POTENSI GENETIK KUDA LOKAL DI SULAWESI UTARA SEBAGAI SUMBER BIBIT KUDA INDONESIA
BEN JUVARDA TAKAENDENGAN
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Potensi Genetik Kuda Lokal di Sulawesi Utara sebagai Sumber Bibit Kuda Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Juli 2011
Ben Juvarda Takaendengan NIM. D161070031
ABSTRACT
BEN JUVARDA TAKAENDENGAN. Genetic Ability of North Sulawesi Local Horse to be Indonesian Horse Stock. Under direction of RONNY RACHMAN NOOR, CECE SUMANTRI and SRI ADIANI. The study was carried out in five experiments. The first experiment was to study the characterization of morphology, phenotype variability and genetic distance of 193 mares and 309 stallions of North Sulawesi local horse. The results show that Tomohon population had higher body weights and body measurements (P<0.05) than those of from three other areas (Manado, Minsel, and Minahasa). The hip width is the most discriminant variable to determine the differences among Minahasa local horse population. The results support establishment of strategy to promote the use and development of local adapted horse resources. The second research was to analysis of local horse coat color pattern in North Sulawesi. The most coat color in the four areas is bay, chestnut, bay-cream, chestnut-cream, roan, black, white and spotted. The dominant coat color is bay and chestnut. Genetic distance analyses results indicate that the horse from Manado, Minahasa and Minahasa Selatan are clustered in one group and separated to Tomohon population with the genetic distance between the two clusters was 0.002244. The genetic distance of the horse from Manado and Minahasa was 0.000164. On the other hand, the genetic distance of the horse from Manado and Minahasa group and Amurang was 0.001006. The objective of third research was to estimate the polymorphisms of the Alb, PAlb, Tf, PTf-1, PTf-2, and Hgb in North Sulawesi's native horses. This study used PAGE method to identify protein. Genotyping was performed on 148 samples of horse blood from Manado, Tomohon, South Minahasa and Minahasa. The result showed that the highest allele frequency was found in locus for PTf-1 allele A was equal to 1,0 and the lowest allele frequency was found in locus for PTf-1 allele B. Alb locus were in Hardy-Weinberg equilibrium. Hgb type ά was found in two types (type 1 & 2) with consecutive genotype frequencies were 0.51 and 0.49 respectively. The populations of horses in Tomohon have a far relationship with the population in the area of South Minahasa, Minahasa, and Manado. Horse blood protein polymorphisms were found for Alb, PAlb, Tf and Hgb. The fourth study was to estimate the repeatability of racing-speed and ability to maintain the running speed traits in Indonesian racehorses. Results showed that the racingspeed of 2 y.o male and female Indonesian racehorses are different (P<0.05). Mean of fastest racing-speed was shown by the group of above 4 y.o. Estimates of speed repeatability range from moderate to high (0,28 to 0,74); was highest for the group of 4 y.o and lowest for the group of 3 y.o. Estimated repeatability of ability to maintain a running speed horse which ran at decreased speed and increased speed were ranged from moderate to high (0.77 & 0.34), respectively. These results indicate that a moderate level of genetic progress might be possible for racing performance of Indonesian racehorse if selection is based on the phenotypic values of the horses, particularly on racing-speed and maintain a running speed horses. The last study was to reach the specification of social economic of horse breeder in North Sulawesi and to estimate the association between social-economic structure and the degree of knowledge of people. The results show that the social-economic condition of the local breeder was dominated by farmers which have knowledge were equal to high school degree. The typical of these results showed that the possible strategy to increase the people knowledge was required. Keyword: genetic, local horse, repeatability, running, maintaining, speed
RINGKASAN
BEN JUVARDA TAKAENDENGAN. Potensi genetik kuda lokal Sulawesi Utara sebagai Sumber Bibit Kuda Indonesia. Dibimbing oleh RONNY RACHMAN NOOR, CECE SUMANTRI dan SRI ADIANI. Penelitian ini dilakukan dalam lima kajian. Penelitian pertama untuk mempelajari karakterisasi morfologi, keragaman genetik dan jarak genetik kuda lokal Sulawesi Utara. Tujuan penelitian adalah mendapatkan keragaman morfometri dari kuda lokal di Minahasa. Bobot badan dan ukuran tubuh diperoleh dari 193 kuda betina dan 309 kuda jantan dewasa. Analisis multivarian digunakan untuk mendeskripsikan baik bentuk maupun ukuran tubuh dari empat sub-populasi kuda di Sulawesi Utara yaitu, Tomohon, Manado, Minahasa Selatan dan Minahasa. Metode statistic yang digunkkan adalah general linear model (PROCGLM), analisis diskriminan (PROCDISCRIM) dan analisis komponen utama (PROCPRINCOMP) dari paket statistik SAS versi 9.2 dan MEGA 4 untuk membuat konstruksi filogenitas. Hasil menunjukkan bahwa subpopulasi di Tomohon memiliki ukuran tubuh dan bobot badan lebih tinggi (P<0.05) dari ketiga sub-populasidi ketiga daerah lainnya (Manado, Minahasa Selatan dan Minahasa). Lebar pinggul adalah peubah pembeda paling utama yang membedakan kuda lokal di Sulwesi Utara. Hasil ini mendukung strategi pemberdayaan dalam rangka memperkenalkan pemanfaatan dan pengembangan sumberdaya ternak kuda lokal. Penelitian kedua adalah menganalisis karakteristik pola warna bulu kuda lokal Sulawesi Utara dengan tujuan untuk mendapatkan keragaman fenotip dan genotip dari pola warna bulu kuda Sulawesi Utara. Penelitian ini dilakukan di empat lokasi di Sulawesi Utara (Tomohon, Manado, Minahasa Selatan dan Minahasa). Analisis jarak genetik didasarkan pada penampilan warna bulu dimana hasilnya menunjukkan bahwa warna bulu yang terdapat pada keempat daerah tersebut adalah bay, chestnut, bay-cream, chestnut-cream, roan, black, white dan spotted. Warna bulu dominan adalah bay dan chestnut. Jarak genetik menunjukkan bahwa kuda dari Manado, Minahasa dan Minahasa Selatan tergabung dalam satu kelompok gen dan terpisah jauh dengan populasi kuda di Tomohon dengan jarak 0.002244. Jarak genetik kuda Manado dari kuda Minahasa adalah 0.000164. Sedangkan jarak genetik kuda Manado dan Minahasa dengan kuda Minahasa Selatan adalah 0.001006. Jarak genetik yang dekat menunjukkan kedekatan genetik antara dua populasi. Penelitian ketiga bertujuan untuk menduga polimorfisme dari lokus Albumin, Post Albumin, Transferrin, Post Transferrin-1, Post Transferrin-2, dan Hemoglobin pada kuda lokal Sulawesi Utara berdasarkan metode indentifikasi protein darah PAGE. Genotiping dilakukan terhadap 148 sampel darah kuda yang berasal dari Manado, Tomohon, Minahasa Selatan dan Minahasa. Genotipe dan frekuensi alel, keseimbangan Hardy-Weinberg, heterozigositas, jarak genetik dan pohon filogenetik dilakukan sebagai gambaran terjadinya polimorfisme protein darah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi alel tertinggi terdapat apada lokus PTf-1 alel A (1,00) dan terendah ditemukan opada lokus PTf-1 alel B. Lokus albumin berada dalam keadaan seimbang menurut hokum Hardy-Weinber. Hemoglobin tipe alfa (ά) ditemukan dalam bentuk dua tipe yaitu, tipe 1 dan 2 dengan frekuensi genotipe 0.51 dan 0.49. Rataan heterozygositas pada semua populasi adalah sampai 0,63. Sub populasi kuda di Tomohon mempunyai jarak terjauh dibandingkan population di Minahasa Selatan, Minahasa, dan Manado. Polimorfisme protein darah ditemukan pada Albumin, Post Albumin, Transferrin and Hemoglobin. Penelitian keempat dilakukan untuk menduga nilai repitabilitas sifat kecepatan dan sifat mempertahankan
kecepatan lari pada kuda pacu di Sulawesi Utara, dimana penelitian ini akan sangat bermanfaat dalam pengembangan kuda pacu Indonesia melalui program seleksi. Sifat kecepatan kuda diperoleh pada kelompok kuda usia 2, 3, 4, dan lebih dari 4 tahun, sedangkan data untuk sifat kemampuan mempertahankan kecepatana dilakukan pada kelompok jarak berbeda (1200, 1400 & 1600 m; 800, 1200, 1400 & 1600 m) pada setiap lomba yang diperoleh dari data catatan perlombaan pacuan kuda yang diselenggarakan oleh PORDASI (persatuan olahraga berkuda Indonesia) dari 1998–2008. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecepatan kuda pada umur 2 tahun berbeda nyata (P<0.05). Rataan kecepatan lari tertinggi terdapat pada kelompok usia diatas empat tahun. Nilai pendugaan repitabiltas untuk sifat kecepatan lari berkisar dari sedang sampai tinggi (0,28 to 0,74) dimana nilai tertinggi terdapat pada kelompok empat tahun dan terendah pada kelompok tiga tahun. Kelompok jantan dua tahun menunjukkan nilai repitabiliotas lebih tinggi deibandingkan kelompok lainnya. Pendugaan nilai repitabilitas dari saifat kemampuan mempertahankan kecepatan berada pada kisaran sedang sampai tinggi (0,77 and 0,34). Kuda pacu yang mengalami penurunan kecepatan lari dapat dikembangkan sebagai kuda pacu untuk lari jarak pendek atau kuda tipe sprint, sedangkan yang dapat meningkat kecepatannya di anjurkan dijadikan kuda pacu tipe jarak jauh atau tipe endurance. Penelitian pendugaan nilai heritabilitas menggambarkan tingkatan kemajuan genetik kategori sedang dapat dilakukan terhadap kuda pacu Indonesia apabila didasarkan pada sifat kecepatan lari dan sifat mempertahankan kecepatan berlari. Penelitian terakhir dilakukan untuk mendapatkan spesifikasi kondisi sosial ekonomi para peternak kuda di Sulawesi Utara. Penelitian dilakukan dengan menggunakan lembar pertanyaan dan dianalisis secara deskriptif untuk menduga adanya keterkaitan antara struktur sosial ekonomi masyarakat peternak dengan tingkatan pengetahuan beternak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi sosial ekonomi peternak kuda di Sulawesi Utara didominasi oleh para petani dengan tingkat pengetahuan setara lulusan sekolah menengah atas. Secara tipikal, penelitian ini menggambarkan kemungkinan diperlukan suatu perencanaan dalam meningkatkkan pengetahuan petani peternak. Kata kunci: genetik, kuda lokal, repitabilitas, kecepatan lari.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
POTENSI GENETIK KUDA LOKAL DI SULAWESI UTARA SEBAGAI SUMBER BIBIT KUDA INDONESIA
BEN JUVARDA TAKAENDENGAN
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Judul Disertasi
: POTENSI GENETIK KUDA LOKAL DI SULAWESI UTARA SEBAGAI SUMBER BIBIT KUDA INDONESIA.
Nama
: BEN JUVARDA TAKAENDENGAN
Nomor Pokok
: D161070031
Disetujui : Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Ronny R. Noor, MRurSc. Ketua
Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri MAgrSc Anggota
Dr. drh. Sri Adiani Anggota
Mengetahui: Ketua Program Studi/Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
Dr. Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA NIP. 19620504 198703 2 002
Tanggal Ujian: 26 Juli 2011
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah MScAgr NIP. 19650814 199002 1 001
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Segala puji syukur hanya bagimu Tuhan Yang Mahakuasa atas segala berkat dan rahmatNya sehingga penulisan hasil penelitian disertasi dengan judul “Potensi genetik kuda lokal di Sulawesi Utara sebagai sumber bibit kuda Indonesia” dapat diselesaikan. Disertasi ini merupakan salah satu syarat dalam penyelesaian program pendidikan doktoral pada program studi Ilmu Teknologi Peternakan (ITP), Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada Prof. Dr. Ir. Ronny Rachman Noor MRurSc; Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri MAgrSc dan Dr. drh. Sri Adiani selaku komisi pembimbing atas semua arahan dan masukan yang telah diberikan selama penelitian dan penulisan disertasi. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Pollung Siagian MS, Prof Dr. Ir. Ahmad Thohari DEA, Prof Dr Kusuma Diwyanto, Dr. Ir. Kartiarso MSc dan Dr drh. Frederick D Rotinsulu yang telah banyak memberikan saran dan memperluas wawasan keilmuan kepada Penulis selama pendidikan. Berbagai pihak yang telah banyak membantu selama berlangsungnya studi, khususnya kepada Dr. Ir. Rarah R. Maheswari, DEA selaku ketua program studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Direktorat Pendidikan Tinggi Kemendiknas sebagai pemberi bantuan beasiswa pendidikan pascasarjana (BPPS) dan bantuan penelitian Hibah Doktor, pimpinan Universitas Sam Ratulangi dan Fakultas Peternakan Manado atas kesempatan kepada Penulis untuk melanjutkan pendidikan, Pemerintah Daerah Sulawesi Utara, Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan dan Pemerintah Kota Manado atas bantuan pendidikan dan fasilitas tempat tinggal selama menempuh studi di Bogor serta Dekan Sekolah Pascasarjana IPB atas pendidikan terbaik yang diterima Penulis untuk mengembangkan pengetahuan. Ucapan terima kasih juga Penulis sampaikan kepada para teknisi laboratorium dan adikadik tim peneliti dari bagian Pemuliaan dan Genetika, Fapet, IPB (Erick, Priscilia, Vania, Cyntia, Fuad dan Justian) yang telah banyak membantu dalam penelitian. Staf administrasi (Supri) dan segenap teman-teman seperjuangan program studi ITP 2007 (Suryana, Aron Batubara, Bambang Ngaji Utomo dan Eko Hardiwiryawan). Semoga segala bantuan yang pernah Penulis terima akan mendapat balasan dari Tuhan Yang Maha Pengasih. Terakhir Penulis sampaikan terima kasih
kepada sahabat-sahabat mahasiswa asal Sulawesi Utara (Tommy, Leidy, Debby, Aser, En, dan Yunita) atas kerjasama yang baik selama tinggal di Bogor. Semua karya ini Penulis persembahkan bagi Istri dan anak-anakku: Dr. Grace Esther Caroline Korompis MHSM, Mel Dickson Benjamin Takaendengan dan Naomi Varine Takaendengan atas segala pengorbanan dan kesetiaan menemani dan mendukung Penulis selama studi S3 di Bogor. Tiada gading yang tak retak, kiranya segala kekurangan dan kesalahan yang Penulis perbuat baik disengaja maupun tidak selama studi sampai selesai disertasi ini dapat dimaafkan. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa selalu memberikan berkat dan anugerahNya bagi kita sekalian. Sekian dan Terima Kasih!
Bogor, Juli 2011
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Ben Juvarda Takaendengan dilahirkan di Manado, Sulawesi Utara pada tanggal 3 Juni 1967 dari pasangan Prof. Drs. JDP Takaendengan(Alm) dan Nontje I. Wenas sebagai anak kedua dari empat bersaudara. Menikah dengan dr. Grace E.C. Korompis MHSM dan dikaruniai dengan dua orang putra-putri Mel Dickson Benjamin (4 Tahun) dan Naomi Varine (2 Tahun). Pendidikan sarjana ditempuh pada Fakultas Peternakan Jurusan Produksi dan Teknologi Ternak, Universitas Sam Ratulangi, Manado. Lulus pada tahun 1990 dan diangkat menjadi staf pengajar Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi sejak tahun 1993 sampai sekarang. Tahun 1995 mendapatkan beasiswa magister pada Program Magister Sains (S2) di Program Ilmu Peternakan (PTK), Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia dan lulus pada tahun 1998. Selanjutnya Penulis mendapat kesempatan kembali melanjutkan pendidikan ke tingkat doktoral (S3) pada tahun 2007 pada program studi/ mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan dengan minat Ilmu Pemuliaan dan Genetika, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor dengan bantuan beasiswa pendidikan (BPPS) untuk kedua kalinya dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia dan tahun 2009 mendapatkan bantuan penelitian Hibah Doktor dalam rangka penyelesaian disertasi.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang ...................................................................................................................... 1 Tujuan Penelitian .................................................................................................................. 4 Manfaat Penelitian ................................................................................................................ 4 Ruang Lingkup Penelitian..................................................................................................... 5 TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Perkembangan Bangsa Kuda di Dunia dan di Indonesia ......................................... 7 Bangsa Kuda di Indonesia .................................................................................................... 9 Pelestarian Sumber Daya Genetik Bangsa Kuda Indonesia ............................................... 11 Sifat Kuantitatif dan Kualitatif ........................................................................................... 12 Karakter Morfologi, Penanda Biokimia dan Immunogenetik............................................. 15 Polimorfisme Protein Darah ............................................................................................... 16 Keragaman Genetik ............................................................................................................ 17 MATERI DAN METODE Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian.................................................................................. 21 KARAKTERISASI MORFOLOGI, KERAGAMAN FENOTIP DAN JARAK GENETIK KUDA LOKAL SULAWESI UTARA 1. Pendahuluan ............................................................................................................ 23 2. Materi dan Metode .................................................................................................. 24 3. Hasil dan Pembahasan ............................................................................................ 28 4. Simpulan ................................................................................................................. 34 KARAKTERISASI DAN KERAGAMAN POLA WARNA, CORAK TUBUH DAN JARAK GENETIK KUDA LOKAL SULAWESI UTARA 1. Pendahuluan .................................................................................................................. 35 2. Materi dan Metode ........................................................................................................ 35 3. Hasil dan Pembahasan .................................................................................................. 37 4. Simpulan ...................................................................................................................... 43
KERAGAMAN DAN JARAK GENETIK KUDA LOKAL BERDASARKAN ANALISIS ELEKTROFORESIS PROTEN DARAH 1. Pendahuluan .................................................................................................................. 45 2. Materi dan Metode ........................................................................................................ 45 3. Hasil dan Pembahasan .................................................................................................. 49 4. Simpulan ....................................................................................................................... 54 PENDUGAAN REPITABILITAS SIFAT KECEPATAN DAN KETAHANAN LARI PADA KUDA PACU DI SULAWESI UTARA 1. Pendahuluan .................................................................................................................. 55 2. Materi dan Metode ........................................................................................................ 56 3. Hasil dan Pembahasan .................................................................................................. 58 4. Simpulan ....................................................................................................................... 68 STRUKTUR SOSIO-EKONOMI PETERNAK KUDA DI SULAWESI UTARA 1. Pendahuluan .................................................................................................................. 71 2. Materi dan Metode ........................................................................................................ 71 3. Hasil dan Pembahasan .................................................................................................. 72 4. Simpulan ....................................................................................................................... 78
PEMBAHASAN UMUM ......................................................................................................... 79 SIMPULAN UMUM ………………………………………………………………………...85 SARAN ..................................................................................................................................... 86 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 87 LAMPIRAN……………………..……………………………………………………………95
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1
Karakteristik Kuda Lokal Indonesia……………………………………..
10
Tabel 2
Lokus yang digunakan dalam analisis perbedaan antar bangsa kuda, nilai total keragaman gen (HT), koefisien diferensiasi gen (GST) dan rataan keragaman gen (HS)……………………………………………………..
19
Deskripsi morfometrik kuda lokal berdasarkan kelompok jenis kelamin dan lokasi………………………………………………………………..
29
Total struktur kanonikal peubah bobot badan dan ukuran tubuh kuda lokal Sulawesi Utara……………………………………………………….......
30
Nilai Eigen dan ragam total kedua faktor pengukuran tubuh kuda lokal Sulawesi Utara……………………………………………………………
31
Tabel 6
Matriks jarak genetik antar kelompok populasi kuda di Sulawesi Utara
33
Tabel 7
Lokus warna bulu kuda………………………………………………….
36
Tabel 8
Distribusi geografi dan frekuensi fenotipik warna bulu kuda lokal Sulawesi Utara……………………………………………………………
38
Tabel 9
Genotipik warna bulu kuda Sulawesi Utara…………………………….
39
Tabel 10
Frekuensi gen warna bulu kuda Sulawesi Utara………………………..
40
Tabel 11
Matriks jarak genetik pola warna bulu antara kuda lokal di Tomohon, Manado, Kabupaten Minahasa dan Minahasa Selatan………………….
40
Tabel 12
Frekuensi corak kaki (%) pada sub-populasi kuda di Sulawesi Utara…
42
Tabel 13
Frekuensi corak kepala (%) pada sub-populasi kuda di Sulawesi Utara
42
Tabel 14a
Frekuensi genotip lokus Albumin dan Post Albumin kuda lokal Sulawesi Utara………………………………………………………………………
48
Frekuensi genotip lokus Transferin dan Hemoglobin Alfa kuda lokal Sulawesi Utara……………………………………………………………
50
Frekuensi alel pada lokus Alb, PAlb dan Tf pada kuda lokal Sulawesi Utara………………………………………………………………………
52
Frekuensi alel pada lokus PTf-1 dan PTf-2 pada kuda lokal Sulawesi Utara………………………………………………………………………
52
Tabel 3
Tabel 4
Tabel 5
Tabel 14b
Tabel 15a
Tabel 15b
Tabel 16
Heterozigositas kuda lokal Sulawesi Utara……………………………….
52
Tabel 17
Keseimbangan Hardy-Weinberg berdasarkan uji Khi Kuadrat (χ2)……….
53
Tabel 18
Jarak genetik lokus Alb, PAlb, Tf, PTf-1 dan PTf-2……………………
53
Tabel 19
Tabel analisis ragam……………………………………………………..
57
Tabel 20
Rataan kecepatan lari (m/dtk) kuda pacu Indonesia jantan dan betina pada berbagai kelompok umur………………………………………………..
58
Nilai dan sifat kecepatan lari kuda pacu Indonesia jantan dan betina pada berbagai kelompok umur………………………………..
60
Nilai repitabilitas kecepatan lari kuda pacu Indonesia jantan dan betina pada berbagai kelompok umur……………………………….
61
Rataan nilai percepatan (detik) pada selisih jarak 1200, 1400 dan 1600 meter…………………………………………………………..
63
Rataan nilai percepatan (detik) pada selisih jarak 800, 1200, 1400 dan 1600 meter………………………………………………………
64
Rataan nilai perlambatan (detik) pada selisih jarak 1200, 1400 dan 1600 meter…………………………………………………………..
65
Rataan nilai perlambatan (detik) pada selisih jarak 800, 1200, 1400 dan 1600 meter………………………………………………………
66
Nilai repitabilitas kemampuan kuda pacu dalam mempertahankan kecepatan berlari pada selisih jarak yang berbeda…………………..
67
Tabel 28
Karakteristik peternak/pemelihara kuda di Sulawesi Utara…………
73
Tabel 29
Skala pengetahuan peternak kuda dalam berbagai aspek peternakan di kabupaten Minahasa, Minahasa Selatan dan kota Tomohon……..
74
Potensi pengembangan usaha peternakan berdasarkan pertimbangan tingkat pengetahuan masyarakat di empat lokasi di Sulawesi Utara………………………………………………………………...
76
Tabel 21
Tabel 22
Tabel 23
Tabel 24
Tabel 25
Tabel 26
Tabel 27
Tabel 30
DAFTAR GAMBAR Halaman
Gambar 1.
Diagram alir kerangka pemikiran………………
6
Gambar 2.
Filogeni kuda domestik Equus caballus diantara pyla mamalia lainnya…………………………..
7
Kuda Przewalski yang merupakan cikal bakal kuda modern…..…………………………….....
8
Berbagai bentuk pemanfaatan ternak kuda, seperti untuk tunggangan, menarik delman dan mengangkut beban……………………………..
9
Gambar 5.
Bangsa kuda di Indonesia………….…………..
9
Gambar 6.
Pengambilan sampel darah kuda……………….
21
Gambar 7.
Sketsa ukuran tubuh kuda………………………
25
Gambar 8.
Penyebaran populasi kuda di Sulawesi Utara berdasarkan ukuran fenotipik…………………..
32
Dendogram jarak Euclidean tingkat kesamaan ukuran tubuh pada empat sub-populasi kuda di Sulawesi Utara berdasarkan metode diskriminan…......................................................
33
Dendogram jarak Mahalanobis tingkat kesamaan pola warna bulu pada empat subpopulasi kuda lokal di Sulawesi Utara berdasarkan metode diskriminan… ……………
41
Contoh pola pita Alb, PAlb, Tf, PTf-1 dan PTf2 berdasarkan teknik PAGE……….…………..
50
Rekonstruksi pola pita PTf-1, PTf-2 Tf, PAlb dan Alb berdasarkan teknik PAGE………….....
50
Gambar 13
Contoh pola pita hemoglobin α……….………..
51
Gambar 14
Rekonstruksi pola pita hemoglobin α …………
51
Gambar 15.
Dendogram pohon genetik berdasarkan metode UPMGA………………………………………..
54
Gambar 3.
Gambar 4.
Gambar 9.
Gambar 10.
Gambar 11.
Gambar 12
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1a.
Populasi kuda per propinsi tahun 2002 s/d 2006..................................
95
Lampiran 1b.
Lampiran 1b. Populasi kuda di Sulawesi Utara……………………....
96
Lampiran 2a.
Peta Sulawesi Utara…………………………………………………..
97
Lampiran 2b.
Peta Kota Tomohon dan Kota Manado………………………………
98
Lampiran 2c.
Peta Kabupaten Minahasa dan Kabupaten Minahasa Selatan………..
98
Lampiran 3a
Penentuan umur kuda berdasarkan struktur gigi……………………..
99
Lampiran 3b.
Cara pengukuran morfometri/ ukuran tubuh kuda……………..……
100
Lampiran 3c.
Timbangan ternak/ hewan lapangan digital…………………..………
100
Lampiran 4a.
Warna bulu pada kuda…………………………………….………….
101
Lampiran 4b.
Contoh model daftar tabulasi morfologi dan pola warna………..……
102
Lampiran 5a.
Peralatan analisis elektroforesis protein darah…………………….….
103
Lampiran 5b.
Genotyping pita protein darah dan hemoglobin………………………
104
Lampiran 6a.
Rekapitulasi hasil uji-t kecepatan kuda pacu Indonesia antara jantan dan betina pada berbagai kelompok umur…………………….………
106
Rekapitulasi hasil uji-t kecepatan lari antara dua kelompok umur pada kuda pacu Indonesia jantan & betina…………………………..
106
Lampiran 6c
Analisis keragaman kecepatan lari kuda pacu jantan umur 2 tahun….
107
Lampiran 6d.
Analisis keragaman kecepatanl kuda pacu betina umur 2 tahun……..
108
Lampiran 6e
Analisis keragaman kecepatan lari kuda pacu jantan & betina umur 3 tahun…………………………………………………………………..
109
Analisis keragaman kecepatan lari kuda pacu jantan & betina umur 4 tahun…………………………………………………………………
110
Lampiran 6b.
Lampiran 6f.
Lampiran 6g.
Analisis keragaman kecepatan lari kuda pacu jantan & betina umur >
4 tahun………………………………………………………………..
111
Rekapitulasi hasil uji-t nilai penurunan kecepatan & peningkatan kecepatan antara jantan & betina……………………………………..
112
Analisis keragaman sifat peningkatan kecepatan berlari kuda pacu Indonesia pada jarak 1200, 1400 dan 1600 meter……………………
112
Analisis keragaman sifat penurunan kecepatan berlari kuda pacu Indonesia pada jarak 1200,1400 dan 1600 meter……………………
113
Analisis keragaman sifat penurunan kecepatan berlari kuda pacu Indonesia pada jarak 800, 1200,1400 dan 1600 meter……………….
114
Rataan nilai perlambatan (detik) pada selisih jarak 800, 1000, 1200 dan 1400 meter……………………………………………………….
115
Analisis keragaman sifat penurunan kecepatan berlari kuda pacu Indonesia pada jarak 800, 1000,1200 dan 1400 m……………….
115
Lampiran 8a
Daftar pertanyaan karakteristik peternak kuda……………………
116
Lampiran 8b.
Daftar pertanyaan faktor pemuliaan dan peproduksi……………….
117
Lampiran 8c.
Daftar pertanyaan faktor managemen pemeliharaan dan pakan……
118
Lampiran 8d.
Daftar pertanyaan faktor kesehatan dan kelembagaan………………
119
Lampiran 7a.
Lampiran 7b.
Lampiran 7c.
Lampiran 7d.
Lampiran 7e.
Lampiran 7f.
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Kuda Equus caballus dikenal sebagai ternak tunggangan, pengangkut beban, penarik kereta, pacuan dan
dijadikan
simbol
budaya
atau melambangkan status
sosial
kemasyarakatan. Selain itu, kuda juga dipelihara sebagai penghasil susu, kulit dan daging. Populasi kuda di Indonesia adalah ± 400 ribu ekor yang tersebar di beberapa daerah seperti Jawa Tengah, Yogyakarta, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan (BPS 2010) (Lampiran 1a). Bangsa kuda di Indonesia saat ini umumnya adalah hasil persilangan kuda lokal (Sandelwood pony) dengan bangsa kuda Eropa, Arab atau kuda Thoroughbred (Walker 2008; FSI 2009). Sulawesi Utara adalah salah satu dari beberapa daerah di Indonesia yang memiliki populasi kuda dengan berbagai macam pemanfaatan seperti untuk menarik bendi/ delman, tunggangan dan pacuan. Populasi kuda di Sulawesi saat ini diperkirakan ± 8000 ekor (Lampiran1b), hampir sepertiganya adalah tipe kuda pacuan dari jenis peranakan Thoroughbred dan sisanya adalah kuda lokal (Equestrian Indonesia 2008; BPS 2010). Selain masuknya beberapa kuda yang dibawa pada masa penjajahan Belanda sebagai ternak tunggangan dan pacuan, sejarah asal-usul kuda di Indonesia dan secara khusus di Sulawesi Utara belum tercatat dengan jelas (Equestrian Indonesia 2008). Minimnya informasi tentang sejarah kuda di Indonesia dikarenakan kurangnya pencatatan dan hasil penelitian, sehingga potensi untuk mengembangkan mutu genetiknya sangat sulit dan masih jauh dari harapan. Upaya seleksi dan persilangan dilakukan hanya pada penampilan fisik ternak berdasarkan pengetahuan umum peternak dan bukan didasarkan pada catatan-catatan yang lengkap dan informasi yang akurat. Fertilitas, umur dan tipe bangsa, karakteristik genetik seperti bobot badan dan ukuran morfometrik, kecepatan lari, daya tahan berlari, kemampuan menarik beban, waktu kerja, dan pertumbuhan adalah sifat-sifat kuantitatif yang berkaitan dengan fungsi produksi dan reproduksi kuda yang digunakan sebagai acuan dalam seleksi dan persilangan (Hintz 1980; Bowling & Ruvinsky 2004; Equestrian Indonesia 2008). Keterbatasan pengetahuan peternak, kurangnya usaha memperbaiki mutu genetik dan perilaku masyarakat yang menganggap bahwa kuda bukan sebagai ternak produksi untuk menghasilkan daging atau susu, dan hanya berfungsi sebagai ternak kerja, menarik delman
2
atau tunggangan menyebabkan usaha kearah peningkatan kemampuan genetik kuda lokal bukan menjadi hal yang penting untuk dilakukan. Hanya sedikit data dan catatan silsilah yang tersimpan oleh pemelihara perorangan ataupun lembaga/organisasi berkuda, karena berkaitan dengan syarat dan kelengkapan administrasi dalam pembuatan akte kelahiran. Parameter yang diukur juga terbatas pada ukuran bobot dan panjang badan yang merupakan standar pencatatan kelahiran atau syarat dalam penentuan kelas lomba pacuan kuda. Oleh sebab itu, masih banyak data karakteristik morfologi yang perlu diukur dan diolah secara maksimal melalui suatu analisis dan kajian yang mendalam untuk dimanfaatkan sebagai informasi dasar dan bahan acuan dalam perbaikan mutu genetik kuda. Peran lembaga penelitian seperti universitas, pusat kajian dan asosiasi berkuda perlu melakukan terobosan berupa penelitian yang terarah dan terintegrasi satu dengan lainnya untuk menghasilkan suatu kajian dan produk kuda yang semakin baik dan berkualitas. Perbaikan sistim pencatatan perlu ditingkatkan agar diperoleh informasi lengkap yang dapat dimanfaatkan dalam penelitian pengembangan ternak kuda. Karakterisasi sifat-sifat morfometri dan genetik kuda di Indonesia sangat mendesak untuk dilakukan mengingat faktor-faktor tersebut merupakan dasar pengetahuan untuk melihat kondisi dan potensi hewan tersebut untuk dijadikan patokan dalam upaya peningkatan dan pengembangan mutu genetik kuda. Faktor lainnya yang menyebabkan perkembangan populasi kuda semakin terbatas adalah pengaruh pesatnya perkembangan kendaraan bermotor, sehingga kuda hanya dikenal sebagai alat transportasi di pinggiran kota atau di desa (FSI 2009). Keberadaan kuda di Indonesia diduga merupakan hasil persilangan dari beberapa bangsa kuda Eropa dengan bangsa kuda lokal yang telah beradaptasi dengan lingkungan tempat hidupnya dan mampu menghasilkan keturunan yang fertil, sehingga populasi tersebut dapat dikatakan telah terbukti mampu mengatasi cekaman lingkungan yang oleh Noor (2008) menyatakan bahwa ternak-ternak seperti inilah yang cocok untuk dikembangkan di Indonesia. Perubahan genetik hanya dapat terjadi apabila terdapat faktor-faktor yang mengganggu kestabilan dalam populasi seperti adanya mutasi, seleksi alam atau buatan, migrasi (percampuran bangsa) dan penghanyutan genetik secara acak, karenanya perubahan genetik yang terjadi dapat dimanfaatkan untuk mengetahui proses evolusi suatu populasi bangsa ternak (Hartl & Clark 1997). Terdapat beberapa pendekatan teoritis untuk mengetahui potensi genetik pada kuda yaitu dengan menganalisa secara kuantitatif dan kualitatif beberapa parameter genetik seperti
3
frekuensi alel, frekuensi genotipe, sebaran gen dan asal-usul gen-gen dalam populasi. Diketahuinya frekuensi gen, komposisi alel dan tingkat keragaman maka asal-usul, kekerabatan dan jarak genetik dari populasi kuda dapat diketahui. Secara individu analisis kuantitatif seperti nilai pemuliaan, koefisien keragaman, heritabilitas, repitabilitas dan korelasi genetik, menurut Falconer (1996), dapat dipergunakan dalam penentuan kemampuan (sifat-sifat unggul) yang dimiliki seekor hewan untuk tujuan seleksi dan persilangan. Pendekatan ilmiah lainnya adalah dengan memanfaatkan penanda immunogenetik dan biokimia yang telah banyak dimanfaatkan dalam upaya pencatatan dan verifikasi keturunan dari kuda-kuda domestik (Cannet at al. 1984; Dawson et al. 1996). Hubungan antar subpopulasi kuda dapat diungkap dengan memanfaatkan teknologi pengujian sampel golongan darah dan polimorfisme protein darah (Hintz 1980; Bowling & Ruvinsky 2004). Analisis keragaman merupakan metode penting untuk melihat perbedaan fenotip dan genotip yang disebabkan oleh adanya seleksi, persilangan, mutasi dan genetik drift, juga dapat dimanfaatkan untuk mengetahui jarak genetik dari beberapa bangsa kuda yang telah ada (Komenes 1999). Keragaman fenotip dapat diketahui melalui pengamatan baik secara kualitatif visual tampilan luar seperti warna dan corak bulu pada kuda maupun secara kuantitatif yaitu dengan mengukur bagian-bagian tubuh atau morfometrik (Freeland 2005). Pada kuda pacu, faktor kecepatan lari dan daya tahan berlari atau kemampuan mempertahankan kecepatan berlari adalah karakteristik genetik utama yang perlu mendapat perhatian khusus untuk ditingkatkan kapasitasnya. Sistem seleksi yang masih bersifat tradisional yaitu dalam menyeleksi dan menyilangkan ternak para pemelihara hanya mengandalkan pengamatan visual berdasarkan pengetahuan terbatas dan pengalaman mereka, perlu diperbaiki dan dirubah dengan berdasarkan pertimbangan genetik yang terarah seperti mengacu dari hasil pengukuran nilai heritabilitas/repitabilitas, pendugaan nilai pemuliaan (EBV) dan nilai kemampuan produksi (MPPA). Berdasarkan pada permasalahan dan alasan-alasan tersebut, maka diperlukan suatu kajian yang lengkap perihal potensi karakter dan keragaman genetik pada populasi kuda di Sulawesi Utara.
4
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengkaji keragaman fenotip dan genotip sifat-sifat kuantitatif melalui pengukuran karakteristik ukuran tubuh (morfometrik) dan sifat-sifat kualitatif seperti warna dan pola warna bulu pada populasi kuda lokal di Sulawesi Utara. 2. Menelusuri hubungan kekerabatan beberapa sub-populasi kuda di Sulawesi Utara melalui kajian jarak genetik berdasarkan penanda morfometrik, morfologi warna bulu dan protein darah. 3. Mengkaji dan mendapatkan informasi perihal potensi genetik kuda pacu di Minahasa melalui perhitungan nilai repitabilitas untuk sifat kecepatan dan sifat ketahanan (kemampuan) dalam mempertahankan kecepatan lari. 4. Membuat dasar-dasar peta (roadmap) sistem pengembangan sumberdaya genetik ternak kuda yang terkini didasarkan pada informasi fenotip dan genotip yang diperoleh dan dikaitkan dengan latar belakang sosio-ekonomi masyarakat pemelihara kuda di Sulawesi Utara sebagai langkah awal dalam pengembangan mutu genetik kuda di Indonesia.
Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Mendapatkan informasi potensi fenotip dan genotip terkini berdasarkan kajian yang lengkap untuk dijadikan informasi dasar dalam usaha meningkatkan kualitas ternak kuda dalam upaya penyediaan bibit kuda Indonesia yang unggul. 2. Dapat menjadi acuan dasar dalam menyusun perencanaan program pemuliaan ternak kuda yang tepat, terarah dan terintegrasi untuk tujuan konservasi sumberdaya genetik, produksi dan produktivitas, pengembangan pariwisata dan pemanfaatan energi alternatif. 3. Dapat menjadi dasar bagi pemerintah dan stakeholder dalam penyusunan strategi kebijakan dalam hal pelestarian sumberdaya genetik hewan yang berbasis indigenous knowledge atau kearifan lokal ternak kuda di Indonesia untuk ketersediaan sumber energi terbarukan dan pangan alternatif berkelanjutan, sekaligus sebagai salah satu jalan keluar dalam upaya pengentasan kemiskinan.
5
Ruang Lingkup Penelitian Populasi kuda (Equus caballus) di Indonesia yang berjumlah kurang lebih 400 ribu ekor merupakan sumberdaya genetik hewan yang cukup besar sehingga perlu dijaga dan dikembangkan. Kuda tersebar hampir di seluruh kepulauan Nusantara (Lampiran 1a) dengan struktur populasi terbanyak (± 50%) berada di daerah-daerah seperti Sulawesi Selatan (±100 ribu ekor), Nusa Tenggara Timur (± 99 ribu ekor) dan Nusa Tenggara Barat (±77 ribu ekor) (BPS 2006). Sejumlah hampir 90 persen berasal dari bangsa kuda Sandel atau dikenal dengan kuda poni, sisanya merupakan hasil persilangan dengan berbagai bangsa kuda Eropa, beberapa diantaranya adalah persilangan dengan bangsa kuda Thoroughbred (FSI 2009). Permasalahan yang menjadi alasan kajian ini adalah belum adanya data yang lengkap serta terperinci perihal karakteristik fenotip, genotip dan sejarah asal-usul kekerabatan populasi kuda di Indonesia (Gambar 1). Beberapa populasi kuda saat ini diduga tidak memiliki informasi yang akurat perihal asal-usul bangsa dan kekerabatannya. Atas dasar masalah tersebut maka perlu dilakukan suatu kajian terhadap populasi kuda di Sulawesi Utara (Lampiran 1b) yang meliputi inventarisasi karakteristik kualitatif dan kuantitatif, morfologi ukuran-ukuran tubuh (morfometrik), keragaman fenotipik dan genotipik, jarak genetik melalui analisis keragaman fenotipik dan genotipik polimorfisme protein darah. Analisis kuantitatif parameter kecepatan dan ketahanan lari dilakukan terhadap beberapa populasi kuda pacu. Semua parameter selanjutnya dikaitkan dengan pola pemeliharaan masyarakat meliputi sistem perkawinan, pengetahuan pemuliaan dan cara seleksi. Diharapkan dari hasil kajian secara terpadu, semua aspek yang menjadi permasalahan yang berhubungan dengan terbatasnya pengetahuan perihal potensi dari populasi kuda khususnya karakteristik fenotip, genetik, keragaman dan sejarah penyebaran di Indonesia atau gambaran mengenai kondisi dan potensi ternak kuda dapat dipetakan. Hasil dari pemetaan diharapkan dapat menjadi dasar bagi pemerintah, stakeholder, universitas dan berbagai instansi terkait untuk membangun satu sistem pengembangan kuda nasional yang terintegrasi secara vertikal dan horizontal. Keluaran jangka panjang yang diharapkan adalah terbentuknya bangsa kuda Indonesia yang memiliki keunggulan sesuai pemanfaatannya dan sebagai sumberdaya genetik kuda Indonesia.
6
Permasa l ahan Asal-usul, kekerabatan/ jarak genetik dan keragaman populasi tidak jelas
Populasi Kuda
P e m e c a h a n M a s a l a h
Keragaman Fenotipik
Keragaman Genotipik
Analisis Kuantitatif & Kualitatif Deskripsi morfometri Keragaman Fenotip Jarak Genetik
Analisis Protein (Darah)
Ragam Genotip Jarak Genetik
Heritabilitasan Repitabilitas Analisis Repitabilitas
Sosial Ekonomi Analisis Sosek Struktur Keluarga
Sifat Kecepatan & Ketahanan Berlari
Pendidikan & Pendapatan
MPPA
Filogeni
Pengetahuan & Tindakan
Peta Potensi dan Keragaman Genetik Kuda Indonesia
Strategi Pemuliaan untuk Tujuan Pemanfaatan Secara Berkelanjutan dan Konservasi Sumberdaya Genetik Kuda Indonesia
Gambar 1 Diagram alir kerangka pemikiran
7
TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Perkembangan Kuda Kuda (Equus caballus) termasuk dalam famili Equidae yang berkerabat erat dengan keledai (Equus asinus), zebra (Equus zebra) dan hemione (Equus heminus). Berdasarkan catatan sejarah dan pertimbangan arkeolog menunjukkan bahwa kuda telah terpisah dengan filum mamalia lainnya sejak dahulu kala (Gambar 2) dan didomestikasi di daerah Eurasian, negara bagian Ukrania pada tahun 4000 SM yaitu hewan ini dimanfaatkan untuk tunggangan dan sumber daging (Vila et al. 2001). Terdapat juga beberapa daerah lain yang diduga telah mendomestikasi kuda seperti di Cina, Mesopotamia, Turkistan dan wilayah bagian Utara pegunungan Persia (FAO 2000; Walker 2008). Filogeni kuda domestik di antara beberapa mamalia lainnya di gambarkan dalam Gambar 2.
Gambar 2 Filogeni kuda domestik Equus caballus diantara pyla mamalia lainnya (FAOAAAS 1994) Tempat dan waktu pertama kali kuda didomestikasi masih menjadi perdebatan di antara para arkeologis. Pengetahuan terkini tentang domestikasi kuda berdasarkan analisis material purbakala (metode radiokarbon) menunjukkan di bagian Selatan Ukrania yang berusia 42003800 SM (Anthony et al. 1991), terdapat paling kurang dua subspesies dari kuda liar yaitu Equus ferus ferus atau kuda Tarpan dan Equus ferus przewalski yang dikenal sebagai kuda Mongolian (Gambar 3) (Bowling & Ruvinsky 2004). Kuda Tarpan terakhir dibunuh pada bulan Desember 1879, keturunan jenis ini masih dipelihara di kebun binatang Moskow sampai tahun 1880 dan di wilayah Poltava, Ukrania sampai tahun 1918 (Bannikov & Flint 1989), sedangkan kuda Przewalski keturunannya masih dapat dijumpai hidup liar di dataran Barat Daya Cina yang kemudian banyak berbaur dengan kuda domestik dari Barat.
8
Gambar 3 Kuda Przewalski (kiri) adalah cikal bakal nenek moyang kuda modern (kanan) Kuda Sumba/ Sandel pada abad ke-16 telah dimanfatkan sebagai hewan peliharaan para raja di pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Timur (FSI 2009). Di pulau Jawa kuda menjadi simbol kemegahan para raja dan dipergunakan dalam peperangan yang kemudian berkembang menjadii olahraga tontonan. Kuda di Indonesia selain untuk olahraga, juga berperan sebagai alat transportasi, bekerja untuk menarik bajak di sawah selain kerbau dan sapi (Gambar 4). Olahraga ketangkasan, pacuan dan berburu dengan menggunakan kuda masih banyak ditemukan di daerah Nusa Tenggara Barat dan Timur. Pada zaman Belanda, olahraga berkuda dikenal rakyat melalui pacuan kuda, yang dilakukan pada hari-hari pasar atau pada perayaan ulang tahun ratu. Berawal dari kegiatan tersebut peternakan tradisional yang melahirkan kuda pacu lokal seperti kuda Batak, kuda Padang Mangatas, kuda Priangan, kuda Sumba, kuda Minahasa dan kuda Sandel mulai tumbuh. Daerah-daerah yang pada awalnya dikenal memiliki ternak kuda tradisional adalah Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara. Lomba ketangkasan berkuda dikenalkan kemudian hari oleh para tentara Belanda berupa lomba lompat rintangan (jumping) (FSI 2009). Pada tahun 1953 suatu badan yang berusaha menyatukan semua perkumpulan olahraga berkuda di Indonesia didirikan dan diberi nama Pusat Organisasi PONI Seluruh Indonesia (POPSI). Organisasi ini dalam perkembangannya berganti nama menjadi federasi dan kemudian pada tahun 1966, didirikan satu organisasi berkuda yang merupakan satu-satunya organisasi berkuda yang diakui oleh KONI Pusat yang dikenal dengan Persatuan Olahraga Berkuda Seluruh Indonesia (PORDASI) yang masih berdiri sampai saat ini. Organisasi ini dibentuk atas prakarsa empat daerah yaitu: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan
9
Sulawesi Utara serta satu klub yang bernama SEKARDIU yang dibentuk dari korps Kavaleri Bandung dengan ketua umum pertama adalah Achmad Syam dari Bogor. Pada perkembangannya, PORDASI kemudian diakui oleh pemerintah sebagai satu-satunya organisasi induk berkuda di Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Olahraga nomor: 016 tertanggal 28 Oktober 1966. Sejak itu PORDASI selalu aktif menyelenggarakan perlombaan-perlombaan, baik dalam lomba pacuan kuda maupun lomba ketangkasan berkuda (Equestrian Indonesia 2008; FSI 2009).
Gambar 4 Berbagai bentuk pemanfaatan ternak kuda (seperti untuk tunggangan, menarik delman dan mengangkut beban).
Bangsa Kuda di Indonesia Beberapa kelompok populasi kuda di Indonesia (Gambar 5) berasal dari bangsa kuda jenis Thoroughbred yang digunakan untuk pacuan atau disilangkan dengan kuda lokal, populasi kuda lokal silangan dan kuda asli Sumba yang dikenal dengan kuda Sandel (FSI 2009). Karakteristik beberapa kuda lokal Indonesia diperlihatkan pada Tabel 1.
Gambar 5 Bangsa kuda di Indonesia: (dari kiri ke kanan) Thoroughbred, Kuda Pony/Sandel dan Kuda Silangan. Sumber: koleksi pribadi. Kuda Sandel atau
sandalwood pony adalah kuda pacu asli Indonesia yang
dikembangkan di pulau Sumba. Diduga kuda ini memiliki moyang kuda arab yang
10
disilangkan dengan kuda poni lokal (grading-up) dengan maksud untuk memperbaiki sejumlah penampilannya. Nama "sandalwood" sendiri dikaitkan dengan kayu cendana yang pada sebelumnya merupakan komoditas ekspor dari pulau Sumba dan pulau-pulau Nusa Tenggara lainnya (FSI 2009). Tabel 1 Karakteristik Kuda Lokal Indonesia
Jenis Kuda
Tinggi Badan (cm)
Kuda Sumba
127
Kuda Timor
122
Kuda Sandel
135
Kuda Batak
132
Kuda Jawa
127
Kuda Padang
127
Karakteristik Bentuk kepala lebih besar dibanding kaki, ukuran leher yang pendek, sifatnya jinak dan cerdas, konformasi badan kurang sempurna tetapi memiliki bagian punggung kuat. Bentuk badan lurus dan leher pendek, bagian punggung lurus dengan bahu dan ekor yang tinggi, bagian tengkuk dan ekor penuh dengan bulu Tubuh kecil, bentuk kepala kecil dan bagus. Mata yang besar, bulu yang lembut dan berkilauan, mempunyai kecepitan yang baik dan sangat aktif dengan kuku kaki yang keras dan kuat. Bentuk kepala bagus,bagian muka yang lurus, leher pendek dan lemah. Bagian punggung yang panjang dan sempit dengan kaki bagian belakang ramping, bagian rump tinggi, ekor dan tengkuk mempunvai rambut yang bagus, serta posisi ekor cukup tinggi sehingga sangat baik dalam pergerakan. Stamina yang baik dan tahan terhadap panas, ukuran tubuh lebih besar dibandingkan kuda poni lainnya dan jinak. Kaki dan persendiannya tidak berkembang dengan baik sehingga mempengaruhi kekuatannya. Kuku kaki keras dan bentuknya bagus, bagian tumit lemah. Mempunyai konformasi yang baik, tetapi pertulangannya kecil.
Kuda Sulawesi 125
Daya tahan tubuh kuat, kaki tegap dan kuat dan bertemperamen stabil.
Kuda Flores
124
Bentuk badan kecil dan jinak.
Kuda Bima
-
Badan kecil, pinggang yang pendek dengan daya tahan tubuh baik dan memiliki langkah yang cepat.
Sumber: Edward (1994) dan FSI (2009)
11
Kuda Sandel memiliki postur tubuh lebih rendah bila dibandingkan kuda ras dari Australia atau Amerika. Tinggi punggung antara 130 - 142 cm, kaki dan kukunya yang kuat dengan leher besar, memiliki daya tahan (endurance) yang tinggi sehingga banyak dipakai sebagai kuda tarik, kuda tunggang dan bahkan kuda pacu. Memiliki warna bulu bervariasi dari hitam, putih, merah, dragem, hitam maid (brownish black), bopong (krem), abu-abu (dawuk), atau juga belang (plongko). Kuda ini sampai sekarang masih diternakkan di Pulau Sumba dan diperdagangkan ke pulau-pulau lain seperti Jawa, Madura dan Bali sebagai kuda tarik, kuda tunggang serta kuda pacu (Equestrian Indonesia 2008; FSI 2009). Kuda Thoroughbred adalah bangsa kuda yang dibentuk dari induk-induk kuda bangsa lain yaitu: kuda darley arabian, kuda godolphin arabian dan kuda byerly turki (KHP 2008). Nama-nama tersebut diambil dari nama para pemilik kuda galur murni tersebut yaitu Thomas Darley, Lord Godolphin dan kapten Robert Byerly, ketiga kuda jantan tersebut dibawa ke Inggris dari wilayah Mediteranian Timur Tengah sekitar abad ke-17 yang disilangkan dengan kuda asli Eropa (Edward 1994). Persilangan tersebut menghasilkan kuda yang memiliki kemampuan mengangkut beban sekaligus memiliki kecepatan lebih untuk jarak tempuh yang jauh dan kemudian berkembang dalam ukuran yang lebih ramping, gagah dan menarik sebagai kuda pacuan. Melalui proses persilangan yang selektif selama lebih dari 250 tahun, tercipta kuda jantan dan betina terbaik dengan keunggulan yang super dan hebat sebagai kuda pacuan (FAO 2000). Pelestarian Sumberdaya Genetik Bangsa Kuda Indonesia Sedikitnya satu bangsa ternak asli punah setiap minggu dan lebih sepertiga bangsabangsa ternak asli di Eropa dalam keadaan terancam punah (FAO 2000). Lebih lanjut catatan dari FAO tahun 2001 menyatakan hilangnya bangsa-bangsa ternak ini lebih disebabkan oleh kecenderungan para peternak untuk mengembangkan bangsa ternak eksotik. Keadaan ini banyak terjadi pada petani peternak di negara-negara berkembang seperti di Indonesia dan India akibat adanya persilangan yang meluas (Sodhi et al. 2006). Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dibidang pemuliaan ternak, bioteknologi, permintaan pasar yang berlebihan, penerapan mekanisasi pertanian yang tidak tepat dan diversifikasi produk ternak menyebabkan terjadinya eksploitasi sumberdaya genetik ternak lokal besar-besaran melalui persilangan dan penggantian bangsa baru, keadaan ini mengancam kelestarian keragaman genetik ternak yang sangat penting dipertahankan untuk menjaga dan melestarikan
12
sumberdaya genetik hewan demi kelangsungan ketersediaan sumber makanan asal hewan yang berkelanjutan (Subandriyo & Setiadi 2003; Sodhi et al. 2006). Konservasi sumberdaya genetik hewan lokal memainkan peranan penting dalam kelangsungan ketersediaan pangan dunia berdasarkan kenyataan bahwa; pertama, terdapat lebih dari pada 60% bangsa-bangsa ternak dunia berada di negara-negara berkembang; kedua, mempertahankan potensi genetik ternak asli/ lokal bukan merupakan hal yang menguntungkan bagi peternak; ketiga, tidak adanya program pengawasan yang ketat dan ketersediaan informasi yang akurat terhadap sebagian besar bangsa ternak asli dan keempat, masih kurangnya pengembangan potensi genetik terhadap bangsa-bangsa ternak lokal (FAO 2001). Tiga metode yang dianjurkan untuk dilakukan demi melestarikan plasma nutfah ternak adalah: (1) mempertahankan populasi; (2) penyimpanan material genetik beku dengan teknologi cryopreservation, seperti semen dan ‘oocyt’ (haploid/n) atau embryo beku (diploid/2n); dan (3) penyimpanan material DNA (deoxyrybo nucleic acid) pada bank gen (Duryadi 2005; Allendorf & Luikart 2007). Sifat Kuantitatif dan Kualitatif Setiap sifat kuantitatif dan kualitatif yang diekspresikan seekor hewan atau ternak disebut fenotip. Fenotip (P) merupakan hasil keseluruhan pengaruh-pengaruh gen atau genotipe (G), lingkungan (E) dan adanya interaksi antara pengaruh genotipe dan lingkungan (GxE) (Martojo 1992; Hardjosubroto 1994). Fenotipe ternak dapat diketahui melalui ukuranukuran tubuh (Otsuka et al. 1980; Nozawa et al. 1981), pertumbuhan tanduk, tekstur dan panjang bulu (Wiley 1981; Warwick et al. 1995). Sifat kuantitatif adalah sifat-sifat yang dapat diukur pada seekor ternak baik untuk sifat produksi seperti ukuran morfologi tubuh, kecepatan lari, daya tahan kerja dan tenaga tarik juga untuk sifat reproduksi seperti lama kebuntingan, lama birahi dan produksi susu (Martojo, 1992). Menurut Warwick et al. (1995), sifat kuantitatif dipengaruhi oleh beberapa atau oleh banyak pasang gen dan adanya pengaruh interaksi dengan lingkungan. Gen-gen tersebut terdapat dalam sel-sel jaringan dari berbagai bagian tubuh dan organ-organ vital yang saling berinteraksi dalam proses biokimia faali dalam tubuh, maka tidak sulit membayangkan bahwa jumlah gen yang berperanan dalam proses tumbuh kembang ini dapat mencapai ratusan bahkan ribuan (Martojo 1992). Setiap karakter ditentukan oleh banyak pasang gen atau poligenik dan sangat dipengaruhi oleh lingkungan (Wiley 1981).
13
Sifat kualitatif seperti warna, pola warna, sifat bertanduk atau tidak bertanduk dapat dibedakan tanpa harus mengukurnya. Sifat kualitatif biasanya hanya dikontrol oleh satu atau beberapa pasang gen dan umumnya variasi sifatnya tidak kontinyu (Noor 2008). Warna tubuh ternak dianggap sebagai character displacement atau penciri sifat untuk membedakan satu bangsa dengan bangsa lainnya (Wiley 1981; Warwick et al. 1995; Noor 2008). Terdapat beberapa warna dasar pada kuda seperti black, bay dan chesnut (Hawcroft 1984; Bowling & Rivinsky 2004) yang diekspresikan melalui interaksi sekurangnya tiga pasang gen. Searle (1978), telah mendeskripsikan beberapa genotip warna bulu seperti: A-/B-/dd (bay), aa/B-/dd atau aa/B-/Dd (black), --/bb/dd (chesnut), A-/B-/Dd (bay-cream), --/bb/Dd (chesnut-cream), DD (ivory white atau pseudo-albino), Rr (roan, RR bersifat letal) dan S- (spotted). Lebih lanjut Hawcroft (1984) menjelaskan, bahwa warna-warna seperti white, grey, cream, dun, roan dan pied (totol) adalah hasil modifikasi dari warna dasar kuda. Hal tersebut diperkuat oleh Bowling dan Rivinsky (2004) yang menjelaskan, bahwa terjadinya keragaman pola warna bulu pada kuda seperti adanya dilusi, bercak putih dan totol-totol disebabkan adanya mutasi jauh sebelum kuda di domestikasi. Pola warna pada kuda dan hewan mamalia lainnya terjadi akibat mutasi yang disebabkan proses kehidupan individu hewan tersebut yang diatur secara genetik. Proses tersebut berupa spesialisasi dari sel-sel, jaringan-jaringan dan organ-organ tubuh hewan yang terjadi pada saat proses adaptasi hewan dengan lingkungan (Lamoreux et al. 2010). Lebih lanjut dinyatakan, terbentuknya pola warna bulu karena adanya pigmentasi pada kulit atau bagian rambut dan bulu yang disebabkan oleh pigmen melanin seperti warna merah atau kuning yang dibentuk oleh pheo-melanin, sedangkan warna hitam atau cokelat oleh eumelanin. Bowling dan Ruvinsky (2004) menjelaskan, bahwa pembentukan warna-warna dasar pada kuda merupakan ekspresi dari alel-alel pada gen agouti (A), extension (E) dan grey (G). Menurut Noor (2008), heritabilitas secara sederhana berhubungan dengan proporsi keragaman fenotipik yang dikontrol oleh gen. Ditambahkannya, bahwa heritabilitas dapat diperhitungkan dalam dua konteks yaitu (a) secara luas, rasio antara keragaman genetik dengan keragaman fenotip dan (b) secara sempit, hanya rasio bagian aditif dengan keragaman fenotip yang dilambangkan dengan h2 dan merupakan nilai dugaan yang paling berguna karena dapat menunjukkan laju perubahan yang dapat dicapai dengan seleksi untuk sifat tersebut dalam populasi. Nilai heritabilitas suatu sifat akan bervariasi antar populasi,
14
perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan faktor genetik (ragam genetik), perbedaan lingkungan (ragam lingkungan), metoda yang digunakan dan jumlah cuplikan data yang digunakan (Falconer & Mackay 1996) sedangkan repitabilitas (r) merupakan suatu pengukuran kesamaan antara pengukuran suatu sifat yang diukur berkali-kali pada ternak yang sama selama ternak tersebut hidup (Noor 2008). Nilai repitabilitas suatu sifat akan ditentukan oleh keragaman komponen-komponen penyusunnya, yaitu komponen genetik yang terdiri atas gen aditif, dominan dan epistasis serta komponen lingkungan, baik yang bersifat permanen maupun yang bersifat sementara. Pengaruh lingkungan permanen adalah semua pengaruh lingkungan yang bukan bersifat genetik, tetapi dapat mempengaruhi produktivitas seekor ternak selama hidupnya (Warwick et al. 1995). Ditambahkannya, bahwa adanya perbedaan nilai dugaan heritabilitas maupun repitabilitas disebabkan oleh (a) metoda analisis yang digunakan untuk menduga, (b) ekspresi genetik yang ada pada tiap bangsa hewan didalam populasi yang berbeda, (c) jumlah data yang digunakan dan (d) faktor koreksi untuk sifat non-genetik yang dibuat pada setiap data. Besaran nilai heritabilitas dan repitabilitas berkisar antara nol sampai satu. Suatu sifat dengan nilai nol adalah sifat yang semua keragamannya disebabkan pengaruh lingkungan, sedang nilai satu menunjukkan sifat kuantitatif yang semua keragamannya disebabkan oleh faktor keturunan atau genetik (Warwick et al. 1995). Menurut Martojo (1992) nilai dugaan heritabilitas/ repitabilitas dapat dikelompokkan kedalam tiga kelompok, yaitu nilai heritabilitas 0.0 – 0.2 tergolong rendah, nilai heritabilitas 0.2 – 0.4 tergolong sedang dan nilai lebih dari pada 0.4 tergolong tinggi. Nilai heritabilitas untuk sifat kecepatan yang diukur berdasarkan catatan terbaik pada kuda jenis Thoroughbred dan Trotters dengan menggunakan analisis saudara tiri sebapak masing-masing adalah: 0.23 dan 0.25, sedangkan untuk daya tahan menarik beban pada kuda Jerman sebesar 0.29 (Hintz 1980). Noor (2008) menyatakan, bahwa terdapat faktor lain yang mempengaruhi nilai repitabilitas yaitu variasi lingkungan yang tetap seperti penyakit dan asupan pakan kualitas rendah selama ternak masih muda akan dapat mengubah kondisi ternak dan akan berpengaruh selamanya. Dijelaskan lebih lanjut bahwa besar nilai repitabilitas suatu sifat dipengaruhi oleh besar nilai heritabilitas pada sifat yang sama yaitu semakin besar nilai repitabilitas, semakin besar pula nilai heritabilitasnya. Penggunaan rumus matematika, nilai repitabilitas suatu sifat adalah:
15
Keterangan:
r VA VEt VP
= Nilai repitabilitas suatu sifat; = variasi aditif; = variasi lingkungan tetap = variasi fenotipik (variasi total).
Macijauskiene (2002) menyatakan, bahwa repitabilitas adalah ukuran kekuatan (konsistensi, reliabiliti) hubungan antara ukuran yang berulang-ulang (nilai fenotipik yang berulang-ulang) suatu sifat dalam populasi. Warwick et al. (1995) menyatakan, bahwa repitabilitas suatu sifat berguna dalam memperkirakan produktivitas ternak pada masa yang akan datang berdasarkan satu atau lebih catatan produksi. Noor (2008) menyatakan, bahwa nilai repitabilitas yang tinggi menandakan ternak tersebut mampu berproduksi dengan ukuran yang hampir sama untuk setiap tahunnya, ternak dinilai cenderung mendekati ukuran tertinggi atau terendah secara konstan, tidak terpengaruh jumlah rataan ukuran yang mungkin berubah. Nilai repitabilitas yang tinggi adalah bukti dari determinasi sifat yang diamati (Macrejowski & Zieba 1982). Karakter Morfologi, Penanda Biokimia dan Immunogenetik Sumber utama karakter dari mahluk hidup ditandai dari bentuk struktur morfologis hewan tersebut, dari yang sifatnya relatif sederhana sampai yang sangat rumit dan kompleks (Karthickeyan et al. 2006). Oleh sebab itu, karakter morfologis dapat dijadikan faktor pembeda setiap taxa makhluk hidup mulai dari tingkat phyla sampai spesies (Khalil et al. 1986). Sebagai penduga yang mewakili bentuk dan deskripsi khas dari bentuk tubuh, maka karakter morfologis sangat bermanfaat untuk menganalisis karakteristik banyak mahluk hidup (Wiley 1981). Pengukuran panjang tulang-tulang menurut Salako dan Ngere (2002), mempunyai ketelitian yang lebih baik dibandingkan dengan pengukuran bobot badan. Mulliadi (1996) menambahkan, bahwa untuk ukuran-ukuran tubuh yang
memiliki
keragaman tinggi dapat memberikan petunjuk bahwa ukuran-ukuran tersebut dapat dijadikan kriteria untuk seleksi dalam upaya peningkatan sifat-sifat produksi. Manfaat lain dari karakter morfologis adalah untuk menentukan asal-usul dan filogenitas setiap spesies, bangsa dan tipe ternak (Warwick et al. 1995; Ishii et al. 1996; Mulliadi 1996; Martojo 2003). Selain karakter morfologis, secara molekuler, keragaman
16
suatu spesies dapat diperoleh dengan menggunakan penanda morfologis (Hill et al. 2002; Ouragh 2004). Sumber informasi genetik hewan dapat diperoleh melalui penafsiran dan pencatatan performa produksi dan reproduksi hewan. Karakter genetik yang kelihatan nyata ataupun tertutup oleh suatu individu hewan adalah merupakan pencerminan karakter genetik yang dimiliki oleh hewan tersebut (Lewin 2000). Jadi dengan kata lain semua informasi yang dapat diperoleh dari pengamatan satu individu dapat disebut sebagai penanda genetik hewan itu (Muladno 2006). Polimorfisme Protein Darah Polimorfisme adalah kondisi dimana alel-alel dalam populasi jumlahnya berbeda satu dengan lainnya atau variasi terjadi pada sifat-sifat tertentu (Feldhamer et al. 1999). Apabila pada suatu gen atau lokus terdapat banyak kombinasi alel yang ditunjukkan dengan besarnya nilai frekuensi alelnya, maka populasi tersebut akan disebut polimorfik. Suatu lokus dikatakan polimorfik jika nilai frekuensi alel ≤ 0.99. Apabila nilai frekuensi alel adalah 1.00 maka alel tersebut bersifat monomorfik dan bisa dikatakan bahwa seluruh individu dalam populasi tersebut memiliki gen yang sama atau homosigot pada satu alel (Falconer & Mackay 1996). Polimorfisme protein darah merupakan salah satu metode yang sangat berguna dalam menentukan asal-usul dan menghitung jarak genetik antar spesies, bangsa atau kelompok suatu populasi hewan (Warwick et al. 1995; Duryadi 2005). Menggunakan teknik elektroforesis yang mampu memisahkan dan membedakan jenis protein atau jenis enzim tertentu dalam suatu media gel pati atau akrilamid akan menghasilkan bentuk pola atau pitapita tertentu dimana apabila pola yang terbentuk dalam posisi sama pada semua individu yang diamati berarti gen tersebut sama atau tidak beragam (Freeland 2005).
Menurut
Nicholas (1996), apabila gel elektroforesis menghasilkan satu pita berarti homozigot, sedangkan heterozigot akan ditunjukkan dalam bentuk dua pita. Teknik elektroforesis polimorfisme protein darah menurut Nei (1987) adalah merupakan pendugaan nilai heterogenitas gen secara minimum. Lebih lanjut dikatakan bahwa pendugaan akan semakin baik atau dapat lebih mengekspresikan populasi alami dari suatu individu apabila jumlah sampel darah dan lokus yang digunakan lebih banyak. Warwick et al. (1995) menyatakan bahwa terdapat perbedaan genetik dalam globulin/ transferin (Tf), albumin (Alb), hemoglobin (Hb) dan enzim-enzim darah jika dianalisis melalui prosedur biokimia elektroforesis yang hasilnya menurut Nei dan Kumar (2000), sangat berguna untuk
17
membantu dalam penentuan asal-usul, penyusunan hubungan filogenetik antara spesies, bangsa atau kelompok dalam spesies. Studi polimorfisme untuk menduga variasi genetik dengan menggunakan metode elektroforesis protein darah pada lokus post transferin-1 (Tf1), post transferin-2 (Tf2), albumin (Alb) dan hemoglobin (Hb) telah banyak dilakukan pada ternak unggas, sapi dan beberapa hewan liar lainnya (Nozawa 1981; Noor et al. 2000; Cervini et al. 2006). Analisis protein darah pada populasi kuda Batak, kuda Padang, Kuda Noa Bosi dan populasi kuda di pulau Jawa pernah dilakukan terhadap 15 lokus protein darah untuk melihat keragaman genetik antara populasi-populasi kuda di Indonesia dan Malaysia dengan populasi kuda di Jepang. Hasilnya menunjukkan adanya proporsi polimorfis sebesar 23-34% dengan rataan heterozigositas sebesar 8-11%. Walaupun nilai polimorfis dan heterozigositas relatif rendah akan tetapi menurut Nozawa et al. (1981) keragaman genetiknya masih dalam level yang sama. Keragaman Genetik Perubahan pada frekuensi dan distribusi gen-gen diakibatkan adanya mutasi, proses seleksi alam atau buatan, perkawinan silang, migrasi dan bencana alam sehingga menyebabkan hilangnya gen-gen tertentu atau penghanyutan genetik (random genetik drift) dapat menyebabkan terjadinya keragaman genetik dalam populasi (Liu 1998), kecuali pada populasi yang besar, frekuensi genotipik cenderung tidak berubah dari generasi ke generasi (Falconer & Mackay 1996). Bangsa ternak yang berkembang dalam berbagai sistem dan lingkungan yang ada saat ini telah menghasilkan berbagai kombinasi gen yang unik. Gen-gen ini tidak hanya menentukan kualitas sifat produksi dari masing-masing bangsa, tetapi juga kemampuan adaptasinya pada kondisi lokal termasuk makanan, ketersediaan air, iklim dan hama penyakit (FAO 2001). Keanekaragaman genetik ternak, sedikitnya memiliki empat manfaat, yaitu (1) keberlanjutan dan peningkatan produksi pangan; (2) memaksimalkan produktivitas lahan dan sumberdaya pertanian; (3) pencapaian pertanian berkelanjutan untuk memberikan keuntungan masa kini dan generasi yang akan datang dan (4) pemenuhan keanekaragaman baik yang telah ada maupun yang belum diketahui manfaatnya bagi kehidupan sosial masyarakat (Solis et al. 2005). Ketersediaan keanekaragaman genetik ternak akan
18
mempengaruhi keberhasilan strategi pemuliaan untuk masa yang akan datang (FAO-AAAS 1994). Keragaman genetik suatu populasi ternak menjadi modal dasar dalam mengaplikasikan teknologi pemuliaan untuk pemanfaatan atau produksi. Keragaman penampilan hewan merupakan refleksi informasi genetik yang dimilikinya seperti adanya perbedaan-perbedaan dalam kemampuan adaptasi, besar ukuran tubuh dan daya tahan terhadap penyakit. Komponen ini sangat berpengaruh terhadap kemampuan menyesuaikan diri (adaptasi) terhadap perubahan lingkungan seperti degradasi kualitas lingkungan sebagai media tumbuh hewan. Perbedaan penampilan ini disebabkan selama proses domestifikasi, tipe-tipe atau bangsa-bangsa hewan terpisah secara genetik karena adanya penyesuaian (adaptasi) dengan masing-masing lingkungan lokal dan kebutuhan komunitas lokal sehingga dihasilkan bangsa berbeda (Muladno 2006). Adanya kemampuan adaptasi disebabkan hewan pada dasarnya memiliki kemampuan dalam menghasilkan lebih daripada satu alternatif bentuk morfologi, status fisiologi, dan atau tingkah laku sebagai reaksi terhadap perubahan lingkungan, yang oleh Noor (2008) disebut sebagai pengaturan ekspresi gen. Pengukuran
keragaman
genetik
diantara
populasi
dapat
dilakukan
dengan
memanfaatkan data elektroforesis protein darah yaitu dengan mengamati nilai heterozigositas populasi (H) atau rataan persentase dari lokus heterosigot tiap individu (Avise 1994). Analisis data frekuensi alel dari sepuluh bangsa kuda dan lebih daripada 50 ribu ekor kuda domestik telah menggunakan 22 lokus golongan darah dan polimorfisme protein darah dalam menduga keragaman total gen (HT), koefisien diferensiasi gen (GST) dan rataan keragaman gen (HS) (Tabel 2). Nilai keragaman genetik (HT), yang tinggi akan menggambarkan terjadinya seleksi dalam taraf polimorfisme lokus sedang sampai tinggi yang baik untuk membantu pengujian parental. Pengukuran (HS) dan (GST) ditujukan untuk menduga bagian-bagian keragaman antar dan diantara bangsa, sehingga besar sumbangan masing-masing bangsa atau populasi dapat diketahui (Bowling & Ruvinsky 2004). Lokus-lokus yang bersumber dari kelompok darah, protein dan serum yang sering digunakan dalam penelitian untuk mencari keragaman dan perbedaan antar bangsa kuda dijelaskan pada Tabel 2.
19
Table 2 Lokus yang digunakan dalam analisis perbedaaan antar bangsa kuda, nilai total keragaman gen (HT), koefieien diferensiasi gen (GST) dan rataan keragaman gen (HS) Sumber
Lokus
Kromosom
Alel-alel
Kelompok Darah
AA EAC EAD EAK EAP EAQ EAU
20 U U 2 U 8 24
Protein
AP CA CAT HbA PGD PGM GPI
U U U 13 2 5 10
Serum
HT
GST
HS
12 2 25 2 3 6 2
0.74 0.47 0.89 0.12 0.51 0.67 0.43
0.14 0.10 0.08 0.12 0.04 0.15 0.16
0.64 0.42 0.82 0.10 0.49 0.57 0.36
2 6 3 5 3 3 5
0.08 0.14 0.36 0.53 0.29 0.20 0.09
0.02 0.07 0.16 0.12 0.11 0.03 0.13
0.07 0.13 0.30 0.47 0.26 0.20 0.08
0.45 0.45 0.50 0.16 0.33 0.77 0.88 0.17
0.09 0.06 0.12 0.06 0.12 0.10 0.09 0.10
0.41 0.42 0.44 0.15 0.29 0.69 0.80 0.16
ALB 3 3 C3 7 5 ES 3 12 GC 3 2 PLG 31 2 TF 16 15 PI 24 25 XK 10 4 Sumber: Tosaki et al. 1995; Bowling & Ruvinsky 2004.
Keterangan: EA(A,C,D,K,P,Q,U): erythrocyt antigen; AP: acid phosphatase; CA: carbonic anhydrase; CAT: catalase; HBA: haemoglobin alfa; PGD: phosphogluconat dehydrogenase; PGM: phosphoglucomutase; GPI: glucosephosphat isomerase; ALB: albumin; C3: complement component 3; ES: carboxylesterase serum; GC: vit D-binding protein; PLG: plasminogen; TF: transferrin; PI: protease imhibitor; XK: A1B glycoprotein.
20
21
MATERI DAN METODE Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian Metode penelitian menggunakan metode purposive sampling dimana penentuan daerah dilakukan secara terukur berdasarkan pertimbangan jumlah populasi terbesar, kemudian dilanjutkan dengan pengukuran secara acak. Populasi sampel adalah populasi kuda lokal dan kuda pacu yang berada di empat kabupaten/ kota di Sulawesi Utara yang mewakili hampir 80% populasi kuda di Sulawesi Utara (Lampiran 2a). Total 505 ekor atau setara ± 10% dari populasi kuda dewasa di empat kabupaten/kota (Lampiran 2b & 2c) dengan rasio jantan/betina sama. Pemilihan lokasi dilakukan berdasarkan asumsi pada daerah-daerah tersebut terdapat populasi kuda dewasa jantan dan betina yang memenuhi kriteria yaitu kuda dewasa dengan umur 2-7 tahun berdasarkan pendugaan jumlah gigi (Lampiran 3a) dan telah lama dipelihara. Pengamatan dan pengambilan data kualitatif (warna dan corak bulu) dan kuantitatif /morfometri (Lampiran 3b) hanya dilakukan pada empat kabupaten/kota yaitu: kabupaten Minahasa sebanyak 372 ekor, kabupaten Minahasa Selatan sebanyak 33 ekor, kota Tomohon sebanyak 40 ekor dan kota Manado sebanyak 57 ekor. Sampel darah diambil pada bagian vena jugularis (Gambar 6) atau daerah sekitar leher kuda dan dimasukkan kedalam dua tabung
kolektor
darah
10
ml,
yang
telah
mengandung
anti
koagulan
ethylenediaminetetraacetic acid (EDTA) K3 sebagai pengawet untuk kemudian dibawa ke Laboratorium Molekuler Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor untuk dianalisis.
Gambar 6. Pengambilan sampel darah kuda Tahapan penelitian meliputi pengukuran morfometrik, pengambilan sampel darah dan survey kondisi sosial ekonomi peternak dengan kuesioner dilakukan di empat kabupaten/ kota di Provinsi Sulawesi Utara pada bulan November 2009 sampai Juni 2010. Proses pengambilan darah kuda telah memenuhi persyaratan animal welfare (Waran 2004).
22
23
KARAKTERISASI MORFOLOGI, KERAGAMAN GENOTIP DAN JARAK GENETIK KUDA LOKAL SULAWESI UTARA Pendahuluan Karakterisasi terhadap bangsa hewan atau ternak lokal adalah input yang sangat berharga terhadap pemanfaatan yang berkelanjutan dan pelestarian sumberdaya genetik hewan tersebut (Noor 2008). Klasifikasi dan pemanfaatan sumberdaya genetik hewan yang hanya hidup dan digunakan untuk berbagai kebutuhan diwilayah tersebut merupakan strategi paling tepat untuk diterapkan (FAO-AAAS 1994). Pengamatan terhadap ukuran tubuh digunakan untuk penentuan keragaman baik ukuran maupun bentuk tubuh terhadap populasi ternak berukuran besar seperti kuda dan sering dipakai secara rutin sebagai parameter pengganti dalam menduga bobot hidup ternak (Komosa & Purzyc 2009), sedangkan analisis keragaman dan korelasi banyak digunakan dalam mengkarakterisasi hubungan sifat-sifat fenotip dan genetik (Flint & Woolliams 2008). Analisis komponen utama adalah bentuk modifikasi perhitungan yang dipakai saat karakterisasi secara fisik menunjukkan adanya hubungan yang erat antar parameter dengan berat hidup hewan yaitu terdapat beberapa indikator dari tipe dan fungsi ternak lokal yang telah berhasil diduga dengan memanfaatkan berbagai kombinasi pengukuran indek dan ukuran tubuh ternak baik secara konvensional maupun non-konvensional dan tidak terbatas hanya pada pendugaan bobot tubuh (Salako 2006). Analisis komponen utama sebagai salah satu alat ukur secara berurutan dapat mengelompokkan sifat-sifat yang kemungkinan paling diutamakan sebagai dasar seleksi atau dapat dipakai untuk mempelajari keterkaitan diantara ukuran-ukuran tubuh khususnya pada ternak besar seperti ternak kuda. Pada saat ini, pengetahuan perihal keterkaitan antara ukuran proporsi tubuh ternak, khususnya pada ternak kuda masih sangat kurang. Oleh sebab itu, penelitian ini dilakukan untuk mengkaji keragaman pada ukuran-ukuran tubuh kuda lokal di Minahasa berdasarkan berbagai aspek pengamatan seperti perbedaan jenis kelamin, umur dan kondisi sosiogeografis. Penelitian ini diharapkan dapat menggambarkan keterkaitan antar ukuran/ dimensi tubuh ternak yang dapat menjadi alat ukur praktis di lapangan untuk kepentingan studi genetik dan pemuliaan.
24
Materi dan Metode Data kuantitatif bobot badan dan ukuran tubuh atau morfometrik (Gambar 7) meliputi pengukuran: 1) bobot badan/ live weight (kg), diukur dengan menggunakan timbangan digital portable (Lampiran 3c); 2) lingkar dada/ chest girth (cm), diukur melingkar tepat di belakang scapula dengan menggunakan pita ukur; 3) lebar dada/ chest width (cm), diukur jarak antara tuberositas humeri sinister dan dexter dengan tongkat ukur; 4) dalam dada/ chest depth (cm), diukur jarak antara bagian tertinggi pundak sampai dasar dada dengan tongkat ukur; 5) tinggi pundak/ wither height (cm), diukur dari bagian tertinggi pundak/ processus spinalis melalui belakang scapula tegak lurus ke tanah dengan menggunakan tongkat ukur; 6) tinggi pinggul/hip height/rump height (cm), diukur dari bagian tertinggi pinggul sampai secara tegak lurus ke tanah dengan menggunakan tongkat ukur; 7) lebar pinggul/ hip width/rump widht (cm), diukur pada kedua sisi pinggul dengan menggunakan tongkat ukur; 8) panjang badan/ body length (cm), diukur dari tuber ischii sampai tuberositas humeri, dengan menggunakan tongkat ukur; 9) panjang kaki depan/ foreleg length, diukur secara lateral dari humeral tuberosity kebawah sampai feetlock joint; 10) lingkar paha/rump girth(cm), diukur dari pangkal paha melalui vastus lateralis dengan menggunakan pita ukur; 11) panjang paha (cm)/ rump length, diukur dari pangkal ekor/ tuber ischii sampai tulang pinggul/ hip bone; 12) panjang leher (cm), diukur dari bagian rahang bawah sampai tuber ischii menggunakan tongkat ukur; 13) lebar kepala (cm), diukur jarak kedua tulang pipi dengan mistar ukur dan 14) panjang kepala (cm), diukur dari posisi bagian tengah kepala sampai ke bagian mulut, menggunakan pita ukur. Hasil
pengukuran bobot badan dan ukuran tubuh dalam bentuk datasheet Excel
(Microsoft Office 2010) ditabulasi, kemudian dianalisis secara deskriptif untuk melihat frekuensi, distribusi dan sebaran dari variable-variabel yang diukur menggunakan program GLM dari SAS versi ke-9 (SAS Institut 2000). Data dipisahkan menurut lokasi sampel, kelompok umur dan jenis kelamin. Nilai rataan (x), simpangan baku (sd), koefisien keragaman (KK) dan korelasi dari setiap parameter diukur berpedoman pada rumus menurut Steel dan Torrie (1995) dan Kirkwood (2005).
25
7
Gambar 7 Sketsa ukuran tubuh kuda (Hawcroft 1983; Owen 2003) Indeks morfologi akan dihitung dari nilai rataan ukuran-ukuran tubuh berdasarkan metode Alderson (1999) yaitu:
26
Analisis Komponen Utama (AKU) yang menurut Balding et al. (2007) merupakan metode yang tepat dalam mereduksi dimensi keragaman untuk mencari kombinasi linier maksimum pada kolom peubah (X) digunakan dengan tujuan mendapatkan representasi data yang paling akurat dari parameter yang diukur.
Metode AKU juga digunakan untuk
mendapatkan sedikit kombinasi dari parameter atau disebut komponen, yang dapat menjelaskan seluruh keragaman dari suatu pengamatan (Kirkwood 2005). Rumus analisis komponen utama adalah:
Yj = aijX1 + a2jX2 +a3jX3 + ... + a1ij X11 Keterangan: Yj = komponen utama ke j (j=1,2; 1= ukuran dan 2= bentuk tubuh) X1,2,3 ... n = peubah ke 1,2,3 ... ke-n a1j, 2ij, 3ij, ... nj = vektor eigen peubah ke 1,2,3,.. n dengan komponen utama ke-j
Hubungan asosiasi antar peubah yang akan diukur berdasarkan nilai koefisien korelasi (Kirkwood 2005) dengan rumus:
27
Rumus regresi adalah:
Keterangan:
r x, X y,Y a b
= koefisien korelasi = peubah x, peubah bebas X = peubah y, peubah tidak bebas Y = intersep = slope atau koefisien regresi
Analisis data kuantitatif bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh menggunakan uji t untuk membandingkan beberapa variable yang tidak sama antar populasi dengan metode perbandingan dua rataan.
dengan persamaan ragam:
dan derajat bebas:
Keterangan : T
n1 n2 2 2 1 2 2
db
= nilai t hitung = rataan populasi pertama = rataan populasi kedua = jumlah individu pada kelompok pertama = jumlah individu pada kelompok kedua = varian gabungan = varian populasi pertama = varian populasi kedua = derajat bebas
28
Hasil dan Pembahasan Hasil analisis deskriptif ukuran tubuh yang ditampilkan pada Tabel 3, secara umum menggambarkan bahwa kuda jantan dan betina memiliki ukuran tubuh yang hampir sama (P>0.05), namun jantan cenderung lebih tinggi dari betina. Kisaran TP secara umum menggambarkan kedekatan ukuran daripada bangsa kuda Poni (± 130 cm) dan sedikit lebih kecil dari kuda Sandel (130 s/d 143 cm) di usia dewasa (Bowling & Ruvinsky 2004; Equestrian Indonesia 2008). Kuda betina memiliki ukuran lebih panjang pada bagian tubuh dan kepala. Ukuran TPgl yang cenderung sama dengan TP menjelaskan bahwa secara proporsional tubuh kuda berbentuk datar persegi saat berdiri yang mencirikan fungsi sebagai ternak tunggang atau tarik. Populasi kuda di kota Manado dan kabupaten Minahasa Selatan memiliki bobot tubuh yang lebih ringan daripada populasi di kota Tomohon dan kabupaten Minahasa yaitu populasi kuda di Tomohon memiliki rataan berat badan tertinggi, sedangkan populasi di kabupaten Minahasa Selatan yang terendah. Perbedaan ini diduga lebih dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan, misalnya pakan (ketersediaan rumput), suhu yang panas (tepi pantai) dan kondisi peternak (sosial-ekonomi) yang juga menjelaskan adanya seleksi secara tidak langsung yang secara genetik mengarah pada pembentukkan bangsa kuda lokal yang baru. Kesamaan ukuran tubuh pada jantan dan betina juga pernah dilaporkan pada bangsa ternak besar lainnya seperti ternak sapi (Gilbert et al. 1993). Ukuran dan bobot badan populasi kuda di Tomohon yang secara fenotip berbeda dengan kuda-kuda di tiga daerah lainnya, secara visual di lapangan dan hasil analisis data menunjukkan bahwa ukuran dan berat badan populasi kuda di kota Tomohon lebih didominasi oleh ukuran dan tipe bangsa kuda Thoroughbred yang banyak dipelihara untuk pacuan. Hal ini diperkuat dengan hasil analisis indeks morfologi yaitu WI dan CI pada populasi kuda di Tomohon memiliki indeks bobot paling tinggi dan secara kumulatif menggambarkan bahwa postur tubuh kuda di Tomohon lebih besar daripada populasi kuda lainnya. Hasil perhitungan indeks yang didasarkan pada pengukuran yang saling berkaitan erat antara bagian-bagian tubuh ternak menggambarkan kestabilan bentuk dari suatu bangsa ternak. Berdasarkan nilai CI, populasi kuda di Tomohon memiliki kaki dan tubuh lebih panjang yang mencirikan kuda pacuan, sedangkan populasi kuda di Manado dan Minahasa Selatan memiliki proporsi tubuh yang cenderung sebagai ternak kerja atau mild draught horse.
29
Tabel 3 Deskripsi morfometrik kuda lokal berdasarkan jenis kelamin dan lokasi
Peubah (cm) Bobot badan (kg) Lingkar dada Lebar dada Dalam dada Tinggi pundak Tinggi pinggul Lebar pinggul Panjang badan Panjang paha Panjang leher Lebar kepala Panjang kepala WI HS WS LI DI Fl Balance CI
Jenis Kelamin Jantan (N=310) Betina (N=195) (rataan±sd) (rataan±sd) 238.61±51.92 239.30±46.43 144.30±11.14 145.80±12.18 28.08±3.3 28.10±4.34 54.22±5.58 54.44±5.17 122.59±9.77 121.45±8.4 123.05±9.77 123.60±8.46 39.04±4.67 40.78±3.58 116.96±6.54 118.67±5.68 39.24±3.84 40.31±3.12 54.50±5.48 54.07±5.27 20.01±1.02 20.06±1.09 47.74±3.43 48.61±3.6 4 4 4* 57x 10 ±1.2x10 40x10 ±7.4x104 1.00±0.02 0.98*±0.02 1.40±0.15 1.46*±0.13 0.96±0.05 0.65*±0.03 0.44±0.02 0.45*±0.02 68.40±4.98 67.01* ±4.63 1.02±0.14 1.09*±0.12 2.97±0.25 2.74*±0.23
Manado (N=57) (rataan±sd) 201.26a ±40.44 136.72a ±8.74 25.63a ±2.48 50.63a ±3.95 116.54a ±6.12 117.49a ±6.47 33.912a ±5.17 112.11a ±5.93 36.60a ±2.87 53.6 8a ±4.25 19.54a ±1.12 47.26ab ±3.07 46x104a ±9.7x104 0.99a ±0.22 1.33a ±0.19 0.96b ±0.04 0.43a ±0.02 65.91a ±3.35 0.96a ±0.15 2.77a ±0.24
Lokasi Minahasa (N=374) Minsel (N=33) (rataan±sd) (rataan±sd) c 243.1 ±45.59 191.09ab±20.40 145.5 6b ±11.19 136.58ab±4.87 28.2 8b ±3.83 26.64b ±1.69 54.32b ±5.09 52.03b±2.97 122.24b ±8.59 116.06b±4.56 123.51b ±8.77 117.64b±4.63 40.29 b ±3.56 38.55b±2.03 118.22b ±5.94 114.89 b±3.81 39.88b ±3.46 38.21b±1.87 54.38a ±5.39 50.61a±4.50 b 20.07 ±1.01 19.42ab ±0.75 48.41a ±3.67 45.00bc±1.84 59x104b ±1.0x103 33x104 b ±3.8x103 0.99a±0.02 0.99a ±0.02 1.44bc ±0.14 1.45bc ±0.08 b 0.97 ±0.05 0.65b ±0.03 0.44b ±0.02 0.45bc ±0.02 67.92b ±4.64 64.03ab ±3.05 1.06bc ±0.13 1.07bc ±0.10 3.05c ±0.24 2.52b ±0.15
Tomohon (N=41) (rataan±sd) 291.70d ±48.95 156.42 c ±9.78 30.98 bc ±3.02 61.25 c ±5.35 134.42 c±10.12 133.85 c±10.39 43.43 bc±3.89 122.01 bc ±5.79 43.03c ±3.44 57.93ab ±5.52 20.83 c ±0.87 48.55 bc±2.17 72x104c±13x103 1.01b ±0.02 1.41 b ±0.12 0.91b ±0.04 0.4 cd 6±0.02 73.18 c ±5.53 0.99 ab ±0.09 3.12bc ±0.19
Keterangan: (*) atau superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05); N= jumlah sampel/ individu, sd= standar deviasi; (cm);), WI=weight index ; HS= height slope; WS= width slope; LI=length index; DI=depth index; Fl=foreleg index;CI=cumulative index.
30
Secara keseluruhan analisis indeks morfometrik menjelaskan bahwa kuda jantan memiliki dimensi tubuh lebih berat dan lebih tinggi, dada lebih lebar, tubuh lebih panjang dan kaki bagian depan lebih kokoh. Berdasarkan faktor penentu fungsionalitas, maka WS dan LI merupakan parameter utama dalam menduga dimensi kesetimbangan (balance). Hasil analisis kanonikal terhadap bobot badan dan ukuran tubuh kuda dijelaskan pada Tabel 4 sebagai berikut: Tabel 4 Total struktur kanonikal peubah bobot badan dan ukuran tubuh kuda lokal Sulawesi Utara Ukuran Morfometrik BB (Bobot badan, kg) TP (Tinggi pundak, cm) PB (Panjang badan, cm) LD (Lingkar dada, cm) LbD (Lebar dada, cm) DD (Dalam dada, cm) TPgl (Tinggi pinggul, cm) LPgl (Lebar pinggul, cm) PP (Panjang paha, cm) PL (Panjang leher, cm) LK (Lebar kepala, cm) PK (Panjang kepala, cm)
Kanonikal 1 0.68 0.64 0.65 0.63 0.54 0.67 0.61 0.93 0.68 0.24 0.44 0.19
Kanonikal 2 -0.55 -0.62 -0.17 -0.46 -0.27 -0.50 -0.52 -0.04 -0.28 -0.49 -0.39 -0.27
Peubah ukuran tubuh yang paling dapat dijadikan faktor pembeda pada populasi kuda lokal di Sulawesi Utara berdasarkan hasil analisis total struktur kanonikal (Tabel 4) adalah LPgl = 0.93 karena memberikan pengaruh paling besar terhadap pembedaan ukuran tubuh kuda. Ukuran tubuh lainnya kurang dapat digunakan sebagai peubah pembeda populasi kuda. Hasil analisis komponen utama pada Tabel 5, menggambarkan komponen ukuran TPgl dan LD memiliki keragaman relatif tinggi yaitu antara 68-70 persen pada keempat daerah pengamatan. Salako dan Ngere (2002) menyatakan, bahwa ukuran tubuh sangat bermanfaat pada hewan atau ternak yang telah berproduksi. Hal yang sama ditemukan untuk pengukuran komponen utama dari sapi hitam Jepang yang dilaporkan oleh Fumio et al. (1982) dan Hammock & Shrode (1986). Karacaoren & Kadarmideen (2008) dan Sadek et al. (2006) dalam penelitiannya juga menjelaskan bahwa faktor pertama dari analisis komponen utama memiliki keragaman yang paling tinggi yaitu antara 54.8 – 70.0 persen. Konformasi tubuh ternak adalah sifat-sifat yang baik untuk dijadikan dasar dalam melakukan seleksi dan
31
evaluasi genetik ternak. Seleksi berdasarkan kelompok peubah dengan memanfaatkan faktorfaktor dalam analisis komponen utama ini lebih mudah untuk dipakai dibandingkan seleksi masing-masing ukuran tubuh secara terpisah (Salako 2006). Tabel 5 Nilai Eigen dan ragam total kedua faktor pengukuran tubuh kuda lokal Sulawesi Utara Lokasi
Komponen Utama I c v E
Komponen Utama II C v E
Manado N= 57
TP, TPgl PB,LD, DD, PP
55.49
6.10
PL, PK
13.13
1.44
Minahasa N=374
TP, TPgl, PB, LD, Lpgl
60.64
6.67
LbrD
9.46
1.04
Minahasa Selatan N= 33
TPgl, PB, LD, PP
53.52
5.89
DD, TP
11.54
1.37
Tomohon N= 41
TP, TPgl, LD, DD, PP
69.11
7.60
PL, PK
8.43
0.93
Keterangan: N=faktor; I= ukuran tubuh; II= bentuk tubuh; c= komponen; v=keragaman total (%); E=nilai Eigen. BB=Bobot badan(kg); LD=Lingkar dada(cm); LbrD=Lebar dada(cm); DD= Dalam dada (cm); TP=Tinggi pundak(cm); TPgl=Tinggi pinggul(cm); LPgl=Lebar pinggul(cm); PB=Panjang badan(cm); PP=Panjang paha(cm); PL=Panjang leher(cm); LK=Lebar kepala (cm) dan PK=Panjang kepala(cm).
Penyebaran populasi kuda berdasarkan ukuran fenotipik yang digambarkan dalam Gambar 8, menunjukkan, bahwa secara morfologis, nampak adanya garis pemisah yang jelas untuk populasi kuda di Manado (warna biru tua di Tomohon (warna hijau tua), Kabupaten Minahasa (warna merah) dan Kabupaten Minahasa Selatan (warna biru muda).
32
Keterangan: M=Manado, S=Minsel, H=Minahasa dan T=Tomohon, CAN= Kanonikal Gambar 8 Penyebaran populasi kuda lokal di Sulawesi Utara berdasarkan ukuran fenotipik
Populasi kuda di Minahasa berada di tengah dan menyebar hampir merata di semua kuadran yang menggambarkan bahwa secara morfologis hubungan genetik kuda di kabupaten Minahasa terhadap populasi kuda di ketiga daerah lainnya berdekatan, yaitu terlihat bahwa populasi kuda di Minahasa Selatan berada didalam area fenotip kuda Minahasa. Secara umum dapat tergambar dengan jelas bahwa selain populasi kuda di Minahasa Selatan, populasi kuda di Manado dan Tomohon merupakan percampuran genetik dari populasi kuda Minahasa dengan populasi kuda di luar Minahasa. Berdasarkan analisis jarak genetik antara populasi kuda yang ditampilkan pada Tabel 6, menunjukan, bahwa kelompok kuda di Minahasa memiliki jarak nilai terkecil terhadap populasi di Minahasa Selatan, sedangkan jarak genetik lebih besar terdapat pada populasi kuda Manado dan Tomohon. Jarak paling jauh terdapat pada populasi kota Tomohon yang menggambarkan bahwa populasi kuda di Tomohon memiliki perbedaan genetik dengan populasi daerah lainnya, namun masih terdapat sedikit pencampuran dengan populasi di Minahasa. Hasil ini mendukung gambaran kanonikal (Gambar 8) dari keempat kelompok populasi kuda di Sulawesi Utara.
33
Tabel 6 Matrik jarak genetik antar kelompok populasi kuda Minahasa
Lokasi Minsel Manado Minahasa Tomohon
Kelompok Populasi Kuda Minsel Manado Minahasa 0.00 6.51 2.75 0.00 4.01 0.00
Tomohon 7.43 9.02 3.35 0.00
Analisis klaster ditujukan untuk mengelompokkan sejumlah individu kedalam kelompok-kelompok berdasarkan derajat kemiripan yang paling dekat. Berdasarkan metode cluster observation dengan metode average linkage (pautan rataan) jarak Euclidean diperoleh gambaran berupa fenogram atau diagram pohon dari data morfologi ukuran tubuh dan bobot badan populasi kuda di Sulawesi Utara seperti tertera pada Gambar 9. Secara umum berdasarkan parameter ukuran tubuh dan indeks morfologi, populasi keempat daerah terbagi dalam tiga kelompok besar, dimana kelompok pertama adalah populasi kuda di kabupaten Minahasa dan kabupaten Minahasa Selatan. Keduanya tergabung dalam kelompok yang lebih jauh yaitu populasi kuda dari kota Manado. Hubungan terjauh terdapat pada kelompok kuda di kota Tomohon.
Gambar 9 Dendrogram jarak Euclidean tingkat kesamaan ukuran tubuh pada empat subpopulasi kuda di Sulawesi Utara berdasarkan metode diskriminan
34
Simpulan 1. Ukuran lebar pinggul dapat menjadi faktor pembeda utama populasi kuda di Sulawesi Utara. 2. Komponen ukuran tinggi pinggul dan lingkar dada memiliki keragaman relatif tinggi yaitu antara 68-70% yang sangat bermanfaat sebagai parameter seleksi pada hewan atau ternak yang telah berproduksi. 3. Berdasarkan analisis jarak genetik pada parameter ukuran tubuh dan indeks morfologi, sub-populasi kuda di kabupaten Minahasa dan kabupaten Minsel memiliki jarak genetik paling dekat disusul sub-populasi kuda di kota Manado, sedangkan jarak terjauh terdapat pada kelompok kuda di kota Tomohon.
35
KARAKTERISASI, KERAGAMAN POLA WARNA, CORAK TUBUH DAN GENETIK KUDA LOKAL SULAWESI UTARA Pendahuluan Populasi kuda lokal di Sulawesi Utara memiliki karakteristik baik morfologi maupun pola warna tubuh yang beragam. Keragaman tersebut dapat terlihat dari pola warna tubuh, corak-corak warna putih pada bagian kepala dan kaki, serta variasi warna lainnya. Keragaman dapat disebabkan oleh adanya pengaruh genetik, lingkungan ataupun pengaruh interaksi kedua komponen tersebut. Faktor yang paling berperan dalam hal ini adalah sistem pemuliaan ternak kuda seperti seleksi dan persilangan intra dan antar kelompok bangsa kuda yang ada, sedangkan pengaruh lingkungan seperti manajemen pemeliharaan, kondisi pakan dan iklim turut mempengaruhi terciptanya perbedaan antar individu dalam suatu populasi. Menurut Noor (2008), keragaman tidak cukup diukur dengan membandingkan nilai rataan populasi saja, akan tetapi lebih tepat apabila dilakukan pengukuran keragaman dan simpangan baku. Lebih lanjut ditambahkan cara paling umum yang sering dipakai untuk membandingkan keragaman dua populasi adalah dengan menggunakan koefisien keragaman (CV). Terbatasnya catatan dan hasil penelitian mengenai keragaman warna pada kuda lokal di Indonesia menyebabkan sulitnya mengidentifikasi asal-usul dan sejarah perkembangan kuda yang ada. Bowling dan Ruvinsky (2004) menyatakan, bahwa kuda merupakan hewan yang tidak banyak memberikan sumbangan dalam perkembangan ilmu genetika disebabkan keterbatasan karakteristik biologi hewan tersebut seperti hanya memproduksi anak tunggal, periode sapih yang panjang, memerlukan tempat pemeliharaan yang luas dan membutuhkan penanganan secara individual. Meskipun demikian Nosawa (1983) menyebutkan, bahwa investigasi pola warna kuda lokal tetap diperlukan dan sangat penting dilakukan untuk melihat karakteristik populasi kuda di suatu wilayah dan hubungannya dengan bangsa-bangsa kuda di wilayah lainnya di dunia. Materi dan Metode Materi Penelitian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan dan mencatat variasi dan pola warna kuda di kota Manado, kabupaten Minahasa, kabupaten Minahasa Selatan dan kota
36
Tomohon sejak Agustus 2009 sampai dengan Mei 2010. Populasi kuda lokal yang diteliti adalah kuda yang dipakai untuk menarik bendi (delman) pada setiap pemilik kuda dengan total 505 ekor kuda dewasa usia 2-7 tahun. Pengamatan, pencatatan dan dokumentasi berupa foto diambil pada setiap individu kuda berupa data warna bulu dominan, corak badan, corak kaki dan corak kepala. Pengamatan karakteristik fenotip warna dan corak badan dilakukan dengan berpedoman pada metode Searle (1978), sedangkan untuk penentuan corak kaki dan corak kepala berdasarkan pembagian warna menurut Hawcroft (1984); Bowling dan Ruvinsky (2004).
Metode Sifat-sifat kualitatif berupa warna bulu, pola warna bulu, corak warna pada bagian kepala dan kaki dianalisis secara deskriptif dalam bentuk foto yang menggunakan kamera beresolusi tinggi untuk mendapatkan gambar yang berkualitas baik, tabel, grafik dan diagram berdasarkan frekuensi fenotipenya. Pola warna bulu dan corak kaki dijelaskan dalam Lampiran 4. Perhitungan frekuensi dan keragaman fenotipik sifat kualitatif dilakukan dengan menggunakan rumus Stanfield (1983) sebagai berikut:
Data keragaman fenotip kemudian dianalisis frekuensi genotip dan alelnya dalam metode perhitungan frekuensi menurut Noor (2008). Analisis jarak Euclidean digunakan untuk mendapatkan gambaran stuktur pohon kekerabatan antar sub-populasi yang ada di Sulawesi Utara. Pengamatan warna bulu dilakukan dengan pembagian pola warna bulu kuda menurut Nozawa et al. (1981) yang dijelaskan pada Tabel 7. Tabel 7 Lokus warna bulu kuda Fenotipe Pola Warna Bulu Bay (Ka-ge) Black (Ao-ge) Chestnut (Kuri-ge) Bay-cream (Kawara-ge) Chestnut-cream (Tsuki-ge) Ivory white atau pseudo-albino (Same-ge) Roan (Kasu-ge) Spotted (Buchi) Sumber: Nozawa et al. (1981)
Genotip A_B_dd aaB_dd, aaB_Dd _ _bbdd A_B_Dd _ _bbDd DD Rr S_
37
Perhitungan frekuensi gen dilakukan menurut Allendrof dan Luikart (2007):
(p+q)2=p2+2pq+q2
, , Jarak genetik kuda antara sub-populasi dihitung berdasarkan rumus yang disarankan oleh Nei (1987):
Keterangan:
Djk qij qik
= jarak genetik kuda delman antara lokasi pengamatan ke-j dengan lokasi pengamatan ke-k = frekuensi ke-i pada lokasi pengamatan ke-j = frekuensi ke-i pada lokasi pengamatan ke-k
Hasil dan Pembahasan Warna Bulu Karakter warna bulu pada populasi kuda lokal di Sulawesi Utara (Tabel 8) lebih didominasi oleh warna bay (65%) yang menurut Hawcroft (1984) dan Noor (2008), variasi warna tubuh ini ditandai mulai dari warna merah bata sampai coklat terang kekuningan dengan bulu surai, ekor dan corak bagian bawah kaki berwarna hitam. Sebaran warna tubuh ini menurut Bowling dan Ruvinsky (2004) disebabkan adanya ekspresi gen yang kebanyakan pada jenis mamalia lainnya dikenal sebagai agouti (alel A/a). Namun, gen ini secara molokuler dan homologinya masih belum stabil.
38
Sebaran frekuensi warna bulu kuda lokal Sulawesi Utara berdasarkan perbedaan lokasi ditampilkan dalam Tabel 8. Tabel 8 Distribusi geografi dan frekuensi fenotipik warna bulu kuda lokal Sulawesi Utara.
Lokasi
N
Manado % Minahasa % Minsel % Tomohon % Total %
50 357 30 40 477
Bay
33 66 238 67 19 63 22 55 312 65
Warna Bulu Black Ches- Pseudo Roan Spotted B-C/ nut Albino Dun 0 0 1 0 0 0 2 5 3 1
8 16 60 17 6 20 11 28 85 18
0 0 2 1 0 0 0 0 2 0
0 0 14 4 4 13 0 0 18 4
3 6 14 4 0 0 0 0 17 4
5 10 21 6 1 3 5 13 32 7
C-C/ Brown 1 2 7 2 0 0 0 0 8 2
Keterangan: B = fenotip bay, genotip (A-/B-/dd); Bl= fenotip hitam, genotip (aa/B-/dd) atau (aa/B-/Dd); Ch= fenotip chesnut, genotip (bb/dd); BC= fenotip bay-cream atau dun, genotip (A-/B-/Dd); CC= fenotip chesnut-cream atau palomino, genotip (bb/Dd); W = fenotip putih atau pseudo-albino, genotip (DD); R= fenotip roan, genotip ( Rr) atau (RR = lethal); metode Nozawa et al (1981).
Warna chesnut memiliki frekuensi fenotipik kedua terbanyak dalam populasi kuda lokal yaitu sebesar 18 persen. Pola warna ini ditandai dengan mulai warna merah keemasan terang sampai coklat tua gelap atau dikenal dengan warna merah hati dimana pada bagian surai, ekor dan pergelangan kaki berwarna lebih cerah atau lebih gelap akan tetapi bukan berwarna hitam (Hawcroft 1984). Ditambahkan oleh Noor (2008) bahwa ekspresi pigmen warna tubuh kuda ini berupa pola warna yang banyak ditemukan pada ternak sapi atau kuda dengan ciri bagian tubuh didominasi warna bulu cokelat kemerahan dengan warna bulu surai dan ekor lebih muda yang menururt Bowling dan Ruvinsky (2004) disebut sebagai ‘red factor’ yaitu ekspresi dari pengaruh gen resesif extension (e) yang menghilangkan warna hitam dan memunculkan warna merah. Gen warna chesnut dibentuk oleh adanya protein pada bagian membran sel melanosit yang pada keadaan resesif akan gagal dihubungkan dengan sebuah hormon yang menstimulasi sel untuk memproduksi eumelanin sehingga hanya phaeomelanin atau noeumelanin yang terbentuk. Lebih lanjut dijelaskan, bahwa gen ini masuk dalam kategori gen
39
terkait 2 (linked group 2) yang didalamnya termasuk kelompok gen-gen yang mencirikan pola warna roan (RN) dan spotted misalnya pola tobiano (TO) yang diatur oleh satu mitokondria dan tiga serum protein. Hasil pengamatan ini juga menunjukkan konsentrasi sebaran warna tubuh kuda lainnya seperti warna hitam, abu-abu dan totol-totol (spotted) termasuk didalamnya pola warna tobiano dengan frekuensi fenotipnya kurang dari tujuh persen. Hal ini diduga merupakan ekspresi gen yang bersifat resesip yang oleh Noor (2008) dijelaskan bahwa pada sifat-sifat yang dikontrol oleh dua atau tiga pasang gen, frekuensi genotip merupakan ekspresi ketiga alel dengan derajat dominasi tertentu. Lebih lanjut dikatakan perubahan frekuensi fenotipik dapat terjadi akibat banyak faktor seperti adanya seleksi, mutasi, isolasi dan genetik drift. Searle (1978) menjelaskan bahwa warna roan adalah bentuk ekspresi heterosigot dari gen Rr dimana dalam keadaan homosigot bersifat letal karena adanya dominasi gen warna putih yang oleh Charlier et al. (1996) disebut sebagai penyebab terjadinya kelainan genital, khususnya pada kuda betina yang dikenal dengan nama penyakit White Heifer atau penyakit Overo. Keragaman Genotip Hasil perhitungan frekuensi genotip warna bulu pada populasi kuda dari lokasi yang berbeda di Sulawesi Utara dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Genotipik warna bulu kuda Sulawesi Utara Sebaran Genotip Lokasi Aaa Bbb D- dd Manado 47 9 38 9 6 41 Minahasa 326 68 260 67 31 299 Minsel 26 6 20 6 1 25 Tomohon 38 13 29 11 7 35 Total 437 96 347 93 45 400 Keterangan: Genotipe RR bersifat letal
Rr 0 14 4 0 18
rr 50 343 26 40 459
S3 14 0 0 17
ss 47 343 30 40 460
Secara umum hasil ini menggambarkan adanya sebaran genotip (A-/B-/dd) untuk warna bay dan (--/bb/dd) untuk warna chesnut yang tinggi pada populasi kuda di Sulawesi Utara. Sebaran genotip pola warna roan (Rr) dan spotted (S-) terdapat dalam jumlah yang sedikit pada sub-populasi kuda di Minahasa. Hal ini juga menggambarkan bahwa kuda di kota Manado, kabupaten Minahasa, kabupaten Minahasa Selatan dan kota Tomohon didominasi oleh genotip (A-/B-/dd) dengan fenotip warna bay yang merupakan hasil produksi dari pigmen eumelanin yang dalam keadaan homosigot berwarna hitam (alel a/B/d), yaitu pada
40
populasi sampel tidak ditemukan warna hitam. Umumnya warna ini ditemukan hampir pada semua bangsa kuda namun bervariasi tergantung frekuensi alelnya. Searle (1978) mendeskripsikan genotip warna bulu bay adalah (A-/B-/dd), sedangkan warna hitam memiliki genotip (aa/B-/dd) atau (aa/B-/Dd). Dominasi warna bay dan chesnut, menurut Noor (2008) kemungkinan disebabkan oleh adanya alel-alel yang bersifat kodominan sehingga warna hitam atau warna lainnya cenderung tidak terekspresi. Frekuensi gen warna bulu kuda Sulawesi Utara dijelaskan pada Tabel 10. Tabel 10 Frekuensi gen warna bulu kuda Sulawesi Utara Lokasi Manado Minahasa Minsel Tomohon
A
a
B
0.60 0.59 0.57 0.49
0.40 0.41 0.43 0.51
0.56 0.55 0.52 0.48
Frekuensi Gen b D d 0.44 0.45 0.48 0.52
0.07 0.05 0.02 0.09
0.93 0.95 0.98 0.91
R
r
S
s
0 0.02 0.07 0
1 0.98 0.93 1
0.03 0.02 0 0
0.97 0.98 1 1
Hasil analisis frekuensi gen warna bulu (Tabel 10) menunjukkan keragaman alel dominan A dan B memiliki proporsi sebesar 48-60 persen yang tersebar pada sub-populasi kuda di Manado, Minahasa, Minahasa Selatan dan Tomohon. Gen-gen resesif d, r dan s ternyata memiliki keragaman yang tinggi (90-100%), menunjukkan bahwa terdapat perbedaan dominasi frekuensi alel akibat adanya interaksi beberapa pasang gen sehingga menyebabkan terjadinya variasi pola warna yang menurut Bowling dan Ruvinsky (2004) hal ini disebabkan gen-gen yang mengontrol pola warna dasar pada kuda tidak terpaut gen dan kemungkinan ada pengaruh epistatis. Tabel 11 Matriks jarak genetik pola warna bulu antara kuda lokal di Tomohon, Manado, Kabupaten Minahasa dan Minsel Daerah
Tomohon
Manado
Minahasa
Tomohon
0.00
Manado
0.00515
0.00
Minahasa
0.00403
0.00033
0.00
Minsel
0.00429
0.00279
0.00123
Minsel
0.00
Berdasarkan analisis jarak genetik pola warna bulu antara sub-populasi dapat dilihat pada Tabel 11, dimana kelompok kuda di Minahasa memiliki jarak nilai terkecil terhadap
41
populasi di Manado, sedangkan jarak genetik lebih besar terdapat pada populasi kuda Minahasa dan Minsel. Jarak paling jauh terdapat pada populasi kuda kota Tomohon yang menjelaskan bahwa sub-populasi kuda di kota Tomohon memiliki perbedaan genetik dengan populasi daerah lainnya, namun masih terdapat sedikit pencampuran dengan populasi di tiga derah lainnya. Analisis klaster ditujukan untuk mengelompokkan sejumlah individu kedalam kelompok-kelompok berdasarkan derajat kemiripan yang paling dekat. Berdasarkan hasil analisis cluster observation dengan metode average linkage (pautan rataan) jarak Euclidean diperoleh gambaran berupa diagram pohon dari data morfologi warna bulu dan corak badan pada populasi kuda di Sulawesi Utara seperti tertera pada Gambar 10.
Manado Minahasa Minahasa Selatan Tomohon
Gambar 10 Dendrogram jarak Mahalanobis tingkat kesamaan pola warna bulu pada empat sub-populasi kuda lokal di Sulawesi Utara berdasarkan metode diskriminan.
Pola corak warna putih pada kaki dari sub-populasi kuda di Sulawesi Utara dijelaskan dalam Tabel 12. Hasil pengamatan terhadap pola warna pada bagian kaki menunjukkan terdapat keragaman pola yang bervariasi antar sub-populasi. Walaupun frekuensi pola warna pada kaki masih didominasi warna hitam yang merupakan warna mayor, terdapat keragaman pola warna putih dengan frekuensi tipe corak warna yang relatif kecil pada populasi kuda yang diteliti. Sub-populasi kuda di Manado memiliki corak warna kaki tipe hock dan cannon. Kuda Minahasa memiliki tipe-tipe corak kaki lebih beragam yaitu selain cannon dan hock terdapat tipe fetlock dan coronet dalam frekuensi yang kecil. Terdapat dua tipe corak warna putih pada kaki yaitu pastern dan coronet pada populasi kuda di Minahasa Selatan, sedangkan di Tomohon terdapat tipe cannon, fetlock dan coronet.
42
Tabel 12 Frekuensi corak kaki (%) pada sub-populasi kuda di Sulawesi Utara
Pola Corak Polos Hitam Cannon Hock Feetlock Pastern Coronet
Manado (n=57) 36.84 57.89 1.75 3.51 0.00 0.00 0.00
Lokasi Minahasa (n=374) 32.09 61.76 1.34 2.67 1.87 0.00 0.27
Minsel (n=34) 11.76 82.35 0.00 0.00 0.00 2.94 2.94
Tomohon (n=40) 5.00 80.00 5.00 0.00 5.00 0.00 5.00
Menurut Bowling dan Ruvinsky (2004), kemungkinan terdapat aksi gen dominan alel (A) yang menyebabkan penyebaran warna bulu hitam dengan pigmen eumelanin pada titiktitik tertentu yang diduga merupakan refleksi dari perbedaan mendasar pada lingkungan setempat yaitu pada keadaan homosigot akan menghasilkan warna hitam yang menyeluruh. Hasil pengamatan pada corak putih di kepala dijelaskan pada Tabel 13. Terdapat adanya keragaman corak warna putih dengan berbagai tipe pada populasi kuda dengan berbagai bentuk dalam proporsi yang kecil. Sebanyak 3.51% corak putih bentuk stripe pada sub-populasi kuda di Kota Manado. Selain bentuk stripe terdapat pula corak berbentuk star, blaze dan snip yang dijumpai pada populasi kuda di kabupaten Minahasa. Bentuk stripe dan blaze terdapat pada kelompok kuda di Tomohon, sedangkan di Minahasa Selatan tidak ditemukan bentuk corak apapun. Tabel 13 Frekuensi corak kepala (%) pada sub-populasi kuda di Sulawesi Utara
Pola Corak Polos Star Stripe Blaze Snip
Manado (n=57) 96.49 0.00 3.51 0.00 0.00
Lokasi Minahasa (n=293) 91.81 5.80 0.86 1.37 0.34
Minsel (n=34) 100.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Tomohon (n=40) 90.00 0.00 2.50 7.50 0.00
43
Walaupun sebaran bentuk corak putih di kepala hanya kurang dari 10%, tetapi banyak pendapat di masyarakat yang lebih memilih atau menyenangi kuda yang memiliki corak putih di wajah karena diyakini mempunyai keunggulan dalam kecepatan. Diperlukan penelitian secara molekuler untuk menguji kebenaran pendapat masyarakat yang didasarkan pada kearifan lokal yang telah dimiliki sejak lama. Simpulan 1. Terdapat variasi pola warna bulu, corak kaki dan corak kepala pada antar sub-populasi kuda di Sulawesi Utara, dengan fenotip warna bay dan chesnut merupakan warna bulu dominan disamping terdapat warna bulu lainnya dengan frekuensi fenotip yang rendah (kurang dari tujuh persen). 2. Genotipik (A-/B-/dd) dan (--/bb/dd) memiliki penyebaran tertinggi pada alel A, b dan d dengan ekspresi bersifat kodominan sehingga memberikan konstribusi terbesar pada pembentukan keragaman warna bulu pada populasi kuda di Sulawesi Utara. 3. Terdapat bentuk corak putih pada kaki dan kepala yang bervariasi dengan frekuensi yang kecil yang diduga disebabkan adanya pengaruh gen non-linked dan ekspresi gen yang bersifat epistatis. 4. Sub-populasi kuda di Minahasa memiliki jarak genetik yang sangat dekat dengan subpopulasi kuda di kota Manado, sedangkan sub-populasi kuda di kota Tomohon adalah yang terjauh.
44
45
KERAGAMAN DAN JARAK GENETIK KUDA BERDASARKAN ANALISIS ELEKTROFORESIS POLIMORFISME PROTEIN DARAH
Pendahuluan Pemanfaatan teknologi molekuler berdasarkan penanda immunogenetik dan biokimia, pada saat ini telah banyak digunakan dalam upaya pencatatan dan verifikasi keturunan dari berbagai kuda domestik. Hubungan antar populasi kuda dapat diungkap dengan memanfaatkan teknologi pengujian sampel sel darah merah dan polimorfisme protein darah (Bowling & Ruvinsky 2004). Analisis polimorfisme protein darah dengan menggunakan metode Polyacrylamide Gel Electrophoresis (PAGE) merupakan salah satu teknik yang sudah lama dikenal, sering digunakan untuk mengidentifikasi enzim atau protein (Tosaki et al. 1995). PAGE adalah metode yang sederhana dan relatif murah dalam memisahkan molekul kimia berdasarkan perbedaan ukuran, berat molekul dan muatan listrik yang dikandung oleh makro molekul dengan menggunakan arus listrik. Protein merupakan salah satu bentuk makro molekul yang dihasilkan sel hidup dan berfungsi sebagai tempat penyimpanan informasi genetik (Rodriquez et al. 1992) serta merupakan produk langsung gen yang relatif tidak terpengaruh oleh perubahan lingkungan. Setiap kelompok protein darah dapat diwariskan dari generasi ke generasi dan merupakan penampilan dalam bentuk alel pada lokusnya (Nicholas 1996), sehingga dengan mengetahui karakteristik protein darahnya dapat pula diketahui genotipe setiap individu dan populasinya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui polimorfisme protein darah dari beberapa jenis kuda lokal di Sulawesi Utara dan mengetahui jarak genetik kuda lokal Sulawesi Utara berdasarkan polimorfisme protein darah. Materi dan Metode Alat untuk pengambilan sampel darah adalah alat suntik Terumo (none) 10 ml, ice box, centrifuge tube 3 ml. Mikropipet P10, P20, P200, P1000 Gilson (France) beserta pipet tipnya, microtube eppendorf 1.5 dan 0.2, gelas ukur, labu erlenmeyer dan gelas piala. Peralatan elektronik yang dipakai untuk preparasi sampel adalah mikrosentrifus (Eppendorf Centrifuge 5415 C); pemanas (Sybron Thermolyne Nuova II Hot plate); vortex (Maxi Mix Thermolyne 37600 Mixer); waterbath (Grand Incubator); kamera pengamatan Mitsubishi video copy processor model P91E CB dilengkapi monitor (UVI Tec); vacuum
46
dryer (Centri Vap Concentrator, Labconco); magnetic stirrer (Mg 78); electronic balance (AD HX 100) dan perangkat Kayaki PS100 Submarine Electrophoresis; voltage/current regulator. Bahan kimia yang digunakan untuk mengidentifikasi polimorfisme protein plasma darah kuda adalah: tris (hydroxyl methyl) amino metana, sukrosa akrilamida NN’methyl diakrilamida, asam khlorida, methanol, TEMED (N,N,N’,N’ tetramethyletilena diamina), asam asetat (glacial acetic acid), kertas saring whatman nomor 1, aquadestilata, coomassie brilliant blue 250 R, amido black 10 R, heparin indium dan alkohol 70% (Sambrook; Fritsch & Maniastis 1989; Sulandari & Zein 2003.) Penelitian protein darah (plasma) menggunakan metode elektroforesis protein darah (Lampiran 5) untuk melihat keragaman dan jarak genetik. Lokus-lokus yang akan diamati adalah: transferin atau globulin (Tf), post Transferin-1 (PTf1), Post Transferin-2 (PTf2) yang terdapat pada kromosom 16, albumin (Alb) dan Post Albumin (Pa) pada kromosom 3 dan hemoglobin alfa (HbA) pada kromosom 13 (Nicholas 1999). Tahapan analisis meliputi: 1. Persiapan sampel dalam tabung pertama yang mengandung anti koagulan dipisahkan kedalam bentuk plasma dengan cara disentrifuge dengan kecepatan di atas 8000 rpm selama 15 menit; 2. Pembuatan campuran bahan kimia untuk gel pemisah (running gel atau separation gel), buffer elektroda, bahan contoh dan larutan pewarna (staining) dilakukan dengan menggunakan metode Ogita dan Markers yang dimodifikasi, sedangkan larutan pewarna dan pencuci untuk protein plasma berdasarkan metode Thinner (Jakaria 1996); 3. Pembuatan larutan gel elektroforesis terdiri atas dua larutan yaitu larutan gel pemisah dan penggertak. Larutan gel pemisah dimasukkan kedalam celah dua keping kaca, yang telah diberi pembatas untai silinder plastik dan dijepit dengan menggunakan pipet secara perlahan-lahan. Batas ketinggian gel pemisah dalam kaca ditentukan dengan memberikan ruang untuk gel penggertak setinggi 3-4 cm. Larutan isobutanol ditambahkan sedikit ke dalam kaca diatas permukaan gel pemisah agar permukaan gel pemisah rata. Gel pemisah dibiarkan sampai membeku, kemudian dikeluarkan dari keping kaca dengan menggunakan alat suntik atau kertas hisap, sedangkan larutan penggertak dimasukkan kedalam slab diatas gel pemisah dan sisir
47
pencetak sumur diletakkan pada gel penggertak sebelum membeku. Selanjutnya bagian atas keping kaca ditutup dengan plastik dan disimpan dalam lemari pendingin yang bertemperatur 4°C selama tiga hari; 4. Pengujian sampel dan pemisahan protein dilakukan dengan alat elektroforesis. Pencetak sumur pada gel penggertak dilepas perlahan-lahan dan buffer elektroda dibiarkan masuk kedalam wadah contoh. Pengambilan contoh plasma atau sel darah merah dilakukan dengan menggunakan alat suntik Hamilton sebanyak 0.4 pl dan 0.6 pl bahan IV, kemudian dimasukkan kedalam sumur pada gel penggertak di keping kaca. Setelah itu, alat elektroforesis dihubungkan dengan sumber tenaga listrik pada tegangan 150 volt dan arus sebesar 20 Ma. Proses pemisahan protein hingga terbentuknya pola polimorfisme protein darah memerlukan waktu 7-9 jam; 5. Pada proses pewarnaan dan pencucian digunakan pewarna Coomasie Blue 1% R250, sedangkan
untuk
pewarnaan
hemoglobin
digunakan
bahan
pewarna
asam
trichloroasetat 5% dan Ponceau S 0.5% dalam aquadestilata. Setelah proses pewarnaan, gel dicuci dengan larutan pencuci kedalam wadah plastik yang sama, dan dibiarkan selama tiga jam atau lebih pada temperatur ruangan. Setiap digunakan selama 24 jam, larutan pencuci diganti untuk menghindari terjadinya kekeringan pada gel agar pita protein jelas dan wadah ditutup rapat untuk menghindari masuknya kotoran atau benda lain; 6. Pola pita protein plasma dan hemoglobin (Lampiran 5b) yang terbentuk dari hasil analisis elektroforesis dihitung berdasarkan jumlah pita yang terbentuk dengan berpatokan pada metode pengamatan menurut Gehne (Sambrook et al. 1989). Frekuensi pola protein diperoleh berdasarkan jumlah pita protein yang muncul pada setiap sampel percobaan yang dibagi dengan total jumlah sampel pengamatan. Keragaman alel, uji statistik F dihitung dengan menggunakan aplikasi komputer GENPOP (Rousset 2007) yang telah diedit menggunakan aplikasi BIOEDIT (Hall 2005). Analisis Chi Square (χ 2 ) digunakan untuk pengujian bilamana terdapat asosiasi antara peubah baris dengan peubah kolom, atau bilamana sebaran genotip sampel pada setiap parameter yang diamati dibandingkan dengan sebarannya secara teoritis dari model HardyWeinberg (Kirkwood 2005; Liu 1998). Gen polimorfis untuk alel A dan B dari frekuensi masing-masing p dan q dinyatakan dalam keadaan seimbang Hardy Weinberg
48
apabila frekuensi gonotip AA, AB dan BB sama dengan p2, 2pq dan q2, yang menurut Steel dan Torrie (1995), dinyatakan sebagai berikut:
Keterangan:
X2 = khi kuadrat 0 = pengamatan e = frekuensi harapan
Gen dominan dan resesif dianalisis berdasarkan perhitungan menurut rumus Ishida et al. (1994), yaitu:
p=1–q Keterangan:
q= frekuensi gen dominan otosomal R= jumlah individu dengan ekspresi resesif (homozigot resesif) N= jumlah total individu yang diamati p= frekuensi gen resesif otosomal
Frekuensi gen alel ganda dihitung berdasarkan rumus Stansfield (1983):
r = √ r ; q = √ q + r 2 – r ; p = 1-q-r Keterangan :
p = frekuensi gen alel 1 q = frekuensi gen alel 2 r = frekuensi gen alel 3
Pendugaan keragaman genetik dihitung berdasarkan rumus heterozigositas (h) dan rataan heterozigositas (H) menurut Nei (1987), dan frekuensi alel dihitung dengan rumus:
Xi
Keterangan:
Xi = frekueni alel ke i
49
Xii = frekuensi alel ke i Xij= jumlah seluruh alel Nilai heterozigositas (h) merupakan ukuran keragaman genetik populasi yang kawin acak dihitung berdasarkan frekuensi alel di setiap lokus, dengan rumus:
h = 1- ( Xi2 ) , dan H = 1- Xi2 / r Keterangan:
Xi = frekuensi alel ke i r = jumlah lokus yang diamati
Pendugaan kesamaan genetik (I) dan jarak genetik (D), dihitung dengan menggunakan rumus Nei dan Kumar (2000), sebagai berikut:
I = [ qij x qik / ( q2jj x q2 ik] D = - Ln (I) Keterangan:
q ij = frekuensi gen pada lokus ke- i kelompok itik ke-j. q ik = frekuensi gen pada lokus ke- i kelompok itik ke-k.
Hasil dan Pembahasan Keragaman Genotip Analisis keragaman genotip pada beberapa lokus protein darah dan sel darah merah dijelaskan dalam Tabel 14a dan 14b. Tabel 14a Frekuensi genotip lokus Albumin dan Post Albumin, kuda lokal Sulawesi Utara Populasi Kuda Tomohon Manado Minsel Minahasa Total
AA 0.80 0.43 0.62 0.61 0.57
Albumin AB 0.10 0.50 0.23 0.30 0.33
BB 0.10 0.07 0.15 0.09 0.10
AA 0.00 0.00 0.00 0.04 0.01
Post Albumin AB BB 1.00 0.00 0.75 0.25 1.00 0.00 0.78 0.13 0.84 0.14
AC 0.00 0.00 0.00 0.04 0.01
50
Tabel 14b Frekuensi genotip Transferin dan Hemoglobin ά kuda lokal Sulawesi Utara Populasi Kuda Tomohon Manado Minsel Minahasa Total
AB 0.50 0.46 0.46 0.52 0.49
Transferrin BB 0.10 0.32 0.46 0.30 0.31
BC 0.40 0.21 0.08 0.17 0.20
Hemoglobin ά Tipe 1 Tipe 2 0.80 0.20 0.39 0.61 0.31 0.69 0.70 0.30 0.51 0.49
Gambar 11 dan 12, memperlihatkan adanya keragaman pola pita protein yang didasarkan pada perbedaan bentuk dan jarak pada lokus Tf, PAlb, Alb dan HbA pada Gambar 13 dan 14 yang memperlihatkan adanya dua pita. Hal ini menunjukkan adanya variasi lokus pada populasi kuda di Sulawesi Utara. Semetara lokus lainnya hanya menampakkan pola protein pita tunggal.
Gambar 11. Contoh pola pita Alb, PAlb, Tf, PTf-1, dan PTf-2 berdasarkan teknik PAGE
Gambar 12 Rekonstruksi pola pita PTf-2,PTf-1, Tf, PAlb, Alb berdasarkan Teknik PAGE
51
Gambar 13 Contoh pola pita Hemoglobin α
Gambar 14 Rekonstruksi pola pita Hemoglobin α Hasil analisis frekuensi alel pada kuda lokal Sulawesi Utara berdasarkan lokus Alb, PAlb, Tf, PTf-1, PTf-2 disajikan pada Tabel 15a dan 15b, menunjukan lokus Alb alel A memiliki frekuensi tertinggi yaitu sebesar 0.85 dan terendah pada alel B sebesar 0.15 di populasi Tomohon. Frekuensi alel tertinggi pada lokus PAlb alel B sebesar 0.63 di daerah Manado dan terendah pada alel C sebesar 0.02 di Minahasa. Frekuensi alel tertinggi pada lokus Tf yaitu alel B sebesar 0.73 dan terendah pada alel C sebesar 0.04 di daerah Minahasa
52
Selatan (Amurang). Frekuensi alel tertinggi pada lokus PTf-1 dan PTf-2 masing-masing pada alel A sebesar 1.00 dan terendah pada alel B sebesar 0.00 untuk semua populasi. Tabel 15a Frekuensi ael pada lokus Albumin, Post Albumin dan Transferin pada kuda lokal Sulawesi Utara Populasi Kuda Tomohon Manado Minsel Minahasa
Albumin A B 0.85 0.15 0.68 0.32 0.70 0.27 0.70 0.24
Post Albumin A B 0.50 0.50 0.38 0.63 0.50 0.50 0.46 0.52
C 0.00 0.00 0.00 0.02
Transferin A B 0.25 0.55 0.23 0.66 0.23 0.73 0.26 0.65
C 0.20 0.11 0.04 0.09
Tabel 15b Frekuensi alel pada lokus Post Transferin 1 dan Post Transferin 2 pada kuda lokal Sulawesi Utara Populasi Kuda Tomohon Manado Minsel Minahasa
Post Transferin-1 A B 1.00 0.00 1.00 0.00 1.00 0.00 1.00 0.00
Post Transferin-2 A B 1.00 0.00 1.00 0.00 1.00 0.00 1.00 0.00
Variasi genetik kuda lokal di Sulawesi Utara seperti tertera pada Tabel 16, menunjukkan bahwa lokus post albumin dan transferin dari empat populasi kuda memiliki nilai heterozigositas tertinggi masing-masing sebesar 100 dan 90% yang mencerminkan adanya polimorfik yang tinggi terdapat pada populasi kuda Tomohon. Nilai heterozigositas tertinggi untuk lokus albumin sebesar 50% terdapat pada populasi kuda di Manado. Lokus yang lain tidak menunjukkan adanya variasi seperti lokus PTf-1 dan PTf-2 dimana semuanya menunjukkan genotipe homozigot yang sama yaitu genotipe AA. Tabel 16 Heterozigositas kuda lokal Sulawesi Utara Populasi Kuda Tomohon Manado Minsel Minahasa Total
Albumin 0.10 0.50 0.23 0.30 0.34
Post Albumin 1.00 0.75 1.00 0.83 0.85
Transferin 0.90 0.68 0.54 0.69 0.69
Post Transferin-1 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Post Transferin-2 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
53
Perbedaan keragaman genetik dapat disebabkan oleh perbedaan lingkungan yang berbeda secara topografi dan juga adanya perbedaan sistem pemeliharaan dari peternak di keempat lokasi. Kota Tomohon diduga telah melakukan pola pemeliharaan dan sistem persilangan yang terstruktur. Tabel 17 Keseimbangan Hardy-Weinberg berdasarkan uji χ2 Populasi Kuda Tomohon Manado Minsel Minahasa
N 10 28 13 23
Alb tn
3.70 0.60 tn 2.22 tn 0.62tn
Alb 10,00* 10.08* 13.00* 9.88*
Tf 4.67 tn 4.16 tn 0.82 tn 3.76 tn
Keterangan: (*) = nyata; (tn) = tidak nyata pada taraf α=0,05 Tabel 18. Jarak genetik lokus Alb, PAlb, Tf, PTf-1 dan PTf-2 Populasi Kuda Tomohon Manado Minsel Minahasa
1 0 0.0138 0.0120 0.0058
2
3
4
0 0.0059 0.0038
0 0.0019
0
Berdasarkan hasil analisis jarak genetik dan pohon kekerabatan diperoleh bentuk pohon kekerabatan yang disajikan pada Tabel 18 dan Gambar 15. Hasil analisis jarak genetik dengan lokus Albumin, Post Albumin, Transferin, PTf-1, dan PTf-2 serta hasil konstruksi dendrogram pohon genetik dengan jelas memperlihatkan hubungan kekerabatan yang didasarkan atas perbedaan lokasi dimana populasi kuda di Amurang (kabupaten Minahasa Selatan) memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan populasi kuda di kabupaten Minahasa. Populasi kuda di Tomohon merupakan kelompok dengan jarak genetik terjauh, dimana hasil ini lebih mirip dengan hasil pengelompokkan berdasarkan analisis morfologi yang menunjukkan populasi kuda di kabupaten Minahasa Selatan memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan populasi kuda di kabupaten Minahasa dan populasi kuda di Tomohon memiliki hubungan kekerabatan yang jauh dengan ketiga populasi kuda lainnya. Hal ini dikarenakan kota Tomohon yang merupakan daerah dataran tinggi (± 500 dpl) dengan kondisi berbukit-bukit dimana masyarakat pemilik kuda telah melakukan seleksi dengan
54
tujuan untuk mendapatkan suatu populasi kuda dengan postur tubuh yang besar dan dapat disesuaikan dengan kondisi geografis kota Tomohon.
Gambar 15 Dendrogram jarak genetik berdasarkan metode UPGMA Simpulan 1. Terdapat variasi morfologi dan polimorfisme protein darah pada lokus Alb, PAlb, Tf dan HbA antar individu antar sub-populasi, sedangkan lokus PTf-1 dan PTf-2 bersifat monomorfik. 2. Berdasarkan penciri immunogenetik (protein darah), sub-populasi kuda lokal di Tomohon memeiliki kekerabatan yang rendah terhadap sub-populasi di Minahasa, Minahasa Selatan dan Manado. 3. Terdapat alel spesifik C dengan genotipe AC pada lokus Albumin dengan frekuensi yang kecil dan perlu ditelusuri sumber keragamannya.
55
PENDUGAAN REPITABILITAS SIFAT KECEPATAN DAN KEMAMPUAN MEMPERTAHANKAN KECEPATAN PADA KUDA PACU SULAWESI UTARA Pendahuluan Kuda pacu Indonesia merupakan ternak hasil silangan antara kuda lokal Indonesia dengan kuda pacu Thoroughbred yang telah beradaptasi dengan baik di lingkungan Indonesia. Banyak dipelihara dan dikembangbiakkan untuk dilombakan. Kuda tersebut memiliki potensi untuk dikembangkan karena memiliki nilai ekonomis yang tinggi berupa keuntungan nyata dalam bentuk perolehan hadiah karena prestasi yang berhasil diraih dan telah menjadi budaya sebagian masyarakat pecinta kuda di Indonesia. Kebijakan pemerintah dalam Permentan No.35/Permentan/OT.140/8/2006 (Pordasi 2003), mengenai pengembangan ternak lokal Indonesia menempatkan kuda pacu sebagai salah satu target utama sumberdaya lokal yang menjadi simbol kebanggaan sekaligus daya tarik pariwisata bagi masyarakat dalam dan luar negeri. Upaya pemuliaan untuk meningkatkan kemampuan berlari kuda lokal Indonesia perlu ditingkatkan melalui metode seleksi yang tepat dan terarah sehingga karakteristik sifat kecepatan yang dimiliki kuda lokal Indonesia dapat dipertahankan atau lebih ditingkatkan. Salah satu parameter genetik yang diperlukan untuk program seleksi performa kuda pacu adalah repitabilitas kecepatan dan ketahanan berlari. Kecepatan lari adalah sifat yang dominan untuk kuda pacu yang secara kuantitatif menurut Martojo (1992) dapat diukur pada seekor ternak yang dapat dimanfaatkan untuk menyelidiki apakah sifat tersebut memiliki kecenderungan untuk berulang pada pengukuran berikutnya dimasa yang akan datang. Perulangan sifat dapat menggambarkan apakah sifat yang diamati merupakan suatu ekspresi genetik atau bukan. Analisis pendugaan nilai repitabilitas dilakukan untuk menduga adanya kecenderungan pengulangan suatu sifat yaitu pengukuran perbedaan keragaman antar data yang berulang dari setiap catatan produksi setiap individu kuda yang sama. Keragaman suatu sifat mempengaruhi nilai dugaan repitabilitas sifat tersebut, semakin beragam data maka semakin rendah nilai repitabilitas dan sebaliknya. Noor (2008) menyatakan, bahwa repitabilitas merupakan suatu pengukuran kesamaan suatu sifat yang diukur berkali-kali pada ternak yang sama, sedangkan menurut Tolley et al. (1983), Pallawaruka (1999) menyatakan, bahwa repitabilitas adalah ukuran
56
kekuatan hubungan yang konsisten dan realistis antara nilai ukuran fenotipik yang berulangulang dari suatu sifat dalam populasi. Pendugaan nilai repitabilitas untuk sifat kecepatan dan sifat ketahanan berlari dilakukan pada populasi kuda pacu yang ada di Minahasa dengan menggunakan data performa fenotipik perlombaan berupa catatan waktu lari dari kuda pacuan selama 11 tahun (1998 s/d 2009) dari perlombaan yang diselenggarakan oleh organisasi berkuda Indonesia atau disingkat PORDASI. Data dari individu-individu kuda dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin dan umur. Perhitungan nilai repitabilitas kecepatan dan ketahanan berlari menggunakan data kecepatan yang diperoleh dari informasi waktu tempuh dan jarak lomba. Nilai kecepatan lari seekor kuda diperoleh dengan membagi jarak lomba terhadap waktu tempuh. Hintz (1980) menyatakan bahwa waktu tempuh mengindikasikan jumlah detik yang dibutuhkan seekor kuda untuk menyelesaikan lomba, dan merupakan parameter yang paling sering digunakan. Menururt Ekiz dan Kocak (2007) menyatakan bahwa waktu tempuh adalah satu-satunya pengukuran kecepatan dan ukuran kuantitatif yang tepat untuk mengevaluasi secara genetik performa lari pada kuda.
Materi dan Metode Analisis Data Data yang telah ditabulasikan tersebut diolah lebih lanjut untuk mendapatkan hubungan korelasi fenotipik dengan menggunakan rumus Pearson (Steel & Torrie 1995) antara kecepatan lari dan ketahanan berlari. Nilai repitabilitas diperoleh dari hasil analisis ragam (ANOVA) yang diolah lebih lanjut berdasarkan metode analisis ragam melalui program SAS 9.1, sedangkan pendugaan nilai repitabilitas dilakukan dengan model rancangan percobaan berdasarkan rumus Becker (1985) yaitu:
Yik = µ + αi +eik Keterangan:
Yik µ αi eik
= pengukuran ke-k pada individu ke-i = nilai tengah umum = pengaruh individu ke-i = pengaruh lingkungan tak terkontrol dan atribut deviasi genetik individu
57
Tabel 19 Tabel analisis ragam Sumber Keragaman
Derajat Bebas
JK
KT
AntarIndividu
n- 1
JKw
KTw
Antar Pengamatan dalam Individu
m-n
Jke
Kte
Total
m- 1
JKT
KT yang Diharapkan + k1
Keterangan : n= jumlah individu, m.= jumlah pengamatan, JK = Jumlah Kuadrat, KT = Kuadrat Tengah,
= KTw,
= KTe, koefisien k1=
,
= kuadrat-
jumlah ulangan
Pendugaan nilai repitabilitas dihitung dengan rumus (Becker 1985): 2
=
2
2 e
–
dan
Keterangan : R
k1
= repitabilitas = ragam kecepatan pacu/ ketahanan berlari antara individu-individu yang diamati = ragam kecepatan pacu/ ketahanan lari berdasarkan pengukuranpengukuran dalam individu yang diamati = kuadrat tengah kecepatan pacu/ ketahanan berlari = kuadrat tengah individu yang diamati = jumlah pencatatan atau ulangan
Pengujian kesamaan antara dua populasi dihitung dengan Uji-t (2 sampel) menggunakan rumus:
t = ((X1 - X2) Keterangan : X1 X2 s 0
= rataan populasi sampel 1 = rataan populasi sampel 2 = standar deviasi sampel = perbedaan antara rataan populasi
0)
/s
58
Hasil dan Pembahasan Keragaman Sifat Kecepatan Lari Kecepatan lari kuda pacu baik pada jantan maupun betina yang dijelaskan pada Tabel 20 menunjukan kecenderungan peningkatan kecepatan seiring pertambahan umur kuda. Hasil ini didukung oleh pernyataan Hintz (1980) yang menyatakan bahwa bahwa umur puncak performa pacu pada kuda Thoroughbred di Amerika umumnya setelah mencapai usia dewasa. Performa pacu seekor kuda menurut Ojala et al. (1987) dinilai dari seberapa cepat seekor kuda mampu berlari pada jarak tertentu yang diukur berdasarkan waktu yang dibutuhkan (detik) sejak start sampai mencapai garis finish pada jarak yang ditentukan, seperti 600 m, 800 m, 1000 m dan seterusnya. Tabel 20 Rataan kecepatan lari (m/detik) kuda pacu Indonesia jantan dan betina pada berbagai kelompok umur Jenis Kelamin
♂
2
3
4
>4
15.030a ± 0.724
15.076 ± 0.521
15.220 ± 0.700
15.280 ± 0.813
4.82
3,46
4.6
5.32
38
51
40
39
15.203b ± 0.634
15.118 ± 0.509
15.271 ± 0.718
15.349 ± 0.675
4.17
3.37
4.7
4.4
individu
40
48
36
27
Kecepatan (m/det) ± sd
–
15.096 ± 0.514
15.244 ± 0.704
15.308 ± 0.758
3.41
4.62
4.95
99
76
66
Kecepatan (m/det) ± sd cv (%) individu
♀
Kecepatan (m/det) ± sd cv (%)
Rataan
Umur (tahun)
cv (%) individu
Keterangan: superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan (P<0.05); cv= koefisien keragaman. Kuda pacu betina umur empat tahun memiliki koefisien keragaman tertinggi walaupun secara keseluruhan koefisien keragaman baik kuda jantan maupun betina masih dalam kategori rendah yaitu: 3.37 – 5.32%. Hasil uji-t pada Lampiran 6a dan 6b, menunjukkan
59
bahwa kecepatan lari kuda pacu jantan dan betina pada umur empat tahun tidak berbeda kemungkinan disebabkan sifat kecepatan pada kuda tidak banyak dipengaruhi oleh faktor perbedaan jenis kelamin ataupun umur, melainkan oleh ekspresi genotip akibat adanya seleksi. Kuda yang dilombakan pada setiap umur adalah hasil silangan bertingkat sampai generasi ketiga (G-3) dan keempat (G-4), diduga terdapat pengaruh tekanan silang dalam yang tinggi sehingga menyebabkan penurunan keragaman genotip. Faktor lain yang dapat menjadi bahan pertimbangan adalah penggunaan jumlah pejantan yang relatif sedikit sehingga gen-gen yang mengekspresikan sifat kecepatan semakin terfiksasi pada gen-gen yang berasal dari sumber yang sama. Kemungkinan adanya pengaruh lingkungan yang semakin kecil, karena setiap kuda yang dipacu pada umur tiga tahun telah memasuki umur dewasa dan telah menjalani jenis latihan yang hampir seragam, sehingga rataan kecepatan berlari yang semakin seragam merupakan bentuk dari ekspresi genotip setiap kuda. Umumnya kuda pacu baru mulai disertakan dalam pacuan ketika berumur dua tahun dimana banyak ditemukan kuda dengan performa keragaman kecepatan lari yang baik, hal tersebut sesuai dengan pernyataan Ekiz dan Kocak (2007) bahwa umur dua tahun merupakan umur pertama atau umur awal kuda pacu Thoroughbred turut serta dalam pacuan resmi, karena pada usia tersebut menurut Baker (2002) setiap kuda umumnya baru melewati program pelatihan, perkembangan perototan yang optimum, pemberian pakan dan manajemen yang sempurna dengan adanya pengaruh emosional antara individu kuda dengan joki atau pelatih. Islami (2006) menyatakan bahwa pelatih memiliki peranan penting dalam menghasilkan kuda pacu berprestasi. Pelatih berpengalaman memiliki kemampuan menilai kelebihan dan kekurangan seekor kuda untuk kemudian menentukan bentuk latihan yang sesuai dengan kondisi kuda. Adanya perbedaan performa pacu antara kuda jantan dan betina pada umur dua tahun didukung oleh Ekiz dan Kocak (2007) yang menyatakan bahwa kecepatan lari kuda pacu jantan dan betina umur dua tahun berbeda. Dijelaskan oleh Hintz (1980) bahwa faktor umur dan jenis kelamin mempengaruhi penampilan lari kuda pacu Thoroughbred, sedangkan faktor lingkungan lainnya seperti umur pejantan, musim saat ternak dilahirkan, lama bunting induk dan urutan kelahiran tidak mempengaruhi performa pacu kuda Thoroughbred. Perbedaan performa puncak kuda pacu dalam penelitian ini diduga karena kuda pacu Indonesia merupakan hasil persilangan kuda Sumba dengan kuda Thoroughbred, yang telah
60
beradaptasi membentuk ”bangsa baru” berdasarkan analisis keragaman yang menunjukkan perbedaan yang tidak nyata serta nilai koefisien keragaman yang rendah. Kecenderungan peningkatan kecepatan lari kuda pacu pada umur diatas tiga tahun menyebabkan semakin sedikit individu kuda yang mampu berkompetisi sehingga hanya kuda yang memiliki penampilan kecepatan yang tinggi yang terseleksi untuk disertakan dalam perlombaan pacuan. Kuda-kuda yang berpenampilan kurang baik dengan sendirinya tidak dapat lolos kualifikasi lomba dan tidak diminati sehingga hanya kuda juara saja yang terseleksi dan bernilai tinggi atau layak untuk dijadikan pejantan atau induk betina. Kecepatan lari kuda pacu jantan ditemukan terbesar pada kelompok umur empat tahun, dan hal ini sesuai dengan pernyataan Hintz (1980) bahwa puncak performa pacu kuda jantan Thoroughbred di Amerika berada pada umur empat tahun. Dijelaskan lebih lanjut bahwa puncak performa pacu kuda Thoroughbred betina di Amerika dicapai pada umur 2–3 tahun. Kecepatan lari tertinggi kuda pacu betina pada penelitian ini baru tercapai pada umur empat tahun. Perbedaan tersebut kemungkinan dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor genetik maupun faktor lingkungan seperti manajemen reproduksi, program pelatihan dan manajemen pakan. Hal ini dapat diamati pada Tabel 21 yang menyajikan nilai ragam genetik dan lingkungan untuk sifat kecepatan lari kuda pacu Indonesia pada berbagai kelompok umur. Tabel 21 Nilai dan sifat kecepatan lari kuda pacu Indonesia jantan dan betina pada berbagai kelompok umur Umur (Tahun)
(
)
(
♂
0.193
0.144
♀
0.084
0.183
3
(♂+♀)
0.049
0.127
4
(♂+♀)
0.235
0.084
>4
(♂+♀)
0.126
0.148
)
2
Keterangan:
=Kuadrat Tengah antara Individu, = Kuadrat Tengah antara Pengamatan dalam Individu, = Ragam Genetik, = Ragam Lingkungan Tetap, = Ragam Lingkungan Sementara
Pada umur dua tahun pengaruh genetik kecepatan lari pada kuda pacu jantan lebih tinggi dibandingkan kuda pacu betina, sedangkan pengaruh lingkungan sementara ditemukan tinggi pada kuda pacu betina. Pada umur tersebut walaupun rataan kecepatan lari kuda betina
61
lebih tinggi, ditemukan bahwa kuda pacu jantan memiliki potensi genetik kecepatan lari lebih besar dibanding kuda betina. Hasil ini membuktikan bahwa kuda jantan yang memiliki kecepatan lari yang tinggi adalah bentuk ekspresi gen-gen dominan dari sifat kecepatan yang berpotensi untuk dijadikan pejantan unggul (Tolley et al. 1983). Menurut Baker (2002), tidak semua kuda dapat menurunkan sifat-sifat unggulnya pada keturunannya, hanya kuda yang memiliki potensi genetik unggul yang dapat dijadikan pejantan. Pengaruh lingkungan sementara pada kuda pacu betina lebih besar dibandingkan kuda pacu jantan, mengindikasikan bahwa kuda pacu betina akan lebih menunjukkan penampilan terbaiknya apabila dilatih dan dipelihara pada lingkungan yang mendukung seperti manajemen pemberian pakan yang optimal saat menjelang lomba (Parakkasi 1986). Graham-Thiers dan Kronfeld (2005) menyatakan bahwa untuk mempertahankan ukuran otot seekor kuda memerlukan tambahan makanan berupa asam amino meskipun hanya melakukan sedikit exercise. Kontinuitas pacuan merupakan salah satu faktor yang menunjang kemampuan kuda pacuan untuk beradaptasi dan tampil sebagai kuda pacu berkecepatan tinggi. Repitabilitas Kecepatan Lari Berdasarkan Tabel 22 diperoleh nilai repitabilitas kecepatan lari kuda pacu yang diturunkan dari kelompok kuda pacu umur 3, 4 dan lebih dari 4 tahun yang berdasarkan hasil statistik uji-t menunjukkan perbedaan yang tidak nyata untuk jenis kelamin kecuali pada umur dua tahun. Tabel 22 Nilai Repitabilitas Kecepatan Lari Kuda Pacu Indonesia Jantan dan Betina pada Berbagai Kelompok Umur Umur (Tahun)
R ± S.E.
Jenis Kelamin ♂
0.573 ± 0.140
♀
0.315 ± 0.206
3
♂+♀
0.278 ± 0.138
4
♂+♀
0.737 ± 0.042
>4
♂+♀
0.460 ± 0.095
2
Keterangan : R= nilai repitabilitas, S.E.= standard error
62
Nilai repitabilitas suatu sifat ditentukan oleh faktor genetik (aditif, dominan dan epistasis) dan faktor lingkungan baik permanen maupun sementara (Noor 2008). Kisaran nilai repitabilitas kecepatan lari pada kelompok kuda pacu umur empat tahun dan kelompok kuda pacu jantan umur dua tahun yang diperoleh mendekati pernyataan Martojo (1992) yaitu 60– 80% yang oleh Noor (2008) bahwa nilai repitabilitas diatas 40% termasuk dalam kategori tinggi. Secara umum nilai repitabilitas kecepatan lari kuda pacu pada penelitian ini berkisar antara sedang sampai tinggi. Repitabilitas kecepatan lari tertinggi ditemukan pada umur empat tahun mengindikasikan bahwa pada umur tersebut daya pengulangan sifat kecepatan lari berkorelasi tinggi satu sama lain dengan kata lain pada umur tersebut kuda pacu telah dapat mengekspresikan potensi genetik dengan baik sebagai kuda pacu berkecepatan tinggi. Daya pengulangan sifat kecepatan lari ditemukan lebih tinggi pada kuda jantan umur dua tahun yang menunjukkan bahwa kuda jantan dapat mengekspresikan potensi genetiknya lebih cepat daripada kuda betina (Tolley et al. 1983). Diduga faktor fisiologis hormonal perbedaan jenis kelamin dan pertumbuhan memberikan pengaruh terhadap perbedaan penampilan lari (Ojala 1987). Cunningham et al. (2005) menyatakan bahwa hormon androgen bertanggungjawab terhadap perkembangan tulang dan otot pada ternak jantan secara tidak langsung mempengaruhi kecepatan lari. Daya pengulangan sifat kecepatan lari kelompok kuda pacu umur lebih dari empat tahun cenderung menurun walaupun masih dikategorikan tinggi. Penurunan ini kemungkinan disebabkan mulai berkurangnya pengaruh lingkungan sementara yang ditandai juga dengan besar pengaruh genetik dan lingkungan yang hampir seimbang dan menghasilkan ekspresi sifat kecepatan lari yang lebih stabil Warwick et al. (1987) menyatakan bahwa pengaruh lingkungan permanen adalah semua pengaruh lingkungan yang bukan bersifat genetik tetapi dapat mempengaruhi produktivitas seekor ternak selama hidupnya. Noor (2008) menyatakan bahwa contoh variasi lingkungan tetap akan mempengaruhi nilai repitabilitas. Dijelaskan lebih lanjut bahwa lingkungan tetap ini dapat mengubah kondisi ternak dan berpengaruh selama ternak hidup. Pada penelitian ini, lingkungan tetap yang dapat mempengaruhi kecepatan lari kuda pacu adalah latihan dan pacuan. Perolehan nilai repitabilitas kecepatan lari kuda pacu pada penelitian ini sedikit diatas dari pernyataan Ekiz dan Kocak (2007) pada kuda Thoroughbred di Turki (0.28–0.40). Hal ini mengindikasikan bahwa kuda pacu Indonesia memiliki daya pengulangan dan pewarisan sifat kecepatan lari yang lebih tinggi daripada kuda Thoroughbred, meskipun kecepatan lari kuda pacu Indonesia lebih rendah.
63
Noor (2008) menyatakan bahwa nilai repitabilitas yang tinggi menandakan ternak mampu berproduksi dengan ukuran yang hampir sama setiap tahun, ternak dinilai cenderung mendekati ukuran tertinggi (atau terendah) secara konstan, tidak terpengaruh jumlah rataan ukuran yang mungkin berubah. Nilai repitabilitas yang tinggi adalah bukti dari determinasi sifat yang diamati (Macrejowski & Zieba 1982). Keragaman Sifat Mempertahankan Kecepatan Lari Hasil uji-t (Lampiran 7a dan 7b) untuk penurunan dan peningkatan nilai kecepatan antara kuda jantan dan betina pada penelitian ini tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hasil ini karena diduga kuda yang dipacu berada pada kelompok umur, ukuran tubuh yang seragam serta jarak tempuh lari dalam kategori pendek sampai sedang sehingga perbedaan jenis kelamin tidak memberikan pengaruh yang berbeda. Umumnya saat berada di lintasan pacuan, baik kuda jantan maupun betina tidak dipisahkan dan berlari secara bersamaan. Jarak tempuh yang diambil sebagai data adalah 800, 1000, 1200, 1400, dan 1600 m yang oleh Moritsu et al. (1994) menyatakan bahwa jarak-jarak ini dikategorikan sebagai jarak tempuh sedang dan lebih lanjut dikatakan bahwa tidak ditemukan adanya pengaruh yang nyata pada kuda Thoroughbred yang berada di Jepang yang lari pada jarak tempuh 1200 m, kecuali pada jarak 1800 m. Hal yang sama didukung oleh hasil penelitian Polak (2008) dan Richard dan Touvais (2007) yang tidak mendapatkan adanya perbedaan yang nyata dari faktor jenis kelamin. Tabel 23 menyajikan data kemampuan kuda dalam mempertahankan kecepatan yang mengalami peningkatan kecepatan atau percepatan berlari pada lintasan berjarak 1200, 1400 dan 1600 m. Tabel 23 Rataan nilai percepatan (detik) pada selisih jarak 1200, 1400 dan 1600 meter
No
Nomor Kuda
1 8 2 19 3 22 4 29 5 33 6 59 7 74 8 82 Rataan
Jarak Tempuh 1200-1400 m 1200-1600 m Detik 0.0036 0.0006 0.0038 0.0016 0.0026 0.0004 0.0039 0.0004 0.0007 0.0006 0.0010 0.0022 0.0024 0.0009 0.0113 0.0046 0.0037 0.0014
Rataan 0.0021 0.0027 0.0015 0.0021 0.0006 0.0016 0.0017 0.0079 0.0025 0.0027(sd)
64
Peningkatan nilai kecepatan berlari atau nilai percepatan yang diperlihatkan pada Tabel 23 menunjukkan bahwa jarak yang ditempuh kuda yang dipacu hingga jarak 1600 meter pada penelitian ini belum menggambarkan kemampuan optimal kuda. Nilai peningkatan kecepatan berlari pada tiga jarak (1200, 1400 dan 1600 m) yang berbeda dari delapan ekor kuda yang diukur memiliki nilai paling tinggi 0.00794 detik oleh kuda no:8 dan yang terendah 0.000634 oleh kuda no:5. Dengan nilai rataan untuk jarak tersebut sebesar 0.0025 detik menggambarkan bahwa kuda ini mengalami peningkatan kecepatan sebesar 0.0025 detik pada setiap peningkatan jarak tempuh sebesar 200 meter. Semakin besar nilai peningkatan kecepatan berlari, menunjukkan bahwa kemampuan kuda tersebut semakin baik untuk pacuan jarak jauh. Peningkatan nilai kecepatan yang terjadi disebabkan kuda tersebut diduga masih mampu meningkatkan kecepatan berlarinya dengan jarak tempuh yang lebih jauh lagi. Peningkatan nilai kemampuan mempertahankan kecepatan berlari pada empat jarak yang berbeda (800,1200,1400 dan 1600 m) yang dijelaskan pada Tabel 24 menunjukkan bahwa jarak yang ditempuh kuda yang dipacu hingga jarak 1600 m pada penelitian ini memiliki nilai peningkatan kecepatan tertinggi sebesar 0.00192 detik oleh kuda no:2 dan yang terendah 0.00084 oleh kuda no:4. Dengan nilai rataan untuk jarak tersebut sebesar 0.0012 detik menggambarkan bahwa kuda ini mengalami peningkatan kecepatan sebesar 0.0012 detik pada setiap peningkatan jarak tempuh sejauh 200 meter.
Tabel 24 Rataan nilai percepatan (detik) pada selisih jarak 800, 1200, 1400 dan 1600m No 1 2 3 4
Nomor Kuda 14 21 22 23 Rataan
800-1200 0.00133 0.00184 0.00148 0.00093 0.00098
Jarak Tempuh 800-1400 Detik 0.00088 0.00187 0.00186 0.00085 0.00137
800-1600 0.00099 0.00205 0.00094 0.00075 0.00118
Rataan 0.00107 0.00192 0.00143 0.00084 0.00118 0.00027(sd)
Hasil pengamatan terhadap peningkatan kecepatan lari kuda yang dipacu pada berbagai jarak lintasan dengan penambahan jarak yang sama (200 m) menunjukkan bahwa kelompok kuda yang lari pada jarak lintasan sedang (1200 – 1600 m) cenderung memiliki kemampuan mempertahankan kecepatan dua kali lebih tinggi dibandingkan kelompok kuda yang dipacu pada jarak lintasan pacuan dari rendah sampai sedang (800 – 1600 m). Terdapat berbagai
65
macam kemungkinan untuk menjelaskan keadaan ini, salah satunya adalah faktor kelelahan (fatique) yang dipengaruhi oleh aspek nutrisi dan genetik tiap jenis atau bangsa kuda (Parakkasi 1986; Frape 2004). Tabel 25 menyajikan data kemampuan kuda dalam mempertahankan kecepatan yang mengalami penurunan kecepatan atau perlambatan berlari pada lintasan berjarak 1200, 1400 dan 1600 m. Tabel 25 Rataan nilai perlambatan (detik) pada selisih jarak 1200, 1400 dan 1600 meter
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Rataan
Nomor Kuda 11 17 26 34 39 43 65 66 72 83
Jarak Tempuh (m) 1200-1400 1200-1600 Detik -0.00517 -0.00384 -0.00404 -0.00246 -0.00094 -0.00149 -0.00085 -0.00132 -0.00176 -0.00131 -0.00221 -0.00218 -0.00313 -0.00151 -0.00013 -0.00118 -0.00132 -0.00120 -0.00358 -0.00339 -0.00231 -0.00199
Rataan -0.00450 -0.00325 -0.00121 -0.00108 -0.00154 -0.00220 -0.00232 -0.00066 -0.00126 -0.00348 -0.00215 0.00130 (sd)
Nilai negatif menunjukkan bahwa kuda pacu mengalami penurunan kecepatan pada jarak tempuh yang semakin jauh atau kuda mengalami perlambatan dalam berlari. Nilai rataan penurunan kecepatan lari terkecil (-0.00066 detik) dimiliki oleh individu kedelapan. Nilai ini menunjukkan bahwa kuda ini memiliki nilai penurunan kecepatan berlari sebesar 0.6 per 1000 detik untuk setiap peningkatan jarak sebesar 200 m. Kuda pertama memiliki nilai penurunan kecepatan yang terbesar yaitu (-0.00450) atau 0.45 per 100 detik sedangkan rataan kecepatan untuk kelompok kuda tersebut adalah: -0.00215 detik atau terjadi perlambatan sebesar 2.2 per 1000 detik. Rataan nilai kemampuan dalam mempertahankan kecepatan yang meurun atau perlambatan pada empat jarak lintasan (800, 1200, 1400 & 1600 m) disajikan pada Tabel 26.
66
Tabel 26 Rataan nilai perlambatan (detik) pada selisih jarak 800, 1200, 1400 dan 1600 meter No
Nomor Kuda
1 17 2 20 3 34 4 37 5 43 6 46 7 54 8 58 9 78 Rataan
Jarak Tempuh 800-1200 800-1400 Detik -0.00097 -0.00134 -0.00106 0.00003 -0.00070 -0.00075 -0.00120 -0.00131 -0.00077 -0.00050 -0.00241 -0.00071 -0.00210 -0.00139 -0.00171 -0.00225 -0.00402 -0.00219
800-1600 -0.00102 -0.00040 -0.00015 -0.00080 -0.00112 -0.00116 -0.00111 -0.00125 -0.00226
Rataan -0.00111 -0.00048 -0.00053 -0.00110 -0.00080 -0.00143 -0.00154 -0.00174 -0.00282 -0.00128 0.00072(sd)
Kuda yang mengalami penurunan kecepatan berlari pada lintasan berjarak 800, 1200, 1400 dan 1600 m. Rataan kecepatan penurunan kemampuan berlari pada kelompok kuda yang dipacu pada empat lintasan dengan jarak yang berbeda adalah -0.00128 atau terjadi perlambatan sebesar 1.2 per 1000 detik. Rataan nilai penurunan kecepatan terkecil pada kuda no: 2 (-0.00048), sedangkan nilai penurunan terbesar pada kuda no: 9 (-0.00282). Dari kedua data penurunan kecepatan berlari pada tiga dan empat jarak lintasan yang tertera pada Table 25 dan 26, terlihat bahwa ada kecenderungan kelompok kuda yang menempuh empat lintasan mengalami perlambatan hampir dua kali lebih rendah dibandingkan penurunan kecepatan pada kelompok kuda yang menempuh tiga lintasan. Fenomena ini memiliki kesamaan pola pada kelompok kuda yang mengalami peningkatan kecepatan yang memperkuat asumsi terjadinya kelelahan apabila jenis atau bangsa kuda tertentu dipacu pada jarak tempuh yang lebih jauh. Penurunan nilai kecepatan berlari seiring bertambahnya jarak tempuh sudah lazim terjadi pada kuda pacu. Hal ini berkaitan dengan keadaan fisiologi dari masing-masing kuda. Richard et al. (2000) menyatakan bahwa faktor pembatas dari performa berlari kuda tergantung pada panjang lintasan yang ditempuh kuda. Pada saat berlari, energi yang dibutuhkan untuk kontraksi otot berasal dari perombakan glukosa dimana perombakan tersebut terbagi menjadi dua tahap yaitu anaerobik dan aerobik. Kemampuan berlari kuda juga dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya adalah lingkungan. Menurut Buttram et al.
67
(1988) pengaruh lingkungan permanen pada performa berlari adalah faktor nutrisi, cidera, pemilik dan pelatih. Repitabilitas Sifat Mempertahankan Kecepatan Lari Warwick et al. (1987) menyatakan bahwa nilai repitabilitas suatu sifat akan ditentukan oleh keragaman komponen-komponen penyusunnya, yaitu komponen genetik yang terdiri atas gen aditif, dominan dan epistasis serta komponen lingkungan, baik yang bersifat permanen maupun yang bersifat sementara. Keragaman nilai suatu sifat mempengaruhi nilai dugaan repitabilitas, semakin beragam data, maka nilai repitabilitas semakin rendah dan sebaliknya. Nilai pendugaan repitabilitas kemampuan mempertahanklan kecepatan berlari dijelaskan pada Tabel 27. Tabel 27 Nilai repitabilitas kemampuan kuda pacu dalam mempertahankan kecepatan berlari pada selisih jarak yang berbeda Sifat Berlari Penurunan Kecepatan
R ± SE Selisih Jarak (meter) 0.77 ± 0.10 1200,1400 dan 1600 0.59 ± 0.12 800, 1200,1400 dan 1600 0.63 ± 0.21 800, 1000,1200 dan 1400 Peningkatan Kecepatan 0.34 ± 0.28 1200,1400 dan 1600 Keterangan: R= nilai repitabilitas; SE= standard error Nilai repitabilitas untuk sifat kemampuan mempertahankan kecepatan berlari yang diperlihatkan pada Tabel 27 tergolong dalam ketegori sedang hingga tinggi. Pada kuda yang mengalami penurunan kecepatan, pendugaan nilai repitabilitasnya termasuk dalam kategori tinggi yaitu sebesar 0.77, 0.59 dan 0.63 masing-masing untuk jarak lintasan yang berbeda. Nilai tersebut menunjukkan bahwa faktor genetik lebih banyak memberikan pengaruh dibandingkan dengan faktor lingkungan, walaupun nilai dari kemampuan mempertahankan berlari bernilai negatif (kuda mengalami perlambatan) (Tolley et al. 1983). Nilai repitabilitas peningkatan kecepatan kuda berlari termasuk dalam repitabilitas sedang yaitu 0.342 ± 0.279. Nilai ini menunjukkan bahwa pada sifat peningkatan kecepatan berlari, pengaruh dari lingkungan masih cukup tinggi dibandingkan dengan pengaruh genetiknya (Tolley et al. 1983). Buttram et al. (1988b) melalui hasil penelitiannya menyatakan bahwa pengaruh dari lingkungan permanen sangat nyata terjadi pada jarak tempuh yang semakin jauh. Galat baku untuk estimasi repitabilitas kuda yang mengalami
68
penurunan kecepatan memiliki nilai lebih kecil dibandingkan dengan standar eror kuda yang mengalami peningkatan kecepatan. Nilai standar eror yang cukup tinggi untuk kuda yang mengalami peningkatan kecepatan menunjukkan estimasi repitabilitas yang kurang akurat. Hal ini diduga terjadi akibat jumlah sampel kuda yang mengalami peningkatan kecepatan pada jarak tempuh yang semakin jauh hanya sedikit, untuk itu perlu dilakukan penelitian berikutnya dengan jumlah sampel yang lebih banyak agar dapat mewakili sebuah populasi. Faktor lingkungan yang mempengaruhi sifat mempertahankan kecepatan berlari antara lain lingkungan dari dalam tubuh ternak. Lingkungan dalam tubuh ternak meliputi kemampuan kuda dalam mempergunakan cadangan energinya pada saat berlari, dan mental dari masing-masing individu kuda. Cadangan energi berkaitan dengan pakan yang diberikan sebelum kuda pacu berlomba (Parakkasi 1986; Frape 2004). Menurut McBane (1993) kuda pacu membutuhkan kurang lebih 14% kandungan protein untuk memenuhi kecukupan energinya. Kuda pacu dapat juga diberikan supplement seperti minyak jagung yang kaya akan sumber energi untuk mensuplai kebutuhan saat berada di arena pacuan (Vogel 1995; Frape 2004). Faktor lingkungan eksternal meliputi manejemen pemeliharaan, iklim, pola latihan serta joki dan pelatih. Menurut hasil penelitian Wilson (1991), berat badan joki juga berpengaruh terhadap waktu yang dibutuhkan kuda untuk mencapai garis finish. Islami (2007) menyatakan bahwa pelatih memiliki peranan penting dalam menghasilkan kuda pacu yang berprestasi. Pelatih yang baik dan berpengalaman akan sangat mengenali kuda yang akan dilatih dan menetapkan pola latihan yang tepat bagi kuda tersebut. Hal ini akan mempengaruhi kondisi kuda pada saat di arena pacuan. Nilai repitabilitas dapat ditingkatkan, menurut Martojo (1992) untuk meningkatkan nilai repitabilitas dapat dilakukan dengan mengupayakan lingkungan (manajemen pemeliharaan, kandang, pemberian pakan) yang seseragam mungkin antar individu. Simpulan 1. Kecepatan lari kuda pacu jantan dan betina cenderung meningkat sejalan dengan pertambahan umur dimana rataan kecepatan tertinggi ditemukan pada kelompok umur empat tahun. 2. Kemampuan dalam mempertahankan kecepatan lari kuda pacu lebih dipengaruhi oleh pengaruh genetik, yaitu terdapat kelompok kuda yang mengalami peningkatan kecepatan
69
yang baik digunakan sebagai kuda pacuan jarak jauh dan kelompok kuda yang mengalami penurunan kecepatan lari, lebih tepat untuk diseleksi menjadi kuda pacu jarak dekat atau sprinter. 3. Repitabilitas sifat kecepatan lari kuda pacu pada berbagai tingkatan umur dikategorikan sebagai repitabilitas sedang sampai tinggi, dimana nilai pendugaan repitabilitas kecepatan lari tertinggi (0.74) ditemukan pada umur empat tahun sebagai ekspresi potensi genetik kuda pacu berkecepatan tinggi. 4. Repitabilitas sifat mempertahankan kecepatan lari kuda pacu pada berbagai jarak lintasan dikategorikan sebagai repitabilitas sedang sampai tinggi, dimana nilai pendugaan repitabilitas yang tinggi (> 0.5) didapati pada sifat penurunan kecepatan, sedangakan sifat peningkatan kecepatan termasuk dalam kategori sedang ( 0.2 s/d 0.4).
70
71
STRUKTUR SOSIO-EKONOMI PETERNAK KUDA Pendahuluan Penelitian struktur sosio-ekonomi masyarakat peternak dilakukan untuk mendapatkan gambaran pola dan kondisi ekonomi masyarakat yang berkaitan dengan pengetahuan dan tindakan dalam melakukan seleksi pada ternak kuda. Lembar pertanyaan dirancang berupa isian dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan kondisi umum masyarakat, struktur sosial, tingkat pendapatan, pendidikan dan kesejahteraan, pengetahuan peternakan dan sistim seleksi pada ternak kuda. Data lembar pertanyaan dianalisis secara analisis kategori deskripsi untuk melihat hubungan secara partial antara pola dan struktur sosioekonomi masyarakat terhadap kondisi keragaman baik secara fenotipik maupun berdasarkan uji polimorfisme. Hasil analisis diharapkan dapat memberikan gambaran yang komprehensif adanya keterkaitan antara kondisi masyarakat peternak kuda dengan pola keragaman fenotipik dan molekuler baik secara kuantitatif maupun kualitatif serta pengaruhnya terhadap keragaman genetik. Diharapkan hasil ini akan menjawab sejauhmana pengaruh lingkungan (sosio-ekonomi masyarakat peternak) dapat mempengaruhi keragaman fenotipik dan genetik populasi kuda di Sulawesi Utara. Materi dan Metode Materi untuk tahapan penelitian ini adalah responden yang dipilih secara acak untuk mewakili peternak pemilik kuda pada setiap daerah. Setiap responden diberikan lembar pertanyaan (Lampiran 8a s/d 8d) dan dikumpulkan untuk di tabulasi dan dianalisis secara deskriptif untuk melihat frekuensi, distribusi dan sebaran dari variable-variabel yang diukur menggunakan program FREQ dari SAS versi ke-9 (SAS 2000) dan data karakteristik peternak dianalisis secara deskriptif. Nilai rataan (x), simpangan baku (sd), koefisien keragaman (KK) dan analisis pengaruh antara kondisi sosial ekonomi dan pendidikan terhadap pengetahuan peternak dibidang pemuliaan dan sistim persilangan dihitung menggunakan analisis non-parametrik Siegel-Tukey Khi Kuadrat (Steel & Torrie 1995; Kirkwood 2005). Pengetahuan peternak dalam aspek peternakan dianalisis secara nonparametrik dengan menggunakan uji Mann-Witney menggunakan bantuan program statistik computer SAS versi ke-9 (SAS 2000). Pengukuran pengetahuan dilakukan melalui wawancara terhadap responden dengan pemberian bobot. Mengukur tingkat pengetahuan dilakukan dengan menghitung nilai median atau nilai rataan yang selanjutnya digunakan sebagai cut off point (Notoadmodjo 2007). Perumusan faktor-faktor penentu pola
72
pemeliharaan dan strategi pembibitan menggunakan analisis proses hirarki/ Analytical Hierarchy Process (AHP) menurut Saaty dan Vargas (2001).
Hasil dan Pembahasan Karakteristik Peternak Kondisi kehidupan para peternak dan pemelihara kuda sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial dan ekonomi dari lingkungan keluarga seperti tingkat pendidikan, tanggungan kepala keluarga, pengalaman beternak, jumlah ternak peliharaan dan beberapa faktor pendukung lainnya seperti modal usaha, status kepemilikan ternak, lahan dan tujuan pemeliharaan (Rakhmat 2000). Deskripsi peternak dan pemelihara kuda di lokasi penelitian yang disajikan dalam Tabel 28, mengambarkan profil peternak/ pemelihara kuda dimana meskipun profesi ini umumnya didominasi kaum laki-laki (96%) masih terdapat kaum wanita (4%) yang menekuni pekerjaan memelihara ternak kuda. Pada umumnya beternak kuda dilakukan oleh yang telah berkeluarga dimana 75.5 persen diantaranya merupakan petani dengan tanggungan dalam keluarga umumnya 1-3 orang (68.9%) dan 4-6 orang (23.7%). Berdasarkan tujuan pemeliharaan kuda yaitu merupakan sumber penghasilan utama, maka tergambar dengan jelas bahwa memelihara kuda adalah sumber ekonomi utama masyarakat peternak dalam pemenuhan kesejahteraan keluarg yang diperkuat oleh data sebaran tingkat pendidikan yaitu lebih dari 60 persen peternak mencapai pendidikan setingkat SMP dan sekitar dua persen saja yang mencapai tingkat pendidikan tinggi atau universitas.
Dengan tingkat pendidikan
didominasi lulusan SMP, dapat dipastikan bahwa pilihan pekerjaan lain sangat terbatas, oleh sebab itu bagi yang telah berkeluarga, memelihara kuda adalah pekerjaan yang memiliki harapan yang besar sebagai sumber pendapatan keluarga. Menurut Rakhmat (2000), pendidikan berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam memahami sesuatu, karena wawasan yang luas sangat berkorelasi positip dengan tingkat pendidikan formal yang dicapai, oleh sebab itu dengan ± 30% peternak pernah mengecap bangku pendidikan menengah (SMA/ SMK). Rahmat (2006) menjelaskan, bahwa dengan tingkat pengetahuan yang cukup, peternak telah memiliki potensi/ kemampuan (motivasi dan partisipasi) yang tinggi dalam menerapkan pengetahuan dan teknologi dalam bidang peternakan. Pengalaman beternak di masyarakat peternak kuda menunjukkan adanya keragaman pengalaman setiap kelompok mereka. Semakin lama waktu proses belajar akan berkorelasi
73
positip dengan tingkat pengalaman yang diperoleh, dimana terdapat 40.1% peternak telah berpengalaman selama lebih dari 20 tahun dan hanya sekitar seperlimanya yang berpengalaman kurang dari 5 tahun. Tabel 28 Karakteristik peternak/pemelihara kuda di Sulawesi Utara No Peubah/ Pengamatan 1 Jumlah Responden 2
Status Perkawinan
3
Jumlah Tanggungan
4
Pekerjaan
5
Pendidikan
6
Tujuan Pemeliharaan
7
Pengalaman Beternak
8
Jumlah Ternak
9
Tipe Ternak Peliharaan
10
Sumber Modal Usaha
11
Kepemilikan
Uraian Laki-laki Perempuan Sudah Kawin Belum 1-3 orang 4-6 orang >6 orang Petani Non Petani Tidak sekolah SD-SMP SMU/K PT Penghasilan utama Sampingan Hobi/ lainnya < 5 tahun 6 -15 tahun 16-20 tahun >20 tahun 1-2 ekor 3-4 ekor >5 ekor Lokal Silangan/ IB Pacu/ Thoroughbred Sendiri Bank/ Koperasi Sendiri Sewa/pekerja
Nilai (%) 96 4 84.1 15.9 68.9 23.7 7.4 75.5 24.5 8.6 59.0 30.5 1.9 63.6 31.1 5.3 21.2 18.8 25.8 40.1 78.2 12.6 9.2 78.1 19.9 2 94 6 84.8 15.2
Terdapat kurang lebih 40% peternak memiliki pengalaman beternak yang cukup yaitu 6-20 tahun, dengan hampir 80% pemelihara memiliki satu sampai dua ekor kuda lokal, sehingga dapat dipastikan bahwa peternak telah mampu menjadikan kuda sebagai ternak andalan mereka. Kepemilikan kuda yang masih tergolong kecil menyebabkan kemampuan peternak dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga tidak dapat maksimal dan sulit berkembang ditambah dengan sumber modal usaha peternak yang sebagian besar (94%) mengandalkan modal sendiri, maka peran lembaga keuangan dalam bentuk pemberian
74
bantuan modal usaha dengan bunga kredit yang ringan sangat diperlukan. Kekuatan peternak yang dutunjukan dengan tingkat kepemilikan kuda hampir 85 persen dapat menjadi potensi dalam peningkatan dan perkembangan peternakan kuda di Sulawesi Utara. Tabel 29 Skala pengetahuan peternak kuda dalam berbagai aspek peternakan di kabupaten Minahasa, Minahasa Selatan dan kota Tomohon Lokasi Manado Minahasa Minsel Tomohon Total
Pemuliaan dan Reproduksi Skor Tipe n/a 16.07 S ±2.40 14.85 R ±1.25 13.73 R ±1.35 15.23 S ±2.19
Pakan Skor n/a 15.10 ±2.38 14.21 ±2.33 15.73 ±1.82 15.06 ±2.29
Tipe S R S S
Managemen dan Kesehatan Skor Tipe n/a 15.98 S ±1.54 13.70 R ±1.55 14.92 R ±1.42 15.22 S ±1.76
Pelatihan dan Kelembagaan Skor Tipe n/a 11.98 R ±1.53 13.06 R ±1.04 11.78 R ±1.49 12.17 R ±1.50
Keterangan: R= rendah; S= sedang; T= tinggi; Skor (<15)= rendah; 15-20= Sedang, (20>) = Tinggi; n/a = data tidak tersedia. Tingkat pengetahuan peternak dan pemelihara kuda (Tabel 29) terhadap tiga aspek utama beternak yaitu aspek produksi (pemuliaan dan reproduksi) ternak, pakan dan aspek manajemen (perkandangan dan kesehatan) pada penelitian ini, secara umum masih dalam kategori sedang yaitu dalam rentang skor antara 15 – 20. Hasil ini menggambarkan, bahwa para peternak dan pemelihara kuda diduga telah memiliki pengetahuan yang cukup dalam menerapkan beberapa prinsip beternak yang baik walaupun nilai yang diperoleh terlihat hanya sedikit diatas batas bawah nilai skor, sehingga dapat didipastikan bahwa tingkatan pengetahuan yang diperoleh peternak atau pemilik kuda bukan berasal dari pendidikan dan pelatihan formal seperti informasi yang bersumber dari para penyuluh lapangan atau dari lembaga pendidikan formal. Dengan tingkat pendidikan peternak yang hampir 60 persen mencapai tingkat SMP, maka dapat dipastikan sumber pengetahuan peternak diperoleh secara otodidak. Hal ini diperkuat dengan hasil analisis yang berkaitan dengan aspek pelatihan dan kelembagaan yang masih dalam kategori rendah. Tingkat pengetahuan peternak pada beberapa daerah memiliki bervariasi dari rendah sampai sedang yang disebabkan selain oleh faktor tingkat pendidikan diduga juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi. Rendahnya tingkat kepemilikan kuda yaitu ± 2 ekor tiap peternak karena keterbatasan keuangan, membuat para peternak cenderung mengabaikan
75
faktor peningkatan kualitas bibit dan pejantan. Peternak cenderung lebih memilih kuda sesuai dengan kemampuan keuangan dan bukan atas pertimbangan dari segi kualitas genetik kuda. Peternak kuda di kabupaten Minahasa dari hasil penelitian ini ternyata memiliki pengetahuan yang lebih baik dibandingkan dengan daerah lainnya. Faktor pengalaman beternak, kondisi tingkat kesuburan lahan dan kedekatan dengan pusat pemerintahan diduga menjadi penentu keberhasilan beternak, dimana daerah ini sebelumnya merupakan induk dari beberapa daerah pemekaran seperti kabupaten Minahasa Selatan dan kota Tomohon. Masyarakat di Kabupaten Minahasa telah mengembangkan ternak kuda sejak lama sehingga membuat peternak di daerah ini cenderung memiliki pemahaman dalam aspek beternak yang lebih baik. Rendahnya pengetahuan para peternak di kabupaten Minahasa Selatan berdasarkan hasil kajian ekonomi, diduga lebih dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi dan lingkungan. Kedua lokasi di Minahasa Selatan yaitu kota Amurang dan Tumpaan yang dijadikan daerah pengambilan sampel merupakan daerah dengan karakteristik geografi pesisir pantai yaitu memiliki suhu siang hari yang panas dengan kondisi sebagian besar masyarakatnya masih tergolong marginal. Keadaan tersebut ditambah juga dengan kondisi daerah yang tergolong baru berkembang sehingga dipastikan memberi dampak pada rendahnya kemampuan peternak dalam menerima informasi dan pengetahuan tentang cara beternak yang benar. Kota Tomohon, sama halnya dengan kabupaten Minahasa Selatan, juga secara administratif masih tergolong kota baru terbentuk sehingga keberadaan kelengkapan kelembagaan baik lembaga teknis seperti kantor dinas pertanian dan peternakan ataupun lembaga pendidikan yang diharapkan dapat membantu dalam peningkatan kemampuan pengetahuan peternak di daerah tersebut masih terbatas. Berdasarkan pengamatan diketahui bahwa sub-populasi kuda lokal di Tomohon memiliki penampilan morfologi lebih baik daripada kuda di Minahasa, Manado dan Minahasa Selatan, walaupun tingkat pengetahuan peternak khususnya dalam aspek pemuliaan, reproduksi, manajemen pemeliharaan dan kesehatan masih dalam kategori rendah. Keadaan geografi kota Tomohon yang terletak di ketinggian diatas 600 meter diatas permukaan laut dan diapit dua gunung berapi (gunung Lokon dan Mahawu) memiliki lahan yang subur, sehingga tergambar dengan jelas bahwa beberapa aspek yang berhubungan dengan pakan (lahan dan hijauan) menjadi faktor penentu daerah ini dalam usaha pemeliharaan ternak kuda. Ketersediaan pakan yang melimpah dan berkualitas tinggi sangat membantu peternak dalam melihara kuda. Tomohon sebagai daerah yang baru berkembang, terlihat bahwa aspek pemuliaan (seleksi dan persilangan) belum
76
merupakan prioritas bagi para peternak. Penampilan kuda yang baik umumnya diperoleh dangan cara membeli kuda unggul yaitu kuda perankan Thoroughbred atau kuda pacu afkir dari daerah sekitarnya seperti dari Kawangkoan, Langowan dan Tondano yang berada di kabupaten Minahasa dan dengan pememberian pakan yang berkualitas baik, maka para pemelihara kuda merasa tampilan kuda mereka sudah cukup baik dan mengabaikan segi perbaikan mutu genetik ternak kuda mereka. Pengetahuan seleksi bibit dan teknik persilangan yang baik belum banyak dilakukan oleh peternak mengingat keterbatasan pengetahuan dan keterampilan mereka dalam hal pemuliaan ternak. Potensi pengembangan peternakan kuda lokal di Sulawesi Utara berdasarkan hasil analisis vektor prioritas dijelaskan pada Tabel 30. Tabel 30 Potensi pengembangan usaha peternakan berdasarkan pertimbangan tingkat pengetahuan masyarakat di 4 lokasi di Sulawesi Utara
Daerah Manado Minahasa Minsel Tomohon
Pengetahuan Masyarakat (Nilai vektor prioritas) Pemuliaan Pakan Managemen (0.57) (0.21) (0.08) 0.08 0.07 0.48 0.55 0.31 0.23 0.22 0.27 0.08 0.15 0.35 0.21
Kelembagaan (0.13) 0.53 0.10 0.17 0.20
Hasil analisis vektor prioritas dengan metode Analytical Hierachy Process (AHP) dari Saaty (1993) yang diuraikan dalam Tabel 30, menunjukkan bahwa berdasarkan aspek kondisi sosial ekonomi masyarakatnya, potensi pengembangan usaha peternakan kuda di Sulawesi Utara lebih diprioritaskan pada aspek pengembangan pengetahuan masyarakat dibidang pemuliaan ternak termasuk didalamnya pengetahuan dalam sistim perkawinan dan perbaikan kualitas bibit kuda dengan tetap mempertahankan kearifan lokal yang dimiliki masyarakat setempat. Prioritas kedua yang perlu dibenahi adalah usaha meningkatkan pengetahuan peternak dalam bidang pemberian pakan yaitu termasuk penguasaan teknologi pengolahan limbah pertanian untuk makanan ternak, kemudian prioritas ketiga lebih diarahkan pada peningkatan kelembagaan dan pengetahuan managemen beternak. Berdasarkan potensi tiap kewilayahan, tergambar jelas bahwa untuk kota Manado hal yang perlu dikembangkan adalah peningkatan kemampuan peternak dalam aspek kelembagaan dan managemen, hal ini disebabkan kedua aspek tersebut merupakan faktor penentu keberhasilan pemeliharan kuda di perkotaan. Peternak kuda di kota Manado sebagai
77
ibukota propinsi Sulawesi Utara, lebih dituntut untuk meningkatkan kemampuan kelembagaan berupa keikutsertaan dalam lembaga koperasi atau lembaga keuangan lainnya agar dapat meningkatkan daya saing ternak kuda sebagai alat transportasi alternatif yang ramah lingkungan dan berintegrasi dengan sistim transportasi perkotaan. Peningkatan kemampuan managemen lebih diarahkan di perkotaan agar peternak mampu memenuhi standar beternak yang lebih baik dan dapat memenuhi syarat penataan dan perencanaan sistim perkotaan. Hasil kajian ini juga memberikan gambaran bahwa untuk di Minahasa, pengetahuan peternak lebih diprioritaskan pada peningkatan kemampuan dalam aspek pemuliaan, pakan dan managemen, karena mengingat daerah ini adalah pusat dan awal pemeliharaan ternak kuda di Sulawesi Utara. Dengan daerah pertanian yang masih luas dan subur, diharapkan potensi peternakan kuda dapat ditingkatkan baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Kemampuan pengetahuan peternak dalam bidang pemuliaan berdampak pada meningkatnya kualitas bibit kuda dan pengetahuan akan pentingnya mempertahankan sumberdaya genetik hewan yang bermanfaat sebagai sumber tenaga dan produksi daging yang berkelanjutan. Kabupaten Minahasa Selatan sebagai daerah penyanggah lalulintas ternak kuda yang masuk atau keluar daerah Sulawesi Utara karena dilalui jalan trans Sulawesi, memerlukan peningkatan pengetahuan pemilik dan peternak kuda dalam bidang pemuliaan dan pakan agar dapat menjadi pintu gerbang perdagangan ternak yang bernilai ekonomi tinggi. Pengawasan lalulintas ternak kuda dan hewan lainnya sangat penting dilakukan di wilayah ini untuk menjaga ketersediaan dan kelangsungan sumberdaya genetik hewan lokal agar tidak terjadi pengurasan gen-gen yang sangat berbahaya bagi keseimbangan ekosistim dan ancaman kepunahan. Arah pengembangan peternakan kuda di kota Tomohon berdasarkan analisis AHP lebih diprioritaskan pada peningkatan pengetahuan peternak dalam bidang pakan ternak dan teknologinya karena keunggulan komparatif wilayah tersebut yaitu memiliki lahan yang amat subur. Tomohon juga memiliki potensi pariwisata yang tinggi sehingga pemanfaatan ternak kuda sebagai alat transportasi bagi para wisatawan sangat dibutuhkan. Jenis dan bangsa kuda yang lebih didominasi oleh kuda peranakan Thoroughbred dan kuda pacu afkir, membutuhkan ketersediaan pakan ternak yang cukup banyak dan bermutu baik sehingga peningkatan pengetahuan peternak dalam bidang nutrisi dan pakan kuda menjadi syarat utama. Kondisi lahan yang subur dapat memberikan hasil hijauan dan tanaman pakan ternak yang berkualitas baik, sehingga pengetahuan peternak akan jenis tanaman dan cara
78
memanfaatkan teknologi pengolahan pakan ternak sangat penting untuk diterapkan di daerah ini. Simpulan Berdasarkan pembahasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Keadaan sosio-ekonomi peternak kuda di Sulawesi Utara masih didominasi oleh para petani/peternak dengan sebagian besar berpendidikan sampai sekolah tingkat lanjutan atas sehingga kemampuan beternak dan kesejahteraan keluarga masih tergolong rendah. 2. Pengetahuan peternak masih dalam kategori rendah sampai sedang sehingga usaha peningkatan pengetahuan dibidang pemuliaan, pakan, managemen dan kelembagaan masih perlu untuk dilakukan. 3. Prioritas peningkatan pengetahuan peternak di Sulawesi Utara lebih diutamakan dalam bidang pemuliaan, kemudiaan prioritas kedua dibidang teknologi pakan dan selanjutnya penguatan dalam bidang kelembagaan serta manajemen.
79
PEMBAHASAN UMUM Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kuda di Sulawesi Utara telah dikenal sejak lama dimana pemanfatan ternak ini hampir dapat dijumpai di seluruh daerah sebagai ternak tunggangan, menarik kereta (bendi) dan terdapat beberapa hasil persilangan dengan bangsa kuda Thoroughbred yang dijadikan kuda pacuan. Populasinya tersebar di beberapa wilayah di Sulawesi Utara dimana beberapa daerah seperti kota Manado, kabupaten Minahasa, kabupaten Minahasa Selatan dan kota Tomohon dapat dijumpai ternak kuda dengan berbagai jenis penggunaannya. Jumlah populasi kuda sekarang ini berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik keluaran tahun 2010 untuk Sulawesi Utara terdapat ± 8000 ekor. Walaupun jumlah ini hanya sekitar dua persen dari populasi kuda di Indonesia akan tetapi dengan luas wilayah yang tergolong tidak terlalu luas, maka ternak kuda di Sulawesi Utara memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan, mengingat wilayah ini memiliki keragaman jenis kuda dan beragam pemanfaatan, misalnya sebagai alat transportasi, tenaga kerja, olahraga dan penghasil daging serta kulit. Pengembangan ternak kuda di Sulawesi Utara saat ini masih dihadapkan pada berbagai kendala berupa masih minimnya informasi yang berhubungan dengan karakteristik genetik yang berguna sebagai dasar peningkatan mutu genetik dan informasi lainnya yang berhubungan dengan potensi kuda baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Informasiinformasi ini akan sangat penting untuk menentukan arah pengembangan sumberdaya genetik kuda di Sulawesi Utara yang diharapkan menjadi bagian penting dari peningkatan mutu kuda Indonesia. Karakterisasi terhadap ukuran-ukuran tubuh, bobot badan, warna dan pola warna bulu dan keragaman fenotip dan genotip merupakan dasar informasi yang diperlukan untuk peningkatan kualitas populasi kuda lokal melalui program seleksi dan persilangan untuk mendapatkan kuda yang lebih baik. Selain itu juga dapat menjadi informasi dasar untuk tujuan konservasi sumberdaya genetik ternak kuda di Indonesia seperti menghitung keragaman fenotipik dan jarak genetik yang bermanfaat dalam menentukkan daerah-daerah yang tepat sebagai pusat konservasi kuda. Secara deskriptif hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa kuda lokal di Sulawesi Utara memiliki rataan ukuran tinggi badan/ tinggi pundak dan bobot badan dalam kategori atau tipe kuda ringan yang masih mendekati ukuran tubuh bangsa kuda Poni atau sedikit lebih kecil dari kuda Sandel. Ukuran tubuh kuda lokal Sulawesi Utara ini menurut Nozawa et al. (1981)
80
merupakan ukuran asli kuda di Asia Tenggara dan bangsa kuda kecil Jepang. Ukuran kuda di Sulawesi Utara kemungkinan besar merupakan percampuran gen dari bangsa kuda yang ada di wilayah Sabah-Serawak yang masuk lewat jalur laut bagian Utara pulau Kalimantan dengan bangsa kuda Flores yang masuk melalui daerah Sulawesi Selatan dengan mengikuti jalur darat pulau Sulawesi. Berdasarkan analisis diskriminan kuda lokal di Sulawesi Utara dapat dicirikan lewat ukuran lembar pinggul sebagai karakter pembeda populasi, sedangkan dari hasil analisis komponen utama, ukuran tubuh yang baik untuk dipakai sebagai dasar seleksi adalah ukuran tinggi pinggul dan lingkar dada yang memiliki keragaman relatif tinggi (68-70%). Menurut Salako (2006) ukuran ini sangat bermanfaat untuk dijadikan parameter seleksi pada kuda dewasa atau yang telah berproduksi. Karakter warna bulu pada populasi kuda lokal di Sulawesi Utara lebih didominasi oleh warna bay 65 persen dan warna chesnut dengan frekuensi fenotipik sebesar 18 persen. Sebaran warna bulu lainnya hanya kurang dari 10 persen, sehingga warna bay yang ditandai dengan warna merah keemasan terang sampai coklat tua gelap atau dikenal dengan warna merah hati menjadi penciri khas warna kuda Sulawesi Utara. Surai, ekor dan pergelangan kaki berwarna lebih cerah atau lebih gelap akan tetapi bukan berwarna hitam. Keragaman genotip dari lokus warna bulu A-a,B-b dan D-d bersifat polimorfik sedangkan genotip R-r dan S-s umumnya bersifat monomorfik dimana terdapat perbedaan dengan yang dilaporkan oleh Nozawa (1981) yang menyatakan polimorfisme warna kuda Sabah-Serawak dan kuda kecil Jepang ditemukan pada lokus A-a,B-b, D-d , R-r dan S-s. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh masuknya pengaruh gen dari kuda Thoroughbred dalam populasi kuda lokal Sulawesi Utara. Secara genetik berdasarkan analisis elektroforesis protein darah ternyata terdapat variasi polimorfisme protein darah pada lokus albumin, post-albumin, transferin dan hemoglobin alfa, sedangkan lokus post-transferin 1 dan 2 bersifat monomorfik. Keragaman alel dari lokus-lokus yang polimorfis tinggi menunjukkan bahwa pada populasi kuda lokal di Sulawesi Utara gen-gen diduga merupakan campuran gen kuda lokal dengan bangsa kuda lainnya. Hal ini dikuatkan dengan adanya alel spesifik C dengan genotipe AC pada lokus Albumin dengan frekuensi yang kecil dan perlu ditelusuri sumber keragamannya. Berdasarkan analisis jarak genetik pada parameter ukuran tubuh dan indeks morfologi, sub-populasi kuda di kabupaten Minahasa dan kabupaten Minahasa Selatan memiliki jarak
81
genetik paling dekat disusul sub-populasi kuda di kota Manado, sedangkan jarak terjauh terdapat pada kelompok kuda di kota Tomohon. Pola jarak ini memiliki kesamaan dengan jarak genetik yang diperoleh berdasarkan analisis elektroforesis protein darah. Pola hubungan jarak genetik dengan lokus-lokus warna bulu menunjukkan gambaran pola yang mirip dimana hanya terdapat sedikit perbedaan runutan kedekatan jarak antar tiga sub populasi yaitu Manado dan Minahasa Selatan terhadap sub-populasi di Minahasa. Walaupun subpopulasi di kota Tomohon memiliki perbedaan genetik yang jauh dibandingkan ketiga subpopulasi daerah lainnya, akan tetapi karena daerah ini masih berjarak sangat berdekatan maka diduga masih terdapat sedikit pencampuran dengan gen-gen kuda dari tiga daerah lainnya. Berdasarkan gambaran dendogram jarak genetik yang dianalisis berdasarkan tiga penanda yang berbeda, kuda di empat wilayah di Sulawesi Utara diduga berasal dari dua populasi atau kelompok besar gen yang berbeda. Perbedaan jarak genetik tersebut memberikan arti penting untuk pemanfaatan kuda lokal di Sulawesi Utara karena telah memberikan sedikit gambaran kemungkinan pola penyebaran populasi yang kemungkinan berasal dari wilayah kabupaten Minahasa yang kemudian berkembang menyebar ke tiga daerah lainnya. Selain populasi kuda di Minahasa Selatan yang kemungkinan masih keturunan langsung dari kuda Minahasa, tergambar bahwa populasi di Manado dan di Tomohon telah dipengaruhi oleh pencampuran gen dengan kelompok kuda diluar daerah Sulawesi Utara. Hal ini dikuatkan oleh Rodriquez et al. (1992) yang menyatakan bahwa jarak genetik adalah salah satu petunjuk awal dari struktur populasi dan diferensiasi suatu kelompok. Potensi populasi kuda pacu di Sulawesi Utara juga sangat penting untuk dikembangkan mengingat daerah ini memiliki kearifan lokal (indigenous knowledge) yang tidak dimiliki daerah lain berupa peternakan kuda pacu yang berbasis masyarakat yang telah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Mengingat kuda pacu memiliki nilai jual yang tinggi, maka peningkatan kualitas ternak kuda pacu pada peternakan rakyat perlu untuk dikembangkan berupa usaha meningkatkan keunggulan bibit kuda pacu khususnya dalam hal kecepatan lari dan daya tahan berlari (kemampuan mempertahankan kecepatan). Upaya pemuliaan dalam meningkatkan potensi berlari kuda perlu ditingkatkan melalui metode seleksi yang tepat dan terarah sehingga karakteristik sifat kecepatan yang dimiliki kuda pacu dapat dipertahankan atau lebih ditingkatkan. Parameter genetik yang penting untuk
82
program seleksi performa pacu kuda adalah pendugaan nilai repitabilitas kecepatan dan ketahanan berlari. Pendugaan nilai repitabilitas untuk sifat kecepatan dan untuk sifat ketahanan berlari yang dilakukan dengan menggunakan data performa fenotipik perlombaan adalah berupa catatan waktu lari dari kuda pacuan selama 11 tahun (1998 s/d 2009) dari perlombaan yang diselenggarakan oleh organisasi berkuda Indonesia atau disingkat PORDASI. Berdasarkan hasil analisis keragaman untuk sifat kecepatan lari menunjukkan bahwa, rataan kecepatan kuda pacu adalah: ± 4-5 meter per detik dan cenderung meningkat sejalan dengan pertambahan umur dimana rataan kecepatan tertinggi ditemukan pada kuda kelompok umur empat tahun. Keragaman fenotip sifat kecepatan masih tergolong rendah sampai sedang (0.4 s/d 0.5). Hal ini diduga disebabkan oleh adanya seleksi dan tingginya intensitas silang dalam. Data penelitian dari kuda yang dilombakan umumnya berasal dari kuda hasil tahapan persilangan generasi ke-4 dan ke-5, sehingga kemungkinan besar telah terjadi peningkatan koefisien silang dalam akibat penggunaan penjantan yang sedikit (5-10 ekor). Nilai keragaman yang rendah dapat menggambarkan bahwa kecepatan kuda semakin sama sehingga dapat dipakai sebagai dasar informasi kecepatan kuda pacu di Indonesia. Penyebab lainnya diduga akibat data catatan hasil lomba pacuan kuda berasal dari catatan-catatan kuda yang mencapai finis dalam kelompok lima besar, sehingga keragaman nilai kecepatan lari merupakan nilai rataan kecepatan kuda yang telah terseleksi lewat perlombaan. Catatan kuda yang larinya lebih lambat sudah tereliminasi dan tidak dimasukkan dalam perhitungan sehingga data kecepatan lari kuda yang diperoleh merupakan data batas atas rataan kecepatan kuda atau dengan kata lain merupakan nilai rataan kecepatan kelompok kuda pacu yang terseleksi. Repitabilitas sifat kecepatan lari kuda pacu pada berbagai tingkatan umur dikategorikan sebagai repitabilitas sedang sampai tinggi, dimana nilai pendugaan repitabilitas kecepatan lari tertinggi (0.74) ditemukan pada umur empat tahun sebagai ekspresi potensi genetik kuda pacu berkecepatan tinggi. Berdasarkan nilai pendugaan repitabilitas yang diperoleh, maka dapat dipastikan dengan sistim pemuliaan dan perkawinan yang tepat dan terawasi maka kuda-kuda yang unggul dalam kecepatan lari dapat dijadikan pejantan untuk mewariskan potensi keunggulannya. Kemampuan dalam mempertahankan kecepatan lari kuda pacu lebih dipengaruhi oleh pengaruh genetik dimana terdapat kelompok kuda yang mengalami peningkatan kecepatan yang baik sebagai kuda pacuan jarak jauh dan kelompok kuda yang mengalami penurunan
83
kecepatan lari yang lebih tepat dijadikan kuda pacu untuk lari jarak dekat atau sprint. Berdasarkan hasil perhitungan terhadap kemampuan kuda pacu dalam mempertahankan kecepatan berlari diperoleh data kemampuan kecepatan yang meningkat sebesar 0.0012 sampai dengan 0.0025 detik. Kemampuan yang baik dalam mempertahankan dan meningkatkan kecepatan dapat dijadikan dasar menyeleksi pejantan yang unggul untuk mendapatkan kuda pacu unggul yang dilombakan pada jarak yang jauh, sedangkan untuk kelompok kuda yang mengalami penurunan kecepatan atau tidak dapat mempertahankan kecepatan lari pada jarak jauh lebih diarahkan untuk menjadi kuda pacu jarak pendek dan menengah. Dari penelitian ini diperoleh rataan penurunan kecepatan pada kuda pacu sebesar 0.0013 sampai dengan 0.0022 detik. Kuda tipe ini sangat baik untuk dijadikan kuda pacu untuk jarak pendek sampai sedang. Repitabilitas sifat mempertahankan kecepatan lari kuda pacu pada berbagai jarak lintasan dalam penelitian ini dikategorikan sebagai nilai repitabilitas sedang sampai tinggi dimana nilai pendugaan repitabilitas yang tinggi (> 0.4) didapati pada kelompok kuda yang mengalami penurunan kecepatan, sedangkan sifat peningkatan kecepatan termasuk dalam kategori sedang (0.2 s/d 0.4). Walaupun masih diperlukan banyak kajian dan nilai pembanding lainnya untuk mendapatkan hasil yang optimum, nilai pendugaan repitabilitas ini dapat digunakan sebagai informasi awal untuk penelitian selanjutnya dan sebagai acuan umum untuk melakukan seleksi pada kuda yang memenuhi syarat dalam penelitian ini. Potensi masyarakat pemelihara kuda secara umum dapat tergambar melalui kondisi sosio-ekonomi para peternak dimana berdasarkan informasi yang terkumpul menunjukkan, bahwa pemelihara dan pengguna kuda di Sulawesi Utara masih didominasi oleh para petani/peternak dengan tingkat pendidikan formal pernah mengecap pendidikan sampai sekolah tingkat lanjutan atas, sehingga jelas terlihat sejauh mana kemampuan beternak dan tingkat kesejahteraan keluarga yang dapat dicapai. Hasil analisis terhadap tingkat pengetahuan peternak di bidang pemuliaan, pakan, managemen dan kelembagaan ternyata masih dalam kategori rendah sampai sedang, sehingga usaha peningkatan pengetahuan masih perlu untuk dilakukan. Berdasarkan tingkatan pendidikan, diduga peternak kuda memiliki potensi kemampuan (motivasi dan partisipasi) yang tinggi dalam menerapkan pengetahuan dan teknologi peternakan dan dengan melihat lama beternak yang hampir merata pada setiap tingkatan, maka dapat dipastikan masyarakat pemelihara kuda akan lebih mudah menerima masukan dan pengetahuan dalam usaha meningkatkan kualitas ternak kuda yang dimilikinya. Peran dan usaha yang keras dari pemerintah melalui para penyuluh peternakan dalam
84
memberikan masukan pengetahuan yang baik tentang cara meningkatkan jumlah dan mutu ternak kuda yang ada perlu ditingkatkan. Permasalahan utama terletak pada ketidakmampuan para peternak dalam meningkatkan jumlah ternak kuda peliharaannya dimana dengan hanya memiliki satu sampai dua ekor kuda, maka dapat dipastikan tidak dapat memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat peternak kuda. Peran lembaga koperasi dan lembaga keuangan lainnya sangatlah diperlukan. Diperlukan terobosan dalam bidang pemuliaan ternak agar para peternak dapat mampu meningkatkan usaha pemeliharaan kuda baik dari segi jumlah kepemilikan maupun kualitas ternak kuda. Beberapa kemampuan beternak yang tinggi telah diperlihatkan oleh para peternak kuda pacu di Minahasa disebabkan usaha peternakan kuda memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi dan apabila dapat dikelola dengan tepat akan menghasilkan keuntungan yang besar bagi peternaknya. Walaupun demikian, pengalaman beternak yang telah ada pada kelompok peternak di Minahasa masih tetap memerlukan masukan pengetahuan dan teknologi pemuliaan yang tidak hanya berasal dari para penyuluh lapangan, akan tetapi dari para pakar yang berasal dari kalangan akademisi atau lembaga penelitian. Kelompok peternak ini dapat juga diikutsertakan dalam suatu program percontohan pengembangan ternak kuda yang nantinya dapat dijadikan faktor penggerak bagi peternak kuda lokal yang ada di wilayah sekitarnya. Dukungan pemerintah daerah sangat dibutuhkan dalam hal menyediakan infrastruktur dan faktor penunjang lainnya seperti sarana dan prasarana jalan, pasar ternak, rumah sakit hewan, pusat pembibitan, lembaga atau balai penelitian khusus ternak kuda, peraturan pemerintah yang mendukung industri perkudaan dan sarana pemasaran serta arena perlombaan yang menunjang kegiatan pariwisata. Peran lembaga akademik sangat penting untuk menciptakan sumberdaya manusia yang dapat berperan dalam industri kuda serta hasil kajian yang bermanfaat bagi pengembangan kuda di Sulawesi Utara. Arah pengembangan usaha peternakan kuda menuju industri perkudaan dapat dilakukan dengan tahapan, yaitu: 1. Memperkuat kondisi ekonomi dan pengetahuan para peternak dan seluruh masyarakat pemelihara kuda agar dapat lebih meningkatkan kemampuan usaha dalam menjaga kelangsungan populasi kuda di Sulawesi Utara.
85
2. Merancang suatu wilayah industri perkudaan yang saling berintegrasi dengan sektor pembangunan wilayah lainnya seperti pertanian, perkebunan, pariwisata dan peternakan lainnya. 3. Secara khusus dibuat kebijakan dari pemerintah propinsi untuk pemerintah di wilayah sentra pemeliharaan kuda dalam hal pembagian daerah pengembangan peternakan kuda yang terarah seperti pemetaan daerah Minahasa khususnya wilayah kecamatan Kawangkoan dan Kecamatan Tompaso sebagai pusat pembibitan ternak kuda. Daerah lainnya didalam kabupaten Minahasa dijadikan wilayah konservasi sumberdaya genetik kuda. 4. Wilayah diluar Minahasa seperti kota Tomohon, kota Manado dan kabupaten Minahasa Selatan, dapat dijadikan daerah penyangga yang berperan sebagai penyanggah lalulintas ternak kuda. Khusus untuk kota Tomohon dapat lebih dikembangkan sebagai daerah pariwisata yang mengandalkan ternak kuda untuk semua aktivitas kegiatan wisata. Kota Manado dijadikan pusat pemasaran yang didukung dengan arena pacuan kuda berskala international.
SIMPULAN UMUM
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: 1. Keragaman morfometrik dan ukuran tubuh menunjukkan adanya keragaman yang tinggi pada ukuran tinggi pinggul dan lingkar dada, keragaman yang bersifat kodominan pada pola warna bay dan chesnut sebagai warna dominan kuda lokal Sulawesi Utara dan keragaman protein darah dan sel darah merah kecuali pada lokus Post-transferinf 1 dan 2 bersifat monomorfik. Keragaman ini dapat dijadikan dasar seleksi pada populasi kuda di Sulawesi Utara juga sebagai variabel pembeda antar sub-populasi yang ada 2. Analisis keragaman dan jarak genetik berdasarkan penanda morfometrik, morfologi warna bulu dan protein darah menunjukkan bahwa terdapat dua kelompok populasi kuda berdasarkan perbedaan jarak genetik, dimana Tomohon merupakan sub-populasi tersendiri dibandingkan sub-populasi kuda di daerah Manado, Minahasa dan Minahasa Selatan. Sub-populasi kuda Minahasa merupakan awal penyebaran kuda di Sulawesi Utara.
86
3. Populasi kuda pacu di Sulawesi Utara memiliki nilai repitabilitas untuk sifat kecepatan dan ketahanan (kemampuan dalam mempertahankan kecepatan lari) dalam kategori sedang sampai tinggi yang berpotensi untuk menjadi sumber bibit kuda pacu unggul.
SARAN 1. Sistim pelestarian sumberdaya genetik ternak kuda dapat dilakukan dengan melalui empat tahapan yaitu: Penguatan, Perancangan, Pemetaan/ Perwilayahan dan Pengembangan. 2. Diperlukan penelitian lanjutan dengan jumlah sampel yang lebih banyak, cakupan pengamatan yang lebih luas dan penggunaan metode yang lebih lengkap agar diperoleh gambaran yang lebih akurat perihal keragaman populasi kuda di Indonesia. 3. Diperlukan lebih banyak penanda molekuler dan daerah pengamatan untuk lebih melengkapi gambaran jarak genetik serta asal-usul kuda di Indonesia. 4. Diperlukan pencatatan yang lebih akurat (digital) dan lebih banyak jumlah individu kuda yang finis agar evaluasi genetik dapat diperoleh lebih akurat. 5. Perlu dibentuk suatu lembaga pusat kajian kuda tropis, untuk lebih meningkatkan kemajuan ternak kuda di Indonesia.
87
DAFTAR PUSTAKA
Allendorf FW, Luikart G. 2007. Conservation and the Genetics of Populations. London: Blackwell Publisher Ltd. Alderson GLH. 1999. The development of a system of linear measurements to provide an assessment of type and fuction of beef cattle. AGRI, 25:45-55 Anthony D, Telegin DY, Brown D. 1991. Origin of the horseback riding. Sci Am 225: 44-48 Avise JC. 1994. Molecular Markers, Natural History and Evolution. Thomson Pub Co. New York: Chapman and Hall. Badan Pusat Statistik. 2006. Statistik Peternakan. BPS. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2010. Statistik Indonesia. BPS. Jakarta. http://www.bps.go.id/ [7February 2010] Baker K. 2002. Thoroughbred Racing. Philadelphia: Chelsea House Pub. Balding DJ, Bishop M, Canning J. 2007. Handbook of Statistical Genetics. Ed ke-3. England: John Willey and Sons. Bannikov AG, Flint FE. 1989. Order perrisodactyla. Di dalam: Skolov (editor), Life of Animals Mammals. Ed ke-5. Vol ke-7. Moscow: Prosveshenie 418-422 Becker AW 1985. Manual of Quantitative Genetics. Academic Enterprises. Washington: Pullman. Bowling AT, Ruvinsky A. 2004. The Genetics of the Horse, Ed ke-1. CABI Publisher. UK: Wallingford. Breen M et al. 1997. Genetical and physical assignments of equine microsatellite: first integration of anchored markers in horse genome mapping. Mammal Genet 8:267273 Brown WM, Prager EM, Wang A, Wilson AC. 1982. Mitochondria DNA sequences of primates: tempo and mode of evolution. J Mol Evol 18: 225-239. Buttram ST, Wilham RL, Wilson DE, Heird JC. 1988a. Genetics of racing rerformance in the american quarter horse I: description of the data. J Anim Sci 66:2791-2799 Buttram ST, Wilham RL, Wilson DE. 1988b. Genetics of racing performance in the american quarter horse II: adjustment factors and contemporary groups. J Anim Sci 66:28002807
88
Cann PL, Brown WM, Wilson AC. 1984. Polymorphic sites and the mechanism of evolution in human mitokondria DNA. Genetics 106:479-499. Charlier C et al. 1996. Microsatellite mapping of the bovine roan locus: a major determinant of White Heifer disease. Mammal Genet 7, 138-142. Cervini M, Henrique SF, Mortari N, Matheucci-Jr E. 2006. Genetic variability of 10 microsatellite markers in the characterization of brazilian nellore cattle Bos indicus. Gen Mol Biol 29 (3): 486-490. Cunningham M, Latour MA, Acker D. 2005. Animal Science and Industry. Ed ke-7. New Jersey: Pearson Prentice Hall. Dawson MT, Powell R, Gannon F. 1996. Gene Technology. Oxford: Bios Scientific Publisher Ltd. Duryadi D. 2005. Prinsip-prinsip dalam teknologi biologi molekuler. Di dalam: Eksplorasi Sumberdaya Genetik dengan Menggunakan Marka Molekuler. Pelatihan Singkat Teknik Biologi Molekuler. Kerjasama PS Ilmu Hayati, LPPM IPB & Dirjen DIKTI Depdiknas. Bogor. Edward EH. 1994. The Encyclopedia of Horse. London: Dorling Kindersley, Ltd. Ekiz B, Kocak O. 2007. Estimates of genetic parameters for racing times of Thoroughbred horses. Turk J Vet Anim Sci. 31(1): 1-5. Equestrian Indonesia, 2009. Grading up kuda lokal dengan Thoroughbred. www.equestrianindonesia.org/ [19 April 2009] Falconer DS, Mackay TFC. 1996. Quantitative Genetics. Ed ke-4. England: Longman Group Ltd. [FAO] Food and Agriculture Organization. 2000. World Watch List for Domestic Animal Diversity. Ed ke-3. Rome: Food and Agriculture Organization. [FAO] Food and Agriculture Organization. 2001. Sustainable Use of Animal Genetic Resources. Rome, Italy: IDAD-APHD FAO. [FAO-AAAS] Food and Agriculture Organization-American Association for The Advancement of Science. 1994. Implication in The Convention on Biological Diversity-Management of Animal Genetic Resources and The Conservation of Domestic Animal Diversity. Strauss MS, editor. Washington DC, USA. Feldhamer GA et al. 1999. Mammalogy: Adaptation, Diversity and Ecology. Boston: McGraw-Hill Companies. Flint APF, Woolliams JA. 2008. Precision animal breeding. rstb.royalsocietypublishing.org [9 November 2009]
89
Frape D. 2004. Equine Nutrition and Feeding. Ed ke-3. London: Blackwell Publisher Ltd. Freeland JR. 2005. Molecular Ecology. England: John Wiley and Sons, Ltd. [FSI]. Forum Sandalwood Indonesia. 2009. Kuda Timor, kuda Standar dan kuda Sandel. Prass, editor. http://forum-sandalwood.web.id/drupal/node/156 [30 Juli 2010] Fumio M, Hideaki N, Toyokazu F. 1982. Application of principal component analysis for defining size and shape in Japanese black cattle sires. Sci Reprod, 15:169-176 Gilbert RP, Bailey DRC, Shannon NH. 1993. Linear body measurements of cattle before and after 20 years of selection for post-weaning gain when fed two different diets. J Anim Sci 71:1712-1720 Graham TPM, Kronfeld DS. 2005. Amino acid supplementation improves muscle mass in aged and young horses. J Anim Sci 83:(2)783-788. Hall T. 2005. BioEdit. Ed ke-6. USA: North Carolina State University. Hammock SP, Shrode RR. 1986. Calfhood weights, body measurements and measures of fatness versus criteria of overall size and shape for predicting yearling performance in beef cattle. J Anim Sci 63:447-452. Hardjosubroto W. 1994. Aplikasi Pemulabiakan Ternak di Lapangan. Jakarta: Gramedia Widia Sarana Indonesia. Hartl DL, Clarck AG. 1997. Principles of Population Genetics. Ed ke-3. Sunderland, Massachusetts: Sinauer Associates, Inc Hawcroft T. 1983. The Complete Book of Horse Care. Sydney: Weldon Publisher. Hill EW et al. 2002. History and integrity of thoroughbred dam lines revealed in the equine mtDNA variation. Anim Genet 33:287-294. Hintz RL. 1980. Genetics of performance in the horse. J Anim Sci 51:582-594 Ishida N et al. 1994. Polymorphic sequence in the D-loop region of equine mitochondrial DNA. Anim Genet 25: 215-221 Ishii T et al. 1996. Three dimensions measuring apparatus for body form of farm animal. Di dalam: Proc AAAP Anim Sci Congr. Volume ke-2. Jpn Soc Zootec Sci 544-545. Islami RZ. 2006. Evaluasi performa kuda pacu Indonesia [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Jakaria. 2008. Keragaman genetik gen hormon pertumbuhan pada sapi pesisir Sumatera Barat [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
90
Karacaoren B, Kadarmideen HN. 2008. Principal component and clustering analysis of functional traits in Swiss dairy cattle. Turk J Vet Anim Sci 32: 163-171 Karthickeyan SMK, Saravanan R, Thangaraju P. 2006. Krishna Valley cattle in India: status, characteristics and utility. AGRI 39: 25-37. [KHP] Kentucky Horse Park. 2008. Horse Management. Lexington: 4089 Iron Works Pike. KY 40511 Khalil NTH, Owen M. Afifi EA. 1986. A revi ew of phenot ypi c and genetic parameters associated with meat production traits in rabbits. Anim Breed Abstr 54(9):725-749 Kimura M. 1980. A simple method for estimating evolutionary rate of base substitutions through comparative studies of nucleotide sequences. J Mol Evol 16: 111-120. Kirkwood BR. 2005. Essentials of Medical Statistics. London: Blackwell Scientific Publicatian. Oxford. Komenes PA. 1999. Alfa-casein and beta-lactoglobulin and growth hormone alleles frequencies and genetik distances in Nelore, GYR, Guzera, Caracu, Charolais, Canchim and Santa Getrudis cattles. Gen Mol Biol 22:539-541 Komosa M, Purzyc H. 2009. Konik and Hucul horses: a comparative study of exterior measurements. J Anim Sci 87:2 245-254 Lamoreux ML, Delmas V, Larue L, Bannet DC. 2010. The Colors of Mice; A Model Genetic Network. UK: Wiley and Blackwell. Lewin B. 2000. Genes. Ed ke-7. England: Oxford University Press. Liu BH. 1998. Statistical Genomic: linkage, mapping and QTL analysis. New York: CRC Press.. Luis C et al. 2006. Iberian origins of new world horse breeds. J Hered 107-113 Macijauskiene V. 2002. Monitoring of the Zemaitukai horse breed. Anim Husb 40:3-12. Macrejowsky J, Zieba J. 1982. Genetic and Animal Breeding. Amsterdam: Elsevier Publisher Company Martojo H. 1992. Peningkatan mutu genetik ternak. Kerjasama PS Bioteknologi PAU-IPB dan Dirjen DIKTI-Depdiknas. Bogor. Martojo H. 2003. Indigenous Bali Cattle: The Best Suited Cattle Breed for Sustainable Small Farms in Indonesia. Laboratory of Animal Breeding and Genetics, Faculty of Animal Science. Bogor: IPB
91
Mc Bane S. 1993. Keeping Horse. Ed ke-2. USA: Blackwell Scientific Publication, Inc. Microsoft Office. 2010. Excel Datasheet. USA: Microsoft Corp. Moritsu Y, Funakoshi, Hichikawa S. 1994. Genetic evaluation of sires and environmental factors influencing best racing times of Thoroughbred horses in Japan. J Equine Sci 5 (2): 53–58. Muladno. 2006. Seputar Teknologi Rekayasa Genetika. Bogor: Pustaka. Wirausaha Muda. Mulliadi D. 1996. Sifat fenotipik domba Priangan di Kabupaten Pandeglang dan Garut [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Namikawa T, Matsuda Y, Kondo K. 1980. Blood group and blood protein polimorphism of different types of the cattle in Indonesia. The Research Group of Overseas Scientific Survey. No. 404315 Nei M. 1987. Molecular Evolutionary Genetics. New York: Colombia University Press. Nei M, Kumar S. 2000. Molecular Evolution and Phylogenetics. New York: Oxford University Press Inc. Nicholas FW. 1996. Introduction to Veterinary Genetics. New York: Oxford University Press Inc. Nicholas FW. 1999. Genetics of morphological traits and inherited disorders. Di dalam: Fries R, Ruvinsky A (editor). The Genetics of Cattle. New York: CABI Publisher. Noor RR, Farajalah A, Karmita M. 2000. Pengujian kemurnian sapi Bali dengan analisis hemoglobin dengan metode isoelectric focusing. Hayati 8 (4): 107111. Noor RR et al. 2000. Uji kemurnian sapi Bali melalui protein, DNA-mikrosatelit, struktur bulu dan kromosom [laporan penelitian]. Bogor: Kerjasama Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor dan Balai Inseminasi Buatan Singosari. Noor RR. 2008. Genetika Ternak. Edisi ke-4. Jakarta: Penebar Swadaya. Notoatmodjo S. 2007. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Nozawa K. 1983. Phylogenetics studies on the native domestic animals in East and Southeast Asia. Di dalam: Proceeding Workshop Animals Genetics Resources in Asia and Oceania. Tsukuba, 3-7 September 1979. Tsukuba: Society for the Advancement of Breeding Researches in Asia and Oceania (SABRAO) 23-43. Nozawa K et al. 1981. Morphology and gene constitution of the Indonesian horses. Di dalam: The Origin and Phylogeny of Indonesia Native Livestock. Ed ke-2. Tokyo: The Research Group of Overseas Scientific Survey. Japan. Hlm 9-30.
92
Ojala M. 1987. Heritability of annual summarized race record in Trotters. J Anim Sci 64:117125 Ojala M, Van Vleck LD, Quaas RL.1987. Factors influencing best annual racing time in Finnish horses. J Anim Sci 64:109-116 Otsuka J et al. 1980. Body measurements of the Indonesian native cattle. Di dalam: The Origin and Phylogeny of Indonesia Native Livestock. Ed ke-1. Tokyo: The Research Group of Overseas Scientific Survey: Japan. Hlm 7-18. Ouragh L. 2004. DNA polymorphism of arabian, thoroughbred and anglo-arab horses in Marocco. Di dalam: Harinder et al (editor). Aplication of Gene-Based Technology for Improving Animal Production and Health in Developing Countries. Springer. Netherland: IAEA Owen R, Bullock J. 2003. Complete Book of The Horse and Rider. Melbourne: Chancellor Press. Pallawaruka, 1999. Ilmu Pemuliaan Ternak Perah. Bogor: IPB. Parakkasi A. 1986. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Monogastrik. Vol. 1b. Jakarta: UI Press Indonesia. Polak, GM. 2008. Characteristics of the polish population of horses competing in longdistance rides. J Anim Sci 8(2):103 – 111. [PORDASI] Pengurus Pusat Persatuan Olahraga Berkuda Seluruh Indonesia. 2003. Peraturan Pacuan & Petunjuk Pelaksanaan Kejuaraan Nasional Pacuan Kuda. Jakarta: PP. PORDASI. Rahmat D. 2006. Analisis dan pengembangan pola pemuliaan domba Priangan yang berkelanjutan [disertasi]. Sekolah Pascasarjana, Bogor: IPB. Rakhmat J. 2000. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya Richard A, Touvais M. 2007. Genetic parameters of performance traits in horse endurance race: Inheritance of Racing Performance of Thoroughbred Horses. Amsterdam: Elsevier Publisher Company. Richard AE, Burns, Cunningham EP. 2000. Genetics of performance traits. Di dalam: Bowling AT, Ruvinsky A (editor) The Genetic of Horse. New York: CABI Pub. Rodriquez GPP, Aguilar S P, Vega PJL, de Andres CDF. 1992. Blood group and protein polymorphism gene frequencies for the Andalusian horse breed. A comparison with four American horse breeds. Arch Zootec 41 (extra): 433-442. Espana: Instituto de Zootecnia. Rousset F. 2007. GENPOP. Ver. 4. J Hered 86:248-249
93
Saaty TL, Vargas LG. 2001. Models, Methods, Concepts and Applications of the Analytic Hierarchy Process. Boston: Kluwer Academic Publisher. Sadek MH, Al-Aboud AZ, Ashmawy AA. 2006. Factor analysis of body measurements in Arabian horses. J Anim Breed Genet 123:369-377 Salako AE. 2006. Principal component factor analysis of the morphostructure of immature Uda sheep. Int J Morphol 24(4): 571-774 Salako AE, Ngere LO. 2002. Application of multifactorial discriminant analysis in the morphometric structural differentiation of the WAD and Yankasa sheep in the humid Southwest Nigeria. J Anim Prod 29(2):163-7. Sambrook J, Fritsch EF, Maniastis T. 1989. Molecular cloning. Di dalam: A Laboratory Manual. Ed ke-2. London: Cold Spring Harbor Laboratory Press. Searle AG. 1978. Comparative Genetics of Coat Color in Mammals. London: Logos Press. Sodhi M et al. 2006. Microsatellite DNA typing for assessment of genetic variability in Tharparkar breed of Indian Zebu Bos indicus cattle: a major breed of Rajasthan. J Genet 85: 165-170. Soeharjono O. 1990. Kuda. Jakarta: Yayasan Pamulang Equstarian Centre. Solis A et al. 2005. Genetic diversity within and among four south european native horse breeds based on microsatellite DNA analysis: implications for conservation. J Hered. 96(6):670–678 Stansfield WD. 1983. Theory and Problems of Genetics. New York: McGraw-Hill. [SAS] Statistical Analysis System. 2000. SAS User’s Guide. North Carolina: SAS Inst. Inc. Steel RGD, Torrie JH. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika. Penerjemah: Sumantri B. Ed ke-4. Jakarta: Gramedia. Subandriyo, Setiadi B. 2003. Pengelolaan plasma nutfah hewani sebagai aset dalam pemenuhan kebutuhan manusia. Di dalam: Lokakarya Pemantapan Pengelolaan Database dan Pengenalan Jejaring Kerja Plasma Nutfah Pertanian, Bogor, 21-28 Juli, 2003, Komisi Nasional Plasma Nutfah. Sulandari S, Zein MSA. 2003. Panduan Praktis Laboratorium DNA. Bidang Zoologi. Pusat Penelitian Biologi. Cibinong: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Tamura K et al. 2007. MEGA 4: molecular evolutionary genetics analysis software. Versi ke4. London: Oxford University Press. Tolley EA, Notter DR, Marlowe TJ. 1983. Heritability and repitability of speed for 2 and 3 years old Standardbred racehorses. J Anim Sci 56:1294-1305
94
Tosaki T et al. 1995. ECA3: equine (CA) repeat polymorphism at chromosome 2p1.3-4. Anim Genet 26: 283 Vila C et al. 2001. Widespread origins of domestic horse lineages. Science 291:474-477. Vogel C. 1995. Complete Horse Care Manual. London: Dorling Kindersley Ltd. Walker E. 2008. Horse. London: Reaction Book Ltd. Waran N. 2004. Animal Welfare. London: Kluwer Academic Publisher Warwick EJ, Astuti JM, Hardjosubroto VV. 1995. Pemuliaan Ternak. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Wijono DB, Setiadi B. 2004. Potensi dan keragaman sumberdaya genetik sapi Madura. Prosiding Lokakarya Nasional Sapi Potong. Yogyakarta, 8-9 Okt 2004. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 42-52. Wiley EO. 1981. Phylogenetics: the theory and practice of phylogenetic systematics. Canada: John Wiley and Sons Inc. Willham RL, Wilson DE. 1991. Genetics predictions of racing performance in Quarter horses. J Anim Sci 69:3891-389 Wilson DE. 1990. Genetics of racing performance in the American quarter horse: Adjustments for jockey weight. Di dalam: The 4th World Congress on Genetics Applied to Animal Production. Edinburgh, Scotland. Hlm 198
95
Lampiran 1a Populasi kuda per propinsi tahun 2002 s/d 2006 Provinsi/ Provinces (1)
Tahun/Year 2002 (3)
(2)
2003 (4)
2004 (5)
2005 (6)
1 2
NAD Sumut
3.446 5.655
3.360 5.668
4.826 5.681
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jabar Jateng DI Yogyakarta Jatim Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel Sultra Maluku Papua Babel Banten Gorontalo
5.951 0 423 1.475 74 182 230 11.963 14.661 929 26.449 675 74.529 93.156 0 0 835 94 11.730 4.072 124.047 5.466 20.150 1.702 9 253 10.802
5.804 24 431 1.452 69 196 102 12.124 14.604 784 26.165 662 73.623 94.625 0 0 810 97 12.372 4.114 118.101 5.264 20.575 1.576 6 153 9.843
4.783 20 633 1.430 69 176 136 14.242 15.001 753 25.741 692 76.006 96.416 0 0 794 99 9.038 3.819 114.799 4.626 8.560 1.818 1 185 6.923
4.599 4.650 20 20 472 477 1.458 1.697 65 65 192 192 156 162 12.474 16.181 14.245 14.286 784 792 18.333 18.333 582 582 76.399 77.163 97.952 99.513 0 0 0 0 730 738 71 72 8.501 8.543 3.322 3.302 106.395 109.586 4.666 4.680 8.820 8.899 2.061 2.259 0 0 169 169 6.370 7.798
30 31 32 33
Malut Kepri Irjabar Sulbar Total
78 419.036
78 412.682
32 397.299
34 36 0 0 18 20 10.755 11.293 386.708 398.655
Sumber: Statistik Peternakan (2006)
2.686 4.379
2006*) (7) 2.759 4.389
96
Lampiran 1b Populasi kuda di Sulawesi Utara
Sumber: Badan Pusat Satistik (2010) http://www.bps.go.id.
97
Lampiran 2a. Peta Sulawesi Utara.
98
Lampiran 2b Peta Kota Tomohon dan Kota Manado
Lampiran 2c Peta Kabupaten Minahasa dan Kabupaten Minahasa Selatan
99
Lampiran 3a Penentuan umur kuda berdasarkan struktur gigi
A. Umur 4-9 bulan;
B. Umur 3-4 tahun;
C. Umur 6-7 tahun
100
Lampiran 3b Cara pengukuran morfometri / ukuran tubuh kuda
Lampiran 3c Timbangan ternak/ hewan lapangan digital
101
Lampiran 4a Warna bulu pada kuda
Bay (Ka-ge)
Bay-cream (Kawara-ge)
Black (Ao-ge)
Chestnut (Kuri-ge)
Chesnut-cream (Tzuki-ge)
Roan (Kasu-ge)
White atau pseudo-albino (Same-ge)
Spotted (Buchi-ge)
Keterangan: Hawcroft 1984 dan Nozawa et al. 1981
102
Lampiran 4b Contoh model daftar tabulasi morfologi dan pola warna No Pemilik Lokasi Nama Kuda
:___________ :_____________________ :_____________________ :_____________________
N o 1
Pengamatan/Pengukuran
2 3 4 5 6
Pola Warna Bulu/ Corak Warna Kepala Corak Warna Kaki Warna Ekor Bobot Badan/Live weight Lingkar Dada/chest girth Lebar Dada/chest width Dalam Dada/chest depth Tinggi Pundak/wither height Tinggi Pinggul/hip height Lebar Pinggul/hip width Panjang Badan/body length Panjang Paha/rump lenght Lebar Pundak Panjang Leher Lebar Kepala Panjang Kepala
7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 28
Warna Bulu/ Coat Color
Nilai Karakter
Sex :________________ Umur :________________ Bangsa/Tipe:___________
Keterangan Bay, black, chestnut,bay-cream, chestnut-cream, white,roan and spotted
103
Lampiran 5a Peralatan analisis elektroforesis protein darah
104
Lampiran 5b Genotyping pita protein darah dan hemoglobin a. Pola pita Transferrin (Tf)
A B C D E AA AB AC AD AE BB BC BD BE CC CD CE DD DE EE
b. Pola pita Post Albumin (PAlb)
1 2 3 4 Alb 1-1
1-2
1-3
2-2
2-3
2-4
3-3
3-4
105
c. Pola pita Albumin (Alb)
PAlb A B
AA
AB
BB
d. Pola pita Hemoglobin (Hb)
1
1
1
Β Α Α 1/1
1/0
106
Lampiran 6a Rekapitulasi hasil uji-t kecepatan lari kuda pacu Indonesia antara jantan dan betina pada berbagai kelompok umur Umur (tahun)
Uji- t
P
2
*
0.045
3
tn
0.441
4
tn
0.877
>4
tn
0.147
Keterangan : *= nyata, **= sangat nyata, tn= tidak nyata
Lampiran 6b Rekapitulasi hasil uji-t kecepatan lari antara dua kelompok umur pada kuda pacu Indonesia jantan & betina Umur 2–3 2–4 2 – >4 3–4 3 – >4 4 – >4
Jenis kelamin
Hasil uji-t
Nilai P
♂
tn
0.873
♀
tn
0.113
♂
tn
0.097
♀
tn
0.806
♂
tn
0.064
♀
tn
0.334
♂
tn
0.061
♀
tn
0.196
♂
*
0.029
♀
**
0.005
♂
tn
0.919
♀
tn
0.223
Keterangan : *= nyata, **= sangat nyata, tn= tidak nyata
107
Lampiran 6c Analisis keragaman kecepatan lari kuda pacu jantan umur 2 tahun Sumber Keragaman
Derajat Bebas
JK
KT
KT yang Diharapkan
Antar Individu
37
16.379
0.443
+ k1
Antar Pengamatan dalam Individu
21
3.020
0.144
Total
58
19.399
Keterangan : JK = Jumlah Kuadrat, KT = Kuadrat Tengah, koefisien k1=
= KT antar individu,
, N= jumlah individu, m.= jumlah pengamatan,
jumlah ulangan
= 1/37 (59 – 105/59) = 1.547
=
0,193 0,193 + 0,144
= 0.573
= 0.443 – 0.144 1.547 = 0.193
S.E (R) = √ 2(59 – 1) (1–0.573)2 [1 + (1.547 –1) 0.573]2 (1.547)2 (59–38) (38 – 1) = √ 0.020 = 0.14 R ±S.E = 0.573 ± 0.14
= KT antar pengamatan, = kuadrat
108
Lampiran 6d Analisis keragaman kecepatanl kuda pacu betina umur 2 tahun
Sumber Keragaman
Derajat Bebas
JK
KT
KT yang Diharapkan
Antar Individu
39
12.024
0.308
+ k1
Antar Pengamatan dalam Individu
20
3.661
0.183
Total
59
15.685
Keterangan : JK = Jumlah Kuadrat, KT = Kuadrat Tengah, koefisien k1=
= KT antar individu,
, N= jumlah individu, m.= jumlah pengamatan,
jumlah ulangan
= 1/39 (60 – 106/60) = 1.493
=
0.084 0.084 + 0.183
= 0.315
= 0.308 – 0.183 1.493 = 0.084
S.E.(R) = √ 2(60 – 1) (1– 0.315)2 [1 + (1.493 – 1) 0.315]2 (1.493)2 (60 – 40) (40 – 1) = √ 0.043 = 0.206 R ± S.E = 0.315 ± 0.206
= KT antar pengamatan, = kuadrat
109
Lampiran 6e Analisis keragaman kecepatan lari kuda pacu jantan & betina umur 3 tahun Sumber Keragaman
Derajat Bebas
JK
KT
KT yang Diharapkan
Antar Individu
98
19.467
0.199
+ k1
Antar Pengamatan dalam Individu
48
6.092
0.127
Total
146
25.559
Keterangan : JK = Jumlah Kuadrat, KT = Kuadrat Tengah, koefisien k1=
= KT antar individu,
, N= jumlah individu, m.= jumlah pengamatan,
jumlah ulangan
= 1/98 (147 – 251/147) = 1.483
=
0.049 0.049 + 0.127
= 0.278
= 0.199 – 0.127 1.483 = 0.049
S.E.(R) = √ 2(147 – 1) (1– 0.278)2 [1 + (1.483 – 1) 0.278]2 (1.483)2 (147 – 99) (99 – 1) = √ 0.019 = 0.138 R ± S.E = 0.278 ± 0.138
= KT antar pengamatan, = kuadrat
110
Lampiran 6f Analisis keragaman kecepatan lari kuda pacu jantan & betina umur 4 tahun Sumber Keragaman
Derajat Bebas
JK
KT
KT yang Diharapkan
Antar Individu
75
33.383
0.445
+ k1
Antar Pengamatan dalam Individu
41
3.446
0.084
Total
116
36.828
Keterangan : JK = Jumlah Kuadrat, KT = Kuadrat Tengah, koefisien k1=
= KT antar individu,
, N= jumlah individu, m.= jumlah pengamatan,
jumlah ulangan
= 1/75 (117 – 213/117) = 1.536
=
0.235 0.235 + 0.084
= 0.737
= 0.445 – 0.084 1.536 = 0.235
S.E (R) = √ 2(117 – 1) (1– 0.737)2 [1 + (1.536 – 1) 0.737]2 (1.536)2 (177 – 76) (76 – 1) = √ 0.0018 = 0.042 R ± S.E = 0.737 ± 0.042
= KT antar pengamatan, = kuadrat
111
Lampiran 6g Analisis keragaman kecepatan lari kuda pacu jantan &betina umur > 4 tahun Sumber Keragaman
Derajat Bebas
JK
KT
KT yang Diharapkan
Antar Individu
65
26.383
0.406
+ k1
Antar Pengamatan dalam Individu
70
10.381
0.148
Total
135
36.763
Keterangan : JK = Jumlah Kuadrat, KT = Kuadrat Tengah, koefisien k1=
= KT antar individu,
, N= jumlah individu, m.= jumlah pengamatan,
jumlah ulangan
= 1/65 (136 – 400/136) = 2.047
=
0.126 0.126 + 0.148
= 0.46
= 0.406 – 0.148 2.047 = 0.126
S.E (R) = √ 2(136 – 1) (1– 0,46)2 [1 + (2,047 – 1) 0,46]2 (2.047)2 (136 – 66) (66 – 1) = √ 0.009 = 0.095 R ± S.E = 0.46 ± 0.095
= KT antar pengamatan, = kuadrat
112
Lampiran 7a Rekapitulasi hasil uji-t nilai penurunan kecepatan & peningkatan kecepatan antara jantan & betina Sifat Berlari
Nilai t
Nilai P (P-value)
Hasil Uji-t
Penurunan Kecepatan
0.50
0.626
tn
Peningkatan Kecepatan
1.20
0.253
tn
Keterangan : tn= tidak nyata
Lampiran 7b Analisis keragaman sifat peningkatan kecepatan berlari kuda pacu Indonesia pada jarak 1200, 1400 dan 1600 meter Sumber Keragaman Antar Individu
Derajat Bebas 7
JK
KT
0.0000717
0.0000102
KT yang diharapkan 2
8
0.0000399
0.000005
0.000005
15
0.0001116
Antar pengamatan dalam Individu Total
= 0.0000102 – 0.000005
=
2 = 0.0000026
0.0000026 0.0000026 + 0.000005
= 0.342105
S.E (R) = = √2 (16-1)(1-0.342105)2[1+(2-1) 0.342105]2 (2)2 (16-8) (8-1) = 0.278924
R ± S.E = 0.342105 ± 0.278924
113
Lampiran 7c Analisis keragaman sifat penurunan kecepatan berlari kuda pacu Indonesia pada jarak 1200,1400 dan 1600 meter Sumber Keragaman Antar Individu Antar pengamatan dalam Individu Total
Derajat Bebas 9
JK
KT
0.0000279
0.0000031
KT yang diharapkan 2
10
0.0000044
0.0000004
0.0000004
19
0.0000323
=0.0000031- 0.0000004 2
=
0.00000135 0.00000135 + 0.0000004
=0.00000135
= 0.771428
SE (R) = = √2 (20-1) (1-0.771428)2[1+(2-1) 0.771428]2 (2)2 (20-10) (10-1) = 0.098838
R ± S.E = 0.771428 ± 0.098838
114
Lampiran 7d Analisis keragaman sifat penurunan kecepatan berlari kuda pacu Indonesia pada jarak 800, 1200,1400 dan 1600 meter Sumber Keragaman Antar Individu Antar pengamatan dalam Individu Total
Derajat JK Bebas 8 0.0000124 18
0.0000059
26
0.0000184
= 4.3333E-07
S.E (R) = = 0.12103982
R ± S.E = 0. 59090909 ± 0.12103982
KT 0.0000124
KT yang diharapkan 2
0.0000059
0.0000003
= 0.59090909
115
Lampiran 7e Rataan nilai perlambatan (detik) pada selisih jarak 800, 1000, 1200 dan 1400 meter No
Nomor Kuda
1 2 3 Rataan SD
800-1000 -0.00052 -0.00572 -0.00378
Jarak Tempuh 800-1200 -0.00081 -0.00341 -0.00397
Rataan 800-1400 -0.00029 -0.00166 -0.003025
-0.00054 -0.00360 -0.00359 -0.00258 0.00176
Lampiran 7f Analisis keragaman sifat penurunan kecepatan berlari kuda pacu Indonesia pada jarak 800, 1000, 1200 dan 1400 meter Sumber Keragaman Antar Individu Antar pengamatan dalam Individu Total
Derajat Bebas 2
0.0000186
0.0000186
KT yang diharapkan 2
6
0.0000089
0.0000089
0.0000015
8
0.0000275
=0.0000026
S.E (R) =
= 0.2120826
R ± S.E = 0.6341463± 0.2120826
JK
KT
= 0.6341463
116
Lampiran 8a Daftar pertanyaan karakteristik peternak kuda
Nama Bapak/Ibu/Saudara : ………………………….. Alamat Bapak/Ibu/Saudara: Desa:………….., Kecamatan: ………….. Berapa Usia Bapak/Ibu/Saudara? ……………Tahun Apakah Pendidikan formal terakhir Bapak/Ibu/Saudara? a. Tidak lulus SD b. Sekolah Dasar (SD) c. SMP d. SMA/SMK e. Perguruan Tinggi (Diploma dan Sarjana) 5. Apakah status perkawinan Bapak/Ibu/Saudara? a. Belum kawin b. Kawin c. Duda/Janda 6. Berapa jumlah tanggungan dalam keluarga Bapak/Ibu/Saudara? : a. Suami/istri : ……orang b. Anak :…….. orang c. Lainnya : ………orang 7. Apa pekerjaan pokok Bapak/Ibu/Saudara? a. Bertani/nelayan b. Beternak c. Berdagang d. PNS e. Lainnya………. 8. Apa pekerjaan pokok Bapak/Ibu/Saudara? a. Bertani/nelayan b. Beternak c. Berdagang d. PNS e. Lainnya…………. 9. Sudah berapa lama Bapak/Ibu/Saudara beternak/memelihara kuda? ………..tahun. 10. Selain kuda Bapak/Ibu/Saudara memelihara ternak apa? …….. 11. Alasan atau tujuan Bapak/Ibu/Saudara memelihara kuda? a. Hobi b. Menambah penghasilan c. Lainnya………….. 12. Berapa ekor ternak kuda yang Bapak/Ibu/Saudara miliki? ……… ekor. 13. Darimana sumber modal Bapak/Ibu/Saudara peroleh untuk pengadaan ternak? a. Modal sendiri b. Pinjaman dari Bank c. Bantuan pemerintah d. Kerjasama dengan UPTD e. Lainnya………….. 14. Apa jenis kuda yang Bapak/Ibu/Saudara miliki? a. Kuda Bendi b. Kuda Silangan c. Kuda Pacu d. Kuda hasil IB 1. 2. 3. 4.
117
Lampiran 8b Daftar pertanyaan faktor pemuliaan dan reproduksi
I. BIBIT, REPRODUKSI DAN PEMULIABIAKAN (SELEKSI DAN PERSILANGAN). 1. Berapa umur kuda bendi/pacu saat pertama dipelihara oleh Bapak/Ibu/Saudara? …….. bulan. 2. Dari mana asal bibit kuda bendi/pacu yang Bapak/Ibu/Saudara pelihara ? ………………. 3. Apakah kudabendi/pacu yang Bapak/Ibu/Saudara pelihara merupakan bibit kuda bendi/pacu yang baik ? : a. Bukan b. Ya. Alasan ? ……………………………. 4. Bagaimana cara bapak memilih bibit kuda bendi/pacu ? ………….. 5. Bagaimana cara Bapak/Ibu/Saudara mengawinkan ternak ? a. Kawin alam b. Memakai pejantan unggul c. Kawin suntik (inseminasi buatan) 6. Apakah Bapak/Ibu/Saudara melakukan pemeriksaan kebuntingan ternak ? a. Tidak pernah b. Kadang-kadang c. Rutin 7. Apakah Bapak/Ibu/Saudara membantu kelahiran ternak? a. Tidak pernah b. Membantu jika diperlukan c. Rutin 8. Apakah pernah terjadi kegagalan melahirkan? a. Tidak b. Ya : berapa kali ? ………… 9. Apakah anak kuda bendi/pacu yang lahir diberi identitas ? a. Tidak. Mengapa? ………………… b. Ya. Mengapa? ……………………. 10. Pada umur berapa ternak Bapak/Ibu/Saudara dikuda bendi/pacu? …….. bulan 11. Ada umur berapa ternak Bapak/Ibu/Saudara mencapai dewasa kelamin? ……. Bulan. 12. Apakah Bapak/Ibu/Saudara mengenali tanda-tanda ternak birahi? a. Tidak. b. Ya. 13. Pada umur berapa ternak Bapak/Ibu/Saudara dikawinkan? ……. Bulan. 14. Darimana asal pejantan yang dipakai untuk mengawini betina? a. Punya sendiri b. Dari kelompok ternak lain c. Tidak tahu 15. Apakah Bapak/Ibu/Saudara tahu umur ternak yang bapak miliki? a. Ya. Bagaimana? ….. b. Tidak 16. Apakah Bapak/Ibu/Saudara pernah ikut pelatihan/penyuluhan tentang tatacara pemilihan bibit yang baik atau tentang perkawinan dan kelahiran ternak? a. Tidak. b. Ya.
118
Lampiran 8c Daftar pertanyaan managemen pemeliharaan dan pakan II. PAKAN DAN PADANG PENGEMBALAAN 1. Berapa luas lahan yang Bapak/Ibu/Saudara miliki? ……… Ha 2. Pembagian lahan yang Bapak/Ibu/Saudara miliki : a. Lahan pekarang: ….. ha b. Sawah : …. Ha c. Ladang/kebun: …. Ha d. Lainnya : ……. ha 3. Dimana Bapak/Ibu/Saudara mengembalakan ternak kuda bendi/pacu potong? a. lahan sendiri (sawah / pekarangan / ladang) b. Lapangan umum c. Lainnya…………. 4. Sistem pemberian pakan? a. merumput sendiri di sawah/pekarangan/ ladang b. merumput sendiri di padang pengembalaan umum c. merumput di sawah/pekarangan/ ladang/ padang pengembalaan, diberi hijauan potongan. 5. Jenis pakan yang diberikan? a. Hanya rumput saja b. Rumput dan limbah pertanian b. Rumput, limbah pertanian, dan konsentrat 6. Apakah pernah memberikan pakan tambahan? a. Tidak pernah b. Garam saja c. Garam dan konsentrat 7. Apakah hijauan rumput tersedia sepanjang tahun? a. Ya. b. Tidak. Mengapa? ….. 8. Apakah Bapak/Ibu/Saudara mengetahui tentang teknologi pengawetan hijauan? a. Tidak. b. Ya. Teknologi apa?……….. darimana mengetahuinya ?..................... pernah menerapkannya? …….. 9. Pernahkah Bapak/Ibu/Saudara memberikan obat/antibiotic untuk merangsang pertumbuhan kuda bendi/pacu? a. Ya. Mengapa?.................. b. Tidak. III. SISTEM PEMELIHARAAN DAN PERKANDANGAN 1. Bagaimana sistem pemeliharaan ternak Bapak/Ibu/Saudara? c. Dilepas sepanjang hari b. Siang hari dilepas dan malam dikandangkan d. Siang dan malam dikandangkan 2. Apakah Bapak/Ibu/Saudara memiliki kandang ternak? a. Tidak ada kandang b. Ada kandang tidak permanen c.Kandang permanen 3. Modal untuk pembuatan kandang? a. Modal sendiri b. Bantuan pemerintah c. Lainnya
119
Lampiran 8d. Daftar pertanyaan kesehatan, pelatihan dan kelembagaan IV. KESEHATAN TERNAK 1. Apa Tidak Pernah Sakit? a. Ya b.Tidak 2. Penanganan Ternak Sakit? a. Ya b.Tidak 3. Apakah Dilakukan Vaksinasi? a. Ya b. Tidak 4. Apakah Dilakukan Pemberian Obat cacing? a. Ya b. Tidak 5. Apakah Dilakukan Pemberian Vitamin dan Antibiotik? a. Ya b. Tidak V. THT 1. Pernakah membuat biogas / kompos? a. Ya b. Tidak 2. Memperoleh Tentang Tata Cara Pembuatan Biogas/Kompos? a. Ya b. Tidak VI. PEMASARAN 1. Pernah Menjual Ternak? a. Tidak b. Ya. Berapa ekor? ……………….. 2. Ternak yang Bagaimana yang dijual? a. Bibit. b. Jantan dewasa c. Betina 3. Kemana Menjual Ternak Kudabendi/pacu? a. Dalam Wilayah b. Keluar Wilayah/ antar pulau VII. PENYULUHAN 1. Apakah Pernah Ada penyuluhan? a. Ya b.Tidak 2. Pernah Mengikuti Kegiatan Penyuluhan? a. Ya b.Tidak. VIII. KELEMBAGAAN 1. Apakah Bapak Mempunyai keikutsertaan dalam Kelompok Tani? a. Ya. b. Tidak. Mengapa? …………… 2. Posisi Bapak Dalam Kelompok Tani? a. Pengurus b.Anggota c.Lainnya 3. Keaktifan Dalam Kelompok Tani? a. Aktif b.Tidak begitu aktif c.Tidak aktif. 4. Apakah ada KUD yang mengelola ternak kuda bendi/pacu di daerah bapak? a. Ada b.Tidak ada. 5. Keikutsertaan Dalam keanggotaan KUD? a. Aktif b.Tidak aktif.