USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN
NORHADIE KARBEN, GIGIH UPAYAKAN PERTANIAN TANPA BAKAR DI LAHAN GAMBUT Oleh: Indra Nugraha
“Ketika pemerintah melarang membakar seharusnya pemerintah juga memberikan solusi bagi petani terutama bagi petani lokal yang masih menggantungkan hidup dari pengelolaan lahan dengan cara membakar,” katanya.
Di lahan gambut seluas dua hektar itu, tanaman padi terhampar. Ia terletak di Desa Mantangai Hulu, Kecamatan Mantangai, Kuala Kapuas-Kalteng. Tanaman padi itu terlihat tumbuh subur, tegak setinggi pinggang orang dewasa. Butir-butir biji padinya terlihat padat, sebagian sudah menguning dan tinggal menunggu beberapa saat lagi siap untuk dipanen. Tak ada yang menyangka tanaman padi yang subur terhampar itu ditanam dengan cara tanpa membakar lahan gambut. Adalah Norhadie Karben, seorang pegiat Kelompok Tani Karya Sakti yang melakukan uji coba penanaman padi tersebut. Bersama sembilan orang sesama petani lainnya, Norhadie berjibaku mencari berbagai cara guna menemukan metode terbaik untuk menanam padi di lahan gambut, tanpa membakar. Apa yang ia lakukan seolah ingin mematahkan anggapan bahwa tanaman padi tak bisa ditanam di lahan gambut jika tak melalui proses pembakaran. “Ini berawal dari kondisi di lahan kami. Seusai panen, kami melihat ada tanaman padi yang awalnya jatuh USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN
1
di tanah ladang kami ada yang tumbuh. Melihat seperti itu muncul inisatif kami untuk memanfaatkan bibit itu kemudian kami melakukan rembug bersama kelompok tani. Kami ingin melakukan uji coba mengolah lahan tanpa bakar,” kata Norhadie yang ditemui LESTARI dan Mongabay di ladang miliknya beberapa waktu yang lalu. Sebelumnya, Norhadie mengatakan, ia bersama para petani di Mantangai Hulu sudah terbiasa mengelola lahan dengan cara dibakar. Tradisi itu dilakukan secara turun temurun sejak dari zaman nenek moyang. Tapi ia melihat ada potensi yang bisa ia ambil sebagai bibit sekaligus melakukan ujicoba mengelola lahan tanpa bakar. “Dari buah padi ladang yang kita panen itu kan tak semuanya kita ambil. Ada juga padi yang roboh oleh angin kemudian terendam di air sehingga dia tumbuh. Menurut kami ini salah satu potensi yang bisa dikembangkan untuk membuka lahan ladang itu tanpa bakar. Bibit itu yang kami pindahkan ke ladang yang kami bersihkan dengan tanpa dibakar. Jadi sebenarnya bibitnya itu tak dipersiapkan. Itu yang kami pikir adalah sebuah peluang agar bisa menegembangkan lahan ini ke depannya tak ada waktu jeda, tak ada waktu istirahat,” paparnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, lahan seluas dua hektar itu bukan murni milik ia sendiri. Sebagian diantaranya juga milik rekan-rekannya sesama anggota Kelompok Tani Karya Sakti namun berada dalam satu hamparan. Lahan yang ia punya untuk melakukan uji coba itu sendiri seluas 60x70 meter. Beberapa rekannya mengalokasikan luas lahan yang beragam untuk melakukan uji coba tersebut. Semua tergantung pada kemampuan masing-masing. “Teknik dalam membuka lahan pun beragam. Ada yang ditebas, kemudian semak dan rumput yang ada dicincang lalu disemprot dengan rondap atau DNA4. Kemudian ada juga ada yang tanpa DNA4. Ditebas dan langsung ditanam. Tapi tentu saja dengan tanpa membakar,” katanya. Sejauh ini katanya, metode yang paling bagus menurutnya adalah dengan cara ditebas kemudian rumput dan semak belukar yang ada dicincang, lalu disemprot menggunakan DNA4. Setelah itu baru kemudian dicangkul. Bibit yang ditanam berasal dari padi bekas ladang para petani sendiri. Lalu bibit yang tersisa itu diambil untuk ditanam di lahan yang diolah tanpa bakar. Tak ada perlakuan khusus dalam hal pembibitan.
Foto: Norhadi memperlihatkan hasil padi yang ditaman di lahan gambut dengan menggunakan metode tanpa bakar.
2
USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN
Foto: Lahan praktik uji coba pengembangan padi di lahan gambut.
Bibit yang ditanam jenisnya beragam dan menurut Norhadie yang paling bagus adalah jenis bibit padi Geragai dan Nampui. Kedua jenis padi lokal ini lebih tahan terhadap serangan hama penyakit dan kekeringan sehingga cocok untuk ditanam dengan pengolahan lahan tanpa bakar. “Tak seperti layaknya orang yang bersawah yang bibitnya harus diolah dulu, disemai lalu dipindah ke lahan. Kalau kami tidak. Karena hanya spontan saja padi yang tumbuh di ladang itu kita ambil lalu diambil dan ditanam di ladang yang sudah disiapkan tanpa bakar. Tak menggunakan api sama sekali,” ujarnya. Pola uji coba itu menurutnya, tak serta merta dilakukan secara serempak oleh 10 orang. Tapi dikerjakan di lahan masing-masing, meskipun berada di dalam satu hamparan. Meski saat ini masih dalam masa tanap uji coba. Penanaman dimulai bulan April (2016) yang sebenarnya bukan di musim tanam yang biasa dilakukan oleh para petani.
Antri Traktor “Uji coba ini hanya untuk mengetahui apakah padi bisa tumbuh subur jika tanpa dibakar? Hasilnya di luar perkiraan kami. Ternyata padi tumbuh subur, berbuah, bisa dipanenan dan digiling jadi beras. Sekarang petani melakukan pola yang sama dan mengerjakan di lahan masing-masing. Kebetulan bulan Agustus kemarin kita dapat bantuan satu traktor tangan dari Dinas Pertanian sehingga ini bisa mempercepat pengolahan lahan,” katanya. Meski sudah mendapatkan bantuan satu unit traktor tangan, Norhadie mengatakan hal itu belum cukup. Sebab jumlah anggota kelompok tani cukup banyak. Dengan hanya satu unit saja, ini membuat para petani yang ingin membuka lahan harus antri bergantian. Sementara kondisi di lahan juga sangat sulit. Untuk membersihkan lahan dari semak belukar dan kayu-kayuan tentu membutuhkan banyak alat yang lebih banyak.
“Sebenarnya dari kelompok tani kami banyak yang beminat melakukan pengolahan lahan tanpa bakar. Tetapi apalah daya, traktor tangannya cuma satu sehingga kami pun harus bergantian. Kalau harus bergantian, prosesnya jadi lama,” ujarnya. Jika membandingkan hasil panen yang didapat antara dengan cara dibakar atau tanpa bakar, Norhadie mengatakan ia belum bisa memberikan gambaran secara rinci. Sebab apa yang ia lakukan sejauh ini masih dalam tahap uji coba. Kemudian ia juga melakukan uji coba itu bukan di bulan yang biasa para petani berladang. Sehingga jelas hasilnya akan berbeda. Dari segi biaya juga jelas berbeda. Norhadie mengakui butuh biaya ekstra untuk mesin pemotong rumput, traktor, cess dan senso untuk memotong kayu. Tenaga yang dikeluarkan juga lebih berat. Namun hal tersebut tentu saja tak sampai mematahkan semangatnya. “Kendala terbesar kami dalam proses uji coba ini adalah serangan hama dan penyakit. Serangannya luar biasa karena hanya beberapa orang saja yang melakukan penanaman selama bulan April-September ini akibatnya hama itu sangat banyak. Harapan kami pada musim tanam Oktober-Maret ini kami akan lebih banyak lagi melakukan uji coba tanpa bakar ini. Kami ingin melihat lebih banyak bukti bahwa yang telah kami lakukan berhasil. Jujur saja ini melebihi harapan kami yang awalnya hanya ingin mengetahui apakah tanaman padi lokal ini bisa tumbuh tanpa harus dibakar ternyata padi yang ditanam bisa tumbuh subur bahkan bisa berbuah dengan baik,” katanya. Jika melihat kebiasaan pada umumnya, Norhadie mengatakan, para petani biasa menanam padi bulan Oktober dan dipanen bulan Maret. Jeda waktu itu biasanya digunakan untuk mengelola kebun karet, mencari ikan di sungai juga memanen hasil dari beje. “Tapi ketika kami melihat peluang di lahan kami dengan ketersediaan bibit untuk melakukan penanaman pada musim tanam April September, kita laku-
USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN
3
kan. Ternyata padi tumbuh subur tapi kami tak menduga dengan hasil yang kami dapat sekarang. Sayangnya kami hanya punya satu traktor sehingga semangat teman-teman lain untuk membuka lahan tanpa bakar belum dapat dipenuhi,” katanya.
bisa mengumpulkan beberapa petani untuk bekerja di satu tempat. Awalnya mereka sering berpindahpindah sehingga ada potensi terjadi kebakaran karena lahannya gambut. Dan alhamdulilah dari sekarang terkumpul 120 KK anggota kelompok tani yang memiliki lahan satu hamparan total 140 hektar,” paparnya.
Berkah Terselubung
Terkait dengan pengelolaan lahan tanpa bakar, ia berharap pemerintah memberikan bantuan. Misal dalam hal penyediaan sarana, pelatihan penggunaan pupuk organik dan sebagainya. Sehingga dengan hal itu, kesulitan dalam hal merawat ataupun menjaga tanaman yang sudah dikelola bisa terjaga dengan baik.
Norhadie mengakui larangan pemerintah untuk tak lagi melakukan pembakaran dalam mengelola lahan adalah berkah terselubung. Selama ini aturan tersebut membuat banyak petani mengelola lahan gambut kebingungan. Sebab, sudah sejak lama mereka terbiasa membuka lahan dengan cara membakar. Abu hasil pembakaran, dipercaya ampuh menjadi pupuk yang membuat padi menjadi subur sekaligus menghilangkan kadar keasaman lahan gambut. Larangan membakar itu pun sejatinya tak disertai dengan solusi alternatif yang bisa menguntungkan para petani. Solusi yang ditawarkan, cenderung bersifat jangka panjang seperti mengalihkan kebiasaan mereka yang semula menanam padi, menjadi tanam sengon, karet dan lainnya. Sementara solusi jangka pendek masih belum ada padahal petani butuh pemasukan untuk menopang kebutuhan hidupnya. Norhadie mengatakan, pengelolaan lahan tanpa bakar ini merupakan hal baru baginya. Ia banyak belajar di beberapa tempat khususnya di bagian hilir yang sudah menerapkan konsep mengelola tanpa bakar. Menurutnya, hasilnya lebih bagus dari hasil berladang walaupun mereka tak punya lahan terlalu luas tapi hasilnya hampir sama seperti yang punya lahan luas. “Terkait peraturan larangan itu sebenernya barubaru tahun ini saja disosialisasikan. Tahun-tahun sebelumnya tak pernah. Sehingga walaupun ada larangan membakar tetap membakar. Karena itu sudah menjadi suatu pekerjaan yang dimulai dari nenek moyang kami,” ujarnya. Perjuangan kelompok petani Karya Sakti bisa dibilang panjang. Awalnya para petani di Desa Mantangai Hulu cenderung bergerak sendiri-sendiri. Melihat berbagai persoalan yang terjadi, ia akhirnya bergerak untuk mengorganisir mereka dan mendirikan kelompok tani. Sebelum kembali ke desanya, Norhadie sempat bekerja di beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Seperti Walhi KalimantanTengah, Pokker SHK (Kelompok Kerja Sistem Hutan Kerakyatan) dan lain-lain. Pengetahuan mengelola komunitas yang ia peroleh dari pengalamannya bekerja di beberapa LSM itu ia terapkan di kelompok tani yang ia bentuk. “Awalnya petani yang ada di sini mengatur dirinya sendiri, masing-masing dan tak berkelompok. Sehingga petani tersebar dimana-mana dan tak jarang api pun tersebar dimana-mana. Sehingga banyak yang abai melakukan pencegahan. Saya mencoba untuk 4
USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN
“Ketika pemerintah melarang membakar seharusnya pemerintah juga memberikan solusi bagi petani terutama bagi petani lokal yang masih menggantungkan hidup dari pengelolaan lahan dengan cara membakar,” katanya.
Memulai dari Hal Kecil Sejak awal Nopember, Norhadie bersama kelompok taninya berupaya melakukan kegiatan uji coba pengelolaan lahan ladang pertanian pada gambut tipis yang berlokasi di wilayah Handel Karya Sakti Sei Hanbie dan Sei Jangkit Jaya Desa Mantangai Hulu. Dengan luasan yang akan direncanakan untuk uji coba ini sekitar 10 hektar kurang lebih untuk periode musim tanam Oktober-Maret. Sedangkan target penggarapan lahan tanpa bakar ini harus selesai akhir bulan Oktober mendatang, dan kegiatan ini terus berjalan hingga hari ini. Selain padi, Norhadie dan kelompok taninya berencana untuk mengembangkan tanaman sayur-sayuran yang nantinya dikerjakan oleh petani perempuan. “Kami bersama anggota kelompok tani, memulai dari hal yang kecil dulu walau pun luasannya tak seberapa. Akan tetapi bisa sedikit mengurangi kebakaran kebun karet dan rotan di sekeliling lahan perladang pertanian sekitar. Dan kegiatan ini tidak semudah apa yang kita bayangkan dan tidak semudah membalik talapak tangan. Yang awalnya tiap tahun membuka lahan selalu membakar sekarang jadi tidak membakar,” katanya. Norhadie sadar bahwa pengetahuannya dalam mengolah lahan ladang tanpa bakar di tanah gambut tidaklah istimewa. Ia tak henti menambah pengetahuannya dalam pengelolaan lahan gambut. Buku, makalah dan bahan referensi lain dari berbagai sumber ia kumpulkan. Sejak beberapa waktu lalu, rumahnya di Desa Mantangai Hulu disulap menjadi perpustakaan yang ia beri nama “Balai Belajar Informasi Gambut”. Perpustakaannya jadi tempat berdiskusi dan membagi ilmu dengan rekan-rekannya sesama petani. “Agar bisa saling berbagi pengalaman serta pengetahuan
Foto: Norhadie menjadi narasumber di acara dialog interaktif bertema pengelolaan lahan tanpa bakar di Palangkaraya.
untuk meningkatkan kapasitas selain itu pelatihan pelatihan serta simulasi harus diperbanyak lagi,” ujar Norhadie. Menurutnya, berladang bukan hanya persoalan memenuhi kebutuhan keluarga namun juga persoalan ketersediaan pangan daerah mupun nasional. Sehingga seharusnya masyarakat yang biasa berladang dengan cara tradisional perlu diperkenalkan dengan teknologi yang dapat meningkatkan produksi sehingga kesejahteraan dapat terwujud. “Bukan hanya bisa melarang membakar hutan dan lahan tanpa memberi solusi rasa ketakutan pada wong cilik. Cara-cara itu tidak musti menghapus kearifan lokal, tetapi cari jalan yang terbaik. Misal bantu alat pengolah tanah, bantu benih kualitas unggul, pelatihan cara merawat tanaman dan pembuatan pupuk organik agar tidak tergantung pada pupuk pabrik. Kalau Kalimantan Tengah jadi lumbung padi Indonesia, siapa yang tak bangga?” pungkasnya.
USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN
5