PERLAWANAN PEREMPUAN AKIBAT KETIDAKADILAN GENDER DALAM NOVEL ENTROK KARYA OKKY MADASARI Oleh: Putri Ayuni Gamas1 180110080019
ABSTRAK Skripsi ini berjudul “Perlawanan Perempuan Akibat Ketidakadilan Gender dalam Novel
Entrok
Karya
Okky
Madasari”.
Pembahasan
difokuskan
pada
ketidakadilan yang dialami oleh tokoh perempuan akibat adanya konstruksi gender yang dilanggengkan oleh budaya patriarki dan bagaimana tokoh perempuan melakukan perlawanan atas ketidakadilan tersebut. Teori yang digunakan
dalam
penelitian
ini
adalah
kritik
sastra
feminis
dengan
mengkhususkan pada teori feminis radikal. Feminis radikal menekankan bahwa akar opresi terhadap perempuan berasal dari seks dan gender yang dikonstruksi oleh budaya patriarki. Hasil penelitian ini memperlihatkan bentuk ketidakadilan gender yang dialami oleh perempuan dalam berbagai bidang, di antaranya dalam bidang pembagian kerja, pembaian upah, dan juga kesewengangan yang dilakukan oleh aparat pemerintah. Ketidakadilan tersebut membuat perempuan melakukan perlawanan. Perlawanan tersebut dilakukan melalui kemandirian dan seksualitas perempuan. Kata kunci: Entrok, Feminisme Radikal, Patriarki
1
Penulis adalah mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Penulis lulus pada 28 Juni 2012.
1
ABSTRACT
This thesis is titled “ The Women’s Resistance is Result by Gender Inequality on Entrok Novel, written by Okky Madasari”. The discussion is focused on how the injustice suffered by women actors is caused by gender construction flourished by the culture of patriarchy and how women actor takes the fight against the injustice. The research method which used in this thesis is the feminist literature critics, particularly on radical feminist theory. Feminist radical theory emphasized that th roots of oppression against women is com from the gender and sex issues constructed by the culture of patriarchy. The results of this research show the form of gender inequality experienced by women in various fields, including in the areas of a division of labor, wage distribution, and also abuses committed by government officials. Injustice makes women's resistance. Those women actors use independency and sexuality of women as the media of their fights. Keyword: Entrok,Feminist Radical, Patriarchy.
I. PENDAHULUAN Pengarang perempuan Indonesia banyak bermunculan pada tahun 2000-an. Di antaranya Ayu Utami, Dewi Lestari, Djenar Maesa Ayu, Fira Basuki, dan Oka Rusmini. Pada tahun 2010 juga muncul pengarang perempuan baru bernama Okky Madasari yang muncul dengan karya pertama berjudul Entrok pada tahun 2010. Entrok adalah novel yang berkisah tentang kehidupan masyarakat Jawa. Dalam Entrok yang menjadi pusat cerita adalah dua tokoh perempuan yang mengalami ketidakadilan akibat adanya konstruksi gender dalam budaya patriarki yang membelenggu mereka. Dua tokoh perempuan tersebut adalah Sumarni dan Rahayu.
2
Tokoh Sumarni dan Rahayu yang diceritakan oleh Madasari inilah yang akan menjadi bahan analisis dengan menelusuri ketidakadilan gender yang mereka alami melalui pengaruh budaya patriarki. Adanya pengaruh budaya patriarki inilah yang membuat penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh permasalahan gender yang ada dalam novel Entrok. Penulis ingin membuktikan bahwa ketidakadilan gender terjadi karena adanya konstruksi masyarakat melalui pengaruh budaya patriarki. Dalam skripsi ini, penulis mengidentifikasi dua permasalahan yang ada dalam novel Entrok, yaitu: (a). Bagaimana ketidakadilan gender yang dialami para tokoh perempuan dalam novel Entrok karya Okky Madasari?, (b). Bagaimana bentuk perlawanan yang dilakukan oleh para tokoh perempuan dalam novel Entrok karya Okky Madasari?. Untuk menganalisis permasalahan gender yang terjadi, penulis menggunakan metode kualitatif yang kemudian didukung dengan dua teori, yaitu teori struktural dan
kritik
sastra
feminis.
pada
teori
kritik
sastra
feminis,
penulis
mengkhusukannya pada teori feminis radikal. Hasrat awal feminisme radikal untuk mentransendensi batasan sistem seks/gender dengan berani menjadi maskulin dan juga feminin (Tong, 2010: 70). Sebagai pilihan jika perempuan ingin keluar dari ketidakadilan yang dialaminya. Sayangnya, perbedaan seks/gender mengalir bukan semata-mata dari biologi, melainkan juga dari “sosialisasi” atau “dari sejarah keseluruhan menjadi perempuan dalam masyarakat patriarkal.” (Tong, 2010: 71).
II. PEMBAHASAN Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak menimbulkan ketidakadilan. Namun, yang menjadi persoalan adalah nyatanya gender melahirkan ketidakadilan yang dialami laki-laki dan terutama perempuan. Sugihastuti-Suharto menjelaskan ketidakadilan terhadap perempuan tersebut termanifestasikan ke dalam bentuk marginalisasi atau pemiskinan ekonomi, beban
3
kerja yang lebih berat, kekerasan terhadap perempuan, dan pembentukan stereotipe atau pelabelan negatif (2010: 212). Hal
tersebut di atas dapat dibuktikan dengan menganalisis ketidakadilan
gender yang dialami oleh tokoh perempuan dalam novel Entrok. Bersumber dari latar budaya Jawa, dapat kita lihat bagaimana budaya Jawa melanggengkan ketidakadilan, sehingga perempuan dianggap sebagai makhluk yang lemah.
a. Ketidakadilan pada Tokoh Sumarni Tokoh Sumarni adalah seorang tokoh perempuan yang mengalami ketidakadilan akibat budaya patriarki. Budaya patriarki telah menyeragamkan bagaimana seorang perempuan harus berlaku. Oleh karena itu, ketika tokoh Sumarni tidak berlaku selayaknya perempuan, ia harus menerima konsekuensi yang menyengsarakan dirinya. Kisahnya dimulai pada saat Sumarni mengenal dunia luar selain Simboknya. Pada suatu ketika ia merasakan ada ketidaknyamanan saat payudaranya mulai membesar dan pada saat itu ia mulai berhasrat untuk memiliki entrok. Seperti kutipan yang tampak di bawah ini. Kumulai ceritaku saat aku mulai kenal dunia luar selain Simbok. Saat tinggiku sudah sepundak Simbok dan tangan kananku bisa meraih kuping kiriku dengan mudah. Saat itu aku menyadari ada sesuatu yang berbeda di dadaku. Ada gumpalan yang lembut dan terlihat menyembul dari balik baju yang kupakai. Simbok bilang aku sudah mringkili.1 Katanya,itu hal biasa yang akan dialami semua perempuan. Katanya, mringkili adalah salah satu tanda aku sudah bukan anak-anak lagi (Entrok, 2010: 15-16). Memang sudah menjadi kodrat-Nya bahwa setiap perempuan memiliki payudara yang akan tumbuh pada saat mulai beranjak dewasa. Hal tersebut yang membedakan antara kodrat laki-laki dengan perempuan. Jika laki-laki memiliki penis, jakala, dan memproduksi sperma, sedangkan perempuan adalah manusia yang memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina, dan memiliki payudara (Fakih, 2010: 8).
4
Terjadinya perbedaan pembagian upah ini tidak saja dimaklumi oleh buruh perempuan itu sendiri, tetapi juga tetap dipertahankan oleh Nyai Dimah dan beberapa pengusaha yang memperkerjakan buruh perempuan. Nyai Dimah adalah seorang perempuan yang memperkerjakan Simbok dan Sumarni sebagai buruh pengupas singkong ditempatnya. Nyai Dimah ikut mewariskan budaya patriarki yang memang sudah tertanam di dalam suatu budaya dan telah menjadi kebiasaan. Seperti kutipan yang tampak di bawah ini. Hari berganti hari, aku dan Simbok masih tetap mengupas singkong, diupahi dengan singkong. Alih-alih membeli entrok, uang sepeserpun belum pernah kuterima. Pernah suatu kali kuberanikan diri meminta upah uang kepada Nyai Dimah, tapi langsung ditolak oleh Nyai Dimah. Kata Nyai Dimah, ia tidak mampu mengupahi uang. Lagi pula di pasar ini semua buruh perempuan diupahi dengan bahan makanan. Dia menyuruhku bekerja di tempat lain jika tidak percaya. Nyai Dimah memang benar. Kepada siapa pun aku bekerja di pasar ini, aku akan diupahi dengan bahan makanan …(Entrok, 2010: 30). Masyarakat patriarki adalah masyarakat
yang menganut sistem
berdasarkan pada kesepakatan laki-laki. Dalam suatu masyarakat tertentu perempuan termarginalisasikan dan dipinggirkan melalui pekerjaan domestik. Dalam pembagian upah pun perempuan selalu dipinggirkan seperti yang terjadi pada kutipan di atas bahwa perempuan selalu mendapatkan opresi yang dilakukan oleh kuasa patriarki tanpa memedulikan beban yang harus diterima oleh perempuan. Kuasa patriarki telah membedakan pembagian upah antara laki-laki dan perempuan membuat para perempuan, dalam hal ini Sumarni, mengalami pemiskinan
ekonomi
yang
menyebabkan
keterbatasan
untuk
mengembangkan kesejahteraannya sebagai manusia. Menurut Sunarijati hal tersebut terjadi karena dalam konsep patriaki, perempuan bukanlah pencari nafkah utama, melainkan pencari nafkah tambahan (2007: 31). Ketika ada perempuan yang bekerja, mereka tidak dibayar dengan uang karena adanya konsep patriarki tersebut.
5
Sunarijati (2007: 31)
menjelaskan bahwa perempuan merupakan manusia
yang pasrah pada konsep patriarki, tidak ada perlawanan yang dilakukan oleh perempuan. Perempuan pada umumnya selalu menurut dan menerima apa yang terjadi dengan dirinya begitu saja tanpa menuntut haknya sebagai perempuan. Penjelasan Sunarijati dikuatkan dengan pendapat Suseno (2001: 142-143) yang mengatakan adanya konstruksi budaya Jawa yang mengatakan bahwa perempuan Jawa hendaknya bersikap sabar dan nrima. Sabar berarti mempunyai nafas panjang dalam kesadaran bahwa pada waktunya nasib baik pun akan tiba, sedangkan nrima memiliki arti bahwa orang dalam keadaan kecewa dan dalam kesulitan apapun
bereaksi dengan rasional, tidak ambruk, dan juga tidak
menentang secara percuma. Dengan kata lain, perempuan digambarkan sebagai makhluk yang lemah, yang hanya bisa bergantung di bawah kekuasaan laki-laki. Keadaan tersebut yang mengakibatkan munculnya ketidakadilan yang dialami oleh perempuan. Ketidakdilan gender terjadi karena adanya anggapan yang salah terhadap jenis kelamin dan gender. Di masyarakat luas selama ini terjadi pengukuhan pemahaman yang kurang tepat mengenai konsep gender. Yang disebut gender adalah suatu sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural (Fakih, 2010: 8). Konsep gender yang melekat pada masyarakat Entrok adalah adanya anggapan bahwa pekerjaan mengurus rumah tangga dan mengurus anak adalah pekerjaan perempuan. Secara tidak langsung perempuan dalam budaya patriarki diposisikan pada tugas-tugas domestik tersebut. Laki-laki, baik suami maupun anak tidak diperbolehkan ikut campur dalam pekerjaan domestik karena mereka memiliki tempat bekerja sendiri, yaitu tugas publik. Pembagian kerja antara perempuan dan laki-laki merupakan suatu pemahaman yang salah kaprah sebab perempuan juga dapat mengerjakan pekerjaan publik dan laki-laki pun dapat mengerjakan pekerjaan rumah tangga atau domestik. Bagi Sumarni, pekerjaan publik ternyata lebih menguntungkan daripada pekerjaan domestik dan hal inilah yang menyebabkan perempuan menjadi inferior dan lakilaki menjadi superior. Seperti kutipan yang tampak di bawah ini.
6
“Memang benar, di pasar ini tidak ada perempuan yang nguli, pekerjaan berat mengunakan tenaga besar. Di pasar ini, buruh perempuan mengerjakan pekerjaan yang halus dan enteng, seperti mengupas singkong,menumbuk padi, atau menumbuk kopi. Tapi coba lihat, begitu buruh-buruh perempuan itu sampai di rumah. Mereka harus mengerjakan semua pekerjaan yang ada, mengambil air dari sumber dengan menempuh perjalanan naik-turun. Berat satu jun yang berisi penuh air sama saja dengan satu goni berisi singkong. Tidak ada laki-laki yang mengambil air, katanya itu urusan perempuan. Ya jelas lebih enak nguli daripada ngambil air. Nguli diupahi duit, sementara mengambil air tidak pernah dapat apa-apa.” (Entrok, 2010: 37). Pembagian kerja itu terjadi karena adanya konstruksi budaya patriarki yang menciptakan pembagian kelas antara laki-laki dan perempuan. Perempuan dianggap hanya mampu mengerjakan pekerjaan domestik. Jika ada perempuan yang melakukan pekerjaan publik, ia akan menerima penolakan dari masyarakat. Pembagian kerja sebenarnya bukanlah kodrat dari Tuhan, melainkan konstruksi budaya patriarki yang telah mendarah daging. Lebih
dari itu,
masyarakat beranggapan bahwa jenis kelamin perempuan memiliki semacam kelas tersendiri dalam pelapisan sosial. Lebih jelas lagi Barker dan Allen (dalam Worsley dalam Sugihastuti-Suharto, 2010: 208) menjelaskan tentang adanya pembagian kelas antara laki-laki dan perempuan. Perempuan di masyarakat patriarki merupakan kelas yang lebih rendah dari pada laki-laki. Adanya anggapan itu, membuat perempuan tidak dapat bekerja di luar dari pekerjaan domestik. Kalaupun ada perempuan yang bekerja di luar pekerjaan domestik, hanya pekerjaan publik yang ringan dan mudah saja yang dapat dilakukan oleh perempuan. Ketidakadilan yang muncul dalam Entrok terjadi dalam berbagai aspek kehidupan. Karena distereotipekan sebagai makhluk yang lemah, perempuan dikontrol sedemikian rupa oleh anggota keluarganya. Hal ini dapat dilihat ketika tokoh Sumarni yang memiliki pemikiran bahwa bekerja di ranah domestik tidaklah seenak bekerja di ranah publik. Kalau dilihat dalam porsi pembagian kerja, seharusnya perempuan mendapatkan upah yang lebih besar daripada lakilaki. Karena sebenarnya perempuan dapat mengerjakan kedua pekerjaan tersebut,
7
baik pekerjaan di ranah domestik ataupun di ranah publik. Namun, karena adanya konstruksi yang menjadikan perempuan hanya sebagai pelengkap dari laki-laki, maka perempuan tidak dapat berbuat banyak hal selain menerima konstruksi tersebut. Seperti tampak dalam kutipan di bawah ini. “Aku dan Simbok bukan satu-satunya orang yang menyusuri jalanan pagi ini. Di depan kami, di belakang, juga di samping, perempuan-perempuan menggendong tenggok menuju Pasar Ngranget. Kami semua seperti kerbau yang dihela di pagi buta, menuju sumber kehidupan.” (Entrok, 2010: 22) Ketidakadilan gender menjadi semakin kuat karena dilembagakan oleh budaya kuno yang berjalan turun-temurun. Adat memandang perempuan sebagai makhluk yang rendah derajatnya daripada laki-laki. Seperti yang dikatakan Ali (Matra,1988:117) yang mengatakan jika dilihat dari nilai masyarakat Jawa, kemenangan kaum laki-laki atas kaum wanita, memang telah distrukturkan. Inilah yang antara lain di bentuk oleh Serat Centhini, ketika Nyi Artati mengajarkan status dan fungsi wanita kepada Niken Rancangkapti dengan menyimbolkan lima jari tangan. Yang artinya: kerelaan kaum wanita tersubordinasikan ke dalam “kekuasaan” laki-laki. Pernyataan tersebut membuat posisi perempuan selalu berada di bawah laki-laki dalam segala hal. Tidak hanya menyoal pekerjaan, tetapi juga soal upah yang diterima antara pekerja laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini, adat Jawa dan budaya patriarki telah memosisikan perempuan sebagai warga negara kelas dua yang hanya memiliki peran domestik, seperti memasak, mengurus anak, dan lainnya. Hakikat sebuah perkawinan adalah sakral, itulah yang diajarkan setiap budaya secara turun-temurun.
Ketika
seorang perempuan ingin
melangsungkan
pernikahan haruslah sudah memiliki pengetahuan tentang berumah tangga. Kalau dalam istilah Jawa seorang istri haruslah bisa manak, macak, masak. Ada juga istilah lain yang dilekatkan pada diri seorang perempuan atau istri, yakni dapur, pupur, dan sumur (Hermawati, 2007: 21). Dalam bidang pendidikan perempuan mengalami subordinasi karena fokus yang dikonstruksikan oleh budaya Jawa dari kewajiban seorang perempuan adalah mengurus rumah tangga.
8
Institusi budaya telah menetapkan bahwa perempuan tidak perlu disekolahkan karena jika di sekolahkan perempuan akan menjadi pandai dan dapat melawan laki-laki (Sugihastuti-Suharto, 2010: 214). Ketakutan kaum laki-laki itu membuat perempuan menjadi makhluk yang bodoh, yang hanya bisa menerima segala sesuatu tanpa ada perlawanan dan hal itu sebenarnya dapat membuat perempuan tidak berkembang dan semakin menjadi objek ketidakadilan.
b. Ketidakadilan pada Tokoh Rahayu Rahayu adalah seorang anak dari tokoh Sumarni. Hidup Sumarni dan Rahayu memiliki kesamaan, yaitu mereka sama-sama teropresi oleh budaya patriarki yang membelenggu mereka. Bila dalam cerita Sumarni tidak mengenal bangku pendidikan karena keterbatasan biaya, lain halnya dengan Rahayu. Rahayu mengenal pendidikan sampai dengan bangku perkuliahan. Saat kuliah di Yogya, Rahayu yang dulu memutuskan untuk kuliah di Jurusan Pertanian dengan alasan agar bisa membantu orang-orang di Desa Singget memperbanyak panen ternyata membelok dan semakin jauh dari cita-cita awalnya. Rahayu lebih aktif bergabung dengan kelompok dakwah dan pengajian yang membawanya bertemu dengan Amri Hasan. Amri Hasan adalah dosen di Fakultas Hukum. Pertemuan pertamanya pada saat Amri Hasan menjadi dosen pembimbing di tempat Rahayu KKN. Amri Hasan dinarasikan oleh Rahayu sebagai laki-laki yang hampir sempurna. Namanya Amri Hasan. Dosen di fakultas hukum. Masih muda, tampan, dengan muka kearab-araban. Belum pernah kulihat orang setampan ini. Putih, mata lebar, alis tebal, dan hidung yang mancung agak besar. Selalu memakai baju putih dan sering kali celananya di atas mata kaki, terutama saat ada pengajian. Semuanya terlihat serasi dan pas (Entrok, 2010: 137). Rahayu sangat menyukai sosok Amri Hasan. Rasa cintanya mengalahkan pikiran rasionalnya sebagai perempuan. Ia tidak peduli dengan status perkawinan yang telah dimiliki oleh Amri Hasan. Bahkan Rahayu rela dijadikan istri kedua oleh Amri Hasan. Dalam hal ini, Amri Hasan melakukan poligami.
9
Poligami menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 1089) memiliki arti sistem perkawinan yang membolehkan seseorang mempunyai istri lebih dari satu orang. Dalam Islam, poligami hukumnya sunnah bagi yang mampu. Dari sistem poligami tersebut, Rahayu dirugikan dalam mendapatkan haknya sebagai seorang istri yang hanya sah di mata agama, tetapi tidak diakui dalam negara. Hal ini, membuat Rahayu kehilangan haknya untuk mendapatkan harta waris dan juga tidak mendapatkan pengakuan dari negara bahwa Rahayu adalah seorang istri dari Amri Hasan setelah meninggal. Seperti kutipan berikut ini. Hari ini menjadi hari terakhirku melihat jasad Amri. Tak akan ada pusara yang bisa kudatangi dan menjadi penanda tempat jasad suamiku dikubur. Segalanya tentang Amri akan hilang, seiring perjalanannya ke alam yang baru. Meereka telah membawanya pulang ke tanah kelahirannya. Amri Hasan kini tinggallah nama dan bayangan dalam ingatan dan hatiku. Pernikahan kami hanya akan pernah ada bagi mereka yang percaya. Tak ada surat, tak ada gambar, tak ada perayaan (Entrok, 2010: 235-236). Pada pokoknya pasal 5 UU Perkawinan menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi suami yang akan melakukan poligami di antaranya, adanya persetujuan dari istri, adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri dan anak-anak mereka (material), dan adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri dan anak-anak mereka (immaterial). (Diunduh dari http://www.lbh-apik.or.id/fac-31.htm, Senin, 3 Mei 2012). Sebenarnya poligami sangat ditentang oleh feminisme karena poligami merupakan suatu sistem yang mengunggulkan laki-laki terhadap perempuan. Sistem ini memang sengaja dikonstruksikan oleh budaya patriarki yang menegaskan bahwa fungsi istri dalam perkawinan adalah hanya untuk melayani suami.
c. Perlawanan Dua Tokoh Perempuan Perlawanan para tokoh perempuan merupakan akibat dari ketidakadilan yang dialaminya. Perlawanan para tokoh perempuan ini berawal dari kesadaran bahwa telah terjadi ketidakadilan gender akibat budaya patriarki. Mereka sadar bahwa
10
perbedaan seks/gender mengalir bukan semata-mata dari aspek biologis, melainkan juga dari sosialisasi sejarah keseluruhan menjadi perempuan di dalam masyarakat patriarkal. Dalam skripsi ini perlawanan yang dilakukan oleh kedua tokoh perempuan melalui dua cara, yaitu melalui kemandirian dan seksualitas perempuan.
Melalui kemandirian
Sudah sepantasnya apabila perempuan bebas menentukan apa yang akan dilakukan di dalam melaksanakan tugasnya sebagai perempuan. Pemilihan pekerjaan dan pembagian upah yang layak bagi perempuan merupakan salah satu bentuk perlawanan atas diri perempuan. Seperti yang dilakukan tokoh Sumarni ketika memilih bekerja sebagai kuli. Karena dengan bekerja sebagai kuli ia dapat menyejahterakan hidupnya menjadi perempuan seutuhnya. Berikut kutipannya. Kutimang-timang upahku hari ini, delapan singkong. Simbok mendapat sepuluh singkong. Aku berpikir upah yang didapat Teja, si kuli pasar, setiap hari. Teja mendapat satu rupiah untuk setiap barang yang diangkatnya. Kalau sehari dia bolak-balik mengangkut sepuluh kali, dia sudah mendapat sepuluh rupiah. Lima hari bekerja, uang Teja cukup untuk membeli satu Entrok. Kenapa aku tidak bekerja seperti Teja? (Entrok, 2010: 33). Sejalan dengan kesadaran bahwa konstruksi patriarki yang selama ini dianggap kodrat oleh masyarakat, terutama masyarakat patriarki yang menempatkan perempuan pada posisi kedua, bukanlah kodrat, melainkan konstruksi sosial yang telah lama diyakini masyarakat. Padahal kalau kita lihat pekerjaan domestik perempuan sama beratnya dengan pekerjaan publik yang dilakoni laki-laki. Feminisme radikal-libertarian menekankan bahwa musuh utama perempuan adalah sistem patriarki yang memberikan prioritas dan prerogatif berabad-abad yang dinikmati laki-laki (Tong, 2010: 105). Sumarni memiliki kesadaran tersebut yang mengakibatkan adanya perlawanan dari diri Sumarni untuk mendapatkan upah yang bisa mengembangkan dirinya dan dari kesadarannya itu Sumarni berhasil menjadi perempuan yang berhasil keluar dari perangkap kemiskinan. Berikut adalah kutipan yang mendeskripsikan 11
kesuksesan Sumarni sebagai perempuan. Seperti kutipan yang tampak di bawah ini. Awalnya, Ibu hanya pedagang sayuran keliling. Bersama Bapak, dia menjual sayuran berkeliling dari satu rumah ke rumah lainnya. Dari keuntungan yang dikumpulkan sedikit demi sedikit, Ibu mulai menjual berbagai barang kebutuhan. Mulai dari wajan, ember, panci, hingga kain batik. Pelanggannya banyak, termasuk guru-guruku di sekolah. Orang-orang mau membeli barang dagangan Ibu karena boleh dicicil setiap hari. Wajan dijual lima ribu rupiah, dicicil dua ratus rupiah setiap hari selama tiga puluh hari. Setiap hari Ibu berkeliling mengambil cicilan orang-orang (Entrok, 2010: 60). Dalam diri Sumarni terdapat sisi kemandirian sebagai perempuan. Ia tidak menggantungkan hidupnya pada laki-laki atau suaminya, tetapi ia berjuang menyejahterakan kehidupannya lewat usaha dan kerja kerasnya sendiri. dengan kegigihan yang dimiliki Sumarni bisa menunjukkan bahwa sebenarnya perempuan bukanlah makhluk yang lemah seperti yang dikonstruksikan oleh patriarki. Sebaliknya, perempuan merupakan makhluk kuat yang dapat mengembangkan hidupnya.
Melalui seksualitas perempuan
Begitu juga Rahayu yang melakukan hubungan seks di luar nikah dengan Kyai Hasbi. Saat itu yang dirasakan hanyalah kenikmatan tanpa memikirkan status antara mereka berdua. Berikut kutipannya. Dan biarkan saja aku menikmati malam ini. Mengulang apa yang kami lakukan tadi malam. Merasakan lagi nikmat dan bahagia yang kami cicipi dalam gelap desa ini. Kyai Hasbi bergerak lebih cepat dan tangkas sekarang. Tidak ada ragu dan malu seperti sebelumnya. Sepertinya dia sudah yakin aku juga menginginkannya. Dia bergerak cepat mencumbu bibir dan dada. Gusti, aku hampir lupa kalau laki-laki ini tiga puluh tahun lebih tua dari aku (Entrok, 2010: 249-250). Pada kutipan di atas dapat dilihat kesadaran Rahayu atas tubuhnya. Tubuh bagi perempuan merupakan alat kepuasaan tersendiri. Melalui tubuh, perempuan dapat menjadikan dirinya sebagai subjek ketika berhubungan seksual dengan laki-laki 12
karena keinginannya seksualnya berasal dari dirinya sendiri. Perempuan tidak merasakan paksaan dan tekanan ketika berhubungan seksual, sebaliknya perempuan melakukan hubungan seksual dengan sukarela dan bahagia. Dalam kutipan di atas juga dapat dilihat adanya perlawanan yang dilakukan oleh Rahayu terhadap lembaga perkawinan. Lembaga perkawinan adalah lembaga yang memihak pada kekuasaan laki-laki. lembaga perkawinan melegalkan hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan. menurut Rahayu dalam kutipan di atas tanpa lembaga perkawinan pun seorang laki-laki dan perempuan dapat melakukan hubungan seksual. Ketika berahi sudah berada di puncak, maka tidak ada lagi yang bisa menghentikan terjadinya hubungan seksual di luar pernikahan.
III. SIMPULAN Dari pembahasan mengenai bentuk perlawanan akibat ketidakadilan gender yang dialami oleh tokoh perempuan dalam novel Entrok karya Okky Madasari, dapat disimpulkan bahwa: Ketidakadilan yang dialami oleh dua tokoh perempuan berasal dari konstruksi patriarki. Konstruksi patriarki melahirkan perbedaan ruang gerak antara perempuan dan laki-laki. perbedaan tersebut sebenarnya memberikan keuntungan tersendiri bagi kaum laki-laki. Laki-laki dikonstruksikan sebagai makhluk yang kuat perkasa, gagah, dan berani. Dari adanya kontruksi tersebut laki-laki merasa status dirinya lebih tinggi dibandingan dengan perempuan, sedangkan perempuan dikonstruksikan sebagai makhluk yang lemah, lembut, dan bersikap keibuan. Perbedaan konstruksi yang distrukturkan oleh patriarki membuat perempuan tidak dapat mengembangkan hidupnya di masyarakat luas. Hal tersebut dapat dilihat dari pembagian upah yang diterima Sumarni ketika bekerja di pasar tidak mendapatkan upah uang. Kesadaraan atas terjadinya ketidakadilan membuat tokoh perempuan melakukan perlawanan. Perlawanan tersebut dilakukan dengan dua cara, yaitu melalui kemandirian dan juga seksualitas perempuan. Dibalik kelembutan yang ada pada diri seorang perempuan ternyata terdapat kemandirian. Dalam hal ini, Sumarni berjuang untuk mengangkat harkat dan derajatnya sebagai
13
perempuan melalui usaha dan kerja kerasnya menjadi kuli dan melebarkan usahanya sampai memiliki harta kekayaan yang sebelumnya tidak pernah dimiliki. Kemudian, perempuan melakukan perlawanan dengan seksualitasnya. Sebagai perempuan Sumarni dan Rahayu memiliki berahi sebagaimana laki-laki. Tubuh Sumarni dan Marijo pada saat yang sama mengalami berahi. Begitu juga dengan Rahayu yang meengalami berahi ketika melakukan hubungan seksual dengan Kyai Hasbi. Dalam hal ini, seks yang dilakukan kedua tokoh perempuan adalah hubungan seks yang berlangsung berbalasan, tanpa menghiraukan status perkawinan yang tidak mereka miliki. Demikianlah simpulan dari penelitian terhadap para tokoh perempuan dalam novel Entrok karya Okky Madasari
SUMBER DATA Ali, Fachri. 1988. “Wanita `di bawah` Laki-laki?” dalam Majalah Matra. Jakarta. Madasari, Okky. 2010. Entrok. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Fakih, Mansour. 2010. Analisis Gender & Transformasi Sosial. (Cetakan ke-13). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hermawati, Tanti. 2007. “Budaya Jawa dan Kesetaraan Gender” dalam Jurnal Komunikasi Massa Vol 1. Surakarta Suharto, Sugihastuti. 2010. Kritik sastra Feminis: Teori dan Aplikasi. (cetakan ke3). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sunarijati, Ari. 2007. “Pemiskinan Teradap Buruh Perempuan” dalam Jurnal Perempuan 56: Menyoal Buruh Mengapa Mereka Dieksploitasi. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Suseno, Magnis Frans. 2001. Etika Jawa; Sebuah Analisa Falasafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Tong,
Rosemary Putnam. 2010. Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra.
http://www.lbh-apik.or.id/fac-31.htm. 14