ISSN 1411-0393
PRINSIP DASAR PEMBUATAN KEPUTUSAN UNTUK MEMECAHKAN MASALAH ORGANISASI Andayani dan Akhmad Riduwan*)
ABSTRAK Pembuatan keputusan sebagai salah satu fungsi pimpinan yang penting dalam rangka pencapaian tujuan organisasi, mempunyai posisi yang sama pentingnya dengan fungsifungsi pimpinan yang lain seperti perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, koordinasi dan pengawasan. Sebagai suatu proses yang dinamis, pembuatan keputusan harus mempertimbangkan dan memperhatikan dengan seksama kekuatan-kekuatan lingkungan baik internal maupun eksternal. Suatu keputusan yang baik, proses pembuatannya harus berorientasi pada pelaksanaannya. Sebab, jika tidak, ia hanya sekedar menjadi abstraksi keinginan yang sulit dilaksanakan. Pimpinan perlu menetapkan standar pengukuran, baik kuantitatif maupun kualitatif, untuk menilai sejauh mana keputusan yang telah dibuat membuahkan hasil secara nyata sesuai dengan yang diharapkan. Kata-kata kunci : Pembuatan Keputusan, Pemecahan Masalah
1. PENDAHULUAN Pembuatan keputusan merupakan salah satu bagian integral dari manajemen yang paling penting. Setiap manajer pada jenjang manapun, mempunyai tugas utama membuat keputusan. Manajer puncak dituntut untuk mampu membuat keputusan strategis, kemudian keputusan strategis ini perlu diterjemahkan oleh manajer menengah berupa keputusan taktis. Selanjutnya, dijabarkan dalam bentuk keputusan teknis-operasional oleh manajer tingkat bawah. Untuk membuat keputusan trategis, manajer puncak dituntut untuk memiliki kecakapan konseptual yang tinggi dan wawasan yang luas (makro) tetapi sedikit *)
Andayani, SE, dan Drs. Akhmad Riduwan, Ak., adalah dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STIESIA) Surabaya
Prinsip Dasar Pembuatan Keputusan (Andayani & Akhmad Riduwan)
111
kemampuan teknis-operasional. Manajer menengah, karena tugasnya harus menterjemahkan keputusan strategis berupa keputusan-keputusan taktis, maka ia harus mempunyai kecakapan konseptual dan teknis yang memedai; sedangkan bagi manajer tingkat bawah mutlak harus memiliki kecakapan teknis-operasional yang lebih besar karena ia harus mampu menjabarkan keputusan-keputusan taktis berupa keputusankeputusan teknis sehingga lebih mudah pengimplementasiannya. Pembuatan keputusan sebagai tugas utama pimpinan (manajer), terfokus pada tiga hal yauti : pembuat keputusan (decision maker), pembuatan keputusan sebagai suatu proses (decision making as a process), dan keputusan itu sendiri (decision itself). Baik buruknya keputusan sangat tergantung dari pembuat keputusan itu sendiri, terutama sistem nilai yang dianut dan sekaligus yang dijadikan dasar dalam proses pembuatan keputusan, termasuk di dalamnya nilai pribadi, nilai sosial, nilai moral, nilai organisasi dan lain-lain. Pembuatan keputusan, sebagai suatu proses, mencakup beberapa aktivitas yang terkait antara satu dengan yang lain, tidak berjalan secara linier terapi secara siklikal. Keputusan itu sendiri, sebagai hasil dari suatu proses, pelaksanaannya mempunyai dua implikasi yaitu konsekuensi yang diharapkan (intended risks) dan konsekuensi yang tidak diharapkan (unintended risks).
2. PEMBUATAN KEPUTUSAN DAN PEMECAHAN MASALAH Proses pembuatan keputusan selalu dimulai dengan mengidentifikasi, menganalisis dan merumuskan masalah. perumusan masalah adalah kegiatan yang utama dan pertama dalam proses pembuatan keputusan. Sebagai bagian integral yang paling depan, maka perumusan masalah adalah kunci bagi keberhasilan proses pemecahan masalah. Tanpa masalah tidak akan ada pembuatan keputusan, karena pada prinsipnya keputusan dibuat untuk mengatasi masalah. Suatu keputusan merupakan suatu pilihan alternatif. Pembuatan keputusan, dengan demikian adalah pemilihan suatu alternatif yang terbaik dari serangkaian alternatif yang tersedia. Alternatif terbaik yang dipilih adalah yang paling sesuai dengan masalah dan tujuan yang hendak dicapai. Albanese (1975) menyatakan bahwa keputusan yang dibuat pimpinan tidak pernah ada yang sepenuhnya benar atau salah. Setiap pimpinan akan berusaha menemukan kondisi-kondisi yang ideal bagi pembuatan keputusan untuk memecahkan masalah, yaitu dengan : memahami secara akurat dan lengkap berbagai tujuan yang relevan dengan masalah. mendefinisikan masalah dan parameternya secara akurat, tepat dan komprehensif. memahami secara akurat semua alternatif yang layak dengan cara-cara yang terpercaya untuk menilai konsekuensi-konsekuensi dari setiap alternatif.
112
Ekuitas Vol.4 No.2 Juni 2000 : 111-127
menemukan kriteria yang optimal untuk mencari hubungan antara konsekuensikonsekuensi dengan tujuan-tujuan, sehingga pembuat keputusan tahu konsekuensi mana yang terbaik. memperoleh kebebasan untuk memilih alternatif yang terbaik untuk mengoptimalkan pemecahan masalah. Proses pembuatan keputusan yang baik dapat menghasilkan keputusan yang baik pula, dan selanjutnya keputusan yang baik diharapkan dapat memecahkan masalah secara baik. Sehubungan dengan hal ini, Brown, Kahr dan Paterson (1974) mengemukakan perlunya mencermati perbedaan antara keputusan-keputusan yang baik (good decisions) dan hasilhasil yang baik (good outcomes), karena keputusan yang baik dapat membuahkan hasil yang jelek, begitu pula sebaliknya, dan para pembuat keputusan tidak dapat dinilai gagal dari hasil-hasil keputusannya. Hasil keputusan yang dapat bertahan lama biasanya dapat dipakai sebagai bukti kualitas keputusan yang baik. Perbedaan keputusan yang baik dan yang buruk (sebagai lawan dari hasil yang baik dan yang buruk) sebagian besar terletak pada proses pemilihan masukan dasar (basic inputs) secara tepat, misalnya pada proses mencari dan menemukan pilihan-pilihan alternatif (decision option) yang inovatif, atau dengan kata lain, keputusan yang terbaik tidak dapat dibuat kecuali bila alternatif keputusan yang terbaik (the best option) ada di antara pilihan alternatif yang sedang dipertimbangkan untuk memecahkan masalah. Dalam konteks organisasi, orang membuat keputusan bukan hanya semata-mata karena ia pemimpin yang menduduki posisi/hirarkhi yang tinggi dalam organisasi (sebagai fungsi yang melekat pada posisi pimpinan), tetapi juga karena setiap saat organisasi menghadapi masalah yang harus dipecahkan, baik lewat keputusan individual, kelompok atau pun organisasional. Begitu banyak keputusan yang harus dibuat oleh pimpinan, yang masing-masing mempunyai karakteristik berbeda satu dengan yang lain. Setiap pimpinan perlu mengetahui berbagai jenis keputusan yang sesuai dengan ruang lingkup kewenangannya dan keputusan-keputusan yang paling dibutuhkan oleh organisasinya.
3. TIPOLOGI KEPUTUSAN Para pakar telah banyak mengembangkan berbagai jenis dan klasifikasi keputusan; ada yang sama dan ada pula yang berbeda. Berikut ini adalah beberapa pandangan para ahli tentang tipologi keputusan.
Prinsip Dasar Pembuatan Keputusan (Andayani & Akhmad Riduwan)
113
a. Herbert A. Simon Programmed decision, yaitu keputusan yang rutin dan berulang-ulang terjadi dengan melihat problema yang sering timbul dapat dipecahkan dengan prosedur yang jelas ada, baku dan rutin. Non-programmed decision, yaitu keputusan yang baru dibuat karena problemnya baru atau belum pernah terjadi, tidak terstruktur dan mempunyai konsekuensi khusus. Karena sebelumnya belum ada metode penanganan yang jelas, maka perlu perlakuan khusus. b. Andre L. Delberg Routine decision, yaitu keputusan-keputusan yang dibuat secara rutin, di mana kelompok-kelompok dan organisasi sepakat tentang tujuan yang hendak dicapai, dan adanya teknologi yang cukup tersedia untuk mencapai tujuan tersebut. Creative decision, yaitu keputusan-keputusan yang dibuat dengan menggunakan metode yang kurang disepakati oleh para peserta pembuat keputusan dalam mengatasi masalahnya, atau kekurangan strategi untuk mencari solusinya. Negitiated decision, yaitu keputusan-keputusan yang dibuat atas perjanjian/negosiasi antar pembuat keputusan karena adanya perbedaan norma-norma, nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan pribadi, di mana mereka berkonfrontasi mengenai tujuan-tujuan, cara-cara atau keduanya. c. Henry Mintzberg Enterpreneurial decision, yaitu keputusan-keputusan yang dibuat pada lingkungan dan suasana ketidak-pastian yang sangat tinggi. Pilihan-pilihan keputusan didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan yang proaktif (jauh ke depan) dan diorientasikan pada pertumbuhan jangka panjang. Adaptive dicision, yaitu keputusan-keputusan yang dibuat pada lingkungan dan suasana kepastian yang sangat tinggi. Pilihan-pilihan keputusan didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan reaktif dengan orientasi jangka pendek. Planning decision, yaitu keputusan-keputusan yang dibuat pada lingkungan yang penuh risiko. Pilihan-pilihan keputusan didasarkan atas pertimbanganpertimbangan proaktif maupun reaktif dan diorientasikan pada pertumbuhan dan efisiensi jangka panjang. d. E.N. Gladden Political decision,yaitu keputusan-keputusan bersifat strategis (politis) yang dibuat oleh pimpinan (manajer) tingkat atas.
114
Ekuitas Vol.4 No.2 Juni 2000 : 111-127
Executive decision, yaitu keputusan-keputusan taktis (jabaran dari keputusan strategis) yang dibuat oleh manajer eksekutif. Administrative decision, yaitu keputusan-keputusan administratif yang dibuat oleh para administrator jenjang menengah. Technical (operational) decision, yaitu keputusan-keputusan teknis pelaksanaan yang dibuat oleh para manajer tingkat bawah. e. James D. Thomson Computational strategy, yaitu keputusan-keputusan yang dibuat dengan strategi mempertimbangkan adanya hubungan sebab-akibat yang pasti dan adanya preferensi yang kuat atas kemungkinan tercapainya hasil. Judgemental strategy, yaitu keputusan-keputusan yang dibuat dengan strategi yang mengutamakan adanya preferensi yang kuat atas kemungkinan tercapainya hasil, walaupun hubungan sebab-akibat sangat kecil kemungkinannya terjadi. Compromise strategy, yaitu keputusan-keputusan yang dibuat dengan strategi terciptanya kepastian akan adanya hubungan sebab-akibat walaupun preferensi kemungkinan tercapainya hasil tidak begitu kuat. Inspirational stategy, yaitu keputusan-keputusan yang dibuat dengan strategi adanya preferensi-preferensi kemungkinan tercapainya hasil tidak begitu kuat, dan adanya ketidak-pastian timbulnya hubungan sebab-akibat. Pimpinan organisasi apapun dan manapun, pasti sering membuat keputusan-keputusan dari berbagai jenis keputusan di atas. Tipologi keputusan yang bermacam-macam sebagaimana tersebut di atas, sebenarnya dapat direduksi menjadi dua kategori saja, yaitu : (1) Keputusan-keputusan yang rutin, terjadi berulang-ulang dan pasti. Keputusan ini digolongkan sebagai keputusan generik (generic decision); (2) Keputusan-keputusan yang tidak rutin, tidak sering terjadi dan tidak pasti. Keputusan ini digolongkan sebagai keputusan unik (unique decision). Pimpinan yang harus membuat keputusan tidak hanya perlu dapat membedakan keputusan rutin dan non-rutin, tetapi juga perlu memahami dengan baik struktur dan strategi keputusan rutin dan non-rutin tersebut. Klasifikasi, struktur dan strategi keputusan rutin dan non-rutin sebagaimana dikemukakan oleh Harrison (1981) adalah sebagai berikut:
1. Klasifikasi
Keputusan Rutin Dapat diprogram; rutin; generik; komputasional; negosiasi; kompromi.
Keputusan non-rutin Tidak dapat diprogram; tidak rutin; unik; kreatif; adaptif; inovatif; inspirasional.
Prinsip Dasar Pembuatan Keputusan (Andayani & Akhmad Riduwan)
115
2. Struktur
3. Strategi
Keputusan Rutin Prosedural; dapat diramal; kepastian hubungan sebab-akibat; terjadi secara berulang-ulang; tersedia teknologi yang memadai; ada saluran informasi yang baik; kriteria keputusan yang pasti; hasil yang diharapkan bisa pasti atau tidak pasti.
Keputusan non-rutin Unik; baru; tidak terstruktur; sukar dan kompleks; hubungan sebab-akibat tidak pasti; jarang terjadi; saluran informasi tidak jelas; informasi tidak lengkap; kriteria keputusan tidak diketahui; hasil yang diharapkan bisa pasti atau tidak pasti.
Berlandaskan pada peraturan dan prinsip-prinsip yang baku; lewat pro-ses yang uniform; teknik komputasi; metode yang sudah diterima; reaksi tetap; respon telah diantisipasi sebelumnya.
Berdasar pada penilaian pribadi; intuisi dan kreativitas; proses dilakukan sendiri; teknik mengatasi masalah dicari sendiri; mengacu pada kekuasaan diri; proses pemecahan masalah seca-ra umum.
Dilihat dari jenjang organisasi, keputusan-keputusan rutin biasanya dibuat oleh para pimpinan operasional (operating management), yaitu pimpinan yang bertugas merubah masukan menjadi keluaran. Keputusan-keputusan rutin juga dapat dibuat oleh pimpinan menengah. Seperti telah dikemukakan, bahwa struktur keputusan yang mencakup sifat keputusan, frekuensinya dan tingkat kepastian hubungan sebab-akibat akan berpengaruh terhadap pilihan strategi bagi pembuatan keputusan tersebut. Para pimpinan puncak (top level management) seharusnya tidak membuat keputusan rutin, karena mereka diharapkan mampu memanfaatkan waktu dan tenaganya untuk mencari dan memilih alternatif keputusan secara efektif dengan penuh penilaian. Mereka harus selalu dapat melakukan adaptasi organisasinya karena adanya perubahanperubahan yang terjadi di sekitarnya dan renovasi teknologi secara dinamis. Sehingga mereka harus berkonsentrasi pada pembuatan keputusan non-rutin. Bila masih ada pimpinan puncak yang masih sibuk dengan pembuatan keputusan rutin, maka ini berarti timbulnya sentralisasi kekuasaan pada pimpinan dan lemahnya delegasi tanggung-jawab pada pimpinan jenejang bawah (lower level of management), sehingga motivasi untuk mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien terganggu. Selain itu, pimpinan puncak juga akan melupakan tujuan-tujuan dan strategi jangka panjang, yang akhirnya akan menyebabkan organisasi kehilangan wawasannya yang luas. Secara tipologi, keputusan-keputusan rutin hanya cocok dibuat oleh pimpinan tingkat bawah (operating level of management), sedangkan keputusan-keputusan tidak rutin paling sesuai dibuat oleh pimpinan puncak (top management) atau dalam hal tertentu juga oleh pimpinan menengah (middle management).
116
Ekuitas Vol.4 No.2 Juni 2000 : 111-127
4. MODEL PEMBUATAN KEPUTUSAN Proses pembuatan keputusan dapat lebih mudah dipelajari lewat model. Idealnya, suatu model pembuatan keputusan harus mencakup sejumlah variabel yang optimum untuk dapat menjelaskan fenomena dunia nyata. Walaupun terdapat beraneka ragam model pembuatan keputusan, berikut akan dijelaskan secara singkat 4 (empat) macam model, yaitu model rasional, organisasional, politik dan manajerial. Model Rasional Model ini termasuk klasik, bersifat normatif dan perspektif. Dengan berlandaskan pada aumsi-asumsi yang relatif pasti (baku), berusaha untuk menemukan kondisi-kondisi (persyaratan-persyaratan) tertentu di mana pimpina dapat membuat keputusan yang baik bagi organisasinya. Proses pembuatan keputusannya telah terstruktur secara formal dan terkesan sangat mekanistik. Pendekatannya kuantitatif dengan memanfaatkan disiplin ilmu ekonomi, matematika dan statistika. Dengan karakteristik seperti di atas, maka model rasional lebih cocok dipakai untuk pembuatan keputusan rutin. Tujuan utama yang ingin dicapai dengan model ini adalah untuk memaksimalkan hasil (maximized otcome). Asumsi dasar dari model rasional adalah : adanya tujuan obyektif yang pasti tersedianya informasi yang tidak terbatas jumlahnya. pengetahuan dan ide yang tidak terbatas. tidak ada hambatan waktu dan biaya. alternatif keputusan dapat dihitung/dinilai dan dipertukarkan/diganti. variabel-variabelnya dapat diamati dan dikendalikan. sistem tertutup hasil dibatasi secara kuantitatif. dapat memanfaatkan sarana komputasi (komputer). Model rasional dalam pembuatan keputusan banyak memanfaat teknik/teori probabilitas (probability theory) dan teknik/teori utilitas (utility theory). Teori probabilitas membantu pembuat keputusan untuk mereduksi/meminimumkan faktor-faktor ketidak-pastian; sedangkan teori utilitas memandang pembuat keputusan mempunyai keinginan untuk memaksimalkan kepuasannya terus menerus terhadap keinginan ekonomisnya. Model Organisasional
Prinsip Dasar Pembuatan Keputusan (Andayani & Akhmad Riduwan)
117
Model organisasional ini menggabungkan pendekatan kuantitatif (seperti pada model rasional) dan pendekatan perilaku. Oleh karena itu, model ini sering disebut sebagai berpendekatan “neoklasik”. Pendekatan ini tidak tertutup (seperti halnya pendekatan rasional) dan sebagai suatu pendekatan yang terbuka, ia juga mempertimbangkan hambatan-hambatan perilaku dan lingkungan yang sering dihadapi oleh para pembuat keputusan. Menurut March dan Simon (1988), model organisasional mempunyai karakteristik : a. Tujuan yang hendak dicapai bisa banyak, bisa berubah-ubah dan bida diterima oleh banyak pihak. b. Mempertimbangkan beberapa alternatif keputusan secara berurutan dan memilih alternatif pertama yang memuaskan. c. Mengindari faktor-faktor ketidak-pastian dengan sedapat mungkin mengikuti kebijaksanaan dan prosedur yang telah ditetapkan serta lebih banyak merespon umpan balik daripada meramal konsekuensi-konsekuensi yang bakal terjadi. d. Menetapkan pilihan keputusan dan melaksanakannya sesuai dengan prosedur dan pengalaman yang ada. Tujuan utama yang ingin dicapai oleh model ini adalah mencapai hasil yang memuaskan (satisfying outcome), dengan asumsi dasar yang utama : (a) penyusunan tujuan harus dapat dicapai; (b) tersedianya informasi yang terbatas; (c) adanya keterbatasan pengetahuan manusia; (d) adanya hambatan-hambatan waktu dan biaya; (e) alternatif keputusan hanya sebagian saja yang dapat dinilai/dikuantifikasikan dan diganti; (f) sistem terbuka; (g) hasil-hasil dibatasi secara kuantitatif dan kualitatif. Model organisasional mendapat pengaruh dari disiplin ilmu psikologi, sosisologi dan filsafat. Sedangkan pengaruh ilmu ekonomi, matematika dan statistika agak diperhalus. Kalau model rasional sesuai dengan pembuatan keputusan rutin, maka model organisasional ini lebih sesuai dengan pembuatan keputusan non-rutin. Model Politik Model ini adalah merupakan lawan langsung dari model rasional. Landasan utama model politik ini adalah disiplin ilmu politik, filsafat, psikologi dan sosiologi. Ia mirip dengan model organisasional terutama dalam hal mencapai tujuan jangka pendek, tetapi berbeda secara prinsip dengan model organisasional, di mana model politik lebih menekankan dasar-dasar kompromi dan strategi tawar-menawar atau menerima-memberi, serta ditujukan pada pencapaian tujuan yang bisa diterima oleh sebanyak mungkin pihak-pihak lain. Model organisasional lebih ditujukan pada pencapaian tujuan intern organisasinya saja, terutama untuk tujuan jangka pendek. Karakteristik model politik adalah sebagai berikut :
118
Ekuitas Vol.4 No.2 Juni 2000 : 111-127
a. Pembuat keputusan tidak berusaha meneliti dan menilai berbagai alternatif, tetapi memfokuskan diri hanya pada beberapa alternatif yang berbeda dari sebelumnya. b. Hanya sejumlah kecil alternatif yang akan dipertimbangkan. c. Bagi setiap alternatif, hanya sejumlah konsekuensi penting yang terbatas yang akan dinilai. d. Masalah yang dihadapi oleh pembuat keputusan diredefinisikan berulang-ulang. Agar proses pembuatan keputusan lebih manageable, selalu dipakai pendekatan incremental yang secara luwes memberikan kesempatan kepada pembuat keputusan untuk secara terus menerus menyesuaikan antara tujuan-cara dan cara-tujuan. e. Tidak pernah ada suatu keputusan atau pilihan yang benar, tetapi merupakan serangkaian serangan terhadap keputusan yang tidak pernah ada hentinya dan penilaian pada setiap aspek keputusan. f. Tekanan pembuatan keputusan incremental lebih ditujukan pada pemecahan maslah yang ada sekarang (jangka pendek) daripada pengembangan dan pelaksanaan pilihan tujuan jangka panjang. Tujuan utama model politik adalah tercapainya tujuan yang dapat diterima oleh banyak pihak (bersifat adaptif), dengan asumsi dasar : (a) tujuan terbatas; (b) tersedianya informasi yang tidak terbatas; (c) tidak ada keterbatasan pengetahuan manusia; (d) tidak adanya hambatan waktu dan biaya; (e) alternatif keputusan tidak dapat dihitung dan secara umum dapat diganti; (f) sistem terbuka; (g) tidak ada keputusan yang paling baik; dan (h) hasil dibatasi sesuai dengan kebutuhan. Peran ilmu ekonomi, matematika dan statistika sangat kecil pada proses pembuatan keputusan model politik ini, sebaliknya ia mendapat pengaruh dominan dari ilmu-ilmu perilaku. Model ini cocok untuk pembuatan keputusan non-rutin pada organisasi-organisasi pemerintah yang berfungsi memberikan pelayanan kepada masyarakat (public service institution) dan agak sulit diterapkan pada lembaga swasta (non-pemerintah). Model Proses Model ini mirip dengan model organisasional yang secara selektif memanfaatkan disiplin ilmu ekonomi, matematika, dan statistika serta mengakui pernanan ilmu filsafat, psikologi, sosiologi, ilmu politik, antropologi dan hukum. Pendekatannya lebih bersifat interdisipliner dan eklektik, sehingga ia tidak segan-segan memanfaatkan 3 model sebelumnya -- model rasional, organisasional dan politik. Tujuan utama model proses adalah tercapainya hasil sesuai dengan sasaran yang dikehendaki, dengan karakteristik sebagai berikut : (a) Diorientasikan pada pencapaian tujuan jangka panjang; (b) Mempunyai aspek perencanaan yang jelas; (c) Berpandangan pada pertumbuhan dan masa depan; (d) Berorientasi strategi pencapaian tujuan jangka panjang.
Prinsip Dasar Pembuatan Keputusan (Andayani & Akhmad Riduwan)
119
Adapun asumsi dasar dari mosel proses ini adalah : (a) tujuan bersifat sangat dinamis; (b) informasi terbatas; (c) pengetahuan manusia terbatas; (d) adanya hambatan waktu dan biaya; (e) alternatif keputusan pada umumnya tidak dapat dihitung/dinilai; (f) sistem terbuka; (g) pembuatan keputusan secara berurutan; dan (h) hasil berorientasi pada tujuan. Model proses dirancang untuk mengakomodasikan inovasi, tujuan-tujuan yang dinamis dan untuk jangka panjang, model ini cocok untuk proses pembuatan keputusan non-rutin. Model proses banyak disukai oleh para pimpinan karena ia mempunyai sifat yang forward looking (adanya aspek/orientasi perencanaan jangka panjang dan eclectic) dengan memanfaatkan pendekatan interdisipliner.
5. PROSES PEMBUATAN KEPUTUSAN Pembuatan keputusan sebagai salah satu prinsip dan fungsi administrator (manajer) yang sangat penting adalah merupakan aspek dinamik dari suatu organisasi. Setiap keputusan adalah merupakan hasil dari proses yang dinamis yang dipengaruhi oleh banyak faktor dan kekuatan-kekuatan, baik internal maupun eksternal. Gibson (1988) dan Harrison (1981) menyatakan bahwa pembuatan keputusan sebagai suatu proses tidaklah bersifat linear -- dari satu titik awal yang berjalan lurus ke titik akhir -- tetapi berjalan secara cyclical -- bergerak maju mundur dari setiap tahap dan melingkar -- secara terus menerus. Ada beberapa pandangan tentang unsur-unsur dan tahap-tahap dalam proses pembuatan keputusan, antara lain: Herbert A. Simon : (1) Menemukan cara untuk mengambil keputusan; (2) Menemukan tindakan-tindakan yang mungkin dapat dilakukan; (3) Memilih tindakan yang terbaik. Eberhard Witte : (1) Mengumpulkan informasi; (2) Mengembangkan alternatif; (3) Mengevaluasi alternatif; dan (4) Memilih alternatif. Joseph L. Massie dan John Douglas : (1) Mengidentifikasi masalah; (2) Mendiagnosis critical problem dan mendefinisikannya; (3) Mencari dan menganalisis alternatif yang tersedia serta konsekuensi-konsekuensi yang mungkin timbul; (4) Mengevaluasi alternatif dan memilih tindakan; (5) Memperoleh persetujuan organisasi untuk melakukan tindakan.
120
Ekuitas Vol.4 No.2 Juni 2000 : 111-127
E. Frank Harrison : (1) Menetapkan tujuan organisasi/manajemen; (2) Mencari alternatif-alternatif; (3) Membandingkan dan mengevaluasi alternatif; (4) Memilih alternatif; (5) Mengimplementasikan keputusan; (5) Tindak lanjut dan penagawasan. Keempat pandangan tentang proses pembuatan keputusan tersebut di atas, meskipun mempunyai variasi dan nuansa tertentu, tetapi pada prinsipnya mempunyai persamaanpersamaan. 6. UNSUR DAN TAHAP PEMBUATAN KEPUTUSAN Harrison (1981) menguraikan unsur-unsur dan tahap-tahap pembuatan keputusan sebagai berikut : (1) Penetapan Tujuan dan Mendefinisikan Masalah a. Penetapan Tujuan Proses pembuatan keputusan selalu diawali dengan penetapan tujuan dan sasaran yang hendak dicapai. Tujuan dan sasaran tersebut harus : cukup memadai, artinya harus ditetapkan/ disusun tidak terlalu tinggi sehingga sulit dicapai, atau terlalu rendak sehingga tidak dapat dipakai untuk meramal perubahanperubahan yang terjadi. memperhatikan dua kepentingan yang berjalan paralel, yaitu kepentingan tercapainya tujuan organisasi (objective goals) dan tujuan-tujuan individu yang menjadi anggota organisasi (subjective goals). luwes, yaitu mudah disesuaikan dalam hubungannya dengan upaya mencari alternatif pemecahan masalah (ends-mean adjustment) agar tercapai hasil yang optimal. memiliki tolok ukur keberhasilan. b. Mendefinisikan Masalah Penetapan tujuan tidak dapat dilepaskan darii upaya pemecahan masalah, karena keputusan dibuat justru untuk memecahkan masalah. Atau dengan kata lain, tujuan disusun untuk menanggulangi masalah yang ada. Sebagai bagian unsur dan tahap pertama dalam proses pembuatan keputusan, perumusan/pendefinisian masalah menjadi titik yang paling krusial dalam keseluruhan proses pembuatan keputusan. Ackoff (1984) menyatakan bahwa keberhasilan dalam memecahkan masalah menghendaki ditemukannya alternatif pemecahan yang benar atas masalah yang benar. Kegagalan lebih sering terjadi karena kita memecahkan masalah yang salah, dan bukannya mendapatkan pemecahan yang salah terhadap masalah yang benar.
Prinsip Dasar Pembuatan Keputusan (Andayani & Akhmad Riduwan)
121
Setiap masalah harus dilihat secara benar oleh pembuat keputusan. Banyak pimpinan organisasi yang kurang berpengalaman dalam membuat keputusan, melihat masalah secara sederhana berdasar pemahaman sehari-hari (common sense), sehingga tidak dapat melihat gejala masalah sebagai masalah yang sebenarnya, atau tidak mampu membedakan struktur masalah yang ada, atau memandang suatu masalah sebagai sesuatu yang sudah given, atau memperlakukan setiap masalah secara sama (generic) dan tidak ada yang khas (unique). Sifat setiap masalah itu berbeda, dan tidak ada rule yang baku untuk mendefinisikan masalah. Walaupun demikian, setiap pembuat keputusan harus mengetahui karakteristik pokok dari masalah. Ada 4 karakteristik pokok dari masalah, yaitu : Interdependence. Suatu masalah bukan merupakan suatu kesatuan yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari seluruh sistem masalah. Setiap masalah sering bergantung dengan masalah-masalah lain, oleh karena itu, untuk memecahkannya diperlukan pendekatan yang holistik. Subjective. Setiap masalah ditafsirkan secara subyektif oleh setiap orang, artinya, bahwa setiap peristiwa (yang tentu mengandung masalah) ditafsirkan dan diberi makna oleh orang yang berbeda secara berbeda pula. Artificial. Setiap masalah pada hakikatnya merupakan kreasi manusia itu sendiri. Masalah hanya mungkin ada jika manusia mempertimbangkan perlunya merubah situasi problematik. Manusia itu yang membuat masalah, mendefinisikannya, dan mencari alternatif untuk memecahkannya. Dynamic. Sifat dan kondisi setiap masalah itu selalu berubah, bisa timbul-tenggelam (on and off), berubah dari sifatnya yang generic menjadi unique, atau strukturnya berubah dari unstructured menjadi highly structured, atau sebaliknya. Masalah dan pemecahannya selalu berada dalam suasana perubahan yang terus-menerus, oleh karena itu tidak ada masalah yang dapat dipecahkan secara tuntas. Selain itu, dalam mendefinisikan masalah, perlu diperhatikan hal-hal berikut : memusatkan diri pada masalah, bukan pada gejala masalah. siapa yang mempunyai masalah dan siapa pula yang mempunyai tanggung jawab utama untuk mengatasi masalah tersebut. apa dampaknya, bila masalah itu tidak segera dipecahkan. situasi yang cocok untuk memecahkan masalah. antisipasi dampak pemecahan masalah, baik yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan.
122
Ekuitas Vol.4 No.2 Juni 2000 : 111-127
Pembuat keputusan harus memperhatikan dengan sungguh-sungguh bahwa perumusan masalah yang benar akan mempunyai arti bahwa separo dari masalahnya dapat dipecahkan, dan ini merupakan akses untuk memperlancar upaya mencari alternatif pemecahan masalah.
(2) Mencari Alternatif Pemecahan Masalah Tahap kedua ini merupakan aktivitas menemukan berbagai alternatif yang relevan untuk memecahkan masalah. Pencarian alternatif ini dapat dilakukan dengan menggali informasi dari dalam maupun dari luar organisasi yang dapat dikembangkan menjadi sarana pemecahan masalah. Upaya pimpinan mencari alternatif harus berkorespondensi dengan tujuan dan hasil yang hendak dicapai. Hubungan antara tujuan (end) dengan alternatif (means) berjalan secara dialektis, artinya perubahan apapun yang terjadi pada keduanya akan menyebabkan perlunya revisi baik pada tujuan maupun alternatif pemecahan masalah. Seberapa banyak alternatif pemecahan masalah yang harus dicari? Jawabannya bisa tergantung pada jenis pendekatan yang dipakai pada proses pembuatan keputusan. Albanese (1975) melukiskan adanya kontinum pendekatan pembuatan keputusan (continum of approaches to decision making) sebagai berikut : Judgement, Intuition
Common sense
Logic
Scientific Analysis
Nonrational
Rational
Beberapa keputusan mungkin akan lebih layak didekati secara sistematis, logis dan ilmiah (pendekatan rasional), tetapi pimpinan seringkali dihadapkan dengan kenyataan harus “segera” membuat keputusan, sehingga tidak dapat menggunakan waktunya secara longgar untuk berfikir kreatif, logis, ilmiah dan sistematis. Akibatnya, pimpinan lebih banyak menggunakan pertimbangan subyektif/pribadi, perasaan, intuisi, akal sehat dan sebagainya (pendekatan non-rasional) dalam membuat keputusannya. Kita tidak membicarakan mana yang lebih baik dari kedua pendekatan tersebut, tetapi yang jeals, kedua-duanya empirik dan fungsional. Pembuat keputusan yang menggunakan pendekatan rasional sering mencari dan menilai alternatif lebih banyak daripada pendekatan non-rasional.
Prinsip Dasar Pembuatan Keputusan (Andayani & Akhmad Riduwan)
123
(3) Menilai Alternatif Setelah pembuat keputusan selesai mengidentifikasi sejumlah alternatif, maka pada tahap ke-tiga ini ia akan menilai masing-masing alternatif tersebut tentang bobot dan kualitasnya, sehingga nantinya dapat dipakai untuk memecahkan masalah secara afektif. Aktivitas menilai alternatif mencakup kegiatan membandingkan kekuatan dan kelemahan di antara alternatif yang satu dengan yang lain. Seringkali juga diikuti oleh kegiatan mencermati peluang dan hambatan yang ada pada setiap alternatif apabila nanti dipakai untuk memecahkan masalah. Inilah yang kemudian dikenal dengan akronim SWOT (Strenght, Weakness, Opportunity, Threat). Menilai alternatif harus berpedoman pada hasil dan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya, sehingga terpelihara hubungan atau kaitan antara tujuan dan alat mencapai tujuan (end-means adjustment). Menurut Gibson (1988), tingkat keberhasilan hubungan antara hasil dengan alternatif tersebut ditentukan oleh tiga hal, yaitu : Kepastian (certainty). Pembuat keputusan mempunyai pengetahuan yang cukup lengkap dan akurat tentang konsekuensi dan probabilitas hasil dari setiap alternatif. Risiko (risk). Pembuat keputusan mempunyai pengetahuan yang kurang lengkap (sedikit) tentang probabilitas hasil dari setiap alternatif. Ketidak-pastian (uncertainty). Pembuat keputusan sama sekali tidak mempunyai pengetahuan tentang probabilitas hasil dari setiap alternatif. Kebanyakan pembuat keputusan seringkali berhadapan dengan alternatif yang penuh dengan risiko, tetapi toh ia harus membuat keputusan. Karena itu, ia disebut sebagai risk taker, seseorang yang harus berani mengambil risiko. Keberanian mengambil risiko itu harus didasarkan dengan penuh perhitungan (calculated risk) sehingga hasilnya tidak jauh dari yang diharapkan (expected outcome). Pada setiap pembuat keputusan harus tersedia informasi untuk menilai kekuatan dan kelemahan masing-masing alternatif serta memperhitungkan dampak yang bakal timbul bila alternatif tersebut dilaksanakan. March dan Simon (1988) telah mengembangkan tipologi alternatif atas dasar hasil yang diharapkan sebagai berikut : A good alternative. Suatu alternatif yang baik adalah alternatif yang dapat dilaksanakan dan membuahkan hasil dan dampak yang positif. A bland alternatif. Suatu alternatif yang lunak/lembut adalah alternatif yang apabila dilaksanakan tidak menghasilkan akibat yang positif ataupun negatif. A mix alternative. Suatu alternatif campuran adalah alternatif yang apabila dilaksanakan kemungkinan akan menghasilkan akibat yang positif ataupun negatif. A poor alternative. Suatu alternatif yang miskin adalah alternatif yang bila dilaksanakan akan menghasilkan dampak yang negatif.
124
Ekuitas Vol.4 No.2 Juni 2000 : 111-127
Setiap pembuat keputusan berkepentingan untuk memperoleh suatu alternatif yang baik dari proses negosiasi serangkaian alternatif yang bersaing. Untuk itu ia dibimbing oleh keberhasilan tahap-tahap sebelumnya seperti tahan penetapan tujuan, perumusan masalah, pencarian dan perumusan alternatif, pengumpulan dan analisis informasi untuk penilaian alternatif dan seterusnya. (4) Menetapkan Pilihan Proses penilaian alternatif akan berujung pada penetapan alternatif keputusan yang baik. Mengapa tidak alternatif yang terbaik? To seek the best alternative rasa-rasanya tidak mungkin bisa dilakukan mengingat adanya sejumlah kendala yang ada pada setiap pembuat keputusan, misalnya keterbatasan pengetahuan, informasi yang tidak lengkap, hambatan waktu, biaya dan sebagainya. Dalam penetapan alternatif, perlu dipertimbangkan kriteria yang dipergunakan. Alternatif yang baik bukan saja harus dapat diterima (accepted) oleh semua pihak, tetapi juga yang mudah dilaksanakan (applicable) dan membuahkan hasil serta dampak yang diharapkan (expected results and outcomes). Selain kriteria di atas, penetapan alternatif juga dipengaruhi oleh tipologi atau kategorisasi keputusan. Untuk keputusan yang rutin (generic), strategi penetapan alternatifnya sudah jelas, mapan dan baku, sehingga lebih mudah dilakukan. kalaupun ada kondisi ketidakpastian, bantuan pendekatan kuantitatif dapat mereduksi faktor ketidakpastian tersebut. Sedangkan untuk jenis keputusan nonrutin (unique), penetapan alternatifnya lebih sulit dilakukan. Hal ini karena pedoman bakunya (strategi dan taktik) belum ada, sehingga pembuat keputusan akan mendayagunakan penilaian pribadi, intuisi dan akal sehatnya (lebih bersifat subyektif) untuk menetapkan alternatif keputusannya. Karena setiap pelaksanaan dari setiap alternatif pasti mempunyai dampak, maka dampak apapun yang akan terjadi, baik yang positif maupun negatif, patut memperhitungkan “korban” (cost) yang timbul yaitu economic cost, political cost, ataupun social cost. Untuk itu, pembuat keputusan dituntut mempunyai akuntabilitas yang tinggi, baik terhadap dirinya, organisasinya, kelompok sasaran (target groups) dari keputusannya, maupun masyarakat secara luas. Dalam kebanyakan pembuatan keputusan, pemecahan masalah secara optimal seringkali tidak mungkin. Hal ini disebabkan karena pembuat keputusan tidak mungkin mengetahui semua alternatif yang ada, tidak dapat menilai semua konsekuensi masingmasing alternatif, dan tidak dapat menetapkan secara pasti tentang efektivitas alternatif yang dipilihnya.
Prinsip Dasar Pembuatan Keputusan (Andayani & Akhmad Riduwan)
125
Jadi, pembuat keputusan bukanlah sesorang yang mengoptimalkan hasil (optimizer), tetapi ia lebih bersifat sebagai seseorang yang mencari kepuasan (satisficer), dengan memilih alternatif yang memenuhi standar yang dapat diterima dan fungsional. (5) Melaksanakan Keputusan Tahap kelima dari proses pembuatan keputusan yaitu melaksanakan keputusan. Suatu keputusan tidak akan menjadi efektif sehingga ia dapat diwujudkan dalam bentuk nyata. Atau dengan perkataan lain, suatu keputusan hanyalah berupa abstraksi keinginan yang tidak terwujud bila ia tidak dilaksanakan. Pelaksanaan suatu keputusan dapat juga dipandang sebagai pemberian kekuatan hukum atau otoritas kepada keputusan, agar keputusan tersebut dapat diterima dan dilaksanakan oleh mereka-mereka yang menjadi sasaran dari keputusan itu. Oleh sebab itu, pihak-pihak yang bertanggungjawab terhadap keputusan itu dituntut untuk memberikan informasi, persuasi dan petunjuk bagaimana melaksanakan keputusan tersebut. Menurut Trull (1986), suatu keputusan dapat dikatakan sukses dilaksanakan, apabila memperlihatkan tanda-tanda berikut : a. tidak adanya konflik kepentingan antara pembuat keputusan dengan pelaksana keputusan. b. adanya faktor imbalan-risiko yang positif. c. dipahaminya secara baik keputusan tersebut oleh mereka yang harus melaksanakan keputusan itu. Agar setiap keputusan berhasil atau sukses dilaksanakan, maka proses pembuatan keputusan itu harus secara cermat mempertimbangkan variabel-variabel teknis dan kemanusiaan (technical and human variables). Hambatan teknis seperti kacaunya prosedur, masalah ketepatan waktu, kurang tersedianya informasi, kurangnya penguasaan teknis untuk membuat keputusan yang baik dan hambatan-hambatan kemanusiaan seperti konflik kepentingan, ketidak-fahaman, masalah kekuasaan/otoritas, masalah kebiasaan/ tradisi, masalah hubungan antara pribadi dan sebagainya. Semuanya akan dapat menghalangi pelaksanaan yang efektif dari suatu keputusan. Sehubungan dengan hal tersebut,, maka seyogianya kedua variabel di atas mendapat perhatian yang serius dari pembuat keputusan jauh hari sebelum pilihan keputusan diambil. (6) Tindak Lanjut dan Pengendalian Dengan implementasi keputusan tidak otomatis tujuan tercapai atau masalah terpecahkan. Diperlukan suatu sistem tindak-lanjut dan pengendalian untuk menjamin agar implementasi berjalan dengan lancar dan tujuan serta hasil dapat dicapai seperti
126
Ekuitas Vol.4 No.2 Juni 2000 : 111-127
yang diharapkan. Jadi, sistem pengendalian diperlukan untuk menilai apakah hasil senyatanya konsisten dengan hasil yang diharapkan. Koontz dan Donell (1972) mengemukakan bahwa sistem pengendalian mencakup tiga tahap, yaitu : (1) penetapan standar; (2) menilai kinerja dengan standar; (3) melakukan koreksi atas penyimpangan standar. Standar biasanya dinyatakan dalam bentuk terminologi yang dapat diukur, tetapi tidak selalu demikian. Kinerja diukur dengan melihat hasil pelaksanaan keputusan lewat observasi manusia atau penggunaan alat scanning yang otomatis. Pengendalian harus dilakukan terus menerus dan tepat waktu agar bila terjadi penyimpangan dapat segera dilakukan tindakan perbaikan. Hanya dengan cara demikian tujuan dapat terjamin pencapaiannya. Salah satu kelemahan utama pelaksanaan keputusan di berbagai organisasi pada umumnya adalah lemahnya sistem pengendalian ini. Sistem pengendalian yang jelek tidak dapat segera mengenali adanya penyimpangan yang terjadi, sehingga corrective action terlambat dilakukan. Pada tahap yang ke-enam ini dapat diketahui dampak-dampak pelaksanaan keputusan, baik yang diharapkan (intended consequences) ataupun yang tidak diharapkan (unintended consequences). Kedua jenis dampak tersebut akan menjadi masukan baru (new inputs) bagi proses pembuatan keputusan berikutnya.
6. DAFTAR PUSTAKA Ackoff, Russell L., The art of problem solving, New York, John Wiley & Sons Inc., 1978. Albanese, Robert, Management : Toward Accountability for Performance, Illinois, Richard D. Irwin Inc., 1975. Brown, Rex V., Decision Analysis For The Manager, New York: Holt, Rine Hart and Winston, 1984. Gibson, James L., Organization, Houston : Business Publication Inc., 1984. Harrison, E. Frank., The managerial Decision Making Process, Boston : Houghton Mifflin Company, 1981. Koontz, harold dan Cyril O’Donell, Principles Of Management, New York : McGraw Hill, 1981.
Prinsip Dasar Pembuatan Keputusan (Andayani & Akhmad Riduwan)
127
March, James G. dan Herbert A Simon, Organization, New York : John Wiley & Sons Inc., 1978. Trull, Samuel G., Some Factors Involve in Determining Total decision Success, dalam Management Science (February 1986).
128
Ekuitas Vol.4 No.2 Juni 2000 : 111-127