PERKAWINAN ULANG BAGI PENGANUT ALIRAN RIFA’IYAH (Studi Kasus di Kelurahan Pagerkukuh Kecamatan Wonosobo, Jawa Tengah)
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh : MASLAHUL HUDA NIM. 1060 4410 1417
KONSENTRASI PERADILAN A GAMA PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1 4 3 1 H 2010M
KATA PENGANTAR
ﺑﺴﻢ اﷲ اﻟﺮﺣﻤﻦ اﻟﺮﺣﻴﻢ Assalmu’alikum Wr.Wb Segala puji dan syukur bagi Allah SWT atas berkat rahmat, nikmat, hidayah serta ridha-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam dihaturkan kepada Rosulullah Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya yang setia mengorbankan jiwa dan raga demi tegaknya syari’at Islam, yang mana pengaruh dan manfaatnya dapat kita rasakan sampai saat ini. Tanpa terlupakan bahwa keberhasilan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini adalah atas berkat bimbingan, bantuan, dorongan,dan saran-saran dari berbagai pihak. Tanpa partisipasi mereka, upaya penulis dalam menyelesaikan studi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tentu akan terasa sulit terwujud, terutama dalam menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada yang terhormat:
1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Bapak. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH.MA.MM, sekaligus sebagai dosen pembimbing yang begitu peduli dan senantiasa meluangkan waktu serta telah banyak memberikan berbagai saran, nasehat, semangat dan bimbingan kepada penulis serta memberikan sumbangan besar dengan kejernihan pemikiran kaagamaannya dalam penyusunan skripsi ini.
i
2. Ketua Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH. MA, dan Sekertaris Program Studi Ahwal Al-Asyakhshiyah Bapak Kamarusdiana, S.Ag. MH, yang telah banyak membantu penulis selama penulis menempuh studi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Seluruh staf pengajar Bapak dan Ibu dosen di lingkungan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan sebagian ilmu pengetahuannya kepada penulis sebagai landasan dasar dalam penyusunan skripsi ini. 4. Segenap pengelola perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulah Jakarta dan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas kepada penulis dalam mencari data-data yang penulis butuhkan dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Para tokoh penganut aliran Rifa’iyah sebagai narasumber yang telah meluangkan waktu dan memberi informasi kepada penulis seputar permasalahan yang penulis angkat kedalam skripsi ini. 6. Teristimewa ucapan terima kasih penulis yang sedalam-dalamnya kepada Ayahanda Abu Hamid dan Ibunda Siti Khodijah tercinta, yang telah memberikan banyak bantuan moril maupun materil terutama atas doa dan dukungannya, pengorbangan kalian yang tak terhingga serta senantiasa memberi semangat tanpa jemu hingga penulis dapat menyelesaikan studi di Universita Islam Negari Syarif Hidayatulah Jakarta denga baik, terutama motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini. “Hanya Allah yang mampu membalas jasa kalian, semoga kalian selalu berada dalam lindungan dan rahmat Allah SWT. Amin.
ii
7. Teristimewa juga penulis ucapkan terima kasih kepada almarhum Bapak H. Bambang Adji Purwanto dan Drg. Ibu Hj. Wijayati Lasmi beserta putra yaitu Mas Bagus dan Mas Anang yang telah banyak memberikan dukungan dan semangat terutama dari segi materi yang telah membiayai penulis selama menempuh kuliah di Universitas Islam Negari Syarif Hidayatulah Jakarta, “Hanya Allah yang mampu membalas jasa kalian, semoga kalian berada dalam lindungan dan rahmat Allah SWT. Amin. 8. Kakak-kakak dan adik-adikku tercinta yang juga telah ikut andil dalam memberikan motivasi dan memberikan fasilitas kepada penulis sehingga membantu memudahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 9. Yang tercinta keponakan yang lucu dan imut Farhat, Syifa, dan Dida yang selalu setia menghibur dan menyemangati melalui senyum dan canda tawanya, hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 10. Hamba Allah yang telah banyak mewarnai kehidupan penulis, terima kasih banyak atas motivasi dan dukungannya sehingga penulis bersemangat dalam menyelesaikan skripsi ini. 11. Teman-teman seperjuangan Keluarga Besar Mahasiswa Peradilan Agama B Angkatan 2006 yang tidak mungkin penulis sebutkan satu-persatu, terima kasih banyak teman-teman atas bantuan dan inspirasinya. Kalian banyak membantu selama penulis menempuh studi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulah Jakarta. 12. Seluruh pihak atau instansi terkait, yang tidak penulis sebutkan yang ikut andil dalam penyelesaian skripsi ini.
iii
Semoga segala kebaikan dan sumbangsih kalian semua dicatat oleh Allah SWT sebagai amal untuk bekal di akhirat nanti. Amin Ya Robbal Alamin. Wassalamu’alaikum Wr.Wb Jakarta, 24 September 2010
Maslahul Huda
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
i
DAFTAR ISI
v
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………………………………………..1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah…………………………..5 C. Tujuan dan Manfaaat Penelitian………………………………..6 D. Studi Review…………………………………………………...6 E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan……………………….7 F. Sistematika Penulisan…………………………………………..10
BAB II
TINJAUAN UMUM MASALAH PERKAWINAN A. Pengertian Perkawinan…………………………………………11 B. Rukun dan Syarat Perkawinan…………………………………14 C. Hukum Perkawinan…………………………………………….18 D. Tujuan dan Hikmah Perkawinan……………………………….20
BAB III
GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN RIFA’IYAH A. Letak Geografis………………………………………………...23 B. Demografis Wilayah……………………………………………26 C. Kondisi Sosiologis……………………………………………...28 D. Gambaran Umum Rifa’iyah………………………………....….31
v
BAB IV
PANDANGAN
PARA
TOKOH
PENGANUT
ALIRAN
RIFA’IYAH TENTANG PERKAWINAN ULANG A. Perkawinan Ulang, Alasan dan Tujuan Melakukan Perkawinan Ulang…………………………………...……………………….40 B. Dalil atau Dasar yang Digunakan Untuk Melakukan Perkawinan Ulang………………………………………………45 C. Analisis Penulis…………………………………………………47 BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan……………………………………………………..50 B. Saran-saran……………………………………………………..51
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….54 LAMPIRAN
vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang kekal berdasarkan “Ketuhanan Yang Maha Esa”1 Perkawinan adalah asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Perkawinan atau pernikahan itu bukan saja satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dapat dipandang satu jalan menuju pintu perkenalan suatu kaum dengan kaum lain, dan perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan yang lainnya. 2
Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam realita kehidupan umat manusia. Dengan adanya perkawinan rumah tangga dapat ditegakkan dan dibina sesuai dengan norma agama dan tata kehidupan masyarakat. Dalam rumah tangga berkumpul dua insan yang berlainan jenis (suami istri), mereka saling berhubungan agar mendapat keturunan sebagai penerus ganerasi. Insan-insan yang berada dalam rumah tangga itulah yang disebut “keluarga”. Keluarga merupakan unit terkecil dari
1
Undang-Undang RI No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
2
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: PT Sinar Baru Algensindo, 2006), Cet. Ke-39,
h.374.
1
2
suatu bangsa, keluarga yang dicita-citakan dalam perkawinan yang sah adalah keluarga sejahtera dan bahagia yang selalu mendapat ridha dari Allah SWT. 3 Perkawinan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku untuk semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT sebagai jalan yang terbaik bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak atau menciptakan keturunan dan untuk melestarikan hidupnya. 4 Dalam suatu acara perkawinan rukun dan syarat tidak boleh tertingggal, dalam arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap. Keduanya mengandung arti yang berbeda dari segi bahwa rukun itu adalah sesuatu yang berada di dalam hakikat dan merupakan bagian atau unsur yang mengujudkannya, sedangkan syarat adalah sesuatu yang berada di luarnya dan tidak merupakan unsurnya, misalnya mahar yang harus ada dalam setiap perkawinan tidak termasuk rukun tetapi masuk kedalam syarat perkawinan. 5 Adapun rukun dan syarat sahnya perkawinan hampir semua ulama sependapat dalam hal-hal yang terlibat dan harus ada dalam suatu perkawinan yaitu:
3
4
Abdul Manan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2006), h.2.
M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat: Kajian Fiqih Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.6. 5 Ibid, h.59.
3
akad perkawinan, calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi, dan mahar atau maskawin. 6 Apabila rukun dan syarat sudah terpenuhi maka perkawinan sudah sah dan tidak perlu dilakukan perkawinan ulang. Didalam kitab-kitab fikih para ulama berbeda pendapat tentang masalah perkawinan ulang, itu pun dikarenakan ada sebab, yaitu pihak perempuan hamil sebelum melakukan perkawinan. Begitu juga didalam KHI yang menyebutkan bahwa perkawinan ulang tidak perlu dilakukan, pasal ini terkait juga dengan permasalahan kawin hamil. Tetapi kenyataan yang terjadi di lapangan perkawinan ulang masih dilakukan oleh beberapa pihak, salah satunya yang dilakukan oleh penganut aliran Rifa’iyah di Kelurahan Pagerkukuh, Kecamatan Wonosobo, Jawa Tengah, tetapi berbeda dengan permasalahan perkawinan hamil. Hal inilah yang membuat penulis terdorong untuk menelusuri dan melakukan penelitian terkait dengan permasalahan tersebut. Seperti yang terdapat dalam KHI pada pasal 14 tentang rukun nikah, yang menyebutkan apa yang biasa dalam kitab fikih disebut dengan rukun nikah. Dikatakan bahwa untuk melaksanakan pernikahan harus ada : 1. Calon suaimi, 2. Calon istri, 3. Wali nikah, 4. Dua orang saksi, dan 5. Ijab dab Kabul. 7 Dalam agama Islam tidak ada perintah atau aturan untuk melakukan perkawinan ulang, selagi perkawinan itu dilakukan dengan sah artinya memenuhi 6
Muhammad Jawad Mughniyah, Al-fiqh ‘ala madzaahibu al- Khamsah , Fikih Lima Madzhab, Penerjemah Masykur A.B, dkk ,(Jakarta: PT Lentera Basritama, 1999). Cet. Ke-4, h.309. 7 Abdurrahman , Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,(Jakarta, Akademika Pressindo, 2004). Cet. Ke-4, h.69.
4
rukun dan syarat perkawinan. Tetapi, kenyataan dilapangan masih ada pihak yang melakukannya, salah satunya yaitu penganut aliran Rifa’yah. Apa karena ada rukun atau syarat yang belum terpenuhi yang sesuai dengan ajaran aliran tersebut, atau karena ada faktor lain. Oleh karena permasalahan di atas, penulis terdorong ingin mengetahui apa alasan dan tujuan serta apa dasar atau dalil-dalil yang di gunakan penganut aliran Rifa’iyah untuk melakukan perkawinan ulang. Agar dapat mengetahui hukum dari permasalahan diatas maka harus diadakan penelitian, yaitu dengan cara melakukan penelitian secara mendalam kepada para tokoh penganut aliran Rifa’iyah di Kelurahan Pagerkukuh Kecamatan Wonosobo, Jawa Tengah, dan melakukan penelitian dari buku-buku yang ada kaitannya dengan permasalahan tersebut yaitu tentang perkawinan ulang. Berangkat dari permasalahan itulah penulis bermaksud untuk menulis skripsi yang berjudul: “PERKAWINAN ULANG BAGI PENGANUT ALIRAN RIFA’IYAH (Studi Kasus di Kelurahan Pagerkukuh Kecamatan Wonosobo, Jawa Tengah)”. Karena apa yang dilakukan oleh para tokoh atau penganut aliran tersebut merupakan suatu hal yang sangat jarang ditemui atau diketahui masyarakat luas. Sehingga, terkesan aneh atau lain dengan yang dilakukan oleh orang Islam pada umumnya. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah
5
Untuk membatasi masalah agar tidak meluas dan pembahasannya tidak sulit dipahami, maka penulis memberikan batasan masalah dengan hanya membahas seputar perkawinan ulang dalam Rifa’iyah. 2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: 1. Apa alasan melakukan perkawinan ulang dalam aliran Rifa’iyah? 2. Apa tujuan melakukan perkawinan ulang dalam aliran Rifa’iyah? 3. Apa dasar atau dalil-dalil yang digunakan untuk melakukan perkawinan ulang dalam aliran Rifa’iyah? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Penelitian
ini
dimaksudkan
untuk
mengungkap
masalah
tentang
perkawinan ulang yang dilakukan penganut aliran Rifa’iyah di kelurahan Pagerkukuh Kecamatan Wonosobo, Jawa Tengah. Secara lebih rinci penelitian ini bertujuan : 1. Untuk mengetahui apa alasan melakukan perkawinan ulang. 2. Untuk mengetahui apa tujuan melakukan perkawinan ulang 3. Untuk mengetahui apa dasar atau dalil-dalil yang digunakan untuk melakukan perkawinan ulang.
6
2. Manfaat Penelitian Harapan penulis dengan melakukan penelitian ini bisa mendatangkan manfaat yang besar bagi penulis sendiri dan umumnya bagi masyarakat luas. Penulis juga berharap dengan penelitian ini bisa menjawab keraguan penulis selama ini tentang permasalahan ini. D. Studi Review
Sejauh penelusuran yang sudah penulis lakukan, belum ada skripsi yang penulis temukan yang membahas tentang perkawinan ulang atau tentang aliran Rifa’iyah. E. Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah dengan memakai pendekatan penelitian hukum empiris yaitu penelitian terhadap identifikasi hukum (tidak tertulis) dan efektifitasnya yang ada dimasyarakat. 8 2. Jenis Penelitian
Setelah penulis melihat data yang dibutuhkan dalam judul skripsi ini, maka jenis penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian kualitatif lebih khususnya dengan menggunakan penelitian lapangan (field research) yaitu penelitian yang mengharuskan peneliti untuk mencari data-data primer ke lapangan, dimana dalam 8
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta; U-Press,1986) .Cet.ke-3, h.51.
7
hal ini penulis mencari data-data yang dibutuhkan, berupa pernyataan tertulis atau lisan dan perilaku yang dapat dipahami. 9 3. Sumber Data a. Sumber Data Primer
Sumber data primer adalah data yang diperoleh seorang peneliti langsung dari objek yang diteliti. Misalnya, dengan cara wawancara dengan para tokoh Rifa’iyah. b. Sumber Data Sekunder
Sumber Data sekunder adalah data yang diperoleh seorang peneliti secara tidak langsung dari objek yang diteliti, tetapi melalui sumber lain baik lisan maupun tulisan. Seperti buku dan kitab yang berkaitan dengan masalah perkawinan di Rifa’iyah.
4. Teknik Pengumpulan Data a. Field Research (Penelitian Lapangan)
Yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data-data dari
lapangan
yaitu
dengan
cara
observasi.
Dimana
peneliti
melakukanpenelitian berupa wawancara langsung dengan tanya jawab secara
9
Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004),Cet. Ke-18, h.3.
8
lisan dengan narasumber yaitu para tokoh Rifa’iyah berkaitan dengan masalah perkawinan ulang. b. Library Research (Penelitian Kepustakaan)
Yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data-data, buku-buku, atau teks-teks tulisan lain. Dengan cara membaca dan memahami serta menganalisa hal-hal yang berkaitan dengan masalah yang dibahas yaitu tentang perkawinan ulang di dalam aliran Rifa’iyah. 5. Teknik Analisis Data Metode data dilakukan dengan cara mendeskripsikan data-data tersebut secara jelas dan mengambil isinya dengan menggunakan content analysis. Data kemudian di interpretasikan dengan menggunakan bahasa penulis sendiri, dengan demikian akan nampak rincian jawaban atas pokok permasalahan yang diteliti. Adapun untuk teknis penulisan ini penulis berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007”, dengan beberapa pengecualian: a. Ayat Al-Qur’an yang dikutip tidak diberi footnote, tapi langsung ditulis nama surat dan ayat di akhir kutipan. b. Dalam daftar pustaka Al-Qur’an ditulis pada urutan pertama, kemudian barulah sumber-sumber selanjutnya ditulis secara Alfabet, berdasarkan nama pengarang.
9
c. Terjemahan Al-Qur’an dan sumber-sunber lainnya yang memakai bahasa arab ditulis satu spasi dengan memberi tanda kutip di awal dan di akhir kalimat. F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini terdiri dari lima Bab, masing-masing Bab terdiri dari beberapa Sub Bab bahasan. Ini dimaksudkan untuk lebih memudahkan dalam pembahsan dan penulisan
skripsi
ini,
agar
lebih
terarah
dan
sistematis
maka
penulis
mengklasifikasikan permasalahan dalam beberapa Bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut: Bab pertama berisi Pendahuluan, yang terdiri dari Latar Belakang Masalah, Perumusan dan Pembatasan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Studi Riview, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan. Bab kedua merupakan Bab yang membahas tentang Pengertian Perkawinan, Rukun dan Syarat Perkawinan, Hukum Perkawinan, Tujuan dan Hikmah Perkawinan. Bab ketiga membahas tentang Gambaran Umum Wilayah dan Rifa’iyah, yang terdiri dari beberapa Sub Bab yaitu: Letak Geografis, Letak Demografis, Kondisi Sosiologis dan Gambaran Umum Rifa’iyah. Bab keempat pembahasan pokok bagi penulis, yaitu Pandangan Para Tokoh Penganut Aliran Rifa’iyah Tentang Perkawinan Ulang. Didalamnya membahas Perkawinan Ulang, Alasan dan Tujuan Melakukan Perkawinan Ulang, Dasar atau
10
Dalil-dalil Yang Digunakan Untuk Melakukan Perkawinan Ulang, dan Analisis Penulis. Bab kelima sebagai penutup yang membahas dua hal yaitu Kesimpulan dari hasil penelitian dan Saran-saran.
BAB II TINJAUAN UMUM MASALAH PERKAWINAN
A. Pengertian Perkawinan Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fikih berbahasa arab disebut dengan dua kata, yaitu nikah ( ) ﻧﻜﺎحdan zawaj ()زواج. Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang arab dan banyak terdapat dalam al-Quran dan hadits Nabi. Kata na-ka-ha banyak terdapat dalam al-Quran dengan arti kawin, seperti dalam surat an-nisa ayat 3: 1
☺ Artinya: ”Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap anak yang yatim ,maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Dan jika emudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil cukup satu orang”(QS. an-Nisa: 3) Demikian pula terdapat kata za-wa-ja dalam al-Quran dalam arti kawin, seperti pada surat al-Ahzab ayat 37:
☺
1
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2007), h.35.
11
12
☺ ....
Artinya:”Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka....(QS. Al-Ahzab: 37 Secara bahasa nikah mempunyai arti mengumpulkan, menggabungkan, atau bersenggama (wath’i). 2 Dalam bahasa Indonesia perkawinan berasal dari kata “kawin”, dan diartikan dengan menjalin kehidupan baru dengan bersuami atau istri, menikah, melakukan hubungan seksual, bersetubuh. 3 Sedangkan menurut istilah hukum Islam terdapat beberapa definisi, di antaranya yang dikemukakan oleh Wahbah al-Zuhaily. Beliau mengartikan perkawinan adalah akad yang membolehkan terjadinya al-Istimta’ (perstubuhan) seorang pria dengan seorang wanita, atau melakukan wathi’ dan berkumpul selama wanita tersebut bukan wanita yang diharamkan baik dengan sebab seketurunan, atau sepersusuan. 4 Hampir senada dengan pendapat Abu Zahrah yang mengartikan perkawinan adalah akad yang mengakibatkan hukum halal pergaulan antara laki-laki dengan perempuan dan pertolongan serta pembatasan milik hak dan kewajiban mereka. Karena beliau melihat hukum halalnya dan melihat kepada aspek akibat hukumnya. 5 2
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2006), Cet. Ke-5, h.3.
3
Tim Prima Pena, Kamus lengkap Bahasa Indonesia, (Jakarta: Cita Media Pres), h.399.
4
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Juz VII, (Damasyiq, Dar al-Fikr, 1989),
5
Muhammad Abu Zahrah, Al-Akhwal Al-Syakhsiyah, (Beirut: Dar Al-Fikr, 2005), h.19.
h.29.
13
Dikatakan oleh Prof Muhammad Amin Summa mengutip dari Abdur-Rahman Al-Juzairi dalam kitab Mazdahib al-Arba’ah, kata nikah (kawin) dapat didekati dengan pengertian (makna), yakni makna lughawi (etimologis), makna ushuli (syar’i), dan makna fiqhi (hukum). Terutama dari sudut pandang makna lughawi dan makna fiqhi (hukum). Sedangkan dari sudut pandang ushuli (syar’i) dititikberatakan pada hal-hal yang bertalian erat dengan pendekatan filsafat hukum, seperti hikmah dari kebolehan berpoligami dalam hukum perkawinan dan rahasia asas dua berbanding satu dalam hal pembagian harta peninggalan (tirkah) dalam hal kewarisan.6 Dalam hukum perdata arti perkawinan menurut Paul Scholten, perkawinan adalah suatu hubungan hukum antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui oleh negara. 7 Sedangkan konsepsi perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan pada pokoknya adalah: (1) ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri (2) dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan “Ketuhanan Yang Maha Esa” 8 B. Rukun dan Syarat sah Perkawinan 1. Pengertian Rukun, Syarat dan Sah
6
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2005) h. 41. 7
Kama Rusdiana dan Zaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIN Jakrata Press, 2007), h. 4. 8 Ibid.
14
Rukun yaitu sesuatu yang harus ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah) dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti adanya calon pengantin laki-laki atau perempuan dalam perkawinan. Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan tersebut. Sah yaitu sesuatu pekerjaan (ibadah) yang memenuhi syarat dan rukun. 9 Rukun dan syarat menentukan perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari perbuatan hukum. Dalam perkawinan rukun dan syarat tidak boleh tertinggal, dalam artian perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap. Keduanya mengandung arti yang berbeda dari segi bahwa rukun itu adalah sesuatu yang berada di dalam hakikat dan merupakan bagian atau unsur yang mengujudkannya, sedangkan syarat adalah sesuatu yang berada di luarnya dan tidak merupakan unsurnya. 10 Dalam hal hukum perkawinan, dalam menempatkan mana yang rukun dan mana yang syarat terdapat perbedaan di kalangan ulama yang mana perbedaan ini tidak bersifat substansial. Perbedaan diantara pendapat tersebut disebabkan karena berbeda dalam melihat fokus perkawinan. Semua ulama sependapat dalam hal-hal yang terlibat dan yang harus ada dalam suatu perkawinan, yaitu: akad perkawinan, calon suami, calon istri, wali dari calon istri, dua orang saksi yang menyaksikan akad perkawinan, dan mahar atau maskawin. 11 9 Abdurrahman Ghazaly, Fikih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 45. 10 11
Amir Syarifuddin, op.cit. h. 59. Ibid.
15
2. Rukun Perkawinan Dalam memahami tentang jumlah rukun nikah, ada perbedaan dikalangan para ulama atau imam madzhab, di antaranya menurut imam Hanafi rukun nikah hanya ada dua, yaitu ijab dan qabul, tidak ada yang lain. 12 Sedangkan menurut imam Maliki rukun nikah ada lima, yaitu (1) wali, (2) mahar (harus ada tetapi tidak harus disebutkan pada saat akad), (3) suami, (4) isteri, (5) sighah. 13 Menurut Imam Syafi’i rukun nikah ada lima, yaitu (1) suami, (2) isteri, (3) wali, (4) dua orang saksi, (5) shigat (ijab dan qabul). 14 Meskipun keduanya berpendapat sama tentang jumlahnya akan tetapi sedikit berbeda pada penjelasan yang termasuk kedalam rukunnya. Imam Maliki memasukkan mahar kedalam rukun sedangkan Imam memasukannya kedalam syarat. Begitu pula sebaliknya Imam Syafi’i menempatkan dua orang saksi kedalam rukun sedangkan Imam Maliki tidak menempatkannya kedalam rukun. 15 Dari beberapa perbedaan pendapat , Jumhur ulama berpendapat bahwa rukun perkawinan ada lima, yaitu: 1. Adanya calon suami 2. Adanya calon istri
12
Wahbah al-Zuhaily.op.cit. h. 6572.
13
Abd al-Rahman al-Juzairi, al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah , (Beirut: Dar al-Fikri, 1996), h.
12.
14
Abdurrahman Ghazaly, op cit. h. 51.
15
Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Pedata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kenc ana, 2004), h. 61.
16
3. Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita 4. Adanya dua orang saksi 5. Sighat akad nikah, yaitu ijab dan kabul.
3. Syarat sah Perkawinan Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan. Apabila syarat-syaratnya terpenuhi, maka perkawinan itu di anggap sah dan menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami istri. Pada garis besarrnya syarat sah perkawinan ada dua macam : 1. Calon mempelai perempuan halal dikawin oleh laki-laki yang ingin menjadikannyua istri. Jadi, perempuannya itu bukan merupakan orang yang haram dinikahi, baik karena haram dinikah untuk sementara maupun untuk selamanya. 2. Akad nikahnya dihadiri para saksi. 16 Secara rinci, masing-masing rukun menurut pendapat jumhur diatas akan dijelaskan syarat-syaratnya sebagai berikut : 1. Syarat- syarat calon mempelai pria a. Beragama Islam b. Laki- laki c. Jelas orangnya 16 Abdurrahman Ghazaly, op.cit. h. 46.
17
d. Dapat memberikan persetujuan e. Tidak terdapat halangan perkawinan. 17 2. Syarat- syarat calon mempelai wanita a. Beragama Islam b. Perempuan c. Jelas orangnya d. Dapat diminati persetujuan e. Tidak terdapat halangan perkawinan. 18 3. Syarat- syarat wali nikah a. Laki-laki b. Dewasa c. Mempunyai hak perwalian d. Tidak terdapat halangan perwalian. 19 4. Syarat- syarat saksi nikah a. Baligh b. Berakal c. Mendengar dan memahamiijab qabul d. Sekurang-kurangnya dua orang saksi e. Adil f. Beragama Islam 17
Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, op.cit. h. 62.
18
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 1998), h. 71.
19
Ahmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: Rajawali Press, 1995), h. 34.
18
g. Merdeka dan melihat. 20 5. Syarat-syarat ijab qabul a. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali b. Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria c. Memakai kata-kata nikah atau semacamnya d. Antara ijab dan qabul bersambungan e. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya f. Orang yang terkait dengan ijab tidak sedang melakukan ihram haji/ umrah g. Majlis ijab qabul itu harus di hadiri mnimal 4 (empat) orang, yairu calon mempelai pria atau yang mewakilinya, wali dari mempelai wanita atau yang mewakilinya, dan dua orang saksi. 21 C. Hukum Perkawinan Dalam perspektif fiqih, nikah disyariatkan berdasarkan al-Quran, as-Sunnah dan ijma’. Ayat yang menunjukan nikah disyariatkan adalah firman Allah SWT dalam surat an-Nur ayat 32, yaitu:
☺
Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orangorang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.”(QS. An-Nuur:32)
20
Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, (Damaskus: Daar al-Fikr, 1984),h.73-77 Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 50.
21
19
Adapun hadist Nabi SAW yang menerangkan masalah ini adalah hadist riwayat Abdullah bin Mas’ud ra:
ْع ِﻣﻨْ ُﻜ ُﻢ اﻟْﺒَﺎ َء َة َﻓﻠْ َﻴ َﺘ َﺰ ﱠوج َ ب َﻣﻦْ ِاﺳْ َﺘﻄَﺎ ِ ﻳَﺎ ﻣَﻌْﺸَﺮَاﻟﺸّﺒَﺎ Artinya: “Hai para pemuda, siapa di antara kamu yang mampu (menanggung) beban nikah, maka kawinlah”
Terlepas dari pendapat para imam madzhab, berdasarkan nash-nash Al-Quran maupun As-Sunnah, Islam sangat menganjurkan kaum muslimin yang mampu untuk melakukan perkawinan. Namun demikian, kalau dilihat dari segi kondisi orang yang melaksanakannya, maka melakukan perkawinan itu dapat dikenakan hukum wajib, sunnat, haram makruh ataupun mubah. Adapun perinciannya menurut Sayyid Sabiq didalam kitabnya Fiqih Sunnah adalah sebagai berikut: a) Wajib hukumnya bagi orang yang mempunyai kemauan dan kemampuan untuk menikah dan khawatir akan melakukan perbuatan zina. Alasannya, dia wajib menjaga dirinya agar terhindar dari perbuatan haram. b) Sunnah hukumnya bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk melangsungkan perkawinan, tetapi apabila tidak kawin sanggup menjaga diri untuk tidak melakukan perbuatan haram, dan apabila ia menikah ia yakin tidak akan mendzalimi dan membawa mudarat kepada istrinya. c) Haram hukumnya bagi orang yang khawatir akan mendzalimi dan membawa mudarat kepada istrinya karena ketidakmampuan dalam memberi nafkah lahir dan batin.
20
d) Makruh hukumnya bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan perkawinan dan juga kemampuan untuk menahan diri sehingga tidak memungkinkan dirinya berbuat zina sekiranya tidak kawin. e) Mubah hukumnya bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan perkawinan, apabila melakukan tidak khawatir akan menterlantarkan istri dan apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina. 22 D. Tujuan dan Hikmah Perkawinan 1. Tujuan Perkawinan Menurut para ulama diantaranya Muhammad Abu Zahrah, nikah merupakan sunnah rasul karena ia mempunyai makna yang bermuatan sosial kemasyarakatan individu dan agama. 23 Tujuan perkawinan menurut agama Islam adalah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga. Sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya kebutuhan hidup Melihat dua tujuan di atas, dan mamperhatikan uraian Imam Al-Ghazali dalam Ihyanya tentang faedah melangsungkan perkawinan, maka tujuan perkawinan itu dapat dikembangkan menjadi lima yaitu: 1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan. 22 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Beirut : Dar Al-Fikr, 983), cet Ke-4, h. 110-112. 23
Muhammad Abu Zahrah, Al-ahwalusy-Syakhsyiyyah, (Darul Fikri: Arabi Qahirah, 1957), h.19.
21
2. Menemui hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih sayangnya. 3. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan. 4. Menumbuhkan
kesungguhan untuk bertanggungjawab menerima hak dan
kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal. 5. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram atas dasar cinta dan kasih sayang. 24 2. Hikmah Perkawinan Adapun hikmah yang dapat ditemukan dalam perkawinan menurut Sayyid Sabiq adalah sebagai berikut: 1. Perkawinan dapat menjadi jalan alami dan biologis yang paling baik dan sesuai untuk menyalurkan dan memuaskan nafsu seksual. Dengan kawin badan jadi segar, jiwa tenang, mata terpelihara dari yang haram. 2. Perkawinan merupakan jalan terbaik untuk menciptakan anak-anak yang mulia, memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia serta memelihara nasab yang oleh Islam sangat diperhatikan. 3. Naluri kebapakan dan keibuan akan tumbuh saling melengkapi dalam suasana hidup dengan anak-anak dan perasaan ramah, cinta dan sayang yang merupakan sifat-sifat baik yang menyempurnakan kemanusiaan seseorang. 24
h.64.
Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi, Ilmu Fikih, juz ll, , (Jakarta: Departemen Agama , 1985),
22
4. Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung anak-anak akan menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat bakat dan pembawaan seseorang. 5. Adanya pembagian tugas, dimana yang satu mengurusi dan mengatur rumah tangga, sedangkan yang lain bekerja diluar, sesuai dengan batas-batas tanggung jawab suami isrti dalam menangani tugas-tugasnya. 6. Dengan perkawinan dapat membuahkan tali kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga, dan memperkuat hubungan kemasyarakatan yang oleh Islam direstui, ditopang dan ditunjang. Karena dari situ akan terbentuk masyarakat yang kuat dan bahagia. 25
25
Sayyid Sabiq, op.cit. h.108.
BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN RIFAI’YAH
A. Letak Geografis Secara Geografis Kelurahan Pagerkukuh terletak antara 70.111 dan 70. 361 Lintang Selatan, 1090. 431 dan 1100.411 Bujur Timur. Kelurahan Pagerkukuh berjarak 2 Km dari Kecamatan Wonosobo dan 1 Km dari Kabupaten Wonosobo, dengan ketinggian berkisar antara 270 meter sampai 2.250 meter diatas permukaan laut dan suhu udara 18 - 25 C. 1 Seperti yang dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 3.1 Kondisi Geografis Kelurahan Pagerkukuh
No
Kondisi Geografis
Keterangan
1.
Ketinggian tanah diatas permukaan laut
270 - 2.250 M-dpl
2.
Rata-rata curah hujan
2. 300 MM/thn
3.
Suhu udara
18 – 250 C
1
Data Diambil dari Data Monografi Kelurahan Pagerkukuh Tahun 2009
23
24
Dari hasil data di atas, bisa dibilang Kelurahan Pagerkukuh termasuk daerah yang berkapasitas curah hujan tinggi dan termasuk wilayah yang dingin. Tidak berbeda jauh dengan kondisi diperkotaan, karena wilayah Kabupaten Wonosobo berada didaerah pegunungan. Kelurahan Pagerkukuh dapat ditempuh dengan orbitasi dan jarak tempuh sebagai berikut: Tabel 3.2 Orbitasi dan Jarak Tempuh Kelurahan Pagerkukuh
No
Orbitasi dan Jarak Tempuh
Keterangan
1.
Jarak dari Pusat Kantor Kecamatan
2
Km
2.
Jarak dari Pusat Kota Kabupaten
1
Km
3.
Jarak dari Pusat Ibukota Provinsi
120 Km
4.
Jarak dari Ibukota Negara
520 Km
Adapun batas-batas wilayah Kelurahan Pagerkukuh dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:
Tabel 3.3 Batas - Batas Wilayah Kelurahan Pagerkukuh
25
No
Batas Wilayah
Keterangan
1.
Sebelah Utara
Kelurahan Jlamprang
2.
Sebelah Selatan
Kelurahan Jaraksari
3.
Sebelah Barat
Kelurahan Wonosobo
4.
Sebelah Timur
Kelurahan Rojoimo
Dari data yang penulis peroleh luas wilayah Kelurahan Pagerkukuh adalah 105.270 Ha, dengan peruntukan kegunaan sebagai berikut:
Tabel 3.4 Luas Wilayah Kelurahan Pagerkukuh Menurut Penggunaannya
Sawah dan
Pemukiman/
Ladang
Perumahan
44.240 Ha
52.060 Ha
Perkebunan
8.970 Ha
Lain-lain
0.130 Ha
Total
105.270 Ha
Dari tabel diatas terlihat bahwa wilayah yang digunakan untuk sawah dan ladang luasnya lebih kecil dibandingkan dengan wilayah
pemukiman atau
26
perumahan warga. Hal ini menunjukkan bahwa potensi pertanian di Kelurahan Pagerkukuh tidak begitu besar. B. Demografis Wilayah
Kelurahan Pagerkukuh dipimpin oleh seorang Kepala Kelurahan dan dibantu oleh beberapa staf kelurahan. Kelurahan Pagerkukuh terdiri dari 9 (sembilan) Rukun Warga (RW), 9 (sembilan) Dusun dan 41 (empat puluh satu) Rukun Tetangga (RT). Dengan gambaran sebagai berikut:
Tabel 3.5 Organisasi Kelurahan Pagerkukuh Kepala Kelurahan Staf Kelurahan No 1.
RW I
Dusun Sirandu Selatan
01
02
03
Jumlah RT 04 05
2.
II
Sirandu Utara
01
02
3.
III
Semagung
01
02
03
04
4.
IV
Sidojoyo Selatan
01
02
03
04
05
5.
V
Pagude
01
02
03
04
05
6.
VI
Jlegong
01
02
03
04
7.
VII
Sabukalu
01
02
8.
VIII
Sidojoyo Utara
01
02
03
04
05
9.
IX
Mulyojoyo
01
02
03
04
05
06
06
07
08
27
Jumlah penduduk Kelurahan Pagerkukuh adalah 5830 Jiwa dan 1.338 Kepala Keluarga (KK) dengan spesifikasi sebagai berikut:
Tabel 3.6 Jumlah Penduduk menurut Jenis Kelamin
No. 1.
Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan 2826 3004
Jumlah 5830
Tabel 3.7 Jumlah Penduduk menurut Umur / Usia
No
Usia / Umur Laki-laki / Perempuan
1.
0 – 10 Tahun
2.
10 – 15 Tahun
1003 Orang
3.
16 – 20 Tahun
1163 Orang
4.
21 – 25 Tahun
801
5.
26 –
2.509ang
Ke atas
Jumlah 354
Orang
Orang
28
C. Kondisi Sosiologis 1. Bidang Keagaman
Penduduk Kelurahan Pagerkukuh mayoritas adalah beragama Islam, dari 5.830 jumlah penduduknya hanya 130 beragama Kristen, 52 beragama Katholik, dan 6 beragama Hindu, selebihnya beragama Islam. Bisa dikatakan hampir 93% beragama Islam, dan 7% beragama selain Islam dan sebagian dari warga yang beragama Islam adalah penganut aliran Rifa’yah. Keberadaan Rifa’yah dikelurahan tersebut sejak awal sampai sekarang tidak pernah bermasalah artinya bisa diterima oleh seluruh masyarakat, karena dalam masalah ibadah tidak jauh berbeda dengan ibadah masyarakat Islam pada umumnya dikelurahan tersebut. Misalnya pada saat memperingati Hari Besar Islam, mereka tetap bersatu padu mengadakan acara tersebut tanpa ada permasalahan, sehingga terkesan persatuannya sangat erat. Sejak awal sampai sekarang belum pernah terjadi konflik atau perseteruan antara Rifa’iyah dengan selainnya dikelurahan tersebut. Untuk mendukung pelaksanaan ibadah di Kelurahan Pagerkukuh tersedia fasilitas-fasillitas ibadah sebagai berkut: Tabel 3.8 Sarana Ibadah No. 1. 2.
Nama Masjid Mushola
Jumlah 11 buah 9 buah
Keterangan Berfungsi / Baik Berfungsi / Baik
29
Sarana ibadah tersebut selain digunakan sebagai sarana untuk ibadah dalam hal ini sholat lima waktu, juga digunakan oleh warga Kelurahan Pagerkukuh sebagai tempat mengadakan pengajian-pengajian. Mulai dari remaja, ibu-ibu maupun bapakbapak, baik pengajian rutin mingguan, bulanan atau selapanan. Seperti yasinan atau tahlilan rutin, berjanjen (membaca al-barzanji), dan kegiatan pengajian lainya,hingga sampai sekarang masih terjaga dengan baik. 2. Bidang Pendidikan
Dalam bidang pendidikan kelurahan Pagerkukuh merupakan salah satu kelurahan yang memiliki fasilitas pendidikan cukup memadai, hal ini terbukti dengan adanya beberapa fasilitas pendidikan mulai dari TPA/TPQ, Taman Kanakkanak/ Play Group, Sekolah Dasar (SD)/MI, Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah
Tsanawiyah
sampai
dengan
Sekolah
Menengah
Atas
(SMA)/Madrasah Aliyah. Adapun sarana-sarana pendidikan yang ada di Kelurahan Pagerkukuh dapat dilihapada tabel dibawah ini:
Tabel 3.9 Sarana Pendidikan Kelurahan Pagerkukuh No 1. 2. 3. 4. 5.
Nama Pendidikan TPA/TPQ TK/Play Group SD/MI SMP/Mts SMA/Aliyah
Status Swasta Swasta Negeri Swasta Swasta
Keterangan 2 3 1 1 1
30
Dengan fasilitas pendidikan yang cukup memadai tersebut, maka tingkat pendidikan di Kelurahan Pagerkukuh sudah bisa terbilang maju. Ini terbukti dari banyaknya warga Kelurahan Pagerkukuh yang bisa melanjutkan ke Perguruan Tinggi, atau bisa dikatakan sudah banyak warga yang bergelar Sarjana, seperti pada tabel berikut:
Tabel 3.10 Tingkat Pendidikan Warga Kelurahan Pagerkukuh No.
Pendidikan
Jumlah
1.
Tidak Tamat Sekolah
354
Orang
2.
Belum tamat SD/MI
1003
Orang
3.
Tamat SD/MI
1.163
Orang
4.
Tamat SMP/Mts
1.001
Orang
5.
Tamat SMA/Aliyah
1.009
Orang
6
Tamat Perguruan Tinggi
1.300
Orang
2. Bidang Kesehatan
Dalam meningkatkan pengetahun dan kehidupan masyarakat dibidang kesehatan, warga Kelurahan Pagerkukuh telah melaksanakan program kegiatan
31
yang bisa menunjang dan mendukungnya. Adapun jenis progaram kegiatannya adalah sebagai berikut: 1. Mengadakan kegiatan kerja bakti dalam rangka meningkatkan kebersihan dan kesehatan lingkungan. 2. Membentuk Posyandu yang berjumlah 17 lokasi / tempat untuk meningkatkan gizi dan pemeliharaan kesehatan pada balita. 3. Membentuk Puskesmas untuk melayani masyarakat yang kurang mampu dalam memenuhi kebutuhan kesehatan D. Gambaran Umum Rifa’iyah 1. Gerakan Rifa’iyah Rifa’iyah merupakan kelompok keagamaan pengikut dan simpatisan KH Ahmad Rifa’i yang bercorak tasawuf dan muncul pada pertengahan abad ke-19 di pesisir utara Jawa Tengah tepatnya di desa Kalisalak, Batang. Pada abad ke-19 di sebagaian besar wilayah Jawa dilanda serangkaian gerakan protes yang dilakukan oleh petani khususnya di daerah pedalaman. Protes sosial yang dilakukan oleh para petani Jawa pada masa itu karena dominasi pemerintah kolonial Belanda dihampir segala aspek kehidupan. Penetrasi yang dilakukan oleh kaum penjajah menimbulkan antipati rakyat terjajah terhadap kaum penjajah tak terkecuali terhadap mereka yang bekerjasama dengan penjajah Belanda. Salah satunya adalah gerakan Rifa’iyah. 2 2 Abdul Jamil, Perlawanan Kiai Desa: Pemikiran Dan Gerakan Islam KHAhmad Rifa’i, (Jakarta: LKIS, 2001), h 35
32
Kemunculan Rifa’iyah dilatar belakangi oleh faktor politik-ekonomi, penetrasi pemerintah kolonial Belanda di semua aspek kehidupan dan kondisi keagamaan orang Jawa pada masa itu yang dapat dikatakan masih jauh dari nilainilai Islam. Hal ini masih diperparah lagi dengan para birokrat pribumi termasuk penghulu (yang mengurusi soal agama) menjadi kaki tangan pemerintah kolonial Belanda (penguasa kafir). Gerakan protes Rifa’iyah oleh pemeintah kolonial Belanda
dikhawatirkan
akan
menimbulkan
pemberontakan
yang
akan
mengganggu kestabilan politik di Jawa pada masa itu, untuk mengantisipasi hal itu dengan segala cara dan upaya Belanda menangkap dan mengasingkan KH Ahmad Rifa’i sebagai tokoh sentral gerakan Rifa’iyah seta menjauhkannya dari pengikutnya. Murid-murid KH Ahmad Rifa’i menjadi agen penyebaran agama Islam melalui Kitab Tarjumah karya KH Ahmad Rifa’i sehingga ajarannya disebut ajaran tarjumah / tarjamah ke daerah asal mereka. 3 Komunitas Rifa’iyah yang ada di Kretegan berbeda dengan komunitas Rifa’iyah dipusat pengambangan Rifa’iyah lainnya di Kendal dalam hal ini Purwosari patebon dan Cempoko Mulyo Gemuh. Di desa tersebut pertama kali Syaikh Ahmad Rifa’i mendirikan lembaga pondok pesantren yang namanya semakin terkenal dikalangan orang banyak dan berdatangan para murid dari berbagai daerah seperti Kendal, Pekalongan, Wonosobo dan daerah lainnya. Untuk memperkuat dan melestarikan pengajarannya selama-lamanya, Syaikh Ahmad 3
Ibid, h. 36
33
Rifa’i mempersiapkan murid-muridnya dengan cara khusus seperti pengkaderan untuk masa depan pemikiran dan penggeraknya. Mereka itu orang-orang yang akan mengembangkan kitab-kitab yang telah dikarang oleh Syaikh Ahmad Rifa’i dan mereka di kenal sebagai para penerus (murid generasi pertama).4 Ajaran KH Ahmad Rifa’i mempunyai ciri khas dengan umat Islam pada umumnya sehingga ada pihak-pihak yang menganggap ajarannya sebagai ajaran sesat, yang sampai saat sekarang masih teguh dijalankan oleh para pengikutnya. Salah satunya ajaran beliau tentang keyakinannya bahwa rukun iman hanya ada satu, yaitu membaca dua kalimat syahadat. 5 Syaikh Ahmad Rifa'i berpendapat bahwa rukun Islam itu satu dalam pengertian syarthiyah, yakni yang mewajibkan (menentukan secara lahir) sahnya Islam seseorang. Dengan demikian seseorang ketika mengucapkan kedua kalimat syahadat maka orang tersebut sudah tergolong masuk Islam, tetapi dia wajib menyempuranakan imannya dengan membenarkan hatinya dan mengerjakan ajaran-ajaran Islam dengan jalan yang sesuai. Adapun implementasinya dinamai dengan perbuatan Islam ( amaliatul Islam) . Maka menurut ajaran dasar Syaikh Ahmad Rifa'i sudah termasuk Islam orang-orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat saja meskipun mereka tidak melakukan ajaran-ajaran Islam seperti yang diwajibkan kepada orang Islam. Maksudnya adalah bahwa sesungguhnya orang-orang itu menikmati keislamannya dan akan 4
Ibid
5
Ahmad Rifa’i, Tahyirotul Muhtashor , (1265/1851), h. 4
34
tetapi mereka wajib menyempurnakan apa yang kurang (seperti sholat, zakat, puasa ramadhan atau haji) dari syarat-syarat iman kepada Allah (membenarkan dan tunduk atas kewajiban tersebut). 6 Pendapat Syaikh Ahmad Rifa'i dalam hukum-hukum syara' sejalan atau cenderung dengan fiqih Imam Syafi'i yang terdapat dalam bermacam-macam kitab karangan beliau yang ditulis dalam bahasa Jawa, seperti kitab Syarihul Iman, Taisir, Tabyinul Islah limuradi an-Nikah, Inayah, Irsyad, Targhib dan lainnya. Ketika terdapat pembicaraan yang berbeda tentang suatu masalah maka yang terbaik adalah memikirkan bahwa perbedaan tersebut merupakan ijtihad individual Syaikh Ahmad Rifa'i, seperti pendapat beliau bahwa rukun Islam hanya satu yaitu membaca dua kalimat syahadat, tetapi wajib menyempurnakan imannya dengan menjalankan ajaran-ajaran Islam seperti sholat, puasa, zakat, dan haji bagi yang mampu. Untuk menyesuaikan pemikirannya dengan kebutuhan dan realitas umat, maka beliau menulis kitab-kitab yang berbahasa Jawa agar supaya mudah dipahami oleh para pengikutnya. 7 2. Pandangan Rifa’iyah terhadap Masalah Perkawinan
Pandangan Rifa’iyah terhadap masalah perkawinan tidak jauh berbeda dengan pandangan para ulama pada umumnya, karena mereka mengikuti madzhab 6
Muhammad Amin Ridho, Usfita Syekh Ahmad Rifa’i, (Wonosobo: Manba’ul Anwar Press, 2008), h. 14-15 7 Ahmad Rifa’I, Taisir,Penerjemah Ahmad Syadzirin Amin, (Pekalongan, Yayasan Badan Wakaf Rifa’iyah, 2009), h. 17
35
Imam Syafi’i, hanya saja mereka sangat berhati-hati dalam melaksanakannya sehingga tidak jarang atau sering terjadi istilah perkawinan ulang. Mungkin dengan adanya perkawinan ulang terkesan berlebihan, sampai akhirnya timbul persepsi masyarakat akan adanya perbedaan dengan perkawinan yang dilakukan orang Islam pada umumnya (di Indonesia). Padahal tidak demikian (ada perbedaan), Rifa’iyah hanya mempertahankan tradisi perilaku K.H Ahmad Rifa’i yang sangat kental dengan kehati-hatiannya dalam menerapkan hukum agama (syariat). 8 Adapun pendapat K.H Ahmad Rifa’i tentang masalah perkawinan telah ditulis dalam sebuah kitab yang sampai sekarang masih menjadi rujukan utama para penganut Rifa’iyah dalam masalah perkawinan, yaitu kitab Tabyinul Islah Limuradi an-Nikah. Isi dari kitab tersebut adalah membahas seputar masalah perkawinan, seperti hukum, rukun dan syarat perkawinan, thalaq, ruju’ dan sebagainya. Kitab tersebut beliau tulis dengan menggunakan bahasa Jawa huruf arab latin, karena untuk memudahkan bagi orang awam yang belum paham tentang hukum agama (syariat) yang berkaitan dengan masalah perkawinan. 9 Pendapat K.H Ahmad Rifa’i tentang hukum nikah pada dasarnya tidak berbeda dengan pendapat mayoritas ulama , yang mana beliau berpendapat bahwa
8 Nurudin Fajar, “Aliran Rifa’iyah Didukuh Kretegan Desa Karangsari Kecamatan Rowosari-Kendal, Pada Tahun 1960-1975”,(Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang, 2007), h.55. 9
Muhammad Amin Ridho, Usfita Syaekh Ahmad Rifa’i, op.cit, h.106.
36
hukum asal perkawinan adalah mubah, tetapi adakalanya bisa menjadi wajib, sunnah, haram, bahkan makruh. 10 Sedangkan pendapat beliau tentang rukun dan syarat perkawinan pada dasarnya juga tidak berbeda dengan pendapat mayoritas ulama, hanya saja beliau terkesan lebih teliti dalam merinciksnnya, baik dalam rukun maupun syarat. 11 Adapun rukun dan syarat sah perkawinan menurut beliau adalah sebagai berikut: 12 a. Rukun nikah ada lima perkara, yaitu; 1.
Pengantin laki-laki
2.
Pengantin perempuan
3.
Wali pengantin perempuan
4.
Dua orang saksi
5.
Ijab dan Qabul
b. Syarat sah perkawinan 1. Syarat-syarat pengantin laki;laki ada lima perkara, yaitu: 1.
Baligh, bila masih keci maka bapak atau kakek kabulnya.
2.
Berakal, bila hilang akalnya maka bapak kabulnya.
3.
Tidak senasab atau sesusuan dengan pengantin wanita.
4.
Dengan kehendak sendiri(ikhtiar), tidak sah apabila dipaksa.
10
Ahmad Rifai, Tabyinul Islah limuradi an-Nikah, (t.t, t.p, 1847), koras 1-2.
11
Ibid.
12
Ibid. koras 2-3.
37
5.
Menentukan dan mengetahui nama wanita yang akan
dinikahi,
mengetahui akan status calon istrinya, perawan atau janda dan sudah lepas ‘iddah. 2.
Syarat pengantin wanita sama dengan syarat pengantin laki-laki, yaitu: 1.
Berusia baligh.
2.
Berakal.
3.
Tidak senasab atau tidak sesusuan dengan pengantin laki-laki.
4.
Kehendak senndiri, tanpa ada paksaan selain wali mujbir yaitu bapak atau kakek.
5.
Mengetahui laki-laki yang akan menikahinya.
3. Syarat wali Wali yang akan menikahkan seorang wanita ada dua macam, yaitu wali mujbir dan wali bukan mujbir. Adapun wali mujbir adalah seorang wali yang boleh menikahkan wanita dengan cara memaksa meskipun ia tidak rela. Syarat wali mujbir ada enam perkara, yaitu: 1.
Bapaknya, kakeknya atau tuan hambanya yang menjadi wali mujbir, adapun saudara dan pamannya bukanlah wali mujbir.
2.
Status pengantin harus gadis perawan walaupun usia baligh.
3.
Seorang laki-laki yang adil, terkenal orang yang dapat dipercaya.
4.
Dinikahkan kepada kufunya.
38
5.
Dinikahkan kepada seorang laki-laki yang bukan musuh dengan anaknya.
6.
Harus
dapat
mahar
mitsil
dan
pengantin
laki-laki
sanggup
membayarnya. Wali bukan mujbir adalah selain wali mujbir. Selain dari dua wali di atas ada juga wali wanita janda (tsayyibah), wali mujbir berhak menikahkan seorang wanita bila statusnya belum baligh dan lagi perawan bukan janda. Tetapi kalau wanita tersebut ternyata janda, maka bapak dan kakeknya tidak berhak menikahkannya, basic izin maupun tidak, sama saja tidak sah. Apabila janda tersebut sudah baligh, maka sah menikahkannya dengan syarat izin daripadanya, karena janda yang belum baligh apa yang di ucapkan tidak dapt dipercaya. 4. Syarat saksi Syarat sah saksi ada enam belas perkara, yaitu: 1.
Islam, yaitu orang yang beragama Islam.
2.
Aqil, yaitu orang yang berakal.
3.
Baligh, yaitu sudah mencapai usia dewasa.
4.
Laki-laki, yaitu harus orang laki-laki.
5.
Merdeka, yaitu orang yang sudah tidak dalam naungan atau dimiliki tuannya.
6.
Dua orang, yaitu harus terdiri dari dua orang laki-laki.
7.
Melihat, yaitu bisa melihat atau tidak buta.
39
8.
Mendengar, yaitu bisa mendengar dengan jelas.
9.
Mampu mengucap, yaitu bisa mengucap dengan jelas.
10. Bukan anak, yaitu bukan anaknya sendiri. 11. Bukan bapak, yaitu bukan bapaknya mempelai wanita. 12. Bukan musuh, yaitu harus orang yang dalam keadaan aman atau bebas dari tekanan kedua mempelai. 13. Tidak fasik, yaitu orang yang tidak melakukan dosa besar. 14. Bisa menjaga harga diri, yaitu orang yang bisa menjaga kehormatannya. 15. Selamat keyakinannya, yaitu orang yang benar-benar meyakini Tuhan. 16. Bukan orang pemarah, yaitu orang yang suka marah (emosi). 5. Syarat ijab qabul Syarat ijab qabul ada enam perkara, yaitu: 1.
Pengantin laki-laki harus mengetahui ijab dan qabul.
2.
Pengantin laki-laki tidak boleh terlalu lama menjawab qabulnya.
3.
Adanya pernyataan mengawinkan dari wali perempuan.
4.
Adanya pernyataan penerimaan dari pengantin laki-laki.
5.
Tidak ada perjanjian menceraikan setelah disetubuhi.
6.
Menggunakan bahasa yang bisa dimengerti.
BAB IV PANDANGAN PARA TOKOH PENGANUT ALIRAN RIFA’IYAH TENTANG PERKAWINAN ULANG A. Perkawinan Ulang 1. Pengertian
Kata “ulang” menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah kembali, lagi, atau berkali-kali. 1 Apabila kata “ulang” merupakan kata tambahan untuk merangkai agar menjadi sebuah variable, maka kata sebelumya berarti kembali atau terjadi lagi. Dalam hal ini kata yang dimaksud adalah kata perkawinan, jadi maksudnya adalah bahwa perkawinan itu kembali atau terjadi lagi. Maka, apabila kedua kata tersebut digabungkan, akan menimbulkan sebuah definisi yaitu, perkawinan ulang adalah perkawinan yang dilakukan setelah sebelumnya sudah pernah terjadi perkawinan atau akad nikah. 2. Pandangan Para Tokoh tentang Perkawinan Ulang
Untuk memperoleh jawaban para tokoh penganut aliran Rifa’iyah di Kelurahan Pagerkukuh Kecamatan Wonosobo tentang perkawinan ulang, penulis telah melakukan wawancara dengan beberapa tokoh penganut aliran Rifa’iyah di kelurahan tersebut dengan mengajukan beberapa pertanyaan mengenai perkawinan ulang. Salah satunya adalah wawancara dengan Bapak Kyai Hadi Sutopo yang 1
Sulkan Yasin dan Sunarto Hapsoyo, Kamus Bahasa Indonesia, (Surabaya: Mekar, 1990), h.
318.
40
41
mana beliau berpendapat bahwa, perkawinan ulang adalah merupakan sebuah anjuran untuk dilakukan bukan keharusan. Tetapi, apabila mengikuti pendapat K.H Ahmad Rifa’i (pendiri Rifa’iyah) maka, sebaiknya perkawinan ulang perlu dilakukan karena untuk menyempurnakan perkawinan, dan menurut beliau perkawinan yang dilakukan di KUA (Kantor Urusan Agama) adalah sah karena sudah memenuhi rukun dan syarat, tetapi kurang sempurna. 2 Hal yang sama juga dikatakan oleh Bapak Kyai Sowarno dan para tokoh Rifa’iyah lainnya bahwa perkawinan ulang merupakan sebuah anjuran yang sifatnya setengah dari wajib untuk dilakukan, karena menurut pendapat KH. Ahmad Rifa’i (pendiri Rifa’iyah) bahwa apabila ada salah satu atau lebih rukun dan syarat perkawinan kurang terpenuhi dengan sempurna maka perkawinan ulang harus dilakukan. Akan tetapi beliau berpendapat perkawinan yang dilangsungkan di KUA (Kantor Urusan Agama) sudah sah, karena sudah memenuhi rukun dan syarat perkawinan, tapi mungkin kurang sempurna. 3 Kesimpulannya adalah bahwa perkawinan ulang perlu dilakukan karena untuk menyempurnakan perkawinan. 3. Alasan Melakukan Perkawinan Ulang
Dari hasil wawancara yang telah penulis lakukan dengan beberapa tokoh tentang alasan melakukan perkawinan ulang semua berpendapat sama yaitu, 2
Bapak Kyai Hadi Sutopo, Wawancara Pribadi , (Wonosobo, 13 April 2010)
3
Bapak Kyai Suwarno, Wawancara Pribadi, (Wonosobo, 14 April 2010)
42
karena untuk mengantisipasi atau menjaga jika dikhawatirkan atau ditemukan yang menjadi saksi perkawinan di KUA (Kantor Urusan Agama) diragukan akan kesaksiannya, karena tidak atau kurang memenuhi syarat menjadi saksi. Sehingga, disangsikan perkawinan tersebut kurang sempurna atau bahkan tidak sah jika mengikuti pendapat K.H Ahmad Rifa’i (pendiri Rifa’iyah). Karena saksi merupakan salah satu rukun nikah, maka harus diperhatikan atau diperhitungkan. Dalam hal ini yaitu, orang-orang yang telah memenuhi syarat atau sepantasnya menjadi saksi meskipun tidak sepenuhnya bisa sempurna, artinya semua syarat ada pada dirinya tetapi setidaknya mendekati kesempurnaan, sehingga perkawinan bisa lebih sempurna. Akan tetapi, tidak menganggap pernikahan di KUA tidak sah akan tetapi sudah sah, dan alangkah baiknya dan tidak ada salahnya apabila dilakukan perkawinan
ulang
atau
akad
nikah
baru
yang
intinya
adalah
untuk
menyempurnakan perkawinan. Adapun syarat menjadi saksi yang memenuhi tingkatan adil menurut Rifa’iyah adalah sebagai berikut : 1. Islam, yaitu orang yang beragama Islam dan tidak sah apabila dari selain orang Islam. 2. Aqil, yaitu orang yang berakal dan tidak sah apabila orang yang hilang ingatan menjadi saksi 3. Baligh, yaitu sudah mencapai usia dewasa dan sudah dikenai beban hukum syari’at dan tidak sah orang yang belum baligh menjadi saksi.
43
4. Laki-laki, yaitu harus orang laki-laki dan tidak sah apabila perempuan menjadi saksi 5. Merdeka, yaitu orang yang sudah tidak dalam naungan atau dimiliki tuannya dan tidak sah kesaksian seorang budak yang masih dalam hak milik tuannya. 6. Dua orang, yaitu harus terdiri dari dua orang laki-laki kalau hanya satu maka tidak sah. 7. Melihat, yaitu bisa melihat atau tidak buta dan dapat menyaksikan tidak sah kesaksian orang buta atau tidak dapat melihat 8. Mendengar, yaitu bisa mendengar dengan jelas dan tidak sah kesaksian orang tuli atau tidak dapat mendengar. 9. Mampu mengucap, yaitu bisa mengucap dengan jelas dan tidak sah kesaksian orang bisu atau tidak mampu mengucap. 10. Bukan anak, yaitu bukan anaknya sendiri dan tidak sah kesaksian seorang anak keturunannya sendiri. 11. Bukan bapak, yaitu bukan bapaknya mempelai wanita dan tidak sah kesaksian seorang bapak mempelai wanita. 12. Bukan musuh, yaitu harus orang yang dalam keadaan aman atau bebas dari tekanan kedua mempelai. 13. Tidak fasik, yaitu orang yang tidak melakukan dosa besar dan tidak sah kesaksian orang yang sering melakukan disa besar. 14. Bisa menjaga harga diri, yaitu orang yang bisa menjaga kehormatannya dan tidak sah kesaksian orang yang tidak bisa menjaganya.
44
15. Selamat keyakinannya, yaitu orang yang benar-benar meyakini Tuhan tidak, tersesat imannya dan bukan ahli bid’ah seperti golongan Jabariah dan Qadiriyah 16. Bukan orang pemarah, yaitu orang yang tidak suka atau sering marah (emosi) yang berlebihan karena dorongan hawa nafsunya. 4
Menurut mereka (para tokoh) memang bukanlah hal yang mudah untuk bisa mendapatkan seorang saksi yang memenuhi syarat seperti di atas, apalagi di saat
sekarang.
Meskipun
mendapatkannya, jika tidak
ada,
tetapi
kemungkinan
kecil
untuk
bisa
karena kebetulan saja. Akan tetapi, mereka
beranggapan bahwa yang sepantasnya menjadi saksi dalam perkawinan adalah orang yang memenuhi batas maksimal mendekati persyaratan di atas meskipun tidak sepenuhnya. 4. Tujuan Melakukan Perkawinan Ulang
Diantara beberapa tujuan melakukan perkawinan ulang adalah sebagai berikut: 1.
Untuk menyempurnakan perkawinan apabila ditemukan atau diketahui yang ditunjuk menjadi saksi kurang memenuhi syarat menjadi saksi. Tetapi sama sekali tidak menganggap bahwa perkawinan yang dilangsungkan di KUA (Kantor Urusan Agama) tidak sah tetapi sudah sah, hanya saja kurang sempurna. 4
Ahmad Rifa’i, Tabyinul Islah Limuradi an-Nikah, (t.t,t.p, 1847), koras 1-2.
45
2.
Untuk memberitahukan kepada kedua mempelai khususnya pihak laki-laki (suami) agar supaya berhati-hati ketika mengucapkan kalimat talaq. Karena, kadang tanpa diketahui atau disadari jika suami telah mengucapkan kalimat talaq atau kalimat lain yang maksudnya sama dengan kalimat talaq, mereka masih berkumpul selayaknya hubungan yang sah. Padahal apabila suami sudah mengucapkan kalimat talaq berarti ia tidak boleh (haram) menggauli istrinya kalau belum rujuk dan dihukumi zina. Apabila melakukan zina, maka mereka telah melakukan dosa yang besar. Untuk mengantisipasi atau menjaga agar tidak terjadi maka permasalahan ini penting untuk diketahui dan harus disampaikan kepada kedua mempelai, terutama pihak suami Karena akhirakhir ini banyak kejadian seorang suami telah mengucapkan kalimat talaq tetapi tidak merasa bahkan tidak tahu bahwa ia telah menceraikan istrinya, dan masih melakukan hubungan selayaknya suami istri yang masih sah. Berarti menambah pengetahuan kedua mempelai agar berhati-hati dalam menjaga penikahannya.
B. Dalil atau Dasar yang Digunakan
Berbicara tentang dalil apa yang digunakan untuk melakukan perkawinan ulang atau akad nikah baru, sama sekali tidak ada dalil yang benar-benar tepat mengenai masalah tersebut. Akan tetapi, perkawinan ulang dilakukan dengan alasan merujuk sebuah hadits yang menjelaskan tentang perkawinan tidak sah tanpa adanya wali dan dua orang saksi yang adil, yaitu:
46
ﻋﺪْ ٍل َ ﺷﺎ ِه َﺪى َ ﻰ َو ح ِا ﱠِﻻ ِﺑ َﻮﻟ ﱟ َ َﻻ ِﻧ َﻜﺎ “ Tidak sah nikah tanpa wali dan dua orang saksi yang adil”(HR. Daruqhutny dan Ibnu Hibban) Dari bunyi hadits di atas menurut Rifa’yah, bahwa rukun perkawinan selain harus ada wali juga harus dihadiri oleh dua orang saksi yang adil. Kata adil disini sangat diperhitungkan oleh mereka karena rukun yang sering menjadi penyebab adanya perkawinan ulang adalah mengenai saksi yang kurang memenuhi syarat adil (penjelasan tentang syarat saksi adil sudah dijelaskan pada halaman sebelumnya). Adapun pendapat sesepuh pendiri Rifaiyah yaitu K.H Ahmad Rifa’i tentang perkawinan ulang adalah sebagai berikut: 1.
Apabila ada rukun dan syarat perkawinan yang cacat atau kurang sempurna, maka perkawinan tidak bisa dianggap sah dan harus dilakukan perkawinan ulang atau akad nikah baru, terutama yang berkaitan dengan masalah saksi.
2.
Apabila akad perkawinan dilakukan di hadapan hakim pemerintahan kolonial Belanda maka tidak sah atau tidak ada gunanya (batal) dan harus dilakukan perkawinan ulang atau akad nikah baru. Karena, beliau beranggapan bahwa hakim syara’ yang bekerja dalam pemerintahan kolonial Belanda tergolong orang-orang fasik yang saling membantu dengan hukum kafir. K.H Ahmad Rifa’i adalah salah satu ulama pribumi yang sangat anti dengan
kolonial Belanda. Sehingga, beliau menganggap kolonial Belanda adalah orang-orang kafir yang harus diperangi dan haram hukumnya mengikuti peraturan-peraturannya.
47
Akan tetapi, kalangan Rifa’iyah hanya mengikuti pendapat yang pertama yaitu, bahwa perkawinan ulang layak untuk dilakukan apabila diketahui para saksinya kurang memenuhi syarat menjadi saksi atau kurang sempurna. Maka, dianjurkan untuk melakukan perkawinan ulang atau akad nikah baru dengan tujuan untuk menyempurnakan perkawinan. Tetapi, perkawinan ulang atau akad nikah baru tersebut bukanlah merupakan kewajiban atau keharusan untuk dilakukan, hanya diperuntukan bagi mereka yang menghendaki atau menginginkan saja. Adapun pendapat yang kedua mereka tidak bisa mengikuti karena saat sekarang sudah sudah terbebas dari pemerintahan kolonial Belanda. C. Analisis Penulis
Setelah penulis memaparkan beberapa uraian yang berhubungan dengan rumusan masalah, maka selanjutnya penulis akan memaparkan analisis terhadap rumusan masalah tersebut. Adapun analisisnya adalah sebagai berikut: 1. Memang benar menurut pendapat jumhur ulama dan telah dirumuskan oleh para ulama Indonesia bahwa salah satu syarat saksi adalah adil. Akan tetapi, menurut penulis adalah suatu hal yang sangat sulit untuk bisa mengetahui sejauh mana seseorang sudah bisa berbuat adil atau belum bahkan tidak. Penulis beranggapan cukup kiranya melihat adil atau tidaknya seseorang dari lahirnya saja, karena kehadiran saksi pada waktu akad nikah adalah untuk menyaksikan atau mengetahui bahwa perkawinan itu telah berlangsung. Oleh sebab itu, menurut hemat penulis, untuk memudahkan pelaksanaan perkawinan cukup kiranya
48
5
Sebenarnya tidak
berbeda jauh dengan pendapat K.H Ahmad Rifa’i yaitu tentang syarat adil, tetapi masalahnya adalah sulitnya kemampuan manusia mengetahui batasan seseorang adil atau tidak. Untuk mengantisipasi hal tersebut dan memudahkan dalam memenuhi rukun nikah atau perkawinan, maka setiap orang yang ditunjuk menjadi saksi akad nikah baik di KUA maupun diluar KUA diwajibkan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat dan istighfar sebelum menyaksikan atau mengikrarkan keabsahan akad nikah atau perkawinan. 2. Menururut pendapat jumhur ulama maupun undang-undang tentang perkawinan yaitu, apabila sebuah perkawinan telah memenuhi rukun dan syarat maka sudah di anggap sah, jika sudah sah maka bisa dikatakan sudah sempurna dan tidak perlu dilakukan perkawinan ulang. Karena, masalah kesempurnaan hanya persepsi manusia yang terbatas, dan makna hakikat kesempurnaan hanya Tuhan yang mengetahui. Adapun tujuan lain dari perkawinan ulang adalah untuk memberitahukan kepada kedua mempelai khususnya pihak suami supaya berhatihati dalam mengucapkan kalimat talaq, hal itu pun mesti disampaikan oleh
5
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, op.cit. h, 119.
49
penghulu sebelum dilangsungkan akad nikah atau perkawinan. Maka sebenarnya tidak ada perbedaan antara perkawinan yang pertama dengan perkawinan ulang. 3. Memang sangat jelas penjelasan dari hadits yang diriwayatkan oleh Daruqhutni dan Ibnu Hibban tentang tidak sahnya perkawinan tanpa adanya wali dan dihadiri dua orang saksi. Akan tetapi, karena sulitnya mengetahui seseorang sudah bisa berbuat adil atau belum maka cukup kiranya kita hanya melihat adilnya seseorang dari lahirnya saja. Apabila mengikuti pendapat K.H Ahmad Rifa’i dan sejauh tidak menyimpang atau bertentangan dengan aturan agama, maka sesuatu (hukum) itu boleh dilakukan meskipun tidak ada dalil nash yang menjelaskan. Karena, apabila merujuk ke kaidah fiqih yang berbunyi al-‘Adatu Muhakkamah (adat kebiasaan dapat dijadikan sebagai hukum) maka dibolehkan, selagi bisa mendatangkan kemashlahatan dan tidak bertentangan dengan nash dan jiwa syari’at. 6 Tetapi, alangkah baiknya jika dilakukan penelaahan lebih jauh lagi terkait dengan hukum adat itu sendiri. Karena dengan berubah dan berkembangnya zaman atau waktu tidak menutup kemungkinan sesuatu (hukum adat) tersebut sudah tidak sesuai lagi jika masih diterapkan pada zaman atau saat sekarang.
6
Asmuni A.Rahman, Qawa’idul Fiqhiyah,(Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 88.
BAB V PENUTUP KESIMPULAN DAN SARAN-SARAN
A. Kesimpulan Setelah melakukan pembahasan dan analisis, maka penulis dapat memberikan jawaban yang berhubungan dengan rumusan masalah dari penelitian ini. Adapun jawaban tersebut akan penulis simpulkan sebagai berikut: 1.
Perkawinan ulang dilakukan karena diketahui atau ditemukan adanya ketidaksempurnaan pada rukun atau syarat perkawinan, yaitu terkait masalah saksi, dan yang dimaksud saksi disini adalah saksi yang kurang memenuhi syarat saksi, terutama tentang syarat adil.
2.
Tujuan perkawinan ulang adalah untuk menyempurnakan perkawinan meskipun perkawinan yang pertama sudah sah, sekaligus untuk memberitahukan atau memberi pengertian kepada pihak suami akan kehati-hatian mengucapkan kalimat talak demi untuk menjaga perkawinannya.
3.
Tidak ada dalil atau dasar yang benar-benar sesuai yang digunakan untuk melakukan perkawinan ulang, tetapi merujuk pada hadits yang diriwayatkan oleh Daruqhutny dan Ibnu Hibban yang menjelaskan tentang sahnya perkawinan harus ada wali dan dihadiri dua orang saksi yang adil, maka syarat adil disini oleh Rifa’iyah sangat diperhitungkan, karena menyangkut keabsahan dan 50
51
kesempurnaan perkawinan. Selain dari merujuk pada hadits tersebut Rifa’yah juga beralasan karena mengikuti pendapat sesepuh pendiri Rifa’iyah yaitu K.H Ahmad Rifa’i tentang keharusan melakukan perkawinan ulang jika ditemukan rukun atau syarat perkawinan ada yang cacat atau kurang sempurna yang dapat membatalkan keabsahan perkawinan yaitu terkait masalah saksi yang dianggap kurang memenuhi syarat. B. Saran-saran
1.
Untuk para pembaca perlu kiranya mengetahui bahwa aliran Rifa’iyah bukanlah sebuah aliran yang menyimpang ataupun sesat seperti yang muncul akhir- akhir ini. Tetapi, aliran Rifa’iyah adalah sebuah aliran yang bercorak tasawuf dan bermadzhab Imam Syafi’i, dan ajaran-ajarannya juga tidak berbeda jauh dengan ajaran Islam pada umumnya.
2.
Bagi para peneliti diharapkan bisa lebih jauh mendalami tentang Rifa’iyah, karena selain dari permasalahan yang penulis teliti, kemungkinan besar masih banyak peluang untuk melakukan penelitian terutama tentang pemikiran K.H Ahmad Rifa’i, seperti ajaran ilmu tasawuf, fiqih, ataupun tauhid. Semua pemikirannya sudah tertuang dalam kitab-kitab yang ditulis beliau yaitu yang dikenal dengan istilah kitab Tarjumah karena menggunakan bahasa Jawa murni.
3.
Bagi para penganut aliran Rifa’iyah terutama para tokohnya sudi kiranya untuk lebih intens dalam dakwah sosialnya, supaya bisa lebih dikenal oleh masyarakat
52
luas, bisa dimengerti dan dimaklumi sehingga keberadaan Rifa’iyah ditengahtengah mereka bisa diterima dengan baik tanpa ada pertentangan. 4.
Untuk para tokoh agama sebisa mungkin untuk lebih bisa bersikap toleransi dan objektif terhadap aliran-aliran yang ada dalam Islam, karena perbedaan, keanekaragaman adalah merupakan kekayaan dalam agama, dan tidak bisa di elakkan lagi. Sangat disayangkan, akhir-akhir ini seiring dengan munculnya aliran-aliran baru para tokoh agama mudah sekali terprovokasi, tanpa kejernihan berpikir dan terlalu gegabah dalam menyikapinya, akibatnya malah fatal bagi umat Islam sendiri dan justru malah bisa memecah belah persatuan umat Islam, akhirnya muncullah tindakan-tindakan anarkis yang sangat tidak sesuai dengan ajaran Islam. Dengan pidatonya yang berapi-api didepan khalayak ramai bahkan publik, mereka merasa sudah benar, yang paling benar dan caranyalah yang paling benar, padahal belum tentu demikian, malah bisa sebaliknya. Meskipun ada dari sebagian aliran tersebut memang sesat, tentu ada banyak cara untuk menegur atau mengingatkannya, diantaranya dengan hikmah, wacana yang indah, dialog, itu semua adalah perintah Allah yang sudah jelas tertulis didalam ayat suci al-Quran yaitu “serulah mereka untuk kembali ke jalan yang benar ( Tuhanmu ) dengan cara ( penuh ) hikmah”, bukan dengan emosional apalagi dengan kekerasan.
5.
Bagi instansi atau lembaga pemerintahan khususnya KUA ( Kantor Urusan Agama ), agar lebih bisa mengerti dan memaklumi dengan adanya perkawinan ulang yang dilakukan oleh sebagian warga Rifa’iyah, dan diharapkan apabila
53
menemui warga Rifa’iyah yang akan melakukan perkawinan sudi kiranya pihak KUA mempersilahkan kepada mereka supaya warga Rifa’yah sendiri yang terlibat didalam prosesi perkawinan, dan pihak KUA tinggal mencatat saja. Mungkin ini salah satu cara untuk mengantisipasi agar supaya tidak terjadi perkawinan ulang.
54
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’anul Karim Abdurrahman., Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 2004 Abu Zahrah, Muhammad., Al-Akhwal Al-Syakhsiyah, Beirut: Dar Al-Fikr, 2005 Al-Jaziri, Abdurahman., Al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, Beirut: Daar al-Fikr, 1977 Al-Zuhaili, Wahbah., Al-Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu, Damaskus: Daar al-Fikr, 1989, Jilid VI.Cet. Ke-3 Amin Ridho, Muhammad , Usfita Syekh Ahmad Rifa’i, Wonosobo: Manba’ul Anwar Press, 2008 Arikunto, Suharsimi., Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2006, Cet Ke-13 Ayyub, Syaikh Hasan, Fikih Keluarga, Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2006 Baqir al-Habsyi, Muhammad, Fiqih Praktis “Seputar Perkawinan dan Warisan”, Bandung: Mizan, 2003 Fajar, Nurudin, “Aliran Rifa’iyah Didukuh Kretegan Desa Karangsari Kecamatan Rowosari-Kendal, Pada Tahun 1960-1975”, Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang, 2007 Hafiz, Ibn Rusyd., Bidayatu al Mujtahid wa nihayatu al-muqtasid, Beirut: Dar AlFikr, t.t Jamil, Abdul, Perlawanan Kiai Desa: Pemikiran Dan Gerakan Islam KH Ahmad Rifa’i, Jakarta: LKIS, 2001 Jawad Mughniyah, Muhammad, Fikih Lima Madzhab: Al-fiqh ‘ala Madzahibu alKhamsah, Penerjemah A.B, Masykur, dkk (Jakarta; PT Lentera Basritama, 1999
55
Kamal, Muhtar., Asas-Asas Hukum Islam Dalam Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1992 Kuzari, Ahmad, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta: Rajawali Press, 1995 Manan, Abdul., Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta : Kencana, 2006 Nurrudin, Amiur dan Tarigan, Azhari Kamal, Hukum Perdata Islam di Indonesia : Studi Kritis Perkembangan Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI, Jakarta : Kencana, 2004 Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi, Ilmu Fikih, juz ll, Jakarta: Departemen Agama , 1985 Rafiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 1998 Rahman, Asmuni A., Qawa’idul Fiqhiyah, Jakarta: Bulan Bintang, 1976 Ghazaly. Abdurrahman, Fikih Munakahat, Jakarta : Kencana, 2003 Ramulyo, Idris , Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996 Rifa’i, Ahmad , Taisir,Penerjemah Ahmad Syadzirin Amin, Pekalongan: Yayasan Badan Wakaf Rifa’iyah, 2009 Rifa’i, Ahmad, Tahyirotul Muhtashor , t.t, t.p, 1848 Rifa’i, Ahmad., Tabyinul Ishlah Limuriidin al-Nikah,t.t, t.p, 1847 Rusdiana , Kama dan Aripin, Zaenal , Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007 Sabiq, Sayyid., Fikih Sunnah, Beirut : Dar Al-Fikr, 1983, Cet. Ke-4 Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI Press, Cet Ke-3, 1986 Amin Summa, Muhammad, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam,Jakarta: PT RajaGrafindo Persada),2005 Syamsudin,M, Oprasionalisasi Penelitian Hukum,Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007
56
Syarifuddin, Amir., Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007 Tihami, M.A, dan Sahrani, Sohari, Fikih Munakahat : Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta : Rajawali Pers, 2009 Tim Prima Pena, Kamus lengkap Bahasa Indonesia, Jakarta: Cita Media Pres Yasin Sulkan dan Sunarto Hapsoyo, Kamus Bahasa Indonesia, Surabaya: Mekar, 1990 Yunus, Mahmud, Hukum Pernikahan Dalam Islam, Jakarta : Hudakarya Agung, 1966, Cet. Ke-15 Zuhaily, Wahbah, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Damaskus: Daar al-Fikr, 1984, h.73-77