POSISI KASUS; HAMBATAN DAN PERMASALAHAN Kasus pelanggaran HAM Berat
LATAR BELAKANG Paksa reformasi 1998, nilai – nilai HAM dan kewajiban pemenuhan, penghormatan dan perlindungan HAM telah menjadi menjadi bagian konstitusi kita. UUD 1945 pasal 28I, sebagai payung konstitusi secara tegas memberikan jaminan perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM. Payung hukum ini lebih jauh diturunkan dalam UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, bahkan kita telah meratifikasi dua kovenan kembar Hak – Hak Sipil Politik (UU No 11 Tahun 2005 dan Hak – Hak Ekonomi Sosial Budaya (UU No 12 Tahun 2005) Namun dalam realitasnya, UU tersebut tidak berjalan efektif karena minimnya komitmen dari seluruh penyelenggara negara. UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No.26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM memandatkan penyelesain kasus-kasus pelanggaran HAM berat melalui Pengadilan HAM. namun hanya dua kasus yang diselesaikan melalui mekanisme pengadilan HAM HAM Ad hoc (Tanjung Priok 1984 dan Timor – Timur 1999) putusan dari pengadilan HAM juga masih belum memenuhi rasa keadilan korban karena pelaku dibebaskan, kebenaran tidak terungkap dan hak hak korban berupa kompensasi, restitusi dan rehabilitasi tidak dipenuhi. KomnaS HAM dalam kesimpulan laporan penyelidikan pro justisia-nya menyebutkan adanya dugaan pelanggaran HAM pada peristiwa kejahatan kemanusiaan di Timor Leste (1998), Tanjung Priok 1984 (1999), Talangsari 1989 (2008). Penculikan dan Penghilangan Paksa 1997/1998 (2005), Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II 1998/1999 (2002), dan Tragedi Mei (2003). Komnas HAM juga sedang melakukan penyelidikan pro justisia untuk tragedi 1965/1966. kasus – kasus ini terhambat penyidikannya di KeJaksaan Agung karena minimnya dukungan politik dari DPR RI dan Presiden.
PERMASALAHAN 1. Kejaksaan Agung menolak melakukan Penyidikan Dalam Pasal 21 UU 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM menyebutkan bahwa penyidikan perkara pelanggaran HAM berat dilakukan oleh Jaksa Agung. Sejak 2002 terjadi bolak balik berkas hasil penyelidikan Komnas HAM antara Kejaksaan Agung dan Komnas HAM. Jaksa Agung bersikeras menolak melakukan penyidikan dengan alasan yang berubahubah, dari mulai berkas yang belum lengkap sampai dengan belum terbentuknya pengadilan HAM ad hoc. Kondisi ini terus berlarut sepanjang sembilan tahun terahir (2002-2010). Alasan tersebut sulit untuk diterima mengingat dalam penyidikan kasus Tanjung Priok dan
Timor Timur, Jaksa Agung tidak mempersoalkan hal – hal tersebut. dan UU 26 tahun 2000 tidak menyebutkan penyidikan dilakukan setelah pembentukan pengadilan HAM ad hoc. Sementara itu, DPR RI juga tidak punya keberpihakan yang kuat terhadap penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Sepanjang periode 2004-2009, DPR RI hanya mengeluarkan rekomendasi untuk kasus penculikan dan penghilangan paksa, pada 28 September 2009. Situasi ini menunjukkan bahwa aturan hukum yang ada masih sarat interpretative dan rentan politisasi. Argumentasi hukum berbeda yang disampaikan oleh Jaksa Agung dan Komnas HAM, Presiden dan DPR semestinya tidak bisa menjadi alasan berlarut- larutnya penyelesaian kasus – kasus pelanggaran HAM berat. situasi ini menimbulkan ketidapastian hukum bagi korban dan keluarganya sekaligus menguatkan impunitas (kekebalan hukum) 2. Tidak tindak lanjut rekomendasi Pansus DPR RI untuk kasus Penculikan dan Penghilangan Paksa Aktivis 1997/1998 DPR Periode 2004-2009 merekomendasikan penyelesaian kasus penculikan aktivis dan penghilangan orang secara paksa, yaitu : 1. Merekomendasikan kepada presiden untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc 2. Merekomendasikan kepada presiden serta segenap institusi pemerintah serta pihak– pihak yang terkait untuk segera melakukan pencarian terhadap 13 orang yang oleh Komnas HAM masih dinyatakan hilang. 3. Merekomendasikan kepada pemerintah untuk merehabilitasi dan memberikan kompensasi terhadap keluarga korban yang hilang, 4. Merekomendasikan kepada pemerintah agar segera meratifikasi konvensi anti penghilangan paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktik penghilangan paksa di Indonesia. Adanya rekomendasi tersebut bukan berati kasus penculikan dan Penghilangan paksa Aktivis menjadi mudah diselesaikan secara hukum. Presiden masih belum menindaklanjuti rekomendasi tersebut, sebagaimana dijamin dalam Pasal 43 UU Pengadilan HAM. Hal ini jauh berbeda, dengan Pemerintah Abdurrahman Wahid, dalam merespon rekomendasi DPR untuk pembentukan pengadilan HAM ad hoc kasus Tanjung Priok dan Timor-Timur. Tidak lebih dari 24 hari, Presiden Abdurrahman wahid mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 96 Tahun 2001 Tentang perubahan Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 2001 Tentang Pembentukan pengadilan HAM Adhoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pencarian 13 Korban yang Masih Hilang Yang juga harus menjadi perhatian khusus dari rekomendasi Pansus adalah, “pencarian 13 korban yang masih dinyatakan hilang”. Mengetahui keberadaan Korban adalah harapan tertinggi yang saat ini dinginkan keluarga korban, atas rekomendasi DPR. Penantian dan pencarian keluarga korban selama ini, telah memberi dampak psikologis yang melelahkan dan berkelanjutan. Rekomendasi ini seharusnya menjadi awal yang positif bagi pemerintah dalam upaya penyelesain kasus pelanggaran HAM berat. Namun respon pemerintah, dalam hal ini
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) amat lambat, karena empat bulan (September 2009-Januari 2010) belum ada satupun langkah taktis dan operasional yang diambil lembaga Kepresidenan terhadap rekomendasi tersebut.
3. Tidak terpenuhinya pemulihan dan pengembalian Hak-hak Korban a. Pemulihan Korban Tanjung Priok 1984 Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) ad hoc untuk kasus Tanjung Priok telah digelar pada 2003-2004, namun putusan pengadilan pada akhirnya membebaskan pelaku. Pada putusan tingkat pertama dalam berkas perkara terdakwa R.A. Butar Butar, Majelis Hakim tidak menyebutkan tentang kompensasi bagi korban, dengan alasan untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat. Sedangkan dalam berkas terdakwa Sutrisno Mascung dan kawan-kawan (dkk), disebutkan 13 korban Tanjung Priok mendapatkan kompensasi sejumlah Rp. 1.015.500.000,00 (satu milyar lima belas juta lima ratus ribu rupiah) yang harus diberikan oleh negara sesuai dengan mekanisme dan tata cara pelaksanaan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.3 Tahun 2002. Upaya untuk mendapatkan hak-hak diatas juga tertutup oleh putusan Majelis Hakim yang menolak permohonan Penetapan Permohonan Eksekusi Kompensasi yang diajukan oleh korban berdasarkan putusan pengadilan dengan alasan semua terdakwa dibebaskan dari jeratan hukum. Sementara itu, hak korban atas pemulihan telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang menyebutkan bahwa korban pelanggaran HAM berhak mendapatkan Kompensasi. Namun UU ini masih lemah karena tidak bersifat operasional dan digantungkan kepada terbukti tidaknya pelaku pelanggaran HAM. b. Pemulihan Korban akibat Tragedi 1965/1966 Hingga saat ini, salah satu persolan besar bagi korban dan keluarg korban peristiwa 1965/1966 adalah diskrimasi hukum untuk mandapatkan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Upaya memperoleh hak-hak tersebut, sebelumnya pernah dilakukan melalui pengajuan gugatan Class action oleh lembaga masyarakat pada bulan Oktober 2005. Namun perkara ini ditolak oleh Majelis Hakim dan menilai Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang memeriksa perkara nomor 75/Pdt.G/2005/PN JKT PST tersebut. Mahkamah Agung Republik Indonesia, melalui Surat No. :KMA/403/VI/2003, tanggal 12 Juni 2003 dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada tanggal 25 Juli 2003 melalui surat Nomor: KS.02/3947/DPR-RI/2003 telah menyarankan kepada Presiden RI untuk menggunakan hak prerogatifnya untuk memberikan merehabilitasi mereka yang menjadi korban dengan tuduhan/cap/stigma PKI. Mahkamah Agung menyarankan kepada Presiden agar mengambil langkah-langkah penyelesaian tuntutan rehabilitasi dengan mengembalikan harkat dan martabatnya sebagai warga negara sebagaimana telah diamanatkan dalam pasal 14 ayat (1) UUD 1945 amandemen keempat. Namun tuntutan tersebut sampai saat ini masih belum direalisasikan oleh Presiden Di sisi lain, korban menghadapi tindakan diskriminatif yang dilegalisasi melalui aturan-aturan hukum formal. Akibatnya para korban mengalami hambatan untuk hidup layak dan
pendaptakan hak atas pensiun sebagaimana warga negara lainnya. walaupun telah dikelurkan Keppres No. 38/2000 tentang pembubaran BAKORTRANAS, namun sejumlah Departemen masih beralasan bahwa harus ada pencabutan penggolongan dari organisasasi yang telah dibubarkan tersebut. Keputusan ini sangat diskriminatif karena sebagai warga negara para korban memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum. Bahkan mereka dipenjara tanpa ada proses hukum yang membuktikan bahwa mereka terlibat dalam peristiwa tersebut. Sementara itu, Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia telah menegaskan kepada Pemerintah untuk segera merevisi dan menghilangkan berbagai peraturan perundangundangan yang selama ini memposisikan para korban stigma G30S/PKI dalam posisi yang didiskriminasikan baik dalam kehidupan sosial, ekonomi maupun politik. Penegasan tersebut disampaikan oleh Mahkamah Konstitusi pada tanggal 24 Pebruari 2004 pada keputusan Nomor 006/PUU-IV/2006 untuk menerima dan mengabulkan seluruh permohonan Judicial Review Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang PEMILU.
RESPON JAKSA AGUNG TENTANG PENYIDIKAN 1. Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II Komnas HAM dengan surat Nomor : 1.384/TUA/IV/2002 tanggal 29 April 2002 telah menyerahkan laporan akhir KPP HAM Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II (TSS I dan II) kepada kami, mengenai peristiwa TSS tersebut, kami telah beberapa kami mengembalikan berkas hasil penyelidikan yang dimaksud kepada Komnas HAM, terakhir dengan surat kami Nomor: R012/A/F.6/03/2008 tanggal 28 Maret 2008, dengan petunjuk bahwa berkas hasil penyelidikan dimaksud tidak dapat ditingkatkan ketahap pemyidikan, karena Komandan dan aparat pelaksana dilapanga telah disidangkan di Pengadilan Militer dan perkaranya telah inkrach serta menjalani sannksi pidana dan pemecatan, sedangkan pertanggung jawaban komandan diatasnya (Command Responsibility) terhadap delik pembiaran (Ommissi Delict) tidak dapat dikenakan, karena telah dilaksanakan penghukuman terhadap bawahannya yang melakukan pelanggaran tersebut. Terhadap petunjuk kami Komnas HAM tetap menyerahka kembali berkas hasil penyelidikan peristiwa TSS, terakhir dengan surat Nomor: 137/TUA/IV/2008 tangal 28 April 2008. 2. Peristiwa Mei 1998 Komnas HAM dengan surat Nomor: 197/TUA/IX/2003 tanggal 19 September 2003 telah menyerahkan Laporan hasil Tim Ad Hoc Penyelidikan Kerusuhan Mei 1998 mengenai Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, kami telah beberapa kali megembalikan berkas hasil penyelidikan dimaksud kepada Komnas HAM, terakir dengan surat kami Nomor: R-013/A/F.6/03/2008 tanggal 28 Maret 2008 dengan petunjuk menunggu terbentuknya Pengadilan HAM Ad Hoc. Terhadap petunjuk kami dimaksud, Komnas HAM tetap menyerahkan kembali berkas hasil penyelidikan peristiwa Kerusuhan Mei 1998 teakhir dengan surat Nomor: 138/TUA/IV/2008 tanggal 28 April 2008. 3. Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa Komnas HAM denga surat Nomor: 407/TUA/XI/2006 tanggal 21 November 2006 telah menyerahkan berkas hasil Penyelidikan Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa (PPOSP). Mengenai PPOSP tersebut kami telah beberapa kali mengembalikan berkas hasil penyelidikan dimaksud kepada Komnas HAM, terakhir dengan surat Nomor: R-014/A/F.6/03/2008 tanggal 28 Maret 2008. dengan petunjuk menunggu terbentuknya Pengadilan HAM Ad Hoc. Bahwa
petunjuk kami terhadap peristiwa PPOSP tersebut Komnas HAM tetap menyerahkan kembali berkas penyelidikan peristiwa PPOSP terakhir dengan suratnya Nomor: 139/TUA/IV/2008 tanggal 28 April 2008. 4. Peristiwa Talangsari Lampung Komnas HAM dengan surat Nomor: 435/TUA/IX/2008 tanggal 23 Oktober 2008 telah menyerahkan hasil Penyelidikan Peristiwa Talangsari, dan saat ini masih diteliti oleh Tim Peneliti Direktorat Penanganan Pelanggaran HAM yang berat, kelengkapan persyaratan formil dan materilnya. 5. Peristiwa Wasior-Wamena Komnas HAM dengan suratnya Nomor : 290/TUA/IX/2004 tanggal 3 September 2004, telah menyerahkan berkas hasil penyelidikan Peristiwa Wamena-Wasior. Terhadap Peristiwa WamenaWasior (non-retroaktif) dengan surat kami terakhir Nomor: R-015/A/F.6/03/2008 tanggal 28 Maret 2008 telah mengembalikan berkas hasil penyelidikan disertai petunjuk untuk dilengkapi sesuai pasal 20 (3) UU No 26/2000, yang berbunyi “Dalam hal penyidik berpendapat bahwa hasil penyelidik masih kurang lengkap, penyidik segera mengembalikan hasil penyelidikan tersebut kepada penyelidik disertai petunjuk untuk dilengkapi dan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejalk tanggal diterimanya hasil penyelidikan penyelidik wajib melengkapi kekurangannya.” Komnas HAM terakhir dengan surat No: 422/TUA/IX/2008 tanggal 15 September 2008 telah mengirim kembali hasil penyelidikan peristiwa Wamena-Wasior tanpa dilengkapi petunjuk yang diberikan oleh Komnas HAM menyatakan bahwa pengembalian berkas hasil penyelidikan dengan petunjuknya sama sekali tidak berdasar.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)