Jurnal Ilmu dakwah Dan Pengembangan Komunitas
POLA PENDAYAGUNAAN ZAKAT DALAM PEMBERDAYAAN SOSIAL-EKONOMI UMAT Oleh : Mansur Hidayat e-mail :
[email protected] Abstract Term ‘zakat’ in Islam understood as part of the property owned by the mandatory which should be distributed to the right persons. Conceptually the distribution of zakat funds can be done in two forms, either in the form of meeting the consumtion needs of poors, as well in the form of the socio-economic empowerment activities which has impact in improving recipients or poors capacity and economic strenght for long-term. Although conceptually there are two forms zakat distribution, but for the alleviation of poverty in long term, the distribution in the form of socio-economic empowerment activities should be a focuse on the distributing and utilizing zakat funds. Kata Kunci : Distribusi, pendayagunaan zakat, Pemberdayaan sosialekonomi A. Pendahuluan Zakat sebagai salah satu rukun Islam, disamping memiliki dimensi spiritual, juga mengandung dimensi social-ekonomi. Implementasi ajaran ber-zakat pada sisi psiko-spiritual akan berdampak dalam mengeliminasi karakter ketidak pedulian dan keserakahan yang acap kali menjadi pemicu timbulnya problem sosial ekonomi dalam bentuk konflik dan disharmonitas social, terutama antara kelompok masyarakat yang berada (the have) dan kelompok masyarakat miskin/ tidak mampu (the haven’t). Bagi penerima zakat (mustahiq al-zakah), harta zakat yang diterima berfungsi mengurangi beban masalah sosial ekonomi terutama disebabkan karena kelemahan sumber finansial yang dimiliki. Zakat yang diterima dalam bentuk barang maupun uang dapat memenuhi kebutuhan hidup, terutama yang menyangkut kebutuhan pokok (basic needs), terutama untuk keperluan konsumsi atau pangan. Dalam jangka panjang zakat juga memungkinkan untuk dikelola secara ekonomis untuk memenuhi kebutuhan hidup mustahiq, dan VOL. 9 No.2 Juli 2014
130
Jurnal Ilmu dakwah Dan Pengembangan Komunitas
memberikan sumber penghasilan yang memberikan harapan kehidupan dan masa depan diri dan keluarga. Pengelolaan zakat secara produktif dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap pengembangan ekonomi kaum dhu’afa. Zakat dalam hal ini dapat menjadi sumber pembiayaan usaha kecil yang umumnya dikelola oleh segmen masyarakat yang tidak memiliki akses pembiayaan dari lembaga-lembaga keuangan formal seperti perbankan, koperasi, dan lembaga keuangan serupa. Tujuan zakat dalam hal ini tidak sekedar menyantuni orang miskin secara konsumtif, tetapi mempunyai tujuan yang lebih permanen yaitu mengentaskan kemiskinan1. Dengan demikian baik bagi pemberi (muzakki) maupun penerima (mustahiq), zakat memiliki fungsi pengembangan kualitas kehidupan baik secara psiko-spiritual, sosial maupun ekonomi. Posisi strategis zakat terlihat jelas paling tidak pada dua hal, Pertama, karena zakat merupakan ajaran agama (Islam), sehingga keberadaan zakat akan berbanding lurus dengan keberadaan penganut ajaran Islam. Kesadaran dan aktifitas berzakat merupakan ekspresi sosial dari nilai-nilai teologis (iman) yang dimiliki oleh seorang muslim. Kedua, sumber keuangan zakat tidak akan pernah berhenti. Artinya orang yang membayar zakat, tidak akan pernah habis dan yang telah membayar setiap tahun atau periode waktu yang lain akan terus membayar.2, mengingat tuntutan berzakat merupakan bagian dari doktrin ajaran Islam yang bersifat mengikat, terutama bagi yang mampu dan terkena kewajiban berzakat. Idealitas fungsi zakat diatas akan terealisasi secara optimal manakala zakat terkelola oleh lembaga zakat (amil zakat) yang professional dan akuntabel. ‘Amil zakat menjalankan peranan penting dalam pengelolaan zakat, sehingga zakat yang terkumpul bisa didistribusikan secara efektif dan berfungsi dalam mengentaskan masalah sosial ekonomi yang dialami oleh masyarakat yang menjadi mustahiq (yang berhak menerima zakat). Lembaga lembaga pengelola zakat di Indonesia khususnya, semakin hari tumbuh pesat baik secara kuantitatif maupun kualitatif, sejalan dengan meningkatnya kesadaran berzakat pada masyarakat muslim di negeri ini. Pertumbuhan lembaga penghimpun dan pengelola zakat
1
Ahmad M. Saefuddin,. Ekonomi dan Masyarakat dalam Perspektif Islam,. (Jakarta: CV Rajawali, 1987), ed.1 cet.1 hlm. 71. 2 Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil (BMT),. (Yogyakarta: UII Press, 2005). , cet 2, hlm. 189-190.
VOL. 9 No.2 Juli 2014
131
Jurnal Ilmu dakwah Dan Pengembangan Komunitas
bahkan merambah sampai ke daerah-daerah tak terkecuali di provinsi Lampung. Lembaga Amil Zakat sebagai lembaga penghimpun dan pengelola zakat.memiliki fungsi strategis dalam upaya optimalisasi fungsi zakat untuk pemberdayaan masyarakat (muslim). Sepanjang sejarah keberadaan lembaga-lembaga ‘amil zakat, eberapa pola pendayagunaan zakat yang diintegrasikan dengan upaya pemberdayaan telah dicoba untuk diimplementasikan; pertama, pola pemberdayaan sosial antara lain dalam bentuk pembiyaan pendidikan anak-anak keluarga dhuafa, bantuan pengobatan, bantuan kematian dan lain-lain. Disamping pemberdayaan di bidang sosial juga dilakukan pemberdayaan ekonomi, hanya saja data sementara memperlihatkan kenyataan bahwa pemberdayaan ekonomi belum dilakukan secara intensif. Program pemberdayaan ekonomi yang dilakukan terbatas pada beberapa pola, padahal pemberdayaan ekonomi berupa pemberian dukungan modal usaha produktif dirasakan fungsinya oleh mustahiq. Problem-problem sosial yang dialami oleh mustahiq berupa rendahnya tingkat pendidikan, tingkat kesehatan yang buruk, marginalisasi sosial dan ainlain memiliki korelasi dengan problem ekonomi seperti tingkat pendapatan yang rendah yang menghalangi mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar lainnya. Tulisan ini ingin mendiskusikan pola pendayagunaan zakat pada tataran konseptual, dan ingin menegaskan bahwa secara teoritikkonseptual zakat merupakan instrumen religio-ekonomi dalam membangun keberdayaan masyarakat mustahiq. Optimalisasi pengumpulan, pengelolaan dan penyaluran zakat dengan demikian idealnya menjadi fokus perhatian. B. Posisi ajaran zakat dan kesadaran sosial masyarakat muslim Dalam tinjauan kebahasaan kata zakat ( )ﺍﻠﺰﻜﺎﺓmerupakan kata dasar (mashdar) dari zaka yang berarti suci, berkah, tumbuh, dan terpuji 3. Kata zaka dipakai sebagai kata kerja berbentuk lampau (fi’il madhi). Sesuatu itu zaka, berarti tumbuh dan berkembang, dan seseorang itu zaka, berarti orang itu baik, ditinjau dari sudut bahasa, adalah suci, tumbuh, berkah, dan terpuji. Kata dasar zakat berarti bertambah dan tumbuh, sehingga bisa dikatakan, tanaman itu zaka, artinya tumbuh, sedang setiap sesuatu yang bertambah disebut zaka artinya bertambah. 3
Muhammad dan Ridwan Mas’ud (). Zakat dan Kemiskinan Instrumen emberdayaan Ekonomi Umat. (Yogyakarta: UII Press, 2005), hlm. 33-34
VOL. 9 No.2 Juli 2014
132
Jurnal Ilmu dakwah Dan Pengembangan Komunitas
Bila satu tanaman tumbuh tanpa cacat, maka kata zakat disini berarti bersih. Berangkat dari pengertian ini dipahami bahwa ajaran zakat merupakan ibadah yang berfungsi untuk membersihkan jiwa dan serta membersihakan serta menumbuhkan (mengembangkan) harta, terutama bagi orang yang berzakat. Dalam terminologi fikih, zakat berarti sejumlah harta tertentu yang wajib diberikan atau diserahkan kepada orang-orang yang berhak. Jumlah yang dikeluarkan dari kekayaan itu disebut zakat karena harta yang dikeluarkan bagian zakatnya itu menambah banyak, membuat lebih berarti, dan melindungi kekayaan itu dari kebinasaan. Menurut Yusuf Qordhoqi, zakat menurut terminologi syariat adalah nama bagi sejumlah harta tertentu yang telah mencapai jumlah tertentu yang diwajibkan oleh Allah untuk dikeluarkan dan diberikan kepada yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu pula4. Pandangan Yusuf Qordhowi diatas sejalan dengan ulama-ulama Fiqih dan intelektual lainnya. Didin Hafiduddin misalnya merumuskan bahwa secaara erminologi Syar’i istilah zakat adalah nama bagi sejumlah harta tertentu yang telah mencapai syarat tertentu yang diwajibkan oleh Allah untuk dikeluarkan dan diberikan kepada yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu pula5. Pengertian secara bahasa dan secara syar’i diatas memberi gambaran bahwa harta benda yang dikeluarkan (dibayar) zakatnya akan menjadi berkah, tumbuh, berkembang dan bertambah suci dan bersih (baik). Dalam perspektif teologis ibadah Zakat merupakan media pendekatan diri seorang hamba dengan Tuhannya (Allah SWT). Hal ini karena ber-zakat (mengeluarkan zakat) merupakan salah satu perintah Allah yang wajib dilaksanakan oleh seorang hamba. Sehingga menunaikan zakat meupakan wujud ketaatan seorang muslim kepada perintah Allah. Makin taat seorang hamba (manusia) menjalankan perintah Nya makin dekat dengan Allah swt. Dalam konteks ini zakat sebagai salah satu rukun Islam yang ke tiga setelah syahadat dan shalat, memiliki posisi strategis terutama dalam kehidupan sosial. Jika shalat berfungsi untuk membentuk keshalehan dari sisi pribadi, maka zakat berfungsi untuk membentuk keshalihan dalam sistem sosial masyarakat. Kedua bentuk keshalihan inilah akan berkonfigurasi dalam format yang utuh untuk menjadikan 4
Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, (Bogor; Pustaka Litera Antar Nusa, 2004).
hlm 21
5
Didin Hafidhhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, (Jakarta: Gema Insani, 2002), hlm. 7
VOL. 9 No.2 Juli 2014
133
Jurnal Ilmu dakwah Dan Pengembangan Komunitas
manusia menjadi insan kamil (manusia sempurna). Selain itu menurut salah satu prinsip zakat bahwa pembayaran zakat merupakan salah satu manifestasi keyakinan agamanya, sehingga jika belum membayar maka belum sempurna ibadahnya6. Secara normatif, tidak ditemukan perbedaan pendapat dikalangan ulama maupun intelektual Islam tentang kedudukan legal zakat itu. Bahwa zakat merupakan kewajiban yang wajib di tunaikan oleh orang-orang yang mampu. Menurut Masdar F. Mas’udi, dalam waktu yang lama ummat Islam memahami ajaran zakat lebih ditekankan pada posisinya sebagai bagian dari amaliyah ritual (ibadah mahdhoh), seperti halnya sholat, zakat ditunaikan dengan tujuan pokok untuk memenuhi kewajiban yang ditekankan dari ‘atas’, suatu kewajiban’ langit’yang harus dipenuhi7. Dengan kata lain bahwa pandangan umat Islam terhadapt ajaran zakat, bersifat ritual dogmatis. Pandangan dan pemahaman yang disinyalir oleh Masdar F Mas’udi sebagai ritual-dogmatis diatas, disamping membuka celah kelemahan dalam pengelolaan zakat untuk mencapai tujuan sosial-ekonomi dari ibadah zakat, juga menjadi sebuah motivasi yang memiliki daya impresi yang sangat kuat. Dengan demikian pada dasarnya (paling tidak untuk sementara waktu), kesadaran berzakat umat Islam sejalan dengan kesadaran dan pemahaman terhadap zakat sebagai ibadah yang bersifat dogmatis dan ritual dimaksud. Semakin tinggi kesadaran dogmatisritual umat Islam, maka semakin tinggi juga kesadaran berzakat itu. Kesadaran berzakat yang semakin tinggi akan berimplikasi pada semakin banyaknya harta yang terkumpul dan dikelola untuk kepentingan menangani persoalan sosial ekonomi yang disandang oleh mustahiq zakat.
C. Revitalisasi fungsi Lembaga pengelola zakat
Untuk menjamin terlaksananya syari’at zakat, maka para penguasa dalam pemerintahan Islam terdahulu menunjuk dan mengangkat badan khusus untuk mengurus tata kelola zakat, badan ini dalam istilah al-qur’an dikenal dengan sebutan ‘amilina ‘alaiha, yang dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan amil. Didalam Fatwa MUI no 8 Tahun 2011 tentang Amil Zakat dirumuskan bahwa Amil zakat adalah Seseorang atau sekelompok orang yang diangkat oleh 6
Ilfi Nur Diana, Hadis-hadis Ekonomi, (Yogyakarta ; Sukses Offset, 2008).
hlm. 81
7
Masdar F. Mas’udi, Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1991), hlm. 37-38
VOL. 9 No.2 Juli 2014
134
Jurnal Ilmu dakwah Dan Pengembangan Komunitas
Pemerintah untuk mengelola pelaksanaan ibadah zakat ; atau Seseorang atau sekelompok orang yang dibentuk oleh masyarakat dan disahkan oleh Pemerintah untuk mengelola pelaksanaan ibadah zakat8 Al-Qordhowi memandang penting intervensi pemerintah dalah dalam tata kelola zakat dengan menunjuk badan atau lembaga ‘amilina ‘alaiha, Menurutnya ada beberapa alasan sehingga Badan atau lembaga amil zakat itu perlu ada dan menjadi kebijakan politik pemerintahan Islam; Pertama, jaminan terlaksananya syari’at zakat, karena bisa jadi ada oknum yang berusaha menghindar dari syari’at zakat bila tidak ada pengawasan pemerintah. Kedua, pemerataan, karena dengan dilakukannya sentralisasi maka diharapkan akan terjadi pemerataan distribusi kepada yang berhak (mustahiq), ketiga, menjaga kehormatan dan harga diri para penerima zakat karena dengan begitu maka mustahiq (penerima) zakat tidak perlu berhadapan langsung dengan pemberi zakat (muzakky), keempat, penerimaan dan pemanfaatan zakat tidak terbatas pada indifidu tetapi juga bisa oleh lembaga yang bergerak dibidang kemaslahatan umum9 Intervensi pemerintahan Islam yang sangat kuat dalam tata kelola zakat dengan menunjuk dan membentuk badan khusus (‘amil) nampaknya lebih dititik tekankan pada upaya untuk memaksimalisasi pengumpulan dan pengelolaan zakat itu untuk kepentingan umum (mashlahah al-‘ammah). Zakat dipandang sebagai sebuah instrument perwujudan kepentingan umum (maslahah ‘ammah) yang juga menjadi tugas dan kewajiban pemerintah. Sehingga dengan begitu maka pasca pengumpulan zakat, harus ada tata kelola zakat yang akuntabel dan fungsional dalam menjamin optimalnya fungsi zakat untuk memenuhi kepentingan masyarakat yang membutuhkan (mustahiq zakat). Organisasi pengelola zakat secara sosio-historis telah melembaga dalam kehidupan sosial keagamaan umat Islam. Pembentukan organisasi atau Institusi pengelola zakat merupakan tuntutan praktis dan sejalan dengan tuntutan doktrin ajaran Islam. Dalam sebuah Hadist diungkapkan bahwa merupakan kewajiban pemerintah untuk memungut zakat secara paksa dari orang-orang yang terhitung telah dikenai kewajiban berzakat namun menampakkan keengganan untuk memenuhi kewajiban keagamaan ini. dalam Organisasi pengelola zakat 8
Majlis Ulama Indonesia, Fatwa MUI No. 8 tahun 2011 tentang Amil Zakat, (Jakarta : Majlis Ulama RI, 2011), hlm 2. 9
Yusuf Qordhowi, Musykilat al-faqr wa kaifa ‘ilajuha al-Islami, sebagaimana dikutp oleh Quraisy Syihab dalam Membumikan Al-Qur,an : ibid hlm. 326-327 VOL. 9 No.2 Juli 2014
135
Jurnal Ilmu dakwah Dan Pengembangan Komunitas
apapun bentuk dan posisinya secara umum mempunyai dua fungsi yakni: 1. Sebagai perantara keuangan Amil berperan menghubungkan antara pihak muzakki dengan mustahiq. Amil bertugas menerima, membukukan, mengelola serta mendistribusikan harta zakat sesuai dengan ketentuan Syar’i (ajaran Islam). Sebagai perantara keuangan amil dituntut menerapkan azas trust (kepercayaan). Sebagaimana layaknya lembaga keuangan yang lain, azaz kepercayaan menjadi syarat mutlak yang harus dibangun. Setiap amil (pengelola dan pengumpul zakat) dituntut mampu menunjukkan keunggulannya masing-masing sampai terlihat jelas positioning organisasi, sehingga masyarakat dapat memilihnya. Tanpa adanya positioning, maka kedudukan akan sulit untuk berkembang. 2. Pemberdayaan Fungsi Pemberdayaan diwujudkan dengan mengelola dan mendayagunakan serta menyalurkan harta zakat untuk memberikan basis kemampuan sosial ekonomi kepada mustahiq tidak hanya untuk sementara waktu, bagaimana mustahiq zakat memiliki harapan hidup yang lebih baik dalam rentang waktu yang panjang atau untuk selamanya. Fungsi ini sesungguhnya merupakan upaya mewujudkan misi pembentukan Amil, yakni bagaimana masyarakat muzakki menjadi lebih berkah rezekinya dan ketentraman kehidupannya menjadi terjamin disatu sisi dan masyarakat mustahiq tidak selamanya tergantung dengan pemberian bahkan dalam jangka panjang diharapkan dapat berubah menjadi muzaki baru10. Misi dan fungsi pemberdayaan ini utamanya harus dilakukan dalam pengelolaan zakat harta (zakat mal). Terhadap zakat fitrah fungsi pemberdayaan sosial ekonomi yang berimplikasi keberdayaan yang berkelanjutan (sustainable) tidak bisa dilakukan karena peruntukan zakat fitrah terbatas pada upaya mengatasi kebutuhan konsumsi mustahiq pada hari raya Idul Fitri.
10
Muhammad Ridwan. Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil (BMT), cet 2, (Yogyakarta: UII Press, 2005), h. 207–208.
VOL. 9 No.2 Juli 2014
136
Jurnal Ilmu dakwah Dan Pengembangan Komunitas
C. Pola Pengelolaan dan pendayagunaan Zakat Pola ”dalam kamus besar bahasa Indonesi artinya sistem, cara kerja, bentuk (struktur) yang tetap. “Pendayagunaan” adalah pengusahaan agar mampu mendatangkan hasil atau pengusahaan (tenaga dan sebagainya) agar mampu menjalankan tugas dengan baik. Pola pendayagunan zakat adalah cara/sistem distribusi dan alokasi dana zakat berdasarkan pada tuntunan perkembangan zaman dan sesuai dengan cita dan rasa syari’at, pesan dan kesan ajaran Islam11. Dengan merefleksi relitas sosio-historis pengelolaan dan pemanfaatan zakat, Didin Hafiduddin melakukan konseptualisasi model atau pola pendayagunaan zakat dalam dua bentuk; pertama Bentuk sesaat dalam hal ini berarti bahwa zakat hanya diberikan kepada seorang satu kali atau sesaat saja. Penyaluran zakat kepada mustahik tidak disertai target terjadinya kemandirian ekonomi dalam diri mustahik. Hal ini karena mustahik yang bersangkutan tidak mungkin lagi mandiri, seperti pada orang tua yang telah jompo, orang cacat. Sifat bantuan sesaat ini idealnya adalah hibah. Pola penyaluran zakat seperti ini berfungsi adhoc (sementara) dan hanya mampu mengatasi masalah yang dialami oleh salah satu ashnaf mustahiq (fakirmiskin) dan tidak akan berimplikasi pada pembangunan kapasitas dan kemampuan musthiq untuk melakukan perubahan status dirinya, dari keadaan miskin bergerak menuju keadaan/status berkemampuan, meski perubahan dilakukan dengan perlahan karena tidak mungkin bisa dilakukan secara revolusioner dalam jangka pendek. Meski bersifat sementara dan adhoc secara empiris penyaluran zakat dalam bentuk seperti ini juga harus dilakukan secara terkordinasi oleh badan ‘amil’/pengelola zakat, karena jika tidak maka akan terjadi penumpukan dikalangan orang atau keluarga tertentu. Dan jika itu yang terjadi maka tidak menutupi kemungkinan akan munculnya dampak negatif dari bantuan konsumtif seperti ini, yaitu semakin menguatnya mental ketergantungan mustahiq pada bantuan pihak luar tanpa upaya untuk melakukan perubahan keadaan yang bertumpu pada kapasitas dan potensi yang dimilikinya. Kedua bentuk pemberdayaan, merupakan penyaluran zakat yang disertai target merubah keadaan ekonomi mustahik munjadi sedikit lebih baik. Target ini adalah target besar yang tidak dengan mudah dan dalam waktu singkat. Dalam istilah yang lebih jelas dan kategoris penyaluran dan pendayagunaan zakat dilakukan dalam dua bentuk; 11
Husin, Pola pengumpulan, distribusi dan Pendayagunaan Zakat (on-line), http://uchinfamiliar.blogspot.com. (15 oktober 2014)
VOL. 9 No.2 Juli 2014
137
Jurnal Ilmu dakwah Dan Pengembangan Komunitas
pertama dalam bentuk pemenuhan kebutuhan pokok mustahiq yang disebut dengan kebutuhan konsumtif dan yang kedua dalam bentuk pemberdayaan sosial ekonomi yang bertujuan untuk memberikan kemampuan sosial ekonomi kepada mustahiq dalam jangka panjang yang disebut dengan keperluan produktif. Kata produktif sendiri secara bahasa berasal dari bahasa inggris “productive” yang berarti banyak menghasilkan; memberikan banyak hasil; banyak menghasilkan barang-barang berharga; yang mempunyai hasil baik. “productivity”daya produksi”. 12. Zakat produktif adalah mendistribusikan dana zakat kepada para mustahik dengan cara produktif. Zakat diberikan sebagai modal usaha, yang akan mengembangkan usahanya itu agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sepanjang hayat13. Pengembangan zakat bersifat produktif dengan cara dijadikannya dana zakat sebagai modal usaha, untuk pemberdayaan ekonomi penerimanya, dan supaya fakir miskin dapat menjalankan atau membiayai kehidupannya secara konsisten. Dengan dana zakat tersebut fakir miskin akan mendapatkan penghasilan tetap, meningkatkan usaha, mengembangkan usaha serta mereka dapat menyisihkan penghasilannya untuk menabung14. Pendayagunaan zakat harus berdampak positif bagi mustahiq, baik secara ekonomi maupun sosial. Dari sisi ekonomi, mustahiq dituntut benar-benar dapat mandiri dan hidup secara layak sedangkan dari sisi sosial, mustahiq dituntut dapat hidup sejajar dengan masyarakat yang lain. Hal ini berarti, zakat tidak hanya didistribusikan untuk hal-hal yang konsumtif saja dan hanya bersifat “charity” tetapi lebih untuk kepentingan yang produktif dan bersifat edukatif24. Dalam bentuk produktif umpamanya dana zakat yang diberikan bisa dijadikan sebagai modal usaha yang dikelola secara produktif dibawah pengawasan dan bimbingan lembaga ‘amil’ yang menyalurkannya. Kedua bentuk penyaluran atau fungsionalisasi zakat diatas agaknya menggariskan bahwa penyaluran zakat harus disertai dengan pemahaman yang utuh terhadap permasaahan yang ada pada penerima. Apabila permasalahannya adalah permaslaahan kemiskinan, harus diketahui penyebab kemiskinan tersebut sehingga dapat mencari solusi 12
Joyce . M. Hawkins, Kamus Dwi Bahasa Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris, Oxford-Erlangga. 1996, h. 267 13 Asnaini. Zakat Produktif Dalam Persefektif Hukum Islam, Yogyakarta:Pustaka Pelajar . 2008.h. 134 14 Qadir Abdurrahman, Zakat dalam Dimensi Mahdah dan Sosial , (Jakarta; Raja Grafindo Persada, 1998).hlm. 54
VOL. 9 No.2 Juli 2014
138
Jurnal Ilmu dakwah Dan Pengembangan Komunitas
yang tepat demi tercapainya target yang telah dicanangkan15 Dalam hal pendayagunaan zakat, apakah untuk tujuan konsumtif atau untuk tujuan produktif, Al-Qur’an, al-Hadits dan Ijma’ tidak menyebutkan secara tegas tentang cara emberian zakat apakah dengan cara konsumtif atau produktif. Dapat dikatakan tidak ada dalil aqli dan sharih yang mengatur tentang bagaimana pemberian zakat itu kepada para mustahiq16. Dengan demikian pilihan untuk menyalurkan zakat untuk produktif atau konsumtif merupakan pilihan yang disesuaikan dengan kondisi social ekonomi masyarakat. Hal utama yang harus menjadi pertimbangan lebih pada bagaimana zakat yang merupakan sebuah instrument keagamaan bisa berfungsi efektif dalam mengatasi masalah sosial ekonomi dalam jangka panjang. Perubahan kondisi social ekonomi masyarakat (mustahiq) dari kondisi kemiskinan dan ke’dhuafa’ an menjadi kondisi mampu dan kuat secara ekonomi secara permanen dan tidak hanya sesaat. D. Zakat sebagai Instrumen Pemberdayaan sosial dan ekonomi. Sebagai salah satu rukun Islam perintah zakat diyakini memiliki tujuan tertentu yang berhubungan dengan kehidupan manusia (muslim) pada tataran pribadi dan dalam hubungan pergaulan (interaksi) sosial. Meski pada mulanya perintah zakat nampak sebagai sebuah doktrin yang memiliki daya paksa yang absolut sehingga tidak memberikan ruang untuk ditawar, namun implikasi sosial yang dihasilkan oleh praktik pengelolaan zakat secara empiris jelas membuktikan bahwa zakat memiliki fungsi sosial ekonomi yang penting. Dalam terminologi agama zakat bukanlah ibadah mahdhoh yang tak terjangkau rahasianya melalui pemikiran rasional, namun lebih sebagai ibadah sosial yang memiliki fungsi strtegis dalam membangun kehidupan sosial masyarakat. Menurut Muhammad Abdul Mannan, Zakat adalah poros dan pusat keuangan Islam. Zakat dalam bidang sosial bertindak sebagai alat khas yang diberikan kepada Islam untuk menghapuskan kemiskinan dari masyarakat dengan menyadarkan si kaya akan tanggung jawab sosial yang mereka miliki, sedang dalam bidang ekonomi zakat mencegah penumpukan kekayaan yang mengerikan dalam tangan 15
Widodo, Akutansi dan Manajemen Keuangan Organisasi Pengelola Zakat, (Jakarta : 2001), hlm. 82 16
Asnaini. Zakat Produktif Yogyakarta:Pustaka Pelajar. 2008. h. 134.
VOL. 9 No.2 Juli 2014
Dalam
Persefektif
Hukum
Islam,
139
Jurnal Ilmu dakwah Dan Pengembangan Komunitas
segelintir orang dan memungkinkan kekayaan untuk disebarkan sebelum sempat menjadi besar dan sangat berbahaya ditangan pemiliknya, maka sebagian diberikan kepada yang berhak17. Dalam istilah ekonomi Islam, zakat merupakan tindakan pemindahan kekayaan dari golongan kaya kepada golongan tidak punya. Transfer kekayaan berarti transfer sumber sumber ekonomi. Tindakan ini tentu saja akan mengakibatkan perubahan tertentu yang bersifat ekonomis; seseorang yang menerima zakat bisa mempergunakannya untuk berkonsumsi atau berproduksi. Dengan demikian, zakat walaupun pada dasarnya merupakan ibadah kepada Allah, bisa mempunyai arti ekonomi18. Sehubungan dengan argumen di atas, dengan mempergunakan pendekatan ekonomi, zakat bisa berkembang menjadi konsep muamalah (kemasyarakatan), yaitu konsep tentang cara bagaimana manusia harus melaksanakan kehidupan bermasyarakat, termasuk di dalamnya dalam bentuk ekonomi. Karena itu, ada dua konsep yang selalu dikemukakan dalam pembahasan mengenai doktrin sosial-ekonomi Islam yang saling berkaitan, yaitu pelarangan riba dan perintah membayar zakat.Tujuan ini dapat dicapai dengan mudah melalui pembagian dan pendayagunaan uang atau harta hasil zakat secara tepat di kalangan si miskin dan orang yang kekurangan, sehingga kelompok orang-orang miskin memiliki martabat disamping secara ekonomi memiliki daya beli atau memampuan membeli barang-barang dan kebutuhan hidupnya. Dengan memberikan daya beli kepada mereka zakat dapat menghasilkan keseimbangan ekonomi, dengan demikian zakat akan memakmurkan golongan yang kurang mampu dilihat dari persepektif sosial ekonomi Zakat merupakan bagian dari ajaran pokok agama Islam (rukun Islam) yang memiiki fungsi penting dalam kehidupan sosial ekonomi. Posisi penting ajaran zakat dalam kehidupan sosial ekonomi umat Islam bisa dilihat baik pada sisi normatif ajaran Islam, maupun pemahaman para tokoh dan elit sosial politik masyarakat Islam dalam sejarah. Pemahaman terhadap kewajiban berzakat bagi muslim ternyata juga dikaitkan dengan fungsi penting zakat itu dalam kehidupan social ekonomi masyarakat. Hal itu misalnya bisa dipahami dari sikap dan kebijakan politik yang sama ketika mengimplementasikan perintah zakat. Dalam sejarah para sahabat nabi, yang kemudian menduduki 17
Muhammad Abdul Manan. Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf,1993, h 256. 18 Muhammad Ridwan dan Mas’ud. Op.Cit, h. 42 –43
VOL. 9 No.2 Juli 2014
140
Jurnal Ilmu dakwah Dan Pengembangan Komunitas
posisi sebagai pemimpin sosial politik (khulafa’ urrasyidin) sepakat untuk memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat19 E. Kesimpulan dan Penutup Dari diskusi diatas maka bisa dipetakan beberapa kesimpulan yang menjadi pemikiran utama dalam wacana ini : Pertama, bahwa zakat merupakan instrumen pemberdayaan sosialekonomi masyarakat yang berakar kuat dalam keyakinan teologis umat Islam. Dengan posisi ini maka keberadaan dana zakat akan berbanding lurus dengan eksistensi dan kesejahteraan umat Islam yang terkena kewajiban berzakat. Sepanjang umat Islam dengan komitmen berzakatnya masih terus eksis, maka sumber dana dari zakat akan terus ada. Dalam konteks ini diperlukan manajemen pengelolaan yang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat, khususnya dalam bidang ekonomi, Kedua, Secara konseptual memang terdapat dua bentuk penyaluran dan pendayagunaan zakat ; pertama, Bentuk sesaat dalam hal ini berarti bahwa zakat hanya diberikan kepada seorang satu kali atau sesaat saja. Penyaluran zakat kepada mustahik tidak disertai target terjadinya kemandirian ekonomi dalam diri mustahik. Hal ini karena mustahik yang bersangkutan tidak mungkin lagi mandiri, seperti pada orang tua yang telah jompo, orang cacat. Sifat bantuan sesaat ini idealnya adalah hibah. Hibah sesaat seperti ini tidak berimplikasi pada pemberdayaan mustahiq dalam jangka panjang, dan dalam konteks pendayagunaan zakat sebagai instrumen pemberdayaan sosial-ekonomi, pola penyaluran zakat yang bernuansa konsumtif ini tidak menjadi prioritas. Kedua, bentuk pemberdayaan, merupakan penyaluran zakat yang disertai target merubah keadaan ekonomi mustahik munjadi lebih baik. Target ini adalah target besar yang tidak dengan mudah dan dalam waktu singkat. Dalam istilah yang lebih jelas dan kategoris penyaluran dan pendayagunaan zakat dilakukan dalam dua bentuk; pertama dalam bentuk pemenuhan kebutuhan pokok mustahiq yang disebut dengan kebutuhan konsumtif dan yang kedua dalam bentuk pemberdayaan sosial ekonomi yang bertujuan untuk memberikan kemampuan sosial ekonomi kepada mustahiq dalam jangka panjang yang disebut dengan keperluan produktif.
19
Abbas Kararah, Al-din wa al-Zakat ‘alal madzahibil arba’ah, (Mesir : Daar elKutub al-Islamiyah, 2001), hlm 66
VOL. 9 No.2 Juli 2014
141
Jurnal Ilmu dakwah Dan Pengembangan Komunitas
DAFTAR PUSTAKA Abbas Kararah, Al-din wa al-Zakat ‘alal madzahibil arba’ah, (Mesir : Daar el-Kutub al-Islamiyah, Abdul Aziz SR, Memahami Fenomena Sosial melalui Studi Kasus, dalam Burhan Bungin Analisis Data Penelitian kualitatif, (Jakarta : Raja Grafindo, 2006). Adi Fachruddin, Pemberdayaan, Partisipasai dan Penguatan Kapasitas masyarakat, Bandung : humaniora, tt Ahmad M. Saefuddin,. Ekonomi dan Masyarakat dalam Perspektif Islam,. (Jakarta: CV Rajawali, 1987), ed.1 cet.I Asnaini. Zakat Produktif Dalam Persefektif Hukum Islam, Yogyakarta:Pustaka Pelajar . 2008. Didin Hafidhhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, (Jakarta: Gema Insani, 2002), Edi Suharto, Membangun Masyarakat memberdayakan Rakyat, (Bandung; Reika Aditama, 2009) Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Social, (Jakarta: Gajah Mada University Press, 1988), Husaini Usman, Metodelogi Penelitian Social,( Jakarta :Bumi Aksara, 2000), Cet ke-3, Ilfi Nur Diana, Hadis-hadis Ekonomi, (Yogyakarta ; Sukses Offset, 2008). Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Social Agama, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: PT Remaja Rodakarya, 2008),Cet. Ke-7 Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: PT Remaja Rodakarya, 2008),Cet. Ke-7 Joyce . M. Hawkins, Kamus Dwi Bahasa Inggris-Indonesia, Indonesia Inggris, Oxford-Erlangga. 1996, Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Research Social, (Bandung: PN Alumni, 1986), Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitaian Kualitatif ,(PT. Remaja Rosdakarya. Bandung. 2004), cet .ke 2, Majlis Ulama Indonesia, Fatwa MUI No. 8 tahun 2011 tentang Amil Zakat, (Jakarta : Majlis Ulama RI, 2011), VOL. 9 No.2 Juli 2014
142
Jurnal Ilmu dakwah Dan Pengembangan Komunitas
Marzuki, Metodologi riset, ekonomi, (Ekonomi UII, Yogyakarta, 2005) , cet. kedua. Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil (BMT),. (Yogyakarta: UII Press, 2005). , cet ke 2. Muhammad Abdul Manan. Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf,1993 Muhammad dan Ridwan Mas’ud, Zakat dan Kemiskinan Instrumen emberdayaan Ekonomi Umat. (Yogyakarta: UII Press, 2005) Oos M. Anwas, Pemberdayaan Masyarakat di Era Global, Bandung : Alfabeta, 2013 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan; Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, Bandung: Alfabeta, 2008), Widodo, Akutansi dan Manajemen Keuangan Organisasi Pengelola Zakat, Jakarta : 2001 Yusuf Qordhowi, Musykilat al-faqr wa kaifa ‘ilajuha al-Islami, sebagaimana dikutp oleh Quraisy Syihab dalam Membumikan AlQur,an Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, (Bogor; Pustaka Litera Antar Nusa, 2004). Yusuf Qordhowi, Musykilat al-faqr wa kaifa ‘ilajuha al-Islami, sebagaimana dikutp oleh Quraisy Syihab dalam Membumikan AlQur,an :
VOL. 9 No.2 Juli 2014
143