e-ISSN : 2528 - 2069
POLITIK SELEBRITAS DI INDONESIA: STUDI KOMPARASI PEMILU LEGISLATIF TAHUN 1999, 2004 dan 2009 Maulana Rifai Pengajar di Fisip Universitas Singaperbangsa Karawang Program Studi Ilmu Pemerintahan Email:
[email protected]
Abstrak Paska jatuhnya rezim Suharto tahun 1998, telah mengubah karakteristik dalam sistem pemilu dimana membawa tren baru dalam politik Indonesia dimana salah satu fiturnya adalah meningkatnya angka selebritis maju sebagai pejabat publik. Dimulai tahun 1999 dengan 2 kandidat selebritis, kemudian bertambah menjadi 24 kandidat di tahun 2004, lalu membludak di tahun 2009 dengan total 61 kandidat yang mencaleg-an diri. Pada pemilu-pemilu tersebut, tiga sistem berbeda digunakan yang mempengaruhi perilaku aktor politik, elit partai, dan kandidat untuk berkompetisi dalam pemilu. Tidak seperti pemilu pada masa Orde Baru, selebritis sering digunakan sebagai alat kampanye untuk meraih simpati konstituen daripada menjadi kandidat. Penelitian ini menganalisis persepsi pemilih terhadap caleg artis yang berkontestasi dalam pemilu 1999, 2004, dan 2009 dengan menganalisis sikap pemilih terhadap afiliasi partai dari kandidat selebriti, kepribadian,dan juga gaya kepemimpinan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang berbasiskan pada analisis deskriptif analitis. Hasilnya ditemukan bahwa caleg selebriti gagal dalam meraih simpati publik sebagaimana hasil pemilu 2009 menunjukan lebih dari 2/3 dari mereka kalah oleh politisi konvensional. Hal ini mengkonfirmasi bahwa popularitas tidak berbanding lurus dengan elektabilitas, namun faktor kompetensi dalam bidang politik yang berperan penting. Pemilih lebih mengacu pada profesionalisme daripada populisme murahan dalam membuat pilihannya Kata kunci: Politik selebritas, pemilu legislatif, persepsi pemilih
A. PENDAHULUAN Perubahan struktur politik di Indonesia setelah jatuhnya rezim Soeharto dianggap sebagai angin segar bagi tumbuhnya demokrasi di negeri ini. Lahirnya partai-partai baru dan perubahan sistem pemilu membawa dinamika baru perpolitikan nasional. Menarik untuk dicatat, bahwa sejak tahun 2005, setahun setelah ditetapkan di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten, Indonesia telah melakukan pemilihan langsung pertama untuk memilih gubernur, walikota, dan bupati.1 Sebelum pemilu legislatif 2009 beberapa selebriti muncul sebagai kandidat untuk bersaing dalam kontes pemilu seperti; Dede Yusuf (wakil gubernur Jawa Barat), Rano Karno (wakil Bupati Tangerang, Banten), Saiful Jamil (wakil Bupati Serang, Banten), Primus Yustisio (Bupati Subang, Jawa Barat), yang kemudian gagal karena kurangnya Anies R. Baswedan, “Indonesian Politics in 2007: The Presidency, Local Elections and the Future of Democracy”, Bulletin of Indonesian Economic Studies, vol. 43, no. 2 (2007): 333. 1
JURNAL POLITIKOM INDONESIANA VOL. 1 NO. 2, DESEMBER 2016
1
e-ISSN : 2528 - 2069 dukungan pada tahap pencalonan, Marissa Haque (wakil gubernur Banten), Gusti Randa (walikota Padang, Sumatera Barat), Dicky Candra (wakil Bupati Garut, Jawa Barat) dan Ayu Soraya (walikota Tegal, Jawa Tengah). Pemilihan ini dianggap telah memicu selebriti lainnya untuk mengikuti rekan-rekan mereka untuk bersaing dalam pemilu legislatif. Selama era Orde Baru, hanya sedikit selebriti yang mengajukan pencalonan, seperti; Edy Sud dari Golkar dan Rhoma Irama dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Demikian juga, dalam Pemilu 1999 hanya dua politisi artis yang melibatkan diri, yaitu Sophan Sophian dan Dedi Sutomo, keduanya berasal dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Sebaliknya, dalam Pemilu 2004, sebanyak 24 selebriti berkompetisi untuk kursi legislatif yang mewakili 14 partai politik. Namun, hanya 6 dari mereka berhasil memenangkan pemilu. Mereka adalah; Marissa Haque dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Guruh Soekarno Putra dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Chandra Pratomo Samiadji Massaid dan Angelina Sondakh dari Partai Demokrat (PD), Dede Yusuf Partai Amanat Nasional (PAN), dan Nurul Qomar dari Partai Demokrat (PD). Kehadiran selebriti dalam pemilu legislatif 2009 telah jelas meningkat secara signifikan dibanding pemilu sebelumnya di tahun 1999 dan 2004. Hampir 61 calon selebriti berpartisipasi dalam bersaing untuk jabatan publik. Meningkatnya keterlibatan selebritis dalam pemilu 2009 dipicu oleh bergantinya format pemilu ke sistem proporsional terbuka, setelah para politisi melakukan judicial review di Mahkamah Konstitusi pada Desember 2008. Sistem ini telah diubah dua kali sebelum pemilu berlangsung pada 9 April 2009. Ini berarti bahwa siapa pun yang menerima suara terbanyak dalam daftar partai, tanpa memandang posisinya dalam daftar, akan berhak duduk dan menuju Senayan. Hal ini tentu mengubah sifat kompetisi elektoral, para kandidat tidak hanya akan bersaing satu sama lain, tetapi calon dari partai yang sama juga bersaing keras satu sama lain untuk mendapatkan suara terbanyak. Kompetisi inter-dan intra-partai telah memanas dalam periode sebelum pemilu. Pergeseran aturan pemilu diyakini menjadi indikator kuat yang telah menarik selebriti untuk menjadi kandidat pada pemilihan legislatif. Fenomena ini layak mendapat perhatian serius untuk menjelaskan dampaknya terhadap perilaku memilih masyarakat. Meskipun tren ini telah menciptakan kontroversi, kebanyakan orang Indonesia sangat hati-hati, dalam memberikan suara
JURNAL POLITIKOM INDONESIANA VOL. 1 NO. 2, DESEMBER 2016
2
e-ISSN : 2528 - 2069 mereka selama pemilihan. Banyak menganggap bahwa keberadaan selebriti dalam politik bertujuan untuk meraih suara yang banyak (vote-getter), meskipun fakta menjelaskan bahwa kualitas mereka masih minim dalam ranah politik praktis. Sebaliknya, bagaimanapun juga, ada beberapa selebriti yang memang berperan aktif dalam kegiatan sosial atau memiliki latar belakang aktivis sebelum terjun ke dunia politik, sehingga mampu membuktikan kemampuan masing-masing. Dalam politik demokratis, tren selebriti terlibat dalam pemilu menjadi semakin umum di banyak negara di dunia. Liberalisasi politik paska reformasi di Indonesia telah menghasilkan kecenderungan di mana orang-orang dari beragam profesi semakin mengambil bagian dalam suatu pemilihan umum. Salah satu fitur mencolok dari kecenderungan ini adalah bahwa peningkatan jumlah selebritis dari industri hiburan memasuki kompetisi politik. Disatu sisi banyak pihak yang menentang, mengingat fakta bahwa selebriti kurang memiliki pengalaman politik, sementara disisi yang lain masyarakat bersedia memberikan politisi selebritis kesempatan untuk membuktikan diri. Oleh karena itu, studi tentang fenomena ini penting untuk menganalisa dan mengkaji perilaku pemilih terhadap selebritis yang terjun dalam politik praktis. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sikap pemilih terhadap keterlibatan selebriti dalam pemilu legislatif di Indonesia tahun 1999, 2004 dan 2009. Selebriti dalam penelitian ini merujuk pada individu yang terlibat dalam industri hiburan dan memiliki popularitas dalam profesi mereka. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan berikut: Bagaimana persepsi pemilih tentang keterlibatan para selebriti dalam politik di Indonesia.
B. TEORI DAN KERANGKA ANALISIS Sikap pemilih terhadap kandidat telah banyak dipelajari oleh banyak orang, tetapi tidak ada model yang menganalisis sikap pemilih terhadap selebriti. Namun, berbagai kerangka kerja analitis yang ada dapat dipertimbangkan untuk menganalisis sikap pemilih untuk kandidat selebriti. Charles Prisby telah menganalisis data survei pada
pemilihan
presiden
Amerika
menggunakan
faktor
kepribadian
yang
mempengaruhi pemilih di pemilihan presiden.2 Kesepakatan umum tentang kualitas Charles Prisby, “Perceptions of Candidate Character Traits and the Presidential Vote in 2004”, Journal of Political Science and Politics, vol. 41, 1 (2008): 115. 2
JURNAL POLITIKOM INDONESIANA VOL. 1 NO. 2, DESEMBER 2016
3
e-ISSN : 2528 - 2069 pribadi yang mempengaruhi persepsi pemilih telah muncul sebagai faktor penentu pada saat pemilu. Para 1952 dan 1956 pemilihan presiden Amerika menemukan bahwa komentar positif dan negatif pada sifat-sifat pribadi dari calon presiden antara Dwight D. Eisenhower dan Adlai Stevenson, memainkan peran penting.3 Sejumlah penelitian telah menganalisis persepsi kualitas pribadi yang mempengaruhi pemilih di pemilihan presiden Amerika seperti Bartels (2002), Doherty dan Gimple (1997), Funk (1999), Gant (1983), Goren (2002), Hayes (2005), Keeter (1987), Kenney dan Rice (1988), Kinder (1986), Marcus (1982), dan Sullivan et al. (1990). Studi-studi telah menggunakan data dari tahun yang berbeda, telah mempekerjakan ukuran yang berbeda penilaian sifat, dan telah mengandalkan metode analisa. Namun kesimpulan umum tetap sama. Penelitian lain dari perilaku pemilih telah sama dilihat persepsi sifat-sifat pribadi kandidat sama pentingnya.4 Pengaruh jangka pendek sangat banyak dibentuk oleh
adanya
identifikasi
partai,
ideologi
dan
disposisi
kebijakan
umum.
Dalam studi, identifikasi partai diidentifikasi sebagai bentuk perasaan orang secara pribadi terhadap pihak yang dipilih. Warga negara dalam demokrasi berafiliasi dengan banyak kelompok dan asosiasi. Mereka mungkin memiliki afiliasi partai, keanggotaan kelompok kepentingan, afiliasi keagamaan, keanggotaan pekerjaan atau profesi, dan asosiasi lain, serta ikatan keluarga. Namun, identifikasi partai tidak lagi sebagai factor penting dalam mempengaruhi pemilih sebagaimana sebelumnya dan orang cenderung untuk berafiliasi sendiri dengan lingkaran yang lain.5 Sementara itu, ideologi dan disposisi kebijakan sering dianggap oleh pemilih sebagai kinerja ekonomi dan kesejahteraan sosial. Akibatnya, pemilih menilai kandidat oleh hasil upaya mereka, biasanya memberi penghargaan kepada mereka untuk kesejahteraan ekonomi dan menghukum ketika waktu sulit. Namun, reputasi untuk kompetensi dan kredibilitas sangat penting, karena tanpa mereka, sulit untuk meyakinkan orang bahwa partai berhak suara. Liddle dan Mujani dalam studi mereka pada pemilu tahun 1999 dan pemilu 2004 yang difokuskan pada sikap pemilih yang bergantung pada pendekatan psikologis menemukan bahwa kepemimpinan dan identifikasi partai telah secara 3
Angus Campbell, et al., The American Voters, (New York: John Wiley, 1960), 98. Warren. E. Miller and J. Merrill Shanks, The New American Voter, (Cambridge: Harvard University Press, 1996), 42. 5 Helena Catt, 10. 4
JURNAL POLITIKOM INDONESIANA VOL. 1 NO. 2, DESEMBER 2016
4
e-ISSN : 2528 - 2069 independen mempengaruhi pemilih terhadap partai politik dan bukan agama, etnis, dan kelas sosial.6 Oleh karena itu, kepemimpinan adalah faktor penentu yang mempengaruhi pemilih Indonesia.
Faktor Persepsi Hubungan persepsi dan perilaku berkaitan erat dengan para pemilih. Persepsi adalah kepercayaan atau kemampuan untuk memahami perilaku manusia, bagaimana memahami apa yang dipikirkan orang, menafsirkan lingkungan mereka, dan mencapai keputusan. Sementara itu, perilaku mengacu pada gambaran pribadi dan identitas yang begitu penting bagi seseorang. Dengan demikian jelas bahwa bagaimana individu dan kelompok berperilaku atau menganggap orang lain dan cara mereka melihat diri mereka sama-sama terkait.7 Oleh karena itu, berdasarkan pembahasan di atas, faktor-faktor berikut yang mempengaruhi persepsi pemilih calon selebriti dalam politik Indonesia yang disesuaikan: (1) afiliasi partai dari selebriti (2) kepribadian dari selebriti dan (3) gaya kepemimpinan. Afiliasi partai dari selebriti mengacu pada hubungan psikologis keterikatan pribadi seseorang terhadap satu partai yang dipilih tanpa pengakuan hukum atau bukti formal. Afiliasi partai didasarkan pada preferensi emosional dalam hubungan dengan orang lain seperti keluarga, angka, atau pihak tertentu. Hal ini dikonfirmasikan melalui beberapa indikator seperti tingkat partisipasi dan pengakuan pesta. Kepribadian selebriti mengacu pada pengetahuan pemilih tentang latar belakang, kepribadian, dan citra kandidat yang menarik para pemilih sesuai dengan efektivitas, integritas, kompetensi, dan empati.8 Kepribadian dikonseptualisasikan sebagai pola individu yang mengintegrasikan proses-proses persepsi, memori, penilaian, emosional dan regulasi.9 Dan akhirnya, gaya kepemimpinan mengacu pada
6
Liddle and Mujani, 851. Robert Jervis, “Signaling and Perception: Drawing Inferences and Projecting Images” in Political Psychology, edited by Kristen Renwick (Mahwah, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, 2002), 294. 8 Mark H. Davis, Empathy: A Social Psychological Approach, (Amazon: Brown & Bencmark, 1994), 78. 9 David G. Winter, “Personality and Political Behaviour” in Oxford Handbook and Political Psychology, edited by D.O. Sears, L. Huddy, and R. Jervis (Oxford: Oxford University Press, 2003) pp.110-145. 7
JURNAL POLITIKOM INDONESIANA VOL. 1 NO. 2, DESEMBER 2016
5
e-ISSN : 2528 - 2069 kemampuan kandidat untuk mempengaruhi orang, memotivasi mereka, untuk melayani tujuan yang sama, dan memenuhi fungsi yang dibutuhkan untuk aksi kelompok yang sukses. Isu-isu ini mendorong pemilih untuk berperilaku dengan cara tertentu. Dengan demikian, kerangka analisis berikut disesuaikan untuk penelitian ini.
Tabel 1.1: Kerangka Analisis
Afiliasi Partai Politisi Artis
Kepribadian Politisi Artis
Gaya Kepemimpinan
Persepsi Pemilih
Memilih Politisi Artis
Sumber: Diolah oleh penulis
Saat ini, tren yang lebih luas dalam perilaku pemilih menjadi lebih terpusat pada kandidat dibanding mengidentifikasi partai atau memilih bagi partai tradisional.10 Di era digital seperti sekarang dimana media baik cetak, televisi, maupun internet pemilih tahu lebih banyak tentang kandidat, pertimbangan kompetensi, integritas secara visual bisa dirasakan lebih dari sebelumnya. Dalam program debat yang sering disiarkan di televisi, pemilih dapat dengan mudah menilai kualitas ini, serta gaya kepemimpinan, dan kepribadian dari para kandidat. Dalam kerangka ini, afiliasi partai dianalisis dengan melihat pendapat pemilih pada faktor-faktor seperti: munculnya politisi selebriti; pendekatan pragmatis untuk meningkatkan citra partai dan akseptabilitas di kalangan masyarakat; partai kandidat selebriti yang mempengaruhi pemilih; munculnya politik selebriti sebagai pilihan alternatif bagi pemilih; dan afiliasi calon selebriti dianggap sebagai lumbung suara. Kepribadian selebriti dianalisis dengan melihat pendapat pemilih pada faktor-faktor 10
Duncan Watts, Understanding US/UK Government and Politics, (UK: Manchester University Press, 2003), 289.
JURNAL POLITIKOM INDONESIANA VOL. 1 NO. 2, DESEMBER 2016
6
e-ISSN : 2528 - 2069 seperti: kompetensi politisi selebriti menjadi lebih penting daripada popularitas mereka; kandidat selebriti memiliki kemampuan untuk memimpin dan membuat keputusan eksplisit; integritas selebriti lebih dipercaya daripada politisi; empati calon selebriti mempengaruhi pemilih; dan hubungan erat dengan calon mempengaruhi pemilih. Dan terakhir, gaya kepemimpinan dianalisis dengan melihat pendapat pemilih tentang faktor-faktor seperti: visi dan misi dapat dipercaya atau tidak, kemampuan dari gaya kepemimpinan kandidat selebriti untuk mengubah negara; karisma selebriti menciptakan simpati pemilih; calon selebriti tidak berbeda dengan politisi lain, dan apakah selebriti lakukan atau tidak menciptakan dampak politik.
C. PEMBAHASAN Persepsi Pemilih Terhadap Keterlibatan Selebriti: Sebuah Analisis Persepsi pemilih terhadap partisipasi selebriti dalam politik Indonesia dianalisis dengan tiga indikator berikut; afiliasi partai dari selebriti, kepribadian dari selebriti dan gaya kepemimpinan. Beberapa informan merasa bahwa partai-partai politik merekrut calon selebriti secara instan meskipun kapasitas dan pengalaman politiknya kurang. Akibatnya, kader-kader partai yang memang menapaki karir politik dari bawah tidak menjadi pilihan untuk mewakili partai di parlemen. Adalah fakta bahwa selebriti secara ekonomi dan popularitas telah mapan dimana partai akan dengan mudah merekrut mereka. Partai Amanat Nasional (PAN), misalnya, yang merupakan partai yang paling antusias dalam mendaftarkan kandidat dari kalangan selebriti, sehingga menerima sindiran dari publik sebagai Partai Artis Nasional, sebagai respon terhadap perekrutan selebriti yang sangat besar ke dalam partai. Meskipun partai mengklaim bahwa calon yang direkrut itu selektif, akan tetapi tetap tidak merubah citra yang telah menempel. Hal ini menciptakan persepsi bahwa selebriti tidak jauh berbeda dengan para politisi lain, memang publik mengkritik partai dan calon yang bersaing dalam pemilu.11 Bagi mereka, calon selebriti memerlukan kompetensi sebelum terjun secara langsung dalam politik praktis. 11
Reporters of the print media interviewed by the researcher on 16 April 2009. This interview was held at the Centre of National Tabulation (Pusat Tabulasi Nasional), the centre of counting process organized by the General Elections Commission (KPU) after the legislative elections in Borobudur Hotel, Jakarta.
JURNAL POLITIKOM INDONESIANA VOL. 1 NO. 2, DESEMBER 2016
7
e-ISSN : 2528 - 2069 Sebaliknya, informan lain mendukung selebriti yang terlibat dalam masalah politik. Sinisme publik terhadap politisi korup menyediakan ruang alternatif dalam kompetisi pemilu. Keberadaan mereka dalam era kebebasan dalam pemilihan umum yang demokratis dimana profesi apa pun bisa berpartisipasi sebagai calon dalam kompetisi politik sangat diapresiasi. Bahkan, melarang kandidat selebriti untuk terlibat dalam kontes itu akan melanggar aturan.12 Ruang kosong ini yang diisi oleh politisi selebriti dimana telah membawa angin segar dalam demokrasi terbuka di mana orang-orang dari profesi apapun dapat terlibat dalam ranah politik. Namun, para kandidat harus mencatat bahwa kemampuan seperti pengalaman politik dan kompetensi lebih penting daripada popularitas. Mengingat fakta bahwa selebriti sering menjalani kehidupan glamor, di bawah sorotan dan liputan media serta mudah dikenal oleh masyarakat luas bukan alasan utama mengapa pemilih memutuskan untuk memilih mereka. Seperti yang telah disampaikan pada bab sebelumnya, perubahan aturan pemilu telah menguntungkan calon selebriti. Media dan ketenaran memainkan peran penting dalam pemilihan di era global. Selain itu, pemilihan secara langsung dalam sistem daftar terbuka memicu naiknya angka keterlibatan selebriti dalam politik Indonesia secara signifikan, dan tren ini telah meningkat pada masa pemilu pascaSoeharto tahun 1999, 2004 dan 2009. Namun, beberapa pemilih memiliki pandangan beragam tentang masalah ini. Beberapa responden jelas menolak keterlibatan selebriti. Mereka berpendapat bahwa kinerja legislator dari kalangan selebriti yang sebelumnya terpilih untuk periode 20042009 tidak berdampak di parlemen. Kehadiran mereka dianggap sebagai mewarnai lembaga tanpa ada perundangan penting yang dibuat oleh mereka. Akibatnya, peran selebriti sebagai anggota parlemen telah menurun dibandingkan dengan periode 19992004 periode. Mereka berpendapat, jika politisi "nyata" cenderung tidak dapat mengajukan legislasi, bagaimana para selebriti mampu memenuhi tugas yang memiliki pengalaman politik yang kurang.13 Beberapa partai politik cukup kritis juga dengan tren yang sedang berkembang ini. Partai Demokrat (PD) bahkan mengecam partai-partai yang merekrut selebriti tanpa proses seleksi yang ketat. Ini menunjukan pandangan bahwa calon yang 12
The students of Gunadarma University, Jakarta were interviewed by the researcher on 20 April 2009. The civil servant (ret.) interviewed by the researcher on 16 April 2009. This interview was held at the Centre of National Tabulation (Pusat Tabulasi Nasional) in Borobudur Hotel, Jakarta. 13
JURNAL POLITIKOM INDONESIANA VOL. 1 NO. 2, DESEMBER 2016
8
e-ISSN : 2528 - 2069 inkompeten dan partai yang bertujuan hanya meningkatkan suara mereka saja akan menghancurkan citra partai serta kandidat tertentu. Oleh karena itu, disarankan bahwa mereka
selebriti
harus
terlibat
dalam
partai-partai
sebagai
kader
untuk
mengembangkan dan melatih kemampuan politik mereka, karena harus diakui bahwa untuk menjadi anggota legislatif seseorang membutuhkan proses yang panjang dan jam terbang. Pada fase ini, kematangan kandidat selebriti dalam politik formal dapat dipertimbangkan.14 Sikap serupa diambil oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sejak pemilu 1999, partai secara konsisten hanya menominasikan kader internal daripada calon selebriti. Untuk itu, kader adalah kandidat yang dipilih untuk menyuarakan pandangan umat melalui seleksi ketat. Menurut partai ini, calon selebriti adalah bagian dari tren terbaru di mana popularitas mereka digunakan sebagai alat politik untuk mencapai kepentingan partai. Sang kandidat dan partai saling diuntungkan, di satu sisi partai dapat meningkatkan suara, dan di sisi lain, kandidat dapat terpilih dan menduduki kursi parlemen.15 Dari uraian di atas, jelas bahwa persepsi pemilih tentang pencalonan selebriti terbagi dalam tiga kategori. Pertama adalah pengalaman politik dari para calon selebriti, kedua adalah kompetensi politik mereka, dan yang ketiga adalah popularitas selebriti. Penekanan dari ketiga jenis persepsi pemilih tidak mengejutkan karena kewajiban mereka jika mereka terpilih sebagai legislator. Sebagai anggota parlemen, seseorang mewakili rakyat dalam merealisasikan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Oleh karena itu, masa depan Indonesia sangat bergantung pada lembaga ini. Di Jakarta, masyarakat cenderung lebih sadar tentang isu politik selebriti. Pemilih mendapat akses informasi lebih baik dibandingkan daerah lain di negeri ini, dimana upaya lebih lanjut diperlukan untuk meningkatkan kesadaran dari pemilih. Oleh karena itu, dalam pemilu 2009 partai-partai merekrut calon selebriti sebanyak 61 yang berlaga untuk memperoleh suara terbanyak. Dari 5 calon dalam pemilihan distrik Jakarta (Daerah Pemilihan/Dapil) hanya satu kandidat berhasil, Poppy Asokawati dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
14 15
A member of Democratic Party (PD) interviewed by the researcher on 17 May 2009. A member of PKS interviewed by the researcher on 21 May 2009.
JURNAL POLITIKOM INDONESIANA VOL. 1 NO. 2, DESEMBER 2016
9
e-ISSN : 2528 - 2069 Sisanya gagal menarik simpati pemilih untuk memilih mereka seperti Mandra di distrik I, Henidar Amru dan Raslina Rasyidin di distrik III. Tiga pertama berasal dari Partai Amanat Nasional (PAN), dan calon terakhir yang diperebutkan adalah Rico Tampatty dari Partai Patriotik (PP) di dapil III. Sedangkan 56 kandidat lainnya tersebar di pulau-pulau seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan dan bagian lain. Tabel (1) menyajikan data tentang selebriti bersaing dan pihak-pihak yang mereka wakili dalam pemilu legislatif 2009. Tabel (1) Daftar Kandidat Selebritis dalam Pemilu Legislatif 2009 No.
Partai Politik
Jumlah Kandidat Selebritis
Kandidat yang Terpilih
1.
Partai Amanat Nasional (PAN)
16
2
2.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P)
5
3
8
7
3
3
5
-
6
2
5
1
13
-
61
18
Partai Demokrat (PD) 3. 4. 5.
6. 7.
8.
Partai Golongan Karya (Golkar) Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Lain-lain
Total Sumber: Diolah oleh penulis
Partai Amanat Nasional (PAN) adalah partai terbesar yang merekrut selebriti dengan 16 calon, namun hanya 2 kandidat menang yakni, Eko Patrio dan Primus Yustisio. Dalam hal keberhasilan, partai pemerintah, Partai Demokrat (PD) di peringkat kedua dengan 7 dari 8 kandidat yang berhasil yang; Aji Massaid, Angelina Sondakh, Nurul Qomar, Inggrid Kansil, Theresia Pardede, Venna Melinda dan Ruhut
JURNAL POLITIKOM INDONESIANA VOL. 1 NO. 2, DESEMBER 2016
10
e-ISSN : 2528 - 2069 Sitompul. Partai Golongan Karya (Golkar) adalah yang paling sukses dengan 3 kandidat terpilih dari 3 orang dalam dari Tantowi Yahya, Nurul Arifin dan Teti Kadi Bawono, sedangkan 3 dari 5 calon Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Rieke Diah Pitaloka, Guruh Megawati, dan Dedi Gumelar terpilih. Sementara itu Rachel Maryam Sayidina dan Jamal Mirdad dari Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), dan Okky Asokawati dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) juga memiliki kandidat yang sukses. Hasil pemilu legislatif di Indonesia tahun 2009 menjadi bukti 18 kandidat selebriti menjadi anggota parlemen atau anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Para pemilih percaya bahwa calon pantas mendapat dukungan karena mereka adalah politisi selebriti. Sebaliknya, hasil lain juga menunjukkan bahwa calon selebriti tidak mudah menarik pemilih untuk mencapai harapan mereka, karena lebih dari dua pertiga dari para calon kalah dalam pemilu legislatif. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun partai mengambil jalan untuk merekrut kandidat selebriti untuk melambungkan suara partai, pemilih berperilaku rasional. Mereka lebih memilih profesionalisme ketimbang populisme murahan.
Pemilu 1999, 2004, 2009: Sebuah Perbandingan Kehadiran banyaknya selebriti dalam pemilihan umum Indonesia tahun 1999, 2004 dan 2009 dianggap karena perubahan sistem pemilihan umum. Indonesia mengalami satu pemilu yang demokratis pada tahun 1955, sedangkan sisanya dianggap sebagai pemilu yang tidak adil. Era reformasi telah membawa negara ini pada kebebasan politik, mengalami demokrasi dengan cara yang murni. Perubahan peraturan sistem pemilihan umum serta liberalisasi politik menjadikan partai berkembang seperti jamur. Demikian pula, banyak selebriti populer direkrut untuk menghibur dan menarik massa besar untuk memilih partai tertentu bahkan berubah menjadi kandidat dalam pesta pemilu. Kecenderungan ini meningkat di Indonesia sejalan dengan manfaat yang bisa diraih dari aspek popularitas. Namun, tren ini telah memicu kritik di kalangan masyarakat, karena partai merekrut calon selebriti secara instan dan mengabaikan kader partai. Kandidat yang bukan kader dapat ditakar yakni; kurangnya pengalaman politik, dan ketidakmampuan kandidat selebriti dalam menjawab ekspektasi publik sehingga menghasilkan kritik tajam bagi internal partai politik maupun di antara para pemilih. Di sisi lain, beberapa
JURNAL POLITIKOM INDONESIANA VOL. 1 NO. 2, DESEMBER 2016
11
e-ISSN : 2528 - 2069 politisi selebriti dianggap sebagai alternatif pilihan mengingat fakta bahwa politisi konvensional telah gagal untuk menghilangkan korupsi dan ini cenderung memperdalam ketidakpercayaan publik terhadap mereka. Akibatnya pilihan beralih ke calon selebriti.
Tabel (2) Partai dan Kandidat Selebritis di Pemilu 1999, 2004 dan 2009 Partai
PDI-P
Kandidat Selebritis di 1999 Calon Menang 2 2
Total 2 2 Sumber: Diolah oleh penulis
Partai
PD
Kandidat Selebritis di 2004 Calon 3
Menang 3
Partai
PD
Kandidat Selebritis di 2009 Calon 8
Menang 7
PDI-P
2
1
PDI-P
5
3
PAN
1
1
PAN
16
2
PKB
1
-
PKB
1
-
Golkar
1
-
Golkar
3
3
PPP
1
-
PPP
5
1
Lain-lain
15
-
Gerindra
5
2
Hanura
5
-
Lain-lain
13
-
61
18
24
5
Tabel (2) di atas menunjukkan semakin banyaknya selebriti berkompetisi untuk jabatan publik. Pada Pemilu 1999 hanya 2 calon dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) bersaing, namun keduanya telah berangkat dari kader partai dan menang. Demikian pula dalam Pemilu 2004, meskipun sistem bergeser menjadi sistem presidensial di mana peran partai tetap tertinggi, calon selebriti mencoba untuk mendapatkan nama mereka pada daftar kecil dalam pemilu ini melalui segala cara melalui elit partai. Akibatnya, dari 24 calon selebriti yang bertarung, hanya 5 dari mereka yang berhasil. Mulai pada tahun 2009, dalam sistem daftar murni terbuka, partai memiliki sedikit kewenangan untuk menetapkan kandidat yang sesuai dengan elit partai. Di
JURNAL POLITIKOM INDONESIANA VOL. 1 NO. 2, DESEMBER 2016
12
e-ISSN : 2528 - 2069 sini, peran calon yang lebih penting dalam mempengaruhi perilaku pemilih bukan elite partai. Sistem open-list murni membentuk kecenderungan politik selebritas dan karena itu secara langsung mempengaruhi kedua pelaku dalam kompetisi pemilu, partai dan kandidat. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa kehadiran selebriti meningkat dibandingkan pemilu sebelumnya dalam politik Indonesia. Selanjutnya, ini adalah karena kegagalan partai untuk membangun kader-kader yang kompeten untuk diikuti oleh selebriti yang notabene memiliki basis fans di panggung politik sebagai komoditas mereka. Sistem daftar murni terbuka memaksa para kandidat untuk melayani konstituen mereka dengan mengetahui kebutuhan mereka. Oleh karena itu, kelas sosial dan agama memiliki dampak yang kurang berarti dalam membuat pergeseran pemilih terhadap partai atau kandidat lain. Lembaga survey yang berbasis di Jakarta, Lembaga Survei Indonesia (Lembaga Survei Indonesia/LSI) yang dipimpin oleh Saiful Mujani melakukan survei yang bisa dikategorikan sebagai model sosiologis. Survei ini terjadi pada bulan Oktober 2008 dan bertujuan untuk mengidentifikasi faktor popularitas dan kompetensi antara kandidat selebriti dan politisi konvensional.16 Ia menemukan bahwa politisi konvensional yang dirasakan lebih berpengalaman dan kompeten tidak akan menang melawan calon populer seperti selebriti. Kompetisi bebas dalam sistem murni terbuka di mana pemenang mengambil semua, yang sangat diuntungkan adalah calon selebriti. Misalnya, Ferry Mursidan Baldan, politisi terkenal dari Partai Golongan Karya (Golkar), kalah dibandingkan dengan calon populer seperti Eko Patrio dari Partai Amanat Nasional (PAN). Dan yang lebih penting lagi, ia menekankan bahwa jajak pendapat menunjukkan bahwa popularitas lebih penting daripada kompetensi. Survei lain yang menarik dilakukan oleh Charta Politika salah satu konsultan politik terkemuka di Indonesia, untuk menilai persepsi pemilih pada keterlibatan selebriti dalam pemilu Indonesia tahun 2009. Jajak pendapat ini berdasarkan analisis psikologis, diadakan pada bulan Agustus 2008 di 7 kota besar di Indonesia yaitu
Saiful Mujani, “Silent Revolution: Kampanye, Kompetisi Caleg, dan Kekuatan Partai Menjelang Pemilu 2009” [Silent Revolution: Campaign, Candidate Competition, and the Strength of Party in the 2009 Elections] (Lembaga Survey Indonesia, 2008), 34. 16
JURNAL POLITIKOM INDONESIANA VOL. 1 NO. 2, DESEMBER 2016
13
e-ISSN : 2528 - 2069 Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Medan, dan Makassar. 17 Hasil penelitian menunjukkan bahwa 75% dari pemilih tidak akan memilih calon selebriti yang tidak memiliki pengalaman politik, yang tidak terlatih di lapangan, dan tidak mewakili aspirasi akyat. Namun, faktor yang tidak menyebabkan pemilih untuk memilih calon selebriti adalah empati dengan 19%, diikuti oleh integritas 17% dan kemampuan 14%. Oleh karena itu, calon selebriti perlu membangun citra yang kuat agar memiliki kapasitas untuk terlibat dalam ranah politik. Kedua, calon selebriti harus langsung terlibat dalam masalah sosial dari awal, jauh sebelum pemilu akan dilaksanakan atau selama masa kampanye. Hal ini untuk menghilangkan persepsi masyarakat bahwa selebriti menjalani hidup glamor dan konsumtif. Dari kedua survei diatas, dapat diasumsikan bahwa popularitas penting bagi kandidat yang maju sebagai calon dalam suatu sistem proporsional terbuka agar mereka mendapatkan preferensi pemilih. Memang, selebriti memiliki keunggulan lebih dibanding politisi konvensional yakni ketenaran. Namun demikian, yang perlu digarisbawahi adalah kemampuan calon selebriti seperti pengalaman politik dan kompetensi jauh lebih penting. Seturut dengan itu, kedua faktor yang diperlukan untuk calon selebriti yang mencalonkan diri untuk jabatan publik agar mendapatkan simpati di kalangan pemilih. Muncul pertanyaan dalam model sosiologis terkait dengan faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi pemilih dalam mengambil keputusan untuk memilih salah satu partai politik atau kandidat. Faktor-faktor tersebut tidak bisa secara langsung mempengaruhi pemilih untuk memilih, tetapi dimediasi oleh persepsi dan sikap mereka terhadap partai atau kandidat. Oleh karena itu, apa yang membentuk preferensi pemilih tidak hanya faktor sosiologis, melainkan faktor-faktor yang telah dirasakan oleh para pemilih melalui pendekatan psikologis. Dalam proses ini, jelas bahwa model sosiologis dan psikologis berhubungan satu sama lain. D. KESIMPULAN Penelitian ini didasarkan pada dua argumen utama. Pertama, keterlibatan selebriti dalam pemilu legislatif Indonesia adalah karena kegagalan partai untuk mewujudkan regenerasi kader mereka. Dan kedua, partai melakukan pendekatan Muhammad Faisal, “Aspek Kepedulian sebagai Vote-Getter,” [The Empathy Factor as Vote-Getter]
(accesed on 11 February, 2009). 17
JURNAL POLITIKOM INDONESIANA VOL. 1 NO. 2, DESEMBER 2016
14
e-ISSN : 2528 - 2069 pragmatis untuk meningkatkan citra mereka dan dapat diterima di kalangan masyarakat. Untuk mendukung argumen, data empiris berikut dikumpulkan untuk dapat menjawab dari perspektif pemilih. Dari hasil analisis telah ditemukan bahwa seiring aturan pemilu berubah, keterlibatan selebriti dalam kontes pemilihan meningkat. Bahkan, dari pemilu ke pemilu pada masa pasca-era reformasi jumlah mereka dianggap telah meningkat secara dramatis. Namun, para kandidat selebriti tidak sepenuhnya berhasil dalam mengejar karier mereka sebagai anggota parlemen. Misalnya, pada tahun 1999 hanya 2 kandidat selebriti mencapai legislatif, keduanya adalah kader partai dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Demikian pula, dalam Pemilu 2004, meskipun calon selebriti tumbuh jumlahnya menjadi sekitar 24, elektabilitas dan kapasitas mereka untuk menarik dan mendapatkan lebih banyak suara masih dipertanyakan karena peran elit partai masih sangat berpengaruh. Akibatnya, hanya 5 kandidat yang berhasil. Berbeda dengan pemilu sebelumnya, pemilu 2009 adalah yang paling bebas dari semua kompetisi pemilihan umum di Indonesia. Sistem ini menggunakan sistem representasi proporsional terbuka murni yang berarti calon dengan suara terbanyak akan memenangkan kontes. Keuntungan dari para calon selebriti adalah ketenaran mereka dan publisitas media yang memainkan peran penting dalam membentuk citra mereka. Lalu kemudian menangkap imajinasi pemilih yang membuat mereka memilih calon selebriti. Karena itu, kehadiran para selebriti mulai semakin terlihat. Namun demikian, popularitas mereka tidak secara sederhana diterjemahkan ke dalam keterpilihan. Kapasitas calon lebih penting daripada popularitas belaka. Hasil pemilu legislatif di Indonesia tahun 2009 menunjukkan hanya 18 selebriti terpilih, dari total 61 kandidat yang mencalonkan diri. Hal ini menegaskan bahwa para pemilih enggan untuk memilih calon selebriti di bilik suara karena mereka tidak ingin menempatkan kandidat selebriti dengan harapan yang besar dan juga diragukan mampu memenuhi tanggung jawab setelah mereka terpilih. Maka dari itu, studi ini menyarankan agar partai dapat mengoptimalkan kader mereka dalam kontestasi politik, dalam arti proses regenerasi partai dapat direvitalisasi. Yang kedua, proses rekrutmen kandidat selebriti harus berdasarkan aturan yang ketat dan jelas, maka kualitas mereka layak bagi para pemilih. Dan yang ketiga, para aktor politik, baik partai atau selebriti, tidak harus mengejar
JURNAL POLITIKOM INDONESIANA VOL. 1 NO. 2, DESEMBER 2016
15
e-ISSN : 2528 - 2069 kepentingannya sendiri tetapi mengambil tanggung jawab penuh untuk mewakili rakyat sehingga keraguan publik perlahan-lahan akan menurun dan persepsi mereka terhadap kedua kubu akan berubah menjadi baik. Serta yang terakhir, hasil studi ini juga menyarankan bahwa penelitian lebih lanjut dapat dilakukan pada subjek ini untuk menganalisa dan menilai kinerja para selebriti sebagai pejabat publik, baik di eksekutif maupun legislatif dalam menyuarakan aspirasi rakyat untuk menilai tipe pemimpin seperti apa mereka dan apa yang akan mereka lakukan sebagai perwakilan yang efektif. Sehingga tren terlibatnya selebriti dalam kancah politik nasional bisa benar-benar memiliki manfaat bagi rakyat secara keseluruhan. Semoga !
DAFTAR PUSTAKA Anderson, Benedict R. O’G. (1996). Elections and participation in three Southeast Asian countries. In R.H. Taylor (ed.), The politics of elections in Southeast Asia (pp. 12 - 33). New York: Woodrow Wilson Centre Press.
JURNAL POLITIKOM INDONESIANA VOL. 1 NO. 2, DESEMBER 2016
16
e-ISSN : 2528 - 2069 Antlov, H. and Caderoth, S. (2004). Elections in Indonesia: The New Order and beyond. London and New York: Routledge Curzon. Baswedan, R.A. (2007) “Indonesian Politics in 2007: The Presidency, Local Elections and the Future of Democracy”, Bulletin of Indonesian Economic Studies, vol. 43, no. 2: 333. Bartels, Larry M. (2002). The impact of candidate traits in American presidential elections. In Anthony King (ed.), Leaders’ personalities and the outcomes of democratic elections (pp.). Oxford: Oxford University Press. Blais, A. and Massicotte, L. (2003). Electoral systems. In Lawrence Le Duc, Richard G. Niemi, and Pippa Norris (eds.), Comparing democracies 2: New challenges in the study of elections and voting (pp. 40 - 69). London: Sage Publications. Faisal, Muhammad. “Aspek Kepedulian sebagai Vote-Getter,” [The Empathy Factor as Vote-Getter] (accesed on 11 February, 2009). Harjanto, N. (2009). Indonesian voter behaviour and the 2009 elections. presented for MPSA Conference in Chicago, April 4, 2009.
Paper
King, D. (2003). Half hearted reform: Electoral election and the struggle for democracy in Indonesia. Connecticut: Praeger. Komisi Pemilihan Umum (KPU) [General Election Commission]. (2008). Leaflet of general election 2009. Jakarta. Liddle, R. W. and Mujani, S. (2007). Leadership, party, and religion: Explaining voting behaviour in Indonesia. Journal of Comparative Political Studies 40, 832-858. Liddle, R. W. (January/February 2000). Indonesia in 1999 election: Democracy restored. Journal of Asian Survey XL, 32-42. Lindsay, J. (2007). The performance factor in Indonesian elections. In Chua Beng Huat (ed.), Election as popular culture in Asia (pp. 55 - 71). Oxford: Routledge. Mujani, S. (2005). Pemilih Indonesia: Analisis tentang sikap dan perilaku politik warga dalam pemilihan umum 1999 dan 2004 [Indonesian voters: An analysis of people’s attitude and political behaviour in the 1999 and 2004 elections] Jakarta: Lembaga Survey Indonesia.
JURNAL POLITIKOM INDONESIANA VOL. 1 NO. 2, DESEMBER 2016
17