Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
POTENSI BAHAN PAKAN INKONVENSIONAL ASAL LIMBAH PERTANIAN DAN PERKEBUNAN DI BEBERAPA KABUPATEN DI JAWA TIMUR (Crop and Estate by-Products as a Potential Unconventional Feedstuffs in East Jawa Districts) YENNY NUR ANGGRAENY, UUM UMIYASIH, DICKY PAMUNGKAS dan ARYOGI Loka Penelitian Sapi Potong, Jl. Pahlawan No. 2 Grati, Pasuruan 67184
ABSTRACT The optimal used of domestic resources optimally through application of suitable technology was an choise alternative that have been done by farmers to get benefit. Beside using crop by product, the other alternative is looking for a potential new feed resources that have not been used especially from farm crop by product and cash crop by product. This research was done by survey at several region in East Java according to available secondary data at related office that focus in food crop and garden crop. The collected data were the potencialy biomass, nutrient content (dry matter, crude protein, crude fiber and energi/TDN). It was identified that there were five types of unconventional feed with potential quantities, namely cassava stem (at 11 regions) as much as 2.991.479.04 ton/year; corncob 1.695.673,26 ton/year (at 10 regions); soy bean straw was to 741.834.00 ton/year (at 10 regions); cocoa pod (3 regions) with total production is 35.965.21 ton/year; small Coffe pulp (6 regions) with total production is 15.017,86 ton/year. The nutrients production of each feed consecutively were cassava stem (106.007.82 ton of CP/year and 1.112.367.12 ton TDN/year); corn cob (77.209.07 ton CP/year and 1.058.830,16 ton TDN/year); soybean straw (69.985,26 ton CP/year and 443.837.87 ton TDN/year); cocoa pods (2.195.23 ton CP/year and 11.540.69 ton TDN/year) and coffe pulp (856,93 ton CP/year and 8.861.38 ton TDN/year). The production of cassava stem, corncobs, soybean straw, cocoa pod and coffe pulp in East Java can be used as subtitution feed for ruminant consecutively were 2.355.374.53 Animal Unit (AU), 1.554.975.51 AU, 59.298.26 AU, 10.074.60AU and 291.817.32AU. It is concluded that unconcentional feed from food crop by product and estate crop by product is a potential feed resource as feed subtitution but is needed technology inovation and its introduction needed for farmer in using the reconries optimally. Key Words: Unconventional Feed, Food Crop By Product, Estate Crop By Product, Beef Cattle, East Java ABSTRAK Pemanfaatan domestic resources secara optimal melalui penerapan teknologi yang tepat merupakan alternatif pilihan yang harus dilakukan oleh peternak untuk mendapatkan keuntungan. Selain memanfaatkan limbah, alternatif lain adalah dengan mencari sumber pakan baru asal biomass lokal yang jumlahnya melimpah dan masih belum termanfaatkan secara maksimal terutama yang berasal dari limbah tanaman pangan dan limbah perkebunan. Penelitian ini dilakukan dengan cara survei di beberapa wilayah di Jawa Timur mengacu pada data sekunder yang tersedia serta informasi dari dinas teknis terkait. Data yang dikumpulkan meliputi potensi produksi dan kandungan nutrisi meliputi bahan kering (BK), protein kasar (PK), serat kasar (SK) dan total digestible nutrient (TDN). Data dianalisa dan disajikan secara deskriptip. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 5 macam bahan pakan inkonvensional yang jumlahnya cukup potensial yaitu batang ubi kayu (11 kabupaten) dengan total produksi 2.991.479,04 ton/tahun; tongkol jagung (16 kabupaten) dengan produksi total 1.695.673,26 ton/tahun, jerami kedelai (10 kabupaten) dengan produksi total 741.834,00 ton/tahun; kulit coklat (3 kabupaten) dengan produksi total 35.965,21 ton/tahun dan kulit kopi (6 kabupaten) dengan produksi total 15.017,86 ton/tahun. Sedangkan produksi zat nutrisi masing-masing bahan berturut-turut adalah batang ketela pohon (106.007,82 ton PK/tahun dan 1.112.367,12 ton TDN/tahun); tongkol jagung (77.209,07 ton PK/tahun dan 1.058.830,16 ton TDN/tahun); jerami kedelai (69.985,26 ton PK/tahun dan 443.837,87 ton TDN/tahun); kulit coklat (2.195,23 ton PK/tahun dan 11.540,69 ton TDN/tahun) serta kulit kopi (856,93 ton PK/tahun dan 8.861,38 ton TDN/tahun). Produksi batang ubi kayu, tongkol jagung, jerami kedelai, kulit coklat dan kulit kopi di Jawa Timur dapat dimanfaatkan sebagai pakan
891
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
substitusi oleh ternak ruminansia secara berturut-turut adalah 2.355.374,53 Unit Ternak (UT), 1.554.975,51 UT, 59.298,26 UT, 10.074,60UT dan 291.817,32 UT. Disimpulkan bahwa produksi bahan pakan in konvensional asal limbah berpotensi digunakan sebagai pakan substitusi namun memerlukan inovasi teknologi dan introduksi pada peternak agar dapat dimanfaatkan secara optimal. Kata Kunci: Bahan Pakan in Konvensional, Limbah Pertanian, Limbah Perkebunan, Sapi Potong, Jawa Timur
PENDAHULUAN Produksi daging sapi yang sebagian besar berasal dari usaha peternakan rakyat sampai saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan konsumen. Hal ini mengakibatkan terjadinya pengurasan ternak di berbagai daerah karena pengeluaran ternak yang tidak terkendali. Dilain pihak impor sapi potong meningkat dengan tajam, bahkan 360.000 ekor sapi pada tahun 1996. Pada tahun 2002 angka ini telah mencapai lebih dari 420.000 ekor, meski data yang tercatat relatif lebih kecil (STATISTIK PETERNAKAN, 2003). Usaha peternakan sapi potong rakyat pada umumnya belum menerapkan konsep usaha yang efisien mengingat banyak potensi dan peluang yang belum dimanfaatkan dan dikelola secara optimal terutama yang terkait dengan ketersediaan dan suplai pakan, khususnya pada musim rawan pakan. Hasil survai ARYOGI et al. (2000) menunjukkan bahwa pakan basal didominasi oleh hijauan yang sangat bervariasi jenis maupun jumlahnya; sedangkan pakan tambahan misalnya dedak padi/jagung diberikan dalam jumlah yang tidak menentu; berlebihan pada musim panen dan sebaliknya terbatas pada musim tanam. Oleh sebab itu dapat dipahami bahwa kendala yang sering dijumpai adalah rendahnya produktivitas karena kualitas pakan yang tidak memenuhi kebutuhan. Selain berpengaruh terhadap produktivitas, pakan juga merupakan biaya produksi yang terbesar dalam usaha peternakan yaitu sekitar 60 – 80% dari biaya produksi (HARDIANTO et al., 2002); sehingga penyusunan ransum tidak hanya harus mencukupi kebutuhan nutrisi tetapi juga harus secara ekonomis menguntungkan. Dilain pihak, seiring dengan semakin berkembangnya usaha pertanian tanaman pangan, hortikultura maupun perkebunan semakin meningkat pula ketersediaan limbahnya. Dari beberapa informasi diketahui bahwa limbah pertanian,
892
agroindustri maupun perkebunan sampai saat ini belum dimanfaatkan secara optimal sebagai pakan. Disamping melalui optimalisasi pemanfaatan limbah, upaya peningkatan ketersediaan pakan sekaligus sebagai upaya efisiensi biaya pakan dapat dilakukan dengan mencari sumber pakan baru yang selama ini belum/tidak umum digunakan oleh peternak (bahan pakan inkonvensional). Limbah yang jumlahnya cukup banyak antara lain janggel jagung, baggase, kulit buah-buahan, kulit ubi kayu, kotoran ayam, dll. (CHUZAEMI, 2002). Menurut FAO (1988) bahan pakan inkonvensional mempunyai karakteristik sebagai berikut (1) merupakan hasil akhir suatu produksi yang sudah tidak dapat digunakan ataupun di daur-ulang, (2) merupakan bahan organik yang berbentuk padat dan cairan, (3) nilai ekonominya rendah dibandingkan biaya pengumpulan dan pemrosesan, (4) merupakan sumber fermentable carbohydrat, (5) pakan inkonvensional berupa limbah buah-buahan merupakan sumber energi yang sangat tinggi kualitasnya, (6) pakan inkonvensional berupa limbah tanaman pangan merupakan bahan bulky dengan kandungan serat kasar tinggi dan nitrogen rendah, (7) beberapa pakan inkonvensional mempunyai efek racun (8) perlu teknologi untuk membentuk menjadi bahan pakan yang siap digunakan (9) perlu informasi komposisi nutrisi dan faktor antinutrisi. Hasil penelitian PAMUNGKAS (1992) para peternak di Pulau Madura pada musim kemarau panjang telah banyak yang mulai mencoba memanfaatkan daun bambu, daun komak, daun mimba, daun pisang; sedangkan peternak sapi perah memanfaatkan hijauan inkonvensional lain seperti daun alpukat, dadap, randu anggrong, dan batang pisang (MUSOFIE, 1994). Makalah ini bertujuan untuk mengulas potensi bahan pakan inkonvensional asal limbah pertanian dan perkebunan di beberapa kabupaten di Jawa Timur.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
MATERI DAN METODE Penelitian ini dilakukan dengan melakukan identifikasi dan analisis kualitas dengan rincian sebagai berikut: Identifikasi Dilakukan survei di beberapa daerah sentra sapi potong, merujuk pada peta agroecological zone (AEZ) dalam rangka inventarisasi potensi produksi bahan pakan yang jumlahnya melimpah dan masih terabaikan serta belum banyak digunakan oleh peternak (yang selanjutnya disebut dengan istilah bahan pakan inkonvensional); meliputi kapasitas produksi dan kontiyuitas ketersediaannya. Bahan pakan inkonvensional diutamakan yang berasal dari limbah pertanian, limbah tanaman pangan, limbah perkebunan dan limbah agroindustri. Hasil analisis data disajikan secara deskriptif. Analisis kualitas Kegiatan diawali dengan penentuan bahan pakan inkonvensional yang berdasarkan kuantitas produksi dan ketersediaanya sepanjang tahun dianggap potensial; selanjutnya dilakukan pengujian kualitas. Analisis kualitas yang dilakukan adalah analisis kandungan nutrisi (secara proksimat) meliputi bahan kering (BK), protein kasar (PK), serat kasar (SK) dan total digestible nutrien (TDN). Hasil analisis data ditampilkan dengan cara deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi dan evaluasi biomas lokal inkonvensional yang potensial sebagai pakan sapi potong Identifikasi Telah dilakukan survei di beberapa daerah sentra sapi potong di Propinsi Jawa Timur. Lokasi dipilih berdasarkan ketersediaan bahan pakan inkonvensional yang potensial, mengacu pada informasi dan data dari Dinas Tingkat I maupun Tingkat II terkait; meliputi Dinas
Peternakan, Perkebunan, Tanaman Pangan, Biro Pusat Statistik dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Dari hasil analisis data dan informasi lapang diketahui bahwa terdapat beberapa macam bahan pakan inkonvensional yang cukup potensial berturut-turut adalah batang ubi kayu, tongkol jagung, jerami kedelai, kulit coklat dan kulit kopi. Potensi produksi dan karakteristik bahan selengkapnya adalah sebagai berikut: Batang ubi kayu Tanaman ubi kayu (Manihot utilisima) adalah tanaman yang termasuk famili Euphorbhiaceae. Banyak dijumpai nama lokal ubi kayu antara lain ubi kayu, kaspe, budin, sampen ataupun singkong. Tanaman ubi kayu dapat tumbuh dengan mudah hampir di semua jenis tanah dan bersifat tahan terhadap serangan hama maupun penyakit. Ubi kayu pada umumnya ditanam untuk diambil umbinya sebagai sumber karbohidrat utama. COCH et al. (dalam GRACE, 1977) menyatakan bahwa perbandingan jumlah tops (daun, batang dan cabang) dengan umbi yang dihasilkan untuk varietas lokal adalah 1 : 1 sedangkan pada varietas unggul adalah 3 : 2. Batang ubi kayu mempunyai kulit serta lapisan kayu yang berbentuk bulat dan berongga; terisi oleh lapisan gabus. Pada tanaman dewasa persentase bagian-bagian tops adalah 81% batang/cabang, 7% daun dan 12% tangkai (MONTALDO, 1973). Batang ubi kayu dapat tumbuh mencapai diameter ≤ 3,5 cm. Batang ini tidak begitu keras namun tinggi kandungan seratnya. Selain untuk benih/stek batang ubi kayu dapat dimanfaatkan sebagai partikel pembuat kertas karton, bahan bakar serta bersama-sama dengan daun dan umbi dihancurkan sebagai pakan sapi maupun babi (GRACE, 1977). Dalam kurun waktu 1 (satu) tahun, tanaman ubi kayu dapat ditanam oleh petani sebanyak 1 kali dengan umur panen 8 bulan; atau dengan kata lain batang ubi kayu yang merupakan limbah pasca penen tersedia pada bulan September. Perkiraan produksi batang ubi kayu di 11 (sebelas) kabupaten penghasil ubi kayu di Jawa Timur adalah sebesar 2.991.479,04 ton/tahun.
893
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
Tabel 1. Perkiraan produksi batang ubi kayu di beberapa kabupaten di wilayah Propinsi Jawa Timur Nama kabupaten Pacitan Ponorogo Malang Trenggalek Sampang Probolinggo Sumenep Pasuruan Tuban Bondowoso Tulungagung Total
Produksi (ton/tahun) 565.195,95 499.370,85 394.996,14 338.479,02 201.438,27 194.860,71 177.306,03 170.918,55 158.505,93 151.954,11 138.453,48 2.991.479,04
Data yang ditampilkan adalah kabupaten penghasil produk di atas rata-rata dari seluruh kabupaten Sumber: Dinas Pertanian Propinsi Jawa Timur (diolah)
Tongkol jagung Jagung adalah bahan pangan utama kedua setelah beras, termasuk tanaman monokotil dari genus Zea. Pada tanah-tanah yang bertekstur latosol dengan tingkat kemiringan 5 – 8%, keasaman sekitar 5,6 – 7,5 serta suhu antara 27 – 32oC jagung akan tumbuh dengan baik. Sampai saat ini, produksi jagung nasional masih belum mencukupi kebutuhan konsumen meski pemerintah telah mencanangkan program peningkatan produktivitas melalui Gema Palagung (gerakan mandiri padi, kedelai dan jagung). Perkembangan industri pengolahan makanan dan pakan ternak yang cukup pesat selama beberapa tahun terakhir menyebabkan peningkatan permintaan. Penggunaan benih jagung bermutu (varietas unggul) seperti Arjuna, Bisma dan Pioner adalah upaya nyata yang bertujuan untuk meningkatkan produksi. Peningkatan produksi berarti pula peningkatan produksi limbah baik jerami maupun tongkol jagung. Penggunaan jerami jagung sebagai pakan sapi potong telah populer dibeberapa daerah terutama di Pulau Jawa, Madura dan Bali. Pada pascapanen jagung pipilan, jagung di panen dengan cara tongkol
894
dipotong dari batang kemudian dijemur dalam keadaan utuh; dilanjutkan dengan pengupasan dan pemipilan. Pemipilan dapat dilakukan dengan menggunakan tangan atau alat pemipil sehingga terpisah antara biji dan tongkol. Tongkol jagung merupakan bagian dari corn stover yakni limbah yang terdiri dari 50% batang, 22% daun, 15% tongkol dan 13% klobot (HETTENHAUS, 2002). Tongkol jagung mempunyai tekstur kasar dan keras sehingga jarang peternak yang memanfaatkannya sebagai pakan secara langsung. Pada umumnya jagung ditanam petani 2 kali dalam 1 tahun dengan masa panen sekitar bulan Mei dan Agustus. Dari Tabel 2. diketahui bahwa produksi tongkol jagung pada 16 daerah sentra produksi jagung adalah sebesar 1.695.673,26 ton/tahun. Tabel 2. Perkiraan produksi tongkol jagung segar di beberapa kabupaten di wilayah Propinsi Jawa Timur Nama kabupaten Sumenep Tuban Malang Jember Kediri Probolinggo Blitar Lamongan Sampang Situbondo Bangkalan Ponorogo Nganjuk Bondowoso Lumajang Jombang Total
Produksi (ton/tahun) 169.614,94 147.225,87 146.131,74 142.035,17 128.153,20 123.490,47 107.173,26 102.199,19 90.973,26 89.590,29 86.356,57 78.318,84 77.575,29 73.351,05 69.557,97 63.926,16 1.695.673,26
Data yang ditampilkan adalah kabupaten penghasil produk di atas rata-rata dari seluruh kabupaten Sumber: Dinas Pertanian Propinsi Jawa Timur (diolah)
Jerami kedelai Saat ini kedelai (Glicine max L.) merupakan palawija multiguna karena dapat digunakan sebagai pangan, pakan maupun
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
bahan baku berbagai industri manufaktur dan olahan. Kebutuhan kedelai di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan konsumen. Kedelai merupakan tanaman dikotil yang termasuk famili Leguminoceae. Jenis palawija ini dapat tumbuh dengan sangat baik pada tanah lempung yang mempunyai keasaman antara 5,8 – 6,9 dan ketinggian sekitar 1000 – 1200 dpl. Kedelai merupakan tanaman “hari pendek” artinya akan berbunga bila panjangnya siang hari ≥ 15 jam/hari. Biji kedelai atau yang lebih populer disebut polong kedelai akan terbentuk antara 50 buah pada setiap tanaman. Pada waktu panen selain biji dihasilkan pula limbah yang terdiri dari batang, daun dan kulit yang secara umum disebut jerami kedelai. ANONIMUS (1992) menyatakan bahwa di Jawa dan Bali, rata-rata produksi BK jerami kedelai adalah 1,59 ± 0,41 ton/ha; dengan peningkatan luas areal tanam rata-rata 9,47%/tahun. Pada umumnya jerami kedelai tersedia pada musim kemarau dengan puncak pada panen raya sekitar bulan Mei dan Agustus. Tabel 3. Perkiraan produksi jerami kedelai segar di beberapa kabupaten di Wilayah Propinsi Jawa Timur Nama kabupaten Banyuwangi Pasuruan Sampang Lamongan Jember Bojonegoro Ngawi Ponorogo Blitar Nganjuk Total
Produksi (ton/tahun) 145.905 116.619 89.511 75.126 66.009 61.932 59.529 57.213 37.434 32.556 741.834
Data yang ditampilkan adalah kabupaten penghasil produk di atas rata-rata dari seluruh kabupaten Sumber: Dinas Pertanian Propinsi Jawa Timur (diolah)
Dengan perkiraan produksi sebesar 741.834,00 ton/tahun terlihat bahwa potensi produksi jerami kedelai menempati urutan yang ke tiga setelah batang ubi kayu dan tongkol jagung.
Kulit coklat Di Indonesia, tanaman coklat (Theobroma cacao L) adalah tanaman dikotil yang termasuk famili Sterculiaceae merupakan tanaman perkebunan yang mempunyai arti ekonomi cukup tinggi sebagai komoditas ekspor. Coklat akan tumbuh baik pada tanah yang memiliki pH 6,0 –7,5, ketinggian tanah < 500m dpl dan suhu udara sekitar 30 – 32oC. Terdapat 3 (tiga) macam coklat yang banyak dibudidayakan di Indonesia yaitu Klon Djati Runggo (DR), Afrika Barat (AFBAR) dan Upper Amazon Hibrid (UAH). Menurut Nasution et al. (1985), coklat mulai berbuah setelah berumur 4 – 5 tahun dengan capaian puncak produksi pada umur 12 tahun dan masa panen 2 (dua) kali dalam setahun. Peluang usaha budidaya coklat nampaknya cukup cerah seiring dengan permintaan konsumen yang semakin meningkat. Luas areal tanaman coklat saat ini terus meningkat sekitar 5,7% per tahun dengan laju peningkatan produksi sekitar 12,91% per tahun (LACONI, 1998). Dengan adanya peningkatan produksi maka semakin meningkat pada ketersediaan limbahnya. Limbah pascapanen coklat meliputi kulit buah, kulit biji dan plasenta (DARWIS et al., 1989). Kulit buah atau yang populer dengan istilah cocoa pod husk merupakan limbah yang paling banyak jumlahnya (sekitar 75,67%) adalah bagian luar yang melindungi buah; mempunyai tekstur yang kasar, tebal dan keras. Perkiraan produksi kulit coklat yang dihasilkan dari Propinsi Jawa Timur secara lengkap ditampilkan pada Tabel 4. Tabel 4. Perkiraan produksi kulit coklat segar di beberapa kabupaten di wilayah Propinsi Jawa Timur Nama kabupaten
Produksi (ton/tahun)
Jawa Timur Banyuwangi Jember Lumajang
24.410,26 8.770,64 2.784,31
Total
35.965,21
Data yang ditampilkan adalah kabupaten penghasil produk di atas rata-rata dari seluruh kabupaten Sumber: Dinas Pertanian Propinsi Jawa Timur (diolah)
895
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
SMITH dan ARDEGBOLA (1982) menyatakan bahwa kulit coklat masih jarang digunakan oleh peternak; selain karena bentuk fisik yang keras juga karena kandungan seratnya sangat tinggi (WONG dan OSMAN, 1989). Dengan produksi total sekitar 35.965,21 ton/tahun maka ketersediaanya dibandingkan dengan batang ubi kayu, tongkol jagung dan jerami padi adalah lebih rendah. Kulit kopi Kopi (Coffea spp) tidak hanya dikenal sebagai komoditas ekspor, tetapi dikenal juga sebagai bahan minuman khas yang cukup banyak dikonsumsi oleh masyarakat di dalam negeri. Menurut hasil survei, rata-rata penduduk Indonesia mengkonsumsi kopi sebanyak 0,5 – 0,7 kg/orang/tahun (ANONIMUS, 2004). Tabel 5. Potensi produksi kulit kopi segar di beberapa kabupaten di wilayah Propinsi Jawa Timur Wilayah Jawa Timur a. Kopi Arabika Magetan Probolinggo Situbondo Pasuruan Malang (Kab.) Jember b. Kopi Robusta Malang (Kab.) Jember Banyuwangi Bondowoso Lumajang Blitar Pasuruan Total i dan ii
Produksi (ton/tahun)
198,22 192,35 171,00 149,31 124,00 102,66 5.638,72 2.304,89 1.608,18 1.439,56 1.385,96 963,30 739,72 15.017,86
Data yang ditampilkan adalah kabupaten penghasil produk di atas rata-rata dari seluruh kabupaten Sumber: Dinas Pertanian Propinsi Jawa Timur (diolah)
Lebih dari 90% tanaman kopi di Indonesia, dibudidayakan oleh rakyat dengan penerapan
896
teknologi sederhana sehingga pada umumnya mempunyai kualitas produk yang bermutu rendah. Namun demikian pada tahun 2001, kopi mampu menghasilkan devisa yang menduduki peringkat pertama diantara komoditas ekspor perkebunan yang lain ANONIMUS (dalam NAJIYATI dan DANARTI, 2004). Tanaman kopi akan tumbuh optimal di daerah yang mempunyai curah hujan antara 2000 – 3000 mm/tahun, pH tanah antara 4,5 – 6,5 dengan ketinggian 400 – 700 m dpl. Buah kopi memerlukan waktu yang bervariasi untuk menjadi masak (dari warna hijau menjadi warna merah) sekitar 8 – 11 bulan pada kopi Robusta dan 9 – 8 bulan untuk kopi Arabica. Pemekaran bunga terjadi pada musim kemarau dan berkembang menjadi buah yang masak; siap dipetik pada akhir musim kemarau. Buah kopi terdiri atas dua bagian yaitu daging buah dan biji, daging buah terdiri dari lapisan luar (eksokarp), lapisan daging buah (mesokarp), dan lapisan kulit tanduk (endokarp) yang tipis dan keras. Bagian daging buah inilah yang kemudian dikeringkan dan mulai dikaji manfaatnya sebagai bahan pakan untuk sapi potong. Produksi kulit kopi di Propinsi Jawa Timur ditampilkan pada Tabel 5. Analisis kualitas Hasil analisis kualitas yang meliputi kandungan nutrisi beberapa bahan inkonvensional yang teridentifikasi ditampilkan dalam Tabel 6. Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa kandungan BK terendah terdapat pada ubi kayu yakni sebesar 54,46% dan tertinggi pada kulit coklat sebesar 93,78%; kandungan PK bahan berkisar antara 3,63 – 8,63% BK, SK antara 22,61 – 54,94% BK dan TDN antara 46,28 – 53,65% BK. Dengan kandungan protein yang < 20% dan SK > 18%, maka semua bahan inkonvensional yang teridentifikasi termasuk dalam bahan pakan sumber serat (SOEJONO et al. 2002). Berdasarkan kandungan nutrisi yang diperoleh maka diperkirakan produksi zat nutrisi dari bahan pakan inkonvensionalpotensial yang identifikasi di Propinsi Jawa Timur sebagaimana tertera pada Tabel 7. Berdasarkan data ketersediaan/produksi zat nutrisi dan dengan asumsi bahwa kebutuhan BK pakan untuk setiap UT (bobot badan 325
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
karena ketersediaan yang cukup melimpah pada musim panen sementara pemanfaatannya tidak maksimal atau perlu teknologi pengawetan; tempat produksi bahan, tempat yang jauh akan mengakibatkan harga bahan menjadi mahal karena biaya transportasi; cara pengumpulan bahan yang sulit ataupun keterbatasan kualitas serta kandungan zat antinutrisi di dalamnya (DAVENDRA, 1988 dalam SOEBARINOTO, 2000).
kg) adalah sebesar 3% bobot badan (ZEMMLINK, 1981); 40% berupa konsentrat dan 60% hijauan maka perkiraan jumlah ternak yang dapat memanfaatkan pakan tersebut secara rinci ditampilkan pada Tabel 8. Walaupun potensinya ada/mencukupi, belum tentu bahan pakan tersebut dapat seluruhnya dimanfaatkan sebagai bahan pakan karena adanya beberapa kendala antara lain: musim panen, bahan dapat terbuang percuma
Tabel 6. Kandungan nutrisi beberapa bahan pakan inkonvensional – potensial Uraian
Nama bahan BK (%)
PK (% BK)
SK (% BK)
TDN (% BK)
Batang ubi kayu
63,28
5,95
39,36
53,52
Jerami kedelai
70,53
8,35
40,81
52,98
Tongkol jagung
70,29
3,85
27,53
52,80
Kulit coklat
54,16
9,36
29,07
49,18
Kulit Kopi
51,42
8,12
37,41
50,27
Sumber: LABORATORIUM LOLIT SAPI POTONG (2005)
Tabel 7. Produksi zat nutrisi bahan pakan inkonvensional – potensial di Propinsi Jawa Timur BK
Nama bahan
PK
TDN
ton/tahun
Batang ketela pohon
1.893.007,94
111.687,47
1.013.137,85
Tongkol jagung
1.191.888,73
43.265,56
629.317,25
Jerami kedelai
523.215,52
43.688,50
277.199.58
Kulit coklat
19.479,48
1.822,31
9.580,20
Kulit kopi
7.722,18
626,73
3.882,17
Sumber: LABORATORIUM LOLIT SAPI POTONG (2005), diolah
Tabel 8. Perkiraan daya tampung ternak berdasarkan potensi BK bahan pakan inkonvensional-potensial Wilayah
Potensi BK
Batang ubi kayu
Daya Tampung Ternak (UT)
1.893.007,94
2.355.374,53
Tongkol jagunga
1.191.888,73
1.554.975,51
Jerami kedelaib
523.215,52
59.298,26
a
Kulit coklat
19.479,48
10.074,60
Kulit kopia
7.722,18
291.817,32
Total a
a
3.635.313,85
4.271.540,22
Asumsi maksimal penggunaan 20% konsentrat Asumsi maksimal penggunaan 60% BK ransum (sebagai hijauan)
b
Sumber: Dinas Pertanian Propinsi Jawa Timur (diolah)
897
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
KESIMPULAN
Grace, M.R. 1977. Cassava Processing. FAO of United Nations. Rome.
Telah teridentifikasi 5 macam bahan pakan inkonvensional yang jumlahnya cukup potensial di Propinsi Jawa Timur berturut-turut adalah batang ubi kayu (terkonsentrasi di 11 kabupaten); tongkol jagung (terkonsentrasi di 16 kabupaten) jerami kedelai (terkonsentrasi di 10 kabupaten); kulit coklat (terkonsentrasi di 3 kabupaten; dan kulit kopi (terkonsentrasi di 6 kabupaten di Jawa Timur). Produksi batang ubi kayu, tongkol jagung, jerami kedelai, kulit coklat dan kulit kopi di Jawa Timur dapat dimanfaatkan sebagai pakan substitusi oleh ternak ruminansia secara berturut-turut adalah 2.355.374,53Unit Ternak (UT), 1.554.975,51 UT, 59.298,26 UT, 10.074,60UT dan 291.817,32 UT. Disimpulkan bahwa produksi bahan pakan in konvensional asal limbah berpotensi digunakan sebagai pakan substitusi namun memerlukan inovasi teknologi dan introduksi pada peternak agar dapat dimanfaatkan secara optimal.
HARDIANTO, R., D.E. WAHYONO, C. ANAM, SURYANTO, G. KARTONO dan S.R. SOEMARSONO. 2002. Kajian Teknologi Pakan Lengkap (Complete feed) sebagai peluang agribisnis bernilai komersial di pedesaan. Makalah Seminar dan Ekspose Teknologi Spesifik Lokasi. Agustus 2002. Badan Litbang Pertanian, Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA ANONIMUS. 1992. Inventarisasi Limbah Pertanian Jawa dan Bali. Direktorat Jenderal Peternakan dan Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. ANONIMUS. 2004. Data Luas Areal dan Produksi Tanaman produksi di Jawa Timur. Dinas Perkebunan propinsi Jawa Timur. ARYOGI, U. UMIYASIH, D.B. WIJONO dan D. WAHYONO. 2000. Pengkajian rakitan teknologi penggemukan sapi potong. Pros. Seminar Hasil Penelitian/Pengkajian BPTP Karangploso T.A. 1998/1999. BPTP Karangploso, Malang. CHUZAEMI, S. 2002. Arah dan sasaran penelitian nutrisi sapi potong di Indonesia. Workshop Sapi Potong Lokalit Sapi Potong. Puslitbang Peternakan, Bogor. DARWIS, A.A., E. SUKMA, R. PURNAWATI dan TUN TEDJA. 1989. Biokonversi Limbah Lignoselulosa ole Trichoderma virideae dan Aspergillus niger. Laporan Penelitian Lab. Bioindustri. PAU Bioteknologi. IPB, Bogor. FAO. 1988. Non Conventional Feed Resosources in Asia and The Pasific. Advances in Availability and Utilization. Third Edition. Food and agricultural Organization of The United Nations. Regional Animal production and Health Commision for Asia and the Pasific. Bangkok.
898
HARYATI, T. dan A.I. SUTIKNO. 1994. Peningkatan Nutrisi Kulit Biji Coklat Melalui Bioproses Menggunakan Kapang. Ilmu dan Peternakan. Balitnak, Ciawi - Bogor. HETTENHAUS, J. 2002. Talking about corn stover with Jim Hettenhaus. A Publication of The Institute for Local Self-Reliance. 4(2). http://www.carbohydrateeeconomy.org/library /admin/uploadefiles/Talking_About_Corn_Sto ver_with_Jim_Hettenhaus.htm. MONTALDO, J.J. 1973. Cassava in The Nutrition of Broilers. Proc. of on Interdicipplinary Workshop. London. MUSOFIE, A. 1994. Optimasi penggunaan hijauan pakan dalam ransum sapi perah rakyat. Pros. Pertemuan Ilmiah Pengolahan dan Komunikasi Hasil Penelitian Sapi Perah. Sub Balitnak Grati, Pasuruan. NAJIYATI, S. dan DANARTI. 2004. Kopi Budi Daya dan Penanganan Pascapanen. Penebar Swadaya, Jakarta. NASUTION, Z., W. CIPTADI dan B.S. LAKSMI. 1985. Pengolahan Coklat. Agroindustri Press. Jurusan Teknologi industri Pertanian. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. PAMUNGKAS, D. dan N.K. WARDHANI. 1992. Evaluasi dan Permasalahan Pakan Sapi Madura. Pros. Pertemuan Ilmiah Hasil Penelitian dan Pengembangan sapi Madura. Sub Balitnak Grati. SMITH, O.B. dan A.A. ADEGBOLA. 1982. Evaluation of Cocoa Pods as A Feed Ingredient for Ruminant in Nigeria. FAO. Animal Prod. and Health Paper. Rome. SOEBARINOTO. 2000. Ketersediaan Pakan untuk Mendukung Program Pengembangan Sapi Potong di Jawa Seminar Strategi Pengembangan Sapi Potong di Jawa Timur. Timur. Universitas Brawijay, Malang. SOEJONO M, R. UTOMO, S.P.S. BUDHI dan A. AGUS. 2002. Mutu Pakan Sapi Potong Ditinjau dari Kebutuhan Nutrisi. Koordinasi Pengawasan Mutu Pakan. Dinas Peternakan Propinsi Jawa Timur, Surabaya.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
STATISTIK PETERNAKAN. 2003. Buku Statistik Peternakan Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan Departemen Pertanian Jakarta WONG, H.K. dan A.H. OSMAN. 1986. The Nutrive Value and Rumen fermentation Pattern in
Sheep Feed Fresh and Dried Cocoa Pod Ration. Canberra. ZEMMLINK, G. 1981. Nutrisi and Feed Suply. In: Feasibility Study Dairy Development in East Java. Directorat of Higher Education, Jakarta, Indonesia.
899