Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 08-09 Oktober 2015 ISBN: 979-587-580-9
Pertanian Berkelanjutan di Lahan Gambut ? (Studi Kasus Lahan Gambut di Kalimantan) Sustainable Agriculture in Peatland ? (A case study of peatland in Kalimantan) Nyahu Rumbang1*), Zafrullah Damanik1), Suwido H Limin1) dan Cakra Birawa2) 1) Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Palangka Raya 2) Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Palangka Raya *) Corresponding author:
[email protected] ABSTRACT Mistakes in the management of peat not only threaten the existence of peat as a natural resource, but also have environmental impacts. Carbon dioxide emissions are released by different types of peat land use is determined by the depth of the ground water level. The ability of plants of various types of land use to produce C in the form of biomass is much smaller than the C released by peat (Rumbang, 2013). Carbon loss does not only come from CO2 emissions but also of dissolved organic carbon. Research results Damanik et al. (2010) in Pangkoh with the substratum sulfidic material and has a thickness of peat is different, the influence of the season and hydrological conditions of the concentration of dissolved organic carbon. One of the actions to be taken in the use of peat are zoned land use while maintaining local knowledge and adaptive plants. Agriculture and plantations on peatland made thin with mineral soil underneath with ameliorant utilizing environmentally safe. While Deep peat is used in a limited and prioritized for adaftif plants like jelutung (Diera costulata (Limin et al., 2000). Key words: carbon, sustainable, peat
ABSTRAK Kekeliruan dalam pengelolaan gambut tidak hanya mengancam keberadaan gambut sebagai sumberdaya alam tetapi juga menimbulkan dampak lingkungan. Emisi CO2 yang dilepas oleh berbagai tipe penggunaan lahan gambut ditentukan oleh kedalaman muka air tanah. Kemampuan tanaman dari berbagai tipe penggunaan lahan untuk menghasilkan C dalam bentuk biomasa jauh lebih kecil dibandingkan dengan C yang dilepas oleh lahan gambut (Rumbang, 2013). Kehilangan karbon tidak hanya bersumber dari emisi CO2 tetapi juga dari karbon organik terlarut. Hasil penelitian Damanik et al. (2010) di Pangkoh dengan dengan substratum bahan sulfidik dan memiliki ketebalan gambut berbeda, adanya pengaruh musim dan kondisi hidrologi terhadap konsentrasi karbon organik terlarut. Salah satu tindakan yang harus dilakukan dalam pemanfaatan gambut adalah membuat zonasi penggunaan lahan dengan tetap mempertahankan kearifan lokal dan tanaman yang adaftif. Budidaya pertanian dan perkebunan dilakukan di lahan gambut tipis dengan tanah mineral dibawahnya dengan memanfaatkan amelioran yang aman terhadap lingkungan. Sedangkan lahan gambut tebal digunakan secara terbatas dan diutamakan untuk tanaman yang adaftif seperti jelutung (Dyera costulata) (Limin et al., 2000). Kata kunci: berkelanjutan, berkelanjutan, gambut
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 08-09 Oktober 2015 ISBN: 979-587-580-9 PENDAHULUAN Gambut di kawasan Asia Tenggara merupakan bagian dari lahan basah yang dapat berupa hutan basah seperti hutan mangrove, lahan basah dipterocarp, semak, montane dan cloud forest (Rieley et al., 1996b; Page et al., 1999). Sebagian besar terbentuk di dataran rendah, pada ketinggian kurang dari 50 m diatas permukaan laut (Rieley et al., 2008). Demikian juga dengan gambut di Kalimantan, sebagian besar merupakan gambut dataran rendah, namun terdapat juga hamparan gambut di dataran tinggi, dikenal dengan gambut pedalaman yang diperkirakan terbentuk pada periode Holocene, sekitar 4500 tahun silam (Siefferman et al., 1988; Rieley et al., 1992;) Pemanfataan lahan gambut menjadi lahan pertanian dihadapkan pada tantangan yang terkait dengan sifat fisik, kimia dan biologi yang melekat dengan gambut. Jika pengelolaan yang dilakukan tidak secara hati-hati dan kurang bijak akan menimbulkan dampak yang sangat besar. Ancaman tidak hanya terhadap keberadaan gambut sebagai sumberdaya alam yang mungkin akan habis, tetapi juga berdampak pada kerusakan lingkungan terutama kontribusi terhadap pemanasan global. Alih fungsi lahan gambut menjadi lahan pertanian mengharuskan adanya drainase, akibatnya terjadi perubahan kondisi dari kondisi anaerob menjadi kondisi aerob. Pada kondisi aerob, aktivitas mikroorganisme meningkat dan melepas CO2 ke atmosfir. Selain melalui emisi CO2, kehilangan karbon juga terjadi melalui karbon organik terlarut. Kehilangan karbon dipercepat oleh penggunaan amelioran yang pada dasarnya bertujuan untuk memperbaiki sifat kimia dan biologi gambut. Tulisan ini bertujuan untuk membahas beberapa kajian penelitian yang terkait dengan keberlanjutan pemanfaatan gambut. Pengelolaan gambut yang salah dan tidak bijak akan mempengaruhi keberlanjutan sistem pertanian pada lahan gambut. Sistem pertanian berkelanjutan meliputi aspek produksi, sumberdaya alam dan dampak lingkungan. Dari beberapa hasil penelitian, keberlanjutan sistem pertanian pada lahan gambut menjadi sebuah pertanyaan. 1. Tantangan Pemanfaatan Lahan Gambut Reklamasi lahan gambut untuk pertanian diawali penyediaan sarana drainase. Drainase merupakan prasyarat dalam reklamasi dan untuk itu dua fungsi utama sistem drainase harus terpenuhi. Yang pertama untuk membuang kelebihan air secara tepat waktu dan efisien, dan yang kedua untuk pengendalian kedalaman muka air tanah agar tercapai kondisi yang optimum untuk pertumbuhan tanaman. Setelah didrainase, laju dekomposisi gambut menjadi lebih cepat yang juga menyumbang pada pemadatan tanah. Selanjutnya tanah gambut akan mengalami subsidensi, yakni menyusutnya tanah dan menurunnya permukaan tanah. Drainase yang menghasilkan pengeringan gambut dapat menyebabkan perubahan sifat gambut dari hidrofilik menjadi hidrofobik (Radjagukguk, 1998). Penurunan kedalaman muka air tanah yang mengakibatkan terjadi perubahan dari kondisi anaerob menjadi aerob. Pada kondisi aerob, terjadi ketersediaan O2 mengakibatkan terjadi oksidasi dan melepas CO2 (Luo dan Zhou, 2006). Penurunan muka air gambut yang berlebihan dan tidak terkontrol mengakibatkan resiko kebakaran dalam skala yang sangat besar dan berkepanjangan (Limin, 2010). Hidrologi adalah salah satu faktor abiotik yang paling penting mempengaruhi keseimbangan C hutan rawa gambut tropis, karena variasi kedalaman muka tanah akan mempengaruhi lingkungan sekitarnya. Penurunan permukaan air tanah selama musim kemarau akan meningkatkan sifat racun dari gambut, dengan demikian akan meningkatkan ketersediaan substrat untuk berdekomposisi melepaskan CO2. Page et al, (1999) dan
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 08-09 Oktober 2015 ISBN: 979-587-580-9 Hirano et al, (2007) mengatakan kondisi kering pada lahan gambut dapat disebabkan oleh variabilitas iklim atau drainase, sehingga dapat menghentikan proses akumulasi gambut, tetapi akhirnya menyebabkan runtuhnya struktur gambut. Kualitas gambut, temperatur dan kondisi hidrologi adalah faktor yang paling dominan dalam mengontrol pelepasan C ke atmosfer (Jauhiainen et al., 2005). Saat musim kemarau, rendahnya muka air tanah di gambut meningkatkan proses oksidasi yang pada akhirnya menyebabkan penurunan permukaan tanah (subsidence) dan emisi CO2 ke atmosfer (Jauhiainen et al., 2008). Ditambahkan oleh Wösten et al. (2008) gambut rentan terbakar bila muka air tanah turun drastis (0,40 m) serta menyebabkan emisi CO2 meningkat. Sifat fisik dan kimia gambut yang melekat pada gambut merupakan tantangan dalam pemanfaatan lahan gambut. Sifat tersebut merupakan hasil dari banyak faktor, termasuk kandungan bahan pembentuk, aktivitas mikrobia, derajat dekomposisi, masukan bahan mineral, stratifikasi, pemadatan dan penggunaan lahan. Penggunaan lahan mempengaruhi berat volume, daya hantar air, kapasitas mengikat, kandungan abu, keasaman, komposisi kimia (Andriesse, 1988; Rieley et al., 1996b; Page et al., 2006). Bahan pembentuk karakteriktik gambut adalah bahan dasar penyusun asal gambut. Vegetasi yang menghasilkan akumulasi gambut umumnya adalah tumbuhan yang sangat adaptif pada kondisi jenuh atau tergenang seperti mangrova, semak rumput rawa (reed swamp) dan hutan air tawar (Radjagukguk, 1998). Tanah gambut yang terbentuk dari vegetasi hutan rawa tropika relatif heterogen. Sifat fisik gambut merupakan produk dari banyak variabel yang berinteraksi dan menghasilkan bahan-bahan yang beragam dalam derajat dekomposisi. Berat volume merupakan parameter yang paling penting. Berat volume tergantung pada pemampatan, derajat dekomposisi, kandungan abu, kelembaban, waktu pengambilan cuplikan dan metode pengambilan cuplikan (Lambert, 1995; Limin 2010). Berat volume gambut tropika pada umumnya rendah, berkisar 0,10-0,32 g/cm3, berat volume menurun mengikuti jeluk gambut (Rieley et al., 1996a; Andriesse, 1988). Berat volume gambut dari beberapa tipe penggunaan lahan di Kalimantan Tengah berkisar antara 0,11 – 0,31 g/cm3 (Kurnain, 2005; Sajarwan, 2007; Rumbang, 2013). Karena gambut mempunyai berat volume rendah maka daya tumpu tanah gambut juga rendah (Radjagukguk, 2000). Kondisi ini kurang menguntungkan bagi tanaman perkebunan karena tanaman akan roboh. Gambut tropika memiliki pH yang sangat rendah (Rieley et al., 1996b; Radjagukguk, 1998). Hasil penelitian Kurnain (2005) menunjukkan pH (CaCl2) pada gambut di Kalampangan sekitar 2,92. Sedangkan penelitian Rumbang (2013) menunjukkan gambut di Kalimantan Tengah memiliki pH (H2O) berkisar 3,07 – 3,40 dan gambut di Kalimantan Barat memiliki pH (H2O) berkisar 2,87 – 3,93. Nilai pH gambut, selain dipengaruhi oleh durasi pengelolaan, juga dipengaruhi oleh tipe penggunaan lahan. Pada gambut ombrogen, proses pembentukan bahan gambut banyak dipengaruhi oleh air hujan. Dengan demikian, selain pH yang rendah, ketersediaan unsur hara makro dan unsur hara mikro rendah. Hal ini disebabkan karena ketersediaan unsur hara hanya bersumber pada limpahan air hujan dan komposisi jaringan tumbuhan pembentuk gambut (Havlin et al., 2005). Kandungan unsur hara gambut ombrogen lebih rendah dibandingkan gambut topogen. Kandungan unsur hara makro dan unsur hara mikro menurun sejalan dengan menurunnya jeluk (Rieley et al., 1996b). Sebagian besar unsur hara dalam tanah gambut dengan tingkat ketersediaan yang rendah terutama unsur N, P, K, Ca dan Cu (Radjagukguk, 1998). Walaupun hasil analisis N-total relatif tinggi, namun N hampir selalu. Rendahnya ketersediaan N di dalam tanah gambut, selain disebabkan karena nisbah karbon dan nitrogen sangat besar, juga disebabkan karena terikatnya unsur N oleh senyawa
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 08-09 Oktober 2015 ISBN: 979-587-580-9 quinon dan membentuk senyawa quinonimine (Stevenson, 1994). Umumnya, kandungan nitrogen pada lapisan atas gambut tebal lebih tinggi dibandingkan kandungan nitrogen pada lapisan atas yang dari gambut tipis (Andriesse, 1988). Upaya yang telah dilakukan untuk meningkatkan pH, sekaligus untuk menambah unsur hara diantaranya dengan penambahan kapur, tanah mineral, abu sisa hasil pembakaran, lumpur laut dan lumpur kolam ikan. Penggunaan kapur, tanah mineral dan lumpur laut terkendala dengan biaya yang tinggi. Sedangkan penggunaan abu, selain terkendala pada musim juga mengancam keberadaan gambut. Alternatif lain yang potensial untuk potensial untuk dimanfaatkan adalah lumpur kolam ikan yang merupakan limbah dari budidaya kolam ikan. Hasil penelitian Rumbang et al. (2014) menunjukkan kandungan P dalam lumpur kolam ikan sebesar 309 ppm, jauh lebih tinggi atau 7 kali lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan P pada gambut yang hanya sebesar 40 ppm. Pada percobaan pot, pemberian lumpur kolam ikan sebanyak 80% dari total media mampu memberikan hasil yang sangat signifikan terhadap parameter pertumbuhan terutama jumlah tunas, panjang tunas dan penambahan bobot tanaman. Damanik (2012) melaporkan bahwa penambahan kompos purun tikus meningkatkan daya sangga, jumlah tapak jerapan dan P tersedia tanah gambut, sedangkan konsentrasi dalam larutan ekuilibrium serta mobilitas P menurun. 2. Dampak Pemanfaatan Lahan Gambut sebagai Lahan Pertanian sebagai Lahan Pertanian a. Subsiden atau penyusutan gambut Subsiden atau penyusutan gambut salah satu dampak pemanfaatan gambut yang terlihat secara kasat mata. Kecepatan subsiden tergantung pada banyak faktor, antara lain derajat dekomposisi gambut, tipe gambut, kecepatan dekomposisi, kepadatan dan ketebalan gambut, kedalaman muka air tanah, iklim dan praktek budidaya (Andriesse, 1988; Agus dan Subiksa, 2008). Laju subsiden gambut di daerah tropik lebih tinggi dibandingkan dengan laju subsiden gambut di daerah beriklim sedang dan subtropik (Hooijer et al., 2006). Menurut Couwenberg et al. (2009) bahwa laju subsiden menunjukkan korelasi linier dengan kedalaman muka air tanah hingga kedalaman muka air tanah 50 cm. Terjadi peningkatan laju subsiden sebesar 0,9 cm/tahun setiap terjadi 10 cm penambahan kedalaman muka air tanah. Laju subsiden berlangsung sangat cepat pada lahan gambut didrainase, kemudian semakin lambat. Subsiden telah lama digunakan sebagai ukuran hilangnya karbon dari lahan gambut. Pada gambut tropik dan sub tropik, diperkirakan bahwa kontribusi oksidasi terhadap subsiden sebesar 61%. Laju subsiden pada lahan perkebunan akasia dan kelapa sawit yang telah 5 tahun didrainase diusahakan paling tinggi sebesar 5 cm/tahun (Hooijer et al., 2012). b. Kehilangan karbon melalui emisi karbondioksida Menurut Pirkko (1990), kontribusi emisi CO2 terhadap pemanasan global sebesar 46%, sementara menurut IPPC (2001) bahwa kntontribusi emisi CO2 terhadap pemanasan global sebesar 60%. Respirasi tanah melepas molekul gas CO2 yang diproduksi oleh akar, mikroba tanah, fauna tanah dan bahan organik tanah, meliputi proses produksi CO2 di dalam tanah dan proses pergerakannya ke permukaan tanah untuk dilepas ke atmosfir. Karbon dioksida terbentuk melalui suatu proses biokimia di dalam sel hidup. Karbondioksida dihasilkan dari proses oksidasi karbohidrat pada kondisi aerob. Hasil
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 08-09 Oktober 2015 ISBN: 979-587-580-9 penelitian Rumbang (2013) menunjukkan bahwa kemampuan tanaman jagung untuk menambat karbon cukup berimbang dengan jumlah karbon yang dilepas melalui emisi CO2. Sangat berbeda dengan dengan tanaman sawi, kemampuan tanaman sawi untuk menambat karbon jauh lebih kecil dibandingkan dengan karbon yang dilepas melalui emisi CO2 sehingga terjadi defisit. Pada tanaman perkebunan, kemampuan tanaman kelapa sawit dan karet untuk menambat karbon jauh lebih rendah dibandingkan dengan jumlah karbon yang dilepas melalui emisi CO2 sehingga terjadi defisit yang besar (Tabel 1). Besarnya emisi CO2 yang dilepas oleh lahan gambut berkorelasi dengan kedalaman muka air tanah, pH tanah, suhu tanah, KTK dan K-total. Tabel 1. Kandungan C-organik, emisi C, produksi C-organik dan selisih antara emisi C dengan penambatan C. Kandungan Emisi C Produksi CSelisih antara Tipe Penggunaan C-organik (t (t organik emisi C dengan Lahan C/ha/m) C/ha/tahun) (t/ha/tahun) penambatan C 1) (t C/ha/tahun) Kalimantan Tengah Sawi hijau, lahan 5 782,19 13,72 1,48 2) -12,24 tahun 876,38 12,64 1,80 2) -10,84 3) Sawi hijau, lahan 810,06 7,70 9,02 1,32 10 tahun 817,82 14,88 14,30 3) -0,58 Jagung manis, lahan 5 tahun Jagung manis, lahan 10 tahun Kalimantan Barat Jagung 802,13 6,49 11,66 3) 5,17 Lidah buaya 929,89 12,83 td td 4) Kelapa sawit 820,85 18,21 2,44 -15,77 Karet 748,82 23,02 2,56 5) -20,46 1)
Emisi dari dekomposisi sebesar 0,79 % dari emisi total (Jauhiainen et al., 2012) Sawi hijau 4 kali tanam/tahun 3) Jagung manis 3 kali tanam/tahun 4 ) Rogi (2002) 5) Agus dan Subiksa (2008) td = tidak ada data dan referensi 2)
Kedalaman muka air tanah berkorelasi secara linier terhadap emisi CO2 (Jauhiainen et al., 2005; Hooijer et al., 2006; Agus et al., 2010; Jauhiainen dan Hooijer., 2012). Menurut Rieley et al. (2008) bahwa pada lahan gambut yang tidak didrainase, dinamika CO2 lebih dipengaruhi oleh stabilitas hidrologi, mikrotofografi hutan dan struktur vegetasi, sedangkan pada lahan gambut yang didrainase, dinamika CO2 ditentukan oleh tipe vegetasi, lamanya lahan didrainase dan dalamnya drainase. c. Kehilangan karbon melalui karbon organik terlarut Kehilangan karbon selain melalui emisi CO2, juga dapat melalui air lindian dan karbon dalam air tanah. Damanik et al. (2010) melakukan penelitian untuk mempelajari pengaruh musiman (muka air tanah) terhadap dinamika KOT dalam air gambut di Pangkoh, Kalimantan Tengah dengan substratum bahan sulfidik dan memiliki ketebalan gambut berbeda. Perbedaan ini menunjukkan adanya pengaruh musim dan kondisi hidrologi terhadap konsentrasi KOT. Volk et al. (2002) menyebutkan bahwa kandungan bahan organik terlarut merupakan fungsi dari musim dan curah hujan. Konsentrasi KOT
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 08-09 Oktober 2015 ISBN: 979-587-580-9 yang meningkat di musim kemarau sejalan dengan penurunan muka air tanah dan aliran air yang lambat. Pada kondisi ini, produksi KOT tinggi dikarenakan meningkatnya dekomposisi aerobik dari bahan gambut ketika muka air turun dan temperatur meningkat (Fenner et al., 2005; Clair et al., 2002; Schiff et al., 1998). Pada kondisi aerobik aktifitas fenol oksidase (enzim pengurai senyawa fenol) dan β-glukosidase meningkat (Fenner et al., 2005) yang menunjukkan adanya mineralisasi karbon, dan selanjutnya produksi KOT juga meningkat (Freeman et al., 2004). KESIMPULAN 1. Berdasarkan selisih antara karbon yang dihasilkan tanaman dengan karbon yang hilang melalui emisi CO2 maka keberlanjutan pemanfaatan lahan gambut sangat mengancam. 2. Pengelolaan hidrologi sangat penting untuk mengurangi kehilangan karbon baik kehilangan melalui emisi CO2 maupun kehilangan melalui Karbon Organik Terlarut. 3. Lumpur kolam ikan potensial sebagai amelioran, karena tidak hanya murah tetapi juga ramah lingkungan. 4. Kriteria pemanfaatan lahan gambut tidak hanya berdasarkan ketebalan tetapi juga material yang berada dibagian bawah gambut. Gambut tebal, juga gambut tipis yang bahan dibawahnya adalah lapisan pasir dan granit harus tetap dipertahankan sebagai habitat species hutan, karena secara alami akan tetap memberikan nilai ekonomi secara berkelanjutan tanpa menimbulkan resiko negatif terhadap lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA Agus, F dan I.G.M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk pertanian dan aspek lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAP). Bogor. Indonesia. Agus, F., Wahyunto., A. Dariah., P. Setyanto., I.G.M. Subiksa., E. Runtunuwu., E. Susanti., and W. Supriatna. 2010. Carbon budget and management strategies for conserving carbon in peatland: Case study in Kubu Raya and Pontianak Districts, West Kalimantan, Indonesia. Dalam: Proceeding of International Workshop on Evaluation and Sustainable Management of Soil Carbon Sequestration in Asian Countries. Bogor, Indonesia. September 28-29, 2010 Andriesse, J.P. 1988. Nature and management of tropical peat soils. FAO Soils Bulletin 59. FAO, Roma. Clair, T., P. Arp., T. Moore., M. Dalva, and F.R. Meng. 2002. Gaseous carbon dioxide and methane, as well as dissolved organic carbon lossses from small temperate wetland under a changing climate. Environmental Pollution, 116: S143-S148. Couwenberg, J., R. Dommain., and H. Joosten. 2009. Greenhouse gas fluxes from tropical peatlands in south-east Asia. Global Change Biology. doi: 10.1111/j.13652486.2009.02016.x Damanik, Z., B. Radjagukguk., B.H. Purwanto., and E. Hanudin. 2010. The influence of peat thickness and seasonal groundwater fluctuation on dissolved organic carbon of peat water from peatland with sulfidic substratum. Paper presented at TROPEASS Project Meeting, 12-13 December 2010. Can Tho University, Vietnam. Damanik, Z. 2012. Kajian karekteristik jerapan fosfat tanah gambut yang ditambah kompos purun tikus (Eleocharis dulcis) dan pertumbuhan tanaman jagung. Dalam: Suwanto., P. Hariyadi., S Rochdianto (Eds.) Proseding Seminar Nasional: Peran
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 08-09 Oktober 2015 ISBN: 979-587-580-9 Pertanian Dalam Menunjang Ketahanan Pangan dan Energi untuk Memperkuat Ekonomi Nasional Berbasis Sumber Daya Lokal. Fakultas Pertanian, Unsoed, Purwokerto 226 - 232 Fenner, N., C. Freeman, and B. Reynolds. 2005. Hydrological effects on the diversity of phenolic degrading bacteria in a peatland: implications for carbon cycling. Soil Biology and Biochemistry, 37: 1277-1287. Freeman, C., N. Fenner., N.J. Ostle., H. Kang., D.J. Dowrick., B. Reynolds., M.A. Lock, D. Sleep., S. Hughes, and J. Hudson. 2004. Export of dissolved organic carbon from peatlands under elevated carbon dioxide levels. Nature. 430: 195-198. Havlin, J.L., J.D Beaton., S. L. Tisdale., and W.L. Nelson. 2005. Soil fertility and fertilizers. An introduction to nutrient management. Edisi ke 7. Pearson Prentice Hall. Upper Saddle River, New Jersey. Hirano, T., H. Segah., T. Harada., S. Limin., T. June., R. Hirata., and M. Osaki. 2007. Carbon dioxide balance of tropical peat swamp forest in Kalimantan, Indonesia, Global Change Biology. 13:1-14. Hooijer, A., M. Silvius., H. Wösten., and S.E. Page. 2006. PEAT–CO2, Assessment of CO2 emissions from drained peatlands in SE Asia. Delft Hydraulics report Q3943. Hooijer, A., W. A. Lee., X. X. Lu., A. Idris., Sugino., J. Jauhiainen., and S. Page. 2012. Subsidence as an accurate measure of carbon loss in drained peatlands in Asia. Dalam: Peatlands in Balance. Proceeding of the 14th International Peat Congress, Stockholm, Sweden. IPPC- Intergovernmental Panel on Climate Change. 2001. Climate Change 2001: The Scientific basis. Contribution of Working Group 1 to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Houghton, J.T., Ding, Y., Griggs, D.J., Noguer, M., van der linden, P.J., Xiaosu, D. Cambridge University Press Cambridge. Jauhiainen, J., H.Takahashi., J.E.P. Heikkinen., P.J.Martikainen., and H. Vasander. 2005. Carbon fluxes from a tropical peat swamp forest floor. Global Change Biology. 11:1788-1797 Jauhiainen J., S. Limin.,H. Silvennoinen H, and H. Vasander. 2008: Carbon dioxide and methane fluxes in drained tropical peat before and after hydrological restoration. Ecology, 89, 3503–3514. Jauhiainen, J., and A. Hooijer. 2012. Greenhouse gas emissions from a plantation on thick tropical peat. Dalam: Peatlands in Balance. Proceeding of the 14th International Peat Congress, Stockholm, Sweden. Kurnain, A. 2005. Dampak kegiatan pertanian dan kebakaran terhadap watak gambut ombrogen. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Lambert, K. 1995. Physico-chemical characterization of lowland tropical peat soil. Ph.D Thesis. Faculty of Agricultural and Applied Biological Sciences. RUG. Gent. Limin, S. H., T. N. Saman., E. P. Putir, U. Darung dan Layuniyati. 2000. Konsep Pemanfaatan Hutan Rawa Gambut di Kalimantan Tengah. Makalah, Seminar Nasional Pengelolaan Hutan Rawa Gambut dan Ekspose Hasil Penelitian di Lahan Basah - Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru. Banjarmasin, 9 Maret 2000. Center for International Cooperation in Sustainable Management of Tropical Peatland (CIMTROP), Universitas Palangka Raya. Limin, S. H. 2010. Gambut tropika (Masalah dan prospeknya). Centre for International Cooperation in Sustainable Management of Tropical Peatland (CIMTROP). Universitas Palangka Raya. Luo, Y and Zhou, X. 2006. Soil Respiration and the Environment. Academi Press.
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 08-09 Oktober 2015 ISBN: 979-587-580-9 Page, S.E., J.O. Rieley., Ø.W. Shotyk and D. Weiss. 1999. Interdependence of peat and vegetation in tropical peat swamp forest. Phil. Trans. Royal Soc. London. 18851897 Page, S.E., J.O. Rieley., R. Wüst. 2006. Lowland tropical peatlands of Southeast Asia. Dalam: Martini, L.P., A. M. Cortizas., and W. Chesworth. (eds.). Peatlands: Evolution and Records of Environmental and Climate Changes. Elsevier. Amsterdam-Boston-Heidelberg-London-New York-Paris-San Diego-San Francisco-Singapore-Sydney-Tokyo.145-172 Pirkko, S., and T. Nyronen. 1990. The carbon dioxide emissions and peat production. International Conference on Peat Production and Use. Jiväskylä. Finland. 1:150157 Radjagukguk, B. 1998. Perubahan sifat fisik dan kimia tanah gambut akibat reklamasi lahan gambut untuk pertanian. Makalah pada Ulang Tahun HGI X. Radjagukguk, B. 2000. Perubahan sifat-sifat fisik dan kimia tanah gambut akibat reklamasi lahan gambut untuk pertanian. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan. Fakultas Pertanian UGM Yogyakarta. 2(1): 1-15 Rieley, J. 1992. The ecology of tropical peatswamp forest – A Southeast Asian perspective. Dalam: Aminuddin, B.Y., S.L. Tan., B. Aziz., J. Samy., Z. Salmah., H.S. Petimah., and S.T.Choo. (eds.). Tropical Peat. Proceedings of the International Symposium on Tropical Peatland. MARDI, Malaysia. 224-254 Rieley, J.O., S.E. Page., and B. Setiadi. 1996a. Distribution of peatlands in Indonesia. Dalam: Lappalainen, E. (ed.). Global Peat Resources. Publisher International Peat Society, Jyskä, Finland. 169-178 Rieley, J.O., A.A. Ahmad-Shah., and M.A. Brady,. 1996b. The extent and nature of tropical peat swamps. Dalam: Maltby, E., C.P. Immirizi., and R.J. Safford. (eds.), Tropical Lowland Peatlands of Southeast Asia. Proceeding of a Workshop on Integrated Planning and Management of Tropical Lowland Peatlands. Cisarua, Indonesia.), IUCN, Gland, Switzerland. 17-53 Rieley, J.O., R.A.J.Wüst., J. Jauhiainen., S.E. Page., H. Wösten., A.Hoijer.,F. Siegert., S. Limin., H. Vasander., and M. Stahlhut. 2008. Tropical peatlands: carbon store, carbon gas emissions and contribution to climate change processes. Dalam: Strack, M. (ed.), Peatlands and Climate Change. Publisher International Peat Society, Vapaudenkatu, Jyväskilä, Finland. 149-181 Rumbang, N. 2013. Kajian Emisi Karbon Dioksida pada Berbagai Tipe Penggunaan Lahan Gambut di Kalimantan. Disertasi. Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Rumbang, N,. S. Sinaga,. E. R. Asie. 2014. Aplikasi kombinasi endapan lumpur kolam ikan dan gambut sebagai amelioran dan media tanam buah naga merah (Hylocereus sp). Laporan Penelitian Hibah Bersaing. Lemlit Universitas Palangka Raya Rogi, J.E.X. 2002. Penyusunan model simulasi dinamika nitrogen pertanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis, Jacq.) di unit usaha Bekri Propinsi Lampung. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Sajarwan, A. 2007. Kajian karakteristik gambut tropika yang dipengaruhi oleh jarak dari sungai, ketebalan gambut dan tipe hutan di daerah aliran sungai Sebangau. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Schiff, S., R. Aravena., E. Mewhinney., R. Elgood., B. Warne., P. Dillon, and S. Trumbore. 1998. Precambrian shield wetlands: hydrologic control of the sources and export of dissolved organic matter. Climatic Change, 40 (2): 167-188. Sieffermann, G., M. Fournier., S. Triutomo., M.T. Sadelman., A.M. Semah. 1988. Velocity of tropical forest peat accumulation in Central Kalimantan Province,
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 08-09 Oktober 2015 ISBN: 979-587-580-9 Indonesia. Dalam: Proceeding 8th International Peat Congress. Leninggrad. International Peat Society, Jyväskilä. 90-98 Stevenson, F. J. 1994. Humus chemistry. Genesis, composition, reactions. John Willey and sons Inc. New york, Chichester, Brisbane, Toronto, Singapore. Volk, C., L. Wood, B. Johnson, J. Robinson, H.W. Zhu, and L. Kaplan. 2002. Monitoring dissolved organic carbon in surface and drinking water. J. Environ. Monit., 4: 43-47.