KETIDAKADILAN GENDER DALAM NOVEL NOT WITHOUT MY DAUGHTER Setyoningsih*)
Abstract: Gender injustice or discrimination is still common in society. This is caused by misunderstanding of the distinction between the concept of nature or sex and gender. Forms of gender injustice are stereotyping, marginalization, subordination, violence, and the double burden. This article examines gender inequalities experienced by an American woman in the novel “Not Without My Daughter”. Keywords: gender discrimination, violence, double burden.
A. Pendahuluan Sastra adalah karya yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinilan, keartistikan, kehidupan dalam isi dan ungkapannya (Sudjiman,1991: 17). Sastra juga dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial. Sastra yang ditulis oleh pengarang pada suatu kurun waktu tertentu pada umumnya berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat jaman itu (Luxemburg dalam Sangidu, 2004: 41). Sedang sastra yang baik tidak hanya merekam kenyataan yang ada dalam masyarakat seperti sebuat tustel foto, tetapi merekam dan melukiskan kenyataan dalam keseluruhannya. Lebih lanjut Aminuddin (1990: 57) berpendapat bahwa karya sastra sebagai hasil cipta manusia selain memberikan hiburan juga sarat dengan nilai, baik nilai keindahan maupun )
Dosen tetap jurusan tarbiyah STAIN Kudus.
KETIDAKADILAN GENDER _ (Setyoningsih)
nilai-nilai ajaran hidup. Orang dapat mengetahui nilai-nilai hidup, susunan adat istiadat, suatu keyakinan, dan pandangan hidup orang lain atau masyarakat melalui karya sastra. Karya sastra lahir karena adanya keinginan dari pengarang untuk mengungkapkan eksistensinya sebagai manusia yang berisi ide, gagasan, danpesan tertentu yang diilhami oleh imajinasi dan realitas sosial budaya pengarang serta menggunakan media bahasa sebagai penyampaiannya. Novel adalah salah satu bentuk karya sastra yang menyajikan cerita fiksi dalam bentuk tulisan atau kata-kata, yang mempunyai unsur intrinsik dan ekstrensik. Sebuah novel biasanya menceritakan tentang kehidupan manusia bermacam-macam masalah dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesamanya. Seorang pengarang berusaha semaksimal mungkin mengarahkan pembaca kepada gambaran-gambaran realita kehidupan lewat cerita yang adadalam novel tersebut. (Azizah, 2008). Not Without my Daughter adalah sebuah novel non-fiksi dimana penulis menyajikan tokoh dan kejadian yang nyata (Koesnosoebroto, 1988:26). Novel ini ditulis oleh William Hoffer yang menceritakan tentang kisah nyata seorang wanita Amerika yang mengalami konflik selama berada di Iran pada tahun 1984. William Hoffer telah penulis best-sellers internasional lebih dari 20 tahun.Hoffer juga penulis novel Midnight Express, yaitu kisah nyata tentang seorang warga negara Amerika yang menjadi tawanan di Timur Tengah. Dia berkolaborasi dengan Billy Hayes untuk menulis tentang pengalaman melarikan diri dari sebuah penjara di Turki dalam Midnight Express, yang kemudian diproduksi dalam sebuah film dan menjadi pemenang Academy Award film yang dibintangi oleh Brad Davis, John Hurt dan Randy Quaid.William dan istrinya Marilyn juga bekerjasama dengan Betty Mahmoody untuk menulis Not Without my Daughter, kisah Betty dan putrinya yang melarikan diri yang mendebarkan dan berbahaya dari Iran. Buku ini cukup menarik perhatian dan menjadi sebuah fenomena internasional yang meraih sukses, dan pada tahun 1991 diproduksi menjadi sebuah film yang dibintangi Sally Field dan Alfred Molina.
265
266
PALASTRèN: Vol. 4, No. 2, Desember 2011
Novel tersebut menceritakan gambaran kenyataan yang adadalam kehidupan masyarakat di Iran pada saat itu. Konflik akibat ketidakadilan gender yang dialami tokoh utamanya yaitu Betty Mahmoody merupakan masalah menarik untuk ditelaah dalam perspektif gender. Hal ini terjadi karena terutama masyarakat di Iran masih menganut budaya atau sistem patriarki dimana peranan laki-laki dan perempuan dibingkai oleh sebuah sistem yang menempatkan ayah sebagai penguasa keluarga.
B. Sekilas tentang Novel Not Without my Daughter (NWD) NWD merupakan true story atau pengalaman pribadi dari Betty Mahmoody, seorang wanita Amerika yang menikah dengan Moody, seorang laki-laki dari Iran. Betty adalah seorang manajer yang memiliki dua anak laki-laki dan sudah bercerai. Sedangkan Moody adalah seorang dokter. Pertama kali mereka bertemu di rumah sakit di Carson City, tempat Moody bekerja, ketika Betty sedang menjalani perawatan untuk menyembuhkan sakit kepalanya. Kemudian mereka memutuskan untuk menikah setelah menjalani hubungan selama tiga tahun. Pada awal mereka menikah, mereka selalu berusaha untuk selalu menutupi atau menyembunyikan segala konflik yang diakibatkan perbedaan budaya. Masalah mulai banyak timbul ketika Moody, sang suami mengajak mereka untuk tinggal di Iran. Betty yang merasa tidak nyaman di sana tidak bisa berbuat banyak karena Moody mengancam akan mengambil anak perempuan mereka yaitu Mahtob. Apalagi saat itu, Amerika merupakan musuh bebuyutan Iran. Lama kelamaan Betty merasa tidak tahan lagi dengan kehidupan yang banyak konflik terutama disebabkan sikap Moody yang dipengaruhi budaya patriarki yang mengakibatkan adanya diskriminasi gender. Ketidakadilan gender yang dialami oleh Betty adalah subordinasi, double burden, dan kekerasan (violence). Dia sering mengalami kekerasan fisik (pemukulan) karena laki-laki memukul perempuan (istri) adalah merupakan hal yang lumrah menurut kultur budaya di Iran. Selain itu juga
KETIDAKADILAN GENDER _ (Setyoningsih)
dia mengalami kekerasan non fisik berupa ancaman atau paksaan. Akhirnya dia memutuskan untuk mencari jalan pulang kembali ke Amerika dengan Mahtob, anak perempuannya karena Moody mengancam akan memisahkan dia dengan anaknya. Setelah melalui perjuangan yang panjang dan melelahkan dengan bantuan orang Iran, akhirnya mereka berdua berhasil kembali ke Amerika dengan selamat.
C. Aspek KetidakadilanGender dalam NWM Ketidakadilan gender merupakan akibat dari adanya sistem(struktur) sosial dimana salah satu jenis kelamin(lakilaki maupun perempuan) menjadi korban. Hal ini terjadi karena adanya keyakinan dan pembenaran yang ditanamkan sepanjang peradaban manusia dalam berbagai bentuk dan cara yang menimpa kedua belah pihak, walaupun dalam kehidupan sehari-hari lebih banyak dialami oleh perempuan. Ketidakadilan atau diskriminasi gender sering terjadidalam keluarga dan masyarakat serta di tempat kerja dalam berbagai bentuk, yaitu:
a. Stereotip/Citra Baku Stereotype, menurut Amir (2007:6-7), adalah citra baku tentang individu atau kelompok yang tidak sesuai dengan kenyataan empiris yang ada atau disebut pelabelan negatif. Pelabelan negatif secara umum selalu melahirkan ketidakadilan. Sedangkan menurut Sasongko (2009), stereotip yaitu pelabelan terhadap salah satu jenis kelamin yang seringkali bersifat negatif dan pada umumnya menyebabkan terjadinya ketidakadilan. Misalnya, karena perempuan dianggap ramah, lembut, rapi, maka lebih pantas bekerja sebagai sekretaris, guru Taman Kanakkanak; kaum perempuan ramah dianggap genit; kaum laki-laki ramah dianggap perayu. Pandangan stereotipe masyarakat terhadap perempuan, menurut Fakih (1996) yaitu pembakuan diskriminatif antara perempuan dan laki-laki. Perempuan dan laki-laki sudah dibakukan sifat yang sepantasnya, sehingga tidakmampu keluar
267
268
PALASTRèN: Vol. 4, No. 2, Desember 2011
dari kotak definisi yang membakukan tersebut. Stereotipe adalah pelabelan atau penanda terhadap sesuatu kelompok tertentu, dan stereotipe ini selalu menimbulkan ketidakadilan terhadap kaum perempuan pada umumnya. Anggapan masyarakat tentang tugas utama kaum perempuan kaum perempuan yang bersolek atau mempercantik diri hanya ingin diperhatikan oleh lawan jenis, dan bila terjadi pemerkosaan atau pelecehan seksual itu merupakan kesalahan perempuan. Azis (2010) menyatakan bahwa salah satu stereotype yangb erkembang berdasarkan pengertian gender, yakni terjadi terhadap salah satu jenis kelamin (perempuan) yang mengakibatkan terjadinya diskriminasi dan berbagai ketidakadilan yang merugikan kaum perempuan. Hal ini disebabkan pelabelan yang sudah melekat pada laki-laki, misalnya laki-laki adalah manusia yang keras,sedangkan perempuan adalah makhluk yang lemah, irrasional, dan emosional.
b. Marginalisasi/Peminggiran Marginalisasi adalah kondisi atau proses peminggiran terhadap salah satu jenis kelamin dari arus/pekerjaan utama yang berakibat kemiskinan. Proses marginalisasi ini banyak terjadi di dalam kehidupan bermasyarakat di negara berkembang. Misalnya, perkembangan teknologi menyebabkan apa yang semula dikerjakan secara manual oleh perempuan diambil alih oleh mesin yang pada umumnya dikerjakan oleh laki-laki. Marginalisasi juga bisa berarti menempatkan atau menggeser perempuan ke pinggiran. Perempuan dicitrakan lemah, kurang atau tidak rasional, kurang atau tidak berani, sehingga tidak pantas atau tidak berani memimpin. Akibatnya perempuan selalu dinomorduakan apabila ada kesempatan memimpin. Marginalisasi perempuan sering terjadi dalam kehidupan rumah tangga, masyarakat dan tempat bekerja. Nunuk (2004) juga berpendapat bahwa kaum perempuan sering mendapat diskriminasi oleh anggota keluarga yang laki-laki. Mereka menganggap bahwa perempuan tidakpantas mendapat pendidikan tinggi, yang memperoleh pendidikan tinggi hanyalah
KETIDAKADILAN GENDER _ (Setyoningsih)
laki-laki, sedangkan perempuan bekerja di dapur. Kekuasan tertinggi ada di tangan laki-laki apapun yang terjadi kaum lakilakilah yang boleh memberi keputusan. Ada beberapa perbedaan jenis dan bentuk tempat serta mekanisme proses marginalisasi kaum perempuan tersebut. Dilihat dari sumbernya, bisa berasal darikebijakan pemerintah, keyakinan atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan. Marginalisasi juga dapat diperkuat oleh adat istiadat maupun tafsir keagamaan. Misalnya, banyak diantara suku-suku di Indonesia yang tidak memberi hak kaum perempuan untuk mendapatkan warisan sama sekali. Sebagian tafsir agama memberi hak waris setengah dari hak waris laki-laki terhadap kaum perempuan. (Fakih, 1996:15-16)
c. Subordinasi/Penomorduaan Subordinasi yaitu adanya anggapan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih rendah atau dinomorduakan posisinya dibandingkan dengan jenis kelaminlainnya. Mereka selalu merasa khawatir apabila satu pekerjaan yang utuh atau berat ditangani oleh perempuan. Laki-laki menganggap perempuan tidakmampu berfikir seperti ukuran mereka. Berikut adalah contoh konflik dalam novel NWM yang terjadi akibat subordinasi: 1. Selama di Iran, Moody, Betty dan Mahtob tinggal di rumah Ameh Bozorg, yaitu kakak perempuan Moody yang telah mengasuhnya sejak kecil karena orang tua mereka meninggal sejak Moody berumur enam tahun. Pada hari kedua di Iran, ketika acara minum teh, ternyata teh disuguhkan dalam urutan yang strict atau kaku. Poured into estacons – tiny glasses that hold no more than a quarter cup---tea was presented in strict order: first to Moody, the only male present, then to Ameh Bozorg, the ranking woman, then to me, and finally to Mahtob. (p. 426-427) Terjemahan: Dituangkan ke dalam estacons - gelas kecil yang isinya tidak lebih dari seperempat cangkir teh --- disajikan
269
270
PALASTRèN: Vol. 4, No. 2, Desember 2011
dalam urutan yang ketat: pertama untuk Moody, satusatunya laki-laki yang hadir, kemudian untuk Ameh Bozorg, kemudian aku, dan akhirnya ke Mahtob. (hal 426-427) Karena Moody adalah satu-satunya laki-laki di ruangan tersebut, maka dia mendapatkan urutan yang pertama. Disini terlihat jelas bahwa laki-laki didahulukan karena dianggap memiliki posisi lebih tinggi daripada perempuan. Hal ini merupakan salah satu bentuk diskriminasi gender yaitu subordinasi dimana salah satu jenis kelamin, dalam hal ini perempuan, dianggap lebih rendah atau dinomorduakan posisinya dibanding laki-laki. 2. Konflik kedua yang merupakan akibat subordinasi terhadap perempuan adalah ketika kepala sekolah menawarkan bantuan kepada Betty sebagai balasan terima kasih karena telah mengajarkan bahasa Inggris kepada guru-guru di sekolah Mahtob. Betty hanya meminta tolong agar dia diperbolehkan menggunakan telepon. Namun, kepala sekolah menolak karena sudah berjanji dengan Moody, suami Betty, untuk tidak pernah membiarkan Betty pergi atau menelpon. Mrs. Azahr spoke with Khanum Shaheen. The principal raised her head and clicked her tongue—an Iranian gesture of refusal. She muttered a few words, which mrs. Azahr translated: “We promised your husband that we would never let you leave the building or use the phone.” Now I realized that these women were caught in a trap just as surely as I, subject to the rules of a man’s world. I looked into the eyes of each woman there. I saw nothing but deep emphaty. (p. 471) Terjemahan: Ibu Azahr berbicara dengan Khanum Shaheen. Kepala sekolah mengangkat kepala dan berdecak--isyarat penolakan orang Iran. Dia menggumamkan beberapa kata, yang kemudian diterjemahkan Bu Azahr: “Kami berjanji pada suami anda bahwa kami tidak akan pernah membiarkan
KETIDAKADILAN GENDER _ (Setyoningsih)
anda meninggalkan gedung atau menggunakan telepon.” Sekarang aku menyadari bahwa para wanita ini terjebak dalam perangkap persis seperti aku, tunduk pada aturan dunia laki-laki. Aku melihat ke dalam mata setiap wanita di sana. Dan yang kulihat hanyalah perasaan empati yang mendalam (hal. 471) Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa kepala sekolah dan guru, yang kebetulan adalah perempuan tidak berani menolak permintaan Moody karena dia adalah seorang lakilaki. Dalam hal ini, Betty merasa bahwa perempuan di Iran, seperti dirinya terjebak dalam aturan dunia laki-laki. Dengan kata lain, laki-laki dianggap memiliki posisi yang lebih tinggi daripada perempuan sehingga perempuan harus tunduk dan ikut aturan laki-laki. 3. Konflik ketiga terjadi di saat Moody dan Betty akan membuat rekening di bank. Tindakan Moody yang hanya menulis namanya di surat aplikasi membuat Betty merasa gusar. From the start, however, there were ingrained problems in our marriage, and from the start we both chose to gloss them over. On the rare occasion when we did bring a disagreement to the surface, it usually stemmed from our cultural differences. These issues genuinely confused Moody. For example, when we went to a bank in Corpus Christy to open a checking account, he wrote only his own name on the application. “What is this?” I asked. “Why aren’t we putting my name on the account?” He appeared surprised. “We don’t put women’s names on bank accounts,” he said. “Iranians don’t do that.” “You’re not Iranian here,” I countered. “You’re supposed to be an American.” After some discussion Moody relented. It simply had not occured to him that our possessions were owned jointly. (P. 499) Terjemahan: Sebenarnya sejak awal, ada masalah yang melekat dalam pernikahan kita, dan dari awal kita berdua telah memilih untuk menyembunyikannya. Pada kesempatan langka ketika perselisihan muncul ke permukaan, biasanya itu berasal
271
272
PALASTRèN: Vol. 4, No. 2, Desember 2011
dari perbedaan budaya kita. Persoalan tersebut benar-benar membingungkan Moody. Sebagai contoh, ketika kita pergi ke sebuah bank di Corpus Christy untuk membuka rekening, ia hanya menulis namanya sendiri pada aplikasi. “Apa ini?” tanyaku. “Mengapa kita tidak menuliskan namakudi rekening?” Dia tampak terkejut. “Kita tidak menulis namanama perempuan di rekening bank,” katanya. “Iran tidak melakukan itu.””Kau bukan orang Iran di sini,” balas saya. “Kau seharusnya menjadi orang Amerika.” Setelah berdiskusi akhirnya Moody merasa iba. Hal seperti ini yaitu kepemilikan harta bersama belum pernah terjadi sebelumnya. (hal.499) Meski telah berada di Amerika cukup lama, Moody kadang masih mengalami kebingungan karena faktor perbedaan budaya antara Amerika dan Iran. Di Iran yang menganut sistem patriarki, laki-laki lebih banyak berperan sentral dalam segala urusan termasuk soal harta. Karena merasa sebagai suami yang menguasai semua harta yang mereka miliki, maka dia hanya menulis namanya saja dalam rekening. Seorang istri sama sekali tidak memiliki kekuasaan karena dianggap memiliki posisi di bawah laki-laki (subordinasi). Namun, setelah berdiskusi dan membicarakan masalah tersebut, akhirnya Moody menyetujui soal kepemilikan harta bersama. 4. Diskriminasi gender juga terjadi ketika mereka memiliki anak pertama. Setelah menikah akhirnya mereka dikaruniai seorang bayi. Ketika mengetahui bahwa bayinya perempuan, Moody memberikan respon yang kurang menyenangkan. Mahtob was born early in September, almost a month before her due date. I remember Moody dressed in sterile garb, standing at my side, holding my hand, coaching me along. But most of all I remember the obstetrician announcing,”You’ve got a daughter.” .............................................................. What a strange mixture of emotions passed through me! Clearly, Moody has not been able to voice the question that
KETIDAKADILAN GENDER _ (Setyoningsih)
truly upset him: Why is she a girl? His Islamic manhood wounded at the arrival of a firstborn daughter, he had left us on our own. (p.501) Terjemahan: Mahtob lahir awal September, hampir satu bulan sebelum tanggal jatuh temponya. Aku ingat Moody mengenakan pakaian steril, berdiri di sisiku, memegang tanganku, selalu membimbingku. Tapi dari semuanya yang aku ingat adalah ketika dokter kandungan mengumumkan, “Kaupunya anak perempuan.” ....................................................................... Perasaanku campur aduk! Jelas, Moody belum mampu menyuarakan pertanyaan yang benar-benar membuatnya marah: Mengapa dia seorang gadis? Kedewasaan yang ber hubungan dengan Islamnya terluka pada kedatangan seorang putri sulung, ia telah meninggalkan kami sendiri.(hal 501) Ternyata Moody tidak merasa senang ketika mengetahui anak pertamanya adalah seorang perempuan. Dia akan lebih bahagia jika anaknya adalah laki-laki karena di dalam masyarakatnya laki-laki memiliki posisi lebih tinggi. Harga dirinya menjadi terluka. Nampak jelas bahwa sikap Moody menunjukkan diskriminasi gender terhadap perempuan (subordinasi) 5. Pada suatu kesempatan lain, Moody diminta oleh Aga Hakim, salah satu saudaranya untuk menerjemahkan buku-buku hasil karya ayahnya, Tagatie Hakim. Dari terjemahan tersebut, Betty menjadi tahu alasan semua sikap yang ditunjukkan Moody karena menurut Tagatie Hakim dalam bukunya, bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan membesarkan anak adalah tanggung jawab ayah saja. Sedangkan ibu hanya melahirkan tapi tidak memiliki peran sama sekali dalam mendidik anak. Hal ini jelas sangat dipengaruhi oleh budaya patriarkal yang memposisikan laki-laki lebih tinggi dari perempuan sehingga dianggap lebih pantas untuk memikul tanggung jawab dalam mendidik anak.
273
274
PALASTRèN: Vol. 4, No. 2, Desember 2011
Soon Mammal and Nasserine’s seldom used dining-room tabel was covered with stacks of manuscript paper. Moody sat at one end, scribbling his translation and handing me the pages to type. As we worked, i came to a better understanding of his attitudes. In Tagatie Hakim’s eyes the father bore the total responsibility to train the child to exhibit proper behaviour, to think in the correct manner, and to live life according to the tenets of islam. The mother played no role in the process whatsoever. (p.475) Terjemahan: Segera Mammal dan Nasserine jarang mengggunakan meja ruang makan karena tertutup dengan tumpukan kertas naskah. Moody duduk di salah satu ujung, menulis terjemahan dan menyerahkan beberapa halaman untuk diketik. Selama kita bekerja, aku mulaimemahami sikapnya dengan lebih baik. Di mata Tagatie Hakim, ayah bertanggung tanggung jawab secara total untuk melatih anak menunjukkan perilaku yang tepat, untuk berpikir dengan cara yang benar, dan untuk hidup sesuai dengan ajaran islam. Sedangkan sang ibu tidak berperan dalam proses apapun.(hal.475) Dalam hal ini terlihat jelas bahwa seorang perempuan, dalam hal ini ibu, tidak boleh ikut berperan dalam mendidik anaknya. Perempuan hanyalah bertugas mengurus pekerjaan domestik sehingga perempuandianggap sebagai “orang rumah” atau “teman yang ada di belakang”. Perempuan dianggap tidak mampu mengemban tanggung jawab mendidik anak sehingga tugas tersebut sepenuhnya diberikan kepada lakilaki. Padahal seharusnya itu merupakan tanggung jawab berdua antara ayah dan ibu, dan juga semua memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam mendidik anak mereka. Jadi dengan kata lain, perempuan dianggap memiliki posisi lebih rendah dibawah laki-laki. 6. Menurut Nunuk (2004), subordinasi terhadap kaum perempuan sering terjadi di dalam masyarakat. Perempuan sering diberi tugas yang ringan dan mudahkarena mereka dipandang kurang mampu dan lebih rendah dari pada laki-laki. Pandangan ini bagi perempuan menyebabkan
KETIDAKADILAN GENDER _ (Setyoningsih)
mereka merasa sudah selayaknya sebagai pembantu, sosok, bayangan, dan tidak berani memperhatikan kemampuannya sebagai pribadi. Bagi laki-laki pandangan ini menyebabkan mereka sah untuk tidak memberikan kesempatan perempuan muncul sebagai pribadi yang utuh. Hal ini juga terjadi ketika Betty mencoba mencari perlindungan di kedutaan besar Amerika dan minta bantuan agar bisa pulang kembali ke Amerika. Namun ternyata, hal tersebut bukanlah sesuatu yang mudah. “But I’m an American citizen.” “You are an Iranian citizen.” Not unkindly, but firmly, she explained that from the moment I married an Iranian I became a citizen under Iranian law. Legally, both Mahtob and I were indeed Iranian. (p.449) Terjemahan: “Tapi aku seorang warga negara Amerika.””Anda adalah seorang warga negara Iran.” Halus tapi tegas, dia menjelaskan bahwa dari saat aku menikahi orang Iran aku menjadi warga negara di bawah hukumIran. Secara hukum, baik Mahtob dan aku memang orang Iran. (hal.449) Helen, pegawai di kedubes menjelaskan bahwa pihak kedubes tidak bisa memberikan perlindungan karena secara hukum Iran, Betty sudah menjadi warga negara Iran secara tidak langsung sejak dia menikah dengan orang Iran yaitu Moody. Informasi tersebut tentu saja membuat Betty terkejut karena dia tidak pernah mengetahuinya sebelumnya. Dan itu merupakan salah satu bentuk ketidakadilan gender dimana perempuan tidak memiliki hak sepenuhnya atas dirinya ketika dia sudah menikah.
d. Beban Ganda/Double Burden Beban ganda adalah adanya perlakuan terhadap salah satu jenis kelamin dimana yang bersangkutan bekerja jauh lebih banyak dibandingkan dengan jenis kelamin lainnya. Berbagai observasi menunjukkan bahwa perempuan mengerjakan hampir 90 persen dari pekerjaan dalam rumah tangga. Karena itu, bagi
275
276
PALASTRèN: Vol. 4, No. 2, Desember 2011
perempuan yang bekerja di luar rumah, selain bekerjadi wilayah publik, mereka juga masih harus mengerjakan pekerjaan domestik. Beban kerja yang dimiliki oleh kaum perempuan sangat berat karena harus bekerja keras dan lama untuk menjaga kebersihan dan kerapian rumah tangga, mulai dari membersihkan dan mengepel lantai,memasak, mencuci, mencari air untuk mandi hingga mengurus anak. Bagi perempuan kalangan atas kurang biasa merasakan beban ini, tetapibagi perempuan kalangan ke bawah setiap hari mereka harus merasakan beban tersebut. Apalagi, jika perempuan harus memikul beban kerja ganda, disamping mengerjakan pekerjaan di rumah mereka juga harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Beban ganda juga dialami oleh Betty. Ketika Moody dipecat dari pekerjaannya, mereka mengalami krisis keuangan. Untuk mengatasi hal itu akhirnya Betty mencari pekerjaan dan berhasil bekerja di sebuah kantor hukum meski hanya pekerja paruh waktu. Diluar dugaan, suaminya memberikan respon yang kurang menyenangkan. I found a part-time job, working in a law office. Moody was furious with me, for he believed a wife’s place was at home, caring for her husband. He fought back, seeing to reassert his dominance over me by demanding that I come home every day at noon to fix his lunch. And because I was so unsettled and confused, I acquiesced to this ridiculous request. (p. 504) Terjemahan: Aku menemukan pekerjaan paruh waktu di sebuah kantor hukum. Moody marah denganku, karena ia percaya tempat seorang istri adalah di rumah, merawat suaminya. Dia melawan, menegaskan kembali dominasinya di atasku dengan menuntut bahwa aku pulang setiap hari di siang hari untuk menyiapkan makan siangnya. Karena aku begitu gelisah dan bingung, aku menyetujui permintaan konyol ini (hal. 504). Dalam hal ini, Betty mengalami diskriminasi gender yaitu beban ganda. Disamping bekerja di kantor, dia juga harus memenuhi tuntutan suaminya untuk tetap mengurus
KETIDAKADILAN GENDER _ (Setyoningsih)
dan menyiapkan segala keperluannya. Hal ini terjadi karena dia beranggapan bahwa tempat seorang istri adalah di rumah mengurusi suami bukan bekerja diluar.Karena ingin menunjukkan dominasinya terhadap istrinya, maka dia menuntut istrinya untuk tetap mengurusi segala keperluannya, seperti makan siang meski dia sudah bekerja untuk mencari nafkah buat keluarganya. Pandangan Moody ini menurut Ihromi (2000) karena ada nilai-nilai dalam masyarakat yang diterima Moody tentang pembagian kerja yang bersifat seksis, sehingga perempuan dianggap bertanggungjawab terhadap urusan domestik rumah tangga seperti menyediakan makanan untuk keluarganya dalam kasus Betty di atas meski Betty dalam waktu yang sama juga melakukan aktivitas produktif yaitu bekerja.
e. Kekerasan/Violence Kekerasanya itu suatu serangan terhadap fisik maupun psikologis seseorang, sehingga kekerasan tersebut tidak hanya menyangkut fisik (perkosaan, pemukulan), tetapi juga nonfisik (pelecehan seksual ,ancaman, paksaan, yang bisa terjadi di rumah tangga, tempat kerja, tempat-tempat umum). Stereotipe laki-laki atas perempuan diungkapkan dalam bentuk kekuasaan laki-laki untuk melakukan kekerasan fisik, psikis baik verbal maupun nonverbal terhadap perempuan.Kekerasan (violence) adalah serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang.Kekerasan terhadap semua manusia pada dasarnyaberasal dari berbagai sumber.Bias gender menjadi salah satu penyebabmunculnya kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan berdasarkan bias gender disebut sebagi Gender-related violence. Menurut Nunuk (2004), contoh tindakan kekerasan terhadap perempuan adalahpenggerayangan yang tidak diharapkan oleh pihak perempuan, pelecehandengan kekerasan fisik terhadap perempuan, pemenjaraan anakperempuan dalam keluarga, incest(hubungan saling mencintai yang bersifat seksual yang dilakukan oleh pasangan yang memiliki ikatan keluarga
277
278
PALASTRèN: Vol. 4, No. 2, Desember 2011
(kekerabatan) yang dekat, biasanya antara ayah dengan anak perempuannya, ibu dengan anak laki-lakinya, atau antar sesama saudara kandung atau saudara tiri), penganiayaan anak perempuan, danpemukulan istri oleh suami. Bentuk kesetaraan psikis terhadapperempuan berupa pembicaraan jorok yang melecehkan seks perempuan,permintaan hubungan seks ditempat umum, dan ancaman seks lainya. Selama di Iran, Betty juga mengalami beberapa kali kekerasan baik yang menyangkut fisik (pemukulan) maupun non fisik (ancaman dan paksaan). Salah satu kejadian kekerasan adalah ketika Betty merasa kecewa setelah Mammal, keponakan Moody, kembali mengingkari janjinya untuk mengajak mereka makan di restoran. Karena merasa kesal, maka dia menyebut Mammal sebagai seorang pembohong. Mendengar hal tersebut, Moody menjadi marah dan akhirnya melakukan kekerasan fisik terhadap Betty dan mengancam akan membunuhnya. After a few minutes Nasserine tiptoed into the room, her left hand clutching her chador about her head. Mahtob and I were still sobbing. Nasserine sat down on the bed and slipped her arm around my shoulders. “Do not worry about it,” she said. “It is okay. All men are like this.” “It’s okay?” I said incredulously. “It’s okay for him to hit me like this and say he’s going to kill me?” “He is not going to kill you,” Nasserine said. “He says he is. Why didn’t you help me?” Nasserine tried to comfort me as best she could. “We cannot go against Daheejon,” she explained. ........................ “All men are like this,” Nasserine repeated. “No,” I replied sharply. “All men are not like this.” “Yes,” she assured me. “Mammal does the same to me. Reza does the same to Essey.” My God! I thought. What’s next? (p.463-464) Terjemahan: Setelah beberapa menit Nasserine berjingkat ke kamar, tangan kirinya memegang cadar di kepalanya. Mahtob dan aku masih terisak. Nasserine duduk di tempat tidur dan menyelipkan lengannya di bahuku. “Jangan khawatir
KETIDAKADILAN GENDER _ (Setyoningsih)
tentang itu,” katanya. “Tidak apa-apa Semua laki-laki seperti ini. “ “Tidak apa-apa?” Kataku tak percaya. “Tidak apa-apa baginya untuk memukul aku seperti ini dan mengatakan dia akan membunuhku?” “Dia tidak akan membunuh kamu,” kata Nasserine. “Dia bilang dia akan melakukannya. Kenapa kau tidak membantuku? “ Nasserine mencoba menghiburku sebaik-baiknya. “Kita tidak bisa melawan Daheejon,” jelasnya ........................ “Semua laki-laki seperti ini,” ulang Nasserine. “Tidak,” jawabku tajam. “Semua laki-laki tidak seperti ini.” “Ya,” katanya meyakinkanku. “Mammal melakukan hal yang sama kepadaku. Reza melakukan hal yang sama pada Essey. “Tuhan! Pikirku. Apa selanjutnya?(hal. 463-464) Betty bertanya kepada Nasserine, istri Mammal kenapa tidak ada seorangpun yang membantunya ketika Moody memukul dan mengancamnya. Jawaban Nasserine membuat Betty terkejut karena ternyata hal tersebut dianggap biasa di Iran. Semua lak-laki di sana biasa memukul perempuan. Laki-laki di Iran dianggap biasa melakukan diskriminasi gender, dalam hal ini adalah kekerasan terhadap perempuanyang parahnya dilegitimasi oleh konstruksi sosial.
D. Simpulan Ketidakadilan gender atau diskriminasi gender masih sering terjadi terutama di masyarakat yang masih menganut budaya patriarki dimana peranan laki-laki dan perempuan dibingkai oleh sebuah sistem yang menempatkan ayah sebagai penguasa keluarga. Bentuk ketidakadilan gender adalah stereotipe, subordinasi, marginalisasi, beban ganda dan kekerasan. Tokoh utama dalam novel Not Without my Daughteryaitu Betty, banyak mengalami ketidakadilan atau diskriminasi gender yang dilakukan oleh Moody, suaminya. Hal ini terjadi karena faktor suaminya yang masih menganut budaya patriarkimeski berlatar belakang pendidikan yang tinggi.
279
280
PALASTRèN: Vol. 4, No. 2, Desember 2011
Fenomena yang dialami Betty meski dalam novel ini mengambil latar di Iran, merupakan potret rumah tangga di banyak tempat di belahan dunia termasuk di Indonesia sebagai sebuah pekerjaan rumah besar yang harus diselesaikan.Kesadaran personal harus ditumbuhkan untuk mewujudkan kesadaran kolektif bagi masyarakat untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan bagi laki-laki dan perempuan.
KETIDAKADILAN GENDER _ (Setyoningsih)
SUMBER RUJUKAN
Aminuddin.1990. Pengembangan Penelitian Kualitatif Dalam Bidang Bahasa dan Sastra. Malang: Yayasan Asih Asuh Aziz, Abdul. 2010. Iddah Bagi Suami Dalam Fiqih Islam: AnalisisGender(http://lib.uin-malang.ac.id/files/thesis/ fullchapter/06210081.pdf). Diakses tgl 4 Nov 2011. Azizah, Lina. 2008. Perspektif Jender Dalam Novel Perempuan Di Titik Nol Karya Nawal El-Saadawi: Tinjauan Sastra Feminis.(http://etd.ep r i n t s. u ms. a c. i d/ 6 4 4 / 1 / A310030102.pdf) . Diakses tgl 5 Nov 2011. Fakih, Mansour . 1996. Analisis Gender, dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Ihromi dkk .2000. Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita. Bandung: PenerbitAlumni Koesnosoebroto, Suanryo Basuki. 1988. The Anatomy of Prose Fiction. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Proyek Pembangunan Lembaga Pendidikan Tinggi Tenaga Kependidikan Sangidu. 2004. Penelitian Sastra, Pendekatan, Teori, Metode, Teknik dan Kiat. Yogyakarta: Unit Penerbitan Sastra Asia Barat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Sasongko, Sri Sundari. 2009. Modul Konsep dan Teori Gender. (http:// lip4.bkkbn.go.id/file.php/1/moddata/forum/9/143/ Konsep_dan_Teori_gender.pdf). diakses tgl 3 Nov 2011. Sudjiman, Panutti. 1991. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Indonesian University Press Syarifuddin, Amir. 2007. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media
281