Jurnal Sosialisasi Pendidikan Sosiologi-FIS UNM
PINDAH AGAMA (STUDI DI KECAMATAN RAPPOCINI KOTA MAKASSAR) A. Octamaya Tenri Awaru Dosen Program Studi Pendidikan Sosiologi FIS – UNM ABSTRAK Penelitian ini adalah penelitian yang menggunakan pola deskriptif kualitatif yang akan mengkaji dan mendesprisikan secara mendalam tentang fenomena pindah agama. Adapun yang menjadi informan adalah para pelaku pindah agama tau orang yang telah melakukan pindah agama. Data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa Faktor pendorong pindah agama di Kecamatan Rappoci Kota Makassar adalah factor ilahi (Hidayah) yaitu adanya petunjuk dari Allah SWT yang diberikan melalui mimpi, factor pernikahan, yaitu subjek melakukan pindah agama karena tuntutan dari calon istri/ suami dan factor psikologis, yaitu adanya kegelisahan tentang rasa ingin tahu agama apa yang paling benar yang akhirnya menimbulkan tekanan dalam batin seseorang. Mekanisme atau tata cara pindah agama di Kecamatan Rappocini Kota Makassar adalah ada dua yaitu diMasjid dan rumah ulama atau ustasd adapun tata caranya dengan melakukan pendafataran dan pengisian formulir, melakukan mandi wajib, berwudhu, dan setelah itu dilaksanakan prosesi pengislaman di tengah banyak orang dan di beri sertifikat tentang keislamannya.
Kata Kunci: Pindah Agama ABSTRACT This study is using a qualitative descriptive patterns and mendesprisikan will examine in depth the phenomenon of conversion. As for the informant is to convert the actors know people who have done conversions. The collected data were analyzed using qualitative analysis. The results showed that the factors driving conversion in District Rappoci Makassar is the divine factor (Hidayah) that is the guidance of Allah SWT given through dreams, factor of marriage, which is subject to change religion because of the demands of the future wife / husband and psychological factors, namely the anxiety of curiosity what is the true religion which eventually led to pressure in the inner person. Mechanism or procedure to convert in the District Rappocini Makassar is there are two Mosque and scholars home or ustasd as for how to do the signup procedure and form filling, perform mandatory bathing, ablution, and then carried in procession pengislaman the crowd and give certificate about his Islamic faith.
Keywords : Conversion. PENDAHULUAN Eksistensial agama merupakan suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh penganutpenganutnya dan berproses pada kegiatan-kegiatan non-empiris yang dipercayainya serta didayagunakannya untuk mencapai keselamatan. (Hendropuspito, 1983: 34; Kahmad, 2000: 129). Uraian ini menunjukkan bahwa agama merupakan suatu fenomena sosial (empiris), suatu peristiwa kemasyarakatan (aktifitas sosial), dan sistem sosial yang memiliki kompleksitas persoalan. Para sosiolog yang mengembangkan defenisi Durkheim tentang agama, merumuskan bahwa pada dasarnya setiap agama terutama agama wahyu, memiliki tiga dimensi dasar religiousitas: (1) Keyakinan beragama (religious belief) yang disebut pula sebagai dimensi ideologis (ideological dimension). Dimensi ini berkaitan dengan pengakuan dan penerimaan terhadap sesuatu dzat ”yang sakral”, ”yang maha besar”, sebagai kebenaran atau suatu kenyataan. Keyakinan beragama meliputi dua aspek yakni nilai religius (religious values) dan kosmologi (cosmology). Nilai religius berkaitan dengan konsepsi tentang apa yang dipersepsi sebagai sesuatu yang baik atau buruk, yang pantas A. Octamaya Tenri Awaru |
1
Jurnal Sosialisasi Pendidikan Sosiologi-FIS UNM
dan tidak pantas, yang benar dan yang salah, yang tepat dan tidak tepat menurut keyakinan agama yang dianutnya. Kemudian nilai kosmologi berhubungan dengan penerimaan dan pengakuan tentang penjelasan mengenai divinitas, alam ghaib, termasuk kehidupan, kematian, surga, neraka dan sebagainya. (2) Praktek keagamaan (religious practice) atau dimensi ritualistik (ritualistic dimension). Dimensi ini berkaitan dengan aspek peribadatan, upacara-upacara, yang dilakukan oleh para pemeluknya dalam rangka menyembah, mengabdi dan menghormati Tuhan yang diimaninya. Karena itu, dimensi religiositas lebih merupakan manifestasi keyakinan yang dimiliki oleh pemeluknya. (3) Pengalaman beragama (religious experience) yang meliputi perasaan dan persepsi tentang proses kontaknya dengan apa yang diyakininya sebagai ”the ultimate reality”, ”devine power” atau sang Ilahi serta penghayatan terhadap hal-hal yang religius (Yusuf, 2001: 166). Dalam perspektif yang hampir sama dijelaskan bahwa agama terdiri atas empat aspek yaitu: (1) kepercayaan atau religion belief, (2) upacara atau religion ritual; (3) peribadatan/praktek agama, penghayatan, pengalaman atau religion experience; (4) komunitas agama atau religion community terkait kepercayaan, upacara, peribadatan/praktek agama (McGuire, t. Th., 137-138). Keempat aspek agama ini, dalam pengkajiannya dapat didekati berdasarkan hampiran teori sosiologi maupun antropologi. Karena itu, tidak heran jika dalam perkembangan ekspansionis lingkup kajian kedua disiplin ilmu pengetahuan ini, kemudian memunculkan kategori lain yakni Sosiologi Agama dan Antropologi Agama. Dalam perspektif sosiologi, agama dipandang sebagai sistem kepercayaan yang diwujudkan dalam perilaku sosial tertentu. Kemudian agama juga berkaitan dengan pengalaman manusia, baik dalam kapasitasnya sebagai individu maupun kelompok. Karena itu, setiap perilaku yang ditunjukkan terkait dengan sistem keyakinan yang bersumber pada nilai-nilai agama yang dianut (Kahmad, 2000: 53). Sementara itu, dengan menggunakan perspektif fungsional, Pradja (2000: 42) menjelaskan bahwa agama berfungsi memperkuat norma-norma dalam konteks sosial dan mengurangi kegelisahan serta ketegangan dalam kehidupan sehingga dapat mengontrol tindakannya. Berdasarkan uraian tersebut, dapat dipahami bahwa pembentukan perilaku sosial keagamaan suatu masyarakat dipengaruhi oleh sistem nilai tertentu yang telah diinstitusionalisasikan. Demikian pula realitas kehidupan sosial keagamaan suatu masyarakat, diinstitusikan melalui sistem sosial tertentu dalam proses interaksi. Atas dasar pengertian tersebut, maka posisi agama dalam konteks pembahasan ini dipandang sebagai hal dan persoalan yang profan sifatnya. Dalam pengertian lain bahwa lingkup kajiannya yang berorientasi pada masyarakat agama dan bukan agama itu sendiri, maka ia bukanlah pengetahuan yang sakral sebagaimana ilmu teologi dan sejenisnya. Pindah agama dengan ragam motif yang mengiringi secara historis, bukanlah suatu fenomena baru atau persoalan kontemporer yang masih asing di telinga. Kenyataan ini terbukti melalui hasil penelitian Max Heirich yang telah berhasil mengumpulkan sebanyak 50 (lima puluh) tulisan mengenai hal ini dan menggolongkan faktor penyebab pindah agama ke dalam 4 (empat) faktor utama. Faktor-faktor yang dimaksudkan yakni: (1) faktor Ilahi yakni seseorang melakukan tindakan pindah agama karena memperoleh petunjuk dari Tuhan, (2) faktor tekanan batin yang disebabkan oleh pengaruh lingkungan sosial, (3) faktor pendidikan, dan (4) faktor aneka pengaruh sosial (Hendropuspito, 1983: 79-80). Adapun mengenai faktor penyebab tindakan pindah agama berdasarkan hampiran konsep sosiologi, secara fundamental didorong oleh dua kondisi sosio-kultural yakni disorganisasi masyarakat dan keunggulan kultural agama baru (Hendropuspito, 1983: 86-87).
A. Octamaya Tenri Awaru |
2
Jurnal Sosialisasi Pendidikan Sosiologi-FIS UNM
Beberapa faktor penyebab tersebut, tentu saja bukan sesuatu yang mutlak berlaku dan karakternya akan sama karena menyangkut persoalan serupa. Perlu diingat bahwa ada jiwa zaman, sekat temporal, kondisi spasial, dan konteks persoalan yang tidak serupa sehingga motif pindah agama pun beragam sebagaimana kompleksitas persoalan yang menginringinya. Dalam pengertian lain bahwa motif pindah agama pada masing-masing tempat dan kondisi sosio-kultural tertentu, akan menunjukkan suatu motif tersendiri yang menarik untuk ditelusuri secara mendalam. Kecamatan Rappocini kota Makassar yang dijadikan sebagai unit analisis mengenai persoalan pindah agama, tentu saja memiliki motif dan faktor yang beragam pula. Hal ini tentu saja terkait dengan kondisi sosio-kultural masyarakat yang khas, berikut persoalanpersoalan kehidupan yang beragam dapat menjadi pra kondisi atau pemicu bagi lahirnya tindakan pindah agama. Dalam pengertian lain bahwa keragaman etnik dan latar kultur yang menjadi warna kehidupan masyarakat di kota Makassar, berpeluang menjadi motif tindakan pindah agama. Penelitian ini bertujuan : 1. Untuk mengenai faktor-faktor yang mendorong dan menarik seseorang melakukan tindakan pindah agama di Kecamatan Rappocini Kota Makassar, 2. Untuk mengetahui mekanisme dan proses terjadinya pindah agama di Kecamatan Rappocini Kota Makassar. METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian yang menggunakan pola deskriptif kualitatif. Adapun informan penelitian adalah masyarakat yang berpindah agama di Kecamatan Rappocini Kota Makassar yang dipilih dengan cara purposive sampling. Jumlah informan dalam penelitian ini adalah 5 orang Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Observasi, wawancara, dan dokumentasi. Data yang terkumpul selanjutnya dianalisis dengan melalui langkah-langkah a) Mencatat semua hasil wawancara yang dikumpulkan melalui informan. b) Memilah-milah data yang menyangkut faktorfaktor pendorong pindah agama di Kota Makassar dan Bagaimana mekanisme pindah agama di Kecamatan Rappocini kota Makassar. c) Menginterpretasikan data yang telah dikumpulkan untuk membahas permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Faktor-faktor Pendorong dan Penarik melakukan tindakan pindah agama di Kecamatan Rappocini Kota Makassar. Berpindah keyakinan di masa sekarang ini sudah sangat Lazim kita dengar, baik itu dari lingkungan terdekat kita atau tokoh-tokoh terkenal. Kalau masalah agama itu persoalan hati. Dalam lingkungan sosial sering dijumpai seseorang memutuskan untuk berpindah keyakinan dari suatu agama ke agama lain, atau ada juga seseorang yang dulunya menyimpang dari ajaran agama tiba-tiba berubah sikapnya menjadi taat menjalankan ajaran agamanya. Memilih agama, pada dasarnya, adalah hak setiap individu. Islam memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih agama sesuai dengan kehendak dan keyakinan masing-masing. Islam menegaskan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama karena setiap orang dipersilakan memilih dan menjalankan agama berdasarkan akal sehat dan hati nurani. Keterpaksaan dalam beragama hanya akan melahirkan sosok-sosok labil yang tidak memiliki dasar filosofis-rasional dalam beragama. Berbagai factor melatarbelakangi keputusan seseorang untuk pindah agama. Perubahan pola kehidupan dalam berbagai aspek yang semakin beragam di era globalisasi, baik pada aspek sosial, budaya, pendidikan, agama, menyebabkan seseorang cenderung A. Octamaya Tenri Awaru |
3
Jurnal Sosialisasi Pendidikan Sosiologi-FIS UNM
tidak dapat mengimbangi dan memenuhi berbagai kebutuhannya baik kebutuhan fisik maupun kebutuhan rohani. Seseorang cenderung tidak dapat mempertahankan lagi apa yang ia miliki termasuk ideologi terpenting dalam dirinya yaitu agama. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan di era globalisasi ini seseorang melakukan tindakan pindah agama karena tuntutan kebutuhannya yang harus dapat dipenuhinya secara maksimal. Berdasarkan hasil penelitian yang menyebabkan informan untuk berpindah agama antara lain disebabkan oleh tiga factor yaitu: a. Petunjuk Ilahi (Hidayah) Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa pada 3 subjek penelitian diperoleh informasi bahwa mereka memutuskan untuk berpindah agama karena factor hidayah yang diberikan oleh Allah yang Maha kuasa. Hal ini memang kadang terjadi pada seseorang. Hidayah ini diperoleh lewat mimpi atau bahkan diberi keyakinan yang sangat kuat dalam hatinya. Hal ini memang telah ada dinyatakan dalam Al Quran QS.Al-Qasas:56 yang berarti “sesunggunhnya kamu tidak akan dapat member petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah member petunjuk kepada orang-orang yang dikehendakinya dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. QS. Al-An’am: 125 “barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya dia melapangkan dadanya untuk memeluk agama islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman. Dari ayat diatas tergambar bahwa biar bagaimanapun seseorang untuk mempengaruhi seseorang untuk mengikuti keyakinannya tanpa ada kehendak dari Allah SWT maka tidak akan bisa terjadi. Keinginan para informan untuk memeluk agama islam dating dari dalam hatinya tanpa ada paksaan dari siapapun dan itu membuat mereka tidak mampu melawan meski mereka berusaha untuk melupakan kegelisahan hatinya. Dilihat dari “dalam”, fakta bahwa seseorang memeluk agama tertentu biasanya dijelaskan dengan berbagai cara. Dalam konteks Islam, misalnya, hal itu dijelaskan dengan konsep “hidayah” atau petunjuk. Dalam pandangan seorang Muslim, seseorang menjadi Muslim, entah sejak lahir atau sesudah dewasa, karena yang bersangkutan mendapat petunjuk (hidayah) dari Tuhan. Konsep ini mengandaikan bahwa yang bersangkutan, sebelum masuk Islam, berada dalam keadaan tersesat (dlalal). Dalam Islam dikenal konsep tentang “jalan yang lurus” (al-sirat al-mustaqim). Meskipun istilah ini sering dipakai oleh umat Islam dalam konteks eskatologi (doktrin atau ajaran tentang hari akhir–yaum al-qiyama), tetapi konsep tersebut juga sering dipakai untuk menunjuk agama Islam itu sendiri. “Jalan yang lurus”, dengan demikian, bukan saja merujuk kepada “jembatan ujian” (“titian serambut dibelah tujuh“, meminjam judul film arahan Asrul Sani dulu) yang terbentang di atas neraka kelak untuk menguji iman seseorang, tetapi juga merujuk kepada agama Islam. Islam adalah jalan yang lurus. Seseorang yang tidak mengikuti jalan ini dianggap sebagai berada dalam jalur yang sesat, menyimpang. Jika seseorang masuk Islam, ia mendapatkan petunjuk untuk kembali ke jalan yang lempang dan benar. Dua informan penelitian diberikan hidayah melalui mimpinya dan satu orang karena dari dalam hatinya yang selalu memaksanya untuk mencari kebenaran tentang agama islam. Dari hidayah itulah akhirnya mereka memutuskan untuk memeluk agama islam meskipun mendapat tentangan dari pihak keluarga maupun kedua orang tua. Tanpa adanya pengaruh khusus dari Allah orang tidak akan sanggup menereima kepercayaan yang sifatnya radikal mengatasi kekuatan insane. Dengan kata lain bahwa untuk berani menerima hidup baru dengan segala konsekuensinya diperlukan bantuan istimewa dari
A. Octamaya Tenri Awaru |
4
Jurnal Sosialisasi Pendidikan Sosiologi-FIS UNM
tuhan yang sifatnya cuma-Cuma. Pendapat ini menurut para ahli ilmu social tidak dapat dijangkau dengan pengamatan social karena sifatnya supra empiris. Hasil penelitian ini hamper sama dengan penelitian James ( Ramayulis: 2002) yang berhasil meneliti pengalaman berbagai tokoh yang mengalami konversi agama dan menyimpulkan sebagai berikut: 1) konversi terjadi karena adanya suatu tenaga jiwa yang menguasai pusat kebiasaan seseorang sehingga pada dirinya muncul persepsi baru dalam bentuk suatu ide yang bersemi secara mantap. 2) konversi agama dapat terjadi karena suatu krisis ataupun secara mendadak (tanpa suatu proses). b. Faktor pernikahan Pernikahan merupakan satu proses awal pembentukan keluarga sehingga penting untuk mempertimbangkan kelangsungan hubungan dalam kehidupan keluarga setelah proses perkawinan. Hal yang perlu dipertimbangkan yaitu fungsi, status, dan peran sebagai anggota dalam keluarga. Untuk mempertimbangkannya perlu mengetahui makna perkawinan sendiri serta tujuannya. Dalam realitanya, pemaknaan terhadap suatu perkawinan dapat berbeda di setiap generasi, kultur, termasuk agama tergantung dari nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Faktor pernikahan menjadi salah satu factor yang menyebabkan subjek penelitian untuk berpindah agama. Factor cinta yang dalam membuat subjek akhirnya memutuskan untuk berpindah agama. Hal ini sesuai dengan Teori sosial Herbert Spencer yang dikemukakannya pada tahun 1876 menegaskan bahwa, ”Suatu saat nanti ketentuan hukum tidak akan cukup longgal bagi esensi perkawinan. Agaknya, penyatuan oleh kasih sayang akan menjadi pegangan pribadi”. (Spencer, 1953:29). Dalam pandangan agama islam menikah beda agama haram. Hal inilah yang mungkin mendasari calon istri subjek III dan kedua orang tuanya tidak mau menerimanya sebagai calon menantunya. Pandangan Agama Islam terhadap perkawinan antar agama, pada prinsipnya tidak memperkenankannya. Dalam Alquran dengan tegas dilarang perkawinan antara orang Islam dengan orang musrik seperti yang tertulis dalam Al-Quran yang berbunyi : “Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musrik sebelum mereka beriman. Sesungguh nya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walupun dia menarik hati. Dan janganlah kamu menikahkah orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu”. (Al-Baqarah [2]:221) Larangan perkawinan dalam surat al-Baqarah ayat 221 itu berlaku bagi laki-laki maupun wanita yang beragama Islam untuk kawin dengan orang-orang yang tidak beragama Islam. c. Faktor psikologis Secara psikologis tipe kepribadian tertentu akan mempengaruhi kehiduan jiwa seseorang. Dalam penelitiannya, James (dalam Ramayulis, 2002) menemukan bahwa tipe melankolis (orang yang bertipe melankolis memiliki sifat mudah sedih, mudah putus asa, salah satu pendukung seseorang melakukan konversi agama adalah jika seseorang itu dalam keadaan putus asa) yang memiliki kerentanan perasaan lebih mendalam dapat menyebabkan terjadinya konversi agama dalam dirinya. Kedua, faktor pembawaan. Menurut Sawanson (dalam Ramayulis, 2002) ada semacam kecenderungan urutan kelahiran mempengaruhi konversi agama. Anak sulung dan anak bungsu biasanya tidak
A. Octamaya Tenri Awaru |
5
Jurnal Sosialisasi Pendidikan Sosiologi-FIS UNM
mengalami tekanan batin, sedangkan anak-anak yang dilahirkan pada urutan antara keduanya sering mengalami stress jiwa, karena pada umumnya anak tengah kurang mendapatkan perhatian orangtua. Kondisi yang dibawa berdasarkan urutan kelahiran itu banyak mempengaruhi terjadinya konversi agama Konversi pindah agama bukan hanya sekedar perubahan identitas agama namun juga berarti terjadi perubahan kognitif, afektif, dan behavior dalam prosesnya karena peran religi pada individu memberi signifikansi tertentu dalam menyikapi berbagai peristiwa hidup, misteri, maupun tragedi. Konsep-konsep atau nilai religius terkadang digunakan untuk memaknai konflik ataupun krisis kehidupan. Seseorang bisa mengatakan bahwa sebuah kecelakaan terjadi karena pengemudi kendaraan yang mabuk, namun seorang yang pindah agama bisa saja mengatakan bahwa peristiwa itu terjadi karena keinginan Tuhan. Pemaknaan tersebut dapat membantu munculnya penerimaan secara afektif terhadap kejadian tersebut dan menggugah seseorang yang pindah agama untuk melakukan hal-hal yang meningkatkan religiusitasnya. Pemaknaan-pemaknaan semacam ini menandakan adanya sistem interpretasi yang ditarik ke dalam kerangka religius, sehingga ketika seseorang pindah agama, seluruh strategi atribusi terhadap segala peristiwa pun berubah Sama dengan yang dirasakan subjek V yang merasakan kegelisahan tentang agama apa sebenarnya yang paling benar. Pertanyaan itu muncul akibat dari cerita-cerita dan tekanan yang berasal dari lingkungan tempat tinggalnya. Hal inilah yang mengakibatkan dia tetap bertahan di tengah tekanan yang didapatkan dari keluarga dan orang tuanya. Pada perjalanan konversi pindah agama, tentangan dari keluarga menjadi hal yang kiranya lazim ditemui sehingga pindah agama seringkali menjadi peristiwa yang secara psiko-emosional mengguncangkan, baik bagi individu yang bersangkutan maupun bagi keluarganya, sebagai ruang hidup terdekat tempat individu tumbuh dan berkembang. Bagi individu yang pindah agama, pencarian keyakinan dapat menjadi suatu proses yang diwarnai konflik, misalnya pada masa-masa ketika individu mulai mempertanyakan agama yang sebelumnya ia anut. Pada masa ini, kerangka kognitif mengenai apa yang sebelumnya diyakini sebagai panduan hidup goyah dan seakan-akan menjadi sesuatu yang perlu dia pikirkan kembali. Tentunya situasi guncang semacam ini merupakan keadaan yang tidak mudah dihadapi, terutama dalam kaitannya dengan agama, sesuatu yang „terberi‟, tersosialisasi sejak dini, dan karenanya sering dilihat sebagai sesuatu yang tidak diragukan lagi sehingga perpindahan agama berarti juga perubahan perjalanan hidup. Sementara untuk pihak keluarga, orangtua bisa saja menganggap pindah agama sebagai upaya anak untuk memberontak terhadap otoritas dan didikan orang tua, sehingga perlu diberikan “penanganan khusus” terhadapnya. Perpindahan agama dapat membuat orang tua mencerca, mengusir, memperlakukan anak dengan kejam, atau menolak anaknya. Hal itu pula yang terjadi pada perjalanan pindah agama Muhtar dan veronica yang melewati serangkaian masa-masa „sulit‟ dalam proses perpindahan agamanya dan sampai sekarang belum direstui orang tuanya orang tuanya. Selain pergulatan yang mereka rasakan dalam diri, keluarga menentang niatnya. Berbeda dengan keluarga dari komang, joni dan aisyah yang pada akhirnya mengerti dengan pilihan yang telah ditetapkan oleh anaknya untuk pindah agama, hal ini mungkin disebabkan karena saat ini pindah agama bukan lagi suatu hal yang sangat memalukan untuk beberapa orang atau karna pola pikir masyarakat yang telah berubah.
A. Octamaya Tenri Awaru |
6
Jurnal Sosialisasi Pendidikan Sosiologi-FIS UNM
Dari pengamatan sesaat ditemukan bahwa pindah agama dan perubahan sikap beragama ada yang berlangsung tiba-tiba dan ada pula yang berproses dalam jangka waktu cukup lama. Demikian juga alasan-alasan yang melatar belakanginya ada yang sederhana dan ada juga yang kompleks. Alasan-alasan tersebut tidak jarang terlihat sangat sederhana. Namun jika ditelusuri lebih lanjut, tidak benar bahwa pindah agama atau perubahan sikap beragama atau sering disebut konversi agama melalui proses yang tiba-tiba dan alasan yang sederhana. Peristiwa konversi melalui proses yang cukup panjang dan dengan alas an dan latar belakang yang kompleks. Di lingkungan para ahli sosiologi kajian mengenai konversi agama diminati setelah munculnya fenomena sosial keagamaan di Amerika yang disebut dengan New-religion. Konvensi agama (Religious Konversion) secara umum dapat diartikan berubah agama ataupun masuk agama. Dalam konteks masyarakat demokratis, perkara pindah agama bukan fenomena besar bahkan mungkin akan kerap terjadi. Ada banyak faktor yang mendorong seseorang berpindah agama. Mulai dari faktor-faktor teologis-ideologis yang dalam hingga dorongan remeh temeh seperti karena gengsi dan prestise. Mulai dari motif yang bisa dinalar hingga motif yang tidak mudah dikunyah akal sehat. Mulai dari dorongan ekonomi dan politik hingga dorongan cinta kasih. Seorang teman berani mengambil tindakan pindah agama hanya karena ingin menyesuaikan dengan agama pasangannya. Ada juga yang pindah agama untuk tujuan meningkatkan taraf hidup yang bersangkutan karena diiming-imingi dana dalam jumlah tertentu oleh kelompok agama tertentu. Namun, pindah agama selalu menjadi fenomena mengguncangkan. Kalau tidak bagi diri yang berpindah agama, maka sekurangnya bagi keluarga dan lingkungan, tempat yang bersangkutan tumbuh dan berkembang. Orang tua bisa mengambil tindakan kejam dengan tidak mengakui anak yang pindah agama sebagai bagian dari keluarga. Para agamawan pun sering terpukul dengan perkara pindah agama ini. Sebab, dengan adanya anggota yang “tanggal” atau lepas, maka berkuranglah jemaat si agamawan tadi. Agamawan yang tak jarang tampil bak seorang pengiklan atau salesman dagangan, merasa gagal dalam menyampaikan dakwah dan misinya ketika ada anggotanya yang berpindah. 2. Mekanisme Pindah Agama Rambo (1993) menyatakan bahwa proses konversi pindah agama merupakan proses dinamis yang tidak sederhana dan termediasi melalui orang lain, institusi, komunitas, dan/atau kelompok tertentu. Ia juga menjelaskan bahwa konversi merupakan proses yang melibatkan waktu dan tidak hanya didasari oleh kejadian tunggal; terikat secara kontekstual, mempengaruhi dan dipengaruhi oleh jalinan relasi, harapan, dan situasi. Oleh karena itu, proses konversi agama merupakan proses yang bersifat kumulatif dan interaktif. Proses konversi agama menurut Rambo (1993) terdiri dari beberapa tahap, yaitu tahap crisis, quest, encounter, interaction, commitment, dan consequences. Secara sederhana, tahap-tahap tersebut dapat diartikan sebagai berikut; tahap Crisis merupakan tahap yang menjadi daya utama terjadinya perubahan agama, yang berlanjut kepada tahap Quest yakni masa pencarian sumber-sumber yang dapat menyediakan solusi saat menghadapi krisis. Tahap Encounter merupakan tahap yang ditandai oleh pertemuan dengan agen/utusan religi ataupun orang dari agama lain, yang memungkinkan terjadinya tahap berikutnya yaitu Interaction yakni tersedianya kedekatan relasi personal yang memungkinkan calon convert untuk merasa diterima sehingga menghasilkan energi pada orientasi yang baru. Tahap A. Octamaya Tenri Awaru |
7
Jurnal Sosialisasi Pendidikan Sosiologi-FIS UNM
Commitment merupakan tahap terjadinya keputusan untuk pindah agama yangditampilkan melalui demonstrasi publik, yang berlanjut kepada tahap Commitment yaitu dampak yang didapatkan seorang convert dari perpindahan agamanya. Hasil penelitian memberikan gambaran bahwa ada dua tempat yang dijadikan tempat untuk melakukan proses pindah agama yaitu di Masjid seperti yang dilakukan Subjek I, III, IV, V dan dirumah ulama atau ustads yang dilakukan oleh subjek II. Mesjki di tempat yang berbeda akan tetapi tata cara dan prosesi pelaksanaannya sama yaitu: a) Melakukan mandi wajib, b) berwudhu, c) diajarkan membaca dua kalimat syahadat, d) dibawah untuk diislamkan dengan cara dituntun mengucapkan dua kalimat syahadat, e) Setelah itu di ajarkan doa-doa, f) dan diberikan sertifikat keislamannya Mekanisme yang berajalan diatas sesuai dengan tata cara pengislaman yang diajarkan oleh Rasulullah Muhammad SAW. Sesungguhnya cara/metode Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam dalam mengajak orang-orang Kafir kedalam Islam adalah: 1) Mengajak mereka bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq selain Allah" dan bahwasanya Muhammad adalah utusan/Rasul Allah; Diantara hadits yang menyebutkan hal itu adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Ibnu 'Abbas radhiallahu 'anhuma bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam ketika mengutus Mu'az ke Yaman, beliau bersabda kepadanya :"Sesungguhnya engkau mendatangi suatu kaum Ahlul Kitab, maka hendaklah yang pertama engkau lakukan adalah mengajak mereka kepada bersaksi bahwa tiada Tuhan yang haq melainkan Allah". Dan dalam riwayat yang lain :"…hingga mereka bertauhid kepada Allah ; 2) Jika mereka meresponsnya dengan baik, ajak mereka kepada syari'at Islam lainnya berdasarkan urgensinya dan pertimbangan sikonnya. Jika mereka mena'atimu dalam hal itu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan bagi mereka lima shalat waktu dalam setiap hari semalam; jika mereka mena'atimu dalam hal itu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka membayar zakat yang diambil dari orang-orang kaya diantara mereka untuk dikembalikan/diberikan kepada orang-orang fakir diantara mereka; jika mereka mena'ati hal itu, maka jauhilah/berhati-hatilah terhadap harta-harta yang paling mereka utamakan dan banggakan dan takutlah terhadap doa orang yang dizhalimi karena tiada hijab/pelindung antara doanya dan Allah ".
PENUTUP Faktor pendorong pindah agama di Kecamatan Rappoci Kota Makassar adalah factor ilahi (Hidayah) yaitu adanya petunjuk dari Allah SWT yang diberikan melalui mimpi, factor pernikahan, yaitu subjek melakukan pindah agama karena tuntutan dari calon istri/ suami dan factor psikologis, yaitu adanya kegelisahan tentang rasa ingin tahu agama apa yang paling benar yang akhirnya menimbulkan tekanan dalam batin seseorang. Mekanisme atau tata cara pindah agama di Kecamatan Rappocini Kota Makassar adalah ada dua yaitu di Masjid dan rumah ulama atau ustas adapun tata caranya dengan melakukan pendafataran dan pengisian formulir, melakukan mandi wajib, berwudhu, dan setelah itu dilaksanakan prosesi pengislaman di tengah banyak orang dan di beri sertifikat tentang keislamannya.
A. Octamaya Tenri Awaru |
8
Jurnal Sosialisasi Pendidikan Sosiologi-FIS UNM
DAFTAR PUSTAKA Abu Hamid. t.Th. Suatu Pedoman Teknik Penyusunan Questioner dan Teknik Wawancara: Ujung Pandang: Universitas Hasanuddin. Anshari, Endang Saifuddin. 1983. Wawasan Islam Pokok Pikiran Tentang Islam dan Umatnya. Bandung: Pustaka Salman. Atkinson, Jane Monnig. 1982. “Religions in Dialogue: The Construction of an Indonesian Minority Religion”. Dalam Rita Smith Kipp anda Susan Rodgers Indonesian in Transition. Tocson: The University of Arizona Press. Berger, Peter L. dan Thomas Luhmann. 1985. Konstruksi Sosial Atas Realitas (terjemahan). Jakarta: LP3ES. Blumer, Herbeet. 1969. “Society as Symbolic Interactions“ dalam Human Behavior and Social Processes. Boston: Houghton Mifflin, Inc. Bodgan, Ribert and Tylor J. Steven. 1993. Penelitian Kualitatif. Surabaya: Usaha Nasional. Campbell, Tom. 1995. Tujuh Teori Sosial. Yogyakarta: Kanisius. Crapps, Robert W. 1995. Dialog Psikologi dan Agama. Jakarta: Kanisius. Garna, Yudistira K. 1999. Metode Penelitian Pendekatan Kualitatif. Bandung: Primaco Akademika. Geertz, Clifford. 1992. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius. Henropuspito. 1983. Sosiologi Agama. Cet. IX. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Johnson, Doyle Paul. 1986. “Scociological Theory: Classical Punders and Contemporary Perspectives” diterjemahkan oleh Robert M.Z. Lawang Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: Gramedia. Kahmad, Dadang. 2000. Sosiologi Agama. Bandung: Remaja Rosda Karya. Kaplan, David dan Robert A.Maners,.2002. Teori Budaya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
A. Octamaya Tenri Awaru |
9