Policy Brief Puslitbang Kebijakan dan Penerapan Teknologi
TA. 2015
0
Policy Brief
2015
STIMULUS TEKNOLOGI DAN LAYANAN INFRASTRUKTUR DASAR bagi Masyarakat dan Desa Terdampak Pembangunan Bendungan Rendahnya Pemanfaatan Potensi Sumberdaya Air ndonesia memiliki potensi sumber daya air sebesar 3,9 triliun m3 /tahun dan diperkirakan baru sekitar 25% yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan sepert irigasi, air baku dan industri. Dapat diartikan bahwa masih banyak potensi sumberdaya air yang terbuang. Salah satu cara mengoptimalkan potensi sumberdaya air yang ada adalah dengan membuat wadah tampungan air sehingga bisa dimanfaatkan untuk berbagai macam tujuan.
I
Berdasarkan data yang didapatkan dari Balai Bendungan Kementerian PUPR tahun 2015, bendungan yang ada di Indonesia berjumlah 209 bendungan. Sementara Malaysia setidaknya mempunyai jumlah bendungan 3 (tiga) kali lipat lebih banyak dari Indonesia. Jumlah bendungan yang ada di Indonesia dirasa masih kurang untuk memaksimalkan potensi pengelolaan sumber daya air yang begitu besar. Dalam rangka untuk meningkatkan potensi pengelolaan sumber daya air sekaligus memenuhi target ketahanan pangan tahun 2018, Pemerintah RI cq. Ditjen SDA Kementerian PUPR akan membangun 49 bendungan s/d tahun 2019.
Pembangunan Bendungan : Strategi Pendayagunaan SDA dan Resolusi Konfliknya Pembangunan bendungan yang telah dan sedang dilakukan di Indonesia seringkali menemui hambatan yang bersifat sosial, misalnya konflik pembebasan lahan. Permasalahan ini muncul karena gap antara harapan masyarakat yang berharap memperoleh uang ganti lahan tinggi dengan kenyataan, biasanya harga penawaran disesuaikan dengan nilai jual obyek pajak. Belum lagi makelar tanah yang sewaktu-waktu dapat muncul dan tidak diketahui identitasnya, seperti yang terjadi di Bendungan Jatigede, dan pembangunan bendungan lainnya. Di samping itu, analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) yang selama ini dilakukan tidak dikerjakan dengan mendalam dan hanya menjadi formalitas belaka seperti yang terjadi dalam kasus Bendungan Kedungombo. Masalah lain yang tidak kalah krusial yaitu seringkali masyarakat terdampak harus pindah dari tempat tinggalnya, dan mereka sama sekali tidak merasakan manfaat dari keberadaan bendungan. Banyaknya permasalahan yang mengiringi pembangunan bendungan ini ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia saja, tetapi juga terjadi di Brazil, Costa Rica serta Vietnam. Dengan banyaknya bendungan baru yang akan dibangun dalam kurun waktu lima tahun ke depan, pembangunan bendungan di Indonesia harus mulai melakukan studi AMDAL
1
Policy Brief
2015
dengan lebih mendalam, akurat, dan customized. Tidak akan ada permasalahan yang identik untuk setiap project, karena skala dan nilai proyek, kompleksitas permasalahan, masyarakat terdampak, stakeholder yang terlibat, serta pengelola proyeknya pasti berbeda. Dari riset yang telah dilakukan, satu hal yang bisa dilakukan untuk mengadvokasi masyarakat agar menerima pembangunan yaitu dengan memberikan stimulus ke masyarakat dan desa terdampak dengan bantuan teknologi sederhana, infrastruktur, dan insentif lain (berupa layanan sosial dasar) yang tepat guna dan tepat sasaran. Sementara itu, untuk langkah jangka panjang, perhatian harus diarahkan ke arah hulu melalui program konservasi green belt area sehingga sedimentasi yang mengalir ke bendungan dapat ditekan.
2
Policy Brief
2015
QUO VADIS MASALAH SOSIAL PEMBANGUNAN BENDUNGAN? Masalah Sosial alah satu isu strategis pembangunan yang kini ditetapkan oleh Pemerintah Nasional melalui Kementerian PUPR adalah peningkatan ketahanan air antara lain melalui rencana pembangunan 49 bendungan baru.
S
Pembangunan bendungan akan memberikan sejumlah dampak atau konsekwensi positif misalnya Irigasi, pembangkit listrik, perikanan, pariwisata, air baku dan lainnya. Akan tetapi, permasalahan sosial seakan selalu “menghantui” dan menjadi stigma yang negatif dengan adanya rencana pembangunan bendungan. Kekurangsiapan masyarakat terdampak, potensi konflik sosial seakan tak lepas dari rencana pembangunan bendungan. Masih ingatkah akan kasus Kedung Ombo di Grobogan, Gadjah Mungkur di Wonogiri? Pertanyaannya sekarang….“apakah kita ingin mengulang hal-hal di atas?”…tentu jawabnya Tidak… Perlu diingat kejadian ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Banyak kasus yang lebih parah terkait Pembangunan Bendungan yang terjadi di belahan bumi lain. Boruca di Costarica, Mega Belo Monte yang memakan sebagian dari Hutan Amazon Brazil, Tuyen Quang di Vietnam adalah salah satu contoh permasalahan sosial yang terjadi karena pembangunan bendungan. Infrastruktur dipahami bukan semata- mata sebagai sebuah benda mati, tetapi dia juga mempunyai “nyawa” dan mampu berinteraksi dengan penduduk di sekitarnya. Bukankah kita ingin masyarakat sekitar akan menerapkan “living in harmony” ketika bendungan sudah jadi dan akan beroperasi?
Apa yang harus dilakukan? Lantas, bagaimana tindakan yang harus dilakukan ketika terjadi konflik, maupun teknologi apa yang diperlukan untuk membantu masyarakat untuk bendungan baru ini? Untuk gambaran kesiapan masyarakat, ada beberapa hal yang dapat digaris bawahi melalui ilustrasi 2 (dua) contoh kasus berikut. Kesiapan warga di sekitar Bendungan Pidekso dan Bendungan Bener umumnya cenderung ditentukan oleh besaran kompensasi ganti untung yang dapat diterima melalui proses negosiasi. Hal ini berkaitan dengan efek ekonomi yang akan langsung berimbas pada kehidupan warga lokal. Besaran ganti untung tergantung pada status kepemilikan lahan dan persepsi warga terhadap manfaat dan dampak dari rencana pembagunan waduk. meski di Pidekso awalnya ada resistensi.
3
Policy Brief
2015
Ada beberapa rekomendasi peningkatan kesiapan yang dapat dilakukan, yaitu misalnya aspek administrasi, penduduk dipermudah pengurusan dokumen administrasi terkait misalnya KTP, Kartu Keluarga C1, SIM dari tempat lama ke tempat baru, aspek produksi dimana Pemerintah dapat menyediakan sarana- prasarana ekonomi di tempat yang baru, aspek konsumsi misalnya edukasi tentang kampanye hidup sederhana dimana ini bertujuan agar ganti untung yang diberikan dapat dihemat dan dialihkan ke sektor- sektor produktif. Untuk aspek produksi, penduduk dapat diarahkan ke income restoration. Penduduk dapat dialihkan secara perlahan dari pekerjaan lama ke pekerjaan baru misalnya dari petani menjadi nelayan atau pengrajin. Hal ini sudah pernah dilakukan di lokasi Waduk Jatibarang, Semarang. Pemerintah Kota Semarang melalui kerjasama lintas SKPD memberikan pelatihan, pendampingan alih profesi dan character building kepada penduduk terdampak. Aspek partisipatif juga dapat dilakukan melalui keikutsertaan masyarakat terdampak di dalam proyek pembangunan bendungan. Masyarakat juga dapat berperan sebagai pemegang saham bendungan setelah beroperasi. Hal ini juga diatur dalam Undang Undang 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Untuk aspek jarak kerja terkait adanya pembangunan bendungan, masyarakat dapat difasilitasi penyediaan sarana prasarana pendukung misalnya jalan akses terdekat, penyediaan sarpras untuk kebutuhan primer missal Pasar, sekolah pasca adanya pembangunan bendungan. Langkah lain yang dapat dilakukan Pemerintah misalnya menggalakkan peran media massa sebagai penyalur infomasi yang secara transparan mengkomunikasikan rencana dan proses pembangunan waduk kepada publik. Dan konsep pengembangan bendungan yang berorientasi pada sektor pariwisata harus dimatangkan dan diintegrasikan dengan rencana pembangunan bendungan sejak tahap awal. Strategi tersebut akan efektif menjamin keberhasilan Pemerintah dalam menyakinkan warga akan manfaat ganda yang akan diperoleh dari pembangunan bendungan. Terkait dengan konflik diperoleh gambaran bahwa konflik di Pidekso berada pada intensitas eskalasi konflik (conflict escalation) atau konflik yang telah terangkat dan memiliki frekuensi kejadian yang tinggi. Strategi resolusi konflik meliputi beberapa tindakan. Pertama, koordinasi dengan RT/RW/Lurah/Camat). Kedua, dengan mendorong pendampingan dari tokoh masyarakat setingkat regional untuk menenangkan kondisi (Bupati, Gubernur atau DPRD). Ketiga, pembentukan TIM yang ditujukan untuk masuk kelokasi dan mempengaruhi serta mengajak masyarakat agar sedikit demi sedikit melunak. Target tindakan tersebut adalah masyarakat yang menolak atau resisten. Tujuan dari tindakan tersebut adalah menurunkan tensi dan menyelesaikan konflik. Pesan yang ingin disampaikan adalah membangun kesepahaman tujuan pembangunan bendungan dan mekanisme penyelesaian konflik. Media untuk menerapkan tindakan tersebut adalah dengan melakukan dialog yang intensif (dalam kelompok kecil). Aktor yang dapat berperan dalam resolusi konflik adalah BPN dibantu Satker & PPK Pengadaan Tanah,
4
Policy Brief
2015
Koramil dan Polsek. Jika dimungkinkan ada lembaga mediator independen yang dapat berperan dalam mediasi. Adapun untuk bendungan Bener, dimana masih masuk tahapan konflik laten. Tindakan resolusi konflik yang dapat dilakukan: pertama, adalah dengan pendekatan local indigenous dan kearifan lokal, yaitu dengan kulonuwon dan meminta bantuan otoritas lokal untuk penjelasan kegiatan pembangunan bendungan, manfaat dan nilai positif dari masyarakat itu sendiri. Tindakan kedua, yaitu menyampaikan gambaran perencanaan dan tujuan kegiatan. Perencanaan dan tujuan kegiatan harus dikuasai oleh pelaksana agar dapat disampaikan secara tepat ke masyarakat. Ketiga, dengan pemberitahuan teknis pekerjaan kegiatan, tahapan-tahapan yang harus dilalui, dan peran masyarakat di dalamnya. Keempat, pemberitahuan hak dan kewajiban masyarakat. Untuk rekomendasi teknologi, dibagi menjadi 2 yaitu teknologi fisik dan non- fisik (sosekling). Teknologi fisik meliputi SDA, Binamarga dan Cipta Karya misalnya dengan program SPAM, irigasi tetes, jembatan sederhana dan lainnya. Sedangkan teknologi nonfisik misalnya dengan : 1. Pendekatan harga tanah dengan menggunakan strategi komunikasi (mengelola eskpetasi masyarakat dengan anggaran tersedia), untuk mengatasi spekulan dengan menerapkan kepatuhan UU No. 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Lahan. Untuk mencegah saling klaim pemilik lahan dapat menggunakan strategi konsinyasi. 2. Untuk aspek mata pencaharian dapat digunakan strategi briefing, training atau pendampingan serta bantuan alat kepada masyarakat dan dialokasikan di APBD setempat. Untuk pemanfaatan ganti untung dengan strategi edukasi aspek financial and investment literacy kepada masyarakat. 3. Aspek rencana vs. realisasi dimana PUPR harus berperan sebagai the project leader bersama instansi terkait lainnya, misalnya BPN, Pemkab/ Pemkot/ Pemprov dll.
5
Policy Brief
2015
MENGHADAPI PEMBANGUNAN BENDUNGAN KUWIL KAWANGKOAN Sudah Siapkah Masyarakat? Target Pembangunan Bendungan s/d 2019
K
ementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) berupaya mempercepat pembangunan dan perbaikan infrastruktur pengairan untuk realisasi kedaulatan pangan. Percepatan tersebut dilakukan karena kedaulatan pangan telah menjadi salah satu prioritas utama dalam Agenda Pembangunan Nasional yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo. Upaya percepatan tersebut antara lain adalah pembangunan infrastruktur pengairan berupa bendungan/waduk untuk menjamin daya dukung sumberdaya air. Dalam periode 2015-2019 Kementerian PUPR telah merencanakan pembangunan 65 bendungan/waduk yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Salah satunya adalah bendungan Kuwil Kawangkoan yang terletak di Propinsi Sulawesi Utara.
Sudah Siapkah Masyarakat sekitar Rencana Bendungan Kuwil Kawangkoan? Disadari atau tidak, rencana pembangunan bendungan Kuwil Kawangkoan bukan hanya terkait aspek teknis semata. Berbagai aspek non teknis terkait dinamika sosial masyarakat juga akan menentukan keberhasilan pembangunan bendungan tersebut. Sebagai contoh, kasus pembangunan bendungan Jatigede dan Nipah yang berlarut karena terkendala masalah lahan dan penerimaan masyarakat sekitar. Oleh karena itu, perlu adanya pemahaman yang mendalam terkait dinamika masyarakat dalam menghadapi rencana pembangunan bendungan yang diharapkan dapat mengatasi banjir di Kota Manado tersebut. Salah satu pertanyaan yang perlu diajukan adalah apakah masyarakat sekitar sudah siap menghadapi berbagai perubahan yang mungkin saja muncul sebagai adanya intervensi pembangunan bendungan Kuwil Kawangkoan ke dalam kehidupan mereka.
Strategi Menyiapkan Masyarakat Secara umum, masyarakat sekitar relatif siap untuk menerima berbagai perubahan yang akan muncul karena adanya pembangunan Bendungan Kuwil Kawangkoan. Hal tersebut diketahui dari orientasi nilai masyarakat yang relatif terbuka terhadap hal yang baru. Mereka juga memahami bahwa bendungan yang akan dibangun tersebut memiliki nilai yang sangat penting bagi masyarakat yang lebih luas. Disamping itu, masyarakat tersebut memiliki kepercayaan diri untuk dapat mengantisipasi dampak dan gangguan sementara sebagai akibat pembangunan bendungan ini.
6
Policy Brief
2015
Akan tetapi, sebagai suatu fenomena sosial, kesiapan masyarakat tersebut bersifat dinamis. Untuk itu, rekomendasi kebijakan untuk menjaga agar masyarakat sekitar berada dalam kondisi siap adalah sebagai berikut: 1. Titik masuk (entry point) untuk melakukan komunikasi dan sosialisasi proyek yang efektif yaitu: aparat desa (hukum tua) dan pemuka agama 2. Komunikasi rencana proyek kepada masyarakat harus dilakukan denga n jelas, transparan dan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Dalam pelaksanaannya, komunikasi harus dilaksanakan secara bertahap, konsisten serta berkelanjutan. Komunikasi dapat dilakukan melalui sosialisasi formal maupun informal (acara keagamaan/arisan) 3. Intervensi untuk meningkatkan kesiapan masyarakat : Menyisipkan pesan-pesan positif melalui kegiatan komunitas, semisal komunitas keagamaan atau arisan, yang dapat meneguhkan sikap masyarakat mendukung pelaksanaan pembangunan bendungan untuk kepentingan bersama. Membuat profil masyarakat/kegiatan komunitas yang memiliki sikap positif terhadap pembangunan bendungan untuk kepentingan bersama. Profil masyarakat ini dapat dipublikasikan melalui media massa lokal seperti koran atau radio. Memberi penghargaan sekaligus dukungan melalui peningkatan kapasitas kepada masyarakat/kegiatan komunitas yang memiliki sikap positif terhadap pembangunan bendungan.
7
Policy Brief
2015
TIGA STRATEGI AKSELERASI Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Waduk Pengantar
P
embangunan infrastruktur waduk di masa mendatang diperkirakan akan menghadapi berbagai tantangan yang tidak ringan. Di satu sisi, target pembangunan 65 waduk yang telah ditetapkan harus direalisasikan dalam periode 2014-2019. Sementara itu, di sisi lain respons masyarakat tidak selamanya diwujudkan dalam bentuk yang positif/mendukung. Salah satu masalah non-teknis yang sering menghambat pembangunan waduk pada tahap prakonstruksi adalah masalah pengadaan tanah. Pembangunan waduk (terutama pembangunan baru) membutuhkan lahan sehingga diperlukan kegiatan pengadaan tanah. Pengadaan tanah memiliki kompleksitas tersendiri karena tanah secara entitas tidak hanya dapat dipandang dari satu dimensi saja, melainkan bersifat multidimensi. Demikian pula para stakeholder yang terlibat dalam proses pengadaan tanah juga tidaklah sedikit, termasuk berbagai peraturan juga seringkali belum harmonis satu sama lain.
Problematika Pengadaan Tanah Berdasarkan data yang diperoleh dapat diidentifikasi permasalahan terkait lambannya proses pengadaan tanah khususnya pembangunan waduk. (a)
Pemanfataan Tanah Kawasan Hutan. Pembangunan waduk yang umumnya berada di daerah pedalaman dan pengunungan seringkali tidak bisa menghindarkan diri dari pemanfaatan tanah kawasan hutan. Oleh karena itu, pihak yang membutuhkan tanah mau tidak mau harus berurusan dengan pihak kehutanan. Akan tetapi, masalahnya menjadi rumit karena dalam proses untuk memperoleh tanah kehutanan, terdapat sejumlah regulasi cukup kompleks dengan persyaratan yang tidak mudah.
(b)
Pemanfaatan Tanah Kas Desa. Selain tanah kawasan hutan, masalah yang muncul terkait dengan pengadaan tanah untuk tanah kas desa, termasuk tanah bengkok. Untuk pengadaan tanah kas desa, pihak yang membutuhkan tanah juga harus menyediakan tanah pengganti agar tanah tersebut tetap menjadi sumber pendapatan atau sumber keuangan desa. Tanah kas desa (tanah bengkok) tersebut merupakan kekayaan desa.
(c)
Pemanfaatan Tanah Milik Masyarakat. Pada tanah masyarakat lebih banyak pada persoalan besaran nilai ganti rugi. Besaran ganti rugi tanah masyarakat seringkali dipermasalahkan karena masyarakat menginginkan nilai ganti rugi yang tinggi.
8
Policy Brief
2015
REKOMENDASI: TIGA STRATEGI AKSELERASI PENGADAAN TANAH Dalam rangka melakukan akselerasi pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur, perlu dilakukan strategi di tiga level strategi, yakni strategi level makro, level mezo, dan level mikro. (a) Strategi Level Makro. Strategi level makro yang dimaksud di sini dikeluarkan kebijakan oleh pemerintah (terutama Pemerintah Pusat) dalam mendorong dan mempermudah proses pengadaan tanah. (1) Untuk tanah kawasan hutan, bentuk kebijakan yang mungkin dapat dipilih adalah dengan mekanisme pinjam pakai kawasan hutan. Hal ini dapat dilakukan karena eksistensi tanah kawasan hutan tetap ada seiring dengan keberadaan waduk yang juga memiliki fungsi konservasi. Demikian pula kompensasinya mungkin tidak terlalu sulit, misalnya membayar PNBP dan rehabilitasi daerah aliran sungai. (2) Khusus untuk tanah kas desa perlu ada kebijakan khusus karena terkait dengan sumber pendapatan desa yang digunakan untuk operasional desa. Bila kesulitan mendapatkan lahan pengganti, maka mungkin dapat dipikirkan jika waduk dimanfaatkan untuk pengusahaan air minum (oleh PDAM) atau listrik (oleh PLN) dapat dikompensasi melalui corporate social responsibility (CSR) atau share of profit (saham). (b) Strategi level mezo. Strategi level mezo yang dimaksud di sini adalah strategi yang dilakukan oleh Panitia Pelaksana Pengadaan Tanah sebagai berikut: (1)
Memecah kelompok berdasarkan kluster/zona harga. Strategi ini dilakukan dalam negosiasi dengan pihak pemilik tanah. Hal ini dilakukan mengingat beberapa pengalaman bahwa jika dilakukan negosiasi dengan pemilik tanah dari kluster/zona harga yang berbeda, ada kecenderungan sulit mencapai kesepakatan.
(2)
Dari harga terendah ke tinggi. Strategi ini dilakukan agar harapan warga tidak terlalu tinggi terhadap nilai ganti rugi yang diberikan. Jika dilakukan dari harga besar ke terendah, ada kecenderungan warga yang memiliki harga tanah yang rendah juga akan meminta sama dengan harga sebelumnya yang tinggi. Hal ini umumnya akan memperlambat proses negosiasi.
(3)
Memecah kelompok besar menjadi kelompok kecil. Strategi ini dilakukan karena jika dalam kelompok besar umumnya masyarakat sulit mencapai kesepakatan, apalagi jika terdapat beberapa orang yang tidak setuju dengan besaran ganti rugi yang ditawarkan.
9
Policy Brief
(4)
2015
Koordinasi intensif BBWS dengan BPN, Pemda, dan aparat keamanan (TNIPolri). Koordinasi dilakukan sejak awal usulan penetapan izin lokasi hingga pelaksanaan konstruksi.
(c) Strategi Level Mikro. Strategi level mikro adalah strategi yang dilakukan oleh aparat pemerintah di tingkat terdepan yakni aparat desa serta dukungan tokoh agama. (1) Strategi yang digunakan oleh Kepala Desa adalah komunikasi persuasif. Strategi komunikasi persuasif ini dapat dilakukan dalam berbagai kesempatan bertemu dengan masyarakat khususnya dalam acara nikahan, sunatan, dan persiapan naik haji. Dalam kesempatan tersebut, umumnya Kepala Desa diberi kesempatan memberikan sambutan. (2) Pelibatan tokoh agama dalam mendorong akselerasi pengadaan tanah. Media yang cukup efektif digunakan adalah pengajian dan khotbah Jumatan. Melalui acara ini tokoh agama dapat menyampaikan pesan tentang penting pembangunan di desa dan imbalan amal di akhirat nanti. (3) Strategi lain yang dilakukan adalah melakukan negosiasi kepada kelompok warga yang sudah setuju. Pendekatan yang dilakukan adalah door to door (gerilya) untuk menyiasati pengaruh kelompok-kelompok tertentu yang menolak pengadaan tanah.
10
Policy Brief
2015
PENANGANAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN DALAM UPAYA Peningkatan Ketahanan Pangan Lahan Pangan vs. Kebutuhan Non Agraris
K
onversi lahan pertanian, khususnya lahan sawah ke penggunaan non pertanian merupakan persoalan serius yang sedang dihadapi Negara kita saat ini, dan masih akan berlangsung beberapa tahun yang akan datang. Selama periode 2000-2013 konversi lahan sawah beririgasi teknis di Pulau Jawa tercatat sekitar 548,5 ribu Ha atau 8,46%. Pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi, menyebabkan kebutuhan akan pangan dan juga lahan untuk pemukiman menjadi sangat tinggi. Kondisi ini menyebabkan adanya trade off antara penggunaan lahan untuk dua kepentingan pertanian dan perumahan, di satu sisi kebutuhan pangan adalah hal yang primer sementara perumahan pada dasarnya adalah kebutuhan yang sifatnya sekunder. Namun demikian perkembangan menunjukkan bahwa kepentingan lahan akan pangan telah dikalahkan oleh kepentingan papan yang dianggap memiliki nilai tambah lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaannya sebagai penghasil pangan. Di sisi lain luasan pencetakan sawah baru belum sebanding dengan jumlah lahan yang terkonversi. Hal ini berimplikasi tidak hanya kerugian pada investasi jaringan irigasi yang telah dibangun, tetapi juga akan mengancam ketahanan pangan nasional apabila laju konversi lahan tersebut tidak dapat dikendalikan secara efektif.
Beberapa Kerangka Regulasi Sebenarnya, Pemerintah pusat telah berupaya mengurangi laju koversi lahan pertanian melalui beberapa produk hukum, seperti Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Tata Ruang dan UU Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Produktif. Namun, faktanya banyak peraturan yang diterbitkan pemerintah untuk mengendalikan konversi lahan pertanian, khususnya lahan sawah beririgasi teknis belum efektif. Hal ini karena Pemerintah Daerah juga memiliki kewenangan untuk mengatur penggunaan lahan di daerahnya sehingga seringkali tidak mengindahkan peraturan tersebut, karena secara agregat perubahan fungsi lahan mungkin dianggap akan meningkatkan pendapatan wilayah, walaupun peningkatan tersebut tidak tersebar secara merata. Sebelum melakukan penanganan konversi lahan, perlu diketahui terlebih dahulu faktorfaktor yang menyebabkan terjadinya konversi lahan pertanian tersebut dan seberapa besar nilai kerugian nya. Laju pertumbuhan penduduk dan laju pertumbuhan PDRB pemukiman merupakan faktor utama yang mendorong terjadinya konversi lahan pertanian. Selain itu,
11
Policy Brief
2015
rasio TK industri–TK pertanian dan harga GKP (Gabah Kering Petani) juga berpengaruh terhadap terjadinya konversi lahan pertanian tersebut. Konversi lahan menyebabkan tingginya nilai kehilangan produksi padi. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Badan Litbang Sosial Ekonomi dan Lingkungan Bidang Sumber Daya Air, selama kurun waktu 2000-2013 tercatat nilai kehilangan produksi padi di Pulau Jawa sebesar 536 ribu ton dengan nilai Rp 1,95 trilyun atau sebesar 49,22 ribu ton/tahun (Rp 103.61 milyar/tahun). Konversi lahan juga menyebabkan tingginya nilai kehilangan irigasi teknis sebesar Rp 820 milyar atau rata-rata sebesar Rp 58 milyar/tahun. Jika kondisi ini dibiarkan akan berpengaruh terhadap kondisi pangan di Negara kita.
Upaya yang harus dilakukan untuk Penanganan Konversi Lahan Pertanian Konversi lahan sawah beririgasi teknis di Pulau Jawa memberikan dampak yang sangat nyata bagi ketahanan pangan, khususnya dalam penyediaan produksi pangan (beras). Oleh karena itu, peningkatan kapasitas produksi pangan menjadi kata kunci, baik melalui peningkatan kapasitas irigasi seperti rehabilitasi jaringan irigasi, pengembangan jaringan irigasi baru, maupun pencetakan sawah khususnya di luar wilayah Pulau Jawa.Upaya pengendalian dan pencegahan konversi lahan sawah beririgasi teknis seyogyanya tidak hanya melalui pendekatan law emforcement yang selama ini sudah berjalan, namun perizinan alih fungsi lahan sawah beririgasi teknis perlu dikoordinasikan dan mendapatkan persetujuan dari pemerintah pusat. Secara spesifik upaya mengendalikan konversi lahan beririgasi teknis dapat dilakukan halhal sebagai berikut:
mengendalikan laju pertumbuhan penduduk; salah satunya adalah dengan kembali menggalakan program Keluarga Berencana.
mengendalikan laju migrasi; salah satunya dengan membangun infrastruktur dan melakukan pengembangan wilayah industri di daerah penyangga kota.
mengembangkan kawasan industri di lahan kering non sawah
kebijakaan stabilisasi harga input dan output.
12
Policy Brief
2015
EFEKTIFKAH FORMULIR INDEKS KINERJA JARINGAN TERKAIT Keberhasilan Fungsi Jaringan Irigasi? Permasalahan Operasional Pemeliharaan Irigasi
P
emeliharaan merupakan ujung tombak keberhasilan infrastruktur irigasi dan optimalisasi manfaatnya. Berfungsinya irigasi dalam menunjang pertanian akan terganggu apabila pemeliharaannya tidak baik. Tidak optimalnya operasional pemeliharaan jaringan infrastruktur irigasi menyebabkan tidak tercapainya usia rencana. Terjadinya kerusakan bangunan irigasi sebelum waktunya dapat mengakibatkan beban biaya rehabilitasi dan peningkatan biaya operasi dan pemeliharaan. Saat ini masih banyak daerah irigasi kewenangan pusat yang mendesak untuk dilakukan perbaikan. Hal ini terjadi karena masih kurangnya perhatian terhadap kebijakan teknis yang mengatur pelaksanaan pemeliharaan serta belum maksimalnya pelaksanaan operasional dan pemeliharaan infrastruktur irigasi di lapangan. Salah satu permasalahan utama yang ditemui adalah perbedaan persepsi pengelola irigasi dalam mengisi formulir indeks kinerja jaringan irigasi untuk melakukan penilaian kualitas jaringan irigasi di lapangan. Hal ini dipengaruhi tidak hanya karena kualitas sumber daya pengelola namun juga oleh tools yang digunakan oleh pengelola tersebut untuk melakukan penilaian formulir indeks tersebut. Selain itu, ketajaman pengelola dalam menginterpretasikan formulir indeks pun perlu diperhatikan. Sebagai dampaknya, jika permasalahan ini dibiarkan akan mengakibatkan opportunity cost atau hilangnya kesempatan untuk menunjang peningkatan produksi pertanian. Untuk sedikit gambaran, dari hasil penelitian didapatka n bahwa besar opportunity cost untuk Jawa Barat sebesar Rp. 230T, yang mengartikan bahwa nilai tersebut akan memberikan manfaat yang efektif terhadap fungsi jaringan irigasi selama 35 tahun kedepan.
Prioritas Aksi Agar formulir indeks kinerja dapat berperan efektif, maka diperlukan upaya untuk melakukan review ulang terhadap standar penilaian kualitas irigasi agar tidak ada lagi perbedaan respon dalam pengisian penilaian formulir indeks kinerja pemeliharaan jaringan irigasi. Untuk memaksimalkan fungsi formulir tersebut, perlu penyeragaman pola SOP penilaian agar dapat menilai pencapaian secara objektif bebas dari subyektivitas penilai.
13
Policy Brief
2015
MENUJU 100% AKSES AIR MINUM Melalui Upaya Peningkatan Efisiensi PDAM NRW : Masalah Tak Kunjung Usai
P
emerintah Indonesia telah menentukan rencana cakupan layanan air bersih pada tahun 2019 harus mencapai 100%. Tugas ini tidak dapat lepas dari peran Pemerintah pusat sebagai regulator dan Pemerintah Daerah sebagai pelaksananya. Dalam hal ini PDAM memiliki peran besar dalam hal penyediaan air bersih bagi penduduk di Indonesia. PDAM dituntut untuk mampu menyediakan air yang memenuhi standar kualitas, kuantitas dan kontinuitas. Berdasarkan hasil evaluasi kinerja PDAM 2013-2014, aspek operasional PDAM masih dihadapkan pada berbagai masalah seperti efisiensi produksi dan distribusi air bersih, hutang usaha yang mencapai ratusan milyar, target PAD yang harus dipenuhi sampai masalah pemekaran dengan konsekuensi perombakan manajemen PDAM. Efisiensi produksi dan distribusi air bersih merupakan masalah yang penting dan menyangkut tidak hanya internal PDAM namun juga pihak eksternal yang memiliki hubungan dalam penyediaan air kepada masyarakat, oleh karenanya perlu ada tindakan untuk meningkatkan efisiensi PDAM, yang terkait dengan upaya penanganan air tak berekening/NRW mulai dari air baku untuk air minum dan NRW distribusi; serta penerapan teknologi untuk peningkatan efisiensi produksi.
Langkah Penurunan NRW untuk Efisiensi Layanan Untuk menyelesaikan ketidak efisienan di sisi produksi, perlu untuk merunut pasokan air baku untuk air minum, dengan meminimalisir potensi kehilangan air baku. Kehilangan air (NRW) baku air minum tersebut perlu memiliki kejelasan terkait definisi air baku. Definisi air baku yang diusulkan adalah: Selisih jumlah air dari pelbagai sumber (air tanah dan air permukaan) yang masuk ke infrastruktur air baku dengan air baku yang masuk ke IPA, ditambah dengan biaya kompensasi kualitas air baku yang tidak memenuhi standar baku mutu, yang dihitung dalam equivalen liter air baku. Perhitungan kompensasi kualitas air baku yang tidak memenuhi persyaratan, yang equivalen dalam volume air baku (berbasis polluters pay principles) adalah selisih biaya aktual produksi yang dikurangi dengan biaya standar proses pengolahan air baku, dibagi dengan harga air baku, hasilnya dalam satuan liter. Batas NRW air baku yang dapat ditoleransi, perlu juga dicari dengan melakukan upaya pembandingan (benchmark) NRW air baku. PDAM sebagai lembaga penyedia air bersih dapat bekerja sama dengan lembaga penyedia air baku (misalnya Perum Jasa Tirta) untuk terus mencari dan mengkinikan potensi – potensi sumber air baku. Selain itu perlu ada upaya terkait konservasi lingkungan, sehingga sumber-sumber air terjaga secara berkelanjutan, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas.
14
Policy Brief
2015
Pendanaan terkait hal ini dapat diambil dari persentase keuntungan penjualan air baku. Perlu juga disiapkan perangkat aturan yang dapat menegaskan tanggungjawab terhadap pengelolaan air baku, termasuk upaya operasi dan pemeliharaan yang baik, terutama dalam melakukan pengawasan aset-aset infrastruktur (misal: saluran air, pengambilan air ilegal), yang salah satu upaya strategisnya adalah dengan mengedukasi masyarakat terhadap ijin pengambilan air dari saluran. Penyedia layanan air baku, dapat menyiapkan saringan sederhana dan berbiaya murah (teknologi tepat guna) memperbaiki kualitas mutu air, sehingga mencapai baku mutu air. Hal ini juga terkait rumusan perhitungan harga air baku yang belum dapat memenuhi prinsip impas biaya produksi /full cost recovery. Dari aspek produksi perlu ada terobosan dari aspek manajamen, untuk memperluas basis perhitungan kinerja produksi yang semula hanya mempertimbangkan aspek produktivitas, kemudian sebaiknya ditambahkan dengan faktor ketersediaan (kuantitas) dan kualitas air baku. Pendekatan integratif ini dapat menggunakan modifikasi prinsip overall equipment effectiveness. PDAM perlu untuk mengupayakan penurunan biaya investasi dan produksi (CAPEX dan OPEX) dengan menggunakan teknologi uprating yang mengoptimalisasikan instalasi pengolahan air yang ada pada saat ini, sehingga tidak perlu untuk menambah luasan lahan. Secara teknis, ada tiga hal terkait upaya mengatasi NRW distribusi yang harus diperhatikan oleh PDAM, antara lain terkait jaringan, yaitu jaringan pipa PDAM masih banyak yang belum baik juga ditemukan dokumentasi as build drawing yang tidak lengkap, sehingga perlu dilakukan audit jaringan untuk mensinkronisasikan dengan rekening wilayah setidaknya dua tahun sekali, dan untuk mengoptimalisasikan fungsi district meter area. Perlu adanya standarisasi dan simplifikasi varian pipa yang dilakukan melalui proses tender pengadaan barang dan jasa. Perlu dilakukan kalibrasi, penggantian berkala, isu investasi, serta kebijakan yang memberikan insentif ganti meteran dan punishment. Selain itu, guna meminimalisir konflik, maka perlu adanya strategi komunikasi terutama ke tika menjalankan program penggantian meter air di rumah warga. Dari sisi komersial, perlu adanya modernisasi sistem komersial PDAM yang di dalamnya termasuk: billing management, asset management, reliability management, dan service management dengan proses bisnis yang serba otomatis demi menjamin lebih cepat, murah, baik, aman, transparan, dan akuntabel. Perencanaan dan pengendalian berbasis wilayah atau spasial pada jaringan layanan PDAM perlu memanfaatkan GIS (Geographic Information System), enterprise resource planning, dan enterprise risk management. Perlu adanya kebijakan yang memprioritaskan penggunaan teknologi dan produk dalam negeri, terutama dalam SPAM (Sistem Penyediaan Air Minum). Sinkronisasi antara peraturan nasional dan daerah mengenai lingk ungan daerah tangkap air, sumber air baku, kualitas air baku, penggunaan aset untuk investasi atau kerjasama pemerintah dan swasta, transmisi dan distribusi, dan terakhir untuk air minum. Memastikan
15
Policy Brief
2015
pasokan listrik untuk operasional PDAM melalui langganan layanan premium PDAM. Legalisasi sambungan liar, salah satunya dengan menggunakan semacam sunset policy. Membuat kebijakan untuk penetapan tarif air baku, air produksi dan air minum dengan emngikuti prinsip-prinsip full cost recovery, stratifikasi segmen layanan, dan kenaikan harga berkala otomatis.
16
Policy Brief
2015
TATA KELOLA TEKNOLOGI DAN PEMBIAYAAN MENUJU 100% Akses Air Minum
S
elain mengifisienkan PDAM melalui langkah- langkah strategis yang telah diketengahkan sebelumnya, juga perlu dilakukan pengembangan sistem penyediaan air minum melalui inovasi teknologi untuk meningkatkan sistem fisik (teknik) dan non fisik (tata kelola). Ini dimaksudkan agar upaya penyediaan air minum dilaksanakan guna mencapai target akses air minum 100% pada tahun 2019.
Kelayakan Teknologi Uprating dan Kewajiban Penurunan NRW Teknologi Uprating merupakan sebuah teknologi yang mampu meningkatkan kapasitas produksi IPA tanpa harus membangun IPA baru. Teknologi ini sedang dikembangkan oleh Puslitbang Perumahan dan Permukiman bersama PT. Tekno Mas Tirta, dan layak digunakan di banyak lokasi PDAM. Teknologi yang sudah proven ini memiliki beberapa keunggulan, antara lain : menghemat biaya pembangunan sampai dengan 50%, lahan yang diperlukan yang juga hanya 50%, hingga berdampak pada penghematan biaya OP. Tidak hanya itu, teknologi ini juga bisa memberikan manfaat bagi pertumbuhan ekonomi lokal dengan membuka lapangan pekerjaan baru (melalui kerjasama dengan SMK lokal setempat sebagai calon tenaga operator). Beberapa hal yang bisa direkomendasikan untuk pengembangan tata kelola teknologi Uprating (secara khusus) dan penyediaan air minum (secara umum) adalah :
Terbuka peluang produksi dan industrialisasi teknologi Uprating untuk memberikan layanan air minum berkualitas.
Sistem jaringan perpipaan dan distribusi (termasuk kualitas pipa yang tergolong “food grade”, dukungan teknologi informasi untuk meningkatkan layanan pelanggan dan memantau kebocoran, dsb.) sebagaimana telah dipraktikkan PT. Aetra Air Tangerang harus ditangkap para produsen teknologi dalam negeri, termasuk Puslitbang Perumahan dan Permukiman untuk menyediakan teknologi yang lebih kompetitif. Hal ini juga dalam rangka mengurangi ketergantungan terhadap produk asing.
Agar upaya peningkatan kinerja di sistem IPA berjalan dengan optimal, harus ditetapkan batas maksimum NRW melalui kerangka regulasi yang tegas , misal dimasukkan dalam RPP SPAM yang tengah digodok. PDAM diberi kewajiban untuk menurunkan NRW. Pemberlakuan sanksi yang tegas, melibatkan aparat penegak hukum, menjalin MoU untuk bersama-sama berkomitmen menurunkan NRW,
17
Policy Brief
2015
memahami bahwa NRW jangan hanya menjadi tugas operator, tetapi merupakan tugas negara, merupakan upaya yang harus dilakukan seluruh stakeholder.
Possible Financing Schemes Ditengah-tengah funding gap yang dialami pemerintah (dan pemerintah daerah), banyak skema pembiayaan dapat membantu mengakselerasi target capaian 100% akses air minum, diantaranya :
Kerjasama dengan s wasta atau BUMN/BUMD. Best practice dari Ofwats, JWWA, dan PT. AAT hendaknya menjadi inspirasi untuk tidak menutup peran swasta dalam penyelenggaraan SPAM. Pemerintah bertugas melindungi hak publik dengan memperketat regulasi untuk pengawasan dan memberlakukan SPM (Standar Pelayanan Minimal) agar swasta atau BUMN/BUMD comply terhadap aturan yang ada.
Jika me mungkinkan keterlibatan s wasta sebaiknya di seluruh proses, tidak hanya terbatas pada Unit Air Baku atau Unit Produksi saja. Hal ini terutama bagi PDAM yang terkategori “sakit” atau “kurang sehat”. Keterlibatan swasta secara penuh ini juga untuk memudahkan penyusunan rencana bisnis. Pemerintah/Pemda harus menciptakan iklim investasi yang kondusif agar risiko-risiko terkait investasi (termasuk political risk) dapat ditekan supaya swasta juga dapat terlibat di Unit Distribusi dan Pelayanan.
Regional Infrastructure Development Fund (RIDF) menjadi salah satu skema yang cukup menarik dan dapat dimanfaatkan oleh Pe mda. Selain itu, perlu koordinasi dan komunikasi yang intensif (disertai kemudahan perizinan dari Pemda) agar dukungan penjaminan dari PT. PII untuk proyek-proyek SPAM dapat dilakukan.
Bantuan stimulan dari dana APBN cq. Ditjen CK dapat dimanfaatkan Pemda/PDAM untuk berinvestasi di Unit Distribusi dan Pelayanan. Namun yang perlu dicatat disini adalah harus adanya kontribusi dana dari APBD Provinsi dan APBD Kab/Kota.
Masuknya CSR dalam pembiayaan SPAM juga sangat dimungkinkan. Jika PDAM hendak menggunakan dana CSR, sebaiknya proposal yang disusun dipersiapkan dengan baik
Prasyarat Tata Kelola dan The Way Forward
Kuantitas, kualitas, dan kontinuitas air baku menjadi prasyarat keberhasilan kinerja SPAM. SIPA harus di-manage secara profesional. SIPA, khususnya untuk kasus proyek SPAM yang dibiayai swasta melalui skema BOT ( Build Operate Transfer), harus dijamin oleh BBWS, PJT, atau lembaga pengelola WS lainnya
18
Policy Brief
2015
mengenai aspek kuantitas, kualitas, dan kontinuitas air baku. SIPA ini harus direview dalam periode tertentu, misal 5 (lima) tahun sekali.
Kebijakan pendayagunaan sumbe rdaya air yang salah satunya digunakan untuk air minum harus disinkronisasikan [antara pe raturan di tingkat pusat dengan di tingkat dae rah] dengan kebijakan pengendalian eksploitasi air tanah. Untuk itu, layanan SPAM harus menjangkau seluruh lapisan masyarakat; selain agar target 100% akses air minum terpenuhi, juga agar eksploitasi air tanah dapat dikendalikan.
SPAM seyogyanya tidak dipandang hanya menjadi tugas Ke menterian PUPR saja. Dukungan kementerian dan BUMN lain, seperti Kementerian Perhubungan, PT. KAI, PT. PLN (untuk jaminan pasokan listrik), dsb.
Membe rlakukan tarif air secara nasional (pe r regional) seperti yang dilakukan oleh OFWATS di Inggris dapat diwacanakan di Indonesia namun harus melalui tahapan riset pelanggan terlebih dahulu, konsolidasi dengan perusahaan/operator, dan konsultasi publik.
19
Policy Brief
2015
SOCIAL MAPPING KAMPUNG LAUT : Langkah Awal Keberlanjutan Teknologi Tantangan 100-0-100 di Kampung Laut
W
ilayah kecamatan Kampung Laut yang terletak di kabupaten Cilacap memiliki segudang permasalahan, khususnya dalam bidang permukiman seperti buruknya kondisi sanitasi, rendahnya pelayanan air bersih dan air minum, serta permasalahan kekumuhan. Kondisi permukiman yang lahir dari proses sedimentasi dan tanah timbul, merupakan penyebab rendahnya akses penduduk ke sumber air bersih, akses air bersih yang minim menyebabkan alokasi pengeluaran keuangan warga untuk air menjadi besar. Di bidang sanitasi, kondisi fasilitas sanitasi layak masih minim. Selain itu, penyediaan perumahan yang murah dan layak juga menjadi hal yang dapat dikembangkan di wilayah Kampung Laut ini. Target 100-0-100 bidang Cipta Karya, Kementerian PU dan Perumahan Rakyat yang tertuang dalam RPJMN 2015-2019, tentunya memerlukan penerapan inovasi teknologi bidang permukiman sebagai hal penting untuk mendukung pencapaiannya.
Urgensi Social Mapping Sudah banyak teknologi hasil litbang yang diterapkan di wilayah Kampung Laut, namun sebagian besar dihadapkan pada sejumlah hambatan. Pengalaman beberapa program pembangunan khususnya terkait air bersih dan sanitasi mengalami kegagalan seperti pada program Pamsimas, penerapan teknologi reverse osmosis (RO) oleh ITB, dan sebagainya. Kegagalan tersebut disebabkan oleh kurang siapnya masyarakat dan stakeholder dalam penerapan dan pemanfaatan teknologi, serta infrastruktur air minum dan sanitasi di wilayah tersebut. Dari sinilah perlu dilakukannya pemetaan sosial, ekonomi, dan lingkungan (social mapping) terlebih dahulu untuk menyusun strategi penyiapan masyarakat agar dapat meningkatkan dukungan, penerimaan, dan kapasitas masyarakat dan stakeholder dalam penerapan dan pemanfaatan hasil litbang di wilayah Kampung Laut.
Hal-hal yang perlu diperhatikan Agar keberlanjutan dan keberterimaan teknologi bidang permukiman dapat efektif diterapkan di masyarakat, perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
20
Policy Brief
2015
o
Sosial-budaya
-
Masyarakat pemilik mesti dibangun rasa memiliki tinggi, sehingga perlu adanya panduan operasional dan pemeliharaan teknologi.
-
Peningkatan pendidikan/pengetahuan masyarakat, baik tentang teknologi maupun pengetahuan lain yang mendukung
-
Perlu diatur mekanisme penyelesaian masalah/konflik sosial yang menghambat keberlangsungan pengaplikasian teknologi.
-
Pembentukan lembaga sosial yang mengoperasikan kegiatan pengelolaan teknologi yang independen dan bebas dari kepentingan politik yang dapat menimbulkan konflik sosial.
-
Membangun kesiapan serta partisipasi aktif masyarakat menjadi modal utama bagi keberlangsungan program. Tingginya modal sosial dan solidaritas akan membangun kohesifitas diantara warga masyarakat maupun perangkat desa terkait.
-
Perlu pengenalan atau sosialisasi awal terkait konsep teknologi permukiman (MCK plus, Risha, dan pengolahan air bersih) kepada masyarakat. Keunggulan, kelemahan, dan pemeliharaan mesti dijabarkan secara rinci sejak awal. Proses ini akan lebih baik jika didukung oleh DED atau maket yang informatif
-
Perlu pemetaan dan pengkajian mendalam terkait sejarah dan budaya perkembangan permukiman setempat.
-
Perlu pilot project misalnya untuk fasilitas umum untuk meyakinkan masyarakat
o
Peluang Ekonomi
-
Potensi penerapan teknologi yang dapat dikembangkan untuk kegiatan perekonomian (memiliki profit oriented) dan pariwisata dapat berefek positif bagi masyarakat setempat.
-
Menjaga agar harga air bersih hasil pengolahan teknologi instalasi air bersih tetap berada pada standar/tingkat Ability to Pay (ATP) dan Willingness to Pay (WTP) yang dimiliki oleh masyakat.
-
Proses pengelolaan sanitasi yang lebih baik dan terkelola secara profesional akan mengurangi biaya maupun dana yang harus dikeluarkan oleh rumah tangga, hal ini dikarenakan pola pengelolaan sanitasi yang dilakukan melibatkan pemerintah desa atau daerah setempat dalam pengelolaannya.
-
Perlu perincian RAB kepada masyarakat dengan kisaran harga yang terjangkau masyarakat setempat
21
Policy Brief
2015
o
Keberlanjutan Lingkungan
-
Bahan untuk pemeliharaan mesti dijamin atau dapat memanfaatkan potensi lokal, sehingga mudah didapatkan.
-
Masyarakat penting digerakkan sadar dan peduli lingkungan, minimal di lingkungan permukimannya
-
Menjaga kualitas lingkugan agar sumber air baku (input) yang masuk ke instalasi pengolahan air bersih tetap sesuai standar yang ditentukan
-
Meningkatkan pengetahuan/kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungan
-
Memperhatikan desain penataan lingkungan di sekitar kawasan Kecamatan Kampung Laut. Proses sedimentasi dan pendangkalan air laut terjadi begitu cepat sehingga memberi dampak bagi proses penataan lingkungan serta tata ruang pemukiman.
-
Perlu dipertimbangkan pemanfaatan sumberdaya atau bahan lokal yang ramah lingkungan
-
Perlu dikombinasi atau dilengkapi dengan fasilitas perumahan yang ramah lingkungan, seperti sanitasi, energi, ruang terbuka hijau, dan lainnya
22
Policy Brief
2015
MEMBANGUN KAWASAN EKONOMI KHUSUS (KEK) Berbasis Daya Dukung
KEK sebagai Engine of Growth
K
esenjangan wilayah menjadi salah satu isu sentral dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 – 2019. Upaya untuk menanganinya adalah dengan mengembangkan pusat pertumbuhan di masing – masing wilayah, salah satunya melalui Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Untuk mengeliminasi potensi permasalahan dalam pengembangan KEK, sejak tahap penentuan kawasan harus dilakukan dengan strategi pengembangan pusat pertumbuhan berbasis potensi sumber daya alam dan kegiatan budidaya unggulan, menciptakan iklim investasi yang kondusif, mengelola pemanfaatan sumber daya alam sesuai daya dukung dan daya tampung lingkungan, mengelola dampak negatif kegiatan budidaya, mengintensifkan promosi peluang investasi, serta meningkatkan pelayanan prasarana dan sarana penunjang kegiatan ekonomi. Meskipun didedikasikan sebagai “engine of growth”, tetapi pengembangan KEK wajib memperhatikan daya dukung wilayah agar keberlanjutannya dapat terjamin.
Simulasi Daya Dukung dan Strategi Keberlanjutan Simulasi terhadap ketiga KEK yakni Sei Mangkei, Tanjung Lesung, dan Maloy Batuta Trans Kalimantan (MBTK) menunjukkan bahwa beberapa skenario pengembangan KEK untuk jangka waktu 30 tahun kedepan berpengaruh terhadap daya dukung lahan dan air :
Skenario 1 (Perkembangan sesuai Masterplan) menunjukkan bahwa seiring dengan tahapan pembangunan KEK baik untuk pembangunan industri (hilirisasi karet dan kelapa sawit, wisata, pengepakan, gudang, dsb.), fasilitas komersial (pertokoan, hotel, dsb) dan pendukung (kantor, tempat ibadah, gedung pertemuan, dsb.), maka daya dukung dan daya tampung lahan akan semakin menurun. Dampak terburuk dari skenario 1 ini adalah lahan sudah tidak mampu lagi mendukung perkembangan KEK, sehingga pada akhirnya akan menjadi faktor penghambat. Lingkungan akan terganggu yang tentunya akan mengurangi daya tarik KEK itu sendiri.
Skenario 2 (Ekspansi Lahan) menunjukkan bahwa penambahan luasan lahan KEK akan sedikit mampu meningkatkan daya dukung lahan yang pada awal perkembangan KEK sebelumnya akan mengalami penurunan daya dukungnya.
Skenario 3 (Peningkatan Kapasitas Pengolahan Limbah dan Pengembangan SDA) menunjukkan bahwa pemanfaatan air dan penambahan kapasitas intake air serta peningkatan kapasitas IPAL akan mendorong peningkatan daya dukung wilayah.
23
Policy Brief
2015
Kuantitas dan kualitas air yang tersedia mampu mendukung untuk pengembangan KEK baik saat ini maupun masa depannya.
Langkah Selanjutnya KEK Sei Mangkei, Tanjung Lesung, dan Maloy Batuta Trans Kalimantan (MBTK) memang belum sepenuhnya beroperasi. Namun jika kelak infrastruktur dan semua perangkat kebijakan ekonominya mampu menarik sebanyak-banyaknya investasi, apa yang dikhawatirkan tentang penurunan daya dukung KEK patut diperhatikan para pengelola kawasan dan pemangku kebijakan. Hal ini dimaksudkan agar kawasan tersebut “langgeng” memenuhi fungsinya sebagai engine of growth. Lantas, apa yang harus dilakukan? Dokumen Standar Penyelenggaraan Infrastruktur dalam KEK yang dikeluarkan oleh Dewan KEK Nasional sudah cukup baik sebagai acuan bersama dalam membangun infrastruktur KEK. Namun yang harus dicatat adalah bagaimana institutional setting yang sudah ada bisa berjalan, termasuk dalam hal pengendalian pembangunannya. Kelembagaan yang dimaksud adalah Dewan KEK Nasional, Dewan Kawasan KEK, Administrator, serta Badan Usaha/Pengelola. Adakah telah melibatkan Dinas/Badan yang berwenang mengendalikan pembangunan dan kualitas lingkungan? Selain itu, seyogyanya sejak dari pengurusan perizinan, peran pengendalian sudah berjalan. Sehingga tidak ditemukan lagi Badan Usaha yang melanggar ketentuan pembangunan KEK. Best practice beberapa KEK di luar negeri, seperti di Senzhen, Iskandar Malaysia, dll seharusnya menjadi penyemangat dalam merencanakan dan mengeksekusi KEK agar tetap berfungsi sebagai tempat yang nyaman untuk “Invest, Work, Live, and Play”.
24
Policy Brief
2015
Akankah Target Cities Without Slum tercapai pada 2020 ini? Pentingnya Penentuan Skala Prioritas Penanganan Kumuh berdasarkan Kesiapan Aspek Sosekling dan Kriteria Penerapan Teknologi Permukiman yang diinvestasikan Potret Kumuh Indonesia
D
ata aktual Agustus 2014 menunjukkan permukiman kumuh di Indonesia teridentifikasi masih mencakup luasan 34.473 Ha, sebanyak 3.201 kawasan dan tersebar di 415 kabupaten/kota. Trendline peningkatan kawasan kumuh pun mencapai 1,37% per tahun (Ditjen Cipta Karya, 2014). Kondisi ini memperlihatkan bahwa pengentasan permukiman kumuh menjadi tugas berat dan perlu perhatian bersama, terlebih untuk mewujudkan target cities without slum di tahun 2020 nanti. Dalam upaya mendukung target Pemerintah dalam RPJPN 2005-2024 untuk mewujudkan kota tanpa permukiman kumuh (cities without slum), serta target Renstra Ditjen Cipta Karya 2015-2019 yakni “0% (nol persen) kota dengan permukiman kumuh, maka dirumuskanlah Rancangan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat tentang “Peningkatan Kualitas Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh”. Kendala Penanganan Kumuh Banyaknya program-program pemerintah yang mendukung penataaan kawasan kumuh dalam rangka mendukung program 100-0-100 yang telah dicanangkan oleh Kementerian PU-PR. Namun dalam penanganannya diperlukan program-program yang memiliki sifatsifat yang spesifik, baik didasarkan pada luas cakupan wilayahnya, jumlah dana dan investasi yang dibutuhkan, maupun waktu (periode) penanganan. Penanganan kumuh di perkotaan masih menemui kendala, dimana setelah pembangunan infrastruktur permukiman dilakukan di suatu kawasan, dalam jangka waktu beberapa tahun setelahnya, infrastruktur tersebut akan rusak dan tidak dapat digunakan lagi. Kawasan pun kemudian menuju kumuh dan memerlukan proyek peningkatan kualitas kembali. Salah satu faktor penyebabnya adalah kurangnya peran aktif masyarakat dalam turut menjaga, merawat dan memelihara sarana prasarana yang telah dibangun. Selain itu, diperlukan adanya penentuan kriteria penerapan teknologi permukiman yang optimal untuk program penanganan kawasan kumuh. Penerapan teknologi perumahan dan permukiman dapat dibiayai oleh lima macam sumber, yakni: APBN (Pusat), APBD (pemerintah daerah), investasi pihak s wasta, kerjasama pemerintah dan swasta (public-private partnership), atau melalui pinjaman pemerintah pusat, lembaga keuangan dalam negeri ataupun dari luar negeri.
25
Policy Brief
2015
Dalam penentuan program penyediaan infrastruktur Perumahan dan permukiman yang paling tepat untuk diimplementasikan di kawasan permukiman kumuh adalah program pelayanan (service program) yang mempunyai skala kecil untuk lingkupnya dari Kecamatan dan Kelurahan, sehingga dalam penyelesaiannya relatif murah dan dapat diselesaikan dalam setahun. Dengan mempertimbangkan relatif kecilnya investasi yang dibutuhkan untuk membangun prasarana dan sarana umum di kawasan permukiman kumuh, maka sebenarnya peran serta masyarakat dan pihak swasta dalam membiayai pembangunan dan pemeliharaan prasarana dan sarana di wilayahnya masing- masing sangatlah perlu ditingkatkan. Banyaknya prasarana dan sarana yang tidak dapat digunakan yang disebabkan rusak sarana dan prasarana yang telah dibangun. Masyarakat sendiri tidak mengetahui bagaimana cara untuk memperbaiki. Selain itu banyaknya penyediaan sarana prasarana permukiman tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat hanya berdasarkan proyek semata. Maka dari itu dalam memenuhi kebutuhan dan aspirasi warga kawasan permukiman kumuh akan prasarana dan sarana pelayanan, perlu disusun program dan proyek pembangunan yang disesuaikan dengan prioritas pembangunan, rencana tata ruang, program dan proyek yang telah dan/atau sedang dilaksanakan.
Beberapa Langkah Rekomendasi Berkaitan dengan Skala Prioritas Penanganan Kumuh Berdasarkan Aspek Sosekling direkomendasikan :
Rapermen PUPR tentang “Peningkatan Kualitas Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh” telah menyebutkan adanya Penentuan Skala Prioritas Penanganan Kumuh yang berdasarkan Aspek Non Fisik (Pasal 21). Ini berarti bahwa penanganan kawasan kumuh dapat mempertimbangkan aspek-aspek lain yang bersifat sosial, ekonomi dan lingkungan (sosekling) agar penanganan menjadi optimal dan berkelanjutan.
Perencanaan program penanganan kumuh perlu diawali pemetaan kesiapan kawasan, baik dari aspek fisik lokasi maupun aspek non fisik (masyarakat), agar meminimalisir resistensi terhadap program dan sekaligus menumbuhkan pastisipasi dari masyarakat setempat.
Perlu segera dikembangkan model operasional yang mampu mengukur skala kesiapan kawasan kumuh sebagai pertimbangan pengalokasian angaran dan prioritasi program penanganan kumuh.
Dalam penyelesaian penataan kawasan permukiman dan perumahan pada kawasan kumuh perlu diperhatikan antara lain pencegahan agar kawasan tersebut tidak menjadi kumuh kembali seperti aturan izin mendirikan bangunan (IMB), peraturan Daerah (Perda) penataan kawasan dan peraturan lainnya. Salah satu komponen utama dalam penataan kawasan permukiman kumuh adalah me ningkatkan status tanah (misalnya
26
Policy Brief
2015
sertifikat tanah dan surat perjanjian pemanfaatan tanah) atau status administrasi permukiman (RT/RW).
Masyarakat yang tinggal di permukiman kumuh adalah bagian dari penduduk kota juga dan seharusnya mempunyai hak yang sama atas kesehatan dan pelayanan dasar kota. Hak ini seringkali dibatasi oleh kemampuan pemerintah dalam mewujudkan pelayanan dasar ini. Proses merealisasi hak penghuni permukiman kumuh tergantung pada kapasitas mereka untuk berinteraksi dengan pemerintah. Salah satu kunci adalah menciptakan dialog antara masyarakat permukiman kumuh dan pemerintah mengenai peluang-peluang dan kebutuhan teknologi infrastruktur yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam rangka meningkatkan komunitas permukiman kumuh. Dengan duduk bersama antara stakeholder terkait dan masyarakat maka setiap pelaksanan mengerti mana yang menjadi hak dan tanggung jawab, serta merancang programprogram yang lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Apabila proses ini tidak dipahami oleh masyarakat dan pemerintah, maka akan sulit program ini berhasil.
Peningkatan permukiman kumuh tidak selalu berbicara tentang air bersih, drainase atau perumahan, namun sebaiknya lebih banyak menyiapkan seperti perluasan jasa pelayanan ekonomi, sosial, kelembagaan dan komunitas kepada para penghuni permukiman kumuh. memberikan perhatian pada bagaimana menggerakan kegiatan sosial-ekonomi, kelembagaan dan komunitas agar kehidupan masyarakat dapat terangkat. Kegiatan ini perlu ditangani secara terkoordinir dengan warga penghuni, kelompok masyarakat, pengusaha dan pemerintah tingkat pusat dan daerah. Kegiatannya mencakup penyediaan jasa pelayanan dasar seperti perumahan, jalan, drainase, air bersih, sanitasi dan pembuangan sampah. Akses ke pendidikan dan pelayanan kesehatan juga dianggap sebagai bagian dari peningkatan kualitas. Pada akhirnya, upaya meningkatkan permukiman kumuh mempunyai tujuan untuk menciptakan dinamika dalam komunitas dimana tumbuh rasa pemilikan, manfaat dan investasi di dalam permukimannya.
Indikasi program pembangunan prasarana dan sarana permukiman di kawasan kumuh perlu dijabarkan ke dalam ruang kawasan kumuh, untuk memberikan gambaran terhadap penyebaran permasalahan serta upaya penanggulangannya melalui distribusi pembangunan prasarana dan sarana pelayanan di kawasan permukiman kumuh untuk dapat meningkatkan optimalisasi dan efisiensi pelayanan dari prasarana yang akan dibangun terhadap warga masyarakat setempat.
Secara implementatif, sebenarnya beberapa program kegiatan yang disarankan di atas tidak menjamin efektifitas penerapannya, namun setidaknya dapat digunakan sebagai masukan yang strategis dalam penyusunan program penangana n kawasan permukiman kumuh secara terpadu dan komprehensif. Relatif pesatnya pertambahan jumlah penduduk dan unit hunian serta perkembangan kegiatan yang dilakukan di kawasan permukiman kumuh, perlu dijadikan pertimbangan lanjutan yang akan menyesuaikan
27
Policy Brief
2015
dan menyempurnakan indikasi program yang diusulkan, agar dapat secara efektif dijabarkan ke dalam proyek dan kegiatan tahunan yang dapat diterapkan.
Beberapa indikator kesiapan yang dapat diperhatikan seperti : -
Legalitas lahan dan status keberadaan masyarakat di kawasan kumuh;
-
Pengetahuan dan persepsi masyarakat terhadap program penanganan kumuh;
-
Kemauan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan program;
-
Kompetensi masyarakat dalam menerima dan menjalankan OP (Operasional dan Pemeliharaan) infrastruktur permukiman yang akan diinvestasikan;
-
Potensi Willingness To Pay (WTP) masyarakat guna pembiayaan pemeliharaan atau pengembangan sarpras permukiman;
-
Potensi transfer teknologi permukiman untuk peningkatan kemandirian dan kehandalan masyarakat.
Teknologi permukiman yang akan diinvestasikan dalam program penanganan kumuh, selain harus berfungsi baik dan optimal, juga perlu mempertimbangkan beberapa hal seperti :
Teknologi yang diterapkan sebaiknya dapat mengakomodir kebutuhan masa mendatang (Future Demand). Ini penting karena pertumbuhan populasi di kawasan kumuh lebih cepat dibandingkan ketersediaan lahan.
Penerapan teknologi diprioritaskan berdasarkan kesiapan (Readiness Based Priority). Mengingat terbatasnya sumberdaya, maka target intervensi dan penerima manfaat diprioritaskan kepada kawasan dengan tingkat kesiapan yang lebih tinggi.
Menyusun platform bersama untuk koordinasi dan kolaborasi multisektoral, sehingga memungkinkan keterlibatan pihak lain (kementerian/lembaga lain maupun pihak swasta) dalam program penanganan kumuh. Misalnya saja, ikut melibatkan Kementerian Kesehatan untuk sosialisasi dan penyehatan masyarakat, atau Kementerian Koperasi dan UKM dalam mendukung pengembangan ekonomi masyarakat di kawasan kumuh.
Perlu dikembangkan teknologi yang mudah digunakan dan dikembangkan oleh masyarakat (Transfer Technology). Hal ini untuk menjamin keberlangsungan operasi dan pemeliharaan agar masyarakat dapat ikut serta dalam menjaga dan merawat sarpras permukiman yang ada.
Pemilihan teknologi yang mampu meningkatkan kemandirian masyarakat (Self Sufficient). Penerapan teknologi permukiman sedapat mungkin juga mampu memberikan insentif ekonomi bagi masyarakat. Misalnya saja, perubahan teknologi
28
Policy Brief
2015
pengangkutan sampah kepada teknologi pengo lahan sampah insitu. Penerapan teknologi pengelolaan sampah seperti ini memungkinkan dihasilkannya kompos dan hasil lain yang bernilai ekonomi bagi masyarakat yang mengolahnya.
Penerapan teknologi yang dapat meningkatkan kehandalan masyarakat (Resilience). Program penanganan kumuh sebaiknya tidak hanya menerapkan teknologi permukiman saja, melainkan juga ditujukan untuk penyiapan masyarakat agar handal dalam beradaptasi dan mengantisipasi perubahan lingkungan. Misalnya saja dengan penerapan teknologi talud dan pemecah gelombang pada kawasan kumuh di pesisir laut.
Perlu dikembangkan sistem monitoring dan evaluasi pada teknologi permukiman yang sudah diterapkan di kawasan-kawasan kumuh (Monev). Diperlukan monitoring & evaluasi yang berkala untuk memastikan optimalnya intervensi peningkatan kondisi permukiman dan mencapai manfaat yang diharapkan.
29
Policy Brief
2015
Kota Inklusif: Kota Responsif Gender Pemahaman Kota Inklusif
K
ota dan permukiman yang inklusif adalah kota dan permukiman yang berperspektif gender; permukiman yang aman, nyaman dan berkelanjutan bagi laki- laki, perempuan (anak lansia, difable) dalam pemenuhan kebutuhan kehidupan sosial, ekonomi dan lingkungan yang merupakan hak mereka. Untuk mewujudkannya, negara tidak cukup hanya dengan menetapkan Standar Pelayanan Minimal (SPM) dengan indikator kesuksesan yang “asal ada” dan melakukan pembinaan secara bussiness as usual. Variabel maupun ukuran dalam SPM dan bentuk “pembinaan” harus jelas dan terukur.
Apa yang harus dilakukan? Terkait hal tersebut, maka perlu dilakukan peninjauan kembali atas SPM-SPM bidang permukiman khususnya bidang pekerjaan umum dan penataan ruang (Permen PU No.01/PRT/M/2014). SPM harus diposisikan kembali dengan tegas agar menjadi standar bagi setiap permukiman di Indonesia, dipahami, dijalankan tanpa diskriminasi. Permukiman harus dibangun untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, menghilangkan hambatan di masyarakat, mendorong kemajuan positif di masyarakat dan sesuai dengan aspirasi masyarakat, sehingga review kebijakan yang lebih komprehensif harus dilakukan salah satunya dengan “meminjam” kacamata gender atas SPM dan aturan terkait lainnya. Review atas kebijakan yang perlu segera dilakukan oleh Kementerian PUPR antara lain: 1.
Ditjen Cipta Karya, Penyedia Perumahan, Pembiayaan Perumahan, Badan Litbang, dan BPIW serta pemerintah daerah adalah aktor yang akan sangat menentukan sehingga perlu terintegrasi dalam mengeluarkan kebijakan (Collaboration Factors Inventory harus diukur).
2.
Gender Planning Framework pemukiman perkotaan harus dipastikan disusun secara komprehensif sebelum pengembangan/pemekaran pemukiman baru. SPM harus disusun bukan hanya berorientasi pada output namun sebaiknya juga harus menyiapkan bussiness process secara inklusif.
3.
SPM harus didiseminasikan secara luas dan intensif oleh Kementerian PUPR melalui berbagai media dan lintas K/L.
30
Policy Brief
2015
LINKS DAN NODES Mendukung Pengembangan Wilayah Konektivitas dan Jaringan Jalan
D
alam rangka mewujudkan salah satu amanat Nawa Cita Presiden Joko Widodo, Kementerian PUPR memiliki rencana untuk membangun 1.000 km jalan tol, 2.650 km jalan non-tol; pemeliharaan 47.017 km jalan; konstruksi 15.000 m fly over dan underpass; dan dukungan 500 km jalan sub-nasional. Kesemua hal tersebut ditargetkan selesai dalam masa 5 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo – Jusuf Kalla untuk me ningkatkan konektivitas bagi penguatan daya saing Indonesia. Pertanyaannya kemudian bagaimana caranya mengukur konektivitas tersebut. Ini menjadi penting karena jika seluruh rencana Kementerian PUPR terwujud apakah memang terjadi peningkatan konektivitas. Pada intinya konektivitas adalah membandingkan antara jaringan jalan dengan pusatpusat kegiatan. Idealnya jaringan jalan harus mampu melayani seluruh pusat kegiatan yang ada. Jaringan jalan diistilahkan links sementara pusat kegiatan diistilahkan nodes. Dengan demikian konektivitas merupakan perbandingan antara links dan nodes.
Pentingnya Kuantitas dan Kualitas Links & Nodes Konektivitas tidak diukur semata- mata dengan membandingkan jumlah links dan jumlah nodes, tetapi harus juga dibandingkan kualitas links dan kualitas nodes. Kualitas ini penting agar links bisa melayani nodes dengan optimal. Sebagai ilustrasi adalah links dengan kualitas seperti di Pulau Kalimantan tidak akan bisa melayani nodes secara optimal di Pulau Jawa karena kualitas nodes seperti di Pulau Jawa menuntut links dengan kualitas yang lebih tinggi. Sebaliknya links dengan kualitas seperti di Pulau Jawa akan mubazir jika diterapkan di Pulau Kalimantan karena kualitas nodes di Pulau Kalimantan tidak menuntut links dengan kualitas seperti di Pulau Jawa. Oleh karena itu maka konektivitas merupakan perbandingan antara kualitas dan kuantitas links dan nodes. Pertanyaannya sekarang menjadi bagaimana menghitung kualitas dan kuantitas links dan nodes?
31
Policy Brief
2015
Tawaran Solusi
Setelah dilakukan perhitungan maka diketahui bahwa untuk kasus ilustrasi di Provinsi Gorontalo bahwa ukuran nodes terbesar adalah Kota Gorontalo. Akan tetapi tidak didukung dengan kondisi links yang baik. Oleh karena itu diperlukan penanganan untuk links di sekitar Kota Gorontalo dengan cara penambahan kapasitas, perbaikan kondisi jalan, pembuatan jalan baru dan peningkatan status jalan.
Penambahan kapasitas dilakukan dengan memperlebar jalan yang telah ada. Hal ini hanya memungkinkan dilakukan untuk jalan yang berada di pinggir kota.
Perbaikan kondisi jalan dilakukan dengan meningkatkan kualitas aspal (perkerasan) jalan sehingga jalan lebih awet dan tidak mudah rusak. Perbaikan ini juga termasuk penanganan jembatan sehingga tidak terjadi bottle neck ketika melintasi jembatan.
Pembuatan jalan baru dilakukan terutama dengan membuat jalan lingkar untuk mempermudah akses menuju Bandara dan Pelabuhan serta menghindar tercampurnya lalu lintas lokal dengan antar kota. Pembuatan jalan baru juga dilakukan untuk wilayah-wilayah pengembangan baru di sekitar Kota Gorontalo.
Peningkatan status jalan dilakukan untuk jalan-jalan yang dirasa strategis tetapi penanganannya masih di bawah Pemerintah Provinsi atau Kota/Kabupaten. Dengan peningkatan status maka penanganan langsung berada di bawah Kementerian PUPR sehingga bisa terintegrasi dengan rencana jaringan jalan di Pulau Sulawesi.
32
Policy Brief
2015
ASPAL BUTON “MANGKRAK” Harus Bagaimana? Penyebab Belum Optimalnya Pemanfaatan Aspal Buton
B
elum optimalnya pemanfaatan aspal buton untuk pembangunan infrastruktur jalan di Indonesia membuat deposit aspal buton di Pulau Buton “mangkrak” sejumlah 677 juta ton. Data menunjukkan bahwa kebutuhan aspal tahun 2015 adalah 1.325.709 MT, dimana 67% dari kebutuhan tersebut berasal dari impor, 18% diproduksi Pertamina, dan 15% sisanya impor oleh Pertamina. Lantas, mengapa aspal buton tidak dimanfaatkan secara optimal? Ternyata beberapa faktor penyebabnya adalah karena faktor kebiasaan yang susah beralih dari aspal minyak ke aspal buton. Dari aspek produksi juga perlu penanganan khusus karena jika tidak maka kualitas bahannya dapat menurun. Tidak hanya itu, dari sisi distribusi juga dirasa banyak kalangan cukup mahal dalam pengirimannya.
Apa yang harus dilakukan? Untuk mengatasinya, diusulkan beberapa poin rekomendasi yang meliputi 5 (lima) aspek, yaitu:
Kesiapan Teknologi
Diperlukan teknologi full ekstraksi yang diinginkan pasar dan fokus pada varian produk yang diminati pasar (B25 & B30).
Harus disusun Standar Prosedur Manual (SPM): 1. Teknik penyimpanan aspal buton (agar kualitas tidak turun) 2. Teknik pengolahan aspal buton yang murah, mudah, dan praktis (full ekstraksi) 3. Teknik pemeliharaan jalan aspal buton.
Kepastian Pasar
Ditingkatkannya sosialisasi atau marketing aspal buton dan pembuatan pilot project
Ditetapkannya peraturan dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang mewajibkan semua proyek jalan menggunakan aspal buton dan dimasukkan dalam dokumen kontrak (misal : menggunakan skema design and build dalam penyelenggaraan proyek)
33
Policy Brief
2015
Untuk mengantisipasi lamanya masa tunggu aspal buton, gudang-gudang yang dimiliki Dinas PU di seluruh Indonesia dimanfaatkan sebagai gudang aspal buton sementara dengan jumlah sesuai kebutuhan proyek jalan di wilayah tersebut.
Adanya peralihan status jalan provinsi menjadi jalan nasional sebagai kesempatan bagi Pemerintah Pusat untuk mendorong Pemerintah Daerah dalam penggunaan aspal buton.
SDM dan Kelembagaan
Menyiapkan SDM pelaksana lapangan
Membangun kerjasama/membentuk konsorsium dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk utilisasi dan pengembangan supply chain (rantai pasok). Sebagai contoh, misalnya BUMN yang telah memiliki infrastruktur dan saranaprasarana logistik yang baik, misal antara produsen (PT. BAI, PT. Butonas, PT. Wika Bitumen, dll) dengan PT. Pertamina (Persero), PT. Telkom, Tbk, PT. ASDP Indonesia Ferry (Persero), PT. Pelni (Persero), dan PT. Bhanda Ghara Reksa (Persero).
Skema Pe mbiayaan, investasi penyediaan infrastruktur dan sarana prasarana logistik dapat dipenuhi dari sumber-sumber pembiayaan negara ataupun pembiayaan mandiri, melalui pinjaman atau kerjasama dengan pihak swasta.
Kelengkapan Infrastruktur
Pelabuhan yang difasilitasi dry port agar dwelling time lebih singkat
Dipisahkan antara pelabuhan penumpang dan barang
Memperketat pengawasan sehingga tidak ada oknum yang memperlambat proses
Untuk kemudahan konektivitas dan mobilitas, harus terhubung dengan jalan/jembatan berkualitas baik difasilitasi dengan kapal dan kendaraan khusus aspal buton, gudang-gudang penyimpangan di titik-titik strategis dan agen penjualan menjangkau ke pelosok daerah
Salah satu terobosan yang diusulkan adalah menambah tugas Dinas PU, selain sebagai pelaksana penyelenggara jalan di daerah, juga sebagai “Hub” (titik penghubung yang menyediakan gudang penyimpanan aspal buton, sekaligus untuk meng-update kebutuhan aspal buton di daerah).
Settled Supply Chain vs. Biaya Logistik Disadari bahwa salah satu masalah utamanya adalah mahalnya biaya logistik, maka diusulkan beberapa hal berikut agar rantai pasok aspal buton dapat berjalan : Pertama, kerjasama konsorsium dengan BUMN yang sudah settle infrastruktur logistiknya. Selain biaya investasinya relatif rendah, infrastrutur dan sarana pengangkutan
34
Policy Brief
2015
logistik sudah siap sehingga proses supply chain dapat langsung dilaksanakan. Direkomendasikan BUMN yang diajak kerjasama antara lain PT. Pertamina (Persero), PT. Pelni (Persero), PT. Kereta Api Indonesia, dan PT. Pelindo (Persero). Kedua, produsen aspal buton me mbangun infrastruktur logistik sendiri mulai dari hulu sampai hilir. Opsi ini memiliki keuntungan yaitu produsen dapat memonitor langsung proses pengiriman, laba yang diperoleh dimiliki sepenuhnya, dan dalam menjalankan bisnis produsen tidak terikat dengan pihak manapun. Produsen dalam hal ini adalah PT. Butonas, PT. BAI, dan PT. Wika Bitumen. Ketiga, membuat BUMN baru atau merger dengan BUMN eksisting khusus menangani aspal buton. Adapun kelebihannya adalah mudah dalam permodalan karena didukung negara, mendapat jaminan dari negara, dan keuntungan yang didapat menjadi salah satu sumber pendapatan negara. Contoh BUMN yang dibentuk semacam Perum Bulog, yang khusus menangani penyediaan aspal buton di Indonesia.
35
Policy Brief
2015
RESOLUSI KONFLIK DALAM Revitalisasi Danau Tempe Sulawesi Selatan Rencana Pengerukan Danau Tempe
S
alah satu danau yang saat ini kondisinya cukup memprihatinkan adalah danau Tempe di Sulawesi Selatan. Dikatakan memprihatinkan karena semakin tingginya konsentrasi sedimen yang menyebabkan banjir yang menggenangi areal persawahan, perkebunan, rumah penduduk, prasarana jalan dan jembatan, serta prasarana sosial lainnya yang menimbulkan kerugian yang cukup besar di beberapa wilayah di Kabupaten Wajo, Kab. Soppeng, dan Kab. Sidrap sering terendam oleh setiap tahun (Muin, 2004). Upaya untuk mengatasi permasalahan dan peningkatan fungsi danau Tempe telah dilakukan antara lain dengan pembangunan Bendung Gerak yang dibangun mulai tahun 2010 dan selesai 2012. Bendung ini berfungsi untuk mempertahankan elevasi muka air danau dengan elevasi +5. Di samping itu, juga sebagai intake PDAM Sengkang, perikanan, pariwisata, dan irigasi pompa (https://www.pu.go.id/m/main/view/10263). Upaya selanjutnya adalah melakukan pengerukan agar daya tampung air danau semakin besar dan untuk mempertinggi muka air sehingga fungsi danau dapat kembali seperti semula. Akan tetapi masalahnya adalah akibat terlalu tingginya lalu sedimentasi sudah banyak warga yang menggunakan areal danau untuk pertanian (padi dan palawija). Selain itu, juga sudah ada model penangkapan ikan yang tidak membutuhkan air danau tinggi, melainkan semakin rendah semakin baik.
Potensi Konflik Saat ini, informasi yang hangat dan sedang berkembang, baik di kalangan aparat Pemda maupun masyarakat adalah adanya rencana revitalisasi kawasan Danau Tempe yang inti kegiatannya adalah pengerukan dan pembuatan pulau. Secara umum, sikap Pemda sangat mendukung. Demikian pula sebagian masyarakat sekitar Danau Tempe (terutama yang sering terkena banjir) sudah sangat lama menantikan program ini dapat terealisasi. Hal ini dikarenakan hampir setiap tahun masyarakat mengalami banjir yang bukan hanya merendam areal pertanian warga, melainkan juga merusak rumah dan harta benda masyarakat. Oleh karena itu, Pemda dan masyarakat mengharapkan melalui kegiatan pengerukan, kondisi Danau Tempe dapat berfungsi kembali seperti dahulu kala. Pada konteks elevasi air ini, terdapat polarisasi persepsi, yang dapat dipilah ke dalam dua kategori: (a) Kelompok nelayan yang menginginkan elevasi air Dana u Tempe tinggi. Kelompok nelayan tersebut adalah lanra, tongkang, jabba trawl/kawat dan jala.
36
Policy Brief
2015
(b) Kelompok nelayan yang menginginkan elevasi air Danau Tempe rendah. Kelompok nelayan tersebut adalah bungka toddo, belle, dan strom aki. Selain itu, terdapat kelompok petani yang tentu sangat menginginkan air danau rendah/surut. Hal ini terkait dengan sulitnya mereka melakukan aktivitas pertanian jika air danau masih tinggi. Demikian pula, jika lahan danau sudah dikeruk, maka kemungkinan lahan garapan mereka akan semakin dalam dan senantiasa akan tergenang air. Di samping itu, terkait dengan pemanfaatan lahan, dapat pula diprediksi potensi konflik kemungkinan akan terjadi. Secara tipologi potensi konflik dapat dibagi ke dalam 5 (lima) tingkatan, yakni : sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Indikator untuk menentukan tingkatakan berdasarkan penguasaan lahan dan jarak wilayah pengerukan ke wilayah permukiman.
Rekomendasi Resolusi Konflik Untuk mendukung dan menghindari terjadinya konflik dalam proses revitalisasi, maka dapat direkomendasikan beberapa hal sebagai berikut: (a) Pada level kebijakan, mendorong Pemerintah Daerah tiga kabupaten (Wajo, Soppeng, dan Sidenreng Rappang) untuk menghentikan sementara pelelangan kawasan Danau Tempe sebelum dan selama pengerukan berlangsung. Hal ini sangat penting karena jika tetap dilakukan pelelangan, maka masyarakat akan merasa berhak untuk menguasai danau dan tidak boleh diganggu selama masa penguasaan tersebut berlangsung. Besarnya dana yang dibutuhkan untuk memenangkan lelang akan berimplikasi pada kuatnya resistensi masyarakat terhadap program pengerukan. (b) Mendorong Pemda dan Badan Pertanahan Nasional untuk mengidentifikasi tanah danau yang sudah mendapat SPPT dan sertifikat sehingga dapat dilakukan zonasi yang lebih rinci terkait dengan pemanfaatan dan kepemilikan lahan di danau. Hal ini sangat penting karena dalam beberapa puluh tahun pendangkalan terus berlangsung sehingga batas-batas danau dengan “daratan” sudah semakin kabur yang memungkinkan terjadinya klaim terhadap tanah. (c) Pada saat dilakukan pengerukan sebaiknya, proses dan tahapan pengerukan menggunakan pola sentrifugal, yakni mulai dari bagian dalam dan secara perlahan ke bagian luar. memprioritaskan pengerukan di areal/zona patok balanda terlebih dahulu, tanah wilayah bebas, kemudian ex-ornament dan tanah ongko. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalkan konflik. (d) Perlu adanya kampanye publik untuk meningkatkan kesadaran berbagai lapisan masyarakat melalui: media elektonik dan media cetak serta mengubah persepsi terutama nelayan bungka toddo bahwa semakin dalam air Danau Tempe akan semakin banyak ikan berkembang biak, bukan sebaliknya.
37
Policy Brief
2015
(e) Melakukan kompensasi tanah terutama tanah kas desa atau tanah masyarakat dengan membuat pulau di tengah danau yang merupakan hasil kerukan untuk dijadikan sebagai lahan pertanian dan tempat wisata. (f) Tanah hasil kerukan dalam volume yang besar juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan bata merah terutama banyak ditekuni oleh masyarakat di Kecamatan Panca Lautang Kabupaten Sidenreng Rappang serta untuk meninggikan lokasi kawasan permukiman terutama di Kecamatan Tempe Kabupaten Wajo. (g) Membuat tanggul di sekeliling danau sebagai garis batas danau sehingga tidak ada lagi okupasi lahan yang dilakukan warga secara tidak sah. (h) Untuk memperkuat masyarakat kawasan Danau Tempe sebagai masyarakat nelayan, perlu didukung oleh sarana dan prasarana seperti pendidikan (misalnya mendirikan sekolah perikanan). Selain berfungsi jangka panjang, juga secara jangka pendek, program ini dapat mendorong tingkat akseptabilitas masyarakat terhadap rencana revitalisasi menjadi semakin tinggi.
38