). Praktik sanitasi dan higiene yang baik merupakan cara untuk mengurangi tingkat kontaminasi pada ikan. Maka dari itu, penerapan Cara Penanganan Ikan yang Baik (CPIB) perlu diterapkan guna meningkatkan kualitas produk perikanan serta membangun citra mutu perikanan Indonesia untuk bersaing di dunia global, khususnya dengan negara-negara Asia seperti Thailand, Cina, dan Vietnam.
2. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode pengujian mikrobiologis dan organoleptis pada ikan segar yang dijual, evaluasi menggunakan checklist GHP, serta observasi persepsi konsumen untuk rekomendasi perbaikan menggunakan Importance-Performance Analysis. 2.1. Pengujian mikrobiologis dan sensoris Analisis yang dilakukan berupa analisis mikrobiologis, dan organoleptis. Pengambilan sampel ikan didasarkan atas penelitian yang telah dilakukan sebelumnya yaitu Riset Pengembangan Pusat Pendaratan Ikan dan Pelelangan Ikan Higienis. Dengan mengacu pada riset tersebut, maka sampel ikan diambil sejumlah 3 jenis ikan paling dominan yang ditemukan pada saat pengambilan sampel. Pengujian mikrobiologis meliputi uji TPC dan uji kandungan E.coli. Kedua jenis pengujian ini secara berurutan menggunakan metode pengujian berdasarkan SNI 01-2332.3-2006 serta SNI 01-2332.1-2006. Sedangkan pengujian sensoris berupa uji organoleptis yang dilakukan menggunakan metode pengujian berdasarkan SNI 01-2346-2006. 2.2. Evaluasi Good Handling Practices Evaluasi penerapan GHP atau Good Handling Practices ini dilakukan dengan menggunakan checklist. Checklist adalah berupa susunan pertanyaan yang digunakan sebagai acuan dalam melakukan evaluasi. Jawaban atas
65
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
setiap item pertanyaan yang diajukan menggunakan skala Likert’s.
checklist ini didapatkan dengan cara observasi langsung dan wawancara dengan pedagang ikan.
2.4. Importance-Performance Analysis Importance-Performance Analysis merupakan suatu metode penerapan untuk mengukur atribut menurut tingkat kepentingan dan kinerja atau tingkat kepuasan, berguna untuk pengembangan strategi pemasaran yang efektif bagi perusahaan (Supranto, 2001). Dengan menggunakan analisis IPA ini, kita dapat mengetahui prioritas perbaikan yang akan dilakukan menurut pendapat konsumen. Analisis IPA disebut juga dengan analisis kuadran, dikarenakan adanya plotting titik kesesuaian antara nilai kepentingan dan kepuasan di sebuah kuadran. Langkah dalam melakukan analisis ini adalah sebagai berikut : 1. Menghitung nilai rata-rata dari masing-masing atribut pada penilaian kepentingan dan kepuasan. Untuk menghitungnya menggunakan rumus :
2.3. Kuesioner Kuesioner digunakan untuk mengetahui persepsi konsumen mengenai praktik penanganan ikan di pasar ikan Pantai Depok. Sampel responden diambil berdasarkan purposive sampling yaitu sampel yang dibatasi pada responden yang benar-benar membeli ikan di pasar ikan Pantai Depok. Kuesioner awal dibagikan kepada 30 responden, kemudian diukur validitas dan reliabilitas dari masing-masing butir pertanyaan pada kuesioner. Untuk mengukur validitas kuesioner ini digunakan software SPSS 17.0, dengan alat Reliability Analysis. Untuk melihat angka validitasnya, maka dapat dibaca dari Corrected Item-Total Correlations. Untuk menyatakan validitas item pertanyaan tersebut yaitu jika koefisien korelasi product moment> r-tabel (α;n-2) n = jumlah sampel (Suliyanto, 2006). Setelah itu pengujian reliabilitas dilakukan guna menyatakan bahwa kuesioner dapat dipercaya untuk mengukur suatu instrument dalam waktu yang berbeda dan dengan objek yang sama. Penghitungan uji reliabilitas ini dilakukan dengan bantuan software SPSS 17.0. Untuk melihat koefisien reliabilitas, maka dilihat pada hasil perhitungan Cronbach’s alpha. Suatu uji dikatakan reliabel jika nilai Cronbach’s alpha lebih besar dari r-tabel. Jumlah responden yang diambil adalah sebanyak 101 orang, berdasarkan ketentuan jumlah sampel minimum yang harus diambil. Rumus penentuan sampel tersebut menggunakan rumus =
k
a.
∑ Xi t =1
Xi =
n
untuk tingkat kepuasan
k
b.
Yi =
∑ Yi t =1
n untuk tingkat kepentingan
dimana : Xi : Bobot rata-rata tingkat penilaian kinerja atribut ke-i Yi : Bobot rata-rata tingkat penilaian kepentingan atribut ke-i n : Jumlah responden k : Jumlah atribut 2. Menghitung nilai rata-rata tingkat kepentingan dan tingkat kepuasan pada keseluruhan atribut. Perhitungan dilakukan dengan rumus :
/ 1 − sehingga diperoleh hasil 96,04 dibulatkan menjadi 97 sampel. Masing-masing responden menilai tingkat kepentingan dan kepuasan dari
66
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
k
Xi =
∑ Xi t =1
n
dipertahankan kualitasnya. Konsumen menilai tingkat kepentingannya sudah sesuai dengan kepuasan yang dirasakan. c. Kuadran III (Medium-Low Priority) Atribut yang berada pada kuadran ini merupakan atribut yang dinilai tidak begitu penting oleh responden dan pada kenyataannya kinerja atribut tersebut juga biasa saja. Sehingga tidak begitu memberikan manfaat jika dilakukan perbaikan. d. Kuadran IV (Reduce Emphasis) Titik atribut yang berada pada kuadran ini dianggap tidak terlalu penting oleh responden namun pada kenyataannya dianggap berlebihan. Sehingga atribut tersebut dapat dipertimbangkan untuk dikurangi untuk menghemat biaya.
k
dan
Yi =
∑ Yi t =1
n
dimana : Xi : bobot kepuasan
rata-rata
atribut-atribut
Yi
: bobot rata-rata atribut-atribut kepentingan n : jumlah atribut Nilai Xi , Yi merupakan titik potong yang mencerminkan sumbu kepentingan dan kepuasan. Garis yang ditarik lurus dengan Xi memotong sumbu Y dan merupakan garis batas kuadran I dan kuadran II. Sedangkan
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Uji laboratorium Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui kondisi produk perikanan, yaitu ikan, yang dijual di pasar ikan. Sampel ikan yang diambil adalah 3 jenis ikan yang jumlahnya paling banyak ditemui saat dilakukan penelitian. Jenis ikan yang digunakan adalah ikan cakalang, kakap merah, dan kakap putih. Pengujian sampel ikan segar ini dilakukan oleh Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP), Dinas Perikanan, Yogyakarta. Hasil pengujian terhadap 3 jenis ikan tersebut disajikan pada Tabel 1, Tabel 2, dan Tabel 3. Pada tabel sajian hasil pengujian organoleptik ini, hanya ikan cakalang yang tidak memenuhi batas standar mutu. Nilai uji organoleptik pada ikan cakalang yaitu 5,0 dengan batas standar mutu 7,0. Sedangkan pada 2 jenis ikan yang lain, masing-masing bernilai sama yaitu 7,0. Ikan cakalang merupakan ikan yang jumlahnya paling banyak di pasar ikan. Penanganan yang salah yang paling dominan pada ikan ini adalah terlalu
garis yang ditarik lurus dengan Yi akan memotong sumbu X dan merupakan batas kuadran III dan kuadran IV. Sehingga garis yang
3.
4.
a.
b.
ditarik tegak lurus dari titik ( Xi , Yi ) ini akan membagi diagram Kartesius menjadi 4 kuadran. Memetakan bobot kinerja/ kepuasan dan bobot kepentingan dalam diagram Kartesius. Titik-titik (Xi ,Yi) dari masing-masing atribut tersebut kemudian diplotkan ke dalam diagram Kartesian. Melakukan interpretasi masing-masing titik pada digram tersebut. Interpretasi pada masing-masing kuadran adalah sebagai berikut : Kuadran I (Focus Improvement) Titik atribut yang berada pada diagram 1 menjadi fokus utama dalam memperoleh perbaikan. Karena responden menilai atribut tersebut sebenarnya penting namun belum memuaskan. Kuadran II (Maintain Performance) Titik atribut yang berada pada kuadran ini sudah baik dan diharapkan dapat
67
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
sedikitnya jumlah es yang digunakan untuk menyimpan ikan. Tabel 1. Hasil Uji Ikan Cakalang Hasil Batas Standar Metode Pengujian Pengujian Mutu
No.
Karakteristik Uji
1.
Uji Sensori - Organoleptik Mikrobiologi - TPC per gram max - E.coli MPN per gram max
2.
5,0
7,0
19.000 15
500.000 <3
SNI 01-2346-2006 SNI 01-2332.3-2006 SNI 01-2332.1-2006
Tabel 2. Hasil Uji Ikan Kakap Merah Karakteristik Uji Hasil Batas Standar Metode Pengujian No. Pengujian Mutu 1. Uji Sensori 7,0 7,0 SNI 01-2346-2006 - Organoleptik 2. Mikrobiologi 14.000 500.000 SNI 01-2332.3-2006 - TPC per gram max 11 <3 SNI 01-2332.1-2006 - E.coli MPN per gram max
No. 1. 2.
Tabel 3. Hasil Uji Ikan Kakap Putih Karakteristik Uji Hasil Batas Standar Metode Pengujian Pengujian Mutu Uji Sensori 7,0 7,0 SNI 01-2346-2006 - Organoleptik Mikrobiologi 33.000 500.000 SNI 01-2332.3-2006 - TPC per gram max 3,6 <3 SNI 01-2332.1-2006 - E.coli MPN per gram max
memenuhi standar. Sedangkan nilai E.coli menunjukkan tingkat sanitasi bahan pangan karena bakteri E.coli merupakan indikatorr sanitasi. Dari ketiga sampel tersebut diketahui bahwa mutu bahan pangan masih buruk yang mengindikasikan pula bahwa sanitasi lingkungan produksi di sekitar bahan masih buruk pula.
Dari tabel tersebut, dapat diketahui bahwa Angka Lempeng Total pada ketiga jenis ikan masih memenuhi standar batas mutu, yaitu tidak melebihi 500.000 TPC/ gram. Nilai ALT per gram maksimum pada cakalang yaitu 19.000 TPC/ gram, ikan kakap merah 14.000 TPC/ gram, dan ikan kakap putih 19.000 TPC/ gram. Ketiga ikan ini mempunyai nilai TPC yang baik yaitu masih di bawah batas maksimum TPC/ gram. Nilai TPC ini mengindikasikan bahwa jumlah bakteri hidup yang terdapat di bahan masih
3.2. Checklist GHP Untuk mendapatkan hasil perikanan dengan mutu yang baik, maka diperlukan bahan baku yang baik,
68
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
penanganan yang baik, dan ditempatkan di lingkungan yang baik. Dari hasil wawancara dan observasi di lapangan, ditemukan bahwa praktik GHP belum berjalan baik. Evaluasi yang dilakukan
menggunakan kesesuaian dengan praktik GHP yang seharusnya ada di pasar ikan higienis (PIH). Berikut adalah hasil evaluasi yang dilakukan (Tabel 4) :
Tabel 4. Evaluasi GHP di Pasar Ikan Poin Evaluasi Terdapat penerapan cold chain yang memadai Penggunaan es yang sesuai dengan jumlah ikan Penataan display ikan yang benar Permukaan peralatan yang kontak langsung dengan ikan, bersih dan mudah dibersihkan Hygiene personal pedagang yang baik Pada evaluasi ini penanganan ikan yang paling buruk terjadi yaitu mengenai penerapan sistem rantai dingin atau cold chain system. Mahalnya harga es menjadi keluhan utama pedagang yang mengakibatkan jumlah es lebih sedikit dari yang dibutuhkan. Pada Tabel 5 ditunjukkan perbandingan penggunaan es dan jumlah ikan yang disimpan pada 1 coolbox.
Hasil Tidak Tidak Belum sepenuhnya Tidak Belum sepenuhnya
ikan yang benar, Hal ini didorong pula oleh konsumen pasar ikan yang tidak menghendaki adanya tampilan display ikan yang benar seperti di supermarket karena terkesan mahal. Sanitasi personal dan sanitasi peralatan juga menjadi faktor kurangnya kualitas produk perikanan di pasar ikan. Ditemukan adanya peralatan yang sudah seharusnya diganti karena berkarat ataupun mengerak karena kotor. Selain itu, pada saat menangani ikan pedagang masih menggunakan perhiasan seperti cincin dan tidak menggunakan sarung tangan. Penerapan sanitasi yang kurang baik mengakibatkan produk perikanan mudah sekali terkontaminasi. Dari hasil evaluasi tersebut, dapat diketahui bahwa pada kenyataannya pedagang mengetahui konsep umum penanganan ikan yang baik. Namun hal yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan GHP ini adalah mengenai masalah ekonomi serta dorongan dari konsumen yang menghendaki harga yang murah serta tidak mempermasalahkan penanganan ikan yang berlangsung saat ini.
Tabel 5. Perbandingan es dan jumlah ikan Responde 1 2 3 4 5 n Es : Ikan 12, 2 50 12, 2 (kg/ box) 5 : 5 : 5: 5 30 : 10 30 : 3 0 2 0 5 Selain itu, sarana penunjang pelaksanaan sistem rantai dingin juga masih sangat kurang seperti coolbox atau kotak berinsulasi. Mahalnya sarana penunjang ini yang mengakibatkan pedagang tidak mampu untuk menerapkan sistem rantai dingin. Penataan display ikan menjadi penting pula karena disamping untuk menarik minat konsumen, display ikan yang benar juga dapat mencegah adanya kontaminasi silang (cross contamination) antar ikan. Namun sayangnya, pedagang di pasar ikan belum mepraktikkan display
3.3. Kuesioner 3.3.1. Hasil uji validitas dan reliabilitas Uji validitas dilakukan terhadap setiap jawaban penilaian kepentingan dan penilaian kinerja pada setiap butir pertanyaan yang ada pada kuesioner dan
69
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
perbandingan nilai Cronbach’s Alpha yang lebih besar dari rtabel dengan derajat kebebasan n-2 dan signifikansi 5% (tingkat kepercayaan 95%). Nilai rtabel adalah 0,344. Setelah didapatkan bahwa nilai keseluruhan item pertanyaan telah valid dan reliabel, maka disebarkan kuesioner utama sebanyak 101 buah dengan butir pertanyaan sebanyak 13 buah. Butir pertanyaan yang diajukan mengenai kondisi bahan pangan (ikan), penggunaan es sebagai bahan penyimpan ikan, kondisi sanitasi di sekitar lingkungan pasar ikan, kondisi higiene personal pedagang ikan, serta kondisi sanitasi peralatan penanganan ikan.
pada setiap responden yang dipakai. Pengujian ini dilakukan dengan menghitung nilai korelasi antara skor masing-masing pertanyaan dengan skor total, dengan menggunakan teknik korelasi Product Moment Pearson. Penghitungan ini dilakukan dengan bantuan program SPSS 17.0. Kriteria penafsiran validitas masing-masing butir pertanyaan setelah didapatkan hasil hitung adalah jika rhitung> rtabel. Nilai rtabel didapatkan dari Tabel Harga Kritik dari r Product-Moment dengan derajat kebebasan (dk) = n-2 dan signifikansi (taraf kesalahan) 5% atau df = (α, n-2). Dengan n adalah jumlah responden yang digunakan maka rtabel didapatkan senilai 0,344. Uji reliabilitas juga dilakukan terhadap setiap butir pertanyaan dengan bantuan program SPSS 17.0. Pengujian ini dilakukan untuk mengukur sejauh mana hasil pengukuran tersebut dapat dipercaya. Penafsiran reliabilitas masingmasing butir pertanyaan setelah didapatkan hasil hitung adalah jika nilai Cronbach’s Alpha > rtabel atau nilai Cronbach’s Alpha > 0,7. Nilai rtabel didapatkan dari Tabel Harga Kritik dari r Product-Moment, df = (α, n-2). Dalam hal ini, perhitungan menggunakan
3.3.2. Importance-performance analysis Analisis ini digunakan untuk mengetahui penilaian konsumen yang berupa tingkat kepuasan dan tingkat kepentingan mengenai pelaksanaan GHP di pasar ikan. Kuesioner yang telah diisi oleh responden menggunakan skala Likert’s kemudian diolah menggunakan rumus-rumus di atas. Setelah dilakukan menggunakan rumus-rumus IPA di atas, maka didapatkan hasil sebagai berikut (Tabel 6)
Tabel 6. Hasil Perhitungan IPA Kode
Atribut
Rerata Kepuasan
Rerata Kepentingan
Q1
Mata ikan berwarna jernih segar
1,800
2,136
Q2
Insang ikan berwarna merah segar
1,827
2,164
Q3
Tidak berbau busuk
1,982
2,500
Q4
Daging ikan tidak berlendir
1,936
2,291
Q5
Perbandingan penggunaan es adalah 1 Kg es untuk 1 Kg ikan (untuk menjaga kesegaran ikan)
1,464
2,136
Q6
Tempat penjualan (meja display) ikan bersih
1,555
2,327
Q7
Lantai pasar tidak terlihat kumuh
1,436
2,218
Q8
Tidak ada air kotor yang menggenang
1,618
2,264
Q9
Tidak ada penumpukan sampah di dekat area penjualan
1,618
2,382
Q10
Tersedia suplai air bersih yang cukup
1,755
2,355
Q11
Pedagang menggunakan pakaian yang bersih
1,600
2,064
Q12
Pedagang menggunakan sarung tangan saat melayani pembelian
1,200
2,045
Q13
Wadah penyimpanan ikan bersih
1,691
2,418
70
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Kemudian setelah itu, dengan menggunakan dicari nilai rerata dari rerata kepentingan dan rerata kepuasan untuk mencari pembagi 4 daerah kuadran pada diagram Kartesian. Dari hasil perhitungan rerata tersebut, didapatkan
yaitu tentang keberadaan sampah di dekat area pasar, kebersihan meja display, dan keberadaan genangan air kotor. Ketiga atribut ini masuk dalam golongan penilaian pada lingkungan pasar. Dalam hal ini berarti konsumen menganggap penting faktor lingkungan ungan namun pada kenyataannya belum seperti yang diharapkan. Maka dari itu, usulan perbaikan pada 3 atribut ini yaitu : 1. Perbaikan terhadap keberadaan sampah yang masih terlihat tidak tertata di sekitar area pasar ikan menjadi prioritas perbaikan yang pertama. - Untuk pengelolaan sampah yang efektif, maka sebaiknya terdapat tempat pengumpulan sampah utama dan terpisah dari jenis sampah yang lain - Tempat sampah seharusnya ditempatkan jauh dari kemungkinan terjadinya kontaminasi ke ikan. - Adanya penambahan frekuensi pembersihan sampah pada hari libur (hari-hari puncak). 2. Prioritas yang ke-22 yang perlu diperbaiki adalah mengenai kebersihan meja display penjualan ikan. Masalah utama yang dihadapi penjual ikan adalah sempitnya meja penjualan ikan. Rekomendasi perbaikan rbaikan yang dapat diusulkan adalah adanya penempatan ikan pada wadah yang ditata dan dipisahkan berdasarkan jenis ikan. Hal itu diharapkan dapat mengurangi resiko kontaminasi dari meja penjualan ke ikan serta meja terlihat ringkas dan resik. Karena proses sanitasi peralatan lebih mudah dibandingkan sanitasi meja display. 3. Prioritas perbaikan yang ke ke-3 adalah menghilangkan genangan air kotor di sekitar area pasar ikan. Hal ini juga dikeluhkan pula oleh pedagang bahwa air kotor sering meluap. Rekomendasi yangg diusulkan adalah adanya
hasil untuk Xi dan Yi secara berturutberturut turut adalah sebesar 1,652 dan 2,254. Selanjutnya, masing-masing masing pasangan atribut menjadi koordinat (Xi,Yi) dan kemudian diplotkan ke dalam diagram Kartesius (Diagram1).
Diagram 1. Diagram Performance Analysis
Importance Importance-
Keterangan warna : Tidak ada penumpukan sampah di dekat area penjualan Tempat penjualan (meja display) ikan bersih Tidak ada air kotor yang menggenang Tidak berbau busuk Tersedia suplai air bersih yang cukup Wadah penyimpan ikan bersih Daging ikan tidak berlendir Insang berwarna merah segar Mata ikan berwarna jernih segar dan menonjol Lantai pasar tidak terlihat kumuh Perbandingan penggunaan es adalah 1 Kg es untuk 1 Kg ikan Pedagang menggunakan sarung tangan saat melayani pembelian Pedagang menggunakan pakaian yang bersih
Dari hasil plotting tersebut, diketahui bahwa terdapat 3 atribut yang masuk dalam Kuadran 1 yang artinya merupakan pengambilan keputusan untuk prioritas perbaikan. Kuadran ini memuat 3 atribut
60
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
perbaikan saluran air pada area pasar ikan dan menambah derajat kemiringan lantai pasar. 4. Memberikan edukasi kepada konsumen mengenai kriteria ikan yang baik. Sehingga konsumen akan memilih ikan yang benar-benar baik kualitasnya, dengan begitu akan mendorong penjual (nelayan maupun pedagang ikan) untuk meningkatkan kualitas barang dagangannya. Kualitas ikan yang lebih baik hanya akan tercapai jika pedagang menerapkan cara penanganan ikan yang baik.
3.
4. KESIMPULAN Dari hasil penelitian yang didapatkan, maka didapatkan kesimpulan atas evaluasi penerapan Good Handling Practices di pasar ikan Pantai Depok adalah sebagai berikut : 1. Penerapan praktik GHP di lokasi masih di bawah standar kualitas, terlihat dengan adanya kandungan E.coli yang tinggi pada ikan, belum baiknya sarana dan prasarana (es) penerapan sistem rantai dingin, serta kualitas sanitasi pasar yang masih minimal. 2. Konsumen menghendaki adanya perbaikan pada kebersihan lingkungan pasar yaitu mengenai sampah yang masih banyak dijumpai
di area pasar, kebersihan meja display/ penjualan ikan, dan genangan air kotor di sekitar area pasar. Rekomendasi perbaikan yang diusulkan antara lain : a. Adanya tempat pengumpulan sampah utama yang jauh dari pasar dan terpisah dari sampah jenis yang lain. b. Penambahan frekuensi pembersihan sampah khususnya pada waktu-waktu puncak (seperti hari libur atau akhir pekan). c. Penempatan ikan pada wadahwadah terpisah sesuai jenisnya saat di meja penjualan. d. Adanya perbaikan saluran drainase serta menambah sedikit kemiringan lantai pasar.
5. DAFTAR PUSTAKA Sato, Akito, dkk. 2010. General Hygiene Measures in Local Fish Markets and Good Handling Practices in Myanmar. Southeast Asian Fisheries Development Center. Suliyanto, 2006. Metode Riset Bisnis. Yogyakarta : Penerbit Andi. Supranto, J. 2001. Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan untuk Menaikkan Pangsa Pasar. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
72
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
ANALISIS KEMUNDURAN KUALITAS IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) DITINJAU DARI PARAMETER KIMIAWI DAN BIAYA SELAMA PENYIMPANAN DALAM KOTAK PENDINGIN Nensi Nevridawati1), Ag. Suryandono2), M. Prasetya Kurniawan2) 1) Mahasiswa Jurusan Teknologi Industri Pertanian, FTP UGM 2) Dosen Jurusan Teknologi Industri Pertanian, FTP UGM
Abstrak Ikan cakalang merupakan komoditas ekspor dengan kuantitas meningkat dari tahun ke tahun. Ikan cakalang termasuk bahan pangan yang mudah rusak sehingga memerlukan penanganan khusus selama penyimpanan. Penanganan yang dapat dilakukan untuk mempertahankan kesegaran ikan cakalang dengan disimpan di dalam kotak pendinginyang diberi es halus. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kemunduran kualitas kimia ikan cakalang yang disimpan menggunakan es halus pada kotak pendingindan mengetahui biaya penggunaan es berdasarkan parameter kimiawi. Perlakuan yang dilakukan terhadap penyimpanan ikan cakalang tanpa es (kotak pendingin A), perbandingan ikan : es = 1:1 (kotak pendingin B) dan 1:2 (kotak pendingin C) mengacu Bataringaya (2007). Parameter kimiawi yang diukur adalah kadar air, kadar protein, dan aktivitas air. Pengujian kadar air menggunakan metode thermogravimetri, kadar protein dengan metode semi mikrokjeldahl, dan aktivitas air menggunakan alat Aw meter. Pengujian kadar air selama penyimpanan 4 hari dalam kotak pendingin menunjukkan ikan cakalang dalam kotak pendingin A, kotak pendingin B, dan kotak pendingin C mengalami peningkatan.Kadar protein ikan cakalang dalam kotak pendingin A mengalami peningkatan, sedangkan kotak pendingin B dan kotak pendingin C mengalami fluktuasi. Aktivitas air ikan cakalang dalam kotak pendingin A mengalami penurunan, kotak pendingin B mengalami fluktuasi, kotak pendingin C mengalami fluktuasi dan cenderung menurun. Penyimpanan terbaik ikan cakalang dalam kotak pendingindengan penggantian es dua kali pagi dan sore berdasarkan parameter kimiawi ditunjukkan oleh kotak pendingin B (perbandingan ikan : es = 1:1) dengan biaya penggunaan es total berdasarkan parameter kimiawi sebesar Rp 3.264,52/kg ikan.
Kata Kunci : Biaya, ikan cakalang, kotak pendingin, parameter kimiawi, penyimpanan ikan
memenuhi kebutuhan pangan. Berdasarkan data Balai Pusat Statistik (2009) konsumsi protein per kapita masyarakat Indonesia terutama komoditas ikan mencapai 7,77 tahun 2007, 7,94 tahun 2008, dan 7,28 tahun 2009. Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) merupakan jenis ikan pelagis besar yang
1. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara kepulauan yang dikelilingi oleh dua samudera yakni Samudera Pasifik dan Samudera Hindia sehingga kaya akan jenis ikan. Ikan mengandung protein, lemak, dan nutrisi lainnya yang bermanfaat untuk kesehatan sehingga ikan banyak digunakan masyarakat untuk
73
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
termasuk dalam famili Scombriadae. Ikan cakalang memiliki hubungan keluarga yang dekat dengan tuna, tetapi memiliki ukuran tubuh lebih kecil sehingga sering disebut tuna-like-fish, small tunas atau baby tuna. Ikan cakalang dengan tuna yang lain (bluefin, yellowfin dan albacore) merupakan komoditas andalan perikanan Indonesia. Dilaporkan dari tahun ke tahun, volume ekspor tuna dan cakalang Indonesia ke pasar internasional dari tahun 2004 sampai tahun 2008 terus mengalami peningkatan. Jumlah ekspor tuna dan cakalang tahun 2004 berjumlah 94.221 ton, tahun 2005 90.589 ton, tahun 2006 91.882 ton, tahun 2007 121.316 ton, dan tahun 2008 berjumlah 130.050 ton (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2010). Selain itu, ikan cakalang merupakan komoditas yang paling banyak diminati oleh warga sekitar Bantul Yogyakarta. Ikan cakalang yang dikonsumsi masyarakat merupakan ikan yang dipasok dari Pantai Utara Pulau Jawa (Semarang) dan di pantai Selatan (Cilacap). Hal ini dikarenakan ikan laut yang ditangkap di laut selatan Daerah Istimewa Yogyakarta tidak cukup untuk mencukupi kebutuhan masyarakat yang berjumlah 1.939 ton tahun 2008 sedangkan pantai utara Jawa Tengah mencapai 174.831 ton. Ikan merupakan salah satu hasil perikanan yang tergolong cepat rusak, tingginya nilai protein menyebabkan ikan dapat menimbulkan bau busuk yang menyengat jika rusak. Seorang konsumen menginginkan produk ikan cakalang yang mereka konsumsi memiliki kualitas optimal. Ikan dengan mata hingga ekor memiliki tingkat kesegaran tinggi dengan ciri mata menonjol dan cembung, insang berwarna merah, warna kulit terang dan cerah, sirip kuat, tidak berbau busuk serta daging ikan bila ditekan keras. Pada umumnya pedagang ikan cakalang menyimpan ikan di dalam kotak pendingin yang diberi tambahan es tanpa memperhatikan kebutuhan ikan selama
penyimpanan. Pedagang rata-rata menyimpan ikan cakalang ini 1 – 4 hari. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis penurunan kualitas dan penanganan yang tepat ikan cakalang yang disimpan di kotak pendingin dalam kurun waktu 1 – 4 hari dilihat dari kadar air, kadar protein, dan aktivitas airnya. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kemunduran (deterioration) kualitas ikan cakalang dengan perlakuan tanpa es dan perbandingan ikan : es = 1:1 dan 1:2 ditinjau kadar air, kadar protein, dan aktivitas air dan mengetahui penentuan terbaik penyimpanan ikan cakalang dengan perbandingan ikan : es 1:1 dan 1:2 penggantian es selama 2 kali sehari pagi dan sore dan biaya penggunaan es terendah berdasarkan kadar air, kadar protein, aktivitas air. 2. METODE PENELITIAN 2.1. Bahan : Ikan cakalang segar. 2.2. Teknik pengerjaan sampel Sampel (100 - 200 g) ditimbang kemudian diberi label. Penyimpanan dilakukan menggunakan cool box stryrofoam selama 4 hari dengan perlakuan A (sebagai kontrol), B (ikan : es = 1 : 1), dan C (ikan : es = 1 : 2) penggantian es pagi dan sore. Penelitian dilakukan 3 kali ulangan. Kandungan kadar air, kadar protein, dan aktivitas air dianalisis setiap hari sekali selama 4 hari. 2.3. Variabel penelitian Variabel yang diteliti adalah kemunduran mutu ikan cakalang berdasarkan parameter fisik yaitu kadar air (%), kadar protein (%), dan aktivitas air (aw). 2.3.1. Kadar air Pengukuran kadar air dilakukan dengan metode pengeringan menggunakan oven (termogravimetri).
74
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Persentase kadar menggunakan rumus : % KA
air
' ( B + S ) − (B + S ) = (B + S ) − B
dihitung
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. HASIL 3.1.1. Kadar air
x100%
dengan : B = berat botol kosong (B+S) = berat botol timbang + sampel (B+S)’ = berat botol timbang + sampel setelah dikeringkan 2.3.2. Kadar protein Pengukuran kadar protein dilakukan dengan metode semi mikro-kjeldahl. mikro Persentase kadar protein dihitung menggunakan rumus : Kadar protein % = )* +,- ./01234.55627.8 92355
Gambar 1. Grafik rata-rata rata perubahan kadar air ikan cakalang Gambar 1 menunjukkan bahwa kadar air pada perlakuan cool box A (kontrol)mengalami kenaikan pada hari ke-00 sebesar 74,56 % naik menjadi 75,65 % pada hari ke-1. 1. Begitu pula kadar air baik dari penyimpanan cool box B dan cool box C dari hari ke-00 sampai hari ke ke4 menunjukkan adanya kenaikan. Kadar air awal (hari ke-0) 0) pada cool box B sebesar 74,96 %, hari ke-11 sebesar 75,91 %, hari ke-22 sebesar 75,95 %, hari ke ke-3 sebesar 77,50 %, dan hari ke ke-4 sebesar 77,08 %. Sedangkan pada cool box C kadar air pada hari ke-00 sebesar 74,38 %, 75,58 % pada hari ke-1, 1, 77,19 % pada hari ke-2, 2, 78,27 % pada hari ke ke-3, dan 79,09 % pada hari ke-4. Pada kotak pendingin B kadar air berfluktuasi karena faktor lingkungan tempat penyimpanan (kotak pendingin) terutama perubahan kelembaban udara yang terjadi di dalam kotak pendinginsiang dan malam. lam. Besar kadar air kotak pendingin C lebih tinggi dibanding kadar air kotak pendingin B karena pada kotak pendingin C berisi es yang lebih banyak dari kotak pendingin B yang memungkinkan es yang mencair masuk ke dalam tubuh ikan dan dapat mempengaruhi kadar dar air ikan cakalang. Penurunan kadar air tersebut disebabkan karena adanya peristiwa desikasi, yaitu penguapan air pada suhu
x 100%
dengan : VA :ml HCl untuk titrasi sampel VB : ml HCL untuk titrasi blangko N : Normalitas HCL standar yang digunakan. 14,007 : berat atom nitrogen 6,25 : faktor konversi protein untuk ikan W : berat sampel (g) 2.3.3. Aktivitas Air Pengujian aktivitas menggunakan alat Aqualab.
air
ini
2.4. Analisis Data Data hasil percobaan dianalisis menggunakan uji t-berpasangan berpasangan yang menunjukkan perbedaan nyata dengan taraf kepercayaan 5 %.
75
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
rendah, dan adanya peristiwa penetesan (drip)) cairan sel selama pelelehan. Pada ikan yang dilapisi es pengurangan kandungan airnya ya sedikit disebabkan karena peristiwa desikasi dari jaringan ikan tidak dapat berlangsung sebelum lapisan es yang ada pada permukaan tubuh ikan menguap atau mencair semua. Besarnya penguapan air selama pendinginan tergantung pada beberapa hal, antara lain besar kecilnya ikan, tipe pengepakan, macam bahan pengepak, kelembabban nisbi ruang penyimpan, dan suhu bahan pendingin (Hadiwiyoto, 1993).
pendingin B dan kotak pendingin C cenderung menurun. Kadar protein mengalami kenaikan dan penurunan selama penyimpanan pada masing – masing perlakuan. 3.1.3. Aktivitas air
3.1.2. Kadar protein Gambar 3. Grafik rata-rata rata aktivitas air ikan cakalang Gambar 3 menunjukkan perubahan aktivitas air baik kotak pendingin B maupun un kotak pendingin C mengalami fluktuasi dan cenderung menurun. Aktivitas air kotak pendingin A mengalami penurunan. Besar aktivitas air rata-rata rata kotak pendingin A hari ke ke-0 dan hari ke-11 adalah 0,95 dan 0,8. Hasil pengujian aktivitas air pada penyimpanan kotak pendingin B dan kotak pendingin C selama 4 hari adalah : Kotak pendingin B : 0,95, 0,88, 0,79, 0,81, 0,84 Kotak pendingin C : 0,97, 0,87, 0,82, 0,87, 0,86.
Gambar 2. Grafik rata-rata ata perubahan kadar protein ikan cakalang Gambar 2 diperoleh kadar protein rata-rata rata ikan cakalang pada kotak pendingin B dan kotak pendingin C berfluktuasi sedangkan kotak pendingin A mengalami peningkatan. Besar kadar protein kotak pendingin A dari hari ke-0 ke sampai hari ke-1 1 adalah 19,11% dan 19,39%. Hasil pengujian protein rata – rata pada penyimpanan kotak pendingin B selama 4 hari dan kotak pendingin C adalah: Kotak pendingin B : 19,11 %, 19,39 %, 19,49 %, 19,34 %, dan 19, 54 % Kotak pendingin C : 20,19 %, 19,31 %, 20,43 %, 19,97 %, dan 20,19% Besar kadar protein pada kotak pendingin C cenderung lebih besar dari kotak pendingin B. Dalam kurun waktu 4 hari kondisi kadar protein ikan cakalang kotak
3.2. PEMBAHASAN 3.2.1. Kadar air Parameter kualitas yang diukur yaitu kadar air. Kadar air ddiukur dengan metode termogravimetri. Setelah data kadar air diperoleh,dilakukan pengujian statistik kadar air dengan software SPSS. Uji ini dilakukan terhadap dua sampel yang berpasangan (paired). Sampel yang berpasangan diartikan sebagai sebuah sampel dengan gan subjek yang sama, tetapi mengalami dua perlakuan atau pengukuran yang berbeda, seperti untuk
76
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
jaringan. Menurut Cepeda et al. (1990) dalam Hultmann dan Rustad (2002), penurunan kemampuan otot ini diawali dengan terjadinya proses hidrolisis berbagai macam protein dalam jaringan oleh enzim protease yang pada akhirnya menyebabkan tekstur ikan pada akhir penyimpanan menjadi lebih lembek / tidak elastis.
mengetahui beda nyata antara kadar air dari masing-masing perlakuan. Apabila nilai t hitung lebih besar dari nilai t tabel maka variabel terikat berbeda nyata untuk masing-masing variabel bebasnya. Nilai t tabel diperoleh dengan melihat pada tabel t0,05. Dan apabila nilai signifikansi (Sig.) lebih kecil dari 0,05 (<0,05), maka variabel terikat berbeda nyata untuk masing-masing variabel bebasnya. Pengujian dilakukan dengan tingkat kepercayaan 95%. Variabel bebas dalam pengujian ini adalah ikan cakalang perlakuan kotak pendingin B dan ikan cakalang perlakuan kotak pendingin C. Hasil analisis statistik kadar air ikan cakalang pada berbagai perlakuan dapat dilihat Berdasarkan hasil uji t pada output paired sample test menunjukkan t hitung dan t tabel, dengan df = 9 diperoleh angka : 2,26 untuk taraf signifikan 5%. Dengan t hitung = 159,898 berarti lebih besar dari t tabel yang berarti hipotesis nihil ditolak. Selain itu, dapat diketahui bahwa antara kadar air dengan perlakuan di kotak pendingin B dan kotak pendingin C signifikan. Hal ini ditunjukkan dengan besar kepercayaan 95% (α=0,05) lebih kecil dari α hitung = 0,000, Misal : Ho : µB = µC H1 : µB ≠ µC Apabila t hitung> t tabel, maka Ho ditolak. Berdasarkan uji t yang telah dilakukan dengan software SPPS 16 diperoleh t hitung = 159,898, sedangkan t tabel = 2,262. Hal ini berarti t hitung > t tabel, maka Ho ditolak. Dengan kata lain, kadar air dengan perlakuan di kotak pendingin B dan kotak pendingin C berbeda nyata untuk masing – masing variabel bebasnya. Kenaikan kadar air pada ikan berjalan seiring dengan terjadinya proses deteurisasi. Pada ikan yang disimpan pada suhu dingin, kemampuan otot dalam menahan air dalam jaringan akan menurun sehingga air mudah terlepas dari
3.2.2. Kadar protein Protein merupakan gabungan dari asam amino-asam amino yang dihubungkan dengan ikatan peptida. Selain itu, protein merupakan senyawa makromolekul yang tersusun oleh asamasam amino yang mengandung unsur C, H, O, N, S, P dan sedikit garam yang mengandung logam seperti besi dan tembaga. Perubahan sifat biokimia pada ikan pasca tangkap yakni pada waktu kandungan ATP dan pH daging ikan menurun, protein aktin dan miosin yang kedua-duanya merupakan protein miofibrilar akan berinteraksi membentuk protein aktomiosin. Terbentuknya aktomiosin menyebabkan daging menjadi kaku. Selanjutnya aktomiosin akan tetap berada pada daging ikan mati dan tidak kembali lagi menjadi komponenkomponennya semula meskipun fase rigormortis telah lewat (Sahubawa, 2006). Pengukuran kadar protein dilakukan menggunakan metode semi mikro-Kjeldahl. Setelah data kadar protein diperoleh, selanjutnya dilakukan pengujian statistik dengan uji tberpasangan. Uji ini dilakukan terhadap dua sampel yang berpasangan (paired). Berdasarkan uji t yang telah dilakukan dengan software SPPS 16 diperoleh t hitung = 82,155, sedangkan t tabel = 2,262. Hal ini berarti t hitung> t tabel, maka Ho ditolak. Dengan kata lain, kadar protein dengan perlakuan di kotak pendingin B dan kotak pendingin C berbeda nyata untuk masing – masing variabel bebasnya.
77
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
= 2,262. Hal ini berarti t hitung > t tabel, maka Ho ditolak. Dengan kata lain, aktivitas air perlakuan di kotak pendingin B dan kotak pendingin C berbeda nyata untuk masing – masing variabelnya. Aktivitas air ikan cakalang dengan penyimpanan dalam kotak pendingin selama 4 hari menunjukkan kecenderungan menurun dan menunjukkan angka 0.8 Aw. Hal ini berarti ikan cakalang pada kedua kotak pendingin memungkinkan khamir untuk tumbuh karena mikroorganisme akan tumbuh dengan baik pada keadaan aktivitas air tertentu, di mana secara umum mikroorganisme akan tumbuh dalam bahan beraktivitas air tinggi (0,7 – 1) dan tidak akan tumbuh dalam bahan beraktivitas rendah (0,1 - 0,6). Contoh mikroorganisme yang membutuhkan nilai aktivitas air tertentu untuk tumbuh dengan baik adalah (Luthfian, 2007) : a. bakteri; aktivitas air minimum 0,9 b. khamir; aktivitas air minimum 0,8 – 0,9 c. kapang; aktivitas air minimum 0,6 – 0,7
Kadar protein mengalami kenaikan dan penurunan selama penyimpanan pada masing – masing perlakuan. Penurunan kadar protein ini disebabkan karena adanya degradasi protein yaitu pemecahan molekul–molekul kompleks menjadi sederhana seperti asam amino, amoniak, dan unsur N oleh pengaruh asam, basa, atau enzim. Di samping itu dihasilkan juga komponen komponen yang mengakibatkan bau busuk misalnya merkaptan, skatol, dan asam sulfide (Sahubawa, 2006). Berdasarkan hasil pengujian kadar protein ini dapat disimpulkan bahwa kotak pendingin C memiliki kadar protein yang tinggi sehingga penyimpanan ikan dengan perbandingan ikan : es = 1:2 mampu mempertahankan protein dari proses denaturasi pada ikan cakalang selama masa penyimpanan 4 hari. 3.2.3. Aktivitas air Parameter kualitas yang ketiga adalah aktivitas air. Aktivitas air merupakan jumlah air didalam bahan yang tersedia untuk pertumbuhan mikroba. Aktivitas air yang tinggi berdampak pada semakin meningkatnya jumlah mikroorganisme yang tumbuh pada bahan selama penyimpanan. Aktivitas air diatas 0,8, laju kerusakan mikrobiologis kimiawi dan enzimatik berjalan dengan cepat (Winarno, 1991). Aktivitas air diukur menggunakan alat Aqualab. Setelah data aktivitas air diperoleh, selanjutnya dilakukan pengujian statistik dengan uji tberpasangan. Uji ini dilakukan terhadap dua sampel yang berpasangan (paired). Berdasarkan uji t yang dilakukan dapat diketahui bahwa antara aktivitas air dengan perlakuan di kotak pendingin B dan kotak pendingin C signifikan. Hal ini ditunjukkan dengan besar kepercayaan 95% (α=0,05) lebih kecil dari α hitung = 0,000. Berdasarkan uji t yang telah dilakukan dengan software SPPS 16 diperoleh t hitung = 4,004, sedangkan t tabel
Berdasarkan hasil tersebut maka penyimpanan ikan cakalang menggunakan kotak pendingin B lebih direkomendasikan karena nilai aktivitas airnya lebih rendah. Semakin rendah aktivitas airnya maka mikroorganisme tidak akan tumbuh. 3.2.4. Biaya penggunaan es Harga 1 plastik es batu ukuran 10 kg = Rp 7.500,00 a. Kotak pendingin B Total berat ikan 2,325 kg. Penggunaan es batu halus : Hari ke-1 : pagi + sore = (2,325 kg + 1,92 kg) = 4,245 kg Hari ke-2 : pagi + sore = (1,425 kg + 1,445 kg) = 2,87 kg Hari ke-3 : pagi + sore = (1,01 kg + 0,975 kg) = 1,985 kg
78
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Hari ke-4 : pagi + sore = (0,545 kg + 0,475 kg) = 1,02 kg
rendah karena pada penelitian ini dilakukan penelitian dalam skala kecil.
Total penggunaan es = 4,245 kg + 2,87 kg + 1,985 kg + 1,02 kg = 10,12 kg Biaya 10,12 x Rp 7.500,00 = Rp 7.590,00 = 10 Jadi, besar rupiah yang dikeluarkan untuk penggunaan es batu halus pada 1 kg ikan Rp 7.590,00 = = Rp 3.264,52/kg 2,325 kg b. Kotak pendingin C Total berat ikan = 2,565 kg. Penggunaan es batu halus : Hari ke-1 = pagi + sore = (5,13 kg + 4,04 kg) = 13,13 kg Hari ke-2 = pagi + sore = (3,03 kg + 2,90 kg) = 5,93 kg Hari ke-3 = pagi + sore = (2 kg + 1,95 kg) = 3,95 kg Hari ke-4 = pagi + sore = (1,09 kg + 1 kg) = 2,09 kg Total penggunaan es = 13,13 kg + 5,93 kg + 3,95 kg + 2,09 kg = 21,14 kg Total rupiah yang dikeluarkan 21,14 = x Rp 7.500,00 = Rp 15.855,00 10 Jadi, besar rupiah yang dikeluarkan untuk penggunaan es batu halus pada 1 kg ikan
4. KESIMPULAN 1. Penurunan kualitas masing – masing kotak pendingin ditunjukkan oleh : a. Kadar air dari hari ke-0 sampai hari ke-4 pada kotak pendingin A, kotak pendingin B, dan kotak pendingin C mengalami kenaikan. b. Kadar protein dari hari ke-0 sampai hari ke-4 pada kotak pendingin A mengalami peningkatan, sedangkan baik kotak pendingin A maupun kotak pendingin B mengalami fluktuasi. c. Aktivitas air dari hari ke-0 sampai hari ke-4 pada kotak pendingin A mengalami penurunan, kotak pendingin B mengalami fluktuasi, dan kotak pendingin C mengalami fluktuasi dan cenderung menurun. 2. Penyimpanan terbaik ikan cakalang menggunakan es halus (slush ice) di kotak pendingin styrofoampenggantian es dua kali pagi dan sore ditunjukkan kotak pendingin B (perbandingan ikan : es = 1:1) dengan biaya penggunaanes total berdasarkan parameter kimiawi sebesar Rp 3.264,52/1 kg ikan.
=
5. DAFTAR PUSTAKA Balai Pusat Statistik. 2009. Konsumsi Protein Ikan Masyarakat Indonesia per Kapita.2009.Balai Pusat Statistik. Jakarta. Hadiwiyoto, S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan Jilid 1. Liberty. Yogyakarta. Hultmann, L. & Rustad, T. 2002. Textural Changes during Iced Storage of Salmon (Salmo salar) and Cod (Gadus morhua). Journal of Aquatic Food Product Technology. The Haworth Press Inc, 105 pp.
Rp15.855,00 = Rp 6.181,29/kg 2,565 kg
Rupiah yang dikeluarkan untuk membeli es batu pada kotak pendingin C lebih mahal dari kotak pendingin B. Hal ini dikarenakan perbandingan es yang digunakan kotak pendingin C lebih banyak daripada kotak pendingin B. Hal ini berarti kotak pendingin B lebih dipilih karena biaya yang dikeluarkan tergolong
79
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Kementerian Perikanan dan Kelautan. 2010. Statistik Hasil Perikanan dan Kelautan, Jakarta. Luthfian. 2007. Aw Meter. Jurusan Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian UGM. Yogyakarta. Sahubawa, Latif. 2006. Bahan Ajar : Biokimia Hasil Perikanan. Yogyakarta : Jurusan Perikanan dan Kelautan Fakultas Pertanian UGM. Winarno, F.G., 1991. Kimia Pangan dan Gizi. PT.Gramedia, Jakarta.
80
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
PENGARUH RASIO BIJI KEDELAI HITAM (Glycine max (L.)Merr.) DAN AIR TERHADAP KARAKTERISTIK YOGURT DAN PERUBAHAN SIFAT SELAMA PENYIMPANAN Muhammad Nur Cahyanto1, Sri Kanoni1, Restu Nugraheni2 1 Staf Pengajar TPHP-FTP-UGM; 2Alumni TPHP-FTP-UGM
Abstrak Kedelai hitam (Glycine max (L.) Merr.) telah digunakan secara luas sebagai pangan yang kaya akan zat gizi, akan tetapi pemanfaatan kedelai hitam tersebut kurang optimal. Kebanyakan masyarakat tidak menyukai kedelai ataupun hasil olahan kedelai yang dikarenakan kedelai mempunyai citarasa langu (beany flavor) yang khas. Untuk meningkatkan penerimaan masyarakat, kedelai hitam perlu diolah menjadi produk makanan yang lebih inovatif dan bergizi, sebagai contoh adalah yogurt. Yogurt, merupakan produk pangan berasal dari susu yang difermentasi dengan bantuan bakteri asam laktat. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan perbandingan kedelai hitam dan air dalam pembuatan susu kedelai untuk keperluan pembuatan yogurt kedelai hitam, serta untuk mengetahui karakteristik fisik, sensoris, kimiawi, dan perubahan yogurt selama penyimpanan. Pada penelitian ini, yogurt dibuat dengan menggunakan bahan dasar susu kedelai hitam. Susu kedelai hitam dibuat dengan mengekstrak kedelai hitam kering, yang sudah direndam dalam air selama 6 jam dan dipanasakan dalam air mendidih selama ± 5 menit, dengan variasi rasio kedelai hitam dan air 1:6, 1:8, 1:10, 1:12, 1:14, dan 1:16. Susu kedelai hitam yang dihasilkan ditambahkan sukrosa sebanyak 4% (b/v), lalu dipanaskan (100ºC selama ± 10 menit). Kemudian dilakukan pendinginan dan diinokulasi dengan bakteri starter yogurt sebanyak 5%. Inkubasi dilakukan pada suhu ruang selama ± 10 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variasi rasio kedelai hitam dan air yang tepat dalam pembuatan yogurt kedelai hitam adalah 1:6. Variasi rasio tersebut mempengaruhi sifat fisik, sensoris, dan kimiawi yogurt kedelai hitam. Semakin besar rasio kedelai hitam dan air, viskositas yogurt semakin kecil, yogurt semakin encer, kandungan protein dan kadar abu yogurt semakin rendah, tetapi kadar air yogurt semakin tinggi. Semakin lama waktu penyimpanan yogurt, pH semakin rendah, titrasi asam yang ditunjukan sebagai kandungan asam laktat semakin tinggi, sineresis pada yogurt semakin banyak, dan viabilitas bakteri asam laktat semakin menurun.
Kata kunci :Yogurt, kedelai hitam, fermentasi, penyimpanan
menurunkan resiko terjadinya osteoporosis, penyakit cardiovascular dan resiko kanker seperti kanker payudara, kanker kolon, dan prostate. Selain itu, kedelai hitam banyak mengandung antioksidan yang mampu menghambat terbentuknya gumpalan di pembuluh
1. PENDAHULUAN Kedelai hitam (Glycine max (L.) Merr.) telah digunakan secara luas sebagai pangan yang kaya akan zat gizi dan telah digunakan sebagai obat tradisional selama bertahun-tahun. Keunggulan kedelai hitam dapat
81
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
darah, sehingga mengurangi resiko penyempitan pembuluh darah. Akan tetapi, pemanfaatan kedelai hitam tersebut masih kurang optimal. Di Indonesia, kedelai hitam banyak dimanfatkan sebagai bahan dasar pembuatan kecap. Selain memiliki beberapa keuntungan, kedelai hitam juga memiliki beberapa kekurangan yang menyebabkan tidak disukai oleh masyarakat, yaitu adanya citarasa langu (beany flavor). Citarasa langu pada kedelai berupa senyawa aldehid, keton dan alkohol yang bersifat mudah menguap dan juga disebabkan oleh adanya senyawasenyawa hasil aktivitas enzim lipoksigenase. Untuk meningkatkan daya terima masyarakat, kedelai hitam perlu diolah menjadi produk makanan yang lebih inovatif dan banyak mengandung zat gizi, sebagai contoh adalah yogurt kedelai hitam.Yogurt merupakan produk pangan yang dibuat dari susu yang difermentasi dengan bantuan bakteri asam laktat. Yogurt secara umum dibuat dengan menggunakan bahan dasar susu sapi. Susu sapi memiliki kandungan gizi yang cukup, terutama kandungan proteinnya. Pada proses fermentasi, adanya akumulasi asam yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat menyebabkan protein menjadi tidak seimbang, sehingga protein akan terkoagulasi dan akan menciptakan tekstur yogurt yang kental. Susu yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan yogurt adalah susu yang memiliki kandungan protein sebanyak 3,2%. Protein pada susu kedelai hitam memiliki jumlah kandungan yang menyerupai jumlah kandungan protein pada susu sapi yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan yogurt, yaitu sebanyak 3,5%. Ditinjau dari besarnya kandungan protein, susu kedelai hitam memiliki potensi sebagai bahan dasar pembuatan yogurt. Oleh karena itu, dilakukan penelitian karakteristik
yogurtyang dibuat dari susu kedelai hitam yang diekstrak dengan air pada berbagai rasio. 2. TUJUAN PENELITIAN Menentukan rasio kedelai hitam : air dalam pembuatan susu kedelai hitam untuk dasar pembuatan yogurt. Mengetahui karakteristik fisik (viskositas), sensoris (bau, rasa, dan warna), dan kimiawi (pH, protein, kadar air, dan kadar abu) yogurt kedelai hitam.Mengetahui perubahan karakteristik yogurt kedelai hitam selama penyimpanan suhu 4°C. 3. METODE PENELITIAN 3.1. Bahan dan alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini kedelai hitam (varietas Mallika), air (AQUA), gula pasir (sukrosa), bakteri starter yogurt (Lactococcus lactis ssp.cremoris dan Acetobacter orientalis). Bahan kimia yang digunakan adalah , H2SO4, katalisator (NaSO4 : CuSO4 : Se = 250 : 5 : 0,7), larutan NaOH-Na2S2O3, asam borat, indikator BCG-MR, HCl, NaCl 0,85%; MRS; agar 1,5%; CaCO3 0,5% aquades; indikator phenolftalein; dan NaOH 0,1N . Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: kain saring, baskom, toples, pengaduk, timer, blender (Philips), , viskostester / stormer viscosimeter, stopwatch, gelas sloki, cawan, nampan, borang penilaian, , pH meter, distilator, labu kjeldahl, baker glass, pipet ukur, pipet tetes, labu takar, buret, cawan,waterbath, timbangan analitik, eksikator, oven, Cold storage bersuhu 4°C, pH meter, petridish, buret 3.2. Jalannya Penelitian 3.2.1. Pembuatan susu kedelai hitam Biji kedelai hitam yang sudah disortasi ditimbang sebanyak 50 gram direndam selama ± 6 jam., dipanaskan dalam air mendidih selama ± 5 menit.,
82
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
dan ditiriskan Selanjutnya digiling dicampur dengan air ,variasi rasio kedelai dan air adalah (1:6), (1:8), (1:10), (1:12), (1:14),dan (1:16), dan disaring. Susu kedelai hitam dipanaskan pada suhu 100°C selama ± 5 menit.
Hasil Tabel 1 menunjukkan bahwa, kandungan protein, yogurt 40,90%. Berarti kedelai hitam memiliki potensi untuk dijadikan bahan dasar pembuatan susu nabati yang digunakan sebagai bahan pembuatan yogurt.
3.2.2. Fermentasi susu kedelai hitam Pemanasan susu kedelai hitam pada suhu 100°C selama ± 5 menit. Selanjutnya ditambahkan gula pasir (sukrosa) sebanyak 4% dari volume susu kedelai hitam. Setelah itu dilakukan penuruan suhu susu kedelai hitam hingga mencapai ± 30°C dan dimasukkan ke dalam toples (food grade) yang sebelumnya telah disterilisasi dengan air panas (±100°C). Dilakukan penambahan starter yogurt sebanyak 5 % dari volume susu kedelai hitam., kemudian diinkubasi selama 10 jam pada suhu ruang dan disimpan dalam cool room pada suhu suhu 4°C.
4.2. Karakteristik kimia susu kedelai hitam Tabel 2. Komposisi kimia susu kedelai hitam Variasi*
Tabel 1. Karakteristik kimia biji kedelai hitam Kadar air Nitrogen total Kadar protein Kadar lemak Kadar abu
13,25 7,11 40,90 13.50 3,81
Kadar protein (%wb) 4,94e 3,78d 3,32c 2,60b 2,07a 1,76a -
Hasil Tabel 2 menunjukkan bahwa variasi rasio kedelai hitam :air berpengaruh terhadap komposisi kimia susu kedelai. Semakin besar rasionya semakin tinggi kadar airnya.,namun kandungan total padatan dan protein semakin rendah. Rasio (1:6), (1:8), dan (1:10)., kadar proteinberturut-turut: 4,94%, 3,78% dan 3,32% mendekati kadar protein susu sapi (3,2%) sebagai bahan dasar yogurt(Anonim,2008).Pada proses fermentasi, protein tidak stabil dan akan terkoagulasi karena adanya akumulasi asam yang dihasilkan oleh bakteri starter yogurt, sehingga akan terbentuk gel dan tekstur yogurt menjadi kental.Total padatan yang terkandung dalam susu juga akan mempengaruhi tekstur yogurt yang dihasilkan. Jika kandungan total padatan susu tidak cukup akan menyebabkan sineresis pada yogurt
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik kimia biji kedelai hitam
% wb
Total padatan (%wb) 11,01e 8,32d 7,26c 5,45b 5,09b 4,22a 12,00f
1:6 1:8 1:10 1:12 1:14 1:16 Susu sapi Keterangan: • * variasi pada penelitian ini adalah rasio biji kedelai hitam kering-air yang ditambahkan pada saat penggilingan. • Notasi yang berbeda dalam satu kolom menunjukkan perbedaan yang nyata (α = 0,05)
3.2.3. Analisis yogurt Viskositas dengan stormer viskosimeter,) pH, kadar air metode thermogravimetri (AOAC,1990), kadar protein metode mikro kjeldahl (AOAC,1990) , kadar abu metode pangabuan langsung (AOAC, 1990), , titrasi asam,sinerisis dan viabilitas BAL (Shah et al ,2006),titrasi asam (Fardiaz,1989) serta uji sensoris (Mailgard, 1980)
Karakteristik kimia
Kadar air (%wb) 88,99b 91,68b 92,74bc 94,55cd 94,91d 95,78d 88,00a
83
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
yang dihasilkan. Menurut Tamime dan Robinson (1985), standar kandungan padatan bukan lemak yang dianjurkan adalah 8,2 hingga 8,6 g/100 g.
viskositas yogurt yang dihasilkan. Rasio (1:6) memiliki viskositas 2,56 poise merupakan viskositas yang paling besar, walaupun masih jauh bila dari viskositas yogurt susu sapi( 20,33 poise.).Viskositas yogurt kedelai hitam disebabkan karena kenaikan keasaman oleh akumulasi asam laktat yang menyebabkan protein tidak stabil dan terkoagulasi membentuk gel yogurt yang menyebabkan tekstur yogurt menjadi semi padat (Endang et.al., 1993).. Berdasarkan Tabel 4 menunjukkan variai rasio kegdelai hitam : air berpengaruh terhadap nilai kesukaan pada rasa, warna,bau , tekstur dan kesukaan keseluruhan.Variasi kedelai hitam:air ( 1:6 )berbeda nyata dengan yogurt kedelai hitam lainnya. Tetapi yogurt kedelai hitam 1:6 tidak berbeda nyata dengan yogurt kontrol yang terbuat dari susu sapi. Variasi (1:6) memiliki nilai kesukaan rasa (3,55), bau (3,15); Warna (3,65), tekstur (4,05) dan keseluruhan (3,80) dalam kisaran agak suka ke suka. Semakin besar rasio kedelai hitam dan air, panelis semakin tidak menyukainya
4.3. Karakteristik fisik yogurt kedelai hitam (viskositas) Tabel 3.. Viskositas yogurt kedelai hitam Variasi yogurt Viskositas (poise) Kontrol 20,33c 1:6 2,56b 1:8 0,48a 1:10 0,26a 1:12 0,24a 1:14 0,24a 1:16 0,22a Keterangan: • Notasi yang berbeda dalam satu kolom menunjukkan perbedaan yang nyata (α = 0,05) • Kontrol merupakan yogurt yang terbuat dari susu sapi.
4.4. Sifat sensoris yogurt kedelai hitam Tabel 4. Hasil uji sensoris yogurt kedelai hitam Yo gurt Kontr ol 1:6
Ra sa 3,10
Bau 3,75d
War na 4,05d
Tekst ur 4,40d
c
c
d
3,55
3,15
2,80
1:12 1:14
3,65
4,05
3,80
c
d
3,05c
ab
1:10
4.5. Karakteristik kimia yogurt kedelai hitam 4.5.1. pH yogurt kedelai hitam Tabel 5. pH yogurt kedelai hitam.
bc
c
1:8
Keseluru han 3,85c
3,25b
3,45c
2,95b
3,10b
2,65b
3,00b
2,05a
2,00a
2,30a
c
2,85
2,90b
ab
c
2,30
2,60a
a
bc
2,30
2,25a
1,95a
1,85a
2,35a
2,25
2,35a
2,45a
1,95a
2,30a
a
bc
Variasi yogurt pH Kontrol 3,89d 1:6 3,91d 1:8 3,68ab 1:10 3,65a 1:12 3,71bc 1:14 3,74c 1:16 3,70abc Keterangan: • Notasi yang berbeda dalam satu kolom menunjukkan perbedaan yang nyata (α = 0,05) • Kontrol merupakan yogurt yang terbuat dari susu sapi.
a
1:16
Keterangan: • Notasi yang berbeda dalam satu kolom menunjukkan perbedaan yang nyata (α = 0,05) • Kontrol merupakan yogurt yang terbuat dari susu sapi.
• 1:
sangat tidak suka, 2: tidak suka, 3: agak suka, 4: suka, 5: sangat suka.
Pada Tabel 5. menunjukkan bahwa variasi rasio kedelai hitam : air berpengaruh terhadap pH yogurt walaupun kisarannya tidak terlalu
Tabel 3 menunjukkan bahwa variasi rasio kedelai hitam :air berpengaruh terhadap
84
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 5
pH
besar.Pelepasan gugus amina pada asam amino, yang bersifat basa sehingga akan menaikkan pH.. Yogurt kedelai hitam (1:6) memiliki pH yang tidak berbeda nyata dengan pH yogurt susu sapi. Semua yogurt kedelai hitam dan juga yogurt susu sapi memiliki pH <4,0. sesuai dengan karakteristik yogurt yang memiliki rasa asam. Keasaman tersebut diakibatkan karena adanya asam-asam organik, yang kebanyakan asam laktat, yang dihasilkan oleh kultur starter yogurt. (Hutkins,2006).
(% wb) c
Kadar air
(% db)
(% wb) b
(% db) a
b
5
10
15
hari ke-
Gambar 1. Grafik perubahan pH yogurt kedelai hitam (1:6) selama penyimpanan Selama penyimpanan 14 hari, yogurt kedelai hitam mengalami perubahan pH .. Pada penyimpanan hari ke-0 ,ke 2dan ke 4 pH yogurt kedelai hitam meningkat adalah 3,94.; 4,18 ,4,29 dan menurun yang stabil pada kisaran pH 4 Asam laktat yang dihasilkan oleh bakteri starter yogurt, menyebabkan pH turun. Pada akhir waktu fermentasi yogurt memiliki pH sekitar 4,4 – 4,5, Lampert (1970) dan Endang S et.al. (1993) karena pada pH tersebut merupakan titik isoelektris protein sehingga terjadi penggumpalan dan terbentuk yogurt yang dikehendaki.Perubahan asam yang terjadi pada yogurt kedelai hitam dapat dilihat pada Gambar 2
Kadar abu (% wb)
3.94a
0
Tabel 6. Kandungan protein, air, dan abu pada yogurt kedelai hitam Kadar protein
4.21cd4.24cd 4.07b
3
4.5.2. Protein, kadar air, dan kadar abu.
Variasi yogurt
4.29e 4.25de
4.18c
4
(% db) b
5,42 42,78 87,34 0,50 3,93 1:6 b a b b ab 3,76 32,75 88,51 0,40 3,44 1:8 a a c a 3,16 32,77 90,35 0,27 2,84a 1:10 Keterangan: • Notasi yang berbeda dalam satu kolom menunjukkan perbedaan yang nyata (α = 0,05)
kadar asam laktat (%)
Dari hasil analisis pada Tabel 6. menunjukkan bahwa variasi rasio kedelai hitam : air yang disukai panelis berpengaruh terhadap kadar air, protein dan abu.Variasi (1:6) ,memiliki kandungan protein (5,42%wb) , kadar abu 0,5% dengan kadar air 87,34% . Menurut Sadikin (1985), jumlah air yang digunakan untuk mengekstrak berkorelasi negatif dengan kadar protein dalam susu kedelai .
1.5 1.32c 1.25c
1
0.84a 0.84a
1.03b1.04b 1.08b 1.0b
0.5 0 0
5
10
15
hari ke-
4.6. Perubahan sifat yogurt kedelai hitam selama penyimpanan 4.6.1. pH dan perubahan asam Perubahan pH yogurt kedelai hitam selama penyimpanan 14 hari dapat dilihat pada Gambar 1
Gambar 2. Grafik perubahan asam yogurt kedelai hitam (1:6) selama penyimpanan Pada yogurt kedelai hitam yang disimpan selama 14 hari, perubahan asam yang dikonversikan sebagai asam laktat, mengalami kenaikan dari hari ke hari.
85
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Pada awal penyimpanan, yaitu pada hari ke-0 kadar asam pada yogurt kedelai hitam mencapai 0,84 % (b/v). Jumlah tersebut meningkat hingga hari terakhir penyimpanan. Pada hari ke-14, kadar asam mencapai 1,32% (b/v). Akumulasi asam laktat akan menyebabkan kenaikan keasaman susu atau penurunan pH.
jumlah BAL (log CFU/ml)
1.00E+10 2.08c1.40b1.40b
1.00E+08 1.00E+06 1.00E+04 1.00E+02 1.00E+00 0
4.6.2. Sineresis selama penyimpanan
0
2
4
6
8
10
12
Volume (ml/100ml)
0
3
7
11
13
15
17
5
10
15
hari ke-
Tabel 7. Hasil uji sineresis yogurt kedelai hitam (1:6) selama penyimpanan Hari ke-
1.36b 1.00b1.13b
Gambar 3.. Grafik jumlah BAL selama penyimpanan
14
Pada Gambar 3 tersebut terlihat bahwa jumlah BAL mengalami penurunan pada hari ke-2 penyimpanan. Pada awal penyimpanan jumlah BAL mencapai 2,08 x 108 log CFU/ml. Dan pada akhir penyimpanan, jumlah BAL sebanyak 1,36 x 108 log CFU/ml. Pada awal penyimpanan, setelah waktu inkubasi, bakteri starter tumbuh dengan baik dan jumlahnya mencapai 2,08 x 108 log CFU/ml, hal tersebut disebabkan karena adanya nutrisi yang mencukupi untuk pertumbuhan bakteri asam laktat yang terdapat pada media fermentasi, selain itu pada awal penyimpanan viabilitas bakteri asam laktat masih bagus. Menurut Reinheimer et.al. (2000), viabilitas sel bakteri asam laktat tergantung oleh tipe yogurt dan suhu penyimpanan.Semakin lama penyimpanan, viabilitas bakteri asam laktat semakin menurun, Viabilitas bakteri asam laktat juga dapat dipengaruhi oleh adanya kandungan sukrosa yang ditambahkan pada saat proses pembuatan yogurt kedelai hitam.
19
Dari Tabel 7menunjukkan bahwa bahwa jumlah air yang keluar dari yogurt semakin meningkat seiring lamanya waktu penyimpanan. Sineresis merupakan keadaan dimana keluarnya atau merembesnya cairan dari suatu gel. Saat cairan terpisah dari protein pada yogurt kedelai hitam ini terjadilah sineresis. Semakin lama penyimpanan, ikatan-ikatan yang menahan cairan semakin tidak stabil, sehingga cairan yang terpisah semakin banyak. Menurut Tamime dan Robinson (1985), sineresis pada yogurt dapat disebabkan karena rendahnya padatan non lemak ataupun kandungan lemak, kurangnya perlakuan pemanasan atau homogenisasi pada susu, suhu inkubasi yang terlalu tinggi, dan pH akhir yogurt yang kurang asam 4.6.3. Perubahan mikrobiologis Perubahan mikrobiologis pada yogurt kedelai hitam dapat diketahui pada Gambar 3.
4.6.4. Sifat sensoris selama penyimpanan Hasil Tabel 8 menunjukkan bahwa lama penyimpanan tidak berpengaruh pada penilaian panelis terhadap bau yogurt, namun berpengaruh terhadap rasa dan kesukaan keseluruhan
86
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Penyimpanan sampai hari ke 6 sudah timbul rasa asam dengan nilai 2,90 (kisaran tidak suka ke agak suka) , sampai hari ke 14 nilai 1.65 (sangat tidak suka) Tabel 8. Perubahan sensoris selama penyimpanan pada yogurt kedelai hitam
keasaman yang berbeda nyata dengan yogurt kedelai hitam yang disimpan pada hari ke-0 yang memiliki deskripsi tidak asam. 5. KESIMPULAN 1. Variasi rasio kedelai hitam : air berpengaruh pada sifat fisik, kimiawi, dan sensoris susu dan yogurt kedelai hitam yang dihasilkan.Semakin besar rasio kedelai hitam : air, viskositas yogurt semakin kecil, (semakin encer) kandungan protein dan kadar abu yogurt semakin rendah, kadar air yogurt semakin tinggi.Rasio kedelai hitam :air dalam pembuatan susu kedelai hitam untuk keperluan pembuatan yogurt kedelai hitam yang baik adalah rasio (1:6). 2. Semakin lama waktu penyimpanan yogurt, pH semakin rendah, titrasi asam yang ditunjukan sebagai kandungan asam laktat semakin tinggi, sineresis pada yogurt semakin banyak, dan viabilitas bakteri asam laktat semakin menurun.
Hari Rasa Bau Keseluruhan ke0 3,30a 3,30a 3,50a a a 2 3,30 3,10 3,30ab ab a 4 3,20 3,20 3,20ab abc a 6 2,90 3,05 2,90abc dc a 8 2,50 2,85 2,55cd d a 10 2,25 2,90 2,40cd bcd a 12 2,60 3,15 2,75bc e a 14 1,65 2,70 2,05d Keterangan: • Notasi yang berbeda dalam satu kolom menunjukkan perbedaan yang nyata (α = 0,05) • 1: sangat tidak suka, 2: tidak suka, 3: agak suka, 4: suka, 5: sangat suka.
Panelis mampu membedakan keasaman yogurt selama penyimpanan sampai hari ke 14 dengan nilai 4.55 (asam ke sangat asam) yang dihasilkan oleh bakteri starter yogurt seperti pada Tabel 9.
6. DAFTAR PUSTAKA Adisarwanto. 2006. Kedelai: Budi Daya dengan Pemupukan yang Efektif dan Pengoptimalan Peran Bintil Akar. Penebar Swadaya, Jakarta. Almeida, A.M.R. 1994. Tropical Soybean Improvement and Production. Brazilian Agricultural Research Enterprise. Anonim. 2008. Tabel Komposisi Bahan Makanan. Persatuan Ahli Gizi Indonesia. Gramedia. Jakarta. Anonim. 1995. Standar Nasional Indonesia: Susu Kedelai. Dewan Standardisasi Nasional-DSN Anonim. 2009. Standar Nasional Indonesia: Yogurt. Dewan Standardisasi Nasional-DSN AOAC, 1990. Official Methods of Analysis, 14th Edition. Association of Official Analytical Chemists, Washington, DC.
Tabel.9. Deskripsi keasaman yogurt kedelai hitam selama penyimpanan Waktu penyimpanan Keasaman 0 2,05a 2 3,35b 4 3,90c 6 4,05cd 8 3,65bc 10 4,10cd 12 3,75bc 14 4,55d Keterangan: • Notasi yang berbeda dalam satu kolom menunjukkan perbedaan yang nyata (α = 0,05) • 1: sangat tidak asam, 2: tidak asam, 3: sedikit asam, 4: asam, 5: sangat asam.
Pada suhu penyimpanan yang tepat dan zat gizi yang mencukupi, bakteri starter yogurt memiliki kemampuan yang baik untuk memproduksi asam laktat. Pada yogurt kedelai hitam dengan waktu penyimpanan 14 hari memiliki tingkat
87
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Ariyama, H. 1963. Process for the Manufacture of a Synthetic Yoghurt from Soybean. Di dalam A.K. Smith dan S.J. Circle. 1972. Soybean: Chemistry and Technology. The Avi Publishing Comp. Inc., Connecticut. Botazzi, V. 1985. Other Fermented Dairy Products. Dalam Rehm, H. J. dan Reed, G. Biotechnology Vol. 5. Verlag Chemic. Weinheim. Deerfield Beach, Florida. Cartter, J. L. and Hopper, T. H. 1942. Influence of Variety, Environment, and Fertility Level on the Chemical Composition of Soybean Seed. Di dalam A.K. Smith dan S.J. Circle. 1972. Soybean: Chemistry and Technology. The Avi Publishing Comp. Inc., Connecticut. Endang, S.R., Retno, I., Tyas, U., Eni, H., Cahyanto. 1993. Bahan Pangan Hasil Fermentasi. PAU UGM, Yogyakarta. Fennema, O.R. 1976. Principles of Food Science (1). Food Chemistry. Marcel Dekker Inc. New York. Hutkins, R. W. 2006. Microbiology and Technology of Fermented Foods. Blackwell Publishing, USA. International Dairy Federation (IDF). 1988. Fermented Milks: Science and Technology. Bulletin of the IDF no. 227, Brussels.
Kawamura, S. dan Tada, M. 1967. Proc. Int. Conf. on Soybean Protein Foods. Di dalam Almeida, A.M.R. 1994. Tropical Soybean Improvement and Production. Brazilian Agricultural Research Enterprise. Lampert, L. M. 1970. Modern Dairy Products. Chemical Publishing Comp. Inc., New York.
88
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
KAJIAN PENGGUNAAN BASIDIOMYCETES (White rot fungi) PADA TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT UNTUK MEMPERCEPAT PENGURAIAN LIGNOSELULOSA Islamiyah *), Raden Faridz *), Sri Hastuti *) *) Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Universitas Trunojoyo Korenpondensi :
[email protected]
Abstract The growth of oil palm industry in Indonesia has experienced a rapid growth rate. In the process of palm oil production, part of the waste of fresh fruit bunches are empty fruit bunches of oil palm (TKKS) about 23% which is considered as waste. Decomposition of white (White rot fungi) describes lignin and cellulose, leaving the white fibers. This white decay degrade lignin more rapidly and extensively than other microorganisms. The purpose of this study was to determine the optimum value of the white rot fungus growth, pH, and levels of lignocellulose. The design in this research used randomized block design (RAK) with 2 factors thick pile and inoculum concentration to 2 times the repetition. Growth of white rot fungi are experiencing growth that is on the stack 2.5 cm (T2) until the stack of 5.5 cm (T4) and inoculum 3%, 6% and 9%. Optimum growth occurred at the 4.5 cm treatment stack: 9% inoculum (T3I4) and 5.5 cm stack: 9% inoculum (T4I4) on day 15. Phase of the white rot fungus lives for 10 days. pH for growth of white rot fungi are the most optimum is 4.5 to 5.5 but the white-rot fungi in general can grow a pH less than 7. Stacks of 3.5 cm (T2), stack 4.5 cm (T3), and stack 5.5 cm (T4) has a pH range of 4.5 to 5.5 so that optimum fungal growth. Lignocellulose content for 3 weeks to reach 14, 1%, where the levels of initial lignocellulose empty bunch is 20.12 %. Key words: Empty fruit bunches, lignocellulose, white rot fungi Tabel 1. Data statistik perkembangan luas lahan perkebunan kelapa sawit
1. PENDAHULUAN Pertumbuhan industri di Indonesia mengalami laju pertumbuhan yang pesat, salah satunya adalah industri kelapa sawit. Hal ini ditunjukkan oleh luas lahan perkebunan sawit sampai pada tahun 2006 diperkirakan mencapai lebih dari 6 juta ha. Luas lahan perkebunan kelapa sawit mengalami perkembangan sesuai dengan data statistik penelitian kelapa sawit seperti yang tercantum pada Tabel 1.
TAHUN
RAKYAT
NEGARA
SWASTA
TOTAL
2005
2.356.895
529.854
2.567.068
5.453.817
2006
2.549.572
687.428
3.357.914
6.594.914
2007
2.565.135
687.847
3.358.632
6.611.614
2008*
2.565.172
687.847
3.358.792
6.811.811
2009*
3.300.481
760.010
3.064.840
7.125.331
Sumber : Ditjenbun (2008) Keterangan : * estimasi
Indonesia dikenal sebagai penghasil minyak kelapa sawit terbesar kedua dunia setelah Malaysia (Witjaksana, 2006). Semakin luas perkebunan kelapa sawit ini secara langsung selain akan diikuti dengan peningkatan produksi juga jumlah limbah
89
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
yang dihasilkannya. Dalam proses produksi minyak sawit, bagian yang terbuang dari tandan buah segar adalah tandan kosong, dalam istilah perkebunan dikenal dengan tandan kosong kelapa sawit (TKKS) dan bagian ini dianggap sebagai limbah. Tandan kosong ini jumlahnya relatif cukup besar karena mencapai 23 % dari tandan buah segarnya. Jumlah limbah padat tandan kosong ini jumlahnya pada tahun 2004 dapat mencapai 6 juta ton. Tahun 2010 tandan buah segar mencapai 64.000 juta ton dan limbah tandan kosong mencapai 14.720 juta ton (Sarwono, 2008). Limbah tandan kosong ini belum dimanfaatkan secara optimal. Saat ini limbah tersebut baru dimanfaatkan sebagai mulsa dengan cara menebarkannya ke lahan atau dibakar untuk mengurangi volume limbah yang berlebihan. Menurut Lubis dan Tobing (1989) limbah ini memiliki potensi sebagai pupuk, karena dari setiap ton tandan kosong mengandung unsur hara N, P, K, dan Mg berturut-turut setara dengan 3 Kg Urea; 0,6 Kg CIRP (pupuk fosfat alam P. Christmas); 12 Kg MOP (Muriate of Potash); dan 2 Kg Kieserit. Dengan demikian dari satu unit Pabrik Kelapa Sawit (PKS) kapasitas olah 30 ton TBS/jam atau 600 ton TBS/hari akan menghasilkan pupuk N, P, K, dan Mg berturut-turut setara dengan 360 Kg Urea, 72 Kg CIRP (pupuk fosfat alam P. Christmas); 1.440 Kg MOP (Muriate of Potash); dan 240Kg Kiserit. Kurang optimalnya penanganan limbah tandan kosong kelapa sawit ini karena komponen utama pada limbah kelapa sawit selain selulosa adalah lignin, sehingga limbah yang dikenal dengan istilah lignoselulosa ini sulit didegradasi (Darnoko, 1993). Lebih jauh dikemukakan oleh Darnoko (1993) bahwa sesungguhnya selulosa dapat di dekomposisi relatif lebih mudah oleh berbagai organisme selulolitik menjadi senyawa C sederhana, namun lignin
merupakan komponen limbah tandan kosong kelapa sawit yang relatif sulit didegradasi. Senyawa ini merupakan polimer struktural yang berasosiasi dengan selulosa dan hemiselulosa. Mengingat begitu besarnya jumlah limbah tandan kosong yang ada dan sulitnya komponen lignoselulosa terdegradasi, perlu dicari cara untuk meningkatkan dan mempercepat proses degradasi limbah tersebut. Salah satu caranya adalah dengan memanfaatkan mikroorganisme perombak yang sesuai dan cocok untuk wilayah dan limbah yang ada. Berdasarkan hasil temuan di lapang terdapat jamur yang diduga efektif bertindak sebagai perombak yaitu Basidiomycetes (white rot fungi). Basidiomycetes (white rot fungi) merupakan ribuan spesies saprofit, banyak terdapat di tanah berkayu, juga ada di padang rumput. Basidiomycetes dibagi dua kategori yaitu white rot fungi dan brown rot fungi. White rot fungi menguraikan lignin dan selulosa, meninggalkan serabut berwarna putih. White rot fungi ini mendegradasi lignin lebih cepat dan ekstensif dibanding mikroorganisme lain (Suparjo, 2008). Basidiomycetes merupakan kelas paling besar kedua yang mempunyai 13.000 spesies lebih dan mudah terdapat di lapangan atau pada kayu kayuan seperti jamur payung, brecket-fungi, puffball dan stinkhorn. Ciri dari Basidiomycetes yang merupakan keistimewaannya adalah adanya basidium, terdapat askus yang merupakan tipe khusus dari sporangium yang dapat menghasilkan spora, biasanya menghasilkan empat buah secara eksternal. Askus dan basidium yang berkembang menutup secara paralel di atasnya. Basidium yang masih muda mempunyai dua nuclea haploid, menyatu, melebur kemudian dilanjutkan dengan meosis. Menghasilkan nuclei haploid yang masuk dari luar ke dalam berasal dari puncak basidium (Sastrahidayat,
90
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
2006). Jamur tersebut sebagai mikroorganisme asli yang tumbuh di lingkungan limbah tandan kosong baik langsung maupun tidak langsung yang telah lama dimanfaatkan sebagai mikroorganisme pelapuk namun karena volume limbah dan teksturnya yang terlalu besar maka efektifitasnya relatif kurang. Keberadaan jamur basidiomycetes (white rot fungi) melalui pengaturan kondisi lingkungannya maka lignoselulosa pada tandan kosong kelapa sawit diharapkan dapat dipercepat proses degradasinya. Oleh karena itu penelitian ini diharapkan dapat mengetahui peran Basidiomycetes (whiterot fungi) untuk mempercepat penguraian lignoselulosa pada tandan kosong kelapa sawit.
Gambar 1. (a) Jamur yang terdapat pada TKKS, (b) Jamur yang sudah dicacah dan dikeringkan, (c) Jamur yang dipowderkan 6. Pengamatan dilakukan selama 3 minggu setelah tandan kosong diberi perlakuan yaitu pemberian inokulum basidiomycetes (White Rot fungi)1%, 3%, 6% dan 9%. Tandan kosong yang telah mengalami perlakuan diletakkan pada oven dengan suhu 37 ºC. 7. Pengamatan pertumbuhan jamur dilakukan 2 kali dalam seminggu selama 3 minggu. Pengamatan pertumbuhan jamur dilakukan dengan cara: • Area yang ditumbuhi oleh jamur • Perhitungan kuantitas biomassa kasar berdasarkan jumlah batang, besar dan panjangnya. 8. Penyiraman pada media tandan kosong yang telah diberi jamur Basidiomycetes (white rot fungi) dengan perlakuan yang berbeda yaitu 1 kali penyiraman setiaphari dilakukan pagi pukul 08.00 WIB selama 3 minggu. 9. Tandan kosong yang telah diberi perlakuan sesuai taraf masingmasing selama 3 minggu selanjutnya dilakukan pengamatan kadar alkohol dan kadar dengan menggunakan metode klakson yaitu : • Menimbang (2,0 g ± 0,1 g) pulp (tandan kosong) kering oven • Mengekstraksi pulp dengan alkohol benzena 1 : 2, menurut SNI 032, Cara uji kadar sari (ekstrak alkohol benzena) dalam pulp • Memindahkan contoh uji bebas ekstraktif ke dalam gelas 100 mL
2. METODE PENELITIAN Tahapan penelitian ini dibagi dalam beberapa tahapan (Gambar 1), meliputi : 1. Pengamatan awal terhadap kadar lignin tandan kosong dari Kalimantan, yang diambil dari industri kelapa sawit PT. Bumitama Gunajaya Agro (BGA) 2. Tandan kosong kemudian dicacah, bertujuan untuk memperkecil ukuran tandan kosong kelapa sawit dan memperluas permukaannya. 3. Tandan kosong yang sudah dicacah diberi perlakuan tebal tumpukan yaitu 2,5cm, 3,5 cm, 4,5 dan 5,5 cm dan direndam pada beaker glass yang ditutup plastik. 4. Perendaman tandan kosong dilakukan pada suhu 37ºC selama 3 hari kemudian ditiriskan. 5. Tahapan berikutnya adalah menginokulasi Basidiomycetes (White Rot fungi) yaitu dengan cara menjadikan serbuk/ powder jamurjamur tersebut seperti terlihat pada Gambar 1.
91
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
•
• •
untuk pulp dan kemudian tambahkan asam sulfat 72 % sebanyak 40,0 mL untuk pulp. • Penambahan dilakukan perlahanlahan dalam bak perendam pada temperatur (20 °C ± 1 °C) sambil dilakukan pengadukan dan maserasi dengan batang pengaduk selama 2 sampai 3 menit. • Setelah terdispersi sempurna, gelas piala ditutup dengan kaca arloji dan dibiarkan pada bak perendam selama dua jam dan dilakukan pengadukan sekali-kali selama proses berlangsung. • Penambahan air suling 400 mL untuk pulp ke dalam labu Erlenmeyer 2000 mL dan memindahkan contoh dari gelas piala secara kuantitatif. Menambahkan lagi air sampai volume 1540 mL untuk pulp, sehingga konsentrasi asam sulfat menjadi 3 %. • Memanaskan larutan dalam erlenmeyer sampai mendidih dan dibiarkan di atas penangas air selama empat jam dengan api kecil. Jaga supaya volume larutan tetap, dapat pula menggunakan pendingin balik. Didinginkan dan didiamkan sampai endapan lignin mengendap sempurna. Didekantasikan larutan dan pindahkan endapan secara kuantitatif ke dalam cawan masir atau corong gelas dengan dilapisi kertas yang telah diketahui beratnya. Mencuci endapan lignin sampai bebas asam dengan air panas (uji dengan lakmus). Kemudian mengeringkan cawan masir atau kertas saring berisi endapan lignin pada oven (105 °C ± 3 °C), dinginkan dalam desikator dan timbang sampai berat konstan. Melakukan pengerjaan dua kali penetapan (duplo).
Pengujian kadar lignin dilakukan pada minggu ke 3 setelah pengamatan selesai. Pengujian kadar lignin dilakukan pada akhir pengamatan pertumbuhan jamur dikarenakan pengujian ini bukan secara destruktif. Pengamatan dilakukan pada (T2I4)1, (T2I4)2, dan Campuran (T2I4)1, (T2I4)2.
Gambar 2. Tahapan Penelitian Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak kelompok (RAK) yang disusun secara faktorial. Perlakuan meliputi 2 faktor yaitu: 1. Faktor I merupakan persentase inokulum terdiri dari 4 level yaitu : a. Inokulum Basidiomycetes (white rot fungi) 1% : I1 b. Inokulum Basidiomycetes (white rot fungi) 3% : I2 c. Inokulum Basidiomycetes (white rot fungi) 6% : I3 d. Inokulum Basidiomycetes (white rot fungi) 9% : I4 2. Faktor II adalah ketebalan tumpukan tandan kosong terdiri dari 4 level, yaitu : a. Tebal tumpukan 2,5 cm : T1 b. Tebal tumpukan 3,5 cm : T2 c. Tebal tumpukan 4,5 cm : T3 d. Tebal tumpukan 5,5 cm : T4 Sehingga secara keseluruhan kombinasi dari kedua faktor tersebut adalah 4 x 4 =
92
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
16 kombinasi dengan diulang sebanyak 2 kali.
adanya oksigen tidak ada jamur yang bisa hidup.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Pertumbuhan Basidiomycetes (white rot fungi) Pertumbuhan Basidiomycetes (white rot fungi) pada tandan kosong yang sudah diberi perlakuan tumpukan 2,5 cm, 3,5 cm, 4,5 cm, 5,5 cm dan persentasi inokulum sebanyak 1 %, 3%, 6%, dan 9 % mengalami pertumbuhan pada hari ke 3 suhu 37ºC yaitu dengan munculnya hifa-hifa putih. Jamur yang digunakan bentuknya mirip dengan jamur merang (Volvariella volvaceae) berwarna coklat abu-abu. Diameter tudungnya 2530 cm dan memiliki fase kehidupan selama ± 7 hari. Pada penelitian ini pengaplikasian Basidiomycetes (white rot fungi) selama 3 minggu dengan pengamatan pertumbuhan jamur 1 minggu 2 kali pengamatan. Suhu yang digunakan pada penelitian ini adalah suhu 37ºC dimana menurut Tambunan dan Nandika (1989) dalam Iswanto (2009) bahwa jamur perusak kayu dapat berkembang pada interval suhu yang cukup lebar, tetapi pada kondisi-kondisi alami perkembangan yang paling cepat terjadi selama periodeperiode yang lebih panas dan lebih lembab setiap tahun. Suhu optimum berbeda-beda setiap jenis, tetapi pada umumnya berkisar antara 22 ºC sampai 35 ºC. Suhu maksimumnya berkisar antara 27 ºC sampai 39 ºC, dengan suhu minimum kurang lebih 5 ºC. Faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan jamur perusak kayu white rot fungi yaitu oksigen, dimana setiap perlakuan yang ditutup oleh plastik diberi lubang dengan tujuan agar terdapat sirkulasi oksigen. Menurut Tambunan dan Nandika dalam Iswanto (2009) bahwa oksigen sangat dibutuhkan oleh jamur untuk melakukan proses respirasi yang menghasilkan CO2 dan H2O, tanpa
3.2. Pertumbuhan Basidiomycetes (white rot fungi) hari ke-3 dan hari ke-6 Pertumbuhan Basidiomycetes (white rot fungi) pada hari ke-3 dan hari ke-6 hanya muncul hifa-hifa. Hifa hari ke-3 tidak berbeda nyata atau tidak berpengaruh disebabkan hari ke-3 tidak semua perlakuan di tumbuhi benangbenang hifa. Hari ke-6 berbeda nyata atau berpengaruh di tumpukan yaitu semua permukaan tumpukan muncul benangbenang hifa. Hari ke-6 benang-benang hifa volumenya bertambah dan muncul bintik-bintik putih. Pertumbuhan bintikbintik putih menunjukkan banyaknya miselium jamur yang tumbuh membentuk tubuh buah (primodia) yang muncul di atas permukaan media tumbuh (Anonimous, 2009). Perlakuan tumpukan 2,5 cm (T1), tumpukan 3,5 cm (T2), dan tumpukan 5,5 cm (T4) berbeda dengan tumpukan 4,5 cm (T3) terhadap pertumbuhan benangbenang hifa. Menurut Purnomo (2005) bahwa pada prinsipnya hifa jamur dibedakan menjadi hifa senositis (coenocytis) atau hifa tidak bersekat dan hifa seluler (cellular) atau hifa bersekat. Hifa tidak bersekat terdapat pada jamurjamur kelas Phicomycetes dan hifa bersekat terdapat pada jamur-jamur kelas Ascomycetes, Basidiomycetes, dan Deutromycetes (Imperfecty). Hifa- hifa yang tumbuh pada permukaan tandan kosong termasuk hifa yang bersekat karena jamur white rot (pelapukputih) termasuk kelas Basidiomycetes. 3.3. Pertumbuhan Basidiomycetes (white rot fungi) hari ke-9 dan hari ke12 Pada hari ke-9 pertumbuhan hifa tumpukan 2,5 cm : inokulum 1% (T1I1) tidak berbeda nyata dengan tumpukan 2,5 cm : inokulum 3% (T1I2) tetapi
93
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Tabel 2 menunjukkan bahwa tumpukan 2,5 cm : inokulum 1% (T1I1) tidak berbeda nyata dengan tumpukan 2,5 cm : inokulum 3% (T1I2) sampai tumpukan 4,5 cm : inokulum 1% (T3I1), tumpukan 4,5 cm : inokulum 9% (T3I4), tumpukan 5,5 cm : inokulum 1% (T4I1), dan tumpukan 5,5 cm : inokulum 6% (T4I3). Tumpukan 2,5 cm : inokulum 1 % (T1I1) sampai tumpukan 4,5 cm : inokulum 1% (T3I1), tumpukan 4,5 cm : inokulum 9% (T3I4), tumpukan 5,5 cm : inokulum 6% (T4I3) berbeda nyata atau berpengaruh pada (T3I2), tumpukan 4,5 cm : inokulum 6% (T3I3), tumpukan 5,5 cm : inokulum 3% (T4I2), dan tumpukan 5,5 cm : inokulum 9% (T4I4). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan tumpukan 4,5 cm : inokulum 3% (T3I2), tumpukan 4,5 cm : inokulum 6% (T3I3), tumpukan 5,5 cm: inokulum 3% (T4I2), dan tumpukan 5,5 cm : inokulum 9% (T4I4) jumlah batang yang tumbuh lebih banyak dari pada perlakuan kombinasi lainnya. Gambar batang jamur yang tumbuh dipermukaan tumpukan dan di dalam tumpukan terlihat pada Gambar 3.
tumpukan 2,5 cm : inokulum 3% (T1I2) berbeda nyata atau berpengaruh pada tumpukan 2,5 cm: inokulum 6% (T1I3), tumpukan 2,5 cm:inokulum 9% (T1I4), tumpukan 3,5 cm : inokululm 1% (T2I1) sampai tumpukan 5,5 cm : inokulum 9% (T4I4). Tumpukan 2,5 cm : inokulum 6% (T1I3) berbeda nyata dengan tumpukan 2,5 cm : inokulum 9% (T1I4) dan tumpukan 3,5 cm : inokulum 1%(T2I1) sampai perlakuan tumpukan 5,5 cm : inokulum 9% (T4I4). Tumpukan 2,5 cm : inoukulm 9% (T1I4) tidak berbeda nyata dengan tumpukan 3,5 cm : inokulum 1 % (T2I1) sampai (T4I4). Hal ini menunjukkan bahwa tumpukan 2,5 cm: inokulum 6% (T1I3) sampai tumpukan 5,5 cm : inokulum 9% (T4I4) muncul bintik-bintik putih di permukaan tumpukan dan volume hifanya bertambah dari pada tumpukan 2,5 cm: inokulum 1% (T1I1) dan tumpukan 2,5 cm: inokulum 3% (T1I2). Tabel 2. Rata-rata kombinasi perlakuan yang mempengaruhi pertumbuhan hifa PERLAKUAN
BATANG DI PERMUKAAN HARI KE 9 2.90 A 2.90 A 2.90 A 2.90 A 2.90 A 2.90 A 2.90 A 2.90 A 12.01 B 12.9 B 7.86 A 4.32 A 13.44 B 11.08 A 15.55 B
HIFA HARI KE 9 18.44 A T1I1 18.44 A T1I2 25.82 B T1I3 71.56 C T1I4 71.56 C T2I1 71.56 C T2I2 71.56 C T2I3 71.56 C T2I4 71.56 C T3I1 71.56 C T3I2 71.56 C T3I3 71.56 C T3I4 71.56 C T4I1 71.56 C T4I2 71.56 C T4I3 71.56 C T4I4 Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada hari pengamatan yang sama tidak berbeda nyata pada Uji Duncan 5%
a
b
Gambar 3. a. Basidiomycetes (white rot fungi) yang tumbuh di permukaan; b. Basidiomycetes (white rot fungi) tumbuh dalam tumpukan Pertumbuhan Basidiomycetes (white rot fungi) pada hari ke-12 pertumbuhan batang jamur di permukaan dan bintik-bintik putih bertambah. Ratarata kombinasi perlakuan Tumpukan 2,5 cm : inokulum 1% (T1I1) dan tumpukan 2,5 cm : inokulum 3% (T1I2) berbeda nyata dengan tumpukan 2,5 cm :
Pertumbuhan Basidiomycetes (white rot fungi) hari ke-9 tumbuh batang-batang dipermukaan tumpukan.
94
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Tabel 3. Pengaruh tumpukan terhadap pertumbuhan hifa pada hari ke-15
inokulum 6% (T1I3), tumpukan 2,5 cm : inokulm 9% (T1I4), tumpukan 3,5 cm : inokulum 1% (T2I1) sampai tumpukan 5,5 cm : inokulum 9% (T4I4), hal ini menunjukkan bahwa menunjukkan tumpukan 2,5 cm : inokulum 6% (T1I3) sampai tumpukan 5,5 cm : inokulum 9% (T4I4) benang-benang hifa yang tumbuh di permukaan mengalami peningkatan volume dari pada hari ke 9 mencapai 90%. Rata-rata kombinasi perlakuan tumpukan 2,5 cm : inokulum 1% (T1I1) dan tumpukan 2,5 cm : inokulum 3% (T1I2) pertumbuhan hifanya masih dibawah 60%. Hal ini menunjukkan pemberian inokulum berpengaruh pada batang yang tumbuh di permukaan . Jumlah batang Basidiomycetes (white rot fungi ) dipermukaan pada hari ke-12 bertambah. Padapertumbuhan Basidiomycetes (white rot fungi) hari ke-9 dan hari ke-12 tumpukan tandan kosong mengeluarkan bau yang tidak sedap. Bau tidak sedap di timbulkan karena pada proses inkubasi ini menggunakan proses aerob. Menurut Isroi, (2008) bahwa proses aerob akan menghasilkan senyawa-senyawa yang berbau tidak sedap, seperti asam-asam organik (asam asetat, asam butirat, asam valerat, putrecine), amonia, dan H2S.
PERLAKUAN
T1 T2 T3 T4
BATANG DI PERMUKAAN HARI KE 15 4.15 A 6.99 A 14.63 AB 22.80 B
HIFA HARI KE 15 55.33 A 71.56 A 71.56 A 71.56 A
Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada hari pengamatan yang sama tidak berbeda nyata pada Uji Duncan 5%
Tabel 3 juga menunjukkan bahwa pertumbuhan batang T1 (tumpukan 2,5 cm) tidak berbeda nyata dengan T2 (tumpukan 3,5 cm) dan T3 (tumpukan 4,5 cm) tetapi berbeda nyata dengan T4 (tumpukan 5,5 cm). Hal ini menunjukkan pertumbuhan batang di permukaan yang paling banyak pada T4 (tumpukan 5,5 cm). Tabel 4 menunjukan batang di permukaan pada tumpukan T1 tidak berbeda nyatadengan T2 (tumpukan 3,5 cm), T3 (tumpukan 4,5 cm) dan T4 (tumpukan 5,5 cm). Hal inimenunjukkan bahwa batang yang tumbuh di permukaan mengalami penurunan jumlah. Hal ini ditunjukkan pada data pertumbuhan batang jamur white rot fungi hari ke-18. Tabel 4. Pengaruh tumpukan terhadap pertumbuhan batang dipermukaan pada hari ke-18
3.4. Pertumbuhan Basidiomycetes (white rot fungi) hari ke-15 dan hari ke-18 Pada pertumbuhan hifa hari ke15, T1 (tumpukan 2,5 cm) tidak berbeda nyata dengan T2 (tumpukan 3,5 cm), T3 (tumpukan 4,5 cm) dan T4 (tumpukan 5,5 cm). Hal ini menunjuk bahwa hifa-hifa yang tumbuh di permukaan tumpukan rata-rata sama yaitu 90% (Tabel 3).
PERLAKUAN
BATANG DI PERMUKAAN HARI KE 18 3.78 A T1 3.96 A T2 6.89 A T3 10.55 A T4 Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada hari pengamatan yang sama tidak berbeda nyata pada Uji Duncan 5%
Penurunan jumlah batang jamur karena batang jamur banyak yang tumpang, berwarna cokelat dan layu. Basidiomycetes (white rot fungi) memilki fase 1 minggu lebih 3 hari.
95
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Basidiomycetes (white rot fungi) ini masih satu genus dengan jamur merang (Volvariella Volvaceae) yaitu bentuknya mirip serta warna cokelat abu-abu. Waktu muda berwarna abu-abu/cokelat dan berbentuk bulat-bulat seperti telur, tetapi ukuran bulatan ini lebih lebih besar dari ukuran jamur merang biasa. Ketika mulai besar, akan muncul retakan di ujung bulatan. Setelah itu muncul tubuh buahnya, ukuran tubuhnya bisa sangat besar dan diameternya sampai 30 cm. memiliki fase kehidupan selama ± 7 hari (Isroi, 2008).
lignoselulosa yang cukup tinggi. Persentase kandungan lignoselulosa pada tandan kosong kelapa sawit ditunjukkan oleh Tabel 8. Tabel 8. Kandungan selulosa, hemiselulosa dan lignin dalam tandan kosong kelapa sawit KOMPONEN % BERAT ALPHA SELULOSA 44,2 HEMISELULOSA 33,5 LIGNIN 20,4 Sumber : (Astima et al., 2002 )
Menurut Isroi (2010) bahwa Basidiomycetes (white rot fungi) memiliki keistimewaan yang unik, yaitu kemampuannya untuk mendegradasi lignin. Basidiomycetes (white rot fungi) sanggup menguraikan lignin secara sempurna menjadi air (H2O) dan karbondioksida (CO2). Basidiomycetes (white rot fungi) lebih cepat mengurai lignin daripada selulosa.
3.5. Penguraian lignoselulosa Peruraian lignin membutuhkan enzim ekstraseluler yang tidak spesifik karena lignin mempunyai struktur acak dengan berat molekul yang tinggi. Lignin biasanya terakumulasi selama proses peruraian lignoselulosa. Lignin selain dapat diurai oleh sekelompok mikroorganisme, dalam kondisi lingkungan dapat juga diurai oleh faktor abiotik seperti senyawa alkali (Blanchette et al., 1991) atau radiasi ultra violet (Vahatal et al., 1999), namun hanya kapang pelapuk putih yang mampu mengurai lignin secara efektif (Blanchette, 1995). White-rot fungi terdapat pada kelompok Basidiomycetes dan Ascomycetes. Kapang ini dapat mendegradasi lignin secara lebih cepat dan ekstensif dibanding mikroorganisme lain. Substrat bagi pertumbuhan mikroorganisme ini adalah selulosa dan hemiselulosa dan degradasi lignin terjadi pada akhir pertumbuhan primer melalui metabolisme sekunder dalam kondisi defisiensi nutrien seperti nitrogen, karbon atau sulfur (Hatakka, 2001). Tandan kosong kelapa sawit (Oil Palm Empty Fruit Bunch) merupakan limbah padat yang dihasilkan oleh industri perkebunan kelapa sawit. Limbah tandan kosong kelapa sawit merupakan limbah yang memiliki kandungan
Tabel 9. Kadar lignin tandan kosong awal dan kadar lignin setelah diberi Basidiomycetes (white rot) PERLAKUAN
TANDAN KOSONG AWAL (T2I4)1 (T2I4)2 (T2I4)1 DAN (T2I4)2 RATA-RATA
% KADAR LIGNIN TANDAN KOSONG 20,12 15,53 12,07 14,69 14,1
Penguraian lignoselulosa sebanyak 6% dalam waktu 3 minggu, membuktikan bahwa jamur white rot mampu mengurai lignoselulosa. Menurut Isroi (2010) bahwa secara garis besar selulosa terdiri dari 3 komponen utama, yaitu lignin, selulosa, dan hemiselulosa. Selulosa berbentuk serat panjang. Rantai selulosa menyatu dengan ikatan hidrogen membentuk serat selulosa. Serat-serat ini diikat menjadi satu oleh hemiselulosa
96
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
kandungan air dalam bahan (kelembaban). Pada umumnya Basidiomycetes (white ror fungi) akan tumbuh lebih baik apabila kurang dari 7 (dalam suasana asam sampai netral). Pertumbuhan yang optimum akan mencapai pada pH 4,5 sampai 5,5 (Iswanto, 2009).
membentuk benang halus. Beberapa serat diikat dan diselubungi oleh lignin. Hemiselulosa adalah komponen yang paling mudah didegradasi. Selanjutnya, selulosa agak mudah terdegradasi. Kebanyakan mikroba suka makan selulosa dan hemiselulosa ini. Sedangkan lignin adalah komponen yang paling sulit didegradasi.
4. KESIMPULAN Hasil pembahasan dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : 1. Dengan penurunan kadar lignoselulosa sebesar 6 % selama 3 minggu dari 20,12% menjadi 14,1% menunjukkan bahwa adanya percepatan peruraian lignoselulosa Basidiomycetes (white rot fungi) 2. Dari hasil kombinasi tebal tumpukan tandan kosong kelapa sawit dan inokulum Basidiomycetes (white rot fungi) diperoleh pertumbuhan fungi kombinasi yang paling optimum pada perlakuan tumpukan 4,5 cm dengan inokulum 9% (T3I4) dan tumpukan 5,5 cm dengan inokulum 9% (T4I4). Fase kehidupan Basidiomycetes (white rot) selama 10 hari. 3. pH optimum dihasilkan pada tumpukan 3,5, 4,5 dan 5,5 cm yaitu 4,5– 5,9 dengan inokulum 9%.
3.6. Konsentrasi hidrogen (pH) Pengujian pH dimaksudkan untuk mengetahui konsentrasi hidrogen pada media dimana bertujuan untuk mengetahui pH yang optimum untuk pertumbuhan jamur. Konsentrasi hidrogen (pH) sangat berpengaruh pada proses pengomposan. Menurut Isroi (2008) kondisi optimum untuk pertumbuhan bakteri pada umumnya antara 6 – 7,5 dan 5,5 – 8 untuk fungi. Selama proses pengomposan dan dalam tumpukan umumnya kondisi pH bervaraiasi dan akan terkontrol dengan sendirinya. Kondisi yang optimum untuk proses pengomposan berkisar antara 6,5 – 7.5. Proses pengomposan sendiri akan menyebabkan perubahan pada bahan organik dan pH bahan. pH kompos yang sudah matang mendekati netral. Tumpukan yang menghasilkan pH optimum dari ppengamatan keseluruhan adalah tumpukan 3,5, 4,5 dan 5,5 cm yaitu 4,5 – 5,9. Sedangkan pemberian inokulum yang dapat menghasilkan pH optimum untuk pertumbuhan fungi adalah 9%. Hal ini disebabkan dengan tumpukan tersebut akan menghasilkan keadaan yang lembab dan hangat yang diperlukan oleh Basidiomycetes (white ror fungi). Menurut Isroi (2008) bahwa salah satu faktor yang penting dalam pengomposan adalah kelembaban dan aerasi, dimana aerasi secara alami akan terjadi pada saat peningkatan suhu yang menyebabkan udara yang hangat keluar dan udara yang dingin masuk dalam tumpukan kompos. Aerasi sendiri dipengaruhi oleh porositas dan
5. DAFTAR PUSTAKA Aninomous. 2009. All About Jamur Merang. Himatansi. http://www.himatansi.org. Diakses 21 Oktober 2010 Blanchette, R.A. 1995. Degradation of lignocelluloses complex in wood. Can. J. Bot. 73 (Suppl. 1):S999S1010. Blanchette, R.A., K.R. Cease and A.R. Abad. 1991. An evaluation of different forms of deterioration found in archaeological wood. Int. Biodeter. 28:3-22.
97
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Sastrahidayat, R. H. 2006. Ilmu Jamur Serta Manfaatnya dalam Pertanian. Pasca Sarjana. Universitas Brawijaya. Malang. Witjaksana, D. (2006). Toward sustainable palm oil development in Indonesia. In Proc.Inter. Oil Palm Conf. Denpasar, 19-23 June 2006. p. 1-12.
Darnoko, Z. P. dan I. Anas (1993). Pembuatan pupuk organik dari tandan kosong kelapa sawit. Buletin Penelitian Kelapa Sawit, 2 , 89-99. Hatakka, A. 2001. Biodegradation of lignin. In: Steinbuchel A. [ed] Biopolymers. Vol 1: Lignin, Humic Substances and Coal. Germany: Wiley VCH. pp. 129-180. Iswanto, H. A. 2009. Identifikasi Jamur Perusak Kayu. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara. Isroi, 2008. Karakteristik Lignoselulosa, (online). (http://isroi.wordpress.com/2008/11/ 23/karakteristik-lignoselulosa/). Diakses 23 Maret 2010. Isroi, 2008. Keunikan jamur Pelapuk putih : Selektif mendegradasi Lignin, (online). (http://isroi.wordpress.com/tag/jamurpelapuk-putih/). Diakses 15 Oktober 2010. Purnomo. 2005. Bahan Bacaan Kuliah : Dasar-dasar Mikrobiologi. Ps. IHPT. Faperta Universitas Brawijaya. Suparjo. 2008. Degradasi Komponen Lignoselulosa oleh Kapang Pelapuk Putih, (online). (http://jajo66.wordpress.com/2008/1 0/15/degradasikomponenlignoselulosa/). Diakses 14 Desember 2009. Sarwono. 2008. Pemanfaatan janjang kosong sebagai substitusi pupuk tanaman kelapa sawit. Fakultas Teknik. Universitas Mulawarman.
98
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
PENINGKATAN MUTU GILING BERAS DENGAN METODE CURING GABAH BASAH (Improving The Quality Of Milled Rice By Curing Of Wet Rough Rice) Tanwirul Millati Program Studi Teknologi Industri Pertanian Fakultas Pertanian Unlam Banjarbaru
Abstract Milling of dry freshly harvested grain will produce a low quality of milled rice, because the high number of broken and crushed rice. This study aims to improve the quality of milled rice by curing of wet rough rice. Curing is used there are two, that is dry heat and moist heat. The research method uses a single factor completely block design for each way of curing. Curing I : dry heatfor 24hours usingan oven, consistingofthreestages ofcuringtemperature, ie 35oC, 40oC and 45 °. Curing II: moist heat by steaming, consists of three stages of a long steaming, which is 10 minutes, 15 minutes and 20 minutes. The results showed that the curing of wet rough rice can improve the quality of milled rice. Method of curing by dry heating can improve the quality of higher milled rice than the wet heating. Improving the quality of milled rice, especially for the parameters of the head rice and the decrease in the broken rice. Increased percentage of head rice from 25.31 to 26.44%, and a decrease of 39.44% broken rice to dry curing by heating for 24 hours at 35oC and 40oC. Being in a way that wet heating can improve the quality of the highest milled rice is steaming for 20 minutes, with an increased percentage of 8,77% head rice, and decreased 22.41% broken rice.
Key words: quality of milled rice, curing, wet rough rice
faktor yang menentukannya (Haryadi, 2006). Mutu pasar lebih banyak ditentukan secara obyektif oleh kenampakan dan sifat-sifat fisiklainnya, meliputi ukuran dan bentuk biji, derajat sosoh, persentase beras pecah, menir, butir kapur, butir bening, benda asing dan sebagainya. Standar mutu beras giling di Indonesia ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) dengan SNI 01-61281999 dan dan direvisi dengan SNI 6128:2008. Menurut Soemardi dan Ridwan Thahir (1991) mutu giling beras merupakan factor penting yang menentukan klasifikasi mutu beras. Mutu giling mencapai mencakup berbagai
1. PENDAHULUAN Beras merupakan makanan pokok sebagian besar penduduk Indonesia. Untuk mengubah padi menjadi beras perlu dilakukan serangkaian proses yang diawali dengan pemanenan, perontokan, pengeringan dan dilanjutkan dengan proses penggilingan gabah menjadi beras. Mutu beras dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu 1) mutu giling, 2) mutu rasa dan mutu tanak, 3) mutu gizi dan 4) mutu berdasar ketampakan dan kemurnian biji. Secara umum kriteria dan pengertian mutu beras dibagi menjadi dua, yaitu 1) mutu pasar, yang mencakup mutu giling dan kenampakan biji, 2) mutu rasa dan mutu tanak serta faktor-
99
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
domestik juga dilakukan, yaitu setelah perendaman, padi diuapi selama 10 menit kemudian padi dibiarkan tetap panas selama satu jam, selanjutnya dikeringkan secara perlahan. Beras yang dicuring menjadi opaque (buram) dan mempunyai kenampakan seperti beras mentah tetapi mempunyai kualitas seperti beras yang disimpan lama (Anon, 1960 dalam Grist, 1986). Pemanasan padi segar dalam drum berputar yang tertutup selama 10 menit pada suhu 34oC dan dipertahankan semalam di inkubator juga memberi hasil curing yang baik (Bhattarcharya et al., 1964 dalam Grist, 1986). Sedang di Amerika digunakan perlakuan panas dalam kontainer yang tertutup pada suhu 90-110oC selama 2-6 jam. Dengan cara ini dihasilkan beras yang sama dengan beras yang disimpan selama 14 bulan, tetapi perubahan fisik dan kimia yang terjadi disebabkan oleh perlakuan panas dan perubahan yang terjadi berbeda dengan pengusangan alami (Grist, 1986). Penelitian bertujuan untuk meningkatkan mutu giling beras dengan metode curing terhadap gabah basah (gabah kering Panen).
criteria, yaitu rendemen beras giling, rendemen beras kepala, persentase beras pecah dan derajat sosoh beras. Mutu beras, rendemen, mutu gabah dan kehilangan bobot merupakan factor yang saling berkaitan selama proses pemberasan. Mutu beras ditentukan oleh mutu gabah sewaktu digiling, derajat sosoh dan kondisi penggilingan serta sifat varietas. Sedangkan mutu gabah kering giling ditentukan mutu gabah kering panen serta proses pengeringan dan penyimpanan. Rendemen dan mutu beras giling akan rendah jika mutu gabah rendah. Tinggi rendahnya mutu beras bergantung pada beberapa faktor, yaitu spesies dan varietas, kondisi lingkungan, waktu dan cara pemanenan, metode pengeringan, dan cara penyimpanan. Selama dalam penyimpanan, gabah akan terjadi proses pengusangan (aging) yang dalam batas-batas tertentu dikehendaki untuk meningkatkan mutu giling dan mutu tanak beras. Pengusangan merupakan fenomena alami dan spontan yang melibatkan perubahanperubahan fisik dan kimia yang akan merubah kualitas pemasakan, prosesing, rasa dan nilai gizi serta mempengaruhi nilai komersial beras (Barber, 1972; Mod dan Ory, 1986). Padi/ gabah akan mengalami perubahan sifat fisikokimia dan mutu pada 4-6 bulan pertama dalam penyimpanan, terutama bila disimpan pada suhu diatas 15oC baik dalam bentuk gabah, beras pecah kulit ataupun beras giling (Arraulo, 1972; Villareal et al., 1976). Dengan perlakuan pengusangan menurut Villareal et al. (1976) akan menghasilkan beras kepala lebih tinggi pada penggilingan. Peningkatan mutu giling beras dengan cara penyimpanan gabah memerlukan waktu yang lama, sehingga perlu dicari cara yang lebih cepat. Di India Selatan padi disimpan dalam timbunan jerami selama beberapa hari untuk curing. Metode curing
2. METODE PENELITIAN 2.1. Bahan dan alat Bahan yang digunakan adalah gabah basah (gabah kering panen) varietas Siam Saba (varietas lokal Kalimantan Selatan). Peralatan yang digunakan adalah kantong plastic, oven, panci pengukus, kompor dan timbangan. 2.2. Pelaksanaan penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan Laboratorium Analisis Kimia Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru Kalimantan Selatan. Gabah kering panen dicuring dengan dua cara yaitu pemanasan kering
100
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
(menggunakan oven) dan pemanasan basah (pengukusan). 1. Curing dengan cara pemanasan kering : Rancangan yang digunakan adalah RAK faktor tunggal, yaitu suhu yang terdiri atas 3 taraf, yaitu 35oC, 40oC dan 45oC dengan lama pemanasan 24 jam 2. Curing dengan cara pengukusan : Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) factor tunggal, yaitu lama pengukusan yang terdiri atas 3 taraf, yaitu 10 menit, 15 menit dan 20 menit. 3. Sebagai control perlakuan adalah gabah kering panen yang langsung dijemur sampai kering. Setelah perlakuan curing selesai gabah dijemur sampai kering dan dilakukan penggilingan gabah. Beras giling selanjutnya dipilah-pilah sesuai dengan komponen mutu, kemudian masing komponen mutu ditimbang dan dihitung persentasenya.
2.3. Analisis data Data yang diperoleh ditabulasi dan ditentukan mutunya berdasarkan persyaratan mutu Baras giling SNI No. 6128-2008. Selanjutnya data mutu beras setiap perlakuan dibandingkan. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Standar mutu beras giling Berdasarkan SNI 6128-2008 standar mutu beras giling dibagi menjadi dua syarat mutu, yaitu syarat umum dan syarat khusus. Syarat umum meliputi bebas hama dan penyakit, bebas bau apek, asam atau bau asing lainnya, bebas dari campuran dedak dan bekatul, serta bebas dari bahan kimia yang membahayakan dan mrugikan konsumen. Sedang syarat khususnya dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 - Spesifikasi persyaratan mutu (SNI 6128-2008) NO
KOMPONEN MUTU
SATUAN
1
DERAJAT SOSOH (MIN) KADAR AIR (MAKS) BUTIR KEPALA (MIN) BUTIR PATAH (MAKS) BUTIR MENIR (MAKS) (%) BUTIR MERAH (MAKS) BUTIR KUNING/RUSAK (MAKS) BUTIR MENGAPUR (MAKS) BENDA ASING (MAKS) (%) BUTIR GABAH (MAKS)
2 3 4 5 6 7
8 9 10
(%)
MUTU I 100
MUTU II 100
MUTU III 95
MUTU IV 95
MUTU V 85
(%) (%)
14 95
14 89
14 78
14 73
15 60
(%)
5
10
20
25
35
(%)
0
1
2
2
5
(%)
0
1
2
3
3
(%)
0
1
2
3
5
(%)
0
1
2
3
5
(%)
0
0,02
0,02
0,05
0,20
(BUTIR/100G)
0
1
1
2
3
101
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Tabel 2. Mutu giling beras hasil curing gabah basah dengan pemanasan kering Pemanasan kering (oven) No
Perlakuan KA
1 2
Kontrol 350c
14,25
BK
BP
56,29
BM
32,40
BMr 0
10,87
BKR
BKP
BA
BG
0,05
0,47
0,28
0,00
0,09
0,95
0,52
0,00
0,26
0,59
0,14
0,00
0,50
0,79
0,14
0,09
0 14,05
76,48
19,56
2,40 0
3
400c
13,88
75,36
19,68
8,05
4
450c
14,25
67,84
20,32
7,81
0
Tabel 3. Mutu giling beras hasil curing gabah basah dengan pengukusan Pemanasan basah (pengukusan) No
Perlakuan KA
1 2 3 4
Kontrol 10 menit 15 menit 20 menit
Keterangan : KA = kadar air BK = butir kepala BP = butir patah BM = butir menir BMr = butir merah
14.25 13.85 14.26 13.89
BK 56.29 60.32 56.81 61.70
BP 32.40 26.35 29.10 25.14
BM
BMr
BKR
BKP
BA
BG
10.87
0
0.05
0.47
0.28
0.00
12.92
0
0.08
1.11
0.87
0.00
14.72
0
0.48
1.80
0.47
0.04
11.11
0
0.27
0.78
0.77
0.00
BKR = butir kuning/ rusak BKP = butir kapur BA = Benda asing BG = butir gabah
Menurut Wijaya (2009) persentase butir utuh, butir kepala dan butir patah besar secara bersama-sama dipengaruhi oleh perbedaan kadar air gabah saat digiling. Kadar air gabah yang lebih rendah atau lebih tinggi dari 13,2% akan menurunkan hasil beras kepala.
3.3. Kadar air Berdasarkan kadar airnya mutu beras giling hasil curing baik dengan pemanasan kering ataupun basah berkisar antara 13,85-14,26%. Hal ini menunjukkan bahwa mutu gilingnya bisa masuk pada mutu I sampai dengan mutu V tergantung pada komponen mutu yang lainnya. Mutu gabah saat digiling terutama ditentukan oleh kadar air gabah. Pada kadar air yang tinggi, gabah relative lunak dan akan diperlukan energy yang lebih banyak untuk menghasilkan beras pecah kulit, serta tingginya beras patah saat penyosohan. Sebaliknya kadar air gabah yang terlalu rendah menyebabkan banyaknya gabah yang retak sehingga meningkatkan jumlah beras patah saat penggilingan (Soemardi dan Ridwan Thahir, 1991 dalam Wijaya, 2009).
3.4. Butir kepala, butir patah dan butir menir Butir kepala adalah butir beras baik sehat maupun cacat yang mempunyai ukuran lebih besar atau sama dengan 0,75 bagian dari butir beras utuh. Persentase butir kepala merupakan penjumlahan persentase butir utuh dan butir kepala. Curing pada gabah basah baik dengan cara pemanasan kering maupun pengukusan dapat meningkatkan persentase butir kepala. beras giling bila
102
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
menjadi mutu IV. Untuk curing dengan cara pengukusan seperti terlihat pada Tabel 3, penurunan butir patah sedikit sekali dan tidak terjadi peningkatan mutu beras giling, yaitu mutu V (sama dengan control). Penurunan butir patah dengan curing pemanasan kering berkisar antara 37,28-39,62%, dan dengan cara pengukusan berkisar antara 10,1822,41%. Butir menir adalah butir beras baik sehat maupun cacat yang mempunyai ukuran lebih kecil dari 0,25 bagian butir beras utuh. Persentase butir menir pada beras giling mengalami penurunan untuk perlakuan curing gabah basah dengan cara pemanasan kering sedang dengan cara pemanasan basah terjadi peningkatan butir menir. Penurunan butir menir paling besar terjadi pada pemanasan kering suhu 35oC, yaitu turun 10,87 %(control) menjadi 2,40%, sedang suhu 40oC dan 45oC hamper sama,yaitu berturut-turut 8,05% dan 7,81%. Penurunan butir menir dengan pemanasan kering berkisar antara 25,9477,92%. Untuk curing dengan pengukusan, butir menir tidak mengalami penurunan tetapi malah peningkatan. Butir menir dengan cara pengukusan meningkat antara 2,16-26,15%. Berdasarkan persentase butir menir hanya perlakuan curing dengan pemanasan kering pada suhu 35oC yang masuk dalam standar mutu V, perlakuan yang lainnya dibawah standar mutu. Peningkatan mutu giling beras hasil curing gabah basah diduga sebagai akibat aktivitas enzim-enzim dalam gabah yang dipercepat karena kadar air gabah masih tinggi (belum mengalami pengeringan) dan perlakuan suhu tinggi, Menurut Chrastril (1991) enzim merupakan komponen penting dalam padi dan mempunyai peranan dalam menentukan sifat-sifat fisikokimia dan fungsional padi, yang masih tetap aktif setelah padi dipanen. Menurut Barber (1972) kecepatan dan besarnya
dibandingkan dengan control. Peningkatan persentase butir kepala pada curing dengan pemanasan kering lebih besar dari pada pengukusan.. Berdasarkan data pada Tabel 2 diketahui bahwa dengan pemanasan kering selama 24 jam pada suhu 35oC terjadi peningkatan butir kepala paling besar yaitu 76,48% , diikuti dengan pemanasan kering 40oC sebesar 75,36% dan kedua perlakuan ini meningkatkan mutu beras giling dari mutu dibawah V menjadi mutu III, sedang pemanasan pada suhu 45oC mampu meningkatkan persentase beras kepala sampai 67,84 % dan hanya mampu meningkatkan beras giling sampai mutu V. Untuk pemanasan dengan pengukusan seperti terlihat pada Tabel 3 , diketahui dengan pengukusan peningkatan butir kepala tidak terlalu besar dan dengan cara pengukusan hanya mampu meningkatkan mutu beras giling sampai mutu V. Curing pada gabah kering panen dengan pemanasan kering dapat meningkatkan persentase beras kepala berkisar antara 17,03-26,40%, sedang dengan pengukusan berkisar antara 0,92-8,77%. Butir patah adalah butir beras baik sehat maupun cacat yang mempunyai ukuran lebih besar dari 0,25 sampai dengan lebih kecil 0,75 dari butir beras utuh. Persentase butir patah mengalami penurunan dengan perlakuan curing gabah baik dengan pemanasan kering maupun pemanasan basah bila dibandingkan dengan kontrol, dan penurunan persentase butir patah lebih besar terjadi pada curing dengan pemanasan kering dari pada pengukusan. Dari Tabel 2 diketahui bahwa penurunan persentase butir patah yang terbesar adalah pemanasan kering pada suhu 35oC dari 32,40% (kontrol) menjadi 19,56%, diikuti dengan pemanasan kering suhu 40oC 19,68% dan meningkatkan mutunya dari V menjadi mutu III, sedang pada pemanasan 45oC butir patah turun menjadi 20,32% dan mutunya naik
103
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
mempunyai lebih dari satu bintik yang merupakan noktah disebabkan proses fisik, kimiawi, dan biologi. Beras yang berbintik kecil tunggal tidak termasuk butir rusak. Persentase butir kuning/rusak semua perlakuan curing menunjukkan angka dibawah satu, artinya mutu beras giling berada pada mutu II. Persentase butir kuning dan rusak ini rendah karena perlakuan curing dengan pemanasan kering atau pengukusan dapat mematikan mikroorganisme dan organisme lainnya yang dapat menimbulkan kerusakan beras. Aktivitas enzim dan mikroorganisme serta perkembangan insekta tergantung pada suhudan kadar air optimum (Grist, 1986) Butir kapur adalah butir beras yang separuh bagian atau lebih berwarna putih seperti kapur (chalky) dan bertekstur lunak yang disebabkan oleh faktor fisiologis. Berdasarkan persentase butir kapur semua perlakuan curing menunjukkan berada pada mutu II keculai untuk perlakuan dengan pengukusan selama 10 dan 15 menit berada pada mutu III karena butir kapurnya lebih dari besar satu. Benda asing adalah benda-benda yang tidak tergolong beras, misalnya jerami, malai, batu kerikil, butir tanah, pasir, logam, potongan kayu, potongan kaca, biji-bijian lain serangga mati, dan lain .sebagainya. Pada Tabel 2 dan 3 menunjukkan bahwa semua perlakuan menghasilkan beras giling tidak masuk dalam standar mutu, kecuali untuk perlakuan pemanasan kering pada suhu 40oC dan 45oC masuk pada mutu V. benda asing yang ada pada beras giling ini umumnya berasal dari pecahan sekam. Butir gabah adalah butir padi yang sekamnya belum terkelupas atau hanya terkelupas sebagian. Hampir semua perlakuan masuk pada mutu I karena memang tidak didapati butir gabah pada beras giling, kecuali pada perlakuan pemanasan kering pada suhu 45oC dan
perubahan yang terutama dipengaruhi oleh suhu penyimpanan dan kadar air. Suhu dan kadar air yang lebih tinggi akan menghasilkan perubahan yang lebih besar (Dhaliwal et al., 1991; Villareal et al., 1976). Menurut Sulistyo Prabowo (2006) beras pra-tanak giling mempunyai kecenderungan mengandung lebih tinggi kadar komponen bukan pati. Hal ini mungkin disebabkan proses pra-tanak dapat meningkatkan kekerasan biji. Proses pratanak dapat meningkatkan rendemen giling 2-7%. Dalam proses pratanak terjadi pengerasan lapisan aleuron yang mengurangi kadarsedikitnya bekatul dan nutrisi yang hilang, sehingga derajat sosohnya menurun. Persentase beras kepala meningkat, sebaliknya, presentasi beras patah dan menir menurun (Sri Widowati, 2006). Hasil penelitian Agus Triyono (1982) menunjukkan bahwa beras g i l i n g yang baik dihasilkan dengan perendaman gabah selama 3 jam dan pengukusan selama 30 menlt. Dengan perlakuan tersebut rendemen beras g i l i n g tersebut sebesar 69,79%, rendemen beras kepala 84,90 %, rendemen beras patah dan menir 14,79% 3.5. Butir merah, butirkuning/rusak, butir kapur, benda asing dan butir gabah Butir merah adalah butir beras utuh, beras kepala, patah maupun menir yang berwarna merah akibat factor genetis. Dari Tabel 2 dan 3 diketahui bahwa semua beras giling yang dihasilkan tidak mengandung butir merah. Butir kuning adalah butir beras utuh, beras kepala, beras patah dan menir yang berwarna kuning, kuning kecoklatcoklatan, dan kuning semu akibat proses fisik atau aktivitas mikroorganisme, sedang butir rusak adalah butir beras utuh, beras kepala, beras patah dan menir berwarna putih/bening, putih mengapur, kuning dan berwarna merah yang
104
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
pemanasan basah selama 15 menit, tetapi persentasenya sangat kecil.
5. DAFTAR PUSTAKA Agus triyono, 1982. Mempelajari Pengaruh Lama Perendaman Pada Proses Pratanak Gabah Dengan Radar Air Awal Kering Panen Terhadap Rendemen Dan Sifat Fi s i k Beras Yang Dihasilkan. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Araullo. E.V. . De Padua. D.B. dan Graham. M. 1976. Rice Postharvest technology. International Development Research Center. Kanada. Barber. S.. 1972. Milled Rice And Change During Aging dalam Rice : Chemistry and Technology Ed. Houston. D.F. . American Association Of Cereal Chemist. Inc.. St Paul Minnesota. Badan Standarisasi Nasional, 2008. SNI 6128:2008 Beras. websisni.bsn.go.id/index.php?/ sni_main/sni/detail_sni/7880. Diakses tanggal 17 november 2011. Chrastil. J.. 1991. Influence of storage on Enzyme in Rice Grains. J. Agriculture Food Chemical : 38. 1198-1202. Dhaliwal. Y.S.. Sekhon. S.K. dan Nagi. P.S.. 1991. Enzymatic Activities And Rheological Properties of Stored Rice. Cereal Chemistry. Vol. 68 : 1. 18-20. Grist. H.. 1986. Rice. Longman. London and New York. Haryadi. 2006. Teknologi Pengolahan Beras. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Mod. R.R. dan Ory. R.L.. 1986. Minor Components of Rice : Changes During Storage dalam Handbook of Food and Beverage Stability Ed. Charalambous. G. . Academic Press Inc. Ovlando. Florida. Soemardi dan Ridwan Thahir, 1991. Penanganan Pasca Penen padi. Dalam Edi Soenardjo, Djako S. Damardjati dan Mahyuddin Syam
4. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan 1. Curing gabah basah dengan pemanasan kering maupun basah dapat meningkatkan mutu giling gabah, terutama dengan meningkatkan persentase butur kepala dan menurunkan persentase butir patah. 2. Curing dengan cara pemanasan kering (oven) menghasilkan mutu giling yang lebih tinggi dari pada dengan pengukusan 3. Peningkatan persentase beras kepala sebesar 25,31 – 26,44%, dan penurunan butir patah sebesar 39,44% untuk curing dengan pemanasan kering selama 24 jam pada suhu 35oC dan 40oC. Sedang dengan cara pemanasan basah yang mampu meningkatkan mutu giling tertinggi adalah pengukusan selama 20 menit, dengan peningkatan persentase beras kepala 8,77%, dan penurunan butir patah 22,41%. 4. Mutu giling yang tertinggi dihasilkan dari curing dengan pemanasan kering pada suhu 35oC selama 24 jam, dengan butir kepala 76,48%, butir patah 19,56%, dan butir menir 2,40%. 4.2. Saran 1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan varietas unggul nasional dengan cara pemanasan kering pada suhu dan lama pemanasan yang lebih bervariasi. 2. Untuk memudahkan aplikasi perlu dilakukan penelitian curing dengan pemanasan kering tetapi dengan memanfaatkan panas yang dihasilkan oleh gabah.
105
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
(Editor) Padi Buku 3. Balitbang Pertanian. Pusat Penelitian dan pengembanganTanaman Pangan. Bogor. Sri Widowati, 2006. Pengolahan Beras Pratanak. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Sulistyo Prabowo, 2006. Pengolahan Dan Pengaruhnya Terhadap Sifat Fisik Dan Kimia Serta Kualitas Beras. Jurnal Teknologi Pertanian 1(2) : 43-49. Villareal. R.M.. Resurreccion. A.P.. Suzuki. L.B. dan Juliano. B.O.. 1976. Changes In Physicochemical Properties Of During Storage. Die Starke 28 No. 3. 88-94. Wijaya. 2009.Pengaruh kadar air gabah terhadap mutu fisik beras giling. http//faperta-unswagati.com/ diakses 12 November 2009.
106
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
PENGARUH MEDIA PADA BIOFILTER HORISONTAL TERHADAP KUALITAS LIMBAH CAIR TAPIOKA YANG DIHASILKAN Nur Hidayat1, Sri Suhartini1 dan Dian Indriana2 1 Jur. Teknologi Industri Pertanian Fak. Teknologi Pertanian Univ. Brawijaya Malang 2 Alumni Jur. Teknologi Industri Pertanian Fak. Teknologi Pertanian Univ. Brawijaya Malang
Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui media penyangga apa yang paling baik untuk diterapkan pada unit biofilter horisontal agar diperoleh efluen limbah cair tapioka yang memenuhi persyaratan baku. Penelitian dilakukan menggunakan Rancangan Acak Lengkap non faktorial. Unit biofilter horisontal diisi dengan media penyangga (masing-masing diisi dengan tanah, pasir, kerikil, ijuk dan anyaman bambu). Unit biofilter diisi dengan limbah tapioka yang telah diinokulasi dengan bakteri Bacillus sp N-09. Laju aliran limbah yang digunakan adalah 6 l/hari. Setelah satu bulan dilakukan analisis pada efluen. Hasil analisis menunjukkan bahwa media penyangga yang paling baik untuk pengolahan limbah cair tapioca adalah pasir yang diikuti dengan kerikil, ijuk, tanah dan anyaman bambu. Bahan penyangga pasir mampu menurunkan BOD 98,53 %, COD 98,71 %,TSS 88,96 % dan pH menjadi 8,0.
Kata kunci: media penyangga, biofilter horisontal, limbah tapioca, Bacillus sp N-09.
dari 3,62 – 6,80 dengan beragam mikroinvertebrata (Arimoro, et al. 2008). Mengurangi jumlah polutan dalam limbah cair dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa cara, antara lain mengurangi jumlah air yang digunakan dalam proses pencucian dan menggunakan ulang air bekas cucian (Fukunaga, 1995); pemisahan secara mekanik untuk meningkatkan konsentrasi limbah cair melalui penghematan air yang digunakan dalam proses produksi (Mavrov, 2000) dan mengurangi kebocoran air dalam proses pengemasan (Ridgway, 1999). Beberapa teknologi telah digunakan untuk mengolah limbah cair yang dihasilkan oleh industri makanan. Pengolahan dilakukan dengan cara fisis, khemis dan biologis. Pengolahan secara biologis dapat dilakukan secara aerob
1. PENDAHULUAN Limbah cair tapioka berasal dari proses pencucian, ekstraksi, dan dihasilkan dari proses pengendapan (Lutfi, 2000). Menurut Suprapti (2005), limbah cair tapioka berupa air bekas cucian singkong berkulit, air bekas cucian dan rendaman singkong yang sudah dikupas, air bekas cucian aci basah, air bekas pengendapan aci (pengendapan pertama) dan air bekas rendaman larutan garam. Besarnya jumlah limbah cair tapioka yang dihasilkan tergantung dari besarnya air yang digunakan untuk proses produksinya. Menurut Suprapti (2005), volume limbah cair tapioka mencapai 12-15 kali lipat volume singkong yang diolah. Di Nigeria BOD bulanan dari limbah tapioca bervariasi dari 0,93 mg/l sampai 11,8 mg/l dengan pH bervariasi
107
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
ataupun anaerob. Pengolahan secara aerob yang umum digunakan adalah kolam aerasi dan trickling filter. Trickling filter horisontal atau yang dikenal sebagai biofilter horisontal mampu menurunkan BOD dan COD sebesar lebih dari 80 % dari limbah cair yang mengandung deterjen dengan menggunakan bakteri Bacillus sp N-09 (Hidayat, dkk 2010). Biofilter pada dasarnya merupakan proses biologis yang memanfaatkan aliran limbah melewati materi (bahan penyangga) yang mengandung mikroorganisme. Banyak materi biofilter yang dapat digunakan. Beberapa bahan telah digunakan untuk mengolah limbah cair dari berbagai sumber. Penggunaan saringan pasir pada limbah cair proses pencelupan mampu menurunkan BOD dibawah baku mutu namun tidak untuk COD setelah 20 hari (Suyasa dan Dwijani 2008). Tanah merupakan suatu sistem yang tangguh karena mampu mengurai bahan pencemar sehingga menjadi kurang berbahaya. Kemampuan menetralkan bahan-bahan ini membuat tanah sebagai tempat penampungan limbah (organik dan anorganik). Ijuk tersedia secara alami dan melimpah memiliki sifat yang mirip dengan pasir, yaitu dapat menyerap, menyimpan dan mengalirkan air apabila ada tekanan yang bekerja terhadapnya (Abadi, 2004).
anyaman bambu dan ijuk. Media kerikil dan pasir dicuci kemudian dikeringkan dan dimasukkan dalam bak pengolah limbah. Pada media ijuk dilakukan penghilangan kotoran, kemudian dilanjutkan dengan mengeringkan media, sedangkan untuk media tanah dilakukan pengayakan, hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan diameter butiran media yang seragam. Tanah yang digunakan sebagai bahan penyangga pada penelitian ini adalah menggunakan jenis tanah entisol. Dalam penelitian ini tinggi/ketebalan bahan penyangga yang digunakan dalam bak pengolah yaitu masing-masing 25 cm. 2.3.Persiapan bak pengolahan Penelitian dilakukan dalam bak pengolahan dengan ukuran (30 x 60 x 30) cm3. Gambaran model bak yang digunakan dalam penelitian terlihat pada Gambar 1. di bawah ini :
Gambar 1. Model Bak Penelitian 2.4. Tahapan perlakuan limbah cair Setelah bak fermentasi dipastikan dalam keadaan bersih, baik dan tidak mengalami kebocoran maka sampel dimasukkan ke dalam bak fermentasi dengan ketinggian yang telah ditentukan. Media dirancang dengan ketinggian 25 cm. Sistem pengolahan limbah cair tapioka ini dijalankan secara kontinyu dengan laju aliran 6 liter/hari dan pengamatan dilakukan setelah 1 bulan. Analisis dilakukan terhadap pH, penurunan COD, BOD, dan TSS.
2. METODE PENELITIAN 2.1. Sampel untuk medium perlakuan Sampel untuk medium perlakuan merupakan limbah cair yang diambil dari kolam pengolahan limbah cair industri tapioka. Sampel yang diambil adalah limbah cair yang belum diolah dan hanya ditampung di tempat penampungan sementara. 2.2. Media penyangga Media penyangga yang digunakan pada penelitian ini adalah kerikil, pasir, tanah,
108
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Bau disebabkan karena zat-zat organik yang telah berurai dalam limbah mengeluarkan gas-gas seperti sulfida atau amoniak yang menimbulkan penciuman tidak enak yang disebabkan adanya pencampuran dari nitrogen, sulfur dan fodfor yang berasal dari pembusukan protein yang dikandung limbah (Ginting, 2007). Limbah cair tapioka mempunyai pH berkisar antara 5,8 hal ini menunjukkan bahwa limbah bersifat asam. Dengan kandungan oksigen terlarut yang rendah, yaitu berkisar 0-1mg/l, hal ini menurut (Radojevic et al, 1999), memungkinkan tumbuhnya bakteri anaerob yang dalam metabolismenya menghasilkan asam, sehingga menurunkan derajat keasaman (pH) limbah menjadi rendah, yang menyebabkan limbah menjadi asam. Banyaknya cemaran organik yang terdapat di dalam limbah ini juga dapat dilihat dari konsentrasi BOD limbah awal yang diukur, yaitu mencapai 1702,1 mg/l dan COD yang mencapai 6370,4 mg/l, dimana nilainya msih berada di atas ambang batas yang diperbolehkan untuk dibuang ke lingkungan, yaitu sebesar 150 mg/l untuk BOD dan 300 mg/l untuk COD. Perbandingan nilai limbah cair tapioka dengan parameter kualitas limbah cair tapioka ini dengan parameter kualitas limbah cair tapioka berdasarkan keputusan Gubernur Jawa Timur No. 4a tahun 2002 tentang baku mutu limbah cair bagi industri tapioka tersaji dalam Tabel 5.1. Dengan karakteristik limbah seperti tersebut diatas limbah cair tapioka mempunyai kualitas rendah dan tidak layak untuk dibuang langsung ke lingkungan akan tetapi pada kenyataannya selama ini masih banyak limbah yang langsung dibuang ke sungai yang akan menyebabkan pencemaran.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Karakteristik limbah cair tapioka sebelum pengolahan Limbah cair tapioka sebelum dilakukan pengolahan memiliki karakteristik yang tidak layak untuk dibuang di lingkungan. Karakteristiknya antara lain seperti mempunyai kenampakan keruh, berwarna putih keruh, berbau menyengat dan sedikit berbusa pada permukaannya. Kekeruhan pada limbah cair tapioka tersebut disebabkan oleh adanya benda tercampur di dalam air yang berasal dari buangan organik seperti sisa-sisa produksi tapioka. Buangan organik yang tercampur dala air limbah cair tapioka ini apabila diukur berdasarkan total padatan tersuspensi (TSS), jumlahnya cukup besar, yaitu mencapai 206,6 mg/l. Hal ini mengindikasikan tingginya tingkat pencemaran, terutama terhadap sungai yang dibuangi langsung oleh limbah tersebut atanpa adanya pengolahan terlebih dahulu. Tingginya padatan tersuspensi di dalam air meningkatkan densitas dari air tersebut. Hal ini mempengaruhi regulasi udara organisme yang hidup di dalam air dan menurunkan kelarutan gas, seperti O2 yang keberadaannya sangat vital bagi berlangsungnya kehidupan organisme (Radojevic, et al., 1999). Kekeruhan juga akan mengakibatkan terbatasnya cahaya yang masuk ke dalam air (Sugiharto, 1987), sehingga dapat menghambat proses fotosintesis. Hal ini menyebabkan terhambatnya metabolisme organisme autrotof dan menganggu keseimbangan ekosistem di lingkungan sungai. Warna putih keruh pada air limbah cair tapioka berasal dari pembuangan air rendaman singkong yang masih banyak mengandung pati, dapat juga berasal dari air bekas pencucian peralatan proses produksi, peralatan dapur dan peralatan lainnya. Bau busuk pada limbah timbul akibat adanya pembusukan bahan cemaran organik oleh mikroorganisme.
109
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Tabel 1. Perbandingan kualitas limbah cair tapioka segar dengan baku mutu limbah cair industri tapioka.
Parameter
Kadar Limbah Cair Tapioka (mg/l)
Kadar Maksimum Baku Mutu Limbah Cair Industri Tapioka (mg/l)
BOD5 COD TSS pH
1702,10 6370,4 206,6 5,8
150 300 100 6-9
untuk pengolahan limbah di Korea. Tingginya kemampuan pasir menurunkan BOD disebabkan penggunaan pasir memberikan ruang antar partikel yang cukup luas sehingga biofilm yang dibentuk menjadi cukup banyak dan mampu menggunakan limbah yang melewatinya. Pada kerikil, ruang antar partikel lebih luas sehingga tidak semua limbah dapat kontak dengan biofilm bakteri begitu juga dengan ijuk dan anyaman bambu. Pada tanah porositas lebih kecil dari pasir dan bakteri tidak mampu membentuk biofilm dengan baik sehingga kemampuan untuk melakukan perombakan BOD juga tidak setinggi pasir.
3.2. Karakteristik limbah cair tapioka setelah pengolahan 3.2.1. BOD Nilai BOD setelah satu bulan pengolahan menggunakan Bacillus sp N09 menunjukkan bahwa persentase penurunan BOD berkisar 89 – 99 % (Tabel 2). Penurunan tertinggi diperoleh bila biofilter yang digunakan adalah pasir yaitu 98,45 % dan terendah adalah anyaman bambu yaitu sebesar 89,23 %. Kemampuan Bacillus sp N-09 ini lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan Pseudomonas sp yang mencapai 95,9 % (El-Masry et al., 2004) dan khamir Candida utilis yang hanya mampu menurunkan BOD dari limbah tapioca sebesar 70 % (Razif, et al., 2006).
3.2.2. COD Pola penurunan COD samadengan BOD. Persentase penurunan COD paling tinggi jika digunakan media penyangga pasir yaitu sebesar 98,71% dan terendah jika menggunakan anyaman bambu yaitu sebesar 90,18 % (Tabel 3). Kemampuan Bacillus sp N-09 ini lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan Pseudomonas sp yang mencapai 96 % (El-Masry et al., 2004). Hasil ini juga lebih tinggi dari yang diteliti oleh Mai (2006) yang menunjukkan bahwa proses persentase penurunan sebesar 92 – 94 % untuk anaerob dan 94 – 97 % untuk proses aerob serta penelitian An et al. (2008) yang hanya sebesar 91.8 %.
Tabel 2. Nilai Rerata BOD Limbah Cair Tapioka pada berbagai bahan biofilter. Kombinasi Perlakuan Pasir Kerikil Ijuk Tanah Anyaman Bambu
Rerata Nilai BOD (mg/l)
Persentase Penurunan
25,0 26,3 30,3 126,6
98,53 98,45 98,22 92,56
183,3
89,23
Tabel 3. Nilai rerata COD limbah cair tapioka pada kombinasi perlakuan jumlah inokulum dan bahan penyangga Kombinasi Perlakuan Pasir Kerikil Ijuk
Penggunaan biofilter pasir menunjukkan penurunan BOD yang paling baik (98,53 %) hasil ini mendekati penelitian yang dilakukan oleh An et al. (2008) yang menunjukkan penurunan BOD sebesar 99 % pada media pasir
Tanah Anyaman Bambu
Rerata Nilai COD (mg/l) 82,2 90,5 97,1 394,7
Persentase Penurunan (%) 98.71 98.58 98.48 93.80 90.18
625,4
Media penyangga pasir memberikan ruang antar partikel yang
110
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
makin luas sehingga memungkinkan bakteri membentuk biofilm. Penggunaan media pasir dengan resirkulasi untuk limbah sintetik pengolahan susu mampu menurunkan COD 99,3 % (Healy et al. 2004). Pada media anyaman bambu meskipun terbentuk biofilm namun jga terjadi perombakan bahan penyangga. Hal ini ditandai dengan perubahan warna limbah menjadi kekuningan. Oleh sebab itu media anyaman bamboo dirasa kurang memenuhi syarat untuk digunakan sebagai media penyangga dalam pengolahan limbah.
media pasir. pH efluen ini telah memenuhi baku mutu yang telah ditetapkan pemerintah yaitu sebesar 6 – 9. Hasil juga tidak berbeda nyata dengan yang dilakukan oleh Mai (2006) yaitu sebesar 7,03 – 7,76. Tabel 5. Nilai Rerata pH Limbah Cair Tapioka pada Kombinasi Perlakuan Jumlah Inokulum dan Bahan Penyangga Kombinasi Perlakuan
3.2.3. TSS Penurunan TSS menunjukkan hasil yang tidak begitu bagus. Persentase penurunan paling tinggi adalah pada media penyangga dari tanah yaitu sebesar 91,19 % dan terendah dari anyaman bambu yang hanya sebesar 52,37% (Tabel 4). Hasil ini lebih rendah dari yang dilaporkan oleh Mai (2006) yaitu berkisar antara 90,6 – 95,8 % dan An et al. (2008) sebesar 97,5 %. Rendahnya persentase penurunan TSS pada anyaman bambu disebabkan adanya bagian bambu yang terdegradasi dan tersuspensi ke dalam limbah.
Tanah Pasir Kerikil Ijuk Anyaman Bambu
Rerata Nilai TSS (mg/l)
Persentase Penurunan (%)
18,2 22,8 26,3 27,5
91.19 88.96 87.27 86.69
98,4
52.37
Tanah Anyaman Bambu Ijuk
6,8 6,9 7,2
Kerikil Pasir
7,3 8,0
4. KESIMPULAN Media penyangga yang sesuai untuk biofilter horisontal adalah pasir, kerikil dan tanah dengan media paling baikadalah pasir yang mampu menurunkan BOD 98,53 %, COD 98,71 %,TSS 88,96 % dan pH menjadi 8,0. 5. DAFTAR PUSTAKA Abadi, T.C. 2004. Perbandingan Ijuk Tanpa Filter Terhadap PasirSebagai Bahan Drainase Vertikal. Jurnal ITENAS Vol.8 No.2, An, J., J. Kwon., D. Ahn., H. Shin., S. Won and B. Kim. 2008. Performance of a Full-Scale Biofilm System Retrofitted with an Upflow Multilayer Bioreactor as a Preanoxic Reactor for Advanced Wastewater Treatment. Water Environ. Res. 80: 757 – 765. Arimoro F. O., Ch. M. A. Iwegbue. and B. O. Enemudo. 2008. Effects of Cassava Effluent on Benthic Macroinvertebrate Assemblages In A Tropical Stream In Southern Nigeria. Acta Zoologica Lituanica 18:147 – 156. El-Masry, M.H., E. El-Bestawy, and N.I. El-Adl. 2004. Bioremediation of Vegetable Oil and Grease from
Tabel 4. Nilai rerata TSS limbah cair tapioka pada kombinasi perlakuan jumlah inokulum dan bahan penyangga Kombinasi Perlakuan
Rerata Nilai pH
3.2.4. pH pH efluen menunjukkan kisaran 6,8 – 8,0 dengan pH paling tinggi pada
111
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Ridgway, H. H. 1999. Controlling of Overfilling in Food Processing. J. Material Processing Technol. 93: 360–367. Radojevic’s, Miroslav and Bashkin, N. Vladimir. 1999. Practical Environmental Analysis. The Royal Society of Chemistry. Chambridge. London Sugiharto, 1987. Dasar-Dasar Pengolahan Air Limbah. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Suprapti, L. 2005. Tepung Tapioka Pembuatan dan Pemanfaatannya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Suyasa, I.W.B. and W. Dwijani. 2008. Kemampuan Sistem Saringan PasirTanaman Menurunkan Nilai BOD dan COD Air Tercemar Limbah Pencelupan. Ecotrophic. 2: 1 – 7.
Polluted Wastewater Using a Sand Biofilm System. World Journal of Microbiology & Biotechnology 20: 551 – 557. Fukunaga, I. 1995. Recent advances of the treatment and disposal of wastewater and solid waste in food industry. Foods and Food Ingredients Journal. 165: 21–30. Ginting. 2007. Sistem Pengelolaan Lingkungan dan Limbah Industri. Yrma Widya. Bandung Healy, M.G., M. Rodger, and J. Mulqueen. 2004. Recirculating Sand Filter for Treatment of Synthetic Dairy Parlor Washings. J. Environ Quality. 33: 713 – 718. Hidayat, N., S. Kumalaningsih., Noorhamdani dan S. Wijana. 2010. Pengaruh Laju Aliran Limbah pada Saringan Kerikil dengan Inokulum Bacillus coagulans UB-9 terhadap Kualitas Limbah Cair yang Dihasilkan. Makalah Seminar Nasional APTA, 16 Des 2010 di Jogjakarta. Luthfi, M. 2000. The Effect of Both Bed Filterthickeness and Kind Trickling Filter Media on Various Flowrates to Decrease. Jurnal Teknologi Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang. Mai, H.N.P. 2006. Integrated Treatment of Tapioca Processing Industrial Wastewater Based on Environmental Bio-Technology. PhD-thesis. Wageningen University. Wageningen. Mavrov, B. 2000. Reduction of water consumption and wastewater quantities in the food industry by water recycling using membrane processes. Desalination. 131: 75–86. Razif, M., V.E. Budiarti and S. Mangkoedihardjo. 2006. Appripriate Fermentation Process for Tapioca’s wastewater in Indonesia. J. Applied Sci. 6: 2846 – 2848.
112
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
EVALUASI ISOTERM SORPSI LEMBAB BERAS CEPAT TANAK YANG DILAPISI EDIBLE FILM GUM ARAB YANG DIPERKAYA EKSTRAK REMPAH-REMPAH
*)
Ch. Lilis Suryani*), Agus Slamet *)dan Komarudin Siukon*) Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Agroindustri, Universitas Mercu Buana Yogyakarta
Abstrak Beras cepat tanak yang dilapisi dengan edible film dari gum arab yang diperkaya dengan ekstrak rempah-rempah (BCTER) merupakan produk pangan yang direkayasa khusus bagi penderita diabetes. Sebagai produk kering BCTERsangat sensitif terhadap perubahan kadar air karena efek proses pengolahan dalam pembuatan beras cepat tanak. U n t u k m e n ge m b a n gk a n produk lebih lanjut perlu diketahui tentang kondisi penyimpanan yang tepat serta stabilitas produk selama penyimpanan sehingga perlu dilakukan evaluasi perubahan pola penyerapan air akibat proses pengolahan menjadi beras cepat tanak (BCT) dan proses pelapisan dengan edible film gum arab yang diperkaya ekstrak rempah-rempah. Bahan baku yang digunakan adalah beras IR 64. Isoterm sorpsi lembab beras IR 64, BCT dan BCTER ditentukan dengan menggunakan metode gravimetri statis pada suhu 25oC. Sampel disimpan dalam ruang dengan RH tertentu yang dikendalikan dengan berbagai jenis garam jenuh dengan aktivitas air (aw) berkisar 0,07-0,97 sampai mencapai kadar air setimbang. Model penyerapan air yang digunakan adalah model GAB (Guggenheim-Anderson-de Boer). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kurva isoterm sorpsi lembab ketiga jenis beras berbentuk sigmoid. Kadar air monolayer BCT dan BCTER lebih tinggi dibanding beras IR 64. Proses pembuatan beras cepat tanak dan pelapisan dengan edible film gum arab menurunkan koefisien adsorpsi energi monolayer. Kadar air terikat sekunder beras BCT paling rendah dibanding beras IR 64, sedangkan beras BCTER mempunyai kadar air terikat sekunder tertinggi. Proses pelapisan dengan edible film gum arab yang diperkaya ekstrak rempah-rempah meningkatkan umur simpan beras BCTER dibanding BCT.
Kata kunci: Isoterm sorpsi lembab, beras cepat tanak, beras IR 64, edible film, umur simpan
air rendah, dibuat melalui proses pragelatinisasi sebagian untuk meningkatkan kecepatan penanakan, pengeringan dan pelapisan dengan edible film gum arab yang diperkaya ekstrak rempah-rempah untuk meningkatkan sifat hipoglisemiknya. Proses pragelatinisasi akan
1. PENDAHULUAN Beras cepat tanak yang dilapisi dengan edible film dari gum arab yang diperkaya ekstrak rempah-rempah merupakan salah satu jenis makanan fungsional yang direkayasa khusus bagi penderita diabetes. BCTER tersebut merupakan makanan kering dengan kadar
113
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
baik pola adsorpsi air pada kisaran aw yang lebih lebar yaitu antara 0,10-0,95 (Siripatrawan dan Jantawat, 2006). Selain itu persamaan GAB mempunyai daya guna yang cukup baik secara matematis untuk menguraikan penyerapan airnya dalam bentuk kurva ISL dan tetapantetapan model tersebut mampu menjelaskan fenomena-fenomena tersebut secara teoritis. Peng dkk. (2007) menyatakan bahwa persamaan GAB banyak digunakan karena deviasinya rendah (<10%). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengaruh pengolahan beras IR 64 menjadi beras cepat tanak dan pelapisannya dengan edible film gum arab yang diperkaya ekstrak rempahrempah terhadap kemampuan penyerapan air produk serta stabilitas produk selama penyimpanan.
mengakibatkan peningkatan porositas bahan sehingga bahan menjadi lebih higroskopis, sedangkan proses pelapisan dengan gum arab meningkatkan jumlah gugus hidrofilik pada permukaan beras. Menurut teori Polany (1914) pada daerah berpori-pori adsopsi molekul air lebih banyak karena interaksi gaya tarik dekat permukaan berpori (Cortes dkk, 2011). Oleh karena itu dalam pengembangan BCTER lebih lanjut perlu dilakukan evaluasi stabilitas produk selama penyimpanan sehingga dapat digunakan untuk menentukan umur simpannya. Umur simpan menunjukkan ketahanan produk selama proses penyimpanan yang merupakan unsur penting dalam pemasaran produk serta berkaitan erat dengan jenis kemasan yang digunakan. Beras termasuk produk yang memiliki kadar air rendah. Kerusakan bahan ini sebagian besar berhubungan dengan perubahan tekstur ataupun stabilitas proses oksidasi (Eskin dan Robinson, 2001). Perubahan tekstur berhubungan dengan perubahan kadar airnya. Protein dapat mengalami oksidasi membentuk ikatan disulfida antar molekul protein yang dapat menghambat penggelembungan granula pati, sedangkan lipida mengalami hidrolisis membentuk peroksida dan senyawa karbonil yang dapat menimbulkan off flavor pada beras Zhou dkk (2001). Kerusakan bahan tersebut terutama berhubungan dengan tingkat aktivitas air dan kadar airnya. Oleh karena itu sangat penting untuk mengevaluasi proses adsorpsi air selama penyimpanan. Pola adsorsi air suatu bahan dapat dijelaskan dengan kurva isoterm sorpsi lembab. Kurva isoterm soprsi lembab (ISL) menunjukkan hubungan antara aktivitas air dengan kadar air kesetimbangan pada suhu dan tekanan tertentu (Labuza, 1984). Dalam penelitian ini model yang digunakan adalah model GAB (Guggenheim-Anderson-de Boer). Model GAB mampu menjelaskan dengan
2. METODE PENELITIAN 2.1. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah beras IR 64 dari Balai Benih Padi, Nanggulan Kulonprogo, rempah-rempah yaitu bubuk kayu manis kering, bunga cengkeh kering dan jahe emprit diperoleh dari pasar lokal, gum arab dan sorbitol dari Bratako Chemika. 2.2. Pembuatan BCT dan BCTER Proses pembuatan BCT dan BCTER mengacu pada hasil penelitian sebelumnya (Suryani dan Slamet, 2010). Tahap-tahap pembuatan beras cepat tanak adalah beras putih dicuci. Setelah bersih beras direndam dalam air pada suhu kamar hingga kadar airnya mencapai 30%, kemudian dilakukan pemasakan hingga kadar air mencapai 65-70%. Setelah dingin dan dibilas dengan air dingin, kemudian ditebarkan dalam loyang dan dikeringkan pada suhu 4050oC hingga kadar air 8%. Pelapisan menggunakan metode Laohaunyit dan
114
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Kerdchoeckyen (2006) dengan modifikasi. Adonan edible film terdiri dari gum arab (40% b/v), sorbitol (30% b/v), dan ekstrak rempah-rempah (25% b/v). Ekstrak rempah-rempah terdiri dari campuran ekstrak jahe, cengkeh dan kayu manis yang diformulasi sesuai dengan metode Suryani dan Setyowati (2008).
No.
ERH (%)
aw
1 7,60 0,076 2 11,20 0,112 3 27,30 0,273 4 32,70 0,327 5 43,80 0,438 6 57,70 0,577 7 63,70 0,637 8 75,00 0,750 9 84,30 0,843 10 90,30 0,903 11 97,10 0,971 Sumber : Ranganna, 1976.
2.3. Penentuan ISL Penentuan pola isoterm sorpsi lembab beras dilakukan sesuai metode Ranganna (1976) pada suhu 25oC. Beras sampel (beras IR 64, Beras cepat tanak, BCTER masing-masing 11 X 2 ulangan) ditimbang kurang lebih 2 g kemudian dimasukkan dalam botol timbang yang telah diketahui beratnya. Selanjutnya sampel dalam botol timbang dikeringkan terlebih dahulu dalam oven dan ditimbang sampai beratnya konstan. Botol timbang dan sampel yang telah konstan dimasukkan dalam stoples, masing-masing stoples diisi 2 botol timbang (2 ulangan). Selanjutnya stoples disimpan dalam ruangan bersuhu 25oC. Setiap dua hari sekali dilakukan penimbangan sampel sampai diperoleh berat konstan. Pola sorpsi lembabnya ditentukan dengan menggunakan 11 larutan garam jenuh (Tabel 1) yang membentuk kelembaban relatif antara 7,6 hingga 90,3 %, alat pengukur kelembaban relatif ruangan (Equilibrium Relative Humidity, ERH) dengan higrometer (Barigo Hair Hygrometer). Untuk menentukan pola adsorpsi air oleh beras, maka data ERH dan kadar air seimbang diplotkan dalam grafik hubungan antara Aw dengan kadar air seimbangnya (Labuza, 1984). Analisis kadar air pada beras sampel menggunakan metode gravimetri statis (AOAC, 1990) .
Garam jenuh NaOH LiCl2 KF MgCl2 K2CO3 NaBr NaNO2 NaCl KCl BaCl2 K2SO4
Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model GAB (Labuza, 1984). Data kadar air keketimbangan dalam aw tertentu diplotkan dalama persamaan GAB seperti pada persaman 1. Dalam persamaan tersebut M : kadar air kesetimbangan (% bk); Mm : kadar air monolayer (%); aw : aktivitas air; C tetapan energi adsorpsi air monolayer; K: konstanta energi air multilayer (diatas air monolayer). CKa w M = M m [(1 − Ka w )(1 − Ka w + CKa w )] … (1) aw 1 (CK − 2 K ) ( K 2 − CK 2 ) 2 = + aw aW + CKM m M CKM m CKM m …(2)
Berdasarkan persamaan 2 maka diperoleh nilai koefisien persamaaan kuadratik yang dapat digunakan untuk menghitung nilai C, K dan Mm. Koefisien persamaan tersebut adalah :
α= γ =
1 (CK − 2K ) β= CKM m CKM m
( K 2 − CK 2 ) CKM m
…..(3)
Untuk mengetahui ketepatan antara model matematis yang dipilih dengan data eksperimen dilakukan dengan menggunakan nilai rata-rata simpangan relatif (% RMD). Pemodelan mempunyai ketepatan yang baik jika nilai RMD lebih kecil dari 10% (Mc Laughlin dan Magee,
Tabel 1. Larutan garam jenuh yang digunakan
115
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
1998 dalam Adawiyah dan Soekarto, 2010).
3.1. Kurva isoterm sorpsi lembab Berdasarkan data kadar setimbang yang diperoleh pada penelitian ini kemudian diplotkan dalam grafik hubungan antara aw dengan kadar air (%bk). Gambar kurva ISL yang diperoleh dari ketiga jenis beras disajikan pada Gambar 1 dan 2. Secara umum terlihat bahwa ketiga jenis beras mempunyai kurva ISL yang mengikuti pola isoterm type II yang cenderung ke kanan dan berbentuk sigmoid. Peningkatan kadar air yang sangat besar terjadi diwilayah aw tinggi (>0,75). Namun peningkatan kadar air yang sangat besar tidak diikuti peningkatan aw yang besar pula. Sebaliknya pada wilayah aw rendah (< 0,75) peningkatan kadar air yang relatif kecil mengakibatkan peningkatan aw yang sangat besar.
2.3. Permeabilitas kemasan dan umur simpan beras Pengujian permeabilitas kemasan terhadap uap air dilakukan pada suhu 25oC dan kelembaban relatif 90%. Desikan sebanyak 25 g yang telah dipanaskan dikemas dalam kemasan plastik polietilen ketebalan 0,04 mm, pada suhu 25oC dan RH 90%, setiap interval waktu 2 hari diukur pertambahan beratnya selama 30 hari. Pada kondisi tersebut tekanan udara di atmosfer diluar kemasan (Pout) 21,380 mmHg, sedangkan tekanan udara dalam kemasan berisi desikan diasumsikan sama dengan nol. Data perubahan berat yang diperoleh kemudian diplotkan dalam persamaan linier untuk menghitung permeabilitasnya yang ditunjukkan oleh nilai koefisien regresinya (b1). Menurut Anonim (1995), standar kadar air beras adalah maksimal 15% (bb). Kondisi ini digunakan sebagai kondisi kritis beras selama penyimpanan. Daya simpan beras ditentukan dengan cara : beras (25 g) disimpan dalam kemasan plastik polietilen ketebalan 0,04 mm dengan ukuran 9 cm x 7 cm, pada suhu 25oC dan RH 90%, setiap interval waktu dua hari sekali diukur pertambahan beratnya sampai pada hari ke 30. Daya simpan beras (25 g) ditentukan berdasarkan perhitungan permeabilitas kemasan terhadap uap air (Suyitno, 1991).
25.00
Kadar air (% bk)
20.00
10.00 IR 64 5.00
BCT BCTER
0.00 0.00
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
Aktivitas air (aW)
Gambar 1. Kurva isoterm sorpsi lembab hasil percobaan dari beras IR 64, BCT dan BCTER
2.4. Analisis data Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dengan bantuan Microsoft Excell dan SPSS for Window untuk mengestimasi nilai koefisienkoefisien persamaan linier maupun kuadratik. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN
D
15.00
116
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
pada aW< 0,60 yaitu pada aw rendah kemampuan adsorpsi air beras BCT lebih tinggi dibanding beras BCTER maupun beras IR 64, sedangkan secara matematis pada Gambar 2 tidak nampak perbedaan antara beras BCT dan BCTER. Hal ini karena proses pragelatinisasi dalam pembuatan beras cepat tanak mengakibatkan peningkatan porositas bahan dan bahan menjadi lebih higroskopis sehingga lebih banyak air yang teradsorpsi dibanding pada beras IR 64 yang mempunyai tekstur yang lebih kompak. Pada pembuatan beras BCTER, beras cepat tanak dilapisi dengan larutan edible film gum arab, sorbitol dan ekstrak rempah-rempah. Proses pelapisan mengakibatkan porositas bahan berkurang dan lapisan edible film mampu menghambat peningkatan adsorpsi air.
25.00
Kadar air (% bk)
20.00
15.00
10.00 IR 64 BCT
5.00
BCTER 0.00 0.00
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
Aktivitas air (aW)
Gambar 2. Kurva isoterm sorpsi lembab hasil perhitungan dengan persamaan GABdari beras IR 64, BCT dan BCTER Berdasarkan pada Gambar 1 dan 2 terlihat ada sedikit perbedaan antara ISL hasil percobaan dengan ISL hasil perhitungan persamaan GAB terutama
Tabel 2. Konstanta α, β, dan γ, kadar air monolayer (Mm), konstanta energi multilayer (K), tetapan energi adsorpsi air monolayer (C) dari persamaan GAB Jumlah data
α
Β
18
0,0024
0,1601
BCT
18
0,0036
0,1498
BCTER
18
0,0050
0,1393
Sampel Beras IR 64
γ 0,1126 0,1165 0,1070
Berdasarkan perhitungan dengan persamaan GAB maka diperoleh nilai konstanta α, β, dan γ, kadar air monolayer (Mm), konstanta energi multilayer (K), tetapan energi adsorpsi air monolayer (C) seperti yang disajikan pada Tabel 1. Kadar air monolayer ketiga jenis beras berkisar antara 6,126,81% bk. Nilai tersebut hampir sama dengan hasil penelitian Siripatrawan dan Jantawat (2006) yang menyatakan bahwa kadar air monolayer cracker beras yang dihasilkan berisar 0,040-0,059 g/g bk. Lomauro dkk. (1985) dalam Siripatrawan dan Jantawat (2006) juga menyatakan
Mm (%bk)
C
K
R
6,12
97,84
0,70
0,86
6,44
56,49
0,76
0,96
6,81
39,24
0,75
0,86
RMD (%) 7,96 9,60 7,69
bahwa kadar air monolayer untuk produk berpati secara umum berkisar antara 0,032-0,160 g/g bk. Prediksi kadar air monolayer sangat penting mengingat kerusakan bahan makanan pada kadar air dibawah kadar air monolayer sangat rendah karena pada daerah monolayer air terikat sangat kuat, sehingga untuk menjaga stabilitas beras lebih baik jika kadar air produk mendekati atau kurang dari kadar air monolayernya (Ajisegiri dkk., 2007). Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa jumlah air yang mampu diikat pada lapisan monolayer (Mm) pada beras
117
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
sigmoid jika berada pada daerah k≤1 dan 5,67≤C≤∼, diluar daerah tersebut bentuk ISL tidak lagi sigmoid. Pollio dkk(1998) dan Bianco dkk (2005) menyatakan bahwa persamaan GAB juga sesuai untuk menjelaskan pola adsorpsi biji-bijian Amaranthus. Berdasarkan persamaan GAB yang diperoleh dihitung kadar air kesetimbangan pada berbagai tingkatan RH seperti yang disajikan pada Tabel 3. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa semakin besar RH maka kadar air kesetimbangan juga semakin besar dan pada RH yang sama kadar air kesetimbangan beras BCTER paling tinggi diikuti dengan beras BCT dan yang terendah adalah beras IR 64. Kadar air terikat sekunder yang menunjukkan batas lapisan sekunder dan tersier pada beras BCTER paling tinggi yaitu 25,40% bk, sedangkan BCT paling rendah yaitu 23,75% bk dan beras IR64 diantara keduanya yaitu 24, 29% bk.
BCTER (6,81% bk) paling tinggi diikuti dengan beras BCT (6,44% bk) dan yang paling rendah beras IR 64 (6,12% bk). Hal ini akibat pengolahan pragelatinisasi yang mengakibatkan porositas yang semakin meningkat. Beberapa peneliti menyebutkan bahwa difusitas molekul air sangat dipengaruhi oleh struktur fisik produk. Koefisien difusi meningkat dengan peningkatan porositas produk pati (Marouis dkk., 1991), pasta (Waananen dan Okos, 1994) dan cake (Baik dan Marcotte, 2002). Sedangkan Roca dkk. (2006) menyatakan bahwa peningkatan densitas produk yang berarti penurunan porositas produk dapat meningkatkan umur simpan produk. Kondisi tersebut juga sesuai dengan nilai C yang merupakan tetapan energi adsorpsi dan menunjukkan energi pengikatan air yang dibutuhkan pada lapisan monolayer. Nilai C beras IR 64 paling tinggi diikuti beras BCT dan yang terendah beras BCTER. Semakin besar nilai C maka semakin sedikit air yang mampu diikat dilapisan monolayer pada kondisi yang sama. Tetapan K menunjukkan konstanta air multilayer (diatas lapisan monolayer), berdasarkan perhitungan persamaan GAB diketahui bahwa nilai K ketiga jenis beras sedikit berbeda. Nilai K terkecil adalah beras IR 64 (0,70) sedangkan beras BCT (0,76) dan BCTER (0,75) hampir sama. Berdasarkan data pada Tabel 1 juga diketahui bahwa hasil perhitungan nilai simpangan rata-rata mengindikasikan bahwa model GAB relatif baik digunakan untuk menerangkan pola adsorpsi air ketiga jenis beras karena nilai RMD ketiga jenis beras kurang dari 10% yaitu 7,96% untuk beras IR 64, 9,60% untuk beras BCT dan 7,69% untuk beras BCTER. Demikian pula jika ditinjau dari nilai koefisien korelasinya juga relatif baik. Lebih lanjut Lewicki (2008) menyatakan bahwa persamaan GAB dapat menjelaskan dengan baik ISL yang membentuk pola
Tabel 3. Kadar air kesetimbangan, kadar air terikat sekunder dan tersier Kadar air kesetimbangan (%bk) Sampel Beras IR 64
RH75%
RH80%
RH85%
12,77
13,79
15.01
BCT
14,78
16,24
18,02
BCTER
15,26
16.74
18,52
Kadar air terikat sekunder 6,1224,29 6,4423,75 6,8125,40
Kadar air terikat tersier >24,29 >23,75 >25,40
3.2. Umur simpan Permeabilitas uap air kemasan adalah kecepatan atau laju transmisi uap air melalui suatu unit luasan tertentu dari kemasan yang perlukaannya rata dengan ketebalan tertentu sebagai akibat perbedaan tekanan uap air didalam kemasan dengan dipermukaannya pada kondisi suhu dan RH tertentu. Berdasarkan hasil perhitungan permeabilitas kemasan seperti pada Tabel 4 dan konstanta permeabilitasnya diketahui bahwa kemasan yang digunakan untuk menyimpan beras BCT
118
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Tabel 5. Prediksi umur simpan beras beras dalam kemasan plastik PE o,o4 mm
mempunyai permeabilitas yang lebih tinggi dibanding kemasan yang digunakan untk menyimpan beras BCTER walaupun jenis kemasan yang digunakan sama. Hal ini menunjukkan bahwa dalam kemasan yang berisi BCT lebih mudah dilewati uap air dibandingkan kemasan yang digunakan untuk mengemas beras BCTER dan IR 64. Pelapisan dengan larutan gum arab dan sorbitol mampu menghambat adsorpsi air oleh beras. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Shih dkk. (2011) bahwa pelapisan dengan edible film dapat menurunkan kapasitas hidrasi uap air. Roca dkk. (2008) juga menyatakan bahwa cookies yang dilapisi dengan edible film lebih lambat adsorpsi uap airnya dibanding cookies yang tidak dilapisi, sedangkan Usawakesmance dkk. (2008) menyatakan bahwa kentang goreng yang dilapisi dengan edible film hydroksipropil metilselulosa dan metilselulosa lebih rendah daya adsorpsi airnya dibanding yang tidak dilapisi.
Umur simpan pada RH 70%
Permebilitasa
Konstanta Permeabilitasb
Beras IR 64
0,0150
0,000702
BCT
0,0325
0,001520
BCTER
0,0290
0,001356
Bulan
Beras IR 64
188,77
6,29
BCT
144,80
4,83
BCTER
178,60
5,95
4. KESIMPULAN Pola adsopsi air beras IR 64, BCT dan BCTER mengikuti pola isoterm sorpsi lembab type II dan berbentuk sigmoid. Dengan pendekatan GAB diperoleh kadar air monolayer BCT (6,44% bk) dan BCTER (6,81% bk) lebih tinggi dibanding beras IR 64 (6,12% bk). Proses pembuatan beras cepat tanak dan pelapisan dengan edible film gum arab semakin menurunkan koefisien adsorpsi energi monolayer. Kadar air terikat sekunder BCT paling rendah dibanding beras IR 64, sedangkan BCTER mempunyai kadar air terikat sekunder tertinggi. Prediksi umur simpan beras IR 64 adalah 6,29 bulan, beras BCT adalah 4,83 bulan, sedangkan beras BCTER 5,95 bulan. Walaupun proses pembuatan beras cepat tanak menurunkan umur simpan beras, namun proses pelapisan dengan edible film gum arab yang diperkaya ekstrak rempah-rempah dapat meningkatkan umur simpan beras BCTER.
Tabel 4. Permeabilitas uap air kemasan primer beras (PE 0,04 mm) Jenis sampel
Hari
Sampel
a
g air/ hari. Kantung . 21,38 mm Hg b g uap air/hari. Kantung. mm Hg
Hasil prediksi umur simpan beras disajikan pada Tabel 5. Umur simpan beras ditentukan pada RH 70%. Prediksi umur simpan beras IR 64 lebih lama dibanding umur simpan beras BCT maupun BCTER. Beras BCT mempunyai umur simpan yang paling rendah yaitu 4,83 bulan. Hal ini sesuai dengan nilai permeabilitas kemasannya yang paling tinggi jika digunakan untuk menyimpan beras BCT.
5. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktur Dikti Kemdiknas dan Koordinator Kopertis Wilayah V Yogyakarta yang telah membantu mendanai penelitian ini melalui program penelitian hibah bersaing tahun 20102011. 6. DAFTAR PUSTAKA Adawiyah, D, R. dan S.T. Soekarto, 2010. Pemodelan Isotermis Sorpsi
119
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Grain. Cereal Chem. 75(3):297-300. Roca, E., D., V. Guillard, S. Guilbert dan N. Gontard, 2006. Moiture migration in a cereal composite food at high water activity : effect of initial porosity and fat cantent. Journal of Cereal Science 43 (2006): 144-151. Roca, E., D. Adeline, V. Guilbert, S. Guilbert dan N. Gontard, 2008. Shelf life and moisture predictions in a composite food product: Impact of preservation techniques. International Journal of Food Engineering. Vol. 4. Issue 4. Labuza, T.P. (1984). Moisture Sorption : Practical Aspect of Isotherm Measurement and Use. American Association of Cereal Chemists, St. Paul, Minnesota. Laohakunjit N. dan O. Kerdchoechuen, 2006. Aroma Enrichment and The Change During Storage of NonAromatic Milled Rice Coated With Extracted Natual Flavor. Food Chem. www.elsevier.com.locate.foodschem. Lewicki, P., 1997. The application of the GAB model to food water sorption isoterms. International Journal of Food Science & Technology. Vol. 32. (6) : 553-557. Shih, F.F., K.W. Daigle dan E.T. Champagne, 2011. Effect of rice wax on vapour permeability and sorption properties of edible pullulan film. Food Chemistry. 127(2011) 118-121. Siripatrawan, U dan P. Jantawat, 2006. Determination of moisture sorption isoterms of jasmine rice cracker using BET and GAB models. Food Sci Tech Int 12(6):459-465. Suryani, Ch. L., dan A. Setyowati, 2008. Ekstrak Rempah-Rempah : Potensi hipoglisemik dan pengembangannya sebagai minuman fungsional. Laporan Hibah Pekerti Tahap I. Dikti Depdiknas.
Air Pada Model Pangan. J. Teknol. Dan Industri Pangan. Vol. XXI No. 1. AOAC. (1990). Officials Methods of Analysis of AOAC International. 16th Edn. Agricultural Chemicals, Comtaminant, Drug. Washington D.C. Ajisegiri, E. S.A., O. Chukwu and P.A. Sopade, 2007. Moisture-sorption study of locally-parboiled rice. AU J.T. 11(2): 86-90 (Oct. 2007). Anonim.1995. CodexStandardforRice.CodexStan 1981995.:110. Baik, O.D. and M. Marcotte, 2002. Modelling the moisture diffusivity in bsking cake. Journal of Food Engineering 56:27-36. Bianco, A.M, G. Boente, M.L. Pollio, and S.L. Resnik, 2005. Sorption isoterm of two varieties of Amaranth at 25oC : Comparison of water sorption characteristics and mathematical models. Journal of Food Technology 3(3):294-299. Cortes, F.B., F. Chejne, and B. Rojano, A new model for predicting sorption isoterm of water in foods. International Journal of Food Engineering. Vol 7(2) article 16. http://www.bepress.com/ijfe/vol7/iss 2/art16. Eskin, N.A.M and Robinson, D.S., 2001. Shelf life stability : Chemical, biochemical and microbiological changes. CRC Press. Florida, USA. Marousis, S.N., Karathanos, V.T. dan Saravacos, 1991. Effect of physical structure of strach materials on water activity. Journal of Food Preservation. 15: 183-195. Peng, G., Chen, X., Wu, W. and Jiang, X. (2007). Modeling of Water Sorption Isotherm for Corn Starch.J. Food Eng. 80 : 562 – 567. Pollio, M.L, M.P. Tobala, dan C Suarez, 1998. Measuring and modelling grain sorption equilibria of Amaranth
120
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Suryani, Ch. L, dan A. Slamet, 2010. Pengembangan beras cepat tanak dengan pelapisan edible film yang diperkaya ekstrak rempah-rempah sebagai makanan fungsonal bagi penderita diabetes. Laporan Penelitian Hibah Bersaing, Dikti, Kemdiknas. Suyitno. 1991. Aplikasi Isothermis Sorpsi Lembab Pada Aspek Pangan. PAU Pangandan Gizi,UGM,Yogyakarta Usawakesmance, W., M. S. Chinan, dan P. Wuttijumnong, 2008. Effect of edible coating ingredients incorporated into predusting mix on moisture content, fat content, consumer acceptability of fried breaded product. Songklanakarin J. Sci. Technol. 30.(Suppl 1), 25-34. April. Whananen, K.M., dan M.R., Okos, 1994. Effect of porosity on moisture diffusion during drying pasta. Jounal of Food engineering 15: 187-208. Zhou, Z., K. Robards, S. Helliwell and C. Blanchard. 2001. Ageing of stored rice: Changes in chemical and physical attributes. J. Cereal Science 35:65-78.
121
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
INOVASI PRODUK PADA INDUSTRI KECIL MENENGAH (IKM) GUDEG WIJILAN MELALUI PENGEMASAN PRODUK DALAM KALENG Tommy Hendrix1) dan Asep Nurhikmat2) 1) Pusat Inovasi LIPI, Gedung A PDII Lt.3 Jl. Gatot Subroto No. 10, Jakarta 12710 2) UPT BPPT Kimia LIPI, Gading, Playen, Gunungkidul, Jogjakarta E-mail:
[email protected];
[email protected]
Abstrak Inovasi teknologi pengalengan gudeg berkaitan dengan diversifikasi usaha dalam kerangka menumbuhkembangkan motivasi usaha dalam kerangka memajukan usaha industri kecil dan menengah (IKM) kreatif terkait dengan pengembangan dunia usaha. Indonesia adalah negara besar yang sedang berkembang dan memiliki budaya yang beraneka ragam. Setiap daerah di Indonesia memiliki makanan tradisional, salah satunya adalah gudeg yang menjadi makanan tradisional Jogjakarta. Gudeg dipasarkan dalam bentuk besek atau kendil, hanya saja ketahanannya 4-5 hari saja. Sehingga diperlukan pengembangan produk agar dapat tahan lama. Salah satu alternative yang dapat dipakai adalah pengemasannya menggunakan kaleng. Penerapan pengemasan produk pada IKM tidak semudah yang dibayangkan, terkait paradigma personal IKM. Telah dilakukan kajian inovasi produk gudeg pada industri kecil dan menengah (IKM) melalui pengemasan produk dalam kaleng dengan studi kasus pengalengan gudeg wijilan. Ada beberapa faktor yang berpengaruh, antara lain faktor teknologi, faktor internal dan eksternal IKM. Faktor internal adalah aktifitas dan keterbatasan IKM, sedangkan faktor eksternal antara lain faktor ekonomi menyangkut tingkat persaingan, akses permodalan, infrastruktur penunjang, kondisi pasar, daya beli konsumen, perpajakan, regulasi dan perubahan teknologi. Faktor eksternal sosial politik melaiputi kepastian hukum, keamanan, budaya masyarakat dan kondisi politik. Tujuan dari kajian ini adalah memberikan informasi kepada IKM bahwa teknologi pengemasan dapat diterapkan sebagai inovasi pada IKM dengan mengetahui faktor-faktor tersebut diatas.
Kata kunci: Inovasi, gudeg, kemasan kaleng
dalam hal ini adalah pemanfaatan teknologi proses hasil litbang yang berorientasi pada pengembangan ekonomi kreatif sangatlah dibutuhkan. Seperti diketahui, Indonesia termasuk negara besar yang sedang berkembang. Hal tersebut dilihat dari berbagai aspek, salah satunya adalah ketergantungan terhadap teknologi impor. Ketergantungan ini sangat mengganggu pada perekonomian bangsa terutama dapat dirasakan mulai dari masyarakat tingkat bawah sampai menengah.
1. PENDAHULUAN Fenomena peningkatan peran inovasi teknologi dalam membantu perekonomian Indonesia pada umumnya dan perekonomian daerah pada khusunya hanya dapat tercapai bila ada kerjasama lembaga litbang dengan pihak industri dan pengguna dengan tujuan membangun kemandirian dan ketahanan ekonomi nasional. Dapat mengoptimalkan investasi pemerintah di bidang penelitian khususnya alih teknologi agar dampak positif litbang dapat terlihat secara nyata,
122
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Gelombang krisis ekonomi mulai 1998 dan sekarang 2008 sangat dirasakan oleh masyarakat, terutama pelaku bisnis. Tetapi ada beberapa sektor yang cukup tangguh dalam menghadapi krisis tersebut yaitu sektor industri kecil dan menengah (IKM) yang bergerak dibidang pangan atau kuliner. Selain itu arus informasi juga sangat cepat, sehingga produk yang berbasis tradisional akan tertinggal dengan produk yang baru. Dalam situasi global saat ini, hampir semua negara mengandalkan peran dominan industri kecil dan menengah (IKM) dalam pertimbangannya, selain IKM membutuhkan kapital rendah, memanfaatkan sumber-sumber lokal, mampu berkomunikasi dengan baik, mempunyai target spesifik, juga responsif terhadap perubahan permintaan (Lalkaka, 1997). Di negara maju dan negara berkembang, pengembangan IKM menjadi titik perhatian, karena IKM memiliki peran ekonomi-sosial-politik berupa kesempatan kerja, pendayagunaan sumber daya dan peningkatan pendapatan. Program pengembangan IKM tersebut dilakukan untuk membendung turunnya aktivitas ekonomi (untuk negara industri), meningkatkan pembangunan ekonomi nasional (untuk negara berkembang) dan merupakan bagian dari industrialisasi dan penyediaan kesempatan kerja (Neck dan Nelson, 1987). Di Indonesia, sektor IKM memegang peranan sangat penting, terutama apabila dikaitkan dengan jumlah tenaga kerja yang mampu diserap oleh IKM. Menurut Dirjen IKM (Jawa Pos, 25 Desember 2006), IKM mempunyai kedudukan penting dan strategis dalam perekonomian nasional. Jumlah unit usaha IKM saat ini lebih dari 98% dari total industri nasional, beragam jenis produk dan populasi penyebarannya dan banyak menyerap tenaga kerja (padat
karya). Pada akhir tahun 2006 jumlah IKM tercatat 3,43 juta dengan menyerap tenaga kerja 8,85 juta. Mengingat begitu besarnya potensi IKM baik dilihat dari jumlah maupun penyerapan tenaga kerja serta masih sarat dengan kompleksitas permasalahan yang dihadapi, agar IKM dapat berkembang menjadi industri tangguh diperlukan bantuan dan pembinaan berkelanjutan (Lalkaka, 1997). Departemen perindustrian RI (2005), menyatakan bahwa permasalahan yang dihadapi IKM adalah masih terbatasnya pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di dunia industri. Hal tersebut antara lain disebabkan karena masih terbatasnya akses terhadap sumber informasi, teknologi dan pelayanan iptek. Selain itu terdapat permasalahan dari IKM itu sendiri. Menurut Brojonegoro dan Darwin (2006) terdapat 2 macam masalah dalam usaha pengembangan IKM, yaitu masalah internal dan eksternal. Masalah internal terkait dengan lingkup aktifitas IKM yang disebabkan oleh keterbatasan mereka sendiri yang umumnya berkisar kepada aspek produksi (bahan baku/pembantu, tenaga kerja, permodalan dan teknologi), pemasaran dan manajemen. Sedangkan masalah eksternal muncul dari luar IKM tetapi berinteraksi dan ikut menentukan kelancaran aktifitas IKM tersebut. Masalah eksternal pengembangan IKM antara lain iklim ekonomi (seperti persaingan usaha, akses modal, infrastruktur penunjang, kondisi pasar kerja, daya beli konsumen, perpajakan, regulasi dan perubahan teknologi), sosial dan politik (menyangkut kepastian hukum/legal aspek, keamanan, budaya masyarakat dan kondisi politik. Masalah eksternal ini tidak dapat dikendalikan oleh IKM tetapi harus bisa survive dan dapat menyesuaikan dengan kondisi tersebut.
123
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
3. seleksi dari kelompok konsumen 4. lagalitas dan isu terhangat di pasaran Dalam pengembangan sebuah produk Bistrom dan Nordstrom, 2002, tiga hal yang diperhatikan:1. ide dan konsep produk; 2. penelitian dan pengembangan produk dan 3. pasar dan regulasi kebijakan Pendapat Bistrom dan Nordstrom, 2002, tentang proses pengembangan produk antara lain pengembangan ide, penelitian dasar, pengembangan konsep final produk, hasil uji laboratorium produk akhir dan aktifitas pasar dan pengenalan produk Menurut Bruun dan Mefford, 1996, hal yang perlu diperhatikan pada diskusi masalah industri di negara berkembang dibatasi oleh cakupan teknologi dari keputusan operasional diantaranya rencana produk dan pemasaran, seleksi proses dan disain, rencana produksi dan kontroling, kontrol kualitas dan impropisasi serta daya dukung manajemen. Salah satu tolok ukur yang digunakan oleh pemerintah Indonesia dalam menilai kinerja industri melalui pencapaian nilai tambah, sehingga usaha untuk meningkatkan nilai tambah sepanjang rantai kegiatan merupakan salah satu strategi untuk meningkatkan keunggulan bersaing. Nilai tambah berkaitan dengan penciptaan nilai tambahan pada hasil produk suatu proses produksi tertentu, yang merupakan hasil dari proses transformasi faktor-faktor produksi menjadi produk yang lebih bernilai serta berhubungan dengan pendapatan yang diterima oleh pemilik faktor produksi tersebut. Teknologi pengalengan adalah sebuah teknologi yang sudah cukup lama ditemukan, yaitu sejak Nicholas Appert pertama kali membuka pabrik makanan dalam kaleng yang di sterilkan. Appert telah melakukan percobaan-percobaanya sejak tahun 1795 dan baru membuahkan hasil 9 tahun kemudian yaitu pada tahun
Indonesia sebagai negara yang besar memiliki banyak kelebihan, diantaranya adalah jumlah makanan tradisional yang bervariasi dan banyak jumlahnya. Kekurangannya adalah makanan tradisional tersebut lebih banyak dipasarkan dalam bentuk langsung, sehingga nilai tambahnya sedikit. Untuk itu diperlukan sebuah inovasi, dimana makanan tradisional tersebut selain nilai ekonominya meningkat, juga kenampakannya lebih menarik. Disinilah artinya, bahwa diperlukan inovasi pengembangan sebuah produk agar menjadi lebih baik (nilai ekonomi dan kenampakannya). Pengembangan inovasi pada produk merupakan tahapan untuk menuju ke arah pengembangan bentuk dan fungsi dari produk yang ada. Proses tersebut dilakukan mulai dari identifikasi hasil teknologi terpilih sampai dengan pembuktian kelayakan teknologi dari produk yang dibuat. Dengan demikian proses inovasi teknologi tidak hanya terbatas pada aktifitas membuat produk, tapi juga sampai melakukan uji pasar untuk mendapatkan masukan dari pengguna. Dengan tahapan proses pada produk yang dibuat akan dapat dikaji lebih tuntas kelayakan teknologinya baik secara teknis maupun uji kemanfaatan produk secara langsung kepada pengguna, sehingga secara tidak langsung pembiayaan pembuatan produk akan menjadi lebih efektif dibandingkan dengan jika membuat produk langsung pada skala besar. Menurut Bistrom dan Nordstrom, 2002, Faktor yang mempengaruhi inovasi atau pengembangan produk adalah studi tentang kategori sebuah produk primer potensial di pasar domestik. Kunci hal tersebut antara lain : 1. spesifik dan mekanisme aksi keunggulan produk yang sehat dari sebuah produk akhir, 2. batasan produk baru dan alternatif proses
124
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
tingkat IKM dalam hal ini IKM Gudeg Wijilan.
1804. sehingga kalau dihitung teknologi pengalengan ini telah berkembang sejak 200 tahun yang lalu. Pada masa sekarang dengan penelitian-penelitian yang dilakukan oleh pabrik-pabrik pengalengan, teknologi pengalengan sudah merupakan teknologi yang canggih dan dapat diterapkan pada makanan yang perlu diawetkan untuk jangka waktu yang lama. Beberapa suplayer atau penyedia peralatan pengalengan juga sudah sangat beraneka ragam, dimana tentu saja setiap set peralatan pengalengan membawa dampak terhadap harga dari alat tersebut. Semakin canggih dan berkapasitas besar maka harga alat semakin mahal. Untuk negara-negara industri hal tersebut tidak menjadi masalah, karena kondisinya memungkinkan, begitu juga di Indonesia untuk pengusaha yang memiliki modal besar satu set alat pengalengan beserta kelengkapannya tidak menjadi masalah. Tetapi perlu diingat Indonesia bukan negara Industri besar tetapi negara berkembang yang memiliki banyak keterbatasan, terutama untuk IKM yang jumlahnya di Indonesia sangat banyak apabila dibandingkan dengan industri besar. Berkaitan dengan peran penting teknologi dalam peningkatan nilai tambah produk maka perlu ditetapkan kajian inovasi atau pengembangan produk dari IKM gudeg wijilan dengan menggunakan pengemas kaleng, karena terkait dengan pengembangan produk tersebut membawa dampak yang menyeluruh terhadap kinerja IKM tersebut. Inovasi produk dalam hal ini kasus pengalengan gudeg apabila diterapkan di IKM dengan segala keterbatasannya banyak mengalami kendala. Kendala tersebut saling terkait satu dengan yang lainnya. Kajian yang dilakukan adalah bagaimana sebuah inovasi teknologi dapat diterapkan di
2. TUJUAN Tujuan dari kajian ini adalah memberikan informasi bahwa inovasi produk dapat diterapkan di industri kecil menengah dengan mengetahui faktor-faktor internal dan eksternal IKM. 3. METODE PENELITIAN Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan sistem penyelidikan kausalitas yang berdasarkan pada pengamatan terhadap bagaimana sebuah produk dalam hal ini gudeg sebagai makanan tradisional dapat dikemas dalam kaleng, faktor-faktor apa yang berubah ketika proses pengalengan gudeg diterapkan, kendala dilapangan terkait dengan penerapan teknologi di tingkat IKM. Secara sederhana dijelaskan bahwa pendekatan kualitatif merupakan penelitian yang mengandalkan penilaian subyektif terhadap suatu masalah. Secara umum dalam kajian ini data penelitian diperoleh dari : 1. Studi pustaka, yaitu pengumpulan data dengan jalan membaca, mempelajari dan menganalisis bahan bacaan dan dokumen yang ada hubungannya dengan materi yang akan dibahas serta informasi dari hasil penelusuran internet. 2. Studi lapangan, yaitu usaha pengumpulan data yang diperlukan langsung di lokasi kajian. Studi lapangan dilakukan dengan cara melakukan wawancara langsung dengan pelaku dan informan. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Industri Kecil dan menengah (IKM) yang menjadi objek kajian didasarkan pada kegiatan ekonomi yang D dilakukan perorangan/kelompok maupun badan usaha, bertujuan untuk memproduksi barang atau jasa dengan karakteristik (1) jumlah tenaga kerja 5-19
125
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
orang, (2) nilai usahanya kurang dari Rp. 600 juta (3) nilai penjualan (omzet) maksimal Rp. 1 miliar/tahun. Pengembangan produk hasil inovasi teknologi yang siap dibuat akan melalui proses perancangan produk yang sesuai kebutuhan pengguna, uji teknis dan uji pasar yang akan dilakukan IKM harus memperhatikan beberapa hal, antara lain:
dapat bertahan sampai 1 tahun. Selain itu penampilan produk berupa gudeg kaleng menjadi lebih menarik dan mempunyai jangkauan pemasaran yang lebih luas. Dengan kata lain IKM yang banyak tumbuh di Indonesia dapat menggunakan teknologi yang cukup canggih dengan syarat merubah dahulu teknologi tersebut menjadi teknologi tepat guna agar dapat dimanfaatkan secara sepenuhnya. Begitu juga teknologi pengalengan, untuk membuat makanan tradisional dalam kaleng diperlukan perubahan peralatan yang tadinya canggih atau modern harus distruktur ulang (baik kapasitas atau dimensi dan harga) sehingga teknologi tersebut dapat digunakan atau disesuaikan dengan kondisi lapangan atau kapasitas produksi sebuah IKM, tanpa merubah makna proses pengalengan secara keilmuan Schumacher dalam Sudarmo (2005) berpendapat bahwa negara berkembang yang dapat melaksanakan pembangunan atau pengembangan dengan menggunakan teknologi yang khusus dibuat dan dikelola sendiri dengan menggunakan potensi lokal yang dimilikinya. Untuk itu dalam mentransfer kapasitas know how menjadi suatu hal baru dalam proses alih teknologi, perlu diukur tingkat efektivitas dari alih teknologi (Bozeman, 2000;644), berdasarkan kriteria berikut ; 1. Proses transfer teknologi, sebagai ukuran untuk perpindahan teknologi effectiveness didasarkan pada dimensi dimana organisasi yang mengambil bagian di dalam perpindahan suatu teknologi yang manapun dengan cara gerakan otomatis atau karena ada suatu arahan untuk melakukannya. 2. Dampak pasar, berimplikasi menyinggung kepada suatu perusahaan atau hanya beberapa perusahaan, akan tetapi banyak perpindahan teknologi, terutama yang
•
Manajemen organisasi tim yang terdiri dari sumber daya manusia yang terlibat diperlukan komitmen yang kuat untuk menghasilkan produk yang dibutuhkan oleh pengguna. • Melakukan teknologi produk yang dapat diaplikasikan secara langsung kepada pengguna (proses pengalengan dalam integrasi proses). • Melakukan uji pasar pada segmen pasar yang benar-benar membutuhkan produk hasil litbang tersebut untuk mendapatkan masukan dari para pengguna yang bermanfaat untuk mengoptimalkan produk yang dibuat. Telah disebutkan sebelumnya bahwa ketika suatu teknologi akan didiseminasikan di tingkat IKM maka ada beberapa hal yang perlu perhatikan: a. Teknologi yang akan di diseminasikan di tingkat IKM Secara umum teknologi diartikan sebagai suatu koleksi teknik produksi, pengetahuan dan keterampilan untuk mengubah input menjadi output. Teknologi juga dapat diartikan sebagai proses, teknik atau metodologi yang menyatu dalam suatu disain produk, proses manufaktur atau jasa yang mentransformasikan input tenaga kerja, kapital, informasi, material dan energi menjadi output yang bernilai lebih tinggi. Dalam kajian ini teknologi pengalengan adalah suatu cara untuk memproduksi gudeg yang dikemas dalam kaleng, sehingga gudeg yang biasanya tahan 4-5 hari dengan pengalengan gudeg
126
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
dikerjakan oleh universitas dan pemerintah serta para agen, dirasionalkan oleh ekonomi yang lebih luas yang diasumsikan mengalir dari perpindahan teknologi. 3. Penghargaan politis, perpindahan teknologi dipandang sebagai suatu cara untuk meningkatkan dukungan politis dibanding sebagai alat daya saing. 4. Pertimbangan biaya, kesempatan untuk mentransfer tempat mengambil teknologinya di samping menyokong kepada advance dari riset dasar dan teori ilmiah, menyediakan peralatan dan infrastruktur untuk pertumbuhan dari pengetahuan yang ilmiah sangat diprioritaskan serta diperhitungkan dampak dari biaya yang akan dikeluarkan. 5. Modal sumberdaya Iptek, ketika memperhatikan membangun kapasitas teknis dan ilmiah sebanyak mungkin seperti menghasilkan dampak-dampak terpisah dari proyekproyek yang tertentu. Teori dan evaluasi teknologi transfer, keuntungan dari kebanyakan evaluasi-evaluasi dan teori-teori perpindahan teknologi adalah bahwa mereka memerlukan beberapa macam dasar empiris. Secara teori dapat dijelaskan apakah teknologi pengalengan tersebut efektif atau tidak. Model yang dapat diadopsi adalah seperti yang dikemukakan oleh Bozeman (2000;644) seperti gambar 1. Selain itu juga ada beberapa kriteria untuk menyeleksi penggunaan Teknologi Tepat Guna menurut Bowonder (1979) ditampilkan pada tabel 1. Dengan melihat ke 20 kriteria tersebut apakah inovasi produk melalui teknologi pengalengan dapat dilakukan ditingkat IKM atau tidak.
TRANSFER AGENT: Ceruk teknologi Misi Sektor SDA Lokasi geografi Disain organisasi Gaya menajemen Politik pembatas Ilmu dan teknik SDM
DEMAND ENVIRONMENT: Permintaan untuk transfer objek Potensi induksi permintaan Karakter ekonomi transfer objek
Ilmu dan tekni k SDM
Oppo rtunit y cost
TRANSFER RECIPIENT:
TRANSFER MEDIA: Pustaka Hak paten, copyright Lisensi Penyerapan Informal Perubahan personil Demonstrasi onsite Spin off
ILmu dan teknik SDM SDA Pengalaman pabrik Kapabilitas pasar Lokasi geografi Keragaman Strategi bisnis
Situa si pilitik
Effective ness
Out the door
TRANSFER OBJECT: Ilmu pengetahuan Fisik teknologi Disain teknologi Proses
Dam pak pasar
Perk emba ngan ekon omi
Gambar 1. Model efektif tidaknya transfer teknologi (Bozeman, 2000;644) b. Kesiapan IKM menerima teknologi tersebut Terkait dengan perubahan dari pengemasan tradisional menjadi modern, akan timbul pertanyaan bagaimana kesiapan IKM akan hal tersebut? Kasus yang terjadi pada pengalengan gudeg, ketika IKM akan menggunakan teknologi pengalengan maka hal yang harus dilakukan antara lain ; • Pengadaan peralatan, IKM harus cukup mempunyai modal untuk membeli peralatan pengalengan yang paling murah dari sejumlah alat pengalengan yang ada. Karena keterbatasan permodalan maka pengadaan peralatan terjadi secara bertahap, selain itu masih ada pemikiran tentang pemasaran produk akhir yang secara pasar masih dapat dikatakan baru. Yang berakibat keputusan memngadakan peralatan akan ditinjau kembali.
127
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Tabel 1. Kriteria untuk seleksi teknologi pengalengan sebagai TTG N o 1
2
Kriteria Intensitas penggunaan energi Intensitas tenaga kerja
3
Potensi bahan dasar
4 5
10
Produktifitas Stabilitas ekologi Intensif biaya Substitusi impor Orientasi pedesaan Reduksi pengeluaran yang kurang seimbang Daya tahan
11
Pembelajaran
12
Penggunaan kembali sampah
13
Tanggungan skala kecil
14
Keefektifan pada semua sektor
16
De-lokasi
17
Intensitas matapencahar ian Stabilitas kultural sosial
6 7 8 9
18
19 20
Macam Reduksi Pemilihan kepemimpina n
Hal yang paling disukai Pemakaian lebih rendah
• Pengadaan bahan pengemas (kaleng) Diindustri pengemasan kaleng ada istilah minimal order. Biasanya untuk setiap ukuran kaleng akan diberlakukan minimal order antara 50.000 kaleng sampai 100.000 kaleng, dimana pada pengadaan pengemas ini juga nilai kapital cukup besar. • Pengurusan aspek legal dari produk akhir, IKM harus siap merubah paradigma karena terkait dengan segala aspek yang melekat pada label yang harus dilakukan (lebih prosedural). Legal aspek dari produk akhir gudeg kaleng. Legal aspek tersebut meliputi nomor MD BPOM dan nomor halal LPPOM MUI. Kedua legal aspek tersebut diterapkan pemerintah untuk melindungi masyarakat dari produk pangan olahan yang membahayakan kesehatan konsumen. Pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan UU yang berkaitan dengan keamanan pangan. Sedangkan untuk menjamin halal tidaknya suatu produk pangan olahan diberlakukan juga sistem jaminan halal. • Persiapan tempat produksi IKM harus menyiapkan kelengkapan yang berhubungan dengan tempat produksi (IMB, SIUP, Ho dll). Hal ini dilakukan apabila IKM telah memiliki tempat untuk produksi, senadainya belum maka IKM harus berinvestasi di lahan untuk pendirian tempat produksi. Yang terjadi dilapangan, dalam menerbitkan tanda Izin produksi Dinas Perindustrian akan meninjau lokasi lahan, apakah dilingkungan industri atau lingkungan penduduk. • Persiapan lainnya terkait produk akhir IKM harus menyiapkan kelengkapan yang berhubungan dengan produk akhir (Hasil analisa proksimat, cemaran mikroba dan cemaran logam) dan uji kadaluarsa.
Kesiap an IKM V
Penyerapan tenaga kerja tinggi tanpa ineffesiensi Mudah didapatkan/ketersediaa nnya secara lokal Tinggi Tersedia cukup dan seimbang Lebih rendah Kurang/tersedia secara lokal Penyerapan tenaga yang kurang keahlian Kemampuan untuk mereduksi pengeluaran yang kurang seimbang
V
Orientasi mengurangi pemeliharaan Lebih mudah untuk dipelajari Kemampuan untuk menggunakan kembali sisa produksi/sampah (zero waste) Kemampuan untuk mengadopsi produksi skala kecil Kemampuan untuk berkontribusi lebih dari satu sektor (seperti daya, pertanian, transportasi, kesehatan, perencanaan keluarga, pangan, pendidikan, dan promosi ekspor) Kemampuan untuk diterapkan diberbagai lokasi Harus mampu sebagai komponen pendorong
V
Harus tidak mempengaruhi kondisi kultur sosial Heterogen
V
Kemampuan untuk tidak promosi sendiri atau gaya partisipasi
?
V
V ? V X V ?
V V
V
V
X
V
?
128
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
• Proses komersialisasi pasca produksi dalam rangka menembus pangsa pasar (targetting oriented) dari produk itu sendiri dilihat dari animo masyarakat yang timbul akibat banyaknya terjadi diversifikasi produk makanan yang ada sebagai akibat dari pengembangan pasar dan kemampuan usaha dari IKM yang ada.
relatif mahal, pengadaan bahan pengemas (kaleng) dengan minimal order, pengurusan aspek legal dari produk akhir (gudeg kaleng) terkait MD BPOM dan halal LPPOM MUI, persiapan tempat produksi termasuk syarat-syaratnya IMB, HO, SIUP serta persiapan lainnya terkait produk akhir terkait analisa proksimat, cemaran mikroba dan cemaran bakteri.
5. KESIMPULAN Pengembangan dasar teknologi didalam suatu negara berkembang tergantung pada adanya berbagai kapasitas teknologi dan kemampuan memperoleh teknologi dari luar negeri untuk melengkapi usaha-usaha dan riset nasional serta pertumbuhan teknologi yang diciptakan didalam negeri, dalam hal ini terjadi dalam introduksi proses teknologi pengalengan Gudeg yang mana merupakan produk unggulan daerah dan seiring dengan pengembangan ekonomi kerakyatan yang bersifat kreatif. Inovasi terjadi karena adanya transfer dari Know How yang berkaitan dengan pengalihan teknologi antar pengguna, dimana merupakan rantai pasok dari pengembangan produk berskala IKM dan pengembangan segmentasi pasar yang ada. Ada beberapa faktor yang berpengaruh, antara lain faktor teknologi, faktor internal dan eksternal IKM. Faktor internal adalah aktifitas dan keterbatasan IKM, sedangkan faktor eksternal antara lain faktor ekonomi menyangkut tingkat persaingan, akses permodalan, infrastruktur penunjang, kondisi pasar, daya beli konsumen, perpajakan, regulasi dan perubahan teknologi. Faktor eksternal sosial politik melaiputi kepastian hukum, keamanan, budaya masyarakat dan kondisi politik. Beberapa hal yang harus dilakukan oleh IKM dalam penerapan teknologi pengalengan gudeg antara lain kesiapan IKM dalam hal pengadaan peralatan pengalengan yang harganya
6. DAFTAR PUSTAKA ATTC Network Technology Transfer Workgroup, 2011, Research to Practice in addiction treatment; key terms and a field-driven model of technology transfer, Journal of Substance Abuse Treatment vol. 41, p. 169-178, Elsevier Inc. Bistrom, M and K Nordstrom, 2002, Identification of Key succes factors of Fungtional dairy foods product development, Trends in Foods Science and Technology 13, p. 372379, Elsivier Science Ltd Bowonder, B., 1979, Appropriate Technology for Developing Countries: some issues, Technological Forecasting and Social Change vol. 15, p. 55-67, Elsevier North Holland, Inc. Bozeman, B, 2000, Technology Transfer and Public policy: a riview of research and theory, Research policy vol 29, p. 627-655, Elsevier Science B.V. Brojonegoro dan Darwin, 2006, Pemberdayaan UKM melalui program Iptekda, LIPI Press, Jakarta Bruun P and R.N. Mefford, 1996, A Framework for selecting and introducing apprpriate production technology in developing contries, Int. J. Production Economics 46-47 (1996), p. 197-209, Elsevier Science B.V. Lalkaka, R, 1997, Lesson from international experience for the promotion of Business Incubation
129
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
System in Emerging Economies, Small Medium Enterprises, Austria, Neck, P.A., and R.E. Nelson, 1987, Small enterproses development, policies and programmes, 2nd edition, International labour office, Geneva. Trak, A and M. Mackenzie, 1980, Appropriate Technology Assesment: a note on policy considerations, Technological Forecasting and Social Change vol 17, p. 329-338, Elsivier North Holland Inc.
130
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
PENGARUH PROSES PENGALENGAN TERHADAP KUALITAS GUDEG WIJILAN Asep Nurhikmat1), Bandul Suratmo2), Nursigit Bintoro2) dan Suharwadji3) 1) Mahasiswa Program Doktoral Teknik Pertanian UGM Jogjakarta 2) Dosen pada Fakultas Teknologi Pertanian UGM Jogjakarta 3) Peneliti pada UPT BPPTK LIPI Jogjakarta E-mail :
[email protected]
Abstrak Gudeg adalah makanan khas jogjakarta dengan bahan utama nangka muda, tempe, krecek dan areh. Pada kenyataannya gudeg yang banyak dipasaran hanya dapat disimpan 4-5 hari. Diperlukan suatu alternatif proses agar gudeg dapat disimpan cukup lama. Salah satu proses yang dapat dipakai untuk memperpanjang umur simpan adalah dengan teknologi pengalengan. Telah dilakukan penelitian tentang pengaruh proses pengalengan terhadap kualitas gudeg wijilan. Penelitian dilakukan dengan menggunakan kaleng ukuran 301x205 bertempat di laboratorium proses pengalengan UPT BPPTK LIPI. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh pengalengan terhadap kualitas gudeg dinataranya pada komposisi gizi, cemaran logam dan cemaran bakteri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gudeg yang dikalengkan memiliki rasa yang tidak berbeda dengan gudeg yang dikemas biasanya, demikian juga kandungan gizinya. Sedangkan cemaran logam masih dibawah ambang toleransi dan cemaran bakteri negatif
Kata kunci: pengalengan, kualitas, gudeg wijilan
Gudeg (bahasa Jawagudheg) adalah makanan khas Yogyakarta dan Jawa Tengah yang terbuat dari nangka muda yang dimasak dengan santan dan dibumbui dengan kluwek. Perlu waktu berjam-jam untuk membuat masakan ini. Warna coklat biasanya dihasilkan oleh daun jati yang dimasak bersamaan. Gudeg dimakan dengan nasi dan disajikan dengan kuah santan kental (areh), ayam kampung, telur, tahu dan sambal goreng krecek. Bahan baku gudeg juga bervariasi. Umumnya gudeg Jogja dibuat dari bahan baku nangka muda. Bahan baku lain adalah rebung (bambu muda) dan manggar (bunga pohon kelapa). Namun jarang orang membuat gudeg dari dua bahan baku ini, karena sulit didapat.
1. PENDAHULUAN Bahan Pangan merupakan produk yang mudah sekali rusak. Sebab-sebab utama terjadinya kerusakan adalah adanya pertumbuhan mikrobia, kegiatan enzim, reaksi kimia, degradasi fisis dan desikasi. Beberapa faktor yang terkait dengan mikroba sebagai penyebab kerusakan adalah kadar air, suhu, kadar oksigen, zat gizi, derajat kontaminasi, dan adanya zat penghambat pertumbuhan (Desrorier, 1988). Menurut Susanto dan Saneto (1994), tingkat kerusakan pasca panen bahan pangan masih cukup tinggi yaitu berkisar antara 30 - 40%, sehingga banyak usaha dilakukan untuk mengupayakan agar bahan pangan tersebut menjadi lebih awet dan tersedia setiap saat.
131
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Berdasarkan rasa terdapat dua macam gudeg, yaitu gudeg yang manis dan gudeg gurih. Tidak banyak perbedaan mendasar diantara keduanya, hanya versi pertama lebih manis dan tersaji lebih kering. Untuk memasaknya kita harus memisahkan antara memasak gudeg (nangka muda), memasak ayam (opor biasanya tapi agak manis), telur dan areh (terbuat dari santan kental). Memasak nangka muda dan ayam dilakukan secara terpisah, nangka muda dimasak dalam waktu lama dicampur dengan daun jati sebagai bahan pewarna kecoklat-coklatan. Selain daun jati bisa juga dipakai daun jambu batu atau daun pisang. Daun jambu batu agak riskan karena kadang menghasilkan rasa 'sepet' kata orang jawa. Nangka muda dimasak dalam waktu yang lama. Jika nangka muda dan ayam dicampur untuk dimasak bersamaan, maka ayam akan hancur. Itulah sebabnya telur dan ayam biasanya tidak dimasak bersamaan dengan gudeg. warna kecoklat-coklatan dari telur disebabkan oleh penggunaan kecap. Kalau disimak lebih lanjut, semua gudeg (nangka muda) disajikan dalam bentuk yang relatif kering dan terpisah dari ayam. Nangka muda dimasak hingga airnya habis. Biasanya ayam dimasak opor. Meski seringkali rasa opor bervariasi dari yang gurih hingga yang agak manis. Sedangkan berdasarkan komposisi air, masakan gudeg ada 2 macam, yaitu gudeg basah dan gudeg kering. Gudeg basah , hanya satu kali dimasak dengan direbus hingga habis airnya, Sedangkan gudeg kering, minimal 2 kali memasak hingga benar-benar kering. Gudeg kering mempunyai daya tahan lebih lama (bisa sampai 4-5 hari) daripada gudeg basah, karena air di dalamnya benar-benar sudah habis. Gudeg biasanya disajikan dengan sayur daun singkong, ayam , telur, dan krecek pedas (dari bahan kulit sapi). Untuk gudeg basah biasanya ditambahkan dengan areh.
Sebagai makanan tradisional gudeg tidak memiliki masa simpan yang lama, sehingga diperlukan suatu teknologi agar selain dapat disimpan tahan lama juga kenampakan dari makanan tradisional menjadi lebih modern. Salah satu teknologi yang dipakai adalah dengan proses pengalengan dengan menggunakan ukuran kaleng 301 x 205. Pengalengan didefinisikan sebagai suatu cara pengawetan bahan pangan yang dikemas secara hermentis (kedap terhadap udara, air, mikroba dan benda asing lainnya) dalam suatu wadah, yang memiliki beberapa tujuan, diantaranya : 1. Untuk menampung dan merapikan produk sehingga bahan pangan atau produk tersebut dapat disimpan dan ditransfer lebih mudah (Sukmadji,1988 dalam suharwadji, 2009). 2. Mengawetkan bahan pangan dengan mencegah terjadinya kerusakan kimiawi maupun kerusakan mikrobiologis. 3. Bahan pangan yang enzimnya telah inaktif dapat terisolir dari pengaruhpengaruh yang dapat merusak bahan pangan selama masa simpan. 4. Tidak transparan sehingga jika terkena cahaya tidak akan mempengaruhi kondisi produk. 5. Meningkatkan nilai ekonomis produk, karena pada saat pemasaran kemasan ini mudah diatur dan dipanjangkan sedemikian rupa sehingga dapat memberikan rasa tertarik pada konsumen. Seiring dengan perkembangan teknologi pangan berbagai teknik pengawetan dan pengemasan bahan pangan semakin banyak diminati. Mulai dari pengemasan dengan kertas, karton, plastic, pouch dan kaleng. Teknologi pengalengan meskipun termasuk teknologi yang bukan baru ternyata masih banyak dipergunakan di kalangan industri
132
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
pangan. Menurut Muchtadi (1995) ada beberapa keuntungan penggunaan kaleng sebagai kemasan bahan pangan, yaitu: dalam kemasan yang ditutup secara hermetis makanan aman dari kontaminasi mikroba, serangga atau bahan asing lainnya, dapat menjaga perubahan kadar air yang tidak diinginkan, menjaga dari penyerapan oksigen, gas-gas lain atau bau-bauan dan dari partikel radioaktif yang terdapat di atmosfir dan kaleng dapat menjaga makanan yang peka reaksi fotokimia oleh pengaruh cahaya. Masalah utama yang banyak terjadi pada produk pengalengan adalah terjadinya kerusakan mutu karena overcooking akibat penggunaan panas yang berlebih pada saat sterilisasi. Perubahan zat gizi yang labil seperti vitamin dan protein. Dari beberapa tahapan proses pengalengan maka sterilisasi merupakan tahapan yang terpenting yang sangat berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan maupun kegagalan. Menurut DB Land dalam Robert S. Harris dkk, 2000, pengolahan panas merupakan salah satu cara paling penting yang telah dikembangkan untuk memperpanjang umur simpan bahan pangan. Karena diperpanjangnya umur simpan ini, maka bahan pangan yang melimpah hanya selama waktu panen yang nisbi pendek, dapat tersedia sepanjang tahun. Walaupun demikian, pengolahan panas juga mempunyai pengaruh yang merugikan pada zat gizi karena degradasi panas dapat terjadi pada zat gizi. Penurunan kadar gizi akibat pengolahan panas ini bergantung pada beratnya proses. Menurut FG Winarno, 1994, pada dasarnya proses pemanasan yang diterapkan dalam proses pengalengan dirancang khusus hanya cukup untuk mencapai sterilisasi komersial. Kondisi tersebut tidak mudah dicapai, malahan kadang-kadang dapat menghasilkan perubahan-perubahan mutu yang tidak
dikehendaki dalam produk. Untuk menghindari hal tersebut maka dikembangkan cara penerapan proses sterilisasi yang pas dan aman serta dapat menekan seminimal mungkin kerusakan dan penurunan mutu produk yang diakibatkan pemberian panas. Pemanasan diatas temperatur pasteurisasi akan mengubah fisik dan kimiawi daging proses termasuk penurunan kelezatan daging. Selama prosesing panas, protein daging kaleng akan mengalami denaturasi dan menimbulkan flavour sulfhidril. Protein bisa mengalami koagulasi dan presipitasi. Pemecahan jaringan ikat selama pemanasan akan memodifikasi tekstur daging kaleng dan setelah sterilisasi, tekstur daging kaleng berubah menjadi seperti daging masak (Soeparno, 1992) Secara lebih rinci kerusakan protein dapat disebabkan oleh : 1. pH yang ekstrem menyebabkan elektrostatic 2. Penyebab ikatan hidrogen (urea dan garam) atau energi panas (pemanasan) yang menyebabkan terjadinya ikatan hidogen pada molekul protein 3. Ikatan dengan air (detergen) akan merubah ikatan polipeptida. Semua proses itu menyebabkan denatuasi protein (Price, J.F. et all, 1971) 2. TUJUAN Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu : 1. Mengetahui pengaruh proses pengalengan terhadap kandungan gizi sayur lombok ijo, gudeg jogja dan mangut lele. 2. Menentukan nilai Fo sayur lombok ijo, gudeg jogja dan mngutr lele. 3. METODE PENELITIAN 3.1. Alat dan bahan Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah autoclave, kaleng ukuran 301x 205 (lihat table 1), seamer, alat memasak, timbangan, autoclave, Fo-
133
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
meter, alat gelas. Sedangkan bahan yang digunakan adalah gudeg. Sedangkan proses pengujian kandungan gizi, mineral dan bakteri dilakukan di Laboratorium gizi Pusat Studi Pangan dan Gizi UGM, laboratorium kesehatan Depkes.
memerlukan penanganan pasca panen yang tepat. Umumnya komoditas ini masih diperjualbelikan dalam keadaan segar. Untuk meningkatkan nilai tambahnya, perlu diversifikasi produk olahan. Salah satunya adalah produk olahan siap santap dalam kemasan kaleng. Dengan menggunakan kemasan kaleng bahan pangan akan menjadi lebih awet dan tersedia setiap saat. Secara umum makanan kaleng dapat diterima oleh pasar, tetapi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan diantaranya adalah pemilihan teknologi proses pengalengan yang tepat sehingga bahan pangan yang dikalengkan tidak mengalami penurunan kandungan gizi secara signifikan. Hal ini perlu dilakukan penelitian sehingga komposisi gizi bahan pangan dalam kaleng tidak berubah banyak dengan bahan segarnya. Selain itu setiap komoditi mempunyai karakter yang berbeda satu dengan lainnya. Kesukaan konsumen akan makanan kaleng juga perlu dilakukan pengujian sehingga benar bahwa bahan pangan yang diproses dengan pengalengan setelah menjadi makanan kaleng dapat disukai dan diterima oleh konsumen. Setelah gudeg dikalengkan dan melewati masa karantina, produk tersebut dianalisa komposisi gizi, logam berat dan bakteri. Hasilnya dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Spesifikasi kaleng ukuran kecil Jenis Barang Warna Ukuran Design Body Top Bottom For Capasity
: Kaleng bundar (can) : Polos : Ø 301 X 205 : GL/AL; GL/AL (2 piece can), bottom end type press : Luar Gold lacquer, dalam aluminize laquer : Luar Gold lacquer, dalam aluminize laquer : Luar Gold lacquer, dalam aluminize laquer : Meat, Fish, cream, vegetables : 180 ml
3.2. Metode 1. Pembersihan dan sortasi bahan dasar dan bumbu 2. Proses pemasakan 3. Pengisian pada kaleng 4. Proses Exhausting 5. Proses penutupan 6. Proses sterilisasi 7. Proses pendinginan 8. Pengujian sample kalengan 3.3. Pengamatan Dalam penelitian ini pengamatan antara lain : 1. kadar air 2. protein 3. lemak 4. kadar abu 5. mineral 6. bakteri
Tabel 1. Komposisi gizi, logam, bakteri
dilakukan
kadar air kadar abu lemak protein serat kasar Timbal (Pb) Arsen (As) mercuri (Hg) tembaga (Cu) seng (Zn) Sn E. Coli Salmonella
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Produk hasil pertanian merupakan komoditas unggulan di berbagai daerah di Indonesia. Komoditas ini bersifat mudah rusak (perishable) sehingga
134
Gudeg 73.28 % 1.72 % 5.12 % 5.33 % 2.09 % <0.0007 ppm 0.028 ppm <0.0003 ppm 0.0617 ppm 0.7752 ppm ttd negatif negatif
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
mengetahui kecepatan penetrasi panas dari retort kedalam makanan. Pada heat penetrasion test dilakukan pengamatan yang teliti terhadap suhu produk selama proses pemanasan. Hasil perhitungan persamaan 1-3 untuk masing-masing produk dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.
Pada tabel 1 terlihat bahwa ketika produk memiliki komposisi gizi yang cukup. Mineral yang cukup kecil dan bakteri yang tidak terdeteksi. Hal ini mengidentifikasikan bahwa makanan tersebut sudah cukup layak untuk dapat dikonsumsi dan mempunyai daya simpan yang lama. Tahapan pengalengan lain yang perlu diperhatikan adalah sterilisasi. Tahap sterilisasi merupakan tahap penting dalam proses pengalengan, harus dilakukan pada suhu dan waktu tertentu yang telah diperhitungkan terlebih dahulu, dengan tujuan untuk memusnahkan semua spora bakteri yang tahan panas. Pada dasarnya tidak semua makanan membutuhkan suhu dan waktu yang sama untuk sterilisasinya. Untuk menghindari terjadinya perubahan yang tidak diinginkan, maka dikembangkan proses sterilisasi yang tepat dan aman serta dapat menekan penurunan mutu produk seminimal mungkin. Untuk itu perlu penentuan suhu dan waktu sterilisasi yang cermat untuk menghasilkan sterilisasi komersial yang tepat agar produk tetap awet tanpa harus banyak mengorbankan nilai gizi, cita rasa dan tekstur. Proses tersebut dikenal dengan proses termal atau proses pemasakan yang prinsip dasarnya diambil dari ilmu termobakteriologi dengan memanfaatkan kaidah perambatan dan penetrasi panas serta sifat daya tahan panas mikroba khususnya berbentuk spora ( Winarno, 1994). Bila suatu makanan yang dikemas dalam kaleng diletakkan dalam retort, suhu produk tidak akan segera mencapai suhu proses sesuai dengan suhu retort yang dikehendaki, tetapi akan merambat kedalam kaleng secara perlahan-lahan. Sebelum melakukan penetrasi panas ke dalam kaleng, kalor yang ada digunakan terlebih dahulu untuk proses distribusi panas ruangan retort. Heat penetrasiontest diperlukan untuk
140
0.16
120
0.14 0.12 0.1
80
L e th a lit y
s u hu (deg C )
100
0.08 60 40 20
0.06
T ref T Can 1
0.04
L
0.02 0
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150 156
0
w aktu (menit)
Gambar 2. Fo gudeg adalah 6,42 menit Jumlah panas yang diperlukan untuk sterilisasi yang memadai tergantung pada beberapa factor, diantaranya ukuran kaleng dan keadaan isinya. Untuk memanaskan isi dalam kaleng memerlukan waktu lebih lama untuk menerobos masuk kedalam kaleng yang besar. Demikian juga penetrasi panas akan lebih cepat pada medium konveksi, seperti sup, daripada medium konduksi, seperti “corned beef”. 5. KESIMPULAN 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai gizi, logam berat dan mikroba tersebut tidak banyak mengalami perubahan gizi. 2. Pengujian laboratorium gudeg kaleng menghasilkan kadar air 73,28%, kadar abu 1,72%, lemak 5,12%, protein 5,33%, serat kasar 2,09%, timbal (Pb) <0,0007 ppm, Arsen (As) 0,028 ppm, Mercury (Hg) ,0,0003 ppm, Tembaga (Cu) 0,0617 ppm, Seng (Zn) 0,07752
135
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
ppm, Sn tidak terdeteksi, E. Coli negatif dan Salmonella negatif 3. Fo untuk gudeg pada ukuran kaleng 301x 205 adalah 6,42 menit.
Winarno, F.G., 1994, Commercial Sterilization of Food Product, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
6. DAFTAR PUSTAKA Desrosier, N.W, 1988, Teknologi Pengawetan Pangan, terjemahan Muchji Muljohardjo, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. Forest, J.C., Aberle, E.D., Hendrick, H.B., and Merkel, R.A., 1975, Principles of Meat Sciences, W.H. Freeman and Co, San Fransisco. Goldblith, S.A., Joslyn, M.A., and Nickersob, J.T.R., 1961, The Thermal Processing of Food, Avi Publishing Co, Westport, Connecticut. Judge, M.D., E.D. Arbele., J.C., Forrest., H.B. Hendrick., dan R.A. Merkel., 1989, Principle of Meat Science. 2nd ed, Kendall/Hunt Publishing Co, Dubuque, Iowa. Lewis, M.J., 1987, Physical Properties of Foods and Food Processing System, Ellis Horwoods Ltd, Chichester, England. Lawrie, R.A.,1979, Meat Science. 3rd ed. Pergamon Press. Richardson, P., 2001, Thermal Technologies in Food Processing, Woodhead Publishing Ltd, Cambridge, England. Soeparno, 1992, Ilmu dan Teknologi Ikan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Stumbo, C.R., 1973, Thermobacteriology in Food Processing, Academic Press, New York. Sunarma, Ade. 2004. Peningkatan Produktifitas Usaha Lele Sangkuriang (Clarias sp.). Makalah disampaikan pada Temu Unit Pelaksana Teknis (UPT) dan Temu Usaha Direktorat Jendral Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan, Bandung 04 – 07 Oktober 2004.
136
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
PENENTUAN NILAI Fo PADA PENGALENGAN RENDANG DAGING Mukhammad Angwar *) dan Asep Nurhikmat *) UPT Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jln Jogjakarta – Wonosari Km 30, Gading, Playen, Gunungkidul, Jogjakarta PO BOX 174 WNO Tel/fax 0274 392570, E-mail :
[email protected]
Abstrak Rendang daging adalah masakan tradisional bersantan dengan daging sapi sebagai bahan utamanya. Masakan khas dari Sumatera Barat, Indonesia ini sangat digemari di semua kalangan masyarakat baik itu di Indonesia sendiri ataupun di luar negeri. Pada tahun 2011 melalui jajak pendapat internet yang melibatkan 35.000 responden yang digelar CNN International, menobatkan Rendang sebagai hidangan peringkat pertama dalam daftar 'World’s 50 Most Delicious Foods' (50 Hidangan Terlezat Dunia). Telah dilakukan penelitian pengalengan rendang daging dengan focus penentuan nilai Fo. Penelitian dilakukan dengan menggunakan kaleng ukuran 301x205 dengan dua perlakuan penentuan nilai Fo yaitu rendang daging dan bumbu rendang. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui nilai Fo pada proses pengalengan rendang daging. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendang daging yang dikalengkan nilai Fo sebesar 15,81 menit dan nilai Fo untuk bumbu rendang 7,36 menit.
Kata kunci: Nilai Fo, pengalengan, rendang daging
plastik, pouch dan kaleng. Teknologi pengalengan meskipun termasuk teknologi yang bukan baru ternyata masih banyak dipergunakan di kalangan industri pangan. Menurut FG Winarno (1994), pengalengan merupakan cara pengawetan bahan pangan dalam wadah yang tertutup rapat (hermentis) dan distelirkan dengan panas. Cara pengawetan ini merupakan cara yang paling umum dilakukan karena bebas dari kebusukan, serta dapat mempertahankan nilai gizi, cita rasa dan daya tarik. Secara umum, proses pengalengan meliputi tahap-tahap persiapan bahan mentah, blansir, pengisian bahan kedalam kemasan, pengisian larutan media, penghampaan udara, proses sterilisasi, pendinginan dan pengimpanan.
1. PENDAHULUAN Produksi bahan pangan untuk mencukupi kehidupan manusia didapat dari tumbuhan dan hewan. Kesulitan yang sering muncul setelah proses produksi adalah kurangnya daya simpan. Menurut Desrosier (1988) bahwa bahan pangan berkualitas tinggi merupakan produk yang mudah sekali rusak. Dengan keberhasilan aplikasi teknologi pengawetan pangan secara komersial penyediaan bahan pangan yang mudah rusak dapat diperpanjang, sehingga memberbahan pangan andil yang penuh bermanfaat bagi kesejahteraan umat manusia. Seiring dengan perkembangan teknologi pangan berbagai teknik pengawetan dan pengemasan bahan pangan semakin banyak diminati. Mulai dari pengemasan dengan kertas, karton,
137
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
berkecambah dan karenanya tidak dapat menimbulkan kerusakan. b. Pangan dengan keasaman sedang, yang memiliki pH antara 3,7 dan 4,5 banyak bakteri perusak dapat tumbuh pada kisaran pH tersebut dan karenanya diperlukan pemanasan lebih lama dibandingkan dengan makanan yang memiliki keasaman tinggi. Bagaimanapun, pH ini masih terlalu rendah untuk memungkinkan pertumbuhan Clostridium botulinum c. Pangan dengan keasaman rendah, yang memiliki pH diatas 4,5 termasuk didalam kelompok pangan tersebut adalah daging. Dalam upaya untuk menjamin destruksi bakteri secara sempurna, terutama Clostridium botulinum dan spora-sporanya, produk tersebut perlu dipanaskan kuatkuat. Suhu yang diperlukan tergantung pada waktu kontaknya dengan panas. Nilai F adalah jumlah waktu (dalam menit) pada suhu tertentu yang diperlukan untuk menghancurkan semua mikroba. Nilai F sangat spesifik, artinya, nilai tersebut bergantung pada suhu proses dan nilai Z dari mikroba. Nilai Fo adalah waktu (dalam menit) pada 250°F yang diperlukan untuk menghancurkan sejumlah mikroba tertentu yang memiliki nilai Z sama dengan 18°F. Agar mendapat gambaran lebih jelas, perlu dibandingkan dengan proses lain, yaitu pada suhu yang berbeda dengan 250°F. Contohnya proses yang memerlukan waktu 10 menit pada 232°F memiliki efek pembunuhan yang sama dengan 1 menit pada suhu 250°F, bila mikroba memiliki nilai Z sama dengan 18°F. Resistensi atau ketahanan sel dan spora mikroorganisme terhadap panas berbeda diantara mikroorganisme. Pada umumnya mikroorganisme lebih tahan
Pengalengan adalah cara pengawetan bahan pangan dengan sterilisasi dalam kaleng. Bahan pangan dimasukkan dalam kaleng, kemudian disterilkan dengan panas. Faktor-faktor utama yang menentukan daya awet bahan pangan kalengan adalah sterilisasi yang mematikan seluruh bakteri dalam isian kaleng dan kaleng yang menahan kontaminasi atau penyebab pembusukan dari luar. Bahan pangan yang dikaleng dan disimpan dengan baik dapat bertahan selama dua tahun (Murniyati dan Sunarman, 2000). Penggunaan suhu tinggi dengan waktu yang lebih pendek adalah lebih disukai, karena perlakuan demikian akan berpengaruh lebih kecil terhadap nilai nutrisi produk. Jumlah panas yang diperlukan untuk sterilisasi tergantung pada beberapa faktor sebagai berikut : 1. Ukuran kaleng Panas yang dipindahkan dari ruangan retort kedalam coldest spot pada kaleng ukuran besar memerlukan waktu lebih lama dibandingkan dengan kaleng ukuran kecil. 2. Kedaan isinya Penetrasi panas akan lebih cepat pada medium konveksi (medium berupa cair) dibandingkan dengan medium konduksi (medium padatan). Begitu juga dengan bahan baku antara daging bahan pangan dan daging sapi akan mempunyai kondukstivitas pindah panas yang berbeda, sesuai dengan karakteristik bahan yang berbeda pula. 3. pH medium Bahan makanan diklasifikasikan menjadi 3 kelompok yaitu : a. Pangan dengan keasaman tinggi yang memiliki pH 3,7. Sangat sedikit bakteri yang dapat hidup pada kondisi keasaman yang begitu tinggi. Untuk hampir semua ukuran kaleng, pemanasan pada suhu 100°C selama 8-16 menit sudah cukup. Spora bakteri mungkin masih hidup, tapi tidak bisa
138
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
terhadap pemanasan pada pH netral atau mendekati netral. Peningkatan keasaman dari pada peningkatan kebasaan dalam merusak mikroorganisme oleh panas (Judge dkk, 1989) resistensi panas mikroorganisme dinyatakan sebagai waktu kematian thermal atau Thermal Death Time (TDT) yaitu waktu yang dibutuhkan untuk membunuh sejumlah sel atau spora tertentu pada kondisi fisik tertentu (temperatur, jumlah dan tipe mikroorganisme, serta karakteristik medium pemanasan). TDT pada temperatur 121°C telah digunakan sebagai referns sterilisasi dan dinyatakan sebagai Fo. Untuk Clostridium botulinum nilai Fo-nya 2,45 – 2,8 menit (Urbain, 1971 dalam Soeparno (2005) : Lewis (1987) : Stumbo (1973) : dan lawrie (1979). Untuk mengetahui TDT atau Fo dipergunakan persamaan yang disampaikan Lewis (1987) dan Richardson (2001): T − 121 log L = 10 (1) Atau
medium penghantar panas. Alat yang digunakan antara lain retort, Fo-meter, canning line, alat memasak, alat gelas. Tabel 1. Spesifikasi kaleng ukuran 301x205 Jenis Barang Warna Ukuran Design Body Top Bottom For Capasity
3.2. Metode Proses pengalengan meliputi : 1. Preparasi bahan 2. Pengisian dalam kaleng (rendang daging dan bumbu rendang) 3. Ekshausting pada suhu 80oC selama 10 menit 4. Penutupan kaleng 5. Sterilisasi pada temperatur 121oC selama 20 menit. 6. Pendinginan kaleng 7. Karantina
T −121,1 10
Dimana Fo persamaan :
L = 10 (2) dapat dihitung dengan Fo =
∫ Ldt
: Kaleng bundar (can) : Polos : Ø 301 X 205 : GL/AL; GL/AL (2 piece can), bottom end type press : Luar Gold lacquer, dalam aluminize laquer : Luar Gold lacquer, dalam aluminize laquer : Luar Gold lacquer, dalam aluminize laquer : Meat, Fish, cream, vegetables : 180 ml
3.3. Parameter yang di amati riwayat suhu selama proses sterilisasi baik titik terdingin kaleng dan suhu ruangan sterilisasi serta Fo Observasi
(3)
2. TUJUAN Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Fo rendang daging dan bumbu rendang selama proses pengalengan.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil perhitungan persamaan 1-3 untuk masing-masing produk (rendang daging dan bumbu rendang) dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.
3. METODE PENELITIAN 3.1. Bahan dan alat Bahan utama pada penelitian ini rendang daging sapi dari restoran Minang Ria Jl. Kusumanegara, Jogjakarta, kaleng ukuran 301 x 205 (spesifikasi dapat dilihat pada tabel 1). Sedangkan bahan pembantu adalah bumbu rendang sebagai
139
160
1.6
140
1.4
120
1.2
100
1
80
0.8
60
0.6
40
0.4
20
0.2
0
L e th a lity
S u h u (ºC )
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
yang tinggi) dibandingkan dengan medium konduksi (daging). Sehingga Fo yang dihasilkan pada daing lebih besar dibandingkan dengan bumbu. Selain itu faktor-faktor lain yang menentukan waktu dan suhu yang diperlukan untuk sterilisasi makanan kaleng adalah : a) Waktu dimana keadaan bahan pangan (sifat, bentuk, letak penyusunan, isi), ukuran kaleng, suhu awal bahan pangan, suhu pemanasan retort, gerakan kaleng selama sterilisasi, kadar gula atau garam, akan menentukan lamanya sterilisasi. b) Suhu dimana jenis dan populasi mikroorganisme bahan pangan dan pH bahan pangan akan menentukan berapa suhu yang akan digunakan. Fo prediksi hasil perhitungan sesuai dengan persamaan 3 dibandingkan atau divalidasi dengan Fo observasi hasil pengukuran laboratorium, ditampilkan pada grafik 3.
Tcan Tref Fo PRE
0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
w aktu (menit)
Gambar 1. Fo area untuk rendang daging adalah 15,81 menit. 160
0.9
140
0.8 0.7
120
S u h u ( ºC )
0.5 80 0.4 60
L e th a lity
0.6
100
T Can T Ref Fo PRE
0.3
40
0.2
20
0.1
0
0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
w aktu (menit) 1.4
Gambar 2. Fo area untuk bumbu rendang adalah 7,36 menit
1.2 R2 = 0.9877 1 Fo Observasi
Terlihat pada kedua gambar bahwa antara rendang dengan bumbu memiliki Fo area yang berbeda. Hal ini disebabkan karena konduktifitas perpindahan panas antara kedua bahan berbeda. Jumlah panas yang diperlukan untuk sterilisasi tergantung pada beberapa hal, terkait dengan kondisi lapangan diantaranya : • Ukuran kaleng Ukuran kaleng yang digunakan adalah 301x205, penempatan termokople ada dititik tengah kaleng, untuk daging termokople ditancapkan pada bagian tengah daging, sementara untuk bumbu berada ditengah kaleng. • Kedaan isinya Penetrasi panas akan lebih cepat pada medium konveksi (medium berupa bumbu rendang memiliki kadar air
0.8
0.6
0.4
0.2
0 0
0.5
1 Fo Prediksi
Gambar 3. Scater plot Fo prediksi dengan Fo observasi untuk rendang daging Dengan nilai R2 sebesar 0,9877 berarti Fo prediksi hasil perhitungan tidak berbeda dengan Fo hasil observasi laboratorium. Sedangkan hasil validasi untuk bumbu rendang ditampilkan pada grafik 4.
140
1.5
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Richardson, P. 2001. Thermal Technologies in Food Processing, Woodhead Publishing Ltd, Cambridge, England. Soeparno. 1992. Ilmu dan Teknologi Bahan pangan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Stumbo, C.R. 1973. Thermobacteriology in Food Processing, Academic Press, New York. Murniyati, A.S dan Sunarman. 2000. Pendinginan Pembekuan Dan Pengawetan Bahan pangan. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Winarno, F.G., 1994. Sterilisasi Komersial untuk Produk pangan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
1 0.9 0.8 R2 = 0.9856
Fo Observasi
0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
Fo Frediksi
Gambar 4. Scater plot Fo Prediksi dengan Fo observasi untuk bumbu rendang. Dengan nilai R2 sebesar 0,9857 berarti Fo prediksi hasil perhitungan tidak berbeda dengan Fo hasil observasi laboratorium. 5. KESIMPULAN 1. Hasil dari penelitian ini adalah nilai Fo untuk rendang daging dan bumbu rendang pada kaleng ukuran 301 x 205 masing-masing adalah 15,81 dan 7,36 menit. 2. Hasil validasi Fo rediksi dan Fo observasi dihasilkan nilai R2 untuk rendang daging dan bumbu rendang masing-masing 0,9877 dan 0,9857 artinya hasil perhitungan tidak berbeda dengan hasil observasi laboratorium.
6. DAFTAR PUSTAKA Desrosier, N.W., 1988. Teknologi Pengawetan Pangan, terjemahan Muchji Muljohardjo, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. Forest, J.C., Aberle, E.D., Hendrick, H.B. and Merkel, R.A. 1975. Principles of Meat Sciences, W.H. Freeman and Co, San Fransisco. Judge, M.D., E.D. Arbele., J.C., Forrest., H.B. Hendrick. dan R.A. Merkel. 1989. Principle of Meat Science. 2nd ed, Kendall/Hunt Publishing Co, Dubuque, Iowa.
141
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
PENGARUH LETAK KALENG UKURAN 301 X 205 TERHADAP NILAI Fo GULAI TUNA KALENG Agus Susanto dan Asep Nurhikmat UPT Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jln Jogjakarta – Wonosari Km 30, Gading, Playen, Gunungkidul, Jogjakarta PO BOX 174 WNO Tel/fax 0274 392570; E-mail :
[email protected]
Abstrak Negara Indonesia yang merupakan negara kepulauan mempunyai sumber daya laut yang sangat beragam dan dengan kuantitas yang sangat besar. Hanya saja pemanfaatan sumber daya laut tersebut masih terasa kurang mendapat perhatian. Dipasaran ikan tuna dalam bentuk kalengan masih didominasi oleh produk luar negeri. Apalagi produk yang mempunyai ciri khas indonesia seperti bumbu gulai belum pernah terlihat dipasaran. Untuk itu perlu dilakukan proses pengalengan berbahan dasar ikan laut dengan menggunakan bumbu khas indonesia. Telah dilakukan penelitian tentang penentuan Fo ikan tuna dalam bumbu gulai yang dikemas dengan kaleng ukuran 301x205 pada beberapa posisi penempatan kaleng pada saat sterilisasi, karena posisi kaleng sangat berpengaruh terhadap nilai Fo yang dihasilkan. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui nilai Fo gulai tuna pada kaleng ukuran 301x205 pada letak yang berbeda secara vertikal untuk optimasi proses sterilisasi. Letak kaleng dalam autoclave adalah 0, 11 dan 22 cm dari dasar autoclave. Suhu dan waktu yang digunakan untuk sterilisasi adalah 121oC dan 15 menit. Penelitian menghasilkan nilai Fo gulai tuna untuk ukuran kaleng 301 x 205 pada posisi 0; 11 dan 22 cm masing-masing adalah 12,28; 12,04 dan 9,67 menit.
Kata kunci : Letak kaleng, gulai tuna, nilai Fo, ukuran kaleng
merupakan hal yang sudah lama dijumpai akan tetapi hanya sebatas pengalengan ikan sarden, tuna atau ikan-ikan lain dengan saus tomat, cabai atau larutan garam (brine). Produk kaleng gulai ikan tuna ini mempunyai keunggulan pada rasa, biasanya produk tuna kaleng hanya ditambah larutan garam akan tetapi produk ini mempunyai rasa yang sangat kuat yaitu rasa gulai. Produk kaleng gulai tuna tersebut merupakan produk baru yang belum banyak diketahui oleh masayakat. Hal tersebut menjadi dasar pemikiran untuk mengetahui lebih lanjut mengenai produk kaleng gulai tuna yang
1. PENDAHULUAN Pengalengan adalah metode pengawetan makanan dengan memanaskannya dalam suhu yang akan membunuh mikroorganisme, dan kemudian menutupinya dalam stoples maupun kaleng (Anonim, 2008b). Menurut Murniyati dan Sunarman (2000), proses pengalengan ikan meliputi persiapan bahan mentah, pengisian (filling), penghampaan (exhausting), sterilisasi, pendinginan, dan pelabelan. Pengalengan makanan dewasa ini sudah mulai berkembang dan banyak produsen makanan yang menggunakan metode pengawetan makanan dengan pengalengan. Pengalengan ikan
142
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
diproduksi di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Yogyakarta. Pengalengan adalah cara pengawetan ikan dengan sterilisasi dalam kaleng. Ikan dimasukkan dalam kaleng, kemudian disterilkan dengan panas. Faktor-faktor utama yang menentukan daya awet ikan kalengan adalah sterilisasi yang mematikan seluruh bakteri dalam isian kaleng dan kaleng yang menahan pengotoran atau penyebab pembusukan dari luar. Ikan yang dikaleng dan disimpan dengan baik dapat bertahan selama dua tahun (Murniyati dan Sunarman, 2000). Suhu yang digunakan dalam pengalengan adalah suhu tinggi yaitu 110º -120º C, untuk mematikan semua mikroorganisme sehingga dicapai sterilitas komersial yang berarti produk itu tidak 100% steril tetapi dapat tahan sampai dua tahun (Peranginangin, 1992). Sterilisasi komersial adalah proses sterilisasi dimana masih terdapat beberapa mikrobia yang masih dapat hidup setelah pemberian panas. Kondisi dalam kaleng setelah proses sterilisasi mengakibatkan bakteri tidak mampu tumbuh dan berkembang biak sehingga tidak dapat membusukkan makanan dalam kaleng (Winarno, 1994). Bila suatu makanan yang dikemas dalam kaleng atau botol diletakkan dalam retort, suhu produk tidak akan segera mencapai suhu proses sesuai dengan suhu retort yang dikehendaki, tetapi akan merambat kedalam kaleng secara perlahan-lahan. Sebelum melakukan tes penetrasi panas, harus dilakukan terlebih dahulu proses distribusi panas, untuk mengetahui apakah retort yang akan digunakan memiliki distribusi panas yang merata, dan bagian retort mana yang paling lambat kenaikan suhunya. Uji tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan alat termokopel. Heat penetrasiontest berguna untuk mengetahui kecepatan penetrasi panas dari retort kedalam makanan. Pada heat
penetrasion test dilakukan pengamatan yang teliti terhadap suhu produk selama proses pemanasan. Pengukuran dilakukan dengan meletakkan ujung termokopel pada bagian terdingin (cloudest spot) atau daerah yangpaling lambat pemanasannya dalam kaleng. Daerah tersebut sering juga disebut cold spot. Letakcoldest spottergantung pada jenis perambatan panasnya, yaitu apakah secara konduksi, konveksi, atau broken heating. Produk yang perambatan panasnya dengan konduksi, cold spot-nya berada dititik tengah geometrik dari kaleng. Produk yang mengalami perambatan panas secara konduksi, misalnya tuna dan cream soup biasanya tidak mengandung atau hanya sedikit saja mengandung cairan bebas. Bila kemasan kalengnya terdiri atas bahan pasat, seperti misalnya backed beans atau meat loaf, dimana panas dipindahkan secara konduksi, sambungan hot junction atau ujung termokopel berada pada atau sedikit diatas titik geometris kaleng. Sedangkan pada prouduk yang banyak mengandung cairan atau laruta garam atau gula, perambatan panas terjadi secara konveksi. Segera setelah cairan mendapat panas, aliran panas akan bergerak berputar keseluruh bagian kaleng. Perambatan panas dalam cairan bergerak lebih cepat dan seragam. Coldest spot dengan perambatan panas secara konveksi terletak dibagian dekat dasar pada pusat kaleng. Jumlah panas yang diperlukan untuk sterilisasi yang memadai tergantung pada beberapa factor, antara lain ukuran kaleng, posisi kaleng dan keadaan isinya. Panas kaleng memerlukan waktu lebih lama untuk menerobos masuk kedalam kaleng yang besar. Demikian juga penetrasi panas akan lebih cepat pada medium konveksi, seperti sup, daripada medium konduksi, seperti “corned beef”
143
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Proses sterilisasi dirancang untuk mematikan “clostridium botulinum” dan sporanya, sebab mikroorganisme ini paling berbahaya dan sporanya paling tahan terhadap pemanasan, yang biasanya mengkontaminasi makanan kaleng. Jumlah waktu (dalam menit) pada suhu tertentu yang diperlukan untuk menghancurkan semua mikroba biasanya disebut dengan nilai F. Nilai F ini sangat spesifik, artinya, nilai tersebut bergantung pada suhu proses dan nilai Z dari mikroba. Nilai Fo adalah waktu (dalam menit) pada 250°F yang diperlukan untuk menghancurkan sejumlah mikroba tertentu yang memiliki nilai Z sama dengan 18°F. Agar mendapat gambaran lebih jelas, perlu dibandingkan dengan proses lain, yaitu pada suhu yang berbeda dengan 250°F. Contohnya proses yang memerlukan waktu 10 menit pada 232°F memiliki efek pembunuhan yang sama dengan 1 menit pada suhu 250°F, bila mikroba memiliki nilai Z sama dengan 18°F. Resistensi atau ketahanan sel dan spora mikroorganisme terhadap panas berbeda diantara mikroorganisme. Pada umumnya mikroorganisme lebih tahan terhadap pemanasan pada pH netral atau mendekati netral. Peningkatan keasaman dari pada peningkatan kebasaan dalam merusak mikroorganisme oleh panas (Judge dkk, 1989) resistensi panas mikroorganisme dinyatakan sebagai waktu kematian thermal atau Thermal Death Time (TDT) yaitu waktu yang dibutuhkan untuk membunuh sejumlah sel atau spora tertentu pada kondisi fisik tertentu (temperature, jumlah dan tipe mikroorganisme, serta karakteristik medium pemanasan). Untuk mengetahui TDT atau Fo dipergunakan persamaan yang disampaikan lewis (1987) dan Richardson (2001):
log L =
T − 121 10 (1)
Atau
L = 10 Dimana Fo persamaan :
dapat Fo =
T −121,1 10
(2)
dihitung
∫ Ldt
dengan
(3)
2. TUJUAN Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai Fo ikan tuna kaleng ukuran 301x205 dengan posisi yang berbeda-beda 3. METODE PENELITIAN 3.1. Bahan dan Alat Bahan utama pada penelitian ini ikan tuna dan daging sapi, kaleng ukuran 301 x 405 (spesifikasi dapat dilihat pada tabel 1. Sedangkan bahan pembantu adalah cairan bumbu rasa gulai. Alat yang digunakan antara lain retort, Fometer, canning line, alat memasak, alat gelas. Tabel 1. Spesifikasi kaleng ukuran 301x205 Jenis Barang Warna Ukuran Design Body Top Bottom For Capasity
: Kaleng bundar (can) : Polos : Ø 301 X 205 : GL/AL; GL/AL (2 piece can), bottom end type press : Luar Gold lacquer, dalam aluminize laquer : Luar Gold lacquer, dalam aluminize laquer : Luar Gold lacquer, dalam aluminize laquer : Meat, Fish, cream, vegetables : 180 ml
3.2. Metode Proses pengalengan meliputi : 1. Preparasi bahan a. Bahan utama, sortasi dan pengecilan ukuran bahan b. Bahan pembantu berupa cairan bumbu rasa gulai
144
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
T can T ref
L
0.3 60
L
0.2
10
90
80
70
60
50
0 40
0 30
0.1
20
20
time (minutes)
Gambar 1. Fo gulai tuna pada posisi 3 adalah 9.6713 menit
Barom
Jumlah panas yang diperlukan untuk sterilisasi yang memadai tergantung pada beberapa factor, antara lain ukuran kaleng, posisi kaleng dan keadaan isinya. Alat yang digunakan untuk proses sterilisasi adalah retort, yang disebut juga autoclave atau sterilizer, berbentuk bejana tertutup dan tahan tekanan tinggi yang ditimbulkan oleh uap yang berasal dari sumber diluar retort. Sumber uap air panas tersebut dapat berbentuk bolier atau steam generator.
Posisi Posisi A
Gambar 1. Skema posisi
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada dasarnya, proses pemanasan yang diterapkan didalam industri pengalengan makanan, dirancang khusus hanya untuk mencapai sterilisasi komersial. Kondisi tersebut tidak mudah dicapai, malahan kadang-kadang dapat menghasilkan perubahan-perubahan mutu yang tidak diinginkan, maka dikembangkan cara penerapan proses sterilisasi yang pas dan aman serta dapat menekan kerusakan seminimal mungkin dan penurunan mutu yang disebabkan/ diakibatkan pemberian panas Hasil perhitungan persamaan 1-3 untuk masing-masing produk dapat dilihat pada Gambar 1,2 dan 3.
140
1.2
120
1
T (ºC )
100
0.8
T can
80 0.6 60 0.4
40
T ref L
10
90
80
70
60
50
0 40
0 30
0.2
0
20
L
Posisi
Fo
0.4
80
40
Termo
Term okope
0.5
100
20
7.
120
0
5. 6.
0.6
10
4.
140
10
3.
Blansing pada suhu 80oC selama 5 menit Pengisian dalam kaleng (ikan laut dan daging sapi serta cairan bumbu) Ekshausting pada suhu 80oC selama 10 menit Penutupan kaleng Sterilisasi pada temperatur 121oC selama 20 menit. Letak kaleng diatur sesuai ketinggian dari dimensi retort, seperti pada gambar 1. Pendinginan kaleng
T (ºC )
2.
time (minutes)
Gambar 2. Fo gulai tuna pada posisi 2 adalah 12.0379 menit
145
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
1.2
120
1
1
0.8
T ref
80 0.6 60 0.4
40
T can L
0.8
posisi 3 posisi 2 posisi 1
0.6 0.4 0.2 0 1 7 13 19 25 31 37 43 49 55 61 67 73 79 85 91 97 103
10
90
80
70
60
50
40
30
0 20
0 0
0.2
10
20
L
T ( ºC )
100
1.2
F o ar e a (m e n e it )
140
time (minutes)
waktu (menit)
Gambar 3. Fo gulai tuna pada posisi 3 adalah 12.284 menit
Gambar 4. Fo gabungan Pada gambar 4 terlihat bahwa pada posisi 1 dan 2 terlihat berhimpit. Hal ini disebabkan pada posisi 2 panas dari ratort masih cukup untuk memanaskan kaleng pada ketinggian 11 cm dari dasar.
Terlihat pada ketiga gambar bahwa posisi 1, 2 dan 3 memiliki Fo area yang berbeda. Hal ini disebabkan karena perpindahan panas antara posisi berbeda. Pada posisi 1 pada 0 cm atau dasar retort akan lebih cepat menerima panas dibandingkan posisi 3, sehingga panas uap lebih dahulu diterima oleh kaleng posisi 1 kemudian pada sisanya baru dipindahkan kepada posisi 2 dan terakhir posisi 3. Bila suatu makanan yang dikemas dalam kaleng diletakkan dalam retort, suhu produk tidak akan segera mencapai suhu proses sesuai dengan suhu retort yang dikehendaki, tetapi akan merambat kedalam kaleng secara perlahan-lahan. Sebelum melakukan penetrasi panas ke dalam kaleng, kalor yang ada digunakan terlebih dahulu untuk proses distribusi panas ruangan retort. Heat penetrasiontest diperlukan untuk mengetahui kecepatan penetrasi panas dari retort kedalam makanan. Pada heat penetrasion test dilakukan pengamatan yang teliti terhadap suhu produk selama proses pemanasan. Apabila ketiga grafik digabungkan maka dihasilkan gambar 4.
5. KESIMPULAN 1. Nilai Fo untuk posisi o cm, 11 cm dan 22 cm adalah 12.284; 12.0379 dan 9.6713 menit 2. semakin dekat posisi kaleng dengan sumber panas maka akan semakin cepat panas isi kaleng dan Fo semakin besar. 3. panas retort optimal sampai pada posisi 11 cm. 4. Nilai Fo dipengaruhi oleh ukuran kaleng, posisi kaleng, jenis bumbu, dan viskositas cairan. 6. DAFTAR PUSTAKA Desrosier, N.W., 1988. Teknologi Pengawetan Pangan, terjemahan Muchji Muljohardjo, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. Forest, J.C., Aberle, E.D., Hendrick, H.B. and Merkel, R.A. 1975. Principles of Meat Sciences, W.H. Freeman and Co, San Fransisco. Judge, M.D., E.D. Arbele., J.C., Forrest., H.B. Hendrick. dan R.A. Merkel. 1989. Principle of Meat Science, 2nd ed, Kendall/Hunt Publishing Co, Dubuque, Iowa.
146
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Murniyati, A.S. dan Sunarman, 2000. Pendinginan Pembekuan Dan Pengawetan Ikan. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Peranginangin, R., 1992. Pengalengan Ikan. Dalam Kumpulan Hasil-Hasil Penelitian Pasca Panen Perikanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Jakarta. Richardson, P., 2001. Thermal Technologies in Food Processing, Woodhead Publishing Ltd, Cambridge, England. Soeparno, 1992. Ilmu dan Teknologi Ikan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Stumbo, C.R., 1973. Thermobacteriology in Food Processing, Academic Press, New York. Winarno, F.G., 1994. Sterilisasi Komersial untuk Produk pangan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Yusmirasari, P., 2000. Laporan Kerja Praktek di BBOK LIPI, Jurusan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Industri, Universitas Pasundan, Bandung.
147
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
EVALUASI POSTUR KERJA PADA PEKERJA BAGIAN PERAWATAN TAMAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE REBA (RAPID ENTIRE BODY ASSESSMENT) (Studi Kasus Pada PT Dewijaya Agrigemilang Jakarta) Adisty Savitri1), Guntarti Tatik Mulyati2), Ibnu Wahid Fakhrudin Aziz2) 1) 2)
Mahasiswa Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Staff Pengajar Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Abstrak
Kinerja dan hasil kerja yang baik sangat dipengaruhi oleh tingkat kenyamanan pekerja. Ketidaknyamanan dan kelelahan akibat pekerjaan yang terus-menerus dan berulang dalam jangka waktu yang lama sering terjadi di tempat kerja. Pekerjaan dengan beban dan fasilitas kerja yang tidak ergonomis dapat menciptakan postur kerja yang tidak alami sehingga mengakibatkan pengerahan tenaga yang berlebih. Penggunaan Postur kerja yang seperti ini dapat menyebabkan terjadinya kelelahan dan keluhan nyeri pada tubuh pekerja. Apabila dibiarkan terus-menerus maka dapat menimbulkan terjadinya penurunan konsentrasi dan kinerja pekerja. Penelitian ini betujuan untuk mengetahui adanya keluhan sakit akibat kerja, mengetahui tingkat resiko postur kerja, dan memberikan usulan perbaikan metode kerja kepada elemen kerja yang memiliki tingkat resiko postur kerja tinggi dan sangat tinggi. Penelitian ini menggunakan kuesioner Nordic Body Map untuk mengetahui keluhan sakit akibat kerja. Sedangkan metode REBA (Rapid Entire Body Assessment) digunakan untuk mengetahui tingkat resiko postur kerja. Penyebaran kuesioner Nordic Body Map dan penilaian postur kerja dilakukan terhadap 7 pekerja perawatan taman pada masingmasing kategori pekerjaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 7 pekerja mengalami keluhan sakit akibat kerja yang diketahui berdasarkan analisis kuesioner Nordic Body Map, antara sebelum dan sesudah bekerja. Penilaian tingkat resiko postur kerja menggunakan metode REBA, dari 7 kategori pekerjaan yang terbagi lagi menjadi 23 elemen kerja menunjukkan 82.6% beresiko sedang, 10.9% beresiko tinggi, 4.3% beresiko sangat tinggi, dan 2.2% beresiko rendah. Ada beberapa postur kerja yang memerlukan usulan perbaikan, yaitu pekerja 3 (penaburan pupuk) memiliki tingkat resiko postur kerja sangat tinggi (left side & right side), pekerja 5 (pemangkasan tanaman pagar) memiliki tingkat resiko postur kerja tinggi (left side & right side), dan pekerja 6 (penyemprotan obat hama) memiliki tingkat resiko postur kerja tinggi (left side). Usulan perbaikan metode kerja yang ditujukan untuk ketiga pekerja tersebut, membuktikan adanya perbaikan dengan berkurangnya tingkat resiko postur kerja dan jumlah keluhan sakit akibat kerja. Kata kunci : Postur Kerja, Metode REBA, Tingkat Resiko, Kuesioner Nordic Body Map
kenyamanan pekerja. Kenyamanan tersebut akan memacu performansi kerja sehingga aktivitas kerja dapat tercapai. Terkadang hal tersebut tidak
1.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kinerja dan hasil kerja yang baik sangat dipengaruhi oleh tingkat
148
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
dapat dicapai dikarenakan beberapa faktor pengahambat, yang terdiri dari faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal berupa lingkungan kerja atau suasana/kondisi kerja yang tidak sehat, kurang aman dan nyaman. Sedangkan faktor internal berasal dari dalam diri pekerja tersebut yang berupa keterampilan usaha, konsistensi kerja, metode kerja, dan penggunaan postur kerja dalam melakukan pekerjaan. Ketidaknyamanan dan kelelahan akibat pekerjaan yang terus-menerus dan berulang dalam jangka waktu yang cukup lama sering terjadi di tempat kerja. Pekerjaan dengan beban dan perancangan alat yang tidak ergonomis dapat mengakibatkan pengerahan tenaga yang berlebih. Postur kerja yang tidak alami dapat menyebabkan terjadinya kelelahan dini dan keluhan nyeri pada beberapa bagian anggota tubuh. Apabila hal tersebut dibiarkan secara terusmenerus di tempat kerja maka dapat dimungkinkan terjadinya penurunan konsentrasi kerja dan kinerja pekerja. Penelitian evaluasi postur kerja dilakukan di PT Dewijaya Agrigemilang yang bergerak dibidang pembuatan dan perawatan taman. Objek penelitian yang digunakan adalah pekerja bagian perawatan taman dengan tujuh kategori pekerjaan diantaranya, pemotongan rumput, penyetikan dan pendangiran, pemupukan tanaman, penyiraman tanaman, pemangkasan, penyemprotan hama, dan pembersihan. Masingmasing kategori pekerjaan dilakukan oleh pekerja yang sama pada setiap hari, sehingga satu pekerja melakukan satu kategori pekerjaan yang sama secara rutin sesuai dengan keterampilan yang dimiliki. Jadi dapat disimpulkan bahwa, pekerjaan untuk pekerja bagian perawatan taman ini merupakan perkerjaan yang dilakukan
terus-menerus (monoton) dan berulang (repeated effort). Penggunaan postur kerja seperti jongkok disertai dengan membungkuk dan berdiri atau berjalan sambil membawa beban yang cukup berat dilakukan pekerja dalam waktu yang cukup lama. apabila dibiarkan terus-menerus akan menimbulkan kelelahan, sehingga dapat menyebabkan konsentrasi dan kinerja pekerja menurun. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi postur kerja pada pekerja bagian perawatan taman ini. Metode yang digunakan untuk mengidentifikasi tingkat resiko postur kerja adalah metode REBA (Rapid Entire Body Assessment). Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mengetahui adanya keluhan sakit akibat kerja yang dialami oleh pekerja, mengetahui tingkat resiko postur kerja dengan menggunakan metode REBA (Rapid Entire Body Assessment), dan memberikan usulan perbaikan metode kerja terhadap kategori pekerjaan bagian perawatan taman di PT Dewijaya Agrigemilang yang memiliki tingkat resiko tinggi dan sangat tinggi. 2. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di PT Dewijaya Agrigemilang dengan lokasi penelitian pekerja bagian perawatan taman difokuskan pada area pertamanan Residential Real Estate Mega Kebon Jeruk – Puri Botanical, Jakarta Barat pada bulan Mei-Juli 2011. Penilaian postur kerja dilakukan terhadap pekerja bagian perawatan taman dengan 7 kategori pekerjaan yang berbeda dan penyebaran kuesioner Nordic Body Map dilakukan sebelum dan sesudah melakukan pekerjaan. Pengukuran waktu postur kerja dilakukan pengamatan selama 10 kali pengulangan, untuk mengetahui waktu rata-rata penggunaan postur
149
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
kerja disetiap elemen kerja. Tahaptahap penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Survei Pendahuluan Melakukan survei awal terhadap objek penelitian untuk mengetahui keserasian antara judul, tujuan, dan metodelogi penelitian. 2. Perumusan Masalah dan Penetapan Tujuan Mengidentifikasi permasalahan yang terdapat dalam perusahaan kemudian dirumuskan dan juga menetapkan tujuan, serta manfaat penelitian. 3. Studi Pustaka Mempelajari studi pustaka yang terkait dengan objek penelitian, metode penelitian, dan pelaksanaan penelitian. 4. Pengumpulan Data yang Terdiri dari : a. Data Kuesioner Nordic Body Map Data kuesioner Nordic Body Map digunakan untuk mengetahui bagian anggota tubuh pekerja yang terasa sakit akibat melakukan pekerjaan. b. Data Postur Kerja (Metode REBA) Data postur kerja digunakan untuk menganalisis tingkat resiko postur kerja selama pekerja melakukan pekerjaannya, analisis postur kerja dilakukan dengan menggunakan metode REBA (Rapid Entire Body Assessment). c. Data Waktu Kerja untuk Setiap Postur Data waktu postur kerja digunakan untuk mengetahui secara detail waktu penggunaan postur kerja pada setiap elemen kerja.
5. Analisis Kuesioner Nordic Body Map dan Postur Kerja dengan Metode REBA Mengalisis hasil kuesioner Nordic Body Map yang disebarkan kepada 7 pekerja dengan kategori pekerjaan yang berbeda untuk mengetahui keluhan sakit yang dirasakan pekerja akibat penggunaan postur selama bekerja dan menilai postur kerja awal dengan menggunakan metode REBA (Rapid Entire Body Assessment). Penilaian terdiri dari batang tubuh (trunk), leher (neck), kaki (legs), lengan atas (upper arm), lengan bawah (lower arm), dan pergelangan tangan (wrist), serta faktor beban/kekuatan dan pegangan (coupling). 6. Penentuan Tingkat Resiko Postur Kerja (Tingkat Resiko Tinggi dan Sangat Tinggi ?) Menentuan tingkat resiko postur kerja dilakukan untuk mengetahui tindakan yang harus dilakukan pada postur kerja yang memiliki tingkat resiko tinggi dan sangat tinggi. Apabila terdapat postur kerja dengan tingkat resiko seperti ini, maka akan dilakukan perbaikan metode kerja. 7. Perbaikan Metode Kerja Memperbaiki metode kerja elemen kerja yang memiliki tingkat resiko postur kerja tinggi dan sangat tinggi sehingga dapat menciptakan postur kerja yang lebih ergonomis. 8. Aplikasi Penggunaan Fasilitas Kerja Baru untuk Perbaikan Metode Kerja Mengaplikasikan penggunaan fasilitas kerja baru merupakan suatu usulan untuk memperbaiki metode kerja sehingga dapat menciptakan postur kerja yang lebih ergonomis.
150
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
9. Pengumpulan Data yang Terdiri dari : a. Data kuesioner Nordic Body Map Data kuesioner Nordic Body Map ini digunakan untuk mengetahui adakah perubahan mengenai jumlah keluhan sakit akibat kerja setelah dilakukan perbaikan metode kerja. b. Data Postur Kerja (Metode REBA) Data postur kerja ini digunakan untuk mengetahui adakah perubahan yang lebih baik mengenai tingkat resiko postur kerja setelah dilakukan perbaikan metode kerja. 10. Analisis Kuesioner Nordic Body Map dan Postur Kerja dengan Metode REBA Menilai kembali keluhan sakit akibat kerja setalah dilakukan perbaikan metode kerja terhadap pekerja yang memiliki tingkat resiko postur kerja tinggi dan sangat tinggi dan menilai kembali postur kerja dengan menggunakan metode REBA. 11. Pembahasan Membahas hasil yang diperoleh dari tahapan penelitian dengan bantuan teori atau literatur yang ada. 12. Penarikan Kesimpulan dan Saran
selama melakukan pekerjaannya. Penilaian postur kerja dilakukan terhadap tujuh pekerja dengan kategori pekerjaan berbeda, diantaranya pekerja pemotongan rumput, penyetikan dan pendangiran, pemupukan, penyiraman, pemangkasan, penyemprotan hama, dan pembersihan. Pengolahan data pada penelitian ini adalah dengan menggunakan kuesiner Nordic Body Map sebagai tools untuk mengetahui ketidaknyamanan pekerja terhadap pekerjaannya dengan menunjukan rasa sakit yang dialami pekerja pada beberapa bagian anggota tubuh. Sedangkan metode REBA digunakan untuk menilai faktor resiko ganguan tubuh secara keseluruhan mengenai postur tubuh yang digunakan dalam bekerja (Mc Atamney, 2000), sehingga perbaikan metode kerja dapat dilakukan untuk elemen kerja dengan tingkat resiko postur kerja tinggi dan sangat tinggi dengan pertimbangan waktu kerja untuk setiap penggunaan postur, yaitu pengukuran waktu untuk mengetahui secara detail lama penggunaan postur kerja pada setiap elemen kerja. Pengukuran waktu postur kerja dilakukan sebanyak 10 kali pengulangan dan dilakukan uji keseragaman data serta uji kecukupan data agar dapat dipastikan pengambilan data waktu kerja sebanyak 10 kali pengulangan dapat mewakili waktu kerja yang sebenarnya pada setiap elemen kerja. Berdasarkan analisis postur kerja dengan menggunakan metode REBA menunjukkan bahwa : 1. Pekerjaan 1 (Pemotongan Rumput) pekerja 1 (pemotongan rumput) terbagi menjadi 3 elemen kerja, yaitu pengisian bahan bakar dengan waktu rata-rata 16 menit, pemotongan rumput dengan waktu rata-rata 388 menit, dan penyimpanan peralatan dengan waktu rata-rata 3 menit memliki tingkat resiko sedang. Analisis kuesioner Nordic Body Map menunjukkan, pekerjaan pemotongan
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui adanya keluhan sakit akibat kerja yang dialami oleh pekerja, menilai postur kerja sehingga dapat menentukan tingkat resiko dari pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja, memberikan suatu usulan perbaikan metode kerja kepada pekerja yang memiliki tingkat resiko postur kerja tinggi dan sangat tinggi untuk mengatasi ketidaknyamanan pekerja dalam penggunaan postur kerja
151
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
rumput ini mengakibatkan keluhan sakit akibat kerja pada bagian bahu kiri (sangat sakit), pinggang (sangat sakit), bawah pinggang (sangat sakit), betis kiri, dan betis kanan (sakit). 2. Pekerjaan 2 (Penyetikan dan Pendangiran) Pekerja 2 (penyetikan dan pendangiran) terbagi menjadi 3 elemen kerja, yaitu pencabutan tanaman liar dengan waktu rata-rata 133 menit, penyetikan dengan waktu rata-rata 142 menit, dan pendangiran dengan waktu rata-rata 144 menit memiliki tingkat resiko sedang. Kategori pekerjaan penyetikan dan pendangiran ini juga mengakibatkan keluhan sakit akibat kerja pada bagian leher atas (sakit), bawah pinggang (agak sakit), bahu kanan (agak sakit), lengan atas kanan (agak sakit), lutut kanan (agak sakit), dan lutut kiri (agak sakit). 3. Pekerjaan 3 (Pemupukan) Pekerja 3 (pemupukan) terbagi menjadi 4 elemen kerja, yaitu pembukaan karung dengan waktu ratarata 3 menit, pengangkatan karung pupuk yang merupakan aktivitas kombinasi dengan elemen kerja penaburan pupuk dengan waktu ratarata tergantung dari kemampuan luas jangkauan pekerja pemupukan setiap pengangkatan untuk berpindah lokasi, berdasarkan pengukuran waktu postur kerja pengangkatan karung rata-rata membutuhkan 4 detik untuk berpindah tempat dari satu tempat ke tempat yang lain, elemen kerja ini memiliki tingkat resiko postur kerja sedang. Sedangkan elemen kerja penaburan pupuk dengan waktu rata-rata 408 menit ini memiliki tingkat resiko sangat tinggi sehingga diperlukan segera perbaikan metode kerja yang dapat menciptakan postur kerja yang lebih ergonomis. Faktor terbentuknya tingkat resiko sangat tinggi pada elemen kerja penaburan pupuk oleh
karena sudut postur tubuh yang terbentuk dari postur kerja yang digunakan pekerja penaburan pupuk itu sendiri. Usulan penggunaan fasilitas kerja baru dengan menggunakan alat penaburan pupuk menunjukkan adanya perbaikan tingkat resiko postur kerja dari tinggi menjadi postur kerja dengan tingkat resiko sedang dan pekerjaan penaburan pupuk ini sebelumnya dilakukan secara manual. “Menurut Wignjosoebroto (1995) dalam bukunya ‘Ergonomi, Studi Gerak dan Waktu’, menyatakan bahwa salah satu prinsip ekonomi gerakan untuk mendapatkan suatu rangkaian gerakan serta metode kerja yang efektif dan efisien dalam melakukan suatu pekerjaan adalah dengan mengurangi sebanyak mungkin pekerjaan tubuh (manual) apabila hal tersebut dapat dilaksanakan dengan peralatan kerja”.
Gambar 3. Usulan Fasilitas Kerja Penaburan Pupuk Berdasarkan perincian pengukuran sudut postur kerja sebelum dan sesudah perbaikan menunjukkan adanya perubahan, seperti bagian pergelangan tangan pada awalnya membentuk sudut <-15o dan menekuk menjadi >15o (right side) serta netral dan menekuk (left side), lengan atas pada awalnya membentuk
152
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
sudut >+90 o dan pergerakan yang menyamping menjadi -20o sampai 20o, lengan bawah pada awalnya membentuk sudut 0o sampai 60o menjadi 60o -100o (right side dan left side), leher yang awalnya membentuk sudut <-20o dan menekuk menjadi >20o (right side dan left side), batang tubuh yang awalnya membentuk sudut >60o dan menekuk menjadi 0o sampai 20o (right side dan left side), penilaian aktivitas yang awalnya berulang menjadi statis. Tidak ada perbedaan penilaian postur kaki yang stabil, penilaian beban <5kg, dan pegangan baik serta mudah digenggam.
dilakukannya perbaikan postur kerja, keluhan sakit akibat kerja mengalami penurunan yaitu hanya pada bagian siku kiri (agak sakit), lengan bawah kiri (sakit), dan tangan kiri (sakit). 4. Pekerjaan 4 (Penyiraman tanaman) Pekerja 4 (penyiraman tanaman) terbagi menjadi 4 elemen kerja, yaitu penyusunan peralatan penyiraman dengan waktu rata-rata 6 menit, penyiraman dengan waktu rata-rata 381 menit, penggulungan selang dengan waktu ratarata 11 menit, dan pengimpanan peralatan dengan waktu rata-rata 5 menit memiliki tingkat resiko sedang. Kategori pekerjaan penyiraman tanaman ini juga mengakibatkan keluhan sakit akibat kerja pada bagian bahu kanan (agak sakit), lengan atas kanan (agak sakit), siku kanan (sakit), lengan bawah kanan (sakit), pergelangan tangan kanan (agak sakit), betis kiri dan kanan (agak sakit).
(a)
5.
Pekerjaan 5 (pemangkasan tanaman) Pekerja 5 (pemangkasan tanaman) yang terbagi menjadi 3 elemen kerja, yaitu pemangkasan pohon dengan waktu rata-rata 318 menit dan pemangkasan tanaman perdu dengan waktu rata-rata 404 menit memiliki tingkat resiko postur kerja sedang. Sedangkan elemen kerja pemangkasan tanaman pagar dengan waktu rata-rata 408 menit memiliki tingkat resiko tinggi sehingga diperlukan perbaikan metode kerja secepatnya yang dapat menciptakan postur kerja yang lebih ergonomis. Faktor terbentuknya tingkat resiko tinggi pada elemen kerja pemangkasan tanaman pagar oleh karena sudut postur tubuh yang terbentuk dari postur kerja yang digunakan pekerja pemangkasan tanaman pagar itu sendiri. Usulan penggunaan fasilitas kerja baru dengan menggunakan alat pemangkasan tanaman pagar mesin menunjukkan adanya perbaikan tingkat resiko postur kerja dari tinggi pada postur kanan dan
(b) Gambar 4. Postur Kerja Penaburan Pupuk (a) Sebelum Perbaikan, (b) Sesudah Perbaikan Kategori pekerjaan pemupukan ini juga mengakibatkan keluhan sakit akibat kerja pada bagian bawah leher (sakit), punggung (sakit), pinggang (sakit), bawah pinggang (sangat sakit), lengan bawah kiri (sakit), lengan bawah kanan (sakit), pergelangan tangan kanan (sakit), dan pergelangan tangan kiri (sakit), lutut kiri dan lutut kanan (sakit), betis kiri dan betis kanan (agak sakit). Namun setelah
153
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
kiri menjadi postur kerja dengan tingkat resiko sedang pada postur bagian kanan dan tingkat resiko rendah pada postur bagian kiri. “Menurut Englewood (1994) dalam bukunya ‘Motion and Study Time : Improving Productivity’ menyatakan salah satu prinsip ekenomi gerakan adalah mengeleminasi penggunaan tenaga otot untuk melaksanakan kegiatan statis. Demikian sebisa mungkin untuk menggunakan tenaga mesin (mekanisme)”.
tanaman ini juga mengakibatkan keluhan sakit akibat kerja pada bagian leher atas dan leher bawah (sangat sakit), lengan atas kiri dan lengan atas kanan (sakit), siku kiri dan siku kanan (sakit), bawah pinggang (sakit), pinggang (sakit), lengan bawah kiri dan lengan bawah kanan (sakit), betis kiri dan betis kanan (sakit), telapak kaki kiri dan telapak kaki kanan (agak sakit). Namun setelah dilakukannya perbaikan postur kerja, keluhan sakit akibat kerja mengalami penurunan yaitu hanya pada bagian bahu kiri dan bahu kanan (agak sakit), lengan bawah kiri dan lengan bawah kanan (sakit), lutut kiri dan lutut kanan (agak sakit).
Gambar 5. Usulan Fasilitas Kerja Pemangkasan Tanaman Pagar Berdasarkan perincian pengukuran sudut postur kerja sebelum dan sesudah perbaikan menunjukkan adanya perubahan, seperti bagian pergelangan tangan pada awalnya membentuk sudut netral menjadi >15o, lengan atas pada awalnya membentuk sudut 46o sampai 90o posisi menyamping dan bahu mengangkat menjadi membentuk sudut 21 sampai 45o gerakan menyamping pada postur bagian kanan (right side), lengan bawah pada awalnya membentuk sudut 0o sampai 60o menjadi 60o sampai 100o pada postur bagian kiri (left side) dan postur bagian kanan (right side), leher pada awalnya membentuk sudut <-20o dan menekuk menjadi 0o sampai 20o (right side dan left side), batang tubuh pada awalnya membentuk sudut 21o sampai 60o dan menekuk menjadi netral (right side dan left side), penilaian beban pada awalnya <5kg menjadi 5-10kg. Tidak ada perbedaan penilaian postur kaki yang stabil, pegangan baik serta mudah digenggam, dan penilaian aktivitas statis. Kategori pekerjaan pemangkasan
(a)
(b) Gambar 6. Postur Kerja Pemangkasan Tanaman Pagar (a) Sebelum Perbaikan, (b) Sesudah Perbaikan 6. Pekerjaan 6 (Penyemprotan Hama) Pekerja 6 (penyemprotan hama) terbagi menjadi 3 elemen kerja, yaitu pengisian obat hama dengan waktu ratarata 18 menit memiliki tingkat resiko
154
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
postur kerja sedang. Sedangkan elemen kerja penyemprotan obat hama dengan waktu rata-rata 357 menit memiliki tingkat resiko postur kerja tinggi pada postur kiri dan sedang pada postur kanan. Elemen kerja pengecekan alat semprot dengan waktu rata-rata 4 menit memiliki tingkat resiko postur kerja tinggi. Berdasarkan tingkat resiko postur kerja dengan pertimbangan waktu kerja ratarata, yang memerlukan perbaikan metode kerja secepatnya adalah elemen kerja penyemprotan obat hama pada postur bagian kiri. Faktor terbentuknya tingkat resiko tinggi pada postur kerja bagian penyemprotan obat hama oleh karena sudut postur tubuh yang terbentuk dari postur kerja yang digunakan pekerja penyemprotan obat hama itu sendiri. Usulan penggunaan fasilitas kerja baru dengan menggunakan alat penyemprotan hama dengan letak gagang pompa berada disamping batang tubuh pekerja menunjukkan adanya perbaikan tingkat resiko postur kerja dari tinggi pada postur bagian kiri menjadi postur kerja dengan tingkat resiko sedang pada postur bagian kiri.
Gambar 7. Usulan Fasilitas Alat Semprot Hama Berdasarkan perincian pengukuran sudut postur kerja pada postur bagian kiri (left side) sebelum dan sesudah perbaikan ditunjukkan adanya perubahan, seperti bagian pergelangan tangan pada awalnya membentuk sudut <-15o menjadi >15o, lengan atas pada awalnya membentuk sudut 46o sampai 90o dan posisi menyamping menjadi -20o sampai 20o, lengan bawah pada awalnya membentuk sudut >100o menjadi 60o sampai 100o, leher pada awalnya membentuk 0o sampai 20o dan menekuk menjadi >20o, untuk penilaian batang tubuh sudut yang dibentuk sama pada saat sebelum perbaikan maupun sesudah perbaikan yaitu 0o sampai 20o, hanya saja pada postur kerja sebelum perbaikan posisi batang tubuh menekuk. Tidak ada perbedaan penilaian postur kaki yang stabil, pegangan baik serta mudah digenggam, penilaian beban >10kg dan aktivitas statis. Kategori pekerjaan penyemprotan hama ini juga mengakibatkan keluhan sakit akibat kerja pada bagian bahu kiri dan bahu kanan
“Menurut Wignjosoebroto (1995) dalam bukunya ‘Ergonomi, Studi Gerak dan Waktu’, menyatakan bahwa salah satu cara penyederhanaan kegiatan kerja untuk menciptakan suatu rangkaian gerakan serta metode kerja yang efektif dan efisien dengan cara menyesuaikan letak dari gandles, pedals, levers, buttons, dan lain-lain dengan memperhatikan dimensi tubuh manusia dan kekuatan otot yang dibutuhkan”.
155
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
sedang. Sedangkan elemen kerja pemindahan kantung sampah dengan waktu kerja rata-rata 9 menit memiliki tingkat resiko postur kerja rendah pada postur kanan dan sedang pada postur kiri. Kategori pekerjaan pembersihan ini juga mengakibatkan keluhan sakit akibat kerja pada bagian bahu kiri dan bahu kanan (sakit), pinggang (agak sakit), pergelangan tangan kiri dan kanan (agak sakit), betis kiri dan betis kanan (agak sakit).
(sakit), lengan atas kiri (sangat sakit), punggung (agak sakit), bawah pinggang (agak sakit), lengan bawah kiri (sakit), betis kiri dan betis kanan (agak sakit), pergelangan kaki kiri dan kanan (agak sakit). Namun setelah dilakukannya perbaikan postur kerja, keluhan sakit akibat kerja mengalami penurunan yaitu hanya pada bagian bahu kiri (agak sakit), bahu kanan (agak sakit), dan pinggang (agak sakit).
4. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN 1. Berdasarkan kuesioner Nordic Body Map, seluruh pekerja perawatan taman mengalami keluhan sakit akibat kerja. 2. Berdasarkan analisis postur kerja dengan menggunakan metode REBA (Rapid Entire Body Assessment) dari 23 elemen kerja, 82.6% memiliki tingkat resiko sedang, 10.9% tingkat resiko tinggi, 4.3% tingkat resiko sangat tinggi, dan 2.2% tingkat resiko rendah. 3. Elemen kerja yang direkomendasikan untuk dilakukan perbaikan postur kerja dipertimbangkan berdasarkan tingkat resiko postur kerja dan waktu kerja rata-rata adalah penaburan pupuk, pemangkasan tanaman pagar, dan penyemprotan obat hama. 4. Perbaikan postur kerja yang dilakukan memberikan perubahan tingkat resiko postur kerja dan keluhan sakit akibat kerja dengan penurunan tingkat resiko postur kerja dan jumlah keluhan sakit akibat kerja setelah perbaikan.
(a)
(b) Gambar 8. Postur Kerja Penyemprotan Obat Hama (a) Sebelum Perbaikan, (b) Sesudah Perbaikan 7. Pekerjaan 7 (Pembersihan) Pekerjaan 7 (pembersihan) terbagi menjadi 3 elemen kerja, yaitu penyapuan dengan waktu kerja rata-rata 355 menit dan elemen kerja penampungan sampah dengan waktu kerja rata-rata 38 menit memiliki tingkat resiko postur kerja
B. SARAN 1. Penilaian postur kerja perlu dilakukan investigasi lebih lanjut dan mendalam dengan mempertimbangkan faktorfaktor lain, seperti faktor lingkungan, psikososial, dan organisasi kerja yang dikarenakan penilaian postur kerja dengan metode REBA ini merupakan penilaian ergonomi yang dilakukan
156
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
secara cepat dan hanya mempertimbangkan faktor fisik pekerjaan saja. 2. Perusahaan melakukan kebijakan rolling/pergantian pekerjaan antar pekerja dengan kategori pekerjaan yang berbeda sehingga pekerja tidak hanya bekerja pada satu kategori pekerjaan saja di setiap harinya dan pengunaan postur kerja pada masingmasing pekerja dapat divariasikan serta memperkecil peluang keluhan sakit yang dikarenakan pengunaan postur kerja yang monoton.
DAFTAR PUSTAKA Englewood Cliffs, N.J. 1994. Motion and Time Study : Improving Productivity. Prentice Hall Inc. Kroemer Karl, Henrike Kroemer, dan Katrin Kroemer-Elbert. 2001. Ergonomics: How to Design for Ease and Efficienc. 2nd ed . Prentice Hall of International Series.New Jersey. McAtamney, L. and Hignet, S. 2000. REBA: Rapid Entire Body Assessment. Applied Ergonomics, 31: 201-205. Wignjosoebroto, Sritomo. 1995. Ergonomi, Studi Gerak dan Waktu. Surabaya : Penerbit Guna Widya
157
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
PENGARUH SUHU PENYANGRAIAN BIJI TERHADAP SIFAT FUNGSIONAL PROTEIN ISOLAT BUNGKIL WIJEN (SESANUM INDICUM L) (Effect of roasting temperature on the functional properties of protein isolated from sesame cake) Pudji Hastutia, Masagus Muhammad Prima Putrab a Department of Food and Agricultural Product Technology, Gadjah Mada University, Jl Flora Bulaksumur Yogyakarta, Indonesia b Alumni from Food Science and Technology Study Program, Department of Food and Agricultural Product Technology, Gadjah Mada University, Jl Flora Bulaksumur Yogyakarta, Indonesia
Abstrak Sesame seed (Sesamum indicum L.) is one of the world's most important and oldest oilseed crops as source of vegetable oil having high content of antioxidant. Oil pressing produced sesame cake as by product which contained mainly protein. The aim of this study was to evaluate the effects of roasting temperature prior to oil pressing on the functional properties of isolate sesame protein. The functional properties studieded were Water Absorption Capacity (WAC), Oil Absorption Capacity (OAC), Foaming Capacity (FC), Foam Stability (FS) and Least Gelation Concentration (LGC). The prior to oil pressing sesame seed were roasted at 1800C for 30 min (P180) and 2200C for 30 min (P220) and without roasting was used as the reference (P0). The isolates protein were prepared from defatted sesame cake flour by alkaline solubilization at pH 11 followed by isoelectric precipitation at pH 4. The protein contents in the precipitates from P0, P180, P220 were 90.88±2.65%, 90.95±3.9%, and 92.48±3.63%, while the protein recoveries from P0, P180, P220 were 55.52±2.84% and 46.9±2.13% and 38.18±8.19%, respectively. The WAC,OAC,FC, FS after 90 min,and LGC of protein from P0 found to be 377,43±2.66%, 263,9±8.89%, 196.53±2.2%, 54.26±9.27%, and 12% w/v, respectively. The isolate protein from P180 found to have WAC of 352,51±1.95%, OAC of 271.78±6.05%, FC of 190.4±10.92%, FS after 90 min was 25.45±5.84%, with LGC at pH 7 was 12% w/v. The isolate protein from P220 found to have WAC of 360,6±1.98%, OAC of 254.31±2.25%, FC of 197.86±6.33%, FS after 90 min was 50.36±3.33% and LGC at pH 7 was 12% w/v. This study showed that roasting to some extent resulted in lower protein recoveries but only slightly affected the functional properties of isolate protein from the sesame cake. The isolate protein Sesame cake, as by product of sesame oil production may regarded as a potential vegetable protein with good source of essentiel amino acid, with exception of tryptophan.
Key words: Sesame protein, roasting temperature, functional properties.
penghasil minyak nabati yang dapat digunakan dalam industri makanan, kosmetik, maupun farmasi. Kandungan minyak pada biji wijen mencapai 55%
1. PENDAHULUAN Wijen (Sesanum indicum L.) merupakan salah satu komoditas pertanian yang sangat potensial sebagai
158
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
dengan kandungan protein hingga 20% (Abou-Gharbia, et al., 1997). Minyak dari biji wijen diketahui memiliki kestabilan terhadap reaksi oksidatif yang lebih baik dibandingkan dengan minyaknabati lainnya (Budowski, 1964). Hal ini disebabkan oleh kandungan antioksidan seperti sesamin, sesamol, sesamolin dan tokoferol yang tinggi (Fukuda, et al., 1986). Proses ekstraksi minyak dari biji wijen dilakukan melalui proses pembersihan, penghilangan kulit biji, penyangraian, pemasakan dan pengepresan. Proses penyangraian merupakan salah satu tahapan ekstraksi yang memiliki pengaruh terhadap warna, komposisi, dan kualitas minyak wijenyang dihasilkan (Yen dan Shyu, 1989). Penelitian yang dilakukan oleh Kim (2000) dan Jannat, et al. (2010) menunjukkan bahwa minyak wijen yang diekstrak dari biji wijen yang telah disangrai pada suhu antara 200oC-220oC memiliki kandungan antioksidan yang tinggi, sehingga membuat minyak wijen yang diperoleh lebih stabil dari reaksi oksidasi. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Jeong, et al. (2004) menunjukkan bahwa suhu penyangraian biji wijen antara 160oC-200oCsebelum pengepresan, akan meningkatkan stabilitas minyak wijen yang dihasilkan. Proses ekstraksi minyak wijen akan menghasilkan bungkil yang masih memiliki potensi pemanfaatan baik sebagai sumber antioksidan (Jeong, et al., 2004) maupun sumber protein (Gandhi dan Srivastava, 2007 dan Kanu, et al, 2007). Dari penelitian sebelumnya, dapat diketahui suhu penyangraian pada 180oC selama 30 menit dan pada 220oC selama 30 menitmenghasilkan minyak wijen dengan karakteristik warna dan aroma yang baik dan disukai panelis, dan kandungan antioksidan yang tinggil (Siswanti, 2011). Untuk dapat mengoptimalkan pemanfaatan bungkil wijen sebagai sumber protein nabati, perlu diketahui sifat sifat fungsional
protein yang diisolasi dari bungkil tersebut. Penelitian ini bertujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh suhu penyangraian biji wijen terhadap sifat fungsional protein isolat yang dihasilkan dari bungkil wijen sisa pengepresan minyak. 2. METODE PENELITIAN 2.1. Bahan dan Alat Biji wijen (varietas Sumberejo 1) yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari petani tradisional, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, yang dipanen pada Mei 2010. Bahan kimia untuk analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analytical grade, kecuali heksan untuk perlakuan defatting menggunakan technical grade. 2.2. Perlakuan penyangraian Biji wijen mentah disangrai menggunakan mesin penyangrai kopi yang telah dimodifikasi pada suhu 180oC (P180) dan 220oC (P220) selama 30 menit dengan biji wijen tanpa penyangraian digunakan sebagai controlnya (P0). Biji yang telah disangrai maupun yang tidak disangrai dipress dengan pengempa hidraulik dengan tekanan 40 kN selama 5 menit untuk mengeluarkan minyaknya. 2.3. Pembuatan tepung bungkil wijen rendah lemak Bungkil wijen dihancurkan dan dihilangkan minyaknya dengan cara ekstraksi menggunakan n-heksan dalam kolom ekstraksi selama 72 jam. Bungkil wijen rendah lemak yang diperoleh memiliki kandungan lemak <1%. Bungkil wijen rendah lemak tersebur kemudian dikeringanginkan pada suhu ruang dilanjutkan dengan pengecilan ukuran dan pengayakan hingga lolos ayakan 60 mesh. Tepung wijen rendah lemak kemudian dikemas dalam kantong polietilen dan disimpan dalam ruang dingin pada suhu 4o C sampai dengan digunakan.
159
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
WHC dan OAC ditentukan dengan metode Sosulski, et al. (1976). Satu gram sampel dicampur dengan 10 ml aquadest atau minyak kedelai dalam tabung centrifuge. Campuran di homogenisasi selama 30 detik setiap 5 menit dengan vortex dan setelah 30 menit tabung disentrifugasi selama 30 menit pada2000xg. Air atau minyak yang tidak terserap pada bahan dibuang dengan cara dituang. WHC (g air per g sampel) dihitung menggunakan persamaan:
2.4. Pembuatan isolat protein dari tepung rendah lemak Isolat protein wijen dibuat menurut metode yang dikembangkan oleh Chavan, et al. (2001), dengan modifikasi. Dispersi dari tepung wijen rendah lemak dalam aquadest (1:25, w/v) diatur pH nya menjadi 11 dengan menggunakan 1N NaOH pada 30o C, kemudian dihomogenisasi selama 2 jam, setiap 10 menit sekali diperiksa dan diatur pH agar tetap pada kondisi pH 11. Suspensi tersebut disentrifugasi pada 4000 x g selama 30 menit untuk mendapatkan supernatan yang mengandung protein terlarut. Supernatan diatur pH nya sampai titik isoelektris protein wijen dengan menambahkan 1N HCl untuk mengendapkan proteinnya. Selanjutnya, endapan protein dipisahkan dengan disentrifugasi pada 4000 g selama 30 menit. Endapan protein dikeringkan dengan freeze drier. Protein recovery dihitung dengan rumus berikut:
WHC = (W2-W1)/W0 dalam hal ini W0 adalah berat sampel kering (g), W1 adalah berat tabung berisi sampel kering (g) dan W2 adalah berat tabung berisi sampel setelah pengujian, (setelah air atau minyak dituang) (g). OAC (gram minyak per gram protein) dihitung menggunakan persamaan: OAC = (O2-O1)/ O0
Protein recovery (%) = {[berat isolat protein (g) x kadar protein dalam isolat protein(%)]/ [berat isolat protein (g) x kadar protein dalam isolat protein(%)]} x 100.
dalam hal ini O0 adalah berat sampel kering (g), O1 adalah berat tabung ditambah sampel kering (g) dan O2 adalah berat tabung dengan sampel setelah pengujian (g).
2.5. Analisis proksimat Terhadap bungkil wijen dan tepung wijen rendah lemak dilakukan penentuan kadar air secara termografimetri (AOAC, 1999), kadar lemak (AOAC, 1999), kadar protein (AOAC, 1999) dan kadar abu (AOAC, 1999) dan kadar karbohidrat dihitung secara by different dengan dengan mengurangi 100% dengan persentase kadar air, lemak, protein dan abu.
2.7. Kemampuan pembentukan buih dan stabilitas buih Kemampuan pembentukan buihdan stabilitas buih ditentukan dengan metode Kabirullah dan Wills (1982). Lima puluh millileter larutan isolat protein 1% pada pH 7 dihomogenisasi pada kecepatan rendah selama 1 menit menggunakan waring blender, kemudian dipindahkan ke alam gelas ukur. Volume busa yang terbentuk di atas permukaan larutan dicatat setelah 30 detik. Kemampuan pembentukan buih dinyatakan sebagai persen volume yang meningkat karena terbentuknya buih.
2.6. Kemampuan menahanair (water holding capacity (WHC)) dan kemampuan menyerap minyak (oil absorption capacity (OAC))
160
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Stabilitas buih dinyatakan sebagai volume buih yang tersisa setelah 30, 60, 90 dan 120 menit.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Analisis proksimat bungkil wijen dan tepung wijen rendah lemak Komposisi proksimat bungkil D wijen dan tepung wijen rendah lemak untuk masing masing perlakuan ditunjukkan pada Tabel 1. Hasil analisis proksimat menunjukkan bahwa proses penyangraian tidak mempengaruhi kandungan protein pada bahan. Hasil ini juga serupa dengan penelitian Seena, et al. (2006) pada biji bakau, Yagoub dan Abdalla (2007) pada biji kacang tanah dan Yeheyis, et al. (2011) pada biji lupin bahwa perlakuan penyangraian tidak mempengaruhi kadar protein pada bahan. Analisis kadar protein kasar menunjukkan kandungan protein antara 36,04-41,44% pada bungkil dan meningkat hingga 51,31-54,91% pada tepung wijen rendah lemak. Kandungan protein tepung wijen rendah lemak ini mirip dengan kandungan protein tepung wijen rendah lemak pada penelitian Gandhi dan Srivastava (2007) sebesar 47,63-51,45% namun lebih tinggi bila dibandingkan dengan tepung wijen rendah lemak pada penelitian Onsaard, et al. (2010) sebesar 41,15%.
2.8. Kemampuan pembentukan gel (least gelation concentration (LGC)) Kemampuan pembentukan gel ditentukan dengan modifikasi metode Coffman dan Garcia (1977). Tabung reaksi berisi suspensi 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, 16, 18, dan 20% (b/v) bahan dalam 5 ml aquadest pada pH 7 dipanaskan selama 1 jam dalam air mendidih dilanjutkan dengan pendinginan pada air es dan pendinginan lebih lanjut pada 4oC selama 2 jam. Kemampuan pembentukan gel (LGC) dinyatakan sebagai konsentrasi terkecil sampel yang tidak tumpah saat tabung reaksi dibalik, setelah suspensi dipanaskan dan didinginkan tersebut.
2.9. Analisis statistik Data yang diperoleh diuji dengan analisis varian (ANOVA) dan apabila berbeda nyata (p<0,05) dilanjutkan dengan analisis Beda Jarak Ganda Duncan (DMRT). Seluruh analisis statistik dilakukan menggunakan software komputer SPSS versi 13 for window. Tabel 1. Komposisi kimia bungkil wijen dan tepung wijen rendah lemak Analisis
Bungkil P0
TWRLa P0
Bungkil P180
TWRLa P180
Bungkil oh P220
TWRLa P220
Kadar air (%)
6,74± 0,07
17,73± 0,6
4,06± 0,04
10,08± 0,06
9,05± 0,13
14,18± 0,21
Kadar lemak (%db)
25,59± 0,48
0,63± 0,16
18,17± 0,46
0,45± 0,05
18,96± 0,11
0,25± 0,21
Kadar protein (%db)
36,04± 0,08
51,31± 0,09
41,44± 0,08
54,91± 0,05
38,15± 0,07
52,74± 0,05
Kadar abu (%)
12,76± 0,04
9,09± 0,06
18,17± 0,46
15,54± 0,02
12,15± 0,16
15,54± 0,26
Karbohidrat b (%)
18,86± 0,93
25,24± 0,84
26,11± 0,96
19,02± 0,9
21,69± 0,91
17,29± 0,86
Nilai dari tiga ulangan ± standar deviasi a Tepung Wijen Rendah Lemak (TWRL) b ditentukan dengan by-different wijen pada berbagai pH untuk menentukan pH pelarutan dan pengendapan. Pola kelarutan protein wijen terhadap pH menurun dari pH 2 ke
3.2. Ekstraksi protein Proses ekstraksi protein didahului dengan pengujian profil kelarutan protein
161
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
pH 4 (titik isoelektris pada penelitian ini) dan terus meningkat pada pH di atas pH isoelektrisnya. Dari profil kelarutan protein tersebut, ekstraksi protein dilakukan dengan melarutkan protein pada pH 11 kemudian dilanjutkan dengan pengendapan pada pH 4. pH 11 dipilihkarena penggunaan pH di atas pH 11 akan menyebabkan pembentukan lysinoalanine yang bersifat toksin selain membutuhkan NaOH dan HCl yang lebih banyak (Marnoch dan Diosady, 2006). Proses ekstraksi protein dari tepung wijen rendah lemak menghasilkan isolat protein dengan protein recovery dan kandungan protein untuk masing-masing perlakuan sebesar 55,52±2,84% dan 90,88±2,65% untuk P0; 46,9±2,13% dan 90,95±3,9% untuk P180; dan 38,37±8,19% dan 92,48±3,63% untuk P220. Hasil tersebut menunjukkan bahwa penyangraian pada proses ekstraksi minyak memberikan pengaruh nyata (p<0,05) pada protein recovery dimana semakin tinggi suhu penyangraian memberikan protein recovery yang semakin kecil. Hasil ini serupa dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Akaerue dan Onwuka (2010) pada pembuatan isolat protein mungbean dan Hojilla-Evangelista dan Evangelista (2006) pada protein biji Cuphea. Berkurangnya protein recovery ini kemungkinan disebabkan oleh agreagasi protein karena pemanasan (Adebowale, 2008) dan juga terbukanya rantai protein yang menyebabkan rantai samping hidrofobik menjadi keluar sehingga protein menurun kelarutannya (Sathe, et al., 1982).
penyerapan air memberikan hasil sampel isolat protein dari biji wijen yang telah mengalami penyangraian memiliki kemampuan penyerapan air yang lebih kecil bila dibandingkan dengan isolat protein dari biji wijen tanpa penyangraian. Hal ini kemungkinan dikarenakan terjadinya denaturasi dan agregasi protein karena proses penyangraian yang menyebabkan berkurangnya kemampuan protein dalam berikatan dengan air. Tabel 2. Sifat Fungsional Isolat Protein Wijena Sifat Fungsional Kemampuan Menyerap Air (WAC) (%) Kemampuan Menyerap Minyak (OAC) (%) Kemampuan Pembentukan Gel (LGC) (% w/v) Kemampuan Pembentukan buih (%) Stabilitas buih (%) 30 min 60 min 90 min 120 min
P0 377,43±2,66a ab
263,9±8,89 a
P180
P220
352,51±1,95c b
271,78±6,05 a
360,6±1,98b 254.31±2,25ac
12
12
12a
196,53±2,2a
190,4±10,92a
197,86±6,33a
75,76±4,38a 64,04±6,45a 54,26±9,37a 41,05±11,76a
62,02±5,08b 35,78±7,52b 25.45±5.84b 19,22±5,65b
75,89±2,83a 60,43±1,68a 50.36±3.33a 35,05±8,34a
a
Data merupakan rerata dari 3 ulangan. Data yang diikuti dengan angka yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan beda nyata (p<0,05).
3.4. Kemampuan penyerapan air Kemampuan penyerapan air merupakan sifat fungsional dari protein yang menentukan tekstur dari produk yang dihasilkan. Hasil pengujian kemampuan penyerapan air memberikan hasil sampel isolat protein dari biji wijen yang telah mengalami penyangraian memiliki kemampuan penyerapan air yang lebih kecil bila dibandingkan dengan isolat protein dari biji wijen tanpa penyangraian. Hal ini kemungkinan dikarenakan terjadinya denaturasi dan agregasi protein karena proses penyangraian yang menyebabkan berkurangnya kemampuan protein dalam berikatan dengan air. Berkurangnya kemampuan penyerapan air karena proses pemanasan ini juga terjadi pada penelitian Hojilla-Evangelista dan Evangelista (2006) pada protein biji Cuphea sebesar 273% setelah pemanasan dibandingkan 370% pada perlakuan
3.3. Sifat fungsional isolat protein Sifat fungsional dari isolat protein wijen dapat dilihat pada Tabel 2. 3.4. Kemampuan penyerapan air Kemampuan penyerapan air merupakan sifat fungsional dari protein yang menentukan tekstur dari produk yang dihasilkan. Hasil pengujian kemampuan
162
Prosiding Seminar Nasional APTA, APTA 23-24 November 2011
kontrol dan Yagoub dan Abdalla (2007) pada biji kacang tanah sebesar 216% pada perlakuan penyangraian dibandingkan 487% pada perlakuan kontrol. Kemampuan penyerapan air pada penelitian ini tidak jauh berbeda dengan kemampuan penyerapan air konsentrat kons protein wijen pada penelitian Onsaard, et al.. (2010) sebesar 350% dan lebih tinggi bila dibandingkan dengan isolat protein wijen pada penelitian Gandhi dan Srivastava (2007) sebesar 200-240%. 240%.
pada isolat protein wijen dan Lqari, et al. (2002) pada isolat protein lupin. 3.7. Kemampuan pembentukan buih Hasil pengujian memberikan hasil bahwa proses penyangraian pada biji wijen tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0,05) terhadap kemampuan pembentukan buih. Hasil pengujian kemampuan pembentukan buih pada penelitian ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan kemampuan pembentukan bentukan buih konsentrat protein wijen sebesar 82% (Onsaard, et al., 2010). Perlakuan penyangraian memberikan pengaruh yang nyata terhadap stabilitas buih (p<0,05) dimana perlakuan penyangraian pada 180oC 30 menit memiliki stabilitas buih yang lebih rendah bila dibandingkan dengan perlakuan P0 dan P220 (Gambar 1). Penurunan stabilitas buih pada perlakuan P180 kemungkinan disebabkan oleh terjadinya agregasi protein yang menyebabkan berkurangnya kemampuan protein dalam membentuk buih. Peningkatan kembali stabilitas ilitas buih pada perlakuan P220 kemungkinan disebabkan oleh bertambahnya rantai samping yang bersifat polar karena terbukanya rantai protein setelah pemanasan (Akaerue dan Onwuka, 2010).
3.5. Kemampuan penyerapan minyak Hasil pengujian kemampuan penyerapan minyak menunjukkan terjadinya peningkatan kemampuan penyerapan minyak dari 263,9±8,89% pada P0 menjadi 271,78±6,05% pada P180 dan kembali turun 254,31±2,25% pada P220. Terjadinya peningkatan ini kemungkinan dikarenakan terbukanya struktur tur molekul protein selama pemanasan yang menyebabkan meningkatnya rantai samping asam amino hidrofobik yang dapat berikatan dengan minyak (Akaerue dan Onwuka, 2010). Kemampuan penyerapan minyak isolat protein wijen pada penelitian ini mirip dengan kemampuan an menyerapan minyak pada konsentrat protein wijen pada penelitian Onsaard, et al. al (2010) sebesar 269% namun lebih rendah bila dibandingkan dengan kemampuan penyerapan minyak isolat protein wijen pada penelitian Gandhi dan Srivastava (2007) sebesar 378%. 3.6. Kemampuan pembentukan embentukan gel Hasil pengujian menunjukkan bahwa perlakuan penyangraian pada biji wijen tidak memberikan pengaruh nyata (p>0,05) pada kemampuan pembentukan gel. Hasil pengujian memberikan hasil kemampuan pembentukan gel yang rendah dengan LGC (Least Least Gelation Concentration) 12%. Hasil pengujian pada penelitian ini serupa dengan penelitian Gandhidan Srivastava (2007) (2007
Gambar 1. Stabilitas Buih Perlakuan Tanpa Penyangraian (P0), Penyangraian angraian 180oC 30 Menit (P180), dan Penyangraian 220oC 30 Menit (P220)
163
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Properties of Cuphea PSR23 Seed Proteins. JAOCS 83, 713–718. Jannat, B., M. R. Oveisi, N. Sadeghi, M. Hajimahmoodi , M. Behzad, E. Choopankari, and A. A. Behfar. 2010. Effects of roasting temperature and time on healthy nutraceuticals of antioxidants and total phenolic content in iranian sesame seeds (Sesamum indicum L.). Iran. J. Environ. Health. Sci. Eng. Vol. 7, No. 1, pp. 97-102. Jeong, S.M., S. Y. Kim, D. R. Kim, K. C. Nam, D. U. Ahn, and S. C. Lee. 2004. Effect of Seed Roasting Conditions on the Antioxidant Activity of Defatted Sesame Meal Extracts. Journal of Food Science 69:377-381. Kanu, P.J., Kerui, Z., Ming, Z.H., Haifeng, Q., Kanu, J. and Kexue, Z. (2007). Sesame protein 11: Functional properties of sesame (Sesamum indicum L.) protein isolate as influenced by pH, temperature, time, and ratio of flour to water during its production. Asian Journal of Biochemistry, 2(5), 289-301. Kim, H. W. 2000. Studies on the antioxidative compounds of sesame oils with roasting temperature. Korean J Food Sci Technol 32:246– 51. Lqari, H. J., Vioque, J. and Pedroche, F. Milla´n. 2002. Lupinus angustifolius protein isolates: chemical composition, functional properties and protein characterization. Food Chemistry 76: 349–356. Marnoch, R., and Levente L. Diosady. 2006. Production of Mustard Protein Isolates from Oriental Mustard Seed (Brassica juncea L.). JAOCS 83, 65– 69. Onsaard, E., Patchaneepun, P., and Poonpun, A. 2010. Functional Properties of Sesame Protein Concentrate from Sesame Meal. As. J. Food Ag-Ind., 3(04): 420-431.
4. KESIMPULAN Perlakuan penyangraian pada proses ekstraksi minyak memberikan pengaruh yang nyata (p<0,05) pada protein recovery, kemampuan penyerapan minyak, dankemampuan penyerapan air namun tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0,05) pada kemampuan pembentukan gel dan kemampuan pembentukan buih. 5. DAFTAR PUSTAKA Abou-Gharbia, H.A., F. Shahidi, A. Adel Y. Shehata, and M.M. Youssef. 1997. Effects of Processing on Oxidative Stability of Sesame Oil Extracted from Intact and Dehulled Seeds. JAOCS 74:215–221. Adebowale, Y.A., 2008. A study of the control variables during the preparation of protein isolate from Mucuna bean (Mucuna pruriens). EJEAFChe, 7:3223-3238. Akaerue, B.I. and G.I. Onwuka. 2010. Evaluation of the Yeild, Protein Content and Functional Properties of Mungbean (Vigna radiata (L.) Wilczek) Protein Isolates as Affected by Processing. Pakistan Journal of Nutrition 9 (8): 728-735. Budowski, P. 1964. Recent research on sesamin, sesamolin, and related compounds. JAOCS 41:280–5. Fukuda Y, Nagata M, Osawa T, and Namiki M. 1986. Contribution of lignan analogues to antioxidative activity of refined unroasted sesame seed oil. J Am Oil Chem Soc 63:1027–31. Gandhi, A.P. and Srivastava, J. (2007). Studies on the production of protein isolates from defatted sesame seed (Sesamum indicum) flour and their nutritional profile. ASEAN Food Journal, 14 (3), 175-180. Hojilla-Evangelista, M. P., and Roque L. Evangelista. Effects of Cooking and Screw-pressing on Functional
164
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Sathe, S.K., S.S. Desphande and D.K. Salunke, 1982. Functional properties of winged bean (Psophocarpus tetragonolobus) L. (DC) proteins. J. Food Sci., 47: 503. Seenaa, S., K.R. Sridhara, A.B. Arunb, and Chiu-Chung Young. 2006. Effect of roasting and pressurecooking on nutritional and protein quality of seeds of mangrove legume Canavalia cathartica from southwest coast of India. Journal of Food Composition and Analysis 19: 284– 293. Siswanti. 2011. Sintesis Lemak Margarin dari Minyak Wijen dan Stearin Minyak Sawit Melalui Interesterifikasi Kimiawi. Thesis. Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Yagoub, A. E. A., and Abdalla Abdelsamad Abdalla. 2007. Effect of Domestic Processing Methods on Chemical Composition, In vitro Digestibility of Protein and Starch and Functional Properties of Bambara Groundnut (Voandzeia subterranea) Seed. Research Journal of Agriculture and Biological Sciences, 3(1): 24-34. Yeheyis, L., Claudia Kijora, Michael Wink, and Kurt J. Peters. 2011. Effect of a Traditional Processing Method on the Chemical Composition of Local White Lupin (Lupinus albus L.) Seed in NorthWestern Ethiopia. Naturforsch. 66 c, 403 – 408. Yen, G.-C., and S.-L. Shyu. 1989. Oxidative Stability of Sesame Oil Prepared from Sesame Seed with Different Roasting Temperatures. Food Chem. 31:215–224.
165
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
POST-HARVEST QUALITY EVOLUTION OF JONAGORED APPLES (MALLUS DOMESTICACV. BORKH) DURING 14 DAYS OF SHELF LIFE Fahrizal Yusuf Affandi *) and Bert Verlinden **) *) Agro-industry department Vocational School Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Indonesia; **) Flanders Centre for Postharvest Technology/Laboratory of Postharvest Technology, Katholieke Universiteit Leuven, Willem de Croylaan 42, 3001 Leuven, Belgium
Abstrak The experiment was carried out to study the quality evolution of Jonagored apples (Mallus domesticacv. Borkh) during 14 days of shelf life prior to controlled atmosphere (CA) storage. The apple were harvested from the “Fruitteelt centrum” (Velm, Belgium) in 24 September 2010 (optimal picking) and 8 October 2010 (late picking) and were stored at 18° C and 65% RH to mimic the shelf life condition. The apple then were measured for colour, firmness, soluble solid content (SSC), titratable acidity, ethylene production rate, O2 consumption rate, CO2 production rate and respiratory quotient (RQ) at 0, 7 and 14 days after harvest. The colour was measured at five random positions on the surface of each apple using a Minolta CM-2500D Spectrophotometer. The fruit firmness was determined using a LRX material testing system with a load cell of 500N . The firmness was calculated as the maximum force needed by a plunger with a surface of 1 cm2 to penetrate the apple over a depth 8 mm with a speed of 8mm/s. Acid content was determined from a six apple composite sample by titrating 10 ml of apple juice with 0,1 N Natrium hydroxide until pH = 8,1 was reached. SSC was measured using a digital refractometer and it is expressed as ⁰Brix. Ethylene concentration of the headspace was determined by gas chromatography with Flame Ionisation Detector (FID, air flow : 300ml/min; H2F flow : 35 ml/min) detection. The respiration rate measurement was done by measuring 02 consumption and CO2 production of an individual apple inside the jar. The 02 and CO2 concentrations were determined by gas chromatography with Thermal Conductivity Detector (TCD) detection There was a significant effect of shelf life duration in colour of the apple. The apple turn its colour from green to yellowish green at the end of shelf life. The optimal-picked apple had a greener colour than the late-picked apple at 0 and 7 days of shelf life except at 14 days where the older apple had a greener colour. Although the effect was not consistent, firmness of apple was affected by shelf life and picking time as well. Firmness decreased along shelf life and the optimal-picked apples were firmer than the late-picked apple. Apple’s acidity decreased during shelf life from 8,43 mL NaOH (optimal-picked apple) and 8.85 mL NaOH (late-picked apple) to 7.58 mL NaOH (optimal-picked apple) and 7.03 mL NaOH (late-picked apple) at the end of shelf life. Yet, acidity was not affected by picking time. Ethylene was considerably increased throughout shelf life and the late-picked apple had a higher ethylene production level than the optimal-picked apple. Optimal-picked apple had a lower respiration rate than the late picked apple. Older apple consumed oxygen and produced carbon dioxide at a higher rate than the younger apple. Moreover, respiration rates as represented by O2 consumption rate, CO2 production rate and respiratory quotient (RQ) tended to increase along shelf life.
166
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 Key words: Apple quality, colour, firmness, titratable acidity, soluble solid content, ethylene, O2 production, CO2 production, respiratory quotient scales have been developed, but the predominant scale used for fruits and vegetables is the Hunter “Lab” or its variant CIE L*a*b* (Abbott, 1999). Firmness is the primary textural attribute measured in fruits and vegetables. Firmness is usually measured by destructive puncture tests, including handheld Effegi (Volz et al., 2003) and mechanized Instron tests (White et al., 2004). An indication offirmness is obtained by the force necessary to cause penetration of a standard probea specified distance into the product. In the early stage of maturation, starch accumulated in the fruit tissues are progressivelly hydrolised resulting in sweeteness improvement. Sugar are synthesised from starch as a result of polymeric breakdown, especially pectic substances and hemicelluloses. This affect both the taste and texture of produce. Respiration is responsible for energy production and synthesis of many biochemical precursor necessary for growth and maintenance of living cells. Respiration is essentially the enzymatic oxidation of a wide variety of compounds like starch, sugars, and organic acids by means of molecular oxygen to water and carbon dioxide (Nicolaï et al., 2005). Factors affect the rate of respiration are temperature, O2 concentration, CO2 concentration and exposure to ethylene. Alteration in one or all of the factors will have an impact on the respiration rates either increase or decrease (Kays & Paull, 2004) Measurement or estimation of respiration rate can be based on determination of the change of every component of the respiration process (O2, CO2, water, and the respiration heat). Most frequently, the CO2 production or O2 consumption rate is measured. This is because the production of metabolic water
1. INTRODUCTION Quality of fruit are a whole intrinsic and extrinsic characteristics that meet the consumer needs. Quality relies on human perspectives comprising many properties or characteristics. Importance of some quality components depend upon the commodity and its intended use and varies between producers, handlers and consumers (Kader, 1999; Barrett et al., 2010) Maturity at harvest is of importance in determining storability and fruit quality at the final consumption. Caution must be taken carefully when harvesting the fruit. It should be picked at its optimum maturity otherwise it would be prone to some postharvest physiological disorder. Fruit that are picked too early are more susceptible to shrivelling and mechanical damage and will have poor flavour quality when ripe. Overripe fruit are likely to become soft and mealy with insipid flavour soon after harvest. During ripening, several considerable changing are taking place such are change in colour due to chlorophyll degradation or synthesis or unmasking of another colour pigments, softening which could be attributed to starch degradation and conversion to sugar, and flavour develoment due to alteration in sugar and organic acids Colur change is the most obvious signal of ripening. It is probably the major criterion for consumer to recognize ripeness of the fruit. Therefore, colour measurement is an important means of quality assessment of food products. Fruit ripening and vegetable yellowing frequently involve the unmasking of yellow-to-orange xanthophylls and carotenes by the disappearance of chlorophyll. Measurement of changes in pigments is important in understanding the physiology of ripening and senescence Many color
167
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 is too small in comparison to the overall amount of water present in the product, and heat production measurements need to be carried out in adiabatic setups, which are not easy to realize (Nicolaï et al., 2009). Ethylene (C2H4) is a naturally produced, simple two carbon gaseous plant growth regulator that has numerous effect on growth, development and storage live of many fruit, vegetables, and ornamental crops in very low concentration, from part per million (ppm, µl l-1) to part per billion (ppb, nl l-1). It is flammable, readily diffuses within and from the tissue and its production is promoted by stress and wounding. This stress-induced ethylene can also accelerate fruit ripening. Harvested fruit and vegetables may be intentionally or unintentionally exposed to biologically active levels of ethylene and both endogenous and exogenous source of ethylene contribute to its biological activity (Saltveit, 1999; Taiz & Zeiger, 2002) Ethylene accelerates fruit ripening and a dramatic increase in ethylene production closely related with initiation of ripening. In many fruits, ripening is characterised by a climacteric rise in respiration and ethylene production. Apples, bananas, avocados, mangoes, and tomatoes are examples of climacteric class of fruit. Exposure to ethylene has been shown to increase softening of some fruits even during cold storage. In apple, removal of ethylene from controlled atmosphere chambers has been shown to reduce softening of varieties such as ‘Bramleys Seedling’, and ‘Golden Delicious’ (Knee & Hatfield, 1981). The firmness of many ripening fruit and vegetables decreases after an ethylene treatment. In the short term this is beneficial especially when associated with ripening. But, in long term ripening can progress into senescence and the flesh can become too soft. By stimulating fruit ripening, ethylene enhances taste and flavour. Therefore, inhibition of C2H4
biosynthesis will inhibit not only ripening but also the production of characteristic aroma volatiles (Yahia, 1991). (Bower et al., 2003) reported that storage of ‘Bartlett pears’ at either −1 or 2 °C with 3 different ethylene levels (0, 1, 5 or 10 µl l−1 ) increased the incidence of physiological disorders. However, the effect of ethylene was minor compared with the influence of temperature. In order to design an appropriate cold storage system for long time storage of apple, study of apple’s quality evolution and respiration characteristics in shelf life condition should be carried out. Another importance of the study was to gain a data for comparison with after storage measurement. 2. MATERIAL AND METHODS 2.1 Material Jonagored apples (Mallus domesticacv. Borkh) were harvested in September and October 2010 at the Fruitteelt centrum (Velm, Belgium). To investigate maturity effects on quality evolution during storage, apples were harvested at the commercial harvest time (24 September 2010) and a late harvest time (8 October 2010). After harvesting, apples were sorted and all the diseased, damaged, without stalk or too small ones were discarded. The sound apples were then randomized and kept at 1⁰C and 65% RH for 14 days to mimic the shelf life condition. At 0, 7 and 14 days of shelf life, the apple were measured for colour, firmness, soluble solid content, tiitratable acidity, ethylene production rate, O2 consumption rate, CO2 production rate and respiratory quotient (RQ). 2.2 Methods The experiment was performed in the Flanders Centre for Postharvest Technology/Laboratory of Postharvest Technology, Departme nt of Biosystem Katholieke Universiteit Leuven Belgium. 2.2.1 Colour
168
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 over a depth 8 mm with a speed of 8mm/s. The whole apple was placed on a cylindrical cup (instead of cutting it in to half). The firmness measurements were performed on two opposite sides of each apple. The results were averaged and expressed as kgf.
Colour is one of the parameters used to evaluated the quality change of apples during storage. The colour was measured at five random positions on the surface of each apple using a Minolta CM2500D Spectrophotometer (Minolta Camera Co., Ltd). The results were averaged. This spectrophotometer expresses colours as precise numerical values, relying on advanced optoelectronic technology. It provides high accuracy and the ability to measure absolute colours. The apple is illuminated by two pulsed xenon lamps. Multiple sensor segments receive light (in the visible-light range) from the object and transmit information to the microcomputer. The microcomputer determined the spectral reflectance based on information from the spectral sensor. The results are displayed as numerical values in L*a*b colour space as shown in the figure below
2.2.3 Soluble Solid Content SSC was measured using a digital refractometer (Atago Co., Ltd). The measurement was done on two opposite sides of each apple. A juice sample was taken with a Pasteur pipette, put on the prism of the refractometer and push the start/off switch. The Brix value was recorded and the results were averaged. 2.2.4 Titratable Acidity Acid content was determined from a six apple composite sample by titrating 10 ml of apple juice with 0,1 N Natrium hydroxide until pH = 8,1 was reached using a 702 SM Titrino (Metrohn Ion Analysis Metrohn Ltd). The result were averaged and expressed as volume of NaOH 0,1 N consumed (ml NaOH 0,1 N) 2.2.5 Ethylene To determine the ethylene production rate, the apples were individually placed in airtight glass jars. Then it was flushed with humidified air for minimally 3 hours. Ethylene concentration of the headspace was determined by gas chromatography with Flame Ionisation Detector (FID, air flow : 300ml/min; H2F flow : 35 ml/min) detection (Compact GC, Interscience, Louvain-la-Neuve, Belgium).The ethylene concentration from the GC is expressed in part per million (ppm). On the other hand, the ethylene production rate is expressed in nmol/kg.s. Therefore, to express ethylene in desired unit we convert ethylene concentration in ppm by using the ideal gas law => = ?@ (2.1) With P pressure of the gas (bar); V volume of the gas (m3); n mol of the gas ; R is the gas constant (0.08314472 bar.m3/kmol.K)
The L* value represents the lightness of apple on the scale of 0 to 100, a* gives the values from green to red (-60 to +60), b* gives the values from blue to yellow (-60 to +60). 2.2.2 Firmness The fruit firmness was determined using a LRX material testing system (Lloyd Instruments Ltd) with a load cell of 500N . the firmness was calculated as the maximum force needed by a plunger with a surface of 1 cm2 to penetrate the apple
169
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 23 November 2011 ?Y =
and T is the absolute temperature of the gas (Kelvin). The ethylene concentration from the GC is expressed in ppm AB C4 =
DE FG DHIHJK
L 107
SSTM NG L35+U LV WLX
(2.4)
Z[
With >M\ the carbon dioxide production rate; >\ the oxygen consumption rate. The oxygen consumption rate VO2 or the carbon dioxide production rate VCO2 can then be calculated from
(2.2)
the ethylene With AB C4 is concentration in ppm; M NG molarities of ethylene (mol/m3) and OPOQR the total molarities of the gas (mol/m3). Substituting equation (3.2) to equation (3.1) resulting : M NG =
ZE[
>\
_a _ e f ∆O^M[ Oe g ] ^`aHM[ O≅`∆HdM[ O
(2.5)
>M\
_a _ e f ∆O^ME[ Oe g ] ^`aHME[ O≅`∆HdME[ O
(2.6)
(2.3) with m the mass of the product (kg); V the volume of the recipient minus the volume of the product (m3); and CO2 O2 and CCO2 the concentrations of O2 and CO2, respectively (mol/m3)
The rate of ethylene production is calculated from the difference of ethylene measured at time t0 and t0 t + ∆t considering the apple mass (kg) and free space volume inside the jar. The free space volume was calculated by subtracting the fruit volume from the total jar volume. The apple volume was measured according to the water displacement method. The apple was immersed mersed in a cup filled with water and the weight difference due to immersion was recorded. Using the density of water, which is a function of temperature, the volume of the apple is measured.
3. RESULT ESULT AND DISCUSSION All results is presented iin Table 1 below
2.2.6 Respiration The respiration rate measurement was carried out by measuring 02 consumption and CO2 production of an individual apple inside the jar. The 02and CO2concentrations were determined by gas chromatography with Thermal Conductivity Detector (TCD) detection (Compact GC, Interscience, Louvain-laLouvain Neuve, Belgium). ). The measured values of oxygen and carbon dioxide were expressed as percentage and then were converted to molar concentration according to ideal gas law. The respiratory quotient (RQ) was calculated by :
Values followed by same capital letters within the same picking time are statistically not significant. Values within the same shelf life (0,7 and 14 days followed by same small letters are not statistically significant.
170
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 colour than b* mean the apple changed it colour from green to yellow indicates the action of chlorophylase, a chlorophyll degradation enzime and synthesis of another pigments such as carotenoids (Looney & Patterson, 1967; Almela et al., 1996). Figure 3 is presented below to put into perspective about significance of change in a* component and b* component in affecting colour appearance of apple. It was shown that during 14 days of shelf life a different colour degradation pattern did occur. For the optimal-picked apple alteration in colour mainly occurred in a* component whereas for the latepicked apple alteration mainly took place in b* component.
3.1 Colour a* colour a* colour
40 20 Optimal 0 -20
Late 0 7 14 Days of Shelf life
Figure 1 a* colour evolution of Jongaored apples stored in shelf life condition for 0, 7 and 14 days During shelf life the a*colour of the optimal-picked apple gradually increased from -2.16 (day 0) to 1.60 (day 7) and 8.84 at the end of shelf life (day 14). Similarly, a*colour of the late-picked apple also steadily increased from 3.01 (day 0) to 3.63 (day 7) and end up by 4.55. It was also revealed that at harvest the a*colour of the late-picked apple was higher than that of the optimal-picked apple and that the late-picked apple had always a higher a* value during shelf life days. Interestingly, at the end of shelf lifeoptimal-picked apple scored a higher a*value than the late-picked apple. The change of b* value (Fig.2) was less prononcoued than that of the a*value. At 0 and 7 days no differences among picking time were found. It can be observed from figure that only at the end of shelf life, the late-picked apple had a considerable increase in b*value compared to the optimal-picked apple. Colour change of apple reflects the degradation of greenpigment chlorophyll following ripening processes of fruit. During ripening,alteration in pigmentation normally involves the loss of chlorophyll and the synthesis of other pigment such as carotenoids and anthocyanins or the unmasking of these pigments which were formed earlier in the development of the fruit. A* value represents greenes (a continum from green to red) of an apple while b*value reflects contimum from blue to yellow. A more distinct change in a*
b* colour
b* colour 100 50 0
Optimal 0
7
14
Late
Days of shelf life
Figure 2. b* colour evolution of Jongored apples stored in shelf life condition for 0, 7 and 14 days It was shown that firmness decreased during shelf life. For the optimal-picked apple, the apple become softer after 7 days of harvest. There was no significant difference observed between firmness at 7 day and that of 14 day. The late-picked apple scored the lowest firmness at the end of shelf life. Picking time seemed to have an effect only after 14 days of shelf life in which the optimal-picked apple were significantly firmer (7.33 kgf) than the late-picked apple (6.94 kgf).
171
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 of the optimal-picked apple increased drastically along the shelf life period, whereas the riper apple maintain its soluble solid content. One explanation was that a rapid starch degradation and synthesis of sugar was took place and the optimal picked apple still had more starch than the late-picked apple (Thammawong & Arakawa, 2010). However, after 14 days sugar content of both optimal and latepicked apple were similar implies that both apple had a same starch and sugar content. Figure 3. a* and b* colour coordinate shifting for the optimal (blue) and latepicked apple (red) during 14 days of shelf life. S-O: a* and b* colour value at harvest for the optimal-picked apple; S-L: a* and b* colour value at harvest for the latepicked apple
3.3 Soluble Solid Content SSC
⁰Brix
17.5 15
Optimal
12.5
Late
10
3.2 Firmness
0
7
14
Firmness (kgf)
Days of Shelf life 10
Figure 5. SSC evolution of Jonagored apples stroed in shelf life condition for 0, 7 and 14 days
Firmness
7.5 5
Optimal
2.5
3.4 Titratable Acidity
Late
0
0 of 7shelf life 14 Days
Acidity Titratable acidity (mL NaOH)
Figure 4. Firmness evolution of Jonagored apples stored in shelf life condition for 0, 7 and 14 days At the cellular level, firmness depends on cell size, cell wall thickness and strength, turgor pressure and the manner in which cells bind together. Dissolution of middle lamella and disassembly of cell walls facilitated by the composite action of hydrolytic enzymes in the fruit, namely, polygalacturonase, pectinesterase, B-galactosidase, pectate lyase, and cellulase is the main factor causing softening of fruit. Firmer apples undergo less bruising and loss in postharvest handling process(Konopacka & Plocharski, 2004). At harvest, the riper apple considerably had a higher sugar content than the younger apple. The soluble solid content
10.5 9 7.5 6 4.5 3 1.5 0
Optimal Late 0 7 14 Days of Shelf life
Figure 6. Acidity evolution of Jonagored apples stored in shelf life condition for 0, 7 and 14 days Acidity evolution was also influenced by apple maturity. The more mature apple loss noticeably it acidity and scored the lowest acidity (7.03 mL NaOH) compared to the optimal-picked (7.58 ml NaOH) at the end of shelf life (Fig.6). A number of organic acids in fruit are responsible for acid taste. The acids which are usually present in relatively large
172
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 quantities are malate, citrate and tartarate. Malic acid is the predominates acid in apple. During apple fruit ripening the levels of malic acid decrease due to the action of malic enzyme. The decline in acidity is due to the cellular respiration activity in which organic acids serve as substrates that enter into the Krebs cycle to gain small amount of energy for repair processes (Taiz and Zeiger, 2002). At harvest the late-picked apples were more acidic than the optimal-picked apples. This was unagreement with firmness and SSC results in wich the more mature apple scored a higher firmness and SSC. One explanation is that the rate of acid transformation were slower than the the rate of middle lamelladissolution and disassembly of cell walls as reflected by firmness as well as the rate of sugar synthesis from starch as reflected in SSC.
the late-picked apple started the ripening process earlier than the optimal-pikced apple. 3.5 Respiration 3.5.1 O2 consumption rate
Oxygen consumption rate (nmol/kgs)
Oxygen consumption rate
Optimal
100
Late
0
0 7 14 Days of Shelf life
It can be seen from figure.8 that at harvest and at 7 days of shelf life picking time had a considerable effect on oxygen consumption of the apple. The more mature the apple, the more the oxygen consumption of the apple. Except at 7 days of shelf life, there were a trend of increasing oxygen consumption Oxygen of the optimal-picked apple. This consumptions as well as carbon dioxide production reflect respiration rate. Fruit use O2 as a final electron acceptors in respiration processes which is essentially an enzymatic oxidation of a wide variety of compounds like starch, sugars, and organic acids by means of molecular oxygen to water and carbon dioxide(Nicolaï et al., 2009). Lowering O2 partial pressure accompanied by lifting CO2 and cooling down the temperature around the fruit will significantly reduce respiration rate as it is applied in control atmospheres (CA) storage (Kader, 1986; Sas, 1993; Paull, 1999). From the figure aslo it can be observed that at the end of shelf life (14 days) both apple (optimal and late-picked) had a similar respiration rates .
Ethylene production rate Ethyelene production rate (nmol/kg s
200
Figure 8. Oxygen consumption rate of Jonagored apples stroed in shelf life condition for 0, 7 and 14 days
Ethylene
0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0
300
Optimal Late 0 7 14 Days of shelf life
Figure 7. Ethylene production rate of Jonagored apples stored in shelf life condition for 0, 7 and 14 days It was observed that practically no ethylene production was detected at harvest for both picking times (Fig.7). After 7 days, unlike the optimal-picked apple, the late-picked apples showed a bust of ethylene production (from < 10-5 nmol/kgs to 0.08 nmol/kgs). At the end of shelf life, either optimal-picked apple or late-picked apple demonstrated an increase in ethylene production. Ethylene accelerates fruit ripening and a dramatic increase in ethylene production closely related with initiation of ripening(Saltveit, 1999). Therefore it can be deducted that
173
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 Later picking time of apple resulted in a higher respiratory quotient (RQ) value of apple. However the effect of shelf life was absence. The RQ values in this research varied from 0.83 to 1.12. This value range is in agreement with that of mentioned by Kader (1987) which stated that the most common RQ values of whole intact fruit and vegetables range from 0.7 to 1.3. Wider RQ range was reported for apple subjected to Dynamic controlled atmosphere (DCA) treatment (Gasser et al., 2010). It was reported that during 200 days DCA chlorophyll fluorescence storage of “Golden Delicious” apples, the RQs approximately varied from 1 to 7. The RQ is normally assumed to be equal to 1 if the metabolic substrates oxidized are carbohydrates. However, if the substrate is an acid the RQ is higher than 1 and lower if the substrate is a lipid (Kader, 1986). RQ values from this research revealed that for optimal-picked apple, respiratory processes mainly oxidised carbohidrates (0.83
CO2 production rate (nmol/kgs)
3.5.2 CO2 production rate
300 250 200 150 100 50 0
Optimal Late 0
7
14
Days of shelf life
Figure 9. Carbon dioxide production rate of Jonagored apples stored in shelf life condition for 0, 7 and 14 days At harvest , the riper apple respired higher than the younger apple (Fig.9). It produced 153 nmol kg-1s-1 CO2 while the optimal-picked apple emitted 99 nmol kg1 -1 s of CO2. After 7 days, the respiration rate of the optimal-picked apple decreased to 41 nmol kg-1s-1 of CO2 and widen the difference with that of the late-picked apple to three-fold differences (129 nmol kg-1s-1 of CO2). At the the end of shelf life, the difference became smaller and statistically insignificant. CO2 production, especially for the otpimal apple, increased dramatically at 14 days of shelf life and marked the beginning of ripening processe of this apple. Sudden increase of respiration rate (i.e. CO2 production) is one sign of ripening process (Saltveit, 2003). This result is in agreement with the ethylene result wich stated that younger apple started its ripening stage later than the older apple at 14 days of shelf life.
4. CONCLUSIONS Quality measurements, respiration rates and ethylene production rates measurement was carried out to study the quality evolution of the apple in the shelf life condition. Two factors namely main effect of picking time and shelf life duration (days) was investigated. Interactions between these two factors were elaborated as well. Results shown that older apple (i.e. the late-picked apple) had a higher change in almost several quality attributes. Older apple were more yellowish, less firm, less acidic and had a higher sugar content than the younger apple. Older apple also started their ripening process earlier as expressed in their ethylene production rates and
3.5.3 Respiratory quotient (RQ) 2 1
Optimal
0
Late 0
7
14
Figure 10. RQ evolution of Jonagored apples stored in shelf life condition for 0, 7 and 14 days
174
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 Konopacka D & Plocharski WJ (2004) Effect of storage conditions on the relationship between apple firmness and texture acceptability. Postharvest Biology and Technology32, 205-211. Looney NE & Patterson ME (1967) Chlorophyllase Activity in Apples and Bananas during the Climacteric Phase. Nature214, 1245-1246. Nicolaï BM, Hertog MLATM, Ho QT, Verlinden BE & Verboven P (2009) Gas Exchange Modelling. In Modified and Controlled Atmospheres for the Storage, Transportation, and Packaging of Horticultural Commodities pp. 93 - 110 [EM Yahia, editor]. Boca Raton/London/New York: CRC Press. Nicolaï BM, Lammertyn J, Schotsmans W & Verlinden BE (2005) Gas Exchange Propertiesof Fruit and Vegetables In Enggineering Properties of Foods, pp. 645-677 [MA Rao, SSH Rizvi and AK Datta, editors]. Boca Raton: CRC Press. Paull RE (1999) Effect of temperature and relative humidity on fresh commodity quality. Postharvest Biology and Technology15, 263-277. Saltveit AAKaME (2003) Respiration and Gas Exchane. In Postharvest Physiology and Pathology of Vegetables, pp. 7 - 30 [JABaJK Brecht, editor]. New York: Marcel Dekker. Saltveit ME (1999) Effect of ethylene on quality of fresh fruits and vegetables. Postharvest Biology and Technology15, 279-292. Sas P (1993) Fruit Storage. Budapest: Mezo Gazda. Taiz L & Zeiger E (2002) Plant Physiology, 3rd Edition ed: Sinauer Associates. Thammawong M & Arakawa O (2010) Starch to Sugar Conversion in "Tsugaru" Apples under Ethylene and 1-Methylcyclopropene Treatments. Journal of Agriculture Science and Technology12, 617-626.
respiration rates. It was also depicted that the longer the shelf life duration the greater the alteration of the quality attributes. 5. REFERENCES Abbott JA (1999) Quality measurement of fruits and vegetables. Postharvest Biology and Technology, 207–225. Almela L, Fernández-López JA, Candela ME, Egea C & Alcázar MD (1996) Changes in Pigments, Chlorophyllase Activity, and Chloroplast Ultrastructure in Ripening Pepper for Paprika. Journal of Agricultural and Food Chemistry44, 1704-1711. Barrett, Beaulie & Shewfelt (2010) Color, Flavor, Texture, and Nutritional Quality of Fresh-Cut Fruits and Vegetables: Desirable Levels, Instrumental and Sensory Measurement, and the Effects of Processing. Critical Reviews in Food Science and Nutrition50, 369-389. Bower JH, Biasi WV & Mitcham EJ (2003) Effect of ethylene in the storage environment on quality of [`]Bartlett pears'. Postharvest Biology and Technology28, 371-379. Gasser F, Eppler T, Naunheim W, Gabioud S & Bozzi Nising A (2010) Dynamic CA Storage of Apples: Monitioring of the critical Oxygen Concentration and Adjustment Of Optimum Conditions During Oxygen Reduction. In Acta Hort, pp. 39-46: ISHS. Kader AA (1986) Biochemical and physiological basis for effects of controlled and modified atmospheres on fruits and vegetables. Food Technology40, 99-104. Kader AA (1999) Fruit Maturity, Ripening and Quality Relationships. Kays SJ & Paull RE (2004) Postharvest Biology. Athens, Georgia: Exon Press. Knee M & Hatfield S (1981) BENEFITS OF ETHYLENE REMOVAL DURING APPLE STORAGE. Annals of Applied Biology98, 157-165.
175
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 Yahia EM (1991) Production of Some Odor-active Volatiles by `McIntosh' Apples following Low-ethylene Controlled-atmosphere Storage. HortScience26, 1183-1185.
176
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 OPTIMASI KELARUTAN, RENDEMEN DAN HIGROSKOPISITAS SERBUK PERISA ALAMI RAJUNGAN(Portunus Pelagicus) (KAJIAN FAKTOR SUHU PENGERINGAN DAN LAMA PENGERINGAN). Arie Febrianto M*,1 , Jaya Mahar Maligan, Ika Atsari Dewi Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya., Jl. Veteran, Malang Indonesia. Email:
[email protected]
Abstract Indonesia sebagai negara maritim, mempunyai potensi hasil perikanan laut sangat berlimpah. Salah satu potensi yang dapat dikembangkan adalah rajungan. Ekspor rajungan beku sebesar 2813,67 ton/ tahun berupa rajungan tanpa kulit (cangkang), kepala, ekor, dan kaki, serta rajungan tidak beku (bentuk segar maupun dalam kaleng) sebesar 4312,32 ton/ tahun. Limbah pengolahan daging rajungan yang cukup besar berupa cangkang (kepala, cangkang, kaki, dan sisa-sisa daging yang tidak terikut diolah) yaitu dalam satu ekor rajungan dengan bobot tubuh berkisar antara 100 – 350 gr, terdapat limbah padat dan daging yang tidak ikut terolah sekitar 51 – 177 gr atau sekitar 25 – 50 % bobot tubuh. Salah satu pemanfaatan limbah pengolahan daging rajungan ini yaitu dijadikan sebagai bahan utama pembuatan serbuk perisa alami makanan. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh kombinasi yang tepat antara suhu dan lama pengeringan sehingga produkperisa rajungan yang dihasilkan memiliki kelarutan, higroskopisitasdan rendemen yang optimal. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Agrokimia, Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya Malang pada bulan Juni 2011. Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini antara lain produk samping industri pengolahan daging rajungan yang diperoleh dari salah satu UKM (Usaha Kecil Menengah) di daerah Kabupaten Lamongan, gula pasir, garam, dan bawang putih dan Dekstrin. Rancangan percobaan yang digunakan dalam Metode Respon Permukaan adalah Rancangan Komposit Terpusat (Central Composit Design) dengan menggunakan 2 faktor perlakuan yaitu lama pengeringan dan suhu pengeringan. Pengulangan dilakukan pada titik tengah (X=0) sebanyak 5 kali. Respon yang diuji adalah kelarutan, higroskopisitas, dan rendemen.Pengolahan data menggunakan program Design-Expert DX7 Trial. Hasil perlakuan optimal pada pembuatan serbuk perisa alami rajungan dari limbah pengolahan daging rajungan yaitu pada suhu pengeringan 60,54oC dan lama pengeringan 22 jam dengan nilai kelarutan sebesar 84,61%, rendemen sebesar 24,53%, dan higroskopisitas sebesar 5,89%. Perbandingan dengan produk pembanding yang mempunyai nilai kelarutan sebesar 89,28% dan higroskopisitas sebesar 16,33%.
Kata kunci: Limbah Pengolahan Daging Rajungan, Perisa Alami, Suhu Pengeringan, Lama Pengeringan. data Dirjen Perikanan, total produksi ini diperkirakan sebesar 7,2 juta ton/ tahun, dan yang bisa dimanfaatkan baru sekitar 40% atau 2,7 juta ton/ tahun. Salah satu potensi yang dapat dikembangkan adalah
1. PENDAHULUAN Indonesia sebagai negara maritim mempunyai potensi hasil perikanan laut sangat berlimpah. Potensi ini masih belum bisa dimanfaatkan secara optimal. Menurut
177
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 (Aji, 2010). Karena dengan menggunakan metode foam mat drying diharapkan proses pengeringan akan lebih cepat, yang selanjutnya akan menghemat biaya produksi. Sehingga relatif terjangkau dan mudah diaplikasikan untuk Usaha Kecil Menengah (UKM). Pembuatan serbuk perisa alami dari produk samping industri pengolahan daging rajungan perlu mempertimbangkan beberapa faktor, diantaranya yaitu suhu dan lama pengeringan. Suhu dan lama pengeringan dalam pengolahan produk samping industri pengolahan daging rajungan menjadi perisa tersebut menjadi penting karena suhu dan lama pengeringan menentukan kualitas perisa dan biaya produksi. Kualitas perisa yang dimaksud adalah mengacu pada kelarutan, rendemen dan higroskopisitas. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu penelitian optimasi proses pengeringan pada pembuatan perisa alami dari produk samping industri pengolahan daging rajungan dengan kajian penentuan suhu pengeringan dan lama pengeringan sehingga akan menghasilkan kelarutan, rendemen, dan higroskopisitas yang optimal dari perisa rajungan yang dihasilkan. Untuk memperoleh kombinasi yang tepat antara suhu dan lama pengeringan sehingga produk perisa rajungan yang dihasilkan memiliki kelarutan, higroskopisitas dan rendemen yang optimal.
rajungan. Berdasarkan data Departemen Kelautan dan Perikanan (2005), ekspor rajungan beku sebesar 2813,67 ton/tahun berupa rajungan tanpa kulit, kepala, ekor, dan kaki, serta rajungan tidak beku (bentuk segar maupun dalam kaleng) sebesar 4312,32 ton/ tahun. Setiap industri pengolahan pasti menghasilkan produk sampingan (limbah). Industri pengolahan daging rajungan juga pasti menghasilkan produk samping. Produk samping dari pengolahan daging rajungan yang cukup besar berupa (kepala, cangkang, kaki, dan sisa-sisa daging yang tidak terikut diolah) yaitu dalam satu ekor rajungan dengan bobot tubuh berkisar antara 100 – 350 gr, terdapat limbah padat dan daging yang tidak ikut terolah sekitar 51–177gr atau sekitar 25 – 50 % bobot tubuh (Multazam, 2002). Produk samping tersebut selama ini belum dimanfaatkan secara optimal dan hanya terbuang begitu saja khususnya produk samping padat. Salah satu pemanfaatan produk samping industri pengolahan daging rajungan ini yaitu dijadikan sebagai bahan utama pembuatan serbuk perisa alami makanan karena masih memiliki aroma dan rasa rajungan yang kuat. Saat ini belum banyak perisa alami dengan aroma dan rasa seafood dalam hal ini rajungan. Perisa alami merupakan perisa makanan yang berasal dari bahan–bahan alami yang tentunya lebih aman dan sehat dikonsumsi daripada penyedap rasa sintetik. Oleh karena itu pembuatan serbuk perisa alami dari produk samping industri pengolahan daging rajungan sangat berpotensi sebagai alternatif perisa makanan dengan rasa dan aroma seafood, misalkan untuk masakan, kerupuk, maupun snack. Pasar untuk produk ini cukup besar yaitu untuk industri makanan, snack, dan bisnis kuliner sehingga dapat meningkatkan nilai tambah dari produk samping tersebut. Pembuatan perisa alami ini menggunakan metode foam mat drying. Foam mat drying merupakan teknik yang umum digunakan untuk membuat bahan segar menjadi bentuk instan atau tepung
2. METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Agrokimia, Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya Malang Penelitian dimulai dengan penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui kisaran lama pengeringan dan suhu pengeringan. Selanjutnya pembuatan filtrat pekat produk samping industri pengolahan daging rajungan yaitu pertama diambil 5 kg produk samping industri pengolahan daging rajungan, dikecilkan
178
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 ukurannya (dihancurkan) dan ditambahkan air dengan perbandingan bahan : air yaitu 1 : 2. Setelah itu dipanaskan dengan suhu 100oC selama 60 menit, kemudian disaring dan ampas dibuang, diperoleh filtrat yang kemudian dipekatkan sampai volumenya menjadi setengah. Setelah itu diambil 200 ml filtrat pekat untuk pembuatan serbuk perisa rajungan, kemudian ditambahkan dekstrin, bawang putih, gula, garam, dan dicampur menggunakan blender sampai merata selanjutnya di mixer (pengaduk) untuk membentuk foam. Setelah itu dikeringkan menggunakan oven dengan suhu 55,86oC, 60oC, 70oC, 80oC, 84,14oC selama 21 jam 10 menit, 22 jam, 24 jam, 26 jam, 26 jam 50 menit, kemudian dihancurkan, diayak (60 mesh), dan dihasilkan serbuk perisa. Serbuk perisa tersebut dianalisa fisik antara lain kelarutan, higroskopisitas, dan rendemen untuk dianalisa menggunakan metode RSM (Respon Surface Methodology).
karena jika kadar air tinggi terbentuk gumpalan–gumpalan sehingga bahan membutuhkan waktu yang relatif lama untuk memecah ikatan antar partikel dan kemampuan produk untuk larut menurun, sebagai akibat total padatan yang tersaring pada kertas saring meningkat. Tabel 1. Data Respon Kelarutan Variabel Asli Respon Suhu Lama Kelarutan pengeringan pengeringan (%) (oC) (jam) 60 22 82,83 80 22 88,49 60 26 84,55 80 26 88,88 55,86 24 84,55 84,14 24 89,09 21,17 (21 70 jam 10 87,04 menit) 26,83 (26 70 jam, 87,67 50 menit) 70 24 87,38 70 24 87,49 70 24 87,29 70 24 87,49 70 24 87,25
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Respon kelarutan Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa kelarutan terkecil yaitu 82,83% yang diperoleh pada penentuan suhu pengeringan 60oC dan lama pengeringan selama 22 jam, sedangkan kelarutan terbesar yaitu 89,09% pada suhu pengeringan 84,14oC dan lama pengeringan 24 jam. Data respon kelarutan dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1 semakin besar suhu pengeringan, maka semakin tinggi respon kelarutan. Hal ini dapat dilihat dengan terjadi kenaikan nilai kelarutan bahan apabila suhu pengeringan o ditingkatkan dari suhu 60 C ke 80oC dengan lama pengeringan yang sama yaitu 22 jam, kelarutan 82,83% menjadi 88,49%. Hal ini sesuai dengan Yunizal (1999) yang berpendapat bahwa kelarutan berhubungan dengan suhu pengeringan yang juga berdampak pada kadar air bahan, dimana suhu semakin rendah (kadar air tinggi) kelarutan cenderung semakin rendah,
3.2. Optimasi respon kelarutan Berdasarkan hasil analisis penentuan model, desain model yang terpilih pada respon kelarutan adalah model linier. Nilai P pada model ini adalah <0,0001. Hal ini menunjukkan bahwa nilai P <0,0001 lebih kecil dari peluang kesalahan dari model α 0,05 yang berarti model berpengaruh nyata terhadap respon. Model ini memiliki standar deviasi yaitu terkoreksi (R2 0,77 dengan R2 Adjusted)0,8267. Dari hasil R2 terkoreksi ini, dapat dikatakan bahwa data yang menunjang model sebesar82,67%. Hasil analisis ragam (Anova) menunjukkan bahwa model respon kelarutan lebih dipengaruhi secara nyata oleh faktor suhu pengeringan dari pada lama pengeringan. Hal ini ditunjukkan
179
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 dengan nilai P suhu pengeringan kurang dari 5% yaitu <0,0001 (peluang kesalahan P<0,05), sedangkan nilai P pada lama pengeringan yaitu 0,1963. Model persamaan linier pada respon kelarutan sebagai berikut: Y1= + 68,06243 + 0,20513X1 + 0,18756X2 Pada persamaan tersebut diketahui bahwa Y1 adalah kelarutan (%), X1 adalah suhu pengeringan (oC) dan X2merupakanlama pengeringan (jam) Persamaan model tersebut membentuk kurva respon permukaan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Gambar 1 memperlihatkan bahwa warna hijau adalah peralihan dari warna biru tua menuju warna kuning yang semakin kemerah-merahan atau sebaliknya. Gambaran tersebut menunjukkan bahwa kelarutan akan semakin tinggi pada daerah dengan warna yang semakin merah, dan kelarutan akan semakin rendah pada daerah dengan warna yang semakin biru. Kelarutan mengalami kenaikan ketika suhu rendah. Kelarutan mencapai nilai tertinggi pada suhu pengeringan 80 oC dan lama pengeringan 26 jam sebesar 89,09%.
cenderung semakin kecil, karena jika kadar air tinggi terbentuk gumpalan–gumpalan sehingga bahan membutuhkan waktu yang relatif lama untuk memecah ikatan antar partikel dan kemampuan produk untuk larut menurun, sebagai akibat total padatan yang tersaring pada kertas saring meningkat. 3.3. Respon rendemen Diketahui dari hasil penelitian bahwa rendemen terkecil yaitu 19,92% yang diperoleh pada penentuan suhu pengeringan 70oC dan lama pengeringan selama 24 jam. Sedangkan rendemen terbesar yaitu 24,98% pada suhu pengeringan 60oC dan lama pengeringan 22 jam. Data respon rendemen dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Data respon rendemen Variabel Asli Respon Suhu Lama Rendemen pengeringan pengeringan (%) (oC) (oC) 60 22 24,98 80 22 22,58 60 26 24,40 80 26 23,19 55,86 24 24,94 84,14 24 22,44 21,17 (21 70 jam 10 23,15 menit) 26,83 (26 70 jam, 24,04 50 menit) 70 24 20,23 70 24 21,19 70 24 19,92 70 24 22,75 70 24 20,89
Design points above predicted value Design points below predicted value 89.4
Kelarutan
87.75
86.1
84.45
82.8
26.00
80 25.00
75 24.00
B: Lama
70 23.00
65 22.00
A: Suhu
60
Gambar 1. Kurva Respon Kelarutan terhadap Suhu Pengeringan dan Lama Pengeringan Pada respon ini dipengaruhi oleh suhu pengeringan dan lama pengeringan, hal ini ditunjukkan pada grafik. Apabila suhu rendah dan lama pengeringan rendah maka kelarutan akan rendah. Hal ini sesuai pendapat Yunizal (1999) yang berpendapat bahwa kelarutan berhubungan suhu pengeringan yang juga berdampak pada kadar air bahan, dimana suhu semakin rendah (kadar air tinggi) kelarutan
3.4. Optimasi respon rendemen Hasil analisis penentuan model, desain model yang terpilih pada respon rendemen adalah model kuadratik.Nilai P pada model ini adalah 0,0026 atau 0,26%. Hal ini menunjukkan bahwa nilai P 0,26% lebih kecil dari peluang kesalahan dari
180
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 Design points above predicted value
points below predicted value model α 5% yang berarti Design model berpengaruh nyata terhadap respon. Model ini memiliki standar deviasi yaitu 0,85 dengan R2 terkoreksi (R2 Adjusted) 0,7487. Dari hasil R2 terkoreksi ini, dapat dikatakan bahwa data yang menunjang model sebesar74,87%. Anova menunjukkan bahwa model respon rendemen lebih dipengaruhi secara B: lama nyata oleh faktor suhu pengeringan. Hal ini A: suhu ditunjukkan dengan nilai P kurang dari 5% Gambar 2. Kurva respon rendemen yaitu 0,0211 (peluang kesalahan P<0,05), terhadap suhu pengeringan dan lama sedangkan nilai P pada lama pengeringan pengeringan yaitu 0,6101. Model persamaan kuadratik pada respon rendemen sebagai berikut: Belitz dan Grosch (1987) Y2= 310,43262 - 2,38287X1 - 16,98971X2 berpendapat bahwa suhu pengeringan + 0,013833X12 + 0,33394X22 + mempengaruhi tingkat penguapan air pada 0,014875X1X2 bahan. Apabila suhu pengeringan tinggi Pada persamaan tersebut diketahui maka air yang menguap dari bahan lebih bahwa Y2 adalah kelarutan (%), X1 adalah banyak sehingga kadar air turun, berat suhu pengeringan (oC) dan bahan menyusut yang mengakibatkan X2merupakanlama pengeringan (jam) rendemen berkurang. Hal ini juga didukung Persamaan model tersebut membentuk oleh Widodo (2003), bahwa rendemen juga kurva respon permukaan seperti yang dipengaruhi oleh suhu pengeringan. Karena ditunjukkan pada Gambar 2. Gambar 2 pengeringan merupakan upaya memperlihatkan rendemen mencapai nilai menguapkan air dalam bahan. Apabila suhu tertinggi sebesar 24,98% pada suhu yang dipakai dalam pengeringan tinggi, pengeringan 60oC dan lama pengeringan 22 maka air bahan akan menguap lebih jam. Rendemen dipengaruhi oleh suhu banyak, sedangkan apabila suhu pengeringan dan lama pengeringan. pengeringan rendah, maka air bahan yang Semakin tinggi suhu dan semakin lama menguap sedikit. Apabila air yang waktu yang digunakan dalam pengeringan menguap pada saat pengeringan sedikit, bahan, maka rendemen akan semakin maka total padatan terlarut yang ada pada rendah serta sebaliknya apabila suhu dan bahan akan besar sehingga juga menambah lama pengeringan rendah, maka rendemen rendemen. akan besar. Hal ini disebabkan kadar air Pada suhu pengeringan 80oC lama yang terkandung dalam bahan. Pada suhu pengeringan 26 jam dan pada suhu pengeringan tinggi dan lama pengeringan pengeringan 70oC lama pengeringan 26 yang lama maka kadar air akan rendah, hal jam 50 menit rendemen naik karena pada tersebut yang mempengaruhi berat bahan. penambahan berat akhir ada bagian yang Hal ini terbukti pada batas bawah yaitu masih sedikit basah. Bagian yang masih suhu pengeringan 60oC dan lama sedikit basah tersebut mempunyai berat pengeringan 22 jam, rendemen yang yang tinggi yang menyebabkan berat bahan dihasilkan relatif besar yaitu 24,98%. akhir menjadi tinggi pula. Sehingga pada perhitungan rendemen pada titik tersebut menjadi naik dan menyebabkan model pada respon rendemen menjadi kuadratik. 25
Rendemen
23.725
22.45
21.175
19.9
26.00
60.00
25.00
65.00
24.00
70.00
23.00
75.00
80.00
181
22.00
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 bahwa data yang menunjang model sebesar54,63%. Hasil analisis ragam (Anova) menunjukkan bahwa model respon higroskopisitas lebih dipengaruhi secara nyata oleh faktor suhu pengeringan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai P suhu pengeringan kurang dari 5% yaitu 0,0025 (peluang kesalahan P<0,05), sedangkan nilai P pada lama pengeringan yaitu 0,0888. Model persamaan linier pada respon higroskopisitas sebagai berikut: Y3= -9,71950 + 0,13899X1 + 0,32689X2 Pada persamaan tersebut diketahui bahwa Y3 adalah kelarutan (%), X1 adalah suhu pengeringan (oC) dan X2merupakanlama pengeringan (jam) Persamaan model tersebut membentuk kurva respon permukaan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.
3.5. Respon higroskopisitas Diketahui dari hasil penelitian bahwa higroskopisitas terkecil yaitu 4,49% yang diperoleh pada penentuan suhu pengeringan 60oC dan lama pengeringan selama 22 jam sedangkan higroskopisitas terbesar yaitu 10,13% pada suhu pengeringan 84,14oC dan lama pengeringan 24 jam. Data respon higroskopisitas dapat dilihat pada Tabel 3. Dari Data di Tabel 3 menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu pengeringan yang digunakan, maka semakin besar nilai higroskopisitas yang diperoleh.
Tabel 3. Data respon higroskopisitas Variabel Asli Respon Suhu Suhu Higroskopisita pengeringa pengeringa s n n (%) Design points above predicted value (oC) (oC) Design points below predicted value 60 22 4,49 80 22 7,25 60 26 5,55 80 26 9,20 55,86 24 6,80 84,14 24 10,13 21,17 (21 70 jam 10 7,68 menit) 26,83 B: Lama A: Suhu 70 (26jam, 9,25 50 menit) Gambar 3. Kurva Respon Higroskopisitas 70 24 8,32 terhadap Suhu Pengeringan dan Lama 70 24 8,04 Pengeringan 70 24 8,53 Gambar 3 memperlihatkan respon 70 24 8,32 higroskopisitas mencapai nilai tertinggi 70 24 8,56 o 9.9
H ig ro s k o p is ita s
8.525
7.15
5.775
4.4
26.00
80
25.00
75
24.00
70
23.00
65
22.00 60
sebesar 10% pada suhu pengeringan 80 C dan lama pengeringan 26 jam. Higroskopisitas dipengaruhi oleh suhu pengeringan dan lama pengeringan. Semakin tinggi suhu dan semakin lama yang digunakan dalam pengeringan bahan, maka higroskopisitas akan semakin tinggi serta sebaliknya apabila suhu dan lama pengeringan rendah, maka higroskopisitas akan rendah. Hal ini disebabkan kadar air yang terkandung. Pada suhu pengeringan tinggi dan lama pengeringan yang lama maka kadar air akan rendah, hal tersebut yang mempengaruhi higroskopisitas. Hal
3.6. Optimasi respon higroskopisitas Diketahui dari hasil analisis penentuan model, desain model yang terpilih pada respon rendemen adalah model linier.Nilai P pada model ini adalah 0,0044. Hal ini menunjukkan bahwa nilai P 0,44% lebih kecil dari peluang kesalahan dari model α 5% yang berarti model berpengaruh nyata terhadap respon. Model ini memiliki standar deviasi yaitu 0,9809 dengan R2 terkoreksi (R2 Adjusted)0,5948. Dari hasil R2 terkoreksi ini, dapat dikatakan
182
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 ini terbukti pada batas bawah yaitu suhu pengeringan 60oC dan lama pengeringan 22 jam, higroskopisitasyang dihasilkan relatif kecil yaitu 4,49%. Produk serbuk cenderung dipengaruhi oleh kadar air yang disebabkan oleh penggunaan suhu pengeringan. Suhu yang digunakan tinggi akan menguapkan air bahan yang tinggi akibatnya kadar air bahan rendah. Bahan yang kadar airnya rendah akan menyerap air dari udara (higroskopisitas) yang tinggi. Hal ini karena penyerapan air sangat berhubungan dengan peningkatan kohesivitas yang disebabkan oleh jembatan cairan antar partikel. Kohesivitas yang sangat tinggi dan bentuk yang kering menyebabkan struktur lapisan partikel telah terbuka secara maksimal pada kadar air yang rendah (Wirakartakusumah et al.,1992). Suharto (1991) juga menyatakan bahwa suhu pengeringan yang tinggi akan menyebabkan bahan mempunyai sifat higroskopisitas (kemampuan menyerap air di udara) menjadi tinggi.
Tabel 4. Solusi perhitungan terbaik hasil komputasi Design Expert 7.1.5 N o 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Su hu 60. 54 60. 44 60. 22 61. 13 60. 00 60. 15 60. 00 80. 00 78. 34
La ma 22. 00 22. 00 22. 00 22. 00 26. 00 26. 00 25. 70 22. 00 22. 00
Kelar utan 84.60 82 84.58 67 84.54 10 84.72 82 85.24 69 85.27 72 85.19 06 88.59 93 88.25 87
Rend emen 24.53 35 24.57 35 24.65 97 24.31 55 24.47 18 24.42 23 24.12 15 22.36 32 22.13 97
Higrosk opisitas 5.88728 5.87273 5.84172 5.96858 7.11926 7.13983 7.02119 8.59151 8.36073
Desira bility 0.5797 2 0.5797 0 0.5795 5 0.5792 5 0.5702 1 0.5692 0 0.5567 7 0.4951 4 0.4923 3
Stat es Sele cted
Semakin mendekati satu maka semakin tinggi nilai ketepatan optimasinya. Nilai desirability tertinggi yaitu sebesar 0,57972, sehingga dapat dikatakan bahwa tingkat ketepatan sebesar 57,972%.Titik optimal yang dipilih untuk dilakukan verifikasi hasil adalah solusi 1 yaitu pada suhu pengeringan 60,54oC dan lama pengeringan 22 jam. Hasil percobaan yang sudah dilakukan perlu dibandingkan dengan produk yang sejenis yang sudah dikomersilkan untuk mengetahui kualitas yang sebenarnya. Produk pembanding yang digunakan adalah “Alsultan Cooking Powder” yang merupakan produk berupa kaldu bubuk dalam kemasan. Perbandingan kualitas fisik antara hasil percobaan dengan produk pembanding bias dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Perbandingan kualitas fisik serbuk perisa alami rajungan dengan produk perisa
3.7. Optimasi respon kelarutan, rendemen dan higroskopisitas pada desain komposit pusat Tujuan mengoptimalkan respon kelarutan, rendemen dan higroskopisitas adalah untuk mengoptimalkan respon tersebut secara bersama-sama sehingga dihasilkan solusi optimal. Pengoptimalan respon tersebut sesuai dengan batasanbatasan pada Tabel 4, Tabel 6, dan Tabel 8. Berdasarkan batasan-batasan pada tabel tersebut, maka diperoleh solusi optimal hasil komputasi dengan bantuan Design Expert 7.1.5 seperti pada Tabel 4. Tabel 4 menunjukkan bahwa terdapat 9 solusi optimal dan hanya satu titik yang memiliki nilai desirability tertinggi atau lebih mendekati 1. Montgomery (2002), mendeskripsikan bahwa fungsi desirability tersebut adalah untuk menentukan derajat ketepatan hasil solusi optimal.
Parameter Kelarutan (%) Rendemen (%) Higroskopisitas (%)
Nilai Perlakuan Produk Terbaik Pembanding 84,608 24,5335 5,8873
89,2805 16,3265
Berdasarkan Tabel 5 diatas dapat dilihat bahwa ada parameter yang nilainya berbeda antara hasil penelitian dengan
183
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 produk pembanding yaitu pada kelarutan dan higroskopisitas. Serbuk perisa alami rajungan hasil penelitian memiliki nilai kelarutan lebih rendah daripada produk pembanding, masing–masing 84,6082% dan 89,2805%. Hal ini membuktikan bahwa serbuk perisa alami rajungan hasil penelitian kurang baik dalam hal kelarutan. Semakin tinggi nilai kelarutan suatu produk serbuk, maka semakin bagus kualitas produk tersebut. Kemampuan larut suatu produk akan menentukan kenyamanan dalam mengkonsumsi dan optimalitas efek produk tersebut (Yunizal, 1999). Parameter higroskopisitas juga terdapat perbedaan yaitu 5,8873% untuk serbuk perisa alami rajungan dari hasil penelitian dan 16,3265% untuk produk pembanding. Terbukti pada parameter higroskopis produk hasil penelitian lebih kecil daripada produk pembanding. Diketahui bahwa higroskopis merupakan kemampuan produk dalam menyerap uap air. Apabila nilai higroskopisitas produk semakin tinggi maka semakin kurang baik, karena produk lebih cepat rusak karena terkontaminasi oleh uap air yang diserapnya. Selain itu tidak mudah menggumpal pada saat penyimpanan (Suharto, 1991).
edition by D. Hadziyev. Springer Verlag, Berlin Departemen Kelautan dan Perikanan. 2005. Statistik Data Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta Montgomery, DC. 2002. Design and Analysis of Experiment 5th Edition. John Willey and Sons, Inc. New York. Multazam. 2002. Prospek Pemanfaatan Cangkang Rajungan (Portunus sp) sebagai Suplemen Pakan Ikan. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Suharto. 1991. Teknologi Pengawetan Pangan. PT Rineka Cipta, Jakarta. Widodo, 2003. Teknologi Proses Susu Bubuk. Lacticia Press. Yogyakarta Wiraatmadja, S., G. Taib dan E.G. Said. 1988. Optimasi Pengeringan Pada Pengolahan Hasil Pertanian. Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta. Wirakartakusumah, M.A., K. Abdullah, dan A.M. Syarif. 1992. Sifat Fisik Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor, Bogor. Yuwono, S. S. Dan T. Susanto, 1998. Pengujian Fisik Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang.
4. KESIMPULAN Hasil perlakuan optimal pada pembuatan serbuk perisa alami rajungan dari limbah pengolahan daging rajungan yaitu pada suhu pengeringan 60,54oC dan lama pengeringan 22 jam dengan nilai kelarutan sebesar 84,6082%, rendemen sebesar 24,5335%, dan higroskopisitas sebesar 5,8873%. 5. DAFTAR PUSTAKA Aji, B.S, 2010. Optimasi konsentrasi Dekstrin dan suhu pengeringan dalam pembuatan bubuk sari kedelai dari kedelai lokal varietas grobokan dengan foam mat drying method. Skripsi. TIP. Universitas Brawijaya. Malang. Belitz and Grosch, 1987. Food Chemistry. Translation from The Second German
184
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 PERBAIKAN PENGOLAHAN LIMBAH PERUSAHAAN MELALUI PERHITUNGAN ENVIRONMENTAL PERFORMANCE INDICATOR DENGAN PENERAPAN GREEN PRODUCTIVITY UNTUK MENINGKATKAN NILAI PRODUKTIVITAS ( Study Kasus : PT. Varia Niaga Nusantara ) Rakhmawati *), Muhammad Fakhry *), Dan Agung Hariyanto *) *) Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura Email:
[email protected] atau
[email protected].
Abstrak Industri pengolahan dan pendinginan ikan merupakan salah satu industri pangan pangan yang memiliki potensi pencemaran limbah yang cukup tinggi. Limbah cair yang dihasilkan oleh industri tersebut banyak mengandung BOD, COD, TSS, minyak dan lemak. Apabila tidak ditangani secara tepat dapat mengganggu lingkungan dan kesehatan manusia. Tujuan dari penelitian ini adalah Mengetahui nilai produktivitas dalam rangka menurunkan dampak limbah dan biaya terhadap lingkungan serta mengetahui nilai EPI (Environmental Performance Indicator) dari alternatif solusi melalui parameter tingkat pencemaran kimia yang terkandung dalam limbah cair. Green productivity menerapkan produktivitas dengan tool, teknik-teknik, teknologi manajemen lingkungan yang tepat, untuk mengurangi dampak lingkungan dari kegiatankegiatan organisasi. Langkah yang dilakukan pertama kali adalah mengidentifikasi sumber penyebab limbah, dilanjutkan dengan menetapkan tujuan dan target, langkah terakhir adalah melakukan diskusi terhadap permasalahan yang ada, memilih sumber daya dan informasi yang tersedia untuk menyusun alternatif Green productivity. Alternatif yang digunakan pada penelitian ini adalah melakukan penambahan Model Ensasfil pada unit pengolahan limbah. Penambahan model ini dapat mengurangi kadar BOD dan TSS hingga 20 persen dan 27,5 persen dan dapat meningkatkan nilai EPI yang semula 9,92% menjadi 11,68%. Indeks Produktivitas yang semula 85,37084% menjadi 85,3795%. Sehingga mampu untuk mengurangi beban kerja pengolahan limbah dan mengurangi tingkat pencemaran ke badan air. Dapat disimpulkan bahwa penerapan GP pada perusahaan ini sangat efektif dan memberikan manajemen lingkungan yang baik
Kata kunci : Limbah industri, Environmental Performance Indicator, Green productivity, Ensasfil.
Industri pangan mempunyai potensi yang sangat besar untuk mengganggu keseimbangan ekosistem hingga bahkan mencemari lingkungan. Penggunaan kapasitas air yang sangat besar dalam proses produksinya dapat mengancam keseimbangan air pada lingkungan sekitar karena mampu mengurangi jumlah air yang diperlukan makhluk perairan sungai. Keberadaan pabrik-pabrik pangan di Jawa
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Seiring dengan perkembangan industri, semakin besar pula dampak negatif yang ditimbulkan perusahaan terhadap lingkungan hidup. Dampak tersebut diantaranya berupa pencemaran udara, air, tanah, dan bahan-bahan kimia yang terlibat dalam suatu proses manufaktur dapat menjadi zat yang berbahaya.
185
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 menyebabkan kematian ikan dan biota perairan lainnya. Suatu konsep untuk perbaikan produktivitas dan kinerja lingkungan adalah dengan menerapkan Green Productivity yang berfungsi sebagai salah satu usaha untuk mereduksi beban lingkungan dengan cara mengidentifikasi sumber daya material dan aspek lingkungan dari proses manufaktur. Dengan menurunkan limbah dan polusi, serta menghemat pemakaian energi dan bahan baku akan berdampak positif untuk lingkungan. Hasil dari Green Productivity nantinya dapat dijadikan salah satu usaha untuk mengurangi tingkat pencemaran lingkungan.
Timur membawa degradasi bagi kualitas air. Bahan kimia dalam air pabrik sangat membahayakan kehidupan biota perairan, dapat mengendap kedasar perairan dan mengganggu kesetimbangan dan kelestarian kehidupan perairan. Selain itu sektor industri memberikan pengaruh yang cukup besar berkenaan dengan Biological Oxigen Demand (BOD) yakni kandungan oksigen biologis minimum pada air atau cairan agar mikroorganisme dapat hidup, yakni sekitar 25-50% beban dipulau jawa dihasilkan oleh industri besar. (Dirjen IKM Departemen Perindustrian). PT. Varia Niaga Nusantara bergerak dalam bidang agroindustri berbasis sumber daya alam kelautan dan perikanan dengan output produk-produk pangan yang bersifat perishable. Dalam proses produksinya dihasilkan limbah berupa limbah cair dari proses pencucian ikan dan peralatan produksi serta limbah padat yang berasal dari proses pencucian, penghilangan sisik, proses trimming, dan pada proses penghilangan insang dan isi perut ikan. Limbah cair mengandung sejumlah besar karbohidrat, protein, lemak, garam-garam, mineral dan sisa-sisa bahan kimia yang digunakan dalam pengolahan dan pembersihan yang dapat menimbulkan bau yang menyengat dan polusi berat pada air bila pembuangannya tidak diberi perlakuan yang tepat. Air limbah buangan (effluent) dari penanganan ikan menghasilkan Biological oksigen demand (BOD), lemak dan minyak yang tinggi. Proses pengolahan limbah pada pabrik ini belum sempurna dan sering terhambat akibat dari proses produksi yang melimpah dan kurang terkontrol sehingga menyebabkan kerusakan pada lumpur aktif bak aerasi serta menyebabkan beban energi terhadap instalasi pengolahan limbah. Semakin besar sumber energi yang digunakan IPAL akan menyebabkan penurunan profit terhadap perusahaan. Apabila effluent dibuang langsung ke suatu perairan akibatnya menggangu keseluruh keseimbangan ekologi dan bahkan dapat
1.2. Tujuan penelitian Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah : 1. Mengetahui nilai EPI dari alternatif solusi melalui parameter tingkat pencemaran kimia yang terkandung dalam limbah cair dan beban kerja IPAL. 2. Mengetahui nilai produktivitas dalam rangka menurunkan dampak pencemaran limbah.. 1.3. Manfaat penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi perusahaan, antara lain: 1. Meningkatkan nilai EPI dan memberikan rekomendasi tentang aplikasi Green Productivity untuk mewujudkan peningkatan produktivitas yang berasaskan lingkungan yang berkesinambungan (suistainable development). 2. Meningkatkan produktivitas dan kualitas lingkungan di sekitar pabrik. 2. METODE PENELITIAN 2.1. Tahapan penelitian Tahapan penelitian merupakan bagian penting dalam suatu penelitian karena hal tersebut yang akan menjadi acuan dalam pelaksanaan penelitian. Dalam penelitian tugas akhir ini akan dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: 186
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 adalah uji validitas untuk mengetahui apakah responden memahami setiap pertanyaan yang diajukan dalam kuisioner. Uji reliabilitas untuk menguji apakah hasil dari kuisioner dapat mewakili kondisi real.
2.2. Studi pustaka Pada tahap ini dilakukan perumusan kerangka teori melalui studi pustaka yang menunjang terhadap penelitian ini, sebagai landasan acuan dan batasan dalam melakukan penyelesaian serta mempermudah dalam melakukan pendekatan pemecahan dalam masalah penelitian.
2.7. Identifikasi EPI EPI merupakan tolak ukur kinerja/perfomansi lingkungan suatu perusahaan. EPI dihitung melalui perkalian antara bobot (weight) tingkat bahaya suatu zat kimia dengan prosentase penyimpangan jumlah kandungan zat kimia dalam limbah.
2.3. Pengamatan awal perusahaan (walk through survey) Bertujuan mengetahui kondisi real perusahaan, khususnya kondisi proses produksi, dan mendapatkan informasi mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan penelitian ini, misalnya, proses produksi, kebutuhan material, energi, material balance, dan sebagainya.
2.8. Identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas dan kinerja lingkungan Setelah diketahui tingkat produktivitas yang dicapai perusahaan dan performansi lingkungan pada saat itu, maka langkah selanjutnya dapat di identifikasi faktor apa saja yang menjadi penyebab turun atau naiknya produktivitas dan performansi lingkungan, dengan cara melakukan brainstorming dan identifikasi dengan fish-bone diagram.
2.4. Identifikasi masalah Setelah mendapatkan beberapa informasi dari walk trough survey selanjutnya dapat dilakukan pengidentifikasian masalah. Dalam GP masalah dapat dikategorikan pada ketidak efisienan (misalnya karena kualitas produk yang rendah, peralatan, utilisasi kapasitas, dan lain sebagainya) dan proses yang tidak ramah lingkungan.
2.9. Tujuan dan target penelitian Setelah merumuskan masalah dan identifikasi penyebabnya maka dapat ditentukan tujuan serta target yang akan dicapai dari permasalahan yang terjadi.
2.5. Pengukuran produktivitas Tujuan tahap ini untuk mengetahui tingkat produktvitas yang telah dicapai perusahaan selama ini. Pengukuran produktivitas dilakukan selama beberapa bulan kedepan.
2.10. Penyusunan alternatif solusi Pada tahap inilah penulis berusaha memecahkan permasalahan dan mencapai tujuan yang ada dengan menyusun beberapa alternatif solusi yang disesuaikan dengan tujuan dan target yang telah ditetapkan.
2.6. Penyebaran dan pengujian kuisioner Kuisioner disini dimaksudkan untuk menentukan nilai bobot (weight) dari tingkat bahaya setiap zat kimia terhadap parameter keseimbangan dan kesehatan manusia. Responden yang dijadikan objek penelitian adalah para ahli kimia lingkungan demi keakuratan penelitian. Pengujian yang dilakukan
2.11. Pemilihan alternatif dengan deret seragam Dalam memilih alternatif solusi yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya, penulis mempertimbangkan metode deret seragam, metode ini mengkonversikan semua aliran kas yang 187
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 terjadi selama horison perencanaan ke dalam deret seragam. Bila aliran kas hanya terdiri atas biaya, maka yang terpilih adalah yang membutuhkan biaya seragam yang terkecil.
Pengumpulan data primer dilakukan dengan melihat langsung proses produksi serta melakukan wawancara (interview) langsung kepada karyawan maupun pimpinan perusahaan. b. Data Sekunder Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan metode studi pustaka yang berkaitan dengan penelitian, dan pengumpulan data perusahaan yang berkaitan dengan obyek penelitian.
2.12. Estimasi kontribusi dari solusi terpilih terhadap produktivitas dan EPI Tahap ini bertujuan untuk membandingkan angka produktivitas yang dicapai perusahaan sebelum dengan estimasi produktivitas setelah dilaksanakannya alternatif yang terpilih, sehingga akan diketahui estimasi peningkatan angka produktivitas dan indeks EPI. 2.13. Penyusunan rencana dan implementasi Tahap ini merupakan kelanjutan dari analisa kelayakan finansial, dimana penulis akan membuat jadwal rencana implementasi beserta pelaksanaanya. 2.14. Analisa dan interprestasi Analisa yang dilakukan dari hasil perhitungan indeks productivitas, indeks EPI, alternatif terpilih, analisa rencana imlementasi, peningkatan produktivitas, dan peningkatan indeks EPI. 2.15. Kesimpulan dan saran Setelah analisa dilakukan, dapat diperoleh kesimpulan dari penelitian Green productivity, dan juga diajukan beberapa saran, rekomendasi yang nantinya menunjang kontinuitas pelaksanaan alternatif solusi terpilih yang ditunjukan pada temuan aktivitas yang bertentangan dengan productivitas dan kinerja lingkungan.
Gambar 1. Skema Metodologi Penelitian 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Proses produksi Proses produksi dilakukan untuk mengubah raw material menjadi finish good yang memiliki nilai tambah hingga siap untuk dipasarkan. Di bawah ini terdapat urutan proses produksi dari pengolahan ikan yang terdapat di PT. Varia Niaga Nusantara (VANINUS).
2.16. Metode pengumpulan data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengumpulan data primer dan pengumpulan data sekunder. a. Data Primer
188
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 telah membangun instalasi pengolahan limbah cair. Dengan adanya IPAL ini diharapkan kualitas air limbah yang keluar dari pabrik dapat memenuhi batas ambang yang ditetapkan. Limbah yang dihasilkan PT. Varia Niaga Nusantara (VANINUS) antara lain terdiri dari air cucian ikan yang mengandung berbagai macam zat organic dan anorganik. Debit air limbah yang dihasilkan kurang lebih 350 m3/ hari. Limbah yang dihasilkan merupakan limbah yang tidak bisa langsung dibuang ke lingkungan karena dapat merusak lingkungan. Karakteristik limbah cair yang dihasilkan oleh PT. Varia Niaga Nusantara (VANINUS) adalah BOD 400 ppm, COD 900 ppm. Mengingat karakteristik tersebut maka limbah yang dihasilkan memerlukan pengolahan lebih lanjut agar tidak mengganggu perairan atau lingkungan.
Gambar 2. Flow chartproses pengolahan ikan (Vaninus, 2010)
3.4. Kandungan zat kimia limbah cair Kandungan zat kimia limbah cair diperoleh dari hasil pemeriksaaan sampel limbah cair oleh laboratorium balai besar teknik kesehatan lingkungan dan pemberantasan penyakit menular, JL. Sidoluhur 12 Indrapura, Surabaya. Berikut ini adalah kandungan limbah cair hasil pengolahan ikan PT. Varia Niaga Nusantara (VANINUS).
Gambar 3. Material Balance Diagram (Vaninus, 2010) 3.2. Identifikasi limbah pengolahan ikan limbah padat Limbah padat merupakan bahan – bahan buangan yang memiliki partikel yang keras atau lebih rapat dari cairan. Limbah padat yang dihasilkan oleh PT. VANINUS antara lain berupa sisik, kulit, kepala, ekor, tulang campur daging, serbuk ikan. Limbah padat yang dihasilkan oleh perusahaan ini mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi, dimana limbah padat yang dihasilkan akan digunakan sebagai pakan ternak, industri kosmetik, industri makanan, dan lain sebagainya.
Tabel 1. Hasil Pengujian Limbah Cair Hasil No. Parameter Satuan Analisa 1 BOD mg/lt 14,4 2 COD mg/lt 30,128 3 TSS mg/lt 50 4 Minyak & mg/lt 15 lemak Sumber: BBTKL Surabaya hasil pengujian vaninus, (2010) 3.5. Produktivitas Produktivitas yang akan diukur yaitu produktivitas pada bulan Januari sampai Desember tahun 2009, sehingga
3.3. Limbah cair Untuk mengatasi limbah cair hasil proses PT. Varia Niaga Nusantara (VANINUS)
189
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 23 November 2011 data yang dikumpulkan adalah data input dan output Januari sampai Desember 2009.
Pada Gambar 4, yang menunjukan grafik tingkat produktivitas selama tahun 2009, dapat diketahui bahwa bulan Januari hingga Juni keadaan produktivitas perusahaan berjalan stabil. Kemudian terjadi penurunan produktivitas pada bulan Juli, hal ini dikarenakan pasokan ikan yang cenderung menurun pada musim musim- musim tersebut, variasi produk, dan pergeseran jadwal produksi, faktor persaingan antar perusahaan sejenis juga turut berp berpengaruh serta adanya perubahan terhadap kebijakan pembelian. Sedangkan pada bulan berikutnya yaitu bulan Agustus hingga September produktivitas kembali meningkat karena pasokan ikan yang mulai bertambah juga disertai banyaknya permintaan dari luar negeri. Produktivitas kembali berjalan stabil hingga bulan Desember. Terlihat pula grafik indeks produktivitasnya antara 60 hingga 88 persen, indeks ini dapat dikatakan cukup stabil yang menunjukan bahwa kinerja perusahan cukup baik selama tahun 2009.
3.6. Perhitungan indeks produktivitas roduktivitas Indeks produktivitas dapat dihitung dengan formula: Produktivitas = (output/input)) x 100% Sehingga didapatkan indeks produktivitas selama Januari sampai D Desember 2009.Data Indeks Produktivitas disajikan pada Tabel 2 dan grafik indeks pada Gambar 4. Tabel 2.. Indeks Produktivitas Januari – Desember 2009 Periode Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus Sepemb er Oktober Novemb er Desemb er Rata rata
Output Total (Rp) 7.138.170.60 0 5.531.479.80 0 13.729.467.4 00 14.687.673.0 00 12.403.307.4 00 9.547.544.60 0 3.853.709.20 0 10.503.383.0 00 9.610.873.80 0 15.006.294.6 00 14.338.878.4 00 18.371.093.4 00 11.226.822.9 33
Input Total (Rp) 8.224.293.06 0 6.538.461.70 0 15.660.001.1 50 17.024.145.0 00 14.282.029.0 00 11.155.001.5 50 6.397.932.31 0 12.092.656.3 50 11.092.351.4 70 17.462.345.0 10 17.026.074.7 00 20.883.145.9 30 13.150.651.5 52
Produktivit as 86,79% 84,59% 87,67% 86,27% 86,84%
mental Performance Index 3.7 Environmental (EPI) Penilaian kinerja terhadap lingkungan telah dicapai perusahaan dapat diketahui melalui EPI. EPI menunjukan nilai indeks seberapa besar limbah yang dihasilkan member dampak terhadap lingkungan. Untuk mengetahui nilai bobot yyang terdapat dalam perhitungan EPI disebarkan kuisioner pada 10 orang responden. Kuisioner ini bertujuan untuk mengetahui tingkat bahaya dari variabel zat kimia yang terkandung dalam limbah apabila mencemari lingkungan serta dampaknya bagi manusia itu sendiri. iri. Semakin besar skala penilaian yang terdapat pada kuisioner maka semakin berbahaya. Variabel zat kimia yang terdapat dalam limbah coldstorage ini terdapat 4 macam sesuai dengan yang terdapat pada standart baku mutu lingkungan antara lain BOD, COD, TSS, minyak dan lemak. Bobot
85,58% 60,23% 86,85% 86,64% 85,93% 84,21% 87,97% 85,3708%
Gambar 4. Grafik Indeks Produktivitas
190
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 dimiliki oleh BOD dengan nilai 14,4 dilanjutkan oleh COD sebesar 30,128, TSS sebesar 50, serta minyak dan lemak sebesar 15. Apabila terdapat kadar BOD, COD, serta TSS dalam jumlah yang besar maka variabel zat kimia organik tersebut dapat mempercepatpertumbuhan mikroorganisme sehingga berbahaya apabila air yang terkontaminasi oleh zatzat tersebut dikonsumsi oleh makhluk hidup.
limbah cair hasil sisa proses produksinya dengan menerapkan penanganan antara lain homogenisasi limbah, pengendapan linbah, penguraian limbah, dengan bantuan mikroorganisme serta aerasi. Dengan sistem pengolahan limbah yang ada pada saat ini, PT. Varia Niaga Nusantara (VANINUS) dapat menurunkan kadar bahan pencemar yang tekandung dalam limbahnya hingga memenuhi syarat untuk dialirkan kembali ke lingkungan.
3.8. Perhitungan EPI Bobot yang telah didapat dari penyebaran kuisioner, digunakan untuk menghitung, indeks EPI dengan rumus berikut :
3.9. Identifikasi masalah Banyaknya solid (padatan) yang ikut terbuang akibat proses yang tidak sempurna ke saluran pengolahan limbah mengakibatkan pompa tersumbat dan beban kerja sistem pengolahan limbah semakin meningkat, selain itu lumpur (sludge) yang tidak terbuang tapi di recycle setelah keluar dari clarifier mengakibatkan penumpukan pada bak pengolahan limbah. Akar penyebab permasalahn ini ditampilkan pada fishbone Gambar 5.
k
∑
WiPi
i=1
Indeks EPI = S tan dar − Analisa S tan dar P= Tabel 3. Perhitungan EPI
Dari hasil perhitungan EPI, tampak bahwa semua variabel zat kimia memiliki penyimpangan yang positif. Hal ini memiliki arti bahwa kandungan yang terdapat dalam zat kimia tersebut tidak melebihi ambang batas baku mutu lingkungan dan dinyatakan aman untuk lingkungan. Limbah cair merupkan jenis limbah yang cukup berbahaya untuk makhluk hidup dikarenakan limbah tersebut sukar untuk di daur ulang seperti halnya limbah padat. Untuk mengatasi limbah cairnya maka PT. Varia Niaga Nusantara (VANINUS) telah melakukan pengolah
Gambar 5. Diagram identifikasi masalah dengan fish-bone 3.10. Penentuan tujuan dan target Berkaitan dengan permasalahan yang dimunculkan diatas, selanjutnya disusun tujuan dan target yang ingin dicapai perusahaan berhubungan dengan implementasi GP.
191
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 Tabel 4. Penentuan tujuan dan target No. 1.
Tujuan Mengurangi beban kerja pengolahan limbah Mencegah penyumbatan pada pompa
2.
Mengurangi tingkat pencemaran air limbah ke badan air
menggunakan model ensasfil) lebih baik bila dilihat dari segi penghematan sebesar Rp. 125.012.000 - 112.584.000 = Rp. 12.428.000 per tahun. Alternatif solusi yang terpilih adalah Alternatif 2 yaitu penambahan model ensasfil pada bak pengolahan, model ensasfil ini dapat menurunkan BOD hingga 20 persen dan TSS hingga 27,5 persen. Selain itu selain itu model ini memiliki manfaat yang optimum dan masa pakai lebih lama serta harga lebih murah dibandingkan dengan DAF. Hasil perhitungan EPI dapat dilihat pada Tabel 5.
Target Melakukan pembersihan secara berkala pada clarifier, melakukan penyaringan awal terhadap limbah yang masuk Melakukan tindakan tepat guna dalam pengolahan limbah cair
3.11. Penyusunan alternatif solusi Berhubungan dengan akar permasalahan dan tujuan yang ingin dicapai dalam GP ini , terdapat beberapa alternatif dan solusi yang diberikan antara lain: 1. Memasang DAF (Dissolved Air Flotation) DAF merupakan seperangkat alat pemisah minyak dan air ataupun padatan. Alat ini memiliki bentuk seperti drum dan dilengkapi tangki retensi yang berfungsi mengkontakkan udara yang bertekanan untuk mengapungkan minyak serta padatan dalam limbah yang kemudian ditangkap dengan scrapper sehingga minyak dan padatan akan dialirkan melalui saluran pipa yang sudah dibuat untuk dipakai ulang dan cairannya akan dialirkan ke proses selanjutnya di instalasi pengolahan limbah. 2. Menerapkan model “Ensasfil” Metode ini digunakan untuk menurunkan tingkat pencemaran berupa kadar BOD dan TSS dimana konsep ini dilakukan dengan pengolahan secara fisik berupa sedimentasi dan koagulasi secara biologi menggunakan metode anaerobic biofilter. Metode ini memiliki seperangkat alat yang dipasang pada instalasi pengolahan limbah berupa bak permanen dengan pengolahan secara bertahap, dimana cairan dari proses ini akan dialirkan ke proses selanjutnya di instalasi pengolahan limbah cair.
4. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan 1. Alternatif solusi yang terpilih adalah alternatif 2 yaitu penambahan model ensasfil pada kolam IPAL. Dengan penerapan solusi tersebut didapatkan peningkatkan kontribusi EPI yang pada awalnya 9.92 % menjadi 11.68 % dengan beban kerja awal biaya pengolahan limbah Rp. 25.560.000,-
3.12. Memilih alternatif solusi Dari perhitungan dapat diketahui bahwa Alternatif (pengolahan limbah
192
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 mengalami penurunan menjadi Rp. 23.346.000,- . 2. Produktivitas awal ratarata 85,37084%. Dengan memilih alternatif 2, Estimasi Produktivitas meningkat menjadi 85,3795%.
tentang baku mutu limbah cair Industri atau kegiatan usaha lainnya, Surabaya. Billatos, Samir. B. & N. A. Basaly. 1997. Green Technology and Design for TheEnvironment, Taylor & Francis DeSimone LD & Frank Popoff (1997). Eco Efficiency The bussines link to sustainable development. Massacussets : The MIT Press. Dewi, Ketut Ratna. (2005). Penerapan Green Productivity di Pabrik Gula candi baru sidoarjo. Tugas akhir jurusan Teknik Industri, ITS. Dirjen IKM Departemen Perindustrian, Pengelolaan limbah Industri pangan,
Hariyanti, Meisna. (2006). Penerapan Green productivity pada pabrik pengolahan dan pendinginan ikan. Tugas akhir jurusan teknik Industri, ITS. Hastutiningrum Sri dan Sunarsih Sri.(2008). Pengaruh pengolahan limbah cair tahu model ensasfil terhadap penurunan BOD dan TSS. Jurnal Jurusan teknik Lingkungan Fakultas Sains Terapan , IST AKPRIND. Yogyakarta. Ika,Putu Dyah Ketut Ratna. (2006). Implementasi Green Productivity sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas dan kinerja lingkungan. Tugas akhir jurusan Teknik Industri, ITS. Mensesneg. (1997). Undang-undang RI No.23 Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pujawan, I Nyoman. (2004). Ekonomi Teknik. Institute Teknologi Sepuluh November, Guna Widya Surabaya. Rachmasari, Ratih dan Slamet, Agus. (2007). Desain Instalasi pengolahan air limbah pusat grosir wonokromo Surabaya. Jurusan Teknik Lingkungan. ITS . Wardhana, Wisnu Arya (2001). Dampak pencemaran lingkungan. Andi Jogjakarta.
4.2. Saran Saran yang dapat diberikan penulis pada perusahaan agar dapat meningkattkan kontribusinya terhadap lingkungan adalah: 1. Menghitung analisa finansial pemilihan alternatif kontribusi dengan metode analisis titik impas maupun sensitivitas agar estimasi lebih akurat. 2. Melanjutkan implementasi GP sangat bermanfaat untuk meningkatkan kinerja lingkungan, mengetahui tingkat produktivitas, serta pemanfaatan Air limbah menjadi second product dengan kombinasi biofecta agar performa dapat terus meningkat. 5. DAFTAR PUSTAKA APO. (2003). Achieving Higher Productivity Through GP. Tokyo:APO APO. (2003). A measurement Guide to Green Productivity. Tokyo :APO APO. (2003). Concept of green productivity. Tokyo :APO APO. (2003). Green Productivity Methodology : Tokyo :APO Afida, Nofita. (2008). Peningkatan Produktivitas Melalui Usaha Waste Reduction dengan pendekatan Green Productivity. Tugas akhir jurusan Teknik Industri, ITS. Arif. (2002). Gerakan produktivitas ramah lingkungan. Balai pengembangan produktivitas tenaga kerja. Badan Pengendalian Lingkungan. Pengendalian dampak pencemaran & kerusakan lingkungan hidup jawa dan kalimantan. URL:http://www.menlh.go.id/i/art/p df_1063240521.pdf Bapedal propinsi Jatim. (2002). Keputusan Gubernur jatim No.45 tahun 2002 193
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 ISOLASI BAKTERI POTENSIAL PENGHASIL 1,3 PROPANDIOL DARI LIMBAH BIODIESEL Juwita Ratna Dewi 1), Mahyudin Abdul Rahman2) Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Universitas Tribhuwana Tunggadewi Malang 2) LAPTIAB-BPPT PUSPIPTEK Serpong Tangerang
1)
Abstrak 1,3 propandiol (1,3 PDO) adalah salah satu monomer utama untuk memproduksi poliester berkualitas tinggi seperti polytrimethylene terephthalate (PTT), polieter, poliuretan, dan plastik yang dapat didegradasi. Terdapat dua metode pembuatan 1,3 PDO yaitu secara kimiawi dan secara bioteknologi. Pembuatan 1,3 PDO melalui sintesa kimia, misalnya melalui hidratasi akrolein. Akrolein adalah senyawa turunan minyak bumi dan merupakan reagen yang berbahaya. Oleh karena itu banyak dikembangkan proses produksi 1,3 PDO dengan menggunakan mikroba karena lebih aman, murah, dan menggunakan bahan baku yang dapat diperbarui. Bahan baku produksi 1,3 PDO secara bioteknologi yang dapat diperbaharui adalah gliserol. Gliserol banyak dihasilkan pada proses pembuatan biodiesel. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengisolasi bakteri indigenous potensial penghasil 1,3 propandiol dari limbah pengolahan biodiesel. Teknik isolasi yang digunakan adalah spread plate. Bakteri hasil isolasi akan diseleksi dengan uji IMViC, dimana pengujian ini dapat membedakan antara E.coli dengan Enterobacter / Klebsiella. Setelah itu bakteri hasil isolasi dan seleksi akan ditumbuhkan pada media gliserol untuk mengetahui produktivitasnya dalam menghasilkan 1,3 propandiol. Tahap isolasi dan seleksi menghasilkan 7 isolat yang diduga potensial dalam menghasilkan 1,3 propandiol. Diantara ketujuh solate tersebut, solate TH3 memiliki produktivitas paling baik dengan yield 0,335 mol/mol gliserol.
Kata kunci: isolasi, 1,3 propandiol serat dan tekstil karena hasilnya memiliki kualitas yang sangat baik. Terdapat dua metode pembuatan 1,3 propandiol yaitu secara kimiawi dan secara bioteknologi. Pembuatan 1,3 propandiol secara kimia dilakukan melalui sintesa kimia, misalnya melalui hidratasi akrolein. Akrolein adalah senyawa turunan minyak bumi dan merupakan reagen yang berbahaya. Proses sintesa ini memerlukan suhu tinggi, tekanan tinggi, dan katalis yang mahal. Oleh karena itu banyak dikembangkan proses produksi 1,3 propandiol dengan menggunakan mikroba karena lebih aman, murah, dan menggunakan bahan baku yang dapat diperbarui (Biebl et al, 1992).
1. LATAR BELAKANG 1,3 propandiol adalah salah satu monomer utama untuk memproduksi poliester berkualitas tinggi seperti polytrimethylene terephthalate (PTT). Sebagai bahan tambahan, 1,3 propandiol juga dapat digunakan untuk produksi poliester, polieter, poliuretan, dan plastik yang dapat didegradasi. 1,3 propandiol merupakan monomer yang sangat mahal, pada awal aplikasinya terbatas pada skala kecil seperti pembuatan larutan dan polimer. Peningkatan kebutuhan 1,3 propandiol dimulai oleh kebutuhan industri-industri besar untuk membuat 194
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 kemampuan mengkonversi menjadi 1,3 propandiol.
Bahan baku produksi 1,3 propandiol secara bioteknologi yang dapat diperbaharui adalah gliserol. Gliserol banyak dihasilkan pada proses pembuatan biodiesel (Denver, 2008), dimana pembuatan produk biodiesel sendiri mengalami peningkatan yang cukup signifikan beberapa tahun ini karena peningkatan penggunaan bahan bakar yang dapat diperbaharui ditingkatkan oleh pemerintah. Implikasinya terdapat surplus produksi gliserol yang merupakan produk samping proses transesterifikasi pada pembuatan biodiesel. Ketersediaan bahan baku yang cukup melimpah ini membuka peluang peningkatan produksi 1,3 propandiol. Oleh karena itu, penelitian tentang 1,3 propandiol menjadi penting untuk mendukung peningkatan produksinya. Dari sisi bioteknologi, produksi 1,3 propandiol tidak lepas dari agen-agen biologis untuk proses produksi. Oleh karena itu, pada penelitian ini akan dilakukan pemilihan mikroba yang mampu mengkonversi gliserol menjadi 1,3 propandiol. Menurut Zeng and Biebl (2002) mikroba yang diketahui dapat mengubah gliserol menjadi 1,3 propandiol adalah Klebsiella pneumoniae, Citrobacter freundii, Enterobacter agglomerans, Clostridium butyricum, Clostridium pasteurianum, Lactobacillus brevis, dan Lactobacillus buchneri. Selain bakteribakteri tersebut, Bacillus pumilus juga berpotensi sebagai penghasil 1,3 propandiol karena bakteri ini memiliki enzim-enzim yang berperan dalam konversi gliserol menjadi 1,3 propandiol. Berdasarkan ketersediaan bahan baku gliserol di Indonesia yang merupakan produk sampingpembuatan biodiesel, dibutuhkan pemilihan mikroba yang sangat potensial untuk mengkonversi 1,3 propandiol dari gliserol hasil purifikasi limbah biodiesel, sehingga mikroba yang berhasil di isolasi diharapkan memiliki
gliserol
2. METODOLOGI 2.1. Bahan dan alat a. Mikroorganisme Mikrorganisme hasil isolasi dari limbah biodiesel, b. Media Fermentasi untuk produksi 1,3 propandiol, formulasi berdasarkan Hao et al (2008) . Ekstrak khamir, pepton, K2HPO4, KH2PO4, (NH4)2SO4, MgSO4.7H2O, CaCl2.2H2O, Co(NO3)2.6H2O, Fe(NH4)2SO4.6H2O, asam nikotenat, Na2SeO3, NiCl2, MnCl2.4H2O, H3BO3, AIK(SO4)2.12H2O, CuCl2.2H2O, Na2EDTA.2H2O, limbah biodiesel (gliserol kasar), 2,3,5triphenyltetrazolium chloride, bacto agar (Oxoid), tripton (Oxoid). c. Bahan Kimia NaCl, NaOH, HCl, akuades, alkohol 70%, alkohol 95%, reagen Barrit’s A dan Barrit’s B, reagen Kovac’s, indikator metil merah. d. Peralatan Peralatan yang digunakan selama penelitian adalah sebagai berikut: High performance Liquid Chromatography; tabung mikrosentrifus 1,5 ml (Eppendorf); pipet mikro 1000 µl; 2-20 µl (Ependorf); tip; pH meter (Knicks); timbangan digital (Sartorius); magnetic stirer MR 3001 (Heidolph); vorteks (Sargen Weich); laminar air flow cabinet; spektrofotometer (pharmacial); kuvet; oven (Memmert); Inkubator ; mesin sentrifus (Himac CR 21G); shaker incubator; mesin autuklaf (Iwaki); automatic ice make; cold room 4 0C; water bath (Memmert); membrane filter 0,2 µm (Millipore) serta glassware, kolom HPLC Phenomeneck C18, H2SO4 HPLC grade. 2.2. Metode isolasi Sumber bakteri untuk isolasi yang digunakan ada tiga macam, yaitu limbah biodiesel saringan 1, limbah biodiesel
195
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 saringan 2 dan tanah disekitar limbah biodiesel. Isolasi dilakukan dengan metode Spread plate (Hadioetomo,1990). Tiap sampel diambil sebanyak 5 ml untuk dimasukkan dalam 45 ml medium komplek gliserol. Diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 0C, kemudian sebanyak 100 µl sampel disebar pada media plate agar dengan seri pengenceran 10-1-10-7 . Sampel diinkubasi pada suhu 370C selama 24 jam, setelah 24 jam diamati koloni yang terbentuk, koloni tunggal yang terbentuk ditumbuhkan lebih lanjut pada media plate agar. Pengelompokan bakteri hasil uji isolasi dilakukan berdasarkan uji IMViC
menjadi merah uji MR dinyatakan positif. Sedangkan untuk uji VP, media yang digunakan sama yaitu media MR-VP, namun setelah inkubasi 24 jam pada media ditambahkan 0,3 ml reagen Barrit’s A dan 0,1 ml Barrit’s B. Perubahan yang terjadi diamati, jika terbentuk warna merah uji VP dinyatakan positif. 2.2.3. Uji sitrat (Citrate test) Pada uji Citrate digunakan media Simmon’s citrate. Ditimbang 24,3 gram media Simmon’s citrate dan dilarutkan dalam 100 ml air. Sebanyak 5 ml media dimasukkan dalam tabung reaksi, o disterilisasi 121 C selama 15 menit. Setelah dingin, 1 ose bakteri uji diinokulasikan dalam media. Inkubasi 24 jam 37 oC. Setelah 24 jam amati perubahan yang terjadi. Jika media berubah warna dari hijau menjadi biru, maka uji citrate dinyatakan positif. Pengujian kemampuan kultur hasil isolasi dilakukan dengan cara menumbuhkan bakteri hasil isolasi dan dalam medium kompleks gliserol. Kultur hasil isolasi diambil 1 ose, ditumbuhkan dalam 10 ml media kompleks gliserol. Diinkubasi selama 20 jam pada suhu 37 o C. 10 ml kultur prekultur ini diinokulasikan dalam 90 ml media komplek gliserol, diinkubasi selama 20 jam pada suhu 37 oC. Setelah 20 jam, media disentrifuge pada kecepatan 12000 rpm 15 menit untuk mengendapkan sel, supernatan yang diperoleh disaring dengan membrane filter 0,2 µm (Millipore) kemudian dilakukan uji HPLC untuk mengetahui kandungan 1,3 propandiol.
2.2.1. Uji Indol Ditimbang 3,9 gram SIM medium dan dilarutkan dalam 120 ml akuades. Media dididihkan dan pH diatur sampai 7,3. Diambil 6 ml media, dimasukkan dalam tabung reaksi, sterilisasi 121 oC selama 15 menit. Setelah dingin, dimasukkan 1 ose kultur bakteri uji, diinkubasi 24 jam pada suhu 37 oC. Setelah 24 jam, pada medium ditambahkan reagen Kovac’s. Diamati perubahan yang terjadi. Jika terbentuk lapisan berwarna merah diatas permukaan media, maka uji indol dinyatakan positif. 2.2.2. Uji MR-VP (Methyl Red-Voges Preskauer) Ditimbang 0,75 gram indikator methyl red (metil merah) dan dilarutkan dalam 50 ml etanol. Untuk media, ditimbang 1,7 gram media MR-VP, dilarutkan dalam 100 ml akuades. pH media diatur hingga 6,9. 5 ml media dimasukkan kedalam tabung reaksi, distterilisasi 121 oC selama 15 menit. Setelah dingin, 1 ose kultur bakteri uji dimasukkan dalam media, digoyanggoyang. Diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 oC. Setelah 24 jam. ditambahkan 3 tetes indikator MR. diamati perubahan yang terjadi. Jika warna media berubah
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Isolasi bakteri dari limbah biodiesel Isolasi bakteri dilakukan dengan menggunakan limbah biodiesel sebagai sumber mikroorganisme karena limbah biodiesel mengandung gliserol yang merupakan substrat utama dalam produksi 1,3 propandiol. Harapannya didapatkan bakteri yang secara alami dapat tumbuh 196
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 pada media yang mengandung gliserol dan memanfaatkannya sebagai sumber karbon untuk produksi 1,3 propandiol. Berdasarkan jalur-jalur pembentukan 1,3 propandiol dari gliserol, maka dipilih bakteri yang mampu bertahan hidup di lingkungan limbah biodiesel dengan merombak gliserol. Bakteri pada limbah biodiesel diambil dari beberapa tempat, yaitu pada limbah saringan ke 1, limbah saringan ke 2 dan tanah disekitar limbah biodiesel. Isolasi dilakukan dari beberapa tempat untuk mencari bakteri yang paling berpotensi dikembangkan dalam produksi 1,3 propandiol. Metode isolasi yang digunakan adalah metode sebaran. Metode sebaran merupakan cara isolasi dengan cara inokulasi suspensi bahan yang mengandung bakteri pada permukaan medium agar yang sesuai dalam petridish steril. Setelah inkubasi maka pada bekas goresan akan menjadi koloni-koloni terpisah yang mungkin berasal dari satu sel bakteri atau biakan murni (Hadioetomo, 1990). Metode sebaran dilakukan dengan cara menginokulasikan sebanyak 100 µl suspensi bahan yang mengandung bakteri dengan seri pengenceran mencapai 10-7 pada permukaan media komplek gliserol agar, dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 0C. Setelah 24 jam pada media agar akan terbentuk koloni tunggal yang mungkin berasal dari satu sel bakteri. Koloni tunggal yang diperoleh dimurnikan dan disimpan dalam agar miring pada suhu 4-6 oC.
Berdasarkan hasil uji IMViC koloni bakteri hasil isolasi dibedakan menjadi 3 kelompok yang dapat dilihat pada Tabel. 1 dibawah ini. Simbol (---+/-++/-+-+) merupakan representasi hasil uji IMViC, dimana berturut-turut dari kiri ke kanan simbol tersebut menyatakan hasil uji indol (Indole test), uji metil merah ( Methyl red test), uji voges preskauer dan uji sitrat (Citrate test) (Anonymous, 2009). Tabel 1. Hasil Uji IMViC Kelompok 1 Hasil IMViC (---+) LSR 1.6 LSR 1.9 LSR 1.11 LSR 2.11 TH 4 TH 5 TH 8 TH 9 TH 10
Kelompok 2 Hasil IMViC (-++) LSR 1.8 LSR 1.14 LSR 1.15 LSR 2.13 TH 1 TH 3 TH 11
Kelompok 3 Hasil IMViC (-+-+) LSR 1.12 LSR 1.13 LSR 2.4 LSR 2.6 LSR 2.9 LSR 2.12
Keterangan : LSR 1 : koloni bakteri yang diisolasi dari limbah biodiesel saringan 1 LSR 2 : koloni bakteri yang diisolasi dari limbah biodiesel saringan 2 TH : koloni bakteri yang diisolasi dari tanah disekeliling limbah biodiesel Hasil IMViC (--++) : masuk dalam Enterobacter, Klebsiella Hasil IMViC (++--) : masuk dalamE. coli
Koloni bakteri hasil isolasi dari limbah biodiesel diseleksi berdasarkan uji IMViC, karena pada penelitian ini bakteri yang diharapkan adalah dari golongan Enterobacter. Golongan Enterobacter merupakan bakteri potensial dalam menghasilkan 1,3 propandiol, dimana berdasarkan penelitian Barbirato, et al (1995) yield yang diperoleh dari biokonversi gliserol menjadi 1,3 propandiol oleh bakteri Enterobacter agglomerans mencapai 0,61 mol/mol gliserol. Selain itu diantara beberapa bakteri yang potensial penghasil 1,3 propandiol seperti Clostridium butyricum, dan Klebsiella pneumonia, bakteri dari golongan Enterobacter seperti Enterobacter Agglomerans dan Enterobacter Aerogenes penanganannya lebih mudah. Khusus
3.2. Penentuan golongan bakteri menggunakan uji IMViC Tahap awal isolasi menghasilkan 22 koloni. Koloni-koloni ini kemudian di uji IMViC (Indole Methyl red Voges Preskauer Citrate). Uji IMViC merupakan pengujian yang terdiri dari empat macam pengujian dan biasanya digunakan dalam mengidentifikasi famili Enterobactericeae (Rao, 2006). 197
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 ditambahkan akan terbentuk warna merah muda, sedangkan pada Enterobacter tidak terbentuk warna merah muda karena Enterobacter tidak memiliki enzim triptofanase.
untuk Clostridium butyricum yang merupakan bakteri anaerob (strict anaerob) dalam penanganannya membutuhkan alat khusus untuk mejaga kondisi tetap anaerob, sedangkan Klebsiella pneumonia memerlukan standar laboratorium level 2 karena tingkat patogenitasnya lebih tinggi dari pada bakteri Enterobacter agglomerans ataupun Enterobacter aerogenes . Uji IMVIC dapat membedakan antara bakteri golongan Enterobacter dengan E. coli. Golongan Enterobacter hasil uji IMViC adalah --++ yang menunjukkan hasil negatif untuk uji indol dan metil merah, hasil positif untuk uji voges preskauer dan sitrat. Sedangkan untuk E. coli hasilnya adalah sebaliknya yaitu ++--, hasil positif untuk uji indol dan metil merah, uji negatif untuk uji voges preskauer dan sitrat. Uji IMViC merupakan pengujian yang penting untuk membedakan genus Escherichia dan Enterobacter. Lebih lanjut pengujian ini digunakan secara umum untuk membedakan antara E coli dan Enterobacter aerogenes.
3.4. Uji metil merah (Methyl red test) Pada uji metil merah, Enterobacter juga menunjukkan hasil yang negatif karena golongan bakteri ini ketika ditumbuhkan dalam medium yang mengandung glukosa akan menghasilkan metabolit dengan pH netral. Hasilnya adalah ketika pada medium ditambahkan metil merah sebagai indikator pH, maka warna yang terbentuk adalah kuning sebab metil merah akan memberikan warna merah pada kondisi asam (< 4,4) dan akan berwarna kuning pada kisaran pH 6,2. Pada pengujian ini E coli akan menghasilkan metabolit-metabolit yang bersifat asam sehingga pH media dapat mencapai dibawah 4,4. Menurut Anonymous (1998) Enterobacter dan Klebsiella ketika ditumbuhkan pada media yang mengandung glukosa akan menghasilkan metabolit yang sifatnya cenderung netral seperti etil alkohol, asetil metil karbinol sehingga menyebabkan kenaikan pH sampai diatas 6,2 dan Indikator pH metil merah yang digunakan akan berwarna kuning dan hasil uji dinyatakan negatif. 1. Uji Voges Preskauer(VP) Medium yang digunakan untuk uji VP mengandung glukosa dan pepton. Hasil uji VP untuk Enterobacter adalah positif karena Enterobacter selama ditumbuhkan dalam media ini dapat menghasilkan asetoin yang ketika direaksikan dengan reagen untuk uji VP yakni Barrit’s A dan Barrit’s B akan bereaksi membentuk warna merah muda dan uji VP dinyatakan positif. Anonymous (1998) juga menyatakan bahwa hasil uji VP untuk Enterobacter dan Klebsiella adalah positif. Hal ini dikarenakan Enterobacter dan Klebsiella dapat menghasilkan asetil metil karbinol atau
3.3. Uji indol (Indole test) Pada golongan Enterobacter hasil uji indol menunjukkan negatif karena bakteri yang termasuk dalam Enterobacter tidak memiliki enzim triptofanase, seperti E. coli . Ketika ditumbuhkan dalam media yang mengandung triptofan, E. coli dapat merombak triptofan dan menghasilkan senyawa indol, sehingga ketika pada media ditambahkan reagen kovac’s akan terbentuk warna merah muda dan hasil uji indol dinyatakan positif. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Anonymous (1998) bahwa pada uji indol, bakteri uji ditumbuhkan pada media tripton broth yang kaya asam amino triptofan. Bakteri E. coli yang memiliki enzim triptofanase dapat memotong triptofan menghasilkan indol dan senyawa lainnya. Ketika reagen Kovac’s yang mengandung p-dimetilaminobenzaldehid 198
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 asetoin yang akan bereaksi dengan reagen Barrit’s A (alpha naphtol) dan Barrit’s B (potassium hidroksida) membentuk warna merah muda. Sedangkan E. coli yang tidak menghasilkan asetoin warna merah tidak terbentuk.
dari ketujuh bakteri tersebut diuji dengan ditumbuhkan dalam media kompleks gliserol dan dianalisa kadar 1,3 propandiol setelah 20 jam inkubasi menggunakan HPLC (High Performance Liquid Chromatography). Hasil uji HPLC dapat dilihat pada Tabel 2. berikut:
3.5. Uji sitrat (Citrate test) Uji sitratdilakukan untuk mengetahui kemampuan bakteri uji dalam memanfaatkan sitrat sebagai sumber karbon utama dengan menggunakan media Simmon’s citrate yang juga megandung bromtimol biru sebagai indikator pH. indikator pH ini akan berwarna kuning pada kisaran pH 6 dan berwarna biru pada pH yang cenderung basa, berkisar 7,6. Enterobacter memiliki kemampuan dalam memanfaatkan sitrat sebagai sumber karbon dan menghasilkan metabolit yang sifatnya cenderung basa sehingga indikator pH akan berwarna biru dan hasil uji sitratdinyatakan positif. Menurut Anonymous (1998) indikator pH bromtimol biru pada media Simmon’s citrate memiliki range pH 6,0 sampai 7,6. Bromtimol biru akan berwarna kuning pada kondisi asam (berkisar 6) dan akan berubah menjadi biru ketika pH mulai basa (berkisar 7,6). Media Simmon’s citrate agar yang belum diinokulasikan akan memiliki pH 6,9 dan berwarna hijau. Ketika Enterobacter atau Klebsiella ditumbuhkan, bakteri ini akan menghasilkan metabolit yang sifatnya cenderung netral, pH berkisar 7 sehingga media akan berubah menjadi biru dan uji sitrat dinyatakan positif.
Tabel 2. Hasil produksi 1,3 propandiol dari isolat golongan Enterobacterhasil isolasi dari limbah biodiesel Kode Isolat
1,3 propandiol (g/l)
LSR 1.8 LSR 1.14 LSR 1.15 LSR 2.13 TH 1 TH 3 TH 11
0,07 0,55 0,08 2,14 0,09 2,54 0,11
Yield (mol/mol gliserol) 0,009 0,130 0,010 0,283 0,076 0,335 0,013
Hasil uji HPLC dari ketujuh isolat pada Tabel 2. menunjukkan bahwa isolat TH3 dapat menghasilkan 1,3 propandiol paling tinggi yakni 2,54 g/l dengan yield 0,335 mol/mol gliserol. Dengan demikian isolat TH3 memiliki kemampuan paling baik dibandingkan dengan isolate hasil isolasi yang lainnya. 4. KESIMPULAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimppulkan bahwa limbah gliserol mengadung sejumlah bakteri yang berpotensi untuk dikembangkan karena mampu mengkonversi gliserol menjadi 1,3 propandiol. Kamampuan dalam menghasilkan 1,3 propandiol yang terbaik ditunjukkan oleh isolat TH3 dengan yield ssebesar 0,335 mol/mol gliserol.
3.6. Produksi 1,3 propandiol dari isolat hasil isolasi pada limbah biodiesel Berdasarkan hasil uji IMViC maka hanya kelompok 2 saja yang diuji lebih lanjut karena mengindikasikan golongan Enterobacter, sedangkan kelompok 1 dan 3 bukan termasuk Enterobacter. Terdapat tujuh bakteri pada kelompok 2, yaitu LSR 1.8, LSR 1.14, LSR 1.15, LSR 2.13, TH 1, TH 3, dan TH 11. Produksi 1,3 propandiol
5. DAFTAR PUSTAKA Anonymous. 1998. Biochemical test IMViC. http://www.mc.maricopa.edu/~johnso n/labtools/Dbiochem/imvic.html
199
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 Anonymous. 2009.IMViC Series. www.csun.edu/~hcbio029/MICROLA B /secured.../IMViC_Series.pdf Barbirato, F., Camarasca-Claret, C., Bories, A., Grivet, J.P .1995. Description Of The Glycerol Fermentation By A New 1,3Propanediol Producing Microorganism: Enterobacter agglomerans. Appl Microbiol Biotechnol 43: 786±793 Biebl, H., Marten, S., Hippe, H., and Deckwer, W.D. 1992. Glycerol Conversion To 1,3-Propanediol By Newly Isolated Clostridia. Appl Microbiol Biotechnol 36: 592±597 Denver J. P. 2008. Use of BiodieselDerived Crude Glycerol for the Production of Omega-3 Polyunsaturated Fatty Acids by the Microalga Schizochytrium limacinum. Thesis submitted to the Faculty of Virginia Polytechnic Institute and State University in partial fulfillment of the requirements for the degree of Master of Science In Biological Systems Engineering Hadioetomo, R.S. 1990. Mikrobiologi Dasar Dalam Praktek. PT Gramedia. Jakarta Hao, J., Rihui, L., Zongming, Z., Hongjuan, L., and Dehua, L. 2008. Isolation And Characterization Of Microorganisms Able To Produce 1,3Propanediol Under Aerobic Conditions. World J Microbiol Biotechnol Rao, S. 2006. IMViC Reaction. Dept. Of Micrpbiology , JJMMC Davangere. www.microrao.com Zeng A.P,And Biebl H. 2002. Bulk Chemicals From Biotechnology: The Case Of 1,3-Propanediol Production And The New Trends. Adv Biochem Eng/Biotechnol 74:239–259.
200
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 PRODUK OLAH KUKUS (BOLU KUKUS) DAN GORENG (KEMBANG GOYANG)YANG DIOLAH BERDASAR SIFAT KARAKTERISTIK TEPUNG GADUNG (Dioscorea hispida Dennst) (Steamed (Spongecake) And Fried (Kembang Goyang) Product Based On Characteristic Of Bitter Yam (Dioscorea Hispida Dennts) Flour) Agnes Murdiati *), Suparmo *), Rini Citaningsih *) *) Jurusan Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Jalan Flora No. 1, Bulaksumur, Yogyakarta 55281
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kesukaan panelis pada produk olah tepung gadung, berdasar kesesuaiannya dengan karakteristik kimia, fisiko-kimia, dan fisik, tepung gadung (Dioscorea hispida Dennts). Tepung gadung digunakan untuk mensubtitusi terigu untuk pengolahan produk kukus (bolu kukus) dan mensubtitusi tepung beras untuk pengolahan produk goreng (kembang goyang). Selanjutnya dilakukan pengujian secara sensoris untuk mengetahui tingkat kesukaan panelis. Karakteristik tepung gadung antara lain Water Binding Capacity 313% (b/b), kadar air 16,00 % db, karbohidrat 96,26 % db, pati 79,51 % db; amilosa 37,46 % db, amilopektin 42,04 % db, dan HCN 35,30 ppm. Bolu kukus dengan substitusi tepung gadung sampai 50% tidak menunjukkan perbedaan sifat dengan penggunaan terigu 100%, namun penggunaan tepung gadung lebih dari 50% menghasilkan bolu kukus dengan flavor gadung yang semakin terasa, tekstur semakin kurang lembut, dan semakin remah (mudah hancur). Kembang goyang dengan substitusi tepung gadung sampai 75% tidak menunjukkan perbedaan sifat dengan penggunaan tepung beras 100%, namun penggunaan tepung gadung 100% menghasilkan kembang goyang dengan tektur yang agak lunak dan kasar.
Kata kunci : tepung gadung, bolu kukus, kembang goyang intensif. Angka ini melebihi produktivitas ubi kayu dan umbi-umbian yang lainnya. Umbi gadung dikonsumsi masyarakat Indonesia terutama di wilayah Maluku, Nusa Tenggara, dan Sulawesi dalam bentuk gaplek sebagai makanan pokok pengganti beras atau sagu pada saat paceklik (Surhaini et al., 2009). Komposisi zat gizi gadung segar per 100 gram berat yang dapat dimakan adalah 74,4 g air; 100 kkal energi; 0,9 g protein; 0,3 g lemak; 23,5 g karbohidrat; 2,1 g serat; 0,9 g abu; 79 mg kalsium; 66 mg fosfor; 0,9 mmg besi; 0,23 mg thiamin; dan 1,9 mg vitamin (Anonim, 2005). Kandungan karbohidrat yang besar pada
1. PENDAHULUAN Sumber larbohidrat selain beras dan terigu yang belum banyak dimanfaatkan adalah umbi-umbian. Gadung (Dioscorea hispida D.) merupakan salah satu umbi lokal yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai pangan alternatif pengganti beras dan terigu untuk mendukung diversifikasi pangan sehingga turut serta meningkatkan ketahanan pangan. Gadung dapat tumbuh baik di Indonesia. Produktivitas umbi gadung persatuan luas menurut Pambayun (2008) dapat mencapai lebih dari 40 ton/hektar/tahun jika dibudidayakan secara 201
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 gadung memungkinkan gadung dikembangkan sebagai produk intermediate berupa tepung. Teknologi pembuatan tepung gadung merupakan proses alternatif produk intermediate yang dianjurkan karena tepung bersifat lebih tahan disimpan, mudah dicampur, diperkaya zat gizi (difortifikasi), dibentuk, dan lebih cepat dimasak sesuai tuntutan kehidupan modern yang ingin serba praktis (Widowati, 2009). Kelemahan pada umbi gadung yaitu mengandung senyawa alkaloid yang bersifat toksik bagi manusia yaitu asam sianida (HCN). Proses pengolahan yang baik dan tepat dapat mengurangi kandungan HCN dalam produk olahan. Agar tepung gadung dapat diolah lebih lanjut menjadi produk olah yang sesuai, perlu diketahui lebih dulu sifat karakteristiknya sehingga dapat ditentukan jenis produk olah kukus dan goreng yang sesuai. Dalam pengolahan tepung gadung ini, nerdasar sifat karakteristiknya dipilih bolu kukus sebagai salah satu produk olah kukus dan kembang goyang sebagai salah satu produk olah goring. Bolu kukus adalah kue yang dibuat dari bahan dasar tepung terigu dengan diberi tambahan telur, gula pasir, air dan ovalet yang selanjutnya dicetak dan dikukus (Saji, 2004). Kembang goyang merupakan salah satu jenis kue kering seperti keripik yang terbuat dari tepung beras yang dibentuk dengan cetakan bunga tipis. Kembang goyang pada umumnya memiliki rasa manis (Ani et al., 2009). Penelitian ini bertujuan untuk menentukan sifat-sifat karakteristik tepung gadung dan sifat produk olahnya yang diproses melalui metode pengukusan (bolu kukus) dan penggorengan (kembang goyang).
diperoleh dari Kelompok Tani Mekar Sari II Sendangsari, Pengasih, Kulon Progo, Yogyakarta. Sedangkan bahan-bahan lain yang digunakan dalam pembuatan hasil olah tepung gadung diperoleh secara komersial. Bahan kimia untuk analisis menggunakan grade pro-analyse (PA) dari “MERCK”. Sedangkan peralatan yang diperlukan meliputi timbangan analit “OHAUS”, oven “Memert”, muffle “Advantec”, spektrofotometer “Genesis TM 20”, ayakan “MBT Sieve Shaker”, Kjehltec, soxhlet, Viskotester VT-04, dan peralatan untuk pembuatan produk serta uji organoleptik. 2.2. Karakterisasi tepung gadung Untuk keperluan karakterisasi tepung gadung dilakukan analisis beberapa sifat fisik, kimia dan fisiko-kimia. Analisis sifat fisik meliputi ukuran partikel distribusi (ASAE Standards, 1995), warna (chromameter CR-200), bentuk dan ukuran granula secara Light Microscopy (Han et al., 2002). Analisis sifat kimia meliputi analisis kadar air metode thermogravimetri (AOAC 1970), kadar abu (AOAC 1970), protein total dengan metode kjeldahl (AOAC 1970), lemak dengan metode soxhlet (AOAC 1970), karbohidrat secara By Difference, serat kasar (AOAC 1970), gula reduksi dengan cara spektrofotometri metode Nelson-Somogyi (AOAC 1970), pati dengan metode Direct Acid Hydrolysis (AOAC 1970), amilosa (Julliano, 1971), amilopektin (By Differnece Method) dan uji sianida (HCN) dengan metode Ikediobi etal., 1980. Sedangkan analisis sifat fisikokimia meliputi viskositas pasta dengan Viskotester VT-04 (Radley, 1954), serta Water Binding Capacity (WBC) metode Yamazaki (1953) yang dimodifikasi oleh Medcalf dan Gilles (1965) dalam Aryee (2006), dan suhu gelatinisasi (Han et al., 2002).
2. METODE PENELITIAN 2.1. Bahan dan alat Tepung gadung (Dioscorea hispida D.) yang digunakan dalam penelitian ini
2.3. Produk olah tepung gadung Produk olah tepung gadung yang dipilih adalah bolu kukus sebagai produk 202
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 olah kukus dan kembang goyang sebagai produk olah goreng. Bolu kukus dan kembang goyang dibuat dengan variasi substitusi tepung gadung sebesar 0%, 25%, 50%, 75%, dan 100% b/b. Pada bolu kukus, tepung gadung digunakan untuk mensubstitusi terigu sedangkan pada kembang goyang,tepung gadung digunakan untuk mensubstitusi tepung beras. Terhadap bolu kukus dan kembang goyang yang diperoleh dilakukan uji kesukaan terhadap warna, aroma, rasa, tekstur, dan kesukaan keseluruhan, serta dilakukan uji deskriptif menggunakan metode scoring (Kartika et al., 1988). Data yang diperoleh dianalisis variansi dan dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (DMRT) menggunakan program Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 16.0 dengan General Linear Model.
ayakan 80 mesh. Jadi, jika dibandingkan dengan SNI terigu dan tepung beras, maka tepung gadung belum memenuhi persyaratan minimal baik pada pada terigu maupun tepung beras sehingga masih diperlukan penepungan yang lebih halus. Tepung gadung yang digunakan dalam penelitian ini masih cukup kasar dan belum seragam ukurannya. Secara visual tepung gadung berwarna putih diantara tepung terigu dan tepung beras (Gambar 1.).
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Tepung gadung yang diperoleh dari salah satu Kelompok Tani di Pengasih, Kulon Progo, Yogyakarta mempunyai sifat-sifat karakteristik seperti dicantumkan pada Tabel 1, 2 dan 3. Tabel 1. menunjukkan sifat fisik tepung gadung, Tabel 2. menunjukkan sifat kimia dan Tabel 3. menunjukkan sifat fisiko-kimia tepung gadung.
Nilai L menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna akromatik putih, abu-abu, dan hitam. Nilai +a (positif) menyatakan warna merah, nilai +b untuk warna kuning. Nilai L, a, dan b tepung gadung dibandingkan dengan L, a, b pada tepung terigu dan tepung beras (Bangun et al., 2004) dengan nilai berturut-turut adalah 96,72; -0,51; +8,30 dan 98,50; +0,14;+1,89.Tepung beras mempunyai derajat putih yang paling tinggi dibandingkan dengan tepung terigu dan tepung gadung.Derajat putih tepung gadung paling rendah diantara keduanya. Akan tetapi, tepung gadungmemiliki derajat kuning (nilai b) diantara tepung gadung dan tepung beras. Intensitas warna kuning tepung beras paling rendah karena memiliki nilai L yang hampir mendekati 100, tetapi memiliki nilai b paling kecil sehingga dapat disimpulkan bahwa tepung beras memiliki warna paling putih, kemudian tepung gadung dan tepung terigu. Secara mikroskopik dapat dilihat bahwa granula tepung gadung memiliki bentuk bulat teratur, kecil-kecil, dan
Gambar 1. Warna tepung gadung, tepung terigu, dan tepung beras secara visual
Tabel 1. Sifat fisik tepung gadung Sifat Fisik Distribusi Ukuran Partikel (%b/b) - lolos 40 mesh, tertahan 60 mesh - lolos 60 mesh, tertahan 80 mesh - lolos 80 mesh Warna : L, a, b Bentuk dan ukuran granula
Jumlah 35,27 42,71 14,70 65,49; + 0,31; + 4,39 Poligonal, 3µ-5µ
Distribusi ukuran partikel tepung gadung lolos 60 mesh sebanyak 57,41%. Padahal pada SNI tepung terigu (Anonim, 20091)minimal 95% harus lolos ayakan 70 mesh sedangkan pada SNI tepung beras (Anonim, 20092)minimal harus 90% lolos
203
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 2009(Anonim, 20091) dan 13% untuk tepung beras menurut SNI 3549-2009 (Anonim, 20092). Earle (1969) menjelaskan bahwa untuk produk-produk berbentuk tepung agar dapat aman untuk disimpan, maka proses pengeringan harus dilakukan sampai kadar air berkisar 1214%. Kadar air bahan makanan akan mempengaruhi daya tahan bahan makanan terhadap serangan mikrobia.
seragam dengan ukuran 3-5µm. Bentuk dan ukuran granula pati tepung gadung akan mempengaruhi viskositas pasta dan suhu gelatinisasinya. Tabel 2. Sifat fisiko-kimia tepung gadung Sifat Fisiko Kimia WBC (%) Viskositas awal (dPa.s) ; Suhu (0C) Viskositas puncak (dPa.s) ; Suhu (0C) Viskositas balik (dPa.s) ; Suhu (0C) Suhu gelatinisasi (oC)
Jumlah 313 0,3 ; 29 70 ; 75 80 ; 29 55 – 60
Tabel 3. Komponen kimia tepung gadung Komponen kimia Air (% wb) Abu (% db) Protein (% db) Lemak (% db) Karbohidrat (% db) Serat kasar (% db) Pati (% db) Amilosa (% db) Amilopektin (% db)
Tepung gadung dalam penelitian ini mempunyai nilai WBC 313%, lebih besar dibandingkan dengan WBC terigu 224,4% (Sung et al., 2003) dan WBC tepung beras 140% (Dogan et al., 2005). Ini berarti tepung gadung mampu menyerap air sampai volumenya mencapai 313% atau sekitar tiga kali lipat dari volume semula. Water binding capacity menunjukkan seberapa besar suatu bahan mampu menyerap air. Hal ini berarti bahwa dalam pengolahan produk makanan, tepung gadung akan memerlukan lebih banyak air dalam pembuatan adonannya. Viskositas puncak merupakan viskositas saat granula pati membengkak maksimum pada saat dipanaskan. Viskositas puncak tepung gadung adalah 70 dPa.s pada suhu 75oC, sedangkan menurut Hidayati (2004), viskositas puncak terigu dan tepung beras adalah 85 dPa.s pada suhu 75oC dan 175 dPa.s pada suhu 75 oC. Dengan demikian, gelatinisasi sempurna terigu dan tepung beras terjadi pada suhu yang lebih tinggi dan viskositas puncak yang lebih besar dari pada tepung gadung. Hal ini dikarenakan, ukuran granula pati terigu yang besar (2-35 µm) menyebabkan kemampuan memegang air pun besar dan gelatinisasi lebih lama terbentuk (Anonim, 2002). Kadar air tepung masih tinggi, belum memenuhi syarat mutu SNI terigu dan tepung beras, yaitu maksimal sebesar 14,5% untuk terigu menurut SNI 3751-
Gula Reduksi (% db) HCN (ppm)
Jumlah 16,00 0,36 0,74 2,60 96,29 0,94 79,51 37,46 42,04 2,76 35,30
Kadar abu tepung gadung yang kecil menunjukkan bahwa tepung gadung telah melalui proses pengolahan yang baik. Kadar abu tepung gadung lebih rendah dibanding kadar abu maksimum untuk terigu dan tepung beras berdasar SNI yaitu berturut-turut sebesar 0,70% (Anonim, 20091) dan 1,0% (Anonim, 20092).Kadar lemak tepung gadung mencapai 2,60% db. Sedangkan kadar protein tepung gadung tergolong rendah, yaitu 0,74% db. dengan demikian, tepung gadung kurang cocok digunakan untuk mengolah produk makanan yang membutuhkan pengembangan tinggi. Karbohidrat dalam bahan pangan terdiri atas pati, gula reduksi, dan serat. Kandungan karbohidrat tepung gadung dalam penelitian ini adalah 96,29% db, dengan gula reduksi sebesar 2,76% db, serat kasar 0,94% db dan pati mencapai 79,51% bk. Hal ini menunjukkan bahwa tepung gadung dapat menjadi sumber karbohidrat alternatif dan efektif.
204
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 Kandungan amilosa tepung gadung lebih tinggi dari amilopektinnya. Tingginya kadar amilosa akan mempengaruhi sifat gel yang dihasilkan. Pembentukan gel terjadi melalui pembentukan jaringan tiga dimensi pada molekul pati, terutama rantai lurus panjang amilosa. Kadar amilosa yang tinggi menyebabkan pati kurang lekat dan gel yang terbentuk akan mempunyai sifat kokoh (Haryadi, 1993). Kandungan amilosa menyebabkan terjadinya retrogradasi, yang mengakibatkan roti menjadi lebih keras. Kristalisasi amilopektin memberi kekerasan pada roti selama penyimpanan (Zobel and Kulp, 1996 dalam Hug-Iten et al., 2001). Tepung gadung yang digunakan dalam penelitian ini masih mengandung asam sianida sebesar 35,30 ppm. Menurut FAO dalam Winarno (2002), singkong dengan kadar 50 mg/kg (ppm) masih aman untuk dikonsumsi manusia.
Tabel 4.Hasil uji kesukaan terhadap bolu kukus Substitusi tepung gadung 0% (0 : 100) 25% (25 : 75) 50% (50 : 50) 75% (75 : 25) 100% (100 : 0)
Atribut sensoris Warna
Flavor
Rasa
Tekstur
Keremahan
Keseluruhan
5,20c
4,90c
5,25b
4,95c
4,85c
5,15c
5,10c
4,90c
5,15b
4,90c
4,80c
5,10c
4,80b,c
4,65c
5,05b
4,85c
4,80c
5,05c
4,45b
4,15b
4,35a
4,20b
3,95b
4,30b
3,35a
3,65a
4,00a
3,05a
2,40a
3,15a
Keterangan: Notasi yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak ada beda nyata (P>0,05) Score 1. sangat tidak suka sekali ; 4. agak suka; 7. sangat suka sekali
Berdasar hasil uji kesukaan (Tabel 4.), substitusi tepung gadung pada pembuatan bolu kukus dapat dilakukan sampai sebanyak 50% tanpa berpengaruh terhadap warna, flavor, rasa, tekstur dan keremahan. Namun penggunaan tepung gadung lebih dari 50% semakin kurang disukai panelis baik kesukaan terhadap flavor, rada, tekstur dan keremahan. Alasan kurang disukainya substitusi tepung gadung sebanyak lebih dari 50% ditunjukkan oleh hasil uji deskriptif yang dicantumkan pada Tabel 5
3.1. Produk olahan tepung gadung bolu kukus Gambar 2. menunjukkan bolu kukus dengan berbagai variasi substitusi menggunakan tepung gadung. Substitusi tepung gadung semakin banyak, maka warna bolu kukus semakin putih akan tetapi teksturnya terlihat semakin kasar. Dalam penelitian ini dilakukan uji kesukaan dan uji deskriptif pada bolu kukus yang ditunjukkan pada Tabel 4. dan 5.
Tabel 5. Hasil uji deskriptif atribut sensoris bolu kukus Atribut sensoris Substitusi tepung Warna Flavor Rasa Tekstur Keremahan gadung 0% 2,65a 1,40a 5,10c 4,70c 1,95a a a,b c b,c 25 % 3,15 1,65 5,05 4,50 2,35a 50 % 4,15b 2,25b 4,95b,c 4,45b,c 3,40b 75 % 5,00c 3,15c 4,55a,b 3,85a,b 4,10c 3,80c 4,45a 3,60a 6,35d 100 % 5,05c Keterangan : Notasi yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak ada beda nyata (p>0,05)
Warna: 1-7 dari kuning cerah sampai kuning kecoklatan; flavor gadung: 1-7 dari tidak ada sampai sangat kuat; rasa: 1-7 dari sangat tidak enak sampai sangat enak; tekstur: 1-7 dari sangat tidak lembut sampai sangat lembut; dan keremahan: 1-7 dari sangat tidak remah sampai sangat remah. Substitusi tepung gadung semakin banyak menghasilkan warna bolu kukus semakin putih. Substitusi sampai sebanyak
Gambar 2. Bolu kukus dengan berbagai substitusi tepung gadung
205
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 50% menghasilkan warna bolu kukus putih kekuningan, namun bolu kukus yang diolah dari 100% tepung gadung berwarna putih dan tidak disukai panelis. Hal ini mungkin disebabkan oleh warna dasar tepung gadung yang lebih putih dibanding terigu sehingga berpengaruh pada produk olahannya. Semakin banyak penggunaan tepung gadung maka flavor gadung semakin terasa dan tekstur bolu kukus yang dihasilkan semakin kasar. Substitusi tepung gadung sebanyak lebih dari 50% menghasilkan bolu kukus dengan flavor gadung yang cukup kuat dan tekstur yang agak kasar sehingga kurang disukai panelis. Sedangkan penggunaan tepung gadung sampai 50% menghasilkan bolu kukus dengan fkavor gadung yang hampir tidak terdeteksi, rasa enak dan tekturnya lembut. Tekstur bolu kukus yang agak kasar pada penggunaan tepung gadung lebih dari 50% mungkin dapat ditangani dengan melakukan penggilingan ulang sehingga diperoleh tepung gadung dengan ukuran partikel lolos ayakan 60 mesh lebih banyak lagi. Dengan demikian diharapkan dapat diperoleh bolu kukus dengan tekstur yang halus. Jadi, secara keseluruhan (Tabel 4.), tepung gadung dapat digunakan untuk substitusi terigu sampai sebanyak 50% pada pembuatan bolu kukus. Penggunaan tepung gadung lebih dari dari 50% kurang disukai oleh panelis baik dalam hal warna, flavor, rasa, tekstur, dan keremahan. Kekurangan-kekurangan bolu kukus dengan penggunaan tepung gadung lebih dari 50% tersebut dapat diatasi dengan modifikasi resep standar, seperti misalnya penambahan pewarna alami agar lebih disukai konsumen, essence agar flavor gadung dapat tertutupi, dan penggilingan ulang tepung gadung agar diperoleh partikel tepung yang lebih halus.
menggunakan tepung gadung sebagai substitusi terhadap tepung beras pada berbagai variasi substitusi.
Gambar 3. Kembang goyang dengan berbagai substitusi tepung gadung. Dari Gambar 3. dapat dilihat bahwa semakin banyak penggunaan tepung gadung, maka warna kembang goyang terlihat semakin coklat dan tekstur semakin kasar, tetapi pengembangannya semakin besar. Hasil uji kesukaan dan uji deskriptif kembang goyang ditunjukkan pada Tabel 6. dan 7. Pada pengolahan kembang goyang, substitusi tepung gadung terhadap tepung beras sampai 75% menghasilkan kembang goyang yang secara keseluruhan tidak dapat dibedakan dengan kembang goyang yang diolah dari 100% tepung beras. Namun kembang goyang yang diolah dari 100% tepung gadung sedikit kurang disukai panelis terutama dari atribut kekerasan dan ketampakannya. Tabel 6. Hasil uji kesukaan terhadap kembang goyang Substitusi tepung gadung 0% (0 : 100) 25% (25 : 75) 50% (50 : 50) 75% (75 : 25) 100% (100 : 0)
Atribut sensoris Warna b
Aroma a
Rasa b
Kekerasan c
Ketampakan b
Keseluruhan
4,80
4,40
4,85
4,70
4,85
4,80b
4,80b
4,70a
4,75b
4,45b,c
4,70b
4,80b
4,70b
4,55a
4,45a,b
4,30b,c
4,45b
4.40b
4,40a,b
4,35a
4,10a
3,85a,b
3,70a
4,15a,b
3,90a
4,15a
4,00a
3,55a
3,30a
3,60a
Keterangan: Notasi yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak ada beda nyata (p>0,05) Score kesukaan: 1. sangat tidak suka; 4. agak suka; 7. sangat suka sekali
3.2. Kembang goyang Pada Gambar 3. disajikan visualisasi kembang goyang yang diolah 206
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 kasar. Untuk mengatasi hal tersebut dapat dilakukan melalui modifikasi resep pembuatan kembang goyang misalnya dengan mengurangi jumlah gula yang ditambahkan untuk mengurangi pembentukan warna coklat selama penggorengan akibat reaksi maillard, penambahan putih telur untuk meningkatkan kekerasan, dan penggilingan ulang tepung gadung agar diperoleh tepung gadung dengan partikelpartikel yang halus sehingga mengurangi ketampakan kasar. Pengurangan warna coklat kembang goyang mungkin juga dapat dilakukan dengan mengurangi lama penggorengan atau menurunkan suhu penggorengan.
Tabel 7. Hasil uji deskriptif atribut sensoris kembang goyang Substitusi tepung gadung
Atribut sensoris Warna
Aroma
4,30
3,95
4,70d
25 %
2,65a
3,15a
3,90a
3,65a
3,95c
a
a
a
3,35b,c
a
b
75 %
3,35
100 %
4,25c
3,45
a
3,75
a
a
Ketampakan
3,45
3,00
a
Kekerasan
2,65
a,b
a
Rasa
0% 50 %
a
3,65
3,15
3,75
3,70
2,90a,b
2,95a
3,90a
4,75b
2,60a
Keterangan : Notasi yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak ada beda nyata (p = 0,05) Warna: 1-7 dari putih kekuningan sampai coklat tua sekali; aroma: 1-7 dari tidak beraroma gadung sama sekali sampai sangat beraroma gadung; rasa: 1-7 dari tidak manis sama sekali sampai sangat manis; kekerasan: 1-7 dari sangat keras sampai sangat lunak; dan ketampakan: 1-7 dari sangat kasar sampai sangat halus.
Substitusi tepung gadung sampai dengan 75% terhadap tepung beras pada pembuatan kembang goyang menghasilkan warna kuning kecoklatan. Semakin banyak penggunaan tepung gadung dalam pembuatan kembang goyang, warna kembang goyang semakin kecoklatan. Warna cokelat yang dihasilkan dipengaruhi oleh terjadinya reaksi mailard karena adanya gula reduksi dan protein dalam tepung gadung. Kandungan gula reduksi yang cukup tinggi dalam tepung gadung menghasilkan produk berwarna lebih cokelat. Aroma kembang goyang yang diolah dengan substitusi tepung gadung sampai 100% tidak dapat dibedakan dengan aroma kembang goyang yang diolah dari 100% tepung beras. Tampaknya proses penggorengan yang dilakukan pada suhu diatas 180oC mampu menguapkan zat-zat bau dari gadung maupun beras sehingga menghasilkan kembang goyang tidak berbeda aromanya. Kembang goyang yang diolah dari 100% tepung gadung kurang disukai panelis terutama pada atribut warnadan kekerasan dan ketampakan. Dari hasil uji deskriptif dapat dilihat bahwa kembang goyang tersebut berwarna agak kecoklatan, lunak dan
4. KESIMPULAN Tepung gadung memiliki karakteristik sifat fisik, kimia, dan fisikokimia yang khusus serta jumlah HCN yang masih di bawah ambang batas sehingga aman dikonsumsi. Tepung gadung dapat digunakan sampai 100% baik dalam pembuatan bolu kukus sebagai substitusi tepung terigu maupun dalam pembuatan kembang goyang sebagai subtitusi tepung beras. Tepung gadung dapat digunakan untuk mensubstitusi terigu pada bolu kukus sampai sebanyak 50% tanpa mempengaruhi tingkat kesukaan panelis, namun penggunaan lebih dari 50% menghasilkan tekstur yang kurang lembut, dan remah serta flavor gadung yang makin terasa. Pada produk kembang goyang, tepung gadung dapat digunakan untuk mensubstitusi tepung beras sampai sebanyak 75% tanpa mempengaruhi tingkat kesukaan panelis. 5. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada Pusat Kajian Makanan Tradisional (PKMT) UGM, yang telah memberikan bantuan dana sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan lancar.
207
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 Pastes. Part I. Large Deformation Measurements Paste Properties. Carbohydrate Polymers. 49: 315-321. Haryadi, 1993. Dasar-dasar dan Pemanfaatan Ilmu dan Teknologi Pati. Agritech 13(3): 37-42. Hidayati, N., 2004. Karakteristik Tepung Jagung Kuning Instant dengan Pembanding Tepung Beras dan Tepung Terigu. Skripsi S1, Jurusan Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian, FTP UGM, Yogyakarta. Hug-Iten, S., Escher, F., and Conde-Petit, B., 2001. Structural Properties of Starch in Bread and Bread Model Systems: Influence of an Antistaling αAmylase. Cereal Chemistry 78(4): 421-428. Ikediobi, CO., Onyia, G.O.C., Eluwah, C.E., 1980. A rapid and Inexpensive Enzymatic Assay for Total Cyanide in Cassava and Cassa products. Journal of Agriculture Biological Chemistry 44(12): 2803-2809. Juliano, B.O., 1971. A Simplefied Assay for Milled Rice Amylose. The AVI Publishing Company Inc., Westport. Connecticut. Kartika, B., Pudji Hastuti, dan Supartono, 1988. Pedoman Uji Inderawi Bahan Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. UniversitasGadjah Mada. Yogyakarta. Pambayun, R., 2008. Kiat Sukses Teknologi Pengolahan Umbi Gadung. Yogyakarta. Ardana Media. Radley, J.A., 1954. Starch and Its Derivatives. John Wiley and Sons Inc. New York. Vol II. 3rd ed. Saji, 2004. Rupa-rupa Bolu Kukus. Jakarta: Media Boga. Sung, W.C., Martha, S., 2003. Characterization of Various Wheat Starch in Pasta Development. Journal of Marine Science and Technology 11(2): 61-69. Surhaini., Mursalin., Addion, N., 2009. Teknologi Penggunaan Umbi Gadung Bebas Racun Menjadi Keripik
6. DAFTAR PURTAKA Ani, S., Encep, H., Dida, S., Erliza, H., 2009. Bisnis Kue Kering. Penebar Swadaya. Jakarta. Anonim. 1970. Official Method of Analysis of The Association of Official Analytical Chemist. AOAC. Washington DC. Anonim, 1995. S319.2: Methods for determining and expressing fineness of feed materials by sieving. St. Joseph, Mich.: ASAE Anonim, 2002. Kajian Umbi-umbian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Jember, Jember. Anonim, 2005. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Persatuan Ahli Gizi Indonesia. Jakarta Anonim, 20091. SNI 3751:Tepung terigu sebagai bahan makanan. www.BSN.go.id. [25 Maret 2010]. Anonim, 20092. SNI 3549: Tepung Beras. www.BSN.go.id. [25 Maret 2010]. Aryee, F.N.A., Oduro, I., Ellis, W.O., Afuakwa, J.J., 2006. The physicochemical properties of Xour samples from the roots of 31 varieties of cassava. Food Control 17: 916-922. Bangun, P.N., Haryadi, Bintoro, N., Darmadji, P., 2004. Pembuatan Tepung Jagung Kuning Pramasak Dengan Metode Proses Nixtamalisasi Serta Karakterisasi Produknya. Fakultas Teknologi Pertanian. UGM. Agritech 25(3): 148-153. Dogan, S.F., Sahin, S., Gulum, S., 2005. Effects of soy and rice flour addition on batter rheology and quality of deep-fat fried chicken nuggets. Journal of Food Engineering. 71: 127-132. Earle, R.L., 1969. Unit Operation in Food Proccessing. Pergamon Press. London. Han, X.Z., Osvaldo H. C., Hanping G., Peter L.K., Bruce, R.H., 2002. Influnce of Maize Starch GranuleAssociated Protein on The Rheological Properties of Starch 208
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 Simulasi. Jurnal ISSN: 0854 – 8986. Universitas Jambi. Widowati, S., 2009. Tepung Aneka Umbi Sebuah Solusi Ketahanan Pangan. http://www.litbang.deptan.go.id. Sinar Tani Edisi 6-12 Mei 2009. [29 Mei 2009]. Winarno, 2002. Kimia Pangan dan Gizi.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
209
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 PERBAIKAN KUALITAS NATA KULIT PISANG KEPOK KUNING MELALUI PENERAPAN KEBUTUHAN TEKNIS DALAM QUALITY FUNCTION DEPLOYMENT
Giantika Prihasti *), Nafis Khuriyati *), M. Affan Fajar Falah *) Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fak Teknologi Pertanian UGM
Abstrak Pisang kepok kuning (Musa paradisiacal L) merupakan jenis pisang yang banyak diolah menjadi aneka makanan dengan limbah berupa kulit yang mudah membusuk dan kurang dimanfaatkan. Melalui proses fermentasi dengan menggunakan bakteri Acetobacter xylinum, kulit pisang dapat dijadikan sebagai bahan dasar nata. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas nata kulit pisang kepok kuning yang diproses dengan prosedur standar, dan mengetahui keefektifan penerapan kebutuhan teknis dalam QFD untuk perbaikan kualitas nata. Bahan dasar nata diperoleh dengan mengerok kulit pisang bagian dalam. Nata yang dihasilkan menggunakan proses standar selanjutnya diuji kualitasnya dan dibandingkan dengan SNI (Standar Nasional Indonesia) dan nata air kelapa. Atribut kualitas yang perlu diperbaiki ditindaklanjuti dengan menggunakan metode QFD, yang menggunakan pendekatan secara komprehensif dan sistematis untuk memastikan bahwa produk dapat memenuhi harapan konsumen. Output dari QFD berupa rincian kebutuhan teknis dalam proses pembuatan nata. Efektifitas kebutuhan teknis dalam memperbaiki kualitas nata diukur dengan membandingkan kualitas nata sebelum dan sesudah penerapan kebutuhan teknis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa atribut mutu nata kulit pisang kepok kuning yang meliputi cemaran mikrobia; kandungan Cu, Zn, serat kasar; warna serta tekstur sesuai dengan SNI nata dalam kemasan. Akan tetapi tingkat kualitas untuk atribut warna, tekstur, aroma, dan rasa masih dibawah nata air kelapa. Penerapan kebutuhan teknis dari metode QFD yang berupa penambahan frekuensi perebusan menjadi lima kali dapat memperbaiki kualitas nata kulit pisang kepok kuning secara signifikan.
Kata kunci : Kualitas, Kulit Pisang, Nata, Quality Function Deployment (QFD)
pisang yang merupakan limbah organik berpotensi sebagai bahan makanan sehat dan murah (Suprapti, 2005). Salah satu produk olahan dari kulit pisang adalah anggur yang merupakan produk fermentasi oleh bakteri Acetobacter xylinum. Sama halnya dengan anggur, nata juga merupakan produk makanan yang berasal dari proses fermentasi yang memanfaatkan aktivitas bakteri Acetobacter xylinum, sehingga kulit pisang juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar untuk
1. PENDAHULUAN Tanaman pisang merupakan tanaman yang dari akar hingga daunnya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan manusia. Umumnya masyarakat memanfaatkan tanaman pisang mulai dari bunga, buah, daun, serta batang. Sedangkan limbahnya berupa kulit yang cukup banyak jumlahnya, yaitu sepertiga dari buah pisang yang belum dikupas, kurang dimanfaatkan secara nyata (Munadjin, 1988). Komposisi kimia kulit 210
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 prosedur standar, 2) mengetahui keefektifan kebutuhan teknis dalam QFD untuk peningkatan kualitas atribut fisik nata kulit pisang.
membuat nata. Kandungan pektin yang terdapat di dalam kulit pisang sangat berpengaruh dalam pembentukan gel pada proses pembuatan nata. Pektin mempunyai kemampuan sangat baik untuk membentuk gel dalam medium asam dan gula (medium nata) sehingga berpengaruh terhadap tekstur, warna, dan rasa nata yang akan dihasilkan. Pektin merupakan karbohidrat polisakarida (serat polisakarida struktural) yang berfungsi sebagai penguat tekstur (John, 1997). Berdasarkan penelitian Susanti (2006) tentang perbedaan penggunaan jenis kulit pisang terhadap kualitas nata diketahui bahwa nata dari kulit pisang raja nangka dibandingkan dengan kulit pisang ambon kuning dan kepok putih mempunyai ketebalan nata terbaik dan paling disukai, kandungan Coliform dan serat kasarnya sesuai dengan SNI. Perbaikan kualitas nata kulit pisang dari aspek warna, aroma, rasa, tekstur, dan keamanan yang sesuai dengan SNI perlu dilakukan sehingga dapat lebih diterima konsumen dan mampu bersaing di pasar dengan nata dari bahan baku lain. Untuk itu diperlukan metode terstruktur yang digunakan dalam proses perencanaan dan pengembangan produk untuk menetapkan spesifikasi kebutuhan dan keinginan konsumen, serta mengevaluasi suatu produk dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen. Quality Function Deployment (QFD) merupakan customer driven process, sehingga fokus utama dari metode ini adalah konsumen. QFD akan mencoba mendefinisikan umpan balik dari konsumen untuk dapat diketahui keinginan sesungguhnya dari konsumen dalam sekelompok kebutuhan dasar, yang diperbandingkan dengan informasi persaingan yang tersedia. Semua pesaing di evaluasi dari perspektif konsumen maupun dari perspektif teknik (Bossert, 1991). Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengetahui kualitas nata kulit pisang kepok kuning yang diproses dengan
2. METODOLOGI Penelitian ini menggunakan kulit pisang kepok kuning (Musa paradisiacal L) yang banyak dihasilkan dari pedagang gorengan di daerah Yogyakarta, dimana tiap pedagang rata-rata menghabiskan 10 bonggol pisang kepok kuning setiap harinya. Selain itu, kulit bagian dalam pisang kepok kuning lebih tebal dan mengandung pektin yang lebih tinggi dibandingkan jenis lainnya. Kerangka pemecahkan masalah dalam penelitian ini dilakukan dengan: 1. Pembuatan nata kulit pisang kepok kuning dengan prosedur standar (Warisno, 2009). 2. Penilaian kualitas nata kulit pisang kepok kuning dibandingkan dengan nata air kelapa. 3. Penyusunan rancangan kebutuhan teknis untuk perbaikan kualitas nata kulit pisang kepok kuning sesuai dengan SNI no 01-4317-1996 dan keinginan konsumen dengan metode QFD. Pembuatan nata kulit pisang kepok kuning dengan prosedur standar : a. Pembuatan starter nata kulit pisang kepok kuning Kulit pisang yang telah dicuci dan direndam dalam air panas, dikerok kulit bagian dalamnya. Kemudian diblender dengan perbandingan air dan kulit pisang 2 : 1. Hasil pemblenderan disaring dengan menggunakan kain saring untuk memisahkan sari kulit pisang yang akan digunakan sebagai media starter dengan ampas. Media stater direbus dengan penambahan gula pasir 10% dari volume media; ZA 0,8% dari volume media; dan cuka 5% dari volume media. Perebusan dilakukan hingga media starter mendidih dan memiliki pH antara 3-4 (Winarno, 2009). Media starter dituang dalam botol 211
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 dalam keadaan masih panas, ditutup dengan kertas koran, didinginkan, ditambahkan starter Acetobacter xylinum10% dari volume media stater dalam botol. Botol berisi stater Acetobacter xylinum ditutup dengan kertas koran. Proses fermentasi berlangsung selama 4-7 hari dalam ruangan yang kering dan bersuhu 250-300C.
b. Uji Cu dan Zn Menggunakan metode AAS (AtomicAbsorption Spectrophotometer),penentuan unsur logam dan metalloid yang pengukurannya berdasarkan penyerapan cahaya dan panjang gelombang tertentu oleh logam dalam alam bebas (Skoog and Benner, 2000).
b. Pembuatan nata kulit pisang kepok kuning Pembuatan media nata kulit pisang kepok kuning sama dengan pembuatan media starter kulit pisang kepok kuning, hanya penuangannya dilakukan pada baki. Proses fermentasi nata kulit pisang kepok kuning berlangsung selama 7-10 hari dalam ruangan yang kering dan bersuhu 250-300C. Pada saat penyimpanan tidak boleh terkena goncangan karena akan mempengaruhi ketebalan nata kulit pisang kepok kuning yang dibentuk.
c. Uji Serat kasar Menggunakan metode analisa hidrolisis asam basa. Serat kasar merupakan bagian tanaman yang dapat terhidrolisis menggunakan pelarut asam sulfat (H2SO4) 1,25% dan Natrium Alkali Hidroksida (NaOH) 1,25% (Anonim, 2011). d. Uji warna Menggunakan Colorimeter Hunter yang dilengkapi dengan integritas langsung konversi nilai L menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna akromatik putih abu-abu dan hitam dengan interval nilai 0 – 100; a menyatakan warna kromatik campuran merah hijau dengan interval -80 hingga +100; dan b menyatakan warna kromatik campuran biru kuning dengan interval -70 hingga +70.
c. Penanganan pasca panen nata kulit pisang kepok kuning Nata kulit pisang kepok kuning yang telah terbentuk direndam selama 1272 jam hingga warna rendaman berubah menjadi keruh. Kemudian dilakukan pencucian I dengan air mengalir, pemotongan, pencucian II, perebusan I, penirisan, pengepresan, dan perebusan II, selanjutnya nata kulit pisang kepok kuning siap untuk dikonsumsi.
e.Uji tekstur Menggunakan metode Llyod menggunakan Universal Testing Machine, dimana prinsip pengukurannya dengan memberikan gaya tekan pada bahan samapai bahan tersebut pecah atau rusak. Tujuan uji tekstur adalah untuk mendapatkan nilai kuantitatif tekstur bahan sehingga dapat dibandingkan.
1) Uji Laboratorium a. Uji Coliform Menggunakan metode MPN (Most Probable Number) dengan cara fermentasi tabung ganda, dimana metodde ini lebih sensitif dalam mendeteksi Coliform dalam jumlah yang rendah pada sampel. Nilai MPN adalah perkiraan jumlah unit tumbuh (growth unit) atau unit pembentuk koloni dalam sampel. Makin kecil nilai MPN suatu sampel maka makin tinggi kualitasnya. Metode MPN memiliki limit kepercayaan 95% (Fardiaz, 1989).
2) Uji Inderawi Uji inderawi dilakukan pada karakteristik fisik nata kulit pisang kepok kuning yang meliputi atribut mutu warna, aroma, rasa tawar (plain), serta tekstur. Uji inderawi ini merupakan uji berpasangan, dilakukan sebanyak dua kali, yaitu membandingkan nata kulit pisang kepok 212
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 baik dengan nilai diatas 3, tetapi masih dibawah nata air kelapa. Berdasarkan uji Z dengan tingkat kepercayaan 95%, atribut warna putih bersih dan tekstur kenyal mempunyai tingkat perbedaan yang signifikan sehingga perlu dilakukan perbaikan kualitas.
kuning yang di proses dengan prosedur standar dengan nata air kelapa sebagai pembanding, serta membandingkan nata kulit pisang kepok kuning sebelum dan sesudah penerapan kebutuhan teknis dari QFD. Uji inderawi dilakukan menggunakan kuesioner likert skala 4, yaitu sangat tidak baik bernilai 1 hingga sangat baik bernilai 4. Responden yang digunakan adalah sebanyak 43 orang yang diambil secara acak.
Tabel 1. Perbandingan hasil uji laboratorium nata kulit pisang kepok kuning dengan standar SNI no01-4317-1996 : nata dalam kemasan
3) QFD Melalui QFD, the voice of customer terjemahkan ke dalam proses desain yang berbentuk a House of Qualty(HoQ) matrix untuk menghasilkan produk atau jasa sesuai persyaratan dan keinginan konsumen. Output dari HoQ adalah kebutuhan teknis untuk memperbaiki kualitas atribut fisik nata kuit pisang kepok kuning. Tingkat kefektifan penerapan kebutuhan teknis ini dapat diketahui dengan membandingkan kualitas atribut fisik nata kulit pisang kepok kuning sebelum dan sesudah penerapan kebutuhan teknis dari QFD.
No
Kandungan
Standar SNI
1.
Cemaran mikrobia (Coliform) Cu Zn Serat Kasar
<3x107Koloni/gram
Nata kulit pisang kepok kuning 2.47x107Koloni/gram
Maks. 2 mg/kg Maks. 5,0 mg/kg Maks. 4,5%
1,063 mg/kg 0,3495 mg/kg 2,713 %
3. 4. 5.
Tabel 2. Perbandingan hasil uji inderawi nata kulit pisang kepok kuning dengan nata air kelapa No
Atribut mutu
1. 2. 3. 4.
Aroma Segar Rasa Plain (tawar) Warna Putih Bersih Tekstur Kenyal
Nata kulit pisang kepok 3,163 3,419 3,163* 3,047*
Nata air kelapa 3,186 3,442 3,442* 3,116*
*) Berbeda nyata
3.2.Quality Function Deployment QFD menerjemahkan apa yang dibutuhkan konsumen menjadi apa yang dihasilkan produsen. QFD memungkinkan produsen untuk memprioritaskan kebutuhan pelanggan, menemukan tanggapan inovatif terhadap kebutuhan tersebut, dan memperbaiki proses hingga tercapai efektivitas maksimum. Dengan mempertimbangkan kinerja pesaing dalam hal ini nata air kelapa, tanggapan inovatif tersebut diwujudkan dalam kebutuhan teknis untuk memperbaiki kualitas nata kulit pisang. The House of Quality yang disusun untuk nata kulit pisang kepok kuning dapat dilihat pada Gambar 1. Atribut kebutuhan konsumen untuk nata kulit pisang kepok kuning dikelompokkan menjadi 2, yaitu karakterisitik fisik (aroma segar, tekstur kenyal, warna putih bersih, dan rasa tawar) dan kandungan produk (tidak adanya bahan tambahan makanan,
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Nata kulit pisang kepok kuning Nata kulit pisang kepok kuning merupakan salah satu pengembangan produk nata dengan memanfaatkan limbah kulit pisang kepok kuning, yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan media starter dan media nata. Bagian yang digunakan adalah kulit pisang kepok kuning bagian dalam. Hasil pengujian kualitas nata kulit pisang kapok kuning dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2. Atribut mutu yang berupa kandungan cemaran mikrobia, Cu, Zn, dan serat kasar sudah sesuai dengan SNI. Pengujian secara inderawi dengan menggunakan likert skala 4, untuk aroma, rasa, warna, dan tekstur diperoleh hasil bahwa kinerja nata kulit pisang kepok kuning yang diproses dengan metode standar mempunyai kinerja yang 213
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 terlihat bahwa secara umum dengan penambahan frekuensi perebusan, nilai tekstur (N) akan menurun (Gambar 2). Dengan penambahan perebusan menjadi 5 kali mampu meningkatkan kualitas tekstur nata kulit pisang kepok kuning mendekati kualitas tekstur nata air kelapa secara signifikan. Dari pengujian warna, penambahan frekuensi perebusan memberikan dampak negatif pada nata kulit pisang kepok kuning, yaitu dengan penambahan frekuensi perebusan, nilai L (lightness) cenderung menurun (Gambar 3).
cemaran logam, cemaran arsen, cemaran mikrobia). Kinerja karakteristik fisik nata kulit pisang kepok kuning dengan metode standar walaupun sudah baik tetapi masih di bawah nata air kelapa. Sehingga titik penjualan untuk semua atribut adalah 1,5 (perubahan pada atribut akan berpengaruh besar terhadap tingkat kepuasan konsumen dan tingkat penjualan nata kulit pisang kepok kuning), kecuali pada atribut rasa tawar (plain), yaitu 1,0 (perubahan pada atribut akan berpengaruh kecil terhadap tingkat kepuasan konsumen dan tingkat penjualan nata kulit pisang kepok kuning). Berdasarkan normalisasi skala kepentingan konsumen, peringkat tertinggi – terendah karakteristik fisik nata kulit pisang kepok kuning yaitu atribut aroma segar, tekstur kenyal, warna putih bersih, rasa tawar (plain). Rancangan kebutuhan teknis yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan konsumen dilakukan dengan modifikasi proses pasca panen nata. Penambahan frekuensi perebusan mempunyai hubungan kuat dengan semua atribut karakteristik fisik nata kulit pisang kepok kuning dengan normalisasi prioritas tertinggi (26,0569%). Menurut Warisno (2009), perebusan memberikan manfaatkan menghilangkan aroma tidak sedap, mematikan organisme merugikan pada nata, meningkatkan kekenyalan nata, dan mengubah karakteristik menjadi tampak bening (menarik). Kebutuhan teknis penambahan perebusan mempunyai hubungan korelasi negatif sedang dengan penambahan air tawas pada penambahan pengepresan. Sedangkan sanitasi alat produksi dan lingkungan, penggunaan air PAM dalam proses perebusan, mempunyai hubungan kuat dengan kandungan produk, dengan normalisasi prioritas 21,3596%. Keefektifan kebutuhan teknis dalam memperbaiki kualitas nata kulit pisang kapok kuning dievaluasi melalui penerapan penambahan frekuensi perebusan karena mempunyai nilai prioritas tertinggi. Berdasarkan uji tekstur,
Gambar 1. House of quality nata kulit pisang kepok kuning
Produk
214
kulit pisang 9x perebusan
kulit pisang 7x perebusan
kulit pisang 5x perebusan
kulit pisang 3x perebusan
kulit pisang
80 70 60 50 40 30 20 10 0
air kelapa
tekstur (N)
Perbandingan Tekstur
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
L value
Gambar 2. Tekstur nata kulit pisang kepok kuning dengan berbagai frekuensi perebusan 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
37.07
kebutuhan teknis dari metode QFD, diperoleh hasil bahwa penambahan frekuensi perebusan menjadi lima kali efektif meningkatkan kualitas atribut karakteristik fisik nata kulit pisang kepok kuning.
40.29 29.44 30.78
28.61
29.79
5. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2011. Bhina Patria – www.inparametric.com . Diakses 23 Maret 2011. Bossert, James L. 1991. Quality Function Deployment : A Practitioner’s Approach. ASQC Quality Press, Milwaukee, Wisconsin. Cohen, Lou. 1995. Quality Function Deployment : How to Make QFD Work for You, Addison Wesley Publishing Co.USA Fardiaz, S. 1989. Analisis Mikrobiologi Pangan.Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. IPB. Munadjin. 1988. Teknologi Pengolahan Pisang. Gramedia. Jakarta. Skoog, A., and R. Benner. 2000. Glucose flux in the upper water column of the Gulf of Mexico: Contribution to herotrophic bacterial production. Limnol. Oceanogr. 44:1625-1633 Suprapti, Lies. 2005. Aneka Olahan Pisang. Kanisius. Yogyakarta Susanti, Indah. 2006. Analisis Pengendalian Kualitas Produksi Tekstil di PT. Sendi Pratama Pekalongan tahun 2005 dengan Menggunakan Diagram Kontrol C. Tugas Akhir. Universitas Negeri Semarang. Semarang. Warisno, dan Kres Dahana. 2009. Inspirasi Usaha Membuat Aneka Nata. AgroMedia Pustaka. Jakarta. Winarno, dan Srikandi Fardiaz. 1979. Biofermentasi dan Biosintesa Protein. Angkasa. Bandung.
Gambar 3. Lightness nata kulit pisang kepok kuning dengan berbagai frekuensi perebusan Hasil dari penambahan frekuensi perebusan menjadi 5 kali, dilihat dari pengujian secara inderawi menunjukkan peningkatan kinerja pada semua atribut nata kulit pisang kepok kuning kecuali atribut warna putih bersih (Tabel 3). Hal ini sesuai dengan hasil uji laboratorium yaitu terjadi penurunan tingkat kecerahan pada nata kulit pisang kepok kuning. Tabel 3. Perbandingan hasil uji inderawi nata kulit pisang kepok kuning sebelum dan sesudah perbaikan dengan QFD Butir
Atribut Kepentingan Konsumen
1. Aroma Segar 2. Rasa 3. Warna Putih Bersih 4. Tekstur kenyal Sumber : Olah Data, 2011
Sebelum Perbaikan
Sesudah Perbaikan
3.163 3.419 3.163 3.047
3.326 3.488 3.047 3.628
Nata air kelapa 3.186 3.442 3.442 3.116
4. KESIMPULAN Atribut kandungan produk pada nata kulit pisang kepok kuning dengan metode standar standar sesuai dengan SNI no 01-4317-1996 yaitu tentang nata dalam kemasan, tetapi atribut karakteristik fisiknya belum sama dengan kualitas nata air kelapa. Berdasarkan pemenuhan
215
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 KARAKTERISTIK BAKSO IKAN TUNA (Thunnus atlanticus) YANG DIBUAT DENGAN FILLER TEPUNG GANYONG, TEPUNG GARUT DAN MOCAF Sri Kanoni 1), Sri Naruki 1), dan Afni Fitriyana 2) 1) Staf Pengajar TPHP-FTP-UGM. 2) Alumni Mahasiswa TPHP-FTP-UGM
Abstrak Indonesia mempunyai banyak tanaman ganyong, garut dan singkong, namun masyarakat belum memanfaatkan secara optimal. Pembuatan tepung ganyong, tepung garut, dan modified cassava flour merupakan alternatif yang baik dan sedang berkembang. Tepung tersebut mempunyai kandungan karbohidrat tinggi seperti pada tepung tapioka yang biasanya digunakan dalam pembuatan bakso ikan sehingga berpotensi digunakan sebagai filler. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik sifat fisik, sifat sensoris, dan sifat kimia bakso ikan tuna dengan filler tepung ganyong, tepung garut, dan mocaf terhadap tepung tapioka. Ikan tuna difillet, digiling sampai halus dan ditambah komponen penghilang rasa amis. ,bumbu-bumbu, air es, putih telur, dan filler tepung ganyong/ tepung garut/ mocaf dengan variasi terhadap tepung tapioca (0:100, 25:75, 50:50, 75:25, 100:0). Hasil penelitian menunjukkan bahwa bakso ikan tuna dengan filler tepung ganyong ( 50:50 ) mempunyai karakteristik sifat fisik (kekenyalan) 30.55 N, panelis agak suka dan suka dengan nilai 3.40, berwarna agak abu-abu, cukup kenyal dan kadar air 69.77%, kadar protein 15.22%, lemak 0.53%, abu 3.08%. Bakso ikan tuna dengan filler tepung garut ( 25:75 ) mempunyai karakteristik sifat fisik (kekenyalan) 26.97 N, panelis agak suka dan suka dengan nilai 3.70, berwarna putih keabuan, cukup kenyal dan mempunyai kadar air 69.10%, kadar protein 15.91%, lemak 0.27%, abu 2.53%. Bakso ikan tuna dengan filler mocaf ( 50:50 ) mempunyai karakteristik sifat fisik (kekenyalan) 29.34 N, panelis agak suka dan suka dengan nilai 3.60, berwarna putih keabuan, cukup kenyal dan mempunyai kadar air 70.84%, kadar protein 16.14%, lemak 0.1%, abu 2.92%.
Kata kunci : bakso ikan tuna, tepung ganyong, tepung garut, mocaf
secara optimal oleh masyarakat. Selama ini, masyarakat hanya mengkonsumsi umbi-umbian dengan cara direbus, dikukus, dan digoreng. Meningkatnya teknologi, umbi-umbian tersebut bisa dibuat tepung sehingga dapat digunakan untuk membuat aneka produk. Tepung ganyong, tepung garut, dan modified cassava flour (Mocaf) merupakan tepung bahan lokal yang sedang berkembang, memiliki nilai gizi yang tinggi terutama karbohidrat sehingga
1. PENDAHULUAN Pengembangan pangan lokal berbasis umbi-umbian memiliki strategis guna mendukung program percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal yang tertuang dalam Peraturan Presiden ( Perpres ) No 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. Indonesia mempunyai banyak tanaman umbi-umbian, namun belum dimanfaatkan 216
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 berpotensi sebagai filler seperti tepung tapioka .yang biasa digunakan untuk membuat produk bakso Pati ikan. Kandungan karbohidrat (88%) dan pati (84,71%) yang tinggi pada tepung tapioca, mampu membentuk gel saat proses pengolahan sehingga tekstur bakso ikan menjadi kenyal. Amilosa dan amilopektin merupakan komponen utama pati Komponen amilosa yang tinggi pada pati, penyusun pati adalah amilosa dan amilopektin. Kadar amilosa tinggi akan bersifat kering, kurang lekat, dan kecenderungan higroskopis lebih kuat sedangkan kadar amilopektin tinggi maka pati akan lebih basah, lekat dan cenderung sedikit menyerap air ( Wirakartakusuman, 1981 ). Filler yang digunakan dalam pembuatan bakso ikan penyusun utamanya adalah karbohidrat dan pati. Untuk mengetahui potensi tepung ganyong, tepung garut, dan mocaf dengan beberapa variasi terhadap tepung tapioka maka digunakan sebagai filler dalam pembuatan bakso ikan tuna. Ikan tuna mempunyai kandungan protein yang cukup tinggi yaitu 20.9%.,yang akan berfungsi dalam pengikatan hancuran daging dalam bakso selama pemasakan dan mengemulsi lemak sehingga produk menjadi empuk, kompak dan kenyal. Otot ikan tidak banyak memiliki jaringan penghubung seperti pada daging hewan lainnya sehingga menyebabkan daging ikan lunak. Dalam penelitian ini dibuat bakso ikan tuna dengan filler tepung ganyong, tepung garut, dan mocaf dengan variasi konsentrasi tepung tersebut terhadap tepung tapioka 0:100, 25:75, 50:50, 75:25, dan 100:0 dilakukan uji sensoris, uji fisik, dan uji kimia sehingga dapat diketahui bakso ikan tuna yang disukai panelis.
Mengetahui variasi konsentrasi tepung ganyong, tepung garut, dan mocaf terhadap tepung tapioka dan sifat kimia bakso ikan tuna yang disukai panelis. 3. METODE PENELITIAN 3.1. Bahan dan alat Bahan dasar yang digunakan daging ikan tuna segar berwarna putih kemerahan),Filler yang digunakan antara lain Mocaf ,tepung ganyong , tepung garut, dan tepung tapioka,Bumbu-bumbu ( bawang putih, merica, garam, bawang merah, jahe, telur ) . Bahan kimia yang digunakan adalah:aquadest, H2SO4 95-98%, asam borat 99.5%, indicator BCG-MR, katalisator N, Nelson A dan Nelson B, glukosa standar, arsenmolibdat, HCl 30%, NaOH 40%, dan petroleum eter . Alat yang digunakan : timbangan, pisau stainless steel, telenan, penggiling daging ikan , pancpperebus, Oven suhu 1050C, timbangan analit, botol timbang, eksikator, labu Kjeldahl, alat titrasi, alat destilasi lengkap, vortex, spektrofotometer, pH meter, muffle, waterbath, mesin pengayak, soxclet ,Universal Testing Machine (UTM), borang penilaian 3.2. Cara Penelitian Tahapan penelitian meliputi: Analisis sifat fisik tepung tapioka, ganyong, garut dan mocaf. pembuatan bakso ikan tuna dengan filler campuran tepung tapioca dan tepung ganyong,garut serta mocaf dengan perbandingan : (0:100); (25:75) ;(50:50) ;(75:25), (100:0). Analisis sifat fisik, kimiawi dan sensoris bakso ikan tuna. 3.3. Pembuatan Bakso Ikan Tuna Daging ikan tuna dicuci bersih, digiling dan ditambah bahan penghilang rasa amis (bawang merah, bawang putih dan jahe). Tepung ganyong, garut, mocaf dengan variasi perbandingan terhadap tepung tapioka : seperti pada Tabel 1. yang
2. TUJUAN PENELITIAN Mengetahui sifat fisik dan sifat kimia tepung ganyong, tepung garut, dan mocaf Mengetahui sifat fisik dan sifat sensoris bakso ikan tuna dengan filler tepung ganyong, tepung garut, dan mocaf 217
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 dicampurkan pada daging ikan giling direbus ,kemudian dicetak
Dari hasil pengamatan pada Tabel 1. menunjukkan bahwa tepung tapioka, tepung ganyong, tepung garut, dan mocaf mempunyai warna berbeda-beda.yang akan mempengaruhi warna bakso ikan tuna. Bau tepung tapioka, tepung ganyong, mocaf normal sedangkan bau tepung garut beraroma garut yang dapat mempengaruhi bau bakso ikan. Menurut Fennema ( 1985 ), warna merupakan atribut kualitas yang paling penting dari suatu produk.
Tabel 1. Perbandingan tepung ganyong/ tepung garut/ modified cassava flour terhadap tepung tapioka Tepung
Perbandingan Tepung Ganyong/ Tepung Garut/ Modified Cassava Flour Terhadap Tepung Tapioka (gram) 0:100
25:75
50:50
75:25
100:0
0
3.75
7.5
11.25
15
0
3.75
7.5
11.25
15
0
3.75
7.5
11.25
15
15
11.25
7.5
3.75
0
Ganyong Garut Mocaf Tapioka
3.4. Analisis kimia bakso ikan tuna Analisis sifat kimia yang dilakukan meliputi: analisis kadar air tepung tapioca, ganyong/ garut/ mocaf dan ikan tunametode thermogravimetri, AOAC (1970),kadar protein metode Mikro Kjeldahl, AOAC (1970).,kadar lemak metode ekstraksi soxhhlet, AOAC (1970),kadar abu metode thermogravimetri, AOAC (1970),karbohidrat by difference, AOAC (1970), pati metode Nelson-Somogyi, AOAC (1970).,Analisis sensoris bakso ikan tuna dengan metode Meilgard(1981)
4.2. Karakteristik kimia tepung tapioka, ganyong, garut , mocaf dan ikan tuna Tabel 2. Komposisi kimia tepung tapioka ganyong, garut dan mocaf Tepung Tapioka Ganyong Garut Mocaf Ikan Tuna
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1.Sifat fisik tepung tapioka, ganyong, garut dan mocaf Tabel 1. Sifat fisik tepung tapioka, ganyong, garut dan mocaf Warna Putih Cokelat Putih kekuningan Putih
Protein (%db )
Lemak (%db)
Abu (%db)
13.68 11.20 5.38 16.23
0.58 2.93 6.01 1.71
0.08 0.31 0.94 0.26
0.26 3.07 4.53 0.98
Karbohidrat (by difference,%db) 99.08 93.69 88.52 97.05
78,18
20,87
-
-
-
Pati (%db) 92.43 83.01 83.61 91.11
Hasil analisis komposisi kimiawi pada Tabel 2a, menunjukkan bahwa tepung tapioka, ganyong, garut dan mocaf memiliki potensi sebagai bahan pengisi ( filler ) dilihat dari kadar karbohidrat, pati dan abu yang tinggi dan kadar air yang mendekati kadar air yang dipersyaratkan SNI No 01-3451-1994(15%),. Disamping itu juga memiliki potensi sebagai bahan pengikat (binder) dilihat dari kadar protein nya., khususnya tepung garut (6,01%) . Pada saat proses gelatinisasi terjadi, air yang sebelumnya berada di luar granula pati dan bebas bergerak sebelum suspensi dipanaskan, setelah dipanaskan sebagian air berada dalam butir-butir pati dan tidak dapat bergerak bebas karena terikat oleh gugus hidroksil dalam molekul pati sehingga menyebabkan rongga-rongga pati merapat.(Haryadi1994). Kadar protein yang tinggi pada ikan tuna (20,87%), menunjukkan.protein myofibril aktin myosin sebagai emulsifier mampu menstabilkan system emulsi adonan bakso
3.5. Analisa data Data yang diperoleh dianalisis secara statistic menggunakan analisis varian. Apabila terdapat perbedaan yang nyata (pada ά 0,05) maka dilanjutkan dengan uji pembedaan menggunakan Duncan New Multiple Rang Test
Tepung Tepung Tapioka Tepung Ganyong Tepung Garut Mocaf
Air (%wb)
Bau Normal Normal Aroma garut Normal
218
-
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 sehingga menghasilkan bakso kenyal, kompak dengan sifat irisan yang halus..
cokelat dan ikan tuna berwarna putih kemerahan yang mengandung mioglobin sehingga menyebabkan warna bakso ikan tuna berwarna abu-abu dan membuat panelis tidak menyukai bakso ikan tuna jika ditambah filler sampai 100% tepung ganyong. Panelis mampu membedakan warna yang disukai panelis dengan nilai 3,95 pada variasi (50:50) atau penggunaan tepung ganyong 50% yaitu kisaran abuabu-sangat abu-abu, seperti pada data Tabel 4.
4.3. Analisis sensoris bakso ikan dengan filler variasitepung tapioka, ganyong,garut, mocaf 4.3.1.Uji Kesukaan bakso ikan tuna dengan filler variasi tepung tapioka : ganyong Tabel 3. Nilai kesukaan terhadap warna, bau, rasa, kekenyalan dan keseluruhan bakso ikan tuna Variasi Nilai Kesukaan tepung ganyong Warna Bau Rasa Kekenyalan Keseluruhan : tapioka 100:0 3.50d 3.10a 3.65b 3.00a 3.50c 25 : 75 2.85c 3.20a 3.35ab 2.65a 3.15bc 50 : 50 2.55bc 3.30a 3.30ab 3.05a 3.10bc 75 : 25 2.05ab 2.85a 2.85a 2.85a 2.55a 100 : 0 1.85a 3.05a 2.95a 2.45a 2.70ab * Angka dengan notasi yang sama pada kolom yang sama berarti tidak beda nyata pada tingkat signifikansi 5% (P<0.05). Keterangan : 1 : sangat tidak suka, 2: tidak suka, 3: agak suka, 4: suka, 5: sangat suka
Hasil analisis Tabel 3, menunjukkan bahwa variasi perbandingan tepung tapioca : ganyong sebagai filler berpengaruh terhadap kesukaan panelis pada warna, rasa dan keseluruhan , namun tidak berpengaruh pada bau dan kekenyalan. Hal ini sesuai dengan warna masing-masing tepung yang berbeda pada Tabel 1.Semakin banyak tepung ganyong kesukaan panelis semakin menurun sampai 50% memiliki nilai warna 2,55 (tidak suka –agak suka)dan keseluruhan 3,10 (agak suka-suka) seperti terlihat pada warna bakso ikan tuna Gambar 1.
4.3.2. Uji pembedaan bakso ikan tuna dengan filler variasi tepung tapioka : ganyong Tabel 4. Uji pembedaan bakso ikan tuna dengan filler variasi tepung tapioka :ganyong Nilai Pembedaan Variasi tepung ganyong : Warna Bau Rasa Kekenyalan tapioka a a a 0 : 100 1.45 3.05 3.45 2.40a 25 : 75 3.60b 3.00a 3.20a 2.50a 3.15a 3.00a 2.40a 50 : 50 3.95bc 75 : 25 4.20bc 3.30a 3.05a 2.60a 100 : 0 4.35c 3.05a 2.90a 2.30a * Angka dengan notasi yang sama pada kolom yang sama berarti tidak beda nyata pada tingkat signifikansi 5% (P<0.05). Keterangan : Warna :1.putih;2.putih keabuan;3.agak abu-abu; 3.abu-abu; 4.sangat abu-abu kehitaman.Bau : 1:tidak ada bau khas ikan; 2:cukup ada bau khas ikan; 3: ada bau khas ikan; 4:sangat bau khas ikan; 5:sangat kuat sekali bau ikan. Rasa: 1:tidak ada rasa khas ikan; 2:cukup ada rasa khas ikan; 3: ada rasa khas ikan; 4:sangat ada rasa khas ikan; 5:sangat kuat sekali rasa ikan Kekenyalan : 1:tidak kenyal; 2:cukup kenyal; 3:kenyal; 4:sangat kenyal; 5:sangat kenyal sekali
4.3.3.Uji kesukaan bakso ikan tuna dengan filler variasi tepung tapioka : garut Tabel 5.Nilai kesukaan terhadap warna, bau, rasa, kekenyalan dan keseluruhan bakso ikan tuna Nilai Kesukaan Variasi Tepung Garut : Warna Bau Rasa Kekenyalan Keseluruhan Tapioka 0 : 100 3.50a 3.10a 3.65b 3.00a 3.50b 25 : 75 3.15a 3.05a 3.40b 2.75a 3.05ab 50 : 50 3.00a 3.45a 3.40b 2.80a 3.15ab 2.90a 3.30b 2.55a 2.95a 75 : 25 3.25a 100 : 0 3.20a 3.05a 2.70a 2.35a 2.80a * Angka dengan notasi yang sama pada kolom yang sama berarti tidak beda nyata pada tingkat signifikansi 5% (P<0.05). Keterangan : 1 : sangat tidak suka, 2: tidak suka, 3: agak suka, 4: suka, 5: sangat suka
Gambar 1. Warna Bakso ikan tuna dengan filer tepung tapioca :tepung Ganyong (100:0) ;75:25) .(50%50); 25:75).0:100)
Hal ini disebabkan karena warna dari tepung ganyong sendiri berwarna 219
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 Hasil analisis Tabel 5 menunjukkan variasi perbandingan tepung tapioca :garut sebagai filler tidak berpengaruh terhadap kesukaan panelis pada warna, bau , rasa dan kekenyalan, namun berpengaruh terhadap kesukaan keseluruhan. Semakin banyak tepung garut yang ditambahkan (50:50))nilai kesukaan (3.15) berkisar agak suka- suka) Warna tepung garut putih kekuningan seperti terlihat pada Gambar 2. Seiring dengan hasil uji pembedaan Tabel 6, panelis tidak bisa membedakan bau, rasa dan kekenyalan bakso, namun dapat membedakan warnanya karena pengaruh warna tepung garut putih kekuningan.
4.3.5.Uji kesukaan bakso ikan tuna dengan filler variasi tepung tapioka : mocaf Tabel 7. Nilai kesukaan terhadap warna, bau, rasa, kekenyalan dan keseluruhan bakso ikan tuna Variasi Nilai Kesukaan Tepung Mocaf : Warna Bau Rasa Kekenyalan Keseluruhan Tepung Tapioka 0 : 100 3.50a 3.10a 3.65ab 3.00a 3.50a a a b a 25 : 75 3.65 3.30 3.90 2.95 3.35a 50 : 50 3.50a 3.10a 3.40ab 3.10a 3.55a 75 : 25 3.50a 3.00a 3.10a 3.00a 3.25a a a a a 3.05 3.05 2.95 3.10a 100 : 0 3.30 * Angka dengan notasi yang sama pada kolom yang sama berarti tidak beda nyata pada tingkat signifikansi 5% (P<0.05). Keterangan : 1 : sangat tidak suka, 2: tidak suka, 3: agak suka, 4: suka, 5: sangat suka
Hasil analisis Tabel 7 menunjukkan variasi perbandingan tepung tapioca :mocaf sebagai filler tidak berpengaruh terhadap kesukaan panelis pada warna, bau , kekenyalan, dan keseluruhan, namun berpengaruh terhadap rasa. Semakin banyak tepung mocaf yang dtambahkan sampai 100:0 nilai kesukaan berkisar agak suka- suka, walaupun nilainya semakin rendah(3,05) Warna tepung mocaf putih sehingga menghasilkan warna bakso yang didominan warna ikan tuna kearah keabuabuan seperti Gambar 3. Seiring dengan hasil uji pembedaan Tabel 8 panelis tidak bisa membedakan,bau, rasa dan kekenyalan bakso , namun dapat membedakan warna nya karena pengaruh warna tepung mocaf putih
Gambar 2. Warna bakso ikan tuna dengan filer tepung tapioca: tepung garut (100:0);75:25).(50%50);25:75).0:100) 4.3.4. Uji pembedaan bakso ikan tuna dengan filler variasi tepung tapioka : garut Tabel 6. Uji pembedaan bakso ikan tuna dengan filler variasi tepung tapioka : garut Nilai Pembedaan Variasi Tepung Garut : Tepung Warna Bau Rasa Kekenyalan Tapioka a a a 0 : 100 1.45 3.05 3.45 2.40a 25 : 75 2.85b 3.25a 3.45a 2.40a 50 : 50 3.30bc 3.70a 3.50a 2.35a c a a 75 : 25 3.65 3.40 3.40 1.80a 3.45a 3.60a 2.00a 100 : 0 3.30bc * Angka dengan notasi yang sama pada kolom yang sama berarti tidak beda nyata pada tingkat signifikansi 5% (P<0.05). Keterangan : Warna :1.putih;2.putih keabuan;3.agak abu-abu; 3.abu-abu; 4.sangat abu-abu kehitaman.Bau : 1:tidak ada bau khas ikan; 2:cukup ada bau khas ikan; 3: ada bau khas ikan; 4:sangat bau khas ikan; 5:sangat kuat sekali bau ikan. Rasa: 1:tidak ada rasa khas ikan; 2:cukup ada rasa khas ikan; 3: ada rasa khas ikan; 4:sangat ada rasa khas ikan; 5:sangat kuat sekali rasa ikan.Kekenyalan : 1:tidak kenyal; 2:cukup kenyal; 3:kenyal; 4:sangat kenyal; 5:sangat kenyal sekali
Gambar 3. Warna bakso ikan tuna dengan filer tepung tapioca :tepung mocaf (100:0);75:25).(50%50);25:75).0:100)
220
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 Tabel 8 Uji pembedaan bakso ikan tuna dengan filler tepung tapioca : mocaf Nilai Pembedaan Variasi Tepung Mocaf : Tepung Warna Bau Rasa Kekenyalan Tapioka a a a 0 : 100 1.45 3.05 3.45 2.40a 25 : 75 2.45b 3.50a 3.50a 2.50a 50 : 50 2.60b 3.40a 3.40a 2.35a c a a 3.55 3.55 2.50a 75 : 25 3.30 100 : 0 3.65c 3.25a 3.25a 2.30a * Angka dengan notasi yang sama pada kolom yang sama berarti tidak beda nyata pada tingkat signifikansi 5% (P<0.05). Keterangan : Warna :1.putih;2.putih keabuan;3.agak abu-abu; 3.abu-abu; 4.sangat abu-abu kehitaman.Bau : 1:tidak ada bau khas ikan; 2:cukup ada bau khas ikan; 3: ada bau khas ikan; 4:sangat bau khas ikan; 5:sangat kuat sekali bau ikan. Rasa: 1:tidak ada rasa khas ikan; 2:cukup ada rasa khas ikan; 3: ada rasa khas ikan; 4:sangat ada rasa khas ikan; 5:sangat kuat sekali rasa ikan Kekenyalan : 1:tidak kenyal; 2:cukup kenyal; 3:kenyal; 4:sangat kenyal; 5:sangat kenyal sekali.
4.3.6. Uji kekenyalan bakso ikan tuna dengan Universal Testing Machine (UTM)
semakin keras bakso ikan tersebut. Pati juga dapat mempengaruhi kekenyalan bakso ikan tuna, saat perebusan bakso akan terjadi proses gelatinisasi, semakin tinggi pati yang ditambahkan pada bakso ikan, kekenyalan semakin berkurang dan membuat bakso ikan keras. 4.3.7. Analisis sensoris bakso ikan tuna yang diterima panelis Tabel 10. Nilai kesukaan bakso ikan dengan filler variasi tepung tepung: ganyong/garut/mocaf bahan lokal Tepung Lokal
Ganyong
Garut
Tabel 9. Kekenyalan bakso ikan tuna dengan filler tepung: ganyong/ garut/ mocaf
Mocaf
Variasi Tepung Lokal : Tepung Tapioka 0:100 25:75 50:50 25:75 50:50 50:50 75:25
Nilai Kesukaan Warna
Bau
Rasa
Kekenyalan
Keseluruhan
3.30b 2.75a
3.05ab 3.55b
3.60a 3.05a
3.55b 2.75a
3.50ab 3.00a
3.55b 3.75b 3.40b 3.70b 3.60b
3.10ab 3.25ab 2.80a 3.30ab 3.35ab
3.20a 3.55a 3.35a 3.45a 3.15a
2.90ab 3.25ab 3.10ab 3.05ab 2.70a
3.40ab 3.70b 3.15ab 3.60b 3.15ab
*
Angka dengan notasi yang sama pada kolom yang sama berarti tidak beda nyata pada tingkat signifikansi 5% (P<0.05). Keterangan : 1 : sangat tidak suka, 2: tidak suka, 3: agak suka, 4: suka, 5: sangat suka
F max (N) Variasi (%) Tepung Tepung Mocaf ganyong garut a a 49.55 49.55a 0 : 100 49.55 25 : 75 82.47b 61.45ab 73.60b 72.04b 52.49a 50 : 50 78.94b b ab 75 : 25 80.58 61.43 67.33b 100 : 0 82.50b 67.33b 86.70c * Angka dengan notasi yang sama pada kolom yang sama berarti tidak beda nyata pada tingkat signifikansi 5% (P<0.05).
4.3.8. Uji kekenyalan bakso ikan tuna yang diterima panelis Tabel 11.. Nilai kekenyalan bakso ikan tuna Tepung
Hasil analisis Tabel 9 menunjukkan bahwa Variasi perbandingan tepung tapioca :ganyong/garut/mocat berpengaruh terhadap kekenyalan bakso ikan tuna. Filler tepung ganyong (100;0) menghasilkan kekenyalan yang tinggi (82.50), sedangankan filler tepung garut menhasilkan kekenyalan yang tinggi (72.04) pada variasi (50:50), dan tepung mocaf kekenyalan tinggi(86.70). Filler mocaf memberikan gaya paling tinggi kemudian tepung ganyong dan tepung garut jika dilihat dengan 100% tepung bahan lokal. Hal ini dapat dilihat dari kandungan karbohidrat yang dimiliki oleh masing-masing tepung yang dapat dilihat pada Tabel 2 (87.05%) Semakin tinggi karbohidrat yang dimiliki tepung, semakin tinggi gaya untuk menekan bakso ikan jadi
Ganyong Garut Mocaf
Variasi Tepung: 0:100 25:75 50:50 25:75 50:50 50:50 75:25
Kekenyalan 40.38c 37.10c 30.55b 26.97ab 27.63ab 29.34b 22.74a
Hasil analisis kekenyalan pada Tabel 12 menunjukkan bahwa semakin tinggi penambahan filler dari masing-masing tepung bahan lokal, semakin tidak kenyal. Hal tersebut sudah sesuai dengan penilaian secara subyektif yaitu semakin tinggi penambahan tepung bahan lokal sebagai filler semakin tidak disukai kekenyalan bakso ikan tuna oleh panelis.
221
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 4.4. Analisis sifat kimia bakso Iikan yang diterima panelis
anorganik seperti karbonat, dan fosfat.
Tabel 12. Komposisi kimia bakso ikan yang diterima panelis
5. KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa : 1.Kandungan karbohidrat yang tinggi pada tepung ganyong ( 93.69%db ), tepung garut ( 88.52% ), dan modified cassava flour ( 97.05 %) dapat berpotensi sebagai filler dalam pembuatan bakso ikan tuna. 2. Bakso ikan tuna dengan filler tepung ganyong terhadap tepung tapioka ( 50:50 ) mempunyai karakteristik sifat fisik (kekenyalan) 30.55 N, panelis agak suka dan suka dengan nilai 3.40, berwarna agak abu-abu, cukup kenyal dan mempunyai kadar air 69.77%, kadar protein 15.22%, lemak 0.53%, abu 3.08%. Bakso ikan tuna dengan filler tepung garut ( 25:75 ) mempunyai karakteristik sifat fisik (kekenyalan) 26.97 N, panelis agak suka dan suka dengan nilai 3.70, berwarna putih keabuan, cukup kenyal dan mempunyai kadar air 69.10%, kadar protein 15.91%, lemak 0.27%, abu 2.53%. Bakso ikan tuna dengan filler modified cassava flour ( 50:50 ) mempunyai karakteristik sifat fisik (kekenyalan) 29.34 N, panelis agak suka dan suka dengan nilai 3.60, berwarna putih keabuan, cukup kenyal dan mempunyai kadar air 70.84%, kadar protein 16.14%, lemak 0.1%, abu 2.92%.
Tepung Lokal
Ganyong Garut Mocaf
Variasi Tepung Lokal : Tepung Tapioka 0:100 50:50
Kadar Air (%wb)
Protein (%wb )
Lemak (%wb)
Abu (%wb)
68.16 69.77
15.03 15.22
0.65 0.53
2.5 3.08
25:75
69.10
15.91
0.27
2.53
50:50
70.84
16.14
0.1
2.92
Hasil analisis Tabel 12, menunjukkan bahwa tepung bahan pangan local yaitu tepung ganyong, garut dan mocaf memiliki potensi yang sama terhadap bakso ikan tuna baik pada kadar air, protein, lemak dan abu. Kadar air bakso ikan menurut SNI 01-3819-1995 maksimal 80%., sehingga telah memenuhi SNI. Kadar protein bakso ikan menurut SNI 01-38191995 minimal 9 %.sehingga telah memenuhi SNI. Kadar lemak bakso ikan menurut SNI 01-3819-1995 maksimal 1 %., sehingga telah memenuhi syarat SNI. Daging ikan tuna dan tepung yang digunakan sebagai filler mempunyai kadar lemak rendah sehingga bakso ikan tuna juga akan mempunyai kadar lemak rendah. Dilihat kadar abu bakso ikan tuna dengan filler tepung ganyong, tepung garut, dan tepung mocaf lebih tinggi daripada tepung tapioka. Kadar abu bakso ikan menurut SNI 01-3819-1995 adalah maksimal 3 %. ,sehingga filler tepung garut dan tepung mocaf memenuhi syarat SNI sedangkan dengan filler tepung ganyong tidak memenuhi syarat SNI. Kadar abu bakso ikan tuna bisa berasal dari daging ikan tuna dan tepung yang digunakan sebagai filler. Tepung ganyong, tepung garut, mocaf memiliki kandungan kadar abu cukup tinggi. Abu merupakan salah satu faktor yang menentukan kandungan mineral suatu bahan. Penentuan kadar abu untuk mengontrol konsentrasi garam
natrium,
kalium,
6. DAFTAR PUSTAKA Alves, R.M., Grossmann, M.V., Ferrero, C., Zaritzky, N.E., Martino, M.N., and Sierakoski, M. R., 2002. Chemical and Functional Characterization of Products Obtained from Yam tubers. Starch, 54, 476-481. Anonim, 1970. Official Methods of Analysis. The Association of Official Analytical. Anonim, 1985. Food Regulation. Asian Food Regulation Information Service. 222
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 Anonim, 1998. Mengembangkan Industri Pengolahan Garut. Sinar Tani Diakses tanggal 12 April 2011. Anonim, 2008. Dari Ganyong ke ‘Queensland Arrowroot”. http://foragri.blogsome.com diakses tanggal 30 Maret 2011. Anonim, 2009a. Budidaya Ganyong. http://ditjentan.deptan.deptan.go.id diakses tanggal 30 Maret 2011. Anonim, 2009b. Umbi Ganyong. diakses tanggal 30 Maret 2011. Anonim. 1995. Syarat Mutu Bakso Ikan. SNI 01-3819-1995. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta. Anonim. 2010. Produksi Ubikayu Indonesia Tahun 2004-2010. diakses tanggal 12 Mei 2011. Anonim. 2011. Mengenal Ikan Tuna. diakses tanggal 20 Juni 2011. Aprianita, Aprianita. 2010. Assesment of Underutilized Strachy Roots and Tubers for Their Applications in The Food Industry. Literature Review : 72. Avianita, A. 1996. Kajian Penambahan Beberapa Jenis Tepung Terhadap Sifat-Sifat Bakso Daging Kelinci ( Oryctolagus cuniculus ). Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian, UGM, Yogyakarta.
223
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 ANALISIS PEMANFAATAN BY-PRODUCT IKAN BAKAR/GORENG DENGAN PENDEKATAN LIFE CYCLE ASSESSMENT (Studi Kasus pada Rumah Makan Putra Bahari di Pantai Kuwaru, Srandakan, Kabupaten Bantul) Saeful Iman Nurrizki1, Mirwan Ushada2, Makhmudun Ainuri2 1) Mahasiswa Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian 2) Staff Pengajar Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada - Yogyakarta
Abstrak Keberadaan rumah makan di Pantai Kuwaru dapat menimbulkan by-product yang jika tidak dilakukan penanganan secara tepat maka dapat menimbulkan pencemaran lingkungan. Pada dasarnya by-product yang berasal dari ikan masih mempunyai nilai ekonomis. Pemanfaatan by-product tersebut secara langsung dapat meminimalkan terjadinya limbah yang dapat mencemari lingkungan. Salah satu pemanfaatan yang dapat dilakukan adalah dengan mengolahnya menjadi tepung ikan. Pemanfaatan by-product menjadi tepung ikan membutuhkan energi dan sumber daya. Untuk memanfaatkan by-product tersebut secara optimal dan efisien perlu dilakukan suatu analisis yang dapat menghitung penggunaan energi serta mempertimbangkan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Salah satu teknik identifikasi yang dapat digunakan adalah Life Cycle Assessment. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kondisi proses pengolahan by-product ikan bakar/goreng, memperoleh total penggunaan energi untuk mengolah by-product menjadi tepung ikan dan mendapatkan rumusan pemanfaatan energi yang optimal serta usaha yang dapat dilakukan untuk mengurangi sumber potensi dampak lingkungan yang ditimbulkan. Penelitian ini menggunakan 8 skenario pengolahan tepung ikan yang terdapat pada proses pemanasan dan pengeringan. Pemanasan dengan menggunakan kompor listrik, tungku kayu, kompor minyak, dan kompor gas, sedangkan pengeringan menggunakan oven pengering dan sinar matahari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa skenario terbaik dalam pengolahan tepung ikan terdapat pada skenario dengan pemanasan kompor gas dan pengeringan sinar matahari. Penggunaan energi pengolahan setiap kg tepung ikan sebesar 39,74 MJ meliputi 2,25 MJ energi manusia, 0,15 MJ energi listrik, 31,81 MJ energi bahan bakar gas dan 5,53 MJ energi matahari. Emisi yang dikeluarkan sebesar 2206,44 gr/kg CO2, 0,00071 gr/kg SO2, dan 0,88 gr/kg NO2. Emisi yang dihasilkan berpotensi lebih pada terjadinya dampak pemanasan global dibandingkan dengan acidification dan eutrophication. Kata kunci: by-product, Life Cycle Assessment, energi pasar ikan dan rumah makan. Keberadaan rumah makan di Pantai Kuwaru dapat menimbulkan by-product yang jika tidak dilakukan penanganan secara tepat maka dapat menimbulkan pencemaran lingkungan. Pada dasarnya by-product dalam bentuk padat masih mempunyai nilai
1. PENDAHULUAN Pantai Kuwaru merupakan salah satu pantai di Kabupaten Bantul yang memiliki potensi untuk dikembangkan. Selain menawarkan wisata alam dan wisata rekreasi keluarga, Pantai Kuwaru juga menawarkan wisata kuliner hasil laut. Oleh karena itu, di Pantai Kuwaru terdapat 224
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 usaha yang dapat dilakukan untuk mengurangi sumber potensi dampak lingkungan yang ditimbulkan. Penelitian ini merupakan bentuk studi kasus sebagai upaya menerapkan LCA pada Rumah Makan Putra Bahari di Pantai Kuwaru dan sebagai media sosialisasi untuk dapat diterapkan pada rumah makan lainnya. Selain itu sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk perbaikan produk maupun proses dalam kaitannya dengan mengoptimalkan penggunaan bahan dan energi serta penyusutan dampak lingkungan dan sebagai referensi dalam upaya diversifikasi produk dengan memanfaatkan bahan sisa menjadi produk baru guna mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Berdasarkan tujuan di atas perlu ditentukan batasan-batasan permasalahan antara lain: Life Cycle Assessment dibatasi pada bahan sisa ikan sebagai by-product dan pemanfaatannya untuk diolah menjadi tepung ikan, input-output massa dan energi yang dianalisis merupakan input-output yang langsung berhubungan dengan produk atau proses, analisis emisi dibatasi hanya pada emisi udara (gas) yang dihasilkan dari penggunaan bahan bakar dan parameter yang dianalisis dibatasi hanya pada emisi CO2, NO2, dan SO2, serta penelitian ini tidak mencakup uji mikrobiologis dan dampak sosial ekonomi produk.
ekonomis, terutama yang berasal dari ikan. Pemanfaatan by-product tersebut secara langsung dapat meminimalkan terjadinya limbah yang dapat mencemari lingkungan. Dengan adanya pemanfaatan byproduct tersebut diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah pada byproduct yang dihasilkan dan juga dapat mengurangi dampak pencemaran lingkungan. Salah satu pemanfaatan yang dapat dilakukan adalah dengan mengolah by-product tersebut menjadi tepung ikan. Pemanfaatan by-product menjadi tepung ikan membutuhkan energi dan sumber daya. Untuk memanfaatkan byproduct tersebut secara optimal dan efisien perlu dilakukan suatu analisis yang dapat menghitung penggunaan energi serta mempertimbangkan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Salah satu teknik identifikasi yang dapat digunakan adalah Life Cycle Assessment merupakan proses yang obyektif untuk menilai beban lingkungan yang berkaitan dengan produk, proses, atau kegiatan. Penerapan analisis daur hidup dilaksanakan dengan cara pengenalan dan penentuan kuantitas penggunaan bahan dan energi, pembebasan sisa bahan dan energi ke lingkungan, penilaian dampak lingkungan akibat dari penggunaan bahan dan energi, serta penilaian dan penerapan peluang untuk menggerakkan upaya perbaikan lingkungan (Suryowidjojo, 1999). Terdapat empat komponen atau tahap dalam standar metodologi Life Cycle Assessment (LCA) yaitu mendefinisikan tujuan dan lingkup kajian, menganalisis secara terperinci (analisis inventarisasi), analisis dampak dan mengkaji perbaikan (interptretasi). Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kondisi proses pengolahan by-product ikan bakar/goreng dengan pendekatan Life Cycle Assessment, memperoleh total penggunaan energi untuk mengolah by-product menjadi tepung ikan, serta mendapatkan rumusan pemanfaatan energi yang optimal serta
2. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain: 1. Penelitian pendahuluan 2. Perumusan masalah dan tujuan penelitian 3. Studi pustaka 4. Penetapan tujuan dan ruang lingkup LCA (Goal Definition and Scoping) 5. Inventarisasi daur hidup produk (Inventory Analysis) 6. Pengkajian dampak daur hidup produk (Impact Assessment) 225
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 7. Interpretasi daur hidup produk (Interpretation) 8. Penarikan kesimpulan dan saran Prosedur penelitian secara skematis digambarkan dalam Gambar 1.
perkembangan diantaranya penambahan kios ikan pribadi milik Putra Bahari dan perluasan tempat makan lesehan sehingga kini menjadi rumah makan yang cukup diminati wisatawan yang datang ke Pantai Kuwaru. 3.2. Pengolahan tepung ikan Pengolahan tepung ikan menggunakan bahan sisa yang diperoleh dari kios ikan dan rumah makan. Bahan sisa yang digunakan dari kios ikan adalah organ bagian dalam ikan (viscera) dan bahan sisa yang diperoleh dari rumah makan berupa kepala ikan dan tulang ikan yang merupakan sisa makanan yang telah dikonsumsi oleh wisatawan. Tahapan proses pengolahan tepung ikan adalah sebagai berikut (Damayanti, 2001): 1. Pencucian 2. Pencucian bertujuan untuk memperoleh bahan yang benar-benar berasal dari ikan. 3. Pemanasan Pemanasan menyebabkan protein ikan mengalami koagulasi dan sebagian besar lemak dan air akan keluar. Pemanasan dilakukan dengan cara pengukusan. Bahan sisa ikan yang telah bersih dikukus menggunakan panci kukus selama 20 menit. 4. Pengepresan Pengepresan dilakukan untuk memaksimalkan keluarnya air dan memudahkan dalam proses selanjutnya yaitu pengeringan. Pengepresan menggunakan kempa hidrolik dan dilakukan pada tekanan 100 kg/cm2 dan ditahan selama 10 menit. 5. Pengeringan Metode pengeringan yang dapat dilakukan yaitu dengan menggunakan alat pengeringan seperti oven pengering atau menggunakan sinar matahari. Pengeringan menggunakan sinar matahari membutuhkan waktu yang relatif lebih lama dibandingkan dengan alat pengering. Hal ini
Penarikan Kesimpulan dan Saran
Gambar 1. Diagram alir penelitian 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1.Deskripsi rumah makan Putra Bahari Rumah makan Putra Bahari merupakan salah satu rumah makan yang terdapat di Pantai Kuwaru. Pemilik rumah makan Putra Bahari adalah Bapak Punijo dan istrinya Ibu Jumirah. Rumah makan Putra Bahari menyajikan aneka ikan segar dan aneka masakan ikan laut (seafood). Pada mulanya Putra Bahari berasal dari usaha produksi dan pengiriman ikan ke Jakarta, Surabaya dan Cilacap di tahun 2000. Kemudian seiring dengan kawasan Pantai Kuwaru yang semakin diminati wisatawan, tahun 2003 Bapak Punijo mulai merintis warung makan kecil yang mengolah hasil laut. Dari tahun ke tahun rumah makan ini mengalami banyak 226
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 dikarenakan pengeringan dengan sinar matahari lebih sulit dikontrol dibandingkan menggunakan oven. Jika pengeringan menggunakan oven maka suhu diatur pada 70-80 oC dan dilakukan selama 9 jam dengan ketebalan hamparan 1-2 cm. 6. Penepungan Penepungan merupakan bentuk proses pengecilan ukuran yang dilakukan untuk memperoleh tepung ikan dengan partikel yang lebih kecil. 7. Pengayakan Pengayakan dilakukan untuk memperoleh partikel tepung ikan yang lebih seragam. Proses pengayakan ini menggunakan ayakan 60 mesh dan dilakukan secara manual.
ini, input dan output yang berhubungan dengan pemanfaatan bahan sisa menjadi tepung ikan diidentifikasi dan diukur kemudian dikonversi kedalam satuan energi. Energi yang diperhitungkan dalam penelitian ini adalah energi manusia, energi listrik, energi bahan bakar kayu (BBK), energi bahan bakar minyak (BBM), energi bahan bakar gas (LPG) dan energi matahari. Basis perhitungan yang dipakai adalah energi yang diperlukan untuk menghasilkan 1 kg tepung ikan dalam satuan Mega Joule (MJ), dengan 1 kalori setara dengan 4,2 Joule. Dalam proses pengolahan tepung ikan digunakan beberapa skenario yang berbeda. Adanya skenario tersebut bertujuan untuk melihat seberapa besar perbedaan yang terjadi selama proses pengolahan tepung ikan berkaitan dengan penggunaan bahan bakar, energi dan emisi yang dikeluarkannya. Perbedaan skenario ini terdapat dalam proses pemanasan dan pengeringan. Pada proses pemanasan digunakan beberapa sumber bahan bakar seperti listrik, bahan bakar kayu, bahan bakar minyak dan bahan bakar gas. Sedangkan pada proses pengeringan dibedakan berdasarkan cara pengeringan yaitu dengan menggunakan alat berupa oven pengering dan tanpa bantuan alat dengan memanfaatkan energi matahari. Dengan adanya skenario yang berbeda diharapkan dapat mengetahui penggunaan energi yang optimal melalui skenario terbaik pada penggunaan energi yang minimal dan dampak lingkungan yang minimal pula. Secara lengkap perbedaan skenario dalam pengolahan tepung ikan diperlihatkan dalam Gambar 2.
3.3.Life Cycle Assessment 3.3.1. Penetapan tujuan dan ruang lingkup Tujuan penerapan LCA dalam penelitian ini adalah untuk mengevaluasi kondisi proses pembuatan produk yang berasal dari bahan sisa rumah makan dan menilai dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan. Penetapan tujuan ini penting dalam menentukan jenis analisis dan perlakuan yang digunakan berdasarkan hasil yang ingin dicapai. Lingkup penelitian ini dibatasi pada kajian daur hidup pengolahan bahan sisa rumah makan yang berupa sisa ikan (kepala, tulang dan organ tubuh bagian dalam) menjadi tepung ikan. Penekanan permasalahan yang dikaji adalah pemanfaatan bahan sisa, energi, emisi udara dan limbah lain yang dikeluarkan selama proses serta dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan. 3.3.2. Analisis inventarisasi Analisis inventarisasi dalam LCA adalah proses kuantifikasi terhadap sumber daya yang digunakan, pemakaian energi dan dampaknya terhadap lingkungan. Proses pengumpulan data merupakan fokus utama dalam analisis inventarisasi. Pada tahap 227
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 1. Konsumsi Energi Penggunaan energi untuk setiap skenario disajikan dalam Tabel 1 berikut:
Gambar 2. Skenario pengolahan tepung ikan Tabel 1. Penggunaan Energi Pengolahan Tepung Ikan Energi Energi Manusia Listrik (MJ) (MJ) 1 2,49 66,49 2 2,42 15,61 3 2,41 50,56 4 2,33 0,14 5 2,29 50,55 6 2,27 0,15 7 2,37 50,56 8 2,25 0,15 (Sumber: Data Olahan, 2011) Skenario
Energi BBM (MJ)
Energi BBK (MJ)
Energi LPG (MJ)
Energi Matahari (MJ) 5,50
40,29 45,03
5,77
42,78 41,71
5,24 32,71 31,81
5,53
Total (MJ)
Ket.
68,98 23,53 93,26 53,27 95,62 49,37 85,64 39,74
+45,45 0 +69,73 +29,74 +72,09 +25,84 +62,11 +16,21
Sedangkan limbah gas berasal dari pembakaran bahan bakar pada proses pemanasan yang lebih dikenal dengan emisi. Emisi dapat dibedakan berdasarkan sumbernya, karena emisi dapat mempengaruhi kondisi dan proses pencemaran yang terjadi. Emisi didapatkan dengan mengalikan faktor emisi yang diperoleh dari literatur dengan jumlah bahan bakar yang digunakan dalam tahapan proses. Parameter yang dianalisis dibatasi hanya pada emisi karbon dioksida (CO2), sulfur dioksida (SO2) dan nitrogen dioksida (NO2). Nilai emisi per kg tepung ikan idapatkan dari hasil kali faktor emisi dan penggunaan bahan bakar selama proses pemanasan pada setiap skenario. Hasil perhitungan emisi per kg tepung ikan diperlihatkan pada Tabel 2.
2. Limbah yang dihasilkan Proses pengolahan tepung ikan menghasilkan limbah berupa berupa limbah padat, limbah cair dan limbah gas. Limbah padat dihasilkan dari proses pemanasan yang menggunakan bahan bakar kayu bakar. Ketika dibakar, kayu akan menghasilkan sisa berupa abu hasil pembakaran. Limbah cair dihasilkan dari proses pemanasan, karena untuk melakukan proses ini dibutuhkan air sebagai penghasil uap air yang digunakan untuk memanaskan bahan. Sebenarnya, cairan hasil proses pemanasan masih dapat dimanfaatkan. Salah satunya adalah diolah menjadi minyak ikan. Cairan hasil proses tersebut merupakan campuran antara minyak dan air, sehingga untuk mendapatkan minyak ikan yang murni dan siap dikonsumsi perlu dilakukan tahapan pengolahan terlebih dahulu.
228
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 Tabel 2. Emisi per kg tepung ikan Jenis Bahan Skenario bakar 1 Listrik 2 Listrik 3 Kayu bakar 4 Kayu bakar 5 Minyak tanah 6 Minyak tanah 7 Gas LPG 8 Gas LPG (Sumber: Data Olahan, 2011)
Pemakaian
Emisi CO2
4,42 kWh 4,29 kWh 1,7 kg 1,9 kg 1,2 lt 1,17 lt 0,692 kg 0,673 kg
4305,08 g/kWh 4178,46 g/kWh 2621,81 g/kg 2930,26 g/kg 3043,08 g/lt 2967,00 g/lt 2268,74 g/kg 2206,44 g/kg
Emisi SO2 4,25 g/kWh 4,13 g/kWh 0,31 g/kg 0,34 g/kg 0,20 g/lt 0,19 g/lt 0,00073 g/kg 0,00071 g/kg
Emisi NO2 3,09 g/kWh 3,00 g/kWh 2,00 g/kg 2,24 g/kg 0,03 g/lt 0,02 g/lt 0,905 g/kg 0,880 g/kg
besar peningkatan suhu bumi disebabkan oleh kenaikan konsentrasi gas rumah kaca akibat aktifitas manusia melalui efek rumah kaca. Efek rumah kaca disebabkan karena naiknya konsentrasi gas karbondioksida (CO2) dan gas-gas lain di atmosfer. Kenaikan konsentrasi gas CO2 ini disebabkan oleh kenaikan pembakaran bahan bakar minyak, batu bara dan bahan bakar organik lainnya yang melampaui kemampuan tumbuhan dan laut untuk menyerapnya. b. Acidification Acidification (pengasaman) adalah proses dimana polusi udara (terutama amonia, sulfur dioksida, dan nitrogen dioksida) dikonversikan menjadi zat-zat asam. Pengasaman berkontribusi terhadap adanya endapan asam dalam air dan tanah. Acidification dapat mengakibatkan terjadinya hujan asam, kerusakan pada bangunan dan benda yang terbuat dari logam, pengasaman danau dan sungai dan kerusakan flora dan fauna. c. Eutrophication Eutrophication merupakan peningkatan unsur-unsur hara kimiawi khususnya senyawa yang mengandung
3.4. Analisis dampak Analisis dampak dilakukan dengan memanfaatkan data yang diperoleh dari inventarisasi daur hidup produk. Titik tekan analisis ini yaitu dampak terhadap kelestarian ekologis dan kesehatan manusia seperti pengeluaran emisi udara : karbon dioksida (CO2), sulfur dioksida (SO2) dan nitrogen dioksida (NO2) yang disebabkan adanya penggunaan bahan bakar. Analisis dampak dalam penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap yaitu seleksi dan definisi kategori dampak, klasifikasi dan karakterisasi. 1. Seleksi dan definisi kategori dampak Hasil analisis emisi pada tahap inventarisasi didefinisikan berdasarkan kategori dampak lingkungan yang ditimbulkan. Emisi gas hasil pembakaran bahan bakar dapat menyebar dan terakumulasi di udara. Kategori dampak yang dianalisis adalah potensi terjadinya pemanasan global, acidification dan eutrophication. a. Pemanasan Global Pemanasan global adalah naiknya suhu rata-rata udara, laut dan daratan bumi. Menurut IPCC (2007), sebagian 229
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 nitrogen atau fosfor pada suatu ekosistem. Eutrophication dapat terjadi di tanah maupun di air. Eutrophication dapat berdampak pada berkurangnya oksigen. penurunan kualitas air serta penurunan populasi ikan dan hewan lainnya. 2. Klasifikasi Klasifikasi bertujuan untuk mengelompokkan hasil analisis inventarisasi terhadap kategori dampak. Berdasarkan emisi gas buang yang diperoleh dalam inventarisasi dikelompokkan ke dalam satu kategori potensial terjadinya dampak lingkungan. a. Pemanasan Global Emisi yang dapat memberi pengaruh terhadap pemanasan global diantaranya CO2, CH4 dan N2O. Emisi tersebut dapat menyebabkan terjadinya pemanasan global. Salah satu batasan dari penelitian ini adalah emisi udara yang dianalisis terbatas hanya pada CO2, NO2 dan SO2. Oleh karena itu, untuk dampak pemanasan global hanya emisi CO2 saja yang dilakukan analisis dampak secara global. b. Acidification Emisi yang dapat memberi pengaruh terhadap acidification diantaranya adalah SO2 dan NO2. Emisi SO2 dan NO2 ini yang diananlisis dampaknya secara global pada tahap karakterisasi. c. Eutrophication Dampak yang ditimbulkan dari eutrophication adalah adanya emisi nitrat dan keracunan pada air bawah tanah (Goedkoop, 1995). Beberapa emisi yang dapat memberi pengaruh terhadap eutrophication diantaranya adalah NO2 dan N. Mengingat bahwa batasan penelitian ini hanya terbatas pada emisi CO2, NO2 dan SO2 maka dampak secara global yang dianalisis adalah emisi NO2. 3. Karakterisasi Karakterisasi merupakan pendugaan dampak lingkungan berdasarkan kategori dampak dengan menggunakan faktor konversi yang
berdasarkan pada analisis ilmiah. Faktor konversi pada tahap karakterisasi ini disebut juga faktor karakterisasi. Faktor karakterisasi mampu memprediksi potensi terjadinya pemanasan global (Global Warming Potential/GWP) dari kategori dampak tersebut adalah dengan mengkonversi data emisi untuk memperkirakan dampak yang mungkin timbul untuk waktu 100 tahun horizon. Dimana untuk potensi terjadinya dampak pemanasan global semua data emisi udara dikonversikan menjadi setara dengan CO2 (CO2equivalent), untuk acidification semua data emisi udara dikonversikan menjadi setara dengan SO2 (SO2equivalent), dan untuk eutrophication semua data emisi udara dikonversikan menjadi setara dengan PO4 (PO4equivalent). Faktor karakterisasi dampak emisi udara dapat dilihat pada Tabel 3 berikut: Tabel 3. Faktor karakterisasi dampak emisi udara Pemanasan Acidificationb Eutrophicationc globala CO2equivalent SO2equivalent PO4equivalent C02 1 CH4 21 N2O 310 N 0,42 SO2 1 NO2 0,7 0,13 Sumber: IPCC, 2007a ; Guinee et al., 2002b ; Haas et al., 2000c
Variabel
Karakterisasi menyediakan cara secara langsung untuk membandingkan hasil analisis inventarisasi dalam setiap kategori dampak. Dengan kata lain, faktor karakterisasi mampu menerjemahkan hasil analisis inventarisasi yang berbeda ke dalam indikator dampak secara langsung dan sebanding. Indikator dampak dari karakterisasi diperoleh dari hasil kali antara inventarisasi data dengan faktor karakterisasi. Sebagai contoh, semua gas rumah kaca dapat dinyatakan setara CO2equivalent dengan cara mengalikan hasil analisis inventarisasi dengan faktor 230
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 karakterisasi CO2 dan kemudian menggabungkan indikator dampak yang dihasilkan untuk mengetahui keseluruhan dampak potensial pemanasan global. Hasil perhitungan indikator dampak ditunjukkan dalam Tabel 4.
Dari perhitungan kebutuhan energi dan dampak yang ditimbulkan ke lingkungan dapat digunakan untuk mengetahui skenario terbaik dalam proses pengolahan tepung ikan. Skenario pengolahan tepung ikan terbaik ditentukan dengan penggunaan kebutuhan energi yang minimal dan dampak lingkungan yang minimal pula. Secara lengkap perbandingan kebutuhan energi dengan dampak pada masing-masing skenario disajikan dalam Tabel 5.
Tabel 4. Indikator dampak emisi udara Sekena rio 1 2 3 4 5 6 7 8
Pemanasan Acidificati Eutrophica global on tion CO2equiva SO2equiva PO4equival lent lent ent 4305,08 6,41 0,40 4178,46 6,23 0,39 2621,81 1,71 0,26 2930,26 1,87 0,29 3043,08 0,22 0,004 2967,00 0,20 0,003 2268,74 0,634 0,118 0,617 0,114 2206,44 (Sumber: Data Olahan, 2011)
Tabel 5. Perbandingan kebutuhan energi dan dampak LCA Sekenario 1 2 3 4 5 6 7 8
Kebutuhan energi MJ 68,98 23,53 93,26 53,27 95,62 49,37 85,64 39,74
Pemanasan global Acidification CO2equivalent SO2equivalent 4305,08 6,41 4178,46 6,23 2621,81 1,71 2930,26 1,87 3043,08 0,22 2967,00 0,20 2268,74 0,643 0,617 2206,44 (Sumber: Data Olahan, 2011)
Tabel 5 menunjukkan bahwa penggunaan energi yang paling minimal dalam proses pengolahan tepung ikan ditunjukkan oleh skenario 2. Akan tetapi, penggunaan kompor listrik untuk skala industri sulit diterapkan sehingga skenario terbaik untuk penggunaan energi minimal terdapat pada skenario 8 dengan pemanasan menggunakan kompor gas dan pengeringan sinar matahari. Selain itu,
Eutrophication PO4equivalent 0,40 0,39 0,26 0,29 0,004 0,003 0,118 0,114
dampak potensial yang dikeluarkan oleh skenario 2 lebih besar. Dampak lingkungan yang paling kecil terhadap pemanasan global, ditunjukkan oleh skenario 8. Sedangkan dampak yang minimal untuk acidification dan eutrophication adalah skenario 6 yaitu pengolahan tepung ikan dengan pemanasan menggunakan kompor minyak dan pengeringan dengan sinar matahari. 231
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 Selain itu, penggunaan kayu bakar berakibat pada penebangan pohon. Penebangan pohon tersebut tanpa adanya perencanaan yang baik atau penanggulangan seperti penanaman kembali maka jumlah pohon akan semakin berkurang dan tentu saja berdampak buruk pada lingkungan, seperti banjir, erosi, hingga perubahan iklim. Melihat adanya limbah yang dihasilkan dari proses pengolahan tepung ikan, maka penanganan terhadap hasil samping ini juga perlu diperhatikan. Misalnya pada limbah cair proses pemanasan, sebenarnya limbah cair yang berupa campuran antara minyak dan air sebenarnya masih bisa dimanfaatkan menjadi minyak ikan. Namun untuk dapat mengolah limbah tersebut diperlukan tahapan lebih lanjut supaya minyak ikan dapat langsung dimanfaatkan.
Dari perbandingan antara kebutuhan energi dan dampak yang ditimbulkan dapat disimpulkan bahwa skenario 8 merupakan skenario terbaik dalam pengolahan tepung ikan yaitu dilakukan dengan pemanasan menggunakan kompor gas dan pengeringan menggunakan energi matahari. 3.5. Evaluasi dan analisis perbaikan Tahap ini merupakan kesimpulan dan rekomendasi dari penelitian dalam rangka mencapai tujuan penerapan Life Cycle Assessment dalam ruang lingkup yang telah ditetapkan. Berdasarkan kajian ini terdapat langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk meningkatkan optimasi penggunaan sumber daya, bahan dan energi serta upaya untuk meningkatkan dan memperbaiki kualitas lingkungan. Berdasarkan perhitungan penggunaan energi, pengeringan dengan memanfaatkan energi matahari lebih disarankan dibandingkan pengeringan dengan oven. Hal ini dikarenakan, pada skenario dengan pengeringan energi matahari membutuhkan energi yang lebih kecil dibandingkan dengan oven pengering. Penggunaan bahan bakar LPG lebih bersih dan ramah lingkungan. Pembakaran dengan LPG tidak menghasilkan asap dan relatif tidak berbau. Sedangkan pembakaran dengan minyak tanah mengandung karbon, selain itu menghasilkan asap dan gas karsinogenik. Dalam jangka waktu yang pendek, dampak emisi pembakaran tidak dirasakan secara langsung tetapi dalam jangka waktu relatif panjang emisi tersebut akan terakumulasi dan dapat memberikan dampak negatif terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Penggunaan kayu bakar dapat berdampak negatif terhadap kestabilan ekosistem lingkungan. Akan tetapi, pengelola rumah makan tetap menghendaki penggunaan kayu bakar dikarenakan adanya pertimbangan lain.
4. KESIMPULAN 1. Total penggunaan energi yang paling optimal dan disarankan ada pada skenario 8 yaitu menggunakan pemanasan dengan kompor gas dan pengeringan dengan energi matahari yaitu sebesar 39,74 MJ per kg tepung ikan. 2. Emisi gas CO2 minimal terdapat pada skenario 8 yaitu sebesar 2206,44 gram CO2/kg, emisi gas SO2 minimal terdapat pada skenario 6 sebesar 0,19 gr SO2/liter dan emisi gas NO2 minimal juga terdapat pada skenario 6 sebanyak 0.02 gr NO2/liter. 3. Berdasarkan penilaian dampak terhadap lingkungan, potensi terjadinya pemanasan global lebih besar dibandingkan dengan acidification dan eutrophication. 4. Peluang untuk mengoptimalkan penggunaan sumber daya bahan dan energi guna mengurangi potensi dampak lingkungan dilakukan dengan cara pengolahan tepung ikan menggunakan skenario 8 yaitu pemanasan dengan menggunakan 232
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 kompor gas dan pengeringan dengan menggunakan energi matahari. 5. DAFTAR PUSTAKA Damayanti, Triana. 2001. Pembuatan Tepung Ikan dan Kecap Ikan dari Sisa Filleting. Skripsi S1. Jurusan Teknologi Pengolahan dan Hasil Pertanian. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Guinée J.B., M. Gorrée, R. Heijungs, G. Huppes, R. Kleijn, L. van Oers, A. Wegener Sleeswijk, S. Suh, H.A. Udo de Haes, H. de Bruijn, R. van Duin, and M.A.J. Huijbregts. 2002. Life Cycle Assessment: An Operational Guide to the ISO Standards. Kluwer Academic Publishers, Dordrecht (NL). Haas, G., F. Wetterich, U. Kӧpke. 2000. “Comparing intensive, extensified and organic grassland farming in southern Germany by process life cycle assessment”, Institute of Organic Agriculture, University of Bonn, Katzenburgweg 3, D-53115 Bonn, Germany. IPCC. 2007. Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change, p 212 – 213. Suryowidjojo, W. M. H. 1999. Analisis Inventarisasi Daur Hidup Produk. Kumpulan Makalah Penelitian LCA Teknik Industri ITB, PPLH ITB, Bandung.
233
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 PEMBUATAN TABLET EFFERVESCENT SARI BUAH MARKISA KUNING (PASSIFLORAEDULIS.VAR.FLARCARPA) Supriyanto*), Agnes Murdiati*), Asih-Duwita**) *) Staf pengajar Fakultas Teknologi Pertanian UGM **) Alumni Fakultas Teknologi Pertanian UGM
Abstrak Markisa (Passiflora sp.) mengandung banyak vitamin, mineral dan senyawa antioksidan. Pada umumnya markisa dikonsumsi dalam bentuk sirup atau sari buah markisa. Agar lebih menarik dan lebih praktis perlu dibuat bentuk tablet effervescent. Pada tablet effervescent banyak faktor yang berpengaruh antara lain jumlah asam dan basa yang diperlukan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan jumlah asam dan basa yang tepat untuk menghasilkan tablet effervescent yang baik. Sari buah markisa dicampur dengan laktosa dengan perbandingan berat 1:1, dikeringkan hingga berbentuk granula. Granula dicampur dengan asam sitrat dan sodium bikarbonat dengan jumlah yang bervariasi, selanjutnya dilakukan pencetakan. Analisis dilakukan terhadap sifat fisik, kimia dan sensoris. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk menghasilkan tablet effervescent sari buah markisa yang baik, untuk setiap kg granula diperlukan 0,48 kg campuran asam dan basa yang terdiri atas asam sitrat 0,19 kg dan sodium bikarbonat 0,29 kg. Tablet effervescent tersebut mempunyai waktu larut 1,9 menit dan kadar air 3,08%, dan seduhannya disukai panelis, memiliki diskripsi produk mirip dengan sari buah markisa, mengandung vitamin C 1,50 mg/100 ml dan aktivitas antioksidan pada konsentrasi 80 mg/ml sebesar 60,41%.
Kata kunci: markisa, tablet effervescent, asam, basa.
markisa kuning (Passiflora edulis var. flavicarpa). Hampir semua bagian buah markisa kuning dapat dimanfaatkan oleh manusia. Kulit buah dapat diolah menjadi bioetanol, daging dan biji buah dapat dikonsumsi dalam keadaan segar. Daging buah markisa sering diekstrak menjadi jus atau sari buah markisa yang mengandung berbagai vitamin, mineral, dan antioksidan. Bijinya berpotensi sebagai sumber serat yang bermanfaat untuk kesehatan manusia (Chau, 2003). Buah markisa sebagaimana produk hortikultura lainnya, cepat mengalami kerusakan setelah dipanen, sehingga masa simpannya relatif rendah. Pada saat panen raya, produksi markisa berlimpah, jika tidak ditangani dengan tepat maka
1. PENDAHULUAN Tanaman markisa berasal dari Brazil, Amerika Selatan dan mudah ditemukan di hutan-hutan basah di Brazil. Tanaman markisa termasuk dalam genus Passiflora, merupakan tanaman tahunan, batangnya merambat, mudah dibudidayakan di berbagai dataran, dan ditanam untuk diambil buahnya. Varian yang mudah dibudidayakan di dataran rendah adalah markisa kuning (Ashari, 1995). Markisa merupakan salah satu produk hortikultura yang banyak ditemui di berbagai daerah di Indonesia yang beriklim tropis. Jenis markisa yang paling banyak ditemui dan mudah tumbuh di berbagai daerah di Indonesia adalah jenis 234
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 mutunya akan rendah sehingga harganya menurun. Penanganan markisa selama ini adalah dengan mengolahnya menjadi sirup, selai, dan jeli. Pengolahan markisa menjadi produk minuman selama ini sebagian besar dalam bentuk sirup, biasanya diperoleh dari sari buah markisa yang dipekatkan, ditambah pemanis kemudian dikemas dalam botol kaca. Bentuk olahan tersebut sudah diangap kurang praktis baik selama penanganan maupun penyajian saat dikonsumsi. Salah satu alternatif pengolahan markisa adalah dengan mengolahnya menjadi produk minuman dalam bentuk tablet effervescent. Produk minuman berbentuk tablet effervescent memiliki berbagai keunggulan antara lain jika dimasukkan dalam air cepat larut, sehingga dapat memberikan kemudahan bagi konsumen dalam penyajiannya. Selain itu efek sparkle yang ditimbulkan oleh tablet effervescent dapat memberikan sensasi rasa yang lebih segar sehingga disukai konsumen. Bentuknya berupa tablet memudahkan dalam pengemasan, transportasi produk ke pasar, maupun kemudahan dalam membawa dan menyimpannya. Selain itu bentuk tablet kering dengan kadar air yang rendah, memiliki umur simpan yang lebih lama karena lebih stabil dan tidak mudah ditumbuhi mikrobia. Pengolahan markisa menjadi tablet effervescent sebagai pengembangan teknologi pengolahan buah markisa diharapkan dapat meningkatkan nilai ekonomisnya serta sebagai diversifikasi produk, namun tetap dapat mempertahankan nilai gizi markisa, dan antioksidannya. Effervescent menurut Yohanes Surya (2011) artinya berhubungan dengan gas atau gelembung-gelembung. Jadi, suatu tablet disebut tablet effervescent jika tablet itu menghasilkan gelembunggelembung gas ketika dicelupkan dalam air. Gas yang keluar adalah gas karbondioksida (CO2) yang biasanya diperoleh dari sumber basa. Menurut
Sulaiman (2007), gas yang terjadi karena reaksi asam-basa yang terkandung dalam tablet, selain untuk mempercepat hancurnya tablet, juga untuk memberi sensasi rasa yang lebih segar. Menurut Anief (1997), tablet effervescent dapat mengandung zat tambahan yang dapat berfungsi sebagai zat pengisi, zat pengembang, zat pengikat, zat pelicin, dan zat pembasah. Zat pengisi (diluent) dimaksudkan untuk memperbesar volume tablet, zat pengikat (binder), dimaksudkan agar tablet tidak pecah atau retak dan dapat merekat, zat pelicin (lubricant) dimaksudkan agar tablet tidak lekat pada cetakan. Menurut Mohrle (1980), reaksi dari bahan-bahan aktif dengan campuran bahan-bahan organik seperti asam sitrat, asam tartrat dengan natrium bikarbonat bila dilarutkan dalam air akan berlangsung sangat cepat yaitu kurang dari satu sampai dua menit. Mekanisme hancurnya tablet effervescent adalah dengan adanya pelepasan gas. Karbon dioksida akan dilepaskan dari tablet yang mengandung bikarbonat atau karbonat dan asam sitrat atau asam tartrat ketika tablet kontak dengam air yang merupakan akibat dari hasil reaksi asam-basa. Akibat pelepasan gas, struktur tablet akan pecah atau hancur. Efek effervescence akan menghasilkan waktu larut hancur tablet yang sangat cepat. Kekuatan dan kecepatan hancur tablet dengan mekanisme ini dipengaruhi oleh jumlah dan komposisi asam basanya dan tekanan pengempaan tablet (Sulaiman, 2007). Menurut Mohrle, (1980), reaksi yang terjadi antara asam sitrat dan natrium bikarbonat (a) serta asam tartrat dan natrium bikarbonat (b) adalah sebagai berikut :
235
(a) + 3CO2
H3C6H5O7.H2O + 3NaHCO3
(b) 2CO2
H2C4H6O6 + 2NaHCO3
Na3C6H5O7 + 4H2O Na2C4H4O6+ 2H2O +
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 effervescent markisa meliputi ; aquades, methanol 94%, kristal BHA (Butylated Hydrosianisole), serbuk vitamin C standar, kristal Kalium Iodida, kristal Iodine, dan amilum yang berasal dari Sigma Co. Sedangkan kristal DPPH (1,1-diphenyl-2picrylhydrazyl) berasal dari Wako Co.
Tablet effervescent markisa memerlukan formulasi yang tepat dan sesuai agar dapat memberikan waktu larut yang singkat. Formulasi yang dimaksud terutama adalah jumlah campuran asam dan basa yang diperlukan dan perbandingan antara asam dengan basa yang digunakan. Secara stokiometri satu molekul asam sitrat memerlukan tiga molekul sodium bikarbonat, akan tetapi didalam sari buah markisa sudah terdapat asam, sehingga perlu dipertimbangkan keberadaan asam tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan jumlah campuran asam basa dan menentukan perbandingan antara asam dan basa yang tepat pada pembuatan tablet effervescent markisa, sehingga diperoleh waktu larut yang singkat tetapi tidak banyak mengurangi cita rasa khas markisa, tidak banyak merusak kandungan gizi dan aktivitas antioksidannya.
2.2. Alat penelitian Alat yang digunakan untuk pembuatan tablet efffervescent markisa antara lain pisau, alumunium foil, kain saring, mortir, spatula, baskom, ayakan Tyler 14 mesh, cabinet dryer, sendok, ruang pendingin Genaplast, stopwatch, pencetak tablet, timbangan analit (Ohauss Corp USA) dengan ketelitian 0,0001 g, dan pompa hidrolik. Sedangkan alat untuk analisis tablet effervescent antara lain erlenmeyer, gelas ukur, buret, pipet ukur, propipet, eksikator, botol timbang, drying oven (U-30 Memert), penjepit, refrigerator (sharp VRD-178), tabung reaksi dan rak, vortex, spektrofotometer UV vis (Genesys 20, Thermospectronic), dan seperangkat alat analisis sensoris.
2. METODE PENELITIAN 2.1. Bahan penelitian Bahan utama yang digunakan adalah buah markisa kuning, laktosa, asam sitrat, natrium bikarbonat, aspartam, dan PEG (Poly Ethylene Glycol). Buah markisa kuning (Passiflora Edulis. var Flarcarpa) yang digunakan adalah buah yang telah masak, dengan ciri – ciri berbentuk oval (bulat lonjong) berdiameter 4-6 cm, berat antara 80 hingga 100 gram dengan warna kulit buah kuning 60-70%, diperoleh dari salah seorang pengepul di desa Harjobinangun, kecamatan Pakem, Kaliurang, Yogyakarta. Sedangkan untuk bahan lain yaitu laktosa, berasal dari Wako Co., aspartam berasal dari Sigma Co., sedangkan PEG 6000 berasal dari Merck Chemical Co. Semua bahan penolong yang digunakan dalam bentuk serbuk. Sumber asam dan basa yang digunakan adalah asam sitrat dan natrium bikarbonat yang dijual secara komersial. Bahan yang digunakan untuk analisis kimia tablet dan seduhan tablet
2.3.Pembuatan tablet effervescent Pembuatan tablet effervescent markisa terdiri atas tahapan pengambilan sari buah markisa, pembuatan granula markisa, dan pencetakan menjadi tablet effervescent. Buah markisa dipotong menjadi dua bagian kemudian diambil isinya (pulp). Isi buah markisa merupakan daging buah yang masih menempel pada bijinya sehingga diperlukan pemisahan antara daging dengan biji. Untuk mempermudah pemisahan dilakukan pemasakan pada suhu 40oC selama 10 menit, kemudian dilakukan penyaringan. Sari buah yang diperoleh diproses lebih lanjut menjadi granula markisa. Sari buah dicampur dengan filler (bahan pengisi) yang bertujuan agar dapat membuat ekstrak cair menjadi bentuk granula. Dari hasil orientasi bahan pengisi yang dipilih adalah laktosa dengan 236
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 perbandingan laktosa dibanding sari buah markisa adalah 1 : 1 (berat/berat). Hasil campuran sari buah dengan filler dikeringkan dalam cabinet dryer suhu 50oC selama 18 jam. Hasil pengeringan dihancurkan kemudian diayak 14 mesh untuk mendapatkan ukuran granula yang homogen. Hasil ayakan dikeringkan lagi selama 2 jam agar diperoleh granula markisa dengan kadar air yang lebih rendah. Granula markisa yang diperoleh berwarna kream kekuningan, dengan aroma khas buah markisa, dan berasa asam. Sebelum dilakukan pencetakan tablet, terlebih dahulu dilakukan pencampuran granula dengan asam sitrat, natrium bikarbonat, pemanis (asparatam), dan
pelicin (PEG). Bahan–bahan yang akan dicampurkan dipastikan memiliki ukuran partikel yang lolos ayakan 14 mesh agar ukuran homogen dan lebih merata saat dicampurkan. Dilakukan tiga variasi perbandingan granula markisa dengan campuran asam basa yaitu 57,5% : 42,5%; 62,5% : 37,5%; dan 67,5% :32,5%. Sedangkan untuk masing – masing perbandingan granula dan asam basa tersebut, dilakukan tiga variasi perbandingan antara asam dengan basa yaitu 1 : 3, 1 : 2, dan 2 : 3. Dengan demikian diperoleh 9 variasi perlakuan. Komposisi 9 variasi perlakuan atau formula tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi bahan penyusun atau formula pada setiap variasi perlakuan tablet effervescent markisa Jumlah bahan (mg) Jenis bahan
1A
1B
1C
2A
2B
2C
3A
3B
3C
Granula markisa
1900
1900
1900
2077
2077
2077
2246
2246
2246
Aspartam
166
166
166
166
166
166
166
166
166
9
9
9
10
10
10
10
10
10
Asam sitrat
356
475
594
312
416
520
270
360
449
Na bikarbonat
1069
950
831
935
831
727
808
718
629
Total
3500
3500
3500
3500
3500
3500
3500
3500
3500
PEG
Granula markisa dicampur dengan aspartam sebanyak 5% berat/berat total granula sampai rata, kemudian ditambahkan natrium bikarbonat, diaduk hingga rata, dan ditambahkan asam sitrat dan diaduk hingga tercampur rata. PEG sebanyak 0,3% dari berat total granula ditambahkan saat campuran garam effervescent tersebut siap dicetak dengan cara menambahkan sedikit demi sedikit sambil dilakukan pencampuran agar PEG tercampur rata sehingga diperoleh campuran yang homogen. Campuran tersebut kemudian dicetak dengan metode kompresi (Mohrle,
1980). Bahan–bahan yang sudah dicampur pada berbagai variasi formula, dimasukkan ke dalam alat cetak, kemudian di mampatkan dengan bantuan pompa hidrolik dan ditekan dengan tekanan sebesar 20 kg/cm2. 2.4. Analisis dan cara analisis data 2.4.1. Waktu larut tablet effervescent Waktu larut tablet effervescent adalah waktu yang diperlukan oleh tablet untuk hancur menjadi granula atau partikel penyusunnya dan menjadi bagian terlarut. Uji waktu larut dilakukan dengan memasukkan tablet dalam air dengan 237
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 volume 120-240 ml pada suhu ruangan. Tablet effervescent yang baik akan hancur dan terlarut dengan cepat dalam waktu 1-2 menit (Mohrle, 1980).
(200 ml) air. Sedangkan pengujian Radical Scavenging Activity (RSA) adalah metode pengujian untuk mengetahui aktivitas antioksidan suatu bahan dalam mengikat radikal bebas buatan berupa reagen DPPH (a,a diphenil b-pikrihidrazil). Reagen DPPH 0,2 mM (berwarna ungu) ditambahkan ke dalam tablet effervescent yang telah dilarutkan dalam air yang telah terekstrak dalam methanol 94%.
2.4.2. Uji sensoris Uji sensoris dilakukan dengan metode hedonic, menggunakan skala numerik.Pengujian dilakukan dalam booth khusus untuk uji sensoris dengan borang penilaian terhadap uji kesukaan menggunakan skala numerik. Skala numerik yang digunakan untuk uji kesukaan adalah nilai 1= sangat tidak suka, 2 = tidak suka, 3= agak tidak suka, 4= netral, 5 = agak suka,6 = suka, 7 = sangat suka. Hasil penilaian panelis diolah secara statistik.
2.4.4. Rancangan percobaan Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap sempurna (RAL) dengan percobaan faktorial. Faktor pertama adalah rasio granula markisa dengan asam basa dengan 3 variasi, yaitu : 57,5% : 42,5% (1) , 62,5% : 37,5% (2), dan 67,5% : 32,5% (3). Faktor kedua adalah rasio asam dengan basa dengan 3 variasi, yaitu: 1 : 3 (A), 1 : 2 (B), dan 2 : 3 (C). Data yang diperoleh dianalisa secara statistik dan apabila didapat adanya perbedaan nyata dari kedua factor tersebut, maka analisis dilanjutkan dengan uji DMRT (Duncan’s Multiple Range Test).
2.4.3. Analisis kimiawi Analisis kimia dilakukan terhadap seduhan tablet effervescent markisa meliputi analisis kadar air dengan metode thermogravimetri (AOAC, 1970 dalam Sudarmadji dkk., 1996), analisis vitamin C dengan metode iodometri (AOAC, 1970 dalam Sudarmadji dkk., 1996), dan pengujian aktivitas antioksidan dengan metode RSA (Radical Scavenging Activity) menggunakan DPPH (Brandwilliam et al., 1995). Analisis kadar air dilakukan setelah pencampuran granula effervescent secara merata, kemudian dikeringkan dalam cabinet dryer selama dua jam. Analisis vitamin C dilakukan terhadap seduhan tablet effervescent markisa setelah dilarutkan dalam segelas
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Waktu larut tablet effervescent Waktu larut tablet effervescent dalam air suhu kamar dari berbagai variasi perlakuan disajikan pada Tabel 2
Tabel 2. Waktu larut tablet effervescent pada berbagai variasi perlakuan Waktu larut (detik) Rerata Asam : Basa statistik 1 : 3 (A) 1 : 2 (B) 2 : 3 (C) 57,5% : 42,5% (1) 72,67a 98,33ab 103,33ab 91,44 V ab ab ab 62,5% : 37,5% (2) 110,67 104,67 95,67 103,67 V ab ab b 67,5% : 32,5% (3) 96,33 79,00 114,33 96,56 V X X X Rerata statistik 93,22 94,00 104,44 Ket : Notasi yang sama pada baris dan kolom menunjukkan bahwa tidak ada beda nyata (α=5%) Granula markisa : Asam basa
238
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 Pada Table 2 terlihat bahwa pada berbagai variasi perlakuan, tablet effervescent memberikan waktu larut yang tidak berbeda nyata (p>0,05), kecuali pada 1A dan 3C. Hal ini berarti kombinasi konsentrasi granula 57,5% dan asam basa 1:3 memberikan waktu larut yang lebih cepat daripada kombinasi granula 67,5% dengan asam basa 2:3. Hal ini dapat terjadi karena konsentrasi granula 57,5% yang lebih kecil dari 67,5% namun memiliki perbandingan asam basa 1:3. Menurut Ansel (1996), dibutuhkan 3 molekul natrium bikarbonat untuk menetralkan satu molekul asam sitrat, sehingga perbandingan 1:3 dapat memberikan kerja sama yang baik antara asam dan basa sehingga memberikan waktu larut yang lebih cepat pula. Konsentrasi granula yang lebih sedikit juga makin mempermudah asam basa dalam proses pelarutan karena konsentrasi asam basa yang berfungsi sebagai bahan penghancur lebih besar
dibandingkan dengan konsentrasi granula 67,5% dan asam basa 2:3. Tablet effervescent yang baik akan hancur dan terlarut dengan cepat dalam waktu 1-2 menit (Mohrle, 1980). Dari semua perlakuan baik konsentrasi granula yang berbeda maupun rasio asam basa yang berbeda, memiliki waktu larut kurang dari 2 menit. Hal ini berarti bahwa semua konsentrasi granula maupun rasio asam basa yang digunakan dalam penelitian ini memenuhi standar tablet effervescent yang baik. 3.2. Uji sensoris 3.2.1. Warna seduhan tablet effervescent Hasil pengujian tingkat kesukaan terhadap warna dari seduhan tablet effervescent markisa ditampilkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Tingkat kesukaan terhadap warna seduhan tablet effervescent markisa Granula markisa : Asam basa
Asam : Basa 1 : 3 (A)
1 : 2 (B)
2 : 3 (C)
Rerata statistik
57,5% : 42,5% (1)
4,10a
4,85ab
4,30a
4,42 V
62,5% : 37,5% (2)
4,10a
4,20a
4,25a
4,18 V
67,5% : 32,5% (3)
5,30b
4,65ab
4,90ab
4,95 W
Rerata statistic
4,50 X
4,57 X
4,48 X
Ket : Notasi yang sama pada baris dan kolom menunjukkan bahwa tidak ada beda nyata (α=5%). Nilai makin besar makin disukai
terhadap tingkat kesukaan warna seduhan (p>0,05). Dengan demikian perlakuan dengan perbandingan granula dan campuran asam basa 67,5% : 32,5% , atau dengan kata lain perlakuan dengan jumlah campuran asam basa 0,48 kg untuk setiap 1 kg granula, pada semua variasi perbandingan asam dan basa menghasilkan seduhan yang disukai panelis.
Dari hasil analisis statistik Tabel 3 kolom 5, diketahui bahwa pada penggunaan granula yang lebih banyak yaitu pada 67,5% diperoleh warna seduhan yang paling disukai panelis. Sementara itu dari Tabel 3, baris paling bawah, variasi perbandingan antara asam dan basa tidak menunjukkan perbedaan yang nyata
239
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 Hasil pengujian tingkat kesukaan terhadap aroma dari minuman effervescent markisa ditampilkan pada Tabel 4.
3.2.2. Aroma
Tabel 4. Tingkat kesukaan terhadap aroma minuman effervescent markisa Granula markisa : Asam basa
Asam : Basa 1 : 3 (A)
1 : 2 (B)
2 : 3 (C)
Rerata statistik
57,5% : 42,5% (1)
3,85ab
4,20abc
3,65a
3,90 V
62,5% : 37,5% (2)
3,60a
3,60a
4,15abc
3,78 V
67,5% : 32,5% (3)
4,60bc
4,10abc
4,75c
4,48 W
Rerata statistik
4,02 X
3,97 X
4,18 X
Ket : Notasi yang sama menunjukkan bahwa tidak ada beda nyata (α=5%). Nilai makin besar makin disukai
pada tingkat kesukaan aroma. Interaksi antara jumlah granula dengan perbandingan asam basa tidak memberikan pengaruh pada tingkat kesukaan aroma ( p>0,05).
Berdasarkan hasil analisa statistik Tabel 4 kolom ke 5, terlihat bahwa jumlah granula memberikan perbedaan nyata pada tingkat kesukaan aroma. Pada perlakuan perbandingan granula dengan campuran asam basa 67,5% : 32,5% atau jumlah campuran asam basa 0,48kg untuk setiap 1 kg granula menghasilkan seduhan tablet yang paling disukai. Sedangkan komposisi asam dan basa yang berbeda (Tabel 4 baris paling bawah) tidak memberikan pengaruh
3.2.3. Cita rasa Hasil pengujian tingkat kesukaan terhadap cita rasa dari seduhan tablet effervescent markisa ditampilkan pada Tabel 5.
Tabel 5. Tingkat kesukaan terhadap cita rasa seduhan tablet effervescent markisa Granula markisa : Asam basa
Asam : Basa 1 : 3 (A)
1 : 2 (B)
2 : 3 (C)
Rerata statistik
57,5% : 42,5% (1)
4,20ab
4,50ab
4,25ab
3,90 V
62,5% : 37,5% (2)
4,45ab
3,70a
4,95b
3,78 V
67,5% : 32,5% (3)
4,10ab
4,30ab
4,50ab
4,48 W
Rerata statistic
4,02 X
3,97 X
4,18 X
Ket : Notasi yang sama pada baris dan kolom menunjukkan bahwa tidak ada beda nyata (α=5%). Nilai makin besar makin disukai
tingkat kesukaan seduhan yang berbeda nyata. Pada perbandingan 67,5% : 37,5% menghasilkan seduhan dengan cita rasa yang paling disukai. Sedangkan variasi
Dari hasil analisis statistik Tabel 5 kolom ke 5, diketahui bahwa variasi jumlah granula yang digunakan menghasilkan 240
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 perbandingan antara asam dan basa (Tabel 5 baris paling bawah) tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap tingkat kesukaan cita rasa (p>0,05 ) .
3.3.1. Kadar air granula effervescent Kadar air granula effervescent berbagai variasi perlakuan pada Tabel 6 berikut;
3.3. Analisis kimia Tabel 6. Kadar Air Granula Effervescent Markisa Kadar air granula (%)
Granula markisa : Asam basa 1 : 3 (A) 57,5% : 42,5% (1)
3.70 d
62,5% : 37,5% (2)
3.11bc
67,5% : 32,5% (3)
3.15c
Asam : Basa 1 : 2 (B) 2.85a
Rerata statistik 2 : 3 (C) 2.96abc
3,17 X
3.03abc
3.14c
3,10 XY
2.87ab
3.08 abc
3,03 Y
Rerata statistik 3,32 U 2,92 V 3,06 W Ket : Notasi yang sama pada baris dan kolom menunjukkan bahwa tidak ada beda nyata (α=5%)
Table 6 kolom ke 5, menunjukkan bahwa jumlah granula yang digunakan pada tingkat perbedaan tertentu memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar air granula. Sementara itu variasi perbandingan asam dan basa (Table 6, baris paling bawah) memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar air granula. Pada perbandingan asam basa 2:3 menghasilkan granula dengan kadar air paling rendah. Hasil analisis menunjukkan bahwa seluruh kadar air granula effervescent markisa dari semua variasi perlakuan berada di atas standar yang ditentukan untuk granula effervescent yaitu 0,4–0,7% (Lestari, 2006). Tingginya kadar air granula dapat menyebabkan tidak sensitif terhadap air karena telah membentuk hidrat sehingga menurunkan kelarutan (Lieberman et al., 1992). Air dapat pula mengakibatkan system effervescentmenjadi tidak stabil.
Kehadiran air dalam jumlah kecil dapat mengaktifkan system effervescent dan dapat bereaksi sebelum waktunya (Mohrle, 1980). Tidak terpenuhinya syarat kadar air granula disebabkan proses pembuatan granula dilakukan di ruangan yang memiliki kelembaban relatif minimal 60%, padahal seharusnya dilakukan di ruangan dengan kelembaban relatif maksimal 25%. Kemungkinan sudah tercapai kesetimbangan kandungan lembab antara granula dengan kelembaban di ruangan proses pembuatan sehingga walaupun sudah dikeringkan dalam cabinet dryer, granula effervescent yang dihasilkan tidak bisa mencapai kadar air 0,4-0,7%. 3.3.2. Analisis kadar vitamin C Analisis kadar vitamin C seduhan tablet effervescent dapat dilihat pada Tabel 7.
241
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Tabel 7. Kadar vitamin C dalam seduhan tablet effervescent markisa Granula markisa : Asam basa 57,5% : 42,5% (1) 62,5% : 37,5% (2) 67,5% : 32,5% (3) Rerata statistik
Kadar Vitamin C ( mg/100ml) Asam : Basa 1 : 3 (A) 1 : 2 (B) 2 : 3 (C) a a 1,19 1,03 0,98a 0,88a 1,03a 0,88a a b 1,03 1,55 1,50b U U 1,03 1,20 1,12 U
Rerata statistik 1,07 X 0,93 X 1,36 Z
Ket : Notasi yang sama pada baris dan kolom menunjukkan bahwa tidak ada beda nyata (α=5%).
pengolahan juga dapat menyebabkan penurunan vitamin C pada produk minuman effervescent markisa. Vitamin C merupakan vitamin yang mudah larut dalam air dan mudah rusak oleh oksidasi, panas, dan alkali (Winarno, 2002). Penurunan vitamin C pada effervescent markisa dapat disebabkan oleh proses pengolahan yang melibatkan panas, yaitu saat pengeringan dalam pembentukan granula. Selain itu dapat disebabkan juga oleh penambahan alkali yaitu natrium bikarbonat (baking soda) sebagai sumber basa. Penambahan baking soda dapat menurunkan kandungan vitamin C dalam bahan (Winarno, 2002).
Berdasar analisis statistik Tabel 7 kolom 5 dapat dilihat bahwa jumlah granula memberikan kadar vitamin C dalam seduhan yang berbeda secara signifikan, sedangkan variasi jumlah asam dan basa memberikan hasil yang tidak berbeda nyata. Kombinasi perlakuan pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa kadar vitamin C tertinggi pada formula 3B dan 3C dengan kadar vitamin C 1,5 mg/100ml. Vitamin C yang terdapat dalam 100 gram bagian buah markisa yang dapat dimakan adalah 13-70 mg (Duckworth, 1966). Vitamin C pada buah markisa tergolong rendah jika dibandingkan dengan buah-buahan lain, seperti jambu biji dengan kadar vitamin C mencapai 183 mg/100 g, kiwi dengan kadar vitamin C 100 mg/100g, dan kelengkeng dengan kadar vitamin C 84 mg/100 g (Anonimc, 2011). Kadar vitamin C awal dari buah markisa yang tidak terlalu tinggi menyebabkan vitamin C pada produk minuman effervescent markisa juga rendah. Selain itu, adanya proses
3.4. Pengujian aktivitas antioksidan Hasil pengujian aktivitas antioksidan seduhan tablet effervescent dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Aktivitas antioksidan pada seduhan tablet effervescent markisa Aktivitas antioksidan (%) Rerata statistik Asam : Basa 1 : 3 (A) 1 : 2 (B) 2 : 3 (C) 57,5% : 42,5% (1) 34,14a 41,39bc 30,85a 35,46 X cd a ab 62,5% : 37,5% (2) 47,94 33,85 34,88 38,89 X 67,5% : 32,5% (3) 56,13e 54,24cd 60,41e 56,93 Z u uv v Rerata statistik 46,07 43,16 42,04 Ket : Notasi yang sama menunjukkan bahwa tidak ada beda nyata (α=5%) Aktivitas antioksidan sari buah markisa (80mg/ml) = 61,31%, aktivitas antioksidan BHA (10mg/ml) = 48,41% Granula markisa : Asam basa
Berdasarkan hasil analisis statistik Tabel 8, kolom 5, jumlah granula menunjukkan
aktivitas antioksidan seduhan yang berbeda nyata. Pada varisi jumlah granula 242
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 formula lain sehingga penggunaan sari buah markisa juga lebih besar dan memberikan antioksidan lebih banyak dibandingkan pada formula lain.
67,5% : 32,5% menghasilkan seduhan yang mempunyai aktivitas antioksidan tertinggi. Sedangkan komposisi asam basa tidak memberikan pengaruh yang berbeda secara signifikan. Aktivitas antioksidan yang dinyatakan sebagai persen aktivitas penangkapan DPPH pada sari buah markisa maupun effervescent markisa dihitung pada konsentrasi sampel 80 mg/ml. Aktivitas antioksidan pada sari buah markisa adalah sebesar 61,31%. Dalam Tabel 8 dapat dilihat bahwa aktivitas antioksidan tertinggi pada formula 3C yang tidak beda nyata dengan formula 3A. Aktivitas antioksidan mengalami sedikit penurunan jika dibandingkan dengan effervescent markisa formula 3C yang tidak berbeda nyata dengan 3A. Sementara pada formula lain terjadi penurunan aktivitas antioksidan yang cukup signifikan jika dibandingkan dengan sari buah markisa, namun semua formula masih menunjukkan adanya aktivitas antioksidan. Aktivitas antioksidan dari BHA (Butylated Hydrosianisole) sebagai antioksidan sintetis adalah sebesar 48,41% pada konsentrasi 10 mg/ml. Konsentrasi BHA lebih kecil dari konsentrasi effervescent markisa yang diuji karena BHA merupakan antioksidan sintetis yang pasti mengandung aktivitas tinggi. BHA 10 mg/ml memberikan aktivitas antioksidan sebesar 48,41% yang tidak jauh berbeda dengan aktivitas antioksidan pada formula 2A dan tidak berbeda nyata dengan formula 1B dan 3B. Aktivitas antioksidan tertinggi pada produk effervescent markisa yang diberikan oleh formula 3A dan 3C memiliki aktivitas antioksidan yang lebih tinggi daripada aktivitas antioksidan pada BHA. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat potensi antioksidan yang masih cukup besar pada produk minuman effervescent markisa pada formula 3A dan 3C. Formula dengan aktivitas antioksidan tertinggi juga memiliki perbandingan granula terbesar dibandingkan dengan
4. KESIMPULAN Perbandingan jumlah granula yang tepat untuk pembuatan tablet effervescent markisa adalah granula dibanding asam basa 67,5% : 32,5% atau campuran asam basa 0,48 kg untuk setiap 1 kg granula, dengan perbandingan asam basa sebesar 2:3, atau campuran asam dan basa yang terdiri atas asam sitrat 0,19 kg dan sodium bikarbonat 0,29 kg Perbandingan ini memberikan waktu larut kurang dari 2 menit, disukai panelis, kadar air 3,08%, kadar vitamin C 1,50 mg/100 ml, dan aktivitas antioksidan pada konsentrasi 80 mg/ml sebesar 60,41%. 5. DAFTAR PUSTAKA Anief, M. 1997. Ilmu Meracik Obat, Teori dan Praktik. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Anonim. 2011. Kandungan Vitamin C pada Buah. www.kumpulaninfo.com/ sehat/artikel-kesehatan/48-artikelkesehatan/80-kandungan-vitamin-cbuah.html [18 Oktober 2011] Ashari, S. 1995. Hortikultura, Aspek Budidaya. UI-Press. Jakarta. Brand, W. W., Cuvelier M. E., and Berset C. 1995. Use of a free radical method to evaluate antioxidant activity. Lebensm. Wiss. Technol. 28, 25. Chau, C.F., and Y.L. Huang. 2003. Characterization of Passion Fruit Seed Fibres-a potential Fibre Source. Journal of Food Chemistry 85 (2004): 189-194. Duckworth, R. B. 1966. Fruit and Vegetables. Pergamon Press Ltd. Glasgow. Lestari, Agatha Budi Susiana Lestari, 2006. Optimasi Granula Effervescent Ekstrak Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) dengan Kombinasi Asam Sitrat dan Asam Tartrat (Aplikasi Metode Desain
243
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 Faktorial). Seminar Ilmiah Nasional Hasil Penelitian Fitofarmaka. Fakultas Farmasi Sanata Dharma Yogyakarta, Yogyakarta. Lieberman, H.A., L.Lachman, J.B. Schwartz. 1992. Pharmaceutical Dosage Forms Vol 1. Marcel Dekker Inc. New York. Mohrle, R. 1980. Effervescent Tablets in Pharmaceutical Dosage from Tablet. Volum I. Third Edition 225-255. Marcel Dekker inc. New York. Sudarmadji, S., B. Haryono, Suhardi. 1996. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta. Sulaiman, Teuku Nanda Saifullah. 2007. Teknologi dan Formulasi Sediaan Tablet. Pustaka Laboratorium Teknologi Farmasi Fakultas Farmasi UGM. Yogyakarta. Winarno, F. G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakrta.
244
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 ANALISIS RANTAI NILAI PADA MANAJEMEN LOGISTIK SEBAGAI DASAR PERUMUSAN STRATEGI GUNA PENINGKATAN KEPUASAN KONSUMEN (Studi Kasus di Pt.Coca-Cola Amatil Indonesia Plant Jawa Timur) Dian R. Setyawati*, Imam Santoso*, Mas’ud Effendi* * Jurusan Teknologi Industri Pertanian FTP-UB *Email korespondensi: [email protected]
Abstrak PT. Coca-Cola Amatil Indonesia (PT. CCAI) Plant Jawa Timur sebagai produsen minuman ringan berkarbonasi sering mengalami ketidaksesuaian antara perencanaan dan realisasi pengiriman produk yang ditunjukkan dari ketidaksesuaian antara delivery fullfilment dan target perusahaan pada difotai (delivery infull ontime accuratly invoice). Hal ini dapat disebabkan karena adanya ketidaksesuain aktivitas-aktivitas manajemen logistik sehingga perlu dilakukan sebuah analisis rantai nilai untuk mengetahui aktivitas mana yang menjadi penyebab, sehingga dapat segera dilakukan perumusan strategi perbaikan untuk meningkatkan kepuasan konsumen. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keunggulan dan kelemahan pada manajemen logistik PT.Coca-Cola Amatil Indonesia Plant Jawa Timur dan menjadikannya sebagai salah satu dasar perumusan strategi guna meningkatkan kepuasan konsumen dengan pendekatan analisis rantai nilai. Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif. Data diperoleh dengan penyebaran kuesioner pada bagian Warehouse and Transportation PT. CCAI Plant Jawa Timur dan diolah dengan menggunakan metode fuzzy AHP. Hasil penelitian menunjukkan bobot keseluruhan aktivitas utama berturut-turut dari yang tertinggi adalah aktivitas manajemen persedian, aliran informasi dan pemrosesan order, perencanaan permintaan dan operasi, dan transportasi. Beberapa hal pada aktivitas transportasi yang perlu diperbaiki sebagai dasar perumusan startegi antara lain operational procedure, daya dukung fasilitas, serta sosialisasi dan komunikasi penanganan masalah dan perubahan.
Kata kunci:Analisis Rantai Nilai, Perumusan Strategi, Manajemen Logistik
keinginan. Salah satu yang harus diperhatikan dan diterapkan dengan tepat untuk mendapatkan kepuasan konsumen adalah penyampaian produk kepada orang yang tepat pada waktu yang tepat dan tempat yang tepat secara efektif dan efisien. Untuk itu diperlukan adanya manajemen logistik perusahaan yang terarah. PT. Coca-Cola Amatil Indonesia (PT. CCAI) Plant Jawa Timur merupakan salah satu produsen minuman ringan berkarbonasi yang memiliki beragam produk yang memiliki 15 distribution
1. PENDAHULUAN Kepuasan konsumen mempunyai arti penting untuk menciptakan pertahanan dalam persaingan pasar (Patterson, Johnson and Spreng, 1997). Akibatnya kepuasan konsumen dikembangkan secara luas sebagai gagasan dasar untuk mengawasi dan mengatur aktivitas dalam perusahaan. Hansemark dan Albinson (2004) menyatakan kepuasan secara keseluruhan adalah perilaku konsumen terhadap perbedaan antara yang diharapkan dan yang diterima berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan atau
245
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 biaya yang paling rendah, perusahaan perlu untuk menganalisis aktivitas logistik dan biaya yang ditimbulkan aktivitas tersebut pada perusahaan (Bartolocci, 2004). Analisis rantai nilai dapat digunakan untuk mengetahui keunggulan dan kelemahan pada manajemen logistik PT.Coca-Cola Amatil Indonesia Plant Jawa Timur yang kemudian dapat digunakan sebagai salah satu dasar rumusan strategi guna peningkatan kepuasan konsumen.
center dan tersebar di seluruh Jawa Timur. Dalam hal delivery fullfilment, PT. CocaCola dihadapkan ketidaksesuaian antara perencanaan pengiriman dengan realisasi pengiriman. Pada Januari 2011, terdapat kekurangan sebesar 150 krat atau sekitar 3600 botol dari perencanaan pengiriman pada 9 distribution center dari 15 distribution center yang dimiliki PT. Coca-Cola. Selain itu, ditemukan juga kelebihan 132 krat atau sekitar 3168 botol produk pada 4 distribution center. Kesesuaian antara pengiriman dan pemesanan produk (Delivery in full ontime accuratly invoice (Difotai) performance)pada minggu pertama bulan Januari 2011 tercatat sebesar 94,54% dengan 582 PO (Purchase Order) yang tidak terlaksana. Pada minggu kedua, difotai performance PT.Coca-Cola sebesar 94,55 % dengan 581 PO yang tidak terlaksana. Pada minggu ketiga terdapat 586 PO yang tidak terlaksana dengan difotaiperformance sebesar 94,08% dan pada minggu keempat terdapat 448 PO yang tidak terlaksana dengan difotaiperformance sebesar 95,41 % (DRP Overview PT. Coca-Cola Amatil,2011). Kondisi tersebut dimungkinkan sebagai akibat ketidaksesuaian yang terjadi pada aktivitas-aktivitas manajemen logistik PT. Coca-Cola. Oleh karena itu, perusahaan dituntut terus berupaya bagaimana meniadakan ketidaksesuaian antara perencanaan pengiriman dengan realisasi pengiriman sekaligus meningkatkan difotaiperformance sesuai dengan target perusahaan sebesar 100% (DRP Overview PT.Coca-Cola Amatil Indonesia, 2011). Porter (1998) menyarankan setiap organisasi perlu melakukan identifikasi aktivitas dengan melakukan pendekatan rantai nilai. Rantai nilai menguraikan kegiatan perusahaan menjadi aktivitas-aktivitas yang relevan secara strategis untuk memahami perilaku biaya dan sumber diferensiasi yang sudah ada dan yang potensial (Mirdah, 2000). Untuk mewujudkan tingkat pelayanan konsumen yang dikehendaki pada total
2. METODOLOGI Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni–Agustus 2011 di PT. Coca-Cola Amatil Indonesia Plant Jawa Timur. Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data adalah kuisioner. Responden penelitian meliputi Manajer departemen Warehousing and Transportation (WNT), Supervisordepartemen WNT, dan seorang full good and empeties control. Penilaian dilakukan pada manajemen logistik produk Coca-Cola kemasan RGB. Pengolahan data menggunakan metode fuzzy AHP dengan tahapan sebagai berikut : 1. Pembobotan kriteria (sub-sub aktivitas) dalam komponen aktivitas utama maupun aktivitas pendukung dengan fuzzy AHP. a. Data yang diperoleh dari pengumpulan kuesioner akan disusun matriks perbandingan berpasangan, dimana responden dinotasikan dengan simbol Ai ,i = 1,2,3..,n. b. Menghitung elemen matriks syntetic pairwise comparison dengan rumus:
(
a~ in = a~ i11 x a~ i 22 x a~ i 33 x L x a~ inn
)
1/n
c. Penentuan bobot kriteria setiap kelompok responden dengan menggunakan persamaan: 1/ n ~ ri = (a~i1 ⊗ a~i 2 ⊗ ... ⊗ a~in ) −1 ~ =~ w ri ⊗ (r~1 ⊕ ... ⊕ ~ rn ) i
246
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 ~ ~ berlokasi di Gempol, Pasuruan. sehingga diperoleh nilai r1 , r2 , Perusahaan dipimpin oleh seorang ~ ~ ~ ~ w ~ w r3 ,..., ~ rn dan w 3 ,..., wn 1, 2, Manufacturing Manager dalam hal d. Proses defuzzifikasi dilakukan operasional produksi dan seorang WNT dengan menggunakan metode Best manager dalam hal penggudangan dan Nonfuzzy Performance Value transportasi.Manufacturing Manager (BNP) dengan persamaan: membawahi ProductionDepartement RGB, ProductionDepartement PET, BNPw i = [(Uw i − Lwi ) + (Mw i − Lwi )] / 3 + Lwi∀i Quality Assurance, Mechanical sehingga diperoleh nilai BNP w1, Engineering, Quality Management System, BNP w2,BNP w3,..., BNP wn dan General Affair. WNT Manager 2. Nilai BNP merupakan hasil membawahi Warehousing and perhitungan bobot penilaian terhadap Transportation dan Direct Sales aktivitas dan sub aktivitas sehingga Distribution. Manajemen Logistik PT. diketahui aktivitas mana yang CCAI Plant Jawa Timur menjadi lingkup memiliki bobot tertinggi dan bobot kerja departemen warehousing and terendah. transportation (WNT). PT. CCAI Plant Berdasarkan penilaian bobot dalam Jawa timur memiliki daerah pemasaran di aktivitas rantai nilai yang sudah ada, lalu seluruh Jawa Timur. Pemasaran dibagi dibuat perumusan strategi dimana yang dalam beberapa jalur distribusi, antara diusulkan hanya untuk aktivitas utama lain: Distribution Center (DC), Area yang memiliki bobot terendah. LangkahMarketing Contract (AMC), Modern Food langkah perumusan strategi dapat di Store (MFS), danpengiriman ke Other gambarkan dalam Gambar 1. Unit. Permintaan dari AMC, DC dan MFS akan masuk ke WNT dalam bentuk Purchase Order (PO) untuk selanjutnya diolah menjadi ringkasankebutuhan masing-masing SC, AMC dan MFS. Pihak WNT selanjutnya mengkomunikasikan kebutuhan kendaraan pada pihak transporter. PT. CCAI Plant Jawa Timur bekerja sama dengan beberapa perusahaan penyedia layanan transportasi dalam hal pengiriman. 3.1. Identifikasi aktivitas-aktivitas dalam rantai nilai Identifikasi aktivitas-aktivitas dalam rantai nilai didasarkan pada aktivitas-aktivitas utama yang tercakup dalam kegiatan manajemen logistik PT.CCAI Plant Jawa Timur. Aktivitasaktivitas ini kemudian dikelompokkan berdasarkan potensi pencipta nilai. Hasil identifikasi aktivitas dalam rantai nilai manajemen logistik PT.CCAI dapat dilihat pada Tabel 1.
Gambar 1. Langkah-langkah perumusan strategi
3. HASIL DAN PEMBAHASAN PT Coca-Cola Amatil Indonesia Plant Jawa Timur merupakan produsen minuman ringan berkarbonasi yang
247
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 Tabel 1. Hasil identifikasi aktivitas-aktivitas dalam rantai nilai manajemen logistik PT.CCAI Plant Jawa Timur Aktivitas
Potensi Pencipta Nilai (Komponen Aktivitas) Perencaan permintaan dan operasi Manajemen Persediaan
Primer
Transportasi
Aliran Informasi dan pemrosesan order
nilai dengan metode fuzzy AHP dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan hasil perhitungan pembobotan terhadap keseluruhan aktivitas utama pada manajemen logistik PT. CCAI Plant Jawa Timur didapatkan bahwa penilaian tertinggi hingga terendah berturut-turut adalah pada aktivitas manajemen persediaan (0,500), aliran informasi dan pemrosesan order (0,372), perencanaan permintaan dan operasi (0,364) dan transportasi (0,277). Aktivitas manajemen persediaan memiliki bobot tertinggi menunjukkan bahwa aktivitas tersebut merupakan keunggulan atau kekuatan utama perusahaan dalam melaksanakan kegiatan manajemen logistik dengan efisien. Dalam konsep rantai nilai dapat diartikan bahwa biaya pada aktivitas manajemen persediaan dapat diturunkan tanpa mengurangi keoptimalan kinerja dengan customer value yang tetap dapat ditingkatkan.
Sub-aktivitas - Peramalan penjualan jangka pendek - Pembelian - Penjadwalan produksi - Kebijakan penyimpanan bahan baku dan barang jadi - Kebijakan persediaan - Pemilihan jenis dan layanan pengangkutan - Penjadwalan pengiriman -Pemrosesan klaim/keluhan - Pengumpulan informasi dan penyimpanan - Analisa Data - Prosedur permintaan
3.2. Perhitungan bobot aktivitas utama pada rantai nilai Aktivitas-aktivitas yang teridentifikasi kemudian dibobotkan. Hasil pembobotan terhadap keseluruhan aktivitas pencipta
Tabel 2. Hasil pembobotan terhadap keseluruhan aktivitas pencipta nilai dalam manajemen logistik Bobot Lokal
Aktivitas/ Sub Aktivitas Perencanaan Permintaan dan Operasi Peramalan Penjualan Jangka Pendek
a 0,097
b 0,222
Bobot keseluruhan
c 0,773
a
b
BNP
c 0,364
0,016
0,086
0,367
0,002
0,019
0,284
0,102
Penjadwalan Produksi
0,024
0,078
0,422
0,002
0,017
0,326
0,115
Pembelian
0,020
0,062
0,347
0,002
0,014
0,268
0,095
Manajemen Persediaan Kebijakan penyimpanan bahan baku dan barang jadi
0,116 0,013
0,395 0,112
0,99 0,529
0,002
0,044
0,524
0,500 0,190
Kebijakan Persediaan
0,011
0,110
0,489
0,001
0,043
0,484
0,176
Transportasi Pemilihan Jenis layanan pengangkutan
0,035 0,020
0,115 0,072
0,682 0,361
Penjadwalan Pengiriman
0,021 0,062
0,106 0,268
0,018
0,277 0,001
0,008
0,246
0.085
0,448 0,785
0,001
0,012
0,306
0,106 0,372
0,105
0,395
0,001
0,028
0,310
0,113
0,020
0,096
0,429
0,001
0,026
0,337
0,121
Analisa Data
0,021
0,092
0,441
0,001
0,025
0,346
0.124
Prosedur Penjulan/Permintaan Keterangan : a= titik kiri(nilai pesimis) b= titik tengah (nilai paling disukai) c= titik kanan (nilai optimis) BNP = Best Nonfuzzy Performance Value
0,030
0,079
0,464
0,002
0,021
0,364
0,129
Aliran Informasi dan Pemrosesan Order Pemrosesan Klaim/keluhan Pengumpulan Informasi, Penyimpanan dan Manipulasi
248
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 2. Operational Procedure 3. Skill tenaga kerja 4. Kebijakan mempertahankan kualitas 5. Daya dukung atau jumlah SDM 6. Daya dukung Dana 7. Daya dukung sarana dan prasarana (fasilitas) 8. Semangat kebersamaan, suasana kerja yang nyaman dan kondusif 9. Sosialisasi dan komunikasi penanganan masalah &perubahan yang terjadi 10. Statistik Process Control 11. Penggunaan teknologi informasi 12. Pemeliharaan data Aktivitas-aktivitas penting mengenai transportasi PT.CCAI Plant Jawa Timur diambil dari dokumen instruksi kerja. Aktivtas-aktivitas tersebut meliputi : 1. Dokumentasi muatan 2. Penjadwalan pengiriman 3. Pemilihan layanan pengangkutan 4. Pemuatan produk jadi 5. Pengiriman ke SC, Other Unit, AMC dan MFS
Manajemen Persediaan di PT. CCAI Plant Jawa Timur memiliki bobot tertinggi dikarenakan manajemen logistik perusahaan sangat memperhatikan ketersediaan produk maupun botol kosong dengan sangat akurat. Hal ini dilakukan karena manajemen persediaan merupakan Main Key Performance Index perusahaan, sehingga apabila terjadi ketidaksesuaian pada manajemen persediaan maka akan menyebabkan terganggunya aktivitas pada pengiriman maupun stock accuracy dan stock availability. Selain itu, adanya koordinasi dan komunikasi yang baik antara produksi dengan gudang dapat meminimalkan kekurangan maupun kelebihan stock. Aktivitas dalam rantai nilai yang memiliki bobot terendah adalah pada aktivitas transportasi. PT.CCAI Plant Jawa Timur menggunakan jasa transporter sebagai penyedia sarana transportasi dimana transporter memiliki manajemen yang berbeda dengan perusahaan, sehingga pengaturan dan pengontrolan armada dilakukan oleh pihak lain yang tidak dapat dilakukan pengawasan langsung oleh perusahaan. Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh transporter diutarakan dalam perjanjian antara transporter dengan plant secara nasional. Akibatnya, terjadi komunikasi yang kurang baik antara transporter dengan departemen WNT. Hal ini menyebabkan banyak terjadi kekurangan pada armada, misalnya armada yang tidak layak serta surat kendaraan yang kurang.
3.3.2. Pembandingan faktor-faktor dan aktivitas dengan standar keunggulan internal Perbandingan faktor-faktor dan aktivitas dengan standar keunggulan internal dilakukan dalam skala linguistik yaitu : SS (sangat sesuai), S (sesuai), CS (cukup sesuai), KS (kurang sesuai), SKS (sangat kurang sesuai). Pada tahap ini, aktivitas yang ada dihubungkan dengan masing-masing faktor pendukungnya kemudian dibandingkan dengan standar yang diinginkan perusahaan dalam pencapaian kerja yang optimal, sehingga diperoleh aktivitas mana saja yang dinilai kekuatan yang ditunjukkan pada penilaian ‘sangat sesuai’ dan ‘sesuai’ serta aktivitas mana saja yang dinilai kelemahan yang ditunjukkan pada penilaian ‘cukup sesuai’, ‘kurang sesuai’ dan ‘sangat kurang sesuai’ dengan standar keunggulan yang
3.3. Perumusan strategi 3.3.1. Identifikasi faktor-faktor internal dan aktivitas-aktivitas penting Identifikasi faktor-faktor internal diperoleh dengan melihat aktivitas pendukung yang mempengaruhi kinerja aktivitas transportasi. Faktorfaktor internal departemen WNT PT.CCAI Plant Jawa Timur yang dapat diidentifikasi meliputi: 1. Struktur Organisasi
249
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 diinginkan perusahaan. Melalui kuisioner yang diisi oleh responden, diperoleh aktivitas-aktivitas yang dapat digolongkan
ke dalam kekuatan dan kelemahan tersebut seperti pada Tabel 3.
Tabel 3. Pengelompokan aktivitas-aktivitas yang merupakan kekuatan dan kelemahan dalam tansportasi PT. Coca-Cola Amatil Penilaian pada aktivitas ke-
Faktor-faktor Internal
SS 1. Stuktur Organisasi
S
CS
KS
SKS
1-5
2. Operational Procedure
4
1,3,5
2
4. Kebijakan mempertahankan kualitas
1,5
1,4,5 4
2,3 2,3
5. Daya dukung SDM
4,5
1,3
2
6. Daya dukung Dana
4,5
1,2,3
1 1,4,5
2,3,5 3
4 2
3
1,4,5
2
10. Statistik proses kontrol
3,4,5
1,2
11. Penggunaan teknologi Informasi
3,4,5
1,2
1,3
2
3. Skill tenaga kerja
7. Daya dukung fasilitas 8. Semangat kebersamaan,suasana kerja yang nyaman dan kondusif 9. Sosialisasi dan komunikasi penanganan masalah & perubahan
12. Pemeliharaan data
4,5
Keterangan Aktivitas : 1. Dokumentasi Muatan 2. Penjadwalan Pengiriman 3. Pemilihan layanan pengangkutan 4. Pemuatan Produk Jadi 5. Pengiriman ke DC dan Other Unit, AMC dan MFS
Kekuatan
Kelemahan
Pembandingan dilakukan dengan memberikan kuisioner lanjutan yang diisi oleh respondensehingga diperoleh aktivitas-aktivitas yang dapat dikatakan kekurangan hingga kerentanan dalam transportasi. Penilaian aktivitas ditunjukkan oleh responden dalam skala linguistik dimana yang dikatakan kekurangaan adalah yang hanya dinilai sesuai dan cukup sesuai. Sedangkan yang dikatakan kerentanan utama adalah yang dinilai kurang sesuai dengan key performance index yang ditetapkan PT. Coca-Cola Amatil, sehingga aktivitasaktivitas tersebut yang harus diperbaiki. Hasil pembandingan menunjukkan bahwa kekurangan terjadi di hampir semua faktor internal dengan tingkat yang berbeda-beda. Namun, kerentanan utama hanya terjadi di beberapa faktor internal.
3.3.3. Pembandingan kelemahan dengan key performance index Pembandingan kelemahan dengan key performance index dilakukan untuk mengetahui kekurangan dan kerentanan utama dalam manajemen logistik PT. CCAI Plant Jawa Timur. Pembandingkan dilakukan dengan membandingkan faktor internal dengan lima elemen kunci yang digunakan pada PT. Coca-Cola Amatil untuk memelihara dan membangun kepercayaan konsumen secara kontinyu, yaitu: 1. Minimalisisr warehouse cost 2. Kesesuaian delivery fullfilment 3. Delivery ontime 4. Keakuratan stok fullgood dan empeties 5. Minimalisir product looses.
250
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 c. Penyusunan atau memperbaiki prosedur operasional kembali. 2. Daya dukung fasilitas pada aktivitas penjadwalan pengiriman, pemilihan layanan pengangkutan, pemuatan produk jadi, dan pengiriman dinilai kurang baik. Terdapat penyimpangan penggunaan sarana loading dan unloading pada penggudangan PT. CCAI Plant Jawa Timur. Hal ini disebabkan kelebihan produksi sehingga sarana loading unloading digunakan sebagai sarana penyimpanan barang jadi. Selain itu, juga terdapat keluhan tentang prasarana transportasi yang tidak sesuai dengan standar perusahaan, sehingga perumusan strategi perbaikannya adalah : a. Evaluasi tata letak penggudangandan efektifitas sarana parkir. Menurut Haming dan Murnajamudin (2007), tujuan perencanaan tata letak antara lain : 1) Minimalisasi material handling cost 2) Efektifitas penggunaan ruangan pabrik 3) Tingkat penggunaan tenaga kerja pabrikasi 4) Mengurangi kendala kelancaran proses produksi 5) Memudahkan komunikasi Disamping lima tujuan diatas, terdapat beberapa tujuan lain atau tujuan sekunder dari tata letak yang baik, yaitu : 1) Mengurangi waktu siklus pengolahan atau waktu pelayanan pelanggan karena jarak antara setiap workcenter relatif optimal. 2) Mengurangi, bahkan menghilangkan hamburan atau pergerakan yang berlebihan. 3) Memudahkan penempatan dan arus load dan unload material, produk atau tenaga kerja 4) Mendukung usaha meningkatkan kualitas produk dan jasa 5) Memberikan dukungan fleksibilitas untuk menyesuaikan penataan sistem dengan kondisi perubahan
Faktor internal yang memiliki kerentanan utama, antara lain operational procedure, daya dukung fasilitas,dan sosialisasi dan komunikasi penanganan masalah & perubahan. 3.3.4. Perumusan strategi Setelah melalui analisis rantai nilai, maka didapatkan bahwa keunggulan bersaing utama PT. Coca-Cola Amatil adalah pada aktivitas manajemen persediaan dan yang menjadi kelemahan utama adalah aktivitas transportasi. Setelah itu, dilakukan analisis lebih lanjut pada aktivitas transportasi dan diperoleh kerentanan utama penyebab kekurangan pada aktivitas transportasi, sehingga dapat dibuat perumusan strategi berdasarkan kondisi lapang dan dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Operational procedur yang disusun untuk aktivitas dokumentasi muatan, penjadwalan pengiriman, pemilihan layanan pengangkutan dan pengiriman ke DC,AMC, MFS dan Other Unit, dinilai kurang sesuai lagi atau memungkinkan terdapat kekurangan. Menurut Suzaki (1991), standarisasi sangat diperlukan untuk menentukan arah perbaikan kinerja. Untuk memperbaiki kinerja produksi diperlukan standar prosedur kerja atau standard of operation procedures (SOP). Sehingga perumusan strategi yang muncul yaitu mengevaluasi kembali tiap prosedur pelaksanaan pada masing-masing aktivitas yang kurang sesuai, dengan cara (Puspita, 2009) : a. Memeriksa apakah pelaksanaan prosedur operasional yang ditetapkan sudah sesuai dengan kondisi dan sumber daya di lapang. b. Mengidentifikasi poin-poin prosedur operasi pada ketiga aktivitas terkait di atas, yang rentan terhadap pengiriman produk dengan mengumpulkan data-data permasalahan yang muncul selama ini.
251
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 (1991) yang menyebutkan bahwa salah satu strategi yang dapat digunakan untuk meraih dan meningkatkan kepuasan pelanggan adalah strategi penanganan keluhan yang efisien.
b. Pemaksimalan potensi distribution center dalam hal penyimpanan produk. Sehingga dimungkinkan melakukan penimbunan produk sehingga tidak terjadi kekurangan produk pada distribution center pada saat permintaan meningkat maupun kelebihan produk pada gudang pabrik. Sebagai instrumen kebijakan perusahaan menurut Ferdinand (2000), kebijakan distribusi dapat digunakan untuk memanajemeni persaingan dibawah asumsi bahwa semakin tinggi intensitas distribusi diterapkan, akan semakin kokoh kekuatan yang dimiliki dan semakin besar kemungkinan bahwa barang atau jasa yang ditawarkan dapat dijual pada pasar target tertentu. c. Pemberian penalti bagi transporter yang tidak sesuai dengan standar yang telah ditentukan perusahaan. Bentuk penalti disesuaikan dengan kebijakan perusahaan. 3. Sosialisasi dan komunikasi penanganan masalah dan perubahan pada aktivitas dokumentasi muatan, penjadwalan pengiriman, pemuatan produk jadi, pengiriman ke SC, AMC, MFS, Other Unit dinilai kurang baik, sehingga perumusan strategi perbaikannya adalah : a. Adanya komnunikasi timbal balik antara transporter dengan perusahaan dalam hal ketepatan pengiriman. Boorom, Goolsby dan Ramsay (1998) mengatakan bahwa komunikasi yang baik akan berpengaruh pada tingkat keterlibatan dan adaptabilitas kedua belah pihak, yang pada gilirannya akan berpengaruh pada penjualan. b. Perusahaan dapat menetapkan strategi person incharge/ layanan satu pintu dalam penanganan masalah dengan transporter. Sehingga diharapkan adanya pengumpulan informasi pada satu titik dan diharapkan masalah dapat terselesaikan dengan cepat. Hal ini sesuai dengan pendapat Schnaars
4. KESIMPULAN 4.1. Kesimpulan Hasil analisis rantai nilai pada Manajemen Logistik PT. CCAI Plant Jawa Timur, menunjukkan bahwa manajemen persediaan dengan bobot 0,500 sebagai keunggulan utama. Kemudian dilanjutkan oleh aktivitas aliran informasi dan pemrosesan order dengan bobot 0,372, aktivitas perencanaan permintaan dan operasi dengan bobot 0,364 dan aktivitas transportasi dengan bbobot 0,277 yang merupakan kelemahan utama. Strategi perbaikan untuk meningkatkan kinerja aktivitas logistik sekaligus menjadi dasar perumusan strategi peningkatan kepuasan konsumen PT. CCAI Plant Jawa Timur disusun dari aktivitas yang menjadi kelemahan utama yaitu pada aktivitas transportasi. Hasil dari perbandingan kelemahan utama dengan standar keunggulan internal dan Key Performance Index menunjukkan faktor pada aktivitas yang perlu diperbaiki antara lain, operational procedur, daya dukung fasilitas serta faktor sosialisasi dan komunikasi penanganan masalah dan perubahan. 4.2. Saran Pada proses perumusan strategi hanya berdasarkan pada satu jenis produk yaitu Coca-Cola kemasan RGB, sehingga akan lebih akurat jika dalam pengkajiannya dilakukan dengan melibatkan seluruh produk dalam perhitungannya sehingga dapat menggambarkan secara utuh aktivitas pada manajemen logistik perusahaan. 5. DAFTAR PUSTAKA Bartolacci, Francesca. Activity Based Costing in the Supply Chain Logistic
252
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 Activities Cost Analysis. 2004. Departement of Institute Economic of Financial. Universita di Macerota. Macerota Boorom, Michael L, Jerry R. Goolsby and Rosemary P. Ramsey. 1998. Relational Communication Traits and Their Effect on Adaptiveness and Sales Performance.Journal of The Academy of Marketing Science. vol. 26, p. 16-20 Ferdinand, Augusty. 2000. Manajemen Pemasaran: Sebuah Pendekatan Stratejik, Research Paper Series. Magister Managemen Undip. Semarang Haming, Murdifin dan Mahfud Nurnajamuddin. 2007. Manajemen Produksi Modern. Bumi Aksara. Jakarta Hansemark, O. C. and M. Albinson. 2004. Customer Satisfaction and Retention: The Experiences of Individual Employees. Journal of Managing Service Quality Vol 14, p. 40- 57 Mirdah, A. dan A.I. Tenaya. 2000. Upaya Menghadapi Perubahan Lingkungan Strategis dengan Membangun dan Meraih Competitive Advantage Melalui Value Chain Analysis dan Kemitraan. Jurnal Akuntansi dan Bisnis Vol 3, p. 5-12 Patterson, Paul. G., L. W. Johnson, and Richard. A. Spreng. 1997. Modeling the determinants of customer satisfaction for business-to-business professional services. Journal of Academy of Marketing Sciencevol.25, p. 4-17 Pierce, J. A. dan R. B. Robinson Jr. 1997. Manajemen Strategik : Formulasi, Implementasi dan Pengendalian. Diterjemahkan oleh Agus Maulana. Binarupa Aksara. Jakarta Porter, Michael, E. 1998. Competitive Strategy. The Free Press. New York
Puspita, Agnes. 2009. Analisis Rantai Nilai pada Quality Management System Produk Susu Bubuk Sebagai Dasar Perumusan Strategi Keunggulan Bersaing. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Malang Suzaki, Kiyoshi. 1991. Tantangan Industri Manufaktur. Penerapan Perbaikan Berkesinambungan. Saduran oleh Kristianto Jahja. Productivity & Management Consultant. Jakarta
253
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 SIMULASI MODEL RANTAI PASOKAN DALAM AGROINDUSTRI MINYAK KELAPA Banun Diyah Probowati1, Yandra Arkeman2, Djumali Mangunwidjaja2 1 Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Universitas Trunojoyo, Jawa Timur 2) Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian, Bogor, Jawa Barat
Abstrak Model dinamis rantai pasokan yang dirancang ini merupakan abstraksi aliran material dari pemasok yang terdiri dari petani dan pedagang pengumpul yang dialirkan ke agroindustri kelapa selanjutnya material tersebut diolah menjadi produk yang akan didistribusikan ke konsumen. Jaringan pendistribusian dan pengelolaan aliran material akan ditunjukkan dalam suatu model dinamis rantai pasokan. Karakteristik ini menunjukkan bahwa secara skematik terjadi hubungan yang saling mempengaruhi dari pemasok, agroindustri hingga ke konsumen di pasar domestik maupun ekspor. Model dirancang dengan software Stella 9.14 dan diharapkan dapat mendeskripsikan aliran bahan baku dari kelapa butiran hingga menjadi minyak kelapa yang didistribusikan di pasar domestik maupun ekspor.
Kata kunci : Simulasi, model dinamis, minyak kelapa kamba sehingga produk pertanian sulit untuk ditangani (Austin 1992; Brown 1994), serta mengurangi ketidakpastian dalam bisnis. Keseluruhan faktor tersebut menjadi bahan pertimbangan dalam desain dan analisis rantai pasokan produk pertanian sehingga manajemen rantai pasok produk pertanian menjadi lebih kompleks daripada manajemen rantai pada umumnya. Sistem pasokan bahan baku dalam suatu agroindustri merupakan salah satu faktor yang penting untuk menjaga kelangsungan proses produksi. Sistem pasokan ini merupakan integrasi kegiatan dari pengadaan pasokan bahan baku hingga menjadi produk yang didistribusikan ke konsumen. Sistem pasokan ini melibatkan beberapa pihak yang memiliki keterkaitan. Permintaan bahan baku untuk agroindustri kelapa kemungkinan memiliki persyaratan spesifik yang berkaitan dengan sumber asal pasokan yang diinginkan. Oleh sebab itu akan terjadi aliran permintaan dan aliran pasokan bahan baku. Menurut Evans dan Danks (1998),
1. PENDAHULUAN Agroindustri memiliki sejumlah permasalahan kompleks yang harus diselesaikan mulai dari pemasokan bahan baku, proses penciptaan nilai tambah hingga dalam mendistribusikan produknya ke konsumen. Rantai pasokan untuk produk pertanian yang diproses akan melibatkan beberapa pelaku, yaitu petani atau perkebunan, pengolah atau pabrik, dan konsumen. Beberapa perusahaan telah berhasil meningkatkan efisiensi produksi serta kualitas produk dengan cara melakukan desain atau merancang ulang seluruh rantai pasokannya (Wouda, 2001). Manajemen rantai pasokan produk pertanian berbeda dengan manajemen rantai pasokan untuk produk manufaktur lainnya karena beberapa karakteristik yang khas yaitu (1) produk pertanian bersifat mudah rusak, (2) proses penanaman, pertumbuhan dan pemanenan tergantung pada iklim dan musim (3) hasil panen memiliki bentuk dan ukuran yang bervariasi, (4) produk pertanian bersifat
254
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 sebagai simulasi model adalah Kabupaten Ciamis Propinsi Jawa Barat.
faktor yang mempengaruhi manajemen rantai pasokan adalah : strategi sumber pengelolaan permintaan dan penawaran serta integrasi pasokan yang akan membentuk struktur dan variabilitas yang berciri sesuai dengan aliran bahan baku. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan simulasi model rantai pasokan dalam agroindustri kelapa dengan produk prospektif minyak kelapa dengan jaringan yang lebih efisien. Model rantai pasokan didesain agar terjadi integrasi yang sinergis antara petani pemasok bahan baku kelapa dan agroindustri pengolahan kelapa.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Mekanisme model rantai pasokan (ideal) Unit pengolahan minyak kelapa berperan penting dalam sistem rantai pasokan ini karena merupakan produk pilihan yang utama. Kemampuan produksi unit pengolahan ini memiliki keterkaitan terhadap kemampuan produksi unit yang lain apabila diusahakan secara terpadu. Kemampuan unit pengolahan menghasilkan minyak kelapa, terkait dengan kemampuan unit pengolahan lain dalam berproduksi. Oleh sebab itu sistem pemasokan bahan baku merupakan kunci dari rantai pasokan untuk agroindustri kelapa ini. Kebutuhan kelapa butiran di suatu agroindustri kelapa terpadu dapat diperkirakan dengan suatu simulasi dengan merancang modelnya terlebih dahulu. Asumsi yang dilakukan adalah : 1. Pemenuhan kebutuhan bahan baku dari kelapa rakyat dengan memanfaatkan potensi pemenuhan bahan baku dari kemampuan produksi kelapa rakyat 2. Persediaan dipertimbangkan hanya pada persediaan bahan baku dan persediaan produk sebelum didistribusikan Model dinamis rantai pasokan agroindustri kelapa terpadu diterjemahkan ke dalam diagram alir model simulasi yang terdiri dari stock – flow. Akumulasi atau stock merupakan keadaan sistem dan sebagai pembangkit informasi, di mana aksi dan keputusan didasarkan pada stock tersebut.
2. PENDEKATAN PEMODELAN Penelitian dilakukan menggunakan pendekatan tujuan dalam memahami manajemen rantai pasokan. Identifikasi permasalahan digunakan untuk memetakan hubungan sebab akibat dengan melihat berbagai hal yang mempengaruhi struktur dalam jaringan rantai pasokan yang terkait dengan hal-hal yang mempengaruhi peningkatan biaya rantai pasokan. Simulasi model dilakukan untuk memperoleh total biaya rantai pasokan yang minimal dilakukan dengan menggunakan softwareStella. Analisis deskriptif / kualitatif pada sistem pasokan bahan baku dan permintaan bahan baku diperlukan untuk melengkapi model ini. Simulasi dilakukan dengan beberapa asumsi untuk meminimisasi biaya rantai pasokan agroindustri kelapa terpadu yang dirancang yang terdiri dari biaya transportasi, biaya persediaan, biaya distribusi. Model yang didesain selanjutnya dapat diimplementasikan sehingga dapat memberikan manfaat untuk pengembangan agroindustri kelapa terpadu. Model yang dirancang merupakan abstraksi pasokan yang dimulai dari kedatangan buah kelapa butir, pengangkutan, sampai dengan pengolahan produk hingga didistribusikan ke konsumen. Wilayah yang digunakan
3.2. Formulasi model Formulasi model dinamik rantai pasokan agroindustri kelapa terpadu ini dimulai dari jaringan pemasok dalam sub model pasokan bahan baku berupa kelapa butiran. Model ditunjukkan dengan performance berupa total biaya rantai pasokan yang minimal. Abtraksi aliran
255
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 panen petani kelapa terutama dalam suatu wilayah sentra penghasil kelapa. Ketersediaan kelapa butiran merupakan persentase penyediaan kelapa butiran untuk keperluan produksi agroindustri kelapa terpadu. Prosentase kebutuhan kelapa untuk industri dari jumlah produksi kelapa (a%) yang dihasilkan oleh petani di suatu wilayah observasi. Daging buah kelapa merupakan bahan baku dalam unit pengolahan minyak kelapa. Daging buah kelapa dalam memenuhi kebutuhan bahan baku untuk unit pengolah ini dapat dipenuhi dari petani kelapa yang langsung memasok bahan baku buah kelapa butiran ke unit pengolah. Kebutuhan kelapa untuk unit pengolah minyak kelapa (KDi) merupakan konsumsi kelapa butiran berdasarkan kapasitas produksi unit pengolah yang dirancang. Penentuan kapasitas unit pengolah dilakukan berdasarkan dua hal yaitu : 1. pendugaan permintaan pasar 2. pertimbangan potensi kebun kelapa Unit pengolahan minyak kelapa dengan kapasitas kecil, yang merupakan usaha skala rumah tangga yaitu sekitar 200 kg setiap hari yang diperoleh dari 2000 butir kelapa setiap hari atau setara dengan 700.000 butir per tahun. Kebutuhan daging buah kelapa untuk unit pengolah minyak kelapa didasarkan dari prosentase komponen daging kelapa dalam setiap butir kelapa yaitu sebesar 28%.
bahan dari pemasok ke agroindustri hingga ke konsumen untuk pasar domestik maupun pasar ekspor dapat dilihat pada kerangka konseptual penelitian. Aliran pasokan bahan baku dimulai dari kebun kelapa yang diidentifikasi sebagai kebun kelapa rakyat dengan pasokan bahan baku berupa kelapa dalam. Pasokan buah kelapa butiran ini selanjutnya didistribusikan ke agroindustri melalui transportasi sehingga menjadi persediaan buah kelapa butiran. Abstraksi ini dilakukan pengendalian biaya persediaan dan pasokan bahan baku, sebagai salah satu komponen penyusun biaya rantai pasokan. Abstraksi aliran pasokan untuk konsumen pasar domestik/ekspor ditunjukkan dengan aliran persediaan produk yang ditransportasikan kepada konsumen pasar domestik/ekspor. Aliran produk tersebut merupakan abstraksi model dengan melakukan pengendalian biaya distribusi. Abstraksi aliran bahan baku, menjadi produk yang didistribusikan ke konsumen tersebut selanjutnya menunjukkan suatu model yang mempertimbangkan total biaya rantai pasokan. Indikator dari model ini adalah total biaya rantai pasokan yang minimal. 3.3. Ketersediaan pasokan kelapa Penyediaan kelapa butiran didasarkan pada perhitungan laju penyediaan kelapa butiran sebanyak 25% dengan persediaan kelapa butiran 12.600.000 kg. Jumlah penyediaan kelapa butiran ini didasarkan pada perhitungan hasil panen di daerah sentra penghasil kelapa. Penyediaan kelapa dalam suatu periode dihitung berdasarkan jumlah total dari nilai produksi kelapa rakyat dengan laju penyediaan 25%. Kebutuhan agroindustri kelapa terpadu didasarkan pada konsumsi kelapa butiran untuk agroindustri. Laju konsumsi kelapa butiran ini sebanyak 9%. Nilai ini didasari pertimbangan bahwa agroindustri kelapa terpadu bertujuan untuk mengolah hasil
3.4. Identifikasi variabel keputusan Keputusan dalam rantai pasokan ini meliputi keputusan-keputusan berupa: 1. Jumlah pasokan buah kelapa butiran yang akan disalurkan kepada unit agroindustri kelapa 2. Jumlah pasokan daging kelapa yang akan diolah 3. Jumlah persediaan bahan baku buah kelapa butiran sebelum diproses yang terdapat di unit pengolah 4. Jumlah persediaan produk minyak kelapa yang terdapat di unit pengolah
256
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 dan formulasi model yang dirumuskan. Model yang dirancang, diharapkan dapat memberikan gambaran proses yang terjadi dalam sistem sehingga dapat menyerupai sistem nyata. Beberapa informasi yang digunakan sebagai input untuk stock flow diagram dalam pemodelan rantai pasokan ini dengan asumsi yaitu:
5. Jumlah produk minyak kelapa yang akan disalurkan dari unit pengolah ke permintaan 3.5. Penentuan kapasitas produksi Kapasitas Produksi dari masingmasing unit produksi ini cukup kecil, yaitu dengan kondisi unit pengolah minyak kelapa unit kecil dengan kapasitas produksi 200 kg minyak kelapa per hari diperoleh dari 2.000 butir kelapa per hari atau setara dengan 700.000 butir per tahun. Kapasitas produksi dalam satu tahun dengan 20 hari kerja akan menghasilkan minyak kelapa 48.000 kg. Penentuan kapasitas ini didasarkan pada penilaian kelayakan investasi yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Kendala dalam perancangan model rantai pasokan ini adalah ketersediaan pasokan bahan baku, kapasitas pemasok bahan baku, kapasitas unit pengolah/agroindustri, jumlah persediaan dan kebutuhan tiap permintaan. Kendala-kendala ini diformulasikan sebagai berikut : 1. Kendala kapasitas pasokan bahan baku kelapa butiran 2. Kendala kapasitas pasokan daging kelapa butiran 3. Kendala kapasitas produksi unit pengolahan minyak kelapa 4. Kendala inventori unit pengolahan minyak kelapa berupa persediaan minyak kelapa hasil produksi yang disimpan di dalam gudang sebelum didistribusikan dan sesudah didistribusikan. 5. Kendala kebutuhan permintaan produk berupa minyak kelapa berupa permintaan produk akhir minyak kelapa yang akan disalurkan ke permintaan
1 2 3 4 5 6
Persediaan kelapa butiran Konversi daging kelapa dari kelapa butiran Rerata berat butiran kelapa Persentase distribusi domestik Minyak kelapa Persentase distribusi ekspor Minyak kelapa Rendemen minyak kelapa
12.600.000 28%
Kg
1,8 40%
kg/butir
60% 12%
Informasi biaya dalam pemodelan sebagai data input biaya sebagai berikut : 1. Biaya pembelian per butir kelapa sebesar Rp 750,00 2. Biaya penyimpanan minyak kelapa sebesar Rp 500,00 per hari per kg 3. Biaya distribusi domestik sebesar Rp 2.000,00 per hari per kg 4. Biaya distribusi ekspor sebesar Rp 3.000,00 per hari per kg.
3.7. Simulasi model dengan Software Stella Model yang dirancang mengikuti menu-menu yang terdapat dalam software stella. Stella yang digunakan adalah Stella 9.14. Pembuatan stock flow diagram untuk model rantai pasokan dengan mensimulasikan beberapa kondisi dan biaya agar diperoleh biaya total rantai pasokan yang optimal dapat digambarkan seperti pada gambar stock flow diagram di bawah ini. Rancangan ini cukup sederhana tanpa menggunakan aplikasi yang variatif namun setidaknya cukup menjelaskan gambaran kondisi yang diinginkan. Output hasil simulasi rancangan model dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
3.6. Input-input dalam pemodelan sistem Pemodelan sistem ini dilakukan dengan menggunakan software stella 9.14 dengan didasarkan pada kondisi mekanisme sistem ideal yang diinginkan
257
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 cadangan persediaan kelapa butiran sebanyak 12.600.000 kg untuk kebutuhan pasokan sebagai inisiasi awal untuk input simulasi model. Hasil simulasi menunjukkan dengan laju penyediaan kelapa butiran sebesar 0.25% hingga tahun ke 12 akan terdapat total persediaan kelapa butiran sebanyak 74.793.940,73 kg di wilayah Kabupaten Ciamis dengan laju konsumsi kelapa butiran untuk kebutuhan industri sebanyak 0.9%. Prosentase konsumsi kelapa butiran untuk kebutuhan industi ini ditunjukkan dengan gambar 3 di bawah ini. Gambaran konsumsi kelapa butiran ini menunjukkan konsumsi kelapa butiran terdistribusi untuk tiga pemanfaatan yaitu untuk dijual langsung ke pasar-pasar tradisional sebanyak 89%, untuk konsumsi industri 9%, dan untuk konsumen rumah tangga sebanyak 2%. Data dari Dinas Pertanian Kabupaten Ciamis menunjukkan sebagian besar kelapa (89%) dijual dalam bentuk kelapa butiran ke wilayah Bandung, Jakarta, Cirebon dan beberapa wilayah di Jawa Tengah. Konsumsi lokal untuk rumah tangga di Kabupaten Ciamis sebanyak 2%, dan yang diolah oleh petani dan perusahaan sebanyak 9%. Hal ini ditunjukkan pada gambar di bawah ini ;
Ketersediaan Kelapa Butiran
Lj Penyediaan
Pers Klp Btr
Peny Klp Btr
Lj Konsumsi
Konsumsi Klp Btr
Gambar 1. Stock Flow Diagram Sub Model Ketersediaan Kelapa Butiran Desain model ini hanya diasumsikan untuk kelapa dalam saja. Hal ini mengingat jenis kelapa dalam inilah yang banyak diusahakan oleh petani di wilayah Kabupaten Ciamis. Jenis kelapa hibrida sangat jarang yang diusahakan untuk pasokan industri, namun diusahakan untuk kebutuhan rumah tangga saja. Output dari simulasi dengan menggunakan Stella dapat menggambarkan suatu ketersediaan pasokan kelapa di tingkat petani di Kabupaten Ciamis. Secara rata-rata kebutuhan bahan baku kelapa butiran cukup dengan mengandalkan pasokan dari satu kabupaten saja. 1: Peny Klp Btr 1: 2: 3:
2: Pers Klp Btr
3: Konsumsi Klp Btr
18000000 80000000 7000000
3 1 1: 2: 3:
10575000 45000000 4000000
2
3 1 2
2
3
1 1: 2: 3: Page 1
3150000 10000000 1000000
2 1 0.00
3 3.00
6.00 Time
9.00 12.00 9:05 AM Fri, Feb 04, 2011
Industri 9%
Ketersediaan Bahan Baku
Rumah Tangga, 2%
Gambar 2. Grafik Hasil Simulasi Ketersediaan Kelapa Butiran
Dijual Langsung 89%
Gambar di atas menunjukkan hasil simulasi ketersediaan bahan baku kelapa butiran dengan input yang langsung dilakukan pada model yang dirancang melalui stock flow diagram yang dibuat. Secara numerik akan menunjukkan hasil yang cukup variatif dengan berbagai bilangan. Hasil ini seiring dengan nilai input numerik yang dimasukkan sesuai dengan input untuk perancangan model. Grafik hasil simulasi di atas menunjukkan nilai yang meningkat sejalan dengan laju penyediaan dan laju konsumsi. Peningkatan tersebut terjadi karena ada
Gambar 3. Konsumsi Kelapa Asumsi persediaan kelapa butiran sebanyak 12.600.000 kg kelapa butir tiap tahun. Oleh sebab itu secara-rata-rata setiap tahun terdapat persediaan kelapa butir 6.232.828 kg butir kelapa yang dapat dimanfaatkan untuk diproses menjadi aneka produk agroindustri kelapa terpadu. Hasil simulasi untuk konsumsi kelapa butiran ini digunakan sebagai dasar nilai untuk menghitung kebutuhan pasokan
258
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 kelapa butiran yang akan dikonversi menjadi daging kelapa sebagai bahan baku dalam agroindustri kelapa dengan output produk berupa minyak kelapa. Hal ini apabila dibandingkan dengan data produksi kelapa butiran di Kabupaten Ciamis tidak jauh berbeda. Data produksi kelapa butiran di Kabupaten Ciamis ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Data di atas menunjukkan bahwa rata-rata kebutuhan kelapa butiran untuk agroindustri kelapa terpadu di wilayah kabupaten Ciamis sejumlah 53723,33 ton. Jumlah ini merupakan jumlah yang cukup banyak dalam upaya memacu peningkatan produktivitas pertanian di wilayah tersebut. Kebutuhan kelapa butiran tersebut terutama untuk memenuhi permintaan unit pengolahan minyak kelapa. Stock flow diagram untuk bahan baku agroindustri menunjukkan aliran pasokan bahan baku kelapa butir yang akan dikonversi menjadi daging kelapa terlebih dahulu, selanjutnya by product yang dihasilkan akan dimanfaatkan sebagai input bahan baku untuk agroindustri yang lain. Hasil samping dari proses konversi kelapa butiran menjadi daging kelapa butiran ini berupa air kelapa, sabut dan tempurung. Hasil simulasi untuk bahan baku agroindustri yang dirancang dalam periode 12 tahun ke depan menunjukkan apabila terdapat pasokan kelapa butiran sebanyak 4.932.531,44 kg maka jumlah kelapa butiran yang akan dikonversi sebanyak 4.346.052,35 kg dan akan diperoleh bahan baku berupa daging kelapa butiran sebanyak 1.051.161,60 kg. Hasil simulasi ini dilakukan berdasarkan pasokan kelapa butiran sebanyak 85% dari nilai konsumsi kelapa butiran untuk industri dan persediaan bahan baku kelapa butiran untuk unit agroindustri sebanyak 730.000 kg dan proses konversi yang dilakukan dengan persediaan kelapa butiran yang tidak ikut dalam proses sebanyak 25%. Persediaan bahan baku ini agar proses produksi untuk unit agroindustri tetap berlangsung.
Tabel 1. Produksi Kelapa Dalam Kabupaten Ciamis Tahun
Produksi Kelapa Dalam (kg) 2001
19.480.000
2002
32.207.000
2003
36.771.000
2004
74.265.000
2005
74.678.000
2006
70.057.000
2007
64.325.000
2008
78.193.000
2009
77.606.553
Sumber : Disbun Jabar (2010)
Wilayah Kabupaten Ciamis merupakan wilayah penghasil kelapa terbanyak untuk propinsi Jawa Barat yaitu sebesar 79,011 ha dengan total produksi buah kelapa butir sebanyak 35.028 ton. Potensi agroindustri pengolahan kelapa di Kabupaten Ciamis ditunjukkan pada tabel di bawah ini : Tabel 2. Potensi Agroindustri Pengolahan Kelapa Jenis
Unit
Jumlah Produksi (ton/tahun)
Bahan Baku
Gula kelapa
7933
27,560
137,800,000
Kopra Minyak kelapa Nata de Coco Serat sabut
92
1,435
7,175,000
53
3,899
38,990,000
23
969
581,400
8
1,490
13,244,000
Galendo
7
11
220,000
liter nira butir kelapa butir kelapa liter air kelapa sabut butir kelapa
259
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 Bahan Baku Agroindustri
Dgg Klp
N Kon Dgg Klp
Pasokan Klp Butir
Konv Dgg Klp
Persediaan BB Konsumsi Klp Btr Proses Konversi Klp Btr
N Konv Sabut
Sabut
N Konv Air Klp Air Klp
Konv Sabut N Konv Temprng
Tmprng
Konv Air Konv Tmprng
Gambar 4. Stock Flow Diagram Bahan Baku Agroindustri
Agroindustri M iny ak Kelap a Dgg Klp
Proses M yk Klp
M inyak Klp ~
Input p roses
Output proses
Rendemen M yk Klp
Gambar 5. Stock Flow Diagram sebanyak 72.000 kg per tahun. Gambar 5 di bawah ini menunjukkan stock flowdiagram untuk agroindustri minyak kelapa ini. Daging kelapa sebagai hasil proses konversi merupakan input yang dapat menghasilkan minyak kelapa ini. Sub model ketersediaan produk dirancang agar dapat diketahui berapa jumlah persediaan produk yang akan didistribusikan untuk memenuhi permintaan domestik dan ekspor sehingga akan diketahui berapa banyak produk yang akan didistribusikan. Hasil simulasi
Agroindustri Minyak Kelapa Agroindustri ini akan menghasilkan minyak kelapa sebanyak 633.128,46 kg pada rendemen minyak kelapa sebanyak 12%. Hal ini dapat dicapai dalam simulasi dinamik dengan periode waktu selama 12 tahun. Output produk minyak kelapa tersebut akan dapat dipenuhi oleh unit pengolahan minyak kelapa dalam skala usaha kecil sebanyak 8 unit. Dengan rata-rata masing-masing unit memiliki kemampuan menghasilkan
260
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 dinamik menunjukkan dengan permintaan domestik sebanyak 40% dalam periode waktu 12 tahun yang akan datang diperoleh persediaan domestik sebanyak 215.565,55 kg secara rata-rata yang dapat didistribusikan. Hasil pasokan ini diperoleh dari input sub model berupa output minyak kelapa dari unit pengolahan
minyak kelapa sebanyak 633.128,46 kg. Persediaan minyak kelapa untuk permintaan domestik ini dapat dipenuhi dari 3 unit pengolahan minyak kelapa dalam skala usaha kecil. Gambar 30 menunjukkan stock flow diagram dari model rancangan untuk ketersediaan produk minyak kelapa domestik.
Ketersediaan Produk M iny ak Kelap a Domestik Minyak Klp
Inv Prod M y k Klp Dom
Pasokan Prod M y k Klp Dom
Pers Dom M y k Klp
Dist Prod M y k Klp Dom
Persen Dist Dom M y k Klp
Gambar 6. Stock Flow Diagram Ketersediaan Produk Minyak Kelapa Domestik Hasil simulasi dinamik menunjukkan dengan permintaan ekspor minyak kelapa sebanyak 60% dalam periode waktu 12 tahun yang akan datang diperoleh persediaan ekspor sebanyak 323.348,32 kg secara rata-rata yang dapat didistribusikan. Hasil pasokan ini diperoleh dari input sub model berupa output minyak kelapa dari unit pengolahan
minyak kelapa sebanyak 633.128,46 kg. Persediaan minyak kelapa untuk permintaan domestik ini dapat dipenuhi dari 5 unit pengolahan minyak kelapa dalam skala usaha kecil. Gambar 31 menunjukkan stock flow diagram dari model rancangan untuk ketersediaan produk minyak kelapa ekspor.
Ketersediaan Produk M inyak Kelapa Ekspor
Inv Prod M yk Klp Eksp
Pasokan Prod M yk Klp EKsp
Pers Eksp M yk Klp
Dist Prod M yk Klp Eksp
Persen Dist Eksp M yk Klp Minyak Klp
Gambar 7. Stock Flow Diagram Ketersediaan Produk Minyak Kelapa Ekspor
kg secara rata-rata yang dapat didistribusikan. Hasil pasokan ini diperoleh dari input sub model berupa output nata de coco dari unit pengolahan nata de coco sebanyak 429.333,08 kg.
Hasil simulasi dinamik untuk nata de coco menunjukkan dengan permintaan domestik sebanyak 80% dalam periode waktu 12 tahun yang akan datang diperoleh persediaan domestik sebanyak 299.570,96
261
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 dengan asumsi yang dilakukan. Model dianggap sahih karena mengandung beberapa elemen dari model biaya rantai pasokan. Validasi bertujuan untuk memperoleh kecocokan kondisi nyata dengan model yang dirancang. Validasi model dicoba dilakukan dengan menggunakan analisis sensitivitas. Analisis sensitivitas dilakukan pada unit pengolahan minyak kelapa karena ketersediaan bahan baku untuk unit pengolahan yang lain tergantung pada penyediaan bahan baku dari unit pengolahan ini. Hasil analisis sensitivitas ini merupakan salah satu cara validasi untuk model yang dirancang. Kenaikan biaya total rantai pasokan sebanyak 1% juga terjadi seiring dengan kenaikan rendemen ini menunjukkan bahwa unit pengolahan minyak kelapa sangat besar pengaruhnya dalam pengembangan agroindustri kelapa terpadu.
Persediaan nata de coco untuk permintaan domestik ini dapat dipenuhi dari 25 unit pengolahan nata de coco dalam skala usaha kecil. Gambar 31 menunjukkan stock flow diagram dari model rancangan untuk ketersediaan produk nata de coco domestik. Hasil tersebut menunjukkan bahwa apabila agroindustri kelapa terpadu ini diusahakan di wilayah sentra penghasil yang lain dengan asumsi input masukan kelapa butiran yang sama akan memperoleh hasil produk sejumlah hasil output seperti yang nampak pada hasil simulasi. Hal ini dapat digunakan sebagai dasar pengambil kebijakan ataupun para penyusun strategi dalam mengembangkan agroindustri kelapa terpadu. Produk prospektif yang dipilih dapat bervariasi sejalan dengan keinginan para pakar dengan melihat berbagai potensi pasar dan keterkaitan dengan produk hilir yang lain. Namun, dari sisi kemudahan aplikasi teknologi di masyarakat, produk-produk olahan primer ini cukup untuk dikembangkan lebih lanjut dalam agroindustri kelapa terpadu. Agroindustri kelapa terpadu tidak hanya milik pengusaha besar namun dapat dimiliki oleh petani yang terhimpun dalam suatu wadah kelembagaan maupun kemitraan yang mungkin saja tidak terlibat dalam manajemen pengusahaan namun keterlibatan dalam pengusahaan bahan baku.
4. KESIMPULAN Kesimpulan dari simulasi model ini adalah bahan baku agroindustri menunjukkan apabila terdapat pasokan kelapa butiran sebanyak 4.932.531,44 kg maka jumlah kelapa butiran yang akan dikonversi sebanyak 4.346.052,35 kg dan akan diperoleh bahan baku berupa daging kelapa butiran sebanyak 1.051.161,60 kg. Agroindustri kelapa terpadu akan menghasilkan minyak kelapa sebanyak 633.128,46 kg pada rendemen minyak kelapa sebanyak 12%. Output produk minyak kelapa tersebut akan dapat dipenuhi oleh unit pengolahan minyak kelapa dalam skala usaha kecil sebanyak 8 unit. Hasil simulasi dinamik dari distribusi produk menunjukkan bahwa jumlah produk yang didistribusikan untuk memenuhi permintaan domestik minyak kelapa sebanyak 195.508,99 kg dan jumlah produk yang didistribusikan untuk memenuhi permintaan ekspor minyak kelapa sebanyak 330.513,49 kg. Jumlah produk yang didistribusikan dari target capaian persentase permintaan domestik minyak kelapa sebanyak 90,6% dan untuk
3.8. Verfikasi dan validasi model simulasi Verifikasi dilakukan dengan menelusuri keseluruhan stock flow yang dirancang. Jika seluruh basis program dapat dijalankan sesuai dengan logika maka desain model ini dianggap berhasil. Pemeriksaan terhadap desain model dilakukan dengan melihat output keluaran. Jika keluaran mengindikasikan suatu kesalahan logika maka perlu segera dilakukan perbaikan. Proses verifikasi dianggap telah dilakukan, karena desain model rancangan sudah berjalan sesuai
262
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 permintaan ekspor bahkan lebih dari 100%. Jumlah produk yang didistribusikan dapat memenuhi target capaian persentase permintaan ekspor minyak kelapa yang dipenuhi melalui penambahan 2% dari nilai persediaan produk minyak kelapa. 5. DAFTAR PUSTAKA Austin JE. 1981. Agroindustrial Project Analysis. Maryland: The John Hopkins University Press Brown JG. 1994. Agroindustrial Investment and Operations. Washington: The World Bank Chang Y , Makatsoris H. 2000. Supply Chain Modeling Using Simulation. Int. J. of Simulation Vol 2 No.1 : 2430. Van der Vorst JG, Tromp S, Van der Zee DJ. 2005. A Simulation Environment For The Redesign of Food Supply Chain Networks : Modelling Quality Controlled Logistics. Proceedings of the 2005 Winter Simulation Conference. Page : 1658-1666. Wouda FHE, Van Beek P, Van der Vorst JGAJ, Tacke H. 2001. An Application of Mixed Integer Linier Programming Models on Redesign of the Supply Network of Nutricia Dairy & Drink Group in Hungary, OR Spectrum. 24 : 449-465. Yandra A, Marimin, Jamaran I., Eriyatno, Tamura H. 2007. an Integration of Multi-Objective Genetic Algorthm and Fuzzy Logic For Optimization of Agroindustrial Supply Chain Design. Proceeding of the 51st Annual Meeting of the ISSS Yoshizumi T, Okano H. 2007. A Simulation-Based Algorithm For Supply Chain. Proceedings of the 2007 Winter Simulation Conference. Page : 1924-1931.
263
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
APLIKASI LEAST COST METHOD DALAM OPTIMASI JARINGAN DISTRIBUSI RASKIN (STUDI KASUS PADA PERUM BULOG SUB DIVISI REGIONAL MALANG JAWA TIMUR) Application Of Least Cost Method In Raskin Distribution Network (Case Study At Perum Bulog Sub Divisi Regional Malang Jawa Timur) Wike Agustin P Dania*), Isti Purwaningsih*), Deandra Kusmadewi P *) *) Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur
Abstract Distribution network is one of the supply chain management aspects that need to be considered to minimize the total cost. One of the function of Perum Bulog sub division Malang is to distribute rice for poor people in Kota Malang, Kota Batu, and Kabupaten Malang. Every year, they need to spend distribution cost that fluctuated and has increased trend. It causes unstable RASKIN distribution and poor achievement of the target. Least cost method as one of the transportation methods can be applied for allocating resources to certain destination with lowest cost. Nowadays, sub division Malang has 10 warehouses that need to distribute into 472 kelurahan. Furthermore, for distribution optimalization test, MODI method (modified distribution) is used. From the research, comparing to previous distribution cost, it can be seen that distribution cost for Kota Malang, Kota Batu, Kabupaten Malang 1, Kabupaten Malang 2, and Kabupaten Malang 3 reduce up to 15.97%, 11.2%, 17.45%, 13.89%, and 13.5% respectively.
Key words: Supply chain management, distribution network, transportation method, least cost method
untuk rakyat miskin (raskin). Pendistribusian beras untuk rakyat miskin oleh Bulog dilakukan kurang lebih sebulan sekali. Salah satu sub divisi Bulog yang ada di propinsi Jawa Timur adalah sub divisi Bulog Malang, dimana sub divisi ini memiliki lima wilayah kerja yang meliputi Kota Malang, Kota Batu, Kabupaten Malang 1, Kabupaten malang 2, dan Kabupaten Malang 3. Sumber pasokan untuk kelima wilayah tersebut berasal dari dua gudang yaitu gudang Gadang dan gudang Kebonagung. Kedua gudang ini menyalurkan beras ke kelurahan di lima
1. PENDAHULUAN Beras merupakan salah satu makanan pokok rakyat Indonesia. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk Indonesia, kebutuhan beras juga meningkat. Secara umum, tugas lembaga Bulog adalah untuk menyediakan pangan bagi masyarakat pada harga yang terjangkau di seluruh daerah serta mengendalikan harga pangan di tingkat produsen dan konsumen. Menurut Inpres Nomor 13 Tahun 2005, ada tiga tugas pokok Perum Bulog dalam tatanan kebijakan nasional. Salah satunya adalah menyediakan dan menyalurkan beras
264
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 3. Tujuan pendistribusian hanya sampai pada kelurahan dari tiap-tiap gudang di kota Malang. 4. Produk yang diteliti hanya sebatas beras untuk rakyat miskin. 5. Biaya distribusi terdiri dari biaya bahan bakar, biaya simpan, biaya muat dan biaya sopir.
wilayah kerja yang areanya sudah ditentukan oleh perum Bulog, sehingga diperlukan sistem pendistribusian yang baik untuk meminimasi biaya dan beras bisa terdistribusi tepat pada waktunya. Chopra dan Meindl (2010) menyatakan bahwa perubahan saluran distribusi dapat mempengaruhi biaya supply chain yang meliputi biaya persediaan, biaya transportasi, biaya penanganan bahan, dan biaya fasilitas distribusi. Salah satu masalah yang terpenting dalam saluran distribusi adalah bagaimana mengalokasikan sumber daya sesuai kebutuhan dengan biaya yang paling minimal. Model transportasi merupakan salah satu metode yang dipakai dalam pengalokasian sumber daya kepada sejumlah tujuan untuk meminimasi biaya distribusi. Salah satu bentuk model transportasi adalah least cost method. Martinson (2011) menyatakan bahwa least cost method merupakan metode biaya terendah dengan mencari solusi terbaik berdasarkan rute termurah dengan dimulai dari sel yang memiliki biaya per unit paling rendah. Selanjutnya, untuk uji optimalisasi dilakukan dengan menggunakan modified distribution method (MODI). Dalam MODI, jalur yang dipilih adalah jalur yang memiliki opportunity cost yang tertinggi, tanpa harus melakukan uji coba pada semua jalur. Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk menentukan alokasi atau jumlah beras yang harus didistribusikan ke sejumlah kelurahan agar biaya distribusi sub divisi Regional Malang dapat minmum.
2.2. Asumsi Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Biaya perawatan dianggap konstan. 2. Komoditas yang dikirim atau diangkut besarnya sesuai dengan permintaan. 3. Jalan tidak ada kemacetan dan tidak rusak (jalan pada kondisi normal). 2.3. Pendefinisian Sistem Tahapan ini memberikan gambaran tentang sistem yang akan diteliti yaitu sistem pendistribusian beras yang ada di sub divisi Regional Bulog Malang Jatim. Wilayah kerja yang nantinya akan diteliti dan diambil data-datanya adalah Kota Malang, Kabupaten Malang dan Kota Batu. Gudang-gudang yang mewakili ketiga daerah tersebut adalah Gudang Gadang dan Gudang Kebonagung. Gudang-gudang inilah yang nantinya akan menjadi sumber pendistribusian. Gudang memegang peranan penting dalam saluran distribusi untuk memudahkan penyaluran beras tepat pada waktunya. Hal ini didukung oleh pernyataan Chopra (2003) bahwa dengan mendekatkan persediaan pada titik tujuan, maka akan meningkatkan waktu respons dibandingkan dikirim langsung dari pabrik. Dari tiap sumber ini kemudian akan disalurkan ke tiap kelurahan yang ada di wilayah kerja Kota Malang, Kabupaten Malang, dan Kota Batu. Setiap gudang memiliki kapasitas dan jumlah permintaan beras yang berbeda – beda. Pada sistem pendistribusian beras disini memiliki beberapa elemen di dalamnya. Elemen-elemen tersebut antara lain adalah beras, gudang, sumber dan armada. Dalam setiap elemen memiliki
2. METODE PENELITIAN 2.1. Batasan masalah Batasan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Pengambilan data hanya sebatas di sub divisi Malang. 2. Sumber distribusi dari Kota Malang (gudang S1 dan S2), Kota Batu (gudang S3 dan S4) dan Kabupaten Malang (gudang S5, S6, S7, S8, S9, dan S10).
265
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 Formulasi matematisnya adalah:
atribut yang berbeda. Atribut pada beras adalah jumlah beras yang akan di distribusi dan jumlah pasokan beras. Atribut pada gudang adalah kapasitas gudang, biaya simpan dan biaya muat gudang. Atribut pada sumber adalah jumlah gudang tempat penyimpanan beras. Sedangkan atribut armada adalah biaya distribusi yang di antaranya biaya bahan bakar dan biaya sopir . 2.4. Formulasi model Model transportasi yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai satu fungsi tujuan dan beberapa pembatas atau kendala. Jika di implementasikan dalam sebuah model, maka tahapan formulasi model adalah sebagai berikut : a. Menetapkan fungsi tujuan Fungsi tujuannya pada penelitian ini adalah minimasi biaya distribusi beras dari sumber i ke tujuan j. Persamaan formulasi model matematis ini dibagi menjadi lima persamaan, karena ada lima wilayah berbeda dan tujuan masing- masing sumber yang berbeda. Model matematisnya adalah sebagai berikut : 2
1.
2
1.
= d4 i (untuk S7 dan
2
5.
5ij
= d5i (untuk S9 dan S10)
i=1
• Kendala kedua yaitu jumlah beras yang disalurkan ke sejumlah tujuan dari gudang beras harus sama dengan jumlah kebutuhan beras yang akan dialokasikan ke rakyat miskin. Formulasi matematisnya adalah: 57
∑X
1ij
1.
= S1 j
j =1 25
∑X 2.
(Kota Malang)
2ij
= S2 j
3ij
= S3 j
4 ij
= S4 j
5ij
= S5 j
j =1 130
∑X 3.
(Kota Batu)
j =1 130
∑X 4.
(Kabupaten
j =1 130
∑X
5. j =1 Kendala non negativitas dimana xij ≥ 0 untuk seluruh i dan j
(Kabupaten
2 130
i=1 j =1
4 ij
∑X
MinZ = ∑ ∑ C5ij X 51ij 5. Malang 3)
(untuk S5 dan S6)
∑X
MinZ = ∑ ∑ C4 ij X 4 ij i=1 j =1
= d3i
4. i=1 S8)
2 130
4. Malang 2)
3ij
i=1 2
MinZ = ∑ ∑ C3ij X 3ij i=1 j =1
= d2i (untuk S3 dan S4)
∑X 3.
2 130
3. Malang 1)
2ij
i=1 2
25
i=1 j =1
(untuk S1 dan
∑X 2.
MinZ = ∑ ∑ C2ij X 2ij 2.
= d1i
2
MinZ = ∑ ∑ C1ij X1ij 2
1ij
i=1
S2)
57
i=1 j =1
∑X
2.5. Analisis data Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah transportasi dengan menggunakan kapasitas gudang, titik-titik distribusi, jumlah beras yang dikirimkan yang nantinya akan dapat mengoptimalkan biaya distribusi perusahaan. Tahapan dari analisis data penelitian ini adalah : a. Menentukan solusi fisibel basis awal
(Kabupaten
b. Menetapkan Kendala Kendala pada distribusi beras adalah sebagai berikut : • Kendala pertama yaitu jumlah beras yang dialokasikan dari sumber ke sejumlah tujuan sama dengan kapasitas sumber.
266
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 Metode yang digunakan untuk menentukan solusi fisibel basis awal adalah Least Cost Method. Prinsip cara metode ini adalah pemberian prioritas pengalokasian pada tempat yang mempunyai satuan ongkos satuan terkecil. Least cost method dipakai untuk lima wilayah kerja. Beberapa langkah dalam penggunaan least cost method adalah sebagai berikut: • Pilih variabel Xij (kotak) dengan biaya transport (cij) terkecil dan alokasikan sebanyak mungkin. Ini akan menghabiskan baris i atau kolom j. • Dari kotak-kotak sisanya yang layak (yaitu yang tidak terisi atau dihilangkan) pilih cij terkecil dan alokasikan sebanyak mungkin. Kemudian langkah-langkah tersebut dilakukan sampai semua kebutuhan untuk rakyat miskin tersalurkan. b. Menentukan entering variable dan leaving variable dari variabel-variabel nonbasis. Tahap ini adalah tahap berikutnya dari teknik pemecahan persoalan transportasi, setelah solusi fisibel basis awal diperoleh. Pada MODI, hanya perlu ditemukan satu jalur uji yaitu jalur pada segi empat yang memiliki indeks perbaikan paling bagus.
periodik dari manajemen Perum Bulog untuk memenuhi kebutuhan rakyat miskin sehingga sistem pendistribusian yang ada di Perum Bulog menjadi lebih teratur. Dengan adanya pengalokasian beras dari setiap sumber ke tujuan secara teratur maka biaya yang dikeluarkan Perum Bulog dapat diminimasi dan beras terdistribusi tepat pada waktunya. Biaya yang dikeluarkan oleh Perum Bulog Malang dalam pendistribusiannya antara lain adalah biaya muat gudang, biaya simpan, biaya sopir serta kernet, dan biaya bahan bakar. Biaya muat gudang merupakan biaya untuk pekerja kasar atau kuli yang bertugas memindahkan beras ke truk. Upah untuk kuli angkut beras dihitung sesuai dengan jumlah beras yang mereka angkut ke armada, sedangkan biaya bahan bakar dihitung sesuai dengan jarak yang ditempuh oleh masing-masing truk. Biaya simpan per kilogram beras yang ditetapkan Perum Bulog untuk masing-masing sumber. Adapun upah sopir dan kernet dihitung berdasarkan hari kerja. Shang et al. (2009) menyatakan bahwa dalam penentuan biaya distribusi harus seimbang antara biaya persediaan dan biaya transportasi dimana biaya transportasi meliputi, biaya bahan bakar, biaya gudang, operator, dan biaya pengiriman.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Pendistribusian beras Bulog Selama ini pendistribusian yang dilakukan oleh Perum Bulog hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan rakyat miskin tanpa memperhatikan biaya yang mereka keluarkan dan jumlah beras yang tidak stabil setiap tahunnya. Oleh karena itu sistem pendistribusian yang baik merupakan salah satu faktor terpenting untuk meminimalkan biaya distribusi yang dipakai. Jika pendistribusian yang ada di Perum Bulog berjalan lancar maka hal ini sesuai dengan pernyataan Kotler (2002) bahwa produsen harus melakukan sesuatu lebih dari sekedar mendesain sistem saluran yang baik dan menjalankannya. Sistem tersebut membutuhkan modifikasi
3.2. Hasil pengolahan data dan pembahasan Setelah dilakukan pengolahan data dengan least cost method dan dilakukan optimalisasi dengan menggunakan MODI, diperoleh perubahan jumlah kelurahan yang harus dipasok oleh masing-masing sumber untuk setiap wilayah kerja. Hasil pengolahan data dari kelima wilayah kerja sub divisi Bulog Malang dapat dilihat pada Tabel 1. Secara lebih spesifik, sebagai contoh pendistribusian beras ke masingmasing kelurahan untuk sebagian wilayah Kota Malang dapat dilihat pada Tabel 2.
267
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 Sebelum optimasi diterapkan, sub divisi Bulog Malang memasok beras dari 10 sumber ke seluruh tujuan dari masingmasing wilayah kerja. Setelah dilakukan optimasi dengan metode transportasi, tidak semua sumber menyalurkan ke seluruh tujuan, tetapi satu tujuan dipasok dari satu sumber. Walaupun demikian, masih ada beberapa kelurahan yang dipasok dari 2 sumber karena keterbatasan jumlah beras di gudang. Pada Kota Malang, kelurahan yang dipasok dari S1 dan S2 adalah Kelurahan Tanjungrejo. Pada Kota batu, kelurahan yang dipasok dari S3 dan S4 adalah Kelurahan Sumberrejo. Pada Kabupaten Malang 1, kelurahan yang dipasok dari S5 dan S6 adalah Kelurahan Bunutwetan. Pada Kabupaten Malang 2, kelurahan yang dipasok dari S7 dan S8 adalah Kelurahan Tegalweru dan Kelurahan Patukpicis. Pada Kabupaten Malang 3, kelurahan yang dipasok dari S9 dan S10 adalah Kelurahan Senggreng. Selain itu, jumlah beras yang disimpan di masing-masing gudang juga berubah. Pada S1, S8, dan S10 terjadi peningkatan jumlah beras yang harus disimpan di gudang. Walaupun terjadi penambahan jumlah beras yang harus disimpan di masing-masing gudang, tidak menjadi kendala bagi Bulog karena kapasitas masing-masing gudang saat ini masih melebihi jumlah yang seharusnya disimpan. Adapun kapasitas gudang untuk masing-masing wilayah, dimana untuk Kota Malang kapasitasnya 6,700 ton, Kota Batu kapasitasnya 2,550 ton, dan Kabupaten Malang kapasitasnya 36,000 ton.
Tabel 1. Perubahan Kondisi Bulog Sebelum Dan Sesudah Penerapan Metode Transportasi Wilaya h Kerja
Keteran gan
Sum ber
Sebelum
Hasil Optimasi
Kota Malang
Σ Tujuan
S1
57 kelurahan 57 kelurahan 170,100 kg 271,770 kg Rp22,556, 790
27 kelurahan 31 kelurahan 178,545 kg 258,885 kg Rp18,953, 784
24 kelurahan 24 kelurahan 58,990 kg 37,352 kg Rp6,480,3 53
15 kelurahan 10 kelurahan 58,990 kg 37,352 kg Rp5,753,6 69
11.2%
130 kelurahan 130 kelurahan 576,035 kg 320,035 kg Rp19,768, 331
102 kelurahan 29 kelurahan 576,035 kg 319,765 kg Rp16,319, 100
17.45%
130 kelurahan 130 kelurahan 506,290 kg 292,295 kg Rp19,809, 014
90 kelurahan 42 kelurahan 465,140 kg 333,445 kg Rp17,057, 740
13.89%
130 kelurahan 130 kelurahan 523,890 kg 327,015 kg Rp21,036, 641
94 kelurahan 37 kelurahan 520,786 kg 330,119 kg Rp18,201, 000
13.5%
S2 Σ Beras
S1 S2
Kota Batu
Biaya Distribu si Σ Tujuan
S1 dan S2 S3 S4
Σ Beras
Kabupa ten Malang 1
Biaya Distribu si Σ Tujuan
S3 S4 S3 dan S4 S5 S6
Σ Beras
S5 S6
Kabupa ten Malang 2
Biaya Distribu si Σ Tujuan
S5 dan S6 S7 S8
Σ Beras
S7 S8
Kabupa ten Malang 3
Biaya Distribu si Σ Tujuan
S7 dan S8 S9 S10
Σ Beras
S9 S10
Biaya Distribu si
S9 dan S10
Persent ase Penuru nan Biaya 15.97%
Dalam Tabel 1, terlihat adanya perbedaaan antara kondisi awal dan hasil pengolahan data masing-masing wilayah kerja. Perbedaan-perbedaaan tersebut antara lain adalah jumlah tujuan atau kelurahan, jumlah beras, dan biaya distribusi dari konsisi awal sebelum optimasi dengan sesudah dioptimasi.
268
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 Tabel 2. Kondisi Awal dan Kondisi Setelah Penerapan Metode Transportasi pada Kota Malang Tujuan Kotalama Mergosono Bumiayu Wonokoyo Buring Kedungkandang Lesanpuro Sawojajar Madyopuro Cemorokandang Arjowinangun Tlogowaru Balearjosari Arjosari Polowijen Purwodadi Blimbing Pandanwangi Purwantoro Bunulrejo Kesatrian Polehan
Sumber awal S1 S2 S1 S2 S1 S2 S1 S2 S1 S2 S1 S2 S1 S2 S1 S2 S1 S2 S1 S2 S1 S2 S1 S2 S1 S2 S1 S2 S1 S2 S1 S2 S1 S2 S1 S2 S1 S2 S1 S2 S1 S2 S1 S2
Supply (Kg) 10,500 12,330 5360 10,000 1,165 5,000 2,250 3,000 3,500 5,425 3,495 5,250 2,155 5,000 3,000 2,040 5,100 1,515 2,885 10,000 2,000 2,110 3,000 2,130 2,050 2,000 1,000 635 2,000 1,525 4,100 5,125 2,665 2,000 1,190 10,000 2,165 10,000 3,710 10,000 935 1,000 4,525 5,000
Biaya (Rp) 215,766.7 225,269.9 194,689.6 213,781 181,804.6 194,309.6 189,045.3 191,895.3 191,852.4 198,712.4 193,423.2 199,738.2 191,117.4 200,652.4 196,009.6 193,169.6 201,195.3 190,743.3 196,221.7 231,695.3 187,886.7 188,196.7 193,009.6 190,825.6 200,573.9 200,823.9 196,223.9 195,225.9 199,009.6 197,889.6 203,766.7 207,866.7 197,447.4 195,852.4 192,636.7 234,695.3 194,104.6 231,781 196,939.6 228,181 185,887.3 186,095.3 195,570.3 197,995.3
Tujuan Kotalama
Sumber awal S1
Supply (Kg) 22,830
Biaya (Rp) 469,138.5
Mergosono
S2
15,360
328,367.6
Bumiayu
S2
6,165
239,583.7
Wonokoyo
S2
5,250
335,816.8
Buring
S2
8,925
326,914
Kedungkandang
S2
8,745
332,706.7
Lesanpuro
S2
7,155
287,133.6
Sawojajar
S1
5,040
329,296.1
Madyopuro
S1
6,615
260,962.1
Cemorokandang
S1
12,885
876,366.3
Arjowinangun
S1
4,110
386,066.1
Tlogowaru
S1
5,130
330,046.4
Balearjosari
S1
4,050
369,255.7
Arjosari
S1
1,635
320,826
Polowijen
S1
3,525
350,754.4
Purwodadi
S2
9,225
374,160.1
Blimbing
S1
4,665
345,625.6
Pandanwangi
S2
11,190
262,624
Purwantoro
S2
12,165
281,961.6
Bunulrejo
S2
13,710
312,836.2
Kesatrian
S2
1,935
360,094.4
Polehan
S1
9,525
441,670.1
Ditinjau dari sisi biaya, setelah dilakukan optimasi, dapat dilihat bahwa biaya distribusi menurun sekitar 11% sampai 17% dimana penurunan terbesar pada Kabupaten Malang 1 diikuti oleh Kota Malang. Hal ini menunjukkan bahwa dengan penerapan sistem distribusi yang baik dan efektif, maka biaya distribusi dapat ditekan. Dengan rendahnya biaya distribusi, maka total biaya logistik juga dapat ditekan. Chopra dan Meindl (2010) menyatakan bahwa pemilihan saluran distribusi yang tepat dapat meningkatkan level ketersediaan produk pada biaya yang minimum.
4. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan adanya perubahan pengalokasian jumlah beras untuk setiap wilayah kerja. Pada Kota Malang, S1 mengirimkan 178,545 kg beras dan S2 mengirimkan 258,885 kg beras sehingga menghasilkan biaya distribusi sebesar Rp 18,953,784. Kota Batu, S3 mengirimkan 58,990 kg dan S4 mengirimkan 37,325 kg sehingga menghasilkan biaya distribusi sebesar Rp 5,753,669. Kabupaten Malang 1 untuk S5 menyalurkan 576,305 kg beras dan S6
269
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 menyalurkan 319,765 kg beras, sehingga menghasilkan Rp 16,319,100. Kabupaten Malang 2 untuk S7 menyalurkan 465,140 kg beras dan S8 menyalurkan 333,445 kg beras, sehingga menghasilkan Rp 17,057,740. Kabupaten Malang 3 untuk S9 menyalurkan 520,786 kg beras dan S10 menyalurkan 330,119 kg beras, sehingga menghasilkan Rp 18,201,000. Prosentase penurunan biaya distribusi kelima wilayah kerja sebesar 11–17 % dibandingkan dari biaya distribusi sebelum diterapkannya metode transportasi. 4.2. Saran Untuk penelitian selanjutnya diharapkan faktor kontinyuitas pasokan beras ke gudang perlu diperhatikan. Selain itu, dalam komponen biaya transportasi, perlu mempertimbangan biaya perawatan dan biaya fasilitas sehingga hasil bisa lebih akurat. 5. DAFTAR PUSTAKA Chopra, S. 2003. Designing the distribution network in a supply chain. Transportation Research Part E. Vol 39. p 123-140. Chopra, S and Meindl, P. 2010. Supply Chain Management, Strategy, Planning, and Operation. Pearson Education Inc. New Jersey. USA. Kotler. 2002. Manajemen Pemasaran Edisi Milenium Jilid 1. Terjemahan oleh Hendra Teguh, Ronny A. Rusli, dan Benyamin Molan. Prenhallindo . Jakarta. Martinson, K, A. 2011. Optimal Transport Pricing of Inland Freight for Cement Haulage at Ghacem Limited. Thesis. Kwame Nkrumah University of Science and Technology, Kumasi. http://dspace.knust.edu.gh. Shang, et.al. 2009. Distribution Network Redesign for Marketing Competitiveness. Journal of Marketing Research. Vol. 73. Issue 2. p146-163.
270
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 TINJAUAN TERHADAP POWER OF TWO POLICIES DALAM MANAJEMEN PERSEDIAAN Henry Yuliando*) *) Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, UGM
Abstract In inventory management, it recognizes multistage systems as characterized by multiple locations where inventory decisions have to be made. These decisions including how we can work with the reorder interval as the decision variable over which cost is optimized instead of the order quantity. The second reason is that instead of determining the optimal solution for ordered quantity, the reorder intervals are easier to use in practice but are not necessarily optimal. In inventory systems, the objective is to find the lot size and the reorder interval between consecutive production runs. Clearly, while planning production, it is natural to think in terms of producing items once every planning period (for example, shift, week, or month). When working with the order quantity as the decision variable, the corresponding reorder interval may be any real number such as 1.85 weeks, 2.3 weeks, or an irrational number, for example. Such reorder intervals make resource planning over time a very difficult task. Another advantage is that in a multi-stage production system, at each stage it is necessary to ensure that all the components required to produce the batch are available at the time of the production. This constraint is more easily formulated with the reorder interval as the decision variable. Those merits of using reorder intervals in inventory management provide a motivation to study the application of Power of Two (PO2) policies both for single and multistage system of inventory management as presented in this paper. And as an illustration, a real data taken from a study is used to show the implementation of this policy. Dalam manajemenpersediaan,terdapatsistembertin gkatyangditandai olehbeberapa lokasi atau stasiun kerja atau pabrik,di manakeputusanpersediaanharus dibuat. Keputusan initermasuk bagaimanakita dapatbekerja denganreorder interval(interval pemesanan ulang) sebagai variabelkeputusan dengan biayaoptimal. Dalam sistempersediaan,tujuannya adalahuntuk menemukanukuran lotdan reorder intervaluntuk kegiatan produksi yang kontinyu. Sedangkan dalam perencanaan produksi tersebut, adalah wajar untuk menentukan bahwa kegiatan produsi berlaku periodik (misalnya, shift, minggu, atau bulan). Ketika bekerjadenganjumlah pesanan ekonomis
2. LATAR BELAKANG Manajemen persediaan merupakan suatu cara mengendalikan persediaan agar dapat melakukan pemesanan yang tepat dan dengan biaya yang optimal. Pengendalian persediaan merupakan aktivitas mempertahankan jumlah persediaan pada tingkat yang dikehendaki. Pada produk barang, pengendalian persediaan ditekankan pada pengendalian material. Pada produk jasa, pengendalian diutamakan sedikit pada material dan banyak pada jasa pasokan karena konsumsi sering kali bersamaan dengan pengadaan jasa sehingga tidak memerlukan persediaan (Liestyowati, 2010).
271
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 sebagai variabelkeputusan,pemesanan ulang dapat terjadi dalam unit seperti1,85minggu, 2,3minggu,atau angka irasional lainnya.Hal ini akan menyulitkan rencana produksi. Keuntungan lain bekerja dengan reorder interval adalahbahwa dalamsistem produksimulti-tahap, pada setiap tahapperlu untukmemastikan bahwa semuakomponen yang diperlukanuntuk menghasilkanbatchtersediapada waktuproduksi. Kendalaini lebihmudahdiformulasikan denganreorder interval sebagai variabelkeputusan. Berdasarkan berbagai manfaataplikasi reorder interval tersebut di atas, menjadi suatu motivasiuntuk melakuan aplikasi kebijakan Power of Two (PO2), baik untuksistem tunggal danmulti-stage dalam kerangka manajemen persediaan, sebagaimana yang disajikandalam makalah ini. Dansebagai ilustrasi, dengan menggunakan datariil dari sebuah penelitian, metode PO2 tersebut diaplikasian untuk menunjukkankeunggulan dari kebijakan ini.
mesin dalam sistem produksi ketika banyak item yang harus diproduksi dalam mesin tertentu (Muckstadt dan Amar, 2010). Dalam PO2, konsep dasar yang digunakan ialah bagaimana mencari nilai reorder intervalT = 2ℓTL, ℓ = {0,1,2,3, . . . }yang dapat memberikan nilai biaya persedian (ZT) yang minimal sebagaimana diilustrasikan pada gambar berikut
1.1. Studi tentang PO2 policies Tipe kebijakan manajemen persediaan yang menggunakan dasar periode perencanaan power ot two multiple sebagai reorder interval dikenal sebagai power of two policy (PO2 policy). PO2 policy lebih baik dibanding bila kita menggunakan PO3, PO4, atau POn policy dimana n merupakan bilangan bulat nonnegative integer. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa dalam pemodelannya PO2 memberikan selisih tidak lebih dari 6% dibanding dengan solusi optimal ketika dicari dengan Economic Order Quantity EOQ). Dengan kata lain, jika membandingkan kemungkinan biaya terburuk di antara tipe POn policy, biaya terburuk PO2 policy paling mendekati biaya optimal. Selain itu, PO2 policy membuat penjadwalan produksi menjadi lebih mudah dilakukan. PO2 policy juga berguna dalam menjamin keseimbangan
Dengan menentuan reorder interval yang dapat menghasilkan biaya rendah yang paling mendekati biaya optimal maka kegiatan produksi secara periodik sesuai dengan perencanannya dapat dikelola lebih efisien. Bahkan aplikasi PO2 juga dapat digunakan untuk membantu pemilihan suplier yang dapat menyesuaikan dengan jadwal produksi yang ditetapkan. (A.Mendoza, et al, 2010) Aplikasi PO2 juga dapat diterapkan untuk sistem multistage, misalkan terdiri dari fasilitas produksi, gudang danritel. Untuk sistem ini, perlu koordinasiantara distribusi danproduksi disejumlah tahap. Dengan kapasitas produksi yang terbatas dan asumsi kebijakanmanajemen persediaan bersifat stasioner dan nested, maka solusi terbaik adalah dengan penentuan reorder interval yang konstan. (J. Boissie`re, et al, 2007). Dalam pengembangannya, kebijakan PO2 juga
*
*
*
Z (2l −1TL ) > Z (2l TL ) ≤ Z (2l +1TL ), l ≥ *
*
Z (2l TL ) ≤ Z ( 2l +1TL ), l = 0
Gambar 1. Total Average Annual Cost dalam Reorder Interval PO2 (Sumber: Muckstadt dan Amar, 2010)
272
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 dapat dibatasi oleh kendala biaya transportasi ketika diaplikasikan untuk kasus multi-eselon. (H.C. Huang, et al, 2004).
•
1.2. Asumsi dan notasi dalam Model PO2 Model PO2 diturunkan dari persamaan untuk mencari nilai order yang ekonomis (Economic Order Quantity – EOQ) dimana:
•
λ
3
w
•
•
1 + hλT or 2
K
min Z (T ) = T
Solusi optimal dengan
T ≥0
solution
+ gT for g =
•
1 hλ 2
•
• •
K g
1
m
t
√ @ Xw
, atau
√2 @ @x √2@x Oleh karena itu, reorder interval PO2 3 yang optimal minimal @ = ∗
@ ≤ 2R ≤
0,707@ , namun tidak lebih besar dari √2@ = 1,414@ . Karena Z(T) merupakan convex function dari T (@3 ≤ @ ≤ @|), Z(T2) ≤ }~@3 , ~@| max , maka R∗ menghasilkan ~2 @x ≤ 3 A ~)√2@ ., ~ @ . √
Biaya yang timbul atas reorder interva 3 yang ditentukan = ∝ @ atau ∝ @ . Selanjutnya, biaya ini adalah sama 3
diperoleh •
dZ (T ) =0 dT
T=
3
√
Reorder interval T = Q/λsubtitusi untuk Q oleh λT K
t
2R ≤ X n u =
Z(Q) = biaya persediaan ratarata tahunan Q = kuantitas pesanan h = biaya simpan per unit per tahun (=IC), I = persentase (%) K = biaya order/setup λ = tingkat permintaa (per tahun) C = harga per unit
T ≥0
o
np = √l Ts
reorder interval untuk model EOQ. • Nilai TL ditentukan sebagai berikut
1
EOQ model: dimana
min Z (T ) = T
lm
dimana @ = nu merupakan opimal
Q≥0
•
3
∗
21 ≥
min Z (Q ) = C λ + K Q + 2 hQ •
Sehingga reorder interval minimum selama TL. Kendala ini dinyatakan n ∈ {1,2,3, . . . }, dalam T = nTL, dimana nilai n merupakan pangkat 2 = {1,2,4,8,16, . . . .} Model PO2 policy selanjutnya ditentukan dengan persamaan berikut:
3
untuk d∝ + g ~@ ketika salah satu ∝ dari interval pemesanan diberlakukan. 3 3 3 ~ d @ g = d∝ + g ~@ ,sehingga ∝ ∝ biaya untuk reorder interval optimal 3 dimana √2@ atau @ adalah sama √
dan Z (T * ) = 2 K g
atau 3
ekuivalen
dengan
3
d√2 +
g ~@ ∗ ≈ 1,06~@ ∗ , sehingga kemungkinan terburuk biaya yang timbul dengan penerapan PO2 policy adalah maksimal 6% lebih besar dari biaya optimal (106 % ~@ ∗ ) √
Reorder interval T, bersifat nonnegatif, yang merupakan kendala satusatunya untuk mencari solusi optimal. Dalam penentuannya, terdapat rencana dasar yang memiliki reorder intervalTLyang merupakan nilai integer dikalikan dengan TL. (shift, hari, minggu, or tahun).
1.3. Algoritma PO2 Policy Solusi optimal untuk PO2 dapat ditentukan dengan menggunakan 3
273
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 tahapan prosedur berikut (Muckstadt dan Amar, 2010):
iii.
Untuk setiap sub-grafik Gk, k = 1, . . . ,M, tidak terdapat jalur langsung untuk (G−k ,G+k ) dari Gkdimana K (Gk− ) K (Gk+ ) < g (Gk− ) g (Gk+ )
Gambar 2. Sistem serial Keterangan: N(G) = {1, . . . ,n} node set A(G) = {(n,n−1), . . . , (2,1) Gambar 3. Graph G bagian dari graph G’ •
Untuk sistem serial berlaku: n K ( P) min ∑ i + g iTi i =1 T i
Tahap 1. Menentukan optimal partition menggunakan string algorithm, untuk sistem serial ialah sebagai berikut: Langkah 1: Tentukan nilai k = 1, i = 1. Tentukan N(Gk) = {1}. Langkah 2: Tentukan i +1 i. Jika i ≤ n, lanjut ke langkah 3. Langkah 3: jika K(Gk)/g(Gk) ≤ Ki/gi, maka k+1 k dan N(Gk) = {i}. Kembali ke lagkah 2, dan tetapkan N(Gk)∪{i} N(Gk). Jika k> 1, lanjut ke langkah 4; bila tidak, kembali ke langkah 2. Langkah 4: Tetapkan l = k. Langkah 5: Jika K(Gl−1)/g(Gl−1) ≤ K(Gl)/g(Gl), tentukan k = l dan kembali ke langkah2. Jika sebaliknya, lanjut ke langkah 6. Langkah 6: N(Gl−1)∪N(Gl) N(Gl−1) dan l−1 l. Jika l> 1, kembali ke langkah 5. Sebaliknya bila k = l kembali ke langkah 2.
subject to Ti = 2li TL , l i ∈ {0,1,2,...}
• •
•
Ti ≥ Ti −1 ≥ 0, Kendala pertama sebagai aplikasi PO2 policy. Kendala kedua menunjukkan nestedness policy atau bila node n1 pesan sebanyak q unit maka node n menyediakan kelipatan integer q unit. Persamaan di atas adalah permasalahan (P), diperlukan relaksasi (dengan kendala lebih minimal), sebagai berikut: n K ( RP) min ∑ i + g iTi i =1 T i Ti ≥ Ti −1 ≥ 0,
disebut sebagai permasalahan (RP) •
Theorema. Bila terdapat M reorder intervals T(1), . . . ,T(M). Kondisi yang dibutuhkan agar reorder interval menjadi optimal untuk masalah (RP) adalah: i. Terdapat partisi (G1, . . . ,GM) dari G sehingga T(k) = √ K(Gk)/g(Gk), ii. T(1) ≤ T(2) ≤ ··· ≤ T(M) (layak), dan
Tahap 2. Menghitung , solusi untuk RP dasar, Setelah solusi optimal diperoleh dengan algoritma di atas, selanjutnya menentukan nilai T = t u
Tahap 3. Menentukan reorder interval PO2 yang optimal:
274
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 ∗
2R ≥
3 t n √Xw u
=
3 @ √Xw
λ = annual demand (hasil peramalan)
a. Natural Bag Jenis Coin λ = 277 kg
T*p = (2l) x (TL) Proses No. 1 2 3 4
dimana T= reorder interval, TL= periode perencanaan dasar (1/12 dalam setahun), T*p= reorder interval PO2 policy.
t
dimana : permintaan/ tahun
λ
hi (Rp)
6.400.000 6.400.000 6.400.000 6.400.000
hꞌi(Rp)
550.000 450.000 360.000 180.000
gi(Rp)
100.000 90.000 180.000 180.000
13.850.000 12.465.000 24.930.000 24.930.000
Iterasi 1 Langkah 1: Menentukan k=1, i= 1, N (G)=}1 Langkah 2: Menentukan i= 2
Sedangkan order optimal setiap pesan ditentukan dengan
Y∗ = n
Ki(Rp)
Langkah 3: Menghitung
M
7.455.555
t u
=
= 0,46 dan membandingkannya dengan t 7.455.555 = = 0,51. u 3|.85.555
=
3.478.555 t t Karena < u, u
K = biaya tetap order / setup IC = biaya simpan per unit/ tahun (holding cost)
berarti
proses 2 tidak dimasukkan ke dalam N (G1). Menambah subgraph N (G2)= }2 dan menentukan k= 2.
1.4. Ilustrasi : kasus perusahaan Heraton Craft, Yogyakarta Heraton Craft adalah perusahaan yang memproduksi produk kerajinan seperti tas, dompet, dan macam lainnya dengan bahab baku yang memiliki 4 stasiun kerja (rumah produksi) sebagai berikut:
Iterasi 2 Langkah 2: Menentukan i= 3 Langkah 3: Menghitung 7.455.555
t u
=
= 0,51 dan membandingkannya dengan t 7.455.555 = = 0,26. u 3.748.555
4.|5.555 t t Karena > u, u
berarti
proses 3 dimasukkan ke dalam N (G2). Langkah 4: Menentukan l= k= 2. Langkah 5: Mengingat kembali
Gambar 4. Sistem serial Perusahaan Heraton Craft (Annia, 2011)
t u
Keterangan: Ki = fixed cost = labor cost/ unit time hi = holding cost/ tahun hꞌi = perbedaan holding cost setiap proses = hi – hi+1 gi = annual holding cost tiap pesan sebesar λ 3 = ℎ′
=
7.455.555
3|.85.555
= 0,46;
kemudian menghitung t = u 7.455.555f7.455.555
= 0,34.
3.748.555f4.|5.555 t t > , Karena u u
dilanjutkan ke step 6.
275
maka
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 Langkah 6: Menentukan N (G1)N (G1)
a. Biaya yang dikeluarkan natural bag jenis coin
N (G2) = N (G1) =
. Menentukan l= l1= 2-1= 1 dan menentukan k= l= 1.
untuk
.
b. Biaya yang dikeluarkan untuk natural bag jenis kecil = 961.160 c. Biaya yang dikeluarkan untuk natural bag jenis tanggung/ medium = 449.053 d. Biaya yang dikeluarkan untuk natural bag jenis besar = 653.466,67 Sedangkan jumlah biaya dengan model PO2 policy yang optimal (Fixed cost/ pesanan (K) Rp 130.000,00; biaya/ unit produk (C) Rp 28.000,00; dan asumsi holding cost rate (I) 0,2/ tahun): a. Biaya yang dikeluarkan untuk natural bag jenis coin
T*p = (2l) x (TL) = (23) x = 0,67 years Jadi, reorder interval bahan baku agel untuk natural bag jenis coin adalah 0,67 tahun (8 bulan).
b. Biaya yang dikeluarkan untuk natural bag jenis kecil = 918.771,39 c. Biaya yang dikeluarkan untuk natural bag jenis tanggung/ medium = 424.777,85 d. Biaya yang dikeluarkan untuk natural bag jenis besar = 681.789,85 Untuk mengetahui perbedaan biaya yang dikeluarkan dengan model EOQ dan PO2 policy, sebagai berikut: a. Natural bag jenis coin
Iterasi 3 Langkah 2: Menentukan i= 4 Langkah 3: Menghitung dan membandingkannya dengan . > , berarti proses 4 dimasukkan ke dalam N (G1). Karena k= 1, maka tidak perlu kembali ke step 4 dan algorithm berakhir karena i+1= 5 >n. Jadi, N (G1)= T=
=
years
l* = 3
Dengan cara serupa di atas diperoleh: b. Natural Bag Jenis Kecil : λ = 568 kg, T = 0,33 tahun (4 bulan). c. Natural Bag Jenis Tanggung/ Medium : λ = 123 kg, T = 0,67 tahun (8 bulan). d. Natural Bag Jenis Besar : λ = 260 kg : T = 0,67 tahun (8 bulan). Biaya total per tahun:
b. Natural bag jenis kecil = -4,41% c. Natural bag jenis tanggung/ medium = -5,41% d. Natural bag jenis besar = 4,33% Terbukti bahwa dengan PO2 policy biayayang timbul tidak lebih besar 6% dari biaya optimal.
2. RINGKASAN Persediaan (inventory) merupakan faktor sangat penting untuk menjamin berlangsungnya kegiatan produksi ataupun penjualan agar dapat berjalan sesuai rencana. Pengelolaan (manajemen)
Dengan metode EOQ: untuk (Fixed cost/ pesanan (K) Rp 130.000,00; biaya/ unit produk (C) Rp 28.000,00; dan asumsi holding cost rate (I) 0,2/ tahun):
276
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 persediaan diperlukan agar diperoleh biaya yang optimal dalam pengadaannya. Keputusan dalam pengadaan persediaan ialah ditentukan oleh biaya order/setup dan biaya simpan. Sedangkan hasil dari keputusan tersebut adalah mengenai kapan pengadaan (pemesanan) mesti dilakukan. Dalam pendekatan EOQ akan dihasilkan interval order yang terkadang tidak lazim atau menyulitkan dalam penjadwalannya, sehingga diperlukan suatu pendekatan dalam keputusan order tersebut berdasarkan interval waktu yang utuh. Metode PO2 menawarkan peluang untuk menentukan waktu order dimana keluarannya dalam kondisi terburuk maksimal hanya 6% dari biaya yang optimal. Dalam aplikasinya PO2 dapat bekerja melalui string algorithm, dimana melalui sebuah ilustrasi dapat dibuktikan total biaya yang timbul dengan penerapan PO2 policy hanya selisih kurang dari 6% terhadap biaya optimalnya. Dan lebih lanjut, bilamana terdapat tuntutan pengendalian persediaan secara kontinyu sebagai konsekuensi dari metode EOQ untuk mencapai biaya optimal dapat digantikan oleh variabel keputusan berupa interval order dengan aplikasi PO2 policy yang hasilnya adalah total biaya yang berselisih maksimal 6% dari biaya optimal.
H.C. Huang, E.P. Chew, and K.H. Goh, 2005, A two-echelon inventory system with transportation capacity constraint, European Journal of Operational Research, (167) 129– 143 J. Boissie`re, Y. Frein, and C. Rapine b, 2008, Optimal stationary policies in a 3-stage serial productiondistribution logistic chain facing constant and continuous demand, European Journal of Operational Research, (186) 608-619. John A. Muckstadt, and Amar Sapra, 2010, Principles of Inventory Management, Springer Series in Operations Research and Financial Engineering, Springer New York Dordrecht Heidelberg London Liestyowati Ir, M.E. 2010. Manajemen Operasional Lanjutan. Pusat Pengembangan Bahan Ajar-UMB
3. REFERENSI Abraham Mendoza, and José A. Ventura, 2010, A serial inventory system with supplier selection and order quantity allocation, European Journal of Operational Research, (207) 13041315. Annia Septa Yudhinuraini, 2011, Skripsi, Analisis persediaan produk handicraft di perusahaan Heraton Craft, Fakultas Teknologi Pertanian, UGM.
277
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
PENERAPAN SUPPLY CHAIN MANAGEMENT (SCM) DALAM PERENCANAAN PENGADAAN BAHAN BAKU PEMBUATAN PRODUK BIHUN KERING. (Studi Kasus pada PT. Tunas Melati Perkasa, Surabaya) Usman Effendi1, Sakunda Anggarini2*, Didik Supriono3 Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya, Jl. Veteran Malang, 65145 *Email : [email protected]
Abstrak Pengaturan kedatangan bahan baku sangat diperlukan untuk menjamin proses produksi dapat berjalan baik. Supply chain management (SCM) bekerja memastikan barang pada tempat dan waktu yang tepat untuk memenuhi permintaan tanpa menyebabkan stock yang kurang maupun berlebihan. Penelitian terapan ini bertujuan untuk menyusun perencanaan pengadaan bahan baku tepung maizena untuk produksi bihun kering terkait dengan penentuan kuantitas yang sesuai sekaligus mengkaji besarnya biaya yang timbul melalui pendekatan SCM dibandingkan dengan keadaan aktual perusahaan sebelumnya. Model rantai pasokan menunjukkan rantai informasi diawali dari permintaan bihun kering dari distributor kepada perusahaan, kemudian dilanjutkan dengan pemesanan tepung maizena oleh perusahaan kepada supplier. Pola data permintaan produk jadi yang dikonversikan menunjukkan bahwa teknik seasonal index merupakan metode terbaik yang bisa diterapkan dalam meramalkan permintaan bahan baku pada perusahaan. Selanjutnya, hasil analisis SCM menetapkan idealnya perusahaan melakukan pemesanan bahan baku dengan kuantitas rata-rata sebesar 21.266,95 kg perbulan yang akan menimbulkan biaya pengadaan sebesar Rp 135.333.741,00 perbulan. Besarnya kuantitas menunjukkan adanya penurunan servicelevel penyimpanan bahan baku sebesar 4% yang mengindikasikan penurunan pada biaya penyimpanan, sedangkan besarnya biaya menunjukkan adanya penurunan biaya pengadaan total sebesar Rp 20.162.775,00 perbulan. Keduanya menunjukkan informasi timbulnya penghematan yang cukup signifikan pada perusahaan setelah diterapkannya pendekatan SCM dibandingkan dengan sistem pengadaan bahan baku yang diterapkan sebelumnya. Kata kunci : Permintaan bahan baku, Supply chain management, peramalan, kuantitas, biaya.
berwarna lebih putih serta dari segi harga, tepung maizena juga relatif lebih murah dibandingkan tepung beras (Wonojatun dkk, 2009). PT. Tunas Melati Perkasa memproduksi bihun kering berbahan tepung maizena dengan merk dagang Rosebrand”. Kapasitas produksi rata-rata adalah 1 ton bahan baku per 1 kali proses. Produksi dilakukan tidak secara kontinyu karena bergantung pada ada atau tidaknya pesanan produknya. Kondisi ini berpengaruh pada proses penyediaan
1. PENDAHULUAN Bihun merupakan produk makanan kering yang dibuat dari beras dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan makanan yang diijinkan, berbentuk khas bihun, mempunyai kadar air maksimal 13%, abu maksimal 1%, dan protein minimal 4% (Anonimous, 2011a). Saat ini tepung maizena sudah cukup dikenal sebagai bahan baku utama pembuatan bihun disamping tepung beras. Bihun kering berbahan tepung maizena memiliki keunggulan tekstur yang lebih kenyal,
278
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 dalam mengambil keputusan dan atau menentukan kebijaksanaan yang berkaitan dengan perencanaan pengadaan tepung maizena. Dengan menggunakan pendekatan metode Supply Chain Management secara bertahap dan berkesinambungan juga diharapkan dapat meningkatkan produksi yang berkesinambungan.
bahan baku Artinya bahwa pengadaan bahan baku dilakukan berdasarkan ada tidaknya produksi dimana jumlahnya ditentukan berdasarkan besarnya permintaan produk oleh distributor. Ketidakpastian terhadap permintaan produk menimbulkan masalah ketidakpastian pemesanan bahan baku, hingga suatu waktu bahan baku tersedia terlalu banyak hingga 4000 kg dari jumlah rata-rata kebutuhan sedangkan di waktu yang lain bisa terjadi kekurangan hingga 2000 kg dari kebutuhan rata-rata yang diolah. Masalah ketidakseimbangan bahan baku ini menyebabkan ketidakseimbangan produksi yang cukup signifkan. Pendekatan Supply Chain Management memiliki aliran informasi yang cepat dan akurat antara elemen jaringan, seperti pemasok, perusahaan, distributor, dan konsumen. Supply Chain Management mengaplikasikan bagaimana suatu jaringan kegiatan produksi dan distribusi suatu perusahaan dapat bekerja bersama-sama untuk memenuhi kepuasan konsumen, mengurangi biaya, mengurangi waktu, memusatkan kegiatan perencanaan dan distribusi (Siagian, 2005). Keunggulan kompetitif Supply Chain Management adalah kemampuannya dalam mengelola aliran barang dalam suatu rantai pasokan. Hal ini sesuai dengan tujuan supply chain management untuk memastikan barang pada tempat dan waktu yang tepat untuk memenuhi permintaan konsumen tanpa menciptakan stock yang berlebihan (Pujawan, 2010). Dari uraian latar belakang di atas, penelitian ini ditujukan untuk (1) menentukan kuantitas pengadaan tepung maizena untuk produksi bihun kering dengan pendekatan supply chain management; (2) menentukan biaya yang timbul terkait pengadaan tepung maizena dengan pendekatan supply chain management dibandingkan dengan keadaan aktual perusahaan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak perusahaan sebagai bahan pertimbangan
2. METODE PENELITIAN Tahapan penelitian perencanaan pengadaan bahan baku untuk produksi bihun kering dengan pendekatan Supply Chain Managementdilakukan berdasarkan urutan prosedur sebagai berikut : (1) survei pendahuluan; (2) identifikasi masalah; (3) pendefinisian sistem; (4) penentuan batasan masalah dan asumsi; (5) penetapan variabel dan parameter; (6) pengumpulan data; (7) penganalisaan data; (8) penarikan kesimpulan dan pemberian saran. 2.1. Pendefinisian Sistem Pendefinisian sistem dilakukan terhadapkomponensistempengadaanbahan bakuuntukmempermudahscopepenelitian yang terdiridarisupplier tier 1danperusahaan. Penelitian ini termasuk dalam upstream supply chain karena aktifitas yang dilakukan adalah pengadaan bahan dan digunakan dua rantai pasok (dua level). Secara umum model rantai pasokan pada PT Tunas Melati Perkasa ditunjukkanpadaGambar 1.
Gambar 1. Model Rantai Pasokan di PT Tunas Melati Perkasa
279
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 pemesanan bahan baku.
2.2. Penentuan batasan masalahdan asumsi 1. BatasanMasalah a. Rantai pasokan terdiri dari dua level, yaitu antara supplier dengan manufaktur (assembler). b. Kinerja supply chain management diukur dari aspek biaya pengadaan bahan baku dan tingkat pelayanan. 2. Asumsi a. Proses produksi bihun kering berjalan secara normal. b. Harga bahan baku tidak mengalami perubahan. c. Tepung maizena tersedia sepanjang waktu pada supplier.
2.5. Analisis Data A. Jumlah Pengadaan Bahan Baku 1. Perhitungan jumlah permintaanbahanbaku (demand) Perhitungandilakukandenganmeng gunakanpersentaserendemen yang dihasilkanproduk.
2. Peramalan Permintaan Bahan Baku Data yang dipakai sebagai dasar peramalan permintaan bahan baku adalah data kebutuhan bahan baku yang dikonversikan dari data penjualan (satu) tahun terakhir dari perusahaan. Peramalan terhadap permintaan bahan baku dilakukan dengan bantuan program SPSS 17 dengan menggunakan metode Expert Modeler, sebuah aplikasi dalam SPSS 17, dimana metode terbaik akan dicari secara otomatis dari masing-masing seri dependent (Anonimous, 2011b). 3. Penentuan Lead Time Lead time yang dipakaidalamperhitungansupply chainadalah rata-rata lead timeberdasarkanprobabilitaslead timetersebut. Dalam hal ini, lead time yang ada di perusahaan adalah 2 (dua) hari. 4. Penentuan Safety Stock
2.3. Penetapan Variabel dan Parameter Variabel dan parameter yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Parameter dan Variabel yang Digunakan No 1
Parameter Jumlah bahan baku yang harus dipesan
2
Biaya pengadaan bahan baku
Variabel Starting Inventory On order quantity Order up to target Order Quantity Service Level of inventory Ordering cost and Purchasing cost Holding cost Shortage cost
2.4. Pengumpulan Data Metodepengumpulan data yang digunakan adalah (a) Observasi, data dilakukan dengan pengamatan secara langsung terhadap proses pengadaan tepung maizena untuk produksi bihun kering di PT Tunas Melati Perkasa; (b) Wawancara, dilakukan dengan melakukan tanya jawab dengan staf, karyawan bagian produksi dan gudang bahan baku yang berkaitan pengadaan tepung maizena; (c) Dokumentasi, dilakukan dengan mempelajari catatan atau arsip yang berhubungan dengan penelitian yang dimiliki perusahaan. Data yang digunakan adalah data produksi, permintaan, persediaan bahan baku, dan data
5. Perhitungan Persediaan Awal (Starting Inventory) Starting inventory pada periode awal mencangkup permintaan selama lead time. Setelah periode pertama, kuantitas bahan baku pada awal periode berikutnya sampai periode terakhir berdasarkan kuantitas bahan baku periode sebelumnya dengan rumus sebagai berikut: 6. Perhitungan Order Up To Target (R)
280
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 23 November 2011 Perhitungan order up to target berdasarkan lead time dan safety stock. stock
persediaan merupakan biaya yang timbul akibat tidak tersedianya bahan baku di gudang yang terjadi apabila permintaan lebih besar daripada barang yang ada di gudang. Biaya kekurangan persediaan dalam gudang bahan baku sama deng dengan biaya pemesanan khusus.
7. Perhitungan On Order Quantity (O) Nilai on order quantity untuk periode pertama sama dengan jumlah permintaan pada periode pertama (D1), karena periode awal dari perhitungan dengan supply chain management dan diasumsikan tidak memiliki persediaan di gudang dari periode sebelumnya, sebelum sehingga dapat dinyatakan dengan rumus:
Total Biaya =
Nilai on order quantity untuk periode berikutnya sama dengan nilai order quantity periode sebelumnya
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Perencanaan pengadaan bahan baku dengan pendekatan SCM
8. Perhitungan Order Quantity (Q) Perhitungan order quantity diformulasikan sebagai berikut:
A. Kebutuhan bahan baku Pengadaan bahan baku dengan pendekatan metode supply chain management memerlukan data kebutuhan bahan baku untuk menentukan kuantitas bahan baku yang harus dipesan pada supplier dalam jangka waktu tertentu tertentu. Data kebutuhan bahan baku yang digunakan pada penelitian ini dikonversikan dari data historis penjualan bihun kering ooleh perusahaan selama 3) tahun terakhir dengan periode bulanan yang dimulai dari bulan Juli 2010 sampai Juni 2011. Data penjualan bihun kering pada PT Tunas Melati Perkasa disajikan pada Gambar 2.
9. Perhitungan Service ervice Level of Inventory Perhitungan persentasi terhadap tingkat pelayanan bagian gudang bahan baku (storage)) untuk memenuhi kebutuhan bagian produksi adalah sebagai berikut :
B. Biaya Pengadaan Bahan Baku 1. Biaya pemesanan dan Pembelian (ordering and purchasing cost) cost
2. Biaya penyimpanan (holding holding cost = HC) Biayapenyimpananmeliputib iayapenerangan, biaya memiliki persediaan (biaya modal), modal biaya penyusustan bahan baku, biayadepresiasigudang, danbiayatenagakerjagudang. 3. Biaya kekurangan persediaan (shortage cost = p) Biaya kekurangan
Gambar 2. Data penjualan 3 tahun terakhir
281
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
B. Peramalan kebutuhan bahan baku Hasil dari konversi data penjualan tersebut digunakan sebagai data kebutuhan bahan baku per periodenya, data kebutuhan bahan baku kemudian digunakan untuk peramalan perencanaan pengadaan bahan baku dengan melakukan peramalan permintaan bahan baku untuk satu tahun mendatang. Menurut Handoko (2005), peramalan jangka pendek merupakan peramalan yang dilakukan untuk penyusunan hasil ramalan yang waktunya satu tahun atau kurang. Peramalan kebutuhan bahan baku menggunakan software SPSS 17. Berdasarkan hasil peramalan, pola data peramalan termasuk dalam pola data musiman (seasonal). Menurut Nasution (2003), pola musiman merupakan karakteristik dari beberapa rangkaian permintaan, fluktuasi permintaan suatu produk dapat naik turun di sekitar garis trend dan biasanya berulang setiap tahun. Pola data peramalan kebutuhan tepung maizena dapat dilihat pada Gambar 3.
C. Safety stocks Safety stock atau persediaan pengaman merupakan jumlah persediaan bahan yang harus disediakan oleh perusahaan untuk mencegah terjadinya kekurangan (stockout). Besarnya safety stock ditentukan berdasarkan besarnya permintaan selama lead time. Hasil perhitungan menunjukkan jumlah safety stock adalah 2087,5 kg, artinya perusahaan harus menambahkan tepung maizena sebanyak 2.087,5 kg pada kapasitas produksi awal periode untuk mengantisipasi terjadinya kekurangan bahan baku (stockout of inventory). D. Perhitungan dengan pendekatan SCM Perhitungan supply chain management dimulai dengan menghitung starting inventory, on order, order up to target, dan order quantity. Nilai order quantity pada periode sekarang akan menjadi nilai on order periode berikutnya. Hasil perhitungan dari perencanaan pengadaan bahan baku untuk produksi bihun kering dengan pendekatan supply chain management dapat dilihat pada Tabel 2
Gambar 3. Hasil peramalan kebutuhan tepung maizena selama 1 tahun
282
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 Tabel 2. Hasil Perhitungan Supply Chain Management Perencanaan Kebutuhan Tepung Maizena Periode Juli 2011- Juni 2012 Periode
Starting Inventory (I)
On Order (O)
Order Up to Target (R)
Order Quantity (Q)
Demand (D)
Juli 2011
24.606,14
21.518,64
66.643,42
20.518,64
21.518,64
Agustus
24.606,14
20.518,64
67.798,27
22.673,49
21.903,59
September
23.221,19
22.673,49
69.147,01
23.252,33
22.353,17
Oktober
23.541,51
23.252,33
66.954,28
20.160,44
21.622,26
Nopember
25.171,58
20.160,44
61.256,17
15.924,15
19.722,89
Desember
25.609,13
15.924,15
73.772,23
32.238,95
23.894,91
Januari 2012
17.638,37
32.238,95
61.339,42
11.462,10
19.750,64
Februari
30.126,68
11.462,10
62.771,32
21.182,54
20.227,94
Maret
21.360,84
21.182,54
65.874,91
23.331,53
21.262,47
April
21.280,91
23.331,53
66.564,94
21.952,50
21.492,48
Mei
23.119,96
21.952,50
61.278,01
16.205,55
19.730,17
Juni
25.342,29
16.205,55
67.260,37
25.712,53
21.724,29
285.624,74
250.420,86
790.660,35
254.614,75
255.203,45
23.802,06
20.868,41
65.888,36
21.217,90
21.266,95
Jumlah Rata-rata
untuk proses produksi tanpa ada kekurangan maupun kelebihan persedian.
E. Perbandingan biaya service level Dari data pemesanan aktual dan produksi yang dilakukan perusahaan bulan Juni 2010 hingga Juli 2011 dapat dilakukan perhitungan terhadap service level. Besarnya service level perusahaan adalah sebesar 103,76% atau 104%. Hal ini berarti perusahaan tidak mengalami kekurangan bahan baku untuk periode tersebut, tetapi perusahaan lebih mengalami 4% kelebihan bahan baku dari total kebutuhan bahan baku untuk proses produksi, sehingga dapat menambah biaya penyimpanan bahan baku. Perhitungan service level setelah pendekatan supply chain management dilakukan dengan menggunakan data order quantity (Q) perhitungan supply chain management dan demand hasil peramalan kebutuhan bahan baku untuk satu tahun ke depan. Hasil perhitungan service level setelah pendekatan supply chain management sebesar 99,77% atau 100%. Hal ini berarti bagian gudang dapat memenuhi semua kebutuhan bahan baku
Tabel 3. Perbandingan Service Level Gudang Bahan Baku Metode Aktual perusahaan Supply Chain Management Selisih
Service Level 104% 100% 4%
3.2 Biaya A. Biaya Aktual Perusahaan (Tanpa Pendekatan Supply Chain Management) 1. Biaya Pemesanan dan Pembelian (Ordering and Purchasing Cost) Selama ini perusahaan melakukan pemesanan bahan baku melalui telepon, sehingga biaya pemesanan meliputi biaya telepon dan biaya administrasi. Menurut data perusahaan, dalam satu bulan pemesanan rata-rata dilakukan sebanyak dua kali dengan tujuan tempat pemesanan adalah supplier di Surabaya dan Gresik. Biaya pembelian dihitung berdasarkan kuantitas bahan baku yang datang
283
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 Pendekatan metode supply chain management dapat mengurangi frekuensi pemesanan bahan baku karena jumlah bahan baku yang dipesan dan periode kedatangan sudah dapat ditentukan. Perhitungan biaya pemesanan dan pembelian adalah sebesar Rp 127.610.685,00/bulan. 2. Biaya Penyimpanan (Holding Cost) Biaya penyimpanan dalam penelitian ini meliputi biaya penerangan, biaya depresiasi gudang, biaya penyusutan bahan baku dan biaya tenaga kerja. Perhitungan biaya penyimpanan adalah sebesar Rp 7.723.055,60/bulan. 3. Biaya Kekurangan Persediaan (Shortage Cost) Biaya pembelian dihitung berdasarkan kuantitas bahan baku yang datang di perusahaan. Selama ini perusahaan tidak menanggung biaya transportasi untuk kedatangan bahan baku sehingga biaya pembelian hanya dipengaruhi oleh harga bahan baku. 4. Total Biaya Pengadaan Bahan Baku (Total Cost) Total biaya pengadaan bahan baku setelah pendekatan metode supply chain management adalah sebesar Rp 135.333.741,00/bulan. Perhitungan total biaya
di perusahaan. Selama ini perusahaan tidak menanggung biaya transportasi untuk kedatangan bahan baku sehingga biaya pembelian hanya dipengaruhi oleh harga bahan baku. Dari hasil perhitungan, diperoleh hasil biaya pemesanan dan pembelian adalah sebesar Rp 147.158.960,00/bulan. Tingginya total pemesanan dan pembelian tepung maizena dikarenakan perusahaan tidak melakukan perhitungan secara terperinci mengenai berapa jumlah tepung maizena yang harus dipesan sesuai dengan kebutuhan produksi. 2. Biaya Penyimpanan (Holding Cost) Biaya penyimpanan meliputi biaya penerangan, biaya depresiasi gudang, biaya penyusutan bahan baku dan biaya tenaga kerja gudang. Besarnya biaya penyimpanan yang didapatkan dari hasil perhitungan adalah sebesar Rp 8.310.555,60/bulan. 3. Biaya Kekurangan Persediaan (Shortage Cost) Perusahaan secara aktual jarang mengalami kekurangan persediaan, sehingga dapat memenuhi semua permintaan konsumen. Di lain sisi, perusahaan mengalami kelebihan bahan baku yaitu 4% dari jumlah kebutuhan bahan baku untuk proses produksi atau sebesar 28.049 kg dalam setahun. 4. Biaya Total (Total Cost) Total biaya pengadaan bahan baku diperoleh dari hasil penjumlahan seluruh komponen biaya pengadaan bahan baku. Total biaya pengadaan tepung maizena secara aktual perusahaan (sebelum pendekatan supply chain management) adalah sebesar Rp 155.496.516,00/bulan. B. Biaya Bahan Baku dengan Pendekatan Supply Chain Management 1. Biaya Pemesanan dan Pembelian (Ordering and Purchasing Cost)
Hasil perhitungan pengadaan bahan baku antara sebelum dan sesudah pendekatan supply chain management, maka dapat diketahui bahwa biaya pengadaan dengan pendekatan metode supply chain management lebih rendah daripada pengadaan bahan baku aktual perusahaan (tanpa pendekatan supply chain management). Perbandingan biaya pengadaan bahan baku dapat dilihat pada Tabel 5.
284
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Tabel 5. Perbandingan biaya pengadaan bahan baku per bulan (dalam rupiah) Biaya Pemesanan dan Penyimpanan Kekurangan Total Pembelian Persediaan Metode Aktual 147.158.960,00 8.310.555,60 0 155.496.516,00 Perusahaan Supply Chain 127.610.685,00 7.723.055,60 0 135.333.741,00 Management 19.548.275,00 587.500,00 0 20.162.775,00 Selisih
gudang bahan baku pada perusahaan menjadi sebesar 100%, dengan menurunkan penyimpanan kuantitas tepung maizena. Dengan pendekatan supply chain management, bagian gudang dapat memenuhi kebutuhan bagian produksi tanpa mengalami kekurangan atau kelebihan. Total biaya pengadaan bahan baku perbulan setelah melakukan pendekatan supply chain management mengindikasikan penghematan yang cukup signifikan pada biaya total persediaan bahan baku.
Tabel 5 menunjukkan bahwa biaya pemesanan dan pembelian mengalami penurunan karena pada pendekatan supply chain management bahan baku yang dipesan dan dibeli berdasarkan perencanaan kebutuhan bahan baku sesuai dengan hasil peramalan dari data historis penjualan perusahaan. Untuk biaya kekurangan persediaan mengalami peningktan setelah pendekatan metode supply chain management, hal ini dikarenakan kuantitas bahan baku yang dipesan berkurang sesuai dengan kebutuhan bahan baku. Pada biaya penyimpanan menggunakan pendekatan supply chain management terdapat penurunan sebesar Rp 587.500,00 dari biaya penyimpanan secara aktual perusahaan, sehingga juga berpengaruh terhadap total biaya pengadaan bahan baku dengan yang mengalami penurunan sebesar Rp 20.162.775,00 perbulan, sehingga perusahaan bisa menghemat biaya total pengadaan bahan baku tiap bulannya.
5. DAFTAR PUSTAKA _________. 2011b. SPSS Forecasting 17.0. http://www.google.co.id/search? hl=jw&client=firefoxa&hs=n5f&rls =org.mozilla%3AenUS%3Aofficial &q=expert+modeler+forecasting&bt nG=search. Diakses tanggal 9 Juli 2011. Anonimous. 2011a . Bihun, SNI 01-29751992 Revisi SII. 0228-79. Agribisnis.deptan.go.id/xplore/files/.. ./SNI.../4.pdf. Diakses tanggal 23 Mei 2011. Handoko, T. 2005. Dasar-Dasar Manajemen Produksi dan Operasi. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. Nasution, A. 2003. Perencanaan dan Pengendalian Produksi. Prima Printing. Surabaya. Pujawan, I. 2010. Supply Chain Management Edisi Kedua. Guna Widya. Surabaya
4. KESIMPULAN Dalam penelitian perencanaan pengadaan bahan baku untuk produksi bihun kering dengan pendekatan supply chain management pada PT. Tunas Melati Perkasa ini dapat disimpulkan bahwa total pemesanan tepung maizena yang diterapkan setelah melakukan pendekatan supply chain management telah menyempurnakan Service level pada 285
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 Siagian, M. 2005. Applikasi Supply Chain Dalam Dunia Bisnis. PT Gramedia Pustaka. Jakarta. Wonojatun, C.S Tunggal, A., Karsono, Y., Larasati, V.A. 2009. Produksi Mi Berbahan Baku Tepung Jagung dengan Teknologi Sheeting. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Insitut Pertanian Bogor. Bogor.
286
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
TINJAUAN PROFIL PENGEMBANGAN KAWASAN HORTIKULTURA ANGGUR DI KABUPATEN BULELENG Sri Mulyani *), Bambang Admadi *), Ketut Satriawan *) , Made Hendra Mardiana*) *) Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana,
Abstrak Kabupaten Buleleng sebagai sentra komoditi anggur di Provinsi Bali beberapa tahun terakhir ini mengalami penurunan produksi, agar pengembangan kawasannya tepat maka profil kawasan hortikultura anggur perlu disusun didasarkan pada 6 (enam) pilar pengembangan hortikultura Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil pengembangan hortikultura anggur di Kabupaten Buleleng. Penelitian menggunakan metode survai dengan penentuan sampel lokasimenggunakanpurposive sampling. Sementara itu, responden yang terdiri dari petani / kelompok tani, stakeholder serta instansi terkait ditentukan dengan simple random sampling. Hasil penelitian menunjukan rata-rata pendapat responden yang menyatakan sesuai dan tidak sesuainya program : 1) pengembangan kawasan hortikultura 78,88% dan 20,00%, 2) penerapan GAP/SOP 68,88% dan 29,63%, 3) penerapan manajemen rantai pasokan (supply chain management) 59,10% dan 40,90%, 4) penerapan fasilitas terpadu investasi hortikultura 64,18% dan 33,32%, 5) pengembangan kelembagaan 19,99% dan 79,18%, 6a) peningkatan konsumsi hortikultura 44,06% dan 51,48% , sedangkan 6b) pada akselerasi eksport 7,91% dan 92,09%. Berdasarkan pelaksanaan program 6 pilar pengembangan hanya 4 program yaitu 1) pengembangan kawasan hortikultura; 2) penerapan GAP/SOP; 3) penerapan manajemen rantai pasokan; 4) penerapan fasilitas terpadu investasi hortikultura sudah dilaksanakan dengan rata-rata kesesuaianprogram cukup tinggi (67,76%). Namun 2 program yaitu 5) pengembangan kelembagaan dan 6) peningkatan konsumsi hortikultura serta akselerasi eksportdalam pelaksanaannya mempunyai rata-rata kesesuaian rendah (22,99%)
Kata kunci :anggur, Buleleng, 6 pilar pengembangan hortikultura. 2006). Komoditianggur merupakan komoditi yang pengembangannya masih terbatas. Hal ini dibuktikan dengan minimnya lokasi sentra pengembangan anggur di Indonesia, hanya meliputi Kota Buleleng (Bali), Kota Palu (Sulawesi Tenggara), dan Probolinggo (Jawa Timur) (Setiadi, 1986). Menurut Anonim (2010), Kabupaten Buleleng merupakan satusatunya sentra pengembangan komoditi anggur di Pulau Bali . Keberadaannya tanaman anggur telah dikenal dan ditanam
1. PENDAHULUAN Keragaman karakteristik lahan, agroklimat serta sebaran wilayah yang luas memungkinkan wilayah Indonesia digunakan untuk pengembangan hortukultura tropis dan sub tropis. Indonesia merupakan salah satu negara penghasil buah tropis yang memiliki keanekaragaman dan keunggulan cita rasa yang cukup baik bila dibandingkan dengan buah-buahan dari negara-negara penghasil buah tropis lainnya (Anonim.
287
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 tergantung sehingga tidak dapat terpisahkan. Ke enam pilar ini merupakan fokus kegiatan prioritas dalam mengembangkan hortikultura yang dilakukan dengan simultan dan terintegrasi antara pusat, provinsi, dan kabupaten dalam memfasilitasi dan mempermudah akses swasta/pengusaha untuk mengembangkan hortikultura (Anonim, 2008). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil pengembangan kawasan hortikultura anggur di Kabupaten Buleleng. Diharapkan dari penelitian ini akan tersedia “data base” pengembangan kawasan hortikultura anggur di Kabupaten Buleleng dan sebagai informasi ilmiah dalam pengembangan kawasan hortikultura anggur di Kabupaten Buleleng
sejak tahun 1984 di desa Pengastulan, Kecamatan Seririt, Kabupaten Buleleng sejak saat itu tanaman ini mulai berkembang dengan pesat ke desa-desa, hingga sampai ke Kecamatan Gerokgak dan Kecamatan Banjar. Varietas tanaman yang ditanam meliputi: Gross Colman, Frakenthaler, Isabella, Alphonso Lavalle, dan Briliant. Berdasarkan data statistik pada tahun 2009 tercatat luas lahan penanaman anggur di kabupaten Buleleng adalah 1.118,51 ha dengan populasi 592,668, dengan produksi 14.841 ton buah anggur. Hasil ini merupakan produksi dari 3 kecamatan penghasil utama anggur yaitu Kecamatan Banjar : 6.486 ton, Kecamatan Seririt : 4.501 ton dan Kecamatan Gerogak : 3.851 ton. Sebagai satu-satunya sentra pengembangan komoditi anggur di Bali, saat ini Buleleng mengalami permasalahan karena beberapa tahun terakhir ini produksi anggur di Kabupaten ini mengalami penurunan. Berkaitan dengan hal tersebut maka profil kawasan hortikultura anggur perlu disusun agar pengembangannya tepat. Penyusunan profil ini didasarkan pada 6 (enam) pilar pengembangan hortikultura dengan kegiatan utama, yaitu : 1) pengembangan kawasan agribisnis hortikultura, 2) penerapan manajemen rantai pasokan (supply chain management/SCM), 3) penerapan budidaya pertanian yang baik (Good Agriculture Practices/GAP) & Standard Operating Procedure (SOP),4) fasilitasi terpadu investasi hortikultura (FATIH), 5)pengembangan kelembagaan usaha, serta 6) peningkatan konsumsi dan ekspor (Anonim, 2008). Enam pilar pengembangan hortikultura ini digunakan untuk profil pengembangan kawasan hortikultura anggur di Kabupaten Bulelelng karena keenam pilar ini mampu mengatasi berbagai kandala dan permasalahan yang terkait dalam upaya peningkatan produksi, mutu, daya saing produk hortikultura dan keenam program kegiatan ini merupakan satu kesatuan yang saling terkait dan
2.METODE PENELITIAN Penelitian menggunakan metode survai dengan penentuan sampel lokasimenggunakanpurposive sampling. Sementara itu, responden yang terdiri dari petani / kelompok tani, stakeholder yaitu pengepul lokal, pengepul desa, dan pedagang besar. serta instansi terkait ditentukan dengan simple random sampling. Lokasi penelitian adalah di Kecamatan Banjar, Kecamatan Seririt dan Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng, penelitian ini dimulai dari bulan Desember 2010 – Februari 2011. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1.Pengembangan kawasan agribisnis hortikultura Pengembangan kawasan agribisnis hortikultura anggur terpusat di tiga kecamatan yaitu Kecamatan Banjar, Seririt dan Gerokgak. Tujuan dari pengembangan kawasan agribisnis hortikultura adalah meningkatkan produksi, produktivitas dan mutu hasil pertanian.Nilai rata-rata pendapat responden pada pengembangan kawasan hortikultur, dapat dilihat padaTabel 1.
288
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 Tabel 1 menunjukan bahwa nilai rata-rata pendapat responden pada program kawasan pengembangan hortikultura anggur sebanyak 78,88% menyatakan ya, 20,00% menyatakan tidak, dan 1,12% menyatakan dalam proses. Dari Tabel 4 nampak bahwa kontribusi terbesar dari jawaban responden yang menyatakan tidak adalah pada uraian no 2 dan uraian no 3 hal ini karena sampai saat ini belum ada pengkajian terhadap kawasan agribisnis di beberapa desa di Kabupaten Buleleng. Kajian kawasan agribisnis
memerlukan partisipasi dari semua stakeholder, masyarakat sebagai pengelola, dan peran serta instansi pemerintah terkait baik itu pemerintah daerah, Badan Pengkajian Teknologi Pertanian/BPTP, maupunBalai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura/BPTPH. Hal ini merupakan bentuk tanggung jawab dalam rangka penyediaan produk anggur Buleleng dengan jumlah dan mutu yang memadai.
Tabel 1.Nilai rata-rata pendapat responden pada pengembangan kawasan hortikultura anggur. Pendapat (%) Tidak Dalam proses
No
Uraian
Ya
1
Keberadaan Kawasan agribisnis hortikultura telah sesuai dengan RUTR Kajian tentang kawasan Agribisnis Keterlibatan instansi terkait/pemangku kepentingan dalam penetapan kawasan agribisnis hortikultura Koordinasi/sosialisasi dengan kabupaten yang masuk dalam kawasan Identifikasi potensi lahan & kondisi agroklimat Identifikasi potensi areal pengembangan komoditas anggur di Kabupaten Buleleng
100
-
-
13,33 40
73,34 60
13,33 -
93,3 100 53,4
6,7 46,6
-
93,3
6,7
-
100 100 60 100 93,3
40 6,7
-
78,88
20,00
1,12
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Identifikasi masa panen dari komoditas anggur di Kabupaten Buleleng Identifikasi sarana & prasarana pengairan di kawasan Identifikasi sarana & prasarana jalan di kawasan Identifikasi sarana & prasarana pasca panen di kawasan Identifikasi alur rantai pasar komoditas anggur di Kabupaten Buleleng Identifikasi tujuan pasar dari komoditas anggur di Kabupaten Buleleng Rata-rata
Dalam uraian no.6, 46,6% responden menyatakan tidakkarena dalam pengembangan potensi areal komuditas anggur, belum ada sosialisasi dan pembinaan, dari Badan Pengkajian Teknologi Pertanian/BPTP maupun dari balai pelatihan sehingga anggur Buleleng belum bisa menjadi unggulan daerah. Responden juga berpendapat kurangnya sarana dan prasarana pasca panen anggur dalam rangka mengembangkan kawasan hortikultura anggur di Buleleng, padahal sarana dan prasarana pascapanen ini sangat diperlukan agar komoditas anggur dapat dipertahankan mutunya sampai ke tangan konsumen.
3.2 Penerapan budidaya pertanian yang baik (Good Agriculture Practices/GAP) & (Standard Operating Procedure/SOP) Penerapan GAP/SOP menjadi panduan umum dalam melaksanakan budidaya tanaman buah khususnya anggur. Nilai rata-rata pendapat responden pada penerapan budidaya pertanian yang baik (Good Agriculture Practices/GAP) & (Standard Operating Procedure/SOP) dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 menunjukan bahwa nilai rata-rata pendapat responden pada program penerapan GAP/SOP komuditi
289
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 buah anggur sebanyak 68,88%menyatakan ya, 29,63%menyatakan tidak, dan 1,49%menyatakan dalam proses. Dari Tabel 2 nampak bahwa kontribusi terbesar dari jawaban responden yang menyatakan tidak adalah pada uraian no 2, 5 dan tingginya presentase dari kedua uraian diatas karena kurangnya peran pemerintah dalam memperbanyak dan mendistribusikan buku penerapan GAP dan SOP sehingga berdampak pada tidak terpenuhinya standar tersebut (uraian no 5). Terdapatnya banyak kendala pada uraian no 6 diantaranya karena mahalnya biaya pencetakan dan penditribusian sehingga pendistribusian buku GAP dan SOP tidak merata. Kendala yang juga ditemui adalah kurang dikoordinasi dengan BPTP dan Perguruan tinggi sehingga penerapannya tidak berjalan sesuai harapan meskipun pemerintah tingkat provinsi dan tingkat kabupaten telah menerapkan GAP pada kebun percontohan, pelatihan dan evaluasi
kebun. Beberapa kendala dilapangan. Misalnya belum adanya Otoritas Kompeten Keamanan Pangan Daerah (OKKPD) dan akreditasi, juga menghambat diterapkannya GAP dan SOP Jawaban tidak tertinggi berikutnya terdapat pada uraian no. 8, tidak dimilikinya kemitraan dengan pihak swasta disebabkan petani lebih memilih menjual produknya kepada para pengepul maupun pedagang besar karena dengan cara tersebut petani tidak perlu mengeluarkan biaya untuk trasportasi, tenaga pemetik dan tenaga pengangkut. Sedangkan uraian no 9 sebanyak 33,3% menyatakan tidakkarena dalam pelaksanaan, registrasi kebun Dinas Pertanian Provinsi belum sepenuhnya mampu mengkaji semua wilayah yang menjadi lahan penanaman komuditas anggur, saat ini kebun untuk perluasan penerapan GAP/SOP telah ada namun program ini tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Tabel 2. Nilai rata-rata pendapat responden padapenerapan GAP dan SOP Pendapat (%) Tidak Dalam proses
No
Uraian
Ya
1
Apakah ada sosialisasi penerapan GAP kepada aparat dan stake holder. Apakah dari pemerintah telah memperbanyak dan mendistribusikan buku penerapan GAP kepada kelompok tani. Dalam penerapan GAP / SOP apakah sudah ada tenaga terlatih dalam penerapannya. Apakah dalam penerapan GAP/SOP telah tersedia kebun percontohan. Apakah dalam penerapan langkah-langkah SOP sudah memenuhi standar dan telah sesuai dengan panduan yang telah dibuat Apakah penerapan langkah-langkah SOP , di ketemukan kendala dalam penerapannya. Kebun penerapan GAP/SOP diarahkan Apakah ada kemitraan kelopok tani dalam penerapan GAP/SOP dengan pihak swasta Apakah dalam penerapan GAP/SOP telah ada pelaksanaan registrasi kebun GAP/SOP oleh Dinas Pertanian Provinsi dan kebun untuk perluasan penerapan GAP/SOP Rata-rata
100
-
-
13,3
86,7
-
93,3
6,7
-
80
13,3
6,7
60
33,3
6,7
60
40
-
100 46,7
53,3
-
66,7
33,3
-
68,88
29,63
1,49
2
3 4 5
6 7 8 9
290
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 rantai pasokan belum teridentifikasi dengan baik dan tidak effisien menyangkut : pasar, alur pasar, pelaku pasar, kondisi rantai pasar, survey keinginan konsumen, harga yang diterima petani dan sistem pembayaran. Kondisi ini tentu saja sangat merugikan petani anggur karena pasar bagi komoditas anggur tidak jelas. Hal ini yang menyebabkan produksi anggur terus menurun, karena pasar dan harga komoditi tidak transparan
3.3. Penerapan manajemen rantai pasokan (supply chain management/SCM) Tabel 3menunjukan bahwa nilai ratarata pendapat responden pada penerapan manajemen rantai pasokan sebanyak 59,10%menyatakan ya ,dan 40,90%menyatakan tidak. Dari Tabel 2 nampak bahwa kontribusi terbesar dari jawaban responden yang menyatakan tidak adalah pada uraian no 1 sampai dengan no. 9 . Keadaan ini menunjukkan bahwa secara garis besar
Tabel 3. Nilai rata-rata pendapat responden pada penerapan manajemen rantai pasokan (%) Ya
No
Uraian
1 2 3
Identifikasi tujuan pasar komuditas Identifikasi alur rantai pasokan pasar komiditas anggur Apakah ada pelaku-pelaku usaha yang berperan dalam rantai pasokan anggur Apakah kondisi rantai pasokan pasar komuditas anggur yang ada telah efisien, transparan dan komunikasi antar pelaku dalam rantai pasokan telah berjalan dengan lancer Apakah pernah dilakukan survey pasar untuk mengetahui keinginan konsumen terhadap kualitas produk anggur yang dihasilkan Apakah komuditas anggur yang telah dihasilkan sudah memenuhi keinginan konsumen baik dari segi harga, dan mutu Apakah pelaku usaha dalam setiap mata rantai pasokan telah menerima harga yang wajar / adil Apakah produk yang dihasilkan petani anggur telah memiliki harga jual yang tinggi terhadap pedagang/tengkulak/pengepul Apakah system pembayaran dalam rantai pasokan sudah berjalan dengan baik ( tidak merugikan produsen) Prasarana kondisi jalan usahatani
4
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Sarana kondisi jalan ke usahatani Apakah telah tersedia sarana prasarana pasar Apakah tersedia kelembagaan/intitusi dalam setiap rantai pasokan Apakah telah tersedia sarana dan prasarana pendukung untuk memperlancar rantai pasokan Tersedianya system informasi jaringan komunikasi Rata-rata
Pendapat (%) Tidak Dalam proses
26,7 26,7 100
73,3 73,3 -
-
20
80
-
20
80
-
33,3
66,7
-
20
80
-
6,7
93,3
-
46,6
53,4
-
100
-
-
93,3 100 100 93,3
6,7 6,7
-
100 59,10
40,90
-
sekaligus dapat meningkatkan daya saing produk. Tabel 4 menunjukan nilai ratarata pendapat responden pada fasilitas terpadu investasi hortikultura (%) sebanyak 64,18%menyatakan ya, 33,32% menyatakan tidak dan dalam proses
3.4. Penerapan fasilitas terpadu investasi hortikultura Fasilitasi Terpadu Investasi Hortikultura merupakan konsep yang digunakan untuk menciptakan iklim usaha di bidang hortikultura yang kondusif 291
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 sebanyak 2,5%. Dari Tabel 4 nampak bahwa kontribusi terbesar dari jawaban responden yang menyatakan tidak adalah pada uraian no. 1 sampai penelitian dilakukan hanya ada dibeberapa desa saja yang menjadi binaan dari Dinas Pertanian sebagai profil kawasan anggur. Sehingga . tingginya presentase jawaban tidak ini disebabkan tidak terdapatnya data yang transaparan profil kawasan hortikultura anggur pada desa sentra penanaman anggur yang bukan/belum menjadi binaan Dinas Pertanian. Pada uraian no 2 presentase yang menyatakan tidak sebanyak 73,3% dan uraian no 3 sebanyak 80%, tingginya kedua presentase ini disebabkan tidak adanya pertemuandan dan kurangnya sosialisasi yang terkait permasalahan penerapan rancang bangun, kurangnya peran serta pemerintah daerah, Badan Pengkajian Teknologi Pertanian/BPTP, Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura/BPTPH dalam hal menyebarluaskan rancang bangun dan
pembuatan road map pengembangan kawasan. Sedangkan uraian no 4 menurut pendapat responden yang menyatakan tidak sebanyak 93,3% pelayanan teknologi, pelayanan perijinan 66,7%, pelayanan karantina dan pertanahan dari Dinas Pertanian 86,7% menyatakan tidak, tingginya presentase pada masing-masing pelayanan publik ini diakibatkan pemerintah telah memberikan sarana pelayanan publik namun tidak adanya sosialisasi dari pemerintah dan kurangnya tenaga pendamping dalam memberikan pembelajaran terkait fasilitas yang diberikan. Untuk beberapa fasilitas pelayanan publik seperti jalan raya, jalan kabupaten, jalan desa, jalan usaha tani, infrastruktur pengairan, pelayanan saprodi, keuangan, trasportasi, komunikasi, informasi, dan pemasaran telah tersedia tetapi hanya pada wilayah-wilayah yang mudah dijangkau saja.
Tabel 4.Nilai rata-rata pendapat responden pada fasilitas terpadu investasi hortikultura (%)
No 1 2 3
4
Ya (%)
Uraian Profil Kawasan Rancang bangun pengembangan kawasan Apakah ada publikasi Rancang Bangun dan Road Map (alur) pengembangan kawasan dari Dinas Pertanian Apakah telah tersedia fasilitas pelayanan public • Jalan raya/provinsi • Jalan kabupaten • Jalan desa • Jalan usaha tani • Infrastruktur pengairan • Pelayanan saprodi • Pelayanan keuangan (bank/non bank) • Pelayanan trasportasi • Pelayanan komunikasi dan informasi • Pelayanan teknologi • Pelayanan pemasaran/ perdagangan • Pelayanan perijinan • Pelayanan karantinan dan pertanahan Rata-rata
292
Pendapat Tidak (%)
Dalam proses (%)
33,3% 6,7% -
66,7% 73,3% 80%
20% 20%
100% 100% 100% 93,3% 100% 73,3% 80% 93,3% 100% 6,7% 93,7% 33,3% 13,3% 64,18
6,7% 26,7% 20% 6,7% 93,3% 6,3% 66,7% 86,7% 33,32
2,5
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 Responden menyatakan bahwa pengembangan kelembagaan telah terbentuk kelompok-kelompok tani dan gapoktan, namun disayangkan belum adanya jejaring antra kelompok tani, maupun kemitraan antar kelompok tani dengan pengusaha. Kelembagaan petani juga kurang berperan dalam rantai pasok, maupun dengan asosiasi pedagang.
3.5. Pengembangan kelembagaan Tabel 5 menunjukan nilai rata-rata pendapat responden pada pengembangan kelembagaan sebanyak 19,99 % menyatakan ya, 79,18% menyatakan tidak dan hanya 0,83% masih dalam proses. Dalam pengembangan kelembagaan yang menyatakan tidak sebanyak 79,17%. Berdasarkan hasil penelitian keberadaan kelompok tani dalam mengembangkan komoditas anggur Buleleng masih terbatas.
Tabel 5 . Nilai rata-rata pendapat responden pada pengembangan kelembagaan (%) No 1 2 3 4 5 6 7 8
Uraian Apakah ada keberadaan kelompok tani dalam mengembangkan komoditas unggulan di kawasan Keberadaan gabungan kelompok tani (Gapoktan) dalam mengusahakan komoditas unggulan Jejaring antar kelompok tani Kemitraan antara kelompok tani dengan pedagang / pengusaha Peranan kelembagaan petani dalam rantai pasokan Pertemuan antar petani - kelompok tani/ Gapoktan dengan asosiasi petani, asosiasi pedagang Asosiasi pedagang di kawasan kemitraan kelembagaan petani dengan P4S Rata-rata
Semua responden menyatakan belum adanya pengembangan kelembagaan asosiasi pedagang kawasan dan kemitraan antar petani dengan Pusat Pelatihan Pendidikan dan Penyuluhan Swadaya/P4S. Keadaan ini menunjukkan bahwa pengembangan kelembagaan hanya terjadi pada tingkat kelompok tani dan sebatas pada komoditasnya, sedangkan pengembangan kelembagaan yang lain dilakukan tapi prosentasenya kecil. Hal ini menyebabkan komoditas anggur tidak jelas arah pengembangannya, karena pengembangaan kelembagaan baru 19.19% terlaksana
Ya (%) 73,3%
Pendapat Tidak Dalam proses (%) (%) 26,7% -
33,3%
66,7%
-
6,7% 13,3%
93,3% 80%
6,7%
20% 13,3%
80% 86,7%
-
19,99
100% 100% 79,18
0,83
konsumsi hortikultura sebanyak 44,06%menyatakan ya, 51,48% menyatakan tidak dan yang dalam proses sebanyak 4,46%. Prosenstase jawaban tidak tertinggi dalam rangka peningkatan konsumsi terdapat pada uraian no. 3,4,5,8,9,11,13 dan 15. Tidak jelasnya pasar dan rantai pasokan komoditi (pilar ke 3) menyebabkan ketidak jelasan volume produksi, mutu produk serta waktu produksi, hal ini tercermin dari jawaban responden yang menyatakan tidak pada uraian no 3,4 dan 5. Kondisi ini juga berdampak pada tidak jelasnya waktu pengiriman, volume permintaan, peraturan distribusi serta ketersediaan produk di pasar sehingga responden yang menyatakan tidak prosentasenya juga tinggi untuk uraian no.8, 9,11 dan 13. Melihat kondisi tersebut promosi komoditas dan manfaat produk sedang
3.6.Peningkatan konsumsi hortikultura dan akselerasi ekspor Tabel 6 menunjukan nilai rata-rata pendapat responden pada peningkatan
293
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 dilakukan dalam proses, hal ini terlihat dari jawaban responden pada uraian no.14 dan 15, adanya promosi dan manfaat produk diharapkan akan meningkatkan peningkatan konsumsi. Tersedia infrastuktur, sarana pengangkutan dan
pengemasan yang baik untuk distribusi produk akan mendukung pengembangan komoditas anggur.
Tabel 6. Nilai rata-rata pendapat responden (%) pada peningkatan konsumsi hortikultura No
Uraian
1 2
Tersedia lahan untuk mengembangkan komoditas Produsen memproduksi jenis produk yang dibutuhkan konsumen Produsen memproduksi dengan volume sesuai yang dibutuhkan konsumen Produsen menghasilkan mutu produk yang sesuai dengan keinginan konsumen Produsen dapat memenuhi kebutuhan sesuai dengan waktu yang dibutuhkan oleh konsumen. Tersedia infrastruktur yang dibutuhkan untuk distribusi produk Tersedianya sarana pengangkutan yang memadai untuk produk segar. Produsen mengetahui waktu pengiriman produk yang diminta pasar. Produsen mengetahui volume permintaan pasar. Produk dikemas dalam kemasan yang menjamin mutu dan tingkat kesegaran produk Tersedianya peraturan yang mendukung kelancaran distribusi. Tersedia sarana pemasaran produk yang mudah dijangkau oleh konsumen. Produk selalu tersedia di tempat pemasaran. Melakukan promosi pemasaran produk hortikultura Sosialisasi manfaat produk hortikultura bagi kesehatan Tersedia produk dengan harga terjangka Pengemasan produk yang sesuai dengan kemampuan daya beli masyarakat Tidak adanya pungutan yang dapat membuat harga produk mahal Rata-rata
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Pendapat (%) Tidak Setuju setuju 73,3 26,7 73,3 20
Dalam proses 6,7
-
93,3
6,7
33,3
60
6,7
-
93,3
6,7
73,3
26,7
-
86,7
13,3
-
13,3
86,7
-
26,7 66,7
73,3 33,3
-
6,7
93,3
-
80
20
-
13,3 20 13,3 73,3 66,7
86,7 53,3 60 26,7 33,3
26,7% 26,7% -
73,3
26,7
-
44,06
51,48
4,46
prosentase hanya 7,91%. Terdapat 13 komponen penting dengan prosentase 92.09% yang perlu disiapkan dalam mendukung akselerasi eksport seperti yang tercantum dalam Tabel 7. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa komoditas anggur belum siap untuk akselerasi eksport.
Tabel 7. menunjukan nilai ratarata pendapat responden pada peningkatan akselerasi ekspor komoditi yang menyatakan ya sebanyak 7,91%, dan 92,09% menyatakan tidak. Hasil tersebut menunjukkan bahwa dari 16 hal yang harus dipenuhi hanya ada 3 hal yang menurut responden bisa dipenuhi dengan
294
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Tabel 7. Nilai rata-rata pendapat responden (%).pada peningkatan akselerasi ekspor komoditi No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Uraian
Ya
Tersedia lahan untuk mengembangkan komoditas ekspor Produsen memahami standar mutu yang dibutuhkan pasar ekspor Produsen mengetahui tingkat kebutuhan dari negara tujuan ekspor Terdapat eksportir yang berkomitmen Eksportir memahami prosedur ekspor ekspor komoditas hortikultura di masing-masing negara tujuan Eksportir mengetahui standar mutu masing-masing negara tujuan ekspor Eksportir melakukan pembinaan kepada produsen Eksportir mengetahui waktu kebutuhan dari jenis komoditas hortikultura di negara tujuan ekspor Tersedia infrastruktur yang memperlancar distribusi produk ekspor Tersedianya rumah pengepakan yang teregistrasi Tersedianya sarana penyimpanan yang dibutuhkan Tersedianya sarana pengangkutan yang memadai Tersedia informasi tentang peraturan mengenai prosedur ekspor dari negara-negara tujuan ekspor Tersedianya persyaratan SPS yang dibutuhkan Telah disusun protokol ekspor untuk komoditas hortikultura Adanya mitra eksportir di Negara tujuan ekspor Rata-rata
Pendapat (%) Tidak Dalam proses
20% -
80% 100%
-
66,7%
33,3%
-
-
100% 100%
-
-
100%
-
-
100% 100%
-
-
100%
-
40% -
100% 100% 60% 100%
-
7,91
100% 100% 100% 92,09
-
hortikultura; 2) penerapan GAP/SOP; 3) penerapan manajemen rantai pasokan; 4) penerapan fasilitas terpadu investasi hortikultura sudah dilaksanakan dengan rata-rata kesesuaianprogram 67,76 %. Namun 2 program yaitu 5) pengembangan kelembagaan dan 6) peningkatan konsumsi hortikultura serta akselerasi eksportdalam pelaksanaannya mempunyai rata-rata kesesuaian rendah 22,99%
4. PENUTUP 4.1 Kesimpulan 1. Hasil penelitian menunjukan rata-rata pendapat responden yang menyatakan sesuai dan tidak sesuainya program : 1) pengembangan kawasan hortikultura 78,88% dan 20,00%, 2) penerapan GAP/SOP 68,88% dan 29,63%, 3) penerapan manajemen rantai pasokan (supply chain management) 59,10% dan 40,90%, 4) penerapan fasilitas terpadu investasi hortikultura 64,18% dan 33,32%, 5) pengembangan kelembagaan 19,99% dan 79,18%, 6a) peningkatan konsumsi hortikultura 44,06% dan 51,48% , sedangkan 6b) pada akselerasi eksport 7,91% dan 92,09%. 2. Berdasarkan pelaksanaan program 6 pilar pengembangan hanya 4 program yaitu 1) pengembangan kawasan
4.2 Saran Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disarankan yaitu perlu dilakukan usaha pembinaan dan sosialisasi secara berkelanjutan dalam pelaksanaan program pengembangan hortikultura yang telah di canangkan pemerintah daerah maupun kabupaten utamanya pada
295
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 pengembangan kelembagaan, peningkatan konsumsi hortikultura dan akselerasi ekspor hortikultura sehingga kecendrungan pada sinergi peningkatan 6 pilar pengembangan hortikultura khususnya anggur pada akhirnya dapat peningkatan kesejahteraan para pelaku usaha.
5. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2006. Kebijakan Pembangunan Pertanian Pemerintah Kabupaten Buleleng (Strategi Pengelolaan Pertanian Lahan Kering). Makalah disampaikan pada Lokakarya Pemantapan dan Sinkronisasi Primatani, 12-13 Juli 2006. Pemerintah Kabupaten Buleleng. Bappeda. Anonim, 2008. Membangun Hortikultura Berdasarkan Enam Pilar Pengembangan. Direktorat Jendral Hortikultura. Departemen Pertanian, Jakarta. Anonim, (2010), Buah Anggur sumber antioksidan. http://E:/anti aging/ buah anggur sumber anti oksidan. Anonim, 2010. Sistem Pertanian Organik Pada Tanaman Anggur Di Kabupaten Buleleng. Dinas Pertanian dan Pertenakan. Pemerintah Kabupaten Buleleng. Christopher M, 1998. Logistics and Supply Chain Management: trategies for Reducing Cost and Improving Services. Londong: Prentice-Hall, Inc. Irawan, B. 2003. Membangun Agribisnis Hortikultura Terintegrasi dengan Basis Kawasan Pasar. Forum Penelitian Agro Ekonomi.Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Pujawan, IN, 2005. Supply Chain Management. Guna Widya. Setiadi, S. 1986. Bertanam Anggur. PT Penebar Swadaya, Jakarta. Setiadi. 2000. Bertanam Anggur.Penebar Swadaya Jakarta. 86 h.
296
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
KLASTERISASI USAHA/INDUSTRI KECIL BERBASIS KHARAKTERISTIK DAERAH UNTUK MEWUJUDKAN EFISIENSI DAN EFEKTIVITAS PENGEMBANGAN INDUSTRI DI KABUPATEN MAGELANG Pujo Saroyo*) *) Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengelompokkan agroindustri skala kecil yang mempunyai kharakteristik yang hampir sama/saling tergantung atau membutuhkan ke dalam beberapa wilayah kecamatan di kabupaten Magelang yang mempunyai kharakteristik yang mendukung pertumbuhan industri-industri tersebut. Dengan melakukan survei dilapangan dan wawancara, data-data mengenai industri-industri yang potensial, kharakteristik industri dan kharakteristik daerah dikumpulkan. Selanjutnya, berdasarkan data tersebut, industri– industri yang saling tergantung atau membutuhkan dikelompokkan dengan menggunakan metode klasterisasi urutan rangking atau rank order clustering (ROC). Hasil analisis menunjukkan bahwa agroindustri skala kecil di kabupaten Magelang dapat dikelompokkan ke dalam 12 klaster industri menurut scenario VI dengan nilai efisiensi pengklasteran sebesar 74,40 %. Penempatan klaster-klaster industri yang terbentuk dengan metode angka indeks gabungan menunjukkan bahwa dari 21 kecamatan yang ada di kabupaten Magelang, hanya 13 kecamatan yang dianggap signifikan untuk mendukung pengembangan klasterklaster agroindustri skala kecil yang terbentuk.
Kata kunci: Agro-industri skala kecil, klasterisasi, Rank Order Clustering
permasalahan yang antara lain berkaitan dengan ketersediaan bahan baku dan peralatan industri yang mendukung, ketersediaan tenaga kerja yang sesuai, maupun kesulitan pemasaran produk. Pertumbuhan industri biasanya akan lebih cepat dicapai apabila suatu wilayah didukung oleh keberadaan industri besar yang berbasis pada sumber daya local sehingga mampu menjalankan kegiatan produksinya secara lebih efisien dan efektif dibanding industri-industri sejenis yang berskala kecil. Namun pada umumnya, keberadaan industri besar di suatu daerah tidak begitu banyak. Sebagian besar terdiri dari industri-industri yang berskala kecil (AgusSri, 2000). Bahkan industri-industri kecil tersebut pada umumnya mampu menyumbang
1. PENDAHULUAN Sejalan dengan rencana pelaksanaan otonomi daerah pada tahun 2001, daerah diberi kewenangan sepenuhnya untuk mengatur dan mengembangkan semua potensi yang ada di daerahnya guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Oleh karena itu, pemerintah-pemerintah daerah berlomba-lomba untuk mendorong tumbuhnya berbagai macam industri (industri baru) dengan harapan untuk meningkatkan pendapatan asli daerahnya. Jika dilakukan tanpa perencanaan yang jelas, tumbuhnya industri-industri baru, baik dengan atau tanpa bantuan dana pemerintah, tidak semuanya dapat berkembang dengan baik. Industri-industri baru akan banyak mengalami
297
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 secara lebih signifikan pada pendapatan asli daerah dibanding dengan industriindustri besar. Berdasarkan pada data tersebut, maka pengembangan industri sebaiknya tidak boleh menghilangkan perhatian pada pengembangan industriindustri kecil. Program pengembangan industri yang baik haruslah didasarkan pada potensi daerah yang ada dan memanfaatkan keberadaan industri-industri lain disekitarnya untuk membantu aktivitas produksinya. Oleh karena itu, agar program pengembangan industri dapat berjalan secara efektif dan efisien, industri-industri yang mempunyai kebutuhan saling melengkapi atau yang mempunyai kharakteristik yang hampir sama harus ditempatkan pada kelompok yang sama serta ditempatkan pada daerah atau kawasan yang mempunyai potensi untuk mendukung aktivitas industriindustri tersebut.
Dengan semakin berkembangnya penerapan filosofi Just-In-Time di dalam industri, yang mengutamakan pencapaian produk yang sangat berkualitas/menuju zero defects, kecepatan pemenuhan kebutuhan konsumen /menuju zero Lead Time, kemudahan mendapatkan bahan baku (menuju zero inventory) dan kecepatan persiapan produksi/menuju zero set-up time dan kedekatan dengan supplier atau pemasok bahan baku) usahausaha pengembangan industri juga harus mengakomodasi filosopi tersebut (Sneiderjans, 1997).
B. Konsep Teknologi Pengklasteran (Group technology) Salah satu konsep yang dianggap dapat mendukung penerapan filososi JutIn-Time adalah konsep teknologi pengelompokan (group technology). Teknologi pengelompokan menerapkan konsep kemiripan yaitu hal-hal yang mirip harus dikelompokkan pada kelompok yang sama/similar things should be done similarly (Askin and Standridge, 1993). Konsep seperti ini sukup popuper diterapkan di bidang manufaktur. Pengelompokan komponen yang mempunyai kharakteristik yang hampir sama/membutuhkan mesin-mesin produksi yang sama telah dibuktikan dapat mengurangi beaya penanganan bahan (traveling cost) serta dapat meningkatkan efisiensi produksi. Oleh karena itu muncul banyak metode pengelompokkan yang diantaranya adalah klasterisasi urutan rangking (rank order clustering atau ROC) yang dikembangkan oleh King pada tahun 1980 (Singh dan Rajamani, 1996). Dengan mendasarkan pada prinsip ROC maka akanlah sangat menarik untuk menerapkan metode tersebut untuk pengelompokan industri. Dengan analogi yang sama, industri-industri yang mempunyai kharakterisitik yang mirip sebaiknya dikelompokkan dan dikembangkan pada daerah yang sama. Daerah tersebut harus mempunyai kharakteristik yang dibutuhkan oleh
A. Klaster Industri (Industrial Clustering) Menurut Dyah (2000), klaster industri adalah penggabungan (aglomerasi) dalam suatu daerah atau antar daerah atau antar dari berbagai kekompok kegiatan yang terdiri dari industri inti, industri terkait, industri penunjang, industri jasa penunjang lainnya, yang dalam kegiatannya akan saling terkait dan saling mendukung peningkatan efisiensi dari masing-masing sub-kelompok sehingga daya saing yang tercipta cukup optimal. Kelemahan dari metode ini adalah bahwa pengembangan industri lebih difokuskan pada bagaimana agar industri-industri penunjang maupun industri terkait mendukung pertumbuhan industri inti. Dengan demikian, jika pertumbuhan industri-industri penunjang dan industri terkait terhambat maka perkembangan industri inti juga akan menjadi terhambat. Selain itu, metode dapat dianggap tidak memberikan peluang yang sama pada semua industri yang potensial untuk dapat berkembang dengan baik.
298
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 membaca entry angka 1 (satu) dan 0 (nol) sebagai suatu rangkaian bilangan biner yaitu:
industri-industri tersebut. Ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh dengan adanya pengelompokan industri, yang antara lain adalah, kebutuhan bahan baku industri dapat diperoleh dengan cepat, pemasaran produk dapat dilakukan dengan cepat, fasilitas-fasilitas industri dapat dimanfaatkan dengan efektif.
P
∑ (2P − p x apm)
Cm = p =1 dimana (apm = 0 atau 1) Urutkan kembali semua baris yang ada berdasar pada nilai desimal ekuivalen (Cm) yang semakin menurun. Jika ada urutan yang sama maka biarkan urutan tersebut tanpa mengalami perubahan. Langkah 2: Untuk kolom p = 1,2,…,P, hitung nilai desimal yang ekuivalen (rm) dengan membaca entry angka 1 (satu) dan 0 (nol) sebagai suatu rangkaian bilangan biner yaitu:
2. METODE PENELITIAN 2.1. Prosedur Pelaksanaan Penelitian mengambil lokasi survei di kabupaten Magelang. Pengumpulan primer dilakukan dengan menggunakan lembar kuesioner sedangkan data sekunder dengan kunjungan ke instansi yang terkait yang ada. Pelaksanaan penelitian dimulai dengan mengumpulkan data-data mengenai industri-industri yang potensial dikembangkan di kabupaten Magelang. Selanjutnya, dari dari industri-industri tersebut dapat dikumpulkan mengenai kharakteristik industri yang potensial baik mengenai bahan baku, bahan antara dan produk yang dihasilkan. Jika memungkinkan adanya dukungan data sekunder, data mengenai hasil sampingan (by-product), limbah yang dihasilkan, maupun jenis tenaga kerja juga akan yang digunakan sebagai penetuan kharakteristik industri. Selanjutnya, pengumpulan data mengenai jumlah daerah yang akan ditentukan sebagai pusat-pusat pengembangan industri berdasarkan kebijakan umum dari pemerintah daerah di Kab. Magelang juga dilakukan. Setelah hal tersebut ditentukan maka kharakteristik masing-masing daerah juga harus dikumpulkan.
M
∑ (2 M − m x apm )
dimana rm = m =1 (apm = 0 atau 1) Urutkan kembali semua kolom yang ada berdasar pada nilai desimal ekuivalen (Cm) yang semakin menurun. Jika ada urutan yang sama maka biarkan urutan tersebut tanpa mengalami perubahan. Langkah 3. Jika matriks nama industri dan kharakteristik yang diperoleh sudah tidak mengalami perubahan lagi maka langkah pengurutan dihentikan dan akan terbentuk beberapa kelompok industri. Jika belum maka Langkah satu kembali dilakukan. Proses klasterisasi industri dikatakan berhasil dengan baik apabila terbentuk kelompok-kelompok industri dimana kebutuhan mengenai bahan baku, bahan antara ataupun pemanfaatan produknya dapat dipenuhi oleh industriindustri dalam satu kelompoknya. Untuk mengukur tingkat kesuksesan pengklasteran industri ini, metode grouping efficiency (η) yang diusulkan oleh Chandrasekaran dan Rajagopalan digunakan (Singh dan Rajamani, 1996). Mengingat dalam
2.2. Analisis klasterisasi Analisis pengelompokan industri dilakukan dengan menggunakan metode klasterisasi urutan rangking (ROC). Caranya adalah sebagai berikut: Langkah 1: Untuk baris m = 1,2,…,M, hitung nilai desimal yang ekuivalen (Cm) dengan
299
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 dimana o − e d = η1 = o − e + v v
metode pengklasteran ini menggunakan symbol-simbol angka 0 (tidak ada keterkaitan antara jenis industri dan jenis bahan industri yang digunakan atau dimanfaatkan) dan angka 1 (ada keterkaitan antara jenis industri dan jenis bahan industri yang digunakan atau dimanfaatkan) maka letak angka 0 dan angka 1 akan menentukan tingkat efisiensi pengklasteran industri. Semakin banyak angka 1 dan semakin sedikit angka 0 yang berada di dalam blok diagonal hasil pengklasteran menunjukkan tingkat efisiensi yang tinggi. Demikian pula sebaliknya untuk angka 0 dan 1 yang ada di luar blok diagonal. Dengan menggunakan notasi-notasi berikut maka dapat dirumuskan: Notasi: M: banyaknya jenis industri yang akan diklasterisasi P: banyaknya jenis bahan baku, bahan antara, atau hasil produk yangakan diklasterisasi d : banyaknya angka 1 yang berada di dalam blok diagonal e: banyaknya angka 1 yang berada di luar blok diagonal Mc: banyaknya jenis industri dalam klaster c Pc: banyaknya jenis bahan baku, bahan antara, atau hasil produk dalam klaster c m : indeks dari jenis industri p: indeks dari jenis bahan baku, bahan antara, atau hasil produk o: banyaknya angka 1 di dalam matrik klasterisasi c: indeks dari klaster yang terbentuk v: banyaknya sel kosong (voids) dari solusi yang diperoleh
o
=
∑ v =
d =
P p =1
∑
∑ ∑
∑ C c =1
C
c =1
p ∈ Pc
M m =1
η2 =
diagonal (angka 0 dan 1). η 2 dapat diartikan sebagai rasio antara jumlah angka 0 di luar blok diagonal dengan semua angka di luar blok diagonal (angka 0 dan 1). Dengan memberikan angka bobot w sebesar 0,5 maka efisiensi pengklasteran mempertimbangkan secara imbang antara kedua ukuran tersebut. Nilai η yang semakin tinggi menunjukkan semakin baiknya hasil klasterisasi industri. Setelah beberapa kelompok industri terbentuk maka penempatan kelompokkelompok industri tersebut pada daerah mempunyai kharakteristik yang dibutuhkan dilakukan. Penempatan klaster industri ini menggunakan metode angka indeks gabungan yang menilai kesesuaian antara bahan baku utama yang dibutuhkan suatu klaster industri dengan potensi bahan baku atau bahan antara yang dapat disediakan oleh suatu daerah atau wilayah kecamatan di kabupaten Magelang. Sebagai contoh, jika bahan baku industri yang dibutuhkan suatu klaster industri adalah ketela dan tepung tapioka, sementara hasil pertanian suatu daerah/wilayah adalah ketela maka angka indeks gabungannya (nilai kesamaannya) diberi nilai 2 karena tepung tapioka juga dapat dibuat dari ketela. Angka indeks gabungan yang tertinggi menandakan suatu klaster yang sangat cocok dengan suatu daerah industri.
a pm
M c Pc − d
∑
m∈M
3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 3.1. Kondisi industri kecil di Kab. Magelang Ditinjau dari segi administrasi pembagian wilayahnya, kabupaten
a pm c
Efisiensi pengklasteran dihitung dengan menggunakan formula: = w η 1 +
MP − o − v MP − o − v + e
η 1 dapat diartikan sebagai rasio antara jumlah angka 1 di dalam blok diagonal dengan semua angka di dalam blok
e = o − d
η
dan
(1
− w )η 2
300
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 Magelang terdiri atas 21 kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah desa dan kelurahan. Pusat pemerintahan berada di Kecamatan Mungkid, Magelang. Namanama kecamatan tersebut adalah kecamatan Bandongan, Borobudur, Candimulyo, Dukun, Grabag, Kajoran, Kaliangkrik, Mertoyudan, Mungkid, Muntilan, Ngablak, Ngluwar, Pakis, Salam, Salaman, Sawangan, Secang, Srumbung, Tegalrejo, Tempuran, dan Windusari. Pada kenyataannya, pemerintah daerah kabupaten Magelang sudah memberikan fasilitas-fasilitas untuk mendukung pertumbuhan industri di kabupaten Magelang. Hal ini terlihat dengan banyaknya sentra-sentra industri yang tersebar di semua kecamatan di kabupaten Magelang. Sentra-sentra agroindustri yang berbasis pada hasil pertanian dan perkebunan di kabupaten Magelang dapat dilihat seperti pada Tabel 1.
Berdasarkan data statistik mengenai hasil pertanian dan perkebunan menurut wilayah kecamatan di kabupaten Magelang, maka potensi daerah (masingmasing wilayah kecamatan) untuk menghasilkan produk hasil pertanian dan perkebunan dapat dilihat seperti pada Tabel 2. Dari Tabel 1 dan 2 akan tampak jelas bahwa penempatan sentra agroindustri kurang memperhatikan potensi daerahnya.
3.2. Proses klasterisasi Proses klasterisasi agroindustri ini dilakukan tidak hanya mendasarkan pada industri-industri sentra yang sudah ada tetapi juga memasukkan agroindustri skala kecil berbasis hasil pertanian dan perkebunan lainnya yang selama ini sudah dikembangkan di kabupaten Magelang yang dapat digolongkan menjadi 34 jenis. Dari hasil proses klasterisasi, terdapat enam usulan dengan nilai efisiensi seperti pada Tabel 3.
Tabel 1. Sentra industri berbasis hasil pertanian dan perkebunan di kab. Magelang NO
KECAMATAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
SALAMAN NGABLAK NGLUWAR CANDIMULYO BOROBUDUR MUNGKID KAJORAN TEMPURAN SAWANGAN SECANG SRUMBUNG MUNTILAN MERTOYUDAN SALAM GRABAG TEGALREJO BANDONGAN KALIANGKRIK DUKUN PAKIS WINDUSARI
JENIS SENTRA INDUSTRI BERBASIS HASIL PERTANIAN DAN PERKEBUNAN Tepung Cassava, Gula Kelapa, Slondok, Anyaman Bambu Anyaman Mendong, Anyaman Bambu Gula Kelapa, Krupuk Ketela/Upik-upik, Emping Mlinjo Gula Kelapa, Tempe Kripik, Tempe, Tahu, Anyaman Pandan Gula Kelapa, Tahu, Kerajinan Bambu, Slondok, Anyaman Pandan Gula Kelapa Gula Kelapa, Krupuk Ketela/Upik-upik, Anyaman Bambu Gula Kelapa, Slondok, Anyaman bambu Gula Kelapa, Enting Jahe, Marning Jagung Gula Kelapa, Kue Semprong Gula Kelapa Tempe, Tahu Tempe, Anyaman Bambu Tahu, Emping Mlinjo, Dodol/Manisan Tahu, Slondok, Krupuk Ketela/Upik-upik, Anyaman Bambu Krupuk Ketela, Mebel Bambu Krupuk Ketela/Upik-upik Krupuk Kulit, Anyaman Bambu Krupuk Ketela Makanan dari Ketela Makanan dari Ketela Anyaman Bambu
Sumber: Dinas Perindustrian kab. Magelang (dikelompokkan kembali menurut kecamatan)
301
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Tabel 2. Kharakteristik daerah menurut produk pertaniandan perkebunan NO
KECAMATAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
SALAMAN NGABLAK NGLUWAR CANDIMULYO BOROBUDUR MUNGKID KAJORAN TEMPURAN SAWANGAN SECANG SRUMBUNG MUNTILAN MERTOYUDAN SALAM GRABAG TEGALREJO BANDONGAN KALIANGKRIK DUKUN PAKIS WINDUSARI
KHARAKTERISTIK MENURUT PRODUK PERTANIAN DAN PERKEBUNAN Padi, Ketela Pohon, Tebu, Cengkeh, Rambutan, Mangga Pisang, Jeruk Rambutan, Nanas Kelapa, Ketela Pohon, Durian Kopi, Kacang Tanah, Pepaya, Jeruk Kacang Tanah, Kedelai, Rambutan Kopi, Ketela Pohon , Cengkeh, Durian, Pisang Pepaya, Durian Tembakau Tebu, Padi Ketela Rambat, Salak Tebu Salak, Nanas Kelapa, Jagung, Cengkeh Kacang Tanah Mangga, Padi Teh, Tembakau, Jagung Kelapa, Nanas Tembakau, Jagung, Pepaya, Pisang, Kentang Ketela Rambat, Kacang Tanah
Sumber: hasil perhitungan
Tabel 3. Nilai efisiensi pengklasteran industri NO 1 2 3 4 5 6
Skenario Pengklasteran Skenario I Skenario II Skenario III Skenario IV Skenario V Skenario VI
Jumlah Klaster 9 9 10 11 12 12
η1
η2
27,3 % 26,9 % 39,8 % 43,4 % 47,3 % 56,2 %
98 % 98,3 % 97,6 % 97 % 97 % 96,6 %
Grouping Efficiency (η) 62,65 % 62,6 % 68,70 % 70,20 % 72,15 % 76,40 %
klaster-klaster menurut scenario ini yang terdiri dari 12 klaster industri. Secara lengkap, jenis-jenis industri yang terklaster pada kelompok yang sama dapat dilihat seperti pada Tabel 4.
Dari hasil perhitungan efisiensi pengklasteran pada kesemua scenario yang diusulkan, ternyata scenario VI memberikan nilai yang tertinggi yaitu 76,40 %. Oleh karena itu pembentukan klaster-klaster yang dijustifikasi adalah
302
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 Tabel 4. Klasterisasi industri berdasarkan jenis bahan baku,bahan antara dan produk yang dihasilkan Nomor Klaster
Jenis Industri • •
Klaster I
• • • • Klaster II
• • • • • •
Klaster III
• • •
Klaster IV • • • • • Klaster V
• • • •
Jenis Bahan Baku Utama yang Diperlukan
Industri Minuman Saribuah Industri Dodol/manisan
• • • • • • •
Industri Kue Semprong Industri Kue Wajik Industri Wingko Babat Industri EntingEnting Industri Gethuk Industri Brondong Jagung Industri Kue Jipang Industri Nata De Coco
• • •
Industri Peyek Kacang Industri Tempe Kripik Industri Tepung Beras Industri Rengginan Industri Ceriping Pisang
•
Industri Slondok Industri Bakpia Industri Emping Mlinjo Industri Kripik Salak Industri Kripik Kentang Industri Tepung Tapioka Industri Permen Tape Industri Tepung Cassava Industri Upikupik/K. Ketela
Nanas Mangga Durian Jeruk Gula Pasir Kelapa Tepung beras/ketan Gula Pasir Kelapa Tepung beras/ketan Minyak goreng Pisang Gula Kelapa Kacang Tanah Ketela pohon Jagung
Jenis Produk Pertanian/Perkebunan yang Terkait • Nanas • Mangga • Durian • Jeruk • Tebu • Kelapa • Padi • • • • • • •
Tebu Kelapa Padi Pisang Kacang Tanah Ketela Pohon Jagung
• • •
Tepung beras/ketan Kacang Tanah Minyak goreng Tempe
• • • •
Padi Kacang Tanah Kelapa Kedelai
• •
Minyak goreng Pisang
• •
Kelapa Pisang
• • • • • • • •
Minyak goreng Tepung Tapioka Tepung Cassava Ketela Pohon Tepung Terigu Melinjo Salak Kentang
• • • • •
Kelapa Ketela Melinjo Salak Kentang
• • • • • •
303
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 Tabel 4. (Lanjutan) •
Industri Marning Jagung Industri Tepung Jagung Industri Emping Jagung Industri Gula Kelapa
•
Jagung
•
Jagung
•
Aren Kelapa
•
Kelapa
• •
Industri Tahu Industri Tempe
•
Kedelai
•
Kedelai
•
Industri Tape Ketan
•
Beras/Ketan
•
Padi
•
Industri Rokok Kretek
• •
Tembakau Cengkeh
• •
Tembakau Cengkeh
•
Industri Kripik Jamur
•
Jamur
•
Jamur
•
Industri Kopi Bubuk
•
Kopi
•
Kopi
• Klaster VI • • Klaster VII
Klaster VIII
Klaster IX
Klaster X
Klaster XI
Klaster XII
C. Penempatan Klaster Industri Tabel 5. Kharakteristik daerah menurut potensi bahan industri yang dihasilkan DAERAH KE-
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
KECAMATAN
SALAMAN NGABLAK NGLUWAR CANDIMULYO BOROBUDUR MUNGKID KAJORAN TEMPURAN SAWANGAN SECANG SRUMBUNG MUNTILAN MERTOYUDAN SALAM GRABAG TEGALREJO BANDONGAN KALIANGKRIK DUKUN PAKIS WINDUSARI
KHARAKTERISTIK DAERAH MENURUT POTENSI BAHAN INDUSTRI YANG DIHASILKAN Padi, Ketela Pohon, Tebu, Cengkeh, Rambutan, Mangga Pisang, Jeruk Rambutan, Nanas Kelapa, Ketela Pohon, Durian Kopi, Kacang Tanah, Pepaya, Jeruk Kacang Tanah, Kedelai, Rambutan Kopi, Ketela Pohon , Cengkeh, Durian, Pisang Pepaya, Durian Tembakau Tebu, Padi Ketela Rambat, Salak Tebu Salak, Nanas Kelapa, Jagung, Cengkeh Kacang Tanah Mangga, Padi Teh, Tembakau, Jagung Kelapa, Nanas Tembakau, Jagung, Pepaya, Pisang, Kentang Ketela Rambat, Kacang Tanah
304
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 Sesuai dengan prosesnya, klasterklaster industri yang terbentuk belumlah ditempatkan pada daerah/wilayah yang mampu mendukung perkembangannya. Untuk mewujudkannya, pertimbangan mengenai daerah/wilayah yang sesuai juga harus dipertimbangkan. Berdasarkan peta geografis, kabupaten Magelang dibagi menjadi 21 kecamatan. Oleh karena itu penempatan klaster-klaster industri tersebut akan disesuaikan dengan kharakteristik ke 21 kecamatan tersebut menurut potensi bahan industri hasil pertanian dan perkebunan yang dapat dihasilkan seperti pada Tabel 5. Untuk menempatkan klaster-klaster industri ke daerah/wilayah kecamatan yang sesuai, metode angka indeks gabungan harus digunakan. Angka indeks ini mengukur banyaknya kesesuaian antara jenis bahan baku industri yang dibutuhkan oleh suatu klaster industri dengan jenis
bahan baku industri (produk hasil pertanian atau perkebunan) yang dapat disediakan oleh suatu daerah/wilayah. Sebagai catatan, dalam metode pengukuran angka indeks gabungan ini, potensi hasil pertanian atau perkebunan dari suatu daerah/wilayah dapat di-break down menurut jenis bahan baku industri yang dapat diproduksi darinya. Sebagai contoh, jika bahan baku industri yang dibutuhkan adalah ketela dan tepung tapioka, sementara hasil pertanian suatu daerah/wilayah adalah ketela maka angka indeks gabungannya (nilai kesamaannya) diberi nilai 2 karena tepung tapioka juga dapat dibuat dari ketela. Semakin tinggi nilai indeks ini maka semakin tinggi pula tingkat kesesuian antara klaster industri dengan suatu wilayah yang sedang diukur nilainya tersebut. Metode pembandingan yang dilakukan adalah seperti pada gambar berikut.
Kharateristik Industri Klaster ke- 1 berdasar jenis bahan yang digunakan
Kharateristik Daerah ke- 1 berdasar potensi bahan yang dapat dihasilkan
Kharateristik Industri Klaster ke- 2 berdasar jenis bahan yang digunakan
Kharateristik Daerah ke- 2 berdasar potensi bahan yang dapat dihasilkan
. . . Kharateristik Industri Klaster ke- --berdasar jenis bahan yang digunakan
Kharateristik Daerah ke -berdasar potensi bahan yang dapat dihasilkan
. . . Kharateristik Industri Klaster ke- n berdasar jenis bahan yang digunakan
Kharateristik Daerah ke- n berdasar potensi bahan yang dapat dihasilkan
Gambar 1. Metode pembandingan kharakteritik klaster industri dengan kharakristik daerah
Dari hasil perhitungan angka indeks gabungan, maka penempatan klaster industri pada daerah atau wilayah kecamatan di kabupaten Magelang dapat dilakukan. Penempatan klaster diutamakan pada daerah atau wilayah kecamatan yang
mempunyai angka indeks gabungan yang tertinggi. Apabila ada kesamaan angka indeks gabungan dari suatu klaster industri tertentu terhadap beberapa daerah atau wilayah kecamatan maka klaster industri ditempatkan pada kesemua daerah atau 305
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 wilayah kecamatan tersebut. Sebagai contoh, Klaster industri I mempunyai angka indeks gabungan tertinggi (bernilai 3) jika ditempatkan di kecamatan Salaman. Oleh karena itu penempatan klaster I harus pada kecamatan ini. Namun di sisi lain, klaster III mempunyai angka indeks gabungan tertinggi (bernilai 2) jika
ditempatkan di kecamatan Borobudur dan juga kecamatan Mungkid. Oleh karena itu penempatan klaster ini dilakukan pada kedua kecamatan tersebut. Secara keseluruhan, penempatan klaster-klaster industri di semua kecamatan di kabupaten Magelang dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Penempatan klaster industri di wilayah kabupaten Magelang
306
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 untuk dikembangkan klaster industri mengingat potensi dukungannya yang rendah terhadap klaster-klaster tersebut.
Sebagai catatan, penempatan klaster tidak dilakukan di kecamatan Ngluwar, Muntilan, Salam, Srumbung, Mertoyudan, Tempuran, Tegalrejo dan Windusari karena memang angka indeks gabungan yang menunjukkan kesesuaian antara klaster-klaster industri terhadap potensi hasil pertanian dan perkebunan di kecamatan-kecamatan tersebut sangat rendah dibandingkan dengan kecamatankecamatan lainnya.
5. DAFTAR PUSTAKA AgusSri, Tengku, 2000, Potensi permasalahan Sektor Industri di Propinsi daerah istimewa Yogyakarta, makalah Seminar otonomi daerah IST”AKPRIND” Yogyakarta. Anonima, 2002, Rencana Induk Pengembangan Industri Kecil Menengah 2002-2004, Kebijakan dan Strategis Umum Pengembangan Industri Kecil Menengah, Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI, Jakarta Anonimb, 2003, Kebijakan Strategis Pembangunan Bidang Penelitian dan Pengembangan dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Jakarta Anonimc, 2005, Data Agroindustri Kabupaten Magelang Tahun 2005, Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Penanaman Modal Kabupaten Magelang. Anonimd, 2005, Perkembangan Unit Usaha Kecil dan Menengah di Kabupaten Magelang Tahun 2005, Kabupaten Magelang dalam Angka Tahun 2005, Biro Pusat Statistic Kabupaten Magelang. Askin dan Standrige, 1993, Modeling and analysis of manufacturing Systems, John Wiley and Sons, Inc Canada Dyah., 2000, Klasterisasi Industri, Bahan Seminar Nasional Agroindustri, Jurusan teknologi Industri Pertanian, Yogyakarta. Schiniederjans, Marc, 1997, Just-In-Time Management, Allyn and Bacon, Nebraska. Singh, Nanua dan Divakar Rajamani, 1996, Cellular Manufacturing Systems: Design, Planning and Control, Chapman & Hall.
4. KESIMPULAN 4.1. Kesimpulan 1. Kharakteristik atau potensi kecamatan-kecamatan di kabupaten Magelang sangat beragam ditinjau dari segi produk hasil pertanian dan perkebunan 2. Potensi kecamatan-kecamatan di kabupaten Magelang dalam menghasilkan produk hasil pertanian dan perkebunan kurang termanfaatkan dengan baik ditinjau dari ketidaksesuaian antara sentra-sentra industri yang ada dengan potensi yang tersedia. 3. Ketersediaan bahan baku, bahan antara, atau produk industri dianggap sebagai kharakteristik industri yang perlu dipertimbangkan dalam mendukung pengembangan agroindustri skala kecil di kabupaten Magelang 4. Berdasarkan kebutuhan bahan baku industrinya, agroindustri skala kecil di kabupaten Magelang dapat dikelompokkan menjadi 12 klaster industri menurut scenario VI dengan tingkat efisiensi pengklasteran sebesar 76,40 % 5. Penempatan klaster-klaster industri yang sama di kabupaten Magelang dapat dilakukan di beberapa kecamatan yang berbeda akibat adanya kemiripan akan potensinya, sedangkan di sisi yang lain, beberapa kecamatan tidak direkomendasikan
307
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
PENYUSUNAN STRATEGI PEMASARAN OBYEK WISATA PANTAI MENGGUNAKAN ANALISIS SWOT (Studi Kasus di Pantai Kuwaru, Kecamatan Srandakan, Kabupaten Bantul, Yogyakrta) Afifah1), Endy Suwondo2), Novita Erma K2) 1) Mahasiswa Jurusan Teknologi Industri Pertanian, FTP, UGM 2) Staf pengajar Jurusan Teknologi Industri Pertanian, FTP, UGM
Abstrak Banyaknya obyek wisata pantai di Yogyakarta, khususnya di Kabupaten Bantul yang turut mewarnai industri pariwisata di Indonesia dengan produk-produk wisatanya yang semakin variatif sehingga menyebabkan persaingan semakin ketat. Kondisi tersebut menuntut industri (termasuk industri di kawasan wisata pesisir), salah satunya obyek wisata pantai untuk terus melakukan perbaikan dalam rangka menemukan identitas diri yang tidak dimiliki pantai lain serta dapat survive di tengah ketatnya persaingan. Salah satu cara untuk mencapai tujuan tersebut adalah melalui strategi pemasaran yang mantap dan sesuai. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis SWOT berdasarkan bauran pemasaran.Analisis bauran pemasaran digunakan untuk menganalisis strategi pemasaran Pantai Kuwaru yang meliputi 7 vairiabel yaitu product, palce, price, promotion, process, people, dan physical evidence. Sedangkan analisis SWOT digunakan sebagai penyusun startegi dalam perbaikan sistem pemasaran Pantai Kuwaru. Berdasarkan analisis SWOT terhadap bauran pemasaran, strategi pemasaran yang dapat diusulkan di Pantai Kuwaru sebagai grand stratrgy adalah mengadakan kegiatan budidaya cemara udang melalui edukasi pengunjung/wisatawan sebagai upaya mempertahankan daya tarik khas Pantai Kuwaru sekaligus promosi, pelatihan SDM Pantai Kuwaru untuk meningkatkan kompetensi SDM, menjalin kemitraan dengan sesama pengelola obyek wisata sejenis dalam rangka memperluas jaringan informasi dan memperkuat struktur modal usaha, mengusahakan sarana transportasi dan joint promotion Pantai Kuwaru melalui kerjasama dengan penginapan dan biro perjalanan dalam paket wisata yang ditawarkan.
Kata kunci: SWOT, bauran pemasaran, Pantai Kuwaru, strategi pemasaran
itu, suatu perusahaan dinilai berhasil apabila perusahaan tersebut tahu bagaimana menyesuaikan diri dan bertindak terhadap perubahan yang terus menerus terjadi di pasar. Berbagai faktor harus diperhitungkan dalam strategi pemasaran terutama kedudukan perusahaan di pasar. Strategi pemasaran yang berhasil pada umumnya ditentukan oleh satu atau beberapa variabel marketing mix (bauran pemasaran). Jadi perusahaan dapat mengkombinasikan variabel bauran pemasaran tersebut dalam suatu renacana
1. LATAR BELAKANG Pada era lingkungan persaingan global yang semakin kompetitif seperti sekarang ini, muncul bisnis-bisnis baru yang menghasilkan produk-produk sejenis maupun produk lain yang lebih bervariasi. Kondisi ini menuntut industri (termasuk industri di kawasan wisata pesisir) untuk terus melakukan perbaikan dalam rangka menemukan ciri atau identitas diri yang tidak dimiliki wisata pesisir (pantai) lain agar dapat survive dalam kompetisi. Hal tersebut dapat tercapai melalui strategi pemasaran yang mantap dan sesuai. Selain
308
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 tentunya diperlukan suatu strategi yaitu dengan menggunakan kekuatan, memperbaiki kelemahan, memanfaatkan peluang-peluang yang ada, serta mengantisipasi ancaman yang mungkin muncul agar dapat ikut bersaing di tengah kompetitor-kompetitornya.
strategi pemasaran secara menyeluruh. Marketing mix merupakan alat bagi pelaku usaha yang terdiri dari berbagai elemen suatu program pemasaran yang perlu dipertimbangkan agar implementasi strategi pemasaran dan positioning yang ditetapkan dapat berjalan sukses. Marketing mix pada produk barang, yang meliputi product, place, price dan promotion berbeda dengan marketing mix untuk produk jasa. Hal ini terkait dengan perbedaan karakteristik antara barang dan jasa, sehingga para ahli pemasaran menambahkan tiga unsur lagi yaitu process, people, dan phycical evidence. Pantai merupakan salah satu objek wisata yang banyak diminati wisatawan baik domestik maupun manca negara. Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai cukup banyak objek wisata pantai khususnya di kabupaten Bantul. Salah satu pantai yang terdapat di kabupaten Bantul adalah pantai Kuwaru. Pantai Kuwaru merupakan pantai yang dapat dikatakan masih baru dan akan dikembangkan oleh pemerintah daerah setempat. Walupun masih baru, pantai Kuwaru memiliki beberapa potensi yang telah muncul seperti kekayaan biologis (flora-fauna) terutama keberadaan vegetasi cemara laut yang rimbun dan dominan sebagai daya tarik khas sehingga dari daya tarik utama ini kemudian wisatawan diarahkan menikmati produk-produk wisata lain seperti, rumah makan seafood, pasar ikan, area bermain anak, area permainan ATV, dan warungwarung dekat pantai. Salah satu hal yang dianggap penting diketahui oleh pelaku usaha adalah mengenali bidang usahanya sendiri. Pengenalan terhadap usahanya tersebut antara lain dapat dilakukan dengan analisis SWOT yaitu pengidentifikasian perusahaan terhadap kekuatannya (strength), kelemahannya (weakness), peluang usahanya (opportunities), serta ancaman-ancaman (threat) yang berpotensi menghambat usahanya tersebut. Melihat Pantai Kuwaru sebagai objek wisata pantai yang masih cukup baru,
2. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap, antara lain: 1. Studi literatur dan studi lapangan, digunakan untuk mempelajari bauran pemasaran, analisis SWOT dan segala informasi yang dapat dijadikan referensi berkaitan dengan tema penelitian. Sedangkan studi lapangan dilakukan untuk mengumpulkan informasi di lapangan melalui pengamatan langsung di lapangan. 2. Pengumpulan data dilakukan untuk mengetahui strategi bauran pemasaran yang diterapkan Pantai Kuwaru yang dilakukan dengan observasi, wawancara mendalam, serta dokumentasi. 3. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis berdasarkan varibel kualitatif yaitu bauran pemasaran 7P (product, place, price, promotion, people, process, phisical evidence) untuk mengidentifikasi faktor internal yang berupa kekuatan dan kelemahan, serta faktoe eksternal yang berupa peluang dan ancaman. 4. Faktor internal dan eksternal yang telah teridentifikasi selanjutnya dilakukan formulasi strategi yaitu strategi SO, WO, ST, dan WT. 5. Keempat set strategi tersebut selanjutnya disarikan ke dalam grand strategi yang diusulkan. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Profil Pantai Kuwau Pantai Kuwaru merupakan salah satu potensi yang dimiliki Kabupaten Bantul yang bisa dibilang masih baru karena baru ramai dikunjungi sekitar bulan september tahun 2009. Letak pantai
309
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 warung-warung makan yang berada di dekat pantai.
Kuwaru sendiri yang secara Geografis berada di Kabupaten Bantul tentu saja tidak lepas dari beberapa objek wisata lain yang berada di sekitarnya yang juga turut berkontribusi dalam menghasilkan pendapatan daerah. Namun, Pantai Kuwaru di sini dipandang sebagai salah satu objek wisata unggulan yang dapat dikembangkan sebagai upaya meningkatkan pendapatan asli daerah. Pantai Kuwaru berjarak sekitar 25 km dari kebupaten Bantul, sedangkan dari kota Yogyakarta berjarak sekitar 45 km. Dusun Kuwaru yang terletak di Desa Poncosari, Kecamatan Srandakan, kabupaten Bantul merupakan salah satu dusun yang diarahkan menjadi kawasan wisata karena mempunyai beberapa potensi yaitu kekayaan biologis (florafauna) salah satunya dengan adanya vegetasi cemara udang yang terdapat di sekitar pantai Kuwaru. Pada mulanya, cemara udang hanya digunakan untuk menahan pasir yang tertiup oleh angin. Cemara ini di tanam di sekitar pantai Kuwaru pada tahun 2000 yang bibitnya didapatkan dari pantai Samas. Vegetasi cemara udang merupakan salah satu daya tarik yang dimiliki pantai Kuwaru karena tidak ada di pantai lainnya di kabupaten Bantul. Adanya cemara udang juga membuat pantai ini cukup teduh sehingga cocok dipergunakan sebagai tempat bersantai untuk menikmati keindahan pantai. Di samping kekayaan biologis, dusun Kuwaru juga memiliki beberapa potensi lainnya seperti pertanian dan perkebunan yang dapat diarahkan sebagai alternatif pengembangan produk wisata ke arah kawasan pantai dan keberagaman kuliner yang pada saat ini belum tergarap secara maksimal. Selain menawarkan pemandangan alam dan keteduhan pantai, walaupun masih baru pantai ini sudah mempunyai beberapa fasilitas bagi para pengunjung seperti kamar mandi, rumah makan, pasar ikan, tempat ibadah, area parkir, area bermain anak-anak (kolam renang), permainan ATV, arena outbound, serta
3.2. Analisis Bauran Pemasaran Analisis strategi pemsaran dilakukan untuk menganalisis strategi pemasaran Pantai Kuwaru berdasarkan 7 variabel, yaitu : a. Produk (product) Berdasarkan empat kategori penawaran, penawaran dalam pemasaran obyek wisata Pantai Kuwaru adalah berupa jasa utama yang disertai barang dan jasa tambahan. Jadi, tawaran terdiri dari satu jasa utama yang disertai jasa tambahan dan/atau barang pendukung. Sebagian besar jasa bukanlah jasa murni, oleh karenanya seringkali dalam penawaran suatu produk yang bersifat tangible menyertakan bentuk penawaran yang lain untuk menambah daya tarik produk. Pada pemasaran obyek wisata Pantai Kuwaru, produk inti yang ditawarkan adalah berupa pesona alam yang dapat dinikmati pengunjung. Sedangkan produkproduk pelengkap yang menambah daya tarik obyek wisata Pantai Kuwaru adalah berupa fasilitas-fasilitas pendukung yaitu fasilitas bermain seperti kolam renang, ATV, dan motor elektrik. Fasilitas-fasilitas yang terdapat di obyek wisata Pantai Kuwaru adalah rangkuman dari beberapa fasilitas yang ada di obyek wisata lain. Beberapa fasilitas bermain seperti kolam renang dan motor elektrik untuk anak-anak belum ada di obyek wisata pantai lainnya khususnya di daerah Bantul seperti Pantai Parangtritis, Pantai Samas, dan Pantai Pandansimo. Meskipun pihak pengelola dari Pantai Kuwaru belum menerapkan strategi branding (merek) atas obyek wisata Pantai Kuwaru, namun dengan adanya cemara udang dapat menjadikan obyek wisata Pantai Kuwaru berbeda dengan obyek wisata sejenis. Seperti terlihat pada nama organisasi atau kelompok-kelompok kecil yang ada di Pantai Kuwaru, bahkan nama warung-warung makan yang ada di Pantai
310
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
180,000 160,000 140,000 120,000 100,000 80,000 60,000 40,000 20,000 0
b. Lokasi (place) Berdasarkan tiga jenis interaksi konsumen dan produk yang disediakan, jenis interaksi yang dilakukan pada obyek wisata Pantai Kuwaru adalah konsumen dalam hal ini pengunjung yang mendatangi penyedia jasa. Dilihat dari jenis interakasi tersebut lokasi dari obyek wisata Pantai Kuwaru menjadi begitu penting bagi keberhasilan dalam pemasaran obyek wisata Pantai Kuwaru karena produk disampaikan langsung kepada pengunjung. Berdasarkan faktor penentuan lokasi ‘penjualan’, lokasi obyek wisata Pantai Kuwaru dapat dibilang tidak terlalu jauh dari kota Yogyakarta yaitu berjarak 45 km dari Kota Yogyakarta dan 25 km dari Kota Bantul. Sedangkan dari segi aksesabilitas, sejauh ini belum terdapat terminal bus dan angkutan umum untuk menuju ke lokasi Pantai Kuwaru serta prasarana jalan yang cukup sempit (3-4m) dan beberapa mengalami kerusakan. Obyek wisata Pantai Kuwaru juga berada berdekatan dengan obyek wisataobyek wisata yang lain di daerah Bantul diantaranya, Bendungan Bendo, jembatan Srandakan, Pantai Pandansimo, dan Agrowisata Lahan Pantai, Pantai Parangtritis, pusat kerajinan gerabah Kasongan, sentra kerajinan Tanah Sungging Wayang Dusun Gendeng dan sentra kerajinan patung primitif di Dusun Pocung. Hal tersebuut dapat dijadikan keuntungan bagi para wisatawan yang melakukan perjalanan wisata ke Pantai Kuwau yang dirangkai sekaligus dengan perjalan ke obyekwisata-obyek wisata tersebut.
jumlah pengunjung th 2010 Pt Parangtritis
Jan April Juli Okt
jumlah pengunjung
Kuwaru beberapa telah menggunakan nama ‘cemara’. Produk utama obyek wisata Pantai Kuwaru yaitu pemandangan alam pantai dan cemara udang adalah produk yang ditargetkan untuk semua segmen pengunjung. Fasilitas-fasilitas pendukung seperti kolam renang dan motor elektrik ditargetkan untuk segmen pengunjung anak-anak. Sedangkan penyewaan ATV ditargetkan untuk segmen pengunjung dewasa. Berdasarkan data retribusi dan kunjungan obyek wisata pantai di Bantul, Pantai Kuwaru menempati urutan ke dua stelah Pantai Parangtritis sebagai obyek wisata pantai di Bantul yang paling ramai dikunjungi. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya jumlah pengunjung dan total pendapatan untuk dua tahun terakhir (2010-2011) yaitu 218.177 pengunjung pada tahun 2010 dan 208.056 (sampai bulan september) pada tahun 2011.
jumlah pengunjung th 2010 Pt Samas
bulan
jumlah pengunjung
Gambar 1. Jumlah pengunjung 2010
180,000 160,000 140,000 120,000 100,000 80,000 60,000 40,000 20,000 0
jumlah pengunjung th 2011 Pt Parangtritis
c. Harga (price) Harga-harga fasilitas pendukung yang terdapat di Pantai Kuwaru secara umum ditentukan dengan taktik parity pricing (going rate) yaitu penentuan harga yang dibuat sama dengan harga rata-rata yang ditetapkan oleh pasar seperti harga penyewaan ATV yaitu Rp 25.000,00 tiap 15 menit yang sama seperti harga penyewaan ATV di Pantai Parangtritis.
jumlah pengunjung th 2011 Pt Samas
bulan Gambar 2. Jumlah pengunjung 2011
311
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 Sedangkan untuk fasilitas pendukung seperti kolam renang anak, penetapan harga dilakukan dengan taktik loss leading pricing dimana harga awal ditetapkan pada harga yang murah yaitu sebesar Rp 2000,00 per orang. Lain halnya dengan retribusi yang dikenakan kepada pengunjung untuk dapat masuk ke obyek wisata Pantai Kuwaru. Besar retribusi tersebut telah di atur dalam peraturan daerah kabupaten Bantul No.32 tahun 2008 tentang retribusi obyek dan daya tarik wisata, dimana pengelolaanya dikerjasamakan dengan diatur berdasarkan perjanjian kerjasama antara pemda dan pengelola. Tarif retribusi Pantai Kuwaru sebesar Rp 2000,00 per orang dan dikenakan pula retribusi tambahan yaitu sebesar Rp 500,00 untuk kendaraan roda 2, Rp 1000,00 untuk kendaraan roda 4, dan Rp 2000,00 untuk kendaraan roda 6. Retribusi tersebut digunakan sebagai izin masuk ke obyek wisata Pantai Kuwaru.
fasilitas pendukung yang tidak kalah menarik. 3. Acara khusus; sejauh ini, Pantai Kuwaru belum melakukan suatu acara khusus yang dirancang untuk mengkomunikasikan pesan tertentu kepada pengunjung. Pihak pengelola juga pernah melakukan kerjasama dengan biro perjalanan (travel), namun tidak berlangsung lama. Tabel 1. Layanan di Pantai Kuwaru Penyedia jasa Petugas parkir
Pedagang ikan Pedagang warung makan
d. Promosi (promotion) Salah satu bentuk saluran yang digunakan dalam strategi promosi yang dilakukan obyek wisata Pantai Kuwaru adalah saluran komunikasi nonpersonal. Menurut Kotler (2000), saluran komunikasi nonpersonal mencakup media, atmosfer, dan acara-acara khusus. Promosi obyek wisata Pantai Kuwaru yang pernah dilakukan diantaranya : 1. Media; yaitu surat kabar, radio, web page , papan nama. 2. Atmosfer; obyek wisata Pantai uwaru didesain dengan penanaman pohon cemara udang dan beberapa fasilitas pendukung seperti warung makan, kolam renang anak, ATV, dan fasilitasfasilitas pendukung lainnya. Hal tersebut dilakukan agar dapat mengkomunikasikan kepada pengunjung tentang kesan pantai yang ‘’teduh’’ dan tidak seperti kebanyakan pantai yang panas di siang hari serta pantai yang dilengkapi dengan berbagai
Tukang sewa ATV dan mobil elektrik
Pemilik kolam renang
Jenis layanan Mengatur penempatan kendaraan pengunjung, membantu mengeluarkan kendaraan pengunjung. Penyiangan ikan Jasa masak (pesanan), menyediakan tempat dan menu makanan yang dipesan Menyewakan ATV, pengarahan petunjuk teknis pengoperasian ATV Menyediakan kolam renang berserta fasilitasnya
Keterangan (biaya/harga) Rp 2000 (roda 2) Rp 4000 (roda 4) Rp 6000 (roda 6)
Biaya jasa masak disesuaikan dengan jenis olahan Rp 25.000/15 menit
Rp 2000 orang
per
e. Proses (process) Terkait dengan cara penyampaian layanan, secara umum proses penyampaian layanan di Pantai Kuwaru dilakukan secara langsung. Oleh karena itu, proses penyampaian layanan tersebut sangat penting karena penyedia jasa berinteraksi langsung dengan konsumen yang dalam hal ini adalah pengunjung. Proses pemasaran Pantai Kuwaru dilakukan secara langsung yaitu mulai dari tempat pemungutan retribusi oleh petugas dari
312
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 Pemda sampai pelayanan fasilitas-fasilitas yang ada di sekitar Pantai Kuwaru. Pantai Kuwaru juga diramaikan dengan pedagang-pedagang kecil seperti pedagang jajanan dan mainan.
serta mengadakan pertemuan rutin untuk koordinasi penangkapan ikan laut dan hasilnya. Kelompok ini diketuai oleh Bapak Ponijo. 4. Kelompok parkir yang merupakan perkumpulan dari petugas-petugas parkir Pantai Kuwaru. Kelompok parkir ini dikelola oleh POKGIAT (kelompok kegiatan) yang di ketuai oleh Bapak Aris Warsito. 5. Cemoro Asri merupakan kelompok pedagang. Kelompok ini dikelola oleh 2 orang yang berada di bawah ketua umum yaitu Bapak Sahrowardi sebagai ketua kelompok pedagang kecil dan Bapak Ponijo sebagai ketua kelompok rumah makan. Tugas dari kelompok ini adalah mengatur penempatan pedagang dari luar dan mengarahkannya, serta menarik retribusi kepada pedagang. Ketua dari kelompok ini yaitu bapak Nur cholis. 6. Kuwaru Asri, merupakan kelompok sadar wisata (POKDARWIS) Pantai Kuwaru. Kelompok ini telah dikukuhkan di Jakarta dan diketuai oleh Bapak Sudimulyo. 1. Bukti Fisik (physical evidence) Pantai kuwaru melakukan transaksi jasa langsung di lokasi di mana jasa tersebut diciptakan, sehingga bukti fisik memainkan peranan yang penting. Beberapa fasilitas dapat dijadikan bukti fisik obyek wisata Pantai Kuwaru. Fasilitas-fasilitas tersebut di antaranya: a. Kolam renang b. ATV c. Mobil elektrik d. Area Outbound e. Pasar ikan f. Warung makan g. Toilet h. Musholla i. Pos SAR
f. Sumber Daya Manusia (people) Hal penting yang perlu mendapat perhatian dari operasi jasa adalah bagaimana pola dan proses manajemen yang digunakan organisasi berlangsung efektif yaitu dengan mengupayakan pemberdayaan SDM. Beberapa upaya dalam pemberdayaan SDM dapat dilakukan melalui pelatihan dan edukasi SDM, seperti yang dilakukan beberapa dinas dari pemerintah kepada SDM di Pantai Kuwaru. Pelatihan yang pernah dilakukan di Pantai Kuwaru diantaranya: a. Pelatihan dari BPKB yaitu pelatihan memasak berbagai menu makanan untuk pedagang di rumah makan Pantai Kuwaru. b. Pelatihan manajemen. c. Pelatihan yang berkaitan dengan keamanan pangan dari dinas kesehatan Kabupaten Bantul. Dusun Kuwaru, tepatnya di Pantai Kuwaru terdapat kelompok-kelompok kecil yang ikut berpartisipasi dalam pengembangan objek wisata Pantai Kuwaru. Kelompok-kelompok tersebut adalah : 1. Niswati Bahari, merupakan kelompok perempuan pesisir yang berfungsi sebagai supplier atau penyetok pedagang-pedagang ruko yang ada di Pantai Kuwaru. Kelompok ini di ketuai oleh Ibu Ipuk Haryati. 2. Mina Barokah yang merupakan kelompok pengolah ikan yang menjadi wadah bagi ibu-ibu yang ingin melatih kreativitas mereka dalam mengolah ikan menjadi berbagai macam hidangan yang menarik, inovatif, dan bercita rasa tinggi. Kelompok ini diketuai oleh Ibu dukuh yaitu Ibu Parjilah. 3. Fajar Arum, merupakan kelompok nelayan yang mengelola penangkapan ikan laut oleh nelayan-nelayan setempat
313
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
a. Identifikasi S.W.O.T dan Strategi Pemasaran
IFAS
EFAS
Opportunities (O) • Daya tarik pantai dan ketertarikan wisatawan (o1) • Potensi pasar ikan (o2) • Yogyakarta sebagai kota pelajar dan DTW (o3) • Pemanfaatan website Pt. Kuwaru untuk promosi (o4) • Kerjasama dengan tempat penginapan dan biro perjalanan(o5) Threats (T) • Banyak obyek wisata sejenis (t1) • Regulasi pemerintah kurang mendukung (t2) • Issu negatif yang beredar di masyarakat (t3) • Munculnya pesaing baru dan persaingan yang ketat (t4) alam kurang • Kondisi mendukung (t5)
Strengths (S) • Vegetasi cemara udang sebagai daya tarik khas (s1) • Pemandangan alam sekitar Pantai Kuwaru(s2) • Macam-macam fasilitas pendukung (s3) • Lokasi dekat dengan beberapa obyek wisata lain di Kab. Bantul (s4) • Nilai historis/mitos dan petilasan untuk ritual (s5) • Banyak warung makan seafood (s6) • Kelompok-kelompok kecil Pantai Kuwaru (s7) Strategi SO • Mengadakan kegiatan budidaya cemara udang dan pelestarian lingkungan (s1,2-o1,3) • Melakukan lobi dengan penginapan dan biro perjalanan untuk joint promotion (s4,7-o3,4,5) • Penambahan daya tarik wisata dan pengelolaan yang baik fasilitas yang sudah ada (s3,5,61,2,3) Strategi ST • Melakukan sosialisasi tentang kebersihan, kemanan, dan kenyamanan pantai (s1,2,5,6-t3) • Memperluas jaringan informasi dan kemitraan dengan sesama pengelola obyek wisata sejenis (s3,4,7-t1,2,4,5,6)
Weakness (W) • Prasarana jalan kurang memadai (w1) • Sarana transportasi umum belum ada (w2) • Kemampuan pedagang dalam mengolah seafood (w3) • Promosi kurang (w6) • Pengeloaan masih tardisional (w5) • Pemanfaatan perkembangan teknologi informasi kurang (w6) • Keterbatasan modal (w7)
Strategi WO • Pelatihan SDM untuk meningkatkan kompetensi SDM (w3,5-o2) • Mengoptimalkan penggunaan web yang sudah ada untuk promosi (w1,2,4,6-o3,4,5) • Membuka peluang kepada pemilik modal untuk bekerjasama (w7-o1) Strategi WT • Menggencarkan promosi melalui bauran pemasaran (w3-6-t1-5) • Mengusahakan sarana transportasi ke Pantai Kuwaru (w1,2-t1-5) • Pengelolaan terhadap modal (w7-t2)
Gambar 3. Matriks SWOT
3. Menjalin kemitraan dengansesama pengelola obyek wisata sejenis dalam rangka memperluas jaringan informasi dan memperkuat struktur modal usaha. 4. Mengusahakan sarana transportasi dan joint promotion Pantai Kuwaru melalui kerjasama dengan penginapan dan biro perjalanan dalam paket wisata yang ditawarkan.
b. Grand Strategi Strategi pemasaran sebagai grand strategi yang dapat diusulkan untuk Pantai Kuwaru adalah: 1. Mengadakan budidaya cemara udang melalui edukasi pengunjung Pantai Kuwaru sebagai upaya mempertahankan daya tarik khas Pantai Kuwaru sekaligus promosi. 2. Pelatihan SDM Pantai Kuwaru untuk meningkatkan kompetensi SDM.
314
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 b. Pelatihan SDM untuk meningkatkan kompetensi SDM. c. Mengoptimalkan penggunaan website untuk promosi. d. Memperluas jaringan informasi dan kemitraan dengan sesama pengelola obyek wisata wisata sejenis. e. Mengusahakan sarana transportasi ke Pantai Kuwaru.
4. KESIMPULAN 1. Berdasarkan analisis bauran pemasaran, maka dapat diketahui: a. Kekuatan obyek wisata Pantai Kuwaru: Adanya vegetasi cemara udang sebagai daya tarik khas Pantai Kuwaru, pemandangan alam dan area persawahan di sekitar Pantai Kuwaru, adanya berbagai macam fasilitas pendukung, dekat dengan beberapa obyek wisata lain di Kabupaten Bantul, nlai historis/mitos dan petilasan untuk ritual, banyak warung makan seafood di sekitar Pantai Kuwaru, adanya kelompok-kelompok kecil di Pantai Kuwaru. b. Kelemahan obyek wisata Pantai Kuwaru: Akses jalan dan prasarana jalan yang kurang memadai, belum terdapat sarana transportasi, kemampuan pedagang dalam mengolah seafood, kurangnya promosi yang dilakukan, pengelolaan Pantai Kuwaru masih secara konvensional, pemanfaatan perkembangan teknologi kurang, keterbatasan modal. c. Peluang obyek wisata Pantai Kuwaru: Daya tarik Pantai Kuwaru dan ketertarikan wisatawan, potensi pasar ikan, Yogyakarta sebagai kota pelajar dan Daerah Tujuan Wisata (DTW), pemanfaatan website untuk promosi, kerjasama dengan penginapan/hotel dan biro perjalanan. d. Ancaman obyek wisata Pantai Kuwaru: Banyak obyek wisata sejenis di wilayah Bantul, regulasi pemerintah kurang mendukung, issue negatif yang beredar di masyarakat, munculnya pesaing baru dan persaingan yang ketat, kondisi alam yang kurang mendukung. 2. Berdasarkan analisis SWOT yang telah dilakukan, strategi pemasaran yang diusulkan untuk diterapkan Pantai Kuwaru adalah: kegiatan budidaya a. Mengadakan cemara udang dan pelestarian lingkungan.
5. DAFTAR PUSTAKA Anonim 2. 2010. Studi Tata Ruang Pantai Kuwaru Kecamatan Srandakan. Yogyakarta: CV. Karya Sejati. Kotler, Philip. 2000. Marketing Management : Analysis, planning, implementation, and control. Prentice Hall Inc : New Jersey Lupiyoadi, R dan Hamdani, A. 2006. Manajemen Pemasaran Jasa. Penerbit Salemba Empat : Jakarta. Rangkuti, Freddy. 1997. Analisis Swot Teknik Membedah Kasus Bisnis. PT Gramedia : Jakarta
315
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
EVALUASI ASUPAN DAN KEBUTUHAN ENERGI PADA PENGUNGSI MERAPI 2010 UNTUK MELAKUKAN KEGIATAN EKONOMI (Studi Kasus di Hunian Sementara (Huntara) Gondang I, Wukirsari, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta) Ratih Hardiyanti, Nafis Khuriyati Prodi Diploma III Agroindustri SV UGM. Jl Flora No.1, (0274) 523660. E-mail: [email protected], [email protected]
Abstrak Kegiatan ekonomi korban bencana alam erupsi Merapi 2010 belum juga pulih. Berbagai macam faktor bisa menjadi penyebab. Timbul pertanyaan, apakah salah satu penyebabnya adalah kebutuhan energi untuk melakukan aktivitas harian tidak seimbang dengan asupan energi yang mereka peroleh melalui makanan sehari-hari? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka penelitian ini dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah mengukur kecukupan asupan energi terhadap kebutuhan energi untuk melakukan aktivitas harian, termasuk didalamnya kegiatan ekonomi dan mengembangkan pola konsumsi pangan yang optimal untuk memenuhi kebutuhan energi pada pengungsi Merapi. Metode penelitian digunakan Single 24 Hours Foods Recall dan Single24 Hours Activities Recalldiajukan kepada korban bencana erupsi Merapi 2010 di Hunian Sementara Gondang I yang memiliki usia produktif (15 – 55 tahun) sebanyak 105 orang. Metode Single 24 Hours Foods Recall bertujuan mengetahui jumlah energi (kalori) yang dihasilkan oleh makanan yang dikonsumsi oleh responden, sedangkan Single24 Hours Activities Recall bertujuan mengetahui jumlah energi (kalori) yang dikeluarkan oleh responden untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Dilakukan juga penimbangan berat dan tinggi badan sebagai dasar pengukuran Indeks Massa Tubuh yang menggambarkan status gizi responden. Data yang diperoleh mewakili populasi yang diteliti. Hasil penelitian dicapai bahwa kebutuhan energi rata-rata warga Gondang I usia produktif berjenis kelamin lelaki adalah 2888,40 kcal dan jumlah rata-rata asupan energinya adalah 1775,41 kcal, sehingga mengakibatkan kebutuhan energi baru terpenuhi 61,47%. Pada warga berjenis kelamin perempuan dengan usia produktif, kebutuhan energi rataratanya adalah 2196,03 kcal, sedangkan jumlah asupan energi rata-ratanya adalah 1322,27 kcal, yang menunjukkan bahwa kebutuhan energinya hanya terpenuhi 60,21%. Hal ini diperkuat dengan analisis statistik terhadap hipotesis, yaitu terdapat keseimbangan antara asupan dengan pengeluaran energi untuk aktivitas, dengan taraf nyata pengujian 1% disimpulkan hipotesis tersebut tidak dapat diterima.Telah terjadi ketidakseimbangan antara asupan energi dengan besarnya energi yang dikeluarkan untuk melakukan aktivitas fisik, didalamnya terdapat aktivitas bekerja, sehingga ketidakseimbangan ini bisa menjadi salah satu penyebab belum kunjung pulihnya kegiatan ekonomi warga Gondang I berusia produktif. Disarankan kepada warga Gondang I untuk menambah porsi sumber energi agar terjadi keseimbangan antara kebutuhan energi dan asupannya.
Kata kunci: asupan, kebutuhan, energi, warga huntara
316
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 kebutuhan energi dalam kegiatan ekonomi bagi para pengungsi Merapi.
1. LATAR BELAKANG PENELITIAN Dampak dari bencana alam erupsi Merapi 2010, menyebabkan masyarakat lereng Merapi kehilangan tempat tinggal, lahan pertanian dan ternak yang merupakan sumber perekonomiannya. Saat ini para pengungsi Merapi telah direlokasi di hunian sementara (huntara) yang dibangun, termasuk salah satunya adalah pengungsi dari Desa Kaliadem Cangkringan, yang direlokasi ke Huntara Gondang I di Desa Wukirsari, Sleman. Berbagai program telah diimplementasikan untuk mengatasi permasalahan bagi para pengungsi, meliputi berbagai program seperti pendidikan, kesehatan, dan alternatif usaha untuk memulihkan kemampuan ekonomi yang dilakukan oleh institusi/organisasi pemerintah, swasta maupun individu yang peduli terhadap bencana ini. Namun, kegiatan ekonomi korban bencana alam erupsi Merapi 2010 belum juga pulih. Berbagai macam faktor bisa menjadi penyebab. Timbul pertanyaan, apakah salah satu penyebabnya adalah kebutuhan energi untuk melakukan aktivitas harian tidak seimbang dengan asupan energi yang mereka peroleh melalui makanan seharihari? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka penelitian ini dilakukan. Diharapkan dari hasil penelitian dapat diambil kebijakan mengenai bagaimana menentukan macam asupan yang optimal menghasilkan energi untuk kegiatan fisik, dan alternatif macam asupan yang murah namun efektif untuk kegiatan fisik, termasuk didalamnya kegiatan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi (bekerja).
3. TINJAUAN PUSTAKA Berdasarkan kegunaannya bagi tubuh, zat gizi dibagi ke dalam tiga kelompok besar, yaitu (Anonim, http://www.smallcrab.com/lanjut-usia/527kebutuhan-nutrisi-pada-lansia): 1. Kelompok zat energi, termasuk ke dalam kelompok ini adalah: a. Bahan makanan yang mengandung karbohidrat seperti beras, jagung, gandum, ubi, roti, singkong dll, selain itu dalam bentuk gula seperti gula, sirup, madu, dll. b. Bahan makanan yang mengandung lemak seperti minyak, santan, mentega, margarine, susu dan hasil olahannya. 2. Kelompok zat pembangun Kelompok ini meliputi makanan – makanan yang banyak mengandung protein, baik protein hewani maupun nabati, seperti daging, ikan, susu, telur, kacang-kacangan dan olahannya. 3. Kelompok zat pengatur Kelompok ini meliputi bahan-bahan yang banyak mengandung vitamin dan mineral, seperti buah-buahan dan sayuran. Pengertian pengeluaran energi adalah jumlah energi yang diukur dalam bentuk kalori yang seseorang gunakan, misalnya selama kegiatan tertentu, pengeluaran energi bisa juga diartikan sebagai jumlah energi yang digunakan untuk melakukan suatu kegiatan. Pada dasarnya, energi digunakan untuk menjaga fungsi-fungsi kehidupan. Pengeluaran energi pada pria atau wanita lebih dari satu hari penuh biasanya dibagi menjadi komponen yang berbeda yang dapat ditentukan secara individual. Komponen terbesar dari pengeluaran energi 24 jam biasanya adalah laju metabolisme basal (BMR), yang merupakan pengeluaran energi dari seseorang pada saat berbaring, saat fisik dan mental dalam kondisi
2. TUJUAN PENELITIAN 1. Mengukur kecukupan asupan energi terhadap kebutuhan energi untuk melakukan kegiatan ekonomi bagi para pengungsi Merapi. 2. Mengembangkan pola konsumsi pangan yang optimal untuk memenuhi
317
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 istirahat di lingkungan yang hangat dan nyaman, setidaknya 12 jam setelah makan terakhir. Faktor-faktor yang menentukan dari pengeluaran energi adalah ukuran tubuh, komposisi tubuh, usia, jenis kelamin, diet, iklim, perbedaan genetic,
kondisi hormonal, kondisi psikologis dan proses penyakit (Anonim, http://humannutrition.net/pengeluaranenergi/).Estimated Average Requirement (EAR) merupakan perkiraan kebutuhan ratarata energi.
Table 1.Perkiraan rata-rata kebutuhan energi EAR - MJ/day (kcal/hari) Umur
Pria
Wanita
Umur
Pria (MJ)
Wanita
(MJ) (kcal)
(MJ) (kcal)
(kcal)
(MJ) (kcal)
0-3 bln
2.28
(545)
2.16
(515)
11-14 thn 9.27
(2220)
7.72
(1845)
4-6 bln
2.89
(690)
2.69
(645)
15-18 thn 11.51
(2755)
8.83
(2110)
7-9 bln
3.44
(825)
3.20
(765)
19-50 thn 10.60
(2550)
8.10
(1940)
10-12 bln 3.85
(920)
3.61
(865)
51-59 thn 10.60
(2550)
8.00
(1900)
1-3 thn
5.15
(1230) 4.86
(1165) 60-64 thn 9.93
(2380)
7.99
(1900)
4-6 thn
7.16
(1715) 6.46
(1545) 65-74 thn 9.71
(2330)
7.96
(1900)
7-10 thn
8.24
(1970) 7.28
(1740) 74+ thn
(2100)
7.61
(1810)
8.77
Sumber: British Nutrition Foundation, 2009
Agar manusia dapat tetap hidup dan bekerja seperti biasanya maka memerlukan energi yang biasa diukur dengan satuan kalori. Meskipun kita tidur dan tidak bekerja, energi tetap dibutuhkan untuk denyut jantung dan fungsi tubuh lainnya. Energi dapat diibaratkan sebagai bensin yang diperlukan oleh kenderaan agar dapat tetap berjalan.Jumlah kebutuhan energi seseorang pada dasarnya berbeda tergantung pada umur, jenis kelamin, berat badan, dan aktifitas seseorang. Sebagai
contoh, seseorang laki-laki dewasa (20 – 59 tahun) dengan barat badan 62 kg, tinggi 165 cm dan aktifitas sedang membutuhkan energi kurang lebih 3000 kilo kalori, sedangkan bila wanita dewasa berat 54 kg tinggi 156 cm dengan aktifitas sedang membutuhkan 2250 kilo kalori. Apabila orang yang sama dengan aktifitas lebih berat, maka kebutuhan bagi laki-laki sebesar 3600 kilo kalori dan wanita 2600 kilo kalori.
Tabel 2. Contoh menu dengan energi 2500 kilo kalori, 2000 kilo kalori dan 1700 kilo kalori Waktu Pagi
10.00 Siang
16.00 Malam
Jenis Hidangan Nasi Daging bumbu semur Tumis kacang panjang + tauge Teh manis Bubur kacang hijau Nasi Ikan goreng Tempe bacem Lalap Sayur asem Sambal tomat Nenas Buah Nasi Pepes ayam Tahu balado Sayur bening bayam + jagung muda Pepaya
2500 kilokalori 2 sendok nasi 1 potong ½ mangkok 1 gelas 1 gelas 3 sendok nasi 1 potong 2 potong ½ mangkok 1 mangkok 1 sendok makan 1 potong 3 sendok makan 1 potong 1 potong 1 mangkok 1 potong
Ukuran Rumah Tangga Untuk 2000 kilokalori 1700 kilokalori 2 sendok nasi 1 sendok nasi 1 potong ½ potong ½ mangkok ½ mangkok 1 gelas 1 gelas 1 gelas 1 gelas 2 sendok nasi 1½ sendok nasi 1 potong 1 potong 1 potong 1 potong ½ mangkok ½ mangkok 1 mangkok 1 mangkok 1 sendok makan 1 sendok makan 1 potong 1 potong 1 potong 2 sendok makan 1½ sendok makan 1 potong 1 potong 1 potong 1 potong 1 mangkok 1 angkok 1 potong 1 potong
Keterangan: untuk ukuran rumah tangga nasi digunakan sendok nasi (centong), bukan sendok makan Sumber: Jaringan Gizi Indonesia (www.gizi.net)
318
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 perhari sangat bervariasi untuk setiap orang. Hal ini disebabkan beberapa faktor seperti jenis kelamin, ukuran tubuh, berat badan, iklim, dan tingkat aktivitas fisik. Energi diperoleh dari makanan dan minuman yang kita konsumsi, oleh oksidasi karbohidrat, lemak, protein dan alkohol, yang dikenal sebagai makronutrien. Jumlah energi yang dihasilkan masing-masing makronutrien bervariasi (British Nutrition Foundation, 2009): • Lemak adalah nutrisi yang mengandung energi terbanyak, dan menyediakan 9kkal (37kJ)/g. • Alkohol adalah mengandung energi terbanyak kedua, menyediakan 7kkal (29KJ)/g. • Protein memberikan 4kkal (17kJ)/g. • Karbohidrat (pati dan gula) memiliki kandungan energi yang paling rendah dibandingkan ketiga zat gizi di atas, memberikan hanya 3.75kkal (16kJ)/g (biasanya digunakan nilai 4 kkal untuk keperluan pelabelan makanan).
24-Hour Physical Activity Recall Menurut Poh, et. al., 2010, The 24HourRecall digunakan untuk memperoleh informasi mengenai pola aktivitas fisik harian dan jumlah waktu yang diperlukan untuk setiap aktivitas yang dilakukan. Metode ini dilaksanakan melalui wawancara secara langsung oleh enumerator terlatih, dan berlangsung selama 20-30 menit per responden. Responden diminta mengingat kembali seluruh aktivitas yang dilakukan sehari sebelumnya, mulai pukul 12 tengah malam sebelumnya sampai pukul 12 tengah malam pada hari saat wawancara dilakukan. Semua aktivitas direkam dengan selang waktu 5 menit untuk mendapatkan pola aktivitas fisik dalam sehari. Perincian aktivitas yang diperoleh termasuk posisi tubuh selama aktivitas (seperti: berbaring, duduk, berdiri, atau berjalan) dan deskripsi rinci dari aktivitas (seperti: makan, menjahit, mengetik, atau berjalan cepat).
4.2. Memperkirakan keadaan gizi Kondisi gizi dapat diperkirakan secara klinis, dari data pola makan, dan/atau dari pengukuran anthropometrik. indikator dari komposisi tubuh dan biokimia gizi juga penting, tetapi pengukurannya tidak selalu dapat dilakukan (Gershwin, Nestel, dan Keen, 2004). Menurut Jaringan Gizi Indonesia (www.gizi.net), Indeks Massa Tubuh (IMT) atau Body Mass Index (BMI) merupakan alat atau cara yang sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa, khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan. Berat badan kurang dapat meningkatkan resiko terhadap penyakit infeksi, sedangkan berat badan lebih akan meningkatkan resiko terhadap penyakit degeneratif. Oleh karena itu, mempertahankan berat badan normal
4. LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS Keseluruhan pangan yang dikonsumsi, pada situasi umum, ditentukan melalui jumlah penggunaan energi, dan variabilitas terbesar mencerminkan perbedaan pada tingkat aktivitas. Seseorang dengan aktifitas lebih akan menggunakan energi lebih besar, mengkonsumsi makanan lebih banyak, dan memiliki tingkat konsumsi protein absolut yang lebih tinggi (WHO, 2002). 4.1. Asupan dan penggunaan energi Pasokan energi yang teratur dalam pola makan sangat penting bagi kehidupan, dan diperlukan sebagai bahan bakar berbagai proses tubuh yang berbeda. Termasuk didalamnya menjaga detak jantung dan fungsi organ, pemeliharaan suhu tubuh, kontraksi otot dan pertumbuhan. Namun, kebutuhan energi
319
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 memungkinkan seseorang dapat mencapai usia harapan hidup yang lebih panjang.
tinggi dalam inchi)) x 703 Metric BMI Formula: BMI = ( Berat dalam kg / (tinggi dalam Meter x tinggi dalam Meter))
Body Mass Index (Anonim, http://www.bmi-calculator.net/) English BMI Formula: BMI = ( Berat dalam Pounds / ( tinggi dalam inchi x (2) Tabel 1.3. Batas Ambang IMT untuk Indonesia Kategori IMT Kurus Kekurangan berat badan tingkat berat < 17,0 Kekurangan berat badan tingkat ringan 17,0 – 18,4 Normal 18,5 – 25,0 Gemuk Kelebihan berat badan tingkat ringan 25,1 – 27,0 Kelebihan berat badan tingkat berat > 27,0 Sumber: Jaringan Gizi Indonesia (www.gizi.net) Jika seseorang termasuk kategori: 1. IMT < 17,0: keadaan orang tersebut disebut kurus dengan kekurangan berat badan tingkat berat atau Kurang Energi Kronis (KEK) berat. 2. IMT 17,0 – 18,4: keadaan orang tersebut disebut kurus dengan kekurangan berat badan tingkat ringan atau KEK ringan. 3. IMT 18,5 – 25,0: keadaan orang tersebut termasuk kategori normal. 4. IMT 25,1 – 27,0: keadaan orang tersebut disebut gemuk dengan kelebihan berat badan tingkat ringan. 5. IMT > 27,0: keadaan orang tersebut disebut gemuk dengan kelebihan berat badan tingkat berat
wawancara dengan pengulangan (multiple) pada individu yang sama dalam beberapa hari. Namun, metode 24-Hours Recall tanpa pengulangan (single) untuk individu berbeda dab waktu wawancara bervariasi dapat memberikan hasil pengukuran yang valid untuk data asupan suatu kelompok atau populasi. Prinsip Metode 24-hour recalls (Gibson, 2005) Prinsip dan Penggunaan: a. Metode ini menilai asupan makanan aktual dari seorang individu selama 24 jam sebelumnya atau satu hari sebelumnya. b. Jumlah hari yang diperlukan pada 24hour recalls untuk memperkirakan asupan zat gizi individu tergantung dari variasi asupan makanan seharihari individu tersebut ( on day-to-day variation). c. Jika recall lebih dari 1 hari diperlukan maka hari yang tidak berurutan sebaiknya yang diambil. d. Single 24-hr recalls dapat digunakan untuk studi skala besar untuk mengkarakterisasi asupan makan ratarata grup populasi yang reperesentatif pada populasi yang dituju. Single 24hr recall tidak cocok digunakan untuk memperkirakan asupan makanan secara individu, diperlukan multiple
4.3. Metode 24-Hours Recall Menurut Gibson, 2005, pada metode 24-Hours Recall, responden dan walinya akan diwawancara oleh ahli gizi, yang telah terlatih dalam teknik wawancara ini, untuk mengingat kembali macam makanan yang telah dikonsumsi selama 24 jam sebelumnya. Metode ini digunakan untuk memperkirakan asupan makanan aktual dari individu. Meskipun demikian, wawancara dengan metode 24Hours Recall tanpa pengulangan (single) tidak cukup untuk mendeskripsikan asupan makanan dan nutrisi yang biasa dikonsumsi individu, maka diperlukan
320
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
a.
b.
c.
d.
e.
24-hr recalls pada individu yang sama selama beberapa hari untuk menggambarkan asupan makanan secara individu. Prosedur: Pewawancara menanyakan semua makanan dan minuman yang dimakan responden selama 24 jam terakhir. Pewawancara harus menanyakan masing-masing jenis makanan yang dikonsumsi secara detail (mentah/dimasak, cara pemasakannya, dan bahan-bahan untuk membuat makanan dan minuman tersebut secara detail) mulai dari sejak responden bangun pagi kemarin sampai dia istirahat tidur malam harinya, atau dapat juga dimulai dari waktu saat dilakukan wawancara mundur ke belakang sampai 24 jam penuh. Misalnya petugas pewawancara datang pukul 07.00 ke rumah responden, maka konsumsi yang ditanyakan adalah mulai pukul 07.00 (saat itu) dan mundur ke belakang sampai pukul 07.00 pagi hari sebelumnya. Pewawancara juga menanyakan jumlah makanan yang dikonsumsi responden dalam ukuran URT (Ukuran Rumah Tangga) seperti gelas, sendok, mangkok dll. dan selanjutnya dapat dikonversi ke dalam ukuran gram. Dalam membantu responden mengingat apa yang dimakan, perlu diberi penjelasan waktu kegiatannya seperti pada saat baru bangun tidur, setelah sembahyang, pulang sekolah/pulang kerja, sesuadah tidur siang dan sebagainya. Selain makanan utama (makan pagi, siang, sore), makanan kecil atau jajanan juga harus dicatat/ditanyakan, termasuk makanan yang dimakan di luar rumah seperti di restoran, di kantor, di rumah teman, atau di rumah saudara. Konsumsi suplemen makanan misalnya tablet besi atau
kapsul vitamin A juga harus dicatat /ditanyakan. f. Sebaiknya untuk mendukung wawancara recalls 24-hr ini menggunakan alat bantu seperti food model, contoh makanan asli yang dimakan responden, atau alat ukur yang telah dikalibrasi agar pewawancara dan responden mempunyai kesepakatan dalam ukuran makanan. g. Pewawancara harus mengecek kembali jenis makanan/minuman, bahan bakunya, dan jumlahnya kepada responden sebelum wawancara berakhir.
4.4. Memperkirakan Kebutuhan Energi Harian (Indriati dan Leonard, 2010) 4.4.1. Basal Metabolic Rate (BMR) Tabel 1.4. Rumus untuk memprediksikan BMR (kcal/hari) berdasarkan data berat badan (BB) dalam kg (3) Kelompok Pria Wanita Umur (tahun) 10 – 17 17.5 (BB) 12.2 (BB) + + 651 746 18 – 29 15.3 (BB) 14.7 (BB) + + 679 496 30 – 59 11.6 (BB) 8.7 (BB) + + 879 829 60 dan lebih 13.5 (BB) 10.5 (BB) + + 487 596
4.4.2. Total Daily Energy Expenditure (TDEE) TDEE = (PAL) (BMR) Tabel 1.5. Tingkatan PAL secara umum untuk berbagai gaya hidup Jenis Physical Activity Level (PAL) Kelamin Diam Ringan Sedang Berat Pria 1.4 1.55 1.78 2.10 Wanita 1.4 1.56 1.64 1.82 Kebutuhan Khusus: 1. Hamil = TDEE + 285 kcal/hari 2. Menyusui = TDEE + 500 kcal/hari
321
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 Tabel 1.6. Kategori aktivitas untuk Memperkirakan Kebutuhan Energi Level Aktivitas Dasar Ringan
PAR 1.0 1.2 1.4 1.6
Contoh Tidur Duduk tenang Berbicara, nonton TV, berdiri dengan tenang Mencuci, berpakaian, mencuci piring, berjalan pelan (~1.5 m/jam) pada permukaan datar (dengan/tanpa beban) Level Aktivitas PAR Contoh Sedang 2.1 Pekerjaan rumah tangga yang ringan, memasak 2.8 Pekerjaan rumah tangga yang lebih serius – menyapu, mencuci; berjalan menuruni tangga 3.8 Berjalan 3 – 3.5 m/jam; berjalan menanjak (~2.5 m/jam); membawa beban; senam Berat 5.1 Berlari/jogging; bersepeda Sangat berat 6.7 Berlari cepat, bermain bola, memanen tebu Sangat sangat berat 10.0 Menarik becak (beban ~400 lb) Sumber: James dan Schofield (1990) dalam Indriati dan Leonard (2010)
C. PROSEDUR PENELITIAN 1. Mencatat makanan yang dikonsumsi (7) obyek penelitian selama 24 jam terhitung mundur dari waktu dilakukannya wawancara. Pencatatan dilakukan di lembar 24 Hours Food Recall Questionnaires. 2. Mencatat aktivitas yang dilakukan obyek penelitian selama 24 jam terhitung mundur dari waktu dilakukannya wawancara. Pencatatan dilakukan di lembar 24 Hours Activity Recall Questionnaires. 3. Wawancara pada no 1) dan 2) dilakukan pada waktu bersamaan. 4. Mengukur berat badan dan tinggi badan obyek penelitian untuk mengetahui status gizi obyek. 5. Menghitung jumlah energi yang dihasilkan dari data 24 Hours Food Recall Questionnaires yang telah diperoleh menggunakan software Nutrisurvey. 6. Melakukan analisis statistik terhadap hipotesis awal. 7. Menghitung jumlah energi yang dikeluarkan obyek penelitian berdasarkan aktivitas fisik yang dilakukan.
PAL = (∑PARi(Ti))/24 dimana: PARi = Physical Activity Ratio untuk setiap aktivitas i Ti = waktu yang dibutuhkan (jam) untuk setiap aktivitas i
4.5. HIPOTESIS Dugaan sementara dari penelitian ini adalah terjadinya keseimbangan antara asupan energi dengan energi yang dikeluarkan obyek penelitian untuk aktivitas fisik. A. OBYEK PENELITIAN Warga Hunian Sementara (Huntara) Gondang I, Wukirsari, Yogyakarta, usia produktif 15 – 55 tahun. B. ALAT PENELITIAN Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. 24 Hours Food Recall Questionnaires b. 24 Hours Activity Recall Questionnaires c. Software Nutrisurvey d. Alat pengukur berat badan dan tinggi badan manusia
D. ANALISIS HASIL Analisis hasil dilakukan setelah data berikut diperoleh, yaitu:
322
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Tinggi Badan (cm) Berat Badan (kg) Indeks Massa Tubuh (IMT) BMR (kcal): Basal Metabolic Rate PAR: Physical Activity Rate PAL: Physical Activity Level TDEE (kcal): Total Daily Energy Expenditure 8. Asupan energi (kcal) Data yang diperoleh dari hasil wawancara dan pengukuran berat dan tinggi badan digunakan untuk menghitung IMT, BMR, menentukan PAL dan PAR, menghitung TDEE. Nilai asupan energi diperoleh dari input data ke software Nutrisurvey. Analisis kemudian dilakukan secara deskriptif dari hasil perhitungan yang diperoleh. Dilakukan juga pembuktian hipotesis untuk memperkuat hasil penelitian.
responden; 4). dapat digunakan untuk responden yang buta huruf; dan 5). sesuai untuk memperkitakan rata-rata intake (asupan) makan pada populasi. Metode survey konsumsi 24-Hours Food Recallyang diterapkan adalah Single 24Hours Food Recallyaitu wawancara hanya diterapkan satu kali pada tiap-tiap responden. Single 24-hours recall sesuai digunakan untuk mengukur rata-rata intake (asupan) makanan pada suatu populasi namun metode Single 24-hours recall tidak cocok digunakan untuk memperkirakan asupan makanan secara individu atau menggambarkan kebiasaan makan individu. Pada wawancara Single 24-Hours Food Recall, responden diminta untuk mengingat kembali jenis makanan yang dikonsumsi selama 24 jam ditarik ke belakang mulai dari waktu dilakukannya wawancara. Sebagai contoh, jika wawancara dilakukan pada tanggal 23 September 2011 pukul 16.00, maka responden diminta mengingat jenis makanan yang dikonsumsi mulai dari waktu makan terakhir yang mendekati waktu wawancara ditarik mundur sampai dengan waktu makan yang mendekati pukul 16.00 pada tanggal 22 September 2011 (sehari sebelumnya). Untuk mendapatkan data aktivitas fisik digunakan metode 24-Hours Activity Recall. Metode ini pengambilan datanya pada prinsipnya sama dengan pengambilan data survey konsumsi hanya bedanya pada wawancara ini, responden diminta untuk mengingat seluruh aktivitas yang telah dilakukan. Tujuan dari dilakukannya 24Hours Food Recall adalah untuk mengetahui asupan energi yang diperoleh responden melalui makanan yang dikonsumsi, sedangkan 24-Hours Activity Recall dilakukan untuk memperoleh gambaran penggunaan energi oleh responden untuk melakukan aktivitas fisik. Kedua wawancara ini dilakukan pada waktu yang sama, sehingga dapat diketahui keseimbangan asupan energi responden dengan energi yang dibutuhkan untuk melakukan aktivitas fisik.
5. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Wawancara dilakukan mulai 17 sampai 23 September 2011 di sore hari mulai pukul 15.00 sampai 17.30 WIB. Jumlah responden yang diwawancarai adalah 105 responden dengan usia produktif (dalam rentang 15 – 55 tahun) dan jenis kegiatan ekonomi yang beragam. Persentase responden berdasarkan jenis kelamin ditunjukkan pada Gambar 3.1. Penjadwalan responden dilakukan untuk memudahkan pewawancara dan responden meluangkan waktu, sehingga diharapkan tidak mengganggu aktivitas ekonomi responden. Data yang diambil adalah data konsumsi makanan dan aktivitas fisik. Untuk memperoleh data konsumsi makanan digunakan metode survey konsumsi makanan 24-Hours Food Recall. Prinsip dari metode 24-Hours Food Recall ini adalah dengan mencatat semua jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Metode survey konsumsi makanan ini dipilih karena karena 1). pelaksanaannya mudah; 2). tidak membebani responden; 3). biaya relatif murah dan cepat dilakukan sehingga dapat mencakup banyak
323
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 dengan rumus yang sudah dibakukan, pada penelitian ini digunakan rumus (4). Untuk mendapatkan Total Daily Energy Expenditure, digunakan data hasil wawancara menggunakan 24-Hours Activity Recall Questionnaires yang diinterpretasikan ke dalam nilai PAR (Physical Activity Ratio) berdasarkan level aktivitasnya, apakah tergolong aktivitas dasar, ringan, sedang, berat, sangat berat, sangat sangat berat (Tabel 1.6.). Setiap level memiliki nilai (ratio) yang sudah dibakukan. Total PAR diperoleh dengan mengalikan lamanya kegiatan dilakukan dan menjumlahkannya untuk keseluruhan kegiatan yang dilakukan selama 24 jam. Physical Activity Level (PAL) diperoleh dengan membagi total PAR dengan 24 (jam). PAL menggambarkan pengeluaran energi rata-rata untuk melakukan aktivitas dalam sehari. PAL dikalikan dengan BMR akan diperoleh TDEE dalam kilokalori. TDEE menggambarkan jumlah energi (kalori) yang dibutuhkan oleh individu untuk melakukan aktivitas fisiknya dalam sehari. Rata-rata TDEE untuk responden pria adalah 2888,40 kcal, sedangkan untuk wanita adalah 2196,03 kcal. Data yang diperoleh dari 24 Hours Food Recall Questionnaires kemudian dikonversikan ke dalam satuan gram dan di-input-kan ke software Nutrisurvey untuk diolah sehingga dihasilkan data jumlah asupan energi responden dalam kilokalori. Rata-rata asupan energi untuk responden pria adalah 1775,41 kcal dan untuk wanita adalah 1322,27 kcal. Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa pemenuhan energi bagi pria tercapai 61,47 %, sedangkan pada wanita 60,21% (Tabel 3.2).
Persentase Responden
Lelaki
42.86 57.14
Gambar 3.1. Persentase berdasarkan jenis kelamin
Perempuan
responden
Contoh hasil wawancara yang dilakukan kepada responden yang berjumlah 105 orang ditunjukkan pada Tabel 3.1. Data yang diperoleh berupa Tinggi Badan (cm) dan Berat Badan (kg) digunakan untuk menghitung Indeks Massa Tubuh (IMT) yang menunjukkan status gizi dari obyek penelitian. Batas ambang IMT ditentukan dengan merujuk ketentuan FAO/WHO,yang membedakan batas ambang untuk laki-laki dan perempuan. Disebutkan bahwa batas ambang normal untuk laki-laki adalah 20,1–25,0dan untuk perempuan adalah 18,7-23,8 (Jaringan Gizi Indonesia, 2011). Dari wawancara yang dilakukan diperoleh nilai IMT rata-rata adalah 26.84. Hal ini berarti keadaan rata-rata warga Gondang I usia produktif disebut gemuk dengan kelebihan berat badan tingkat ringan. Cara penghitungannya adalah menggunakan rumus (2) untuk setiap data responden. Basal Metabolic Rate(BMR dalam kcal) yang menunjukkan energi yang dibutuhkan tubuh untuk aktivitas dasar (tidak melakukan aktivitas apapun, diam), yaitu aktivitas untuk mempertahankan fungsi fisiologi dasar tubuh agar berjalan baik. BMR ini diperoleh dari perhitungan menggunakan rumus (3) dengan memakai data berat badan (kg). Perhitungan BMR disesuaikan dengan usia dan jenis kelamin responden. BMR untuk setiap responden dapat dilihat di Tabel 3.1 sampai dengan 3.4. Hasil perhitungan BMR kemudian digunakan untuk menghitung Total Daily Energy Expenditure (TDEE dalam kcal)
Tabel 3.2. Persentase pemenuhan energi responden
324
Laki-laki
Wanita
Kebutuhan
2888,40 kcal
2196,03 kcal
Asupan
1775,41 kcal
1322,27 kcal
Pemenuhan
61,47%
60,21 %
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 responden mengenai pemanfaatan bahan makanan berupa sumber pangan hewani di sekitar responden. Sebagai contoh, salah satu profesi warga adalah peternak sapi perah, susu sapi yang dihasilkan akan lebih baik jika dikonsumsi juga oleh warga. Saat ini juga terdapat usaha perikanan yang dimiliki warga, yang hasilnya dapat dikonsumsi juga oleh warga. Selanjutnya, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pemanfaatan sumber-sumber makanan di sekitar tempat tinggal, apakah sudah dioptimalkan oleh warga ataukah belum.
Dari hasil penelitian seperti dapat dilihat pada Tabel 3.2., maka dapat disimpulkan bahwa benar telah terjadi ketidakseimbangan antara asupan energi dengan besarnya energi yang dikeluarkan untuk melakukan aktivitas fisik, didalamnya terdapat aktivitas bekerja, sehingga ketidakseimbangan ini bisa menjadi salah satu penyebab belum kunjung pulihnya kegiatan ekonomi warga Gondang I berusia produktif. Hal ini diperkuat dengan analisis statistik terhadap hipotesis, yaitu terdapat keseimbangan antara asupan dengan pengeluaran energi untuk aktivitas, dengan taraf nyata pengujian 1% disimpulkan hipotesis tersebut tidak dapat diterima. Ketidakseimbangan energi atau asupan makan ini terjadi karena menurut wawancara yang dilakukan menggunakan food recall, cenderung porsi mereka yang diungkapkan kepada pewawancara adalah kurang. Ketidakseimbangan tersebut terjadi hanya pada rata-rata intake populasi dan bukan per individu. Selain itu, karena kebiasaan makan responden tidak bisa digambarkan dengan single food recall, maka rata-rata intake populasi yang kurang tidak bisa dihubungkan dengan kenyataan bahwa status gizi responden banyak yang lebih dari normal. Saran yang diberikan untuk responden adalah untuk menambah porsi makannya, sehingga jumlah kalori yang kurang dapat dipenuhi. Pola makan seimbang diperlukan, sehingga kebutuhan tubuh terhadap zat gizi terpenuhi. Penganekaragaman makanan atau variasi makanan juga diperlukan sebagai wacana edukasi pada responden karena responden kebanyakan menganut sistem makan “asal kenyang” dan kurang memperhatikan variasi makanan. Menurut hasil wawancara, makanan yang disebutkan pada saat wawancara adalah cenderung monoton atau hanya itu-itu saja. Hal tersebut mungkin terjadi karena tempat tinggal kurang mendukung untuk mendapatkan makanan yang bervariasi. Selain itu, penting ditekankan kepada
6. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN 1. Pemenuhan energi pada responden pria baru tercapai 61,47 %, sedangkan pada wanita 60,21%. Dari hasil tersebut, yang juga diperkuat dengan analisis hipotesis secara statistik, maka dapat disimpulkan bahwa benar telah terjadi ketidakseimbangan antara asupan energi dengan besarnya energi yang dikeluarkan untuk melakukan aktivitas fisik, didalamnya terdapat aktivitas bekerja, sehingga ketidakseimbangan ini bisa menjadi salah satu penyebab belum kunjung pulihnya kegiatan ekonomi warga Gondang I berusia produktif. 2. Untuk mengatasi ketidakseimbangan tersebut, maka disarankan bagi responden untuk menambah porsi makannya, terutama sumber energi, serta memperhatikan pola makan seimbang dan bervariasi untuk mencukupi kebutuhan tubuh terhadap zat gizi. B. SARAN Dikarenakan Single Recall tidak cukup menggambarkan status gizi individu, maka dalam penelitian ini tidak dapat dihubungkan antara keseimbangan asupan dan kebutuhan energi dengan status gizi responden. Untuk mengetahui status gizi responden diperlukan paling sedikit
325
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 tiga kali recall dalam rentang waktu tertentu. Tabel 3.1. Hasil Wawancara 24 Hours Food Recall dan 24 Hours Activity Recall No
Jenis Kelamin
Umur (th)
Pekerjaan
BB (kg)
TB (cm)
IMT
BMR (kcal)
PAR
PAL
TDEE (kcal)
Recall (kcal)
% pemenuhan
1
P
20
Pegawai Bakery
51,3
148,2
23,36
1250,11
39,8
1,66
2073,10
1632,8
78,76
2
L
22
Penambang pasir
49,9
153,9
21,07
1442,47
43,2
1,80
2596,45
1252,8
48,25
3
P
23
57,3
157
23,25
1338,31
42,2
1,76
2353,20
802
34,08
4
L
25
75,8
165,7
27,61
1838,74
33
1,38
2528,27
3262,1
129,03
5
P
26
67,8
153,3
28,85
1492,66
38,6
1,61
2400,69
1774,5
73,92
6
L
31
Caddy Design poto dan grafis Pegawai rumah makan Cari rumput dan batu
66,1
164,3
24,49
1645,76
46,4
1,93
3181,80
1103,3
34,68
7
L
31
Pemerah Sapi
60,8
161
23,46
1584,28
39,3
1,64
2594,26
1561
60,17
8
P
33
Penjaga Warung
74,6
149,8
33,24
1478,02
41,8
1,74
2574,22
1499,9
58,27
9
P
34
Pekerja Ternak
73,6
158
29,48
1469,32
34,2
1,43
2093,78
1564,7
74,73
10
L
35
PNS
64,6
162,5
24,46
1628,36
37,2
1,55
2523,96
2550,4
101,05
11
L
35
74,6
161,8
28,50
1744,36
55
2,29
3997,49
1157,3
28,95
12
P
36
Pemecah batu Cari rumput dan batu
79,9
152,4
34,40
1524,13
46,4
1,93
2946,65
1103,3
37,44
13
L
37
Penjaga Warung
80,9
160
31,60
1817,44
32,4
1,35
2453,54
1311,5
53,45
14
L
37
Pencari Kayu
76,7
162,2
29,15
1768,72
41,4
1,73
3051,04
2163,1
70,90
15
L
40
67
164,5
24,76
1656,2
42,9
1,79
2960,46
2152,6
72,71
16
P
41
Pemerah Sapi Pekerja Kasar/proyek
48,8
137,3
25,89
1253,56
49,4
2,06
2580,24
1158,2
44,89
17
L
41
Pemerah Sapi
65
156,5
26,54
1633
43,8
1,83
2980,23
2281,7
76,56
18
P
41
Pencari Rumput
51,7
150,5
22,83
1278,79
41
1,71
2184,60
1499,5
68,64
19
P
42
75
154,5
31,42
1481,5
35,8
1,49
2209,90
1377,3
62,32
20
L
43
Ibu Rumah tangga PNS/pencari batu kali
75,1
162,9
28,30
1750,16
44,6
1,86
3252,38
2000,1
61,50
21
L
44
Penambang pasir
70,5
160,5
27,37
1696,8
44,8
1,87
3167,36
1093
34,51
22
L
44
Pencari Rumput
49,7
153,4
21,12
1455,52
43,8
1,83
2656,32
1731,2
65,17
23
P
45
Ibu Rumah tangga
60,2
144,5
28,83
1352,74
33,9
1,41
1910,75
1241,6
64,98
Gizi Indonesia www.gizi.net diakses 12 Mei 2011 Anonim. http://human-nutrition.net/pengeluaran-energi/ diakses 25 Maret 2011 Anonim. www.bmi-calculator.net diakses 25 Maret 2011 Gershwin, M. E., P. Nestel, dan C. L. Keen 2004. Handbook of Nutrition and Immunity. Humana Press Inc. New Jersey
7. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2009. Energy Intake and Expenditure. British Nutrition Foundation. UK.www.nutrition.org.uk diakses 25 Maret 2011 Anonim. Kebutuhan Nutrisi pada Lansia. http://www.smallcrab.com/lanjut-usia/527kebutuhan-nutrisi-pada-lansia diakses 25 Maret 2011 Anonim. Pedoman PraktisMemantau Status Gizi Orang Dewasa. Jaringan
326
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 Gibson, Rosalind S. 2005. Principles of Nutritional Assessment. Second Edition. Oxford University Press. New York. Indriati, Etty dan William Leonard. 2010. Training Anthropometry, Human Energetics, and Nutrition. Lab Bio and Paleoanthropology, Fak. Kedokteran UGM. Yogyakarta. Poh B.K, Safiah M.Y., Tahir A., Siti Haslinda M.D., Siti Norazlin N., Norimah A.K.,Wan Manan W.M., Mirnalini K., Zalilah M.S., Azmi M.Y., dan Fatimah S. 2010. Physical Activity Pattern and Energy Expenditure ofMalaysian Adults: Findings from the Malaysian AdultNutrition Survey (MANS). Mal J Nutr 16(1): 13 – 37. WHO. 2002. Protein and Amino Acid Requirements in Human Nutrition. WHO Technical Report Series. No. 935. Geneva, Switzerland.
327
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
ANALISIS TINGKAT KEPUASAN WISATAWAN TERHADAP SARANA WISATA PANTAI KUWARU KABUPATEN BANTUL UNTUK PERANCANGAN STRATEGI PEMASARAN OBYEK WISATA (STUDI KASUS DI OBYEK WISATA PANTAI KUWARU KABUPATEN BANTUL) Tian Nur Ma’rifat 1), Endy Suwondo2), Novita Erma Kristanti2) Mahasiswa S-1, Jurusan Teknologi Indsutri Pertanian, Fakultas Teknologi PertanianUniversitas Gadjah Mada; 2Staf Pengajar Jurusan Teknologi Indsutri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada 1
Abstrak Pantai Kuwaru merupakan salah satu obyek wisata pantai di Kabupaten Bantul. Pantai Kuwaru memiliki potensi untuk menjadi obyek wisata unggulan Kabupaten Bantul dikarenakan panorama pantai yang masih alami dan adanya wisata penunjang pantai seperti kuliner. Dalam rangka pengembangan obyek wisata pantai Kuwaru, diperlukan strategi pemasaran yang didasarkan pada kepuasan yang telah dicapai oleh pengunjung. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner yang disebar ke 100 orang responden wisatawan dengan tingkat kepercayaan 95%. Analisis kepuasan wisatawan dilakukan dengan menggunakan metode ImportancePerformanceAnalysis. Metode CSI digunakan untuk mengetahui tingkat kepuasan wisatawan secara keseluruhan. Sarana wisata Pantai Kuwaru dikelompokkan berdasarkan bauran pemasaran jasa yang meliputi product, price, place, promotion, people, process dan physical evidence, selanjutnya nilai rata-rata untuk setiap atribut sarana wisata diplotkan ke dalam grafik IPA yang terdiri dari empat kuadran prioritas berdasarkan tingkat kepentingan dan kinerja. Dari hasil analisis, diperoleh 5 atribut yang memiliki prioritas utama untuk meningkatkan kepuasan wisatawan Pantai Kuwaru, antara lain: kebersihan area pantai, kebersihan sarana penunjang wisata pantai, kondisi jalan menuju pantai, kondisi rumah makan yang meliputi kelayakan bangunan dan kebersihan rumah makan serta tersedianya sarana pembuangan sampah di sekitar pantai. Nilai CSI sebesar 72,74 % menunjukkan secara umum wisatawan merasa puas dengan atribut sarana wisata yang ada di Pantai Kuwaru.
Kata kunci : Kepuasan Wisatawan, Importance-Performance Analysis, CSI
hingga tahun 2009 yaitu Pantai Parangtritis (Anonim, 2010).
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor wisata merupakan sektor penting yang dapat menunjang perekonomian dan pembangunan suatu daerah. Kabupaten Bantul memiliki potensi wisata besar terbukti dari keseluruhan obyek wisata yang ada di D.I Yogyakarta, obyek wisata di Bantul menduduki rangking pertama dalam jumlah pengunjung pada tahun 2005
Hal ini menunjukkan ketertarikan pengunjung akan panorama pantai di Kabupaten Bantul. Pantai Kuwaru merupakan salah satu obyek wisata pantai di Kabupaten Bantul. Pantai Kuwaru memiliki potensi untuk menjadi obyek wisata unggulan Kabupaten Bantul dikarenakan panorama pantai yang masih
328
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 alami dan adanya wisata penunjang pantai seperti kuliner. Wisatawan yang berperan sebagai konsumen merupakan komponen penting dalam pengembangan obyek wisata Pantai Kuwaru sebagai kawasan terpadu wisata alam, kerajinan dan kuliner. Wisatawan berwisata dengan tujuan untuk berekreasi atau melepas rasa penat. Dalam menunjang tujuan tersebut, tempat wisata yang dituju harus memberikan kepuasan kepada pengunjungnya melalui pemandangan yang ditawarkan, sarana yang disediakan serta pelayanan kepada pengunjung. Untuk itu perlu diketahui sejauh mana kepuasan wisatawan terhadap obyek wisata yang dikunjungi sebagai dasar dalam peningkatan kinerja atribut yang dimiliki obyek wisata. Dalam rangka pengembangan obyek wisata pantai Kuwaru, diperlukan suatu strategi pemasaran yang didasarkan pada kepuasan yang telah dicapai oleh pengunjung dalam mengembangkan Pantai Kuwaru sebagai kawasan terpadu wisata alam dan kuliner.
3. Mengetahui atribut sarana wisata Pantai Kuwaru yang menjadi prioritas perbaikan utama perbaikan. 4. Mengidentifikasi kepuasan pengunjung secara keseluruhan terhadap kinerja atribut di Pantai Kuwaru.
1.4 Manfaat Penelitian 1.Memberikan informasi kepada pengelola dan Pemerintah Daerah mengenai tingkat kepuasan yang dirasakan oleh wisatawan yang berkunjung ke pantai Kuwaru sebagai dasar dalam pengembangan obyek wisata. 2. Memberikan masukan kepada pengelola dan Pemerintah Daerah mengenai strategi pemasaran Pantai Kuwaru berdasarkan tingkat kepuasan wisatawan dan tingkat kepentingan atribut sarana yang ada di Pantai Kuwaru. 2. METODE PENELITIAN Tahap awal penelitian adalah melakukan identifikasi permasalahan yang dilakukan untuk mengetahui kondisi umum dan permasalahan atau kendala yang dihadapi. Langkah selanjutnya adalah observasi terhadap kondisi sarana wisata yang ada di Pantai Kuwaru. Wawancara dilakukan kepada Dinas Pariwisata Kabupaten Bantul serta pengelola pantai untuk mengetahui sistem pengelolaan Pantai Kuwaru. Setelah itu penyebaran kuesioner dilakukan untuk mengetahui tingkat kepuasan wisatawan terhadap sarana yang ditawarkan oleh pihak pengelola dan mengetahui sarana wisata yang menurut wisatawan perlu ditingkatkan karena kondisi saat ini belum memuaskan di Pantai Kuwaru.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalahnya adalah bagaimana tingkat kepuasan konsumen terhadap tingkat sarana wisata Pantai Kuwaru Kabupaten Bantul serta strategi pemasaran yang tepat dalam mengembangkan Pantai Kuwaru. 1.3 Tujuan Penelitian 1. Mengidentifikasi tingkat kepentingan wisatawan terhadap atribut yang dimiliki oleh pantai Kuwaru. 2.Menganalisis tingkat kepuasan wisatawan terhadap sarana yang ditawarkan oleh pihak pengelola Pantai Kuwaru.
329
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Gambar 2.1 Bagan Metode Penelitian
dalam kuisioner utama tertuang pada Tabel 3.1.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini menggunakan jumlah sampel untuk uji pendahuluan yaitu sebanyak 35 sampel dengan tingkat signifikansi 5%. Selanjutnya hasil kuisioner yang telah disebar dilakukan uji validitas dan reliabilitas. Setelah semua butir atribut dalam kuisioner telah valid dan reliabel untuk tingkat kepentingan dan kepuasan selanjutnya dapat dilakukan penyebaran kuisioner lanjutan. Atribut yang terdapat di kuisioner lanjutan berjumlah 30 atribut yang dikelompokkan ke dalam bauran pemasaran jasa yang terdiri dari tujuh komponen sebagaimana yang disebutkan oleh Zeithaml et.al (2003) yaitu product (produk), price (harga), place (tempat), promotion (promosi), people (orang), process (proses), place (lokasi), physical evidence (bukti fisik). Pengelompokan atribut dilakukan karena melalui bauran pemasaran diharapkan strategi pemasaran dapat dijalankan dengan sukses. Bauran pemasaran merupakan alat kendali organisasi dalam memberikan kepuasan kepada konsumen. Atribut yang dinilai
Metode yang digunakan untuk mengukur tingkat kepuasan wisatawan adalah dengan Importance-Performance Analysis (IPA). Menurut Rangkuti (2006), IPA berfungsi untuk memetakan hubungan antara kepentingan dengan kinerja dari masing-masing atribut yang ditawarkan. Atribut dievaluasi dengan menggunakan Importance-Performance Analysis berdasarkan pada bauran pemasaran dari Pantai Kuwaru. Dengan menggunakan metode tersebut, akan diperoleh faktorfaktor yang akan menjadi prioritas utama oleh pemerintah setempat serta pengelola Pantai Kuwaru untuk meningkatkan kepuasan wisatawan terhadap sarana wisata yang ada di Pantai Kuwaru. Grafik IPA dibagi menjadi menjadi empat buah kuadran berdasarkan hasil pengukuran importance-performance. Kuisioner utama disebar kepada 100 orang responden, dan diperoleh hasil perhitungan rata-rata tingkat kepentingan dan kepuasan wisatawan terhadap atribut Pantai Kuwaru adalah rata-rata kepuasan atribut ke-i sebesar 2,844 dan rata-rata kepentingan atribut sebesar 3,466. Nilai rata-rata kepuasan atribut dijadikan titik
330
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 awal pada sumbu X untuk menarik garis yang membagi antara kuadran I dan kuadran II, serta antara kuadran IV dan kuadran III, nilai rata-rata kepentingan atribut dijadikan titik awal pada sumbu Y untuk menarik garis yang membagi antara kuadran I dan kuadran IV, serta antara kuadran II dan kuadran III. Dari hasil analisis akan diperoleh atribut yang memiliki prioritas dalam meningkatkan kepuasan konsumen.
Selanjutnya bobot penilaian kinerja dan kepentingan keseluruhan atribut diplotkan ke dalam diagram kartesius dengan hasil tertuang pada Gambar 3.1.
Tabel 3.1 Atribut Sarana Wisata Pantai Kuwaru No. 1.
Atribut Tersedianya pasar ikan yang menjual ikan laut.
No. 16.
2.
Adanya rumah makan yang menyediakan masakan ikan di sekitar pantai. Tersedianya sarana permainan di sekitar pantai. Kenyamanan pantai yang ditunjang dengan adanya pohon perindang di sekitar pantai. Kenyamanan sarana dan sarana wisata pantai. Tersedianya pasar ikan yang menjual ikan laut.
17.
22.
8.
Adanya rumah makan yang menyediakan masakan ikan di sekitar pantai. Harga retribusi masuk yang terjangkau.
9.
Harga jasa parkir yang terjangkau.
24.
10.
Harga ikan segar yang dijual di pasar ikan terjangkau.
25.
11.
Promosi mengenai obyek wisata Pantai Kuwaru melalui media elektronik yaitu televisi. Promosi mengenai obyek wisata Pantai Kuwaru melalui siaran radio. Promosi mengenai obyek wisata Pantai Kuwaru melalui media cetak yaitu surat kabar. Keramahan dan kesopanan pedagang di sekitar pantai.
26.
Keramahan dan kesopanan petugas retribusi.
30.
3. 4. 5. 6. 7.
12. 13. 14.
15.
331
18. 19. 20. 21.
23.
27. 28. 29.
Atribut Keramahan dan kesopanan petugas parkir. Alur pembayaran biaya retribusi dan parkir yang terpisah. Keamanan di sekitar pantai. Keamanan di area parkir. Kondisi jalan menuju lokasi pantai. Tersedianya penunjuk jalan menuju lokasi pantai. Kebersihan area sekitar pantai. Kebersihan sarana penunjang wisata pantai. Kondisi pasar ikan yang meliputi kelayakan bangunan dan kebersihan pasar ikan. Kondisi rumah makan yang meliputi kelayakan bangunan dan kebersihan rumah makan. Kondisi area parkir meliputi luas area dan adanya atap pelindung. Tersedianya sarana pembuangan sampah di sekitar pantai. Tersedianya sarana peribadatan yaitu masjid. Kondisi sarana peribadatan meliputi kelayakan bangunan, kebersihan, ketersediaan air bersih, serta kelengkapan alat ibadah. Penataan tata letak sarana pantai
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 23 November 2011 Kuadran II
Kuadran I
x
y
Kuadran III
Kuadran IV
Gambar 3.1 Diagram Kartesius Penilaian Kepentingan dan Kepuasan Wisatawan
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa CSI yang diperoleh masuk dalam kategori CSI antara 66 hingga 80 %, sehingga dapat disimpulkan bahwa tingkat kepuasan konsumen secara keseluruhan atas atribut sarana wisata di Pantai Kuwaru dapat dikatakan “Puas”. Tingkat at kepuasan dari wisatawan ini harus dipertahankan dan terus ditingkatkan.
3.1.Customer Satisfaction Index Menurut Aritonang (2005) Customer Satisfaction Index digunakan untuk menganalisis tingkat kepuasan konsumen secara keseluruhan. CSI (Customer Satisfaction Index)) digunakan untuk mengetahui tingkat kepuasan konsumen secara menyeluruh dengan melihat tingkat kepentingan dari atributatribut atribut produk/jasa. Dari hasil perhitungan diperoleh nilai CSI sebesar 72,74 %. Menurut Ihsani (2005) Nilai CSI dibagi dalam lima kriteria dari tidak puas sampai sangat puas. Pembagian tersebut tertuang dalam tabel berikut. Tabel 3.2 Kriteria nilai Satisfaction Index (CSI) Nilai CSI (%) 81-100 66-80 51-65 35-50 0-34 Sumber : Ihsani (2005)
3.2. Penentuan strategi pemasaran emasaran Dalam penelitian ini, strategi pemasaran untuk obyek wisata Pantai Kuwaru dikerucutkan melalui strategi operasional berupa perbaikan pelayanan ya yang ditentukan dengan menganalisis kepuasan wisatawan terhadap atribut sarana yang ada di pantai Kuwaru. Cakupan strategi perbaikan pelayanan difokuskan pada atribut yang terletak di kuadran I dalam matriks kepentingan kepentingankepuasan. Hal ini dikarenakan atribut mempunyai tingkat kepentingan tinggi, namun memberikan kinerja yang buruk yang menyebabkan wisatawan tidak puas dengan atribut tersebut. Dengan adanya perbaikan kinerja diharapkan konsumen
Customer
Kriteria CSI Sangat Puas Puas Cukup Puas Kurang Puas Tidak Puas
332
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 menjadi loyal terhadap jasa yang ditawarkan. Berikut adalah rincian rekomendasi perbaikan pelayanan melalui prioritas peningkatan kinerja dari atribut sarana wisata : a. Kebersihan area pantai b. Kebersihan sarana penunjang wisata pantai, yaitu kolam renang anak dan arena bermain anak. c. Kondisi jalan menuju pantai d. Ketersediaan penunjuk jalan menuju pantai.
e. Kondisi rumah makan yang meliputi kelayakan bangunan dan kebersihan rumah makan. f. Tersedianya sarana pembuangan sampah di sekitar pantai.
3.3. Strategi pemasaran berdasarkan bauran Pasar Penyusunan strategi pemasaran Pantai Kuwaru secara ringkas tertuang dalam Tabel 3.3.
Tabel 3.3. Penyusunan strategi pemasaran pantai kuwaru No. 1.
Bauran Pemasaran Product
Prioritas Perbaikan Tidak
2.
Price
Tidak
3.
People
Tidak
4.
Promotion
tidak
5.
Place
Ya
6. 7.
Process Physical Evidence
Tidak Ya
Strategi Pertahankan kinerja
Pertahankan kinerja. Apabila diperlukan perubahan harga karena kebutuhan operasional, diperlukan analisis lebih lanjut. Pertahankan kinerja
Sarana promosi dengan komunikasi perorangan atau word of mouth. Perbaikan kualitas pelayanan dan sarana wisata sehingga timbul loyalitas konsumen Perbaikan dan pelebaran jalan.
Nilai Tambah untuk obyek wisata Keunggulan product yang ditawarkan, antara lain :
-
kenyamanan pantai yang ditunjang dengan adanya pohon cemara udang
-
adanya sarana permainan kenyamanan sarana wisata tersedianya pasar ikan
wisata kuliner Menjaga agar konsumen tetap bertahan.
Daya tarik wisata ada pada kerifan lokal atau local wisdom yang dimiliki oleh penduduk yang bermukim di kawasan Pantai Kuwaru. penyebaran informasi ke masyarakat luas mengenai keunggulan Pantai Kuwaru. Tempat wisata lebih mudah dijangkau oleh wisatawan.
Pertahankan kinerja
-
penambahan sarana pembuangan sampah di area pantai
-
tulisan himbauan untuk membuang sampah pada tempatnya
-
himbauan kepada pemilik rumah makan untuk meningkatkan kebersihan rumah makan
-
penyuluhan sanitasi yang diadakan oleh pihak akademisi.
333
Kondisi fisik yang lebih tertata dan memberikan kenyamanan kepada wisatawan.
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 Zeithaml, V.A., and Mary J.B. 2003. Services Marketing. New York : McGraw-Hill Companies.
4. KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian mengenai “Analisis Kepuasan Wisatawan terhadap Sarana Wisata Pantai Kuwaru untuk Perancangan Strategi Pemasaran Obyek Wisata” adalah sebagai berikut : a. Dari hasil analisis dengan metode Importance-Performance Analysis terhadap 30 atribut sarana yang ada di Pantai Kuwaru yang dikelompokkan berdasarkan bauran pemasaran jasa, diperoleh atribut yang memiliki prioritas utama untuk peningkatan kinerja, antara lain : 1) Kebersihan area pantai 2) Kebersihan sarana penunjang wisata pantai 3) Kondisi jalan menuju pantai 4) Kondisi rumah makan yang meliputi kelayakan bangunan dan kebersihan rumah makan. 5) Tersedianya sarana pembuangan sampah di sekitar pantai. b. Dengan menggunakan metode Customer Satisfaction Indeks diperoleh CSI sebesar 72,74 %. Secara umum wisatawan merasa puas dengan atribut sarana wisata yang ada di Pantai Kuwaru. 5. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2010. Laporan Akhir Studi Tata Ruang Pantai Kuwaru Kecamatan Srandakan, Pemerintah Kabupaten Bantul, DIY. Aritonang R, L. 2005. Kepuasan Pelanggan. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Ihsani, D.W. 2005. Analisis Kepuasan Konsumen terhadap Atribut Wisata Cangkuang Garut, Jawa Barat. Skripsi. Departemen Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, IPB. Bogor. Rangkuti, Freddy. 2006. Measuring Customer Satisfaction, Teknik Mengukur dan Strategi Meningkatkan Kepuasan Pelanggan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
334
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
PENGEMBANGAN PRODUK STEVI-COFFEE CELUP UNTUK PENGUATAN SISTEM PERKEBUNAN KOPI RAKYAT DI SLEMAN PASCA ERUPSI MERAPI (Product Development Of Stevi-Coffee Bag For Strenghtening Sleman Small Coffee Industrial System Pasca Merapi Eruption) Didik Purwadi *), Suharno *) dan Anggita Kurniasari*) *) Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian UGM [email protected]
Abstrak Penelitian ini dilakukan untuk membangkitkan kembali sistem industri kopi di Sleman melalui pendekatan pemanfaatan optimal terhadap tanaman kopi yang masih tersisa saat ini menjadi produk baru dengan nilai tambah yang besar. Produk ini adalah stevi-coffee celup, yakni kombinasi antara kopi dan daun stevia kering sebagai bahan pemanisnya. Penelitian ini mencari kombinasi yang optimal antara kopi dan stevia, menentukan kadar / ukuran produk untuk siap disajikan, serta bagaimana distribusi pemasaran yang perlu dilakukan. Metode yang digunakan adalah teknik rekayasa nilai (value engineering), yang dimulai dengan tahap informasi, tahap kreatifitas dan tahap pengujian. Atribut mutu yang perlu diperhatikan dalam pengembangan produk kopi berdasarkan urutan prioritas adalah aroma, rasa, bahan baku, harga, kekentalan, bentuk, warna, kemasan, dan daya tahan. Produk kopi dengan stevia terbaik berdasarkan analisis dan evaluasi dengan metode Value Engineering yang disesuaikan dengan kebutuhan konsumen adalah produk E, yaitu produk kopi dengan bahan baku kopi dan stevia yang memiliki perbandingan 25 : 75
Kata kunci : Stevi-Coffee, Pengembangan produk, Kopi Merapi hanya mengenal tebu dan aren sebagai tanaman penghasil gula, padahal ada tanaman lain yang dimanfaatkan sebagai pemanis yakni stevia. Stevia merupakan pemanis yang berasal dari tanaman yang memiliki tingkat kemanisan yang lebih tinggi dari gula tebu dan rendah kalori sehingga baik untuk kesehatan. Bagian tanaman stevia yang digunakan sebagai pemanis adalah daunnya. Daun stevia dapat langsung digunakan sebagai pemanis. Cara untuk memanfaatkannya yaitu dengan dikeringkan. Stevia belum banyak dimanfaatkan sebagai pemanis terutama di Indonesia. Dengan berbagai keunggulan yang dimiliki, stevia sangat berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai campuran dalam kopi bubuk. Dari potensi yang ada tersebut
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang penelitian Sleman memiliki potensi kopi di tiga kecamatan, yaitu Cangkringan, Pakem, dan Turi. Luas areal perkebunan kopi di Sleman yang tersebar di tiga kecamatan tersebut adalah 202 ha di Cangkringan, seluas 42 ha di Pakem dan seluas 43,3 ha di Turi. Namun akibat erupsi Merapi, lahan perkebunan yang tersisa adalah 17 ha di Cangkringan, 25,5 ha di Pakem dan 29,8 ha di Turi. Nilai kerugian yang ditimbulkan oleh erupsi Merapi ini mencapai Rp. 3,7 Miliar di Cangkringan, Rp. 330 Juta di Pakem dan Rp. 270 Juta di Turi. Secara terperinci data luas lahan perkebunan kopi di Sleman digambarkan pada Tabel 1. Masyarakat di Indonesia umumnya
335
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 maka dilakukan pengembangan untuk produk kopi dan stevia. Pengembangan produk ini dilakukan untuk menentukan formulasi terbaik produk kopi dengan stevia sesuai dengan kebutuhan konsumen, agar dapat diperoleh produk dengan kualitas baik yang dapat bersaing di pasaran. Dalam penelitian ini dilakukan pengembangan produk stevia yang digunakan sebagai campuran dalam kopi
bubuk. Pada saat ini produk kopi yang dijumpai di pasaran dijual dalam bentuk kopi bubuk biasa maupun kopi bubuk instan yang sudah dicampur gula maupun krimer. Pengembangan produk ini dilakukan untuk memberi nilai tambah pada produk kopi. Pengembangan produk pada penilitian ini dilakukan dengan menggunakan metode Value Engineering.
Tabel 1. Luas lahan kopi pasca erupsi Merapi Kecamatan
Luas areal (ha) Mati
Tertanami
Cangkringan 1. Umbulharjo 2. Kepuharjo 3. Glagahharjo 4. Argomulyo 5. Wukirsari
Nilai kerugian (Rp)
Sisa
Jumlah
34 78 62 2 26 202
30 78 60 2 14 185
4 0 2 0 12 17
1.200.000.000 1.560.000.000 620.000.000 40.000.000 280.000.000 3.700.000.000
Jumlah
12 9 10 5 6 42
9 0 7,5 0 0 16,5
3 9 2,5 5 6 25,5
180.000.000 0 150.000.000 0 0 330.000.000
Jumlah
0 0 40 3,3 43,3
0 0 11,5 2,0 13,5
0 0 28,5 1,3 29,8
0 0 230.000.000 40.000.000 270.000.000
Pakem 1. Purwobinangun 2. Candibinangun 3. Hargobinangun 4. Pakembinangun 5. Harjobinangun Turi 1. Bangunkerto 2. Donokerto 3. Girikerto 4. Wonokerto Sumber: Anonim (2010)
pengalaman mengelola kopi, pekerjaan utama, serta peta kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman usaha perkebunan kopi Merapi, hubungan kerjasama dengan mitra selama ini, jenis produk yang pernah dikembangkan selama ini (kopi biji, kopi bubuk, kopi siap saji). Data sekunder antara lain Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Sleman, Dinas Pertanian Sleman, Dinas Koperasi Sleman, Kelompok Usaha Bersama Kebun Makmur Sleman
1.2. Tujuan Penelitian Tujuan Penelitian ini adalah: (1) mengidentifikasi attribute produk yang dipentingkan, (2) memperoleh produk kopi dengan campuran stevia yang sesuai dengan keinginan konsumen mengenai rasa, aroma, dan warna poduk. 2. METODE PENELITIAN 2.1. Obyek penelitian Obyek penelitian adalah produk kopi dan daun stevia.
2.3. Metode pengolahan data
2.2. Pengumpulan data Data primer ini berisikan identitas dari responden, antara lain umur,
a. Tahap informasi 1) Uji Validitas dan reliabilitas
336
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 Pada tahap ini dilakukan uji inderawi terhadap berbagai karakteristik dan konsep produk kopi yang akan dikembangkan. 2) Penentuan nilai performansi Pada tahap ini digunakan metode zeroone untuk menilai dan membandingkan atribut satu dengan atribut yang lain. Nilai performansi dapat diperoleh dengan mengalikan jumlah penilaian responden terhadap atribut mutu tiap konsep dengan bobot atributnya.
Uji validitas dan reliabilitas digunakan untuk menjamin bahwa kuesioner yang digunakan mampu mengukur atribut dan mengetahui sejauh mana hasil pengukuran dapat dipercaya bila dilakukan pengukuran pada waktu yg berbeda pada kelompok subjek yang sama kemudian diperoleh hasil yang relatif sama. Uji reliabilitas menunjukkan stabilitas dan konsistensi suatu alat pengukur di dalam mengukur gejala yang sama. Untuk mengukur reliabilitas digunakan metode Alpha Cronbach. 2) Penentuan Prioritas Pengembangan Atribut Mutu Pada tahap ini ditentukan urutan prioritas pengembangan atribut mutu dari hasil rata-rata pemberian peringkat terhadap atribut mutu oleh responden pada pengisian kuesioner tahap pertama.
3) Penentuan Biaya Produksi Pada tahap ini dihitung biaya produksi dari tiap konsep produk yang dikembangkan. Dengan asumsi bahwa komponen biaya produksi yang dominan adalah komponen biaya bahan baku, maka penentuan biaya produksi tidak memasukkan komponen biaya yang lain seperti biaya sewa mesin dan tenaga kerja. 4) Penentuan Nilai (Value) Konsep Produk Nilai suatu produk dapat diperoleh dengan membandingkan performansi tiap konsep produk dengan biaya produksinya. 5) Penentuan Konsep Produk Terbaik Konsep produk terbaik adalah konsep yang memiliki nilai (value) tertinggi.
Pengembangan yang diprioritaskan adalah atrihut mutu yang mempunyai nilai ratarata yang paling rendah. 3) Penentuan Karakteristik Kebutuhan Konsumen Atribut-atribut mutu yang telah diketahui urutan prioritasnya digunakan untuk mengidentifikasi kebutuhan konsumen melalui penyebaran kuesioner tahap kedua. Spesifikasi produk yang diperoleh dari penyebaran kuesioner tersebut akan digunakan sebagai dasar untuk mengembangkan konsep produk.
d. Tahap evaluasi Evaluasi dilakukan dengan membandingkan value dari konsep produk terbaik yang akan dikembangkan dengan value produk pembanding yang telah ada di pasaran. Konsep produk layak untuk dikembangkan jika mempunyai value lebih besar dari value produk pembanding. Jika konsep produk mempunyai value lebih rendah dibanding dengan produk pasaran atau dengan kata lain tidak layak untuk dikembangkan maka penelitian harus kembali lagi pada tahap kreativitas.
b. Tahap kreativitas Tahap kreativitas ini diawali dengan brainstorming untuk menentukan konsepkonsep produk yang akan dikembangkan berdasarkan hasil identifikasi atribut mutu produk dan identifikasi kebutuhan konsumen. Setelah brainstorming kemudian dilakukan identifikasi fungsifungsi produk dengan metode FAST (Function Analysis System Technique). c. Tahap analisis 1) Pengujian Inderawi
337
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 Dari hasil tabel diatas urutan atribut yang diprioritaskan adalah aroma, rasa, bahan baku, harga, kekentalan, bentuk, warna, kemasan, dan daya tahan.
3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Tahap Informasi 1. Identifikasi Atribut Mutu Produk Beberapa atribut mutu yang dianggap penting atau diperhatikan oleh konsumen yaitu bahan baku, rasa, warna, bentuk, aroma, kekentalan, harga, daya tahan, dan kemasan.
4. Identifikasi Kebutuhan Konsumen Tingkat konsumsi kopi menunjukkan bahwa sebagian besar responden (74%) mengkonsumsi kopi kurang dari tujuh kali dalam seminggu atau dapat disebut dengan jarang mengkonsumsi kopi. Alasan mengkonsumsi kopi paling besar karena menyukai rasanya (55%) disusul karena fungsinya (25%). Pola konsumsinya sebagian besar mengkonsumsi kopi di rumah (66%) dan di coffee shop (22%). Tempat pembelian kopi paling banyak di supermarket (41%) dan minimarket (36%). Hasil penjaringan ini menunjukkan bahwa produk kopi yang diinginkan oleh konsumen adalah memiliki spesifikasi sebagai berikut: (a) kopi dengan bahan baku jenis arabika, (b) variasi rasa dengan krimer, susu, dan coklat; (c) rasa kopi yang manis dengan tingkat kemanisan sedang; (d) penambahan stevia sebagai pemanis kopi; (e) aroma kopi yang kuat dan kental; (f) warna kopi hitam kecoklatan; (g) bentuk kopi instan dalam bentuk celup; (h) isi kemasan sebanyak 510 buah; dan (i) tanpa zat pengawet.
2. Uji Validitas dan Reliabilitas Hasil uji validitas atribut mutu sekunder yang valid akan dijadikan sebagai dasar pembuatan kuesioner kedua untuk mengidentifikasi kebutuhan konsumen, sedangkan hasil uji validitas atribut mutu sekunder yang tidak valid akan dibuang, yaitu penambahan zat pewarna dan takaran penyajian. Hasil uji reliabilitas menunjukkan bahwa kuesioner reliabel. 3. Penentuan Prioritas Pengembangan Atribut Mutu Kuesioner ini menggunakan skala 1-9 dimana skor 9 mewakili bobot yang paling penting yaitu yang paling diprioritaskan untuk dikembangkan. Jumlah responden yang diambil untuk kuesioner ini sama dengan jumlah responden untuk kuesioner diatas yaitu 40 orang. Skor dan urutan prioritas pengembangan atribut mutu dari penyebaran kuesioner tahap pertama ini dapat dilihat pada Tabel 2.
5. Tahap Kreativitas Identifikasi fungsi produk diawali dengan mengamati produk kopi yang ada di pasaran dan mengamati langsung di industri pembuatan kopi PT. Swarna Buana Semesta yang terletak di Jalan Kaliurang km 9, Sleman, Yogyakarta. Setelah melakukan pengamatan terhadap produk dan proses pembuatannya maka dapat diidentifikasi fungsi-fungsi produk kopi dan selanjutnya fungsi-fungsi tersebut dapat dipetakan dan diketahui keterkaitannya dengan menggunakan diagram FAST. Diagram FAST disusun berdasarkan hierarki fungsi. Fungsi dengan
Tabel 2. Urutan prioritas atribut mutu pengembangan kopi Atribut
Skor
Urutan Prioritas
Bahan baku Rasa Warna Bentuk Aroma Kekentalan Harga Daya tahan Kemasan
5,675 7,3 4,075 4,15 7,45 4,525 5,075 3,825 4,05
3 2 7 6 1 5 4 9 8
338
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 tingkat yang lebih tinggi diletakkan di sebelah kanan. Pembuatan diagram FAST dimulai dari fungsi dasar yang telah ditentukan sebelumnya, dalam hal ini
adalah kopi. Fungsi dasar tesebut berada pada lingkup yang akan menjadi masalah yang akan dibahas.
Gambar 1. Diagram FAST
Gambar 1. di atas menggambarkan keterkaitan antara fungsi primer kualitas dan harga dengan fungsi sekunder yang terdiri dari bahan baku, rasa, warna, bentuk, aroma, kekentalan, daya tahan, kemasan dan biaya produksi. Diagram FAST menggambarkan apa saja yang berpengaruh pada setiap fungsi sekunder.
6. Tahap Analisis 1. Pengujian Inderawi Hasil uji inderawi untuk atribut rasa, produk yang mempunyai nilai lebih tinggi dari produk pasar (2,93) adalah produk D (3,5) dan produk E (3,06). Hal ini dapat terjadi dikarenakan rasa dari produk D dan E memiliki kekhasan tersendiri dibandingkan dengan produk pasar. Selain itu komposisi produk juga sangat berpengaruh terhadap rasa yang dihasilkan. Sehingga rasa yang dianggap paling pas adalah produk D dan E. Hasil uji inderawi untuk atribut warna, nilai produk B (3,2) dan produk D (3,36) lebih tinggi daripada nilai produk pasar (3,13). Hal ini dikarenakan kadar kopi yang tinggi pada produk B dan D , yaitu 35% dan 50% sehingga warna produk menjadi lebih baik dan menarik. Pada hasil uji inderawi atribut
Tabel 3. Alternatif konsep produk kopi dengan Stevia Konsep Produk A B C D E F
Bahan Baku (%) Kopi : Stevia : Jahe = 25 : 50 : 25 Kopi : Stevia : Jahe = 35 : 50 : 15 Kopi : Stevia : Jahe = 15 : 50 : 35 Kopi : Stevia = 50 : 50 Kopi : Stevia = 25 : 75 Kopi : Stevia = 35 : 65
339
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 bentuk, seluruh produk memiliki nilai lebih tinggi dari produk pasar (2,66). Atribut bentuk merupakan kenampakan keseluruhan dari produk yang ada. Hasil tersebut dapat disebabkan karena bentuk dari semua produk lebih menarik dibandingkan produk pasar. Bentuk pengembangan produk adalah kopi dalam bentuk celup yang merupakan hal baru bagi sebagian orang, sehingga bentuk produk menjadi lebih menarik. Pada hasil uji inderawi atribut aroma, produk yang memiliki nilai lebih tinggi dari produk pasar (3,06) adalah produk B (3,13), produk C (3,3), produk D (3,33), produk E (3,1) dan produk F (3,33) . Hal ini dikarenakan aroma kopi yang dihasilkan lebih baik pada produk B, C, D, E dan F. Dengan komposisi yang tepat dapat menghasilkan aroma yang harum, seperti campuran jahe pada produk B dan C, namun aroma kopi tercium lebih kuat pada produk D karena kandungan kopi yang cukup banyak. Pada hasil uji inderawi untuk atribut kekentalan, produk B (2,76),
produk D (3,3) dan produk F (3,23) memiliki nilai lebih tinggi dari produk pasar (2,66). Hal ini terjadi karena kadar kopi yang cukup tinggi pada produk B (35%), D (50%) dan F (35%), sedangkan produk dengan kadar kopi yang rendah memiliki nilai yang rendah pula.
2. Penentuan Nilai Performansi Produk Performansi merupakan nilai baik atau tidaknya penampilan/kenampakan produk secara keseluruhan, termasuk atribut mutu produk. Performansi produk adalah penjumlahan hasil perkalian nilai tiap atribut mutu dari hasil uji inderawi dengan bobot kepentingan tiap atribut. Bobot kepentingan ini dapat dihitung dengan persamaan: Bobot atribut Contoh perhitungan bobot atribut untuk atribut rasa
Tabel 4. Hasil perhitungan bobot atribut Tingkat kepentingan
1
2
3
4
5
Jumlah nilai
Bobot atribut (%)
Rangking
Rasa
0
1
1
7
21
138
30,67
1
Warna
6
7
12
4
1
77
17,11
4
Bentuk
17
7
5
1
0
50
11,11
5
Aroma
2
7
3
12
6
103
22,89
2
Kekentalan
5
8
9
6
2
82
18,22
3
Jumlah
30
30
30
30
30
450
100
Atribut
Dari hasil perhitungan bobot atribut pada Tabel 4 dapat dilakukan pembandingan antar atribut mutu yang ada dengan menggunakan metode zero one. Atribut yang memiliki nilai lebih tinggi diberi nilai 1 dan yang lebih rendah diberi
nilai 0. Atribut yang dibandingkan dengan atribut yang sama diberi tanda (x). Dari hasil pembandingan atribut mutu dengan metode zero one didapatkan urutan rangking atribut mutu dari urutan teratas adalah rasa, aroma, kekentalan,
340
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 warna dan bentuk. Pada tahap berikutnya akan dilakukan perhitungan nilai performansi untuk tiap konsep produk. Nilai performansi diperoleh dari hasil
perkalian antara jumlah penilaian responden terhadap atribut mutu tiap konsep produk dengan bobot atribut.
Tabel 5. hasil Perbandingan dengan Metode Zero One Atribut
Rasa
Warna
Bentuk
Aroma
Kekentalan
Jumlah
Rangking
Rasa
x
1
1
1
1
4
1
Warna
0
x
1
0
0
1
4
Bentuk
0
0
x
0
0
0
5
Aroma
0
1
1
X
1
3
2
Kekentalan
0
1
1
0
x
2
3
Nilai
performansi Hasil perhitungan nilai performansi tiap konsep produk dapat dilihat pada Tabel 6.
Contoh perhitungan nilai performansi untuk produk A
Tabel 6. Hasil Perhitungan Performansi tiap Konsep Produk Atribut mutu
Rasa
Warna
Bentuk
Aroma
Kekentalan Nilai performansi
Bobot atribut (%)
30,67
17,11
11,11
22,89
18,22
Produk A Produk B Produk C Produk D Produk E Produk F Produk pasar
61 59 90 105 92 87 88
89 96 93 101 93 83 94
86 87 94 96 89 82 80
85 94 99 100 93 100 92
71 83 71 99 73 97 80
Performansi produk dikatakan baik apabila nilainya melebihi nilai performansi produk pasar. Dari hasil perhitungan nilai performansi diatas maka diketahui bahwa produk B (8082,58), produk C (8955,6), produk D (10107,8), produk E (8860,49) dan produk F (9055,78) memiliki nilai performansi lebih tinggi dari produk pasar (8759,58). Namun nilai performansi
7588,39 8082,58 8955,6 10107,8 8860,49 9055,78 8759,58
produk yang lebih baik belum tentu produk tersebut memiliki nilai (value) yang lebih baik pula karena nilai suatu produk juga dipengaruhi oleh besarnya biaya produksi yang digunakan. Value merupakan perbandingan antara performansi dan biaya produksi. Produk dengan performansi yang tinggi bisa saja memiliki value yang rendah dikarenakan
341
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 biaya produksi yang digunakan tinggi ataupun sebaliknya. Oleh karena itu perlu dilakukan perhitungan biaya produksi untuk menentukan value tiap konsep produk.
Tabel 8. Nilai (value) tiap konsep produk Biaya Nilai Produk Performansi Produksi (value) A 7588,39 42500 0,1785 B 8082,58 37500 0,2155 C 8955,6 47500 0,1885 D 10107,8 30000 0,3369 E 8860,49 25000 0,3544 F 9055,78 27000 0,3353 Pasar 8759,58 26000 0,3369
3. Penentuan Biaya Produksi Pada tahap ini dilakukan perhitungan biaya produksi dari tiap konsep produk yang dikembangkan dan biaya produksi produk pembanding (produk pasar), yaitu kopi yang diproduksi oleh UKM Dewiperi di Cangkringan, Yogyakarta. Perhitungan biaya produksi dibatasi hanya pada biaya bahan baku. Biaya produksi digunakan untuk menghitung nilai (value) dari tiap konsep produk yang dikembangkan. Hasil perhitungan biaya produksi dapat dilihat pada Tabel 7.
D. Tahap Evaluasi Evaluasi dilakukan dengan membandingkan nilai dari produk yang dikembangkan dengan produk pasar sebagai pembanding. Produk layak untuk dikembangkan jika mempunyai nilai lebih besar dari nilai produk pembanding. Dari hasil diatas dapat diketahui bahwa value dari produk E (0,3544) lebih tinggi dari value produk pembanding (0,3362). Pada produk B, C, D dan F walaupun memiliki performansi lebih tinggi dari produk pasar namun memiliki value yang lebih rendah dibandingkan dengan produk pasar. Hal ini dikarenakan biaya produksi pada konsep produk-produk tersebut lebih besar dibanding produk pasar. Dari hasil tersebut maka produk E dapat dikatakan layak untuk dikembangkan. Biaya produksi untuk produk E sebesar Rp 25.000 untuk 1 kg produk. Harga jual untuk produk pasar adalah Rp 32.000/kg. Harga produk E dibawah produk pasar sehingga sangat berpeluang untuk dikembangkan. Dalam perkembangannya produk kopi stevia akan dikemas dalam bentuk celup. Dalam 1 kantung celup berisi sebanyak 3 gram produk sehingga dalam 1 kg produk dapat dihasilkan 333 kantung celup, maka harga untuk 1 kantung celup adalah Rp 25.500/333 = Rp 76,5765.
Tabel 7. Biaya Produksi Biaya No Produk Produksi (Rp) 1 A 42500 2 B 37500 3 C 47500 4 D 30000 5 E 25000 6 F 27000 7 Pasar 26000
4. Penentuan Nilai (value) Konsep Produk Nilai (value) dari konsep produk diperoleh dari perbandingan performansi tiap konsep produk dengan biaya produksinya. Penghitungan nilai (value) menggunakan persamaan:
Contoh perhitungan nilai (value) untuk produk A
4. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan Produk stevi coffee yang sesuai dengan keinginan konsumen adalah dengan urutan prioritas atribut mutu aroma, rasa, bahan baku, harga,
Hasil perhitungan nilai (value) untuk tiap konsep produk dapat dilihat pada Tabel 8.
342
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 kekentalan, bentuk, warna, kemasan, dan daya tahan. Produk stevi coffe terbaik berdasarkan analisis dan evaluasi dengan metode Value Engineering adalah konsep produk E, yaitu produk stevi coffee yang terdiri dari bahan baku kopi dan stevia yang memiliki perbandingan 25 : 75.
Ulrich, K.T dan S.D, Eppinger, 2001, Perancangan dan Pengembangan Produk, Salemba Teknika, Jakarta
4.2. Saran Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prioritas kemasan dan daya tahan produk menempati posisi yang tidak menjadi prioritas utama (yakni urutan ke 8 dan 9). Oleh karena kedua atribut ini belum menjadi bahan kajian. Penelitian ini masih fokus pada perancangan produk dan belum membahas pada aspek pengembangan kemasan sehingga masih diperlukan penelitian lebih lanjut tentang kemasan. 4.3. Ucapan terima kasih Penelitian ini dapat dilaksanakan atas bantuan finansial dari Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada tahun 2011. Oleh karena itu diucapkan terima kasih. 5. DAFTAR PUSTAKA Anonimus, 2010, Turgo Kopi Merapi, Proposal Koperasi Kebun Makmur Sleman Yogyakarta. Elz, Dieter (1987), Agricultural Marketing Strategy and Pricing Policy, The World Bank, Washington DC. Knutson, Ronald D., J.B. Penn dan Barry L Flinchbaugh (2004), Agriculture and Food Policy, Pearson Prentice Hall, New Jersey, pp. 154-157 Roitner-Schobesberger., Ika Darnhofer, Suthichai Somsook dan Christian R. Vogl., (2008), Consumer Perceptions of Organic Food in Bangkok, Thailand, Food Policy, No 33, pp. 112-121, Elsevier. Tjahjonoadi, S. 1989. Value Engineering dalam Proyek. Teknik dan Manajemen Industri Fakultas Pascasarjana ITB. Bandung.
343
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
RANCANG BANGUN PROTOTYPE SISTEM PAKAR BERBASIS WEB UNTUK PENGENDALIAN KUALITAS PRODUK PROTEN (STUDI KASUS DI PT. OTSUKA INDONESIA MALANG) 1)
M. Zainul Arifin, 2)Siti Asmaul, 3)Arif Hidayat
Abstrak Penelitian ini membahas tentang perancangan prototype sistem pakar berbasis web untuk pengendalian kualitas produk Proten. Kegiatan pengendalian kualitas produksi yang berjalan sekarang masih memerlukan tenaga ahli atau pakar yang harus siap selama 24 jam bila terjadi masalah, namun pakar yang tersedia tidak selalu siap karena keterbatasan fisik sebagai manusia. Perancangan prototype sistem pakar untuk pengendalian kualitas produk Proten ini sangat mendukung terhadap penyelesaian masalah yang dihadapi pakar yang keberadaannya sangat sedikit, sehingga dapat diambil tindakan perbaikan yang tepat. Perancangan sistem pakar ini meliputi pemilihan sumber pengetahuan, akuisisi pengetahuan, representasi pengetahuan, pengembangan mesin inferensi, implementasi, dan pengujian prototype. Hasil perancangan sistem pakar berbasis web untuk pengendalian kualitas produk Proten ini terdiri dari tiga komponen utama yaitu basis pengetahuan, mesin inferensi, dan antarmuka pengguna.
Kata kunci: Sistem pakar, pengendalian kualitas produk, Proten. produksi serta keterbatasan kemampuan yang dimiliki para ahli akan mempengaruhi suatu kebijakan dalam pengambilan keputusan terhadap masalah yang dihadapi, maka keberadaan alat bantu berupa sistem pakar sangat dibutuhkan Penerapan kosep mutu di bidang pangan dalam arti luas menggunakan penafsiran yang beragam. Kramer dan Twigg (2003) menyatakan bahwa mutu merupakan gabungan atribut produk yang dinilai secara organoleptik (warna, tekstur, rasa dan bau). Pengendalian mutu mencakup pengertian yang luas, meliputi aspek kebijaksanaan, standardisasi, pengendalian, jaminan mutu, pembinaan mutu dan perundang-undangan (Soekarto, 2000). Hubeis (2004) menyatakan bahwa pengendalian mutu produk pangan ditujukan untuk mengurangi kerusakan atau cacat pada hasil produksi berdasarkan penyebab kerusakan tersebut. Tiga kegiatan yang dilakukan dalam pengendalian mutu yaitu, penetapan standar (pengkelasan), penilaian
1. PENDAHULUAN PT. Otsuka Indonesia merupakan perusahaan besar yang bergerak di bidang industri farmasi yang berada di Lawang, Malang. Salah satu produk yang dihasilkan di PT. Otsuka Indonesia yaituenteral nutrition Proten. Kualitas Produk Proten di PT. Otsuka Indonesa ditentukan oleh beberapa kriteria spesifik yang telah menjadi standard mutu perusahaan. Secara garis besar kriteria mutu tersebut meliputi pemeriaan atau homogenitas bahan, bobot pengisian, kebocoran sachet, kandungan oksigen dalam sachet dan moisture atau kelembaban bahan. Menurut Quality Assurance Departement (2009)data statistik produksi proten di PT. Otsuka Indonesia Lawang tahun 2009 menunjukkan tingkat kecacatan produk masih cukup tinggi dalam setiap satu rangkaian produksi, berkisar antara 2-4%, sehingga keberadaan seorang ahli dalam sebuah sistem pengendalian kualitas proten sangat dibutuhkan. Namun terbatasnya jumlah ahli, besarnya volume
344
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 kesesuaian dengan standar (inspeksi dan pengendalian), serta melakukan tindak koreksi (prosedur uji). Penelitian ini membahas tentang perancangan prototype sistem pakar berbasis web untuk pengendalian kualitas produk proten. Menurut Marimin(2007) sistem pakar (expert system) adalah suatu sistem komputer yang berbasis pada pengetahuan yang terpadu di dalam suatu sistem informasi dasar yang ada, sehingga memiliki kemampuan untuk memecahkan berbagai masalah dalam bidang tertentu secara cerdas dan efektif sebagaimana layaknya seorang pakar. Menurut Surbakti (2006), sebuah sistem pakar terdiri atas komponen-komponen sebagai berikut 1. Knowledge Acquisition Subsystem 2. Basis Pengetahuan (Knowledge Base) 3. Mesin Inferensi (Inferensi Engine) 4. Kotak Gelap (Black Box) 5. Antar Muka Pemakai (User Interface) 6. Subsistem Penjelasan (Explanation Subsystem) 7. Sistem Penyaring Pengetahuan (Knowledge Refining System) Menurut Rifqi (2009) penerapan sistem pakar pengendalian mutu produk pada industri pangan tidak bertujuan untuk mengeliminasi fungsi dari tenaga ahli, akan tetapi merupakan alat bantu bagi tenaga ahli. Arif (2007) menambahkan, tujuan utama sistem pakar bukan untuk menggantikan kedudukan seorang pakar, tetapi hanya untuk memasyarakatkan pengetahuan dan pengalaman para pakar yang keberadaannya cukup jarang
penelitian deskriptif dengan pendekatan prototyping yang bertujuan memberikan gambaran mengenai keadaan umum perusahaan dalam kegiatan pengendalian kualitas produk Proten di PT. Otsuka Indonesia kemudian dari gambaran tersebut dijadikan acuan untuk merancang sistem pakar. Perancangan sistem pakar ini meliputi pemilihan sumber pengetahuan, akuisisi pengetahuan, representasi pengetahuan, pengembangan mesin inferensi, implementasi, dan pengujian prototype.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Pemilihan Pakar Sebagai Sumber Pengetahuan Pakar yang dilibatkan sebagai sumber pengetahuan di dalam perancangan prototype sistem pakar ini terdiri dari 2 jenis, yaitu: 1). Sumber pengetahuan tidak terdokumentasi. a. Kepala Unit Produksi Enteral Nutrition, b. IPCOfficer c. Operator Mesin filling 2) Sumber pengetahuan terdokumentasi, a. Dokumen HACCP Enteral Nutrition Proten, Tim penyusun HACCP PT. Otsuka Indonesia, Februari 2009 b. Standard Operation Procedure (SOP)EnteralNutritionProten, Unit Enteral Nutrition PT. Otsuka Indonesia, 2009 3.2. Akuisisi Pengetahuan Pada tahap akuisisi pengetahuan dalam perancangan sistem pakar ini digunakan 2 jenis pengetahuan, yaitu pengetahuan pakar dan pengetahuan formal. Dalam perancangan prototype sistem pakar untuk pengendalian kualitas produk proten ini, pengetahuan formal diakuisisi dari sumber pengetahuan tak tak terdokumentasi sedangkan Pengetahuan formal merupakan hasil akuisisi dari sumber pengetahuan terdokumentasi yaitu
2. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di PT. Otsuka Indonesia pada bulan November 2010. Pengolahan data dilaksanakan di Laboratorium Komputasi dan Analisis Sistem, Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya Malang. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode
345
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 produk Proten. Block Diagram target keputusan ditunjukkan pada Gambar 3:
berupa rekomendasi yang harus dilakukan untuk menangani gejala-gejala yang timbul pada parameter-parameter kualitas produk Proten. Hasil akuisisi pengetahuan tersebut kemudian didokumentasikan dan diorganisir secara terstruktur menjadi basis pengetahuan (knowledge base). Dalam perancangan sistem pakar pengendalian kualitas produk Proten ini basis pengetahuan tersebut disajikan dalam berbagai model, yaitu Block Diagram Domain Pengetahuan, Block Diagram Target Keputusan (faktor-faktor kritis), Dependency Diagram (diagram ketergantungan), Perancangan Decision Table (tabel keputusan).
Gambar 3. keputusan.
Diagram
block
diagram
target
3. Dependency Diagram (Diagram Ketergantungan). Diagram ketergantungan menunjukkan hubungan antar faktor-faktor kritis, pertanyaan masukan, dan rekomendasi yang dibuat oleh sistem pakar. Dalam sistem pakar pengendalian kualitas produk proten, faktor kritis terdiri dari warna serbuk proten, homogenitas serbuk proten, aroma produk proten, bruto bentuk seal kemasan primer proten, gelembung udara, kadar air produk dan terakhir kadar oksigen produk proten. Dependency Diagram dapat dilihat pada Lampiran 1
1. Block Diagram Domain Pengetahuan. Pada model ini, basis pengetahuan disajikan dalam suatu diagram secara umum dari domain pengetahuan yang dipilih. Block Diagram domain pengetahuan dalam perancangan sistem pakar pengendalian kualitas produk proten ditunjukkan pada Gambar 2:
Gambar 2. pengetahuan.
Block
4. Perancangan Decision Table (tabel keputusan) Diagram keputusan digunakan untuk menentukan nilai dan rekomendasi faktor kritis yang membentuk rule. Diagram ini menentukan kombinasi nilai setiap faktor kritis dan hubungannya yang membentuk rekomendasi akhir sistem. Sebagian contoh konsep decision table yang digunakan dapat dilihat secara mendetail pada Tabel 1.
domain
2. Block Diagram Target Keputusan (faktor-faktor kritis). Block Diagram Target Keputusan menunjukan alur diagnosa sistem pakar terhadap parameter-parameter kualitas
346
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 Tabel 1. Tabel Keputusan Jawaban No
Parameter
1
Pemerian
1A
Warna Proten
1B
Maintain High Speed Mixer
1C
Serbuk Proten
1D
Mesin Sieving
1E
Aroma Proten
2
Bobot Pengisian
2A
Auger Feeder Weight
2B
Bruto Min Proten
2C
Bruto Max Proten
3
Kebocoran Sachet
3A
Seal Sachet
3B
Almunium Foil
3C
Seal Sachet
3D
Batas Seal
3E
Gelembung Udara Seal
3F
Gelembung Udara Almunium Foil
4
Kadar air bahan
4A
Moisture Analyzer
4B
Ruang Bulk Storage
5
Kadar Oksigen
5A
Oxygen Meter
5B
Selang Pengisian Nitrogen
5C
Klep Penutup Hooper
If Ya Y Y Y Y Y Y Y Y Y Y Y Y Y Y Y Y Y Y Y Y Y Y Y Y -
Tdk T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T
Then Goto 1A Goto 2 Goto 1C Goto 1B Goto 1C and Save R1 1D and Save R2 Goto 1D Goto 1E Goto 1E and Save R4 Goto 1E and Save R3 Goto 2 and Save R5 Goto 2 Goto 2A Goto 3 Goto 3 and Save R8 Goto 2B Goto 3 and Save R6 Goto 2C Goto 3 and Save R7 Goto 3 Goto 3A Goto 4 Goto 3B and Save R9 Goto 3B 3C and Save R10 Goto 3C Goto 3D and Save R11 Goto 3D Goto 3E and Save R12 Goto 3E Goto 3F and Save R13 Goto 3F Goto 4 and Save R14 Goto 4 Goto 4A Goto 5 Goto 4B Goto 5 Goto 5 and Save R16 Goto 5 and Save R15 Goto 5A Display all R, if R=nul then No Goto 5B Display all R, if R=nul then No Goto 5C and Save R17 Goto 5C Display all R, if R=nul then No Save R18 and Display all R
diberi nama sesuai dengan bagian proses yang mengalami permasalahan. Kolom jawaban terdiri dari dua sub kolom yakni sub kolom IF dan sub kolom THEN. Sub kolom IF terdiri dari dua kolom pilihan yakni kolom jawaban YA (Y) dan kolom jawaban TIDAK (T). (Y) dan (T) menunjukkan jawaban yang diberikan oleh user atas pertanyaan yang
Pada Tabel 1 terdapat beberapa kolom, diantaranya kolom nomer, parameter, dan jawaban. Kolom nomor berisi identitas poin pertanyaan yang akan ditanyakan oleh sistem pakar kepada user. Kolom parameter menunjukkan berbagai pertanyaan yang akan diajukan oleh sistem pakar, pertanyaan-pertanyaan tersebut
347
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 diajukan oleh sistem pakar sesuai dengan poin pertanyaan terkait. Sub kolom THEN menunjukkan eksekusi yang akan diberikan oleh sistem pakar, apakah melanjutkan ke pertanyaan selanjutnya atau memberikan sebuah rekomendasi tentang suatu masalah yang telah teridentifikasi. Eksekusi yang diberikan sistem pakar dapat berupa perintah untuk menuju ke pertanyaan selanjutnya atau dapat juga berupa perintah untuk menyimpan rekomendasi sekaligus menuju pertanyaan selanjutnya. Daftar pertanyaan dapat dilihat pada lampiran
Mulai CekParameterPengendalian CekFakta SesuaikanAturan TampilkanRekomendasi Berhenti
Gambar 4. Skema Backward Chaining.
3.3. Pengembangan mesin inferensi Mesin inferensi pada sistem pakar pengendalian kualitas produk proten ini dikembangkan dengan metode backward chaining. Pokok permasalahan backward chaining adalah untuk mendapatkan suatu rantai yang menghubungkan fakta-fakta ke dalam hipotesis. Salah satu contoh spesifik perbedaan forward chaining dan chaining dalam sistem pakar pengendalian kualitas produk proten misalnya, untuk permasalahan bentuk seal, apabila ditemukan fakta bahwa permukaan almunium foil tidak rata dan suhu head sealer lebih dari1400C, maka forward chaining akan mengambil kesimpulan bahwa seal sachet akan terjepit. Sedangkan backward chaining apabila menemukan indikasi kasus bentuk seal mengalami kasus terjepit, backward chaining akan melakukan penelusuran lebih lanjut terhadap bentuk permukaan almunium foil dan terakhir suhu head sealeruntuk mengambil keputusan.Secara keseluruhan skema backward chaining yang digunakan pada sistem pakar pengendalian kualitas produk proten ini dapat dilihat pada Gambar 4.
3.4. Implementasi Tahap pemindahan kepakaran memasukkan aturan IF-THEN hasil pengalihan diagram keputusan ke dalam basis pengetahuan alat pengembang sistem pakar. Alat pengembang yang digunakan dalam sistem pakar pengendalian kualitas produk proten ini adalah PHP sebagai bahasa pemrograman (server programming), Hasil pemindahan kepakaran menghasilkan prototype sistem pakar pengendalian kualitas produk proten Adapun bagian-bagian dari sistem pakar pengendalian kualitas produk proten yang berupa prototype ini antara lain, welcome screen (home) sekaligus halaman login, jendela about, jendela developer, jendela overview serta jendela help. 1. Welcome Screen (Home) Jendela ini memuat menu login yang akan meminta pengguna memasukkan username dan password. Sebelum pengguna dapat menggunakan sistem pakar pengendalian kualitas produk proten, pengguna akan terlebih diminta untuk mengisikan username dan password. Hal ini bertujuan untuk menghindari penggunaan sistem pakar pengendalian kualitas produk proten oleh pengguna yang tidak memiliki otoritas.
348
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 6. Jendela Overview Jendela overview berisi informasi seputar produk proten. Mulai dari nama produk, komposisi, berat bersih, kandungan gizi serta cara penyajian yang disarankan.
2. Jendela Konsultasi Setelah melakukan login pada welcome screen(home), maka user akan dihadapkan pada jendela konsultasi dimana terdapat beberapa pertanyaan yang diajukan oleh sistem. User diharuskan untuk menjawab pertanyaan yang tersedia dengan melakukan klik jawaban YA atau TIDAK.
7. Jendela Developer Jendela developer berisi tentang informasi diri pengembang sistem pakar. Hal ini diberikan untuk memudahkan konsultasi apabila ditemukan sebuah permasalahan seputar sistem ini.
3. Jendela Rekomendasi Jendela rekomendasi adalah jendela yang berfungsi untuk memunculkan rekomendasi dari sistem pakar tentang tindakan koreksi atas permasalahan yang dihadapi oleh user.
8. Jendela Help Jendela bantuan penggunaan dapat dilihat oleh user apabila mengalami kesulitan dalam menggunakan sistem pakar pengendalian kualitas produk proten ini. Semua kesulitan yang mungkin dihadapi user akan berusaha diakomodasi oleh bantuan penggunaan ini, sehingga diharapkan user tidak mengalami kesulitan dalam melakukan operasi aplikasi dan konsultasi.
4. Jendela Print Jendela print adalah jendela yang berfungsi untuk memunculkan hasil rekomendasi dalam layout ESPQC reportdan memberikan fasilitas cetak pada media pencetak kertas, misalnya printer atau media pencetak dokumen digital misalnya PDF (Portable Digital File) Printer. Jendela print memuat informasi berupa pengguna sistem pakar, tanggal akses, jam akses, serta rekomendasi sistem yang semuanya disusun dalam layout sesuai dengan layout standard yang ditetapkan di PT. Otsuka Indonesia.
3.5. Pengujian Setelah sistem pakar pengendalian kualitas produk proten yang berbentuk prototype selesai dikembangkan, tahapan selanjutnya adalah melakukan pengujian. Pengujian yang dilakukan meliputi dua tahapan, yaitu uji verifikasi dan uji validasi. 1. Uji Verifikasi Uji verifikasi dilakukan untuk mengetahui kesesuaian prototype sistem pakar pengendalian kualitas produk proten dengan aturan yang telah dirancang. Aturan mengacu pada persyaratan variabel pengendalian kualitas produk proten. Langkah-langkah pengujian adalah : a. Jalankan program b. Jawab pertanyaan sesuai dengan kombinasi jawaban, kombinasi jawaban dapat dilihat pada Tabel 2:
5. Jendela about Pada halaman awal atau welcomescreen, terdapat beberapa link selain menu login, salah satunya adalah link menuju jendela about. Pada jendela about, memuat informasi seputar sistem pakar pengendalian kualiatas produk proten yang berkaitan dengan versi, pengguna, pengembang dan juga software pengembangnya.
349
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Tabel 2.Tabel Keputusan untuk Uji Verifikasi Jawaban No
Parameter
1
Pemerian
2
Bobot Pengisian
3
Kebocoran Sachet
3A
Seal Sachet
3B
Almunium Foil
3C
Seal Sachet
3D
Batas Seal
3E
Gelembung Udara Seal
3F
Gelembung Udara Almunium Foil
4
Kadar air bahan
5
Kadar Oksigen
If Ya Y Y Y Y Y Y Y Y Y Y Y -
Tdk T T T T T T T T T T T
Then Goto 1A Goto 2 Goto 2A Goto 3 Goto 3A Goto 4 Goto 3B and Save R9 Goto 3B 3C and Save R10 Goto 3C Goto 3D and Save R11 Goto 3D Goto 3E and Save R12 Goto 3E Goto 3F and Save R13 Goto 3F Goto 4 and Save R14 Goto 4 Goto 4A Goto 5 Goto 5A Display all R, if R=nul then No
Adapun prosedur pengujian formal validasi adalah sebagai berikut, a. Dijalankan program sistem pakar yang telah diverifikasi. b. Dicoba untuk berinteraksi dengan sistem dengan cara menjawab pertanyaan dari sistem. Pertanyaan yang digunakan untuk proses validasi mengacu pada pertanyaan yang digunakan untuk verifikasi (tahapan pengujian sebelumnya). Dicatat penjelasan dan rekomendasi yang diberikan sistem pakar yang dibangun. c. Dibandingkan penjelasan dan rekomendasi yang diberikan sistem dengan yang diberikan ahli melalui wawancara dan diskusi langsung dengan human expert. Dari Gambar 14 dan Tabel 3 dapat dibandingkan secara lebih jelas keluaran yang diberikan sistem dalam sesi pengujian
c. Selanjutnya adalah mencatat rekomendasi yang diberikan oleh sistem. Berdasarkan hasil konsultasi dengan menjalankan rule sesuai tabel keputusan. d. Setelah sistem memberikan rekomendasi selanjutnya adalah membandingkan rekomendasi tersebut dengan rule tersebut. Berdasarkan uji verifikasi, dapat diambil kesimpulan bahwa prototype ESPQC telah berjalan sesuai dengan aturan rule yang ada. Hal ini dibuktikan dengan kesesuaian antara rule dengan kinerja prototype saat konsultasi dijalankan. 2. Uji Validasi Uji validasi dilakukan untuk mengetahui apakah prototype yang telah dibangun telah memenuhi keterwakilan human expert (pengetahuan pakar).
350
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 validasi dengan konsepsi keluaran yang diberikan oleh human expert. Tabel 3.Tabel diagram keputusan untuk uji validasi GEJALA Seal Sachet terjepit
Seal melewati batas
Timbul gelembung udara melalui seal pada vacuumchamber air test Timbul gelembung udara melalui permukaan almunium foil pada vacuum airchamber test
MASALAH
REKOMENDASI
CNF
Permukaan almunium foil tidak rata (cekung) Suhu head sealer lebih dari 1400C sehingga almunium foil leleh Posisi head sealer tidak sesuai Head sealer cacat / tidak rata / bergelombang Almunium foil bocor/rusak
Betulkan posisi roll almunium foil
30
Periksa Roll Sealer dan head sealer Lakukan penyesuaian suhu head sealer
40
Berdasarkan uji validasi, maka dapat diambil kesimpulan bahwa prototype sistem pakar pengendalian kualitas produk proten yang dirancang telah dapat dikatakan mewakili pengetahuan pakar. Hal ini dibuktikan dari kesesuaian hasil rekomendasi yang diberikan oleh prototype sistem pakar dengan rekomendasi dari human expert.
Lakukan penyesuaian letak head selaer
40
Lakukan pemeriksaan head sealer, jika ada indikasi rusak, ganti head sealer Ganti almunium foil, segera hubungi IPC
50
50
2. Perancangan Expert System for Proten Quality Control (ESPQC ) ini terdiri dari tiga komponen utama yaitu basis pengetahuan, mesin inferensi, dan antarmuka pengguna. Dalam basis pengetahuan berisi mengenai domain pengetahuan atau area pengetahuan dan faktor-faktor kritis sistem pakar. Area pengetahuan sistem pakar ini yaitu pada bagian produksi Proten PT. Otsuka Indonesia, sedangkan faktorfaktor kritisnya terdiri dari parameterparameter kualitas produk proten, yaitu warna, homogenitas, aroma, bruto, bentuk seal, gelembung udara, kadar air dan kadar oksigen produk. 3. Hasil pengujian formal verifikasi dan validasi menunjukkan bahwa sistem pakar telah berjalan dengan baik dan dapat memenuhi keterwakilan human expert.
4. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut, 1. Pada penelitian telah berhasil dibuat prototype sistem pakar untuk membantu menyelesaikan permasalahan pengendalian kualitas produk proten. Kejadian yang dapat ditangani masih terbatas pada pemberian instruksi-instruksi sederhana dan input data yang dapat diolah sistem baru sampai pada data jadi, sehingga belum terotomatisasi dan masih melibatkan user.
351
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 content/uploads/2007/01/BIT-v3-n1artikel2-sept2007.pdf, diakses tanggal 28 Oktober 2008 Soekarto, S.T. 2000. Dasar-dasar Pengawasan dan Standarisasi Mutu Pangan. PAU Pangan dan Gizi. IPB Press, Bogor. Surbakti, I. 2006. Sistem Berbasis Pengetahuan. Jurusan Teknik Informatika, Fakultas Teknolgi Informasi Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya.
4.2. Saran Dari kegiatan penelitian yang dilakukan, penulis menyarankan hal-hal sebagai berikut, 1. Seiring waktu basis pengetahuan pengendalian kualitas produk proten sangat mungkin untuk berubah, sehingga perlu dilakukan konfigurasi dan pengembangan sistem secara berkala untuk menyesuaikan dan mengakomodasi perubahan yang terjadi. 2. Pembangunan sistem dengan bahasa PHP memungkinkan pengembangan dan integrasi sistem ke dalam jaringan yang lebih besar, diperlukan studi lebih lanjut tentang implementasi sistem ke dalam jaringan yang lebih besar. 5. DAFTAR PUSTAKA Arif, M. Rosihan. 2007. Rancang Bangun Prototype Sistem Pakar Untuk Pengendalian Kualitas Produksi Gula Super High Sugar. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang. Hubeis, M. 2004. Pemasyarakatan ISO 9002 untuk Industri Pangan di Indonesia. Buletin Teknologi dan Industri Pangan. Vol. V (3). Fakultas Teknologi Pertanian, IPB Bogor. Kramer, A. dan B.A. Twigg. 2003. Fundamental of Quality Control for the Food Industry. The AVI Pub. Inc., Conn., USA. Marimin, 2007. Teori dan Aplikasi Sistem Pakar dalam Teknologi Manajerial. IPB Press, Bogor Rifqi, Ahmad. 2009. Rancang Bangun Sistem Pakar Pengendalian Berat Bersih Produk Susu Bubuk. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang. Siswanto, 2007. Sistem Pakar Untuk Memecahkan Masalah Personal Digital Asisten (PDA). http://jurnal.bl.ac.id/wp-
352
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
PENGEMBANGAN VISUALISASI GRAFIS PEMODELAN MATEMATIS PADA APLIKASI MORPHOLOGI TANAMAN BERBASIS PROGRAM GUI MATLAB Atris Suyantohadi 1) 1) Laboratorium Analisa Sistem dan Simulasi Komputer Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Email: [email protected] Abstrak Proses biologi pertumbuhan tanaman yang memiliki tipikal bentuk-bentuk kesamaan didalam diri tanaman (self-similarity) telah melatarbelakangi pengembangan morphologi tanaman dinyatakan dalam symbol matematis menggunakan aturan gramatikal (grammar). Metoda Lindenmayer System (L-System) merupakan model teoritis dari penggambaran pengembangan sel-sel dari suatu organism yang menggunakan aturan formal disusun sebagai grammar yang dikarateristikkan dalam bentuk axioma, dan symbol-simbol alphabet yang digunakan sebagai representasi. Simbol L-System akan membangkitkan layar tampilan grafis yang dapat diwujudkan baik dalam tampilan 2Dimensi maupun 3 Dimensi. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model visualisasi grafis morphologi tanaman berbasis program GUI (Graphical User Interfaces) dengan metoda L-System. Tahapan penelitian dilakukan dari kajian metoda L-System dalam morphologi tanaman, penyusunan axioma dan simbol alphabet yang dipergunakan, perancangan program GUI, pengujian dan aplikasi dari berbagai axioma yang merepresentasikan morphologi dari unsur tanaman. Percobaan penyusunan axioma dan simbol alphabet pada program hasil penelitian telah menghasilkan representasi morphologi dari bentuk bentuk tanaman yang dinyatakan secara visualisasi gafis. Program GUI morphologi tanaman menggunakan L-System dari hasil penelitian mampu memberikan tampilan visualisasi grafis dalam tampilan 2D maupun 3D terhadap objek morphologi tanaman. Hasil visualisasi dalam bentuk 3D berdasarkan axioma yang diberikan dalam program GUI yang dikembangkan telah mampu menggambarkan secara realistik tampilan morphologi dari bentuk-bentuk tanaman.
Kata kunci :L-System, Program GUI, grafis 2D dan 3D, morphologi tanaman. dapat dilakukan secara paralel. Tahap pengambaran visualisasi tanaman diformulasikan oleh Lindenmayer kedalam L-System sebagai framework umum yang digunakan dalam mensimulasi dan memodelkan pertumbuhan tanaman. (Prusinkiewicz,P,dkk, 2003). Metoda Lsystem memformulasikan persamaan matematis kedalam struktur model tanaman menggunakan pola aturan grammar dan komputer grafik Turtle. Metoda dan program komputer berbasis LSystem mampu mensimulasikan struktur dan perilaku tanaman selama mengalami pertumbuhan akan berinteraksi dengan lingkungannya termasuk didalamnya
1. Pendahuluan Studi terhadap morfologi dan karateristik tanaman telah banyak dilakukan ilmuwan dikarenakan keinginan dalam mempelajari dan mengetahui proses alamiah yang terjadi namun masih sedikit yang mengkaji dari perubahan morfologi sel penyusun tanaman atau pada tingkat bagian tanaman (modul). Aristid Lindenmayer dalam Prusinkiewicz, P., And Lindenmayer, (1990) memperkenalkan teori pertumbuhan sel meggunakan mekanisme serangkaianpenulisan ulang (string-rewriting) yang disebutkan sebagai metoda L-System yang menggunakan prinsip penulisan ulang
353
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 diperoleh dari bentuk aspek tanaman melalui observasi , topologi dan tahapan aktifitas modul tanaman. Komponen utama tanaman dibedakan dan tahapan morphologi tanaman diidentifikasi melalui serangkaian iterasi dalam program. Desain visualisasi grafis pada tanaman dengan metoda L-System yang dikembangkan dalam platform program GUI Matlab dapat dipergunakan untuk kemudahan analisa dan sintesa model model tanaman.
dengan tanaman lain baik sejenis maupun tidak. Penggambaran sel dalam pertumbuhan tanaman menggunakan metoda L-System memerlukan keterkaitan kebidangan yang meliputi bidang matematika, biologi, botani dan kususnya bidang ilmu komputer: 1) Botani : karateristik tanaman digambarkan dari fungsi-fungsi yang berkaitan dengan bagian tanaman (modul) meliputi batang, tangkai, daun, bunga dan pucuk tanaman. Untuk tanaman yang memiliki spesies yang sama biasanya akan memiliki sifat karakter yang hampir sama. L-System akan menggunakan modul tanaman ini sebagai komponen dasar yang akan mengalami perubahan sejalan dengan proses pertumbuhan. 2) Matematika : Teori bahasa formal berkaitan dengan aturan yang disusun dalam grammer tersusun atas simbol alfabet dan aturan produksi dalam menggambarkan sintesa simbol yang digunakan. L-System berkaitan dengan aplikasi yang dapat dilakukan menggunakan teori bahasa formal 3) Grafika Komputer : Dalam grafika komputer, visualisasi model seringkali digambarkan menggunakan tampilan layar grafis. Grafis mengandung berbagai bentuk gambar (garis, segitiga, silinder) dan transformasinya. Simbol LSystem akan membangkitkan layar tampilan grafis yang dapat diwujudkan baik dalam tampilan 2Dimensi maupun 3 Dimensi. Penelitian bertujuan untuk mengembangkan desain metoda L-System untuk representasi morphologi tanaman dalam tampilan grafis 2D maupun 3D dalam format program GUI. Beberapa Serangkaian percobaan dan pengujian terhadap penyusunan axioma dan simbol alphabet dilakukan pada program GUI yang didesain untuk menghasilkan representasi morphologi dari bentuk bentuk tanaman yang dinyatakan secara visualisasi gafis. Proses desain model diawali dari spesifikasi dari model kualitatif yang
2. METODE PENELITIAN 2.1. Bahan dan Peralatan: Penelitian dikembangkan di Laboratorium Analisa Sistem dan Simulasi Industri, Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian dengan dukungan fasilitas LAN dan koneksi internet, data data reference yang mengacu pada aturan sintax dan grammar L-System. Pengembangan model LSystem dikembangkan menggunakan piranti lunak Matlab dan Personal Komputer yang digunakan memiliki spesifikasi standart menggunakan Pentiaum Dual Core 2.8 GHz, RAM 768 Mbyte, 30 GB hard drive, Graphic Card NVidia GForce 8400GS. 2.2. Methodologi: Metodologi penelitian tersusun dari bebera tahapan kegiatan yang diawali dari data sintax dan aturan grammar dari metoda LSystem yang akan dikembangkan. Tahapan selanjutnya dilakukan perhitungan dari data sintak untuk direpresentasikan dalam nilai string grafis dari Grammar L-System. Selanjutnya dilakukan penyusunan panel program dan tampilan visualisasi grafis2D dan 3D dari data sintax yang diberikan. Secara umum, metodologi penelitian yang dilakukan ditunjukkan dalam Gambar 1.
354
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 23 November 2011 Secara sama, inisialisasi sudut α dihitung dengan putaran bersumbu dari koordinat Y. Gambar 1 menyatakan conoh bagaimana symbol F, +, -, [ dan ] digunakan dalam menggambarkan gerakan turtle grafis dengan koordinat XY dan arah putaran sudut α. Kondisi ini nilai α diberikan sudut putaran -10 10 derajat dan δ diberikan sudut putaran 30 derajat. Grafis visualisasi 2D dinyatakan dalam Gambar 2. Gambar 1. Metodologi penelitian dalam pengembangan desain program rogram GUI
2.2.1. Metoda L-System Proses L-System System disebut sebagai ‘turtle’ (Prusinkiewicz dkk, 2004) yang menggambarkan proses struktur dalam merepresentasi pertumbuhan bagian tanaman. Dasar interpretasi grafis computer dalam merepresentasi grafis tanaman dinyatakan sebagai berikut: Grafis turtle dapat bergerak pada berbagai arah, kedepan, kebelakang, belakang, kearah kanan maupun kearah kiri. Masing-masing Masing pergerakan arah pada intinya digunakan dalam 5 simbol utama yaitu F,+,-,[ F,+, dan ]. Simbol F menyatakan sebuah panjang bagian tanaman yang bergerak pada berbagai arah. Arah pergerakan dinotasikan symbol + dan -.. Simbol + menyatakan arah putaran kebalikan jarum jam sedangkan symbol – menyatakan arah putaran jarum jam. Cabang dinotasikan dengan symbol [ dan ]. Simbol [ menyatakan awal pertambahan cabang sedangkan tanda ] menyatakan akhir cabang. Gerakan ditransformasikan dari system koordinat kartesius dengan koordinat (x,y, α)) dimana x, y menyatakan koordinat titik dan α menyatakan inisiasi sudut dari perputaran awal bersumbu dari koordinat Y. α dapat bernilai positif maupun negative. Gerakan unit lain dinyatakan dalam sudut putar dengan penambahan atau pengurangan nilai konstanta δ dari inisialisasi awal sudut α.
imensi L L-System Gambar 2. Contoh 2 dimensi dengan notasi otasi Grammer F[+F]F[F]F[+F]F Bentuk 3Dimensi, Grafik turtle bergerak dengan arah sumbu X,Y dan Z. Arah sudut tersusun atas 3 bagian. Inisialisasi 3 arah merupakan bagian yang bertumbu pada sumbu X,Y dan Z. A Arah sudut perputaran secara prinsipnya menyerupai pada penggambaran 2 Dimensi. Konstanta dari δx, x, δy, dan δz digunakan untuk inisialisasi gerakan. Inisialisasi awal direpresentasikan menggunakan koordinat XY dan Z. Penggambaran gerakan dinyatakan dalam sistem stem koordinat yang dinotasikan menggunakan enam notasi (X,Y,Z dan αx, αy dan αz). z). Dengan menambahkan dan mengurangi δx, δy, δz, z, koordinat baru XYZ dari gerakan dihitung dengan perkalian koordinat dari gerakan saat itu dengan rotasi matrik Rx, Ry Rz sepert seperti dinyatkan dalam Gambar 3.
355
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 grammar L-System tersusun atas: Axioma Grammar L-System yang memuat data axioma dan rule dari L-System, nilai input iterasi pengulangan (repetitif) yang memuat nilai pengulangan dari pengambaran Grafis axioma L-System dan sudut perputaran grafis.
2.2.4. Perhitungan dan Proses Grammar L-System Dari input Grammar L-System yang diberikan, selanjutnya diproses terlebih dahulu untuk mendapatkan rangkaian string L-System lengkap yang diproses dengan aturan Grammar LSystem. Proses perhitungan dengan aturan grammar l-system merupakan bagian utama kalkulasi grammar L-System. Proses grammar L-system yang disebutkan juga sebagai proses produksi L-system merupakan landasan utama representsi dari proses biologi pertumbuhan tanaman. Proses produksi dikerjakan secara iteratif dengan iterasi sesuai grammar L-system untuk representasi morphologi tanaman. Mula mula axiom diproses dari iterasi awal, dan jika didalam axioma ditemukan karakter yang harus diganti dengan rule, maka karakter diganti sesuai dengan rule yang bersangkutan. Proses diteruskan dari axioma awal hingga rangkaian string axioma awal dievaluasi hingga karakter terakhir. Pada iterasi ke satu, evaluasi rangkaian string dari hasil iterasi sebelumnya dikerjakan lagi untuk mendapatkan karakter yang diganti dengan rule. Untuk karakter yang yang memiliki rule maka karakter diatas harus diganti dengan rule yang sesuai dilanjutkan hingga karakter terakhir dari rangkaian string. Proses dilanjutkan untuk proses iterasi berikutnya dengan aturan dan pola yang sama hingga proses iterasi terakhir sehingga didapatkan rangkaian string LSystem terakhir yang menggambarkan morfphologi grafis dari karakter yang diberikan. Algoritma kalkulasi string Grammar L-System dinyatakan sebagai berikut:
Gambar 3. Rotasi gerakan matrik Rx,Ry dan Rz Rotasi dari gerakan dan arah dinotasikan dengan form simbol menyerupai bentuk 2 Dimensi yaitu simbol tanda /, \, &, ^, +, - ,!. Grafik turtle 3 dimensi seperti diberikan dalam notasi berikut (dx = dy = dz = 70, ax = ay = az = 0) dan F[-F]F[+F]F[/F]F[\F]FF seperti dinyatakan dalam Gambar 3.
Gambar 3. Penggambaran interpretasi LSystem 3 dimensi (Somporn, dkk, 2004)
2.2.2. Algoritma Desain Program GUI Program GUI yang dikembangkan dalam representasi morphologi tanaman tersusun atas: 2.2.3. Input Grammar dari L-System Input sebagai data masukan dari Grammar metoda L-System yang dikembangkan oleh Lindenmayer (Prusinkiewicz dan Lindenmayer, 1990) yang merepresentasikan hasil grafis dalam bentuk 2D maupun 3D. Parameter yang dikembangkan dalam program yang disusun dalam penelitian ini sebagai input
356
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 ruang tiga dimensi, sedangkan nilai a yang disebut heading adalah arah turtle menghadap dalam koordinat cartesian. Dalam koordinat 2 dimensi, jika diterapkan rule L-System berupa perubahan sudut sebesar δ dan step size d, maka posisi dan arah turtle menghadap akan berubah. Untuk posisi, perubahannya adalah (x +d cos δ ;y+d cos δ) dan arahnya menjadi (a + δ). Dalam koordinat cartesian tiga dimensi, perubahan akibat penerapan rule L-System dikontrol oleh matriks rotasi tiga dimensi yang menjadikan proses kalkulasi perubahan posisi dan arah turtle. Aturan turtle untuk interpretasi grafis tiga dimensi yang akan diterapkan Tabel 1:
Kalkulasi string Grammar L-System Input: nilai x – pengulangan Input: axioma Input: sudut perputaran
2.2.5. Aturan Produksi pan j rule:length() alamat[::] for i = 0 to nrepetitions do Length axiom:length() kar 0 hit 0 for b = 0 to length do For every Character rule if find character rules then change with character rules with new rules char = char +1 hit = hit +1 end if end for end for return String L-System % Aturan produksi String Grammar L-Sysem selesai Rangkaian string L-System yang telah didapatkan selanjutnya divisualisasi dalam grafis 2D maupun 3D yang dikendalikan oleh Panel Program
Tabel 1. Aturan turtle representasi grafis 3D Simbol dari string + & ^ ) ( ! ] [
2.2.6. Visualisasi 2D dan 3D Proses visualisasi tiga dimensi dikendalikan oleh aturan turtle geometry untuk interpretasi grafis tiga dimensi LSystem. Atura n ini juga menerapkan konsep bracketed OL-System yang berguna dalam abstraksi struktur data proses interpretasi grafis tiga dimensi. Rangkaian string L-System yang panjangnya dapat mencapai ribuan karakter ini kemudian dievaluasi oleh segmen program yang mengontrol proses visualisasi. Untuk tiap karakter, terdapat aturan masing-masing yang mendeskripsikan gerakan ataupun perintah yang harus dikerjakan olehnya. Turtle geometry menspesifikasikan keadaan turtle dengan notasi koordinat (x, y, z, α). Nilai (x, y, z) merupakan koordinat cartesian yang menunjukkan posisi turtle dalam
Keterangan
Rotasi berlawanan jarum jam dengan sudut d dan arah gerak dari stack Rotasi searah jarum jam dengan sudut δ Menukik dengan sudut δ Menanjak dengan sudut δ Menanjak dengan sudut δ Berguling ke kiri dengan sudut δ Berguling ke kanan dengan sudut δ Berbalik arah dengan sudut 180o Simpan data posisi dan arah gerak ke dalam stack
2.2.7. Desain Program GUI Secara umum desain program GUI memuat subrutin subrutin program atas: Subrutin Input Axioma dan Rule, Input Repetitif, Input Sudut rotasi perputaran, Kalkulasi Grammar, Objek Visualisasi 2D dan 3D, exit program. Desain prototype program dan desain program GUI yang memuat header dan aplikasi Grammar visualisasi 2D dan 3D seperti dinyatakan dalam Gambar 3 dan 4
357
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 23 November 2011 Proses kalkulasi Grammar L L-System dinyatakan dalam iterasi hingga ke 4: Iterasi 1: Axiom awal: F Production Rule: FF G F[+G][-G]F[+G][-G]FG Iterasi 2 FF FF G FF [+G][-G]F[+G][-G]FG F[+G][--G]F[+G][-G]FG FF F[+G][-G]F[+G][-G]FG G]FG FF F[+G][ F[+G][-G]F[+G][F[+G][-G]F[+G][-G]FG G]FG
Gambar 3. Desain protitipe program rogram 3D
Iterasi 3 Axiom Awal F Production rule: FF FF FF FF G FF [+G][-G]F[+G][-G]FG F[+G][--G]F[+G][-G]FG FF F[+G][-G]F[+G][-G]FG F[+G][-G]F[+G][-G]FG G]FG FF F[+G][ F[+G][-G]F[+G][G]FG FF [+G][-G]F[+G][-G]FG G]FG F[+G][ F[+G][G]F[+G][-G]FG FF F[+G][--G]F[+G][-G]FG F[+G][-G]F[+G][-G]FG G]FG FF F[+G][ F[+G][-G]F[+G][G]FG, dan seterusnya
Gambar 4. Desain antar muka uka program 3D
3. HASIL ASIL DAN PEMBAHASAN Desain pengembangan program yang disusun atas parameter input data dan sintax grammar L-System System selanjutnya dilakukan kalkulasi data string dan penyusunan visualisasi grafis. Beberapa sintax grammar L-System System diujikan dalam program untuk melihat hasil visualisasi grafis yang mewakili morphologi dari bentuk bentuk tanaman. Hierarki program dari penyusunan Grammar L-System, L proses kalkulasi dan visualisasi dinyatakan sebagai berikut:
Visualization 2D dan 3D Visualisasi objek 2D dari grammar interpretasi diatas dinyakatan sebagai berikut: Iterasi 1. Visualisasi 2D representasi tanaman seperti diperlihatkan dalam Gambar 4, Gambar 5 dan Gambar 6 dari iterasi 3 kali pengulanan atas Sintax Grammar yang diberikan dalam program program. Dari hasil program, representasi grafis morphologi tanaman telah menggambarkan visualisasi bentuk tanaman berdasarkan axioma dan rule grammar yang diberikan.
Iterasi: 3 Sudut perputaran: 22.5 Axioma: F FF G F[+G][-G]F[+G][-G]FG
358
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 Iterasi 1
Iterasi 2
Gambar 7. Representasi System pada percobaan 1
Gambar 4. Iterasi 1 dari struktur Grammar L-System untuk visualisasi bentuk grafis tanaman
Iterasi 1
Iterasi 2
Gambar 8. Representasi System pada percobaan 2 Gambar 5. Iterasi 2 dari struktur grammar L-System untuk visualisasi bentuk grafis tanaman
Iterasi 3
Grammar L-
Iterasi 3
Grammar L-
Dari hasil percobaan terhadap sintax Grammar L-System yang diberikan dalam program yang didesain, program aplikasi GUI mampu menggambarkan notasi tanaman yang dinyatakan dalam form dari serangkaian iterasi, serangkaian arah pergerakan, dan ukuran parameter, nilai inisialisasi string, serangkaian aturan produksi dan serangkaian akhir produksi. Hasil visualisasi grafis secara umum telah menggambarkan morphologi dari serangkaian bentuk bentuk tanaman. Dalam penelitian pengembangan lebih lanjut, menggunakan metoda L-System dan model jaringan saraf tiruan (artificial neural network), Hirafuji, M.(1991) mampu menggambarkan visualisasi tanaman kedelai secara grafis visualisasi 3D. Mech dan Prusinkiewicz, (1996) lebih lanjut mengembangkan metoda L-System untuk visualisasi grafis pertumbuhan tanaman dengan pengaruh karateristik factor lingkungan terhadap tingkat pertumbuhan secara realistik.
Gambar 6. Iterasi 3 dari struktur grammar L-System untuk visualisasi bentuk grafis tanaman Percobaan beberapa Grammar L-System 1. Grammar L-System F F[-&\G][\++&G]||F[--&/G][+&G] G' F[+G][-G]F[+G][-G]FG 2. Grammar L-System F F[-&\G][\++&G]||F[--&/G][+&G] G' F[+G][-G]F[+G][-G]FG
359
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 Conference Series, 1996, ACM SIGGRAPH, pp. 397−410. Prusinkiewicz, P. 2003. Art and Science for Life: Designing and Growing Virtual Plants, with L-systems. Acta Horticulturae (ISHS) 630, 2004, pp. 15-28 Prusinkiewicz.P, Jim Hanan2, Mark Hammel1 and Mech,R. 2003, Lsystems: from the Theory to Visual Models of Plants, , Siggraph LSystem and Beyond, page 2.1 - 2.12 Somporn, C.A, Suchada S, Chidchanok, Lursinsap, 2004, Animating Plant Growth in L-System By Parametric Functional Symbols, 4th International Workshop on Functional Structural Plant Models
4. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan Prototype model visualisasi morphologi tanaman yang dihasilkan dalam kegiatan penelitian ini menghasilkan teknis visualisasi bentuk model struktur tanaman tampak seperti realistis dan masing-masing komponen tanaman dapat dikendalikan dari fungsi matematis berupa format aturan Grammar L-System. Simbol L-System mampu membangkitkan layar tampilan grafis yang dapat diwujudkan baik dalam tampilan 2Dimensi maupun 3 Dimensi. Dari hasil penelitian ini, dengan melakukan serangkaian percobaan pada Grammer LSystem yang diberikan dalam program aplikasi GUI yang didesain, visualisasi morphology bentuk tanaman dengan serangkaian jumlah iterasi dapat diwujudkan dan ditampilkan secara grafis dalam program. 4.2. Saran Prototipe model tanaman yang digunakan dalam membuat model tanaman secara realistis mengikui pola pertumbuhan hidup yang riil seperti jenis jenis varietas tanaman tertentu memerlukan pengembangan model LSystem menggunakan pengembangan parametric L-System. Dalam penelitian ini, masih bersifat fundamental Grammar L-System yang merepresentasikan bentuk morphologi tanaman. 5. DAFTAR PUSTAKA Hirafuji, M.1991, A Plant growth Model by Neural Networks and L-System. Proc.9th iFAC Symp. Identification and System Parameter Estimation, Vol.:1, pp 605 – 609 Lindenmayer, A., and Prusinkiewicz., P and 1990, The Algorithmic Beauty of Plants. Springer-Verlag Mech.R and Prusinkiewicz.P, (1996), Visual Models of Plants Interacting with Their Environment. Proceedings of SIGGRAPH 96. In Computer GraphicsProceedings, Annual
360
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
RANCANG BANGUN SISTEM PAKAR UNTUK ANALISIS KELAYAKAN SERTIFIKASI EKOLABEL PADA INDUSTRI KERTAS CETAK TANPA SALUT Ika Atsari Dewi *) Universitas Brawijaya
Abstrak Permasalahan yang ditemukan dalam sertifikasi ekolabel dalah jumlah pakar yang cukup banyak dari sudut pandang evaluator namun tergolong sedikit dari sudut pandang industri, serta sistem dokumentasi yang belum terorganisir sehingga proses sertifikasi memerlukan waktu yang lama dan biaya yang besar. Penelitian bertujuan menghasilkan Sistem Pakar sebagai alat bantu dalam menganalisis kelayakan suatu varian produk kertas cetak tanpa salut pada industri kertas. Prosedur penelitian terdiri dari dua tahap yaitu Analisis sistem dan Rancang bangun Sistem Pakar. Sistem Pakar Analisis Kelayakan Sertifikasi Ekolabel Kertas Cetak Tanpa Salut terdiri dari tiga komponen utama yaitu basis pengetahuan, mesin inferensi, dan antarmuka pengguna. Basis pengetahuan yang dibangun diperoleh dari sumber pengetahuan terdokumentasi dan tak terdokumentasi. Area pengetahuan Sistem Pakar terdapat pada bagian evaluasi awal dan evaluasi lapangan proses evaluasi sertifikasi ekolabel, sedangkan faktorfaktor kritisnya terdiri dari parameter-parameter kriteria ekolabel yang tercakup dalam variabel-variabel sertifikasi ekolabel ditinjau dari aspek lingkungan yaitu evaluasi awal, bahan baku, bahan kimia, air pasi, pemakaian air dan energi, kadar AOX dalam limbah cair dan bahan kemasan. Dalam Sistem Pakar terbentuk 1,72205839271731220447232x1048 rules atau kombinasi jawaban dari user atas 197 pertanyaan dalam mesin inferensi yang diajukan sistem. Klasifikasi hasil keputusan sertifikasi ekolabel terhadap pemohon terbagi tiga yaitu Lolos, Tidak Lolos Minor dan Tidak Lolos Mayor.
Kata kunci: Sistem Pakar, sertifikasi ekolabel, kertas cetak tanpa salut
Saat ini konsumen dan pihak yang berkepentingan lainnya telah meningkatkan permintaan terhadap produk kertas yang lebih ramah lingkungan. Sementara itu, pihak produsen berupaya untuk memenuhi permintaan pasar tersebut dengan melakukan perbaikan pada proses produksi dan produknya. Desakan dari masyarakat konsumen yang semakin sadar akan lingkungan tersebut memunculkan sebuah fenomena baru dalam industri pertanian, perikanan, kehutanan dan energi yang disebut ekolabel. Ekolabel adalah label, tanda atau sertifikat pada suatu produk yang
1. LATAR BELAKANG Kertas cetak tanpa salut (tanpa pelapis/coating) merupakan salah satu kategori produk yang mempunyai aspek lingkungan dengan dampak yang cukup signifikan sepanjang daur hidupnya. Industri ini sering diwarnai praktik penggundulan hutan, menguras sumber daya alam, menggunakan bahan pemutih berbahaya dan menghasilkan limbah beracun. Jika limbah beracun tersebut dibuang ke alam tanpa melalui proses penetralan akan berakibat fatal bagi manusia dan makhluk hidup di sekitarnya.
361
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 evaluasi memakan waktu berbulan-bulan dan biaya yang besar. Dengan semakin berkembangnya kemajuan teknologi terutama di bidang Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence), saat ini sudah dapat dibangun suatu perangkat lunak yang dapat membantu manusia dalam menyelesaikan tugas yaitu Sistem Pakar (Expert System). Dengan direpresentasikannya kemampuan para pakar, masalah menjadi dapat diselesaikan oleh orang awam. Bagi para pakar sendiri, Sistem Pakar dapat berperan sebagai asisten berpengalaman. Untuk mengatasi kendala-kendala yang ditemui dalam proses sertifikasi tersebut, maka perlu disusun suatu rancang bangun Sistem Pakar untuk penentuan kelayakan sertifikasi ekolabel pada industri kertas cetak tanpa salut. Rancang bangun yang diperoleh diharapkan dapat memangkas waktu dan biaya sertifikasi, mengorganisir dokumentasi dan membantu pakar menyimpulkan informasi-informasi yang didapatkan selama proses evaluasi. Informasi-informasi tersebut diterjemahkan menjadi hasil yang menyerupai kemampuan seorang pakar dan memberikan rekomendasi layak tidaknya suatu varian produk kertas cetak tanpa salut memperoleh sertifikat ekolabel. Selain itu, program ini juga dapat digunakan sebagai sumber informasi bagi industri kertas untuk menerapkan kriteria ekolabel pada perusahaannya. Pada akhirnya Sistem Pakar yang dikembangkan diharapkan turut membantu program perbaikan lingkungan di Indonesia.
memberikan keterangan kepada konsumen bahwa produk tersebut dalam daur hidupnya menimbulkan dampak lingkungan negatif yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan produk sejenis dengan tanpa bertanda ekolabel (Lembaga Ekolabel Indonesia, 2006). Ketidakpedulian suatu negara terhadap ekolabel akan mempersempit pangsa pasar produk-produk ekspornya karena semakin lama semakin banyak negara yang menerapkan standar tersebut. Mengacu pada ISO (International Standardization Organization) 14020 Prinsip Umum Ekolabel dan Deklarasi Lingkungan, sejak tahun 2004 telah ditetapkan Kriteria Ekolabel Untuk Kertas Cetak Tanpa Salut dalam SNI No.197188.1.3-2006. Di dalamnya dimuat persyaratan kriteria untuk produk kertas cetak tanpa salut yang ramah lingkungan. Ekolabel yang dapat dipercaya diberikan melalui proses sertifikasi oleh pihak ketiga yang independen yaitu Lembaga Sertifikator Ekolabel (LSE). Industri kertas secara sukarela dapat melakukan permohonan kepada LSE untuk dievaluasi atau dinilai. Penilaian dilakukan oleh evaluator/auditor yang berkompeten sekurang-kurangnya tiga orang. Evaluasi terdiri dari evaluasi awal untuk mengetahui kelayakan permohonan sertifikasi untuk diproses lebih lanjut ke tahap berikutnya, kemudian evaluasi lapangan yang meliputi audit lapangan dan/atau pegambilan serta pengujian contoh. Dalam pelaksanaan sertifikasi ekolabel kertas cetak tanpa salut sangat dimungkinkan terjadinya masalah dan keragaman dalam penerapannya. Selama ini kendala-kendala yang ditemui adalah jumlah pakar yang cukup banyak dengan bidang pengetahuan yang berbeda, banyaknya jenis berkas dan dokumen yang harus diperiksa, sistem dokumentasi yang belum terorganisasi dan kriteria evaluasi yang belum tersosialisasikan dengan baik kepada industri-industri kertas. Kesemua hal tersebut di atas menyebabkan proses
2. METODE PENELITIAN 2.1. Batasan Masalah Permasalahan pada penelitian ditekankan pada: 1. Aspek lingkungan kriteria ekolabel untuk kategori produk kertas cetak tanpa salut yang mencakup bahan baku, bahan kimia, tingkat kekeruhan
362
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 e. Pemakaian air dan energi e.1. Pemakaian air e.2. Pemakaian listrik e.3. Pemakaian uap f. Kadar AOX dalam limbah cair g. Bahan kemasan
air pasi, pemakaian air dan energi, kadar AOX (Adsorbable Organic Halides) dalam limbah cair dan bahan kemasan. 2. Sistem Pakar yang dirancang dibatasi pada tahap pengembangan mesin inferensi sehingga tidak menyertakan tahap implementasi, pengujian serta kesimpulan dan saran, juga tidak menyertakan pelatihan operator dan perawatan sistem.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Evaluasi Sertifikasi Ekolabel Kertas Cetak Tanpa Salut Lingkup produk yang termasuk dalam jenis kertas cetak tanpa salut adalah semua jenis kertas cetak yang tidak mengalami proses pelapisan (coating). Varian yang tercakup meliputi berbagai merek atau nama dagang dan gramatur (berat dasar, g/m2) kertas. Besarnya gramatur kertas cetak umumnya berkisar pada 45-100 g/m2.
2.2. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif analisis yang difokuskan pada rancang bangun Sistem Pakar pada sertifikasi ekolabel produk kertas cetak tanpa salut. Prosedur penelitian terdiri dari dua tahap yaitu analisis sistem dan rancang bangun Sistem Pakar. Langkah-langkah dalam analisis sistem adalah studi lapangan, studi literatur, identifikasi dan perumusan masalah, serta analisis kebutuhan. Sementara itu, langkah-langkah dalam rancang bangun sistem pakar adalah pemilihan pakar sebagai sumber pengetahuan, akuisisi pengetahuan, representasi pengetahuan, dan pengembangan mesin inferensi.
3.2. Analisis Sistem 3.2.1. Identifikasi dan Perumusan Masalah Permasalahan yang berkaitan dengan evaluasi kelayakan sertifikasi ekolabel pada industri kertas cetak tanpa salut yaitu: 1. Bagi LSE, jumlah pakar dalam hal ini evaluator yang bertanggung jawab terhadap evaluasi yang dilaksanakan untuk seluruh kriteria cukup banyak yaitu sekurang-kurangnya tiga orang dengan bidang pengetahuan yang berbeda. Kemampuan para pakar tersebut harus dipadukan sehingga menghasilkan dengan jelas pemenuhan setiap kriteria, menjelaskan penyebab tidak dipenuhinya kriteria ekolabel tersebut bagi hasil evaluasi yang tidak memenuhi kriteria, dan memberikan rekomendasi tentang keputusan sertifikasi ekolabel pada produk yang dimintakan sertifikasi ekolabelnya. Bagi industri kertas cetak tanpa salut, jumlah pakar yang tersedia tergolong sedikit dengan sistem publikasi yang belum terorganisasi sehingga kriteria sertifikasi ekolabel belum tersosialisasikan dengan baik.Hal ini juga menyebabkan industri kertas
2.3. Penetapan Variabel dan Parameter (Aspek Lingkungan) Variabel yang diteliti adalah: a. Evaluasi awal b. Bahan baku b.1. Pulp asli kayu produksi sendiri b.2. Pulp asli nonkayu produksi sendiri b.3. Pulp asli kayu yang dibeli b.4. Kertas bekas b.5. Seluruh bahan baku yang digunakan c. Bahan kimia c.1. Surfaktan c.2. Biosida c.3. Bahan kimia pemutih c.4. Seluruh bahan kimia yang digunakan d. Air pasi (white water)
363
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 cetak kekurangan sumber informasi untuk menerapkan kriteria ekolabel pada perusahaannya. 2. Banyaknya jenis berkas dan dokumen yang harus diperiksa ditambah sistem dokumentasi yang belum terorganisasi menyebabkan proses evaluasi memakan waktu berbulan-bulan dan biaya yang besar. 3.2.2. Analisis Kebutuhan Dengan analisis kebutuhan akan diketahui arah pengembangan sistem. Pihak evaluator dan industri saling terkait dan memiliki ketergantungan akan kebutuhan informasinya. Tugas evaluator adalah memeriksa kelengkapan administrasi dan lingkup varian produk, mengkaji kecukupan dokumen pemohon, melaksanakan audit lapangan, mengambil contoh dan menginspeksi produk pemohon serta mengevaluasi pemenuhan kriteria ekolabel. Kebutuhan informasi evaluator adalah kelengkapan administrasi dan kecukupan dokumen pemohon sebagai bahan evaluasi awal serta bahan evaluasi untuk pemenuhan kriteria yang mencakup bahan baku, bahan kimia, air pasi, pemakaian air dan energi, kadar AOX dalam limbah cair dan bahan kemasan. Tujuan rancang bangun Sistem Pakar bagi evaluator adalah mendapatkan rekan kerja yang membantu menyimpulkan informasi yang diperoleh selama proses evaluasi dengan waktu dan biaya yang lebih singkat serta dokumentasi yang lebih terorganisir. Dari sudut pandang industri, tugas industri adalah melaksanakan proses pemenuhan persyaratan sertifikasi ekolabel kertas cetak tanpa salut. Kebutuhan informasi industri adalah kriteria ekolabel kertas cetak tanpa salut dan informasi/kondisi dari perusahaannya yang berkenaan dengan evaluasi awal, bahan baku, bahan kimia, air pasi (white water), pemakaian air dan energi, kadar AOX dalam limbah cair dan bahan kemasan pada varian kertas yang dimintakan sertifikasi ekolabelnya. Tujuan rancang bangun Sistem Pakar bagi industri adalah
mendapatkan informasi awal dan sebagai panduan dalam mengajukan permohonan sertifikasi sehingga dapat mengurangi waktu dan biaya yang harus dikeluarkan.
3.3. Rancang Bangun Sistem Pakar 3.3.1. Pemilihan Pakar Sebagai Sumber Pengetahuan 1) Sumber pengetahuan tidak terdokumentasi Didapatkan dari para pakar (human expert) yang terdiri dari Evaluator Sertifikasi Ekolabel dari lembaga sertifikasi, Kepala Subbidang Label Lingkungan Kementrian Lingkungan Hidup RI dan Manajer Pengembangan Kapasitas Lembaga Ekolabel Indonesia. Pemilihan ketiga orang pakar tersebut disebabkan para pakar tersebut terlibat dalam Kelompok Kerja penyusun panduan-panduan yang berkenaan dengan sertifikasi ekolabel kertas cetak tanpa salut. 2) Sumber pengetahuan terdokumentasi Didapatkan dari panduan-panduan yang berkenaan dengan sertifikasi ekolabel kertas cetak tanpa salut yaitu: a. SNI No.19-7188.1.3-2006 tentang Kriteria Ekolabel Untuk Kategori Produk Kertas Cetak Tanpa Salut yang diterbitkan BSN Jakarta. b. Panduan Teknis Evaluator Lembaga Sertifikasi Ekolabel Untuk Sertifikasi Ekolabel Kertas Cetak Tanpa Salut yang diterbitkan tahun 2005 oleh Asdep Urusan Standarisasi, Teknologi dan Produksi Bersih KLH Jakarta. 3.3.2. Akuisisi Pengetahuan Pemohon dinyatakan “Lolos” jika memenuhi semua kriteria ekolabel kertas cetak tanpa salut. Pemohon dinyatakan “Tidak Lolos Minor” jika semua persyaratan kriteria ekolabel sudah dipenuhi, tetapi terkadang pada pelaksanaannya ada yang tidak sesuai dan penyimpangannya bersifat sementara. Untuk data pengamatan yang jumlahnya minimal 16 terdapat penyimpangan sebanyak maksimal 1 data, dan untuk data
364
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 pengamatan yang jumlahnya minimal 365 terdapat penyimpangan sebanyak maksimal 30 data. Pemohon dinyatakan “Tidak Lolos Mayor” jika ada kriteria vital dan merupakan sistem kontrol permanen yang tidak dipenuhi. Untuk data pengamatan yang jumlahnya minimal 16 terdapat penyimpangan lebih dari 1 data, dan untuk data pengamatan yang jumlahnya minimal 365 terdapat penyimpangan lebih dari 30 data. Yang tergolong kriteria kategori Minor adalah penyertaan daftar pemasok bahan baku, bahan kima dan bahan kemasan; surat pernyataan sebagai pemasok bahan kimia serta surat pernyataan dari pemohon bahwa bahan kemasan tidak mengandung PVC dan PDVC. Yang dimaksud dengan kriteria vital dan dikategorikan Mayor adalah semua kriteria selain yang termasuk kategori Minor. Pemohon diberi kesempatan untuk melakukan perbaikan terhadap kriteria kategori Minor yang ditemukan selama 3 bulan dan untuk kategori Mayor selama 1 bulan. Jika batas waktu tersebut tidak dipenuhi, maka pemohon harus mengajukan permohonan kembali dari awal. Diagram Alir Sistem Pakar Analisis Kelayakan Sertifikasi Ekolabel Kertas Cetak Tanpa Salut dapat dilihat pada Gambar 1. Sebagai ilustrasi, hasil akuisisi pengetahuan untuk evaluasi bahan baku disajikan pada Tabel 1.
Mulai
Evaluasi Awal
Tidak Lolos
Ya Evaluasi Bahan Baku
Evaluasi Bahan Kimia
Evaluasi Air Pasi
Evaluasi Pemakaian Air dan Energi
Evaluasi Kadar AOX dalam Limbah Cair
Evaluasi Bahan Kemasan
Tidak Lolos Mayor
Ya Tidak Lolos Minor
Ya
LOLOS Mendapat sertifikat dan ijin penggunaan logo ekolabel
TIDAK LOLOS MINOR waktu perbaikan 3 bulan
TIDAK LOLOS MAYOR waktu perbaikan 1 bulan
Selesai
Gambar 1. Diagram alir sistem pakar analisis kelayakan sertifikasi ekolabel kertas cetak tanpa salut Pertanyaan masukan merupakan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan permasalahan yang menyangkut kriteria ekolabel kertas cetak tanpa salut. Sebagai ilustrasi, daftar pertanyaan bagi user untuk evaluasi air pasi disajikan pada Tabel 2.
365
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 1,72205839271731220447232x1048 rule. Jumlah ini merupakan kemungkinan jawaban yang mungkin diberikan user.
Daftar pertanyaan untuk evaluasi air pasi memuat 12 pertanyaan. Pertanyaan nomor 1 sampai 9, 11 dan 12 memiliki 2 pilihan jawaban yaitu “Ya” sebagai pilihan pertama dan “Tidak” sebagai pilihan kedua. Pada pertanyaan nomor 10, jenis jawaban berupa angka dengan jumlah jawaban 365. Pertanyaan ini meminta pengguna untuk memasukkan 365 data kadar padatan tersuspensi total (TSS) dengan toleransi kesalahan maksimal 30 data yang melebihi nilai ketentuan yaitu 8 kg/ton kertas. Semua pertanyaan tergolong kategori Mayor sehingga jika ada satu saja kriteria yang tidak dipenuhi maka pemohon tergolong “Tidak Lolos Mayor” untuk evaluasi air pasi. Contoh daftar pertanyaan evaluasi air pasi yang tercantum pada Tabel 2. Pengguna harus menjawab pertanyaan nomor 1 yaitu “Apakah pemohon menyertakan data kapasitas produksi kertas (paper on reel) (ton/hari) selama 1 tahun terakhir?” Jika pengguna menjawab “Ya”, maka pengguna memenuhi kriteria dan melanjutkan ke pertanyaan nomor 2. Jika pengguna menjawab “Tidak”, maka pengguna dinyatakan tidak lolos (TL) pada kriteria tersebut dan melanjutkan ke pertanyaan nomor 2. Demikian seterusnya hingga pertanyaan nomor 12. Dari jawaban-jawaban yang diberikan, Sistem Pakar akan meyimpulkan apakah pengguna lolos atau tidak pada kriteria ini. Kolom Jawaban menunjukkan berbagai kemungkinan jawaban yang diberikan oleh user terhadap pertanyaanpertanyaan yang diajukan Sistem Pakar. Kombinasi jawaban dari user tersebut akan membentuk berbagai rule. Mengacu pada diagram pohon penelusuran evaluasi kelayakan masing-masing variabel, cara untuk menghitung jumlah total kombinasi jawaban yang akan membentuk rule dapat dilihat pada Tabel 3. Dalam Sistem Pakar ini, jumlah rule yang akan diimplementasikan ke dalam alat pengembang Sistem Pakar (software) sebanyak
Representasi Pengetahuan Pada tahap representasi pengetahuan, pengetahuan disajikan dengan metode kaidah produksi. Pada bagian aksi yaitu konklusi jawaban dari Sistem Pakar berupa rekomendasi tindakan-tindakan untuk tindakan apa saja yang harus dilakukan pengguna untuk mengatasi penyebabpenyebab tidak lolos pada evaluasi awal. 3.
Pengembangan Mesin Inferensi Sistem Pakar Analisis Kelayakan Sertifikasi Ekolabel Kertas Cetak Tanpa Salut ini dikembangkan dengan metode backward chaining. Diagnosa dimulai dengan memasukkan kriteria evaluasi masing-masing variabel kemudian sistem inferensi melakukan pengecekan kondisi atau premis dan melakukan pelacakan terhadap rule mana yang sesuai dengan premis tersebut. Tahap akhir menampilkan rekomendasi. Pengembangan mesin inferensi pada Sistem Pakar dilakukan dengan pengalihan desicion table ke dalam bentuk IF-THEN rules, yaitu dengan pengalihan kombinasi jawaban pada desicion table menjadi aturan-aturan yang akan diimplementasikan ke dalam alat pengembang Sistem Pakar (software). Berikut adalah contoh pengalihan desicion table kriteria evaluasi awal rule 3 ke dalam IF-THEN rule. Bagian IF 3.3.3.
366
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 Tabel 1.Hasil
akuisisi
Parameter Pulp asli kayu produksi sendiri
Dokumen penggunaan bahan baku kayu Daftar pemasok Dokumen lacak balak dan sertifikat hutan lestari Pulp asli nonkayu Dokumen penggunaan bahan baku nonkayu Daftar pemasok Pulp asli kayu yang dibeli Daftar pemasok Pernyataan pemasok tentang dokumen lacak balak dan sertifikat hutan lestari Kertas bekas Daftar pemasok Pernyataan dari pemasok kertas bekas Bahan pemutih dalam proses deinking Kesesuaian aplikasi lapangan dengan rencana produksi Keterangan perolehan bahan baku sah tidak melanggar hukum
pengetahuan penelusuran kelayakan sertifikasi ekolabel untuk evaluasi bahan baku Kriteria Bahan baku kertas cetak tanpa salut dapat berupa pulp asli (virginpulp) kayu, pulp asli nonkayu atau campuran pulp asli dengan pulp hasil daur ulang kertas bekas Untuk industri kertas terpadu, sebagian atau seluruh pulp asli yang digunakan merupakan hasil produksi sendiri, sedangkan untuk industri kertas tidak terpadu, seluruh pulp asli yang digunakan dibeli dari pemasok Pemohon menyertakan dokumen penggunaan pulp asli kayu sebagai bahan baku Pemohon menyertakan daftar pemasok bahan baku kayu Kayu untuk pulp asli harus berasal dari hutan yang lestari atau sedang dalam proses sertifikasi hutan lestari Bahan baku dapat berupa pulp asli (virgin pulp) kayu, pulp asli nonkayu atau campuran pulp asli dengan pulp hasil daur ulang kertas bekas Pemohon menyertakan dokumen pernyataan tentang pemakaian pulp asli nonkayu sebagai bahan baku Pemohon menyertakan daftar pemasok pulp asli nonkayu sebagai bahan baku Untuk industri kertas terpadu, sebagian atau seluruh pulp asli yang digunakan merupakan hasil produksi sendiri, sedangkan untuk industri kertas tidak terpadu, seluruh pulp asli dibeli dari pemasok Pemohon menyertakan daftar pemasok bahan baku pulp asli kayu yang dibeli/diimpor dari pemasok Kayu untuk pulp asli berbahan baku kayu harus berasal dari penebangan yang sah dan hutan yang dikelola secara berkelanjutan dan berasal dari hutan yang lestari atau sedang dalam proses sertifikasi hutan lestari Bahan baku dapat berupa pulp asli (virginpulp) kayu, pulp asli nonkayu atau campuran pulp asli dengan pulp hasil daur ulang kertas bekas Pemohon menyertakan daftar pemasok kertas bekas Pemohon menyertakan pernyataan dari pemasok kertas bekas tentang perolehan bahan baku secara sah tidak melanggar hukum Bahan pemutih yang diperbolehkan pada proses deinking adalah menggunakan hidrogen peroksida (H2O2) Harus ada kesesuaian antara aplikasi lapangan dengan rencana produksi
Kategori -
Pemohon menyertakan pernyataan dari pemasok tentang perolehan bahan baku secara sah tidak melanggar hukum
Mayor
367
Mayor Minor Mayor Mayor Minor -
Minor Mayor
Minor Mayor Mayor Mayor
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 Tabel 2. Contoh daftar pertanyaan bagi pengguna sistem pakar untuk evaluasi air pasi No Penjelasan 1 Pemohon menyertakan data kecepatan alir (debit) air pasi menuju Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) (m3/hari) selama 1 tahun terakhir 2 Sampel air pasi diambil pada lokasi outlet dari Unit Pemulihan Serat (Fiber Recovery Unit) yang akan menuju ke Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)
Pertanyaan Apakah pemohon menyertakan data kecepatan alir (debit) air pasi menuju IPAL (m3/hari) selama 1 tahun terakhir?
JS Pil
JM Pil1 Pil2 B 2 Y T -
Apakah sampel air pasi Pil 2 Y diambil pada lokasi outlet dari Unit Pemulihan Serat (Fiber Recovery Unit) yang akan menuju ke Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)? 3 Pengambilan sampel air Apakah pengambilan Pil 2 Y pasi dilakukan sesuai sampel air pasi dengan SNI 19-0429- dilakukan sesuai dengan SNI 19-0429-1992 1992 Petunjuk Pengambilan Contoh Petunjuk Pengambilan Cairan dan Semi Contoh Cairan dan Padatan Semi Padatan? 4 Kadar padatan Berapakah kadar Angka 365 tersuspensi total (TSS) padatan tersuspensi dalam air pasi tidak total (TSS) dalam air lebih dari 8 kg/ton pasi selama 1 tahun kertas selama 1 tahun terakhir? terakhir 5 Penyimpangan yang Apakah penyimpangan Pil 2 Y terjadi ditindaklanjuti yang terjadi secara efektif ditindaklanjuti efektif? JM : Jumlah Jawaban Keterangan JS : Jenis Jawaban T : Toleransi m : Kategori Minor M : Kategori Mayor Y: Jawaban “Tidak “Ya” Pil : Pilihan
Variabel Evaluasi awal Bahan baku Bahan kimia Air pasi Pemakaian air dan energi Kadar AOX dalam limbah cair 7 Bahan kemasan
Pilihan Jawaban Ya, Tidak Ya, Tidak Ya, Tidak Ya, Tidak, Angka Ya, Tidak, Angka Ya, Tidak, Angka Ya, Tidak
368
M/m M
T
-
-
M
T
-
-
M
≤8 30
M
-
M
T
-
B : Batas T : Jawaban
Tabel 3. Penghitungan kombinasi jawaban No 1 2 3 4 5 6
T -
Jumlah kemungkinan 1.188.137.600.000 208 193.405.151.367.187.500 4096 1.048.576 1.024 8.192
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Rule 3: IF Sudah mengajukan surat permohonan sertifikasi ekolabel produk = Ya AND Sudah melengkapi data umum pemohon sertifikasi = Ya AND Memiliki badan hukum yang sah = Ya AND Tidak memiliki ijin industri atau usaha = Tidak AND Produk dan atau merk dagang belum terdaftar dan tidak memiliki ijin merk dagang = Tidak AND Pernah mendapat sanksi administrasi dalam bidang lingkungan dalam waktu 1 tahun terakhir = Ya AND Pernah mendapat sanksi pidana dalam bidang lingkungan dalam waktu 1 tahun terakhir = Ya AND Sedang dalam penyidikan kasus lingkungan = Ya AND Tidak memiliki sarana pemulihan serat = Tidak AND Menyewa fasilitas kepada penyedia sarana pemulihan serat = Ya AND Penyedia sarana pemulihan serat tidak memiliki badan hukum yang sah = Tidak AND Penyedia sarana pemulihan serat tidak memiliki ijin industri atau usaha = Tidak AND Penyedia sarana pemulihan serat tidak pernah mendapat sanksi administrasi dalam bidang lingkungan dalam waktu setahun terakhir = Tidak AND Penyedia sarana pemulihan serat tidak pernah mendapat sanksi pidana dalam bidang lingkungan dalam waktu setahun terakhir = Tidak AND Penyedia sarana pemulihan serat tidak sedang dalam penyidikan kasus lingkungan = Tidak AND Tidak memiliki sarana pengolah air limbah = Tidak AND Pemohon menyewa fasilitas kepada penyedia sarana pengolah air limbah = Ya AND Penyedia sarana pengolah air limbah memiliki badan hukum yang sah = Ya AND Penyedia sarana pengolah air limbah memiliki izin industri atau izin usaha = Ya AND Penyedia sarana pengolah air limbah tidak pernah mendapat sanksi administrasi dalam bidang lingkungan dalam waktu setahun terakhir = Tidak AND Penyedia sarana pengolah air limbah tidak pernah mendapat sanksi pidana dalam bidang lingkungan dalam waktu setahun terakhir = Tidak AND Penyedia sarana pengolah air limbah tidak sedang dalam penyidikan kasus lingkungan = Tidak AND Tidak memiliki sistem dan sarana pengendali pencemaran udara = Tidak AND Pemohon menyewa fasilitas kepada penyedia sarana pengendali pencemaran udara = Ya AND Penyedia sarana pengendali pencemaran udara memiliki badan hukum yang sah = Ya AND Penyedia sarana pengendali pencemaran udara memiliki izin industri atau izin usaha = Ya AND Penyedia sarana pengendali pencemaran udara tidak pernah mendapat sanksi administrasi dalam bidang lingkungan dalam waktu setahun terakhir = Tidak AND Penyedia sarana pengendali pencemaran udara tidak pernah mendapat sanksipidana dalam bidang lingkungan dalam waktu setahun terakhir = Tidak AND Penyedia sarana pengendali pencemaran udara tidak sedang dalam penyidikan kasus lingkungan = Tidak AND Memiliki sistem dan sarana pengelolaan B3 dan limbah B3 = Ya AND Memiliki sistem dan sarana pengelolaan limbah padat = Ya AND Memiliki sistem manajemen lingkungan = Ya AND Memiliki jaminan terhadap mutu produk yang dimohonkan sertifikasi ekolabelnya berupa sertifikasi produk atau penerapan sistem manajemen produk = Ya
THEN
TIDAK LOLOS MAYOR
rekomendasi = REKOMENDASI YANG DIBERIKAN ADALAH: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Urus izin industri atau izin usaha ke Disperindag dan Penanaman Modal setempat Daftar produk dan atau merk dagang ke Ditjen HAKI Departemen Hukum dan HAM Selesaikan terlebih dahulu jangka waktu sanksi administrasi dalam bidang lingkungan yang sedang dikenakan dan selanjutnya terapkan peraturan dalam bidang lingkungan dalam semua aktivitas pemohon Selesaikan terlebih dahulu jangka waktu sanksi pidana dalam bidang lingkungan yang sedang dikenakan dan selanjutnya terapkan peraturan dalam bidang lingkungan dalam semua aktivitas pemohon Tuntaskan terlebih dahulu kasus lingkungan yang sedang dihadapi dan selanjutnya terapkan peraturan dalam bidang lingkungan dalam semua aktivitas pemohon Penuhi persyaratan agar penyedia sarana pemulihan serat mendapat status badan hukum dan pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM Urus izin industri atau izin usaha bagi sarana pemulihan serat ke Disperindag dan Penanaman Modal setempat
Jumlah Kemungkinan Rule = 1.188.137.600.000 x 208 x 193.405.151.367.187.500 x 4096 x 1.048.576 x 1.024 x 8.192 = 1,72205839271731220447232 x 1048rule
369
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 Kusrini. 2006. Sistem Pakar Teori dan Aplikasi. Penerbit Andi. Yogyakarta. Lembaga Ekolabel Indonesia. 2006. Sertifikasi KAN dan Ekolabel Indonesia. Lembaga Ekolabel Indonesia. Bogor. Lembaga Ekolabel Indonesia. 2003. Konsep Dasar Ekolabel. Lembaga Ekolabel Indonesia. Bogor. Marimin. 2007. Teori dan Aplikasi Sistem Pakar dalam Teknologi Manajerial. IPB Press. Bogor. Metaxiotis, Kostas. 2004. RECOT: An Expert System for The Reduction of Environmental Cost In the Textile Industry. Information Management and Computer Security. 12 (3): 218227 www.emeraldinsight.com/09685227.htm. Tanggal akses 1 Juli 2007. Standar Nasional Indonesia. 2006. SNI No.19-7188.1.3-2006 Kriteria Ekolabel Untuk Kategori Produk Kertas Cetak Tanpa Salut. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta.
4. KESIMPULAN Perancangan Sistem Pakar Analisis Kelayakan Sertifikasi Ekolabel Kertas Cetak Tanpa Salut terdiri dari tiga komponen utama yaitu basis pengetahuan, mesin inferensi, dan antarmuka pengguna. Basis pengetahuan berisi mengenai domain pengetahuan atau area pengetahuan dan faktor-faktor kritis Sistem Pakar. Area pengetahuan Sistem Pakar terdapat pada bagian evaluasi awal dan evaluasi lapangan proses evaluasi sertifikasi ekolabel, sedangkan faktorfaktor kritisnya terdiri dari parameterparameter kriteria ekolabel yang tercakup dalam variabel-variabel sertifikasi ekolabel yaitu evaluasi awal, bahan baku, bahan kimia, air pasi, pemakaian air dan energi, kadar AOX dalam limbah cair dan bahan kemasan. Mesin inferensi berisi rule yang merupakan kombinasi jawaban dari user atas pertanyaan yang diajukan oleh sistem. Dalam Sistem Pakar ini terbentuk 1,72205839271731220447232x1048 rule. Klasifikasi hasil keputusan sertifikasi ekolabel terhadap pemohon terbagi tiga yaitu Lolos, Tidak Lolos Minor dan Tidak Lolos Mayor. 5. DAFTAR PUSTAKA Departemen Perindustrian. 2005. Penggunaan Klorin Pada Produksi Pulp. http://www.depperin.go.id/IND/PNBP /pnbp.pdf. Tanggal akses 19 Maret 2008. Henson, Ruby Pineda and Alvin B. Culava 2005. Developing An Expert System For GP Implementation. J. of Cleaner Production. 7:443-455 Kementrian Lingkungan Hidup. 2005. Panduan Teknis Bagi Industri Dalam Pemenuhan Persyaratan Kriteria Ekolabel Kertas Cetak Tanpa Salut. Asdep Urusan Standarisasi, Teknologi dan Produksi Bersih Kementrian Lingkungan Hidup. Jakarta.
370
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
TINJAUAN METODE DYNAMIC LOT SIZING DAN APLIKASINYA Endy Suwondo dan Henry Yuliando Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, UGM
Abstract The dynamic demand, coordinated lot-size problem determines the time-phased replenishment schedule (i.e., timing and order quantity) that minimizes the sum of inventory and ordering costs for a family of items. Demand is assumed to be deterministic but dynamic over the planning horizon and must be met through current orders or inventory. These problems are often encountered in production, procurement, and transportation planning. This paper is intended to review on developing a finite-horizon, discrete-time model with deterministic but non-stationary demand for a single product at a single stage. In a finitehorizon discrete-time model, as the name suggests, the length of the planning horizon is finite and the order placement decisions are made at discrete intervals of time. Inventory is reviewed only at the beginning of a period, hence we can call this model a periodic review model. For a solution, mehods called the Wagner–Whitin algorithm and the Wagelmans– Hoesel–Kolen algorithm are introduced. Both of these methods will find an optimal solution but they do differ in the computational complexity required to compute the optimal procurement plan. Two heuristic methods will be employed also with the first is Silver–Meal heuristic and the second is called the least unit cost heuristic. Both are order T methods for computing a procurement plan. An illustration is presented using an actual data taken from a research. It is found that to fulfill the assumptions needed in applying those models, a policy in term of proper management should be imposed where in further it implies to the development of supply chain management and inventory management itself.
Tingkat permintaan dapat diasumsikandeterministiknamun dinamis. Artinya kuantitas permintaan berubah setiap periode dalam horizon waktu perencanaanyang dipenuhi melaluiproduksisaat ini dan atau melalui sediaan yang ada. Keadaan coordinated lot-size ini sering dihadapidalam kegiatan produksi, pengadaan, dan perencanaantransportasi. Di setiap periode dalam rencana atau jadwal produksi tingkat permintaan/produksi yang dinamis sering dibatasi oleh kapasitas yang terbatas. Klasifikasi permasalahan dalam dynamic lot-sizing terletak kepada variabel untuk item tunggal atau multi-item, struktur biaya yang terkoordinasi dan tidak, serta terbatas atau tidaknya kapasitas produksi,
1. LATAR BELAKANG Dalam kegiatan produksi, kita dihadapkan pada kondisi bahwa tingkat permintaan bersifat dinamis. Permasalahan dalam coordinated lot-size (lot yang terkoordinasi) adalah bagaimana kita menentukanjadwalwaktupengadaan seidaan (inventory) secara bertahap yaitu dalam hal waktu dankuantitas pemesanan (order) yang meminimalkanjumlahsediaan danbiaya pemesananuntuk item produk yang diproduksi/diadakan. Dan setiap kali satu atau lebih item produk terebut diproduksi/diadakan, terdapat biayasetupbersama, serta biaya setup untuk tiap item produk yang diproduksi/diadakan. Selain itu,adalah biaya tetap pemesanan bilamana unit item tersebut dipesan.(P. Robinson, et al, 2009)
371
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 gudang, dan angkutan. Sejumlah model dari dynamic lot-sizing telah banyak dikembangkan untuk mendukung kepentingan industri. Untuk pertama kalinya studi terhadap lot-sizing tersebut dilakukan oleh Wagner dan Whitin (1958) yang menggunakan program dinamis untuk memberikan solusi yang optimal. Dengan kompleksitas model matematik dari permasalahan dynamic lot-sizing tersebut, model Wagner-Whitin dikembangkan dalam bentuk algoritma untuk item tunggal, dengan tingkat permintaan deterministik, serta biaya setup/order dan biaya pemeliharaan (holding cost) yang konstan untuk setiap periode order/produksi. Klasifikasi masalah lot disini banyak didasarkan pada beberapa kriteria seperti jumlah mesin, jumlah tahap produksi (tingkat), kendala kapasitas dan karakternya (tetap atau variabel), lama periode produksi, dan sebagainya. Studi kami ditujukan untuk membuat tinjauan (review) terhadap prosedur algoritma Wagner-Whitin yang dikomparasi dengan algoritma Wagelmans-Hosel-Kolen yang berbeda dalam T order waktu penyelesaiannya, namun tetap memberikan hasil yang sama optimalnya. Diikuti oleh ulasan kinerja sejumlah model heuristic yang umum digunakan dalam menyelesaikan masalah dynamic lot-sizing. Model heuristics yang dikemukakan adalah silver-meal heuristic dan least unit cost heuristic. Kedua model memiliki pendekatan berbeda dalam pembobotan biaya yang terkait dan tidak menuju kepada solusi yang optimal. Selanjutnya untuk menunjukkan cara kerja Wagner-Whitin algoritma, maka sebuah kasus riil akan digunakan sebagai ilustrasi.
Tujuannyaadalah untuk menentukanperiodedimana produksi akan berlangsung danjumlahyang harus diproduksi diperiode tersebut.Total produksi harus memenuhipermintaandan meminimalkan total biaya. Biaya yang muncul adalahunit produksi pt(dimana t =1..T adalah periode rencana produkci); biaya setup styang merupakanbiaya tetapyang dikeluarkanjikaproduksi dimulaidalamperiode t, dan biaya simpan (holding cost) sediaan. (N. Brahimi, et al, 2004). Sejumlah modeltelah dikemukakan untukmasalah lot-sizing.Salah satumodel awal yang pernah diperkenalkan adalah Economic Order Quantity (EOQ). Namun tidak seperti EOQ yang bersifat kontinyu, model Wagner-Whitin memilki karakter periode waktu yang diskret dimana tingkat permintaan mungkin bervariasi setiap periode. Asumsi dan notasi dalam model Wagner-Whitin adalah sebagai berikut: (John A. Muckstadt, et al, 2010) • Kt = biaya tetap order • ht = biaya simpan per unit per periode • Ct = biaya pengadaan per unit Ct + ht ≥Ct+1 untuk semua t • dt = tingkat permintaan di periode ke t • xt = jumlah sediaan pada periode ke t sebelum order dilakukan pada periode tersebut. • Waktu jeda (lead time) diasumsikan nol. • ytadalah jumlah sediaan di tangan setelah order dilakukan dan diterima, atau ekuivalen dengan xtplus kuantitas order, dalam hal in yt ≥ xt • Biaya tetap dikenakan sebesar K bilamana yt> xt ; bila tidak = 0. • Biaya tetap setup/order = K·δt dimana
1, y t > xt 0, bila sebaliknya
δt
Studi Literatur tentang Algoritma Wagner Whitin The Single Item Lot Sizing Problem (SILSP) adalah masalahperencanaandimana tingkat permintaan/pengadaan bervariasi untuk tiap periodeselama periode perencanaanT.
• • •
372
Biaya pembelian = C x(yt −xt). Sediaan di akhir periode t = yt −dt, sehingga biaya simpan = h(yt −dt). Total biaya periode t =
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 permintaan d1+d2units, total biaya =
Kδ t + C(yt − xt ) + h(yt − d t )
•
ζ 21 = F (1) + h(d 2 ) = K1 + h(d 2 )
Formulasi masalah dynamic lot-sizing = T
Z 1 ( x1 ) = min ∑ {kδ t + C ( y t − xt ) + h( y t − d t )} t =1
kendala y1 ≥ x1 , y 2 ≥ x 2 ,...., y T ≥ xT , y1 ≥ x1 , y 2 ≥ x 2 ,...., y T ≥ d T dimana xt +1 = y t − d t ,
t = 1,2,..., T
{
F (t ) = min ζ tv ,ζ tv+1 ,...,ζ tt −1 ,ζ tt
Model linear tersebut diatas termasuk NPhard, sehingga untuk menyelesaikannya dapat didekati dengan algoritma sebagai berikut: • F(t) = biaya optimal untuk periode 1 hingga t dimana sediaan di akhir period t adalah 0. s • ζ t = biaya minimum untuk periode 1
• • •
{
}
Langkah 4: Tetapkan t ←t +1. Stop bila t = T +1. Bila tidak pergi ke langkah 3.
Ilustrasi Model Wagner Whitin Untuk melihat proses penentuan biaya optimal rencana produksi yang merupakan masalah dynamic lot-sizing digunakan data produksi produk kulit perusahaan MJOINT, Yogyakarta. Perusahaan ini menghasilkan produk kulit seperti tas, dompet, jaket, dan beberapa macam produk lainnya. Produk MJOINT ditujukan untuk pasar ekspor dengan tujuan utama negara Belanda. Baik disain, kualitas dan kuantitas produk MJOINT berdasarkan order yang diberikan oleh agen. Adapun contoh data produksi yang sudah diturunkan menjadi kebutuhan lembar feet square bahan kulit untuk masing-masing warna ialah sebagai berikut:
hingga t ketika tingkat sediaan di akhir periode t adalah 0 dan tingkat permintaan di periode ke t dipenuhi oleh order di periode ke s. Biaya optimal periode 1 hingga s−1 = F(s−1). Biaya yang timbul antara periode s dan t meliputi biaya tetap di periode s dan biaya simpan di periode s, s+1, . . . , t. Untuk setiap pilihan, biaya minimum periode 1 hingga t ditentukan sebagai berikut =
F (t ) = min ζ tv ,ζ tv+1 ,...,ζ tt −1 ,ζ tt
Pilih biaya terendah antara periode 1 atau 2 = F (2) = min{K1 + K 2 , K1 + hd 2 } Tetapkan v = 2 jika K1+K2< K1+hd2. Bila tidak, v tidak berubah. Langkah 3: untuk masalah per periode t, dengan nilai v yang ditetapkan, tentukan apakah permintaan di periode t dipenuhi oleh salah satu order di periode v, v+1, v+2, ... , t dan hitung v v +1 t −1 t nilai ζ t , ζ t ,..., ζ t , ζ t dan tentukan
}
•
Algoritma model Wagner-Whitin adalah; Langkah 1: Tetapkan t = 2, v = 1 dan F(1) = K. Langkah 2: Karena order dilakukan di periode 1, tentukan apakah untuk memenuhi permintaan di periode 2 dilakukan di periode 1 atau 2. Bila order dilakukan di periode 2, biaya total adalah F(1)+K2 = K1+K2karena tidak ada sediaan untuk periode 2 hasil order periode 1. Namun bila order dilakukan periode 1 untuk memenuhi
Tabel 1. Rencana Penjualan Tas Warna Dark Brown, Black, Tobacco, dan Red Periode Maret 2011-Juli 2011 Rencana Penjualan (ft2) Periode
D.BROWN
BLACK
TOBACCO
RED
617
162
Maret
1
509
567
April
2
1128
1063
816
409
Mei
3
634
606
1029
217
Juni
4
398
350
707
225
Juli
5
505
577
825
288
Total 3173 Sumber : Lutfi, 2011
3162
3994
1301
Diketahui:
373
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011 K = Rp 16.000,hi = Rp 6590 per ft2per month Aplikasi algoritma Wagner-Whitin untuk kasus MJOINT terebut ialah sebagai berikut:
ζ 54 = F (3) + K + h(d 5 ) = 6.730.340 ζ 55 = F (4) + K = 3.418.310 F(5) = 3.418.310, produksi periode 5 untuk memenuhi kebutuhan periode tersebut. • Stop karena semua periode telah dihitung.
Product Dark Brown Iterasi 1 • Langkah 1: Set t = 2 and v = 1. Order dilakukan di periode 1, F(1) =K 1 • Langkah 2: ζ 2 = K + hd1 = 16.000 + 6590(509) = 3.370.390 dan ζ 22 = F (1) + K = 3.386.390. Jadi
{
Periode (t) Kebutuhan (dt) Kuantitas order (yt – xt ) Sediaan awal (xt) Sediaan akhir (xt+1) Biaya periode t
}
F (2) = min ζ 21 , ζ 22 = 3.370.390 dan order secara tentatif dilakukan di periode 1 untuk memenuhi kebutuhan di periode 1 dan 2. Tetapkan v = 1. 1 2 3 • Langkah 3: Hitung ζ 3 , ζ 3 , dan ζ 3 ζ 31 = K + h(d 2 + d 3 ) + hd 3 = 16.000 + 6590(1128 + 634) + 6590(634) = 15.805.640 ζ 33 = F (2) + K = 3.370.390 + 16.000 = 3.386.390
Sehingga, F(3) = 3.386.390, produksi di periode 3 untuk memenuhi kebutuhan periode 3. Tetapkan v = 3. • Langkah 4: Karena t <5, menuju ke iterasi 2
3 4 Langkah 3: Compute ζ 4 , dan ζ 4 ζ 43 = F (2) + K + h( d 4 ) = 6.009.210
ζ 44 = F (3) + K = 3.402.310 Sehingga, F(4) = 3.402.310, produksi periode 4 untuk kebutuhan periode tersebut. Tetapkan v = 4. • Langkah 4: Karena t <5, menuju ke iterasi selanjutnya
Iterasi 3 Langkah 3: Hitung ζ 5 , dan ζ 5 4
3
4
5
634
398
505
1637
0
634
398
505
0
1128
0
0
0
1128
0
0
0
0
7.449.520
0
16.000
16.000
16.000
Pendekatan Dengan Algoritma Wagelmans-Hoesel-Kolen (WHK) Dalam aplikasi model dynamic lot-sizing diketahui bahwa terjadi inefisiensi dalam proses penghitungan dengan model Wagner-Whitin, terutama untuk kasus dengan periode yang panjang. Model WHK (A. Wagelmans, et al, 1992) memberkan pendekatan lain dalam proses penghitung kasus dynamic lot-sizing dimana didasarkan pada proses backward dan komparasi nilai gradien dari garis cembung terluar yang menghubungkan titik ploting data antara biaya minimal dan tingkat kebutuhan tiap periode. Model Wagner-Whitin dalam kondisi terburuk membutuhkan iterasi sebanyak T2 namun dengan model WHK cukup dengan T log T langkah/iterasi. Formulasi model WHK ialah sebagai berikut:
Iterasi 2
•
2 1128
Ilustrasi di atas menghasilkan jadwal produksi dimana kebutuhan/permintaan produk per periode diproduksi di periode terkait atau satu atau lebih periode sebelumnya. Variabel keputusan untuk jadwal produksi adalah pada volume produksi, biaya tetap pemesanan (K) dan biaya simpan (ht).
ζ 32 = F (1) + K + hd 3 = 16.000 + 16.000 + 6590(634) = 4.210.064
•
1 509
5
374
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
Solusi dengan Metode Heuristik Selain solusi optimal untuk kasus dynamic lot-sizing yang dapat diselesaikan dengan model Wagner-Whitin dan WHK, terdapat beberapa metode heuristik yang dapat digunakan untuk memberikan estimasi tertentu berdasarkan asumsi yang digunakan. Dua metode heuristik yang dikemukakan disini ialah: 1. Silver-Meal Heutistics • Order dilakukan di periode s untuk memenuhi kebutuhan permintaan di periode s, s+1, . . . , t−1 dan pertimbangkan apakah perlu menambah periode berikutnya untuk pemenuhannya juga. Keputusan ini didasarkan pada asumsi biaya rata-rata apakah meningkat atau menurun pada saat permintaan di periode t dimasukkan dalam perhitungan. • Bila biaya rata-rata menurun, yaitu ς ( s, t − 1) > ς ( s, t ) maka besaran order termasuk untuk memenuhi periode t berikutnya. Sebaliknya bila biaya rata-rata meningkat, kuantitas order = ds+ds+1+···+dt−1dan order yang baru dilakukan di periode t. • Formulasi Silver-Meal heuristic ialah:
T T Z 1 = min ∑ K t δ t + f t ∑ z ti t =1 i =t kendala T
∑z
= di ,
i = 1,2,..., T
d i δ t ≥ z ti ,
i = 1,2,..., T
z ti ≥ 0,
i, t = 1,2,..., T
ti
t =1
t = 1,2,..., T
δ t ∈ {0,1} T
dimana
f t = ∑ ht i =t
Algoritma model WHK: • Langkah awal : Tetapkan S = {T, T+1}, t = T, sT = T+1, ZT+1=0, hitung ZT = K+hdT • Langkah 1 : t=t+1, jika t=0 menuju ke langkah 4, bila tidak menuju ke langkah 2. • Langkah 2 : Cari nilai k ∈ S, k ≤ st+1yang terkecil, yang membuat ZK − ZL (T − t + 1) h, d k + ... + d l −1 dimana l adalah periode efisien terbesar berikutnya setelah k. Tetapkan st = k. Hitung k −1
Z T = K + (T − t + 1) h∑ d i + Z K i =t
•
Langkah 3 : Tetapkan S = {t1,...,tq}, t1
∑
i =t
•
di
>
ς (s,t) =
Z tr − Z tr +1 t r +1 −1
∑
i =t 2
K + h(ds+1 + ds+2 +...+ dt ) + h(ds+2 + ds+3 +...+ dt ) +...+ h(dt ) t − s +1
2. Least Unit Cost Heuristics • Least unit cost heuristic hampir identik dengan Silver–Meal heuristic, namun berbeda dalam penentuan kriteria untuk penempatan order. • Silver–Meal heuristic menggunakan biaya rata-rata per unit waktu ς ( s , t ) untuk menentukan kapan harus melakukan order, sedangkan least unit cost heuristicmenentukannya berdasarkan biaya rata-rata per
di
bilamana kondisi ini terpenuhi Tetapkan S = {t} ∪ (S \ {t1...., tr-1}) sebagai periode-periode efisien yang baru. Kembali ke langkah 1. Langkah 4 : Hitung (a) t=1 ; (b) s −1
zt = ∑i =t t d i
; (c) Tetap t = stdan ke langkah 4 (b)
375
Prosiding Seminar Nasional APTA, 23-24 November 2011
• ς ( s, t ) =
unit permintaan selama durasi siklus order. Formulasi Least Unit Cost Heuristic ialah:
K + h(d s +1 + d s + 2 + ... + d t ) + h(d s + 2 + d s +3 + ... + d t ) + ... + h(d t ) (d s + d s +1 + d s + 2 + ... + d t )
2.KESIMPULAN Dalam kegiatan produksi, pergudangan, transportasi dan sebagainya, sering kita dihadapkan pada keadaan adanya tingkat permintaan yang bervariasi untuk setiap periodenya. Untuk kasus item tunggal, dengan tingkat permintaan deterministik namun bervariasi tiap periode, maka solusi optimal diperoleh dengan mencari biaya yang minimal. Solusi kasus dynamic lotsizing ini dapat diselesaikan dengan aplikasi model Wagner-Whitin, atau dengan prosedur perhitungan yang berbeda yaitu dengan model WHK. Pendekatan dengan metode heuristics juga dapat dilakukan bilamana terdapat kebijakan tertentu yang disyaratkan seperti adanya penekanan pada biaya tiap siklus order sebagaimana kebijakan pada metode least unit cost heuristic. Dan atas berbagai model lain yang dikembangkan oleh banyak periset, memberikan implikasi manajerial bahwa agar rencana produksi tersebut dapat berjalan sesuai jadwal maka perlu adanya pengelolaan yang sesuai dalam jadwal pasokan sesuai dengan kuantitas (dan kualitas) sesuai yang disyaratkan. Implikasi yang muncul seperti perlunya manajemen rantai pasok. 3. REFERENSI A. Wagelmans, S. Van Hoesel, A. Kolen, 1992, Economic lot sizing: an O(n log n) that runs in linear time in the Wagner–Whitin case, Operations Research 40 (1) S145–S156. John A. Muckstadt, and Amar Sapra, 2010, Principles of Inventory Management, Springer Series in Operations Research and Financial Engineering, Springer New York Dordrecht Heidelberg London.
376
M.Lutfi Rahmaji, 2011, Skripsi, Pengendalian persediaan bahan baku pada sistem rantai pasokdengan metode material requirement planning (MRP) (studi kasus di MJOINT leather craft dan wr leather, Yogyakarta), Fakultas Teknologi Pertanian, UGM, Yogyakarta. Powell Robinson, Arunachalam Narayananb, Funda Sahinc, 2009, Coordinated deterministic dynamic demand lot-sizing problem, OMEGA Int. Journal of Management Science, (37) 3-15. Nadjib Brahimi, Ste´phane Dauzere-Peres, Najib M. Najid, Atle Nordli, 2006, Single item lot sizing problems, European Journal of Operational Research, (168) 1 - 16