NO.05
Pebruari 2005 PERHIMPUNAN BUDDHIS NICHIREN SHU INDONESIA
Penjelasan Terperinci dari Saddharma Pundarika Sutra Akan Pencapaian
Kesadaran Buddha Bagi Kaum Wanita (Dari Brosur, “Pemikiran akan Hak Asasi Manusia “ diterbitkan oleh Departemen Nichiren Shu akan Ketetapan Hak Asasi Manusia pada Bulan Maret 31, 2000.)
K
ita sebagai penganut Nichiren Buddhisme mengikuti ajaran dari Saddharma Pundarika Sutra. Dalam Sutra ini, Sang Buddha menjelaskan secara terperinci bahwa setiap mahluk hidup mempunyai Bibit Buddha sehingga setiap orang sesungguhnya memenuhi syarat untuk mencapai Kesadaran Buddha. Pemikiran ini didasari pada realita akan sangat besarnya rasa penghargaan akan kesederajatan dan maitri karuna yang dimiliki Sang Buddha terhadap seluruh mahluk hidup. Akan tetapi, ada sebagian orang yang mengkritik Saddharma Pundarika Sutra. Mereka membacanya tanpa memahami lebih dalam. Beberapa berkata, “Ketika saya membaca Saddharma Pundarika Sutra, diketahuilah bahwa Sutra ini mendiskriminasikan kaum perempuan.” Contoh yang paling umum dari pendapat ini adalah cerita Pencapaian Kesadaran Buddha oleh Putri Raja Naga di Bab Devadatta dari Saddharma Pundarika Sutra. Di dalam cerita ini, memang ada beberapa pernyataan yang bisa disalahartikan yang seakanakan mendiskriminasikan kaum perempuan, tetapi, sesungguhnya bila kita memahami latar belakang suatu masa, bangsa, dan budayanya, kita akan mengerti lebih jauh akan apa yang sesungguhnya ingin diajarkan oleh Sutra ini. Kitab-Kitab Buddha Mahayana, seperti Saddharma
Pundarika Sutra, disusun sekitar 2,000 tahun yang lalu, dan mereka merupakan cerminan kuat akan lingkungan sosial dan kebudayaan pada masa itu. Sebagai contoh, di bagian awal bab Devadatta, ketika Sang Raja memberikan persembahan untuk melengkapi 6 paramita, 1
beliau merelakan tidak hanya harta bendanya, akan tetapi tubuhnya sendiri, bahkan istri-istrinya, anak-anaknya, dan para pelayanpelayannya sebagai persembahan. Dalam kehidupan di masa modern, kita tidak boleh memdiang perkataan raja ini secara harafiah semata.
No.005 / Pebruari 2005
Kita harus memahami, lingkungan kemasyarakatan di masa sekarang, dan menjadikan ‘jaman raja’ tersebut sebagai jaman dimana kita hidup sekarang. Ketika kita membaca Saddharma Pundarika Sutra dengan keyakinan akan hak-hak asasi manusia di masa sekarang, kita akan memahami bahwa para istri, anakanak, dan para pelayan sang raja adalah juga mahluk individu yang berdiri sendiri, dan memiliki hak asasi yang sama seperti yang dimiliki oleh sang raja. Di masa sekarang ini, mereka adalah orang-orang bebas yang mandiri. Nichiren Shonin, pendiri kita, memahami, percaya, dan menerima Saddharma Pundarika Sutra pada masa dimana kediskriminasian terjadi berdasarkan peringkat dan status. Beliau menyadari pentingnya pengajaran Saddharma Pundarika Sutra dan memahaminya secara mendalam akan makna hak asasi manusia dan kesederajatan akan semua mahluk hidup. Ini adalah sesuatu yang sangat luar biasa, bila kita membayangkan bahwa Beliau, yang hidup dimasa seperti itu, dapat memiliki kepercayaan akan hal ini, dan memahaminya lebih jauh dengan semangat jiwa yang penuh kesederajatan dan rasa saling menghormati. Inilah semangat dan jiwa yang ingin disebarluaskan Nichiren Shonin untuk diterapkan di lingkungan masyarakat kita sekarang.
Bukti Manjusri – Putri Raja Naga yang Mencapai Kesadaran Buddha melalui Wujud Seorang Wanita
D
i bagian tengah dari Bab Devadatta, suatu diskusi bermula dari Bodhisattva Manjusri dan Bodhisattva Prajnakuta. Menjawab pertanyaan dari Bodhisattva Prajnakuta, Manjusri mengungkapkan bahwa dia mencerahkan banyak Bodhisattvas di istana Raja Naga di lautan. Bodhisattva Prajnakuta memuji Manjusri dengan syair. Manjusri menyatakan, “Di
dalam lautan, saya membabarkan hanya Saddharma Pundarika Sutra.” Bodhisattva Prajnakuta bertanya, “Sutra ini sangatlah dalam dan indah. Ini adalah harta paling berharga dari semua sutra yang ada, dan sangat jarang ada di dunia. Apakah kamu mengetahui siapa yang telah menjalankan Sutra ini sebegitu kerasnya sehingga ia dapat dengan cepat mencapai Kesadaran Buddha?”. Manjusri menjawab, “Ya,” dan memperkenalkan Putri Raja Naga dari Raja Naga Sagara yang berusia 8 thn. Putri Raja Naga ini sangat pintar, melaksanakan dengan benar, dan bercita-cita akan Bodhi dalam Ksana, dan mencapai tahapan yang tak tersangkalkan lagi. Putri Raja Naga penuh maitri karuna dan sudah mencapai Kesadaran Buddha”, ujar Manjusri. Kata-kata ini secara jelas membuktikan bahwa Putri Raja Naga dapat mencapai Kesadaran Buddha dengan cepat meskipun ia seorang wanita. Di bagian akhir dari bab ini, diceritakan bahwa ia berubah wujud menjadi seorang pria, mengapa? “Perubahan wujud menjadi Pria” ini adalah momentum yang sangatlah penting untuk dimengerti akan tetapi juga sangatlah mudah untuk disalah artikan.
Keragu-raguan Bodhisattva Prajnakuta - Berdasarkan pada pemikiran bahwa Pencapaian Kesadaran Buddha hanya bisa terjadi setelah Pelaksanaan selama Berkalpa-kalpa
B
oddhisatva Prajnakuta tak dapat mempercayai begitu saja bukti yang dikemukakan Manjustri akan pencapaian Kesadaran Buddha dari Putri Raja Naga. “Saya tidak percaya bahwa anak perempuan ini dapat mencapai Pencerahan yang Sempurna dalam waktu yang singkat," kata Prajnakuta. Ini dikarenakan ia masih terikat pada cara berpikir yang sudah dibakukan, bahwa tak ada seorang pun dapat mencapai Kesadaran Buddha kecuali setelah berupaya mencari pencerahan selama 2
berkalpa-kalpa dan mengumpulkan kebajikan melalui latihan keras seperti yang dilakukan oleh Buddha Sakyamuni. Mencapai Kesadaran Buddha setelah pelaksanaan berkalpa-kalpa adalah suatu hal yang berbeda dari pencapaian Kesadaran Buddha dari satu orang pada saat ini. Cara pandang ini juga sama dengan pandangan Pencapaian Kesadaran Buddha di masa depan dengan merubah tubuh.
Kesaksian dari Putri Raja Naga - Hanya Buddha yang tahu
T
idak lama setelah keraguan Boddhisatva Prajnakuta disampaikan pada Manjusri, Putri Raja Naga muncul dan memuja Kebajikan Sang Buddha, dan juga bercerita tentang pencapaian Kesadaran Buddhanya dengan berkata “Hanya Dia, Sang Buddha, yang mengetahui bagaimana saya mencapai Pencerahan (Bodhi) karena saya mendengarkan Dharma.” Sang Putri menceritakan pencapaian Kesadaran Buddhanya, dan bersumpah untuk menyelamatkan semua mahluk hidup dari penderitaan dengan membabarkan Ajaran dari Kendaraan Besar. Ketika Kebenaran dari Kesadaran Buddha dilukiskan dalam Bab II "Kebijaksanaan" dari Saddharma Pundarika Sutra, dinyatakanlah “Hanya para Buddha yang mencapai Kesadaran akan segala hal.” Pernyataan dari Putri Raja Naga semuanya masuk akal dan benar. Manjusri, yang sudah mencerahkan sang putri, mengakui pencapaian Kesadaran Buddha dari Putri Raja Naga, akan tetapi bagi orang lain yang berkumpul di sana, adalah suatu hal yang sangat sulit dipercaya bahwa hal ini mungkin terjadi dalam waktu yang singkat kecuali jika Putri Raja Naga menunjukan bentuk Buddhanya, sama seperti apa yang ada dalam bayangan mereka akan wujud Buddha yang seharusnya. “Saya harus melihat, baru saya dapat percaya,” adalah sikap yang ditunjukkan oleh kelompok ini.
No.005/ Pebruari 2005
Keraguan Sariputra – Berdasarkan Pemikiran akan Lima Ketidakmungkinan yang dimiliki Wanita.
S
ariputra menanyakan pada Putri Raja Naga sebagai perwakilan dari seluruh yang hadir. Bagian dari bab inilah yang paling banyak digunakan sebagai contoh pendiskriminasian terhadap kaum wanita. “Dia berkata bahwa Dia telah mencapai Pencerahan dalam waktu singkat. Hal ini sulit dipercaya karena tubuh wanita adalah kotor dan tidak dapat menerima ajaran Sang Buddha. Bagaimana dia bisa mencapai Bodhi? Pencerahan yang dicapai oleh Buddha adalah sangat sulit dan hanya bisa dicapai oleh mereka yang telah berlatih terus menerus dan melaksanakan ke 6 Paramita dengan usaha yang sangat keras selama berkalpa-kalpa. Selain itu, wanita juga memiliki Lima Ketidakmungkinan, yaitu : Wanita tidak bisa menjadi 1. Raja Langit Brahma, 1. Raja Sakra, 3. Raja Mara, 4. Raja Roda Suci, dan 5. Seorang Buddha. Bagaimana dia bisa menjadi Buddha sedemikian cepat dalam wujud seorang wanita?” Dalam kata-kata Sariputra, “Pencerahan yang dimiliki Sang Buddha adalah sesuatu yang tidak terjangkau,” berkaitan dengan pandangan bahwa Kesadaran Buddha hanya bisa dicapai setelah pelaksanaan selama berkalpakalpa. Ini sama seperti keraguan yang ditunjukkan oleh Prajnakuta. Sariputra juga menyatakan bahwa tubuh seorang wanita adalah kotor, dan ada Lima ketidakmungkinan yang membuat wanita tidak akan pernah bisa menjadi raja dari kesadaran langit, raja di dunia manusia, ataupun menjadi Buddha. Ini adalah suatu pendiskriminasian terhadap wanita, yang justru bukan merupakan ajaran dari Saddharma Pundarika Sutra. Pandangan ini justru ditunjukkan disini sebagai suatu paham yang salah, dan harus dibuang karena ini adalah pemikiran yang tidak benar. Sariputra, yang dikenal sebagai murid Buddha yang paling
bijaksana, mengungkapkan keraguannya sebagai perwakilan atas keraguan orang kebanyakan. Prasangka terhadap wanita seperti ini telah berkembang dalam Buddhisme sebelum jaman Saddharma Pundarika Sutra, dan dalam masyarakat India kuno. Di jaman India kuno, perbedaan tingkatan, kasta, dan jenis kelamin, adalah konsep yang dianggap penting saat itu. Wanita harus menghadapi diskriminasi jenis kelamin yang menganggap mereka sebagai simbol ketidakmurnian atau kesesatan. Buddha Sakyamuni menentang sistem kasta dan membangun Sangha (Komunitas Bhiksu). Beliau juga menerima kelompok wanita-wanita yang berniat membangun Sangha bagi kaum Bhiksuni. Hal ini dianggap sebagai suatu pandangan yang kontroversial di masa itu. Beliau secara perlahan merubah cara pandang masyarakat. Akan tetapi, di masa-masa awal dari Sangha Bhiksu dan kelompok Bhiksuni, wanita masih direndahkan. Wanita dianggap sebagai gangguan terhadap kaum Bhiksu, juga Pendosa atas hukum, sehingga aturan untuk Bhiksuni pun jauh lebih ketat dibanding para Bhiksu. Pada awalnya, status mereka di Sangha pun belum sejajar dengan para bhiksu. Pandangan bahwa wanita tidak bisa mencapai Kesadaran Buddha karena Lima Ketidakmungkinan muncul dalam naskah-naskah Buddhis setelah kemoksaan Buddha Sakyamuni. Oleh karena itu ke 32 gejala besar dari seorang Buddha digambarkan dalam wujud pria, wanita dianggap tidak bisa menjadi Buddha. Salah pengertian ini kemudian digunakan 3
untuk mendiskriminasikan wanita baik di dalam maupun di luar Sangha. Karena itu, wanita selalu dihadapkan pada kenyataan bahwa mereka tidak akan pernah bisa menjadi Buddha, kecuali bila mereka dilahirkan kembali sebagai pria. Di dalam Saddharma Pundarika Sutra, dalam Bab Devadatta, untuk pertama kalinya, pandangan akan Lima Ketidakmungkinan yang dimiliki wanita ini ditentang secara keras. Di dalam pembahasan berikutnya, kita akan mendiskusikan Kebijakan-kebijakan yang diungkapkan oleh Putri Raja Naga
No.005 / Pebruari 2005
untuk menunjukan Pencerahan yang dicapainya kepada kepada kaum yang menyangkal. Bahkan dalam masyarakat sekarang, diskriminasi masih hadir di dalam berbagai bentuk. Kita perlu mempelajari Saddharma Pundarika Sutra dan memahami konsep-konsep kesederajatan yang diajarkan. Tidak ada kasta, status, perbedaan fisik yang membuat kita menjadi lebih rendah atau lebih tinggi dari mahluk hidup lainnya. Kita semua sama-sama berada di dunia yang sama.
Putri Raja Naga mengungkapkan Jati diri yang sesungguhnya
U
ntuk menjawab pandangan Sariputra akan wanita dan ke 5 Ketidakmungkinan yang dimilikinya, (Saddharma Pundarika
Sutra hal. 201, versi Murano), Putri Raja Naga mempersembahkan batu permata yang sangat berharga kepada Sang Buddha. Tindakan ini berharga 1.000 juta dunia Sumeru / alam semesta besar, dan ini mengisyaratkan akan pencapaian Kesadaran Buddha. Sang Buddha pun dengan segera menerima persembahan permata ini. Putri Raja Naga berkata, “Lihatlah saya dengan kekuatan supranaturalmu ! Saya akan menjadi seorang Buddha [bahkan] dengan lebih cepat daripada waktu yang dibutuhkan Sang Buddha untuk menerima permata ini”. Kemudian Saddharma Pundarika Sutra menyatakan : “Semua yang hadir di pesamuan melihat bahwa Putri Raja Naga tibatiba berubah menjadi seorang pria, melakukan perbuatan-perbuatan seorang Bodhisattva, dan pergi ke dunia selatan yang tidak bernoda, duduk di atas Bunga teratai yang dihiasi intan permata, mencapai Penerangan yang sempurna, memperoleh ke-32 gejala besar, dan 80 gejala kecil dari seorang Buddha, dan mulai membabarkan Dharma yang luar biasa ini ke seluruh mahluk hidup dari 10 penjuru dunia.” Ketika melihat Putri Raja Naga menjadi Buddha dan membabarkan Dharma, semua mahluk hidup termasuk para Bodhisattva dan Sravaka membungkuk kepada Buddha dengan suatu kegembiraan yang meluap. Begitu banyak mahluk hidup yang telah menerima kebajikan dari Dharma seperti pencapaian tahapan yang tidak bisa disangkal, dan pencapaian kepastian akan pencapaian Kebuddhaan di masa depan. Bab Devadatta menyimpulkan bahwa Prajnakuta, Sariputra, dan semua mahluk hidup lainnya yqng berkumpul di pesamuan ini menerima dan memahami Dharma dengan penuh kepercayaan dan kekhusukan. Hanya Buddha yang tahu bahwa Putri Raja Naga telah mencapai Kesadaran Buddha. Para peserta di pesamuan tidak dapat percaya hanya dari bukti-bukti yang disampaikan Manjusri dan Putri Raja Naga bahwa Kebudhaannya telah dicapai bahkan 4
sebelum ia berubah menjadi seorang pria. Setelah berubah menjadi wujud pria, dan memperlihatkan ke-32 gejala Buddha dan mempersembahkan Dharma, barulah mereka percaya dengan penuh ketulusan.
Berubah menjadi seorang pria
D
alam Bab Devadatta, Lima Ketidakmungkinan muncul sebagai paham yang tidak benar yang harus disangkal. Putri Raja Naga membuat pesamuan percaya akan pencapaian Kesadaran Buddha dengan mengubah wujud fisiknya menjadi seorang pria. Bagaimana kita harus memahami hal ini ? Pada jaman Buddha Sakyamuni hidup, pria memiliki kuasa dan pengaruh dalam masyarakat, sementara wanita menempati status dan posisi yang lebih rendah. Kemampuan untuk terjun dalam kehidupan dan praktek keagamaan hanya dibatasi pada kaum pria. Karena norma-norma sosial inilah, pandangan bahwa wanita hanya bisa mencapai Kesadaran Buddha jika ia dilahirkan kembali sebagai pria, menjadi suatu prasyarat yang diyakini saat itu. Ketika seorang wanita berkeinginan untuk memasuki suatu kelompok keagamaan, dia harus meninggalkan kehidupannya sebagai wanita, dan harus hidup dan berpikir seperti Bhiksu pria. Inilah asal muasal gagasan akan perubahan dari wanita menjadi pria. Selanjutnya, dengan masuk menjadi Bhiksuni, wanita diharuskan untuk memangkas habis rambutnya dan mengenakan jubah seperti yang dipakai oleh kaum pria. Dalam Mahayana Buddhisme, ini adalah akar mula dari adanya pandangan akan transformasi fisik dari seorang wanita menjadi seorang pria. Akan tetapi, Bab Devadatta memberikan kita perspektif lain dari transformasi fisik sebagai syarat untuk mencapai Kebuddhaan. Putri Raja Naga mencapai Kebuddhaan melalui bentuk tubuh wanitanya. Ini ditunjukan oleh diterimanya permata
No.005/ Pebruari 2005
yang dipersembahkan oleh Sang Buddha. Menyadari bahwa yang hadir di pesamuan masih mendasarkan diri pada Lima Ketidakmungkinan yang dimiliki oleh seorang wanita, Putri Raja Naga merubah dirinya menjadi pria, dan memperlihatkan ke 32 tanda Buddha, sehingga dapat meyakinkan para anggota pesamuan bahwa tidak ada perbedaan jenis kelamin dalam upaya untuk menjadi seorang Buddha.
Nichiren Shonin dan Pencapaian Kesadaran Buddha bagi Kaum Wanita.
N
ichiren Shonin mengungkapkan kesempatan pencapaian Kebuddhaan bagi kaum wanita melalu cerita Putri Raja Naga. Dalam Hokke Daimoku Sho, yang ditulis ketika Beliau berusia 45 tahun, Nichiren Shonin membahas bahwa di dalam Sutra Karangan Bunga sampai Sutra Maha Nirvana, status wanita masih dalam posisi yang lebih rendah. Wanita dikatakan memiliki karma berat yang akan mencegah mereka untuk mencapai Kesadaran Buddha. Beliau juga menceritakan Pencapaian Kesadaran Buddha dari Putri Raja Naga melalui paparan berikut : “Kemampuan kaum wanita untuk mencapai Kesadaran Buddha ditentang oleh SutraSutra lain. Akan tetapi, karena Manjusri membabarkan karakter Myo, Gaib, kaum wanita dapat mencapai Kebuddhaan. Sungguh suatu hal yang sangat aneh kalau Bodhisattva Prajnakuta, murid utama dari Buddha Taho (Prabhutaratna), dan Sariputra, yang adalah murid Buddha Sakyamuni yang paling bijaksana, mengungkapkan alasanalasan mengapa Putri Naga tidak akan bisa menjadi seorang Buddha dengan mengacu pada Sutra-sutra Hinayana dan Mahayana; akan tetapi, tujuan mereka tidak tercapai, dan Putri Raja Naga tetap menjadi Buddha. Suatu bait di dalam Sutra Karangan Bunga menyatakan, `Seseorang yang telah menghilangkan bibit Kebuddhaannya,’ dan suatu
bait di dalam Nirvana Sutra juga mengatakan, “Seperti semua sungai yang berliku, demikianlah juga pikiran dari seorang wanita”, sekarang menjadi sesuatu pernyataan tanpa arti. Satu bait di dalam Daichido-ron (Komentar dari Sutra Kebijaksanaan) menyatakan, `Wanita tidak akan pernah mencapai Kesadaran Buddha selama-lamanya,’ juga menjadi tidak berarti. Bodhisattva Prajnakuta dan Sariputra sangat terkejut dan menjadi terdiam, sementara semua yang hadir di pesamuan begitu bersuka cita dan bertepuk tangan bersama-sama menghormati Sang Buddha. Ini semua adalah kebajikan dari karakter, Myo.” Nichiren Shonin juga menyatakan dalam Kaimoku Sho, contoh cerita dari Putri Naga yang menjadi Buddha, tidak diartikan bahwa hal ini hanya bisa terjadi untuk Sang Putri Naga.Ini justru diartikan sebagai pencapaian Kesadaran Buddha bagi semua kaum wanita. Ketika Sutra Hinayana (sebelum Saddharma Pundarika Sutra) menyangkal kemungkinan pencapaian Kesadaran Buddha oleh kaum wanita, banyak Sutra-sutra Mahayana terlihat sedikit mengakui kemungkinan pencapaian Kesadaran Buddha oleh kaum wanita asalkan mereka dapat merubah diri mereka ke arah kebaikan dan meninggalkan kesesatan. Akan tetapi, ini berarti bukan suatu pencapaian Kesadaran Buddha yang segera di dunia ini, yang sesungguhnya dimungkinkan melalui doktrin “3000 gejala dalam satu pikiran”. Oleh karena itu, apa yang dijanjikan Sang Buddha dalam Sutra Mahayana seolah hanyalah suatu nama. Di sisi lain, pencapaian Kesadaran Buddha oleh Putri Raja Naga dalam Saddharma Pundarika Sutra, mempunyai arti mungkinnya tercapai Kesadaran Buddha (atau sampai di tanah Buddha) oleh kaum wanita di masa-masa berikutnya.” (Tulisan Nichiren Shonin, Doctrine 2, hal. 90) Dalam suratnya, Sennichi Ama Gozen Gohenji (Jawaban kepada Yang Terhormat Bhiksuni Sennichi) yang dikirimkan dari 5
Gunung Minobu di usiaNya yang ke 57, Nichiren Shonin berkata,“Kita mempercayai doktrin pencapaian Kesadaran Buddha oleh semua mahluk hidup karena hal ini dikatakan oleh Sang Buddha sendiri, akan tetapi kita tetap belum bisa sungguh-sungguh mempercayainya karena kurangnya bukti-bukti yang ada. Karena itu segala sesuatunya menjadi lebih jelas ketika doktrin terpenting, “bahwa Kesadaran Buddha bisa dicapai melalui wujud sekarang yang dimiliki seseorang”, dibabarkan secara terperinci dalam Bab “Devadatta’ di bait ke-5 dari Saddharma Pundarika Sutra. Hal ini seperti mengubah tinta yang hitam menjadi putih, atau memurnikan air kotor dengan meletakan permata harapan ke dalamnya. Sang Buddha menciptakan ular kecil, yang sesungguhnya adalah Putri Raja Naga, mencapai Kesadaran Buddha melalui wujud fisiknya sekarang ini. Pada saat itu, tak ada seorang pun yang meragukan bahwa semua umat manusia dapat mencapai Kesadaran Buddha dengan adanya contoh yang ditunjukkan oleh Putri Raja Naga. Sutra Hinayana tidak memperbolehkan wanita untuk mencapai Kesadaran Buddha sama sekali. Beberapa Sutra Mahayana sepertinya memperbolehkan wanita mencapai Penerangan atau sampai ke Tanah Buddha, akan tetapi hal ini lebih merupakan kata-kata kebijaksanaan Buddha yang tanpa isi. Hanya Saddharma Pundarika Sutralah yang menjelaskan secara terperinci tercapainya Kesadaran Buddha oleh kaum wanita, karena itu, hanya inilah, Sutra yang sesungguhnya, yang memungkinkan kita membayar jasa-jasa baik seorang ibu. Saya saat ini sedang berusaha untuk membuat semua kaum wanita menyebut daimoku agar mereka dapat membayar kembali jasa-jasa kebaikan dari seorang ibu.” Nichiren Shonin di sepanjang hidupnya selalu mengajarkan bahwa kaum wanita bisa mencapai Kesadaran Buddha. Beliau bahkan tidak mengacu kepada “perubahan menjadi pria” dari Putri Raja Naga.
No.005 / Pebruari 2005
Nichiren Shonin sungguh-sungguh memahami pencapaian Kesadaran Buddha bagi kaum wanita, karena Beliau sungguh-sungguh terlibat baik dengan pria maupun wanita dengan penuh kesederajatan, bahwa setiap orang sama-sama memiliki potensi baik untuk mencapai Kesadaran Buddha.
Belajar dari Konsep Nichiren Shonin akan Persamaan Derajat Pria dan Wanita
N
ichirenShoninjugamemahami hubungan pria dan wanita, seperti suami dan istri yang saling mendukung satu sama lain dengan penuh maitri karuna dan saling percaya. Surat-surat Beliau yang ditujukan ke setiap individu dari pengikutnya, selalu ditulis dengan menyesuaikan kepada kepribadian setiap dari mereka. Karena itu, beberapa ungkapan-ungkapan Beliau mungkin bisa disalahartikan (jika kita hanya membaca sebagian saja dari keseluruhan tulisan beliau) bahwa Beliau menganggap wanita berada dibawah kedudukan pria, Sebagai contoh “symbol karakter untuk wanita, berarti yang bersedia. Sama sepertia tanaman rambat yang melilitkan dirinya di pohon cemara, wanita bersedia untuk para pria. Kaum wanita harus bersedia pada suaminya . . .” (Shijo Kingo Dono Nyobo Gohenji, Gosho Nyonin, hal. 94) atau “Menjadi seorang wanita adalah untuk menjadi patuh, dan
dia akan mendapatkan jalannya.” (Kyodai Sho, hal. 136) Akan tetapi jika, kita meneruskan membaca ke bait sebelum dan sesudah bait diatas, kita akan dapat melihat secara jelas bahwa Nichiren Shonin mengajarkan hubungan suami istri yang berdasarkan pada Saddharma Pundarika Sutra. Terlebih jauh, Beliau bahkan mengatakan bahwa pria dan wanita harus saling mendukung satu sama lain. Ini diungkapkan melalui kutipan berikut : “Sebuah anak panah diarahkan oleh kekuatan dari busurnya. Sekelompok awan digerakkan oleh kekuatan angin. Begitu jugalah hasil karya seorang pria (suami) akan disemaikan oleh seorang wanita (istri),” (GoshoToki Ama Gozen, A Phrase A Day, hal. 136) “Seorang istri sangat menghargai suaminya sementara seorang suami mengorbankan hidupnya untuk istrinya,” (Ueno Dono Gohenji, A Phrase A Day, p. 130) “Suami adalah seperti tiang dari sebuah rumah dan sang istri akan menjadi balok penyangganya. Ketika tiang jatuh, balok penyanggapun akan berjatuhan. Pria akan seperti kaki, dan wanita menjadi tubuhnya. Tubuh seekor burung adalah sang wanita, sementara sang suami menjadi sayapnya. Ketika sayap tidak berfungsi, maka burungpun tidak akan bisa terbang. Seperti itulah kamu pasti berpikir dan merasakan seolah kamu sudah kehilangan jiwa kamu sendiri setelah kematian
suamimu.” (Sennichi Ama Gozen Gohenji, hal. 130) Kata-kata ini adalah berdasarkan pemahaman Nichiren Shonin akan kesederajatan kedudukan pria dan wanita yang diperteguh oleh kepercayaan terhadap Saddharma Pundarika Sutra. Bahkan pada hari ini, ketika gerakan kebebasan bagi kaum wanita telah membuat status wanita lebih baik, tetap ada kecenderungankecenderungan kaum pria untuk mendominasi kaum wanita. Kita harus menegaskan kembali pemahaman kita akan pencapaian Kesadaran Buddha oleh wanita yang dijelaskan secara terperinci di dalam Saddharma Pundarika Sutra dan mempelajari pemikiran dan pandangan-pandangan Nichiren Shonin akan kesederajatan pria dan wanita, juga rasa hormat terhadap sesama manusia. SELESAI. Diterjemahkan oleh : Yullya Yaladhari, Batam
PENCAPAIAN KEBUDDHAAN Janji Mencapai KeBuddhaan Mereka yang percaya kepada Saddharma Pundarika Sutra ini bagaikan musim dingin, karena itu banyak penderitaan dan rintangan yang datang terus menerus. Musim dingin pasti diikuti oleh musim semi. Kita belum pernah mendengar maupun melihat bahwa musim dingin kembali ke musim gugur. Kita belum pernah mendengar bahwa mereka yang percaya kepada Saddharma Pundarika Sutra kembali menjadi orang biasa. Dalam Saddharma Pundarika Sutra dikatakan, “Semua orang yang mendengarkan sutra ini akan mencapai KeBuddhaan.” Myoichi Ama Gozen Goshosoku Surat Balasan Kepada Myoichi Ama (Latar belakang: Mei, 1275, di Minobu, Showa Teihon, p.1000)
6
No.005/ Pebruari 2005
Buku "Writing Of Nichiren Shonin" Doctrine 2 Edited by George Tanabe.Jr, Compiled by Kyotsu Hori Terbitan : Nichiren Shu Overseas Propagation Promotion Association, Tokyo - Japan Diterjemahkan oleh Sidin Ekaputra,SE
SANDAI HIHO HONJO-JI
(SURAT PERIHAL TIGA HUKUM RAHASIA AGUNG)
Pengenalan
S
urat ini dikirimkan kepada Ota Jomyo, ditulis pada tanggal 8 bulan empat tahun Koan Ke4 (1281) di Minobu. Keaslian dari surat ini, ya atau tidak ditulis oleh Nichiren Shonin, telah menjadi bahan perdebatan yang sengit dalam jangka waktu yang lama. Tujuan dari penulisan surat ini adalah untuk menjelaskan Tiga Hukum Rahasia Agung yang menjadi dasar dari ajaran Nichiren bagi para pengikutnya. Mengenai ajaran Tiga Hukum Rahasia Agung ini, Nichiren Shonin menyatakannya untuk pertama kali, ketika Beliau berbicara mengenai “Tiga Ajaran dari Bagian Pokok” dalam tulisanNya “Risalah tentang Ajaran-Pokok Saddharma Pundarika Sutra” yang ditulis segera ketika Beliau memasuki Gunung Minobu. Ditempat lain, Beliau menuliskan surat “Ungkapan Terima Kasih” menyebutkan “Ajaran Sesungguhnya yang mana tidak pernah dibabarkan oleh T’ien T’ai dan Dengyo” dan Tiga Ajaran, yang mana “Buddha wariskan kepada manusia di masa akhir Dharma”: honzon, kaidan dan daimoku yang berdasarkan pembabaran ajaran dari bagian Ajaran-Pokok. Walaupun Beliau menjelaskan terlebih dahulu tentang dharma ke-tiga, Ia menyebutkan nama istilah dari hommon no kaidan didalam tulisan “Ungkapan Terima Kasih” Istilah “Tiga Hukum Rahasia Agung” tidak pernah digunakan oleh Nichiren Shonin dalam semua
tulisannya kecuali surat ini, yang mana merupakan sumber informasi utama tentang bentuk kaidan yang dimaksudkan oleh Nichiren Shonin. Dalam hal ini, dokumen ini adalah sangat unik dibandingkan tulisantulisan Nichiren lainnya, dan karena alasan ini jugalah maka terjadi perdebatan soal keaslian dari surat ini. PEWARISAN TIGA HUKUM RAHASIA AGUNG
H
al Ini dibabarkan dalam Bab XXI “Kekuatan Gaib Sang Buddha,” Saddharma Pundarika Sutra, jilid ke-tujuh: “Singkatnya, semua ajaran Sang Buddha, semua kekuatan gaib Sang Buddha yang tak terhingga, semua gudang pusaka rahasia dari Sang Buddha, dan semua yang telah dicapai oleh Sang Buddha diungkapkan dan dibabarkan dalam Sutra ini.” Maha Guru T’ien T’ai menjelaskan hal ini dalam “Kata dan Ungkapan dari Saddharma Pundarika Sutra” (“Hokke Mongu”) mengatakan, “Ke-Empat hal ini adalah intisari dari Saddharma Pundarika Sutra.” Pertanyaan: Apakah Dharma yang sangat penting diungkapkan, dalam Empat ungkapan itu? Jawab: Mereka adalah honzon (Yang Patut Dimuliakan), kaidan (Tempat Ajaran) dan lima karakter daimoku, yang Buddha Sakyamuni telah laksanakan sejak masa lampau yang abadi sampai mencapai Penerangan 7
dengan aspek sesungguhnya dari segala gejala, dan sekarang ini, dibabarkan dalam Bab XVI “Jangka Waktu Hidup Sang Buddha” Saddharma Pundarika Sutra. Hal ini telah dijaga secara rahasia bertahuntahun lamanya ketika Buddha Sakyamuni membabarkan ajaran sebelum Saddharma Pundarika Sutra bahkan sejak Ia mencapai KeBuddhaan untuk pertama kali di bawah pohon Bodhi, melalui pembabaran bagian ajaran-sementara Saddharma Pundarika Sutra sampai Beliau mulai membabarkan Hidup Buddha Abadi dalam Bab XV “Boddhisattva Muncul Dari Bumi,” bagian ajaran-pokok Saddharma Pundarika Sutra. Sang Buddha Sakyamuni tidak mengajarkan ajaran Tiga Hukum Rahasia Agung ini kepada mahabodhisattva seperti Samantabhadra dan Manjusri, penjaga para Buddha sepanjang masa lampau, sekarang dan akan datang, juga tidak berbicara kepada para murid dibawah mereka. Oleh karena itu, secara formal pembabaran ajaran rahasia ini sungguh berbeda dari pembabaran sebelum Saddharma Pundarika Sutra dan 14 Bab dari bagian ajaransementara Saddharma Pundarika Sutra. Hal Ini mencakupi didalam Tanah Abadi, Cahaya Tenang Abadi, dengan Buddha Abadi sebagai raja pembabar utama yang sepenuhnya dilengkapi oleh Tiga Badan (Dharma, Kebajikan, dan Perwujudan) dari seorang Buddha, dan para pendengar yang menjadi satu badan dengan Buddha.
No.005 / Pebruari 2005
Dalam kesempatan itu, untuk meningkatkan pencapaian KeBuddhaan, Buddha Abadi masa lampau, secara khusus memanggil keluar dari Tanah Abadi yang diliputi Cahaya Tenang Abadi, ke-Empat Boddhisattva seperti Boddhisattva Pelaksanaan Utama (Visistakaritra) yang mana merupakan murid dari Buddha Sakyamuni Abadi sejak masa lampau yang kekal, dan Beliau mempercayakan kepada mereka dengan Tiga Hukum Rahasia Agung ini. Ajaran Guru Tao-hsien menyatakan,”Sebagai ajaran yang diwariskan, sebagai sebuah pencapaian dari sejak masa lampau abadi, mereka dipercayakan kepada murid dari Buddha Abadi sejak masa lampau abadi.” Pertanyaan: Dalam jaman apakah ajaran-rahasia yang dipercayakan kepada Bodhisattva Visistakaritra dan para bodhisattva lainnya yang muncul dari bumi untuk disebarluaskan? Jawab: Bab XXIII, “Kehidupan Masa Lampau Bodhisattva Bhaisajaraja,” Saddharma Pundarika Sutra, jilid ke-tujuh, dibabarkan, “Sebarkanlah ajaran ini keseluruh dunia setelah periode lima ratus tahun terakhir setelah kemoksaanKu, agar tidak musnah.” Membaca kalimat sutra ini dengan penuh hormat, Saya melihat bahwa waktu untuk ajaran-rahasia ini akan tersebarluaskan setelah melewati 2.000 tahun, periode jaman Kebenaran Dharma (Shobo) dan jaman Kepalsuan Dharma (Zobo), nama setelah lima tahun ke-lima setelah kemoksaan Sang Buddha, adalah bersamaan dengan waktu dimulainya perioda Masa Akhir Dharma, ketika perselisihan semakin merajalela dan ajaran Buddha menuju kepada kemusnahan. Pertanyaan: Welas asih dari Sang Buddha adalah bagaikan bulan di langit. Sebagaimana bayangan bulan diatas air yang tenang, para Buddha perlu memberikan kebaikan
kepada semua orang dengan kapasitas apa saja untuk mencapai pengertian yang benar. Meskipun demikian, terlihat sangat tidak adil bagi Buddha untuk berkata bahwa ajaran-rahasianya hanya boleh dibabarkan dalam Masa Akhir Dharma diantara tiga jaman setelah kemoksaanNya. Bagaimana pendapatmu tentang hal ini? Jawab: Meskipun sinar bulan welas asih dari Sang Buddha menerangi kegelapan orang-orang di dalam sembilan dunia tingkatan spritual, mulai dari Neraka sampai ke dunia Bodhisattva, Hal ini tidak akan tercermin pada air lumpur para pemfitnah dharma terhadap Dharma Yang Sesungguhnya dan mereka yang tidak mempunyai pikiran kebaikan (Icchantika). Ajaran Hinayana dan Mahayana sementara adalah sesuai dengan kapasitas pada masa 1000 tahun Masa Kebenaran Dharma (Shobo). Ajaran Teori bagian pertama dari Saddharma Pundarika Sutra adalah sesuai untuk 1000 tahun Masa Kepalsuan Dharma (Zobo). Pada 500 tahun pertama dari Masa Akhir Dharma (Mappo), bagaimanapun adalah waktunya bab “Jangka Waktu Hidup Sang Tathagata” dari bagian pokok Saddharma Pundarika Sutra harus diajarkan ketika itu, dan 13 bab lainnya harus disimpan. Ini karena doktrin dari bab ini cocok untuk kapasitas orang waktu itu. Ajaran yang dibabarkan dalam bab “Jangka Waktu Hidup Sang Tathagata” tidak sesuai untuk kapasitas orang pada 500 tahun kedua dari Masa Kepalsuan Dharma, tidak juga dibicarakan pada 500 tahun pertama. Mereka yang berada pada Masa Kebenaran Dharma tidak siap untuk ajaran bagian teori dari Saddharma Pundarika Sutra, apalagi untuk ajaran bagian pokok. Pada Masa Akhir Dharma, ajaran sebelum Saddharma Pundarika Sutra dan Ajaran bagian teori dari Saddharma 8
Pundarika Sutra, yang mana cocok untuk Masa Kebenaran Dharma, dan Masa Kepalsuan Dharma, tidak memungkinkan orang-orang untuk terlepas dari ikatan hidup mati dan mencapai KeBuddhaan. Bab 16 bagian dari ajaran pokok harus dibabarkan, ajaran ini sangat dibutuhkan untuk melepaskan keterikatan dan mencapai KeBuddhaan. Melihat akan hal ini, saya yakin bahwa bimbingan dari Sang Buddha tidak pernah membedabedakan; Beliau hanya membabarkan Dharma yang cocok dan sesuai dengan waktu dan kemampuan dari orang-orang. Pertanyaan: Mengenai pembabaran Buddha Dharma setelah kemoksaan Sang Buddha, selama Masa Kebenaran Dharma, dan Masa Kepalsuan Dharma dan Masa Akhir Dharma, hal ini dapat secara jelas dikatakan bahwa para Bodhisattva, murid dari Buddha Abadi dan Bodhisattva lainnya diberikan kepercayaan akan tugas yang berbeda-beda. Masih terdapat hal yang belum jelas atau tidak adanya suatu pernyataan yang secara jelas membuktikan bahwa Bab “Jangka Waktu Hidup Sang Tathagata” merupakan ajaran utama untuk menyelamatkan orangorang di dunia buruk dan jahat pada Masa Akhir Dharma ini? Jawab: Nada dari suara kamu jelas menekankan, agar saya menjawab pertanyaan ini. Dengarkan jawaban saya, kamu harus mempunyai kepercayaan yang kuat terhadap hal ini. Ini adalah kutipan kalimat dari Bab “Jangka Waktu Hidup Sang Tathagata” yang menyatakan, “Aku meninggalkan obat yang sempurna dan luar biasa ini di sini. Kamu harus mengambilnya. Jangan khawatir bahwa penyakitmu tidak dapat terobati.” Pertanyaan: Hal diatas telah jelas dan tidak diragukan
No.005/ Pebruari 2005
dengan adanya pernyataan kalimat dari Bab “Jangka Waktu Hidup Sang Tathagata,” bahwa sutra ini satu-satunya ajaran yang dapat menyelamatkan orang di dunia buruk pada Masa Akhir Dharma. Meskipun demikian, apa itu Tiga Hukum Rahasia Agung yang dibabarkan pada bab ini? Jawab: Mereka adalah doktrin yang sangat penting, yang selalu saya jaga didalam pikiran. Keinginan mu sangat saya hargai, saya akan menjelaskan secara singkat. Honzon (Yang Paling Dimuliakan) diwujudkan dalam Bab 16 Saddharma Pundarika Sutra adalah Buddha Sakyamuni Abadi, yang mempunyai hubungan yang dekat dengan kita, di dunia saha ini, sebagai sebab akibat sejak pencapaian KeBuddhaan pada 500 asemkya kalpa koti yang lalu, dan yang dilengkapi dengan Tiga Badan Abadi (Dharma, Kebajikan, Perwujudan). Bab “Jangka Waktu Hidup Sang Tathagata” membabarkan ini sebagai “Buddha yang penuh pengetahuan dan kekuatan gaib,” yang juga dijelaskan oleh Maha Guru T’ient’ai dalam “Kata-kata dan ungkapan dari Saddharma Pundarika Sutra atau Hokke Mongu”: "Ini adalah misteri (pi) satu badan mencakupi tiga badan dan rahasia tiga badan adalah satu badan. Ini merupakan misteri karena belum pernah dijelaskan, dan rahasia karena hanya Buddha saja yang mengetahuinya. Sang Buddha selalu dilengkapi dengan Tiga Badan sejak masa lampau yang abadi melewati masa lampau, sekarang dan akan datang, tetapi Beliau selalu menjaga kerahasiaannya tanpa pernah membabarkan hal ini dalam sutra.” Daimoku mempunyai dua arti: Daimoku sebagai pelaksanaan pada Masa Kebenaran Dharma dan Masa Kepalsuan Dharma, dan sebagai pelaksanaan pada Masa Akhir Dharma. Selama Masa Kebenaran Dharma, Bodhisattva Vasubandhu
dan Nagarjuna menyebut Daimoku semata-mata untuk pelaksanaan diri sendiri. Selama Masa Kepalsuan Dharma, Maha Guru Nanyueh dan T’ien-t’ai juga menyebut Daimoku, Namu Myoho Renge Kyo; mereka menyebut untuk pelaksanaan diri mereka sendiri, tidak membimbing orang lain. Daimoku mereka sebagai pelaksanaan untuk mencapai Penerangan yang didasarkan pada ajaran bagian teori Saddharma Pundarika Sutra. Daimoku yang saya lakukan, Nichiren, pada hari ini di Masa Akhir Dharma adalah Daimoku “Namu Myoho Renge Kyo” tidak sama dengan masa sebelumnya, ini tidak hanya pelaksanaan perorangan untuk Penerangan Agung tetapi ini juga pelaksanaan untuk keuntungan semua orang. Kelima karakter Daimoku ini tidak hanya sekedar judul dari Saddharma Pundarika Sutra; ini mengandung Lima Pengertian Yang Mendalam; Nama, Kesatuan, Kualitas, Fungsi dan Ajaran. Mengenai pusat Kaidan, untuk pelaksanaan Saddharma Pundarika Sutra, belumlah terwujud, dimana merupakan tempat yang teragung yang menyerupai Tanah Suci di Gunung Grdhrakuta dengan mendapatkan perlindungan dan restu dari kerajaan dan perintah seorang shogun secara langsung? Bukankah hal ini tidak diperlukan, ketika pada waktu itu hukum kerajaan dan Buddha Dharma berada dalam keadaan sempurna kedua-duanya, baik raja dan para pengikut semuanya percaya kepada Tiga Hukum Rahasia Agung yang dibabarkan dalam ajaran pokok Saddharma Pundarika Sutra, dan pelaksanaan dari Raja yang Berbudi Luhur dan Kesadaran Kebajikan dari Para Bhiksu dimasa lalu terwujud dalam dunia buruk dan jahat pada Masa Akhir Dharma ? Kita harus menunggu waktu yang tepat untuk mewujudkan hal tersebut. Ini adalah 9
apa yang kita sebut Konsep Ajaran Nyata (ji-no-kaidan), dimana semua orang di India, China dan Jepang sebagaimana yang mendiami Dunia Saha ini, menyesali segala perbuatan buruknya. Lagipula sebagaimana mahluk surgawi seperti Raja Agung Surga Brahma dan Indra juga harus datang untuk mengajarkan pelaksanaan Saddharma Pundarika Sutra. Setelah berdirinya kaidan dari ajaran pokok Saddharma Pundarika Sutra, maka Gunung Hiei yang berdasarkan ajaran teori Saddharma Pundarika Sutra tidak berguna lagi. Meskipun demikian, para Maha Guru Jikaku dan Chisho, Kepala Bhiksu ke-tiga dan keempat Kuil Enryakuji di Gunung Hiei, bertentangan dengan pendiri kuil mereka sendiri, Maha Guru Dengyo, dan Kepala kuil pertama Gishin. Mereka berdua, Maha Guru Jikaku dan Chisho mendasarkan diri pada pandangan yang salah bahwa Sutra Dainichi-kyo dan Saddharma Pundarika Sutra adalah sama dalam ajaran, tetapi dilihat dari kenyataannya dalam ritual keagamaan melakukan pengunaan mudra dan mantra, Jikaku dan Chisho melalaikan ajaran mereka sendiri sehingga hal ini menjadi sia-sia dan tidak berguna, berubah dari kemurnian, bersih dan kaidan yang indah yang didasarkan pada prinsip Jalan Tengah menjadi tidak berharga bagaikan lumpur. Kesedihanku tidak terlukiskan; aku tidak bisa meratapinya lagi. Ini lebih menyedihkan dibandingkan Gunung Malaya di India Selatan, yang terkenal akan pohon kayu cendananya, berubah menjadi setumpuk puing dan hutan semerbak menjadi semak berduri. Sekarang, bagaimana mungkin kita mempunyai sarjana yang dengan tepat menceritakan sutra dari semua ajaran suci Sang Buddha semasa hidupnya, apakah ini sebuah
No.005 / Pebruari 2005
kaidan yang baik, Kuil Enryakuji yang kacau pada saat ini? Kita harus berpikir pada perbandingan tingkat keunggulan antara Saddharma Pundarika Sutra dan Sutra Dainichikyo untuk memberikan sebuah kebenaran. Tiga Hukum Rahasia Agung ini, apa yang Aku, Nichiren, pemimpin dari Bodhisattva Muncul dari Bumi terima dari Yang Mulia Buddha Sakyamuni, babarkan lebih dari 2.000 tahun yang lalu. Oleh karena itu, apa yang Aku laksanakan hari ini secara “Nyata” dari Tiga Hukum Rahasia Agung adalah sama seperti apa yang telah diwariskan di Gunung Grdhrakuta tanpa perbedaan sedikit pun. Pertanyaan: Apakah terdapat bukti-bukti naskah mengenai doktrin 3000 gejala dalam sekejap pikiran? Jawab: Aku akan mengatakan bahwa terdapat dua macam; pertama, yang dibabarkan dalam Bab II “Kebijaksanan”: “Kenyataan dari semua gejala terdiri dari perwujudan mereka, kesejatian, badan…. Para Buddha, Yang diMulia Dunia, ingin membuka gerbang Kebijaksanaan Buddha.” Ini adalah bukti dari sutra yang menunjukkan tentang keberadaan 3.000 dunia Dharma bahkan pada waktu pikiran para mahluk belum mencapai penerangan, menderita dalam keterikatan dan nafsu jahat. Kedua, Bab “Jangka Waktu Hidup Sang Tathagata,” membabarkan, “Meskipun demikian, ini telah berlalu jutaan tahun yang tak teratas, ketika Aku mencapai KeBuddhaan….” Ini melambangkan doktrin “3.000 keberadaan terkandung dalam sekejap pikiran,” yang didapat oleh Buddha Sakyamuni pada masa lampau yang abadi. Sekarang pada Masa Akhir Dharma, Aku, Nichiren mengunakan diriku sendiri untuk membuktikan secara nyata doktrin “3.000 gejala ini dalam sekejap pikiran” (ji no ichinen sanzen) yang
diwujudkan dalam Bab “Jangka Waktu Hidup Sang Tathagata”. Aku menyimpan rahasia ini dalam hatiku, doktrin Tiga Hukum Rahasia Agung. Bagaimanapun, jika Aku tidak meninggalkannya dalam tulisan untuk masa akan datang, aku yakin, pasti para muridku akan menyesal dan sedih tentang hal ini setelah kematianku. Hal itu tidak berguna sama sekali, maka Aku menulis tentang hal ini dan mengirimkannya kepadamu. Setelah membacanya, harap menyimpannya. Jangan memperlihatkan kepada orang lain atau membicarakannya secara sembarangan. Bab Kedua Saddharma Pundarika Sutra “Kebijaksanaan” membabarkan tentang keinginan besar dari kemunculan Buddha di dunia adalah untuk membabarkan Saddharma Pundarika Sutra. Ini adalah sebab pusaka Tiga Hukum Rahasia Agung, harus dijaga dengan baik. Jangan mengungkapkannya kepada orang lain. Tanggal 8 bulan 4 Tahun Koan ke-4 Balasan kepada Tuan Ota Kingo, Tertanda, Nichiren
KOSENRUFU Oleh: Yovin Dainty Nasib
Marilah kita turut aktif dalam setiap kegiatan susunan Karena kita dapat mendengarkan petuah-petuah Buddha Demi tercapainya cita-cita yang mulia yaitu kosenrufu Melalui pertemuan kita dapat belajar dari pengalaman orang lain oo Sehingga kita tidak melakukan kesalahan dalam kehidupan Dengan pertemuan kita dapat merasakan suasana dunia Buddha yang penuh kegembiraan Mencenitakan tentang kekuatan Gohonzon Marilah kita giat pertemuan demi tercapai kosennufu oo Jangan sia-siakan waktu karena setiap detik Dan pertemuan adalah Dunia Buddha Ajaklah kawan dan kerabat untuk menyebut Namu Myoho Renge Kyo Demi kebahagiaan seluruh umat manusia di dunia
10
No.005/ Pebruari 2005
Seri Penjelasan Saddharma Pundarika Sutra
Oleh: YM.Bhiksu Shokai Kanai Sumber Acuan: Buku "The Lotus Sutra" By Senchu Murano Diterjemahkan oleh: Sidin Ekaputra,SE
PENGENALAN TERHADAP SADDHARMA PUNDARIKA SUTRA Redaksi:
Pada Edisi Ke-5 Ini, akan dimulai pembahasan bab demi bab dari Saddharma Pundarika Sutra yang dibahas oleh YM.Bhiksu Shokai Kanai. -----------------------------------------
S
elama hampir 50 tahun lamanya, Buddha Sakyamuni memberikan berbagai macam pesan dan ajaran sesuai dengan tingkat pemahaman masing-masing individu. Itulah sebabnya mengapa ada begitu banyak sutra-sutra dalam agama Buddha. Para pendiri sekte-sekte Buddhis memilih sutra yang berbeda-beda sebagai jalan keselamatan tergantung dari penekanan yang mereka inginkan. Nichiren Daishonin yang hidup pada abad ke-13 di Jepang memilih Saddharma Pundarika Sutra sebagai jalan keselamatan bagi orang-orang yang hidup di masa Akhir Dharma atau masa Mappo. Menurut Beliau, dalam Saddharma Pundarika Sutra terdapat inti hakekat dari segala ajaran Buddha Sakyamuni. Sebelum berbicara mengenai Saddharma Pundarika Sutra, ada baiknya dijelaskan secara singkat terlebih dahulu tentang sejarah Buddhisme dan bagaimana sejarah Saddharma Pundarika Sutra dimulai. SUTRA-SUTRA AWAL
K
DI
MASA
etika Buddha Sakyamuni masih hidup, tidak ada satupun dari ajaranNya yang disimpan dalam bentuk tulisan. Tidak begitu jelas apakah pada saat
itu terdapat metode tulisan, tetapi ada kemungkinan bahwa pada saat itu orang menganggap tidaklah sopan mencatat kata-kata dari sang Buddha. Bahkan hingga sekarang, beberapa ahli beladiri atau kebudayaan Jepang seperti merangkai bunga atau upacara minum tea tidak mengijinkan muridmuridnya untuk membuat catatan di atas kertas. Murid-murid harus belajar menghafalkan ajaran-ajaran tersebut. Cara ini biasanya disebut ajaran lisan. Segera setelah kemokshaan sang Buddha, 500 pengikutNya berkumpul di Rajagraha untuk menyegarkan kembali ingatan mereka tentang ajarang sang Buddha. Mereka bersama-sama menyanyikan gatha atau lagu Buddhis. Pertemuan seperti ini secara keseluruhan diselenggarakan sebanyak tiga kali. Ajaran-ajaran sang Buddha tersimpan dalam ingatan 11
para pengikutNya dan disebarkan dalam bentuk kata-kata lisan. Beberapa abad kemudian, kata-kata lisan tersebut dicatat dan ditulis untuk menghindari terlupanya ajaran-ajaran penting. Oleh sebab itulah, semua sutra selalu dimulai dengan kalimat “Seperti yang telah kudengar” pada bab awalnya. Sutra-sutra yang dirangkum pada saat itu dikenal dengan Sutra pada masa awal seperti sutra Agon, Dhammapada, dan sutra Niparta. BUDDHISME THERAVADA & MAHAYANA
S
etelah kemokshaan sang Buddha, selama kurang lebih seabad ajaranNya tersimpan dengan baik, dilaksanakan, dan disebar luaskan oleh para BhiksuBhiksuni, serta para pengikut awam. Akan tetapi, cara pemahaman dan
No.005 / Pebruari 2005
pelaksanaan ajaran sang Buddha mulai terpecah menjadi dua tradisi berbeda dikarenakan interpretasi yang berbeda atas ajaran-ajaran sang Buddha. Salah satu aliran yang berusaha tetap mempertahankan pelaksanaan dan aturan-aturan tradisional disebut Buddhisme Theravada. Sedang aliran lainnya, yang disebut Mahayana lebih menekankan kepada inti dan pokok ajaran tetapi merubah cara pelaksanaannya tergantung pada tempat tinggal dan situasi. Buddhisme Theravada mempertahankan secara ketat aturan-aturan yang berbeda antara para Bhiksu dan pengikut awam. Di lain pihak, Buddhisme Mahayana muncul dari para pengikut awam yang merasa tidak mampu mengikuti aturan-aturan ketat tetapi tetap mempertahankan inti ajaran dari sang Buddha. Sebagai contoh, sepuluh orang bisa saja mempunyai sepuluh pendapat yang berbeda-beda tentang apa yang dianggap penting. Ada yang menekankan pada sikap tradisi, kebebasan, emosional, teori, atau kepraktisan. Tidak dapat terelakkan bahwa interpretasi ajaran sang Buddha akan berbeda tergantung dari tingkat pendidikan, latar belakang kebudayaan, jaman, dan negara masing-masing individu. Dengan membandingkan kedua aliran tersebut, kita bisa melihat bahwa Buddhisme Theravada umumnya dilaksanakan di Asia bagian selatan seperti Thailand dan Srilanka, sedangkan Buddhisme Mahayana dilaksanakan di Tibet, Cina, Korea, dan Jepang. Dikatakan bahwa para bhiksu Theravada tinggal di biara-biara dan berlatih untuk keselamatan mereka sendiri. Mereka keluar untuk mencari makanan dari rumah para pengkutnya setiap pagi, karena para Bhiksu tidak diperbolehkan memproduksi atau memiliki sesuatu, termasuk makanan. Dalam Buddhisme Theravada, para pengikut awam tidak dapat mencapai Kebuddhaan tetapi dengan melayani para Bhiksu mereka bisa terlahir kembali di tempat yang lebih baik. Sebagai perbandingannya, Buddhisme Mahayana berawal
dari para pengikut awam yang tetap bersikeras bahwa mereka juga mungkin untuk mencapai Penerangan. Ada kemungkinan aliran ini didirikan setelah masa Kristen, dan peraturannya amatlah longgar bila dibanding Theravada. Diyakini bahwa Buddhisme Mahayana mendapat pengaruh yang amat besar dari para pedagang di Jalur Sutra pada abad pertama dan kedua setelah Masehi. Oleh sebab itulah, banyak sekali terdapat cerita mengenai para pedagang, pemburu harta, tabib, raja, orang kaya, serta pengemis dalam Saddharma Pundarika Sutra yang akan kita bahas belakangan. Para Bhiksu Theravada menjalankan peraturan dengan ketat, tetapi Bhiksu Mahayana terutama beberapa Bhiksu dari Jepang makan daging, minum arak, menikah, memiliki barang-barang pribadi, dan sebagainya seperti layaknya orang awam. Meski Bhiksu-Bhiksu Jepang menjalani pentahbisan, mereka tetap menjalani gaya hidup orang-orang awam. Semua sutra Mahayana menekankan pelaksanaan Bodhisattva yang mencari Penerangan bukan hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk orang lain. SUTRA-SUTRA MAHAYANA
A
da banyak sutra Mahayana, seperti Sutra Hati, Sutra Amida, Sutra Maha Vairocana, Sutra Cahaya Tak Terbatas, Saddharma Pundarika Sutra, dan Sutra Nirvana. Orang biasa akan bertanya-tanya manakah sutra yang baik dan manakah sutra yang terbaik. Mahaguru T’ien T’ai (538597) dari China mengungkapkan Lima Periode Ajaran sang Buddha. Menurut beliau, semua sutra dapat dikelompokkan kedalam kelima kategori tersebut tergantung dari isi masing-masing sutra. Pertama, sang Buddha membabarkan Ajaran Kegon selama 21 hari semenjak pencapaian Kesadaran Buddha, tetapi ajaran ini terlalu sulit dimengerti oleh orang awam. Kemudian sang Buddha membabarkan Ajaran Agon selama 12 12
tahun berikutnya (dari usia 30 hingga 42) dimana ajaran ini dapat dengan mudah dipahami oleh semua orang. Melihat bahwa orang-orang mampu mengerti tahap awal dari ajaranNya, sang Buddha membabarkan ajaran yang sedikit lebih tinggi tingkatannya selama 8 tahun (dari usia 42 hingga 50), yang disebut Ajaran Hoto. 22 tahun berikutnya (dari usia 50 hingga 72), sang Buddha memperkenalkan konsep “Ku” atau “Ketiadaan” dalam Sutra Hati. Dan dalam tahap akhir, selama delapan tahun terakhir sebelum kemokshaanNya, sang Buddha membabarkan Saddharma Pundarika Sutra. Nichiren Daishonin (12121282) telah membaca semua sutra Theravada dan Mahayana sebelum ia memperkenalkan Odaimoku, “Namu Myoho Renge Kyo”. Ia menyetujui konsep T’ien T’ai tentang Lima Periode Ajaran sang Buddha. Oleh karena itu, Saddharma Pundarika Sutra mengandung inti hakekat dari semua ajaran Buddha, yang Ia babarkan tanpa melihat apakah orangorang mampu mengerti ataukah tidak. Alasan lain kenapa Niciren memilih Saddharma Pundarika Sutra sebagai ajaran paling pokok diantara semua sutra lainnya adalah kalimat dalam Sutra Makna Tak Terbatas, sebuah sutra pendahulu Saddharma Pundarika Sutra, yang berbunyi, “Selama 40 tahun ini, Aku (Buddha Sakyamuni) belumlah membabarkan Kebenaran.” Kemudian, Saddharma Pundarika Sutra pun dibabarkanNya. Maka Nichiren memilih Saddharma Pundarika Sutra sebagai ajaran yang paling benar dari sang Buddha. KE-LIMA PERIODE AJARAN SANG BUDDHA
U
rutan dari Saddharma Pundarika Sutra dalam kaitannya dengan sutrasutra lain menurut Mahaguru T’ien T’ai (538 – 597). Waktu pembabaran ajaran oleh sang Buddha digolongkan menjadi lima periode, terhitung semenjak pertama kali Ia mencapai Kebuddhaan hingga akhirnya Ia memasuki Nirvana pada usia 80
No.005/ Pebruari 2005
bersama-sama dengan pengungkapan sutra-sutra yang lebih rendah dan yang unggul.
terbatas:”Selama empat puluh tahun terdahulu, Aku belumlah membabarkan Kebenaran”
1. Periode Kegon: Seusai mencapai Penerangan, sang Buddha membabarkan ajaran Kegon selama 21 hari. Akan tetapi, ajaran ini terlalu sulit dipahami oleh manusia biasa. Contoh: Sutra Kegon
2. Saddharma Pundarika Sutra: ”Orang-orang dari kedua kendaraan Sravaka atau Sho-mon dan Pratyekabuddha atau En-gaku dapat mencapai Penerengan dan konsep dari Buddha Kekal Abadi.”
2. Periode Agon: Sang Buddha membabarkan ajaran Agon selama 12 tahun berikutnya (dari usia 30 hingga 42), dimana ajaran ini dapat dimengerti oleh semua orang. (ajaran Theravada) Contoh: Sutra Agon, Sutra Hokku (Dharma Pada), Sutta Niparta, dll.
3. Sutra Boddhisatvva Fugen “Pentingnya Pertobatan.”
3. Periode Hoto: Delapan tahun seusai periode Agon (dari usia 42 hingga 50) dimana sang Buddha mengajarkan bahwa ajaranajaran Theravada adalah di bawah ajaran-ajaran Mahayana. Contoh: Sutra Yuima (Sutra Vimalakirti), Sutra Jodo (Sutra Tanah Suci), Sutra Konkomyo (Sutra Suvarnaprabhasottama-raja), Sutra Shiyaku ,dll. 4. Periode Hannya: 22 tahun berikutnya (dari usia 50 hingga 72) ketika sang Buddha memerintahkan agar orang-orang membuang ajaran satu-sisi dari Theravada and Mahayana sebagimana Ia memperkenalkan ajaran tentang “Ku” (Ketiadaan). Contoh: Sutra Dai Hannya (Sutra Hati Mulia) 5. Periode Hokke-Nehan: Delapan tahun terakhir (dari usia 72 hingga 80) sebelum kemokshaan sang Buddha. Karena pemahaman para pengikutnya telah cukup dalam, Buddha Sakyamuni membabarkan kebenaran pokok dibalik pencapaian kesadaran BuddhaNya. Contoh : Saddharma Pundarika Sutra dan Sutra Nirvana. TIGA BAGIAN SADDHARMA PUNDARIKA SUTRA
S
uatu kelompok yang terdiri dari tiga sutra sebagai berikut: 1.
Sutra
Makna
Tak
MAKNA DARI SADDHARMA PUNDARIKA SUTRA
S
addharma Pundarika Sutra merupakan nama Sansekerta dari Sutra Bunga Teratai, yang juga disebut sebagai Hukum Pokok dari Sutra Bunga Teratai. Bab 15 mengungkapkan tentang Saddharma Pundarika Sutra sebagai berikut: “Mereka tidaklah tercemar oleh keduniawian, seperti halnya bunga teratai tidak tercemar oleh air.” Bunga Teratai melambangkan kemurnian karena bunga teratai yang indah tidak pernah menjadi kotor akibat air berlumpur, sama halnya bahwa kita pun tidak boleh terpengaruh oleh lingkungan yang buruk. Seseorang tidak boleh menyalahkan orang lain atas kesalahan yang diperbuat mereka. Bunga Teratai juga melambangkan hukum sebabakibat, karena ketika bunga teratai mekar, ia telah mengandung biji di dalamnya. Bunga adalah sebab sedangkan bijinya adalah akibat, dan air, tanah, suhu adalah jodohnya. SHAKU-MON DAN HON-MON
S
addharma Pundarika Sutra terdiri dari 28 bab. Menurut Mahaguru T’ien T’ai dari Cina, 14 bab pertama disebut Shakumon, dimana Buddha Sakyamuni belum mengungkapkan jati diri sesungguhnya, tetapi tampil sebagai seseorang yang terikat oleh batasan ruang dan waktu. Di lain pihak, dalam 14 bab terakhir, disebut Honmon, Sang Buddha mengungkapkan jati diriNya, keberadaanNya di 13
masa lalu tak terbatas, sekarang, dan di masa depan yang kekal abadi. Bab Hon-mon secara khusus menekankan tentang pencapaian keselamatan bagi semua mahkluk setelah kemoksaan Sang Buddha. Dalam bab 16, "Jangka Waktu Hidup Sang Tathagata", Buddha Sakyamuni berkata, “Para dewa, manusia, dan asura di dunia mengira bahwa Aku, Buddha Sakyamuni, meninggalkan istana kaum Sakya, duduk di tempat Penerangan tak jauh dari kota Gaya, dan mencapai Kesadaran Buddha. Sesungguhnya, telah lewat ratusan, ribuan, jutaan nayuta kalpa semenjak Aku pertama kali menjadi Buddha.” Ia mengungkapkan keberadaan dari Buddha yang Kekal Abadi dalam bab 16. Shaku-mon adalah ajaran-ajaran dari Buddha dalam sejarah sedang Hon-mon adalah ajaran-ajaran dari Buddha Abadi. Ketika kita melihat Buddha sebagai mahkluk fisik yang lahir di India dan hidup selama 80 tahun, Ia adalah Buddha dalam sejarah. Tetapi ketika kita memandang Buddha sebagai mahkluk spiritual, Ia adalah Buddha Abadi karena ajaran-ajaranNya akan tetap ada selamanya. Secara lebih detail akan dibahas pada bab 16. SHAKU-BUTSU DAN HONBUTSU
S
haku-butsu adalah Buddha Sakyamuni sebagai seorang manusia dalam sejarah. Lihat Bab 16: “Para dewa, manusia, dan asura di dunia mengira bahwa Aku, Buddha Sakyamuni, meninggalkan istana kaum Sakya, duduk di tempat Penerangan tak jauh dari kota Gaya, dan mencapai Kesadaran Buddha.” P.241 of The Lotus Sutra. Hon-Butsu adalah Buddha Sakyamuni Buddha sebagai Buddha Pokok dan Abadi. Lihat bab 16: “Sesungguhnya, telah lewat ratusan, ribuan, jutaan nayuta kalpa semenjak Aku pertama kali menjadi Buddha.” P.241 of The Lotus Sutra. SELESAI. EDISI MENDATANG PEMBAHASAN BAB.I PENDAHULUAN
No.005 / Pebruari 2005
Bimbingan Oleh:
YM.Bhiksuni Myosho Obata
(Bhiksuni Pembimbing Indonesia)
SEJARAH TANGGA BODAITEI DI GUNUNG MINOBU
H
ari ini, saya akan menceritakan sebuah sejarah tentang tangga Bodaitei (di Kuil Kuonji, Minobu) yang mempunyai banyak anak tangga untuk menuju kepada pelataran utama. Tangga itu terdiri dari anak tangga yang berjumlah 287 anak tangga. Nama dari tangga ini adalah Bodai-tei, Bodai berarti “Mencapai Kesadaran Buddha” dan Tei berarti "Sebuah Tangga". Ketika kita berdiri di depan dasar tangga, kelihatan seperti sebuah tangga yang mencapai atau menuju ke surga. Tangga ini dibangun oleh seorang pengikut yang luar biasa pada tahun 1632. Beliau bernama Ninzo dan lahir di Pulau Sado, Provinsi Niigata. Nichiren Daishonin dibuang ke Pulau Sado selama tiga tahun, jadi disana terdapat banyak sekali pengikutNya. Ibu dari Ninzo juga adalah seorang pengikut yang bersemangat dari Nichiren Daishonin. Ia ingin pergi ke Gunung Minobu dalam sebuah pejalanan, jadi Ninzo membawa ibunya ke Gunung Minobu dengan cara mengendongnya. Ketika mereka berkunjung ke Gunung Minobu, mereka sangat gembira tetapi untuk dapat mendaki naik ke atas puncak adalah sangat berat. Ibunya berguman, “Jika disini terdapat sebuah tangga, ini akan sangat membantu orang banyak.” Beberapa tahun kemudian, ibunya meninggal dunia tetapi Ninzo tetap mengingat perkataan ibunya. Jadi Ia berkeinginan untuk membangun sebuah tangga di Gunung Minobu. Ia adalah seorang nelayan dan tidak mempunyai pendapatan
yang besar tetapi Ia bekerja keras untuk menyimpan sejumlah uang. Setelah sepuluh tahun kemudian, Ia telah berhasil menyimpan sejumlah besar uang dan pergi ke Gunung Minobu untuk menyumbangkan uang tersebut untukmembangun tangga. Sebelum berkunjung ke Gunung Minobu, Ia tinggal di sebuah penginapan d i d e k a t Minobu. Tetapi, penginapan itu telah tutup namun untunglah ia masih bisa menginap disana. Ia sangat heran kenapa kota ini Tangga Bodaitei di Gunung Minobu, tangga ini terdiri dari 287 anak sangat suram tangga, yang menjulang sampai ke pelataran utama Kuil Kuon-Ji dan menderita. Kemudian ia bertanya kepada penjaga mereka dari penderitaan. Saya penginapan mengenai hal ini. Penjaga akan memberikan uang saya untuk penginapan berkata, “Kota ini menyelamatkan mereka. Para sedang dilanda kelaparan. Banyak Buddha, Nichiren Daishonin dan ibu penduduk yang meninggal setiap saya pasti setuju dengan saya.” Jadi hari.” Setelah Ninzo mendengar Ia menyumbangkan uangnya kepada hal itu, Ia berpikir,” Ajaran Buddha penduduk yang sedang menderita mengajarkan untuk menyelamatkan tersebut. Ia ingin kembali ke tempat seluruh umat manusia. Sekarang tinggalnya dan bekerja keras lagi saya harus dapat menyelamatkan untuk sepuluh tahun mendatang.
14
No.005/ Pebruari 2005
Suatu hari, ketika ia sedang menangkap ikan di laut, ia melihat sesuatu berkilauan di atas sebuah gunung. Ia cemas mengenai cahaya itu, takut akan bahaya api dan mendaki gunung tersebut keesokan harinya. Ketika ia sampai ditempat sumber cahaya tersebut, ia sungguh terkejut melihat apa yang ia temukan. Itu adalah emas. Segera ia mengambil emas tersebut, Ia ingin pergi ke Gunung Minobu dan kemudian kembali tinggal di tempat penginapan yang sama. Ketika penjaga penginapan itu melihat Ninzo, Ia bertanya,” Sepuluh tahun yang lalu, seorang lelaki menyelamatkan kota ini. Bukankah lelaki itu adalah kamu?” Ninzo menjawab, “Ya”, kemudian penjaga penginapan itu pergi ke kota untuk memberitahukan penduduk bahwa orang yang menyelamatkan kita sedang tinggal di penginapannya. Banyak orang berdatangan ke penginapan dan memberikan rasa
penghormatan kepada Ninzo. Pada waktu itu, mereka tahu bahwa uang itu adalah untuk membangun sebuah tangga. Mereka semua berkata kepada Ninzo,” Kami ingin membantumu. Sekarang kami akan membayar kembali budi yang telah kamu berikan.” Keesokan harinya, Ninzo mulai membangun tangga tersebut. Banyak orang membantunya dan pembangunan tangga itu selesai lebih cepat daripada yang direncanakan. Nichiren Daishonin mengajarkan kepada kita dalam Itai Do Shin, “Segala sesuatu adalah mungkin, jika semua orang bersatu dalam sebuah semangat. Tidak ada sesuatu yang dapat dicapai, jika mereka tidak bersatu.” Ajaran yang sama juga terdapat dalam ajaran Bukan Buddhis. Sebagai contoh, Raja Chieh dari Dinasti Yin di China kuno, yang mempunyai 700.000 tentara yang tidak bersatu dalam semangat, dikalahkan oleh Raja Wu
dari Dinasti Chou dengan tentaranya yang berjumlah 800 orang, yang bersatu dalam sebuah semangat. Tidak ada sesuatupun yang dapat tercapai jika seseorang mempunyai dua pikiran, begitu juga jika terdapat ratusan atau ribuan orang, jika mereka bersatu, mereka pasti akan mencapai tujuan yang diinginkan. Tangga di Gunung Minobu ini memberikan kepada kita nilai dari sebuah kerjasama, menyumbang dan membalas budi terhadap sebuah kebaikan. SELESAI
Seri Pelajaran Mahayana
EMPAT KEBENARAN MULIA
S
esudah Sang Buddha mengalami Pencerahan Sempurna dimana baru saja mengalami batin yang luhur, keleluasan dan kebajikan diri sejati, maka Beliau merasakan sangat sukar untuk dapat mengungkapkan pengalaman batinNya tersebut kepada pihak lain yang tidak akan bisa mengerti. Kemudian Sang Buddha berpikir, “Bagaimana seandainya aku hidup menghormati dan memuja AjaranKu sendiri yang telah kupahami sendiri?” Beliau terus merenung akan keraguan orang lain yang masih dikuasai oleh keserakahan dan kebencian dapat menyerap AjaranNya yang berjalan menentang arus, yang sulit dimengerti, mendalam, sukar dirasakan dan halus. Namun dalam keraguanNya itu, muncullah di hadapan Beliau,
Brahma Sahampati dari alam Brahma dan memohon kepadaNya, “Bangkitlah, O Pahlawan, pemenang dalam pertempuran, pemimpin iringiringan, Yang bebas dari hutang, dan berkelana di dunia! Biarlah Yang Mulia mengajarkan Dharma. Akan ada yang mampu memahami Dharma.” Dengan kebijaksanaanNya yang tinggi, Sang Buddha memeriksa dunia, Beliau melihat makhluk dengan sedikit dan banyak debu di mata mereka, dengan kecerdasan yang tajam dan tumpul, dengan sifat yang baik dan buruk, makhluk yang mudah dan makhluk yang sulit untuk diajarkan Dharma, dan ada sedikit yang memandang kejahatan dan kehidupan setelah ini dengan ketakutan, kemudian Beliau menyapa Brahma Sahampati, “Terbukalah bagi mereka Pintu menuju keabadiaan. 15
Biarlah mereka yang mempunyai telinga bersandar pada keyakinan. Sadar akan adanya kebosanan, O Brahma, Aku tidak mengajar di antara manusia, Dharma yang indah dan hebat.” Setelah menerima permintaan untuk mengajarkan Dharma berulang kali dari Brahma Sahampati, maka akhirnya Sang Buddha berpikir kepada siapa harus dimulai tugas agung pertama Beliau tersebut. Kemudian Beliau bermaksud mencari lima pertapa (Kondanna, Bhaddiya, Vappa, Mahanama dan Assaji) yang pernah menemaniNya dulu dalam cara pertapaan menyiksa diri. Setelah tiba di Taman Rusa di Benares, maka dengan penampilan Beliau yang demikian hebat telah memaksa ke lima pertapa untuk memberikan penghormatan. BERSAMBUNG....
No.005 / Pebruari 2005
RIWAYAT HIDUP ENAM MURID UTAMA NICHIREN SHONIN (Bag.2)
NIKKO SHONIN (1246-1333)
N
ikko (1246-1333) bertemu dengan Nichiren Shonin di kuil Jissoji pada tahun 1257. Pada saat itu Nichiren Shonin sedang merampungkan Rissho Ankoku-ron. Belakangan, Nikko memiliki banyak pengikut di propinsi Suruga, Kai, dan Izu. Nichiji, salah satu dari Enam Murid Utama, awalnya merupakan murid Nikko sebelum akhirnya menjadi pengikut utama dari Nichiren Shonin. Peristiwa Penganiayaan Atsuwara pada tahun 1279 ditujukan kepada para pengikut Nikko di propinsi Suruga. Setelah wafatnya Nichiren, ke-enam Murid Utama beserta duabelas bhiksu pemula mengambil tugas tanggung jawab merawat makam Nichiren di Gunung Minobu dengan menggunakan sistem rotasi (Rinban). Dari keduabelas pengikut pemula tersebut, delapan diantaranya merupakan murid langsung dari Nikko. Pada bulan September 1285, Nikko mendirikan kediaman tetapnya di Gunung Minobu karena sistem rotasi mengalami kegagalan. Para Murid Utama lainnya
tinggal di daerah yang jauh dan mengalami banyak kesulitan untuk mempertahankan komunitas mereka akibat penganiayaan yang dilakukan oleh pemerintah. Nanbu Sanenaga, penguasa di Hakii, telah menganggap Nikko sebagai kepala Bhiksu Kuil Kuonji di Gunung Minobu. Akhirnya pada tahun 1285, Niko datang ke Gunung Minobu untuk membantu Nikko. Sayangnya, hubungan mereka dengan segera berubah menjadi buruk akibat sikap Nikko yang kaku dan Niko yang terlalu fleksibel. Jadi ketika Hakii ingin mendirikan sebuah rupang Buddha Shakyamuni untuk kuil di kediamannya. Nikko berpendapat bahwa rupang tersebut hendaknya disertai dengan Empat Bodhisattva Agung dari bagian pokok Saddharma Pundarika Sutra sebagai perlambang dari Buddha Shakyamuni Abadi. Sedang Niko mengatakan bahwa dengan meletakkan Saddharma Pundarika Sutra di depannya telah mencukupi. Di kesempatan lain, Hakii memberikan persembahan di kuil Mishima. Nikko berkeberatan dengan hal ini sebab menurut Rissho Ankoku-ron, dewa-dewi Shinto telah meninggalkan negara Jepang akibat dari penganiayaan terhadap Saddharma Pundarika Sutra. Akan tetapi Niko berpendapat bahwa dewadewi pasti akan melindungi pelaksana Saddharma Pundarika Sutra dan bahwa Nichiren sendiri pun telah berdoa kepada mereka. Dalam setiap kasus, Niko selalu mendukung Hakii, sedangkan Nikko menentangnya. Pada akhirnya, karena merasa tidak lagi diterima Nikko memutuskan untuk pulang ke rumah ibunya di Fuji, Ueno pada tanggal 5 Desember 1288. 16
Pada tahun 1290, penguasa di Ueno, Nanjo Tokimitsu, mendirikan kuil Taisekiji di Oishigahara untuk Nikko. Nanjo Tokimitsu merupakan paman dari salah seorang murid Nikko, Nichimoku. Pada tahun 1291, Nikko pindah ke kota Omosu di Kitayama dimana ia mendirikan Kuil Honmonji pada bulan Februari 1298 dengan bantuan dari Nitcho. Dia menghabiskan sisa hidupnya di kuil ini, dan garis keturunannya dikenal sebagai garis keturunan Fuji. Nikko menunjuk dua kelompok Enam Murid Utama untuk menggantikan dia setelah kematiannya. Kelompok pertama terdiri dari: Nikke, Nichimoku, Nisshu, Nichizen, Nissen, dan Nichijo. Kelompok kedua terdiri dari: Nichidai, Nitcho, Nichido, Nichimyo, Nichigo, dan Nichijo.
Altar di Kuil Kitayama Honmonji didirikan oleh Nikko Shonin, Ia meninggal disini. Kuil ini bagian dari Nichiren shu
No.005/ Pebruari 2005
NISSHO SHONIN (1221-1323)
P
ada tanggal 8 Oktober 1282 di kediaman Munenaka Ikegami, Nichiren Shonin menunjuk ke-Enam Murid Utama (Roku Roso) untuk melanjutkan usahanya setelah Beliau wafat. Ke-Enam orang ini adalah Nissho (1221-1323), Nichiro (1245-1320), Nikko (1246-1333), Niko (1253-1314), Nitcho (12521317), dan Nichiji (1250-1305?). Nissho (1221-1323) sebelumnya merupakan sesama murid dengan Nichiren Shonin ketika belajar di Gunung Hiei. Meski setahun lebih tua, ia begitu terkesan dengan Nichiren Shonin sehingga bergabung menjadi pengikutnya di Kamakura ketika Nichiren pertama kali berceramah disana pada tahun 1253. Dikatakan bahwa Nissho diadopsi oleh Kanoye Kanetsune, pemimpin ketiga dari keluarga Kanoye, sebuah keluarga bangsawan di Kyoto. Hubungan ini kelak akan mempunyai arti penting dalam penyebarluasan Buddhisme Nichiren. Setelah peristiwa Tatsunokuchi, Nissho mendirikan kediamannya di Hama, Kamakura. Pada tahun 1284, pertapaan Hamado berubah menjadi Kuil Hokkeji. Karena garis keturunan Nissho pertama kali berasal dari Hama, maka dikenal pula dengan sebutan garis keturunan Hama. Pada tahun 1317, Nissho menyerahkan Kuil Hokkeji kepada muridnya, Nichiyu. Kuil Hokkeji kemudian dipindahkan ke Tamazawa, Izu pada tahun 1621 dan berganti nama menjadi Kuil Myohokkeji. Nissho dan keponakannya, Nichiro, mengalami masa-masa yang amat sulit di Kamakura setelah wafatnya Nichiren Shonin. Pada tahun 1284, Nissho menyerahkan versi Rissho Ankoku-ron yang telah direvisi
Kuil Ko-en-zan Jissoji, didirikan tahun 1282 oleh Nissho Luas Kuil 4.000M3 terletak 1200 meter dari stasiun Kamakura
kepada kaum Shogun di Kamakura. Versi yang baru ini menambah dalam kritik Nichiren atas pemfitnahan yang dilakukan oleh sekte Shingon dan Tendai. Seperti halnya tulisan asli Nichiren Shonin terdahalu, versi yang ini pun memicu kericuhan, yang berusaha membakar pertapaan Hamado. Nissho menenangkan mereka dengan mengatakan bahwa sesungguhnya ia adalah pendeta Tendai yang setia yang hanya berusaha merombak Buddhisme Tendai. Nissho dan Nichiro sekali lagi menggunakan alasan yang sama bahwa mereka hanyalah orang-orang yang ingin merombak sekte Tendai dan bukannya mencoba mendirikan sekte baru yang ilegal pada saat Menteri Perang Yoritsuna sekali lagi mencoba menekan Buddhisme Nichiren pada tahun 1285. Menteri Perang Yoritsuna menuntut agar mereka bergabung dengan sekte-sekte lain pada saat dilakukan upacara mendoakan kedamaian bagi keluarga Hojo yang mengontrol para shogun di Kamakura. Untuk melindungi komunitas Buddhis Nichiren yang baru saja terbentuk di Kamakura, Nissho dan Nichiro 17
melunak dan bersedia berpartisipasi dalam upacara tersebut. Meski mereka sempat mengajukan petisi untuk mengadakan debat dengan sekolah-sekolah lain. Nissho dan murid-muridnya mungkin saja memang menganggap diri mereka sebagai orang-orang yang ingin merombak sekte Tendai. Garis keturunan Hama tetap mempertahankan hubungan baiknya dengan sekolah Tendai untuk jangka waktu yang lama, dan bahkan mengutus murid-muridnya ke Gunung Hiei untuk mempelajari filosofi Tendai dan bahkan menerima pentahbisan mereka. Nissho juga mendirikan kuil Myohoji di Nase, Sagami pada tahun 1306. Kuil ini diserahkan kepada murid Nissho, Nichijo pada tahun 1307. Kuil Myohoji kemudian dipindahkan ke Murata, Echigo ketika donatur utamanya, Nobuaki Kazama pindah kesana. BERSAMBUNG
No.005 / Pebruari 2005
Seri Pengenalan Kuil-Kuil Nichiren Shu
(Menjelajahi Kuil-kuil Nichiren Shu di seluruh Jepang dan Dunia) Oleh: Sidin Ekaputra,SE
KUIL ISHII-ZAN CHOSHO-JI • • • • • • • • • • • • • •
Nama resmi: Kuil Ishii-zan Chosho-ji Sekte: Nichiren Shu, Buddhisme Didirikan pada tahun: 1263 oleh: Nagakatsu Ishii Bhiksu pendiri: Nichiren Objek di Altar Utama: Rupang Nichiren Shonin dan Sanbo honzon Alamat: 12-17, Zaimokuza 2-chome, Kamakura, Kanagawa 248-0013 Luas Kuil: 3,300 meter persegi Lokasi: 1,100 meter selatan dari stasiun kereta Kamakura Waktu yang diperlukan untuk ketempat ini: 20 menit Biaya masuk: Gratis Waktu Buka: 9:00-17:00 Acara Besar: Daikoku To-e pada tanggal 11 pebruari No Telepon: 0467-25-4300 Ruang Istirahat: Tersedia
Lima Rupang Perunggu, dihalaman depan Kuil Choshoji, tengah adalah rupang Nichiren Shonin, dikelilingi oleh rupang Empat Raja Langit di ke-empat penjuru
Ringkasan Sejarah
N
agakatsu Ishii, pendiri kuil adalah seorang bangsawan tuan tanah didaerah ini dan seorang pengikut awam yang sangat setia Nichiren, ( 1222-1282),
pendiri sekte Nichiren Buddhism. Ketika Bhiksu Nichiren kembali ke Kamakura pada tahun 1263 setelah selesainya hukuman pembuangan di semanjung Izu { e-zoo}, Ishii dengan ramah mengakomodasi Beliau untuk bertempat tinggal di kediaman 18
miliknya, yang mana kemudian hari diperluas menjadi sebuah kuil dengan nama Kuil Honkokuji. Bagaimanapun, Kuil Honkokuji kemudian dipindahkan ke Kyoto pada tahun 1345 atas permohonan Takauji Ashikaga { tah-kah-woo-gee ah-she-kah-gah} ( 1305-1358), orang yang membangun pemerintahan Ashikaga Kyoto. Adalah Bhiksu Nissei ( 1289-1369), seorang pengikut Nichiren yang penting, yang telah merekonstruksi Kuil Honkokuji tersebut ditempatnya sekarang ini. Nama Kuil Chosho-ji’ ditempatkan setelah nama pertama dari tuan Ishii’s ‘ Nagakatsu’, yang dapat juga disebut ‘Chosho’ di dalam bahasa China. Itu yang dapat kita saksikan pada hari ini. Sama halnya seperti Kuil Myohoji dan Ankokuronji di dalam daerah yang sama, Kuil Choshoji juga mengakui diri sebagai tempat tinggal Nichiren di Kamakura semasa Beliau tinggal didaerah ini, meskipun demikian berbagai arsip mencatat hal yang
No.005/ Pebruari 2005
berbeda.
•
Lima Rupang Perunggu
Y
ang berdiri di halaman kuil adalah lima patung perunggu yang sangat indah. Dikeliling oleh Empat Raja Langit dengan jarak 4 meter dan ditengahtengahnya terdapat patung Nichiren. Dibuat pada tahun 1922 oleh Ko-un Takamura ( 1852-1934), seorang pemahat yang terkenal pada abad 20, sebagai bentuk penghargaan atas gelar yang diperoleh Nichiren dari kerajaan sebagai “Rissho Daishi” dengan bentuk Nichiren yang sedang berpidato dan mengarah ke jalan sibuk di Kamakura. Pada awal terletak diatas sebuah bukit dibelakang aula utama yang menghadap ke timur, kearah kota kelahiranNya di daerah Chiba. Dengan angin laut sepoisepoi yang bertiup, sebelum akhirnya dipindahkan ke lokasi sekarang ini pada tahun 1982. Ke Empat Raja Langit dipercaya untuk melayani dan melindungi Taishakuten, atau Sakra devanam Indra didalam bahasa Sansekerta, dan berada di pertengahan Gunung Semeru dialam semesta. Masing-masing dewa mempunyai tugas untuk menjaga dari segala pengaruh jahat, sebagai berikut: • Jikokuten atau Dhrtarastra; pelindung sebelah timur
•
•
Komokuten atau Virupaksa; pelindung sebelah barat Zochoten atau Virudhaka; pelindung sebelah selatan Tamonten atau Bishamonten atau Vaisravana; pelindung sebelah utara
Namun di Kuil ini, ke Empat Raja Langit melayani dan menjaga Nichiren Shonin, yang menghadap ke arah selatan, dan sementara itu, patung Empat Raja Langit berdiri searah jarum jam Zochoten, Komokuten, Tamonten and Jikokuten. Semua dilengkapi dengan segala macam persenjataan. Aula Taishakudo
D
ibagian belakang ke-lima patung perunggu dihalaman kuil terdapat sebuah bangunan beton yang sangat bagus yang disebut Taishaku-do. Legenda mengatakan bahwa ketika Nichiren diserang oleh para pengikut sekte Buddhis lain pada tahun 1260, seekor monyet putih mendekatinya dan membantu dia untuk melarikan diri. Nichiren percaya bahwa monyet itu adalah utusan yang dikirimkan oleh Taishakuten untuk membantu dia. Karena itulah, rupang Taishakuten diabadikan di aula Taishaku-do sebagai dewa pelindungnya. Ditengah-tengah ruang aula itu terdapat rupang Nichiren dan sepasang monyet putih 19
yang memegang tangannya didepan sebuah Taho-to yang sangat besar, atau ratna-stupa. Aula Hokke-do
L
ima langkah sebelah kiri dari halaman depan terdapat sebuah bangunan tua, aula Hokke-do atau Soshido berukuran sembilan meter persegi atau disebut juga Aula Pendiri Kuil. Aula Hokkedo diperuntukan untuk tempat membaca Saddharma Pundarika Sutra dan untuk mengingat bhiksu pendiri kuil. Aslinya, dibangun pada masa Muromachi Periode ( 1336-1573) dengan model mengikuti gaya arsitektur China dan meskipun tetap memelihara bentuk aslinya. Aula utama kuil ini, adalah sebuah aset budaya yang sangat penting bagi pemerintah daerah Kamakura. Diatas altar terdapat rupang Nichiren dan dibelakangnya terdapat Stupa Odaimoku, rupang Buddha Sakyamuni dan Buddha Prabhutaratna seperti yang biasa kita lihat dikuil-kuil Nichiren Shu lainnya. Aula ini mempunyai aset berharga dan bersejarah seperti: • Waniguchi, adalah sebuah gong bulat yang mengantung ditiang atap didepan sebuah kuil atau tempat suci. Waniguchi adalah sebuah alat dipukul untuk mengeluarkan bunyi. Sebuah tali yang besar
No.005 / Pebruari 2005
dengan jalinan kain mengantung dipertengahannya mengelilinginya. Ini dipukul untuk menarik perhatian para dewa. Waniguchi ini terbuat dari tembaga. • Kakeban, adalah sebuah meja makan. • Shokudai adalah sebuah tempat lilin. Upacara Tahunan
P
ada tanggal 11 pebruari setiap tahunnya (liburan: Hari Pendirian Nasional:: Daikoku To-E atau disiplin keras. Selama 100 hari yang mulai tanggal 1 nopember setiap tahun, para bhiksu muda Nichiren Shu melakukan upacara yang sangat keras, berkumpul disebuah kuil di kota Ichikawa, daerah Chiba dan memulai upacara untuk mensucikan diri mereka dengan sebuah upacara pembersihan, makan hanya makanan sayuran dan melaksanakan pelatihan siang dan malam. Acara ini sungguh berat dengan hanya satu tujuan keagamaan. Sekitar 150 bhiksu muda dari seluruh negara mengikuti
program ini. Pada hari musim dingin, mereka bangun pada jam 2:30 am dan melakukan upacara pembersihan diri dengan mandi air dingin sebanyak tujuh kali sehari sebelum akhirnya kembali tidur pada jam 11:00 p.m. Dengan latihan yang keras dan makanan sederhana ( hanya dua kali sekali, umumnya makan bubur beras dan sup miso), sedikitnya mereka kehilangan berat badan sebanyak 10 kg pada akhir latihan. Pada hari terakhir pada tanggal 11 Pebruari, beberapa diantara mereka datang ke kuil dengan mengunakan kereta dari Chiba ke Kamakura, dan kemudian berjalan kaki, dan mereka akan menyelesaikan upacara 100 hari pensucian diri dengan menuangkan air dingin diatas diri mereka sendiri pada jam 12:30 p.m., mereka hanya mengunakan celana dalam putih. Salah satu peristiwa yang terkenal pada musim dingin di Kamakura. Para bhiksu Nichiren tidak diijinkan untuk melakukan perlayanan sebelum mereka menyelesaikan pelatihan ini. SELESAI.
Catatan Redaksi: Buletin Lotus Edisi 006 Bulan Maret 2005, akan terbit dengan halaman berwarna, terutama halaman aneka peristiwa dan sampul depan. Hal ini dilakukan dengan cara foto copy berwarna. Oleh karena mulai edisi mendatang akan ditetapkan biaya penganti cetak.
PENGUMUMAN Mulai Pebruari 2005, bagi anda yang ingin memberikan Dana Paramita untuk Yayasan Buddhis Nichiren Shu Hokekyo Indonesia, atau Cetya Pundarika, Sunter dapat melakukannya melalui Transfer Bank dengan data sebagai berikut:
Bank Central Asia (BCA) KCP.Muara Karang No.Account : 637-012-8152 A/N: Nichiren Shu Hokekyo Indonesia
20
Topik Utama:
~Kesadaran Buddha Bagi Kaum Wanita, Hal. 01
Gosho / Goibun:
~Sandai Hiho Honjo-ji, Hal.07
Serba Serbi: ~Seri Pengenalan Saddharma Pundarika Sutra, Hal.11 ~Riwayat Hidup Enam Murid Utama Nichiren Shonin, Hal.16 ~Seri Pengenalan Kuil-Kuil Nichiren Shu, Hal.18 ~Seri Pelajaran Mahayana: Empat Kebenaran Mulia, Hal.15
Ceramah :
-Sejarah Tangga Bodaitei di Gunung Minobu Hal.14
Alamat Redaksi :
Apartemen Permata Surya I Blok.A No.201, Cengkareng - Jakarta Barat Telp.081311088060 Email:
[email protected] Website: www.nshi.org Redaksi menerima segala macam bentuk sumbangan baik berupa artikel, dana materi dan bantuan terjemahan. Segera hubungi redaksi dialamat dan email diatas. gassho, Namu Myoho Renge Kyo