TESIS
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WISATAWAN DALAM PASOKAN JASA PARIWISATA OLEH BIRO PERJALANAN WISATA
PRINCESS INNEZ PRIMANTARA NIM : 1390561024
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
TESIS
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WISATAWAN DALAM PASOKAN JASA PARIWISATA OLEH BIRO PERJALANAN WISATA
PRINCESS INNEZ PRIMANTARA NIM : 1390561024
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 i
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WISATAWAN DALAM PASOKAN JASA PARIWISATA OLEH BIRO PERJALANAN WISATA
Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Pada Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana
PRINCESS INNEZ PRIMANTARA NIM : 1390561024
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 ii
LEMBAR PENGESAHAN
TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 15 APRIL 2015
Pembimbing I
Pembimbing II
Prof. Dr. Ida Bagus Wyasa Putra, SH., M.Hum
Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, SH., M.Hum
NIP. 196207311988031003
NIP. 195803211986021001
Mengetahui, Ketua Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum
Direktur Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Universitas Udayana
Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH., M.Hum., LLM.
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S (K)
NIP. 196111011986012001
NIP. 195902151985102001
iii
Tesis Ini Telah Diuji Pada 14 April 2015
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana Nomor 968/UN.14.4/HK/2015 Tanggal 7 April 2015
Ketua
: Prof. Dr. Ida Bagus Wyasa Putra, SH, M.Hum
Sekretaris
: Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, SH, M.Hum
Anggota
: 1. Dr. I Wayan Wiryawan, S.H., M.H. 2. Dr. Desak Putu Dewi Kasih, S.H., M.Hum. 3. Dr. I Made Udiyana, S.H., M.H.
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT Yang bertandatangan di bawah ini : Nama
: Princess Innez Primantara
Program Studi
: Ilmu Hukum
Judul Tesis
: Perlindungan Hukum Terhadap Wisatawan Dalam Pasokan Jasa Pariwisata Oleh Biro Perjalanan Wisata
Dengan ini menyatakan bahwa Karya Ilmiah Tesis ini bebas Plagiat. Apabila dikemudian hari terbukti Plagiat dalam karya penulis ini, maka saya bersedia menerima sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Mendiknas RI Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
Denpasar, 14 April 2015 Yang menyatakan,
Princess Innez Primantara
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Om Swastiastu, Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan bimbinganNya akhirnya penulis dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WISATAWAN DALAM PASOKAN JASA PARIWISATA OLEH BIRO PERJALANAN WISATA”. Penyusunan Tesis ini merupakan salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar Magister Hukum pada Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana. Dalam penyusunan tesis ini, penulis banyak mendapat bantuan dan dukungan moral dari berbagai pihak. Karena itu, melalui kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada : 1. Bapak Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD, KEMD, Rektor Universitas Udayana, yang dengan segala kebijakannya banyak membantu dalam memperlancar proses pendidikan; 2. Ibu Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S (K), Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana; 3. Ibu Dr. Ni Ketut Supasti Darmawan, S.H., M.H., LLM, Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, atas segala kebijakannya untuk dapat membantu memperlancar proses pendidikan;
vi
4. Bapak Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, SH, MH, Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana; 5. Ibu Dr. Ni Ketut Sri Utari, S.H, M.H., Pembimbing Akademik yang telah membimbing penulis selama menjalani masa perkuliahan; 6. Bapak Prof. Dr. Ida Bagus Wyasa Putra, SH, MH., Dosen Pembimbing I yang selalu memberikan motivasi dan arahan yang sangat bermanfaat untuk proses penyelesaian tesis ini; 7. Bapak Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, SH, MH, Dosen Pembimbing II yang selalu memberikan motivasi dan arahan yang sangat bermanfaat untuk proses penyelesaian tesis ini; 8. Para Penguji Bapak Dr. I Wayan Wiryawan, S.H., M.H.,, Bapak Dr. I Made Udiyana, S.H., M.H.,, dan Ibu Dr. Desak Putu Dewi Kasih, S.H., M.H., atas masukan-masukan yang sangat berguna bagi penulis untuk menyempurnakan tesis ini; 9. Dosen-Dosen pada Program Studi Magister Hukum Universitas Udayana, khususnya konsentrasi Hukum Bisnis dan Pariwisata yang telah banyak memberikan ilmu serta wawasan lebih kepada penulis; 10. Staff Tata Usaha Program Studi Magister Hukum dan Staff Perpustakaan Pascasarjana Universitas Udayana, yang telah membantu dalam
hal
pengurusan
administrasi
selama
penulis
mengikuti
perkuliahan dan penyusunan tesis ini; 11. Orang Tua saya, Putu Indra Primantara dan Evy Rossy Primantara, kakak Kevin Doddy Primantara, S.H., serta adik-adik saya William
vii
Agung Primantara dan Richad Krishnadana Primantara yang telah memberikan dukungan serta doa selama penyelesaian tesis ini; 12. Sahabat saya Ni Made Rahayu Dwikayani, S.E., yang selalu memberikan motivasi untuk penyelesaian tesis ini. 13. Teman-teman seperjuangan angkatan 2013 Magister Hukum, khususnya konsentrasi Hukum Pariwisata yang telah memberikan dukungan kepada penulis, Agus, Eva, Gung Rian, Andika, Sukma, Intan, Ditha, Milla, serta teman-teman lain Angkatan 2013 yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu per satu. 14. Rekan-rekan kerja di Avilla Hospitality Manajemen & Development, yang sudah memberikan motivasi dan semangat kepada penulis untuk dapat segera menyelesaikan tesis ini, yaitu Mbak Wulan, Vadilla, Ayu Sudiani, dan khususnya kepada atasan saya Pak Herry Antolis, Pak Paulus Budiharto dan Kak Jiesta Sudibya. 15. Semua pihak yang telah menjadi narasumber, dari H.I.S Tour & Travel, Rama Duta Tour & Travel, Bayu Buana Travel Management, Melali Bali, ASITA Bali, dan Badan Penanaman Modal dan Perijinan Terpadu Provinsi Bali, atas waktu dan informasinya, sehingga penelitian tesis ini dapat selesai dengan baik. Penulis berharap para pembaca mendapatkan informasi yang berguna dari apa
yang
telah
penulis
uraikan
dalam
tesis
ini.
Penulis
menyadari
ketidaksempurnaan tesis ini, karena itu penulis mengharapkan saran berupa
viii
kritikan-kritikan ataupun pendapat lainnya sebagai bahan pertimbangan dan koreksi kedepannya. Akhir kata penulis mengucapkan Terima Kasih. Om Shanti, Shanti, Shanti, Om Denpasar, April 2015
Penulis
ix
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi konstruksi norma pengaturan standar keamanan dan keselamatan wisatawan dalam pasokan jasa pariwisata oleh Biro Perjalanan Wisata dan mengetahui kesiapan Biro Perjalanan Wisata dalam melaksanakan peraturan perlindungan wisatawan dalam pasokan jasa pariwisata oleh Biro Perjalanan Wisata. Penelitian ini adalah penelitian hukum empiris. Data dan sumber data yang digunakan adalah data primer, yang berasal dari biro perjalanan wisata yang berada di sekitar Denpasar dan Badung, sedangkan data sekunder yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah Teknik Studi Dokumen dan Teknik Wawancara, dengan Teknik Pengambilan sampel atas populasi penelitian yang digunakan adalah Teknik Non Probability Sampling. Adapun analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analisis Data Kualitatif. Terhitung sejak tanggal 11 April 2014, Pemerintah telah menetapkan peraturan tentang Standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata melalui Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014. Hal ini memungkinkan adanya masalah standarisasi Biro Perjalanan Wisata sebagaimana ditentukan didalam peraturan menteri, dan kendala yang dialami oleh Biro Perjalanan Wisata untuk memenuhi standarisasi. Berkaitan dengan hal tersebut, maka perlu adanya kajian lebih dalam tentang pelaksanaan perlindungan hukum yang dilakukan oleh biro perjalanan wisata, setelah adanya peraturan menteri tersebut.
Kata kunci : Biro Perjalanan Wisata, Standarisasi, Perlindungan Hukum, Hak-hak Wisatawan.
x
ABSTRACT
The Purpose of this research is identify the construction of norms about security and safety standard of tourist in the supply of tourism services by Tour Operator and the readiness of Tour Operator in implementing tourists protection regulations in the supply of tourism services by Tour Operator. The research method employed in this research is empirical legal research. Data and sources of data used are primary data, which derives from Tour Operator located around Denpasar and Badung, while secondary data used consisted of primary legal materials, secondary, and tertiary. Data collection techniques used are Documents Study Techniques and Interview Techniques, with the sampling technique used on the population is Non-Probability Sampling Techniques. The analysis used in this research is the Qualitative Data Analysis. As from April 11, 2014, the Government has set rules on Standards Service of Business Travel through Regulation of the Minister of Tourism and Creative Economy Number 4 of 2014. This allows for Tour Operator standardization problem as provided in the ministerial regulations, and constraints experienced by the Tour Operator to fulfill that standardization. In this regard, it is necessary to study more about the implementation of the protection of the law by a Tour Operator, after the ministerial regulation.
Keywords : Tour Operator, Standardization, Legal Protection, Traveler's rights.
xi
RINGKASAN Tesis yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Wisatawan Dalam Pasokan Jasa Pariwisata Oleh Biro Perjalanan Wisata” ini, terdiri dari 5 bab. Bab I adalah Bab Pendahuluan yang berisi tentang Latar Belakang, Rumusan Masalah, Ruang Lingkup Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Orisinalitas Penelitian, Landasan Teoritis, dan Metode Penelitian. Dalam latar belakang, dijelaskan bahwa penelitian ini didasari oleh ditetapkannya Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata tanggal 11 April 2014. Mengingat baru ditetapkannya peraturan menteri ini, maka dianggap perlu untuk mengidentifikasi konstruksi norma pengaturan standar keamanan dan keselamatan wisatawan dalam pasokan jasa pariwisata oleh Biro Perjalanan Wisata dan mengetahui kesiapan Biro Perjalanan Wisata dalam melaksanakan peraturan perlindungan wisatawan dalam pasokan jasa pariwisata oleh Biro Perjalanan Wisata. Penelitian ini adalah penelitian hukum empiris dengan sifat penelitian deskriptif. Adapun teori yang digunakan untuk menganalisa permasalahan tersebut adalah teori hukum murni, teori tanggung jawab, teori perlindungan hukum, dan teori efektifitas hukum. Bab II merupakan bab yang memuat tinjauan umum tentang perlindungan hukum terhadap wisatawan yang dilakukan oleh biro perjalanan wisata. Secara khusus, dalam bab ini dibahas tentang Konsep dan Pengaturan Perlindungan Hukum oleh Pelaku Usaha Wisata, Konsep dan Pengaturan Biro Perjalanan Wisata, dan Konsep dan Pengaturan Hak-Hak Wisatawan Atas Perlindungan Hukum. Bab III merupakan bab yang memuat tentang pembahasan atas rumusan masalah pertama, yaitu konstruksi norma pengaturan standar keamanan dan keselamatan wisatawan dalam pasokan jasa pariwisata oleh biro perjalanan wisata. Pada intinya dalam bab ini menguraikan secara jelas tentang norma-norma yang diatur dalam Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 4 tahun 2014 tentang standar usaha pariwisata j.o. Peraturan Menteri Pariwisata dan
xii
Ekonomi Kreatif Nomor 8 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Pariwisata Dan Ekonomi Kreatif Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata dan sanksi-sanksi yang ditentukan. Bab IV merupakan bab yang membahas tentang rumusan masalah kedua, yaitu kesiapan biro perjalanan wisata dalam melaksanakan peraturan perlindungan wisatawan dalam pasokan jasa pariwisata oleh biro perjalanan wisata. Dalam bab ini diuraikan hasil penelitian penulis terhadap kesiapan biro perjalanan wisata yang berada di sekitar denpasar dan badung, untuk memenuhi standarisasi sebagaimana diatur dalam peraturan menteri pariwisata dan ekonomi kreatif Nomor 4 Tahun 2014 tentang Standar Usaha Perjalanan Wisata. Secara lebih mendalam dibahas tentang standar usaha yang wajib dipenuhi oleh Biro Perjalanan Wisata, yang terdiri dari 3 (tiga) aspek yaitu aspek produk, yang terdiri dari 20 (duapuluh) unsur; aspek pelayanan, yang terdiri dari 7 (tujuh) unsur; dan aspek pengelolaan, yang terdiri dari 11 (sebelas) unsur. Bab V merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan akhir atas jawaban rumusan masalah yang telah disampaikan dalam bab III dan bab IV, serta disampaikan pula saran-saran yang diberikan oleh penulis kepada pihak-pihak yang berkepentingan dengan standar usaha jasa perjalanan wisata ini.
xiii
DAFTAR PUSTAKA
HALAMAN SAMPUL DALAM ……………………………………………
i
LEMBAR PENGESAHAN ………………………………………………….
ii
PERSYARATAN GELAR MAGISTER ……………………………………
iii
PERNYATAAN TELAH DIUJI …………………………………………….
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ………………………………
v
UCAPAN TERIMA KASIH ………………………………………………..
vi
ABTRAK ……………………………………………………………………
ix
ABSTRACT …………………………………………………………………
x
RINGKASAN ……………………………………………………………….
xi
DAFTAR ISI ………………………………………………………………...
xiv
PENDAHULUAN ………………………………………………
1
1.1. Latar Belakang …………………………………………………..
1
1.2. Rumusan Masalah ……………………………………………….
9
1.3. Ruang Lingkup Masalah ………………………………………...
9
1.4. Tujuan Penelitian ………………………………………………..
10
1.4.1. Tujuan Umum …………………………………………
10
1.4.2. Tujuan Khusus …………………………………………
10
1.5. Manfaat Penelitian ……………………………………………….
10
BAB I
xiv
1.5.1 Manfaat Teoritis ……………………………………….
10
1.5.2 Manfaat Praktis ………………………………………..
10
1.6. Orisinalitas Penelitian …………………………………………...
11
1.7. Landasan Teoritis ……………………………………………….
13
1.8. Metode Penelitian ……………………………………………….
20
1.8.1.
Jenis Penelitian ………………………………………..
21
1.8.2.
Sifat Penelitian ………………………………………..
21
1.8.3.
Data dan Sumber Data …………………………………
22
1.8.4.
Teknik Pengumpulan Data …………………………….
24
1.8.5.
Teknik Penentuan Sampel Penelitian ………………….
25
1.8.6.
Pengolahan dan Analisis Data …………………………
27
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WISATAWAN YANG DILAKUKAN OLEH BIRO PERJALANAN WISATA ……………………………….
28
2.1. Perlindungan Hukum oleh Pelaku Usaha ……………………….
28
2.1.1. Konsep Perlindungan Hukum …………………………
28
2.1.2 Pengaturan Perlindungan Hukum oleh Pelaku Usaha Wisata …………………………………………………
34
2.2. Konsep dan Pengaturan Biro Perjalanan Wisata …………….......
40
2.2.1. Konsep Biro Perjalanan Wisata ……………………….
40
2.2.2. Pengaturan Biro Perjalanan Wisata ……………………
49
xv
2.3. Konsep dan Pengaturan Hak-Hak Wisatawan atas Perlindungan Hukum …………………………………………………………... 2.3.1. Konsep Wisatawan …………………………………….
2.3.2.
BAB III
52
52
Pengaturan Hak-Hak Wisatawan atas Perlindungan Hukum …………………………………………………
KONSTRUKSI KEAMANAN
NORMA DAN
PENGATURAN
KESELAMATAN
58
STANDAR
WISATAWAN
DALAM PASOKAN JASA PARIWISATA OLEH BIRO PERJALANAN WISATA ………………………………………
64
3.1. Pengaturan Perlindungan Wisatawan oleh Biro Perjalanan Wisata berdasarkan Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi kreatif Nomor 4 Tahun 2014 tentang Standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata ……………………………………………….. 3.2. Sanksi
terkait
Pelanggaran
Terhadap
Peraturan
64
Menteri
Pariwisata dan Ekonomi kreatif Nomor 4 Tahun 2014 tentang Standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata …………………………. BAB IV
KESIAPAN
BIRO
PERJALANAN
MELAKSANAKAN
PERATURAN
WISATA
79
DALAM
PERLINDUNGAN
WISATAWAN DALAM PASOKAN JASA PARIWISATA OLEH BIRO PERJALANAN WISATA ……………………….
88
4.1. Standarisasi Keamanan dan Keselamatan Wisatawan Yang wajib Dipenuhi oleh Biro Perjalanan Wisata ………………………….
88
4.2. Kesiapan Biro Perjalanan Wisata dalam melaksanakan Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi kreatif Nomor 4 Tahun 2014 tentang Standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata ………………....
xvi
100
BAB V
PENUTUP
116
5.1. Simpulan ………………………………………………………… 116 5.2. Saran ……………………………………………………………. DAFTAR PUSTAKA DAFTAR INFORMAN
xvii
120
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Wisatawan, adalah sebutan bagi orang-orang yang melakukan perjalanan ke tempat-tempat tertentu dengan tujuan untuk rekreasi dalam jangka waktu tertentu. Motivasi wisatawan dalam melakukan perjalanan berbeda-beda, dimulai dari untuk menjalankan tujuan-tujuan yang bersifat rekreasi, yang perlahan berkembang menjadi untuk tujuan bisnis, menghadiri rapat atau pertemuan, hingga perjalanan untuk mempelajari keunikan suatu tempat. Berdasarkan sejarahnya, manusia melakukan perjalanan karena keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Perjalanan identik dengan kegiatan untuk bersenang-senang yang dilakukan dalam waktu tertentu. Selain bersenang-senang, kegiatan wisata juga identik dengan jumlah wisatawan yang banyak dan berkelompok. Sektor pariwisata merupakan salah satu sumber devisa non Migas yang cukup besar di Indonesia. Data statistik dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada Januari hingga Juli 2014 menunjukkan bahwa tingkat kunjungan wisatawan mancanegara melalui 19 pintu masuk utama, sebesar 5.328.732 dengan pertumbuhan sebesar 9.37%. Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa pada bulan Juli 2014, kunjungan wisatawan tertinggi adalah melalui Bandara Ngurah Rai, Bali dengan tingkat kunjungan sebesar 358.907, yang selanjutnya diikuti dengan Bandara
Soekarno
Hatta
dengan
jumlah
1
kunjungan
sebesar
169.135.1
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, 2014, Jumlah Kunjungan Wisatawan Mancanegara Menurut Pintu Masuk dan Kebangsaan Bulan Juli 2014,
1
2
Bertambahnya tingkat kunjungan wisatawan ini, berdampak pada timbulnya permintaan-permintaan berupa jasa pariwisata yang disediakan oleh masyarakat di sekitar tempat kunjungan wisata.2 Industri Pariwisata dapat dipandang sebagai sebuah sub sistem dari sistem pariwisata secara keseluruhan. Struktur Industri Pariwisata dimulai dari travel generating region, dari mana calon wisatawan akan merencanakan dan memulai perjalanan wisatanya. Hal ini berlaku apabila calon wisatawan tersebut mencari jasa perjalanan pariwisata yang ada di negaranya untuk merencanakan suatu perjalanan wisata. Sub sistem industri pariwisata akan berlanjut sepanjang tempat/jalur transit yang mencakup pelayanan maskapai penerbangan dan akomodasi selama transit penerbangan.3 Berdasarkan sistem tersebut, maka dapat dilihat bahwa pentingnya keberadaan suatu usaha jasa perjalanan wisata dalam Industri Pariwisata. Dengan berwisata, merupakan cara untuk memenuhi rasa ingin tahu seseorang terhadap tempat wisata yang akan dikunjunginya. Oleh sebab itu, wisatawan sering menggunakan jasa pemandu wisata untuk memudahkan perjalanannya dalam menjelajahi tempat-tempat yang dikunjunginya tersebut. Hal itu merupakan salah satu faktor yang mendorong muncul dan berkembangnya berbagai macam usaha jasa perjalanan wisata.
http://www.parekraf.go.id/userfiles/file/Lapbul%20Juli%202014.pdf, diakses tanggal 6 September 2014. 2
Muljadi A.J., 2012, Kepariwisataan dan Perjalanan, Cetakan ke-3, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, h. 6. 3
I Gde Pitana dan I Ketut Surya Diarta, 2009, Pengantar Ilmu Pariwisata, CV. Andi Offset, Yogyakarta, h. 63.
3
Usaha Jasa Perjalanan Wisata adalah perusahaan yang kegiatannya mengurus keperluan orang yang mengadakan perjalanan baik darat, udara, maupun laut dengan cara menjadi penghubung antara perusahaan yang menyediakan fasilitas perjalanan dengan orang yang ingin melakukan perjalanan.4 Usaha Jasa Perjalanan Wisata ini terdiri dari dua jenis, yaitu Biro Perjalanan Wisata dan Agen Perjalanan Wisata. Suatu perusahaan dapat disebut sebagai Biro Perjalan Wisata apabila kegiatan utama perusahaan tersebut ditekankan pada perencanaan dan penyelenggaraan perjalanan wisata atau paket wisata atas inisiatif sendiri dan tanggung jawab sendiri dengan tujuan mengambil keuntungan dari penyelenggaraan perjalanan tersebut.5 Dalam tujuannya untuk merencanakan kegiatan perjalanan wisatawan, Biro Perjalanan Wisata sering kali mengadakan berbagai macam bentuk paket wisata untuk menarik minat wisatawan yang akan datang ke suatu daerah wisata. Paket wisata dapat diartikan sebagai suatu perjalanan wisata dengan beberapa tujuan wisata yang tersusun dari berbagai fasilitas jasa perjalanan tertentu dan terprogram dalam susunan acaranya dan dipasarkan kepada masyarakat dengan harga yang telah ditetapkan.6 Dimana paket-paket tersebut meliputi layanan akomodasi hotel, restoran, dan berbagai macam bentuk usaha wisata lainnya. Paket wisata yang sudah dibuat dengan baik dapat dipasarkan langsung oleh biro
4
I Gde Pitana dan I Ketut Surya Diarta, ibid, h. 124.
5
I Gusti Putu Bagus Sasrawan Mananda, 2011, “Studi Kelayakan Pendirian PT. Medussa Multi Bussines Center (MMBC) Sumanda Tour & Travel di Bali (Kajian Aspek Pasar Finasial)”, (tesis) Program Studi Magister (S2) Manajemen Pascasarjana Universitas Udayana, h. 48. 6
Muljadi A.J., op.cit, h. 131.
4
perjalanan wisata itu sendiri ataupun melalui agen perjalanan wisata, yang nantinya akan diperoleh imbalan berupa komisi penjualan paket wisata yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Travel Agent menduduki posisi yang amat penting dalam industri pariwisata karena Travel Agent menjadi perantara di antara perusahaan-perusahaan industri pariwisata di satu pihak dan wisatawan potensial di lain pihak. Travel Agent memiliki karakteristik utama berupa yaitu agent (agen). Berkaitan dengan hal itu, Trevor C. Atherton dan Trudie A. Atherton dalam bukunya yang berjudul Tourism, Travel and Hospitality Law, menyatakan bahwa “At common law an agent is a person who is authorized to represent or act on behalf of a second person, called a principal, to transact some business or affair between the principal and third person.”7 Travel Agent berfungsi untuk memberikan berbagai macam informasi kepada calon wisatawan mengenai daerah tujuan wisata, dokumen perjalanan, peraturan lalu lintas devisa, pakaian dan perlengkapan yang harus dibawa, memberi saran kepada calon wisatawan, menyediakan tiket, memilih akomodasi, melakukan reservasi hotel, mengatur perencanaan tour di daerah destinasi wisata.8 Seperti halnya usaha perdagangan jasa (trade in services) yaitu usaha perdagangan yang menempatkan jasa sebagai komoditi yang mencakup pengertian pelayanan dan bantuan untuk mendapatkan sesuatu atau suatu sistem yang mengorganisir kegiatan untuk memenuhi kebutuhan dasar seseorang atau 7
Trevor C. Atherton and Trudie A. Atherton, 1998, Tourism, Travel and Hospitality Law, LBC Information Services, Australia, h.239. 8
Oka, A. Yoeti, 2006, Tours and Travel Management, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 32.
5
beberapa orang9, Biro Perjalanan Wisata maupun Agen Perjalanan Wisata merupakan pihak yang memperoleh imbalan atas jasa yang diberikannya dari wisatawan. Berdasarkan data dalam Direktori 2013 Dinas Pariwisata Provinsi Bali, selama tahun 2013 terdapat 377 Biro Perjalanan Wisata di Bali, yang dibagi dalam beberapa jenis, yaitu Biro Perjalanan Wisata (BPW), Cabang Biro Perjalanan Wisata (CBPW), Biro Perjalanan Wisata MICE (BPW MICE), dan Biro Perjalanan Wisata Lanjut Usia (BPW Lanjut Usia). Keberadaan Biro Perjalanan Wisata di Bali telah diatur secara khusus dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 1 Tahun 2010 tentang Usaha Jasa Perjalanan Wisata (UJPW). Dalam Pasal 1 Angka 13 Perda ini, disebutkan bahwa usaha biro perjalanan wisata meliputi usaha penyediaan jasa perencanaan perjalanan dan/atau jasa pelayanan dan penyelenggaraan pariwisata, termasuk penyelenggaraan perjalanan ibadah. Sementara itu, dalam pasal 6 angka 1 disebutkan bahwa salah satu bentuk kegiatan Biro Perjalanan Wisata ini adalah memberikan layanan angkutan/transportasi wisata. Dalam tujuannya untuk merencanakan kegiatan perjalanan wisatawan, Biro Perjalanan Wisata sering kali mengadakan berbagai macam bentuk paket wisata untuk menarik minat wisatawan yang akan datang ke suatu daerah wisata. Paketpaket tersebut meliputi layanan akomodasi hotel, restoran, dan berbagai macam bentuk usaha wisata lainnya.
9
Ida Bagus Wyasa Putra, et.al., 2003, Hukum Bisnis Pariwisata, Refika Aditama, Bandung,
h.1.
6
Namun keberadaan paket-paket perjalanan wisata yang ditawarkan oleh BiroBiro Perjalanan Wisata ini sering kali tidak ditunjang dengan faktor perlindungan keselamatan wisatawan, yang jelas. Sangat jarang terlihat adanya perjanjian khusus yang dibuat secara tertulis antara pihak Biro Perjalanan Wisata dengan Wisatawan terkait keselamatan wisatawan itu sendiri. Padahal dalam Pasal 26 poin d Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan telah disebutkan dengan jelas bahwa Pengusaha Pariwisata berkewajiban untuk memberikan kenyamanan, keramahan, perlindungan keamanan, dan keselamatan wisatawan. Sedangkan dalam pasal 11 angka 1 Huruf a dalam Perda Provinsi Bali, hanya menyebutkan bahwa Pengusaha UJPW wajib untuk memberikan perlindungan kepada wisatawan, dalam bentuk jaminan keselamatan dan keamanan selama wisatawan tersebut berada di Bali. Maraknya kasus kecelakaan lalu lintas yang belakangan ini terjadi terhadap Bus Pariwisata, seperti yang terjadi pada Bus Pariwisata Giri Indah, tanggal 21 Agustus 2013 di Jalan Raya Puncak-Bogor, atau kasus kecelakaan Bus Pariwisata di Klatakan, Melaya, Kabupaten Jembrana tanggal 15 Desember 2012 ini, cukup menjadi contoh pentingnya keberadaan jaminan keselamatan yang diberikan oleh Biro Perjalanan Wisata terhadap wisatawannya. Sebab sejauh ini, bentuk penyelesaian dari kasus-kasus yang telah terjadi sebelumnya terlihat tidak jelas. Padahal sesungguhnya tingkat keberhasilan suatu Biro Perjalanan Wisata bergantung pada kepuasan wisatawan yang menggunakan jasa mereka. Hal ini dikarenakan layanan atau transaksi yang dilakukan adalah transaksi/pembayaran
7
atas pelayanan yang akan dinikmati kemudian (after sales services) dan berdasarkan kepercayaan wisatawan.10 Kenyataan bahwa adanya kecelakaan-kecelakaan yang timbul tersebut disebabkan oleh kurang mampunya Biro Perjalanan Wisata dalam membuat paket wisata yang tersusun dan terkelola dengan baik. Perencanaan yang matang adalah salah satu kunci penting untuk dapat menyelenggarakan suatu paket perjalanan wisata yang sukses. Pada dasarnya, proses penyusunan paket wisata ini sangat kompleks, karena harus menggabungkan beberapa produk jasa dari berbagai macam usaha pariwisata. Disamping itu, dalam produk-produk tersebut yang diutamakan adalah harga yang murah dan mampu menarik minat wisatawan, sehingga sering kali mengabaikan standarisasi terhadap keamanan dan keselamatan yang harus dipenuhi untuk dapat menjamin perlindungan kepada wisatawan. Padahal standarisasi yang jelas dan tepat merupakan salah satu instrumen penting dalam suatu perlindungan hukum. Namun terhitung sejak tanggal 11 April 2014, Pemerintah telah menetapkan peraturan tentang Standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata melalui Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014. Dalam Pasal 9 ayat 4 huruf a telah disebutkan bahwa standar usaha bagi Biro Perjalanan Wisata meliputi 3 aspek, yaitu 1. Produk, yang terdiri dari 20 unsur, 2. Pelayanan, yang terdiri dari 7 unsur, dan 3. Pengelolaan, yang terdiri dari 11 unsur. Penjelasan secara detail terkait unsur-unsur tersebut dijelaskan lebih
10
Oka A. Yoeti, op.cit, h.33.
8
lanjut dalam Lampiran Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 4 Tahun 2014. Hal ini memungkinkan adanya masalah standarisasi Biro Perjalanan Wisata sebagaimana ditentukan dalam peraturan menteri, dan kendala yang dialami oleh Biro Perjalanan Wisata untuk memenuhi standarisasi. Peraturan tersebut belum menentukan secara detail mengenai lembaga yang menguji standarisasi aspek produk, pelayanan, dan pengelolaan suatu Biro Perjalanan Wisata. Perlindungan hukum terhadap pengguna jasa pariwisata baik domestik maupun mancanegara dan para pengusaha pariwisata sangat diperlukan,11 karena dalam hukum internasional telah dinyatakan bahwa Negara wajib untuk melindungi Warga Negaranya maupun orang asing yang berada di Negaranya. Sementara itu, apabila dilihat dalam aspek ekonomi, adanya jaminan perlindungan hukum akan sangat berpengaruh pada respon pasar dalam industri pariwisata. Pariwisata merupakan salah satu andalan dalam perolehan devisa bagi pembangunan baik nasional maupun daerah. Oleh sebab itu, pembangunan pariwisata
Indonesia
harus
mampu
menciptakan
inovasi
baru
untuk
mempertahankan dan meningkatkan daya saing secara berkelanjutan.12 Adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan saran dan masukan kepada pihakpihak yang berkepentingan yaitu pemerintah dan biro-biro perjalanan wisata, agar lebih bertanggung jawab dalam mengutamakan keselamatan wisatawan sesuai
11
Violetta Simatupang, 2009, Pengaturan Hukum Kepariwisataan Indonesia, PT. Alumni, Bandung, h. 59. 12
Made Metu Dhana, 2012, Perlindungan Hukum dan Keamanan Terhadap Wisatawan, Paramita, Surabaya, h. 1.
9
dengan standarisasi yang telah ditetapkan dalam suatu peraturan. Maka berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Wisatawan Dalam Pasokan Jasa Pariwisata oleh Biro Perjalanan Wisata”. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, terdapat beberapa permasalahan yang penting untuk dibahas secara lebih lanjut. Adapun permasalahan tersebut adalah sebagai berikut : 1.
Bagaimanakah konstruksi norma pengaturan standar keamanan dan keselamatan wisatawan dalam pasokan jasa pariwisata oleh Biro Perjalanan Wisata?
2.
Bagaimanakah kesiapan Biro Perjalanan Wisata dalam melaksanakan peraturan perlindungan wisatawan dalam pasokan jasa pariwisata oleh Biro Perjalanan Wisata?
1.3. Ruang Lingkup Masalah Untuk menghindari pembahasan menyimpang dari pokok permasalahan, diberikan batasan-batasan mengenai ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas. Adapun ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut : 1.
Akan dijelaskan tentang konstruksi norma pengaturan standar keamanan dan keselamatan wisatawan dalam pasokan jasa pariwisata oleh Biro Perjalanan Wisata.
10
2.
Akan
dibahas
mengenai
kesiapan
Biro
Perjalanan
Wisata
dalam
melaksanakan peraturan perlindungan wisatawan dalam pasokan jasa pariwisata oleh Biro Perjalanan Wisata. 1.4. Tujuan Penelitian Adapun tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini, adalah : 1.4.1. Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengkaji bentuk tanggung jawab yang diberikan oleh Biro Perjalanan Wisata terhadap wisatawan. 1.4.2. Tujuan Khusus a.
Mengidentifikasi konstruksi norma pengaturan standar keamanan dan keselamatan wisatawan dalam pasokan jasa pariwisata oleh Biro Perjalanan Wisata.
b.
Mengetahui kesiapan Biro Perjalanan Wisata dalam melaksanakan peraturan perlindungan wisatawan dalam pasokan jasa pariwisata oleh Biro Perjalanan Wisata.
1.5. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini, yaitu: 1.5.1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi penelitian lainnya yang berkaitan dengan Biro Perjalanan Wisata.
11
1.5.2. Manfaat Praktis Secara Praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi saran dan masukan kepada Pemerintah maupun Biro Perjalanan Wisata, untuk lebih mengintensifkan perlindungan hukum terhadap wisatawan. 1.6. Orisinalitas Penelitian Dalam proses penyusunan penelitian ini, ditemukan beberapa jenis karya ilmiah yang sama-sama membahas tentang Biro Perjalanan Wisata namun dengan metode dan pembahasan yang berbeda, yaitu: 1.
Judul Penelitian: Pengaturan Usaha Biro Perjalanan Wisata di Provinsi Bali, oleh I Ketut Suparta, Pascasarjana Universitas Udayana Tahun Penelitian 2013. Tesis ini menggunakan metode penelitian hukum Normatif. Dalam tesis ini dibahas tentang Kewenangan Pemerintah Provinsi Bali dalam mengatur Usaha Biro Perjalanan Wisata dan Pengawasan terhadap Usaha Biro Perjalanan Wisata di Provinsi Provinsi Bali. Sementara tesis peneliti, menggunakan metode penelitian hukum empiris dengan pembahasan tentang konstruksi norma baru pengaturan perlindungan biro perjalanan wisata terhadap wisatawan dan kesiapan Biro Perjalanan Wisata dalam melaksanakan peraturan baru tentang perlindungan wisatawan oleh Biro Perjalanan Wisata.
2.
Judul Penelitian: Tinjauan Yuridis Sosiologis Perijinan Usaha Biro dan Agen Perjalanan Wisata di Kota Malang, oleh Bambang Toto Widodo, Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang Tahun 2007.
12
Tesis ini mengambil lokasi penelitian di Kota Malang. Dan membahas tentang perijinan Usaha Biro dan Agen Perjalanan Wisata di kota tersebut. Tesis ini menggunakan metode peneilitian empiris. Sedangkan Tesis penulis menggunakan metode penelitian yang sama, namun membahas lebih khusus mengenai tanggung jawab biro perjalanan wisata terhadap wisatawan. Dan disasarkan pada Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata. 3.
Judul Penelitian: Aspek Yuridis Pelaksanaan Asuransi Terhadap Wisatawan Yang Mengalami Kecelakaan Di Lingkungan Obyek Wisata, oleh Setyo Boedi Mumpuni Harso, Magister Hukum Universitas Gajah Mada, Tahun 2008. Penelitian ini membahas mengenai pelaksanaan asuransi wisatawan oleh PT. Jasa Raharja Putera di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan metode penelitian yuridis normatif. Dengan pembahasan terkait tentang faktor-faktor penghambat pelaksanaan asuransi wisatawan di Daerah Istimewa Yogyakarta, dan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya santunan terhadap wisatawan bila terjadi di lingkungan obyek wisata. Sedangkan tesis peneliti membahas tentang tanggung jawab yang diberikan oleh Biro Perjalanan Wisata terhadap wisatawan yang menggunakan jasanya. Objek kajian tesis penulis adalah Biro Perjalanan Wisata, sehingga pembahasannya tidak hanya terbatas pada asuransi, namun juga bentuk standarisasi yang harus dimiliki oleh Biro Perjalanan Wisata untuk dapat
13
memberikan perlindungan kepada wisatawan, sesuai dengan peraturan yang berlaku. 1.7. Landasan Teoritis Dalam mengkaji permasalahan yang berkaitan dengan penelitian ini, diperlukan berbagai teori yang ada relevasinya dengan penelitian ini, yaitu: A. Teori Hukum Murni Teori Hukum Murni adalah teori yang dipelopori oleh Hans Kelsen. Teori ini berusaha menelaah ilmu hukum dari dalam ilmu itu sendiri, dengan menggunakan metode ilmu hukum itu sendiri, dan dengan menghilangkan pengaruh ilmu lain dalam menganalisa hukum, dengan tujuan agar kajiannya hanya bertumpu pada jawaban atas pertanyaan apa dan bagaimana hukum itu.13 Suatu norma hukum dengan norma hukum yang lainnya semestinya tidak saling bertentangan, karena norma hukum berada pada sebuah sistem yang tersusun secara hierarkis, yang seluruhnya bersumber pada satu sistem besar yang merupakan satu norma dasar (groundnorm), yaitu konstitusi. Sementara itu, Hans Kelsen menyatakan bahwa, pertentangan antara suatu kaidah hukum dengan kaidah hukum lainnya adalah wajar terjadi, mengingat ketika berbicara dalam tataran yang lebih konkrit maka dimungkinkan adanya penafsiran antara satu sama lain.14 Selanjutnya, teori hukum murni ini dikembangkan oleh Hans Nawiasky. Dalam pengembangannya, Hans Nawiasky berpendapat bahwa norma hukum 13
Munir Fuady, 2013, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, h. 127. 14
Munir Fuady, ibid, h. 133.
14
dalam suatu Negara juga berjenjang dan bertingkat hingga membentuk suatu tertib hukum, sehingga norma yang dibawah berdasar, bersumber dan berlaku pada norma yang lebih tinggi. Norma dalam Negara itu juga membentuk kelompok norma hukum yang terdiri atas 4 (empat) kelompok besar, yaitu :15 1.
Staatfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara)
2.
Staatgrundgesetz (Aturan dasar/pokok Negara)
3.
Formellgesetz (Undang-undang)
4.
Verordnung dan Autonome Satzung (Pelaksana dan Aturan Otonom) Teori Hukum Murni ini digunakan untuk menjawab rumusan masalah
pertama, yaitu tentang konstruksi norma pengaturan standar keamanan dan keselamatan wisatawan dalam pasokan jasa pariwisata oleh Biro Perjalanan Wisata. Pengaturan tentang standar usaha jasa perjalanan wisata ini merupakan peraturan yang baru dikeluarkan oleh Pemerintah melalui Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada tanggal 11 April 2014, sehingga diperlukan adanya kajian secara mendalam terkait pasal-pasal dalam peraturan ini, untuk mengetahui tentang letak peraturan menteri ini dalam sistem hukum di Indonesia dan ada atau tidaknya norma-norma yang bertentangan, baik dalam peraturan menteri itu sendiri, ataupun dengan peraturan-peraturan lain yang ada di atasnya. B. Teori Tanggung Jawab Hukum Teori tanggung jawab hukum merupakan teori yang mengkaji dan menganalisis tentang kesediaan dari subjek hukum atau pelaku tindak pidana 15
Hoemam Fairuzy Fahmi, 2012, Teori Hans Kelsen dan Hans Nawiasky, http://www.scribd.com/doc/85318361/Teori-Hans-Kelsen-Dan-Hans-Nawiansky, diakses tanggal 7 September 2014.
15
untuk membayar sejumlah denda atau memberikan ganti rugi ataupun melaksanakan pidana atas kesalahannya maupun karena kealpaannya.16 Teori ini kemudian dikembangkan oleh Hans Kelsen, Wright, Maurice Finkelstein, dan Amad Sudiro. Tanggung jawab hukum dapat dibagi dalam tiga bidang tanggung jawab, yaitu Tanggung Jawab bidang Perdata, bidang Pidana, dan bidang Adminsitrasi. Adanya tanggung jawab dalam bidang perdata disebabkan oleh tidak dilaksanakannya suatu kewajiban oleh subjek hukum dan atau subjek hukum tersebut melakukan suatu tindakan yang melawan hukum. Pertanggungjawaban dalam bidang administrasi dapat dikenakan pada subjek hukum yang melakukan kesalahan administratif. Salah satu contohnya adalah, apabila dalam mendirikan usahanya, pelaku usaha tidak melengkapi syarat-syarat perizinan sebagaimana yang ditetapkan oleh pemerintah, maka pelaku usaha tersebut berhak untuk dinakan sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha. Sementara itu dalam bidang pidana, pelaku tindak pidana dapat diminta pertanggungjawabannya dalam bentuk penjatuhan sanksi pidana, yang terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. Menurut Hans Kelsen, tanggung jawab dibedakan menjadi dua macam, yaitu:17
16
Salim HS dan Erlies Septianan Nurbani, 2014, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi (Buku Kedua), PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disingkat Salim HS dan Erlies Septianan Nurbani I), h. 208. 17
Hans Kelsen, 2006, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, Nusa Media, Bandung, h. 95.
16
1.
Tanggung jawab yang didasarkan pada kesalahan. Tanggung jawab ini dibebankan kepada subjek hukum atau pelaku yang melakukan suatu perbuatan melawan hukum atau perbuatan pidana, yang disebabkan oleh adanya kekeliruan atau kealpaannya.
2.
Tanggung jawab mutlak. Tanggung jawab ini dibebankan kepada seseorang apabila perbuatannya menimbulkan akibat yang dianggap merugikan oleh pembuat undang-undang, dan terdapat suatu hubungan antara perbuatan dengan akibat yang ditimbulkan. Teori Tanggung Jawab Hukum dari Hans Kelsen ini berkaitan dengan
rumusan masalah pertama yang membahas tentang norma dan sanksi terhadap Biro Perjalanan wisata dalam melaksanakan Peraturan Menteri tentang Standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata. Teori ini digunakan untuk menganalisis tanggung jawab yang dapat dibebankan kepada Biro Perjalanan Wisata yang tidak mampu menjaga keamanan dan keselamatan wisatawan pengguna jasanya, yang diakibatkan oleh tidak dipenuhinya standarisasi terkait produk, pelayanan, dan pengelolaan yang telah diatur dalam Peraturan Menteri tersebut. C. Teori Perlindungan Hukum Fokus kajian Teori Perlindungan Hukum ini adalah perlindungan hukum yang diberikan kepada masyarakat, terutama masyarakat-masyarakat yang berada di posisi lemah, baik secara aspek yuridis maupun aspek ekonomis.18 Sementara itu, menurut 18
Santjipto
Raharjo,
perlindungan
hukum
adalah
“Memberikan
Salim HS dan Erlies Septianan Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disingkat Salim HS dan Erlies Septianan Nurbani II) h. 259.
17
pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hakhak yang diberikan oleh hukum.”19 Menurut Setiono, perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia.20 Menurut Muchsin, perlindungan hukum merupakan kegiatan untuk melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidahkaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama manusia.21 Hukum adalah salah satu alat untuk melindungi kepentingan manusia. Sehingga apabila dilihat berdasarkan isinya, norma hukum sangatlah berbeda dengan norma-norma lainnya. Karena dalam norma hukum, terdapat suatu perintah dan/atau larangan, serta kewajiban dan hak.
Menurut Sudikno
Mertokusumo, untuk dapat menjalankan fungsinya sebagai pelindung kepentingan manusia, hukum memiliki suatu tujuan pokok, yaitu menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Sehingga dalam mencapai tujuannya tersebut, hukum memiliki tugas untuk membagi hak
19
Santjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 54.
20
Setiono, 2004, Rule of Law (Supremasi Hukum), Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta, h. 3. 21
Muchsin, 2003, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta, h. 14.
18
dan kewajiban setiap orang dalam suatu masyarakat, membagi wewenang, dan mengatur cara memecahkan masalah hukum, serta memelihara kepastian hukum.22 Teori Perlindungan Hukum sebagaimana dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo ini, digunakan untuk menjawab rumusan masalah kedua. Sehingga dengan teori ini, akan dikaji terkait kesiapan Biro Perjalanan Wisata dalam melaksanakan peraturan menteri tentang standar usaha jasa perjalanan wisata, terkait dengan hak dan kewajiban, wewenang yang dimiliki oleh Biro Perjalanan itu sendiri maupun wisatawan pengguna jasa. D. Teori Efektivitas Hukum Teori Efektivitas Hukum adalah teori yang mengkaji dan menganalisis tentang keberhasilan, kegagalan dan faktor-faktor yang mempengaruhi dalam pelaksanaan dan penerapan hukum. Teori ini diperkenalkan oleh Bronislaw Malinowski, Lawrence M. Friedman, Soerjono Soekanto, Clearence J. Dias, Howard dan Mummers.23 Soerjono Soekanto menyajikan teori efektivitas dengan memperhatikan 5 faktor dalam penegakan hukum. Penegakan hukum merupakan kegiatan yang menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantahkan dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran
22
Salim HS dan Erlies Septianan Nurbani II, op.cit, h. 269.
23
Salim HS dan Erlies Septianan Nurbani II, op.cit, h. 303.
19
nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian dalam masyarakat.24 Berikut 5 faktor dalam penegakan hukum, yaitu: 1.
Faktor hukum atau undang-undang Hukum atau undang-undang dalam arti material merupakan peraturan tertulis
yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa pusat maupun daerah yang sah. Peraturan dibagi 2 macam, yaitu peraturan pusat yang berlaku untuk semua warga negara atau suatu golongan tertentu saja maupun yang berlaku umum di sebagian wilayah negara dan peraturan setempat hanya berlaku suatu tempat atau daerah saja. 2.
Faktor Penegak Hukum Penegak hukum adalah kalangan yang secara langsung berkecimpung dalam
bidang penegakan hukum yang tidak hanya mencakup law enforcement, akan tetapi juga mencakup peace maintenance (penegakan secara damai). Para penegak hukum, yaitu mereka yang bertugas di bidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan, dan pemasyarakatan. 3.
Faktor Sarana atau Fasilitas Sarana atau fasilitas merupakan segala hal yang dapat digunakan untuk
mendukung dalam proses penegakan hukum. Sarana atau fasilitas, meliputi tenaga kerja manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya. Kalau hal itu tidak terpenuhi, maka mustahil penegakan hukum akan mencapai tujuannya.
24
Salim HS dan Erlies Septianan Nurbani II, op.cit, h. 307.
20
4.
Faktor Masyarakat Masyarakat memiliki arti sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan
terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama. Masyarakat dalam konteks penegakan hukum erat kaitannya, di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. 5.
Faktor Kebudayaan Kebudayaan diartikan sebagai karya, cipta dan rasa yang tersebut harus
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Teori Efektivitas Hukum dari Soerjono Soekanto, digunakan untuk menjawab rumusan masalah kedua yang membahas tentang kesiapan biro perjalanan wisata dalam melaksanakan standar usaha jasa perjalanan wisata. Melalui teori ini, akan dikaji tentang bagaimana peraturan menteri ini dapat ditegakkan dengan baik. Karena kelima faktor sebagaimana disebutkan oleh Soerjono Soekanto tersebut, wajib untuk diperhatikan secara seksama dalam proses penegakan hukum, agar dapat terciptanya suatu penegakan hukum yang adil dan tepat.
1.8. Metode Penelitian Hakekat keilmuan dari ilmu hukum merupakan kajian yang menarik karena terdiri dari dua unsur yang saling berkaitan yakni fakta kemasyarakatan dan kaidah
hukum.
Disinilah
peran
metode
penelitian
hukum
mempertanggungjawabkan sifat ilmiah ilmu hukum sebagai ilmu yang mandiri. Adapun metodologi penelitian yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut :
21
1.8.1. Jenis Penelitian Jenis Penelitian yang digunakan adalah Penelitian Hukum Empiris, karena penelitian ini menyangkut tentang data25. Dimana penelitian ini beranjak dari adanya kesenjangan antara das solen dan das sein, yaitu adanya kesenjangan antara keadaan teoritis dengan fakta hukum yang terjadi dalam masyarakat. Dalam penelitian ini, kesenjangan terlihat pada adanya aturan yang menyatakan bahwa suatu usaha jasa perjalanan wisata wajib memberikan perlindungan kepada wisatawan yang menggunakan jasanya. Sementara dalam prakteknya, belum semua Biro Perjalanan Wisata memberikan perlindungan hukum yang sesuai berkaitan dengan keselamatan wisatawan yang menggunakan jasanya. Dimana paket-paket wisata yang ditawarkan terkadang belum sesuai dengan standarisasi produk yang aman diberikan kepada wisatawan. 1.8.2. Sifat Penelitian Penelitian hukum empiris menurut sifatnya dapat dibedakan menjadi Penelitian yang sifatnya eksploratif (Penjajakan atau penjelajahan), Penelitian yang sifatnya deskriptif, dan Penelitian yang sifatnya eksplanatoris. Adapun yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian yang sifatnya deskriptif. Dalam penelitian yang sifatnya deskriptif, teori-teori, ketentuan peraturan, norma-norma hukum, karya tulis yang dimuat baik dalam literatur maupun jurnal, doktrin, serta laporan penelitian terdahulu sudah mulai ada dan bahkan jumlahnya
25
Philipus M. Hadjon dan Titiek Sri Djatmiati, 2005, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, h. 2
22
cukup memadai, sehingga dalam penelitian ini hipotesis boleh ada atau boleh juga tidak. Deskriptif tersebut meliputi isi dan struktur hukum positif, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh penulis untuk menentukan isi atau makna aturan hukum yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang akan menjadi obyek kajian. 1.8.3. Data dan Sumber Data Data yang diteliti dalam penelitian hukum empiris ada dua jenis, yaitu: a.) Data Primer, adalah data yang bersumber dari penelitian di lapangan yaitu suatu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama di lapangan, yaitu baik dari responden maupun informan. Dalam penelitian ini, data primer yang digunakan adalah data yang didapat dari Biro Perjalanan Wisata yang berada di sekitar Denpasar dan Badung. b.) Data Sekunder adalah suatu data yang bersumber dari penelitian kepustakaan, yaitu data yang diperoleh tidak secara langsung dari sumber pertamanya, melainkan bersumber dari data-data yang sudah terdokumentasikan dalam bentuk bahan-bahan hukum. Bahan hukum tersebut terdiri dari : i.
Bahan Hukum Primer, yakni bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat umum, terdiri atas peraturan perundang-undangan, yurisprudensi atau putusan pengadilan, peraturan dasar, konvensi ketatanegaraan dan perjanjian internasional (traktat).
23
Menurut Peter Mahmud Marzuki,26 bahan hukum primer ini bersifat otoritatif, artinya mempunyai otoritas, yaitu merupakan hasil tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk itu. Adapun bahan hukum primer, yang berasal dari peraturan perundang-undangan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : 1.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen;
3.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan;
4.
Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata;
5.
Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata;
6.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Usaha Jasa Perjalanan Wisata.
ii. Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer27, yang dapat berupa rancangan peraturan perundang-undangan, hasil penelitian, buku-buku teks, jurnal ilmiah, surat kabar koran), pamphlet, brosur, karya tulis hukum atau
26
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, h. 144 -
154. 27
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, h. 251-262.
24
pandangan ahli hukum yang termuat dalam media massa dan berita di internet. Terkait penelitian ini maka digunakan sumber dari kepustakaan seperti bukubuku, peraturan perundang-undangan, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam media massa maupun berita di internet yang berkaitan dengan masalah yang dibahas, yaitu mengenai Perlindungan Hukum Terhadap Wisatawan Dalam Pasokan Jasa Pariwisata oleh Biro Perjalanan Wisata. iii. Bahan Hukum Tersier, atau menurut Peter Mahmud Marzuki merupakan bahan non hukum yang digunakan untuk menjelaskan, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, seperti kamus, ensiklopedi, leksikon, dan lain-lain. 1.8.4. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian hukum empiris dikenal teknik-teknik untuk mengumpulkan data,
yaitu
studi
dokumen,
wawancara,
observasi,
dan
penyebaran
quisioner/angket. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah Teknik Studi Dokumen dan Teknik Wawancara. Teknik Studi Dokumen, yaitu dalam pengumpulan bahan hukum terhadap sumber kepustakaan yang relevan dengan permasalahan yang dibahas dengan cara membaca dan mencatat kembali bahan hukum tersebut yang kemudian dikelompokkan secara sistematis yang berhubungan dengan masalah dalam penulisan penelitian ini. Untuk menunjang penulisan penelitian ini pengumpulan bahan-bahan hukum diperoleh melalui :
25
1.
Pengumpulan bahan hukum primer dilakukan dengan cara mengumpulkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah yang dibahas.
2.
Pengumpulan bahan hukum sekunder dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan yang bertujuan untuk mendapatkan bahan hukum yang bersumber dari buku-buku, rancangan undang-undang, jurnal nasional maupun asing, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam media massa maupun berita di internet yang terkait dengan permasalahan yang hendak dibahas dalam penelitian ini. Wawancara adalah proses tanya jawab dalam penelitian, yang dilakukan
secara lisan dimana dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan secara langsung
informasi-informasi
ataupun
keterangan.28
Teknik
Wawancara
merupakan salah satu teknik yang sering dan paling lazim digunakan dalam penelitian hukum empiris. Dalam kegiatan ilmiah, wawancara dilakukan bukan sekedar bertanya pada seseorang, melainkan dilakukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban yang relevan dengan masalah penelitian kepada responden maupun informan. 1.8.5. Teknik Penentuan Sampel Penelitian Sampling merupakan salah satu langkah yang penting dalam penelitian, karena sampling menentukan validitas eksternal dari suatu hasil penelitian, dengan makna bahwa menentukan seberapa besar atau sejauh mana keberlauan generalisasi hasil penelitian tersebut. Kesalahan dalam sampling akan
28
Cholid Narbuko dan H. Abu Achmadi, 2004, Metodologi Penelitian, Bumi Aksara, Jakarta,
h. 83.
26
menyebabkan kesalahan dalam kesimpulan, ramalan atau tindakan yang berkaitan dengan hasil penelitian tersebut. Populasi adalah keseluruhan dari obyek pengamatan atau obyek penelitian. Populasi dapat berupa himpunan orang, benda (hidup atau mati), kejadian, kasuskasus, waktu, aatau tempat, dengan sifat dan ciri yang sama. Sedangkan sampel adalah himpunan bagian atau sebagian dari populasi. Dalam suatu penelitian, umumnya observasi dilakukan bukan terhadap populasi melainkan terhadap sampel.29 Populasi dalam penelitian ini adalah Biro Perjalanan Wisata dan sampel dalam penelitian ini adalah Biro Perjalanan Wisata yang berada di sekitar Denpasar dan Badung. Penentuan lokasi sampel penelitian ini didasarkan pada data Direktori Pariwisata Bali 2013, yang menunjukkan bahwa hampir seluruh Biro Perjalanan Wisata yang ada di Propinsi Bali berdomisili di Daerah Kota Denpasar dan Kabupaten Badung. Secara garis besar teknik sampling dari populasi dibedakan atas dua cara, yaitu Probabilitas Sampling atau Random Sampling dan Nonprobabilitas Sampling atau Non-random sampling. Teknik Pengambilan sampel atas populasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teknik Non Probability Sampling. Dalam hal ini tidak ada ketentuan yang pasti berapa sampel yang harus diambil agar dapat dianggap mewakili populasinya. Dan bentuk Teknik Non
29
Bambang Sunggono, 2009, Metodologi Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 119.
27
Probability Sampling yang digunakan adalah Purposive Sampling, dimana penarikan sampel dilakukan berdasarkan tujuan tertentu, yaitu sampel dipilih atau ditentukan sendiri oleh peneliti yang mana penunjukan dan pemilihan sampel didasarkan pertimbangan bahwa sampel telah memenuhi kriteria dan sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang merupakan ciri utama populasinya. 1.8.6. Pengolahan dan Analisis Data Dalam penelitian ilmu hukum aspek empiris dikenal model-model analisis seperti: Analisis Data Kualitatif dan Analisis Data Kuantitatif. Adapun analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analisis Data Kualitatif. Penelitian yuridis normatif yang bersifat kualitatif adalah penelitian yang mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan serta norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Dalam analisis ini, data yang dikumpulkan adalah data naturalistik yang terdiri atas kata-kata yang tidak diolah menjadi angka-angka, data sukar diukur dengan angka, bersifat monografis atau berwujud kasus-kasus sehingga tidak dapat disusun kedalam struktur klasifikasi, hubungan antar variabel tidak jelas, sampel lebih bersifat non probabilitas, dan pengumpulan data menggunakan pedoman wawancara.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WISATAWAN YANG DILAKUKAN OLEH BIRO PERJALANAN WISATA 2.1. Konsep dan Pengaturan Perlindungan Hukum oleh Pelaku Usaha Wisata 2.1.1. Konsep Perlindungan Hukum Sebagai makhluk sosial maka sadar atau tidak sadar manusia selalu melakukan
perbuatan
hukum
(rechtshandeling)
dan
hubungan
hukum
(rechtsbetrekkingen)30. Suatu hubungan hukum akan memberikan hak dan kewajiban yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, sehingga apabila dilanggar akan mengakibatkan pihak pelanggar dapat dituntut di pengadilan.31 Tiap hubungan hukum tentu menimbulkan hak dan kewajiban, selain itu masing-masing anggota masyarakat tentu mempunyai hubungan kepentingan yang berbeda-beda dan saling berhadapan atau berlawanan, untuk mengurangi ketegangan dan konflik maka tampil hukum yang mengatur dan melindungi kepentingan tersebut yang dinamakan perlindungan hukum. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. 32 Dengan kata lain 30
R. Soeroso, 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 49.
31
Soedjono Dirjosisworo, 2001, Pengantar Ilmu Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h.
131. 32
Anonim, Perlindungan Hukum, http://statushukum.com/perlindungan-hukum.html, diakses tanggal 22 Januari 2015.
28
29
perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian Perlindungan hukum merupakan salah satu hal terpenting dalam unsur suatu negara hukum. Hal tersebut dianggap penting, karena dalam pembentukan suatu negara akan dibentuk pula hukum yang mengatur tiap-tiap warga negaranya. Dalam perkembangannya, antara suatu Negara dengan warga negaranya akan terjalin suatu hubungan timbal balik, yang mengakibatkan adanya suatu hak dan kewajiban antara satu sama lain, dan perlindungan hukum merupakan salah satu hak yang wajib diberikan oleh suatu Negara kepada warga negaranya. Perlindungan hukum selalu dikaitkan dengan konsep rechtstaat atau konsep Rule of Law karena lahirnya konsep-konsep tersebut tidak lepas dari keinginan memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Konsep Rechtsct muncul di abad ke-19 yang pertama kali dicetuskan oleh Julius Stahl.Pada saatnya hampir bersamaan muncul pula konsep negara hukum (rule of Law) yang dipelopori oleh A.V.Dicey. menurut A.V. Dicey menguraikan adanya 3 (tiga) ciri penting negara hukum yang disebut dengan Rule of Law, yaitu :33 1. Supermasi hukum, artinya tidak boleh ada kesewenang-wenangan, sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum. 2. Kedudukan yang sama didepan hukum, baik bagi rakyat biasa atau pejabat pemerintah.
33
Nuktoh Arfawie Kurdie, 2005, Telaah Kritis Teori Negara Hukum, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 19.
30
3. Terjaminnya hak-hak manusia dalam undang-undang atau keputusan pengadilan. Sehingga dapat dikatakan, jika suatu Negara mengabaikan dan melanggar hak asasi manusia dengan sengaja dan menimbulakn suatu penderitaan yang tidak mampu diatasi secara adil, maka Negara tersebut tidak dapat dikatakan sebagai suatu Negara hukum dalam arti sesungguhnya.34 Secara gramatikal, perlindungan berarti tempat untuk berlindung atau hal (perbuatan)
memperlindungi.35
Memperlindungi
adalah
menjadikan
atau
menyebabkan berlindung.36 Sedangkan Sudikno Mertokusumo mengartikan bahwa hukum adalah kumpulan peraturan dan kaedah yang mempunyai isi yang bersifat umum, karena dapat berlaku bagi setiap orang, dan normatif, karena sebagai dasar untuk menentukan apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan, ataupun apa yang harus dilakukan, serta mengatur tentang cara melaksanakan kaedah-kaedah tersebut.37 Dengan demikian, dapat diartikan bahwa perlindungan hukum adalah suatu perbuatan untuk menjaga kepentingan subyeksubyek hukum dengan peraturan-peraturan atau kaidah yang berlaku. Satjipto Raharjo mendefinisikan Perlindungan Hukum adalah Upaya melindungi kepentingan seseorang dengan cara memberikan suatu kekuasaan 34
Zulham, 2013, Hukum Perlindungan Konsumen, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h.
133. 35
Anonim, Definisi „perlindungan‟, http://www.artikata.com/arti-370785-perlindungan.html, diakses tanggal 22 Januari 2015. 36
ibid.
37
Sudikno Mertokusumo, 1991, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, h.
38.
31
kepada orang tersebut untuk melakukan tindakan yang dapat memenuhi kepentingannya.38 Sementara itu, Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa, Perlindungan Hukum adalah suatu tindakan untuk melindungi atau memberikan pertolongan kepada subyek hukum, dengan menggunakan perangkat-perangkat hukum.39 Sedangkan menurut CST Kansil, Perlindungan Hukum adalah berbagai upaya hukum yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun. Menurut Muktie A. Fadjar, Perlindungan Hukum adalah penyempitan arti dari perlindungan, dalam hal ini hanya perlindungan oleh hukum saja. Perlindungan yang diberikan oleh hukum, terkait pula dengan adanya hak dan kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh manusia sebagai subyek hukum dalam interaksinya dengan sesama manusia serta lingkungannya. Sebagai subyek hukum manusia memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan suatu tindakan hukum.40 Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dijelaskan bahwa perlindungan hukum adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan 38
Satjipto Raharjo, 2003, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta, h. 121.
39
Philipus M. Hadjon, 2011, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, h. 10. 40
Anonim, 2014, Pengertian Perlindungan Hukum Menurut Para Ahli, http://tesishukum.com/pengertian-perlindungan-hukum-menurut-para-ahli/, diakses tanggal 22 Januari 2015.
32
pengadilan. Sedangkan pengertian perlindungan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat, adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan. Dengan demikian, suatu perlindungan dapat dikatakan sebagai perlindungan hukum apabila mengandung unsur-unsur sebagai berikut :41 1. Adanya pengayoman dari Pemerintah terhadap warga negaranya; 2. Jaminan kepastian hukum. 3. Berkaitan dengan hak-hak warganegara. 4. Adanya sanksi hukuman bagi pihak yang melanggarnya. Secara teoritis, bentuk perlindungan hukum dibagi menjadi 2 jenis, yaitu Perlindungan yang bersifat preventif dan Perlindungan Represif. Perlindungan Hukum Preventif merupakan perlindungan yang sifatnya pencegahan, sebelum seseorang dan/atau kelompok melakukan suatu kegiatan yang bersifat negatif atau melakukan suatu kejahatan yang diniatkan, sehingga dapat menghindarkan atau meniadakan terjadinya tindakan yang kongkrit.42 Adanya perlindungan hukum ini 41
Dinni Harina Simanjuntak, 2011, Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Hukum Bagi Franchise Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997, http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/35732/6/Chapter%20III-V.pdf, diakses tanggal 22 Januari 2015. 42
Made Metu Dahana, op.cit, h. 58.
33
bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa dan sangat berarti bagi tindakan pemerintah yang didasarkan pada kebebasan bertindak. Hal ini juga mendorong pemerintah untuk lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan, karena rakyat juga dapat mengajukan keberatan ataupun dimintai pendapatnya mengenai rencana keputusan tersebut. Sementara perlindungan hukum yang represif berfungsi untuk menyelesaikan apabila terjadi sengketa.43 Untuk menjalankan perlindungan hukum yang represif bagi rakyat Indonesia, terdapat berbagai badan yang secara parsial mengurusnya. Badan-badan tersebut selanjutnya dikelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu : 1.
Pengadilan dalam lingkup Peradilan Umum;
2.
Instansi Pemerintah yang merupakan lembaga banding administrasi. Penanganan perlindungan hukum bagi rakyat melalui instansi pemerintah
yang merupakan lembaga banding administrasi adalah permintaan banding terhadap suatu tindak pemerintah oleh pihak yang merasa dirugikan oleh tindakan pemerintah tersebut. Sehingga, instansi pemerintah yang berwenang untuk mengubah bahkan dapat membatalkan tindakan pemerintah tersebut. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa Perlindungan Hukum adalah segala upaya pemerintah untuk menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada warganya agar hak-haknya sebagai seorang warga negara tidak dilanggar, dan bagi yang melanggarnya akan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan yang berlaku.
43
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, PT. Bina Ilmu, Surabaya, h. 2.
34
2.1.2. Pengaturan Perlindungan Hukum oleh Pelaku Usaha Wisata Secara yuridis produk hukum yang dapat dicermati terkait dengan pengaturan perlindungan hukum terhadap wisatawan adalah Undang-undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Ketentuan Pasal 20 huruf c dari undangundang ini menyatakan bahwa setiap wisatawan berhak memperoleh perlindungan hukum dan keamanan. Dalam era globalisasi, pembangunan perekonomian nasional harus dapat mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka barang dan/atau jasa yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak.44 Dalam hal ini, wisatawan adalah konsumen barang dan/atau jasa, sehingga dalam perannya sebagai konsumen, masyarakat Indonesia berhak atas perlindungan hukum yang berkaitan dengan kualitas barang dan/atau jasa yang disediakan oleh pelaku usaha. Perkembangan perekonomian yang pesat, mengakibatkan timbulnya berbagai macam jenis barang dan/atau jasa di Indonesia. Pada satu sisi, hal ini memberikan keuntungan kepada konsumen untuk dapat memilih berbagai macam barang dan/atau jasa yang ditawarkan oleh pelaku usaha. Sementara itu, adanya persaingan yang tidak sehat dari pelaku usaha untuk menghasilkan berbagai barang dan/atau jasa memberikan kerugian pada pihak konsumen. Karena sering kali dalam persaingan tersebut, pelaku usaha lebih mengutamakan profit atau keuntungan dibandingkan dengan kualitas barang dan
44
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2003, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal 98.
35
atau/jasa yang dihasilkannya. Sehingga hal ini membuat adanya kedudukan yang tidak seimbang antara pelaku usaha dengan konsumen yang menggunakan barang dan/atau jasanya. Hal inilah yang mendorong timbulnya suatu peraturan yang mengatur tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (1) UUPK dinyatakan bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Kepastian hukum itu meliputi segala upaya untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan
pilihannya
atas
barang
dan/atau
jasa
kebutuhannya
serta
mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen.45 Menurut Bussiness English Dictionary, Perlindungan Konsumen adalah protecting consumers against unfair or illegal traders. Perlindungan Konsumen adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang merugikan konsumen itu sendiri.46 Jasa merupakan suatu fenomena yang rumit (complicated). Kata jasa mempunyai banyak arti dan ruang lingkup, dari pengertian yang paling sederhana, yaitu hanya berupa layanan dari seseorang kepada orang lain, bisa juga diartikan
45
AZ. Nasution, 2003, Aspek Hukum Perlindungan Konsumen, dalam Jurnal Teropong, Edisi Mei, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hal 6-7. 46
Zulham, op.cit, h. 21.
36
sebagai mulai dari pelayanan yang diberikan oleh manusia, baik yang dapat dilihat (explicit service) maupun yang tidak dapat dilihat, yang hanya bisa dirasakan (implicit service) sampai kepada fasilitas–fasilitas pendukung yang harus tersedia dalam perjanjian jasa dan benda-benda lainnya. Jenis jasa perjalanan dapat berlangsung berdasarkan hubungan baik antara penyedia jasa perjalanan dengan pelanggan (relationship with customer), perusahaan-perusahaan jasa mempunyai peluang-peluang yang besar untuk membina hubungan jangka panjang dengan konsumen karena umumnya konsumen jasa melakukan transaksi langsung dengan orang sebagai penyedia jasa. Hal ini sangat berbeda dengan perusahaan manufaktur dimana konsumen tidak berhubungan langsung dengan produsen.47 Selanjutnya, dalam Pasal 1 angka 3 UUPK, dijelaskan tentang pengertian Pelaku Usaha, yaitu : “Pelaku Usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.” Dengan demikian jelaslah bahwa pengertian pelaku usaha menurut UUPK sangat luas. Yang dimaksud dengan pelaku usaha bukan hanya produsen, melainkan hingga pihak terakhir yang menjadi perantara antara produsen dan konsumen, seperti agen, distributor dan pengecer (konsumen perantara).
47
Siti Nurhayati, 2009, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Pengguna Jasa Biro Perjalanan Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Jurnal, Volume 2 Nomor 2, Universitas Pembangunan Panca Budi, Medan.
37
Berdasarkan penjelasan tersebut, Biro Perjalanan Wisata dapat dinyatakan sebagai produsen dan wisatawan dapat dinyatakan sebagai konsumen, yang tentunya menunjukkan adanya hubungan hukum antara pihak-pihak tersebut. Adanya hubungan hukum tersebut dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu :48 1.
Hubungan Langsung Hubungan langsung yang dimaksud adalah hubungan antara produsen dengan
konsumen yang terikat secara langsung dalam perjanjian. Tanpa mengabaikan jenis perjanjian-perjanjian lainnya, pengalihan barang dari produsen ke konsumen, pada umumnya dilakukan dengan perjanjian jual beli, baik yang dilakukan secara lisan maupun tertulis. Salah satu bentuk perjanjian tertulis yang banyak dikenal adalah perjanjian baku, yaitu bentuk perjanjian yang banyak digunakan, jika salah satu pihak sering berhadapan dengan pihak lain dengan jumlah yang banyak dan memiliki kepentingan yang sama. Perjanjian baku yang banyak ditemukan dalam praktik pada dasarnya dilakukan berdasarkan asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) BW, yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. 2.
Hubungan Tidak Langsung Hubungan tidak langsung yang dimaksudkan disini adalah hubungan antara
produsen dan konsumen yang tidak secara langsung terikat pada perjanjian, karena adanya pihak di antara pihak konsumen dengan produsen.
48
Ahmadi Miru, 2011, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 34-36.
38
Ketiadaan hubungan langsung dalam bentuk perjanjian antara pihak produsen dengan konsumen ini tidak berarti bahwa pihak konsumen yang dirugikan tidak berhak menuntut ganti rugi kepada produsen dengan siapa dia tidak memiliki hubungan perjanjian, karena dalam hukum perikatan tidak hanya perjanjian yang melahirkan perikatan, akan tetapi dikenal ada dua sumber perikatan, yaitu perjanjian dan udang-undang. Sumber perikatan yang berupa undang-undang ini masih dapat dibagi menjadi undang-undang saja dan undang-undang karena perbuatan manusia, yaitu yang sesuai hukum dan melanggar hukum Dalam rangka untuk memperkuat pemberdayaan konsumen, UUPK telah mengatur tentang tanggung jawab pelaku usaha terhadap produksi (product liability) barang atau jasa yang dikonsumsi oleh konsumen dan pengguna jasa. Tanggung jawab tersebut perlu diperhatikan karena mempersoalkan kepentingan konsumen harus disertai pula analisis mengenai siapa yang semestinya dibebani tanggung jawab dan sampai batas mana pertangungjawaban itu dibebankan padanya. Seperti diketahui berlaku prinsip hukum bahwa setiap orang yang melakukan suatu akibat kerugian bagi orang lain, harus memikul tanggungjawab yang diperbuatnya. Setiap orang yang mengalami kerugian, berhak mengajukan tuntutan kompensasi dan ganti rugi pada pihak yang mengakibatkan terjadinya kerugian itu. Selanjutnya dalam upaya mempergunakan haknya dalam mengajukan tuntutan atas kerugian yang dideritanya, konsumen dapat menempuh jalur hukum. Proses penyelesaian sengketa konsumen diatur dalam Bab X Pasal 45 sampai Pasal 48 UUPK 1999. Berdasarkan Pasal 45 ayat (2) UUPK 1999
39
penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan dengan dua cara yaitu diselesaikan di luar Pengadilan (non litigasi) atau diselesaikan melalui jalur Pengadilan (litigasi). Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dibagi menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu: 1. Penyelesaian secara damai, yang meliputi penyelesaian antara para pihak, penyelesaian melalui Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), penyelesaian melalui Direktorat Perlindungan Konsumen. 2. Penyelesaian melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang meliputi Konsiliasi, Mediasi dan Arbitrase.49 Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan (litigasi) dimungkinkan dengan 3 (tiga) instrumen hukum yaitu melalui hukum administrasi negara, hukum perdata dan hukum pidana. Penyelesaian sengketa melalui sanksi administrasi dilakukan apabila terdapat “ketidakberesan” pada kinerja 2 (dua) badan yang didirikan oleh pemerintah yang bertugas untuk melindungi konsumen yaitu, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Apabila terdapat penyalahgunaan tugas dan wewenang dari kedua badan tersebut, maka konsumen yang merasa telah dirugikan dapat mengajukan gugatannya kepada Pengadilan Tata Usaha Negara. Penyelesaian sengketa konsumen terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha melalui gugatan perdata dapat diajukan kepada peradilan umum
49
Ahmadi Miru, op.cit, h. 157.
40
yang menangani perkara pidana dan perdata yang meliputi Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. 2.2. Konsep dan Pengaturan Biro Perjalanan Wisata 2.2.1. Konsep Biro Perjalanan Wisata Industri Pariwisata merupakan suatu industri yang memiliki pengaturan yang cukup kompleks, karena mencakup pengaturan perjalanan wisatawan dari tempat asalnya menuju tempat wisata yang diinginkannya, hingga kembali lagi ke tempat asalnya. Dalam proses tersebut, terdapat berbagai bidang jasa pariwisata yang terlibat, seperti misalnya penginapan, restoran, transportasi, bahkan pemandu wisata, apabila diperlukan. Biro Perjalanan Wisata sebagai salah satu bentuk usaha perjalanan wisata di Indonesia, merupakan penghubung antara wisatawan dengan penyedia jasa pariwisata lainnya. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1996, dijelaskan secara khusus tentang
pengertian
Usaha
Pariwisata
yaitu
Kegiatan
yang
bertujuan
menyelenggarakan jasa pariwisata, menyediakan atau mengusahakan objek dan daya tarik pariwisata, usaha sarana pariwisata dan usaha lain yang terkait dengan bidang-bidang tersebut, yang terdiri dari Biro Perjalanan Wisata dan Agen Perjalanan Wisata. Namun dalam peraturan ini tidak dijelaskan mengenai definisi dari masing-masing usaha perjalanan jasa tersebut. Menurut Dennis L. Foster, dalam bukunya yang berjudul First Class an Introduction to Travel & Tourism menyatakan bahwa, Biro Perjalanan Wisata adalah sebuah perusahaan perjalanan yang menjual sebuah rancangan perjalanan dan menjual produk-produk wisata lain yang berhubungan dengan perjalanan
41
tersebut secara langsung kepada masyarakat.50 Perusahaan tersebut membuat dan mendesain berbagai macam produk wisata dari berbagai jasa pariwisata yang ada, menjadi sebuah paket perjalanan wisata yang menarik untuk wisatawan. Produk wisata yang terdapat dalam paket tersebut umumnya berupa jasa akomodasi dan transportasi.51 Suatu perusahaan dapat disebut sebagai Biro Perjalan Wisata apabila kegiatan utama perusahaan tersebut ditekankan pada perencanaan dan penyelenggaraan perjalanan wisata atau paket wisata atas inisiatif sendiri dan tanggung jawab sendiri dengan tujuan mengambil keuntungan dari penyelenggaraan perjalanan tersebut.52 Namun menurut Oka A. Yoeti, suatu Biro Perjalanan wisata atau Tour Operator, tidak selalu suatu perusahaan perjalanan, perusahaan tersebut dapat pula berupa suatu maskapai penerbangan (airlines) yang bertujuan untuk menjual tempat duduk (seats) pesawatnya. Atau dapat pula berupa suatu hotel yang terletak dalam suatu “tourist resort”, yang bertujuan untuk menjual kamarnya.53 Sementara itu, Trevor C. Atherton dan Trudie A. Atherton, menyatakan bahwa Biro Perjalanan Wisata memiliki peran yang penting dalam suatu kegiatan pariwisata, menurut mereka “This is the party, regardless of name, who organizes the package, that is selects and arranges the components. The tour operator may
50
Muljadi, op.cit, h. 125.
51
I Gde Pitana dan I Ketut Surya Diarta, op.cit, h. 64.
52
I Gusti Putu Bagus Sasrawan Mananda, loc.cit.
53
Oka A. Yoeti, op.cit, h. 30.
42
also be a travel agent.”54 Sedangkan Armin D. Lehmann dalam bukunya yang berjudul travel and tourism menjelaskan bahwa “Tour Operator is a company that creates (packages) or markets inclusive tours, selling them through Travel agent or directly to the public that may perform tour services or sub-contract for such services.”55 Berdasarkan pengertian tersebut, dapat terlihat bahwa kegiatan usaha yang diutamakan oleh Biro Perjalanan Wisata adalah perencanaan perjalanan wisata (tours) yang dikombinasikan dengan penawaran-penawaran jasa usaha pariwisata lainnya, dan dikemas dalam suatu paket wisata yang dijual langsung kepada wisatawan ataupun disalurkan melalui travel agent, dan apabila paket wisata tersebut sudah laku terjual, maka Biro Perjalanan Wisata wajib untuk melaksanakan tour tersebut kepada wisatawan, sesuai dengan tour itinerary yang telah disepakati. Dalam kaitannya dengan pariwisata berkelanjutan, dalam buku yang berjudul Joining Forces Collaborative Processess for Sustainable and Competitive Tourism, dikatakan bahwa “Tourism is a major force in the global economy which is founded on uniquely special relationships between the environment (global and local) and the many millions of people who participate in the sector as consumers and suppliers”.56 Sehingga dalam hal ini, biro perjalanan wisata
54
Trevor C. Atherton and Trudie A. Atherton, op.cit, h. 215.
55
Oka A. Yoeti, loc.cit.
56
World Tourism Organization, 2010, Joining Forces Collaborative Processess for Sustainable and Competitive Tourism, World Tourism Organization, Madrid, h. 1. (selanjutnya disebut World Tourism Organization I)
43
memiliki peran dalam pariwisata berkelanjutan, dengan cara memberikan pelayanan terbaik kepada setiap wisatawan yang menggunakan jasanya dan berpartisipasi aktif untuk menjaga daerah tujuan wisata yang dikunjunginya. Sebuah Biro Perjalanan Wisata dalam melaksanakan aktifitasnya haruslah memiliki ijin usaha yang disebut Tanda Daftar Usaha Pariwisata (TDUP). Berdasarkan pasal angka 8 Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.85/HK.501/MKP/2010 tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha Jasa Perjalanan Wisata menyebutkan bahwa, Tanda Daftar Usaha Pariwisata adalah dokumentasi resmi yang membuktikan bahwa usaha pariwisata yang dilakukan oleh pengusaha telah tercantum di dalam Daftar Usaha Pariwisata. Selanjutnya dalam peraturan ini dijelaskan beberapa syarat untuk pengajuan TDUP tersebut, yaitu : a. Pendaftaran usaha pariwisata ditujukan kepada Bupati atau Walikota tempat kedudukan kantor dan/atau gerai penjualan. (Pasal 3 ayat 1) b. Biro Perjalanan Wisata berbentuk badan usaha Indonesia berbadan hukum (Pasal 6 ayat 2) c. Permohonan pendaftaran usaha pariwisata ditujukan secara tertulis oleh pengusaha, dengan menyertakan dokumen : (Pasal 9 ayat 1 dan 2) 1. Fotokopi akta pendirian badan usaha yang mencantumkan usaha jasa perjalanan wisata sebagai maksud dan tujuannya, beserta perubahannya, apabila ada. 2. Fotokopi izin teknis dan dokumen lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
44
3. Surat Pernyataan tertulis yang menyatakan bahwa data dan dokumen yang diserahkan tersebut adalah benar, absah dan sesuai dengan fakta. Untuk dapat memperluas jaringan yang dimilikinya, Biro Perjalanan Wisata dapat mendirikan kantor cabang di ibukota provinsi dan dapat membuka gerai jual yang belum memiliki kantor cabang. Cabang Biro Perjalanan Wisata memiliki kegiatan yang sama dengan Biro Perjalanan Wisata Pusat, sedangkan kegiatan gerai jual hanya dapat melakukan penjualan terhadap paket wisata yang dibuat oleh Biro Perjalanan Wisata serta menyediakan jasa pelayanan, pemesanan akomodasi, tempat makan, tempat konvensi, dan tiket pertunjukan seni budaya, ataupun
kunjungan
ke
lokasi
daya
tarik
wisata
lainnya. 57
Dalam
menyelenggarakan sebuah paket perjalanan wisata, Biro Perjalanan Wisata harus berkoordinasi dengan beberapa pihak agar program yang dibuat dapat berjalan dengan lancar. Pihak – pihak tersebut adalah sebagai berikut : 1. Airlines/maskapai penerbangan Airlines/maskapai penerbangan adalah penyedia jasa transportasi udara, dimana jasa mereka akan sangat dibutuhkan jika program yang ditangani oleh sebuah Biro Perjalanan Wisata jaraknya sangat jauh dan akan menghabiskan banyak waktu jika ditempuh dengan transportasi darat maupun laut. 2. Penginapan/Hotel Usaha perjalanan membuatuhkan sarana penginapan bagi peserta wisata yang dibuat dan diselenggarakannya. Selain itu, suatu usaha jasa perjalanan juga dapat memberikan jasa untuk pelayanan jasa pemesanan kamar hotel oleh konsumen 57
Muljadi, op.cit, h. 126.
45
dan akan mendapat komisi sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat dengan manajemen
penginapan/hotel.
Dalam
SK
Menteri
Parpostel
No.
KM37/PW.304/MPPT-86, disebutkan bahwa Hotel adalah suatu jenis akomodasi yang menggunakan sebagian atau seluruh bangunan untuk menyediakan jasa penginapan, makanan dan minuman serta jasa lainnya bagi umum dan dikelola secara komersial.58 3. Penyedia Jasa transportasi darat Penyedia jasa transportasi darat adalah perusahaan maupun perseorangan yang menyediakan fasilitas kendaraan darat yang dapat disewa dalam beberapa waktu. Beberapa contoh dari transportasi darat adalah : -
Sepeda motor maupun sepeda tidak bermotor
-
Angkutan umum (Becak, Andong, Bajaj, Taksi, Bus trayek, dll)
-
Mobil & bus rental.
4. Rumah makan/Restaurant Rumah makan/Restaurant adalah penyedia jasa makan dan minum (meals) dan akan sangat dibutuhkan karena pada hakikatnya setiap peserta dalam perjalanan wisata harus terjamin kebutuhan makan dan minumnya. 5. Guide/Pemandu Wisata Peranan guide sangat penting dalam sebuah perjalanan wisata karena memiliki tugas untuk menjelaskan setiap hal yang berkaitan dengan perjalanan wisata itu sendiri baik selama di perjalanan maupun setelah tiba di obyek wisata. Beberapa jenis guide menurut spesialisasi dan lisensi yang dimiliki : 58
Muljadi, op.cit, h. 147-148.
46
1. Guide berbahasa asing, 2. Guide berbahasa Indonesia, 3. Lokal guide (guide yang hanya memiliki lisensi pada sebuah obyek wisata saja) 6. Dinas/Perusahan yang terkait dengan dokumen perjalanan Adalah dinas/perusahaan yang memiliki fungsi untuk mengeluarkan dokumen perjalanan yang dibutuhkan dalam sebuah perjalanan wisata, seperti : -
Tiket obyek wisata
-
Paspor
-
Fiskal
-
Visa, dan lain-lain
7. Tour leader Tour leader adalah pemimpin rombongan yang bertugas untuk mengatur setiap jadwal yang tercantum dalam itinerary agar perjalanan wisata berjalan lancar tanpa hambatan. 8. Porter Porter bertugas untuk memindahkan luggage (barang) milik peserta dari satu tempat ke tempat lain. Biasanya porter dapat dijumpai di Airport, Pelabuhan, Stasiun, Obyek wista maupun di Terminal bus. 9. Art shop Art shop adalah penyedia barang oleh – oleh atau cinderamata yang biasanya harus ada dalam sebuah paket perjalanan wisata. Hal tersebut dimaksudkan agar
47
setiap peserta memiliki kenang–kenangan yang dapat dibawa pulang kembali ke tempat asal masing–masing setelah program perjalanan berakhir. Seiring dengan perkembangannya yang semakin pesat, usaha perjalanan saat ini telah memiliki asosiasi yang bersifat nasional maupun internasional. Dalam lingkup nasional, asosiasi itu bernama Association of the Indonesian Tour & Travel Agency (ASITA). ASITA adalah Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia yang didirikan di Jakarta, pada 7 Januari 1971 dan Kantor Pusatnya berkedudukan di Jakarta. ASITA memiliki 31 Dewan Pimpinan Daerah (DPD) yang tersebar di seluruh Indonesia, yang salah satunya terdapat di Bali. DPD ASITA Bali didirikan pada tahun 1974, dan merupakan salah satu anggota Stakeholder Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Bali atau yang lebih dikenal dengan sebutan Bali Tourism Board. Anggota ASITA Bali terdiri dari 359 Biro Perjalanan Wisata (BPW) serta 13 Associate Member (sekolah dan cruise) yang tersebar di seluruh Bali. Untuk memudahkan pengawasan pasar utamanya terkait dalam hal promosi, ASITA Bali telah terbentuk divisi-divisi yang berkonsentrasi di pangsa pasarnya masing-masing, antara lain:59 a. Bali Rasa Sayang
: Pangsa Pasar Jepang
b. Bali Liang
: Pangsa Pasar Mandarin
c. Privet Bali
: Pangsa Pasar Rusia
d. Cinta Bali
: Pangsa Pasar Domestik
e. Bali Hai
: Pangsa Pasar Amerika dan India
59
ASITA Bali, 2014, About Us, http://www.asitabali.org/aboutus.htm, diakses tanggal 23 Februari 2015.
48
Sedangkan dalam lingkup internasional, terdapat 2 asosiasi yang menaungi usaha perjalanan, yaitu Pasific Area Travel Association (PATA) dan World Association of Travel Agencies (WATA). PATA adalah organisasi pariwisata yang tidak mencari keuntungan (non-profit) di kawasan Asia Pasifik. Asosiasi ini dibentuk pada tahun 1951 dan berkantor pusat di San Fransisco, Amerika Serikat. Sedangkan, WATA adalah himpunan travel agent internasional.60 Selain PATA dan WATA, terdapat juga asosiasi internasional yang berkaitan dengan usaha perjalanan wisata, yaitu International Air Transport Association (IATA). Tujuan utama menjadi anggota IATA, yaitu :61 a. Menjamin penerbangan yang aman bagi penumpang di seluruh dunia; b. Sarana untuk menyatukan dari banyak perusahaan penerbangan dalam memberikan pelayanan yang baik; c. Melakukan kerjasama dengan International Civil Aviation Organization (ICAO). Sebagai anggota IATA, suatu usaha perjalanan wisata wajib untuk memiliki pengaturan dan kemampuan terkait aturan-aturan yang menyangkut, antara lain :62 a. Semua data dokumen penerbangan termasuk tiket; b. Segala jenis rute perjalanan; c. Menghitung biaya perjalanan, baik tarif normal maupun tarif khusus;
60
Ketut Sumadi, 2008, Kepariwisataan Indonesia : Sebuah Pengantar, Sari Kahyangan Indonesia, Denpasar, h. 34. 61
Muljadi A.J., op.cit, h. 128.
62
Muljadi A.J., op.cit, h. 129.
49
d. Melakukan re-route, re-issue, mengubah validitas endorsement tiket sesuai aturan yang berlaku; e. Melakukan setoran pembayaran sesuai jadwal yang ditentukan. Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa Biro Perjalanan Wisata adalah suatu perusahaan yang bergerak di bidang usaha jasa pariwisata, dan memiliki kegiatan usaha utama berupa perencanaan dan penyelenggaraan paket wisata yang dibutuhkan oleh wisatawan.
2.2.2. Pengaturan Biro Perjalanan Wisata Di Indonesia, Usaha Jasa Biro Perjalanan Wisata pertama kali diatur dalam Surat Keputusan Direktur Jendral Pariwisata No.Kep.16/U/II/88 Tgl 25 Februari 1988 tentang pelaksanaan Ketentuan Usaha jasa Perjalanan, dan disebut dengan Biro Perjalanan Umum.
Dalam Pasal 1 huruf b, disebutkan bahwa Biro
Perjalanan Umum adalah badan usaha yang menyelenggarakan kegiatan usaha perjalanan
ke dalam negeri dan atau di dalam negeri dan atau ke luar negeri. 63
Selanjutnya dalam Pasal 4 Bab II dijelaskan bahwa Biro Perjalanan Umum ini memiliki ruang lingkup kegiatan usaha yang terdiri dari : 1. Membuat, menjual dan menyelenggarakan paket wisata; 2. Mengurus dan melayani kebutuhan jasa angkutan bagi perorangan dan atau kelompok orang yang diurusnya; 3. Melayani pemesanan akomodasi, restoran, dan sarana wisata lainnya. 4. Mengurus dokumen perjalanan; 63
Oka A. Yoeti, op.cit, h. 28.
50
5. Menyelenggarakan panduan perjalanan wisata; 6. Melayani penyelenggaraan konvensi. Selanjutnya, Usaha Biro Perjalanan Wisata juga diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, seperti : 1. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan; 3. Keputusan
Menteri
Pariwisata,
Pos
dan
Telekomunikasi
Nomor
KM.105/PW.304/MPPT-91 tentang Usaha Jasa Pariwisata; 4. Keputusan
Menteri
Pariwisata,
Pos
dan
Telekomunikasi
Nomor
KM.10/HK/PM.102/MPPT-93 tentang Ketentuan Usaha Jasa Biro Perjalanan Wisata dan Agen Wisata; 5. Keputusan Menteri Pariwisata, Seni dan Budaya Nomor KEP.339/MPSB/1998 tentang Biro Perjalanan Wisata Penyelenggara Perjalanan Wisatawan Lanjut Usia Mancanegara. Seiring dengan perubahan jaman, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990, dianggap sudah tidak sesuai untuk diterapkan, sehingga dibentuklah UndangUndang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Namun dalam UndangUndang ini, hanya mengatur secara umum tentang usaha jasa perjalanan wisata. Pengaturan secara khusus tentang usaha perjalanan wisata dapat ditemukan dalam Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.85/HK.501/MKP/2010 tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha Jasa Perjalanan Wisata. Dalam Pasal 1 dijelaskan bahwa, Biro Perjalanan Wisata adalah usaha penyediaan jasa
51
perencanaan perjalanan dan/atau jasa pelayanan dan penyelenggaraan pariwisata, termasuk penyelenggaraan perjalanan ibadah. Sementara dalam Pasal 6, peraturan ini dijelaskan bahwa pengusaha jenis usaha Biro Perjalanan wisata berbentuk badan usaha Indonesia berbadan hukum, yang dalam hal ini berarti Perseroan terbatas atau Koperasi. Persyaratan utama untuk menjalankan usaha Biro Perjalanan Wisata ini adalah tersedianya tenaga professional dalam jumlah dan kualitas yang memadai serta dimilikinya kantor tetap yang memenuhi syarat sesuai peraturan yang berlaku. Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 5, dijelaskan bahwa Pengusaha Pariwisata adalah perseorangan atau badan usaha yang melakukan kegiatan usaha pariwisata di bidang usaha jasa perjalanan wisata. Ketentuan tentang badan usaha Indonesia tersebut memberikan makna bahwa peraturan ini hanya memperbolehkan pelaku usaha yang berbadan usaha Indonesia saja yang boleh mengadakan usaha jasa perjalanan wisata. Disamping itu, peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang biro perjalanan wisata belum sepenuhnya dapat mengakomodir dan mengantisipasi perkembangan usaha biro perjalanan wisata yang semakin berkembang. Terutama masalah pengaturan standarisasi mutu pelayanan secara umum, masalah standarisasi harga, masalah perlindungan konsumen, perizinan dan juga masalah tenaga kerja.64
64
I Putu Gelgel, op.cit, h. 83.
52
2.3. Konsep dan Pengaturan Hak-Hak Wisatawan Atas Perlindungan Hukum 2.3.1. Konsep Wisatawan Pengertian tentang wisatawan pertama kali dibahas di Forum Internasional oleh Komisi Ekonomi Liga Bangsa-Bangsa (Economic Commission of the League of Nations) pada tahun 1937. Dalam forum tersebut dinyatakan bahwa, “tourist is any person travelling for a period of 24 hours or more in a country other than that in wich be usually resides”65. Dalam pengertian tersebut terlihat bahwa kriteria batasan seorang dapat dikatakan sebagai wisatawan terletak pada lama waktu tinggal dan tujuan kunjungannya ke suatu tempat. Sedangkan menurut G.A. Schmol, wisatawan adalah individu atau kelompok yang mempertimbangkan dan merencanakan tenaga beli yang dimilikinya untuk melakukan suatu perjalanan, yang tertarik pada perjalanan pada umumnya berdasarkan motivasi perjalanan yang telah dilakukan, untuk menambah pengetahuan, tertarik pada pelayanan yang diberikan oleh suatu daerah tujuan wisata, yang nantinya dapat menarik pengunjung di masa yang akan datang.66 Selanjutnya dalam United Nations Conference on Travel and Tourism disebutkan bahwa wisatawan adalah setiap orang yang mengunjungi Negara bukan merupakan tempat tinggalnya, untuk berbagai tujuan, tetapi bukan untuk mencari pekerjaan atau penghidupan dari Negara yang dikunjungi.67 Menurut John Kester, “A tourist is a person temporarily involved in a trip lasting at least 65
Muljadi, op.cit, h. 9.
66
Ketut Sumadi, op.cit, h. 51.
67
I Gede Pitana dan Putu G. Gayatri, 2005, Sosiologi Pariwisata, Andi Offset, Yogyakarta, h.
43.
53
one night, but less than a year, in a destination outside their usual environment.”68 Sementara dalam World Tourism Organization (WTO), disebutkan bahwa wisatawan adalah seseorang atau sekelompok orang yang melakukan perjalanan ke suatu atau beberapa negara di luar tempat tinggal biasanya (home base), untuk periode kurang dari 12 (dua belas) bulan dan memiliki tujuan untuk melakukan berbagai aktivitas atau kegiatan usaha.69 Meskipun terdapat berbagai macam batasan dalam mengartikan wisatawan, ada beberapa komponen pokok yang secara umum disepakati secara internasional, yaitu :70 1. Traveler, yaitu orang yang melakukan perjalanan antar dua atau lebih lokalitas. 2. Visitor, adalah orang yang melakukan perjalanan ke daerah yang bukan merupakan tempat tinggalnya, kurang dari 12 bulan, dan tujuan perjalanannya bukanlah untuk terlibat dalam kegiatan untuk mencari nafkah, pendapatan, atau penghidupan di tempat tujuan. 3. Tourist, yaitu bagian dari visitor yang menghabiskan waktu paling tidak satu malam (24 jam) di daerah yang dikunjungi. Sementara itu, dalam Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, disebutkan secara sederhana bahwa Wisatawan adalah
68
World Tourism Organization, 2011, Policy and Practice For Global Tourism, World Tourism Organization, Madrid, h. 33. (selanjutnya disebut World Tourism Organization II) 69
Bambang Sunaryo, 2013, Kebijakan Pembangunan Destinasi Pariwisata : Konsep dan Aplikasinya di Indonesia, Gava Media, Yogyakarta, h. 3 70
I Gde Pitana dan I Ketut Surya Diarta, op.cit, h. 45-46.
54
orang yang melakukan wisata. Departemen Pariwisata menggunakan definisi wisatawan sebagai setiap orang yang melakukan perjalanan dan menetap untuk sementara di tempat lain selain tempat tinggalnya, untuk salah satu atau beberapa alasan selalu mencari pekerjaan. Berdasarkan pengertian tersebut wisatawan dibagi menjadi dua yaitu:71 1.
Wisatawan Domestik (dalam negeri) Wisatawan yang melakukan wisata dan rekreasi ke suatu wilayah lain di
negaranya, dengan tujuan untuk mengetahui sesuatu yang berbeda dengan lingkungan sekitarnya. Sehingga tujuan utamanya adalah memenuhi rasa penasaran terhadap tempat yang diyakini menyenangkan ataupun menakjubkan. 2.
Wisatawan Mancanegara Pengertian wisatawan mancanegara didefinisikan sebagai orang yang
melakukan perjalanan diluar negara tempat tinggal biasanya selama kurang dari 12 bulan dari negara yang dikunjunginya, dengan tujuan bukan untuk memperoleh penghasilan. Tujuan utamanya adalah menikmati suasana tempat yang baru dikunjunginya dan mengamati sejarah suatu obyek wisata dengan seksama. Sebuah faktor penting yang harus dipahami sebelum sebuah destinasi pariwisata dikembangkan, adalah motivasi yang menjadi latar belakang seseorang untuk berwisata. R.W. Mc Intosh menjelaskan bahwa motivasi yang mendorong seseorang untuk melakukan perjalanan adalah sebagai berikut:72 71
Anonim, Wisatawan Domestik, http://www.anneahira.com/wisatawan-domestik.htm, diakses tanggal 22 Januari 2015. 72
Basuki Antariksa, 2012, Peluang Dan Tantangan Pengembangan Kepariwisataan Di Indonesia, http://www.parekraf.go.id/asp/detil.asp?c=101&id=1152, diakses tanggal 26 Januari 2015.
55
1.
Pleasure (bersenang-senang), seseorang melakukan kegiatan wisata dengan tujuan untuk “melarikan diri” sementara dari rutinitas yang selama ini dilakukannya.;
2.
Relaxation, rest and recreation (beristirahat untuk menghilangkan stress), dengan tujuan untuk menjaga kesehatan tubuh dan pikiran. Hal tersebut antara lain dilakukan dengan mengunjungi lingkungan yang berbeda dengan yang dilihatnya sehari-hari, di mana lingkungan tersebut memberikan kesan damai dan menyehatkan, seperti misalnya suasana pedesaan, gunung, ataupun pantai.;
3.
Health (kesehatan), yaitu berkunjung ke tempat-tempat yang dapat membantu menjaga kesehatan atau menyembuhkan penyakit;
4.
Participation in sports (olah raga yang bersifat rekreasi), mengikuti suatu kegiatan olah raga, merupakan salah satu hal yang melatar belakangi adanya suatu kegiatan wisata;
5.
Curiousity and culture (rasa ingin tahu dan motivasi yang berkaitan dengan kebudayaan), yang saat ini semakin meningkat kualitasnya karena perkembangan teknologi informasi dan peningkatan kualitas pendidikan. Motivasi yang menjadi latar belakang seseorang melakukan kunjungan dalam hal ini adalah keinginan untuk melihat destinasi pariwisata yang memiliki nilai sejarah dan budaya yang sangat tinggi or yang menyelenggarakan aktivitas budaya yang sangat penting, seperti festival musik, festival seni, teater dan sebagainya;
56
6.
Ethnic and family (kesamaan etnik dan kunjungan kepada keluarga). Khusus berkaitan
dengan
kesamaan
etnik,
orang
dapat
termotivasi
untuk
mengunjungi suatu tempat karena dianggap sebagai tempat tinggal/kelahiran nenek moyangnya. 7.
Spiritual and Religious (alasan yang bersifat spiritual dan keagamaan), hal lain yang dewasa ini sering dilakukan oleh wisatawan adalah mengunjungi tempat-tempat yang memiliki kesan spiritual dan keagamaan untuk menenangkan pikiran. Hal ini biasanya dilakukan oleh wisatawan yang tingkat kepenatannya sudah sangat tinggi, sehingga wisatawan tersebut memutuskan untuk mencari tempat yang tenang dan spiritual, untuk dapat leebih mendekatkan diri dengan Tuhan;
8.
Status and prestige (menunjukkan status sosial dan gengsi), dengan tujuan untuk menunjukkan kepada orang lain bahwa seseorang memiliki status sosial dan gengsi yang tinggi karena mampu berwisata ke suatu destinasi pariwisata tertentu; dan,
9.
Professional or business (melakukan aktivitas yang berkaitan dengan profesi/pekerjaan), misalnya aktivitas menghadiri suatu sidang atau konferensi. Sebelum melakukan suatu perjalanan wisata, seorang wisatawan lebih dahulu
melakukan suatu pertimbangan untuk menentukan tujuan, waktu, dan cara yang akan digunakan untuk mencapai tempat wisata tersebut, yang akhirnya membuat wisatawan mengambil suatu keputusan untuk berwisata. Menurut Mathieson dan
57
Wall, proses pengambilan keputusan tersebut didasarkan pada lima fase yang telah dilalui, yaitu :73 1. Kebutuhan atau keinginan untuk melakukan perjalanan. Tujuan dari perjalanan dirasakan oleh wisatawan, yang selanjutnya akan dipertimbangkan apakah perjalanan tersebut perlu dilakukan atau tidak. 2. Pencarian dan penilaian informasi. Dalam hal ini, wisatawan akan melakukan pencarian terkait detail informasi tempat wisata yang akan dituju, melalui biro ataupun agen perjalanan wisata, brosur-brosur di media cetak, atau berdiskusi dengan orang-orang yang telah melakukan perjalanan terlebih dahulu. 3. Keputusan melakukan perjalanan wisata. Hal ini meliputi: daerah tujuan wisata, jenis akomodasi, cara bepergian, dan aktivitas yang akan dilakukan. 4. Persiapan perjalanan dan pengalaman wisata. Wisatawan melakukan booking, yang dilengkapi dengan segala persiapan pribadi, yang akhirnya perjalanan wisata dilakukan. 5. Evaluasi kepuasan perjalanan wisata. Secara sadar ataupun tidak, setelah melakukan perjalanan wisata, wisatawan akan melakukan evaluasi pribadi terhadap perjalanan wisata yang telah dilakukan. Dimana hasil evaluasi tersebut akan mempengaruhi keputusan dalam perjalanan wisata selanjutnya.
73
Sarbini Mbah Ben, 2010, Paradigma Baru Pariwisata : Sebuah Kajian Filsafat, Kaukaba Dipantara, Yogyakarta, h. 76.
58
2.3.2. Pengaturan Hak-Hak Wisatawan Atas Perlindungan Hukum Wisata adalah hak yang dimiliki setiap orang untuk melakukan perjalanan ke berbagai tempat yang diinginkannya dengan tujuan untuk mengistirahatkan fisik dan pikirannya setelah merasa lelah menjalani rutinitasnya sehari-hari. Pada hakekatnya, pariwisata adalah perjalanan yang dilakukan oleh wisatawan secara bebas, sukarela dan memiliki kaitan yang sangat erat dengan kehidupan dan eksistensi manusia itu sendiri.74 Hal ini didasarkan pada ketentuan dalam Pasal 13 ayat 1 dan Pasal 24 dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), yang pada dasarnya menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak untuk bebas dalam bergerak, beristirahat, dan berlibur. Pengaturan ini pun selanjutnya diatur lebih rinci dalam ketentuan-ketentuan pasal 8 dan 12 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) 1966, serta dalam pasal 6, 7, dan 8 International Covenant on Economic Social and Cultural Rights (ICESCR) 1966. Wisatawan adalah faktor utama penentu maju atau mundurnya suatu industri pariwisata. Untuk dapat memajukan industri pariwisata, diperlukan berbagai macam usaha untuk dapat menarik minat wisatawan berkunjung pada suatu daerah tujuan wisata. Salah satu faktor penting yang perlu diperhatikan untuk dapat menarik minat wisatawan adalah dengan memberikan perlindungan terhadap hak-hak yang dimilikinya, sehingga wisatawan tersebut rasa nyaman dan aman. Menurut Made Metu Dahana, dalam melakukan perjalanan wisata terdapat tiga jenis gangguan yang mungkin dihadapi oleh wisatawan, yaitu : 75 74
Muljadi A.J., op.cit, h. 21.
75
Made Metu Dahana, op.cit, h. 15.
59
1.
Gangguan Langsung terhadap Wisatawan Gangguan ini merupakan gangguan langsung yang ditujukan kepada wisatawan itu sendiri. Gangguan ini dapat terjadi di tempat kedatangan, perjalanan, penginapan, tempat makan, atau di tempat-tempat hiburan. Contoh gangguan tersebut, yaitu pencurian, pencopetan, penganiayaan, pembunuhan, dan pemerasan.
2. Gangguan Tidak Langsung Gangguan ini adalah gangguan yang tidak langsung ditujukan kepada wisatawan, namun mampu mendatangkan rasa tidak aman dan nyaman kepada wisatawan. Misalnya saja terjadi perkelahian masal, demonstrasi yang anarkis, kerusuhan, ataupun SARA. 3. Gangguan Kecelakaan Gangguan ini dapat terjadi karena adanya kelalaian dari wsiatawan itu sendiri, ataupun kelalaian dari petugas pelayanan wisatawan. Misalnya saja terjadinya kecelakaan saat mendaki gunung ataupun panjat tebing, yang dikarenakan wisatawan tidak mematuhi peraturan-peraturan yang telah diberikan oleh pemandu wisata, ataupun terjadinya kecelakaan bus pariwisata yang disebabkan oleh supir bus yang tidak disiplin atau tidak memenuhi standar yang ada. 4. Gangguan Teroris Gangguan yang dilakukan oleh teroris dapat terjadi dimana-mana. Kegiatan teroris merupakan kegiatan atau usaha yang menimbulkan rasa takut kepada masyarakat luas dan dilakukan secara konsepsional melalui perencanaan yang
60
matang, kriminal, dan politik. Kegiatan teroris ini tidak hanya merugikan perorangan atau kelompok, namun juga pemerintah atau Negara dan para wisatawan. Secara internasional, hak-hak wisatawan secara implisit terlihat dalam Pasal IV Tourism Bill of Right and Tourist Code, yang menyatakan bahwa wisatawan memiliki hak untuk mendapat jaminan keselamatan atas diri dan harta yang dimilikinya, serta mendapat jaminan kesehatan lingkungan yang bersih, sehingga terbebas dari ancaman penyakit-penyakit menular. Sementara itu, dalam Pasal 8 Global Code, disebutkan bahwa hak-hak wisatawan, yaitu : 1. Wisatawan berhak memiliki kebebasan untuk berkunjung dari satu tempat ke tempat lainnya tanpa dibatasi oleh formalitas dan perlakuan diskriminasi; 2. Wisatawan berhak memiliki akses kepada semua bentuk komunikasi, jasa administratif, hukum dan kesehatan, serta berhak menghubungi wakil konsuler negaranya sesuai dengan ketentuan hokum internasional di bidang diplomatik yang berlaku; 3. Wisatawan memiliki hak mengenai kerahasiaan data dan informasi pribadi lainnya; 4. Prosedur administrasi mengenai lintas batas seperti, formalitas pengurusan visa, kesehatan, dan kepabeanan sepatutnya tidak menjadi penghambat kebebasan wisatawan untuk mengunjungi suatu wilayah Negara lain untuk kunjungan wisata; 5. Wisatawan memperoleh kebebasan untuk menukar mata uang yang dibutuhkan untuk perjalanan.
61
Seorang wisatawan mempunyai hak-hak yang harus dipenuhi oleh penyelenggara jasa pariwisata. Dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan dijelaskan bahwa, Setiap wisatawan berhak memperoleh : (a) informasi yang akurat mengenai daya tarik wisata; (b) pelayanan kepariwisataan sesuai dengan standar; (c) perlindungan hukum dan keamanan; (d) pelayanan kesehatan; (e) perlindungan hak pribadi; dan (f) perlindungan asuransi untuk kegiatan pariwisata yang beresiko tinggi.
Selanjutnya dalam Pasal 21 dijelaskan bahwa, wisatawan yang memiliki keterbatasan fisik, anak-anak, dan lanjut usia berhak mendapatkan fasilitas khusus sesuai dengan kebutuhannya. Selain
dalam
Undang-Undang
Nomor
10
Tahun
2009
tentang
Kepariwisataan, apabila dikaitkan dengan UUPK, maka sesuai dengan pengertian yang ada dalam undang-undang tersebut seorang wisatawan dapat disebut sebagai konsumen, yang dalam hal ini adalah konsumen jasa di bidang pariwisata. Sebagai konsumen, maka wisatawan mempunyai hak-hak yang diatur dalam pasal 4 UUPK, sebagai berikut : a.
hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b.
hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
62
c.
hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
d.
hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e.
hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f.
hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g.
hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h.
hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i.
hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Sebelum diatur dalam peraturan perundang undangan yang lain, UUPK dapat digunakan untuk melindungi dan mengatur hak dan kewajiban seorang wisatawan atau konsumen jasa pariwisata. Pengertian ini tidak hanya terbatas wisatawan asing maupun domestik, tetapi juga berlaku bagi pelaku usaha yang melakukan usaha dalam wilayah hukum Indonesia. Selain hak sebagai konsumen, wisatawan juga dikenakan kewajiban seperti apa yang diatur dalam pasal 5 UUPK. Kewajiban lain yang harus diperhatikan adalah, wisatawan wajib memperhatikan dalm memelihara dalam segala hal yang berhubungan dengan lingkungan sekitar obyek pariwisata. Hal ini penting untuk diketahui dan benar-benar dilaksanakan
63
oleh wisatawan, agar terhindar dari kerugian akibat tidak mengetahui hak dan kewajibannya. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengaturan tentang hak-hak wisatawan tidak hanya tercantum dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, namun juga dapat digunakan acuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, karena dalam hal ini, wisatawan juga bertindak sebagai konsumen pengguna jasa pariwisata.
BAB III KONSTRUKSI NORMA PENGATURAN STANDAR KEAMANAN DAN KESELAMATAN WISATAWAN DALAM PASOKAN JASA PARIWISATA OLEH BIRO PERJALANAN WISATA 3.1. Pengaturan
Perlindungan
Wisatawan
oleh
Biro
Perjalanan
Wisata
berdasarkan Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi kreatif Nomor 4 Tahun 2014 tentang Standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata Salah satu faktor penunjang industri pariwisata adalah adanya Keamanan dan Pelayanan terhadap wisatawan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia, tanpa membeda-bedakan ras, agama, dan bangsa tertentu. Pelayanan tersebut tidak hanya semata-mata tentang pelayanan fisik, namun juga pelayanan yang berkaitan dengan rasa aman dan nyaman yang dirasakan oleh wisatawan. Pada saat melakukan perjalanan wisata, besar kemungkinan wisatawan akan mengalami suatu kejadian yang dapat mebahayakan nyawa ataupun harta bendanya. Misalnya saja, wisatawan tersebut mengalami kecelakaan, pencurian, penipuan, atau diperlakukan dengan tidak adil dan tidak sesuai dengan haknya sebagai manusia, yang mungkin disebabkan oleh alasan politik atau hal-hal yang terjadi akibat adanya perubahan situasi keamanan Negara. Biro Perjalanan Wisata sebagai salah satu pelaku usaha yang bergerak di bidang usaha jasa perjalanan wisata, memiliki peranan penting untuk ikut berpartisipasi dalam memberikan perlindungan dan keamanan kepada wisatawan, 64
65
khususnya wisatawan yang menggunakan jasanya. Wisatawan sebagai individu merupakan subjek hukum dengan segala hak dan kewajiban yang melekat padanya, yang harus dihormati dan dilindungi. Oleh sebab itu, pelaku usaha pariwisata terutama Biro Perjalanan Wisata harus semakin tanggap dalam menghadapi permintaan-permintaan pelanggan terhadap daerah tujuan wisata yang aman dan selalu mempertimbangkan faktor keselamatan dan keamanan melalui pemilihan alat transportasi yang tepat. Dalam Global Code of Ethic, dijelaskan bahwa pemerintah berkewajiban untuk memberi perlindungan kepada wisatawan dan harta bendanya, mengingat dimungkinkan adanya tindak kejahatan dan kekerasan yang akan dialami oleh wisatawan tersebut. Oleh sebab itu, pemerintah wajib untuk menyediakan sarana keamanan, asuransi, dan segala bantuan yang sesuai dengan kebutuhan wisatawan.76 Berkaitan dengan hal tersebut, dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan Pasal 26 huruf (d), telah diatur tentang kewajiban Pihak pengusaha pariwisata untuk memberikan kenyamanan, keramahan, perlindungan keamanan dan keselamatan kepada wisatawan. Permasalahan yang selanjutnya berkembang adalah dalam Undang-Undang Kepariwisataan tersebut belum mengatur secara jelas terkait standarisasi yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha, yang dalam hal ini adalah Biro Perjalanan Wisata, untuk dapat menjalankan kewajibannya sebagaimana tercantum dalam Pasal 26 huruf (d) tersebut. Karena
76
I Putu Gelgel, 2009, Industri Pariwisata Indonesia Dalam Globalisasi Perdagangan Jasa (GATS – WTO), Implikasi Hukum dan Antisipasinya, Refika Aditama, Bandung, h. 88.
66
dalam Pasal 53-55 yang mengatur tentang Standarisasi dan Sertifikasi, hanya menyebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi kompetensi sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 53 dan sertifikasi usaha sebagaimana tercantum dalam Pasal 54 diatur dalam Peraturan Pemerintah. Seiring
dengan
berjalannya
waktu,
pada
tahun
2012
Pemerintah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2012 tentang Sertifikasi Kompetensi dan Sertifikasi Usaha di Bidang Pariwisata, dan dalam ketentuan Pasal 18, yang menyatakan bahwa : (1) Penyusunan Standar Usaha Pariwisata untuk setiap bidang usaha, jenis usaha dan subjenis usaha pariwisata mencakup aspek produk, pelayanan dan pengelolaan usaha. (2) Penyusunan Standar Usaha Pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bersamasama oleh instansi pemerintah terkait, asosiasi usaha pariwisata, asosiasi profesi, dan akademisi. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Standar Usaha Pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. Sehingga pada tanggal 11 April 2014, Pemerintah melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Permenparekraf) Nomor 4 Tahun 2014 tentang Standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata. Apabila dikaji berdasarkan Teori Hukum Murni, adanya perjenjangan dalam pengaturan standarisasi dan sertifikasi usaha ini menunjukkan bahwa hukum yang lebih tinggi merupakan dasar dan sumber dari hukum yang lebih rendah. Dibuatnya Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014 tentang Standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata merupakan perintah dari Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2012 tentang Sertifikasi Kompetensi dan Sertifikasi Usaha di Bidang Pariwisata, dan bersumber dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang
67
Kepariwisataan. Berdasarkan teori hukum murni, Negara merupakan tatanan sosial yang harus identik dengan hukum, paling tidak dengan tatanan hukum spesifik yang relaif sentralistis, yakni tatanan hukum nasional yang membedakan dengan
hukum
menghilangkan
internasional dualisme
yang
antara
desentralistis. hukum
dan
Teori keadilan,
hukum
murni
sebagaimana
menghilangkan dualisme antara hukum dan Negara.77 Oleh sebab itu, lahirnya Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014 ini merupakan suatu bentuk pengaplikasian teori hukum murni, yang memiliki dasar peraturan yang jelas. Peraturan Menteri ini mengatur secara detail tentang standar yang harus dipenuhi oleh Biro Perjalanan Wisata dan Agen Perjalanan Wisata dalam melaksanakan usahanya. Standar Usaha Jasa Perjalanan Pariwisata yang dimaksud dalam Peraturan Menteri ini, sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 angka 3, adalah “Rumusan klasifikasi Usaha Jasa Perjalanan Wisata dan/atau klasifikasi Usaha Jasa Pariwisata yang mencakup aspek produk, pelayanan dan pengelolaan Usaha Jasa Perjalanan Wisata”. Sehingga secara garis besar, dalam Pasal 2 dinyatakan bahwa Peraturan Menteri ini mengatur dan menetapkan batasan tentang : a. Persyaratan Minimal dalam penyelenggaraan Usaha Jasa Perjalanan Wisata; b. Pedoman best practices dalam pelaksanaan Sertifikasi Usaha Jasa Perjalanan Wisata.
77
Yayan M. Royani, 2012, Negara dan Teori Hukum Murni, http://elsaonline.com/?p=1323, diakses tanggal 26 Januari 2015.
68
Selanjutnya, dalam Pasal 5 disebutkan bahwa Kegiatan usaha Biro Perjalanan Wisata meliputi usaha penyediaan jasa perencanaan perjalanan dan usaha jasa pelayanan dan penyelenggaraan pariwisata termasuk perjalanan ibadah, yang berbentuk badan usaha Indonesia berbadan hukum. Adanya ketentuan dalam pasal 5 ini menegaskan kembali bahwa Biro Perjalanan Wisata haruslah berbentuk badan hukum yang berlaku di Indonesia, sehingga dalam menjalankan usahanya harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus tentang badan hukum di Indonesia. Kewajiban Pelaku Usaha Perjalanan Wisata untuk memiliki Sertifikat Usaha Jasa Perjalanan Wisata tercantum dalam Pasal 7 ayat (1), yang menyatakan bahwa “Setiap Usaha Jasa Perjalanan Wisata, termasuk kantor cabang Usaha Jasa Perjalanan Wisata, wajib memiliki Sertifikat Usaha Jasa Perjalanan Wisata dan melaksanakan Sertifikasi Usaha Jasa Perjalanan Wisata, berdasarkan persyaratan dan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini.” Kata wajib, yang terdapat dalam ketentuan pasal tersebut mengartikan bahwa Sertifikat Usaha Jasa Perjalanan Wisata ini adalah sesuatu yang harus dimiliki oleh setiap usaha jasa perjalanan wisata, yang apabila tidak dipenuhi maka akan menimbulkan sanksi tertentu. Sementara itu, dalam Pasal 9 dijelaskan terkait persyaratan yang harus dipenuhi untuk dapat melaksanakan sertifikasi usaha jasa perjalanan wisata, yaitu: (1) Untuk keperluan sertifikasi dan penerbitan Sertifikat Usaha Jasa Perjalanan Wisata, harus dilakukan penilaian terhadap: a. pemenuhan persyaratan dasar; dan b. pemenuhan dan pelaksanaan Standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata. (2) Persyaratan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, adalah Tanda Daftar Usaha Pariwisata Bidang Usaha Jasa Perjalanan Wisata.
69
(3) Dalam hal persyaratan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak terpenuhi, maka sertifikasi tidak dapat dilakukan. (4) Pemenuhan dan pelaksanaan Standar Usaha yang berlaku bagi Usaha Jasa Perjalanan Wisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, mencakup: a. Standar Usaha bagi Biro Perjalanan Wisata, yang meliputi aspek: 1. produk, yang terdiri dari 20 (dua puluh) unsur; 2. pelayanan, yang terdiri dari 7 (tujuh) unsur; dan 3. pengelolaan, yang terdiri dari 11 (sebelas) unsur. Sebagaimana telah dibahas dalam bab II, Ketentuan mengenai Persyaratan administrasi untuk memiliki Ijin Usaha Jasa Perjalanan Wisata diatur dalam Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.85/HK.501/MKP/2010 tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha Jasa Perjalanan Wisata. Dalam peraturan ini dijelaskan beberapa syarat untuk pengajuan TDUP, yaitu : a. Pendaftaran usaha pariwisata ditujukan kepada Bupati atau Walikota tempat kedudukan kantor dan/atau gerai penjualan. (Pasal 3 ayat 1) b. Biro Perjalanan Wisata berbentuk badan usaha Indonesia berbadan hukum (Pasal 6 ayat 2) c. Permohonan pendaftaran usaha pariwisata ditujukan secara tertulis oleh pengusaha, dengan menyertakan dokumen : (Pasal 9 ayat 1 dan 2) 1. Fotokopi akta pendirian badan usaha yang mencantumkan usaha jasa perjalanan wisata sebagai maksud dan tujuannya, beserta perubahannya, apabila ada. 2. Fotokopi izin teknis dan dokumen lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 3. Surat Pernyataan tertulis yang menyatakan bahwa data dan dokumen yang diserahkan tersebut adalah benar, absah dan sesuai dengan fakta.
70
Pemenuhan dan pelaksanaan Standar Usaha yang wajib dipenuhi oleh Biro Perjalanan Wisata, sebagaimana tercantum dalam Pasal 9 ayat (4) Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014, berkaitan erat dengan paket wisata yang disediakan oleh Biro Perjalanan Wisata. Paket wisata merupakan hasil dari berbagai produk wisata. Produk adalah barang atau jasa yg dibuat dan ditambah gunanya atau nilainya dalam proses produksi dan menjadi hasil akhir dari proses produksi itu.78 Menurut Muljadi A.J., Produk wisata adalah kumpulan dari berbagai macam jasa dimana antara satu dan lainnya memiliki keterkaitan dan dihasilkan oleh berbagai perusahaan pariwisata, seperti restoran/tempat makan, akomodasi, daya tarik wisata, angkutan wisata, dan perusahaan lainnya yang terkait. 79 Sehingga dalam pelaksanaannya, unsur-unsur jasa pariwisata tersebut haruslah memberikan pelayanan yang terbaik, karena mereka tergabung dalam suatu paket wisata, yang apabila salah satu memberikan kesan yang buruk maka akan berdampak pada unsur-unsur jasa lainnya. Menurut Gamal Suwantoro, suatu produk wisata memiliki ciri-ciri khusus, yaitu :80 1. Hasil suatu produk wisata tidak dapat dipindahkan. Dikatakan demikian karena dalam proses penjualannya tidak mungkin produk tersebut dibawa kepada konsumen. Tetapi konsumenlah yang datang untuk mendapatkan produk wisata tersebut.
78
Anonim, 2015, Produk, http://kbbi.web.id/produk, diakses tanggal 22 Februari 2015.
79
Muljadi A.J., op.cit, h. 47.
80
Gamal Suwantoro, 2004, Dasar-Dasar Pariwisata, Andi, Yogyakarta, h. 48-49.
71
2. Produksi dan konsumsi terjadi pada saat dan tempat yang sama, karena tanpa adanya pembelian maka tidak akan terjadi produksi. 3. Produk wisata tidak menggunakan suatu standar ukuran fisik, namun menggunakan standar pelayanan yang didasarkan pada suatu kriteria tertentu. 4. Konsumen tidak dapat mencoba contoh produk itu sebelumnya, atau bahkan mengetahui dan menguji produk itu sebelumnya. 5. Hasil suatu produk wisata tergantung pada tenaga manusia dan hanya sedikit yang menggunakan mesin. 6. Produk wisata merupakan usaha yang mengandung resiko besar. Dikatakan demikian, karena adanya produk wisata ini sangat bergantung kepada
adanya
wisatawan.
Apabila
tidak
ada
wisatawan
yang
menggunakan produk wisata tersebut, maka tidak akan terjadi proses produksi. Menurut Middleton, dalam industri pariwisata produk dapat dipahami dalam dua tingkatan, yaitu :81 1. Produk wisata secara keseluruhan (total tourist product), yaitu kombinasi dari keseluruhan produk dan jasa yang dikonsumsi oleh wisatawan, dimulai saat wisatawan tersebut meninggalkan tempat tinggalnya, hingga wisatawan tersebut kembali lagi. Dalam hal ini, produk meliputi suatu ide,
81
Ike Janita Dewi, 2011, Implementasi dan Implikasi Kelembagaan Pemasaran Pariwisata Yang Bertanggungjawab (Responsible Tourism Marketing), Pinus Book Publisher, Jakarta, h. 52.
72
suatu harapan atau gambaran mental (mental construct) dalam benak konsumen, pada saat penjualan suatu produk wisata. 2. Produk secara spesifik, yaitu produk komersial yang merupakan bagian dari produk wisata secara keseluruhan, seperti misalnya akomodasi, transportasi, atraksi, daya tarik wisata, dan juga fasilitas pendukung lainnya, seperti penyewaan mobil ataupun penukaran uang asing (money changer). Penjelasan tersebut sesuai dengan definisi paket wisata yang disampaikan oleh Nelson Jones dan Stewart, sebagaimana dikutip dalam buku Tourism, Travel and Hospitality Law karya Trevor C. Atherton dan Trudie A. Atherton. Menurut mereka paket wisata atau package holidays adalah : 82 “Package Holidays… are holidays the elements of which are packaged together to form a whole which is sold at an inclusive price. The creator of the package is the tour operator who makes arrengements for transport companies, hotels, etc to provide the travel, accommodation, meals and other items which together constitute a particular holiday. In some cases the tour operator, or companies under common ownership and control, will own the airline and hotels which feature in the package. But many substantial operators do not own any airplines or hotels … and even operators who [do] … will often use some which they do not own.”
Sementara itu, dalam bukunya yang berjudul Tourism a New Perspective, Peter M. Burns dan Andrew Holden berpendapat bahwa “Perhaps in reality what tourist are seeking is the familiar, and the package industry helps transform both tourist perception of their destination through advertising, and the reality of the
82
Trevor C. Atherton and Trudie A. Atherton, op.cit, h. 214.
73
destination through creating the necessary hotels, services, and amenities”.83 Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, maka dapat dikatakan bahwa paket wisata merupakan hasil yang jelas atau produk dari suatu industri pariwisata, yang berperan penting dalam menarik wisatawan untuk berkunjung ke suatu tempat. Berkaitan dengan produk yang dihasilkan oleh Biro Perjalanan Wisata, Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014 mengatur tentang 20 unsur yang harus dipenuhi, yang terdiri dari 6 fokus utama, yaitu : a. BPW menyediakan minimum jasa pemesanan dan/atau penjualan; b. BPW menyelenggarakan lebih dari 1 (satu) paket wisata, dan sekurangkurangnya 1 (satu) diantaranya adalah paket wisata buatan sendiri; c. Paket wisata yang diselenggarakan oleh BPW memuat minimum keterangan tentang paket wisata; d. BPW menyediakan jasa pengurusan paspor dan visa; e. BPW menggunakan jasa tenaga pemandu wisata mandiri atau menjadi bagian dari usaha jasa pramuwisata; f. BPW mempekerjakan pimpinan perjalanan wisata (tour leader); Pelayanan adalah suatu aktivitas atau serangkaian aktivitas yang bersifat tidak kasat mata yang terjadi akibat adanya interaksi antara konsumen dengan karyawan atau hal-hak lain yang disediakan oleh perusahaan pemberi pelayanan yang dimaksudkan untuk memecahkan permasalahan konsumen atau pelanggan.84
83
Peter M. Burns and Andrew Holden, 1995, Tourism a New Perspective, Prentice Hall, London, h. 28. 84
Ratminto dan Atik Septi Winarsih, 2005, Manajemen Pelayanan, Pustaka Pelajar, Jakarta, h.
2.
74
Menurut Lovelock, terdapat lima prinsip untuk dapat meningkatkan kualitas dalam pelayanan, yaitu :85 1. Tangibles, yaitu berkaitan dengan penampilan fisik, peralatan, personal, dan komunikasi. 2. Reliability, yaitu kemampuan untuk membentuk pelayanan yang sudah dijanjikan dengan tepat dan memberikan dampak ketergantungan. 3. Responsiveness, yaitu adanya rasa tanggung jawab terhadap mutu pelayanan. 4. Assurance, yaitu adanya jaminan terhadap pengetahuan, perilaku, dan kemampuan pegawai. 5. Empathy, yaitu adanya perhatian perorangan atau personal terhadap pelanggan. Pelayanan merupakan hal yang paling penting dalam usaha yang memiliki komoditas utama berupa jasa. Dengan adanya pelayanan yang ramah dan menyenangkan, akan memberikan kesan positif kepada pengguna jasa, sehingga membuat pengguna jasa ingin kembali menggunakan jasa tersebut. Dalam pariwisata, pelayanan kepada wisatawan meliputi semua pelayanan normal yang diberikan sebuah kota, seperti layanan keamanan dari polisi dan pemadam kebakaran, kesehatan dan sanitasi, dan fasilitas publik lainnya, sampai dengan
85
Silahudin, 2010, Standard Pelayanan Publik, http://silahudin66.blogspot.com/2010/05/standard-pelayanan-publik.html?m=1, diakses tanggal 23 Februari 2015.
75
pelayanan dari pelaku usaha maupun masyarakat sekitar, yang membuat suatu kota berkesan untuk dikunjungi.86 Dalam hal pelayanan, Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014, menetapkan 7 unsur yang harus dipenuhi, dengan 2 fokus utama, yaitu : a. Menerapkan Standard Operating Procedures (SOP) bagi pelaksanaan tamu di kantor BPW; b. Menerapkan Standard Operating Procedures (SOP) dalam pelaksanaan perjalanan wisata. Menurut Soekanto, Pengelolaan adalah suatu proses yag dimulai dari proses perencanaan, pengaturan, pengawasan, penggerak sampai dengan proses terwujudnya tujuan. Sedangkan menurut Prajudi, pengelolaan ialah pengendalian dan pemanfaatan semua faktor sumber daya yang menurut suatu perencana diperlukan untuk penyelesaian suatu tujuan kerja tertentu.87 Pengelolaan yang wajib dilakukan oleh Biro Perjalanan Wisata berdasarkan Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014, mencakup 11 unsur, dengan 5 fokus utama, yaitu : a. BPW memiliki tempat usaha/kantor yang terpisah dari kegiatan keluarga/rumah tangga; b. BPW memiliki tata kelola perusahaan;
86
Robert Christie Mill, 2000, Tourism The International Business Edisi Bahasa Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 279. 87
Anonim, 2011, Pengertian Pengelolaan, Pengertian Perencanaan dan Pengertian Pelaksanaan, http://www.pengertianpakar.com/2014/12/pengertian-pengelolaan-perencanaandan.html#_ , diakses tanggal 23 Februari 2015.
76
c. BPW memiliki dan memelihara basis data yang memuat keterangan tentang nama, alamat, nomor telepon dan e-mail; d. BPW memiliki rencana pengembangan usaha; e. Pengembangan sumber daya manusia. Konsekuensi yang ditentukan oleh Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014, apabila Biro Perjalanan Wisata tidak memenuhi standar usaha tersebut tercantum dalam Pasal 11 ayat (1), yang menyatakan bahwa “Pengusaha Pariwisata yang tidak memenuhi Standar Usaha yang berlaku bagi Biro Perjalanan Wisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) huruf a, tidak dapat digolongkan dan tidak dapat mendalilkan diri sebagai Biro Perjalanan Wisata”. Sementara itu, Pasal 12 menyatakan bahwa “Pengusaha Pariwisata yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4), dan telah memperoleh Sertifikat Usaha Jasa Perjalanan Wisata, berwenang untuk menyelenggarakan dan dapat mendalilkan diri sebagai Usaha Jasa Perjalanan Wisata, sesuai penggolongan yang berlaku.” Selanjutnya dalam Pasal 12 ayat (2), dijelaskan tentang lembaga yang berhak melakukan sertifikasi, dengan penjelasan sebagai berikut “Penilaian atas pemenuhan dan pelaksanaan Standar Usaha yang berlaku bagi Usaha Jasa Perjalanan Wisata dalam rangka sertifikasi dan penerbitan Sertifikat Usaha Jasa Perjalanan Wisata, diselenggarakan oleh LSU Bidang Pariwisata.” Lembaga Sertifikasi Usaha (LSU) Bidang Pariwisata adalah lembaga mandiri yang berwenang melakukan Sertifikasi Usaha di Bidang Pariwisata sesuai ketentuan peraturan Perundang-Undangan. Menteri Pariwisata dan Ekonomi
77
Kreatif telah menunjuk dan menetapkan 17 (tujuh belas) Lembaga Sertifikasi Usaha (LSU) bidang Pariwisata yaitu:88 1.
PT. Sucofindo International Certification Service, Jakarta;
2.
PT. Sai Global Indonesia, Jakarta;
3.
PT. Mutu Indonesia Strategis Berkelanjutan, Jakarta;
4.
PT. Sertifindo Wisata Utama, Semarang;
5.
PT. Karsa Bhakti Persada, Bandung;
6.
PT. Megah Tri Tunggal Mulia (National Hospitality Certification), Surabaya;
7.
PT. Tribina Jasa Wisata, Jakarta;
8.
PT. Graha Bina Nayaka, Jakarta;
9.
PT. El John Prima Indonesia, Jakarta;
10. PT. Adi Karya Wisata, Yogyakarta; 11. PT. Indonesia Certification Services Management, Jakarta; 12. PT. Sertifikasi Usaha Pariwisata Indonesia, Jakarta; 13. PT. Bhakti Mandiri Wisata Indonesia, Yogyakarta; 14. PT. Tuv Rheinland Indonesia, Jakarta; 15. PT. Mutuagung Lestari, Jakarta; 16. PT. Enhai Mandiri 186, Bandung; 17. PT. Sertifikasi Usaha Pariwisata Nasional, Denpasar.
88
Puskom Publik, 2014, “Siaran Pers : Launching Lembaga Sertifikasi Usaha Bidang Pariwisata Era Baru Menuju Industri Pariwisata Indonesia yang Berdaya Saing Global”, http://www.parekraf.go.id/asp/detil.asp?c=16&id=2756, diakses tanggal 22 Januari 2015.
78
Tata Cara Pendirian Lembaga Sertifikasi Usaha (LSU) Bidang Pariwisata diatur dalam Pasal 7 Permenparekraf Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Sertifikasi Usaha Pariwisata, yaitu : (1) Permohonan pendirian LSU Bidang Pariwisata diajukan oleh Pemohon kepada Menteri melalui Komisi Otorisasi dengan menyerahkan Dokumen Permohonan Pendirian LSU Bidang Pariwisata yang berisi: a. salinan akta pendirian badan usaha yang maksud dan tujuannya bergerak di bidang sertifikasi; b. rencana kerja LSU Bidang Pariwisata minimum untuk 3 (tiga) tahun mendatang; c. rencana anggaran biaya pengelolaan LSU Bidang Pariwisata minimum untuk 3 (tiga) tahun mendatang; d. memiliki perangkat kerja, antara lain: 1. materi audit usaha pariwisata; 2. pedoman pelaksanaan audit usaha pariwisata; dan 3. panduan mutu. e. daftar riwayat hidup pengelola dilengkapi dengan pas foto; f. daftar riwayat hidup Auditor dilengkapi dengan pas foto; dan g. salinan KTP/tanda pengenal Auditor. (2) Dokumen Permohonan Pendirian LSU Bidang Pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan sebanyak 7 (tujuh) rangkap, yaitu 2 (dua) eksemplar dokumen asli dan 5 (lima) salinan dokumen. (3) Komisi Otorisasi memeriksa kelengkapan Dokumen Permohonan Pendirian LSU Bidang Pariwisata dan apabila masih terdapat kekurangan, Pemohon harus melengkapi kekurangan tersebut paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah pemberitahuan. (4) Komisi Otorisasi mengundang Pemohon yang dokumen permohonannya telah lengkap untuk mempresentasikan rencana pendirian dan kegiatan LSU Bidang Pariwisata selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja sejak surat undangan dikirimkan. (5) Komisi Otorisasi melakukan verifikasi lapangan ke lokasi dimana LSU Bidang Pariwisata akan didirikan. (6) Komisi Otorisasi memberikan keputusan penilaian diterima atau ditolaknya Permohonan Pendirian LSU Bidang Pariwisata paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah dilakukan verifikasi lapangan.
Berdasarkan
penjelasan
tersebut,
dapat
disimpulkan
bahwa
dalam
Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014 tentang Standar Usaha Pariwisata merupakan peraturan yang lahir atas dasar Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun
79
2012 tentang Sertifikasi Kompetensi dan Sertifikasi Usaha di Bidang Pariwisata, dan bersumber dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Adanya Permenparekraf ini bertujuan untuk mendukung peningkatan mutu produk, pelayanan, dan pengelolaan, serta peningkatan daya saing usaha jasa perjalanan wisata, dengan cara memenuhi unsur-unsur sebagaimana ditentukan dalam Pasal 9 ayat (4) huruf a.
3.2. Sanksi terkait Pelanggaran Terhadap Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi kreatif Nomor 4 Tahun 2014 tentang Standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata Pada hakikatnya, usaha jasa perjalanan wisata yang dalam hal ini adalah biro perjalanan wisata, adalah jenis usaha yang bertumpu pada kepercayaan. Kepercayaan biasanya didapat dalam bentuk pembayaran terlebih dahulu dan janji bahwa akan diperolehnya pelayanan yang belum pernah didapat sebelumnya, serta kepercayaan dari usaha angkutan dan perhotelan yang memberikan jasa pelayanan atas dasar kredit.89 Secara singkat dapat dikatakan bahwa adanya kepercayaan dari wisatawan atau pengguna jasa merupakan modal utama terhadap keberlangsungan suatu usaha yang bergerak di bidang jasa. Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, paket wisata merupakan salah satu produk yang dihasilkan oleh Biro Perjalanan Wisata. Dalam menjalankan usahanya, pelaku usaha Biro Perjalanan Wisata wajib untuk melakukan upaya pengawasan terhadap paket-paket wisata yang telah dihasilkan, apakah sudah 89
Salah Wahab, 2003, Manajemen Kepariwisataan, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 237.
80
sesuai dengan yang terjadi dalam pelaksanaannya. Hal tersebut juga berlaku dalam Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014. Dalam pasal 17, Permenparekraf ini mengatur tentang pihak yang bertanggung jawab dalam pengawasan sertifikasi usaha jasa perjalanan wisata, yaitu : (1) Menteri/Gubernur/Bupati/Walikota melakukan pengawasan penerapan dan pemenuhan Standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata, sesuai kewenangannya. (2) Pengawasan yang dilakukan oleh Menteri sebagaimana dimaksud ayat (1) melalui evaluasi penerapan standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata. (3) Pengawasan yang dilakukan oleh Gubernur sebagaimana dimaksud ayat (1) melalui evaluasi laporan kegiatan penerapan standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata di wilayah kerja. (4) Bupati/Walikota melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui evaluasi terhadap Persyaratan Dasar, dan kepemilikan Sertifikat Usaha Jasa Perjalanan Wisata.
Selanjutnya, apabila pelaku usaha tidak melaksanakan dan/atau melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), dan Pasal 13, maka pelaku usaha akan dikenakan sanksi administratif, sebagaimana tercantum dalam Pasal 18 ayat (2) sampai (5) Permenparekraf ini, yaitu : (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa: a. teguran tertulis; b. pembatasan kegiatan Usaha Jasa Perjalanan Wisata; dan c. pembekuan atau pencabutan Tanda Daftar Usaha Pariwisata. (3) Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan paling sedikit sebanyak 3 (tiga) kali dan dilaksanakan secara patut dan tertib, dengan selang waktu di antara masing-masing teguran tertulis paling cepat selama 30 hari kerja, dan harus dikenakan sebelum sanksi-sanksi administrasi yang lain dikenakan. (4) Pembatasan kegiatan Usaha Jasa Perjalanan Wisata sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dikenakan apabila Pengusaha Pariwisata tidak mematuhi teguran tertulis ketiga dan jangka waktu selang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) selama paling cepat 30 hari kerja, sudah terlampaui. (5) Pembekuan atau pencabutan Tanda Daftar Usaha Pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, dikenakan apabila Pengusaha Pariwisata tidak mematuhi teguran tertulis ketiga dan telah lewat jangka waktu selama paling cepat selama 60 (enam puluh) hari kerja, terhitung sejak tanggal teguran tertulis ketiga dikenakan.
81
Adanya ketentuan mengenai sanksi administrasi ini menunjukkan bahwa Sertifikasi ini merupakan suatu syarat mutlak yang harus dimiliki oleh Biro Perjalanan Wisata dalam menjalankan usahanya. Karena biro perjalanan wisata selaku perantara antara pengusaha pariwisata dengan wisatawan, dalam hal ini memiliki tanggung jawab untuk memberikan produk, pelayanan, dan pengelolaan yang sesuai dengan standar. Menurut Algra, dkk, “Tanggung jawab adalah kewajiban memikul pertanggungjawaban yang diderita (bila dituntut), baik dalam hukum maupun dalam bidang administrasi.”90 Selanjutnya berkaitan dengan paket wisata yang dihasilkan, Trevor C. Atherton and Trudie A. Atherton berpendapat:91 “In tourism, travel and hospitality, consumers are particulary vulnerable under the old common law rules. The product is usually intangible (consider, for example, a package holiday) and often distributed through intermediaries. There is usually no opportunity to look, see, touch, feel or sample the product before purchase or consumption. … The product is usually deleivered, used and consumed all at the same time.”
Adanya pendapat tersebut memperjelas bahwa pentingnya dilakukannya sertifikasi tersebut, karena paket wisata yang dihasilkan biasanya tidak dapat dicoba terlebih dahulu oleh wisatawan. Sementara itu, berkaitan dengan pihak yang bertanggung jawab terhadap paket wisata, Trevor C. Atherton and Trudie A. Atherton, memiliki pendapat lain yang dibagi menjadi 2 kategori, yaitu :92
90
Salim HS dan Erlies Septianan Nurbani I, loc.cit.
91
Trevor C. Atherton and Trudie A. Atherton, op.cit, h. 178-179.
92
Trevor C. Atherton and Trudie A. Atherton, op.cit, h. 216.
82
1.
The Tour Operator is the mere agent (Biro Perjalanan Wisata hanya sebuah agen.) Dalam pendapat ini, dikatakan biro perjalanan wisata hanyalah agen yang menyanggupi untuk mengatur sebuah pelayanan yang nantinya akan dilakukan oleh pihak lain. Hal ini adalah definisi pelayanan biro perjalalan wisata secara sempit, yang juga menunjukkan bahwa tanggung jawab biro perjalanan wisata juga sempit.
2.
The Tour Operator is the principal contractor (Biro Perjalanan Wisata adalah kontraktor utama.) Dalam pendapat ini, biro perjalanan wisata adalah kontraktor utama yang menyanggupi untuk menyediakan sebuah pelayanan yang nantinya akan dilakukan sendiri oleh mereka ataupun dilakukan oleh pihak lain. Pendapat ini menunjukkan tanggung jawab biro perjalanan wisata secara luas. Hal ini melibatkan tanggung jawab utama biro perjalanan wisata dalam memastikan paket pelayanan wisata yang disediakan sudah dengan wajar dan dengan keahlian yang tepat. Sehingga, apabila dikaji melalui teori tanggung jawab hukum oleh Hans
Kelsen, yang menyatakan bahwa tanggung jawab dibedakan menjadi dua macam, yaitu:93 1.
Tanggung jawab yang didasarkan pada kesalahan. Tanggung jawab ini dibebankan kepada subjek hukum atau pelaku yang melakukan suatu
93
Hans Kelsen, loc.cit.
83
perbuatan melawan hukum atau perbuatan pidana, yang disebabkan oleh adanya kekeliruan atau kealpaannya. 2.
Tanggung jawab mutlak. Tanggung jawab ini dibebankan kepada seseorang apabila perbuatannya menimbulkan akibat yang dianggap merugikan oleh pembuat undang-undang, dan terdapat suatu hubungan antara perbuatan dengan akibat yang ditimbulkan. Prinsip tanggung jawab mutlak merupakan sistem tanggung jawab yang tidak berdasarkan kesalahan produsen yakni, menerapkan tanggung jawab kepada pihak yang menjual produk yang cacat, tanpa adanya beban bagi konsumen atau pihak yang diragukan untuk membuktikan kesalahan tersebut.94 Maka dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab yang dibebankan kepada
biro perjalanan wisata, berdasarkan Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014, adalah tanggung jawab mutlak. Dikatakan demikian, karena akibat dari tidak dilaksanakannya sertifikasi standar usaha perjalanan sebagaimana diatur dalam Permenparekraf ini, akan menimbulkan kerugian kepada wisatawan yang menggunakan barang dan/atau jasanya. Dan terdapat suatu hubungan antara perbuatan biro perjalanan wisata yang tidak memenuhi standar usaha tersebut, dengan kerugian yang diderita oleh konsumen pengguna jasanya. Sehubungan dengan baru berlakunya peraturan ini pada tanggal 11 April 2014, maka diatur pula ketentuan peralihan yang tercantum dalam Pasal 19, 20, dan 21. Dalam pasal 19, disebutkan bahwa apabila Pemerintah Daerah belum
94
Inosentius Samsul, 2004, Perlindungan Konsumen : Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, Universitas Indonesia, Jakarta, h. 1.
84
dapat menyelenggarakan dan menerbitkan TDUP Bidang Usaha Jasa Perjalanan Wisata, saat berlakunya Peraturan Menteri ini, maka pemenuhan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2), dapat dilakukan dalam bentuk surat keterangan atau rekomendasi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah. Selanjutnya,
dalam
Pasal
20
dikatakan
bahwa
sertifikat
untuk
menyelenggarakan Usaha Jasa Perjalanan Wisata yang telah dimiliki pelaku usaha sebelum berlakunya peraturan menteri ini, tetap dapat digunakan untuk menyelenggarakan Usaha Jasa Perjalanan Wisata sampai dengan masa berlakunya berakhir. Namun masa berlakunya tidak lebih lama dari 2 (dua) tahun, terhitung sejak berlakunya Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014, dan pembaruannya atau perpanjangannya dilaksanakan berdasarkan Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014. Dalam hal, pelaku usaha belum memperoleh Sertifikat Usaha Jasa Perjalanan Wisata yang dikeluarkan oleh LSU Bidang Pariwisata sebagaimana diatur dalam Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014, namun telah menyelenggarakan dan/atau mendalilkan diri sebagai Usaha Jasa Perjalanan Wisata, maka Pasal 21 menyatakan bahwa pelaku usaha tersebut wajib untuk menyesuaikan diri dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak berlakunya Permenparekraf ini. Selanjutnya, dalam jangka waktu 2 bulan setelah berlakunya Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014, pemerintah melalui Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mengeluarkan peraturan baru, yaitu Permenparekraf Nomor 8 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Pariwisata Dan Ekonomi Kreatif
85
Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata. Dikeluarkannya Permenparekraf Nomor 8 Tahun 2014 ini pada tanggal 26 Juni 2014,
didasarkan
pada
tujuan
untuk
mengoptimalisasikan
penerapan
Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014. Adanya Permenparekraf Nomor 8 Tahun 2014, membuat ketentuan Pasal 20 berubah. Sehingga Pasal 20, yang sebelumnya menyatakan : Pengusaha Pariwisata yang telah memiliki sertifikat untuk menyelenggarakan Usaha Jasa Perjalanan Wisata sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, tetap dapat menggunakan sertifikat dimaksud untuk menyelenggarakan Usaha Jasa Perjalanan Wisata sampai dengan masa berlakunya berakhir namun tidak lebih lama dari 2 (dua) tahun terhitung sejak berlakunya Peraturan Menteri ini, dan pembaruannya atau perpanjangannya dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri ini. Berubah menjadi sebagai berikut: (1) Pengusaha Pariwisata yang telah memiliki sertifikat Usaha Jasa Perjalanan Wisata sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, dan masih berlaku setelah tanggal 11 April 2014, tetap dapat menggunakan sertifikat dimaksud untuk menyelenggarakan Usaha Jasa Perjalanan Wisata sampai dengan masa berlakunya berakhir namun tidak lebih lama dari 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal 11 April 2014. (2) Setelah berakhirnya masa berlaku sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengusaha Pariwisata wajib memiliki sertifikat dan memenuhi persyaratan standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata berdasarkan Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 4 Tahun 2014 tentang Usaha Jasa Perjalanan Wisata.
Perubahan terletak pada penyebutan tanggal masa berlakunya Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014 dan penambahan ayat (2) yang menjelaskan secara detail tentang pembaruannya atau perpanjangan sertifikat Usaha Jasa Perjalanan Wisata, yang wajib memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014.
86
Selanjutnya, diantara Pasal 20 dan Pasal 21, disisipkan 1 Pasal baru yaitu Pasal 20A, yang berbunyi sebagai berikut: Dalam hal masa berlaku sertifikat Usaha Jasa Perjalanan Wisata telah berakhir sebelum atau pada saat berlakunya Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 4 Tahun 2014 tentang Standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata, maka Pengusaha Pariwisata wajib menyesuaikan diri dengan Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 4 Tahun 2014 tentang Standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal 11 April 2014. Perubahan juga terjadi dalam ketentuan Pasal 21, yang sebelumnya menyatakan : Pengusaha Pariwisata yang belum memperoleh Sertifikat Usaha Jasa Perjalanan Wisata yang dikeluarkan oleh LSU Bidang Pariwisata berdasarkan Peraturan Menteri ini, namun telah menyelenggarakan dan/atau mendalilkan diri sebagai Usaha Jasa Perjalanan Wisata pada saat berlakunya Peraturan Menteri ini, wajib menyesuaikan diri dengan Peraturan Menteri ini dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak berlakunya Peraturan Menteri ini. Berubah menjadi sebagai berikut: Pengusaha Pariwisata yang belum memperoleh Sertifikat Usaha Jasa Perjalanan Wisata yang dikeluarkan oleh LSU Bidang Pariwisata berdasarkan Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 4 Tahun 2014 tentang Standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata, namun telah menyelenggarakan dan/atau mendalilkan diri sebagai Usaha Jasa Perjalanan Wisata, wajib menyesuaikan diri dengan Peraturan Menteri ini dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal 11 April 2014. Dalam pasal 21 ini, terlihat sebuah perubahan penting, yaitu jangka waktu penyesuaian Usaha Perjalanan Wisata yang telah mendalilkan diri saat berlakunya Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014, yang sebelumnya dinyatakan 1 (tahun), selanjutnya diubah menjadi 2 (dua) tahun sejak tanggal 11 April 2014. Diantara Pasal 21 dan Pasal 22 juga disisipkan 1 Pasal, yaitu Pasal 21A, yang berbunyi sebagai berikut: (1) Dalam hal Usaha Jasa Perjalanan Wisata termasuk dalam kategori usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah, dan koperasi, maka standar usaha
87
yang diatur dalam Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 4 Tahun 2014 tentang Standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata tidak wajib diterapkan sebelum tangal 11 April 2018. (2) Sebelum tanggal 11 April 2018, Usaha Jasa Perjalanan Wisata yang termasuk dalam kategori sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat meminta dilakukan sertifikasi terhadap Usaha Jasa Perjalanan Wisatanya secara sukarela berdasarkan Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 4 Tahun 2014 tentang Standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata. (3) Sertifikat yang diterbitkan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memiliki kekuatan yang sama seperti sertifikat yang diterbitkan apabila penerapan standar usaha telah diwajibkan. (4) Terhadap Usaha Jasa Perjalanan Wisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pembinaan agar mampu memenuhi persyaratan sertifikasi.
Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa sanksi terhadap biro perjalanan wisata yang tidak memenuhi unsur-unsur yang tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 13 Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014 pada jangka waktu yang ditentukan, yaitu pelaku usaha akan dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis, pembatasan kegiatan Usaha Jasa Perjalanan Wisata, dan pembekuan atau pencabutan Tanda Daftar Usaha Pariwisata.
BAB IV KESIAPAN BIRO PERJALANAN WISATA DALAM MELAKSANAKAN PERATURAN PERLINDUNGAN WISATAWAN DALAM PASOKAN JASA PARIWISATA OLEH BIRO PERJALANAN WISATA 4.1. Standarisasi Keamanan dan Keselamatan Wisatawan Yang wajib Dipenuhi oleh Biro Perjalanan Wisata Biro Perjalanan Wisata memiliki peran yang cukup penting dalam industri pariwisata yaitu sebagi penyelenggara kegiatan wisata. Dalam hal ini, wisatawan yang menggunakan jasa biro perjalanan wisata merasakan bahwa pihak yang bertanggung jawab terhadap keberadaan mereka selama berada di suatu daerah wisata adalah tanggung jawab Biro Perjalanan tersebut. Salah satu fokus penting yang harus diperhatikan oleh pelaku usaha biro perjalanan wisata adalah perlindungan terhadap hak-hak wisatawan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yaitu : (a) informasi yang akurat mengenai daya tarik wisata; (b) pelayanan kepariwisataan sesuai dengan standar; (c) perlindungan hukum dan keamanan; (d) pelayanan kesehatan; (e) perlindungan hak pribadi; dan (f) perlindungan asuransi untuk kegiatan pariwisata yang beresiko tinggi. Dalam Pasal 20 huruf b undang-undang tersebut, dikatakan bahwa wisatawan berhak atas pelayanan kepariwisasataan sesuai dengan standar. Standar adalah kesepakatan-kesepakatan yang telah didokumentasikan, dimana didalamnya membahas tentang spesifikasi-spesifikasi teknis atau kriteria-kriteria yang akurat, 88
89
yang digunakan sebagai peraturan, petunjuk, atau definisi-definisi tertentu untuk menjamin suatu barang, produk, proses, atau jasa sesuai dengan yang telah dinyatakan.95 Berkaitan dengan standar tersebut, dalam Lampiran Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014, telah diatur dan dijelaskan tentang 38 unsur yang wajib dilengkapi oleh Biro Perjalanan Wisata, untuk mendapatkan Sertifikasi Usaha Jasa Perjalanan Wisata, yaitu : 1. Aspek Produk : a. BPW menyediakan minimum jasa pemesanan dan/atau penjualan : 1. Paket Wisata 2. Voucher Akomodasi 3. Tiket Perjalanan 4. Jasa Angkutan Wisata b. BPW menyelenggarakan lebih dari 1 (satu) paket wisata, dan sekurangkurangnya 1 (satu) diantaranya adalah paket wisata buatan sendiri. c. Paket wisata yang diselenggarakan oleh BPW memuat minimum keterangan tentang : 1. Nama Paket Wisata 2. Durasi Perjalanan Wisata 3. Rute dan kegiatan perjalanan wisata (itinerary) 4. Harga Paket Wisata dalam mata uang Rupiah 5. Moda Transportasi 95
Anonim, Sekilas Mengenai ISO, http://www.dephut.go.id/Halaman/STANDARDISASI_&_LINGKUNGAN_KEHUTANAN/INF O_VI02/V_VI02.htm, diakses tanggal 24 Feburari 2015.
90
6. Jenis Akomodasi 7. Perlindungan Asuransi perjalanan wisata bagi wisatawan d. BPW menyediakan jasa pengurusan paspor dan visa. e. BPW menggunakan jasa tenaga pemandu wisata mandiri atau menjadi bagian dari usaha jasa pramuwisata, berdasarkan ketentuan sebagai berikut: 1. Tenaga pemandu wisata tersebut memiliki sertifikat kompetensi yang masih berlaku. 2. Dalam hal BPW menyelenggarakan paket wisata untuk wisatawan mancanegara, tenaga pemandu wisata tersebut mampu berbahasa asing sesuai dengan bahasa yang digunakan oleh wisatawan mancanegara, atau sekurang-kurangnya mampu berbahasa inggris. 3. Tenaga pemandu wisata tersebut dilindungi asuransi perjalanan wisata. f. BPW mempekerjakan pimpinan perjalanan wisata (tour leader), berdasarkan ketentuan sebagai berikut : 1. Pimpinan perjalanan wisata dilengkapi dengan surat tugas dari BPW. 2. Pimpinan perjalanan wisata tersebut memiliki sertifikat kompetensi yang masih berlaku. 3. Pimpinan perjalanan wisata tersebut memiliki sertifikat kompetensi yang masih berlaku. 4. Dalam hal BPW menyelenggarakan paket wisata untuk wisatawan mancanegara, pimpinan perjalanan wisata tersebut mampu berbahasa
91
asing sesuai dengan bahasa yang digunakan oleh wisatawan mancanegara, atau sekurang-kurangnya mampu berbahasa inggris. 5. Pimpinan perjalanan wisata tersebut dilindungi asuransi perjalanan wisata. Berkaitan dengan aspek produk yang dihasilkan oleh biro perjalanan wisata, terdapat suatu hubungan yang erat antara biro perjalanan wisata dengan pelaku usaha pariwisata lainnya, seperti perusahaan angkutan, perhotelan, bar dan restoran, objek wisata dan lain-lain. Pola hubungan tersebut dimulai dengan adanya kontrak atau kerjasama berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak dimana dalam hubungan kerjasama tersebut, biro perjalanan wisata berperan sebagai pihak yang mempromosikan suatu usaha jasa pariwisata dan sebagai gantinya usaha jasa pariwisata akan memberikan imbalan atas kinerja biro perjalanan wisata tersebut. Perjanjian kerja sama antara biro perjalanan wisata dan pelaku usaha pariwisata lainnya, idealnya mengandung jangka waktu kerja sama, nilai kerja sama, hak dan kewajiban para pihak, serta syarat dan ketentuan dalam perjanjian yang biasanya memuat tentang kewajiban biro perjalanan wisata dalam memberikan data dan informasi yang lengkap mengenai calon wisatawan. Biro perjalanan wisata tidak boleh memberikan harga yang melebihi tarif yang telah ditentukan, sehingga dapat merugikan wisatawan dan pengusaha pariwisata atau syarat dan ketentuan lainnya yang telah disepakati oleh para pihak. Sebagaimana ditentukan dalam Lampiran Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014 tersebut, dikatakan bahwa paket wisata yang diselenggarakan oleh biro
92
perjalanan wisata memuat minimum keterangan tentang nama paket wisata, durasi perjalanan wisata, rute dan kegiatan perjalanan wisata (itinerary), harga paket wisata dalam mata uang rupiah, moda transportasi, jenis akomodasi, dan perlindungan asuransi perjalanan wisata bagi wisatawan. Adanya kalimat “… memuat minimum keterangan tentang …”, menunjukkan kewajiban biro perjalanan wisata yang bertindak sebagai perantara antara pelaku usaha pariwisata dengan wisatawan, haruslah memberikan suatu informasi yang lengkap dan tepat dalam setiap paket wisata yang ditawarkan. Disamping itu, adanya kalimat tersebut juga menyatakan bahwa perlindungan dalam bentuk asuransi, bukanlah suatu kewajiban yang harus dipenuhi oleh biro perjalanan wisata. Berdasarkan pasal 20 huruf f Undang-Undang Kepariwisataan, dikatakan bahwa “setiap wisatawan berhak memperoleh perlindungan asuransi untuk kegiatan pariwisata yang beresiko tinggi”. Selanjutnya dalam pasal 26 huruf e dan penjelasannya, disebutkan bahwa setiap pengusaha pariwisata berkewajiban untuk memberikan perlindungan asuransi pada usaha pariwisata yang memiliki resiko tinggi, seperti misalnya wisata selam, arung jeram, panjat tebing, permainan jet coaster, dan mengunjungi objek wisata tertentu, seperti melihat satwa liar di alam bebas. Menurut I.G.N. Parikesit Widiatedja, tujuan dari adanya perlindungan asuransi ini dilihat dari sudut liberalisasi jasa, dapat menjadi alternatif solusi untuk meningkatkan pendapatan pariwisata secara keseluruhan.96 Sehingga dapat
96
I.G.N. Parikesit Widiatedja, 2010, Liberalisasi Jasa dan Masa Depan Pariwisata Kita, Udayana University Press, Denpasar, h. 114.
93
disimpulkan bahwa, walaupun undang-undang maupun peraturan menteri tidak mewajibkan biro perjalanan wisata untuk melengkapi paket wisatanya dengan perlindungan asuransi, namun sebaiknya biro perjalanan wisata memiliki asuransi untuk dapat ditawarkan kepada wisatawan, sehingga akan memberikan rasa aman dan nyaman kepada wisatawan pengguna jasa biro perjalanan tersebut. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Trevor C. Atherton dan Trudie A. Atherton yang menyatakan bahwa :97 “There are so many things which can and do go wrong for travellers. They may lose their baggage or have their money stolen, their travel plans may be disrupted or cancelled, causing losses, or they may suffer injury or illnesswhile away, thus incurring medical expenses. Although it is not compulsory for travellers to take out travel insurance, it is certainly advisable.” 2. Aspek Pelayanan a. Menerapkan Standard Operating Procedures (SOP) bagi pelaksanaan tamu di kantor BPW, yang meliputi : 1. Penyambutan kedatangan tamu. 2. Menerima dan melakukan panggilan telepon. 3. Pemberian penjelasan tentang produk yang disediakan/ditawarkan BPW. 4. Pemesanan dan/atau penjualan produk yang disediakan BPW. b. Menerapkan Standard Operating Procedures (SOP) dalam pelaksanaan perjalanan wisata, yang meliputi :
97
Trevor C. Atherton and Trudie A. Atherton, op.cit, h. 145.
94
1. Pelayanan bagi wisatawan oleh tenaga pemandu wisata dan/atau pimpinan perjalanan wisata selama perjalanan wisata. 2. Penanganan permasalahan dan keluhan yang muncul selama perjalanan wisata, oleh tenaga pemandu wisata, oleh tenaga pemandu wisata dan/atau pimpinan perjalanan wisata. 3. Permintaan oleh tenaga pemandu wisata dan/atau pimpinan perjalanan wisata kepada wisatawan untuk mengisi kuisioner untuk evaluasi perjalanan wisata. Adanya standarisasi dalam aspek pelayanan yang diberikan oleh Biro Perjalanan Wisata bertujuan agar setiap biro perjalanan wisata dapat memberikan standar pelayanan yang baik bagi wisatawan. Dalam buku yang berjudul International Tourism : A Global Perspective, dikatakan bahwa “A critical part of sustaining a quality destination is establishing standards of performance in tourism jobs and certifying workers who posses the skills meeting those standards.”98 Pelayanan adalah kunci utama dalam industri pariwisata. Keramahtamahan dan kejelasan informasi akan membuat wisatawan merasa aman dan nyaman saat menggunakan jasa pariwisata tersebut. Untuk dapat memberikan suatu pelayanan yang memuaskan, setiap pelaku usaha harus memahami karakter dan budaya wisatawan yang menggunakan jasanya. Menurut Merry Yudhistira, Assistant HR & GA Manager H.I.S Tour and Travel, dalam wawancara tanggal 22 Januari 2015, kendala dalam memberikan
98
World Tourism Organization, 1997, International Tourism : A Global Perspective, World Tourism Organization, Madrid, h. 347. (selanjutnya disebut World Tourism Organization III)
95
pelayanan yang memuaskan kepada wisatawan adalah adanya perbedaan budaya. Misalnya saja hal-hal yang wajar dan sopan terjadi di Indonesia ternyata dianggap tidak wajar atau tidak sopan di Negara lain. Oleh sebab itu, dalam menjalankan usaha di bidang pariwisata, pelaku usaha tidak hanya dituntut untuk memiliki keahlian dalam berbahasa asing, namun juga harus memiliki pen getahuan yang luas tentang budaya-budaya dalam suatu Negara. 3. Aspek Pengelolaan a. BPW memiliki tempat usaha/kantor yang terpisah dari kegiatan keluarga/rumah tangga : 1. Tempat usaha/kantor memiliki alamat yang jelas, nomor telepon dan faksimili, serta alamat e-mail yang masih berfungsi. 2. Tempat usaha/kantor terdiri dari ruang kerja dan ruang penerimaan tamu. 3. Tempat usaha/kantor dilengkapi dengan sarana, prasarana dan peralatan kantor yang memadai. b. BPW memiliki tata kelola perusahaan yang meliputi minimum : 1. Uraian mengenai struktur organisasi dan susunan pengurus yang memuat nama, jabatan dan uraian tugas setiap bagian. 2. Sistem penatausahaan secara tertib dan baik atas seluruh transaksi pemesanan dan/atau penjualan, serta surat menyurat yang terkait, yang dipelihara dan disimpan minimum selama 3 (tiga) tahun. c. BPW memiliki dan memelihara basis data yang memuat keterangan tentang nama, alamat, nomor telepon dan e-mail, yang meliputi :
96
1. Data pelanggan. 2. Data rekanan/pemasok jasa. 3. Pengusaha Daya tarik wisata. d. BPW memiliki rencana pengembangan usaha. e. Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) : 1. Memiliki sertifikat kompetensi di bidangnya. 2. Melaksanakan program pengembangan SDM Penetapan standarisasi dalam aspek pengelolaan ini lebih difokuskan pada sistem administrasi dan manajemen yang dilakukan oleh suatu usaha biro perjalanan wisata. Dengan adanya sistem administrasi dan manajemen pengelolaan yang baik akan memudahkan pelaku usaha untuk mengembangkan usahanya dengan baik. Dalam sektor pariwisata, aspek pengelolaan ini dikenal dengan prinsip tata kelola pariwisataan yang baik (Good Tourism Governance). Prinsip penyelenggaraan tata kelola kepariwisataan yang baik adalah adanya koordinasi dan sinkronisasi program antar pemangku kepentingan (stake holder), serta adanya partisipasi aktif yang terpadu dan saling menguatkan antara pemerintah, pihak swasta, dan masyarakat setempat yang terkait. 99 Ciri dalam penyelenggaraan tata kelola kepariwisataan yang baik tersebut adalah berdasar pada prinsip-prinsip sebagai berikut :100
99
Bambang Sunaryo, op.cit, h. 77.
100
Bambang Sunaryo, op.cit, h. 78-80.
97
1.
Partisipasi Masyarakat Terkait Adanya
partisipasi
masyarakat
merupakan
faktor
penting
dalam
penyelenggaraan pariwisata. Dengan adanya partisipasi masyarakat untuk ikut
mengawasi
atau
mengontrol
penyelenggaraan
pariwisata
akan
memberikan manfaat yang besar bagi pengembangan dan pengelolaan daya tarik wisata. 2.
Keterlibatan segenap Pemangku Kepentingan Pemangku Kepentingan dalam hal ini adalah kelompok dan institusi lembaga swadaya masyarakat (LSM), kelompok sukarelawan, Pemerintah Daerah, Asosiasi Industri Pariwisata, Asosiasi Bisnis, dan pihak-pihak lain yang berpengaruh dan berkepentingan serta yang akan menerima manfaat dari kegiatan kepariwisataan.
3.
Kemitraan Kepemilikan Lokal Pembangunan Kepariwisataan harus memberikan manfaat yang berkualitas kepada masyarakat setempat, sehingga dapat menunjang kepemilikan masyarakat local dalam berbagai usaha pariwisata.
4.
Pemanfaatan Sumber Daya secara berlanjut Kegiatan-kegiatan pembangunan pariwisata harus menghindari adanya penggunaan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui (irreversible) secara berlebihan. Pembangunan Pariwisata harus mampu menjamin sumber daya alam dan buatan yang ada, dapat dipelihara dan diperbaiki sesuai dengan standar internasional yang berlaku.
98
5.
Mengakomodasikan aspirasi masyarakat Kepedulian terhadap aspirasi masyarakat sangat diperlukan, agar tercipta keharmonisan antara wisatawan, pelaku usaha, dan masyarakat setempat.
6.
Daya dukung lingkungan Setiap pembangunan dalam sektor pariwisata harus didasari dengan pertimbangan terhadap daya dukung lingkungan.
7.
Monitor dan Evaluasi Program Pemantauan dan evaluasi terhadap program-program yang telah dijalankan adalah mutlak diperlukan, sehingga pelaksanaannya harus meliputi skala internasional, nasional, regional, dan lokal.
8.
Akuntabilitas Lingkungan Penggunaan sumber daya yang ada harus dilakukan secara bertanggung jawab dan tidak dieksploitasi secara berlebihan.
9.
Pelatihan pada masyarakat terkait Pelatihan pada masyarakat terkait sebaiknya diarahkan pada topic yang membahas tentang pariwisata berkelanjutan, manajemen perhotelan secara berkelanjutan, dan hal-hal yang berkaitan dengan wawasan keberlangsungan pembangunan kepariwisataan yang holistik.
10. Promosi dan Advokasi Nilai Budaya Kelokalan Kegiatan-kegiatan yang dilakukan seharusnya bertujuan untuk mewujudkan pengalaman wisata yang berkualitas dan berkesan bagi wisatawan, sehingga dibutuhkan adanya program-program promosi dan advokasi penggunaan lahan, serta kegiatan yang mampu memperkuat identitas budaya setempat.
99
Disisi lain, dalam aspek pengelolaan ini pengembangan Sumber Daya Manusia juga menjadi suatu perhatian. Berkaitan dengan Sumber Daya Manusia tersebut, Bambang Sunaryo memberikan definisi khusus tentang Sumber Daya Manusia Pariwisata, yaitu : “Potensi yang terkandung dalam diri manusia untuk mewujudkan perannya sebagai mahluk sosial yang adaptif dan transformatif, yang mampu mengelola dirinya sendiri serta seluruh potensi yang terkandung di alam menuju tercapainya kesejahteraan kehidupan dalam tatanan yang seimbang dan berkelanjutan di bidang kepariwisataan.”101 Sementara itu, menurut Inskeep, Human Resources Planning terdiri dari:102 a. Evaluating the present utilization of human resources in tourism and identifying any existing problems and needs. b. Projecting the future human resources needed by estimating the number of personnel required in each category of employment and determining the qualification for each category of job. c. Evaluating the human resources available in the future. d. Formulating the education and training programs required to provide the requisite qualified human resources. Adanya perhatian khusus dalam hal pengembangan sumber daya manusia ini merupakan suatu kemajuan yang positif untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada wisatawan. Sehingga diperlukan adanya sertifikasi dan pelatihan-pelatihan kepada orang-orang yang bekerja di bidang pariwisata. Karena profesionalisme, keahlian yang efektif dan efisien, serta kesopanan sebagai karakteristik pelayanan tidak akan terjadi begitu saja tanpa adanya pendidikan dan pelatihan yang dilakukan secara terus-menerus.
101
Bambang Sunaryo, op.cit, h. 200.
102
World Tourism Organization III, op.cit, h. 342.
100
Apabila dikaji melalui Teori Perlindungan Hukum, adanya sertifikasi Biro Perjalanan Wisata dalam aspek produk, pelayanan, dan pengelolaan ini merupakan suatu langkah preventif. Perlindungan Hukum preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah bersikap hati-hati dalam pengambilan keputusan berdasarkan diskresi dan perlindungan yang resprensif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, termasuk penanganannya di lembaga peradilan.103 Dengan menjalankan sertifikasi ini dengan benar, biro perjalanan wisata akan mampu mendukung peningkatan mutu pariwisata dalam aspek produk, pelayanan, dan pengelolaan.
4.2. Kesiapan Biro Perjalanan Wisata dalam melaksanakan Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi kreatif Nomor 4 Tahun 2014 tentang Standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata Kesiapan sistem hukum nasional merupakan hal yang penting untuk dimiliki oleh suatu Negara yang berdasarkan atas hukum, dalam memasuki era globalisasi. Dalam suatu Negara, hukum tidak hanya berfungsi sebagai sarana ketertiban dan keamanan masyarakat serta stabilitas nasional. Karena hukum juga berperan sebagai sarana pembangunan nasional. Dengan kata lain, hukum merupakan transformasi masyarakat menuju struktur, organisasi, dan nilai-nilai kehidupan
103
Maria Alfons, 2010, Implentasi Perlindungan Indikasi Geografis Atas Produk-Produk Masyarakat Lokal Dalam Prespektif Hak kekayaan Intelektual, Universitas Brawijaya, Malang, h. 18.
101
berbangsa dan bernegara dalam naungan Republik Indonesia yang pada saatnya bersamaan hidup dalam suasana globalisasi masyarakat dunia.104 Menurut Rouscoe Pound dalam bukunya yang berjudul An Intruduction to the Philosophy of law, hukum dikatakan sebagai suatu sarana perekayasaan masyarakat (Tool of Social Engneering) dan tidak sekedar sebagai alat penertiban masyarakat semata-mata, menurut Rouscoe Pound hukum memiliki tujuan sebagai berikut : 1. Hukum bertujuan untuk mempertahankan kedamaian di dalam masyarakat. 2. Hukum bertujuan untuk mempertahankan status quo social yaitu dengan menempatkan manusia sesuai dengan “sophrosynenya“ masing-masing atau sesuai dengan bidang dan tempat masing-masing orang di dalam masyarakat, dengan ini dimaksudkan agar tidak terjadi bentrokan antar sesama warga masyarakat. 3. Hukum juga bertujuan untuk memungkinkan tercapainya perkembangan pribadi
secara
maksimum
baik
mengenai
kehendaknya
maupun
kewenangannya serta kemampuannya. 4. Hukum bertujuan untuk memenuhi sebanyak mungkin kebutuhan masyarakat.105 Berkaitan dengan pernyataan dari Rouscoe Pound, Mochtar Kusumaatmadja menyatakan, bahwa hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Hal ini didasarkan pada suatu anggapan bahwa adanya keteraturan atau ketertiban ini 104
Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Suatu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung.
h. 96. 105
ibid.
102
merupakan suatu hal yang diinginkan bahkan dipandang perlu. Lebih jauh lagi anggapan lain yang terkandung dalam konsepsi hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat adalah hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum yang memang berfungsi sebagai alat (pengatur) atat sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaharuan.106 Dari konsep tentang hukum dan fungsi hukum, Mochtar Kusumaatmadja berpendapat bahwa, pembinaan hukum nasional harus diarahkan pada usaha-usaha : 1. Memperbaharui peraturan-peraturan hukum termasuk penciptaan yang baru dengan menyesuaikan pada tuntutan perkembangan jaman tanpa mengabaikan kesadaran hukum dalam masyarakat. 2. Menertibkan fungsi lembaga-lembaga hukum sesuai proporsisinya masing-masing. 3. Meningkatkan kemampuan dan kewajiban para penegak hokum 4. Membina kesadaran hukum dalama masyarakat dan membina sikap para penguasa dan para pejabat pemerintah kearah penegakan hukum, keadilan serta perlindungan terhadap harkat manusia dan ketertiban serta kepastian hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.107
106
Mochtarkusumaatmaja, 1976, Hukum Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bina Cipta, Bandung, h. 183. 107
Johanes Ibrahim dan Lindawati Sewu, 2003, Hukum Bisnis : Dalam Persepsi Manusia Modern, Rafika Aditama, Bandung, h. 55.
103
Dalam kaitannya dengan pembangunan, Suryati Hartono menyebutkan ada 4 (empat) fungsi hukum dalam pembangunan yaitu :108 1. Hukum sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan 2. Hukum sebagai sarana pembangunan 3. Hukum sebagai sarana penegak keadilan, dan 4. Hukum sebagai sarana pendidikan Berdasarkan uraian fungsi hukum diatas, akan menjadi sangat relevan apabila fungsi hukum tersebut bermanfaat diterapkan dalam masyarakat. Impelementasi suatu ketentuan dapat berjalan efektif atau tidak efektif tergantung dari kesadaran hukum dari warga masyarakat itu sendiri. Ide tentang kesadaran warga masyarakat sebagai dasar sahnya hukum positif ditemukan dalam ajaran Rechtsgefuhl atau Rechtsbewustzijn yang intinya adalah bahwa tidak ada hukum yang mengikat warga masyarakat kecuali atas kesadaran hukumnya. Kesadaran hukum sering kali dikatikan dengan penataan hukum, pembentukan hukum dan efektifitas hukum. Adanya kesadaran hukum yang berkaitan dengan nilai-nilai yang tumbuh dalam masyarakat, sesuai dengan pendapat yang disampaikan oleh Soerjono Soekanto, bahwa masyarakat mentaati hukum karena sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat itu sendiri. Dalam hal ini telah terjadi internalisasi hukum dalam masyarakat yang diartikan bahwa kaidah-kaidah hukum tersebut
108
Mushin dan Fadilah Putra, 2002, Hukum dan Kebijakan Publik, Averroes Press, Malang, h.
20.
104
telah meresap pada diri masyarakat. Terdapat 4 (empat) indikator kesadaran hukum dalam masyarakat, yaitu :109 1. Pengetahuan hukum Pengetahuan hukum adalah pengetahuan seseorang mengenai beberapa perilaku tertentu yang diatur oleh hukum. Pengetahuan tersebut berkaitan dengan perilaku yang dilarang atau perilaku yang diperbolehkan oleh hukum. Pengetahuan hukum erat kaitannya dengan asumsi bahwa masyarakat dianggap mengetahui isi suatu peraturan manakala peraturan tersebut telah diundangkan. 2. Pemahaman hukum Pemahaman hukum adalah sejumlah informasi yang dimiliki seseorang mengenai isi peraturan dari suatu hukum tertentu, dengan kata lain pemahaman hukum dalah suatu pengertian terhadap isi dan tujuan dari suatu hukum tertentu baik tertulis maupun tidak tertulis serta manfaatnya bagi pihak-pihak yang kehidupannya diatur oleh peraturan tersebut. 3. Sifat hukum Sikap hukum, suatu kecendrungan untuk menerima hukum karena adanya penghargaan terhadap hukum sebagai suatu yang bermanfaat atau menguntungkan jika itu ditaati.
109
Gede Agus Santiago, 2012, “Pelaksanaan Undang-Undang Hak Cipta Berkaitan Dengan Perlindungan Hukum Terhadap Karya Cipta Seni Karawitan Instrumental Bali”, (tesis) Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Udayana, h. 111-112.
105
4. Pola perilaku hukum Pola perilaku hukum merupakan hal utama dalam kesadaran hukum karena disini dapat dilihat apakah suatu peraturan berlaku atau tidak dalam masyarakat. Berkaitan
dengan
pendapat
Soerjono
Soekanto
tersebut,
hadirnya
Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014 yang baru ditetapkan pada tanggal 11 April 2014 ini menimbulkan reaksi positif dari pelaku usaha. Hal tersebut menunjukkan bahwa sudah adanya kesadaran hukum dari pemerintah maupun pelaku usaha terkait, untuk menetapkan suatu standar terhadap produk, pelayanan, dan pengelolaan dari usaha perjalanan wisata. Menurut Didik Widyatmoko yang merupakan Assesor kompetensi LSP Pariwisata, sisi positif dari hadirnya standar usaha ini adalah konsumen pengguna jasa perjalanan wisata tidak akan menjadi korban dari Biro Perjalanan Wisata ataupun Agen Perjalanan Wisata yang tidak jelas. Dengan adanya standar usaha perjalanan wisata, konsumen akan lebih merasa terlindungi dan menjadi yakin karena diurus oleh orang dan perusahaan yang kompeten dan mampu melayaninya dengan baik.110 Berdasarkan hasil wawancara pada tanggal 20 Februari 2015 dengan Monica Budiono, selaku Operational Manager Rama Duta Tour and Travel, dikatakan bahwa adanya permenparekraf tersebut merupakan hal yang baik, karena dengan adanya standar usaha yang jelas, biro perjalanan wisata dapat memberikan pelayanan yang lebih baik kepada para tamu. 110
Anonim, 2014, Terdapat 38 Unsur yang Diukur Dalam Standar Usaha Perjalanan Wisata, tersedia di website http://lsupariwisata.com/terdapat-38-unsur-yang-diukur-dalam-standar-usahaperjalanan-wisata/, diakses tanggal 22 Februari 2015.
106
Sementara itu, pendapat berbeda disampaikan oleh Carmelia Murwanti, selaku Branch Manager Bayu Buana Travel Management. Berdasarkan wawancara pada tanggal 25 Februari 2015, disampaikan bahwa menurutnya pemerintah kurang melakukan sosialisasi terhadap Permenparekraf ini. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam wawancara tanggal 23 Februari 2015 dengan Ida Bagus Suartana dari Badan Penanaman Modal dan Perijinan Terpadu (BPMPT) Provinsi Bali menyampaikan bahwa, kewenangan pengurusan perijinan usaha perjalanan wisata tidak lagi berada pada BPMPT Provinsi Bali, sebagaimana diatur
dalam
Peraturan
Menteri
Kebudayaan
dan
Pariwisata
Nomor
85/HK.501/MKP/2010 sampai dengan Nomor 97/HK.501/MKP/2010. Namun, hingga saat ini beberapa Pemerintah Kabupaten/Kota yang dilimpahkan kewenangan tersebut menyatakan belum siap untuk menjalankan kewenangan tersebut. Hal ini secara tidak langsung berdampak pada belum tersosialisasinya Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014 ini dengan baik. Sebagaimana telah dijelaskan dalam bab III, berkaitan dengan standar usaha ini, dalam Pasal 20 sampai 22 Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014 j.o. Permenparekraf Nomor 8 Tahun 2014, disebutkan bahwa usaha jasa perjalanan wisata wajib untuk memperoleh Sertifikat Usaha Jasa Perjalanan Wisata yang dikeluarkan oleh LSU Bidang Pariwisata, dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal 11 April 2014. Berdasarkan hasil penelitian penulis di Harum Indah Sari (HIS) Tours and Travel yang berkedudukan di Kota Denpasar, secara garis besar unsur-unsur yang telah dinyatakan dalam Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014 telah dipenuhi dan
107
berjalan dengan baik. Namun ada satu hal yang belum dipenuhi oleh HIS Tours and Travel dalam aspek pelayanan, yaitu belum adanya Standard Operating Procedure dalam perjalanan wisata yang meliputi penanganan permasalahan dan keluhan yang muncul selama perjalanan wisata, oleh tenaga pemandu wisata dan/atau pimpinan perjalanan wisata. Belum terpenuhinya unsur tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan budaya sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya. Perbedaan budaya tersebut membuat perusahaan sulit untuk menentukan standar tepat yang dapat diberlakukan bagi seluruh wisatawan yang menggunakan jasa HIS Tour and Travel. Sedangkan hasil penelitian penulis pada Bayu Buana Travel Services yang berkedudukan di Kabupaten Badung, menunjukkan bahwa terdapat 1 (satu) unsur yang belum dipenuhi, yaitu berkaitan dengan perlindungan asuransi perjalanan wisata yang diberikan kepada tenaga pemandu wisata. Terkait dengan hal ini Carmelia Murwanti, menjelaskan bahwa pemandu wisata tersebut telah memiliki asuransi secara pribadi. Sementara itu, penelitian penulis pada Rama Duta Tours and Travel yang berkedudukan di Kota Denpasar, menunjukkan bahwa terdapat 4 (empat) unsur dalam Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014 yang belum dipenuhi, terdiri dari 3 (tiga) unsur dalam aspek produk dan 1 (satu) unsur dalam aspek pelayanan, yaitu : 1.
Belum disediakannya minimum jasa pemesanan dan/atau penjualan jasa angkutan wisata;
2.
Belum disediakannya jasa pengurusan paspor dan visa;
108
3.
Belum adanya perlindungan asuransi perjalanan wisata yang diberikan kepada tenaga pemandu wisata;
4.
Belum adanya standard operating procedures tentang permintaan oleh tenaga pemandu wisata dan/atau pimpinan perjalanan wisata kepada wisatawan untuk mengisi kuisioner untuk evaluasi perjalanan wisata.
Berkaitan dengan unsur-unsur yang belum dipenuhi tersebut, Monica Budiono mengungkapkan
bahwa,
untuk
dapat
memenuhi
unsur-unsur
dalam
Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014 tersebut, pihaknya akan mempelajari peraturan tersebut secara lebih dalam, mengembangkan kerjasama dengan perusahaan yang bergerak dibidang pariwisata baik hotel, penerbangan, obyek wisata dan lain lain. Hal yang serupa juga terjadi di Melali Bali, salah satu Biro Perjalanan Wisata yang berkedudukan di kabupaten badung. Menurut Ketut Jaman, selaku Managing Director Melali Bali, sekaligus sebagai Kepala Bidang (Kabid) SDM ASITA Bali, dalam wawancara tanggal 17 Maret 2015, menyatakan bahwa belum dipenuhinya unsur-unsur dalam Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014 ini disebabkan oleh belum adanya sosialisasi resmi dari pemerintah, sehingga menimbulkan ketidakjelasan dalam pelaksanaannya. Adapun beberapa unsur yang belum dipenuhi adalah sebagai berikut : 1. Paket wisata yang diselenggarakan oleh BPW memuat minimum keterangan tentang harga paket wisata dalam mata uang rupiah.
109
Dalam hal ini, Ketut Jaman mengatakan bahwa keterangan mengenai harga paket wisata dicantumkan secara terpisah, yaitu dalam confidential tariff. 2. Paket wisata yang diselenggarakan oleh BPW memuat minimum keterangan tentang perlindungan asuransi perjalanan bagi wisatawan. Menurut Ketut Jaman, keterangan tentang perlindungan asuransi tidak selalu dicantumkan dalam paket wisata. Karena perlindungan asuransi merupakan penawaran tambahan yang diajukan sesuai dengan paket wisata yang dipilih oleh wisatawan. Sehingga wisatawan berhak memilih untuk menggunakan perlindungan asuransi tersebut ataupun tidak. 3. Tenaga Pemandu Wisata dilindungi asuransi perjalanan wisata. Dalam hal ini, Melali Bali bekerjasama dengan Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI), sehingga asuransi biasanya telah disediakan oleh HPI sesuai dengan rute perjalanan yang diikuti. 4. Pimpinan Perjalanan Wisata (Tour Leader) memiliki sertifikat kompetensi yang masih berlaku. Menurut Ketut Jaman, pengalaman adalah fokus utama dalam pemilihan pimpinan perjalanan wisata. Sehingga pimpinan perjalanan wisata dari Melali Bali tidak selalu memiliki sertifikat kompetensi. 5. Pimpinan Perjalanan Wisata dilindungi asuransi perjalanan wisata. Serupa dengan pemandu wisata, pemberian asuransi perjalanan wisata kepada pimpinan perjalanan wisata disesuaikan dengan rute perjalanan
110
yang diikuti, sehingga tidak semua pimpinan perjalanan wisata mendapatkan asuransi perjalanan wisata. Disisi lain, selaku Kabid SDM ASITA Bali, Ketut Jaman menjelaskan bahwa ASITA
belum
mempersiapkan
program
khusus
untuk
menjalankan
Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014 ini kepada anggota-anggotanya. Sejauh ini, fokus ASITA terhadap biro perjalanan wisata yang ingin bergabung menjadi anggotanya adalah kelengkapan perijinannya. Apabila biro perjalanan tersebut sudah memiliki perijinan yang lengkap dan memenuhi syarat yang ditentukan oleh ASITA, maka biro perjalanan tersebut dapat menjadi anggota ASITA. Adapun persyaratan yang harus dipenuhi untuk dapat bergabung dalam ASITA, yaitu : 1. Fotocopy Akta Pendirian Perusahaan Perseroan Terbatas (PT) atau Koperasi dan perubahan-perubahannya (kalau ada); 2. Focotocopy Surat Pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM RI; 3. Fotocopy Ijin Usaha dari Instansi terkait; 4. Fotocopy Tanda Daftar Perusahaan (TDP); 5. Melampirkan Status Kantor (apabila sewa atau kontrak dilampiri fotocopy perjanjiannya); 6. Struktur Organisasi Perusahaan; 7. Surat Rekomendasi (asli) dari 2 perusahaan BPW/CBPW Anggota Asita Bali; 8. Pas photo Pimpinan Perusahaan ukuran 4x6 (1 lembar); 9. Fotocopy KTP Pimpinan Perusahaan (1 lembar); 10. Biaya Keanggotaan sebesar Rp 9.750.000,-.
111
Berkaitan dengan Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014 tentang Standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata yang baru ditetapkan ini, Ketut Jaman mengungkapkan bahwa ASITA akan mencoba mempelajarinya terlebih dahulu. Perlu
dipelajari
dengan
detail
terkait
sanksi
yang
ditetapkan
dalam
Permenparekraf tersebut, apakah memberikan dampak terhadap bisnis usaha perjalanan wisata atau tidak. Sehingga efektivitas berlakunya Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014 ini tergantung pada biro perjalanan wisata masing-masing, apakah menurut biro perjalanan tersebut adanya sertifikasi ini akan memberikan dampak positif bagi perkembangan usaha biro perjalanan wisata tersebut. Selanjutnya Ketut Jaman menambahkan, peraturan ini masih perlu dikaji ulang, terkait dengan unsur-unsur yang ada di dalamnya. Misalnya saja dalam aspek produk, biro perjalanan wisata menyediakan jasa pengurusan paspor dan visa. Berkaitan dengan unsur tersebut, menurut Ketut Jaman, tidak semua biro perjalanan wisata harus menyediakan jasa pengurusan paspor dan visa. Karena apabila lingkup usahanya hanya inbound atau dalam negeri, maka biro perjalanan tersebut tidak perlu menyediakan jasa pengurusan paspor dan visa. Dalam buku International Tourism : A Global Perspective, terdapat pengertian tentang Tour Wholesalers inbound dan outbound, yaitu :111 a. The inbound wholesaler arranges tour packages for tourist visiting the country where the wholesaler is based. Inbound wholesalers do not necessarily operate only in the country where they offer tours and some maintain sales branches in other countries. b. The outbound wholesaler arranges packaged travel for tourists who wish to travel to destinations outside the country where the wholesaler is located. Unlike inbound wholesaler, outbound wholesaler does not usually 111
World Tourism Organization III, op.cit, h. 101.
112
focus on a single destination, but may offer wide variety of packages and destinations. However, both of these wholesalers tend to cater to the needs of the mass market in order to have the necessary volume leverage.
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dikatakan bahwa biro perjalanan wisata yang menjalankan usaha dalam lingkup inbound, hanya menyediakan paket wisata untuk wisatawan yang ingin berkunjung ke Negara tempat biro perjalanan wisata tersebut berada. Sedangkan, biro perjalanan wisata yang menjalankan usaha dalam lingkup outbound, menyediakan berbagai macam paket wisata, yang tidak hanya fokus pada satu tujuan Negara, namun juga terdapat paket wisata untuk wisatawan yang ingin pergi ke berbagai Negara. Secara lebih ringkas, hasil penelitian terkait kesiapan Biro Perjalanan Wisata di daerah Kabupaten Badung dan Kota Denpasar, dapat dilihat dalam tabel berikut: (Tabel 1) No 1
ASPEK PRODUK
UNSUR A
HIS
Rama Duta
Bayu Buana
Melali Tour
BPW menyediakan minimum jasa pemesanan dan/atau penjualan : 1
Paket Wisata
√
√
√
√
2
Voucher Akomodasi
√
√
√
√
3
Tiket Perjalanan
√
√
√
√
√
x
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
4
Jasa Angkutan Wisata BPW menyelenggarakan lebih dari 1 (satu) paket wisata, dan B 5 sekurang-kurangnya 1 (satu) diantaranya adalah paket wisata buatan sendiri. Paket wisata yang diselenggarakan C oleh BPW memuat minimum keterangan tentang : 6 Nama Paket Wisata
113
No
Durasi Perjalanan Wisata Rute dan kegiatan perjalanan wisata (itinerary) Harga Paket Wisata dalam mata uang Rupiah
√
Rama Duta √
√
√
√
√
√
√
√
x
Moda Transportasi
√
√
√
√
Jenis Akomodasi Perlindungan Asuransi 12 perjalanan wisata bagi wisatawan BPW menyediakan jasa D 13 pengurusan paspor dan visa BPW menggunakan jasa tenaga pemandu wisata mandiri atau E menjadi bagian dari usaha jasa pramuwisata, berdasarkan ketentuan sebagai berikut : Tenaga pemandu wisata tersebut memiliki sertifikat 14 kompetensi yang masih berlaku. Dalam hal BPW menyelenggarakan paket wisata untuk wisatawan mancanegara, tenaga pemandu wisata tersebut 15 mampu berbahasa asing sesuai dengan bahasa yang digunakan oleh wisatawan mancanegara, atau sekurang-kurangnya mampu berbahasa inggris. Tenaga pemandu wisata 16 tersebut dilindungi asuransi perjalanan wisata. BPW mempekerjakan pimpinan perjalanan wisata (tour leader), F berdasarkan ketentuan sebagai berikut : Pimpinan perjalanan wisata 17 dilengkapi dengan surat tugas dari BPW. Pimpinan perjalanan wisata tersebut memiliki sertifikat 18 kompetensi yang masih berlaku.
√
√
√
√
√
√
√
x
√
x
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
x
x
x
√
√
√
√
√
√
√
x
ASPEK
UNSUR 7 8 9 10 11
HIS
Bayu Buana √
Melali Tour √
114
No
2
ASPEK
PELAYANAN
UNSUR Dalam hal BPW menyelenggarakan paket wisata untuk wisatawan mancanegara, pimpinan perjalanan wisata tersebut 19 mampu berbahasa asing sesuai dengan bahasa yang digunakan oleh wisatawan mancanegara, atau sekurang-kurangnya mampu berbahasa inggris. Pimpinan perjalanan wisata 20 tersebut dilindungi asuransi perjalanan wisata. Menerapkan Standard Operating Procedures (SOP) bagi pelaksanaan A tamu di kantor BPW, yang meliputi: Penyambutan kedatangan 1 tamu Menerima dan melakukan 2 panggilan telepon Pemberian penjelasan tentang produk yang 3 disediakan/ditawarkan BPW Pemesanan dan/atau 4 penjualan produk yang disediakan BPW Menerapkan Standard Operating Procedures (SOP) dalam B pelaksanaan perjalanan wisata, yang meliputi : Pelayanan bagi wisatawan oleh tenaga pemandu 5 wisata dan/atau pimpinan perjalanan wisata selama perjalanan wisata Penanganan permasalahan dan keluhan yang muncul selama perjalanan wisata, oleh tenaga pemandu 6 wisata, oleh tenaga pemandu wisata dan/atau pimpinan perjalanan wisata.
HIS
Rama Duta
Bayu Buana
Melali Tour
√
√
√
√
√
√
√
x
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
x
√
√
√
115
No
3
ASPEK
PENGELOLAAN
UNSUR Permintaan oleh tenaga pemandu wisata dan/atau pimpinan perjalanan 7 wisata kepada wisatawan untuk mengisi kuisioner untuk evaluasi perjalanan wisata. BPW memiliki tempat A usaha/kantor yang terpisah dari kegiatan keluarga/rumah tangga Tempat usaha/kantor memiliki alamat yang jelas, nomor telepon dan 1 faksimili, serta alamat email yang masih berfungsi. Tempat usaha/ kantor terdiri dari ruang kerja 2 dan ruang penerimaan tamu. tempat usaha/kantor dilengkapi dengan sarana, 3 prasarana dan peralatan kantor yang memadai. BPW memiliki tata kelola B perusahaan yang meliputi minimum : Uraian mengenai struktur organisasi dan susunan 4 pengurus yang memuat nama, jabatan dan uraian tugas setiap bagian. Sistem penatausahaan secara tertib dan baik atas seluruh transaksi pemesanan dan/atau 5 penjualan, serta surat menyurat yang terkait, yang dipelihara dan disimpan minimum selama 3 (tiga) tahun. BPW memiliki dan memelihara basis data yang memuat C keterangan tentang nama, alamat, nomor telepon dan email, yang meliputi : 6 Data pelanggan Data rekanan/pemasok 7 jasa
HIS
Rama Duta
Bayu Buana
Melali Tour
√
x
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
116
No.
ASPEK
UNSUR Pengusaha Daya tarik wisata BPW memiliki rencana D 9 pengembangan usaha Pengembangan sumber daya E manusia Memiliki sertifikat 10 kompetensi di bidangnya. Melaksanakan program 11 pengembangan SDM 8
HIS
Rama Duta
Bayu Buana
Melali Tour
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Tabel 1 Sehubungan dengan efektifitas berlakunya Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014 ini, menurut Soerjono Soekanto terdapat 5 faktor yang berpengaruh dalam penegakan hukum, yaitu:112 1.
Faktor hukum atau undang-undang Hukum atau undang-undang dalam arti material merupakan peraturan tertulis
yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa pusat maupun daerah yang sah. Sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab III, Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014 tentang Standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata telah memiliki dasar berlaku yang jelas dan dibuat oleh pejabat yang berwenang dalam hal ini Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia.
112
Salim HS dan Erlies Septianan Nurbani I, loc.cit.
117
2.
Faktor Penegak Hukum Penegak hukum adalah kalangan yang secara langsung berkecimpung dalam
bidang penegakan hukum yang tidak hanya mencakup law enforcement, akan tetapi juga mencakup peace maintenance (penegakan secara damai). Dalam hal ini, Permenparekraf tidak menetapkan secara jelas pihak yang ditentukan sebagai penegak hukum. Dalam pasal 15, hanya disebutkan bahwa Kementerian dan Pemerintah Daerah bertugas untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan dalam rangka penerapan Standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata. 3.
Faktor Sarana atau Fasilitas Sarana atau fasilitas merupakan segala hal yang dapat digunakan untuk
mendukung dalam proses penegakan hukum. Sarana atau fasilitas, meliputi tenaga kerja manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya. Kalau hal itu tidak terpenuhi, maka mustahil penegakan hukum akan mencapai tujuannya. Lembaga Sertifikasi Usaha (LSU) Pariwisata sebagai lembaga mandiri yang berwenang untuk melakukan sertifikasi usaha di bidang pariwisata, sudah dibentuk sebanyak 17 lembaga oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Namun hingga saat ini, khususnya di Bali, belum terlihat adanya sosialisasi untuk membahas tentang standarisasi ini. 4.
Faktor Masyarakat Masyarakat memiliki arti sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan
terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama. Masyarakat dalam
118
konteks penegakan hukum erat kaitannya, di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. Dalam hal ini, masyarakat yang dimaksud adalah biro perjalanan wisata yang berada di Indonesia. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, belum adanya sosialisasi untuk penjelasan tentang standarisasi ini menimbulkan ketidakjelasan dalam pelaksanaannya. 5.
Faktor Kebudayaan Kebudayaan diartikan sebagai karya, cipta dan rasa yang harus didasarkan pada
karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Kebudayaan adalah seperangkat nilai-nilai sosial umum seperti gagasan, pengetahuan, seni, lembaga-lembaga, pola-pola sikap, pola perilaku, dan hasil material. Hukum merupakan kongkretisasi dari nilai-nilai suatu budaya masyarakat, yang dengan kata lain dapat dikatakan bahwa hukum merupakan penjelmaan lain dari sistem nilai-nilai budaya masyarakat.113 Berkaitan dengan hal ini, sebelum berlakunya Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014, biro perjalanan wisata telah memiliki standar tersendiri dalam menjalankan usahanya. Sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis, standar-standar tersebut sudah cukup memberikan rasa aman dan nyaman kepada wisatawan yang menggunakan jasanya. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya biro perjalanan wisata, khususnya yang berada di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung telah siap
untuk
melaksanakan
Permenparekraf
tersebut.
Karena
sebelum
adanya
Permenparekraf tersebut, biro perjalanan wisata telah memiliki standar tersendiri dalam menjalankan usahanya. Dimana standar yang ditetapkan tersebut, sudah mampu 113
Budi Agus Riswandi dan M. Syamsudin, 2004, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 145.
119
memberikan rasa aman dan nyaman kepada wisatawan yang menggunakan jasanya. Namun tidak adanya sosialisasi dari pemerintah daerah mengesankan bahwa kurangnya persiapan dari pemerintah daerah untuk menjalankan peraturan ini.
BAB V PENUTUP 5.1. Simpulan Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 5.1.1.
Konstruksi norma pengaturan standar keamanan dan keselamatan wisatawan dalam pasokan jasa pariwisata oleh Biro Perjalanan Wisata adalah Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014 tentang Standar Usaha Pariwisata. Dimana Permenparekraf tersebut merupakan peraturan yang lahir atas dasar Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2012 tentang Sertifikasi Kompetensi dan Sertifikasi Usaha di Bidang Pariwisata, dan bersumber dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Adanya Permenparekraf ini bertujuan untuk mendukung peningkatan mutu produk, pelayanan, dan pengelolaan, serta peningkatan daya saing usaha jasa perjalanan wisata, dengan cara memenuhi unsurunsur sebagaimana ditentukan dalam Pasal 9 ayat (4) huruf a, yaitu : 1. Dalam Aspek Produk, terdapat 20 unsur yang harus dipenuhi, yang terdiri dari 6 fokus utama, yaitu : a. BPW menyediakan minimum jasa pemesanan dan/atau penjualan; b. BPW menyelenggarakan lebih dari 1 (satu) paket wisata, dan sekurang-kurangnya 1 (satu) diantaranya adalah paket wisata buatan sendiri;
120
121
c. Paket wisata yang diselenggarakan oleh BPW memuat minimum keterangan tentang paket wisata; d. BPW menyediakan jasa pengurusan paspor dan visa; e. BPW menggunakan jasa tenaga pemandu wisata mandiri atau menjadi bagian dari usaha jasa pramuwisata; f. BPW mempekerjakan pimpinan perjalanan wisata (tour leader); 2. Dalam Aspek Pelayanan, terdapat 7 unsur yang harus dipenuhi, dengan 2 fokus utama, yaitu : a. Menerapkan
Standard
Operating
Procedures
(SOP)
bagi
pelaksanaan tamu di kantor BPW; b. Menerapkan
Standard
Operating
Procedures
(SOP)
dalam
pelaksanaan perjalanan wisata. 3. Dalam Aspek Pengelolaan, mencakup 11 unsur yang harus dipenuhi, dengan 5 fokus utama, yaitu : a. BPW memiliki tempat usaha/kantor yang terpisah dari kegiatan keluarga/rumah tangga; b. BPW memiliki tata kelola perusahaan; c. BPW memiliki dan memelihara basis data yang memuat keterangan tentang nama, alamat, nomor telepon dan e-mail; d. BPW memiliki rencana pengembangan usaha; e. Pengembangan sumber daya manusia.
122
5.1.2. Biro Perjalanan Wisata, khususnya yang berada di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung telah siap untuk melaksanakan Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014 tentang Standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata. Hal itu terlihat dari sudah dipenuhinya sebagian besar unsur yang ditentukan oleh Permenparekraf tersebut, dengan data sebagai berikut :
1.
Satu hal yang belum dipenuhi oleh HIS Tours and Travel yang berkedudukan di Kota Denpasar, yaitu belum adanya Standard Operating Procedure dalam perjalanan wisata yang meliputi penanganan permasalahan dan keluhan yang muncul selama perjalanan wisata, oleh tenaga pemandu wisata dan/atau pimpinan perjalanan wisata. Belum terpenuhinya unsur tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan budaya yang membuat perusahaan sulit untuk menentukan standar tepat yang dapat diberlakukan bagi seluruh wisatawan yang menggunakan jasa HIS Tour and Travel.
2. Bayu Buana Travel Services yang berkedudukan di Kabupaten Badung, menunjukkan bahwa terdapat 1 (satu) unsur yang belum dipenuhi, yaitu perlindungan asuransi perjalanan wisata yang diberikan kepada tenaga pemandu wisata. Hal tersebut terjadi karena pemandu wisata tersebut telah memiliki asuransi secara pribadi, yang didapat dari Himpunan Pramuwisata Indonesia. 3. Rama Duta Tours and Travel yang berkedudukan di Kota Denpasar, menunjukkan bahwa terdapat 4 (empat) unsur dalam Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014 yang belum dipenuhi, yaitu :
123
a. Belum disediakannya minimum jasa pemesanan dan/atau penjualan jasa angkutan wisata; b. Belum disediakannya jasa pengurusan paspor dan visa; c. Belum adanya perlindungan asuransi perjalanan wisata yang diberikan kepada tenaga pemandu wisata; d. Belum adanya standard operating procedures tentang permintaan oleh tenaga pemandu wisata dan/atau pimpinan perjalanan wisata kepada wisatawan untuk mengisi kuisioner untuk evaluasi perjalanan wisata. Unsur-unsur tersebut belum dapat dipenuhi, karena belum adanya pemahaman secara mendalam tentang Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014 ini. 4. Melali Bali, yang berkedudukan di Kabupaten Badung, menunjukkan adanya 5 unsur yang belum dipenuhi, yaitu : a. Paket wisata yang diselenggarakan oleh BPW memuat minimum keterangan tentang harga paket wisata dalam mata uang rupiah. Hal tersebut terjadi karena keterangan mengenai harga paket wisata dicantumkan secara terpisah, yaitu dalam confidential tariff. b. Paket wisata yang diselenggarakan oleh BPW memuat minimum keterangan
tentang
perlindungan
asuransi
perjalanan
bagi
wisatawan. Hal tersebut terjadi karena perlindungan asuransi merupakan penawaran tambahan yang diajukan sesuai dengan paket wisata yang dipilih oleh wisatawan. Sehingga wisatawan berhak
124
memilih untuk menggunakan perlindungan asuransi tersebut ataupun tidak. c. Tenaga Pemandu Wisata dilindungi asuransi perjalanan wisata. Dalam hal ini, Melali Bali bekerjasama dengan Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI), sehingga asuransi biasanya telah disediakan oleh HPI sesuai dengan rute perjalanan yang diikuti. d. Pimpinan Perjalanan Wisata (Tour Leader) memiliki sertifikat kompetensi yang masih berlaku. Fokus utama dalam pemilihan pimpinan perjalanan wisata oleh Melali Bali adalah Pengalaman, sehingga pimpinan perjalanan wisata dari Melali Bali tidak selalu memiliki sertifikat kompetensi. e. Pimpinan Perjalanan Wisata dilindungi asuransi perjalanan wisata. Serupa dengan pemandu wisata, pemberian asuransi perjalanan wisata kepada pimpinan perjalanan wisata disesuaikan dengan rute perjalanan yang diikuti, sehingga tidak semua pimpinan perjalanan wisata mendapatkan asuransi perjalanan wisata. 5.2. Saran 5.2.1. Pemerintah wajib untuk melakukan sosialisasi tentang Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014 kepada Biro Perjalanan Wisata di Provinsi Bali, dan mengadakan
kerjasama-kerjasama
dengan
ASITA
dan
Lembaga
Sertifikasi Usaha Pariwisata yang sudah disahkan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
125
5.2.2. Pemerintah sebagai pihak yang bertugas untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan dalam rangka penerapan Standar Usaha Jasa Perjalanan, wajib untuk melakukan pembinaan dan pengawasan yang efektif kepada Biro Perjalanan Wisata di Provinsi Bali, agar unsur-unsur sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 9 ayat 4 huruf (a) Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2014 dapat dipenuhi sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan.
DAFTAR PUSTAKA 1. Buku
Alfons, Maria, 2010, Implentasi Perlindungan Indikasi Geografis Atas ProdukProduk Masyarakat Lokal Dalam Prespektif Hak kekayaan Intelektual, Universitas Brawijaya, Malang. Atherton, Trevor C., and Trudie A. Atherton, 1998, Tourism, Travel and Hospitality Law, LBC Information Services, Australia. Ben, Sarbini Mbah, 2010, Paradigma Baru Pariwisata : Sebuah Kajian Filsafat, Kaukaba Dipantara, Yogyakarta. Burns, Peter M., and Andrew Holden, 1995, Tourism a New Perspective, Prentice Hall, London. Dewi, Ike Janita, 2011, Implementasi dan Implikasi Kelembagaan Pemasaran Pariwisata Yang Bertanggungjawab (Responsible Tourism Marketing), Pinus Book Publisher, Jakarta. Dhana, Made Metu, 2012, Perlindungan Hukum dan Keamanan Terhadap Wisatawan, Paramita, Surabaya. Dirjosisworo, Soedjono, 2001, Pengantar Ilmu Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Fuady, Munir, 2013, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta. Gelgel, I Putu, 2009, Industri Pariwisata Indonesia Dalam Globalisasi Perdagangan Jasa (GATS – WTO), Implikasi Hukum dan Antisipasinya, Refika Aditama, Bandung. Hadjon, Philipus M., dan Titiek Sri Djatmiati, 2005, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Hadjon, Philipus M. 1987, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, PT. Bina Ilmu, Surabaya. ______________, 2011, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Hartono, Sunaryati, 1991, Politik Hukum Suatu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung. HS, Salim, dan Erlies Septianan Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. ___________, 2014, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi (Buku Kedua), PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. Ibrahim Johanes, dan Lindawati Sewu, 2003, Hukum Bisnis : Dalam Persepsi Manusia Modern, Rafika Aditama, Bandung. J., Muljadi A., 2012, Kepariwisataan dan Perjalanan, Cetakan ke-3, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta. Kelsen, Hans, 2006, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, Nusa Media, Bandung. Kurdie, Nuktoh Arfawie, 2005, Telaah Kritis Teori Negara Hukum, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Mananda, I Gusti Putu Bagus Sasrawan, 2011, “Studi Kelayakan Pendirian PT. Medussa Multi Bussines Center (MMBC) Sumanda Tour & Travel di Bali (Kajian Aspek Pasar Finasial)”, (tesis) Program Studi Magister (S2) Manajemen Pascasarjana Universitas Udayana. Marzuki, Peter Mahmud, 2008, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta. Mas, Marwan, 2004, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor. Mertokusumo, Sudikno, 1991, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta. Mill, Robert Christie, 2000, Tourism The International Business Edisi Bahasa Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta. Miru, Ahmadi, 2011, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Mochtarkusumaatmaja, 1976, Hukum Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bina Cipta, Bandung.
Muchsin, 2003, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Mushin dan Fadilah Putra, 2002, Hukum dan Kebijakan Publik, Averroes Press, Malang. Narbuko, Cholid, dan H. Abu Achmadi, 2004, Metodologi Penelitian, Bumi Aksara, Jakarta. Nasution, AZ., 2003, Aspek Hukum Perlindungan Konsumen, dalam Jurnal Teropong, Edisi Mei, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta. Nurhayati, Siti, 2009, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Pengguna Jasa Biro Perjalanan Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Jurnal, Volume 2 Nomor 2, Universitas Pembangunan Panca Budi, Medan. Pitana, I Gede, dan Putu G. Gayatri, 2005, I Gede, Sosiologi Pariwisata, Andi Offset, Yogyakarta. Pitana, I Gde, dan I Ketut Surya Diarta, 2009, Pengantar Ilmu Pariwisata, CV. Andi Offset, Yogyakarta. 2 Putra, Ida Bagus Wyasa, et.al., 2003, Hukum Bisnis Pariwisata, Refika Aditama, Bandung. Raharjo, Santjipto, 2000, Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung. ____________, 2003, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta. Ratminto dan Atik Septi Winarsih, 2005, Manajemen Pelayanan, Pustaka Pelajar, Jakarta. Riswandi, Budi Agus, dan M. Syamsudin, 2004, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Samsul, Inosentius, 2004, Perlindungan Konsumen : Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, Universitas Indonesia, Jakarta. Santiago, Gede Agus, 2012, “Pelaksanaan Undang-Undang Hak Cipta Berkaitan Dengan Perlindungan Hukum Terhadap Karya Cipta Seni Karawitan Instrumental Bali”, (tesis) Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Udayana.
Setiono, 2004, Rule of Law (Supremasi Hukum), Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Setiyono, 2013, Teori-Teori & Alur Pikir Penerapan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Bayu Media Publishing, Malang. Simatupang, Violetta, 2009, Pengaturan Hukum Kepariwisataan Indonesia, PT. Alumni, Bandung. Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta. Soeroso, R., 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. Sumadi, Ketut, 2008, Kepariwisataan Indonesia : Sebuah Pengantar, Sari Kahyangan Indonesia, Denpasar. Sunaryo, Bambang, 2013, Kebijakan Pembangunan Destinasi Pariwisata: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia, Gava Media, Yogyakarta. Sunggono, Bambang, 2009, Metodologi Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Suwantoro, Gamal, 2004, Dasar-Dasar Pariwisata, Andi, Yogyakarta. Wahab, Salah, 2003, Manajemen Kepariwisataan, Pradnya Paramita, Jakarta. Widiatedja, I.G.N. Parikesit, 2010, Liberalisasi Jasa dan Masa Depan Pariwisata Kita, Udayana University Press, Denpasar. Widjaja, Gunawan, dan Ahmad Yani, 2003, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. World Tourism Organization, 1997, International Tourism : A Global Perspective, World Tourism Organization, Madrid. ________________, 2010, Joining Forces Collaborative Processess for Sustainable and Competitive Tourism, World Tourism Organization, Madrid. ________________, 2011, Policy and Practice For Global Tourism, World Tourism Organization, Madrid. Yoeti, Oka A. 2006, Tours and Travel Management, Pradnya Paramita, Jakarta.
Zulham, 2013, Hukum Perlindungan Konsumen, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. 2. Internet Anonim, 2011, Pengertian Pengelolaan, Pengertian Perencanaan dan Pengertian Pelaksanaan, http://www.pengertianpakar.com/2014/12/pengertianpengelolaan-perencanaan-dan.html#_ , diakses tanggal 23 Februari 2015. Anonim, 2014, Pengertian Perlindungan Hukum Menurut Para Ahli, http://tesishukum.com/pengertian-perlindungan-hukum-menurut-paraahli/, diakses tanggal 22 Januari 2015. Anonim, 2014, Terdapat 38 Unsur yang Diukur Dalam Standar Usaha Perjalanan Wisata, tersedia di website http://lsupariwisata.com/terdapat38-unsur-yang-diukur-dalam-standar-usaha-perjalanan-wisata/, diakses tanggal 22 Februari 2015. Anonim, 2015, Produk, http://kbbi.web.id/produk, diakses tanggal 22 Februari 2015. Anonim, Definisi „perlindungan‟, http://www.artikata.com/arti-370785perlindungan.html, diakses tanggal 22 Januari 2015. http://statushukum.com/perlindunganAnonim, Perlindungan Hukum, hukum.html, diakses tanggal 22 Januari 2015. Anonim, Sekilas Mengenai ISO, tersedia di website http://www.dephut.go.id/Halaman/STANDARDISASI_&_LINGKUNGA N_KEHUTANAN/INFO_VI02/V_VI02.htm, diakses tanggal 24 Feburari 2015. Anonim, Wisatawan Domestik, http://www.anneahira.com/wisatawandomestik.htm, diakses tanggal 22 Januari 2015. Antariksa, Basuki, 2012, Peluang Dan Tantangan Pengembangan Kepariwisataan Di Indonesia, http://www.parekraf.go.id/asp/detil.asp?c=101&id=1152, diakses tanggal 26 Januari 2015. ASITA Bali, 2014, About Us, http://www.asitabali.org/aboutus.htm, diakses tanggal 23 Februari 2015.
Fahmi, Hoemam Fairuzy, 2012, Teori Hans Kelsen dan Hans Nawiasky, http://www.scribd.com/doc/85318361/Teori-Hans-Kelsen-Dan-HansNawiansky, diakses tanggal 7 September 2014 Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, 2014, Jumlah Kunjungan Wisatawan Mancanegara Menurut Pintu Masuk dan Kebangsaan Bulan Juli 2014, http://www.parekraf.go.id/userfiles/file/Lapbul%20Juli%202014.pdf, diakses tanggal 6 September 2014. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, 2014, Jumlah Kunjungan Wisatawan Mancanegara Menurut Pintu Masuk dan Kebangsaan Bulan Juli 2014, http://www.parekraf.go.id/userfiles/file/Lapbul%20Juli%202014.pdf, diakses tanggal 6 September 2014. Puskom Publik, 2014, “Siaran Pers : Launching Lembaga Sertifikasi Usaha Bidang Pariwisata Era Baru Menuju Industri Pariwisata Indonesia yang Berdaya Saing Global”, http://www.parekraf.go.id/asp/detil.asp?c=16&id=2756, diakses tanggal 22 Januari 2015. Royani, Yayan M., 2012, Negara dan Teori Hukum http://elsaonline.com/?p=1323, diakses tanggal 26 Januari 2015.
Murni,
Silahudin, 2010, Standard Pelayanan http://silahudin66.blogspot.com/2010/05/standard-pelayananpublik.html?m=1, diakses tanggal 23 Februari 2015
Publik,
Simanjuntak, Dinni Harina, 2011, Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Hukum Bagi Franchise Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997, http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/35732/6/Chapter%20IIIV.pdf, diakses tanggal 22 Januari 2015.
3. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 3821.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11. Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 462. Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Standar Usaha Jasa Perjalanan Wisata Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 931. Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 1 Tahun 2010 tentang Usaha Jasa Perjalanan Wisata Lembaran Daerah Propinsi Bali Tahun 2010 Nomor 1.
DAFTAR INFORMAN
1. Nama
: Merry Yudhistira
Jabatan
: Assistant HR & GA Manager
Nama Perusahaan
: H.I.S Tour and Travel
2. Nama
: Monica Budiono
Jabatan
: Operational Manager
Nama Perusahaan
: Rama Duta Tour and Travel
3. Nama
: Carmelia Murwanti
Jabatan
: Branch Manager
Nama Perusahaan
: Bayu Buana Travel Management
4. Nama
: Ketut Jaman,
Jabatan
: Managing Director
Nama Perusahaan
: Melali Bali
5. Nama
: Ketut Jaman,
Jabatan
: Kepala Bidang (Kabid) SDM
Nama Instansi
: ASITA Bali
6. Nama
: Ida Bagus Suartana
Jabatan
: Kepala Bidang Penanganan Ijin Pariwisata
Nama Instansi
: Badan Penanaman Modal dan Perijinan Terpadu (BPMPT) Provinsi Bali