PERUBAHAN KEPEMILIKAN PERUSAHAAN GULA MANGKUNEGARAN TAHUN 1946-1952
OLEH : WAHYUNINGSIH K4406045
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
i
PERUBAHAN KEPEMILIKAN PERUSAHAAN GULA MANGKUNEGARAN TAHUN 1946-1952
OLEH : WAHYUNINGSIH K4406045
Skripsi Ditulis dan diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar sarjana pendidikan Program Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
ii
HALAMAN PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Persetujuan Pembimbing
Pembimbing I
Pembimbing II
Drs. Djono, M.Pd
Drs. Hermanu Yubagyo, M.Pd
NIP. 19630702 199003 1 005
NIP.
iii
19560303 198603 1 001
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan dihadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk memenuhi persyaratan dalam mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan. Pada Hari : Tanggal
:
Tim Penguji Skripsi Nama Terang
Tanda Tangan
Ketua
1.......................
: Dra. Sri Wahyuni, M.Pd
Sekretaris : Dra. Sutiyah, M.Pd
2......................
Anggota I : Drs. Djono, M.Pd
3........................
Anggota II : Drs. Hermanu Yubagyo, M.Pd
Disahkan oleh Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Dekan,
Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd NIP.19600727 198702 1 001
iv
4......................
ABSTRAK Wahyuningsih. PERUBAHAN KEPEMILIKAN PERUSAHAAN GULA MANGKUNEGARAN TAHUN 1946-1952. Skripsi, Surakarta : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, Maret 2010. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan: (1) latar belakang berdirinya perusahaan gula Mangkunegaran, (2) proses perubahan status kepemilikan dari perusahaan gula Mangkunegaran pasca Kemerdekaan Republik Indonesia, (3) pengaruh pengambilalihan perusahaan gula Mangkunegran terhadap perubahan ekonomi “praja” dan pegawai perusahaan gula Mangkunegaran. Sejalan dengan tujuan di atas, maka penelitian ini menggunakan metode historis. Metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau, kemudian merekonstruksikan berdasarkan data yang diperoleh sehingga dapat menghasilkan historiografi. Sumber data yang digunakan adalah sumber data primer maupun sumber data sekunder. Sumber data berupa arsip-arsip tentang perusahaan gula Mangkunegaran dan peraturan pemerintah yang berkaitan dengan proses pengambilalihan perusahaan gula yang diantaranya meliputi; PP No. 16/ S.D tahun 1946, PP. No. 3 dan 4 tahun 1946, dan PP. No. 9 tahun 1947. Sumber tertulis sekunder berupa buku-buku yang mempunyai relevansi dengan masalah penelitian. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka dan wawancara. Studi pustaka yaitu memperoleh data dengan cara membaca literatur, surat kabar, dokumen atau arsip yang tersimpan dalam perpustakan. Wawancara ditujukan kepada para abdi dalem Mangkunegaran dan pegawai perusahaan gula Mangkunegaran. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: (1) Berdirinya perusahaan gula Mangkunegaran terjadi setelah diterapkannya Undang-Undang Agraria tahun 1870-an untuk berkembangnya usaha penanaman tebu. Selain itu didukung oleh adanya kondisi geografis yang baik dan adanya usaha KPAA Mangkunegara IV untuk mendirikan perusahaan gula Colomadu dan perusahaan gula Tasikmadu, (2) Proses perubahan status kepemilikan dari perusahaan gula Mangkunegaran pasca kemerdekaan Republik Indonesia dilakukan melalui kebijakan pengambilalihan perusahaan-perusahaan perkebunan Mangkunegaran oleh pemerintah, dan (3) Pengambilalihan perusahaan gula Mangkunegaran berpengaruh besar pada aspek ekonomi “praja”. Pengaruh lainnya terhadap kehidupan ekonomi pegawai perusahaan gula Mangkunegaran, yang ditandai dengan adanya perubahan harga sewa tanah yang naik dan adanya perubahan pegawai Belanda ke dalam tenaga kerja dari golongan bumiputera. Dari kesimpulan di atas maka muncul implikasi, yaitu: (1) Perubahan status kepemilikan perusahaan perkebunan merupakan bagian dari adanya perubahan sosial dalam sistem perkebunan yang terjadi karena kebijakan ekonomi pemerintah RI pasca kemerdekaan. Hal ini berdasarkan UUD 1945 pasal 33 ayat 2 dan 3, (2) Perubahan status kepemilikan perusahaan gula Mangkunegaran (Tasikmadu dan Colomadu) yang berlangsung tahun 1946-1952 membawa pengaruh yang besar terhadap Mangkunegaran terutama dalam aspek ekonomi. Di sisi lain adanya perubahan kepemilikan perusahaan gula Mangkunegaran membawa dampak yang positif bagi pegawai perusahaan gula bumiputera untuk menggantikan posisi para pegawai Belanda.
v
ABSTRACT Wahyuningsih. THE OWNERSHIP CHANGING OF MANGKUNEGARAN’S SUGAR FACTORY IN 1946-1952. Skripsi, Surakarta: Faculty of Education and Teachers Training, Sebelas Maret University, March 2010. The aims of this research are to describe: (1) the background of the building of Mangkunegaran’s sugar factory, (2) the changing process of ownership status Mangkunegaran’s sugar factory post Indonesia Independence Day, (3) the influece of take over Mangkunegaran’s sugar factory to the economic life of “praja” and staffs sugar factory. Along with the aims, this research to use historical method. Historical method is the process of testing and analyzing critically of the record and inheritance of the past and reconstructed to historiography. The source of data used primary and secondary data is archives of Mangkunegaran sugar factory and the regulation related to the taking over of the sugar factory; PP No. 16/S.D 1946, PP. No. 3 and 4 1946, PP. No. 9 1947. The secondary data source is the books that relevance with the problem of the research. The technique of collecting data is literary study and interview. The literary study is review of literatures, newspapers, documents or archives. Interview was done to the internal staffs of Mangkunegaran and the staffs that worked to Mangkunegaran’s sugar factory. Based on the result of the research was conclude that: (1) The building of Mangkunegaran’s sugar factory was happened after the implementation of the growth of plantation and Agrarische Wet 1870’s, besides supported by geographical condition and efforts of KPAA Mangkunegara IV to built Colomadu and Tasikmadu sugar factory, (2) The changing process of ownership status Mangkunegaran’s sugar factory post RI independence day was marked by taking over the farming factory of Mangkunegaran by the Government, (3) The taking over of Mangkunegaran’s sugar factory was influence very important to the economic life of “praja” and staffs sugar factory, it can be seen the changing of land rent price is increasing and the alteration of Dutch workers to the internal worker. From the above conclusion, there are implication which can be stated as: (1) The status changing of the ownership of farming factory is a part of the social changing in the farming system that had happened because of Indonesian Republics government policy in post independence day. This is based to the UUD 1945 chapter 33 verse 2 and 3, (2) the status changing of sugar factory that last in 1946-1952 gave large influence especially in economic aspects. In the other side, this gave positive influence to the staffs of the sugar factory to replace the Dutch staffs.
vi
MOTTO
”Pabrik iki openono, senajan ora nyugihi, nanging nguripi, kinaryo papan pangupo jiwone kawulo dasih” (Pabrik ini peliharalah, meskipun tidak membuat kaya, tapi menghidupi, memberikan perlindungan, menjadi jiwa rakyat kecil )
(Mangkunegoro IV)
Bila kita belajar sejarah hanya sebatas hafalan dan nilai bagus saja, maka tidak akan ada gunanya, tetapi bila kita ditanamkan rasa cinta kepada tanah air, maka makna belajar sejarah akan mempengaruhi seluruh karya kita karena berkarya bukan sekedar dengan pikiran, tetapi dengan rasa yang menciptakan keunikan dan kreatifitas.
(Wahyu Sanjaya)
vii
PERSEMBAHAN
Karya ini saya persembahkan kepada: v Ayah dan Ibuku tercinta, terima kasih atas do’a dan dukungannya, v Adikku Wuri Indri Astuti tersayang, v My True Love, v Mr. Mitshubishi S. terima kasih atas dukungan dan motivasinya, v Sahabat-sahabatku Bunda Herlina, Siti, Nining, Ima, Aris dan teman sejarah ’06, v Keluarga besar Program Pendidikan Sejarah, v Teman-temanku di Lembaga Pendidikan SA v My Bos dan teman di PT Uniflex Hyundai International Industrial Estate Cikarang, v Almamaterku.
viii
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya, sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan, untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan. Banyak hambatan yang penulis hadapi dalam penyelesaian penulisan skripsi ini, namun berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak akirnya kesulitankesulitan yang timbul dapat teratasi. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin untuk menyusun skripsi. 2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial yang telah menyetujui atas permohonan skripsi ini. 3. Ketua Program Pendidikan Sejarah yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini. 4. Drs. Djono, M.Pd selaku dosen pembimbing I yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Drs. Hermanu Yubagyo, M.Pd selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Bapak dan Ibu tercinta yang telah memberikan do’a dan segala dukungan. 7. K.R.T Soemarso Pontjosoetjitro dan segenap karyawan perpustakaan Reksa Pustaka Mangkunegaran atas dukungan dan kemudahan dalam penelitian ini. 8. Ir. H. Soeroto H.S atas dukungan dan kemudahan dalam penelitian ini. 9. Pihak PTPN IX yang telah berkenan memberikan ijin kepada penulis untuk mengadakan penelitian di PG.Tasikmadu-Colomadu, dan Museum Gula Jawa Tengah di PG.Gondang Baru Klaten. 10. Semua pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu
ix
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan guna penyempurnaan skripsi ini. Harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan perkembangan Ilmu Pengetahuan pada umumnya.
Surakarta, Penulis
x
Januari 2010
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................
i
HALAMAN PENGAJUAN..............................................................................
ii
HALAMAN PERSETUJUAN..........................................................................
iii
HALAMAN PENGESAHAN ..........................................................................
iv
ABSTRAK ........................................................................................................
v
HALAMAN MOTTO .......................................................................................
vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ....................................................................... viii KATA PENGANTAR .....................................................................................
ix
DAFTAR ISI.....................................................................................................
xi
DAFTAR ISTILAH .........................................................................................
xiv
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xvii DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xviii
BAB I.
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ............................................................
1
B. Perumusan Masalah ...................................................................
6
C. Tujuan Penelitian .......................................................................
6
D. Manfaat Penelitian......................................................................
7
BAB II. LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka .........................................................................
8
1. Perubahan Sosial dalam Sistem Perkebunan ...........................
8
2. Kebijakan Pemerintah terhadap Perusahaan Perkebunan ........
21
B. Kerangka Berfikir ........................................................................
26
xi
BAB III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan waktu penelitian .......................................................
29
B. Metode Penelitian.........................................................................
30
C. Sumber Data .................................................................................
33
D. Teknik Pengumpulan Data ...........................................................
35
E. Teknik Analisis Data ....................................................................
36
F. Prosedur Penelitian .......................................................................
37
BAB IV. PEMBAHASAN A. Latar Berdirinya Perusahaan Gula Mangkunegaran .....................
41
1. Kondisi Geografis Mangkunegaran ..........................................
41
2. Munculnya Perkebunan Tebu Mangkunegaran ........................
42
3. Usaha Mangkunegara IV Mendirikan Perusahaan Gula...........
45
4. Perkembangan Perusahaan Gula Mangkunegaran ....................
48
B. Proses Perubahan Status Kepemilikan Perusahaan Gula Mangkunegaran Pasca Kemerdekaan RI .....................................
58
1. Kondisi Perusahaan Gula Pasca Kemerdekaan..........................
58
2. Kebijakan Pengambilalihan Perusahaan Gula ...........................
61
3. Perubahan Kepemilikan Perusahaan Gula Mangkunegaran ......
64
4. Reaksi Pihak Mangkunegaran....................................................
68
C. Pengaruh Perubahan Status Kepemilikan Perusahaan Gula Mangkunegaran..............................................................................
70
1. Pengaruh bagi Kehidupan Ekonomi “praja” Mangkunegaran ...
70
2. Pengaruh bagi Perubahan Kehidupan Ekonomi Pegawai Perusahaan Gula Mangkunegaran...............................................
xii
72
BAB V. KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN A. Kesimpulan……………............................................................... 78 B. Implikasi……...............................................................................
80
C. Saran…..……...............................................................................
81
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
83
LAMPIRAN .....................................................................................................
87
xiii
DAFTAR ISTILAH
Singkatan BHM
: Bewindvoeder over Het Mangkoenegorosche (penguasa Mangkunegaran)
BPPGN : Badan Penyelenggara Perusahaan Gula Negara DMKM : Dana Milik Kekayaan Mangkunegaran (Fonds van Eigendomman van het Mangkoenegorosche Rijk’s) GG
: Gouverner General (Gurbenur Jenderal)
HMH
: Hoofd van Mangkoenegoroshe Huis (Kepala trah Mangkunegaran)
K.P.A.A : Kanjeng Pangeran Aryo Adipati MN
: Mangkunegaran (nama praja)
NIS
: Netherlands Indishe Strootraam (Perkeretapian Swasta Hindia Belanda)
PNP
: Perusahaan Nasional Perkebunan (Lands Landbouw Bedrijven)
PNS
: Perusahaan Nasional Surakarta
PP
: Peraturan Pemerintah
PPN
: Perusahaan Perkebunan Negara
PPRI
: Perusahaan Perkebunan Republik Indonesia
SHS
: Superior High Sugar ( Gula kelas nomer satu atau tertinggi)
SS
: Staats-Spoorwegen (Kereta Api Milik Pemerintah Belanda)
SKK
: Saibai Kigyo Kanrikodan (Badan Perusahaan Perkebunan)
VOC
: Vereenigde Oost Indische Compagnie (Persekutuan Dagang/ Perusahaan Hindia Timur Belanda).
xiv
Glosari (Arti Istilah) Absolute
: mutlak
Acte van verband
: perjanjian yang mengikat
Administratur
: pengurus administrasi, manajer utama dari pabrik gula.
Afdeling
: wilayah administrasi Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia yang berada di bawah Karesidenan
Algemene begroting
: anggaran umum
Apanage
: tanah lungguh yang diberikan kepada para bangsawan dan pejabat kerajaan sebagai gaji.
Beslit
: surat keputusan
Bahu
: ukuran luas sama dengan ¾ hektar
Bekel
: petani penghubung antara pemilik atau penguasa tanah dengan petani penggarap
Cikar
:
andong.
Comissie van Beheer : Komisi Pengawas Dubbel besture
: pemerintahan ganda
Erfpacht
: sewa tanah secara turun-temurun
Eigendomman
: kekayaan milik pribadi: dana milik
Employe
: pegawai kantor
Gratificatte
: gratifikasi; penggolongan kerja.
Gurbernemen
: Pemerintah Kolonial Belanda (setingkat Provinsi)
Gunseikan
: Kepala Pemerintahan Militer Jepang.
Hofd Suiker (HS)
: gula murni
Instalasi Carbonatie : pemasangan karbonasi Jung
: satuan luas sekitar 4 bahu atau 28,386 m2
Kapitalisme
: sistem (paham) yang modalnya bersumber dari modal pribadi/ perusahaan swasta dengan ciri persaingan pasar bebas.
Kuli kenceng
: petani penggarap dengan pengusaan tanah minimal seluas 0,5
xv
hektar ditambah tanah pekarangan dan tegal. Legiun
: korps tentara milik kerajaan (praja) Mangkunegaran.
Matschappij
: perkumpulan dagang perseroan
Praja Kejawen
: kerajaan Jawa; wilayah kerajaan Jawa
Priayi
: kerabat atau keluarga raja; bangsawan
Reorganisasi
: pengorganisasian kembali; pembaharuan.
Sereh
: jenis hama yang menyerang tanaman tebu.
Sinder
: pengawas perkebunan tebu.
Superitenden
: pimpinan administrasi yang mengatur suatu badan usaha milik seseorang atau badan
Swapraja
: pemerintahan yang berdiri sendiri (kerajaan)
Togyo Rengokai
: Persatuan Perusahaan Gula (masa Jepang).
Tripple Effect
: akibat yang berlibat tiga
Wachtgelder
: pegawai yang dibebas-tugaskan dan menerima tunjangan.
Zelfbestuurgelen
: peraturan pemerintah Mangkunegaran
Mangkunegaran
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 1.
Nama-nama Perusahaan Gula di Surakarta Perdistrik tahun 1863
Tabel 2.
Ikhtisar tentang para apanage dari anggota kraton tahun 1871
Tabel 3.
Produksi gula Pabrik Colomadu 1884-1889
Tabel 4.
Produksi pabrik gula Tasikmadu 1884-1889
Tabel 5.
Luas lahan tanaman tebu dan banyaknya tebu hasil pembelian dari pabrik gula Tasikmadu 1911-1917
Tabel 6.
Luas Lahan Tebu Colomadu tahun 1904
Tabel 7.
Keuntungan pabrik gula Mangkunegaran tahun 1899-1917
Tabel 8.
Luas lahan tanaman tebu pabrik gula Mangkunegaran pasca krisis ekonomi dunia 1930-an
Tabel 9.
Produksi Gula PG. Tasikmadu masa pendudukan Jepang
Tabel 10. Perusahaan gula Mangkunegaran tahun 1945/1946 Tabel 11. Pengeluaran P.G Tasikmadu dan P.G Colomadu tahun 1945 Tabel 12. Nilaian pengeluaran tahun tebang 1946/ 1947 di PG. Tasikmadu Tabel 13. Mangkunegaransche Eigendommenfonds yang dikuasai PPRI tahun 1947 Tabel 14. Daftar Gaji Pegawai P.G. Colo Madu Bulan Maret 1947 Tabel 15. Jabatan Perusahaan Gula sebelum kemerdekaan RI (1930-an) Tabel 16. Jabatan di PG. Tasikmadu berdasarkan Gratifikasi tahun 1942-1952
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Hal Lampiran 1.
Daftar Informan .........................................................................
87
Lampiran 2.
Daftar pertanyaan ......................................................................
89
Lampiran 3
Peta Pabrik gula di Surakarta tahun 1920-an ............................
93
Lampiran 4.
Arsip Suiker Fabriek Colomadu 1930 .......................................
94
Lampiran 5.
Arsip Suiker Fabriek Tasikmadu 1930 ......................................
95
Lampiran 6.
Produksi gula tahun 1943,1944,1948 ........................................
96
Lampiran 7.
Nilaian tebang PG. Tasikmadu tahun 1946/1947......................
97
Lampiran 8.
Daftar Gratificatte PG Tasikmadu tahun 1942-1952 ................
98
Lampiran 9.
Turunan PP. No.16/SD Tahun 1946 ..........................................
99
Lampiran 10. Turunan PP. No. 3 Tahun 1946 ................................................. 100 Lampiran 11. Turunan PP. No. 4 Tahun 1946 ................................................. 102 Lampiran 12. Penyerahan Perusahaan Mangkunegaran ke Pemerintah RI ..... 104 Lampiran 13. Surat Kuasa Penyerahan Benda Milik Mangkunegaran ............ 107 Lampiran 14. Turunan PP. No. 9 Tahun 1947 tentang PPRI........................... 108 Lampiran 15. Turunan Keputusan Presiden RI Tahun 1952 ........................... 112 Lampiran 16. Foto-foto Lokasi Penelitian ...................................................... 124 Lampiran 17. Surat Perijinan .......................................................................... 126
xviii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Surakarta dan Jogyakarta merupakan bagian dari wilayah Jawa Tengah yang di sebut sebagai Vorstenlanden, yang berarti ”tanah raja-raja” atau ”daerah kerajaan Jawa”. Vorstenlanden merupakan daerah otonom yang tidak dikuasai secara langsung oleh pemerintah Hindia Belanda, dengan pemerintahan yang dibagi dalam dua karesidenan yakni karesidenan Surakarta dan Jogyakarta. Karesidenan Surakarta dibagi dalam dua wilayah yaitu Kasunanan Surakarta milik Susuhunan (Yang Disanjung) dan Mangkunegaran merupakan wilayah Adipati Mangkunegoro (Ribaan Negara). Kedua penguasa ini mempunyai istana di Surakarta (Larson, 1900 :1). Mangkunegaran mengacu pada dua konsep, yakni unit pemerintahan dan wilayah. Sebagai unit pemerintahan, yang dimaksud dengan Mangkunegaran adalah sebutan bagi sebuah praja atau kerajaan kecil atau kadipaten besar yang didirikan oleh Raden Mas Said yang kemudian bergelar Mangkuneggara I setelah perjanjian Salatiga 1757. Sebagai unit wilayah, Mangkunegaran terdiri dari kota praja dan daerah diluarnya yang sebagian besar terdiri dari daerah pedesaan. Kota praja merupakan pusat pemerintahan yang berlokasi di Kota Surakarta bagian utara. Daerah pedesaan berlokasi di selatan Kota Surakarta yang sekarang menjadi Kabupaten Wonogiri dan sebagian lainnya di sebelah timur kota Surakarta yang sekarang masuk dalam wilayah Kabupaten Karanganyar (Wasino, 2008 : 11). Daerah Mangkunegaran merupakan bagian dari wilayah Vorstenlanden yang mengalami proses kapitalisasi, yakni dengan masuknya modal (capital) pengusaha Belanda untuk usaha perkebunan yang menghasilkan keuntungan besar. Kondisi ini ditandai dengan berkembangnya berbagai perusahaan perkebunan, misalnya perkebunan kopi, gula, teh, indigo, dan kina (H.R.Soetono, 2000 : 2). Penanaman berbagai jenis tanaman perdagangan ini baru terjadi sejak diterapkannya Sistem
xix
Tanam Paksa (Cultuurstelsel) di Jawa tahun 1830-an. Sistem Tanam Paksa sebagai kebijakan ekonomi kolonial Belanda di Jawa abad ke 19 ini tidak berlaku di daerah Vorstenlanden, karena telah berlakunya sistem apanage (tanah lungguh) di wilayah Vosrtenlanden, khususnya di daerah Mangkunegaran. Perkebunan tebu mulai berkembang di Jawa pada pertengahan abad XIX yang meliputi daerah kerajaan Yogyakarta dan Surakarta. Pada tahun 1859 sudah berkembang perusahaan perkebunan swasta Barat untuk penanaman tebu di kedua kerajaan, khususnya di Surakarta. Pengusaha Eropa mendukung berkembangnya perusahaan perkebunan tebu dengan menanamkan modalnya ke daerah itu untuk menghasilkan keuntungan yang besar. Hal ini ditandai dengan adanya 44 perusahaan yang bergerak dalam bidang penanaman tebu dari total 138 perusahaan Eropa di Solo pada tahun 1862, sedangkan pada tahun 1863 di Surakarta terdapat sedikitnya 46 pabrik gula. Dengan demikian 31% perusahaan Eropa di Surakarta bergerak dalam usaha perkebunan tebu (Vincent.J.H.Houbben, 2002 : hal 585-587). Sistem Tanam Paksa berakhir secara resmi tahun 1870-an dan digantikan dengan sistem ”Politik Pintu Terbuka”, sehingga banyak pengusaha Belanda yang menanamkan modalnya di Jawa untuk usaha perkebunan tebu. Pelaku usaha bergeser dari pemerintah kolonial ke pengusaha swasta. Modal yang ditanamkan oleh pengusaha Belanda diinvestasikan dalam jumlah yang besar untuk usaha perkebunan tebu di Jawa, misalnya di daerah Mangkunegaran (Wasino, 2008 : 2). Dengan demikian, perusahaan perkebunan menjadi berkembang luas di Mangkunegaran pada masa”Politik Pintu Terbuka” setelah tahun 1870-an, karena pemerintah kolonial Belanda memberi kesempatan kepada pihak swasta dalam kebebasan untuk mendirikan usaha khususnya di bidang perkebunan tebu. Perkebunan Mangkunegaran yang terkenal mulai dibuka, bahkan membawa pengaruh yang besar terutama bagi keuangan kerajaan (kemudian negara). Sistem Tanam Paksa di tanah-tanah pemerintah yang terjadi pada masa itu telah mendatangkan banyak laba, sedangkan kebijakan sistem sewa tanah lungguh yang
xx
dilakukan Mangkunegara IV menjadikan beliau sebagai penguasa yang mandiri dan kuat (H.R.Soetono, 2000 : 2). KPAA Mangkunegara IV (1853-1881) mempelopori berdirinya perusahaan gula, yakni dengan mendirikan pabrik gula Colomadu tahun 1861 dan pabrik gula Tasikmadu tahun 1871. Tanah-tanah lungguh dari sanak saudara dan bangsawan di Mangkunegaran telah berhasil disewa untuk mendirikan perusahaan gula dengan imbalan ganti-rugi. Sistem apanage (tanah lungguh) bagi para abdi dalem dan pejabat telah diganti dengan sistem gaji. Tanah-tanah itu dikelola Mangkunegara IV menjadi perkebunan yang menanam komoditi ekspor yang menghasilkan keuntungan yang besar untuk industri gula. Pada masa Mangkunegoro VII (1916-1944) dilakukan pemisahan keuangan praja dengan keuangan perusahaan. Perusahaan yang khususnya dalam industri gula, ketika itu berada di bawah suatu badan dengan nama Fonds van Eigendommen van het Mangkoenegorosche Rijk’s (Dana Milik Praja Mangkunegaran). Badan ini berada di bawah pengelolaan Comissie van Beheer Fonds van Eigendommen van het Mangkoenegorosche Rijk’s (Komisi Pengelola Dana Milik Praja Magkunegaran). Komisi terdiri dari kepala trah Mangkunegaran sebagai ketua komisi, superitenden (pimpinan administrasi yang mengatur suatu badan usaha) yang berasal dari bangsa Eropa atas persetujuan gurbenur jenderal, dan pegawai pamong praja Belanda yang ditunjuk residen. Kegiatan sehari-hari dari komisi ini dikelola oleh superitenden (Wasino, 2008: 78). Keadaan berubah saat pengelolaan perusahaan gula Mangkunegaran ini akhirnya beralih ke tangan pemerintah sebagai akibat perubahan sosial politik pasca kemerdekaan. Pada tanggal 17 Agustus 1945 diproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia sebagai tanda revolusi nasional yang total dengan meliputi seluruh wilayah Indonesia, khususnya di daerah Surakarta. Berhubung dengan kekacauan sebagai akibat dari berakhirnya pemerintahan Jepang dan di keluarkannya proklamasi itu, telah menunjukkan bahwa pemerintahan swapraja Kasunanan dan Mangkunegaran tidak berdaya menghadapi dan mengatasi segala kesulitan. Mengenai status Swapraja
xxi
Kasunanan dan Mangkunegaran diatur dalam Peraturan Pemerintah 15 Juli 1946 No.16 untuk di jadikan sebagai satu karesidenan Surakarta (Arsip No. 464 MN, hal 4). Selain pengaturan sruktur kewilayahan itu pemerintah juga berusaha memulihkan perekonomian negara, sebagai contohnya adalah masalah ekonomi yang menyangkut perusahaan perkebunan. Perekonomian pasca berakhirnya pendudukan Jepang dalam kondisi kacau dan tidak menentu, sehingga bangsa Indonesia sebagai bangsa yang telah merdeka harus membangun dan memulihkan perekonomian nasional. Langkah yang diambil pemerintah setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, yakni dengan menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 dan membentuk struktur pemerintahan. Pengakuan kemerdekaan akhirnya diperoleh bangsa Indonesia, tetapi tidak berarti perjuangan telah selesai dan berbagai masalah telah diselesaikan, terutama masalah yang menyangkut bidang ekonomi. Sejumlah persoalan kesehjateraan, perbaikan keadaan dan penciptaan struktur ekonomi nasional merupakan permasalahan negara yang penting untuk segera diatasi dan dipulihkan bagi kepentingan nasional (Leireza,R.Z.dkk.1996 : 92-95). Pemerintah menerapkan perekonomian yang sesuai dengan kepentingan rakyat atau hajat hidup orang banyak. Pemikiran membangun suatu perekonomian nasional muncul kembali dan menempati agenda utama kabinet pemerintahan, dengan mendasarkan pada : pasal 33 UUD 1945 ayat 2)” Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak di kuasai oleh negara, 3) Bumi, air dan kekayaaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” Pemerintah berhak atas pengelolaaan kekayaaan negara yang menguasai kepentingan rakyat secara umum. Upaya yang dilakukan pemerintah dalam membangun perekonomian pasca kemerdekaan, salah satunya melalui kebijakan dalam mendirikan Perusahaan Perkebunan Republik Indonesia dengan berdasarkan pada Peraturan Pemerintah No 9 tahun 1947. Badan Pemerintah tersebut menguasai
xxii
perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam kantor perusahaan perkebunan pemerintah (dulu Gouverments Landbouwbedrijven) di wilayah Jawa dan Sumatra, perusahaan yang tergabung dalam perusahaan Kasunanan, dan perusahaan yang tergabung dalam perusahaan Mangkunegaran. Perlu di ketahui bahwa kajian ini tidak akan mengupas secara menyeluruh setiap perusahaan perkebunan
yang dikelola oleh pemerintah dalam Perusahaan
Perkebunan Republik Indonesia tersebut, melainkan akan dibatasi pada salah satu saja yakni perusahaan yang dimiliki Mangkunegaran, khususnya perusahaan gula. Hal ini terkait dengan suatu pandangan bahwa kajian yang dilakukan hanya bersifat mikro atau spesifik secara terbatas. Dengan demikian, diharapkan melalui kajian mikro itu akan dapat mengungkapkan dimensi perusahaan gula Mangkunegaran, khususnya pada masa terjadinya perubahan kepemilikan perusahaan gula tersebut dari pengelolaan Mangkunegaran yang beralih di bawah pengelolaan pemerintah RI. Perusahaan gula Mangkunegaran telah diambil alih pemerintah, yakni pabrik gula Colomadu dan pabrik gula Tasikmadu untuk di kelola oleh Perusahaan Perkebunan Republik Indonesia (PPRI). Pada masa pemerintahan Mangkunegara VIII tepatnya tahun 1952, perusahaan gula Mangkunegaran yang sebelumnya di kelola oleh Dana Milik Mangkunegaran telah dinasionalisasi oleh pemerintah Republik Indonesia (Tempo, 12 September 1987: hal 29). Pengelolaan perusahaan gula Mangkunegaran yang diambilalih oleh pemerintah pada awalnya dikelola oleh BPPGN (Badan Pengelola Perusahaan Gula Negara) dan PNS (Perusahaan Nasional Surakarta), kemudian dilebur ke dalam PPRI (Perusahaan Perkebunan Republik Indonesia). Pengelolaaan perusahaan gula Mangkunegaran sebelumnya dikelola oleh Dana Milik Mangkunegaran, setelah adanya kebijakan pemerintah beralih ke dalam pengelolaan pemerintah pusat melalui Perusahaan Perkebunan Republik Indonesia. Status kepemilikan
perusahaan gula juga berubah, yang awalnya milik praja
Mangkunegaran kemudian menjadi milik pemerintah pusat (nasional). Keputusan
xxiii
pengadilan Negeri Jakarta pada tahun 1952 tentang pembekuan harta kekayaan Mangkunegaran dapat memperjelas status kepemilikan perusahaan gula secara resmi adalah milik pemerintah. Perubahan kepemilikan perusahaan gula ini berdampak bagi kehidupan sosial-ekonomi Mangkunegaran. Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji dan meneliti secara lebih mendalam serta mengangkatnya dalam sebuah skripsi yang berjudul
”PERUBAHAN
KEPEMILIKAN
PERUSAHAAN
GULA
MANGKUNEGARAN TAHUN 1946-1952”
B. Perumusan Masalah Perumusan masalah ini berguna untuk mempermudah dalam melaksanakan penelitian. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah antara lain : 1. Mengapa KPAA Mangkunegoro IV mendirikan perusahaan gula ? 2. Bagaimana
proses
perubahan
status
kepemilikan
perusahaan
gula
Mangkunegaran setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia ? 3. Bagaimana pengaruh pengambilalihan perusahaan gula terhadap perubahan kehidupan ekonomi ”praja” dan pegawai perusahaan gula Mangkunegaran?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan jawaban atas masalah yang telah di rumuskan. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan : 1. Latar Belakang KPAA Mangkunegoro IV mendirikan perusahaan gula. 2. Proses perubahan status kepemilikan perusahaan gula Mangkunegaran setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. 3. Pengaruh pengambilalihan perusahaan gula terhadap perubahan kehidupan ekonomi ”praja” dan pegawai perusahaan gula Mangkunegaran.
xxiv
D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian yang diharapkan adalah manfaat penelitian secara teoritis dan manfaat penelitian secara praktis.
1. Manfaat Teoritis Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapakan dapat bermanfaat untuk : a. Menambah pengetahuan dan wawasan ilmiah tentang kebijakan ekonomi pemerintah pasca kemerdekaan, khususnya tentang perubahan kepemilikan perusahaan gula Mangkunegaran tahun 1946-1952. b. Menambah khasanah pustaka dan kajian mengenai industri perusahaan gula Mangkunegaran, khususnya pada saat dinasionalisasi tahun 1946-1952. c. Bahan masukan kepada pembaca untuk digunakan sebagai wacana dan sumber data dalam bidang sejarah, khususnya sejarah lokal.
2. Manfaat Praktis Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk : a. Menambah khasanah penelitian pada Program Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. b. Menambah kajian penelitian sejarah lokal di Surakarta mengenai industri perusahaan gula Mangkunegaran pasca kemerdekaan. c. Dapat memberikan informasi tentang proses perubahan kepemilikan perusahaan gula Mangkunegaran tahun 1946-1952 yang berpengaruh bagi kehidupan ekonomi ”praja” dan pegawai perusahaan.
xxv
BAB II KAJIAN TEORITIK
A. Tinjauan Pustaka 1.Perubahan Sosial dalam Sistem Perkebunan a. Sistem Perkebunan Sistem perkebunan di Indonesia diperkenalkan lewat kolonialisme Barat, dalam hal ini kolonialisme Belanda. Sejarah perkembangan perkebunan sebagai ekonomi yang menonjol sangat ditentukan oleh politik kolonial yang dijalankan pemerintah Belanda (Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, 1991:22). Perkebunan pada awal perkembangannya hadir sebagai sistem perekonomian baru yang semula belum dikenal, yaitu sistem perekonomian pertanian komersial yang dikembangkan oleh pemerintah kolonial. Sistem perkebunan pemerintah kolonial atau yang didirikan oleh pengusaha Belanda pada dasarnya merupakan sistem perkebunan Eropa. Pada masa pra-kolonial di Indonesia, struktur ekonomi tradisional usaha kebun merupakan usaha tambahan atau pelengkap kegiatan kehidupan pertanian pokok yang menghasilkan bahan pangan.
xxvi
Sistem perkebunan merupakan bagian dari sistem perekonomian pertanian yang bersifat komersial dan kapitalistik untuk komoditi ekspor di pasaran dunia. Sistem perkebunan sebagai bagian dari kegiatan sektor perekonomian modern, berbeda dari sistem pertanian tradisional masyarakat agraris yang masih subsisten dan pra-kapitalistik (pra-industrial), bentuk usaha kecil, tidak padat modal, penggunaan lahan terbatas, sumber tenaga kerja berpusat pada anggota keluarga dan kurang berorientasi pada kebutuhan pasar. Selanjutnya Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo (1991: 4) mengemukakan bahwa: Sistem perkebunan diwujudkan dalam bentuk usaha pertanian berskala besar dan kompleks, bersifat padat modal (capital intensive), penggunaan areal pertanahan luas, organisasi tenaga kerja upahan (wage labour), struktur hubungan kerja yang rapi, dan penggunaan teknologi modern, spesialisasi, sistem administrasi dan birokrasi, serta penanaman tanaman komersial (comersial crops) yang ditujukan untuk komoditi ekspor di pasaran dunia. Menurut William J.O. Malley (1988: 198), ”Perkebunan sebagai suatu komponen yang terdiri atas tanah, pekerja, modal, teknologi, organisasi dan skala tujuan”. Lebih lanjut J.O’ Malley menyebutkan bahwa: Di dalam sistem perkebunan, semua faktor ini mungkin saja berbeda-beda, baik sepanjang masa maupun pada kurun waktu tertentu. Lahan perkebunan misalnya, dapat disewa selama jangka waktu panjang dari pemerintah, dari kesatuan-kesatuan pemerintah lokal yang mandiri, atau dari pihak lain yang berhak atas lahan tersebut. Sistem perkebunan mempunyai dua sisi yang berbeda, di satu pihak bagaimana perkebunan itu mengelola manajemen perkebunan agar memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya, sedangkan di sisi lain dominasi perkebunan mendesak perekonomian tradisional yang merupakan penunjang kehidupan petani. Efisiensi manajemen merupakan kunci keberhasilan perkebunan menyangkut perluasan areal, produksi dan eksport (Suhartono, 1995: 61). Dengan demikian, sistem perkebunan masa Belanda bertujuan untuk memperoleh keuntungan yang
xxvii
sebesar-besarnya dengan orientasi pada penanaman tanaman komoditi ekspor di pasaran dunia. Sistem perkebunan Belanda dengan sifatnya yang komersial dan kapitalistik ini, salah satunya terlihat dalam perusahaan perkebunan tebu milik praja Mangkunegaran. H.R Soetono (2002: 2) menjelaskan bahwa: Daerah Mangkunegaran merupakan bagian dari wilayah Vorstenlanden yang mengalami proses kapitalisasi, yakni dengan masuknya modal (capital) pengusaha Belanda untuk usaha perkebunan yang menghasilkan keuntungan besar. Kondisi ini ditandai dengan berkembangnya berbagai perusahaan perkebunan, misalnya perkebunan kopi, gula, teh, indigo, dan kina Penanaman
berbagai jenis tanaman perdagangan ini berlangsung sejak
diterapkannya Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) di Jawa tahun 1830-an. Sistem Tanam Paksa sebagai kebijakan ekonomi kolonial Belanda di Jawa abad ke-19 ini tidak berlaku di daerah Vorstenlanden, karena telah berlakunya sistem apanage (tanah lungguh), khususnya di daerah Mangkunegaran. Sistem Tanam Paksa berakhir secara resmi tahun 1870-an dan digantikan dengan sistem ”Politik Pintu Terbuka”, sehingga banyak pengusaha Belanda yang menanamkan modalnya di Jawa untuk usaha perkebunan tebu. Pelaku usaha bergeser dari pemerintah kolonial ke pengusaha swasta. Modal yang ditanamkan oleh pengusaha Belanda diinvestasikan dalam jumlah yang besar untuk usaha perkebunan tebu di Jawa, khususnya daerah Mangkunegaran (Wasino, 2008: 2). Perubahan sistem ekonomi Belanda dari Sistem Tanam Paksa ke arah ”Politik Pintu Terbuka” menyebabkan masuknya modal swasta Belanda untuk usaha perkebunan di Mangkunegaran pada pertengahan abad XIX. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh KPAA Mangkunegara IV untuk membangun industri gula Mangkunegaran, yakni pabrik gula di Colomadu (1861) dan pabrik gula di Tasikmadu (1871) untuk memperoleh keuntungan yang besar. Industri gula Mangkunegaran disebut sebagai Kapitalisme Priayi, karena pemilik dan pelaku usaha berasal dari kalangan aristokrat. Dalam sistem produksi dan manajemen perusahaan
xxviii
gula Mangkunegaran dilakukan secara profesional dengan manajemen modern seperti halnya perkebunan milik swasta Barat (Belanda) dengan mempercayakan pengelolaan usahanya kepada tenaga kerja yang ahli di bidang perkebunan tebu, sehingga tenaga profesional dan administratur perusahaan gula di pegang oleh orangorang Belanda (Wasino, 2008: 373-374). Sistem perkebunan yang semula bersifat kapitalistik untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya mengalami perubahan
setelah kemerdekaan
bangsa Indonesia. Alasannya, pemerintah berusaha memisahkan perkebunan swasta Barat dengan perkebunan pemerintah. Langkah yang ditempuh pemerintah dengan mengeluarkan PP. No. 9 tahun 1947 tentang PPRI, salah satunya mengenai pengelolaan perusahaan perkebunan Mangkunegaran b. Perusahaan Perkebunan Perusahaan adalah sebuah organisasi atau lembaga yang mengubah keahlian dan material (sumber ekonomi) menjadi barang atau jasa untuk memuaskan kebutuhan para pembeli, serta diharapkan akan memperoleh laba bagi para pemilik usaha tersebut (Irawan dan Basu Swastha, 1992: 5). Heidirachman yang dikutip oleh Lestariningsih dan Suryatmojo (1996: 2) memberikan definisi perusahaan adalah suatu lembaga yang diorganisasi dan dijalankan untuk masyarakat dengan motif mendapatkan keuntungan. Faisal Affif (1994: 1) menjelaskan tentang perusahaan dilihat dari sudut pandang ekonomi diartikan sebagai suatu komunikasi alat-alat produksi dengan tujuan untuk mewujudkan sebagian dari pemuas kebutuhan masyarakat. Hal ini disebut sebagai satuan teknis-ekonomis karena menyangkut sekumpulan alat-alat produksi material (dapat diamati secara fisik), dan disebut ekonomi karena kombinasi tersebut terjadi secara rasional (dapat dipertanggungjawabkan secara ekonomis). Dengan istilah lain, perusahaan dalam arti ekonomis dapat diartikan sebagai suatu organisasi dengan segala usaha untuk mencapai suatu tujuan yang diusahakan agar
xxix
memperoleh perimbangan yang paling menguntungkan (optimal) antara biaya dan pendapatan atau cost dan sale, serta antara usaha dan hasilnya. Dari beberapa pendapat di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan perusahaan adalah suatu organisasi yang mengolah sumber ekonomi menjadi barang dan jasa untuk memenuhi sebagian kebutuhan masyarakat dengan tujuan untuk memperoleh laba atau keuntungan yang sebesar-besarnya dari proses produksi yang dilakukan Masalah pemilihan bentuk jenis perusahaan harus ditetapkan pada saat perusahaan akan didirikan atau awal menjalakan usahanya itu. Pemilihan jenis perusahaan tentunya berdasarkan pertimbangan dan tujuan yang akan dicapai. Pertimbangan suatu bentuk perusahaan juga tergantung pada kepemilikan modal. Dalam hal ini bentuk perusahaan atau badan usaha ditinjau dari kepemilikan modalnya, dapat digolongkan menjadi tiga yaitu: (1) Perusahaan atau badan usaha swasta, (2) Perusahaan atau badan usaha milik negara, (3) Perusahaan atau badan usaha milik koperasi. Dari ketiga golongan tersebut terdiri dari berbagai jenis perusahaan, yakni : 1) Perusahaan Perseorangan Usaha ini dimiliki, dikelola dan dipimpin oleh seorang yang bertanggung jawab penuh terhadap semua resiko dan aktifitas perusahaan. Modal perusahaan berasal dari modal (dana) milik pribadi. 2) Firma (Fa) Firma merupakan persekutuan dua orang atau lebih dengan nama bersama untuk menjalankan usaha, dimana tanggung jawab masing-masing anggota firma tidak terbatas, sedangkan yang akan diperoleh dari usaha tersebut akan dibagi bersamasama, jika menderita kerugian juga akan dipikul bersama dari para penanam modal usaha. Dengan demikian modal Firma berasal dari beberapa penanam modal. 3) Perseroan Komanditer (CV)
xxx
Berdasarkan pasal 19 KUHD yang dimaksud dengan perseroan komanditer adalah suatu bentuk perjanjian kerjasama untuk berusaha bersama antara orangorang yang bersedia memimpin, mengatur perusahaan serta bertanggungjawab penuh dengan kekayaan pribadinya, dengan orang yang memberikan pinjaman, tetapi tidak bersedia memimpin dan bertanggungjawab terbatas pada kekayaan yang dikutsertakan dalam perusahaan itu. 4) Perseroan Terbatas (PT) Perseroan terbatas adalah suatu persekutuan untuk menjalankan perusahaan yang mempunyaim modal usaha yang terbagi atas beberapa saham, diantara setiap sekutu turut mengambil bagian sebanyak satu atau lebih saham. Kekayaan perusahaan terpisah dari kekayaan pribadi setiap pemegang saham. 5) Perseroan Terbatas Negara (Persero) Perseroan sebelumnya adalah perusahaan negara. Terjadi perseroan karena perusahaan negara mengadakan penambahan modal yang ditawarkan pada pihak swasta untuk mengivestasikan modalnya.Dangan demikian dalam perseroan ada kesempatan bagi pihak swasta menanamkan modalnya. 6) Perusahaan Negara Umum (Perum) Tujuan dari Perum adalah mencari keuntungan, tetapi kesehjateraan masyarakat tidak boleh diabaikan. Dalam Impres RI No.17 28 Desember 1967 menyatakan bahwa kegiatan yang utama dalam Perum terutama ditujukan untuk melayani kepentingan umum menyangkut jasa-jasa yang vital (utama). 7) Perusahaan Negara Jawatan (Perjan) Kegiatan utama Perjan ditujukan terutama untuk pelayanan kepada masyarakat atau untuk kesehjateraan umum dengan memperhatikan segi efisiensinya. Perjan bisa memiliki fasilitas negara, sebab merupakan bagian dari Departemen Jenderal. Seluruh karyawannya berstatus pegawai negeri. 8) Perusahaan Daerah
xxxi
Perusahaan daerah adalah perusahaan yang modalnya atau sahamnya dimiliki oleh pemerintah daerah, dimana kekayaan perusahaan dsipisahkan dari kekayaan negara. Tujuan dari perusahaan daerah ini adalah mencari keuntungan yang nantinya akan dipergunakan untuk membangun daerah. 9) Koperasi Koperasi merupakan suatu perkumpulan yang beranggotakan orang-orang atau badan-badan yang memberikan kebebasan masuk dan keluar sebagai anggota dengan bekerjasama secara kekeluargaan (kegotongroyongan), menjalankan usaha untuk mempertinggi kesehjateraan jasmani dari para anggotanya (Lestariningsih dan Suryatmojo, 1996: 7-16). Setelah diuraikan mengenai perusahaan, maka perlu diuraikan mengenai perkebunan. Apabila mendengar kata perkebunan, maka imajinasi yang akan muncul dalam pikiran adalah suatu penanaman yang dilakukan dengan banyak tanaman dan bermacam-macam jenis. Secara specifik istilah perkebunan akan diuraikan lebih lanjut yang kemudian akan diambil suatu kesimpulan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996: 458), bahwa perkebunan berhubungan dengan hal berkebun, perusahaan yang mengusahakan kebun-kebun, dan tanah-tanah yang dijadikan kebun. Selanjutnya menurut Peter Salimdan Yenny Salim (1991: 680), Perkebunan berhubungan dengan ’hal yang berkenaan dengan kebun’ dan ’perusahaan kebun’. Dari dua pendapat diatas memiliki kesamaan pendapat bahwa perkebunan adalah sesuatu yang berhubungan dengan tanah, kebun dan perusahaan yang mengusahakannya. Pada konteks ini, perkebunan diartikan sebagai perusahaan yang mengusahakan kebun-kebun. Dalam keputusan Menteri Pertanian Nomor 940/kpts/OT.210/10/97, tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian, dikatakan bahwa usaha perkebunan sebagai usaha untuk melakukan usaha budidaya dan atau usaha industri perkebunan dalam bentuk perkebunan rakyat yang diusahakan oleh perseoranagn di atas tanah hak milik atau hak guna dan perusahaan perkebunan yang dilakukan di atas lahan hak guna
xxxii
mulai dari pembibitan, pengolahan hasil sampai pemasarannya (Departemen Pertanian, dalam www.deptan.go.id/kpts). Menurut William J.O Malley (1988: 198 ), “Perkebunan sebagai suatu komponen yang terdiri atas tanah, pekerja, modal, teknologi, skala, organisasi dan tujuan”. Dalam pengelolaan suatu perkebunan, terdapat berbagai unsur yang terlibat. Menurut Yayasan Agoekonomi (1983: 31), dalam suatu perkebunan terdapat unsur pemerintah, swasta dan rakyat yang bekerja sama dalam mengolah perkebunan untuk menghasilkan suatu hasil yang sama dan untuk memenuhi kebutuhan bersama. Dari pendapat di atas maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa perkebunan adalah suatu sistem kerja dalam suatu kegiatan pertanian dimana terdiri dari berbagai komponen, yaitu pemerintah, swasta, rakyat, tanah, pekerja, modal, teknologi, organisasi dan tujuan yang saling berhubungan dan berinteraksi satu dengan yang lain guna mencapai suatu tujuan atau hasil bersama. Perusahaan perkebunan yang dimaksud dalam kajian ini adalah perusahaan gula Mangkunegaran. Perusahaan ini diprakarsai dan di bangun oleh KPAA Mangkunegara IV, yakni pabrik gula Colomadu dan pabrik gula Tasikmadu. Kajian mengenai perusahaan gula Mangkunegaran ini difokuskan pada masalah perubahan kepemilikan perusahaan gula dari milik Mangkunegaran menjadi milik pemerintah setelah Proklamasi Kemerdekaan RI.
c. Macam-macam Perkebunan Pada masa kolonial, diwilayah nusantara khususnya Jawa, banyak dibuka perkebunan-perkebunan oleh para pengusaha swasta Barat, terutama dari Belanda. Hal ini merupakan akibat dari dikeluarkannnya Undang-undang Agraria (Agarisch Wet) pada tahun 1870. Menurut Sartono Kartodidjo dan Djoko Suryo (1991: 80) lebih lanjut mengatakan bahwa: Undang-undang ini berisi ketentuan-ketentuan tentang tataguna tanah antara lain: (1) Tanah milik rakyat tidak dapat diperjualbelikan kepada nonpribumi, (2) Disamping itu tanah domain pemerintah sampai seluas 10 bau
xxxiii
dapat dibeli oleh non-pribumi untuk keperluan bangunan perusahaan (3) Untuk tanah domain lebih luas dan ada kesempatan bagi non-pribumi memiliki hak guna tanah, ialah : (a) sebagai tanah dan hak membangun (rech van opstal, disingkat RVO), (b) tanah sebagai erfpacht (hak sewa serta hak mewariskan) untuk jangka 75 tahun. Dengan diberlakukannya Undang-undang Agraria, satu alat produksi pokok ialah tanah telah diliberalisasikan, maka terbuka kesempatan seluas-luasnya untuk membuka perusahaan perkebunan. Macam-macam perkebunan yang dibuka di Jawa masa pemerintahan kolonial Belanda menurut William J.O Malley (1988) diantaranya adalah : 1. Perkebunan tebu yang menghasilkan gula sebagai komoditi yang sangat laku di pasaran dunia. Industri gula merupakan industri yang menguntungkan, terkemuka dan dalam beberapa segi merupakan industri teladan bahkan membantu terjadinya boom-ekspor dari tanam paksa mulai tahun 1830-an. 2. Perkebunan kopi yang dihasilkan berupa kopi sebagai barang dagangan yang menguntungkan pada Sistem Tanam Paksa. Kopi ditanam para petani bumiputera di Jawa atas paksaaan pemerintah Hindia-Belanda. Penanaman tersebar dari Banten,
Karawang,
Priangan,
Cirebon,
Tegal,
Pekalongan,
Semarang,
Probolinggo, Banyuwangi dan Madiun. 3. Perkebunan Nila yang merupakan hasil tanaman yang sangat penting pada permulaaan masa Sistem Tanam Paksa, namun dalam perkembangannya, nila tidak begitu disukai oleh para pengusaha perkebunan Barat sehingga dihentikan penanamannnya. Sektor Perkebunan merupakan tulang punggung perekonomian Belanda, sejak masa VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) sampai politik Etis di awal abad XX. Pada abad XIX perkebunan diusahakan secara besar-besaran oleh Belanda. Selama Sistem Tanam Paksa (1830-1870) pengelolaan perkebunan dilakukan menurut model VOC secara konservatif dengan sedikit perbedaan. Pada masa VOC pengelolaan perkebunan melalui aparat birokrasi tradisional pribumi.
xxxiv
Selanjutnya
setelah masa Liberal (1870-1900) pengelolaan perkebunan dilakukan oleh pihak swasta yang mempunyai modal besar dari Eropa. Sejak 1870 mulailah babak baru dalam pengusahaan perkebunan, pihak swasta dengan modalnya mulai terlibat di dalamnya (Sartono Kartodirjo dan Djoko Suryo, 1991: 80). Dengan demikian sejak masa Politik Pintu Terbuka perusahaan perkebunan meningkat pesat dengan masuknya modal swasta dan Undang-undang Agraria 1870 yang mendukung luasnya pembukaan lahan-lahan perkebunan.
Permulaan abad XX mulailah korporasi-korporasi perseroan terbatas yang memiliki modal lebih besar dari Eropa (Belanda) yang ingin menguasai tanah-tanah perkebunan swasta yang telah ada. Korporasi-korporasi ini antara lain Nederlanches Handel Maatschapaij (NHM) yang sebenarnya telah berdiri sejak 1824, dan Handels Vereeningen Amsterdam (HVA) yang telah berdiri tahun 1878. Kedua korporasi besar ini berhasil memiliki puluhan perusahaan gula, beberapa perusahaan tembakau, teh, kopi, sisal dan sebagainya (Geertz, 1983: 89). Daerah Mangkunegaran sebagai salah satu bagian dari Vorstenlanden, tidak lepas dari proses kapitalisasi perkebunan yang ditandai dengan berdirinya perusahaan perkebunan
misalnya
perkebunan
gula,
kopi,
teh,
indigo,
dan
kina
(A.K.Pringgodigdo, 1950: 42). Pengelolaan perusahaan perkebunan di daerah Vorstenlanden umumnya di bawah korporasi besar Cultur Mastscapaij der Vorstenlanden, suatu korporasi sejak tahun 1913 telah berhasil memiliki puluhan pabrik gula, beberapa pabrik kopi, tembakau dan teh (Geertz, 1983: 89). Perusahaan gula yang terkenal di Mangkunegaran adalah pabrik gula yang didirikan oleh Mangkunegara IV. Pada tahun 1861 Mangkunegar IV mengajukan rencana perusahaan gula Colomadu pada tanggal 8 Desember 1861. Bangunan perusahaan gula ini dilaksanakan di bawah seorang ahli dari Eropa (R.Kamp). Perkembangan pabrik gula Colomadu yang bagus mendorong Mangkunegara IV mendirikan pabrik gula Tasikmadu pada tanggal 11 Juni 1871.
xxxv
Kuatnya korporasi-korporasi tersebut ditunjang dengan kerjasama yang baik terhadap bank-bank yang ada, misalnya De Javasche Bank, Nederlansche Indische Handels Bank, dan Chartered Bank. Dengan bantuan keuangan cukup besar, korporasi-korporasi tersebut akhirnya mampu mengembangkan usahanya di sektor perkebunan sehingga tidak kurang dari tiga dasawarsa dengan keuntungan besar. Baru setelah timbulnya krisis ekonomi, sekitar tahun 1930-an, perusahaan perkebunan mulai tidak stabil, bahkan menurut laporan Liga Bangsa-Bangsa krisis ekonomi ini lebih berat dirasakan bangsa Indonesia daripada negara-negara lain (Wertheim, 1956: 78). Kondisi ini tidak banyak berubah hingga berakhirnya kolonialisme Belanda pada tahun 1942 (saat masa pendudukan Jepang). Pada pendudukan Jepang eksploitasi lebih ditekankan pada kepentingan ekonomi perang. Perusahaan perkebunan untuk komoditi ekspor kurang diperhatikan, karena perkebunan yang diutamakan adalah untuk penunjang kebutuhan perang. Perkebunan yang dikembangkan Jepang terutama penanaman jarak, kina, dan rami (rosela). Pasca kemerdekaan Indonesia, persoalan penguasaan aset perusahaanperusahaan asing di wilayah ini menjadi isu yang cukup menarik. Persoalannya adalah bahwa peralihan kekuasaan dari pemerintah kolonial menjadi pemerintah Republik Indonesia tidak diikuti dengan peralihan penguasaan semua aset ekonomi. Pengalihan aset ekonomi hanya terjadi pada badan-badan pemerintah kolonial yang telah diambil alih oleh pemerintah Bala Tentara Jepang. Aset-aset asing yang dikuasai oleh pihak perusahaan swasta asing masih tidak jelas statusnya. Pengelolaan perusahaan-perusahaan itu menjadi terganggu akibat terjadinya perang kemerdekaan. Banyak pengusaha dan pekerja asing yang meninggalkan perusahaannya kembali ke negeri Belanda. Ada pula yang bertahan di Indonesia, meskipun usahanya tidak berjalan maksimal (Wasino, Makalah Workshop on the Economic Side of Decolonization, Agustus 2004. hlm. 1). Pengambilalihan ini semula banyak dilakukan oleh badan-badan perjuangan,
xxxvi
namun kemudian ditertibkan oleh Pemerintah Indonesia, terutama dilakukan oleh pihak militer. Salah satu penguasa bumi putra yang asetnya diambil alih oleh negara adalah perusahaan gula Mangkunegaran. Pengambilalihan aset milik Praja Mangkunegaran setelah berakhirnya pemerintahan swapraja berdasarkan Penetapan Pemerintah no 16/S.D. tanggal 15 Juli tahun 1946. Pengambilalihan perusahaan perkebunan dilakukaan berdasarkan kebijakan ekonomi pemerintah RI dengan mengeluarkan PP No.9 tahun 1947 tentang pembentukan Perusahaan Perkebunan Republik Indonesia (PPRI). Kebijakan pemrintah inilah yang akhirrnya menyebabkan terjadinya perubahan kepemilikan perusahaan gula Mangkunegaran, sehingga membawa dampak dan perubahan sosial di Mangkunegaran.
d. Pengertian Perubahan Sosial Dalam kamus besar Bahasa Indonesia (1990: 981) pengertian perubahan adalah : a) Hal (keadaan) berubah, peralihan, perubahan; b) perubahan aktiva tetap yang tidak menambah jasanya. Pengertian sosial menurut Poerwadarminta (1984: 961) adalah segala sesuatu yang menangani masyarakat, kemasyarakatan, misalnya departemen-departemen yang bertugas mengurus kebaikan atau kesehjateraan masyarakat; perkumpulan yang bersifat (bertujuan) kemasyarakatan (bukan dagang atau politik); suka memperhatikan kepentingan umum. Pengertian sosial lainnya adalah segala aspek yang berhubungan dengan manusia dan lingkungan sosialnya atau masyarakat (www.wikipedia.sosial-sosiologi.com). Perubahan sosial menurut Mac Iver adalah sebagai perubahan-perubahan dalam hubungan sosial (relationship social) atau sebagai perubahan-perubahan terhadap keseimbangan (equilibrium) hubungan sosial. Gillin dan Gillin memandang bahwa perubahan sosial sebagai suatu variasi cara hidup yang lebih bisa diterima masyarakat, disebabkan baik oleh perubahan kondisi geografis, kebudayaan materiil, komposisi penduduk, ideologi ataupun karena terjadinya penemuanpenemuan
baru dalam masyarakat. Sedangkan Kingsley Davis mengartikan
xxxvii
perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat (Soerjono Soekanto, 2005: 304-305). Selo Soemadjan menyatakan bahwa perubahan sosial adalah segala perubahan-perubahan pada lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap dan pola peri kelakuan diantara kelompok dalam masyarakat (Soerjono Soekanto, 2005: 305). Sementara Syahrial Syabarni (2002: 40) memberikan definisi perubahan sosial adalah pergeseran nilai-nilai sosial, perilaku, susunan organisasi, lembaga-lembaga sosial, stratifikasi sosial, kekuasaan dan wewenang. Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perubahan sosial adalah segala perubahan cara hidup, sikap nilai dan pola perilaku di antara kelompokkelompok di dalam masyarakat yang disebabkan oleh adanya perubahan kondisi geografis, komposisi penduduk, penemuan baru, lembaga-lembaga sosial, stratifikasi sosial, kekuasaan dan wewenang. e. Faktor Penyebab Perubahan Sosial Ada dua faktor yang menyebabkan perubahan sosial yaitu faktor dari dalam masyarakat dan faktor dari luar masyarakat. Adapun faktor yang berasal dari dalam masyarakat antara lain: (1) Pertumbuhan penduduk dan urbanisasi, (2) Penemuan baru, (3) Adanya konflik dalam masyarakat, (3) Toleransi pada hal-hal baru atau perubahan, (4) Kemajuan dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan serta teknologi, (5) Sikap menghargai karya dan sikap maju orang lain, (6) Rasa tidak puas terhadap pola hidup lama atau monoton, (7) Terjadinya suatu pemberontakan atau gerakan yang bersifat reaksioner (Syahrial Syarbani, 2002: 42) Sedangkan faktor yang berasal dari luar masyarakat diantaranya meliputi hal berikut: (1) Perubahan fisik lingkungan, (2) Kontak atau pengaruh budaya asing, (3) Perang dengan negara lain, (4) Perubahan ekonomi dunia, (5) Munculnya berbagai media massa yang menyuguguhkan aneka informasi dan inovasi (Syahrial Syarbani, 2002: 42)
xxxviii
Ciri-ciri perubahan sosial menurut Soerjono Soekanto (2005: 310) antara lain ditandai oleh hal berikut: 1) Tidak ada masyarakat yang berhenti perkembangannya karena setiap masyarakat mengalami perubahan yang terjadi secara lambat atau cepat. 2) Perubahan-perubahan yang terjadi pada lembaga kemasyarakatan tertentu, akan diikuti dengan perubahan-perubahan pada lembaga sosial lainnya. 3) Perubahan-perubahan sosial yang cepat, biasanya mengakibatkan terjadinya disorganisasi yang sementara sifatnya di dalam proses penyesuaian diri. Disorganisasai tersebut akan diikuti oleh suatu reorganiasasi yang mencakup pemantapan dari kaidah-kaidah dan nilai lain yang baru. 4) Perubahan-perubahan tidak bisa dibatasi pada bidang kebendaan atau bidang spiritual saja, tetapi semua bidang kehidupan. Faktor perubahan sosial ditandai dengan adanya perubahan di bidang politik dan ekonomi bangsa Indonesia, yakni perubahan politik diawali dari Proklamasi 17 Agustus 1945 untuk menjadi negara yang merdeka dan berdaulat dengan membentuk pemerintahan sendiri. Sedangkan perubahan ekonomi ditandai dengan adanya perubahan ekonomi masa kolonial menuju struktur ekonomi nasional, khususnya dalam pengelolaan perkebunan. Dengan demikian pasca kemerdekaan Republik Indonesia, telah terjadi perubahan sosial dalam sistem perkebunan yang menyebabkan perubahan status perusahaan pekebunan. Misalnya dalam perubahan kepemilikan perusahaan gula Mangkunegaran tahun 1946-1952 yang beralih dari perusahaan milik Mangkunegaran ke pemerintah RI.
f. Perubahan Sosial-Ekonomi di Mangkunegaran Pada daerah jajahan perubahan sosial dalam masyarakat mempunyai sebabsebab yang berbeda dengan daerah-daerah yang tidak dijajah. Sebagai perantara kolonial dengan rakyat penguasa tradisional (raja dan bupati) tidak dicopot kekuasaannya tetapi mereka dipakai untuk memungut hasil produksi rakyat,
xxxix
kemudian diserahkan kepada pihak penjajah (Noer Fauzi, 1999: 20). Semakin meluasnya usaha perkebunan dengan modal asing telah membawa dampak pada perubahan sistem perekonomian tradisional menjadi sistem pertanian komersial. Pada masa sistem ekonomi liberal telah memberikan kebebasan berusaha mengembangkan perusahaan perkebunan, sehingga kesempatan baik ini dimanfaatkan oleh KPAA Mangkunegara IV untuk membangun perusahaan gula. Industri gula Mangkunegaran dan perkebunan tebunya pada abad XX telah berpengaruh terhadap perkembangan ekonomi masyarakat Mangkunegaran. Pengaruh terjadi baik bagi keuangan praja maupun ekonomi masyarakat pedesaan. Industri gula ini tidak banyak mempengaruhi bentuk fisik desa dan tatanan pemerintahan di desa Mangkunegaran, tetapi mempengaruhi fungsi desa. Dalam hal ini desa mempunyai peran yang yang penting dalam pelaksanaan dan kegiatan produksi perusahaan perkebunan tebu. Pemerintahan desa di wilayah Mangkunegaran merupakan sarana (alat) dari birokrasi istana untuk kepentingan penyedia tenaga kerja dan penyedia tanah. Industri gula Mangkunegaran berpengaruh besar terhadap perkembangan ekonomi pedesaan yaang terjadi pada sektor tanaman pangan, terutama padi. Pengaruh lain dapat membuka peluang kerja bagi masyarakat Mangkunegaran sebagai tenaga kasar dalam pengolahan tebu, mulai penanaman hingga tebang (rembang), dan pekerja bagi penduduk yang berpendidikan baik (Wasino, 2008: 376-378). Pada pasca kemerdekaan terjadi pengambilalihan perusahaan gula menjadi perusahaan
negara
dalam
pengelolaan
PPRI,
khususnya
perusahaan
gula
Mangkunegaran. Hal ini berdasarkan kebijakan pemerintah No.9 tahun 1947 dengan maksud untuk memisahkan perusahaan perkebunan milik pemerintah dengan perusahaan perkebunan asing (Belanda). Kebijakan pemerintah ini mengakibatkan perubahan kepemilikan perusahaan gula Mangkunegaran, sehingga menyebabkan perubahan keadaan sosial ekonomi di Mangkunegaran. Keputusan Pengadilan Negeri
xl
Jakarta tahun 1952 menandakan
Perusahaan gula Mangkunegaran secara resmi
diambil alih pemerintah. Perubahan pengelolaan gula Mangkunegaran secara ekonomi memperjelas bahwa status kepemilikannya dan hak kekayaan perusahaan beralih ke tangan pemerintah pusat yang menyebabkan Mangkunegaran kehilangan sumber pendapatan yang utama. Dampak perubahan ini bisa dilihat dari adanya perubahan manajemen (tata kelola) perusahaan gula, yang meliputi struktur pengelolaan, sistem produksi, administrasi keuangan, tenaga kerja dan sistem upah yang mengalami transisi ataupun perubahan sehingga berdampak bagi kehidupan sosial ekonomi di praja Mangkunegaran. Perubahan yang signifikan menyangkut keuangan dan kekayaan praja dari hasil pendapatan perusahaan gula.
2. Kebijakan Pemerintah a. Pengertian Kebijakan Pemerintah Dalam kamus lengkap bahasa Indonesia (tt:166) kebijaksanaan adalah kecermatan bertindak jika menghadapi suatu kesulitan atau masalah. Sedangkan menurut Mirriam Budiarjo (1982: 12) bahwa kebijaksanaan (policy) adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik dalam usaha-usaha memilih tujuan dan cara mencapai tujuan itu. Kebijaksanaan memiliki makna yang hampir sama dengan kebijakan. Kebijakan dan keputusan merupakan bagian penting dari sistem politik suatu negara. H. Hugh Heglo menyebutkan kebijakan sebagai “a course of action intended to accomplish some end,” atau sebagai suatu tindakan yang bermaksud untuk mencapai tujuan tertentu.
Menurut Jones menjelasakan beberapa isi tentang
kebijakan, yang meliputi hal berikut: a) Tujuan tertentu yang dikehendaki untuk dicapai (the desired ends to be achieved); b) Rencana atau proposal yang merupakan alat atau cara tertentu untuk mencapainya; c) Program atau cara tertentu yang telah mendapat persetujuan dan pengesahan untuk mencapai tujuan yang dimaksud; d)
xli
keputusan, yakni tindakan tertentu yang diambil untuk menentukan tujuan, membuat dan menyesuaikan rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program (Said Zainal Abidin, 1988: 7-10). Secara umum, istilah ”kebijakan” atau ”policy” dipergunakan untuk menunjukkan perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok, maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu (Budi winarno, 2002:14). Secara lebih khusus kebijakan adalah pedoman untuk melaksanakan suatu tindakan (Steiner dan Miner, 1988: 22). Menurut Dror yang dikutip oleh Miriam Budiarjo dan Tri Nuke Pudjiastuti (1996: 229), ”Kajian tentang kebijakan akan menyangkut pemahaman terhadap pembuatan dan penyempurnaan suatu kebijakan. Lingkup studi kebijakan sangat luas dari sebab-sebab diterapkan suatu kebijakan yang meliputi isi kebijakan, proses pelaksanaan kebijakan serta dampak suatu kebijakan”. Kebijakan juga mengandung komponen tindakan, yakni hal yang dilakukan pemerintah kepada pihak lain untuk menghasilkan orientasi, memenuhi peran atau mencapai dan mempertahankan tujuan tertentu (Holsti, 1988:158). Setelah diuraikan mengenai pengertian kebijakan, selanjutnya perlu dikemukakan pengertian pemerintah. Secara etimologis Pemerintah berasal dari kata perintah. Menurut Poerwadarminto (1990: 775) kata tersebut mempunyai arti: perintah perkataan yang bermaksud menyuruh melakukan sesuatu; pemerintah adalah kekuasaan memerintah suatu negara (daerah-daerah) atau badan yang tertinggi yang memerintah suatu negara (seperti suatu kabinet merupakan suatu pemerintah); sedangkan yang dimaksud pemerintahan adalah perbuatan (cara, hal dan urusan) memerintah. Samuel Edward Finer yang dikutip oleh S.Pamudji (1982: 5) menyatakan istilah ”goverment” paling sedikit mempunyai empat arti yaitu; menunjukkan kegiatan atau proses memerintah dengan melaksanakan kontrol atas pihak lain (the activity or the process of governing); menunjukkan masalah-masalah hal ikhwal
xlii
negara dalam kegiatan atau proses dijumpai (states of affairs); menunjukkan orangorang (maksudnya pejabat-pejabat) yang dibebani tugas-tugas untuk memerintah (people charged with the duty of governing); menunjukkan cara, metode atau sistem dimana suatu masyarakat diperintah (the manner, method or system by which a perticular society is governed). Berpijak dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan pemerintah adalah serangkaian rencana kegiatan yang dibuat oleh suatu lembaga negara yang mempunyai kekuasaan legislatif, yudikatif, dan eksekutif dalam upaya mengatur dan memecahkan permasalahan negara. Kebijakan pemerintah mencakup semua aspek kehidupan, seperti dalam bidang politik, sosial dan ekonomi. Dalam kajian ini tentang kebijakan pengambialihan perusahaan perkebunan, khususnya perusahaan gula Mangkunegaran.
b. Penentu Kebijakan (Decision Maker) Aktor-aktor atau pemeran dalam proses pembuatan kebijakan dapat dibagi ke dalam berbagai para pemeran resmi dalam proses pembutan kebijakan yang meliputi: badan-badan
administrasi
(agen-agen
pemerintah
atau
birokrasi),
presiden
(eksekutif), lembaga legislatif dan lembaga yudikatif. Menurut Budi Winarno (2002: 85) aktor-aktor perumusan kebijakan antara lain : 1. Badan-badan Administrasi (agen-agen pemerintah) Badan-badan adminstrasi dianggap sebagai badan pelaksana telah diakui secara umum dalam ilmu politik mengenai pemerintahan di suatu negara. 2. Presiden (eksekutif) Presiden sebagai kepala eksekutif mempunyai peran penting dalam perumusan kebijakan. Keterlibatan presiden dalam perumusan kebijakan dapat dilihat dalam komisi-komisi presidential, maupun dalam rapat-rapat kabinet.
3. Lembaga Yudikatif
xliii
Lembaga
yudikatif
mempunyai
kekuasaan
yang
cukup
besar
untuk
mempengaruhi kebijakan publik melalui pengujian kembali suatu undang-undang dan peraturan. Tinjauan yudisial merupakan kekuasaan pengadilan untuk menentukan tindakan-tindakan yang diambil oleh eksekutif maupun legislatif sesuai kontitusi. Keputusan yang bertentangan dengan konstitusi negara, maka badan yudikatif berhak membatalkan/ menyatakan tidak sah peraturan tersebut. 4. Lembaga Legislatif Lembaga legislatif (DPR) bersama-sama dengan pihak eksekutif (presiden dan para pembantu presiden) memegang peran yang cukup krusial di dalam perumusan atau pembuatan kebijakan. Setiap undang-undang yang menyangkut kepentingan publik harus mendapatkan persetujuan dari lembaga legislatif.
c. Kebijakan Pemerintah RI terhadap Perusahaan Perkebunan UUD 1945 merupakan landasan konstitusional negara Republik Indonesia. Konstitusi merupakan hukum dasar pedoman dalam penyelenggaraan pemerintahan, yang terdiri dari Undang-undang Dasar (konstitusi tertulis) dan konvensi (konstitusi tidak tertulis). Pembukaan UUD 1945 dalam alinea keempat disebutkan tujuan negara adalah: ”...Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesehjateraan umum dan mencerdeskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia....” Amanat yang tersirat dalam UUD 1945 tersebut salah satunya adalah membangun perekonomian negara, khususnya dalam usaha memajukan kesehjateraan umum. Hal ini dikarenakan selama penjajahan perekonomian rakyat tertindas oleh kepentingan penjajah, sehingga rakyat hidup miskin dan sengsara. Kondisi ekonomi dalam keadaan yang kacau, terutama masalah perusahaan perkebunan. Pasca kemerdekaan RI bahwa sejumlah persoalan kesehjateraan, perbaikan keadaan dan penciptaan struktur ekonomi nasional harus segera diatasi untuk kepentingan perekonomian nasional.
xliv
Berdasarkan UUD 1945 tersebut, pemerintah menerapkan perekonomian yang sesuai dengan kepentingan rakyat atau hajat hidup orang banyak. Pemikiran membangun suatu perekonomian nasional, dengan mendasarkan pada : pasal 33 UUD 1945 ayat 2)” Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak di kuasai oleh negara, 3) Bumi, air dan kekayaaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” Kebijakan ekonomi pemerintah pasca kemerdekaan, misalnya dengan mengambilalih perusahaan perkebunan untuk membedakan perusahaan pemerintah dengan swasta asing (Belanda). Akhirnya pemerintah mengeluarkan PP no. 9 tahun 1947 tentang Perusahaan Perkebunan Republik Indonesia (PPRI). Tugas dari kantor ini adalah mengurus dan menyelenggarakan perusahaan-perusahaan milik negara yang tergabung dalam Kantor Perusahaan Perkebunan Pemerintah (KPP) yang pada zaman Belanda bernama Gouvernements landbouw bedrijven. Selain itu ini juga bertugas untuk mengurus perusahaan-perusahaan bukan milik bangsa asing yang dikuasai oleh negara, termasuk di dalamnya perusahaan-perusahaan bukan perkebunan. Sejak berdirinya PPRI, maka industri gula Mangkunegaran dikuasai secara langsung langsung oleh pemerintah Republik Indonesia (Wasino, 2004: 6). Gula merupakan salah satu kebutuhan pokok yang penting dan memenuhi hajat hidup rakyat. Masa kolonial industri gula dipegang oleh swasta untuk mendapatkan keuntungan yang besar, sedangkan masa pendudukan Jepang kurang diperhatikan sebab ekonominya lebih ditekankan pada kepentingan perang. Industri gula merupakan cabang produksi penting dan menguasai hajat hidup orang banyak, sehingga pengelolaannya diambil alih oleh pemerintah. Berdasarkan PP No.9 Tahun 1947 perusahaan gula Mangkunegaran telah diambil alih pemerintah. Perusahaan Gula Mangkunegaran secara resmi menjadi milik pemerintah berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri di Jakarta tahun 1952 tentang pembekuan harta benda milik Mangkunegaran. Dengan demikian, adanya
xlv
kebijakan pemerintah terhadap perusahaan perkebunan pasca kemerdekaan telah menyebabkan perubahan kepemilikan perusahaan gula Mangkunegaran. B. Kerangka Berpikir
Sistem Perkebunan
Ekonomi RI berdasarkan UUD 1945
Kebijakan ekonomi pemerintah RI pasca kemerdekaan Perusahaan Perkebunan
Pengambilalihan perusahaan perkebunan
Perubahan sosial dalam sistem perkebunan
Perubahan status kepemilikan Perusahaan gula Mangkunegaran
pengaruh perubahan ekonomi bagi ”praja” dan pegawai perusahaan gula di Mangkunegaran
Keterangan : Pemerintah Republik Indonesia pasca kemerdekaan mengalami masa revolusi dalam membentuk pemerintahaan yang berdaulat, baik dari segi politik, sosial dan ekonomi. Pengakuan kemerdekaan bukanlah berarti penyelesaian masalah, terutama yang menyangkut di bidang ekonomi. Sejumlah persoalan kesehjateraan, perbaikan keadaan dan penciptaan struktur ekonomi nasional kembali muncul dalam bentuk yang lebih nyata untuk segera diatasi.
xlvi
Setelah lenyapnya pemerintahan Jepang dengan diproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 banyak infrastruktur ekonomi yang rusak guna kepentingan perang. Perekonomian ini terutama di bidang usaha perkebunan yang telah lama menjadi andalan sejak kolonialisme Belanda dan tumbuh sangat pesat ketika masa liberalisasi dan kapitalisasi. Selain itu masih adanya modal asing dari swasta Belanda yang bergerak di bidang perusahaan perkebunan, menambah keruwetan masalah ekonomi. Kondisi tersebut menyebabkan ekonomi bangsa Indonesia kacau. Pasca kemerdekaan Indonesia, persoalan penguasaan aset perusahaanperusahaan asing di wilayah ini menjadi isu yang cukup menarik. Persoalannya adalah bahwa peralihan kekuasaan dari pemerintah kolonial menjadi pemerintah republik tidak serta merta diikuti dengan peralihan penguasaan semua aset ekonomi. Pengalihan aset ekonomi hanya terjadi pada badan-badan pemerintah kolonial yang telah diambil alih oleh pemerintah Bala Tentara Jepang. Aset-aset asing yang dikuasai oleh pihak perusahaan swasta asing masih tidak jelas statusnya. Sementara itu pengelolaan perusahaan-perusahaan itu menjadi terganggu akibat terjadinya perang kemerdekaan. Banyak pengusaha dan pekerja asing yang meninggalkan perusahaannya kembali ke negeri Belanda. Ada pula yang masih bertahan di Indonesia, meskipun usahanya tidak berjalan maksimal. Pemerintah membentuk Perusahaan Perkebunan Republik Indonesia dengan mengeluarkan PP No.9 Tahun 1947. Pemerintah mengeluarkan peraturan tersebut karena memandang perlunya memisahkan perkebunan milik Negara (pemerintah) dan perkebunan milik bangsa Asing guna menghadapi perundingan dengan pemerintah Belanda mengenai status politik, masalah ekonomi dan keuangan. Kebijakan pemerintah berdampak besar pada pengelolaan perusahaan perkebunan Mangkunegaran,
khususnya
perusahaan
gula.
Awalnya
perusahaan
gula
Mangkunegaran didirikan oleh Mangkunegara IV yang memanfaatkan kesempatan kebebasan berusaha dan penanaman modal pengusaha Belanda pada masa ”Politik
xlvii
Pintu Terbuka”, yakni dengan membangun pabrik gula Colomadu tahun 1861dan pabrik gula Tasikmadu tahun 1871. Perusahaan gula ini merupakan salah satu sumber potensial pendapatan Mangkunegaran, pada masa pemerintahan Mangkunegara VIII dikelola oleh Dana Milik Mangkunegaran. Perusahaan gula yang menyangkut hajat hidup orang banyak tersebut pengelolaannya diambil alih oleh pemerintah yang awalnya melalui BPPGN dan PNS kemudian dilebur ke dalam PPRI. Pengelolaan perusahaan gula yang sebelumnya berada di bawah dana Milik Mangkunegaran kemudian beralih kepada pemerintah melalui PPRI ini menjadikan status kepemilikan perusahaan gula tersebut berubah dari perusahaan yang sebelumnya milik praja menjadi perusahaan negara. Status kepemilikan perusahaan gula Mangkunegaran secara resmi menjadi milik pemerintah pusat berdasarkan keputusan pengadilan negeri Jakarta tahun 1952 dengan adanya keputusan pembekuan dana milik Mangkunegaran. Adanya perubahan status kepemilikan perusahaan gula ini menimbulkan dampak yang besar bagi Mangkunegaran terutama dalam bidang sosial-ekonomi. Perubahan kepemilikan perusahaan gula Mangkunegaran terjadi seiring dengan berakhirnya pemerintahan swapraja, kemudian pengelolaan kekayaan Mangkunegaran yang menyangkut hajat hidup orang banyak diambil alih oleh pemerintah. Perubahan pengelolaan gula Mangkunegaran secara ekonomi memperjelas bahwa status kepemilikan dan hak kekayaan perusahaan beralih ke pemerintah, sehingga Mangkunegaran kehilangan sumber pendapatan yang vital (utama).
xlviii
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Penelitian dilakukan dalam rangka penyusunan skripsi yang berjudul ”Perubahan Kepemilikan Perusahaan Gula Mangkunegaran Tahun 1946-1952” ini dilakukan dengan cara studi pustaka. Adapun perpustakaan yang digunakan sebagai tempat memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian, antara lain perpustakaan: a. Perpustakaan Program Pendidikan Sejarah FKIP UNS b. Perpustakaan Program Sastra Sejarah UNS c. Perpustakaan FKIP UNS d. Perpustakaan Pusat UNS e. Perpustakaan Rekso Pustoko Mangkunegaran f. Perpustakaan PTPN IX g. Monumen Pers Surakarta h. Perpustakaan Daerah Surakarta i. Perpustakaan Museum Gula Jawa Tengah di Klaten
xlix
j. Perpustakaan Pusat UGM
2. Waktu Penelitian Rencana waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah sejak proposal disetujui pembimbimg yaitu bulan April 2009 sampai dengan Januari 2010 (sepuluh bulan). Adapun kegiatan yang dilakukan dalam jangka waktu tersebut diantaranya adalah mengumpulkan sumber, melakukan kritik untuk menyelidiki keabsahan sumber, menetapkan makna yang saling berhubungan dari fakta-fakta yang diperoleh dan terakhir menyusun laporan hasil penelitian. Dengan jadwal penelitian, sebagai berikut :
Jadwal Kegiatan Penelitian Tahun 2009-2010 No
1. 2.
3.
Jenis Kegiatan
April
Mei
Juni
Juli-
September-
Agustus
Desember
Pengajuan Judul Penyusunan Proposal Pengajuan Surat Ijin
4.
Pengumpulan Data
5.
Analisis Data
6.
Laporan Penelitian
B. Metode Penelitian
l
Januari
Kata metode berasal dari bahasa Yunani yaitu methodos yang terdiri dari kata, yaitu methos berati jalan atau cara dan theodos yang berarti masalah.artinya cara atau jalan. Sehubungan dengan penelitian karya ilmiah, maka yang dimaksud dengan metode adalah cara kerja yang sistematis mengacu pada aturan baku yang sesuai dengan
permasalahan
ilmiah
yang
bersangkutan
dan
hasilnya
dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah (Koentjaraningrat, 1986: 2). Dalam kamus The New Lexicon, metode adalah suatu cara untuk membuat sesuatu, suatu prosedur untuk mengerjakan sesuatu, keteraturan dalam berbuat, berencana, dan suatu susunan atau sistem yang teratur (Helius Sjamsuddin, 2007: 13). Menurut Mardalis (2002: 24) metode dapat diartikan sebagai suatu cara atau teknis yang dilakukan dalam proses penelitian. Metode dapat diartikan jalan, cara, atau petunjuk pelaksanaan atau merupakan petunjuk teknis (Dudung Abdurrahman, 1999: 43). Metode dapat diartikan tata cara bagaimana suatu penelitian dilaksanakan, yang melingkupi prosedur penelitian dan teknik penelitian (Iqbal Hasan, 2002: 21). Menurut kamus Webster’s, Third New International Dictionary of the English Language, yang dimaksud dengan metode adalah : 1. Suatu prosedur atau proses untuk mendapatkan suatu obyek. 2. Suatu disiplin atau sistem yang acapkali dianggap sebagai cabang logika yang berhubungan dengan prinsip-prinsip yang dapat diterapkan untuk penyidikan ke dalam atau eksposisi dari beberapa subyek. 3. Suatu prosedur, teknik, dan cara melakukan penyelidikan sistematis. (Helius Sjamsuddin, 2007: 12) Dari pengertian tersebut, maka metode dapat didefinisikan sebagai cara, jalan, dan teknik yang ditempuh sehubungan dengan penelitian yang dilakukan, yang memiliki langkah-langkah yang sistematis. Berdasarkan permasalahan yang hendak dikaji serta tujuan yang akan dicapai, maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode historis. Pemilihan metode historis didasarkan pada pokok permasalahan yang dikaji yaitu peristiwa masa lampau, untuk direkonstruksikan
li
menjadi cerita sejarah melalui langkah atau metode historis. Dengan demikian metode historis merupakan langkah (cara) ilmiah yang tepat untuk digunakan dalam penelitian ini. Menurut Kuntowijoyo metode sejarah didefinisikan sebagai petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis tentang bahan, kritik, interpretasi dan penyajian sejarah. Menurut Gilbert J. Garraghan yang dikutip oleh Dudung Abdurrahman (1999: 43) meyebutkan bahwa metode sejarah adalah seperangkat asas-asas dan kaidah-kaidah yang sistematis yang digunakan secara efektif untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah, menilainya secara kritis, dan mengajukan sintesis dari hasilhasil yang dicapai dalam bentuk tertulis. Metode penelitian historis menurut Louis Gottschalk dalam Dudung Abdurrahman (1999: 44) adalah proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan penilaian masa lampau. Rekonstruksi yang imajinatif daripada masa lampau berdasarkan data yang diperoleh dengan menempuh proses yang disebut dengan historiografi. Metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan pada masa lampau (Helius Sjamsuddin, 1996: 17). Metode sejarah bertujuan untuk memastikan dan menyatakan kembali fakta-fakta masa lampau, dan penulisan sejarah merupakan cara untuk merekonstruksi gambaran masa lampau berdasarkan bukti-bukti dan data yang diperoleh dari peninggalan masa lampau. Metode historis bertujuan merekonstruksi masa lalu secara sistematis dan obyektif dengan mengumpulkan, menilai, memverifikasi dan mensintesiskan bukti untuk menempatkan fakta sejarah dan mencapai konklusi yang dapat dipertahankan. Penelitian dengan metode historis merupakan metode kritis terhadap keadaaankeadaan dan perkembangan, serta pengalaman masa lampau dan menimbang secara teliti hati-hati terhadap validitas sumber-sumber sejarah agar fakta yang diperoleh bersifat obyektif.
lii
Berbagai uraian pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa metode historis adalah suatu kegiatan mengumpulkan, menguji, menganalisis, dan menafsirkan gejala-gejala atau peristiwa masa lampau yang secara imajinasi didasarkan dari data yang diperoleh serta menyertakan suatu sintesa hasil yang dicapai dalam penulisan sejarah sehingga membentuk suatu historiografi. Berdasarkan penjelasan tentang metode historis di atas, maka metode historis dipergunakan dengan alasan penelitian ini bertujuan untuk merekonstruksi peristiwa, yaitu: ”Perubahan Kepemilikan Perusahaan Gula Mangkunegaran 1946-1952”. Perkembangan perusahaan perkebunan di Indonesia pasca kemerdekaan merupakan bagian dari masalah ekonomi yang yang unik dan menarik.. Hal ini dikarenakan adanya kebijakan pemerintah membentuk Perusahaan Perkebunan Republik Indonesia, terutama untuk membedakan perusahaan pemerintah dengan perusahaaan swasta milik bangsa asing. Obyek penelitian yang dikaji mengenai peristiwa perubahan kepemilikan perusahaan gula Mangkunegaran terkait adanya kebijakan pemerintah tentang perusahaan perkebunan negara. Kebijakan pemerintah berdampak pada pengelolaan perusahaan gula Mangkunegaran, yakni pabrik gula Colomadu dan pabrik gula Tasikmadu. Sedangkan waktu terjadinya peristiwa yang diteliti mulai masa proses peralihan perusahaan gula oleh pihak Mangkunegaran sampai kepada pihak pemerintah dari tahun 1946-1952 .
C. Sumber Data Sumber data yang merupakan sumber sejarah adalah segala sesuatu yang dapat digunakan sebagai penulisan peristiwa sejarah, merupakan suatu hasil penyelidikan untuk mendapatkan data apa saja yang ditinggalkan manusia pada masa lampau. Menurut Sidi Gazalba (1981: 105) bahwa sumber sejarah dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu: (1) sumber tertulis yang mempunyai fungsi mutlak dalam sejarah, (2) sumber lisan, yaitu sumber tradisional dalam
liii
pengertian luas, (3) sumber visual atau benda, yaitu semua warisan masa lalu yang berbentuk dan berupa seperti candi dan prasasti. Menurut Louis Gottschalk (1986: 85), sumber primer adalah kesaksian dari seorang saksi mata dengan mata kepala sendiri atau saksi dari panca indera yang lain, yakni orang atau alat yang hadir pada peristiwa yang diceritakannya. Sedangkan sumber sekunder merupakan kesaksian dari siapapun yang bukan merupakan saksi pandangan mata yakni dari seseorang yang tidak hadir pada peristiwa yang dikisahkan. Sumber sejarah dapat diklasifikasikan menjadi beberapa cara yaitu: (1) kontemporer (contemporary) dan lama (remote), (2) formal (resmi) dan informal (tidak resmi), (3) pembagian menurut asalnya (dari mana asalnya), (4) isi (mengenai apa), (5) tujuan (untuk apa) yang masing-masing dibagi lagi lebih lanjut menurut waktu, tempat dan cara atau produknya. Sumber sejarah secara garis besar dibedakan menjadi peninggalan-peninggalan (relics atau remains) dan catatan-catatan (Helius Sjamsudin, 1996: 74). Penelitian ini meggunakan riset kepustakaan atau studi pustaka, maka teknik yang digunakan dalam mengumpulkan data melalui kegiatan pencatatan. Dalam melakukan pencatatan, peneliti mengumpulkan arsip-arsip, buku-buku dan literatur lainnya yang sesuai dengan tema penelitian ini. Semua pencatatan dari arsip-arsip, buku-buku dan literatur tersebut kemudian dikumpulkan menjadi satu. Ada empat keuntungan dari penggunaan studi pustaka ini yaitu: (1) memperdalam kerangka teoritis yang dipergunakan sebagai landasan penelitian, (2) memperdalam pengetahuan akan masalah yang diteliti, (3) mempertajam konsep yang digunakan sehingga mempermudah dalam perumusan, dan (4) menghindari terjadinya pengulangan suatu penelitian. Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber tertulis primer maupun sekunder. Sumber primer dalam penelitian ini adalah Arsip tentang kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan masalah penelitian, misalnya : (1) Arsip MN VIII
liv
5286 yang berisi turunan PP No.9 tahun 1947 tentang pembentukan Perusahaan Perkebunan Perkebunan Republik Indonesia, (2) Arsip MN VIII 5264 yang berisi turunan surat yang menerangkan bahwa PG Tasikmadu dan PG Colomadu adalah milik pemerintah menurut PP No.9 tahun 1947, (3) Arsip MN 464 berisi turunan Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta tahun 1952 tentang pembekuan harta benda milik Mangkunegaran, (4) Arsip MN VIII 4817 yang berisi turunan Keputusan Presiden RI No.52 1952 tentang Pembubaran Komisi dana Milik Mangkunegaran dan Pembentukan Panitia Penyelenggara Dana Milik Mangkunegaran yang baru tahun 1952. Sumber saksi mata adalah bapak Sumarso (abdi dalem Mangkunegaran dan penerjemah di Rekso Pustoko, khususnya penerjemah Bahasa Belanda) dan Bapak Ir. H.
Suroto
H.S.(mantan
Adminstratur
pabrik
gula
Mangkunegaran),
yang
menceritakan sejarah pembangunan perusahaan gula Colomadu dan Tasikamdu, perubahan pengelolaan gula Mangkunegaran ke tangan pemerintah
(PPRI) dan
dampaknya secara sosial-ekonomi bagi Mangkunegaran. Sumber sekunder yang digunakan adalah buku-buku literatur, Arsip pendukung dan surat kabar yang relevan dengan penelitian ini. Adapun buku yang relevan, antara lain: Geschiedenis der Ondermingen van Het Mangkoenegorosche Rijk’s karangan Martinus, ”Timbulnya Kepentingan Tanam Perkebunan Di Daerah Mangkunegaran”,
terjemahan
Sotono
dari
:
Hoofdstuk
II
opkomst
der
Mangkoenagorosce cultuurbelangen.” Sejarah Nasional Indonesia” karangan Marwati Djoened Poeponegoro dan Nugroho Notosusanto, ”Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” oleh sekretariat Jenderal MPR RI tahun 2002, “Kapitalisme Bumi Putra : Perubahan Masyarakat Mangkunegaran” karangan Wasino, “Sejarah Perkebunan di Indonesia., Kajian sosial Ekonomi” karangan Sartono Kartodirdjo. Arsip pendukung sebagai penguat sumber arsip primer antara lain : Arsip MN VIII 4843 yang berisi catatan singkat Dana Milik Mangkunegaran, arsip 5228 tentang
lv
laporan giling dari pabrik gula Colomadu tahun 1945, arsip 5248 berkas masalah pabrik gula antara lain tentang rencana penanaman tebu, biaya penggilingan tebu dan biaya pengelolaan lainnya pada tahun 1945. Sumber surat kabar antara lain : Mimbar Indonesia 21 Mei 1952, Tempo No. 28 tanggal 12 September 1987. Berdasarkan uraian di atas, pengumpulan data dalam penelitian ini digunakan teknik kepustakaan atau studi pustaka, yaitu melakukan pengumpulan data tertulis dengan menggali data dari buku-buku dan bentuk pustaka lainnya. Sumber-sumber ini diperoleh melalui kunjungan pustaka, analisis dan lain-lain.
D. Teknik Pegumpulan Data Dalam penelitian historis, pengumpulan data dinamakan heuristik. Teknik pengumpulan
data
adalah
ketrampilan
menemukan,
menganalisa
dan
mengklarifikasikan data. Dalam penelitian ini digunakan teknik kepustakaan atau studi pustaka. Menurut Koentjaraningrat (1986: 36), bahwa keuntungan dari studi pustaka ini ada empat hal, yaitu: (1) memperdalam kerangka teoritis yang digunakan sebagai landasan pemikiran, (2) memperdalam pengetahuan akan masalah yang diteliti, (3) mempertajam konsep yang digunakan sehingga mempermudah dalam perumusan, (4) menghindari terjadinya pengulangan suatu penelitian. Menurut Florence M.A. Hilbish, mengemukakan bahwa catatan-catatan dalam pengumpulan data ada tiga bentuk, yaitu : (1) quation (kutipan langsung), (2) citation atau indirect quation (kutipan tidak langsung), (3) summary (ringkasan) dan comment (komentar). Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data melalui studi pustaka dilakukan terhadap arsip dan subyek yang berkaitan dengan obyek penelitian, juga terhadap buku-buku literatur yang berkaitan dengan obyek penelitian. Untuk mencarinya, peneliti terlebih dahulu membaca katalog, mencatat nomor kode buku maupun arsip dan menyerahkan pada petugas yang kemudian akan membantu mengambilkan data yang dibutuhkan oleh peneliti. Dengan membandingkan sumber
lvi
yang satu dengan sumber yang lain peneliti berusaha untuk memahami isi dan peristiwa sebenarnya yang terjadi di dalam obyek penelitian. Peneliti membaca, mencatat atau membuat catatan ringkas, meminjam, dan memfoto copi bagian bukubuku literatur yang dianggap penting dan sesuai dengan tema penelitian yang tersimpan di perpustakaan-perpustakaan yang dijadikan sebagai studi pustaka penelitian.
E. Teknik Analisis Data Di dalam penelitian ini, teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis historis yang mengutamakan ketajaman dalam menginterpretasi data sejarah. Interpretasi diperlukan mengingat fakta sejarah tidak mungkin berbicara sendiri. Kategori fakta-fakta sejarah mempunyai sifat yang sangat kompleks, sehingga suatu fakta tidak dapat dimengerti atau dilukiskan oleh fakta itu sendiri. Fakta merupakan bahan utama yang dijadikan para sejarawan sebagai bahan menyusun cerita sejarah. Pengkajian fakta sejarah tidak dapat dilepaskan dari unsur subyektivitas sejarawan, sehingga tidak diperlukan konsep-konsep dan teori sebagai kriteria penyeleksi dan pengklasifikasian fakta sejarah (Sartono Kartodirdjo, 1992: 85). Penulisan sejarah yang dapat dipercaya memerlukan analisis data sejarah yang obyektif, sehingga unsur-unsur subyektivitas dalam menganalisis data sejarah dapat diminimalisir. Dalam proses analisis data harus diperhatikan unsur-unsur yang sesuai dengan sumber data sejarah dan kedibilitas unsur tersebut. Unsur yang kredibel, maksudnya apabila unsur tersebut paling dekat dengan peristiwa-peristiwa yang sebenarnya terjadi. Unsur tersebut dapat diketahui kredibelnya berdasarkan penyelidikan kritis terhadap sumber data sejarah yang ada (Louis Gottschalk, 1986: 95). Analisa data dapat dilakukan dengan aturan-aturan : fakta sejarah harus diseleksi, disusun, diberi atau dikurangi tekanannya (tempat atau bahasanya) dan ditempatkan dalam urutan kausal. Dari keempat aturan menyusun fakta tersebut,
lvii
seleksi merupakan masalah penting sehingga peneliti harus mampu memilih fakta yang lebih relevan dari sejumlah data (Dudung Abdurahman, 1999: 25). Interpretasi dilakukan karena fakta sejarah merupakan bukti-bukti sejarah yang masih berdiri sendiri-sendiri sehingga perlu dirangkaikan menjadi fakta yang terkait sebelum ditulis dalam rangkaian hasil penelitian. Berdasarkan sintesa fakta muncullah interpretasi yang tidak dapat terlepas dari unsur subyektivitas, sehingga dalam melakukan interpretasi diperlukan pengetahuan konsep teori dan metodologi yang tepat guna memfokuskan pada posisi tertentu yang menjadi penelitian serta meningkatkan unsur obyektivitas dalam historiografi sejarah. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan mengklasifikasikan sumber data yang telah terkumpul yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Langkah selanjutnya adalah kritik sumber baik kritik intern maupun kritik ekstern. Sumber data tersebut kemudian dibandingkan dengan sumber data yang lain guna memperoleh kredibilitas sumber data. Mengacu pada kajian teori, fakta diberi keterangan baik yang mendukung atau menolak sampai tersusun fakta yang saling menunjukkan hubungan yang relevan diinterpretasikan guna mendapatkan hasil penelitian yang utuh untuk sebuah karya ilmiah.
F. Prosedur Penelitian Sebelum melakukan penelitian perlu dibuat suatu prosedur penelitian karena dapat mempermudah cara kerja dan memperlancar jalannya penelitian. Menentukan tema yang akan diteliti merupakan langkah awal sebelum membuat suatu rencana kerja dari persiapan membuat proposal sampai dengan penulisan hasil penelitian. Untuk mempermudah penelitian langkah yang perlu dijalankan guna mendapatkan hasil penelitian yang optimal diperlukan adanya prosedur yang digambarkan dalam bagan persiapan. Bagan persiapan tersebut berisi langkah sistematis yang menggambarkan kegiatan dari awal perencanaan sampai dengan pembuatan laporan
lviii
hasil penelitian. Karena penelitian ini merupakan penelitian historis maka skema dalam metode historis digambarkan sebagai berikut :
Heuristik
Kritik
Interpretasi
Historiografi
Fakta Sejarah Keterangan : 1. Heruistik Heruistik adalah kegiatan menghimpun jejak-jejak masa lampau dengan cara mengumpulkan bahan-bahan tertulis, tercetak atau sumber lain yang relevan dengan penelitian ini. Menurut Sidi Gazalba (1981:15), heruistik adalah kegiatan mencari bahan atau menyelidiki sumber sejarah untuk mendapatkan bahan penelitian. Pada tahap ini peneliti berusaha mencari dan menemukan sumber-sumber tertulis berupa buku-buku serta bentuk kepustakaan lain yang relevan dengan tema penelitian. Sumber berupa buku-buku literatur diperoleh dari beberapa perpustakaan diantaranya perpustakaan program studi pendidikan sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta, perpustakaan Sastra Sejarah UNS, perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta, perpustakaan daerah Surakarta, perpustakaan Rekso Pustoko Mangkunegaran, Monumen Pers Surakarta, dan perpustakaan Pusat UGM. 2. Kritik Kritik merupakan kegiatan yang dilakukan untuk menyelidiki jejak-jejak sejarah yang telah dikumpulkan, yaitu yang menyangkut apakah jejak-jejak sejarah itu dapat dipercaya atau tidak, kegiatan menganalisis secara kritis sumber sejarah yang telah terkumpul. Kritik terbagi menjadi dua macam yaitu kritik intern dan kritik ekstern. Kritik intern berhubungan dengan kredibilitas dan reabilitas isi dari suatu sumber sejarah. Kritik intern merupakan suatu analisis atas isi dokumen dan suatu
lix
pengujian positif maupun negatif mengenai apa yang ditulis penulis. Kritik ini bertujuan untuk menguji apakah isi, fakta dan cerita dari suatu sumber sejarah dapat dipercaya dan dapat memberikan informasi yang diperlukan. Kritik ekstern yaitu kritik terhadap keaslian sumber (otensitas) yang berkenaan dengan keberadaan sumber apakah masih asli atau sudah turunan. Kriritk ekstern berusaha untuk menegakkan kembali teks yang benar, menetapkan di mana dan kapan, serta oleh siapa dokumen ditulis. Kritik ini dilakukan dengan meneliti bahan yang dipakai, jenis tulisan, gaya bahasa, dan lain-lain. Hal tersebut dapat diuji berdasarkan pertanyaan yaitu dimana sumber itu dibuat dan kapan sumber itu dibuat. Dalam penelitian ini, pada tahap kritik intern dilakukan dengan melihat kredibilitas dan reliabilitas isi dari sumber sejarah yang terkumpul. Dengan kritik intern ini dapat diketahui fakta sejarah yang terpercaya dan diperoleh informasi yang mendukung dalam penelitian ini. Pada tahap kritik ekstern dilakukan dengan melihat penulis atau pengarang tentang hasil karyanya sesuai dengan keahliannya atau tidak, sehingga diketahui keasliannya dan sikap untuk menerima atau menolak sumber tersebut. Pada langkah kritik ekstern yang berkenaan dengan isi sumber dilakukan dengan melihat apakah keaslian sumber tersebut dari pengarangnya asli atau turunan karya orang lain dari tahap ini akan didapatkan validitas data. Dan berkenaan dengan waktu dan tempat pembuatan sumber sejarah dibuat, maka kritik ekstern dilakukan dengan melihat jenis tulisan dan gaya bahasa yang dipakai oleh penulis sejarah.
3. Interpretasi Interpretasi atau penafsiran sejarah sering disebut dengan analisis sejarah. Analisis sendiri berarti menguraikan dan secara terminologi berbeda dengan sintesis yang berarti menyatukan. Analisis dan sintesis, dipandang sebagai metode-metode utama dalam interpretasi (Kuntowijoyo, 1995). Analisis sejarah bertujuan untuk melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah
lx
dan bersama-sama dengan teori-teori disusunlah fakta itu ke dalam suatu interpretasi (Berkhofer, dalam Alfian, 1994), Interpretasi dalam penelitian ini dilakukan dengan menafsirkan atau menetapkan makna serta hubungan dari fakta-fakta yang ada. Fakta-fakta yang telah diseleksi tersebut dihubungkan satu sama lain sehingga muncul fakta yang relevan yang akan menajdi suatu kesatuan kisah sejarah.
4. Historiografi Tahap historiografi merupakan langkah terakhir dalam prosedur penelitian sejarah. Historiografi merupakan karya sejarah dari hasil penelitian, dipaparkan dengan bahasa ilmiah dan seni yang khas untuk menjelaskan apa yang telah ditemukan beserta argumentasi secara sistematis. Historiografi merupakan langkah merangkai fakta sejarah menjadi cerita sejarah. Dalam penelitian ini historiografi diwujudkan dalam bentuk karya ilmiah berupa skripsi dengan judul ”Perubahan Kepemilikan Perusahaan Gula Mangkunegaran Tahun 1946-1952”. Kegiatan historiografi dalam penelitian ini dilakukan dengan memaparkan hasil interpretasi penulis terhadap sumber-sumber sejarah yang telah dikumpulkan pada tahap heuristik dan telah diverifikasi pada tahap kritik. Dalam penulisan penelitian ini penulis berusaha memaparkan hasil penelitian yang obyektif berdasarkan data-data sumber sejarah yang telah melalui tahap heuristik, kritik, interpretasi,
sehingga
apa
yang
dituliskan
merupakan
data
yang
dapat
dipertanggungjawabkan validitasnya sesuai dengan permasalahan yang dikaji. Dalam penelitian ini tempo atau waktu masalah yang dikaji adalah masa lalu, maka dalam kegiatan historiografinya penelitian ini lebih berdasarkan sumber fakta sejarah masa lalu. Fakta-fakta diungkap dan dirangkaikan oleh penulis menjadi gambaran atau sejarah mengenai perubahan status kepemilikan perusahaan gula Mangkunegaran dari tahun 1946 sampai tahun 1952 yang secara resmi menjadi hak milik pemerintah Republik Indonesia.
lxi
BAB IV
PEMBAHASAN A. LATAR BERDIRINYA PERUSAHAAN GULA DI MANGKUNEGARAN 1.Kondisi Geografis Mangkunegaran Daerah Mangkunegaran terletak di tanah swapraja Surakarta yang disebut Vorstenlanden, yang artinya tanah-tanah kerajaan (Vorst, majemuk: Vorsten: raja; Land, Landen: tanah) (Rouffaer, 1905: 2). Mangkunegaran mengacu pada dua konsep, yakni unit pemerintahan dan wilayah. Sebagai unit pemerintahan, yang dimaksud dengan Mangkunegaran adalah sebutan bagi sebuah praja atau kerajaan kecil atau kadipaten besar yang didirikan oleh Raden Mas Said yang kemudian bergelar Mangkuneggara I setelah perjanjian Salatiga 1757. Sebagai unit wilayah, Mangkunegaran terdiri dari kota praja dan daerah diluarnya yang sebagian besar terdiri dari daerah pedesaan. Kota praja merupakan pusat pemerintahan yang berlokasi di Kota Surakarta bagian utara. Daerah pedesaan berlokasi di selatan Kota Surakarta yang sekarang menjadi Kabupaten Wonogiri dan sebagian lainnya di sebelah Timur kota Surakarta yang sekarang masuk dalam wilayah Kabupaten Karanganyar (Wasino, 2008: 11). Kondisi alam wilayah swapraja Mangkunegaran sebagian besar terdiri dari tanah pegunungan, misalnya daerah Wonogiri dan sebagian Karanganyar, dan Karangpandan. Bagian selatan dari daerah Mangkunegaran mencapai bagian Timur dari Gunung Sewu dan sampai pada Samudra Hindia. Pengaruh sumber air dari Gunung Sewu di bagian Selatan dan Gunung Lawu di bagian Timur besar sekali. Dataran rendah yang membentang dibagian tengah, berupa tanah persawahan dapat dialiri sungai-sungai yang bersumber dari pegunungan tersebut. Wilayah barat merupakan bagian daerah tersubur dari seluruh wilayah Mangkunegaran, yaitu Malangjiwan dan Kartosuro. Di daerah barat merupakan daerah yang subur, karena merupakan daerah rendah yang terpengaruh oleh zat-zat vulkanis (Metz, 1935: 14).
lxii
Dataran rendah Mangkunegaran yang berlokasi di distrik Karanganyar dan distrik kota Mangkunegaran merupakan daerah persawahan. Daerah ini tanahnya subur dengan aliran air yang memadai. Aliran air terutama dari sungai-sungai kecil di Lereng Gunung Lawu untuk distrik Karanganyar, sedangkan distrik kota Magkunegaran berasal dari sungai Bengawan Sala. Selain untuk tanaman pangan, pada awal abad XX lahan di wilayah ini digunakan untuk tanaman komersial, yakni tebu dan nila. Tanaman tebu ini semula diusahakan oleh perusahaan-perusahaan swasta Barat yang menyewa kepada para pemegang lungguh di Mangkunegaran, namun pada masa Mangkunegara IV diusahakan sendiri oleh praja Mangkunegaran (Wasino, 2008: 17). Kondisi alam tersebut memungkinkan tumbuhnya tanaman pertanian dan perkebunan, meskipun hanya terbatas di daerah tertentu saja terutama di Kabupaten kota Mangkunegaran dan Karanganyar. Dataran rendah jumlahnya relatif kecil dari keseluruhan wilayah Mangkunegaran, namun di sinilah terkonsentrasi usaha perkebunan tebu Mangkunegaran. Kondisi geografis yang menguntungkan dan strategis di daerah dataran rendah telah mendorong tumbuhnya perkebunan tebu yang pesat, sehingga muncul perusahaan gula Mangkunegaran. 2. Munculnya Perusahaan Perkebunan Tebu di Mangkunegaran Kegiatan Belanda dalam melakukan eksploitasi ekonomi di Nusantara telah dimulai sejak akhir abad ke-17 melalui maskapai dagang VOC. Ketika memasuki abad ke-19 kegiatan eksploitasi dilanjutkan oleh pemerintah Hindia-Belanda sampai berlakunya Undang-Undang Agraria tahun 1870. Dengan demikian, prinsip eksploitasi masih terus dijalankan, namun peranan utama dari pemerintah kolonial Hindia-Belanda beralih kepada pihak swasta (Bondan Kanuyoso, 2001: 8). Sejak berlakunya Agrarische Wet tahun 1870, secara berangsur-angsur pemerintah Belanda menarik diri dari sektor industri gula. Hal ini berarti mulai terbukanya kesempatan bagi kapital swasta Belanda. Paksaan untuk menanam jenisjenis tanaman perdagangan di atas tanah milik petani di ganti dengan paksaan jenis
lxiii
lain dalam bentuk keharusan menyewakan tanah kepada perusahaan-perusahaan perkebunan. Tenaga kerja bagi perusahaan-perusahaan perkebunan diperoleh dengan mengerahkan kerja paksaan bagi para petani (Mubyarto, 1984: 4). Permulaan masuknya modal swasta di Surakarta sudah ada sejak abad XIX. Modal swasta ditanamkan dalam usaha perkebunan. Lahan perkebunan diperoleh dengan menyewa tanah lungguh kepada raja, bangsawan atau pejabat di Surakarta. Mula-mula penyewa tanah berasal dari etnis Cina, kemudian diikuti oleh bangsa Barat, terutama Belanda. Salah satu penyewa tanah berkebangsaan Belanda adalah Nahuys van Burgst yang sudah dimulai sejak tahun 1817. Dilihat dari asal-usulnya, para pemodal swasta Barat di Surakarta itu bervariasi. Pengusaha pertama yang menanamkan modalnya adalah: (1) dari kalangan IndoEropa, yakni para keturunan tentara garnisun di Sala-Yogyakarta, (2) para mantan pejabat yang masih berkeinginan menghabiskan masa tuanya untuk mendapatkan keuntungan
dalam
pertanian
komersial,
(3)
keluarga
pejabat
Belanda
(Vincent.J.H.Houben: 262-263) Daerah Mangkunegaran merupakan bagian dari wilayah Vorstenlanden yang mengalami proses kapitalisasi, yakni dengan masuknya modal (capital) pengusaha Belanda untuk usaha perkebunan yang menghasilkan keuntungan besar. Kondisi ini ditandai dengan berkembangnya berbagai perusahaan perkebunan, misalnya perkebunan kopi, gula, teh, indigo, dan kina (H.R.Soetono, 2000: 2). Penanaman berbagai jenis tanaman perdagangan ini baru terjadi sejak diterapkannya Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) di Jawa tahun 1830-an. Sistem Tanam Paksa sebagai kebijakan ekonomi kolonial Belanda di Jawa abad ke-19 ini tidak berlaku di daerah Vorstenlanden, karena telah berlakunya sistem apanage (tanah lungguh) di wilayah Vosrtenlanden, khususnya di daerah Mangkunegaran. Perkebunan tebu mulai berkembang di Jawa pada pertengahan abad XIX yang meliputi daerah kerajaan Yogyakarta dan Surakarta. Pada tahun 1859 sudah berkembang perusahaan perkebunan swasta Barat untuk penanaman tebu di kedua
lxiv
kerajaan, khususnya di Surakarta. Pengusaha Eropa mendukung berkembangnya perusahaan perkebunan tebu dengan menanamkan modalnya ke daerah itu untuk menghasilkan keuntungan yang besar. Hal ini ditandai dengan adanya 44 perusahaan yang bergerak dalam bidang penanaman tebu dari total 138 perusahaan Eropa di Solo pada tahun 1862, sedangkan pada tahun 1863 di Surakarta terdapat sedikitnya 46 pabrik gula. Dengan demikian 31% perusahaan Eropa di Surakarta bergerak dalam usaha perkebunan tebu (Vincent.J.H.Houbben, 2002: hal 585-587). Tabel 1. Nama-nama Perusahaan Gula di Surakarta Perdistrik tahun 1863 No Wilayah Perusahaan Gula 1 Kartasura Kartasura, Jetis Kunden, Temulus dan Kali Pusur (jumlahnya ada 4) 2 Klaten Jungkare, Gondang Winangun, Gondang Wedi, Ceper, Kapitu, Kemuda, Delanggu, Junggrangan dan Sepuluh (jumlah ada 9) 3 Bayalali Drana, Katitang, Pandanan, Manjung, Tulung, Wanasari, Brajan, Duwet, Tambak dan Krecek (jumlah ada 11) 4 Sragen Masaran, Karanganyar, Malangten, Surug, Ambak, Kabeluan, Canden, Kakum, Temanggung, Tundungan, Kewiri, Jetis, Wonolopo, Kebon Rama, Larangan, Panganjak, Kaponan, Bangkal Benda dan Donggeng (jumlah ada 22) Sumber: Vincent J.H. Houben, Kraton and Kompeni Surakarta and Yogyakarta ,1830-1870. Terjemahan:Bambang Purwanto, Yogyakarta: Bentang. hlm.299. Sistem Tanam Paksa berakhir secara resmi tahun 1870-an dan digantikan dengan sistem ”Politik Pintu Terbuka”, sehingga banyak pengusaha Belanda yang menanamkan modalnya di Jawa untuk usaha perkebunan tebu. Pelaku usaha bergeser dari pemerintah kolonial ke pengusaha swasta. Modal yang ditanamkan oleh pengusaha Belanda diinvestasikan dalam jumlah yang besar untuk usaha perkebunan tebu di Jawa, misalnya di daerah Mangkunegaran (Wasino, 2008: 2). Dengan demikian, perusahaan perkebunan menjadi berkembang luas di Mangkunegaran pada masa”Politik Pintu Terbuka” setelah tahun 1870-an, karena pemerintah kolonial Belanda memberi kesempatan kepada pihak swasta dalam kebebasan untuk mendirikan usaha khususnya di bidang perkebunan tebu.
lxv
3. Usaha KPAA Mangkunegara IV Mendirikan Perusahaan Gula Mangkunegara IV (1853-1881) mempelopori berdirinya perusahaan gula, yakni dengan mendirikan pabrik gula Colomadu tahun 1861 dan pabrik gula Tasikmadu tahun 1871. Usaha awalnya dimulai dengan tidak memperpanjang kontrak sewa tanah dengan pengusaha swasta Barat, tetapi mengalami kegagalan. Akhirnya, tanah-tanah lungguh dari sanak saudaranya telah berhasil diambil untuk mendirikan usaha dengan imbalan ganti-rugi. Mangkunegoro IV berusaha mematahkan mitos bangsawan mengenai : ...Merosotnya tradisi wirausahawan di kalangan bangsawan itu di ikuti dengan berkembangnya sebuah mitos tentang pemisahan kerja antara kaum bangsawan dengan rakyat kebanyakan. Bangsawan dipandang sebagai kelas penguasa yang memiliki pekerjaan yang berbeda dengan kelas pedagang dan petani pedesaan...(Wasino, 2008: 43-44). Pembangunan industri perkebunan tebu oleh KPAA Mangkunegara IV merupakan pilihan yang rasional dan menguntungkan. Hal ini di dukung oleh berbagai alasan yang meliputi: (1) gula merupakan produk ekspor yang sedang menjadi andalan di pasaran dalam negeri maupun internasional, (2) tanaman tebu sudah terbiasa ditanam di sejumlah tempat di wilayah Surakarta, termasuk Mangkunegaran yang diusahakan oleh para penyewa tanah dari Bangsa Barat, (3) sumber-sumber pendapatan praja secara tradisional melalui pajak dan persewaan tanah dirasa tidak mencukupi (Wasino, 2008: 47). Faktor lain yang mendorong pembangunan industri gula Mangkunegaran, karena adanya kepentingan pihak trah Mangkunegaran untuk menunjukkan posisinya yang lebih menonjol dan kuat dalam bidang ekonomi dibandingkan dengan ketiga praja kejawen lainnya, yakni Kasunanan, Kasultanan dan Pakualaman. Strategi ini sebagai kelanjutan dari usaha sebelumnya melalui pembangunan korp militer dengan nama legiun Mangkunegaran. Legiun Mangkunegaran termasuk salah satu bagian tentara yang terbaik di Jawa, yang disediakan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk menjaga keamanan di daerah swapraja. Pada tahun 1919, legiun Mangkunegaran
lxvi
digunakan sebagai regu pengaman perkebunan di daerah swapraja, karena kurangnya jumlah polisi baik dari swapraja atau gurbermen (Metz, 1935: 14). Bukti lain yang mendukung usaha perkebunan tebu adalah adanya kedekatan raja-raja Mangkunegaran dengan pemerintah kolonial Belanda. Pada tahun 1863, ketika Mangkunegara IV mempunyai gagasan untuk mengeksploitasi tanahnya dengan mendirikan pabrik gula di tanahnya, pemerintah Hindia memberikan bantuan dengan cara memberikan uang muka tanpa bunga (Mansfeld, t.th: 35). Faktor inilah yang sedikit memberikan ruang gerak bagi praja Mangkunegaran untuk memperluas usahanya dalam sektor perkebunan. Mangkunegara IV berencana untuk membebaskan tanah yang ditempati para penyewa tanah, dengan tidak memperpanjang kontrak sewa tanah yang sudah berlangsung di tahun 1859/1860, dan tanah-tanah yang sudah bebas akan di eksploitasi sendiri. Pada tahun 1862 Mangkunegara IV dengan melakukan pencabutan kembali apanage dengan memberikan ganti berupa uang, hal ini mendapat dukungan dari residen Nieuwenhuyzen. Permasalahan yang sulit mengenai peraturan ganti rugi, karena berbagai jenis tanah, meskipun di bagi dalam jung yang sama, tetapi memiliki hasil panen yang berbeda (H.R. Soetono, 2000: 11-12). Mangkunegara IV yang mencoba mendapatkan kembali kekuasaan atas tanah yang telah disewakan kepada orang-orang Eropa, ternyata mengalami kegagalan. Akhirnya, beliau menarik tanah-tanah lungguh dari sanak saudaranya dengan memberikan imbalan ganti rugi (Vincent.J.Houben. 2002: 559). Penarikan tanah dimulai dari kalangan keluarga raja yang berlangsung dari tahun 1862-1871. Setelah itu dilanjutkan menarik tanah dari para patuh lainnya, temasuk para anggota legiun Mangkunegaran. Pada tahun 1871 tanah lungguh yang telah berhasil di tarik luasnya mencapai 121,25 jung atau 485 bahu ( S.Margana: 82). Untuk lebih jelasnya mengenai tanah lungguh (apanage) yang ditarik oleh Mangkunegara IV, dapat dilihat pada keterangan tabel berikut :
lxvii
Tabel 2. Ikhtisar tentang para apanage dari anggota kraton tahun 1871 No Spesifikasi Jumlah Jumlah Kepada Sisa apanage Pangeran dalam jung dalam jung dalam jung 1 Putra Mangkunegara II 8 75 46 29 2 Putra Mangkunegara III 2 38 22,25 15,75 3 Putra Mangkunegara IV 3 51 23 18 4 Putra Mangkunegara IV 1 34 20 14 Jumlah 14 198 121,25 76,75 Sumber : Hoofdstuk II opkomst der Mangkoenagorosche Cuulturbelangen, Terjemahan: H.R.Soetono, hlm.12. Mangkunegara IV memilih tempat di desa Krambilan, distrik Malang Jiwan, yang terletak di sebelah utara Kartasura untuk membangun perkebunan tebu yang pertama kali. Pemilihan tempat ini dengan pertimbangan tanahnya yang subur dan tersedianya air secara memadai. Hal ini diperkuat oleh penelitian R.Kamp yang menyatakan bahwa wilayah ini tanahnya cocok untuk ditanami tebu. Berdasarkan persetujuan Nieuwenhuys (residen Surakarta), akhirnya Mangkunegara IV memerintah R.Kamf seorang ahli berkebangsaan Jerman untuk membangun sebuah pabrik gula. Biaya pembangunan pabrik mencapai f400.000. Modalnya sebagian besar berasal dari pinjaman keuntungan perkebunan kopi Mangkunegaran dan mendapat bantuan pinjaman dari mayor Cina di Semarang Be Beauw Tjwan, teman dekat Mangkunegara IV (laporan N.G.F. Raad tgl 21 april 1894 dalam arsip MN P 1761). Peletakan batu pertama dilakukan pada hari Minggu tanggal 8 Desember 1861. Pada tahun 1862 pabrik gula itu sudah mulai beroperasi dengan nama Colo Madu, suatu nama Jawa yang artinya gunung madu. Keberhasilan pabrik gula Colomadu mendorong Mangkunegara IV membangun pabrik gula kedua, yaitu pabrik gula Tasikmadu. Peletakan batu pertama untuk pabrik gula yang kedua dengan nama Tasikmadu pada 11 Juni 1871 yang terletak di sebelah barat lereng Gunung lawu dan sebelah timur kota Solo, tepatnya di desa Sandakara, distrik Karanganyar (Wasino, 2008: 49-52). Keberadaan kedua industri gula ini sangat membantu penghasilan Praja Mangkunegaran.
lxviii
4. Perkembangan Perusahaan Gula Mangkunegaran a. Periode Awal Industri Gula (1861-1883) Perusahaan gula merupakan perusahaan pribadi, sehingga kendali perkebunan tebu berada di bawah Mangkunegara IV. Pabrik gula Colomadu dalam panen tahun 1862 dengan 135 bahu sawah yang ditanami tebu mengahasilkan 6.000 pikul gula atau 45 pikul tiap bahunya. Selain untuk konsumsi lokal, produksi gula juga dijual ke Singapura dan Bandaneira melalui perantaraan firma Cores de Vries. Produksi yang baik dan harga yang memadai telah mendorong pertumbuhan industri gula dengan perolehan laba yang besar. Akhirnya tahun 1870 hutang yang dipinjam untuk modal pembangunan pabrik sudah dapat dilunasi (A.K.Pringgodigdo, 1950 : 48-49). Pabrik gula Tasikmadu menggunakan tenaga penggerak utama dengan air, sedangkan tenaga uap hanya sebagai tenaga cadangan. Tenaga uap itu kemudian dihapus dengan munculnya berbagai mesin pabrik gula yang baru antara lain dengan kualifikasi double effect (1873), triple effect (1875), dan instalasi carbonatie (1876). Selain itu pabrik gula Tasikmadu juga di dukung oleh adanya perbaikan transportasi, yakni dengan dibukanya jalur kereta api jurusan Solo-Surabaya sebagai bagian dari jalan kereta api pemerintah Staats-Spoorwegen sejak tanggal 24 Mei 1884 (Mansfeld, t.th: 44). Dengan demikian, produksi gula dari pabrik gula Tasikmadu yang akan di kirim ke Semarang tidak lagi diangkut dengan cikar, tetapi dengan menggunakan lori. b. Periode Krisis Ekonomi (1884-1899) Pada masa Mangkunegoro V (1884-1899) industri gula Mangkunegaran mengalami kemunduran yang disebabkan oleh adanya faktor dari luar dan faktor dari dalam. Faktor luar adalah terjadinya krisis ekonomi dunia tahun 1880-an, karena adanya proteksi terhadap gula di Eropa yang merupakan pasar utama bagi produksi gula dari Jawa. Bahkan negeri Belanda tidak perlu mendatangkan gula dari Jawa, karena gula disana dapat diperoleh dari Beetwortel. Selain itu disebabkan oleh hama penyakit tebu, yakni dengan adanya penyakit sereh yang menyerang kebun-kebun tebu sampai rusak parah ( Mansfeld: 59).
lxix
Faktor dari dalam adalah kesalahan manajemen keuangan dari Mangkunegara V. Menjelang terjadinya krisis ekonomi tahun 1884, beliau melakukan perluasan usaha dengan membeli pabrik gula Kemiri pada tahun 1883 dari pengusaha asing bernama de’Abo. Sebagian besar tenaga kerja dalam penanaman tebu, tidak dimasukkan dalam kompenen pembayaran, karena mereka merupakan pekerja wajib sebagai kompensasi atas tanah yang digarapnya. Selain itu, anggaran raja dan keluarga sebagian besar juga dibebankan pada pabrik gula. Dengan demikian, keuntungan pabrik gula tidak dapat menutupi biaya produksi yang sebenarnya (Wasino, 2008: 55). Penurunan produksi gula dan luas lahan untuk perusahaan gula Colomadu dan Tasikmadu pada masa Mangkunegara V dapat dilihat dalam penjelasan tabel berikut :
Tabel. 3 Produksi gula Pabrik Colomadu 1884-1889 No Tahun Luas Lahan (bahu) Produksi (pikul) Pikul/bahu 1 1884 435 33.463 77 2 1885 435 34.633 79,6 3 1886 430 36.842 85,6 4 1887 380 28.276 74,4 5 1888 400 21.576 53,9 6 1889 400 14.631 36,5 Sumber : Van Soest, Memorie van den Toestand der Mangkoenegorosche Suiker Fabrieken, Juli 1890, hlm.5.
Tabel. 4 Produksi pabrik gula Tasikmadu 1884-1889 No Tahun Luas Lahan (bahu) Produksi (pikul) Pikul/bahu 1 1884 467,5 39.988 85,5 2 1885 543 34.356 63,2 3 1886 318 19.224 60,4 4 1887 302 20.432 67,6 5 1888 286,5 21.142 73,8 6 1889 281,5 12.286 43,6 Sumber : Van Soest, Memorie van den Toestand der Mangkoenegorosche Suiker Fabrieken, Juli 1890, hlm.5.
lxx
Untuk menutup defisit anggaran, Mangkunegara V mencari pinjaman kepada Pemerintah Hindia Belanda di Jakarta dan kalangan swasta di Semarang. Akhirnya, pemerintah
kolonial
Mangkunegaran,
Belanda
termasuk
mengambil
pengelolaan
alih
perusahaan
segala gula
urusan
keuangan
yang
mengalami
kemunduran. Urusan keuangan Mangkunegaran diserahkan pada suatu komisi dengan nama “Komisi Keuangan” yang diketuai oleh residen Belanda di Surakarta. Sejak tahun 1885 pengelolaan kekayaan dan kekuangan praja jatuh ke tangan pemerintah Belanda termasuk perusahaan gula Mangkunegaran (Mansfeld, t.th: 65). c. Periode Sebelum Reorganisasi Agraria Pada tahun 1896 Mangkunegara V digantikan oleh Mangkunegara VI yang dikenal sebagai raja yang sangat hemat dengan menekan sekecil mungkin pengeluaran praja yang di pandang kurang mendesak. Akhirnya, atas tindakan penghematan ini hutang Mangkunegaran dapat dilunasi. Sejak tanggal 1 Juni 1899 pabrik
gula
Mangkunegaran
dikembalikan
pengelolaannya
kepada
pihak
Mangkunegaran (Wasino, 2008: 76). Dengan demikian, Mangkunegara VI telah berusaha keras untuk bisa mengambil alih pengelolaan pabrik gula supaya bisa kembali menjadi milik praja. Sebelum reorganisasi agraria (1899-1917), terjadi perkembangan lahan, hasil tebu, dan produksi gula yang mengalami peningkatan seiring membaiknya manajemen industri gula Mangkunegaran. Lahan yang digunakan untuk perkebunan tebu tidak hanya di wilayah Mangkunegaran, tetapi meluas sampai ke wilayah Kasunanan dengan cara sewa lahan. Misalnya, pada tahun 1912 wilayah kebun tebu Triagan di sewa oleh manajemen Tasikmadu. Untuk wilayah Tasikmadu data luas lahan di temukan untuk tahun 1911-1917. Tabel 4.3. memberikan gambaran tentang luas lahan tebu Tasikmadu pada periode awal ketika industri gula kembali dikelola oleh praja Mangkunegaran.
lxxi
Tabel 5. Luas lahan tanaman tebu dan banyaknya tebu hasil pembelian dari pabrik gula Tasikmadu 1911-1917 Tahun Tebu tanaman sendiri Banyak tebu Jumlah tebu pembelian digiling Luas areal ( kuintal) (kuintal) Hasil tebu Rata2 hasil (hektar) (kuintal) tebu / ha 1911 693 523.159 754 28.001 551.160 1912 785 874.901 1.114 84.285 959.186 1913 979 1.319.066 1.347 180.770 1.499.836 1914 966 1.309.779 1.355 205.329 1.515.108 1915 969 1.213.825 1.252 190.882 1.404.707 1916 1.040 1.386.163 1.332 256.276 1.642.439 1917 1.028 1.247.060 1.213 373.681 1.620.741 Sumber : A.K. Pringgodigdo, 1950. Geschiedenis der Ondermingen van het Mangkoenegorosche Rijk’s, S-Gravenhage : Martinus Nijhoff, hlm.127. Berbeda dengan perkebunan tebu Tasikmadu, data tentang luas lahan secara kontinyu di wilayah perkebunan Colomadu pada awal abad XX tidak ditemukan. Data yang dapat dikemukakan hanyalah luas lahan tahun 1904 sebagaimana tercermin dalam tabel berikut :
Tabel 6. Luas Lahan Tebu Colomadu tahun 1904 No Afdeling Lahan sawah yang di tanami tebu Bahu Ru (4m) 1 Ngasem 286 324 2 Pucung 254 85 3 Sanggir 311 490 4 Blulukan 221 371 5 Gedongan 162 144 6 Banyuanyar 257 393 7 Klodran 315 30 jumlah 1.806 1.723,15 Disarikan dari: MN VI 134 Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran
lxxii
Perbaikan proses penanaman tebu dan pembaruan mesin-mesin pabrik telah mendorong perkembangan produksi di perusahaan gula Mangkunegaran. Misalnya, dengan adanya pembangunan gedung dan instalasi pabrik gula tahun 1912 untuk meningkatkan kapasitas penggilingan (Wasino, 2008: 90). Meskipun demikian, produksi dalam kedua pabrik gula mengalami perbedaan. Produksi gula yang besar dari tahun ke tahun telah menghasilkan keuntungan besar bagi perusahaan gula Mangkunegaran. Adapun perkembangan keuntungan dari kedua pabrik gula Mangkunegaran pada abad XX terlihat dalam tabel berikut :
Tahun 1899 1900 1901 1902 1903 1904 1905 1906 1907 1908 1909 1910 1911 1912 1913 1914 1915 1916 1917 Sumber :
Tabel 7. Keuntungan pabrik gula Mangkunegaran tahun 1899-1917 (f1000) Pabrik gula Jumlah Colomadu Tasikmadu 178,6 106,4 284,9 191,4 55,5 246,8 166,3 51,6 217,8 180,3 57,6 237,9 196,9 66,2 263,1 202,4 125,9 382,3 205,5 182,7 388,2 214,8 173,5 388,3 158,8 234,8 393,6 227,3 211,4 438,7 153,6 214,6 468,2 287,6 214,8 502,5 270,3 258,1 528,3 385,5 153,6 617,1 238,4 285,7 524,2 272,4 417,4 689,9 856,2 501,2 1.357,3 1.344,2 1.136,1 2.480,2 424,5 779,3 1.203,9 A.K. Pringgodigdo, 1950. Geschiedenis der Ondermingen van het Mangkoenegorosche Rijk’s, S-Gravenhage : Martinus Nijhoff, hlm.131.
lxxiii
Keuntungan pabrik gula Mangkunegaran yang semakin besar digunakan untuk beberapa keperluan. Keuntungan tersebut digunakan untuk keperluan berikut : (1) peningkatan modal usaha, baik untuk pengembangan pabrik gula maupun usaha lain, (2) untuk tunjangan atau gaji para bangsawan dan aparat pemerintahan Mangkunegaran serta anggota kerabat raja, (3) untuk kepentingan rakyatnya dalam bentuk pembangunan sarana irigasi, fasilitas pendidikan, jalan raya dan sebagainya (Wasino, 2008: 91-92). d. Masa Reorganisasi Agraria sampai Pendudukan Jepang (1917-1942) Pada masa pemerintahan Mangkunegara VII (1916-1944), kekayaan milik Mangkunegaran termasuk industri gula berada di bawah suatu badan dengan nama Fonds van Eigendommen van het Mangkeonegorosche Rijk’s (Dana Milik Praja Mangkunegaran). Dana Milik Praja Mangkunegaran terdiri dari perkebunanperkebunan, pabrik-pabrik, hutan-hutan, rumah-rumah yang disewakan, gedunggedung, pekarangan, dan modal pokok milik Mangkunegaran. Pengelolaan dilakukan oleh Comissie van Beheer Fonds van Eigendommen van het Mangkoenegosche Rijk’s (Komisi Pengelola Dana Milik Mangkunegaran). Komisi terdiri dari kepala trah Mangkunegaran sebagai ketua komisi, superitenden bangsa Eropa yang diakui oleh gurbenur jenderal, dan pegawai pamong praja Belanda yang ditunjuk residen. Kegiatan sehari-hari komisi dilaksanakan oleh superitenden (Arsip MN VIII 4843). Komisi dibentuk pada akhir tahun 1916 yang secara khusus mengurusi Dana Milik Praja Mangkunegaran, termasuk perusahaan gula agar berjalan semakin intensif. Pembentukan komisi bersamaan dengan terjadinya reorganisasi agraria di Surakarta yang menghambat kinerja perusahaan gula. Reorganisasi agraria membawa perubahan dalam hal pengurusan dan penguasaan tanah. Perubahan ini mengganggu kinerja industri gula terutama dalam perolehan lahan tebu dan tenaga kerja yang bekerja di perkebunan. Reorganisasi agraria telah menyebabkan hilangnya tanah yang subur karena diserahkan kepada para pamong desa untuk usaha tanaman pangan yang lebih menguntungkan (Wasino, 2008: 92).
lxxiv
Pihak manajemen industri gula Mangkunegaran melakukan sejumlah strategi untuk menghadapi perubahan yang terjadi akibat reorganisasi agraria. Strategi yang ditempuh dengan cara : (1) menanam bibit di wilayah pabrik gula sendiri, (2) ekspansi tanaman melalui perluasan areal, (3) penggunaan pupuk kimia, (4) perbaikan irigasi, (5) penggunaan tebu bibit unggul, (6) memperbaiki dan menambah mesin-mesin. Masa kejayaan industri gula Mangkunegaran kembali terpuruk akibat krisis ekonomi tahun 1930-an. Krisis ekonomi mengakibatkan permintaan gula menurun yag diikuti dengan menurunnya harga gula di pasaran internasional. Hal ini sangat ironis karena menjelang krisis itu pabrik gula baru saja memperbaiki instalasi pabrik untuk menambah kapasitas giling tebu. Krisis menyebabkan penurunan areal tanam di kedua pabrik gula Mangkunegaran. Penurunan mencolok pada tahun 1933, di wilayah Tasikmadu luas areal tinggal 1.694,70 hektar, sedangkan di wilayah Colomadu luas areal tanaman tebu tinggal 800 hektar.
Tabel 8. Luas lahan tanaman tebu pabrik gula pasca krisis ekonomi dunia 1930-an (hektar) Tahun Tasikmadu Colomadu Tanaman Membeli Total Tanaman Membeli Total sendiri sendiri 1931 2.490,00 4.30 2.494,30 1.165,57 1.165,57 1932 2.236,77 4.30 2.241,07 1.022,66 1.022,66 1933 1.694,70 1.694,70 800 800 1934 1.835,60 1.835,60 829 829 1935 1.799,60 1.799,20 802,35 802,35 1936 1.422,65 1.422,65 1937 1.550 1.550 1.035,19 1.035,19 1938 1.615 986 1939 1.568 945 1940 1.648 977 1941 1.900 1.200 1942 1.480 862 Sumber : A.K. Pringgodigdo, 1950. Geschiedenis der Ondermingen van het Mangkoenegorosche Rijk’s, S-Gravenhage : Martinus Nijhoff, hlm.131.
lxxv
Sejak tahun 1896-1930, industri gula Mangkunegaran dalam kondisi sehat. Perkembangan produksi gula mengalami gangguan produksi dan pemasaran akibat krisis ekonomi 1930-an, akibatnya kinerja industri gula terus mengalami penurunan. Kondisi ini makin buruk ketika masa pendudukan Jepang dan awal kemerdekaan Indonesia. Ketika industri gula Mangkunegaran diambil alih pemerintah tahun 1946, kinerja industri sesungguhnya sudah buruk. e. Masa Pendudukan Jepang (1942-1945) Pada bulan Maret 1942 Jepang berhasil merebut Hindia-Belanda. Pemerintah Hindia Belanda memperhitungkan bahwa invasi Jepang tidak dapat di tahan lagi, maka mulailah dilaksanakan aksi bumi hangus. Obyek vital yang sebagian besar terdiri dari alat produksi dihancurkan. Akibatnya ialah bahwa pada awal pendudukan Jepang hampir seluruh kehidupan ekonomi lumpuh dan berubah dari keadaan normal menjadi ekonomi perang (Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, 1990 : 41). Sejalan dengan perkembangan keamanan, pemerintah militer Jepang mengambil alih semua bidang kegiatan dan pengawasan ekonomi. Langkah pertama yang di ambil Jepang dalam pemulihan kondisi ekonomi adalah rehabilitasi prasarana ekonomi seperti jembatan, alat transportasi dan telekomunikasi. Selain itu juga mengelurkan peraturan yang bersifat kontrol terhadap berbagai kegiatan ekonomi (Pratiwi, 2006: 36). Peraturan ekonomi Jepang yang bersifat kontrol tersebut, misalnya peraturan terhadap perusahaan perkebunan di Surakarta. Pengawasan terhadap penggunaan dan sisa barang yang disita dari musuh diperketat. Harta milik musuh yang disita oleh pemerintah pendudukan Jepang antara lain: perkebunan, bank, pabrik, perusahaan vital seperti pertambangan, listrik, telekomunikasi dan perusahaan transportasi (Marwati Djoened dan Nogroho Notosusanto, 1990: 41). Khusus mengenai perkebunan dikeluarkan Undang-Undang No. 22 tahun 1942 yang menyatakan Gunseikan (Kepala Pemerintahan Militer Jepang) langsung mengawasi perkebunan kopi, kina dan karet. Pelaksanaan perkebunan diserahkan
lxxvi
kepada sebuah badan pengawas yang dibentuk oleh Gunseikan, yaitu Saibai Kigyo Kanrikodan (Badan Perusahaan Perkebunan) disingkat SKK. Badan bentukan Jepang ini bertugas sebagai pengawas, pelaksana pembelian, penentu harga penjualan hasil perkebunan, dan sebagai pemberi kredit kepada perkebunan yang ditunjuk oleh Gunseikan untuk direhabilitasi. Dengan demikian, tanpa petunjuk dari Gunseikan semua pihak dilarang melakukan rehabilitasi tanaman perkebunan, karena tidak semua perkebunan sebagai penunjang kebutuhan perang. Jenis perkebunan yang dinilai sebagai penunjang kebutuhan perang yang mendapat perhatian dari pemerintah militer Jepang, khususnya karet dan kina (Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, 1990: 42). Tanaman perkebunan yang sudah ada sejak zaman Hindia Belanda seperti kopi, tebu, teh dan tembakau kurang mendapat perhatian karena diklasifikasikan sebagai barang kenikmatan yang tidak berguna untuk perang, maka di beberapa daerah tanaman-tanaman itu diganti dengan tanaman jarak, kapas dan rami atau rosela (Julianto Ibrahim, 2004: 68). Dengan demikian, tanaman komoditi eksport telah diubah menjadi tanaman perkebunan untuk kepentingan perang Jepang. Pada pendudukan Jepang, industri gula diusahakan kembali dengan modal swasta Jepang. Sebagian besar pabrik-pabriknya telah berhasil dibumihanguskan oleh Belanda, sehingga sebagian diantaranya dilakukan rehabilitasi. Jepang mengalami kesulitan dalam usaha pembukaannya kembali, karena kekurangan tenaga-tenaga ahli, sehingga personil ahli Belanda masih dipergunakan. Dari jumlah pabrik di Jawa yang semula 85 buah, yang berhasil direhabilitasi ada 13 pabrik. Sebagai pengawas industri gula oleh pemerintah Jepang dibentuk Togyo Rengokai atau Persatuan Perusahaan Gula (Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, 1990: 43). Persediaan gula di Jawa telah dianggap cukup dan yang diperkenankan menghasilkan surplus ekspor hanya negeri Jepang dan Taiwan, maka produksi gula setiap tahunnya dikurangi. Persediaan itu termasuk untuk kepentingan perang dan penduduk. Gunseikan mengeluarkan Osamu Seirei No.31/1944 yang menyatakan
lxxvii
bahwa rakyat dilarang menanan tebu dan membuat gula. Alasan melarang ini untuk mengurangi jumlah gula yang beredar dalam masyarakat dan menekan produksinya, meskipun sampai pada tahun 1945 produksi gula di Jawa hanya mencapai 84.000 ton saja. Cara lainnya untuk menekan produksi gula adalah mengubah pabrik-pabrik gula menjadi pabrik senjata atau membongkarnya dan memindahkan ke tempat lain untuk kepentingan perang. Selama itu perusahaan gula diserahkan kepada beberapa maskapai swasta Jepang yaitu : Meiji Seito Kaisha, Okinawa Seito Kaisha, Taiwan Seito Kaisha, dan Dai Nippon Seito Kaisha, sedangakan penjualannya dilakukan oleh Jawa Hanbai Rengo Kumiai atau Koperasi Pusat Penjualan Gula Jawa (Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, 1990: 43-44). Jenis perkebunan yang diutamakan oleh Jepang adalah tanaman yang berhubungan dengan kepentingan perang, yaitu tanaman jarak, kapas dan rami (rosela). Surakarta yang sangat cocok dan merupakan sasaran utama penanaman jarak adalah Wonogiri dan sebagian daerah Boyolali, Klaten dan Sukoharjo. Penanaman kapas berada di daerah Wonogiri, Sragen, Karanganyar dan Boyolali. Rami (rosela) ditanam di daerah yang dipergunakan untuk membuat karung goni yang diproduksi di Delanggu (Dyah Sotya Permatasari, 2008: 76). Daerah perkebunan tebu Surakarta terutama di daerah Sragen, Boyolali, Klaten dan Karanganyar telah diganti menjadi perkebunan penunjang kepentingan perang Jepang. Sebelumnya daerah tersebut merupakan daerah perkebunan tanaman ekspor seperti tembakau, dan tebu. Dengan demikian masa pendudukan Jepang produksi gula di Surakarta menurun, meskipun ada yang masih berproduksi, yakni perusahaan gula Mangkunegaran. Kondisi perusahaan gula Mangkunegaran pada masa pendudukan Jepang mengalami penurunan produksi yang sangat besar. Keadaan ini terlihat pada tabel 4.7 untuk PG Tasikmadu, sedangkan untuk PG Colomadu tidak ditemukan.
lxxviii
Tabel 9. Produksi Gula PG. Tasikmadu masa pendudukan Jepang No Keterangan Umum Produksi dihitung dalam kwintal Tahun 1942 Tahun 1943 Tahun 1944 1 Permulaan pabrik bekerja 8/6-1943 25/6-1944 2 Penghabisan bekerdja 28/7-1943 30/7-1944 3 Kristal gula tiap ha 129,02 165,4 S.H.S tiap ha 129,51 165,23 5 Penghasilan gula 166.598,11 117.551,6 Djumlah S.H.S 278.989,93 166.403,47 117.479,Disarikan dari: MN VIII 5256 Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran B. PROSES PERUBAHAN STATUS KEPEMILIKAN PERUSAHAAN GULA MANGKUNEGARAN PASCA KEMERDEKAAN RI 1. Kondisi Perusahaan Gula Mangkunegaran Pasca Kemerdekaan Perkembangan perusahaan gula Mangkunegaran semakin terpuruk pada masa pendudukan Jepang. Orientasi Jepang yang lebih menekankan pada kebutuhan dan kepentingan perang telah menyebabkan terjadinya kehancuran industri gula. Perkebunan tebu yang sudah ada diganti dengan perkebunan penunjang perang seperti untuk penanaman jarak dan rosela. Pada pasca kemerdekaan RI keadaan industri gula tidak kunjung membaik, meskipun ada peningkatan produksi namun jumlahnya tidak signifikan. Lebih jelasnya kondisi mengenai perusahaan gula Mangkunegaran dapat dilihat dalam tabel berikut :
Tabel. 10 Produksi Perusahaan gula Mangkunegaran tahun 1945/1946 (dalam Kwintal) No Keterangan PG.Colomadu PG.Tasikmadu 1 Tebu yang digiling 640.000 960.000 2 Pendapatan S.H.S 89.600 134.400 3 Tanaman dalam H.A 1.200 800 4 Pendapatan tebu (H.A) 800 800 5 Pendapatan S.H.S tiap H.A 112 112 6 Rendaman dalam % 14 14 Disarikan dari : MN VIII 5228 dan 5248 Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran
lxxix
Perkembangan gula Mangkunegaran pada tahun 1945 juga dapat dilihat dari laporan keuangan perusahaan gula Colomadu dan Tasikmadu. Perusahaan gula Tasikmadu lebih berkembang, jika dibandingkan dengan Colomadu. Jumlah harga pokok gula dari PG. Tasikmadu lebih besar dengan mencapai Rp. 1.582.500’00. Kondisi ini dapat dilihat dari keterangan tabel berikut :
Tabel. 11 Pengeluaran P.G Tasikmadu dan P.G Colomadu tahun 1945 No Pengeluaran PG. Colomadu PG. Tasikmadu Giling SHS Tutup Giling SHS 1 Pemerintahan umum 28.500 28.500 36.500 2 Tanaman tebu 489.000 60.500 733.000 3 Pengangkutan tebu 77.000 9.700 129.000 4 Fabrikaat 97.200 50.200 123.000 5 Penerangan 8.500 4.000 5.700 6 Alat pembakaran 400 1.000 7 Pembungkusan 92.200 134.200 8 Pemeliharaan mesin 30.000 10.000 40.000 9 Biaya gedung 8.000 8.000 10.000 10 Bunga 25.000 50.000 11 Penyusutan 109.000 109.000 275.000 12 Biaya rupa-rupa 43.100 29.000 45.100 13 Harga gula di pabrik 1.007.900 288.900 1.461.000 10,8 14 Ongkos angkutan 90.900 107.000 15 Ongkos jual 12.500 3.000 14.500 Jumlah harga pokok 1.111.300 12,4 291.900 1.582.500 11,8 Disarikan dari : MN. VIII 5228 dan 5248 Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran.
Tutup 36.500 102.600 14.700 36.000 5.700 1.000 16.000 10.000 275.000 29.500 524.000 1.500 525.500
Perusahaan gula Tasikmadu pada tahun1946/1947 masih beroperasi meskipun dalam kondisi yang sulit dalam era pasca kemerdekaan. Hal ini terlihat dengan adanya laporan bagian tanaman oleh Soeparwi Wiriokoesoemo selaku pemimpin umum PG. Tasikmadu di Surakarta pada 25 September 1946. Sedangkan untuk PG. Colomadu tidak ditemukan data yang lengkap mengenai kondisi perusahaan pasca kemerdekaan. Kondisi perusahaan bisa dilihat pada tabel berikut :
lxxx
Tabel. 12 Nilaian pengeluaran tahun tebang 1946/ 1947 di PG. Tasikmadu No Pekerjaan Pengeluaran uang tiap Ha 1 Slametan 6,88 2 Cengkalan got 22,70 3 Menggali selokan keliling 33,11 4 Menggali selokan pengapit 4,76 5 Menggali selokan mujur 17,48 6 Menggali selokan malang 130,44 7 Menggali selokan lain-lain 10,83 8 Duduk got 226,43 9 Menggali lacen 794,96 10 Premi lacen 21,20 11 Gebrus 79,55 12 Pratal 112,01 13 Tanam 203,63 14 Pengairan 564,25 15 Bubut 589,72 16 Sulam 57,80 17 Rabuk I 115,59 18 Rabuk II 115,59 19 Rabuk tjolokan 22,28 20 Rabuk Kandang 31,82 21 Menggaruk tanaman I : plantir 72,96 22 Menggaruk tanaman II 210,51 23 Gebyak A + B 224,86 24 Gulud Alus 316,62 25 Memberantas hama 27,56 26 Pagar dan tangga 31,83 27 Mengikat tebu dan kletek 31,83 Jumlah 4.077,20 Disarikan dari : MN VIII 5256 Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran Dari berbagai data tersebut dapat diperoleh kesimpulan bahwa perusahaan gula Mangkunegaran
pasca
kemerdekaan
masih
beroperasi
untuk
menjalankan
produksinya. Setelah mengalami pasang surut prduksi industri gula, ternyata muncul kebijakan pengambilalihan perusahaan perkebunan. Akhirnya perusahaan gula diambil alih pemerintah untuk membangun perekonomian nasional.
lxxxi
2. Kebijakan Pengambilalihan Perusahaan Gula Mangkunegaran. Pada akhir pendudukan Jepang dan masa awal Republik Indonesia, keadaan ekonomi sangat kacau karena terjadinya hiper inflasi. Situasi keuangan yang sulit yang dialami oleh pemerintaha Indonesia masih ditambah dengan dilakukannya blokade-laut oleh Belanda dengan tujuan untuk menutup pintu keluar-masuk perdangangan sebagai usaha untuk melumpuhkan ekonomi Indonesia. Adapun alasan Belanda melakukan blokade ini adalah : (1) Untuk mencegah dimasukkannya senjata dan peralatan militer ke Indonesia, (2) Mencegah dikeluarkannya hasil-hasil perkebunan milik Belanda dan milik asing lainnya, (3) Melindungi bangsa Indonesia dari tindakan-tindakan dan perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh bukan bangsa Indonesia (Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, 1990: 172-173). Di tahun-tahun awal setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan tahun 1945, para pemimpin nasional hanya secara sepintas memperhatikan masalah pembangunan. Perjuangan secara fisik maupun diplomasi untuk mempertahankan kemerdekaan dan melawan Belanda telah menyerap banyak perhatian. Pembicaraan mengenai masa depan ekonomi Indonesia, fokusnya lebih ditujukan pada upaya rehabilitasi dan reskontruksi untuk memperbaiki kehancuran yang diakibatkan oleh perang kemerdekaan (Bondan Kanuyoso, 2001: 10). Pertumbuhan ekonomi pasca kemerdekaan yang kacau mendorong pemerintah untuk berusaha menembus blokade ekonomi Belanda dan muncul pemikiran mengenai ketahanan ekonomi. Pada bulan Februari 1946 pemerintah melakukan konferensi yang dipimpin oleh Ir. Darmawan Mangunkusumo selaku Menteri Kemakmuran. Tujuan konferensi ini ialah untuk memperoleh kesepakatan yang bulat di dalam menangulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak. Masalah-masalah yang dihadapi pemerintah adalah; (1) masalah produksi dan distribusi bahan makanan, (2) masalah sandang, (3) status dan administrasi perkebunan-perkebunan (Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, 1990: 178-179).
lxxxii
Pasca kemerdekaan Indonesia, persoalan penguasaan aset perusahaanperusahaan asing di wilayah ini menjadi isu yang cukup menarik terutama yang menyangkut perusahaan pekebunan. Persoalannya adalah bahwa peralihan kekuasaan dari pemerintah kolonial menjadi pemerintah Republik Indonesia tidak diikuti dengan peralihan penguasaan semua aset ekonomi. Pengalihan aset ekonomi hanya terjadi pada badan-badan pemerintah kolonial yang telah diambil alih oleh pemerintah Bala Tentara Jepang. Aset-aset asing yang dikuasai oleh pihak perusahaan swasta asing masih tidak jelas statusnya. Pengelolaan perusahaan-perusahaan itu menjadi terganggu akibat terjadinya perang kemerdekaan. Banyak pengusaha dan pekerja asing yang meninggalkan perusahaannya kembali ke negeri Belanda. Ada pula yang bertahan di Indonesia, meskipun usahanya tidak berjalan maksimal (Wasino, Makalah Workshop on the Economic Side of Decolonization, Agustus 2004. hlm. 1). Konferensi ekonomi kedua diadakan di Solo pada tanggal 6 Mei 1946. Dalam konferensi ini rencana konkret yang disarankan oleh Wakil Presiden Moh. Hatta adalah rehabilitasi pabrik-pabrik gula, karena gula merupakan bahan eikspor yang penting dan pengusahaannnya harus dikuasai negara. Hasil ekspor ini diharapkan dapat dibelikan atau ditukar dengan barang-barang lainnya yang sangat dibutuhkan oleh RI (Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, 1990: 179). Realisasi yang konkret adalah penguasaan dan pengubahan administrasi perusahaan gula. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.3/1946 tanggal 21 Mei 1946 dibentuk Badan Penyelenggara Perusahaan Gula Negara (BPPGN) dengan status perusahaan Negara. BPPGN dipimpin oleh Notosudirdjo. Peraturan mengenai gula disusun dengan peraturan Pemerintah No.4 tahun 1946 tanggal 6 juni 1946, mengenai pembentukan Perusahaan Perkebunan Negara (PPN). Status PPN adalah perusahaan negara yang mempunyai tugas: (1) meneruskan pekerjaan bekas perusahaan perkebunan yang dikuasai oleh Jepang, (2) mengawasi bekas perkebunan milik Belanda, (3) mengawasi perkebunan-perkebunan lainnya dengan cara mengawasi mutu produksinya (Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, 1990: 179-180).
lxxxiii
Pengambilalihan ini semula banyak dilakukan oleh badan-badan perjuangan, namun kemudian ditertibkan oleh Pemerintah Indonesia, terutama dilakukan oleh pihak militer. Salah satu penguasa bumi putra yang asetnya diambil alih oleh negara adalah perusahaan gula Mangkunegaran. Pengambilalihan aset milik Praja Mangkunegaran setelah berakhirnya pemerintahan swapraja berdasarkan Penetapan Pemerintah No. 16/S.D. tanggal 15 Juli tahun 1946. Pengambilalihan perusahaan gula Mangkunegaran dilakukakan oleh pemerintah dengan menempuh berbagai kebijakan yang ditetapkan oleh badan pemerintahan, Presiden (pihak eksekutif) dan keputusan pengadilan (pihak yudikatif). Kebijakan
pemerintah
RI
dalam
pengambilalihan
perusahaan
gula
Mangkunegaran merupakan tindakan rasional dalam membangun perekonomian nasional pasca kemerdekaan. Berdasarkan UUD 1945 tersebut, pemerintah menerapkan perekonomian yang sesuai dengan kepentingan rakyat atau hajat hidup orang banyak. Pemikiran membangun suatu perekonomian nasional, dengan mendasarkan pada : pasal 33 UUD 1945 ayat 2)” Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak di kuasai oleh negara, 3) Bumi, air dan kekayaaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” Industri gula merupakan suatu sektor yang menguasai hajat hidup rakyat banyak, maka pengelolaannya harus dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat. Gula merupakan salah satu kebutuhan pokok rakyat, sehingga berdasarkan pasal 33 UUD 1945pemerintah perlu mengambil alih industi gula. Langkah pemerintah mengambil alih perusahaan gula Mangkunegaran, dengan menetapkan kebijakan-kebijakan sebagai berikut: (1) Peraturan Pemerintah No. 3 tahun 1946, (2) Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 1946, (3) Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1947, (4) Keputusan Presiden Republik Indonesia Tahun 1952, dan (5) Keputusan Pengadilan negeri Jakarta Tahun1952.
lxxxiv
3. Perubahan Status Kepemilikan Perusahaan Gula Mangkunegaran Perusahaan gula Mangkunegaran ini awalnya merupakan perusahaan milik pribadi Mangkunegara IV sebagai perusahaan perseorangan. Dalam perusahaan perseorangan segala usaha ini dimiliki, dikelola dan dipimpin oleh seorang yang bertanggung jawab penuh terhadap semua resiko dan aktifitas perusahaan gula. Selain itu, modal perusahaan diusahakan oleh Mangkunegara IV. Industri gula diubah menjadi perusahaan praja pada masa menjelang wafatnya Sri Mangkunegara IV dengan pertimbangan untuk pengembangan lebih lanjut dan diperolehnya keuntungan yang lebih besar bagi kemakmuran
Praja
Mangkunegaran. Perusahaan gula Mangkunegaran dalam praja pengelolaannya dibawah Fonds van Eigondommen van Het Mangkoenegorosche Rijk’s (Dana Milik Mangkunegaran). Setelah dinasionalisasi di bawah pengelolaan PPRI, sehingga perusahaan gula Mangkunegaran statusnya berubah menjadi perusahaan negara yang dimiliki, dikelola dan dipimpin oleh PPRI. Perusahaan gula Mangkunegaran awalnya merupakan milik syah dari praja Mangkunegaran. Perusahaan gula merupakan aset kekayaan praja untuk mendapatkan pendapatan yang besar. Berdasarkan Beslit van den G.G van Nederlands Indie tanggal 9 Oktober 1928 No.13 dalam pasal 1 ditetapkan bahwa ; (1) De eigendommen van het Mangkoenegorosche Rijks enz vormen een Fonds waar van het algemene beheer wordt door eene commisie bestaande uit de Zelfbestuurder enz, (2) De Zeflbesturder van het Mangkoenegorosche m.t.t gebied is vorzitter der comissie, (3) Het Dagelijksch beheer wordt gevoord door den superitendent enz (Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran dalam MN.464, hlm.25). Terjemahan dari Peraturan Gurbenur Jenderal Pemerintah Hindia Belanda tanggal 9 Oktober 1928 No.13 dalam pasal 1, dapat dijelaskan bahwa: (1) Kekayaan milik dari kerajaan Mangkunegaran dan sebagainya merupakan dana yang nyata (sesungguhnya) dari penguasaan umum yang diawasi oleh satu komisi yang terdiri dari pemerintahan Mangkunegaran sendiri dan seterusnya, (2) Penguasa (trah) pemerintah mandiri daerah Mangkunegaran merupakan ketua dari komisi, (3) Pemerintahan (pengurusan) harian dijalankan oleh superitenden.
lxxxv
Status perusahaan gula Mangkunegaran sebagai bagian Dana Milik Mangkunegaran diperjelas dalam peraturan yang berlaku sebelum kemerdekaan RI. Peraturan tersebut dikeluarkan ketika Mangkunegaran masih berdiri sebagai swapraja. Berdasarkan Zelfbesuurgelen Mangkunegaran Stbl.1940-543 , yakni : (1) Tot de bezittingen van Het Mangkoenegorosche Rijks behoren de ondermingen Colomadu, Tasikmadu enz, (2) De in het eerste lid onder d enz, genomde ondernemingen maken deel uit van het Fonds van eigendommen van Het Mangkoenegorosche Rijks enz (Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran dalam MN.464, hlm.26). Terjemahan Peraturan Lembaran Negara pemerintah Mangkunegaran tahun 1940-543, menjelaskan bahwa: (1) Yang menjadi kekayaan kerajaan Mangkunegaran termasuk di dalamnya perkebunan Colomadu-Tasikmadu dan seterusnya, (2) Seorang anggota dibawahnya dan selanjutnya dari perkebunan yang tersebut berada di bawah dana milik kekayaan Mangkunegaran dan seterusnya. Dengan demikian, status kepemilikan perusahaan gula Tasikmadu dan Colomadu sebelum kemerdekaan RI merupakan bagian dari Dana Milik Mangkunegaran. Semula Dana Milik Mangkunegaran bernama Fonds van Eigendommen van het Mangkoenegorosche Rijk. Fonds merupakan badan yang berdiri sendiri dan bekerja dengan anggaran belanja sendiri pula, lepas dari anggaran belanja kerajaan Mangkunegaran. Pengurus Dana Milik Mangkunegaran terdiri dari: (1) Ketua Mangkunegara yang bertahta, (2) Regent patih Mangkunegaran,(3) Superitenden, (4) Mangkunegaran Agen de Javasche Bank, (5) Residen Surakarta. Fonds memiliki kekayaan berikut: (1) P.G Tjolomadu, (2) P.G Tasikmadu, (3) Perkebunan KerdjaGadungan-Mojogedang, (4) Huizenbezit Semarang, Sala, (5) Effecten dan surat-surat berharga yang disimpan di luar negeri (Arsip MN VIII 4843). Setelah Proklamasi kemerdekaan RI perusahaan gula Mangkunegaran pengelolaanya berada di bawah kendali pemerintah. Pemerintah berusaha memisahkan perusahaan perkebunan swasta Barat dengan perusahaan perkebunan pemerintah RI untuk membangun struktur ekonomi nasional. Perusahaan gula merupakan aset penting, sehingga perlu dikuasai negara. Hal ini ditandai dengan adanya Peraturan Pemerintah RI No. 3 tahun 1946 yang terdiri 11 pasal. Peraturan
lxxxvi
ini terutama menyebutkan bahwa: (1) Perusahaan-perusahaan gula di Indonesia dijalankan di bawah kekuasaan Negara, (2) Untuk menjalankan perusahaanperusahaan gula, didirikan satu badan pemerintah yang bekerja sebagai satu badan hukum dengan modal yang terpisah dari keuangan biasa, dan dengan anggaran dasar yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian dan Persediaan. Badan itu dinamakan Badan Penyelenggara Perusahaan Gula Negara (BPPGN) dan berkedudukan di Solo. Peraturan Pemerintah no.4 tahun 1946 menyatakan tentang pembentukan Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) yang dijalankan di bawah kekuasaan Negara. Keluarnya peraturan ini berdasarkan pada pasal 33 UUD negara Republik Indonesia. Dengan demikian, sejak 25 Juli 1946 perusahaan gula Mangkunegaran berdasarkan PP no.3 dan 4 tahun 1946 pengelolaannnya dijalankan oleh pemerintah (Negara). Pada
30 April 1947 pemerintah membentuk Perusahaan Perkebunan
Republik Indonesia (PPRI) berdasarkan peraturan pemerintah no.9 tahun 1947. Tujuannya untuk mengurus perusahaan-perusahaan perkebunan milik Negara dan perkebunan bukan milik bangsa Asing, yang di kuasai oleh Negara. Dalam peraturan ini memuat tentang: (1) peraturan tentang kantor urusan PPRI, (2) Usaha PPRI, (3) pimpinan/ organisasi PPRI, (4) Keuangan, (5) Pengawasan. Berdasarkan peraturan pemerintah no 9 tahun 1947, maka perusahaanperusahaan perkebunan yang dikuasasi oleh BPPGN dan PPN diserahkan dan dilebur dalam PPRI. Perusahaan gula Mangkunegaran juga mengalami perubahan pengelolaan ke pihak pemerintah. Perusahaan-perusahaan milik PPRI meliputi: 1) Perusahaan perkebunan milik Negara, tergabung dalam ”Kantor Perusahaan Perkebunan Pemerintah” (KPP) dalam zaman Belanda bernama ”Gouvernements Landbowbedrijven”, yaitu 13 perusahaan perkebunan di Jawa, 4 perusahaan perkebunan di Sumatera dan 1 perusahaan perkebunan di Maluku atau N.Guinea Utara, 2) Perusahaan-perusahaan perkebunan yang tergabung dalam kantor ”Perusahaan Nasional Surakarta” (PNS), yaitu: (a) 2 perusahaan gula Mangkunegaran dan 1 perusahaan gula Kasunanan, (b) 6 perusahaan perkebunan selain gula (5 perusahaan Mangkunegaran dan 1 perusahaan Kasunanan), (c) Perusahaan-perusahaan yang didirikan dari reserve perusahaan gula Mangkunegaran tersebut a
lxxxvii
dan b (Arsip MN VIII 5286 tentang penjelasan peraturan kantor urusan Perusahaan Perkebunan Republik Indonesia). Tabel. 13. Mangkunegaransche Eigendommenfonds yang dikuasai PPRI tahun 1947 No Nama Karesidenan Mengusahakan 1 Tasikmadu Surakarta Gula 2 Colomadu Surakarta Gula 3 Mojogedang Surakarta Sisal 4 Kerjogadungan Surakarta Kopi 5 Perusahaan Perumahan Surakarta Sewa rumah 6 Perusahaan Perumahan Semarang Sewa rumah 7 Perusahaan Perumahan Wonogiri Sewa rumah 8 Perusahaan Batugamping betal Surakarta Batugamping 9 Perusahaan Gulabatu Rasamadu Surakarta Gulabatu Sumber: Lampiran Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1947 Dari tabel dapat diketahui bahwa perusahaan gula Colomadu dan Tasikmadu telah menjadi perusahaan dibawah pengelolaan pemerintah yang dijalankan oleh PPRI. Kedudukan perusahaan gula Mangkunegaran sebagai milik pemerintah diperkuat dengan adanya Keputusan Presiden RI No. 52 Tahun 1952. Dalam keputusan ini dinyatakan pencabutan beslit Gurbenur Jenderal Belanda tanggal 9 Oktober 1928 No. 13 tentang dana milik Mangkunegaran. Pengaturan kembali Zelfbestuuregelen
Mangkoenegorosche
staatsblaad
1940
No.
543
tentang
pengelolaan perusahaan perkebunan (arsip MN. VIII 4187). Langkah yang diambil pemerintah berdasarkan keputusan ini dengan membubarkan “Comissie van Beheer over het Fonds van Eigendommen van het Mangkoenegorosche Rijk”. Selain itu pemerintah juga memberhentikan superitenden yang telah diangkat oleh Sri Paduka Mangkunegara VIII dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan dalam peraturan pemerintah No. 9 Tahun 1947. Akhirnya pemerintah membentuk Panitia Penyelenggara Dana Milik Mangkunegaran baru, yang terdiri dari: (a) sebagai ketua yang sekaligus merangkap anggota: Residen Surakarta, (b) sebagai anggota-anggota lainnya: 1) Walikota Surakarta, 2) Seorang ahli yang ditunjuk oleh Kementrian Perekonomian, 3) Wakil kantor urusan PPRI, 4)
lxxxviii
dan 5) Dua orang wakil yang ditunjuk oleh Sri Paduka Mangkunegara VIII, 6) seorang wakil dari “de Javasche Bank”(arsip MN. VIII 4817). 4. Reaksi Mangkunegaran terhadap Perubahan Status Perusahaan Gula Reaksi pihak Mangkunegaran terhadap nasionalisasi pabrik gula itu semula bersifat kooperatif.
Hal itu dilakukan untuk menghindari konflik dengan rakyat
Surakarta yang tergabung dalam kelompok anti-swapraja. Selain itu juga disebabkan oleh ketidaksiapan praja Mangkunegaran dalam menghadapi situasi sosial-politik di Surakarta yang berubah dengan cepat akibat berdirinya negara Republik Indonesia. Pihak
Mangkunegaran
justru
memberikan
tempat
di
lingkungan
istana
Mangkunegaran sebagai kantor PPN, bahkan beberapa mantan pegawai perkebunan Mangkunegaran bekerja di kantor PPRI. Sementara itu manajemen pabrik Tasik Madu dan Colo Madu masih tetap beroperasi seperti sebelum perang Asia Timur (Narasumber: KRT. Soemarso Pontjosoetjitro). Sikap pihak Mangkunegaran menjadi berubah sejak terjadinya agresi militer Belanda ke-II tanggal 19 Desember 1948. Tampaknya pihak Mangkunegaran menyadari bahwa, kekuasaan dan harta kekayaannya telah diambil alih oleh pemerintah
Indonesia.
Akhirnya
berusaha
untuk
memperkuat
diri
dalam
mempertahankan dan mempersiapkan alat-alat pemerintahan untuk mengembalikan status swapraja dalam pemerintahannya . Pihak Mangkunegaran menjalin hubungan baik dengan Pemerintah Hindia Belanda untuk dapat menyelamatkan harta miliknya yang telah diambil alih oleh Pemerintah RI. Hubungan ini membawa hasil dengan para pegawainya yang memperoleh gaji dalam bentuk civile list sebagaimana yang pernah mereka terima pada periode sebelum perang. Selain itu
juga berhasil dihidupkannya kembali
lembaga yang mengurusi kekayaan Mangkunegaran, “Fonds van Eigendommen van het Mangkoenegorosche Rijk”. Status lembaga ini diubah menjadi hak milik pribadi berdasarkan hukum Eropa oleh Hoge Vertegenwoordiger van de Kroon in Indonesia. Akhirnya pihak Mangkunegaran menganggap bahwa harta-harta kekayaan yang
lxxxix
semula diambil-alih pemerintah Indonesia bisa kembali dikuasai oleh pihak keluarga Mangkunegaran (Surat Ir. Sarsito Mangoenkoesoemo tanggal 28 Juni 1949). Selama agresi militer Belanda ke-II tahun 1948, kontrol pemerintah Indonesia terhadap industri gula Mangkunegaran melalui PPRI menjadi lemah, sehingga pihak keluarga Mangkunegaran melalui Komisi Pengawas Perkebunan Mangkunegaran dapat menguasai kembali manajemen
kedua pabrik gulanya. Pabrik gula dapat
beroperasi dan berhasil menjual beribu-ribu ton gula yang dilakukan oleh pihak Mangkunegaran ke luar negeri (arsip MN. VIII 464, hlm. 6). Setelah pengakuan kedaulatan Pemerintah Indonesia oleh Pemerintah Belanda pada tanggal 17 Desember 1949, posisi
Comissie van Beheer dari perusahaan-
perusahaan Mangkunegaran sudah dalam posisi yang kuat dalam mengelola aset-aset milik Mangkunegaran, terutama kedua industri gulanya. Sementara itu PPRI yang diberi wewenang oleh pemerintah pusat Republik Indonesia tidak berdaya dalam menghadapi pihak Comissie van Beheer. Superintenden perusahaan Mangkunegaran merasa tidak perlu berkoordinasi dengan pihak PPRI. Hasil keuntungan
dari
penjualan gula disimpan sendiri oleh superintenden di de Javasche Bank. Selama itu pengambilan uang dari Bank untuk keperluan operasional pabrik gula cukup dilakukan oleh superintenden Mangkunegaran yang ketika itu dijabat oleh Ir. Sarsito Mangoenkoesoemo (Wasino, 2004: 8). Konflik terbuka tentang persoalan penguasaan pabrik gula Mangkunegaran antara pihak Mangkunegaran dengan pihak Pemerintah Indonesia terjadi pada sekitar bulan Oktober-Nopember 1951. Ketika itu Pemerintah Indonesia melalui Menteri Dalam Negeri
memerintahkan kepada pihak de Javasche Bank untuk tidak
mengijinkan pihak Superintenden Harta kekayaan Mangkunegaran mengambil uang di lembaga perbankan itu. Akibatnya pihak Mangkunegaran merasa dirugikan karena mereka tidak dapat mengambil uang di bank itu, sehingga penguasa Mangkunegaran tidak dapat menutup biaya yang diperlukan untuk kepentingan praja dan kepentingan operasional pabrik-pabrik gula tersebut.
xc
Sebagai reaksi terhadap tindakan pemerintah itu, akhirnya Ir.Sarsito Mangoenkoesoemo mengajukan gugatan kepada pengadilan negeri di Jakarta dengan tuntutan terhadap pemerintah atas dihalang-halanginya dirinya selaku Superintenden untuk mengambil
uang
perusahaan di de Javasche Bank. Keputusan presiden
tanggal 22 Pebruari 1952 No. 52 dianggap tidak sah, sehingga pemerintah wajib membayar kerugian sebesar Rp 3.220.800. Tuntutan ini ternyata tidak dikabulkan dan dimenangkan Pemerintah Republik Indonesia. Gugatan ditolak dengan alasan Swapraja Mangkunegaran telah dihapuskan sejak tanggal 15 Juli 1946. Bahkan pihak mangkunegaran harus membayar ongkos perkara sebesar Rp. 92,- (sembilan puluh dua rupiah). Dengan demikian sejak tanggal 2 Juli 1952 secara resmi perusahaan gula yang semula milik Mangkunegaran telah menjadi perusahaaan pemerintah RI dan dikelola oleh PPRI (Keputusan Pengadilan Negeri di Jakarta tahun 1952). C. PENGARUH PENGAMBILALIHAN PERUSAHAAN GULA MANGKUNEGARAN 1. Pengaruh bagi Kehidupan Ekonomi ”praja” Mangkunegaran Adanya pengambilialihan perusahaan gula Mangkunegaran Colomadu dan Tasikmadu sangat berdampak bagi eksistensi kehidupan praja Mangkunegaran. Hal ini bisa dilihat dari dampak di bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya. Dengan demikian, adanya perubahan status kepemilikan perusahaan gula Colomadu dan Tasikmadu ke tangan pemerintah RI dianggap sebagai hal hal yang sangat merugikan bagi pihak Mangkunegaran (Narasumber: KRT. Soemarso Pontjosoetjitro). Dampak yang ditimbulkan sebagai berikut : a. Bidang Politik Adanya perubahan kepemilikan perusahaan gula Mangkunegaran memperjelas bahwa status swapraja telah dihapuskan berdasarkan PP No. 16/S.D. Tahun 1946.
xci
Pengelolaan pemerintahan dan keuangan menjadi hak dan tanggung jawab pemerintah RI. Dengan demikian, kekuasaan dan kekuatan politik praja Mangkunegaran dihapuskan, karena sebagai bagian dari NKRI yang memiliki kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Gerakan swapraja yang ada justru membuat Surakarta kehilangan posisi sebagai ”Daerah Istimewa”. b. Bidang sosial-ekonomi Perubahan pengelolaan gula Mangkunegaran secara ekonomi memperjelas bahwa status kepemilikannya dan hak kekayaan perusahaan beralih ke tangan pemerintah pusat yang menyebabkan Mangkunegaran kehilangan sumber pendapatan yang utama. Dampak perubahan ini bisa dilihat dari adanya perubahan manajemen (tata kelola) yang meliputi struktur pengelolaan, administrasi keuangan, tingkat kesehjateraaan dan gaji bagi para abdi dalem yang mengalami transisi ataupun perubahan sehingga berdampak bagi
kehidupan
sosial ekonomi di Mangkunegaran. c. Bidang Sosial-Budaya Bidang sosial-budaya keraton Mangkunegaran tidak dapat mengembangkan budaya keraton secara optimal. Hal ini terkait karena minimnya dana untuk pembiayaan dan pengembangan budaya keraton. Pada tahun 1946 subsidi yang diperoleh sebesar Rp 2.500.000,- setiap bulan melalui karesidenan, tentu hal ini sangat kurang untuk pembiayaan keraton dan penggajian abdi dalem, sehingga dana untuk pengembangan budaya sangat kurang. Perubahan yang signifikan menyangkut keuangan dan kekayaan praja dari hasil pendapatan perusahaan gula. Perusahaan gula merupakan sumber utama pendapatan praja Mangkunegaran. Keuntungan dari perusahaan gula dapat menjadikan Mangkunegaran mengembangkan industrinya bahkan untuk membangun Bounfonds (bangunan rumah yang disewakan) di Surakarta, Wonogiri dan Semarang, meskipun akhirnya dinasionalisasi (lihat tabel 11). Industri gula Mangkunegaran juga dapat menunjukkan betapa kuatnya posisi praja secara ekonomis dan politis, namun
xcii
keadaan telah berubah dengan adanya keterpurukan produksi masa pendudukan Jepang sampai akhirnya diambil alih oleh pemerintah RI. Kekayaan Mangkunegaran ada 2, yakni: 1) Rijks Dommein atau kekayaan praja, 2) Eigendommein atau kekayaan pribadi. Dalam hal ini yang diambil alih adalah kekayaan praja berdasarkan Keputusan Pengadilan Negeri di Jakarta tahun 1952 tentang pembekuan harta benda milik Mangkunegaran. Sehingga, perusahaan gula yang dikelola oleh Dana Milik Mangkunegaran diambil alih oleh pemerintah dengan landasan UUD 1945 pasal 33 untuk kepentingan rakyat banyak. Namun disisi lain sangat berdampak bagi tingkat kesehjateraan abdi dalem di Mangkunegaran (Narasumber: KRT. Soemarso Pontjosoetjitro). b. Pengaruh bagi Perubahan Kehidupan Ekonomi Pegawai Perusahaan Gula Mangkunegaran Perubahan ekonomi dapat dilihat dari segi kebutuhan lahan dengan harga sewa tanah rakyat, tenaga kerja dan tingkat upah buruh dalam perusahaan gula. Penentuan sewa lahan perkebunan tebu dengan adanya negosiasi antara pemilik lahan dengan pihak perusahaan menunjukkan adanya kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak. Gratifikasi tenaga kerja perusahaan gula menunjukkan adanya perbedaan tingkat upah yang mempengaruhi tingkat kehidupan ekonomi masyarakat yang bekerja di perusahaan gula (Wasino, 2004: 9-10). Ketika pada abad XIX terjadi penyewaan tanah di Surakarta oleh perkebunanperkebunan swasta, maka muncul masalah dalam tanah apange. Tanah-tanah itu dianggap menyulitkan aspek manajemen dan pengamannnya (Wasino, 1996: 18). Adanya kemerdekaan membawa dampak pada sikap rakyat terhadap hak kepemilikan dan penguasaan tanah. Tanah di wilayah Mangkunegaran yang sejak tahun 1918 diserahkan kepada desa menjadi hak komunal desa dan diberikan penguasaannya kepada penduduk desa dari kalangan kuli kenceng. Sejak itu, penduduk di wilayah ini menjadi merasa tidak sekedar memiliki hak menguasai tanah garapan, tetapi merasa memiliki hak tanah garapan. Tanah-tanah yang semula di sewa oleh perusahaan
xciii
perkebunan tebu mulai diabaikan statusnya oleh rakyat, karena tanah telah menjadi hak milik bersama (comunal) yang kepemilikannya penuh menjadi hak desa. Petani di desa sekitar pabrik gula mulai menetapkan harga sewa tanahnya kepada pihak pabrik gula. Penentuan harga sewa tanah menunjukkan adanya keinginan petani meningkatkan harga sewa. Surabrata mengemukakan bahwa: Pada pertengahan tahun 1946, ada satu desa di sekitar Tasikmadu yang menetapkan harga sewa tanahnya antara f 600 – f1000 per hektarnya selama 18 bulan. Besarnya tawaran sewa dari kaum tani itu menurutnya masih dalam batas kewajaran, misalnya diambil harga sewa sebesar f 900 per hektar dengan biaya produksi @ 50 kuintal gula per hektar, maka per kuintal gula, biaya sewa tanah sebesar f18. hal ini berarti menyerap 12% dari jumlah ongkos produksi tersebut (Wasino, Makalah Workshop on the Economic Side of Decolonization, Agustus 2004. hlm. 10). Pihak pemerintah Indonesia sejak tanggal 16 Januari tahun 1950 sudah mengadakan peraturan tentang persewaan tanah untuk menjamin ketersediaan lahan untuk perkebunan tebu di satu sisi dan kelayakan sewa tanah yang diperoleh petani. Di dalam instruksi itu diatur, bahwa persewaan antara pabrik dengan rakyat bersifat sukarela dan hanya berlaku dalam rencana satu tahun tanam. Luas lahan bagi setiap desa yang boleh disewa tidak boleh melebihi dari 1/3 luas lahan pertanian di desa itu. Pihak pabrik berhubungan
dengan pihak pamong praja setempat untuk
mempertemukan pihak pabrik dengan organisasi petani dalam hal penentuan sewa tanah. Harga uang sewa minimum harus sama dengan hasil bersih petani jika tanah itu dikerjakan sendiri untuk tanaman pangan. Pemerintah menetapkan secara jelas harga sewa tanah untuk tiap lahan tebu yang dibedakan antara lahan tebu biasa, tebu tunas dan tebu bibit. Masing-masing lahan tebu masih dibedakan antara lahan irigasi dan non irigasi (Wasino, 2004: 11). Selain tanah, tenaga kerja juga merupakan faktor produksi yang penting dalam pengusahaan industri gula. Perolehan tenaga kerja untuk kegiatan produksi gula menjadi isu yang penting dalam masa nasionalisasi pabrik gula Mangkunegaran. Tenaga kerja di pabrik gula Mangkunegaran secara sosial dapat dibedakan menjadi
xciv
tiga kategori, yaitu tingkat atas, menengah, dan bawah. Yang tergolong sebagai tingkat atas adalah para administratur, staf kantor, termasuk para sinder dan wakilnya. Kelompok bawah diduduki oleh para buruh yang terdiri dari buruh tetap dan buruh lepas. Di tengah-tengahnya terdapat mandor sebagai kelompok menengah yang berfungsi sebagai penghubung antara pegawai kelompok atas dengan buruh atau pegawai tingkat bawah. Ditinjau dari status kepegawaiannya, maka pegawai pabrik gula Mangkunegaran dapat dipilah menjadi tujuh kelompok, yaitu: (1) pegawai, (2) pegawai sementara, (3) pegawai bulanan, (4) pekerja harian, (5) Wachtgellders, (6) Pensiunan, dan (7) kontrak giling. (Narasumber: Ir. Soeroto H.S). Setiap para pegawai atau tenaga kerja memiliki tingkat upah yang berbeda, tergantung jenis jabatan dan keahlian masing-masing. Pada pasca perubahan kepemilikan perusahaan gula Mangkunegaran juga terjadi transisi pegawai, sehingga hal ini berdampak pada kehidupan sosial-ekonomi masyarakat sekitar yang bekerja di perusahaan gula. Kondisi seperti ini yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan pegawai berbeda, karena tergantung pada tingkat jabatan. Lebih jelasnya dapat dilihat pada keterangan daftar gaji di PG. Colomadu berikut :
Tabel. 14. Daftar Gaji Pegawai P.G. Colo Madu Bulan Maret 1947 Bagian Gaji pokok(Rp) Gaji bersih (Rp) Pegawai Kantor 4.633 5.327,78 Peg. Kebun bag I 509,50 747,89 Peg. Kebun bag II 550,50 743,15 Peg. Kebun bag III 482,25 720,46 Peg. Kebun bag IV 644,50 870,53 Peg. Kebun bag V 661,50 823,35 Pengangkutan 2.518 3.179,65 Kamar obat 544 688,66 Masinis 6.389,90 7.789,48 Polisi Tanam 776 989,72 Polisi Tanam 360 504,06 Penumbuk padi 416,50 547,62 Sumber: Diolah dari arsip Rekso Pustoko MN kode L 2613
xcv
Perubahan sosial-ekonomi yang utama ditandai dengan mulai dipegangnya jabatan utama dalam perusahaan gula. Setelah perubahan kepemilikan perusahaan gula Mangkunegaran menjadi milik pemerintah, maka jabatan dari orang Belanda banyak digantikan oleh penduduk bumi putera. Akhirnya terjadi peningkatan status bagi para bumiputera yang memegang jabatan penting dalam perusahaan gula. Perubahan status jabatan ini turut meningkatkan peningkatan pendapatan dan kesehjateraan masyarakat disekitar perusahaan gula yang memegang jabatan penting. ini ditandai karena adanya perbedaan gaji yang mencolok antara administratur dan buruh pabrik gula rendahan. Tentang perubahan jabatan dalam perusahaan gula dapat dilihat dalam tabel berikut:
No
1 2 3 4 5
Tabel 15. Jabatan Perusahaan Gula sebelum kemerdekaan RI (1930-an) Jabatan Perusahaan Nama Pemegang Jabatan Gula PG. Tasikmadu PG. Colomadu Administratur Klerek kelas 1 Pemegang buku Kepala Rayon Pengawas Perkebunan (Pengkeb.) Pengkeb. Percobaan Masinis
F.G.H. Wagner H. M. Wersma E.F. Bruynsteen H. J. van Zyll de Jong M.R Bartelds W.G. Hilling D.C. Vreede dan Sikman R.S. Brusse, F.W. Badart, J.W. Maquine, D.Fenstra, C.L.Wisse, H.J. Rudolp* Th.Ackerman* 6 C. P. Franken A.J. de Wit 7 T.van der Burger, J. Havenstroom, J.A.B. L.Sommer, H. Koppel* Bik, H.C. Offenberg* 8 Kepala Pabrikat C.H. Tannenbaum M. D. Brewer 9 Dokter gula R. Soeparwi S., Mc. Neill, M. Grysen, H. Pontojoedo, Thielman* R.M Sapardjo 10 Kepala Transportasi A. Zavenboom F. Wynhamer 11 Pengawas J Le Clereq de Courcelles, A. Klerks Penebangan E.A. Simon,H. Kiksen* 12 Pengawas Gudang J.P. Groven 13 Kepala penimbangan F. C. Rumph Sumber : Adresboek voor de Java-Suikerindustrie Zesde jaaargang. Uitgegeven: G. Huysman, Soerabaia. Halaman 205dan 221.
xcvi
Keterangan: * jabatan dipegang lebih dari satu orang.
Tabel. 16. Jabatan Perusahaan Gula Tasikmadu berdasarkan Gratifikasi tahun 1942-1952 No. Nama Jabatan Pemegang Jabatan 1 Kepala Pabrik Soepredrik 2 Pemegang Buku Woerjanto 3 Kepala bagian Personalia Soemarto 4 Kepala pabrikat Roesman 5 Masinis Sarhito 6 Kepala Pengangkutan Soekari 7 Kepala Tanaman Soedharno 8 Kepala sinder kebun Soetadi 9 Sinder Kebun Abdulwasit Sumber: Arsip MN VII 5256 tentang daftar Gratificatte Tasikmadu tahun 1942-1950. Jabatan perusahaan gula di Colomadu tidak ditemukan datanya, tetapi ada ada daftar jabatan yang mengalami transisi pada tahun 1948. Jabatan yang ditempatkan kembali untuk pegawai lama, yakni: Tuan Soenardi dari wakil pemimpin umum kembali menjadi le Gemployerde (Klerek kelas I), Tuan S. Hadiatmojo dari wakil Boekhouder I (pemegang buku I) kembali menjadi pemegang buku II, dan Tuan Soetjipto dari pemegang buku II kembali menjadi pekerja kantor. Selain itu juga terjadi pemindahan jabatan berikut: Tuan Soemanto dipindahkan menjadi kepala juru rawat di PG. Tasikmadu, Tuan Soekari dipindahkan menjadi kepala pengangkutan ke PG. Tasikmadu. Pemindahan jabatan untuk lokasi di PG. Colomadu misalnya Tuan Soemardjo dari pembantu chemiker menjadi chemiker II ( diolah dari MN VII. 5256 Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran). Sejak pengambilalihan perusahaan gula Mangkunegaran pasca proklamasi, memang semua pegawai pabrik berasal dari kalangan orang Indonesia. Sistem penggajian masih tetap mengikuti pola gaji sebelum nasionalisasi, karena selisih gaji antara pegawai tingkat atas dengan tingkat bawah sangat mencolok. Di pabrik gula Colomadu pada tahun 1947, seorang pegawai kantoran seperti pemegang buku
xcvii
menerima gaji kotor sebesar Rp 4.633 atau gaji bersih
sebesar Rp 5.327,78.
Sementara seorang pegawai kebun bagian I menerima gaji pokok sebesar Rp 509,50 atau gaji bersih sebesar Rp747,89. Gaji pegawai terendah diterima oleh polisi tanam, yakni gaji pokok sebesar Rp 360 atau gaji bersih sebesar Rp 504,06 (diolah dari arsip MN L 2623 tentang keterangan singkat daftar gajih boelan III-1947). Data tahun 1951 menunjukkan bahwa di pabrik gula yang sama, rata-rata upah yang diterima oleh buruh pabrik bulanan perharinya sebesar Rp Rp 6,30 dengan rentang waktu kerja 7 jam, atau Rp 151,60 per bulan dengan ditambah upah lembur jika bekerja melebihi waktu tersebut. Jumlah gaji tersebut sudah berada di atas rata-rata upah minimum yang ditetapkan oleh Pemerintah RI, yaitu Rp 3,25 per hari dan Rp 0,25 per hari sebagai tunjangan. Sementara itu para buruh harian, baik harian tetap maupun harian lepas menerima upah lebih rendah dibandingkan dengan buruh bulanan, yakni rata-rata sebesar Rp 17,50 sampai dengan Rp 20,00 perminggu, atau Rp 70,00-Rp80,00 per bulan jika terus bekerja dalam satu bulan (Hisbaron Muryanto dalam Wasino, 2004: 14-15). Dengan demikian, perubahan peningkatan taraf kesehjateraan hanya terjadi pada pegawai pabrik gula tingkat atas, kelas menengah ditempati buruh pabrik bulanan yang tetap, sedangkan buruh harian menerima gaji yang sangat berbeda dan lebih rendah dari buruh bulanan.
xcviii
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. KESIMPULAN Industri gula Mangkunegaran terdiri dari dua pabrik gula, yaitu: pabrik gula Colomadu dan Tasikmadu. Kedua pabrik gula ini didirikan pada masa pemerintahan KPAA Mangkunegoro IV (1853-1881) yang merupakan kalangan aristokrat (bangsawan) bumiputera pertama yang menjadi pengusaha, sehingga disebut sebagai kapitalisme
priyayi.
Pembangunan
industri
perkebunan
tebu
oleh
KPAA
Mangkunegara IV merupakan pilihan yang rasional sejak mulai berlakunya ”Politik Pintu Terbuka” tahun 1870-an. Alasannya yakni: (1) gula merupakan produk ekspor yang sedang menjadi andalan di pasaran dalam negeri maupun internasional, (2) tanaman tebu sudah terbiasa di tanam di sejumlah tempat di wilayah Surakarta, termasuk Mangkunegaran yang diusahakan oleh para penyewa tanah Bangsa Barat, (3) sumber-sumber pendapatan praja secara tradisonal melalui pajak dan persewaan tanah dirasa tidak mencukupi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa : 1. Latar berdirinya industri gula Mangkunegaran adalah industri milik pribadi keluarga Sri Mangkunegoro IV. Biaya pembangunan pabrik modalnya sebagian besar dari pinjaman keuntungan perkebunan kopi Mangkunegaran, pinjaman dari mayor Cina di Semarang Be Beauw Tjwan, dan menarik tanah-tanah lungguh milik saudaranya. Perusahaan gula Colomadu didirikan tahun 1861 di wilayah Malang Jiwan, sedangkan Tasikmadu didirikan tahun 1871 di wilayah Karanganyar. Industri gula diubah menjadi milik praja pada masa menjelang wafatnya
Sri
Mangkunegoro
IV
(1881)
dengan
pertimbangan
untuk
pengembangan lebih lanjut dan diperolehnya keuntungan yang lebih besar bagi kemakmuran Praja Mangkunegaran. Setelah melalui pasang surut dalam
xcix
perjalanan
usahanya,
pada
awal
abad
XX
pengelolaan
industri
gula
Mangkunegaran berada di tangan komisi pengawas (commissie van beheer). Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) perusahaan gula mengalami penurunan produksi, karena kegiatan ekonomi diutamakan untuk kebutuhan perang. 2. Pasca proklamasi kemerdekaan RI keadaan berubah drastis, karena swapraja Mangkunegaran dihapuskan dan dijadikan satu dengan Kasunanan ke dalam karesidenan Surakarta berdasarkan PP No.16/ S.D. Tahun 1946. Selain itu juga terjadi
perubahan
sosial
dalam
sistem
perkebunan
dengan
adanya
pengambilalihan perusahaan perkebunan ke dalam pengelolaan pemerintah. Perusahaan gula Mangkunegaran diambil alih pemerintah untuk dikelola PPRI berdasarkan PP No. 9 tahun 1947. Proses pengambilalihan perusahaan gula Mangkunegaran justru terjadi sebelum nasionalisasi perusahaan Belanda di Indonesia yang berlangsung tahun 1957-1958. Hal ini ditandai dengan adanya Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta tahun 1952 yang membekukan harta benda milik Mangkunegaran, sehingga perusahaan gula Tasikmadu dan Colomadu resmi mengalami perubahan status kepemilikan menjadi milik pemerintah RI. 3. Pengaruh perubahan kepemilikan perusahaan gula Mangkunegaran ini sangat besar, karena meliputi aspek politik, ekonomi, dan budaya. Dampak yang paling vital dirasakan bagi espek keuangan Mangkunegaran, karena selama ini perusahaan gula merupakan sumber pendapatan praja. Kegiatan sosial-budaya juga kurang berkembang karena minimnya dana pengembangan. Secara politis perubahan kepemilikan perusahaan gula Mangkunegaran memperjelas bahwa swapraja telah dihapuskan. Pengaruh lain dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar perusahaan gula, karena adanya sebagian masyarakat yang mengalami peningkatan kesehjateraan dengan memegang jabatan penting dalam perusahaan gula. Selain itu bagi para petani pemilik tanah yang luas mengalami tingkat peningkatan kesehjateraan karena adanya uang sewa tanah yang naik dan petani memiliki hak negosiasi dengan pihak perusahaan. Bagi buruh rendahan kondisi
c
masih memprihatinkan, karena gaji yang rendah dan berbeda jauh dengan pemegang jabatan tingkat atas. B. IMPLIKASI
Dari hasil penelitian yang dilaksanakan, maka muncul implikasi yang dapat dipandang dari beberapa segi: 1. Teoritis Perubahan status kepemilikan perusahaan perkebunan merupakan bagian dari adanya perubahan sosial dalam sistem perkebunan yang terjadi karena kebijakan ekonomi pemerintah RI pasca kemerdekaan. Hal ini berdasarkan UUD 1945 pasal 33 ayat (2) dan (3) yang menekankan bahwa cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat. Perubahan kepemilikan perusahaan perkebunan menjadi milik pemerintah berlaku bagi seluruh perusahaan perkebunan yang ada di Indonesia berdasarkan PP No.9 tahun 1947. Dengan demikian, kebijakan tersebut berdampak pada status kepemilikan perusahaan gula Mangkunegaran (Tasikmadu dan Colomadu) yang akhirnya menjadi hak milik pemerintah RI.
2. Praktis Perubahan
status
kepemilikan
perusahaan
gula
Mangkunegaran
(Tasikmadu dan Colomadu) yang berlangsung tahun 1946-1952 membawa pengaruh yang besar terhadap Mangkunegaran. Pengaruhnya terutama terjadi dalam aspek ekonomi karena selama ini perusahaan gula merupakan sumber utama pendapatan Mangkunegaran. Selain itu juga berpengaruh pada aspek sosial-budaya dan politik. Perubahan kepemilikan ini juga berdampak pada tingkat kesehjateraan masyarakat di sekitar perusahaan gula Mangkunegaran. Di sisi lain adanya perubahan kepemilikan perusahaan gula Mangkunegaran membawa dampak yang positif bagi pegawai pabrik gula bumiputera untuk menggantikan posisi pegawai Belanda.
ci
C. SARAN
1. Bagi Pemerintah ·
Kebijakan pemerintah RI terhadap pihak PTPN IX hendaknya lebih intensif guna meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi gula, sehingga diharapkan dapat memenuhi kebutuhan gula lokal khususnya di wilayah Surakarta, sehingga mampu mengurangi jumlah impor gula di Indonesia.
·
Kebijakan pemerintah kota Surakarta dalam tata kelola pembangunan perumahan hendaknya juga memperhatikan pengaturan tata guna lahan tebu yang semakin sempit, karena berpengaruh pada hasil produksi gula.
·
Perlunya perhatian pemerintah kota Surakarta terhadap perusahaan gula Colomadu dan Tasikmadu yang merupakan perusahaan gula bersejarah sebagai warisan industri gula Mangkunegaran yang potensial untuk dikembangkan sebagai objek wisata sejarah industri perusahaan, pendidikan dan kebudayaan.
2. Bagi Pendidik Materi tentang perubahan sosial dalam sistem perkebunan dari masa kolonial ke masa pemerintah RI ada baiknya dimasukkan ke dalam kurikulum mata kuliah sejarah agraria dan sejarah lokal, khususnya tentang perubahan kepemilikan perusahaan perkebunan. Mahasiswa agar bisa mendapatkan pengetahuan tentang perkembangan industri gula di Jawa dan pengaruh perubahan kepemilikan perusahaan gula bagi industri gula lokal. 3. Bagi Peneliti Penelitian yang mengambil tema tentang perubahan sosial dalam sistem perkebunan, khususnya mengenai perubahan kepemilikan perusahaan perkebunan pasca kemerdekaan RI dengan berbagai pengaruhnya belum banyak dilakukan. Untuk masa yang akan datang penulis mengharapkan ada mahasiswa yang
cii
melanjutkan penelitian tentang perubahan kepemilikan perusahaan perkebunan secara lebih mendalam untuk bidang dan sektor yang lain. DAFTAR PUSTAKA
A. Buku Abdul Karim Pringgodigdo. 1950. Geschiedenis der Ondernemingen van het Mangkoenegorosche Rijk’s. S-Gravenhage : Martinus Nijhoff. Bondan Kanuyoso. 2001. Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Bambang Purwanto.” Memahami Kembali Sejarah Surakarta dan Yogyakarta: sebuah pengantar”. Dalam Vincent J.H.Houben. Kraton and Kumpeni Surakarta and Yogyakarta, 1830-1870. Yogyakarta : Bentang. Departemen Pertanian RI. 1997. Keputusan Menteri Pertanian No.940/kpts. DT. 210/97 tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian dalam www.deptan.go.id.kpts Dudung Abdurahman. 1987. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta : Lagos Utama. Dyah Sotya Permatasari. 2008. Kebijakan Ekonomi Jepang di surakarta 1942-1945. Surakarta: Skripsi UNS. Faisal Affif, dkk. 1994. Seluk Beluk Organisasi Perusahaan Modern. Bandung : PT. Eresco Geertz, Clifford. 1976. Involusi Pertanian : Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Terjemahan S. Supomo. Jakarta : Bharata. Gottschalk, Louis. 1986. Mengerti Sejarah. Terjemahan Nugroho Notosusanto. Jakarta : UI Press Helius Sjamsudin. 1996. Metodologi Sejarah. Jakarta : Depdikbud Ibrahim Alfian. 1987. Dari babad dan hikayat samapai Sejarah Kritis. Kumpulan karangan dipersembahkan kepada Prof. Dr. Sartono kartodirdjo. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
ciii
Inu Kencana Syafiie. 2003. Sistem Administrasi Negara Indonesia Republik Indonesia ( SANRI ).Jakarta : Bumi Aksara. Irawan, dan Bahu swastha. 1992. Lingkungan Perusahaan. Yogyakarta : BPFE. Koentjaraningrat. 1986. Metodologi Penelitian Sejarah. Jakarta : Gramedia Kuntowijoyo. 1994. Metodologi Sejarah. Yogyakarta : PT Tiara Wacana Yogyakarta. Larson, George.D.1990. Masa Menjelang Revcolusi Keraton dan Kehidupan Politik di Surakarta, 1912-1942. Yogyakarta : UGM Press. Leirissa R.Z, dkk. 1996. Sejarah Perekonomian Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia Lestariningsih, dan Suryatmojo. 1996. Administrasi Perusahaan. Surakarta: Universitas Sebelas Maret Press. Malley, William.J.O’. 1988. Perkebunan 1830-1940: Ikhtisar di dalam Anne Both, Wiiliam J.O’ Malley, dan Anna Weidenman Sejarah Ekonomi Indonesia. Jakarta : LP3ES Mansfeld, W.F., Geschiedenis der Eigendommen van het Mangkoenegorosche Rijk. Diterjemahkan oleh R.tg. Muhamad Husodo Pringgokusumo. 1986. Sejarah Milik Praja Mangkunegaran. Solo : Perpustakaan Istana Mangkunegaran. Mardalis. 2002. Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta: Bumi Aksara. Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI. Jakarta : Balai Pustaka. Metz, Th. M. 1939. Mangkunegaran Analisis Sebuah Kerajaan Jawa. Terjemahan Muhamad Husodo Pringgokusumo,. Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran. Mirriam Budiarjo.1992. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia. Mubyarto.1983. Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. Mubyarto dan Daryanti. 1991. Gula: suatu Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: PT. Aditya Media.
civ
Noer Fauzi. 1999. Petani dan Penguasa (Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia). Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Peter Salim dan Yenny Salim. 1991. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta: Modern English Press. Ricklefs, M.C.1991. Sejarah Indonesia Modern. Hardjowidjono. Yogyakarta : UGM Press.
Terjemahan
Dharmono
Rouffaer, G.P. 1905. Swapraja. Terjemahan R. Tg. Muhamad Pringgokusumo. Naskah ketik : Rekso Pustoko Mangkunegaran.
Husodo
S. Margana. 1995. Perubahan Kedudukan Tanah Apanage di Mangkunegaran pada Masa Pemerintahan Mangkunegaran IV 1853-1881. Yogyakarta : Skripsi Fakultas Sastra UGM. Sartono Kartodirdjo.1975. Sejarah Nasional Indonesia.Jilid IV. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo.1991. Sejarah Perkebunan di Indonesia, Kajian sosial Ekonomi. Yogyakarta : Aditya Media. Syahrial Syarbani, dkk. 2002. Sosiologi dan Politik. Jakarta : Ghalia Indonesia. Sidi Gazalba. 1966. Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu. Jakarta : Bathara. Soerjono Soekanto. 2003. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Sotono, H.R.2002. Timbulnya Kepentingan Tanam Perkebunan Di Daerah Mangkunegaran, terjemahan dari: Hoofdstuk II opkomst der Mangkoenagorosce Cultuurbelangen. Surakarta: Reksa Pustaka. Suhartono. 1991. Apanage dan bekel: Perubahan sosial di Pedesaaan Surakarta 18301920. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana. Thee Kian Wie.1984. Kolonialisme dan Ekonomi Indonesia. Jakarta : LP3ES. Wasino. 1996. Laporan Penelitian Politik Etis, Pembangunan Sarana Irigasi, dan Perkembangan Produksi Beras di karesidenan Surakarta (1900-1942). IKIP Semarang.
cv
Wasino. 2008. Kapitalisme Bumi Putra : Perubahan Masyarakat Mangkunegaran. Yogyakarta : LKIS. Wasino. 2004. Makalah dalam Workshop on the Economic Side of Decolonization. Yogyakarta : LIPI, NIOD, PPSAT-UGM dan PSSPS UGM. Wertheim. W.F. 1956. Masyarakat Indonesia dalam Transisi. Yogyakarta : PT. Tiara Wacana. Winardi.1990. Ilmu Ekonomi ( Aspek-aspek Sejarahnya ). Bandung : Citra Aditya Pertiwi. Wojowasito, S. 1997. Kamus Umum Belanda-Indonesia. Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Yayasan Agroekonomi. 1983. Industri Perkebunan di Indonesia. Jakarta : Gramedia.
B. Arsip/ Dokumen dan Surat Kabar Adres Book Voor de Java Suiker Industrie Zesde Jaargang Suiker Fabriek Tasikmadu 1930 and Fabriek Tjolomadu 1930. Uitgegeven: G.Huysman, Soerabaia. Begroting der Suiker Fabriek Tasik Madoe 1925; Begrooting 1935 S.f. Tasik Madoe; Begrooting S.f. Tjolomadoe 1935. Berkas tentang Panitya Penyelenggara Dana Milik Mangkunegaran dan SK Pengankatannya Tahun 1952, Arsip MN. VIII 4822. Catatan Singkat Riwayat Dana Milik Mangkunegaran dalam arsip MN. VIII 4843 Daftar Gratificatte PG. Tasikmadu Tahun 1942-1952, Arsip MN. VIII 5256 Daftar Laporan Giling PG. Colomadu Tahun 1945-1946, Arsip MN VIII 5228 Daftar Laporan Tanam,Giling dan Pengelolaan PG. Tasikmadu Tahun 1945-1946, Arsip MN VIII 5248 Keputusan Pengadilan Negeri Djakarta mengenai perkara perdata dalam Ir.K.R.M.T.H. Sarsito Mangoenkoesumo selaku Superitendents Fonds van Eigendommen van het Mangkoenegorosche Rijk’s lawan Pemerintah Republik
cvi
Indonesia di Jakarta tentang pembekuan harta milik Mangkunegaran tahun 1952, arsip MN 464 Keterangan Singkat Daftar Gajih Boelan III-1947 (25 Maret 1947), arsip Reksa Pustaka MN L- 2623. Penetapan Pemerintah No 16/S.D. tahun 1946 tentang Pemerintahan di Daerah Istimewa Surakarta dan Yogjakarta, tanggal 15 Juli 1946. Arsip MN.VIII 691. Penyerahan Perusahaan Mangkunegaran ke Pemerintah RI, dokumen PG. Tasikmadu. Turunan Peraturan Pemerintah No.3 Tahun 1946 Turunan Peraturan Pemerintah No.4 Tahun 1946 Turunan Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1947 dalam arsip MN. VIII 5286 Turunan Keputusan Presiden RI tahun 1952 dalam arsip MN. VIII 4817 Van Soest, Memorie van den Toestand der Mangkoenegorosche Suiker Fabrieken, Juli 1890, hlm.5. dalam Arsip Reksa Pustaka bundel YN 992. Surat Kuasa Istimewa Penyerahan Benda Milik Mangkunegaran kepada pemerintah RI, dokumen PG. Tasikmadu. Surat Kabar ”Mimbar Indonesia” tentang Status Swapraja terbitan 21 Mei 1950 No. 10, Arsip Reksa Pustaka MN 4823. Surat Kabar “Tempo” No.28 tanggal 12 September tahun 1987 tentang Nasionalisasi Dana Milik Mangkunegaran, Arsip Reksa Pustaka MN 1073.
cvii