Pikir Itu Pelita Hati
Suar Suroso
Pikir Itu Pelita Hati
Ilmu Berpikir Mengubah Dunia: dari Marxisme sampai Teori Deng Xiaoping
BANDUNG 2015
Pikir Itu Pelita Hati Ilmu Berpikir Mengubah Dunia: dari Marxisme sampai Teori Deng Xiaoping ©Suar Suroso
Editor: Bilven, Darwin Iskandar Desain sampul: Herry Sutresna
Diterbitkan oleh Ultimus Cetakan 1, Agustus 2015
Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT) SUROSO, Suar Pikir Itu Pelita Hati Ilmu Berpikir Mengubah Dunia: dari Marxisme sampai Teori Deng Xiaoping Cetakan 1, Bandung: Ultimus, 2015 xlviii + 404 hlm.; 14,5 x 20,5 cm 978-602-8331-58-6
ULTIMUS Tel. (+62) 812 245 6452, (+62) 811 227 1267
[email protected] www.ultimus-online.com
PENGANTAR PENULIS KARYA Pikir Itu Pelita Hati lahir dari hasrat untuk melawan pembodohan dan pembiadaban yang melanda bangsa Indonesia akibat sepertiga abad berkuasanya rezim orba jenderal fasis Soeharto. Soeharto naik panggung dengan penggulingan Bung Karno lewat kebohongan demi kebohongan dan pembantaian terhadap pendukung Bung Karno, para pimpinan dan anggota PKI, serta manusia tak berdosa. Manusia tak berdosa korban pembantaian di Indonesia melebihi jumlah manusia yang dibunuh fasis Jepang sebanyak 300.000 di Nanjing tahun 1937. Lebih mengerikan dari kekejaman fasis Nazi membunuh kaum Yahudi dalam Perang Dunia II. Dalam pembantaian di Indonesia, yang mati lebih banyak daripada korban bom atom yang menimpa Hiroshima dan Nagasaki. Pembantaian ini adalah teror. Membenarkan teror untuk mencapai tujuan adalah kebiadaban. Di bawah kekuasaan orba, teror bersimaharajalela. Berkembang ajaran yang membenarkan teror untuk mencapai tujuan. Bangsa beradab jadi biadab. Berlangsung kebiadaban yang tak ada taranya dalam sejarah Indonesia. Kebiadaban ini disembunyikan rezim orba Soeharto dengan berbagai cara, antara lain dengan kebohongan‐kebohongan dalam buku sejarah, pembikinan film Pengkhianatan G30S PKI, pembangunan Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya. Ini adalah pemalsuan sejarah, adalah pembodohan bangsa. Bukan hanya ini, bahkan dibiarkan penyebaran ajaran kaum fanatik yang membenarkan dan melakukan teror untuk mencapai tujuan. Salah satu puncaknya adalah pembantaian yang dilakukan rezim orba terhadap kaum komunis Indonesia dan manusia tak berdosa pendukung Bung Karno. Pengantar Penulis | v
Pembodohan dan pembiadaban inilah yang menyebabkan meski berlalu setengah abad tapi pelaku kebiadaban ini masih terlindung. Jutaan sanak keluarga korban didera siksaan batin. Tiada permintaan maaf dari pemerintah, apalagi pengadilan atas yang berdosa. Ini berarti korban dipaksa memaafkan pembunuh, memaafkan yang biadab. Kebiadaban menyebabkan tak tahu lagi membedakan mana benar dan salah. Pikiran siapa yang tak tergugah oleh siksa derita kebiadaban yang melanda bangsa ini? Pikiran lahir dari kerja otak. Berpikir adalah kerja, adalah tindak‐ tanduk otak yang menghasilkan pikiran. Mampu berpikir inilah yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya di alam raya. Pikiran berperan membimbing setiap perbuatan sadar manusia. Tak bisa berpikir adalah bodoh. Berpikir tidak manusiawi adalah biadab. Bodoh dan biadab berakar pada cara berpikir yang salah. Membiasakan hidup tanpa menggunakan otak, tanpa menggunakan pikiran, hidup serba percaya, berarti melakukan kebodohan. Menanamkan kebiasaan tidak berpikir atau membiasakan berpikir salah, memelihara kebiasaan serba percaya tanpa berpikir, adalah pembodohan. Dari bodoh, manusia bisa jadi biadab. Dengan berpikir tepat, manusia bisa membedakan mana benar dan salah, bisa dapat akal memecahkan masalah yang dihadapi. Oleh karena itu, pikiran yang tepat akan menentukan tepatnya tindak‐tanduk manusia. Pikiran yang tepat akan membimbing tindakan tepat manusia. Sekali pikiran yang tepat dikuasai manusia, akan melahirkan kekuatan maha perkasa. Pikiran tepat, yang ilmiah, bisa mengubah dunia. Inilah akar pandangan: Tanpa Teori Revolusioner, Tak Ada Gerakan Revolusioner. Demikianlah pentingnya arti pikiran dalam kehidupan. Maka sungguh arif dan bijaksana nenek moyang kita mewariskan ungkapan Pikir Itu Pelita Hati. Memang, pikiran itu adalah suluh hidup bak mercusuar memancarkan sinar, memandu pelaut di samudera raya dalam kegelapan malam. Maka tak ayal lagi, berpikir itu ada ilmunya, ada hukumnya. Untuk bisa berpikir ilmiah, perlu menguasai hukum cara berpikir. Hukum‐hukum cara berpikir dapat dipelajari dari pengalaman kenyataan perkembangan cara berpikir dalam sejarah. Maka perlu mempelajari perkembangan cara berpikir di Nusantara. Sejarah menunjukkan, bahwa di Nusantara terdapat bermacam ragam cara
vi | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
berpikir, mulai dari animisme, mistisisme, pengaruh Hinduisme, Buddhisme, Islam, agama‐agama lain, serta bermacam ragam kepercayaan, sampai pada masuknya cara berpikir ilmiah, yang paling maju dalam sejarah, yaitu masuknya Marxisme pada abad ke‐20. Dengan kalimat‐kalimat “Ada hantu berkeliaran di Eropa—hantu komunisme”, Manifesto Partai Komunis karya Marx dan Engels pada pertengahan abad ke‐19 mengumandangkan program Marxisme demi mengubah dunia, yaitu melenyapkan penghisapan manusia oleh manusia, membangun masyarakat berkeadilan sosial, masyarakat sosialis, menuju komunisme. Semenjak itu, sejarah memasuki zaman baru, zaman perjuangan hidup‐mati antara dua kekuatan dalam masyarakat, antara kekuatan klas borjuasi yang mempertahankan tata kehidupan lama, yang mempertahankan pembodohan dan pembiadaban, melawan kekuatan klas pekerja yang ingin membangun dunia baru, dunia tanpa pembodohan dan pembiadaban, yaitu dunia tanpa penghisapan manusia oleh manusia. Dalam pelaksanaan Marxisme selama dua abad, sejarah mencatat kegagalan‐kegagalan dan kemenangan‐kemenangan. Dua puluh tiga tahun setelah Manifesto diumumkan, tahun 1871, kekuasaan borjuasi Perancis sempat digulingkan oleh Komune Paris. Tapi dalam waktu pendek Komune Paris dikalahkan oleh borjuasi. Empat puluh enam tahun kemudian, pada awal abad ke‐20, revolusi besar sosialis di bawah pimpinan Lenin mencapai kemenangan dengan berdirinya negara diktatur proletariat Uni Republik‐Republik Sovyet Sosialis (URSS). Selama tujuh dasawarsa, sosialisme sempat berjaya di Uni Sovyet. Bangkitnya fasisme Jerman, Italia, dan Jepang dengan Pakta Anti‐ Komintern‐nya yang mengobarkan Perang Dunia II adalah demi membasmi komunisme. Kekalahan fasisme dalam Perang Dunia II disusul oleh Perang Dingin yang digalakkan Amerika Serikat untuk melanjutkan usaha membasmi komunisme sejagat. Maksud buku Pikir Itu Pelita Hati adalah untuk memaparkan perkembangan pikiran ilmiah, terutama di bidang kemasyarakatan semenjak zaman purba sampai abad ke‐21. Intinya terpusat pada perkembangan Marxisme, membantah pandangan yang menyatakan Marxisme sudah punah, menegakkan pandangan bahwa Marxisme berkembang sampai lahir Teori Deng Xiaoping.
Pengantar Penulis | vii
Berpikir ilmiah berarti memandang segala‐galanya berdasarkan kenyataan. Inilah materialisme. Lebih dulu dari Thales, pemikir materialis Yunani kuno yang menyatakan bahwa air adalah asal‐usul segala‐ galanya di alam raya, di Tiongkok telah tampil pikiran bahwa di alam raya ada 5 unsur asal‐muasal. Wu Xing, yaitu air, api, tanah, kayu, dan logam. Pemikir Lao Zi telah tampil dengan ajarannya Dao De Jing, ajaran agama Dao. Dao De Jing mengandung unsur materialisme dan dialektika. Pikir Itu Pelita Hati berusaha memaparkan materialisme sampai materialisme Marxis, yaitu pandangan materialisme dengan metode dialektika, dan penerapan dalam masalah kemasyarakatan, yaitu materialisme historis. Marxisme dipaparkan secara historis, sampai pada perkembangan menjadi Marxisme–Leninisme, Pikiran Mao Zedong, dan Teori Deng Xiaoping. Pikir Itu Pelita Hati bukan hanya memaparkan keunggulan serta kemenangan‐kemenangan Marxisme dalam sejarah, tapi juga memperkenalkan kekuatan‐kekuatan lawan Marxisme, para penyeleweng atas Marxisme, musuh‐musuh Marxisme, yaitu revisionisme, Trotskisme, para penganut Pasca‐Marxisme, Euro‐Komunisme. Marxisme yang lahir pada pertengahan abad ke‐19 mengalami ujian berat pada akhir abad ke‐19 dan pada abad ke‐20. Penggulingan kekuasaan borjuasi Perancis berakhir dengan kalahnya Komune Paris di tahun 1871. Kemenangan Revolusi Oktober dan kejayaan Uni Sovyet berujung pada rontoknya Tembok Berlin dan ambruknya Uni Sovyet. Disusul dengan ambruknya negara‐negara sosialis Albania, Bulgaria, Rumania, Cekoslowakia, Polandia, dan Jerman Timur. Borjuasi bergendang paha, sampai‐sampai Presiden Amerika, George W. Bush, awal tahun 1992 dengan khidmat mendeklarasikan “Perang Dingin sudah usai, komunisme sudah mampus, dan kita menang!” Pembasmian komunisme dalam Perang Dingin juga melanda Indonesia. Muaranya adalah naik panggungnya jenderal fasis Soeharto dengan menggulingkan Bung Karno setelah membasmi kekuatan utama pendukung Bung Karno yaitu Partai Komunis Indonesia. Para pendukung orba, antek Perang Dingin di Indonesia menepuk dada, merasa telah “berjasa” membasmi PKI, melarang komunisme di Indonesia dan menggulingkan Bung Karno. Dengan ambruknya Uni Sovyet, berkumandang suara
viii | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
menyorakkan punahnya Marxisme. Pikir Itu Pelita Hati membantah dengan memaparkan bahwa Marxisme tak salah apalagi punah. Sebab‐ musabab ambruknya sistem sosialis Sovyet bukanlah karena Marxisme yang dipraktekkan itu yang salah, tapi kesalahan adalah karena dicampakkannya ajaran pokok Marxisme, yaitu ajaran diktatur proletariat, dan secara sukarela dilepaskannya kepemimpinan Partai Komunis atas negara sosialis. Mengenai pembangunan sosialisme, Pikir Itu Pelita Hati secara khusus memaparkan ajaran Lenin tentang kapitalisme negara yang diperlukan selama masa peralihan menuju sosialisme di bawah diktatur proletariat. Soal paham pasca‐Marxisme dikemukakan, bahwa penganut paham ini sesungguhnya tidaklah membela, menyempurnakan Marxisme, atau mengoreksi pelaksanaan Marxisme, tetapi adalah mengebiri bahkan menegasi materialisme dialektis dan menentang ajaran Marx tentang diktatur proletariat. Belajar dari kegagalan sosialisme Sovyet dan ambruknya negara‐ negara sosialis Eropa Tengah dan Timur, Deng Xiaoping tampil dengan gagasan Empat Prinsip Dasar, yaitu untuk membangun sosialisme di Tiongkok haruslah: 1. menempuh jalan sosialisme; 2. menjunjung diktatur proletariat; 3. di bawah pimpinan Partai Komunis; dan 4. menjunjung ideologi Marxisme–Leninisme, Pikiran Mao Zedong. Maka walaupun mengalami Peristiwa Tian An Men berdarah, yaitu “gerakan demokrasi” demi menggulingkan diktatur proletariat Tiongkok, Negara Republik Rakyat Tiongkok tidak tergoyahkan. Tiongkok dengan seperlima penduduk dunia yang miskin dan terbelakang pada pertengahan abad ke‐20, maju melompat menjadi negara terbesar kedua di bidang ekonomi mengungguli Jepang. Inilah demonstrasi kejayaan realisasi pembangunan sosialisme berciri Tiongkok, yaitu pelaksanaan Marxisme yang di‐Tiongkok‐kan. Jiang Zemin mengemukakan bahwa Teori Deng Xiaoping adalah pengembangan Pikiran Mao Zedong, pengembangan Marxisme yang diterapkan di Tiongkok. Di samping Marxisme–Leninisme dan Pikiran Mao Zedong, Hu Jingtao menampilkan rumusan pandangan ilmiah tentang perkembangan sebagai ideologi pembimbing PKT. Maka kemajuan ekonomi Tiongkok yang mengagumkan dunia menunjukkan bahwa Marxisme tidaklah punah. PKT yang memimpin Republik Rakyat
Pengantar Penulis | ix
Tiongkok menjadikan Marxisme–Leninisme, Pikiran Mao Zedong, Pikiran Penting “Tiga Butir Mewakili”, pandangan ilmiah tentang perkembangan, dan Teori Deng Xiaoping, sebagai ideologi pembimbingnya. Di bawah pimpinan Sekjen Xi Jinping, dengan pelaksanaan putusan‐putusan Kongres XVIII PKT, Tiongkok sedang maju bergelora demi mewujudkan Impian Tiongkok, cita‐cita mulia untuk Kebangunan Kembali Tiongkok yang jaya, bersenjatakan Teori Deng Xiaoping yang telah memperkaya Marxisme–Leninisme dengan gagasan‐gagasan baru sosialisme berciri Tiongkok yang belum ada sebelumnya dalam literatur Marxis. Ungkapan‐ungkapan “menjadi kaya itu mulia” dan “kucing hitam atau kucing putih, asal bisa menangkap tikus adalah kucing yang baik” adalah memvulgarkan Deng Xiaoping. Tanpa mengenal Teori Deng Xiaoping, yang merupakan pengembangan Marxisme–Leninisme dan Pikiran Mao Zedong, adalah sulit untuk memahami perkembangan Tiongkok dewasa ini. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Yoseph Tugio Taher, Ibrahim Isa, Chalik Hamid, atas sambutannya. Serta teramat berterima kasih kepada Koesalah Soebagyo Toer yang walaupun saat ini sedang sakit tetapi tetap memberikan sekapur sirih sebagai pengganti kata pengantar. Juga terima kasih kepada Bilven serta para pengelola Penerbit ULTIMUS yang berjerih‐payah menyusun dan mengedit hingga terbitnya Pikir Itu Pelita Hati ini. Terima kasih khusus disampaikan kepada Darwin Iskandar, editor dan menulis “Catatan Editor” yang ikut memberi bobot. Kesan‐kesan dan kritik dari para pembaca sangat diharapkan dan untuk itu terlebih dulu penulis mengucapkan banyak terima kasih. 4 Februari 2015 Suar Suroso
x | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
SEKAPUR SIRIH
Koesalah Soebagyo Toer SEKITAR tengah tahun 2013, Suar Suroso memesan kata pengantar untuk naskah baru yang akan siap akhir tahun 2014. Waktu itu sudah dilampirkan daftar isi naskah rinci mulai dari filsafat Yunani kuno sampai filsafat Jawa. Atas permintaan itu saya jawab: “Sekiranya tidak ada waktu lagi, pasti permintaan ini saya tolak!” Pengertiannya, karena masih ada waktu untuk memerhatikan naskah, boleh jugalah diusahakan sekapur sirih. Masalahnya, pertengahan tahun 2014, penyakit yang selama itu mengancam diri saya, diabetes melitus, kembali menyerang diri saya. Kali itu cukup dengan kesungguhan yang tinggi, dan hingga sekarang pun belum ada tanda‐tanda mereda. Selama lima bulan ini, gerak tubuh saya hanya terbatas pada jalan‐jalan sekitar rumah sekitar seperempat jam sehari. Dan dari Kedutaan Federasi Rusia yang ngotot akan merayakan hari lahir saya ke‐80 pada 27 Januari 2015 yang lalu, terpaksa saya minta jaminan dijemput dan diantarkan pulang ke rumah. Dan pada awal sambutan saya terpaksa dengan terus terang saya mengakui bahwa hari itu kesehatan saya tidak baik. Itulah sebabnya Suar Suroso sampai beberapa kali menegur saya, beberapa kali di antaranya lewat orang lain. Terus terang, kesehatan ini demikian rupa, hingga untuk menjalankan komputer terpaksa terseok‐ seok dan untuk yang seharusnya satu ketukan jari terpaksa dilakukan dengan 4–5 ketukan jari. Tapi janji harus ditepati. Itulah maka saya lakukan semua ini.
Sekapur Sirih | xi
Perlu diketahui bahwa ungkapan sekapur sirih dalam bahasa Indonesia bisa berarti vvedeniyei atau predisloviye dalam bahasa Rusia, yang kalau dikembalikan ke bahasa Indonesia bisa berarti pengantar atau kata pengantar. Tetapi kembali kalau ungkapan sekapur sirih dengan pengantar atau kata pengantar diperbandingkan, jelas ungkapan sekapur sirih lebih enteng bobotnya. Dan kebetulan sekali Suar Suroso sekarang mengganti permintaan pada saya untuk hanya sekedar menulis sekapur sirih, dan tidak lagi pengantar atau kata pengantar. Sekiranya judul tulisan ini adalah pengantar atau kata pengantar, maka pada tempatnya kalau kita mengangkat soal yang diangkat oleh Franz Magnis‐Suseno, Mudji Sutrisno, dan rekan‐rekan, yang pada akhir tahun 2014 memukul genderang perang dengan mulai bicara tentang filsafat Indonesia. Jadi, tulisan Suar Suroso ini diam‐diam merupakan sambutan atas genderang perang Franz Magnis‐Suseno dan rekan‐rekan. Jakarta, 23 Februari 2015
xii | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
SAMBUTAN
Yoseph Tugio Taher PEMBUBARAN dan pengusiran paksa para jompo korban Peristiwa 1965 yang berkumpul dan bertemu untuk bersilaturahim dan menceritakan nasib masing‐masing serta untuk mendengarkan wejangan‐wejangan dari utusan pusat mengenai rencana pemerintah untuk para jompo korban Peristiwa 1965, dilakukan oleh para preman dan dibantu aparat pemerintah yaitu kepolisian setempat pada bulan Februari 2015 di Bukittinggi. Ini adalah suatu contoh dan bukti yang gamblang bahwa jenderal fasis Soeharto yang sempat menguasai Indonesia selama 32 tahun bukan saja telah membawa Indonesia mundur jauh ke belakang, namun juga telah merusak hati nurani dan pikiran bangsa Indonesia sehingga menjadi bodoh dan bertindak semaunya laksana zombie tanpa menggunakan akal dan pikiran. Sangat disayangkan, hal ini justru terjadi di tanah Minang, di mana adat turun‐temurun menjadi landasan pokok pola berpikir manusia. Kejadian serupa juga pernah terjadi di beberapa tempat lain di Indonesia. Di Minangkabau, semenjak dini, kaum muda telah dibekali dengan cara dan pola berpikir yang mengutamakan pemikiran, kenyataan, dan kebersamaan. Orang‐orang tua menurunkan segala nasihat dan petunjuk untuk kaum muda supaya bisa mengarungi lautan hidup dengan penuh akal pikiran yang baik, bukannya mengumbar segala kejahatan dan kebatilan yang akan menghancurkan dan memporak‐porandakan kehidupan manusia di bumi ini. Banyak contoh
Sambutan | xiii
dan teladan yang telah diberikan oleh para tetua. Seharusnya kaum muda generasi bangsa bisa belajar darinya. Namun, semenjak Soeharto yang dengan penuh kelicikan dan kebusukan dapat merebut kekuasaan di negeri ini pada tahun 1965, mulailah secara sistematis dilakukan penghancuran nilai‐nilai luhur atas kehidupan bangsa Indonesia demi melanggengkan kekuasaannya. Kendatipun kekuatan rakyat telah berhasil mencampakkan fasis Soeharto dari tampuk kekuasaan, namun sistem yang dilahirkannya sudah menjadi warisan turun‐temurun dan alat ampuh bagi elite politik dalam mempertahankan kekuasaan sampai hari ini. Mereka tidak segan‐ segan untuk membiayai preman‐preman bahkan alat negara untuk mempertahankan kedudukan. Manusia tidak lagi melihat sesuatu berdasarkan fakta dan kenyataan, namun mengikuti arahan, ambisi, dan nafsu yang menjurus pada penghancuran total. Tanpa mengikuti dan mempertimbangkan pemikiran yang jernih. Rezim orba Soeharto menyembunyikan segala kebiadabannya dengan segala macam cara, seperti kebohongan‐ kebohongan dalam buku‐buku sejarah, pembuatan film Pengkhianatan G30S PKI, pembangunan Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya, dan Buku Putih Kopkamtib 1978 yang mengumbar fitnah bahwa PKI tidak punya andil dalam Revolusi 1945. Padahal kalau kita mau membuka dan belajar dari kebenaran sejarah, Perdana Menteri Republik Indonesia, Amir Sjarifoeddin, tahun 1948 telah menunjukkan bahwa tokoh komunis ini ikut memimpin Republik Indonesia sebagai perdana menteri. Jelas sekali apa yang dikatakan dan ditulis dalam Buku Putih Kopkamtib 1978 adalah satu kebohongan besar dan merupakan pembodohan bangsa. Setengah abad segala pembohongan dan pembodohan itu merajalela di bumi kita. Para pembohong serta pelaku pembiadaban itu masih terlindung sampai sekarang, sedang para korban didera siksa batin yang tak berkesudahan. Mereka yang tak berdosa sepertinya dipaksa untuk melupakan segala azab dan derita yang dilakukan oknum‐oknum biadab dan aparat pemerintah, hingga mereka mati satu per satu, tanpa adanya niat dan keberanian dari pemerintah untuk meminta maaf dan mengadili yang berdosa dan melakukan pengadilan in absentia bagi yang sudah tiada.
xiv | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Sejarah akan mencatat, bahwa siapa pun yang menjadi penguasa dan memegang pemerintahan Indonesia, selagi masalah Peristiwa 1965, yaitu pemusnahan 3 juta manusia Indonesia dari satu golongan politik yang dikomuniskan, tidak diselesaikan secara tuntas, selama itu pula pemerintah akan senantiasa dihantui oleh sejarah kelam masa lalu. Dalam situasi demikian, dalam situasi di mana bangsa dan rakyat Indonesia sekarang telah meninggalkan dan melupakan cara pemikiran yang jernih berdasarkan fakta serta kenyataan, telah melupakan asas kebersamaan dan kegotong‐royongan dan menghancurkan nilai‐nilai luhur warisan nenek moyang, di saat kebiadaban merajalela tanpa menggunakan nalar dan pikiran, tak bisa lagi membedakan antara benar dan salah, pikiran siapakah yang tak akan tergugah oleh siksa derita kebiadaban yang melanda bangsa ini? Di saat inilah seorang putra bangsa, Suar Suroso, menggugah dan mengajak kita semua untuk menggunakan akal pikiran guna melihat segala sesuatu melalui fakta, kenyataan, dan kebenaran, dengan mempersembahkan kepada kita tulisan barunya dalam sebuah buku berjudul Pikir Itu Pelita Hati. Suar Suroso adalah seorang pemuda Indonesia yang lahir di kota Padang, Indonesia. Semenjak kecil, menerima didikan dan mengeluti ajaran‐ajaran Minangkabau dari ninik‐mamak dan para tetua. Ia dibekali dengan segala ilmu dan petunjuk, pepatah dan petitih yang diterima dan diolahnya dengan akal pikiran berdasarkan fakta, kenyataan, dan kebenaran. Pada masa remaja, Suar Suroso ikut berkiprah dalam Revolusi Bersenjata 1945 di Padang dan mendapat tanda penghargaan dari Gubernur Militer RI, Mr. Mohamad Nasroen. Suar Suroso juga aktif dalam gerakan Pemuda Indonesia dan mewakili bangsa Indonesia dalam forum Internasional. Sebagai aktivis organisasi pemuda, ia dipercaya mewakili Indonesia dalam berbagai pertemuan pemuda internasional, seperti antara lain di Beijing, Wina, Kairo, Santiago‐Chili, dan mewakili Pemuda Rakyat dalam Gabungan Pemuda Demokratik Sedunia (GPDS) dalam kapasitas sebagai wakil presiden yang berkantor pusat di Budapest. Dalam kapasitas itu ia menghadiri berbagai kegiatan pemuda di Korea, India, Nepal, Sri Langka, Mesir, Maroko, Guinea, Mali, Senegal, Ghana, Jerman, Rumania, Denmark, Finlandia, Polandia, Albania, dan lain‐lain.
Sambutan | xv
Mulai Septembar 1961, ia melanjutkan studi di Fakultas Fisika Universitas Lomonosov, Moskow. Setelah Peristiwa 30 September 1965, pada bulan Agustus 1966 paspornya dicabut oleh KBRI Moskow. Tahun 1967 dinyatakan persona‐ non‐grata oleh pemerintah Sovyet karena memprotes kerja sama antar pemerintah Uni Sovyet dan pemerintah Indonesia di bawah rezim Soeharto. Sejak Februari 1967 meninggalkan Uni Sovyet dan bersama istri dan dua anaknya bermukim di Tiongkok. Sejumlah sajaknya dimuat dalam Di Negeri Orang, kumpulan sajak para penyair eksil di Eropa Barat. Karya‐karya yang sudah dibukukan: Asal‐Usul Teori Sosialisme; Marxisme sampai Komune Paris; Bung Karno, Marxisme, dan Pancasila; ‘Peristiwa Madiun’ PKI Korban Perdana Perang Dingin (Pustaka Pena); PKI Korban Perang Dingin (Era Publisher); Bung Karno Korban Perang Dingin (Hasta Mitra); Kumpulan Puisi Jilid I Jelita Senandung Hidup dan Jilid II Pelita Keajaiban Dunia (Ultimus); Marxisme Sebuah Kajian, Dinyatakan Punah Ternyata Kiprah; Peristiwa Madiun, Realisasi Doktrin Truman di Asia (Hasta Mitra); dan Akar dan Dalang Pembantaian Manusia Tak Berdosa dan Penggulingan Bung Karno (Ultimus). Marxisme Sebuah Kajian, Dinyatakan Punah Ternyata Kiprah diterjemahkan dan terbit dalam bahasa Tionghoa dengan judul Makesi Zhuyi De Shijian Yu Fazhan oleh Penerbit Contemporary World Publisher, Beijing. Buku Pikir Itu Pelita Hati ini merupakan buku kesepuluh Suar Suroso. Membaca dan mempelajari tulisan ini memberi kita pengetahuan yang akan membawa pada pemblejetan atas kebohongan‐ kebohongan yang mengarah pada kebiadaban yang diakukan oleh fasis Soeharto serta semua pengikut dan antek‐anteknya. Bab pertama Pikir Itu Pelita Hati bertemakan “Dari Pembodohan ke Pembiadaban Bangsa”. Kita dibawa untuk mengerti akan segala kebohongan yang telah dilakukan dan dilancarkan demi melakukan pembodohan bangsa, seperti misalnya fitnah dan pembohongan orba tentang “Mao menghasut Aidit”, pembodohan yang mengeramatkan Pancasila menjadi berhala, kebohongan tokoh‐tokoh orba seperti Nugroho Notosusanto, Arifin C. Noer, bahkan Kopkamtib dan penulis‐ penulis seperti M. Fic, Jung Chang, dan lain‐lain yang semuanya mengarah pada pembodohan dan budaya main kuasa sebagai akar
xvi | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
pembiadaban bangsa untuk mempertahankan dan melanggengkan kekuasaan fasisnya. Begitu banyak jenis pembodohan yang berlangsung di zaman orba. Pembodohan merusak seperti jamur di musim hujan karena rakyat tidak dibekali cara berpikir ilmiah. Rakyat tidak dididik untuk berpikir secara fakta, kebenaran, dan kenyataan. Rakyat hanya dibekali dengan keharusan untuk percaya dan harus mengikut apa yang diperintahkan. Masa itu, bangsa tidak diajarkan untuk menggunakan otak, menggunakan pikiran, dan itu diwarisi sampai sekarang. Padahal dalam kehidupan sehari‐hari, sampai perubahan dalam masyarakat, manusia dibimbing oleh pikirannya. Pikiran ini lahir dari kerja otak. Kalau cara berpikir ngawur, maka hasilnya juga akan ngawur, tidak ada arti sama sekali. Inilah kunci yang diberikan Suar Suroso dalam buku Pikir Itu Pelita Hati, bahwa: “Betapapun bersimaharajalelanya pembodohan sampai sekarang, pencerahan akan terus berlangsung. Kebebasan berpikir dan bersuara akan berkembang. Pembohongan‐pembohongan dan segala macam fitnah akan kian tertelanjangi. Untuk itu, satu‐ satunya jalan ialah mendorong maju rakyat berpikir ilmiah. Berpikir ilmiah berarti mencari kebenaran dari kenyataan. Segala‐galanya bertolak dari kenyataan. Inilah pandangan materialisme.” Namun sayang, orang‐orang yang pikirannya telah terkontaminasi pembodohan yang mengarah pada pembiadaban, memandang setiap yang disebut materialisme adalah komunis. Yang menarik dalam tulisan ini, pada Bab II, Suar Suroso membicarakan secara terperinci masalah agama dan kepercayaan: “Cara Berpikir dan Berbagai Pandangan Hidup di Nusantara, dari Animisme sampai Kebatinan Jawa”. Tidak ketinggalan tentang Hindu, Buddha, Islam, Kejawen, bahkan Bhinneka Tunggal Ika, Walisongo, dan lain sebagainya. Tampak di sini bahwa penulis paham sekali seluk‐beluk tentang segala bentuk kepercayaan di Nusantara. Akan tetapi seperti apa yang dikatakan oleh Geoffrey Parrinder dalam buku World Relegions‐from Ancient History to the Present, bahwa “mempelajari agama yang berbeda tidak perlu berarti tidak setia pada kepercayaan sendiri, tetapi sebaliknya, kepercayaannya dapat diperluas dengan melihat bagaimana orang‐orang lain mencari kenyataan dan memperkaya pencarian mereka.”
Sambutan | xvii
Sesungguhnya, dalam mempelajari agama‐agama yang berbeda itu Suar Suroso tidak terjebak dengan sumber kepercayaan‐kepercayaan itu, namun percaya dan berdiri di atas kepercayaan sendiri. Bahwa “Semenjak lahir dari kandungan ibu, manusia mulai menyusu, mengenal dan meraba untuk menghisap buah dada ibu, mulai melihat, mengenal keadaan sekitar menurut apa adanya, menurut kenyataan. Manusia mulai menggunakan otak, membedakan benda‐ benda yang ditemui, manusia berpikir secara materialis. Hidup dalam alam terbuka, manusia berkenalan dengan suasana sekelilingnya. Dari melawan haus dan lapar, melawan kedinginan dan kepanasan, manusia jadi berbuat, bertindak menggunakan tangan, melakukan kerja. Kerja syaraf menimbulkan perasaan. Pusat syarat, otak pun berfungsi, bekerja melahirkan pikiran. Jadi, kerja otot diiringi oleh kerja syaraf sampai kerja otak. Kerja otak adalah berpikir, maka kerja badan atau kerja fisik menyebabkan manusia berpikir. Dengan berpikir, lahirlah pikiran. Berpikir itu adalah kerja, hasilnya adalah pikiran. Pikiran adalah hasil pencerminan kenyataan. Pikiran yang bersumber atau bertolak dari kenyataan adalah materialis. Cara memandang hal ihwal dengan bertolak dari kenyataan adalah materialisme.” Semenjak manusia mulai berpikir sudah menggunakan pandangan materialis. Inilah kunci dari tulisan Suar Suroso dalam buku Pikir Itu Pelita Hati. Dalam bab‐bab selanjutnya kita akan melihat pembelajaran terhadap teori‐teori tentang fakta, kenyataan, dan kebenaran yang dihasilkan dari kerja otak, pikiran, dan disebut materialisme, yang oleh orang‐orang dengan pikiran cupet dianggap sebagai tabu. Dimulai dari perkenalan tentang Marxisme dengan Bung Karno dalam karya Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme (1926) sampai hal‐hal yang merupakan fakta, kenyataan, dan kebenaran dalam ajaran Marxisme. Semua itu bisa kita hayati dengan menggunakan kerja otak, yaitu pikiran. Karenanya, Pikir Itu Pelita Hati adalah suatu karya tulisan yang sangat baik dan berguna sekali untuk bangsa yang masih terbelenggu dengan pembodohan dan kebiadaban yang diwariskan orba Soeharto. Buku Pikir Itu Pelita Hati adalah seumpama cambuk buat orang‐ orang yang menjadi korban pembodohan yang menjurus pada pembiadaban. Generasi muda yang menggunakan nalar dan pikiran, yang menilai sesuatu dengan fakta, kenyataan, dan kebenaran, pasti
xviii | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
akan menyambut gembira atas hadirnya buku Pikir Itu Pelita Hati ini. Inilah pedang, inilah senjata, dan inilah dian yang akan membantu memberi penerangan dalam kegelapan masa kini. Kepada penulis disampaikan salam dan terima kasih karena telah berhasil menyusun dan menulis buku yang berharga ini. Australia, 5 Maret 2015
Sambutan | xix
xx | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
SAMBUTAN
Ibrahim Isa KETIKA menerima berita dari penulisnya mengenai buku yang baru selesai ditulisnya, Pikir Itu Pelita Hati, sudah bisa diantisipasi buku itu mengangkat sebuah tema yang teramat serius dan mendesak. Suar Suroso menulis tentang masalah pemikiran bangsa ini. Diproyeksikan pada sejarah perkembangan pemikiran para ahli pikir sedunia mengenai kehidupan dan perkembangan masyarakat manusia dan masyarakat bangsa. Teristimewa kaitannya dengan perubahan yang terjadi terus‐ menerus dalam kehidupan masyarakat manusia, menuju suatu kehidupan yang adil dan makmur. Jelas sekali apa yang menjadi tujuan penulisan Suar Suroso dengan mengangkat masalah Pikir Itu Pelita Hati, yaitu “untuk melawan pembodohan dan pembiadaban bangsa!” “Karya Pikir Itu Pelita Hati lahir dari hasrat untuk melawan pembodohan dan pembiadaban yang melanda bangsa Indonesia akibat sepertiga abad berkuasanya rezim orba jenderal fasis Soeharto. Soeharto naik panggung dengan penggulingan Bung Karno lewat kebohongan demi kebohongan dan pembantaian terhadap pendukung Bung Karno, para pimpinan dan anggota PKI, serta manusia tak berdosa. Manusia tak berdosa korban pembantaian di Indonesia melebihi jumlah manusia yang dibunuh fasis Jepang sebanyak 300.000 di Nanjing tahun 1937. Lebih mengerikan dari kekejaman fasis Nazi membunuh kaum Yahudi dalam Perang Dunia II. Dalam pembantaian di Indonesia, yang mati lebih banyak daripada korban bom atom yang menimpa Hiroshima dan Nagasaki. Pembantaian ini adalah teror. Membenarkan teror untuk mencapai tujuan adalah kebiadaban. Di bawah kekuasaan orba, teror Sambutan | xxi
bersimaharajalela. Berkembang ajaran yang membenarkan teror untuk mencapai tujuan. Bangsa beradab jadi biadab. Berlangsung kebiadaban yang tak ada taranya dalam sejarah Indonesia.” [“Pengantar Penulis”] Suar Suroso dengan sistematis dan analitis mengemukakan bahwa ia menulis Pikir Itu Pelita Hati dengan maksud untuk memaparkan perkembangan pikiran ilmiah, terutama di bidang kemasyarakatan semenjak zaman purba sampai abad ke‐20. Penulisan terpusat pada perkembangan Marxisme, membantah pandangan yang menyatakan Marxisme sudah punah, menegakkan pandangan bahwa Marxisme berkembang sampai lahir Teori Deng Xiaoping. Dengan uraian seperti di atas mengenai maksud dan tujuan buku Pikir Itu Pelita Hati, Suar Suroso telah mengangkat satu masalah yang sungguh teramat penting, yaitu masalah pemikiran tentang masyarakat dan perkembangannya dari zaman kuno sampai abad ke‐20. Uraian terfokus pada Marxisme, lahir dan perkembangannya di mancanegara dan di Indonesia. Penulis mengajak pembaca ikut memikirkan masalah teramat penting ini. Di negeri kita, penulisan semacam ini, sepanjang ingatan, belum pernah ada selama ini. Di sinilah arti penting buku Pikir Itu Pelita Hati. Tanpa ragu sedikit pun Suar Suroso mengemukakan analisa dan pandangannya sekitar Marxisme. Penulis membantah pernyataan para pencetus dan penganut Perang Dingin, termasuk pendukung‐ pendukungnya di Indonesia, bahwa Marxisme sudah “mampus”. Suar Suroso sebaliknya mengemukakan alasan, argumentasi, dan fakta‐fakta sejarah, bahwa Marxisme telah berkembang menjadi Teori Deng Xiaoping. Ini adalah sikap yang melawan arus. Merupakan pandangan yang berani menantang paduan suara di segala pelosok dunia, yang dengan cemooh menyatakan bahwa ajaran Marxisme sudah menemui ajalnya dengan runtuhnya Tembok Berlin, dan bahwa apa yang dilakukan oleh Deng Xiaoping adalah revisionisme yang merestorasi kapitalisme di Tiongkok. Suar Suroso mengemukakan alasan dan argumentasi untuk menjelaskan uraiannya. Menunjukkan contoh fakta perubahan besar‐ besaran yang terjadi di Tiongkok. Melonjaknya pertumbuhan dan perkembangan ekonomi negeri yang membikin para pemerhati dan pakar ekonomi dunia terkejut dan tercengang. Mereka gagal mencari‐ cari faktor apa yang menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan
xxii | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
ekonomi yang begitu spektakuler dalam 30 tahun belakangan ini di Tiongkok. Penyebab mengapa mereka itu gagal melihat kenyataan perubahan besar yang telah meningkatkan taraf hidup 600 juta rakyat Tiongkok pada akhir abad ke‐20 ialah karena mereka memandang perubahan di Tiongkok dengan kaca mata “Perang Dingin”. Di pihak pandangan lainnya, mereka masih menggunakan teori‐teori ilmu filsafat, politik, sosial, dan ekonomi, yang diuraikan lebih seratus tahun yang lalu. Maka mereka itu tidak mampu atau gagal untuk melihat, apalagi memahami, perubahan besar yang terjadi di Tiongkok. Baik dari segi perubahan fisik maupun perubahan mental, termasuk penerapan Marxisme di Tiongkok. Buku Pikir Itu Pelita Hati berusaha menguraikan antara lain mengapa dan bagaimana penerapan teori Marxisme pada kondisi konkret. Tiongkok telah berhasil mengangkat negeri dan taraf hidup rakyat Tiongkok ke taraf pertumbuhan dan perkembangan yang termasuk paling tinggi di mancanegara dewasa ini. Kita merasa terbantu dengan uraian Suar Suroso dalam Pikir Itu Pelita Hati, yang secara analitis, sistematis, dan teoretis, menguraikan mengapa Marxisme tidah “punah”, bahkan berkembang pada kondisi konkret Tiongkok dan telah mencapai hasil‐hasil yang nyata. Mari sambut hangat karya Pikir Itu Pelita Hati, yang telah memperkaya khazanah literatur ilmu filsafat, politik, sosial, dan ekonomi Marxis di Indonesia. 9 Februari 2015
Sambutan | xxiii
xxiv | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
SAMBUTAN
Chalik Hamid BUNG KARNO memiliki cita‐cita luhur dan tinggi untuk membangun bangsa dan negara Indonesia. Sejak perjuangan pembebasan negeri hingga tercapainya kemerdekaan RI, Bung Karno senantiasa berjuang dengan teguh dan tanpa kompromi melawan kaum kapitalis dan imperialis serta budak‐budaknya, baik di dalam maupun di luar negeri. Setelah tercapai kemerdekaan, lagi‐lagi Bung Karno menunjukkan niat dan tujuan bahwa negeri Indonesia jangan sampai dikuras oleh modal asing. Bung Karno memiliki sikap bahwa negeri Indonesia yang sudah dibebaskan dengan darah dan keringat, harus dibangun oleh bangsanya sendiri dengan menggunakan tenaga para pemuda Indonesia. Ia berusaha agar pembangunan negeri dilakukan oleh putra‐putri Indonesia, terbebas dari para ahli dan teknisi asing. Oleh sebab itu, sejak semula Bung Karno berusaha membangun kader‐kader muda dengan mengirimkan mereka untuk belajar ke luar negeri, di samping yang ditempa di berbagai universitas di dalam negeri. Bung Karno, melalui Kementerian Pendidikan, mengirim para pemuda/i belajar ke Amerika Serikat dan Kanada, ke negeri‐negeri Eropa Barat seperti Jerman, Perancis, Inggris, dan Belanda. Tidak kurang banyaknya juga dikirim ke Rusia (dulu pusat Uni Republik Sosialis Sovyet), Bulgaria, Hongaria, Republik Ceko (dulu bergabung dengan Slowakia menjadi Cekoslowakia), Rumania, Polandia, dan Albania. Banyak pula dikirim ke Tiongkok, Jepang, Korea, Australia, hingga Kuba. Namun, pada akhirnya cita‐cita luhur dan besar Bung Karno itu Sambutan | xxv
mengalami kegagalan sebagai akibat berhasilnya jenderal fasis Soeharto merampas kekuasaan dari tangan pemerintahan sah Bung Karno. Soeharto dengan kejam menjadikan Bung Karno sebagai tahanan rumah dan akhirnya meninggal dunia karena penyakitnya tidak mendapatkan pengobatan yang layak. Soeharto berhasil merekayasa Tap MPRS No.25/1966 yang melarang keberadaan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan melarang ajaran Marxisme–Leninisme di Indonesia. Soeharto juga berhasil menelurkan Tap MPRS No.33/1967, di mana Presiden Soekarno dinyatakan sebagai pengkhianat karena memihak PKI. Dengan demikian, seluruh kekuasaan negara RI sepenuhnya jatuh ke tangan Jenderal Soeharto dan dengan leluasa ia melakukan pembunuhan terhadap rakyat Indonesia. Tidak tanggung‐tanggung ia telah membunuh 3 juta rakyat Indonesia, mengasingkan ribuan patriot dan pejuang ke Pulau Buru. Penjara di seluruh Indonesia penuh sesak, pemerkosaan dan pencabulan terhadap kaum wanita yang dilakukan oleh ABRI terjadi di mana‐mana. Demikian pula yang terjadi terhadap warga Indonesia yang berada di luar negeri. Terhadap para mahasiswa terutama yang belajar di Eropa Timur dilakukan pemaksaan. Beberapa KBRI orba di berbagai negara Eropa Timur memaksa para mahasiswa agar mengakui pemerintahan Soeharto sebagai pemerintahan yang sah. Namun, sebagian besar mahasiswa tidak mau mengakui kekuasaan Soeharto, mereka tetap mengakui Bung Karno sebagai Presiden RI dan bahkan mengutuk pemerintahan Soeharto. Sebagai akibat perlawanan ini, beberapa KBRI orba Soeharto memanggil dan mencabut paspor para mahasiswa ikatan dinas (mahid) tersebut. Mereka kehilangan identitas dan terpaksa menjadi staatenloos (tidak memiliki kewarganegaraan). Mereka ini banyak terdapat di berbagai negeri, terutama di Eropa Barat seperti di Belanda, Jerman, Perancis, Swedia, dan negeri‐negeri Eropa Timur seperti di Republik Ceko, Rusia, Hongaria, Polandia, Albania, Bulgaria, dan bahkan juga di Tiongkok, Hongkong, Kuba, dan Australia. Bersama dengan orang‐orang Indonesia lain yang pernah mendapat tugas di berbagai ormas internasional dan lembaga negara seperti KBRI, para mahid itu menjadi orang‐orang gelandangan di negeri orang. Sia‐sialah pengetahuan yang mereka peroleh dengan menamatkan studi yang mestinya diabdikan di Indonesia sesuai dengan keinginan dan harapan Bung Karno.
xxvi | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Suar Suroso, pengarang buku Pikir Itu Pelita Hati’ yang sedang kita hadapi ini merupakan salah seorang korban kebiadaban rezim fasis Jenderal Soeharto. Paspornya dirampas oleh KBRI di Moskow ketika itu. Ia termasuk orang yang dilarang pulang ke negeri leluhurnya, Indonesia. Betapa banyak orang sepertinya menjadi “orang kelayaban” di luar negeri, istilah yang dilontarkan Gus Dur ketika ia menjadi Presiden RI. Saya kemukakan beberapa nama sekedar contoh sebagai orang yang tergusur dari negerinya. Duta Besar RI untuk RRT, Djawoto, dilantik Bung Karno bertugas di Beijing. Ia tak diizinkan pulang dan meninggal dunia di negeri Belanda. Saudara Sukrisno, pernah menjadi Dubes RI di Rumania dan Vietnam, meninggal dunia di Belanda dan dikubur di negeri itu. Saudara M. Ali Chanafiah, Dubes RI di Sri Langka, meminta suaka di Stockholm, Swedia. Kemudian kembali ke Indonesia dan meninggal dunia di sana. Saudara A.M. Hanafi, Duta Besar RI untuk Kuba, di zaman reformasi kembali dan meninggal dunia di Indonesia. Saudara Tahsin, Duta Besar RI di Mali, tidak bisa pulang ke Indonesia, lalu minta suaka dan meninggal dunia di negeri Belanda. Beberapa nama lain yang pernah bertugas di berbagai lembaga internasional dan instansi negara di luar negeri: Yusuf Adjitorop (Josep Simanjuntak), perwakilan Delegasi PKI di Tiongkok, meninggal dunia di Beijing; Wijanto Rachman, bertugas di Konakri, Guinea, meminta suaka dan meninggal dunia di Belanda; Agam Wispi, seorang penyair terkenal Indonesia, meninggal dunia di Belanda; A. Suhaimi, pemimpin redaksi harian Gotong Rojong Medan, meninggal dunia di Belanda; A.S. Munandar, dosen Akademi Ilmu Sosial Aliarcham, meninggal dunia di Belanda; Z. Afif, dosen bahasa Indonesia di Universitas Kwangchow, meninggal dunia di Swedia; Sobron Aidit, dosen bahasa Indonesia di Universitas Beijing, meninggal dunia di Perancis; Anwar Dharma, wartawan Harian Rakjat Jakarta di Moskow, meninggal dunia Beijing; Kamaludin Rangkuti, dosen bahasa Indonesia di Bejing, meninggal dunia di Belanda; Azis Akbar, sastrawan dari Medan, meninggal dunia Jerman; Ibrahim Isa, perwakilan tetap Indonesia di Organisasi Internasional Solidaritas Rakyat‐Rakyat Asia–Afrika (OISRAA) di Kairo, kini berdomisili di Amsterdam, Belanda; Francisca Pattipilohy, kini bertempat tinggal di Amsterdam; Suar Suroso, mewakili Pemuda Indonesia dalam Gabungan Pemuda Demokratik Sedunia (GPDS) di
Sambutan | xxvii
Budapest, kini berdomisili di Tiongkok; Francisca Fanggidaej, berangkat ke luar negeri mengikuti Konferensi Yurist Internasional dan pernah mengikuti Konferensi Kalkuta di India, meninggal dunia di Belanda; Umar Said, pemimpin redaksi harian Ekonomi Nasional Jakarta, meninggal dunia di Paris, Perancis; Utuy Tatang Sontany, pengarang drama (dramaturg) terkenal Indonesia, meninggal dunia di Moskow; Setiati Surasto, wakil buruh Indonesia di Serikat Buruh Internasional berkedudukan di Praha, Republik Ceko, meninggal dunia di Swedia. Beberapa nama tokoh lainnya adalah: Nungcik A.R., meninggal dunia di Tiongkok; G.H. Simamora, meninggal dunia di Tiongkok; Rolah Sarifah, meninggal dunia di Belanda; Sofyan Waluyo, meninggal dunia di Swedia; Margono, meninggal dunia di Paris; Budiman Sudharsono, meninggal dunia di Paris; Willy Hariandja, meninggal dunia di Tiongkok; Supangat, meninggal dunia di Belanda; Aslam Hariadi, meninggal dunia di Belanda; Rustomo, meninggal dunia Tiongkok; Rumambi, meninggal dunia di Tiongkok; Zaelani, meninggal dunia di Belanda; Surjo Subroto, meninggal dunia di Belanda; Kondar Sibarani, meninggal dunia di Jerman; Supeno, meninggal dunia di Belanda; Suryono, meninggal dunia di Belanda; Didi Wiharnadi dan Suparna Sastradiredja, aktivis buruh, meninggal dunia di Belanda. Saya sengaja menuliskan nama‐nama tersebut di atas agar orang bisa mengetahui apakah tokoh‐tokoh tersebut masih hidup atau sudah meninggal dunia. Dengan demikian bisa diketahui di mana kuburnya. Sekaligus orang akan mengetahui betapa kejamnya perlakuan orde baru yang dikepalai Jenderal Soeharto terhadap warganya. Dalam nama‐ nama tersebut di atas belum termasuk nama para mahid (mahasiswa ikatan dinas) yang dilarang pulang ke Indonesia dan meninggal di luar negeri serta dikuburkan di negeri orang. Sebenarnya Presiden Gus Dur pernah melakukan niat baik untuk memulangkan orang‐orang Indonesia yang terhalang pulang dan bergelandangan di luar negeri. Awal tahun 2001 ia mengirimkan Menteri Hukum dan HAM, Yusril Ihza Mahendra, agar memulangkan mereka ke Indonesia. Yusril pun berusaha mengumpulkan masyarakat Indonesia di Kedutaan Besar RI di Belanda. Ia menjelaskan bahwa dalam waktu dekat ia akan mengembalikan “orang‐orang kelayaban” itu ke tanah tumpah darahnya. Namun, setelah ia kembali ke Indonesia, ia pun melupakan janji yang pernah ia ucapkan. Ia mendapat tekanan
xxviii | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
dari partainya, PBB (Partai Bulan Bintang), seolah‐olah Yusril akan menghidupkan kembali komunisme di Indonesia. Sebuah pandangan yang tidak sesuai dengan kenyataan konkret di Indonesia, dan akhirnya menteri terhormat ini bungkam seribu bahasa. Tak lama kemudian Gus Dur pun terjungkal dari kursi kepresidenan. Usaha pemulangan para mahid itu pun lenyap bagaikan secangkir air tumpah ke pasir. Tulisan ini sudah menerawang jauh, hampir meninggalkan tugasnya sebagai kata sambutan terhadap terbitnya buku Pikir Itu Pelita Hati. Menurut pendapat saya, buku Suar Suroso yang kesepuluh ini hampir mirip dengan buku‐buku terdahulu, sejak yang pertama hingga yang kesembilan, Akar dan Dalang Pembantaian Manusia Tak Berdosa dan Penggulingan Bung Karno, kecuali buku ketujuh—Jelita Senandung Hidup dan kedelapan—Pelita Keajaiban Dunia. Dua buku, ketujuh dan kedelapan itu, merupakan kumpulan puisi yang menyenandungkan tanah air Indonesia, keindahan alamnya, kekayaan buminya, kecintaan rakyat terhadap negerinya. Di luar dua buku ini, buku‐buku lainnya saling bertautan dan saling mengisi, merupakan sejarah perkembangan masyarakat pada zamannya. Oleh sebab itu, buku‐buku ini sangat berguna bagi siapa pun, terutama bagi generasi muda dan penerus bangsa, agar bisa belajar dengan baik dalam meneliti perkembangan masyarakat dengan berbagai ideologi dan ajaran‐ajaran keyakinan yang berkembang sesuai dengan zamannya. Kita bisa belajar bagaimana berbagai ajaran Hindu, Buddha, Kejawen, bahkan sampai masuknya Islam ke Indonesia. Namun juga merupakan satu kenyataan, kita tidak bisa menampik, merasuk dan berkembangnya ajaran Marxisme–Leninisme lewat karya‐ karya Alimin, Tan Malaka, Njoto, D.N. Aidit, dan bahkan Bung Karno dengan tulisannya Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme. Sangat menarik dimuatnya dalam buku ini sebuah bantahan seolah Mao Zedong menghasut Aidit untuk mengadakan sebuah gerakan di Indonesia ketika Bung Karno menderita sakit. Bantahan demikian ini sangat diperlukan dalam usaha pelurusan sejarah yang dipelintir oleh orde baru, terutama untuk pembelajaran bagi generasi muda. Termasuk pelurusan anggapan bahwa PKI turut sebagai dalang G30S. Dalam kumpulan puisi Di Negeri Orang, Nurdiana menulis sebuah puisi dengan judul “Adat Hidup”. Penulis Nurdiana tak lain
Sambutan | xxix
adalah nama pena Suar Suroso dalam penulisan puisi. Dalam puisi itu ia menuliskan: Bila dahaga, sungguh terasa nikmatnya air, di kala lapar, terasa benar lezat makanan; kapan kepanasan, terasa nyaman embun di pagi hari; ketika dingin, amat terasa hangat api membara; bilamana gelap dicengkam kelam, betapa terasa terang sang Surya; semasa terkurung di penjara, alangkah terasa bahagia kebebasan. Dan di kala terpaksa berkelana di pengasingan, terasa nian indahnya kampung halaman. Buku Pikir Itu Pelita Hati, karya kesepuluh Suar Suroso ini mengandung banyak bahan pelajaran yang perlu diketahui oleh siapa pun, terutama bagi generasi muda penerus bangsa untuk meraih kemerdekaan penuh, terbebas dari neo‐kolonial dan neo‐liberal. Presiden Jokowi ketika membagikan buku‐buku kepada anak‐anak generasi muda selalu berpesan, “Membacalah, dan bangsa ini akan terhindar dari buta karena ketidaktahuan.” Pada tanggal 16 Mei 2015, Suar Suroso genap berusia 85 tahun. Dalam usia tua ia masih terus kreatif melahirkan berbagai macam tulisan. Tentu saja kita menunggu karya‐karya Bung Suar selanjutnya yang sangat dibutuhkan anak bangsa. Amsterdam, 10 Februari 2015
xxx | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
CATATAN EDITOR
Marxisme Tidak Usang dan Komunisme Tidak Mati PADA saat bendera merah dengan palu arit sebagai simbol buruh dan tani diturunkan dari Istana Kremlin, Tembok Berlin dihancurkan dan negara‐negara sosialis di Eropa Timur tumbang, ketika itu banyak orang meyakini dan mulai meragukan Marxisme yang dalam sejarah dunia untuk pertama kalinya diterapkan di bumi Rusia oleh kaum Bolsyewik dipimpin oleh Lenin lewat Revolusi Oktober 1917. Dengan kata lain, kegagalan Uni Soviet dalam menerapkan Marxisme tidak hanya membuktikan bahwa “Revolusi Oktober 1917” adalah “dosa”, bahkan juga membuktikan bahwa prinsip‐prinsip dasar Marxisme hanya imajinasi utopis belaka dan pantas dimasukkan dalam “Museum Sejarah Dunia” sebagai warisan sejarah peradaban manusia. “Marxisme–Leninisme telah bangkrut dan gagal total,” demikian para pemandu wisata di sekitar Museum Sejarah Peradaban Manusia menjelaskan kepada para pengunjung dari seluruh dunia. Wakil Direktur Think‐tank Departemen Luar Negeri AS, Francis Fukuyama, menulis sebuah buku berjudul The End of History and The Last Man. Dalam buku tersebut, Fukuyama ingin menjelaskan bahwa runtuhnya Uni Sovyet dan negara‐negara sosialis di Eropa Timur telah membuktikan bahwa “demokrasi liberal dan ekonomi pasar adalah proses evolusi sejarah yang tidak tertandingi dan membuktikan bahwa Marxisme sudah punah dan komunisme sudah mati.” Namun, apa yang terjadi di saat kapitalisme pada awal 2008 mulai mengalami goncangan besar. Pecahnya krisis keuangan 2007/2008 dan menjalar menjadi krisis ekonomi global telah membuktikan bahwa Catatan Editor | xxxi
Karl Marx benar dan ajarannya masih sangatlah relevan. Marxisme tidak usang dan komunisme tidak mati. Dalam sebuah wawancara majalah Jepang pada 2009, Fukuyama mulai meragukan tesisnya sendiri dengan mengatakan, “Demokrasi Barat mungkin tidak akan menjadi akhir dari evolusi sejarah manusia.” Pada 2014, dalam majalah dwibulanan The American Interest yang diterbitkan pada bulan Januari–Februari, ia mengatakan “pengaruh dari kelompok dan lobi untuk kepentingan Amerika Serikat (AS) sedang menguat. Ini bukan hanya mendistorsi proses demokrasi, tetapi juga mengikis efektivitas kemampuan tindakan pemerintah.” Begitu pula dengan Presiden AS Barack Obama, dalam pidatonya di tahun 2008 dengan mengutip argumen Marxis yang paling klasik, khususnya dalam istilah metafisika ekonomi politik, mengkritik jalannya ekonomi virtual yang diterapkan oleh AS dan melepaskan paradigma pembangunan ekonomi riil. Obama mengatakan, “Masalahnya bukanlah dalam kebijakan tertentu, melainkan pada akar filsafat ekonomi itu sendiri.” Dengan nada marah, Obama mengatakan bahwa, “Krisis ekonomi saat ini adalah akibat langsung dari keserakahan dan tidak bertanggung jawab. Tren ini telah mendominasi Washington dan Wall Street selama bertahun‐tahun.” Telah begitu banyak intelektual borjuasi yang mempertanyakan lonceng kematian dari kapitalisme. Pandangan dari intelektual borjuasi untuk pertanyaan tersebut bermacam‐macam. Misalkan saja, Joseph Schumpeter dalam bukunya Kapitalisme, Sosialisme, dan Demokrasi, mempertanyakan, “Apakah kapitalisme bisa bertahan?” E.K. Hunt memprovokasi dengan pertanyaan, “Apakah kapitalisme akan menyebabkan harmoni atau malah sebaliknya malah menyebabkan konflik sosial?” dan “Apakah kapitalisme dalam dirinya sendiri, stabil atau tidak stabil?” Dengan pecahnya krisis keuangan 2007/2008, memicu diskusi tentang “kapitalisme baru” dan “kapitalisme kreatif”. Media Barat dan Forum Davos berkali‐kali mengajukan topik diskusi tentang krisis kapitalisme Barat dan masa depan kapitalisme, menemukan kembali kapitalisme, kapitalisme negara, kampanye pendudukan Wall Street, diagnosis kapitalisme, dan topik diskusi tentang kapitalisme lainnya. Tentang masa depan kapitalisme itu sendiri, banyak yang memberikan berbagai macam istilah, “akhir sejarah”, “sistem identitas”, dan “teori
xxxii | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
keruntuhan”, dan tampilan lainnya. Pada saat yang sama, kapitalisme juga telah memakai segala macam topi baru: “akhir kapitalisme”, “imperialisme baru”, “masyarakat pasca‐kapitalis”, “kapitalisme kesejahteraan”, “kapitalisme yang disesuaikan”, “kapitalisme kasino”, “kapitalisme keuangan”, dan sebagainya. Perkembangan baru dan perubahan dalam kapitalisme kontemporer menunjukkan bahwa kapitalisme memiliki tingkat pembaruan diri dan kapasitas untuk pengembangan diri. Namun, kapitalisme itu sendiri tidak mampu mengandalkan kekuatan dirinya untuk memecahkan kontradiksi di dalam dirinya sendiri. Media Barat dan para intelektual borjuasi percaya bahwa kapitalisme saat ini tidak hanya menghadapi krisis ekonomi, tetapi juga menghadapi krisis sosial dan krisis kelembagaan yang mendalam. Dengan terus meluasnya polarisasi antara si kaya dan si miskin, rusaknya alam, memburuknya pengangguran, pendidikan, perawatan kesehatan, dan pemotongan pengeluaran kesejahteraan sosial lainnya, banyak dari intelektual borjuasi akhirnya juga mempertanyakan kembali rasionalitas sistem kapitalisme. Ekonom Perancis berusia 42 tahun, Thomas Piketty, dalam buku best‐seller‐nya Kapital Abad Ke‐21, menunjukkan, “Krisis keuangan global di awal tahun 2007—2008 dianggap sebagai krisis ekonomi yang paling serius sejak krisis kapitalisme di tahun 1929.” Selanjutnya, Piketty mengatakan bahwa, “Saat ini kita sudah memasuki abad ke‐21, orang‐ orang yang percaya bahwa polarisasi antara si kaya dan si miskin akan hilang ternyata tiba‐tiba telah kembali. Saat ini tingkat polarisasi antara yang kaya dan miskin telah mendekati atau bahkan lebih tinggi dalam sepanjang masa.” Buku Piketty tersebut menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah liberal tradisional atas pengeluaran, perpajakan, dan regulasi akan gagal dalam mengurangi ketimpangan. Argumen Piketty ini juga dikuatkan oleh data yang dikeluarkan oleh lembaga analisis keuangan Bloomberg pada 2013 bahwa kekayaan 300 orang terkaya di dunia adalah $524 miliar dan sekarang total kekayaan mereka telah mencapai $3,7 triliun. Data yang dikeluarkan oleh Bloomberg dikuatkan oleh keluhan sebelumnya dari sekelompok peneliti yang dipimpin oleh Prof. Jason Hickel dari London School of Economics. Pada waktu itu mereka mencatat bahwa kekayaan akumulasi 300 orang terkaya di dunia melebihi total kekayaan 3,5 miliar
Catatan Editor | xxxiii
orang miskin. Tiga ratus orang terkaya tersebut semuanya adalah sebagai pemilik atau yang berhubungan langsung dengan Korporasi Multi‐Nasional (MNC). Setelah krisis keuangan internasional 2007/2008, inisiatif yang diambil oleh AS adalah dengan menjalankan kebijakan quantitative easing (pelonggaran kuantitatif), yaitu pemerintah AS mencetak dolar dan mensubsidi kapital keuangan yang justru merupakan inisiator dari krisis itu sendiri. Ini menunjukkan begitu parasit dan dekadennya kapitalisme keuangan. Kebijakan mencetak dolar ini pada akhirnya hanya akan menyebabkan devaluasi mata uang dan meluasnya krisis derivatif keuangan yang menular ke negara‐negara lain. Hal ini semakin memperburuk polarisasi antara si kaya dan si miskin, dan selanjutnya mengurangi permintaan efektif di seluruh dunia serta memperluas surplus produksi seluruh dunia. Tepat seperti yang dianalisis oleh Karl Marx 147 tahun yang lalu. Marx dalam Das Kapital telah menunjukkan bahwa “alasan terakhir bagi semua krisis sesungguhnya selalu tetap kepada kemiskinan dan konsumsi yang terbatas dari massa, berhadapan dengan pacuan produksi kapitalis untuk mengembangkan tenaga‐tenaga produktif.” Krisis keuangan dan ekonomi yang lebih besar belum datang dan kondisi untuk pecahnya krisis sosial yang lebih besar pada skala global semakin terlihat di depan mata kita saat ini. Berbagai cara dilakukan oleh pemerintah AS untuk memulihkan kembali perekonomiannya. Selain dengan menarik kembali kebijakan pelonggaran kuantitatifnya, juga menampilkan berita‐berita yang positif terhadap perekonomiannya serta menampilkan banyak berita‐berita yang menyesatkan akan situasi ekonomi global dan gejolak finansial di negara‐negara berkembang di dalam tajuk utama media surat kabar, majalah, maupun elektronik mereka. Ekonom AS, Dr. Paul Craig Roberts yang pernah menjabat sebagai Asisten Menteri Keuangan dalam pemerintahan Ronald Reagan, telah mendalami data statistik yang dikeluarkan oleh Departemen Tenaga Kerja AS. Roberts telah menemukan adanya kelemahan dan kontradiksi. Mengakui bahwa data statistik yang dirilis oleh Biro Statistik Tenaga Kerja AS, mereka berharap dapat dimasukkan dalam bekerja penuh waktu padahal jam kerja mereka telah dipotong atau karena mereka tidak dapat menemukan pekerjaan penuh waktu. Untuk
xxxiv | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
data September 2012, sebuah gambaran yang lebih benar dari situasi kerja yang mengerikan disediakan meningkat menjadi 600.000 dari bulan sebelumnya di mana mereka dimasukkan dalam kategori bekerja penuh waktu, jauh melebihi 114.000 pekerjaan yang baru. Dari data statistik yang dikeluarkan oleh Biro Statistik AS juga ditemukan kelemahan yang sangat penting. Misalkan saja data statistik resmi yang dikeluarkan oleh Biro Statistik AS menunjukkan bahwa pekerjaan berpenghasilan tinggi di AS mengalami penurunan. Penduduk miskin yang bergantung pada kupon bantuan pemerintah semakin meningkat, tetapi tampaknya tidak masuk akal, di mana orang‐ orang tampaknya lebih bersedia mengeluarkan uang mereka untuk bisa makan di luar. Menyebabkan selama beberapa dekade meningkatnya orang‐orang yang mencari pekerjaan dengan upah yang rendah di restoran dan bar. Data yang dikeluarkan oleh Biro Statistik AS masih banyak juga bisa kita lihat kelemahannya. Misalkan saja bahwa meskipun pemerintah negara bagian AS terus mengalami kesulitan keuangan dan juga terus menekan pengeluaran di sektor pendidikan, malah sebaliknya, departemen pendidikan menginformasikan tentang 13.600 pekerjaan baru akan tampak aneh dengan adanya PHK terus‐ menerus terhadap para guru di AS. Joseph Stiglitz, ekonom terkenal AS dan pernah mendapatkan hadiah Nobel di bidang ilmu ekonomi, pada tahun 2012 pernah menulis dalam majalah Financial Times, “Pendapatan rata‐rata rakyat AS selama 15 tahun belakangan ini, pendapatan rata‐rata dari seorang pekerja yang bekerja seharian penuh bahkan lebih rendah daripada tingkat pendapatan seorang pekerja 40 tahun yang lalu.” Hampir 5 tahun lebih dari 2009 sampai 2013, pemerintah dan media AS setiap tahunnya selalu menciptakan opini publik dengan menggambarkan bahwa perekonomian AS semakin kuat dan hampir pulih kembali. Jikalau data‐ data resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah AS tentang pertumbuhan ekonomi dan ketenagakerjaan itu benar serta dapat diandalkan, maka tentunya pendapatan dan harta rakyat AS tidak seperti yang disampaikan oleh Stiglitz. Ini artinya bahwa opini yang diciptakan oleh pemerintah dan media AS sangat berbeda jauh dengan tren perkembangan ekonomi riil AS. Wu Chengliang, jurnalis dari Tiongkok, menulis sebuah artikel yang berjudul “Pemulihan Ekonomi AS Tidak Bermanfaat Bagi Orang
Catatan Editor | xxxv
Miskin” diterbitkan oleh Renmin Ribao (Harian Rakyat) pada 18 September 2014. Dalam artikel tersebut, Wu melaporkan bahwa kesenjangan orang kaya dan miskin dalam masyarakat AS dalam beberapa tahun terakhir semakin intensif dan menjadi fenomena sosial yang sangat mengganggu. Dalam situasi tersebut, satu sisi karena pemulihan ekonomi selama beberapa tahun terakhir masih dalam keadaan abnormal. Di sisi lain, pemulihan ekonomi kebanyakan hanya tampilan semata. Dengan dukungan kebijakan moneter yang ultra‐ longgar, pasar real estate AS dalam keadaan pembalikan yang cepat, pasar saham mencapai rekor tertinggi, tetapi penerima manfaat semua itu sebagian besar adalah orang kaya. Dalam artikel tersebut juga disebutkan bahwa menurut survei lain yang dilakukan pada bulan Agustus 2014, Wall Street Journal dan NBC‐AS menunjukkan bahwa 76 persen orang Amerika percaya bahwa kehidupan anak‐anak mereka tidak lebih baik dari mereka. Dana Milbank, reporter Washington Post dengan tajam berkomentar, “Optimisme AS sedang sekarat, inti dari American Dream adalah keyakinan generasi sebelumnya dari kehidupan orang tua mereka, tetapi sekarang sudah menghilang.”
Abad 21: Marxisme Bangkit Kembali Di saat banyak orang meyakini bahwa Marxisme adalah “teori yang usang” dan “sosialisme telah berakhir” ternyata British Broadcasting Corporation (BBC) pada bulan Juli 2005 mengumumkan hasil voting para pendengar Radio BBC 4 bahwa “Karl Marx terpilih sebagai seorang filsuf yang paling dihormati dan berpengaruh sepanjang masa.” Pemikiran terbesar yang bersinar terang muncul pada saat masyarakat manusia melewati satu milenium. Walaupun Karl Marx telah wafat 131 tahun lalu, tetapi pemikiran besarnya telah memberikan dampak yang sangat besar terhadap umat manusia sampai saat ini. Sejak kelahirannya sampai sekarang ini, Marxisme semakin hari semakin populer di hati rakyat banyak dan daya vitalitasnya semakin besar. Seperti yang dikatakan oleh Deng Xiaoping, “Saya sangat percaya bahwa para pendukung Marxisme di dunia ini akan semakin bertambah banyak sebab Marxisme adalah ilmiah.” Marxisme meskipun lahir di
xxxvi | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
abad ke‐19, tetapi tidak mandeg di abad tersebut. Marxisme walaupun lahir di Eropa tetapi pengaruhnya terus meluas ke seantero jagat. “Nama dan karyanya akan tetap bertahan selama berabad‐abad ke depan,” begitulah ramalan Friedrich Engels dalam orasi pidatonya di saat Karl Marx disemayamkan di pemakaman Highgate, Inggris. Kedengaran mungkin sedikit membual, tetapi Friedrich Engels benar. Sejak tumbangnya Uni Republik‐Republik Sovyet Sosialis (URSS) pada akhir abad ke‐20, negara‐negara demokrasi rakyat/sosialis yang masih berdiri adalah: satu negara besar yaitu Republik Rakyat Tiongkok (RRT), dan empat negara kecil yaitu Kuba, Vietnam, Korea Utara, dan Laos, sedang melakukan reformasi dan inovasi, konsolidasi dan pengembangan sosialisme. Namun pada abad ke‐21, menurut Pusat Penelitian Sosialisme Dunia—Akademi Ilmu Sosial Tiongkok, pada tahun 2013—2014 ada lebih dari 130 partai yang berideologikan Marxisme–Leninisme dan kurang lebih 100 juta anggota Partai Komunis di mana RRT mempunyai anggota sekitar 85 juta orang, Korea Utara sekitar 4 juta orang, Vietnam sekitar 3 juta orang, Kuba sekitar 1 juta orang. Sedangkan di negara‐negara kapitalis memiliki lebih dari 120 partai yang berideologikan Marxisme–Leninisme dengan jumlah anggota 8 juta orang. Banyak orang mengira bahwa negara yang mengklaim sebagai negara sosialis atau demokrasi rakyat adalah negara miskin dan melarat. Kesan ini kita dapatkan melalui propaganda media borjuasi Barat. Mereka ingin menunjukkan bahwa negara yang menganut dan menerapkan Marxisme–Leninisme akan hidup dalam keadaan miskin dan menderita. Misalkan, Kuba dan Korea Utara. Kuba yang selama 60 tahun lebih diblokade oleh AS dan sering mendapatkan bantuan dari Tiongkok, namun standar hidup rakyat Kuba masih jauh lebih tinggi dari Tiongkok dan negara‐negara lainnya. Apalagi jikalau dibandingkan dengan Indonesia. Sampai saat ini belum ada yang menandingi Kuba dalam bidang pendidikan, kesehatan, perumahan, pensiun, dan aspek lain yang bisa didapatkan secara cuma‐cuma oleh warga negara dengan kualitas yang sangat baik. Seperti dalam pendidikan, Kuba memiliki sistem pendidikan kelas dunia. Semua biaya pendidikan ditanggung oleh negara. Buku dan seragam sekolah didistribusikan secara gratis oleh negara, bahkan warga negara tidak dikenakan biaya untuk melanjutkan
Catatan Editor | xxxvii
ke perguruan tinggi, mulai dari S1 sampai S3. Oleh karena itu, tingkat pendidikan di Kuba cukup tinggi, karena semua warga negara bisa mendapatkan pendidikan gratis dan berkualitas, angka partisipasi sekolah untuk tingkat SLTA mencapai 99%, dan proporsi mahasiswa hingga 7% dari populasi. Untuk bidang olah raga, Kuba cukup bersaing dalam kompetisi internasional, termasuk Olimpiade. Walaupun tidak sebagus AS, Tiongkok, Rusia, Jerman, dan negara‐negara yang paling kuat dalam bidang olah raga, tetapi Kuba masih lebih baik daripada India dan banyak negara lainnya. Sistem perawatan kesehatan Kuba juga kelas dunia. Menurut data yang diberikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia, di Kuba setiap 170 orang terdapat 1 orang dokter dan masuk peringkat kedua dunia setelah Italia. Selain itu, warga negara mendapatkan perawatan kesehatan gratis dan dapat berobat di berbagai klinik masyarakat (buka selama 24 jam), penyakit serius ke rumah sakit pusat, pembebasan biaya medis apabila dirawat di rumah sakit, dan bahkan sampai biaya makanan. Pemerintah Kuba juga menyediakan perumahan untuk rakyat. Setiap 4 keluarga dapat berbagi bersama dengan luas rumah sekitar 100 meter persegi. Bangunan Kuba fokus pada kualitas, meskipun beberapa rumah tua tampak sedikit usang, tetapi tidak mempengaruhi kehidupan sehari‐hari. Tingkat melek huruf di Kuba sebesar 99,7%, peringkat ketiga di dunia. Harapan rata‐rata hidup di Kuba sebesar 78,3 tahun. Menurut data yang disediakan Wikipedia, tingkat pengangguran di Kuba pada tahun 2009 adalah 1,6%, Indeks Pembangunan Manusia di Kuba pada 2013 adalah 0,78 dan masuk peringkat 59 dunia. Akademi Ilmu Sosial Tiongkok pada 2013 merilis “Indeks Peradilan Nasional Global”. Peringkat pertama di dunia adalah Kuba di mana dalam hal angka kejahatan sangatlah rendah, fenomena perdagangan narkoba hampir menghilang, prostitusi dan AIDS juga jarang terdengar. Selain itu, di Kuba tidak ada lingkungan yang terkena polusi serius, pencemaran air, pencemaran tanah, tidak ada keracunan makanan yang dimodifikasi secara genetik, penipisan sumber daya dan fenomena lainnya. Menurut UNDP, Kuba adalah satu‐satunya negara di dunia yang telah mencapai pembangunan sosial, lingkungan, dan ekonomi yang berkelanjutan. Kuba yang memproklamirkan diri sebagai negara sosialis
xxxviii | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
dibuktikan dengan pejabat negaranya yang hampir tidak ada perlakuan yang istimewa dan korup. Hubungan antara pejabat negara dan rakyat juga cukup harmonis. Misalkan, tidak adanya perbedaan gaji yang diterima oleh para pejabat tinggi negara dengan profesor di universitas, bahkan dengan profesor senior sekalipun. Peraturan yang sangat jelas oleh pemerintah Kuba diberlakukan di mana apabila para pejabat menggunakan mobil dinas dan ada bangku yang kosong, wajib untuk diisi oleh rakyat biasa. Para pejabat tinggi negara di Kuba—misalkan menteri—tidak seperti di negara‐negara lain yang dijaga dengan super ketat. Bahkan untuk menjadi pejabat tinggi negara di Kuba, siapa pun boleh mendaftar seperti halnya kita masuk ke perpustakaan. Persis apa yang dikatakan oleh Lenin. Kaum buruh, setelah merebut kekuasaan politik, akan menghancurkan aparat birokrasi yang lama, meremukkannya sampai ke dasarnya dan memusnahkannya sama sekali, menggantinya dengan yang baru yang terdiri dari kaum buruh dan pegawai‐pegawai yang itu juga, dan untuk mencegah mereka berubah menjadi birokrat‐birokrat akan segera diambil tindakan‐ tindakan yang telah diuraikan dengan terperinci oleh Marx dan Engels: 1. tidak hanya dipilih tetapi juga dapat diganti sewaktu‐waktu; 2. upah tidak lebih tinggi dari pada upah buruh; 3. segera beralih ke keadaan di mana semua melaksanakan fungsi mengawasi dan menilik, sehingga semua untuk sementara waktu menjadi “birokrat” dan sehingga karena itu tidak seorang pun dapat menjadi “birokrat”. Bagaimana dengan Korea Utara? Apabila kita berjalan‐jalan di kota Pyongyang, akan terlihat bahwa semua rumah di sana dalam keadaan baik dan bagus. Begitu juga dengan keadaan rumah sakit atau sekolah. Kualitas bangunan perumahan, instansi pemerintah, bank, sekolah, dan gedung‐gedung lainnya setaraf dengan yang ada di Tiongkok. Hanya saja untuk masalah energi, Korea Utara masih dalam keadaan kekurangan. Kalau malam hari tiba, lampu penerangan dan lampu merah di jalan dalam keadaan gelap. Meskipun lampu penerangan di jalan pada waktu malam hari sangatlah redup, tetapi lampu penerangan di semua rumah dalam keadaan terang benderang. Inilah yang membuat wisatawan dari Singapura terkejut di saat mereka melakukan anjangsana di negeri yang paling dibenci oleh AS dan sekutu‐sekutunya. Sekarang mari kita lihat data statistik yang diberikan oleh Biro
Catatan Editor | xxxix
Statistik Nasional eks negara‐negara sosialis dan Bank Dunia. Dari tahun 1989—2006, eks negara‐negara sosialis mengalami pertumbuhan ekonomi yang rendah, yaitu berkisar 3—5%, sedangkan yang paling tinggi berkisar 7—8%. Rusia sendiri adalah 3% dengan rata‐rata tingkat pertumbuhan ekonominya kurang lebih 3,3%. Padahal dalam periode tersebut, negara‐negara berpenghasilan rendah lainnya memiliki rata‐ rata tingkat pertumbuhan tahunan sebesar 6,8%, negara‐negara berpenghasilan menengah memiliki rata‐rata tingkat pertumbuhan sebesar 8,1%, dan untuk negara‐negara berpenghasilan tinggi, tingkat pertumbuhan tahunannya sebesar 4,8%. Asia Timur dan Pasifik, tingkat pertumbuhan tahunan rata‐rata sebesar 6%, Sub‐Sahara Afrika sebesar 5,5%, sedangkan negara‐negara berkembang sebesar 6,4%. Dari data statistik tersebut bisa terlihat bahwa eks negara‐negara sosialis, tingkat pertumbuhan ekonominya masih lebih rendah dibandingkan dengan negara‐negara Afrika. Dilihat dari Indeks Koefisien Gini, sebelum eks negara‐negara sosialis bubar, Indeks Koefisien Gini mereka sekitar 0,2, tetapi setelah sosialisme dicampakkan, dalam kurun waktu 20 tahun, Indeks Koefisien Gini mereka meningkat secara signifikan dari 70% menjadi 100%. Sementara pada saat yang sama, Koefisien Gini di negara‐negara lain sedikit menyempit dan tidak berubah. Dilihat dari data‐data tersebut, ini menandakan bahwa eks negara‐negara sosialis dilihat dari tingkat pertumbuhan ekonominya berada di peringkat paling bawah dengan polarisasi antara si kaya dan si miskin jurangnya semakin mendalam. Maka tidak mengherankan apabila pasca‐bubarnya negara‐ negara sosialis di Eropa Timur, Uni Sovyet, dan Jerman Timur, banyak dari warga negara mereka yang dulu pernah menikmati sistem negara sosialis, merasa bahwa kehidupan mereka dulu masih lebih baik ketimbang saat ini. Institut Amerika Gallup mempublikasikan hasil survei yang dilakukan di antara warga negara eks Uni Republik‐ Republik Sovyet Sosialis berkaitan dengan disintegrasi Uni Sovyet. Hasil survei tersebut sangatlah mengejutkan sosiolog Amerika. Ternyata hanya 24% dari eks warga negara URSS yang melihat bahwa disintegrasi Uni Sovyet sebagai hal yang positif. Sementara 51% koresponden berpikir bahwa runtuhnya Uni Sovyet menyebabkan kerugian baik secara pribadi maupun republik—sekarang adalah negara‐negara yang independen—di mana mereka tinggal. Tidak mengherankan apabila
xl | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Rakyat Rusia dan eks‐URSS banyak yang merindukan sosok pemimpin seperti Lenin dan Stalin. Kebanyakan para ahli di Institut Amerika Gallup mendapatkan pendapat yang sangat menakjubkan tersebut dari Ukraina dan Moldova. Survei yang dilakukan di Lapangan Kemerdekaan Maidan (Maidan Nezalezhnosti), 56% responden memiliki sikap yang negatif terhadap hilangnya satu negara besar, dan hanya 23% melihat hal tersebut bisa bermanfaat. Di Moldova, ditandatanganinya Perjanjian Asosiasi dengan Uni Eropa, di mana Mahkamah Konstitusi menyatakan bahasa Rumania sebagai bahasa negara, 42% dari warga negara terus melihat runtuhnya Uni Sovyet lebih berbahaya dan 26% responden melihatnya sebagai hal yang bermanfaat. Rakyat Rusia juga tidak senang atas “balasan ulang” yang dilakukan oleh beberapa politisi demokrat bagaimana mereka menggambarkan disintegrasinya Uni Sovyet: 55% responden melihat hal tersebut sebagai sebuah kerusakan dan hanya 19% koresponden yang menyatakan bahwa hal tersebut sangat bermanfaat. Pada Desember 2012, lembaga penelitian AS “Pew Research Center” merilis hasil pekerjaan mereka, dikhususkan untuk mempelajari bagaimana warga negara Lithuania, Rusia, dan Ukraina mengevaluasi perubahan pada tahun 1991, 2009, dan 2011. Kami melihatnya bahwa reformasi di negara‐negara tersebut dilakukan oleh orang yang berbeda dan di bawah skenario yang berbeda. Jadi, munculnya ekonomi pasar pada tahun 1991, didukung oleh 76%, pada tahun 2009—50%, dan pada tahun 2011—hanya didukung oleh 45% dari warga negara Lithuania, salah satu negara yang pertama untuk keluar dari dari sistem ekonomi dan politik Uni Sovyet. Menurut para responden, perubahan selama dua puluh tahun terakhir yang menguntungkan bagi para politisi (91%) dan pengusaha (78%), sedangkan untuk orang biasa (20%). 56% responden di negara‐negara tersebut mengatakan bahwa dua puluh tahun terakhir membawa dampak yang negatif pada kualitas hidup mereka. Demikianlah bahwa 61% dari rakyat Rusia dan 82% dari penduduk Ukraina telah meresponnya. Menurut “Levada Center” Rusia, pada tahun 2012, di Rusia, 29% adalah pendukung sistem politik Uni Sovyet, dan pada tahun 2013 sudah meningkat menjadi 36%. Pada saat yang sama terjadi penurunan persentase pendukung demokrasi Barat (22% vs 29%). Jajak pendapat juga bertanya tentang sistem ekonomi apakah yang tampaknya lebih
Catatan Editor | xli
tepat untuk Rusia. 51% menyatakan bahwa model yang didasarkan pada perencanaan negara dan distribusi (pada tahun 2012 angka itu 49%). Sistem yang didasarkan pada hak kepemilikan pribadi dan pasar pada tahun 2012 hanya didukung oleh 36%, dan begitu juga tahun berikutnya dan bahkan lebih sedikit yaitu hanya 29%. Hasil yang paling mencolok adalah dari survei yang dilakukan oleh Institut Studi Opini Publik Emnid di Jerman pada tahun 2010. 80% orang yang pernah hidup sebagai warga negara Republik Demokratik Jerman dan 72% dari responden di Jerman sekarang menyatakan bahwa hidup mereka cukup baik ketika mereka menjadi warga negara sosialis. Setelah dua puluhan tahun tumbangnya Tembok Berlin dan reunifikasi Jerman, hanya 28% saja dari responden di sebelah timur negara tersebut yang mengatakan bahwa mereka baru bisa menemukan “kebebasan” dari nilai‐nilai politik utama saat ini. Pemimpin Jerman yang juga mantan aktivis Pemuda Jerman Bebas—Freie Deutsche Jugend—Jerman Timur, Angela Merkel, terkejut dengan hasil survei tersebut. Sejak itu penelitian serupa di Jerman tidak terdengar lagi. Namun di negara‐ negara lain juga hasilnya tidak kurang mengesankan. Berdasarkan peringkat Gallup World yang dibuat dalam tiga kategori, yaitu orang‐orang yang “makmur”, “perlu perjuangan hidup”, dan “menderita”, sampai dengan tahun 2012, orang‐orang yang paling menderita adalah menjadi rakyat Bulgaria. 39% penduduknya mengidentifikasikan diri mereka sebagai orang yang bahagia. Dalam 5 peringkat warga negara dunia yang paling menderita dan tidak pernah hidup makmur, Hongaria termasuk juga di dalamnya. 32% dari warga negara tersebut, yang pernah dendam ketika hidup di zaman Uni Sovyet, juga menganggap dirinya tidak bahagia hidup di saat ini. Rakyat Rumania bernostalgia ketika hidup di saat zaman Nicolae Ceauşescu. Penelitian serupa menyatakan hal yang sama terdapat di sebagian besar negara‐negara eks Republik Rakyat Federal Yugoslavia—Slovenia, Kroasia, Makedonia, Bosnia‐Herzegovina, dan Republik Federal Yugoslavia—yang dipublikasikan oleh Serbia edisi “Kebijakan Online”. Bagaimana dengan Indonesia? Menurut UNDP, Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki tingkat ketimpangan tertinggi di kawasan Asia Timur, yaitu dengan naiknya Koefisen Gini dari 0,32 pada 1999 menjadi 0,41 pada 2012. Hal ini senada dengan laporan dari Bank Dunia yang menyebutkan bahwa angka kesenjangan antara kaum kaya
xlii | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
dan miskin di Indonesia mengalami peningkatan. Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan pada awal 2014 bahwa tingkat kemiskinan yang ada di Indonesia semakin parah. Belum lagi dengan parahnya tingkat korupsi di Indonesia di mana dibandingkan dengan negara‐negara di Asia Tenggara misalkan Filipina, Thailand, Malaysia, dan Singapura, kita masih berada di urutan atas. Begitu juga dengan ketimpangan antar daerah bisa kita lihat sangat mencolok di mana sekitar 40 persen rakyat Indonesia tidak memiliki akses pada air bersih, sekitar 30 persen wilayah Republik Indonesia tidak memiliki akses listrik, dan masih banyak dari penduduk Indonesia yang belum bisa mendapatkan fasilitas dasar penyelenggaraan pendidikan yang baik. Tingkat pengangguran terselubung juga sangat tinggi, yaitu sekitar 37 juta orang. Rakyat Indonesia masih belum berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam bidang kebudayaan. Rakyat Indonesia masih belum bisa menjadi “tuan” di negerinya sendiri. Dalam cengkeram neokolonial‐imperialisme, Indonesia hanya dijadikan empat sumber, yaitu: 1. Secara geopolitik, posisi Indonesia sangat strategis di kawasan Asia Pasifik dan Selat Malaka, serta secara ekonomi, Indonesia adalah negara yang sangat kaya dengan sumber daya alam dan mineral, baik di darat maupun di laut. Kekayaan alam Indonesia yang sangat luar biasa ini jelas sangat menggoda negara‐negara imperialis untuk menguasainya, sehingga Indonesia menjadi pemasok sumber bahan baku bagi industri di negeri‐ negeri imperialis; 2. Penduduk Indonesia yang lebih dari 220 juta jiwa merupakan sumber buruh murah; dan 3. Pasar potensial bagi produk‐ produk negara‐negara industri; 4. Serta yang paling penting adalah kapital‐finansial mereka yang menggurita dan merajalela di bumi Indonesia dengan laba atau keuntungan yang berlipat‐lipat ganda. Marxisme adalah senjata perjuangan untuk membongkar dan mengubah itu semua. Bukankah para founding fathers kita di saat mereka berjuang untuk membebaskan rakyat Indonesia dari cengkeraman kolonialisme‐imperialisme sangat dipengaruhi oleh Marxisme. Bung Karno dengan berani menyatakan bahwa, “Nasionalisme di dunia Timur itu lantas ‘berkawinlah’ dengan Marxisme itu, menjadi satu nasionalisme baru, satu ilmu baru, satu itikad baru, satu senjata perjuangan yang baru, satu sikap hidup yang baru.”
Catatan Editor | xliii
Haji Misbach tanpa malu‐malu menyatakan dirinya adalah murid dari Karl Marx dan mencela kapitalisme sebagai biang kehancuran nilai‐ nilai kemanusiaan. Baginya, melawan kapitalisme dan pengikutnya sama dengan berjuang melawan setan. Begitu juga dengan Ki Hajar Dewantara yang memiliki keterkaitan erat dengan perjuangan kaum buruh sedunia. Ia menerjemahkan syair Internasionale dari bahasa Belanda ke bahasa Indonesia dan dikenal luas di seluruh Indonesia. Sadurannya tersebut kemudian dipopulerkan oleh para pemimpin Partai Komunis Indonesia selama tahun 1951—1965. Untuk memahami Marxisme lebih dalam lagi, buku yang ditulis oleh Suar Suroso sangat layak untuk dijadikan referensi. Pengalaman yang didapatkan penulis sangat kaya yang didapatkan langsung dari dalam maupun luar negeri, khususnya dari URSS dan RRT. Dengan diterbitkannya buku Pikir Itu Pelita Hati oleh Penerbit ULTIMUS maka akan memperkaya khazanah kita akan perkembangan teori dan praktek Marxisme khususnya di bidang filsafat. Buku ini bisa menjadi pintu gerbang bagi para pembaca pemula Marxisme. Melalui buku ini, kita bisa menimba ilmu mengenai ajaran‐ajaran Karl Marx dan para muridnya, apakah itu Vladimir Ilyich Lenin, Joseph Stalin, Mao Zedong, hingga Deng Xiaoping. Belajar dari para founding fathers kita, menunjukkan bahwa mempelajari dan menerapkan ajaran guru‐guru besar klas pekerja sedunia bukanlah dosa, malahan sebuah tugas suci dan mulia. Jakarta, Januari 2015 Darwin Iskandar
xliv | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
DAFTAR ISI Pengantar Penulis —— v Sekapur Sirih—Koesalah Soebagyo Toer —— xi Sambutan—Yoseph Tugio Taher —— xiii Sambutan—Ibrahim Isa —— xxi Sambutan—Chalik Hamid —— xxv Catatan Editor—Marxisme Tidak Usang dan Komunisme Tidak Mati —— xxxi Pikir Itu Pelita Hati Ilmu Berpikir Mengubah Dunia: dari Marxisme sampai Teori Deng Xiaoping I Dari Pembodohan ke Pembiadaban Bangsa —— 3 1. Mao Zedong Difitnah Menghasut Aidit —— 3 2. PKI Dituduh sebagai Dalang G30S —— 8 3. Mengeramatkan Pancasila Jadi Berhala “Pancasila Sakti” —— 9 4. Budaya Main Kuasa Akar Pembiadaban Bangsa —— 10 II Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara: dari Animisme sampai Kebatinan Jawa —— 19 1. Permulaan Manusia Berpikir adalah Secara Materialis —— 19 2. Munculnya Mistisisme —— 21 3. Hinduisme —— 24 4. Buddhisme —— 31 5. Bhinneka Tunggal Ika —— 36 6. Mistisisme Islam —— 38 7. Sufisme —— 45 8. Manunggaling Kawula-Gusti —— 47 9. Kebatinan Jawa, Kejawen —— 50 10. Dari Islam Mistik Sufisme sampai Islam Modernis Anti-Komunisme —— 52 11. Pengaruh Tiongkok atas Perkembangan Pikiran di Indonesia —— 64
Daftar Isi | xlv
III Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika —— 83 1. Bung Karno dalam Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme (1926) dan Pancasila (1945) —— 83 2. Analysis (1947) —— 88 3. Tan Malaka: Madilog (1951) —— 98 4. Njoto: Marxisme Ilmu dan Amalnya (1962) —— 107 5. D.N. Aidit, Tentang Marxisme (1964) —— 118 IV Perkembangan Awal Filsafat Tiongkok: dari Lao Zi sampai Wang Zhong —— 145 1. Materialisme Tiongkok Kuno —— 145 2. Daoisme, Lao Zi (604—531 SM) —— 147 3. Kong Hucu —— 155 4. Yang Zhu —— 158 5. Zhuang Zi —— 159 6. Mo Zi —— 163 7. Meng Zi —— 165 8. Xun Zi —— 166 9. Han Fei —— 167 10. Wang Zhong —— 168 V Materialisme India Kuno —— 171 1. Dimulai dengan Materialisme —— 171 2. Hinduisme —— 173 3. Filsafat Aliran Samkhya —— 174 4. Dualisme Prakriti dan Purusha —— 176 5. Purusha —— 177 6. Prakriti —— 177 7. Upanisyad —— 178 8. Vaisyesika —— 178 9. Teori Atom —— 181 10. Jainisme —— 182 11. Buddhisme —— 184 12. Aliran Materialis Charvaka —— 185 VI Filsafat Yunani Kuno: dari Thales sampai Lukretius —— 187 1. Thales —— 187 2. Anaximander —— 187 3. Anaximenes —— 188 4. Herakleitos —— 189 5. Anaxagoras —— 190 6. Demokritos —— 190
xlvi | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
7. Socrates —— 191 8. Aristoteles —— 193 9. Epikurus —— 198 10. Titus Lukretius Carus —— 201 VII Kemenangan-Kemenangan Materialisme dalam Sejarah —— 205 1. Pikiran Bertolak dari Kenyataan —— 205 2. Dari Antroposentris sampai Heliosentris ——209 3. Hakikat Teori Relativitas Einstein Materialistis —— 210 4. Pemenang Hadiah Nobel Fisika 2012 —— 214 5. Kemajuan Ilmu, Demonstrasi Kemenangan Materialisme —— 215 VIII Kebenaran Lahir dari Kenyataan dan Praktek —— 221 1. Agnostisisme —— 221 2. Materialisme —— 223 IX Materialisme Marxis: Tugas Filsafat adalah untuk Mengubah Dunia —— 231 1. Sebelas Tesis tentang Feuerbach —— 231 2. Empiriokritisisme Anti Materialisme Dialektis —— 240 X Dialektika: dari Herakleitos, Lewat Hegel, Marx–Engels dan Lenin, sampai Mao Zedong —— 245 XI Hukum Satu Pecah Jadi Dua dan Dua Bergabung Jadi Satu —— 253 XII Tentang Hukum Kontradiksi: Kontradiksi Dasar dan Kontradiksi Pokok —— 259 XIII Hukum Negasi dari Negasi —— 265 XIV Hukum Peralihan: Perubahan-Perubahan Kuantitatif Menjadi Perubahan Kualitatif —— 271 XV Materialisme Historis: Penerapan Materialisme Dialektis dalam Ilmu Kemasyarakatan —— 279 1. Kehidupan Sosial Menentukan Pikiran Manusia —— 279 2. Cara Produksi —— 280
Daftar Isi | xlvii
3. Formasi Ekonomi Masyarakat —— 283 4. Alienasi dan Penghisapan —— 285 5. Negara dan Diktatur Proletariat —— 285 6. Revolusi Sosial —— 288 XVI Marxisme–Leninisme —— 291 1. Tentang Kapitalisme Negara di Bawah Diktatur Proletariat —— 298 2. Kejayaan Marxisme–Leninisme —— 302 XVII Pikiran Mao Zedong —— 303 XVIII Polemik Anti-Revisionisme Modern dalam Gerakan Komunis Internasional —— 315 XIX Trotskisme sampai Internasionale IV —— 323 XX Kritik-Kritik atas Marxisme —— 333 1. Marxisme dalam Ujian —— 333 2. Revisionisme Yugoslavia —— 334 3. Kritik atas Kultus Individu Stalin —— 336 4. Euro-Komunisme Mencampakkan Marxisme–Leninisme —— 338 XXI Pasca-Marxisme —— 343 1. Mazhab Frankfurt —— 343 2. Louis Pierre Althusser —— 347 3. Jacques Derrida —— 353 4. Alain Badiou —— 355 5. Theodor Ludwig Wiesengrund Adorno —— 359 6. Jurgen Habermas —— 361 XXII Marxisme Bukannya Punah: Berkembang Maju dengan Teori Deng Xiaoping —— 367 Daftar Pustaka —— 395 Biodata Penulis —— 403
xlviii | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Pikir Itu Pelita Hati
Ilmu Berpikir Mengubah Dunia: dari Marxisme sampai Teori Deng Xiaoping
2 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
I Dari Pembodohan ke Pembiadaban Bangsa
1. Mao Zedong Difitnah Menghasut Aidit PADA tahun 1965, dengan meletusnya Peristiwa 30 September/Gestapu 1965, Indonesia berubah wajah. Dari negara mercusuar anti‐ imperialisme menjadi antek imperialis mengekor Amerika Serikat. Indonesia dilanda musibah berdarah pembantaian manusia tak berdosa, pembasmian kaum komunis, pelarangan Partai Komunis Indonesia, dan berdirinya rezim diktator orde baru yang digembongi oleh Soeharto. Menurut Victor Miroslav Fic, asal‐usul Gestapu 1965 justru terjadi di Zhongnanhai Peking, Cina, antara Aidit—Mao pada tanggal 5 Agustus, menyusul kabar kesehatan Presiden yang memburuk: jatuh pingsan sebanyak 4 kali pada tanggal 4 Agustus dan muntah‐muntah sebanyak 11 kali akibat gangguan ginjal. Para dokter Cina yang merawatnya yakin bahwa satu serangan lagi, dapat saja membuat Presiden meninggal atau lumpuh. Alhasil, suksesi menjadi persoalan mendesak yang tak terelakkan, karena pasti terjadi perebutan kekuasaan yang berdarah‐darah antara PKI dan Angkatan Darat yang selama ini berseteru. Nasihat Mao adalah: “Habisi para jenderal dan perwira reaksioner itu dalam sekali pukul. Angkatan Darat lalu akan menjadi seekor naga yang tak berkepala dan akan mengikutimu....” Dari Cina, Aidit begitu tiba di bandara, langsung menghadap Presiden tanggal 7 dan 8 Agustus 1965.... Isi perjanjian rahasia antara Soekarno—Aidit—Mao, yang salah satunya Presiden akan I — Dari Pembodohan ke Pembiadaban Bangsa | 3
beristirahat panjang dengan alasan kesehatan di sebuah tempat yang nyaman di Danau Angsa Cina.1 Dalam buku berjudul Mao: Kisah‐Kisah yang Tak Diketahui, Jung Chang dan Jon Halliday menulis: Setelah Konferensi Asia–Afrika di Aljazair dibatalkan, dengan hati panas Mao menggerakkan PKI untuk merebut kekuasaan. Rencananya adalah membunuh para jenderal angkatan darat yang anti-komunis, yang boleh dikatakan tidak dapat dipengaruhi oleh Presiden Soekarno yang pro-Peking. Peking selalu menekan Soekarno untuk melakukan perombakan radikal di kalangan angkatan darat, dan dengan dukungan Soekarno, PKI cukup sukses menyusup masuk ke tubuh angkatan darat. PKI yakin, bahkan terlalu optimis, bahwa secara rahasia ia dapat mengontrol lebih dari setengah angkatan darat, dua pertiga angkatan udara, dan sepertiga angkatan laut. Menurut rencana itu, begitu para jenderal dibantai, komunis akan mampu menguasai angkatan darat, mungkin dengan Soekarno yang untuk sementara memainkan peran sebagai pemimpin boneka. Di awal bulan Agustus, Aidit datang ke China dan bertemu dengan Mao. Kemudian Aidit kembali ke Indonesia bersama tim dokter China, yang beberapa hari kemudian melaporkan bahwa Presiden Soekarno (yang pro-Peking), menderita sakit ginjal parah, dan diperkirakan hidupnya takkan lama lagi; karena itu, jika PKI ingin bertindak, sekaranglah saatnya. Pada tanggal 30 September sekelompok perwira menangkap dan membunuh Panglima Angkatan Darat Indonesia dan lima jenderal lain. Berbicara kepada Ketua Partai Komunis Jepang, Miyamoto, tak lama setelah peristiwa itu, Mao menyebut kudeta itu sebagai kebangkitan ... Partai Komunis Indonesia.2 1 Victor M. Fic, Kudeta 1 Oktober 1965, Yayasan Obor Indonesia, September 2005, sampul buku. 2 Jung Chang, Jon Halliday, 2007, Mao: Kisah-Kisah yang Tak Diketahui, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h.651. Prof. Andrew Nathan dari Columbia University mencatat bahwa “banyak penemuan mereka berasal dari sumber yang tidak jelas, sedangkan yang lainnya bersifat spekulatif atau didasarkan pada buktibukti tak langsung, dan beberapa hal tidaklah benar.” Demikian pula, Prof. Jonathan Spence dari Universitas Yale berpendapat di New York Review of Books bahwa “penulis berfokus untuk merusak Mao di mana banyak kekuatan cerita mereka
4 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Tulisan M. Fic dan Jung Chang adalah fitnah terhadap Mao Zedong menghasut Aidit untuk membunuh para jenderal Angkatan Darat Indonesia. Tulisannya tidak berdasarkan kenyataan yang bisa dibuktikan. M. Fic mendasarkan pendapatnya atas surat Aidit yang bertanggal 10 November 1965. Surat itu jelas adalah palsu. Pada surat tersebut terdapat kejanggalan‐kejanggalan: 1. Kepala surat berjudul Central Comite Partai Komunis Indonesia. PKI tidak memakai istilah Central Comite, tapi Comite Central. 2. Kalimat pertama surat berbunyi: Kawan seperjuangan kaum Marxis/Leninis. Dalam berkorespondensi, CC PKI tidak biasa menggunakan kalimat ini. PKI tidak biasa menuliskan istilah Marxis/Leninis, tetapi Marxis‐Leninis. 3. Kalimat yang berbunyi “telah kami perhitungkan, namun jelas semua tindakan kaum reaksioner khususnya Dewan Jenderal dapat mengecilkan anggota Partai yang masih belum berpengalaman.” Kalimat ini tidak bisa dipahami isinya. Sesuatu yang tak mungkin ditulis D.N. Aidit yang rapi bahasa Indonesianya. 4. Surat ini adalah surat pribadi D.N.Aidit, tetapi menggunakan kalimat: “3. Karena itu sekali lagi CC Partai menandaskan, semua....” Ini adalah janggal. 5. Kalimat “bahwa 30 September ‘En Rimpel in’t grote Ocean’” adalah bahasa Belanda yang salah ejaannya, memberi pengertian lain, satu kecerobohan tak mungkin atau sulit dilakukan oleh D.N. Aidit. mungkin tidak ada.” Pada bulan Desember 2005, surat kabar The Observer menyatakan bahwa banyak kalangan akademisi secara luas mempertanyakan akurasi faktual beberapa klaim dari Chang dan Halliday. David S.G. Goodman, profesor di bidang ilmu politik Tiongkok dari University of Sydney menulis dalam The Pacific Review bahwa Mao: The Unknown Story, seperti contoh lain dari sejarah revisionis, tersirat bahwa ada “konspirasi akademisi dan sarjana yang telah memilih untuk tidak mengungkapkan kebenaran.” Goodman juga mempertanyakan metodologi dan penggunaan sumber serta kesimpulan tertentu yang diambil oleh Chang dan Halliday. Begitu pula profesor sosiologi di University of Southern California, Robert Weil, menerbitkan buku To be Attacked by the Enemy is a Good Thing yang mencoba mengekspos motif berbahaya dari Chang dan Halliday menulis buku tersebut dan masih banyak para sarjana Barat yang mengkritik habis-habisan buku tersebut. I — Dari Pembodohan ke Pembiadaban Bangsa | 5
6. Kalimat: “Bila ketua berhijrah ke tetangga maka....” Untuk kata pengganti dirinya, adalah janggal jika D.N. Aidit menggunakan istilah ketua. 7. Dalam suratnya ini, D.N. Aidit menggunakan ejaan DJ sebagai singkatan Dewan Jenderal, mestinya adalah DD. Karena itu, dengan sekian banyak kejanggalan dan kesalahan, surat D.N.Aidit tanggal 10 November 1965 ini adalah palsu. Maka isinya tak mungkin bisa dipercaya kebenarannya. Padahal isi surat itu adalah sangat penting: menyangkut keterlibatan Bung Karno, Subandrio, dan negara tetangga. Memperkuat pandangannya, Fic menggunakan Dokumen No.3 dengan kepala surat “KOMITE‐CENTRAL PARTAI KOMUNIS INDONESIA, KRAMAT RAYA 81 JAKARTA IV/4, Tel. 448227”. Pada dokumen ini juga ada kejanggalan‐kejanggalan. Nomor telepon adalah salah. Istilah KOMITE‐CENTRAL, bukanlah ejaan yang biasa dipakai oleh PKI. Yang dipergunakan bagi kepala surat dari amplop resmi CC PKI adalah: COMITE CENTRAL PARTAI KOMUNIS INDONESIA Kramat Raja 81 – Djakarta IV/4 Telp: 4927 Gambir. Victor M. Fic menggunakan surat bertanggal 28 September ’65, jadi sebelum terjadinya Peristiwa 30 September, tetapi sudah memberi petunjuk untuk pembubaran partai, persembunyian senjata, cara‐cara upacara pembubaran partai di hadapan instansi pemerintah. Ini semua sungguh tidak masuk akal. Bahkan surat ini sudah menggunakan Ejaan Baru Yang Disempurnakan. Karena itu, surat ini adalah palsu. Victor M. Fic secara licik menggunakan metodologi eklektika dalam melakukan pemalsuan sejarah. Dipergunakannya sederetan fakta yang memang terjadi dalam kenyataan. Seperti pada 5 Agustus 1965, Aidit bertemu dengan Mao Zedong di Zhong Nanhai. Namun isi pembicaraannya dikarang sendiri oleh Fic, oleh karena itu kebenarannya tidak bisa dibuktikan. Lebih‐lebih lagi adalah tidak masuk akal di mana dalam pembicaraan tersebut, Mao Zedong memerintahkan Aidit segera membunuh para jenderal pucuk pimpinan Angkatan Darat Indonesia. 6 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Adalah benar bahwa Aidit pulang ke Jakarta dan segera menemui Bung Karno melapor. Namun isi laporannya dikarang sendiri oleh Fic, oleh karena itu kebenarannya tidak dapat dibuktikan. Jung Chang memfitnah Mao Zedong memulai gerakan Peristiwa 1965 di Indonesia, menyatakan bahwa Mao lah yang harus disalahkan. Jung Chang mendasarkan tulisannya pada keterangan dari Kenji Miyamoto, Ketua Partai Komunis Jepang (PKJ), yang menyatakan bahwa Mao Zedong sering mendesak Partai Komunis Jepang dan Indonesia untuk melakukan pemberontakan. Jung Chang menggunakan Kenji Miyamoto untuk mendukung pandangan‐pandangannya, yaitu dengan menyalahkan Mao Zedong dan D.N. Aidit. Kenji Miyamoto adalah Ketua Partai Komunis Jepang semenjak kongres nasionalnya tahun 1958. Di bawah kepemimpinannya, PKJ meninggalkan garis Snazo Nosaka yang berpegang teguh pada jalan revolusioner untuk memenangkan sosialisme di Jepang. Sanzo Nosaka telah berjasa membangun persahabatan antara PKJ dan PKT. Di bawah kepemimpinan Kenji Miyamoto, garis Sanzo Nosaka dicampakkan, hubungan PKJ dan PKT menjadi rusak. Demikian buruknya hubungan kedua partai hingga di mata pimpinan PKT, Kenji Miyamoto adalah pengkhianat Marxisme–Leninisme yang memalukan. Oleh karena itu, adalah sulit mempercayai kebenaran dari ucapan Kenji Miyamoto mengenai tindak‐tanduk Mao Zedong, terutama mengenai pandangan Mao Zedong tentang PKJ dan PKI. Tak bisa dibuktikan kebenaran bahwa Mao Zedong sering mendesak PKJ dan PKI untuk melakukan pemberontakan. Dengan sikap‐sikap PKJ di bawah kepemimpinan Kenji Miyamoto yang tegas menegasi dan menentang ajaran diktatur proletariat dari Marx, mencampakkan Marxisme–Leninisme, maka jelas‐jemelas Kenji Miyamoto mengambil sikap berlawanan dengan pandangan‐pandangan Mao Zedong. Oleh karena itu, mudah dimengerti bahwa Kenji Miyamoto menggunakan kesempatan wawancara dengan Jung Chang untuk mendiskreditkan Mao Zedong dan D.N. Aidit yang tangguh membela pandangan‐ pandangan PKT dan Mao Zedong. Terdapat perbedaan mencolok antara tulisan Fic dan Jung Chang mengenai soal kedatangan dan laporan dokter Tiongkok yang merawat Bung Karno mengenai keadaan sakitnya Bung Karno. Maka tulisan‐ tulisan Fic dan Jung Chang adalah fitnah semata‐mata terhadap Mao
I — Dari Pembodohan ke Pembiadaban Bangsa | 7
Zedong dan Aidit dalam hubungannya dengan Peristiwa G30 September.
2. PKI Dituduh sebagai Dalang G30S PROF. Nugroho Notosusanto adalah pendukung tangguh rezim orde baru Soeharto. Dengan lantang ia membela pendirian bahwa PKI adalah dalang G30S. Pandangannya dipaparkan bersama Ismail Saleh dalam buku The Coup Attempt of the “September 30 Movement” in Indonesia. Dalam buku tersebut dinyatakan bahwa “karena alasan‐alasan ideologi, jelaslah kalangan agama dengan sendirinya dianggap musuh oleh PKI. Namun PKI menganggap tentara sebagai musuhnya yang utama, bukan saja karena tentara merupakan ancaman fisik terhadap partai, tetapi juga atas dasar ideologi. Komunisme adalah asing bagi ideologi negara, Pancasila. Komunisme berdiri atas dasar perjuangan klas dan bertujuan menggulingkan setiap pemerintah non‐komunis. Pancasila berpendirian untuk kerja sama yang saling menguntungkan dan toleransi. Dan satu dari lima prinsip Pancasila adalah percaya pada satu Tuhan sedangkan komunisme berpendirian ateisme.” Pandangan Nugroho Notosusanto ini adalah pemalsuan sejarah. Tidaklah benar PKI menganggap tentara sebagai musuhnya yang utama. Bukannya musuh, tetapi PKI menilai tinggi ABRI. D.N. Aidit dalam kuliah di Seskoad menyatakan bahwa “Angkatan Bersenjata RI adalah anti‐fasis, demokratis, anti‐imperialis, dan bercita‐cita Sosialisme Indonesia. Ia adalah alat untuk mengabdi Revolusi Indonesia, untuk mengubah masyarakat Indonesia dewasa ini menjadi masyarakat Indonesia yang merdeka penuh dan demokratis sebagai landasan untuk menuju ke sosialisme.”3 Nugroho mempertentangkan komunisme dengan ideologi negara, Pancasila, padahal dalam Preambul Konstitusi PKI dinyatakan “PKI menerima dan mempertahankan UUD 1945 yang dalam Pembukaannya memuat Pancasila sebagai dasar‐dasar negara dan bertujuan membangun suatu masyarakat yang adil dan makmur menurut kepribadian bangsa Indonesia.”4 3 D.N. Aidit, Angkatan Bersendjata dan Penjesuaian Kekuasaan Negara dengan Tugas2 Revolusi, Jajasan Pembaruan, Djakarta, 1964, h.7. 4 Comite Central Partai Komunis Indonesia, AD–ART (Konstitusi) PKI, Jakarta, 1962, h.17.
8 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Adalah benar bahwa PKI berjuang atas dasar perjuangan klas, tetapi tujuannya bukanlah untuk menggulingkan setiap pemerintah non‐komunis. Tujuan PKI dalam tingkat sekarang ialah mencapai sistem demokrasi rakyat di Indonesia, sedangkan tujuan lebih lanjut ialah mewujudkan sosialisme dan kemudian komunisme di Indonesia. Pendirian Nugroho yang mempertentangkan Pancasila dengan komunisme adalah salah, karena UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar negara justru menjamin semua golongan dan aliran serta kepercayaan di bawah naungan negara Republik Indonesia. Tidak ada alasan yang membenarkan pernyataan Nugroho bahwa komunisme adalah asing bagi ideologi negara, Pancasila. Pancasila justru adalah alat pemersatu yang menghimpun segenap aliran yang dianut bangsa Indonesia. Jelas‐jemelas, Pancasila bukanlah asing bagi PKI, PKI bukan musuh Pancasila. Sejarah menunjukkan, dalam sidang‐sidang Konstituante tahun 1955 sampai 1957, dalam merumuskan dasar negara, PKI bersama PNI adalah partai yang membela Pancasila sebagai dasar negara. Dengan demikian tidak ada dasar pikiran Nugroho yang membenarkan kesimpulannya, bahwa PKI adalah dalang G30S.
3. Mengeramatkan Pancasila Jadi Berhala “Pancasila Sakti” PENGUASA orba melancarkan pembodohan dengan pembohongan lewat pemaksaan, dengan menggunakan kekuasaan negara. Mengeramatkan Pancasila, menyatakan Pancasila adalah sakti, mendirikan Museum dan Monumen Pancasila Sakti, mengadakan peringatan tahunan Hari Kesaktian Pancasila, adalah pembodohan bangsa dengan menggunakan kekuasaan. Membangun tugu peringatan Pancasila Sakti di Lubang Buaya, mewajibkan murid‐murid sekolah menonton film Pengkhianatan G30S/PKI yang disutradarai Arifin C. Noer yang mempropagandakan kebohongan, semuanya adalah pemalsuan sejarah yang membodohi bangsa. Menjadikan Pancasila sebagai sesuatu yang sakti dengan cara mengeramatkan dasar negara adalah takhayul yang tidak ilmiah dan tidak masuk akal. Memperingati Kesaktian Pancasila setiap tahun berarti menjadikan Pancasila satu berhala, membohongi rakyat, memalsu
I — Dari Pembodohan ke Pembiadaban Bangsa | 9
sejarah bangsa. Museum dan Monumen Pancasila Sakti tidak saja menjungkir‐ balikkan kenyataan sekitar Peristiwa 30 September, tetapi juga memalsu peristiwa sejarah semenjak tahun 1945, bertujuan untuk menyalahkan PKI. Ini ditunjukkan oleh pameran mengenai Peristiwa Tiga Daerah Oktober 1945, Peristiwa Tjirebon Februari 1946, Peristiwa Pemogokan Buruh Perkebunan Delanggu Juni 1948, Peristiwa Madiun 1948—pembasmian kekuatan kiri oleh Pemerintah Hatta, Peristiwa Serangan atas Asrama Polisi Tanjung Priok Agustus 1951, Peristiwa Tanjung Morawa 1953, Peristiwa Banda Betsi Mei 1965, Peristiwa Rapat Raksasa Ulang Tahun PKI ke‐45. Semua peristiwa sejarah ini dilukiskan tidak sesuai dengan kenyataan, tetapi disalahgunakan untuk menyalahkan PKI sebagai partai pemberontak yang merongrong kekuasaan Republik Indonesia. Pemalsuan sejarah sungguh berkembang biak di bawah kekuasaan orba Soeharto. Ini semua mengakibatkan pembodohan bangsa.
4. Budaya Main Kuasa Akar Pembiadaban Bangsa SEPERTIGA abad kediktatoran orba berkuasa, bersimaharajalelalah budaya main kuasa. Berkat pengorbanan dan perlawanan rakyat, diktator Soeharto terguling bangkrut. Namun budaya main kuasa masih berlanjut. Main kuasa dibimbing cara berpikir yang carut‐marut. Sampai‐sampai wanita dilarang kentut. Pembodohan melanda Indonesia. Dari pembodohan meningkat ke pembiadaban. Tanggal 14 April 2013, situs wadiyan.com memberitakan bahwa “Perempuan Dilarang Kentut di Aceh”. Sebuah kota di Aceh akan melarang warga perempuan buang angin (kentut). Kentut dianggap tidak sesuai dengan nilai‐nilai kesopanan dalam syariah Islam. “Perempuan muslim tidak diperbolehkan kentut bersuara, itu bertentangan dengan ajaran Islam,” kata Sayyid Yahia, sang walikota. Sanksi bagi perempuan yang kentut bersuara tidak main‐main. Disebutkan bahwa bagi perempuan mana saja yang kentut bersuara kecil akan menerima cambukan sebanyak 20 kali. Sementara jika suara kentutnya keras akan dipenjara selama tiga bulan. “Para pelacur adalah pahlawan,” demikian diucapkan oleh
10 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Widya Kanti Susanti, Bupati Kendal, Jawa Tengah, kepada Kompas, 23 Januari 2014. Dipaparkannya bahwa mereka adalah pahlawan bagi keluarganya, karena mereka bisa menghidupi dan memberi makan keluarganya. Oleh karena itu, adalah tidak berperikemanusiaan apabila rumah‐rumah bordil tersebut ditutup. Tindakan ini juga menimbulkan masalah dalam pengentasan kemiskinan dan juga pengawasan atas penyebaran penyakit kelamin yang tak terkontrol. Ketua MUI Jawa Timur dalam kuliah subuhnya, Selasa 11 Februari 2014 di Masjid Al‐Akbar Surabaya, mengingatkan bahwa MUI telah memfatwakan haram merayakan Hari Valentine. Awal tahun 2013 di Lhokseumawe diberlakukan larangan bagi para perempuan yang duduk mengangkang ketika naik sepeda motor. Pada bulan April telah ditangkap dan ditahan 35 perempuan yang duduk mengangkang ketika naik sepeda motor. Larangan menari di depan publik bagi para perempuan dewasa akan diterapkan di Kabupaten Aceh Utara menurut Bupati Aceh Utara, Muhammad Thaib, karena perempuan dewasa menari di depan publik bertentangan dengan syariat Islam. “Perempuan menari tarian apa pun di depan laki‐laki itu bertentangan dengan hukum syariah,” ungkap Muhammad Thaib, Sabtu 25 Mei 2013. Pernah pula diberitakan bahwa di Bogor ada pimpinan sekolah yang melakukan pemeriksaan atas keperawanan 3500 orang murid perempuan. Perempuan ditempatkan pada kedudukan yang tak nyaman dan tak setara dengan pria, sesuatu yang tidak adil. Semua ini menunjukkan hal‐hal yang menggelikan, tak masuk akal pikiran waras dan ilmiah. Paksaan lewat ketentuan‐ketentuan pemerintah, atau lewat fatwa untuk mempercayai, membenarkan, dan mengikuti pikiran demikian adalah pembodohan. Di Aceh dilarang melakukan kegiatan menyambut Tahun Baru. Di Banda Aceh, 31 Desember 2013, Polisi Syariah wilayah Aceh merampas beribu‐ribu mercon dan terompet kadbod dalam satu serbuan menyusul pelarangan menyambut malam Tahun Baru. Serbuan ke tempat‐tempat yang menjual barang‐barang itu dilakukan pada malam hari menyusul fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh yang dikeluarkan pada 24 Desember 2013, yaitu melarang sambutan itu diadakan dalam wilayah tersebut. Di kompleks parlemen, Jakarta, Sabtu 25 Mei 2013, mantan
I — Dari Pembodohan ke Pembiadaban Bangsa | 11
Panglima TNI Jenderal (Purn.) Wiranto mengatakan, konflik masa lalu tidak akan dapat membawa perubahan jika dibawa ke dalam konteks kehidupan masa kini. Ia pun meminta kepada para anak korban konflik politik masa lalu untuk melupakan apa yang telah terjadi. Yang telah terjadi adalah pembantaian manusia tak berdosa oleh rezim militeris orba Soeharto yang menyebabkan Indonesia sebagai mercusuar perjuangan melawan imperialisme berubah warna menjadi pengekor negara adikuasa Amerika. Melupakan hal ini berarti melupakan peristiwa bersejarah yang maha‐kelam. Ini menyebabkan generasi muda tak kenal bagian yang sangat penting dari sejarah bangsanya. Alangkah bodoh generasi yang tak tahu bagian penting sejarah bangsanya sendiri. Menganjurkan untuk melupakannya tak bisa lain adalah satu pembodohan yang serius. Pembodohan telah berlangsung di banyak bidang. Demikian serius pembodohan ini sampai‐sampai lembaga tertinggi negara menyatakan bahwa Bung Karno melakukan “pengkhianatan”. Akhir Maret 2013, Rachmawati, putri Bung Karno, menampilkan gugatan atas putusan MPR No.1 tahun 2003 yang menyatakan adanya pengkhianatan Bung Karno. Merdeka.com pada Senin 25 Maret 2013 mempertanyakan cap ʹpengkhianatʹ yang disematkan negara pada Bung Karno seperti tertuang dalam Pasal 6 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP‐MPR) Nomor 1/MPR/2003. Jauh sebelum itu, ada yang menyatakan bahwa Bung Karno menyelewengkan Pancasila karena menampilkan semboyan persatuan nasional berporoskan nasakom. Dan rezim orba telah mengeramatkan Pancasila dengan mendirikan tugu peringatan “Pancasila Sakti” di Lubang Buaya. Pancasila adalah dasar negara, mana mungkin dasar negara adalah sakti. Menyatakan Pancasila sakti, dasar negara adalah sakti, sungguh satu pembodohan. TAP MPRS No.25/1966 yang menyatakan dilarangnya PKI dan penyebaran Marxisme–Leninisme di Indonesia, dimulai dengan pertimbangan: “Bahwa faham atau ajaran Komunisme/Marxisme– Leninisme pada inti hakikatnya bertentangan dengan Pancasila” dan “Bahwa orang‐orang dan golongan‐golongan di Indonesia yang mengenal paham atau ajaran Komunisme/Marxisme–Leninisme, khususnya Partai Komunis Indonesia, dalam sejarah Kemerdekaan Republik Indonesia telah nyata‐nyata terbukti beberapa kali berusaha merobohkan
12 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
kekuasaan Pemerintah Republik Indonesia yang sah dengan cara kekerasan.”5 Kenyataan menunjukkan bahwa di kala Konstituante macet dalam merumuskan dasar negara, karena wakil‐wakil partai‐partai Islam seperti Masyumi dan NU, serta PSI, menentang Pancasila menjadi dasar negara, justru penganut Marxisme–Leninisme, yaitu PKI, yang teguh membela Pancasila sebagai dasar negara dalam sidang‐sidang Konstituante. Walaupun PKI bersama PNI tangguh membela Pancasila sebagai dasar negara adalah mayoritas, tetapi jumlah suara mereka tidak sampai dua pertiga. Maka Konstituante tidak berhasil merumuskan Pancasila sebagai dasar negara. Kongres Nasional VII PKI tahun 1962 memutuskan rumusan dalam Konstitusinya, bahwa “PKI menerima dan mempertahankan Undang‐Undang Dasar 1945 yang dalam Pembukaannya memuat Pancasila sebagai dasar‐dasar negara dan bertujuan membangun satu masyarakat yang adil dan makmur menurut kepribadian bangsa Indonesia.”6 Sejarah perjuangan kemerdekaan nasional Indonesia menunjukkan bahwa penganut Marxisme–Leninisme, kaum komunis Indonesia, adalah kekuatan penting dalam merebut dan membela kemerdekaan Indonesia, bahkan adalah pelopor dalam pemberontakan melawan kekuasaan kolonial Belanda. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa kaum komunis dengan kekerasan mau merobohkan kekuasaan Republik Indonesia. Tuduhan dalam TAP MPRS Nomor XXV/1966 itu adalah fitnah, pemalsuan sejarah. Pemalsuan sejarah membikin bangsa tak kenal sejarah yang sesungguhnya, adalah pembodohan bangsa. Buku Putih yang dikeluarkan Kopkamtib 1978 menyatakan bahwa PKI tidak mempunyai peranan dalam Revolusi Agustus 1945. Padahal keberadaan Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin sampai tahun 1948 menunjukkan bahwa berkat peranan penting kaum komunis sebelum dan dalam revolusilah yang menyebabkan tokoh komunis ini ikut memimpin Republik Indonesia. Maka isi Buku Putih Kopkamtib adalah salah satu bentuk pemalsuan sejarah. Begitu terjadi Peristiwa 30 September 1965, semua surat kabar dilarang terbit kecuali surat kabar Angkatan Darat, Berita Yudha dan 5 6
MPRS, 1966, Ketetapan Nomor XXV. AD–ART (Konstitusi) PKI, CC PKI, Jakarta, 1962, h.17. I — Dari Pembodohan ke Pembiadaban Bangsa | 13
Harian Angkatan Bersenjata. Kedua koran ini secara besar‐besaran mempropagandakan bahwa para perempuan anggota Gerwani bertelanjang melakukan tarian Harum Bunga, menyilet kemaluan dan mencongkel mata para jenderal yang terbunuh di Lubang Buaya. Ketika laporan penyelidikan Komnas HAM tentang pelanggaran HAM dalam pembunuhan massal di tahun‐tahun 1965 dan 1966 diumumkan, Djoko Suyanto, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, mengatakan bahwa pembunuhan itu dibenarkan untuk menyelamatkan negara dari komunisme. Dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sekarang menyuarakan mitos rezim orde baru, bahwa pembunuhan itu dibenarkan demi menyelamatkan negeri dari komunisme.7 Justru yang terjadi adalah: bukan hanya pembasmian atas kaum komunis Indonesia, tetapi adalah pembantaian atas manusia tak berdosa. Pembunuhan atas manusia tak berdosa di bawah kekuasaan rezim orba Soeharto adalah tindakan biadab. Membenarkan tindakan demikian, bukanlah lagi pembodohan tapi adalah pembiadaban bangsa. Profesor Nugroho Notosusanto mengajarkan bahwa Pancasila bukanlah hasil galian Bung Karno. Alasannya adalah: Pancasila yang dipersoalkan ialah Pancasila dasar negara, sebelum Bung Karno sudah ada beberapa pembicara, antara lain Mr. Muhammad Yamin dan Prof. Soepomo yang mengajukan pandangan mengenai dasar negara. Karena itu, bukanlah Bung Karno yang mengajukan gagasan tentang dasar negara. Di sini Prof. Nugroho membuang kenyataan bahwa hanya Bung Karno yang mengajukan rumusan Pancasila sebagai dasar negara, walaupun Yamin dan Soepomo memaparkan masalah dasar negara lebih dulu dari Bung Karno. Menyatakan Pancasila bukan hasil galian Bung Karno adalah pemalsuan sejarah, adalah satu pembodohan. Rasialisme anti‐Tiongkok bersimaharajalela di bawah kekuasaan rezim orba Soeharto. Rakyat dilarang merayakan Hari Raya Imlek, hari raya tradisional Rakyat Tiongkok yang juga dijunjung oleh warga negara Indonesia keturunan Tionghoa secara turun‐temurun. Di samping itu dilarang menggunakan huruf Tionghoa dan penerbitan dengan menggunakan huruf Tionghoa, dilarang adanya sekolah‐sekolah Tionghoa yang sudah turun‐temurun di Indonesia. Bahkan nama 7
James Balowski, Direct Action For Socialism in the 21st Century, majalah Revolutionary Socialist Party (RSP), Australia, 22 Oktober 2012.
14 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
pribadi yang menggunakan nama Tionghoa diminta diganti dengan nama Indonesia. Dalam rangka kampanye rasialis anti‐Tiongkok, rezim orba secara resmi menyatakan bahwa “Dilihat dari sudut nilai‐nilai etnologis‐ politis dan etimologis‐historis, maka istilah ‘Tionghoa/Tiongkok’ mengandung nilai‐nilai yang memberi asosiasi‐psikopolitis yang negatif bagi rakyat Indonesia, sedang istilah ‘Cina’ tidak lain hanya mengandung arti nama dari suatu dinasti dari mana ras Cina tersebut datang, dan bagi kita umumnya kedua istilah itu pun tidak lepas dari aspek‐aspek psikologis dan emosionil.”8 Dalam kenyataan, tidaklah benar bahwa istilah “Tionghoa/Tiongkok” mengandung nilai‐nilai yang memberi asosiasi‐ psikopolitis yang negatif bagi rakyat Indonesia. Justru istilah Tiongkok dan Tionghoa sudah berurat berakar dalam sastra Indonesia dan dalam kehidupan politik Indonesia. Bahkan dalam Pasal 58 Undang‐Undang Dasar Sementara Negara RI 1950 mencantumkan, “golongan‐golongan kecil Tionghoa, Eropa, dan Arab, akan mempunyai wakil dalam Dewan Perwakilan Rakyat.”9 Warga negara keturunan Tionghoa telah memainkan peranan aktif dalam kehidupan politik Indonesia. Sejarah Indonesia mencatat bahwa Partai Tionghoa Indonesia adalah sebuah partai politik di Indonesia yang didirikan pada tanggal 25 September 1932, dengan Ketua Liem Koen Hian. Pada periode 1935—1939, partai ini berhasil meraih satu kursi terpilih dalam Volksraad (Dewan Rakyat Pemerintahan Belanda). Justru dalam kehidupan bermasyarakat, istilah Cina jelas berkonotasi penghinaan dan juga ejekan terhadap warga keturunan Tionghoa.. Di bawah kekuasaan orba, ada penguasa melakukan pembakaran buku sejarah. Ada pimpinan sekolah yang mau memeriksa keperawanan 3500 gadis muridnya. Ada fatwa bahwa “dangdutan” itu haram. Para tenaga kerja perempuan yang bekerja di luar negeri, banyak diperlakukan sebagai budak belian. Bahkan ada yang berangkat sehat, pulangnya mayat. Sesudah jadi mayat, ada yang tak bisa segera diantar pulang kampung. Ada yang terjun dari jendela lantai 15, tergelantung di 8
Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera tentang Masalah Cina No.SE-06/ Pres.Kab/6/1967. 9 Muhammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, Ghalia Indonesia, cetakan ke-6, Jakarta, 1982, h.187. I — Dari Pembodohan ke Pembiadaban Bangsa | 15
angkasa untuk melarikan diri karena tak tahan siksaan majikan. Ada yang pulang dalam keadaan sakit syaraf. Ada yang dihukum pancung karena telah melawan disebabkan tak tahan atas siksaan dari majikan. Marsinah gugur mati dibunuh secara kejam karena gigih membela hak‐ hak buruh perempuan. Pada 1 Mei 2013, GATRAnews Jakarta memberitakan bahwa hingga pada peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) tahun 2013, sebanyak 420 buruh migran asal Indonesia atau Tenaga Kerja Indonesia (TKI) terancam hukuman mati di Arab Saudi. “Migrant Care mencatat, pada tahun 2013 sedikitnya 420 orang buruh migran (TKI) masih terancam hukuman mati di Arab Saudi,” kata Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah. Dari jumlah 420 orang tersebut, 99 orang di antaranya sudah divonis hukuman mati. Bahkan, 2 dari 99 orang TKI tersebut sudah dieksekusi mati oleh pemerintah Arab Saudi. Sungguh satu pembodohan, para buruh migran yang diperlakukan sebagai budak belian yang bekerja penuh penderitaan ini dipuja oleh sementara kalangan sebagai pahlawan devisa. Poligami dinyatakan dibenarkan, demi kepentingan kaum hawa. Selama orba kuasa, sering dikoar‐koarkan bahwa Indonesia akan lepas landas tahun 2000. Dengan menampilkan gagasan persatuan nasional berporos nasakom, Bung Karno dituduh menyelewengkan Pancasila; Bung Karno dituduh terlibat G30S; PKI dikutuk sebagai dalang G30S. Sebentar‐sebentar dikobarkan histeria bahaya laten komunis. Peristiwa Madiun dinyatakan sebagai pemberontakan PKI. Padahal dalam pidato di depan sidang BP KNIP tanggal 20 September 1948, Perdana Menteri Moh. Hatta menyatakan bahwa “PKI – Musso telah mengadakan coup, perampasan kekuasaan di Madiun.... entah benar entah tidak, bahwa Musso akan menjadi Presiden Republik rampasan itu dan Mr. Amir Sjarifoeddin perdana menterinya.”10 Walaupun pada masa kepresidenannya, Gus Dur dan Megawati sudah berjasa dalam usaha melenyapkan diskriminasi, warga negara etnis Tionghoa yang hidup turun‐temurun berbagai generasi di mana tokoh‐tokohnya banyak berjasa dalam perjuangan merebut dan membela kemerdekaan Indonesia, masih hidup dalam sasaran penindasan diskriminasi dan tak aman dari ancaman penindasan 10
Mohammad Hatta: Mendayung Antara Dua Karang, Pidato di Muka Sidang BP KNIP 20 September 1948, Kementerian Penerangan RI, Jakarta, 1951, h.87.
16 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
rasialis. Ini artinya tidak terjamin sebagai warga negara Indonesia seutuhnya. Adalah bentuk kebohongan dengan menyatakan bahwa warga negara etnis Tionghoa sudah tidak didiskriminasikan lagi. Dalam praktek di lapangan, sampai sekarang ini masih dianak‐tirikan, seperti dalam pelayanan birokrasi, termasuk untuk masuk dalam birokrasi. Satu saat, ada pula yang mengoar‐koarkan: Pram membakar buku. Sejarawan terkemuka Asvi Warman Adam menemukan bahwa terjemahan Indonesia buku biografi Bung Karno karya Cindy Adams yang diterbitkan dengan kata pengantar dari Soeharto, telah dikebiri dengan menambah alinea yang berisikan kebohongan tentang Bung Karno yang tidak suka kepada Bung Hatta. Ada pembodohan lewat pembohongan kasar di siang bolong seperti kampanye tuduhan Gerwani melakukan tari Harum Bunga, menyanyikan Genjer‐Genjer di Lubang Buaya, orang‐orang Gerwani menyilet kemaluan dan mencungkil mata para jenderal yang dibunuh oleh Gerakan 30 September. Ada pula pembohongan dengan menggunakan eklektisisme, metode ilmiah‐gadungan, seperti yang dipraktekkan Prof. Nugroho Notosusanto. Ia menerangkan bahwa Pancasila bukanlah hasil galian Bung Karno. Eklektisisme bisa memesona, karena metode ini dalam menjelaskan satu hal‐ihwal menggunakan sederetan data yang seakan‐ akan masuk akal, tapi dengan kesimpulan yang bertolak belakang dengan kenyataan. Dengan cara beginilah, Prof. Nugroho Notosusanto meyakinkan orang bahwa Pancasila bukan hasil galian Bung Karno. Demikian pula halnya dengan tuduhan PKI adalah dalang G30S. Inilah pembodohan tingkat tinggi, kerja intelektual “terpelajar” pengagum orba. Para intelektual pendukung orba ini, secara internasional mendapat dukungan dari para sejarawan gadungan seperti Antonie C.A. Dake dengan karya‐karyanya In the Spirit of the Red Banteng dan Soekarno Files; John Hughes dengan buku The End of Sukarno; Arnold C. Brackman dengan The Communist Collaps in Indonesia dan Indonesia Communism: A History; Victor M. Fic dengan karya Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi Tentang Konspirasi; karya Jung Chang dan Jon Halliday, Mao: Kisah‐Kisah yang Tak Diketahui; serta sejarawan asing lain yang mengebiri sejarah Indonesia dengan fitnah terutama dalam menghitamkan Bung Karno. Dari pembodohan lewat menetapkan hal‐hal sehari‐hari yang tak
I — Dari Pembodohan ke Pembiadaban Bangsa | 17
masuk akal, berkembang menjadi fitnah pemalsuan sejarah bangsa. Maka pembodohan akan melahirkan kehidupan jahiliah, akan bermuara pada pembiadaban bangsa. Pembohongan dan pembodohan berlangsung demi penggulingan Presiden Soekarno dan menegakkan serta memelihara kediktatoran orba Soeharto yang biadab. Sungguh banyak tersiar kebohongan lainnya. Inilah hasil pembodohan di zaman orba. Pembodohan terjadi dan bersimaharajalela karena rakyat tidak dipersenjatai dengan cara berpikir yang ilmiah, tetapi dicekoki dengan pembudakan yang serba‐harus‐percaya. Rakyat tidak dididik untuk terbiasa berpikir berdasarkan mencari kebenaran dari kenyataan. Mulai dari tindak‐tanduk dalam hidup sehari‐hari, sampai pada tindakan besar yang mengubah alam dan masyarakat serta menciptakan sesuatu yang baru. Manusia bertindak dibimbing oleh pikirannya. Pikiran lahir sebagai hasil kerja otak yang berpikir. Cara berpikir yang ngawur, melahirkan pikiran yang carut‐marut. Diperlukan cara berpikir yang tepat dan ilmiah untuk mendapatkan pikiran yang tepat. Betapapun bersimaharajalelanya pembodohan sampai sekarang, pencerahan akan terus berlangsung. Kebebasan berpikir dan bersuara akan berkembang. Pembohongan‐pembohongan dan segala macam fitnah akan kian tertelanjangi. Untuk itu, satu‐satunya jalan ialah mendorong maju rakyat berpikir ilmiah. Berpikir ilmiah berarti mencari kebenaran dari kenyataan. Segala‐galanya bertolak dari kenyataan. Inilah pandangan materialisme.
18 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
II Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara: dari Animisme sampai Kebatinan Jawa
1. Permulaan Manusia Berpikir adalah Secara Materialis PEMBODOHAN di Indonesia masih terjadi meskipun sudah memasuki akhir abad ke‐20 dan awal abad ke‐21 di mana globalisasi mengalami perkembangan yang sangat pesat dibandingkan abad‐abad sebelumnya. Dunia telah maju meninggalkan zaman jahiliah. Dunia telah mencatat kemenangan‐kemenangan akal, kemenangan‐kemenangan pikiran waras, ilmu pengetahuan, kemenangan besar materialisme. Manusia kian mengenal dan menguasai hukum‐hukum alam semesta. Ilmu pengetahuan berkembang pesat di semua bidang. Mulai dari matematika, fisika, kimia, biologi, genetika, astronomi, ilmu kedokteran, pertanian, penerbangan antariksa, dan teknik informasi. Ilmu pengetahuan maju berkembang berkat hasil‐hasil penelitian berdasarkan kenyataan. Mencari kebenaran dari kenyataan kian mempersenjatai manusia untuk mengenal dan menguasai hukum alam semesta. Pandangan mencari kebenaran dari kenyataan adalah materialisme. Semenjak lahir dari kandungan ibu, manusia mulai menyusu, mengenal dan meraba untuk menghisap buah dada ibu, mulai melihat, mengenal keadaan sekitar menurut apa adanya, menurut kenyataan. Manusia mulai menggunakan otak, membedakan benda‐benda yang ditemui, manusia berpikir secara materialis. Hidup dalam alam terbuka, manusia berkenalan dengan suasana sekelilingnya. Dari melawan haus dan lapar, melawan kedinginan dan
II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 19
kepanasan, manusia jadi berbuat, bertindak menggunakan tangan, melakukan kerja. Dengan kerja berusaha mendapatkan atau menciptakan sesuatu yang dibutuhkan: mulai dari mencari air untuk minum, memetik buah untuk makan, bercocok tanam, menangkap ikan, berburu, merajut pakaian, membangun perumahan; sampai membangun irigasi untuk pertanian, memelihara ternak, dan sebagainya. Dimulai dari mengenal, diikuti dengan berusaha mengubah dan akhirnya adalah menguasai alam. Dengan menggunakan tangan, manusia mulai melakukan kerja badan. Syaraf‐syaraf pun berfungsi sebagai alat perasa. Kerja syaraf menimbulkan perasaan. Pusat syarat, otak pun berfungsi, bekerja melahirkan pikiran. Jadi, kerja otot diiringi oleh kerja syaraf sampai kerja otak. Kerja otak adalah berpikir; maka kerja badan atau kerja fisik menyebabkan manusia berpikir. Dengan berpikir lahirlah pikiran. Berpikir itu adalah kerja, hasilnya adalah pikiran. Pikiran adalah hasil pencerminan kenyataan. Pikiran yang bersumber atau bertolak dari kenyataan adalah materialis. Cara memandang hal ihwal dengan bertolak dari kenyataan adalah materialisme. Semenjak manusia mulai berpikir sudah menggunakan pandangan materialis Hujan lebat menyebabkan sungai membludak hingga terjadi banjir yang menyengsarakan manusia. Tak kuasa mengatasi musibah banjir, manusia akhirnya mengeramatkan dan menyembah sungai. Petir halilintar menimbulkan kebakaran hutan. Tak berdaya mengatasi musibah karena api, manusia akhirnya menyembah api sebagai benda keramat. Di samping menimbulkan musibah, api juga berguna bagi kehidupan. Ketidakmampuan manusia mengatasi musibah alam menyebabkan lahirnya pikiran yang percaya akan kekuatan gaib. Karena tidak bisa mengatasi keperkasaan api, akhirnya manusia menyembah api. Percaya akan kesaktian gunung berapi, manusia akhirnya menyembah gunung berapi. Dari hal‐hal sederhana dalam kehidupan sehari‐hari, pikiran manusia berkembang maju. Ungkapan‐ungkapan dari nenek moyang kita sudah menunjukkan kearifan dalam berpikir. Seperti “patah tumbuh hilang berganti”, menunjukkan kearifan akan pemahaman terjadinya perubahan mengikuti hukum dialektika negasi dari negasi. “Main air basah, main api letup”, menunjukkan pemahaman akan adanya saling hubungan dan berlakunya hukum sebab‐akibat. “Berat sama dipikul, ringan
20 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
sama dijinjing” menunjukkan kearifan hidup bersama, koletivisme. “Duduk seorang bersempit‐sempit, duduk banyak berlapang‐lapang” artinya jika duduk seorang diri kurang dapat pikiran yang benar, tetapi kalau bersama‐sama dapat bermusyawarah. Begitu pula dalam pekerjaan, kalau dikerjakan seorang berasa berat, tetapi kalau bersama menjadi ringan. “Gabak di hulu tanda kan hujan, cewang di langit tanda kan panas”, sesuatu tanda menunjukkan hal yang akan datang, sebab itu hendaklah ingat‐ingat lebih dahulu; berarti sudah bisa meramalkan yang akan datang. “Terkilat ikan dalam air, sudah tahu jantan betinanya” menunjukkan kearifan dalam mengenal yang hakiki dari gejala yang tampak. “Lambat laga asalkan menang” menunjukkan kearifan yang penuh kesabaran dalam berusaha mencapai tujuan. Biar lambat, asal maksud tercapai. Sejumlah ungkapan dan petuah nenek moyang kita ini menunjukkan adanya pikiran berdasarkan kenyataan, adanya unsur‐unsur materialisme dan dialektika dalam berpikir.
2. Munculnya Mistisisme NAMUN dalam perkembangan, perasaan memainkan peranan dalam mengatur pikiran. Perasaan sedih, takut, khawatir, ketidakmampuan dalam mengatasi kesulitan, melahirkan sesuatu dalam pikiran, melahirkan khayalan yang tak berdasarkan kenyataan. Khayalan telah menjadi menguasai pikiran, akhirnya menjadi kepercayaan. Manusia akhirnya mempercayai sesuatu tanpa dasar kenyataan. Kepercayaan yang lahir dari perasaan belaka: percaya pada adanya kekuatan gaib, setan siluman, sesuatu yang dibayangkan, sesuatu yang ada dalam bayangan. Maka manusia yang demikian menjadi manusia yang menganut kepercayaan Animisme. 11 Inilah asas kepercayaan agama yang mula‐ mula muncul di kalangan manusia primitif. Kepercayaan animisme mempercayai bahwa setiap benda di bumi ini, seperti kawasan tertentu, gua, pohon atau batu besar, mempunyai jiwa yang mesti dihormati agar semangat tersebut tidak mengganggu manusia, malah membantu mereka dari semangat dan roh jahat dan juga dalam kehidupan sehari‐
11
Kepercayaan animisme, dari bahasa latin yaitu anima atau “roh”, adalah kepercayaan akan adanya makhluk halus dan roh. II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 21
hari mereka. Diperkirakan bahwa pada awal abad ke‐21 di Provinsi Kalimantan Barat masih terdapat 7,5 juta orang Dayak yang tergolong pemeluk animisme. Selain jiwa dan roh yang mendiami tempat‐tempat yang dinyatakan di atas, animisme juga mempercayai bahwa roh orang yang telah mati bisa masuk ke dalam tubuh hewan. Misalnya suku Nias mempercayai bahwa seekor tikus yang keluar‐masuk dari rumah merupakan roh dari perempuan yang telah mati beranak. Roh‐roh orang yang telah mati juga bisa memasuki tubuh babi atau harimau dan dipercayai akan membalas dendam terhadap orang yang menjadi musuh bebuyutan pada masa hidupnya. Sampai akhir abad ke‐20, di Indonesia terdapat aliran‐aliran kepercayaan dan kebatinan yang beraneka ragam. M. As’ad El Hafidy mencatat sebanyak 27 aliran kepercayaan dan kebatinan yang berpredikat agama dan 151 perguruan kebatinan.12 Antara lain tercatat apa yang disebut agama Pran‐Suh; agama Patuntung, agama Adam Makrifat, agama Sapta Darma; agama Baha’i; agama Toani Tolotang; agama paguyuban Sumarah; agama Kejambulan; agama Bairawa (Syekh Siti Jenar) (lahir tahun 1426 M); agama Kuring; minanga Benteng; dll. Masing‐masing memiliki kitab suci, seperti agama Pran‐Suh memiliki kitab suci bernama Pandom Suci; agama Patuntung memiliki Kitab Panuntung; agama Adam Makrifat dengan Pandung Sukma; agama Sapta Darma dengan buku Wewarah Agama Sapta Darma. Karena bertentangan dengan hukum yang berlaku, sejumlah aliran kepercayaan itu secara resmi telah dilarang pemerintah Indonesia, seperti agama Baha’i yang dilarang tahun 1959 dan agama Suci Akhir Zaman.13 Di samping itu, sembilan ajaran agama yang ada di Sumatra 12
M. As’ad El Hafidy, Aliran-Aliran Kepercayaan dan Kebatinan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, Medan, Surabaya, Yogya, Bandung, Palembang, 1977; h.99—104. 13 Tanggal 15 Agustus 1962, Bung Karno mengeluarkan Keppres No.264/Tahun 1962 tentang pelarangan terhadap tujuh organisasi, termasuk Baha’i, Liga Demokrasi dan Rotary Club. Soeharto juga melarang Baha’i. Namun, ketika Abdurrahman Wahid menjadi presiden, larangan terhadap Baha’i dicabut. Hingga pada tanggal 24 Juli 2014, lewat kicauan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin di Twitter menyatakan bahwa Baha’i merupakan salah satu agama yang dilindungi konstitusi. 22 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Barat dinyatakan dilarang dan berada dalam pengawasan dari Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem). Kesembilan aliran kepercayaan tersebut adalah: Jamiʹatul Islamiyah, Islam Murni, Islam Jamʹah, Inkarsunnah, Ajaran Darul Arqam, Jemaʹat Ahmadiyah Indonesia, Thariqat Naqsyabandiyah Yayasan Kiblatul Amin II, Ajaran Al Qiyadah Islamiyah, Pengajian Abdul Karim Jama. Berdasarkan data dari Kejaksaan Tinggi tahun 2011, saat ini terdapat 31 aliran kepercayaan di Sumatra Barat yang berada dalam pengawasan Kejaksaan Tinggi Sumatra Barat. Selain dari sembilan aliran kepercayaan yang dilarang, ada tujuh aliran kepercayaan dalam pengawasan Bakorpakem, yakni: Naksabandiyah, Sattariyah, Zamaniyah, Muffarradiyah, Bahaʹi, Ajaran Perkumpulan Siswa Al‐kitab Saksi Yahova, Lembaga Dakwah Islam Indonesia, dan Ajaran Thariqat Suluk Buya Khalidi. Untuk mencegah terjadinya gesekan antar penganut kepercayaan, Kemenag Sumbar melalui Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) melakukan pencerdasan kepada masyarakat agar dapat membina toleransi antar penganut kepercayaan. Sedangkan untuk aliran kepercayaan yang dilarang, FKUB akan melakukan pendekatan secara persuasif guna meluruskan pemahaman mereka terhadap ajaran agama yang diakui di Indonesia.14 Menurut Jawatan Urusan Agama Provinsi Jawa Barat, di wilayahnya terdapat tidak kurang dari 26 Aliran yang merupakan Gerakan Kebatinan.15 Di samping itu, di seluruh Indonesia tercatat sekian banyak aliran kepercayaan. Yang cukup berakar adalah aliran agama Bairawa (Bairawa berarti berahi) yang bermula semenjak zaman Kerajaan Singosari (1222—1291 M),16 dengan tokoh terkemukanya Syekh Siti Jenar. Pandangan aliran ini bersumber pada aliran Tantrayana. Tantrayana adalah ajaran yang bercampur baur antara unsur‐unsur agama Hindu– Buddha mazhab Bairawa dengan unsur‐unsur asli Indonesia. Ajaran ini mempunyai pengaruh besar di kalangan penduduk Indonesia, terutama di tempat‐tempat bekas Kerajaan Singosari. 14 Kepala Kementerian Agama Sumatra Barat mengatakan hal itu melalui Kepala Bidang Humas, M. Rifki, Sabtu, 9 April 2011. 15 M. As’ad El Hafidy, op.cit., h.80. 16 Kerajaan Singhasari atau sering pula ditulis Singasari atau Singosari adalah sebuah kerajaan di Jawa Timur yang didirikan oleh Ken Arok pada tahun 1222. Lokasi kerajaan ini sekarang diperkirakan berada di daerah Singosari, Malang.
II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 23
3. Hinduisme ANIMISME yang berakar dan tersebar luas di kalangan penduduk Nusantara memberi syarat baik untuk masuk dan berkembangnya Hinduisme, agama yang memuja banyak Dewa di Nusantara. Cara berpikir dan pandangan‐pandangan Hindu tersebar di Nusantara semenjak abad pertama Masehi. Dari abad ke‐1 Masehi, di Nusantara terbentuklah kerajaan‐kerajaan Hindu. Dengan demikian, Hinduisme menjalar masuk. Kerajaan Hindu tertua yang tercatat adalah Salakanagara yang dibangun oleh raja Dewawarman. Menurut catatan sejarah Dinasti Sung, dalam tahun 132 sebuah utusan Raja Dewawarman dari kerajaan di Jawadwipa berkunjung mengantarkan upeti kepada kaisar Tiongkok. Kepada utusan ini diberikan meterai emas dan selendang sutera ungu.17 Dewawarman pendiri Salakanagara, adalah duta keliling, pedagang sekaligus perantau dari Pallawa, Bharata (India) yang akhirnya menetap di Nusantara karena menikah dengan Dewi Pwahaci Larasati, putri penghulu, penguasa setempat bernama Aki Tirem Luhur Mulya. Ketika Aki Tirem meninggal, Dewawarman menerima tongkat kekuasaan. Tahun 130 Masehi, ia mendirikan sebuah kerajaan dengan nama Salakanagara (Negeri Perak)18 dengan ibu kota di Rajatapura. Ia menjadi raja pertama dengan gelar Prabu Darmalokapala Dewawarman Aji Raksa Gapura Sagara. Beberapa kerajaan kecil di sekitarnya menjadi daerah kekuasaannya, antara lain Kerajaan Agnynusa (Negeri Api) yang berada di Pulau Krakatau. Semenjak itu, berkembanglah kerajaan‐kerajaan Hindu di Jawa. Di Kutai, Kalimantan, terdapat kerajaan Hindu yang 17
W. Fruin-Mees, Geschiedenis van Java, deel I Hindoetijdper, Commissie voor de Volkslectuur, Weltevreden, 1922, h.14. 18 Lokasi Kerajaan Salakanagara dipercaya berada di Teluk Lada, kota Pandeglang, kota yang terkenal dengan hasil logamnya. Pandeglang dalam bahasa Sunda merupakan singkatan dari kata-kata panday dan geulang yang artinya pembuat gelang. Dr. Edi S. Ekajati, sejarawan Sunda, memperkirakan bahwa letak ibu kota kerajaan tersebut adalah yang menjadi kota Merak sekarang—merak dalam bahasa Sunda artinya “membuat perak”. Sebagian lagi memperkirakan bahwa kerajaan tersebut terletak di sekitar Gunung Salak, berdasarkan pengucapan kata “Salaka” dan kata “Salak” yang hampir sama. 24 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
dipimpin oleh raja Purnawarman. Di Jawa Barat ada kerajaan Tarumanagara dengan raja bernama Rajadirajaguru Jayasingawarman. Tarumanagara atau Kerajaan Taruma adalah sebuah kerajaan yang pernah berkuasa di wilayah barat Pulau Jawa pada abad ke‐4 hingga abad ke‐7 M. Tarumanagara merupakan salah satu kerajaan tertua di Nusantara yang meninggalkan catatan sejarah. Dalam catatan sejarah dan peninggalan di sekitar lokasi kerajaan, terlihat bahwa pada saat itu Kerajaan Taruma adalah kerajaan Hindu beraliran Wisnu. Bukti keberadaan Kerajaan Tarumanagara diketahui melalui sumber‐sumber yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Sumber dari dalam negeri berupa 7 (tujuh) buah prasasti batu yang ditemukan di Bogor, Jakarta, dan Lebak, Banten. Dari prasasti‐prasasti ini diketahui bahwa Kerajaan Tarumanagara dibangun oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman pada tahun 358M dan memerintah sampai tahun 382M. Makam Rajadirajaguru Jayasingawarman ada di sekitar Sungai Gomatri, wilayah Bekasi. Kerajaan Tarumanagara ialah kelanjutan dari Kerajaan Salakanagara. Maharaja Purnawarman adalah Raja Tarumanagara yang ketiga (395—434M). Ia membangun ibu kota kerajaan baru pada tahun 397 yang terletak lebih dekat ke pantai. Dinamainya kota itu Sundapura— pertama kalinya nama “Sunda” digunakan. Prasasti Pasir Muara yang menyebutkan peristiwa pengembalian pemerintahan kepada Raja Sunda itu dibuat tahun 536M. Dalam tahun tersebut yang menjadi penguasa Tarumanagara adalah Suryawarman (535—561M), Raja Tarumanagara ke‐7. Dalam masa pemerintahan Candrawarman (515—535M), ayah Suryawarman, banyak penguasa daerah yang menerima kembali kekuasaan pemerintahan atas daerahnya sebagai hadiah atas kesetiaannya terhadap Tarumanagara. Ditinjau dari segi ini, maka Suryawarman melakukan hal yang sama sebagai lanjutan politik ayahnya. Munculnya kerajaan Hindu–Buddha adalah berkat hubungan dagang Nusantara dengan negara‐negara tetangga maupun yang lebih jauh seperti India, Tiongkok, dan wilayah Timur Tengah. Agama Hindu masuk ke Indonesia diperkirakan pada awal tarikh Masehi, dibawa oleh para musafir dari India, antara lain Maha Resi Agastya yang di Jawa terkenal dengan sebutan Batara Guru atau Dwipayana, dan juga para musafir dari Tiongkok yakni musafir Buddha Fa Hien.
II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 25
Dalam ajaran agama Hindu, Wisynu (Dewanagari, disebut juga Sri Wisynu atau Narayana) adalah Dewa yang bergelar sebagai shtiti (pemelihara) yang bertugas memelihara dan melindungi segala ciptaan Brahman (Tuhan Yang Maha Esa). Dalam filsafat Hindu, Waisnawa, ia dipandang sebagai roh suci sekaligus dewa yang tertinggi. Dalam filsafat Adwaita Wedanta dan tradisi Hindu umumnya, Dewa Wisnu dipandang sebagai salah satu manifestasi Brahman dan enggan untuk dipuja sebagai Tuhan tersendiri yang menyaingi atau sederajat dengan Brahman. Agastya adalah seorang resi dari India Selatan. Di dalam sejarah penyebaran agama Hindu, Resi Agastya sangat terkenal jasa‐jasanya. Menurut pustaka Purana dan Mahabharata, lahir di Kasi (Benares) sebagai penganut Syiwa yang taat. Oleh karena kebesaran dan kesucian, Maha Resi Agastya juga disebut Batara Guru19 sebagai perwujudan Syiwa di dunia mengajarkan dharma. Di dalam sejarah agama Hindu di Indonesia, Maha Resi Agastya disucikan namanya dalam prasasti‐prasasti dan kesusastraaan‐kesusastraan kuno. Yang paling awal ialah prasasti Dinaya di Jawa Timur tahun Saka 682 di mana seorang raja bernama Gajayana membuat pura suci yang sangat indah untuk Maha Resi Agastya dengan maksud untuk memohon kekuatan suci untuk mengatasi kekuatan yang gelap.
19 Dalam mitologi Jawa, Batara Guru adalah perwujudan dari Dewa Syiwa yang merajai kahyangan sehingga dikenal sebagai Mahadewa. Batara Guru mempunyai sakti (istri) bernama Dewi Uma dan mempunyai beberapa anak, yaitu Batara Sambu, Batara Brahma, Batara Indra, Batara Bayu, Batara Wisnu, Batara Ganesha, Batara Kala, dan Hanoman. Ia juga dikenal dengan berbagai nama seperti Sang Hyang Manikmaya, Sang Hyang Caturbuja, Sang Hyang Otipati, Sang Hyang Jagadnata, Nilakanta, Trinetra, dan Girinata. Dalam mitologi Batak, Batara Guru adalah salah satu dari Debata na Tolu (Dewata Tritunggal) yang menguasai Banua Ginjang (dunia atas, kediaman para dewa). Sedangkan dalam mitologi Bugis, berdasarkan Sureq Galigo, Batara Guru adalah seorang dewa, putra Sang Patotoqe dan Datu Palingeq, yang dikirim ke bumi untuk dibesarkan sebagai umat manusia. Nama kedewaannya adalah La Togeq Langiq. Menurut Anand Khrisna dalam bukunya yang berjudul Shalala Merayakan Hidup, Resi Agastya di Jawa dikenal dengan nama Semar. Begitu pula menurut novelis Damar Shashangka yang menyatakan bahwa setelah Kerajaan Majapahit runtuh, Sabdo Palon yang merupakan reinkarnasi Resi Agatsya mulai menghilang dan dikenal sebagai Semar. Hal ini akan sangat membingungkan di mana dalam serat-serat kuno seperti Kanda, Paramayoga, Purwakanda, dan Purwacarita, dikisahkan bahwa Batara Guru adalah adik dari Batara Semar.
26 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Prasasti Dinaya ditulis pada tahun Saka 682 bertepatan dengan tahun 760 M. 20 Disebutkan ada seorang raja bernama Dewa Singha, memerintah keraton yang amat besar yang disucikan oleh api Sang Syiwa. Raja Dewa Singha mempunyai putra bernama Liswa, yang setelah memerintah menggantikan ayahnya menjadi raja bergelar Gajayana. Pada masa pemerintahan Raja Gajayana, Kerajaan Kanjuruhan berkembang pesat, baik pemerintahan, sosial, ekonomi, maupun seni budayanya. Dengan sekalian para pembesar negeri dan segenap rakyat Raja Gajayana membuat tempat suci pemujaan yang sangat bagus guna memuliakan Resi Agastya. Sang raja juga memerintahkan membuat arca sang Resi Agastya dari batu hitam yang sangat elok, sebagai pengganti arca Resi Agastya yang dibuat dari kayu oleh nenek Raja Gajayana. Di bawah pemerintahan Raja Gajayana, rakyat merasa aman dan terlindung. Kekuasaan kerajaan meliputi daerah lereng timur dan barat Gunung Kawi. Ke utara hingga pesisir Laut Jawa. Keamanan negeri terjamin dan tidak ada peperangan. Jarang terjadi pencurian dan perampokan, karena raja selalu bertindak tegas sesuai dengan hukum yang berlaku. Dengan demikian rakyat hidup aman, tenteram, dan terhindar dari malapetaka. Raja Gajayana hanya mempunyai seorang putri yang diberi nama Uttejana. Seorang putri kerajaan pewaris tahta Kerajaan Kanjuruhan. Ketika dewasa, ia dijodohkan dengan seorang pangeran dari Paradeh bernama Pangeran Jananiya. Akhirnya Pangeran Jananiya bersama Permaisuri Uttejana memerintah kerajaan warisan ayahnya ketika sang Raja Gajayana mangkat. Seperti leluhur‐leluhurnya, mereka berdua memerintah dengan penuh keadilan. Rakyat Kanjuruhan semakin mencintai rajanya. Demikianlah secara turun‐temurun Kerajaan Kanjuruhan diperintah oleh raja‐raja keturunan Raja Dewa Singha. Semua raja itu terkenal akan kebijaksanaan, keadilan, serta kemurahan hatinya. Di bawah kekuasaan Kerajaan Kanjuruhan tersebar Hinduisme Di bawah kekuasaan agama Hindu, masyarakat terbagi dalam berbagai kasta. Kasta berasal dari bahasa Portugis yang berarti pembagian masyarakat. Kasta yang sebenarnya merupakan perkumpulan tukang‐tukang, atau orang‐orang ahli dalam bidang tertentu. Pembagian manusia dalam masyarakat agama Hindu bangsa‐ 20
Tahun (kalender) menurut perhitungan tahun Jawa kalau dipindahkan ke tahun Masehi ditambah 78 tahun. II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 27
bangsa kerajaan Nusantara adalah: 1. Kasta Brahmana, orang yang mengabdikan diri dalam urusan bidang spiritual; sulinggih, pandita dan rohaniawan. Disandang oleh para pribumi. 2. Kasta Ksatria, para kepala dan anggota lembaga pemerintahan. Seseorang yang menyandang gelar ini tidak memiliki harta pribadi, semua harta milik negara. 3. Kasta Waisya, orang yang telah memiliki pekerjaan dan harta benda sendiri, petani dan nelayan. 4. Kasta Sudra, pelayan bagi ketiga kasta di atasnya. Sedangkan di luar sistem kasta tersebut, ada pula istilah: 1. Kaum Paria, golongan orang rendahan yang tugasnya melayani para Brahmana dan Ksatria. 2. Kaum Candala, golongan orang yang berasal dari perkawinan antar warna atau bangsa asing. Sistem ini menjadi doktrin para pribumi sehingga membuat bangsa‐bangsa zaman kerajaan di Nusantara tidak mudah ditindas oleh bangsa asing. Bangsa‐bangsa pribumi merasa “kasta” mereka lebih tinggi dari bangsa asing di luar Nusantara, sehingga tidak ada alasan bagi mereka untuk tunduk kepada bangsa asing . Pokok‐Pokok Ajaran Hinduisme Hinduisme adalah salah satu agama yang paling tua yang diketahui, juga salah satu yang paling beraneka ragam dan rumit dengan berjuta‐juta dewa. Orang‐orang Hindu memiliki beraneka ragam inti kepercayaan dan terwujud dalam berbagai sekte. Meskipun Hindu adalah agama ketiga terbesar di dunia, Hinduisme pada umumnya ada di India dan Nepal. Dalam seluruh sejarah Hinduisme terdapat tradisi kuat dari filsafat spekulasi dan skeptisisme, yaitu sikap kesangsian, sikap keragu‐ raguan, ketidakpercayaan, serba ketidakpastian. Ini tercermin dalam karya filsafat Rig Veda dalam memandang masalah fundamental tentang terciptanya alam semesta dan mengenai Tuhan‐tuhan kepercayaan umat Hindu. Rig Veda adalah kumpulan lebih dari 1000 nyanyian Veda dalam
28 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
bahasa Sanskrit yang menyenandungkan pujaan pada Tuhan‐tuhan Hindu yang ditulis sekitar tahun‐tahun 1700 SM dan 1100 SM. Isinya penuh dengan kesangsian, keragu‐raguan, ketidakpercayaan, serba ketidak‐ pastian tentang segala sesuatu, tentang penciptaan alam semesta, tentang ada atau tidaknya segala sesuatu. Dalam Rig Veda dipaparkan pujaan atas Agni dan Wisynu. Agni, bahasa Sanskrit, adalah dewa agama Hindu, salah satu dari Tuhan‐tuhan agama Veda. Ia adalah Dewa Api, adalah penerima pengorbanan‐pengorbanan. Pengorbanan‐pengorbanan yang diberikan kepada Agni diteruskan kepada dewa‐dewa lainnya, sebab Agni adalah pembawa pesan dari dan kepada dewa‐dewa lainnya. Agni adalah muda abadi, sebab api selalu menyinarinya, dan ia adalah abadi. Agni mempunyai dua kepala; satu melambangkan keabadian, yang lainnya melambangkan hidup. Bersama Varuna dan Indra, Agni adalah salah satu dewa tertinggi dalam Hinduisme. Dalam Rig Veda dinyatakan bahwa ada sesuatu yang tak bernapas, kemudian dinapasi oleh alamnya sendiri. Di samping itu, apa pun, betapapun, tak ada lagi, hanyalah gelap, kegelapan. Pertama‐tama yang tersembunyi dalam kegelapan ini adalah kekacau‐balauan yang tak berketentuan. Semua yang ada itu hanyalah kehampaan yang tak berbentuk. Berkat kekuatan yang perkasa dari panas maka lahirlah ia. Kemudian muncul keinginan. Keinginan adalah bibit dasar dari kecambah semangat. Rig Veda mempertanyakan, ”Siapakah yang sesungguhnya tahu dan yang bisa menyatakan kapan ia lahir dan kapan munculnya ciptaan ini? Tuhan‐ tuhan muncul kemudian dari hasil bumi ini. Siapa pula yang tahu untuk pertama kali tentang munculnya ia? Ia yang merupakan asal‐usul pertama dari ciptaan, apakah ia yang membentuk semuanya itu ataukah bukan? Mata siapa pula yang mengendalikan dunia ini termasuk cakrawala mahatinggi di atas langit. Tahukah ia tentang ini atau sesungguhnya ia barangkali tidak tahu?” Filsafat kuno Hindu yang dipaparkan dalam Rig Veda menunjukkan keragu‐raguan, kesangsian, ketidakpercayaan, ketidaktahuan. Di samping Rig Veda terdapat Brahmanya (900—650 SM) yang memaparkan pandangan penuh spekulasi, dongeng yang juga mulai dengan cara berpikir yang berdasarkan saling hubungan sebab‐akibat. Disusul oleh Upanishad (kira‐kira 650—530 SM) kemudian Uddalaka (600 SM), karya yang mengedepankan materialisme hilozoitis. Hilozoisme
II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 29
adalah pandangan filsafat yang menganggap segala‐galanya, termasuk alam semesta secara keseluruhan, adalah hidup. Benda tak bernyawa pun dianggap punya sifat hidup. Pandangan ini dimiliki oleh para filsuf pra‐Socrates dari ajaran Milesia, Yunani kuno. Uddalaka adalah karya filsafat materialis India yang pertama mengungkapkan sejarah kemanusiaan. Upanishad adalah kumpulan pandangan filsafat yang menjadi dasar teori bagi agama Hinduisme. Ia dikenal juga sebagai Vedanta (akhir dari Veda). Penganut agama Hindu kuno memandang Upanishad berisikan kebenaran yang mutlak (Sruti) mengenai ciri‐ciri kenyataan yang sesungguhnya (Brahman) dan memaparkan sifat‐sifat dan bentuk usaha penyelamatan manusia (moksha). Dikenal ada lebih dari 200 Upanishad. Bersamaan dengan Bhagawad Gita dan Brahmanasutra yang penggabungannya dikenal sebagai Prasthanatrayi, mukhrya Upanishad menjadi dasar bagi sejumlah mazhab Vedanta, di antaranya dua mazhab monistik yang berpengaruh dalam Hinduisme. Upanishad dikembangkan terus penulisannya sampai pada masa modern abad ke‐ 19. Sebagai guru, Uddalaka Aruni sudah mensistematiskan ajaran‐ ajaran Veda dan pikiran‐pikiran Upanishad. Antara lain diperkenalkan dan ditancapkan ajaran Tut Tvam Asi, Engkau adalah Dirimu yang dikenal sebagai Chandogya Upanishad, yang juga merupakan bagian dari Sama Veda. Dalam Upanishad, Tut Tvam Asi dipahami sebagai kebenaran yang terakhir, yang paling pokok. Chandogya Upanishad adalah sumber utama dari dasar‐dasar pokok filsafat Vedanta. Tut Tvam Asi dalam filsafat Hinduisme adalah ungkapan mengenai hubungan antara pribadi dengan yang mutlak, yang mahakuasa. Ungkapan ini dikemukakan dalam Bab VI Chandogya Upanishad (kira‐kira 600 SM). Mengenai ini terdapat berbagai interpretasi dari berbagai mazhab filsafat kuno Vedanta. Di abad ke‐7 sampai ke‐9 terdapat interpretasi dari filsuf Shankara dari mazhab Asvaita yang menjadikan ungkapan ini sebagai ajaran pokoknya. Pandangan‐pandangan Shankara yang mencerminkan idealisme objektif berpengaruh besar pada masa feodalisme India. Pandangan dasar ajaran Shankara adalah pengakuan akan adanya satu‐satunya kenyataan absolut (Tuhan); dunia nyata yang empiris berupa benda‐benda itu hanyalah maya, bayangan belaka dari kekuatan gaib dari Tuhan. Sumber dari pandangan Shankara adalah
30 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
pengakuan terbuka akan ketuhanan yang terdapat dalam Veda dan Upanishad.21 Dalam Upanishad tercermin ajaran materialisme mengenai asal‐usul alam semesta, yaitu pandangan yang berdasarkan dari kenyataan alamiah, tentang terdapatnya lima unsur yang merupakan asal‐usul alam semesta, yaitu adanya air, api, udara, sinar, dan ruang atau waktu.22
4. Buddhisme PARA cendekiawan India telah menulis tentang Dwipantara atau kerajaan Hindu Jawa Dwipa di Pulau Jawa dan di Sumatra atau Swarna Dwipa sekitar 200 SM. Bukti fisik awal yang menyebutkan mengenai adanya dua kerajaan bercorak Hinduisme pada abad ke‐5 yaitu Kerajaan Tarumanagara yang menguasai Jawa Barat dan Kerajaan Kutai di pesisir Sungai Mahakam, Kalimantan. Pada tahun 425, agama Buddha telah mencapai wilayah tersebut Awal abad pertama Masehi, agama Buddha masuk ke Indonesia. Sesudah Hinduisme, Buddhisme adalah agama kedua tertua di Indonesia masuk sekitar abad kedua Masehi. Sejarah Buddhisme di Indonesia berjalin erat dengan Hinduisme. Pada masa yang sama, di Nusantara terdapat kerajaan‐kerajaan berdasarkan budaya Dharma. Buddhisme tampil di Indonesia mengikuti kemajuan perdagangan yang mulai berkembang dari awal abad pertama Masehi dengan berlangsungnya hubungan dagang antara India dan Indonesia. Hinduisme menjadi pelindung bagi klas penguasa feodal sebagai kelanjutan dari perbudakan dengan mendukung sistem kasta. Pemujaan berlangsung terhadap sekian banyak dewa yang dijunjung tinggi. Perbedaan kasta‐kasta menunjukkan dalamnya penghisapan yang berlangsung. Klas Brahmana, kaum pemimpin agama menempati kedudukan berkuasa yang dapat pujaan. Di samping itu terdapat klas Ksatria, para pemegang senjata; klas Sudra, kaum pekerja rakyat biasa; 21
Kratkii Ocyerk Istorii Filosofii (Risalah Ringkas Sejarah Filsafat), Izdatel'stvo Sotsial'no-Ekonomicheskoy Literaturnyy (Penerbit Literatur Sosial Ekonomi), Moskwa, 1960, h.92. 22 Filosofskii Slovar (Kamus Filsafat), Izdatel'stvo Politikal Literature (Penerbit Literatur Politik), Moskwa, 1963, h.466. II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 31
dan Waisya, klas terendah yang tak punya hak apa pun. Penghisapan yang dilindungi agama Hindu melahirkan perlawanan untuk kebebasan. Buddhisme lahir dalam proses berlangsungnya perlawanan untuk pembebasan. Tujuan terakhir dari Hinduisme adalah mencapai atman (Brahman). Brahman adalah “kenyataan yang tak berubah di dalam dan di luar dunia” yang tak bisa diungkapkan. Dalam bahasa Sanskrit diucapkan sebagai Sat‐cit‐ananda (kebahagiaan yang sadar), adalah kenyataan yang paling tinggi. Brahman dipahami sebagai Atman,23 sebagai kesadaran yang murni—yaitu perwujudan dari kebenaran itu sendiri. Dalam Upanishad diajarkan bahwa Brahman adalah hakikat sejati dari fenomena material, termasuk ciri asli dari manusia itu sendiri yang tak dapat dilihat dan didengar, tetapi sifatnya dapat diketahui lewat perkembangan (kemajuan) swa‐ilmu pengetahuan. Sedangkan Buddhisme mengajarkan gagasan anatman, tak ada atman, pribadi. Bagi mereka, yang ada itu adalah Brahman, jiwa universal, dan memahami Brahman mendatangkan pencerahan. Mereka yang berhasil mencapai pencerahan, mengatasi peredaran kelahiran kembali, sehingga mencapai tujuan terakhir. Tujuan terakhir dari Buddhisme adalah nirvana (Kebenaran yang mutlak). Berbeda dengan agama Hindu yang melakukan banyak pemujaan, memuja ribuan dewa, agama Buddha tidak melakukan pemujaan tetapi mengutamakan pencerahan.24 Lewat pencerahan men‐ 23 Lihat Brhadarayanka Upanishad, II, IV. 5; Filsafat India adalah Atman-sentris, artinya dimulai dari Atman dan berakhir di Atman. Sebagaimana tertulis dalam Srutti, “Atma va’re drastavyah” [oh, Atman, lihat (realisasikan)]. 24 Ajaran dari berbagai agama tentang hakikat Tuhan berbeda-beda, Buddha menjelaskan sebagai berikut: “Para bhikku, ada Sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak. Para bhikku, apabila Tiada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan ada kemungkinan untuk bebas dari hal-hal berikut ini, yaitu kelahiran, penjelmaan, penciptaan, pembentukan dari sebab terdahulu. Tetapi para bhikku, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari hal-hal berikut ini, yaitu kelahiran, penjelmaan, penciptaan, pembentukan dari sebab yang lalu.” (Udana 80—81) Buddha sendiri mengajarkan kepada para umatnya untuk tidak dibenarkan menyembah atau memohon diselamatkan kepada para dewa. Dalam Dhammapada 165, Buddha mengatakan, “Kemurnian dan ketidakmurnian tergantung pada diri sendiri, tidak ada kekuatan luar apa pun yang dapat
32 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
capai nirvana, kehidupan yang lepas dari semua keterikatan, termasuk bebas dari karma, inkarnasi dan reinkarnasi, bebas dari peredaran hidup yang mengikuti hukum karma. Buddhisme mengajarkan Empat Kebenaran Mulia: 1. Hidup adalah penderitaan. Suatu manifestasi bahwa eksistensi manusia adalah berpenderitaan sejak lahir sampai mati. Kematian pun tidak akan membawakan kebaikan, sebab Buddha mengambil juga pola pemikiran Hindu tentang masalah kelahiran kembali. 2. Semua penderitaan adalah disebabkan dari mengingkari hakikat kenyataan serta dari melampiaskan hawa nafsu, dari terpikat dan tamak sebagai akibat dari pengingkaran tadi. 3. Penderitaan bisa dihentikan dengan mengatasi pengingkaran dan keterpikatan. 4. Jalan dalam memerangi penderitaan adalah Jalan Mulia Ganda Delapan, yang terdiri dari pandangan yang benar, kehendak yang benar, pewicaraan yang benar, tindakan yang benar, kehidupan yang benar, usaha yang benar, ingatan yang benar, dan kontemplasi atau keheningan yang benar. Kedelapan jalan ini biasanya dibagi dalam tiga kategori yang merupakan inti pokok kepercayaan Buddhisme, yaitu: bermoral, arif, dan bersemadi. Tujuan terakhir dari Buddhisme adalah kebebasan dari eksistensi fenomenal, dan dari putaran hidup berulang dengan penderitaan. Untuk mencapai tujuan ini adalah meraih nirvana, suatu tingkat di dalam pencerahan, di mana api ketamakan, kebencian, dan pengingkaran telah padam. Tidak berarti penyirnaan total, nirvana adalah suatu keberadaan dalam kesadaran tanpa mengenal batas. Setelah meraih nirvana, seseorang yang sudah menguasai pencerahan, bisa meneruskan hidupnya, memusnahkan karma yang masih menyisa, sampai tercapai nirvana terakhir, yaitu parinirvana pada saat meninggal dunia memurnikan orang lain.” II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 33
Dharmakitri Menurut sumber‐sumber Tiongkok, seorang penganut Buddha I‐Tsing, dalam pengembaraannya ke India menyaksikan kekuasaan Sriwijaya yang perkasa berpangkalan di Sumatra pada abad ke‐7 M. Kerajaan ini bertindak sebagai pusat pendidikan Buddha di daerah tersebut. Seorang sarjana Buddha terkenal yaitu Dharmakitri, seorang pangeran dari dinasti Syailendra, lahir di abad ke‐7 M di Sumatra. Ia menjadi seorang pendeta terkenal dari Sriwijaya yang pindah ke India menjadi guru besar di universitas terkemuka Nalanda serta terkenal sebagai seorang penyair. Ia menerjemahkan karya Dignaga,25 seorang pelopor filsafat pemikiran Buddha, dan berpengaruh pula di antara para pemikir Brahman. Teori‐teorinya dipergunakan di Tibet dan dipelajari sampai dewasa ini sebagai bagian dari mata pelajaran dasar monastik. Pendeta Buddha lainnya yang sudah mengunjungi Indonesia adalah pendeta Buddha Vajrabodhi dari India Selatan. Sriwijaya ketika itu adalah kerajaan Buddha yang terluas dalam sejarah Indonesia. Dharmakitri berpendapat bahwa kegiatan bangunan gagasan adalah satu proses pikiran yang menjadi pencerminan yang mampu diucapkan dalam kata‐kata. Cita rasa mengenai hal ini tidak punya arti praktis karena ia tidak mempunyai perbedaan. Penilaian yang menggunakan gagasan menjurus pada suksesnya satu kegiatan. Adalah satu kesalahan alamiah yang mengganggap gagasan adalah bayangan dari kenyataan. Dharmakitri menyatakan bahwa pengenalan yang sesungguhnya adalah hasil kegiatan manusia. Terdapat perasaan (cita rasa) yang adalah bebas dari penggagasan dan ini adalah dapat diandalkan. Ia menentang pendapat bahwa pikiran dan bahasa adalah bergandeng tangan satu sama lain dan menganggap bahwa pikiran adalah lebih dahulu dari pada bahasa. Cita rasa terbagi atas empat jenis: 1. kesan alat‐alat syaraf; 25
Pandangan-pandangan Dignaga menyatakan bahwa kenyataan objektif adalah satu perubahan kekhususan yang tak dapat dijelaskan dan dirasakan. Masing-masing mempunyai kepastian fundamentalnya. 34 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
2. satu bayangan mental (jiwa, rohani) yang dihasilkan dari kesan‐kesan tadi; 3. kesadaran sendiri atas setiap pikiran dan perasaan; dan 4. akhirnya kesadaran yang bersifat yoga yang dihasilkan oleh pemikiran yang menjadikannya kebenaran. Cita rasa adalah satu‐satunya titik saat yang khusus. Ia adalah sesungguhnya objektif, karena kenyataan berarti kemampuan untuk berbuat yang berhasil. Kesadaran menurut perasaan akan menghasilkan pengetahuan bila ia sungguh‐sungguh dihubungkan dengan objek nyata. Bayangan cerminan atau rekaman dari kesan cita rasa dan lainnya yang dihasilkan pikiran konstruktif. Gagasan‐gagasan yang rumit, pada akhirnya diserap dari kesan‐kesan cita rasa dan lain‐lain dihasilkan oleh pembayangan (imajinasi) yang kreatif. Yogacara, bahasa Sanskrit yang berarti mempraktekkan yoga, adalah ajaran Buddha yang berpengaruh besar. Ajaran ini berasal dari mazhab filsafat Buddha yang menekankan fenomenologi atau ontologi melalui semadi dan praktek yoga. Ini dilakukan oleh kaum Buddha Mahayana India di sekitar abad keempat masehi, tetapi juga termasuk oleh mazhab non‐Mahayana dari ajaran Darstantika. Yogacara mengajarkan bagaimana pengalaman manusia dibentuk oleh pikiran. Yogacara adalah satu tradisi utama Buddhisme Mahayana, yang berpendapat bahwa pikiran adalah nyata, tetapi benda‐benda adalah hanya bayangan dari kesadaran. Sautrantika—Yogacara dari Dignaga–Dharmakitri mengajarkan bahwa sensasi berisi unsur pengetahuan yang nyata. Para pemikir ajaran ini adalah ekstrem nominalis dan empirisis, yang menekankan teori bahwa segala‐galanya yang ada ini bersifat sesaat, dan menganggap isi dari cita rasa sekarang ini adalah hanya satu‐satunya yang nyata. Dharmakitri berpendapat bahwa arus pikiran adalah tidak‐berawal, juga dilukiskan bahwa arus pikiran adalah rentetan waktu; dan bahwa karena tak ada permulaan yang sesungguhnya, maka waktu yang tak‐ berawal, yang tak ada permulaannya, sering dipergunakan sebagai gagasan arus pikiran. Para filsuf Buddha sering menyuarakan ketidakberawalan. Dinyatakan bahwa pikiran dari benda‐benda hidup, tidak mempunyai awal, demikian pula dengan alam raya kita ini, tidak berpermulaan, tidak berawal, berkembang dalam satu putaran perkembangan dan
II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 35
kehancuran. Sejumlah pemikir Buddha menganggap bahwa bahkan tugas yang paling sederhana pun tidak memiliki awal. Karena itu, jika terdapat awal, maka akan ada satu saat, akan ada “sekarang” di mana ia terjadi. Karena terdapat sekarang, oleh karena itu, maka haruslah ada masa lampau dan masa depan, karena kalau ada “sekarang” tentu juga ada waktu selain dari sekarang. Maka tentu saja jika ada masa lampau, maka bagaimana bisa sekarang adalah satu permulaan. Apa artinya “sekarang” jika tidak ada waktu yang lain dari sekarang. Pandangan‐pandangan Dharmakitri adalah inti dari filsafat Buddha. Dharmakitri menulis mengenai sifat‐sifat dari arus pikiran dalam karyanya Memperkuat Aliran‐Aliran Pikiran Lainnya. Ia memaparkan aliran pikiran sebagai deretan waktu, dan bahwa tak ada awal yang sesungguhnya atau akhir yang sesungguhnya. Teorinya adalah melebihi dari fase membendung diri sendiri dalam evolusi pemikiran Buddha (logika Buddha). Dharmakitri menjadi seorang pemikir dari mazhab ajaran Yogachara. Gagasan mengenai nirvana berasal dari paparan Buddha (566— 486 SM). Kepemimpinannya mencapai pencerahan pada usia 35 tahun, terbangun karena kenyataan alamiah sejati, yaitu nirvana (kebenaran mutlak). Ungkapan nirvana berasal dari akar kata “meniup memadamkan” yang bermaksud untuk melenyapkan api kejahatan, kebencian, dan khayalan angan‐angan. Di kala kerusakan‐kerusakan emosional dan psikologis ini dihabiskan oleh kearifan, maka pikiran menjadi bebas, bersinar terang dan gembira ria, maka di waktu meninggal tak perlu lagi mengalami kelahiran kembali, tak perlu lagi mengalami reinkarnasi. Nirvana adalah kebahagiaan yang paling akhir, yang termewah. Buddha melukiskan, bahwa pencapaian nirvana berarti mencapai keadaan “yang tak mati‐mati” adalah pencapaian spiritual yang paling tinggi, adalah penghargaan bagi seseorang yang hidup dengan berbudi luhur.
5. Bhinneka Tunggal Ika PADA masa kejayaan Majapahit, pujangga Mpu Tantular sekitar tahun 1365 dan 1389 berkarya Kakawin Sutasoma menyenandungkan kisah Raja Sutasoma. Kakawin Sutasoma adalah karya sastra Jawa yang berciri
36 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
khusus, yaitu bersifat menganut paham Buddha. Mpu Tantular juga menghasilkan karya Kakawin Arjunawiwaha. Dalam karya Kakawin Sutasoma yang berbentuk puisi ini ditampilkan rumusan yang bersifat filosofis disenandungkan kesamaan yang terdapat dalam agama Hindu dan Buddha sebagai berikut: Rwâneka dhâtu winuwus Buddha Wiswa, Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa (Kutipan dari sajak ke‐139, bait ke‐5), yang artinya adalah: Dikatakan bahwa Buddha dan Syiwa adalah dua yang berbeda, Benar mereka berbeda, tapi bagaimana sekilas bisa mengetahui perbedaannya, Karena kebenaran Jina (Buddha) dan kebenaran Syiwa adalah satu, Mereka memang berbeda, tapi mereka adalah sama, sebagaimana Tiada duanya dalam Kebenaran. (Kebenaran adalah Satu) Ditampilkan pemahaman yang dialektis tentang adanya kesamaan dalam perbedaan, terdapatnya Bhinneka Tunggal Ika, yaitu Berbeda tapi Satu jua; Satu dalam adanya perbedaan. Toleransi antara penganut dua agama Hinduisme dan Buddhisme, kesatuan kebenaran yang terdapat pada Jina dan Syiwa, yaitu kebenaran dalam agama Hindu dan agama Buddha. Dalam Kakawin Sutasoma yang mengungkapkan Bhinneka Tunggal Ika dijabarkan tentang sebuah cerita epos yang bagaikan amanat kitab ini mengajarkan toleransi antar‐agama, terutama antar‐agama Hindu‐ Siwa dan Buddha. Kakawin ini digubah oleh Mpu Tantular pada abad ke‐14, pada masa keemasan Majapahit di bawah kekuasaan Prabu Rajasanagara atau Raja Hayam Wuruk. Kakawin Sutasoma bisa dikatakan unik dalam khazanah sejarah sastra Jawa atau bisa dikatakan sastra agama. Karena merupakan satu‐ satunya kakawin bersifat epos yang bernapaskan agama Buddha. Ini menunjukkan bahwa Mpu Tantular memiliki toleransi keagamaan yang besar. Mpu Tantular seorang penganut agama Buddha, namun terbuka terhadap agama lain, terutama agama Hindu‐Siwa. Hal ini bisa terlihat II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 37
pada dua kakawin atau syairnya yang ternama yaitu Kakawin Arjunawijaya dan terutama Kakawin Sutasoma. Mpu Tantular memiliki pandangan tentang esensi nilai‐nilai keagamaan yang universal. Bahwa agama‐agama yang ada harus dihormati. Karena jalan yang harus dilalui untuk menyembah Yang Maha Agung adalah seperti jalan menuju ke gunung. Orang dapat mencapai puncak gunung itu dari segenap penjuru, dari timur, barat, utara, dan selatan. Kejayaan Majapahit berakhir setelah melewati masa gemilang di bawah pimpinan Patih Gajah Mada dan Raja Hayam Wuruk. Di bawah pimpinan Raden Patah, tahun 1500 masehi lahirlah Kesultanan Demak, pecahan dari Majapahit. Kesultanan Demak mulai menebarkan agama Islam.
6. Mistisisme Islam MENURUT sumber‐sumber Tiongkok, menjelang akhir abad ke‐7, seorang pedagang Arab menjadi pemimpin pemukiman Arab muslim di pesisir pantai Sumatra. Islam pun memberikan pengaruh kepada institusi politik yang ada. Hal ini tampak pada tahun 100 H (718 M) Raja Sriwijaya Jambi yang bernama Srindravarwan mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz 26 dari Kekhalifahan Bani Umayyah meminta dikirimkan daʹi yang bisa menjelaskan Islam kepadanya. Surat itu berbunyi: “Dari Raja di Raja yang adalah keturunan seribu raja, yang istrinya juga cucu seribu raja, yang di dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah, yang di wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu‐bumbu wewangian, pala, dan kapur barus yang semerbak wanginya hingga menjangkau jarak 12 mil, kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan‐tuhan lain dengan Allah. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekedar tanda persahabatan. Saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya tentang hukum‐hukumnya.”
26
Cicit dari Khulafaur Rasyidin kedua Umar bin Khattab.
38 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Dua tahun kemudian, yakni tahun 720 M, Raja Srindravarman, yang semula Hindu, masuk Islam. Sriwijaya Jambi pun dikenal dengan nama “Sribuza Islam”. Sayang, pada tahun 730 M, Sriwijaya Jambi ditawan oleh Sriwijaya Palembang yang masih menganut Buddha. Islam terus mengokoh menjadi institusi politik yang mengemban Islam. Misalnya, sebuah kesultanan Islam bernama Kesultanan Peureulak didirikan pada 1 Muharram 225 H atau 12 November 839 M. Contoh lain adalah Kerajaan Ternate. Islam masuk ke kerajaan di Kepulauan Maluku ini tahun 1440. Rajanya seorang Muslim bernama Bayanullah. Kesultanan Islam kemudian semakin menyebarkan ajaran‐ ajarannya ke penduduk dan melalui pembauran, menggantikan Hindu sebagai kepercayaan utama pada akhir abad ke‐16 di Jawa dan Sumatra. Islam masuk dan berkembang pesat di Jawa berkat peranan pen‐ ting Kesultanan Demak. Ketika Raden Patah27 mendirikan Kesultanan Demak, melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri bertindak sebagai penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak. Hal tersebut tercatat dalam Babad Demak. Selanjutnya, Demak tak lepas dari pengaruh Sunan Giri. Sebagai salah seorang dari Walisongo, ia diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan, se‐Tanah Jawa. Kerajaan Demak merupakan kerajaan berbasis Islam pertama di Pulau Jawa. Masuknya Islam di zaman Kesultanan Demak (1475—1548) membawa paham sufisme. Walisongo Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di Jawa pada abad ke‐14. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya—Gresik—Lamongan di Jawa Timur, Demak—Kudus—Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat. 27
Adipati Raden Patah alias Jin Bun bergelar Senapati Jimbun atau Panembahan Jimbun, lahir di Palembang, 1455; wafat di Demak, 1518, adalah pendiri Kerajaan Demak dan sultan Demak pertama, yang memerintah tahun 1500—1518. Menurut kronik Tiongkok dari Kuil Sam Po Kong, Semarang, ia memiliki nama Tionghoa yaitu Jin Bun tanpa nama marga di depannya, karena hanya ibunya yang berdarah Tiongkok. Jin Bun artinya orang kuat. Nama tersebut identik dengan nama Arab “Fatah” (Patah) yang berarti kemenangan. Pada masa pemerintahannya, Masjid Demak didirikan, dan kemudian ia dimakamkan di sana. II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 39
Nama para Walisongo adalah: 1. Sunan Gresik (Maulana Ibrahim) 2. Sunan Ampel (Raden Rahmat) 3. Sunan Bonang (Makhudum Ibrahim) 4. Sunan Drajat 5. Sunan Kudus 6. Sunan Giri 7. Sunan Kalijaga 8. Sunan Muria (Raden Umar Said) 9. Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) Dalam perkembangan agama Islam, sufisme berkembang di Timur Tengah pada abad ke‐7. Semenjak Kesultanan Demak, selanjutnya di bawah kekuasaan Sultan Agung, Kerajaan Mataram, dengan peranan penting Walisongo, Islam tersebar luas di Jawa. Pengaruh sufisme pun berkembang di masa Walisongo menyebarkan Islam. Ketika Kesultanan Demak hendak didirikan, Sunan Ampel, salah seorang dari Walisongo, turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa itu. Ia pula yang menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari Prabu Brawijaya V Raja Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475 M. Sunan Ampel menganut Feqah mazhab Hanafi.28 Namun, pada para santrinya, Sunan Ampel hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dialah yang memperkenalkan istilah mo limo (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina Walisongo yang berasal dari tanah Pasundan adalah Syarif Hidayatullah bergelar Sunan Gunung Jati. Banyak kisah tidak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Di antaranya adalah 28 Mazhab Hanafi ialah salah satu mazhab fiqh dalam Islam Sunni. Mazhab ini didirikan oleh Imam Abu Hanifah yang bernama lengkap Abu Hanifah bin Nu'man bin Tsabit Al-Taimi Al-Kufi, dan terkenal sebagai mazhab yang paling terbuka kepada ide modern. Mazhab ini diamalkan terutama sekali di kalangan orang Islam Sunni Mesir, Turki, anak-benua India, Tiongkok, dan sebagian Afrika Barat. Pelajar Islam seluruh dunia belajar pendapatnya mengenai amalan Islam.
40 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra’ Mi’raj, lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaiman. 29 Kisah demikian adalah sama dengan kisah tokoh terkemuka penganut sufisme Timur Tengah. Semua itu hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari Raja Pajajaran, Raden Manah Rarasa atau yang dikenal sebagai Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dengan Nyai Subang Larang. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina. Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati. Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu‐satunya Walisongo yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai cucu Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan. Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang mudah. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan‐jalan yang menghubungkan antar wilayah. Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram di bawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga. Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan guru sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf”—bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah. Ia sangat 29
Lihat Babad Cirebon Naskah Klayan, h.xxii. II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 41
toleran pada budaya setempat. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama berangsur‐angsur akan hilang. Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo, hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga, sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh menunjuknya. Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol‐simbol Hindu dan Buddha. Hal itu terlihat dari arsitektur Masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran air, padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Buddha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus. Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh‐nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang‐orang penganut agama Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti ʺsapi betinaʺ. Sunan Kudus juga menggubah cerita‐cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitu Sunan Kudus mengikat masyarakatnya. Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Dema di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.30 Anggota Walisongo lain: Maulana Malik Ibrahim atau Makdum Ibrahim As‐Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, 30 Dalam Babad Tanah Jawi diceritakan bahwa pada waktu itu banyak orang Jawa yang belajar agama Islam, kedigdayaan, dan kekuatan badan. Ada dua orang guru yang terkenal, yaitu Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus. Sunan Kudus mempunyai tiga orang murid, yaitu Arya Penansang di Jipang, Sunan Prawata, dan Sultan Pajang. Sedangkan murid yang paling disayangi oleh Sunan Kudus adalah Arya Penangsang.
42 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
pada paro awal abad 14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As‐ Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi. Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi. Sebagian rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudera Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia bernama Maulana Jumadil Kubro yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke‐10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad SAW. Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa,31 selama tiga belas tahun sejak tahun 1379. Ia menikahi putri raja yang memberinya dua putra. Mereka adalah Raden Rahmat yang dikenal dengan Sunan Ampel dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri. Tahun 1392 M, Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya. Beberapa versi menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang dituju pertama kali yakni Desa Sembalo, daerah yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang adalah daerah Leran, Kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik. Aktivitas pertama yang dilakukan ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, kabarnya, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya. Kakek Bantal juga mengajarkan cara‐cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah, kasta yang disisihkan dalam tradisi Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419, Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di Kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur. Sunan Muria adalah putra Dewi Saroh, adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijaga. Nama 31
Sekarang termasuk wilayah tengah dan selatan Vietnam dan sebagian Kamboja. II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 43
kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus. Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan‐keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya. Sunan Muria seringkali menjadi penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518—1530). Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana, hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti. Sunan, dalam budaya suku‐suku di Pulau Jawa, adalah sebutan bagi orang yang diagungkan dan dihormati, biasanya karena kedudukan dan jasanya dalam masyarakat. Kata ini merupakan penyingkatan dari susuhunan. Kata ini berarti tempat penerima ʺsusunanʺ jari yang sepuluh, atau dengan kata lain ʺsesembahanʺ. Walisongo ternyata adalah para sufi. Ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks. Ia menguasai ilmu feqah, usuludin. Ajaran Sunan Bonang berintikan pada falsafah ʹcintaʹ (‘isyq). Sangat mirip dengan kecenderungan Jalalludin Rumi.32 Menurut Sunan Bonang, cinta sama dengan iman, pengetahuan gerak hati (makrifat) dan kepatuhan kepada sawuf, seni, sastra dan arsitek, Allah SWT atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut disampaikannya secara popular melalui media kesenian yang disukai masyarakat. Pada zaman Kerajaan Demak, majelis ulama Walisongo memiliki peran penting, bahkan ikut mendirikan kerajaan tersebut. Majelis ini bersidang secara rutin selama periode tertentu dan ikut menentukan kebijakan politik Demak. Sepeninggal Trenggana, peran Walisongo ikut 32 Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasin al Khattabi al-Bakri atau sering pula disebut dengan nama Rumi adalah seorang penyair sufi yang lahir di Balkh (sekarang Afganistan) pada tanggal 6 Rabiul Awwal tahun 604 Hijriah, atau tanggal 30 September 1207 M.
44 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
memudar. Sunan Kudus bahkan terlibat pembunuhan terhadap Sunan Prawoto, raja baru pengganti Trenggana. Meskipun tidak lagi bersidang secara aktif, para wali masih berperan dalam pengambilan kebijakan politik Pajang. Misalnya, Sunan Prapen bertindak sebagai pelantik Hadiwijaya sebagai raja. Ia juga menjadi mediator pertemuan Hadiwijaya dengan para adipati Jawa Timur tahun 1568. Sementara itu, Sunan Kalijaga juga pernah membantu Ki Ageng Pemanahan meminta haknya pada Hadiwijaya atas tanah Mataram sebagai hadiah karena berhasil menumpas Arya Penangsang.33 7. Sufisme PADA awal abad ke‐9, dalam perkembangan Islam di Timur Tengah, muncul kaum sufi, penganut sufisme. Tasawuf (tasawwuf) atau sufisme adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihkan akhlaq, membangun zahir dan bathin, untuk memperoleh kebahagian yang abadi. Tasawuf pada awalnya merupakan gerakan zuhud (menjauhi hal duniawi) dalam Islam, dan dalam perkembangannya melahirkan tradisi mistisisme Islam. Tarekat (pelbagai aliran dalam sufi) sering dihubungkan dengan Syiah, Sunni, cabang Islam yang lain, atau kombinasi. Akar kata dari sufi adalah safa yang berarti kemurnian. Hal ini menaruh penekanan pada sufisme tentang kemurnian hati dan jiwa. Teori lain mengatakan bahwa tasawuf berasal dari bahasa Yunani theosofie artinya ilmu ketuhanan. Sufi adalah istilah untuk mereka yang mendalami ilmu tasawuf, yaitu ilmu yang mendalami ketakwaan kepada Allah SWT. Istilah sufi (orang suci) akhirnya dipakai oleh dunia secara luas, bukan saja untuk tokoh agama dari agama tertentu, tetapi bagi seseorang yang secara spiritual dan rohaniah telah matang dan yang kehidupannya tidak lagi membutuhkan dan melekat kepada dunia dan segala isinya, kecuali untuk kebutuhan dasarnya saja. Sufi dalam konteks ini diamalkan sebagai cara sejati untuk memurnikan jiwa dan hati, mendekatkan diri kepada Tuhan dan mendekatkan diri kepada
33
Lihat Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam sampai Tahun 1647 (terj.), Yogyakarta: Narasi, 2007. II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 45
surga‐Nya, menjauhi dunia. Dalam agama Buddha, dikenal sebagai tahap arupadatu, dalam agama Nasrani dikenal sebagai biarawan atau biarawati sebagai cara menjalani kehendak Tuhan secara penuh dan memerdekakan diri dari budak kesenangan dunia, dan sebagainya. Di Timur Tengah terdapat Bayazid al‐Busthami yang juga terkenal sebagai Abu Yazid Bistami atau Tayfur Abu Yazid al‐Bustami (804—874 M), seorang Persi penganut sufi. Keterus‐terangannya menyebabkan banyak orang menilainya sebagai bida’ah, pembohong karena ucapan‐ucapannya yang aneh, ganjil lagi ajaib. Ia mengaku telah naik ke langit ketujuh dalam mimpinya. Perjalanan ini dianggapnya sama dengan mi’raj Nabi Muhammad. Antara lain ucapan‐ucapannya yang terkenal adalah: “Mulialah aku! Alangkah jayanya Keagunganku! Ketaatanmu kepadaku adalah lebih besar dari ketaatanku kepada‐Nya! Aku adalah mahkota dan penunjang kaki! Di alam kehidupanku, genggamanku lebih kuat dari genggaman Tuhan. Aku lihat Ka’bah bergerak di kelilingku. Musa ingin melihat Tuhan, aku tak berkeinginan melihat Tuhan, Tuhan yang ingin melihat aku. Percayalah, aku sendiri sudah jadi Tuhan! Tak ada Tuhan yang lain selain aku! Jayalah aku! Alangkah jayanya Keagunganku!”34 Di samping itu, terdapat Syekh Manshur al‐Hallaj.35 Ucapannya yang terkenal adalah: “Ana al‐Haqq”, artinya “Kebenaran adalah Aku”, yang artinya “Aku adalah Tuhan”, karena “Kebenaran” adalah salah satu dari 99 nama Tuhan. Di samping itu ia menyatakan “Ma fi jubbati illa l‐ Lah” artinya “Tak ada apa pun dalam surbanku kecuali Allah”. Karena ucapan‐ucapannya yang tak masuk akal, atas perintah Khalif Abbasid Al Muqtadir, ia dibawa ke pengadilan, dituduh melakukan bida’ah, pembohongan. Hasilnya, ia dipenjarakan dalam penjara Baghdad dan dihukum mati di depan umum pada 29 Maret tahun 922. Sufisme berpengaruh besar di kalangan Islam. Dari Timur Tengah tersebar ke berbagai negeri, termasuk Nusantara. Sufisme menjalar ke Kerajaan Demak. Raden Patah adalah pendiri Kesultanan Demak, kerajaan Islam pertama. Raden Patah memerintah 34
Robert Payne, The History of Islam, Barne & Nooble Books New York, awalnya terbit dengan judul The Holy Sword, 1992, di USA, h.195. 35 Seorang Persia dengan nama lengkap Abū al-Muġīṭ Husayn Manṣūr al-Ḥallāğ (kira-kira 858—922 M), seorang mistik, penyair, guru sufisme, dan sastrawan terkenal dengan puisi-puisinya. 46 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
antara tahun 1500—1518. Raden Patah adalah penganut Islam yang mendukung aliran sufi. Berlanjut masuk Kerajaan Mataram di bawah kekuasaan Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma. Sultan Agung lahir di Kutagede, Kesultanan Mataram, 1593; wafat di Karta (Plered, Bantul), Kesultanan Mataram, 1645; sultan ketiga Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1613—1645. Di bawah kepemimpinannya, Mataram berkembang menjadi kerajaan terbesar di Jawa dan Nusantara yang mengembangkan Islam pada saat itu.
8. Manunggaling Kawula‐Gusti DALAM proses pengembangan pengaruh Islam di bawah usaha Walisongo tampil tokoh pembela Islam yang tangguh, Syekh Siti Jenar. Dikenal dalam banyak nama lain, antara lain Sitibrit, Lemahbang, atau Lemah Abang. Adalah seorang tokoh sufi dan salah seorang penyebar agama Islam di Pulau Jawa. Dalam masyarakat, terdapat banyak variasi cerita mengenai asal‐usul Syekh Siti Jenar. Sebagian umat Islam menganggap sesat karena ajaran yang terkenal yaitu Manunggaling Kawula Gusti. Akan tetapi, sebagian yang lain menganggap bahwa Syekh Siti Jenar adalah seorang intelektual yang telah memperoleh esensi Islam itu sendiri. Ajaran‐ajarannya tertuang dalam karya sastra yang disebut pupuh. Ajaran yang sangat mulia dari Syekh Siti Jenar adalah budi pekerti. Ajaran Syekh Siti Jenar yang paling kontroversial terkait dengan konsep tentang hidup dan mati, Tuhan dan kebebasan, serta tempat berlakunya syariat tersebut. Syekh Siti Jenar memandang bahwa kehidupan manusia di dunia ini disebut sebagai kematian. Sebaliknya, apa yang disebut umum sebagai kematian, justru disebut sebagai awal dari kehidupan yang hakiki dan abadi olehnya. Sebagai konsekuensinya, kehidupan manusia di dunia ini tidak dapat dikenai hukum yang bersifat keduniawian, misalnya hukum negara, tetapi tidak termasuk hukum syariat peribadatan sebagaimana yang ditentukan oleh syariah. Menurut ulama pada masa itu yang memahami inti ajaran Syekh Siti Jenar, manusia di dunia ini tidak harus memenuhi rukun Islam yang lima, yaitu syahadat, salat, puasa, zakat, dan naik haji. Baginya, syariah baru akan berlaku setelah manusia
II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 47
menjalani kehidupan pasca kematian. Syekh Siti Jenar juga berpendapat bahwa Allah itu ada dalam dirinya, yaitu di dalam budi. Pemahaman inilah yang dipropagandakan oleh para ulama pada masa itu. Mirip dengan konsep Al‐Hallaj, tokoh sufi Islam yang dihukum mati pada awal sejarah perkembangan Islam pada abad kesembilan masehi, tentang hulul yang berkaitan dengan kesamaan sifat Tuhan dan manusia. Menurut Syekh Siti Jenar, seharusnya pemahaman ketauhidan melewati empat tahap, yaitu: 1. Syariat, dengan menjalankan hukum‐hukum agama seperti salat, zakat, dan lain‐lain, 2. Tarekat, dengan melakukan amalan‐amalan seperti wirid, zikir dalam waktu dan hitungan tertentu, 3. Hakikat, di mana hakikat dari manusia dan kesejatian hidup akan ditemukan, dan 4. Makrifat, kecintaan kepada Allah dengan makna seluas‐ luasnya. Bukan berarti bahwa setelah memasuki tahapan‐tahapan tersebut maka tahapan di bawahnya ditiadakan. Pemahaman inilah yang kurang bisa dimengerti oleh para ulama pada masa itu tentang ilmu tasawuf yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar. Ilmu itu baru bisa dipahami ratusan tahun setelah wafatnya Syekh Siti Jenar. Para ulama mengkhawatirkan adanya kesalahpahaman dalam menerima ajaran yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar kepada masyarakat awam di mana pada masa itu ajaran Islam yang harus disampaikan seharusnya masih pada tingkatan syariat, sedangkan ajaran Syekh Siti Jenar telah jauh memasuki tahap hakikat, bahkan makrifat kepada Allah. Oleh karena itu, ajaran yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar dikatakan sesat. Dalam pupuh‐nya, Syekh Siti Jenar tidak memperdebatkan masalah agama. Alasannya, dalam agama apa pun, setiap pemeluk sebenarnya menyembah zat Yang Maha Kuasa, hanya saja masing‐ masing menyembah dengan menyebut nama yang berbeda dan menjalankan ajaran dengan cara yang belum tentu sama. Oleh karena itu, masing‐masing pemeluk agama tidak perlu saling berdebat untuk
48 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
mendapat pengakuan bahwa agama yang dianutnya adalah yang paling benar. Syekh Siti Jenar juga mengajarkan agar seseorang dapat lebih mengutamakan prinsip ikhlas dalam menjalankan ibadah. Orang yang beribadah dengan mengharapkan surga atau pahala berarti belum bisa dianggap bukan bercampurnya Tuhan dengan makhluk‐Nya, melainkan bahwa Sang Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk dan dengan kembali kepada Tuhannya, manusia telah bersatu dengan Tuhannya. Dalam ajarannya, Manunggaling Kawula‐Gusti bermakna bahwa di dalam diri manusia terdapat roh yang berasal dari roh Tuhan sesuai dengan ayat Al Qurʹan yang menerangkan tentang penciptaan manusia: roh manusia akan menyatu dengan roh Tuhan di kala penyembahan terhadap Tuhan terjadi. Perbedaan penafsiran ayat Al‐Qur’an dari para murid Syekh Siti Jenar inilah yang menimbulkan polemik bahwa di dalam tubuh manusia bersemayam roh Tuhan, yaitu polemik paham Manunggaling Kawula Gusti.36 Syekh Siti Jenar mengembangkan ajaran cara hidup sufi yang dinilai bertentangan dengan ajaran Walisongo. Pertentangan praktek sufi Syekh Siti Jenar dengan Walisongo terletak pada penekanan aspek formal ketentuan syariah yang dilakukan oleh Walisongo. Saat terjadi perang antara Majapahit dan Demak, Prabu Andayaningrat membela Majapahit, gugur di tangan Sunan Ngudung. Kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Raden Kebo Kenanga, bergelar Ki Ageng Pengging. Sejak saat itu Pengging menjadi 36 Dalam kepustakaan Islam Kejawen, konsep Manunggaling kawula Gusti atau kesatuan dengan Tuhan (wahdatul wujud) yang dipergunakan untuk mengambarkan adalah curiga manjing warangka, warangka manjing curiga. Yakni manusia masuk dalam diri Tuhan, laksana Arya Sena masuk dalam tubuh Dewaruci. Atau sebaliknya, warangka manjing curiga. Yakni Tuhan masuk (nitis) dalam diri manusia, seperti halnya Dewa Wisnu nitis pada diri Kresna. Oleh karena itu, uraian dalam kepustakaan Islam Kejawen yang menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, umumnya mengandung rumusan yang saling tumpang tindih. Tuhan dilukiskan memiliki sifat-sifat yang sama dengan manusia dan manusia digambarkan sama dengan Tuhan. Paham semacam ini dalam falsafah dinamakan Antropomorfisme. Lihat Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita: Suatu Studi Terhadap Serat Wirid Hidayat Jati, 1998, Jakarta: UI Press, h.297—299. Lihat Purwadi, Ilmu Kasampurnan Syekh Siti Jenar, 2012, Jakarta: Oryza, h.167—166.
II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 49
daerah bawahan Kerajaan Demak. Ki Ageng Pengging adalah penganut Islam sufi, yang jadi murid setia dari Syekh Siti Djenar. Kontroversi yang lebih hebat muncul mengenai hal ihwal Syekh Siti Jenar. Ajaran yang amat kontroversial telah membuat gelisah para pejabat Kesultanan Demak. Kesultanan Demak khawatir ajaran ini akan berujung pada pemberontakan, mengingat salah satu murid Syekh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging atau Ki Kebo Kenanga, adalah keturunan elite Majapahit, sama seperti Raden Patah dan mengakibatkan konflik di antara keduanya. Dari sisi agama Islam, Walisongo yang menopang kekuasaan Kesultanan Demak khawatir ajaran ini akan terus berkembang sehingga menyebarkan kesesatan di kalangan umat. Kegelisahan ini membuat mereka merencanakan suatu tindakan bagi Syekh Siti Jenar untuk segera datang menghadap ke Kesultanan Demak. Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu–Budha dalam budaya Nusantara, digantikan oleh kebudayaan Islam. Walisongo adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka sangat besar dalam mendirikan kerajaan Islam di Jawa. Pengaruh terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat para Walisongo ini lebih banyak disebut dibanding yang lain Pada periode sejarah Jawa pra‐Islam, gelar sunan ini jarang dipakai atau tidak banyak didokumentasi. Pada awal‐awal masuknya Islam di Jawa, gelar ini biasa diberikan untuk mubaligh atau penyebar agama Islam, khususnya di tanah Jawa pada abad ke‐15 hingga abad ke‐ 16. Selain sunan, ada pula mubaligh lainnya yang disebut syekh, kyai, ustadz, penghulu, atau tuan guru. Gelar ʺsunanʺ atau ʺsusuhunanʺ juga diberikan kepada penguasa Kraton Surakarta Hadiningrat (Kasunanan Surakarta).
9. Kebatinan Jawa, Kejawen MENURUT Kejawen, sebelum manusia lahir di dunia, ia adalah semangat. Asal‐usulnya adalah sepenuhnya berada di bawah kekuasaan Tuhan. Dewa atau Dewi adalah juga makhluk Tuhan. Mereka juga adalah semangat, tapi tidak memiliki jasad. Hakikat mereka adalah sinar,
50 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
sebagaimana juga sama dengan semangat manusia. Karena itu, nenek moyang orang Jawa menamakan manusia itu adalah wahong yang artinya adalah turunan dari Tuhan. Dalam perkembangannya, wahong berubah jadi wong. Dalam bahasa Jawa yang dihaluskan kromo inggil, wong menjadi tiyang yang berasal dari Ti Hyang yang berarti Turunan Tuhan. Kepercayaan kepada Tuhan, menempatkan Tuhan di atas segala‐ galanya, adalah kunci ajaran spiritual universal dari Kejawen. Tuhan bukanlah berwujud jasmaniah. Tuhan adalah Semangat yang Agung dan Maha Pencipta. Semangat yang agung adalah semangat dalam jasad manusia. Adalah bijaksana, jika manusia mengenal kenyataan diri sendiri, mengenal Semangat Agung itu. Orang‐orang tua penganut Kejawen tak jemu‐jemunya mengingatkan kata Eling. Eling berarti ingat, waspada. Haruslah ingat siapa sesungguhnya dirimu, dan apa tugasmu sebenarnya di dunia. Dalam ungkapan Jawa dikenal Cakra Manggilingan. Ini berarti hidup bagaikan roda berputar. Penganut spiritualis Timur mempercayainya sebagai inkarnasi dan reinkarnasi. Dipercayai bahwa Semangat itu bepergian dari asal‐usulnya, kemudian ia diperintah Gusti untuk hidup di dunia. Lalu kemudian kembali lagi ke tempat aslinya. Semangat yang tidak kembali ke asalnya dengan lancar adalah karena ia berbuat salah yang besar ketika hidup di dunia. Ia telah berbuat dosa, maka tak lancar kembali ke aslinya. Kejawen bukanlah agama, ia mengajarkan etika dan nilai‐nilai spiritual yang mendapat ilham dari tradisi Jawa. Intinya adalah gagasan ketenangan pikiran. Perbedaan penafsiran ayat Al Qurʹan dari para murid Syekh Siti Jenar inilah yang menimbulkan polemik bahwa di dalam tubuh manusia bersemayam roh Tuhan, yaitu polemik paham Manunggaling Kawula Gusti. Banyak versi di dalam memahami ajaran Syekh Siti Jenar dengan manunggaling kawula gustinya. Ada pro dan kontra dalam masyarakat dalam menanggapinya. Salah satunya adalah tidak setujunya para Walisongo terhadap konsep ajaran Manunggaling Kawula Gusti. Hingga pada akhirnya, menurut sejarah, Syekh Siti Jenar mendapat hukuman mati dari para Walisongo karena ajaran yang menurut para wali dianggap sesat dan menyesatkan. Penganjur panteisme, Syekh Siti Jenar mengatakan Ingsun Gusti Sejati, sayalah Tuhan yang sebenarnya. Yang dikatakan Syekh Siti Jenar itu pernah diungkapkan oleh seorang ahli mistik Islam termasyhur
II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 51
bernama Al‐Hallaj dari Baghdad, Iraq (858—992 M). Tokoh ini juga mengatakan Ana Al‐Haqq, sayalah kebenaran sejati itu, sayalah Tuhan itu. Baik Al‐Hallaj maupun Syekh Siti Jenar, keduanya menyebarkan ajaran yang bertentangan dengan ajaran tauhid Islam. Keduanya, pada akhirnya mengalami nasib yang sama secara tragis: tewas dalam eksekusi hukuman mati.37
10. Dari Islam Mistik Sufisme sampai Islam Modernis Anti‐Komunisme DEMIKIAN besar pengaruh Islam di Indonesia hingga pada awal abad ke‐21 Indonesia adalah negara berpenduduk penganut Islam terbesar di dunia. Dalam sejarah Republik Indonesia, terdapat beberapa tokoh Islam yang menjabat perdana menteri, yaitu Sukiman, Moh. Natsir, serta Burhanuddin Harahap. Presiden Pemerintah Darurat RI pada tahun 1948 dijabat tokoh Islam, Sjafroeddin Prawiranegara. Masuknya Islam ke Indonesia adalah hasil meluasnya pengaruh sufisme dari Timur Tengah. Dari Kerajaan Demak, pecahan Kerajaan Buddha Majapahit, di bawah pimpinan Raden Patah, serta berkat kegiatan Walisongo, Islam berkembang meliputi daerah yang luas. Mula‐mula yang masuk dan tersebar adalah Islam aliran sufi. Sufi, kesufian,38 ialah istilah yang diberikan pada sebuah aliran atau tradisi pemahaman Islam yang merangkumi berbagai kepercayaan dan amalan. Di antaranya aspek esoterik (hanya diketahui oleh orang‐orang tertentu) atau mistisisme mengenai hubungan dan dialog langsung antara penganut Islam dengan Allah. Perkataan tariqa atau tarekat digunakan oleh pengikut aliran sufi untuk kaidah atau tradisi tertentu yang diikuti oleh seorang individu untuk mendekatkan dirinya kepada Tuhan. Unsur‐unsur atau tradisi kesufian tidak terbatas pada satu mazhab tertentu di dalam agama Islam, yaitu mazhab Syiah ataupun Sunni, walaupun kebanyakan tokoh‐tokoh sufi dalam sejarah terdiri dari pengikut mazhab Sunni. Bahkan boleh dikatakan contoh pengaruh kesufian juga ada dalam tradisi agama yang lain. 37
Mulyana, Universitas Negeri Yogyakarta, Spiritualisme Jawa: Meraba Dimensi dan Pergulatan Religiusitas Orang Jawa, h.7. 38 Bahasa Arab: تصوف, taṣawwuf; bahasa Inggris: sufism. 52 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Pemikiran sufi muncul dari Timur Tengah pada abad VIII, tetapi penganut‐penganutnya kini terdapat di seluruh dunia. Terdapat pengaruh unsur‐unsur kesufian di dalam budaya, pemikiran, dan pengamalan masyarakat Islam kini. Namun pengaruh modernisasi dan kritikan segolongan ulama aliran salafi telah menyebabkan kemerosotan pengaruh aliran‐aliran sufi dan pengurangan jumlah penganutnya jika dibandingkan ketika zaman pramodern. Sejak permulaan abad ke‐20, kedatangan beberapa pengamal sufi ke negara‐negara Barat telah menyebabkan penyebaran ajaran pemahaman Sufi dalam beberapa bentuk. Walaupun banyak pengikut kesufian di Barat telah memeluk agama Islam, banyak juga yang mengikut ajaran kesufian secara bebas. Ajaran sufi telah memainkan peranan besar dalam pembentukan sastra di alam Islam. Penulis golongan Sufi telah menghasilkan sejumlah besar puisi dalam bahasa Arab, Turki, Parsi, Kurdi, Urdu, Punjabi, dan Sindhi yang merangkumi karya‐karya Jalal al‐Din Muhammad Rumi, Abdul Qader Bedil, Bulleh Shah, Amir Khusro, Shah Abdul Latif Bhittai, Sachal Sarmasts, dan Sultan Bahu. Banyak tradisi tarian kesalihan (umpamanya pemusingan sufi) dan musik seperti Qawwali. Istilah tasawuf mulai muncul pada pertengahan abad ke‐3 H oleh Abu Hasyimal‐Kufi (250 H) dengan meletakkan ʺal‐Sufiʺ di belakang namanya. Dalam sejarah Islam sebelum timbulnya aliran tasawuf, terlebih dahulu muncul aliran zuhud. Aliran zuhud timbul pada akhir abad pertama dan permulaan abad ke‐2 H. Pandangan yang lazim adalah bahwa perkataan ʺsufiʺ berasal daripada suf ()صوف, sepatah perkataan bahasa Arab untuk sakhlat yang merujuk kepada mantel sederhana yang dipakai oleh zahid‐zahid Islam pada zaman awal. Bagaimanapun, bukan semua ahli sufi memakai mantel atau pakaian yang diperbuat dari sakhlat. Satu lagi teori etimologi menyatakan bahwa kata dasar untuk ʺsufiʺ ialah perkataan bahasa Arab, safa ()صفا yang bermaksud kesucian, dan merujuk kepada penegasan sufisme terhadap kesucian hati dan jiwa. Sementara orang mengatakan bahwa asal perkataan ʺsufiʺ adalah dari perkataan ʺAshab al‐Suffaʺ (teman‐teman serambi) atau ʺAhl al‐ Suffaʺ (orang‐orang serambi) yang merupakan sekumpulan penganut Islam pada zaman Nabi Muhammad yang menghabiskan banyak masa di serambi masjid Nabi untuk bersembahyang. Abu Yazid, tokoh sufi Timur Tengah, orang pertama kesurupan
II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 53
Tuhan mengemukakan: “Percayalah, Saya sendiri menjadi Tuhan. Tidak ada Tuhan, kecuali Aku! Alangkah jayanya Pujaan Ku!” Yang disusul demikian pula oleh ucapan Al Mansur al‐Hallaj39 yang menyatakan: “Ana‘l Haqq! – Saya adalah Kebenaran! – Saya adalah Tuhan!”40 Ungkapan tokoh‐tokoh sufis ini menjalar ke Indonesia dengan ungkapan ”Manunggaling Kawula Gusti”, ajaran Syekh Siti Jenar. Demikianlah, Islam yang berkembang di Indonesia pada awalnya adalah dari mazhab sufisme yang mistik. Pendidikan dan pengajaran Islam yang pada umumnya diberikan kepada anak‐anak adalah bersifat elementer. Dengan menekankan hafalan daripada pengertian. Dua cabang ilmu yang diajarkan, fiqih dan tasawuf. Yang pertama terutama dalam mazhab Syafii, yang kedua dalam bentuk tarekat, terutama Tarekat Naqsyabandiyah. Para pengikut ajaran ini menerima taklid yang memang merupakan paham yang berlaku dalam dunia Islam dari semenjak abad ke‐9, dan menolak ijtihad. Fikih (Fiqih) adalah salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan Tuhannya. Beberapa ulama fikih seperti Imam Abu Hanifah mendefinisikan fikih sebagai pengetahuan seorang muslim tentang kewajiban dan haknya sebagai hamba Allah. Ciri yang menonjol dari Tarekat Naqsyabandiyah adalah diikutinya syariʹat secara ketat, keseriusan dalam beribadah menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari, serta lebih mengutamakan berzikir dalam hati, dan kecenderungannya semakin kuat ke arah keterlibatan dalam politik (meskipun tidak konsisten). Kalangan tradisional ini juga sengaja mengisolasi diri. Hal itu dimaksudkan untuk menjaga dan memelihara kemurnian ajaran mereka. Namun juga berakibat bahwa mereka menolak apa saja yang datang dari Barat. Termasuk sistem dan teknik pendidikan. Pusat‐pusat pendidikan tradisional Islam itu sejak tahun 1930‐an masih sangat lemah dalam soal organisasi. Pada zaman penjajahan Belanda, pada awal pertumbuhan gerakan nasional, Islam memainkan peranan mempersatukan, hingga 39
Abū al-Muġīṭ Husayn Manṣūr al-Ḥallāğ; Mansūr-e Ḥallāj (858—922) tokoh mistik dari Persia. 40 Robert Payne, op.cit., h.195, 197. 54 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
lahirnya Sarekat Dagang Islam pada tahun 1911, yang kemudian menjadi Sarekat Islam tahun 1912. Dalam teologi, golongan tradisional di Indonesia mengikuti pikiran al‐Asy’ari dari abad ke‐10. Tercermin dalam pandangan fatalistis terhadap kehidupan; kecenderungaan untuk melihat keadaan atau nasib sebagai sesuatu yang sudah ditakdirkan amat kuat. Banyak pula yang percaya bahwa dunia akan kiamat. Sebaliknya, ada pula dari kalangan Islam yang ingin berusaha mengendalikan nasib mereka, menolak takdir begitu saja. Mereka berkeyakinan bahwa Islam memang dan seharusnya sesuai dengan zaman dan tempat mana pun, mereka melihat Islam itu modern, malah senantiasa modern. Oleh sebab itu mereka dapat disebut golongan modern atau modernis untuk membedakan mereka dari golongan tradisional Islam. Tokoh‐tokoh golongan Islam modernis datang dari Minangkabau, dengan Haji Abdullah Ahmad (1878—1933), Haji Abdul Karim Amrullah (1879—1945), dan Syekh Muhammad Djamil Djambek (1860— 1947); dari Jakarta dari kalangan orang‐orang turunan Arab dengan mendirikan organisasi Djamijat Chair dan kemudian juga Al‐Irsjad; Kesultanan Yogyakarta serta Kasunanan Surakarta, masing‐masing tempat berdirinya Muhammadiyah (1912) oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan (1869—1923). Dan Sarekat Dagang Islam (1911), kemudian Sarekat Islam (1912) oleh Ki Haji Samanhudi (1868—1956); dan daerah Priangan dengan Ahmad Hassan (1887—1957). Para kaum modernis ini tidak lagi menyerah pada takdir. Mereka melakukan kegiatan di bidang kemasyarakatan terutama pendidikan. Dengan mendirikan organisasi‐organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, sekolah‐sekolah, kepanduan, dan lain‐lain. Akhirnya mendirikan partai politik dan aktif bergerak di bidang politik. Berdirilah Sarekat Islam pada tahun 1912, dan tahun itu juga lahir Muhammadiyah yang melakukan kegiatan tanpa mengandung perlawanan keras terhadap pemerintah kolonial Belanda, bahkan bersedia menerima subsidi dari pemerintah. Beberapa kalangan modernis ada yang mendapat pendidikan Barat, seperti Haji Agus Salim yang mendapatkan pendidikan di Jazirah Arab dan bekerja pada konsulat Belanda di Jeddah. Perkenalannya dengan Sarekat Islam pada tahun 1915 adalah ketika ia dikirim oleh
II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 55
pihak kepolisian Belanda untuk mengamati kongres dan kegiatan SI di Surabaya; dengan kata lain, ketika ia menjadi intel Belanda.41 Dalam Kongres V Sarekat Islam hadir Tan Malaka, H.O.S.Tjokroaminoto, H. Agus Salim, Darsono, dan Semaun. Kongres memperdebatkan keanggotaan rangkap. Agus Salim dan Abdul Muis menentang keanggotaan rangkap. Sedangkan Semaun dan Darsono, anggota pimpinan SI adalah anggota PKI. Kongres memutuskan melarang keanggotaan rangkap. Sarekat Islam menjadi pecah. Terbentuk SI Putih di bawah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto dan SI Merah di bawah pimpinan Semaun. Selanjutnya SI Merah menjadi Sarekat Rakyat di bawah pimpinan PKI. Tahun 1923 di Priangan berdiri Persatuan Islam dengan tokohnya Ahmad Hassan yang banyak menulis tentang ke‐Islaman. Tulisannya berpengaruh pada Bung Karno dan Mohammad Natsir. Berlainan dari Muhammadiyah, Persatuan Islam bersikap keras terhadap kebiasaan‐ kebiasaan umat yang mereka anggap berlawanan dengan ajaran pokok Islam. Mereka kuat sekali merujuk segala sesuatu pada Qur’an dan Hadits, sedangkan Muhammadiyah tidak mengesampingkan begitu saja pendapat para ulama zaman dahulu. Kalangan nasionalis yang netral agama, mereka tuduh mempunyai keinginan untuk menegakkan kepercayaan Hindu dan animisme. Tahun 1926 berdirilah Nahdhatul Ulama (NU). Di Sumatra, golongan tradisionalis Islam pada tahun 1930 mendirikan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) dengan berpusat di Bukittinggi, serta Al‐ Jamiyatul Wasliyah di Medan. Pada tahun 1935 berdiri Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), tempat berkumpul organisasi‐organisasi Islam yang banyak itu. Mula‐mula anggotanya 7 organisasi, lalu pada tahun 1941 meningkat menjadi 21 organisasi. Pada tahun 1938 berdiri Partai Islam Indonesia dengan mendapat dukungan para tokoh Muhammadiyah, Persatuan Islam, dan Thawalib di Sumatra. Dalam bidang sosial, partai‐partai Islam itu dapat bekerja sama dalam federasi MIAI. Namun dalam bidang politik masing‐masing bergerak sendiri‐sendiri. Ketika Gabungan Politik Indonesia (GAPI) didirikan pada tahun 1939, PSII hanya bersedia masuk di dalamnya 41
Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, Penerbit PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, h.13. 56 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
setelah mendapat jaminan bahwa Penyadar (Salim) tidak akan diajak. Hubungan antara organisasi‐organisasi Islam dan kalangan nasionalis yang netral agama, yang bermusuhan di paro kedua tahun 1920‐an dan paro pertama tahun 1930‐an, membaik dengan adanya GAPI serta Majelis Rakyat Indonesia (MRI) pada tahun 1941. MRI adalah forum pertemuan antara GAPI, MIAI, dan federasi pekerja pegawai negeri Persatuan Vakbonden Pegawai Negeri. Mengutamakan, memperjuangkan, serta membela Islam, menjadi benang merah pendirian para pemeluk Islam. Suara keras mengutamakan Islam dikemukakan jurubicara MIAI, Wondoamiseno (1895—1952) yang menyokong tuntutan Indonesia Berparlemen dengan catatan bahwa parlemen itu harus berdasar Islam. Pada tahun 1941, ketika GAPI menyusun suatu memorandum mengenai Konstitusi Indonesia masa depan, MIAI mengatakan bahwa kepala negara Indonesia haruslah beragama Islam dan dua pertiga anggota kabinet terdiri dari orang‐orang Islam. Haruslah mendirikan satu departemen agama. MIAI yang didirikan kembali di Jakarta tahun 1942, diubah menjadi Madjelis Sjoero Moeslimin Indonesia (Masjoemi) pada akhir tahun 1943. Di zaman pendudukan Jepang, tahun 1944 didirikan Hizbullah yang memberikan latihan kemiliteran bagi para pemuda. Hizbullah mendapat dukungan pemerintah Jepang. Ketika itu, Pemerintah Jepang mendirikan kantor administrasi agama yang berusaha mengatur semua kegiatan tentang Islam. Usaha menegakkan Islam sampai mendirikan negara Islam di Indonesia berlanjut. Termasuk dalam sidang‐sidang Badan Penyelidik Usaha‐Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam sidang pertama badan ini, pada 1 Juni 1945, Bung Karno menyampaikan pidato mengenai dasar negara, yang kemudian terkenal dengan Lahirnya Pancasila. Berlangsung perdebatan mengenai dasar negara. Kalangan Islam yang ingin menegakkan ideologi Islam, menuntut agar Islam dijadikan dasar negara. Dan diajukan pendapat agar kepala negara hendaknya seorang muslim dan rumusan ini perlu dicantumkan dalam ayat bersangkutan. Pendapat ini ditolak oleh kalangan nasionalis dan mereka yang beragama Kristen. Dibentuk komisi kecil yang terdiri dari Haji Agus Salim, Kiai Wahid Hasjim, Abikusno, Abdul Kahar Muzakir, Bung Karno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Achmad Soebardjo, dan Muhammad Yamin. 22 Juni 1945 tercapai persetujuan yang
II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 57
ditandatangani semua anggota komisi 9 orang ini, bahwa negara berdasar pada “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk‐pemeluknya.” Akhirnya pada tanggal 18 Agustus 1945, kata‐kata tentang kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya dihapus kembali dari mukadimah konstitusi yang terkenal dengan nama Undang‐Undang Dasar 1945. Malah kata Allah, nama khas dalam Islam bagi kata Tuhan, diganti dengan kata Tuhan, berdasar usul dari I Gusti Ktut Pudja, wakil dari Bali. Wakil‐wakil Islam tetap tidak puas dengan hasil rumusan ini. Mereka berharap bahwa enam bulan setelah proklamasi, benar‐benar tegak satu pemerintahan yang sah dalam arti mewakili rakyat. Dan direncanakan ketika itu untuk mengadakan pemilihan umum setelah enam bulan. Optimisme semua kalangan sangat tinggi. Mereka membayangkan ketenangan dan ketertiban hingga berlangsung pemilihan umum untuk penyusun konstitusi baru, pengganti Undang‐ Undang Dasar 1945. Sampai tahun 1955, kaum Islam yakin bahwa mereka akan keluar sebagai pemenang dalam pemilihan umum. Dan akan berhasil menyusun Undang‐Undang Dasar Negara berdasarkan Islam. Pengumuman Pemerintah 3 Oktober 1945 menyerukan agar rakyat mendirikan partai‐partai politik. Pada 7 dan 8 November 1945 di Yogyakarta diadakan Muktamar Islam Indonesia yang dihadiri oleh hampir semua tokoh berbagai organisasi Islam dari masa sebelum perang. Muktamar memutuskan untuk mendirikan majelis syuro pusat bagi umat Islam Indonesia, Masyumi, yang dianggap sebagai satu‐ satunya partai politik bagi umat Islam. Masyumi mempunyai dua macam anggota: 1. Perseorangan dan 2. Organisasi. Anggota perseorangan minimum berumur 18 tahun atau sudah kawin. Tidak dibenarkan merangkap keanggotaan partai lain. Mulanya hanya empat organisasi yang masuk Masyumi, yakni Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Perikatan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam. Persatuan Ulama Seluruh Atjeh (PUSA) dengan Ketua Teungku Daud Beureueh bergabung pada tahun 1949. Tanggal 17 Desember 1945, Masyumi mengeluarkan suatu program aksi, bahwa Islam “menghendaki kesejahteraan masyarakat serta penghidupan yang damai antara bangsa‐bangsa di muka bumi ini
58 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
dan menentang kekejaman, kebuasan serta kepalsuan kapitalisme dan imperialisme.” Partai bermaksud “melaksanakan cita‐cita Islam dalam urusan kenegaraan hingga dapat mewujudkan susunan negara yang berdasarkan kedaulatan rakyat dan masyarakat yang berdasarkan keadilan menurut ajaran‐ajaran Islam.” Dalam masalah keadilan dan kemakmuran menurut ajaran‐ajaran Islam ini, tersembunyi sikap anti‐komunisme dari tokoh‐tokoh Masyumi. Natsir menyatakan, “komunisme dalam mencapai kemakmuran, menekan dan memperkosa tabiat dan hak‐hak asasi manusia. Sedangkan kapitalisme, dalam membiarkan kebebasan kepada tiap‐tiap orang, tidak mengindahkan perikemanusiaan dan hidup dari pemerasan keringat orang lain dan membukakan jalan untuk kehancuran kekayaan alam.”42 Ditambahkannya, “Islam itu berlainan daripada komunisme. Islam mengakui hak kepribadian dan memberikan kebebasan, bahkan mewajibkan kepada tiap‐tiap orang supaya mencari rezeki sekuat tenaga. Dan—berlainan pula dari kapitalisme—kekayaan yang didapat itu tidaklah boleh digunakan untuk kepentingan diri sendiri saja, tetapi harus pula dikeluarkan untuk menolong sesama manusia, guna menciptakan kemakmuran bersama.” 43 Dalam hubungan dengan komunisme, memang Majelis Syuro Masyumi mengutuk komunisme itu sebagai kufur dan mereka yang secara sadar dan dengan yakin menyokong ideologi ini sebagai kafir. Dasar pengutukan terhadap komunisme itu ialah karena komunisme merupakan ideologi yang: 1) Bersandar pada historis materialisme yang tidak sesuai dengan Islam yang mengajarkan bahwa segala sesuatu berasal dari Tuhan; 2) Bermusuhan dengan agama dan menolak adanya Tuhan; 3) Mengabaikan hubungan keluarga dan menganggap wanita sebagai milik bersama; 4) Tidak mengakui hak milik pribadi; 5) Berusaha mencapai tujuannya dengan sistem diktatur dan ini berlawanan dengan prinsip musyawarah dalam Islam.44 Masyumi menyamakan komunisme dengan kapitalisme. Dalam Tafsir Asas Masyumi dinyatakan: ”Kapitalisme dan materialisme yang 42
Harian Abadi. “Kita Punya Taruhan Sendiri untuk Pecahkan Soal-Soal Hidup”, 15 Januari 1952. 43 Deliar Noer, op.cit., h.13. 44 Ibid., h.136—137. II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 59
menghasilkan falsafah perebutan hidup (struggle for life) dan kejayaan si kuat yang mengalahkan si lemah (survival of the fittest) mengakibatkan permusuhan antara majikan dan buruh. Dengan demikian, damai tidak akan muncul karena masyarakat terpecah dalam golongan yang bermusuhan tanpa berniat untuk mengutamakan kepentingan bersama. Komunisme pun tak jauh beda dengan ini. Dalam komunisme, kesewenangan diperbarui, hak‐hak rakyat ditindas, dan dunia juga ingin direbut.”45 Natsir adalah tokoh Masyumi yang keras anti‐komunis dengan menulis, membandingkan demokrasi dengan komunisme: “Tujuan utamanya ialah kekuasaan. Inilah anti‐komunisme–Marxisme– Leninisme. Kekuasaan itu dilancarkan dalam sifat kediktatoran. Mana yang menghalangi harus disingkirkan, kalau perlu dengan jalan membunuh. Komunisme adalah satu paham yang bertentangan seluruhnya dengan paham demokrasi.”46 Dalam menggalakkan kampanye anti‐komunisme, sementara tokoh Masyumi mendirikan organisasi‐organisasi anti‐komunis. Antara lain terkenal dengan Front Anti‐Komunis dengan tokohnya Isa Ansjari. Kegiatan demikian berlanjut dan berkembang di bawah kekuasaan kediktatoran orba Soeharto. Selanjutnya, bertopengkan agama Islam, terbentuk organisasi Front Pembela Islam dan Front Anti Komunis Indonesia (FAKI) yang giat berkampanye anti‐komunis. FPI berkampanye menuntut MPR/DPR untuk mengembalikan Pancasila sesuai dengan Piagam Jakarta, serta untuk pemberlakuan syariat Islam di Indonesia Di samping Masyumi, kalangan Islam membangun berbagai partai politik demi memperjuangkan cita‐citanya. Antara lain partai politik Perti berasal dari organisasi tradisional Islam, Persatuan Tarbiyah Islamiyah yang berpusat di Bukittinggi, Sumatra Tengah. Organisasi ini didirikan di suatu pesantren terkenal di Candung, dekat Bukittinggi, pada tanggal 20 Mei 1930. Dalam Kongres bulan Desember 1945 di Bukititinggi dinyatakan sebagai partai politik. Berbeda dari kalangan tradisionalis di Jawa yang pada umumnya teguh dalam berhadapan dengan pihak kiri, terutama komunis, Perti seakan‐akan sangat bersedia bekerja sama dengan kegiatan‐kegiatan yang diprakarsai PKI. Perti memperlihatkan kegigihan dalam hubungan dengan mazhab Syafii. 45 46
Ibid., h.138. Ibid., h.360.
60 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Dalam Anggaran Dasar dinyatakan, Perti “harus hidup dari abad ke abad sebagai benteng pertahanan Kaum Ahluss Sunnah wal Jamaah yang bermazhab Syafii.” Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) adalah partai Islam tertua di Indonesia, berasal dari Sarekat Dagang Islam (1911) dan Sarekat Islam (1912). Segera sesudah PSII didirikan kembali pada tahun 1947, pimpinan PSII mengumumkan menyatakan bahwa PSII tidak mempunyai pertikaian dengan Masyumi. Nahdatul Ulama (NU) didirikan di Surabaya 31 Januari 1926, sebagai usaha menahan perkembangan paham pembaharu dalam Islam di Tanah Air, serta usaha mempertahankan ajaran tradisional dan mazhab di Tanah Suci yang baru dikuasai golongan Wahabi di bawah Raja Abdul Aziz bin Sa’ud. Perhatian NU dalam bidang politik lebih kentara di masa revolusi. Pada tahun 1945 mengeluarkan fatwa, bahwa mempertahankan tanah air dari serangan musuh merupakan hal yang wajib bagi tiap muslim; NU juga memanggil jihad terhadap Belanda. Oktober 1952, NU menyatakan keluar dari Masyumi. Pada 30 Agustus 1952, berdiri Liga Muslimin Indonesia, yang meliputi tiga partai Islam: Perti, NU, dan PSII. Tujuannya adalah mencapai masyarakat Islam sesuai dengan hukum Allah dan Sunah Nabi. Kemudian sebuah organisasi Islam lainnya Persyarikatan Tionghoa Islam Indonesia yang berpusat di Ujungpandang bergabung ke Liga Muslimin Indonesia. Usaha mendirikan negara Islam tak padam‐padamnya. Tafsir Asas Masyumi menyatakan bahwa, “semua hukum dan peraturan negara harus sesuai dengan hukum dan peraturan Islam,” dan dinyatakan bahwa “Masyumi memperjuangkan kalimah Allah, terlaksananya ajaran‐ ajaran Islam dalam kehidupan orang perseorangan, masyarakat, dan negara dengan tujuan negara yang berkebajikan diliputi oleh kerelaan Ilahi.” Dalam Piagam Perjuangan Masyumi dinyatakan bahwa Masyumi memperjuangkan terbentuknya negara hukum menurut Islam dengan bentuk Republik. Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo (1905—1962) yang semula adalah seorang murid H.O.S. Tjokroaminoto dan menjadi pimpinan Partai Sarekat Islam, memimpin pasukan bersenjata Hizbullah di zaman Jepang, menentang Persetujuan Renville yang ditandatangani pemerintah Amir Sjarifoeddin. Pada tanggal 7 Agustus 1949 memproklamasikan
II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 61
berdirinya Darul Islam di Jawa Barat. Ini mendapat dukungan dari Abdul Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan tahun 1951 dan disusul dengan deklarasi Aceh menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia oleh Daud Beureueh pada tanggal pada 20 September 1953. Pemilihan Umum tahun 1955 menampilkan empat besar, yaitu PNI, Masyumi, NU, dan PKI, dan melahirkan parlemen baru dan Konstituante yang bertugas merumuskan Undang‐Undang Dasar baru Republik Indonesia. Dari anti‐komunisme, Masyumi berkembang menjadi anti‐Pancasila untuk dasar negara. Dan berlanjut dengan usaha‐ usaha pemberontakan bersenjata menggulingkan RI demi mendirikan negara Islam. Sesudah Pemilihan Umum, Bung Karno mengumumkan Konsepsi Presiden untuk membentuk Kabinet Gotong‐Royong, yang terdiri dari wakil‐wakil partai nasionalis, agama, dan komunis. Keinginan Bung Karno membentuk pemerintah koalisi ini ditentang oleh Masyumi dan Partai Katolik. Sementara itu dalam Konstituante timbul perbedaan pendapat mengenai dasar negara. Pemerintah mengambil inisiatif mengusulkan untuk kembali ke Undang‐Undang Dasar 1945. Para wakil Islam memperjuangkan masuknya ungkapan tujuh kata: “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” ke dalam Mukadimah Undang‐Undang Dasar. Berlangsung tiga kali pemungutan suara. Tidak tercapai hasil dua pertiga jumlah suara untuk mengambil keputusan. Konstituante menghadapi jalan buntu dalam merumuskan dasar negara. Pada permulaan tahun 1959, Konstituante telah dapat menyelesaikan 90% dari kerjanya. Namun macet dalam hal dasar negara, karena wakil‐wakil partai Islam terus teguh berpegang pada pendirian tentang Islam sebagai dasar negara. Konstituante tidak berhasil merumuskan Undang‐Undang Dasar baru, karena perbedaan pendapat tak terdamaikan mengenai dasar negara. Masyumi bersama partai‐partai Islam menghendaki Islam sebagai dasar negara. PSI tak menghendaki Pancasila sebagai dasar negara. Hanya PNI dan PKI serta beberapa partai kecil yang menghendaki Pancasila sebagai dasar negara. Jalan buntu diatasi dengan mengambil usulan dari pemerintah yakni kembali ke Undang‐ Undang Dasar 1945. Ini pun ditentang oleh Masyumi. Nasution dan Suwirjo, Ketua Umum PNI, mengusulkan agar Bung Karno membubarkan Konstituante dan mendekritkan “Kembali ke Undang‐Undang Dasar 1945”.
62 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Hingga pada 29 Juni 1959, Bung Karno mengumumkan dekrit di Istana Bogor. Tidak berhasil menempuh jalan legal mendirikan negara Islam, Masyumi menempuh jalan pemberontakan. Pada permulaan tahun 1958, tiga tokoh Masyumi yang pernah mengepalai pemerintah Indonesia sebagai perdana menteri di masa lalu, berkumpul di Sumatra Tengah. Turut hadir dalam pembicaraan‐pembicaraan yang diadakan oleh wakil‐wakil dewan dan komandan militer berbagai daerah serta tokoh‐tokoh politik lain dari ibu kota (seperti Sumitro Djojohadikusumo dari PSI) yang semuanya telah menolak kebijaksanaan pemerintah pusat. Wakil‐wakil dewan dan panglima daerah itu datang dari Sumatra Utara, Tengah, dan Selatan, serta dari Sulawesi (Utara dan Selatan). Di antara mereka, para panglima militer ini serta kalangan PSI, telah memperlihatkan sikap radikal terhadap pemerintahan pusat. Pendapat mereka berkisar dari pemberontakan sampai pelepasan ikatan dari Jakarta (dan mendirikan negara sendiri). Kemungkinan lain ialah bergabung ke Malaya dengan membentuk negara baru.47 Tanggal 10 Februari 1958, atas nama Dewan Perjuangan yang didukung panglima‐panglima militer berbagai daerah itu mengajukan ultimatum ke pusat agar dalam waktu 5 x 24 jam membentuk kabinet baru dengan pimpinan Mohammad Hatta dan Sultan Hamengku Buwono. Ultimatum tidak mendapat respon dari pemerintah Juanda; terbentuklah PRRI dengan Sjafroeddin Prawiranegara sebagai perdana menteri dengan kedudukan di Bukittinggi, Natsir menjadi jurubicara, Burhanuddin Harahap menjadi Menteri Pertahanan dan Kehakiman. Dengan terlibatnya tokoh‐tokoh pimpinan Masyumi dalam pemberontakan PRRI, pada tanggal 17 Agustus 1960 dengan keputusan Presiden No.200/1960, diperintahkan agar pimpinan Masyumi menyatakan partainya bubar. Kalau tidak, Masyumi akan diumumkan sebagai “partai terlarang”. Partai Masyumi dinyatakan terlarang. Kekuatan penganut Islam tetap melanjutkan kehidupan dan perjuangan untuk menegakkan Islam di Indonesia. Kekuatan Islam digunakan dalam teror berdarah pembantaian komunis demi menegakkan kekuasaan orba. Kalangan pengemban politik anti‐komunis berjaya di bawah kekuasaan orba 47
Ibid., h.375. II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 63
Soeharto, menjadi tenaga penegak dan pembela rezim orba. Demi menegakkan Islam, kekerasan demi kekerasan melanda kehidupan masyarakat. Bermuara sampai pada teror berdarah yang mengobankan jiwa manusia.
11. Pengaruh Tiongkok atas Perkembangan Pikiran di Indonesia TIONGKOK bukan hanya negara tetangga yang besar, tetapi juga salah satu tempat asal penduduk Nusantara. Masuknya para pendatang dari daratan Tiongkok berlangsung berkali‐kali selama berabad‐abad. Berdasarkan sensus tahun 1930, dari 1,25 juta orang Tionghoa, 750.000 berasal dari golongan yang dikategorikan sebagai peranakan, 420.000 dari peranakan ini tinggal di Pulau Jawa dan Madura.48 Pada akhir abad ke‐20, di Indonesia terdapat sekitar 2% penduduk turunan Tionghoa. Ini berarti, dari 230 juta penduduk Indonesia, terdapat hampir 5 juta orang turunan Tionghoa. Warga turunan Tionghoa yang sekian besar jumlahnya itu membawa kebiasaan hidup dan cara berpikir yang dianut turun‐temurun. Karena itu, berpengaruh pada masyarakat yang dibaurinya. Mempengaruhi kehidupan masyarakat di bidang ekonomi, budaya, agama, dan politik. Agama Buddha masuk Nusantara dibawa oleh pendeta Buddha. Agama Islam berkembang semenjak tampilnya Kesultanan Demak di bawah pimpinan Raden Patah (1475–1518), turunan darah Tionghoa. Walisongo juga memainkan peranan penting dalam menyebarkan Islam. Di antara Walisongo terdapat tiga orang yang berasal dari turunan Tionghoa. Maka pengaruh Tiongkok dan Tionghoa besar sekali bagi perkembangan pikiran penduduk, perkembangan peradaban; bagi pembangunan dan konsolidasi nasion Indonesia. Jauh sebelum Raden Patah membangun Kesultanan Demak dan mengembangkan agama Islam di Jawa, telah berlangsung hubungan antara Nusantara dan kerajaan di daratan Tiongkok. Raden Patah adalah seorang turunan darah Tionghoa. Ada keterangan bahwa nenek moyangnya adalah orang Tionghoa bernama Cek Ko‐po. Patah berasal dari bahasa Arab “Fatah”, menurut catatan Portugis dipanggil “Patre 48
Siauw Tiong Djin, Siauw Giok Tjhan, Hasta Mitra, Jakarta, 1999, h.14.
64 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Rodin” dan dalam catatan sejarah Tiongkok bernama “Jin Bun”. Ibunya adalah seorang wanita Tionghoa, seorang selir dari Kertabhumi yang memerintah sebagai Raja Brawijaya V dari Majapahit (1468—1478). Sejarah mencatat, pada abad ke‐2 M, Kerajaan Salakanagara dengan Raja Dewawarman telah mengirim utusan ke Tiongkok. Di samping itu sudah berlangsung perpindahan penduduk dari Tiongkok masuk Nusantara. Para peneliti sejarah menyimpulkan bahwa bagian utama dari penduduk yang menjadi bangsa Indonesia berasal dari selatan Asia, dari daerah sekitar Yunnan, Tiongkok Barat Daya.49 Candi Batujaya, stupa bata di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, yang diduga mulai dibangun pada abad ke‐4 M adalah salah satu bangunan Buddha tertua di Nusantara. Sepuluh abad sebelum Christopher Colombus menemukan Amerika tahun 1492, pada awal abad V pengelana dari Tiongkok bernama Fa Xian (337—422) yang 49
Terjadi perbedaan pendapat di antara para ahli sejarah tentang asal-muasal bangsa Indonesia. Dilihat dari akar bahasa yang sama yakni bahasa Austronesia, bahasabahasa yang digunakan di kepulauan Nusantara, Polinesia, dan Melanesia, Prof. Kern menyatakan bahwa nasion Indonesia berasal dari Asia. Sedangkan Willem Smith yang juga melihatnya dari aspek bahasa di mana Smith membagi bangsabangsa di Asia atas dasar bahasa yang digunakan, yakni bangsa yang berbahasa Togon, bangsa yang berbahasa Jerman, dan bangsa yang berbahasa Austria. Lalu bahasa Austria dibagi dua, yaitu bangsa yang berbahasa Austro Asia dan bangsa yang berbahasa Austronesia. Menurut Smith, bangsa-bangsa yang berbahasa Austronesia ini mendiami wilayah Indonesia, Melanesia, dan Polinesia. Sedangkan Brandes dengan melakukan perbandingan bahasa, ada kesamaan nasion-nasion yang bermukim di wilayah yang membentang dari sebelah utara Pulau Formosa di Taiwan; sebelah barat Pulau Madagaskar; sebelah selatan yaitu Jawa, Bali; sebelah timur hingga ke tepi pantai batas Amerika. Berbeda dengan Mayundar yang berpendapat bahwa bangsa-bangsa yang berbahasa Austronesia berasal dari India, lalu menyebar ke wilayah Indocina terus ke daerah Indonesia dan Pasifik. Dilihat dari penemuan artefak, Van Heine Geldern berpendapat bahwa bangsa Indonesia berasal dari Asia Tengah, sedangkan Moh. Ahli berpendapat bahwa bangsa Indonesia berasal dari Yunnan. Para ahli lainnya seperti Hogen berpendapat bahwa orang-orang Melayu yang hidup di pesisir Melayu berasal dari Sumatra, lalu mereka bercampur baur dengan bangsa Mongol dan kemudian disebut dengan Proto Melayu dan Deutro Melayu (Melayu Muda) yang akhirnya menyebar ke seluruh pulau-pulau di Indonesia. Berbagai pendapat dari para ahli tersebut ditentang oleh Yamin yang berani menyatakan bahwa bangsa Indonesia bukanlah berasal dari luar kepulauan Indonesia tetapi asli berasal dari Indonesia sendiri. Ini dibuktikan dari penemuan fosil dan artefak yang ditemukan di Indonesia bahkan lebih lengkap dibandingkan dengan daerah-daerah lain di luar kepulauan Indonesia. II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 65
dalam literatur Inggris biasa ditulis Fa Hien atau Fa Hsien, mengunjungi Nusantara dalam pengembaraannya mencari buku‐buku ajaran Buddha. Kerajaan Buddha pertama kali yang berkembang di Nusantara adalah Kerajaan Sriwijaya yang berjaya pada abad ke‐7 sampai tahun 1377. Kerajaan Sriwijaya pernah menjadi salah satu pusat pengembangan agama Buddha di Asia Tenggara. Ini disaksikan oleh pendeta Buddha yang pertama dari Tiongkok berkunjung ke Nusantara Fa Xian, mampir di Jawa selama lima bulan dalam perjalanannya menuju India. Ia juga menemukan Kerajaan Tarumanagara di Jawa Barat. Pendeta Buddha kedua mengunjungi Nusantara adalah Yi Jing (635‐712),50 yang dalam literatur Inggris biasa ditulis I Tsing, atau I Ching dari dinasti Tang yang aslinya bernama Zhang Wenming. Pada bulan November tahun 671, Yi Jing berlayar dari Guangzhou menuju India, mampir di Pulau Sumatra (kala itu disebut Swarnabhumi) yang merupakan bagian dari Kerajaan Sriwijaya. Ia menemukan bahwa Buddhisme diterima secara luas oleh rakyat, dan ibu kota Sriwijaya (sekarang Palembang) merupakan pusat penting untuk pembelajaran Buddhisme (kala itu Buddha Vajrayana). Yi Jing belajar di Sriwijaya selama beberapa waktu sebelum melanjutkan perjalanan ke India. Yi Jing menjadi pendeta pada usia 14 tahun. Ia adalah pengagum pendeta‐pendeta Fa Xian dan Xuan Zang. Karena bermaksud belajar di Universitas Nalanda di Bihar, India, dengan naik kapal Persia, Yi Jing berlayar dari Guangzhou selama 22 hari, sampai di Palembang, Sriwijaya. Tinggal di sana selama enam bulan, belajar bahasa Sanskrit dan bahasa Melayu. Bepergian ke Kedah, sampai di sebuah kerajaan di Barat Shu. Menurut catatannya, “Orang Kunlun”, maksudnya Melayu, tak bersepatu dan pakai sarung. Ia terus ke Nalanda, India, tinggal di sana 11 tahun. Yi Jing, yang berkunjung ke 50
Yi Jing (635—713 M) adalah salah satu di antara tiga peziarah utama dari Tiongkok, selain dua pendahulunya, Fa Xian dan Xuan Zang. Sejak berusia 18 tahun mempunyai impian untuk pergi ke India yang merupakan pusat pembelajaran pada masa itu. Keinginannya terwujud ketika berusia 37 tahun. Selama lebih kurang 25 tahun, Yi Jing berada di luar negeri. Di antara tempat utama kunjungan adalah Foshi/Shili Foshi dan Moluoyou (Melayu) di mana ia menetap sekitar 10 tahun, begitu juga di Nalanda (India) sekitar 10 tahun. Lihat karya Yi Jing berjudul A Record of the Buddhist Religion as Practiced in India and the Malay Archipelago (A.D.671—695), dapat diakses di https://archive.org/stream/recordofbuddhist00ichi/ recordofbuddhist00ichi_djvu.txt
66 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Nusantara antara tahun 688—695 menulis bahwa ada sebuah kerajaan yang dikenal dengan Mo‐Lo‐Yu (Melayu), yang berjarak 15 hari pelayaran dari Sriwijaya. Dari Ka‐Cha (Kedah), jaraknya 15 hari pelayaran. Menurut catatan Yi Jing, kerajaan tersebut merupakan negara yang merdeka dan akhirnya ditaklukkan oleh Sriwijaya. Yi Jing memaparkan berbagai mazhab Buddha di India. Di Barat India ada mazhab Mahasamghika Nikoya, Sthavira Nikoya, Mulasarvastivadca Nikoya, dan Sammitiya Nikoya. Keempat mazhab ini tergabung dalam dua mazhab Mahayana atau mazhab Hinayana. Yi Jing memuji tingginya taraf pengetahuan Buddhisme di Sriwijaya. Ia menasihatkan agar pendeta Tiongkok yang akan belajar ke Nalanda di India supaya terlebih dahulu belajar di Sriwijaya. Kesempatan Yi Jing mengunjungi Sriwijaya memberi syarat untuk berkenalan dengan mereka yang berdatangan dari negeri‐negeri tetangga. Ia menulis bahwa di timur kota tempatnya belajar, Bhoga, terdapat Kerajaan Jawa, Holing. Dicatatnya bahwa Buddhisme berkembang di seluruh pulau‐pulau Asia Tenggara dan banyak raja atau penguasa pulau di Laut Selatan adalah penganut agama Buddha. Menurut Yi Jing, di India Utara kaum Buddhis adalah penganut mazhab Mahayana Dari Nalanda, di tahun 687 Yi Jing kembali ke Tiongkok, mampir lagi di Sriwijaya, tinggal di Palembang selama dua tahun, menerjemahkan karya‐karya asli agama Buddha dari bahasa Sanskrit. Tahun 695, ia menyelesaikan terjemahan lengkap sebanyak 400 tulisan tentang Buddhisme, dibawa pulang ke Luo Yang. Ia mendapat sambutan kehormatan dari Ratu Wu Zetian. Dua catatan perjalanan karya besar Yi Jing berjudul: 1. Catatan Tentang Buddhisme di Samudera Selatan, dan 2. Catatan Perjalanan Pendeta Buddha dari Dinasti Tang, memaparkan perjalanannya ke Sriwijaya dan India. Perjalanannya berlangsung selama dua puluh lima tahun. Ia sudah menerjemahkan 60 buku agama Buddha ke dalam bahasa Tionghoa, termasuk: Saravanabhava Vinaya; Avadana, yaitu Kisah‐Kisah Perbuatan Besar dalam tahun 710 dan Suvarnaprabhascottamaraja—Sutra, Kitab tentang Raja yang Paling Terhormat dalam tahun 703. Kunjungan pendeta‐pendeta Fa Xian dan Yi Jing ke Sriwijaya membuahkan persahabatan dan penyebaran agama Buddha. Inilah kenyataan sejarah manifestasi hubungan baik dan bersahabat kedua negeri dan rakyat. Tidak sejengkal pun tanah yang direbut dan
II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 67
dikuasainya. Fa Xian dan Yi Jing telah berjasa besar menjalin hubungan Nusantara dan Tiongkok. Catatan perjalanan Fa Xian dan Yi Jing telah membakukan Sriwijaya dalam sejarah, memperkenalkan Nusantara ke dunia luar. Tahun 1293 Kubilai Khan, Kaisar Mongol, cucu dari Jengis Khan, pendiri dinasti Yuan, menyerang untuk menguasai Jawa. Pasukannya dipimpin oleh Ike Mese. Mereka dimanfaatkan oleh Raden Wijaya untuk mengalahkan Jayakatwang di Kerajaan Kediri. Setelah Kediri runtuh, Raden Wijaya dengan siasat cerdik bisa mengusir tentara Mongol keluar dari Jawa. Raden Wijaya kemudian mendirikan Kerajaan Majapahit sebagai kelanjutan Singhasari dan menyatakan dirinya sebagai anggota Wangsa Rajasa, yaitu dinasti yang didirikan oleh Ken Arok. Berbagai invasi ke negeri‐negeri Asia Timur dan Asia Tenggara dilancarkan oleh Kubilai Khan untuk memperluas kekuasaan, melancarkan perdagangan, dan menuntut upeti dari negara‐negara lain Asia. Kekaisaran Dinasti Yuan mencapai batas terluasnya saat di bawah kekuasaan Kubilai Khan, dengan penaklukan tuntasnya atas dinasti Sung pada tahun 1279. Usaha Kubilai Khan menguasai Kerajaan Singhasari mendapat perlawanan. Duta besar yang ditugaskan menuntut upeti dipermalukan. Mukanya dilukai dan disuruh pulang. Pada akhir tahun 1292, angkatan perang Mongol mulai dikirim ke Jawa karena duta besarnya dipermalukan oleh Kerajaan Singhasari di bawah Raja Kertanegara. Pada tahun 1293, angkatan perang tersebut mendarat di Rembang dan mulai melaju ke arah timur. Pada saat mereka tiba, Jawa sedang mengalami kehancuran yang diakibatkan oleh perang. Kerajaan Singhasari sendiri sudah jauh hari dihancurkan oleh Kerajaan Kediri. Pasukan Mongol itu disiasati oleh Raden Wijaya agar membantunya memberontak melawan Jayakatwang, Kerajaan Kediri. Jayakatwang akhirnya tertangkap dan Raden Wijaya mendirikan kerajaan yang diberi nama Majapahit. Pasukan Mongol kemudian diserang oleh Raden Wijaya dan diusir dari Jawa. Panglima Mongol, Ike Mese, yang sudah kehilangan sedikitnya 3000 tentara dan tidak tahan menghadapi iklim tropis yang lembab dan panas itu memutuskan untuk berlayar kembali ke Mongolia dengan berbekal emas, budak, dan hasil rampasan perang lainnya dari Jawa. Kekuasaan Kubilai Khan adalah bersifat angkara murka. Masuknya ke Nusantara tidaklah bersifat bersahabat, maka
68 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
mendapat perlawanan yang menyebabkannya terusir. Sekitar satu abad sebelum pelaut‐pelaut terkemuka dari Italia Christopher Columbus (1451—1506), dari Portugis tahun 1488 Bartholomeuz Diaz dan Vasco da Gama (1460—1524) berlayar meninggalkan Eropa, melewati ujung Afrika Selatan, sampai menemukan benua Amerika; Laksamana Zheng He (1371–1433),51 yang dalam literatur Inggris biasa ditulis Cheng Ho untuk pertama kalinya sudah mengarungi Samudera Hindia sampai ke Afrika Timur atas perintah Kaisar Yong Le, dinasti Ming. Bahwa mendahului pelaut Eropa, Tiongkok pada abad ke‐15 telah memiliki pengetahuan pelayaran yang maju. Menguasai teknologi perkapalan hingga mampu membangun armada yang kuat dan perkasa. Kunjungan Laksamana Zheng He semenjak tahun 1405 merupakan peristiwa bersejarah dalam hubungan Tiongkok dan Nusantara, serta pengembangan pengaruh Islam. Tujuh kali kunjungan selama tahun 1405—1435 merupakan peristiwa yang menjalin hubungan dan kerja sama kalangan Islam Tiongkok dan Indonesia. Laksamana Zheng He berkunjung tahun 1405 membawa Islam dan laki‐laki Tionghoa yang membaur dengan penduduk setempat. Berasal dari keluarga Islam bangsa Hui, Zheng He adalah seorang pelaut, diplomat, laksamana angkatan laut pada awal dinasti Ming. Zheng He memimpin pelayaran ekspedisi ke Asia Tenggara, Asia Selatan, Timur Tengah, dan Afrika Timur dari tahun 1405 sampai 1433. Sebagai peringatan atas kunjungan Zheng He, di Semarang terdapat gedung yang terkenal dengan nama Sam Po Kong, yang berarti Istana San Po, Kuil San Po. Tahun 1404 Kaisar Yong Le menganugerahinya nama marga “Zheng” atas jasanya membela Bendungan Zhenglunba dalam pertempuran tahun 1399 di Beijing dan mengangkatnya jadi Kepala Pejabat‐Pejabat Istana. Tahun 1430, kaisar baru Xuan De mengangkat Zheng He memimpin ekspedisi laut ketujuh ke Samudera Barat (Samudera India). Tahun 1431 Zheng He dianugerahi pangkat “San Bao Taijian”. Dalam setiap ekspedisi mulai dari pertama sampai ketujuh, Zheng He mengunjungi Jawa dan Sumatra. Ini berlangsung pada tahun‐tahun 1405 sampai 1433. Pada kesempatan ini, 51
Nama asli Zheng He adalah Ma San Bao atau 三寶 artinya “Tiga Anugerah”, 三宝, artinya "Tiga Permata", “Tri Ratna” dalam ungkapan Buddha atau 三保, artinya "Tiga Perlindungan", diucapkan sān bǎo. II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 69
Zheng He telah mengunjungi negeri dan kota‐kota Champa, Jawa, Palembang, Malaka, Aru, Samudera, Lambri, Ceylon, Qiulon, Kollam, Cochin, Calicut, Siam, Kayal, Coimbatore, Puttanpur, Kelantan, Pahang, Hormuz, Maldive, Mogadishu, Barawa, Malindi, Aden, Muscat, Dhofar, Bengal, Sharwayn, Djofar. Pada tahun 1416, Laksamana Zheng He dari dinasti Ming melakukan ekspedisi ke‐5 menuju Nusantara. Dalam rombongannya terdapat Syekh Hasanuddin atau yang dikenal dengan nama sebagai Syekh Qura yang berasal dari Champa. Saat armada Zheng He singgah di Karawang, Syekh Hasanuddin beserta pengikutnya turun dan bermukim di Tanjungpura. Atas izin Prabu Niskala Wastu Kancana, Syekh Hasanuddin mendirikan pesantren bernama Pondok Qura di Tanjungpura yang merupakan pesantren tertua di Jawa Barat. Ia kemudian menjadi guru dari Nyi Mas Subang Larang, salah satu istri dari Prabu Sri Baduga Maharaja52 yang menganut Islam. Salah seorang nenek moyang Zheng He adalah Zaidinsyah Shamsuddin, seorang putra raja Xian Yang dari Provinsi Yunnan di masa dinasti Yuan. Kakek Zheng He adalah Haji Charamedin, bapaknya adalah Haji Myrikyn. Maka Zheng He mempunyai latar belakang Islam yang kuat. Ekspedisi pelayaran Zheng He adalah untuk penyebaran Islam, perdamaian, dan persahabatan. Zheng He mengomandoi armada yang besar, perkasa, mampu mengalahkan bajak laut, menangkap pimpinannya dan membawa kembali ke Tiongkok. Walaupun Zeng He mengomandoi armada besar lagi perkasa, mengarungi samudera luas dan mengunjungi berbagai negeri Asia Selatan sampai Afrika Timur, tidak sejengkal pun daerah negeri lain yang didudukinya, tidak satu pun benteng didirikannya di negeri asing. Penghargaan persahabatan dari negeri‐negeri yang dikunjungi Zheng He ditunjukkan oleh berbagai peninggalan sejarah. Salah satu di antaranya adalah di Semarang, dibangun Kuil Sam Po Kong, peringatan bersejarah atas kunjungan 52
Masyarakat Sunda lebih mengenalnya dengan nama Prabu Siliwangi (nama lainnya adalah Pangeran Pamanah Rasa) yang memerintah Kerajaan Sunda dan Galuh selama 39 tahun (1482—1521 M). Dalam kitab Suwasit yang ditulis dalam bahasa Sunda kuno diceritakan bahwa Prabu Siliwangi berhasil menyatukan kerajaan-kerajaan kecil di tanah Sunda. Pada masa kepemimpinannyalah Pakuan mengalami kejayaan. Dari hasil perkawinanan dengan Nyi Mas Subang Larang, lahirlah Kian Santang dan Rara Santang, ibunda dari Sunan Gunung Jati. 70 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Zheng He. Selama 28 tahun, dari tahun 1405 sampai 1433, Zheng He sudah melangsungkan tujuh kali pelayaran. Tiap pelayaran ia memimpin armada meliputi sekitar 200 kapal. Yang terbesar kapal yang mampu membawa 1000 awak kapal, ditambah 1.000 ton muatan, panjangnya 150 meter dan lebar 60 meter. Kapal yang digerakkan dengan kekuatan angin atas 12 layar dengan sembilan tiang. Zheng He telah mampir di banyak negeri Asia dan Afrika, termasuk Brunei, Malaka, Jawa (Semarang dan Surabaya), Palembang, Aceh, Pontianak, Sri Langka, serta Jeddah dan Mekah. Dalam perjalanan ini, Zheng He didampingi sejumlah pejabat beragama Islam. Ketika singgah di Semarang dan Surabaya, Zheng He sudah menemui penduduk beragama Islam, orang Tionghoa penganut Islam yang sudah membangun masjid‐masjid. Mereka menyebarkan Islam mazhab Hanafi dalam bahasa Tionghoa. Hubungan Nusantara dan Tiongkok telah berlangsung selama berabad‐abad. Tercatat para pendeta Buddha yaitu Fa Xian dan Yi Jing berjasa menyebarkan agama Buddha. Di samping itu, Laksamana Zheng He mengembangkan agama Islam. Sejarah menunjukkan bahwa hubungan ini adalah hubungan persahabatan yang memainkan peranan penting bagi peradaban. Salah satu pernyataan hormat dan penghargaan pada Zheng He ditunjukkan oleh Klenteng Sam Po Kong yang terletak di dalam sebuah gua di peluaran kota Semarang dengan nama ‘rumah batu’ atau ‘Gua Sam Po Kong’, dikelilingi gunung dan di sekitarnya penuh dengan pohon‐ pohon besar yang rimbun dan rindang. Setelah memasuki gua dan mendekati Klenteng Sam Po Kong, yang tampak pertama adalah sebuah gapura lengkung yang besar dan megah, di kiri‐kanan atap gapura terdapat dua ekor naga melingkar pada cucuran atap, dengan mulut ternganga memperebutkan sebuah bola mutiara mengilau, menunjukkan gaya “dua naga bermain mutiara”. Di depan pintu mendekam sepasang singa batu, dan di belakangnya masing‐masing berdiri gagah patung batu seorang jenderal penjaga pintu. Seluruh pintu kelenteng dilengkapi dengan atap cucuran melengkung ke atas, tiang dan kasau dirias dengan ukiran dan lukisan sepenuhnya bercorak bangunan tradisional Tionghoa. Pada kedua sisi pintu gerbang tertulis sepasang sajak kuplet antitesis yang berbunyi “Tokoh Yunnan dinasti
II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 71
Ming meninggalkan nama dalam sejarah dunia, air sumur dan gua gunung mengenang kepergiannya.” Kalimat melintang berbunyi: “Kebajikan menenteramkan dan kewibawaan meyakinkan.”53 Klenteng Sam Po Kong berhubungan erat dengan sejarah mulia orang Tionghoa yang telah bekerja sama bahu‐membahu dengan penduduk pribumi Indonesia, dengan susah‐payah membangun kota Semarang selama Zheng He mengunjungi Jawa. Ia juga merupakan sebuah contoh dan bukti hidup tentang sumbangan positif orang Tionghoa untuk pembangunan Indonesia.54 Pendatang Tionghoa masuk Nusantara menjadi penduduk tetap, membaur dan bersatu padu dengan penduduk asli tanpa membuang budaya asli mereka, tetapi tidak menduduki kekuasaan politik yang menguasai hidup kenegaraan. Lewat pembauran dengan penduduk asli, lahirlah peranakan Tionghoa. Pada tahun 1596, empat kapal ekspedisi Belanda dipimpin oleh Cornelis de Houtman berlayar menuju Indonesia. Ini adalah kontak pertama Nusantara dengan Belanda. Ekspedisi ini mencapai Banten, pelabuhan lada utama di Jawa Barat. Di sini mereka terlibat dalam perseteruan dengan orang Portugis dan penduduk lokal. Houtman berlayar lagi ke arah timur melalui pantai utara Jawa, sempat diserang oleh penduduk lokal di Sedayu, yang berakibat kehilangan 12 orang awak dan terlibat perseteruan dengan penduduk lokal di Madura yang menyebabkan terbunuhnya seorang pimpinan lokal. Setelah kehilangan separuh awak maka pada tahun berikutnya mereka memutuskan untuk kembali ke Belanda, namun rempah‐rempah yang dibawa cukup untuk menghasilkan keuntungan. Pada tanggal 20 Maret 1602, para pedagang Belanda mendirikan Verenigde Oost‐Indische Compagnie—VOC (Perkumpulan Dagang India Timur). Pada masa itu, terjadi persaingan sengit di antara negara‐negara Eropa, yaitu Portugis, Spanyol kemudian juga Inggris, Perancis, dan Belanda, untuk memperebutkan hegemoni perdagangan di Asia Timur. Untuk menghadapi masalah ini, oleh Staaten Generaal (pemerintah) di Belanda, VOC diberi wewenang memiliki tentara yang harus mereka biayai sendiri. Selain itu, VOC juga mempunyai hak, atas nama 53
Prof. Kong Yuanzhi, Silang Budaya Tiongkok Indonesia, PT Bhuana Ilmu Populer, Kelompok Gramedia, Jakarta, 2005, h.92. 54 Ibid., h.112. 72 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Pemerintah Belanda—yang waktu itu masih berbentuk republik—untuk membuat perjanjian kenegaraan dan menyatakan perang terhadap suatu negara. Wewenang ini mengakibatkan bahwa suatu perkumpulan dagang seperti VOC, dapat bertindak seperti layaknya satu negara. Dari berdagang, VOC berubah menjadi penguasa kolonial Belanda di Indonesia. Berakar pada rasialisme dan diskriminasi sosial, pihak kolonial Belanda menjalankan kebijakan memecah‐belah, dengan membagi‐bagi penduduk menjadi tiga golongan: golongan pertama adalah orang Eropa, golongan kedua adalah orang asing Timur termasuk orang Tionghoa, dan golongan terendah adalah orang pribumi. Dari zaman Jan Pieterszoon Coen (1587—1629), VOC membentuk satu minoritas yang terdiri dari orang‐orang Tionghoa dan Peranakan Tionghoa. Sejumlah orang Tionghoa yang membantu kolonialisme Belanda mendapat kedudukan khusus. Mereka diberi kedudukan dengan menyandang pangkat letnan, kapten, dan mayor. Mereka mendapat berbagai fasilitas dalam berdagang seperti mendapat pinjaman tanpa bunga, kebebasan pajak, dan sebagainya. Kekuasaan kolonial Belanda berusaha menggunakan peranakan Tionghoa sebagai alat untuk memperkuat kekuasaan kolonialnya. Belanda menempuh cara memberi kedudukan istimewa bagi unsur‐unsur peranakan Tionghoa sebagai orang asing Timur yang disebut “Oostersche vreemdelingen”. Belanda membatasi kebebasan bergerak para pendatang dari Tiongkok, mereka ditempatkan di daerah‐daerah khusus bernama Chinesche Kamp, Kampung Tionghoa, Pecinan. Walaupun diasingkan oleh kekuasaan kolonial Belanda, jumlah terbesar para pendatang dari Tiongkok itu membaur dalam masyarakat Indonesia. Pada pokoknya, mereka adalah kaum pekerja. Mulai dari buruh tambang, kaum tani yang mampu bercocok‐tanam, para ahli kerajinan tangan, pedagang, tukang kayu, pengrajin kerajinan tangan mengolah perak, tukang gunting rambut, pewarung makanan, dan lain‐ lain keahlian. Penduduk asli Nusantara dapat pelajaran dari pendatang ini dalam banyak hal, terutama dalam menghasilkan kebutuhan hidup sehari‐hari. Menghasilkan gula dari tebu atau aren, bercocok‐tanam berbagai macam sayur, memelihara ternak, menghasilkan barang porselen, berdagang, dan lain‐lain. Pengaruh penduduk Tionghoa menjadi saingan bagi kekuasaan kolonial Belanda. Maka dilakukan pembatasan‐pembatasan. Karena itu lahirlah kalangan minoritas berupa
II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 73
keturunan Tionghoa. Dari sini muncul pandangan tentang penduduk asli dan tidak asli. Ini berkembang jadi rasialisme yang dianut sementara politikus Indonesia. Maka dalam Undang‐Undang Dasar RI 1945, terdapat rumusan: “Presiden ialah orang Indonesia asli.”55 Dari sini muncul politik diskriminasi rasial, rasialisme. Kekuasaan kolonial yang rasialis secara sadar berusaha membatasi dan melenyapkan pengaruh Tiongkok dari Indonesia. Ini dilanjutkan dan dipraktekkan rezim orde baru Soeharto. Rezim fasis ini menggunakan istilah Cina untuk menggantikan Tiongkok dan Tionghoa. Perbuatan ini dituangkan dalam keputusan Seminar ke‐2 Angkatan Darat di Bandung 25—31 Agustus 1966 yang memutuskan sebutan “Republik Rakyat Tjina” untuk menggantikan sebutan “Republik Rakjat Tiongkok”, dan “warga Tjina” menggantikan “warga Tionghoa”. Istilah “Tjina” adalah untuk menghina rakyat Tiongkok. Bahkan semua berbau budaya Tiongkok dilarang di bawah kekuasaan rezim orba Soeharto. Mulai dari melarang penggunaan huruf Hanzi, melarang peringatan Hari Raya Imlek, sampai melarang penerbitan berbahasa Tionghoa dan sekolah‐sekolah Tionghoa. Digalakkan usaha mengganti nama‐nama pribadi menjadi nama‐nama Indonesia. Ini semua hakikatnya adalah eliminasi, pelenyapan pengaruh Tiongkok di Indonesia. Dari pengertian adanya golongan minoritas Tionghoa, timbullah masalah asli dan tidak asli. Sesungguhnya ini adalah suatu bentuk diskriminasi terhadap segolongan warga negara yang mengabdi pada kepentingan ekonomi kalangan tertentu. Kementerian Ekonomi dari tahun 1950 sampai 1953 dipimpin oleh Hatta, Djuanda, Sjafroeddin Prawiranegara, dan Sumitro Djojohadikusumo. Walaupun mereka tidak menghapus program politik “asli”, mereka tetap membantah adanya diskriminasi sosial. Untuk melenyapkan segala yang bersifat Tionghoa, kalangan penguasa Indonesia di zaman rezim orba menampilkan gagasan asimilasi bagi warga turunan Tionghoa. Melenyapkan segala sesuatu yang bersifat Tionghoa dalam masyarakat Indonesia adalah tidak mungkin. Ini berarti mengebiri sejarah. Kenyataan dalam sejarah Indonesia tidak mungkin dipalsukan. Tiongkok berpengaruh, mempunyai peranan penting dalam kelahiran, perkembangan bangsa dan budaya Indonesia. 55
Muhammad Yamin, op.cit., h.190.
74 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Menurut Babad Tanah Jawi, Majapahit dikalahkan oleh Kesultanan Demak pada tahun 1527. Pendiri Kesultanan Demak, Raden Patah, adalah putra Raja Majapahit terakhir, Brawijaya V, dengan selir turunan Tionghoa. Di antara Walisongo yang berjasa dalam menyebarkan Islam di Jawa ada yang berasal dari turunan Tionghoa. Kunjungan pertama Laksamana Zheng He yang Islam (1405—1407) membawa Islam ke Indonesia. Ada Walisongo yang lahir dari ibu Tionghoa, seperti Sunan Ampel (1401—1481) yang bernama asli Bong Swi Ho, adalah guru dari Raden Patah; Sunan Bonang, putra Sunan Ampel bernama Bong An; dan Sunan Kalijaga bernama Gam Si Cang. Gus Dur secara terbuka pernah menyatakan bahwa ia memiliki darah Tionghoa. Abdurrahman Wahid mengaku bahwa ia adalah keturunan dari Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak. Tan A Lok dan Tan Eng Hwa ini merupakan anak dari Putri Campa, putri Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V. Tan Kim Han sendiri kemudian berdasarkan penelitian seorang peneliti Perancis, Louis‐Charles Damais, diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qodir Al‐ Shini yang diketemukan makamnya di Trowulan. Perdagangan yang dilakukan oleh orang Tionghoa sudah berlangsung di Indonesia sejak abad ke‐7. Kedatangan orang Tionghoa dalam gelombang besar dimulai sejak abad ke‐15. Pada waktu orang Belanda mendarat di Indonesia pada awal abad ke‐17, pedagang Tionghoa dalam jumlah yang cukup besar telah beroperasi di kota‐kota Pulau Jawa. Pada umumnya mereka berasal dari golongan Hokkian. Pada abad ke‐17, VOC juga mendatangkan pekerja dari Tiongkok untuk keperluan pertambangan. Ketidakadilan terhadap kaum buruh menimbulkan perlawanan terhadap penguasa kolonial Belanda. Pemberontakan terhadap VOC menyebabkan VOC membunuh 7.500 orang Tionghoa tahun 1740. Peristiwa ini terkenal dengan Angke Merah, Sungai Angke di Jakarta berlumuran darah. Di pertengahan abad ke‐19, perpindahan orang Tionghoa ke Hindia‐Belanda meningkat dengan hebat. Mereka pada umumnya berasal dari Tiongkok Selatan dan meninggalkan daerahnya karena keadaan ekonomi yang parah dan kekacauan yang disebabkan oleh pemberontakan Tai Ping. Mereka juga tertarik untuk ke Hindia‐Belanda karena perkembangan ekonomi di sana, apalagi setelah tahun 1870 di
II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 75
mana investasi Belanda dalam bidang perkebunan dan pertambangan di Sumatra dan Kalimantan melonjak dengan cepat. Pendatang baru pada akhir abad ke‐19 ini umumnya berasal dari kelompok Hakka dan Teo Chiu.56 Berkembangnya nasionalisme Tionghoa akibat pengaruh revolusi di Tiongkok di bawah pimpinan Dr. Sun Yat Sen mendorong terbentuknya organisasi Tiong Hoa Hwee Koan (THHK), Persatuan Tionghoa pada tahun 1900. THHK telah membuka kemungkinan bagi para penduduk Tionghoa dari berbagai macam aliran, Hokkian, Hakka, dan Teo Chiu, untuk saling berkomunikasi. THHK didirikan untuk membangkitkan rasa ke‐Tionghoa‐an melalui norma‐norma ajaran Kong Hucu. Para pemimpinnya yang sebagian besar adalah para peranakan yang berpendidikan juga membuka sekolah‐sekolah Tionghoa yang menggunakan bahasa Kuo Yu (Mandarin). Nasionalisme Tionghoa juga terwujud melalui terbentuknya Tiong Hoa Siang Hwee (Kamar Dagang Tionghoa) pada tahun 1906, dan Soe Poe Sia (Klub Pembaca Tionghoa) pada tahun 1909. Soe Poe Sia sangat aktif dalam menerbitkan dan menyebarkan bahan‐bahan bacaan tentang nasionalisme Tionghoa. Organisasi kemasyarakatan ini disusul dengan munculnya beberapa penerbitan surat kabar baru dalam bahasa Tionghoa‐Melayu yang ditujukan untuk penduduk Tionghoa pada tahun 1909 dan 1910. Di Batavia terbit Hoak Tok Po dan Sin Po. Di Semarang terbit Djawa Kong Po. Di Deli‐Sumatra terbit Han Boen Sin Po. Pewarta Soerabaja terbit tahun 1902 di bawah pimpinan The Ping Oen. Adalah para pendatang dari Tiongkok yang memulai membangun organisasi kemasyarakatan modern pada awal abad ke‐20. Tahun 1909 di Buitenzorg (Bogor), Sarekat Dagang Islamiyah didirikan oleh R.A. Tirto Adisuryo mengikuti model Siang Hwee (kamar dagang orang Tionghoa) yang dibentuk tahun 1906 di Batavia. Bahkan pembentukan Sarekat Islam (SI) di Surakarta tidak terlepas dari pengaruh asosiasi yang lebih dulu dibuat oleh warga Tionghoa. Pendiri SI, Haji Samanhudi, pada mulanya adalah anggota Kong Sing, organisasi paguyuban tolong‐menolong orang Tionghoa di Surakarta. Samanhudi juga kemudian membentuk Rekso Rumekso yaitu Kong Sing‐nya orang Jawa. 56
Siauw Tiong Djin, op.cit., h.11—12.
76 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Pada awal abad ke‐20, sekitar tahun dua puluhan, masyarakat peranakan Tionghoa terbagi atas tiga aliran. Pertama, para pendukung Harian Sin Po menganut pandangan mendukung nasionalisme Tionghoa. Kedua, tahun 1927 berdiri Chung Hua Hui yang berfungsi sebagai partai politik yang berkiblat ke Belanda dan tokoh‐tokohnya segera menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) yang dibentuk pemerintah kolonial Belanda sebagai wakil‐wakil Tionghoa. Tokoh‐tokohnya adalah: Kan Hok Hoei, ketua partai Chung Hua Hui (Persatuan Tionghoa). Politiknya adalah mendukung pemerintah kolonial Belanda. Ketiga, muncul aliran baru. Tahun 1932, tokohnya Liem Koen Hian mendirikan partai politik bernama Partai Tionghoa Indonesia (PTI) dan memimpin surat kabar Sin Tit Po. PTI bertujuan mendirikan negara Indonesia. Partai ini menumbuhkan patriotisme, mendorong orang Tionghoa terutama peranakannya untuk menganggap Indonesia sebagai tanah airnya. Tokoh‐ tokoh pimpinan partai ini adalah Liem Koen Hian, Tan Ling Djie, Tjoa Sik Ien, Siauw Giok Tjhan, dan The Boen Liang. Semenjak tahun 30‐an sejumlah tokoh Huakiao telah memainkan peranan penting dalam pergerakan nasional Indonesia. Juga dalam usaha penerbitan yang mengembangkan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia. Sejumlah tokoh Hua Kiao memainkan peranan aktif dalam mengembangkan bahasa dan sastra Melayu yang memajukan bahasa Indonesia. Dalam perbendaharaan kata‐kata Indonesia terdapat tidak kurang dari seribu empat ratus kata yang berasal dari bahasa Tionghoa. Yang paling menonjol menjadi kata‐kata sehari‐hari adalah tahu, tauco, tauge, teko teh, suun, swikee, sekoteng, kucai. Istilah yang berasal dari bahasa Tionghoa ini menunjukkan bahwa jenis makanan dan alat ini menjadi populer di Indonesia berkat ajaran pendatang peranakan Tionghoa. Selama akhir abad ke‐19 dan awal abad ke‐20 koran‐koran orang Tionghoa dalam bahasa Melayu berrmunculan sebagai jamur di musim hujan. Antara lain terdapat Tamboer Melajoe (1885, Semarang), Bintang Semarang (1885, Semarang), Warna Warta (1902, Semarang), Pewarta Soerabaja (1902, Surabaya), Chabar Perniagaan (1903, Batavia), Ik Po (1904, Solo), Djawa Tengah (1909, Semarang), Sin Po (1910, Batavia), Tjahaja Timoer (1914 Surabaya), Tjhoen Tjhioe (Semi Rontok, 1914 Surabaya), Tjahaja Soematera (1918, Padang), Kong Po (1921, Batavia), Asia (1921, Semarang), Bin Seng (1922, Batavia), Hoa Po (1922, Semarang), Nan Yang
II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 77
(1922, Medan), Pelita (1923, Surabaya), Keng Po (1923, Batavia), Sin Jit Po (1924, Surabaya), Sin Bin (1925, Bandung), Soeara Oemoem (1925, Surabaya) yang diubah menjadi Sin Tik Po (1929), dan sebagainya.57 Pada 1920‐an itu harian Sin Po memelopori penggunaan kata Indonesia bumiputera sebagai pengganti kata Belanda inlander di semua penerbitannya. Langkah ini kemudian diikuti oleh banyak harian lain. Sebagai balas budi, semua pers lokal kemudian mengganti kata ʺTjinaʺ dengan kata Tionghoa. Pada 1931, Liem Koen Hian mendirikan Partai Tionghoa Indonesia (dan bukan Partai Tjina Indonesia). Lagu Indonesia Raya yang diciptakan oleh W.R. Supratman pun pertama kali dipublikasikan oleh koran Sin Po. Sebelum Sumpah Pemuda tahun 1928 menyatakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, telah tersebar banyak karya‐karya sastra dalam Tionghoa‐Melayu. Bahasa ini lahir dari bahasa pergaulan peranakan turunan Tionghoa, hingga jadi bahasa peranakan Tionghoa dan berkembang menjadi bahasa Tionghoa‐Melayu. Sastra Tionghoa‐Melayu adalah sumbangan bersejarah dari peranakan Tionghoa bagi perkembangan bahasa Indonesia. Surat‐surat kabar Sin Po, Sin Tit Po, Pewarta Soerabaja, yang terbit mulai tahun 1910 sudah menggunakan bahasa Tionghoa‐Melayu ini. Sebelum tahun 1930‐an, harian edisi Melayu yang diselenggarakan oleh peranakan Tionghoa sekurang‐kurangnya berjumlah 24 buah. Badan penerbit peranakan Tionghoa yang berbobot antara lain Tjoe Siauw Hoei (mertua Tio Ie Soei) dan Wong Kam Po.58 Di samping mendorong perkembangan bahasa Indonesia, para pendatang ini juga menyebarkan agama Tao, Buddha, Ajaran Kong Hucu, San Jiao, dan juga Islam; memperkenalkan berbagai jenis makanan dan keahlian. Dari para pendatang, penduduk asli mendapat pengetahuan kedokteran dan obat‐obat tradisional Tiongkok, penambangan dan penggunaan alat‐alat dari logam, pengolahan tanah, cara bercocok tanam, perikanan, pembuatan teh, kertas, penenunan sutera, pembuatan gula, arak, minyak, pembuatan kapal, pembuatan mesiu, sampai senjata api. Dan yang lebih penting lagi, juga mempelopori pembentukan organisasi modern kemasyarakatan sampai kepada pembentukan partai 57 58
Prof. Kong Yuanzhi, op.cit., h.273. Ibid., h.121.
78 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
politik. Di bidang pendidikan, peranakan Tionghoa memberikan urun yang sangat besar. Salah satu di antaranya adalah Universitas Trisakti yang kini menjadi salah satu universitas terkenal di Indonesia dan juga merupakan salah satu sumbangsih warga Tionghoa di Indonesia. Pada tahun 1958, universitas ini didirikan oleh para petinggi Baperki yang kebanyakan keturunan Tionghoa, salah satu yaitu Siauw Giok Tjhan. Pada tahun 1962 oleh Presiden Soekarno nama universitas ini diganti menjadi Universitas Res Publika hingga 1965, dan sejak orde baru, universitas ini beralih nama menjadi Universitas Trisakti hingga sekarang. Kemajuan gerakan revolusioner Tiongkok berpengaruh besar pada gerakan nasional Indonesia. Bung Karno sebagai tokoh utama gerakan nasionalisme Indonesia mengakui bahwa ia belajar dari San Min Zhu Yi ajaran Sun Yat Sen dan menggali Pancasila. Pada tahun 1907, mendahului terbentuknya Budi Utomo, di Jakarta sudah berdiri cabang Tong Men Hui, organisasi revolusioner yang didirikan oleh Dr. Sun Yat Sen. Sejarah mencatat, kontribusi pemuda turunan Tionghoa dalam proses Kongres Pemuda II yang menghasilkan Sumpah Pemuda. Ada beberapa nama dari kelompok Tionghoa yang duduk dalam kepanitiaan kongres, di antaranya Kwee Tiong Hong dan tiga pemuda Tionghoa yang lain. Kongres menggunakan pondokan pelajar sebagai pangkalannya. Salah satu di antara pondokan pelajar itu adalah Gedung Kramat 106 milik Sie Kok Liong. Di Gedung Kramat 106 inilah sejumlah pemuda pergerakan dan pelajar sering berkumpul. Gedung itu, selain menjadi tempat tinggal dan sering digunakan sebagai tempat latihan kesenian Langen Siswo, juga sering dipakai untuk tempat diskusi tentang politik para pemuda dan pelajar. Terlebih lagi setelah Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI) didirikan pada September 1926. Selain dijadikan kantor PPPI dan kantor redaksi majalah Indonesia Raya yang diterbitkan oleh PPPI, berbagai organisasi pemuda sering menggunakan gedung ini sebagai tempat kongres. Bahkan pada tahun 1928 Gedung Kramat 106 jadi salah satu tempat penyelenggaraan Kongres Pemuda II tanggal 27—28 Oktober 1928. Dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang merumuskan UUD 1945 terdapat 4 orang
II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 79
Tionghoa, yaitu Liem Koen Hian, Tan Eng Hoa, Oey Tiang Tjoe, dan Oey Tjong Hauw. Dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) terdapat 1 (satu) orang Tionghoa yaitu Drs. Yap Tjwan Bing. Liem Koen Hian yang meninggal dalam status sebagai warga negara asing sesungguhnya ikut merancang UUD 1945. Lagu Indonesia Raya yang diciptakan oleh W.R. Supratman pun pertama kali dipublikasikan oleh Koran Sin Po. Demikian pula dalam Peristiwa Rengasdengklok yang punya arti bersejarah mendahului proklamasi kemerdekaan Indonesia. Dalam rangka pemuda mendesak agar segera mengumumkan kemerdekaan, Bung Karno dan Bung Hatta dilarikan pemuda ke Rengasdengklok, daerah yang dikuasai oleh Umar Bachsan, perwira PETA. Teks proklamasi disusun di Rengasdengklok, di rumah seorang Tionghoa, Djiaw Kie Siong. Bendera Merah‐Putih sudah dikibarkan para pejuang di Rengasdengklok pada Kamis tanggal 16 Agustus 1945, sebagai persiapan untuk proklamasi kemerdekaan Indonesia. Dalam pergerakan nasional Indonesia tampil sejumlah tokoh turunan Tionghoa sebagai organisator. Ada yang memangku jabatan menteri dalam berbagai kabinet, seperti Mr. Tan Po Goan, Siauw Giok Tjhan, Dr. Ong Eng Die, Dr. Lie Kiat Teng, Oey Tjoe Tat, Kwik Kian Gie. Umumnya tokoh‐tokoh ini diilhami oleh perkembangan gerakan revolusioner Tiongkok di bawah pimpinan Dr. Sun Yat Sen. Bukan hanya San Min Zhu Yi karya Dr. Sun Yat Sen yang populer di Indonesia. Dengan kemenangan revolusi Tiongkok di bawah pimpinan Partai Komunis Tiongkok, karya‐karya Mao Zedong pun diterjemahkan dan banyak beredar dalam bahasa Indonesia. Yayasan Pembaruan,59 badan penerbitan PKI yang aktif menyebar‐ kan literatur revolusioner, banyak menerbitkan dan mengedarkan karya‐karya Mao Zedong. Di tahun lima puluhan sudah tersebar dalam bahasa Indonesia dan Inggris karya‐karya Mao Zedong: Masalah‐Masalah Strategi Perang Revolusioner Tiongkok, Membetulkan Pikiran yang Keliru, Tentang Praktek, Tentang Kontradiksi, Mengubah Pelajaran Kita. Di samping karya Mao Zedong, juga beredar karya‐karya Liu Shaoqi seperti: Bagaimana Menjadi Komunis yang Baik, Tentang Partai, Tentang Perjuangan Intern Partai, Nasionalisme dan Internasionalisme. 59
Ejaan lama Jajasan Pembaroean.
80 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Dalam mempelajari teori revolusioner, di samping mempelajari karya‐karya Marx, Engels, Lenin, dan Stalin, PKI melakukan pendidikan kader dengan karya‐karya Mao Zedong dan tulisan‐tulisan pengalaman revolusi Tiongkok. Sesudah mengalami pukulan hebat Provokasi Madiun 1948, PKI bangkit kembali di bawah pimpinan D.N. Aidit, M.H. Lukman, dan Njoto. Dalam awal kebangkitan ini, terinspirasi oleh kemenangan revolusi Tiongkok, di kalangan kader PKI berlangsung gerakan belajar menggunakan buku tulisan Kian Ling. Mengenai ini D.N. Aidit menulis: “Belakangan ini kader‐kader dan anggota‐anggota partai banyak membicarakan brosur kecil tulisan Kian Ling tentang: cara berpikir, cara bekerja, kritik dan selfkritik. Tersiarnya brosur kecil ini tepat pada waktunya, yaitu di waktu kelemahan‐ kelemahan dalam partai sedang menonjol kelihatan, dan untuk mengatasinya hanya jika kader‐kader atau anggota‐anggota partai mempunyai cara berpikir yang tepat, cara bekerja yang tepat pula, dan dengan rajin dan sungguh‐sungguh mengadakan kritik dan selfkritik.”60 Tulisan dalam brosur Kian Ling secara sederhana dan mudah dimengerti dalam memaparkan masalah pikiran, cara berpikir yang bertolak dari kenyataan, yaitu penerapan materialisme dialektis dalam kehidupan. Demikian besarnya pengaruh kemenangan revolusi Tiongkok, hingga pada tahun 1954, D.N. Aidit menulis artikel berjudul “Jalan Mao Tjetung adalah Satu‐satunya Jalan Revolusi Indonesia”. Dalam hal belajar dari revolusi Tiongkok, tulisan D.N. Aidit ini meninggalkan masalah perjuangan bersenjata sebagai bentuk perjuangan yang utama, tidak mengingatkan ajaran Mao Zedong bahwa “kekuasaan politik lahir dari laras senapan”, tetapi menitikberatkan pada politik front persatuan nasional. Dengan melewati liku‐liku rumit sejarah, Tiongkok berkembang terus di bawah pimpinan PKT membangun sosialisme berciri Tiongkok. Dari negeri miskin dan terbelakang pada pertengahan abad XX, Tiongkok berubah menjadi negara terbesar kedua di dunia dalam bidang ekonomi, mengungguli Jepang pada awal abad XXI. Ideologi pembimbing PKT pun berkembang menjadi: Marxisme–Leninisme, Pikiran Mao Zedong, Teori Deng Xiaoping, Tiga Butir Mewakili, dan Pandangan Ilmiah Tentang Perkembangan. 60
D.N. Aidit, Mengatasi Kelemahan Kita, dalam Pilihan Tulisan, Djilid I, Jajasan Pembaruan, Djakarta, 1959, h.37—38. II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 81
Kenyataan sejarah menunjukkan, bahwa rakyat Indonesia menimba hikmah dari peradaban dan kemajuan Tiongkok. Sebagaimana di masa silam, dalam perkembangan sejarah selanjutnya, tak bisa lain, Tiongkok akan tetap berpengaruh bagi perkembangan pikiran di Indonesia.
82 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
III Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika
1. Bung Karno dalam Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme (1926) dan Pancasila (1945) ISDV 61 mendahului pembentukan PKI. Lahir organisasi yang per‐ juangannya didasarkan pada Marxisme. Marxisme mulai tersebar di Indonesia. Pada tahun 1926, Bung Karno tampil dengan tulisannya berjudul Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme.62 PKI yang terbentuk tahun 1920, mendasarkan pekerjaannya pada Marxisme–Leninisme. Baru tumbuh telah mulai menerapkan Marxisme, yaitu memadukan diri dengan gerakan revolusioner Indonesia. Lewat berbagai penerbitan partai, Het Vrije Woord, Si Tetap, Nyala, Djago‐Djago, Api, Proletar, Soeara Ra’jat, Titir, mulai berlangsung pekerjaan mempropagandakan program partai dan Marxisme. Pemerintah kolonial Belanda segera memberikan pukulan‐ 61
Berdirinya Indische Sociaal-Democratische Vereniging (ISDV) atau Perhimpunan Sosial Demokrasi Hindia (PSDH) tidak terlepas dari peranan sayap internasionalis yang diwakili oleh Sociaal-Democratische Party (SDP), kelak pada tahun 1919 telah mengubah SDP menjadi Communistische Partij Nederland (CPN). ISDV didirikan pada 9 Mei 1914, atas inisiatif dari Henk Sneevliet, anggota Sociaal-Democratische Arbeiders Partij (Partai Buruh Sosial-Demokrat, Belanda). Pada Kongres tahunan VII, ISDV berubah nama menjadi Perserikatan Komunist di India (PKI) atau Partij der Komunisten in Indie. 62 Sukarno, Dibawah Bendera Revolusi, Djilid Pertama, Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1959, h.1—23. III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 83
pukulan dahsyat dengan melarang pers revolusioner dan penangkapan‐ penangkapan atas kader‐kader pimpinan gerakan buruh yang mengadakan berbagai aksi. Dalam suasana demikianlah tersiar tulisan Bung Karno, Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme. Merupakan angin segar, siraman sejuk bagi kecambah gerakan revolusioner yang sedang tumbuh dan menuju puncaknya dengan Pemberontakan Nasional Bersenjata di bawah pimpinan PKI. Dalam tulisan tersebut Bung Karno mengumandangkan seruan Karl Marx: “Kaum buruh dari semua negeri, kumpullah jadi satu! Dikemukakan bahwa berlainan dengan sosialis‐sosialis lain, yang mengira bahwa cita‐cita mereka itu dapat tercapai dengan jalan persahabatan antara buruh dan majikan, berlainan dengan umpamanya: Ferdinand Lassalle, yang teriaknya itu ada suatu teriak‐pendamaian, maka Karl Marx, yang dalam tulisan‐tulisannya tidak satu kali mempersoalkan kata asih atau kata cinta, membeberkan pula paham pertentangan golongan, paham klassenstrijd, dan mengajarkan pula, bahwa lepasnya kaum buruh dari nasibnya itu, ialah oleh perlawanan‐ zonder‐damai terhadap pada kaum ‘bursuasi’, satu perlawanan yang tidak boleh tidak, musti terjadi oleh karena peraturan yang kapitalistis itu adanya.” Bung Karno menulis, bahwa berguna pulalah agaknya, jikalau kita di sini mengingatkan, bahwa jasanya ahli pikir ini (Karl Marx) ialah: “ia mengadakan suatu pelajaran gerakan fikiran yang bersandar pada perbendaan (Materialistische Dialectiek);—ia membentangkan teori, bahwa harganya barang‐barang itu ditentukan oleh banyaknya ‘kerja’ untuk membikin barang‐barang itu, sehingga ‘kerja’ ini yalah ‘wertbildende Substanz’ dari barang‐barang (arbeids‐waarde‐leer);—ia membeberkan teori, bahwa hasil pekerjaan kaum buruh dalam pembikinan barang itu adalah lebih besar harganya daripada yang ia terima sebagai upah (meerwaarde);—ia mengadakan suatu pelajaran riwayat yang berdasar perikebendaaan, yang mengajarkan bahwa ‘bukan budi‐akal manusialah yang menentukan keadaannya, tetapi sebaliknya keadaannya berhubung dengan pergaulan hiduplah yang menentukan budi‐ akalnya’ (materialistische geschiedenis—opvatting); ia mengadakan teori, bahwa oleh karena ‘meerwaarde’ itu dijadikan kapital pula, maka kapital itu makin lama makin menjadi besar (kapitaalsaccumulatie), sedang kapital‐kapital yang kecil sama mempersatukan diri jadi modal yang
84 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
besar (kapitaalscentralisatie), dan bahwa, oleh karena persaingan, perusahaan‐perusahaan yang kecil sama mati terdesak oleh perusahaan‐ perusahaan yang besar, sehingga oleh desak‐desakan ini akhirnya cuma tinggal beberapa perusahaan sahaja yang amat besarnya (kapitaalsconcentratie); –dan ia mendirikan teori, yang dalam aturan kemodalan ini nasibnya kaum buruh makin lama makin tak menyenangkan dan menimbulkan dendam‐hati yang makin lama makin sangat (Verellendungstheorie).” “Sebagai tebaran benih yang ditiup angin kemana‐mana tempat, dan tumbuh pula dimana‐mana ia jatuh, maka benih Marxisme ini berakar dan bersulur; dimana‐mana pula, maka kaum ‘bursuasi’ sama menyiapkan diri dan berusaha membasmi tumbuh‐tumbuhan ‘bahaya proletariat’ yang makin lama makin subur itu. Benih yang ditebar‐ tebarkankan di Eropa itu, sebagian telah diterbangkan oleh tofan‐zaman ke arah khatulistiwa. Terus ke Timur, hingga jatuh dan tumbuh di antara bukit‐bukit dan gunung‐gunung yang tersebar di segenap kepulauan ‘sabuk‐zamrud’, yang bernama Indonesia. Dengungnya nyanyian ‘Internasionale’, yang dari sehari kesehari menggetarkan udara Barat, sampai‐kuatlah haibatnya bergaung dan berkumandang di udara Timur...” Bung Karno menulis: “taktik Marxisme yang baru, tidaklah menolak pekerjaan‐bersama‐sama dengan Nasionalis dan Islamis di Asia. Taktik Marxisme yang baru, malahan menyokong pergerakan‐ pergerakan Nasionalis dan Islamis yang sungguh‐sungguh. Marxis yang masih sahaja bermusuhan dengan pergerakan‐pergerakan Nasionalis dan Islamis yang keras di Asia, Marxis yang demikian itu tak mengikuti aliran zaman, dan tak mengerti akan taktik Marxisme yang sudah berobah.” “Ada pun teori Marxisme sudah berobah pula. Memang seharusnya begitu! Marx dan Engels bukanlah nabi‐nabi, yang bisa mengadakan aturan‐aturan yang bisa terpakai segala zaman. Teori‐ teorinya haruslah diobah, kalau zaman itu berobah; teori‐teorinya haruslah diikutkan pada perobahannya dunia kalau tidak mau menjadi bangkrut.” “Kaum Marxis haruslah ingat, bahwa pergerakannya itu, tak boleh tidak pastilah menumbuhkan rasa Nasionalisme di hati sanubari kaum buruh Indonesia, oleh karena modal di Indonesia itu
III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 85
kebanyakannya ialah modal asing, dan oleh karena budi perlawanan itu menumbuhkan suatu rasa tak senang dalam sanubari kaum‐buruhnya Rakyat di‐‘bawah’ terhadap pada Rakyat yang d’atas’‐nya, dan menumbuhkan suatu keinginan pada nationale machtspolitiek dari Rakyat sendiri. Mereka harus ingat, bahwa rasa‐internasionalisme itu di Indonesia niscaya tidak begitu tebal sebagai di Eropah, oleh karena kaum buruh di Indonesia ini menerima paham internasionalisme itu pertama‐tama ialah sebagai taktik, dan oleh karena bangsa Indonesia itu oleh ‘gehechtheid’ pada negerinya, dan pula oleh kekurangan bekal, belum banyak yang nekat meninggalkan Indonesia, untuk mencari kerja di lain‐lain negeri, dengan iktikad: ‘ibi bene, ibi patria: di mana aturan kerja bagus, di situlah tanahair saya’,—sebagai kaum buruh Eropah yang menjadi tidak tetap‐rumah dan tidak tetap tanah‐air oleh karenanya.” “Demikian pula, tak pantaslah kaum Marxis itu bermusuhan dan berbenturan dengan pergerakan Islam yang sungguh‐sungguh. Tak pantas mereka memerangi pergerakan, yang, sebagaimana sudah kita uraikan di atas, dengan seterang‐terangnya bersikap anti‐kapitalisme; tak pantas mereka memerangi suatu pergerakan yang dengan sikapnya anti‐riba dan anti‐bunga dengan seterang‐terangnya yalah anti‐ meerwaarde pula; dan tak pantas mereka memerangi suatu pergerakan yang dengan seterang‐terangnya mengejar nationale autonomie. Tak pantas mereka bersikap demikian itu, oleh karena taktik Marxisme‐baru terhadap agama adalah berlainan dengan taktik Marxisme‐dulu. Marxisme‐baru adalah berlainan dengan Marxisme dari tahun 1847, yang dalam ‘Manifes Komunis’ mengatakan, bahwa agama itu harus di‐ ‘abschaffen’ atau dilepaskan adanya.” “Kita harus membedakan Historis‐Materialisme itu dari pada wijsgerig‐Materialisme; kita harus memperingatkan, bahwa maksudnya Historis‐Materialisme itu berlainan dari pada maksudnya Wijsgerig‐ Materialisme tahadi. Wijsgerig‐Materialisme memberi jawaban atas pertanyaan: bagaimanakah hubungannya antara fikiran (denken) dengan benda (materie), bagaimanakah fikiran itu terjadi, sedang: sebab apakah fikiran itu dalam suatu zaman ada begitu atau begini; wijsgerig‐ materialisme menanyakan adanya (wezen) fikiran itu; historis‐materialisme menanyakan sebab‐sebabnya fikiran itu berobah;wijsgerig‐materialisme mencari asalnya fikiran, wijsgerig‐materialisme adalah wijsgerig, historis‐
86 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
materialisme adalah historis.” Di sini Bung Karno memaparkan, bahwa sumber permusuhan kaum agama dengan kaum Marxis itu adalah kesalahan pemahaman tentang perbedaan pengertian Wijsgerig‐Materialisme (materialisme filsafat) dengan Historis‐Materialisme (materialisme historis). “Musuh‐ musuh Marxisme di Eropah, terutama kaum gereja, dalam propaganda anti‐Marxisme tak berhenti‐henti mengusahakan kekeliruan faham itu, tak berhenti‐henti mereka menuduh‐nuduh, bahwa kaum Marxisme itu yalah kaum yang mempelajarkan, bahwa fikiran itu hanyalah suatu pengeluaran sahaja dari otak, sebagai ludah dari mulut dan sebagai empedu dari limpa; tak berhenti‐henti mereka menamakan kaum Marxis suatu kaum yang menyembah benda, suatu kaum yang bertuhankan materi.”63 Pandangan dan gagasan Bung Karno menggalang persatuan bangsa yang tertuang dalam Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme tahun 1926 berkembang menjadi Pancasila di tahun 1945 dan bermuara pada gagasan persatuan nasional berporoskan nasakom pada tahun enam puluhan abad XX di puncak kejayaan Bung Karno memegang tampuk negara Republik Indonesia. Dengan berkobar‐kobar gandrung akan Marxisme, pada kesempatan memperingati 50 tahun wafatnya Karl Marx, Bung Karno menulis: “Nasionalisme di dunia Timur itu lantas ‘berkawinlah’ dengan Marxisme itu, menjadi satu nasionalisme baru, satu ilmu baru, satu iktikad baru, satu senjata‐perjoangan yang baru, satu sikap‐hidup yang baru. Nasionalisme‐baru inilah yang hidup di kalangan Rakyat Marhaen Indonesia.” 64 Dalam banyak kesempatan, Bung Karno terus terang mengaku sebagai seorang Marxis, dan dalam perkembangannya menyatakan bahwa ajarannya yaitu Marhaenisme adalah penerapan Marxisme di Indonesia.65 63
Ibid., h.1—23. Ibid., h.220—221. 65 Bung Karno menyatakan bahwa “Marhenisme adalah Marxisme yang diselenggarakan, dicocokkan, dilaksanakan di Indonesia.” Selanjutnya Bung Karno menjelaskan bahwa, “Kalau dus ingin memahami betul Marhaenisme—ini saya menyimpang sebentar—harus memahami dua hal. Lebih dulu memahami Marxisme, apakah Marxisme itu, satu. Dan kedua, memahami keadaan-keadaan di Indonesia.” Lihat Pancasila Bung Karno, Demokrasi Indonesia Membawa Corak Kepribadian Bangsa, Kursus ke-5 Tentang Pancasila, 3 September 1958 di Istana Negara, 64
III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 87
2. Analysis (1947) BULAN April 1947, Agitprop CC PKI, Djokjakarta, menerbitkan Analysis, karya Alimin. Alimin sebagai seorang pejuang revolusioner yang baru datang dari luar negeri mengemukakan bahwa karya ini ditulis atas permintaan kawan‐kawan, untuk menjawab soal‐soal yang langsung bersangkutan dengan partai. Yang dipaparkan adalah mengenai: 20 tahun partai terlantar, dirusak oleh reaksi dan kawan‐kawan sendiri yang masih terjangkit penyakit ‘kiri’—penyakit kanak‐kanak, dan kawan‐kawan yang tidak lurus hati (yang dimaksud adalah penganut paham Trotskisme). Namun, “sekarang Partai banyak mendapat tenaga yang baik, Partai mulai menuju ke arah teori, teori Marxisme dan Leninisme. Partai mewajibkan pada seluruh anggotanya supaya banyak belajar tentang ilmu revolusi dan perjoangan kaum sekerja, inilah tanda‐tanda yang sehat.”66 Dikemukakan bahwa “Partai Komunis ialah partai kasta buruh dan kasta tani, ialah avangard kasta proletar. Supaya partai sungguh‐ sungguh menjadi Partai‐Avangard, perlulah partai diberi senjata teori revolusioner—teori dan wet‐wet revolusi. Apabila tidak begitu, Partai akan tinggal impoten. Partai tidak bisa memberi pimpinan pada perjuangan proletar.” Mengenai riwayat Revolusi Indonesia, harus diketahui yang penting dan bagian historis, agar supaya orang bisa mengetahui kekuatan dan kelemahannya revolusi dan dengan jalan begitu orang mendapat paham yang jelas tentang revolusi itu. Revolusi Indonesia mempunyai watak sendiri, watak yang berlainan daripada watak yang menurut hukum‐hukum (wet‐wet) revolusi pada umumnya. Kekuatan revolusi nasional mulai dari 8 Maret 1942 yang didahului oleh intervensi militer Jepang di Indonesia itu adalah datang dari luar. Ada beberapa hal dan keadaan internasional yang menetapkan kemenangannya h.193—196. Lihat Amanat Gemblengan Pertama dan Kedua Paduka Yang Mulia Presiden/Pemimpin Besar Revolusi/Bapak Marhaenisme Bung Karno, 24—25 Maret 1965, Gelora Bung Karno Senayan Jakarta. 66 Alimin, Analysis, Agit-prop CC PKI, Yogyakarta, 1947. 88 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
revolusi di Indonesia. Kemenangan revolusi itu telah mematahkan salah satu mata‐rantai imperialisme di Lautan Pasifik. Dengan kekuatan dari luar dan kekuatan dari dalam, maka dapatlah revolusi Indonesia menggugurkan kekuasaan borjuis nasional (raja, regen, dan lain‐lain perkakas negara) dan selanjutnya dengan mudah membasmi pula restan‐restan dan kekuatan borjuis asing (Belanda dan kaki tangannya). Sebab‐musabab kemenangan revolusi Indonesia adalah: 1. Kemenangan Sekutu (Uni Sovyet, Amerika, Inggris, Perancis dan Tiongkok) dalam Perang Dunia II; 2. Kekalahan Jepang di Asia‐Pasifik; 3. Ambruknya kekuatan imperialisme Belanda seusai Perang Dunia kedua; 4. Cita‐cita kemerdekaan bangsa‐bangsa mendapat dukungan klas pekerja di seluruh dunia; 5. Yang terpenting, di Indonesia sudah terdapat berbagai partai yang berpengalaman dan militan melawan imperialisme. Analysis ini mengkritik buku Thesis karya Tan Malaka yang terbit tahun 1946. Dikemukakan bahwa “Tan Malaka menulis beberapa soal rempah‐rempah yang tidak aktueel lagi.” Dan bahwa “kewajiban kaum kerja pada masa yang akan datang ialah mempelajari politik empat negeri besar, terutama politik dan ekonomi Amerika dan Sovyet Uni. Harus mempelajari dua aliran besar sedalam‐dalamnya. Dalam abad yang ke‐20 ini, adalah hanya dua sistem sosial saja, sistem sosialisme dan sistem kapitalisme.” Analysis mengkritik Thesis yang mengatakan sosialisme itu dibentuk oleh Marx dan Engels kira‐kira 100 tahun yang lampau. Ini tidak tepat, Robert Owen adalah orang yang mencoba mempraktekkan sosialisme di Irlandia dan kemudian di Amerika. Sosialisme Owen adalah sosialisme utopi.67 67 Nama utopis diambil dari buku Thomas More, Kanselir Inggris di masa pemerintahan Raja Henry VIII yang diterbitkan pada tahun 1816 yang berjudul Tentang Keadaan Negara yang Terbaik dan Tentang Pulau yang Baru Utopia. Di Pulau Utopia tidak akan ada lagi milik perorangan, hari kerja ditetapkan sampai jam 6 dan baik laki-laki maupun perempuan diwajibkan bekerja. Kewajiban belajar yang umum bagi anak laki-laki maupun perempuan serta kebebasan agama yang mutlak. Kata “sosialisme” berasal dari bahasa Latin kuno “socialis” yang berarti pendamping, pandai bergaul/supel/ramah tamah, dan seterusnya. Istilah ini muncul di Jerman, Italia, dan negara-negara lainnya pada abad XVIII yang mengacu pada sifat sosial manusia. Pada 1820-an, Saint-Simon dan Robert Owen mulai menggunakan kata “sosialisme” sebagai pemikiran sosial baru, nama sistem sosial
III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 89
Marx dan Engels tidak membentuk sosialisme, akan tetapi mereka mempelajari dan meninggikan teori masyarakat sosialis. Jadi ada dua corak sosialisme. Satu sosialisme utopi dan yang lain “scientific socialism” atau sosialisme yang berdasarkan ilmu pengetahuan.68 Dalam Thesis, Tan Malaka menerangkan bahwa sistem sosialisme dan sistem kapitalisme bertentangan, dan buntut kapitalisme ialah imperialisme. Analysis menulis bahwa “sistem sosialisme dan sistem kapitalisme itu terus‐menerus tentang‐menentang dan tidak saja pertentangan yang terus‐menerus, akan tetapi sebaliknya pada puncaknya krisis kapitalisme, kapitalisme itu sendiri akan memperkosa diri sendiri untuk melahirkan sosialisme atau lebih terang lagi, sosialisme itu lahir dari kandungan kapitalisme sendiri. Ia lahir dipaksa oleh tenaga pendorong atau akal revolusioner dari kaum kerja.... Sosialisme itu ialah suatu sistem sosial yang dilahirkan oleh aksi revolusioner dari kaum kerja dan kawan‐kawan seperjuangannya. Jadi, sosialisme itu lahir dari kandungan masyarakat kapitalis dengan syarat tenaga pendorong—aksi yang aktif dan aksi revolusioner. Menurut historis‐materialisme, peralihan dari satu masyarakat ke lain masyarakat—peralihan ke tingkat yang lebih tinggi—umpamanya masyarakat perbudakan menjadi masyarakat feodal, dan dari kandungan masyarakat feodal itu lahirlah masyarakat kapitalis. Perpindahan atau peralihan dari satu masyarakat ke masyarakat lain itu tidak terjadi dengan jalan damai atau aman, tetapi dengan jalan baru. Pemikir utama sosialis utopis tidak pernah benar-benar menggunakan ini untuk menyebut diri mereka; istilah “sosialisme utopis” awalnya diperkenalkan oleh Karl Marx dan kemudian digunakan oleh pemikir-pemikir sosialis setelahnya. Pemikir utama sosialisme utopis: Robert Owen, Étienne Cabet, Saint-Simon, dan Charles Fourier. 68 Pada 1872, Friedrich Engels untuk pertama kalinya menggunakan konsep “sosialisme ilmiah” yang ia tuangkan dalam karyanya yang berjudul Tentang Masalah Perumahan. Dua tahun kemudian, Karl Marx dalam Ikhtisar Statis dan Anarkis Bakunin menjelaskan bahwa: mereka menggunakan konsep sosialisme ilmiah sebagai lawan dari sosialisme utopis. Pada 1875, Marx dalam Kritik terhadap Program Gotha mengusulkan teori dua tahap perkembangan komunisme, namun tidak mengungkapkan bahwa tahap awal komunisme adalah sosialisme. Pada 1916, Lenin, dalam sebuah artikel “Diskusi Kesimpulan Perdebatan Tentang Isu Penentuan Nasib Sendiri” menunjukkan bahwa sosialisme adalah tahap pertama dalam perkembangan komunisme. Pada 1917, Lenin dalam bukunya Negara dan Revolusi menjelaskan bahwa sosialisme adalah tahap pertama dari komunisme. 90 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
pertentangan dan perjuangan—dengan jalan perlawanan mati‐matian.” Tan Malaka menerangkan bahwa “masyarakat sosialis itu ialah masyarakat yang tidak berkasta‐kasta. Itu tidak hanya begitu saja. Sosialisme ialah sistem sosial dari suatu masyarakat di mana orang bebas dari tindasan orang lain. Jadi, sosialisme ialah suatu masyarakat di mana penduduknya terhindar dari segala macam penindasan. Dalam masyarakat sosialis, alat‐alat pembikinan barang dikuasai oleh segenap kaum kerja, dan sebaliknya dalam masyarakat kapitalis alat‐alat itu dimiliki hanya oleh segenggam orang saja. Sistem kapitalisme tumbuh menjadi tinggi dan puncaknya ialah imperialisme. Jadi imperialisme bukan buntut, tetapi sebaliknya imperialisme ialah yang tertinggi atau ujung daripada kapitalisme. Dan bersama‐sama dengan timbulnya imperialisme, timbullah revolusi proletar. Jadi imperialisme ialah tingkat kapitalisme yang tertinggi—tingkat yang penghabisan, tingkat yang melahirkan corak revolusi yang tertinggi, yaitu revolusi proletar.”69 Analysis mengkritik Thesis yang menganjurkan semangat ‘adventure’, mencoba‐coba sesuatu yang mengandung bahaya maupun mesti dilakukan. Ia menghargai semangat ‘adventure’ sebagai syarat untuk mencoba‐coba sesuatu perbuatan yang berbahaya. Jadi, dengan semangat ‘adventure’, ia ingin merebut kekuasaan. Jadi, untuk melakukan ‘putsch’ yang berbahaya—dengan tidak pakai perhitungan— ‘by chance’ orang harus bertindak dengan berani disertai dengan semangat ‘adventure’. Dalam Thesis, Tan Malaka menyangkal keras tuduhan Trotskisme.70 69
Baca buku Imperialisme Tingkat Tertinggi dari Kapitalisme karya V.I. Lenin. Buku tersebut mengungkapkan esensi dan karakteristik dasar dari kapitalisme monopoli. Penulis buku tersebut berdasarkan hasil penyelidikan terdahulu tentang imperialisme dari J.A. Hobson, Imperialism (1902) dan Rudolf Hilferding, Finance Capital (1909), menunjukkan bahwa “imperialisme ditandai oleh rezim kapital monopoli” dan juga telah menyimpulkan bahwa “imperialisme adalah fase resesi atau menurunnya dari kapitalisme.” 70 Tan Malaka ada yang mengategorikannya sebagai Trotskis, terutama karena telah meninggalkan PKI dan dilihat dari ulah kekiri-kiriannya. Namun Komite Internasional dari Internasionale Keempat (ICFI) menolak penyamaan politiknya dengan politik Tan Malaka. Di Srilangka, Partai Langka Samasamaja (LSSP) yang pernah terkenal sebagai partai Trotskis, oleh ICFI dikategorikan sebagai partai borjuis. Di sini tidak berarti membenarkan garis politik ICFI. Penolakan ICFI terhadap politik Tan Malaka dan politik Partai Langka Samasamaja adalah untuk menutupi belangnya sebagai organisasi pseudo-revolusioner. Sebab, bekas pengikutIII — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 91
Analysis menyatakan, “kami tidak menuduh, kami tidak mendakwa, kami tidak pernah memfitnah orang, kami tidak suka menusuk‐nusuk dan membusuk‐busukkan kawan atau lawan, kami hanya bekerja untuk keperluan Partai, meninggikan kwaliteit Partai dan menjunjung tinggi prestise Partai. Dalam Partai Komunis (Bolsyewik) tidak ada perbedaan besar kecil, tidak ada perbedaan pemimpin dan anggota, pemimpin yang berjasa atau anggota biasa yang jujur dan bekerja baik buat Partai, mereka di muka Partai berdiri tegak bersama‐sama, bertanggungjawab bersama bagi keperluan Partai. Partai Komunis bukan Partai borjuis, bukan Partai adpokat atau juris yang mendakwa atau yang menentang atau memungkiri dakwaan dengan cerdik dan licin bicara untuk menghindari tuduhan atau dakwaan. Partai Komunis melakukan pemeriksaan atau suatu soal—meminta pada anggota‐anggotanya siapa pun juga, pemimpin atau anggota biasa, menerangkan terus‐terang, menunjukkan kebenarannya dan mengakui kesalahannya sebagai orang Komunis—sebagai Bolsyewik di hadapan Partai. Kami orang Komunis bukan seorang dua orang yang tercerai‐berai, akan tetapi kami adalah Partai yang bulat sebagai satu badan Partai yang mengikat seluruh anggota dan pemimpinnya dalam satu ikatan. Partai adalah kekuasaan atau autoriteit yang tertinggi dan yang berkuasa. Di negeri sejuk, di negeri Jerman, di Amerika, di Inggris, di Perancis dan juga di Tiongkok kawan‐kawan Komunis yang mengakui kesalahannya dan menolak tuduhan‐tuduhan yang memberatkan pada dirinya dengan perbuatan yang nyata dan yang jujur terhadap Partainya, dapatlah kehormatan dan junjungan yang tinggi.” Mengenai ‘royeeran’ (pemecatan dari partai), Analysis memaparkan bahwa Tan Malaka merasa tidak senang hati, bahwa ada kabar ia telah diroyeer.... “Dari fihak Partai, waktu Partai dipimpin oleh kawan‐kawan lain, dan juga setelah kembali di tangan kami, kami tidak memperhatikan soal‐soal partai lain atau soal‐soal seseorang yang tidak berhubungan dengan Partai. Kami hanya berdaya‐upaya membangunkan dan mendidik kader baru, mengumpulkan kawan‐ kawan yang tidak curang dan kawan‐kawan yang lurus hati dan pengikutnya banyak yang memanifestasikan diri di dalam politik yang tidak ada ubahnya seperti politik borjuasi. Lihat Soegiri D.S., Spektrum Kemerdekaan Indonesia: Sebuah Tinjauan Elektif, diakses dari http://www.geocities.org/edicahy/ sej-ind/spektrum.html. 92 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
bersama‐sama kami berikhtiar mendirikan sekolahan dan kursus‐kursus bagi pemuda yang kami didik dalam ilmu Marxisme – Leninisme, yang kemudian hari akan jadi dasarnya Partai kami. Partainya Lenin dan Stalin. Kami tidak suka meminta dan mengundang kawan‐kawan atau anggota Partai yang lama kembali ke dalam Partai dengan tidak kehendaknya sendiri. Menurut hukum Partai, anggota Partai yang telah lama tidak bekerja bagi Partai atau telah lama dengan sengaja menjauhkan diri dari Partai atau masuk anggota Partai lain, maka orang atau anggota itu dengan sendirinya dikeluarkan dari Partai—jadi orang itu bukan anggota Partai lagi. Partai Komunis mempunyai disiplin dan hukum sendiri. Partai Komunis bukan Partai borjuis dan juga bukan Partai nasional di mana anggota‐anggotanya bertindak atau berbuat semau‐maunya sendiri. Pada kaca yang penghabisan penulis Thesis minta dibuktikan siapa yang meroyeernya dan di mana ia berada pada waktu ia diroyeer. Lebih lanjut dikatakannya, bahwa di sini ada dua Tan Malaka. Tan Malaka palsu dan Tan Malaka sebenarnya. PKI tidak bisa meroyeer orang yang bukan anggota partai, dan Tan Malaka bukan anggota partai lagi. Seperti Nath Roy di India—ex‐ Komunis, yang mendirikan partai lain di India telah diroyeer oleh partai—akan tetapi Roy nekat, dikatakannya ‘Saya tidak mau diroyeer, saya orang Komunis’. Partai tidak mau mengakuinya sebagai anggota lagi. Baik Tan Malaka palsu atau Tan Malaka sebenarnya. Partai menolak kedua‐duanya, baik yang sebenarnya, apalagi yang palsu. Dalam ‘Thesis’ di sana‐sini orang mengutip dua tiga kalimat dari buku Riwayat Partai Komunis Negeri Persatuan Komunis (History of the CPSU). Kutipan‐kutipan itu untuk menunjukkan kesalahan seseorang dan membenarkan orang lain. Dalam tulisan itu disebut nama‐nama Zinoviev, Kamenyev, dan lain‐lain. Orang‐orang ini termasuk dalam golongan atau blok Trotskisten seperti Bukharin dan lain‐lain, Limonadze dan Shatskin, orang dua inilah yang senantiasa berteriak‐ teriak—‘real shouters’—pada satu masa mereka memuji Partai dan mencela NEP71 dan pada lain masa mereka memuji NEP dan mencela 71 Pada 15 Maret dalam Kongres X PKUS (B) atas usulan Lenin, Kongres mengesahkan resolusi, memutuskan untuk mengganti pemungutan pajak surplus makanan gandum, menggantikan Komunisme Perang dengan Politik Ekonomi Baru (New Economic Policy, Novaya Ekonomicheskaya Politika). Gagasan penting dari
III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 93
Partai serta mencela ini dan itu. Sepak terjang dua orang ini diamat‐ amati. Setelah ketahuan bahwa ternyata mereka menjadi sel Trotskisten, mereka kemudian mengambil keputusan sendiri ... mereka bunuh diri. Kejadian semacam ini banyak sekali terjadi pada waktu diadakan pembersihan dalam Partai.” Mengenai Trotskisme,72 Analysis memaparkan bahwa itu adalah oposisi menentang partai. Mula‐mula oposisi dijalankan dengan alasan politik. Tetapi kemudian dalam prosesnya menjadi satu gerakan sabotase, menggunakan teror, membunuh pegawai negeri dan orang‐ orang Sovyet yang ternama. Pergerakan Trotskisten dan Trotskisme menjadi pergerakan teroris. Moralnya kaum Trotskisten merosot begitu rendah sehingga melakukan beberapa pembunuhan seperti pada Gorky di Moskow, Kirov di Leningrad, meracun beberapa pegawai negeri yang baik‐baik, menggulingkan kereta api, memberi racun dalam makanan yang disediakan untuk rakyat Sovyet. “Trotski atau Trotskisme adalah satu golongan yang berbahaya. Trotski pernah menjadi salah satu anggota pergerakan kaum kerja di Rusia. Ia dan kawan‐kawannya telah terbuka rahasianya dan bersama‐ sama dengan lain kaum kontra‐revolusioner. Trotskisten dan Trotskisme telah dibasmi di negeri Sovyet. Di Eropa, Trotskisme itu masih berlaku di antara kasta borjuis kecil dan golongan anti‐revolusioner. Trotskisten dan Trotskisme itu berbahaya, karena bekerja diam‐diam dan dengan
Lenin tersebut adalah secara objektif memperkirakan kompleksitas dan pengembangan tahap transisi menuju sosialisme. Sosialisme harus memiliki bahan pondasi yang kuat, mengambil keuntungan dari hubungan antara uang dan komoditi yang didistribusikan, mengadakan koperasi untuk kaum tani yang akan membimbing mereka ke jalan sosialisme, benar-benar harus melihat dan memanfaatkan kapitalisme. 72 Trotski dan penerusnya selalu membantah adanya “Trotskisme”. Mereka mengaku menjadi murid yang setia dari Lenin. Menurut mereka istilah tersebut diciptakan oleh “Stalinis” untuk siapa pun yang telah menyerang Uni Soviet di bawah kepemimpinan Stalin. Namun untuk adilnya, Trotski yang mengaku murid Lenin harus dibiarkan berbicara bagi dirinya sendiri, “Para petengkar yang malang secara sistematis diprovokasi oleh Lenin, bahwa tangan lama dalam permainan, secara profesional mengeksploitasi semua yang terbelakang dalam gerakan buruh Rusia, tampaknya seperti obsesi yang tidak masuk akal.... Seluruh bangunan Leninisme dibangun di atas kebohongan dan pemalsuan dan para beruang di dalam dirinya terdapat unsur-unsur beracun dari pembusukannya sendiri.” (“Surat kepada Chkeidze”, 1913) 94 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
sembunyi memakai nama ‘komunis’, ‘revolusioner’, ‘Marxis’. Dulu banyak kaum Trotskisten menjadi anggota Partai. Mereka tahu cara‐cara kami bekerja.” Sesuai dengan pengalaman orang komunis keluar dari partai dan membangun partai lain yang dipaparkan dalam Analysis, di Indonesia, partai Pari 73 yang dibangun Tan Malaka di luar negeri tahun 1927, berlanjut dengan Partai Murba memainkan peranan dalam membantu Pemerintah Hatta melancarkan provokasi Madiun 1948 yang membasmi tokoh‐tokoh utama PKI, termasuk Musso. Tokoh‐tokoh terkemuka Partai Murba, terutama Adam Malik—anak emas Tan Malaka dan seorang pengagum Trotski, sampai anaknya pun diberi nama Trotski— mengambil sikap anti‐PKI, anti politik‐politik besar Bung Karno, jadi tiang penyangga rezim orba menggulingkan Bung Karno, jadi sekutu setia dari Soeharto, bahkan jadi wakil presiden. Mengenai dialektika, Analysis memaparkan bahwa “dialectics adalah hukum pergoyangan (beweging), hukum gerak, hukum tegenstelling atau pertentangan, ialah hukum kemajuannya masyarakat yang terdiri dari beberapa golongan. Dialectics adalah hukum segala gerak, gerak baik di luar (lahir), maupun di dalam jalan pikiran manusia (bathin), semua itu terikat oleh hukum dialectics, bahwa hukum dialectics itu menentukan proses lahir‐melahirkan, proses terus‐menerus atau ungkir‐mengungkiri (negasinya negasi—negation of negation). Dialectics dalam proses ganti‐mengganti, robah‐merobah dari encer menjadi kental (beku) dan dari beku menjadi encer, jadi dari kwantiteit menjadi kwaliteit dan vice versa atau sebaliknya. Inilah dialectikanya kwantiteit. Di lain soal, dialectics itu memeriksa hal‐hal seperti dialectics biologi, dialectics botani (ilmu tumbuh‐tumbuhan) dan dialectics zoologi 73
Menurut Tan Malaka, Pari didirikan bukan sebagai penerus PKI, tetapi sebagai partai baru, Partai Proletaris-Revolusioner yang berdikari lepas dari Komintern. Jadi di sini Tan Malaka dalam keadaan PKI sedang terpukul karena kekalahan pemberontakan, bukannya berusaha memperbaiki PKI agar bisa bangun kembali, malahan mendirikan partai baru sama sekali. Karena Komintern memang tidak mengetahui usaha perseorangan Tan Malaka ini, Komintern masih terus memberikan tugas-tugas kepadanya. Tetapi demikian Komintern mengetahui tindakan Tan Malaka dengan adanya dan tujuan Pari, maka hubungan antara Tan Malaka dengan Komintern putus dan tidak dipulihkan kembali. Lihat: Imam Soedjono, Yang Berlawan: Membongkar Tabir Pemalsuan Sejarah PKI, Resist Book, 2006. III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 95
yang telah berjuta‐juta abad terus‐menerus lahir‐melahirkan, ada mengadakan, menjadi dan rusak. Begitu juga dialectics dalam alam, yaitu Naturas atau Alam mengalamkan, turun‐temurun. Dialectics Marx itu khususnya digunakan untuk memandang jalannya gerakan revolusioner. Pemandangan yang jauh dari fantasi, jauh dari cita‐cita, jauh dari taksiran dan jauh lagi dialectics yang berdasarkan atas semangat ‘adventure’, ‘avontorisme’, etc., etc. Maka apabila orang mengerti kebenarannya dialectics dengan didasarkan atas semangat ‘adventure’ maka orang itu menyasarkan faham dialectics. Dalam Marxisme sangat terlarang adanya aliran ‘oportunisme’, ‘putchisme’.... Orang yang menuju ke sesuatu tujuan yang ‘tinggi’ dan mendasarkan kehendaknya itu atas perasaan yang ‘ambitious’, ‘adventurous’, maka orang itu akan mengandaskan dirinya atas karang oportunisme, atas karang kontra‐dialectics.’” Analysis membantah pandangan mengenai Peristiwa Tahun 1926 yang dipaparkan Thesis. Dikemukakan bahwa Tan Malaka mengumumkan dirinya sebagai seorang yang memegang mandat dari Internasionale III, sebagai seorang yang “berkuasa”, yang “dibenoemd”. Mengumumkan hal yang demikian adalah melanggar hukum kerja rahasia, yang merupakan pengakuan akan terlibatnya Internasionale dalam masalah revolusi negeri‐negeri tertentu.74 Dinyatakan bahwa Thesis mengaduk‐aduk Keputusan Prambanan dan putusan lainnya yang diambil oleh partai. Revolusi 1926 adalah suatu kejadian yang penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Revolusi yang pertama yang pecah pada tahun 1926 adalah pelopornya revolusi‐revolusi jajahan di Lautan Pasifik. Di Indonesia pada tahun 1927, yang kedua. Kejadian‐kejadian di Burma pada tahun 1926—1927 ialah yang ketiga. Di Indonesia telah terjadi beberapa pemogokan besar dan kecil 74 Tan Malaka beranggapan bahwa Pemberontakan 1926 itu tindakan “advonturis” dan berakibat hancurnya satu generasi PKI. Menurutnya, sebelum PKI memutuskan pemberontakan, seharusnya dukungan rakyat sudah dipastikan. Berbeda dengan Aliarcham yang berpendapat bahwa, “suatu pemberontakan yang mengalami kekalahan adalah tetap sah dan benar. Kita terima kekalahan ini karena musuh lebih kuat. Kita terima pembuangan ini sebagai satu risiko perjuangan yang kalah. Tidak ada di antara kita yang salah, karena kita berjuang melawan penjajahan. Pemerintah kolonial yang bersalah. Kita harus melawannya, juga di tanah pembuangan ini. Dan persatuan harus terus kita pelihara.”
96 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
(kereta api tahun 1923 dan pemogokan umum lain). Jadi revolusi di Indonesia ialah revolusi pertama di negeri‐negeri Pasifik, revolusi yang menentang lanjutnya tindasan imperialisme Belanda atas penghidupan kaum pekerja dan revolusi yang telah menjadi permulaan dan pengajaran bagi tani dan buruh, bagi kaum revolusioner. “Bagaimanapun juga, Revolusi 1926 di Indonesia akan lebih hebat menghantam imperialisme; lebih hebat mengacaukan kekuatan imperialisme Belanda, jika revolusi itu tidak dipotong‐potong, tidak disabotir oleh pihak indisiplinairen. Betapa tidak akan lebih hebat, betapa tidak akan lebih besar effect dan pengaruhnya jika diingat, bahwa Revolusi 1926 yang tidak sepenuhnya dijalankan itu saja sudah mendapat sambutan begitu hangat di negeri‐negeri tetangga. Tahun 1926 ialah sinar, dan dengan sinar ini sejarah Tanah Air kita mulai bercahaya!”75 Mengenai Partai Komunis, Analysis memaparkan, bahwa Partai Komunis ialah “partai baru, partainya Lenin dan Stalin. Partai Komunis ialah partai proletar yang revolusioner yang menjadi petunjuk perjuangan kasta proletar dan lain‐lain kaum kerja. Partai Komunis menuju ke pembentukan masyarakat sosialis. Sesuai dengan masanya, lebih dahulu mementingkan penyelesaian revolusi nasional. Partai Komunis menerima anggota‐anggota baru yang jujur dan berani, yang militan, menerima kaum kerja yang sadar akan kastanya dan juga 75
Takashi Shiraishi dalam buku Zaman Bergerak, berpendapat bahwa, “Sekalipun pemberontakan itu berakhir dengan kematian yang memilukan, tetapi sejak itu ide dan bentuk-bentuk pergerakan telah menjadi pengetahuan umum dalam bahasa melayu dan Indonesia.” Hal ini diakui oleh Bung Karno dalam Sarinah, “Imperialisme Belanda pada waktu itu baru saja mengamuk tabula rasa di kalangan kaum komunis. Partai Komunis Indonesia dan Sarekat Rakyat dipukulnya dengan hebatnya, ribuan pemimpinnya dilemparkannya dalam penjara dan dalam pembuangan di Boven Digul. Untuk meneruskan perjuangan revolusioner, maka saya mendirikan Partai Nasional Indonesia.” Pemberontakan 1926 adalah pemberontakan nasional bersenjata yang pertama melawan imperialisme di bawah pimpinan proletariat. Walaupun Pemberontakan 1926 gagal di mana PKI masih lemah di lapangan ideologi, politik, dan organisasi, namun mereka adalah pahlawanpahlawan terhormat yang melawan imperialisme. Walaupun gagal, tetapi mereka dapat diberi sebutan seperti yang diberikan oleh Karl Marx kepada pemberontakpemberontak Komune Paris 1871: “Mereka adalah malaikat-malaikat yang menyerbu langit.” Lihat: Busjarie Latif–Lembaga Sejarah PKI, Manuskrip Sejarah 45 Tahun PKI (1920–1965), cetakan 1, Bandung: Ultimus, 2014. III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 97
menerima golongan‐golongan lain dari lapisan masyarakat. Partai Komunis menjalankan pimpinan yang revolusioner dan yang taktis teoretis. Anggota Partai Komunis harus tunduk pada disiplin dan harus mempertahankan demokrasi revolusioner, yaitu demokrasi‐sentralisme. Tiap‐tiap anggota sangat diwajibkan belajar Marxisme dan Leninisme dan ilmu‐pengetahuan lain yang berhubungan dengan perjuangan revolusioner. Tiap‐tiap anggota harus tunduk dan menjalankan hukum‐ hukum yang termuat dalam program dan undang‐undang partai. Tiap‐ tiap anggota harus bekerja dan berbuat banyak bagi partai, mengunjungi rapat‐rapat partai dan tiap‐tiap anggota diwajibkan mengambil bagian dalam pekerjaan partai sebanyak‐banyaknya.” Kewajiban Partai Komunis yang terpenting dalam revolusi nasional adalah: “Menolak dan menentang akan adanya bahaya perang dunia ketiga; membantu pemerintah nasional dan memperkuat persatuan nasional dan bersama‐sama dengan itu mendidik dan memperkuat pergerakan kaum buruh dan kaum tani; menentang sekalian aliran reaksioner, aliran oportunisme dan aliran‐aliran lain dalam perjuangan kaum kerja; menjalankan agitasi dan propaganda di kalangan rakyat banyak untuk memperkuat persenjataan dan kekuatan militer pemerintah nasional; menggiatkan pemuda revolusioner, buruh tani dan intelektual sebagai dasar jaminan tegak berdirinya republik; menjalankan massa agitasi di seluruh lapisan rakyat guna persatuan nasional, guna menjalankan pekerjaan revolusioner.”
3. Tan Malaka: Madilog (1951) TAHUN 1951, terbit karya filsafat Tan Malaka berjudul: Madilog (Materialisme, Dialektika dan Logika). Dalam buku itu, Tan Malaka bermaksud menerangkan “hukum kaum proletar berpikir”, memaparkan “arti dan daerahnya materialisme, arti dan daerahnya dialektika, serta arti dan daerahnya logika.”76 Dikemukakan bahwa “Madilog ialah cara berpikir berdasarkan materialisme, dialektika, dan logika buat mencari akibat, yang berdiri atas
76
Tan Malaka, Madilog, Teplok Press, Jakarta, 2000, h.14, 15.
98 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
bukti yang cukup banyaknya dan cukup eksperimen dan diamati.”77 Tan Malaka memulai uraiannya dengan masalah logika mistik. Dikemukakan bahwa para pemikir Mesir 6000—8000 tahun yang lalu sudah memikirkan asal bumi dan bintang, memikirkan asal dunia yang terkembang. Dinyatakan bahwa Rah ialah Dewa Matahari, ialah rohani, yang lebih dahulu ada dari dunia, bumi, bintang, dan langit. Maha Dewa Rah tentulah sempurna, yakni Mahakuasa, terkuasa, asal dari pada semua benda yang ada di dunia ini. Dengan firman yang berbunyi sabda saja, bumi, langit, bintang beribu juta, Sungai Nil dan gurun pasir bisa timbul. Timbulnya itu adalah pada satu saat saja, sesudah sabda tadi difirmankan. Jadi rohanilah yang pertama, zatlah yang kedua. Zat ini berasal dari rohani. Bukan sebaliknya, yakni rohani yang berasal dari zat.78 Dalam bab “Filsafat”, Tan Malaka menulis: “Engels memisahkan para ahli filsafat dari zaman Yunani sampai pada zaman hidupnya Marx–Engels dalam dua barisan. Pada satu barisan didapat kaum idealis yang bertentangan dengan barisan kedua, kaum materialis. Kaum idealis ‘umumnya’ memihak kepada kaum yang berpunya dan berkuasa, sedangkan kaum materialis berpihak pada proletar dan kaum tertindas. Kadang‐kadang perlawanan tinggal tersembunyi, tetapi kadang‐kadang terbuka terus‐terang, cocok dengan riwayatnya perjuangan proletar dan kapitalis dalam politik.79 Menurut pemisahan yang diadakan oleh Engels, maka pada barisan idealisten, kita dapati penganjur terkemuka sekali seperti Plato, Hume, Berkeley yang berpuncak pada Hegel. Pada barisan materialis, kita dapati Heraklit, Demokrit, dan Epikur, di masa Yunani, Diderot, Lamartine di masa Revolusi Perancis yang berpuncak pada Marx–Engels. Di antaranya itu didapati banyak ahli filsafat campur aduk scientists, setengah idealis setengah materialis.”80 “Idealis dan materialis yang dijadikan Engels sebagai ukuran buat memisahkan para ahli filsafat dalam dua barisan, semata‐mata berdasarkan atas sikap yang diambil si pemikir, ahli filsafat dalam 77
Ibid, h.271. Ibid., h.26—27. 79 Ibid., h.38—39. Lihat Friedrich Engels, Ludwig Feuerbach dan Akhir Filsafat Klasik Jerman, Bab II – Materialisme dan Idealisme (1886). 80 Ibid., h.39. 78
III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 99
persoalan yang sudah kita tuliskan lebih dahulu, yakni: mana yang pertama, primus, mana yang kedua. Benda atau fikiran, matter atau idea. Yang mengatakan pikiran lebih dahulu, itulah pengikut idealisme, itulah yang idealis. Yang mengatakan matter, benda, lebih dahulu, barulah datang pikiran, itulah yang mengikuti materialisme.”81 Dalam hal memisahkan ide dan materi, tokoh filsuf idealis David Hume sampai pada kesimpulan mengenai sebuah jeruk: “yang ia insafi cuma rasanya yang manis itu, kulitnya yang licin itu, beratnya yang q/3 atau 1/4 kilo itu, warnanya yang hijau atau kuning itu, bunyinya yang nyaring itu atau lembek itu. Bunyi itu ada di telinga, dalam badan Hume, bukan pada jeruk, beratnya di tangan Hume, bukan pada jeruk, rupanya pada mata, rasanya pada lidah atau di ujung jari Hume, bukan pada jeruk. Semua bunyi, rupa, dan rasa itu dengan perantaraan saraf, nerve, berjalan ke pusat, ke centre, ke otak. Otak mencatat bunyi, rupa dan rasa tadi menjadi pengertian, conception, seperti pengertian merdu, kuning, berat, lezat dan licin. Semua pengertian itu ini di ‘dalam’ saya, kata Hume, bukan di luar saya. Jeruk itu sebagai benda, tak ada bagi saya. Yang ada cuma ‘ide’, pikiran, pengertian, ‘bundles of conceptions’, kata Hume. Jeruk sebagai benda, lembu sebagai benda, tak ada buat saya. Yang ada cuma ide, pikiran, pengertian, gambaran dari jeruk, lembu, bumi, bintang dan engkau. ‘Engkau’ kata Hume cuma ’ide’ buat saya.”82 “Buat Hegel, ‘Absolute Idea’ ialah yang membikin benda ‘Realitat’. ‘Die Absolute Ide macht die Geschichte’. Absolute Idea yang membikin sejarah, histori, dan membayang pada filsafat. Bukan filsafat yang membikin sejarah, katanya, melainkan Absolute Idea deren nachdrucklichen Ausdruck, die Philosophie ist’, yang tergambar nyata pada filsafat. Jadi menurut Hegel, sejarah ialah sejarah dunia dan masyarakat dibikin Absolute Idea, dan hal ini tergambar pada filsafat. Pada 81
Ibid., h.39—40. “Mereka yang menegaskan bahwa jiwa ada yang primer jika dibandingkan dengan alam, dan karenanya, akhirnya, menganggap adanya penciptaan dunia dalam satu atau lain bentuk—dan di kalangan para ahli filsafat, Hegel, misalnya, penciptaan ini sering menjadi lebih rumit dan mustahil daripada dalam agama Nasrani—merupakan kubu idealisme. Yang lain, yang menganggap alam sebagai yang primer, tergolong ke dalam berbagai mazhab materialisme.” Lihat: Friedrich Engels, Ludwig Feuerbach dan Akhir Filsafat Klasik Jerman, Bab II – Materialisme dan Idealisme (1886). 82 Ibid., h.40—41. 100 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
lain tempat, Hegel mengatakan, bahwa Negara dan Staat ialah ‘verwicklichung’, penjelmaan Absolute Idea itu. Absolute Idea itu sama dengan metaphysik, Idea sendirinya, Ide yang tak dibikin, yang tunggal, tak jatuh pada hukum sebab dan akibat, hidup dan mati, tak melahirkan atau dilahirkan, tak takluk pada waktu dan tempat, melainkan tunggal, terkuasa dan sempurna. Absolute Idea itu membuat sejarah dunia, masyarakat dan negara, Absolute Idea itu tergambar jelas dan pasti pada filsafat. Absolute Idea akhirnya sama dengan metaphysik, yakni gaib, di luar ilmu alam, rohani, Ammon kata Mesir purbakala, Dewa Rah.”83 “Sebagaimana bumi dan bintang berjalan, bersejarah, menurut hukum tarik‐menarik yang didapat oleh Newton, sebagaimana tumbuh‐ tumbuhan dan manusia bersejarah menurut hukum‐hukum Darwin, beginilah sejarahnya masyarakat manusia menurut hukum Historisch‐ Materialisme, yang juga dinamai Dialektisch‐Materialisme. Dengan lahirnya Marxisme, maka Hegelisme berbelah dua: Dialektika Idealis dan Dialektika Materialistis. Yang pertama dipegang oleh kaum yang bermodal dan berkuasa dengan pengikutnya, yang kedua, oleh kaum proletar yang revolusioner.”84 “Apakah artinya alam dan apakah artinya fikiran itu? Demikianlah kalau kita amati kemajuan ilmu filsafat tadi, maka kita lihat zaman tengah tahun 478—1492 pencari hakikat dilekati oleh ke‐ Tuhanan. Kaum Scholastic, namanya di Eropa Barat tak bisa mencari hakikat itu, kalau persoalan itu tidak digarami, dilimaui (dijeruki) dan dimasak dengan God dan agama ialah agama Nasrani. Sesudah itu, pada zaman borjuis filsafat tadi sudah susut pada persoalan ‘Jasmani dan Rohani’, badan dan pikiran.”85 “Engels sudah mendapat kesimpulan, bahwa sisanya filsafat ialah Dialektika dan Logika. Semua cabangnya yang lain jatuh pada bermacam‐macam ilmu alam dan sejarah, ialah sejarah masyarakat manusia. Marx memandang dari sudut pertarungan klas, berkata dalam 11 thesis: Die Pylosophen haben die Welt nur verschieden interpretiert. Es komt aber daraufen die Welt zu verandern. Para ahli filsafat sudah memberi bermacam‐macam pemandangan tentang dunia itu. Yang perlu lagi
83 84 85
Ibid., h.43. Ibid., h.45. Ibid., h.58—59. III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 101
ialah menukar dunia itu!”86 Dalam bab “Dialektika”, Tan Malaka memaparkan masalah munculnya persoalan dialektika, tentang dialektika dan logika, dialektika idealistis dan dialektika materialistis, tentang matter dan ide, tentang perlantunan (masyarakat dan paham), tentang benda (masyarakat) mengenai pikiran, tentang bayangan masyarakat, tentang masyarakat dan seni, tentang dampak hubungan antara benda dan masyarakat. Dalam logika sebagai ilmu berpikir, semua pertanyaan yang diajukan boleh dijawab dengan ya atau tidak. Menurut logika, ya itu semata-mata ya, bukan berarti tidak. Dan tidak itu sama sekali tidak, bukan berarti ya. Sekarang sampai waktunya buat memeriksa pertanyaan yang tidak bisa lagi dijawab dengan ya atau tidak. Dalam kehidupan sehari-hari pun, kita berjumpa dengan bermacam-macam pertanyaan yang tidak bisa diputuskan dengan ya atau tidak saja, kalau sang waktu campur. Mudah mengatakan orang itu tua, kalau memang sudah atau lebih seratus tahun umurnya, bermata kabur, berambut putih, dan bertelinga pekak dsb. Atau masih bayi, kalau berumur tiga atau empat bulan. Tetapi jawablah dengan ya atau tidak kalau seseorang tetap kuat berupa muda, walaupun umpamanya sudah kira-kira 50 tahun. Adalah saatnya di mana kita semua makhluk bernyawa ini, seorang dokter yang pintar pun, tidak bisa menjawab dengan pasti bahwa kita sudah mati atau masih hidup. Jadi jikalau pertanyaan itu dicampuri oleh waktu di mana campur perkara timbul dan hilang, hidup dan mati, di sinilah Logika semata-mata menjadi gagal. Mengenai masalah yang saling berhubungan dan bersenyawa, Tan Malaka menulis bahwa terdapat perbedaan besar antara dua ahli biologi yang besar Lenxeus dan Darwin. “Lenxeus menganggap tiap jenis (spesies) baik tumbuhan ataupun hewan, sebagai berdiri sendirinya, tunggal. Tak berkenaan dan tak ada seluk‐beluknya dengan jenis lain. Sedangkan Darwin menganggap sebaliknya, satu sama lain tak bisa dipisah‐pisahkan. Lenxues menganggap masing‐masing jenis, 86
Ibid., h.50—51.
102 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
sebagai barang yang tetap yang pada satu saat dibuat Yang Mahakuasa. Sedangkan Darwin menganggap masing‐masing jenis itu berubah sesudah beberapa lama disebabkan oleh seleksi alam (natural selection). Lenxues berpendapat bahwa masing‐masing jenis mesti diperiksa satu per satu, pemisahan dari jenis yang lain. Sebaliknya Darwin memeriksa dan menguji masing‐masing jenis dengan seketika pun tak melupakan hubungan dan seluk‐beluk jenis itu dengan jenis lain. Lenxues setia pada logika: hewan ini masuk jenis ini, bukan jenis itu. Kodok ini tak ada seluk‐beluk dan hubungannya dengan burung, dan seterusnya. Darwin setia pada logika: di mana logika bisa berlaku. Tetapi meninggalkan logika, kalau logika tidak berdaya lagi: ini jenis berkenaan dengan itu, berseluk‐beluk dengan itu, bukan ini atau itu saja. Kodok hubungan betul dengan burung. Perbandingkanlah tengkorak, tulang‐ belulang, hati, jantung, dan sebagainya di antara kedua jenis itu. Perhatikanlah tulang‐belulang dan sekalian anggota hewan dari cacing sampai ke manusia. Tidakkah tuan menjumpai seluk‐beluk, hubungan satu sama lainnya? Hasil pekerjaan Lenxues, ialah membagi satu sistem (tata) tumbuhan dan hewan yang mati, yang dipelajari oleh pengikut logika saja terutama pengikut logika mistik. Sedangkan teori Darwin menjadi pedoman bekerja buat ahli kebun dan ahli hewan yang tak putus mencangkokkan tanaman dan memilih yang baik, membuang yang buruk, baik tumbuhan maupun tampang hewan, sehingga makin lama, kita mendapat bunga yang lebih harum, buah yang lebih lezat dan hewan yang lebih tegap, kuat, gemuk, berfaedah, dan berkembang biak.”87 Dalam mengungkap masalah kontradiksi, Tan Malaka mengambil contoh tentang keadilan putusan suatu pengadilan yang dikendalikan oleh kekuatan uang atau kekuasaan. Adil atau tidaknya satu keputusan pengadilan yang demikian tidak dapat menggunakan jawaban ya atau tidak. Sebelum kita mengambil pendirian, mengambil penjuru dari mana kita mesti memandang, point of view. Apa yang dipandang adil dari satu pihak, berarti tak adil di pandangan dari pihak yang lain, dan 87
Ibid., h.127—128. III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 103
sebaliknya. Sebab itu kita mesti lebih dahulu berpihak pada yang lain, atau sebaliknya. Inilah artinya menentukan point of view. Dari salah satu sudut barulah kita bisa memandang dan memutuskan ya atau tidak.88 Sering sekali dialektika dinamai ilmu berpikir kontradiksi. Dan juga pernah dinamai ilmu berpikir dalam gerakan. Kata Engels juga kita mesti mempelajari suatu benda dengan memperlihatkan ‘kontradiksinya’, kena-mengenainya serta seluk-beluknya, pergerakannya, tumbuh dan hilangnya.89 Mengenai Dialektika dan Logika Tan Malaka menulis: Bentuk yang lazim dipakai menggambarkan logika, yakni: A = A; A bukan non A (tidak A). Jadi hukum berpikir yang berbentuk A = A ini sebetulnya tidak lain dari ya itu ya. Dan hukum berpikir yang berbentuk A bukan non A itu, sama maknanya dengan ya itu bukan tidak ya. Dalam buku logika juga sering dikatakan ‘sesuatu barang bukanlah lawannya barang itu’, ‘a thing is not its opposite’. Pada matematika dan ilmu alam dasar dan tengah, besar sekali kekuasaan logika itu. Sedangkan pada matematika dan ilmu alam tertinggi, kita terutama mesti lari pada dialektika. Mengenai dialektika idealistis dan dialektika materialistis, Tan Malaka menulis, “Perbedaan terutama di antara dialektika Marx–Engels & co dan gurunya Hegel, ialah: Hegel menganggap gerakan pikiran itu sebagai gerakan ide semata‐mata (janganlah dilupakan absolute idea, maha rohani dari Hegel), sedangkan Marx dan Engels menganggap otak itu seolah‐olah cermin yang membayangkan gerakan benda sebenarnya yang ada di luar otak kita. Dalam perbedaan di antara kedua jenis dialektika, adalah pula persamaan, kedua pihak berdiri atas gerakan, bukan pada ketetapan.”90 Dalam menjelaskan masalah materi dan ide (matter dan ide), Tan Malaka mengungkap bagian penting dari tulisan Marx, 11 Tesis tentang Feuerbach. Begitu pentingnya tulisan ini dinyatakan bahwa “materialisme kolot termasuk materialisme Feuerbach, yakni 88 89 90
Ibid., h.131. Ibid., h.132. Ibid., h.139.
104 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
materialisme yang tak mengakui perbuatan manusia itu sebagai yang nyata, berpuncak pada pandangan seorang individu, pada masyarakat borjuis.” Selanjutnya, Marx mengambil kesimpulan bahwa materialisme kolot itu ialah pandangan borjuis yang individualistis, terpisah dari masyarakatnya. Sedangkan pandangan materialisme baru berdasarkan masyarakat, berdasarkan seseorang dalam masyarakatnya bersama, kolektif. Dan dalam tesis ke‐11, tesis terakhir Marx menutup tulisannya dengan ungkapan: “Ahli filsafat sudah menerjemahkan dunia ini berlainan satu dengan lainnya. Yang terpenting ialah mengubah dunia ini.”91 “Buat Hegel, absolute ide, rohani itulah yang ‘membikin’ sejarah masyarakat manusia. Sedangkan buat Marx, pertarungan klas dalam masyarakat itulah yang memajukan masyarakat itu dari tingkat ke tingkat yang lebih tinggi.... Zaman feodalisme itu berubah, bertukar pula menjadi zaman kapitalisme, kemodalan yang masih umum sekarang. Sedangkan akhirnya zaman setengah feodal dan setengah kapitalisme itu di Rusia pada tahun 1917 berubah, bertukar menjadi zaman sosialisme, berdasarkan kolektivisme, tolong‐menolong sampai ke zaman komunisme.”92 Mengenai kuantitas dan kualitas dikemukakan bahwa “Menurut dialektika, kenaikan quantity (banyaknya graad, derajat) bisa mengubah sifat, sifat mengadakan sifat quality baru. Sesudah quantity, banyak dari 80 derajat sampai 100 derajat, maka sifat tadi berubah: air jadi uap, quantity menjadi quality. Perubahan bilangan (banyak) menjadi perubahan sifat dari air ke uap. Jadi ‘banyak’ dan ‘sifat’ quantity dan quality itu ada hubungan, berkaitan. (2) Menurut logika seperti sudah lebih cukup dibicarakan lebih dahulu ‘ya’ tinggal ‘ya’ dan’tidak tinggal tidak.” “Dialektika menyimpulkan pergerakan ‘ya’ dan ‘tidak’ itu dengan suatu ‘Negation der Negation’. Yang ‘ya’ itu mulanya dibatalkan. Kebatalan ini dibatalkan pula. Umpamanya ambil sebiji padi, kita tanam Sesudah berapa lama biji padi bukan biji lagi, melainkan sudah jadi 91 Ibid., h.149. Lihat: Karl Marx, Tesis tentang Feuerbach (1845): “Para filsuf hanya menafsirkan dunia, dengan berbagai cara; akan tetapi soalnya ialah bagaimana mengubahnya.” 92 Ibid., h.157.
III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 105
pohon. Inilah satu kebatalan: pohon tadi mengeluarkan biji padi lagi lebih banyak dari bermula. Di sini terjadi pembatalan dari pohon tadi: Biji membatalkan pohon. Pada seluruhnya proses lakon pada padi, kita peroleh biji padi, pohon padi (kebatalan), dan banyak biji padi (pembatalan). Inilah yang dinamakan Negation der Negation itu, pembatalan kebatalan.”93 Dalam Madilog setebal 554 halaman itu sesungguhnya Tan Malaka bergumul dengan penjelasan mengenai logika dan penjelasan mengenai perkembangan matematika, fisika, kimia, dan alam semesta, sebagai bagian dari ilmu pengetahuan (science). Yang banyak, berkali‐ kali dipaparkan adalah mengenai perubahan kuantitas menjadi kualitas, mengenai negasi dari negasi yang diterjemahkan jadi pembatalan kebatalan. Walaupun disebut‐sebut karya Lenin Materialisme dan Empiriokritisisme, tetapi dalam mengungkap masalah materialisme tidak dipaparkan masalah kebenaran mutlak dan kebenaran relatif, tentang praktek dan kenyataan adalah ukuran kebenaran. Mengenai dialektika, tidak dipaparkan hukum pokoknya, yaitu persatuan dan perjuangan dari segi‐segi yang bertentangan. Juga tidak didalami hukum kontradiksi. Madilog tidak sampai menguraikan materialisme historis, penerapan materialisme dialektis dalam ilmu masyarakat. Karena itu, Madilog tidak memasuki masalah perkembangan perjuangan klas sampai pada pembangunan diktatur proletariat untuk membangun sosialisme. Masalah diktatur proletariat adalah sangat penting. Menurut Lenin, pengakuan akan ajaran tentang diktatur proletariat, adalah ukuran bagi Marxis tidaknya seseorang.94 93
Ibid., h.282. Dalam surat kepada kawannya Joseph Weydemeyer di New York tertangal 5 Maret 1852, Marx mengatakan, “...Dan sekarang mengenai diri saya, bukanlah jasa saya ditemukannya adanya klas-klas dalam masyarakat modern dan juga ditemukannya adanya perjuangan di antara mereka itu. Jauh sebelum saya para ahli sejarah borjuis telah menguraikan perkembangan historis perjuangan klas-klas ini dan para ahli ekonomi borjuis menguraikan anatomi ekonomi dari klas-klas. Hal baru yang telah saya lakukan adalah membuktikan: 1) bahwa adanya klas-klas itu hanyalah bertalian dengan fase-fase kesejarahan khusus dalam perkembangan produksi [historische Entwicklungesphasen der Produktion]; 2) bahwa perjuangan klas pasti menuju pada diktatur proletariat; 3) bahwa diktatur ini sendiri hanyalah merupakan peralihan ke arah penghapusan semua klas dan ke arah masyarakat tanpa klas...” Lihat juga Negara dan Revolusi, Bab II “Pengalaman dari Tahun 1848–1851”, karya V.I. Lenin. Dalam tulisan tersebut, Lenin mengkritik Karl
94
106 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
4. Njoto: Marxisme Ilmu dan Amalnya (1962) DESEMBER tahun 1962 diterbitkan brosur Marxisme Ilmu dan Amalnya, karya Njoto, Wakil Ketua II PKI. Njoto menyatakan bahwa paparannya ini hanyalah sebagai introduksi, sebagai pengantar. Uraiannya dimulai dengan kutipan majalah Katolik berbahasa Perancis: “Suatu pandangan yang sempit akan memberikan suatu tinjauan yang palsu dan sesat. Marxisme bukanlah suatu cara dan rancangan pemerintahan saja, juga bukan suatu pemecahan teknis untuk masalah‐masalah perekonomian, bukan pula suatu pendirian yang bolak‐balik atau suatu semboyan dalam suatu pidato yang mengharukan. Ia menyebutkan dirinya suatu tafsiran yang luas tentang manusia dan sejarah, tentang makhluk dan masyarakat, tentang alam dan Tuhan; suatu sintese umum, menurut teori dan praktek, pendek kata, suatu sistem yang menyeluruh.”95 Mengapa Lenin mengatakan bahwa Marxisme itu ‘komplit dan harmonis’?96 Karena Marxisme memberi jawaban pada masalah‐masalah yang sudah diajukan oleh ahli‐ahli pikir umat manusia yang terkemuka. “Ahli‐ahli pikir umat manusia yang terkemuka itu sudah sejak beribu‐ ribu tahun yang lalu mengajukan pertanyaan‐pertanyaan yang bersifat fundamentil, bersifat pokok sekali. Misalnya, salah satu di antara pertanyaan itu ialah ‘Apakah keadilan itu?’ Marxisme menjawab pertanyaan itu dengan merumuskan bahwa keadilan ialah suatu keadaan di mana penghisapan atas manusia oleh manusia tiada lagi. Dan jawaban Marxisme tidak berhenti pada perumusan teori ini.
Kautsky dan kaum oportunis lainnya yang mendistorsi Marxisme yang seakan-akan “Inti dalam ajaran Marx adalah perjuangan klas”. Menurut Lenin, “Hanya dialah seorang Marxis, yaitu yang meluaskan pengakuan atas perjuangan klas sampai pada pengakuan atas diktatur proletariat. Inilah yang merupakan perbedaan paling mendalam antara orang Marxis dan borjuis kecil (maupun yang besar juga).” 95 Njoto, Marxisme Ilmu & Amalnya, Penerbit HR, Djakarta 1962, h.7—8. 96 V.I. Lenin, Tiga Sumber dan Tiga Komponen Marxisme, Pilihan Karya Lenin, Volume 19, Progress Publishers, 1977, Moscow, h.21—28. “Doktrin-doktrin Marxis bersifat serba guna karena tingkat kebenarannya yang tinggi. Juga komplit dan harmonis, serta melengkapi kita dengan suatu pandangan dunia yang integral, yang tidak bisa dipersatukan dengan berbagai macam takhayul, reaksi, atau tekanan dari pihak borjuis.” III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 107
Marxisme juga menunjukkan jalan bagaimana mencapai keadilan itu. Yaitu melalui revolusi sosialis mendirikan masyarakat yang tidak berklas.”97 “Di dalam kehidupan ilmiah, teori itu selalu menempati kedudukan yang sangat penting. Tetapi jika sesuatu teori tidak teruji oleh praktek, apalah harga teori semacam itu.” “Untuk memberikan pelukisan yang lebih jelas tentang sifat ilmiah Marxisme, saya ingin mengemukakan cara kerja pencipta Marxisme, yaitu Karl Marx, yang tahun ini kebetulan kita peringati ulang tahun yang ke‐140 dari hari lahirnya dan ulang tahun yang ke‐75 hari wafatnya. Tidak mungkin Marx sampai pada kesimpulan‐ kesimpulan ilmiah sekiranya cara kerjanya tidak ilmiah. Friedrich Engels, sahabat Marx yang paling akrab dan pencipta‐serta ajaran Marxisme, pernah mengatakan begini: ‘Sebagaimana Darwin menemukan hukum perkembangan alam organik, demikian pula Marx menemukan hukum perkembangan sejarah manusia’.” “Bagaimana Marx dan Darwin sampai pada kesimpulan‐ kesimpulan yang begitu penting dan begitu tinggi mutu kebenarannya? Mereka sama‐sama menempuh cara kerja yang ilmiah, yang seperti dikatakan Marx selalu mempunyai 5 tingkatan: 1. Penyelidikan; 2. Percobaan atau eksperimen; 3. Pencatatan; 4. Perenungan; dan 5. penyimpulan atau penggeneralisasian. Marx adalah benar‐benar seorang sarjana. Seperti juga Darwin, Marx adalah seorang bibliotik, seorang orang laboratorium. Tetapi sedangkan Darwin boleh dikatakan hanya seorang orang bibliotik dan hanya seorang orang laboratorium, dari mana ia menyusun teorinya yang besar tentang evolusi, Marx adalah sekaligus seorang orang dari bibliotik dan laboratorium yang lebih luas lagi, dari bibliotik masyarakat, dari laboratorium masyarakat. Marx bukan hanya seorang sarjana, ia seorang pemimpin revolusioner, yang seperti dikatakannya sendiri, tidak puas dengan hanya menafsirkan dunia, tetapi menafsirkan dunia dan merombaknya.”98 97
Njoto, op.cit., h.8. Ibid., h.13—14. Beberapa bulan setelah buku The Origin of Species karya Charles Darwin terbit, Friedrich Engels menulis kepada Karl Marx, “Darwin, yang [bukunya] kini sedang saya baca, sungguh bagus.” Marx lalu membalas surat Engels pada tanggal 19 Desember 1860, “Ini adalah buku yang berisi dasar berpijak pada 98
108 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Untuk kepentingan pekerjaan ilmiahnya, “Marx mempelajari sejumlah cukup banyak bahasa, lebih daripada cukup barangkali untuk seseorang pada umurnya ketika itu. Ia bisa mengarang dalam bahasa Jerman, Inggris, dan Perancis dengan sama bagusnya dan sama bersihnya dalam tata bahasa. Tentang bahasa‐bahasa yang ia pahami, ia membaca Dante dalam bahasa Itali dan membaca Demokritos dalam bahasa Yunani, ia mengerti bahasa Belanda dan bahasa Hongaria, bahasa Denmark dan bahasa Spanyol. Dan ketika ia berusia 50 tahun, ia merasa masih cukup muda untuk mulai mempelajari bahasa Rusia, dan 6 bulan kemudian ia sudah pandai menikmati syair‐syair Pusykin dan novel‐novel Gogol dalam bahasa aslinya. ‘Bahasa asing’ kata Marx, ‘adalah senjata dalam perjuangan hidup’.”99 Barangsiapa membaca kumpulan karangan Marx, “tahulah ia bahwa Marx bukan hanya besar perhatian pada soal‐soal masyarakat, tetapi juga besar perhatiannya pada ilmu alam pada umumnya, pada matematika, pada biologi. Tetapi sebagian sangat terbesar dari waktunya digunakannya untuk penyelidikannya di lapangan ekonomi. Karya utamanya yang monumental, Kapital, adalah hasil pekerjaan selama 40 tahun. Ada baiknya kalau saya mencatat di sini sumbangan Indonesia pada kelahiran Kapital. Kalau karya utama Darwin Origin of Species mendapatkan di antara bahan‐bahannya yang penting laporan mengenai fauna dan flora Maluku, Kapital Marx mendapatkan bahan‐ bahannya pula dari penghisapan VOC di Maluku dan dari susunan pedesaan di Jawa dan Bali.”100 “Marxisme mempunyai 3 bagiannya yang tidak terpisah‐ pisahkan satu sama lain. Yaitu ajaran‐ajaran tentang ekonomi politik, filsafat, dan sejarah.”101 sejarah alam bagi pandangan kita.” Dalam sebuah surat yang ditulis Marx kepada Lassalle, seorang rekan sosialisnya pada tanggal 16 Januari 1861, Marx mengatakan, “Buku Darwin sangatlah penting dan membantu saya [meletakkan] landasan berpijak dalam ilmu alam bagi perjuangan klas dalam sejarah.” Marx juga menunjukkan simpatinya kepada Darwin dengan mempersembahkan buku Das Kapital, yang dianggap sebagai karya terbesarnya, kepada Darwin. Dalam bukunya yang berbahasa Jerman, ia menulis: “Dari seorang pengagum setia kepada Charles Darwin.” 99 Ibid., h.14—15. 100 Njoto, op.cit., h.16. 101 V.I. Lenin, loc.cit., “Marxisme merupakan penerus yang sah dari beberapa III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 109
Ekonomi politik Marxis, seperti umum tahu, bersumber pada ajaran‐ajaran ekonomi politik klasik Inggris, terutama dasar‐dasar teori nilai kerja yang diletakkan oleh Adam Smith dan David Ricardo. Berpegangan pada dan melanjutkan secara konsekuen teori ini, sambil menyelidiki ‘hukum gerak ekonomi masyarakat modern’, Marx sampai pada kesimpulannya yang menjadi ‘batu pertama teori ekonomi Marx, yaitu teori nilai lebih. Dari batu pertama inilah Marx membangun teorinya bahwa krisis umum kapitalisme itu tak terhindarkan, bahwa kapitalisme itu di dalam dirinya sendiri ‘mengandung dan menyimpan satu hukuman mati, dan bahwa mau tak mau dalam sistem kapitalisme harus menyingkir dari panggung sejarah untuk memberikan tempat pada sistem yang baru yaitu sosialisme’.102 “Ada sekarang orang mengatakan, bahwa ekonomi‐politik Marxis itu memang sesuai untuk ‘kapitalisme klasik’ tetapi tidak cocok lagi untuk ‘kapitalisme zaman sekarang’. Tentu kapitalisme itu tidak mandek saja. Sekarang ada ‘kapitalisme kerakyatan’, ‘kapitalisme terorganisasi’, ‘kapitalisme berencana’, dan entah kapitalisme apa lagi. Tetapi satu hal sebetulnya tidak berubah, yaitu: ia tetap kapitalisme. Kita cukup membaca suratkabar‐suratkabar harian, maka kita bacalah hampir setiap hari: Amerika terkena resesi pengangguran meningkat, harga‐harga naik, upah riil merosot—tidakkah semua ini membuktikan bahwa Marxisme tetap benar? Sejarah bukan meralat, tetapi memperkuat Marxisme. Lawan‐lawan Marxisme mencoba meng‐ gambarkan bahwa Marxisme ‘dulu ilmiah, sekarang tidak lagi ilmiah’. Tetapi jalannya sejarah membuktikan bahwa bukan Marxisme yang sudah tidak ilmiah lagi, melainkan bantahan‐bantahan mereka. Ada lagi yang mengatakan bahwa Marxisme itu ‘hanya cocok buat Eropa, tidak cocok buat negeri‐negeri lain’. Baiklah singkat saja, apakah Vietnam, Korea, Mongolia, dan Tiongkok itu Eropa?” “Apa yang selalu disebut oleh penceramah‐penceramah bukan‐ Marxis, mereka itu selalu mengatakan bahwa salah satu bagian yang penting dari ‘teori Marxisme’ ialah apa yang mereka sebut ‘teori verelendung’, teori pemelaratan. Dengan ini mereka mencoba meng‐ gambarkan bahwa kaum Marxis itu ‘gandrung kemelaratan’, karena pemikiran besar umat manusia dalam abad ke-19 yang direpresentasikan oleh filsafat klasik Jerman, ekonomi-politik Inggris, dan sosialisme Perancis.” 102 Njoto, op.cit., h.17—18. 110 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
dari ‘kemelaratan akan lahir kemenangannya’. Bahwa hari depan itu miliknya ‘kaum melarat’ dan bukan miliknya ‘kaum kaya’, ‘kaum kapitalis’, ini tak perlu dipersengketakan. Tetapi kaum Marxis ‘gandrung kemelaratan’? Kita cukup mengingat bahwa yang membela kenaikan‐kenaikan upah, yang membela perbaikan nasib pada umumnya, baik bagi kaum buruh, kaum tani maupun kaum pekerja lainnya, adalah tidak lain daripada kaum Marxis, dan bahwa lawan‐ lawan Marxisme biasanya menentang perbaikan nasib itu, sehingga apa yang disebut ‘teori verelendung’ itu lebih mengenai mereka daripada mengenai kaum Marxis.” “Mengenai filsafat Marxisme, seperti diketahui, bersumber pada filsafat klasik Jerman yang mencapai puncaknya pada dua nama: Hegel dan Feuerbach. Sumbangan Hegel terpenting adalah sistem dialektikanya, yang karena berdiri di atas landasan yang idealis, telah dirombak oleh Marx dan ditegakkan di atas landasan yang sebaliknya, yaitu materialisme. 103 Sedang sumbangan Feuerbach yang terpenting adalah kritiknya terhadap idealisme Hegel. Tetapi Feuerbach sendiri, yang materialis dalam pendekatannya pada gejala‐gejala alam, masih seorang idealis dalam konsepsinya mengenai gejala‐gejala sosial, gejala‐ gejala masyarakat. Sesudah hal ini pun dirombak oleh Marx, maka seperti dikatakan oleh Friedrich Engels, ‘idealisme diusir dari tempat pengungsiannya yang terakhir, yaitu filsafat sejarah’.” “Filsafat Marxis adalah universil, karena ia berlaku bagi pendekatan pada gejala‐gejala alam, pada masyarakat, dan pada alam pikiran.”104 Maka, “Marxisme–Leninisme adalah ‘ilmu tentang hukum perkembangan alam dan masyarakat, tentang revolusi massa tertindas, tentang kemenangan sosialisme, tentang pembangunan masyarakat komunis’.”105 103
Karl Marx, Kapital, Jilid I, Hasta Mitra, 2004. Dalam kata pengantar Kapital, Marx mengatakan bahwa, “Metode dialektika saya sendiri bukan saja berbeda dari metode dialektika Hegel, tetapi lawan langsung darinya. Bagi Hegel, proses berpikir itu adalah pencipta dari dunia nyata, dan dunia nyata hanya manifestasi lahir dari ‘ide’. Bagi saya sebaliknya dari itu, yang berupa dalam cita tidak lain dari dunia nyata yang direfleksikan oleh pikiran manusia dan dipindahkan menjadi buah pikiran.” 104 Njoto, op.cit., h.19—20. 105 Ibid., h.22—23. Kata “komunisme” berasal dari bahasa Latin kuno yaitu “communis” yang berarti masyarakat atau publik/umum. Friedrich Engels pada III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 111
Mengenai filsafat, Njoto menulis: “Filsafat hidup proletariat dibandingkan dengan filsafat hidup borjuasi memang sangat bertentangan. Proletariat tahu, bahwa tanpa kebebasan buat semua tidak adalah kebebasan buat diri orang seorang. Sebaliknya, borjuasi beranggapan bahwa jika dirinya tidak bebas maka kebebasan itu sendiri tidak ada. Filsafat hidup ini dinyatakan dalam sikap mereka dalam perjuangan. Perjuangan proletariat adalah untuk mencapai kebebasan buat semua, dan jika buat cita‐cita ini dirinya sendiri harus berkorban sampai pun berkorban nyawa, kaum proletar menempuhnya dengan ikhlas. Sebaliknya, borjuasi ‘berjuang’ buat kebebasan diri sendiri, tetapi untuk kebebasan diri sendiri ini jangankan korban jiwa, korban harta benda pun mereka liat, alot.”106 “Cita‐cita proletariat adalah suatu masyarakat yang bebas, bukan saja bebas dari imperialisme dan feodalisme, tetapi pun bebas dari setiap penghisapan oleh manusia atas manusia, sehingga individu seorang‐seorang akan bebas pula, dan pada gilirannya ‘perkembangan bebas dari setiap orang menjadi syarat bagi perkembangan bebas dari semuanya.”107 “Materialisme adalah konsepsi filsafat Marxis, sedang dialektika adalah metodenya....108 Materialisme itu mengandung di dalam dirinya sikap berpihak.... Filsafat dewasa ini sama berpihaknya seperti filsafat 2.000 tahun yang lalu...: Adakah di zaman perbudakan filsafat yang tidak memihak pawang budak dan tidak memihak kaum budak, adakah di zaman feodalisme filsafat yang tidak memihak tuan‐tuan feodal dan tidak memihak kaum tani, adakah di zaman kapitalisme filsafat yang tahun 1847 dalam dua draf program untuk Liga Komunis dalam bentuk sebuah katekismus yang berjudul “Prinsip-Prinsip Komunisme” mengatakan bahwa “komunisme adalah ajaran tentang syarat-syarat pembebasan kaum proletariat.” Lalu pada tahun 1885 Engels mengatakan bahwa komunisme “berarti pemahaman yang mendalam tentang hakikat perjuangan, kondisi dan tujuan umum yang ingin dicapai oleh kaum proletariat.” 106 Ibid., h.30—31. 107 Ibid., h.31—32. 108 J.V. Stalin, Materialisme Dialektis dan Historia, Jajasan Pembaruan, 1964. “Materialisme dialektis adalah pandangan dunia partai Marxis–Leninis. Ia dinamakan materialisme dialektis sebab tjaranja mendekati gedjala² alam, tjaranja mempeladjari dan memahami gedjala² ini adalah dialektis, sedangkan keterangannja (interpretasinja) mengenai gedjala² alam, pengertiannja mengenai gedjala² ini, teorinja, adalah materialis.” 112 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
tidak memihak borjuasi dan tidak memihak proletariat, adakah di Indonesia sekarang misalnya filsafat yang tidak memihak imperialisme, tidak memihak demokrasi, tidak memihak kapitalisme, tidak memihak sosialisme?”109 Mengenai dialektika, Njoto menyatakan, “Filsuf demokrat revolusioner Alexander Herzen pernah mengatakannya dengan baik sekali: ‘dialektika adalah aljabarnya revolusi’.110 Sesungguhnya, seseorang akan kebingungan dan tersesat di dalam revolusi, jika ia tak kenal dialektika. Dialektika ‘bukan hanya suatu teori ilmiah, tetapi juga suatu metode pengenalan dan pedoman untuk aksi. Pengetahuan tentang hukum umum perkembangan memungkinkan untuk menganalisa masa silam, untuk memahami secara tepat apa yang sedang berlaku di masa kini dan untuk melihat masa depan. Maka itu, dialektika adalah suatu metode pendekatan untuk penyelidikan dan untuk aksi‐aksi praktis berdasarkan hasil‐hasil penyelidikan itu.”111 “Buat dialektika adalah sangat penting untuk bertanya pada setiap hal ‘untuk siapa’. Misalnya, pada suatu hari kita diberi tahu, bahwa ‘situasi politik baik’. Kita harus segera bertanya, baik buat siapa—buat rakyat atau buat musuh‐musuh rakyat? Begitu pun kalau misalnya ada orang berkata ‘production share itu menguntungkan’. Baiknya kita buru‐buru bertanya: menguntungkan buat siapa—buat Indonesia atau buat si kapitalis asing? Untuk menerangkannya secara lain: segala sesuatu punya dua segi. Hal yang baik tentu ada tidak baiknya, hal yang tidak baik tentu ada baiknya.”112 “Satu metode lagi dari dialektika adalah ‘perubahan kuantitas ke kualitas’. Buat filsafat non‐dialektik hukum ini terasa aneh dan asing barangkali, toh hukum ini sederhana seperti kebenaran itu sendiri. Prof. Bernal menerangkannya dengan bersahaja: ‘Jika sebuah atom hanya bisa berpaut dengan satu atom lainnya, hasilnya adalah gas. Jika ia berpaut dengan dua atau tiga, hasilnya adalah zat padat yang 109
Njoto, op.cit., h.32—33. Alexander Herzen, Selected Philisophical Works, diterjemahkan dari bahasa Rusia oleh L. Navrozov, Foreign Languages Publishing House, Moscow, 1956. 111 Ibid., h.33. Dikutip dari Fundamentals of Marxism–Leninism, Moscow, Foreign Languages Pub. House, 1961, h.69. 112 Ibid., h.39—40. 110
III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 113
berserat.... Jika dengan empat, zat padat kristal yang keras seperti berlian. Jika dengan lebih dari empat, logam.’”113 Mao Zedong dalam Pilihan Tulisan Jilid IV menulis: “Setiap kualitas menyatakan dirinya dalam kuantitas tertentu, dan tanpa kuantitas tak mungkin ada kualitas. Hingga sekarang banyak di antara kawan kita belum juga mengerti bahwa mereka harus memperhatikan segi kuantitas dari hal ihwal—statistik‐statistik pokok, presentase‐ presantase pokok serta limit‐limit (batas‐batas) kuantitas yang menentukan kualitas hal‐ihwal.... Dalam semua gerakan massa kita harus melakukan penyelidikan dan analisa pokok tentang jumlah penyokong aktif, lawan dan kaum netral dan tidak boleh memutuskan soal‐soal secara subjektif dan tanpa dasar.”114 “Adalah pula pemahaman tentang hukum ‘perubahan kuantitas ke kualitas’ yang menyebabkan Marx dan Engels menulis bahwa proletariat ‘tidak saja bertambah jumlahnya... kekuatannya bertambah besar dan ia semakin merasakan kekuatan itu’ dan Lenin menyatakan: ‘Kemenangan akan datang pada kaum yang tertindas karena dengan merekalah kehidupan, kekuatan jumlah, kekuatan massa.’”115 Mengenai hukum ‘negasi daripada negasi’, Njoto menulis: “Istilah negasi ini, yang mula‐mula dipakai Hegel untuk melukiskan digantikannya sesuatu bentuk keadaan oleh yang lain, oleh lawannya, kemudian dipakai oleh Marx dan Engels dengan diberi arti materialis. Kata Marx, dalam lapangan apa pun, ‘tak ada perkembangan yang tidak menegasi bentuk keadaan yang mendahuluinya.’ 116 Kalau kita ambil sejarah umat manusia sebagai misal, nyatalah bahwa pemilikan bersama di masyarakat primitif telah ditiadakan, dinegasi oleh lawannya, yaitu pemilikan perseorangan, dan bahwa kemudian, dalam masyarakat 113
J.D. Bernal, The Freedom of Necessity, London: Routledge & Kegan Paul, 1949, h.353—354. 114 Njoto, op.cit., h.42—43. Dikutip dari karya Mao Zedong berjudul Tentang Kontradiksi. Karya filsafat ini ditulis oleh Mao Zedong pada bulan Agustus 1937 dengan tujuan untuk mengatasi pikiran dogmatis yang serius yang pada waktu itu terdapat di dalam PKT. Tulisan ini pertama kali disampaikan oleh Mao Zedong di Universitas Militer dan Politik Anti-Jepang di Yénan. 115 Ibid., h.43—44. Dikutip dari Manifes Partai Komunis karya Karl Marx dan Friedrich Engels, h.61. 116 Dikutip dari Die Moralisierende Kritik und die Kritisierende Moral karya Karl Marx, h.303—304. 114 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
sosialis, sebagai ‘negasi daripada negasi’ itu muncul kembali pemilikan bersama, tetapi dalam bentuk dan tingkat serta mutu yang lebih tinggi. Begitulah kalau kita ambil sejarah Indonesia sebagai misal. Tadinya Indonesia ini merdeka, kemudian kemerdekaan itu ditiadakan, di‐negasi oleh lawannya, yaitu penjajahan, dan sebagai ’negasi daripada negasi’ itu muncul kembali kemerdekaan tetapi dalam bentuk, tingkat dan mutu yang lebih tinggi. Perlu diingat, bahwa tidak ada negasi yang penghabisan!”117 “Lenin pernah memperingatkan, jangan kita ‘berdiri di ambang pintu materialisme, dan berhenti—sebelum materialisme historis’. 118 Materialisme historis adalah penerapan atau pengenaan materialisme dialektik ke dalam sejarah manusia. Sebelum Marx—materialis yang integral, harmonis dan konsekuen itu—kaum materialis dari abad yang lalu umumnya menjadi naif dalam hal yang mengenai sejarah manusia. Seperti halnya Hegel, Marx memandang sejarah manusia sebagai suatu proses yang menuruti hukum‐hukum perkembangan dan tidak bergantung dari kemauan manusia; seperti halnya Hegel, Marx memandang segala gejala dalam timbul dan tenggelamnya, dalam kelahiran dan kelenyapannya; seperti halnya Hegel, Marx pun mengusahakan dan menemukan sumber tunggal dari segala aksi dan interaksi kekuatan‐kekuatan sosial. Tetapi sedang Hegel menganggap sumber tunggal itu suatu ’jiwa universil’, Marx tahu bahwa ia itu tak lain daripada rakyat, rakyat pekerja. Marx menunjukkan bahwa bukan kemauan manusia, melainkan perkembangan tenaga‐tenaga produktif materiillah yang menentukan jalannya sejarah dan bahwa rakyatlah satu‐ satunya pencipta sejarah. Itulah kesimpulan terpenting dari materialisme historis.”119 “Mengapa Herzen menamakan dialektika itu ‘aljabarnya revolusi?’ Karena hanya dengan dialektikalah, dialektika materialis sudah tentu, seseorang, sesuatu golongan atau sesuatu klas dapat memegang kemudi di tengah‐tengah gelombang revolusi yang menggebu‐gebu memecah‐ mecah memukul‐mukul dan dengan pandangan yang jernih serta tangan yang teguh memegang kemudi itu ke arah yang benar.”120 117 118 119 120
Ibid., h.44. Dikutip dari Lenin, Polnoe Sobranic Setjinenii, Jilid 26, h.364. Ibid., h.45. Ibid., h.45—46. III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 115
Buat revolusi Indonesia sekarang, hal ini berarti jawaban atas pertanyaan: klas manakah yang mampu memecahkan krisis ekonomi yang berlangsung, dan lebih dari itu—klas manakah yang mampu memimpin revolusi sampai terselesaikannya tugas‐tugasnya dan tercapainya tujuannya sampai ke akar‐akarnya. Permasalahan revolusi sama sekali tidak mudah dan tidak sederhana. Hanya dengan senjata filsafat yang benar‐benar revolusionerlah permasalahan revolusi itu bisa dijawab dengan tepat.121 Mengenai teori ekonomi Marxis, Njoto memaparkan bahwa “ekonomi Marxisme,—batu dasarnya ialah ajaran tentang nilai lebih. Tentang teori nilai lebih yang dasarnya adalah teori nilai kerja ini, tidak sedikit ekonom‐ekonom yang dengan salah menggambarkan seolah‐ olah Marx‐lah penemunya yang pertama‐tama. Cukup jika kita ingat, bahwa Adam Smith maupun David Ricardo sudah mengemukakan teori nilai kerja, bahkan juga teori nilai lebih. Marx melanjutkan ajaran‐ajaran mereka, melanjutkannya secara dialektis dan konsekuen. Di mana letak perbedaan antara ajaran ekonomi Marxisme dengan kebanyakan ajaran‐ajaran ekonomi lainnya? Perbedaannya terutama terletak dalam kenyataan, bahwa sedang kebanyakan ekonomi lainnya melihat hubungan antara barang dan barang, Marx melihat hubungan antara manusia dan manusia.122 Kita semua tahu, bahwa ajaran‐ajaran Marx tentang ekonomi politik dijelaskannya di dalam buku standarnya, Kapital. Marx sendiri menerangkan, bahwa ‘tujuan akhir karangan ini ialah menyingkapkan hukum gerak ekonomi dari masyarakat modern’, artinya, masyarakat kapitalis. Jadi, Marx memahami dan mengungkapkan adanya hukum yang menguasai gerak ekonomi masyarakat. Kesimpulan ini berhasil ditarik olehnya karena pandangannya materialis—yaitu menganggap segala sesuatu menurut adanya—dan karena metodenya dalam menyelidiki segala sesuatu itu metode dialektik. Peluasan materialisme dialektik pada masyarakat dan sejarahnya itu, yang di dalam literatur modern galib disebut materialisme historis, dijelaskan oleh Marx di dalam bukunya Kritik atas Ekonomi Politik.”123 121
Ibid., h.46—47. Lenin, loc.cit., “Jika para ahli ekonomi borjuis melihat hubungan antar-benda (pertukaran antar-komoditi), Marx memperhatikan hubungan antar-manusia.” 123 Tahun 1843, Karl Marx mulai mensistematiskan dalam hal pengumpulan data, 122
116 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Kapitalisme, yang dasarnya adalah milik perseorangan atas alat produksi, berarti akumulasi kapital, dan akumulasi kapital berarti: akumulasi kekayaan bagi kaum kapitalis dan akumulasi kemelaratan bagi kaum pekerja. Sebab, akumulasi kapital timbul dari nilai lebih, yaitu tenaga kerja yang tidak dibayar. Oleh sebab itu, sebagaimana diterangkan oleh Marx, tidak ada persamaan kepentingan antara kaum kapitalis dan pekerja, kepentingan mereka diam, netral bertentangan. Dan maka itu, sebagaimana kemudian ditegaskannya pula, melalui perjuangan klas kaum pekerja harus menghapuskan sistem kerja upahan, yaitu sistem kapitalisme. Kapitalisme berarti bahwa produksi bersifat sosial, sedangkan konsumsi individuil; sosialisme berarti bahwa produksi bersifat sosial, tetapi juga konsumsi bersifat sosial. Satu‐satunya jalan yang memungkinkan hal ini ialah menjadikan alat‐alat produksi dari milik perseorangan menjadi milik masyarakat. Inilah langkah yang nyata ke arah sosialisme. Tetapi bagaimana kita dapat merumuskan sosialisme dengan singkat dan tepat? Saya meminta perhatian bahwa terlalu sering orang bukan menjelaskan, melainkan mensimplifikasikannya. Perumusan‐perumusan seperti ‘segala sesuatu milik bersama’, atau ’sama rata sama rasa’, tidak menggambarkan persoalannya yang sesuangguhnya. Marx dan Engels memberikan perumusan yang sederhana tetapi tepat tentang sosialisme, yaitu: Setiap orang bekerja menurut kesanggupannya, setiap orang menerima menurut hasil kerjanya. Dengan perumusan ini jelaslah perbedaan antara sosialisme menyiapkan penulisan tentang kritik terhadap sistem kapitalis dan ekonomi politik borjuis, dan diberi judul Kritik Ekonomi Politik. Enam salinan: kapital, real estate, tenaga kerja, nasional, perdagangan luar negeri, pasar dunia. Dalam Kapital, Marx melakukan penyelidikan tentang komoditi dan uang (Kapital Jilid I, Bab 1) dan dipublikasikan pada Juni 1859. Manuskrip ekonomi 1861—1863, mendorong Marx mengubah rencana awal di mana menamakan Kapital sebagai judul bukunya dan Kritik Ekonomi Politik sebagai subjudul. Dipublikasikan dalam 4 jilid dari semua karya Marx tentang ekonomi. Pada 1885 dan 1894, Friedrich Engels menyelesaikan Jilid II dan III. Naskah Jilid IV disusun menurut pemahaman Karl Kautsky sendiri dan diberi judul Sejarah Teori Nilai Lebih. Jilid IV ini merupakan karya yang berdiri sendiri dan pararel dengan karya Kapital. Kapital IV ini dibagi menjadi tiga jilid dan diterbitkan tahun 1904, 1905, 1910. Pada 1954—1961, Uni Soviet mempublikasikan kembali naskah Kapital IV dan diberi judul Teori Nilai Lebih, dan dijadikan sebagai Kapital Jilid IV. Tahun 1962—1964 dipublikasikan dalam Pilihan Marx–Engels Jilid 26. III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 117
dengan kapitalisme, tetapi juga antara sosialisme dengan komunisme, sebab komunisme berarti: Setiap orang bekerja menurut kemampuannya, setiap orang menerima menurut kebutuhannya.124
5. D.N. Aidit, Tentang Marxisme (1964) TAHUN 1964 Akademi Ilmu Sosial Aliarcham menerbitkan karya D.N. Aidit, Tentang Marxisme. Dalam buku ini D.N. Aidit memaparkan bahwa “Marxisme terdiri dari tiga sumber dan tiga bagian, yaitu filsafat, ekonomi politik, dan sosialisme.”125 1. Filsafat Untuk dapat mengenal dan memahami apalagi menguasai Marxisme, pertama‐tama dan terutama kita harus mengenal dan memahami filsafat materialisme dialektis dan historis. Untuk dapat mengenal dan memahami materialisme dialektis dan historis (MDH) 126 secara tepat, perlu kita terlebih dahulu mendapat gambaran, walaupun secara singkat dan garis besar, tentang sejarah perkembangan filsafat. a. Dua kubu dalam dunia filsafat Filsafat adalah pandangan dunia, adalah pandangan manusia yang paling umum mengenai dunia keseluruhannya, mengenai gejala‐gejala 124
Ibid., h.53—54. D.N. Aidit, Tentang Marxisme, cetakan ketiga, Akademi Ilmu Sosial Aliarcham, Djakarta, 1964, h.8. 126 Pada 1887, Joseph Dietzgen yang pernah berkorespondensi dengan Karl Marx selama dan setelah gagalnya Revolusi Jerman 1848, menciptakan istilah materialisme dialektis. Namun teori materialisme dialektis yang dibangun oleh Dietzgen berbeda dengan teori materialisme dialektis Marx dan Engels. Karl Kautsky pun dalam karyanya yang berjudul Frederick Engels (1887/1899) menggunakan istilah materialisme dialektis. Marx sendiri telah berbicara tentang “konsepsi materialis tentang sejarah”, yang kemudian oleh Engels menyebutnya sebagai “materialisme historis”. Engels sendiri dalam Dialektika Alam (1883) tidak menggunakan istilah materialisme dialektis tetapi menggunakan istilah dialektika materialisme. Kemudian Georgi Plekhanov memperkenalkan istilah tersebut dalam literatur Marxis. Hingga akhirnya J.W. Stalin menggambarkan dan mendefinisikan Materialisme Dialektis dan Historis sebagai pandangan dunia Marxisme–Leninisme, dan sebagai metode untuk mempelajari masyarakat dan sejarahnya. 125
118 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
alam, masyarakat dan pikiran atau pengetahuan manusia itu sendiri. Oleh karenanya, masalah pokok di dalam filsafat adalah masalah hubungan antara pikiran dengan keadaan, antara dunia‐subjektif dengan dunia‐objektif Dalam karya Ludwig Feuerbach dan Akhir Filsafat Klasik Jerman, Engels menerangkan: “Masalah fundamentil yang besar dari semua filsafat, ... ialah masalah mengenai hubungan antara pikiran dengan keadaan, hubungan antara jiwa dengan alam ... masalah: mana yang primer, jiwa atau alam.... Jawaban‐jawaban yang diberikan oleh para ahli filsafat kepada masalah ini membagi mereka ke dalam dua kubu besar. Mereka yang menegaskan bahwa jiwa adalah yang primer jika dibandingkan dengan alam, dan oleh karenanya, akhirnya menganggap adanya penciptaan dunia dalam satu atau lain bentuk ... merupakan kubu idealisme. Yang lain, yang menganggap alam sebagai yang primer, tergolong ke dalam berbagai mazhab materialisme.” Jelasnya, pandangan dunia materialisme bertolak dari kenyataan objektif, sedang pandangan dunia idealisme berpangkal pada pikiran, atau ide. Demikianlah arti sebenarnya daripada istilah‐istilah materialisme dan idealisme dalam filsafat. b. Idealisme Filsafat idealisme yang pada dasarnya berpendapat bahwa ide atau jiwa ada lebih dahulu, sedang alam atau kenyataan objektif diciptakan atau diwujudkan oleh ide itu bersumber pada dua hal: 1. Kepicikan pengetahuan atau takhayul; dan 2. Watak klasnya. “Sejak zaman purbakala”, tulis Engels, “ketika manusia, yang masih sama sekali tidak tahu tentang susunan tubuh mereka sendiri, di bawah rangsang khayal‐khayal impian mulai percaya, bahwa pikiran dan perasaan mereka bukanlah aktivitas‐aktivitas tubuh mereka, tetapi aktivitas‐aktivitas suatu nyawa yang tersendiri yang mendiami tubuhnya dan meninggalkan tubuh itu ketika mati—sejak waktu itu manusia didorong untuk memikirkan tentang hubungan antara nyawa dengan dunia luar. Jika pada waktu seseorang meninggal dunia nyawa itu meninggalkan tubuh dan hidup terus, maka tidak ada alasan untuk mereka‐reka suatu kematian lain yang tersendiri baginya.” Dengan demikian timbul ide tentang kekekalan, timbul kebingungan karena ketidaktahuan. Dari sinilah kemudian timbul dan berkembang berbagai macam bentuk‐bentuk kepercayaan, ketakhayulan dan filsafat
III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 119
idealisme. Akan tetapi, ketidaktahuan atau kepicikan pengetahuan manusia, yang disebabkan karena pembatasan syarat‐syarat sejarah yang ada padanya, atau oleh keterbatasan pengalaman praktek sosialnya, bukanlah akar yang kuat bagi pertumbuhan filsafat idealisme. Sebab, seiring dengan perkembangan masyarakat, dengan kemajuan praktek sosial manusia, makin besar pulalah kemampuan manusia untuk mengenal sekitarnya. Pengetahuan manusia makin luas, dalam dan tepat mengenai keadaan di sekelilingnya maupun mengenai dirinya sendiri, sehingga pandangan idealis yang bersumber pada pengetahuan yang salah itu dengan sendirinya gugur. Tetapi kenyataan sejarah menunjukkan bahwa filsafat idealisme dapat mempertahankan dirinya, bahkan dapat berpengaruh kuat, walaupun di dalam keadaan di mana ilmu atau pengetahuan manusia telah berkembang sangat tinggi seperti sekarang ini. Ini bisa terjadi justru karena pandangan idealisme itu dapat memberikan kegunaan kepada kekuatan‐kekuatan sosial tertentu, dan karenanya mendapat dukungan mereka. Dengan perkataan lain, sebagaimana dikatakan oleh Lenin, filsafat idealisme “dikonsolidasi oleh kepentingan klas‐klas yang berkuasa”—pemilik budak, kaum feodal atau borjuasi. Di sinilah letak akar klas dari idealisme. c. Idealisme objektif Pokok pangkal dari segala macam idealisme adalah sama, yaitu ide. Akan tetapi, ide itu dapat diartikan pikiran manusia, baik sebagai umat manusia keseluruhannya maupun sebagai orang‐seorang, dan juga dapat diartikan ide yang berada di luar manusia, misalnya, ide dewa‐ dewa, atau ide absolut ajaran Hegel, dan entah berapa banyak lagi sebutan lainnya. Idealisme objektif adalah pandangan dunia yang berpokok‐pangkal pada ide yang berada di luar manusia, yang ‘objektif’. Pandangan dunia semacam ini pada dasarnya mengakui adanya sesuatu yang bukan‐ materiil, yang ada secara abadi di luar dunia dan manusia. Sesuatu yang bukan materiil itu ada sebelum dunia alam semesta ini ada, malah sebagai pencipta dunia alam semesta ini, termasuk manusia dengan segala pikiran dan perasaannya. Semua yang materiil, menurut idealisme objektif, adalah hasil ciptaan atau sebagai perwujudan konkret daripada ide. Dalam bentuknya yang amat primitif, pandangan ini menyatakan
120 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
dirinya dalam penyembahan kepada pohon, batu, dan sebagainya. Akan tetapi, sebagai suatu sistem filsafat, pandangan dunia ini dalam sejarah dunia kita kenal pertama‐tama adalah sistem filsafat Plato (427—347 SM) atau Platonisme. Menurut Plato,127 dunia luar yang dapat ditanggap oleh pancaindera atau cita rasa kita itu bukanlah dunia yang riil, melainkan bayangan daripada dunia ‘idea’ yang abadi dan riil. Oleh karenanya, ia selanjutnya berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu adalah penemuan kembali atau pengingatan kembali (Anamnesia) pada ‘ide’ itu dan tujuan dari pengetahuan manusia adalah untuk menemukan kembali seluruh dunia ‘idea’ itu. Pandangan dunia Plato ini mewakili kepentingan klas yang berkuasa pada waktu itu, yakni kaum bangsawan pemilik‐budak, dan ini tampak dengan jelasnya dalam ajarannya tentang ‘masyarakat ideal’ atau sosialisme kaum bangsawan. Pada zaman tengah (feodal), filsafat idealisme objektif mengambil bentuk yang dikenal dengan sebutan: skolastisisme.128 Sistem filsafat ini adalah suatu pandangan dunia yang memadukan unsur‐unsur idealisme dari filsafat Aristoteles (384—322 SM) dengan teologi. Pokok pandangan filsafat skolastisisme ini ialah bahwa dunia kita ini merupakan satu tingkatan hierarki dari seluruh sistem hierarki dunia semesta yang diciptakan oleh Tuhan, begitu pun hierarki yang ada dalam masyarakat feodal merupakan kelanjutan dari hierarki dunia ke‐Tuhanan. Segala sesuatu yang ada dan yang terjadi di atas dunia kita maupun di seluruh alam semesta ini tidak lain adalah pelaksanaan titah Tuhan atau sebagai perwujudan konkret daripada ide Tuhan. Filsafat ini membela kepentingan kaum bangsawan feodal dan kekuasaan Gereja yang pada waktu itu merupakan tuan‐tanah besar di Eropa. Tokoh‐tokoh yang terkenal dari aliran filsafat ini dapat dikemukakan di sini, misalnya 127
Plato lahir sekitar tahun 427 SM dalam sebuah keluarga bangsawan Athena yang kaya raya. Hidup ketika Yunani menjadi pusat kebudayaan besar selama empat abad. Jasa besar Plato adalah mendirikan perguruan tinggi tempat para sarjana, guru, dan mahasiswa bekerja sama, mengabdikan diri untuk mempelajari filsafat dan ilmu yang dinamakan Akademi. Hasil karyanya diteruskan oleh murid-muridnya di antaranya adalah Socrates. Lihat Jejak Langkah Pemikiran Plato karya David Melling, Bentang Budaya, 2002. 128 Gerakan intelektual dari para Skolastik Eropa abad pertengahan. Metode yang digunakan oleh kaum Skolastik adalah metode debat di mana setiap permasalahan akan dibagi ke dalam beberapa bagian. Setiap sanggahan akan diajukan dan dijawab secara sistematis. III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 121
Johannes Eriugena (833—880), Thomas Aquinas (1225—1274), Duns Scotus (1270—1308), dan sebagainya. Dalam zaman modern, pada akhir abad ke‐18 dan awal abad ke‐19, filsafat idealisme objektif mengambil bentuknya yang terkenal dengan sistem filsafat Hegel (1770—1831). Menurut Hegel, hakikat dari dunia ini adalah ‘ide absolut’,129 yang berada secara absolut dan ‘objektif’ di dalam segala sesuatu, dan tak terbatas pada ruang dan waktu. ‘Ide absolut’ ini, dalam proses perkembangannya menampakkan dirinya dalam wujud gejala alam, gejala masyarakat dan gejala pikiran. Dengan demikian, ‘ide absolut’ itu tak lain adalah pencipta segala sesuatu di dunia ini. Filsafat Hegel mewakili klas borjuis Jerman yang pada ketika itu baru tumbuh dan masih lemah, kepentingan klasnya menghendaki suatu perubahan sosial, menghendaki hapusnya hak‐hak istimewa kaum bangsawan Junker. Hal ini tercermin dalam pandangan dialektisnya yang beranggapan bahwa segala sesuatu itu senantiasa berikembang dan berubah, tidak ada yang abadi dan mutlak, termasuk juga kekuasaan kaum feodal. Akan tetapi, kekuatan dan kedudukannya yang masih serba lemah itu membikin mereka tak berani secara terang‐ terangan melawan filsafat skolastisisme dan ajaran agama yang berkuasa pada ketika itu. Perlawanan mereka terbatas pada usaha menggantikan Tuhan dengan ‘ide absolut’. Pikiran filsafat idealisme objektif itu juga dapat kita jumpai di dalam kehidupan sehari‐hari dengan berbagai macam bentuk. Perwujudannya yang paling umum antara lain adalah formalisme dan doktrinisme. Kaum formalis dan doktrinis secara buta‐tuli mempercayai dalil‐dalil atau formula‐formula sebagai kekuatan yang mahakuasa, 129
George Wilhelm Friedrich Hegel lahir di Stuttgart, Jerman, pada tahun 1770. Hegel memperoleh pendidikan filsafat dan teologinya dari Universitas Tubingen pada usia 18 tahun. Pada 1799, Hegel bekerja dengan Schelling di Jena pada waktu Gerakan Romantik mengalami perkembangan pesatnya. Kemudian pada 1818 menjadi profesor di Heidelberg, dan terakhir di Berlin. Meninggal dunia karena penyakit kolera pada 1831 setelah Hegelianisme berhasil mendapatkan pengikut yang besar di hamper semua universitas d Jerman. Hegel membangun filsafatnya dari suatu keyakinan dasar tentang kesatuan (unity). Universe sebagai simbol kesatuan adalah manifestasi dari “yang Mutlak” (The Absolute). Yang mutlak bukan sebagai the thing in itself (ada dalam dirinya sendiri), bukan sesuatu kekuatan yang transenden dan bukan pula ego subjektif, yang mutlak adalah proses dunia dalam dirinya sendiri (a process world itself) yang aktif, dan Hegel menyebutnya ide absolut. 122 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
sebagai obat yang manjur untuk segala macam penyakit, sehingga dalam melakukan tugas‐tugas atau menyelesaikan persoalan‐persoalan tidak bisa berpikir dan bertindak secara hidup berdasarkan situasi dan syarat‐syarat yang konkret. d. Idealisme subjektif Berbeda dengan idealisme objektif, maka idealisme subjektif adalah pandangan dunia yang berpangkal pada ide manusia, baik ide manusia secara keseluruhannya maupun secara perseorangan. Jelasnya, aliran filsafat ini berpendapat bahwa dunia di sekeliling kita ini merupakan kumpulan daripada sensasi‐sensasi manusia, dengan perkataan lain, dunia luar yang ada di sekitar ini dipandangnya sebagai khayalan belaka, sedang perasaan dan pikiran kita dipandangnya sebagai satu‐ satunya zat (substansi) yang riil. Salah satu tokoh yang terkenal dari aliran idealisme subjektif ini adalah seorang uskup Inggris yang bernama George Berkeley (1684— 1753),130 segala sesuatu yang tertanggap oleh sensasi atau perasaan kita bukanlah dunia materiil yang riil dan ada secara objektif, melainkan khayalan daripada ide kita belaka. Sesuatu yang materiil, misalnya, bunga mawar merah, dianggapnya sebagai suatu kumpulan dari berbagai macam perasaan tertentu, yaitu perasaan mengenal warna, bau, bentuk, dan sebagainya; dan yang dimaksud dengan sensasi atau perasaan itu adalah ide yang telah kita sadari, atau sebagai bentuk eksistensi daripada ide kita. Dengan demikian, Berkeley menyangkal adanya dunia materiil yang objektif, dan hanya mengakui adanya dunia yang riil di dalam sensasi atau ide manusia. Kesimpulan yang logis yang dapat ditarik dari pandangan idealisme subjektif ini adalah akuisme atau solipsisme, suatu pikiran filsafat yang menyatakan bahwa yang ada secara riil di dunia ini hanyalah ‘aku’, segala sesuatu lainnya, termasuk juga orang tuaku, tidak lain hanya sebagai perwujudan konkret daripada sensasi aku. Untuk ‘menghindarkan diri dari solipsisme’, maka Berkeley menyatakan bahwa hanya Tuhan yang berada tanpa tergantung pada sensasi, bahkan sebagai penggerak daripada sensasi kita. Filsafat Berkeley ini adalah filsafat kaum borjuis besar Inggris pada 130
George Barkeley menyangkal keberadaan dunia material di luar pikiran manusia. Menurutnya, persepsi-persepsi indera kita berasal dari Tuhan. Karya utamanya adalah A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge (1710). III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 123
abad ke‐18, yang sudah merupakan kekuatan reaksioner, dalam menentang materialisme, sebagai manifestasi kekhawatiran terhadap revolusi. Berkeley sendiri secara terus terang menyatakan bahwa filsafat idealisnya ditujukan untuk menyangkal materialisme dan untuk memperkuat Tuhan. Idealisme subjektif dalam abad ke‐19 mengambil bentuk positivisme dari filsuf August Comte (1798—1857). Diajarkannya bahwa hanya ‘pengalaman’ yang merupakan kenyataan yang sesungguhnya. Selain dari pengalaman manusia tidak ada lagi dunia kenyataan, dunia adalah hasil ciptaan dari pengalaman, dan ilmu hanya bertugas untuk menguraikan pengalaman praktis itu. Kaum positivis mengaku dirinya berdiri di atas materialisme dan idealisme, hendak menyamakan begitu saja ilmu dengan filsafat, tetapi sesungguhnya mereka bersama‐sama dengan idealisme menyerang materialisme. Menurut Comte, kapitalisme merupakan sistem paling rasionil sebagai hasil daripada kemenangan pikiran ilmiah pada tingkatan empiris. Kelanjutan dari filsafat positivisme pada awal abad ke‐20 adalah pragmatisme. Tokoh‐tokohnya yang terkenal antara lain, ialah William James (1842—1910) dan John Dewey (1859—1952). Pragmatisme sebenarnya hanya mengakui adanya kebenaran subjektif, tidak mengakui adanya kebenaran objektif. Filsafat ini adalah filsafatnya ‘big businessmen’ atau kaum borjuis besar, mewakili kepentingan kaum imperialis. Bentuk lain dari idealisme subjektif yang juga sangat populer di dunia Barat adalah eksistensialisme.131 Pemukanya adalah filsuf Jerman Martin Heidegger.132 131
Eksistensialisme adalah istilah kolektif untuk beberapa aliran filsafat yang mengambil situasi eksistensial manusia sebagai titik tolak. Eksistensialis muncul sebagai kecenderungan yang irasional dalam filsafat khususnya pasca Perang Dunia II di Jerman dan kemudian di Perancis dan negara-negara lain. Asal-usulnya terletak pada fenomenologi Husserl dan ajaran mistik-agama Kierkegard. Tokoh-tokoh filsuf Eksistensialisme di antaranya adalah Søren Kierkegaard, Albert Camus, Jean-Paul Sartre, Friedrich Nietzsche, dan Martin Heidegger. 132 Di bawah bimbingan Edmund Husserl, penggagas fenomenologi, Martin Heideger belajar filsafat di Universitas Freiburg. Pemikirannya sangat mempengaruhi banyak filsuf lainnya, di antaranya Hans-Georg Gadamer, Hans Jonas, Emmanuel Levinas, Hannah Arendt, Leo Strauss, Xavier Zubiri, Karl Löwith, Maurice Merleau-Ponty, Jean-Paul Sartre, Jacques Derrida, Michel Foucault, JeanLuc Nancy, dan Philippe Lacoue-Labarthe. Pada saat Perang Dunia II di mana Hitler 124 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Pokok pandangan eksistensialisme adalah pengakuan bahwa manusia tak mampu mengenal dunia luar yang serba misterius dan rumit itu. Eksistensialisme mendemonstrasikan kekosongan spirituil dan degradasi moral yang berasal dari individualisme borjuis. Filsafat ini sebagai pencerminan ketakutan borjuasi akan kehancurannya yang tak dapat dielakkan dan sebagai bentuk manifestasinya ada kalanya berwujud tindakan yang kalap. Eksistensialisme bersama‐sama dengan aliran‐aliran idealisme subjektif lainnya merupakan tanah ideologi yang subur bagi pertumbuhan fasisme dan militerisme. 2. Materialisme Berlawanan dengan filsafat idealisme, filsafat materialisme pada umumnya bersandar pada ilmu dan mempunyai watak klas yang revolusioner. Materialisme berkembang dalam sejarahnya: dari materialisme primitif, materialisme mekanis, sampai materialisme Marxis. a. Materialisme primitif Bentuk pertama filsafat materialisme adalah materialisme primitif atau materialisme spontan yang dikemukakan oleh filsuf‐filsuf Yunani kuno pada 600 tahun sebelum masehi. Materialisme pada ketika itu adalah sederhana, kesederhanaannya sesuai dengan tingkat perkembangan masyarakat pada zaman itu. Sekali pun demikian, arti sejarahnya serta sumbangannya kepada pikiran manusia pada zaman‐zaman selanjutnya, terutama kepada kelahiran materialisme dialektis adalah besar sekali. Wakil‐wakil tersohor filsuf‐filsuf materialisme Yunani antara lain adalah Thales (640—546 SM), Anaximander (611—546 SM), Anaximenes, Herakleitos (kira‐kira 500 tahun SM), Demokritos (kira‐kira 460—360 SM), dan sebagainya. Sekalipun ajaran‐ajaran mereka berbeda‐beda satu sama lain, di antara mereka ada satu persamaan pendapat: bahwa dunia ini terdiri dari materi; bahwa segala sesuatu di dunia pada hakikatnya adalah materi yang senantiasa berubah dan berkembang. Misalnya Thales mengatakan segala sesuatu itu bersumber pada air, air merupakan unsur pokok dari dunia ini. Anaximenes berpendapat, dengan politik rasialismenya menggenosida jutaan orang Yahudi, Heidegger merupakan anggota akademik yang penting dari Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei (Partai Pekerja Nasional-Sosialis Jerman atau Partai Nazi). III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 125
bahwa hakikat dari dunia ini adalah hawa. Herakleitos menganggap dunia ini diciptakan oleh api. Pada antara abad ke‐5 dan ke‐4 sebelum masehi, Demokritos mengemukakan teori atomnya yang mempunyai nilai ilmu yang sangat besar sekali. Menurut Demokritos, dunia ini terdiri dari atom, atom adalah bagian‐bagian terkecil yang tak dapat dipecah lagi dari segala benda. Perbedaan jumlah dan susunan atom membentuk benda‐benda yang berlainan. Kecuali atom, Demokritos juga berpendapat masih ada satu hal lagi yang ada di dunia ini, yaitu ruang. Ruang merupakan tempat di mana atom‐atom itu bergerak, saling mendorong dan bentrok, sehingga terjadi berbagai macam gejala dan gerak. Mengenai ide dan pengetahuan, Demokritos menerangkannya sebagai pencerminan keadaan dunia luar di dalam hati dengan melalui perasaan, karenanya perasaan dipandangnya sebagai satu‐satunya sumber pengetahuan. Kemudian, Epikurus (341—270 SM) sebagai penerus dari Demokritos menerangkan bahwa gejala pikiran, perasaan, dan sebagainya, termasuk juga roh manusia, semuanya adalah perwujudan dari gerak atom‐atom. Dengan demikian, filsafat Epikurus berpendirian materi menentukan ide, bukan ide menentukan materi. Selain daripada itu, materialisme Yunani kuno juga mengandung metodologi dialektis. Misalnya, Thales beranggapan bahwa segala sesuatu itu senantiasa berada dalam keadaan gerak,... segala sesuatu itu berubah terus menerus. Anaximander juga berpendapat bahwa segala sesuatu itu bergerak dan berubah, bahkan ia menerangkan gerak dan perubahan itu adalah suatu proses perjuangan dari dua hal yang berlawanan. Akan tetapi, pandangan Herakleitos dalam hal ini lebih maju lagi. Menurut Herakleitos, segala sesuatu itu mengalir, pantarhei. Herakleitos tidak hanya menerangkan segala sesuatu itu mengalir, berkembang, tetapi juga menjelaskan bahwa perkembangan itu sendiri adalah proses perjuangan dari kontradiksi. b. Materialisme mekanis Pada akhir abad ke‐17, di mana kaum borjuis sebagai klas baru yang mewakili cara produksi baru sudah mulai tumbuh dengan kuatnya, materialisme mulai muncul kembali dalam bentuk yang umumnya kita sebut materialisme modern. Materialisme modern ini sudah tentu jauh lebih maju daripada materialisme primitif, sesuai dengan tingkat
126 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
perkembangan masyarakat dan tingkat ilmu pada waktu itu. Materialisme modern ini lahir sebagai senjata ideologi klas borjuis dalam perjuangannya melawan klas feodal yang berkuasa pada waktu itu. Oleh karenanya, materialisme modern ini justru tumbuh dan berkembang luas terutama di negeri‐negeri di mana gelombang revolusi borjuis sedang pasang, yaitu di negeri Belanda, Inggris, dan Perancis. Sebagai wakil yang tersohor dalam abad ke‐17 antara lain adalah seorang ahli pikir Belanda bernama Spinoza133 (Benedictus, 1632—1677). Menurut Spinoza, dunia ini terdiri hanya dari satu substansi, kecuali itu tidak ada zat lainnya. Substansi ini olehnya disebut ‘Tuhan’. Akan tetapi ‘Tuhan’ yang dimaksudkan itu, menurut penjelasannya, bukanlah Tuhan dalam dunia agama atau Tuhan yang menciptakan dunia dan manusia, melainkan alam dan hukum‐hukumnya. Spinoza berbeda dengan Descartes (1596—1650). Descartes menganggap yang ada di dunia ini dua unsur: Tuhan dan benda. Sedang Spinoza hanya mengakui satu zat saja: alam. Walaupun ia sudah mengatasi dualismenya Descartes, tetapi ia belum konsekuen meninggalkan pandangannya yang memisahkan dan mempertentangkan dunia materi dengan ide. Menurut pendapatnya, substansi itu mempunyai dua sifat: pikiran dan ekstensi (artinya memiliki ruang), hakikat dari substansi itu dinyatakan sepenuhnya oleh tiap sifat itu. Dua sifat itu merupakan dua segi dari satu hal yang sama, yaitu alam, mereka masing‐masing berdiri sendiri‐ sendiri, satu sama lain tidak saling tidak bergantungan. Ini menunjukkan masih adanya sisa pengaruh dualisme Descartes di dalam alam pikiran Spinoza. Selanjutnya Spinoza juga memandang dunia sebagai suatu mesin, segala sesuatu yang ada di dalam dunia ini dihubungkan satu dengan lainnya oleh satu tali. Ia juga menggunakan metode mekanisnya pada etika dan politik. Dalam karya utama Ethica
133
Spinoza adalah orang pertama yang menerapkan penafsiran historis-kritis atas Bibel. Cara membaca yang kritis ini mengungkapkan sejumlah ketidakkonsekuenan dalam teks-teks tersebut. Salah satu pilar filsafat Spinoza sesungguhnya adalah melihat segala sesuatu dari perspektif keabadian. Spinoza tidak hanya mengatakan bahwa segala sesuatu adalah alam. Ia menyamakan alam dengan Tuhan. Bagi Spinoza, Tuhan tidak menciptakan dunia agar dapat berdiri di luarnya. Tuhan adalah dunia itu sendiri. Kadang kala Spinoza mengungkapkannya dengan cara yang berbeda. Ia menyatakan bahwa dunia itu ada dalam diri Tuhan. Spinoza adalah seorang panties. III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 127
Ordine Geometrico Demonstrata 134 antara lain ia berkata: “Janganlah menangis, janganlah ketawa, tapi pahamilah—inilah justru tugas manusia yang sesungguhnya.” Ia juga mengatakan bahwa individu tak dapat memisahkan dirinya dari masyarakat, kehidupan kemasyarakatan merupakan keharusan; di dalam kehidupan semacam ini, tiap individu harus memadukan antara ‘mempertahankan dirinya’ dengan ‘mencintai sesamanya’. Mengenai negara, ia berpendapat bahwa negara seharusnya tidak mengekang kepribadian manusia, sebaliknya harus memberikan syarat‐syarat untuk mengembangkan kegiatan‐kegiatan materiil dan spiritual manusia. Sistem pemikiran Spinoza adalah rasionalisme dan mekanisme, suatu sistem ideologi borjuis pada abad ke‐17 yang menyatakan perlawanan terhadap hak‐hak istimewa kaum feodal serta perlawanan terhadap penindasan atas demokrasi borjuis, sementara itu juga merupakan suatu ajaran ateisme yang menentang teologi dan takhayul. Filsuf‐filsuf kenamaan dari materialisme modern yang sezaman dengan Spinoza antara lain adalah Bacon (Francis, 1561—1626), Hobbes (Thomas, 1588—1679), Locke (John, 1632—1704) di Inggris, dan Cassendi (Pierre, 1592—1655) di Perancis. Zaman mereka merupakan periode pertama dari pertumbuhan materialisme mekanis. Aliran filsafat ini kemudian mencapai puncak perkembangannya di Perancis pada abad ke‐18 yang umumnya kita sebut materialisme Perancis. Sebagai wakil‐wakil terkemuka antara lain ialah Holbach (Paul d’, 1723—1789) dan Lamettrie (Julien Offray de, 1709—1751). Dalam menjawab masalah terpokok dalam filsafat, materialisme Perancis secara tegas menyatakan bahwa materi adalah primer, ide sekunder; ide dilahirkan dan ditentukan oleh materi. Holbach mengatakan: “Materi adalah sesuatu yang selalu dengan cara‐cara tertentu menyentuh pancaindera kita, sedang sifat‐sifat yang kita kenal dari berbagai macam perubahan yang terjadi di dalam alam pikiran kita terhadap hal ihwal itu.” Dengan demikian materialisme Perancis telah 134 Etika Dibuktikan secara Geometris. Ketika Spinoza menggunakan kata etika, yang dimaksudkannya adalah seni kehidupan dan kelakuan moral yang dibuktikan secara geometris. Ia ingin etikanya dapat membuktikan bahwa kehidupan manusia itu tergantung pada hukum alam yang universal. Oleh karena itu, menurutnya kita harus membebaskan diri dari perasaan dan nafsu kita. Setelah itu, barulah kita dapat menemukan kepuasan hati dan kebahagiaan.
128 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
menyangkal dan menggulingkan pandangan mistisisme religius, teori tentang pencipta dunia (Demiurge), yang sebelum itu telah lama menguasai alam pikiran manusia. Bahkan secara terang‐terangan Holbach menyatakan: “tampaknya agama itu diada‐adakan hanya untuk memperbudak rakyat dan supaya mereka tunduk di bawah kekuasaan raja lalim. Asal manusia merasa dirinya di dalam dunia ini sangat celaka, maka ada orang datang mengancam dengan kemarahan Tuhan, memaksa mereka diam dan mengarahkan pandangannya ke atas langit, dengan demikian membikin mereka tak dapat melihat sebab sesungguhnya daripada kemalangannya itu, juga berpikir menggunakan cara‐cara yang diberikan kepadanya oleh dunia alam untuk melakukan perjuangan terhadap bencana‐bencana itu.” Materialisme Perancis adalah materialisme mekanis, yang menerangkan bahwa tiap gejala adalah bagaikan mesin, dikuasai oleh hukum‐hukum mekanika. Segala macam gerak dipandangnya hanya bagaikan sebagai gerak mekanis, yaitu pergeseran tempat dan perubahan jumlah saja. Bahkan manusia serta aktivitasnya disamakan dengan mesin. Ini tampak dengan mencolok sekali dari karya Lamettrie yang berjudul Manusia adalah Mesin. Menurut pendapatnya, tubuh manusia itu adalah mesin yang paling sempurna: perasaan, pikiran, roh dan sifat‐sifat manusia lainnya sama halnya dengan sifat mesin. Tanpa tubuh, tiada perasaan, tiada pikiran. Mereka tidak melihat adanya peranan aktif daripada pikiran atau ide terhadap materi. Pandangan yang mekanis ini adalah salah satu ciri, malahan ciri kelemahan daripada materialisme Perancis. Selanjutnya kaum materialis Perancis abad ke‐18 dalam masalah epistemologi (teori tentang pengetahuan) secara tegas menentang pandangan idealisme yang menyatakan bahwa sebagian akal manusia didapatnya tidak dari pengalaman sensasionilnya, melainkan sudah ada semenjak ia dilahirkan. Kaum materialis Perancis (juga di Inggris dan Belanda) berpendapat bahwa pengalaman itu adalah satu‐satunya sumber pengetahuan, pengalaman itu didapat dari hubungan langsung materi objektif dengan pancaindera. Mereka mengutamakan pengetahuan sensasionil, dan mengabaikan peranan pengetahuan rasional. Oleh karenanya materialisme mekanis sekaligus juga sensualisme atau empirisme. Ini juga merupakan kelemahannya. Akan tetapi kelemahannya yang paling besar ialah pandangan
III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 129
sejarahnya. Karena mengenai gejala masyarakat, mereka berpijak pada idealisme. Menurut pandangan mereka, kekuatan penggerak perkembangan masyarakat adalah pikiran atau ide. Oleh karenanya mereka berpendirian jalan satu‐satunya untuk mengubah sistem masyarakat ialah pembangunan mental, pendidikan, pembasmian kebodohan dan sebagainya. Walaupun materialisme mekanis mengandung banyak kelemahan, ketika itu ia merupakan pandangan dunia yang revolusioner, suatu kemajuan dalam dunia pikiran. Kemajuan itu ditentukan oleh kemajuan‐kemajuan yang terdapat dalam hubungan sosial ekonomi dan ilmu, tetapi syarat‐syarat sejarah itu juga menentukan kelemahan‐ kelemahannya. c. Lahirnya materialisme Marxis Pada masa peralihan dari abad ke‐18 ke abad ke‐19, di Jerman, di mana kapitalisme berkembang agak terbelakang, ideologi borjuis berwujud dalam bentuk yang umumnya kita sebut filsafat klasik Jerman. Sebagai puncak perkembangan aliran filsafat ini adalah Hegelianisme. Filsafat Hegel adalah idealisme objektif. Sumbangan ajaran Hegel dalam sejarah perkembangan pikiran manusia besar sekali nilainya, bukan pandangan idealismenya, melainkan ajaran dialektikanya, ‘jiwa’ filsafatnya. Hegel sendiri pernah mengatakan: ‘Yang penting di dalam filsafat ialah metode, bukan kesimpulan‐kesimpulan khusus mengenai ini dan itu’. Hegel telah berhasil mengkristalisasi segala unsur dialektis yang terdapat di dalam sistem pemikiran dari filsuf‐filsuf besar yang ada sebelumnya, sehingga tercipta metodologi dialektis yang komplit. Dengan demikian ia telah menggulingkan metafisika, metodologi kuno yang sudah lama menguasai alam pikiran manusia dan ilmu. Hegel mengemukakan bahwa kaum materialis Inggris dan Perancis pada abad ke‐17 dan ke‐18 dan juga kaum idealis yang menjadi lawannya, semuanya adalah ahli pikir metafisis. Ia menunjukkan kesalahan‐kesalahan atau kelemahan‐kelemahan metafisika. Pertama, kaum metafisis, memandang segala sesuatu tidak dari keseluruhannya, tidak dari saling hubungannya, tetapi ditinjaunya sebagai sesuatu yang berdiri sendiri‐sendiri; sedang Hegel memandang dunia sebagai satu badan kesatuan, segala sesuatu di dalamnya terdapat saling‐hubungan
130 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
yang organik. Kedua, kaum metafisis melihat sesuatu tidak dari geraknya, melainkan sebagai yang diam, mati, tidak berubah‐ubah, sedang Hegel melihat dari perkembangannya, dan perkembangan ini disebabkan adanya kontradiksi internal. Kaum metafisis berpendirian bahwa ‘segala yang bertentangan adalah irasionil’. Mereka tak mengetahui bahwa akal (reason, raison) itu sendiri adalah pertentangan (kontradiksi). Ketiga, sumbangan Hegel yang penting ialah kritik mengenai pandangan evolusi vulgar, yang pada ketika itu sangat merajalela, dengan mengemukakan teorinya tentang ‘lompatan’ (sprong) dalam proses perkembangan. Sebelum Hegel, sudah banyak filsuf yang mengakui bahwa dunia ini berkembang, dan meninjau sesuatu dari proses perkembangannya, tetapi pandangannya tentang perkembangan hanya terbatas pada perubahan‐perubahan berangsur‐angsur, perubahan evolusioner saja. Sedang Hegel berpendapat, dalam proses perkembangan itu pertentangan intern makin mendalam dan meruncing, dan pada suatu tingkat tertentu perubahan berangsur‐ angsur berhenti, terputus, terjadilah ‘lompatan’. Setelah ‘lompatan’ itu terjadi, maka kualitas sesuatu itu mengalami perubahan. Dengan tersusunnya dialektika Hegel, maka dalam dunia pikiran manusia terjadi revolusi menghancurkan metodologi metafisis yang berkuasa lebih dari 2000 tahun lamanya. Logika dialektis Hegel telah memberi dorongan yang kuat bagi kemajuan pikiran ilmiah dan meletakkan dasar yang kuat pula bagi materialisme Marxis. Akan tetapi dialektika Hegel itu diselubungi dengan kulit mistik, reaksioner, yaitu pandangan idealismenya, sehingga ia memutarbalikkan keadaan yang sebenarnya. Hukum dialektika, yaitu hukum tentang saling‐hubungan dan perkembangan gejala‐gejala yang berlaku di dunia ini dipandangnya bukan sebagai suatu hal yang objektif, yang primer, melainkan sebagai perwujudan dari ‘jiwa absolut’, yang sekunder. ‘Kulit’ yang reaksioner inilah yang kemudian dibuang oleh Marx, dan isinya yang ‘rasionil’ diambil serta ditempatkan pada kedudukannya yang benar. Kontradiksi yang ada di dalam filsafat Hegel itu justru mencerminkan keadaan masyarakat Jerman dalam zaman revolusi borjuis demokratis. Hegel sendiri juga pernah mengatakan bahwa filsafat itu ‘adalah pernyataan zaman di dalam pikiran’. Pada ketika itu kapitalisme di Jerman mulai berkembang, tetapi kekuatan borjuasi masih lemah,
III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 131
sedang kekuasaan feodal masih kokoh dan kuat. Dialektika Hegel yang revolusioner itu menyatakan tuntutan klas borjuis, sedang idealismenya yang reaksioner itu di samping sesuai dengan keinginan klas feodal yang berkuasa, mencerminkan kelemahan watak kompromisnya borjuasi Jerman pada ketika itu. Kelemahan dan watak kompromis mereka itu tidak hanya karena ketidakmampuannya melawan feodalisme yang masih kuat itu, tetapi juga karena ketakutannya kepada klas proletar yang sudah mulai ‘bergelora’. Pada pertengahan abad ke‐19, kapitalisme di Jerman sudah berkembang dengan pesat, kekuasaan feodal mulai goncang tetapi masih mampu mempertahankan diri dengan gigih dan nekat. Dalam keadaan itu, muncullah materialisme Feuerbach (Ludwig, 1804—1872) yang tidak hanya mewakili kepentingan kaum borjuis, tetapi juga borjuis kecil yang sangat menderita pada waktu itu. “Materialisme Feuerbach pertama‐tama menentang idealisme Hegel, menyangkal adanya ‘jiwa absolut’, dan secara tegas menyatakan bahwa hakikat dunia ini adalah alam yang materiil. Ia dengan tajam mengemukakan bahwa segala idealisme tidak berbeda dengan teologi yang sudah tidak sesuai dengan tuntutan zaman dan harus diganti dengan filsafat baru. Filsafat baru ini, menurut Feuerbach, harus bertolak dari materi yang benar‐benar ada di ruang dan waktu dan dapat dirasakan oleh kita, pendeknya harus materialis dan ateis. Selanjutnya Feuerbach mengkritik filsafat Hegel, dikatakannya bahwa Hegel berdiri di atas teologi berusaha menegasi teologi. Menurut Feuerbach, hanya dengan berdasarkan ateisme dan materialisme baru bisa mengalahkan teologi. Dalam filsafat Feuerbach, kedudukan Tuhan diganti dengan manusia, ke‐Tuhanan diganti dengan kemanusiaan, secara tegas ia mengatakan, manusia itu sendiri adalah Tuhan. Tidak hanya sampai di situ, ia bahkan mengatakan bahwa bukan Tuhan yang menciptakan manusia, sebaliknya ‘Tuhan adalah bayangan manusia di dalam cermin’. Ia berpendapat, sebagaimana Holbach, bahwa agama itu pada permulaannya adalah untuk memenuhi sesuatu kebutuhan manusia, akan tetapi, setelah ia dilahirkan, pastor dan yang berkuasa (kaum bangsawan dan padri) menggunakannya untuk memperbudak rakyat banyak atas nama Tuhan. Demikianlah Ludwig Feuerbach.”135 135
D.N. Aidit, op.cit., h.27.
132 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Marx dan Engels telah merombak dialektika Hegel secara materialis dan merombak materialisme Feuerbach secara dialektis. 3. Pokok‐pokok pandangan materialisme dialektis a. Dunia adalah materiil 1.) Apakah materi itu? Pengertian materi dalam filsafat adalah luas dan bersifat umum, ia tidak terbatas pada benda‐benda atau proses‐proses alam saja, tetapi melingkupi juga gejala‐gejala sosial, sedang pengertian materi dalam ilmu alam hanya khusus mengenai benda‐benda alam saja. Selanjutnya, pengertian materi dalam filsafat bersifat mutlak dan abadi, karena bagaimanapun majunya pengetahuan manusia, ini tak akan mengubah kebenaran bahwa materi itu berada secara objektif dan tak tergantung pada kesadaran manusia. Sebaliknya, pengertian materi dalam ilmu alam bersifat relatif dan sementara, karena ia tergantung pada perkembangan pengetahuan manusia. Misalnya, perkembangan teori atom adalah perkembangan pengetahuan manusia tentang materi di dunia alam. Di samping berbeda dua pengertian itu, pengertian materi dalam filsafat merupakan perluasan atau generalisasi dari pengertian materi dalam ilmu alam. Jelasnya, hubungan antara dua macam pengertian materi itu adalah hubungan antara yang umum dengan yang khusus, antara yang abstrak dengan yang konkret, antara yang absolut dengan yang relatif. 2.) Apakah ide itu? Pengertian ide menurut materialisme dialektis tidak hanya berlawanan dengan pandangan idealisme, yang beranggapan bahwa ide itu merupakan sesuatu yang berdiri sendiri tak tergantung pada materi, bahkan sudah ada lebih dahulu daripada materi. Oleh Lenin, filsafat idealisme dengan tajamnya dinamakan ‘filsafat tidak berotak’. Pengertian ide menurut materialisme dialektis juga bertentangan dengan pandangan‐pandangan materialisme vulgar dan materialisme metafisis yang menyatakan, misalnya, bahwa segala materi atau benda mempunyai ide, sebagaimana dikemukakan juga oleh Plekhanov bahwa batu pun mempunyai ide; atau yang beranggapan bahwa ide atau
III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 133
pikiran itu merupakan suatu zat yang ditimbulkan oleh proses fisiologis seperti halnya berliur, atau sebagaimana sering dikemukakan oleh orang bahwa pikiran itu adalah fosfor. 3.) Peranan aktif ide Materialisme dialektis menentang pendapat agnostisisme dari Kant (Immanuel, 1724—1804). Menurut Kant, manusia tak akan dapat mengenal atau mencerminkan keadaan objektif sebagaimana adanya. Kemajuan ilmu, misalnya penguasaan dan penggunaan tenaga atom, telah membuktikan bahwa pengetahuan manusia tentang atom adalah benar, adalah sesuai dengan kenyataan (atom) sebagaimana adanya. Dengan demikian terbuktilah juga ketidakbenaran pandangan agnostisisme itu, dan memperkuat pandangan materialisme dialektis. Pandangan materialisme dialektis juga bertentangan dengan pandangan mekanis yang mengabaikan peranan aktif dari ide terhadap materi. Dengan dikemukakannya keprimerannya materi dan peranan aktif ide terhadap materi, materialisme dialektis mengajarkan kepada kita supaya dalam memandang dan memecahkan sesuatu masalah harus bertolak dari kenyataan yang konkret, harus berdasarkan data‐ data keadaan secara objektif jangan sekali‐kali bersandar pada dugaan subjektif dan dalil atau buku‐buku yang mati dan juga harus ditujukan untuk kebutuhan praktek yang konkret. Di pihak lain ia memperingatkan kita betapa pentingnya peranan teori, berhubung dengan adanya peranan aktif dari ide, untuk mengenal dan mengubah keadaan sebagaimana dikatakan Lenin: “tanpa teori revolusioner tak akan ada gerakan revolusioner.”136 b. Dunia materiil adalah satu kesatuan organik. Ciri terpenting yang membedakan materialisme filsafat Marx dengan aliran‐aliran materialisme lainnya sebelum Marx ialah bahwa caranya (metodenya) mendekati gejala‐gejala alam, caranya mempelajari dan memahami gejala‐gejala ini adalah dialektis, sedangkan keterangannya (interpretasinya) mengenai gejala‐gejala alam, pengertiannya (konsepsinya) mengenai gejala‐gejala ini, teorinya, adalah materialis. 136
Ibid., h.32.
134 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Metode dialektis adalah suatu cara mengenal, mempelajari dan menganalisa segala sesuatu dengan berdasarkan hukum dialektika, yaitu hukum tentang saling hubungan dan perkembangan gejala‐gejala yang berlaku secara objektif di alam semesta ini. 1.) Saling hubungan gejala‐gejala adalah objektif Kaum materialis dialektis berpendapat, bahwa saling hubungan antara gejala‐gejala itu berlaku secara objektif, tidak tergantung pada kesadaran manusia. Maka itu, untuk mengenal secara tepat saling hubungan itu kita harus meneliti dan mempelajarinya secara ilmiah, sedikit pun tak boleh ditambahkan dengan dugaan‐dugaan subjektif. Pahamilah kenyataan itu sebagaimana adanya dan temukanlah interkoneksi (saling hubungan) yang ada padanya. 2.) Segala sesuatu ditentukan oleh keadaan, tempat, dan waktu Materialisme dialektis bertentangan dengan pandangan metafisis yang beku, yang berusaha mengabadikan atau memutlakkan arti sesuatu, atau memandang dan menganalisa sesuatu dipisahkan dari keadaan sekitarnya, dari hubungannya dengan hal‐hal lain. Dengan pandangan saling‐hubungan ini kita diajarkan supaya dalam memandang dan memecahkan sesuatu masalah jangan dipisahkan dari hubungan keseluruhannya, karena tiada satu hal yang tidak ada sebab atau akibatnya, segala sesuatu ditentukan oleh keadaan, tempat dan waktu. 3.) Saling hubungan yang pokok dan yang bukan pokok Setiap hal mempunyai saling hubungan dengan banyak hal lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Akan tetapi, di antara sekian banyak saling hubungan itu tidaklah semuanya sama artinya, peranannya atau kedudukannya. Di antaranya ada saling hubungan yang memainkan peranan menentukan, ada yang hanya memainkan peranan mempengaruhi saja, ada yang bersifat keharusan, ada juga yang bersifat kebetulan, ada yang merupakan sebab, ada pula yang merupakan akibat; ada yang pokok, ada yang bukan pokok. Pandangan demikian ini berlawanan dengan pandangan metafisis yang cenderung menyamaratakan saling hubungan yang bersegi banyak itu, sehingga mengaburkan pokok persoalan, yang
III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 135
berakibat berlarut‐larutnya persoalan sehingga tak terselesaikan. c. Dunia materiil senantiasa bergerak dan berkembang —patah tumbuh hilang berganti “Seluruh alam”, kata Engels dalam karyanya yang terkenal Dialektika Alam, “dari sesuatu yang sekecil‐kecilnya sampai pada yang sebesar‐ besarnya, dari sebutir pasir sampai matahari, dari protista sampai ke manusia, adalah dalam keadaan senantiasa timbul dan lenyap, dalam keadaan senantiasa mengalir, dalam keadaan gerak dan berubah yang tak henti‐hentinya.” Dalam Anti‐Dühring, Engels menerangkan lebih lanjut: “Gerak adalah bentuk eksistensi materi. Di mana pun tak pernah ada, dan juga tak mungkin ada materi tanpa gerak.... Materi tanpa gerak sama tidak mungkinnya seperti gerak tanpa materi. Oleh karena itu, gerak sebagaimana materi itu sendiri, tak dapat diciptakan dan dilenyapkan; sebagaimana dinyatakan oleh filsafat yang lebih tua (Descartes), kuantitas daripada gerak yang ada di dunia selamanya sama. Oleh karena itu gerak tak dapat diciptakan, ia hanya dapat ditransfer.” Pandangan materialisme dialektis demikian ini berdasarkan kenyataan objektif—alam, masyarakat maupun pikiran manusia—yang memang dalam keadaan senantiasa bergerak dan berkembang, sebagaimana dikatakan oleh Herakleitos, ‘Pantarhei’, atau sebagaimana peribahasa kita mengatakan ‘patah tumbuh hilang berganti’ atau ‘zaman beralih musim bertukar’. 1.) Gerak materi adalah gerak sendiri Dengan dikatakan gerak adalah bentuk eksistensi materi berarti bahwa gerak materi itu bukan disebabkan karena dorongan dari kekuatan di luar materi, melainkan oleh kekuatan yang ada di dalam materi itu sendiri. Kemajuan‐kemajuan yang telah dicapai dalam ilmu alam, misalnya tentang atom, transmutasi unsur‐unsur dan sebagainya, telah membenarkan hal ini. Pengalaman sejarah juga telah membuktikan bahwa perkembangan masyarakat bukan disebabkan oleh kekuatan yang berada di luar masyarakat itu, melainkan ditentukan oleh kekuatan‐kekuatan yang berada di dalam masyarakat itu sendiri.
136 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
2.) Diam adalah salah satu bentuk gerak Dengan pandangan bahwa dunia materiil itu selalu bergerak dan berkembang, tidaklah berarti bahwa materialisme dialektis menyangkal adanya keadaan diam atau statis. Materialisme dialektis berpendapat bahwa gejala demikian adalah suatu bentuk daripada gerak materi, suatu bentuk gerak di dalam keadaan tertentu di mana imbangan kekuatan‐kekuatan dalam dengan kekuatan‐kekuatan luar dari materi itu mencapai keseimbangan yang sifatnya sementara dan relatif. Keadaan demikian ini disebut juga sebagai kestabilan relatif dari kualitas. Dengan demikian, materialisme dialektis berpendapat bahwa bentuk gerak materi atau kenyataan objektif itu beraneka corak dan ragamnya, makin berkembang praktek sosial manusia, makin maju ilmu, makin banyaklah kita kenal akan bentuk‐bentuk gerak materi. Engels mengatakan: “gerak materi, tak dapat digolongkan begitu saja ke dalam semacam gerak mekanis yang sederhana dan mati, semacam gerak sederhana yang berupa pergeseran tempat saja; panas dan sinar, listrik dan magnet, persenyawaan (kombinasi) dan peruraian (disosiasi) dalam kimia, kehidupan, dan akhirnya ide, semuanya adalah gerak materi.”137 d. Dunia materiil berkembang menurut hukumnya sendiri Hukum dialektika atau hukum tentang perkembangan dirumuskan Engels dalam tiga hukum dasar: 1. Hukum tentang kesatuan dan perjuangan dari segi‐segi yang berlawanan atau tentang kontradiksi. 2. Hukum tentang perubahan kuantitatif ke perubahan kualitatif. 3. Hukum tentang negasi dari negasi. 1.) Hukum tentang kontradiksi Hukum kontradiksi ini merupakan ‘inti’ atau ‘jiwa’ dari dialektika, karena ia menerangkan sumber dan hakikat perkembangan. Lenin mengatakan: “Terbaginya kesatuan dan pengenalan atas bagian‐ 137
Ibid., h.38. III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 137
bagiannya yang berkontradiksi adalah hakikat dari dialektika.” Oleh karenanya ia adalah salah satu ciri terpenting yang membedakan dialektika dengan metafisika. Dan merupakan kunci bagi kita untuk memahami dengan baik dialektika keseluruhannya. Hukum kontradiksi adalah umum dan universal. Segala hal ihwal pada waktu dan tempat mana pun juga, selalu mengandung kontradiksi di dalamnya. Sudah tentu, tiap‐tiap hal mempunyai kontradiksinya sendiri‐sendiri yang khas yang membedakan hal yang satu dari lainnya. Satu hal yang sama, pada tingkat‐tingkat yang berbeda dari proses perkembangannya, juga mempunyai kekhususan‐ kekhususan dalam kontradiksi‐kontradiksinya, yang membedakan tingkat perkembangan yang satu dari yang lainnya. Kesadaran bahwa kontradiksi berlaku secara umum dan universal, berarti bahwa kita harus mengenal kekhususan‐kekhususan kontradiksi yang ada pada sesuatu hal yang konkret. Dan dalam mempelajari kekhususan kontradiksi itu yang terpenting ialah untuk mengenal kontradiksi pokok dan segi pokok dari kontradiksi. Di dalam proses perkembangan sesuatu hal yang rumit, terdapat banyak kontradiksi. Kontradiksi‐kontradiksi yang dikandungnya mempunyai arti atau peranan dan kedudukan yang berbeda‐beda di sepanjang proses perkembangannya. Seperti dikatakan Mao Zedong, pada setiap tingkat perkembangannya, hanya satu di antaranya yang merupakan kontradiksi pokok yang memegang peranan memimpin dan menentukan, sedangkan yang lain menempati kedudukan yang sekunder atau yang dibawahkan. Dengan perkataan lain, kontradiksi pokok adalah kontradiksi yang memegang peranan memimpin pada suatu tingkat di dalam proses perkembangan sesuatu. Oleh karena kontradiksi pokok memainkan peranan yang memimpin kontradiksi‐kontradiksi lainnya pada suatu tingkat perkembangan tertentu, maka ia merupakan mata rantai persoalan yang harus dipecahkan lebih dulu, dan hanya dengan demikian kontradiksi‐ kontradiksi lainnya baru bisa dan lebih mudah diselesaikan.138 Setiap kontradiksi terdiri dari dua segi. Dua segi dalam kontradiksi itu mempunyai arti, peranan, dan kedudukan yang tidak sama. Di antaranya ada satu segi yang mewakili kekuatan‐kekuatan 138
Ibid., h.43.
138 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
lama atau ‘the old established forces’, dan segi lainnya yang mewakili kekuatan‐kekuatan baru atau ‘the new emerging forces’ atau dengan perkataan lain, segi negatif dan segi positif. Selain itu, kedudukan dua segi itu dalam proses perkembangan kontradiksi memainkan peranan yang tidak sama, ada yang menguasai dan ada yang dikuasai, ada yang memimpin dan ada yang dipimpin. Dalam keadaan tertentu dua segi itu bisa berada dalam kedudukan yang seimbang, tetapi ini bersifat sementara dan relatif. Segi yang berperan menguasai atau berdominasi dalam seluruh proses perkembangan mempunyai arti yang menentukan kualitas kontradiksi itu. Segi yang berperan memimpin pada tingkat‐ tingkat perkembangan tertentu mempunyai arti menentukan terhadap arah yang dituju oleh perkembangan kontradiksi pada tingkat tertentu. Segi yang baru pada permulaan proses perkembangan kontradiksi masih kecil dan lemah, dan karenanya merupakan segi yang dipimpin dan dikuasai. Tetapi dalam proses perkembangan selanjutnya, ia tumbuh makin besar dan kuat, sehingga kedudukannya berubah menjadi yang memimpin, dan kemudian berdominasi. Apabila ini terjadi, berarti kualitas kontradiksi itu berubah. Memahami keadaan dua segi dalam kontradiksi adalah penting sekali artinya bagi usaha‐usaha menyelesaikan kontradiksi itu. Hanya dengan mengenal secara tepat keadaan musuh dan keadaan kita sendiri, kita dapat menyelesaikan kontradiksi antara kita dengan musuh secara lebih tepat. Dan dalam mengenal keadaan dua segi yang berkontradiksi itu pertama‐tama kita perlu mengetahui mana yang merupakan segi baru, segi yang mempunyai hari depan, dengan maksud agar kita berorientasi pada segi baru ini serta menyiapkan syarat‐syarat yang diperlukan untuk pertumbuhannya. Selanjutnya perlu diketahui syarat‐ syarat yang diperlukan untuk menempati kedudukan yang memimpin dan lebih lanjut dikembangkan untuk menjadi segi yang menguasai. 2.) Hukum tentang perubahan kuantitatif ke perubahan kualitatif Hukum tentang perubahan kuantitatif ke perubahan kualitatif menerangkan jalannya proses perkembangan segala sesuatu. Hukum ini mengungkapkan bahwa perkembangan segala sesuatu itu terdiri dari dua tingkatan, yaitu tingkatan perubahan kuantitatif dan tingkatan perubahan kualitatif. Perubahan kuantitatif berlangsung secara berangsur‐angsur, secara evolusioner; tetapi sampai pada batas tertentu,
III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 139
apabila bingkai lama diterjang, ia menimbulkan perubahan kualitatif yang berlangsung secara tiba‐tiba, secara revolusioner, dan merupakan suatu lompatan. Perubahan kuantitatif menyiapkan perubahan kualitatif, dan perubahan kualitatif menyelesaikan perubahan kuantitatif yang lama dan melahirkan serta mengembangkan perubahan kuantitatif yang baru. Demikianlah proses perkembangan segala sesuatu itu merupakan rentetan perubahan kuantitatif dan perubahan kualitatif yang silih berganti secara terus‐menerus tak kunjung hentinya. Berdasarkan hukum ini maka dalam memandang dan mengubah segala sesuatu kita harus mengetahui dengan jelas kuantitas dan kualitasnya, mengetahui dengan jelas perubahan‐perubahan kuantitatif apa yang diperlukan untuk memungkinkan lahirnya perubahan kualitatif yang dituju. Hanya mengenal perubahan kualitatif saja, tetapi mengabaikan perubahan kuantitatif yang diperlukan, berarti kita membuat kesalahan avonturisme. Sebaliknya hanya puas dengan perubahan‐perubahan kuantitatif saja, tidak menghendaki perubahan kualitatif, berarti kita membuat kesalahan reformisme. Pendeknya, jika secara sadar kita menggunakan hukum ini dalam praktek perjuangan, maka kita dapat menentukan secara tepat garis strategi dan taktik perjuangan. 3.) Hukum tentang negasi dari negasi Hukum negasi dari negasi mengungkapkan arah atau kecenderungan umum dari gerak atau perkembangan segala sesuatu. Ia mengungkapkan penggantian kualitas lama dengan kualitas baru dalam proses perkembangan dan peningkatan dari bentuk‐bentuk yang rendah dan sederhana ke bentuk‐bentuk yang lebih tinggi, yang lebih kompleks. Oleh sebab itu, hukum negasi daripada negasi ini menyatakan watak progresif dari perkembangan mengikuti garis maju. Hukum ini juga menunjukkan bahwa perkembangan segala sesuatu itu tidak merupakan garis lingkaran yang tak mengenal ujung‐pangkalnya, juga bukan garis lurus yang menaik, melainkan garis spiral. Dalam tulisannya yang berjudul Karl Marx, mengenai pengertian dialektika tentang perkembangan, Lenin antara lain mengatakan “Perkembangan yang kelihatannya mengulangi taraf‐taraf yang telah dilalui, tetapi mengulangi taraf‐taraf itu secara lain atas dasar yang lebih tinggi (‘negasi dari negasi’), suatu perkembangan bisa dikatakan dalam
140 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
bentuk spiral, bukan menurut garis lurus.” Sebagai ilustrasi mengenai hukum ini, Engels pernah memberikan suatu contoh seperti berikut: “Mari kita ambil sebagai contoh sebutir jelai.... jika butir jelai itu berada dalam keadaan yang baginya normal, jika jelai itu ditabur di atas tanah yang cocok, dan kemudian di bawah pengaruh hawa panas dan lembab ia mengalami perubahan yang khas, ia berkecambah; butir jelai seperti yang semula tidak ada lagi, ia dinegasi, dan dari jelai itu muncul sebatang pohon, negasi terhadap jelai itu.... Ia tumbuh, berbunga, menjadi subur dan akhirnya sekali lagi menghasilkan butir-butir jelai, dan segera butir-butir jelai itu masak batangnya mati, pada gilirannya ia dinegasi. Sebagai akibat daripada negasi ini kita sekali lagi mempunyai butir jelai semula, tetapi bukan satu, melainkan lipat sepuluh, dua puluh dan tiga puluh kali.” Sejarah perkembangan masyarakat juga menunjukkan proses perkembangan negasi dari negasi. Misalnya, masyarakat komunisme primitif (tidak berklas) dinegasi oleh masyarakat‐masyarakat berklas (pemilikan budak, feodal, dan kapitalis) dan kemudian dinegasi lagi oleh masyarakat sosialis dan komunis (tidak berklas). Masyarakat sosialis dan komunis menunjukkan ciri‐ciri yang ada semula di dalam masyarakat komunis‐primitif, yaitu antara lain hak milik bersama atas alat‐alat produksi, meskipun dasarnya berlainan sama sekali. Hak milik bersama atas alat‐alat produksi dalam masyarakat sosialis dan komunis adalah atas dasar yang jauh lebih tinggi karena tenaga produktif masyarakatnya sudah jauh lebih maju. 4. Materialisme historis Materialisme historis adalah penerapan materialisme dialektis di dalam sejarah dan kehidupan masyarakat. Dengan lahirnya materialisme historis ini terjadilah suatu revolusi di dalam pandangan sejarah. Ia telah mendobrak pandangan sejarah idealis yang hampir 2000 tahun lamanya menguasai alam pikiran manusia, dan menegakkan pandangan sejarah yang ilmiah. Dan ini merupakan suatu ciri yang penting yang membedakan materialisme Marx dengan materialisme‐materialisme sebelumnya, karena materialisme sebelum Marx tak dapat memegang teguh dan konsekuen pandangan materialisme dalam menghadapi masalah‐masalah sosial dan sejarah. III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 141
Lenin berkata: “Penemuan konsepsi materialis tentang sejarah,139 atau lebih tepat, pelanjutan dan peluasan yang konsekuen dari materialisme ke bidang gejala sosial, telah meniadakan dua kelemahan pokok teori‐teori sejarah sebelumnya. Pertama, teori‐teori sejarah sebelum itu paling banter hanyalah memeriksa teori‐teori ideologi dari kegiatan sejarah umat manusia, tanpa menyelidiki apa yang melahirkan motif‐motif itu tanpa menguasai hukum‐hukum objektif yang mengatur perkembangan sistem hubungan‐hubungan sosial, dan tanpa memperhatikan akar‐akar hubungan‐hubungan itu menurut derajat perkembangan produksi materiil; kedua, teori itu tidak mencakup aktivitas massa dari penduduk, sedangkan materialisme sejarah untuk pertama kalinya memberikan kemungkinan untuk mempelajari dengan ketepatan ilmu‐ilmu alam syarat‐syarat sosial kehidupan massa dan perubahan‐perubahan di dalam syarat‐syarat itu.” Dengan materialisme historis, Marx menunjukkan hukum‐ hukum objektif perkembangan masyarakat, menjelaskan secara ilmiah sebab‐sebab kelahiran, perkembangan dan kehancuran suatu sistem masyarakat. Ia menyatakan bahwa pencipta sejarah adalah massa rakyat pekerja, bukan individu‐indiividu istimewa, misalnya raja, pahlawan, dan lain sebagainya. Filsafat materialisme dialektis adalah hasil tertinggi dari perkembangan sejarah filsafat, karena mendasarkan dirinya pada hasil‐hasil ilmu yang termaju sepanjang sejarah umat manusia. Di samping itu, ia juga mempunyai ciri yang menonjol, yang membedakannya dari filsafat‐filsafat lainnya, yaitu bahwa filsafat materialisme dialektis tidak hanya menjelaskan gejala‐gejala alam, masyarakat dan pikiran, tetapi yang terpenting memberikan senjata kepada manusia untuk mengubah keadaan dunia objektif maupun dunia subjektif. Marx sendiri pernah mengatakan: “Para ahli filsafat hanya telah menafsirkan dunia dengan berbagai cara; akan tetapi 139 Engels dalam Anti-Dühring mengatakan, “Konsepsi materialis tentang sejarah dimulai dari proposisi bahwa produksi kebutuhan-kebutuhan untuk mendukung kehidupan manusia dan di samping produksi, pertukaran barang-barang yang diproduksi, merupakan dasar dari semua struktur masyarakat; bahwa dalam setiap masyarakat yang telah muncul dalam sejarah, cara kekayaan didistribusi dan cara masyarakat dibagi ke dalam klas-klas atau tatanan-tatanan bergantung pada apa yang diproduksi, bagaimana itu diproduksi, dan bagaimana produk-produk itu dipertukarkan.” Marx sendiri menyimpulkan konsepsi materialis tentang sejarah dalam kata pengantar Kritik Ekonomi Politik.
142 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
soalnya ialah mengubahnya.” Justru oleh karena itulah, oleh karena harus mengubah dunia, maka Marx juga pernah mengetengahkan bahwa filsafat materialisme dialektis dan historis mendapatkan kekuatan materiil pada proletariat, dan proletariat mendapatkan senjata moril pada filsafat materialisme dialektis dan historis.
III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 143
144 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
IV Perkembangan Awal Filsafat Tiongkok: dari Lao Zi sampai Wang Zhong
1. Materialisme Tiongkok Kuno DALAM sejarah, materialisme berkembang dari materialisme kuno, materialisme antik, sampai pada materialisme dialektis. Sejarah materialisme adalah sejarah perkembangan pikiran manusia. Pikiran manusia berkembang maju, sesuai dengan perkembangan kehidupan manusia dalam masyarakat. Semenjak ratusan ribu tahun yang lalu, sudah terdapat manusia yang bermasyarakat. Penemuan atas tengkorak Sinanthropus Pekingensis (manusia Beijing) menunjukkan bahwa 500.000 tahun yang lalu sudah terdapat manusia yang hidup di daerah Choukoutien, di barat daya Beijing sekarang. Mereka hidup berkelompok‐kelompok dalam masyarakat yang tak mengenal pemilikan pribadi, tak mengenal penghisapan, tak mengenal klas‐klas. Ratusan ribu tahun lamanya berlangsung masyarakat primitif semenjak masa manusia Beijing sampai terbentuknya masyarakat klan di Tiongkok. Semenjak abad ke‐21 sampai ke‐18 SM, di Tiongkok berlangsung pertarungan dan perubahan dalam masyarakat. Kekuasaan negara perbudakan dinasti Xia,140 melahirkan dinasti Shang141 (1600—1046 SM). 140
夏朝; xià cháo; dalam bahasa Mandarin berarti dinasti Xia (dibaca: Sia). Dinasti pertama dalam sejarah Tiongkok berlangsung hampir 500 tahun antara abad ke-21 dan ke-16 SM. Wilayah sentral kekuasaannya terletak di sekitar bagian selatan Provinsi Shanxi, Tiongkok Utara, dan bagian barat Provinsi Henan, Tiongkok Tengah. 141 商朝; Shāng cháo; dalam bahasa Mandarin berarti dinasti Shang. Dengan masuknya dinasti Shang menandai masuknya Tiongkok ke zaman sejarah. Pada IV — Perkembangan Awal Filsafat Tiongkok | 145
Sistem perbudakan digantikan oleh feodalisme. Pada zaman itulah terbentuk kebudayaan Long Shan142 di Tiongkok. Tata krama masyarakat Tiongkok pada masa dinasti Xia (2100— 1600 SM) berkembang dan disempurnakan dalam zaman Shang, sekitar 1800 SM. Pada masa itu, pertanian sudah cukup maju. Yang dihasilkan pertanian sebagai bahan makanan utama waktu itu berlanjut sampai saat sekarang. Untuk kepentingan memajukan pertanian, berlangsung penelitian atas iklim dan perubahan cuaca. Atas pengamatan yang terus‐ menerus dalam kehidupan, manusia jadi mengenal arti penting hujan, awan, api, rembulan, matahari, dan benda‐benda alam lainnya. Rembulan dan matahari, yang dalam bahasa Tionghoa disebut Yin dan Yang143 jadi patokan utama untuk mengetahui peredaran musim dan da‐ lam menghitung waktu. Dari penelitian atas perubahan iklim dan cuaca, lahirlah sistem kalender berdasarkan bulan dan matahari. Kalender berdasarkan peredaran bulan disebut Yin Li. Yin berarti rembulan dan Li adalah kalender. Di Indonesia, kata Yin Li ini diucapkan menjadi Imlek. Imlek berarti hari raya berdasarkan peredaran bulan, yaitu hari raya menyambut munculnya bulan pertama setelah musim salju, yang berarti hari raya menyambut datangnya musim semi. Di Tiongkok, dalam bahasa Mandarin, Hari Raya Imlek disebut Chun Jie, yang berarti hari raya musim semi. Chun berarti musim semi dan Jie adalah hari raya, hari besar. Selanjutnya, kian berkembang pemahaman akan arti serta awalnya Shang adalah nama sebuah suku yang mendiami salah satu bagian Sungai Huang He dan merupakan bawahan dari dinasti Xia. Kaisar Tang yang merupakan pendiri dinasti Shang adalah keturunan ke-14 dari Xia. 142 龙山;龍山; Lóngshān. Kebudayaan Longshan di masa Neolitikum Tiongkok tersebar di lembah Sungai Kuning sejak milenium ketiga sebelum masehi. Budaya ini merupakan platform untuk perubahan sosial secara fundamental untuk tiga dinasti awal: Xia , Shang, dan Zhou. 143 Secara terminologi, 阴 Yīn (Yin) dan 阳 Yáng (Yang) diterjemahkan sebagai negatif dan positif. Harfiah Yin berarti feminin; asas negatif dalam alam; berarti rembulan; berarti mendung; naungan; tempat yang teduh; bayang-bayang; sebelah utara bukit atau sebelah selatan sungai; bagian belakang; sisi belakang; sisi balik; lekuk; toreh; alur; tersembunyi; alam samar; alam barzah; dunia orang yang sudah mati; negatif; kemaluan wanita; ion negatif; anion. Aksara Yang berarti maskulin atau positif dalam alam; matahari; sebelah selatan gunung atau sebelah utara sungai; timbul; pada lahirnya; termasuk dunia; bersangkutan dengan makhluk hidup; kemaluan laki-laki; ion positif; kation. Setiap benda bersifat dualisme yang terdiri dari unsur positif dan unsur negatif. 146 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
hubungan Yin dan Yang dalam hal cara berpikir, dalam filsafat. Enam abad sebelum masehi, pada tahun ke‐27 pemerintahan Pangeran Xiang (590—573 SM) dalam catatan Zuo Zhuan144 dikemuka‐ kan: “Alam raya sudah menciptakan lima unsur yang memenuhi kebutuhan manusia, dan umat manusia semua menggunakannya. Tak satu pun boleh kurang dari padanya.” Ini terjadi lebih dahulu sebelum Thales dari Miletus di Yunani (kira‐kira 624—546 SM) menyatakan air sebagai sumber segala‐galanya di alam semesta. Lebih dahulu dari Herakleitos memperkenalkan Panta Rhei, segala‐galanya mengalir. Dari pengalaman kehidupan, manusia sampailah kepada pikiran bahwa asal‐usul segala‐galanya dalam alam adalah lima unsur, yaitu: air, api, logam, kayu, dan tanah. Lima unsur ini disebut Wu Xing.145 Dari arti kata aksara, Wu Xing bisa diterjemahkan lima kegiatan, lima gaya. Maka Wu Xing sesungguhnya berarti lima yang bergerak, yang saling mengatasi, saling mengungguli, saling mengubah: air memadamkan api, api melebur logam, logam memotong kayu, kayu menusuk tanah, tanah menelan air. Wu Xing adalah gagasan filsafat Tiongkok kuno yang materialis mengenai struktur materi jagat raya. Gagasan yang bertolak dari kenyataan yang dihadapi dalam kehidupan ini berkembang terus. Dari penggalian makam‐makam kuno ditemukan peninggalan‐ peninggalan yang menunjukkan bahwa pada zaman dinasti Shang yaitu pada abad ke‐17 SM, sudah terdapat huruf‐huruf ukiran tulang‐ belulang. Huruf‐huruf adalah perkembangan lukisan benda, lukisan dari kenyataan yang dipantau pandangan manusia. Pikiran yang dituangkan dalam bentuk lukisan hingga menjadi huruf‐huruf.
2. Daoisme, Lao Zi (604—531 SM) PADA abad ke‐6 SM, pujangga Laozi146 mengajarkan pandangan: Dao 144
Terkadang diterjemahkan sebagai Kronik Zuo, termasuk karya catatan sejarah paling awal meliputi periode tahun 722—468 SM. 145 五行; wŭ xíng, aksara Tionghoa Wu berarti lima, Xing (transkripsi Ping Yin bahasa Tionghoa ini dibaca: Sing) berarti pergi, berjalan, bepergian, bergerak, bertindak, berbuat, berlaku, beredar, mengedarkan, baiklah, kelakuan, budi pekerti. mampu, dapat. 146 老子; Lǎozǐ. Cendekiawan Tiongkok yang berbakat bertugas sebagai penjaga IV — Perkembangan Awal Filsafat Tiongkok | 147
(baca: Tao) adalah asal‐usul dan hukum yang mengatur gerak dan perkembangan segala‐galanya. Inilah ajaran yang akhirnya menjadi Dao‐ isme, agama Dao. Secara harfiah, Dao berarti jalan; jalan raya; jalan kecil; aliran; saluran; cara; metode; doktrin; asas; prinsip; sekte/mazhab takhyul; garis; berbicara; berkata; berucap; mengira. Karya Laozi, yang juga dikenal sebagai Dao De Jing, 147 adalah karya klasik kaum Taois. Diberitakan bahwa karya ini ditulis oleh Lao Dan, seorang penduduk negara Chu pada akhir zaman Musim Semi dan Musim Rontok. Buku ini terdiri dari 81 bab. Lebih dahulu dari Herakleitos (kira‐kira 535—475 SM) memperkenalkan Panta Rhei, Segala‐ galanya mengalir. Buku Laozi sudah memperkenalkan unsur hukum dasar dialektika. Buku ini adalah rekaman ucapan‐ucapan Lao Dan mengenai filsafatnya. Karya ini dengan sistematik memaparkan pandangan dunia, pandangan politik dan epistemologi Lao Dan. “Dao” adalah kategori dasar, adalah asal‐usul dan hukum yang mengatur alam semesta, yang senantiasa berubah, dan bergerak dalam lingkaran‐lingkaran. Di lain pihak, “De” adalah perluasan “Dao” dan pelaksanaannya, penggunaannya dalam kehidupan, masyarakat dan politik.148 Ide pokok filsafat Lao Zi adalah melawan takhayul, melawan mistik dan melawan idealisme. Diajarkannya bahwa “kehidupan alam dan manusia bukanlah diatur oleh ‘kekuasaan dari langit’, tapi dilahirkan dari dan mengikuti hukum Dao.” Filsafat Dao juga mengajarkan bahwa segala‐ galanya di dunia ini bergerak dan berubah, dan dalam proses itu, segala‐ galanya pasti berubah menjadi kebalikannya. Dengan demikian Lao Zi mengajarkan bahwa dalam proses perubahan yang tak ada batasnya, yang paling lemah di dunia akan berubah menjadi mengungguli yang paling kuat. Gagasan ajaran Dao, Daoisme menganut unsur materialisme, bertolak dari kenyataan yang dialami dalam hidup. arsip kerajaan dinasti Chou. Lao Zi lahir di negara Chu (Provinsi Henan). Nama Lao Zi dapat diterjemahkan sebagai “Putra Tua”, “Sahabat Tua”, ataupun “Sang Guru Tua”. Sebutan ini merupakan suatu gelar kecintaan dan penghormatan. 147 道 德 经 ; Dao De Jing atau Tao Te Ching. Ajaran Lao Zi selengkapnya dipaparkan dalam buku Dao De Jing, Kitab Suci Tao Te. Dao berarti jalan; jalan raya; aliran; saluran; cara; metode; doktrin; asas; prinsip. Secara harfiah De berarti kebajikan, moral, akhlak, hati, pikiran, kebaikan hati, kemurahan hati. Jing berarti Kitab Suci, Kitab Agama. Dao De Jing berarti Kitab Suci Kebajikan Tao. 148 Zhong Hua Wen Ku, Han Ying Dui Zhao, Lao Zi, Library of Chinese Classics, Chinese-English, Hunan People’s Publishing House, 1999. 148 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Buku Lao Zi adalah buku pertama yang secara luas memaparkan sistem filsafat Tiongkok dalam sejarah filsafat Tiongkok. Filsafat Lao Zi pertama‐tama adalah mengenai alam semesta, kehidupan manusia, dan politik kemasyarakatan. “Dao” dan “De” adalah dasar teori pandangan filsafat Lao Zi. Dao adalah inti metafisika, yang diserap dari generalisasi kecerdasan manusia dalam kehidupan, perpolitikan masyarakat. De adalah pemaparan dan perluasan, pelaksanaan Dao untuk memberi bimbingan bagi kehidupan sosial, politik, dan kemanusian. Hubungan antara Dao dan De adalah hubungan antara jasmani dan fungsi‐ fungsinya. Dao bersangkutan dengan pengaturan alam tanpa satu pun campur tangan manusia. Pengaturan kehidupan masyarakat, politik, dan kehidupan manusia adalah termasuk dalam kerangka bidang De. Asal‐usul alam semesta dan semua yang ada di alam raya adalah Dao. Dalam karya Lao Zi dinyatakan: “Dao itu tidak beralas, tak berdasar, adalah leluhur dari semua benda di jagat raya. Semangat Dao tak pernah mati, maka disebut Wanita Ajaib. Dao melahirkan sesuatunya, yang lahir itu melahirkan berturut‐turut dua, tiga hingga puluhan ribu.” Inti ajaran Taoisme adalahʺDaoʺ. Dao dipahami sebagai sesuatu yang tidak berbentuk, tidak terlihat, tapi merupakan proses kejadian dari semua benda hidup dan segala benda yang ada di alam semesta. Dao yang berwujud dalam bentuk benda hidup dan kebendaan lainnya adalah De. Secara harfiah De berarti kebajikan; moral; akhlak; hati; pikiran; kebaikan hati; kemurahan hati. Gabungan Dao dengan De dikenal sebagai Taoisme yang merupakan landasan kealamian. Taoisme bersifat tenang, bersifat lembut seperti air, dan bersifat abadi. Keabadian manusia terwujud di saat seseorang mencapai kesadaran Dao, dan orang tersebut akan menjadi dewa. Penganut‐penganut Taoisme mem‐ praktekkan Dao untuk mencapai kesadaran Dao, dan menjadi seorang dewa. Taoisme juga memperkenalkan teori Yin Yang. Dalam Dao De Jing, Bab 42 ditulis: 道生一,一生二,二生三,三生万物。万物负阴而抱阳,冲 气以为和 Dao Sheng Yi, Yi Sheng Er, Er Sheng San, San Sheng Wan Wu. Wan Wu Fu Yin Er Pao Yang, Chong Qi Yi Wei Ho. Berarti: Dao melahirkan sesuatu, satu melahirkan dua, dua melahirkan tiga, tiga melahirkan puluhan ribu. Puluhan ribu ini IV — Perkembangan Awal Filsafat Tiongkok | 149
tidak saja memikul Yin bahkan memeluk Yang, mereka saling melengkapi untuk mencapai keseimbangan.149 Walaupun Dao mempunyai arti yang banyak, ada dua hukum yang paling penting, yaitu persatuan dari yang bertentangan dan kembali ke akar. Teori persatuan dari yang bertentangan dalam memandang alam raya dan perubahan‐perubahannya adalah berasal dari pikiran‐pikiran primitif. Dalam buku itu banyak dipaparkan tidak hanya tentang pasangan‐pasangan yang bertentangan, misalnya kesulitan dan kemudahan, tentang nihil (ketidakadaan) dan wujud (eksistensi), tinggi dan rendah, dan sebagainya, tetapi juga ditekankan gagasan universalitas. “Ratusan ribu makhluk itu tak bisa mengarahkan punggungnya ke arah yang gelap tanpa memiliki matahari di perut mereka. Benda yang banyak jumlahnya itu menyandang Yin di bahu dan memeluk Yang.” (Pasal 42) Ia mencengkeram erat mengenai segi‐segi yang bertentangan dari kontradiksi. Juga saling tergantungnya segi‐segi yang berkontradiksi. Ia menekankan keseimbangan dan keselarasan dari kontradiksi‐ kontradiksi: “lewat percampuran napas mereka tergantung keselarasan (Lewat percampuran Yin dan Yang tercapai keadaan keselarasan). Juga ditekankannya saling tergantungnya segi-segi yang bertentangan. Karena segala-galanya di bawah cakrawala mengakui yang cantik adalah cantik, maka terdapat pikiran tentang kejelekan. Demikian pula halnya dengan pengakuan akan kebajikan (kebaikan) adalah baik, ini juga mengakibatkan lahirnya gagasan tentang kejahatan (Pasal 2). Segala macam yang banyak jumlahnya di bawah cakrawala tidak saja saling bertentangan dan saling tergantung sesamanya, tetapi juga saling berubah, dan perubahan pasti berlangsung. Badai topan tak mungkin terjadi, hujan lebat tak mungkin berlangsung sehari suntuk. (Pasal 23, h.46) Selanjutnya, setiap perubahan bergerak ke arah segi kebalikannya. Untuk bisa tetap lurus, haruslah bengkok; untuk bisa tetap penuh, harus kosong sebagian.” 149
Ibid., h.86.
150 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Mengenai hakikat dari Dao antara lain dikemukakan dalam Pasal 14 Dao De Jing: Dipandang ia tak tampak, maka disebut sukar dibayangkan; didengar ia hening belaka; maka disebut langka; diraba ia tak terasa, ia disebut sangat kecil. Ketiga sifat ini digabung menjadi satu, maka terbitnya tak bersinar, tenggelamnya tak jadi gelap. Semuanya bergerak, yang tak terhingga banyaknya benda tak bernama, kembali ke tempat semula yang kosong melompong. Mereka adalah bentuk yang tak ada rupa, bayangan yang tak kelihatan, disebut bagaikan samar-samar. Kalau didekati menemuinya, wajahnya tak kelihatan. Ikuti dari belakang, punggungnya tak tampak. Maka dermikianlah memahami adanya Dao, inilah hakikat dari Dao itu.150 Kemudian Taoisme memiliki penekanan kuat terhadap keselarasan manusia dengan Dao dan alam semesta. Dao dipandang mengatasi segala hal, baik manusia maupun alam, dan sekaligus juga tersebar di dalam alam ini. Dalam Taoisme dikatakan bahwa manusia harus hidup menurut tata cara alam, memahami hakikatnya, dan hidup selaras dengannya. Inti filsafat Lao Zi, Dao menolak kemutlakan dan sifat ketuhanan kekuasaan langit, dan mengajukan teori pikiran‐pikiran ateistik. Pikiran maju ini berpengaruh terhadap generasi selanjutnya. Arti Dao dalam buku Lao Zi terutama adalah metafisis atau abstrak, tapi juga menganut hukum‐hukum konkret dalam arti tertentu. Misalnya Dao mempunyai arti yang sama dengan De: “Kebaikan air adalah: ia berguna bagi puluhan ribu umat, tapi ia sendiri tidak bergolak, tidak mengharapkan tempat tertentu, berada di tempatnya yang rendah di mana orang tersiksa. Inilah yang membikin air menjadi begitu dekat pada Dao.”
150
Ibid., h.28. IV — Perkembangan Awal Filsafat Tiongkok | 151
Lambang Yin Yang Lambang Yin Yang yang paling populer adalah lambang Xiantian Taiji (先天太極圖) atau Yin Yang Yu (陰陽魚), Ikan Ying Yang. Lambang ini diperkenalkan oleh Lai Zhide ( 來 知 德 ; tahun 1525—1604). Sejarah pengkajian dan perkembangan lambang Yin Yang dimulai pada masa dinasti Song hingga abad ke‐15. Yin adalah sisi hitam dengan titik putih pada bagian atasnya dan Yang adalah sisi putih dengan titik hitam pada bagian atasnya. Hubungan antara Yin dan Yang sering digambarkan dengan bentuk sinar matahari yang berada di atas gunung dan di lembah. Yin (secara harfiah yaitu tempat yang teduh) adalah daerah gelap yang merupakan bayangan dari gunung, sementara Yang (secara harfiah yaitu tempat yang terang atau cerah) adalah bagian yang tidak terhalang oleh gunung. Saat matahari bergerak, Yin dan Yang secara bertahap bertukar tempat satu sama lain, mengungkapkan apa yang tidak jelas dan menyembunyikan yang sudah terungkap. Yin ditandai dengan sesuatu yang lambat, lembut, menghasilkan, menyebar, dingin, basah, dan pasif. Berhubungan dengan air, bumi, bulan, feminitas, dan malam hari. Yang sebaliknya ditandai dengan cepat, keras, padat, fokus, panas, kering, dan agresif. Berhubungan dengan api, langit, matahari, maskulinitas, dan siang hari.
152 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Dalam Daoisme dikembangkan ajaran Wu‐Wei 151 yang dapat secara harfiah diterjemahkan dengan ‘tidak mempunyai kegiatan’ atau ‘tidak berbuat’, tidak bertindak. Istilah ini sesungguhnya bukanlah berarti sama sekali tidak ada kegiatan, atau sama sekali tidak berbuat apa pun, melainkan berarti berbuat tanpa dibuat‐buat dan tidak semau‐maunya. Dalam Pasal 63 Dao De Jing dikemukakan Wei Wu Wei, Shi Wu Shi, Wen Wu Wen yang berarti: “Ada tindakan tanpa bertindak, ada perbuatan tanpa berbuat, ada aroma tanpa berbau.”152 Wu‐Wei adalah sifat dasar kehidupan yang selaras dengan alam semesta. Bersikap dibuat‐buat dan semau‐maunya adalah berlawanan dengan sikap kodrati atau sikap yang wajar. Menurut ajaran Wu‐Wei, seseorang hendaknya membatasi kegiatan‐kegiatannya pada apa yang diperlukan dan apa yang kodrati atau wajar. Seperti dalam mencapai tujuan tertentu, jangan sampai berbuat berlebihan atau melakukan upaya semau‐maunya. Dalam melakukan perbuatan ini, hendaknya orang mengambil kesederhanaan sebagai prinsip hidup yang membimbingnya, sebab umat manusia mempunyai terlampau banyak keinginan dan terlalu banyak pengetahuan. Mereka mencari kebahagiaan dengan cara memenuhi keinginan mereka. Akan tetapi, ketika mereka berusaha memenuhi terlampau banyak keinginan, mereka memperoleh hasil yang sebaliknya. Wu‐Wei adalah hidup yang dijalani tanpa ketegangan. Wu‐Wei merupakan perwujudan yang murni dari kelemah‐lembutan, kesederhanaan, dan kebebasan; suatu kemampuan yang efektif, yang murni di mana tidak ada gerak yang dihambur‐hambur sekedar untuk dipamerkan ke luar. Jika Wu‐Wei dilihat dari luar, terlihatlah ia tanpa daya, karena tidak pernah memaksa dan tidak pernah terlihat tegang. Rahasianya terletak pada cara mencari ruang kosong dalam hidup dan alam, dan bergerak melaluinya. Zhuang Zi menjelaskan hal ini dengan ceritanya tentang seorang penjagal yang pisaunya tidak pernah tumpul selama dua puluh tahun. Sewaktu didesak untuk menjelaskan 151
无为; Wúwéi. Wu-Wei adalah kepercayaan Taoisme yang secara harfiah berarti tidak melakukan. Dalam Dao De Jing, Laozi menjelaskan bahwa fenomena yang harmonis dengan Dao adalah fenomena yang alami. Misalnya, ketika pohon tumbuh, pohon hanya tumbuh tanpa mencoba tumbuh. Maka tujuan praktek spiritual pada manusia menurut Laozi adalah mempertahankan perilaku yang alami. 152 Ibid., h.128. IV — Perkembangan Awal Filsafat Tiongkok | 153
rahasianya, pejagal itu menjawab, “Dari antara tulang‐tulang pada setiap persendian selalu ada suatu ruang. Jika tidak demikian, tentu tidak akan ada gerakan. Dengan mencari ruang ini dan meingisinya di situ, maka pisau saya dapat melalui tulang‐tulang itu tanpa menyentuhnya.” 153 Dengan demikian, Wu Wei sesungguhnya berarti kewajaran, segala‐galanya berlangsung dengan wajar. Gejala alam yang paling mirip dengan Dao dalam pandangan para penganut Daoisme adalah air. Mereka kagum dengan cara air yang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya dan mencari tempat‐tempat yang terletak paling rendah. Air juga mempunyai kekuatan yang mampu meluluhkan batu karang dan menghanyutkan bukit‐bukit. Sifat luwes tak berhingga namun kokoh tanpa bandingan. Itulah kebajikan air dan demikian juga kebajikan dari Wu‐Wei. Ciri yang terakhir adalah kejernihan di saat ia tenang. Namun, kejernihan hanya dapat tertangkap oleh mata batin jika kehidupan manusia itu mencapai ketenangan yang diam dari suatu telaga yang dalam dan hening. Menurut pandangan Daoisme, hidup manusia sudah digariskan oleh ‘langit’. Manusia sudah memiliki jalannya masing‐masing. Yang harus dilakukan manusia hanya meneliti jalan itu dan mengikuti jejak itu tanpa coba memaksakan pandangannya yang sempit, serta tanpa kehendak ingin menyelewangkan diri dari yang alamiah demi keuntungan pribadi. Sikap semacam itulah yang disebut dengan Wu Wei yang artinya tidak mencampuri. Wu‐Wei dapat juga diartikan ‘tidak berkeinginan’. Manusia dalam pandangan Daoisme, harus menghilangkan keinginannya, dan mengikuti jalannya proses alam tanpa mencampuri proses itu. Menurut Daoisme, apabila manusia menjadi sombong dan melakukan hal di luar kemampuannya, maka suatu saat ia akan mendapat celaan yang dapat membuatnya berduka atau menderita. Karena itu, seorang bijaksana yang mengenal Dao dan hukum alam akan memilih mengundurkan diri dan menolak segala penghargaan yang diberikan padanya. Ia memilih untuk tidak menonjolkan dirinya. Meskipun demikian, Daoisme tidak mengajarkan bahwa seseorang harus menyingkirkan seluruh harta benda yang dimiliki untuk mencapai ketenteraman batin. Hal yang perlu dibuang adalah rasa keterikatan 153
Zhuang Zi, Quan Shu, h.39—40.
154 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
terhadap harta tersebut. Apabila harta dibuang namun masih ada keterikatan terhadap harta tersebut, maka sia‐sia saja. Karena itu buanglah keterikatan terhadap harta dari diri manusia, dan harta benda harus digunakan untuk kepentingan sosial. Dengan demikian manusia tidak akan merasakan penderitaan akibat kehilangan harta. Manusia yang mengikuti Dao tidak mencampuri hidup orang lain, dalam arti ia tidak memaksakan orang lain membutuhkan, ia menolong mereka menjadi bebas dengan mengikuti Dao. Manusia yang baik adalah yang mampu mengikuti jalannya alam semesta sesuai dengan Dao. Jika manusia telah berhasil mengikuti jalan Dao, maka ia tidak perlu takut akan kematian. Kematian adalah sebuah proses alam dan manusia tidak dapat melawan alam, oleh karena itu manusia tidak perlu takut atau cemas terhadap kematian. Kematian hanya mengembalikan manusia kepada Dao. Dalam menjalani kehidupan yang ada, manusia mengarah pada kehidupan yang alamiah tanpa adanya proses ikut campur. Kehidupan yang alami inilah yang menjadi suatu kebajikan dasar yang memicu munculnya tiga buah kebajikan lain yang menuntun manusia dalam kehidupannya, yaitu lemah lembut, rendah hati, dan menyangkal diri. Kelemah‐lembutan merupakan teman dari kehidupan, sebaliknya, kekerasan dan kekakuan adalah teman dari kematian. Rendah hati adalah sikap mampu membatasi diri dengan berbuat seperlunya saja. Di dalam kitab Dao De Jing dikatakan, “Tidak ada kutuk yang lebih besar daripada merasa kurang puas. Tidak ada dosa yang lebih besar daripada selalu ingin memiliki.” Kemudian, menyangkal diri adalah sikap menganggap diri dan hidup manusia hanyalah sebagai pinjaman dari alam semesta kepada manusia. Oleh karena itu, manusia yang bijaksana dan menginginkan hidup tenang dan tenteram akan mempercayakan seluruh hidupnya kepada Dao atau alam semesta.
3. Kong Hucu KONG HUCU (551—479 SM), cendekiawan yang berpengaruh besar dalam filsafat Tiongkok. Ajaran‐ajaran Kong Hucu dipaparkan dalam
IV — Perkembangan Awal Filsafat Tiongkok | 155
Lun Yu,154 yang isinya adalah Bunga Rampai Petuah Kong Hucu dalam Pertukaran Pikiran, Analects, (bahasa Inggris) yang diterbitkan dalam bentuk buku pada zaman permulaan Masa Negara‐Negara Berperang (475—221 SM).155 Lun Yu adalah himpunan petuah‐petuah Kong Hucu dalam pertukaran pikiran dengan murid‐muridnya. Kong Hucu keturunan keluarga miskin, berasal dari negara Lu yang kini termasuk daerah Provinsi Shandong. Berkat usaha dan pendidikan sendiri mencapai ketokohan sebagai pujangga terkemuka.156 Demikian penting peranannya, sampai di Indonesia, Kong Hucu dianggap agama. Di Tiongkok, tanpa Kong Hucu dan karyanya Lun Yu, tidak bisa berbicara mengenai “terobosan filsafat”. Sebagaimana sering didengar, filsafat Tiongkok adalah mengutamakan etika. Memang sesungguhnya inti dari filsafat Tiongkok adalah ajaran‐ajaran tentang etika dan kesusilaan. Berbagai bentuk budaya Eropa menekankan masalah mencari kebenaran, maka bisa dikatakan bahwa berbagai bentuk budaya Tiongkok menekankan hal mencari kebaikan.157 Kong Hucu adalah filsuf dan ahli pendidikan. Inti dari Bunga Rampai Petuah Kong Hucu dalam Pertukaran Pikiran adalah “仁; ren” yang berarti “cinta manusia” yang perwujudannya adalah “礼; li”. Arti kata ren adalah kebajikan, kebaikan/kemurahan hati, perikemanusiaan, politik murah hati, pemerintahan murah hati, berperasaan. Arti kata li adalah upacara, tata krama, budi bahasa, peri sopan santun. Salah satu petuah Kong Hucu yang terkenal adalah: 克己复礼为仁; ke ji fu li wei ren, yang berarti haruslah dengan khidmat bersikap menundukkan diri sendiri (menahan diri, mengendalikan nafsu), bersikap sopan santun dan berbuat kebajikan. Menurut petuah Kong Hucu: “yang menaati tata krama 154
论语; Lúnyǔ. Berisi kumpulan tulisan ajaran, diskusi, percakapan, komentar dari Khong Hucu, dengan para murid, antar murid, dan wacana ajaran Kong Hucu. Kitab ini terdiri dari 2 jilid, masing-masing 10 bab (= 20 bab), 15.917 huruf. Kitab ini ada tiga macam, yaitu versi naskah kuno, versi Shi’i, dan versi Lu. Yang kebanyakan dipakai sekarang adalah versi Lu. Antara ketiga versi itu berbeda-beda. 155 战国时代; Zhànguó Shídài. 156 Feng Youlan, Zhong Guo Zhe Xue Jian Shi (Sejarah Singkat Filsafat Tiongkok), Beijing Daxue Chu Ban She (Penerbit Universitas Peking), 1947, h.34. 157 Library of Chinese Classics, Chinese-English, Da Zhonghua Wen Ku, Han Ying Dui Zhao, Lun Yu, The Analects, Bunga Rampai Petuah Kong Hucu dalam Pertukaran Pikiran, Hunan People’s Publishing House, 1999, h.18. 156 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
adalah baik; jika penguasa bisa menaati tata krama, semua orang di alam raya akan mengikuti kebaikannya ini.”158 Menurut Kong Hucu, nasib manusia ditentukan oleh penguasa Langit (Tuhan), manusia terbagi dua menjadi atasan dan bawahan, bawahan harus tunduk pada atasan, yang muda tunduk pada yang tua.159 Cita‐cita politik Kong Hucu adalah mengajarkan supaya memerintah dengan kebijaksanaan yang sopan santun, “tanpa menekankan perbedaaan‐perbedaan klas”. Ia mendidik murid‐muridnya sesuai dengan bakat dan kecerdasannya serta memiliki kepercayaan pada adanya kekuatan gaib yang mahakuasa.160 Kong Hucu mengajarkan bahwa kebajikan adalah perikemanusiaan. Kebajikan adalah cara yang penting untuk tujuan tertinggi mencapai “seluruh dunia adalah satu kesatuan masyarakat.” Diajarkannya bahwa “Ketika Dao yang agung berdominasi, maka dunia akan jadi satu kesatuan masyarakat, manusia akan memilih yang baik dan mengembangkan yang mampu, orang akan saling mencintai, bukan saja terhadap anak‐cucu dan turunannya, tapi juga terhadap tugas dan kewajiban.... Maka boleh dikatakan seluruh dunia betul‐betul menjadi satu kesatuan masyarakat.”161 Diajarkannya bahwa kebajikan dapat dihimpun sedikit demi sedikit dalam kehidupan sehari‐hari. Kebajikan berarti mencintai rakyat. Cara untuk melaksanakan kebajikan adalah menempatkan diri sendiri pada tempat orang lain. “Mampu melaksanakan lima hal di mana‐mana di bawah kolong langit adalah merupakan kebajikan yang sempurna, yaitu: 1. bersikap hormat (takzim); 2. lapang hati; 3. bersikap benar, betul‐betul; 4. bersikap lincah, cekatan; 5. baik hati.” “Secara konkret, kebajikan adalah mencintai semua manusia. Sumber dari kebajikan adalah kasih sayang yang alim dan ketundukan
158
Da Zhong Hua Wen Ku, Lun Yu, Library of Chinese Classics, China-English, The Analects,, Hunan People’s Publishing House, Buku XII, h.124. 159 Filosofskii Slovar, op.cit., h.213. 160 Da Zhong Hua Wen Ku, Han Ying Dui Zhao, Lun Yu; Library of Chinese Classics, Chinese–English, The Analects, Pustaka Klasik Tiongkok, Tionghoa– Inggris, Bunga Rampai Petuah Kong Hucu dalam Pertukaran Pikiran, Hunan People’s Publishing House, First edition, 1999. 161 Ibid., h.40—41. IV — Perkembangan Awal Filsafat Tiongkok | 157
persaudaraan.” 162 Zhang Zai seorang pengikut Kong Hucu, sarjana pada dinasti Song mengatakan: “Rakyat adalah saudaraku seketurunan, saya akan memberikan kepadanya semua hak milikku. Demikianlah persaudaraan yang mengembangkan kasih sayang pernyataan cinta penduduk dan menebarkan semangat kemanusiaan sampai pada sikap ‘penyatuan Tuhan dan manusia’– ‘Manunggaling Kawula Gusti’.”163 Saling hubungan antara kebajikan dan tata krama adalah sebagai akar dan cabang. Tata krama berfungsi sebagai pengatur, membetulkan, menyempurnakan pelaksanaan kebajikan. Secara ringkas, inti dari Lun Yu adalah kebajikan. Sedangkan tata krama hanyalah mengabdi pada kebajikan.164 Sesuai dengan kondisi zaman, pada hakikatnya ajaran Kong Hucu adalah mengabdi pada kekuasaan yang ada, pada klas penguasa feodal.
4. Yang Zhu PENGIKUT dan penerus Lao Zi, Yang Zhu (440—360 SM), mengembangkan ajaran Lao Zi. Yang Zhu menentang adanya “kekuasaan dari langit”, kekuasaan Tuhan, dan melawan pemujaan atas pemuka agama. Ia mengajarkan bahwa segala‐galanya di dunia diatur oleh hukumnya masing‐masing dan selalu berada dalam keadaan berubah. Menurut Yang Zhu, roh manusia tak bisa dipisahkan dari jasmaninya, dan roh akan lenyap bersamaan dengan kematian jasmani. Menurut Yang Zhu, hidup adalah penuh penderitaan dan tujuan utama hidup adalah kesenangan. Tidak ada Tuhan dan tak ada kehidupan sesudah manusia meninggal. Manusia adalah boneka‐ boneka malang buatan kekuatan alam yang buta, yang memberinya nenek moyang yang tidak mereka pilih sendiri. Manusia bijaksana akan menerima nasib ini tanpa keluhan, tapi tak akan mau menjadi tolol akibat omong kosong Kong Hucu dan Mozi mengenai kebajikan yang diwarisi, mengenai cinta yang universal, dan nama baik: bermoral itu semua adalah penipuan yang dijalankan terhadap orang‐orang 162 163 164
Ibid., h.43. Ibid., h.44. Ibid., h.46—48.
158 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
sederhana oleh orang‐orang pintar; cinta universal adalah pengelabuan terhadap anak‐anak yang tidak mengerti akan permusuhan internasional yang membentuk hukum kehidupan; dan nama baik adalah satu kegemilangan anumerta yang menyenangkan bagi si bodoh yang menganggapnya begitu berharga karena ia tak dapat menikmati. Dalam kehidupan, penderitaan dialami orang baik sebagai orang jelek, yang jahat nampaknya menikmati bagi dirinya sendiri lebih dari yang dialami orang baik.
5. Zhuang Zi PADA abad ke‐4 sampai ke‐3 SM, terjadi perkembangan penting Daoisme di bawah Zhuang Zi (kira‐kira 369—286 SM). Sebagaimana Lao Zi, Zhuang Zi berpendapat bahwa pada benda‐benda di alam raya berlaku hukum alam Dao yang mengatur gerak dan perubahannya terus‐ menerus. Zhuang Zi berpendapat bahwa dari bagian terkecil benda organik dalam air yang dinamakannya Qi (baca: Ci) terbentuklah makhluk hidup yang akhirnya berkembang jadi manusia. Aksara Tionghoa Qi berarti hawa, udara, cuaca, sikap, lagak, semangat, jiwa, marah, gusar, gencar, hina, nista, daya batin, energi jiwa, energi vital. Qi adalah satu‐satunya yang menjadi asal dari segala‐galanya yang ada di bawah kolong langit. Qi terdapat di seluruh alam raya. Zhuang Zi adalah penganut filsafat relativisme. 165 Pandangan Zhuang Zi berisi materialisme naif dan unsur dialektika spontan. Di samping itu, ajaran Zhuang Zi juga berisi unsur yang idealistis. Baginya tak ada kebenaran objektif. Hidup dianggapnya adalah ilusi. Zhuang Zi menghindari perjuangan politik yang nyata, tak ambil bagian dalam gerakan politik, tapi tidak berani secara terbuka menentang kenyataan. Meskipun ia mengharapkan tidak mencampuri politik, tetapi sebaliknya kenyataan politik mengganggu penghidupannya. Ia tidak berani melakukan kegiatan menentang kenyataan, tetapi berusaha menemukan semangat yang mabuk berkhayal akan perubahan ajaib. Ia memperlihatkan idealisme, relativisme.166 165
Da Xue Zhexue Chong Shu, Zhong Guo Zhexue Shi (Sejarah Filsafat Tiongkok), Renmin Chuban She (Penerbit Rakyat), Jilid I, 1997, h.171. 166 Ibid., h.171—172. IV — Perkembangan Awal Filsafat Tiongkok | 159
Pada masa Negara‐Negara Berperang, filsafat Lao Zi terpecah dua ke arah kiri dan kanan. Tradisi materialismenya dilanjutkan oleh Song Yi, Xun Zi, Han Fei, dan lain‐lain. Filsafat Zhuang Zi mengembangkan segi‐ segi kekurangan sistem filsafat Lao Zi, hingga berkembang ke arah idealisme. Demi menentang kekuasaan langit yang mahakuasa, Lao Zi menampilkan ciri materiil dari Dao. Diajarkannya bahwa Dao adalah sumber dari materi, sebab‐musabab adanya materi dan hukum yang mengatur gerak materi. Oleh karena itu Dao sungguh memiliki sifat yang sama sekali tidak sama dengan kekhususan sifat materi. Lao Zi sudah menyatakan bahwa Dao mempunyai sifat khusus, berbeda dengan materi, tetapi pemaparan Lao Zi tidak cukup jelas. Zhuang Zi mengembangkan bagian sifat Dao yang tidak materiil itu. Dari Wu Wei ajaran Dao, Zhuang Zi mengembangkannya jadi fatalisme. Dalam karya lengkap Zhuang Zi Bab VI, Da Zong Shi, Pujangga Besar, dinyatakan bahwa: “Dao punya kenyataan, punya tanda‐tanda, tapi tanpa gerak dan tanpa bentuk. Bisa diwarisi, tapi tak bisa diperoleh, bisa mendapatnya, tapi tak kelihatan. Ia punya sumbernya, punya akarnya sendiri. Sebelum alam semesta dan bumi terjadi, ia sudah ada, jauh semenjak masa purbakala. Ia memberi semangat pada jiwa dan Tuhan, tapi tak bisa disebut agung. Ia masuk ke dalam batas ujung paling jauh, tapi tak bisa dikatakan berada di tempat yang dalam. Ia lahir mendahului alam semesta dan bumi, tapi tak bisa disebut ia sudah ada semenjak lama; ia ada lebih dahulu dari waktu yang paling dahulu, tapi tak bisa dikatakan ia sudah tua.” Dengan demikian, ajaran Lao Zi tentang Dao yang berisi unsur materialisme berubah jadi mistisisme.167 Dalam Qi Wu Lun, Tentang Serba Samanya Benda‐Benda, Bab II, karya lengkap Zhuang Zi, dipaparkan: “Menggunakan jari untuk menunjukkan bahwa jari itu bukanlah jari, tidaklah sebaik menggunakan bukan jari untuk menunjukkan bahwa jari itu bukanlah jari. Menggunakan kuda putih untuk menunjukkan bahwa kuda bukanlah kuda, tidaklah sebaik menggunakan yang bukan kuda putih untuk menunjukkan kuda putih itu bukanlah kuda. Menurut pandangan Dao, di langit dan bumi, sebuah jari, berbagai benda, puluhan ribu kuda, tak ada bedanya.” Ini tak cocok dengan kenyataan, 167
Ibid., h.172.
160 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
maka ini adalah pandangan Zhuang Zi yang idealis. “Yang bisa kita terima adalah karena bisa diterima; apa yang tak bisa diterima adalah karena tak bisa diterima. Jalan dibikin orang untuk berjalan di atasnya. Berbagai benda adalah begitu, kita sebut ia begitu. Kenapa seperti itu? Jika seperti itu, disebut seperti itu. Kenapa demikian? Seperti itu karena ia demikian; kenapa tidak demikian? Tidak demikian, ya disebut tidak demikian. Materi yang demikian ada sebab‐ musababnya. Puluhan ribu (berbagai) materi ada sebab‐musababnya yang beralasan (masuk akal). Tidak satu pun benda yang tidak demikian, tidak ada satu pun benda yang tidak masuk akal. Menurut pandangan Dao, tangkai rumput atau tiang penyangga gedung, orang jelek atau si cantik Xi Shi,168 segala‐galanya secara luas, dengan mudah dapat berubah, bagai gagasan hantu iblis, semuanya adalah sama, dapat menjadi satu sistem. Berbagai benda ada bagian‐bagiannya, pasti ada yang baik utuh lengkap; ada yang baik utuh lengkap, pasti ada yang tidak baik bersifat merusak; semua itu pun masih bisa merupakan satu sistem.” Dao membikinnya semua menjadi satu. Terbagi‐baginya benda‐ benda itu adalah satu kesempurnaan. Tak ada benda yang sempurna dan tanpa cacat, tetapi semua lagi‐lagi dibikin jadi satu. Hanyalah orang berpandangan jauh yang tahu bagaimana membikinnya jadi satu. Demikian juga benda yang tak berguna, tetapi memindahkannya semua menjadi tetap (tak berubah). Yang tetap (tak berubah) itu adalah yang berguna, yang berguna itu adalah cukup baik; yang cukup baik itu adalah yang berhasil; dan dengan berhasil semua jadi sudah terlaksana. Ia hanya bergantung atas ini dan tidak tahu bahwa ia melakukan itu demikian. Inilah yang disebut Dao.169 Relativisme dan materialisme naif tampil dalam karya lengkap Zhuang Zi, Zhuang Zi Quan Shu, Bab II yang berjudul Qi Wu Lun, Tentang Serba Samanya Benda‐Benda. Di sini dipaparkan pandangan mengenai teori pengenalan yang bersifat idealisme objektif. Antara lain dikemukakan mengenai wujud (eksistensi, being) dan nihil, non‐being. Dipaparkan bahwa: “Ada satu permulaan. Belum lagi mulai untuk adanya permulaan. Belum mulai untuk adanya permulaan untuk memulai satu permulaan. Ada wujud. Ada nihil. Belum lagi mulai untuk 168
Xi Shi adalah salah seorang wanita tercantik terkenal di zaman kuno Tiongkok. Zhuang Zi Quan Shu, Bab II Qi Wu Lun, Tentang Serba Samanya Benda-Benda, h.24. 169
IV — Perkembangan Awal Filsafat Tiongkok | 161
permulaan. Belum ada permulaan untuk belum mulai adanya nihil. Mendadak sontak ada nihil. Tapi saya tidak tahu, kapan munculnya nihil itu, apa itu sesungguhnya wujud, dan apa itu nihil. Sekarang baru saja saya katakan sesuatu. Namun saya tidak tahu, kapan munculnya nihil itu, apa sebenarnya wujud dan mana yang nihil. Sekarang saya sudah mengatakan sesuatu. Namun saya tidak tahu apakah yang sudah saya katakan itu betul‐betul sudah saya katakan sesuatu, atau apakah saya tidak mengatakan apa pun.” Artinya, dunia mengalami masanya belum mulai, didorong ke hulu, masih ada masanya belum mulai. Ini adalah pernyataan mistisisme. Dikatakannya lagi “di dunia ada wujud (eksistensi) dan ada nihil,” selanjutnya dikatakan “tidak ada wujud (eksistensi)” dan “nihil”. Ini adalah terjerumus ke dalam kekosongan mistisisme. Bahkan Zhuang Zi menyatakan bahwa: “Tak bisa diketahui bahwa di dunia ada sesungguhnya wujud dan ada sesungguhnya nihil.” Ini adalah benar‐ benar idealisme. Dari menganut relativisme, Zhuang Zi jadi penganut nihilisme. Dalam Bab II karya Qi Wu Lun dipaparkan bahwa hakikat hal ihwal itu adalah relatif, tak bisa dibedakan, sebab hakikat hal ihwal tak dapat diketahui. Dinyatakan bahwa “Tak ada benda yang sempurna dan tanpa cacat, tetapi semua lagi‐lagi dibikin jadi satu. Hanyalah orang berpandangan jauh yang tahu bagaimana membikin menjadi satu. Demikian juga ia yang tak berguna (untuk kategori), tetapi memindahkannya semua menjadi tetap (tak berubah). Yang tetap (tak berubah) itu adalah yang berguna, yang berguna itu adalah cukup baik; yang cukup baik itu adalah yang berhasil; dan dengan berhasil semua jadi sudah terlaksana. Ia hanya bergantung atas ini dan tidak tahu bahwa ia melakukan itu demikian. Inilah yang disebut Dao.”170 Di sini Zhuang Zi menggunakan sifat‐sifat gejala khusus materi, tapi keluar dari kesimpulan yang ilmiah, secara idealis memahami Dao ajaran Lao Zi. Pandangan Zhuang Zi adalah hasil dari pengembangan filsafat Lao Zi. Ia mengembangkan mata‐rantai kekurangan, kelemahan dan kesalahan dari filsafat Lao Zi. Pandangan Zhuang Zi mencerminkan sikap semangat defaitisme yang kehilangan semangat, yang tak mempunyai masa depan dari klas budak di akhir masa feodalisme.171 170 171
Ibid., h.23—24. Da Xue Zhexue Chong Shu, op.cit., h.184.
162 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
6. Mo Zi MO Zi172 menentang ajaran Kong Hucu. Mo Zi termasuk kaum Ming Jia, mazhab ahli mantik pada masa Chun Qiu dan masa Negara‐Negara Berperang, 770—221 SM. Aksara Ming berarti nama, sebutan; kemasyhuran, reputasi, ketenaran; ternama, termasyhur, populer; menyatakan, melukiskan, menggambarkan. Dalam bahasa Inggris, Ming Jia juga diterjemahkan jadi kaum sophists, logicians, dan dialecticians. Dalam mengkritik ajaran Kong Hucu, Mo Zi mengajukan pandangan, bahwa tak ada nasib yang telah ditentukan terlebih dahulu. Inti dari filsafat Mo Zi adalah Jian Ai, 173 yang berarti cinta menyeluruh. Mo Zi mengajarkan dan menyerukan supaya manusia saling membantu, tak pandang dari kedudukan sosialnya. Menurut Mo Zi, nasib seseorang tergantung pada hal bagaimana orang itu dalam hidup mewujudkan Jian Ai, cinta yang menyeluruh. Tergantung dari sikap inilah “penguasa langit” menghargai atau menghukumnya. Mo Zi menentang perang‐perang perampokan, mendorong perdamaian, saling bantu antar negara‐negara. Dalam bidang teori pengenalan, ajaran Mo Zi mengandung unsur‐unsur materialisme. Ia menyatakan bahwa kesadaran, pikiran, lahir dari penelitian‐penelitian yang terus‐menerus secara langsung atas kenyataan. Para pengikut Mo Zi membebaskan diri dari lingkaran mistik serta mengembangkan materialisme naif mereka. Pada pokoknya, Mo Zi mengolah logika dan teori pengenalan. Pandangan filsafatnya mengakui terdapatnya benda‐benda objektif di luar kesadaran manusia. Menurut ajarannya, semua pengenalan manusia adalah hasil dari usaha bersama alat‐alat perasa. Mo Zi mengajarkan kategori Bian174 sebagai dasar metode logika. Aksara Bian berarti memperdebatkan, mempersoalkan, mempertikaikan, memperselisihkan. Bian Zheng 175 berarti dialektika. Mo Zi memaparkan tujuan, kegunaan, dan cara penggunaan metode Bian. Dengan bantuan metode ini dapat ditentukan 172
墨子 (baca: Mo Dze, e lemah). Mo Zi hidup antara 479—381 SM. 兼愛; Jian'ai. Aksara Jian berarti dua kali lipat, dobel, bersamaan, berbarengan, merangkap. Aksara Ai berarti cinta, asmara, kasih sayang, suka, gemar, tertarik, sangat menyayangi, mencintai, memelihara baik-baik, mudah, gampang. 174 Baca: Pian. 175 Baca: Pian Ceng. 173
IV — Perkembangan Awal Filsafat Tiongkok | 163
yang hakiki dan yang palsu, tindakan yang menurut hukum atau melanggar hukum, hal yang sama atau yang berbeda. Maka materialisme dan dialektika kian berkembang di kalangan filsuf Tiongkok kuno. Mo Zi adalah nama karya filsafat yang dihimpun oleh kaum Mohis dari ajaran‐ajaran Mo Zi. Aslinya, karya ini terdiri dari 71 bab. Dalam masa dinasti Han, Konfusianisme berdominasi di Tiongkok. Mohisme adalah anti‐Konfusianisme, maka karya filsafat Mo Zi diabaikan saja. Semasa dinasi Song, hanya tinggal 61 bab. Dewasa ini didapati hanya 53 bab. Dari tiga bab “menentang Konfusianisme”, hanya tinggal satu bab. Mohisme mengalami penindasan selama dinasti Qin dan lenyap sepenuhnya dalam dinasti Han yang menjadikan Konfusianisme sebagai ajaran resmi. Walaupun demikian, banyak pikiran Mo Zi masuk ke dalam aliran pokok filsafat Tiongkok dan diterima di zaman modern. Sun Yat Sen menggunakan “cinta universal” Mo Zi sebagai dasar dari pikiran demokrasi Tiongkok. Ada yang beranggapan Mo Zi sebagai “filsuf rakyat”, mengangkat tinggi sikap rasional‐empirisnya ke taraf pikiran dunia bahkan menilainya berlatar belakang “proletariat”. Ada sementara pendapat yang mengangkat filsafat Mo Zi lebih maju atau tidak kurang dari Kong Hucu. Gagasan “cinta universal”‐nya mencakup lebih luas dari ide kemanusiaan Kong Hucu, tetapi ia kurang toleran dibanding dengan Kong Hucu dalam mengutuk semua yang “tidak berguna” secara langsung, ia mengabaikan fungsi kemanusiaan dari seni musik. Zhuang Zi, yang mengkritik ajaran Kong Hucu dan Mo Zi, mempunyai pikiran yang ia ajukan dalam ungkapan sebagai “kegunaan yang tak berguna”. Tentu saja yang dimaksud dengan “kegunaan” datang dari masa‐masa perang dan kelaparan melanda luas dan yang menyebabkan arak‐arakan kebesaran raja menjadi sesuatu yang sembrono. Walaupun demikian, ada yang berpendapat bahwa pendapat di atas tidak sepenuhnya benar, dan bahwa sesungguhnya “cinta universal” 博愛 (bo ai) sebagaimana halnya 天下為公 (tian xia wei gong) “di bawah kolong langit mengabdi umum” yang dinilai tinggi oleh Sun Yat Sen adalah ajaran‐ajaran Kong Hucu. “Cinta universal” (博愛) dalam ajaran Kong Hucu ada sedikit perbedaan dengan ʺcinta universalʺ (兼愛, Jianʹai) ajaran Mo Zi. Dalam ajaran Kong Hucu cinta itu ditekankan pada sifat alamiah hubungan sesama manusia, sedangkan dalam ajaran Mo Zi ditekankan pada
164 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
orientasi kemasyarakatan, tidak pandang pribadi.
7. Meng Zi MENG Zi (372—289 SM), filsuf Tiongkok yang memusatkan perhatian pada masalah sifat alamiah manusia. Meng Zi mengajarkan bahwa sifat hakiki dari pribadi manusia adalah baik. Namun karena pengaruh kurangnya mendapat pendidikan yang baik, menyebabkan moralnya jahat. Meng Zi mengajarkan, empat permulaan atau empat tunas, yaitu: 1. perasaan penyesalan atau simpati adalah permulaan sifat manusiawi (kemanusiaan); 2. perasaan malu atau tidak suka adalah permulaan dari kebenaran; 3. perasaan rasa hormat dan kerelaan adalah permulaan kesopanan; 4. perasaan benar atau salah adalah permulaan dari kearifan. Menurut Meng Zi, sifat alamiah manusia adalah berkecenderungan baik, tetapi kebenaran (tepatnya) moral tidak dapat diatur sampai jelimet. Oleh karena itu pengawasan dari luar selalu gagal dalam memperbaiki masyarakat. Perbaikan lingkungan yang tepat (benar) adalah hasil dari pendidikan yang baik. Lingkungan yang jelek menyebabkan sifat‐sifat jelek manusia. Pendapat ini menyebabkan Meng Zi mengambil tempat antara Kong Hucu dan Xun Zi yang menganggap manusia mempunyai sikap asli jelek. Sedang kaum Taois berpendapat bahwa manusia tak memerlukan pendidikan karena manusia hanya cukup memerlukan mengembangkan ciri aslinya. Dengan cara begini, Meng Zi memadukan Taoisme ke dalam Kong‐Hucuisme. Yaitu, diperlukan usaha sendiri untuk mendidik diri sendiri, tetapi sifat alamiah manusia mempunyai kecenderungan baik. Tujuan pendidikan adalah untuk menanamkan kebajikan yang dikenal sebagai Ren. Menurut Meng Zi, pendidikan haruslah membangkitkan kemampuan asli dari pikiran manusia. Ia menentang pendidikan yang bersifat menghafal dan mendorong pendidikan yang aktif bertanya.
IV — Perkembangan Awal Filsafat Tiongkok | 165
Menurut Meng Zi, “Prinsip Yang adalah sesuatu untuk ia sendiri—yang tidak mengakui tuntutan akan kekuasaan.” Meng Zi mengkritik Yang Zhu sebagai seorang “yang tak akan mencabut sehelai rambut pun.”
8. Xun Zi PENGANUT Daoisme, Xun Zi (298—238 SM)176 mengembangkan ajaran tentang substansi material. Ia juga mengajarkan bahwa asal‐usul dari semua benda di alam raya adalah Qi, yang di dalamnya mengandung gerak dan perubahan. Qi terbagi dalam dua jenis, yang halus dan yang kasar. Manusia terjadi sebagai hasil dari penyatuan kedua jenis Qi itu. Roh berasal dari Qi yang halus, dan jasmani dari Qi yang kasar. Peranan penting dalam organisme manusia dimainkan oleh syaraf. Dari syaraf ini tergantung kepandaian dan kemampuan manusia. Kepandaian manusia bukanlah datang dari pemberian kekuatan Tuhan, tapi berasal dari Qi yang halus. Materialisme naif Tiongkok berkembang di bawah ajaran Xun Zi yang juga adalah tokoh penganut ajaran Kong Hucu. Berbeda dengan para penganut Kong Hucu lainnya, Xun Zi berpendapat bahwa langit adalah merupakan bagian dari alam. Baginya, pengertian ‘langit’ adalah gejala alam, sebagaimana juga bintang‐ bintang, matahari dan bulan, waktu tahunan, sinar dan awan, angin dan hujan. Perubahan gejala di cakrawala berlangsung menurut hukum tertentu dari alam. Perubahan‐perubahan ini tak ada hubungannya dengan bijaksana atau tidaknya pengatur kekuasaan negara. Nasib manusia tidak ditentukan oleh kemauan Tuhan, tetapi tergantung pada manusia itu sendiri. Menurut Xun Zi, berbeda dengan makhluk hidup lainnya, manusia bisa menggunakan semua kemampuannya dan hidup dalam masyarakat. Di samping itu, manusia bisa mengenal gejala‐gejala di lingkungannya serta menggunakannya demi kepentingannya. Kesadaran dimulai dari perasaan. Alat perasa yang mengatur pemikiran manusia dinamakannya Xin.177 Aksara Tionghoa Xin berarti jantung, hati, perasaan hati, pusat. Xin mengikuti hukum‐hukum alam. Menurut
176 177
Baca: Sun Dze, e lemah. Baca: Sin.
166 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
alamnya, semua manusia adalah sama. Dari semenjak lahirnya, manusia memiliki sifat jahat, mementingkan diri sendiri, egois. Kewajiban para cendekiawan adalah mendidik manusia dengan etika Kong Hucu, agar manusia menjadi baik. Sebagai seorang ideolog klas penguasa, Xun Zi mengajarkan bahwa dalam masyarakat harus ada rakyat, harus ada yang memerintah dan yang diperintah. Sebagian mengerjakan kerja badan, yang lainnya kerja otak. Filsafat Xun Zi memihak, mengabdi pada penguasa.
9. Han Fei PERKEMBANGAN masyarakat Tiongkok melahirkan klas‐klas baru yang menginginkan pemerintah melakukan perubahan‐perubahan. Pengikut Xun Zi, Han Fei (abad ke‐3 SM) merupakan tokoh dari aliran Fa Jia. Aksara Fa berarti hukum, perundang‐undangan. Jia berarti rumah, keluarga, aliran, mazhab, ahli dalam bidang tertentu. Fa Jia berarti kaum legalis pada masa Chun Qiu, 178 Periode Musim Semi Musim Gugur dan Negara‐Negara Berperang (475—221 SM), yaitu tahun 770—221 SM. Han Fei mengajarkan bahwa hukum perkembangan alam Dao terletak atas dasar semua hukum alam Li. Sebagaimana dalam alam, dalam masyarakat manusia terdapat Fa, perundang‐undangan yang menetapkan ketentuan‐ketentuan tentang tindak‐tanduk manusia. Undang‐undanglah yang menetapkan patokan‐patokan tentang baik atau jahatnya tindak‐tanduk manusia. Undang‐undang itu berubah sesuai dengan tuntutan waktu. Dan undang‐undang menjadi senjata perkasa dalam memperkuat negara. Han Fei mengkritik takhayul keagamaan. Ia menyatakan bahwa eksistensi iblis dan Tuhan itu tak mungkin bisa dibuktikan, bahwa sering orang bersembunyi di balik ‘kehendak Tuhan’ hanya sekedar untuk tidak menaati undang‐undang negara. Sebagaimana pengikut lainnya dari aliran Fa Jia, Han Fei mengambil pendirian memihak klas penghisap. Ia membenarkan pembagian masyarakat atas orang‐orang kaya dan orang‐orang miskin. Ia menyebarkan pandangan supaya tidak dibatasinya kekayaan minoritas dengan menghisap yang mayoritas. Dengan demikian tambah 178
Baca: Cun Ciu. IV — Perkembangan Awal Filsafat Tiongkok | 167
memperdalam jurang perbedaan klas dalam masyarakat. Filsafat Han Fei memihak dan mengabdi pada klas penghisap.
10. Wang Zhong WANG Zhong (baca: Wang Cung) tahun 27 sampai kira‐kira tahun 97 masehi mengembangkan pandangan‐pandangan materialis para filsuf terdahulu. Wang Zhong berpendapat bahwa dunia terdiri dari substansi material Qi yang abadi, di mana berlaku hukum Dao sebagai hukum perkembangan dirinya sendiri. Satu jenis Qi yang bersifat renggang terdapat di atas, di angkasa, dalam ruang cakrawala dalam bentuk kumpulan awan; dan yang lainnya berada di bawah, di bumi dalam bentuk mengental berupa bermacam ragam benda. Ada dua jenis Qi: yang merenggang atau menipis disebut Yang Qi, dan yang mengental disebut Yin Qi.179 Menurut Wang Zhong, Yang Qi dan Yin Qi adalah abadi; adalah dua unsur yang saling berkontradiksi, dan sebagai hasil kontradiksi serta tarik‐menarik sesamanya, terbentuklah semua benda di alam raya. Gagasan Wu Xing sudah menjawab masalah struktur materi jagat raya, tapi belum menjawab tentang asal mula dan hukum perkembangan jagat raya. Gagasan Yin dan Yang lah yang menjawabnya. Aksara Yang asalnya mempunyai arti sinar matahari; aksara Yin berarti tak ada sinar matahari. Kemudian, pengertian Yin dan Yang berkembang. Yang jadi berarti matahari, jenis kelamin pria, maskulin, aktif, hangat, terang benderang, kering, kuat, dan sebagainya. Aksara Yin berarti rembulan, jenis kelamin wanita, feminin, pasif, dingin, basah, lemah, dan sebagainya. Selanjutnya, para filsuf penganut gagasan Yin dan Yang mengembangkan gagasan ini dengan menghubungkannya dengan filsafat angka, Shu. Yin berarti angka negatif, Yang adalah angka positif. Ini berlanjut dengan menghubungkan gagasan Yin dan Yang dengan bulan dan matahari, ibu dan bapa, wanita dan pria. Bagi pengamat jagat raya, Yin dan Yang adalah dua hal yang saling bergerak tanpa henti‐hentinya, saling mempengaruhi, saling susup‐menyusup, saling berkontradiksi, yang hasil geraknya melahirkan segala‐galanya 179
Baca: In Ci.
168 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
dalam jagat raya. Dengan Wu Xing dan gagasan Yin dan Yang, filsafat Tiongkok kuno menjawab masalah struktur, asal‐usul dan hukum perkembangan jagat raya. Dalam ajaran yang materialistik, Wang Zhong memblejeti teori Kong Hucu mengenai pengetahuan bawaan dari kelahiran, dan menegaskan bahwa kebenaran hanya mungkin dibuktikan lewat pengalaman. Akan tetapi tanpa pemikiran yang logis, pengalaman yang dirasakan dari perasaan, masih belum bisa memberikan bukti yang benar. Kesatuan pengalaman dengan pemikiran logis—demikianlah dasar teori pengenalan pada Wang Zhong. Materialisme Wang Zhong mengandung sifat metafisika. Ia berpendapat bahwa langit dan bumi tidak berubah dan bahwa tak ada yang kebetulan dalam alam dan dalam masyarakat. Tapi penggunaan pembagian Qi dalam Yang dan Yin merupakan unsur‐unsur dialektika dalam ajarannya.
IV — Perkembangan Awal Filsafat Tiongkok | 169
170 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
V Materialisme India Kuno
1. Dimulai dengan Materialisme DI India, filsafat dimulai dengan materialisme. “Sesungguhnya, materialisme adalah dasar gagasan bagi ateisme. Ia adalah sama tuanya dengan filsafat India. Tapi malangnya, ajaran para pemikir tua India yang memberontak terhadap ajaran Veda dan melawan gagasan mengenai Tuhan pencipta alam semesta sudah hilang lenyap, terutama dihancurkan karena sikap tidak toleran. Memang masih ada sedikit bukti‐bukti yang tak terbantah yang menunjukkan adanya pemberontakan dan pikiran‐pikiran yang memberontak itu. Ajaran‐ ajaran filsafat yang memihak pada para pemikir tua itu dianggap adalah ‘bidah’ dan ‘nihilis’. Mereka yang menentang otoritas Veda dituding sebagai ‘bidah’.”180 Di India, kaum intelek juga berusaha mengenal dan memahami alam. Ini melahirkan filsafat. Karena usaha itu adalah untuk mengerti dan memahami serta menjelaskan fenomena‐fenomena alam, pikiran‐ pikiran yang muncul adalah materialisme. Maka filsafat di India dimulai dengan materialisme. Ini disebut Swabhava vada (naturalisme, bersifat alamiah). Maka buku‐buku agama Veda dan Upanishad pada awalnya merujuk pada Swabhava vada dan gagasan‐gagasannya. Intinya adalah menolak Tuhan dari agama alamiah dan menolak dominasi para pendeta. Inilah yang merupakan hasil dari buku‐buku Veda pada 180
Avula Sambasiva Rao, The Materialistic Thought In India, diakses dari http://www.positiveatheism.org/india/s1990a21.htm V — Materialisme India Kuno | 171
awalnya. Bagi mereka, perasaan, cita rasa adalah satu‐satunya sumber pengetahuan. Mestinya, bagaimanapun juga dapat dijelaskan bahwa perujukan pada Swabhada vada dan gagasan‐gagasannya disensor oleh Veda dan Upanishad awal. Yang dimuat dalam Veda dan Upanishad hanyalah untuk tujuan membantah Swabhada vada. Adalah ironis sekali bahwa bantahan itu bisa didapat, tetapi ajaran‐ajaran yang dibantah itu hilang lenyap. Sebab‐musabab hilangnya karya yang memuat gagasan‐ gagasan yang dibantah itu dapat dengan mudah diusut Dalam banyak buku Darshana berusaha menjelaskan alam dan fenomena‐fenomena yang muncul jadi kenyataan. Lokayata Darshana tampil sebagai salah satu buku paling awal sebagai usaha keras filosofis. Penulisnya adalah pujangga besar Brihaspati. “Lokayata” ini yang juga disebut sistem “Charvaka”181 dianggap adalah pikiran filosofis materialis di India kuno. Krishna Mishra, yang hidup semasa dengan Gautama Buddha menyatakan mengenai inti dari Lokayata Darshana sebagai berikut: “Di dalamnya, hanyalah bukti‐bukti yang dapat dirasakan yang dianggap tepat. Unsur‐unsur asli adalah bumi (tanah), air, api, dan udara. Materi dapat berpikir. Tak ada dunia yang lain. Mati adalah akhir segala‐galanya.”182 Karya Pujangga Kanaada Vaisyesika Darsana adalah secara tegas materialistis dalam gagasan dan pemaparannya, dengan menyatakan bahwa atom‐atom adalah asal‐usul dunia. Karya pujangga Kapila Saankhya adalah materialistis dalam pemaparannya. Ia bersandar pada dunia materialis untuk menerangkan wujud adanya kenyataan. 181
Chārvāka juga dikenal sebagai Lokāyata dikenali sebagai mazhab yang materialistis dan ateistis. Adalah sistem filsafat India yang mengandung sejumlah pemikiran materialisme, skeptisisme filosofis, dan pengabaian nilai religius. Meskipun filsafat India ini kini tidak dianggap sebagai bagian dari mazhab filsafat Hindu ortodoks, sejumlah sarjana mendeskripsikannya sebagai suatu gerakan filsafat ateistis atau materialistis dalam tubuh Hinduis. Lihat Radhakrishnan, Sarvepalli, dan Moore, Charles A., A Source Book in Indian Philosophy, Princeton University Press, 1957, h.227. 182 Dikutip dari buku Indian Materialism karya Dr. D.R. Shastri. Lihat The Philosophy of Sarvepalli Radhakrishnan, The Library of Living Philosophers, dipublikasikan bersama The Library of Living Philosophers and Open Court Publishing Company, Amerika Serikat, 1952, h.562. 172 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
2. Hinduisme MASYARAKAT perbudakan India pada pertengahan tahun 1000 SM terbagi atas kasta‐kasta. Klas‐klas pokok dalam masyarakat adalah pemilik budak dan kaum tertindas: para budak dan kaum tani. Yang memegang kekuasaan dalam masyarakat itu adalah raja. Raja didukung oleh kekuasaan kaum aristokrat pemilik budak dan para pemuka agama, kaum Brahmana. Dalam masyarakat terdapat 1. Kasta aristokrat tentara, ksyatria; 2. Kasta pemuka agama, brahmana; 3. Kasta pemilik tanah yang bebas, waisya; 4. Kasta paling bawah, syudra. Kasta syudra berada di bawah pemilikan ksyatria, brahmana, dan waisya. Mereka tidak mempunyai hak untuk memiliki apa‐apa, mereka tidak diikutkan sebagai anggota dalam rukun tetangga, tidak berhak ambil bagian dalam mengambil keputusan yang menyangkut diri mereka. Sistem kasta ini diperkuat oleh Undang‐Undang Manu yang menyatakan bahwa kaum Brahmana dilahirkan untuk mempertahankan khazanah dharma, yaitu hukum yang kudus, karena itu menduduki tempat tertinggi di dunia, dan adalah jadi pemilik semua yang ada. Dalam Undang‐Undang Manu dilukiskan bahwa kasta adalah diciptakan oleh Tuhan sendiri. Filsafat yang dianut kaum Brahmana memihak dan mengabdi pada kasta Brahmana. Pada masa inilah berkembang paham reinkarnasi, perpindahan jiwa dari jasad yang satu ke jasad yang lain setelah manusia meninggal sebagai dasar dari agama Hindu, Hinduisme. Paham reinkarnasi yang berasal dari kepercayaan suku bangsa Dravida dan Munda ini diambil, dikembangkan dan diajarkan juga oleh penganut agama Brahmana Bangsa Dravida merujuk pada orang yang menuturkan bahasa pada rumpun bahasa Dravida. Kebanyakan penutur bahasa tersebut dapat ditemui di Asia Selatan. Orang Dravida lainnya dapat ditemui di sebagian India Tengah, Sri Lanka, Bangladesh, Pakistan, Afganistan, dan Iran. Bahasa Dravida yang paling dikenal adalah Tamil, Telugu, Kannada, dan Malayam. Suku Munda adalah kelompok etnis di daerah dataran tinggi Chota Nagpur di India. Mereka dapat ditemukan di Jharkhand, Bihar, Benggala Barat, Chatisgarh, Orissa dan Assam, serta di sebagian Bangladesh. Mereka menuturkan bahasa Mundari yang termasuk ke dalam bahasa Austro‐Asia. Diperkirakan jumlah mereka mencapai dua juta orang. Sebagian besar merupakan penganut “Sarna”,
V — Materialisme India Kuno | 173
agama suku Munda. Pada dasarnya mereka memercayai adanya roh alam yang disebut Singbonga. Namun sekitar seperempat orang Munda telah menganut agama Nasrani. Menurut pemahaman Hinduisme, jiwa bisa berpindah. Jiwa dianggap tidaklah mati setelah orang meninggal, tetapi berpindah ke jasmani yang lain. Ke mana berpindahnya jiwa itu adalah tergantung pada tingkah laku manusia yang meninggal tersebut pada masa hidupnya. Terutama ia terikat pada kastanya. Jika seorang dari kasta Syudra berbuat banyak mengabdi kepada kasta yang lain, ia bisa mengalami reinkarnasi dalam hidup berikutnya sebagai anggota kasta yang lebih tinggi. Demikian pula sebaliknya. Dasar teori reinkarnasi ini disebut hukum karma. Ide hukum karma ini sangat rumit, ditafsirkan dalam bermacam cara oleh berbagai filsafat India. Pada pokoknya tergantung pada dua gagasan: sebab‐musabab dan nasib. Nasib seseorang dalam hidupnya adalah hasil dari tindak‐tanduknya di masa hidup yang lalu. Seseorang yang berbuat baik dalam hidup akan mendapat balasan dengan kebaikan. Balasan ia terima bukan dalam hidup sekarang, tapi setelah melalui reinkarnasi dalam hidup berikutnya. Hukum karma menjadi dasar bagi ajaran Brahma tentang reinkarnasi. Filsafat yang dianut pemeluk agama Hindu memihak dan mengabdi pada kaum Brahmana.
3. Filsafat Aliran Samkhya SALAH satu aliran penting dalam filsafat Hindu adalah Samkhya, juga disebut dengan Sankhya. Para ahli meyakini bahwa ajaran ini berakar dari nilai‐nilai positif ateis. Kemudian Maharesi Kapila, putra Devaguti, membangun ajaran Samkhya yang bersifat teistik, seperti yang disebutkan dalam Bhagavatapurana. Samkhya adalah ajaran filsafat tertua dalam filsafat India. Karya sastra mengenai Saṁkhya yang kini dapat diwarisi adalah Saṁkhyakarika yang ditulis oleh Īśvarakṛeṣṇa sekitar 200 SM. Ajaran ini banyak membawa pengaruh pada ajaran Yoga, Sruti, Smrti, Itihasa, dan Purana. Saat ini ajaran Samkhya yang murni sudah tak ada. Kata Saṁkhya berarti: pemantulan, yaitu pemantulan filsafati. Ajaran Saṁkhya bersifat realistis, karena di dalamnya terdapat
174 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
pengakuan akan realitas dunia yang bebas dari roh. Samkhya juga disebut dualistis karena dalam ajarannya terdapat dua realitas yang saling bertentangan tetapi bisa berpadu, yaitu purusha dan prakriti. Aliran Samkhya menyimpulkan bahwa jalan pemikiran Brahmana memusatkan segala sesuatu kepada manusia. Jika memang benar bahwa manusialah yang menjadi pusat segala sesuatu, maka harus disimpulkan bahwa Tuhan sebenarnya tak ada. Di dalam dunia sebenarnya hanya ada perkembangan roh dan benda, purusha dan prakriti. Jalan pemikiran yang demikian itu kemudian dikembangkan secara religius di dalam agama Buddha. Pengaruh pemikiran Samkhya memang besar sekali. Segala sistem agama yang timbul sesudah agama Buddha dipengaruhi oleh pemikiran Samkhya. Buku‐buku filsafat pada masa itu seperti Katha Upanishad, Shvetashvatara Upanishad, dan Bhagawad Gita menggunakan istilah‐istilah dan gagasan‐gagasan Samkhya. Katha Upanishad memahami purusha sebagai jiwa perseorangan seperti yang dimiliki oleh Atman. Upanishad juga menganggap purusha adalah lebih kecil dari empu jari. Pokok ajaran dalam Bhagawadgita adalah sebagai berikut: baik benda (prakrti) maupun jiwa (purusha) berasal dari Tuhan. Jiwa dikurung di dalam tubuh. Oleh karena itu dipengaruhi oleh segala macam pengaruh serta perbuatan benda‐benda. Tugas manusia ialah berbuat sedemikian rupa, sehingga jiwanya dapat kembali pada asalnya, yaitu Tuhan.183 Persekutuan purusha dan prakirti, atau Shiwa dengan saktinya, perlu sekali bagi penciptaan dunia. Karena persekutuan ini, dunia mengalir keluar dari Brahman, bagaikan laba‐laba yang melingkupi dirinya sendiri dengan benang ludahnya. Kelak pada zaman pralaya,184 183
Bandingkan dengan ajaran filsafat Jawa tentang Sangkan Paraning Dumadi yang mengajarkan hakikat tentang kehidupan dari mana asalnya manusia hidup, apa yang akan dilakukan di alam kehidupan, dan ke mana akhir tujuan hidup, agar manusia mengetahui jati dirinya. 184 Hindu menyebut Maha Pralaya sebagai hari kiamat, berkaitan erat dengan evolusi umur bumi yang disebut Yuga. Kosmologi Hindu mengatakan alam semesta dibangun dari lima unsur, yang disebut dengan panca maha bhuta, yakni: pertiwi (zat padat); apah (zat cair); teja (plasmi, api); bayu (zat gas, udara); akasa (ether). Menurut kitab Purana dan Upanisad, panca maha bhuta paramanu atau dikatakan benih yang lebih halus dari atom. Saat kehampaan, di mana masing-masing zat V — Materialisme India Kuno | 175
artinya kiamat total, alam semesta akan dikembalikan lagi kepada Brahman. Penciptaan sebenarnya hanya suatu ragam saja dari penjelmaan ilahi. Dunia yang mengalir dari Brahman itu terdiri dari Mahabrahmanda atau makrokosmos dan Brhatbrahmanda atau mikrokosmos. Pandangan‐pandangan tradisional seperti Samkhya, Lokayata dan Sramana, dan lain‐lain, yang semua berpangkalan di India Timur menolak pikiran mengenai Tuhan; menyatakan bahwa alam raya dikendalikan oleh hukum‐hukum alamiahnya bukan oleh Tuhan; mereka menganggap alam semesta sebagai satu sistem yang digerakkan oleh sebab‐sebab tertentu, yaitu hukum sebab dan akibat; mereka menolak ajaran‐ajaran yang memaksakan; menyerukan agar hanya bersandar pada pengalaman; dan semuanya mereka bertujuan untuk melenyapkan penderitaan manusia.
4. Dualisme Prakriti dan Purusha SAMKHYA mengajukan pandangan hubungan erat dualisme substansial, hubungan erat dualisme dengan menarik garis metafisik antara kesadaran dan materi, di mana materi termasuk dalam jasad dan pikiran. Menurut sistem Samkhya, dualisme antara kesadaran dan materi dengan mendalilkan dua realitas yang bebas, yang tidak saling tergantung yaitu Purusha dan Prakriti. Prakriti adalah satu keesaan, Purusha adalah kemajemukan dalam dunia ini. Sedangkan Prakriti adalah tunggal sebagai sumber terakhir dari dunia objektif yang mempunyai kekuatan secara mutlak pada dasarnya. Purusha dianggap sebagai prinsip yang sadar, sebagai pengikut yang pasif (bhokta) dan Prakriti adalah yang diikuti (bhogya). Menurut Samkhya, Purusha tidak bisa dianggap sebagai sumber dunia yang tak berjiwa, sebab prinsip yang cerdas tidak dapat mengubah dirinya sendiri menjadi dunia yang tak sadar. Ini adalah spiritualisme yang pluralistik, realisme yang ateistik dan dualisme yang tanpa kompromis. mendominasi alam yang tersusun, misalnya unsur teja mendominasi matahari, dan bumi mendominasi pertiwi dan apah. Demikianlah Brahman menciptakan alam semesta. 176 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
5. Purusha PURUSHA adalah kesadaran yang murni sesuatu yang transenden. Ia adalah mutlak, bebas, tak tergantung pada mana pun, tak dapat dirasakan, tak bisa dikenal lewat alat perasa, melebihi pengalaman yang dapat dirasakan, yang tak dapat dijelaskan dengan kata‐kata. Ia tetap murni, “kesadaran yang tak dapat dijelaskan”. Purusha tidak dihasilkan dan tidak menghasilkan. Samkhya percaya akan kemajemukan Purusha. Purusha tidak seperti Advaita Vedanta dan seperti Purva‐Mimamsa
6. Prakriti PRAKRITI adalah sebab pertama perwujudan material alam semesta, sebab‐musabab segala‐galanya, kecuali Purusha. Prakriti mencangkup segala‐galanya yang bersifat fisik, baik pikiran maupun materi, termasuk energi dan gaya. Oleh karena ia adalah prinsip pertama (tattva) dari alam raya, maka ia disebut Pradhana, tetapi karena ia adalah prinsip yang tak sadar, maka ia juga disebut jada. Ia terdiri dari tiga ciri utama (triguna), yaitu: 1. Sattva, bersikap tenang, halus, ringan, tak bersinar, dan gembira 2. Rajas, dinamis, giat, aktif, suka terharu, dan pedih. 3. Tamas, inertia, berat, berbobot, bersifat kasar, lamban, penghalang. Semua gejala fisis adalah perwujudan dari evolusi Prakriti atau alam pertama sumber dari segala jasad‐jasad fisis. Semua yang bersifat perasaan atau jiva adalah gabungan dari Purusha dan Prakriti, yang jiwa/Purusha adalah tanpa batas dan tak dapat dibatasi oleh jasad fisik. Samsara atau perbudakan muncul ketika Purusha tidak memiliki pengetahuan yang lengkap, oleh karena itu tersesat bingung sendiri dengan Ego/ahamkaara yang sesungguhnya adalah salah satu sifat dari Prakriti. Semangat itu jadi bebas, jika pengetahuan yang selengkapnya mengenai perbedaan Purusha yang sadar dan Prakriti yang tidak sadar
V — Materialisme India Kuno | 177
diketahui oleh Purusha.
7. Upanisyad TAHUN 650—530 SM, pandangan‐pandangan permulaan filsafat kuno India dipaparkan dalam buku Upanisyad. Upanisyad berisikan paparan berbagai ajaran teologi. Di dalamnya terdapat sekitar 250 karangan filsafat‐teologi. Ini melukiskan rumitnya kehidupan keagamaan pada masa itu. Bermacam kepentingan berbagai klas tercermin dalam Upanisyad. Akhirnya terpusat pada enam aliran klasik atau ortodoks, yaitu Vedanta, Mimamsa, Sankhya, Yoga, Nyaya, dan Waisyesika. Sistem Vedanta dan Mimamsa adalah sepenuhnya berisikan mistik kaum Brahmana. Vedanta mengajarkan ide panteisme, menganut kepercayaan bahwa jiwa seseorang lahir dari Atman, yaitu jiwa universal Brahma, Tuhan agung dari kaum Brahmana. Kasta Ksyatria yang sekular, yang bersaing dengan kaum Brahmana, mengembangkan sejenis sistem filsafat yang lain, Sankhya yang mendekat pada materialisme. Dasar dari sistem yang diajarkan Sankhya adalah berlawanan dengan panteisme Vedanta, yaitu menganut pandangan kebebasan materi. Vaisyesika mengajarkan teori atomistik. Sedangkan Charvaka yang tidak ortodoks adalah lebih ateistik, yang menganggap dunia adalah kombinasi dari empat unsur material. Lokayata memaparkan ajaran tentang perlawanan menentang adanya Tuhan. Ajaran filsafat yang terdapat dalam Upanisyad di satu pihak berisikan pandangan idealis, di lain pihak ada pandangan materialis.
8. Vaisyesika VAISYESIKA adalah salah satu dari enam ajaran filsafat Veda Hindu. Menurut sejarahnya, filsafat ini erat berhubungan dengan ajaran logika Hindu, Nyaya. Vaisyesika mendukung pandangan atomisme dan postulat bahwa segala‐galanya yang berwujud fisik di alam raya adalah himpunan dari jumlah tertentu atom. Asal mula pandangan ini diajarkan oleh pujangga Kanyada, atau Kanya‐bhuk, yang berarti pemakan atom, di sekitar abad ke‐2 SM.
178 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Vaisyesika tampak bergabung dengan mazhab filsafat Nyaya karena erat dengan teori metafisikanya. Tetapi dalam bentuk klasiknya, Vaishesika berbeda dengan Nyaya dalam masalah penting: Nyaya menerima empat sumber pengetahuan, Vaisyesika hanya menerima cita rasa (persepsi) dan inferensi (kesimpulan) sebagai sumber pengetahuan. Selanjutnya Vaishesika berbeda dengan penganut teori pengetahuan modern atomisme dengan menyatakan bahwa fungsi‐fungsi atom atau ciri‐cirinya dipimpin oleh kemauan Yang Mahakuasa atau mengikuti Gagasan Yang Mahakuasa. Pemaparan sistematik paling awal dari Vaisyesika didapat dalam Vaisyesika Sutra dari Kanyada atau Kanyabhaksha yang terdiri dari sepuluh buku. Dua buku berupa komentar tentang Vaishesika Sutra, Ravanabhasya dan Bharadvajavriti. Prasatapada, Padathadharmasaringraha (sekitar abad ke‐4) adalah teks penting mengenai ajaran ini. Menurut ajaran Vaisyesika, semua benda yang ada, yang dapat dikenal, diberi nama padartha, yang berarti arti sebuah istilah, yaitu objek dari pengalaman. Semua objek pengalaman dapat diklasifikasi dalam enam kategori: 1. Dravya (substansi), 2. Guna (kualitas), 3. Karma (aktivitas), 4. Samanya (keumuman), 5. Visesa (kekhususan) dan 6. Samavaya (sifat aslinya). Penganut Vaisyesika selanjutnya (Sindhara dan Udayana serta Sibvaditya) menambahkan kategori abhava (ketidakadaan, non‐existence). Tiga kategori pertama disebut artha (yang bisa diraba), yang mempunyai eksistensi nyata, riil, Tiga lainnya disebut budhya peksam (hasil pemikiran intelektual), dan ia adalah kategori‐kategori logis. Dravya (substansi). Substansi berjumlah 9, yaitu: prthvi (bumi, tanah); ap (air); tejas (api); vayu (udara); akasa (ether); kala (waktu); atman (diri); manas (Pikiran). Lima yang pertama disebut bhutas (substansi yang memiliki kualitas khusus hingga mereka dapat diraba, dirasakan oleh seseorang atau oleh alat perasa eksternal. Guna (kualitas). Menurut Vaisyesika Sutra ada 17 gunas (kualitas),
V — Materialisme India Kuno | 179
yang menurut Prasastapada ditambah lagi dengan tujuh. Dalam keadaan suatu benda bisa eksis dengan kemampuannya sendiri secara bebas, suatu guna (kualitas) tak bisa eksis secara demikian. Ada 17 guna (kualitas), yaitu rupa (warna); rasa (rasa); gandha (bau); sparsa (rasa sentuhan); sampkhya (jumlah); panmana (ukuran, dimensi, kuantitas); prthaktva (individualitas); samyoga (penyambung, penghubung, pendamping); vibhaga (terputus, tak bersambungan); paratva (prioritas); aparatva (kelanjutan); budhi (pengetahuan); sukha (menyenangkan, nikmat); dukha (sakit, pedih); iccha (berhasrat, nafsu, keinginan); dvesa (menghindari); dan prayatna (usaha). Prasastapada menambahkan lagi dengan gurutva (bobot); dravatva (kemudahan mengalir, keadaan cair); sneha (kekentalan, sifat merekat); dharma (jasa, kebaikan); adharma (cela, kekurangan); sabda (bunyi, suara) dan samkasra (panca‐indera). Karma (aktivitas, kegiatan). Karma (aktivitas) seperti guna (kualitas) tidak berwujud eksistensi yang terpisah, mereka termasuk substansi. Tetapi dalam keadaan kualitas adalah sifat permanen dari satu substansi, maka kegiatan adalah bersifat sementara. Akasa (ether), kala (waktu), dik (ruang) dan atman (diri) walaupun adalah substansi, tapi tanpa karma (aktivitas). Samanya (keumuman): Oleh karena terdapat banyak substansi, maka ada saling hubungan sesama mereka. Jika terdapat kesamaan bagi banyak substansi, maka disebut samanya. Visesa (kekhususan). Yang dimaksud dengan visesa, kita dapat merasakan substansi yang berbeda antara satu sama lain. Karena atom itu jumlahnya tidak terhingga, maka demikian pulalah visesa. Samavaya (ciri yang menjadi sifatnya): Kanada menamai samavaya bagi hubungan‐hubungan antara sebab dan akibat. Prasastapada menyebutnya sebagai hubungan‐hubungan yang ada antara substansi‐ substansi yang tak dapat dipisahkan, yang satu sama lain berhubungan sebagai yang mengisi dan yang diisi. Hubungan samavaya adalah tak dapat dirasakan tapi hanya dapat diduga dari saling hubungan substansi‐substansi yang tak dapat dipisahkan. Epistemologi awal Vaisyesika hanya menganggap bahwa hanya pratyaksa (persepsi, cita rasa) dan anumana (kesimpulan) adalah pramana (cara mendapatkan pengetahuan yang sah). Dua jalan lainnya yang diterima oleh mazhab Nyaya, upamana (pembandingan) dan sabda (bukti lisan) adalah dianggap termasuk dalam anumana. Silogisme dari mazhab
180 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Vaisyesika adalah sama seperti pada Nyaya, tetapi nama yang diberikan oleh Prasastapada terhadap 5 anggota silogisme adalah berbeda.
9. Teori Atom KARYA‐KARYA tulis awal Vaisyesika memaparkan silogisme berikut untuk membuktikan bahwa empat bhuta (unsur asal): prthvi (bumi, tanah), ap (air), tejas (api), dan vayu (angin, udara) adalah terdiri dari paramanus (atom‐atom) yang tak dapat dipisah‐pisahkan. Jika materi tidak terdiri dari atom‐atom yang tak dapat dibagi‐bagi, maka ia adalah sambung‐ bersambung, berkesinambungan. Ambillah contoh batu. Ia dapat dibagi. Dipecah menjadi banyak kepingan‐kepingan yang tak terhingga karena materi tadi adalah berkesinambungan. Oleh karena itu, gunung Himalaya juga adalah kepingan‐kepingan yang tak terhingga jumlahnya yang menjadi satu. Maka orang memulai dengan satu batu dan berakhir jadi Himalaya, oleh karena itu adalah jadi paradoks; maka pikiran atau kesimpulan semula yang pertama yang menganggap materi adalah berkesinambungan adalah salah; oleh karena itu semua objek haruslah terdiri dari jumlah atom yang tertentu jumlahnya yaitu paramanus (atom‐atom). Menurut ajaran mazhab Vaisyesika, trasarenu (debu partikel‐ partikel yang kelihatan di bawah sinar melalui celah jendela) adalah mahat (dapat tercatat, teraba), partikel terkecil yang disebut tryanuka (triad). Ia terdiri dari tiga bagian yang masing‐masing dinamakan dvyanuka (dyad). Dvyanuka tersusun dari dua bagian, yang masing‐ masingnya disebut paramanu (atom). Paramanu‐paramanu tak dapat dibagi lagi, adalah abadi, ia tak dapat diciptakan dan tak dapat dihancurkan. Tiap paramanu (atom) memiliki kekhususan visesanya, kepribadiannya. Ukuran tentang tak terbaginya atom‐atom dikenal sebagai parimandala parimana. Ia bersifat abadi dan ia tak bisa berbuat jadi ukuran substansi‐substansi lainnya. Ukurannya adalah kemutlakannya Perkembangan selanjutnya, selama berabad‐abad ajaran Vaisyesika bergabung dengan mazhab filsafat India Nyaya, maka terbentuklah nyaya‐vaisyesika. Sesudah abad ke‐15 ajaran ini jadi merosot secara alamiah.
V — Materialisme India Kuno | 181
Vaisyesika mengajarkan bahwa alam semesta yang kelihatan oleh mata adalah tercipta dari aslinya berupa tumpukan atom‐atom (janim asatah). Menurut Vaisyesika Sutra karya Kanyada, ni tyam parimandalam (yang ukurannya terkecil itu, atom, adalah abadi), ia dan para pengikutnya juga mendalilkan keabadian yang lain, kesatuan yang bukan atom, termasuk jiwa‐jiwa yang jadi menjasmani, bahkan jadi Jiwa Yang Maha Agung. Namun kosmologi Vaisyesika jiwa‐jiwa dan Jiwa Yang Maha Agung hanya memainkan peranan dalam memproduksikan atom‐ atom alam semesta. Brahma Sutra menyatakan bahwa ubhayathani na kaarmatas tad‐abhavah. Menurut buku ini, orang tak dapat menyatakan bahwa pada waktu terjadinya penciptaan alam semesta, atom‐atom pertama bergabung sesamanya disebabkan oleh paksaan atau dorongan gaya yang bersifat karma yang terdapat dalam atom‐atom itu sendiri, sebab atom‐atom itu sendiri dalam keadaan aslinya sebelum bergabung menjadi objek yang kompleks, tidaklah mempunyai tanggung jawab etis yang bisa membimbingnya menjadi reaksi yang salah. Juga tidaklah dapat disebut bahwa penggabungan atom‐atom itu adalah hasil dari sisa‐sisa karma dari benda‐benda hidup yang selama waktu penciptaan berada dalam keadaan tidur, karena setiap aksi itu adalah berupa reaksi dari masing‐masing jiva dan tidak dapat dipindahkan dari mereka bahkan kepada jiva lainnya, yang berarti sifat internal dari atom‐atom.
10. Jainisme PADA abad ke‐5 SM, Varadhamana Mahavira menjadi seorang guru yang paling berpengaruh dari Jainisme. Diperkirakan, Mahavira bukanlah pendiri Jainisme walaupun ia dianggap nabi mereka. Ia tampil secara tradisional sebagai seorang yang dari permulaan mengikuti agama ini sudah sejak lama. Parsva, seorang pendahulu tradisional dari Mahavira adalah tokoh pertama dari Jainisme. Ia hidup pada masa abad ke‐9 sampai ke‐7 SM. Para pengikut Parsva disebut‐sebut dalam buku keagamaan dan dongeng‐dongeng Uttaradhayana Sutra berkenaan dengan pertemuan para pengikut Mahavira yang mempertemukan dan menyatukan cabang‐cabang tua Jainisme dan yang baru. Jainisme yang bergerak bersamaan waktunya dengan Buddhisme,
182 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
menolak ajaran Brahman sebagai Tuhan. Jainisme secara kritis meneliti gagasan‐gagasan kemutlakan, kesatuan dan keabadian, dan menyimpulkan bahwa ajaran Brahman (Tuhan) tak dapat diterima. Tetapi, ia percaya pada jiwa, dan berlawanan dengan kepercayaan yang ortodoks, ia menerima itu sebagai suatu kesatuan perubahan yang terus‐ menerus. Menurut pandangan Jainisme, dunia fenomenal adalah permanen dan nyata dengan perubahan yang terus‐menerus. Sebagai hasil dari perkembangan Brahmanisme yang mengajarkan ajaran nabi yang turun‐temurun, lahirlah filsafat Jainisme. Brahmana yang merupakan urutan nabi terakhir pada abad ke‐6 SM mendapat julukan Jin. Para pengikutnya disebut kaum Jainis. Isi pokok dari Jainisme adalah ajaran tentang etika, yang menunjukkan jalan untuk “membebaskan” jiwa dari tindasan nafsu. Tujuan dari filsafat Jainisme adalah “kesucian”. Menurut Jainisme, sumber dari kearifan bukanlah Tuhan, tetapi kesucian yang khusus, yang dicapai atas dasar penyempurnaan kesadaran dan dengan jalan tingkah laku yang dihasilkan oleh kesadaran itu. Sebagai ajaran tentang etika, Jainisme terutama menelaah masalah tentang penghidupan, tidak menerima sistem kasta, menerima berlakunya hukum karma. Jainisme mengajarkan bahwa terdapat sejumlah besar benda yang terbagi atas yang nyata dan yang tidak nyata; di satu pihak ada yang tetap atau bersifat substansial, di lain pihak ada yang secara kebetulan atau bersifat dalam peralihan. Dalam benda‐benda yang tak hidup terdapat terutama pudgala, yaitu materi. Materi berwujud sebagai unsur‐ unsur yang tak dapat dipecah lagi, atom‐atom, atau sebagai gabungan atom‐atom. Di samping materi, termasuk ke dalam substansi yang tidak hidup adalah ruang, waktu, dan syarat‐syarat gerak dan diam. Menurut Jainisme, ciri utama dari jiwa adalah kesadaran. Jiwa‐jiwa yang berbeda, memiliki taraf kesadaran yang berbeda pula. Menurut alamnya, jiwa itu adalah sempurna, kemungkinan untuk itu tak berhingga, ada kemungkinan jiwa mencapai kesadaran yang tak berhingga, mencapai kemampuan yang tak berhingga, mencapai kebahagiaan yang tak berhingga. Jiwa cenderung mengimbangi jasmani. Bagian material dari jasmani memasok jiwa dengan perangai atau watak. Pada setiap saat, jiwa adalah hasil dari seluruh hidup masa lampau: hasil dari semua tindak‐tanduk seseorang, perasaan dan pemikiran seseorang di masa lampau. Tujuan dari ajaran Jainisme
V — Materialisme India Kuno | 183
adalah “pembebasan” jiwa dari jasmani. Ini bisa dicapai dengan asketisme, dengan menahan nafsu, menahan diri.
11. Buddhisme PADA abad ke‐6 dan ke‐5 SM lahirlah agama Buddha, Buddhisme yang melawan agama Brahmanisme. Buddhisme tersebar di kalangan bawah dari para pemilik budak di kota‐kota, di mana terdapat pertentangan klas yang tajam. Klas penguasa mengakui dan mendukung Buddhisme sesuai dengan kepentingan klasnya. Pada masa itu, di India terdapat negara pemilik budak yang kuat. Brahmanisme melindungi hak istimewa kasta pendeta. Dalam Buddhisme terdapat kecenderungan keras anti kaum pendeta. Ideologi Buddhisme menuntut ketaatan, ketundukan, dan kedamaian. Karena itu tidaklah membahayakan bagi klas penguasa. Buddhisme adalah agama damai. Ajaran Buddhisme didasarkan pada dongeng tentang pendiri agama—Pangeran Sidharta atau Gautama Buddha yang hidup pada abad ke‐6 SM. Dalam perkembangannya Buddhisme terbagi dalam mazhab Mahayana dan Hinayana. Mahayana menunjukkan sifat berkompromi terhadap Brahmanisme, sedangkan Hinayana mempertahankan ajaran asli Buddhisme. Selanjutnya, Buddhisme pecah menjadi beberapa mazhab. Mazhab Majhamika mengajarkan bahwa tak ada realitas materi atau jiwa. Semua yang ada itu hanyalah penglihatan yang berisikan Syunya, yaitu kekosongan. Mazhab Yogacari mengakui hanya adanya kehidupan jiwa. Mazhab ketiga mengakui kenyataan yang ada sebagai bersifat material. Mazhab Waibhasyik mengajarkan bahwa benda‐benda material dunia tidak sederhana untuk dapat diketahui. Mazhab Sautrantik mengajarkan bahwa benda‐benda dapat dipahami lewat penyimpulan penelitian. Buddhisme mengandung filsafat memihak kaum yang ditindas agama Hindu, melakukan perlawanan terhadap Hinduisme. Tapi Buddhisme juga memihak dan mengabdi pada klas penguasa, para pemilik budak. Karena itu Buddhisme diakui dan dilindungi oleh kaum penguasa pada waktu lahirnya.
184 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
12. Aliran Materialis Charvaka PADA abad ke‐6 SM, muncul aliran filsafat materialis kuno di India berupa ajaran Lokayata atau Charvaka Lokayata. Aliran ini menentang adanya dunia yang lain kecuali dunia material. Filsafat Lokayata muncul pada saat struktur masyarakat kuno India berubah dengan lahirnya negara klas, dan ketika klas Ksyatria dan klas Brahmana diungguli oleh klas pedagang; dan kaum pemilik tanah mulai terbagi menjadi kaum tani merdeka dan para pekerja kerajinan tangan. Menurut ajaran Lokayata, semua dunia objektif terbentuk dari unsur pertama yang bersifat material. Kepercayaan pada adanya Tuhan, jiwa, dan akhirat adalah palsu belaka. Kepercayaan ini tak tercapai oleh tanggapan persepsi. Benda‐benda alam yang ada, terjadi dari empat unsur: hawa atau angin, api atau sinar, air, dan tanah. Organisme yang mati akan kembali menjadi unsur asal semula. Aliran Charvaka atau Lokayata telah tampil mendahului masa Buddha dan Mahavira, bersejarah sekitar tiga ribu tahun. Jadi, berbagai aliran materialisme atau rasionalisme yang menolak adanya jiwa dan menolak memercayai adanya berbagai jenis jiwa dan roh, terdapat di India lebih dahulu dari masa Buddha. Pandangan materialisme Charvaka terdapat dalam buku Charvaka Darshana. Charvaka menerima pratyaksa‐pramana (cita rasa langsung lewat syaraf perasa sebagai satu‐satunya pengenalan yang tepat, dan hanya melalui pengenalan yang demikian seseorang dapat diperiksa oleh orang lain. Diajarkan: praktyaksha‐mevaikam pramanam, indriya‐ jnanam, jnanam pratyaksham yang berarti “Pandanglah hanya yang adalah objek langsung dari pengamatan cita rasa, dan letakkan di belakang apa saja yang tak dapat dirasakan oleh syaraf perasa.” Sikap Charvaka sangat keras terhadap Veda terutama mengenai Mimamsa, yaitu menolak sepenuhnya ungkapan‐ungkapan tradisional, dan menyebut itu hanyalah desas‐desus, yang harus diabaikan saja dan menganggapnya omong kosong. “Veda adalah dipupur dengan tiga kesalahan: ketidakbenaran, saling berkontradiksi, dan tautologi (permainan kata‐kata).” Maka mereka yang menamakan dirinya pengkhotbah Veda adalah saling‐merusak belaka, kewenangan jmina‐kanda dicampakkan oleh mereka yang mempertahankan karma‐kanda, dan akhirnya,
V — Materialisme India Kuno | 185
pengkhotbah Veda itu adalah hanya bangsat‐bangsat yang tak ada gunanya.
186 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
VI Filsafat Yunani Kuno: dari Thales sampai Lukretius
1. Thales Pada abad ke‐7 sampai ke‐6 SM, filsuf materialis Yunani kuno, Thales185 dari Miletus 186 (kira‐kira 624—546 SM) berpendapat bahwa segala‐ galanya yang ada ini berasal dari air. Bumi ini sendiri berada terapung di atas air, dikelilingi dari semua arah oleh lautan. Bumi adalah berbentuk piring yang terapung di atas air. Air dan semua yang terjadi dari air tidaklah mati, adalah hidup. Thales yang menemukan sifat besi berani menarik batu yang mengandung zat besi, menganggap benda‐ benda itu memiliki jiwa. Thales berusaha mencoba melukiskan struktur alam raya, menggambarkan letak dan saling hubungan benda‐benda langit dalam hubungan terhadap bumi seperti bulan, matahari, dan bintang‐bintang. Yang dianggap paling jauh dari bumi adalah matahari.
2. Anaximander BERSAMAAN waktu dengan Thales, materialis Anaximander dari 185
Thales sering berkelana ke banyak negeri termasuk Mesir. Di sana ia pernah menghitung tinggi sebuah piramida dengan mengukur bayangannya pada saat yang tepat ketika panjang bayangannya sendiri sama dengan tinggi badannya. Thales dikisahkan pernah meramalkan secara tepat terjadinya gerhana matahari pada 585 SM. 186 Sebuah koloni Yunani di Asia Kecil. VI — Filsafat Yunani Kuno | 187
Miletus, kira‐kira tahun 610—546 SM, berpendapat bahwa yang menjadi sumber segala‐galanya ini bukanlah air tapi apeiron. Apeiron tak mempunyai bentuk, tak mempunyai batas. Apeiron mengeluarkan sesuatu yang saling bertentangan yang menghasilkan panas dan dingin yang merupakan asal‐usul semua benda. Anaximander menganggap bumi bagaikan berbentuk irisan tabung, terletak di tengah‐tengah alam dan tidak bergerak. Makhluk hidup dan manusia terjadi dari zat dasar laut yang selalu berubah bentuknya dalam proses peralihan menjadi daratan. Semua yang berasal dari zat yang tak berbatas haruslah kembali menjadi zat asalnya. Karena itu dunia terbentuk dan akan hancur sendiri.
3. Anaximenes ANAXIMENES dari Miletus, kira‐kira tahun 588—525 SM, mempunyai pandangan baru mengenai alam. Ia berpendapat bahwa udara, hawa, adalah zat pertama, zat asal segala‐galanya. Anaximenes mengajukan gagasan tentang gerak saling bertentangan berupa proses merenggang dan menciut, hingga dari hawa terbentuk segala‐galanya: air, tanah, batu, dan api. Hawa baginya adalah napas yang memeluk seluruh alam. Anaximenes menampilkan pikiran tentang proses‐proses kontradiksi berupa merenggang, mengembang, menipis dan menciut, menciut dan mengentalnya udaralah yang melahirkan semua benda: air, bumi, batu, api. Anaximenes mengajarkan tentang berlangsungnya perubahan gejala alam yang terus‐menerus, berupa merenggang dan menciutnya hawa. Dengan merenggang, udara menjadi api; dengan menciut, mengental berubah jadi angin, kemudian jadi awan, lebih lanjut lagi menjadi air, tanah dan akhirnya menjadi batu. Menurut alamnya, udara yang melahirkan uap atau awan gelap adalah lahir dari ruang hampa. Bumi adalah berbentuk piring datar yang didukung oleh udara, bagaikan bidang rata berbentuk piring api bersinar. Anaximenes menyempurnakan ajaran Anaximander tentang tata letak ruang alam: bulan, matahari, dan bintang‐bintang.
188 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
4. Herakleitos PENGANUT materialisme dan dialektika Yunani kuno terkemuka adalah Herakleitos 187 dari Ephesos, kira‐kira 530—470 SM. Menurut Herakleitos, dasar material asal‐usul segala‐gala gejala alam adalah api. Gejala‐gejala alam berubah menurut garis melingkar. “Segala‐galanya berubah jadi api, dan api jadi segala‐galanya, sebagaimana emas jadi barang dagangan dan barang dagangan jadi emas.“ Api itu hidup dan tanah mati. Perubahan alam berlangsung menurut arah: tanah—air—udara—api. Herakleitos menyebut arah ini adalah “jalan ke atas”. Dan arah sebaliknya adalah “jalan ke bawah”. Herakleitos mengajarkan, “Segala‐galanya mengalir, segala‐galanya berubah, tak ada yang tanpa gerak.” Dialektika spontan Herakleitos mengajarkan pentingnya peranan segi‐segi yang bertentangan dalam semua perubahan alam, tentang perpindahan segi‐segi yang bertentangan dari yang satu menjadi yang lain, dan tentang perjuangan sesama mereka. Herakleitos terutama menekankan pentingnya peralihan gejala‐gejala alam menjadi segi‐seginya yang berlawanan. “Bagi kita, hidup dan mati adalah sama; demikian pula bangun atau tidur, muda atau tua. Bukankah itu saling berganti jadi sebaliknya; yang berubah itu, ya itu juga. Dingin menjadi panas, panas jadi dingin, lembab jadi kering, kering menjadi lembab. Saling hubungan antara keseluruhan dan satu bagian, antara memusat dan memencar, antara sepakat dan berbeda pendapat; dari jumlah yang banyak menjadi satu, dari satu menjadi berjumlah banyak. Dari bermusuhan jadi bersahabat, dari cerai‐berai jadi bersatu selaras yang baik; .... dan semuanya berlangsung lewat perjuangan.” Dari pandangan‐pandangan Herakleitos ini sudah tercermin inti dialektika terbaginya satu kesatuan menjadi dua dalam proses saling menyisihkan, yaitu hubungan yang tak terpisahkan dari segi‐segi yang saling bertentangan, tentang perjuangan dan persatuan sesama mereka. 187
Berasal dari Ephesus di Asia Kecil. Rekan sezaman Parmenides yang beranggapan bahwa segala sesuatu yang ada pasti telah selalu ada, tidak ada sesuatu yang dapat muncul dari ketiadaan dan tidak ada sesuatu pun yang ada dapat menjadi tiada. Terdapat perbedaan antara Parmenides dengan Heraklitos di mana akal Permenides menegaskan bahwa tidak ada sesuatu yang dapat berubah, sedangkan persepsi Herakleitos menegaskan bahwa alam selalu berubah. VI — Filsafat Yunani Kuno | 189
Herakleitos berjuang melawan pikiran‐pikiran kuno yang tak mengakui adanya segi‐segi yang bertentangan dalam alam raya.
5. Anaxagoras ANAXAGORAS dari Klazomenai, kira‐kira tahun 500—428 SM adalah filsuf alam yang berkecenderungan materialis. Di bidang penelitian alam dan matematika, Anaxagoras menampilkan pengertian “bilangan kecil tak berhingga” dan “bilangan besar tak berhingga”. Anaxagoras mengajarkan, bahwa “homoemerai” adalah sesuatu yang ada tak berhingga, yang menjadi unsur asal segala‐galanya. Anaxagoras berpendapat bahwa matahari adalah benda material. Sinar bulan bukanlah berasal dari bulan itu sendiri, tapi adalah pantulan sinar dari matahari. Gerhana bulan sudah diterangkan oleh Anaxagoras sebagai terjadinya bayangan bumi pada bulan yang berasal dari sinar matahari. Pandangan‐pandangan materialistis Anaxagoras ini bertentangan dengan kepercayaan para penganut agama dan kaum pemilik budak yang berkuasa waktu itu. Karena pandangannya ini, Anaxagoras dihukum dan dibuang ke luar negeri.188
6. Demokritos KIRA‐KIRA tahun 460—370 SM, Demokritos berasal dari kota kecil Abdera di pantai utara Aegea mengembangkan ajaran Leukippos mengenai atom,189 zat terkecil yang tak dapat dibagi lagi. Demokritos 188
Anaxagoras dituduh ateis dan akhirnya dipaksa meninggalkan kota disebabkan ia mengatakan bahwa matahari bukanlah dewa, melainkan sebuah batu merah panas, yang lebih besar daripada jazirah Peloponesia. 189 Kata A-tom berarti “tak dapat dipotong”. Kini, kita dapat menyatakan bahwa teori atom Demokritos kurang lebih benar. Alam memang tersusun dari “atom-atom” yang berbeda yang menyatu dan terpisah lagi. Namun pada zaman sekarang ini, para ilmuwan telah menemukan bahwa atom dapat dipecah menjadi “partikel elementer” yang lebih kecil lagi yaitu proton, neutron, dan elektron. Demokritos tidak percaya dengan yang dinamakan “jiwa” atau “kekuatan” yang dapat ikut campur dalam proses alam. Satu-satunya yang ada adalah atom dan ruang hampa. Sehingga pantas apabila ia disebut sebagai seorang materialis. 190 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
juga berpendapat bahwa semua yang ada dalam alam terdiri dari atom‐ atom yang tak bisa dibagi lagi. Atom‐atom terdapat dalam ruang hampa. Ruang hampa adalah riil, sebagaimana atom‐atom. Atom‐atom dan ruang hampa mempunyai sifat saling mengucilkan yang mutlak. Atom dan ruang hampa adalah asal segala‐galanya dalam alam. Atom adalah zat terkecil yang tak dapat dibagi lagi, yang abadi, tak berubah, selalu dalam keadaan bergerak, satu sama lain berbeda dalam bentuk, jumlah, posisi dan urutan susunan. Adanya suara, warna, rasa, dan lain‐lain, adalah bersyarat, tidaklah merupakan benda alam sendiri. Dalam pandangan ini lahirlah ajaran tentang kualitas pertama dan kualitas kedua benda‐benda. Dari gabungan atom‐atom terbentuklah benda‐ benda, perpecahan atau penguraian atom‐atom menyebabkan lenyapnya benda‐benda. Atom‐atom yang tak berhingga jumlahnya bergerak dalam ruang hampa yang tak berhingga, yang berpindah ke arah yang bermacam‐macam, kadang‐kadang saling bertabrakan sesama mereka, menimbulkan pusaran atom‐atom. Dengan demikianlah terjadi lahir dan lenyapnya benda‐benda alam yang tak berhingga banyaknya, yang tak ada hubungannya dengan ciptaan Tuhan, yang lahir dan lenyap secara alamiah menurut keharusan. Demokritos menentang soal kebetulan, menganggapnya sebagai suatu ketidaktahuan. Demokritos menghasilkan karya‐karya tulis mengenai filosofi, logika, psikologi, etika, politik, pedagogi, teori kesenian, ilmu bahasa, matematika, fisika dan kosmologi.
7. Socrates FILSUF dan ahli pikir terkemuka dari Athena, 469—399 SM, adalah Socrates dengan profesi pemahat patung. Socrates adalah penganut idealisme objektif. Socrates menjadi terkenal bukan lewat karya‐karya tulisnya, akan tetapi lewat karya murid‐muridnya, Xenofon dan Plato, dan kemudian Aristoteles. Socrates menentang pemujaan atas Tuhan yang dianut para penguasa ketika itu. Karena itu ia dibawa ke pengadilan pada Mei 399 SM, didakwa menghasut generasi muda dengan ajaran yang menyesatkan, hingga dijatuhi hukuman mati
VI — Filsafat Yunani Kuno | 191
dengan minum racun.190 Socrates menentang filsafat alam yang waktu itu sudah berkembang. Menurut Socrates, yang dipelajari dalam filsafat adalah jiwa manusia “saya”. Baginya, Tuhan adalah pengatur dunia yang tertinggi. Socrates menentang pandangan dunia materialis. Ia menganggap pengenalan atas alam secara ilmiah adalah tak berguna. Baginya, dunia material tak berguna bagi filsafat. Ia menegasi hukum alamiah gejala‐gejala alam. Etika menempati kedudukan sentral dalam filsafat Socrates. Etikanya mengandung ciri idealisme‐religius. Menurut Socrates, hakikat moral haruslah datang dari pengakuan atas jiwa manusia yang merupakan asal‐usul manusia dalam alam. Etikanya yang idealistis berkembang menjadi teologi—ajaran tentang Tuhan, tentang jiwa dunia. Menurut Socrates, kesusilaan hanyalah dimiliki sejumlah kecil manusia tertentu. Socrates menolak demokrasi yang dianggapnya sebagai “kekuasaan hitam”. Baginya, kekuasaan dalam negara haruslah ada di tangan kaum aristokrat yang dianggapnya sebagai pemilik kesusilaan. Pandangan‐pandangan politik dan filsafat Socrates tidak diajukan secara tertulis, tetapi diajarkan secara lisan atau dikemukakan dalam pertukaran pendapat. Metodologi Socrates adalah dialektika idealis. Ia menggunakan seni menemukan kontradiksi‐kontradiksi dalam pandangan‐pandangan para penentangnya dengan cara mempertentangkan pandangan‐ pandangan itu. Metodenya terdiri dari empat bagian: 1. Ironi; 2. Mayeuftika, 3. Induksi; dan 4. Definisi. Mayeuftika, bahasa Yunani yang arti harfiahnya adalah cara dukun beranak, seni melahirkan, cara membuka pengetahuan yang tertutup pada seseorang dengan bantuan menggunakan pertanyaan‐ pertanyaan cerdik. Berkat mayeuftika, kesadaran menjadi meningkat 190
Socrates selalu mengatakan bahwa ia menyimpan “suara ilahi” dalam dirinya. Socrates mengajukan protes, misalnya, terhadap tindakan menghukum mati orang. Ia juga menolak untuk memberi informasi kepada musuh-musuh politiknya. Akhirnya ia dihukum mati dengan dakwaan “memperkenalkan dewa-dewa baru dan merusak kaum muda” serta tidak memercayai dewa-dewa yang telah diterima. Mayoritas tipis yang terdiri dari 500 orang, akhirnya memutuskan Socrates bersalah. Bisa saja waktu itu ia mengajukan kelonggaran sehingga hanya dihukum untuk meninggalkan Athena, tetapi ia lebih menghargai hati nurani dan kebenarannya. Ia meyakinkan juri bahwa tindakannya dilakukan untuk menyelamatkan negara, namun ia tetap dihukum untuk minum racun cemara. 192 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
atau beralih dari kesadaran filsafat (“Saya tahu, bahwa tak ada yang saya ketahui”) menjadi lahirnya kebenaran sebagai akibat perkembangan kesadaran sendiri. Boleh dikatakan: “Usahakanlah sendiri mengenal hal itu.” Metode Socrates pertama‐tama adalah dengan cara bertanya, yaitu bertujuan membawa lawannya menjadi berkontradiksi terhadap dirinya sendiri; dan seterusnya bermuara pada pengakuan atas hakikat ketidaktahuannya. Inilah metode ironi dari Socrates.
8. Aristoteles FILSUF dan ahli pikir terkemuka Aristoteles 191 dari Stageira, tahun 384—322 SM, dalam kumpulan karyanya mengakui objektivitas eksistensi dunia material. Menurut Aristoteles, alam adalah himpunan benda‐benda yang mempunyai sifat material, yang berada dalam gerak serta dalam perubahan yang tak henti‐hentinya. Dunia material ada dan akan selalu ada untuk selama‐lamanya. Untuk menerangkan hal ini, tak perlu menggunakan gagasan “ide” menurut khayalan Plato. Pengenalan atas kebenaran, pertama‐tama adalah pengenalan atas gejala‐gejala alam; hasil perasaan berupa gambaran dan pencerminan dari benda‐ benda riil yang nyata. Dengan demikian, Aristoteles mengkritik Plato, yaitu mengkritik gagasan “ide” dari Plato. Ini berarti kritik atas idealisme secara menyeluruh. Aristoteles mengajarkan teori universalitas, teori keumuman. Dalam ilmu bahasa terdapat kata benda dan kata sifat. Kata benda dipakai untuk menyebut suatu benda atau seseorang. “matahari”, “bulan”, “Perancis”, “Napoleon”, adalah kata yang menunjukkan sesuatu yang khusus. Kata‐kata ini hanya berlaku buat mereka saja, tak bisa dipergunakan terhadap yang lain. Lain halnya dengan kata “kucing”, “anjing”, “orang”. Kata‐kata ini bisa dipakai tidak hanya tertentu terhadap seekor kucing, seekor anjing, satu orang, dan lain‐lain, tapi bisa dipakai terhadap umumnya kucing, anjing, orang lainnya. Ini 191
Aristoteles menimba ilmu di Akademi Plato. Pada saat itu, Plato berusia 61 tahun. Ayah Aristoteles adalah seorang dokter yang dihormati. Aristoteles bukan hanya filsuf Yunani besar yang terakhir tetapi juga sebagai ahli biologi besar Eropa yang pertama. VI — Filsafat Yunani Kuno | 193
mempunyai sifat keumuman. Demikian pula halnya dengan kata sifat “putih”, “keras”, “bundar”, dan lain‐lain. Aristoteles menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan “keumuman” adalah satu sifat yang dimiliki oleh banyak objek. Maksud ”kekhususan” adalah sifat yang dimiliki satu objek tertentu. Kata benda seperti ”orang”, “manusia”, menunjukkan satu hakikat, sedangkan kata sifat “kemanusiaan” adalah menunjukkan sesuatu yang umum. Aristoteles menyatakan bahwa adalah tidak mungkin nama suatu substansi memiliki sifat keumuman. Sebab, substansi setiap barang adalah khusus bagi barang itu, yang tak dimiliki oleh yang lainnya, sedangkan yang bersifat keumuman adalah sifat yang dimiliki juga oleh yang lain. Inti pemikiran ini adalah: Yang bersifat keumuman tak bisa terdapat dengan sendirinya, tapi hanya terdapat di dalam benda‐benda khusus. Keumuman terdapat dalam kekhususan. Aristoteles menyusun teori sebab‐musabab mengenai eksistensi dan perkembangan materi. Dan menyatakan bahwa hakikat (substansi) materi terdapat pada benda itu sendiri. Segala sesuatu yang terjadi tentu mempunyai sebab‐musabab. Aristoteles mengemukakan empat sebab‐ musabab mengenai perkembangan materi. 1. sebab‐musabab material, yaitu materi; 2. sebab‐musabab formal, yaitu bentuk; 3. sebab‐musabab yang menghasilkan; 4. sebab‐musabab akhir atau tujuan. Aristoteles menjelaskan teorinya dengan bantuan contoh sebagai berikut: Pertama, seorang arsitek yang membangun gedung dan seni arsitektur adalah sebab asal‐usul pembangunan gedung; kedua, rencana bangunan adalah sebab asal‐usul bentuk bangunan; ketiga, bahan bangunan adalah sebab asal‐usul materi gedung; keempat, gedung yang telah selesai dibangun adalah sebab akhir, yaitu tujuan. Sebab‐musabab yang terjadi adalah menentukan bagaimana dan apa yang dihasilkan. Sebab‐musabab yang berikutnya adalah sumber, dari mana datang perubahan pertama, perubahan asal. Misalnya, manusia yang memberi nasihat adalah sebab‐musabab asal pikiran untuk bertindak; bapak adalah sebab‐musabab lahirnya anak. Secara umum, apa yang dilakukan adalah sebab‐musabab dari yang dihasilkan; dan apa yang diubah adalah sebab‐musabab sesuatu yang berubah. Sebab‐musabab “terakhir” berupa tujuan, adalah “demi apa”, “untuk apa”. Orang berjalan‐jalan adalah untuk kesehatan. Kesehatan adalah tujuan, adalah sebab‐musabab dari berjalan‐jalan.
194 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Dalam penjelasan Aristoteles ini terdapat kecenderungan dialektis dari hubungan materi dan bentuk yang ditinjau dalam satu kesatuan. Aristoteles mengembangkan gagasan tentang saling hubungan materi dan bentuk, gagasan tentang perkembangan gejala alam sebagai proses pembentukan materi. Aristoteles memandang alam dalam geraknya, dalam perkembangannya. Perkembangan dipahaminya sebagai peralihan kemungkinan menjadi kenyataan. Aristoteles menyamakan perkembangan alam dengan aktivitas manusia, memandang alam secara antropomorfis. Materi dan bentuk dipandang Aristoteles sebagai sesuatu yang menerangkan dari mana terjadinya benda‐benda. Materi adalah “perasan terakhir” dari setiap benda. Menurut Aristoteles, untuk bisa berkembang, materi hanya memerlukan bentuk. Justru oleh karena pengaruh bentuk‐bentuk ia jadi berubah menjadi kenyataan. Aristoteles mengajarkan, bahwa bentuk adalah inti. Jiwa adalah bentuk dari badan. Bentuk bukanlah berarti sekadar penampilan rupa, atau potongan badan. Bentuk merupakan bagian teleologis dari materi. Bentuk mempunyai arti substansial. Jika seorang membikin bola tembaga, maka materi dan bentuk sudah ada. Yang dikerjakan orang itu hanyalah menggabungkannya. Orang itu tidak membikin bentuk, juga tidak membikin tembaga. Penggabungan yang dilakukannya menghasilkan bola tembaga. Aristoteles berpendapat, tidak semua benda mempunyai materi. Dan tidak ada benda‐benda yang abadi. Benda‐benda ini tak mempunyai materi, kecuali benda‐benda yang bergerak di cakrawala angkasa raya. Benda‐benda bertambah banyak dengan memperoleh bentuk. Materi tanpa bentuk berarti hanyalah kemampuan, potensialitas. Menurut pandangan Aristoteles, bentuk adalah substansi (hakikat, inti) yang beradanya terlepas dari materi. Bentuk adalah berbeda dengan keumuman, tapi mempunyai ciri yang sama. Bentuk adalah lebih nyata dari materi. Bentuk menurut gagasan Aristoteles adalah seperti Ide gagasan Plato, yaitu adalah syarat bagi eksistensi materi. Ajaran Aristoteles tentang materi dan bentuk adalah berhubungan erat dengan pembedaan antara kemampuan dan keadaan sesungguhnya, antara potensialitas dan aktualitas. Materi yang paling sederhana, dipahami sebagai satu bentuk dari kemampuan, dari potensialitas. Semua perubahan kita sebut “evolusi” dalam arti bahwa sesudah perubahan
VI — Filsafat Yunani Kuno | 195
benda yang dipersoalkan memiliki bentuk lebih banyak dari semula. Yang memiliki bentuk lebih banyak berarti adalah aktualitas yang lebih aktif. Tuhan adalah bentuk yang murni dan aktualitas yang murni, karena itu pada‐Nya tak terdapat perubahan. Menurut Aristoteles, ada tiga macam substansi: 1. yang dapat diamati, diraba, dan dapat dihancurkan seperti tumbuh‐tumbuhan dan binatang; 2. yang dapat diamati tapi tak dapat dimusnahkan, seperti benda‐benda langit; 3. yang tak dapat diamati dan tak dapat dihancurkan, seperti jiwa manusia dan juga Tuhan. Bagi Aristoteles, Tuhan adalah sebab‐musabab pertama substansi dan aktualitas, yang tak bisa digerakkan, adalah yang abadi. Mengenai jiwa, Aristoteles berpendapat bahwa jiwa adalah terikat pada jasad, dan perpindahan jiwa, reinkarnasi, adalah tak masuk akal. Jiwa dan jasad adalah berhubungan erat sebagaimana halnya bentuk dan materi. Jiwa adalah substansi dalam arti bentuk dari benda yang material yang memiliki kemampuan di dalam dirinya. Jiwa adalah sebab‐ musabab terakhir dari benda. Aristoteles menganggap materi adalah pasif dan tak berbentuk. Bentuk adalah aktif, adalah asal‐muasal yang aktif. Filsafat Aristoteles yang khas ini, yang mempertentangkan bentuk dengan materi, dan mengubah bentuk menjadi hakikat semua benda, adalah salah satu contoh yang jelas‐jemelas membawa mundur pemikiran Yunani kuno dari materialisme ke idealisme. Aristoteles mengajarkan pentingnya tentang hakikat. Yang dimaksud itu tak bisa disamakan dengan keumuman. Menurut Aristoteles, “hakikatmu adalah bagaimana sifatmu sesungguhnya.” Menurut teori pengenalan Aristoteles, perasaan adalah bentuk persepsi tanpa materi. Aristoteles mengakui perasaan sebagai pencerminan bentuk dari materi. Di samping itu, ia juga mencatat perasaan sebagai sumber pemikiran teoretis. Di sini Aristoteles menganut sensualisme yang materialistis. Marx dan Lenin menilai tinggi Aristoteles sebagai ahli pikir besar yang ensiklopedis. Filsafat Aristoteles adalah goyang‐gemoyang antara materialisme dan idealisme. Salah satu dari bagian filsafat Aristoteles yang sangat berharga adalah ajarannya mengenai bermacam jenis, bentuk gerak dan perkembangan. Aristoteles mengungkap enam jenis gerak. Secara umum, gerak dipahami sebagai perubahan.
196 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Gerak terjadi dalam: 1. peristiwa kelahiran, munculnya sesuatu yang baru; 2. peristiwa kehancuran, rusak atau lenyapnya sesuatu; 3. perubahan dari keadaan yang satu ke keadaan yang lain; 4. peristiwa pertambahan; 5. peristiwa pengurangan; 6. peristiwa perpindahan, perubahan kedudukan. Teori tentang gerak ajaran Aristoteles adalah hasil yang bernilai tinggi yang dicapai oleh ilmu pengetahuan Yunani kuno. Herakleitos dan Demokritos belum lagi membedakan macam‐macam jenis gerak. Dari para filsuf Yunani kuno, Aristoteles adalah yang pertama menguraikan hal ini. Aristoteles secara mendalam menggarap masalah dialektika dan logika. Aristoteles membela prinsip‐prinsip pengetahuan ilmiah dalam menggarap masalah logika. Logika Aristoteles didasarkan pada membedakan secara tajam antara kebenaran dan kepalsuan. Ia menyatakan: Kebenaran adalah satunya pikiran dengan kenyataan. Di sini Aristoteles adalah penganut materialisme sejati. Dasar utama dari pikiran logika menurut Aristoteles adalah tak diperkenankannya kontradiksi. Katanya: “Adalah tidak mungkin yang satu dengan lawannya itu juga terdapat dalam satu pikiran.” Dengan prinsip mengeluarkan yang ketiga, “Jika sekarang terdapat kepalsuan, sebagai penegasian kebenaran, maka tak mungkin semuanya palsu, atau salah satu dari dua yang berkontradiksi haruslah benar.” Aristoteles memahami logika sebagai teori pembuktian, di mana dibedakan dua pihak; hasilnya ialah: yang umum adalah khusus (induksi) dan hasil yang khusus dari keumuman. Aristoteles berjasa dalam mengungkap dan menganalisa masalah kategori. Aristoteles mengajukan sepuluh macam klasifikasi kategori: 1. hakikat—dasar yang terdapat pada semua benda lainnya (misalnya manusia, kuda); 2. kuantitas (panjang, dua atau tiga meter); 3. kualitas (putih, hitam); 4. perbandingan (besar, kecil); 5. tempat (di pasar); 6. waktu (bilamana, tahun yang lalu); 7. kedudukan (tegak, tidur); 8. pemilikan (sepatu, senjata): 9. tindakan; 10. ketakutan. Aristoteles berusaha menetapkan kategori supaya tiap‐tiapnya berhubungan dengan yang lainnya dan untuk memberi kesempatan mengenal sepenuhnya kehidupan. Aristoteles menjadikan masalah hukum‐hukum berpikir manusia sebagai objek studi khusus dan terperinci. Menurut Engels, “para filsuf
VI — Filsafat Yunani Kuno | 197
Yunani kuno semua lahir sebagai dialektikus alamiah, dan Aristoteles, intelektual yang paling ensiklopedis di antara mereka, sudah menganalisa bentuk‐bentuk yang paling pokok dari pikiran dialektis.”192 Menurut Aristoteles, matematika diserap dari semua gejala alam yang banyak segi dengan terpusat pada masalah kuantitas. Lenin mencatat bahwa pandangan Aristoteles ini mengandung dialektika. Para ahli matematika menghitung ukuran panas, berat, dan lain‐lain “kontradiksi‐kontradiksi perasaan” dan hanya mengenai “yang bersifat kuantitas” ... tepat seperti juga halnya dalam hubungan dengan segala yang ada. Lenin menulis: “Di sini, terdapat pandangan materialisme dialektis, tapi secara kebetulan, tidak konsekuen, tidak dikembangkan, hanya sepintas lalu saja.”193 Ciri ensiklopedis Aristoteles dapat dilihat dari kumpulan karyanya yang kaya raya, antara lain: Fisika, Tentang Kelahiran dan Kehancuran, Tentang Cakrawala, Meteorologi, Sejarah Makhluk Hidup, Tentang Kekhususan Makhluk Hidup, Tentang Lahirnya Makhluk Hidup. Dalam pandangan‐pandangan filsafat alam, Aristoteles tampil dengan menggunakan dialektika. Pandangannya tidak konsekuen, berpindah‐ pindah, goyang‐gemoyang, kadang‐kadang materialisme dan kadang‐ kadang idealisme.
9. Epikurus EPIKURUS (341—270 SM) dari Pulau Samos adalah filsuf yang melakukan pendidikan ateisme dan berusaha mengembangkan dasar‐ dasar materialisme. Menurut Epikurus, dasar dari semua yang ada dalam alam adalah bagian‐bagian materi yang tak dapat dibagi lagi, yaitu atom‐atom yang bergerak dalam ruang hampa. Semua gejala alam adalah terjadi dari perpaduan, kombinasi atom‐atom yang bergerak dalam ruang hampa. Epikurus mengajarkan bahwa tidak ada sesuatu pun yang berasal dari yang tidak ada, tidak ada sesuatu pun yang 192
Friedrich Engels, Anti-Dühring, edisi bahasa Inggris, h.32, Foreign Languages Publishing House, Moscow, 1954. 193 V.I. Lenin: Fiilosofski Tyedradhi—Kumpulan Karya, edisi Rusia, cetakan V, Jilid XXIX, h.328, Gosudarstvennoye Izdatel'stvo Politicheskoy Literaturnyy (Penerbit Negara Literatur Politik), Moskwa, 1963. 198 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
terbentuk dari yang tidak ada. Dalam alam raya, tidak satu pun bisa masuk ke dalam alam dan melangsungkan perubahan terhadapnya. Dengan pandangan ini, ditegakkanlah gagasan tentang keabadian dan tentang tak terhancurkannya materi. Epikurus mengajarkan bahwa atom tak bisa dipecah dan tak dapat diubah. Atom‐atom memiliki bermacam‐ragam bentuk. Dengan demikian terjadilah gejala‐gejala alam yang tak terhingga jumlahnya. Epikurus sudah mengajarkan tentang berat atom dan volume atom. Menurut Epikurus, benda‐benda alam yang terdiri dari atom‐ atom, memiliki warna, bau, rasa, dan sifat‐sifat lain yang dapat diamati manusia. Ajaran Epikurus mengenai atom menunjukkan tingkat kemajuan materialisme yang sudah tercapai oleh masyarakat Yunani kuno masa itu. Ini memperkuat kedudukan ilmu pengetahuan atas pandangan‐pandangan pemuja kekuasaan Tuhan yang menggerakkan alam. Ajarannya tentang gerak atom yang spontan merupakan dasar penggunaan dialektika spontan tentang sumber‐dalam dari gerak materi. Atom‐atom yang tak terhingga jumlahnya dalam alam raya bergerak secara spontan. Gerak atom yang sembarangan menimbulkan perubahan sudut pada arah gerak yang semula mengikuti garis lurus, menjadi garis melengkung dan berlangsungnya pemisahan‐pemisahan atom. Dari ajaran Epikurus tentang pemisahan atom‐atom secara spontan, lahirlah pandangan tentang sifat dialektis gerak materi. Bersamaan dengan itu, dicampakkanlah pemahaman yang fatal tentang hukum‐hukum alam. Menurut Epikurus, keharusan hukum alam tidaklah berarti bahwa manusia adalah mainan nasib. Epikurus berkata, “Janganlah memaksa alam, tunduklah padanya; kita harus tunduk kepadanya dan menggunakan kemauannya, demikianlah yang wajar, alamiah...” Menurut Epikurus, tugas filsuf adalah memberikan teori umum tentang alam, terutama tentang gejala‐gejala astronomi, yang berlaku dalam fisika atom. Epikurus menganggap pandangan‐pandangan astronomi Plato tidak ilmiah. Kaum materialis Yunani kuno memperkuat ajaran kosmologi yang menyatakan bahwa alam raya adalah abadi dan tak berhingga.
VI — Filsafat Yunani Kuno | 199
Bertolak dari prinsip‐prinsip teori pengenalan Epikurus, maka diakuilah pengaruh sentuhan bayangan benda‐benda alam atas alat‐alat perasa manusia. Dari pandangan mata, penglihatan adalah hasil bayangan dari permukaan benda yang menyentuh mata manusia. Demikian pula halnya mengenai pendengaran, penciuman, perasaan lainnya. Pemikiran yang bersifat teori adalah hasil pengolahan lebih lanjut dari perasaan. Mengenai kebenaran dari pengenalan, Epikurus menolak semua keragu‐raguan dalam kemungkinan mengenal kebenaran objektif. Epikurus menolak semua campur‐tangan Tuhan terhadap perkembangan alam, terhadap nasib dunia dan nasib manusia. Menurut pengertiannya, Tuhan tak mempunyai hubungan apa pun terhadap alam dan manusia. Etika Epikurus mengandung ciri ateisme, secara sadar diarahkan menentang takhayul keagamaan. Menurut Epikurus, tujuan hidup adalah kesenangan, kebahagiaan. Yang dimaksud dengan kebahagiaan adalah tak adanya penderitaan. Supaya bisa bebas menikmati kebahagiaan hidup duniawi, manusia haruslah berjuang melawan ketakutan, yaitu melawan ketakutan akan mati dan ketakutan menghadapi Tuhan. Epikurus menyatakan, “Demikianlah, jika kita berbicara bahwa kebahagiaan adalah tujuan terakhir, maka tentu yang kita maksudkan bukanlah kebahagiaan cabul buaya darat dan bukanlah kenikmatan syaraf perasa manusia sebagaimana yang dipikirkan oleh sementara orang yang tak tahu, atau oleh mereka yang tak memahami secara tepat, tetapi yang kita inginkan adalah kebebasan dari penderitaan jasmaniah dan kebebasan dari kecemasan rohaniah.”194 Menurut Epikurus, jalan bagi manusia mencapai kebahagiaan adalah harus melenyapkan semua ketakutan pada campur tangan Tuhan atas penghidupan manusia, ketakutan menghadapi kematian, dan ketakutan menghadapi dunia akhirat. Epikurus membuktikan bahwa semua ketakutan itu tak ada dasarnya, karena Tuhan tak bisa campur tangan atas kehidupan manusia. Tuhan tidak hidup di alam kita, tapi hidup dalam sekejap waktu pada pikiran manusia. 194
Epikurus: “Surat kepada Menoikeus”, dalam buku Matyerialisthi Dryevnyei Gryetskii – Kaum Materialis Yunani Kuno, h.211—212; dan Philosophen Lesebuch, Band 1, h.230, Dietz Verlag Berlin, 1988.
200 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
10. Titus Lukretius Carus TITUS Lukretius Carus (kira‐kira 99—55 SM) adalah filsuf materialis yang mengembangkan pandangan‐pandangan materialisme Leukippos, Demokritos, dan Epikurus. Lukretius adalah seorang ateis yang militan. Ia ingin membebaskan manusia dari kegelapan tradisi keagamaan Roma yang penuh kekerasan. Lukretius berusaha dengan sistematis mengajarkan pemahaman tentang alam secara materialistis. Dalam ajarannya mengenai alam, Lukretius berbuat menuruti pandangan Epikurus. Lukretius mengajarkan bahwa tidak satu pun bisa lahir dari sesuatu yang tak ada. Jika benda‐benda bisa lahir dari sesuatu yang tak ada, maka tak perlu adanya keluarga untuk melahirkan turunan, maka orang bisa muncul berasal dari lautan, ikan dari tanah, ternak besar dan kecil muncul dari langit, maka dari setiap pohon akan muncul buah‐ buahan apa saja. Lukretius mengajarkan tentang keabadian materi. Lukretius menyatakan bahwa di dunia tak ada kehancuran sepenuhnya, tetapi hanyalah berlangsung penguraian benda‐benda yang rumit atas bagian‐ bagiannya, unsur‐unsur terkecil, zat asli yang tak bisa dilihat dengan mata karena kecilnya. Kita tak bisa melihat arus udara yang terjadi di kala badai, tetapi bisa melihat akibat kerusakan yang ditimbulkannya. Di pinggir laut, pakaian menjadi lembab, di bawah sinar matahari ia menjadi kering, tapi kita tidak melihat muncul dan lenyapnya zat cairan yang membikin lembab itu. Lukretius mengajarkan bahwa yang ada di alam raya hanyalah benda dan ruang hampa. Pori‐pori pada benda dan berat jenis benda yang berbeda‐beda menunjukkan adanya ruang hampa. Semua yang lain yang kita kenal adalah sifat‐sifat, ciri‐ciri benda atau gejala‐ gejalanya. Sifat‐sifat benda ada secara objektif, tapi bukanlah ada dengan berdiri sendiri. Sifat‐sifat itu tak bisa terlepas dari bendanya. Misalnya berat pada batu, panas pada api, kelembaban pada air. Menurut Lukretius, waktu adalah juga sifat materi. Tidak ada waktu yang berdiri sendiri, terlepas dari gerak benda. Adanya waktu tergantung pada adanya materi yang bergerak. Lukretius memahami tiga macam gerak zat asli: 1. Gerak karena dorongan; 2. Gerak ke bawah menurut garis lurus sebagai akibat gaya berat; 3. Gerak sendiri yang sembarangan, yang membawa zat asli
VI — Filsafat Yunani Kuno | 201
keluar dari gerak garis lurus. Pikiran tentang perubahan arah gerak zat asli yang bersumber dari gerak‐sendiri, swa‐gerak yang sembarangan dari zat‐zat asli adalah ciri dialektika spontan dari pandangan‐pandangan Lukretius. Gerak tak bisa dipisahkan dari materi, dan gerak‐sendiri, swa‐gerak sembarangan terjadi tanpa segala campur tangan Tuhan. Lukretius bertanya, “Jika Tuhan mengatur dunia, maka dari mana datangnya ketidakadilan, malapetaka, penderitaan dan kemiskinan? Tidak, bagi kita sama sekali tidak ada perilaku Tuhan terhadap gejala‐gejala alam itu.”195 Mengikuti Epikurus, Lukretius mengkritik pandangan Plato yang menyatakan eksistensi roh atau jiwa yang berdiri sendiri, di luar jasmani. Lukretius membantah pandangan para penganut ajaran atomis yang percaya bahwa tabrakan zat‐zat asli bisa menjelaskan kecepatan lebih tinggi gerak zat‐zat asli yang lebih berat dalam ruang hampa. Terbentuknya dunia menurut pandangannya dapat dijelaskan hanya dengan syarat‐syarat internal gerak spontan yang menyebabkan penyelewengan alur gerak zat‐zat asli. Dengan demikian, dalam ajaran Lukretius muncul gagasan dialektis tentang gerak kontinu yang berhubungan dengan materi, yaitu swa‐gerak yang berlangsung tanpa campur‐tangan Tuhan. Dengan melanjutkan tradisi materialisme antik, Lukretius membuktikan secara menyeluruh tentang perubahan‐perubahan alam yang terus‐menerus, memaparkan bahwa berlangsung pembentukan dan kehancuran benda‐benda alam yang terus‐menerus, berlangsung pembaruan alam yang tak henti‐hentinya. Ini terjadi lewat: lahir yang satu, lenyap yang lain. Karena gerak zat‐zat asli yang tak henti‐hentinya selama waktu tak berhingga, sesama mereka terjadi saling bergabung yang tak terhitung jumlahnya. Dari sinilah datangnya semua gejala alam. Lukretius berusaha menjelaskan sebab‐musabab alamiah terbentuknya bumi, laut, langit, benda‐benda bersinar di alam raya, kehidupan di bumi, tumbuh‐tumbuhan, hujan dan akhirnya manusia. Juga dijelaskan dari segi pandangan atomisme kuno tentang terjadinya berbagai gejala alam seperti guruh dan petir, hujan, embun, topan, 195
Lukretius, De Rerum Natura—O Prirodye Vesyei—Tentang Sifat Zat-Zat, I Izdatel'stvo Akademii Nauk SSSR (Balai Penerbitan Akademi Ilmu Pengetahuan URSS), 1945, h.295.
202 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
angin, hujan es, salju, embun beku, gempa bumi, ledakan gunung berapi, sifat‐sifat besi berani dan lain‐lain. Juga terdapat keterangan yang orisinal, walaupun masih belum ilmiah, seperti mengenai gerhana‐ gerhana matahari dan bulan, dan gejala‐gejala astronomi lainnya. Lukretius menyebut ajaran tentang reinkarnasi sebagai omong kosong. Tak terpisahkannya roh dari jasmani, jiwa dari badan, adalah bukti bahwa hidup di akhirat atau “pembalasan di akhirat” adalah omong kosong belaka. Lukretius mengajarkan bahwa makhluk hidup lahir dari alam anorganik dengan cara lahir sendiri. Bumi yang muda melahirkan organisme menurut urutan: mula‐mula muncul tumbuh‐ tumbuhan, kemudian binatang, dan akhirnya manusia. Sekarang ini, di kala bumi sudah menua, melalui kelahiran sendiri, di bumi hanya muncul binatang‐binatang kecil. Dengan demikian, Lukretius menjelaskan tentang lenyap dan punahnya sementara hewan dan tumbuh‐tumbuhan di permukaan bumi. Lukretius mengkritik ajaran Empedokles mengenai terjadinya keajaiban, yaitu mukjizat tentang munculnya makhluk hidup setengah hewan, setengah manusia. Lukretius dengan keras menentang ketakutan akan mati. Mati itu tidak apa‐apa. Mati adalah bukan penderitaan, tetapi adalah penyelamatan dari penderitaan. Sesudah mati, kita sudah tak ada, maka tak ada lagi perasaan kepekaan syaraf. Perasaan takut akan mati terdapat pada manusia, karena tak tahu akan hukum alam. Teori pengenalan Lukretius mengandung ciri materialisme. Ia bertolak dari pengakuan bahwa persepsi dari tanggapan syaraf‐syaraf perasa memberi pengenalan objektif tentang kenyataan, dan bahwa kualitas barang (benda) ada secara objektif, bukan hanya dalam persepsi kita. Saling pengaruh antara zat‐zat asli yang berlangsung di luar benda‐ benda yang ditangkap syaraf‐syaraf perasa menimbulkaan perasaan, sinyal‐sinyal mana diolah oleh otak, dan menghasilkan pengenalan pertama. Lukretius mengembangkan ajaran Epikurus tentang banyaknya sebab‐sebab gejala alam dan dibuangnya hal‐hal gaib, dibuangnya mukjizat dalam menjelaskan gejala‐gejala alam serta masyarakat. Ini merupakan sumbangan sangat bernilai bagi ajaran Epikurus tentang teori sebab‐musabab yang materialistis. Lukretius mengembangkan filsafat materialisme dengan berjuang
VI — Filsafat Yunani Kuno | 203
sangat sengit melawan bermacam‐ragam idealisme: melawan ajaran Plato tentang jiwa yang tak mati‐mati; melawan ajaran Aritoteles tentang “sebab‐sebab yang ada tujuan”, melawan ajaran Pythagoras mengenai berpindah‐pindahnya jiwa dan seterusnya. Dengan sangat kuat Lukretius menentang ajaran idealisme religius kaum Stoikus mengenai Tuhan. Lukretius mempertentangkan kesewenang‐wenangan ajaran ketuhanan dengan hukum alam yang tak dapat dilawan, membuktikan bahwa alam terbentuk sendiri tanpa segala bantuan dari yang mahakuasa. Lukretius adalah seorang pendidik ateis yang berusaha sampai akhir mencabut akar kepercayaan pada Tuhan. Menurut Lukretius, munculnya agama datang dari ketakutan orang‐orang yang tak berpengetahuan, manusia purba yang takut akan kekuatan alam yang mengerikan, dan juga dari khayalan manusia yang tidak benar, dan dari ketidaktahuan sebab‐sebab alamiah semua yang terjadi. Dengan menerangkan bahwa Tuhan lahir dari fantasi manusia, Lukretius melebihi Epikurus, maju lebih jauh dengan ateismenya dan mengkritik ajaran mengenai adanya Tuhan yang menghuni celah‐celah ruang alam. Lukretius memaparkan tentang sifat‐sifat Tuhan yang sepenuhnya tak dapat dipahami oleh perasaan, oleh akal manusia dan yang tak ada hubungannya dengan semua yang ada. Menurut ajaran Lukretius, perkembangan masyarakat juga tunduk pada hukum yang tak dapat dilawan, kalau tidak demikian, berhentilah perkembangan turunan manusia. Dengan memaparkan pandangan materialismenya, Lukretius menyerukan agar manusia berpandangan sendiri, melakukan penelitian atas alam dan melakukan pencarian lebih lanjut. Lukretius berpendapat bahwa untuk perkembangan masyarakat diperlukan tenaga penggeraknya. Kemajuan kemanusiaan adalah hasil dari perkembangan rasio. Filsafat Lukretius memihak dan mengabdi pada kaum yang mengalami penindasan agama, melawan kekuasaan kaum agama dan feodal yang memerintah. Lukretius dimusuhi kaum penguasa, ditindak, dihukum. Penyebaran ajaran‐ajarannya dilarang. Barulah tahun 1473 karya‐karya Lukretius bebas diterbitkan.
204 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
VII Kemenangan‐Kemenangan Materialisme dalam Sejarah
1. Pikiran Bertolak dari Kenyataan DARI galian makam‐makam kuno semenjak zaman periode paleoletik tua, zaman batu tua (kira‐kira 40.000—18.000 tahun yang lalu), semenjak terdapatnya Homo Sapiens, sudah terbukti adanya kepercayaan manusia atau kepercayaan agama. Manusia percaya akan adanya kehidupan sesudah meninggal. Ini dibuktikan dengan peninggalan‐peninggalan berbagai jenis makanan mendampingi mayat‐mayat yang dikuburkan. Ini berarti bahwa terdapat gagasan tentang adanya kelanjutan hidup sesudah meninggal. Zaman neolitik juga dikenal sebagai zaman batu baru, diperkirakan berlangsung di seluruh dunia antara tahun 5000 hingga 3000 SM. Sejarah awal manusia bermula pada akhir zaman neolitik ini. Zaman neolitik telah menunjukkan perubahan kehidupan manusia yang amat besar. Daerah kediaman orang neolitik ialah lembah Sungai Indus di India, lembah Sungai Kuning (Huang He) di Tiongkok, lembah Sungai Euphrates dan Tigris di Timur Tengah, di sejumlah negeri Timur Tengah, di Kepulauan Aegea, di daerah Balkan, semenanjung Iberia, Perancis, Inggris, dan Skandinavia, melukiskan jasad wanita. Ini melambangkan pujaan pada wanita di zaman itu. Wanita jadi pujaan, dipuja sebagai juru selamat, sebagai dewi yang dihormati. Pada permulaan zaman tembaga terdapat bukti‐bukti kebiasaan memuja matahari. Matahari dipuja sebagai sumber kemakmuran. Matahari dilukiskan dalam bentuk piring bundar, lingkaran yang memancarkan sinar dan tanpa sinar. Pujaan pada matahari VII — Kemenangan-Kemenangan Materialisme dalam Sejarah | 205
menunjukkan kenyataan adanya hubungan manusia yang melakukan pertanian, yang menginginkan kesuburan yang bersumber dari sinar matahari. Hasil‐hasil penggalian makam‐makam kuno menunjukkan terjadinya pemujaan oleh manusia terhadap benda‐benda konkret yang berpengaruh besar bagi kehidupan. Berpikir dengan bertolak dari kenyataan, lahirnya pikiran yang mencerminkan kenyataan adalah wujud nyata dari kecambah materialisme. Semenjak dari sejarah Tiongkok, India, dan Yunani Kuno telah lahir materialisme primitif, materialisme spontan, yaitu pikiran yang bertolak dari kenyataan. Thales dari Miletus (624—546 SM), bapak filsuf Yunani kuno, dijuluki Bapak Ilmu Pengetahuan oleh Bertrand Russel yang menyatakan bahwa “filsafat Barat dimulai dengan Thales”. Thales telah memaparkan masalah fenomena alam, menyatakan bahwa air adalah asal‐usul dari segala‐galanya di alam raya. Bertolak dari kenyataan alam, dengan menyimpulkan pengalaman dari kehidupan nyata, ilmu fisika berkembang pesat. Dari teori atom Leukippus (paro pertama abad ke‐5 SM) dan Demokritos (kira‐kira 460—370 SM) yang menyatakan segala‐galanya di alam raya terdiri dari unsur terkecil yang tak dapat dibagi lagi yang disebut atom. Tahun 1808 berkembang menjadi teori atom John Dalton (1766— 1844) yang dikembangkan lagi oleh Joseph John Thomson (1856—1940) yang menyatakan bahwa dalam atom ada elektron, partikel bermuatan listrik negatif. Kemudian dikembangkan lagi oleh teori atom Rutherford yang menyatakan: atom memiliki inti atom bermuatan listrik positif yang merupakan pusat massa atom, elektron bergerak mengelilingi inti dengan kecepatan yang sangat tinggi, sebagian besar partikel alfa (α) lewat tanpa mengalami pembelokkan/hambatan, sebagian kecil dibelokkan, dan sedikit sekali yang dipantulkan; partikel alfa dipancarkan oleh inti atom yang radioaktif seperti uranium atau radium dalam proses yang disebut dengan peluruhan alfa. Kadang‐kadang proses ini membuat inti atom berada dalam keadaan gairah (excited state) dan akan memancarkan sinar gamma untuk membuang energi yang lebih. Pada tahun 1913, teori atom Ernest Rutherford (1871—1937) disempurnakan oleh Niels Henrik David Bohr (1885—1962). Kelemahan teori atom Rutherford diperbaiki oleh Neils Bohr dengan postulat Bohr:
206 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
menurut model atom Bohr, atom terdiri dari beberapa kulit untuk tempat berpindahnya elektron. Elektron‐elektron yang mengelilingi inti mempunyai lintasan dan energi tertentu; dalam orbital tertentu, energi elektron adalah tetap; elektron akan menyerap energi jika berpindah ke orbit yang lebih luar dan akan membebaskan energi jika berpindah ke orbit yang lebih dalam. Dalam fisika nuklir, berlangsungnya fusi nuklir yaitu reaksi nuklir di mana terjadi tabrakan dua atau lebih inti atom dalam kecepatan yang sangat tinggi yang membentuk jenis inti atom baru. Peristiwa ini mengeluarkan energi yang besar. Demikianlah energi yang dipancarkan matahari ke alam raya, yaitu adalah hasil reaksi nuklir yang terjadi dari tabrakan inti hidrogen dan terbentuknya inti helium. Peristiwa fusi nuklir adalah proses yang menjadi sumber energi bintang‐bintang yang aktif. Fisika nuklir telah memberi urun bagi ditemukannya sumber energi yang besar untuk pembangkit tenaga listrik. Pengenalan, pemahaman dan penguasaan akan hukum alam telah bermanfaat bagi kehidupan umat manusia. Inilah salah satu hasil pandangan ilmiah bertolak dari kenyataan, hasil pandangan materialisme. Di kala mekanika Newton (1643—1727) tidak memadai lagi untuk menerangkan hal ihwal gerak materi yang rumit dan supra halus, maka tampillah mekanika kuantum dengan teori kuantum Niels Bohr yang bisa menerangkan dan menghitung gaya dan gerak yang terjadi dalam proses perubahan inti nuklir. Teori relativitas Einstein (1879—1955) telah membawa maju fisika hingga dapat menghitung saling hubungan massa dan energi dengan rumusnya yang terkenal: Energi sama dengan massa dikalikan dengan kuadrat kecepatan sinar. Penemuan tenaga nuklir merupakan langkah besar maju untuk memanfaatkan alam. Sampai awal abad ke‐20 manusia hanya mengenal dua macam gaya dalam alam semesta, yaitu gaya tarik bumi (gravitasi) dan gaya elektromagnet. Kini dikenal gaya (tenaga) nuklir yang besar sekali. Hasil besar dari mekanika kuantum adalah dapat membuktikan bahwa sifat‐sifat benda alam, struktur atom dan molekul, dapat sepenuhnya diterangkan sebagai gaya listrik antara elektron dan nuklir. Dengan mempelajari inti atom, manusia menemukan tenaga baru alam yaitu tenaga inti, tenaga nuklir yang luar biasa besarnya. Perkembangan fisika plasma, dengan fusi‐nuklir telah membawa manusia sampai pada taraf menjelang
VII — Kemenangan-Kemenangan Materialisme dalam Sejarah | 207
mampu menciptakan energi yang tak habis‐habisnya seperti matahari, menciptakan matahari buatan manusia. Asal mula ajaran‐ajaran filsafat Yunani kuno adalah dari Milesia abad ke‐ke‐6 SM, dipimpin oleh Thales yang mengajarkan bahwa kesatuan materi adalah dasar universal dari alam raya (segala‐galanya). Diajarkan, bahwa segala‐galanya berasal dari satu materi yang dasar. Ciri pokok dari alam semesta adalah:—penjadian yang terus‐menerus— yang terdapat pada unsur asal‐muasal, yang menurut Thales adalah air. Air adalah asal dari segala‐galanya. Menurut pengikutnya, Anaximander, dasar dari segala‐galanya bukan air, tapi adalah apeiron, sesuatu yang tak terhingga, yang kacau‐ balau, yang secara abadi bertindak terhadap semua hal ihwal dan yang di dalamnya berisikan prinsip‐prinsip yang kontradiktif, prinsip‐prinsip yang saling bertentangan. Anaximenes dari Miletus menganggap unsur yang tak terhingga ini adalah sumber dari segala‐galanya. Segala‐ galanya adalah terbentuk dari unsur ini, yaitu udara yang bisa memadat dan mengembang dan dengan napasnya melahirkan segala‐gala sebagaimana jiwa. Sejumlah ahli pikir abad kelima sebelum masehi menganut paham ini seperti Hippon (abad ke‐5 SM), Idaeus (abad ke‐5 SM), dan Diogenes (412 atau 404—323 SM) dari Apollonia. Materialisme berkembang maju melewati perjuangan melawan musuh‐musuh kebenaran. Di Yunani purba, kaum aristokrat reaksioner memusnahkan karya‐karya ahli filsafat materialis Demokritos, filsuf yang merumuskan teori atom, yaitu materi yang terkecil adalah atom yang tak dapat dibagi lagi, yang menolak campur tangan kekuatan gaib di dalam alam dan urusan‐urusan manusia. Anaxagoras menganut pandangan bahwa Nous (Pikiran) adalah yang mengatur alam semesta, dibuang dari Athena sebagai seorang ateis. Epikurus pengikut Demokritos yang telah membebaskan manusia dari rasa takut terhadap kekuatan gaib dan membela kebenaran ilmu, dengan ajarannya yang terkenal “Jangan takut pada Tuhan, jangan khawatir akan mati; yang baik itu gampang diperdapat; yang mengerikan itu gampang diatasi.” Maka selama dua ribu tahun Epikurus dikutuk oleh pemimpin gereja, yang secara palsu melukiskannya sebagai musuh kesusilaan dan penyebar kejahatan. Perpustakaan Iskandariah yang terkenal itu mempunyai 700.000 karya penulis‐penulis dari sarjana‐sarjana purba, telah dibakar oleh
208 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
pendeta‐pendeta Kristen pada tahun 391 masehi. Paus Gregory I (590— 604), seorang musuh bebuyutan dari ilmu dan pengetahuan sekuler, memusnahkan banyak karya‐karya berharga dari penulis‐penulis purba, terutama karya‐karya ahli filsafat materialis. Inkuisisi, alat ciptaan Paus untuk menindas semua perlawanan terhadap Gereja Katolik, dengan biadab mengejar‐ngejar semua ahli pikir progresif. Pada tahun 1600, atas perintah inkuisisi, Giordano Bruno (1548—1600), ahli filsafat dan sarjana besar yang mempertahankan ajaran Copernicus (1473—1543), dibakar hidup‐hidup. Pada tahun 1619, seorang ahli pikir besar lainnya, Lucilio Vanini (1585—1619) telah dibunuh di Toulouse, Perancis—atas perintah inkuisisi, lidahnya dicabut dan kemudian ia dibakar hidup‐hidup. Inkuisisi berusaha memaksa Galileo Galilei (1564—1642), ahli ilmu falak Italia yang terkenal yang membela teori Copernicus, untuk melepaskan pandangan‐pandangannya. Voltaire (1694—1778), ahli filsafat Perancis yang besar dari mazhab penerangan, telah dipenjarakan di dalam penjara Bastille. Ahli filsafat materialis Perancis lain dari abad ke‐18, Diderot (1713—1784), juga dijebloskan ke dalam penjara.196
2. Dari Antroposentris sampai Heliosentris SAMPAI abad ke‐17, pemahaman manusia akan alam semesta sudah melewati berbagai tingkat perkembangan. Mulai dari manusia purba yang menganggap dirinya adalah pusat alam semesta, dirinya manusia adalah pusat alam semesta—antroposentris; berkembang menjadi bumi sebagai pusat alam raya—geosentris; kemudian menjadi matahari sebagai pusat peredaran alam raya—heliosentris. Aristarchus (310—230 SM) telah mengatakan bahwa bumi mengelilingi matahari, tetapi teorinya ditolak karena tidak sesuai dengan kepercayaan agama dan filsafat masa itu. Dari praktek dalam penghidupan, pengetahuan manusia jadi berkembang maju. Praktek yang mengharuskan serba menghitung, menyebabkan lahirnya ilmu hitung: aritmetika, matematika, aljabar,
196
Gosudarstvennoye Izdatel'stvo Politicheskoy Literaturnyy, Osnovhii Marksizma Leninizma, Ucyebnoye Posobiye, Izdaniye vtoroye, Moskwa, 1962, h.11—12. VII — Kemenangan-Kemenangan Materialisme dalam Sejarah | 209
ilmu ukur sudut, ilmu ukur bidang, ilmu ukur ruang, sampai aljabar tinggi: hitungan diferensial dan integral. Maka tersusunlah matematika Euklides. Untuk penghitungan gerak dalam fisika modern yang rumit, tak memadai lagi ilmu hitung Euklides, lahirlah matematika Lobachevsky, Nikolai Ivanovich Lobachevsky. Demikian pula di bidang ilmu fisika. Mekanika Newton yang berdominasi dalam bidang fisika semenjak abad ke‐17 sudah tak memadai lagi untuk penghitungan gerak dalam fisika nuklir, maka muncullah mekanika kuantum. Fisika klasik bisa menjelaskan gerak‐gerik materi dan energi dalam skala makroskopis, yaitu yang dalam skala dapat dipantau pancaindera manusia, termasuk gerak‐gerik benda‐benda alam angkasa raya. Ia tetap menjadi kunci untuk pengukuran berbagai bidang teknologi dan ilmu pengetahuan modern. Di samping itu, pada akhir abad ke‐19 para sarjana menemukan fenomena dalam dunia mikro, yaitu masalah mengukur gerak dalam inti nuklir yang tak dapat dijelaskan dengan fisika klasik. Dengan demikian, seiring dengan munculnjya teori atom Ernest Rutherford tampillah mekanika kuantum yang dipelopori oleh Niels Bohr. Ini adalah suatu revolusi besar dalam fisika. Mekanika kuantum adalah cabang dasar fisika yang menggantikan mekanika klasik pada tataran atom dan sub‐atom. Ilmu ini memberikan kerangka matematika untuk berbagai cabang fisika dan kimia, termasuk fisika atom, fisika molekular, kimia komputasi, kimia kuantum, fisika partikel, dan fisika nuklir. Mekanika kuantum adalah bagian dari teori medan kuantum dan fisika kuantum umum, yang bersama relativitas umum merupakan salah satu pilar fisika modern. Dasar dari mekanika kuantum adalah bahwa energi itu tidak kontinu, tapi diskrit—berupa ‘paket’ atau ‘kuanta. Konsep ini cukup revolusioner, karena bertentangan dengan fisika klasik yang berasumsi bahwa energi itu berkesinambungan.197
3. Hakikat Teori Relativitas Einstein Materialistis SEPTEMBER 1905 disiarkan tulisan Albert Einstein berjudul Tentang Elektrodinamika Benda‐Benda yang Bergerak. Tulisan ini merupakan titik 197
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.
210 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
balik dari sejarah fisika, bahkan lebih dari itu adalah titik balik dari sejarah seluruh pemikiran hidup manusia.198 Teori Relativitas Einstein adalah bukan saja teori fisika, tapi juga teori filsafat.199 Teori relativitas Einstein adalah teori yang revolusioner. Ia menyisihkan pandangan lama yang metafisis mengenai alam dan bersamaan dengan itu ia menampilkan pandangan baru yang lebih dalam yang isinya adalah objektif materialistis dan dialektis.200 Penemuan prinsip relativitas dari gerak adalah satu penemuan terbesar manusia dalam fisika. Fisika tak akan bisa berkembang tanpa teori ini. Kita pantas menyamakannya dengan kejenialan Galileo Galilei yang dengan tegas menentang ajaran Aristoteles yang berdominasi dan didukung kuat Gereja Katolik waktu itu. Menurut Aristoteles, suatu gerak hanya mungkin jika ada gaya yang menggerakkan, dan tanpa gaya, gerak itu pasti berhenti. Galilei membuktikan sebaliknya, dalam berbagai percobaan yang brilian, ia menunjukkan bahwa adalah gesekan yang menyebabkan benda bergerak jadi berhenti dan suatu benda yang begitu digerakkan akan terus bergerak selama‐lamanya jika tidak ada gesekan.201 Pandangan fisika klasik dalam mekanika menjadi berubah setelah dipelajari dan ditemukannya medan elektromagnet sebagai objek khusus materi. Ternyata materi tidak hanya berwujud benda, tapi juga dalam bentuk medan elektromagnet. Dengan teorinya, Einstein mendapatkan alat yang kuat untuk meneliti masalah hubungan materi dengan gerak. Maka jelas‐jemelas arti filosofis dari keuniversalan dari relativitas gerak.202 Pada 1905, Einstein mengembangkan teori relativitas khusus sampai menghasilkan rumus ekuivalen (kesamaan) massa dan energi. Dikemukakan bahwa inertia dari suatu objek adalah tergantung pada isi 198
B.G. Kuznetsov, Besedni O Teorii Otnositel'nosti, Vtoroye Izdaniye (Percakapan Tentang Teori Relativitas Edisi Kedua), Izdatyelstvo Akademii Nauk SSSR (Penerbit Akademi Ilmu Pengetahuan URSS), Moskwa, 1963, h.3. 199 B.G. Kuznetsof, Etyudy Ob Eynshteyne (Studi Tentang Einstein), Izdatyelstvo “Nauka” (Penerbit Nauka), Moskwa, 1965, h.8. 200 M.V. Mostyepanyenko, Materialisticheskaya Sushchnost' Teorii Otnositel'nosti Eynshteyna (Inti dari Teori Relativitas Materialis), Izdatel'stvo Sotsial'nnoEkonomicheskoy Literaturnyy (Penerbit Literatur Sosial Ekonomi), Moskwa, 1962. 201 L. Landau, Y. Rumier, What is the Theory of Relativity, Foreign Languages Publishing House, Moscow, tt, h.21. 202 M.V. Mostyepanyenko, op.cit., h.53—54. VII — Kemenangan-Kemenangan Materialisme dalam Sejarah | 211
energinya. Secara matematis dirumuskannya dengan persamaan yang terkenal: E=mc2, energi sama dengan massa dikalikan dengan kecepatan sinar kuadrat (E=energi; m=massa; c=kecepatan sinar). Inertia adalah kecenderungan suatu objek bertahan terhadap percepatan (tambahan kecepatan), kecenderungan suatu objek untuk tetap tinggal diam atau untuk tetap bergerak dalam garis lurus, jika tidak dipengaruhi oleh gaya luar. Einstein bukanlah orang pertama yang memaparkan hubungan antara massa dan energi. Namun Einstein adalah sarjana pertama yang mengusulkan rumus E=mc2 dan yang pertama memaparkan ekuivalen massa dan energi sebagai prinsip fundamental yang lahir dari simetri relativistis dari ruang dan waktu. Ruang dan waktu adalah perwujudan materi yang terdapat ada di luar kemauan dan pikiran manusia. Rumus E=mc2 adalah berguna untuk memahami jumlah energi yang dikeluarkan dalam reaksi fissi. Hubungan antara rumus E=mc2 dengan energi nuklir sudah demikian melekatnya, maka rumus ini telah menjadi persamaan terkenal secara sedunia. Bagaimanapun juga, teori relativitas Einstein terutama rumus yang terkenal E=mc2 memainkan peranan penting dalam teori fissi yang diperlukan untuk pembuatan bom nuklir.203 Fissi nuklir adalah proses dalam fisika nuklir atau kimia nuklir, di mana berlangsung reaksi nuklir atau proses penghancuran radioaktif, di mana inti sebuah atom terpecah menjadi bagian‐bagian lebih kecil. Proses fissi menghasilkan neutron dan foton yang bebas dalam bentuk sinar gamma, dan melepaskan energi dalam jumlah sangat besar. Dari rumus persamaan Einstein E=mc2 terungkap saling hubungan yang materialistis antara energi, massa materi, kecepatan sinar merambat. Ini semua terjadi dalam ruang dan waktu tertentu. Semuanya memanifestasikan saling hubungan materiil. Semua proses kejadian di alam semesta berlangsung dalam waktu tertentu. Waktu itu ada, tak tergantung pada kemauan atau pikiran manusia. Karena itu, waktu adalah salah satu bentuk eksistensi materi. Pengertian waktu memainkan peranan sangat penting dalam fisika. Fisika klasik bertolak dari pandangan bahwa waktu mengalir secara sama dalam semua sistem material. Pandangan ini ternyata tidak benar. 203
David Bodanis, E=mc2: A Biography of the World's Most Famous Equation, New York: Walker, 2000. 212 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Sesudah ditemukannya teori relativitas Einstein, dengan pengakuan atas bumi adalah bundar, dan terbuktinya kecepatan sinar merambat adalah konstan, maka dipahamilah bahwa sebagaimana halnya ruang, waktu itu juga relatif. Teori relativitas Einstein bukanlah mencampakkan pandangan dan gagasan‐gagasan fisika yang terdahulu, tapi memperluasnya dan menetapkan batas‐batas dalam rangka mana gagasan‐gagasan lama dapat dipakai tanpa adanya bahaya akan kesalahan. Hukum‐hukum alam yang ditemukan oleh para ahli fisika pada masa sebelum lahir teori relativitas sama sekali tidak dicampakkan, hanya penggunaannya sekarang lebih ditetapkan dengan jelas. Saling hubungan antara fisika yang berdasarkan teori relativitas dan fisika ajaran lama yang dikenal dengan fisika klasik adalah kira‐kira sama dengan saling hubungan antara geodesi tinggi yang memperhitungkan bahwa bumi adalah bundar, dengan geodesi dasar yang mengabaikan bundarnya bumi itu. Geodesi tinggi bertolak dari pandangan relatifnya vertikalitas sesuatu, dan fisika relatif memperhitungkan ke‐relatif‐an dimensi benda‐benda dan masalah jarak waktu antara dua kejadian; sedangkan fisika klasik sama sekali tidak memperhitungkan gagasan relativitas.204 Jika bumi ini datar, semua yang tegak lurus di atas bumi itu adalah sejajar. Namun, karena kenyataan bumi adalah bundar, maka yang tegak lurus di Jakarta, tidaklah sejajar dengan yang tegak lurus di Moskow atau di Sidney. Orang berdiri di Jakarta dengan kepalanya ke atas; orang berdiri di Moskow atau Sidney juga dengan kepalanya ke atas. Jika ditarik garis tegak lurus dari kepala ke kaki, dari atas ke bawah, garis itu akan menuju ke pusat bumi. Tegak lurus di Jakarta, Moskow dan Sidney, di tiga tempat ini tidaklah sejajar, tidaklah sama. Maka tegak lurus itu adalah relatif, tergantung dengan tempat di mana berdiri, tergantung pada tempat di bumi. Atas dan bawah itu relatif. Di mana‐mana di permukaan bumi, orang berdiri dengan kepala ke atas dan kaki ke bawah. Kalau bumi dipantau dari jarak jauh, hingga merupakan satu bola, maka atas bagi yang berdiri di kutub utara, adalah kebalikan dari atas bagi yang berdiri di kutub selatan. Jadi, atas dan bawah itu adalah relatif. 204
L. Landau, Y. Rumier, op.cit., h.63. VII — Kemenangan-Kemenangan Materialisme dalam Sejarah | 213
4. Pemenang Hadiah Nobel Fisika 2012 SAMPAI awal abad ke‐21 fisika kuantum menjadi pusat penelitian para ahli fisika. Maka tahun 2012 hadiah Nobel untuk fisika jatuh pada dua ahli fisika Perancis dan Amerika: Serge Haroche dari the College de France dan Ecole Normale Supérieure di Paris, dan David Wineland dari US dari the National Institute of Standards and Technology dan the University of Colorado at Boulder National Institute for Standards and Technology. Penelitian mereka terpusat pada segi fundamental masalah sinar dan materi. Karya mereka mengenai “optika kuantum” menggunakan foton‐foton tunggal dan atom‐atom yang bermuatan sudah membuka suatu bidang baru yang menyeluruh dalam fisika. Ini akan membimbing ke arah cara terbaru dalam masalah komunikasi dan komputerisasi. Kedua fisikawan secara terpisah telah berhasil menemukan dan mengembangkan cara pengukuran dan menggerakkan partikel‐partikel sambil memelihara sifat kuantum mekanisnya, dengan cara yang sebelum ini belum terpikirkan atau dianggap tak bisa dicapai. Jadi, kedua pemenang hadiah Nobel ini telah membuka pintu era baru fisika kuantum dengan menunjukkan pengamatan langsung terhadap partikel kuantum tertentu tanpa merusaknya. Di samping keberhasilan yang dicapai para sarjana fisika, juga terdapat penemuan‐penemuan baru di bidang kimia, biologi, ilmu kedokteran, teknik informasi, sampai pada pengharungan ruang angkasa raya dengan pesawat‐pesawat berawak. Ini semua mendemonstrasikan kemenangan materialisme. Manusia kian maju dalam mengenal alam, jadi mengendalikan alam, memanfaatkannya demi kepentingan perbaikan kehidupan umat manusia. Dalam fisika, yaitu mekanika kuantum, bereaksinya sinar dan materi dalam ukuran sangat kecil yaitu pada satu partikel, terjadi hal yang mengherankan. Dalam ukuran demikian kecilnya, bekerja dengan sinar dan materi adalah bagaikan tak masuk akal sebelum terdapatnya pemecahan untuk mendapatkan, memanipulasi, dan mengukur foton‐ foton dan ion‐ion secara terpisah‐pisah, berarti memasuki dunia mikroskopis yang justru adalah termasuk bidang teori ilmiah. Walaupun penemuan‐penemuan besar dan bersejarah dalam ilmu pasti alam banyak dihasilkan oleh para sarjana berdasarkan
214 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
pandangan materialisme, tetapi sejumlah sarjana itu tidak mengakui dirinya sebagai materialis. Misalnya Thomas Henry Huxley (1825— 1895) ahli ilmu‐ilmu alam Inggris abad ke‐19, dalam studinya mengenai ilmu hewan, anatomi banding, antropologi, ia mempertahankan pendirian materialis, menyatakan bahwa idealisme filsafat hanya menimbulkan kekacauan dan kebodohan, tapi tidak menyatakan dirinya adalah seorang materialis. Engels melukiskan sarjana‐sarjana tipe ini sebagai “kaum materialis yang kemalu‐maluan”. Lenin menyatakan bahwa “pernyataan yang membatasi diri yang bersifat anti‐materialis dari Huxley itu hanyalah secabik kain untuk menutupi materialisme ilmu‐ alamiahnya yang spontan.”205 Ada pula sarjana ilmu‐ilmu alam modern yang berusaha memberikan tafsiran filsafat terhadap penemuan‐penemuan ilmiah sampai pada kesimpulan‐kesimpulan idealis. Tetapi selama mereka berpegang pada lapangan ilmu, pada pekerjaan praktis di dalam laboratorium, pabrik, atau kebun percobaan—selama mereka tidak mengumbar diri dalam menyusun teori filsafat, tetapi mencurahkan perhatiannya pada gejala‐gejala alam yang sedang mereka selidiki, sikap hidup mereka adalah sebagai materialis‐materialis spontan. Demikian pula halnya dengan Albert Einstein yang menjadi sarjana terkenal karena teori relativitasnya yang isi sesungguhnya adalah materialis, tetapi beberapa gagasan filsafatnya telah dipengaruhi oleh idealisme. Juga Max Planck (1858—1947) salah seorang pendiri ilmu fisi‐ ka kuantum modern, meskipun ia juga tidak menyatakan dirinya adalah materialis, dalam karya‐karyanya tentang ilmu fisika dan filsafat, ia membela ide tentang “pandangan dunia sehat” yang mengakui eksistensi alam tak tergantung pada pikiran manusia. Max Planck memerangi idealisme filsafat dan dalam kenyataan ia adalah seorang materialis.
5. Kemajuan Ilmu, Demonstrasi Kemenangan Materialisme LAO ZI, ahli pikir Tiongkok abad ke‐7 SM yang menciptakan ajaran Daoisme dengan karyanya Dao De Jing. Begitu juga dengan Thales telah
205
Lenin, Materialism and Empiriokriticism, Fifth Printing, Progress Publishers, Moscow, 1970, h.78. VII — Kemenangan-Kemenangan Materialisme dalam Sejarah | 215
memaparkan masalah fenomena alam, menyatakan bahwa air adalah asal usul dari segala‐galanya di alam raya diikuti oleh Anaximander murid Thales. Bertolak dari kenyataan alam, dengan menyimpulkan pengalaman dari kehidupan nyata, ilmu fisika berkembang pesat. Leukippus dan Demokritos menyatakan segala‐galanya di alam raya terdiri dari unsur terkecil yang tak dapat dibagi lagi yang disebut atom. A berarti tidak, tom berarti unsur yang terkecil. Inilah teori atom Leukippus dan Demokritos. Tahun 1808 teori ini berkembang menjadi teori atom John Dalton yang dikembangkan lagi oleh Joseph John Thomson yang menyatakan bahwa dalam atom ada elektron, partikel bermuatan listrik negatif. Kemudian dikembangkan lagi oleh teori atom Rutherford yang menyatakan: atom memiliki inti atom bermuatan listrik positif yang merupakan pusat massa atom, elektron bergerak mengelilingi inti dengan kecepatan yang sangat tinggi, sebagian besar partikel alfa (α) lewat tanpa mengalami pembelokkan/hambatan, sebagian kecil dibelokkan, dan sedikit sekali yang dipantulkan. Partikel Alfa dipancarkan oleh inti atom yang radioaktif seperti uranium atau radium dalam proses yang disebut dengan peluruhan alpha. Kadang‐kadang proses ini membuat inti atom berada dalam keadaan gairah (excited state) dan akan memancarkan sinar gamma untuk membuang energi yang lebih. Pada tahun 1913, teori atom Ernest Rutherford disempurnakan oleh Niels Henrik David Bohr. Kelemahan teori atom Rutherford diperbaiki oleh Niels Bohr dengan postulat Bohr. Menurut model atom Bohr, atom terdiri dari beberapa kulit untuk tempat berpindahnya elektron. Elektron‐elektron yang mengelilingi inti mempunyai lintasan dan energi tertentu; dalam orbital tertentu, energi elektron adalah tetap; elektron akan menyerap energi jika berpindah ke orbit yang lebih luar dan akan membebaskan energi jika berpindah ke orbit yang lebih dalam. Dalam fisika nuklir, diajarkan tentang berlangsungnya fusi nuklir, yaitu reaksi nuklir di mana terjadi tabrakan dua atau lebih inti atom dalam kecepatan yang sangat tinggi, maka terbentuk jenis inti atom baru. Peristiwa ini mengeluarkan energi yang besar. Demikianlah energi yang dipancarkan matahari ke alam raya, yaitu adalah hasil reaksi nuklir yang terjadi dari tabrakan inti hidrogen dan terbentuknya
216 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
inti helium. Peristiwa fusi nuklir adalah proses yang menjadi sumber energi bintang‐bintang yang aktif. Fisika nuklir telah memberi urun bagi ditemukannya sumber energi yang besar untuk pembangkit tenaga listrik. Pengenalan, pemahaman dan penguasaan akan hukum alam telah bermanfaat bagi kehidupan umat manusia. Inilah salah satu hasil pandangan ilmiah bertolak dari kenyataan, hasil pandangan materialisme. Di kala mekanika Newton tidak memadai lagi untuk menerangkan hal ihwal gerak materi yang rumit dan supra halus, maka tampillah mekanika kuantum dengan teori kuantum Niels Bohr yang bisa menerangkan dan menghitung gaya dan gerak yang terjadi dalam proses perubahan inti nuklir. Teori relativitas Einsten telah membawa maju fisika hingga dapat menghitung saling hubungan massa dan energi dengan rumusnya yang terkenal: Energi sama dengan massa dikalikan dengan kuadrat kecepatan sinar. Penemuan tenaga nuklir merupakan langkah besar maju untuk memanfaatkan alam. Sampai awal abad ke ke‐20 manusia hanya mengenal dua macam gaya dalam alam semesta, yaitu gaya tarik bumi (gravitasi) dan gaya elektromagnet. Kini dikenal gaya (tenaga) nuklir yang besar sekali. Hasil besar dari mekanika kuantum adalah dapat membuktikan bahwa sifat‐sifat benda alam, struktur atom dan molekul dapat sepenuhnya diterangkan sebagai gaya listrik antara elektron dan nuklir. Dengan mempelajari inti atom, manusia menemukan tenaga baru alam, yaitu tenaga inti, tenaga nuklir yang luar biasa besarnya. Perkembangan fisika plasma, dengan fusi‐nuklir telah membawa manusia sampai pada taraf menjelang mampu menciptakan energi yang tak habis‐habisnya seperti matahari, menciptakan matahari buatan manusia. Berdasarkan mencari kebenaran dari kenyataan, penelitian dengan menggunakan kapal ruang angkasa, menyebabkan para ahli fisika pemenang hadiah Nobel 2006, John C. Mather dan George F. Smoot menemukan sifat radiasi benda hitam, radiasi yang berasal dari ledakan maha raksasa—Big Bang, yaitu ledakan lahirnya alam semesta. Dengan penemuan ini, pemahaman tentang asal‐usul alam semesta yang selama ini bersifat teoretis, kini berubah menjadi praktis, yaitu dapat dipantau dan diukur. Galileo Galilei yang dulunya dikutuk oleh kekuasaan agama, terpaksa diakui kebenaran pandangannya tentang ilmu tata surya.
VII — Kemenangan-Kemenangan Materialisme dalam Sejarah | 217
Biologi berkembang sampai manusia berhasil menggunakan kloning, yang berarti tanpa lewat pembuahan telur di indung telur bisa menghasilkan turunan hewan sejenis. Teori evolusi Charles Darwin (1809—1882) disusul oleh teori keturunan Johann Gregor Mendel (1822— 1884) awal abad ke‐20, kini berkembang pesat dengan penemuan‐ penemuan baru dalam ilmu genetika. Ilmu genetika sudah sampai pada taraf mengenal hukum perubahan mikrosom dalam sel benda hidup, hingga akan berguna dalam pengobatan untuk mengatasi penyakit Alzheimer, Parkinson, dan Huntington yang menyerang otak. Juga akan berguna bagi menghadapi penyakit kanker, AIDS. Demikian pesatnya penemuan‐penemuan baru dalam ilmu genetika, hingga ada kalangan yang menamakan abad ini adalah abad genetika. Ilmu kedokteran dengan menggunakan alat‐alat modern, kini dapat mengetahui jenis kelamin bayi, jauh sebelum bayi dilahirkan. Penelitian astronomi lewat penerbangan antariksa telah sampai pada taraf menemukan planet lain yang mempunyai syarat untuk kehidupan. Perkembangan astronomi mendemonstrasikan kemenangan materialisme dalam sejarah. Dari pengamatan atas kenyataan cakrawala yang dapat dipantau, manusia kian memahami hukum gerak benda‐ benda langit. Manusia primitif menganggap manusialah yang menjadi pusat alam raya (homosentris). Pandangan ini berkembang dari pengalaman menatap matahari yang tiap hari: pagi terbit di timur dan sore tenggelam di barat, maka matahari dianggap mengedari bumi, menjadi menganggap bumi tempat berdiri sang pengamat yang tidak bergerak sebagai pusat alam raya (geosentris). Namun, akhirnya manusia sampai pada hasil pengamatan dan pemikiran bahwa bukan matahari yang mengedari bumi, tapi bumi yang mengedari matahari. Maka disimpulkan mataharilah sebagai pusat alam raya (heliosentris). Pada abad ke‐3 SM, Aristarchus dari Samos sudah menampilkan gagasan bumi mengedari matahari, heliosentrisme. Gagasan ini tak dapat sambutan, bahkan ditolak karena bertentangan dengan kepercayaan dan filsafat masa itu, maka pandangan ini tidak berkembang. Pada tahun 1543, Nicolaus Copernicus menerbitkan buku yang mengubah persepsi tentang alam semesta. Dalam De Revolutionibus Orbitum Coelestium (mengenai revolusi orbit langit), Copernicus mengatakan bahwa mataharilah yang berada di pusat alam semesta, bukan bumi; bumi
218 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
tidak berada pada pusat alam semesta. Temuan ini berarti bertentangan dengan ajaran agama Protestan dan Katolik. Pada 1616 semua buku yang ditulis Copernicus dan para ahli lainnya yang menyatakan bahwa matahari adalah pusat alam semesta dilarang oleh Gereja Katolik.206 Hampir dua puluh abad kemudian, baru pada abad ke‐16 pandangan ini dipaparkan lagi dan dikembangkan oleh Nicolaus Copernicus. Copernicus, seorang ahli matematika Polandia, memaparkan gagasan heliosentrisnya dengan perhitungan‐perhitungan matematis. Di abad berikutnya, Johannes Keppler membuktikan kebenaran gagasan Copernicus dengan menggunakan alat teropong hasil penemuan Galileo Galilei. Pandangan heliosentris berbeda dengan kepercayaan agama Katolik zaman itu yang mempercayai geosentris. 500 tahun kemudian, tahun 2012, sesudah lima abad terpendam dalam makamnya, jenazah Copernicus digali dan dimakamkan kembali dengan upacara keagamaan. Di batu nisannya yang baru dilukiskan matahari dengan enam planet yang mengitarnya, yaitu: Mercurius, Venus, Saturnus, Bumi dengan bulannya, Mars, dan Yupiter. Inilah pengakuan agama Katolik akan kebenaran pandangan materialis Copernicus. Inilah salah satu demonstrasi penting akan kemenangan materialisme di awal abad ke‐21. Tahun 1920, Edwin Powell Hubble (1889—1953), ahli ilmu falak Amerika terkemuka menunjukkan bahwa sistem matahari dengan planet‐planetnya adalah bagian dari bimasakti. Sistem matahari adalah salah satu di antara bermiliar‐miliar sistem perbintangan dalam bimasakti di cakrawala. Materialisme tidak hanya mencapai kemenangan dalam bidang ilmu pasti‐alam, tapi juga di bidang kemasyarakatan. Sejarah umat manusia telah menunjukkan berubah dan berkembangnya sistem masyarakat. Dari masyarakat komune primitif, berubah menjadi masyarakat perbudakan, kemudian masyarakat feodal, berlanjut dengan masyarakat kapitalis, maka muncullah cita‐cita masyarakat sosialis dan masyarakat komunis. Masyarakat manusia berkembang maju seiring dengan perkembangan ekonomi bangsa‐bangsa. Proses dan hukum berlangsungnya perubahan sistem masyarakat dalam sejarah, mulai dari masyarakat komune primitif, ke masyarakat perbudakan, dan 206
Jendela Iptek, Astronomi, 2013, PT Balai Pustaka, Jakarta, Dorling Kindersley, London, h.18. VII — Kemenangan-Kemenangan Materialisme dalam Sejarah | 219
masyarakat feodal, terus ke masyarakat kapitalis, hanyalah dapat diterangkan dengan pandangan Marxis, yaitu materialisme historis.
220 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
VIII Kebenaran Lahir dari Kenyataan dan Praktek
1. Agnostisisme DALAM sejarah pemikiran manusia, muncul kaum yang menganut paham agnostisis, yaitu paham yang tak percaya akan kemampuan manusia untuk mengenal sesungguhnya kenyataan alam raya. Kaum ini berpendapat bahwa manusia tidak mungkin mengetahui sesungguhnya alam raya. Karena itu paham ini disebut agnostisis, penganutnya disebut agnostikus yang berarti tidak bisa mengetahui akan kenyataan sesungguhnya dari alam raya. Paham ini sudah muncul semenjak zaman Yunani kuno. Agnostisisme adalah pandangan bahwa nilai‐nilai kebenaran dari sementara tuntutan—terutama tuntutan‐tuntutan mengenai ada atau tak adanya suatu tuhan, sebagaimana halnya tuntutan‐tuntutan agama dan tuntutan metafisik lain—adalah tak dikenal dan tak mungkin dikenal. Agnostik berasal dari bahasa Yunani kuno a + gnosis yang berarti: a adalah “tanpa”, gnosis adalah “pengetahuan”. Paham yang penuh kesangsian terdapat dalam Hinduisme. Dalam seluruh sejarah Hinduisme terdapat tradisi kuat dari filsafat spekulasi dan skeptisisme, yaitu sikap kesangsian, sikap keragu‐raguan, ketidakpercayaan, serba ketidakpastian. Ini tercermin dalam karya filsafat Rig Veda dalam memandang masalah fundamental tentang terciptanya alam semesta dan Tuhan‐Tuhan kepercayaan Hindu. Rig Veda adalah kumpulan lebih dari 1000 nyanyian Veda bahasa Sanskrit menyenandungkan pujaan pada Tuhan‐Tuhan Hindu yang ditulis sekitar 1700 SM dan 1100 SM. Isinya penuh dengan kesangsian, keragu‐ VIII — Kebenaran Lahir dari Kenyataan dan Praktek | 221
raguan, ketidakpercayaan, serba ketidakpastian tentang sesuatu, tentang penciptaan alam semesta, tentang ada atau tidaknya segala sesuatu. Dalam filsafat Yunani kuno, keragu‐raguan, kesangsian, ketidakpastian, skeptisisme muncul sebagai filsafat resmi yang dianut oleh Protagoras (490—420 SM), Pyrrho (kira‐kira 360—270 SM), Carneades (214—129/8 SM), Sextus Empiricus (kira‐kira 160—210 SM), dan dalam taraf tertentu dianut oleh Socrates. Para pemikir ini menolak pikiran bahwa adalah mungkin tentang adanya kepastian. Jadi, bagi mereka tak ada yang pasti. Menyusul Aristoteles (384—322 SM), para filsuf Saint Anselm of Canterbury (1033—1109), Thomas Aquinas (1225—1274), dan René Descartes (1596—1650), mengedepankan argumen‐argumen yang berusaha membuktikan secara rasional mengenai adanya Tuhan. David Hume (1711—1776), Immanuel Kant (1724—1804), Soren Kiekegaard (1813—1855), meyakinkan para filsuf lain untuk mencampakkan usaha ini, mengenai adalah tidak mungkin untuk membuktikan tentang ada atau tidaknya Tuhan. Dalam batas tertentu, agnostisisme boleh dikatakan mengambil pendirian mengenai perbedaan antara yang berkepercayaan dengan pengetahuan. Secara populer, seorang agnostik adalah mereka yang tidak percaya tentang adanya Tuhan atau ke‐Tuhanan, sedangkan seorang teis adalah berkepercayaan. Seorang ateis adalah tidak berkepercayaan. Lebih tegas lagi, agnostisisme adalah pandangan bahwa umat manusia tidak mempunyai syarat pengetahuan atau memiliki cukup syarat dasar rasional untuk membenarkan kepercayaan atas ada atau tak adanya Tuhan. Kehidupan memaksa manusia mengenal kenyataan. Kenyataan dikenal mulai dari yang paling sederhana sampai yang rumit. Mulai dari membedakan benda‐benda yang bermacam ragam sampai mengenal ciri‐ciri khusus masing‐masing benda. Dari keharusan menjumlahkan banyaknya buah yang dipanen, manusia mulai berhitung. Untuk mencatatnya, manusia mulai mengenal angka. Untuk menjumlahkan, manusia mulai mengenal ilmu hitung, aritmetika. Demikian pula untuk menakar banyaknya air yang ditimba, manusia mulai mengenal volume air; untuk mengukur panjangnya bambu dan kayu buat membangun rumah, maka mulai mengenal ukuran panjang; untuk membedakan jarak jauh dan dekat, manusia mulai mengenal
222 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
ukuran jarak. Pengetahuan jadi berkembang sampai pada ukuran berat, ukuran kecepatan, ukuran panas, ukuran sudut, ukuran harga barang, ukuran nilai, dan seterusnya. Maka berkembanglah ilmu hitung aritmetika menjadi matematika, aljabar, ilmu ukur sudut, ilmu ukur ruang. Fisika mengenal matematika Euklides. Matematika Euklides tak memadai lagi untuk pengukuran dalam fisika nuklir, maka lahirlah matematika Lobacyovski. Mekanika Newton yang selama sekian abad mendominasi fisika, sudah tak memadai lagi bagi pengukuran gerak dalam fisika nuklir, maka lahirlah mekanika kuantum. Pengenalan manusia akan alam raya jadi melahirkan ilmu fisika dan ilmu kimia, ilmu bumi, ilmu falak. Ilmu Pasti memperkenalkan pada manusia ukuran tentang kenyataan. Kenyataan jadi bisa diukur dengan pasti. Manusia bisa mengenal kenyataan sampai pada dengan ukuran yang pasti.
2. Materialisme BERLAWANAN dengan agnostisisme dan skeptisisme yang penuh keragu‐raguan, penuh kesangsian, ketidakpercayaan, penuh ketidaktahuan, Marxisme dengan tegas menyatakan bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mengetahui alam semesta, mengetahui hukum alam semesta, sampai pada mengenal hukum itu untuk mengubah alam semesta. Inilah materialisme Marxis, materialisme dialektis. Materialisme Marxis menempatkan kenyataan dan praktek pada kedudukan menentukan. Kenyataan dan prakteklah yang menjadi sumber serta jadi ukuran kebenaran. Maka Marxisme mengajarkan: mencari kebenaran dari kenyataan. Dengan memahami arti penting praktek dan kenyataan bagi materialisme, Mao Zedong menulis karya filsafat berjudul Tentang Praktek untuk melawan subjektivisme, empirisisme, dan dogmatisme dalam Partai Komunis Tiongkok pada tahun‐tahun 1931—1934. Mao Zedong menulis bahwa “manusia mendapat pengetahuan dalam tingkat berbeda‐beda mengenai berbagai hubungan antara manusia dengan manusia bukan saja melalui kehidupan materiil, tetapi juga melalui
VIII — Kebenaran Lahir dari Kenyataan dan Praktek | 223
kehidupan politik dan kehidupan kebudayaan (kedua‐duanya berhubungan erat dengan kehidupan materiil). Di antaranya teristimewa perjuangan klas dengan segala macam bentuknya itulah yang memberi pengaruh yang mendalam pada perkembangan pengetahuan manusia. Di dalam masyarakat yang berklas, setiap orang hidup dengan kedudukan klas yang tertentu, dan setiap macam pikiran, tanpa kecuali, dicap dengan tanda selar sesuatu klas.”207 “Kaum Marxis berpendapat bahwa hanya praktek sosial manusia sajalah yang menjadi ukuran bagi kebenaran pengetahuan manusia tentang dunia luar. Jika seseorang hendak memperoleh sukses dalam pekerjaannya, yaitu mencapai hasil yang diharapkan, ia mesti menyesuaikan pikirannya dengan hukum dunia luar objektif, jika tidak sesuai, ia akan gagal dalam praktek. Setelah ia gagal, ia akan menarik pelajaran dari kegagalannya, membetulkan pikirannya supaya sesuai dengan hukum dunia luar, dan dengan demikian dapat mengubah kegagalan menjadi sukses, inilah yang dimaksudkan dengan ‘kegagalan adalah ibu sukses’ dan ‘sekali kandas, bertambah cerdas’. Teori materialisme dialektis tentang pengetahuan menempatkan praktek pada kedudukan primer.”208 Filsafat Marxis yaitu materialisme dialektis mempunyai dua ciri yang paling menonjol. Yang satu ialah watak klasnya—ia secara terang‐ terangan menyatakan bahwa materialisme dialektis mengabdi kepada proletariat. Yang lainnya ialah kepraktekannya—ia menekankan ketergantungan teori pada praktek, menekankan bahwa praktek adalah dasar teori dan teori pada gilirannya mengabdi kepada praktek. Kebenaran sesuatu pengetahuan atau teori tidaklah ditentukan oleh perasaan subjektif, melainkan oleh hasil‐hasil objektif dari praktek. Dalam teori materialisme dialektis tentang pengetahuan, pendirian praktek adalah yang primer dan fundamental.209 Pengenalan manusia atas hal ihwal berkembang dari sensasi, inferensi, ke persepsi, ke konklusi, ke konsepsi (dari kesan perasaan, dapat bayangan, pakai pertimbangan akal, ambil kesimpulan, lahirlah gagasan). 207
Mao Tje-Tung, Tentang Praktek, Pustaka Bahasa Asing, Peking, 1966, h.2. Ibid., h.4—5. 209 W.I. Lenin, Ikhtisar Buku Hegel Ilmu Logika, Collected Works, Philosophical Notebooks, Kumpulan Karya, Buku Catatan Filsafat, cetakan IV, Jilid XXXVIII, Foreign Languages Publishing House, Moscow, 1961, h.171. 208
224 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Kenyataan ialah bahwa dalam proses praktek, manusia mula‐ mula hanya melihat segi‐segi gejala dari hal ihwal. Artinya, gejala‐gejala dari hal ihwal, segi‐segi yang berdiri sendiri‐sendiri dan hubungan‐ hubungan eksternalnya. Ini namanya tingkat persepsi (bayangan, cita rasa) dari pengetahuan, yaitu tingkat tanggapan‐tanggapan sensasi (perasaan) dan kesan‐kesan. Pada tingkat ini, manusia masih belum bisa membentuk konsepsi (gagasan) yang dalam dan menarik kesimpulan yang logis. Dengan terus berlangsungnya praktek sosial, hal ihwal yang selama praktek menimbulkan tanggapan‐tanggapan perasaan (sensasi) dan kesan‐kesan manusia itu pun terulang berkali‐kali, kemudian terjadi dalam pikiran manusia suatu perubahan mendadak (lompatan) dalam proses pengetahuan, dan terbentuklah konsepsi (gagasan). Konsepsi berarti bukan lagi mengenai gejala‐gejala hal ihwal, bukan lagi mengenai segi‐segi yang berdiri sendiri‐sendiri, dan bukan lagi mengenai hubungan eksternalnya, melainkan mencakup hakikat hal ihwal, keseluruhan hal ihwal, dan hubungan internalnya. Antara konsepsi dengan sensasi tidak hanya terdapat perbedaan kuantitatif, tetapi juga perbedaan kualitatif. Maju lebih jauh sepanjang arah ini, maka dengan jalan perbedaan kualitatif dengan menggunakan pertimbangan akal dan inferensi, orang dapat mencapai kesimpulan logis. Dalam ungkapan Tiongkok “sekali berkerut kening, timbullah muslihat dalam hati” atau senapas dengan ungkapan orang‐orang tua, “pikir itu pelita hati”. Jadi, dari bayangan cita rasa yang dihasilkan perasaan, manusia menggunakan pikiran dengan pertimbangan‐pertimbangan untuk membuat kesimpulan dan melahirkan konsepsi (gagasan‐gagasan). Tingkat konsepsi sesudah melewati pertimbangan‐pertimbangan adalah tingkat yang lebih penting dalam seluruh proses pengetahuan tentang sesuatu hal, yaitu tingkat pengetahuan rasional. Mao Zedong menulis, “Tugas pengetahuan yang sesungguhnya ialah mencapai alam pemikiran melalui persepsi mencapai selangkah demi selangkah pengertian tentang kontradiksi intern dari hal ihwal objektif, tentang hukumnya, tentang hubungan internal antara proses yang satu dengan proses lainnya, yaitu mencapai pengetahuan logis.”210 Teori materialis‐dialektis tentang proses perkembangan 210
Mao Tje-tung, op.cit., h.8. VIII — Kebenaran Lahir dari Kenyataan dan Praktek | 225
pengetahuan yang berdasarkan praktek dan bertolak dari yang dangkal sampai yang dalam itu, tidak pernah diajukan oleh siapa pun sebelum lahirnya Marxisme. Untuk pertama kali materialisme Marxis memecahkan masalah ini secara tepat, dengan menunjukkan secara materialis dan dialektis gerak pengetahuan yang semakin mendalam, gerak pengetahuan manusia sosial yang beralih dari pengetahuan persepsi (cita rasa) ke pengetahuan logis (imliah) dalam praktek produksi dan perjuangan klas mereka yang rumit dan selalu berulang‐ulang itu. Lenin berkata, “Abstraksi (perasan mendapatkan saripati) tentang materi, tentang hukum alam, abstraksi tentang nilai, dan sebagainya, pendek kata, semua abstraksi yang ilmiah (tepat, serius, bukan secara tak masuk akal) mencerminkan alam secara lebih dalam, lebih benar dan lebih lengkap. Dari persepsi yang hidup, menjadi pikiran yang abstrak, dan dari sini ke praktek—demikianlah jalan dialektis mendapatkan kebenaran, mendapatkan kenyataan yang objektif.”211 Marxisme–Leninisme berpendapat bahwa kedua tingkat dalam proses pengetahuan itu masing‐masing mempunyai ciri‐ciri sendiri, yaitu pada tingkat rendah pengetahuan berwujud sebagai pengetahuan persepsi (cita‐rasa, bayangan perasaan), sedangkan pada tingkat tinggi pengetahuan berwujud sebagai pengetahuan logis (pengetahuan rasional, ilmiah), tetapi kedua‐duanya merupakan tingkat‐tingkat dalam suatu proses pengetahuan yang tunggal. Persepsi (bayangan cita rasa) dan tanggapan akal itu berbeda secara kualitatif, tetapi tidak terpisah satu sama lainnya, mereka dipersatukan atas dasar praktek. Praktek membuktikan bahwa apa yang tertangkap oleh pancaindera berupa sensasi (perasaan) kita itu tidak segera dapat kita pahami, dan bahwa hanya apa yang telah kita pahami dapat kita tanggap dengan lebih mendalam. Persepsi (bayangan cita rasa) semata‐mata memecahkan masalah gejala. Sesudah mencapai taraf gagasan (konsepsi), kemudian dirumuskan menjadi teori. Hanya teori sajalah yang dapat memecahkan masalah hakikat. Benar atau tidaknya teori itu, haruslah diuji dalam praktek. “Jika kita hendak memiliki pengetahuan, kita harus ambil bagian dalam praktek mengubah realitas. Jika kita hendak mengetahui teori dan metode revolusi, kita harus ambil bagian dalam revolusi. Semua 211
V.I. Lenin, op.cit., h.171.
226 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
pengetahuan yang sejati berasal dari pengalaman langsung.”212 “Jadi jelaslah bahwa langkah pertama dalam proses pengetahuan ialah permulaan kontak dengan hal ihwal dunia luar, ini termasuk dalam tingkat persepsi. Langkah kedua ialah sintesis bahan‐bahan tanggapan sensasi itu dengan mengatur dan menyusunnya kembali, ini termasuk dalam tingkat konsepsi, pertimbangan, dan inferensi. Hanya bila bahan–bahan tanggapan sensasi itu sangat kaya (bukan sepotong‐ sepotong dan tak lengkap) dan sesuai dengan realitas (bukan khayali), maka bahan‐bahan demikian dapatlah diambil sebagai dasar untuk membentuk konsepsi dan logika yang tepat.”213 Pengetahuan mulai dengan pengalaman—demikianlah materialisme teori pengetahuan. Kemudian pengalaman itu harus diperdalam, harus dikembangkan dari tingkat persepsi ke tingkat rasional—demikianlah dialektika teori pengetahuan. “Untuk sepenuhnya mencerminkan sesuatu dalam keseluruhan, untuk mencerminkan hakikat, mencerminkan hukum‐hukum internal, adalah perlu melalui pemikiran, menyusun kembali dan mengolah bahan‐bahan tanggapan sensasi yang kaya itu dengan membuang ampasnya dan mengambil saripatinya, menyingkirkan yang palsu dan mempertahankan yang benar, bertolak dari segi yang satu ke segi yang lain, dari luar ke dalam, guna membentuk suatu sistem konsepsi dan teori—adalah perlu membuat suatu lompatan dari pengetahuan persepsi ke pengetahuan rasional.”214 “Gerak pengetahuan secara materialis‐dialektis dari persepsi ke rasional berlaku bagi suatu proses pengetahuan yang kecil (misalnya mengenai suatu benda atau suatu pekerjaan), dan juga berlaku bagi suatu proses pengetahuan yang besar (misalnya mengenai suatu masyarakat atau suatu revolusi). Filsafat Marxis berpendapat bahwa masalah yang terpenting tidak terletak pada keinsafan akan hukum‐ hukum dunia objektif dan karena itu sanggup menerangkan dunia, melainkan terletak pada penerapan pengetahuan tentang hukum‐ hukum objektif itu untuk secara aktif mengubah dunia. Menurut Marxisme, teori adalah penting, dan pentingnya teori itu dinyatakan dengan sepenuhnya dalam perkataan Lenin: ‘Tanpa teori revolusioner, tak
212 213 214
Mao Tjetung, op.cit., h.13. Ibid., h.13—14. Ibid., h.21. VIII — Kebenaran Lahir dari Kenyataan dan Praktek | 227
mungkin ada gerakan revolusioner.’”215 “Marxisme menganggap penting teori justru dan semata‐mata karena ia dapat menuntun aksi. Pengetahuan mulai dengan praktek, dan pengetahuan teoretis diperoleh melalui praktek, kemudian harus kembali lagi ke dalam praktek. Peranan aktif dari pengetahuan tidak saja berwujud dalam lompatan aktif dari pengetahuan persepsi ke pengetahuan rasional, tapi juga—dan ini yang lebih penting—harus berwujud dalam lompatan dari pengetahuan rasional ke praktek revolusioner.”216 Sejarah pengetahuan manusia mengatakan kepada kita bahwa banyak teori yang kebenarannya tidak lengkap, dan ketidaklengkapan itu diperbaiki melalui ujian praktek. Banyak teori adalah salah, dan kesalahannya itu dibetulkan melalui ujian praktek. Di sinilah sebabnya mengapa praktek merupakan ukuran kebenaran dan mengapa “pendirian kehidupan, pendirian praktek, harus menjadi pendirian yang pertama dan yang fundamental dalam teori pengetahuan.”217 Kaum Marxis mengakui bahwa di dalam proses perkembangan alam semesta yang umum dan mutlak, perkembangan tiap‐tiap proses yang khusus adalah relatif, karena itu dalam aliran sungai kebenaran mutlak yang tak berujung itu, pengetahuan manusia tentang tiap‐tiap proses yang khusus pada tingkat‐tingkat perkembangan tertentu hanya merupakan kebenaran relatif. Total jenderal kebenaran‐kebenaran relatif yang tak terhitung itu merupakan kebenaran mutlak.218 Perkembangan proses objektif adalah penuh dengan kontradiksi dan perjuangan, demikian juga perkembangan gerak pengetahuan manusia penuh dengan kontradiksi dan perjuangan. Semua gerak dialektis dalam dunia objektif cepat atau lambat bisa bisa mendapat cerminan dalam pengetahuan manusia. Dalam praktek sosial, proses timbul, berkembang dan lenyap itu tidak berhingga, demikian juga proses, timbul, berkembang dan lenyap dalam pengetahuan manusia tidak berhingga. Praktek untuk mengubah realitas objektif yang 215
W.I. Lenin, Apa Yang Harus Dikerjakan?, Bab I, Bagian 4, Penerbit Indonesia Progresif, 1981, h.48. 216 Mao Tjetung, op.cit., h.24. 217 W.I. Lenin, Materialisme dan Empiriokritisisme, Bab II, Bagian 6, Matyerializm I Empiriokrititsizm, Polnoye Sobraniye Socinyenii, izdanye pyatoye, Gosudarstvenoye Izdatyelstvo Politicyeskoi Lityeraturhi, Moskwa, 1961, h.145. 218 Lihat: W.I. Lenin, Materialisme dan Empiriokritisme, Bab II, Bagian 5. 228 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
dilakukan sesuai dengan ide, teori, rencana atau konsep tertentu itu selalu maju lebih jauh dan lebih jauh lagi, demikian juga pengetahuan manusia tentang realitas objektif selalu mendalam dan lebih mendalam lagi. Gerak perubahan dalam dunia realitas objektif selamanya tak akan berakhir, demikian juga pengetahuan manusia akan kebenaran melalui praktek selamanya tak akan berakhir. Marxisme–Leninisme sekali‐kali tidak menyudahi kebenaran, melainkan terus‐menerus merintis jalan untuk mengenal kebenaran di dalam proses praktek. Kesimpulan kita ialah: kesatuan yang konkret dan historis antara yang subjektif dengan yang objektif, antara teori dengan praktek, antara mengetahui dengan berbuat, dan menentang segala macam ideologi yang salah, baik ‘kiri’ ataupun kanan, yang menyimpang dari sejarah yang konkret.219 “Menemukan kebenaran melalui praktek, dan melalui praktek pula membuktikan serta mengembangkan kebenaran. Bertolak dari pengetahuan persepsi dan secara aktif mengembangkan menjadi pengetahuan rasional, kemudian bertolak dari pengetahuan rasional dan secara aktif memimpin praktek revolusioner, untuk mengubah dunia subjektif dan dunia objektif. Praktek, pengetahuan, praktek lagi, pengetahuan lagi—bentuk demikian ini berulang‐ulang sebagai lingkaran yang tak habis‐habisnya, dan untuk setiap lingkaran itu isi praktek dan pengetahuan naik ke tingkat yang lebih tinggi. Demikianlah seluruh teori materialisme dialektis tentang pengetahuan dan demikianlah pandangan materialisme dialektis tentang kesatuan antara mengetahui dengan berbuat.”220 219 220
Mao Tje-tung, op.cit., h.32. Ibid., h.34. VIII — Kebenaran Lahir dari Kenyataan dan Praktek | 229
230 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
IX Materialisme Marxis: Tugas Filsafat adalah untuk Mengubah Dunia
1. Sebelas Tesis tentang Feuerbach TAHUN 1845, tiga tahun sebelum diumumkan Manifesto Partai Komunis, Marx menulis Sebelas Tesis tentang Feuerbach. Tulisan ini mempunyai arti historis dalam perkembangan filsafat materialisme. Dengan tesis‐tesis ini, Marx mengkritik dan mengembangkan materialisme Feuerbach. Justru dewasa ini, menguasai dan menggunakan materialisme, yaitu cara berpikir yang ilmiah, adalah cara untuk mengenal dan memahami kenyataan, membedakan yang benar dan yang salah, melawan kepalsuan, melawan pembodohan, melawan jahiliah, melawan keedanan. Dengan mengkritik Feuerbach, Marx mengubah materialisme yang pasif, yang kontemplatif, yang bersifat renungan, yang hanya untuk tafakur, menjadi materialisme militan, menjadi alat berpikir yang aktif. Menjadikannya senjata ampuh perjuangan klas, yaitu materialisme dialektis. Ini tak hanya punya arti teoretis, tetapi bahkan punya arti praktis, yaitu membimbing pikiran manusia untuk bertindak maju. Dalam tesis‐tesis ini, Marx mengkritik Feuerbach dengan menyatakan bahwa “kekurangan utama materialisme yang ada sampai sekarang— termasuk materialisme Feuerbach—adalah bahwa benda, kenyataan, kesan pancaindera, dipahami hanya dalam bentuk objek atau pandangan, hasil renungan, tetapi tidak sebagai aktivitas alat perasa pancaindera manusia, yaitu praktek....”
IX — Materialisme Marxis: Tugas Filsafat adalah untuk Mengubah Dunia | 231
Dengan mengangkat tinggi arti praktek, dalam tesis ini Marx menyatakan bahwa Feuerbach “tidak mencengkam arti penting aktivitas yang ‘revolusioner’, aktivitas yang ‘praktis‐kritis’.” Dalam tesis‐tesis ini Marx juga menulis bahwa “masalah apakah kebenaran objektif terdapat pada pikiran manusia adalah bukan satu masalah teori, tetapi satu masalah praktek. Dalam prakteklah orang harus membuktikan kebenaran pikiran, yaitu bahwa pikiran adalah kenyataan dan kekuatan, adalah bersifat duniawi.” Di samping itu Marx menulis bahwa “terjadinya secara bersamaan perubahan lingkungan dan perubahan aktivitas manusia hanyalah dapat dipahami secara rasional sebagai praktek revolusioner.” Seterusnya Marx menulis bahwa “Feuerbach bertolak dari kenyataan swa‐alienasi keagamaan, yaitu dari terbagi‐duanya dunia menjadi dunia keagamaan, dunia khayal dan dunia nyata. Ia berkarya tentang meleburnya dunia keagamaan ke dalam dasarnya yang sekular. Ia tidak mencatat kenyataan, bahwa sesudah karyanya selesai, masalah yang utama masih harus dikerjakan. Yaitu kenyataan bahwa dasar sekular memisahkan dirinya dari dirinya sendiri dan membawa dirinya ke dalam awan sebagai kerajaan yang bebas, hanya dapat dijelaskan dengan swa‐alienasi dan swa‐berkontradiksi dari dasar sekular ini. Yang terakhir ini harus dipahami dalam kontradiksinya dan kemudian direvolusionerkan dalam praktek dengan pelenyapan kontradiksi. Jadi misalnya, begitu keluarga duniawi ditemukan sebagai rahasia dari seluruh keluarga suci, maka keluarga duniawi itu harus dikritik dalam teori dan direvolusionerkan dalam praktek.” Lagi‐lagi dengan mengangkat arti penting praktek, selanjutnya Marx menulis bahwa, “Tidak puas dengan pemikiran abstrak, Feuerbach berpaling pada renungan yang dapat dirasakan; tetapi ia tidak menganggap sesuatu yang dapat dirasakan itu sebagai hal praktis, sebagai aktivitas perasaan manusia.” Lebih lanjut Marx menulis bahwa, “Pada akhirnya, Feuerbach tidak melihat bahwa ‘perasaan keagamaan’ itu sendiri adalah produk kemasyarakatan dan bahwa perseorangan yang abstrak yang ia analisa terdapat pada kenyataan bentuk masyarakat yang khusus.” Lagi‐lagi dengan mengangkat arti penting praktek, Marx menulis bahwa, “Penghidupan kemasyarakatan pada pokoknya adalah praktis. Semua keajaiban yang menyesatkan teori menjadi mistisisme
232 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
mendapatkan pemecahan yang rasional dalam praktek kemanusiaan dan dalam praktek yang dapat dipahami.” Seterusnya Marx menulis bahwa, “Puncak yang tercapai oleh materialisme kontemplatif (materialisme renungan, materialisme tafakur), yaitu materialisme yang tidak memahami bahwa perasaan adalah aktivitas praktek, adalah renungan seorang individu dalam ‘masyarakat madani’.” Selanjutnya ditulis Marx bahwa, “Titik tolak materialisme kuno adalah masyarakat ‘madani’, titik tolak materialisme baru adalah masyarakat manusia yang baru, atau kemanusiaan yang dimasyarakatkan.” Paling akhir, dalam tesis kesebelas, Marx menulis bahwa, “Para filsuf hanyalah menginterpretasi dunia dengan berbagai caranya, akan tetapi masalahnya adalah mengubah dunia itu.” Tesis terakhir ini mempunyai arti menjungkirbalikkan tugas filsafat. Menjungkirbalik‐ kan materialisme kontemplatif, materialisme renungan, materialisme tafakur, menjadi materialisme militan untuk mengubah dunia. Mengubah dunia! Tiga tahun kemudian, tahun 1848, Marx dan Engels memaparkan gagasan mengubah dunia itu dalam Manifesto Partai Komunis. Dunia ketika itu sedang dikuasai oleh feodalisme dan borjuasi pemilik kapital yang baru berkembang. Dunia dengan penghisapan feodal yang sudah mencapai puncaknya, dan penghisapan kapital yang sedang berkembang pesat, akan diubah menjadi dunia tanpa penghisapan oleh manusia atas manusia. Sungguh satu gagasan raksasa. Ini berarti dilenyapkannya penghisapan feodal dan penghisapan kapital. Di sinilah arti historis Tesis‐Tesis tentang Feuerbach yang ditulis Marx 160 tahun yang lalu. Maka selanjutnya materialisme pun berkembang menjadi materialisme historis, yaitu penerapan materialisme dialektis dalam ilmu kemasyarakatan. Inilah alat berpikir, senjata perjuangan bagi manusia untuk mengubah dunia. Tentang Feuerbach Ludwig Feuerbach (1804—1872) berjasa mengembangkan tradisi revolusioner materialisme abad ke‐17 dan ke‐18. Yang dimaksud dengan filsafat antropologis oleh Feuerbach adalah filsafat yang mengutamakan manusia. Prinsip antropologis dinyatakan oleh Feuerbach dengan mengutamakan kesatuan alam kemanusiaan. Menurut Feuerbach, manusia adalah produk alam dan bagian dari alam. Alam, materi,
IX — Materialisme Marxis: Tugas Filsafat adalah untuk Mengubah Dunia | 233
adalah satu‐satunya substansi, dan adalah substansi sejati yang berada di luar manusia dan yang menciptakan manusia. Feuerbach berpendapat bahwa filsafat baru harus mengubah manusia serta alam sebagai basis manusia, menjadi sasaran satu‐satunya yang universal dan paling tinggi dalam filsafat. Karena itu, antropologi termasuk fisiologi baginya menjadi ilmu yang universal. Feuerbach memandang masalah ruang dan waktu secara materialis. Ruang dan waktu adalah syarat‐syarat dasar, adalah bentuk‐bentuk dan perwujudan substansi. Materi bukan hanya ada, tetapi juga bergerak dan berkembang. Tanpa ruang dan waktu, maka gerak dan perkembangan adalah tidak mungkin. Tanpa ruang dan waktu tak mungkin ada materi. Di samping itu, dinyatakannya bahwa alam itu konkret, bersifat material, dapat diraba dan dirasa. Materi tak dapat dibasmi, selalu ada, akan tetap ada, yaitu adalah abadi, tanpa awal dan tanpa akhir, adalah tak berhingga. Dengan mengikuti Spinoza, Feuerbach menyatakan, bahwa alam adalah sebab‐musabab itu sendiri. Materi adalah primer, ide adalah sekunder. Pandangan ini adalah bertolak belakang dengan pandangan Hegel yang menjadikan ide absolut sebagai yang utama, sebagai sumber segala‐galanya. Dengan demikian, mengenai masalah terpokok dalam filsafat, yaitu masalah hubungan antara ide dan materi, dipecahkan oleh Feuerbach secara materialis dengan mengutamakan materi. Menurut Feuerbach, alam adalah banyak segi. Manusia mengenalnya lewat syaraf perasa, hingga mengenal air, api, listrik, sinar, magnetisme, tumbuh‐tumbuhan, dunia, dan seterusnya. Itulah sebagian dari substansi dengan berbagai kualitas. Substansi tanpa kualitas adalah omong kosong. Kualitas tak terpisahkan dari substansi sesuatu. Alam, materi, adalah satu‐satunya substansi dan adalah hakikat substansi yang terdapat di luar manusia dan yang melahirkan manusia. Satu‐satunya dasar manusia adalah jasmani. Ambillah dari manusia jasmaninya, akan terambil jiwanya, terambil semangatnya. Jasmani adalah bagian dari dunia objektif dan adanya jiwa adalah tergantung pada jasmani. Ini adalah pandangan monisme antropologis yang berlawanan dengan pandangan dualisme. Pandangan dualisme menyetarakan jasmani dan jiwa—jasmani adalah dari alam material, dan jiwa adalah dari alam spiritual. Pandangan monisme antropologis dari Feuerbach ini adalah
234 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
pandangan materialis. Berakarnya pandangan Feuerbach pada manusia ditunjukkan oleh tulisannya: “Pandang dan renungkanlah alam, pandang dan renungkanlah manusia! Di sini, di depan matamu terdapat keajaiban filsafat!” Lebih lanjut dinyatakannya bahwa dasar materialismenya adalah manusia. Kebenaran bukanlah materialisme atau idealisme, tetapi adalah antropologi. Karena itu, materialisme Feuerbach disebut materialisme antropologis, materialisme manusiawi. Feuerbach membawa maju ajaran materialis dalam teori pengenalan, dalam epistemologi. Feuerbach menyatakan bahwa “perasaan saya adalah subjektif, tetapi dasarnya, sebab‐musababnya, adalah objektif.” Sejarah pengenalan menunjukkan pada kaum materialis Jerman, bahwa batas‐batas pengenalan manusia selalu bertambah luas; bahwa dalam perkembangannya, akal manusia memungkinkan kita untuk menemukan rahasia‐rahasia alam. Kaum agnostis berpendapat, bahwa alam terbentuk sedemikian rupa hingga tak mungkin manusia mengenal sesungguhnya alam itu. Berlawanan dengan kaum agnostis, Feuerbach menyatakan bahwa “apa yang belum kita ketahui sekarang, akan diketahui oleh anak‐cucu kita di kemudian hari.” Dengan demikian, Feuerbach secara tajam menentang agnostisisme Kant. Feuerbach menjadikan perasaan sebagai titik tolak pengenalan. Menurutnya, “adalah sepenuhnya tepat, bahwa empirisisme memandang sumber‐sumber ide‐ide kita pada perasaan. Saya berpikir dengan bantuan perasaan, terutama dengan bantuan pandangan—saya mendasarkan dalil, kesimpulan saya, pada sesuatu yang material, yang kita tangkap (serap) lewat alat perasa bagian luar. Bukannya benda berasal dari pikiran, tetapi pikiran berasal dari benda. Benda pun adalah tak lain dan tak bukan apa yang terdapat di luar kepala saya.” Maka, materi, alam, bukan saja adalah dasar dari jiwa, tetapi bahkan dasar prinsip dari semua pengetahuan dari filsafat. Benda, materi adalah tak lain dan tak bukan sesuatu yang secara nyata ada di luar kita, sedangkan pikiran mengenai benda itu adalah pencerminan (bayangannya) dalam kepala manusia. Feuerbach membuktikan bahwa jika tidak ada materi yang terdapat secara objektif di luar kita, maka syaraf perasa kita tidak akan
IX — Materialisme Marxis: Tugas Filsafat adalah untuk Mengubah Dunia | 235
tersentuh. Oleh karena itu, materi, alam—bukan hanya adalah basis dari jiwa, tapi juga dasar permulaan dari semua pengenalan dan filsafat. Menurut Feuerbach, perasaan bukanlah memisahkan manusia dari dunia luar, tetapi menghubungkannya, karena perasaan adalah hasil pengaruh benda‐benda luar terhadap alat perasa manusia. Pengenalan ilmiah dimulai dengan pengamatan dan cita rasa. Ia menyatakan bahwa “tak ada perasaan tanpa kepala, tanpa akal dan pemikiran.” Manusia harus bertolak dari “perasaan sebagai sesuatu yang paling sederhana, yang jelas‐jemelas dan tak disangsikan lagi,” kemudian memasuki masalah “objek‐objek yang rumit dan jauh dari mata.” Menurut Feuerbach, peranan akal adalah menghubungkan pengenalan cita rasa dari pengalaman yang sepotong‐sepotong dengan bagian lain dari kenyataan di luar pengalaman. Sebagaimana halnya hubungan antara kata‐kata menjadi pikiran, demikian pula data‐data yang ditangkap perasaan hanya dapat dipahami jika ia dihubungkan, disusun, dengan bantuan akal. “Dengan perasaan, kita membaca bukunya alam, tetapi memahaminya bukanlah dengan perasaan.” Dengan bantuan akal, kita menghubungkan sebab dan akibat, sebab‐sebab dan tindak‐tanduk antara gejala‐gejala, hanyalah karena mereka “menurut kenyataan, secara materiil, secara kenyataan terdapat tepat dalam hubungan sedemikian antara sesamanya.” Feuerbach juga menyatakan bahwa “hanya pikiran yang riil, yang objektif yang memastikan dan membikin tepat renungan perasaan, hanyalah dalam keadaan yang demikian, pemikiran adalah pemikiran objektif dan kebenaran.” Feuerbach membuang dualisme antara renungan cita rasa dan pertimbangan akal yang merupakan ciri dari epistemologi Kant. Menurut Feuerbach, pertimbangan akal bukanlah sumber yang berdiri sendiri dari pengenalan. Semua prinsip dan kategori‐kategorinya bukanlah ditimbanya dari dirinya sendiri, tetapi dari perasaan berdasarkan pengalaman. Kant mencari ukuran kebenaran pada pemikiran yang murni. Sebaliknya, Feuerbach menemukan kebenaran dalam kehidupan, dalam kenyataan, dalam praktek. “Sesuatu yang disangsikan yang tak dapat selesai dan dikerjakan oleh teori, akan diselesaikan oleh praktek.” Tetapi Feuerbach tidak sampai memahami praktek menurut
236 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
pemahaman materialis tentang praktek kemasyarakatan manusia. Hubungan antara sesama manusia hanya dipahami Feuerbach sebagai hubungan dalam “gens”, yaitu hubungan kemasyarakatan yang bersumber pada hubungan keluarga, hubungan fisiologis. Gens, puak, suku, adalah organisasi kemasyarakatan dasar dalam susunan masyarakat komune‐primitif, organisasi yang merupakan kesatuan dari pada keluarga‐keluarga seketurunan. Asal‐mula diorganisasi secara keibuan—secara matriarki, kemudian berubah menjadi patriarki dalam proses berkembangnya masyarakat komune‐primitif. Gens memiliki seorang kepala, mendiami suatu daerah tertentu dan mempunyai nama tertentu. Feuerbach memahami praktek manusia sebagai “makan dan minum”, bukanlah praktek berproduksi, bukanlah tindakan‐tindakan revolusioner. Dalam pemahaman Feuerbach tentang praktek, terkandung antropologisme dan naturalisme. Ukuran kebenaran ia lihat dalam “gens”. Ia menyatakan bahwa, “jika saya berpikir sesuai dengan patokan‐patokan gens, berarti saya adalah berpikir sebagaimana manusia umumnya. Kebenaran adalah apa yang sesuai dengan hakikat gens, palsu adalah apa yang bertentangan dengan itu. Hukum lain dari kebenaran tidak ada.” Demikianlah, Feuerbach tidak bisa melangkah lebih jauh dari pemahamannya yang abstrak dan pasif tentang praktek kemasyarakatan manusia. Dalam seluruh karyanya, pada pokoknya Feuerbach menempatkan masalah agama dalam pusat perhatiannya. Ia menulis bahwa dalam semua karyanya, ia tidak pernah “melepaskan masalah agama dan teologi dari pandangan” bahkan menjadikan “agama dan teologi sebagai tema pokok pikiran serta kehidupannya”. Feuerbach berusaha mengangkat obor akal, supaya manusia akhirnya dapat mengubah permainan kekuatan‐kekuatan yang fantastis, yang dipergunakan penguasa agama untuk menindas manusia. Pikirannya selalu terlibat dalam hal supaya mengubah manusia dari serba percaya menjadi manusia yang berpikir, dari serba hidup sembahyang menjadi kaum pekerja. Menurut Feuerbach, alam, kenyataan, hanyalah memberikan materi, kebendaan bagi adanya ide tentang Tuhan; tetapi bentuk yang diberikan oleh benda itu menjadi hakikat Tuhan, adalah dilahirkan oleh fantasi, oleh daya pembayangan. Oleh karena itu, fantasi, daya
IX — Materialisme Marxis: Tugas Filsafat adalah untuk Mengubah Dunia | 237
pembayangan, adalah “sebab‐sebab teoretis atau adalah sumber dari agama. Manusia adalah permulaan, adalah bagian tengah dan adalah akhir dari agama.” Feuerbach mencatat bahwa peranan alam dalam hidup manusia adalah sangat besar. Alam adalah sebab‐musabab, adalah dasar, sumber eksistensi manusia. Alam mengharuskan lahir dan hidupnya manusia. Manusia—bagian dari alam dan hanya bisa terdapat dalam alam, adalah berkat alam. Alam adalah ibu kandung manusia. Feuerbach menyatakan bahwa arti alam yang demikian bagi manusia adalah menjadi sebab, hingga alam menjadi objek pertama dari agama, menjadi Tuhan pertama dari manusia. Agama tertua dari manusia—adalah agama yang memuja alam, agama “alamiah”. Bagi manusia‐manusia purba, hanyalah alam yang menjadi subjek pemujaan keagamaan. Agama zaman purbakala menunjukkan manusia dan satunya manusia dengan alam, menunjukkan ketergantungan manusia pada alam. Perasaan ketergantungan adalah dasar dari agama. Manusia semenjak kelahirannya dalam sejarah, selalu dalam syarat‐syarat tertentu berada dalam ketergantungan bukan dari alam secara umum, tetapi dari alam tertentu, dari alam negerinya, dan tempat kelahirannya. Manusia‐ manusia purba, oleh karena itu menjadikan alam konkret yang mengitarinya sebagai objek agamanya. Manusia‐manusia purba memuja dalam agama mereka syarat‐syarat alam dan gejala‐gejala alam dari mana kehidupan mereka tergantung. Maka oleh karena itu, Feuerbach menyatakan bahwa menurut kenyataan sejarah, manusia‐manusia purba memuja sungai, gunung, dan laut tanah airnya. Orang Mesir purbakala berpendapat bahwa asal‐usul semua kehidupan termasuk manusia adalah Sungai Nil. Rakyat Yunani purba percaya bahwa semua sumber sungai, danau, laut, terdapat di samudera raya. Rakyat Persia purba menganggap bahwa semua gunung berasal dari gunung Alborda. Manusia Meksiko purba memuja Tuhan dari garam. Demikianlah bagi manusia‐manusia purba, Tuhan mereka berasal dari alam sekitar atau iklim yang mengitarinya. Feuerbach menyatakan bahwa manusia yang masih kurang pengalaman dan kurang pendidikan bahkan menganggap negerinya itulah dunia, atau pusat bumi. Feuerbach menyatakan bahwa bagi kaum budak, tanpa tuan budak, dalam masyarakat tidak ada tata tertib, dan tanpa kaisar tidak ada ketenteraman dalam negeri. Oleh karena itu mereka tunduk dan
238 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
menyembah tuan‐budak serta kaisar. Feuerbach menarik kesimpulan bahwa bukan Tuhan yang menciptakan manusia, tetapi manusia yang hidup dalam masyarakat menciptakan Tuhannya sendiri. Pandangan‐pandangan Feuerbach mempunyai arti besar dalam hal memasukkan pengertian antropologis manusia dalam ajaran tentang moral. Feuerbach mencatat bahwa semua usaha manusia adalah menuju kebahagiaan. Bahagia atau sengsara, suka cita atau duka nestapa diketahui lewat perasaan. Bagi Feuerbach, perasaan adalah syarat pertama bagi moral. Di mana tidak ada perasaan, di sana tidak ada perbedaan bahagia dan sengsara, antara kebaikan dan kejelekan, antara suka dan duka, di sana tidak ada moral. Ajaran tentang moral merupakan puncak ajaran Feuerbach tentang masyarakat. Dalam hal inilah terletak keterbatasan filsafat Feuerbach. Prinsip dasar moral dari Feuerbach adalah kecenderungan hati manusia terhadap sesamanya, yang dimiliki sebagai sifat alamiah dari manusia, yaitu sifat menginginkan kebahagiaan. Menurut Feuerbach, supaya manusia jadi bahagia, mereka harus saling mencintai. Kata ‘cinta’ bagi Feuerbach adalah azimat sakti, bahan ramuan mujarab mengobati semua penyakit. Feuerbach mengajarkan cinta yang menyeluruh dalam masyarakat yang terbagi dalam berbagai klas yang antagonistik. Cinta sesama manusia adalah puncak ajaran moral Feuerbach. Di samping itu, dalam berbagai kesempatan secara tepat Feuerbach menulis bahwa, “orang di dalam istana berpikiran lain daripada yang di dalam gubuk.” Tetapi ia salah menilai orang yang melarat dengan menyatakan lebih lanjut bahwa “jika karena kelaparan, karena kesengsaraan, orang tidak mempunyai isi di dalam tubuhnya, akan begitu juga ia tidak mempunyai isi untuk moral di dalam kepalanya, di dalam jiwanya maupun hatinya.” Moral Feuerbach adalah moral borjuasi, 221 yang mengajarkan perdamaian klas, yang menutup‐nutupi kontradiksi kepentingan‐ kepentingan klas, yang memadamkan dan menegasi perjuangan klas. Karena itu, materialisme Feuerbach adalah materialisme yang tidak berjuang, materialisme yang pasif. Inilah yang disebut materialisme kontemplatif. 221
Dalam bahasa Jerman, bürgerlich diartikan sebagai “sipil” dan “borjuis”. Hegel memberikan nama “masyarakat sipil” untuk totalitas hubungan ekonomi (hak milik, budaya, hubungannya setiap hari) dalam kontraposisi kepada negara. IX — Materialisme Marxis: Tugas Filsafat adalah untuk Mengubah Dunia | 239
Demikianlah materialisme Feuerbach, materialisme antropologis dan kontemplatif, yang mengabaikan praktek kemasyarakatan manusia, yang menentang agama dan berpaling pada “cinta” sesama manusia dan lari dari perjuangan klas, yang mengkritik idealisme Hegel, menentang agnostisisme Kant, serta yang tidak memahami arti penting perjuangan politik. Walaupun pandangannya materialis, Feuerbach tidak menggunakan metodologi dialektika, tidak menggunakan hukum pokok dialektika—kesatuan dan perjuangan dari segi‐segi yang berlawanan. Materialisme Feuerbach adalah materialisme metafisis. Keterbatasan materialisme Feuerbach tidaklah mengurangi akan arti historisnya. Materialisme Feuerbach memberikan pengaruh yang mendalam atas Marx dan Engels pada masa pembentukan pandangan‐ pandangan filsafatnya. Marx dan Engels mengambil dari materialisme Feuerbach hanya “inti pokoknya”, mengembangkannya lebih lanjut menjadi filsafat ilmiah materialisme dialektis dan membuang lapisannya yang bersifat idealis dan metafisis
2. Empiriokritisisme Anti Materialisme Dialektis PADA akhir abad ke‐18 dan awal abad ke‐19, perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat, terutama fisika, menyebabkan bermunculannya tokoh‐tokoh filsafat mengkritik atau anti‐materialisme. Di Irlandia, George Berkeley (1685—1753) dengan karya Traktat Mengenai Asal‐Usul Kesadaran Manusia, mengajarkan idealisme subjektif. Di Inggris, David Hume (1711—1776) mengajarkan skeptisisme. Di Jerman, Immanuel Kant (1724—1804) dengan karya Kritik atas Pemikiran Murni dan Kritik atas Pemikiran Praktis, mengajarkan agnostisisme; Johan Gotlieb Fichte (1762—1814) mengajarkan idealisme subjektif. Di Austria, Ernest Mach (1838—1916) mengajarkan empiriokritisisme. Di Swiss, Richard Avenarius (1843—1896) seorang idealis subjektif dengan karya Kritik atas Eksperimen Murni, salah seorang penyusun empiriokritisisme. Idealisme subjektif, skeptisisme, agnostisisme, dan empiriokritisisme adalah filsafat‐filsafat yang berlawanan dengan materialisme dialektis. Bukan hanya berlawanan, empiriokritisisme bahkan menegasi materialisme dialektis Marx. Profesor Universitas Zurich, Swiss, Richard Avenarius,
240 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
menampilkan ajaran filsafat empiriokritisisme. Inti dari pandangannya adalah pengertian tentang pengalaman, yang bersifat berlawanannya kesadaran dengan materi, berlawanannya fisis dan psikis. Avenarius menampilkan ajaran berupa teori pengenalan materialis yang kritis, yang disebutnya sebagai introyeksi, yaitu menguraikan dunia luar pada kesadaran manusia. Dalam karya Kritik atas Pengalaman Murni, ia menampilkan teori yang disebut koordinat pokok dari subjek dan objek. Ernst Mach (1838—1916), ahli fisika dan filsuf idealisme subjektif Austria, adalah salah seorang pendiri aliran filsafat empiriokritisisme. Bertolak dari pandangan David Hume, pada pokoknya ia menolak pengertian sebab dan akibat, menolak tentang keharusan, menolak yang hakiki yang tak terdapat dalam pengalaman. Dengan karya‐karya Analisa tentang Perasaan dan Hubungan Fisis ke Psikis serta Pemahaman dan Kekesalan, Mach memahami kerumitan perasaan. Empiriokritisisme, Paham Kritis atas Pengalaman, yang juga disebut Machisme, ditampilkan oleh Avenarius dan Mach. Berdasarkan hukum ekonomi pemikiran, empiriokritisisme ‘membersihkan, menghapus’ pemahaman tentang pengalaman dari pengertian materi (substansi), keharusan, hukum sebab dan akibat, dan sebagainya, bagaikan tanggapan apriori. Empiriokritisisme memahami dunia bagaikan ‘tumpukan unsur‐unsur yang netral’ atau ‘perasaan’. Menurut ajaran ini terdapat ‘koordinasi utama’ terus‐menerus antara subjek dan objek, yaitu koordinasi yang terus‐menerus antara objek dan subjek. Ini bersumber dari ajaran‐ajaran Berkeley dan David Hume, yang mengajarkan filsafat itu netral. Setelah kekalahan Revolusi Rusia 1905, berkecamuklah tahun‐ tahun reaksi Stolipin. Ketika pemerintah Tsar melakukan represi yang kejam terhadap klas buruh dan partainya, maka di antara pengikut revolusi yang tidak konsekuen mulailah timbul kemerosotan dan kebobrokan. Kerontokan juga melanda kaum intelek sosial demokrat (Bogdanov, Bazarov, Lunacharski, Yuskevitch, Valentinov, dan lain‐lain). Mereka menganggap bahwa beberapa prinsip Marxisme telah ketinggalan zaman, dan menurut pendapat mereka, Marxisme perlu dilengkapi dengan data‐data baru dari ilmu alam terbaru. Mereka ingin mengganti Marxisme dengan filsafat idealis—empiriokritisisme. Tahun 1909 terbit karya Lenin Materialisme dan Empiriokritisisme. Dengan karya ini, Lenin tampil membela materialisme dialektis secara
IX — Materialisme Marxis: Tugas Filsafat adalah untuk Mengubah Dunia | 241
mendalam dan ilmiah. Lenin memusatkan pengkritikan atas empirio‐ kritisisme Mach dan Avenarius. Dalam buku ini Lenin memaparkan masalah‐masalah pengertian materi dalam filsafat, tentang alam sebagai sasaran penyelidikan ilmiah, tentang peranan praktek dalam proses pemahaman pengetahuan, tafsiran mengenai perasaan sebagai sumber pengetahuan, masa‐ lah hubungan dialektika dengan teori pengenalan, tentang problem‐problem hukum tentang ruang dan waktu, pengertian tentang hakikat, tentang kebenar‐ an objektif, tentang filsafat yang berwatak klas, dan masalah filsafat lain. Lenin menulis: “Selama kurang dari setengah tahun, telah terbit empat buku yang terutama hampir sepenuhnya ditujukan untuk menyerang materialisme dialektis. Di antaranya termasuk pertama‐tama Sketsa tentang Filsafat Marxisme, Petersburg, 1908, kumpulan artikel Bazarov, Bogdanov, Lunacarski, Berman, Helfond, Yusykewic, Suworov; kemudian buku Yusykewic, Materialisme dan Realisme Kritis; buku Berman, Dialektika Dilihat dari Sudut Teori Pengetahuan Modern; dan buku Walentinov, Susunan Filsafat Marxisme. Semua orang ini, yang dipersatukan oleh permusuhannya terhadap materialisme dialektis— sekalipun terdapat perbedaan tajam dalam pandangan politik mereka— bersamaan itu menganggap dirinya orang‐orang Marxis dalam filsafat! Dialektika Engels adalah ‘mistik’, kata Berman. Pandangan‐pandangan Engels telah ‘menjadi usang’, secara sambil lalu terlontar kata Bazarov, seolah‐olah sesuatu yang sudah sewajarnya. Materialisme dengan demikian tampaknya telah dibantah oleh prajurit‐prajurit kita yang pemberani, yang dengan bangga menyebut‐nyebut ‘teori pengetahuan modern’, ‘filsafat mutakhir’, (atau ‘positifisme mutakhir’), ‘filsafat ilmu alam modern’, atau bahkan ‘filsafat ilmu alam abad ke‐20’.”222 Dalam menjawab Lunacarski yang dalam membenarkan teman‐ temannya—orang‐orang revisionis dalam filsafat—berkata, “Mungkin kami tersesat, tetapi kami sedang mencari.” Lenin menulis, “Mengenai saya, saya juga seorang yang ‘sedang mencari’ dalam filsafat. Yaitu: dalam catatan‐catatan ini (yaitu buku Materialisme dan Empiriokritisisme) saya menetapkan sebagai tugas saya menemukan apa yang menye‐ 222
V.I. Lenin, Matyerializm I Empiriokrititzism, Kriticheskiye Zametki Ob Odnoy Reaktsionnoy Filosofii, Sochineniya Tom 14, izdanye cyetvyertoye, 1947, Materialisme dan Empiriokritisisme, Catatan Kritis tentang Sebuah Filsafat Reaksioner, Gosudarstvennoye Izdatel'stvo Politichestoy Literaturnyy, cetakan keempat, h.7. 242 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
babkan terpelecoknya orang‐orang ini yang dengan kedok Marxisme menyajikan sesuatu yang luar biasa kacau, kusut, dan reaksioner.”223 Namun kenyataan buku Lenin itu jauh melampaui bingkai tugas yang sederhana ini. Sesungguhnya buku Lenin tersebut bukan hanya kritik terhadap Bogdanov, Yusykewic, Bazarov, Walentinov, dan guru‐ guru filsafat mereka—Avenarius dan Mach, yang berusaha dalam karya‐ karya mereka menyajikan idealisme yang diperhalus dan diperlicin untuk mengimbangi materialisme Marxis. Bersamaan itu buku Lenin merupakan pembelaan terhadap dasar‐dasar teori Marxisme— materialisme dialektis dan historis—dan merupakan penggeneralisasian secara materialis semua yang penting dan esensial yang diperoleh ilmu dan terutama ilmu alam, selama satu periode sejarah yang penuh, selama periode dari meninggalnya Engels sampai pada terbitnya buku Lenin Materialisme dan Empiriokritisisme. Mengenai pengertian tentang materi, Lenin membantah pandangan‐pandangan kaum penganut ajaran Mach, seperti Avenarius, Pearson, Bogdanov, Carstanjen, Petzoldt, A. Riehl, Wundt, Cauelaert. Avenarius yang menyatakan, “dalam pengalaman yang lengkap yang sudah dimurnikan tidak terdapat apa‐apa ‘yang bersifat fisik’—‘materi’ menurut gagasan mutlak metafisika—karena ‘materi’ menurut gagasan ini adalah hanya satu abstraksi (satu perasan); itu adalah jumlah dari ’istilah’, perasan dari istilah utama, suatu istilah yang tak dapat dipikirkan tanpa istilah utama, maka ‘materi’ dalam gagasan mutlak metafisika adalah sepenuhnya satu gagasan yang tak masuk akal.”224 Lenin mengemukakan bahwa materi adalah segala sesuatu yang terdapat di luar kesadaran kita. Menurut Mach, “yang kita sebut ‘materi’ adalah kombinasi sistematik tertentu dari unsur‐unsur (sensasi).” Mach mengira bahwa dengan ungkapan ini, ia menampilkan satu ‘perubahan radikal’ dalam pandangan dunia yang biasa. Sesungguhnya, dalam kenyataan, ini adalah idealisme subjektif lama. Kemudian penganut ajaran Mach, Pearson—seorang penentang tangguh materialisme—mengatakan, “Sekarang tak mungkin lagi ada keberatan ilmiah atas ungkapan kita, bahwa materi adalah perasaan golongan‐golongan yang permanen.” Selanjutnya ini adalah mendekati definisi John Stuart Mill 223 224
Ibid., h.8. Ibid., h.131. IX — Materialisme Marxis: Tugas Filsafat adalah untuk Mengubah Dunia | 243
mengenai ‘materi’ sebagai kemungkinan permanen dari sensasi; tetapi definisi mengenai materi ini membawa kita jauh dari materi sebagai sesuatu yang bergerak. Di sini tidak ada selembar daun pun dari ‘unsur‐ unsur, dan dengan demikian kaum idealis secara tangan terbuka menyambut kaum agnostisis. Dalam karya ini, Lenin membantah Machisme dengan menyatakan: “Seluruh Machisme berjuang dari awal sampai akhir melawan ilmu‐alam ‘metafisis’ dengan menamakan materialisme alamiah‐ ilmiah, yaitu keyakinan yang secara instingtif, yang tak disadari, yang tak tersusun, yang secara filosofis tak sadar, keyakinan daripada mayoritas terbesar ahli ilmu‐alam terhadap realitas objektif dunia luar yang dicerminkan oleh kesadaran kita.” Lenin menyatakan bahwa kaum idealis filosofis adalah kawan seperjuangan dan penerus dari kaum empiriokritisis.225 Sesudah mengkritik keras, sebagaimana mestinya, kaum empiriokritisis Rusia dan guru‐ guru asing mereka, Lenin dalam bukunya sampai pada kesimpulan mengenai revisionisme di bidang filsafat dan teori sebagai berikut: 1. Pemalsuan Marxisme yang semakin halus, penyajian yang semakin halus ajaran-ajaran anti-materialis dengan kedok Marxisme—itulah yang mencirikan revisionisme modern baik dalam ekonomi politik, dalam masalah-masalah taktik maupun dalam filsafat pada umumnya. 2. Seluruh mazhab Mach dan Avenarius menuju idealisme. 3. Kaum Machis kita semuanya telah terjerat dalam idealisme. 4. Di belakang skolastisisme epistemologis dari empiriokritisme orang tidak boleh tidak melihat perjuangan partai-partai dalam filsafat, perjuangan yang pada akhirnya mencerminkan kecenderungan-kecenderungan dari ideologi klas-klas yang bermusuhan dalam masyarakat modern 5. Peranan klas yang objektif dari empiriokritisisme pokoknya berupa pengabdian sepenuhnya kepada kaum fideis (kaum reaksioner yang mengutamakan kepercayaan daripada ilmu) dalam perjuangan mereka menentang materialisme pada umumnya dan materialisme historis pada khususnya. 6. Idealisme filsafat adalah ... jalan menuju klerikalisme.226 225
Ibid., h.181. Komisi CC PKUS (B), Sejarah Partai Komunis Uni Sovyet (Bolsyewiki), Bahan Pelajaran Singkat, Disahkan oleh CC PKUS (B) 1938, Penerbit Indonesia Progresif, 1984, h.157. 226
244 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
X Dialektika: dari Herakleitos, Lewat Hegel, Marx–Engels dan Lenin, sampai Mao Zedong MATERIALISME berkembang maju seiring dengan perkembangan pemikiran manusia. Dari materialisme primitif filsuf Yunani kuno Demokritos (kira‐kira 460—370 SM) yang mengajarkan bahwa materi terkecil adalah atom yang tak dapat dibagi lagi yang berada di ruang hampa, menjadi materialisme Epikurus (341—270 SM) yang mengajarkan atom‐atom itu bergerak secara abadi dengan kecepatan yang sama, tidak mempunyai kualitas kecuali bentuk, ukuran, dan berat; berkembang menjadi materialisme Feuerbach (1804—1872) yang metafisis; dan sampai pada materialisme Marx, materialisme dialektis—pandangan materialisme dengan metode berpikir dialektika. Cara berpikir manusia berkembang sesuai dengan perkembangan sejarah kemanusiaan. Pada zaman Tiongkok kuno, menurut ajaran Lao Zi (kira‐kira 581—500 SM) dalam Daoisme, di alam raya tak ada yang tetap, yang permanen, yang tak berubah; ada yang lenyap, datang penggantinya, maka sudah terdapat pikiran mengenai peralihan sesuatu menjadi lawannya. 227 Dao adalah kategori alam raya yang tidak tergantung pada benda‐benda lainnya yang mana pun, Dao adalah selalu berubah dan bergerak, bergerak dalam lingkaran‐lingkaran. De, di lain pihak adalah perluasan dari Dao, penerapannya dalam kehidupan, masyarakat dan politik. Pandangan ajaran Daoisme yang menyatakan hal ihwal selalu berubah, dan ungkapan‐ungkapan yang terdapat dalam Dao De Jing: “yang tak penuh, berubah menjadi penuh; yang bengkok menjadi 227
Laozi, op.cit., h.45. X — Dialektika: dari Herakleitos sampai Mao Zedong | 245
lurus; yang usang menjadi baru” menunjukkan perubahan hal ihwal menjadi yang sebaliknya, adalah mengandung unsur‐unsur dialektika. Ahli pikir Yunani kuno Herakleitos (kira‐kira 535—475 SM) mengajukan ungkapan Panta Rhei, segala‐galanya mengalir, segala‐galanya berubah. Inilah akar dari dialektika. Di samping Herakleitos terdapat Plutarchus dengan ungkapannya: ”yang hidup dan yang mati”, “yang jaga dan yang tidur”, “yang muda dan yang tua”, “bagi kita adalah itu‐ itu juga”. Di sini terdapat unsur‐unsur kesatuan dari hal‐hal yang bertentangan, salah satu unsur penting dari dialektika. Menurut George Wilhelm Friedrich Hegel (1770—1831), dialektika adalah satu‐satunya metode pengenalan yang benar, yang berlawanan dengan metafisika. Pertama‐tama Hegel mengungkapkan masalah kesamaan antara dialektika, logika dan teori pengenalan (epistemologi). Hegel merumuskan bahwa hukum‐hukum pokok dialektika adalah: hukum kontradiksi, hukum peralihan kuantitas ke kualitas, dan hukum negasi dari negasi. Hegel memaparkan hukum dialektika tentang perkembangan sebagai sebab dan akibat, kemungkinan dan keharusan, kesamaan dan perbedaan, isi dan bentuk, yang abstrak dan yang konkret. Dialektika berkembang dari masa ke masa, sesuai dengan perkembangan sejarah manusia berpikir. Hegel adalah filsuf Jerman yang mengembangkan metode berpikir dialektika dari Herakleitos. Hegel mengungkap, mendalami, berbagai segi dan unsur dari dialektika. Masalah pokok dari filsafat dipecahkan oleh Hegel dengan posisi idealisme positif. Yang menjadi dasar semua gejala alam dan masyarakat adalah jiwa dunia. Menurut Hegel, jiwa dunia adalah yang utama (primer) dan abadi, alam adalah kelahiran (turunan) dari jiwa. Baginya, jiwa dunia adalah “ide mutlak (absolut)” adalah “kesadaran ketuhanan”.228 “Ide mutlak” Hegel yang melahirkan alam dan manusia, pada hakikatnya tidak berbeda dengan Tuhan menurut kepercayaan gereja.229 Inilah akar idealisme Hegel. Mengenai hal ini Lenin menyatakan: “Hakikat idealisme adalah mengutamakan kejiwaan sebagai titik tolak; dari sifat luarnya; dari situ baru kemudian muncul alam, dan hanya kemudian barulah ada alam kesadaran manusia biasa. Oleh karena itu, yang bersifat ‘kejiwaan’ yang primer ini selalu menjadi ‘abstraksi yang tak 228
Istoriya Filosofii (Sejarah Filsafat), Jilid II, Izdatyelstvo Akademii Nauk SSSR (Balai Penerbitan Akademi Ilmu Pengetahuan URSS), Moskwa, 1957, h.74—75. 229 Ibid., h.80. 246 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
bernyawa’ yang menyembunyikan teologi yang cair. Misalnya saja, setiap orang tahu tentang apa itu pikiran (ide) manusia, tetapi pikiran (ide) yang bebas dari manusia dan ada lebih dulu dari manusia adalah omong kosong; satu ide yang abstrak, Ide Absolut, adalah satu penemuan teologi dari Hegel yang idealis.”230 Marx menjungkirbalikkan dialektika Hegel, mengambil intinya, membuang seginya yang idealis dan menggantinya dengan yang materialis. Mengenai dialektika, Engels memaparkan dalam karya Anti‐ Dühring tentang “perubahan‐perubahan kuantitas menjadi kualitas”, bahwa ”perubahan kuantitatif pada rumus molekul menghasilkan benda yang kualitatif berbeda.”231 Dalam Dialektika Alam, Engels menulis: “Dialektika sebagai ilmu dari saling hubungan universal; hukum‐hukum pokoknya adalah: perubahan kuantitas dan kualitas; saling menyusup antara kutub‐kutub yang bertentangan dan saling berubah sesamanya; perkembangan melalui kontradiksi atau negasi dari negasi; perkembangan yang berlangsung dalam bentuk lingkaran spiral.”232 Dalam Anti‐Dühring, Engels menulis: “Gerak itu sendiri adalah kontradiksi. Jika perpindahan tempat yang sederhana mengandung kontradiksi, maka demikian pulalah dalam bentuk‐bentuk gerak lebih tinggi dari materi, dan lebih istimewa lagi dalam kehidupan organik dan perkembangannya. Maka oleh karena itu hidup adalah kontradiksi ... begitu berhenti kontradiksi, maka hidup pun berakhir.”233 Lenin secara luas dan mendalam mempelajari masalah dialektika. Dari mempelajari karya Hegel, Ilmu Logika, Lenin mencatat 16 unsur dialektika sebagai berikut: 1. Objektivitas dalam memandang hal ihwal. 2. Pelajari keseluruhan saling-hubungan yang banyak segi dari hal ihwal. 3. Pelajari perkembangan hal ihwal, geraknya sendiri, hidupnya sendiri. 230
V.I. Lenin, op.cit., h.214. Frederick Engels, Anti-Dühring, Herr Eugen Dühring’s Revolution in Science, Foreign Languages Publishing House, Moscow, 1954, h.177. 232 Frederick Engels, Dialectics of Nature, Progress Publishers, Moscow, 1964, h.17. 233 Frederick Engels, op.cit., h.167—168. 231
X — Dialektika: dari Herakleitos sampai Mao Zedong | 247
4. Pelajari kecenderungan kontradiksi internal hal ihwal tersebut. 5. Hal ihwal (gejala) harus dipandang sebagai jumlah dan persatuan segi-segi yang bertentangan. 6. Perjuangan dari segi-segi yang bertentangan. 7. Pemaduan analisa dan sintesa—terpecahnya bagian-bagian, penjumlahan bagian-bagian itu bersama. 8. Saling hubungan setiap hal-ihwal. 9. Bukan hanya persatuan dari segi-segi yang bertentangan, tetapi juga peralihan tiap-tiap kualitasnya, peralihan penampilannya, segi-seginya menjadi tiap-tiap lainnya (lawannya yang berkontradiksi). 10. Proses penemuan yang tak habis-habisnya atas segi-segi baru, saling hubungan, dan lain-lain. 11. Proses yang tak habis-habisnya dalam pendalaman pemahaman manusia atas hal ihwal, gejala-gejala, berbagai proses, dan lain-lain, dari gejala luar ke hakikat, dan dari hakikat yang kurang mendalam ke yang lebih mendalam. 12. Dari koeksistensi ke sebab dan akibat (kausalitas) dan dari satu bentuk saling hubungan ke bentuk yang lain, yang lebih mendalam, lebih bersifat umum. 13. Pengulangan menjadi tingkat yang lebih tinggi dari penampilan tertentu sifat hal-ihwal. 14. Pengulangan bagaikan kembali balik pada yang lama, negasi dari negasi. 15. Perjuangan isi dan bentuk dan sebaliknya. Pembuangan bentuk, transformasi isi. 16. Peralihan kuantitas dan kualitas, dan sebaliknya.234 Selanjutnya Lenin menulis, “Secara ringkas, dialektika dapat didefinisikan sebagai ajaran tentang persatuan segi‐segi yang bertentangan. Ini adalah inti dialektika, tapi ini memerlukan penjelasan dan pengembangan.”235 Dari 16 unsur dialektika ini, Lenin memusatkan pada tiga hal: 1. Persatuan dan perjuangan dari segi‐segi yang berkontradiksi. 2. Perubahan sesuatu menjadi segi yang berlawanan, peralihan kuantitas menjadi kualitas, dan sebaliknya. 3. Negasi dari negasi. 234 235
V.I. Lenin, Kumpulan Karya, bahasa Rusia, edisi V, Jilid XXIX, h.203—204. V.I. Lenin, op.cit., h.204.
248 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Lenin mengajarkan bahwa, “Dialektika adalah ajaran yang paling menyeluruh dan mendalam mengenai perkembangan.”236 Lebih lanjut, dalam tulisan Tentang Masalah Dialektika, Lenin menulis, “Terbaginya suatu kesatuan menjadi dua dan pengenalan atas bagian‐bagiannya yang berkontradiksi adalah hakikat (salah satu yang hakiki, salah satu karakteristik atau ciri yang pokok, jika bukan terpokok) dialektika…. Kesamaan dari segi‐segi yang bertentangan … adanya tendensi‐tendensi yang berkontradiksi, saling menyisihkan dan berlawanan di dalam segala gejala dan proses alam (termasuk jiwa dan masyarakat). Syarat bagi pengetahuan tentang semua proses dunia dalam ‘gerak sendiri’ mereka, dalam perkembangan spontan mereka, dalam kehidupan nyata mereka, adalah pengetahuan tentang mereka sebagai kesatuan dari segi‐segi yang bertentangan. Perkembangan adalah ‘perjuangan’ dari segi‐segi yang bertentangan. Kesatuan (kesesuaian, kesamaan, keseimbangan‐aksi) segi‐segi yang berlawanan adalah bersyarat, sementara, tak kekal, relatif. Perjuangan segi‐segi yang berlawanan yang saling menyisihkan adalah mutlak, sebagaimana juga perkembangan dan gerak adalah mutlak.”237 Dalam banyak kesempatan Lenin mengemukakan bahwa kontradiksi adalah inti dari dialektika. Dari mempelajari karya‐karya Lenin inilah Mao Zedong pada tahun 1937 menulis karyanya Tentang Kontradiksi. Karya ini dimulai dengan kalimat: “Hukum kontradiksi di dalam hal ihwal, yaitu hukum kesatuan dari segi‐segi yang berlawanan, adalah hukum terpokok dialektika materialis. Lenin sering menamakan hukum ini hakikat dialektika, juga menamakannya inti dialektika.”238 Mao Zedong sangat mencengkam isi karya Lenin Tentang Masalah Dialektika. Dalam karya Tentang Kontradiksi terdapat 13 kutipan karya Lenin. Tujuh di antaranya 236
V.I. Lenin, Karl Marx, Kumpulan Karya Lengkap, Jilid XXVI, h.53. V.I. Lenin, Ibid., h.316—322. 238 Lihat Empat Karya Filsafat, Ketua Mao Tjetung, Pustaka Bahasa Asing, Peking, 1970, h.47. Semenjak pertengahan tahun lima puluhan abad lalu, karya Mao Zedong ini sudah dikenal di Indonesia. Antara tahun 1956 dan 1964, Jajasan Pembaruan sudah mencetak empat kali terjemahan Indonesia karya ini. Di samping itu, Pustaka Bahasa Asing Peking berkali-kali menerbitkan terjemahan Indonesia karya ini. Dan juga dimuat dalam Pilihan Tulisan Mao Tje-tung, Jilid Pertama, serta terdapat berbagai edisi ukuran saku. 237
X — Dialektika: dari Herakleitos sampai Mao Zedong | 249
adalah dari karya Lenin Tentang Masalah Dialektika. Tentang Kontradiksi adalah karya filsafat. Sebagaimana karya filsafat pada umumnya, adalah tidak mudah untuk dicerna dan dikuasai. Lebih‐lebih lagi jika membacanya bukan dari bahasa aslinya. Tetapi karena pemaparannya yang populer, Mao Zedong bisa menguraikan inti dialektika, yaitu ajaran Tentang Kontradiksi yang mudah dipahami. Sayang, kesalahan dalam terjemahan menyebabkan kesalahan dalam memahaminya. Dalam edisi Indonesia yang diterbitkan Jajasan Pembaruan tahun 1958 h.22, dan edisi tahun 1959 h.25, istilah Tionghoa gen ben diterjemahkan pokok; maka gen ben mao dun239 diterjemahkan menjadi kontradiksi pokok. Dalam edisi tahun 1958 h.30, dan edisi tahun 1959 h.35, istilah Tionghoa zhu yao diterjemahkan juga jadi pokok; dan zhu yao mao dun 240 diterjemahkan menjadi kontradiksi pokok. Dengan demikian dua istilah Tionghoa yang berbeda artinya, yaitu gen ben mao dun dan zhu yao mao dun diterjemahkan menjadi kontradiksi pokok. Oleh karena itu adalah salah, memahami kontradiksi dasar sama dengan kontradiksi pokok. Yang rapi adalah terjemahan bahasa Rusia, yang menggunakan kata osnovnoye protivoreciye 241 untuk gen ben mao dun, dan glavnoye protivoreciye 242 buat zhu yao mao dun. Osnovnoye protivoryeciye adalah kontradiksi dasar, dan glavnoye protivoryeciye adalah kontradiksi pokok. Dua kontradiksi ini sangat berbeda. Penyelesaian kontradiksi dasar berarti terjadinya perubahan kualitatif hal ihwal. Jadi, untuk mengubah kualitas suatu hal ihwal, haruslah diselesaikan kontradiksi dasarnya. Dalam keadaan banyaknya kontradiksi dalam satu hal ihwal, terdapat satu kontradiksi yang pokok, yang memainkan peranan memimpin dalam hal ihwal tersebut; yang jika diselesaikan, akan mempermudah penyelesaian kontradiksi dasar. Maka pilihlah dan tetapkan kontradiksi
239
根 本 矛 盾 ; Gēnběn máodùn, dalam bahasa Mandarin berarti “kontradiksi dasar”. 240 主 要 矛 盾 ; Zhǔyào máodùn, dalam bahasa Mandarin berarti “kontradiksi pokok”. 241 Oсновной противоречие; osnovnoy protivorechiye, dalam bahasa Rusia berarti “kontradiksi dasar”. 242 Главное противоречие; glavnoye protivorechiye, dalam bahasa Rusia berarti “kontradiksi pokok”. 250 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
pokok, salah satu di antara kontradiksi yang banyak itu. Penyelesaian kontradiksi pokok itu akan memudahkan penyelesaian kontradiksi dasar. Oleh karena itu, memilih dan menetapkan kontradiksi pokok serta mencengkam penyelesaian kontradiksi pokok adalah sangat penting untuk memudahkan penyelesaian kontradiksi dasar. Dengan karya Tentang Kontradiksi, Mao Zedong telah memperkaya filsafat Marxis, memperdalam ajaran tentang dialektika. Memahami dan menguasai karya ini berarti mempersenjatai diri dengan dialektika Marxis, metode berpikir ilmiah yang diperlukan untuk melawan pembodohan.
X — Dialektika: dari Herakleitos sampai Mao Zedong | 251
252 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
XI Hukum Satu Pecah Jadi Dua dan Dua Bergabung Jadi Satu DALAM memandang atau mempelajari semua hal ihwal, Lenin mengajukan metode razdvoyeniye yedyinovo243—terbaginya satu kesatuan menjadi dua dan yedyinstvo protivopolozhnostyei244—persatuan segi‐segi yang bertentangan, sebagai hukum dari dialektika. 245 Ungkapan ini secara populer bisa dipahami sebagai satu pecah menjadi dua dan dua bergabung menjadi satu. Segala hal ihwal, baik hal ihwal alam semesta, hal ihwal masyarakat, atau pun hal ihwal pikiran, haruslah dipandang atau dipelajari dalam geraknya, dalam proses perubahannya. Pada setiap hal ihwal pasti terdapat berbagai seginya. Segi‐segi dalam satu hal ihwal itu saling berbeda, saling bertentangan, saling berkontradiksi. Proses perubahan hal ihwal itu terjadi dalam bentuk bentrok atau perjuangan segi‐segi yang bertentangan. Atau dalam bentuk persatuan dari segi‐segi yang bertentangan. Kedua‐dua kejadian ini adalah pelaksanaan hukum dialektika. Hujan adalah peristiwa alam yang sangat biasa. Hujan terjadi karena mengendapnya uap air dari awan disebabkan oleh penurunan temperatur. Uap yang ringan karena molekul‐molekul air yang 243
Раздвоение единого; razdvoyeniye yedinogo, dalam bahasa Rusia berarti “terbaginya satu kesatuan menjadi dua”. 244 Единствоп ротивоположностей; yedinstvo protivopolozhnostey, dalam bahasa Rusia berarti “persatuan segi-segi yang bertentangan”. 245 Baca karya Lenin Tentang Masalah Dialektika. XI — Hukum Satu Pecah Jadi Dua dan Dua Bergabung Jadi Satu | 253
renggang melayang sebagai awan. Dengan penurunan temperatur di udara, molekul‐molekul air yang renggang itu jadi memadat, bersatunya molekul‐molekul air itu menjadi air. Turunlah hujan. Yang terjadi adalah bersatunya segi‐segi hal ihwal, dalam hal ini bersatunya molekul‐ molekul uap air, hingga menghasilkan hal ihwal yang baru, yaitu air hujan. Campuran dua warna bisa menghasilkan warna baru, seperti kuning dicampur dengan biru akan menghasilkan hijau; merah dicampur dengan biru akan menghasilkan lembayung. Di sini terjadi bersatunya segi‐segi yang bertentangan, menghasilkan hal yang baru, dua bergabung menjadi satu. Mendidihnya air yang dipanaskan adalah peristiwa fisika perubahan air menjadi uap. Molekul air yang semula bersatu, karena dipanaskan menjadi saling berpisahan hingga terbentuk uap air. Di sini terjadi terpecahnya kesatuan molekul air menjadi molekul uap yang berbeda sifatnya dengan air. Sinar yang tanpa warna bisa diurai menjadi pelangi warna‐warni dengan melewatkan sinar tersebut pada suatu prisma. Yang terjadi adalah terbaginya satu kesatuan menjadi segi‐segi yang berlainan, satu pecah menjadi dua. Bom hidrogen adalah bahan ledak fusi nuklir yang terjadi karena berlangsungnya fusi nuklir, yaitu penggabungan dua isotop hidrogen, deuterium dan tritium. Fusi ini membentuk helium dan neutron, dan mengeluarkan energi yang dahsyat. Ini adalah peristiwa penggabungan, bersatunya dua jenis atom yang melahirkan atom baru. Dalam fisika plasma terjadi proses fusi nuklir, yaitu penggabungan atom‐atom yang berbeda dan melahirkan unsur baru dan bersamaan dengan itu timbulnya energi yang luar biasa besarnya. Di sini berlangsung proses dua bergabung menjadi satu. Di samping itu, terjadi pemecahan nuklir, fisi‐nuklir, transmutasi nuklir, yaitu atom yang radioaktif berproses mengeluarkan sinar (radiasi) alfa, beta, dan gamma, dan menjadi unsur baru. Helium‐4 yang memiliki dua neutron dan dua proton, karena radiasinya sendiri menjadi berubah menjadi unsur baru, deuterium. Demikian pula atom‐ atom yang radioaktif uranium U‐235 dan plutonium Pu‐239 mengeluarkan radiasi. Proses ini mengeluarkan energi yang besar. Inilah dasar pembentukan bom atom dan pembangkit tenaga listrik nuklir komersial. Di sini terjadi terpecahnya atom melahirkan yang baru. Yang terjadi adalah satu pecah menjadi dua.
254 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Penguraian dalam proses kimia adalah terpecahnya segi‐segi yang bertentangan dari suatu persenyawaan kimia. Molekul air, H2O, adalah persenyawaan yang terdiri dari atom‐atom H2 dan O2, dapat pecah menjadi molekul‐molekul H2 dan O2. Kebalikannya, penggabungan dua atom hidrogen dengan satu atom oksigen membentuk molekul air. Kualitas molekul air berbeda dengan kualitas molekul hidrogen dan molekul oksigen. Dalam kedua macam proses kimia itu, terjadi perubahan kualitas air (H2O) menjadi molekul hidrogen (H2) dan molekul oksigen (O2). Dan sebaliknya, molekul hidrogen (H2) bergabung dengan molekul oksigen (O2) membentuk molekul air (H2O). Banyak sekali peristiwa reaksi kimia berlangsung dalam bentuk penyatuan atom‐atom yang berbeda, menjadi molekul dengan kualitas baru sama sekali. Penyatuan dan pemisahan terjadi dalam proses perubahan kualitas suatu persenyawaan kimia. Dalam biologi, bergabungnya sperma dengan telur dalam indung telur melahirkan embrio—kecambah yang akan tumbuh jadi benda hidup baru. Hidup adalah berlangsungnya proses perubahan kimia dalam sel‐sel yang merupakan bagian dari benda hidup. Dari benda hidup yang paling sederhana, mikroba‐mikroba atau binatang satu sel hidup dengan melangsungkan mengonsumsi oksigen dan membuang kotoran ampas dari cernaan. Oksigen yang dikonsumsi beroperasi dalam sel, menyebabkan perubahan‐perubahan kromosom yang terpecah menjadi berlipat ganda. Penggandaan kromosom, terpecahnya kromosom menjadi berlipat‐ganda menyebabkan terbentuknya sel‐sel baru. Terbentuknya sel baru itulah yang merupakan proses hidup. Hal ini terjadi pada binatang satu sel sampai pada makhluk paling rumit, manusia. Proses penggabungan‐penggabungan dan pemecahan‐ pemecahan jalin‐berjalin. Demikianlah dialektika hidup. Dalam masyarakat, banyak terjadi perubahan kekuasaan negara, perubahan pemerintah, perubahan kekuasaan politik yang berlangsung lewat perjuangan golongan‐golongan politik yang saling mengalahkan, lewat perjuangan klas, satu klas mengalahkan klas lawannya, lewat revolusi hingga terbentuk kekuasaan politik baru yang menjadi ciri baru dari masyarakat yang berubah itu. Perubahan ini terjadi lewat kontradiksi yang antagonistik, yaitu salah satu dari segi‐segi yang berkontradiksi itu menang mengalahkan segi lawannya. Inilah perjuangan dari segi‐segi yang bertentangan.
XI — Hukum Satu Pecah Jadi Dua dan Dua Bergabung Jadi Satu | 255
Banyak juga terjadi perubahan kekuasaan politik, yang berlangsung lewat persatuan dari segi‐segi yang bertentangan, yaitu terjadi dengan terwujudnya koalisi berbagai kekuatan sosial yang semula saling bertentangan, hingga melahirkan satu pemerintah koalisi dengan ikut serta atau didukung oleh semua unsur masyarakat yang saling bertentangan itu. Jadi, satu pecah menjadi dua dan dua bergabung menjadi satu adalah hukum dialektika yang tidak semestinya dipertentangkan, karena dua‐ duanya berlaku dalam syarat‐syarat tertentu pada proses perubahan suatu hal ihwal. Dalam karya Tentang Mengurus Secara Tepat Kontradiksi di Kalangan Rakyat, tahun 1957, Mao Zedong secara populer memaparkan perbedaan antara kontradiksi di kalangan rakyat dan kontradiksi dengan musuh; dipaparkan pengertian rakyat dan pengertian musuh; serta jalan dan usaha yang harus ditempuh dalam menyelesaikan berbagai kontradiksi di kalangan rakyat. Dipergunakan kediktaturan terhadap musuh, dan demokrasi terhadap rakyat. Inilah pelaksanaan diktatur demokrasi rakyat. Diktatur demokrasi rakyat hakikatnya adalah diktatur proletariat. Di Tiongkok, diktatur demokrasi rakyat adalah kekuasaan politik kerja sama multi‐partai di bawah pimpinan Partai Komunis. Dalam menyelesaikan kontradiksi di kalangan rakyat dipergunakan metode meyakinkan, metode kritik menghindari kontradiksi yang antagonistis. Dipergunakan pedoman mengobat penyakit untuk menyembuhkan si sakit. Dewasa ini, dalam pembangunan sosialisme berkepribadian Tiongkok, membangun masyarakat yang cukup sejahtera dan harmonis, pasti akan menghadapi banyak kontradiksi dalam masyarakat. Tentulah akan banyak berlaku metode dialektika persatuan segi‐segi yang bertentangan, dua bergabung menjadi satu menghindari kontradiksi‐kontradiksi yang antagonistis dalam memecahkan kontradiksi‐kontradiksi ini. Dalam masyarakat Indonesia, pengalaman menunjukkan di kala berlangsungnya Revolusi Agustus 1945, rakyat sedang berjuang melawan kaum kolonial Belanda yang ingin kembali berkuasa. Berbagai kontradiksi terdapat dalam masyarakat. Kontradiksi antara kaum tani dengan kaum tuan tanah feodal, kontradiksi kaum buruh lawan majikan, kontradiksi antara berbagai partai politik yang tumbuh bagaikan jamur seusai hujan, kontradiksi antara berbagai kekuatan
256 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
bersenjata yang dibentuk rakyat. Kontradiksi‐kontradiksi ini dipecahkan dengan metode persatuan segi‐segi yang bertentangan. Namun kontradiksi rakyat melawan kaum kolonial dipecahkan dengan metode saling mengalahkan, bahkan lewat pertempuran bersenjata. Dua jenis kontradiksi, dipecahkan dengan dua metode yang berbeda. Kedua metode itu adalah metode dialektika.
XI — Hukum Satu Pecah Jadi Dua dan Dua Bergabung Jadi Satu | 257
258 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
XII Tentang Hukum Kontradiksi: Kontradiksi Dasar dan Kontradiksi Pokok DALAM karya Tentang Masalah Dialektika, Lenin mengemukakan bahwa hukum kontradiksi adalah hukum pokok dari dialektika. Lenin mendalami studi tentang masalah dialektika, sampai menemukan 16 jenis unsur dialektika. Dalam proses perkembangan segala hal ihwal terdapat banyak kontradiksi. Bertambah rumit hal ihwal, bertambah banyak kontradiksi di dalamnya. Di antaranya terdapat satu kontradiksi dasar dan satu kontradiksi pokok. Memahami perbedaan antara kontadiksi dasar dan kontradiksi pokok ini sangat penting. Perubahan satu hal ihwal ditentukan oleh penyelesaian kontradiksi dasar itu. Jika kontradiksi dasarnya terselesaikan, maka terjadilah perubahan hal ihwal itu. Selama kontradiksi dasar belum terselesaikan, belumlah berubah hakikat atau kualitas hal ihwal tersebut. Karena itu, menemukan dan memahami kontradiksi dasar satu hal ihwal adalah sangat penting. Untuk mengubah kualitas suatu hal ihwal, harus dengan tepat menentukan kontradiksi dasarnya. Itu dimulai dengan meneliti hakikat hal ihwal yang akan diubah. Harus dipelajari secara konkret semua saling hubungan dan semua kontradiksi yang ada. Dari sekian banyak kontradiksi, pasti ada satu kontradiksi dasar. Pada hal ihwal yang rumit, di samping kontradiksi dasar terdapat banyak kontradiksi lainnya. Seringkali tidak bisa langsung kontradiksi dasar yang diselesaikan. Di antara kontradiksi yang banyak itu, ada kontradiksi, yang jika diselesaikan akan memudahkan atau membantu penyelesaian kontradiksi
XII — Tentang Hukum Kontradiksi: Kontradiksi Dasar dan Kontradiksi Pokok | 259
dasar. Kontradiksi ini adalah kontradiksi pokok. Dalam penyelesaian semua hal ihwal, mencari kontradiksi pokoknya adalah jalan yang harus ditempuh untuk sampai menyelesaikan kontradiksi dasar. Menghadapi hal ihwal yang rumit, yang banyak kontradiksinya, haruslah mencengkam satu kontradiksi pokok, sedangkan kontradiksi‐kontradiksi lainnya adalah kontradiksi yang sekunder. Dalam praktek, misalnya rombongan yang ingin menyeberangi sungai. Untuk bisa sampai ke seberang, terdapat berbagai kontradiksi. Melintasi, menyeberang sungai, adalah kontradiksi dasar. Sungai bisa diseberangi jika ada jembatan, atau jika rombongan bisa berenang, atau jika ada perahu. Dalam keadaan sungai sangat dalam, lebar, dan dengan arus yang kuat, sulitlah penyeberangan dilakukan dengan berenang. Jika tak ada jembatan, menyeberang dengan naik perahu adalah satu‐ satunya jalan. Maka mendapatkan perahu merupakan kontradiksi pokok. Adanya perahu, tetapi kalau tidak dipakai, kontradiksi dasar belum terpecahkan. Dengan didapatnya perahu, maka mudahlah dilakukan penyeberangan sungai, yaitu dapatlah memecahkan kontradiksi dasar. Maka sebelum menyelesaikan kontradiksi dasar, harus diselesaikan lebih dulu kontradiksi pokok. Tanpa menyelesaikan kontradiksi pokok ini, kontradiksi dasar tidak bisa diselesaikan. Dalam alam semesta, setiap hal ihwal yang berubah selalu terjadi lewat penyelesaian kontradiksi dasarnya. Air bisa berubah menjadi uap, jika molekul air mencapai titik didih 100 derajat celsius. Temperatur air adalah menentukan sifat air sebagai benda padat (es), benda cair (air), atau uap (yang menguap). Dengan memberi panas, maka temperatur air bisa mencapai titik didih, yaitu 100 derajat celsius, maka terjadilah perubahan air menjadi uap. Di sini, perubahan temperatur adalah kontradiksi dasar dalam proses perubahan sifat air. Mengubah temperatur air adalah cara memecahkan kontradiksi dasar itu. Dalam biologi, tumbuh‐tumbuhan hidup mulai dari biji‐bijian kering yang tumbuh menjadi kecambah. Tumbuhnya biji kacang menjadi kecambah adalah lewat proses kimia, yaitu berlangsungnya perubahan sel‐sel organik dalam biji kacang itu. Biji kacang harus dipandang satu kesatuan dengan sekitarnya. Untuk proses perubahan, di sekitarnya harus terdapat peranan: air, temperatur tertentu, dan oksigen. Dalam keadaan biasa, yaitu temperatur ruangan dan udara sebagaimana biasa, maka adanya air adalah menentukan untuk
260 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
berlangsungnya proses kimia dalam biji kacang tersebut. Adanya air merupakan kontradiksi pokok untuk bisa berlangsungnya penyelesaian kontradiksi dasar, yaitu dengan disiramkan air ke biji kacang, atau biji kacang direndam dalam air berlangsunglah hidup biji kacang menjadi kecambah. Tanpa air yang disiramkan pada biji kacang, tak akan tumbuh biji itu, tak akan selesai kontradiksi dasarnya. Mendapatkan air adalah kontradiksi pokoknya. Adanya air saja, yaitu terpecahkannya kontradiksi pokok, belumlah berarti terpecahkan kontradiksi dasar. Biji kacang baru berubah menjadi kecambah, kontradiksi dasar baru terpecahkan, bila air disiramkan pada kacang atau kacang direndamkan dalam air. Dengan demikian, sangat jelas beda artinya kontradiksi dasar dan kontradiksi pokok. Dalam proses perubahan masyarakat, masyarakat jajahan bisa berubah menjadi masyarakat merdeka. Menurut pengalaman Indonesia, dalam masyarakat jajahan terdapat banyak kontradiksi. Ada kontradiksi antara rakyat melawan kaum kolonial, kontradiksi antara kaum tani melawan tuan tanah feodal, kontradiksi antara buruh melawan majikan, kontradiksi antara berbagai golongan pedagang, kontradiksi antara pedagang melawan kaum tani, kontradiksi antara berbagai golongan politik atau partai politik. Kontradiksi dasarnya adalah kontradiksi antara massa rakyat anti‐kolonial melawan kaum kolonial. Kalau kontradiksi ini terpecahkan, maka berubahlah masyarakat jajahan itu menjadi masyarakat merdeka. Walaupun kontradiksi antara kaum tani dan tuan tanah terpecahkan, kontradiksi antara pedagang dengan kaum tani terpecahkan, tetapi jika kontradiksi rakyat dengan kaum kolonial tidak terpecahkan, maka masyarakat tetap adalah masyarakat jajahan, tidak terjadi perubahan sifat masyarakat. Maka kontradiksi antara rakyat tertindas melawan kaum kolonial adalah kontradiksi dasar masyarakat jajahan. Oleh karena itu, penyelesaian berbagai kontradiksi yang banyak itu harus mengabdi pada penyelesaian kontradiksi dasar. Jadi, kontradiksi‐kontradiksi yang banyak terdapat dalam satu hal ihwal itu tidak menempati kedudukan yang sama. Satu di antaranya adalah kontradiksi dasar. Pada umumnya, tidaklah bisa langsung diselesaikan kontradiksi dasar itu. Ada sejumlah kontradiksi tertentu yang harus diselesaikan terlebih dulu untuk bisa menyelesaikan kontradiksi dasar. Di antara sekian banyak kontradiksi itu, ada satu di antaranya yang jika diselesaikan, memainkan peranan mempercepat atau
XII — Tentang Hukum Kontradiksi: Kontradiksi Dasar dan Kontradiksi Pokok | 261
mempermudah penyelesaian kontradiksi dasar. Kontradiksi ini adalah kontradiksi pokok. Selesaikan dulu kontradiksi pokok, maka akan mudah dan cepat bisa diselesaikan kontradiksi dasar. Penyelesaian kontradiksi pokok ini mempunyai peranan mempermudah atau mempercepat penyelesaian kontradiksi dasar. Kontradiksi dasar tidak bisa langsung diselesaikan sebelum berbagai kontradiksi yang ada diselesaikan lebih dulu. Oleh karena itu, perlu dengan tepat menentukan kontradiksi pokok suatu hal ihwal. Jika kontradiksi pokok diselesaikan, akan mudah atau cepat dapat diselesaikan kontradiksi dasar. Maka kontradiksi pokok bisa diartikan ambeg parama arta. Semenjak awal abad ke‐20, sejarah Indonesia mencatat perubahan‐perubahan masyarakat yang penting. Dari penjajahan Belanda, tahun 1942 Indonesia berubah menjadi penjajahan Jepang. Selama penjajahan Belanda, kontradiksi dasar masyarakat Indonesia adalah kontradiksi antara rakyat jajahan melawan kaum kolonial Belanda. Di zaman Jepang, kontradiksi dasar masyarakat adalah antara rakyat melawan penguasa fasis Jepang. Kekalahan fasis Jepang dalam Perang Dunia II memberi kesempatan bagi rakyat Indonesia merebut kemerdekaan. Meletuslah Revolusi Agustus 1945 dan dengan Proklamasi 17 Agustus Indonesia menjadi negeri merdeka. Kontradiksi rakyat melawan penguasa fasis Jepang sudah terpecahkan dengan kemenangan rakyat. Sesudah menjadi negeri merdeka, timbullah kontradiksi baru. Kemerdekaan Indonesia diancam oleh usaha kembalinya kaum kolonial Belanda untuk berkuasa. Jika Belanda berhasil menguasai kembali Indonesia, Indonesia berubah lagi menjadi negeri jajahan. Karena itu kontradiksi rakyat Indonesia melawan usaha kembalinya kolonial Belanda adalah kontradiksi dasar. Belanda melancarkan dua kali agresi bersenjata untuk mengalahkan Republik Indonesia. Indonesia memenangkan perjuangan membela kemerdekaan ini, hingga Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Sesudah kemerdekaan diakui Belanda, Negara Kesatuan Republik Indonesia berdiri di tengah‐tengah kehidupan bangsa‐bangsa merdeka di dunia. Selanjutnya, Negara Kesatuan Republik Indonesia menghadapi kontradiksi‐kontradiksi baru, yaitu masalah membangun perekonomian negeri, membangun kebudayaan bangsa, mengembangkan pendidikan nasional, membangun Angkatan Bersenjata RI, melawan usaha kaum
262 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
rasialis mengadu‐domba antar berbagai etnis, melawan usaha‐usaha kaum separatis yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan RI. Dari sekian banyak kontradiksi yang muncul sesudah kedaulatan Indonesia diakui Belanda, membela keutuhan NKRI adalah kontradiksi dasar. Kontradiksi ini berwujud perjuangan melawan kaum separatis, mulai dari melawan DI/TII yang mau mendirikan Negara Islam Indonesia, sampai PRRI–Permesta yang mendirikan republik tandingan di Sumatra. Selama masa penjajahan Belanda pada awal abad ke‐20, berbagai perjuangan berlangsung untuk memecahkan kontradiksi dasar, yaitu untuk mengalahkan Belanda. Mulai dari lahirnya berbagai organisasi rakyat, sampai berdirinya partai‐partai politik yang memperjuangkan kemerdekaan nasional. Bahkan terjadi pemberontakan nasional bersenjata tahun 1926 di bawah pimpinan PKI. Pemberontakan ini ditindas dan dipadamkan Belanda karena kekuatan rakyat yang memberontak tidak seimbang dengan kekuatan kekuasaan kolonial. Partai‐partai politik yang membahayakan kekuasaan Belanda dinyatakan terlarang oleh pemerintah Belanda seperti PKI dan PNI. Dari mempelajari proses penyelesaian kontradiksi dasar masyarakat Indonesia semenjak awal abad ke‐20 itu dapat dicatat, pentingnya memperhatikan segi‐segi kontradiksi, yaitu kekuatan yang bertarung dalam proses kontradiksi itu. Di zaman kolonial Belanda ada dua segi yang berkontradiksi, yaitu kekuatan rakyat melawan kolonialisme dan kekuatan kekuasaan kolonial. Kekuatan kekuasaan kolonial adalah mengungguli kekuatan rakyat. Segi kontradiksi ini menduduki kedudukan berkuasa, kedudukan memimpin. Hakikat hal ihwal ditentukan oleh segi yang memimpin dalam kontradiksi dasarnya. Kekuatan rakyat yang berlawan adalah segi kontradiksi yang lemah, tidak memimpin. Kedua segi yang berkontradiksi ini tidaklah tetap, bisa berubah. Yang kuat berubah menjadi lemah, sebaliknya yang lemah bisa berubah menjadi kuat. Kegiatan pejuang kemerdekaan, mengorganisasi, menggerakkan rakyat berpolitik, meningkatkan kesadaran rakyat, adalah usaha untuk mengubah kekuatan yang lemah itu menjadi kuat. Dalam situasi belum mampu mengalahkan kekuasaan kolonial Belanda, maka membangun dan memperkuat kekuatan rakyat yang berjuang merupakan kontradiksi pokok. Dengan kegiatan ini, segi rakyat yang berjuang dapat diperkuat. Jadi segi‐segi yang saling berjuang, segi‐segi
XII — Tentang Hukum Kontradiksi: Kontradiksi Dasar dan Kontradiksi Pokok | 263
yang berkontradiksi dalam kontradiksi dasar itu bisa berubah. Karena pecahnya Perang Asia Timur Raya, kekuasaan kolonial Belanda menjadi goyah dan ambruk, kedudukannya sebagai segi kontradiksi yang memimpin digantikan oleh kekuasaan fasis Jepang. Adanya segi kontradiksi baru, fasis Jepang yang memegang kekuasaan, segi kontradiksi yang memimpin, maka hakikat masyarakat Indonesia berubah menjadi masyarakat penjajahan Jepang. Untuk mengubah satu hal ihwal, perlu diperhatikan segi‐segi kontradiksi hal ihwal tersebut. Segi‐segi kontradiksi itu tidak tetap, bisa berubah. Yang lemah menjadi kuat, yang kuat jadi lemah. Dengan bermacam ragam kegiatan, bisa diusahakan mengubah segi‐segi kontradiksi itu menurut kebutuhan. Perlu dicengkam segi pokok kontradiksi, yaitu segi yang berdominasi, yang menentukan hakikat hal ihwal.
264 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
XIII Hukum Negasi dari Negasi DI samping hukum persatuan dan perjuangan dari segi‐segi yang bertentangan, yaitu hukum kontradiksi yang adalah inti dialektika, terdapat hukum‐hukum dialektika lainnya: hukum negasi dari negasi dan hukum perubahan‐perubahan kuantitatif menjadi perubahan kualitatif. Sejarah alam semesta adalah sejarah perubahan isi alam. Secara terus‐menerus terjadi lahirnya yang baru dari yang lama. Penggantian yang lama oleh yang baru terjadi dalam semua isi alam. Terjadi dalam benda‐ benda langit di tata surya, terjadi dalam kehidupan di bumi, dalam flora dan fauna, dalam kehidupan makhluk manusia dan makhluk hewani. Juga dalam masyarakat manusia. Penggantian yang lama oleh yang baru terjadi juga dalam ilmu pengetahuan. Hal ini terjadi dalam matematika, biologi, kimia, fisika, masyarakat manusia, serta alam pikiran manusia. Perubahan silih berganti ini berlangsung tak habis‐habisnya. Inilah hukum negasi dari negasi. Karena itu, hukum negasi dari negasi adalah salah satu hukum umum dialektika. Dengan menguasai hukum ini dapat dipahami proses perubahan suatu hal ihwal, dapat diramalkan perubahan satu hal ihwal, bahkan dapat dikendalikan arah perubahan satu hal ihwal. Lahirnya bayi dari kandungan ibu, menghasilkan keturunan yang melanjutkan ciri‐ciri pokok orang tuanya, ciri‐ciri pokok sang bapak dan ibu. Di sini terjadi, yang baru lahir dari yang lama. Yang baru berpisah dengan yang lama, yang baru adalah negasi yang lama. Yang baru tak sepenuhnya sama dengan yang lama, tetapi ciri‐ciri pokok yang lama terdapat padanya. Dalam satu hal ihwal yang berubah, bibit yang baru sudah terdapat dalam yang lama. Bayi sebagai negasi dari ibu itu XIII — Hukum Negasi dari Negasi | 265
tumbuh menjadi dewasa. Pada waktunya akan dinegasi lagi oleh lahirnya bayi baru dari kandungannya. Turun‐temurun, silih berganti, berlangsunglah negasi dari negasi dalam kehidupan manusia. Proses silih berganti ini berlangsung tak habis‐habisnya. Di sini kata negasi adalah istilah filsafat. Artinya adalah pengganti dan kelanjutan dari yang lama, jadi bukanlah berarti bantahan atau pembatalan sebagaimana yang dipahami dalam istilah pergaulan. Tumbuh‐tumbuhan, turun‐temurun berlangsung mengikuti hukum perubahan ini. Dalam proses turun‐temurun, terjadi perubahan, hingga sifat‐sifat yang lama tak sepenuhnya dipertahankan, tapi ditambah dengan sifat‐sifat baru. Misalnya, biji rambutan jika ditanam akan tumbuh pohon. Yang tumbuh bukan pohon mangga, tapi rambutan. Buahnya tetap rambutan, sama dengan rambutan yang bijinya ditanam itu. Bisa terjadi perubahan, rasanya bertambah manis atau menjadi kurang manis. Hakikat pokoknya tetap rambutan. Dalam perubahan ini berlaku hukum dialektika negasi dari negasi. Yang baru, lahir dari yang lama. Yang lama, biji rambutan lama hilang, dinegasi, muncul yang baru. Yang baru tetap memiliki sifat‐sifat yang lama. Yang baru adalah negasi dari yang lama. Dalam yang lama sudah terkandung bibit yang baru. Dalam proses perubahan selanjutnya, yang baru ini akan dinegasi lagi dan muncul lagi yang baru. Ini adalah negasi dari negasi yang dialektis. Jika biji rambutan itu dipukul dengan palu, atau diinjak dengan sepatu, bisa hancur, menjadi lenyap, dinegasi, tapi tidak melahirkan yang baru. Ini adalah negasi yang tidak dialektis, adalah negasi yang non‐dialektis. Dalam hal ini tidak terjadi perkembangan. Untuk perkembangan satu hal ihwal, diperlukan negasi yang dialektis, yaitu ada syarat bagi lahirnya pengganti yang dinegasi. Dengan menguasai hukum negasi dari negasi, perkembangan biologi bisa dikendalikan dengan menciptakan syarat‐syarat bagi munculnya negasi yang diinginkan. Dengan demikianlah ditemukan bibit unggul, hingga bisa meningkatkan hasil pertanian. Begitu pula dalam peternakan, turun‐temurunnya ternak yang dipelihara bisa ditingkatkan kualitasnya dengan menciptakan syarat‐syarat yang dibutuhkan bagi negasi yang dilahirkan dari ternak induk. Hukum negasi dari negasi juga berlaku dalam matematika. Jika bilangan a dinegasi, ia menjadi –a. Bilangan –a adalah negasi dari bilangan a. Dan jika bilangan –a dinegasi lagi dengan mengalikannya
266 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
dengan –a , kita mendapat +a pangkat dua, yaitu bilangan a positif semula, tapi dalam tingkat lebih tinggi, a pangkat dua. Terjadi pengulangan, dengan yang baru itu lebih tinggi dari yang semula. Demikian pula kita bisa mendapat a pangkat dua dengan mengalikan a dengan a. A pangkat dua jika dicabut akarnya akan menghasilkan +a atau –a. Yang lama dinegasi, muncul yang baru dengan tetap membawa ciri unsur yang lama. Terjadi proses silih berganti. Operasi‐operasi matematika adalah proses negasi dari negasi. Mulai dari operasi‐operasi sederhana, seperti penambahan, pengurangan, pengalian, pembagian, pencabutan akar, sampai operasi matematika yang rumit seperti logaritma, persamaan diferensial, dan persamaan integral. Bahkan matematika modern pemodelan, komputasi dan simulasi adalah proses negasi dari negasi.246 Dalam sejarah, terjadi perubahan masyarakat dari masyarakat komune primitif menjadi masyarakat perbudakan, masyarakat perbudakan digantikan lagi oleh masyarakat feodal, masyarakat feodal digantikan oleh masyarakat kapitalis. Peralihan masyarakat komune primitif menjadi masyarakat perbudakan adalah lewat hancurnya masyarakat komune primitif, dinegasinya masyarakat komune primitif, dan digantikan oleh negasinya, yaitu masyarakat perbudakan, dan seterusnya. Hukum negasi dari negasi juga berlaku dalam proses perubahan masyarakat dalam sejarah Indonesia. Masyarakat jajahan lenyap, diganti oleh masyarakat Indonesia merdeka. Penjajahan dinegasi oleh kemerdekaan. Kekuasaan politik kolonial digantikan oleh kekuasaan pemerintah nasional. Dari segi hukum dialektika negasi dari negasi, pemerintah sipil Bung Karno digulingkan oleh rezim Soeharto, dinegasi dengan mendirikan kediktatoran militer. Pemerintah Bung Karno yang bekerja sama dengan komunis, yang mengangkat semboyan nasakom, dinegasi oleh pemerintah Soeharto yang anti‐komunis. Teror anti‐ komunis dengan pembantaian ratusan ribu manusia oleh rezim Soeharto hanyalah satu adegan dari skenario global pembasmian komunisme dunia yang digalakkan Amerika Serikat. Bibit‐bibit anti‐ komunis itu sudah terdapat dalam pemerintah Bung Karno, yaitu 246
Baca karya Prof. M. Bunjamin, Pemodelan, Komputasi, dan Simulasi, dalam Sains dan Teknologi. XIII — Hukum Negasi dari Negasi | 267
Golkar dan kekuatan kanan Angkatan Darat yang mengikuti strategi Perang Dingin, strategi the Policy of Containment—pembasmian komunisme dunia—yang dikobarkan Amerika Serikat. Hukum negasi dari negasi berlaku dalam proses penggulingan dan penggantian pemerintah Bung Karno. Hukum negasi dari negasi berlaku pula bagi proses perkembangan semua ilmu pengetahuan, termasuk ilmu sosial. Mekanika Newton digantikan oleh mekanika kuantum kelanjutan dari gagasan Niels Bohr tentang kuantum. Filsafat bertarung jalin‐berjalin antara materialisme dan idealisme. Dialektika Hegel yang idealis diserap dan dijungkirbalikkan oleh Marx menjadi dialektika materialis. Materialisme Feuerbach yang metafisik dijungkirbalikkan menjadi materialisme dialektik. Ajaran‐ajaran ekonomi politik Adam Smith dan David Ricardo diserap dan dikembangkan oleh Marx dan Engels dengan karya Das Kapital dan lain‐lain. Lahirnya Marxisme adalah negasi dari ilmu sosial yang sudah ada sebelumnya, yaitu semua ilmu sosial yang membenarkan penghisapan manusia oleh manusia. Marx bukan hanya memakukan ajaran perjuangan klas dari tokoh‐tokoh ilmu sosial sebelumnya, bahkan melengkapinya dengan ajaran tentang diktatur proletariat. Dalam perkembangan masyarakat kapitalis, Marxisme sudah tidak memadai untuk melawan penghisapan kapital, untuk mewujudkan masyarakat bebas dari penghisapan kapital, masyarakat tanpa penghisapan manusia oleh manusia, untuk mewujudkan sosialisme. Ajaran Marx tentang diktatur proletariat yang ditentang oleh Bernstein, Kautsky, dan kaum sosial‐demokrat, dibela oleh Lenin. Dengan tegas Lenin menyatakan, bahwa seseorang barulah Marxis, jika di samping menerima ajaran klas dan perjuangan klas, juga menerima ajaran diktatur proletariat. Memang, ajaran tentang klas dan perjuangan klas bukanlah penemuan Marx. Jauh mendahului Marx, ajaran tentang klas dan perjuangan klas sudah dipaparkan oleh tokoh sosialisme utopi Perancis, Claude Henry Saint‐Simon, lebih‐lebih lagi Adam Smith dan David Ricardo. Jadi yang asli dari Marx bukanlah ajaran perjuangan klas, tetapi ajaran tentang diktatur proletariat. Lenin bukan hanya membela ajaran diktatur proletariat Marx, tetapi dengan konsekuen melaksanakannya dalam praktek hingga berhasil memimpin Revolusi Oktober Sosialis Rusia tahun 1917 serta
268 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
mendirikan Uni Republik‐republik Sovyet Sosialis (URSS). Mendirikan negara diktatur proletariat yang pertama di dunia. Lenin mengembangkan ajaran tentang sosialisme, mulai dari filsafat, ekonomi politik, pembangunan partai politik proletariat, hingga Marxisme menjadi Leninisme. Leninisme lahir dari Marxisme. Dipandang secara filosofis, dari segi metode dialektika, Leninisme adalah negasi dari Marxisme. Teori tentang sosialisme tidak berhenti sampai Leninisme. Di Tiongkok, Leninisme yang dipraktekkan dalam revolusi dan dalam pembangunan sosialis berkembang menjadi Pikiran Mao Zedong. Pelaksanaan Pikiran Mao Zedong dalam pembangunan sosialisme bercirikan Tiongkok di ujung abad ke‐20 melahirkan Teori Deng Xiaoping. Di Vietnam, berdasarkan syarat‐syarat sejarahnya sendiri, Marxisme–Leninisme berkembang dengan Pikiran Ho Chi Minh. Di Republik Demokrasi Korea, Marxime–Leninisme berlanjut menjadi ajaran Juche dari Kim Il Sung. Partai Komunis Kuba yang dipimpin Fidel Castro tetap menjadikan Marxisme–Leninisme sebagai ideologi pembimbing partai, memimpin pembangunan sosialisme di Kuba. Demikianlah hukum negasi dari negasi berlaku dalam perkembangan teori sosialisme. Bahkan di Tiongkok, pada awal abad ke‐21, sebagai hasil dari penyimpulan pengalaman dalam pembangunan sosialisme berkepribadian Tiongkok, Teori Deng Xiaoping diperkaya lagi dengan Pikiran Penting Tiga Butir Mewakili yang diajarkan oleh Jiang Zemin, selanjutnya diperkaya lagi dengan Pandangan Ilmiah Tentang Perkembangan yang dicetuskan oleh Hu Jintao. Dengan demikian, ideologi pembimbing Partai Komunis Tiongkok dewasa ini adalah Marxisme–Leninisme, Pikiran Mao Zedong, Teori Deng Xiaoping, Pikiran Penting Tiga Butir Mewakili, serta Pandangan Ilmiah tentang Perkembangan. Jadi Marxisme tidaklah mandeg, tetapi berkembang terus. Maka perkembangan teori sosialisme juga mengikuti hukum dialektika negasi dari negasi, yaitu berkembang maju terus‐menerus. Berdasarkan penyimpulan pengalaman praktek, muncul rumusan baru melengkapi yang lama, yang lama tak ditinggalkan atau dibuang. Ambruknya Uni Sovyet dan lahirnya berbagai republik yang berdaulat, juga adalah mengikuti hukum negasi dari negasi. Uni Republik‐republik Sovyet Sosialis dinegasi oleh berbagai negara
XIII — Hukum Negasi dari Negasi | 269
berdaulat. Sebabnya adalah, pimpinan URSS mencampakkan ajaran diktatur proletariat. Ajaran diktatur proletariat dinegasi oleh gagasan Khrusycyov tentang negara seluruh rakyat dan partai seluruh rakyat. Selanjutnya dilengkapi lagi oleh ajaran Gorbacyov dalam bukunya Pyeryestroika I Novoye Mishlyeniye (Perestroika dan Pemikiran Baru) yang mencampakkan ajaran Lenin tentang diktatur proletariat. Ini adalah negasi dari Leninisme. Negasi dari Leninisme menghasilkan negasi dari URSS, inilah yang menyebabkan ambruknya URSS. Hancurnya Uni Sovyet bukanlah karena salahnya Marxisme–Leninisme atau bangkrutnya Marxisme–Leninisme, tapi karena dicampakkannya ajaran perjuangan klas dan diktatur proletariat yang menjadi batu alas ajaran Marxisme–Leninisme. Dengan ambruknya Uni Sovyet, kekuatan anti‐sosialisme dunia bergendang paha, bersorak‐sorai mempropagandakan bangkrutnya Marxisme. Tetapi kenyataan, sosialisme dan gerakan untuk sosialisme tidaklah punah di dunia. Tiongkok dengan sukses membangun ekonomi yang mengagumkan dunia. Republik Rakyat Tiongkok dengan seperlima penduduk dunia itu adalah negara diktatur multipartai di bawah pimpinan Partai Komunis Tiongkok, diktatur proletariat yang disesuaikan dengan kondisi‐kondisi sejarah Tiongkok. Partai Komunis Tiongkok menjadikan Marxisme–Leninisme ideologi pembimbingnya. Dengan demikian, sukses‐sukses pembangunan sosialisme berkepribadian Tiongkok adalah demonstrasi kemenangan Marxisme yang tak terbantahkan. Kenyataan ini diperkuat lagi dengan sukses‐ sukses Republik Sosialis Vietnam dalam pembangunan, hingga Vietnam tampil sebagai kekuatan ekonomi baru Asia Tenggara. Kemenangan Partai Komunis Nepal (Maois) melawan otokrasi feodal Nepal hingga wakilnya masuk pemerintah Nepal, dan gelora kebangkitan rakyat‐ rakyat Amerika Latin dengan dipelopori Venezuela mengumandangkan cita‐cita membangun sosialisme, adalah demonstrasi yang jelas‐jemelas, terang benderang bagaikan bersuluh matahari menunjukkan kemenangan‐kemenangan baru Marxisme.
270 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
XIV Hukum Peralihan: Perubahan‐Perubahan Kuantitatif Menjadi Perubahan Kualitatif MENGENAL dan memahami kualitas hal ihwal adalah sangat penting. Setiap hari dalam kehidupan, kita menemui dan berhubungan dengan sesuatu yang kita kenal dari kualitasnya. Benda apa saja yang ditemui, selalu berada dalam jumlah atau ukuran tertentu. Nasi berada dalam ukuran sepiring nasi, sesendok nasi, empat gelas kopi, beberapa jilid buku, sekian ekor burung. Sepiring, sesendok, empat gelas, beberapa jilid, sekian ekor adalah ungkapan menunjukkan jumlah, menunjukkan ukuran banyak atau kuantitas dari nasi, kopi, buku, burung. Semua benda atau hal ihwal yang dihadapi manusia selalu berada dalam kuantitas tertentu. Secara alamiah, terdapat hubungan kuantitas dengan kualitas. Tak ada kualitas tanpa kuantitas, demikian pula tak ada kuantitas tanpa kualitas. Hubungan dialektis antara kuantitas dan kualitas ini mempunyai arti filosofis. Diperlukan ketelitian untuk mengenal dan memahami hakikat atau kualitas hal ihwal. Hal ihwal yang sederhana, mudah dibedakan dan dikenal kualitasnya. Tapi yang rumit, tidaklah gampang mengenalnya. Batu dan air gampang dibedakan. Batu benda padat, air benda cair. Dua sifat benda ini tidak sulit dibedakan. Tetapi bagaimana membedakan Partai Golkar dengan PDI Perjuangan? Keduanya partai politik. Jadi sama. Tapi hakikat kualitasnya tidaklah sama. Golkar semenjak lahir sudah ditentukan untuk melawan SOBSI dan PKI, untuk mencegah kemenangan kaum kiri dalam pemilihan umum, menentang politik‐politik Bung Karno. Dalam rezim fasis Soeharto, Golkar adalah
XIV — Hukum Peralihan | 271
tulang punggung kekuasaan orba bersama Angkatan Darat. Golkar adalah pembela tangguh Soeharto hingga bisa berkali‐kali memenangkan mutlak pemilihan Soeharto sebagai presiden. Golkar adalah tulang‐punggung penting kediktatoran orba. Sampai sekarang Golkar tetap menduduki tempat berkuasa. Sedangkan PDI Perjuangan lahir dari PNI dan berbagai partai politik lain yang dulunya mendukung politik Bung Karno, termasuk mendukung persatuan nasional berporos nasakom, pernah punya sejarah ditindas Soeharto hingga terjadi Peristiwa 27 Juli demi menyingkirkan Megawati dari kedudukan memimpin PDI Perjuangan. Sementara kadernya masih ada yang bersuara membela Marhaenisme Bung Karno. Dengan demikian kualitas dua partai politik ini tidaklah sama. Untuk mengenal hakikat kualitas sesuatu diperlukan penelitian akan sifat‐sifat, sikap‐sikap dalam berhubungan dengan yang ada di sekitarnya, diperlukan pengetahuan tentang kekhususan hal ihwal tersebut. Tidak bisa secara gampang‐gampangan dan subjektif menetapkannya. Kerancuan mengenai sejarah Indonesia terjadi justru karena tidak ilmiah menetapkan kualitas atau hakikat peristiwa‐ peristiwa bersejarah. Peristiwa Madiun dinyatakan sebagai pemberontakan PKI. Padahal ini adalah proses pembasmian pimpinan utama PKI, sebagai realisasi strategi Perang Dingin yang dikobarkan Amerika Serikat dalam rangka membasmi komunisme dunia. Tanpa bukti‐bukti yang meyakinkan, G30S pun dinyatakan sebagai pemberontakan PKI. Kesalahan menentukan kualitas hal ihwal bisa menimbulkan akibat yang fatal. Berapa banyak warga negara Indonesia yang sampai kini mengalami persekusi diskriminasi akibat kesalahan penguasa menilai kualitas Peristiwa G30S. Pengenalan manusia atas hal ihwal sekelilingnya selalu berubah maju, sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Di kala ilmu fisika masih jauh terbelakang, filsuf materialis Demokritos mengatakan, bahwa hanya pada perasaan manusia ada warna, aroma wangi, bau busuk; sebenarnya yang ada di alam raya itu hanyalah atom dan ruang hampa. Pandangan ini masih didukung oleh Galileo Galilei yang menyatakan bahwa jika kita membuang telinga, lidah, dan hidung, maka yang tinggal adalah bentuk‐bentuk benda dan gerak, tapi tidak terdapat bunyi suara, rasa enak, bau wangi, dan busuk; maka di luar manusia tak ada lagi selain dari ruang hampa. Adanya warna dan
272 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
aroma dianggap tergantung pada perasaan manusia, bukan secara objektif ada di alam raya. Pada abad ke‐17 sampai ke‐18, orang membedakan benda‐benda dari sifat‐sifat mekaniknya, yaitu dari sifat‐sifat keras dan lembut, cair dan padat. Ini didukung oleh teori mekanika Newton yang sangat besar pengaruhnya dalam fisika di zaman itu. Dari mencermati panas dan api, orang menganggap api itu adalah terdiri dari satu zat yang dinamakan flogiston. Lahirlah teori flogiston yang mendahului perkembangan ilmu kimia. Fisika berkembang pesat berkat ditemukannya mikroskop, dan kemajuan di bidang optika, maka dengan analisa spektrum— penguraian warna—tambah diketahui sifat‐sifat warna, hingga dengan perkembangan teori elektromagnet sampai ditemukan bahwa warna sinar merah itu adalah getaran elektromagnet dengan frekuensi 450 triliun dalam satu detik, dan warna biru adalah getaran elektromagnet dengan frekuensi 620 triliun dalam satu detik. Jadi, warna itu ada secara objektif, bukan tergantung pada perasaan manusia. Kemudian diketahui bahwa api itu bukanlah bersumber pada zat flogiston, tapi karena terjadinya reaksi kimia persenyawaan dengan oksigen. Jadi, sampai abad ke‐18 masih ada benda‐benda alam yang belum diketahui manusia kualitasnya. Kualitas satu hal ihwal tidaklah tergantung pada kemauan manusia, tetapi ada secara objektif pada hal ihwal tersebut. Hakikat atau kualitas satu hal ihwal adalah keseluruhan ciri‐cirinya, yang membedakan dengan benda atau hal ihwal lain. Perubahan satu hal ihwal terjadi bila kualitasnya itu berubah. Manusia lahir, dari bayi menjadi remaja, kemudian menjadi orang dewasa, selanjutnya jadi tua bangka, akhirnya meninggal, jadi mayat. Manusia berubah menjadi mayat. Manusia dan mayat adalah dua kualitas yang berbeda. Dengan meninggal, terjadi perubahan manusia jadi mayat. Yang berubah adalah kualitas manusia. Perubahan ini adalah perubahan kualitatif. Dalam alam raya, terus‐menerus terjadi perubahan kualitas hal ihwal, terjadi perubahan‐perubahan kualitatif. Air berubah menjadi uap, yaitu benda cair berubah jadi uap. Atom uranium berubah menjadi helium dalam proses transmutasi nuklir. Dalam sejarah terjadi perubahan‐perubahan kualitatif masyarakat, masyarakat komune primitif berubah menjadi masyarakat perbudakan. Masyarakat perbudakan berubah jadi masyarakat feodal. Dalam sejarah Indonesia, selama abad ke‐20 terjadi perubahan masyarakat penjajahan
XIV — Hukum Peralihan | 273
Belanda menjadi masyarakat penjajahan Jepang; masyarakat penjajahan Jepang berubah menjadi masyarakat merdeka. Masyarakat manusia mengalami perubahan‐perubahan kualitatif dalam sejarah. Dalam perkembangan sejarah, ilmu pengetahuan juga mengalami perubahan‐perubahan kualitatif. Dari materialisme Demokritos yang mengajarkan unsur materi terkecil adalah atom yang tak bisa dibagi lagi, berkembang dengan ajaran Leukippos yang mengajarkan adanya ruang hampa yang tak terhingga, atom‐atom itu bergerak di dalam ruang hampa itu, dan Epikurus menambahkan lagi bahwa gerak‐gerak atom itu adalah disebabkan oleh kekuatan dalam atom itu sendiri. Muncul pula aliran yang menyatakan adanya kekuatan luar yang menentukan gerak materi. Dunia filsafat jadi terbagi dua kubu. Materialisme dan idealisme. Pandangan materialisme yang menyatakan materi yang utama dan ide sekunder, bertarung terus dengan idealisme yang menyatakan ide yang utama dan materi adalah sekunder. Sampai kini dipahami, bahwa masalah terpokok dalam filsafat adalah masalah hubungan antara ide dan materi, antara pikiran dan kenyataan. Sampai pada materialisme Feuerbach yang metafisis dan dijungkirbalikkan oleh Marx menjadi materialisme dialektis. Demikian pula metode berpikir. Metode berpikir dialektika yang bersumber pada ajaran Herakleitos Panta Rhei, segala‐galanya mengalir, segala‐galanya berubah berkembang. Metode berpikir ini berkembang sampai dialektika Hegel yang idealis. Selanjutnya dijungkirbalikkan Marx menjadi dialektika materialis. Perubahan‐perubahan terjadi terus‐ menerus. Satu abad yang lalu, tahun 1908, materialisme Marx dikembangkan oleh Lenin dengan karyanya Materialisme dan Empiriokritisisme. Dalam karya ini Lenin memaparkan kritik atas kaum empiriokritisis, penganut paham materialisme yang subjektif‐idealis, yaitu yang menganut paham Machisme untuk menggantikan Marxisme. Machisme sesungguhnya adalah penganut idealisme subjektif dan agnostisisme. Juga dipaparkan pemahaman tentang materi, ruang dan waktu, pengalaman, sebab dan akibat, kebebasan dan keharusan. Lenin memaparkan sesuatu yang baru, yaitu sifat filsafat Marxis yang memihak, membantah pandangan borjuasi yang menyatakan filsafat itu netral, objektif tanpa memihak. Filsafat Marxis adalah memihak kaum tertindas, adalah berwatak klas. Karena itu materialisme dialektis dimusuhi
274 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
oleh borjuasi. Dengan demikian, Marxisme juga berkembang maju, dari Marxisme jadi Marxisme–Leninisme. Lenin mendalami masalah metode berpikir dialektika. Secara brilian mengajukan dalam karya Tentang Masalah Dialektika bahwa inti dialektika adalah hukum kontradiksi. Belajar dari Lenin, tujuh puluh tahun yang lalu, tahun 1937, Mao Zedong tampil dengan karya Tentang Kontradiksi yang memaparkan secara populer salah satu hukum dialektika materialis, tentang metode berpikir Marxis. Yang lama digantikan yang baru. Dalam yang baru masih terdapat unsur‐unsur yang lama. Marxisme adalah ilmu sosial yang menyerap semua pandangan pendahulunya: filsafat materialisme dan dialektika Jerman, ekonomi politik Inggris serta teori sosialisme Perancis. Dengan sumbangan Lenin di bidang filsafat, ekonomi politik, pembangunan partai klas pekerja dan plan pembangunan sosialisme, Marxisme berkembang menjadi Marxisme–Leninisme. Praktek pelaksanaan Marxisme–Leninisme di berbagai negeri melahirkan pengalaman yang disimpulkan menjadi teori. Di Tiongkok, Marxisme–Leninisme berkembang menjadi Pikiran Mao Zedong, Teori Deng Xiaoping, Pikiran Penting Tiga Mewakili dari Jiang Zemin, dan Pandangan Ilmiah tentang Perkembangan dari Hu Jintao. Di Korea, Marxisme–Leninisme berlanjut menjadi ajaran Juche dari Kim Il Sung. Di Vietnam berkembang dengan Pikiran Ho Chi Minh. Di Kuba, Marxisme–Leninisme tetap menjadi ideologi pembimbing Partai Komunis Kuba di bawah pimpinan Fidel Castro. Perubahan‐perubahan terjadi, yang baru adalah lebih maju, tapi tetap mengandung unsur pokok yang lama. Adalah tidak benar yang menyatakan bahwa Marxisme itu sudah ketinggalan zaman. Kenyataan ialah Marxisme berkembang terus sesuai dengan perkembangan zaman. Pengalaman hidup mengajarkan, bahwa perubahan kualitatif satu hal ihwal terjadi lewat satu proses tertentu. Perubahan bayi membesar menjadi remaja, remaja menjadi orang dewasa, orang dewasa menjadi tua bangka adalah perubahan yang dialami manusia hidup. Terjadi perubahan, tapi kualitas manusia tidak berubah. Perubahan ini adalah perubahan kuantitatif. Ketika manusia meninggal, manusia berubah jadi mayat, maka terjadilah satu loncatan, yaitu terjadi perubahan kualitas hal ihwal. Perubahan ini adalah perubahan kualitatif. Perubahan kuantitatif beralih menjadi perubahan kualitatif. Perubahan kualitatif terjadi sebagai satu
XIV — Hukum Peralihan | 275
loncatan dari perubahan‐perubahan kuantitatif. Perubahan kuantitatif berlangsung dengan berangsur‐angsur. Ini adalah salah satu hukum pokok dialektika. Hukum ini berlaku dalam semua perubahan hal ihwal. Mengenal dan menguasai perubahan‐perubahan kuantitatif adalah sangat penting untuk mengendalikan perubahan hal ihwal. Perubahan‐ perubahan kuantitatif yang berlangsung secara berangsur‐angsur dapat dan perlu dikendalikan untuk mencapai tujuan perubahan kualitatif. Naik panggungnya Soeharto dengan menggulingkan Bung Karno adalah perubahan kualitas kekuasaan negara RI. Dari pemerintah yang tangguh melawan imperialisme berubah menjadi mengekor Amerika Serikat. Perubahan ini adalah perubahan kualitatif. Perubahan ini terjadi lewat perubahan yang berangsur‐angsur, lewat perubahan‐perubahan kuantitatif. Dimulai dengan Soeharto membangkang pada panglima tertinggi dengan menentang pengangkatan Jenderal Pranoto sebagai Panglima Angkatan Darat, menciptakan syarat lahirnya Surat Perintah Sebelas Maret, menyalahgunakan Surat Perintah Sebelas Maret dengan membubarkan PKI, menangkapi menteri‐menteri pembantu setia Bung Karno, memecat para pendukung Bung Karno dari MPRS Gotong Royong, lewat MPRS yang sudah dikebiri itu mengambil keputusan menolak pidato Nawaksara Bung Karno, maka dicabutlah mandat MPRS pada Bung Karno, dan Soeharto diangkat menjadi pejabat presiden dan akhirnya menjadi presiden. Terjadilah perubahan kualitatif dalam kekuasaan negara RI. Perubahan kualitatif terjadi lewat perubahan‐ perubahan kuantitatif. Tiga puluh dua tahun kekuasaan Soeharto berlangsung lewat kediktatoran militer yang mahakejam. Dengan tulang punggung Angkatan Darat dan Golkar, Soeharto menjadikan Indonesia neraka dunia. Pembantaian atas manusia yang mengorbankan manusia tak bersalah dalam jumlah yang tak ada taranya dalam sejarah, membikin halaman paling gelap dalam sejarah Indonesia. Pembodohan yang melanda Indonesia dewasa ini adalah buah dari kediktatoran orba selama hampir sepertiga abad. Begitu rendahnya pembodohan itu sampai Pancasila dinyatakan sakti, hingga ada peringatan Kesaktian Pancasila. Hanyalah dengan perubahan kualitas kekuasaan negara RI, yaitu tuntasnya dilenyapkan kekuasaan orba, barulah pembodohan itu dapat dihilangkan. Haruslah disadari bahwa hal ini tidaklah gampang. Rezim
276 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
militer fasis yang menodai sejarah Indonesia ini bisa bertahan hampir sepertiga abad karena didukung oleh kekuasaan adikuasa dunia, Amerika Serikat. Tetapi kedudukan Soeharto yang demikian kokoh itu pun tidak lepas dari hukum dialektika sejarah, yaitu tidaklah abadi, dan bisa berubah, hingga Soeharto lengser. Lengsernya Soeharto tidaklah membawa perubahan kualitatif pada kekuasaan negara RI. Yang terjadi hanyalah perubahan kuantitatif. Perubahan kualitatif kekuasaan negara mungkin dan bisa terjadi. Rakyat akan bangkit berjuang untuk itu. Adalah sangat penting memahami adanya perubahan‐perubahan kuantatif dalam semua perubahan hal ihwal. Memahami, mengendalikan, menggunakan atau memberi arah pada perubahan‐ perubahan kuantitatf, adalah cara untuk bisa mencapai perubahan kualitatif sebagaimana yang diharapkan. Untuk itu, pertama‐tama haruslah tepat menilai kualitas hal ihwal yang sedang berubah dan mengenal perubahan‐perubahan yang terjadi, betapa pun kecilnya perubahan itu. Dari himpunan perubahan‐perubahan kecil yang bersifat kuantitatif itulah akan lahir loncatan terjadinya perubahan kualitatif. Pandangan yang menginginkan perubahan kualitatif tanpa adanya perubahan kuantitatif adalah pandangan yang tidak dialektis. Ini berarti mengingkari dialektika. Di samping itu, rakyat harus dibebaskan dari belenggu cara berpikir yang tidak ilmiah. Harus dilenyapkan kebiasaan serba‐percaya dan serba‐menerima. Harus ditegakkan cara berpikir ilmiah, menggunakan metode berpikir dialektika materialis, demi mencari kebenaran dari kenyataan, segala‐galanya bertolak dari kenyataan.
XIV — Hukum Peralihan | 277
278 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
XV Materialisme Historis: Penerapan Materialisme Dialektis dalam Ilmu Kemasyarakatan
1. Kehidupan Sosial Menentukan Pikiran Manusia MARX dan Engels mengajarkan materialisme dialektis tidak hanya bagi pemecahan masalah‐masalah alam semesta, tapi juga berlaku bagi pemecahan masalah‐masalah kemasyarakatan. Penerapan materialisme dialektis dalam masalah kemasyarakatan berarti memandang sejarah secara materialistis. Karena itu pandangan ini disebut materialisme historis. Adalah Marx yang pertama menggunakan materialisme dialektis dalam mempelajari masyarakat, mempelajari sejarah manusia. Kenyataan menunjukkan bahwa pikiran manusia adalah hasil kerja otak. Sebelum ada pikiran, haruslah ada otak yang berpikir. Sebelum bisa berpikir, manusia harus makan. Inilah manifestasi pikiran, ide, tergantung pada otak, pada materi. Materi dulu baru ada pikiran, ada ide.247 Dalam masyarakat terdapat berbagai macam saling hubungan. 247
Apa pun yang dilakukan manusia dalam praktek sehari-hari, pertama sekali harus melalui otaknya. Kesadarannya membedakan secara fundamental dari semua makhluk yang lain. Karl Marx menjelaskan hal ini dalam Das Kapital, “Tetapi yang langsung membedakan arsitek yang paling buruk dari seekor lebah yang paling pandai adalah, bahwa ia telah membangun sel itu di dalam kepalanya sebelum ia (si arsitek) membangunnya dari lilin. Pada akhir setiap proses kerja muncul suatu hasil yang sudah sejak awal dibayangkan oleh pekerja itu, karenanya sudah ada secara ideal/angan-angan.” (Karl Marx, Kapital, Jilid 1, Hasta Mitra, Jakarta, h.178). XV — Materialisme Historis | 279
Hubungan antara sesama manusia, hubungan dalam kehidupan, mengenai ekonomi, politik, keagamaan, hukum, moral, kebudayaan, kekuasaan, dan sebagainya. Materialisme historis mempelajari semua hubungan yang ada dalam masyarakat, dalam sejarah. Dalam studi mengenai sejarah, Marx sampai pada satu ide yang mendasar, yaitu adalah masalah hubungan‐hubungan produksi yang memainkan peranan menentukan bagi hubungan‐hubungan lainnya. Marx menulis, “Penelitian yang saya lakukan menghasilkan bahwa dalam produksi sosial dalam kehidupan, manusia masuk dalam hubungan‐hubungan yang pasti, yaitu hubungan‐hubungan produksi yang bersangkutan dengan tingkat tertentu dari perkembangan tenaga‐tenaga produktif mereka. Hasil semua dari hubungan‐hubungan produksi itu adalah struktur ekonomi masyarakat tersebut, adalah dasar sejati dari bangunan atas, hukum dan politik yang menyangkut atau berhubungan dengan bentuk‐bentuk tertentu dari kesadaran masyarakat. Cara produksi materiil untuk kebutuhan hidup menentukan proses hidup politik dan intelektual pada umumnya. Bukanlah kesadaran manusia yang menentukan kehidupannya, tapi sebaliknya keadaan kehidupan sosialnya yang menentukan kesadarannya.”248
2. Cara Produksi MATERIALISME historis adalah penggunaan materialisme dialektis untuk meninjau masyarakat. Masyarakat dipandang sebagai materi, sesuatu yang hidup, berubah, dan berkembang. Masyarakat adalah berbeda secara kualitatif dari materi umumnya. Tetapi masyarakat dan materi umumnya mempunyai kesamaan sifat yang hakiki, yaitu sifat yang selalu berubah, yang selalu berkembang. Dunia materi, alam raya berubah dengan sendirinya, secara alamiah, tanpa peranan pikiran atau gagasan pikiran yang mempengaruhi atau merencanakan. Masyarakat berunsurkan manusia yang menggunakan otak berpikir. Gerak perubahan masyarakat tidaklah dengan sendirinya, tetapi karena tindakan manusia, karena pengaruh, keinginan, gagasan dan
248
V.I. Lenin, Socinyeniya, Izdaniye cyetvyertoye, Tom 1, Kumpulan Karya, cetakan keempat, Jilid 1, 1950, h.125.
280 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
tindak‐tanduk, bahkan karena rencana manusia. Masyarakat bergerak, berubah karena peranan manusia yang memainkan peranan penggagas atau perencanaan. Gerak yang utama manusia dalam masyarakat adalah berbuat untuk memenuhi kebutuhan hidup, menghasilkan kebutuhan hidup, berproduksi. Untuk berproduksi, manusia menggerakkan tangan, menggunakan tenaga. Inilah tenaga produktif. Tenaga produktif masyarakat adalah yang utama dalam berproduksi bagi kebutuhan hidup masyarakat. Dengan perubahan tenaga produktif masyarakat, terjadilah perubahan cara menghasilkan produksi material untuk kehidupan manusia. Marx menulis, “Terjadi gerak pertumbuhan yang terus‐menerus dari tenaga produktif, gerak perubahan hubungan‐hubungan kemasyarakatan, dan gerak terbentuknya pandangan‐pandangan; satu‐satunya yang tak berubah adalah abstraksi gerak ‘kematian yang tak mati‐mati’.”249 Sebagaimana lazimnya ilmu pengetahuan, materialisme historis mempunyai sasaran khusus dalam mempelajari proses perkembangan sejarah masyarakat. Yang terpokok adalah mempelajari eksistensi kenyataan masyarakat, mempelajari kesadaran dalam masyarakat, formasi ekonomi masyarakat, tentang cara berproduksi menghasilkan kebutuhan material bagi masyarakat, tentang tenaga produktif masyarakat, tentang dasar ekonomi masyarakat, hubungan‐hubungan produksi penduduk, bangunan atas masyarakat, tentang klas‐klas, tentang negara, dan tentang revolusi. Materialisme Marx mengajarkan bahwa filsafatnya adalah untuk mengubah dunia. 250 Materialisme historis adalah teori untuk mengubah masyarakat. Mengubah masyarakat lama menjadi masyarakat baru. Teori tak bisa dipisahkan dari praktek. Prakteknya adalah mengubah dunia, mengubah masyarakat lama menjadi masyarakat baru. Mengubah berarti menghendaki yang lebih baik, berarti memihak pada yang baru. Maka materialisme historis adalah filsafat yang mempunyai sifat memihak. 249
Karl Marx, The Poverty of Philosophy, Foreign Languages Publishing House, Moscow, third impression, h.105. 250 Kesadaran manusia merefleksikan kesatuan yang dialektis dari manusia dan alam, menguatkan kesatuan tersebut dan mengembangkannya ke tingkat yang lebih tinggi. Lenin menyimpulkan hal tersebut dalam Ringkasan dari Buku Hegel tentang Ilmu logika: “Kesadaran manusia tidak hanya merefleksikan dunia objektif, tetapi malah menciptakannya … dunia tidak memuaskan manusia, dan manusia menentukan untuk mengubahnya dengan aktivitasnya.” XV — Materialisme Historis | 281
Mengenai perjuangan klas proletar melawan borjuasi, materialisme historis memihak proletariat. Usaha mengubah masyarakat demi meningkatkan kemakmuran‐ nya berarti harus memusatkan perhatian pada kenyataan dan perkembangannya. Kemakmuran masyarakat tergantung pada produksi material yang dihasilkan oleh kerja manusia. Untuk perubahan demi perkembangannya, materialisme historis menggunakan materialisme dialektis, memusatkan studi pada masalah produksi kebutuhan hidup masyarakat. Dengan teliti dipelajari semua unsur yang berperan dalam proses produksi, mulai dari bahan kerja, perkakas kerja, (alat‐alat produksi), tenaga kerja, (tenaga produktif), cara berproduksi. Cara berproduksi adalah kesatuan dua unsur yang saling berhubungan yang tak terpisahkan—tenaga produksi dan hubungan‐ hubungan produksi. Dalam proses berproduksi yang pertama tampil adalah hubungan manusia terhadap sasaran kerja dan kekuatan alam. Setiap hari manusia bekerja, berproduksi menghasilkan kebutuhan hidup. Bermacam ragam yang dihasilkan, bermacam ragam pula cara produksinya. Bagaimanapun berbedanya cara produksi, dalam berproduksi selalu terdapat unsur‐unsur yang sama, unsur‐unsur cara produksi. Cara produksi adalah kesatuan dua segi yang tak bisa dipisahkan, yaitu tenaga produksi dan hubungan‐hubungan produksi. Dalam proses berproduksi pertama‐tama terdapat hubungan manusia dengan benda, bahan dan tenaga‐tenaga alam, yang berkat usaha dan perjuangan dengan itu manusia menghasilkan kebutuhan hidup. Kedua, terdapat hubungan manusia terhadap manusia. Tenaga‐tenaga produksi adalah alat‐alat produksi yang dipakai dalam masyarakat, pertama‐tama alat‐alat kerja, alat‐alat produksi, juga manusia, yang berbuat, bertindak dan menghasilkan barang‐barang kebutuhan berkat percobaan‐percobaan dan kecakapannya menghasilkan kekayaan material bagi manusia. Untuk berproduksi, diperlukan bahan dan alat‐alat kerja, alat‐alat produksi. Bagi semua cara produksi, yang menentukan untuk berproduksi adalah perkakas kerja. Ia memberi tanda‐tanda ciri‐ciri tertentu dari zaman produksi kemasyarakatan. Taraf perkembangan produksi pada tiap zaman sejarah ditunjukkan oleh taraf perkakas produksi, perkakas kerja. Untuk memasak nasi goreng diperlukan nasi, minyak goreng, bumbu‐bumbu sebagai bahan produksi. Kuali sebagai perkakas kerja, alat
282 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
produksi. Untuk membuat meja diperlukan papan, kayu, sebagai bahan produksi, diperlukan gergaji sebagai perkakas/alat kerja, alat produksi. Pertama‐tama, diperlukan manusia yang menggunakan tenaga kerja untuk berproduksi. Maka untuk berproduksi menghasilkan kebutuhan hidup manusia diperlukan tiga unsur: 1. tenaga kerja manusia, 2. bahan produksi, dan 3. perkakas kerja, alat produksi. Perkakas kerja, perkakas produksi (mesin‐mesin, pesawat‐pesawat, instrumen‐instrumen, dan sebagainya) adalah bagian dasar dan pokok dari alat‐alat produksi yang dipergunakan manusia mengolah bahan‐bahan kerja dalam proses produksi. Perubahan dan perkembangan alat‐alat kerja mempengaruhi cara dan proses produksi. Kian maju alat‐alat kerja, maju pula proses produksi. Tingkat kemajuan proses produksi menentukan tingkat tertentu perkembangan masyarakat, yang dalam teori ekonomi disebut formasi ekonomi masyarakat.
3. Formasi Ekonomi Masyarakat MENURUT materialisme historis, formasi ekonomi masyarakat adalah tingkat tertentu perkembangan masyarakat yang ditentukan oleh cara produksi, basis ekonomi, dan bangunan atasnya. Pengertian tentang formasi ekonomi masyarakat adalah dasar dari Marxisme mengenai perkembangan masyarakat. Marx dan Engels meneliti sejarah perkembangan dan jaringan‐jaringan masyarakat yang sangat rumit, sampai menyimpulkan adanya formasi ekonomi masyarakat. Pemahaman mengenai ini menunjukkan jalan bagi mempelajari secara objektif perkembangan masyarakat, kekuatan pendorong perkembangan masyarakat, bisa menerangkan sebab‐musabab materiil dari pikiran dan tujuan tindak‐tanduk manusia yang tampak dari pencerminan kenyataan‐kenyataan masyarakat. Hubungan‐hubungan produksi adalah dasar, adalah yang utama dari semua saling hubungan kemasyarakatan. Formasi‐formasi ekonomi masyarakat yang terdapat dalam sejarah adalah: 1. masyarakat primitif, 2. masyarakat perbudakan, 3. masyarakat feodalisme, dan 4. masyarakat kapitalisme. Struktur setiap formasi ekonomi masyarakat itu ditentukan oleh cara produksi bersangkutan. Berbeda dengan pemahaman kaum idealis borjuasi bahwa masyarakat adalah ciptaan yang mahakuasa, adalah abadi; materialisme historis mengajarkan
XV — Materialisme Historis | 283
bahwa dalam sejarah terdapat berbagai formasi ekonomi masyarakat. Formasi ekonomi masyarakat ini berubah menurut hukumnya. Mempelajari dan menguasai hukum perubahan formasi ekonomi masyarakat itu adalah tugas materialisme historis. Perkembangan dan pergantian formasi ekonomi masyarakat berlangsung menurut hukumnya. Dari formasi ekonomi masyarakat primitif berubah menjadi formasi ekonomi masyarakat perbudakan, formasi ekonomi masyarakat feodal, dan formasi ekonomi masyarakat kapitalis. Dalam perubahan‐perubahan ini, perkembangan tenaga produktif memainkan peranan menentukan. Mengenai perkembangan tenaga produktif yang melahirkan formasi ekonomi masyarakat kapitalis Marx menulis dalam Manifesto Partai Komunis: “Borjuasi, selama kekuasaan kelasnya yang belum genap seratus tahun itu, telah menciptakan tenaga‐tenaga produktif yang jauh lebih banyak dan jauh lebih besar daripada yang telah diciptakan seluruh generasi terdahulu. Penundukan kekuatan‐kekuatan alam, mesin‐mesin, penggunaan kimia dalam industri dan pertanian, pelayaran kapal api, jalan kereta api, telegrafi listrik, pembukaan benua‐ benua utuh untuk tanah garapan, pembukaan sungai‐sungai bagi pelayaran, seluruh penduduk yang bagaikan dijelmakan dari dalam tanah—abad‐abad terdahulu yang manakah yang menduga bahwa tenaga‐tenaga produktif yang sedemikian itu tertidur dalam pangkuan kerja masyarakat?”251 Menurut pemahaman sejarah secara materialis, perubahan masyarakat bersumber pada tindak‐tanduk manusia. Yang paling utama adalah tindakan bekerja manusia, menghasilkan produksi material untuk kebutuhan hidup. Tanpa produksi tidaklah mungkin terjadi pertukaran barang‐barang antara manusia, tidaklah mungkin kehidupan manusia itu sendiri. Saling hubungan antara manusia dan alam, ditinjau secara umum, adalah diatur dan diawasi oleh manusia, termasuk peredaran dan pertukaran barang sesamanya. Masyarakat tak mungkin hidup dan berkembang di luar syarat‐syarat alamiah tanpa menggunakan tenaga berproduksi untuk kebutuhan hidup alamiah. Berproduksi berarti manusia menggunakan perkakas kerja, alat produksi. Terjadi pemilikan pribadi atas perkakas kerja, atas alat‐alat 251
Karl Marx dan Friedrich Engels, Manifesto Partai Komunis, Ultimus, 2015, h.35.
284 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
produksi. Perbedaan penguasaan atas alat‐alat produksi menimbulkan perbedaan penghasilan. Perbedaan yang bersumber pada ketidakadilan dalam menerima hasil kerja. Terjadi kepincangan dalam tingkat hidup anggota masyarakat. Muncul para penghisap dan yang terhisap. Ini merupakan akar lahirnya klas‐klas dalam masyarakat, yaitu klas penghisap dan klas terhisap.
4. Alienasi dan Penghisapan SEBELUM menerbitkan Manifesto Partai Komunis, bersumber pada pemahaman filsafat yang dianut Hegel dan Feuerbach, dalam karyanya Economic and Philosophic Manuscripts of 1844, Marx sudah memaparkan alienasi kerja dalam masyarakat kapitalis. Yang dimaksud Marx dengan alienasi,252 menjadikan asing, adalah kerja paksa untuk kepentingan kapitalis, perampasan oleh kapitalis atas produk kerja kaum buruh, dan pemisahan kaum buruh dari alat‐alat produksi yang menjadi milik kaum kapitalis; kaum kapitalis menghadapi kaum buruh sebagai sesuatu yang asing; sebagai kekuatan yang diperbudak. Di sini Marx sudah mendekati pengungkapan sifat‐ sifat ciri penghisapan kapitalis: “Kaum buruh, yang kian lama kian menghasilkan kekayaan, malah menjadi kian miskin, ... kaum buruh menjadi barang dagangan yang kian murah.... Yang dihasilkan kerja, sesuatu yang nyata, menjadi lenyap bagi kaum buruh, jadi rampasan, adalah suatu alienasi, sesuatu yang diasingkan dari penghasilnya, dari penciptanya.”253 Selanjutnya dengan teori nilai lebih Marx, penghisapan atas kaum buruh ini lebih gampang dipahami, sebagai upah buruh yang tak dibayar.
5. Negara dan Diktatur Proletariat MARX dan Engels untuk pertama kali memaparkan teori ilmiah tentang 252 Dalam bahasa Inggris alienation, sedangkan dalam bahasa Jerman adalah Entfremdung, Ent-ausserung. 253 Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844, second impression, Foreign Languages Puibliishing House, Moscow, 1961, h.8, 69.
XV — Materialisme Historis | 285
klas‐klas dan perjuangan klas. Mereka mengungkapkan tentang sebab‐ musabab lahir dan hakikat pembagian klas dalam masyarakat, memberi analisa yang mendalam mengenai perkembangan hubungan klas‐klas, sampai terdapatnya klas‐klas yang berlawanan dan tak terdamaikan yang melahirkan negara. Engels mengajarkan, “Negara adalah produk masyarakat pada tingkat perkembangan tertentu; negara adalah pengakuan bahwa masyarakat ini terlibat dalam kontradiksi yang tak terpecahkan dengan dirinya sendiri, bahwa ia telah terpecah menjadi segi‐segi yang berlawanan yang tak terdamaikan dan ia tidak berdaya melepaskan diri dari keadaan demikian itu. Dan supaya segi‐segi yang berlawanan ini, klas‐klas yang kepentingan‐kepentingan ekonominya berlawanan, tidak membinasakan satu sama lain dan tidak membinasakan masyarakat dalam perjuangan yang sia‐sia, maka untuk itu diperlukan kekuasaan yang tampaknya berdiri di atas masyarakat, kekuatan yang seharusnya meredakan bentrokan itu, mempertahankannya di dalam batas‐batas ‘tata tertib’. Dan kekuatan ini yang lahir dari masyarakat, tetapi menempatkan diri di atas masyarakat dan yang semakin mengasingkan diri darinya adalah negara.”254 Kemudian Lenin menulis, “Negara adalah organisasi kekuatan khusus, adalah organisasi kekerasan untuk menindas sesuatu klas. Klas mana yang harus ditindas oleh proletariat? Tentu saja hanya klas penghisap, yaitu borjuasi.”255 “Dan Marx dengan konsekuen mengembangkan ajaran tentang perjuangan klas sampai pada ajaran tentang kekuasaan politik, ajaran tentang negara.... Ajaran tentang perjuangan klas, yang diterapkan oleh Marx pada masalah negara dan revolusi sosialis, pasti menjurus kepada pengakuan atas kekuasaan politik proletariat, atas diktaturnya, yaitu kekuasaan yang tidak dibagi‐bagi dengan siapa pun dan yang langsung bersandar pada kekuatan bersenjata massa. Penggulingan borjuasi dapat dicapai hanya dengan pengubahan proletariat menjadi klas yang berkuasa, yang sanggup menindas perlawanan yang tak terelakkan dan 254
Friedrich Engels, Asal-Usul Keluarga, Milik Perseorangan dan Negara, The Origin of the Family, Private Property and the State, fifth impression, Foreign Languages Publishing House, Moscow, 1958, h.279. 255 W.I. Lenin, Negara dan Revolusi, Ajaran Marxisme tentang Negara dan TugasTugas Proletariat dalam Revolusi, Penerbit Indonesia Progresif, 1976, h.49. 286 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
kalap dari borjuasi, dan yang sanggup mengorganisasi seluruh massa pekerja dan terhisap untuk sistem ekonomi baru.”256 Dengan tangguh membela ajaran Marx tentang diktatur proletariat, Lenin menulis, “Yang pokok dalam ajaran Marx adalah perjuangan klas. Demikian sering dikatakan dan ditulis orang. Tetapi ini tidak benar. Dan dari ketidakbenaran ini sering sekali terjadi pemutarbalikan oportunis atas Marxisme, pemalsuannya menurut semangat yang dapat diterima oleh borjuasi. Karena ajaran tentang perjuangan klas bukan diciptakan oleh Marx, melainkan oleh borjuasi sebelum Marx, dan bagi borjuasi, berbicara secara umum, dapat diterima. Barangsiapa hanya mengakui perjuangan klas belumlah seorang Marxis, ia mungkin masih belum keluar dari kerangka pikiran borjuis dan politik borjuis. Membatasi Marxisme pada ajaran tentang perjuangan klas berarti memenggal Marxisme, memutarbalikkannya, memerosotkannya menjadi sesuatu yang dapat diterima oleh borjuasi. Hanya yang meluaskan pengakuan atas perjuangan klas sampai pada pengakuan atas diktatur proletariat, barulah ia seorang Marxis. Di sinilah letak perbedaan yang paling mendalam antara orang Marxis dengan orang borjuis kecil biasa (dan juga borjuis besar). Di atas batu ujian inilah harus diuji pemahaman dan pengakuan yang sesungguhnya atas Marxisme.”257 Dari mengungkap asal‐usul dan perkembangan perjuangan klas dalam kapitalisme, Marx tampil mempersenjatai klas buruh dengan teori revolusioner bagi klas proletar, yaitu ajaran tentang diktatur proletariat. Mengenai ini Marx menulis, “Sesuatu yang baru saya lakukan adalah membuktikan hal‐hal berikut: 1) bahwa adanya klas‐klas itu adalah berhubungan dengan taraf sejarah tertentu perkembangan produksi; 2) bahwa perjuangan klas tentulah menjurus ke diktatur proletariat; 3) bahwa kediktaturan itu sendiri hanyalah merupakan peralihan ke arah pelenyapan semua klas dan ke masyarakat tanpa klas‐klas.”258 Ungkapan Marx ini menunjukkan arti penting diktatur proletariat, dan diakuinya, bahwa ini adalah sebagai hasil penemuannya. Karena itu, Lenin menyatakan bahwa hanyalah dengan menerima ajaran tentang diktatur proletariat barulah seseorang menjadi Marxis. 256
Ibid., h.50, 51. Ibid., h.64. 258 Karl Marx, Surat kepada J. Weydemeyer, 5-3-1852, dalam Pilihan Surat-Surat Marx dan Engels, edisi Inggris, h.86. 257
XV — Materialisme Historis | 287
Arti penting diktatur proletariat didemonstrasikan oleh kejayaan Uni Sovyet berkat penerapannya selama tujuh puluh tahun. Uni Sovyet hancur begitu dicampakkannya ajaran diktatur proletariat oleh Kongres ke‐28 PKUS di bawah pimpinan Gorbacyov tahun 1990. Ajaran tentang diktatur proletariat adalah salah satu puncak ajaran tentang negara menurut materialisme historis. Borjuasi dan kaum sosial demokrat semenjak masa Internasionale II sampai sekarang dengan kuat menentang ajaran ini. Belajar dari kehancuran URSS yang mencampakkan ajaran tentang diktatur proletariat, Tiongkok tampil dengan menjunjung tinggi diktatur proletariat, berjaya membangun sosialisme berciri Tiongkok. Berkat dipimpin oleh Teori Deng Xiaoping, dari negeri miskin dan terbelakang di pertengahan abad ke‐20, tampil menjadi negeri terbesar kedua di dunia di bidang ekonomi pada awal abad ke‐21. Salah satu unsur dari Teori Deng Xiaoping adalah Empat Prinsip Dasar, yaitu: 1. Menempuh jalan sosialis; 2. Menjunjung tinggi ajaran diktatur proletariat; 3. Di bawah pimpinan Partai Komunis Tiongkok; dan 4. Dengan ideologi pembimbing Marxisme–Leninisme, Pikiran Mao Zedong. Empat Prinsip Dasar ini dicantumkan dalam Konstitusi PKT dan Konstitusi Republik Rakyat Tiongkok. Jadi, Tiongkok berjaya sampai menjadi negeri terbesar nomor dua di dunia di bidang ekonomi mengungguli Jepang adalah berkat dipertahankannya diktatur proletariat dalam wujud kerja sama multipartai di bawah pimpinan Partai Komunis Tiongkok.
6. Revolusi Sosial MENURUT pandangan Marxisme–Leninisme, revolusi sosial akan terjadi mengikuti hukum tahap‐tahap perkembangan masyarakat di suatu negeri. Sebab‐musabab revolusi sosial justru bersumber pada produksi material, pada pertentangan‐pertentangan antagonistik dalam masyarakat yang akarnya ada pada pemilikan pribadi atas alat‐alat produksi. Materialisme historis mengajarkan, revolusi sosial adalah penjungkirbalikan semua sistem hubungan‐hubungan kemasyarakatan.
288 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Ia meliputi basis ekonomi masyarakat serta bangunan atasnya. Marx menulis bahwa, “Tiap revolusi menghancurkan masyarakat lama, menggulingkan kekuasaan lama, dengan demikian ia bersifat politik.”259 Revolusi terjadi karena situasi mencapai puncaknya berupa situasi revolusioner. Situasi revolusioner terjadi karena krisis yang menyeluruh seluruh negeri, meliputi ekonomi dan politik, yang menyangkut klas tertindas melawan klas penindas. Mengenai situasi revolusioner, Lenin menulis tiga ciri yang menandakan situasi revolusioner: 1. Klas penguasa tidak mampu lagi mempertahankan kekuasaannya tanpa perubahan; ketika terjadi suatu krisis dalam berbagai bentuk di “kalangan atas”, suatu krisis dalam kebijaksanaan klas penguasa, yang menjurus pada perpecahan yang menimbulkan meledaknya ketidakpuasan dan kemarahan klas tertindas. Untuk berlangsungnya revolusi, tidaklah cukup hanya “klas bawahan tak mau” lagi hidup dengan cara-cara lama; adalah juga diperlukan bahwa “klas atasan tak mampu lagi” hidup dengan cara-cara lama; 2. Ketika klas-klas yang menderita dan tertindas menjadi besar dan berlawan melebihi kebiasaan; 3. Ketika, sebagai akibat syarat-syarat di atas kegiatan massa meningkat luar biasa, yang sudah tidak rela lagi dirampok seperti di masa damai, tetapi dalam waktu bergolak, membawa kedua belah pihaknya ke dalam krisis dan “klas penguasa sendiri sudah tidak tahan.”260
259
Karl Marx, Kumpulan Karya, edisi Rusia, Jilid I, edisi kedua, Gosudarstvennoye Izdatyelstvo Politicyeskoi Lityeraturhi (Penerbit Negara Literatur Politik), Moskwa, 1955, h.448. 260 V.I. Lenin, Kehancuran Internasional II, Kumpulan Karya, edisi Rusia, Jilid XXI, Gosudarstvennoye Izdatyelstvo Politicyeskoi Lityeraturhi (Penerbit Negara Literatur Politik), 1953, h.189—190. XV — Materialisme Historis | 289
290 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
XVI Marxisme–Leninisme MASYARAKAT dan sejarah berkembang maju. Demikian pula Marxisme, sebagai ilmu berkembang sesuai dengan kemajuan sejarah. Dalam pengembangan Marxisme, tahun 1924, Stalin memaparkan Dasar‐Dasar Leninisme. Dikemukakannya bahwa “Leninisme adalah Marxisme pada zaman imperialisme dan revolusi proletar. Lebih tepatnya, Leninisme adalah teori dan praktek revolusi proletar pada umumnya, teori dan taktik diktatur proletariat pada khususnya. Marx dan Engels melakukan kegiatan mereka dalam periode pra‐revolusi,261 ketika impe‐ rialisme yang telah berkembang masih belum ada, dalam periode persiapan kaum proletar untuk revolusi, dalam periode di mana revolusi proletar masih belum merupakan keharusan praktis yang langsung. Sedang Lenin, murid Marx dan Engels, melakukan kegiatannya dalam periode revolusi proletar yang sedang berkembang meluas, ketika revolusi proletar sudah menang di satu negeri, sudah menghancurkan demokrasi borjuis dan sudah membuka zaman demokrasi proletar, zaman sovyet‐sovyet.” 262 Secara terperinci Stalin memaparkan masalah akar sejarah Leninisme, masalah metode, masalah teori, tentang diktatur proletariat, masalah tani, tentang strategi dan taktik, tentang partai, dan tentang langgam kerja. 261
revolusi proletar Y.W. Stalin, Tentang Dasar-Dasar Leninisme, Ceramah yang Diberikan di Universitas Sverdlov, Pravda No.96, 97, 103, 105, 107, 108, III; 26 dan 30 April, 9, 11, 14, 15 dan 18 Mei 1924; Penerbit Indonesia Progresif, 1975, h.13—14. 262
XVI — Marxisme – Leninisme | 291
Stalin mengemukakan mengenai metode otokritik sebagai salah satu metode Leninisme. “Sikap suatu partai politik terhadap kesalahan‐ kesalahannya sendiri adalah salah satu ukuran yang terpenting dan terpercaya dari kesungguh‐sungguhan partai itu dan bagaimana ia menunaikan dalam praktek kewajiban‐kewajiban terhadap klasnya dan massa pekerja. Secara terbuka mengakui kesalahan, menyingkap sebab‐ sebabnya, menganalisa keadaan‐keadaan yang telah menimbulkannya, dan dengan seksama mendiskusikan cara‐cara untuk memperbaikinya—inilah tanda suatu partai yang serius, beginilah ia menunaikan kewajiban‐kewajibannya, beginilah ia mendidik dan melatih klas, dan kemudian massa.”263 Selanjutnya dikemukakan, “Apa yang terdapat dalam metode Lenin pada pokoknya sudah ada dalam ajaran Marx, yang menurut kata‐kata Marx ‘pada hakikatnya kritis dan revolusioner’. Justru jiwa kritis dan revolusioner itulah yang menjelujuri metode Lenin dari awal sampai akhir. Tetapi salah jika menganggap bahwa metode Lenin hanya merupakan pemulihan dari apa yang telah diberikan oleh Marx. Sebenarnya metode Lenin bukan hanya merupakan pemulihan, melainkan juga pengkonkretan dan pengembangan lebih lanjut metode kritis dan revolusioner Marx dan dialektika materialisnya.”264 Mengenai teori, Stalin lebih lanjut mengemukakan bahwa, “Bukan orang lain kecuali Lenin yang mengatakan dan mengulang puluhan kali tesis terkenal, bahwa ‘tanpa teori revolusioner tidak mungkin ada gerakan revolusioner.’ Lenin, dibanding dengan siapa pun lebih mengerti tentang arti yang sangat penting dari teori, terutama bagi partai seperti partai kita, mengingat peranan pejuang pelopor proletariat internasional yang jatuh padanya, dan mengingat kerumitan situasi dalam negeri dan internasional yang mengelilinginya. Sudah pada tahun 1902, ketika meramalkan peranan istimewa partai kita ini, Lenin sudah pada waktu itu menganggap perlu mengingatkan bahwa ‘Peranan pejuang pelopor dapat dilaksanakan hanya oleh partai yang dibimbing oleh teori yang paling maju.’” Mungkin perwujudan yang paling jelas dari arti penting yang besar yang diberikan oleh Lenin pada teori adalah kenyataan, bahwa bukan orang lain, tetapi hanya Leninlah, yang telah memikul tugas 263 264
Ibid., h.36. Ibid., h.37.
292 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
paling serius, yaitu berdasarkan filsafat materialis menggeneralisasi yang terpenting dari apa yang telah diberikan oleh ilmu selama periode dari Engels sampai Lenin, dan tugas pengkritikan dari segala segi terhadap aliran anti‐materialis di kalangan kaum Marxis. Engels mengatakan, bahwa “materialisme harus mengambil bentuk baru seiring dengan setiap penemuan baru yang besar.” Mengenai hukum fundamental dari revolusi, Lenin mengajarkan, “Hukum fundamental revolusi, yang telah dibuktikan kebenarannya oleh semua revolusi dan khususnya oleh ketiga Revolusi Rusia dalam abad ke‐20, adalah sebagai berikut: untuk revolusi tidak cukup kalau hanya massa yang terhisap dan tertindas menyadari ketidakmungkinan hidup menurut cara lama dan menuntut perubahan‐perubahan; untuk revolusi masih diperlukan keadaan di mana kaum penghisap tidak dapat hidup dan memerintah menurut cara lama. Hanya apabila ‘kaum bawahan’ tidak menghendaki cara lama dan ‘kaum atasan’ tidak dapat berjalan terus menurut cara lama, barulah revolusi dapat menang. Kebenaran ini dapat dinyatakan dengan kata‐kata lain: revolusi tidaklah mungkin tanpa krisis yang meliputi seluruh negeri (yang menyangkut baik yang dihisap maupun yang menghisap)’.... Ini berarti bahwa untuk revolusi diperlukan keadaan, pertama, di mana mayoritas kaum buruh (atau setidak‐tidaknya mayoritas kaum buruh yang sadar; berpikir dan aktif dalam politik) mengerti sepenuhnya akan perlunya revolusi dan siap mengorbankan jiwanya demi revolusi; kedua, di mana klas‐klas yang berkuasa mengalami krisis pemerintahan yang menyeret bahkan massa yang paling terbelakang ke dalam politik ... ’memperlemah pemerintah dan memungkinkan kaum revolusioner menggulingkannya dengan cepat’.” Lenin dengan tangguh membela ajaran Marx tentang diktatur proletariat. Sampai‐sampai ia menyatakan bahwa, “Hanyalah mereka yang menerima ajaran Marx tentang diktatur proletariat adalah seorang Marxis.” Dalam Dasar‐Dasar Leninisme, Stalin memaparkan bahwa ‘masalah diktatur proletariat pertama‐tama adalah masalah isi pokok revolusi proletar. Revolusi proletar, geraknya, jangkauannya, dan hasil‐hasilnya mengambil bentuk konkret hanya melalui diktatur proletariat. Diktatur proletariat adalah alat revolusi proletar, organnya, sandarannya yang paling penting, yang dilahirkan untuk tujuan, pertama, menindas perlawanan kaum penghisap yang telah digulingkan dan
XVI — Marxisme – Leninisme | 293
mengonsolidasi hasil‐hasil revolusi proletar; kedua, melaksanakan revolusi proletar sampai selesai, melaksanakan revolusi sampai tercapainya kemenangan penuh sosialisme.’ Lenin mengajarkan bahwa, “diktatur proletariat adalah peperangan yang paling tak takut berkorban dan paling tak kenal ampun dari klas yang baru melawan musuh yang lebih perkasa, melawan borjuasi yang perlawanannya menjadi berlipat sepuluh kali karena ia telah digulingkan; bahwa ‘diktatur proletariat adalah perjuangan yang gigih, berdarah dan tak berdarah, dengan kekerasan dan secara damai, secara militer dan secara ekonomi, secara pendidikan dan secara administratif, melawan kekuatan‐kekuatan dan tradisi‐tradisi masya‐ rakat lama. Diktatur proletariat adalah kekuasaan revolusioner yang berdasarkan kekerasan terhadap bojuasi.” “Negara adalah mesin di tangan klas yang berkuasa untuk menindas perlawanan musuh‐musuh klasnya. Dalam hal ini diktatur proletariat pada hakikatnya tidak berbeda sedikit pun dengan diktatur klas yang lain mana pun, sebab negara proletariat adalah mesin untuk menindas borjuasi. Tetapi di sini ada satu perbedaan hakiki. Perbedaan itu ialah bahwa semua negara berklas yang ada sampai sekarang adalah diktatur minoritas yang menghisap terhadap mayoritas yang terhisap, sedang diktatur proletariat adalah diktatur mayoritas yang terhisap terhadap minoritas yang menghisap. Pendeknya, diktatur proletariat adalah kekuasaan proletariat yang tidak dibatasi oleh undang‐undang dan yang berdasarkan kekerasan terhadap borjuasi, yang mendapat simpati dan sokongan dari massa pekerja dan terhisap.” Di samping itu, dipaparkan pentingnya arti Masalah Tani bagi Leninisme. Masalah tani adalah bagian dari masalah umum tentang diktatur proletariat, dan sebagai bagian itu, ia merupakan salah satu masalah yang paling vital dari Leninisme. Demikian pula mengenai Masalah Nasional. Leninisme telah memperluas pengertian menentukan nasib sendiri dengan menafsirkannya sebagai hak rakyat tertindas negeri tergantung dan tanah jajahan untuk pemisahan diri sepenuhnya, sebagai hak bangsa‐bangsa untuk hidup merdeka sebagai negara. Leninisme telah membuktikan, dan perang imperialis serta revolusi di Rusia telah membenarkan, bahwa masalah nasional dapat dipecahkan hanya dalam hubungannya dengan dan di atas dasar revolusi proletar....
294 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Masalah nasional adalah bagian dari masalah umum revolusi proletar, bagian dari masalah diktatur proletariat. Dalam Dasar‐Dasar Leninisme, Stalin memaparkan masalah Strategi dan Taktik. Dikemukakannya bahwa Strategi dan Taktik adalah ilmu memimpin perjuangan klas dari proletariat. Lenin tidak membatasi diri pada pemulihan sejumlah dalil taktik tertentu dari Marx dan Engels. Ia mengembangkannya lebih lanjut dan melengkapinya dengan ide‐ide dan dalil‐dalil baru, dan menggabungkan semua itu menjadi suatu sistem peraturan‐peraturan dan prinsip‐prinsip pembimbing untuk memimpin perjuangan klas dari proletariat. Karya‐karya Lenin, seperti Apa yang Harus Dikerjakan, Dua Taktik, Imperialisme, Negara dan Revolusi, Revolusi Proletar dan Renegat Kautsky, Penyakit Kekanak‐Kekanakan; tanpa diragukan lagi merupakan sumbangan paling berharga pada khazanah umum Marxisme, pada gudang senjata revolusionernya. Strategi dan taktik Leninisme adalah ilmu memimpin perjuangan revolusioner proletariat. Strategi adalah penentuan arah pukulan pokok proletariat dalam tahap tertentu revolusi, penyusunan rencana yang sesuai untuk penempatan kekuatan revolusioner (cadangan pokok dan cadangan sekunder), perjuangan untuk melaksanakan rencana itu selama tahap tertentu revolusi itu. Taktik adalah penetapan garis bagi tindakan proletariat dalam periode yang relatif pendek dari pasang naik atau pasang surut gerakan, kebangkitan atau kemunduran revolusi, perjuangan untuk pelaksanaan garis ini dengan jalan penggantian bentuk‐bentuk lama perjuangan dan bentuk‐bentuk lama organisasi dengan bentuk‐bentuk yang baru, dengan mengombinasi bentuk‐bentuk itu.... Taktik adalah bagian dari strategi, tunduk kepada strategi dan mengabdi kepadanya. Taktik berubah menurut pasang naik dan pasang surut revolusi. Taktik berurusan dengan bentuk‐bentuk perjuangan dan bentuk‐bentuk organisasi proletariat, dengan pergantian dan kombinasi bentuk‐bentuk itu. Dalam tahap tertentu revolusi, taktik dapat berubah beberapa kali, tergantung pada pasang naik atau pasang surut revolusi, pada kebangkitan atau kemunduran revolusi. Lenin menjelaskan mengenai syarat penggunaan strategis kekuatan‐kekuatan revolusi itu dengan kata‐kata sendiri dari tesis‐tesis terkenal Marx dan Engels tentang pemberontakan: 1. Sekali‐kali jangan
XVI — Marxisme – Leninisme | 295
bermain‐main dengan pemberontakan, tetapi apabila memulainya, harus sungguh‐sungguh menyadari, bahwa harus melakukannya sampai selesai. 2. Harus memusatkan kekuatan‐kekuatan yang besar di tempat yang menentukan, pada saat yang menentukan, kalau tidak, musuh yang mempunyai persiapan dan organisasi yang lebih baik akan membinasakan kaum pemberontak. 3. Sekali pemberontakan dimulai, harus bertindak dengan ketegasan yang sebesar‐besarnya dan dengan pasti, tanpa ragu‐ragu berofensif. ‘Defensif’ adalah kematian bagi setiap pemberontakan bersenjata. 4. Harus berusaha menyergap musuh secara mendadak, mencari saat ketika tentaranya terpencar‐pencar. 5. Harus setiap hari memperoleh hasil, meskipun kecil (dapat dikatakan setiap jam, jika persoalannya mengenai satu kota), dan bagaimanapun juga harus mempertahankan ‘keunggulan moril’. Pertempuran yang menentukan, kata Lenin, dapat dianggap sepenuhnya sudah matang, jika (1) semua kekuatan klas yang bermusuhan dengan kita cukup kacau‐balau, cukup terlibat dalam perkelahian‐perkelahian di antara mereka sendiri, cukup memperlemah diri dengan pergulatan yang di luar kekuatannya; jika (2) semua elemen tengah yang bimbang, goyang, tidak teguh, yaitu borjuasi kecil, kaum demokrat borjuis kecil yang berbeda dengan borjuasi telah cukup menelanjangi diri di hadapan rakyat, telah cukup menodai diri dengan kebangkrutan prakteknya; jika (3) di kalangan proletariat telah bangkit dan mulai timbul dan menanjak dengan perkasa semangat massal untuk menyokong aksi‐aksi revolusioner yang paling tegas, gagah‐berani tak takut berkorban melawan borjuasi. Pada waktu itulah, kalau kita telah dengan tepat memperhitungkan semua syarat yang ditunjukkan di atas dan telah dengan tepat memilih saat, kemenangan kita terjamin. “Partai‐partai revolusioner”, kata Lenin, “harus menyelesaikan pelajaran mereka. Mereka telah belajar menyerang. Sekarang mereka harus menginsafi, bahwa ilmu ini harus dilengkapi dengan ilmu bagaimana mundur dengan tepat. Mereka harus memahami—dan klas revolusioner berdasarkan pengalaman pahit mereka sendiri belajar memahami—bahwa tidaklah mungkin menang, jika mereka belum belajar menyerang dengan tepat dan mundur dengan tepat.” Apakah yang dimaksud dengan menggunakan bentuk perjuangan dan bentuk organisasi proletar dengan tepat? ... Tugas kita ialah memberikan kemungkinan kepada jutaan massa untuk menginsafi
296 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
tak terelakkannya penggulingan kekuasaan lama berdasarkan pengalaman mereka sendiri, mengemukakan cara‐cara perjuangan dan bentuk‐bentuk organisasi yang akan mempermudah massa menginsafi kebenaran semboyan‐semboyan revolusioner berdasarkan pengalaman. Dengan jelimet Lenin mengajarkan masalah strategi dan taktik yang harus dikuasai oleh partai yang memimpin revolusi. Mulai dari soal menerbitkan koran yang berfungsi sebagai organisator untuk merajut jaringan organisasi‐organisasi yang masih tercerai‐berai, mengenai bentuk organisasi dan bentuk‐bentuk perjuangan di berbagai tingkat perjuangan, masalah mencegah terpisahnya partai dari massa yang harus dipimpin, menjalankan taktik ‘menjelaskan dengan sabar’ kesalahan‐ kesalahan partai yang harus dikoreksi, memilih dan menetapkan dengan tepat tugas yang harus ditunaikan pada setiap saat, menetapkan mata rantai pokok dan tugas pokok dalam mata rantai tugas. Lenin mengajarkan sikap yang tepat terhadap reformisme dan revolusionerisme. Dalam syarat‐syarat tertentu reformasi pada umumnya, kompromi dan persetujuan pada khususnya, adalah perlu dan berguna. Lenin mengajarkan bahwa, “hubungan antara reformasi dan revolusi, didefinisikan dengan tepat dan betul hanya oleh Marxisme. Tetapi Marx dapat melihat hubungan ini hanya dari satu segi, yaitu dalam keadaan sebelum kemenangan pertama proletariat yang sampai batas tertentu kokoh dan berlangsung lama, meskipun hanya di satu negeri. Dalam keadaan semacam itu dasar bagi hubungan yang tepat ialah: reformasi adalah hasil sampingan perjuangan klas yang revolusioner dari proletariat....“ Dalam Dasar‐Dasar Leninisme, Stalin memaparkan masalah ajaran tentang partai tipe baru, partai tipe Lenin. Diajarkan bahwa partai adalah detasemen pelopor klas buruh, yang harus menyerap semua elemen terbaik dari klas buruh, pengalaman mereka, kerevolusioneran mereka, kesetiaan mereka yang tulus ikhlas pada usaha proletariat, harus dipersenjatai dengan teori revolusioner, dengan pengetahuan tentang hukum‐hukum gerakan, dengan pengetahuan tentang hukum‐hukum revolusi. Partai adalah pemimpin politik klas buruh, adalah staf tempur proletariat. Partai adalah sistem tunggal dari organisasi‐organisasi, penyatuan mereka secara formal menjadi satu keseluruhan, dengan badan‐badan pimpinan atasan dan bawahan, dengan ketundukan minoritas kepada mayoritas, dengan keputusan‐keputusan praktis yang
XVI — Marxisme – Leninisme | 297
mengikat semua anggota partai. Partai adalah bentuk tertinggi organisasi klas proletariat. Partai sebagai alat diktatur proletariat. Mengenai langgam kerja partai, Stalin memaparkan bahwa langgam Leninisme adalah pemaduan dua kekhususan: yaitu semangat berani bertindak revolusioner Rusia dan efisiensi Amerika. Semangat berani bertindak revolusioner Rusia merupakan obat penawar bagi kelambanan, rutinisme, konservatisme, kemandekan pikiran dan sikap membudak terhadap tradisi kuno. Semangat berani bertindak revolusioner Rusia adalah kekuatan pemberi hidup yang menggugah pikiran, mendorong maju, menghancurkan yang lama dan membuka perspektif. Tanpa semangat ini tidak mungkin ada gerak maju apa pun. Efisiensi Amerika adalah kekuatan yang tak dapat ditaklukkan yang tak mengenal dan tak mengakui rintangan, yang dengan keuletannya yang efisien menyingkirkan semua dan segala rintangan, yang pasti akan menyelesaikan usaha yang sekali dimulai, walaupun usaha kecil; dan tanpa ini pekerjaan pembangunan yang serius tidak dapat dibayangkan. Perpaduan semangat berani bertindak revolusioner Rusia dengan efisiensi Amerika—inilah hakikat langgam Leninisme dalam pekerjaan partai dan pekerjaan negara.
1. Tentang Kapitalisme Negara di Bawah Diktatur Proletariat PADA saat Tiongkok mulai menggalakkan program reformasi dan politik terbuka di bawah pimpinan Deng Xiaoping, berlangsung politik memberi konsesi pada kapitalisme dengan mengundang masuk kapital asing, maka bermunculan suara yang menyatakan Tiongkok sudah merevisi Marxisme, PKT sudah menjadi partai revisionis. Sesungguhnya, pemberian konsesi pada kapitalisme di bawah syarat diktatur proletariat adalah ajaran Lenin. Sesudah terbentuknya URSS dan kian terkonsolidasinya diktatur proletariat di Uni Sovyet, dalam berbagai kesempatan, Lenin telah memaparkan masalah teori kapitalisme negara. Pada masa peralihan ke sosialisme, walaupun sudah berdiri diktatur proletariat, kapitalisme belumlah terbasmi, bahkan diperlukan demi kepentingan pembangunan sosialisme. Diktatur proletariat melindungi kapitalisme ini berupa kapitalisme negara.
298 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Lenin yang tangguh membela dan menegakkan diktatur proletariat mengajarkan bahwa untuk jangka panjang masa peralihan menuju sosialisme di mana berlangsungnya diktatur proletariat, maka berlaku kapitalisme negara. Dikemukakan bahwa “sosialisme berarti penghapusan klas‐klas. Diktatur proletariat berusaha dengan semua kemampuannya untuk menghapuskan klas‐klas. Tetapi klas‐klas tidak bisa dihapuskan sekaligus. Dan klas‐klas ada dan serta akan ada selama masa diktatur proletariat. Bila klas‐klas lenyap, diktatur akan menjadi tidak perlu. Tanpa diktatur proletariat, klas‐klas tidak akan lenyap. Klas‐ klas tetap ada, tetapi selama masa diktatur proletariat, tiap klas mengalami perubahan, dan hubungan‐hubungan antara klas‐klas berubah pula. Perjuangan klas tidak lenyap di bawah diktatur proletariat, perjuangan klas itu hanya mengambil bermacam‐macam bentuk.”265 Dalam laporan kepada Kongres III Komintern 5 Juli 1921 mengenai Taktik Partai Komunis Rusia, Lenin memaparkan bahwa “kapitalisme negara dalam masyarakat di mana kekuasaan berada di tangan kapital, dan kapitalisme negara di bawah negara proletar adalah dua pengertian yang berbeda. Di bawah negara kapitalis, kapitalisme negara itu berarti bahwa ia diakui dan diawasi oleh negara demi kepentingan borjuasi melawan proletariat. Di bawah negara proletar juga demikian, ia mengabdi pada klas pekerja dengan tujuan melawan semua sisa‐sisa borjuasi yang masih kuat. Dengan sendirinya, harus dipahami bahwa kita harus menghadapi dan memberi konsesi pada borjuasi yang banyak akal, pada kapital asing. Tanpa denasionalisasi, kita memberikan sedikit bahan baku, hutan, sumber minyak kepada kapital asing, supaya kita memperoleh hasil produksi industrinya, mesin‐mesin, dan lain‐lain; dengan demikian kita membangun industri kita sendiri.”266 “Negara proletar, tanpa mengubah hakikatnya, bisa memperbolehkan perdagangan bebas, dan membiarkan perkembangan kapitalisme hanya sampai batas‐batas dan hanya di bawah syarat‐syarat 265
W.I. Lenin, Ekonomi dan Politik Selama Masa Diktatur Proletariat, Pustaka Ketjil Marxis, delapan belas, Jajasan Pembaruan, Jakarta, 1958. 266 V.I. Lenin, O Gosudarstvennom Kapitalizme—Gosudarstvennyy Kapitalizm V Period Perekhoda K Sotsializmu (Tentang Kapitalisme Negara—Kapitalisme Negara dalam Periode Peralihan Menuju Sosialisme), Gosudarstvennoye Izdatel'stvo Politicheskoy Literaturnyy (Balai Penerbitan Negara Literatur Politik), Moskwa, 1957, h.136. XVI — Marxisme – Leninisme | 299
pengaturan negara (pengawasan, kontrol, bentuk‐bentuk penentuan, pengaturan‐pengaturan, dan sebagainya), perdagangan swasta dan kapitalisme usaha swasta. Berhasilnya pengaturan yang demikian, tergantung tidak hanya pada kekuasaan negara, tetapi lebih besar lagi tergantung pada tingkat kematangan proletariat dan massa pekerja pada umumnya, juga pada tingkatan kebudayaan dan sebagainya. Lebih‐lebih lagi, tentu saja, berhasilnya pengaturan yang demikian berlawanan dengan kepentingan klas pekerja dan kapital. Oleh karena itu salah satu tugas utama serikat buruh adalah dari sekarang secara menyeluruh dan dengan segala jalan membela kepentingan klas proletar dan berjuang melawan kapital.”267 Dalam laporan politik CC PKR(B) ke Kongres XI, 27 Maret 1922, Lenin mengemukakan, “Mengenai kapitalisme negara, saya berpikir, bahwa pada umumnya persuratkabaran kita, juga partai kita, membikin kesalahan yang demikian, yaitu kita menyerang kaum intelektual, yang bermuara pada liberalisme, mencari kearifan untuk bagaimana memahami kapitalisme negara, dengan berpaling pada buku‐buku lama. Di sana ditulis sepenuhnya bahwa mengenai kapitalisme negara yang terdapat di bawah kapitalisme, dan tidak satu buku pun yang menulis mengenai kapitalisme negara yang terdapat di bawah komunisme. Bahkan Marx pun belum sempat menulis satu kata juga mengenai hal ini dan beliau sudah berpulang, tanpa meninggalkan satu titik catatan serta petunjuk yang berupa sangkalan. Oleh karena itu, sekarang kita sendiri berhadapan dengan hal ini dan merangkak keluar dari masalah ini. Dan jika ditemukan pada pikiran persuratkabaran kita mengenai masalah kapitalisme negara, sebagaimana yang saya berusaha mengungkapkannya dalam laporan ini, jelas tampak pandangan dari segi yang lain. Kapitalisme negara, dalam semua literatur ekonomi—itu adalah kapitalisme, yang terdapat dalam masyarakat kapitalis, ketika kekuasaan negara secara langsung tunduk kepada perusahaan kapitalis tertentu. Sedangkan pada kita, negara adalah negara proletariat, memberlakukan hukum proletariat; pada proletariat terdapat semua keunggulan politik, dan lewat proletariat terdapat kaum tani. Oleh karena itu, kapitalisme negara pada kita adalah masalah yang sama sekali lain. Supaya halnya tidak jadi demikian, maka haruslah dipahami yang 267
Ibid., h.167.
300 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
pokok, yaitu kapitalisme negara dalam bentuk demikian, sebagaimana yang ada pada kita, tidak ada dalam teori mana pun, tidak ada dalam literatur mana pun, tidak diungkap semata‐mata karena alasan yang sederhana, bahwa semua biasanya, sehubungan dengan kata‐kata yang demikian, adalah dihubungkan pada kekuasaan borjuasi dalam masyarakat kapitalis. Sedangkan pada kita, masyarakat sudah meluncur turun dari rel kapitalis, tapi rel baru belumlah ada, sedangkan yang memimpin negara bukanlah borjuasi, tetapi proletariat. Kita tak ingin mengetahui, bahwa yang kita maksud dengan ‘negara’ itu adalah kita, adalah proletariat, adalah pelopor klas pekerja. Kapitalisme negara, adalah kapitalisme, yang dapat kita batasi, yang batas‐batasnya dapat kita tentukan, kapitalisme negara itu berhubungan dengan negara, dan negara itu adalah klas pekerja, itu adalah bagian dari pekerja yang maju, pelopor itu adalah kita. Kapitalisme negara itu adalah kapitalisme yang kita harus menetapkannya dalam kerangka yang tertentu yang sampai sekarang kita belum mampu mendirikannya. Ya, itulah masalahnya. Dan kini sudah tergantung pada kita, bagaimana jadinya kapitalisme negara itu. Kekuasaan politik yang ada pada kita adalah cukup, sungguh‐sungguh cukup.”268 Dengan demikian, Lenin mengajarkan bahwa di bawah kekuasaan diktatur proletariat, dapat membolehkan berlangsungnya kapitalisme negara yang dikendalikan oleh negara. Maka di Tiongkok berlangsunglah kegiatan mengundang kapital asing untuk melakukan investasi, kerja sama ekonomi dengan negara kapitalis, menjalankan perdagangan bebas dengan negara kapitalis, sampai‐sampai menggunakan pasar sebagai pengungkit ekonomi untuk meningkatkan produksi. Ini jelas‐jemelas bukan merevisi Marxisme, tetapi manerapkan ajaran Lenin sesuai dengan syarat‐syarat objektif Tiongkok. Kapitalisme negara di bawah diktatur proletariat telah menjadi salah satu faktor yang menyebabkan perekonomian Tiongkok maju pesat menakjubkan, hingga negeri yang terbelakang dan miskin di pertengahan abad ke‐20, pada awal abad ke‐21 menjadi negara besar kedua di bidang ekonomi, mengungguli Jepang dan berada di bawah Amerika Serikat. 268
Ibid., h.168—169. XVI — Marxisme – Leninisme | 301
2. Kejayaan Marxisme–Leninisme DENGAN diperkenalkannya Leninisme sebagai pengembangan Marxisme, maka partai‐partai komunis dan buruh di dunia mulai menggunakan rumusan Marxisme–Leninisme sebagai ideologi pembimbing pekerjaan partai. PKI pun menggunakan istilah Marxisme– Leninisme sebagai ideologi pembimbing partai. Konstitusi PKI hasil Kongres Nasional VI 1959 menyatakan bahwa seluruh pekerjaan PKI didasarkan atas teori Marxisme–Leninisme.269 Sukses‐sukses pembangunan sosialisme di Uni Sovyet di bawah bimbingan ideologi Marxisme–Leninisme didemonstrasikan dengan suksesnya pembangunan ekonomi berupa pelaksanaan Plan Lima Tahun Pertama dan selanjutnya, sampai kemenangan Uni Sovyet dan Sekutu atas fasisme Nazi Jerman dalam Perang Dunia II. Kekalahan fasisme Jerman dan Jepang dalam Perang Dunia II disusul dengan lahirnya negara‐negara demokrasi rakyat di Eropa Tengah dan Timur, terbentuknya Republik Rakyat Tiongkok, Republik Rakyat Demokrasi Korea, dan Republik Demokrasi Rakyat Vietnam. Semua negara ini dipimpin oleh partai‐partai komunis yang menjadikan Marxisme– Leninisme sebagai ideologi pembimbing. Seusai Perang Dunia II, pembangunan sosialisme berlanjut di Uni Sovyet.
269
Konstitusi (AD–ART) PKI, Comite Central Partai Komunis Indonesia, Djakarta 1961, h.3. 302 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
XVII Pikiran Mao Zedong SEMENJAK terbentuknya PKT tahun 1921, 270 sudah menjadikan Marxisme sebagai ideologi pembimbing partai. Dalam praktek revolusi Tiongkok, lewat perjuangan mengalahkan pikiran‐pikiran salah Chen Duxiu271 dan Wang Ming,272 tampil pemimpin PKT yang terkemuka, Mao Zedong. Dari penyimpulan pengalaman revolusi Tiongkok, PKT memimpin revolusi dengan menerapkan Marxisme sesuai dengan kondisi konkret Tiongkok. Dalam Kongres Nasional VII PKT tahun 1945 diputuskan Pikiran Mao Zedong sebagai pengintegrasian teori Marxisme– Leninisme dengan praktek revolusi Tiongkok menjadi ideologi pembimbing PKT. “Pikiran Mao Zedong terbentuk dan berkembang setapak demi setapak dalam proses perjuangan melawan kecenderungan‐ 270
Seiring dengan berlangsungnya Kongres Komintern di Moskow, 22 Juni–12 Juli 1921, dibentuklah Partai Komunis Tiongkok. Pembentukan atau kongres pertama diadakan di Shanghai dan dihadiri oleh 12 orang yaitu Mao Zedong, Chang Kuotao, Tung Pi-wu, Chou Fu-hai, Chen Kung-po, Chen Wang-tao, Chen Tan-chiu, Li Hanchun, Li Ta, Ho Shu Cheng, Lu Jen-ching, dan Pao Hui-Sheng. Sedangkan wakil Komintern yang hadir adalah Henricus Sneevliet. 271 Pemimpin gerakan budaya baru Tiongkok pada awal abad ke-20, pendiri dan juga pemimpin awal Partai Komunis Tiongkok. 272 Nama aslinya adalah Chen Shao-yu. Salah seorang dari “28 Orang Bolsyewik” atau ada yang menyebut “Fraksi Siswa yang Kembali”, sebab mereka mendapatkan pendidikan kader-kader revolusioner dari Timur di Universitas Sun Yat Sen Moskow. Pada Sidang Pleno IV CC PKT, Grup 28 Orang Bolsyewik ini berhasil memegang kontrol yang kuat dalam tubuh PKT. Dalam proses selanjutnya politik mereka ini dikategorikan sebagai garis oportunis kiri ketiga. XVII — Pikiran Mao Zedong | 303
kecenderungan salah dan dalam menyimpulkan secara mendalam pengalaman sejarah. Ia mencapai kesimpulan yang sistematis dan berkembang meluas meliputi berbagai bidang serta menjadi matang dalam masa akhir Perang Revolusi Agraria dan pada masa Perang Anti‐ Jepang dan kemudian terus berkembang dalam masa Perang Pembebasan dan setelah berdirinya Republik Rakyat Tiongkok. Pikiran Mao Zedong adalah penerapan dan pengembangan Marxisme–Leninisme di Tiongkok, adalah prinsip teori dan penyimpulan pengalaman yang tepat mengenai revolusi Tiongkok yang telah dibuktikan oleh praktek, adalah kristalisasi kebijakan kolektif Partai Komunis Tiongkok.”273 Pikiran Mao Zedong mempunyai isi yang banyak segi. Ia adalah teori yang orisinal, yang telah memperkaya dan mengembangkan Marxisme–Leninisme dalam beberapa segi di bawah ini: A. Mengenai revolusi demokrasi baru. Mao Zedong bertolak dari keadaan sejarah dan masyarakat Tiongkok, secara mendalam telah menyelidiki ciri‐ciri revolusi Tiongkok dan hukum‐hukum revolusi Tiongkok, telah mengembangkan pikiran Marxisme–Leninisme mengenai kepemimpinan proletariat dalam revolusi demokratik, menciptakan teori revolusi demokrasi baru— revolusi anti‐imperialisme, anti‐feodalisme, dan anti‐kapitalisme birokrat dari massa rakyat yang luas, berbasiskan persekutuan buruh dan tani di bawah pimpinan proletariat. Pokok‐pokok teori itu adalah: Pertama, borjuasi Tiongkok terdiri dari dua bagian: pertama, adalah borjuasi besar yang bersandar kepada imperialisme (yaitu borjuasi komprador dan kapitalisme birokrat), yang satu lagi adalah borjuasi nasional di samping mempunyai keinginan berrevolusi juga mempunyai watak bimbang. Proletariat harus menarik borjuasi nasional ke dalam front persatuan yang dipimpin proletariat, yang dalam keadaan khusus juga mencakup di dalamnya sebagian borjuasi besar, agar dalam batas yang paling luas mengisolasi musuh pokok. Pada waktu melakukan front persatuan dengan borjuasi, proletariat harus mempertahankan 273
Resolusi tentang Beberapa Masalah dalam Sejarah Partai Sejak Berdirinya Republik Rakyat Tiongkok, Disahkan oleh Kongres PKT XI Sidang Pleno ke-6 CC Partai Komunis Tiongkok pada tanggal 27 Juni 1981.
304 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
kebebasannya, melaksanakan politik ‘bersatu dan berjuang’, ‘mencapai persatuan melalui perjuangan’; pada waktu terpaksa harus pecah dengan borjuasi, terutama dengan borjuasi besar, harus berani dan pandai melancarkan perjuangan bersenjata yang teguh dengan borjuasi besar, bersamaan dengan itu harus terus merebut simpati borjuasi nasional atau menetralisir mereka. Kedua, karena di Tiongkok tidak ada demokrasi borjuis, dan klas‐ klas penguasa reaksioner dengan bersandar pada kekuatan bersenjatanya melaksanakan kediktaturan teror terhadap rakyat, revolusi hanya dapat mengambil bentuk perjuangan bersenjata yang berjangka panjang sebagai bentuk pokoknya. Perjuangan bersenjata di Tiongkok adalah perang revolusioner yang dipimpin oleh proletariat dengan kaum tani sebagai kekuatan pokoknya. Kaum tani adalah sekutu paling terpercaya dari proletariat. Melalui detasemen pelopornya sendiri, dengan menggunakan ideologi yang maju dan kesadaran berorganisasi dan berdisiplin, proletariat mungkin dan harus meningkatkan kesadaran massa kaum tani, membangun daerah basis di pedesaan, dan melancarkan perang revolusioner berjangka panjang, serta mengembangkan dan memperbesar kekuatan revolusi. Mao Zedong mengemukakan, ‘front persatuan dan perjuangan bersenjata, adalah dua senjata utama dalam mengalahkan musuh’. Ditambah dengan pembangunan partai, maka menjadi ‘tiga senjata utama’ revolusi. Ini merupakan dasar pokok yang memungkinkan Partai Komunis Tiongkok menjadi inti pimpinan dari seluruh nasion, dan meretas jalan dari desa mengepung kota, dan akhirnya mencapai kemenangan di seluruh negeri. B. Mengenai revolusi sosialis dan pembangunan sosialis. Dipaparkan bahwa PKT mengambil pedoman pada waktu yang bersamaan industrialisasi sosialis dan melaksanakan politik‐politik konkret untuk berangsur‐angsur mengubah hak milik perseorangan atas alat‐alat produksi, dengan demikian dari segi teori dan praktek telah memecahkan tugas‐tugas berat membangun sistem sosialisme di negeri besar seperti Tiongkok yang mempunyai penduduk seperempat penduduk dunia dan yang terbelakang ekonomi dan kebudayaannya. Dengan mengemukakan tesis bahwa perpaduan antara demokrasi bagi rakyat dan diktatur terhadap kaum reaksioner adalah
XVII — Pikiran Mao Zedong | 305
diktatur demokrasi rakyat, Mao Zedong telah memperkaya ajaran Marxisme–Leninisme tentang diktatur proletariat. Setelah dibangunnya sistem sosialis, Mao Zedong menunjukkan bahwa di bawah sistem sosialis, kepentingan fundamental rakyat adalah sama, tetapi di kalangan rakyat masih terdapat berbagai macam kontradiksi, dan bahwa kontradiksi di kalangan rakyat harus dengan keras dibedakan dan dengan tepat dipecahkan. Bahwa di kalangan rakyat, harus melaksanakan politik “persatuan—kritik—persatuan”; dalam mengatur hubungan antara partai dengan partai‐partai dan golongan‐golongan demokratik, melaksanakan politik “hidup berdampingan untuk jangka panjang dan saling mengawasi”; dalam pekerjaan ilmu pengetahuan dan kebudayaan melaksanakan politik “berbagai bunga mekar bersama”, “berbagai aliran bersaing bersuara”; dan di bidang ekonomi melaksanakan pengaturan menyeluruh terhadap berbagai lapisan di kota dan di pedesaan seluruh negeri dan bersamaan dengan itu memperhatikan kepentingan tiga pihak yaitu kepentingan negara, kolektif, dan perseorangan, dan seperangkat pedoman tepat lainnya. Berkali‐kali ditekankan agar jangan menjiplak secara mekanis pengalaman dari luar negeri. C. Mengenai pembangunan tentara revolusioner dan strategi militer. Mao Zedong secara sistematis memecahkan masalah bagaimana membangun tentara revolusioner yang unsur utamanya terdiri dari kaum tani menjadi tentara rakyat tipe baru yang berwatak proletar, memiliki disiplin keras dan mempertahankan hubungan erat dengan massa rakyat. Bahwa mengabdi sepenuh hati kepada rakyat adalah asas tujuan satu‐satunya dari tentara rakyat, dan telah mengajukan prinsip partai mengomando senapan dan senapan sekali‐kali tidak boleh mengomando partai. Di dalam karya‐karya militer seperti: Tentang Membetulkan Pikiran‐Pikiran Salah di Dalam Partai, Masalah Strategi Perang Revolusioner Tiongkok, Masalah Strategi Perang Gerilya Anti‐Jepang, Tentang Perang Tahan Lama, Masalah Perang dan Strategi, dan karya‐karya militer lainnya, Mao Zedong menyimpulkan pengalaman perang revolusioner Tiongkok yang berjangka panjang, dengan sistematis mengemukakan pikiran mengenai membangun tentara rakyat, dan menunjukkan dengan tentara rakyat sebagai tulang punggung, bersandar pada massa rakyat yang
306 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
luas, mendirikan daerah basis di pedesaan dan menjalankan ide perang rakyat. Dengan mengangkat perang gerilya ke tingkat strategi, bahwa untuk waktu yang lama bentuk operasi militer yang utama dalam perang revolusioner Tiongkok adalah perang gerilya dan perang mobil yang bersifat perang gerilya. Seperangkat strategi dan taktik perang rakyat bagi tentara revolusioner: dalam keadaan musuh kuat kita lemah, melaksanakan perang tahan lama dalam strategi, perang cepat selesai dalam kampanye dan pertempuran, mengubah keasoran dalam strategi menjadi keunggulan dalam kampanye dan pertempuran, memusatkan kekuatan unggul, dan menghancurkan musuh satu demi satu. Semuanya ini merupakan sumbangan yang sangat penting Mao Zedong kepada teori militer Marxisme–Leninisme.274 D. Mengenai politik dan taktik. Mao Zedong sangat mendalam menguraikan arti yang menentukan dari masalah politik dan taktik dalam perjuangan revolusioner, dan mengemukakan bahwa politik dan taktik adalah jiwa partai, adalah titik tolak dan hasil terakhir dari segala tindakan praktek sebuah partai politik revolusioner, dan bahwa partai harus menetapkan politik‐ politiknya berdasarkan situasi politik, hubungan klas dan keadaan nyata, serta perubahan‐perubahannya, dan dengan memadukan antara memegang prinsip dengan keluwesan. E. Mengenai pekerjaan ideologi & politik dan pekerjaan kebudayaan. Dalam karya Tentang Demokrasi Baru, Mao Zedong mengemukakan, “Kebudayaan tertentu (kebudayaan sebagai bentuk ideologi) adalah pencerminan politik dan ekonomi masyarakat tertentu, juga memberikan pengaruh dan peranan yang besar terhadap politik dan ekonomi masyarakat tertentu dan ekonomi adalah basis, politik adalah manifestasi terpusat dari ekonomi.” Berdasarkan pandangan pokok ini, 274
Metode strategi dan taktik perang Mao Zedong adalah karya Mao Zedong yang secara kreatif menggunakan pandangan materialisme dialektika histori—Marxisme– Leninisme. Mao Zedong menganalisis kekhususan dari revolusi Tiongkok sehingga menghasilkan teori militer yang menjadi panduan bagi Tentara Pembebasan Rakyat di dalam menuai kemenangan dalam beberapa kali peperangan: perang dalam negeri, perang pembebasan, perang anti agresi, dan perang defensif anti-hegemoni. XVII — Pikiran Mao Zedong | 307
pernah banyak ide penting yang mempunyai arti menjangkau jauh. Misalnya tesis bahwa pekerjaan ideologi dan politik adalah tali nyawa pekerjaan ekonomi dan pekerjaan‐pekerjaan lainnya, bahwa harus melaksanakan pedoman‐pedoman mempersatukan politik dengan ekonomi, mempersatukan politik dengan keahlian profesional, serta menjadi merah dan ahli; mengembangkan kebudayaan yang bersifat nasional, ilmiah, dan massal, melaksanakan pedoman berbagai bunga mekar bersama, menyisihkan yang lama untuk menumbuhkan yang baru, mengabdikan yang kuno kepada kekinian, dan yang dari luar negeri kepada Tiongkok; tesis bahwa kaum intelektual mempunyai peranan yang sangat penting dalam revolusi dan pembangunan, bahwa kaum intelektual harus mengintegrasikan diri dengan kaum buruh dan kaum tani, menegakkan pandangan dunia proletariat melalui belajar Marxisme–Leninisme, belajar dalam masyarakat dan praktek kerja dan lain sebagainya. Bahwa “masalah mengabdi kepada siapa adalah satu masalah fundamental, masalah prinsipil”, dan menekankan bahwa kita harus sepenuh hati mengabdi rakyat, harus mempunyai tanggung jawab yang tinggi terhadap pekerjaan revolusioner, harus berjuang dengan tidak kenal susah‐payah dan tidak takut berkorban. Banyak karya Mao Zedong yang terkenal mengenai ideologi, politik dan kebudayaan, seperti Arah Gerakan Pemuda, Menarik Sejumlah Besar Kaum Intelektual, Pidato dalam Simposium Sastra dan Seni di Yan’an, Memperingati Norman Bethune, Mengabdi kepada Rakyat, Kakek Pandir Memindahkan Gunung, dan lain‐lain. F. Mengenai pembangunan partai. Adalah suatu tugas yang luar biasa berat untuk membangun satu partai politik proletar Marxis yang mempunyai karakter massa di negeri, di mana kaum tani dan klas borjuis‐kecil lainnya merupakan mayoritas penduduk, sedangkan proletariat jumlahnya sangat kecil tetapi daya juangnya sangat kuat. Ajaran‐ajaran Mao Zedong tentang pembangunan partai telah dengan berhasil memecahkan masalah ini. Karya‐karya pokok dalam masalah ini ialah: Lawan Liberalisme, Kedudukan Partai Komunis Tiongkok dalam Perang Nasional, Mengubah Studi Kita, Membetulkan Langgam Partai, Melawan Gaya Delapan dalam Partai, Belajar dan Situasi, Mengenai Penyempurnaan Sistem Comite Partai, Cara Kerja Comite Partai, dan lain‐lain.
308 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Terutama sangat ditekankan pembangunan partai di bidang ideologi, dengan mengemukakan bahwa anggota partai tidak hanya masuk partai secara organisasi, tetapi juga harus masuk partai secara ideologi, dan selalu berusaha untuk mengubah dan mengatasi berbagai macam pikiran non‐proletar dengan menegakkan pikiran proletar. Bahwa langgam pemaduan teori dengan praktek, langgam hubungan yang erat dengan massa rakyat, serta langgam otokritik, merupakan tanda yang penting yang membedakan Partai Komunis Tiongkok dengan semua partai politik lainnya. Dalam menghadapi kesalahan kecenderungan kiri “perjuangan yang tak kenal belas kasihan dan pukulan yang tak kenal ampun” yang pernah ada dalam sejarah perjuangan internal partai, dikemukakan politik tepat, “bercermin kepada yang lampau supaya lebih hati‐hati, kemudian mengobati penyakit untuk menyelamatkan si sakit.” Dengan menekankan bahwa dalam perjuangan internal partai, di samping tujuan kejernihan dalam ideologi, juga harus mencapai persatuan di kalangan kawan‐ kawan. Mao Zedong menciptakan bentuk gerakan pembetulan langgam di seluruh partai yang merupakan pendidikan ideologi Marxisme– Leninisme di seluruh partai melalui kritik dan otokritik menjelang dan sesudah berdirinya Republik Rakyat Tiongkok, mengingat bahwa partai menjadi partai yang berkuasa yang memimpin seluruh negeri, Mao Zedong berulang kali mengemukakan harus terus mempertahankan langgam kerja yang rendah hati dan berhati‐hati, tidak sombong dan tidak terburu nafsu, hidup sederhana dan berjuang dengan tak kenal susah payah, waspada terhadap penggerowotan ideologi borjuis, dan menentang birokratisme yang akan memisahkan kita dari massa. Jiwa hidup dari Pikiran Mao Zedong adalah pendirian, pandangan dan metode yang menjelujuri berbagai komponen yang telah diuraikan di atas. Pendirian, pandangan, dan metode itu mempunyai tiga segi pokok, yaitu mencari kebenaran dari kenyataan, garis massa, dan berdiri sendiri dan bebas. Mao Zedong telah menggunakan materialisme dialektis dan materialisme historis dalam seluruh pekerjaan partai politik proletariat dan telah membentuk pendirian, pandangan, dan metode yang menjadi ciri‐ciri khas kaum komunis Tiongkok dalam perjuangan yang susah payah dan berjangka panjang dari revolusi Tiongkok, dengan demikian telah memperkaya dan mengembangkan Marxisme–Leninisme. Pendirian,
XVII — Pikiran Mao Zedong | 309
pandangan, dan metode ini tidak hanya termanifestasi dalam karya‐karya penting seperti Melawan Bukuisme, Tentang Praktek, Tentang Kontradiksi, Kata Pengantar dan Kata Susulan Penyelidikan di Desa, Tentang Beberapa Masalah Metode Memimpin, dan Dari Mana Datangnya Pikiran Manusia yang Tepat, tetapi juga termanifestasi dalam seluruh karya‐karya ilmiah Mao Zedong, dan dalam aktivitas‐aktivitas revolusioner kaum komunis Tiongkok. Mencari kebenaran dari kenyataan berarti harus bertolak dari kenyataan dan menghubungkan teori dengan praktek, yaitu memadukan prinsip umum Marxisme–Leninisme dengan praktek konkret revolusi Tiongkok. Mao Zedong selalu menentang studi Marxisme yang terpisah dari keadaan masyarakat Tiongkok dan revolusi Tiongkok. Jauh pada tahun 1930, Mao Zedong telah menentang bukuisme yang membuta dengan menekankan bahwa penyelidikan dan studi adalah langkah pertama dari semua pekerjaan, dan bahwa tanpa penyelidikan tak ada hak berbicara. Menjelang gerakan pembetulan langgam Yan’an, ditegaskan bahwa subjektivisme adalah musuh besar Partai Komunis, semacam manifestasi ketidakmurnian semangat partai. Tesis brilian ini telah mendobrak belenggu dogmatisme, sehingga pikiran orang telah mencapai satu pembebasan besar. Ketika menyimpulkan pengalaman dan pelajaran revolusi Tiongkok, di dalam karya‐karya filsafat dan karya‐karya lain yang mengandung pikiran filsafat yang kaya, Mao Zedong dengan mendalam telah menguraikan dan memperkaya teori pengetahuan dan dialektika Marxis. Mao Zedong secara tandas menjelaskan bahwa teori pengetahuan materialisme dialektik adalah teori pencerminan yang dinamis dan revolusioner, terutama menekankan agar sepenuhnya mengembangkan peranan dinamis dari kesadaran manusia berdasarkan dan sesuai dengan kenyataan objektif. Dengan praktek sosial sebagai dasar, Mao Zedong secara menyeluruh dan sistematis telah menguraikan teori materialisme dialektik tentang sumber, proses perkembangan dan tujuan pengetahuan, serta ukuran kebenaran; dikemukakan bahwa terbentuk dan berkembangnya pengetahuan yang tepat, sering harus melalui pengulangan proses yang berkali‐kali dari materi ke kesadaran, dari kesadaran ke materi, yaitu dari praktek ke pengetahuan, dari pengetahuan ke praktek. Mao Zedong mengemukakan bahwa benar itu
310 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
ada dalam perbandingan dengan salah, dan berkembang dalam perjuangan terhadapnya, kebenaran tidak akan habis‐habisnya, benar tidaknya pengetahuan, yaitu sesuai atau tidak dengan kenyataan objektif, pada akhirnya hanya dapat dipecahkan melalui praktek sosial. Mao Zedong telah menjelaskan dan mengembangkan inti dialektika Marxis—hukum kesatuan dari segi‐segi yang bertentangan. dikemukakan bahwa tidak hanya studi keumuman kontradiksi hal ihwal objektif, tetapi yang teristimewa pentingnya adalah studi kekhususan kontradiksi, dan bahwa harus memecahkan kontradiksi yang berbeda sifatnya dengan cara yang berbeda pula. Oleh karena itu, tidak boleh menjadikan dialektika sebagai rumus yang hanya dihafal dan digunakan secara mekanis, tetapi harus erat dipadukan dengan praktek dan dengan penyelidikan dan penelitian dan menggunakannya dengan luwes. Mao Zedong menjadikan filsafat sungguh‐sungguh senjata tajam proletariat dan massa rakyat untuk mengenal dunia dan mengubah dunia. Khususnya uraian dalam karya‐karya utama mengenai perang revolusioner Tiongkok, telah memberikan contoh yang paling gemilang dalam menerapkan dan mengembangkan teori pengetahuan dan dialektika Marxis di dalam praktek. PKT selama‐lamanya mempertahankan garis ideologi Mao Zedong yang diuraikan di atas. Garis massa, berarti segala‐galanya demi massa, dalam segala hal bersandar pada massa, dan dari massa kembali ke massa. Garis massa partai dalam setiap pekerjaan terbentuk melalui penerapan secara sistematis prinsip Marxisme–Leninisme tentang massa rakyat adalah pencipta sejarah, di dalam semua kegiatan partai. Ia adalah penyimpulan pengalaman sejarah yang tak ternilai harganya dari PKT dalam melancarkan aktivitas revolusioner dalam waktu panjang dalam situasi yang sulit di mana kekuatan musuh jauh lebih unggul. Mao Zedong selalu menekankan, asalkan kita bersandar pada rakyat, dengan teguh percaya bahwa daya cipta rakyat tak kunjung habis, dengan demikian percaya pada rakyat, dan mengintegrasikan diri dengan rakyat, maka musuh mana pun tidak akan dapat menaklukkan kita, sedang kita dapat menaklukkan musuh, dan kesulitan apa pun dapat kita atasi. Bahwa ketika memimpin massa melakukan pekerjaan praktis, pendapat pimpinan yang tepat hanya dapat diperoleh dengan metode dari massa kembali ke massa, dan dengan melaksanakan
XVII — Pikiran Mao Zedong | 311
perpaduan pimpinan dengan massa, memadukan seruan umum dengan bimbingan konkret. Ini berarti, pendapat massa dipusatkan menjadi pendapat yang sistematis, lalu dibawa ke tengah‐tengah massa untuk dipertahankan dan dilaksanakan, kemudian dalam aktivitas massa diuji benar tidaknya pendapat‐pendapat itu. Begitulah seterusnya, berulang‐ ulang dengan tak henti‐hentinya sehingga pengenalan pimpinan menjadi lebih tepat, lebih hidup dan lebih kaya. Demikianlah, Mao Zedong menyatukan teori pengetahuan Marxisme dengan garis massa partai. Partai adalah detasemen pelopor dari proletariat. Partai ada dan berjuang demi kepentingan rakyat. Tetapi partai selama‐lamanya adalah sebagian kecil dari rakyat, sehingga apabila terpisah dari rakyat maka segala perjuangan dan cita‐ cita partai tidak hanya tidak ada artinya sama sekali, tetapi tak akan mungkin mencapai hasil apa pun. Agar dapat dengan teguh mempertahankan revolusi dan mendorong maju usaha sosialisme, maka menurut Mao Zedong, PKT harus mempertahankan garis massa. Berdiri sendiri dan bebas, serta berdiri di atas kaki sendiri adalah kesimpulan wajar dari melakukan revolusi dan pembangunan Tiongkok dengan bertolak dari keadaan konkret Tiongkok, dan bersandar pada massa. Revolusi proletar adalah usaha yang bersifat internasional, diper‐ lukan saling menyokong antara proletariat berbagai negeri. Tetapi untuk menyelesaikan usaha ini, pertama‐tama proletariat berbagai negeri harus teguh berpijak di negerinya sendiri, bersandar pada kekuatan revolusioner dan usaha massa rakyat di negerinya, memadukan prinsip umum Marxisme–Leninisme dengan praktek konkret revolusi negeri itu sendiri, agar melakukan dengan baik usaha revolusi di negerinya. Mao Zedong selalu menekankan bahwa pedoman kita harus diletakkan di atas dasar kekuatan sendiri, mencari sendiri jalan maju yang sesuai dengan keadaan negeri kita. Di suatu negeri besar seperti Tiongkok, lebih‐lebih lagi harus terutama bersandar pada kekuatan sendiri dalam mengembangkan usaha revolusi dan pembangunan. Harus mempunyai tekad berjuang sendiri hingga akhir, harus percaya dan bersandar pada kecerdasan dan kekuatan ratusan juta rakyat Tiongkok. Kalau tidak, revolusi maupun pembangunan tidak akan dapat memperoleh kemenangan, kalaupun mencapai kemenangan juga tidak akan dapat dikonsolidasi. Tentu saja, revolusi dan pembangunan negeri kita bukan dan juga tidak mungkin terisolasi dari dunia luar.
312 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Kapan pun kita memerlukan bantuan luar negeri, terutama perlu belajar segala hal ihwal maju luar negeri yang berfaedah bagi kita. Politik pintu tertutup dan secara membabi buta menentang sesuatu dari luar negeri serta segala pikiran dan tindakan sovinisme negara besar semuanya adalah salah sepenuhnya. Tetapi, meskipun ekonomi dan kebudayaan negeri Tiongkok masih agak terbelakang, terhadap negeri besar, kuat dan kaya yang mana pun, kita harus mempertahankan rasa harga diri nasional dan keyakinan kita sendiri, sama sekali tidak diperkenankan segala macam manifestasi merendahkan diri dan membungkuk‐ bungkuk di hadapan mereka. Baik sebelum maupun setelah berdirinya Tiongkok Baru, di bawah pimpinan partai dan Mao Zedong, tak peduli menjumpai kesulitan yang bagaimanapun, PKT bertekad untuk tetap bebas, berdiri sendiri dan berdiri di atas kaki sendiri tidak pernah goyah, tidak pernah tunduk di hadapan tekanan apa pun dari luar. Ini telah memanifestasikan kegagah‐perwiraan yang tak kenal gentar PKT dan rakyat berbagai bangsa di Tiongkok. PKT berpendirian bahwa rakyat berbagai negeri harus hidup berdampingan secara damai, sama derajat dan saling membantu. PKT mempertahankan prinsip bebas dan berdiri sendiri, juga menghormati hak bebas dan berdiri sendiri dari rakyat negeri lain. Jalan revolusi dan jalan pembangunan yang sesuai dengan ciri‐ciri masing‐masing, hanya dapat dicari, diciptakan dan ditentukan oleh rakyat negeri itu sendiri. Siapa saja tidak mempunyai hak untuk memaksakan pendapatnya kepada orang lain. Hanya di bawah syarat‐ syarat demikian, barulah mungkin ada internasionalisme yang sungguh‐ sungguh, kalau tidak hanya akan merupakan hegemonisme. Dalam hubungan internasional, kita selamanya akan mempertahankan pendirian berprinsip yang demikian. Pikiran Mao Zedong adalah kekayaan spiritual yang berharga dari PKT. Ia membimbing tindakan PKT dalam jangka panjang. Pemimpin‐pemimpin dan sejumlah besar kader‐kader partai yang diasuh oleh Marxisme–Leninisme–Pikiran Mao Zedong, di masa lalu adalah tulang punggung pokok dalam mencapai kemenangan yang sangat besar demi usaha kita; mereka sekarang dan kemudian akan tetap menjadi teras yang sangat berharga dari usaha pembangunan modernisasi sosialis. Banyak karya penting Mao Zedong yang ditulis pada masa
XVII — Pikiran Mao Zedong | 313
revolusi demokrasi baru dan pengubahan sosialis, tetap harus kita pelajari. Ini tidak hanya karena sejarah tidak boleh dipotong‐potong, lagi pula, jika tidak mengenal masa yang lalu, maka dapat menghalangi pengenalan terhadap masalah dewasa ini, tetapi juga karena teori‐teori dasar, prinsip‐prinsip dan metode ilmiah yang terkandung dalam karya‐ karya itu mempunyai arti universal, mempunyai peranan membimbing yang tak ternilai besarnya, baik sekarang maupun di kemudian hari, oleh karena itu harus terus mempertahankan Pikiran Mao Zedong, dengan sungguh‐sungguh mempelajari dan menggunakan pendirian, pandangan dan metodenya untuk studi keadaan baru yang muncul dalam praktek, dan memecahkan masalah‐masalah baru. Pikiran Mao Zedong telah sangat menambah khazanah teori Marxisme–Leninisme dengan isi baru. Harus memadukan belajar karya‐ karya ilmiah Mao Zedong dengan karya‐karya ilmiah Marx, Engels, Lenin, dan Stalin. Adalah sepenuhnya salah untuk berusaha menegasi nilai ilmiah Pikiran Mao Zedong, menegasi peranan membimbing Pikiran Mao Zedong bagi revolusi dan pembangunan negeri kita, hanya karena Mao Zedong telah berbuat kesalahan pada masa tuanya. Tetapi adalah juga sama sekali salah, apabila mengambil sikap dogmatis terhadap segala ucapan Mao Zedong, menganggap bahwa kata‐kata apa saja yang pernah diucapkan oleh Mao Zedong adalah kebenaran yang tak dapat diubah‐ubah, yang harus diterapkan secara mekanis di mana saja, bahkan tidak mau secara apa adanya mengakui bahwa Mao Zedong berbuat kesalahan pada masa tuanya, dan lagi masih berusaha dalam kegiatan‐kegiatan mempertahankan kesalahan‐kesalahan itu. Kedua sikap yang demikian ini telah gagal membedakan Pikiran Mao Zedong yang telah terbentuk menjadi teori ilmiah melalui ujian sejarah berjangka panjang dengan kesalahan‐kesalahan yang dilakukan oleh Mao Zedong pada masa tuanya. PKT menghargai semua hasil positif pemaduan prinsip umum Marxisme–Leninisme dengan praktek konkret Tiongkok selama proses revolusi Tiongkok dan pembangunan dalam setengah abad lebih ini, menerapkan dan mengembangkan semua hasil tersebut, dalam praktek yang baru, dan memperkaya dan mengembangkan teori partai dengan prinsip‐prinsip baru dan kesimpulan‐kesimpulan baru yang sesuai dengan kenyataan konkret, untuk menjamin agar usaha untuk terus maju menyusuri jalan ilmiah Marxisme–Leninisme–Pikiran Mao Zedong.
314 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
XVIII Polemik Anti‐Revisionisme Modern dalam Gerakan Komunis Internasional DALAM Kongres Nasional XX Partai Komunis Uni Sovyet tanggal 24 Februari 1956, Sekjen CC PKUS, Nikita Sergeyevich Khrusycyov, menyampaikan laporan rahasia mengkritik Stalin. Inti kritiknya adalah Stalin sudah menumbuhkan kultus individu terhadap dirinya. Kritik tentang kultus individu ini merambat ke kesalahan‐kesalahan di bidang lainnya, hingga dengan kesalahan‐kesalahannya itu peranan positif Stalin dalam sejarah dinegasi.275 Musuh‐musuh Stalin terutama kaum sosial demokrat seluruh dunia bergendang paha. Sampai‐sampai empat puluh tahun sesudah laporan Khrusycyov itu diumumkan, pada puncak gelora Perang Dingin yang dikendalikan Amerika Serikat untuk membasmi komunisme sedunia, Partai Sosial Demokrat Jerman secara besar‐besaran memperingati peristiwa “Khrusycyov mengutuk Stalin” ini. Gerakan komunis internasional goncang karena peristiwa ini. Banyak Partai Komunis mengikuti pandangan PKUS itu. Kecuali Partai Komunis Tiongkok dan Partai Buruh Albania tetap menjunjung Stalin. Dengan dua kali artikel yang berjudul “Sejarah Pengalaman Diktatur Proletariat” dan “Sekali Lagi Pelajaran Sejarah dari Diktatur Proletariat” disiarkan, Partai Komunis Tiongkok memberikan penilaian sendiri mengenai peranan Stalin dalam sejarah. Betapapun ada 275
Pidato Khrusycyov Mengutuk Stalin, di depan Kongres XX Partai Komunis Sovjet Uni, 24 Februari 1956, Lampiran Harian Pedoman Djakarta. Akhir Djuli 1956. XVIII — Polemik Anti-Revisionisme Modern | 315
kesalahan, Stalin adalah tokoh gerakan komunis internasional yang berjasa besar, yang karya‐karnyanya tetap dipelajari.276 Mengenai kritik terhadap kultus individu ini, D.N. Aidit menyatakan, “sudah pada tempatnya jikalau PKUS membikin keterangan yang jelas tentang kebaikan‐kebaikan yang sudah dibikin oleh Stalin selama hidup di samping menunjukkan kesalahannya. Dalam Kongres XX PKUS tentang kebaikan‐kebaikannya tidak banyak dikemukakan, karena memang kongres itu bukan ditujukan untuk mengemukakan kebaikan‐kebaikan Stalin, tetapi ditujukan untuk menunjukkan kesalahan‐kesalahan Stalin supaya kesalahan‐kesalahan itu tidak diulangi lagi oleh kaum komunis. Saya setuju sepenuhnya dengan pendirian Partai Komunis Tiongkok yang menganggap bahwa ‘tulisan‐tulisan Stalin akan masih, seperti selama ini, dipelajari secara serius. Semua yang bermanfaat di dalam tulisan‐tulisannya, teristimewa banyak dari tulisannya dalam mempertahankan Leninisme dan dalam menyimpulkan secara tepat pengalaman Sovyet di lapangan pembangunan, haruslah kita pandang sebagai warisan sejarah yang penting. Berbuat lain daripada ini akan merupakan suatu kesalahan.’”277 Partai‐partai komunis di banyak negeri tidak satu pendapat mengenai kritik Khrusycyov terhadap Stalin itu. Perbedaan pendapat juga menyangkut masalah jalan damai mencapai sosialisme yang diajukan Khrusycyov. Dalam keadaan berlangsungnya perbedaan‐perbedaan pendapat itu, pada bulan November 1960 di Moskow berlangsung pertemuan 81 partai komunis dan partai buruh sedunia. Pertemuan menghasilkan dokumen berupa Pernyataan yang disetujui dan ditanda‐ tangani bersama oleh para wakil partai‐partai yang hadir. Indonesia diwakili oleh M.H. Lukman, Wakil Ketua I CC PKI. Dinyatakan bahwa “semua persoalan didiskusikan dalam suasana persahabatan yang bersifat sekawan, atas dasar prinsip‐prinsip yang tak terpatahkan dari 276
PKT di bawah kepemimpinan Mao Zedong menentang keras keputusan Kongres PKUS XX. Dalam editorial koran Harian Rakyat (Renmin Ribao) dan Bendera Merah (Hongqi) pada 6 September 1963 dengan jelas dinyatakan bahwa Kongres PKUS XX adalah langkah pertama yang diambil oleh kepemimpinan PKUS dalam jalan revisionisme, kritik atas Stalin adalah keliru baik dalam prinsip maupun metode dan dengan menegasi peranan Stalin berarti telah mengolok-olok kediktaturan proletariat, sistem sosialis, PKUS, Uni Soviet, dan Gerakan Komunis Internasional. 277 D.N. Aidit, Pilihan Tulisan, Jilid II, Jajasan Pembaruan, Djakarta 1960, h.25–26. 316 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Marxisme–Leninisme dan internasionalisme proletar.”278 Perbedaan‐perbedaan di kalangan partai‐partai komunis dan partai buruh sedunia dapat diredam. Suasana anti revisionisme modern kian bergelora. Berlangsung dan berkembang terus perbedaan mengenai Yugoslavia, yang oleh PKUS dinilai sebagai negara sosialis. Partai Buruh Albania menentang dengan keras pendirian ini. Pada Juni 1960 berlangsung Kongres Nasional Partai Komunis Rumania di Bukarest. Sejumlah delegasi partai luar negeri hadir, termasuk Khrusycyov dari PKUS dan Peng Chen dari PKT. Pada kesempatan itu terjadi peristiwa usaha Khrusycyov menawarkan teks pernyataan untuk ditandatangani wakil‐wakil partai luar negeri yang hadir. Isi teks dan cara‐cara pengajuan ini dikritik oleh delegasi Tiongkok. Tak lama kemudian, dalam Kongres XXII Partai Komunis Uni Sovyet, Oktober 1961, Khrusycyov tampil dengan gagasan‐gagasan baru, “Dari ekonomi sosialis ke ekonomi komunis, pembentukan dasar materiil dan teknik komunisme.”279 Dalam rencana program ini dikemukakan antara lain: 1. Membangun Masyarakat Tak Berklas di Uni Sovyet; 2. Dari Diktatur Proletariat ke suatu Negara Seluruh Rakyat.280 Selanjutnya dikemukakan bahwa “Partai dalam jangka waktu pembangunan semesta untuk komunisme, Partai Marxis‐Leninis yang lahir sebagai partai klas buruh telah menjadi partai segenap Rakyat.”281 Resolusi Kongres tentang laporan umum ditutup dengan pernyataan, “PKUS akan senantiasa menjunjung tinggi panji jaya Marxisme–Leninisme, melakukan kewajiban internasionalnya terhadap rakyat pekerja semua negeri dan mencurahkan segala tenaganya untuk perjuangan bagi kepentingan rakyat, untuk mencapai tujuan historis yang besar, ialah pembangunan masyarakat komunis.” “Partai dengan khidmat menyatakan: generasi rakyat Sovyet sekarang ini akan hidup di bawah komunisme!”282 278
Pernyataan & Seruan Pertemuan Wakil-Wakil Partai-Partai Komunis dan PartaiPartai Buruh, Jajasan Pembaruan, Djakarta 1960, h.5. 279 N.S. Chrusjtjov, Laporan tentang Program Partai Komunis Uni Sovjet, 18 Oktober 1961, Bagian Penerangan Kedutaan Besar URSS di Indonesia. 280 Ibid., h.71—72. 281 Ibid., h.118. 282 N.S. Chrusjtjov, op.cit., h.66. XVIII — Polemik Anti-Revisionisme Modern | 317
Gagasan pembangunan dasar materiil dan teknik komunisme, mengubah diktatur proletariat menjadi negara seluruh rakyat dan mengubah partai pelopor klas pekerja menjadi partai seluruh rakyat menimbulkan perdebatan besar di kalangan partai‐partai komunis dan partai buruh sedunia. Gagasan ini dinilai tidak sesuai dengan Marxisme–Leninisme, bahkan dinyatakan merevisi Marxisme– Leninisme. Dengan menyatakan tetap berpegang pada rumusan‐rumusan dalam Pernyataan dan Seruan Pertemuan Wakil‐Wakil Partai‐Partai Komunis dan Partai‐Partai Buruh 1960, PKT dan PKUS menyatakan berhasrat untuk mempersiapkan pertemuan baru partai‐partai komunis dan partai buruh sedunia. Berlangsung proses pertukaran pikiran lewat surat‐menyurat antara kedua pimpinan partai. Pada tanggal 14 Juni 1963, membalas surat CC PKUS tanggal 30 Maret 1963, CC PKT mengajukan Usul Mengenai Garis Umum Gerakan Komunis Internasional. Dalam usul ini dikemukakan, “Garis Umum Gerakan Komunis Internasional seharusnya memanifestasikan hukum umum perkembangan sejarah dunia. Perjuangan revolusioner dari proletariat semua negeri dan rakyat‐rakyat semua negeri akan menempuh tingkat‐ tingkat yang berlainan, menunjukkan ciri‐cirinya sendiri, tetapi kesemuanya tidak akan melampaui hukum umum perkembangan sejarah dunia. Garis Umum Gerakan Komunis Internasional seharusnya menunjukkan arah tujuan pokok bagi perjuangan revolusioner proletariat semua negeri dan rakyat semua negeri.”283 Langkah‐langkah PKUS membuka hubungan baik dengan Liga Komunis Yugoslavia mendapat tentangan dari Partai Buruh Albania, PKT, dan partai‐partai yang berpendapat bahwa Liga Komunis Yugoslavia adalah revisionis. PKI termasuk partai yang menyatakan Liga Komunis Yugoslavia adalah revisionis. Berlangsung polemik yang saling mengkritik antara berbagai partai. Dalam hal ini terlibat partai‐ partai Partai Buruh Albania, Partai Komunis Italia, Partai Komunis Perancis, Partai Komunis Amerika Serikat, PKUS. Pada 14 Juli 1963, PKUS mengeluarkan sepucuk Surat Terbuka kepada organisasi‐organisasi partai dan semua kaum komunis Uni 283
Usul Mengenai Garis Umum Gerakan Komunis Internasional, Surat Balasan CC PKT atas surat CC PKUS tertanggal 30 Maret 1963. Pustaka Bahasa Asing, Peking 1963, h.5. 318 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Sovyet. Surat Terbuka itu merupakan penilaian terhadap surat CC PKT tertanggal 14 Juni 1963. Membantah dan mengkritik Surat Terbuka itu, PKT mengeluarkan sembilan komentar atas Surat Terbuka PKUS. tersebut, yaitu: 1. Asal‐Usul dan Perkembangan Perselisihan‐Perselisihan Antara Pimpinan PKUS dengan Kita (6 September 1963) 2. Tentang Masalah Stalin (13 September 1963) 3. Apakah Yugoslavia Negara Sosialis? (26 September 1963) 4. Pembela‐Pembela Neo‐Kolonialisme (22 Oktober 1963) 5. Dua Garis yang Berbeda tentang Masalah Perang dan Damai (19 November 1963) 6. Dua Macam Politik Ko‐Eksistensi Secara Damai yang Bertentangan Sama Sekali (12 Desember 1963) 7. Pemimpin‐Pemimpin PKUS adalah Pemecah‐belah Terbesar pada Zaman Kita (4 Februari 1964) 8. Revolusi Proletar dan Revisionisme Khrusycyov (31 Maret 1964) 9. Tentang Komunisme Palsu Khrusycyov dan Pelajaran‐Pelajaran Sejarahnya bagi Dunia (14 Juni 1964) Polemik besar di kalangan partai‐partai komunis dan partai buruh sedunia menjadi kian bergelora. PKI yang semula mengambil sikap bebas dan berusaha menyatukan pandangan antara PKUS dan PKT, dalam perkembangannya menjadi memihak PKT, menilai PKUS telah menjalankan revisionisme modern. Bulan November 1964 terjadi penggantian pimpinan tertinggi PKUS. Sekjen CC PKUS, Khrusycyov diganti Leonid Ilyich Brezhnyev. Turun panggungnya Khrusycyov dinilai PKT karena kesalahan‐ kesalahan sebagai berikut: “Khrusycyov telah menghimpun semua pandangan anti‐Marxis dari kaum oportunis dan kaum revisionis dalam sejarah dan menyusunnya menjadi suatu garis revisionis yang lengkap yang terdiri dari ‘koeksistensi secara damai’, ‘perlombaan secara damai’, ‘peralihan secara damai’, ‘negara seluruh rakyat’, dan ‘partai seluruh rakyat’. Ia melakukan kapitulasionisme terhadap imperialisme dan menggunakan teori perdamaian klas untuk melikuidasi dan menentang perjuangan revolusioner rakyat‐rakyat. Dalam gerakan komunis internasional, ia menjalankan pecah‐belahisme dan mengganti
XVIII — Polemik Anti-Revisionisme Modern | 319
internasionalisme proletar dengan sovinisme negara‐besar. Di dalam negeri, ia berusaha keras untuk membikin berantakan diktatur proletariat, mencoba mengganti sistem sosialis dengan ideologi, politik, ekonomi dan kebudayaan borjuis, dan menempuh jalan restorasi kapitalisme.”284 Di bawah pimpinan Brezhnyev, PKUS tetap menjalankan pandangan‐pandangan Khrusycyov untuk pembangunan komunisme dan menempuh cara‐cara Khrusycyov menghadapi gerakan komunis internasional. Bulan Maret 1965, pimpinan baru PKUS memprakarsai pertemuan Moskow dengan mengundang 26 partai komunis dan buruh di dunia. Tujuh partai menolak hadir, yaitu Partai Buruh Albania, Partai Pekerja Vietnam, PKI, PKT, Partai Pekerja Korea, Partai Komunis Rumania, dan Partai Komunis Jepang. Dengan Pertemuan Moskow ini perpecahan dalam GKI kian berlarut‐larut. Mengkritik pertemuan ini, PKT menyatakan bahwa, “Kita harus berterima kasih kepada pimpinan baru PKUS karena bersikeras menyelenggarakan pertemuan memecah‐belah itu. Hal yang buruk ini bisa berubah menjadi hal yang baik. Pertemuan memecah‐belah itu dengan cepat membantu orang menyingkap selubung Marxisme– Leninisme dari pimpinan baru PKUS dan menelanjangi tampang revisionis mereka yang sebenarnya.”285 Selanjutnya PKT menuntut pimpinan PKUS supaya “Secara terbuka dan serius di hadapan kaum komunis dan rakyat sedunia bahwa revisionisme Khrusycyov, sovinisme negara‐besar dan pecah‐ belahisme adalah salah. Mengakui secara terbuka bahwa garis dan program revisionis yang diterima oleh Kongres XX dan XXII PKUS yang dipimpin Khrusycyov adalah salah.”286 Di bawah pimpinan L.I. Brezhnyev, Kongres Nasional XXIII PKUS, Maret 1966, memutuskan melanjutkan pelaksanaan garis Kongres XX dan XXII, yaitu melanjutkan pelaksanaan pembangunan dasar‐dasar material dan teknik komunisme. Dalam resolusi Kongres 284
Mengapa Chrusytjov Turun Panggung, Editorial Majalah Hong Qi, No.21—22, 1964, Pustaka Bahasa Asing, Peking, 1964, h.3. 285 Komentar tentang Pertemuan Moskow Maret, Dewan Redaksi Renmin Ribao (Harian Rakjat) dan Dewan Redaksi Hongqi (Bendera Merah), Pustaka Bahasa Asing, Peking, 1965, h.23. 286 Ibid., h.25. 320 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
dinyatakan: “Dalam periode itu telah dilaksanakan garis yang ditetapkan oleh Kongres XX—XXII yang diarahkan pada pelaksanaan Program PKUS untuk membangun dasar material dan teknik komunisme, dan selanjutnya menyempurnakan hubungan‐hubungan kemasyarakatan sosialis, dan pendidikan komunis bagi kaum pekerja.”287 Perjuangan melawan revisionisme modern dalam Gerakan Komunis Internasional menjadi kian bergelora. Perang Dingin yang dikobarkan Amerika Serikat untuk membasmi komunisme sejagat jadi mendapat angin. Dalam kesempatan ini, kekuatan sosial demokrat Eropa dan kaum Trotskis bergandengan tangan ikut arus Perang Dingin memusuhi Uni Sovyet. PKUS yang kian hanyut arus revisionisme, berlanjut dengan naik panggungnya Mikhail Sergeyevich Gorbacyov mengumandangkan Pemikiran Baru yang mencapai puncak pada Kongres XXVIII PKUS yang dengan resmi mencampakkan diktatur proletariat. Revisionisme PKUS bermuara pada ambruknya Uni Republik‐ republik Sovyet Sosialis (URSS), disusul oleh berantakannya negara‐ negara sosialis Eropa Tengah dan Timur. Sementara itu, dengan setia membela pendirian anti‐revisionisme dalam Gerakan Komunis Internasional, di Tiongkok dengan tangguh Deng Xiaoping tampil dengan Empat Prinsip Dasarnya, yaitu: 1. Menempuh jalan sosialis; 2. Menjunjung tinggi diktatur proletariat; 3. Di bawah pimpinan Partai Komunis; 4. Menjunjung ideologi Marxisme– Leninisme–Pikiran Mao Zedong. Sosialisme berciri Tiongkok menunjukkan keunggulannya hingga Tiongkok maju menjadi negara terbesar kedua di bidang ekonomi. Kemenangan nyata ditunjukkan dalam membangun sosialisme berciri Tiongkok lewat perlombaan damai dengan kapitalisme. 287
Ryezolyutsiya XXIII Siyezda Kommunisticyeskoi Partiii Sovyetskovo Soyuza Po Otcyetnomu Dokladu TsK KPSS, h.3. XVIII — Polemik Anti-Revisionisme Modern | 321
322 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
XIX Trotskisme sampai Internasionale IV SEJAK sebelum Revolusi Oktober sudah terdapat perbedaan pendapat antara Lenin dan Trotski. Mula‐mula Trotski adalah anggota Partai Buruh Sosial Demokrat Rusia faksi Mensyewik. Menjelang Revolusi Oktober 1917, diterima menjadi anggota faksi Bolsyewik. Pada awal negara Sovyet, terpilih sebagai Komisaris Rakyat untuk Masalah Luar Negeri dan salah satu anggota Politbiro Partai. Tahun 1905 Trotski sudah menampilkan teori “revolusi permanen” yang bertolak belakang dengan teori dua tingkat revolusi yang diajukan Lenin. Perbedaan itu mencapai puncaknya mengenai soal bisa atau tidaknya membangun sosialisme di satu negeri. 288 Lenin percaya akan kemungkinan itu, sedangkan Trotski menganggap tak mungkin membangun sosialisme di satu negeri, tapi harus lewat memenangkan revolusi dunia. Untuk itu ia mempertahankan teori “revolusi permanen”. Dua tahun sesudah diumumkannya Manifesto Partai Komunis, ungkapan “revolusi permanen” terdapat dalam Seruan Comite Central kepada Liga Komunis yang ditulis Marx dan Engels bulan Maret 1850. Seruan ini mengungkapkan kemungkinan perkembangan gerakan revolusioner di Jerman dan Perancis. Langkah pertama usaha revolusioner di Jerman akan bersamaan dengan kemenangan perjuangan klas pekerja Perancis. Haruslah secepat mungkin membebaskan diri dari ungkapan‐ungkapan munafik borjuis kecil 288
Walaupun punya perbedaan pendapat, Trotski tetap diikutkan dalam Politbiro CC PKUS, bahkan menjadi tokoh terkemuka dalam Tentara Merah yang dibangun sesudah Revolusi Oktober. XIX — Trotskisme sampai Internasionale IV | 323
demokrat yang menjauhkan diri dari organisasi bebas partai proletariat. “Semboyan perjuangan mereka mestinya adalah: revolusi yang terus‐menerus, revolusi permanen.”289 Teori “revolusi permanen” Trotski mempertimbangkan bahwa di banyak negeri yang belum melaksanakan revolusi demokrasi borjuis, kaum kapitalis menentang untuk menciptakan situasi revolusioner. Di Rusia pada revolusi tahun 1905, kaum kapitalis merasa perlu bersekutu dengan anasir‐anasir reaksioner seperti tuan tanah feodal bahkan dengan kekuasaan negara Tsar Rusia. Oleh karena itu, menurut teori “revolusi permanen”, kaum kapitalis dari negeri‐negeri yang terbelakang ekonominya adalah lemah dan tidak mampu melakukan perubahan revolusioner. Maka mereka mendekat dan bersandar pada kaum tuan tanah feodal. Oleh karena itu, menurut Trotski, oleh karena mayoritas cabang industri di Rusia asal‐usulnya berada di bawah kekuasaan pemerintah, klas kapitalis lagi‐lagi tergantung pada penguasa. Kaum kapitalis adalah pengekor pada kapital Eropa. Menurut Trotski, satu negara sosialis baru dengan sistem ekonomi baru di negeri seperti Rusia tak akan tahan melawan tekanan jahat dunia kapitalis. Oleh karena itu revolusi harus segera diusahakan menjalar ke negeri‐negeri kapitalis, menyebarkan revolusi sosialis ke seluruh dunia. Demikianlah “revolusi permanen” mula‐mula bergerak dari revolusi borjuis menjadi revolusi klas buruh dan tanpa henti‐henti menjalar ke Eropa menjadi revolusi‐revolusi seluruh dunia. Lenin dan Stalin percaya bahwa revolusi bisa dimenangkan di mata rantai terlemah dari imperialisme, dan sosialisme dapat dibangun di satu negeri. Menghadapi kesulitan ekonomi, pada tahun 1921, di kala Uni Sovyet sedang akan menjalankan politik ekonomi baru, maka kian meningkat pergolakan dalam pimpinan PKUS. Trotski menentang garis Lenin melaksanakan gagasan politik ekonomi baru. Perbedaan pendapat jadi berlarut, hingga Trotski membentuk kelompok oposisi bernama “Oposisi Buruh” dengan ikut sertanya sejumlah tokoh seperti Syliapnikov. Dalam Kongres X, atas usul‐usul Lenin diputuskan resolusi berjudul Tentang Persatuan Partai dan Tentang Penyelesaian Sindikalis dan 289
Karl Marx and Friedrich Engels, Address of the Central Committee to the Communist League, Marx–Engels Selected Works Volume I, Foreign Languages Publishing House, Moscow 1950, h.108.
324 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Anarkis dalam Partai Kita. Resolusi Kongres X ini mengutuk “Oposisi Buruh”. Kongres menyatakan bahwa propaganda tentang ide‐ide penyelewengan anarko‐sindikalis itu bertentangan dengan keanggotaan Partai Komunis, Kongres X mengambil keputusan yang sangat penting tentang peralihan dari sistem pengumpulan kelebihan bahan makanan ke sistem pajak berupa hasil bumi, tentang peralihan ke politik ekonomi baru (PEB). Kaum Trotskis dan kaum oposisi lainnya menganggap bahwa PEB tak lain hanyalah langkah mundur. Kedalamnya termasuk Trotski, Radek, Zinowiyev, Sokolnikov, Kamenyev, Syliapnikov, Bukharin, Rikov, yang tidak percaya bahwa perkembangan sosialis adalah mungkin dengan menempuh PEB. Dalam hubungan ini, pada tahun 1921 CC melakukan pekerjaan besar untuk memperkokoh partai dengan mengorganisasi pembersihan partai. Sebagai akibat pembersihan, hampir 170.000 orang atau kira‐kira 25% dari jumlah seluruh anggota dikeluarkan dari partai. Dengan peristiwa ini partai bertambah kuat dan bersatu. Bulan Januari 1924 berlangsung Konferensi XIII Partai Bolsyewik. Konferensi mengutuk oposisi Trotski dengan menyatakan bahwa oposisi itu adalah penyelewengan borjuis kecil dari Marxisme. Keputusan‐ keputusan Konferensi kemudian disetujui oleh Kongres XIII Partai dan Kongres V Komintern. Komintern mendukung Partai Bolsyewik dalam perjuangannya melawan Trotskisme. Tetapi kaum Trotskis tidak menghentikan pekerjaan mereka. Musim rontok 1924, Trotski menyiarkan tulisan Pelajaran‐Pelajaran Oktober yang memfitnah partai, yaitu memfitnah sejarah Bolsyewikisme. Stalin memblejeti usaha Trotski yang berusaha mengganti Leninisme dengan Trotskisme. Stalin menyatakan bahwa “tugas partai ialah mengubur Trotskisme sebagai suatu aliran ideologi.” Tahun itu diterbitkan karya Stalin Dasar‐Dasar Leninisme. Dalam bab tentang partai, dipaparkan ciri‐ciri kepeloporan partai, partai tipe baru, tipe Lenin, dan keharusan membubarkan semua faksi yang ada dalam partai. Ini adalah penekanan atas keputusan Kongres XIII partai yang mengutuk kesalahan Trotski, membangun faksi “oposisi buruh” yang mengembangkan Trotskisme. Sesudah empat tahun melaksanakan politik ekonomi baru, perekonomian Sovyet berkembang maju, prestise URSS di dunia internasional menjadi meningkat. Uni Sovyet diundang ke Konferensi
XIX — Trotskisme sampai Internasionale IV | 325
Internasional Genoa. Dalam konferensi ini wakil‐wakil negara kapitalis mengajukan tuntutan agar pemerintah URSS mengembalikan atau mengganti rugi industri perusahaan‐perusahaan kapitalis yang telah dinasionalisasi. Tuntutan ini ditolak pemerintah URSS. Timbullah masalah serius menghadapi tekanan internasional negara‐negara kapitalis terhadap URSS. Maka mencuat masalah dapat atau tidaknya sosialisme dimenangkan di satu negeri yang dikepung oleh dunia kapitalisme. URSS di bawah pimpinan Stalin mempertahankan pandangan Lenin, dengan tegas berpendirian bahwa sosialisme dapat dibangun di satu negeri. Pandangan ini dilawan oleh Trotski dengan mempertentangkannya dengan “teori revolusi permanen”. Pengikut aliran ini membentuk “oposisi baru” diikuti oleh Zinoviev dan Kamenyev. Dalam Kongres XIV Partai Bolsyewik, Desember 1925, Stalin menyampaikan laporan umum berisikan: “Tugas utama partai ialah berjuang untuk industrialisasi sosialis negeri, berjuang untuk kemenangan sosialisme. Mengubah negeri kita dari negeri agraris menjadi negeri industri yang mampu memproduksi perlengkapan yang diperlukan dengan kekuatannya sendiri—itulah hakikat, dasar garis umum kita.”290 Dalam Kongres XIV diputuskan mengubah nama Partai menjadi Partai Komunis Uni Sovyet (Bolsyewik). Sesudah kongres XIV, PKUS melancarkan perjuangan untuk melaksanakan garis umum kekuasaan Sovyet—industrialisasi sosialis negeri. Usaha industrialisasi melangkah maju. Negeri‐negeri kapitalis memandang semakin bertambah kuatnya ekonomi sosialis URSS sebagai ancaman terhadap eksistensi ekonomi kapitalis. Karena itu, pemerintah‐pemerintah imperialis mengambil segala tindakan yang mungkin untuk melakukan tekanan baru terhadap URSS, menimbulkan rasa bimbang, menggagalkan atau setidak‐tidaknya menghambat industrialisasi URSS. Berlangsung persekutuan antara Chamberlain dan Trotski untuk menentang kekuasaan Sovyet. Pada musim panas tahun 1926, kaum Trotskis dan kaum Zinovievis bergabung membentuk blok anti‐partai. Comite Central Partai memperingatkan bahwa jika blok anti‐partai tidak dibubarkan, maka pengikut‐pengikutnya tidak akan berkesudahan baik. Konferensi 290
Penerbit Indonesia Progresif, 1984, Sejarah Partai Komunis Uni Sovyet (Bolsyewiki), Bahan Pelajaran Singkat, diedit oleh Komisi CC PKUS (B), disahkan oleh CC PKUS (B) 1938, h.401. 326 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
XV Partai, November 1926, dan sidang pleno diperluas Komite Eksekutif Internasionale Komunis, Desember 1926, mendiskusikan masalah blok Trotski–Zinovievis, dan dalam resolusi‐resolusinya mengecap pengikut‐ pengikut blok ini sebagai pemecah‐belah yang dengan programnya itu meluncur ke pendirian Mensyewik. Pada 14 November 1927 sidang gabungan Comite Central dan Komisi Kontrol Central memecat Trotski dan Zinoviev dari partai. Kongres XV PKUS pada 2 Desember 1927 memberi instruksi kepada badan‐badan yang bersangkutan supaya menyusun Rencana Lima Tahun Pertama ekonomi nasional. Sesudah selesai dengan masalah‐ masalah pembangunan sosialis, Kongres beralih ke masalah melikuidasi blok Trotskis–Zinovievis. Kongres mengakui bahwa oposisi telah memutuskan hubungan secara ideologi dengan Leninisme, telah merosot menjadi kelompok Mensyewik. Perbedaan pendapat dengan oposisi telah berkembang menjadi perbedaan mengenai program, bahwa oposisi Trotski telah menempuh jalan anti‐Sovyet. Karena itu, Kongres XV menyatakan bahwa masuk oposisi Trotski dan mempropagandakan pandangan‐pandangannya adalah bertentangan dengan kehadiran dalam barisan Partai Bolsyewik. Kongres menyetujui keputusan gabungan Comite Central dan Komisi Kontrol Central untuk memecat semua tokoh aktif blok Trotskis–Zinovievis seperti Radek, Preobrazyenski, Rakovski, Pyatakov, Serebryakov, I. Smirnov, Kamenyev, Sarkis, Safarov, Lifsyits, Mdiwani, Smilga, dan seluruh kelompok “Sentralisme Demokratik”. Pada 1927 terbongkar organisasi sabotase yang besar dari ahli‐ ahli borjuis di Distrik Syakhti di Donbas. Pada awal tahun 1929 ternyata bahwa Bukharin, yang diberi kuasa oleh kelompok kapitulasionis kanan, berhubungan dengan kaum Trotskis melalui Kamenyev dan mengadakan persetujuan dengan mereka untuk perjuangan bersama melawan partai. Comite Central membongkar kegiatan kriminal kaum kapitulasionis kanan ini dan memperingatkan bahwa kasus ini dapat berakhir dengan menyedihkan bagi Bukharin, Rikov, Tomski, dan lain‐ lainnya. Dalam kongres XVII PKUS, Bukharin, Rikov, dan Tomski mengucapkan pidato‐pidato penuh penyesalan, menyanjung‐nyanjung PKUS dan memuji hasil‐hasil yang dicapai partai setinggi langit. Orang‐ orang Trotskis–Zinovievis dan Kamenyev juga berpidato, yang dengan
XIX — Trotskisme sampai Internasionale IV | 327
berlebih‐lebihan mendera diri sendiri karena kesalahan‐kesalahan mereka dan memuji‐muji PKUS. Tetapi PKUS belum tahu, tidak menduga bahwa tuan‐tuan ini selagi dalam kongres mengucapkan pidato yang manis‐manis, bersamaan itu juga mereka mempersiapkan pembunuhan keji atas diri S.M. Kirov. Tanggal 1 Desember 1924, S.M. Kirov dibunuh secara keji di Smolni di Leningrad dengan tembakan pistol. Pembunuhnya tertangkap basah dan ternyata anggota kelompok kontra‐revolusioner bawah tanah yang terdiri dari anggota‐anggota kelompok anti‐Sovyet Zinovievis di Leningrad. Kemudian terbukti, pembunuhan terhadap S.M. Kirov dilakukan oleh gerombolan gabungan Trotskis–Bukharinis. Setahun kemudian diketahui bahwa organisator‐organisator yang benar‐benar, langsung dan sesungguhnya dari pembunuhan terhadap S.M. Kirov, dan organisator‐organisator langkah persiapan untuk membunuh anggota‐anggota CC lainnya adalah Trotski, Zinoviev, Kamenyev, dan kaki‐kaki tangan mereka. Zinoviev, Kamenyev, Bakayev, Yevdokimov, Piel, I.N. Smirnov, Mrackowski, Ter‐Waganyan, Reingold, diseret ke muka pengadilan yang berlangsung di Moskow pada tahun 1926. Penghasut utama dan organisator seluruh gerombolan pembunuh dan mata‐mata ini ialah Trotski. Mereka mempersiapkan supaya URSS kalah, jika terjadi serangan kaum imperialis terhadapnya. Pada 1927 juga tersingkap fakta‐fakta baru mengenai gerombolan Bukharinis–Trotskis. Proses pengadilan perkara Pyatakov, Radek, dan lain‐lainnya; proses pengadilan perkara Tukhacyevski, Yakir, dan lain‐ lainnya; dan akhirnya, proses pengadilan perkara Bukharin, Rikov, Krestinski, Rosengoltz, dan lain‐lainnya, semua proses itu menunjukkan bahwa kaum Bukharinis dan kaum Trotskis ternyata sudah sejak lama membentuk satu gerombolan musuh rakyat dengan kedok “blok kanan‐ Trotski”. Proses pengadilan memperlihatkan bahwa Trotski, Zinoviev, dan Kamenyev, sudah sejak hari‐hari pertama Revolusi Sosialis Oktober bersekongkol menentang Lenin, menentang partai dan menentang negara Sovyet. Percobaan‐percobaan provokatif untuk menggagalkan perdamaian Brest pada awal tahun 1918; persekongkolan menentang Lenin dan persekongkolan dengan kaum sosialis‐revolusioner “kiri” untuk menangkap dan membunuh Lenin, Stalin, dan Swerdlov pada musim semi tahun 1918, penembakan keji terhadap Lenin dan yang
328 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
melukai Lenin pada musim panas tahun 1918; pemberontakan kaum sosialis‐revolusioner “kiri” pada musim panas tahun 1918; penajaman dengan sengaja perbedaan pendapat di dalam Partai Bolsyewik pada tahun 1921 dengan tujuan menggerowoti dan menggulingkan pimpinan Lenin dari dalam; percobaan‐percobaan untuk menggulingkan pimpinan Partai Bolsyewik selama Lenin sakit dan sesudah wafatnya; pembocoran rahasia‐rahasia negara dan penyampaian keterangan yang bersifat spionase kepada dinas‐dinas rahasia asing; pembunuhan keji atas diri S.M. Kirov; sabotase, gerakan tipuan dan peledakan; pembunuhan keji terhadap Menzyinski, Kuibisyev, dan Gorki—semua ini dan kejahatan‐kejahatan yang serupa selama masa 20 tahun, ternyata dilakukan dengan turut sertanya atau di bawah pimpinan Trotski, Zinoviev, Kamenyev, Bukharin, Rikov, dan begundal‐begundal mereka—atas perintah dinas rahasia borjuasi asing. Pengadilan Sovyet menjatuhkan hukuman tembak bagi Bukharin–Trotski. Tahun 1929 Trotski diusir dari Uni Sovyet. Trotski melakukan perlawanan terhadap Komintern yang dianggapnya dikuasai oleh Stalin. Tidak punya syarat berjuang di dalam organisasi Komintern, Trotski mendirikan organisasi oposisi terhadap Komintern. Tidak puas dengan ini, tahun 1938 Trotski mendirikan Internasionale IV, Internasionale Trotskis di Perancis. Trotski mengasingkan diri ke Meksiko. Akhir tahun 1930‐an melakukan perlawanan, menentang pakta non‐agresi Molotov– Ribbentrop yang dilakukan Stalin. Tahun 1940 Trotski terbunuh di Meksiko. Trotskisme tetap bergema dalam gerakan sosialisme dunia. Internasionale IV yang dibangun Trotski mempunyai jaringan di berbagai negeri Eropa. Memainkan peranan dalam menentang Stalin yang memegang pimpinan tertinggi di Uni Sovyet. Dalam Perang Dingin yang digalakkan Amerika Serikat untuk membasmi komunisme dunia, penganut Trotskisme ambil bagian berkampanye anti‐Sovyet dengan semboyan anti kediktaturan Stalin. Dengan laporan rahasia Khrusycyov mengutuk Stalin, tahun 1956, kaum Trotskis mendapat angin segar. Di Indonesia, pandangan Trotski dianut oleh pengikut Tan Malaka. Sejak tahun 1926, Tan Malaka menentang keputusan CC PKI memimpin pemberontakan nasional November 1926. Menempuh politik anti‐PKI, mendirikan Partai Republik Indonesia (Pari), bersekutu dengan
XIX — Trotskisme sampai Internasionale IV | 329
fasisme Jepang yang masuk menduduki Indonesia. Tan Malaka mempunyai hubungan dengan jaringan Trotskisme internasional. Tahun 1948 berdirilah Partai Murba yang melanjutkan menganut pandangan Tan Malaka. Partai Murba mengambil politik anti‐PKI, anti politik‐politik besar Bung Karno seperti menentang Pancasila dijadikan dasar negara dalam sidang‐sidang Konstituante tahun 1955—1957, anti persatuan nasional berporos nasakom gagasan Bung Karno. Tahun 1965 dinyatakan sebagai partai terlarang oleh Bung Karno. Dalam kekuasaan fasis orba Soeharto, Partai Murba menjadi salah satu tulang punggung. Bahkan tokoh terkemukanya, Adam Malik, menjabat kedudukan wakil presiden. Bagi PKI, melawan Trotskisme adalah masalah yang sangat penting. Sidang Pleno IV CC VII PKI, Mei 1965, secara mendalam mendiskusikan masalah ini. Ketua CC PKI, D.N. Aidit, menyampaikan laporan yang antara lain mengemukakan, “Pada tahun 1964 kombinasi imperialis, kapitalis birokrat (kabir), dan Trotskis menandai kegiatan‐ kegiatan kontra‐revolusioner di Indonesia. Tujuan pokok mereka ialah memindahkan kontradiksi antara rakyat Indonesia dengan imperialisme menjadi kontradiksi di kalangan rakyat sendiri. Mereka menjalankan politik anti‐komunis dan anti‐Soekarno dengan kedok ‘Pancasilaisme’ dan ‘Soekarnoisme’ dalam bentuk gerakan yang dinamakan Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS). Semuanya bergerak menurut tongkat komando CIA, organisasi intelijen Amerika Serikat. Tetapi karena sangat jelas bagi rakyat bahwa ajaran‐ajaran Bung Karno sama sekali tidak anti‐ komunisme, maka dalam waktu singkat kedok mereka terbuka dan kemunafikannya menjadi telanjang bulat. Apalagi setelah ada kristalisasi politik dengan tindakan Presiden Soekarno dan pemerintah Indonesia terhadap Partai Murba, termasuk tindakan terhadap beberapa tokoh Trotskis yang menjadi tokoh partai itu. Tindakan ini mengandung arti politik yang penting sekali. Kaum Trotskis Indonesia sejak mereka mengkhianati PKI sesudah kegagalan pemberontakan nasional pertama tahun 1926 dan mendirikan Pari (Partai Republik Indonesia) selalu memainkan peranan memecah‐belah persatuan nasional.” “Pada zaman Belanda, di dalam pendudukan fasis Jepang, sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, pekerjaan mereka terus memecah‐belah persatuan nasional. Trotskisme sudah lama merupakan bukan lagi penyelewengan dari Marxisme, tetapi
330 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
sepenuhnya komplotan bandit‐bandit politik yang pekerjaannya tidak lain daripada membikin intrik‐intrik dan kriminalitas politik.” “Kaum Trotskis menggunakan jubah Marxisme untuk menentang Marxisme, menggunakan semboyan‐semboyan ‘revolusioner’ dan ‘kiri’ untuk menentang gerakan revolusioner, sehingga massa rakyat yang belum terdidik politik dalam batas‐batas tertentu dapat tertarik olehnya. Kaum Trotskis terang bukannya kekuatan kiri dan bukannya kekuatan tengah, tetapi kekuatan ultra‐kanan yang sadar anti‐komunis. Oleh karena itu, penggalangan persatuan nasional berporoskan nasakom tidak mungkin tanpa bertindak terhadap kaum Trotskis seperti yang sudah dilakukan oleh Presiden Soekarno.”291 Selanjutnya Aidit menyatakan, “Politik anti‐demokrasi, anti‐ rakyat, dan anti‐nasakom dari kaum Trotskis dalam prakteknya tidak berbeda dengan politik partai‐partai terlarang Masyumi dan PSI. Hal ini antara lain dapat dibuktikan dengan jelas sekali dari intrik‐intrik serta kampanye‐kampanye mereka tentang pembubaran partai‐partai, penaikan harga beras resmi sehingga lebih tinggi harga pasar, usaha penaikan harga bensin, penyetopan pemboikotan film imperialis AS, melancarkan politik rasialis, dan anti‐kerja sama dengan RRT, menghebohkan Pancasila, membikin gerakan Soekarnoisme–BPS bersekongkol dengan agen‐agen Malaysia, dan bernafsu besar untuk mengganti Presiden Soekarno. Tetapi politik dan intrik mereka dilawan oleh rakyat dengan gigih, dan dalam perlawanan‐perlawanan itu rakyat mendapat kemenangan satu demi satu dan maksud‐maksud jahat mereka menjadi terbongkar pula satu demi satu.”292 “Dalam bulan‐bulan terakhir tahun 1964, puncak‐puncak ketegangan di dalam negeri telah ditimbulkan oleh kombinasi imperialis, kapitalis birokrat, dan Trotskis ini. Untuk menarik kekuatan tengah ke pihaknya, mereka memfitnah bahwa kaum komunis akan ‘merebut kekuasaan’ berdasarkan apa yang mereka namakan ‘dokumen rahasia PKI’ bikinan mereka sendiri, yang berisi fitnahan‐fitnahan tentang ‘bahaya komunis’ yang sedang mengancam, berhubung dengan ‘kesehatan Bung Karno’ yang kata mereka ‘makin memburuk’.” 291 D.N. Aidit, Perhebat Ofensif Revolusioner di Segala Bidang!, Laporan Politik kepada Sidang Pleno IV CC VII yang Diperluas, 11 Mei 1965, Jajasan Pembaruan, Djakarta, 1965, h.13—14. 292 Ibid., h.14.
XIX — Trotskisme sampai Internasionale IV | 331
“Mengenai apa yang dinamakan ‘dokumen rahasia PKI’ sudah kita kupas kepalsuannya dalam pertemuan antara Presiden Soekarno dengan semua partai politik di Bogor pada tanggal 12 Desember 1964. Tiap orang revolusioner yang berpengalaman sudah mengetahui bahwa apa yang dinamakan ‘dokumen rahasia PKI’ adalah hasil pekerjaan ceroboh daripada pelaksanaan cara klasik agen‐agen provokator Trotskis yang bermaksud membikin edisi kedua dari ‘Peristiwa Madiun’. Teknik provokasi mereka kali ini jauh lebih jelek daripada untuk provokasinya pada tahun 1948 (Peristiwa Madiun).” “Pekerjaan mereka menghubungkan ‘bahaya komunisme’ dengan ‘kesehatan Bung Karno’ kata mereka ‘makin memburuk’ dan oleh karena itu sudah diperlukan ‘troon‐opvolger’ hanya mendemonstrasikan satunya mereka dengan kaum imperialis internasional yang juga melancarkan tema yang sama lewat pers dan radio.”293 Di bawah kekuasaan orba Soeharto, para penganut aliran Trotskis, yaitu pengikut Partai Murba memainkan peranan memperkuat rezim diktatorial fasis ini. Mengenai Peristiwa G30S mereka menyalahkan pimpinan PKI, yang menurut mereka adalah “Stalinis”. Pimpinan PKI dituduh menjalankan kesalahan karena menempuh jalan dua tingkat revolusi, tidak menempuh jalan revolusi permanen. Secara internasional, Internasionale IV, Internasionale Trotskis, penganut Trotskisme memainkan peranan dalam Perang Dingin sebagai kekuatan yang menentang Uni Sovyet, menentang “Stalinisme”. Jaringan internet Internasionale IV, World Socialists Web Service— WSWS, aktif berpropaganda mengenai “revolusi permanen”, ajaran Trotski. Banyak tulisan yang disebarkan menentang pimpinan partai komunis tertentu yang dianggap Stalinis. Termasuk terhadap Partai Komunis Kuba dan Partai Komunis Tiongkok. Jaringan internet WSWS menyuarakan pandangan negatif terhadap pembangunan sosialisme berkepribadian Tiongkok. Tentang Indonesia menyiarkan pandangan negatif terhadap pimpinan PKI yang dianggap “Stalinis” dan banyak mempropagandakan Tan Malaka.
293
Ibid., h.14—15.
332 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
XX Kritik‐Kritik atas Marxisme
1. Marxisme dalam Ujian SESUDAH meninggalnya Marx dan Engels, Marxisme mendapat perlawanan dari kaum sosial demokrat yang revisionis. Pandangan filsafatnya adalah menentang materialisme dialektis. Tokoh utamanya Eduard Bernstein (1850—1932), menolak materialisme dialektis secara keseluruhan, menghendaki berpaling pada ilmu profesor borjuis “sampai taraf tertentu” Kant. Ia menulis bahwa materialisme yang murni atau yang mutlak sebagaimana spiritualisme adalah sama dengan idealisme yang murni atau yang mutlak. Ini sama halnya dengan menyatakan bahwa pikiran dan kenyataan adalah identik (sama). Pada akhirnya, ia hanya berbeda dalam cara mengungkapkannya. Sebaliknya, kaum materialis yang paling baru menyatakan bahwa pada pokoknya sama dengan ungkapan Kant. Demikianlah, pendirian dasar kaum revisionis menolak materialisme dialektis, berpaling pada pandangan Kant. Selanjutnya, Bernstein menyatakan “dialektika itu adalah jebakan”.294 Bernstein me‐ nentang jalan revolusioner mencapai sosialisme, tetapi menginginkan jalan demokratis, jalan damai, lewat reformasi dewan‐dewan perwakilan dalam masyarakat demokratis. 294
Akademii Nauk SSSR, Protiv Sovryemyennovo Revizionizma V Filosofii I Sotsiologii (Menentang Revisionisme Modern Dalam Filsafat dan Sosiologi), Izdatyelstvo Akademii Nauk SSSR (Balai Penerbitan Akademi Ilmu Pengetahuan URSS), Moskwa, 1960, h.24—25. XX — Kritik-Kritik atas Marxisme | 333
Kaum revisionisme modern secara kata‐kata mengakui filsafat Marxisme adalah materialisme dialektis, tetapi dalam tindakan menggunakan eklektika. Mereka secara hangat mendukung materialisme dialektis, menjadi pembela tangguh “materialisme dialektis yang murni”, “membela kemurian materialisme dialektis”, “secara kreatif memperkaya materialisme dialektis”. Demikianlah, bertahun‐tahun lamanya dilakukan oleh para filsuf revisionis295 dengan tokohnya György Lukács (1885— 1971).296 Tahun 1922, György Lukács menerbitkan karya Sejarah dan Kesadaran Klas, di mana dipaparkan usaha pemaduan pandangan borjuasi dan proletariat, pemaduan Marxisme dengan Neo‐Kantianisme serta reformisme Kautski. Membantah Engels, Lukács dalam Sejarah dan Kesadaran Klas mendasarkan pandangannya pada Neo‐Kantianisme. Lukács tidak hanya menyangsikan kebenaran pandangan ekonomi Marx, bahkan ia mencampakkan materialisme historis. Dalam karya ini, mengikuti eksistensialisme Heidegger, Lukacs menyatakan “kenyataan bukanlah keberadaan sesuatu, tapi sesuatunya yang akan terjadi”. Karya Lukacs Kerusakan Rasio (Kerusakan Akal Budi) menunjukkan pandangannya merevisi gagasan Marx mengenai perkembangan filsafat, menunjukkan peralihannya ke kedudukan idealis. Lukacs memandang Hegel dan Marx hanya sebagai wakil‐wakil dari aliran rasionalisme yang bertentangan dengan irasionalisme.
2. Revisionisme Yugoslavia PERANG Dunia II usai. Di bawah pimpinan Stalin, URSS bersama dengan negara‐negara Sekutu, Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Tiongkok, tampil sebagai pemenang perang. Di Eropa Tengah dan Timur lahir negara‐negara berdasarkan sistem demokrasi rakyat, di bawah pimpinan partai‐partai komunis: Cekoslowakia, Polandia, Rumania, 295 Para tokoh revisionis ini menulis tentang “teori dan praktek” (Jorjkevitch); “teori pencerminan” (H. Lefebvre); “hubungan dialektis materi dan kesadaran” (E.Bloch); “perjuangan dialektika dan metafisika” (G. Lukacs); “saling ketergantungan filsafat dan moral” (L. Kolakowski), dan sebagainya. 296 Filsuf Hongaria, Menteri Kebudayaan pada pemerintahan Bela Kun, 1919, dan juga Menteri Kebudayaan dalam pemerintahan Imre Nagy tahun 1957.
334 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Bulgaria, Hongaria, Albania, dan Yugoslavia. Di Timur, Tiongkok menjelang kemenangan revolusi yang akan melahirkan Republik Rakyat Tiongkok. Di Perancis, sementara tokoh komunis masuk dalam pemerintahan De Gaulle. Di Italia, partai komunis tampil unggul menghadapi pemilihan umum demokratis. Di bawah pimpinan PKUS, dibentuk Badan Informasi Kominform, dengan anggota‐anggota semua partai komunis negara‐negara demokrasi rakyat Eropa, bersama Partai Komunis Perancis dan Italia. Kominform terkenal dengan publikasi periodiknya berjudul For a Lasting Peace, and for People’s Democracy. Presiden Truman tersentak, membayangkan bahaya komunisme akan menguasai dunia. Ia tampil dengan doktrin “the policy of containment”, politik membendung komunisme sejagat. Inilah akar Perang Dingin. Segera Amerika menyiapkan Plan Marshall, dengan ekonomi membendung komunisme di Eropa. Dan membentuk North Atlantic Treaty Organisation (NATO), pakta militer untuk membendung komunisme di Barat. Sesudah terbentuknya Pakta Militer NATO, Uni Sovyet membentuk Pakta Warsawa, badan kerja sama militer antar negara‐negara sosialis Eropa. Milovan Djilas (1911—1995) tokoh pimpinan Liga Komunis Yugoslavia tampil dengan kritik‐kritiknya atas sosialisme yang dipraktekkan di Uni Sovyet. Dengan bukunya yang diterbitkan tahun 1957, The New Class: An Analysis of the Communist System, ia mengkritik Leninisme, mengkritik penjabaran Marxisme oleh Lenin. Djilas berpendapat bahwa hubungan‐hubungan khusus “klas baru” dengan alat‐alat produksi adalah salah satu kontrol politik kolektif. Maka menurut Djilas, klas baru tidak hanya mencari reproduksi material yang diperluas sampai pada pembenaran eksistensinya secara politik sebagai klas pekerja, bahkan juga mencari perluasan reproduksi kontrol politik sebagai bentuk dalam pemilikan itu sendiri. Ini dapat dibandingkan (disamakan) dengan kaum kapitalis yang mencari nilai yang diperluas melalui peningkatan nilai pemilikan saham, bahkan pasar saham itu sendiri tidak perlu mencerminkan peningkatan nilai komoditi yang telah dihasilkan. Djilas mempergunakan alasan bentuk‐bentuk pemilikan untuk menunjukkan, kenapa klas baru mencari parade‐parade, pawai‐pawai dan pameran‐pameran pertunjukan khusus, walaupun kegiatan ini adalah mengenai bentuk‐bentuk pemilikan, adalah merendahkan
XX — Kritik-Kritik atas Marxisme | 335
tingkat produktivitas material. Djilas memperhitungkan bahwa klas baru hanya lambat‐lambat menyadari dirinya sebagai satu klas. Ketika sampai pada saat kesadaran sendiri sepenuhnya, maka usaha pertamanya adalah melakukan industrialisasi besar‐besaran dengan tujuan memperkuat jaminan keamanan luar bagi klas baru menghadapi klas penguasa lainnya. Pola yang diajukan Djilas ini adalah membayangkan Uni Sovyet di tahun 1930 dan 1940. Karena klas baru mempengaruhi kepentingan‐ kepentingan semua yang lainnya atas keamanannya sendiri dalam periode ini, ia dengan leluasa menghukum atau menindak anggota‐ anggotanya sendiri demi mencapai tujuan pokoknya, yaitu keamanannya sebagai satu klas penguasa. Sesudah keamanan bagi dirinya tercapai, klas baru menjalankan politik lebih longgar terhadap anggota‐anggotanya, memberikan jaminan materiil dan kebebasan berpikir serta beraksi di dalam klas baru—sebatas kebebasan ini tidak membahayakan kekuasaan klas baru. Djilas memaparkannya sebagaimana yang berlangsung dalam pemerintahan di bawah Khrusycyov di Uni Sovyet. Karena munculnya konflik‐konflik politik di kalangan klas baru, maka terjadilah perebutan kekuasaan, atau mungkin revolusi‐revolusi kerakyatan seperti pengalaman Polandia dan Hongaria. Yang dikritik Djilas sesungguhnya adalah sistem yang berlaku di Uni Sovyet di bawah pimpinan Stalin, yaitu pelaksanaan kekuasaan negara diktatur proletariat yang melahirkan pimpinan dengan kekuasaan sangat terpusat. Pimpinan Yugoslavia, Joseph Broz Tito, tidak menerima kepemimpinan Uni Sovyet atas negara‐negara sosialis, tidak membenarkan analisa tentang dua kubu di dunia: kubu sosialis dan kubu kapitalis. Yugoslavia menerima bantuan Plan Marshall. Yugoslavia dinilai menempuh jalan revisionisme. Yugoslavia dipecat dari Kominform. 3. Kritik atas Kultus Individu Stalin PADA akhir tahun 1950‐an, gelora Perang Dingin yang digalakkan Amerika untuk membasmi komunisme sejagat kian meningkat.
336 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Perlombaan persenjataan mengauskan daya ekonomi Uni Sovyet. Tahun 1956, Khrusycyov mengutuk kultus individu Stalin dalam Kongres XX PKUS. Ini membangkitkan arus anti diktatur proletariat. Diktatur proletariat dinilai adalah kekuasaan yang tanpa humanisme. Maka gelombang membela humanisme menjadi naik daun. Kritik Khrusycyov atas kultus individu Stalin melahirkan perbedaan pendapat di kalangan partai‐partai komunis sedunia. Ada yang mendukung seperti Partai Komunis Perancis, Partai Komunis Italia, dan berbagai partai komunis di Eropa. Mewakili PKI, D.N. Aidit menyatakan, “Saya berpendapat, bahwa memang sudah pada tempatnya jikalau Stalin disalahkan oleh Kongres XX PKUS. Bukanlah sesuatu yang luar biasa jika sesuatu yang salah disalahkan. Menyalahkan yang salah adalah sangat perlu, sekalipun orangnya sudah meninggal, agar kesalahan itu tidak diulangi lagi. Di samping itu saya juga berpendapat adalah benar jika yang benar dibenarkan. Kelirulah jika yang benar tidak dibenarkan, karena mungkin yang benar itu orang anggap salah. Oleh karena itu saya sependapat dengan Kongres PKUS yang tetap mengakui jasa‐jasa Stalin, mengakui Stalin sebagai Marxis yang besar dan menunjukkan perbuatan‐perbuatan Stalin yang benar, dan menguntungkan rakyat Sovyet dan proletariat sedunia.”297 Partai Komunis Tiongkok menentang kutukan atas Stalin ini. Pendirian PKT dituangkan dalam dua kali artikel dalam Ren Min Ribao berjudul “Pengalaman dari Sejarah Diktatur Proletariat” dan “Sekali Lagi Pelajaran Sejarah dari Pengalaman Diktatur Proletariat”. Laporan rahasia Khrusycyov, berisikan kritik mengenai kultus individu bermuara pada menegasi peranan Stalin yang telah berjasa menegakkan Leninisme dalam membela diktatur proletariat, membangun dan membela URSS. Bersama dengan kaum Trotskis yang anti‐Stalin, kaum sosial demokrat yang sejak semula menentang ajaran Marx tentang diktatur proletariat menjadi mendapat angin, ikut arus Perang Dingin melawan PKUS dan URSS. Bergejolaklah arus mempertentangkan diktatur proletariat dengan humanisme, menganggap kultus individu adalah dilahirkan oleh diktatur proletariat. Program pembangunan komunisme yang digalakkan 297
D.N. Aidit, loc.cit. XX — Kritik-Kritik atas Marxisme | 337
Khrusycyov sebagai hasil Kongres Nasional XXII PKUS tahun 1962 tak terealisasi. Berkat perlawanan di dalam dan luar PKUS mengkritik Khrusycyov, tahun 1964 Khrusycyov turun panggung, digantikan Leonid Ilyich Brezhnyev. Usaha melawan revisionisme modern berkecamuk dalam Gerakan Komunisme Internasional. Dengan memanipulasi Peristiwa Tiga Puluh September 1965, di Indonesia berlangsung penggulingan pemerintahan Bung Karno lewat pembantaian kader‐kader dan anggota Partai Komunis Indonesia. Partai Komunis terbesar di luar kubu sosialis diobrak‐abrik, dinyatakan terlarang. Terbentuk rezim anti‐komunis, kediktatoran militer orde baru Soeharto. Di Vietnam berkecamuk perang agresi Amerika untuk membasmi komunisme di Indocina. Di Eropa bermunculan beberapa aliran pikiran di kalangan pengamat ilmu sosial yang menyangsikan kebenaran Marxisme. Termasuk sementara kalangan filsuf dalam Partai Komunis Perancis. Muncullah Euro‐Komunisme.
4. Euro‐Komunisme Mencampakkan Marxisme–Leninisme TAHUN 1944, Palmiro Togliatti (1893—1964) dalam pidato menyatakan bahwa, “zaman sudah berubah, klas buruh sudah mengubah cara‐cara untuk merebut kekuasaan, yaitu masa revolusi sudah lewat, kini datang zaman evolusi, yaitu kekuasaan tak bisa direbut, kecuali dengan jalan reform‐reform, jalan parlementer, lewat pemungutan suara.” Kemudian, dalam sidang CC Partai Komunis Italia, 28 Juni 1956, segera sesudah Kongres XX PKUS, Togliatti menyatakan, “kita harus memandang kemajuan sosialis yang berlangsung sebagaimana ditunjukkan oleh Konstitusi Italia, yaitu medan kemerdekaan demokratis dan transformasi‐transformasi sosial yang progresif. Konstitusi ini belumlah Konstitusi Sosialis. Tetapi karena ia mencerminkan pernyataan gerakan peremajaan persatuan yang luas, ia berbeda secara mendalam dengan konstitusi borjuis lainnya dan mewakili satu dasar yang efektif bagi kemajuan masyarakat Italia di atas jalan menuju sosialisme.” Kongres X Partai Komunis Italia pada tahun 1962 memakukan ide‐ide Togliatti yang secara terbuka meninggalkan Marxisme–Leninisme, seperti gagasan “polycentrisme”, “pluralisme”
338 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
menuju sosialisme, “kemerdekaan beragama”, “kemerdekaan bersuara”, “hak‐hak manusia”, dan sebagainya. Inilah jalan Italia menuju sosialisme. Dalam Kongres XV Partai Komunis Italia, April 1979, Enrico Berlinguer (1922—1984), Sekretaris Nasional Comite Central, menyampaikan laporan berjudul “Untuk Sosialisme dalam Perdamaian dan Demokrasi di Seluruh Italia dan Eropa”. Dalam laporan ini dipaparkan “jalan ketiga” menuju sosialisme. Dinyatakan, tugas gerakan buruh di Eropa Barat sekarang adalah “menemukan jalan‐jalan baru untuk maju mencapai sosialisme dan membangun sosialisme”, jalan itu sudah diletakkan dalam Konstitusi Republik Italia, yaitu membimbing Italia ke jalan transformasi menjadi masyarakat sosialis berdasarkan demokrasi politik. Pandangan mencapai sosialisme melalui konstitusi borjuasi sudah lama dimiliki oleh kaum komunis Italia. Menurut teori “reform‐reform struktural”, peralihan ke sosialisme akan berlangsung melalui reform‐reform secara setingkat demi setingkat yang akan dipaksakan dari kapital monopoli secara jalan damai. Reform‐reform berangsur‐angsur ini akan berlangsung dengan cara parlementarisme, melalui kekuatan pungutan suara, tak pandang kenyataan, bahwa kaum kapitalis monopoli memiliki dalam tangan‐ tangannya kekayaan negeri, senjata, dan menjalankan pemerintahan serta mengelola parlemen. Menurut Partai Komunis Italia, “reform‐reform struktur ekonomi sosial” yang mungkin dijalankan dalam rangka negara borjuasi, “akan dapat membasmi penghisapan dan ketidaksamaan klas, dan akan mungkin secara berangur‐angsur mengatasi kesenjangan antara penguasa dan yang dikuasai, dan bergerak maju untuk pembebasan sepenuhnya manusia dan masyarakat.” Dalam Kongres IX Partai Komunis Spanyol, April 1978, Santiago José Carrillo Solares (1915—2012), Sekretaris Jenderal CC, menyatakan bahwa Partai Komunis Spanyol bukan lagi Partai Marxis–Leninis, tetapi sebuah Partai Marxis Revolusioner Demokratis. Dinyatakan bahwa memandang “Leninisme adalah Marxisme zaman kita” adalah tak dapat diterima. Kongres XXIII Partai Komunis Perancis, Mei 1979, menyatakan bahwa dalam dokumen‐dokumen Partai Komunis Perancis tidak lagi memakai istilah Marxisme–Leninisme, tetapi diganti dengan istilah “sosialisme ilmiah”. Pada April 1979 dalam Kongres XV Partai Komunis Italia,
XX — Kritik-Kritik atas Marxisme | 339
diputuskan untuk menghapuskan dari Konstitusi Partai tuntutan bagi anggota partai untuk menguasai Marxisme–Leninisme dan melaksanakannya. Dinyatakan bahwa rumusan “Marxisme–Leninisme” tidak mencerminkan seluruh kekayaan warisan teori dan ideologi kita. Sekarang, setiap orang dapat ambil bagian dalam Partai Komunis Italia, tak pandang ideologi mana yang dianutnya. Dengan cara beginilah kaum revisionis Eropa secara resmi memisahkan diri dari Marxisme–Leninisme, membangun Euro‐ Komunisme. Peralihan partai‐partai komunis ini menjadi sepenuhnya menganut sosial‐demokrasi, disambut hangat oleh propaganda borjuasi hingga tahun 1979 dijuluki sebagai “tahun euro‐komunisme”. Mengenai euro‐komunisme, Enver Hodja menulis, ”Sebagaimana Khrusycyov menyerang Stalin, mau menyerang teori dan praktek pembangunan sosialisme; kaum euro‐komunis menyerang Lenin, mau menyerang teori dan praktek revolusi proletar. Karya‐karya Lenin adalah sangat luas, tetapi justru berhubungan erat dengan persiapan dan pelaksanaan revolusi. Oleh karena itu, sebagaimana halnya Khrusycyov yang tidak bisa menghancurkan sosialisme tanpa melenyapkan Stalin, kaum euro‐komunis tidak bisa menghalangi dan menyabot revolusi tanpa melenyapkan Lenin dari pikiran dan hati rakyat pekerja.” Dalam perjuangan menegasi dan mengabaikan Marxisme– Leninisme, borjuasi selalu mendapat dukungan dari kaum oportunis dan pengkhianat dari segala macam jenis, sesuai dengan masanya. Mereka semua menyatakan berakhirnya Marxisme. Mereka melukiskan Marxisme tak sesuai lagi dengan zaman baru, sementara mereka mempropagandakan “ide‐ide modern” sebagai ilmu masa depan. Namun bagaimana nasib Proudhon, Lassalle, Bakunin, Bernstein, Kautski, Trotski, dan para pendukungnya? Sejarah tidak mencatat apa pun yang positif bagi mereka. Ocehan mereka hanyalah mengabdi pada merintangi dan menyabot revolusi, menyabot perjuangan proletariat dan usaha sosialisme. Mereka dikalahkan oleh Marxisme–Leninisme dalam perjuangan dan dilemparkan ke keranjang sampah. Dari waktu ke waktu kaum oportunis baru menyeret mereka keluar dari keranjang ini, mengutak‐atik rumusan‐rumusan mereka yang bangkrut, dipergunakan untuk melawan Marxisme–Leninisme. Inilah yang diperbuat kaum euro‐komunis. Kaum euro‐komunis bukanlah sesuatu
340 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
yang asli dalam usaha menegasi Marxisme–Leninisme, yang menganggap Marxisme–Lenisme sudah “ketinggalan zaman”, dan bahwa teori‐teori baru sudah ditemukan bagi setiap orang, bagi proletariat dan borjuasi, pendeta dan polisi, untuk bersama‐sama menuju sosialisme, tanpa perjuangan klas, tanpa revolusi dan tanpa diktatur proletariat.
XX — Kritik-Kritik atas Marxisme | 341
342 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
XXI Pasca‐Marxisme
1. Mazhab Frankfurt AKHIR tahun dua puluhan abad ke‐20, sejumlah ahli psikoanalisa Barat tampil mempersoalkan kelemahan‐kelemahan Marxisme. Tahun 1929 terbit karya Wilhelm Reich berjudul Dialectical Materialism and Psychoanalysis. Dalam hubungan ini, ada yang berpendapat bahwa psikoanalisa adalah inti dari materialisme dialektis masa depan. Dengan para ahli psikoanalisa sebagai kekuatan pokok dan dengan tokoh‐ tokohnya Erich Fromm, Max Horkheimer, Theodor W. Adorno, muncullah Mazhab Frankfurt yang mengkritik Marxisme. Para pengkritik Marxisme berpendapat, bahwa sementara pengikut Marx hanya memamah‐biak pilihan pikiran‐pikiran Marx, dan biasanya membela partai‐partai komunis yang “ortodoks”. Para pekerja teori Mazhab Frankfurt ini percaya bahwa teori tradisional Marxis tidak lagi memadai untuk memecahkan masalah‐masalah perkembangan masyarakat kapitalis yang dahsyat dan tak terduga di abad ke‐20. Maka diperlukan neo‐Marxisme. Mereka mengkritik kapitalisme dan sosialisme Sovyet. Tulisan‐tulisan mereka menunjukkan kemungkinan jalan alternatif, pilihan lain bagi perkembangan masyarakat. Terbentuklah Mazhab Frankfurt, penganut aliran teori kemasyarakatan interdisiplin Neo‐Marxis dari Institut Penelitian Sosial Universitas Goethe Frankfurt, Jerman. Menurut Kevin B. MacDonald, banyak tokoh Mazhab Frankfurt adalah orang Yahudi. Para filsuf Yahudi yang melarikan diri dari Jerman di tahun 1930‐an, bergabung di Universitas Columbia di New York, menemukan Marxisme yang “tidak XXI — Pasca-Marxisme | 343
ortodoks”, memperkenalkannya ke dalam budaya Amerika ketimbang ke dalam perekonomian. Untuk mengisi kekurangan yang menurut mereka terdapat pada Marxisme tradisional, mereka biasa menggunakan pandangan‐ pandangan sosiologi anti‐positivis, psikoanalisa, filsafat eksistensialisme, dan bidang‐bidang lainnya. Tokoh‐tokoh mazhab ini belajar dari dan mensintesiskan karya‐karya berbagai pemikir seperti Kant, Hegel, Marx, Freud, Weber, dan Lukács. Mengikuti Marx, mereka memperhatikan syarat‐syarat yang memungkinkan perubahan sosial dan masalah pembentukan lembaga‐lembaga rasional. Dalam usaha keluar dari keterbatasan positivisme, materialisme dan determinisme, mereka berpaling pada filsafat kritis Kant dan pengikutnya dalam idealisme Jerman, terutama filsafat Hegel dengan penekanan pada dialektika dan kontradiksi. Sejak tahun enam puluhan, teori‐teori kritis Mazhab Frankfurt dibimbing oleh karya‐karya Jurgen Habermas mengenai rasio komunikatif, intersubjektivitas bahasa, dan apa yang disebut Habermas ajaran filsafat modernitas. Seorang anggota grup Berlin dari para psikoanalisis Marxis ini adalah Erich Fromm, yang menampilkan ide‐ide Marxis–Freudo bagi kalangan Mazhab Frankkfurt di bawah pimpinan Max Horcheimer dan Theodor W. Adorno. Yang dilakukan oleh Mazhab Frankfurt ini adalah memilih bagian‐ bagian dari karya Marx yang dapat mengabdi pada menjelaskan kondisi‐kondisi kehidupan masyarakat yang tidak jadi perhatian Marx. Mereka mengambil pikiran‐pikiran ajaran lainnya untuk mengisi kekurangan‐kekurangan Marx. Max Weber berpengaruh besar sebagaimana halnya Sigmund Freud. Ikut ambil bagian dalam hal ini Erich Fromm mengenai psikologi masyarakat. Di tahun 1950‐an juga ikut Herbert Marcuse. Karya‐karya utama dari Mazhab Frankfurt menggunakan kategori Marxis antara lain adalah Tentang Musik Rakyat karya Adorno yang ditulis bersama George Simpson, 1941. Adorno khawatir oleh tanda‐ tanda keseragaman masyarakat massal modern dan juga oleh perubahan pernyataan artisitik pribadi menjadi produk massal barang dagangan yang distandardisasi. Ia berpendapat bahwa musik rakyat adalah dengan potongan model dan promosi sepenuhnya berkontradiksi antagonistik terhadap cita‐cita pribadi dalam masyarakat
344 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
liberal yang bebas. Karya Adorno dan Horkheimer, Industri Budaya: Pencerahan sebagai Penyesatan Massa, asalnya adalah satu bab dari Dialektika Pencerahan (1947) yang menyatakan kebudayaan memperkuat “kekuasaan absolut dari kapitalisme” dan pidato radio Adorno tahun 1963 berjudul Mempertimbangkan Kembali Industri Budaya. Kaum Neo‐Marxis menyatakan bahwa mereka adalah Marxis tanpa menerima seluruh ajaran teori sejarah dan ekonomi Marx, sambil menjunjung sosialisme melawan kapitalisme sebagai pendirian moral. Sesudah itu, kaum sosialis harus membangun gagasan‐gagasan mereka atas dasar ajaran Marx mengenai “alienasi” yang diserap dari karya‐ karya Marx tahun 1840. Oleh karena itu mereka menghindar dari analisa materialis yang sempurna dan berpaling pada agama, moralitas, serta estetika. Semenjak tahun 1990‐an ditampilkan istilah Marxisme kultural. Pekerja budaya yang konservatif berargumentasi, bahwa kaum Marxis Kultural dan pengikut Mazhab Frankfurt mencetuskan gerakan masyarakat anti‐kultur tahun 1960‐an sebagai kelanjutan rencana mengubah gerakan Marxis menjadi bentuk Freudo Marxis. Marxisme kultural semenjak tahun 1990‐an secara luas dipergunakan oleh kaum kiri Amerika, menggabungkannya dengan filsafat untuk membasmi peradaban Barat. Mereka berpendapat bahwa Marxisme kultural adalah ketepatan politik, adalah Marxisme yang diterjemahkan dari ungkapan ekonomi jadi ungkapan kultural. Ini adalah usaha untuk kembali ke tahun 1960‐an gerakan hippies dan gerakan perdamaian di Perang Dunia pertama. Ini dianggap sejajar dengan Marxisme klasik. Karya Adorno Dialektika yang Negatif dipergunakan untuk menunjukkan Marxismenya Foucault, Derrida, dan Derleuze yang anti‐dialektis. Kaum post‐ strukturalis menggeser dialektika menjadi “pertentangan” demi menciptakan jawaban revolusioner terhadap neoliberalisme. Akhirnya dalam karya Negri dan Hardt berjudul Empire and Multitude, mereka menyerukan untuk kembali pada dialektika menghadapi tantangan radikal dunia nyata, mempersenjatai gerakan anti‐kapitalis. Dalam karya Fredric Jameson, Late Marxism, dipaparkan bahwa sejumlah pekerja teori termasuk Theodor Adorno, sibuk dengan usaha mencuci “gagasan‐gagasan dialektis” Marx yang dianggap utopi. Menurut Horst Muller, Mazhab Frankfurt pada umumnya secara salah melukiskan Marx.
XXI — Pasca-Marxisme | 345
Martha E. Gimenez dalam karyanya Marxism and Class, Gender and Race, Rethinking the Trilogy menulis, “Kita mengikuti istilah Marx, pengakuan akan satu kesatuan dalam hubungan‐hubungan kemasyarakatan dan kita hidup dalam keadaan saling jalin‐berjalin hubungan‐hubungan yang tak setara berdasarkan bangunan hierarki yang saling berhubungan, bersama‐sama menentukan kekhususan historis dari cara produksi kapitalis dan reproduksi kapitalis serta yang manifestasinya yang dapat dipantau.” Menurut Douglas Kellner, profesor teori kritis, “Banyak teoretikus Marxis abad ke‐20, mulai dari George Lukacs, Antonio Gramsci, Ernst Bloch, Walter Benjamin, dan T.W. Adorno, sampai pada Fredric Jameson serta Terry Eagleton mempergunakan teori Marx untuk menganalisa bentuk‐bentuk kultural dalam hubungan pada produksi mereka, keterlibatan mereka dalam masyarakat dan sejarah, dan pengaruhnya atas kehidupan kemasyarakatan. Para ahli telah mempergunakan berbagai tipe kritik sosial Marxis untuk menganalisa budaya kultrural. Ke dalam kalangan tokoh Mazhab Frankfurt termasuk Theodor W. Adorno, Max Horkheimer, Ernst Bloch, Walter Benjamin, Eric Fromm, Herbert Mercuse, Wolfgang Fritz Haug, dan Jurgen Habermas.” Semenjak tahun 1990‐an, istilah Marxisme kultural sering dipakai di kalangan budayawan konservatif. Mereka beranggapan bahwa kaum Marxis kultural dan kalangan Mazhab Frankfurt membantu usaha mengubah Marxisme menjadi Marxisme Freudo. Dalam buku Paul Gottfried berjudul Kematian yang Aneh dari Marxisme, menyatakan bahwa Marxisme hidup kembali semenjak kehancuran Uni Sovyet dalam bentuk Marxisme kultural. Kaum Neo‐Marxis menyebut dirinya Marxis tanpa menerima semua ajaran Marx mengenai sejarah dan teori ekonomi, sementara menjunjung sosialisme melawan kapitalisme sebagai pendirian moral. Kemudian mengharuskan kaum sosialis membangun gagasan mengikuti ajaran alienasi yang dipaparkan Marx dalam karya‐karya di tahun 1840‐an dan menggeser analisa yang tegas materialis ke arah agama, moralitas, dan estetika. Menerima ajaran Marx tentang alienasi, ajaran Marx yang dipaparkan dalam Economic and Philosophic Manuscript of
346 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
1844, h.67—83, 298 tetapi mengabaikan bahkan mencampakkan ajaran tentang diktatur proletariat. Demikian pentingnya ajaran tentang diktatur proletariat ini, hingga Lenin menyatakan, hanyalah dengan menerima ajaran tentang diktatur proletariat barulah seseorang menjadi Marxis. Praktek menunjukkan bahwa URSS terbentuk di bawah pimpinan Lenin dan berjaya selama tujuh dasawarsa adalah karena mempraktekkan ajaran diktatur proletariat. Begitu ajaran ini dicampakkan oleh Kongres XXVIII PKUS di bawah pimpinan Gorbacyov, maka URSS pun hancur berantakan, lenyap dari peta politik dunia. Bertolak dari ajaran filsafat Hegel, dengan alienasi Marx menjelaskan masalah penghisapan, yaitu hasil kerja buruh yang mestinya adalah milik buruh, tetapi menjadi milik kapitalis. Ajaran Marx berlanjut pada perjuangan klas yang bermuara pada ajaran tentang diktatur proletariat, demi menegakkan kekuasan negara proletar untuk pelenyapan penghisapan. Kaum Neo‐Marxis menerima ajaran tentang alienansi tetapi menolak atau mencampakkan ajaran tentang diktatur proletariat. Yang dicampakkan adalah inti dari ajaran Marx. Marxisme di bawah Mazhab Frankfurt sudah berubah, hingga hanya sedikit saja sisa‐sisa Marxismenya. Daya‐tarik teori kritis tinggal berupa tata formalitas, teorinya sudah bercampur‐baur dengan teori non‐Marxis. Pendeknya, mereka bergerak membelakangi Marxisme, menjadi berpendirian anti‐borjuis yang militan yang terlepas dari pemahaman ekonomi Marxis.
2.
Louis Pierre Althusser
KRITIK Khrusycyov atas “kultus individu” Stalin dalam Kongres XX PKUS tahun 1956 disambut baik oleh sementara Marxis Perancis, termasuk Roger Garaudy, teoretikus Partai Komunis Perancis. Tokoh terkemuka eksistensialis Jean‐Paul Sartre menganggap kritik atas “kultus individu” ini adalah penemuan kembali akar humanis dari pikiran‐pikiran Marx, dan membuka pintu untuk berlangsungnya dialog antara kaum
298
Karl Marx, 1961, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844, second impression, Foreign Languages Publishing House, Moscow. XXI — Pasca-Marxisme | 347
Marxis dengan sosialis moderat, eksistensialis, dan penganut Kristen. Louis Pierre Althusser (16 Oktober 1918—22 Oktober 1990), filsuf Marxis Perancis, anggota Partai Komunis Perancis, mempersoalkan pemahaman yang tepat mengenai Marxisme. Argumen‐argumen dan tesis‐ tesisnya adalah menentang ancaman‐ancaman yang dilihatnya menyerang dasar‐dasar teori Marxisme. Yang dimaksud adalah pengaruh empirisisme atas teori Marxisme, serta orientasi sosialis humanis dan reformis sebagaimana sikap‐sikap yang ditunjukkan oleh partai‐ partai komunis di Eropa mengenai masalah “kultus individu”. Althusser adalah seorang Marxis yang menganut paham strukturalis. Dalam karya Marxisme dan Humanisme (1964), Althusser menyatakan, “Oleh karena Uni Sovyet kini memasuki periode yang akan membimbingnya dari sosialisme (seseorang memperoleh menurut hasil kerja) menuju komunisme (seseorang menerima menurut kebutuhannya), maka di Uni Sovyet sudah dinyatakan semboyan: ‘Segala‐galanya untuk manusia’, dan diperkenalkan tema‐tema kebebasan pribadi, menghormati hukum, menghormati martabat pribadi. Dalam partai‐partai buruh, kemajuan humanisme sosialis dapat sambutan dan dibenarkan sebagaimana dinyatakan oleh tuntutan‐ tuntutan teoretis Marx dalam Kapital, dan lebih‐lebih lagi dalam karya‐ karya pendahuluan Marx.” Menurut Althusser, “Berakhirnya diktatur proletariat di Uni Sovyet membuka suatu fase sejarah kedua. Di Uni Sovyet dinyatakan bahwa klas‐klas yang antagonistik sudah lenyap, diktatur proletariat sudah memenuhi fungsinya, negara tidak lagi suatu negara klas, tetapi negara seluruh rakyat. Di URSS, manusia betul‐betul kini dilayani tanpa perbedaan‐perbedaan klas, yaitu dilayani sebagaimana pribadi perseorangan. Dengan demikian dalam ideologi terlihat tema‐tema humanisme klas sudah digantikan oleh tema‐tema humanisme sosialis dari pribadi perseorangan.” Althusser menyatakan bahwa dalam sejarahnya, humanisme yang dianut Marx baru sampai pada tahap teori sejarah yang ilmiah sebagai hasil kritik radikalnya atas filsafat kemanusiaan yang dianut sebagai “dasar teori” semasa remaja (1840—1845). Bagi Marx yang remaja, “manusia” bukanlah hanya ucapan yang meneriakkan kemiskinan dan perbudakan. Ia adalah dasar teori dalam pandangan dunianya dan dalam sikap‐sikap praktisnya. “Hakikat manusia” (baik kemerdekaan,
348 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
rasio, atau masyarakat) adalah dasar bagi teori sejarahnya yang tepat dan untuk praktek politik yang teguh. Althusser membagi dua periode sejarah humanisme yang dianut Marx. Ia juga mengajukan pandangan teoretis yang humanis. Althusser akhirnya dijauhi oleh Partai Komunis Perancis, dikritik oleh Sekjen PKP, Waldeck Rochet. Dalam perkembangannya, Althusser menampilkan “materialisme aleatoris”, sambil menyatakan bahwa ia memihak Marxisme. Dalam karya Marxisme dan Humanisme, ia menilai terdapatnya anti‐humanisme dalam teori Marxis, ia mengutuk ide “potensi manusia” dan “asal‐usul manusia” yang sering dikedepankan kaum Marxis sebagai ideologi borjuasi tentang “kemanusiaan”. Pandangannya mengenai kekuasaan dan negara adalah dekat dengan pandangan Gramsci, yaitu mengenai hegemoni kultural. Menurut anggapan Althusser, pikiran Marx secara fundamental disalahpahami atau disalahmengerti oleh penganutnya. Ia dengan teguh mengutuk kaum Marxis yang menginterpretasi karya‐karya Marx historisisme, idealisme, dan ekonomisme, yaitu “ilmu sejarah”—“materialisme historis”, dengan menganggap Marx sudah membangun suatu pandangan revolusioner mengenai perubahan masyarakat. Ia percaya, bahwa kesalahan ini berasal dari pemahaman bahwa seluruh tubuh ajaran Marx dapat dipahami sebagai satu keseluruhan. Sebaliknya, Althusser berpendapat bahwa pikiran‐pikiran Marx berisikan “keterputusan epistemologi” (loncatan epistemologi) yang radikal. Walaupun karya‐karya Marx masa muda penuh dengan kategori filsafat Jerman dan ekonomi politik klasik, tetapi Ideologi Jerman yang ditulis tahun 1845 merupakan satu loncatan pemisahan yang tak ada taranya. Maksudnya, pada awalnya karya Marx berisikan humanisme. Kemudian terjadi loncatan, pemutusan epistemologis. “Pemutusan”‐nya ini merupakan satu pergeseran dalam karya‐karya Marx menjadi perbedaan fundamental secara problematis, yaitu tampilnya satu kerangka fundamental di bidang teori. Dalam Ideologi Jerman, Marx memaparkan masalah lahirnya negara dan proses melenyap negara. Ini terjadi lewat menggunakan diktatur proletariat yang berfungsi melenyapkan klas dan bermuara pada lenyapnya negara. Dalam tahun tujuh puluhan, Althusser meneruskan perevisian yang dimulainya tahun 1967, memaparkan gagasan‐gagasan Marx yang
XXI — Pasca-Marxisme | 349
dianggapnya kurang dikembangkan selama ini. Ia melakukan “interpelasi ideologi”. Dalam karya Ideologi dan Alat‐Alat Negara Ideologis (1970) dipaparkannya bagaimana manusia bisa menjadi pokok yang berkesadaran sendiri. Ini adalah ringkasan dari tulisan yang memaparkan masalah sifat negara, dan kenapa Partai Komunis tidak boleh mencampakkan posisinya, dan bahwa diktatur proletariat adalah diperlukan dalam masa peralihan menuju komunisme. Kekuasaan politik, negara mampu mengawasi, melakukan kontrol dengan melahirkan kekuatan yang percaya bahwa kedudukan mereka dalam struktur masyarakat adalah sesuatu yang alamiah. Ideologi atau latar belakang ide‐ide bahwa bagaimana dunia akan berfungsi dalam rangka itu dipahami sebagai sesuatu yang selalu demikian. Akan tetapi, struktur sosial‐ekonomi tertentu akan selalu membutuhkan ideologi tertentu. Ideologi ini ditata oleh lembaga “alat‐alat ideologi negara”, seperti keluarga, sekolah, gereja, dan sebagainya, yang memberikan kekuatan yang berkembang dalam kategori yang diakuinya sendiri. Oleh karena itu, Althusser berpendapat bahwa adalah diperlukan diktatur proletariat supaya alat‐alat ideologi negara dari borjuasi dapat digantikan dengan yang dihasilkan oleh kekuatan proletariat atau komunis. Di bidang filsafat, dalam perkembangannya, Althusser menganut materialisme aleatoris, materialisme yang berlawan, yang serba menolak atau serba menentang. Materialisme aleatoris jelas berbeda dengan atau mengingkari materialisme dialektis. Materialisme aleatoris tidak mampu menjelaskan gejala‐gejala perkembangan alam semesta, lebih‐lebih lagi perkembangan masyarakat manusia yang rumit. Materialisme dialektis, materialisme Marxis, justru mampu menjelaskan bahkan meramalkan dan membimbing tindakan manusia demi perkembangan alam semesta serta perkembangan masyarakat manusia. Dalam karya Philosophy of the Encounter—Filsafat Berlawan— dikemukakan sebagai tesis dasar filsafatnya bahwa dalam sejarah filsafat terdapat “tradisi bawah tanah”, tradisi yang tak banyak diketahui atau kurang diakui. Materialisme aleatoris—materialisme yang berlawan— pandangan yang serba melawan dipakainya dalam memaparkan seluruh sejarah filsafat yang untuk menunjukkan di mana dan bagaimana serta sampai batas mana. Di samping karya‐karya Marx, ia mengutip bagian‐ bagian dari tradisi “bawah tanah” karya‐karya filsafat para filsuf termasuk Demokritos, Epicurus, Lucretius, Machiavelli, Spinoza,
350 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Hobbes, Rousseau, Montesqieu, Heidegger, dan Wittgenstein. Dari bacaan yang berasal dari sejarah filsafat ini, Althusser bermaksud menunjukkan bahwa dalam filsafat terdapat tradisi ini, dan tradisi ini adalah subur dan hidup terus. Ia juga menekankan bahwa pada akhir tahun 1960‐an, sungguh‐sungguh terdapat hanya dua kubu filsafat: materialisme dan idealisme. Kedua kubu ini selalu saling bertempur berhadap‐hadapan, saling atas‐mengatasi. Karena fungsinya yang melawan kecenderungan idealis dalam filsafat, maka materialisme aleatoris mempunyai ciri sedemikian rupa penolakan yang dianggap positif mengenai dunia dan sejarah. Marx dimasukkan dalam lingkup menganut tradisi ini, maka banyak penolakannya dalam karya‐karya awal Althusser. Ini termasuk penolakannya atas apa yang disebut Althusser: “pemikiran dasar”— “alasan‐alasan yang pokok” atau pikiran tentang alam semesta dan sejarah mempunyai asal‐usul dan akhir. Dengan demikian, Althusser menganggap perlu membuang tradisi ini, tidak saja segi‐segi rasional tradisi yang ada, tapi juga materialisme mekanik dan dialektis dengan logika‐logikanya. Menurut Demokritos, segala yang ada itu adalah materi. Althusser mengajukan tesis bahwa perubahan atau aleator ada pada asal‐ usul segala‐galanya. Bahwa adalah benar, pola yang merupakan dan menetapkan segala‐galanya itu dapat diketahui, dapat dilukiskan, dan dapat diramalkan sesuai dengan hukum‐hukum atau sebab‐musabab. Akan tetapi kenyataan bahwa segala‐galanya itu pernah tampil dan lenyap. Ia bertahan menolak mitos, bahwa filsafat dan para filsuf itu adalah otonom, mereka memandang dunia dari luar dan secara objektif. Walaupun ada dunia objektif, filsafat tidak mempunyai pengetahuan tentang dunia ini sebagai objeknya karena tak ada jalan baginya untuk menggarapnya dan materi yang ia pikirkan secara mendalam itu adalah lahir secara historis. Oleh karena itu, filsafat bukanlah ilmunya ilmu dan ia tidak menghasilkan kebenaran universal. Bahkan, kebenaran‐kebenaran yang dihasilkannya adalah kumpulan yang diberikan untuk menentang atau melawan kebenaran‐kebenaran lainnya. Jika filsafat tidak mempunyai objek, adalah kehampaan, atau itu berarti belum terjadi tetapi adalah yang mestinya ada. Bahwa filsafat berlawan adalah kekurangan objek tidaklah berarti bahwa ia kekurangan pendapat‐pendapat positif. Akan tetapi, dengan
XXI — Pasca-Marxisme | 351
memberikan status epistemologis menurut filsafat yang ditunjukkan Althusser, pendapat‐pendapat metafisika atau “tesis‐tesis” ini adalah benar hanya sebatas ia memiliki nilai praktis atau dapat memberi penjelasan. Antara lain, pertama‐tama menurut Demokritos, tesis bahwa materi adalah segala‐galanya yang eksis (ada). Kedua, adalah tesis yang menetapkan bahwa kesempatan atau aleatori adalah asal dari segala‐galanya. Bahwa pola yang membentuk dan menentukan segala‐galanya itu akan dapat diketahui, dilukiskan, dan diramalkan sesuai dengan hukum tertentu atau rasio adalah juga benar. Akan tetapi, kenyataan bahwa segala‐galanya itu pernah tampil tersusun oleh pola‐pola itu adalah aleatoris dan pola‐pola itu sendiri hanya dapat dikenal secara tetap. Ketiga, segala yang baru itu dan tata krama yang baru itu sendiri muncul dari kesempatan berlawan antara unsur‐unsur materi yang ada sebelumnya. Apakah tata krama yang demikian munculnya adalah berupa kesatuan: ia tidak terjadi demikian. Apabila unsur‐unsur materi itu bertabrakan, maka mereka akan “mengambil” dan terbentuklah tata krama baru, atau sebaliknya, maka tata krama (dunia) lama akan berlanjut. Bagi Althusser, pikiran‐pikiran yang mempunyai nilai penjelasan dalam tingkat ontologi dan kosmologi juga mempunyai nilai pada tingkat filsafat politik. Sesudah mula‐mula mengutip Rousseau dan Hobbes sebagai umpama para filsuf yang mengakui bahwa asal‐usul dan kelanjutan dari tata krama politik adalah penggabungan, Althusser berpaling kepada Machiavelli dan Marx untuk keperluan contoh‐contoh bagaimana fungsi‐fungsi materialisme aleatoris dalam kenyataan politik. Pasca‐Marxisme merujuk pada tampilnya para filsuf dan teoretikus sosial yang mendasarkan dalil‐dalilnya atas tulisan‐tulisan Karl Marx, yakni Marxisme, sehingga mau mengungguli Marxisme yang ortodoks. Secara filsafat, Kaum Pasca‐Marxis menentang penyimpulan dan esensialisme, yaitu menentang “negara alat yang fungsinya mengabdi pada kepentingan satu klas tertentu”. Hakikatnya adalah menentang ajaran Marx tentang negara, yang dipakukan oleh Lenin, yaitu diktatur proletariat. Althusser berpendapat bahwa Marx tidak sepenuhnya memahami akan arti penting karyanya sendiri, dan hanya mampu memaparkan secara ragu‐ragu dan bersifat sementara. Pergeseran
352 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
pendirian Marx ini hanya dapat dirasakan dengan membaca karya‐ karya Marx dengan penuh perasaan dan “simptomatik” (memahami gejala‐gejala). Althusser menyatakan bahwa ia bermaksud berusaha untuk membantu para pembaca, agar bisa mencengkam orisinalitas (keaslian) dan kekuatan dari teori Marx yang luar biasa. Althusser berpendapat bahwa Marx sudah menemukan “benua ilmu pengetahuan”. Ini adalah setara dengan sumbangan Thales untuk matematika, Galileo untuk fisika, atau lebih‐lebih lagi psikoanalisa oleh Freud. Struktur teori Marx tidak ada bandingnya pada para pendahulunya. Berbeda dengan berbagai tokoh Marxisme Barat, Althusser membela ajaran “perjuangan klas sebagai penggerak sejarah”.
3. Jacques Derrida DALAM perkembangan timbulnya gejala‐gejala baru mengkritik Marxisme, muncul Jacques Elie Derrida (1930—2004), filsuf Perancis kelahiran Maroko, menampilkan gagasan “deconstruction” yang dianggapnya sebagai radikalisasi semangat tertentu dari Marxisme. Pada 1990, Derrida berkarya menyangkut bidang‐bidang politik dan agama, dengan buku tahun 1989, Kekuatan Hukum. Tahun 1989 ia menulis buku Hantu‐Hantu Marx, di mana dinyatakannya bahwa pikiran‐pikiran Marx yang sudah didekonstruksi, dikritik masih berlaku, yaitu menjadi pengusung “demokrasi masa depan” walaupun berlangsung globalisasi. Derrida menampilkan ajaran deconstruction, yang merupakan ajaran pengembangan analisa semiotik. Derrida juga dikenal sebagai tokoh yang berperanan dalam filsafat post‐modernisme dan post‐ strukturalisme. Hantu‐Hantu Marx adalah satu sindiran terhadap ungkapan Marx dan Engels dalam pembukaan Manifesto Partai Komunis, “ada hantu berkeliaran di Eropa, yaitu hantu komunisme”. Bagi Derrida, semangat Marx lebih relevan dewasa ini semenjak robohnya Tembok Berlin tahun 1989 dan “matinya komunisme”. Dengan kematiannya itu, hantu komunisme mulai gentayangan di muka bumi. Derrida berusaha berkarya mengambil warisan Marx, yaitu bukan mengambil komunisme, tetapi filsafat yang bertanggung jawab, dan semangat kritik yang radikal dari Marx.
XXI — Pasca-Marxisme | 353
Pertama‐tama Derrida mencatat, bahwa semenjak “rontoknya komunisme”, di Barat banyak tampil para “pemenang”, sebagaimana ditunjukkan oleh terbentuknya kelompok‐kelompok Neo‐konservatif, dan digantikannya jalan kaum kiri menjadi jalan ketiga dalam formasi‐ formasi politik. Di kalangan kaum intelektual, jelas sekali dengan Francis Fukuyama memproklamasikan tamatnya sejarah, tamatnya ideologi. Derrida mengambil dari Marx “filsafat yang bertangung jawab” dan “kritik yang radikal”, tetapi bukan komunisme. Ini menunjukkan bahwa Derrida bukanlah pengikut Marx yang sejati, tetapi mengebiri atau mereduksi Marx, hingga menjadi hanya seorang kritikus radikal. Padahal Marx bukan hanya kritikus, tetapi seorang penggagas, yang mengedepankan gagasan mengganti masyarakat lama yang dikritiknya, melenyapkan penghisapan manusia atas manusia dengan membangun satu masyarakat baru, masyarakat tanpa penghisapan, yaitu sosialisme menuju komunisme. Marx menunjukkan jalan untuk itu dengan membangun diktatur proletariat, satu negara tipe baru, di mana yang berkuasa adalah proletariat yang sebelum ini dihisap dan ditindas borjuasi. Pada waktu yang tepat, Derrida mengingatkan alasan‐alasan gentayangannya hantu‐hantu Marx, yaitu atas nama idealnya demokrasi liberal yang pada akhirnya menunjukkan dirinya sebagai cita‐cita ideal sejarah manusia: yaitu lenyapnya kekerasan, lenyapnya ketidaksamaan, saling menyisihkan, kelaparan, yaitu ekonomi penghisapan yang menimpa sekian banyak umat manusia di muka bumi dalam sejarah. Sebaliknya, hendaklah kumandangkan nyanyi cita‐cita demokrasi liberal dan ekonomi pasar kapitalis; sebaliknya dari suara “lenyapnya ideologi” serta ajaran‐ajaran pembebasan manusia yang perkasa, Derrida mengajak agar jangan mengabaikan kenyataan yang jelas‐jemelas tentang penderitaan yang tak terhingga, begitu banyak pria dan wanita serta anak‐anak menjadi korban, kelaparan atau punah di muka bumi. Derrida menderetkan sejumlah musibah akibat sistem kapital atau global. Ia menyerukan agar para kelompok‐kelompok aktivis berusaha untuk membentuk satu “Internasionale Baru”. “Internasionale Baru” adalah tanpa status, tanpa koordinasi, tanpa kewarganegaraan, tanpa negeri, tanpa kedudukan klas tertentu. Nama Internasionale dipakai adalah demi untuk persahabatan dan persekutuan
354 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
tanpa kelembagaan, yang demi meneruskan inspirasi salah satu semangat Marx, yaitu Marxisme. Diserukan untuk mempersatukan diri dalam perserikatan cara baru yang konkret, walaupun perserikatan ini tidak lagi dalam bentuk satu partai atau Internasionale kaum pekerja. Ini adalah demi mengkritik hukum internasional yang berlaku, mengkritik gagasan negara dan nasion, kritik‐kritik ini diperbaharui terutama dengan meradikalisasinya. Dalam karya Hantu‐Hantu Marx, Derrida memperkenalkan istilah hauntology dalam sejarah filsafat, yang berarti pandangan pemburuan atau ilmu pemburuan. Ini berjalin dekat dengan pengertian “hantu yang bersifat paradoks, yang dianggap ada atau tidak ada.” Pikiran ini menjurus pada pemahaman bahwa yang ada sekarang hanyalah sesuatu berkat yang lalu, dan bahwa masyarakat sesudah berakhirnya sejarah akan dimulai dengan berorientasi pada ide‐ide aestetika yang sudah karatan, ajaib, “sudah kuno”, yaitu ke arah “hantu” masa lampau. Derrida berpendapat bahwa disebabkan oleh pemikiran kembali intelektual, maka berakhirnya sejarah adalah tidak memuaskan dan tak dapat dipertahankan. Hantu‐Hantu Marx ditulis Derrida dalam konteks kritik “orde baru dunia” yang memproklamasikan matinya Marx dan Marxisme. Derrida menyerap dari bacaan “spectropoetics” Marx—gangguan pikiran karena hantu‐hantu, setan‐setan, dan roh‐roh. Derrida memperdebatkan bahwa terdapat lebih dari satu semangat Marx. Terry Eagleton mengkritik Derrida, menyatakan bahwa dalam karya Hantu‐Hantu Marx, pada setiap huruf buku ini melekat berurat akar bagaikan suatu sandiwara membosankan yang penuh masalah retorik ejekan. Ide mengenai hauntology mendapat kritik dari sejumlah filsuf termasuk Jurgen Habermas dan Richard Rorty.
4.
Alain Badiou
ALAN Badiou, warga Perancis kelahiran Maroko, filsuf pengkritik Marxis. Badiou sudah menulis tentang gagasan mengenai being— keberadaan—, kebenaran dan subjek dengan cara sedemikian rupa, hingga ia menyatakan bahwa ia bukanlah seorang postmodernis, atau sekedar pengulangan dari modernitas.
XXI — Pasca-Marxisme | 355
Secara politik, Badiou adalah tergolong sangat kiri dan termasuk menganut tradisi komunis. Semenjak remaja aktif dalam gerakan politik dan menjadi salah seorang pendiri Partai Sosialis Persatuan (Parti Socialiste Unifie), aktif mendukung perjuangan kemerdekaan Aljazair. Tahun 1964 menulis novel Almagestes, ia bahkan menjadi pengikut Althusser dan Jacques Lacan. Tahun 1967, bergabung ke dalam kelompok studi yang dipimpin Louis Althusser, menjadi kian terpengaruh oleh Jacques Lacan dan menjadi anggota dewan editor Cahiers pour l’Analyse. Dengan penguasaannya atas matematika dan logika, ia mengembangkan sendiri pandangan filsafatnya sejalan dengan teori‐teori Lacan. Lacan terkenal dengan ajaran psikoanalisanya. Pada tahun 80‐an, di Eropa pengaruh Marxisme Althusser dan psikoanalisa Lacan menjadi menurun. Badiou menerbitkan sejumlah tulisan filsafat abstrak seperti Theorie du sujet (1982) dan karya utama Being and Event, Keberadaan dan Peristiwa (1988), tulisan‐tulisannya tidak membuang pandangan Althusser dan Lacan serta menunjukkan simpatinya pada Marxisme serta psikoanalisa. Kebangkitan perlawanan mahasiswa Perancis 1968 membawa Badiou masuk golongan kiri, ikut dalam barisan militan seperti Union des Communistes de France marxiste‐leniniste (UCFml, Persatuan Komunis Marxis–Leninis Perancis). Menurut Badiou, UCFml adalah organisasi Maois yang didirikan oleh Natacha Michel dan Sylvain Lazarus. Pandangan yang menyejajarkan Marxisme revolusioner dengan Kekristenan yang mesianis adalah hal yang lumrah di kalangan pengkritik liberal seperti Bertrand Russel, yang menolak Marxisme sebagai ideologi keagamaan sekuler. Sebaliknya, Badiou (mengikuti garis dari Engels sampai Fredric Jameson), sepenuhnya menerima homologi ini. Badiou sangat bersemangat membela Paul yang mengartikulasikan kebenaran‐peristiwa kebangkitan Yesus sebagai “satu‐ satunya yang universal” (satu‐satunya peristiwa yang menginterpelasi pribadi manusia menjadi subjek universal, tak pandang bangsa, kelamin, klas sosial, dan sebagainya) sesuai dengan syarat‐syarat yang mengizinkan. Tentu saja Badiou mengetahui bahwa sekarang ini, di zaman ilmu pengetahuan modern, kita tidak bisa lagi menerima bentuk peristiwa‐kebenaran yang didongengkan dalam kebangkitan yang ajaib. Slavoj Zizek dalam tulisan Psychoanalysis and Post‐Marxism, The Case of Alain Badiou menulis, “Dalam sejarah Marxisme, psikoanalisa
356 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
memainkan peranan strategis. Dewasa ini, dengan ‘mampusnya Marxisme’, seluruh situasi sudah berubah: telah tampil filsafat politik kaum post‐Marxis yang ‘radikal’, yang menyatakan bahwa psikoanalisis tidak dapat memberikan sesuatunya, yang berguna bagi menerangkan fenomena‐fenomena kemunduran.” “Pasca‐Marxisme” Alain Badiou tidak ada hubungannya sama sekali dengan penolakan atas “esensialisme” Marxis, sebaliknya ia adalah penolakan radikal atas ajaran dekonstruksionis sebagai satu bentuk pemikiran‐palsu, sebagai satu versi dari sofisme modern. Menurut Badiou, jurus kebenaran menuju pada ketidakterbatasan, seperti kesetiaan adalah mengungguli pengetahuan. Badiou, mengikuti Lacan dan Heidegger, memisahkan kebenaran dari pengetahuan. Ideologi yang berdominasi sekarang ini menurut Badiou adalah “materialisme demokratis”, menolak (tak mengakui) adanya kebenaran dan hanya mengakui “jasmani” dan “bahasa”. Badiou mengusulkan untuk melakukan pembalikan terhadap “dialektika materialis”, ia hanya mengakui ada jasmani‐jasmani dan bahasa‐bahasa. Dengan menampilkan materialisme demokratis, dan menolak untuk mengakui adanya kebenaran, Badiou meninggalkan materialisme dialektis, mengesampingkan dasar filsafat Marxisme. Slavoj Zizek menulis: “Kesamaan kaum Leninis sejati dengan kaum konservatif politik sejati adalah kenyataan bahwa kedua‐duanya menolak ‘tak bertanggung jawabnya’ kaum kiri liberal—yang membela gagasan‐gagasan raksasa solidaritas, kebebasan, dan sebagainya, tetapi sambil menghindar ketika akibatnya ternyata konkret dan sering berupa langkah‐langkah politik yang kejam—suatu kekonservatifan sejati, seperti kaum Leninis sesungguhnya, tidaklah, walaupun demikian, takut melewati untuk bertindak dan memikul konsekuensinya, betapapun tidak menyenangkannya pelaksanaan gagasan politik ini.” Umpamanya Kipling—yang sangat dikagumi Brecht—meng‐ anggap rendah kaum liberal Inggris yang membela kebebasan dan keadilan sambil secara diam‐diam mengharapkan kaum konservatif untuk melakukan pekerjaan kotor yang diperlukan untuk mereka, hal yang sama bisa dikatakan mengenai sikap kaum kiri liberal (atau kaum “sosial demokrat”) terhadap kaum komunis Leninis: “kaum sosial‐ demokrat” menolak “kompromi” sosial‐demokrat, karena mengingin‐ kan revolusi yang sesungguhnya tetapi menghindari harga yang harus
XXI — Pasca-Marxisme | 357
dibayar untuk itu, maka mereka lebih suka menerima sikap “jiwa yang indah”, mempertahankan tangannya bersih. Berlawanan dengan ini, posisi kaum kiri‐liberal—pro‐demokrasi untuk rakyat selama tak ada polisi rahasia untuk dilawan dan tak ada ancaman terhadap kedudukan istimewa akademisnya—maka seorang Leninis, sebagaimana halnya seorang konservatif, yang otentik dalam arti sepenuhnya menerima akibat dari politiknya, yang sepenuhnya tahu tentang apa sesungguhnya arti mengambil dan mempergunakan kekuasaan. Di sinilah letaknya kelemahan yang fatal mereka seperti halnya Badiou, yang bergantung pada oposisi proto‐Kant antara tata krama positif dari keberadaan dan keradikalan (atau the service des biens), tuntutan tanpa syarat untuk egaliberte yang memberi sinyal‐sinyal tentang keberadaan oposisi kebenaran‐peristiwa, yaitu antara tata kemasyarakatan dunia dan dimensi universalitas, yang memotong sebuah garis pemisah masuk ke dalam tata dunia—tuntutannya yang tanpa syarat untuk kebenaran tinggal pada taraf provokasi histeris yang ditujukan pada penguasa, menguji batas‐ batasnya. Sebagaimana kebanyakan pemikir Barat sezamannya, Alain Badiou yakin bahwa filsafat harus bersuara menurut zamannya, menen‐ tang pikiran‐pikiran yang menganggap filsafat adalah abadi. Akhirnya ia menjadi pengkritik filsafat post‐modernisme atau juga demokrasi parlementer, yang atas nama demokrasi “menurut aslinya”, adanya rakyat yang mengemban kekuasaan pada dirinya. Ia membela komunis‐ me walaupun pandangan ini tidak menentang kehancuran komunisme dogmatis. Di tahun 2008, ia berpendapat bahwa kata “komunisme” sudah diselewengkan dan diperkosa (diprostitusi). Selanjutnya ia meneruskan dukungan pada Maoisme dan terorisme revolusioner. Tahun 2009 ia membenarkan teror sebagai “syarat untuk kebebasan”. Sehubungan dengan perdebatan filsafat mengenai tema Satu Pecah Menjadi Dua atau Dua Bergabung Jadi Satu yang berlangsung dalam Revolusi Besar Kebudayaan Proletar Tiongkok, Badiou menyiarkan tulisan berjudul Satu Pecah Menjadi Dua, 1999. Badiou menulis, “Dewasa ini, karya‐karya politik Lenin seluruhnya dipelajari kembali lewat pengamatan atas pertentangan resmi antara demokrasi dan kediktaturan totaliter. Sesungguhnya, perdebatan mengenai ini sudah berlangsung semenjak tahun 1918 dan seterusnya, kaum sosial‐demokrat Barat yang dipimpin Kautsky berusaha mendiskreditkan bukan saja revolusi
358 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Bolsyewik, tetapi juga pikiran politik Lenin. Yang menarik dalam hal ini adalah terutama jawaban teoretis Lenin terhadap serangan kaum sosial demokrat yang diwakili Kautsky, terutama dengan karya berjudul Revolusi Proletar dan Renegat Kautsky, membantah karya Kautsky Diktatur Proletariat, yang diterbitkan di Wina tahun 1918. Dalam hal ini, Lenin dengan tegas membela diktatur proletariat yang dicampakkan oleh Kautsky dan kaum sosial demokrat.” Badiou menulis, “Lenin adalah pemikir politik yang membuka abad. Ia adalah seorang yang membikin kemenangan suatu politik revolusioner yang nyata efektif menjadi syarat intern bagi teori. Dengan demikian, Lenin menetapkan apa yang akan menjadi pokok politik yang utama abad itu, paling kurang sampai kuartal terakhirnya.” Menurut Badiou, sebagaimana diakui oleh kaum liberal dewasa ini, antara tahun 1917 dan akhir tahun tujuh puluhan bukanlah abad ideologi pengelamun atau abad utopi. Badiou menulis, bahwa abad itu adalah abad bertindak, yang efektif, bukanlah abad isyarat. Sesudah romantisme abad ke‐19 yang penuh kegagalan, abad ke‐20 mengalami sendiri sebagai abad kemenangan; abad ke‐20 menunjukkan kemenangan Revolusi Oktober 1917, kemenangan Revolusi Tiongkok dan Kuba, Revolusi Vietnam, Revolusi Aljazair. Badiou mengutip ucapan Mao Zedong, bahwa revolusi bukan jamuan makan dan memaparkan bahwa dalam Revolusi Besar Kebudayaan Proletar Tiongkok terjadi pengerahan massa buruh dan pemuda yang tak ada bandingnya untuk berdemonstrasi, rapat‐rapat politik, pemblejetan‐pemblejetan, penyiksaan‐penyiksaan atas kaum intelektual, perdebatan yang keras dan penggunaan kekerasan, sampai kekerasan bersenjata melawan Deng Xiaoping yang dinilai sebagai orang kedua penempuh jalan kapitalis. Menurut Badiou, sesudah Mao meninggal, Deng Xiaoping merebut kekuasaan secara kudeta birokratis, dan dalam tahun delapan puluhan sampai saat kematiannya, menghidupkan secara menyeluruh neo‐kapitalisme yang sepenuhnya biadab dan korup, lebih‐ lebih lagi ia mempertahankan despotisme partai.
5. Theodor Ludwig Wiesengrund Adorno
ADORNO adalah seorang pendiri dan pemikir terkemuka dari Mazhab Frankfurt. Ia bekerja sama dengan Max Horkheimer pada Institut XXI — Pasca-Marxisme | 359
Penelitian Sosial di New York, kemudian mengajar pada Universitas Frankfurt sampai tahun 1969. Menurut Horst Muller, karya Adorno Kritik der Kritischen Theorie (Kritik atas Teori Kritis) menganut paham keseluruhan sebagai sistem otomatis. Menurut pikiran Adorno, masyarakat adalah sebagai sistem yang mengatur sendiri, dari mana manusia harus membebaskan dirinya, tetapi tak seorang pun bisa membebaskan diri. Baginya, hal ini terjadi dalam kenyataan, tetapi ini tak berperikemanusiaan. Muller menentang sistem yang demikian dan menyatakan bahwa Teori Kritis tidak memberikan penyelesaian praktis bagi perubahan masyarakat. Adorno adalah anggota terkemuka dari Mazhab Frankfurt dengan teori kritisnya, yang karya‐karyanya berhubungan erat dengan pikiran‐ pikiran Ernst Bloch, Walter Benjamin, Max Horkheimer, dan Herbert Marcuse yang pada pokoknya menggunakan ajaran Freud, Marx, dan Hegel, untuk mengkritik masyarakat modern. Karya‐karya yang terkenal adalah Dialectic of Enlightment (Dialektika Pencerahan, 1947), Minima Mralia (1951), dan Dialektika Negatif (1966) yang berpengaruh kuat pada kaum kiri baru Eropa. Adorno menampilkan gagasan dialektis tentang sejarah alam yang mengkritik godaan‐godaan ontologi dan empirisisme lewat mempelajari Kierkegaard dan Husserl. Adorno memuji egalitarianisme dan keterbukaan masyarakat Amerika. Menurutnya, ciri khusus dalam kehidupan di Amerika adalah kedamaian, baik hati. Tulisan Adorno Ujung Kapitalisme atau Masyarakat Industri? memaparkan keinginan untuk memikirkan kembali mengenai ujung kapitalisme dan versi modern dari ajaran Marx tentang hubungan‐ hubungan produksi, dan masyarakat industri. Adorno menggunakan pandangan yang dipaparkan dalam Dialektika yang Negatif, yang memetik bagian dari antinomi yuridis dari filsafat Kant dan antinomi nasionalisme serta identitas nasional dari Hegel, semua dalam konteks kategori Marx tentang fetisisme barang dagangan, akumulasi, sejarah alam, dan sejarah masyarakat. Bagian terakhir dari Dialektika yang Negatif memaparkan secara luas dialektika multinasional yang berhubungan langsung dengan karya‐karya Pierre Bourdieu serta Fredric Jameson. Dialektika yang Negatif berisikan kritik Adorno atas filsafat‐filsafat Kant, Hegel, dan Heidegger, dan pengembangan pandangan Adorno
360 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
mengenai dialektika. Adorno mengungkap masalah dialektika lewat pembahasan masalah‐masalah: Peephole Metaphysics, Relationship to Left Hegelianism, Logic of Dissassembly, Objectivity of the Contradiction, Critique of Positive Negation, Essence and Appearance; On the Subject‐Object Dialectics, Objectivity and Reification, dan lain‐lain. Tapi ini semua tidak mengubah bahkan tak ada pengaruhnya terhadap hukum‐hukum pokok dialektika yang sudah diungkapkan oleh Engels dan Lenin, yaitu: 1. hukum kesatuan dan perjuangan dari segi‐segi yang bertentangan; 2. hukum kontradiksi; 3. hukum negasi dari negasi; dan 4. hukum perubahan‐perubahan kuantitatif menjadi perubahan kualitatif. Adalah Lenin yang secara mendalam mempelajari masalah dialektika hingga menghimpun enam belas unsur dialektika dan sampai pada kesimpulan bahwa hukum pokok dialektika adalah hukum kesatuan dan perjuangan dari segi yang bertentangan.
6. Jurgen Habermas JURGEN HABERMAS terutama, dan Mazhab Frankfurt pada umumnya, secara salah melukiskan Marx. Karyanya paradigma Marxisme Analitis adalah bertujuan “menjernihkan” teori Marx. Pandangan ini diserap dari filsafat analitis modern. Karya‐karya G.A. Cohen dan Jon Ester mengenai Marx mudah dipahami dari kaca mata filsafat analitis ini. Pada akhirnya, keterbatasan fatal dari paradigma analitis secara keseluruhan, dan interpretasinya mengenai teori Marx tentang sejarah khususnya, berasal dari satu kontradiksi di taraf filsafat ini. Marxisme Analitis berusaha untuk membikin ”jernih” pikiran Marx lewat metodologi yang sudah karatan dalam arti aktif‐praktisnya pikiran itu. Habermas yang bergabung pada Mazhab Frankfurt, terkenal sebagai seorang sosiolog dan filsuf dengan teori kritis dan pragmatisme. Teorinya yang terkenal adalah mengenai rasionalitas komunikatif lapangan publik. Karya‐karyanya dipusatkan pada masalah‐masalah dasar‐dasar teori sosial dan epistemologi, menganalisa masyarakat kapitalis yang maju dan demokrasi, kekuasaan hukum dalam konteks sosial‐evolusioner. Sistem teori Habermas diabdikan pada kemungkinan rasio, emansipasi, dan komunikasi kritis rasional dalam lembaga‐ lembaga modern serta dalam kapasitas manusia untuk mencapai tujuan
XXI — Pasca-Marxisme | 361
kepentingannya yang rasional. Habermas terkenal dengan karya tentang gagasan modernitas. Ia terpengaruh oleh pragmatisme Amerika, teori aksi dan juga oleh post‐strukturalisme Ciri karya‐karya Mazhab Frankfurt adalah teori kritis, yang diwakili oleh karya‐karya Max Horkheimer, Theodor Adorno, Herbert Marcuse, dan Jurgen Habermas. Teori‐teori kritis mereka dianggap sesuai dengan kebutuhan usaha untuk menggagas kembali politik radikal, yaitu model baru politik emansipatoris. Generasi pertama penganut teori kritis tidak berhasil membebaskan diri mereka dari kerangka subjek‐objek yang menyebabkan keterbatasan usaha‐usaha mereka. Usaha Habermas mengubah teori kritis menjadi menggunakan dasar‐dasar baru yang membebaskan mereka dari filsafat kesadaran kerangka subjek‐objek, tetapi juga secara fundamental berubah dan akhirnya menerima politik radikal. Karya Habermas berjudul Strukturwandel der Öffentlichkeit; Untersuchungen zu einer Kategorie der Bürgerlichen Gesellschaft, terbit dalam bahasa Inggris tahun 1989 The Structural Transformation of the Public Sphere: an Inquiry into a Category of Bourgeois Society. Karya ini memaparkan secara rinci kelahiran borjuasi sejak asal‐usulnya pada abad ke‐18 sampai dengan perkembangannya dan perubahannya akibat pengaruh media massa yang dikendalikan kapital. Habermas membangun kerangka teori sosial dan filsafatnya dengan menyerap tradisi sejumlah intelektual termasuk tradisi Marx, juga kritik‐kritik kaum Neo‐Marxis dari Mazhab Frankfurt seperti Max Horkheimer, Theodor Adorno, dan Herbert Marcuse. Karya‐karya Habermas menyuarakan tradisi Kant dan Pencerahan serta sosialisme‐demokratis yang menekankan pada potensi untuk mengubah dunia untuk mencapai lebih berperikemanusiaan, berkeadilan, dan masyarakat yang sama derajat lewat realisasi potensi manusia demi rasio, sebagian lewat pendidikan etika. Sementara Habermas mengemukakan bahwa Pencerahan adalah “proyek yang belum selesai”, dan menegaskan bahwa itu harus dikoreksi dan dilengkapi, bukannya dicampakkan. Dalam hal ini ia tidak sejalan dengan Mazhab Frankfurt dan mengkritiknya sebagaimana halnya dengan pikiran‐pikiran kaum post‐modernis, yang keterlaluan menganut pesimisme, radikalisme, serta serba berlebih‐lebihan.
362 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Di bidang sosiologi, urunan besar Habermas adalah dalam mengajukan teori evolusi sosial dan modernisasi. Habermas merasa rasionalisasi, humanisasi, dan demokratisasi masyarakat dalam wujud pelembagaan potensi untuk rasionalisasi yang sesuai dengan wewenang yang komunikatif adalah sesuatu yang khusus bagi manusia. Habermas berpendapat bahwa wewenang komunikatif sudah berkembang lewat jalan evolusi, tetapi dalam masyarakat modern itu sering ditindas atau diperlemah sedemikian rupa oleh kehidupan masyarakat seperti pasar, negara, dan organisasi‐organisasi. Habermas memperkenalkan gagasan “ilmu rekonstruktif” dengan tujuan rangkap: menempatkan “teori umum masyarakat” antara filsafat dan ilmu sosial dan mendirikan lagi pergeseran antara “teori yang besar” dan “penelitian empiris”. Model “rekonstruksi rasional” mewakili jelujur pokok dari penelitian mengenai “struktur” dari kehidupan dunia (“budaya”, “masyarakat”, dan “kepribadian”) serta “fungsi‐fungsinya” masing‐masing (reproduksi kultural, integrasi sosial, dan sosialisasi). Untuk itu, dialektika antara “perwakilan simbolis” dari “struktur yang membawahi semua kehidupan dunia” (“saling hubungan internal”) dan “reproduksi material” dari sistem‐sistem sosial yang kompleks harus dipertimbangkan. Model ini mendapatkan penggunaannya, di atas segala‐galanya, dalam “teori ekolusi sosial”, mulai dari rekonstruksi syarat‐syarat yang diperlukan untuk phylogeny bentuk‐bentuk kehidupan sosio‐kultural (“hominisasi”) sampai satu analisa tentang perkembangan “formasi‐formasi sosial”, yang terbagi atas primitif, tradisional, modern, dan formasi‐formasi dewasa ini. Kedua, ini adalah usaha untuk memberikan penjelasan metodologis mengenai “penjelasan tentang dinamika” dari “proses sejarah”. Dalam karya The Structural Transformation of the Public Sphere, Habermas berpendapat bahwa sebelum abad ke‐18, kebudayaan Eropa didominasi oleh budaya “perwakilan”, di mana satu partai yang berusaha berdominasi. Budaya “perwakilan” adalah berhubungan dengan tingkat feodal dari perkembangan, yang menurut teori Marxis, tingkat perkembangan selanjutnya ditandai dengan munculnya kapitalisme dengan ciri keterbukaan (lingkungan masyarakat). Dalam budaya yang bercirikan keterbukaan terdapat rongga di luar bidang yang diawasi negara, di mana pribadi‐pribadi dapat bertukar pikiran. Berbeda dengan budaya “perwakilan” di mana hanya satu partai yang
XXI — Pasca-Marxisme | 363
aktif sedangkan yang lainnya pasif, maka budaya keterbukaan mempunyai ciri ada kebebasan dialog antar pribadi‐pribadi, baik lewat percakapan, lewat percakapan atau tukar pikiran dalam media penerbitan. Dalam karyanya yang paling terkenal, Theory of Communicative Action—Teori Aksi Komunikatif, 1981, Habermas mengemukakan kritik mengenai proses modernisasi, yang dipandangnya sebagai pengarahan paksaan yang tidak luwes melalui rasionalisasi ekonomi dan administrasi. Habermas memaparkan tentang kehidupan sehari‐hari yang disusupi oleh sistem‐sistem formal yang sejajar dengan perkembangan negara sejahtera, kapitalisme korporasi, dan konsumsi massa. Kecenderungan‐ kecenderungan yang dipaksakan ini merasionalisasi kehidupan umum. Terjadi pencabutan hak warga negara karena partai‐partai politik dan grup‐grup yang berkepentingan menjadi dirasionalisasi dan demokrasi perwakilan menggantikan demokrasi partisipatoris. Akibatnya, batas‐batas antara perseorangan dan masyarakat, antara sistem dan dunia kehidupan menjadi rusak. Kehidupan demokratis dari masyarakat tak bisa berkembang di mana masalah‐masalah umum yang penting tak bisa didiskusikan oleh warga negara. Situasi yang ideal membutuhkan para pengikut yang mempunyai hak bicara sama, persamaan sosial, dan ucapan mereka tidak dikacaukan oleh ideologi atau kesalahan‐ kesalahan lainnya. Dalam hal ini, konsensus tentang teori kebenaran, Habermas bertahan bahwa kebenaran adalah harus disetujui bersama dalam syarat situasi pembicaraan yang ideal. Habermas optimis tentang kemungkinan hidupnya kembali lingkungan umum (public sphere). Ia percaya bahwa ada harapan untuk masa depan di mana demokrasi perwakilan bersandar pada negara‐ bangsa akan digantikan oleh demokrasi deliberatif yang bersandar pada organisme politik berdasarkan hak‐hak sama dan kewajiban‐kewajiban sama dari warga negara. Dalam sistem demokrasi langsung yang demikian, lingkungan publik para aktivis diperlukan untuk memperdebatkan masalah‐masalah penting masyarakat sebagaimana halnya mekanisme untuk diskusi yang berpengaruh pada proses pengambilan keputusan. Teori Habermas, Rekonstruktif dan Offenlichkeit (Keterbukaan) diumumkan tahun 1984. Semenjak itu, penganut pandangan Pasca‐
364 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Marxisme yang menganggap “Marxisme sudah sekarat” giat menyebarkan gagasan ini di Barat. Tahun 1987, Gorbacyov menerbitkan karya berjudul Pyeryestroika I Novoye Mishlyeniye—Rekonstruksi dan Pemikiran Baru.299 Memaparkan jalan yang harus ditempuh Uni Sovyet, yaitu mewujudkan gagasan Pyeryestroika dan Glaznoscy—Rekonstruksi dan Keterbukaan. Rekonstruksi dan Keterbukaan yang dilancarkan di bawah pimpinan Gorbacyov merupakan langkah menentukan untuk lahirnya putusan Kongres XXVIII PKUS 1990 yang mencabut kedudukan memimpin diktatur proletariat dari Konstitusi Negara URSS. Maka bendera merah berpalu‐arit dikerek turun dari puncak Istana Kremlin. URSS yang dibangun di bawah pimpinan Lenin dan sudah berjaya selama tujuh dasawarsa menjadi berantakan, lenyap dari peta politik dunia. Para penganut pasca‐Marxisme bukanlah pembela Marxisme. Mereka menyatakan dan berpendapat mau “menjernihkan Marxisme”, “mengungguli Marxisme ortodoks”, “melengkapi Marxisme”, “menampilkan Neo‐Marxisme”, “teori tradisional Marxis tidak lagi memadai untuk memecahkan masalah‐masalah perkembangan masyarakat kapitalis yang dahsyat dan tak terduga di abad XX”, ”terdapat anti‐humanisme dalam teori Marxis”, ”mengkritik kapitalisme dan sosialisme Sovyet”, “menggunakan pandangan‐pandangan sosiologi anti‐positivis, psikoanalisa, filsafat eksistensialisme”, “berpaling pada filsafat kritis Kant dan pengikutnya dalam idealisme Jerman, terutama filsafat Hegel”, ”menggunakan pandangan‐ pandangan sosiologi anti‐positivis, psikoanalisa, filsafat existensialisme”, ”dibimbing oleh karya‐karya Jurgen Habermas mengenai rasio komunikatif, intersubjektivitas bahasa”, “adalah Marxis tanpa menerima seluruh ajaran teori sejarah dan ekonomi Marx”, ”membangun gagasan‐gagasan mereka atas dasar ajaran Marx mengenai ‘alienasi’”, “menghindar dari analisa materialis yang sempurna dan berpaling mengubah gerakan Marxis menjadi bentuk Freudo‐Marxis”, “kaum Marxis‐kultural dan kalangan Mazhab Frankfurt membantu usaha mengubah Marxisme menjadi Marxisme‐ Freudo”, “Marxismenya Foucault, Derrida, dan Derleuze adalah anti‐ 299
Karya M.S. Gorbacyov bisa dibaca di Pyeryestroika I Novoye Mishlyeniye— Rekonstruksi dan Pemikiran Baru, Izdatyelstvo Politicyeskoi Lityeraturhi (Penerbit Literatur Politik), Moskwa. XXI — Pasca-Marxisme | 365
dialektis”, “menggeser dialektika menjadi ‘pertentangan’“, “gagasan‐ gagasan mereka atas dasar ajaran Marx mengenai ‘alienasi’”, “menghindar dari analisa materialis yang sempurna dan berpaling pada agama, moralitas, serta estetika”, “sibuk dengan usaha mencuci ‘gagasan‐gagasan dialektis’ Marx yang dianggap utopi”, “mereka bergerak membelakangi Marxisme, menjadi berpendirian anti‐borjuis militan yang terlepas dari pemahaman ekonomi Marxis”, ”menampilkan materialisme aleatoris”, “memisahkan kebenaran dari pengetahuan”, ”menampilkan materialisme‐demokratis, dan menolak untuk mengakui adanya kebenaran”. Semuanya ini menunjukkan bahwa kaum penganut pasca‐ Marxisme pada intinya menegasi materialisme dialektis, dan menegasi diktatur proletariat ajaran Marx yang ilmiah untuk pembangunan sosialisme. Dalam praktek, tidak ada gagasan kaum pasca‐Marxisme yang terwujud menjadi kenyataan. Sebaliknya, berkat sangat tangguh, Deng Xiaoping memimpin pembangunan sosialisme berciri Tiongkok, dengan menjunjung tinggi materialisme dialektis, tak henti‐hentinya mengajarkan harus bertolak dari kenyataan, segala‐galanya bertolak dari kenyataan, harus menari kebenaran dari kenyataan. Yang paling penting adalah menjunjung tinggi dan setia pada Empat Prinsip Dasar, yaitu menempuh jalan sosialis, menjunjung diktatur proletariat, di bawah pimpinan Partai Komunis, dan menjunjung ideologi Marxisme–Leninisme–Pikiran Mao Zedong. Maka realisasi Marxisme dalam pembangunan sosialisme berjaya di Tiongkok, mengubah negeri miskin dan terbelakang di pertengahan abad ke‐20 telah menjadi negara terbesar kedua dunia di bidang ekonomi pada awal abad ke‐21.
366 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
XXII Marxisme Bukannya Punah: Berkembang Maju dengan Teori Deng Xiaoping MENGUBAH dunia! Itulah tujuan manusia berpikir ilmiah. Dunia yang dimaksud adalah segala‐galanya: alam raya sampai masyarakat. Masyarakat menjadi sasaran utama, karena langsung menyangkut kehidupan manusia. Demi mengubah dunia, “Ada hantu berkeliaran di Eropa—hantu komunisme.” Dimulai dengan kalimat ini, Manifesto Partai Komunis diterbitkan oleh Marx dan Engels pada tahun 1848. Manifesto ditutup dengan rangkaian kalimat: “Kaum komunis tidak sudi menyembunyikan pandangan‐pandangan dan maksud‐maksud mereka. Mereka menyatakan dengan terang‐terangan, bahwa tujuannya akan dapat tercapai hanya melalui penggulingan dengan kekerasan semua sistem masyarakat yang ada sampai sekarang ini. Biarlah kelas‐kelas yang berkuasa gemetar di hadapan revolusi komunis. Kaum proletar tidak akan kehilangan apa pun kecuali belenggu mereka. Mereka punya satu dunia untuk dimenangkan. Kaum Proletar Semua Negeri, Bersatulah!”300 Manifesto itulah yang menjadi program dasar Marxisme. Semenjak itu, Marxisme menjadi senjata ilmiah bagi klas pekerja berjuang demi perubahan. Perubahan yang digagas adalah melenyapkan penghisapan manusia atas manusia. Membangun masyarakat baru berkeadilan sosial. Ini berarti menggulingkan kekuasaan borjuasi. Jelas‐jemelas, klas borjuis tak rela digulingkan. 300
Karl Marx dan Friedrich Engels, Manifesto Partai Komunis, Ultimus, 2015, h.27, 72—73. XXII — Marxisme Bukannya Punah | 367
Karena itu, semenjak pertengahan abad ke‐19, borjuasi mengerahkan pembasmian atas kaum komunis dengan segala kekejaman dan kekejian. “Dinding Komunar” di makam Père Lachaise, Paris, menjadi saksi kebiadaban borjuasi membasmi kaum komunar Paris di tahun 1871. Dalam usaha membasmi kaum komunis, sejarah mencatat kekejaman fasis Jerman dan Jepang dalam Perang Dunia II. Korban‐korban berguguran selama Perang Dingin di paro kedua abad ke‐20. Melebihi jumlah korban malapetaka sebelumnya, melebihi korban bom atom menimpa Hiroshima, tak terhitung jumlah anggota dan kader Partai Komunis Indonesia serta manusia tak berdosa dibantai oleh rezim orba Soeharto. Nusantara dipenuhi makam tanpa nisan. Penjara‐penjara penuh sesak di semua pulau. Pulau Buru pun menjadi saksi abadi. Inilah bukti sejarah tentang kebiadaban borjuasi dalam usaha membasmi kaum komunis. Sempat sepertiga abad berkuasa, rezim orba Soeharto menepuk dada “sudah berjasa” menggulingkan Bung Karno dan membasmi komunisme di Indonesia. Dasawarsa demi dasawarsa, perjuangan dan revolusi‐revolusi terjadi di banyak negeri. Borjuasi tak rela digulingkan. Segala usaha ditempuh untuk melenyapkan komunisme. Puncaknya adalah Perang Dingin seusai Perang Dunia II. Inilah realisasi doktrin Truman, the policy of containment. Bukan hanya negeri‐negeri sosialis yang menjadi sasaran, semua partai komunis di lima benua disasar. Akhir 1991 URSS hancur berantakan. “Perang Dingin sudah usai. Komunisme sudah mampus. Dan kita menang!” demikian dideklarasikan dalam pidato kenegaraan Presiden Amerika G.H.W. Bush pada awal tahun 1992. Para sarjana tokoh‐tokoh terkemuka pembela kapitalisme bergendang paha. Francis Fukuyama tampil dengan karya The End of History and The Last Man, dan Samuel P. Huntington dengan karya The Clash of Civilizations and The Remaking of World Order. Keduanya bersenandung, bersorak‐sorai atas robohnya Tembok Berlin yang disusul dengan rontoknya Uni Sovyet dan berantakannya negara‐negara sosialis Eropa Tengah dan Timur. Dinyatakannya, liberalisme sudah mengungguli Marxisme. Fukuyama menulis, “sosialisme Marxis–Leninis adalah rintangan yang serius bagi penciptaan kemakmuran dan peradaban teknologi modern, tampak bagai pengetahuan umum pada dasawarsa terakhir
368 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
abad ke‐21”.301 Huntington menulis, “Ideologi komunis menarik bagi rakyat seluruh dunia pada tahun 1950 dan 1960‐an ketika ia dikaitkan pada sukses‐ sukses ekonomi dan kejayaan militer Uni Sovyet. Daya tariknya itu telah menguap ketika ekonomi Sovyet macet dan tak mampu mempertahankan kekuatan militer Sovyet.”302 Tidak sedikit yang menulis buku menyatakan Marxisme sudah bangkrut, sudah punah. Dari awal sampai akhir abad ke‐20, kejayaan Marxisme telah didemonstrasikan oleh menangnya Revolusi Oktober di bawah pimpinan Lenin dan jayanya Uni Republik‐republik Sovyet Sosialis (URSS) sebagai negara diktatur proletariat selama tujuh dasawarsa. Dari menggulingkan kekuasaan Tsar, membangun ekonomi berdasarkan Marxisme–Leninisme, mengalahkan serangan militer fasis Jerman dalam Perang Dunia II, melaksanakan pembangunan ekonomi dengan rencana‐rencana lima tahun, sampai menjadi negara adidaya hingga penghujung abad ke‐20. Kehancuran URSS terjadi karena dicampakkannya ajaran fundamental Marxisme, yaitu kepemimpinan partai atas negara, dicampakkannya diktatur proletariat dan prinsip organisasi partai sentralisme demokratis. Kongres XXVIII PKUS 1990 di bawah pimpinan M.S. Gorbacyov mencampakkan ajaran diktatur proletariat, melepaskan kepemimpinan partai atas negara.303 URSS lenyap dari peta politik dunia. Proses pelenyapan ini dimulai dengan N.S. Khrusycyov mengutuk kultus individu Stalin dengan laporan rahasianya dalam Kongres XX PKUS tahun 1956. Kaum Trotskis yang anti‐Stalin dan kaum sosial demokrat yang anti diktatur proletariat bergandengan tangan satu sama lain mendukung Perang Dingin yang digalakkan Amerika Serikat, memusuhi URSS. Perang Dingin digalakkan AS dalam realisasi the policy of containment, demi membasmi komunisme sejagat. Mulai dari menggerakkan Plan Marshall, pembentukan pakta‐pakta militer NATO, 301
Francis Fukuyama, The End of History and The Last Man, Avon Book, Inc., New York, Oktober 1998, h.98. 302 Samuel P. Huntington, The Clash of Civilisations and the Remaking of World Order, Toughstone Books, London, New York, Sydney, Tokyo, Toronto, Singapore, 1998, h.92. 303 KPSS (PKUS), Matyerialhi XXVIII Siyezda Kommunisticyekoi Partii Sovyetskovo Soyuza (Materi Kongres PKUS XXVIII), Politizdat, Moskwa, 1990. h.94—95. XXII — Marxisme Bukannya Punah | 369
SEATO, CENTO, ANZUS, dan lain‐lain. Dikobarkan tiga tahun Perang Korea, tiga belas tahun Perang Vietnam dengan pengerahan seperempat juta pasukan. Dikerahkan pusat‐pusat radio propaganda anti‐ komunisme: Radio Free Europe, Radio Swoboda, Radio Free Asia. Digalakkan operasi‐operasi rahasia CIA. Dikobarkan kampanye perlombaan persenjataan. Digelorakannya gerakan mewujudkan perubahan damai di semua negara sosialis. Gerakan ini bermuara pada robohnya Tembok Berlin, hancur berantakannya Uni Sovyet dan negara‐ negara sosialis Eropa Timur. Gerakan ini menjalar sampai ke Asia dengan berpuncak pada terjadinya Peristiwa Tian An Men yang bertujuan merobohkan Republik Rakyat Tiongkok. Namun apa yang dikatakan “gerakan demokratis”304 itu, yang menjadi berlumuran darah, tak berhasil menggoyahkan Republik Rakyat Tiongkok. Apalagi melenyapkan Marxisme dari bumi Tiongkok. Pengalaman praktek revolusioner Rakyat Tiongkok di bawah pimpinan PKT dengan Ketua Mao Zedong telah mengembangkan Marxisme dengan Pikiran Mao Zedong. Dalam Kongres VII PKT, tahun 1945, Liu Shaoqi menampilkan Pikiran Mao Zedong sebagai ideologi pembimbing partai di samping Marxisme–Leninisme. Dinyatakan, “Program Umum Konstitusi Partai menyatakan bahwa Teori Mao Zedong (Pikiran Mao Zedong) mengenai Revolusi Tiongkok akan membimbing semua pekerjaan partai kita. Konstitusi itu sendiri menyatakan bahwa adalah tugas bagi setiap anggota partai untuk berusaha memahami dasar‐dasar Marxisme– Leninisme dan Teori Mao Zedong mengenai Revolusi Tiongkok.”305 Berkat 304
Atas nama Gerakan Demokrasi dan Revolusi Warna di mana biasanya operasioperasi kerja mereka melalui agen-agen intelijen seperti via CIA dan peran LSM skala internasional yakni National Endowment for Democracy (NED), Freedom House, Albert Einstein Institute, International Republic Institute, dan LSM “seribu proyek” lainnya milik Pentagon yang dibiayai Kongres AS hingga jutaan dolar per tahun serta dari Uni Eropa misalkan saja Balkan Trust for Democracy, Yayasan Anak dan Remaja Balkan, dan Friedrich Nauman-Stiftung Jerman, bekerja sama dengan LSM-LSM lokal yang pendanaannya amat tergantung dari yayasan swasta seperti Ford, Rockefeller, McArthur, Tides, dsb. Operasi kerja mereka di Jerman Barat 17 Juni 1953, Hongaria tahun 1953, Musim Semi Praha di Cekoslowakia tahun 1968, Lapangan Tiananmen Tiongkok tahun 1989, Cekoslowakia tahun 1989, Singing Revolution tahun 1987—1992 di Baltik. Operasi ini bukan hanya dilaksanakan di negara-negara sosialis tetapi juga di beberapa yang tidak mau tunduk atau komprador mereka yang sudah tidak dianggap efektif lagi. 305 Liu Shaoqi, On The Party, fifth edition, Foreign Languages Press, Peking, 1954, 370 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
bimbingan ideologi Pikiran Mao Zedong, Revolusi Tiongkok mencapai kemenangan dengan berdirinya Republik Rakyat Tiongkok. Perjuangan revolusioner rakyat Tiongkok dalam menerapkan Marxisme penuh lika‐liku, kemenangan demi kemenangan di sela kesulitan dan kegagalan. Revolusi Besar Kebudayaan Proletar (RBKP) selama tahun 1966 sampai 1976 adalah salah satu puncak kesalahan yang bersejarah. Sidang Pleno VI CC PKT XI pada 27 Juni 1981 mengesahkan Resolusi tentang Beberapa Masalah dalam Sejarah Partai Sejak Berdirinya Republik Rakyat Tiongkok. Resolusi secara analitis merumuskan penilaian tentang Revolusi Besar Kebudayaan Proletar. Sepuluh tahun RBKP telah menggelorakan Tiongkok, menggoncangkan dunia. Demikian pentingnya RBKP ini, hingga ada yang menilai, bahwa RBKP adalah puncak tertinggi dari pengembangan Marxisme. Sejak semula, pimpinan PKI pun menyambut dan mendukung serta menilai tinggi arti RBKP. Dalam Pesan Politbiro CC PKI pada 23 Mei 1967 dirumuskan “sukses‐sukses besar RBKP Tiongkok adalah peristiwa terbesar internasional yang mempunyai arti bersejarah yang besar.”306 Mengenai RBKP, Resolusi tentang Beberapa Masalah dalam Sejarah Partai Sejak Berdirinya Republik Rakyat Tiongkok menyatakan bahwa “Sejarah ‘Revolusi Besar Kebudayaan’ telah membuktikan bahwa tesis pokok ‘Revolusi Besar Kebudayaan’ yang dibangkitkan oleh Mao Zedong, tidak sesuai dengan Marxisme–Leninisme dan juga tidak sesuai dengan keadaan konkret Tiongkok. Tesis ini sama sekali salah menilai situasi klas di negeri kita pada waktu itu dan keadaan politik partai dan negara.” Dalam resolusi tersebut juga dikatakan bahwa, “RBKP dikatakan perjuangan melawan garis revisionis atau jalan kapitalis. Argumen demikian itu tidak mempunyai dasar kenyataan sama sekali. Lagi pula dalam serentetan masalah penting teori dan politik telah mencampuradukkan yang benar dan yang salah. Banyak hal yang dikritik sebagai revisionis atau kapitalis dalam RBKP, sebenarnya justru prinsip‐prinsip Marxis dan sosialis, di antaranya banyak yang dikemukakan dan disokong sendiri oleh Kawan Mao Zedong. RBKP telah menegasi sejumlah besar pedoman dan politik‐politik tepat serta h.30, Report on the revision of the Party Constitution delivered by Liu Shao-chi in May 1945 to the Seventh Congress of the Communist Party of China. 306 Delegasi CC PKI, Lima Dokumen Penting Politbiro CC PKI, h.230—231. XXII — Marxisme Bukannya Punah | 371
hasil‐hasil selama 17 tahun sejak berdirinya Republik Rakyat Tiongkok, dalam kenyataannya pada derajat tertentu juga telah menegasi pekerjaan Comite Central Partai dan Pemerintah Rakyat termasuk pekerjaan Kawan Mao Zedong sendiri, dan telah menegasi perjuangan luar biasa berat dan sulit dari Rakyat berbagai bangsa di seluruh negeri dalam pembangunan sosialis.”307 Sesudah melewati pahit getir dengan pengorbanan yang besar sepuluh tahun RBKP, mulai tahun 1978 di bawah pimpinan Deng Xiaoping dilangsungkan reformasi dan politik pintu terbuka. Berlangsunglah pembenahan partai dan negara, meninggalkan semboyan RBKP, perjuangan klas sebagai poros digantikan dengan, pembangunan ekonomi sebagai tugas utama, melaksanakan pembangunan empat modernisasi, membangun sosialisme berciri Tiongkok. Dalam pidato peringatan ulang tahun ke‐80 PKT, Jiang Zemin mengemukakan, “Di bawah pimpinan kolektif CC Partai generasi pertama dan kedua, Kawan Mao Zedong dan Deng Xiaoping sebagai intinya, partai kita dengan teguh memadukan prinsip‐prinsip dasar Marxisme–Leninisme dengan kenyataan Tiongkok. Hasilnya, terbentuklah Pikiran Mao Zedong dan Teori Deng Xiaoping. Kedua teori ini adalah Marxisme Tiongkok yang mencakup prinsip‐prinsip dasar Marxisme–Leninisme dan filsafat bangsa Tiongkok serta pengalaman praktek kaum komunis Tiongkok. Teori Deng Xiaoping adalah kelanjutan terbaik dan perkembangan yang kreatif dari Pikiran Mao Zedong dalam syarat‐syarat sejarah baru.”308 Ada 16 unsur Teori Deng Xiaoping, yaitu: 1. teori garis ideologi pembangunan sosialisme; 2. teori tentang hakikat dan garis perkembangan sosialisme; 3. tentang tingkat‐tingkat perkembangan sosialisme; 4. tentang Empat Prinsip Dasar; 5. teori strategi perkembangan pembangunan sosialisme; 307
CC PKT, Resolusi tentang Beberapa Masalah dalam Sejarah Partai Sejak Berdirinya Republik Rakyat Tiongkok, keputusan sidang pleno ke-6 CC XI PKT, 27 Juni 1981. 308 Jiang Zemin, Jiang Zemin on the “Three Represents”, Foreign Languages Press, Beijing, second printing, 2003, h.180—181. 372 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
6. teori tenaga penggerak perkembangan sosialisme; 7. teori politik terbuka dari negara sosialis terhadap dunia luar; 8. tentang reformasi sistem ekonomi, tentang perencanaan dan pasar, tak ada kontradiksi dasar antara sosialisme dan ekonomi pasar; 9. teori reformasi sistem politik sosialisme; 10. teori tentang peradaban sosialis; 11. teori tentang jaminan bagi politik pembangunan sosialisme; yaitu menekankan pentingnya Empat Prinsip Dasar; 12. teori strategi diplomasi negara melawan hegemonisme; 13. teori tentang penyatuan negara, pedoman Satu Negara Dua Sistem; 14. teori tentang kekuatan sandaran bagi usaha sosialisme; 15. teori tentang pembangunan tentara negara sosialis; dan 16. teori tentang inti pimpinan usaha sosialisme.309 Dari negeri miskin dan terbelakang pada pertengahan abad ke‐ 20, Tiongkok dengan penduduk 1,3 miliar jiwa, seperlima penduduk dunia, berubah menjadi negara terbesar kedua di bidang ekonomi, mengungguli Jepang. 600 juta rakyat dibebaskan dari kemiskinan. Berhasil mengorbitkan pesawat ruang angkasa permanen Istana Langit, mengorbitkan pesawat angkasa luar berawak satu sampai tiga orang, termasuk awak pesawat wanita, berhasil mengorbitkan pesawat Yu Du (Kelinci Giok) penjelajah rembulan, menghasilkan kereta api tercepat dengan kecepatan lebih dari 300 km per jam, menghasilkan komputer termodern Bima Sakti dengan kecepatan operasi tertinggi di dunia, memiliki cadangan valuta asing lebih dari tiga triliun dolar AS, memainkan peranan lebih penting dalam masalah moneter internasional, termasuk berinisiatif mendirikan Bank Investasi untuk Infrastruktur Asia Pasifik, mata uang RMB berkembang ke arah jadi convertible. Tiongkok memainkan peranan kian besar di bidang internasional, termasuk negara pengirim pasukan keamanan PBB yang terbesar 309
Zhong Gong Zhong Yang Dang Xiao, Kua Yue She Ji De Wei Da Qi Zhi—Panji Jaya Yang Melangkaui Zaman, Xuexi Jiang Zemin Tongzhi Zai Zhong Yang Dang Xiao De Jiang Hua, Zhong Gong Zhong Yang Dang Xiao Chu Ban She, Beijing, 1997, h.14—17. XXII — Marxisme Bukannya Punah | 373
jumlahnya, dengan sukses menggalang organisasi kerja sama Shanghai, organisasi kerja sama BRICS meliputi Brazil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan, memainkan peranan penting dalam organisasi kerja sama ekonomi APEC. Dunia kagum akan kemajuan pesat Tiongkok selama tiga dasawarsa terakhir. Deng Xiaoping memperhitungkan bahwa pada akhir abad ke‐20, GNP per kapita Tiongkok akan mencapai $1.000. Dan 50 tahun kemudian akan mencapai $4.000 dengan penduduk 1,5 miliar, berarti GNP Tiongkok akan mencapai 6 triliun dolar AS. Informasi yang bersumber dari IMF menyatakan bahwa akhir tahun 2014, GNP Tiongkok mencapai 17,6 triliun dolar AS, sedang Amerika mencapai 17,4 triliun dollar AS, yang berarti Tiongkok telah mengungguli Amerika dalam GNP. Dasawarsa pertama abad ke‐21 menunjukkan bahwa kenyataan sudah jauh melampaui ramalan ini. Kemajuan ini mendemonstrasikan sukses‐sukses dari pelaksanaan politik reformasi dan pintu terbuka, pelaksanaan pembangunan sosialisme berciri Tiongkok gagasan Deng Xiaoping. Inilah demonstrasi sukses‐sukses pelaksanaan Pikiran Mao Zedong dan Teori Deng Xiaoping, pelaksanaan Marxisme–Leninisme sesuai dengan kondisi konkret Tiongkok. Sesungguhnya, pembangunan sosialisme berciri Tiongkok dengan menempuh reformasi dan politik pintu terbuka adalah sehaluan dengan strategi Lenin memenangkan sosialisme lewat koeksistensi dan perlombaan damai dengan kapitalisme. Sejak semula, sesudah kemenangan Revolusi Oktober, Lenin yakin akan keunggulan sosialisme, berkoeksistensi dan berlomba damai dengan kapitalisme. Lenin dengan berani membuka pintu, bekerja sama dengan negara kapitalis dan dengan perusahaan‐ perusahaan raksasa kapitalis. Bahkan Lenin membenarkan dijalankannya kapitalisme negara di bawah syarat diktatur proletariat.310 Tiongkok menempuh politik pintu terbuka, dengan inisiatif sendiri melepaskan diri dari isolasi, memasuki semua organisasi dan badan internasional yang ada. Sampai‐sampai Tiongkok berunding selama lima belas tahun untuk bisa masuk Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). 310
Lihat Lenin, O Gosudarstvyennom Kapitalizme—Gosudarstvyenni Kapitalizm V Period Pyeryekhoda K Sotsializmu, (Tentang Kapitalisme Negara—Kapitalisme Negara dalam Periode Peralihan Menuju Sosialisme), Gosudarsvyennoye Izdatyelstvo Politicyeskoi Lityeraturhi, Moskwa, 1957, h.215.
374 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Deng Xiaoping berkali‐kali mengemukakan bahwa Tiongkok menjadi terbelakang karena mengisolasi diri, karena tidak terbuka pada dunia luar. Karena itu dianjurkannya supaya melakukan Kaifang, menempuh politik pintu terbuka. Situasi sehabis Revolusi Besar Kebudayaan Proletar (RBKP) melahirkan banyak hal baru yang rumit. Marxisme–Leninisme–Pikiran Mao Zedong saja sudah tidak memadai untuk memecahkan soal‐soal yang dihadapi Tiongkok untuk merealisasi empat modernisasi. Dengan berpegang pada Marxisme–Leninisme dan Pikiran Mao Zedong, Deng Xiaoping tampil dengan pikiran dan gagasan‐gagasan baru. Marxisme bukanlah punah. Namun dijunjung tinggi oleh Deng Xiaoping dengan mengembangkannya sesuai dengan kondisi Tiongkok. Marxisme di‐ Tiongkokkan. Deng Xiaoping menampilkan gagasan pembangunan sosialisme berciri Tiongkok. Bermunculan suara menentang atau menyangsikan kebenaran pikiran‐pikiran Deng Xiaoping. Pikiran‐pikiran Deng Xiaoping divulgarkan. Berkumandang ungkapan‐ungkapan sinis seperti: “Teori Deng Xiaoping adalah teori kucing hitam kucing putih”, “Menjadi kaya itu adalah mulia.” Bukan hanya ungkapan yang benar dipelesetkan menjadi salah. Tetapi gagasan besar Deng Xiaoping, Kaige Kaifang, reform dan politik pintu terbuka ditafsirkan dan dinilai secara menyesatkan oleh Prof. Bao Yuching, seorang peneliti masalah‐masalah Tiongkok dari Amerika. Yaitu dikemukakan bahwa politik pintu terbuka akan membikin Tiongkok tergantung pada luar negeri di bidang moneter dan di bidang ilmu dan teknologi. Kenyataan membantah pandangan‐pandangan keliru ini. Yang terjadi justru sebaliknya. Teori Deng Xiaoping menampilkan serentetan gagasan yang meliputi ideologi, politik, dan teori yang belum ada selama ini dalam literatur Marxis. Teori Deng Xiaoping dapat dicatat dari berbagai pidato, uraian atau pembicaraannya dalam berbagai kesempatan. Yang diungkap oleh Teori Deng Xiaoping antara lain adalah masalah‐masalah berikut: 1. Masalah “dua apa saja” tak sesuai dengan Marxisme. Berakhirnya Revolusi Besar Kebudayaan Proletar (RBKP) merupakan titik balik dalam sejarah modern Tiongkok, sesudah berdirinya Republik Rakyat Tiongkok. Dalam RBKP, pujaan terhadap Mao Zedong sebagai
XXII — Marxisme Bukannya Punah | 375
pemimpin mencapai puncaknya. Sampai‐sampai muncul ungkapan “dua apa saja”. Yaitu “apa saja yang diucapkan Mao Zedong harus dilaksanakan”. Dengan demikian, ucapan Mao Zedong telah dijadikan ukuran kebenaran. Ini menimbulkan banyak kesalahan dalam menyimpulkan sesuatu, termasuk dalam menyimpulkan masalah sejarah. Deng Xiaoping menyatakan, “’dua apa saja’ tidak sesuai dengan Marxisme.... Ini adalah satu masalah teori yang penting, satu masalah apakah kita berpegang pada materialisme historis ... generasi demi generasi, kita harus menggunakan Pikiran Mao Zedong sebagai keseluruhan dalam membimbing partai kita, tentara dan rakyat kita maju demi usaha sosialisme di Tiongkok dan demi usaha gerakan komunis internasional.”311 2. Bebaskan pikiran, cari kebenaran dari kenyataan. Menjelang Sidang Pleno III CC PKT XI yang bersejarah, yaitu menghadapi pelaksanaan gagasan baru memindahkan titik berat pekerjaan partai dari Revolusi Besar Kebudayaan Proletar (RBKP) menjadi empat modernisasi. Desember 1978, Deng Xiaoping berpidato dengan judul: “Bebaskan pikiran, cari kebenaran dari kenyataan dan bersatu padu memandang masa depan”. 312 Sidang Pleno III CC PKT XI inilah yang merumuskan program melaksanakan pembangunan ekonomi sebagai tugas utama untuk empat modernisasi, mengganti semboyan “perjuangan klas sebagai poros” yang dikobarkan dalam RBKP. Deng Xiaoping dengan tangguh membela materialisme dialektis, mengajarkan bahwa “membangun sosialisme haruslah bersenjatakan materialisme dialektis dan materialisme historis Marxis, harus belajar filsafat Marxisme dan karya‐karya filsafat Mao Zedong; harus mempelajari situasi baru dengan menggunakan Pikiran Mao Zedong, harus mendukung dan mengembangkan Marxisme–Leninisme; harus membebaskan pikiran, mencari kebenaran dari kenyataan. Mencari kebenaran dari kenyataan adalah dasar dari pandangan dunia klas proletar, adalah dasar ideologi Marxisme.”313 311
Deng Xiaoping, Selected Works of Deng Xiaoping (1975—1982), People’s Publishing House, Beijing, 1983, h.51—52. 312 Deng Xiaoping, Deng Xiaoping Wen Xuan (1975—1982), Ren Min Chubanshe (Penerbit Rakyat), 1983, h.130—170. 313 Zhong Gong Zhongyang Dangxiao, Deng Xiaoping Zhexue Sixiang (Pikiran Filsafat Deng Xiaoping), Zhong Gong Zhongyang Dangxiao Zhexue Jiao Yan Bu Pian, Zhong Gong Zhong Yang Dang Xiao Chu Ban She, Beijing, 1995, h.29. 376 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Deng Xiaoping mengajarkan, segala‐galanya harus bertolak dari kenyataan, universalitas Marxisme harus dipadukan dengan kenyataan konkret, teori harus dipadukan dengan praktek, pembangunan modernisasi Tiongkok harus menempuh jalan sendiri bertolak dari kenyataan Tiongkok; tingkat permulaan dari sosialisme adalah titik tolak politik praktis kita. Ungkapan tingkat permulaan dari sosialisme belum ada dalam literatur Marxis selama ini. 3. Empat prinsip dasar. Di akhir tahun tujuh puluhan, di kala Perang Dingin kian bergelora, di Eropa Tengah dan Timur, terutama di Polandia, bergemuruh gerakan anti‐sosialisme, anti‐komunisme. Mulai muncul organisasi‐organisasi intelektual dan buruh yang menampilkan semboyan tuntutan “demokrasi” dan “kebebasan”. Sangat menonjol lahirnya gerakan buruh Solidaritas di Polandia dengan dukungan kalangan Katolik dan Amerika, yang pada puncak gerakannya menjadi menentang sistem sosialis, menggulingkan diktatur proletariat. Dalam pada itu berkembanglah gerakan “perubahan secara damai” di banyak negeri sosialis. Akhirnya menjalar sampai ke Tiongkok, hingga berpuncak dengan Peristiwa Tian An Men pada tahun 1989. Menghadapi gagasan raksasa membangun Tiongkok, tahun 1979, berpidato dalam Forum mengenai Prinsip‐prinsip Pekerjaan Teori Partai, Deng Xiaoping tampil dengan Empat Prinsip Dasar. Dikemukakannya, “Dalam membangun empat modernisasi di Tiongkok, di bidang ideologi dan politik haruslah: mendukung Empat Prinsip Dasar, yaitu: 1. harus menempuh jalan sosialis; 2. harus mempertahankan diktatur proletariat; 3. harus mendukung pimpinan Partai Komunis; dan 4. harus menjunjung Marxisme–Leninisme, Pikiran Mao Zedong. Semuanya tahu, Empat Prinsip Dasar ini bukanlah hal yang baru, tapi adalah sudah lama didukung oleh Partai kita.”314 Deng Xiaoping dalam semua pidato penting atau pembicaraan semenjak tahun 1978, berkali‐kali mengemukakan arti penting menjunjung Empat Prinsip Dasar. Seperti dalam keterangan mengenai komentar‐komentar tentang reformasi, mengenai reformasi untuk pengembangan tenaga produktif, pidatonya dalam Konferensi Nasional 314
Deng Xiaoping, op.cit., h.150—151. XXII — Marxisme Bukannya Punah | 377
PKT September 1985, keterangan mengenai kegunaan pasar bagi sosialisme, dalam pidato di sidang Dewan Harian Politbiro CC PKT Januari 1986, tentang melawan liberalisasi borjuis, dalam pembicaraan mengenai perencanaan dan pasar adalah untuk pengembangan tenaga produktif, mengenai pendidikan sejarah bagi pemuda, tentang hanya jalan sosialis bagi Tiongkok, tentang pembangunan sosialis di bawah pimpinan partai, tentang hukum dasar bagi Hongkong, dalam pembicaraan mengenai tidak boleh menolerir kekacauan, mengenai pimpinan kolektif pelaksana reformasi, tentang pelaksanaan keadaan darurat di Beijing menghadapi Peristiwa Tian An Men 9‐6‐1989, pidato di depan perwira‐perwira para panglima pasukan menghadapi keadaan darurat Beijing, pidato mengenai tugas utama generasi ketiga pimpinan CC PKT, dan lain‐lain.315 Dikemukakannya, “Generasi ketiga pimpinan CC Partai harus memenangkan kepercayaan rakyat, dengan demikian mereka akan bersatu di sekitar kita. Kita harus tanpa ragu‐ragu melawan liberalisasi borjuis dan setia pada Empat Prinsip Dasar. Mengenai hal ini, saya tidak pernah memberikan sedikit pun konsesi. Bisakah Tiongkok mencampakkan Empat Prinsip Dasar? Bisakah kita tidak menjalankan diktatur demokrasi rakyat? Ini adalah masalah penting yang prinsipil, yaitu apakah kita menjunjung diktatur demokrasi rakyat, Marxisme, sosialisme dan pimpinan Partai Komunis.”316 Deng Xiaoping juga memaparkan dalam pembicaraan‐ pembicaraan dengan berbagai pemimpin dunia, seperti pembicaraan dengan PM Robert Mugabe dari Zimbabwe; dengan Julius Kambare Nyerere, mantan Presiden Tanzania; dengan Presiden El Hadi Omar Bongo dari Republik Gabon; dengan Presiden Ali Hassan Mwinyi Republik Persatuan Tanzania; dengan Janos Kadar Sekjen Partai Buruh Sosialis Hongaria; dengan M.S. Gorbacyov, Sekjen PKUS, pada 16 Mei 1989. Demikian pula dalam pembicaraan 16 September 1989 dengan Prof. Tsung‐Dao Lee (Li Cheng‐dao), pemenang hadiah Nobel untuk fisika dari Universitas Columbia. Antara lain Deng Xiaoping mengemukakan, ”Belum lama berselang, kami mempunyai dua 315
Seluruh hasil karya Deng Xiaoping terdapat dalam Selected Works of Deng Xiaoping, Pilihan Karya Deng Xiaoping Jilid III, 1982—1992. 316 Ibid., h.291. 378 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Sekretaris Jenderal (yang dimaksud adalah Hu Yaobang dan Zhao Ziyang) yang tidak lama menduduki jabatannya. Itu bukanlah karena ia tidak memenuhi syarat ketika dipilih. Adalah tepat memilihnya waktu itu, tetapi kemudian ia berbuat salah yang bersangkutan dengan masalah fundamental, yaitu masalah sikap terhadap Empat Prinsip Dasar yang menyebabkannya tersandung dan jatuh. Dari empat prinsip itu, dua yang paling penting adalah harus menjunjung kepemimpinan partai dan harus menjunjung sosialisme. Berlawanan dengan empat prinsip itu adalah liberalisasi borjuis. Dalam beberapa tahun akhir‐akhir ini, saya dalam banyak kesempatan telah menekankan pentingnya menjunjung Empat Prinsip Dasar ini dan menentang liberalisasi borjuis. Namun mereka tidak melakukannya. Pada saat‐saat timbulnya kekacauan baru‐ baru ini, Zhao Ziyang ternyata terang‐terangan berpihak pada mereka yang menimbulkan kekacauan. Ia sesungguhnya mencoba memecah‐ belah partai.”317 Selanjutnya dikemukakan, “Kenyataan bahwa masalah korupsi sudah menjadi soal yang begitu serius adalah berhubungan erat dengan kegagalan mengatasi liberalisasi borjuis secara tegas. Kekacauan sudah melanda kita semua. Jika kita tidak menjunjung tinggi Empat Prinsip Dasar, kekacauan itu tidak dapat diakhiri.”318 Pada 24 Desember 1990, dalam pembicaraan dengan anggota‐ anggota pimpinan CC PKT, Deng Xiaoping menyatakan, “Sudah berkali‐kali saya kemukakan, bahwa stabilitas adalah hal yang sangat penting, dan bahwa kita tidak bisa membuang diktatur demokrasi rakyat. Jika sejumlah orang mempraktekkan liberalisasi borjuis, dan menciptakan kekacauan dengan menuntut hak‐hak asasi manusia dan demokrasi, kita akan mencegahnya. Marx pernah mengatakan bahwa teori perjuangan klas bukanlah hasil penemuannya. Inti dari teorinya adalah diktatur proletariat. Untuk waktu yang sangat lama, proletariat sebagai satu klas yang baru muncul, adalah lebih lemah dari borjuasi. Jika ia akan merebut kekuasaan politik dan membangun sosialisme, ia harus menjalankan kediktaturan untuk berlawan terhadap serangan borjuasi. Untuk mempertahankan jalan sosialis, kita harus menjunjung diktatur proletariat, yang kita sebut diktatur demokrasi rakyat. Prinsip 317
Deng Xiaoping, Selected Works of Deng Xiaoping, Volume III (1982—1992), Foreign Languages Press, Beijing, 1994, h.314. 318 Ibid., h.315. XXII — Marxisme Bukannya Punah | 379
ini adalah sama pentingnya dengan tiga prinsip lainnya. Jadi, adalah penting untuk menjelaskan secara teori akan pentingnya menjunjung diktatur demokrasi rakyat.”319 Empat Prinsip Dasar ini merupakan salah satu unsur penting Teori Deng Xiaoping. Belum ada buku khusus memaparkan Teori Deng Xiaoping secara lengkap. Sesudah tiga dasawarsa Teori Deng Xiaoping dilaksanakan dalam wujud melaksanakan reformasi dan politik pintu terbuka, Tiongkok menjadi unggul di bidang moneter, memiliki cadangan valuta asing lebih dari tiga triliun dolar AS, dan mata uang Tiongkok RMB mengarah jadi convertible, maju tampil akan menjadi mata uang internasional. Tiongkok maju pesat di bidang ilmu dan teknologi, sampai mampu mengorbitkan pesawat ruang angkasa berawak serta pesawat ruang angkasa Istana Langit yang permanen. 4. Hakikat sosialisme, tugas utama sosialisme: mengembangkan tenaga produktif. Dengan berakhirnya RBKP, di Tiongkok berlangsung diskusi di kalangan kader PKT mengenai hakikat dan tugas utama sosialisme. Pemahaman yang tidak sama mengenai hakikat dan tugas utama sosialisme sangat jelas dari kenyataan‐kenyataan pemahaman di Uni Sovyet. Kongres XXII PKUS tahun 1961 di bawah pimpinan Khrusycyov menyatakan bahwa di Uni Sovyet sudah dibangun sosialisme, dan mulai membangun dasar‐dasar materiil dan teknik komunisme. Kongres ditutup dengan pidato Khrusycyov mengumandangkan semboyan: “Partai dengan khidmat menyatakan: generasi rakyat Sovyet sekarang ini akan hidup di bawah komunisme!”320 Kongres XXIII dan XXIV PKUS di bawah pimpinan Brezhnyev melanjutkan pelaksanaan program PKUS yang dirumuskan di bawah pimpinan Khrusycyov, yaitu membangun dasar‐dasar materiil dan teknik komunisme. Di bawah pimpinan Sekjen Chernyenko, di samping melanjutkan pelaksanaan program Khrusycyov, dinyatakan bahwa Uni Sovyet sedang membangun sosialisme yang sudah berkembang. Semua partai negara‐negara sosialis Eropa Tengah dan Timur, yaitu Partai Buruh Albania, Partai Pekerja Sosialis Hongaria, Partai 319 320
Ibid., h.351—352. N.S. Chrusjtjov, op.cit., h.66.
380 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Persatuan Sosialis Jerman Timur, Partai Komunis Rumania, Partai Komunis Bulgaria, Partai Komunis Cekoslowakia, dan Partai Pekerja Polandia, menyatakan melangsungkan pembangunan sosialisme di negara mereka masing‐masing. Partai Rakyat Revolusioner Mongolia, juga menyatakan membangun sosialisme. Demikian pula Vietnam bahkan menamakan negaranya Republik Sosialis Vietnam. Partai Pekerja Korea juga menyatakan membangun sosialisme di Korea dengan negara bernama Republik Rakyat Demokrasi Korea. Tahun 1987, M.S. Gorbacyov tampil dengan pemikiran barunya yang dipaparkan dalam karya Pyeryestroika I Novoye Mishlyeniye— Reformasi dan Pemikiran Baru, yaitu harus membangun sosialisme yang berkemanusiaan dan demokratis. Kongres XXVIII PKUS tahun 1990, yang melaksanakan Pemikiran Baru Gorbacyov demi “sosialisme yang berkemanusiaan dan demokratis” memutuskan mencampakkan ajaran diktatur proletariat, membuang prinsip organisasi partai sentralisme demokratis. Dengan demikian menjungkirbalikkan PKUS, dari partai yang memimpin negara diktatur proletariat, menjadi tak berdaya karena dicampakkannya ajaran diktatur proletariat dan dibuangnya prinsip organisasi partai sentralisme demokratis, hingga kepeloporan dan kepemimpinan partai menjadi lenyap. URSS berantakan, lenyap dari peta politik dunia. Negara sosialis pertama di dunia yang sudah berjaya selama tujuh dasawarsa menjadi lenyap. Sosialisme lenyap di Uni Sovyet. Berantakannya negara diktatur proletariat yang dibangun Lenin dengan kemenangan Revolusi Oktober 1917, mengetuk hati manusia untuk berpikir, di mana keunggulan dan keperkasaan sistem sosialis itu? Pada musim rontok tahun 1965, dalam rangka melawan revisionisme modern, yaitu mengkritik komunisme Khrusycyov, Mao Zedong dengan sajaknya “Tanya Jawab Sepasang Burung” secara halus dan tajam mengkritik “komunisme gulasy” yang dibangun Khrusycyov di Uni Sovyet.
XXII — Marxisme Bukannya Punah | 381
Tanya Jawab Sepasang Burung321 menurut irama Nian Nu Qiao Luas merentang sayap burung raksasa, Melayang terbang sembilan puluh ribu li, Mendengung gaung puting beliung. Langit biru dibelakangi, menatapi bumi, Mencermat jagat manusia penuh kota dan desa, Asap mesiu menjilat langit, Dentam meriam menghunjam alam, Pipit mencicit kekar gemetar di belukar, “Betapa celaka kacau balau! Ah, sudahlah, aku mau terbang melayang” “Boleh tanya, mau ke mana?” Pipit menjawab, “Ke istana bertata permata di bukit dewata, Kau tak tahu ada Persetujuan Tiga Negara,322 Ditandatangani di bawah sinar purnama musim rontok dua tahun lalu? Di sana hidangan lezat melimpah ruah, Ada sup gulasy323 panas” “Kau omong kosong! Lihatlah, dunia raya tengah berubah wajah!”324 Sebelum adanya sajak ini, redaksi Renmin Ribao dan majalah Hongqi mengeluarkan artikel berjudul “Tentang Komunisme Palsu Khrusycyov dan Pelajaran‐Pelajaran Sejarahnya bagi Dunia”. Artikel ini secara mendalam mengkritik kesalahan pemahaman tentang komunisme yang dianut PKUS di bawah pimpinan Khrusycyov. Kenyataan‐ kenyataan di Uni Sovyet menunjukkan bahwa hakikat sosialisme dan komunisme sungguh tidak dipahami. 321
Diambil dari Mao Zedong Shi Ci Quan Ji, Kumpulan Lengkap Sajak-Sajak Mao Zedong, Cheng Du Chu Ban She, Desember 1995, h.305—306. 322 Persetujuan 5 Agustus 1963 antara Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Sovyet mengenai larangan percobaan senjata nuklir. 323 Makanan tradisional Rusia sup kentang pakai daging sapi, melambangkan komunisme yang dibangun Khrusycyov. 324 Oktober 1964, N.S. Khrusycyov turun panggung digantikan L.I. Brezhnyev, Partai Konservatif dikalahkan Partai Buruh dalam pemilu Inggris, Tiongkok meledakkan bom nuklir yang pertama. 382 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Deng Xiaoping mempertanyakan dan memberi jawaban mengenai masalah pemahaman tentang sosialisme. “Apakah sosialisme dan apakah Marxisme itu? Mengenai hal ini tidak begitu jelas bagi kita di masa lampau. Yang paling penting bagi Marxisme adalah mengembangkan tenaga produktif. Kita mengatakan bahwa sosialisme adalah tingkat pertama dari komunisme dan pada tingkat yang sudah maju akan diberlakukan prinsip bekerja menurut kemampuan, menerima menurut kebutuhan. Ini menuntut tenaga produktif yang maju sekali dan kemakmuran materiil yang melimpah‐ruah. Oleh karena itu, tugas utama pada tingkat sosialisme adalah mengembangkan tenaga‐tenaga produktif. Pada akhirnya, keunggulan sistem sosialis ditunjukkan oleh lebih cepat dan lebih besarnya perkembangan tenaga produktif dibanding dengan di bawah sistem kapitalis. Karena ia berkembang, penghidupan material dan kultural rakyat akan meningkat terus. Salah satu kekurangan kita di masa lampau sesudah berdirinya Republik Rakyat Tiongkok adalah kita tidak memberikan perhatian yang penuh pada masalah pengembangan tenaga produktif. Sosialisme berarti melenyapkan kemiskinan. Pemiskinan itu bukanlah sosialisme, lebih‐lebih lagi bukanlah komunisme.”325 Berkali‐kali Deng Xiaoping mengungkapkan hakikat sosialisme dan tugas utama sosialisme, yaitu membebaskan dan mengembangkan tenaga produktif. Untuk mencapai tujuan ini dilangsungkan reform dan politik pintu terbuka, kaige kaifang. 5. Reformasi adalah membebaskan dan mengembangkan tenaga produktif. Reformasi adalah revolusi kedua Tiongkok. Deng Xiaoping menyatakan, “Prinsip dasar kita adalah, kita harus menempuh jalan sosialis, harus menjunjung diktatur demokrasi rakyat, menjunjung pimpinan Partai Komunis dan menjunjung Marxisme–Leninisme dan Pikiran Mao Zedong. Prinsip‐prinsip ini sudah dicantumkan dalam Konstitusi Tiongkok. Masalahnya adalah bagaimana melaksanakannya. Apakah kita akan menempuh politik yang tidak akan membantu kita untuk menghapuskan kemiskinan dan keterbelakangan, atau haruskah kita atas dasar empat prinsip dasar tadi memilih politik yang lebih baik yang memungkinkan kita dengan cepat mengembangkan tenaga‐tenaga 325
Deng Xiaoping, op.cit., h.73. XXII — Marxisme Bukannya Punah | 383
produktif? Putusan Sidang Pleno III CC XI adalah melancarkan reformasi yang berarti kita memilih politik yang lebih baik. Sebagaimana revolusi‐revolusi di masa lalu, reformasi adalah dimaksudkan untuk melenyapkan rintangan bagi perkembangan tenaga‐tenaga produktif dan mengangkat Tiongkok keluar dari kemiskinan dan keterbelakangan. Dalam arti yang demikianlah, reformasi bisa juga disebut perubahan revolusioner.”326 “Reformasi kami adalah satu eksperimen bukan hanya buat Tiongkok, tetapi juga bagi bagian lain dari dunia. Kami percaya eksperimen ini akan berhasil. Jika demikian, pengalaman kami akan berguna bagi usaha sosialisme dunia dan bagi negeri‐negeri yang sedang berkembang. Tentu saja, kami tidak bermaksud bahwa negeri‐ negeri lain harus menjiplak contoh kami. Prinsip kami ialah bahwa kami harus mengintegrasikan Marxisme dengan kenyataan Tiongkok dan kami menempuh jalan sendiri. Inilah apa yang kami sebut membangun sosialisme dengan ciri‐ciri Tiongkok.”327 6. Sosialisme berciri Tiongkok. Dengan Deng Xiaoping sebagai inti pimpinan Comite Central Partai, secara tepat menilai Kawan Mao Zedong, membela kedudukan historis Pikiran Mao Zedong. Ini terjadi pada saat yang mempunyai arti sangat penting menyangkut nasib partai dan negara menentukan jalan Tiongkok mewujudkan modernisasi sosialis. Semenjak tahun 50‐an, PKT sudah memulai usaha raksasa, menghadapi kesulitan sejarah, mengalami sukses‐sukses dan kegagalan‐kegagalan berulang kali sangat rumit. Dalam tahap sejarah yang sangat penting ini, Deng Xiaoping menggunakan prinsip‐prinsip dasar Marxisme sesuai dengan kondisi konkret Tiongkok dan keharusan zaman, mewarisi dan mengembangkan Pikiran Mao Zedong, mulai dengan berani membuka politik raksasa jalan baru pembangunan sosialisme dengan berani yang luar biasa menembus batas‐batas baru Marxisme di bidang teori, yaitu menampilkan teori pembangunan sosialisme berciri Tiongkok. Teori ini secara ilmiah telah menjawab masalah apakah sosialisme itu, dan bagaimana membangunnya, telah menjawab masalah pokok yang utama, yaitu tugas utama sosialisme adalah membebaskan dan 326 327
Ibid., h.134—135. Ibid., h.135.
384 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
mengembangkan tenaga produksi, melenyapkan penghisapan, mencegah polarisasi, untuk mencapai tujuan terakhir makmur bersama. Ini adalah teori pertama untuk membangun dan mengonsolidasi sosialisme. Dalam teori ini ditunjukkan bahwa pembangunan ekonomi adalah usaha utama, harus mendukung empat prinsip dasar, harus menjalankan reformasi dan politik pintu terbuka. Ini adalah garis umum partai pada tahap awal sosialisme. Inilah jalan yang tepat untuk mewujudkan modernisasi sosialis Tiongkok.328 7. Pasar dan sosialisme. Sementara orang yang mengaku telah belajar Marxisme, menganut pikiran bahwa “pasar adalah tempat lahir borjuasi.” Oleh karena itu, pasar dianggap asing bagi sosialisme. Karena Tiongkok menggunakan pasar di samping melakukan perekonomian berencana, maka disimpulkan, Tiongkok telah menjadi negeri kapitalis. Dalam karya klasik studi mengenai Perkembangan Kapitalisme di Rusia, Lenin menulis, “kapitalisme menghasilkan komoditi yang kian banyak dan berkembang. Tenaga kerja pun menjadi komoditi. Perkembangan kapitalisme memaksanya melahirkan pasar untuk peredaran komoditi yang kian melimpah. Bukan hanya pasar dalam negeri, bahkan sampai membutuhkan pasar luar negeri. Pasar adalah sesuatu yang objektif diperlukan dalam perkembangan ekonomi di bawah kapitalisme.” Di masa akhir hidupnya, Stalin ambil bagian dalam penyusunan buku pelajaran Ekonomi Politik Marxis. Untuk itu, ia menulis dalam buku Masalah‐Masalah Ekonomi Sosialisme di Uni Sovyet, bahwa dalam sosialisme yang dihasilkan adalah barang dagangan. Namun Stalin tidak mengembangkan tulisannya, bahwa barang dagangan harus diperedarkan, dan untuk peredaran barang dagangan mau tak mau dibutuhkan pasar. Adalah tidak mungkin adanya barang dagangan tanpa adanya pasar. Jadi, menurut Stalin, pasar adalah diperlukan dalam ekonomi barang dagangan.329 328
Jiang Zemin, Pidato pada Peringatan Seratus Tahun Mao Zedong, Jiang Zemin Wen Xuan, (Pilihan Karya Jiang Zemin), Jilid I, Ren Min Chubanshe (Penerbit Rakyat), Beijing, 2006, h.349. 329 Lihat J.Stalin, Economic Problems of Socialism in the USSR (Masalah-Masalah Ekonomi Sosialisme di Uni Sovyet), Foreign Languages Press, Peking, 1972, h.9–18 XXII — Marxisme Bukannya Punah | 385
Deng Xiaoping mempertanyakan masalah pasar sebagai berikut: “Kenapa sementara orang selalu mengatakan bahwa pasar adalah kapitalis dan hanya ekonomi berencana adalah sosialis? Sesungguhnya, kedua‐duanya adalah alat untuk pengembangan tenaga‐tenaga produk‐ tif. Selama ia mengabdi pada kepentingan ini, kita harus memperguna‐ kannya. Jika ia mengabdi sosialisme, ia adalah sosialis; jika mereka mengabdi kapitalisme mereka adalah kapitalis. Adalah tidak tepat jika mengatakan bahwa hanyalah ekonomi berencana adalah sosialis, karena ada departemen perencanaan di Jepang, dan juga ada departemen perencanaan di Amerika.... Dalam Kongres Nasional XIII Partai akan disampaikan laporan memaparkan teori sosialisme dan akan dijelaskan bahwa reformasi kita adalah bersifat sosialis. Di samping itu akan dikemukakan dengan jelas dari segi pandangan teori tentang penting‐ nya berpegang pada Empat Prinsip Dasar, untuk melawan liberalisasi borjuis, untuk melaksanakan reform dan politik pintu terbuka.”330 Kongres XIII secara sistematis memaparkan teori tentang tahap pertama sosialisme dan garis pokok partai pada tahap ini. Dinyatakan bahwa pemahaman yang tepat mengenai tingkat sejarah sekarang dari masyarakat Tiongkok mempunyai arti sangat penting untuk pembangunan sosialisme berciri Tiongkok, ia adalah dasar yang pokok atas dasar mana dirumuskan dan dilaksanakannya secara tepat garis dan politik‐politik partai. Kongres menetapkan “tiga langkah” strategi perkembangan ekonomi. Pertama, melipatduakan GNP tahun 1980 untuk memecahkan masalah kekurangan makanan dan pakaian; kedua, melipat‐empatkan GNP tahun 1980 pada akhir abad ini untuk mencapai tingkat hidup yang cukup baik bagi rakyat; dan ketiga, pada pokoknya menyelesaikan modernisasi bangsa, meningkatkan GNP per kapita agar mencapai taraf negeri‐negeri menengah maju dan memperbaiki tingkat hidup rakyat. Tugas utama yang dipaparkan dalam kongres adalah mempercepat dan memperdalam reformasi. Restrukturisasi ekonomi dituntut untuk dipusatkan pada mengubah mekanisme operasi perusahaan‐ perusahaan. 8. Tentang kesalahan Ketua Mao. Mengenai kesalahan Ketua Mao, Deng Xiaoping berpendapat, “Kawan 330
Deng Xiaoping, op.cit., h.203.
386 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Mao Zedong adalah seorang pemimpin besar, di bawah pimpinannyalah Revolusi Tiongkok mencapai kemenangan. Akan tetapi, malangnya, ia membuat kesalahan yang besar sekali, mengabaikan perkembangan tenaga produktif. Maksud saya, bukannya ia tidak mau mengem‐ bangkannya. Masalahnya ialah, tidak semua metode yang dipergunakan adalah tepat. Misalnya Maju Melompat Besar dan mendirikan Komune Rakyat tidak sesuai dengan hukum yang memimpin perkembangan ekonomi sosial. Prinsip pokok Marxisme adalah harus mengembangkan tenaga produktif. Tujuan terakhir kaum Marxis adalah mewujudkan komunisme, yang harus dibangun atas dasar tenaga produktif yang sudah berkembang tinggi. Sosialisme merupakan tahap pertama dari komunisme dan akan berlangsung dalam periode sejarah yang panjang. Tugas utama dalam periode sosialis adalah mengembangkan tenaga produktif dan secara berangsur‐angsur memperbaiki kehidupan material dan kultural rakyat. Pengalaman kami selama 20 tahun dari 1958 sampai 1978 mengajar kami, bahwa kemiskinan itu bukanlah sosialisme, bahwa sosialisme berarti melenyapkan kemiskinan. Jika tidak mengembangkan tenaga produktif dan meningkatkan taraf hidup Rakyat, tidaklah dapat dikatakan membangun sosialisme.”331 9. Ilmu dan teknologi adalah tenaga produktif yang utama. “Dunia sedang berubah, dan kita harus mengubah pikiran kita dan tindakan‐tindakan kita sesuai dengan itu. Di masa lampau kita menempuh politik pintu tertutup dan mengisolasi diri sendiri. Bagaimana itu bisa berguna bagi sosialisme? Roda sejarah berputar terus, tapi kita berhenti dan jadi terbelakang dibanding dengan orang lain. Marx mengatakan bahwa ilmu dan teknologi adalah bagian dari tenaga‐tenaga produktif. Kenyataan menunjukkan bahwa ia adalah benar. Menurut pendapat saya, ilmu dan teknologi adalah tenaga produktif yang utama. Bagi kita, tugas dasar adalah mempertahankan keyakinan dan prinsip‐prinsip sosialis, mengembangkan tenaga‐tenaga produktif dan meningkat taraf hidup rakyat. Untuk memenuhi tugas ini, kita harus membuka negeri kita pada dunia luar. Jika tidak, kita tak akan mampu mempertahankan sosialisme.”332 331 332
Ibid., h.122. Ibid., h.269. XXII — Marxisme Bukannya Punah | 387
10. Tanpa demokrasi, tak ada sosialisme. “Untuk melakukan empat modernisasi, kita harus mengembangkan demokrasi. Kita sudah mempropagandakan besar‐besaran, menjelaskan bahwa diktatur proletariat berarti demokrasi sosialis bagi rakyat, adalah demokrasi bagi kaum buruh, kaum tani, dan kaum intelektual serta pekerja lainnya, adalah demokrasi yang paling luas terdapat dalam sejarah. Di masa lampau, Tiongkok tidak cukup melaksanakan demokrasi, dan membuat kesalahan‐kesalahan. Lin Biao dan ‘Gerombolan Empat Orang’, sambil berkoar‐koar mengenai ‘kediktaturan yang menyeluruh’, mereka menjalankan kediktatoran fasis feodal atas rakyat. Kita sudah melenyapkan kediktatoran ini, kediktatoran yang tak mirip‐miripnya dengan diktatur proletariat, tapi justru adalah kebalikannya. Sekarang kita sudah mengoreksi kesalahan di masa lampau dan mengambil berbagai langkah untuk terus‐menerus mengembangkan demokrasi dalam partai dan dalam kalangan rakyat. Tanpa demokrasi tak mungkin ada sosialisme dan tak ada modernisasi sosialis. Tentu saja demokratisasi sebagaimana juga modernisasi, haruslah maju selangkah demi selangkah. Lebih maju berkembang sosialisme, lebih maju pula berkembang demokrasi. Ini tak usah disangsikan lagi. Akan tetapi perkembangan demokrasi sosialis tidaklah berarti bahwa kita mencampakkan diktatur proletariat menghadapi kekuatan‐ kekuatan yang memusuhi sosialisme.”333 11. Pedoman satu negara dua sistem, membebaskan Hongkong dan Makau, serta menyelesaikan masalah Taiwan. Semenjak tahun 1950, Pemerintah Tiongkok sudah mengajukan usul untuk penyatuan kembali Taiwan. Bulan Mei 1955, Perdana Menteri Zhou Enlai menyatakan bahwa “Rakyat Tiongkok ingin membebaskan Taiwan dengan jalan damai, jika syarat‐syaratnya sudah mengizinkan.” Pada bulan Mei 1960, mengenai pengembalian Taiwan ke tanah air, Ketua Mao menyatakan bahwa terkecuali masalah luar negeri yang masih diurus oleh pemerintah pusat, semua kekuasaan militer dan politik dan kekuasaan mengangkat para pejabat dapat diserahkan 333
Deng Xiaoping, Deng Xiaoping Wen Xuan, Jilid II, h.168.
388 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
kepada penguasa Taiwan. Inilah asal‐usul gagasan “satu negeri dua sistem”. Januari 1979, Deng Xiaoping mengedepankan gagasan “satu negeri dua sistem” dan menyatakan “begitu Taiwan kembali ke pangkuan tanah air, kita akan menghormati kenyataan‐kenyataan dan sistem yang ada di sana.” Pada 30 September 1981, Ye Jianying, Ketua Badan Pekerja Kongres Rakyat Nasional Tiongkok secara resmi mengajukan sembilan pasal usul untuk mewujudkan penyatuan tanah air secara damai. Dikemukakannya bahwa “sesudah Tiongkok disatukan, Taiwan bisa menjadi daerah administratif khusus, yang memiliki otonomi tingkat tinggi dan dapat mempertahankan angkatan bersenjatanya. Pemerintah pusat tak akan mencampuri masalah‐masalah setempat Taiwan. Sistem sosial dan ekonomi Taiwan sekarang ini akan tetap tidak berubah, cara hidup mereka tak akan berubah, dan hubungan‐hubungan ekonomi dan kebudayaannya dengan luar negeri tak akan berubah.” Ke dalam Konstitusi RRT ditambahkan satu pasal mengenai didirikannya sebuah daerah administratif khusus. Sidang V KRN tahun 1982 menetapkan basis legal untuk pelaksanaan “satu negeri dua sistem”. Pada 30 Januari 1995, Presiden Jiang Zemin menyampaikan pidato berjudul “Meneruskan Perjuangan Menyelesaikan Usaha Besar Penyatuan Tiongkok”. Dalam pidato ini dipaparkan gagasan “satu negeri dua sistem” dan diajukan delapan pasal usul untuk memperbaiki hubungan‐hubungan antar seberang selat dalam tingkat sekarang dan mendorong maju proses penyatuan Tiongkok secara damai. Gagasan ilmiah Deng Xiaoping “satu negeri dua sistem” ditampilkan sesuai dengan kenyataan Taiwan. Kedua‐duanya menjunjung kedaulatan negara Tiongkok dan sepenuhnya mempertimbangkan kondisi khusus Taiwan. Menurut gagasan satu negeri dua sistem, dua sistem akan dipraktekkan dalam satu negara berdaulat Republik Rakyat Tiongkok. Dalam perundingan dengan Perdana Menteri Margaret Thatcher, 24 September 1982, Deng Xiaoping mengemukakan, “Pendirian kami mengenai Hongkong adalah jelas. Ini meliputi tiga masalah besar. Satu adalah masalah kedaulatan. Yang lainnya adalah cara bagaimana Tiongkok akan memerintah Hongkong agar mempertahankan kemakmuran Hongkong sesudah tahun 1997. Yang lainnya lagi adalah
XXII — Marxisme Bukannya Punah | 389
kebutuhan bagi pemerintah Tiongkok dan Inggris melakukan perundingan yang tepat mengenai cara‐cara mencegah kekacauan‐ kekacauan besar di Hongkong dalam 15 tahun selama masa sekarang sampai tahun 1997. Mengenai masalah kedaulatan, Tiongkok tidak mempunyai rongga untuk bermanuver. Terus terang saja, masalah ini tidak terbuka lagi untuk diskusi. Waktunya sudah tiba untuk menyatakan bahwa tanpa ditawar‐tawar lagi adalah jelas Tiongkok akan mengambil kembali Hongkong dalam tahun 1997. Yang dimaksud adalah, Tiongkok akan mengambil tidak saja New Territories tapi juga Pulau Hongkong dan Kowloon.”334 Dalam pembicaraan dengan para tokoh industrialis dan perdagangan Hongkong, Juni 1984, Deng Xiaoping menyatakan, ”Pemerintah Tiongkok adalah teguh dalam pendirian, prinsip‐prinsip dan politik mengenai Hongkong. Kami sudah menyatakan dalam berbagai kesempatan, bahwa sesudah mengambil kembali kedaulatan atas Hongkong di tahun 1997, sistem sosial dan perekonomian Hongkong yang berlaku sekarang pada dasarnya tidak akan berubah, cara hidupnya dan statusnya sebagai pelabuhan bebas dan pusat perdagangan serta moneter internasional tidak akan berubah, dan hubungannya dengan negeri‐negeri serta daerah lainnya dapat diteruskan atau mendirikan hubungan ekonomi dengan negeri‐negeri dan daerah lainnya. Berulang kali sudah kami nyatakan, bahwa selain dari menempatkan pasukan di sana, Beijing tidak akan mengangkat pejabat buat pemerintah Daerah Administrasi Khusus Hongkong. Politik ini pun tidak akan berubah. Kami akan menempatkan pasukan di sana untuk membela keamanan nasional, bukan untuk mengintervensi masalah‐masalah internal Hongkong. Politik kami untuk Hongkong tidak akan berubah selama 50 tahun, ini kami tegaskan” 335 12. Tentang pengembangan Marxisme, pusat gerakan komunis internasional dan hubungan antar partai‐partai. Dalam pembicaraan dengan Perdana Menteri Jepang Yasuhiro Nakasone, 9 November 1986, Deng Xiaoping mengemukakan: 334 335
Deng Xiaoping, op.cit., h.23. Ibid, h.68.
390 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
“Marxisme harus dikembangkan. Kami tidak memandang Marxisme sebagai dogma: melainkan kami merumuskan prinsip‐prinsip kami sendiri. dengan memadukan Marxisme dengan kenyataan konkret di Tiongkok. Itulah sebabnya kami telah mencapai sukses‐sukses. Revolusi kami sudah mencapai kemenangan, karena kami mengepung kota dari desa. Strategi ini tidak terdapat dalam buku‐buku Marxis–Leninis. Sekarang kami tetap menjunjung tinggi Marxisme–Leninisme dan Pikiran Mao Zedong, yang sebagiannya adalah warisan yang kami terima dan bagian lainnya adalah kami kembangkan sendiri. Kami sedang membangun sosialisme, atau lebih tepat lagi kami sedang membangun sosialisme yang sesuai dengan syarat‐syarat di Tiongkok. Dengan cara beginilah kami sungguh‐sungguh setia pada Marxisme. Kami selalu percaya, bahwa Partai‐Partai Komunis di mana saja akan membawa maju dan mengembangkan Marxisme sesuai dengan syarat‐ syarat negeri mereka sendiri. Jika kami mengabaikan kenyataan, adalah omong kosong berbicara tentang Marxisme. Itulah sebabnya kami percaya bahwa tidak ada, dan tak bisa ada pusat Gerakan Komunis Internasional. Demikian juga kami tak bisa menyetujui mendirikan apa yang disebut masyarakat bangsa‐bangsa, sebab hanya kemerdekaan tiap negeri adalah sungguh‐sungguh perwujudan ajaran Marxisme.”336 “Harus menghormati cara setiap partai dan rakyat berbagai negeri memecahkan masalah‐masalah mereka sendiri. Biarkan mereka menemukan jalan mereka sendiri serta cara‐cara mereka menyelesaikan masalah‐masalahnya. Tidak boleh ada partai bertindak sebagai partai bapak dan mengeluarkan perintah‐perintah terhadap partai lain. Kita menentang diperintah mengenai masalah kita, dan di pihak kita, kita tak akan mengeluarkan perintah terhadap yang lain. Haruslah ini dianggap sebagai satu prinsip yang penting.”337 Oleh karena itu, PKT menetapkan Empat Prinsip Hubungan Antar Partai, yaitu: bebas mandiri, sama derajat, saling menghormati, dan tidak mencampuri masalah internal masing‐masing. 13. Tahap awal sosialisme. Dalam pembicaraan dengan Takako Doi, Ketua Komite Eksekutif Partai Sosialis Jepang, 16 November 1987, Deng Xiaoping mengemukakan, 336 337
Ibid., h.191. Deng Xiaoping, Selected Works of Deng Xiaoping (1975—1982), h.301. XXII — Marxisme Bukannya Punah | 391
“Salah satu ciri dari Kongres Nasional XIII PKT adalah ia telah memaparkan teori bahwa Tiongkok berada dalam tahap awal sosialisme. Adalah dalam rangka teori ini, kami akan melaksanakan garis, prinsip‐ prinsip dan politik yang dirumuskan semenjak Sidang Pleno III CC XI. Ciri lain adalah kongres sudah memilih pimpinan baru yang akan menjamin melanjutkan dan mempercepat pelaksanaan politik‐politik kami mengenai reformasi dan politik pintu terbuka ke dunia luar. Sebelum kongres, ada orang di dalam dan luar negeri khawatir, bahwa politik‐politik ini tidak akan berlanjut. Tapi kongres sudah menjawab masalah ini, menjamin rakyat Tiongkok dan sahabat‐sahabat internasional.” “Betapapun juga, usaha kami ini adalah sama sekali baru, adalah sesuatu yang tak pernah dikemukakan oleh Marx, tidak pernah ditempuh oleh para pendahulu kami dan tak pernah dicoba oleh negeri sosialis lainnya. Oleh karena itu, tidak ada sesuatunya yang bisa memberi pelajaran pada kami. Kami hanya bisa belajar dari praktek, meraba jalan sambil bergerak maju. Kami berusaha mengubah Tiongkok menjadi satu negeri sosialis yang modern. Secara ekonomi, kami ingin mencapai taraf negeri‐negeri agak maju. Bagi kami akan diperlukan waktu 50 sampai 60 tahun, atau kira‐kira 100 tahun dari waktu kami mendirikan Republik Rakyat Tiongkok.”338 14. Tanpa Peradaban Spiritual, Tak Bisa Membangun Sosialisme. Pada saat Kongres IV Sastrawan dan Seniman Tiongkok, 30 Oktober 1979, Deng Xiaoping berkata: “Negeri kita sudah memasuki satu masa baru, masa modernisasi sosialis. Seiring dengan perluasan dan perkembangan tenaga‐tenaga produktif, kita juga harus melakukan reformasi dan menyempurnakan struktur ekonomi dan politik, membangun demokrasi sosialis yang berkembang tinggi dan sistem perundang‐undangan sosialis yang sempurna. Seiring dengan pekerjaan pembangunan peradaban sosialis yang sudah maju secara materiil, kita juga harus membangun peradaban yang maju di bidang kultural dan ideologi dengan meningkatkan taraf ilmu dan budaya seluruh bangsa dan mendorong maju tingkat kehidupan kultural yang bermacam ragam diilhami cita‐cita yang agung.”339 338 339
Deng Xiaoping, op.cit., h.235—245. Deng Xiaoping, op.cit., h.210.
392 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
“Kita harus setia berpegang pada prinsip yang diajarkan Kawan Mao Zedong, yaitu sastra dan seni harus mengabdi pada massa yang luas, dan terutama kaum buruh, tani, dan prajurit. Kita harus selalu menjunjung tinggi prinsip‐prinsip ‘berbagai bunga mekar bersama’, ‘menyiangi yang lama menampilkan yang baru’, dan ‘membuat yang masa lampau mengabdi yang sekarang dan yang luar negeri mengabdi Tiongkok’. Kita harus mendorong perkembangan yang tak dirintangi bagi berbagai bentuk dan gaya sastra dan seni, demikian pula diskusi bebas mengenai teori‐teori sastra dan seni di antara para tokoh berbagai pandangan dan aliran pikiran. Lenin pernah mengatakan bahwa dalam literatur, bagi inisiatif perseorangan harus diberi kebebasan cakrawala yang luas, tentu saja harus diperbolehkan bagi inisiatif perseorangan, kecenderungan perseorangan, pikiran dan fantasi, bentuk dan isi.”340 “Dengan Empat Modernisasi sebagai tujuan kita, jalan di hadapan sastra dan seni haruslah terus‐menerus bertambah lapang. Di bawah pimpinan prinsip‐prinsip yang tepat untuk karya‐karya kreatif, para sastrawan dan seniman akan berhadapan dengan tema‐tema yang lebih luas dan lapang, meningkatkan ragam cara‐cara ekspresi mereka dan berani untuk menerobos ke jalan baru. Kita harus berhati‐hati terhadap dan mengatasi kecenderungan‐kecenderungan formalistik dan abstrak, yang menghasilkan karya‐karya monoton, kaku, mekanis, dan stereotipis.”341 Demikianlah, dengan menjunjung tinggi Marxisme–Leninisme dan Pikiran Mao Zedong, Deng Xiaoping telah menampilkan serentetan gagasan mengenai ideologi, politik, ekonomi, ketatanegaraan, seni, dan sastra. Realisasi gagasan‐gagasan Deng Xiaoping inilah yang menghasilkan perkembangan Tiongkok mengagumkan dunia. Kebenaran teori Deng Xiaoping sudah diuji dalam praktek. Berkat realisasi teori Deng Xiaoping, dari negeri miskin dan terbelakang di pertengahan abad ke‐20, Tiongkok telah berubah menjadi negeri adidaya di bidang ekonomi pada awal abad ke‐21. Kemajuan‐kemajuan Tiongkok telah meningkatkan martabat sosialisme dan Marxisme. Ia memberi harapan bagi kemenangan perjuangan rakyat sedunia mewujudkan sosialisme. Gagasan‐gagasan Deng Xiaoping itu tidak 340
Lihat: V.I. Lenin, Organisasi Partai dan Literatur Partai, Collected Works, Eng. ed. FLPH, Moscow, 1962, Vol.10, h.46. 341 Deng Xiaoping, op.cit., h.210, 203. XXII — Marxisme Bukannya Punah | 393
terdapat dalam literatur Marxis sebelum ini. Karena itu ia telah memperkaya Marxisme. Ia adalah pengembangan Marxisme. Maka jelas‐jemelas, Marxisme tidaklah punah, tapi berkembang maju dengan Teori Deng Xiaoping! 29 Desember 2014
394 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
DAFTAR PUSTAKA Aidit, D.N. (1959), Pilihan Tulisan, Jilid I, Jajasan Pembaruan, Jakarta. Aidit, D.N. (1960), Pilihan Tulisan, Jilid II, Jajasan Pembaruan, Jakarta. Aidit, D.N. (1964), Angkatan Bersendjata dan Penjesuaian Kekuasaan Negara dengan Tugas-Tugas Revolusi, Jajasan Pembaruan, Jakarta. Aidit, D.N. (1964), Tentang Marxisme, cetakan ketiga, Akademi Ilmu Sosial Aliarcham, Jakarta. Aidit, D.N. (1965), Perhebat Ofensif Revolusioner di Segala Bidang! Laporan Politik kepada Sidang Pleno IV CC VII yang Diperluas, 11 Mei 1965, Jajasan Pembaruan, Jakarta. Alimin (1947), Analysis, Agit-prop CC PKI, Yogyakarta. Akademii Nauk SSSR (Akademi Ilmu Pengetahuan URSS) (1960), Filosofskaya Entsiklopediya (Ensiklopedi Filsafat), Nauchnyy Sovet Izdatel'stva‘Sovyetskaya Entsiklopediya’, Institut Filosofii Akademii Nauk SSSR (Institut Filsafat Akademi Ilmu Pengetahuan URSS), Moskow. Akademii Nauk SSSR (Akademi Ilmu Pengetahuan URSS) (1960), Protiv Sovryemyennovo Revizionizma VFilosofii I Sotsiologii (Menentang Revisionisme Modern dalam Filsafat dan Sosiologi), Izdatyelstvo Akademii Nauk SSSR (Balai Penerbitan Akademi Ilmu Pengetahuan URSS), Moskow. Balai Pustaka, PT (2013), Jendela Iptek Astronomia, Jakarta, Dorling Kindersley, London. Balowski, Jamess (2012, 22 Oktober), Direct Action for Socialism in the 21st Century, majalah Revolutionary Socialist Party (RSP), Australia. Chang, Jung dan Jon Halliday (2007), Mao: Kisah-Kisah yang Tak Diketahui, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Chrusjtjov, N.S. (1962), Laporan Tentang Program Partai Komunis Uni Sovjet,
Daftar Pustaka | 395
18 Oktober 1961, Bagian Penerangan Kedutaan Besar URSS di Indonesia. Chrusjtjov, N.S. (1961), Pidato Penyimpulan, Resolusi Kongres ke-22 PKUS, 27 Oktober 1961, Bagian Penerangan Kedutaan Besar URSS di Indonesia (BAPUS). Comite Central Partai Komunis Indonesia (1962), AD-ART (Konstitusi) PKI, Jakarta. Comite Central Partai Komunis Tiongkok (1981), Resolusi Tentang Beberapa Masalah dalam Sejarah Partai Sejak Berdirinya Republik Rakyat Tiongkok, Disahkan oleh Sidang Pleno ke-6 CC XI Partai Komunis Tiongkok pada tanggal 27 Juni 1981. Dasgupta, Surendranath (2004), A History of Indian Philosophy, Vol.1 [EBook #12956]. Da Xue Zhexue Chong Shu (1997), Zhong Guo Zhexue Shi (Sejarah Filsafat Tiongkok), Jilid I, Renmin Chuban She (Penerbit Rakyat). Da Zhong Hua Wen Ku (1999), Han Ying Dui Zhao, Lao Zi, Library of Chinese Classics, Chinese-English, Hunan People’s Publishing House. Da Zhong Hua Wen Ku (1999), HanYing Dui Zhao, Lun Yu; Library of Chinese Classics, Chinese English, The Analects; Pustaka Klasik Tiongkok, Tionghoa-Inggris, Bunga Rampai Petuah Kong Hucu, First edition, Hunan People’s Publishing House. Delegasi CC PKI, Lima Dokumen Penting Politbiro CC PKI. Dewan Redaksi Renmin Ribao (1965), Komentar Tentang Pertemuan Moskow Maret, Dewan Redaksi Renmin Ribao (Harian Rakyat) dan Dewan Redaksi Hongqi (Bendera Merah), Pustaka Bahasa Asing, Peking. Editorial Majalah Hong Qi (1964, No.21–22), Mengapa Chrusytjov Turun Panggung, Pustaka Bahasa Asing, Peking. Engels, Frederick (1958), The Origin of the Family, Private Property and the State, Fifth Impression, Foreign Languages Publishing House, Moscow. Engels, Friedrich (1954), Anti-Dühring, Foreign Languages Publishing House, Moscow. Engels, Friedrich (1964), Dialectics of Nature, Progress Publishers, Moscow. Fic, Victor Miroslav (2005), Kudeta 1 Oktober 1965, Yayasan Obor Indonesia, kulit buku. Fukuyama, Francis(1998), The End of History and the Last Man, Avon Book, Inc., New York. Gorbacyov, Mikhail Sergeyevitch (1987), Perestroyka I Novoye Myshleniye (Rekonstruksi Dan Pemikiran Baru), Izdatel'stvo Politicheski Literaturnyy (Balai Penerbitan Literatur Politik), Moskow. Gosudarstvennoye Izdatel'stvo Politicheskoy Literaturnyy Osnovhii Marksizma 396 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Leninizma (Buku Pelajaran Dasar-Dasar Marxisme–Leninisme) (1962), Izdaniye vtoroye (Edisi Kedua), Ucyebnoye Posobiye, (Penerbit Balai Penerbitan Literatur Politik), Moskwa. Harian Abadi (1952, 15 Januari), “Kita Punya Taruhan Sendiri untuk Pecahkan Soal-Soal Hidup”. Harian Pedoman, Djakarta (1956, Akhir Juli), “Pidato Khrusycyov Mengutuk Stalin, di Depan Kongres ke-XX Partai Komunis Sovjet Uni, 24 Februari 1956”. Hatta, Mohammad (1951), Mendayung Antara Dua Karang, Pidato di Muka Sidang BPKNP, 20 September 1948, Kementerian Penerangan RI, Jakarta. Huntington, Samuel P. (1998), The Clash of Civilisations and the Remaking of World Order, Toughstone Books, London, New York, Sydney, Tokyo, Toronto, Singapura. Izdatel'stvo Akademii Nauk SSSR (Balai Penerbitan Akademi Ilmu Pengetahuan URSS) (1957), Istoriya Filosofii (Sejarah Filsafat), Jilid II, Izdatel'stvo Akademii Nauk SSSR (Balai Penerbitan Akademi Ilmu Pengetahuan URSS), Moskow. Izdatel'stvo Politicheski Literaturnyy (Balai Penerbitan Akademi Ilmu Pengetahuan URSS) (1963), Filosofskiy Slovar (Kamus Filsafat), Izdatel'stvo Politicheski Literaturnyy (Balai Penerbitan Literatur Politik), Moskow. Izdatel'stvo Politicheski Literaturnyy (1966), Rezolyutsiya XXIII S'yezda Kommunisticheskoy Partiii Sovetskovo Soyuza Po Izdatel'stvo Politicheskoy Literaturnyy (Resolusi PKUS XXIII yang Diterbitkan oleh Balai Penerbitan Literatur Politik), Otcyetnomu Dokladu TsK KPSS, Izdatel'stvo Politicheski Literaturnyy (Balai Penerbitan Literatur Politik), Moskow. Jajasan Pembaruan (1960), Pernyataan & Seruan Pertemuan Wakil-Wakil Partai-Partai Komunis dan Partai-Partai Buruh, Jajasan Pembaruan, Jakarta. Komisi CC PKUS (B) (1984) Sejarah Partai Komunis Uni Sovyet (Bolsyewiki) Bahan Pelajaran Singkat, Disahkan oleh CC PKUS (B) 1938, Penerbit Indonesia Progresif. Kratkii Ocyerk Istorii Filosofii (Risalah Ringkas Sejarah Filsafat) (1960), Izdatel'stvo Sotsial'no-Ekonomicheskoy Literaturnyy (Penerbit Literatur Sosial Ekonomi), Moskwa. KPSS (PKUS) (1990), Material'ny XXVIII S'yezda Kommunistichekoy Partii Sovetskovo Soyuza (Materi Kongres PKUS XXVIII), Politizdat, Moskow. Kuznetsov, B.G. (1963), Besedy O Teorii Otnositel'nosti Vtoroye Izdaniye (Percakapan Tentang Teori Relativitas Edisi Kedua), Izdatel'stvo
Daftar Pustaka | 397
Akademii Nauk SSSR (Penerbit Akademi Ilmu Pengetahuan URSS), Moskwa. Kuznetsov, B.G. (1965), Etyudni Ob Eynsoteyne (Studi Tentang Einstein), Izdatyelstvo “Nauka”, Moskwa. Lenin, Vladimir Ilyitch (1947), Materializm I Empiriokrititsism (Materialisme dan Empiriokritisisme), Kumpulan Karya, Jilid XIV, cetakan IV, Gosudarstvennoye Izdatel'stvo Politicheskoy Literaturnyy (Balai Penerbitan Negara Literatur Politik). Lenin, Vladimir Ilyitch (1947), Matyerializm I Empiriokrititzism, Kriticyeskiye ZamyetkiOb Odnoi Ryeaktsionnoi Filosofii, Socyinyeniya Tom 14, izdanye Cyetvyertoye (Materialisme dan Empiriokritisisme, Catatan Kritis Tentang Sebuah Filsafat Reaksioner, Kumpulan Karya Lengkap Jilid ke-14, cetakan keempat), Gosudarstvennoye Izdatel'stvo Politicheskoy Literaturnyy (Balai Penerbitan Negara Literatur Politik). Lenin, Vladimir Ilyitch (1950), Sochineniya, Izdaniye Chetvertoye, Tom 1, (Kumpulan Karya, cetakan IV, Jilid 1). Lenin, Vladimir Ilyitch (1953), Kehancuran Internasional II, Kumpulan Karya, edisi Rusia, Jilid XXI, h.189–190, Gosudarstvennoye Izdatel'stvo Politicheskoy Literaturnyy (Balai Penerbitan Negara Literatur Politik). Lenin, Vladimir Ilyitch (1957), O Gosudarstvennom Kapitalizme– Gosudarstvennyy Kapitalizm V Period Perekhoda K Sotsializmu (Tentang Kapitalisme Negara – Kapitalisme Negara dalam Periode Peralihan Menuju Sosialisme), Gosudarstvennoye Izdatel'stvo Politicheskoy Literaturnyy (Balai Penerbitan Negara Literatur Politik), Moskwa. Lenin, Vladimir Ilyitch (1958), Ekonomi dan Politik Selama Masa Diktatur Proletariat, Pustaka Ketjil Marxis Delapanbelas, Jajasan Pembaruan, Jakarta. Lenin, Vladimir Ilyitch (1958), Kumpulan Karya, bahasa Rusia, Jilid XXIX, edisi V. Lenin, Vladimir Ilyitch (1958), Tentang Masalah Dialektika, Kumpulan Karya Lenin, Jilid XXXVIII, Gosudarstvennoye Izdatel'stvo Politicheskoy Literaturnyy (Balai Penerbitan Negara Literatur Politik). Lenin, Vladimir Ilyitch (1961), Ikhtisar Buku Hegel Ilmu Logika, Buku Catatan Filsafat, Kumpulan Karya, Jilid XXXVIII, cetakan IV, Foreign Languages Publishing House, Moskwa. Lenin, Vladimir Ilyitch (1961), Karl Marx, Kumpulan Karya Lengkap, Jilid XXVI, edisi V, Moskwa. Lenin, Vladimir Ilyitch (1961), Materializm I Empiriokrititsism (Materialisme dan Empiriokritisisme), Bab II, Bagian 6, Polnoye Sobraniye Sochineniy (Kumpulan Karya Lengkap), Izdaniye Pyatoye (Edisi Kelima),
398 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Gosudarstvennoye Izdatel'stvo Politicheskoy Literaturnyy (Balai Penerbitan Negara Literatur Politik), Moskwa. Lenin, Vladimir Ilyitch (1961), Polnoye Sobraniye Socinyenii, izdaniye pyatoye, tom 18, Matyerializm I Empiriokriticizm (Kumpulan Lengkap Karya, cetakan kelima, Jilid 18, Materialisme dan Empiriokritisisme), Moskwa. Lenin, Vladimir Ilyitch (1962), Organisasi Partai dan Literatur Partai, Collected Works, Eng.ed., FLPH, Moscow, 1962, Vol.10. Lenin, Vladimir Ilyitch (1976), Negara dan Revolusi, Ajaran Marxisme Tentang Negara dan Tugas-Tugas Proletariat dalam Revolusi, Penerbit Indonesia Progresif. Lenin, Vladimir Ilyitch (1981), Apa yang Harus Dikerjakan?, Bab I, Bagian 4, Penerbit Indonesia Progresif. Lukretius (1945), De Rerum Natura – O Prirodye Vesyei (Tentang Sifat-Sifat Zat-Zat), Izdatel'stvo Akademii Nauk SSSR (Balai Penerbitan Akademi Ilmu Pengetahuan URSS). Marx, Karl (1954), Surat kepada J. Weydemeyer, 5-3-1852, dalam Pilihan Surat-Surat Marx dan Engels, edisi Inggris. Marx, Karl (1955), Kumpulan Karya, edisi Rusia, Jilid I, edisi kedua, Gosudarstvennoye Izdatel'stvo Politicheskoy Literaturnyy (Balai Penerbitan Negara Literatur Politik). Marx, Karl (1960), The Poverty of Philosophy, Foreign Languages Publishing House, Moscow, Third Impression. Marx, Karl (1961), Economic and Philosophic Manuscripts of 1844, Second Impression, Foreign Languages Publishing House, Moscow. Marx, Karl dan Frederich Engels (1950), Address of the Central Committee to the Communist League, Marx–Engels Selected Works Volume I, Foreign Languages Publishing House, Moscow. Marx, Karl dan Frederich Engels (1966), Izbrannhiye Proizvyedyeniya, V Tryokh Tomakh, (Pilihan Karya dalam Tiga Jilid), Izdatel'stvo Politicheskoy Literaturnyy (Balai Penerbitan Literatur Politik), Moskwa. Marx, Karl dan Friedrich Engels, 2015, Manifesto Partai Komunis, Ultimus, Bandung. Malaka, Tan (2000), Madilog, Teplok Press, Jakarta. Mostyepanyenko, M.V. (1962), Materialisticheskaya Sushchnost' Teorii Otnositel'nosti Eynshteyna (Inti dari Teori Relativitas Materialis), Izdatel'stvo Sotsial'nno-Ekonomicheskoy Literaturnyy (Penerbit Literatur Sosial Ekonomi), Moskwa. MPRS (1967), Ketetapan No.25/1966 Presidium Kabinet Ampera Surat Edaran
Daftar Pustaka | 399
Tentang Masalah Cina, No.SE-06/Pres.Kab/6/1967. Noer, Deliar (1987), Partai Islam di Pentas Nasional, Penerbit PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta. Njoto (1961), Marxisme Ilmu & Amalnya, Penerbit HR, Jakarta. Penerbit Indonesia Progresif (1984), Sejarah Partai Komunis Uni Sovyet (Bolsyewiki), Bahan Pelajaran Singkat, Diedit oleh Komisi CC PKUS (B), Disahkan oleh CC PKUS (B) 1938. Shaoqi, Liu (1954), On The Party, fifth edition, Foreign Languages Press, Peking, 1954, Report on the revision of the Party Constitution delivered by Liu Shao-qi in May 1945 to the Seventh Congress of the Communist Party of China. Tiong Djin, Siauw (1999), Siauw Giok Tjhan, Riwayat Perjuangan Seorang Patriot Membangun Nasion Indonesia dan Masyarakat Bhineka Tunggal Ika, Hasta Mitra, Jakarta. Smith, Huston (1999), Agama-Agama Manusia, Yayasan Obor, Jakarta. Stalin, Josef Vissarionowitch (1924), Tentang Dasar-Dasar Leninisme, Ceramah yang Diberikan di Universitas Sverdlov, Pravda No.96, 97, 103, 105, 107, 108, III; 26 dan 30 April, 9, 11, 14, 15, dan 18 Mei 1924; Penerbit Indonesia Progresif, 1975. Stalin, Josef Vissarionowitch (1964), Materialisme Dialektis dan Historia, Jajasan Pembaruan. Stalin, Josef Vissarionowitch (1972), Economic Problems of Socialism in the U.S.S.R, Foreign Languages Press, Peking. Sukarno (1959), Dibawah Bendera Revolusi, Jilid Pertama, Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi. Surat Balasan CC PKT (1963), Usul Mengenai Garis Umum Gerakan Komunis Internasional, Surat Balasan CC PKT atas Surat CC PKUS tertanggal 30 Maret 1963, Pustaka Bahasa Asing. Xiaoping, Deng (1983), Deng Xiaoping Wen Xuan 1975–1982 (Kumpulan Karya Deng Xiaoping 1975–1982), Renmin Chubanshe (Penerbit Rakyat). Xiaoping, Deng (1995), Deng Xiaoping Zhexue Sixiang (Pikiran Filsafat Deng Xiaoping), Zhong Gong Zhongyang Dangxiao Zhexue Jiao Yan Bu Pian (Departemen Filsafat Sekolah Komite Sentral PKT), Zhong Gong Zhongyang Dangxiao Chu Ban She (Penerbit Sekolah Komite Sentral PKT), Beijing. Yamin, Muhammad (1982), Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, Ghalia Indonesia, cetakan keenam, Jakarta. Youlan, Feng (1947), Zhong Guo Zhe Xue Jian Shi (Sejarah Singkat Filsafat Tiongkok), Beijing Daxue Chu Ban She (Penerbit Universitas Peking).
400 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Yuanzhi, Kong (2005), Silang Budaya Tiongkok Indonesia, PT Bhuana Ilmu Populer, Kelompok Gramedia, Jakarta. Tjetung, Mao (1958, 1959 dan 1964), Tentang Kontradiksi, Jajasan Pembaruan, Jakarta. Tjetung, Mao (1966), Tentang Praktek, Pustaka Bahasa Asing, Peking. Tjetung, Mao (1968), Tentang Kontradiksi, Pustaka Bahasa Asing, Peking Tjetung, Mao (1970), Empat Karya Filsafat, Pustaka Bahasa Asing, Peking. Tse-Tung, Mao (1966), Ausgewählte Werke Band I (Karya Pilihan Jilid I), Verlag für fremdsprachige Literatur (Penerbit Progresif), Peking. Tzedun, Mao (1968), Cyetirhi Rabothi Po Filosofii (Empat Karya Filsafat), Izdatel'stvo Literatury Na Inostrannykh Yazykakh (Lembaga Penerbitan Literatur dalam Bahasa Asing), Peking. Zedong, Mao (1995), Mao Zedong Shi Ci Quan Ji, Kumpulan Lengkap SajakSajak Mao Zedong, Cheng Du Chu Ban She (Penerbit Cheng Du). Zemin, Jiang (2003), Jiang Zemin On The “Three Represents”, Foreign Languages Press, second printing, Beijing. Zemin, Jiang (2006), Pidato pada Peringatan Seratus Tahun Mao Zedong, Jiang Zemin Wen Xuan (Pilihan Karya Jiang Zemin), Jilid I, Renmin Chubanshe (Penerbit Rakyat), Beijing. Zhong Gong Zhongyang Dang Xiao (1997), Kua Yue She Ji De Wei Da Qi Zhi (Panji Jaya yang Melangkaui Zaman), Xuexi Jiang Zemin Tongzhi Zai Zhong Yang Dang Xiao De Jiang Hua (Belajar dari Kumpulan Pidato Kawan Jiang di Sekolah Komite Sentral), Zhong Gong Zhong Yang Dang Xiao Chu Ban She (Penerbit Sekolah Komite Sentral PKT), Beijing. Zhong Gong Zhongyang Dangxiao (1995), Deng Xiaoping Zhexue Sixiang (Pikiran Deng Xiaoping), Zhong Gong Zhongyang Dangxiao Zhexue Jiao Yan Bu Pian (Departemen Filsafat Komite Sentral PKT), Zhong Gong Zhong Yang Dang Xiao Chu Ban She (Penerbit Sekolah Komite Sentral PKT), Beijing. Zi, Lao (1999), Dao de Jin, Library of Chinese Classics, Chinese-English, Laozi, Chapter 22, Hunan Peoples Publishing House. Zi, Zhuang (2013), Quan Shu (Karya Lengkap), Zhong Guo Hua Qiao Chu Ban She (Penerbit Tionghoa Perantauan Tiongkok), Beijing. Daftar Pustaka | 401
402 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
BIODATA PENULIS SUAR SUROSO lahir di Padang, Sumatra Barat, 16 Mei 1930. Menyelesaikan SMP dan SMA di Padang dan Bukittinggi, 1950 kuliah di ITB Bandung jurusan elektro‐teknik. Semasa Revolusi Bersenjata 1945— 1949 menjadi anggota batalyon Teras Lasykar Rakyat Padang Luar Kota (mendapat Tanda Penghargaan dari Gubernur Militer, Mr. Mohamad Nasroen). 1949 Wakil Ketua IPPI Padang; 1951 anggota Consentrasi Mahasiswa Bandung (CMB), kemudian 1954 Sekretaris DPD Pemuda Rakyat Jawa Barat, Sekretaris Kongres Rakyat Jawa Barat, 1956 sekretaris DPP Pemuda Rakyat. Sebagai aktivis organisasi pemuda, dipercaya untuk mewakili Indonesia dalam berbagai pertemuan pemuda internasional, seperti antara lain di Beijing, Wina, Kairo, Santiago‐Chili, dan mewakili Pemuda Rakyat dalam Gabungan Pemuda Demokratik Sedunia (GPDS) dalam kapasitas sebagai wakil presiden yang berkantor pusat di Budapest. Dalam kapasitas itu ia menghadiri berbagai kegiatan pemuda di Korea, India, Nepal, Sri Langka, Mesir, Maroko, Guinea, Mali, Senegal, Ghana, Jerman, Rumania, Denmark, Finlandia, Polandia, Albania, dan lain‐lain. Mulai Septembar 1961 melanjutkan studi di Fakultas Fisika Universitas Lomonosov, Moskow. Setelah Peristiwa 30 September 1965, pada bulan Agustus 1966 paspornya dicabut oleh KBRI Moskow; 1967 dinyatakan persona‐non‐ grata oleh Pemerintah Sovyet karena memprotes kerja sama antar Pemerintah Uni Sovyet dan Pemerintah Indonesia di bawah rezim Soeharto. Sejak Februari 1967 meninggalkan Uni Sovyet dan bersama istri dan dua anaknya bermukim di Tiongkok. Sejumlah sajaknya dimuat dalam Di Negeri Orang, kumpulan sajak para penyair eksil di Biodata Penulis | 403
Eropa Barat. Karya‐karya yang sudah dibukukan: Asal‐Usul Teori Sosialisme, Marxisme sampai Komune Paris; Bung Karno, Marxisme dan Pancasila; ‘Peristiwa Madiun’ PKI Korban Perdana Perang Dingin (Pustaka Pena); PKI Korban Perang Dingin (Era Publisher); Bung Karno Korban Perang Dingin (Hasta Mitra); Kumpulan Puisi Jilid I, Jelita Senandung Hidup, dan Jilid II, Pelita Keajaiban Dunia (Ultimus); Marxisme Sebuah Kajian, Dinyatakan Punah Ternyata Kiprah; Peristiwa Madiun, Realisasi Doktrin Truman di Asia (Hasta Mitra); Akar dan Dalang Pembantaian Manusia Tak Berdosa dan Penggulingan Bung Karno (Ultimus). Yang diterjemahkan dan terbit dalam bahasa Tionghoa, Marxisme Sebuah Kajian, Dinyatakan Punah Ternyata Kiprah dengan judul Makesi Zhuyi De Shijian Yu Fazhan oleh Penerbit Contemporary World Publisher, Beijing.
404 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati