Press Release dan Catatan Notulensi DISKUSI KEBANGSAAN AIPSSA VOLUME 3 “Demokrasi Ideal dan Regenerasi Kepemimpinan di Indonesia”
Diskusi Kebangsaan AIPSSA (The Association of Indonesia Postgraduate Students and Scholars in Australia) ke-3 dengan tema “Demokrasi Ideal dan Regenerasi Kepemimpinan di Indonesia” menghasilkan rumusan kesimpulan sebagai berikut: 1. Indonesia membutuhkan demokrasi yang sehat sebagai persyaratan pembangunan ekonomi yang optimal dan merata (inklusif). Meski reformasi telah mengantarkan Indonesia menjelma menjadi negara paling demokratis di kawasan Asia Tenggara, namun kecacatan pada sistem demokrasi tetap menyebabkan terjadinya ekstraksi (rente) ekonomi, ketimpangan sosial dan perilaku 2.
3.
4.
predatoris-koruptif di kalangan elite politik. Upaya meraih demokrasi ideal ini dihadapkan pada tantangan akibat menjelmanya kembali kekuatan-kekuatan oligarki di masa lalu dalam bungkus baju reformis, namun dalam jaringan dan naluri politik predatoris-koruptif yang sama. Regenerasi kepemimpinan ideal di Indonesia mengalami hambatan karena terkooptasi oleh jaringan dan proses sosialisasi politik yang sama. Sebagai akibatnya, gelombang generasi politisi muda Indonesia tercemari dan terjerumus mengikuti perilaku predatoris-koruptif yang sama. Kaum intelektual Indonesia memiliki kewajiban moral untuk turun tangan mengawal reformasi dan mengasah kepekaan dengan menjangkau dan mendorong seluruh lapisan masyarakat bersikap
tidak
toleran
terhadap
perilaku
predatoris-koruptif
di
kalangan
elit
kekuasaan. Koordinasi diantara aktivis mahasiswa dan aktivis buruh perlu terus didorong untuk ditingkatkan, sehingga gerakan kaum buruh menjadi semakin dewasa dan efektif membawa Indonesia ke arah demokrasi yang berkeadilan sosial dan meredam perilaku predatoris-koruptif di kalangan elit kekuasaan.Kedua bentuk perjuangan ini diperlukan Indonesia meraih 5.
pertumbuhan ekonomi yang optimal dan merata serta menjaga kualitas demokrasi tidak menurun. Di dalam jangka pendek (Pilpres 2014), disaat belum ditemukan representasi pemimpin politik yang ideal, maka intervensi politik diperlukan dengan memilih calon pemimpin bangsa yang memiliki mata rantai oligarki paling lemah. Dengan demikian, masyarakat memiliki kemampuan melakukan koreksi dalam iklim demokrasi, yang bebas dari bayang-bayang kecemasan seperti rezim otoriter sebelum masa reformasi.
Perth, 17 Mei 2014 President of The AIPSSA Prayudhi Azwar
Notulensi Diskusi Kebangsaan ke-3 (The Association of Indonesian Postgraduate Students and Scholars in Australia) “Demokrasi Ideal dan Regenerasi Kepemimpinan di Indonesia” PEMBUKAAN oleh Prayudhi Azwar, Presiden AIPSSA Prayudhi menekankan bahwa tantangan pembangunan ekonomi inklusif, yang merata, dipengaruhi oleh kualitas demokrasi. Acemoglu dan Robinson dalam bukunya “Why Nations Failed” menemukan bahwa kegagalan pembangunan mencapai kapasitas optimumnya adalah ketika suatu bangsa terjebak dalam kombinasi politik dan ekonomi yang ekstraktif (memburu rente ekonomi). Demokrasi idealnya menjadi satu pendekatan ideal mengubah institusi politik dan ekonomi menjadi inklusif. Pencapaian demokrasi ideal ini ditentukan kemampuan kaum reformis menghasilkan gerakan perubahan yang mampu memberdayakan kalangan akar rumput guna mencegah polarisasi kekuasaan dan bagaimana mendorong keberadaan media yang bebas, termasuk terbebas dari kepentingan-kepentingan pemilik modal. Pembicara 1: Prof. Vedi Hadiz (Murdoch Univ. – Western Australia) Topik: “Demokrasi Indonesia dan Regenerasi Politik” Prof. Vedi mencatat, sekalipun masih cacat, demokrasi Indonesia tercatat sebagai yang paling maju di kawasan Asia Tenggara. Ini ada suatu capaian yang istimewa setelah melalui masa otoriterisme yang panjang. Saat ini, itulah scenario paling realistis pasca tumbangnya regime otoriatian orde baru. Demokrasi memang masih mendapat tantangan – kecurangan, pemihakan media, dan kekurangan lainnya. Tetapi, Indonesia masih terus berjalan dan NKRI masih berdiri tegak. Bahkan, pers Indonesia lebih bebas dari pers Australia, yang dikendalikan oleh 2 perusahaan besar yang pendapatnya terhadap setiap isu hampir sama. Sedang pers Indonesia, setidaknya ada 10 (sepuluh) kelompok pemilik media, sehingga sudut pandang lebih beragam. Kelemahan demokrasi Indonesia ditandai dengan mengemukanya apa yang disebut ‘rumah lelang’, dimana partai disatukan oleh logika kekuasaan atau logika predatoris, dibandingkan logika agenda kebenaran dan kebaikan bagi bangsa dan negara. Dorongan mendapatkan kekuasaan untuk memenuhi naluri ‘predatoris’, dicirikan hasrat mengakumulasi sumber daya dan akses publik untuk menjadi milik private. Naluri ini yang menyebabkan demokrasi cacat dan sarat dengan politik uang. Lebih lanjut, Prof. Vedi menantang audience dengan pertanyaan bagaimana meraih demokrasi yang ideal? Dari kajian professor yang meraih sarjana di Universitas Indonesia ini ditemukan unsur perjuangan yang menyejarah sebagai faktor yang memberi warna demokrasi yang berbeda di setiap Negara.
Swedia contohnya, yang lebih mengarah ke tipe demokrasi yang sosial egaliter ditandai sejarah kuatnya serikat pekerja. Sebagian kalangan Islam mengklaim bahwa demokrasi Islam itu seperti demokrasi sosial di Swedia ini. Sedangkan Amerika lebih condong ke demokrasi individualistis karena serikat pekerja lebih lemah. Di Indonesia, perjalanan demokrasi tidak bisa terlepas dari warna orde baru. Bahkan ketika kevakuman terjadi saat reformasi, tidak ada kekuatan baru yang siap menggantikan. Akibatnya, pemain lama mengisi kembali kekosongan itu dengan berganti baju, dari baju authoritarian menjadi baju reformis. Sehingga pemain lama ini akhirnya menemukan kenyataan bahwa naluri predatoris tetap bisa dijalankan pasca reformasi tanpa dukungan militerisme, cukup lewat dukungan partai dan hubungan kekuasaan. Itulah cara elit politik dan konglomerat lama mereposisi diri di alam reformasi. Jika Indonesia ingin seperti demokrasi sosial di Swedia, maka gerakan buruhnya yang harus dibangun dan didewasakan. Aktivis kampus harus membangun jaringan yang baik dan bersatu dengan aktivis buruh. Pertanyaan menantang berikutnya yang dilontarkan Prof.vedi adalah apakah memungkinkan meregenerasi atau mencari orang baru untuk memperbaikinya? Prof. Vedi menilai, sepanjang proses regenerasi di Indonesia melalui pola rekruitmen dalam jaringan yang sama dan proses sosialisasi politik yang sama seperti sebelum reformasi, maka sulit dilakukan regenerasi politik yang ideal. Hasilnya, generasi muda yang melewati jalur rekrutmen politik yang sama akan berakhir pada pola tabiat yang sama (predatoris). Karena itu, Prof. Vedi bahwa ‘masalah-masalah dasar tidak dapat terselesaikan di tahun 2014 karena ‘proses politik uang, konglomerat hitam, regenerasi predatoris masih terjadi’. Solusi yang dikemukakan adalah regenerasi kepemimpinan melalui penciptaan jejaring/sosial politik yang berbeda dengan jejaring yang ada saat ini. Serta merekatkan kembali hubungan antara para intelektual dengan masyarakat marjinal, melalui satu sistem yang memiliki kedisiplinan dalam berorganisasi meski itu butuh waktu waktu yang lama. Sesi tanya jawab: 1. Lingkaran demokrasiàpolitikàkekuasaanàuang. Bagaimana cara memotong mata rantai itu sesuai peran kita? Jwb: Control politik harus dari luar, yaitu dari masyarakat. Organisasi kemasyarakatan yang independen itu harus kuat dan punya wibawa dan kemampuan untuk melaksanakan fungsi control tersebut. 2. Bagaimana bentuk organisasi independen di luar kekuasaan? Jwb: Harus ada issue bersama yang menyatukan gerakan itu. Kendalanya dua: warisan sejarah dan keburukan sistem yang ada. 3. Bagaimana masyarakat memilih Presiden yang ideal? Jwb: tidak ada pilihan untuk presiden ideal saat ini, meski kadar ketidakidealannya berbeda. Setidaknya karena dua hal: mereka masih dibiayai oleh pengusaha-pengusaha lama untuk bisa jadi presiden, dan saat mereka sudah jadi
presiden pun mereka tidak bisa dengan mudah menghadapi struktur yang sistematis dalam sistem yang ada untuk bisa merealisasikan janji-janji kampanye mereka. 4. Hal apa yang bisa menyatukan bangsa untuk menahan hegemoni elite? Jwb: Rasa kebangsaan kita sekarang justru lebih tinggi dari tahun 70 an. Perlunya isu-isu di luar nasionalisme, karena isu nasionalisme sering kali diplesetkan demi menutupi masalah elit oligarkhi. Di korea, penyatuan berhasil karena penyatuan aktivis mahasiswa dan aktivis buruh. 5. Bentuk demokrasi ideal bisa diwujudkan pada system yang seperti apa? Apakah parlementary, atau yang lain? Adakah satu organisasi atau institusi yang bisa membawa kita menuju power pergerakan rakyat? Jwb: Belum ada. Kalau orang di tingkat individu banyak orang baik. Cuma kalau dia sudah masuk, dia harus bergelut mempertahankan prinsipnya di depan sistem yang ada. Namun demikian, ada potensi yang bisa kita mulai dengan mencari issue kunci yang bisa menyatukan semua elemen dalam masyarakat. Key action nya: masih ada orang baik yang punya niat baik, yang lebih dibutuhkan adalah membangun kekuatan yang bisa menyatukan mereka, yang lebih terorganisasi dan lebih sistematis. 6. Dua kosakata kunci atau modal dasar untuk bisa bangkit, perilaku dan disiplin. Apakah ini dua modal pejuang masa lalu kita? Jawab: Beda kondisinya. Godaan (terhadap harta) dulu jauh lebih kecil karena para elit politik tidak bergaya hidup mewah, tapi lebih memberi keteladanan dan seperti rakyat pada umumnya. 7. Apakah memang ada kontribusi kepentingan asing untuk mempengaruhi kebijakan dan politik kita? Jwb: Memang ada pengaruh kepentingan asing, karena mereka juga menginginkan stabilitas nasional dan undang-undang perbisnisan (saja) yang menguntungkan perkembangan usaha mereka. Closing: 30 tahun lalu kita tidak bisa berdiskusi seperti ini. Saat ini kita lebih punya kebebasan dalam berpendapat, publikasi, dll. We should take it for granted. Menurut saya ini adalah kemajuan, dan untuk itu kita pantas berbangga. Apa yang terjadi saat ini tidak lepas dari diaspora orba. Bagaimana kita bisa keluar? Dengan pemutusan system, yang bisa digali dengan melibatkan elemen pada golongan marjinal dan menengah (mahasiswa dan buruh) untuk bangkit dan bersatu. Pembicara 2: Airlangga Pribadi (PhD Cand.) Topik: “Kriteria Pemimpin Indonesia: Apa Rumusannya?” Intervensi politik diperlukan, termasuk pemilu 2014 ini. Mungkin bukan untuk memilih pemimpin yang ideal, tapi dilakukan agar demokrasi yang telah berhasil dibangun tidak hilang atau kualitasnya turun kelas. Airlangga menyoroti tiga persoalan yang menyebabakn intervensi politik penting dilakukan: 1.
Semakin menguatnya sentiment yang dihembuskan para elit politik terkait kekuatan dan
kebaikan orba. Berkah kebebasan bersuara dalam era reformasi ini masih dalam bayang-bayang pengaruh romantisme zaman otoritarian masih kuat. 2.
Munculnya kembali issue yang pada orba dinilai progressif, sekarang difahami sebagai gagasan
yang konservatif. Misalnya gagasan nasionalisme yang sekarang terdistorsi sebagai anti asing yang digunakan untuk menutupi dosa-dosa mereka sendiri. Gagasan nasionalisme didangkalkan sebagai
semata-mata isu anti asing. Ini dilakukan untuk menutupi untuk mengelabui masyarakat dari persoalan yang membelit elit politik di Indonesia. 3. Dalam arena politik Indonesia, ruang politik masih didominasi oleh kaum oligarki. Sulit menemukan sosok yang baik dan suci dalam pemilihan tokoh organisasi/politik. Bagaimana dengan kondisi ini kita menghadapi konstelasi semacam ini? Kuncinya adalah, bagaimana memilih pemimpin dengan rantai paling lemah dalam jaringan oligarki. Perlu disadari juga, strategi kaum oligarki untuk memilih calon yang populis melalui agenda-agenda good governance digunakan untuk memastikan pemilih tetap memililh partai politik oligarki ini. Maka menarik mencermati fenomena di mana kader-kader yang tadinya dianggap instrument politik penarik massa malah tampil menjadi kekuatan politik utama. Satu ciri lain dari demokrasi yang masih belum baik adalah menguatnya kampanye politik sektarian, anti-kebinekaan. Isu ini sengaja dipelihara untuk menguatkan bargaining elit politik.. Ketiga hal tersebut menjadi pertimbangan memilih dan melakukan intervensi politik. Untuk menahan dan menjaga demokrasi Indonesia tidak mati atau turun kelas. Sesi Tanya Jawab Airlangga Pribadi: 1.
Segala yang terjadi di Indonesia tidak lepas dari pengamatan dunia internasional. Saya sangat
concern terhadap radikalisasi, padahal Indonesia dikenal sebagai the largest muslim democratic country. Apakah radikalisasi Indonesia mempengaruhi/ mengganggu proses demokrasi di Indonesia? Jwb: Persoalan radikalisasi di Indonesia yang saya tahu secularist yang mengkritisi radikalisasi agama yang terjadi hanya pada perspektif kultural, misal, interpretasi thd Al Quran. Padahal ada isu lain misalnya ekonomi politik juga mengarah pada radikalisasi. Kedua isu ini (kultural dan ekonomi politik) sebenarnya terkait. Contohnya: persoalan Syiah di Sampang. Problem radikalisasi ini memang menjadi persoalan yang semakin lama menjadi semakin relevan untuk didiskusikan dan diselesaikan segera. Hal ini terkait dengan terebutnya basis kekuatan social oleh kelompok yang memperjuangkan radikalisme tersebut. Tokoh-tokoh agama sering juga masuk dalam pertarungan politik yang predatoris. 2. Apakah mungkin presiden dari independent? Jwb: Ini bisa menjadi sebuah alternative yang bisa dibangun untuk mengorganisir kekuatan politik institusi baru yang lepas dari kekuatan politik Indonesia sekarang. Tapi saya masih tidak yakin arus bawah ini bisa menguat. Karena ini bukan hanya persoalan popularitas tapi juga modal/capital yang menentukan. Adanya pemotongan suara oleh para elit oligarkis. 3. Mungkinkah Indonesia pemilunya wajib seperti di Australia? Jwb: di Indonesia elit-elit politiknya masih pecicilan dan predatoris, bagaimana kita mewajibkannya kepada rakyat ini sudah kebanyakan disuruh-suruh. 4. Pemimpin populis yang dekat dengan rakyat sebagai paling lemah dalam jaringan oligarki. Tapi juga sangat lemah (boneka)? Jwb: Logika kemudian memilih kelompok yang sebelumnya marginal kemudian naik kelas, itu bukan bagian yang terpisah dari oligarki. Juga bukan dari perspektif yang
terkait dengan harapan tingkat tinggi, semisal untuk pemutusan rantai orba. Logika oligarki tidak monolitik. Dinamika politik yang muncul juga tidak homogen. Tekanan politik yang ditunjukkan secara vulgar terhadap satu tokoh untuk patuh, justru menunjukkan bahwa dia tidak lemah, justru dia tengah menghadapi tekanan yang kuat untuk patuh pada oligarki. Kita harus membangun koalisi di didalam partai (block-within). Koalisi ini harusnya adalah koalisi kritis. Hal ini terjadi dengan tidak menjadi aliansi atau sekutu dengan kekuatan oligarki di dalam partai dan menadi koalisi kritis untuk mendukung program yang baik dan mengkritisi program yang tidak baik. Saya tidak setuju dengan konsep mensejarahkan perjuangan untuk melakukan perubahan. Sejarah membuktikan bahwa elit-elit politik pro-kemerdekaan dalam melakukan intervensi, mereka bernegosiasi dan berkompromi dalam batas-batas tertentu dengan pemerintah Belanda. Saat ini kita memang dikuasai oleh logika oligarki, tapi oligarki sendiri tidak menganut logika homogen. Ini menunjukkan masih ada harapan dan jalan untuk kita keluar dari kemelut ini. Satu yang menjadi pedoman, “Carilah yang memiliki paling sedikit kejelekan atau membawa paling sedikit kemudharatan” PENUTUP oleh Hendrix Setyawan, Direktur The AIPSSA Institute. Hendrix menyimpulkan bahwa kaum intelektual Indonesia memiliki kewajiban moral untuk turun tangan mengawal reformasi berhasil mengantarkan Indonesia mencapai kualitas demokrasi yang ideal bagi pertumbuhan ekonomi dan pemerataan kesejahteraan rakyat Indonesia, sekaligus menjamin kualitas demokrasi tidak menurun. Oleh karena itu, kaum intelektual perlu mengasah kepekaannya dengan menjangkau dan mendorong seluruh lapisan masyarakat bersama-sama bersikap tidak toleran terhadap perilaku predatoris-koruptif di kalangan elit kekuasaan. Kalangan aktivis kampus juga perlu didorong untuk bergandengan tangan dengan kalangan aktivis buruh, agar membawa Indonesia kearah demokrasi ideal yang berkeadilan sosial.
Divisi Media, Dokumentasi dan Publikasi Association of Indonesian Postgraduate Students and AIPSSA in Australia (AIPPSA) www.aipssa.org