24
BAB II PRINSIP GADAI (RAHN) BERDASARKAN SYARIAH HUKUM ISLAM
A.1.Istilah dan Pengertian Gadai (Rahn) Gadai syariah (rahn) adalah menahan salah satu harta milik nasabah atau Rahin sebagai barang jaminan atau marhun atas hutang/pinjaman atau marhun bih yang diterimanya. Marhun tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, Pihak yang menahan atau penerima gadai atau murtahin memperoleh jaminan Untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.26 Menurut A.A. Basyir, rahn adalah perjanjian menahan sesuatu barang sebagai tanggungan utang, atau menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan marhun bih, sehingga dengan adanya tanggungan utang itu seluruh atau sebagian utang dapat diterima.27 Menurut Imam Abu Zakariya Al Anshari, rahn adalah menjadikan benda yang bersifat harta untuk kepercayaan dari suatu marhun bih yang dapat dibayarkan dari (harga) benda marhun itu apabila marhun bih tidak dibayar.28 Sedangkan Imam Taqiyyuddin Abu Bakar Al Husaini mendefinisikan rahn sebagai
akad/perjanjian
utang-piutang
dengan
menjadikan
marhun
sebagai
kepercayaan/penguat marhunbih dan murtahin berhak menjual/melelang barang yang 26
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Cetakan 1, Kerjasama Gema Insani Press dengan Tazkia Institute, GIP, Jakarta: 2001. hal. 128. 27 A.A. Basyir, Hukum Islam Tentang Riba, Utang-Piutang Gadai, Al-Ma’arif, Bandung: 1983, hal. 50. 28 Rahmat Syafei, Konsep Gadai; Ar-Rahn dalam Fiqh Islam Antara Nilai Sosial dan Nilai Komersial dalam Huzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshari, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Ibid. hal. 60.
24
Universitas Sumatera Utara
25
digadaikan itu pada saat ia menuntut haknya. Barang yang dapat dijadikan jaminan utang adalah semua barang yang dapat diperjual-belikan, artinya semua barang yang dapat dijual itu dapat digadaikan. Berdasarkan definisi di atas, disimpulkan bahwa rahn itu merupakan suatu akad utang piutang dengan menjadikan barang yang memiliki nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan marhun bih, sehingga rahin boleh mengambil marhun bih. Selain pengertian gadai (rahn) yang dikemukakan di atas, lebih lanjut mengungkapkan pengertian gadai (rahn) yang diberikan oleh para ahli hukum Islam sebagai berikut: 1. Ulama syafi’iyah mendefinisikan sebagai berikut : Menjadikan suatu barang yang biasa dijual sebagai jaminan utang dipenuhi dari harganya, bila yang berutang tidak sanggup membayar utangnya. 2. Ulama Hanabilah mengungkapkan sebagai berikut : Suatu benda yang dijadikan kepercayaan suatu utang, untuk dipenuhi dari harganya, bila yang berhutang tidak sanggup membayar utangnya. 3. Ulama Malikiyah mendefinisikan sebagai berikut : Sesuatu yang bernilai harta (Mutamawwal) yang diambil dari pemiliknya untuk dijadikan pengikat atas utang yang tetap (mengikat). 4. Ahmad Azhar Basyir mendefinisikan sebagai berikut : Rahn adalah perjanjian menahan sesuatu barang sebagai tanggungan utang atau menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pandangan syara' sebagai
Universitas Sumatera Utara
26
tanggungan marhun bih, sehingga dengan adanya tanggungan utang seluruh atau sebagian utang dapat diterima. 5. Muhammad Syafi'I Antonio mendefinisikan sebagai berikut : Gadai syariah (Rahn) adalah menahan salah satu yaitu harta milik nasabah (rahin) sebagai barang jaminan (marhum) atas utang/pinjaman (marhun bih) yang diterimanya. Marhun tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan atau penerima gadai (murtahin) memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.29
Dewan redaksi dari Ensiklopedi Hukum Islam berpendapat bahwa Rahn yang dikemukakan oleh ulama Fiqh klasik tersebut hanya bersifat pribadi, artinya utang piutang hanya terjadi antara seorang pribadi yang membutuhkan dan seorang yang memiliki kelebihan harta, di zaman sekarang sesuai dengan perkembangan dan kemajuan ekonomi, Rahn tidak hanya berlaku antar pribadi melainkan juga antara pribadi dan lembaga keuangan.30 Berdasarkan pengertian gadai yang dikemukakan oleh para ahli Hukum Islam diatas, dapat diketahui bahwa gadai (rahn) adalah menahan barang jaminan yang bersifat materi milik si peminjam (rahin) sebagai jaminan atau pinjaman yang diterimanya, dan barang yang diterima tersebut bernilai ekonomi sehingga pihak yang menahan (murtahin) memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau
29
Ibid, Muhammad Syafi’i Antonio, hal.128. Abdul Ghofur Anshari, Gadai Syariah di Indonesia, Gajah Mada University Press, tahun 2006, hal. 103. 30
Universitas Sumatera Utara
27
sebagian utangnya dari barang gadai dimaksud bila pihak yang menggadaikan tidak dapat membayar utang pada waktu yang telah ditentukan. Karena itu, tampak bahwa gadai syariah merupakan perjanjian antara seseorang untuk menyerahkan harta benda berupa emas/perhiasan/kendaraan dan/atau harta benda lainnya sebagai jaminan dan/atau agunan kepada seseorang dan/atau lembaga pegadaian syariah berdasarkan hukum gadai syariah. Pegadaian syariah mengacu kepada Al-Qur`an dan Hadits. Adapun landasannya dalam Al-Qur`an sebagaimana firman Allah SWT : “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuammalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikan, sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah:283 Ayat 2). Adapun dalam Hadits, Aisyah Ra berkata “Rasullulah membeli makanan dari seorang Yahudi dan meminjamkan kepadanya baju besi.” (HR. AlBukhari dan Muslim). Dari Abu Hurairah Ra, Rasulullah saw bersabda :
Universitas Sumatera Utara
28
“Apabila ada ternak digadaikan, punggungnya boleh dinaiki oleh orang yang menerima gadai, karena ia telah mengeluarkan biaya menjaganya. Apabila ternak itu digadaikan, air susunya yang deras boleh diminum oleh orang yang menerima gadai, karena ia telah mengeluarkan biaya menjaganya. Kepada orang yang naik dan minum, ia harus mengelurkan biaya perawatannya.”(HR.Jamaah, kecuali Muslim dan an-Nasa`i).31 Dari Anas ra bahwasanya ia berjalan menuju Nabi Saw dengan roti dari gandum dan sungguh Rasulullah Saw telah menaguhkan baju besi kepada seorang Yahudi di Madinah ketika beliau mengutangkan gandum dari seorang Yahudi”. (HR.Anas Ra).32 1.
Fungsi Gadai Syariah Dalam al-Qur’an surat al-Baqarah 283 Ayat 2 dijelaskan bahwa gadai pada
hakikatnya merupakan salah satu bentuk dari konsep muammalah, dimana sikap menolong dan sikap amanah sangat ditonjolkan. Begitu juga dalam hadist Rasulullah Saw. dari Ummul Mu’minin ‘Aisyah ra. yang diriwayatkan Abu Hurairah, di sana nampak sikap menolong antara Rasulullah Saw, dengan orang Yahudi saat Rasulullah Saw menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi tersebut. Maka pada dasarnya, hakikat dan fungsi Pegadaian dalam Islam adalah semata-mata untuk memberikan pertolongan kepada orang yang membutuhkan
31
Http://Www.Ekomarwanto.Com/2011/11/Penerapan Teori dan Aplikasi Pegadaian. Html. Diakses Tgl 19 Mai 2012. 32 Ibbid, http://shariaeconomy.blogspot.com/2008/07/Konsep Gadai Syariah Ar-Rahn dalam Fiqh.html.
Universitas Sumatera Utara
29
dengan bentuk marhun sebagai jaminan, dan bukan untuk kepentingan komersiil dengan mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa menghiraukan kemampuan orang lain.33 Produk rahn disediakan untuk membantu nasabah dalam pembiayaan kegiatan multiguna. Rahn sebagai produk pinjaman, berarti Pegadaian syariah hanya memperoleh imbalan atas biaya administrasi, penyimpanan, pemeliharaan, dan asuransi marhun, maka produk rahn ini biasanya hanya digunakan bagi keperluan fungsi sosial-konsumtif, seperti kebutuhan hidup, pendidikan dan kesehatan. 34 Sedangkan rahn sebagai produk pembiayaan, berarti Pegadaian syariah memperoleh bagi hasil dari usaha rahin yang dibiayainya. 2.
Syarat Sah dan Rukun Gadai Syariah Sebelum dilakukan rahn, terlebih dahulu dilakukan akad. Akad menurut
Mustafa az-Zarqa’35 adalah ikatan secara hukum yang dilakukan oleh 2 (dua) pihak atau beberapa pihak yang berkeinginan untuk mengikatkan diri. Kehendak pihak yang mengikatkan diri itu sifatnya tersembunyi dalam hati. Karena itu, untuk menyatakan keinginan masing-masing diungkapkan dalam suatu akad. Ulama fiqh berbeda pendapat dalam menetapkan rukun rahn. Menurut jumhur ulama, rukun rahn itu ada 4 (empat), yaitu : (1) Shigat (lafadz ijab dan qabul); 33
Muhammad dan Solikhul Hadi, Op.cit, hlm. 63 Yadi Janwari dan H.A. Djajuli, Lembaga-Lembaga Perekonomian Umat: Sebuah Pengenalan,Edisi 1, Cetakan 1, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta: 2002. hlm. 80. 35 Mustafa az-Zarqa’ dalam M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, Cetakan Pertama, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2003, hlm. 102-103. 34
Universitas Sumatera Utara
30
(2) Orang yang berakad (rahin dan murtahin); (3) Harta yang dijadikan marhun; dan (4) Utang (marhum bih). Ulama Hanafiyah berpendapat, rukun rahn itu hanya ijab (pernyataan menyerahkan barang sebagai jaminan pemilik barang) dan qabul (pernyataan kesediaan memberi utang dan menerima barang jaminan itu). Menurut Ulama Hanafiyah, agar lebih sempurna dan mengikat akad rahn, maka diperlukan qabdh (penguasaan barang) oleh pemberi utang. Adapun rahin, murtahin, marhun, dan marhun bih itu termasuk syarat-syarat rahn, bukan rukunnya.36 Sedangkan syarat rahn, ulama fiqh mengemukakannya sesuai dengan rukun rahn itu sendiri, yaitu: 1. Syarat yang terkait dengan orang yang berakad, adalah cakap bertindak hukum (baligh dan berakal). Ulama Hanafiyah hanya mensyaratkan cukup berakal saja. Karenanya, anak kecil yang mumayyiz (dapat membedakan antara yang baik baik dan buruk) boleh melakukan akad rahn, dengan syarat mendapatkan persetujuan dari walinya. Menurut Hendi Suhendi, syarat bagi yang berakad adalah ahli tasharuf, artinya mampu membelanjakan harta dan dalam hal ini memahami persoalan yang berkaitan dengan rahn.37 2. Syarat sight (lafadz). Ulama Hanafiyah mengatakan dalam akad itu tidak boleh dikaitkan dengan syarat tertentu atau dengan masa yang akan datang, 36
Nasrun Haroen, Fiqh Mumalah, Cetakan Pertama, Gaya Media Pratama, Jakarta: 2000. hlm. 254. Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah: Membahas Ekonomi Islam, Cetakan Pertama, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2002. hlm. 107. 37
Universitas Sumatera Utara
31
karena akad rahn itu sama dengan akad jual-beli. Apabila akad itu dibarengi dengan, maka syaratnya batal, sedangkan akadnya sah. Misalnya, rahin mensyaratkan apabila tenggang waktu marhun bih telah habis dan marhun bih belum terbayar, maka rahn itu diperpanjang 1 (satu) bulan, mensyaratkan marhun itu boleh murtahin manfaatkan. Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah mengatakan apabila syarat itu adalah syarat yang mendukung kelancaran akad itu, maka syarat itu dibolehkan, namun apabila syarat itu bertentangan dengan tabiat akad rahn, maka syaratnya batal. Kedua syarat dalam contoh tersebut, termasuk syarat yang tidak sesuai dengan tabiat rahn, karenanya syarat itu dinyatakan batal. Syarat yang dibolehkan itu, misalnya, untuk sahnya rahn itu, pihak murtahin minta agar akad itu disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi, sedangkan syarat yang batal, misalnya, disyaratkan bahwa marhun itu tidak boleh dijual ketika rahn itu jatuh tempo, dan rahin tidak mampu membayarnya.38 Sedangkan Hendi Suhendi menambahkan, dalam akad dapat dilakukan dengan lafadz, seperti penggadai rahin berkata; “Aku gadaikan mejaku ini dengan harga Rp 20.000” dan murtahin menjawab; “Aku terima gadai mejamu seharga Rp 20.000”. Namun, dapat pula dilakukan seperti: dengan surat, isyarat atau lainnya yang tidak bertentangan dengan akad rahn.39 3. Syarat marhun bih, adalah : 38 39
Nasrun Haroen, Op.cit. hlm. 255. Ibid. hlm. 107
Universitas Sumatera Utara
32
a.
Merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada murtahin;
b.
Marhun bih itu boleh dilunasi dengan marhun itu;
c.
Marhun bih itu jelas/tetap dan tertentu.
4. Syarat marhun, menurut pakar fiqh, adalah: a.
Marhun itu boleh dijual dan nilainya seimbang dengan marhun bih;
b.
Marhun itu bernilai harta dan boleh dimanfaatkan (halal);
c.
Marhun itu jelas dan tertentu;
d.
Marhun itu milik sah rahin;
e.
Marhun itu tidak terkait dengan hak orang lain;
f.
Marhun itu merupakan harta yang utuh, tidak bertebaran dalam beberapa tempat; dan
g. 3.
Marhun itu boleh diserahkan, baik materinya maupun manfaatnya.40
Hak dan Kewajiban para Pihak Gadai Syariah Menurut Abdul Aziz Dahlan,41 bahwa pihak rahin dan murtahin, mempunyai
hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Sedangkan hak dan kewajibannya adalah sebagai berikut: 1.
Hak dan Kewajiban Murtahin a. Hak Pemegang Gadai a.1 Pemegang gadai berhak menjual marhun, apabila rahin pada saat jatuh tempo tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai orang yang 40
Nasrun Haroen, Ibid, hal. 256. Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, Cetakan Keempat, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta: 2000, hlm. 383. 41
Universitas Sumatera Utara
33
berhutang. Sedangkan hasil penjualan marhun tersebut diambil sebagian untuk melunasi marhunbih dan sisanya dikembalikan kepada rahin; a.2 Pemegang gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang telah dikeluarkan untuk menjaga keselamatan marhun; a.3 Selama marhun bih belum dilunasi, maka murtahin berhak untuk menahan marhun yang diserahkan oleh pemberi gadai (hak retentie). b. Kewajiban Pemegang Gadai b.1 Pemegang gadai berkewajiban bertanggung jawab atas hilangnya atau merosotnya harga marhun, apabila hal itu atas kelalainnya; b.2 Pemegang gadai
tidak dibolehkan
menggunakan
marhun
untuk
kepentingan sendiri; dan b.3 Pemegang gadai berkewajiban untuk memberi tahu kepada rahin sebelum diadakan pelelangan marhun. 2.
Hak dan Kewajiban Pemberi Gadai Syariah a. Hak Pemberi Gadai a.1. Pemberi gadai berhak untuk mendapatkan kembali marhun, setelah pemberi gadai melunasi marhun bih; a.2. Pemberi gadai berhak menuntut ganti kerugian dari kerusakan dan hilangnya marhun, apabila hal itu disebabkan oleh kelalaian murtahin; a.3. Pemberi gadai berhak untuk mendapatkan sisa dari penjualan marhun setelah dikurangi biaya pelunasan marhun bih, dan biaya lainnya;
Universitas Sumatera Utara
34
a.4. Pemberi gadai berhak meminta kembali marhun apabila murtahin telah jelas menyalahgunakan marhun. b. Kewajiban Pemberi Gadai b.1 Pemberi gadai berkewajiban untuk melunasi marhun bih yang telah diterimannya dari murtahin dalam tenggang waktu yang telah ditentukan, termasuk biaya lain yang telah ditentukan murtahin; b.2 Pemberi gadai berkewajiban merelakan penjualan atas marhun miliknya, apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan rahin tidak dapat melunasi marhun bih kepada murtahin. 4.
Perlakuan Bunga dan Riba dalam Gadai Konvensional Gadai pada prinsipnya merupakan kegiatan utang piutang yang murni
berfungsi sosial. Namun, hal ini berlaku pada masa Rasulullah Saw, masih hidup. Rahn pada saat itu belum berupa sebuah lembaga keuangan formal seperti sekarang ini, sehingga aktivitas gadai hanya berlaku bagi perorangan. Jadi pada saat itu masih mungkin jika aktivitas tersebut hanya berfungsi sosial dan rahin tidak berkewajiban memberikan tambahan apapun dalam pelunasan utangnya.42 Kondisi saat ini, gadai sudah menjadi lembaga keuangan formal yang telah diakui oleh pemerintah. Mengenai fungsi dari Pengadaian tersebut tentu sudah bersifat komersiil. Artinya Pegadaian harus memperoleh pendapatan guna menggantikan biaya-biaya yang telah dikeluarkan, sehingga Pegadaian mewajibkan
42
Muhammad dan Solikhul Hadi, Op,cit, hlm. 61
Universitas Sumatera Utara
35
menambahkan sejumlah uang tertentu kepada nasabah sebagai imbalan jasa. 43 Minimal biaya itu dapat menutupi biaya operasional gadai. Gadai yang ada saat ini, dalam praktiknya menunjukkan adanya beberapa hal yang dipandang memberatkan dan mengarahkan kepada suatu persoalan riba, yang dilarang oleh syara’ menurut A.A. Basyir.44 Riba’ terjadi apabila dalam akad gadai ditemukan bahwa peminjam harus memberi tambahan sejumlah uang atau persentase tertentu dari pokok utang, pada waktu membayar utang atau pada waktu lain yang telah ditentukan penerima gadai. Hal ini lebih sering disebut juga dengan ‘bunga gadai’, yang pembayarannya dilakukan setiap 15 (lima belas) hari sekali. Sebab apabila pembayarannya terlambat sehari saja, maka nasabah harus membayar 2 (dua) kali lipat dari kewajibannya, karena perhitungannya sehari sama dengan 15 hari. Hal ini jelas merugikan pihak nasabah, karena ia harus menambahkan sejumlah uang tertentu untuk melunasi hutangnya. Padahal biasanya orang yang menggadaikan barang itu untuk kebutuhan konsumtif. Namun, apabila tidak maka dilihat dari segi komersiil, pihak Pegadaian dirugikan, misalnya karena inflasi, atau pelunasan yang tidak tepat waktu, sementara barang jaminan tidak laku dijual. 45 Karena itu aktivitas akad gadai dalam Islam, tidak dibenarkan adanya praktik pemungutan bunga karena dilarang syara’, dan pihak yang terbebani merasa dianiaya dan tertekan, karena selain harus susah payah mengembalikan hutangnya, penggadai juga masih berkewajiban untuk membayar bunganya. 43
Muhammad dan Solikhul Hadi, Ibid, hal. 62 A.A. Basyir, Op.cit, hlm. 55. 45 Ibid, hlm. 4. 44
Universitas Sumatera Utara
36
Menurut Muhammad Akram Khan, bahwa pinjaman itu sebagai bagian dari faktor produksi dan memiliki potensi untuk berkembang dan menciptakan nilai, serta juga menciptakan adanya kerugian. Oleh karena itu, apabila menuntut adanya pengembalian yang pasti sebagai balasan uang (sebagai modal), maka yang demikian itu dapat dianggap bunga dan itu sama dengan riba’.46 Mengenai riba itu, para ulama telah berbeda pendapat. Walaupun demikian, Afzalurrahman dalam Muhammad dan Solikhul Hadi, memberikan pedoman bahwa yang dikatakan riba (bunga), di dalamnya terdapat 3 unsur berikut: 1. Kelebihan dari pokok pinjaman; 2. Kelebihan pembayaran itu sebagai imbalan tempo pembayaran; dan 3. Sejumlah tambahan itu disyaratkan dalam transaksi.47
Sedangkan berdasarkan hasil kesimpulan penelitian Muhammad Yusuf, tentang Pegadaian Konvensional dalam Perspektif Hukum Islam dan Viyolina, dengan tentang Sistem Bunga dalam Gadai Ditinjau dari Hukum Islam, memberikan kesimpulan sebagai berikut: Pertama, Islam membenarkan adanya praktik gadai yang dilakukan dengan cara-cara dan tujuan yang tidak merugikan orang lain. Gadai dibolehkan dengan syarat rukun yang bebas dari unsur yang dilarang dan merusak perjanjian gadai. Praktik yang terjadi di gadai konvensional, pada dasarnya masih terdapat beberapa hal yang dipandang merusak dan menyalahi norma dan etika bisnis 46 47
Muhmmad Akram Khan, Op. cit. hlm. 180 Muhammad dan Solikhul Hadi, Op. cit, hlm. 64.
Universitas Sumatera Utara
37
Islam, di antaranya adalah masih terdapatnya unsur riba’, yaitu yang berupa sewa modal yang disamakan dengan bunga; Kedua, gadai yang berlaku saat ini masih terdapat satu di antara banyak unsur yang dilarang syara’, yaitu dalam upaya meraih keuntungan, gadai tersebut memungut sewa modal atau bunga; Ketiga, unsur riba’ yang terdapat dalam aktivitas gadai saat ini sudah pada tingkat yang nyata, yaitu pada transaksi penetapan dan penarikan bunga dalam gadai yang sudah jelas tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Hadist; Keempat, penetapan bunga gadai yang pada awalnya sebagai fasilitas untuk memudahkan dalam menentukan besar kecilnya pinjaman, telah menjadi kegiatan spekulatif dari kaum kapitalis dalam mengekploitasikan keuntungan yang besar, yang memberikan kemadharatan, sehingga penetapan bunga gadai adalah tidak sah dan haram.48 Sedangkan dalam gadai syariah tidak menganut sistem bunga, namun lebih menggunakan biaya jasa, sebagai penerimaan dan labanya, yang dengan pengenaan biaya jasa itu paling tidak dapat menutupi seluruh biaya yang dikeluarkan dalam operasionalnya. Oleh karena itu, untuk menghindari adanya unsur riba’ (bunga) dalam gadai syariah dalam usahanya pembentukan laba, maka gadai syariah menggunakan mekanisme yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, seperti melalui akad qardhul hasan dan akad ijarah, akad rahn, akad mudharabah, akad ba’i muqayadah, dan akad musyarakah. Oleh karena itu, 48
Ibid, hlm. 65
Universitas Sumatera Utara
38
pendapat bahwa gadai ketika sebagai sebuah lembaga keuangan, maka fungsi sosialnya perlu dipertimbangkan lagi, apalagi fungsi sosial gadai itu dihilangkan, tidak sepenuhnya benar. Karena paling tidak ada 2 (dua) alasan bahwa dengan terlembaganya gadai, bukan berarti menghilangkan fungsi sosial gadai itu, yang berdasarkan hadist-hadist yang mendasarinya menunjukkan bahwa fungsi gadai itu memang untuk fungsi sosial. Alasan itu adalah: 1. Dengan terlembaganya gadai, Pegadaian tetap dapat mendapatkan penerimaan dari pihak rahin, berupa biaya administrasi dan biaya jasa lainnya, seperti jasa penyimpanan dan pemeliharaan. Berarti Pegadaian tidak dirugikan; 2. Fungsi sosial tersebut masih diperlukan guna membantu masyarakat yang membutuhkan dana yang sifatnya mendesak, terutama untuk keperluan hidup sehari-hari, seperti dalam kasus Rasulullah Saw. Yang menggadaikan baju besinya demi untuk mendapatkan bahan makanan; 3. Pegadaian tidak akan merugi karena ada marhun, yang dapat dilelang apabila rahin tidak mampu membayar. Hal itu diperkuat pendapat Muhammad Akram Khan, bahwa keberadaan gadai syariah tidak hanya digunakan untuk fungsi komersiil (untuk mendapatkan keuntungan) saja, tetapi juga digunakan untuk fungsi sosial juga. 49 Mungkin yang patut mendapatkan perhatian dari kita adalah imbalan jasa yang masih digunakan oleh gadai yang dikenal dengan ‘bunga gadai’, yang sangat memberatkan dan merugikan pihak penggadai. 49
Muhammad Akram Khan, Op, cit. hlm. 179-184.
Universitas Sumatera Utara
39
Menurut Akram Khan,50 bahwa gadai syariah sebagai konsep hutang piutang yang sesuai dengan syariah, karenanya bentuk yang lebih tepat adalah skim qardhul hasan, disebabkan kegunaannya untuk keperluan yang sifatnya sosial. Pinjaman tersebut diberikan gadai syariah untuk tujuan kesejahteraan, seperti pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan darurat lainnya, terutama diberikan untuk membantu meringankan beban ekonomi para orang yang berhak menerima zakat (mustahiq).51 Dalam bentuk qardhul hasan ini, hutang yang terjadi wajib dilunasi pada waktu jatuh tempo tanpa ada tambahan apapun yang disyaratkan (kembali pokok). Peminjam hanya menanggung biaya yang secara nyata terjadi, seperti, biaya administrasi, biaya penyimpanan dan dibayarkan dalam bentuk uang, bukan prosentase. Peminjam pada waktu jatuh tempo tanpa ikatan syarat apapun boleh menambahkan secara sukarela pengembalian hutangnya.52 5.
Produk dan Jasa Gadai Syariah Dalam perkembangan saat ini, bentuk perolehan pendapatan Pegadaian
syariah dapat berupa transaksi yang berasal dari biaya administrasi (qardhul hasan), jasa penyimpanan (ijarah), jasa taksiran, galeri, dan bagi hasil atau profit loss sharing (PLS) dari skim rahn, mudharabah, ba’i muqayyadah, maupun musyarakah.53 Produk dan jasa yang dapat ditawarkan oleh gadai syariah kepada masyarakat, yaitu antara lain :
50
Muhammad Akram Khan, Op, cit, hlm. 181-183. Dahlan Siamat, Op. cit, hlm. 202. 52 Muhammad, Op. cit, hlm 5 53 Muhammad, Op. cit, hlm. 89. 51
Universitas Sumatera Utara
40
1. Pemberian pinjaman/pembiayaan atas dasar hukum gadai syariah; Pemberian pinjaman atas dasar hukum gadai syariah berarti mensyaratkan pemberian pinjaman atas dasar penyerahan barang bergerak oleh rahin. Konsekuensinya bahwa jumlah pinjaman yang diberikan kepada masing peminjam sangat dipengaruhi oleh nilai barang bergerak dan tidak bergerak yang akan digadaikan. 2. Penaksiran Nilai Barang; Pegadaian syariah dapat memberikan jasa penaksiran atas nilai suatu barang. Jasa ini dapat diberikan gadai syariah karena perusahaan ini mempunyai peralatan penaksir, serta petugas yang sudah berpengalaman dan terlatih dalam menaksir nilai suatu barang yang akan digadaikan. Barang yang akan ditaksir pada dasarnya, meliputi semua barang bergerak dan tidak bergerak yang dapat digadaikan. Jasa taksiran diberikan kepada mereka yang ingin mengetahui kualitas, terutama perhiasan, seperti: emas, perak, dan berlian. 54 Masyarakat yang memerlukan jasa ini, biasanya dengan ingin mengetahui nilai jual wajar atas barang berharganya yang akan dijual. Atas jasa penaksiran yang diberikan, gadai syariah memperoleh penerimaan dari pemilik barang berupa ongkos penaksiran. 3. Penitipan Barang (Ijarah); Gadai syariah dapat menyelenggarakan jasa penitipan barang (ijarah), karena perusahaan ini mempunyai tempat penyimpanan barang bergerak, yang cukup
54
Sony Heru Priyanto, Pegadaian Menuju Era Stick to the Customer, Majalah Usahawan, Nomor 10, tahun XXVI Oktober 1997: Jakarta, hlm. 47.
Universitas Sumatera Utara
41
memadai. Gudang dan tempat penyimpanan barang bergerak lain milik gadai syariah, terutama digunakan menyimpan barang yang digadaikan. Mengingat gudang dan tempat penyimpanan lain ini tidak selalu dimanfaatkan penuh, maka kapasitas menganggur tersebut dapat dimanfaatkan untuk memberikan jasa lain, berupa penitipan barang. Jasa titipan/penyimpanan, sebagai fasilitas pelayanan barang berharga dan lain-lain agar lebih aman, seperti: barang/surat berharga (sertifikat motor, tanah, ijasah, dll.) yang dititipkan di Pegadaian syariah. Fasilitas ini diberikan kepada pemilik barang yang akan bepergian jauh dalam waktu relatif lama atau karena penyimpanan di rumah dirasakan kurang aman.55 Atas jasa penitipan yang diberikan, gadai syariah memperoleh penerimaan dari pemilik barang berupa ongkos penitipan.56 4. Gold Counter; Jasa ini menyediakan fasilitas tempat penjualan emas eksekutif yang terjamin sekali kualitas dan keasliannya. Gold counter ini semacam toko dengan emas Galeri 24, setiap perhiasan masyarakat yang dibeli di toko perhiasan milik pegadaian akan dilampiri sertifikat jaminan, untuk merubah image dengan mencoba menangkap pelanggan kelas menengah ke atas. Dengan sertifikat itulah masyarakat akan merasa yakin dan terjamin keaslian dan kualitasnya dan lain-lain.57
55
Sony Priyanto, Op,cit, hlm. 48. Susilo, Y. Sri; Sigit Triandaru; dan A. Totok Budi Santoso, Op cit, hlm. 182-183. 57 Susilo, Y. Sri; Sigit Triandaru; dan A. Totok Budi Santoso, Ibid, hlm. 183 56
Universitas Sumatera Utara
42
Namun menurut Abdullah Saeed, 58 dua produk yaitu mudharabah dan musyarakah sulit untuk diterapkan, yang masih menduduki 0-30 % usaha bisnis pembiayaan. Hal ini berdasarkan penelitiannya terhadap yang beroperasi di Timur Tengah, membuktikan bahwa LKS (lembaga keuangan syariah) enggan menjalankan kedua produk skim itu, karena risiko yang mungkin diterimanya sangat tinggi, sehingga suatu risiko yang bersama dengan berjalannya waktu, telah memaksa LKS (lembaga keuangan syariah) untuk ‘merenovasi’ bentuk dan isi mudaharabah dan musyarakah dengan skim murabahah (qardhul hasan dan ijarah), yang bisnis ini nyaris tanpa risiko, suatu model jual beli yang pihak pembeli, karena satu dan lain hal tidak dapat membeli langsung barang yang diperlukannya dari pihak penjual, sehingga ia memerlukan perantara untuk dapat membeli dan mendapatkannya. Pada dasarnya semua marhun, baik bergerak maupun tak bergerak, dapat digadaikan sebagai jaminan dalam gadai syariah. Namun, menurut Basyir yang memenuhi syarat sebagai berikut:59 a. Merupakan benda bernilai menurut hukum syara’; b. Sudah ada wujudnya ketika perjanjian terjadi; c. Mungkin diserahkan seketika kepada murtahin.
58 Arif Maftuhin, dalam Kata Pengantar, Abdullah Saeed : Islamic Banking and Interest: Study of Riba and Its Contemporary Interpretation, Arif Maftuhin (Penterjemah), Cetakan 1, Paramadina, Jakarta: 2004. hlm. Ix. 59 A.A. Basyir, Hukum Islam Tentang Riba, Utang-Piutang Gadai, Al-Ma’arif, Bandung: 1983, hlm. 52. dalam Muhammad dan Solikhul Hadi, Op.cit, hlm 82.
Universitas Sumatera Utara
43
Adapun menurut Syafi’iyah bahwa barang yang dapat digadaikan itu berupa semua barang yang boleh dijual. Menurut pendapat ulama yang rajih (unggul) bahwa barang-barang tersebut harus memiliki 3 (tiga) syarat, yaitu;60 1. Berupa barang yang berwujud nyata di depan mata, karena barang nyata itu dapat diserahterimakan secara langsung; 2. Barang tersebut menjadi milik rahin, karena sebelum tetap barang tersebut tidak dapat digadaikan; 3. Barang yang digadaikan harus berstatus sebagai piutang bagi pemberi pinjaman. Berdasarkan pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa kategori marhun dalam sudut hukum Islam tidak hanya berlaku bagi barang bergerak saja, namun juga meliputi barang yang tidak bergerak dengan catatan barang tersebut dapat dijual. Namun, mengingat keterbatasan tempat penyimpanan, keterbatasan SDM di Pegadaian syariah, perlunya meminimalkan risiko yang ditanggung gadai syariah, serta memperhatikan peraturan yang berlaku, maka ada barang tertentu yang tidak dapat digadaikan. Barang yang tidak dapat digadaikan itu, antara lain: a. Surat utang, surat aksi, surat efek, dan surat-surat berharga lainnya; b. Benda-benda yang untuk menguasai dan memindahkannya dari satu tempat ke tempat lainnya memerlukan izin; c. Benda yang hanya berharga sementara atau yang harganya naik turun
60
Al-Imam Taqiyuddin Husain, Kafayatul Akhyar, Alih Bahasa Achmad Zaidun dan A. Ma’ruf Asrori, Jilid 2, PT. Bina Ilmu, Surabaya: 1997, Ibid, hlm 83.
Universitas Sumatera Utara
44
dengan cepat, sehingga sulit ditaksir oleh petugas gadai.61 B.1. Prinsip Gadai (Rahn) Berdasarkan Syariah Hukum Islam Agama Islam adalah risalah (pesan-pesan) yang diturunkan oleh Allah kepada Muhammad SAW sebagai petunjuk dan pedoman yang mengandung hukum-hukum sempurna untuk dipergunakan dalam menyelenggarakan tata cara kehidupan manusia, yaitu mengatur hubungan manusia dengan khaliqnya dan sesama manusia. Islam datang dengan serangkaian pemahaman tentang kehidupan yang membentuk pandangan hidup tertentu. Yakni mampu memecahkan seluruh problematika kehidupan manusia baik yang meliputi aspek ritual (ibadah) maupun sosial (muammalah). Dengan demikian akan dapat digali berbagai cara pemecahan setiap masalah yang timbul dalam kehidupan manusia. Sistem dalam Islam tidak hanya didasari dari undang-undang pemerintah tetapi juga dilandasi dari ajaran-ajaran hukum Islam yang terkandung dalam kitab suci Al-Quran, dan diterangkan dalam syariah Islam. Memang dalam Al-Quran belum secara detail dan terperinci setiap pokok pembahasan masalah yang menyangkut perekonomian, tetapi banyak hadist-hadist Rasulullah membahas dan mengklasifikasikan setiap pokok permasalahan untuk memudahkan aplikasinya dalam kehidupan sosial masyarakat, sedangkan sunah-sunah Rasulullah adalah sebagai sumber utama kedua dalam ajaran-ajaran dalam hukum Islam. 62
61
Mariam Darus, 1987 hlm. 37, dalam Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, Edisi 1, Cetakan 2, Sinar Grafika, Jakarta: 2000, hlm. 110. 62 Muhammad Saddam, Perspektif Ekonomi Islam, Pustaka Ibadah, Jakarta-Indonesia, tahun 2003, hal. 15.
Universitas Sumatera Utara
45
Dalam menjawab permasalahan yang timbul peranan hukum Islam dalam konteks modern dan ini sangat diperlukan dan tidak dapat dihindarkan. Rumitnya permasalahan umat yang selalu berkembangnya zaman membuat hukum Islam harus memperlihatkan sifat elastisitas dan fleksibilitas guna memberikan yang terbaik serta dapat memberikan kemaslahatan bagi umat manusia. Prinsip dan asas Hukum Islam dalam mencapai tujuan kemaslahatan manusia menanandai perbedaan karakter atau ciri hukum Islam dengan hukum-hukum lainnya, terutama hukum positif. Hukum Islam memiliki karakteristik-karakteristik yang unik dan khas, yang merangkul dimensi humanis dan dimensi transendental secara bersamaan. Di antara ciri-ciri hukum Islam ialah berpijak pada wahyu sebagai fondasi, akhlak dan agama, dan kolektivisme.63 Hukum Islam adalah hukum yang bersifat universal, karena merupakan bagian dari ajaran agama Islam yang universal sifatnya, yaitu berlaku bagi setiap orang di manapun ia berada dan apapun nasiolismenya. Adapun tujuan dari hukum Islam pada hakikatnya adalah untuk merealisir kemaslahatan umum dan mencegah kemafsadatan bagi umat manusia.64 Kata prinsip berarti asas yakni kebenaran yang jadi pokok dasar orang berpikir, bertindak, dan sebagainya.65 Yang dimaksud dengan prinsip-prinsip Hukum
63
Muhammad, Aspek Hukum dalam Muamalat, Graha Ilmu, tahun 2007, Yogyakarta, hal. 40. Muhtar Yahya, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Al-Ma’arif, Bandung, tahun 1993, hal.333. 65 W.J.S. Poerwadarmita, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, PN Balai Pustaka, 1976, hal. 768. 64
Universitas Sumatera Utara
46
Islam, ialah cita-cita yang menjadi pokok dasar dan landasan Hukum Islam, adapun prinsip-prinsip dari Hukum Ekonomi Islam adalah : 1. Tauhid Tauhid (Ketuhanan Yang Maha Esa), ialah suatu prinsip yang menghimpun seluruh manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa, terdapat dalam Al-Quran Surat Ali Imran ayat 64. 2. Berkomunikasi langsung Berkomunikasi langsung dengan Allah tanpa perantara sebagaimana firman Allah, dalam Surat Al-Mu’min ayat 60. 3. Menghargai fungsi akal Menghargai fungsi akal, sehingga seseorang menjadi Mukallaf (dibebani kewajiban) atau tidak tergantung kepada sehat/tidaknya akal pikirannya. Di dalam Al-Quran terdapat banyak sekali ayat yang menyerukan manusia agar menggunakan akal pikirannya, seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 44 dan 76, Yusuf ayat 2, dan Yasin ayat 62. 4. Menyempurnakan Iman Menyempurnakan akidah/iman dengan akhlak yang mulia yang dapat membersihkan jiwa dan meluruskan kepribadian seorang, seperti dalam firmankan Allah dalam Al-Quran surat Al- Furqan ayat 63. 5. Menjadikan kewajiban untuk membersihkan jiwa Menjadikan segala macam beban (kewajiban) agama demi memperbaiki dan mensucikan
jiwa
manusia,
dan
bukan
untuk
menghancurkan
dan
Universitas Sumatera Utara
47
menundukkan badan, sebagaimana difirmankan Allah dalam surat Al-Maidah ayat 6 dan surat At-taubat ayat 103. 6. Memperhatikan kepentingan Agama dan dunia dalam membuat hukum, karena hukum itu hukum Islam tidak hanya mengenai akidah dan ibadah yang mengatur hubungan manusia dengan penciptanya, Allah, melainkan juga mengenai muammalah dan akhlak yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dan dengan makhluk tuhan lainnya. Bahkan ajaran Islam tentang akhlak ada pula yang mengatur hubungan manusia dengan Allah. 7. Persamaan dan keadilan Prinsip persamaan dan keadilan, yang memperlakukan semua manusia sama dihadapan Allah, dan di hadapan hukum dan pemerintahan. Tidak ada diskriminasi karena perbedaan bangsa, suku, adat-istiadat, bangsa, bahasa, agama dan kepercayaan dan sebagainya tersebut dalam surat Al-Hujurat ayat 13. 8. Amar Ma’ruf Nahi Mungkar Prinsip amar ma’ruf (mengajak kebaikan) dan nahi mungkar (mencegah kejahatan). Prinsip ini besar sekali peranan dan faedahnya bagi kehidupan beragama, bermasyarakat mulai unit terkecil, yakni keluarga sampai yang
Universitas Sumatera Utara
48
besar dan dunia internasional, tergantung ada tidaknya semangat amar ma’ruf dan nahi mungkar itu.66 Sehubungan dengan Sebagaimana telah diungkapkan di atas, bahwa Rahn adalah aturan yang telah dinyatakan oleh Allah dalam Al-Quran dan Sunnah wajib menjadi sumber dalam kehidupan bermuammalah tersebut tidak ada kata perintah atau anjuran, maka manusia boleh berijtihad sepanjang tidak dilarang. Penggaturan tentang Rahn sebagai muammalah masih terdapat perbedaan pendapat para ulama, sebagaimana dalam rukun rahn yang mana pendapat mazhab Hanafi menyatakan bahwa rukun rahn adalah ijab (pernyataan menyerahkan barang sebagai agunan oleh pemilik barang tersebut). Akan tetapi disamping itu, untuk kesempurnaan dan mengikatnya akad rahn ini, maka diperlukan Al-Qabdh (pengguasaan barang) oleh pemberi uang, adapun kedua orang yang melakukan akad, harta atau barang yang dijadikan agunan dan utang, menurut ulama Hanafi termasuk syarat-syarat Rahn, bukan rukunnya.67 Pegadaian syariah yang bermuammalah tidak membedakan seorang muslim dengan non-muslim. Inilah salah satu hal yang menunjukkan sifat universalitas ajaran Islam. Dalam hal muammalah, prilaku kehidupan individu dan masyarakat ditujukan ke arah bagaimana menggunakan sumber daya yang ada. Hal inilah yang menjadi subjek yang dipelajari dalam ekonomi Islam sehingga implikasi ekonomi yang dapat ditarik dari ajaran Islam berbeda dari ekonomi tradisional. Sesuai konsep prinsip dan
66 67
Masjfuk Zuhdi, Pengantar Hukum Syariah, Haji Masa Agung, Jakarta, tahun 1992, hal.33. Nasroen Haroen, Fiqh Muamalah, Gaya Media Pratama, Jakarta, tahun 2000, hal.254.
Universitas Sumatera Utara
49
variabel, sistem ekonomi Islam yang dilakukan sebagai suatu variabel haruslah sesuai dengan prinsip-prinsip dalam hukum Islam.68 Prinsip rahn pada gadai syariah merupakan bagian prinsip-prinsip syariah dalam Hukum Islam khususnya dan perekonomian Islam umumnya. Tentunya prinsip rahn tersebut mempunyai andil terhadap keberadaan dari keseluruhan sistem perekonomian Islam. Ratusan tahun sudah ekonomi dunia di dominasi oleh sistem bunga. Hampir semua perjanjian dibidang ekonomi dikaitkan dengan bunga. Banyak negara yang telah dapat mencapai kemakmurannya dengan sistem bunga ini di atas kemiskinan negara lain sehingga terus-menerus terjadi kesenjangan. Ekonomi yang berbasis bunga tidak hanya dipraktekan lembaga ekonomi dan keuangan yang biasa kita sebut Bank, tetapi juga mewarnai lembaga ekonomi dan keuangan non bank seperti Pegadaian Syariah. Tidak dipungkiri oleh siapapun yang dapat berpikir jernih dan logis, bahwa Islam merupakan suatu sistem hidup, suatu pedoman hidup. Sebagai suatu pedoman hidup, ajaran Islam terdiri atas aturan-aturan mencakup keseluruhan sisi kehidupan manusia. Secara garis besar, aturan-aturan tersebut dapat dibagi dalam tiga bagian yaitu aqidah, akhlak dan syariah. Dua bagian pertama, aqidah dan akhlak bersifat konstan, sedangkan syariah senantiasa berubah sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan kehidupan manusia. 69 Ibadah merupakan sarana manusia untuk berhubungan dengan Sang Pencipta-Nya, sedangkan muammalah digunakan sebagai 68
Ibid. Muhammad, hal.2. Eko Suprayitno, Ekonomi Islam Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional, Graha Ilmu, tahun 2005, Yogyakarta, hal.1. 69
Universitas Sumatera Utara
50
aturan main manusia dalam berhubungan dengan sesamanya. Muammalah inilah yang menjadi obyek paling luas yang harus digali manusia dari masa ke masa, karena seiring dengan perkembangan kebutuhan hidup manusia akan senantiasa berubah. Jadi jelaslah bahwa pada pegadaian syariah telah menerapkan Prinsip-prinsip gadai syariah (rahn) berdasarkan Hukum Islam yang diberlakukan pada produk gadai syariah di Pegadaian adalah ; 1. Tidak memungut bunga dalam berbagai bentuk karena riba, 2. Menetapkan uang sebagai alat tukar bukan sebagai komoditas yang diperdagangkan, dan 3. Melakukan bisnis untuk memperoleh imbalan atas jasa sebagai penerimaan labanya, yang dengan pengenaan bagi hasil dan biaya jasa tersebut menutupi seluruh biaya yang dikeluarkan dalam operasionalnya. Maka pada dasarnya, hakikat dan fungsi Pegadaian dalam Islam adalah semata-mata untuk memberikan pertolongan kepada orang yang membutuhkan dengan bentuk marhun sebagai jaminan, dan bukan untuk kepentingan komersil dengan mengambil
keuntungan
yang
sebesar-besarnya
tanpa
menghiraukan
kemampuan orang lain.70 Produk rahn disediakan untuk membantu nasabah dalam pembiayaan kegiatan multiguna. rahn sebagai produk pinjaman, berarti Pegadaian syariah hanya memperoleh imbalan atas biaya administrasi, penyimpanan, pemeliharaan, dan asuransi marhun, maka produk rahn ini biasanya hanya digunakan bagi keperluan 70
Op.cit, Muhammad dan Solikhul Hadi, hlm. 63.
Universitas Sumatera Utara
51
fungsi sosial-konsumtif, seperti kebutuhan hidup, pendidikan dan kesehatan. Sedangkan rahn sebagai produk pembiayaan, berarti Pegadaian syariah memperoleh bagi hasil dari usaha rahin yang dibiayainya. 71 Sehingga bisa dikatakan bahwa pegadaian syariah, dalam menerapkan prinsip rahn telah layak dan jauh dari riba, untuk dijadikan solusi pendanaan untuk memenuhi kebutuhan dana cepat bagi masyarakat semua yang membutuhkan pada masa sulit.72 Masih berkaitan dengan hal diatas, Indah seorang nasabah (rahin) pada Pegadaian Syariah kantor Lhokseumawe, mengatakan bahwa ia merasakan manfaat dengan hadirnya pegadaian yang berbasiskan syariah, karena dia hanya membayar ijarah dan administrasi per 10 hari, tetapi jika pun tidak membayar mencicil, ia akan melunasi cicilan pada tanggal jatuh tempo. Dan ia mengakui bahwa ia merasa tertolong dengan aturan yang diterapkan oleh pegadaian syariah tersebut karena tidak riba, karena ia hanya mengembalikan pembayaran sesuai yang ia pinjam dan tidak ada pengembalian berlipat ganda (ditambah bunga).73
71
Yadi Janwari dan H.A. Djajuli, Lembaga-Lembaga Perekonomian Umat: Sebuah Pengenalan, Edisi I, Cetakan I, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2002, hlm.80. 72 Wawancara dengan Martius, Manager Usaha Rahn Pegadaian Syariah Cabang Lhoseumawe, tanggal 19 November 2012. 73 Wawancara dengan Nasabah Pegadaiaan, Indah, Lhokseumawe, Tanggal 19 Desember 2012.
Universitas Sumatera Utara