1
PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KEGIATAN RESTORASI EKOSISTEM DI AREAL HARAPAN RAINFOREST PT REKI, PROVINSI JAMBI DAN PROVINSI SUMATERA SELATAN
AJENG KARTINI RAHMANIA
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
2
PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KEGIATAN RESTORASI EKOSISTEM DI AREAL HARAPAN RAINFOREST PT REKI, PROVINSI JAMBI DAN PROVINSI SUMATERA SELATAN
AJENG KARTINI RAHMANIA
Skripsi sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
3
RINGKASAN AJENG KARTINI RAHMANIA. E.34052677. Persepsi Masyarakat terhadap Kegiatan Restorasi Ekosistem di Areal Harapan Rainforest PT REKI, Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatera Selatan. Dibimbing oleh HARYANTO R. PUTRO dan DIDIK SUHARJITO. Harapan Rainforest merupakan areal hutan produksi seluas ± 101.355 ha yang ditunjuk sebagai areal restorasi ekosistem melalui Kepmenhut SK. No. 83/Menhut-II/2005. Areal restorasi ini dikelola oleh PT REKI (Restorasi Ekosistem Indonesia). Di dalam dan sekitar areal Harapan Rainforest terdapat beberapa desa yang keberadaannya sudah sejak lama sebelum kawasan hutan ditetapkan sebagai areal restorasi ekosistem. Dalam rangka menerapkan pola pengelolaan yang dapat mendukung keberlangsungan hidup masyarakat setempat, maka diperlukan persepsi dari masyarakat tersebut terhadap kegiatan restorasi ekosistem yang merupakan kegiatan utama dari pihak PT REKI. Penelitian ini bertujuan mengetahui persepsi masyarakat terhadap kegiatan restorasi ekosistem di areal Harapan Rainforest dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang persepsi masyarakat terhadap kegiatan restorasi di areal Harapan Rainforest dan rekomendasi bagi pengelola terkait dengan pengelolaan Harapan Rainforest. Penelitian dilakukan terhadap masyarakat Batin Sembilan, Sako Suban dan Tanjung Sari. Jumlah responden yang mewakili masyarakat Batin Sembilan yaitu 30 orang, masyarakat Sako Suban 45 orang dan masyarakat Tanjung Sari 14 orang. Data yang dikumpulkan berupa data pokok dan data penunjang. Data pokok meliputi data karakteristik masyarakat (jenis kelamin, umur, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan) dan data persepsi. Data penunjang meliputi kondisi umum areal Harapan Rainforest dan desa di dalam dan sekitar areal Harapan Rainforest. Masyarakat memberikan persepsi positif terhadap kegiatan restorasi ekosistem yang dilakukan oleh pihak PT REKI. Masyarakat setuju dengan adanya kegiatan restorasi ekosistem dan bersedia apabila dilibatkan dalam kegiatan tersebut. Persepsi masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu pengetahuan masyarakat dan pengalaman masyarakat. Persepsi masyarakat Batin Sembilan tidak dipengaruhi oleh pendidikan dan pendapatan, tetapi persepsi dipengaruhi oleh pekerjaan, pengetahuan lokal, pengalaman berinteraksi dengan pihak PT REKI dan tingkat ketergantungan terhadap SDH. Persepsi masyarakat Sako Suban dipengaruhi oleh pendidikan dan pengalaman berinteraksi dengan pihak PT REKI. Persepsi masyarakat Tanjung Sari dipengaruhi oleh tingkat pendapatan responden dan pengalaman berinteraksi dengan pihak PT REKI. Kata kunci : Harapan Rainforest (PT REKI), restorasi ekosistem, persepsi, masyarakat.
4
SUMMARY AJENG KARTINI RAHMANIA. E.34052677. The Perception of Local Communities on Restoration Ecosystem Projects (PT. REKI) at Harapan Rainforest Area, Province of Jambi and South Sumatera. Supervised by HARYANTO R. PUTRO and DIDIK SUHARJITO. Harapan Rainforest is a production forest with an area 101.355 ha which has been established by the Minister of Forestry decree No. 83/Menhut-II/2005. This area is managed by PT. REKI (Restorasi Ekosistem Indonesia). There are several villages inside and surround this area that has been settled long time ago, before forest area set as restoration ecosystem area. In order to implement the management model that can support the sustainable of local community, the perception of local communities on ecosystem restoration projects which done by PT. REKI is needed. The aim of this study was to know the perception of local communities on ecosystem restoration projects in Harapan Rainforest area and the factors that influence it. The result of this study hopefully can provide information and recommendations regarding the restoration projects for Harapan Rainforest management. The study was carried out to local community of Batin Sembilan, Sako Suban, and Tanjung Sari which totaled 30 respondents, 45 respondents, and 14 respondents, respectively. Data collected from primary data and secondary data. Primary data consist of characteristics of local community (sex, age, education, occupation, and income) and perceptions. Secondary data is general condition of Harapan Rainforest area and total villages inside and surround Harapan Rainforest region. Local communities gave a positive response on ecosystem restoration projects and agreed with those projects. They also ready to be involved on those projects. Local community perceptions were affected by some factors such as knowledge and experience of the communities. Batin Sembilan perceptions were affected by education and income level, but it was affected by occupation, local knowledge, interaction experienced with PT. REKI and dependable value to the forest resources. Sako Suban perceptions were affected by education and interaction experienced with PT. REKI. Perceptions of Tanjung Sari were affected by income level respondents and interaction experienced with PT. REKI. Keyword: Harapan Rainforest (PT REKI), ecosystem restoration, perception, local communities.
5
PERNYATAAN Dengan ini Saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Persepsi Masyarakat terhadap Kegiatan Restorasi Ekosistem di Areal Harapan Rainforest PT REKI, Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatera Selatan” adalah benar-benar hasil karya Saya sendiri dengan bimbingan dosen Ir. Haryanto R. Putro, MS dan Dr. Ir. Didik Suharjito, MS. Skripsi ini belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juni 2011
Ajeng Kartini Rahmania NRP E34052677
6
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi
: Persepsi
Masyarakat
terhadap
Kegiatan
Restorasi
Ekosistem di Areal Harapan Rainforest PT REKI, Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatera Selatan. Nama
: Ajeng Kartini Rahmania
NIM
: E.34052677
Departemen
: Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
Menyetujui : Komisi Pembimbing Ketua,
Anggota,
Ir. Haryanto R. Putro, MS
Dr.Ir. Didik Suharjito, MS
NIP. 19600928 198503 1 004
NIP. 19630401 199403 1 001
Mengetahui : Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS NIP : 19580915 198403 1 003
Tanggal Lulus :
7
KATA PENGANTAR
Penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas segala curahan rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang dilaksanakan pada bulan Januari sampai bulan Februari 2010 berjudul Persepsi Masyarakat terhadap Kegiatan Restorasi Ekosistem di Areal Harapan Rainforest PT REKI, Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatera Selatan. Skripsi ini ditulis berdasarkan data pokok, data penunjang dan survey lapangan yang menggambarkan kondisi desa dan masyarakat yang menjadi responden dalam penelitian ini. Restorasi ekosistem ini merupakan sistem pengelolaan yang baru dalam pengelolaan hutan alam, sehingga persepsi masyarakat dipandang penting untuk diketahui, khususnya dalam rangka menerapkan pengelolaan yang dapat mendukung keberlangsungan hidup masyarakat setempat. Dalam skripsi ini diuraikan persepsi masyarakat terhadap kegiatan restorasi ekosistem yang dikelompokkan berdasarkan pendidikan, pekerjaan dan pendapatan responden. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna, namun penulis berharap agar skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat untuk berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.
Bogor, Juni 2011 Penulis
8
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Ajeng Kartini Rahmania dilahirkan di Sukabumi, Jawa Barat pada tanggal 21 April 1987 sebagai anak pertama dari dua bersaudara pasangan R. Abu Zamroh dan Siti Rahmah Iriani. Pada tahun 2005 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Sukabumi dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan menjadi mahasiswa Mayor Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan dengan Minor Arsitektur Lanskap. Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif dalam kegiatan Himpunan Profesi Mahasiswa Konservasi (HIMAKOVA) sebagai anggota Kelompok Pemerhati Herpetofauna (KPH). Selain itu, penulis juga pernah menjabat sebagai sekretaris umum dalam Himpunan Mahasiswa Kehutanan Seluruh Indonesia (Sylva Indonesia) cabang IPB. Penulis juga aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Uni Konservasi Fauna (UKF) sebagai anggota Divisi Karnivora. Selama menjadi mahasiswa, penulis melakukan berbagai kegiatan lapang dan praktikum lapang yang meliputi puncak rangkaian kegiatan Metamorfosa UKF di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS), Ekspedisi Global UKF di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), observasi lapang UKF di Leuweung Sancang, Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) dengan jalur Indramayu-Linggarjati (2007), Praktek Umum Konservasi Eksitu (PUKES) di PUSPIPTEK dan penangkaran reptil MEGACITRINDO (2008) dan Praktik Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Gunung Merapi (2009). Kegiatan lain yang diikuti penulis, yaitu rapat kerja nasional (RAKERNAS) Sylva Indonesia di Universitas Negeri Lampung (UNILA) dan Pekan Ilmiah Kehutanan Nasional (PIKNAS IV) PCSI IPB sebagai koordinator acara. Dalam
rangka
menyelesaikan
studi
di
Departemen
Konservasi
Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB, penulis menyusun skripsi dengan judul “Persepsi Masyarakat terhadap Kegiatan Restorasi Ekosistem di Areal Harapan Rainforest PT REKI, Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatera Selatan” di bawah bimbingan dosen Ir. Haryanto R. Putro, MS dan Dr. Ir. Didik Suharjito, MS.
9
UCAPAN TERIMA KASIH
Penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik berkat bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada: 1.
Ibuku tersayang (Siti Rahmah Iriani), adikku (Fajar Ginanjar), Mamih Dewi, Wa Agus serta seluruh keluarga besar O.Z. Abidin atas doa, kasih sayang, dukungan dan kesabarannya selama ini.
2.
Dosen pembimbing Ir. Haryanto R. Putro, MS. dan Dr. Ir. Didik Suharjito, MS yang telah memberikan bimbingan, masukan, motivasi dan ilmu sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
3.
Dr. Ir. Bahruni, MS, Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS dan Dr. Ir. Cahyo Wibowo, M.Sc.F.Trop sebagai dosen penguji.
4.
Direktur Unit Manajemen Harapan Rainforest Pak Yusup Cahyadin yang telah memberikan izin penelitian dan bimbingan, Kepala divisi Community Development tahun 2009 Pak Umar atas bimbingan dan arahannya, Kepala divisi Community Development tahun 2010 sampai sekarang Pak Yulius dan Direktur Perencanaan Kawasan Pak Urip Wiharjo.
5.
Tim community development Pak Sonhaji dan Pak Firdaus atas informasi dan bantuannya selama proses penggalian data ke masyarakat, Kepala lapangan tim riset Pak Jeri Imansyah, bagian manajemen Pak Paul Hultera dan Pak Yafid Gunawan, serta seluruh staf Harapan Rainforest Pak Abdul Kholik, Pak Sadat (tim riset) dan tim patroli Pak Rusman, Mas Onoy, Pak Doni, Pak Reka, Pak Thamrin, Pak Sugito beserta keluarga, Pak Muhammad dan staf lainnya yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu.
6.
Seluruh keluarga besar Fakultas Kehutanan dan Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, seluruh dosen pengajar, Staf KPAP, rekan-rekan mahasiswa KSHE, serta mamang dan bibi yang selalu membantu selama ini.
7.
Baso Arsadi yang selalu ada dengan kasih sayang, semangat dan doanya.
8.
Seluruh teman TARSIUS 42 yang sudah menjadi keluarga yang sangat menyenangkan dalam kebersamaan.
10
9.
Seluruh rekan Sylva Indonesia PC IPB atas dukungan dan doanya.
10.
Wisma Maharlika (belakang bawah): Zhe, Wulan, Difa, Icha, Ine, Titi, Reni, Uphie, Sina, Nonetz, Lia, Mba Wilis, Mba Iyus, Mba Uci, Mba Poe, Mba Imas, Roma, Cikal, Deasy, Dara atas kebersamaan serta motivasinya selama penulis menjalani masa perkuliahan hingga penelitian dan lulus.
11.
Pihak lain yang telah membantu dan bekerja sama dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga semua bantuan, doa, semangat, motivasi dan kesabaran yang telah
diberikan kepada penulis mendapatkan balasan yang lebih dari Allah SWT. Amin.
Penulis
11
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ............................................................................................ RIWAYAT HIDUP ................................................................................................ UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................................. DAFTAR ISI........................................................................................................... DAFTAR TABEL .................................................................................................. DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... I.
i ii iii v vii viii ix
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................ 1.3 Tujuan .......................................................................................................... 1.4 Manfaat ........................................................................................................
1 2 2 2
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi ........................................................................................................ 2.3 Restorasi .......................................................................................................
3 5
III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran ...................................................................................... 3.2 Definisi Operasional ..................................................................................... 3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................................... 3.4 Alat ............................................................................................................... 3.5 Metode Penelitian ......................................................................................... 3.5.1 Responden .......................................................................................... 3.5.2 Metode Pengumpulan Data ............................................................... 3.5.3 Jenis Data ........................................................................................... 3.5.4 Analisis Data ......................................................................................
6 7 7 8 8 8 8 9 9
IV. KONDISI UMUM LAPANGAN 4.1 Sejarah dan Dasar Hukum ............................................................................ 4.2 Letak dan Luas Kawasan ............................................................................. 4.3 Topografi ...................................................................................................... 4.4 Tanah ............................................................................................................. 4.5 Geologi ......................................................................................................... 4.6 Lahan ............................................................................................................ 4.7 Iklim ............................................................................................................. 4.8 Hidrologi ...................................................................................................... 4.9 Potensi Tumbuhan dan Satwa Liar .............................................................. 4.9.1 Tumbuhan ...........................................................................................
11 12 13 14 15 16 17 18 19 19
II.
12
4.9.2 Satwa Liar ........................................................................................... 4.10 Aksesbilitas ............................................................................................... 4.11 Sosial, Ekonomi, dan Budaya Masyarakat ................................................ 4.11.1 Desa Bungku .................................................................................... 4.11.2 Desa Sako Suban .............................................................................. 4.11.3 Desa Tanjung Sari ............................................................................
20 21 22 22 24 27
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Restorasi ekosistem di Areal Harapan Rainforest ........................................ 5.2 Persepsi masyarakat terhadap kegiatan restorasi ekosistem ......................... 5.2.1 Persepsi masyarakat berdasarkan pendidikan ...................................... 5.2.2 Persepsi masyarakat berdasarkan jenis pekerjaan ................................ 5.2.3 Persepsi masyarakat berdasarkan tingkat pendapatan..........................
30 32 32 41 55
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ................................................................................................... 61 6.2 Saran ............................................................................................................. 62 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 63 LAMPIRAN ........................................................................................................... 65
13
DAFTAR TABEL No.
Halaman
1. Data yang Dikumpulkan ...............................................................................
9
2. Tingkat Persepsi menurut Skala Likert ......................................................... 10 3. Penyebaran Kelas Lereng di Areal Restorasi Ekosistem, Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Jambi ........................................................... 14 4. Luas Jenis Tanah di Areal Restorasi Ekosistem, Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Jambi ........................................................................... 14 5. Penyebaran Formasi Geologi di Areal Restorasi Ekosistem di Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Jambi. ................ 16 6. Sistem Lahan dan Kesesuaian Lahan untuk Beberapa Tipe Penggunaan Lahan di Areal Restorasi Ekosistem, Provinsi Sumatera Selatan dan di Areal Lokasi Restorasi Ekosistem, Provinsi Jambi ..................................... 17 7. Luas Pembagian Sub-DAS Areal Kerja PT REKI ........................................ 19 8. Jumlah Penduduk Desa Tanjung Sari Berdasarkan Tingkat Pendidikan ..................................................................................................... 29 9. Tingkat Persepsi Masyarakat Berdasarkan Pendidikan ................................ 32 10. Tingkat Persepsi Masyarakat Berdasarkan Jenis Pekerjaan.......................... 47 11. Tingkat Persepsi Masyarakat Berdasarkan Tingkat Pendapatan .................. 56 12. Data Pengetahuan Masyarakat ...................................................................... 69 13. Data Pengalaman Masyarakat ....................................................................... 70
14
DAFTAR GAMBAR No.
Halaman
1.
Kerangka Pemikian Penelitian ....................................................................
7
2.
a) Peta Lokasi Harapan Rainforest dan b) Peta Kerja Harapan Rainforest . 13
3.
Masyarakat Batin Sembilan yang berada di dalam hutan ........................... 24
4.
Keterikatan masyarakata Sako Suban dengan sungai: (a) Letak Desa Sako Suban di sepanjang Sungai Kapas, (b) Sungai sebagai media transportasi, dan (c) Sungai untuk aktivitas rutin sehari-hari (seperti mandi, mencuci, dll) ................................................................................... 25
5.
Desa Tanjung Sari (a) Mesjid dan (b) Pasar ................................................ 29
6.
Rangkaian Kegiatan Penanaman Bersama Anak-Anak Sekolah ................. 31
7.
Sekolah keliling bagi anak-anak Batin Sembilan ........................................ 33
8.
Bangunan Sekolah Dasar di Desa Sako Suban ............................................ 36
9.
(a) Jelutung (Dyera sp.) dan (b) Karet (Hevea braciliensis) ....................... 42
10. Beberapa contoh jenis burung yang biasa diburu oleh responden Batin Sembilan ...................................................................................................... 43 11. (a) Jalan tanah sebagai batas antara kawasan Harapan Rainforest dengan PT Asiatic Persada dan (b) seorang buruh tandan sawit ............................. 44 12. Kayu hasil tebangan secara liar ................................................................... 45 13. Beberapa contoh satwa liar yang diburu masyarakat Sako Suban .............. 46
15
DAFTAR LAMPIRAN No.
Halaman
1. Kuesioner ....................................................................................................... 65 2. Data Pengetahuan Masyarakat ........................................................................ 69 3. Data Pengalaman Masyarakat ......................................................................... 70
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Harapan Rainforest merupakan areal hutan produksi seluas ± 101.355 ha
yang ditunjuk sebagai areal restorasi ekosistem melalui Kepmenhut SK. No. 83/Menhut-II/2005. Areal restorasi ini dikelola oleh PT REKI (Restorasi Ekosistem Indonesia). Areal ini memiliki luas wilayah yang terbagi menjadi dua bagian, yaitu bagian Provinsi Jambi dengan luas ± 49.185 ha dan bagian Provinsi Sumatera Selatan dengan luas ± 52.170 ha (REKI, 2009). Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.61/Menhut-II/2008 Bab I Ketentuan Umum pada pasal 1 bahwa restorasi ekosistem adalah upaya untuk mengembalikan unsur hayati (flora dan fauna) serta unsur non hayati (tanah dan air) pada suatu kawasan dengan jenis asli, sehingga tercapai keseimbangan hayati dan ekosistemnya. Hutan dataran rendah Sumatera ini dipilih untuk di restorasi dengan dasar pertimbangan bahwa selama ini areal inilah yang paling mudah dimanfaatkan untuk pemukiman, industri, perkebunan, hutan tanaman dan pertanian masyarakat yang sangat merusak hutan. Di dalam dan sekitar areal Harapan Rainforest terdapat beberapa desa. Tiga diantaranya yaitu Desa Bungku dan Desa Tanjung Sari yang berada di Provinsi Jambi serta Desa Sako Suban yang berada di Provinsi Sumatera Selatan. Keberadaan masyarakat tersebut sudah sejak lama ada sebelum kawasan hutan ditetapkan sebagai areal restorasi ekosistem. Dalam rangka menerapkan pola pengelolaan yang dapat mendukung keberlangsungan hidup masyarakat setempat, maka diperlukan persepsi dari masyarakat tersebut terhadap kegiatan restorasi ekosistem yang merupakan kegiatan utama dari pihak PT REKI. Persepsi masyarakat diperlukan karena menurut Surata (1993) dalam Widawari (1994), persepsi sangat mempengaruhi perilaku seseorang terhadap lingkungannya. Seseorang yang mempunyai persepsi yang benar terhadap lingkungan, kemungkinan besar orang tersebut akan berperilaku positif terhadap upaya-upaya pelestarian lingkungan.
2
Penelitian ini dilakukan terhadap masyarakat yang berada di dalam maupun di sekitar areal Harapan Rainforest, yaitu masyarakat Batin Sembilan, Sako Suban dan Tanjung Sari. Masyarakat tersebut terpilih sebagai objek penelitian karena desa yang merupakan tempat tinggal masyarakat tersebut direncanakan sebagai pusat pembibitan oleh pihak PT REKI.
1.2
Rumusan Masalah Penelitian ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan :
1. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap kegiatan restorasi ekosistem yang merupakan sistem baru dalam pengelolaan hutan produksi? 2. Apakah dengan adanya perbedaan pengetahuan dan pengalaman maka terdapat pula perbedaan persepsi masyarakat terhadap kegiatan restorasi ekosistem?
1.3
Tujuan Tujuan penelitian ini adalah mengetahui persepsi masyarakat terhadap
kegiatan restorasi ekosistem di areal Harapan Rainforest dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
1.4
Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang
persepsi masyarakat terhadap kegiatan restorasi ekosistem di areal Harapan Rainforest dan rekomendasi bagi pengelola terkait dengan pengelolaan Harapan Rainforest.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Persepsi Persepsi adalah pandangan seseorang atau banyak orang terhadap hal atau
peristiwa yang didapatkan atau diterima. Persepsi juga diartikan sebagai proses diletakkannya suatu hal oleh seseorang melalui panca indera yang dimilikinya (Salim dan Salim 1991, diacu dalam Gunawan 1999), sedangkan Kartini (1984) dalam Mauludin (1994) mengatakan bahwa persepsi merupakan pandangan, pengamatan, pengertian, dan interpretasi seseorang terhadap suatu kesan obyek yang diinformasikan kepadanya sehingga dapat menentukan tindakannya. Mar’at (1981) dalam Zulfarina (2003) mendefinisikan persepsi sebagai proses pengamatan seseorang yang berasal dari komponen kognisi yang dipengaruhi oleh faktor-faktor pengalaman, proses belajar, cakrawala, dan pengetahuannya. Persepsi dalam pengertian psikologi menurut Sarwono (1999) adalah proses pencarian informasi untuk dipahami. Alat untuk memperoleh informasi tersebut, yaitu penginderaan (penglihatan, pendengaran, peraba dan sebagainya). Adapun alat untuk memahaminya yaitu kesadaran kognisi. Informasi yang sampai kepada seseorang menyebabkan individu yang bersangkutan
membentuk
persepsi,
dimulai
dengan
pemilihan
atau
penyaringannya, kemudian informasi yang masuk tersebut disusun menjadi satu kesatuan yang bermakna, dan akhirnya terjadilah interpretasi mengenai fakta keseluruhan informasi ini. Asngari (1984) dalam Zulfarina (2003) menyatakan bahwa pada fase interpretasi, pengalaman masa silam memegang peranan penting. Pengalaman diasumsikan dapat mempengaruhi persepsi seseorang terhadap suatu objek atau peristiwa. Gandadiputera (1983) dalam Illahi (2000) mengatakan bahwa persepsi masyarakat terhadap lingkungan dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi, budaya, dan pendidikan. Pengetahuan hasil proses belajar sebelumnya, aktivitas dan pendalaman individu mempengaruhi persepsinya terhadap sesuatu atau stimulus yang diharapkan. Muchtar (1998) dalam Arifin (2008) menyatakan bahwa persepsi adalah proses penginderaan dan penafsiran rangsangan suatu objek atau peristiwa yang
4
diinformasikan, sehingga seseorang dapat memandang, mengartikan dan menginterpretasikan rangsangan yang diterimanya sesuai dengan keadaan dan lingkungannya. Hal ini yang membuat seseorang dapat menentukan tindakannya. Surata (1993) dalam Widawari (1994) mengatakan bahwa persepsi sangat mempengaruhi perilaku seseorang terhadap lingkungannya. Seseorang yang mempunyai persepsi yang benar terhadap lingkungan, kemungkinan besar orang tersebut akan berperilaku positif terhadap upaya-upaya pelestarian lingkungan. Karakteristik penting dari faktor-faktor pribadi dan sosial yang dapat mempengaruhi persepsi menurut Osley (1972) dalam Sadli (1976) dalam Junianto (2007) adalah : 1. Faktor ciri khas dari objek stimulus yang terdiri dari nilai, arti, familiaritas, dan intensitas. 2. Faktor pribadi, termasuk didalamnya ciri khas individu seperti tingkat kecerdasan, minat, dan emosinya. 3. Faktor pengaruh kelompok, artinya respon orang lain dapat memberi arahan sesuatu tingkah laku yang sesuai. 4. Faktor perbedaan latar belakang kultural. Menurut Muhadjir (1992), ekspresi mengenal orang lain merupakan studi awal tentang persepsi. Bender dan Hastorf dalam Muhadjir (1992), menemukan bahwa mempersepsi orang pada segi yang mirip dengan dirinya memiliki derajat ketepatan yang lebih tinggi. Berbagai hasil studi tentang ketepatan mempersepsi dapat dikemukakan, antara lain : 1. Persepsi menjadi lebih tepat bila tingkah laku yang relevan tampil dan fokus pemersepsi memang memfokus ke ciri yang relevan tersebut; 2. Tidak ada bukti tentang adanya kemampuan dasar untuk menjadi pemersepsi yang baik; 3. Sementara orang lebih mudah memberi persepsi, sedangkan orang lain lebih sulit; dan 4. Mengenal lebih singkat mereduksi ketepatan mempersepsi. Persepsi pada satu sisi dikenal sebagai ekspresi pendapat yang mungkin dipengaruhi situasi, budaya dan intelegensi. Persepsi dapat diekspresikan berbeda dengan mempertimbangkan lingkungan sosial. Keragaman persepsi dipengaruhi
5
oleh usia, rentang perhatian orang, kebutuhan dan pandangan hidup. Pada tahun 1986, skala jenjang persepsi dimodifikasi dari dimensi senang-tak senang dan dimensi menerima-menolak disederhanakan menjadi setuju-tak setuju (Muhadjir, 1992).
2.2
Restorasi Restorasi menurut kamus bahasa indonesia (1983) adalah pengembalian
atau pemulihan pada keadaan semula. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.61/Menhut-II/2008 Bab I Ketentuan Umum pada pasal 1 bahwa restorasi ekosistem adalah upaya untuk mengembalikan unsur hayati (flora dan fauna) serta unsur non hayati (tanah dan air) pada suatu kawasan dengan jenis asli, sehingga
tercapai
keseimbangan
hayati
dan
ekosistemnya
(Departemen
Kehutanan, 2008). Restorasi ekosistem adalah upaya untuk mengembalikan kondisi hutan yang saat ini sudah rusak ke kondisi ekosistem awalnya dengan tujuan memperoleh kembali keanekaragaman hayati (REKI, 2007). Proses pemulihan atau pengembalian kondisi hutan dilakukan melalui penanaman, pengayaan, permudaan alam dan atau pengamanan ekosistem. Menurut Shin dan Lee (2001), restorasi berhubungan dengan tiga faktor manfaat bumi, yaitu faktor ekologi, faktor ekonomi dan faktor sosial.
6
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1
Kerangka Pemikiran Harapan Rainforest merupakan kawasan hutan produksi dengan sistem
pengelolaan secara restorasi ekosistem. Sistem pengelolaan yang dimiliki oleh pihak PT REKI merupakan sistem pengelolaan yang berbeda dengan sistem pengelolaan yang dimiliki pengelola hutan produksi sebelumnya. Adanya interaksi masyarakat baik di dalam maupun di sekitar kawasan hutan produksi dengan pengelola hutan produksi sebelumnya menimbulkan persepsi terhadap kegiatan restorasi ekosistem yang dilakukan oleh pihak PT REKI. Timbulnya suatu persepsi dari masyarakat dikarenakan adanya perubahan sistem pengelolaan serta peraturan yang berlaku terutama yang berhubungan dengan masyarakat. Pengelolaan Harapan Rainforest secara restorasi ekosistem diharapkan dapat berjalan sesuai dengan tujuannya. Oleh karena itu, perlu adanya dukungan dan kerja sama antara pihak pengelola dengan masyarakat. Oleh karena itu, persepsi masyarakat terhadap kegiatan restorasi ekosistem dipandang penting untuk diketahui. Persepsi yang digali dari masyarakat, yaitu persepsi terhadap manfaat restorasi ekosistem yang dapat diperoleh masyarakat. Menurut Shin dan Lee (2001), restorasi berhubungan dengan tiga faktor manfaat bumi, yaitu faktor ekologi, faktor ekonomi dan faktor sosial. Persepsi yang diberikan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh masyarakat karena menurut Asngari (1984) dalam Zulfarina (2003) pada fase interpretasi, pengalaman masa silam memegang peranan penting. Gambar 1 merupakan
bagan
alir
kerangka
mempermudah dalam pemahaman.
pemikiran
yang
digambarkan
untuk
7
RESTORASI EKOSISTEM
Harapan Rainforest
Masyarakat Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi persepsi :
Perubahan Sistem Pengelolaan dan Peraturan
PERSEPSI
1. Pengetahuan masyarakat 2. Pengalaman masyarakat
Manfaat Restorasi Ekosistem : 1. Ekologi 2. Ekonomi 3. Sosial
Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian.
3.2
Definisi Operasional Dalam penelitian ini persepsi yang digali dari masyarakat, yaitu :
a. Persepsi terhadap manfaat ekologi dari restorasi Pengukuran dilakukan terhadap fungsi hutan, kegiatan restorasi ekosistem di areal Harapan Rainforest oleh PT REKI dan peran masyarakat dalam upaya pelestarian hutan. b. Persepsi terhadap manfaat ekonomi dari restorasi Pengukuran dilakukan terhadap dampak kerusakan hutan pada kehidupan ekonomi masyarakat dan kegiatan restorasi ekosistem oleh PT REKI yang melibatkan masyarakat. c. Persepsi terhadap manfaat sosial dari restorasi Pengukuran dilakukan terhadap pertanyaan positif dan negatif mengenai kegiatan restorasi ekosistem yang dilakukan oleh PT REKI.
3.3
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di tiga desa, yaitu Desa Bungku (Simpang
Macan dan KM 35) yang merupakan pemukiman bagi masyarakat Batin Sembilan, Desa Tanjung Sari dan Desa Sako Suban selama dua bulan mulai tanggal 3 Januari – 24 Februari 2010.
8
3.4
Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu : a. Kuesioner : untuk mengetahui persepsi masyarakat sehingga dapat diukur dan dihitung menggunakan skala likert. b. Panduan wawancara : untuk mengetahui pengelolaan kawasan serta program kerja yang dilakukan unit pengelola yang berkaitan dengan masyarakat. c. Kamera digital : untuk mendokumentasikan hasil penelitian. d. Recorder : untuk merekam hasil wawancara. e. Alat tulis : untuk mencatat hasil penggalian data di lapangan.
3.5
Metode Penelitian
3.5.1
Responden Pada penelitian ini jumlah responden yang mewakili masyarakat Batin
Sembilan, Sako Suban dan Tanjung Sari berbeda-beda. Masyarakat Batin Sembilan diwakili oleh 30 orang responden, masyarakat Sako Suban diwakili oleh 45 orang responden dan masyarakat Tanjung Sari diwakili oleh 14 orang responden. Perbedaan jumlah responden tersebut dikarenakan beberapa alasan yang terkait dengan karakteristik masyarakat, kondisi alam yang kurang mendukung, serta peristiwa yang tidak terduga seperti konflik.
3.5.2
Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan metode :
1. Studi literatur : pengumpulan data melalui buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan penelitian ini. 2. Wawancara terstruktur : berupa penyebaran kuesioner dimaksudkan untuk membantu dalam menggali informasi mengenai persepsi dan kondisi sosial ekonomi responden. 3. Wawancara tidak terstruktur : cara pengambilan data penunjang melalui pembicaraan langsung atau tatap muka secara langsung antara peneliti dengan responden dan peneliti dengan pihak pengelola. Pihak pengelola yaitu Direktur Unit Manajemen Harapan Rainforest, Pengembangan
9
Masyarakat dan Hubungan Masyarakat, serta Direktur Perencanaan Kawasan. 4. Observasi : pengumpulan data dengan melakukan pengamatan langsung di lapangan. Data yang dikumpulkan melalui observasi lapangan meliputi karakteristik masyarakat yang berada di dalam dan di sekitar areal Harapan Rainforest serta kondisi lokasi.
3.5.3
Jenis Data Jenis data yang diambil dan dikumpulkan terdiri dari data pokok dan data
penunjang. Data pokok merupakan data yang diperoleh melalui wawancara terstruktur (penyebaran kuesioner) dan pengamatan langsung di lapangan (observasi). Data penunjang merupakan data yang diperoleh melalui studi literatur dan wawancara tidak terstruktur. Tabel 1 menjelaskan tentang data-data yang dikumpulkan selama penelitian. Tabel 1 Data yang dikumpulkan Jenis Data
Sumber Data
Metode Pengumpulan Data
Data Pokok Karakteristik responden (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, jumlah pendapatan) Persepsi responden terhadap kegiatan restorasi ekosistem Data Penunjang
Masyarakat Batin Sembilan, Tanjung Sari dan Sako Suban selaku responden dari desa yang telah ditentukan
Wawancara terstruktur (kuesioner) Observasi lapang
Kondisi umum hutan Harapan Rainforest Desa di dalam dan sekitar areal Haarapan Rainforest
Rencana Kerja Umum (RKU) PT. REKI dan Dokumen Teknis PT. REKI Pengelola PT REKI
Studi literatur Wawancara tidak terstruktur
3.5.4
Analisis Data Tingkat persepsi masyarakat terhadap kegiatan restorasi ekosistem
dianalisis menggunakan skala likert. Skala likert digunakan dalam mengukur hasil penyebaran kuesioner. Kuesioner yang diberikan berupa pertanyaan tertutup, yaitu dengan diberikan pilihan jawaban atau tingkat persepsi yang telah disediakan berdasarkan skala likert (Tabel 2).
10
Tabel 2 Tingkat Persepsi Menurut Skala Likert No. 1. 2. 3. 4. 5.
Nilai Skor 5 4 3 2 1
Tingkat Persepsi Sangat setuju Setuju Cukup setuju Tidak setuju Sangat tidak setuju
Skoring tersebut berlaku untuk pertanyaan positif, sedangkan untuk pertanyaan negatif berlaku kebalikannya. Skor yang diperoleh untuk masingmasing tingkat persepsi pada setiap pertanyaan, kemudian dijumlahkan dan dirataratakan secara geometrik dengan bantuan Microsoft Office Excel 2007. Rata-rata geometrik ini digunakan untuk melihat kecenderungan dari tingkat persepsi responden terhadap kegiatan restorasi ekosistem. Selanjutnya, nilai rata-rata yang diperoleh dijelaskan secara deskriptif. Selain data dari hasil wawancara terstruktur (kuesioner), data lain yang diperoleh dari hasil wawancara tidak terstruktur, pengamatan di lapangan (observasi) dan hasil studi literature dianalisis secara deskriptif.
11
BAB IV KONDISI UMUM LAPANGAN 4.1
Sejarah dan Dasar Hukum Kelompok hutan Sungai Meranti-Sungai Kapas di Provinsi Jambi dan
Provinsi Sumatera Selatan ditunjuk untuk dijadikan sebagai lokasi kegiatan restorasi ekosistem di kawasan hutan produksi seluas ±101.355 ha melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 83/Menhut-II/2005. PT REKI diberikan hak untuk mengelola areal IUPHHK kegiatan restorasi ekosistem pada kelompok hutan Sungai Meranti-Sungai Kapas seluas ± 52.170 ha di Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan dan sisa dari luasan total yaitu ± 49.185 ha pada kelompok hutan Sungai Meranti-Hulu Sungai Lalan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 293/Menhut-II/2007 (REKI 2009). Kawasan hutan PT REKI merupakan eks. areal HPH PT Asialog seluas ± 40.705 ha dan eks. areal HPH PT INHUTANI V seluas ± 8.480 ha, keseluruhannya berada di dalam administrasi pemerintahan Provinsi Jambi. Model pengelolaan dengan restorasi ekosistem dan pemberian izin terhadap PT REKI merupakan yang pertama di Indonesia (REKI 2008; REKI 2009). Model pengelolaan hutan dengan restorasi ekosistem ini merupakan paradigma baru dalam pengelolaan hutan alam. Model pengelolaan hutan sebelumnya hanya berorientasi pada pengambilan kayu (HPH) dan penanaman hutan monokultur (HTI). Kegiatan restorasi ekosistem PT REKI mengikuti paradigma pengelolaan hutan berbasis ekosistem untuk perbaikan lingkungan dan pelestarian tumbuhan dan satwaliar (REKI, 2009). Kelompok hutan di areal Harapan Rainforest dibagi menjadi tiga kelompok (tipologi) yaitu tipologi 1 sebagai hutan tidak produktif dengan luas 16.260 ha (33,08%), tipologi 2 sebagai hutan kurang produktif dengan luas 10.250 ha (20,84%) dan tipologi 3 sebagai hutan produktif dengan luas 22.666 ha (46,08%) (REKI 2008; REKI 2009). Areal yang dijadikan sebagai prioritas restorasi ekosistem yaitu lokasi yang masih memiliki peluang untuk diperbaiki kondisi keanekaragaman hayatinya dalam skala lanskap dan mempunyai nilai konservasi tinggi atau high
12
conservation value (HCV), lokasi yang mengalami degradasi, serta lokasi yang berpotensi mendukung perbaikan kesejahteraan masyarakat
yaitu masih
mengandung nilai sosial dan peluang ekonomi tinggi (REKI 2008; REKI 2009). Pembagian areal lahan restorasi ekosistem di Harapan Rainforest yaitu kawasan bernilai konservasi tinggi atau disebut kawasan habitat inti (KHI), kawasan perlindungan ekosistem seperti sempadan sungai dan areal curam, kawasan koridor satwa di Sub-DAS Meranti dan Sub-DAS Lalan, petak ukur permanen (PUP), kawasan penyangga (buffer zone) dan kawasan pertanian lahan kering curam (PLKC) (REKI 2008; REKI 2009).
4.2
Letak dan Luas Kawasan Kawasan restorasi ekosistem Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi
Sumatera Selatan secara geografis terletak di antara 103º27’00”-103º7’54” BT dan 02º23’51”-02º07’00” LS dengan luas areal restorasi ±52.170 ha. Batas areal kerja dari kawasan ini, yaitu sebelah Utara, Timur, dan Barat berbatasan dengan eks. HPH PT Asialog sedangkan pada sebelah Selatan berbatasan dengan eks. HPH PT INHUTANI V. Kawasan hutan ini termasuk dalam wilayah administrasi pemerintahan Kecamatan Batanghari Leko, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan dan termasuk dalam wilayah administrasi kehutanan Dinas Kehutanan Kabupaten Musi Banyuasin, Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan. Kawasan restorasi ini termasuk dalam kelompok hutan Sungai MerantiSungai Kapas dengan ketinggian tempat 30-70 mdpl (REKI, 2009). Kawasan IUPHHK restorasi ekosistem di Provinsi Jambi secara geografis terletak di antara 103º7’48”-103º27’36” BT dan 2º2’24”-2º20’24” LS dengan luas areal restorasi ±49.185 ha. Batas areal kerja dari kawasan hutan ini, yaitu : Sebelah Utara
: Kawasan hutan produksi dan perkebunan kelapa sawit PT Asiatic Persada
Sebelah Timur
: Perkebunan PT Bangun Desa Utama, PIR Sungai Bahar dan HPHTI PT Bumi Persada Permai
Sebelah Selatan
: IUPHHK Restorasi Ekosistem PT REKI
Sebelah Barat
: HPHTI PT Sam Hutani dan Eks. HPH PT INHUTANI V (REKI, 2009).
13
Kawasan ini termasuk dalam wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Batanghari dan Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi dan termasuk dalam wilayah administrasi kehutanan Dinas Kehutanan Kabupaten Batanghari dan Kabupaten Sarolangun. Kawasan ini merupakan kelompok hutan Hulu Sungai Meranti-Hulu Sungai Lalan dengan ketinggian tempat 30-120 mdpl. Daerah Aliran Sungai (DAS)/Sub- DAS yang terdapat di kawasan ini, yaitu Sub-DAS Meranti, Sub-DAS Kapas, Sub-DAS Kandang, dan Sub-DAS Lalan (REKI, 2009). Peta lokasi Harapan Rainforest dan peta kerja Harapan Rainforest ditampilkan pada Gambar 2.
(a)
(b)
Gambar 2 Harapan Rainforest a) Peta Lokasi dan b) Peta Kerja. Sumber: Harapan Rainforest
4.3
Topografi Berdasarkan hasil analisis kelerengan pada Peta Garis Bentuk dan
pengamatan di lapangan bahwa areal restorasi ekosistem di Provinsi Sumatera Selatan sebagian besar bertopografi datar sekitar 89%, sisanya sedikit curam dan sangat curam (REKI, 2009). Kawasan yang merupakan areal restorasi ekosistem di Provinsi Jambi diketahui bahwa areal ini merupakan lahan kering yang didominasi oleh lapangan yang bertopografi datar sampai agak curam dengan
14
ketinggian tempat antara 30-120 mdpl (REKI, 2008). Tabel 3 menjelaskan tentang penyebaran kelas lereng di areal restorasi. Tabel 3 Penyebaran Kelas Lereng di Areal Restorasi Ekosistem, Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Jambi Kelas Lereng
A (0-8%) B (8-15%) C (15-25%) D (25-40%) E (>40%)
4.4
Uraian
Datar Landai Agak Curam Curam Sangat Curam Jumlah
Provinsi Sumatera Selatan Luas (ha) 46.242 5.928 52.170
Provinsi Jambi Luas (ha) 41.507 6.111 552 10 49.185
Tanah Proses pembentukan tanah sangat dipengaruhi oleh faktor topografi,
organisme bahan induk dan iklim. Areal restorasi ekosistem memiliki iklim tropika basah dengan curah hujan yang merata sepanjang tahun. Adanya berbagai faktor pembentukan tanah, maka proses pembentukan jenis tanah menjadi cukup kompleks dan bervariasi. Jenis tanah yang terdapat di dua areal ini sama, yaitu Aluvial, Latosol, Planosol dan Podsolik merah kuning, namun setiap jenis tanah di setiap areal memiliki persentase luas yang berbeda. Tabel 4 menggambarkan luas jenis tanah di areal restorasi ekosistem di Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Jambi (REKI, 2008; 2009). Tabel 4 Luas Jenis Tanah di Areal Restorasi Ekosistem, Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Jambi Jenis Tanah
Aluvial Latosol Planosol Podsolik Merah Kuning Total
Provinsi Sumatera Selatan Luas Hektar % 4.927 10 8.853 17 18.988 36 19.402 37 52.170 100
Provinsi Jambi Luas Hektar % 2.598 5,28 17.646 34,88 13.273 26,99 15.668 31,80 49.185 100
Sumber : Peta Satuan Lahan dan Tanah Skala 1:250.000 (REKI, 2008; 2009).
Tanah Aluvial terdapat pada lahan yang sering mengalami banjir sehingga merupakan tanah muda yang dicirikan dengan tiadanya diferensiasi horizon. Sifat tanah Aluvial dipengaruhi langsung oleh sumber bahan asal sehingga
15
kesuburannya ditentukan oleh sifat bahan asalnya. Kebanyakan tanah Aluvial mengandung cukup banyak hara, sehingga dianggap tanah yang subur tetapi mempunyai faktor pembatas kondisi drainase. Tanah Latosol merupakan tanah dengan ciri morfologi yang umum, yaitu tekstur liat sampai lempung, struktur remah sampai gumpal lemah dan konsistensi gembur. Tanah Planosol merupakan endapan lempung dari laut dengan solum dangkal, berwarna kelabu sampai kuning, tekstur horizon A liat, horizon C lempung, struktur pejal dan pH berkisar dari 6,5 sampai 8. Tanah Podsolik merah kuning mempunyai lapisan tanah permukaan yang sudah sangat tercuci, berwarna kelabu cerah sampai kekuningan di atas horizon akumulasi yang bertekstur relatif berat berwarna merah atau kuning dengan struktur gumpal, agregat kurang stabil dan permeabilitas rendah. Kandungan bahan organik, kejenuhan basa, dan pH rendah (pH 4,2-4,8). Oleh karena itu, kesuburan tanah Podsolik merah kuning termasuk rendah dan jenis tanah ini juga mudah tererosi (REKI, 2009).
4.5
Geologi Berdasarkan Peta Geologi Lembar Bangko skala 1:250.000 tahun 1984 di
areal restorasi ekosistem di Provinsi Sumatera Selatan maupun di Provinsi Jambi terdapat tiga formasi geologi, sebagai berikut: Air Benakat (Tma) : mengandung perselingan batu lempung dan batu pasir dengan sisipan konglomerat gampingan, batu lanau, napal dan batu bara. Di areal restorasi ekosistem di Provinsi Sumatera Selatan formasi ini letaknya memanjang di bagian Tengah dan bagian Utara, sedangkan di areal restorasi ekosistem di Provinsi Jambi terletak di sebagian wilayah bagian Barat Laut dan Timur Laut. Kasai (QTk) : terbentuk dari tufa, tufa berbatu apung dengan sisipan batu pasir, tufaan dan batu lempung tufaan. Di areal restorasi ekosistem di Provinsi Sumatera Selatan formasi ini terletak di wilayah bagian Barat dan sedikit di Utara, sedangkan di areal restorasi ekosistem di Provinsi Jambi terletak di bagian Barat dan Timur dengan lereng datar. Muaraenim (Tmpm) : terdiri dari batu pasir dengan selingan batu pasir tufaan dan batu lempung dengan sisipan batu bara dan bahan gunung api.
16
Di areal restorasi ekosistem di Provinsi Sumatera Selatan, formasi ini menempati wilayah paling luas terutama di sebelah selatan, sedangkan di areal restorasi ekosistem di Provinsi Jambi formasi ini terhampar merata dan dominan hampir di sebagian besar areal restorasi. Secara rinci, penyebaran formasi geologi di kedua areal tersebut disajikan pada tabel. Tabel 5 menggambarkan penyebaran formasi geologi di areal restorasi ekosistem di Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Jambi. Tabel 5 Penyebaran Formasi Geologi di Areal Restorasi Ekosistem di Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Jambi Formasi Geologi Formasi Air Bekanat (Tma) Formasi Kasai (Qtk) Formasi Muaraenim (Tmpm) Total
4.6
Provinsi Sumatera Selatan Luas (Ha) 8.853 4.926 38.391 52.170
Provinsi Jambi Luas (Ha) 10.791 12.301 26.093 49.185
Lahan Berdasarkan Peta Land System and Land Suitability (Bakosurtanal, 1989
diacu dalam REKI, 2009) terdapat dua sistem lahan, yaitu Sistem Lahan Muara Beliti (MBI) dan Sistem Lahan Sungai Aur (SAR). Sistem lahan SAR mendominasi areal restorasi di Provinsi Sumatera Selatan 69% dari total luas areal yang letaknya memanjang dari Utara ke Selatan di bagian Timur, Tengah dan Barat areal, sedangkan untuk areal restorasi di Provinsi Jambi 58% dari total luas areal yang letaknya di bagian Barat Laut dan Timur. Karakteristik lahan secara umum berupa daerah datar, bergelombang sampai berbukit, berasal dari batuan tufa sedimen dan memiliki curah hujan yang tinggi. Berdasarkan penilaian kesesuaian lahan, areal tersebut cocok untuk tipe penggunaan lahan budidaya kehutanan, pertanian, agroforestri, peternakan dan perkebunan (Tabel 6) (REKI, 2009).
17
Tabel 6 Sistem Lahan dan Kesesuaian Lahan untuk Beberapa Tipe Penggunaan Lahan di Areal Restorasi Ekosistem, Provinsi Sumatera Selatan dan di Areal Lokasi Restorasi Ekosistem, Provinsi Jambi No.
Sistem Lahan
Kode
Luas (ha) Sumatera Selatan
1.
Muara Beliti
MBI
16.155
21.269
2.
Sungai Aur
SAR
36.025
27.916
52.170
49.185
Jumlah
Kesesuaian Lahan
Jambi
Perumahan, lahan kering, lahan basah, agroforestri, perkebunan karet, kelapa sawit, kelapa, peternakan, HTI, Hutan Alam. Peternakan, agroforestri, perkebunan karet, kelapa sawit, kopi, HTI, Hutan Alam.
Sumber: RKUPHHK PT REKI Tahun 2008 – 2017 (REKI 2009).
4.7
Iklim Menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, areal restorasi ekosistem
di Provinsi Sumatera Selatan mempunyai tipe iklim A (sangat basah) dengan pola distribusi hujan basah sepanjang tahun dengan nilai Q = 0 (tanpa bulan kering). Nilai Q merupakan perbandingan antara jumlah rata-rata bulan kering (< 60 mm) dan jumlah rata-rata bulan basah (> 100 mm). Curah hujan tahunan sebesar 2.461 mm/tahun dengan rata-rata bulanan 205,1 mm/bulan. Rata-rata curah hujan bulanan berkisar 101-320 mm. Curah hujan tertinggi pada bulan Maret dan terendah pada bulan Agustus, jumlah hari hujan bulanan berkisar 7-8 hari (Juni dan September) sampai 16 hari (Desember) dengan rata-rata 11,5 hari/bulan. Dengan kondisi seperti ini diperlukan adanya antisipasi pengelolaan sungai-sungai dengan baik, sehingga air dapat mengalir dengan baik dan tidak menimbulkan banjir yang berlebihan (REKI, 2009). Berdasarkan suhu udara yang diamati di Stasiun Meteorologi Musi Banyuasin yang meliputi data suhu rata-rata, kelembaban, kecepatan angin dan lama penyinaran matahari, menunjukkan bahwa suhu udara rata-rata di areal restorasi berkisar antara 27,9º C pada bulan Mei dan 26,7º C pada bulan Desember dan Januari. Suhu udara rata-rata sebesar 27,2º C (REKI, 2009). Sama halnya dengan iklim di areal restorasi ekosistem di Sumatera Selatan, menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, areal restorasi ekosistem di Provinsi Jambi yaitu kelompok hutan Hulu Sungai Meranti-Hulu Sungai Lalan mempunyai tipe iklim A (sangat basah) dengan pola hujan basah
18
terjadi sepanjang tahun dengan nilai Q = 0 (tanpa bulan kering). Nilai Q merupakan perbandingan antara jumlah rata-rata bulan kering (< 60 mm) dan jumlah rata-rata bulan basah (> 100 mm). Curah hujan bulanan per tahun 2.305,5 mm dan hari hujan per tahunn 189,9 hari hujan, dengan demikian intensitas hujan di areal ini yaitu sebesar 12,37 mm, curah hujan bulanan tertinggi terjadi pada bulan April sebesar 274 mm dan bulan November sebesar 255,7 mm, sedangkan curah hujan bulanan rata-rata terendah terjadi pada bulan Juli sebesar 80,5 mm (REKI, 2009). Berdasarkan suhu udara yang diamati di Stasiun Meteorologi Sultan Thaha yang meliputi data suhu rata-rata, kelembaban, dan kecepatan angin, berkisar antara 28,95º C pada bulan Mei dan 24,50º C pada bulan Januari. Suhu udara ratarata yaitu sebesar 26,23º C (REKI, 2009).
4.8
Hidrologi Areal hutan restorasi yang terletak di kelompok hutan Sungai Meranti-
Sungai Kapas terdapat dua Sub-DAS, yaitu Sub-DAS Meranti dan Sub-DAS Kapas yang mempunyai bentuk aliran sungai seperti bulu burung dengan debit banjir yang kecil serta mempunyai topografi yang relatif landai, maka dengan demikian apabila terjadi banjir biasanya berlangsung agak lama (REKI, 2009). Areal restorasi ekosistem pada kelompok hutan Hulu Sungai Meranti-Hulu Sungai Lalan dilalui oleh beberapa sungai, yaitu Sungai Meranti, Sungai Kapas, Sungai Kandang dan Sungai Lalan. Sungai-sungai ini mengalir ke beberapa arah dan tidak terkonsentrasi dalam satu DAS. Arah dari masing-masing sungai yang ada di wilayah ini antara lain Sungai Meranti dan Sungai Kapas yang mengalir ke arah Selatan, Sungai Kandang dan Sungai Lalan mengalir ke arah Timur Laut. Kecepatan aliran sungai umumnya rendah, sehingga daya gerus air terhadap dinding dasar sungai tidak begitu besar. Pada umumnya sungai-sungai yang ada tidak berbatu, warna airnya kekuningan dan sepanjang tepi sungai ditumbuhi semak-semak. Dasar sungai berlumpur dan sedikit berpasir (REKI, 2009). Sungai-sungai yang terdapat di areal restorasi ekosistem di Provinsi Jambi umumnya landai, lebar dan dalam sehingga dapat digunakan sebagai sarana transportasi terutama angkutan kayu. Debit aliran sungai yang terdapat di areal ini
19
adalah untuk Sungai Kandang sebesar 4,25 m3/detik, Sungai Lalan sebesar 5,45 m3/detik, Sungai Meranti 2,33 m3/detik dan Sungai Kapas 3,84 m3/detik (REKI, 2009). Keadaan aliran-aliran sungai di areal ini tergolong masih baik dan berair secara kontinyu, sehingga pada musim kering air masih tersedia. Sungai-sungai di sekitar kawasan permukiman biasanya digunakan untuk keperluan mandi, cuci, kakus dan air minum. Oleh karena itu, manfaat air sangat besar bagi penduduk di daerah ini, maka keberadaan air permukaan terutama yang berasal dari aliran sungai sangat penting dalam menopang keseimbangan ekologis di daerah ini (REKI, 2009). Luas pembagian Sub-DAS tersebut dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Luas Pembagian Sub-DAS Areal Kerja PT REKI No.
Sub-DAS
1. 2. 3. 4.
Sub-DAS Meranti Sub-DAS Kapas Sub-DAS Kandang Sub-DAS Lalan Jumlah
Provinsi Sumatera Selatan Persentase Luas (ha) (%) 13.818 26 38.352 74 52.170 100
Provinsi Jambi Persentase Luas (ha) (%) 5.331 10,84 5.715 11,62 12.986 26,40 25.153 51.14 49.185 100
Sumber: RKUPHHK PT REKI Tahun 2008 – 2017 (REKI 2009).
4.9
Potensi Tumbuhan dan Satwaliar
4.9.1
Tumbuhan Areal yang terletak di kelompok Sungai Meranti-Sungai Kapas dan
kelompok hutan Hulu Sungai Meranti-Hulu Sungai Lalan pada umumnya merupakan areal hutan sekunder (bekas tebangan). Berdasarkan interpretasi citra landsat TM 2002/2003 (areal restorasi ekosistem di Provinsi Sumatera Selatan) dan TM 234 jenis tutupan hutan (areal restorasi ekosistem di Provinsi Jambi) dikelompokkan dalam tiga stratifikasi : Hutan Sekunder Tinggi, yaitu hutan sekunder yang masih memiliki stratifikasi vegetasi yang lengkap mulai dari tingkat semai (tinggi 0,3-1,5 m), pancang (tinggi >1,5 m dan diameter <10 cm), tiang (diameter 10-20 cm) dan tingkat pohon (diameter >20 cm). Penutupan tajuk berkisar 71100% dengan rata-rata diameter pohon >20 cm. Pada areal restorasi ekosistem di Provinsi Sumatera Selatan hutan ini mencakup luas 10.995 ha
20
(21%), sedangkan pada areal restorasi ekosistem di Provinsi Jambi mencakup luas 22.666 ha (46,08%). Hutan sekunder tinggi berdasarkan massa tegakannya disebut juga hutan produktif. Hutan Sekunder Sedang, yaitu hutan peralihan antara hutan sekunder rendah dan tinggi dengan penutupan tajuk berkisar 40-71% dan didominasi oleh struktur vegetasi pada tingkat tiang. Areal ini mencakup luas 16,191 ha (31%) untuk areal restorasi ekosistem di Provinsi Sumatera Selatan, sedangkan untuk areal restorasi ekosistem di Provinsi Jambi mencakup 10.250 ha (20,84%). Berdasarkan massa tegakannya disebut juga hutan kurang produktif. Hutan Sekunder Rendah, hutan sekunder dengan penutupan tajuk < 40%. Pada areal restorasi ekosistem di Provinsi Sumatera Selatan mencakup luas 24.984 ha (48%), sedangkan pada areal restorasi ekosistem di Provinsi Jambi mencakup luas 16.269 ha (33,08%). Hutan ini dapat dikategorikan sebagai hutan yang sangat terdegradasi. Areal ini didominasi semak terutama pada areal bekas terbakar atau hutan dengan struktur vegetasi yang didominasi oleh tingkat pancang (REKI, 2009). Jenis pohon pada hutan sekunder tinggi didominasi oleh meranti (Shorea spp.), medang (Litsea spp.) dan balam (Palaquium spp.). Jenis pohon pada hutan sekunder sedang didominasi oleh meranti (Shorea spp.), medang (Litsea spp.) dan kempas (Koompassia excelsa). Beberapa jenis pohon yang termasuk jenis dilindungi, diantaranya jelutung (Dyera sp.), Surian (Toona sp.), Meranti damar (Shorea spp.), bulian (Eusideroxylon zwageri) dan tembesu (Fagraea fragrans) (REKI, 2009).
4.9.2
Satwaliar Informasi mengenai satwaliar diperoleh dari data hasil pengamatan
langsung Burung Indonesia tahun 2003 dan wawancara dengan kelompok masyarakat sekitar hutan. Pengamatan dilakukan melalui uji petik pada lokasilokasi areal hutan produktif, areal hutan kurang produktif dan areal hutan tidak produktif (REKI, 2008).
21
Berdasarkan hasil pengumpulan data dapat dikemukakan bahwa pada kawasan ini terdapat 380 spesies yang terdiri atas 61 spesies kelas mamalia, 269 spesies kelas aves, 31 spesies kelas reptilia dan 19 spesies kelas amfibia. Jumlah spesies yang tergolong dalam spesies endemik atau dilindungi oleh undangundang terdapat 44 spesies atau 29,33% dari total spesies yang telah berhasil dikumpulkan datanya. Spesies endemik tersebut terdiri atas 20 spesies kelas mamalia, 22 spesies kelas aves dan 2 spesies kelas reptilian (REKI, 2009). Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, penyebaran spesies endemik atau dilindungi undang-undang, sebagai berikut : a. Di areal hutan sekunder tinggi terdapat sebanyak 37 spesies yang terdiri atas 18 spesies kelas mamalia, 17 spesies kelas aves dan 2 spesies kelas reptilia; b. Di areal hutan sekunder sedang sebanyak 29 spesies yang terdiri atas 15 spesies kelas mamalia dan 14 spesies kelas aves; dan c. Di areal hutan sekunder rendah sebanyak 20 spesies yang terdiri atas 8 spesies kelas mamalia, 11 spesies kelas aves dan 1 spesies kelas reptilian (REKI, 2009).
4.10
Aksesibilitas Kawasan hutan restorasi di kelompok hutan Sungai Meranti-Sungai Kapas
berada di perbatasan Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatera Selatan sehingga arealnya terdapat pada kedua provinsi tersebut, yaitu kira-kira 19% masuk Provinsi Jambi dan 81% masuk Provinsi Sumatera Selatan. Areal kelompok hutan Sungai Meranti-Sungai Kapas ini bisa dicapai dari arah Jambi atau dari arah Palembang, yaitu ±80 km arah Barat Daya dari Kota Jambi atau ±165 km arah Barat Laut dari Kota Palembang (REKI, 2009). Perjalanan menuju areal kelompok hutan Sungai Meranti-Sungai Kapas bisa dilakukan melalui jalan darat dari Jambi ke arah Barat Daya menyusuri jalan aspal trans Sumatera menuju ke arah Muara Bulian melewati perkebunan kelapa sawit PTPN VI dengan jarak ± 50 km, kemudian masuk jalan perkebunan kelapa sawit PT Asiatic Persada berupa jalan yang diperkeras sejauh ±35 km dan sampai di base camp KM 35 PT Asialog dengan waktu tempuh sekitar 3 jam dari Jambi.
22
Areal kelompok hutan Sungai Meranti-Sungai Kapas juga dapat dicapai melalui jalan eks logging PT Asialog berupa jalan yang tidak diperkeras sejauh kurang dari 10 km. Namun karena sudah lama tidak digunakan, saat ini kondisi jalan sulit untuk bisa dilalui terutama setelah turun hujan (REKI, 2009). Desa terdekat dari lokasi restorasi berada di bagian selatan, yaitu Desa Sako Suban, Kecamatan Batanghari Leko, Kabupaten Musi Banyuasin. Untuk mencapai Desa Sako Suban, dari arah Palembang dapat ditempuh melalui dua cara, yaitu : 1. Palembang-Sekayu-Mangun Jaya-Lubuk Bintialo-Sako Suban. Dari Palembang ke Sekayu dan Mangun Jaya melalui jalan aspal dapat ditempuh menggunakan kendaraan umum (bis, travel) dengan waktu tempuh 5-6 jam. Dari Mangun Jaya ke Lubuk Bintialo melalui jalan aspal dan tanah (kondisi rusak) menggunakan angkutan umum pedesaan atau ojeg motor dengan waktu tempuh 1-2 jam. Selanjutnya dari Lubuk Bintialo ke Sako Suban melalui Sungai Batanghari Leko-Sungai Kapas menggunakan perahu/ketek dengan ongkos carter Rp 200.000-Rp 250.000 dengan waktu tempuh 3-4 jam. 2. Palembang-Simpang Gas (arah ke Bayung Lencir dan Jambi)-Lubuk Bintialo-Sako Suban. Dari Palembang ke Simpang Gas melalui jalan aspal trans Sumatera dapat ditempuh menggunakan kendaraan umum (bis, travel) dengan waktu tempuh 5-6 jam. Dari Simpang Gas ke Lubuk Bintialo melalui jalan berbatu dan tanah sepanjang 63 km milik perusahaan minyak PT Conoco Philip menggunakan angkutan umum pedesaan atau ojeg motor dengan waktu tempuh 3 jam. Sementara itu, dari Lubuk Bintialo ke Sako Suban melalui Sungai Batanghari Leko-Sungai Kapas menggunakan perahu/ketek dengan ongkos carter Rp 200.000-Rp 250.000 dengan waktu tempuh 3-4 jam (REKI, 2009).
4.11
Sosial, Ekonomi, dan Budaya Masyarakat
4.11.1 Desa Bungku Desa Bungku merupakan desa asli yang terbentuk sejak lama. Desa Bungku telah ada sejak zaman Belanda dan desa ini pernah menjadi basis perjuangan rakyat.
23
Desa Bungku memiliki 2 (dua) dusun, yaitu Dusun Bungku Indah (dusun lama) dan Dusun Johor Baru (pengembangan pemukiman dusun baru karena adanya transmigrasi) yang terdiri atas 13 Rukun Tetangga (RT) (Dephut, 2007). Pola pemukiman penduduk termasuk pola pemukiman menyebar dalam bentuk kumpulan-kumpulan kecil yang kemudian dikelola dalam sebuah bentuk Rukun Tetangga (RT). Tipe perumahan masyarakat saat ini telah bercampur antara tipe rumah asli (rumah panggung papan) dan rumah permanen dengan letak rumah yang tidak terlalu jauh. Pekerjaan utama masyarakat desa umumnya adalah petani, khususnya petani perkebunan karet (Dephut, 2007). Desa ini termasuk ke dalam Kecamatan Bajubang Kabupaten Batanghari. Secara goegrafis pusat desa terletak pada posisi 01 54' 32", 5 dan 103 15' 37", 6 dengan topografi relatif datar sedikit bergelombang. Perjalanan menuju Desa Bungku dapat ditempuh melalui jalan darat yang berjarak 30 Km dari pusat kecamatan, 30 Km dari pusat Kabupaten (Muara Bulian) dan sejauh 100 Km dari ibukota Propinsi Jambi. Akses transportasi untuk menuju dan keluar desa ini tidak terlalu sulit, apalagi kondisi jalan telah beraspal sejak dari pusat ibukota kabupaten sampai ke desa. Jalur transportasi dilayani oleh angkutan desa yang beroperasi sejak pagi hingga sore hari. Desa Bungku memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut : � Sebelah Utara dengan Desa Pompa Air � Sebelah Selatan dengan PTP Durian Luncuk � Sebelah Timur dengan Desa Markanding � Sebelah Barat dengan Desa Singkawang/Jebak (Dephut, 2007).
Kelompok masyarakat Batin Sembilan merupakan salah satu kelompok masyarakat yang keberadaannya secara administrasi termasuk dalam wilayah Desa Bungku dan juga merupakan kawasan hutan Harapan Rainforest (eks PT Asialog) yang ditunjuk sebagai kawasan yang akan dikelola secara restorasi ekosistem sesuai dengan Kepmenhut No. 83 tahun 2005 (REKI, 2009). Kelompok masyarakat Batin Sembilan sangat menggantungkan kehidupannya pada hutan dan sumbewrdayanya. Masyarakat memanfaatkan hutan sebagai tempat tinggal dan juga sebagai sumber penghidupan. Sumberdaya hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat Batin Sembilan, yaitu tumbuhan dan satwa. Oleh karena itu, masyarakat Batin Sembilan lebih mudah dijumpai di dalam hutan (Gambar 3).
24
Gambar 3 Masyarakat Batin Sembilan yang berada di dalam hutan.
4.11.2 Sako Suban Masyarakat Desa Sako Suban adalah masyarakat yang memiliki ikatan dan keterkaitan yang sangat erat dengan sungai dan hutan. Keterkaitan masyarakat dengan sungai ini tidak hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan akan air dan sumber makanan seperti beberapa jenis ikan untuk memenuhi gizi keluarga. Sungai sudah sejak dahulu digunakan oleh masyarakat sebagai alat transportasi dan media untuk mengangkut hasil – hasil perekonomian mereka baik secara subsistem maupun komersil mulai dari hasil pertanian hingga hasil hutan berupa kayu (REKI, 2009). Gambar 4 merupakan gambaran keterikatan masyarakat Sako Suban dengan sungai.
(a) Sumber : Profil Desa Sako Suban (REKI, 2009)
25
(b)
(c)
Gambar 4 Keterikatan masyarakat Sako Suban dengan sungai: (a) Letak Desa Sako Suban di sepanjang Sungai Kapas, (b) Sungai sebagai media transportasi dan (c) Sungai untuk aktivitas rutin sehari-hari (seperti mandi, mencuci, dll). Selain sungai, hutan merupakan salah satu sumber penghidupan bagi masyarakat Desa Sako Suban. Hutan dianggap bukan hanya sebagai sumber untuk mendapatkan hewan – hewan buruan, namun hutan juga menyediakan beberapa jenis tumbuh – tumbuhan sebagai bahan ramuan obat-obatan (hasil hutan bukan kayu) dan lahan yang memadai bagi masyarakat untuk bercocok tanam. Hingga saat ini, hanya sebagian kecil saja masyarakat yang memanfaatkan HHBK dan hewan buruan, untuk pola hidup subsistemnya. Masyarakat lebih banyak memanfaatkan
kayu
(bebalok)
dan
menyadap
karet
untuk
menunjang
perekonomian (REKI, 2009). Sebagian masyarakat masih ada yang melakukan perburuan liar, namun frekuensinya tidak terlalu tinggi. Alat yang umum digunakan adalah jerat dan senapan. Hasil buruan biasanya dikonsumsi sendiri atau dijual ke tetangga. Satwa yang biasanya diburu antara lain rusa, kijang, trenggiling, labi-labi dan burung (REKI, 2009). Sementara itu untuk pemanfaatan HHBK masih dalam taraf pemenuhan kebutuhan subsistem saja, meskipun cukup banyak rotan dan bambu, masyarakat tidak memanfaatkan secara intensif. Sebagian ibu-ibu di desa masih memanfaatkan HHBK dari kebun mereka seperti daun nipah (sejenis daun pandan) untuk membuat daun tikar (lapik). Mata pencaharian utama sebagian
26
warga Sako Suban adalah petani karet. Semua rumah tangga di desa Sako Suban mempunyai kebun karet, baik yang telah disadap maupun yang belum. Rata-rata setiap rumah tangga memiliki kebun karet antara 2-10 hektar (REKI, 2009). Sejarah perkembangan masyarakat Desa Sako Suban mencatat bahwa masyarakat memiliki interaksi yang cukup tinggi dengan sumber daya hutan. Interaksi ini telah menciptakan sebuah pola budaya tersendiri dalam bentuk adaptasi dengan alam yang harmonis serta kearifan lokal mereka dalam mengelola hutan untuk memenuhi kebutuhan subsistemnya. Hasil adaptasi dengan hutan itu juga telah merasuk ke dalam struktur sosio-kultural masyarakat desa (REKI, 2009). Seperti umumnya masyarakat adat yang ada di pulau Sumatera, masyarakat Desa Sako Suban memiliki latar belakang sejarah sebagai petani peladang berpindah. Hal ini merupakan hasil adaptasi paling baik dan paling rasional masyarakat dapat dipahami dalam konteks keseimbangan yang mereka bangun dari keterbatasan tenaga kerja dan sumberdaya alam yang tersedia. Pilihan sebagai peladang adalah tindakan yang paling rasional dalam arti perilaku ekonomi mereka efisien dan efektif dalam konteks sosial-ekonomi masyarakat. Hal ini terbukti bahwa mereka dapat menciptakan kelestarian sistem sosialekonominya untuk kurun waktu yang cukup panjang (REKI, 2009). Beberapa areal perladangan masyarakat Desa Sako Suban umumnya berada di sekitar bantaran Sungai Kapas yang membentang dari hulu ke hiir sungai. Biasanya pola perladangan dimulai dengan persiapan lahan yaitu dengan menebang dan menebas (slash). Kemudian beberapa ranting dan semak belukar tersebut dibiarkan kering terlebih dahulu. Biasanya proses ini dilakukan pada musim panas (sekitar bulan Maret-Juli). Semua biomassa tersebut kering, masyarakat menyiapkan sekat bakar untuk mencegah api merambat dan menjalar ke lahan sekitar, baru setelah itu dilakukan proses pembakaran (burn) (REKI, 2009). Setelah proses pembakaran, biasanya masyarakat membiarkan lahan tersebut kosong terlebih dahulu. Hal ini dapat dipahami dalam logika pertanian , agar beberapa unsur hara yang terkandung dalam biomassa tanaman dapat diserap kembali oleh tanah untuk menambah dan meningkatkan kandungan dan kesuburan
27
tanah. Ketika lahan dinilai sudah siap, baru dilakukan proses penanaman. Dari zaman dahulu, masyarakat biasa menanam padi darat untuk memenuhi kebutuhan makanan pokok mereka. Namun sejak 5 dasawarsa terakhir, masyarakat mulai menanam karet di lahan mereka. Karet yang mereka tanam adalah jenis karet alam (bibit lokal) (REKI, 2009). Dalam interval masa menunggu panen, biasanya masyarakat mencari lahan baru untuk membuka areal perladangan kembali. Siklus areal perladangan berpindah ini antara 20-30 tahun. Seiring dengan bertambahnya populasi penduduk dan keterbatasan lahan, pola pertanian ladang berpindah ini sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat Desa Sako Suban, terlebih lagi sejak masuknya konsesi perusahaan besar dibidang kehutanan (industrial logging) (REKI, 2009). Walaupun hampir sebagian besar masyarakat telah meninggalkan pola pertanian ladang berpindah, namun mereka belum meninggalkan pola pertanian tradisional slash and burn cultivation. Masyarakat hanya mengandalkan kesuburan alami tanah tanpa adanya introduksi dari pola-pola pertanian modern (intensifikasi dan mekanisasi pertanian) dan penggunaan pupuk dan pestisida. Hingga saat ini hampir sebagian besar masyarakat Desa Sako Suban merupakan petani karet dan sudah sedikit sekali menanam padi darat di rompok mereka. Kebutuhan akan beras biasanya diperoleh dari warung-warung yang ada di desa dari hasil penjualan karet (REKI, 2009). Sejak tahun 1968 kawasan ini sudah disentuh oleh perusahaan besar kehutanan (industrial logging) berupa HPH. Secara lengkap beberapa HPH yang mengeksploitasi kawasan hutan di sekitar Sungai Kapas dan Sungai Meranti ini yang berdekatan dengan wilayah Desa Sako Suban sebagai berikut : HPH PT Padeco (1968 s/d 1986), HPH PT Niti Remaja (1970 s/d 1989), HPH Inhutani V, juga terdapat banyak HPH skala kecil (IPKTM) yang juga beroperasi di kawasan sekitar hutan desa, seperti PT Sengentar Alam dari Palembang dan PT Akiang dari Jambi yang merupakan bagian dari subkontrak PT Inhutani V (REKI, 2009).
4.11.3 Tanjung Sari Desa Tanjung Sari adalah salah satu desa yang paling berdekatan dengan kawasan hutan Harapan Rainforest (eks HPH PT Asialog) dan berada di bagian timur
28
dari lokasi restorasi ekosistem. Desa ini berada di Kecamatan Sungai Bahar, Kabupaten Muaro Jambi. Untuk mencapai Desa Tanjung Sari dapat ditempuh melalui jalan darat yang berjarak 24 Km dari pusat kecamatan, 140 Km dari pusat Kabupaten dan sejauh 110 Km dari ibukota Propinsi Jambi. Akses transportasi untuk menuju dan keluar desa masih jalan tanah, apabila hujan akan sulit untuk dilalui oleh kendaraan bermotor. Jalur transportasi dilayani angkutan umum yang hanya beroperasi satu kali untuk setiap harinya, keluar dari desa menuju kecamatan atau Kota Jambi pada pagi hari dan kembali menuju desa pada sore hari. Desa Tanjung Sari memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut: � Sebelah Utara dengan Desa Tri Jaya (Trans Unit 8) � Sebelah Selatan dengan Desa Tanjung Lebar � Sebelah Timur dengan Desa Adipura Kencana (Trans Unit 20) � Sebelah Barat dengan PT Asiatic Persada (Kab. Batang Hari) (Dephut, 2007). Desa Tanjung Sari juga merupakan salah satu desa transmigrasi yang di buka pada tahun 1996, dimana awalnya penduduknya merupakan pindahan dari Pulau Jawa. Desa ini juga dikenal dengan Trans Unit 22 dengan pola perkebunan kelapa sawit. Pada perkembangannya masyarakat Desa Tanjung Sari bertambah dengan banyaknya pendatang yang berasal dari Provinsi Jambi maupun dari luar provinsi. Para pendatang pada umunya beraktifitas di bidang pertanian dan perkebunan, ada yang memulai dengan membeli lahan pertanian dan ada juga yang memulai aktifitas pertaniannya dengan membuka hutan (Dephut, 2007). Desa Tanjung Sari sebagai desa transmigrasi pola perkebunan, awalnya semua mata pencaharian masyarakatnya adalah pertanian. Pada perkembangannya mata pencaharian masyarakat mulai beragam, mulai dari bidang jasa perdagangan dan juga sektor jasa seperti berdagang, sopir, tukang bangunan, buruh perkebunan, sektor industri kecil maupun sektor kehutanan (Dephut, 2007). Sektor pertanian sebagai mata pencaharian utama di Desa Tanjung Sari terlihat sangat menjanjikan dimana tipe atau bentuk-bentuk rumah sebagai tanda desa transmigrasi sudah mulai jarang terlihat, masyarakat sudah mulai membuat bangunan yang lebih bagus dan hampir semua keluarga di Desa Tanjung Sari memiliki kendaraan bermotor baik itu sepeda motor ataupun mobil. Peningkatan taraf kehidupan masyarakat menjadi maju seiring dengan sudah berproduksinya lahan perkebunan kelapa sawit dan pengembangan perkebunan oleh masyarakat juga sudah berproduksi (Dephut, 2007).
29
Pola pemukiman pada awalnya tertata dan tersusun rapi sebagai program transmigrasi, namun pada perkembangannya mulai menyebar dan ada juga yang membuat kumpulan-kumpulan pemukiman. Pengelompokan pemukiman di desa terbagi menjadi 4 dusun, yang dikenal dengan nama dusun I sampai dusun IV (Dephut, 2007). Bahasa dan adat istiadat yang digunakan masyarakat desa adalah
adat istiadat Melayu Jambi. Agama yang dianut sebagian besar adalah agama islam (REKI, 2008). Tingkat pendidikan masyarakat desa sudah cukup baik dan sangat bervariasi. Tabel 8 menjelaskan hasil wawancara mengenai jumlah penduduk pada tahun 2010 berdasarkan tingkat pendidikannya. Tabel 8 Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan No. 1. 2. 3. 4. 5.
Tingkat Pendidikan SD SMP SMA D3 S1 Total
Jumlah (jiwa) 1027 553 571 15 25 2191
Tingkat perekonomian masyarakat Desa Tanjung Sari (unit 22) yang sudah maju terlihat dari pembangunan-pembangunan fisik desa dengan biaya dari masyarakat, yaitu hasil dari berkebun sawit. Desa Tanjung Sari juga sudah memiliki puskesmas pembantu (pustu) untuk mengatasi permasalahan kesehatan masyarakat. Gambar 5 merupakan salah satu pembangunan fisik dari hasil biaya masyarakat dan pasar yang terdapat di Desa Tanjung Sari.
(a)
(b)
Gambar 5 Desa Tanjung Sari (a) Mesjid dan (b) Pasar.
30
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Restorasi Ekosistem di Areal Harapan Rainforest Restorasi ekosistem adalah upaya untuk mengembalikan kondisi hutan yang saat ini sudah rusak ke kondisi ekosistem awalnya dengan tujuan memperoleh kembali keanekaragaman hayati (PT REKI, 2007). Tujuan dari restorasi ekosistem tersebut dapat dicapai dengan melakukan beberapa tahapan dari kegiatan restorasi ekosistem. Berikut tahapan-tahapan kegiatan restorasi ekosistem di areal Harapan Rainforest : 1.
Penataan areal kerja yang dilakukan tiga tahun sebelum penanaman.
2.
Inventarisasi tumbuhan yang dilakukan dua tahun sebelum penanaman.
3.
Pembukaan wilayah hutan yang dilakukan satu tahun sebelum penanaman.
4.
Pengadaan bibit yang dilakukan satu tahun sebelum penanaman.
5.
Penanaman
6.
Pemeliharaan tanaman yang dilakukan satu tahun, dua tahun dan tiga tahun setelah penanaman.
7.
Restorasi habitat tumbuhan dan satwa liar dilakukan lima tahun, tujuh tahun dan sembilan tahun setelah penanaman.
8.
Pengamanan hutan dilakukan sepanjang tahun.
9.
Penelitian dilakukan sepanjang tahun. Keberhasilan restorasi ekosistem di areal Harapan Rainforest dapat dicapai
dengan adanya dukungan dan kerja sama. Salah satunya yaitu melibatkan masyarakat dalam kegiatan restorasi ekosistem. Pada dasarnya tahapan-tahapan dari kegiatan restorasi ekosistem yang dilakukan oleh pihak PT REKI dapat dilakukan bersama masyarakat khususnya dalam hal sebagai tenaga kerja. Secara spesifik beberapa kegiatan yang dilakukan bersama masyarakat sebagai berikut: 1.
Penyediaan bibit tanaman hutan dalam program community nursery;
2.
Penanaman dan pemeliharaan tanaman hutan dalam program community nursery; dan
3.
Tata batas konsesi secara partisipatif.
31
Selain bekerja sama dengan masyarakat setempat dalam pelaksanaan kegiatan restorasi ekosistem, pihak PT REKI juga melakukan kerja sama dengan sekolahsekolah. Bentuk kerja sama yang biasa dilakukan dengan sekolah-sekolah, yaitu melakukan penanaman bersama di lokasi yang telah disiapkan untuk direstorasi (Gambar 6a). Dalam pelaksanaannya, kegiatan penanaman bersama anak-anak sekolah dipadukan dengan kegiatan lainnya, seperti cara pembibitan (Gambar 6b), pengenalan ekosistem (Gambar 6c), pengenalan jenis pohon, pengenalan satwa dan habitatnya (Gambar 6d), serta kegiatan lainnya dalam bentuk permainan (Gambar 6e).
(a)
(b)
(c)
(d)
(e) Gambar 6 Rangkaian Kegiatan Penanaman Bersama Anak-Anak Sekolah.
32
5.2
Persepsi Masyarakat terhadap Kegiatan Restorasi Ekosistem
5.2.1
Persepsi Masyarakat Berdasarkan Pendidikan Tingkat pendidikan menunjukkan hubungan yang cukup erat dengan
persepsi masyarakat dan menurut Mauludin (1994) pendidikan merupakan faktor yang paling baik dijadikan sebagai pendugaan persepsi. Tabel 9 menjelaskan persepsi berdasarkan tingkat pendidikan. Tabel 9 Tingkat Persepsi Masyarakat Berdasarkan Pendidikan. Masyarakat
Pendidikan
Jumlah Responden (orang)
Batin Sembilan
Tidak sekolah Tidak sekolah SD SMP SMA Perguruan tinggi Tidak sekolah SD SMP SMA Perguruan tinggi
30 8 23 5 8 1 1 3 4 5 1
Sako Suban
Tanjung Sari
FH 3,77 3,88 3,26 3,75 2,86 4,39 4,69 2,90 4,44 3,35 4,00
Persepsi terhadap Manfaat Restorasi Ekosistem Ekologi Ekonomi Sosial Rata-rata Rata-rata Rata-rata RE PM DKH RE PNRE PPRE 3,85 4,37 4,44 3,83 3,86 3,70 3,84 3,60 3,80 3,63 3,44 3,70 3,84 4,09 3,20 3,65 3,41 3,53 3,28 3,68 3,12 3,76 2,57 3,41 3,94 4,52 3,09 3,81 3,48 3,58 5,00 5,00 5,00 5,00 4,40 5,00 4,00 5,00 2,63 2,17 3,46 2,55 3,63 3,70 2,91 2,23 3,44 3,59 3,56 3,82 2,72 3,12 3,90 3,51 3,77 3,77 3,25 2,94 3,42 3,12 3,63 5,00 2,63 3,03 4,00 4,00
Keterangan : 1= Sangat tidak setuju; 2= Tidak setuju; 3= Cukup setuju; 4= Setuju; 5= Sangat setuju; FH= Fungsi hutan; RE= Restorasi ekosistem; PM= Peran masyarakat; DKH= Dampak kerusakan hutan; PNRE= Pertanyaan negatif tentang restorasi ekosistem; dan PPRE= Pertanyaan positif tentang restorasi ekosistem.
Tabel 9 menjelaskan bahwa seluruh responden Batin Sembilan tidak memiliki pendidikan yang resmi dengan kata lain seluruh responden tidak ada yang sekolah, sehingga persepsi yang diberikan oleh responden tidak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Walaupun demikian, persepsi terhadap kegiatan restorasi ekosistem yang diberikan oleh responden cenderung positif. Umumnya nilai ratarata yang diperoleh responden tinggi untuk setiap manfaat dari kegiatan restorasi ekosistem. Persepsi positif dengan nilai rata-rata yang tergolong tinggi, dikarenakan tingkat interaksi antara responden yang mewakili masyarakat Batin Sembilan dengan pihak PT REKI yang cukup tinggi. Salah satu bentuk interaksi antara masyarakat dengan pihak PT REKI, yaitu sekolah keliling yang menjadi salah satu program dari divisi community development PT REKI (Gambar 7). Sekolah keliling ini dilakukan oleh seorang staf dari divisi community
33
development yang ditunjuk sebagai tenaga pengajar. Sasaran dari sekolah keliling ini yaitu anak-anak dari masyarakat Batin Sembilan dan proses mengajar juga dilakukan secara tidak rutin. Staf yang bertugas sebagai tenaga pengajar harus berkeliling mengajar dari satu tempat ke tempat lain, walaupun terkadang anakanak tersebut tidak ada di tempat tetapi berada di dalam hutan karena harus membantu orang tua menyadap getah. Proses pendekatan oleh pihak PT REKI terhadap masyarakat Batin Sembilan difasilitasi oleh salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang dikenal dengan WARSI. Lembaga Swadaya Masyarakat ini sudah cukup lama menggali tentang keberadaan masyarakat Batin Sembilan dan berusaha untuk membantu mempertahankan hak-hak masyarakat yang umumnya sudah lama berada di dalam areal Harapan Rainforest (PT REKI).
Gambar 7 Sekolah keliling bagi anak-anak Batin Sembilan. Sumber : Harapan Rainforest
Umumnya responden Batin Sembilan menyatakan setuju dengan dilakukannya kegiatan restorasi ekosistem. Responden menyatakan setuju dengan nilai rata-rata 3,77 bahwa fungsi hutan sebagaimana mestinya dapat terganggu karena terjadinya kerusakan hutan. Kerusakan hutan dapat disebabkan karena banyaknya pohon yang ditebang secara liar tanpa diberlakukannya suatu peraturan dan terjadinya pemanfaatan secara berlebihan terhadap satwa liar dan tumbuhan. Responden setuju apabila terjadi dua hal tersebut, maka hutan akan rusak diantaranya dapat menyebabkan tanah menjadi kering, jumlah satwa liar dan tumbuhan menurun bahkan hilang, ketersediaan air menjadi turun, cuaca menjadi
34
panas dan udara tidak segar lagi, serta bencana banjir dan longsor juga dapat terjadi. Oleh karena itu, responden berharap dengan dilakukannya kegiatan restorasi ekosistem maka permasalahan yang disebabkan karena kerusakan hutan dapat teratasi. Responden cenderung setuju dengan nilai rata-rata 3,85 bahwa kegiatan restorasi ekosistem diharapkan dapat memperbaiki kondisi fisik hutan (tanah, air dan udara) menjadi lebih baik dan meningkatkan jumlah satwa liar dan tumbuhan, serta dapat mencegah terjadinya bencana banjir dan longsor. Persepsi yang positif tersebut juga diberikan karena masyarakat Batin Sembilan menganggap hutan sebagai tempat tinggal. Oleh karena adanya dorongan dari tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap hutan, maka responden setuju bahwa peran masyarakat juga penting dalam menjaga kelestarian hutan karena kelestarian hutan merupakan salah satu tanggung jawab masyarakat, terutama masyarakat dalam hutan seperti masyarakat Batin Sembilan. Kelestarian hutan dan sumberdayanya dapat terjaga dengan diberlakukannya suatu peraturan yang mengatur pemanfaatan hasil hutan. Responden Batin Sembilan memperoleh nilai rata-rata tertinggi yaitu 4,44 untuk persepsi terhadap manfaat ekonomi dari restorasi ekosistem terutama persepsi terhadap dampak kerusakan hutan pada perekonomian masyarakat. Nilai rata-rata tersebut menunjukkan responden cenderung setuju bahwa terjadinya kerusakan hutan maka dapat berdampak buruk pada perekonomian masyarakat Batin Sembilan. Kerusakan hutan menyebabkan sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan menjadi lebih sedikit, sehingga pendapatan menjadi berkurang dan kebutuhan hidup tidak terpenuhi. Umumnya masyarakat Batin Sembilan kesulitan dalam memperoleh pekerjaan yang lain selain memanfaatkan sumberdaya alam yang ada. Oleh karena itu, responden cenderung setuju terhadap manfaat ekonomi yang dapat diperoleh dengan dilakukannya kegiatan restorasi ekosistem oleh pihak PT REKI. Responden cenderung menyatakan setuju dengan nilai rata-rata 3,83. Responden Batin Sembilan setuju dengan adanya kegiatan restorasi ekosistem ini karena menurut responden kegiatan restorasi ekosistem ini dapat membantu memperbaiki hutan sehingga jumlah sumberdaya hutan yang dapat dimanfaatkan meningkat dan kebutuhan menjadi terpenuhi serta pendapatan juga dapat meningkat. Selain itu, dengan adanya kegiatan restorasi ekosistem oleh PT
35
REKI maka diharapkan masyarakat diikutsertakan dalam pelaksanaannya yaitu sebagai tenaga kerja. Responden Batin Sembilan dapat dikatakan memiliki konsistensi dalam memberikan persepsi terhadap kegiatan restorasi ekosistem, terutama pada manfaat sosial yang dapat diperoleh masyarakat dari kegiatan restorasi ekosistem ini. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 9, nilai rata-rata yang diperoleh responden tergolong tinggi yaitu 3,86 yang menunjukkan responden cenderung tidak setuju terhadap pertanyaan negatif (Lampiran 1 bagian C). Responden tidak setuju apabila kegiatan restorasi ekosistem tidak diterima oleh masyarakat Batin Sembilan dan tidak bermanfaat bagi kehidupan masyarakat, melainkan responden cenderung setuju bahwa kegiatan restorasi ekosistem diterima oleh masyarakat Batin Sembilan dan akan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat Batin Sembilan. Persepsi positif tersebut ditunjukkan dengan nilai rata-rata yang tergolong tinggi untuk pertanyaan positif dari manfaat sosial yang dapat diperoleh masyarakat dengan dilakukannya kegiatan restorasi ekosistem (Lampiran 1 bagian C) yaitu 3,70. Persepsi tersebut berdasarkan pengetahuan lokal yang dimiliki responden. Responden berpikir bahwa dengan dilakukannya kegiatan restorasi ekosistem yang menjadi salah satu upaya dalam memperbaiki dan memulihkan kondisi hutan yang rusak maka dapat memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat, terutama
masyarakat
hutan
yang
sangat
tergantung
pada
hutan
dan
sumberdayanya. Responden Sako Suban memiliki pendidikan yang beragam dibandingkan dengan responden Batin Sembilan. Tabel 9 menjelaskan umumnya responden Sako Suban memiliki pendidikan Sekolah Dasar (SD). Hal tersebut dikarenakan di Desa Sako Suban hanya terdapat gedung SD (Gambar 8) dan apabila terdapat masyarakat yang ingin melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, maka harus bersekolah ke desa lain atau bahkan ke kota. Hal ini juga yang menyebabkan sedikitnya masyarakat yang menyekolahkan anak-anak ke jenjang yang lebih tinggi. Selain itu, masih terdapat masyarakat yang kurang peduli terhadap pendidikan karena dengan tidak memiliki pendidikan yang tinggi, masyarakat juga dapat memiliki pendapatan yang tinggi sehingga kebutuhan hidup juga terpenuhi tanpa harus sekolah hingga ke jenjang yang lebih tinggi.
36
Oleh karena itu, umumnya masyarakat baik remaja ataupun orang tua di Desa Sako Suban lebih sering terlihat di kebun karet dan di warung-warung untuk bermain gap.
Gambar 8 Bangunan Sekolah Dasar di Desa Sako Suban.
Pendidikan yang dimiliki masyarakat Sako Suban secara umum tidak mempengaruhi persepsi yang diberikan terhadap kegiatan restorasi ekosistem, kecuali persepsi terhadap manfaat ekonomi dari restorasi ekosistem. Nilai ratarata yang diperoleh menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, maka semakin tinggi nilai rata-rata yang diperoleh dan semakin positif persepsi yang diberikan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Surata (1993) dalam Widawari (1994) yang menyatakan bahwa umumnya persepsi seseorang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Nilai rata-rata yang diperoleh responden untuk manfaat ekonomi dari restorasi ekosistem, menunjukkan bahwa responden cenderung setuju dilakukannya kegiatan tersebut karena dengan adanya kegiatan tersebut diharapkan dapat dijadikan salah satu solusi untuk memecahkan masalah terkait perekonomian masyarakat. Secara umum persepsi yang diberikan responden Sako Suban hampir sama dengan persepsi responden Batin Sembilan yang tidak memiliki pendidikan formal. Berdasarkan pendidikan, responden Sako Suban juga memberikan persepsi yang positif terhadap kegiatan restorasi ekosistem yang dilakukan oleh pihak PT REKI. Hal ini dikarenakan pihak PT REKI juga sudah melakukan sosialisasi mengenai kegiatan restorasi ekosistem, walaupun kegiatan sosialisasi tersebut belum maksimal seperti yang sudah dilakukan terhadap masyarakat Batin Sembilan. Persepsi positif tersebut diperlihatkan dengan nilai rata-rata yang
37
diperoleh responden Sako Suban baik yang tidak sekolah maupun yang memiliki pendidikan SD hingga perguruan tinggi umumnya tergolong tinggi. Nilai rata-rata yang diperoleh menunjukkan bahwa responden cenderung setuju bahkan sangat setuju dengan dilakukannya kegiatan restorasi ekosistem karena dapat bermanfaat bagi masyarakat. Responden yang tidak sekolah, responden yang memiliki pendidikan SMP dan perguruan tinggi memperoleh nilai rata-rata yang menunjukkan responden cenderung setuju bahwa kerusakan hutan dapat mengakibatkan terganggunya fungsi hutan. Namun, sebagian besar responden yaitu responden dengan pendidikan SD dan SMA cenderung menyatakan cukup setuju bahwa terganggunya fungsi hutan karena terjadinya kerusakan hutan, tetapi di sisi lain responden juga memberikan pernyataan bahwa kondisi lingkungan sekitar memang dari dulu sudah seperti sekarang ini, tidak terjadi perubahan atau penurunan fungsi hutan. Responden menyatakan bahwa pemanfaatan yang berlebihan terhadap sumberdaya hutan baik satwa liar dan tumbuhan, serta kayu dari pohon-pohon yang ditebang tidak menimbulkan kerusakan hutan yang dapat berdampak buruk bagi masyarakat. Sebagian besar responden cenderung setuju bahkan responden yang memiliki pendidikan perguruan tinggi menyatakan sangat setuju dengan nilai ratarata 5,00 bahwa restorasi ekosistem merupakan salah satu upaya dalam memulihkan atau mengembalikan kondisi hutan yang rusak pada keadaan semula dan berfungsi sesuai peruntukkannya. Selain itu, kegiatan restorasi diharapkan dapat mengatasi permasalahan yang sekiranya dapat ditimbulkan apabila terjadinya kerusakan hutan. Dalam proses pemulihan kondisi hutan tersebut, peran masyarakat sangat dibutuhkan dan responden Sako Suban menyatakan bersedia apabila dilibatkan dalam kegiatan restorasi. Tabel 9 memperlihatkan bahwa sebagian besar responden Sako Suban memperoleh nilai rata-rata yang tergolong sedang, yaitu responden yang memiliki pendidikan SD, SMP dan SMA. Responden cenderung cukup setuju bahwa kerusakan hutan dapat menyebabkan sumberdaya hutan yang dapat dimanfaatkan menjadi sedikit dan sebagian besar kebutuhan hidup tidak terpenuhi. Responden hanya menyatakan cukup setuju karena di satu sisi lagi responden belum
38
merasakan dampak kerusakan hutan secara langsung terutama terhadap perekonomian masyarakat. Lain halnya dengan responden yang tidak sekolah, responden cenderung menyatakan setuju bahwa kerusakan hutan dapat berdampak buruk pada perekonomian masyarakat. Responden tersebut sudah merasakan langsung dampak buruk yang disebabkan terjadinya kerusakan hutan. Umumnya responden tersebut memiliki pekerjaan yang sangat tergantung pada hutan. Responden dengan pendidikan perguruan tinggi menyatakan sangat setuju bahwa kerusakan hutan dapat berdampak buruk bagi perekonomian masyarakat terutama masyarakat hutan. Persepsi yang sangat positif tersebut berdasarkan pengetahuan yang lebih yang diperoleh responden dari bangku pendidikan. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, responden Sako Suban hanya menyatakan cukup setuju terkait dampak kerusakan hutan terhadap perekonomian masyarakat. Namun, di sisi lain seluruh responden cenderung menyatakan setuju bahwa kegiatan restorasi ekosistem dapat dijadikan salah satu solusi dalam mengatasi permasalahan ekonomi yang disebabkan karena terjadinya kerusakan hutan. Sebagian besar responden Sako Suban cenderung menyatakan cukup setuju terhadap pertanyaan negatif dan pertanyaan positif mengenai kegiatan restorasi ekosistem hubungannya dengan manfaat sosial yang dapat diperoleh masyarakat. Masih terdapat beberapa responden yang menyatakan bahwa kegiatan restorasi ekosistem tidak diterima oleh masyarakat karena dapat menimbulkan dampak yang buruk terhadap kehidupan masyarakat Sako Suban. Responden menganggap
bahwa
kegiatan
tersebut
membatasi
masyarakat
dalam
memanfaatkan hasil hutan. Persepsi tersebut diberikan responden karena responden belum memahami kegiatan restorasi ekosistem dan manfaat yang dapat diperoleh bagi kehidupan. Namun, responden yang memiliki pendidikan perguruan tinggi memperoleh nilai rata-rata tertinggi yang menunjukkan bahwa responden cenderung sangat tidak setuju apabila kegiatan restorasi tidak diterima dan dapat menimbulkan dampak yang buruk bagi masyarakat. Responden yang bersangkutan memberikan pernyataan sebaliknya bahwa kegiatan restorasi ekosistem diterima karena dapat memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat. Sama halnya dengan responden Sako Suban, responden Tanjung Sari juga memiliki pendidikan yang beragam. Responden Tanjung Sari yang memiliki
39
pendidikan SMA lebih dominan dibandingkan dengan responden dengan pendidikan formal yang lain, walaupun jumlahnya tidak jauh berbeda dengan jumlah responden yang memiliki pendidikan lainnya karena jumlah total responden Tanjung Sari juga sedikit, hanya 14 orang. Jumlah responden yang mendominasi dengan pendidikan SMA menunjukkan bahwa masyarakat di Desa Tanjung Sari lebih maju dalam pendidikan dibandingkan dengan masyarakat Batin Sembilan dan Sako Suban. Hal ini dikarenakan masyarakat Tanjung Sari merupakan masyarakat transmigrasi yang umumnya lebih terbuka dan peduli terhadap pendidikan. Di Desa Tanjung Sari sudah terdapat gedung sekolah, yaitu SD dan SMP. Akses bagi masyarakat untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi yang terdapat di desa lain dan di kota juga lebih mudah dibandingkan dengan akses yang harus ditempuh masyarakat Batin Sembilan maupun Sako Suban. Pendidikan yang dimiliki seluruh responden Tanjung Sari secara umum tidak mempengaruhi persepsi terhadap kegiatan restorasi ekosistem. Responden yang tidak sekolah, responden dengan pendidikan SMP dan perguruan tinggi cenderung setuju bahwa kerusakan hutan dapat menyebabkan perubahan terhadap kondisi fisik hutan dan bahkan perubahan fungsi hutan. Namun, nilai rata-rata yang diperoleh responden dengan pendidikan SD dan SMA menunjukkan bahwa responden cenderung cukup setuju dengan pernyataan mengenai perubahan kondisi fisik dan fungsi hutan dikarenakan terjadinya kerusakan hutan. Persepsi tersebut dikarenakan umumnya sebagian besar responden tidak memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap hutan dan sumberdayanya sehingga kurangnya kepedulian terhadap kondisi hutan. Beberapa responden lainnya ada yang memiliki pengetahuan yang lebih seperti responden dengan pendidikan SMP dan perguruan tinggi sehingga responden mengetahui bahwa suatu hal negatif yang dilakukan terhadap hutan, maka dapat menimbulkan kerusakan hutan dan dapat merubah fungsi hutan. Responden yang tidak sekolah memperoleh nilai rata-rata tertinggi yang meunjukkan bahwa responden cenderung sangat setuju apabila terjadinya kerusakan hutan maka kondisi fisik dan fungsi hutan dapat berubah. Responden tersebut diasumsikan memberikan persepsi yang sangat
40
positif dikarenakan pengalaman langsung dan pengetahuan lokal yang dimiliki responden. Perubahan kondisi fisik hutan dan fungsi hutan merupakan salah satu permasalahan yang harus diatasi supaya hutan kembali pulih dan tetap terjaga kelestariannya. Salah satu upaya dalam mengatasi permasalahan tersebut yaitu dengan restorasi ekosistem. Responden Tanjung Sari umumnya cenderung setuju dengan nilai rata-rata yang tergolong tinggi untuk manfaat ekologi yang dapat diperoleh dari kegiatan restorasi ekosistem. Responden berharap apabila terjadi kerusakan hutan yang dapat menimbulkan perubahan kondisi fisik hutan dan perubahan fungsi hutan maka kegiatan restorasi ini menjadi salah satu upaya dalam mengatasi permasalahan tersebut. Upaya pemulihan tersebut dapat berjalan lancar apabila terdapat dukungan dan peran dari masyarakat. Dengan demikian, responden cenderung menyatakan setuju bahkan sangat setuju apabila dilibatkan dalam kegiatan restorasi tersebut. Selain itu, responden juga menyadari bahwa kelestarian hutan merupakan salah satu tanggung jawab masyarakat. Menurut responden Tanjung Sari, kerusakan hutan tidak menimbulkan dampak yang buruk terhadap perekonomian masyarakat Tanjung Sari. Oleh karena itu, seluruh responden menyatakan cukup setuju terhadap pertanyaan yang terkait dengan dampak kerusakan hutan pada perekonomian masyarakat. Responden juga menyatakan cukup setuju bahkan tidak setuju bahwa kegiatan restorasi ekosistem dapat mengatasi dampak kerusakan hutan terhadap perekonomian masyarakat. Responden memberikan persepsi negatif dikarenakan pihak PT REKI belum melakukan sosialisasi dan pendekatan kepada masyarakat Tanjung Sari, sehingga masyarakat belum mengetahui dan memahami restorasi ekosistem dan manfaat yang dapat diperoleh masyarakat jika kegiatan ini dilakukan. Selain itu, masyarakat Tanjung Sari juga merupakan masyarakat yang mandiri dan tidak menggantungkan hidupnya pada hutan. Umumnya masyarakat memiliki lahan yang diberikan pemerintah untuk digarap dan masyarakat menjadikan lahan tersebut untuk kebun sawit. Oleh karena itu, sawit merupakan salah satu sumber kehidupan bagi masyarakat Tanjung Sari. Nilai rata-rata yang diperoleh responden untuk persepsi terhadap manfaat sosial dari restorasi ekosistem, secara umum menunjukkan bahwa responden
41
cukup setuju apabila kegiatan restorasi ekosistem tidak diterima oleh masyarakat dan tidak bermanfaat bagi masyarakat karena umumnya masyarakat Tanjung Sari belum mengetahui secara jelas manfaat dari restorasi ekosistem ini. Responden juga menyatakan cukup setuju bahwa kegiatan restorasi ekosistem diterima oleh masyarakat karena responden memiliki harapan jika kegiatan restorasi ekosistem ini dilakukan maka dapat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat Tanjung Sari.
5.2.2
Persepsi Masyarakat Berdasarkan Jenis Pekerjaan Jenis pekerjaan yang dimiliki masyarakat, yaitu sebagai penyadap getah,
petani (sawit, tanaman perkebunan dll), buruh, wiraswasta/pedagang, penebang kayu, ibu rumah tangga dan pegawai. Masyarakat Batin Sembilan pada umumnya memiliki pekerjaan sebagai penyadap getah dan petani, sebagian kecil sebagai buruh tandan kelapa sawit dan sebagai pegawai di perkebunan kelapa sawit milik PT Asiatic Persada. Selain itu, masih terdapat masyarakat yang melakukan perburuan terhadap satwaliar. Satwaliar yang diburu pada umumnya yaitu jenis burung. Responden yang memiliki pekerjaan sebagai penyadap getah, biasanya menyadap getah dari pohon balam (Palaquium spp.), jelutung (Dyera sp.) dan karet (Hevea brasiliensis) yang terdapat di dalam hutan (areal Harapan Rainforest). Namun, setelah ada Harapan Rainforest (PT REKI), penyadapan terhadap getah balam sudah tidak dilakukan. Pihak PT REKI menghimbau kepada masyarakat Batin Sembilan terutama masyarakat untuk tidak menyadap getah balam karena untuk menyadap getahnya terlebih dahulu harus menebang pohonnya agar getah balam keluar. Apabila getah balam terus disadap, maka akan banyak pohon balam yang ditebang dan itu dapat merusak hutan. Oleh karena itu, sekarang ini responden dari masyarakat Batin Sembilan hanya melakukan penyadapan getah terhadap pohon karet dan jelutung yang terdapat di dalam areal Harapan Rainforest (Gambar 9a dan 9b).
42
(a)
(b)
Gambar 9 (a) Jelutung (Dyera sp.) dan (b) Karet (Hevea braciliensis).
Responden yang bekerja sebagai petani, umumnya memiliki lahan kebun yang ditanami tanaman untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seperti singkong, ubi, tanaman obat dan lain-lain. Selain itu, terdapat responden yang memiliki kebun karet. Lahan hutan yang dijadikan kebun oleh masyarakat Batin Sembilan, umumnya lahan hutan yang termasuk areal yang dimiliki PT REKI. Oleh karena itu, hal tersebut menimbulkan konflik lahan tetapi tidak terjadi secara besar. Konflik tersebut segera diselesaikan dengan tahapan pembuatan peta partisipatif yang difasilitasi oleh pihak WARSI. Dalam pembuatan peta tersebut digambarkan lahan hutan yang telah dijadikan kebun dan dianggap menjadi tanah adat yang dimiliki masyarakat secara turun-temurun, serta batas-batas areal Harapan Rainforest. Perburuan terhadap satwa liar terutama burung masih dilakukan oleh responden. Perburuan masih dilakukan denga cara tradisional yang sederhana, yaitu menggunakan jerat, alat pikat dan memanjat pohon untuk mengambil anakan burung (juvenil) dalam sarangnya. Jenis-jenis burung yang biasa diburu oleh beberapa orang responden dari masyarakat Batin Sembilan ditampilkan pada Gambar 10.
43
(a) Tiong Emas (Gracula speciosa) Gambar 10
(b) Kucica (Copsychus sp.)
Contoh jenis-jenis burung yang diburu oleh responden dari masyarakat Batin Sembilan.
Sebagian kecil responden Batin Sembilan bekerja sebagai buruh tandan kelapa sawit. Sedikitnya jumlah orang yang bekerja sebagai buruh tandan sawit ini karena harga tandan sawit yang relatif murah di pasaran, walau terkadang harga tandan sawit juga dapat mengalami kenaikan tetapi hal tersebut tidak menentu. Oleh karena itu, pekerjaan ini kurang diminati karena kurang dapat mencukupi kebutuhan hidup walaupun pekerjaan ini tergolong mudah untuk dilakukan. Responden yang bekerja sebagai buruh tandan sawit melakukan pengumpulan tandan sawit dari kelapa sawit yang jatuh yang berada di perkebunan kelapa sawit milik PT Asiatic Persada yang lokasinya berdekatan dengan areal Harapan Rainforest atau lebih tepatnya hanya dibatasi jalan tanah yang dibuat untuk mengangkut hasil panen kelapa sawit. Jalan yang dibuat untuk mengangkut hasil panen sawit dan responden yang bekerja sebagai buruh tandan sawit ditampilkan pada Gambar 11.
44
(a)
(b)
Gambar 11 (a) Jalan tanah sebagai batas antara kawasan Harapan Rainforest dengan PT Asiatic Persada dan (b) Seorang buruh tandan sawit. Responden Sako Suban lebih banyak bekerja sebagai petani, yaitu petani karet, tanaman pangan dan sawit. Sebagian lahan yang dijadikan sebagai kebun oleh masyarakat merupakan areal yang dimiliki oleh PT REKI dan perusahaan lain. Oleh karena itu, hal ini juga menimbulkan konflik lahan. Masyarakat yang memiliki lahan di Desa Sako Suban banyak yang berasal dari luar desa yang datang ke Sako Suban untuk membeli lahan karena menurut masyarakat lahan di Sako Suban dijual dengan harga yang cukup murah dibandingkan di tempat lain. Hal ini juga yang menimbulkan konflik karena masyarakat berusaha untuk mempertahankan hak terhadap lahan yang sudah dibeli. Konflik ini dapat diatasi salah satunya dengan menghimbau masyarakat untuk menanam jenis pohon sesuai tujuan dan rencana yang sudah disusun untuk tahapan penanaman. Salah satu jenis pohon yang biasa dan dapat ditanam oleh masyarakat Sako Suban, yaitu karet (Hevea braciliensis). Selain bekerja di kebun sebagai petani karet, terdapat responden yang bekerja sebagai penyadap getah. Biasanya responden menyadap getah di kebun karet milik orang lain dengan sistem bagi hasil. Selain itu, masih banyak masyarakat Sako Suban yang bekerja sebagai penebang kayu secara ilegal dan hanya empat orang responden yang memiliki pekerjaan tersebut yang berhasil diwawancarai karena cukup sulit untuk meyakinkan responden dan untuk menggali informasi mengenai pekerjaan tersebut. Responden bekerja sebagai penebang kayu karena bagi para penebang tersebut pekerjaan ini dapat
45
menghasilkan uang yang lebih banyak dibandingkan dengan pekerjaan yang lainnya. Kayu hasil tebangan biasanya dijual ke kota atau dijual ke masyarakat di Sako Suban untuk membangun rumah. Responden juga biasanya menerima pesanan kayu dari jenis pohon tertentu yang dipesan oleh seseorang yang berasal dari kota. Kayu yang dipesan umumnya kayu bulian yang memiliki kualitas yang bagus. Kayu hasil tebangan liar ditampilkan pada Gambar 12.
Gambar 12 Kayu hasil tebangan secara liar. Selain menebang kayu secara ilegal, masih ada masyarakat yang melakukan perburuan terhadap satwa liar terutama jenis burung. Burung hasil buruan biasanya dipelihara sendiri dan ada juga yang dijual. Beberapa contoh jenis burung yang diburu masyarakat, yaitu tiong emas, bubut dan luntur (Gambar 13a, b, dan c). Selain jenis burung, jenis mamalia juga biasa diburu seperti monyet ekor panjang (Gambar 13d), landak, babi hutan dan lain-lain.
(a) Tiong Emas (Gracula speciosa)
(b) Bubut (Centropus sp.)
46
(c) Luntur (Harpactes sp.)
(d) Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis)
Gambar 13 Beberapa contoh satwa liar yang diburu masyarakat Sako Suban.
Responden Sako Suban juga ada yang bekerja sebagai kepala desa dan perangkatnya, guru serta bidan yang digolongkan sebagai pegawai. Selain itu, terdapat responden yang bekerja sebagai wiraswasta/pedagang yang membuka warung-warung dengan menjual bensin, kebutuhan hidup sehari-hari dan jajanan. Sebagian kecil responden juga berperan sebagai ibu rumah tangga. Pekerjaan sebagai petani kelapa sawit mendominasi jenis pekerjaan yang dilakukan oleh responden Tanjung Sari. Pada awalnya setiap masyarakat yang menjadi transmigran diberi lahan seluas 2,5 ha (rumah dan lahan kebun) dan setiap masyarakat menanami kebunnya dengan sawit. Oleh karena itu, sawit dijadikan sebagai sumber pendapatan masyarakat dan pembangunan fisik di Desa Tanjung Sari. Selain itu, yang manjadi responden juga ada yang bekerja sebagai pegawai yaitu kepala desa dan perangkatnya, serta satu orang yang bekerja sebagai wiraswasta/pedagang yang membuka toko di pasar yang terdapat di Desa Tanjung Sari. Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat dikelompokkan bahwa pekerjaan sebagai penebang kayu, penyadap getah dan petani merupakan pekerjaan yang tergantung pada keberadaan hutan dan sumberdayanya, sedangkan empat jenis pekerjaan yang lainnya tidak memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi pada hutan dan sumberdayanya. Tabel 10 menjelaskan tingkat persepsi masyarakat terhadap kegiatan restorasi ekosistem berdasarkan pekerjaan.
47
Tabel 10 Tingkat Persepsi Masyarakat Berdasarkan Pekerjaan
Masyarakat
Batin Sembilan
Sako Suban
Tanjung Sari
Pekerjaan
Jumlah Responden (orang)
Penebang kayu Penyadap getah Petani Buruh Ibu rumah tangga Wiraswasta/pedagang Pegawai Penebang kayu Penyadap getah Petani Buruh Ibu rumah tangga Wiraswasta/pedagang Pegawai Penebang kayu Penyadap getah Petani Buruh Ibu rumah tangga Wiraswasta/pedagang Pegawai
13 9 7 1 4 8 18 4 6 5 9 1 4
Persepsi terhadap Manfaat Restorasi Ekosistem Ekologi Ekonomi Sosial Rata-rata Rata-rata Rata-rata FH RE PM DKH RE PNRE PPRE 3,87 3,85 4,21 4,20 3,62 3,77 3,45 3,55 3,73 4,50 4,55 3,93 3,94 3,85 3,74 3,84 4,60 4,88 4,15 3,84 3,97 4,84 4,31 5,00 3,66 3,73 4,47 4,00 2,83 3,17 2,98 3,51 2,80 2,71 2,73 3,39 4,06 4,16 3,05 4,15 3,88 3,95 3,73 3,97 4,11 3,24 4,02 3,39 3,82 3,62 4,21 4,47 2,90 3,90 4,00 3,94 2,63 2,95 3,54 3,65 3,01 2,25 2,82 2,97 4,37 4,68 3,16 3,81 3,87 3,84 3,72 3,86 3,80 3,12 2,89 3,72 3,35 4,09 3,91 5,00 3,13 1,52 2,83 2,94 3,39 3,27 3,96 2,49 2,90 3,54 3,56
Keterangan : 1= Sangat tidak setuju; 2= Tidak setuju; 3= Cukup setuju; 4= Setuju; 5= Sangat setuju; FH= Fungsi hutan; RE= Restorasi ekosistem; PM= Peran masyarakat; DKH= Dampak kerusakan hutan; PNRE= Pertanyaan negatif tentang restorasi ekosistem; dan PPRE= Pertanyaan positif tentang restorasi ekosistem.
Tabel 10 menjelaskan persepsi responden Batin Sembilan, Sako Suban dan Tanjung Sari berdasarkan jenis pekerjaan yang dimiliki masing-masing responden. Secara umum, pekerjaan mempengaruhi persepsi yang diberikan oleh responden Batin Sembilan, tetapi pekerjaan tidak mempengaruhi persepsi yang diberikan responden Sako Suban dan Tanjung Sari. Persepsi responden Batin Sembilan terhadap manfaat ekologi umumnya positif. Nilai rata-rata yang tergolong tinggi menunjukkan responden cenderung setuju bahkan sangat setuju apabila hutan rusak maka fungsi hutan akan terganggu. Fungsi hutan yang dimaksud yaitu sebagai tempat penyimpanan dan persediaan cadangan air, persediaan dan penyimpanan udara segar, satwa liar dan tumbuhan, mencegah bencana banjir dan longsor. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya dalam mengatasi permasalahan yang ditimbulkan dari kerusakan hutan,
48
maka dilakukan proyek bersama dalam rangka pemulihan kawasan hutan yang rusak supaya berfungsi sebagaimana mestinya. Kegiatan restorasi ekosistem dapat menjadi salah satu upaya atau solusi untuk mengatasi masalah tersebut dan responden cenderung setuju dengan pernyataan bahwa kegiatan restorasi ekosistem merupakan salah satu upaya dalam memulihkan kondisi hutan yang rusak sehingga dapat kembali berfungsi sesuai peruntukkannya. Responden mendukung kegiatan restorasi dengan bersedia apabila dilibatkan dalam kegiatan tersebut, karena seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa responden Batin Sembilan menganggap hutan sebagai tempat tinggal sehingga menjaga kelestarian hutan menjadi salah satu tugas bagi masyarakat Batin Sembilan. Nilai rata-rata yang diperoleh pada persepsi masyarakat terhadap peran serta masyarakat dalam melestarikan hutan juga menunjukkan bahwa pekerjaan mempengaruhi persepsi responden Batin Sembilan. Nilai rata-rata tersebut menunjukkan bahwa semakin rendah tingkat ketergantungan dari suatu pekerjaan yang dimiliki responden maka semakin tinggi nilai rata-rata yang diperoleh dan semakin positif persepsi yang diberikan. pernyataan tersebut berbanding terbalik, karena diasumsikan bahwa responden dengan pekerjaan yang memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap hutan dan sumberdayanya maka responden akan semakin waspada untuk setiap program yang masuk dari perusahaan yang bersangkutan. Namun, apabila program atau kegiatan dari perusahaan sesuai dengan karakteristik masyarakat maka akan lebih mudah bagi masyarakat untuk mendukung dan ikut terlibat demi kelancaran kegiatan tersebut. Menurut responden Batin Sembilan, apabila terjadi kerusakan hutan maka sangat berpengaruh terhadap pekerjaan masyarakat Batin Sembilan. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai rata-rata yang tergolong tinggi yang menunjukkan responden cenderung setuju bahkan sangat setuju apabila terjadi kerusakan hutan maka sumberdaya hutan yang menjadi sumber utama kehidupan mengalami penurunan. Masalah itu juga dapat mengakibatkan kebutuhan hidup tidak terpenuhi dan sulitnya memperoleh pekerjaan lain selain memanfaatkan sumberdaya yang ada di hutan. Oleh karena itu, responden juga cenderung menyatakan setuju bahwa kegiatan restorasi ekosistem dapat membantu masyarakat Batin Sembilan dalam mengatasi masalah yang ditimbulkan karena
49
kerusakan hutan. Kegiatan penanaman menjadi fokus dari kegiatan restorasi ekosistem dan jenis yang ditanam yaitu jenis pohon hutan yang umumnya dapat dimanfaatkan masyarakat, dua diantaranya yaitu karet dan jelutung yang biasa disadap getahnya oleh masyarakat Batin Sembilan. Kegiatan penanaman tersebut menjadi salah satu kegiatan yang sangat diharapkan masyarakat Batin Sembilan, selain pembuatan peta partisipatif yang sudah dijelaskan sebelumnya. Selain itu, responden juga setuju dan bersedia jika dilibatkan dalam kegiatan tersebut sebagai tenaga kerja karena dengan demikian terdapat peluang pekerjaan yang baru dan dianggap lebih baik dari pekerjaan sebelumnya. Selain persepsi terhadap peran masyarakat, nilai rata-rata yang diperoleh untuk persepsi responden terhadap pertanyaan positif dari restorasi ekosistem juga memperlihatkan adanya pengaruh dari pekerjaan yang dimiliki responden. Nilai rata-rata tersebut menunjukkan bahwa semakin rendah tingkat ketergantungan dari suatu pekerjaan terhadap hutan maka semakin tinggi nilai rata-rata yang diperoleh dan semakin positif persepsi yang diberikan. Hal ini dikarenakan responden yang memiliki pekerjaan dengan tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap hutan maka lebih sulit untuk menerima kegiatan restorasi ekosistem yang cukup membatasi pekerjaan masyarakat terutama sebagai penyadap getah, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pihak PT REKI menghimbau masyarakat untuk tidak menyadap getah balam. Himbauan tersebut dipenuhi dan dipatuhi oleh masyarakat, namun pendapatan masyarakat menjadi berkurang. Oleh karena itu, responden yang mewakili masyarakat menyatakan cukup setuju bahwa kegiatan restorasi diterima dan bermanfaat bagi masyarakat karena umumnya responden belum merasakan secara langsung manfaat yang dapat diperoleh dari kegiatan ini. Bagi responden yang memiliki pekerjaan yang tidak tergantung pada hutan cenderung setuju dengan dilakukannya kegiatan restorasi ekosistem, karena pada dasarnya kegiatan tersebut tidak akan mengganggu pekerjaan yang dimiliki responden. Bahkan kegiatan ini diharapkan dapat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat Batin Sembilan. Tabel 10 menjelaskan bahwa pekerjaan yang dimiliki responden Sako Suban tidak mempengaruhi persepsi yang diberikan terhadap kegiatan restorasi ekosistem yang dilakukan PT REKI. Nilai rata-rata yang diperoleh tidak ada yang
50
menunjukkan bahwa semakin rendah tingkat ketergantungan dari suatu pekerjaan terhadap hutan maka semakin tinggi nilai rata-rata yang diperoleh dan semakin positif persepsi yang diberikan. Responden dengan pekerjaan yang berbeda-beda umumnya memperoleh nilai rata-rata yang beragam. Umumnya responden Sako Suban cenderung menyatakan cukup setuju terhadap manfaat ekologi yang terkait dengan fungsi hutan. Responden memberikan persepsi demikian dikarenakan belum merasakan secara langsung dan nyata bahwa kerusakan hutan dapat berdampak buruk pada fungsi hutan yang sebenarnya. Responden masih menganggap bahwa hutan yang menjadi salah satu sumber mata pencaharian masyarakat Sako Suban kondisinya masih baik dan tidak terjadi perubahan. Hanya responden yang bekerja sebagai petani yang cenderung menyatakan setuju bahwa kerusakan hutan dapat berdampak buruk bagi kehidupan. Pada dasarnya, responden yang diwawancarai menyadari dan mengetahui permasalahan tersebut, tetapi responden umumnya masih kurang peduli dan seolah tidak ingin tahu adanya permasalahan tersebut. Namun demikian, responden cenderung setuju dengan dilakukannya kegiatan restorasi ekosistem, maka masalah-masalah yang diuraikan sebelumnya dapat teratasi. Nilai rata-rata persepsi responden terhadap peran serta masyarakat menunjukkan
bahwa
responden
juga
cenderung
setuju
apabila
dalam
memanfaatkan hasil hutan harus didasarkan pada peraturan supaya hutan tetap terjaga kelestariannya. Menurut responden, kelestarian hutan merupakan salah satu tanggung jawab masyarakat. Namun, responden yang bekerja sebagai penebang kayu cenderung menyatakan cukup setuju karena responden belum dapat menerima sepenuhnya apabila dalam memanfaatkan hasil hutan terdapat peraturan yang diberlakukan sehingga dalam menjalankan pekerjaannya terdapat suatu batasan-batasan. Batasan tersebut memungkinkan dapat merugikan responden yang memiliki pekerjaan sebagai penebang kayu liar di dalam hutan. Terkait dengan manfaat ekonomi dari restorasi ekosistem, responden sempat memberikan pernyataan bahwa responden mendukung kegiatan restorasi ekosistem dengan tidak melakukan penebangan kayu lagi, namun responden menginginkan pekerjaan sebelumnya sebagai penebang kayu dialihkan ke pekerjaan yang lain. Jika pekerjaan tersebut dialihkan ke pekerjaan yang
51
memanfaatkan hasil hutan buka kayu seperti memanen madu hutan, responden mengharapkan adanya perhatian dan bantuan dari pihak PT REKI berupa perlengkapan pengaman untuk melindungi diri ketika memanen madu yang terdapat pada pohon sialang. Kerusakan hutan tidak cukup mempengaruhi kehidupan perekonomian masyarakat Sako Suban. Oleh karena itu, pada Tabel 10 dijelaskan bahwa nilai rata-rata yang diperoleh responden untuk manfaat ekonomi dari restorasi khususnya mengenai dampak kerusakan hutan terhadap perekonomian masyarakat tergolong sedang. Seluruh responden cenderung cukup setuju bahwa kerusakan hutan dapat berdampak buruk bagi kehidupan perekonomian masyarakat Sako Suban, namun dampak buruk tersebut tidak berpengaruh besar terhadap kehidupan perekonomian masyarakat. Hal ini dikarenakan sebagian besar responden memiliki pekerjaan yang tidak memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap hutan, walaupun banyak responden yang bekerja sebagai petani. Para petani tersebut awalnya memang sangat tergantung pada lahan hutan untuk dijadikan sebagai perkebunan. Oleh karena itu, saat ini umumnya responden sudah menggantungkan hidupnya pada perkebunan yang dimiliki walaupun sebagian besar lahan perkebunan yang dimiliki responden statusnya milik seorang pengusaha bahkan juga milik PT REKI. Permasalahan tenurial yang terjadi dapat diatasi salah satunya dengan melakukan kesepakatan antara masyarakat dengan pihak perusahaan yang bersangkutan. Bentuk kesepakatan yang dibuat dapat berdasarkan tujuan dari perusahaan dan tipe perkebunan masyarakat. Dua hal tersebut dapat diselaraskan, apabila memang dari kedua belah pihak menginginkan seperti itu. Selain itu, responden juga sempat menyatakan bahwa masyarakat Sako Suban berharap kepala desa beserta pihak perusahaan bersama-sama membuat tata batas yang jelas supaya masyarakat tidak resah dengan status lahan yang dimiliki sekarang karena ada beberapa masyarakat yang lahannya overlap dengan lahan perusahaan. Hal tersebut dapat diatasi salah satunya proses jual beli lahan lebih diperjelas, kepala desa sangat berperan penting dalam hal ini karena menurut responden proses jual beli lahan dilakukan melalui kepala desa. Penguatan kelembagaan juga dapat menjadi salah satu program untuk mengatasi masalah tersebut.
52
Persepsi responden terhadap manfaat sosial dari restorasi ekosistem baik persepsi terhadap pertanyaan negatif maupun pertanyaan positif (Lampiran 1 bagian C), terlihat adanya konsistensi dari responden dalam memberikan persepsi terhadap kegiatan restorasi ekosistem oleh PT REKI. Responden umumnya menerima adanya kegiatan restorasi ekosistem yang diharapkan dapat bermanfaat bagi kehidupan sosial masyarakat Sako Suban dan merupakan upaya yang baik dilakukan dalam pemulihan kondisi kawasan hutan. Namun, sebagian kecil responden masih ada yang menyatakan cukup setuju bahkan setuju bahwa kegiatan restorasi ekosistem tidak diterima oleh masyarakat karena dapat memberikan dampak yang buruk bagi masyarakat. Pernyataan tersebut berdasarkan pengalaman responden selama berinteraksi dengan masyarakat lainnya dan menyampaikan persepsi masyarakat lainnya mengenai penolakan terhadap kegiatan restorasi ekosistem. Penolakan tersebut umumnya diungkapkan masyarakat yang memiliki pekerjaan yang bertentangan dengan tujuan utama dari kegiatan restorasi ekosistem. Persepsi responden terhadap kegiatan restorasi ekosistem selain yang telah diuraikan sebelumnya, persepsi responden juga diberikan berdasarkan pada harapan masyarakat Sako Suban secara umum bahwa dengan dilakukannya kegiatan restorasi ekosistem maka pihak PT REKI dapat memenuhi janji mengenai bantuan berupa bibit karet seperti yang sudah disosialisasikan pada masyarakat Sako Suban. Menurut responden, hal tersebut belum dipenuhi oleh pihak PT REKI sehingga mengakibatkan masyarakat cukup kecewa. Masyarakat sudah memenuhi hal yang diminta oleh pihak PT REKI yaitu penyediaan lahan untuk menyimpan bibit karet, tetapi pihak PT REKI belum memenuhi bantuan yang dijanjikan. Dalam memberikan bantuan pada masyarakat memang harus melalui tahapan-tahapan yang sudah menjadi prosedur atau peraturan perusahaan. Oleh karena itu, diperlukan persiapan yang matang sebelum melakukan sosialisasi supaya tidak terjadi kesalahan dalam penyampaian informasi pada masyarakat yang dapat menyebabkan kesalahpahaman di masyarakat sehingga menimbulkan kekecewaan. Walaupun demikian, responden tetap berharap pada pihak perusahaan untuk memenuhi janji dengan memberikan bantuan tersebut.
53
Tabel 10 juga menjelaskan responden Tanjung Sari yang terbagi pada tiga jenis
pekerjaan
saja,
yaitu
responden
yang
bekerja
sebagai
petani,
wiraswasta/pedagang dan pegawai. Pekerjaan sebagai petani terutama petani sawit yang mendominasi jenis pekerjaan yang dimiliki responden. Jenis-jenis pekerjaan tersebut juga tidak mempengaruhi persepsi responden terhadap kegiatan restorasi ekosistem yang dilakukan PT REKI. Responden
Tanjung
Sari
baik
yang
bekerja
sebagai
petani,
wiraswasta/pedagang dan pegawai memberikan persepsi yang baik terhadap manfaat ekologi terutama yang terkait dengan fungsi hutan. Nilai rata-rata yang diperoleh setiap responden tergolong sedang hingga tinggi. Responden cenderung setuju, kerusakan hutan dapat mengganggu fungsi hutan sebagai salah satu sumber kehidupan bagi masyarakat. Bagi sebagian masyarakat Tanjung Sari, hutan dapat berfungsi sebagai penyedia lahan untuk perkebunan (tanah), air, udara, satwa liar dan tumbuhan. Namun, memang pada dasarnya dampak buruk dari kerusakan hutan tidak dirasakan langsung oleh masing-masing responden karena pekerjaan yang responden miliki tidak tergantung pada hutan. Persepsi yang diberikan responden berdasarkan pengetahuan yang responden peroleh dari bangku sekolah, karena seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa masyarakat Tanjung Sari lebih terbuka untuk menerima informasi dari bangku sekolah maupun dari luar sekolah. Berdasarkan pengetahuan umum yang dimiliki, responden juga menyetujui apabila kegiatan restorasi ekosistem dilakukan, maka akan memberikan manfaat yang baik karena kegiatan tersebut bertujuan untuk memulihkan kondisi kawasan hutan yang rusak. Kegiatan restorasi juga diharapkan dapat mengatasi permasalahan yang ditimbulkan karena terjadinya kerusakan hutan yang disebabkan penebangan pohon secara liar dan berlebihan, serta pemanfaatan sumberdaya hutan lainnya seperti satwa liar dan tumbuhan secara berlebihan. Umumnya responden Taanjung Sari bersedia untuk mendukung dan ikut serta apabila dilibatkan dalam kegiatan restorasi yang dilakukan PT REKI. Namun, sebelumnya responden berharap PT REKI melakukan sosialisasi dan pendekatan terlebih dahulu kepada masyarakat untuk mempermudah dalam penyampaian informasi. Salah seorang perangkat desa juga sempat menyatakan
54
bahwa untuk melakukan sosialisasi pada masyarakat tidak hanya dengan membuka lowongan pekerjaan saja, karena hanya sedikit orang dari masyarakat yang mampu dan diterima untuk bekerja. Sosialisasi juga tidak dilakukan secara konvoi dari pihak PT REKI, karena hal tersebut hanya akan menakuti masyarakat. Tingkat interaksi antara pihak PT REKI dengan masyarakat Tanjung Sari memang tidak tinggi dan belum terjalin hubungan yang baik. Hal tersebut sempat terungkap dari jawaban untuk satu pertanyaan yang sama yang diberikan kepada salah seorang perangkat desa dan pihak PT REKI. Jawaban yang diberikan tidak sesuai satu sama lain. Pernyataan tersebut memang wajar apabila diungkapkan karena memang belum terjalinnya suatu hubungan yang baik. Selain itu, dikarenakan sempat ada warga Tanjung Sari yang bermasalah dengan pihak PT REKI sehingga ini menjadi kendala juga dalam proses sosialisasi. Oleh karena itu, perlu dilakukan persiapan yang matang untuk melakukan sosialisasi dan pendekatan pada masyarakat yang disesuaikan dengan karakteristik masyarakat setempat. Sebagian besar responden Tanjung Sari tidak merasakan langsung dampak buruk dari kerusakan hutan pada kehidupan perekonomian. Oleh karena itu, responden cenderung menyatakan cukup setuju dengan nilai rata-rata yang tergolong sedang yaitu 3,12 (petani), 3,13 (wiraswasta/pedagang) dan 2,49 (pegawai). Responden cukup setuju bahwa kerusakan hutan dapat berdampak buruk pada kehidupan perekonomian masyarakat yang memiliki pekerjaan yang bergantung pada hutan dan sumberdayanya, tetapi tidak mempengaruhi perekonomian responden. Pada dasarnya memang pekerjaan yang dimiliki responden tidak berhubungan dengan hutan. Namun demikian, responden memberikan pernyataan bahwa responden cenderung cukup setuju dengan dilakukannya kegiatan restorasi ekosistem maka dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, karena dengan adanya kegiatan tersebut yang dilakukan oleh suatu perusahaan maka akan tersedianya lapangan pekerjaan yang baru bagi masyarakat yang memang membutuhkannya. Akan tetapi, bagi responden yang bekerja sebagai wiraswasta/pedagang, kegiatan restorasi tidak dapat meningkatkan kehidupan perekonomian. Oleh karena itu, responden yang bersangkutan menyatakan tidak setuju dengan nilai rata-rata yang tergolong rendah yaitu 1,52.
55
Responden tidak setuju karena memang pekerjaan responden sama sekali tidak ada hubungannya dengan hutan, sehingga dengan dilakukannya kegiatan restorasi juga tidak akan mempengaruhi pada peningkatan pendapatannya. Terkait dengan persepsi responden terhadap manfaat sosial dari restorasi ekosistem (Lampiran 1 bagian C), umumnya responden Tanjung Sari belum dapat mengatakan bahwa kegiatan restorasi ekosistem ini diterima atau tidak oleh masyarakat, sesuai atau tidak dengan nilai-nilai budaya masyarakat, bermanfaat atau tidak bagi kehidupan sosial masyarakat dan masyarakat dapat memperoleh keuntungan atau justru kerugian dengan adanya kegiatan ini. Hal tersebut dikarenakan pada dasarnya kegiatan restorasi ekosistem belum dilakukan di wilayah sekitar Desa Tanjung Sari dan pihak PT REKI juga belum melakukan sosialisasi pada masyarakat Tanjung Sari. Oleh karena itu, masyarakat khususnya yang menjadi responden belum mengetahui secara jelas tujuan dan pentingnya restorasi ekosistem. Akan tetapi, apabila kegiatan tersebut dilakukan dan tidak menimbulkan pengaruh yang negatif pada masyarakat maka masyarakat akan mendukung berjalannya kegiatan restorasi tersebut.
5.2.3 Persepsi Masyarakat Berdasarkan Tingkat Pendapatan Tingkat pendapatan masyarakat yang diukur, yaitu mulai dari tingkat pendapatan terendah < Rp 50.000 sampai yang tertinggi > Rp 1.000.000. Sebagian besar tingkat pendapatan responden Batin Sembilan dan Tanjung Sari tergolong sedang, sedangkan pendapatan responden Sako Suban tergolong sedang hingga tinggi. Pendapatan yang tinggi yang diperoleh responden Sako Suban pada umumnya yaitu responden yang bekerja sebagai penebang kayu. Tabel 11 menjelaskan tingkat persepsi masyarakat berdasarkan pendapatan.
56
Tabel 11 Tingkat Persepsi Masyarakat Berdasarkan Pendapatan Masyarakat
Batin Sembilan
Sako Suban
Tanjung Sari
Pendapatan/Bulan
Jumlah Responden (orang)