Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
POTENSI LIMBAH PERTANIAN SEBAGAI PAKAN SAPI DI PROVINSI GORONTALO (The Potential of Agricultural Waste Products as Cattle Feed in Gorontalo Province) ARI ABDUL ROUF Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Gorontalo, Jl. Kopi No. 270 Kec. Tilong Kabila Kab. Bone Bolango, Gorontalo 96183
ABSTRACT Gorontalo is a based-agricultural province with the main livestock commodity is beef cattle. Area of cultivated food crops have potency as feed livestock (forage) through the utilization of the agricultural waste. Linkage between the two sectors will provide added value for each sector. This aim of study was to determine the potential utilization of agricultural waste as cattle feed in Gorontalo. Data of agriculture and animal were collected form a documentation and analyzed descriptively. The result showed that the potency of agricultural waste from 208.637 hectares could be used as many as 2,471,770 tons of forage. It can support amount of 967.424 Animal Unit (AU). While density area is classified as a medium class with score of 14,09. This study concludes that the province of Gorontalo has high potency in beef cattle industry due to abundant of agricultural waste. Key Words: Carrying Capacity, Agricultural Waste, Forage and Beef Cattle ABSTRAK Gorontalo adalah Provinsi Agropolitan dengan komoditas peternakan utama adalah sapi potong. Kedua sektor komoditas pertanian dan peternakan keberadaanya saling mendukung Limbah pertanian komoditas tanaman pangan berpotensi digunakan sebagai sumber pakan ternak sedangkan kotoran ternak dapat digunakan sebagai pupuk organik. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan besar pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak sapi di Provinsi Gorontalo. Data yang digunakan adalah data sekunder dari BPS dan Dirjen Peternakan yang dianalisis secara deskriptif. Hasil analisis menunjukkan dari luas panen 208.637 Ha di Provinsi Gorontalo maka memiliki potensi menghasilkan pakan sebesar 2.471.770 ton bersumber dari limbah padi, jagung, kacang tanah, kedelai, hijau, ubi jalar dan ubi kayu. Jumlah tersebut dapat mendukung sapi sebanyak 967.424 ST. Mengingat populasi sapi di Gorontalo sebanyak 172.166 ST maka dibutuhkan limbah pertanian sebagai pakan sebanyak 439.884 ton. Oleh karenanya Provinsi Gorontalo memiliki potensi untuk penambahan jumlah sapi dikarenakan berlimpahnya limbah pertanian. Sementara itu kepadatan wilayahnya termasuk klasifikasi sedang dengan nilai 14,09. Kata Kunci: Kapasitas Tampung, Limbah Pertanian, Hijauan dan Sapi Potong
PENDAHULUAN Dalam kurun waktu 6 tahun Provinsi Gorontalo dapat meningkatkan hasil produksi jagung lebih dari 500 persen; dari 81.720 (2001) ton menjadi 572.784 (2007) ton (BPS, 2009). Keberhasilan inovasi sektor pertanian ini membuka peluang pengembangan inovasi di sektor peternakan, dengan dicanangkannya Program Pengembangan 1 Juta Ekor Sapi serta Program Swasembada Daging Sapi (PSDS). Dengan demikian sangat terbuka
pengembangan agribisnis pola integrasi tanaman ternak dan optimalisasi pemanfaatan limbah atau dikenal dengan Low External Input Sustainable Agriculture (LEISA). Menurut TIPRAQSA, et al. (2007) berdasarkan penelitian di Thailand Timur Laut disimpulkan bahwa keunggulan sistem pertanian terpadu (integrated farming system/IFS) dibandingkan dengan sistem pertanian komersial (commercial farming system/CFS) diantaranya ketersediaan pangan lebih aman dan menciptakan pendapatan yang lebih tinggi
235
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
(US$ 3480/usahatani IFS dibandingkan US$ 2006/usahatani CFS) hal ini dikarenakan lebih tingginya total output dan hasil dari IFS yang berhubungan dengan skala usaha dan tenaga kerja (labour supply). Hasil kajian ADNYANA (2003), menunjukan bahwa model integrasi tanaman-ternak yang dikembangkan petani di Jawa Tengah dan Jawa Timur mampu mengurangi penggunaan pupuk organik sebanyak 25 – 35 % dan meningkatkan produktivitas sebesar 20 – 29 %. Menurut SYAMSU et al. (2003), produksi limbah pertanian di Indonesia sebagai sumber pakan ruminansia adalah 51.546.297,3 ton bahan kering atau 23.151.344,6 ton TDN, limbah pertanian ini dapat menyediakan pakan untuk ternak ruminansia sebanyak 14.750.777,1 ST. SUASTINA dan KAYANA (2005), menjelaskan satuan ternak (ST) adalah ukuran yang digunakan untuk menghubungkan berat badan ternak dengan jumlah makanan ternak yang digunakan. Satu ekor sapi dewasa yang berumur lebih dari dua tahun akan mengkonsumsi rumput atau hijauan sebanyak 30 – 35 kg per hari (1 ST). Seekor ternak muda umur 1 – 2 tahun mengkonsumsi hijauan 15 – 17,5 kg per hari (0,5 ST) dan seekor pedet umur kurang dari satu tahun akan mengkonsumsi hijauan sebanyak 7,5 – 9,0 kg per hari (0,25 ST). Sumber limbah pertanian di Sulawesi Selatan adalah jerami padi 85,81%, jerami jagung 5,84%, jerami kacang tanah 2,84%, jerami kedelai 2,54%, pucuk ubi kayu 2,29% dan jerami ubu jalar 0,68% (SYAMSU, 2007). Menurut SUGIARTO (2005), penggunaan limbah pertanian jagung di Pondok Ranggon dengan sebagai pakan sapi perah dengan pada musim kemarau dapat meningkatkan produksi susu dengan rata-rata peningkatan mencapai 1,504 l/ekor/hari. Menurut FEBRINA dan MARIAKA (2008), hanya 20% peternak di Kecamatan Rengat Barat Kabupaten Indragiri Hulu yang memanfaatkan limbah pertanian sebagai pakan serta tidak satu pun yang mengetahui dan menerapkan teknologi pengolahan pakan sedangkan nilai kapasitas Penambahan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR) sebesar 4.408,32 ST. Kajian ini bertujuan untuk melihat seberapa besar limbah pertanian yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak serta
236
daya dukung limbah pertanian di provinsi Gorontalo. MATERI DAN METODE Penelitian dilakukan menggunakan Metode Deskriptif disertai dengan analisis statistik sederhana. Metode pengumpulan data secara dokumentasi berupa data sekunder. Data diperoleh dari BPS, 2009 dan Direktorat Jenderal Peternakan (DITJENNAK, 2008) serta didukung referensi lain baik berupa yang tercetak atau softcopy (berasal dari internet) kemudian data diolah dan dianalisis menggunakan Program Microsoft Excel 2007 kedalam bentuk parameter-parameter antara lain (ASHARI et al.,1995): 1) Analisis Produktivitas Sapi Potong meliputi jumlah populasi, pemotongan ternak, dan produksi daging dengan menghitung persentase pertumbuhan pertahun. 2) Kepadatan Ternak meliputi: (a) Kepadatan Ekonomi Sapi Potong diukur dari jumlah populasi dalam 1000 penduduk; (b) Kepadatan Wilayah yaitu kepadatan sapi per km2; dan (c) kepadatan Usahatani yaitu jumlah populasi sapi potong per hektar lahan usaha tani. a. Kepadatan ekonomi = Populasi sapi potong
× 1000 (ST)
Jumlah penduduk
Kriteria yang digunakan yaitu sangat padat (> 300), padat (100 – 300), sedang (50 – 100) dan jarang (< 100) b. Kepadatan wilayah = Jumlah sapi potong (ST) Luas wilayah (km2)
Kriteria yang digunakan sangat padat (> 50), padat (20 – 50), sedang (10 – 20) dan jarang (< 10) c. Kepadatan usaha tani = Jumlah sapi potong (ST) Luas usahatani (km2)
Kriteria yang digunakan yaitu kategori sangat padat > 2, padat > 1 – 2 sedang 0,25 – 1,0 dan jarang < 0,25
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
3) Potensi Produksi Limbah Pertanian, nilai ini diperoleh dari potensi limbah pertanian sumber pakan ternak kg/ha 4) Daya dukung limbah pertanian (DDLP) yaitu kemampuan suatu wilayah untuk menghasilkan pakan terutama berupa pakann hijauan yang dapat menampung bagi sejumlah populasi sapi potong dalam bentuk segar atau kering, tanpa melalui pengolahan. DDLP = Produksi segar Rata-rata konsumsi segar 1 ST/tahun
5) Indeks daya dukung limbah pertanian (IDDLP) Nilai ini dihitung dari total pakan dari masing-masing limbah pertanian yang tersedia terhadap jumlah kebutuhan pakan bagi sejumlah populasi sapi potong di wilayah itu. IDDLP = Total produksi limbah pertanian Populasi x rata-rata konsumsi segar 1 ST/tahun
Status daya dukung pakan menurut indeks daya dukung pakan membedakan kriteria: sangat kritis < 2, kritis 2 – 3, rawan > 3 – 4, aman > 4 – 5 dan sangat aman > 5 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran pemeliharaan ternak Berdasarkan pola pemeliharaan terdapat empat macam pola pemeliharaan, yaitu: 1) Pola pasture fattening adalah menggembalakan sapi dipadang penggembalaan, 2) Pola dry lot fattening adalah pola penggemukan dengan mengutamakan pakan yang berasal dari bijibijian jagung, sorgum dan kacang-kacangan, 3) kombinasi pasture dan dry lot fattening dan 4) kereman adalah pola penggemukan yang hampir sama dengan dry lot fattening kecuali tingkatnya masih rendah (SORI, 2008). Menurut ANUGRAH dan SEDJATI (2009), salah satu karakteristik peternak penerima bantuan
Program PUTKATI di Desa Tanjung Harapan, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo adalah pengalaman beternak lebih dari 8 tahun, beternak merupakan cabang usahatani, ternak diandalkan untuk tabungan/biaya sekolah/hajatan kemudian pola pemeliharaan masih digembalakan. Provinsi Gorontalo merupakan salah satu dari 11 Provinsi di Indonesia yang memiliki potensi bibit Sapi Bali karena populasi lebih dari 90.000 ekor (139.000 ekor) dan pertumbuhan sapi Balinya sebesar 4,7-4,8% yakni di Kabupaten Gorontalo Utara, Gorontalo dan Bone Bolango (DITJENNAK, 2010). Sapi Bali mudah dikenal dengan warnanya yang khas, bulunya halus, pendekpendek dan mengkilap. Pada umumnya sapi betina dan anak jantan muda berwarna merah cokelat atau kuning cokelat. Kaki bawah dan perut sebelah bawah berwarna putih, pantat putih setengah lingkaran, bulu putih sekitar bibir bawah dan atas serta ujung ekor. Pada sapi jantan berumur 1 – 1,5 tahun, warna cokelat akan berubah menjadi hitam dan apabila dikastrasi berubah lagi seperti semula setelah kira-kira 3 bulan (SORI, 2008). Produktivitas sapi di Gorontalo Guna mengamati perkembangan sapi setiap tahunnya, maka dilakukan kajian produktivitas sapi meliputi pengamatan jumlah populasi, pemotongan ternak, dan produksi daging dengan menghitung persentase pertumbuhan pertahun. Perkembangan populasi sapi pertahun dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasar kan Tabel 1 diketahui bahwa secara rataan terjadi peningkatan populasi ternak sapi sebesar 5,29% per tahun selama periode tahun 2002 – 2008. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2003 – 2004 dengan peningkatan populasi sapi sebesar 15,60% sedangkan pertumbuhan terendah terjadi selama 2006 – 2007 dengan pertumbuhan sebesar 0,99% atau hanya terdapat kenaikan populasi sebesar 2077 ekor. Populasi ternak terendah terjadi pada tahun 2002 dengan jumlah 163.747 sedangkan tertinggi pada tahun 2008 dengan populasi mencapai 221.628.
237
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
Tabel 1. Populasi sapi di Gorontalo tahun 2002 – 2008 Keterangan Populasi (ekor)
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
163.747
174.460
201.678
205.993
209.011
211.088
221.628
6,54
15,60
2,14
1,47
0,99
4,99
Pertumbuhan/ tahun (%) Rataan (%)
5,29
Sumber: BPS PROVINSI GORONTALO (2009), diolah
Beberapa hal yang mempengaruhi populasi ternak diantaranya adalah pemasukan (impor), pengeluaran (ekspor), kelahiran dan kematian ternak. Berdasarkan data DITJENNAK (2008), selama periode 2004 – 2007 terjadi pemasukan sapi berturut sebanyak 9.917 ekor, 9.917 ekor, 11.869 ekor dan 1.876 ekor. Selama periode 2005 – 2007 terjadi pula pengeluaran sapi berturut sebanyak 11.592 ekor, 16.972 ekor dan 15.092 ekor. Lebih lanjut diketahui persentase kelahiran sapi di Gorontalo pada tahun 2007 sebesar 16,42% masih lebih rendah dibandingkan dengan kelahiran tingkat nasional (21,8%), sedangkan persentase kematian (1,54%) lebih tinggi dibandingkan tingkat nasional (1,28%). Data pemotongan sapi potong di Gorontalo ditampilkan seperti pada Tabel 2. Data dikoleksi dari tahun 2005 – 2008. Tabel 2 memperlihatkan selama periode 2005 – 2008, sapi yang dipotong jumlahnya fluktuatif. Periode 2005 – 2006 terjadi penurunan pemotongan sebesar 17,79% sedangkan periode 2006 – 2007 terjadi pertumbuhan sebesar 31,85%. Berdasarkan data tersebut diketahui persentase pemotongan 2005-2008 yang tercatat di RPH cenderung menurun sebesar 2,04% atau setiap tahun
jumlah ternak yang dipotong sebanyak 5.184 ekor. Hal ini sejalan dengan produksi daging (sapi dan non-sapi) periode 2005 – 2006 mengalami penurunan sebesar 18,09% (2.952 – 2.418 ton) sedangkan periode 2006 – 2007 tumbuh sebesar 161,14% (2.418 – 6.314 ton). Kepadatan sapi Kepadatan populasi dapat diketahui dengan beberapa cara yaitu kepadatan ekonomi, kepadatan usahatani dan kepadatan wilayah. Kajian FAO dalam THAPA dan PAUDEL (2000), pada negara padat populasinya seperti Bangladesh kepadatan ternaknya 4 ekor ternak per hektar sementara di Nepal terdapat 7 ekor/ha. Menurut DITJENNAK (2008) struktur sapi di Gorontalo tahun 2007 terdiri dari sapi dewasa setara 1 ST (62,20%), sapi muda setara 0,5 ST (24,13%) dan sapi pedet setara 0,25 ST (13,67%) jika diasumsikan sebaran atau struktur populasi tahun 2008 sama dengan 2007 maka populasi sapi potong sebesar 221.628 ekor setara dengan 172.166 ST. Kepadatan sapi di Gorontalo secara rinci ditampilkan seperti pada Tabel 3.
Tabel 2. Banyaknya pemotongan sapi yang tercatat di Gorontalo Ternak
2005
2006
2007
2008
Sapi
5435
4468
5891
4943
-17,79
31,85
-16,09
Pertumbuhan/tahun (%) Rataan (%)
-2,04
Rataan (ekor)
5184
Sumber: BPS PROVINSI GORONTALO (2009), diolah
238
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
Tabel 3. Kepadatan ternak berdasarkan kriteria ekonomi, usahatani dan wilayah di Provinsi Gorontalo tahun 2008 Uraian
Kepadatan ekonomi
Kepadatan usahatani
Kepadatan wilayah
Score
177,1
0,83
14,09
Kategori
Padat
Sedang
sedang
Sumber: BPS PROVINSI GORONTALO (2009) (diolah)
Tabel 3 memperlihatkan bahwa kepadatan ekonomi sapi tergolong padat dengan nilai 177,1 dan kepadatan usahatani tergolong sedang dengan nilai 0,83 sedangkan kepadatan wilayahnya tergolong sedang dengan nilai sebesar 14,09. Dengan demikian kecenderungan kepadatan sapi di provinsi Gorontalo tergolong sedang. Potensi dan daya dukung limbah pertanian sebagai pakan sapi di Gorontalo Produksi limbah pertanian Limbah pertanian dan agroindustri pertanian memiliki potensi yang cukup besar sebagai sumber pakan ternak ruminansia. Limbah yang memiliki nilai nutrisi relatif tinggi digunakan sebagai pakan sumber energi atau protein, sedangkan limbah pertanian yang memiliki nilai nutrisi relatif rendah digolongkan sebagai pakan sumber serat. Pakan ternak asal limbah secara umum terdiri atas dedak padi, kulit kopi, kulit kacang tanah,
kulit coklat, ikutan ketela pohon, tumpi jagung, ikutan kedelai, dan bungkil biji jagung (MARIYONO dan ROMJALI, 2007). Menurut ANGGRAENY, et al. (2006), identifikasi di Propinsi Jawa Timur diketahui 5 macam bahan pakan inkonvensional yang jumlahnya cukup potensial sebagai pakan ternak berturut-turut adalah batang ubi kayu (52,07%), tongkol jagung (32,79), jerami kedelai (14,39%), kulit coklat (0,54) dan kulit kopi (0,21%). Terdapat banyak sumber pakan hijauan ternak salah satunya limbah pertanian. Jenis limbah pertanian dan luasannya ditampilkan seperti pada Tabel 4. Tabel 4 memperlihatkan potensi jerami segar dari beberapa komoditas pertanian dengan luas panen sebesar 208.637 Ha memiliki potensi sebagai pakan hijauan sebanyak 2.471.770 ton. Sumbangan sumber pakan hijauan berasal dari jerami jagung 83,48%, jerami padi menyumbang sebesar 15,19% dan terkecil berasal dari daun ubi kayu 0,01%
Tabel 4. Luas lahan panen beberapa komoditas pertanian sebagai sumber pakan sapi di Gorontalo 2008 Jenis limbah
Luas panen (ha)
Produksi jerami* (t/ha)
Potensi jerami (t)
Persentase
Jerami padi
46.942
8,00
375.536
15,19
Jerami jagung
156.436
13,19
2.063.391
83,48
Jerami kacang tanah
1.878
8,47
15.907
0,64
Jerami kacang hijau
325
9,53
3.097
0,13
Jerami kedelai
1.873
4,20
7.867
0,32
Jerami ubi Jalar
412
7,76
3.197
0,13
Daun ubi kayu
771
3,60
2.776
0,11
2.471.770
100,00
Total
208.637
Sumber: BPS PROVINSI GORONTALO (2009), diolah; *: HAERUDIN (2004); ROHAENI et al. (2005)
.
239
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
Daya dukung limbah pertanian dan kapasitas peningkatan sapi potong Menurut THAPA dan PHAUDEL (2000), berdasarkan kebutuhan Total Digestable Nutrient (TDN) sebesar 1083 kg/ekor/tahun diketahui bahwa kapasitas tampung lahan di lembah Nepal sebesar 147.735 ST atau (2 ST/Ha/tahun). Lebih lanjut dikatakan bahwa dengan populasi ternak yang ada sebesar 203.510 ST terjadi kelebihan populasi sebesar 55.775 ST. Berdasarkan kajian HAERUDIN (2004), kapasitas tampung Kabupaten Soppeng dengan mengandalkan limbah pertanian segar sebesar 139.456 ST. Menurut ANGGRAENY et al (2006), produksi batang ubi kayu, tongkol jagung, jerami kedelai, kulit coklat dan kulit kopi di Jawa Timur dapat dimanfaatkan sebagai pakan substitusi oleh ternak ruminansia secara berturut-turut sebesar 2.355.374,53 ST, 1.554.975,51 ST, 59.298,26 ST, 10.074,60 ST dan 291.817,32 ST sehingga secara keseluruhan dapat menampung 4.271.540,22 ST. Dengan potensi pakan sebanyak 2.471.770 ton dan asumsinya satu satuan ternak (1 ST) dapat mengkonsumsi jerami segar sebanyak 2.555 kg/tahun (HARYANTO, et al.,2002). Dengan demikian potensi limbah pertanian sebanyak 2.471.770 ton dapat mencukupi sapi sebanyak 967.424 ST. Berdasarkan populasi sapi di Gorontalo sebanyak 172.166 ST maka dibutuhkan limbah pertanian sebagai pakan sebanyak 439.884 ton. Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa potensi limbah pertanian sebagai sumber pakan hijauan sangat tinggi di Provinsi Gorontalo. Kapasitas Peningkatan Sapi Potong adalah selisih antara daya dukung limbah pertanian dengan jumlah sapi yang ada saat ini (LEMBAGA PENELITIAN IPB, 2001). Menurut HAERUDIN (2004), kapasitas peningkatan sapi potong di Kabupaten Soppeng berdasarkan berat segar limbah pertanian masih dapat ditambah sebesar 129.515 ST. Akan tetapi apabila hanya diberikan pada anak sapi yang ada maka populasinya masih dapat ditambah sebanyak 138.905 ST sedangkan untuk sapi muda 137.365 ST. Menurut THAPA dan PHAUDEL (2000) peningkatkan penggunaan lahan dan manajemen berkontribusi dalam meningkatkan kapasitas tampung, peningkatan kapasitas di kabupaten Shyangya Nepal
240
diperkirakan pada tahun 2001 – 2002 dan 2006 – 2007 berturut sebesar 6.408 ST dan 63.113 ST. Berdasarkan analisis diketahui bahwa populasi ternak di Gorontalo sebesar 172.166 ST sedangkan daya dukung limbah pertaniannya sebesar 967.424 ST sehingga terdapat selisih sebesar 795.258 ST (561,91%). Oleh karena itu dapat disimpulkan masih dimungkinkan dilakukan peningkatan populasi sapi di Gorontalo. Indeks daya dukung limbah pertanian (IDDLP) Berdasarkan kajian THAPA dan PHAUDEL (2000), populasi ternak di lembah Nepal melebihi kapasitas tampungnya sehingga dapat dikategorikan indeks daya dukung limbah pertaniannya dapat dikategorikan sangat kritis (< 2). Dengan asumsi satu satuan ternak (1 ST) dapat mengkonsumsi jerami segar sebanyak 2.555 kg/tahun (HARYANTO et al., 2002) Berdasarkan populasi sapi di Gorontalo sebanyak 172.166 ST maka dibutuhkan limbah pertanian sebagai pakan sebanyak 439.884 ton. Dengan total produksi jerami segar sebanyak 2.471.770 ton maka nilai IDDLP sebesar 5,62 yang berarti termasuk kategori sangat aman. KESIMPULAN Provinsi Gorontalo memiliki potensi pemanfaatan pakan asal limbah pertanian yang tinggi yaitu sebesar 2.471.770 ton dibandingkan dengan kebutuhan pakannya sebesar 439.884 sehingga terdapat peluang peningkatan kapasitas peningkatan sapi potong sebesar 795.258 ST dari saat ini sebesar 172.166 ST menjadi 967.424 ST dengan demikian memiliki nilai Indeks Daya Dukung Limbah Pertanian (IDDLP) sebesar 5,62. Hal tersebut menunjukan Gorontalo termasuk kategori sangat aman untuk pakan ternak sehingga masih berpeluang besar dalam penambahan jumlah ternak. Kepadatan populasi ternak di Provinsi Gorontalo tergolong sedang-padat, kepadatan wilayahnya menunjukan terdapat 14,09 ST/km2. Pola pemeliharaan penggemukan Sapi perlu diarahkan kepada kombinasi antara pasture
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
(penggembalaan) dan dry lot fattening (kereman). Dengan demikian dapat dioptimalkan pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak baik yang belum diolah maupun yang telah diolah.
FEBRIANA, D. dan M. LIANA. 2008. Pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ruminansia pada peternak rakyat di Kecamatan Rengat Barat Kabupaten Indragiri Hulu. J. Peternakan 5(1): 28 – 37.
DAFTAR PUSTAKA
HAERUDIN. 2004. Potensi dan Daya Dukung Limbah Pertanian Sebagai Pakan Sapi Potong Di Kabupaten Soppeng Sulawesi Selatan. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Program Studi Ilmu Ternak Institut Pertanian Bogor, Bogor.
ADNYANA. 2003. Pengkajian dan Sintesis Kebijakan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Padi dan Ternak (P3T) ke Depan. Laporan Teknis. Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor ANGGRAENY, Y.N., U.U. UMIYASIH, D. PAMUNGKAS dan ARYOGI. 2006. Potensi bahan pakan inkonvensional asal limbah pertanian dan perkebunan di beberapa kabupaten di Jawa Timur. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 5 – 6 September 2006. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 82 – 87. ANUGRAH, I.S. dan W.K. SEDJATI. 2009. Kemitraan pemasaran komoditas sapi potong dalam mendukung usaha peternakan rakyat di Provinsi Gorontalo. Pros. Seminar Nasional Peningkatan Daya Saing Agribisnis Berorientasi Kesejahteraan Petani. Bogor, 14 Oktober 2009. ASHARI, E. JUARINI, B. SUMANTO, WIBOWO, SURATMAN dan SUBAGJO. 1995. Pedoman Analisis Potensi Wilayah Penyebaran dan Pengembangan Peternakan. Balai Penelitian Ternak dan Direktorat Bina Penyebaran dan Pengembangan Peternakan Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta. BPS PROVINSI GORONTALO. 2009. Gorontalo dalam Angka. Badan Pusat Statistik Propvinsi Gorontalo DITJENNAK. 2010. Peta potensi wilayah sumber bibit sapi potong lokal dan rencana pengembangannya. http://www.ditjennak.go. id/publikasi%5Cpotensi% 20bibit.pdf. (6 Juni 2010). DITJENNAK. 2008. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta. THAPA, G.B. and G.S. PAUDEL. 2000. Evaluation of the livestock carrying capacity of land resources in the hills of nepal based on total digestive nutrient analysis. Agriculture, Ecosystems and Environment 78: 223 – 235.
HARYANTO, B, I. INOUNU, I-G.M. BUDIARSANA dan K. DIWYANTO. 2002. Panduan Teknis Sistem Integrasi Padi-Ternak. Bogor, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departeman Pertanian, Jakarta. KARIYASA, K. 2005. Sistem integrasi tanamanternak dalam perspektif reorientasi kebijakan subsidi pupuk dan peningkatan pendapatan petani. Analisis Kebijakan Pertanian 3(1): 68 – 80. LEMBAGA PENELITIAN IPB. 2001. Sistem Pengembangan Peternakan Kabupaten Tangerang. Institut Pertanian Bogor, Bogor. MARIYONO dan E. ROMJALI. 2007. Petunjuk Teknis: Teknologi Inovasi Pakan Murah untuk Usaha Pembibitan Sapi Potong. Puslitbangnak, Bogor. ROHAENI, E.S., N. AMALI, A. SUBHAN, A. DARMAWAN dan SUMANTO. 2005. Potensi dan Prospek Penggunaan Limbah Jagung sebagai Pakan Ternak Sapi di Lahan Kering Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan Dalam Yufdi, P., L. Haloho. Prosiding Lokakarya Nasional: Jejaring Pengembangan Sistem Integrasi Jagung-Sapi. Pontianak 9 – 10 Agustus 2006 SUASTINA, I.G.P.B. dan I.G.N KAYANA. 2005. Analisis Finansial Usaha Agribisnis Peternakan Sapi Daging. Majalah Ilmiah Peternakan 8(2) SORI, B.S. 2008. Penggemukan Sapi. Penebar Swadaya, Jakarta. SUGIARTO. 2005. Pemanfaatan Limbah Jagung untuk Pakan Sapi Perah di Pondok Ranggon Jakarta Timur. Widyariset 8(2): 28 – 37. SYAMSU, J.A. 2007. Karakteristik Pemanfaatan Limbah Tanaman Pangan sebagai Pakan Ternak Ruminansia Pada Peternakan Rakyat di Sulawesi Selatan. Seminar Nasional Asosiasi Ahli Nutrisi dan Pakan Indonesia.Yogyakarta, 26 – 27 Juli 2007.
241
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
SYAMSU, J.A., L.A. SOFYAN, K. MUDIKDJO dan E.G. SAID. 2003. Daya dukung limbah pertanian sebagai sumber pakan ternak ruminansia di Indonesia. Wartazoa 13 (1): 32 – 37
242
TIPRAQSA, P., E.T. CRASWELL, A.D. NOBLE and D.S. VOGT. 2007. Resource Integration for Multiple Benefit: Multifunctionality of Integrated Farming System in Northeast Thailand. Agricultural System 94: 694 – 703.