ANALISA PENGARUH TAREKAT RIFA’IYAH TERHADAP KEAGAMAAN DI BANTEN ABAD KE-19
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)
Oleh: YANTI SUSILAWATI (1111022000051)
JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/2015 M
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan menjawab pertanyaan mengenai apa amalan yang terdapat dalam tarekat Rifa’iyah dan bagaimana pengaruh tarekat Rifa’iyah terhadap keagamaan di Banten. Di mana amalan dan ajaran tarekat Rifa’iyah berhasil masuk ke dalam relung tradisi keagamaan Banten yang sebelumnya telah mengakar kuat. Metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode yang biasa digunakan dalam penelitian sejarah pada umumnya, yaitu: heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Penulis melakukan pengumpulan data melalui metode kepustakaan dan wawancara. Selain itu, untuk menguatkan analisa dalam skripsi ini, penulis menggunakan pendekatan sosial dan keagamaan. Dalam penelitian ini penulis menemukan fakta-fakta terkait amalan tarekat Rifa’iyah diantaranya: pertama, Dzikir dan amalan (al-Fatihah), kedua, Wirid dan do’a Al-Qur’an untuk pengobatan dan kekebalan dari benda tajam dan tahan terhadap panas api, ketiga, Munajat Rifa’i, dan keempat, Shalawat Nabi. Amalan tersebut terangkum dalam satu aktivitas yang dinamakan kesenian debus. Sehingga dapat dikatakan debus merupakan wujud dari terkat Rifa’iyah. Adapun pengaruh tarekat Rifa’iyah di Banten dibagi dalam tiga kategori: pertama, munculnya pemimpin muslim yang diwakilkan oleh kiyai dan jawara. Dimana kiyai ini memberikan suatu corak baru di Banten, ditandai dengan adanya kiyai hikmah dan guru tarekat. Sedangkan Jawara sebagai sebuah transformasi tradisional dapat memunculkan kepemimpinan tradisional debus. kedua, kategori institusi yakni pesantren yang mana mengajarkan suatu tarekat. Dan ketiga, yaitu tradisi sendiri dijadikan sebagai ritual lokal (debus). Kata Kunci: Amalan, Banten, Debus, Keagamaan, Tarekat Rifa’iyah.
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan petunjuk dan kasih sayang-Nya kepada hamba-Nya yang selalu bersyukur. Shalawat beriring salam selalu terlimpah curahkan kepada baginda alam yakni Nabi besar kita Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat dan para pengikutnya hingga akhir zaman. Syukur Alhamdulillah dengan do’a dan usaha akhirnya penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik, walaupun tentunya banyak hambatan dan rintangan yang senantiasa menanti silih berganti. Penulis menyadari skripsi yang berjudul “Analisa Pengaruh Tarekat Rifa’iyah Terhadap Keagamaan Di Banten Abad ke-19”, ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dari semua pihak, baik dukungan moril maupun materil. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terimakasih yang sebesarbesarnya kepada: 1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Prof. Dr. Sukron Kamil, MA, selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. H. Nurhasan, MA, selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Solikhatus Sa’diyah, M.Pd, selaku sekeretaris Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam yang dengan sabar memberikan pelayanan terkait administrasi yang penulis butuhkan.
ii
5. Dr. Saiful Umam, MA, selaku dosen pembimbing skripsi, yang dengan sabar memberikan arahan, kritik dan saran, terutama kesediaan waktunya dalam membimbing, sehingga penulis dapat menyelasaikan skripsi ini dengan baik. 6. Dr. H. Abd. Wahid Hasyim, M.Ag, selaku Dosen Penasehat Akademik yang telah memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis selama perkuliahan. 7. Prof. Dr. M. Dien Madjid, selaku dosen penguji I, terimakasih atas masukan dan arahannya. 8. Drs. Saidun Derani, MA, selaku dosen penguji II terimakasih telah memberikan arahan dan motivasi yang berharga kepada penulis hingga penulis mampu menyelesikan penulisan skripsi ini dengan baik. Kemudian keterlibatan beliau terutama dalam memberikan rujukan sumber-sumber yang berkaitan dengan skripsi ini. 9. Dr. Jajat Burhanuddin, MA, yang telah memberikan arahan dan kontribusi dalam penulisan skripsi ini. 10. Bapak dan Ibu Dosen, yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama perkuliahan. 11. Karyawan/Karyawati Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora yang telah memberikan pelayanan dan menyediakan fasilitas dalam penulisan skrispi ini. 12. Kepada Bapak Tubagus Najib Al-Bantani, Abah Yadi dan bapak Maheri, yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan informasi. 13. Orang tua tercinta, ayahanda Jamani dan ibunda Samunah yang tiada hentinya memberikan do’a, nasehat dan kasih sayangnya. Penulis mengucapkan iii
terimakasih yang tulus. Semoga Allah selalu memberikan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Amin. 14. Kakak tercinta Aa Udin dan Aa Iwan dan Ecih, yang selalu memberikan do’a dan dukungan kepada penulis agar terus melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya. Serta kepada keluarga besar dari ayah dan ibu, terimakasih atas do’anya don keponakan tersayang (Agam, Aji, Eza, Ezi, Arif, Erika, Arya). 15. Kepada Guru-guru MAN Kragilan terutama Bapak AM. Masruri Syihabudin yang telah memberikan dukungan kepada penulis untuk tetap melanjutkan ke bangku perkuliahan hingga sampai ke Almamater tercinta UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 16. Kepada Teh Tati Rohayati, S.Hum, yang telah memberi motivasi dan membimbing. Dan kepada teman-teman MAN Kragilan terutama (Nita Adiyati, Ika Yulita, Iim Rosadi, Didi Nahtadi, Dian Nurhayani, Vivi Selvia Herlina, Rohita, Rizki) yang selalu memberikan semangat dan dukungan kepada penulis. Terimakasih juga kepada M. Fathullah yang telah mengantar penulis dalam melakukan (wawancara). 17. Kawan-kawan SKI seperjuangan angakatn 2011 terimakasih atas motivasi dan kerjasamanya, terutama kepada Dirga Fawakih yang telah memberikan motivasi dan arahan kepada penulis, serta Mulki, Amanah, Sulastri, Siti Rahmawati, yang selalu berjuang dalam pencarian sumber. 18. Segenap keluarga Besar Bidikmisi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan 2010, 2011, dan 2012, yang selalu berjuang demi tercapainya cita-cita.
iv
Semoga Allah SWT selalu membalas segala amal baik kepada pihak yang membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi lebih baiknya skripsi ini. Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Jakarta, 10 Juli 2015
Yanti Susilawati
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK .....................................................................................................
i
KATA PENGANTAR ...................................................................................
ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ..................................................................
viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ....................................................................................
1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ............................................................
6
C. Tujuan Penelitian ................................................................................
7
D. Manfaat Penelitian ..............................................................................
7
E. Tinjauan Pustaka .................................................................................
8
F. Metode Penelitian ................................................................................
11
G. Sistematika Penulisan .........................................................................
13
BAB II KONDISI UMUM MASYARAKAT BANTEN A. Geografi dan Struktur Masyarakat Banten ..........................................
14
B. Perkembangan Kesultanan Banten ......................................................
18
C. Kondisi Masyarakat Banten Secara Umum ........................................
24
D. Perkembangan Tarekat di Banten .......................................................
31
BAB III SEJARAH DAN PERKEMBANGAN TAREKAT RIFA’IYAH DI BANTEN ABAD KE-19 A. Tarekat Rifa’iyah di Banten (Profil, Sosial Historis) ...........................
35
B. Tarekat Rifa’iyah Dalam Budaya Banten ...........................................
39
C. Ajaran-Ajaran Tarekat Rifa’iyah .........................................................
41
vi
D. Wirid dan Amalan Tarekat Rifa’iyah ..................................................
46
E. Wirid Sebagai Pengobatan ..................................................................
56
BAB IV ANALISA PENGARUH TAREKAT RIFA’IYAH TERHADAP KEAGAMAAN DI BANTEN ABAD KE-19 A. Kiyai ..................................................................................................
60
B. Jawara ...............................................................................................
66
C. Pesantren ...........................................................................................
68
D. Tradisi Lokal .....................................................................................
70
1. Tradisi Debus Banten .....................................................................
70
2. Ritual Permainan Debus .................................................................
72
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan .........................................................................................
77
B. Saran ....................................................................................................
78
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
79
LAMPIRAN ...................................................................................................
85
SURAT PENELITIAN
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-INDONESIA Berikut adalah daftar aksara Arab dan padannya aksara latin: Huruf Arab
Nama
Huruf latin
ا ب ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص ض ط ظ ع
Alif Ba‟ Ta‟ Tsa‟ Jim Ha‟ Kha‟ Dal Dzal Ra‟ Za‟ Sin Syin Shat Dlad Tha‟ Dzha‟ „ain
Tidak dilambangkan B T Ts J H Kh D Dz R Z S Sy Sh D Th Z „
غ ف ق ك ل م ن و هـ ء ي Vokal
Ghain Fa‟ Qaf Lam Mim Nun Wau Ha‟ Lam alif Hamzah Ya
Gh F Q K L M N W H „ Y
Keterangan Tidak dilambangkan Be Te Te dan es Je H (dengan garis di bawah) Ka dan ha De De dan zet Er Zet Es Es dan ye Es (dengan garis di bawah) De (dengan garis di bawah) Te (dengan garis di bawah) Zet (dengan garis di bawah) Koma terbalik di atas hadap kanan Ge dan ha Ef Ki Ka El Em En We Ha Apostrof Ye
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
viii
TANDA VOKAL ARAB
TANDA VOKAL LATIN
KETERANGAN
ـــَــ A Fathah ـــِــ I Kasrah ــــُــ U Dammah Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut: TANDA VOKAL ARAB
TANDA VOKAL LATIN
KETERANGAN
ـــَـــ ي ـــَـــ و Vokal Panjang:
Ai au
a dan i a dan u
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab di lambangkan dengan harakat dah huruf, yaitu: TANDA VOKAL ARAB
TANDA VOKAL LATIN
KETERANGAN
ـــَا ـــ ِ ْي ْـــُو Kata Sandang:
â î ŭ
a dengan topi di atas i dengan topi di atas u dengan topi di atas
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu ال, dialihaksarakan menjadi huruf /I/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan addîwân. Syaddah (Tasydîd) Syaddah atau Tasydid yang dalam sistem tulisan arab dilambangkan dengan tanda ) (ـــّـــdalam alih aksara dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang َّ ”الtidak di tulis yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya kata “ضرُوْ َرة ad-darŭrah melainkan al-darŭrah, demikian seterrusnya. Ta Marbutah Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbŭtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/. hal
ix
yang sama juga berlaku jika ta marbŭtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t). namun, jika huruf ta marbŭtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/. NO.
KATA ARAB
ALIH AKSARA
1.
طريقة
Tarîqah
2.
الجامعة اإلسالمية
Al-jămi‟ah al-islămiyyah
3.
وحدة الوجود
Wahdah al-wujŭd
Huruf Kapital Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama diri. Dan lain-lain. Penting diperhatian, jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang tertulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. (Contoh: Abŭ Hămid al-Ghazălî bukan Abŭ Hămid Al-Ghazăli, al-Kindi bukan Al-Kindi). Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya. Demikian seterusnya. Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar katanya berasal dari bahasa arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak „Abd al-Samad al-Palimbănî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nŭr al-Dîn al-ranîrî
x
Cara Penulisan Kata: Setiap kata, baik kata kerja (fi’l), kata benda (ism), maupun huruf (harf) dituis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimatkalimat dalam bahasa arab, dengan pedoman pada ketentuan-ketentuan di atas: Kata Arab
Alih Aksara
سخَا ُذ ْ َُب األ َ َذه
Dzahaba al-ustădzu
ثَبَجَ األَ ْج ُر
Tsabata al-ajru
ص ِريَت ْ الح َر َكتُ ال َع َ
Al-harakah al-„asriyyah
ش َه ُد أَنْ الَ اِلهَ إالَ هللا ْ أ
Asyhadu al lă ilăha illă Allăh
الصالِح َ َم ْىلَنَا َملِك
Maulănă Malik al-Sălih
يُ َؤثِّ ُر ُك ُم هللا
Yu‟atssirukum Allăh
ال َمظَا ِهر ال َع ْقلِيَت
Al-mazăhir al-ăqliyyah
اآليَاث ال َك ْىنِيَّت
Al-ăyăt al-kauniyyah
ض ُر ْو َرة حُبِ ْي ُح ال َم ْحظُ ْى َراث َّ ال
Al-darŭrat tubîhu al-mahzŭrăt
xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Banten yang notabenenya merupakan tanah Jawara, memiliki tingkat religiusitas tinggi tidak bisa terlepas dari peran tarekat yang berkembang. Pada abad ke-19 tarekat berperan dalam rangka untuk melawan kolonial Belanda, salah satunya tarekat Rifa’iyah. Kolonial Belanda menganggap masyarakat Banten yang menganut tarekat Rifa’iyah memiliki basis Islam tradisionalis dan fanatik, sehingga ada kekuatan untuk memberontak. Adapun untuk mengaktualisasikan tarekat Rifa’iyah tersebut, Banten memformulasikan dalam bentuk kesenian Debus. Debus yang identik dengan dunia mistik (aliran hitam), ini sesungguhnya berakar dari sebuah tarekat bukan dari faham animisme dan dinamisme. Sebelum membahas mengenai bagaimana pengaruh tarekat Rifa’iyah dan kesenian debus, berikut terlebih dahulu dijelaskan pengertian tasawuf sebagai pengantar terlebih dahulu. Menurut Harun Nasution dalam buku Filsafat dan Mistisisme dalam Islam mengatakan tasawuf adalah ilmu yang mempelajari cara dan jalan bagaimana orang Islam dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT.1 Sementara itu, Annemarie Schimmel seorang yang ahli dalam bidang mistisisme Islam, mengatakan tasawuf adalah beberapa cara yang digunakan oleh para ahli mistik untuk mencapai suatu tujuan yang dilakukan sendiri maupun bersama-sama 1
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1999),
h. 53.
1
2
melalui kearifan atau cinta dengan cara latihan-latihan yang menuju kegairahan tidak terhingga.2 Dalam tasawuf, salah satu upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT yaitu dengan mengikuti tarekat. Ada beberapa definisi tarekat menurut beberapa tokoh. Aboebakar Atjeh mengartikan tarekat sebagai jalan, petunjuk dalam melakukan suatu ibadah sesuai dengan ajaran yang ditentukan dan dicontohkan oleh Nabi, di kerjakan oleh para sahabat dan tabi’in, secara turun-temurun, sambung-menyambung dan rantaiberantai sampai kepada tingkat akhir yaitu guru tarekat.3 Sementara, menurut J. Spencer Trimingham, tarekat adalah suatu metode untuk membimbing seorang murid dengan menelusuri jalan pikiran, perasaan dan tindakan. Melalui tahapan menuju pada hakekat yang sebenarnya.4 Sedangkan menurut Annemari Schimmel, tarekat adalah “jalan” yang ditempuh para sufi yang digambarkan sebagai jalan yang berpangkal dari syariat.5 Namun dalam pengertian ini masih bersifat umum. Secara khusus, pengertian tarekat yang berarti “jalan” mengacu kepada sistem latihan meditasi maupun amalan (muraqabah, dzikir dan wirid) yang dihubungkan dengan para guru sufi dan organisasi yang tumbuh seputar metode sufi.6 Dari pendapat beberapa tokoh tersebut, dapat disimpulkan bahwa tasawuf adalah suatu ilmu untuk menyucikan diri dan memperbaiki akhlak agar bisa mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan tarekat adalah cara atau jalan yang digunakan oleh para sufi untuk mendekatkan diri kepada Allah.
2
Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, Terj. Sapardi Djoko Damono (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), h. 23. 3 Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat, Cet. XI, (Solo: Ramadhani), 1995, h. 67. 4 J. Spencer Trimingham, Mazhab Sufi, (Bandung: Pustaka, 1999), h. 3-4. 5 Dalam hal ini, Annemari Schimmel, mengartikan jalan utama disebut syar’i .Sedangkan anak jalan disebut tariq. Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, h. 101. 6 Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survei Historis, Geografis, dan Sosiologis, (Bandung: Mizan, 1992), h. 15.
3
Di Indonesia telah ada badan yang khusus memberikan perhatiannya kepada tarekat-tarekat yang sudah diselidiki kebenarnya, yang dinamakan tarekat Muktabarah. Seorang tokoh tarekat terkemuka, Dr. Syekh Jalaludin sebagaimana yang dikutip oleh Abu Bakar Atjeh, ia menerangkan tarekat Muktabarah terdiri dari 41 macam, yang masing-masing mempunyai syekh, murid, dzikir dan upacara ritual.7 Dari sekian banyak aliran tarekat tersebut, setidaknya ada tujuh aliran tarekat yang berkembang di Indonesia yaitu tarekat Qadiriyah, Khalidiyah, Naqsyabandiyah, Sammaniyah, Khalwatiyah, Al-Hadad dan tarekat Rifa’iyah.8 Adapun tarekat yang penulis kaji pada skripsi ini yaitu tarekat Rifa’iyah. Tarekat Rifa’iyah didirikan oleh Abdul Abbas Ahmad bin Ali Al-Rifa’i. Ia lahir di Qaryah Hasan, dekat Basrah. Tahun kelahirannya diperkirakan pada 1106 M dan wafat pada tahun 1182 M. Tarekat ini masuk dan berkembang di Irak.9 Dan berkembang pula ke beberapa wilayah, antara lain: Turki, Damaskus, India, Mesir dan Suriah.10 Dalam perkembangannya, tarekat Rifa’iyah mempunyai cabang yang cukup banyak. Di Suriyah, cabang tarekat ini antara lain adalah Haririyah, Sa’diyah dan Sayyadiyah. Haririyah didirikan oleh al-Hariri dan Sa’diyah didirikan oleh Sa’duddin Jibawi. Sedangkan di Mesir cabang tarekat ini antara
7
Syekh Jalaludin mengemukakan tarekat Mu’tabaroh terdapat 41 macam, antara lain: 1. Qadriyah, 2. Naqsyabandiyah, 3. Syadziliyah, 4. Rifa’iyah, 5. Ahmadiyah, 6. Dasukiyyah, 7. Akbariyah, 8. Maulawiyyah, 9. Qurabiyyah, 10. Suhrawardiyyah, 11. Khalwatiyyah, 12. Jalutiyyah, 13. Bakdasiyyah, 14. Ghazaliyyah, 15. Rumiyyah, 16. Jastiyyyah, 17. Sya’baniyyah, 18. Kaisaniyyah, 19. Hamzawiyah, 20. Biramiyyah, 21. Alawiyyah, 22. Usyaqiyyah, 23. Bakriyyah, 24. Umariyyah, 25. Usmaniyyah, 26. Aliyyah, 27. Abbasiyyah, 28. Haddadiyyah, 29. Maghribiyyah, 30. Ghaibiyyah, 31. Hadiriyyah, 32. Syattariyyah, 33. Bayumiyyah, 34. Aidrusiyyah, 35. Sanbliyyah, 36. Malawiyyah, 37. Anfasiyyah, 38. Sammaniyyah, 39. Sanusiyyah, 40. Idrisiyyah, 41. Badawiyyah. Dalam buku Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat, (Solo: Ramadhani), 1985, h. 303. 8 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), h. 269-276. 9 Namun tanggal lahirnya tersebut masih diperselisihkan. Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat, h. 355 dan 357. 10 John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern Jilid 1, (Bandung : Mizan, 2001), h. 161.
4
lain Baziyah, Malkiyah dan Habibiyah.11 Yang di pimpin oleh Abu al-Fath alWasiti, ia salah satu murid Ahmad al-Rifa’i.12 Perkembangan tarekat ini begitu cepat. Salah satunya melalui murid-murid yang telah menyebarluaskan ajaran tarekat hingga kebeberapa negara di Asia Tenggara terutama di Indonesia.13 Di Indonesia pusat tarekat Rifa’iyah terdapat di Aceh, yang dibawa oleh Syekh Nuruddin Al-Raniri.14 Kemudian menyebar ke Banten, Cirebon, Minangkabau dan Maluku. Ajaran dari tarekat Rifa’iyah diyakini oleh masyarakat tersebut membuat orang kebal terhadap benda tajam, tahan pada api yang menyala dan lain-lain. Sehingga praktek ini dibuktikan dengan permainan debus.15 Permainan debus ini berkembang sampai ke daerah Sunda, khususnya Banten.16 Perkembangan tarekat di Banten bermula dari adanya dukungan Kesultanan Banten dan masyarakat yang memiliki sikap religius yang tinggi.17 Sehingga Banten dikenal dengan salah satu daerah berbasis Islam tradisionalis dan fanatik.18 Tarekat mempunyai pengaruh terhadap perilaku keagamaan masyarakat Banten. Salah satu efek dari tarekat yaitu mendorong para pemimpin yang fanatik untuk memberontak dan berani melawan kolonial Belanda. Sehingga kolonial Belanda merasa khawatir akan adanya tarekat. Kekhawatiran ini terlihat jelas pada 11
Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat, h. 357-358. “Ensiklopedi Islam”, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), h. 172. 13 Fuad Said, Hakikat Tarekat Naqsyabandiyah, (Jakarta: Al-Husna Zikra, 1996), h. 11. 14 Nuruddin al-Raniri adalah salah seorang ulama Aceh yang berasal dari India. Ia belajar tarekat Rifa’iyah melalui ulama keturunan Arab Hadramaut, yakni Said Abu Hafs Umar IbnAbd Allah Ba Syaiban. Setelah belajar kemudian ia membawa dan mengajarkan tarekat Rifa’iyah ini ke wilayah Melayu. Sri Mulyati, Mengenal & Memahami Tarekat-Tarekat Muktabaroh di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 15. 15 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia. (Bandung: Mizan, 1995), h. 197. 16 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), h. 269-276. 17 Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survei Historis, Geografis, dan Sosiologis, (Bandung: Mizan, 1992), h. 43. 18 Fahmi Irfani, Jawara Banten, Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya, (Jakarta: YPM: Young Progressive Muslim, 2011), h. 29-30. 12
5
peristiwa Cilegon di Banten 1888, Peristiwa Cianjur Sukabumi tahun 1885 dan Peristiwa Garut 1919.19 Salah satu tarekat yang masih berkembang di masyarakat Banten adalah tarekat Rifa’iyah. Yang mana jejak tarekat Rifa’iyah tersebut dipraktekkan dalam permainan debus. Keberadaan tarekat Rifa’iyah dibuktikan dari adanya naskahnaskah yang berisikan ajaran tarekat Rifa’iyah seperti Ratib. Hingga saat ini masyarakat masih mengamalkan dzikir dan ratib Rifa’iyah baik digunakan dalam debus maupun tanpa debus.20 Isi ajaran tarekat Rifa’iyah berupa pembacaan do’a-do’a dan al-Fatihah untuk dihadiahi kepada, Nabi Muhammad SAW dan keluarganya, nama 19
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 64. Peristiwa Cilegon 1888 ialah suatu peristiwa perlawanan rakyat Banten terhadap pemerintah Belanda. Hal ini terjadi karena adanay motif ekonomi, politik, sosial. Situasi sosial rakyat Banten pada saat itu dalam keadaan resah dan memprihatinkan. Pemerintah Belanda mengadakan sistem tanam paksa, pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan, tidak menghormati sikap orang Banten, tidak menghargai agama, dan bertingkah laku yang kasar terhadap pribumi. Seluruh masyarakat Banten dari berbagai kalangan merasakan kekejaman Belanda tersebut. Oleh karena itu, rakyat Banten sudah tidak tahan dengan perlakuan Belanda yang seperti itu, maka para ulama Banten membuat rencana untuk melakukan pemberontakan bersenjata. Sehingga pada hari Senin tanggal 9 Juli 1888 terjadilah pemberontakan yang dikenal dengan sebutan “Geger Cilegon 1888”. Yang di pimpin oleh beberapa pemimpin tarekat di Banten yakni, H. Abdul Karim, H. Tubagus Ismail, H. Marjuki, dan H. Wasyid. Peristiwa tersebut dilatarbelakangi oleh gerakan tarekat. Tarekat digunakan oleh mereka sebagai sebuah senjata, sebelum melakukan perlawanan, mereka berkumpul melakukan sembahyang dan berdzikir. Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Kondisi, Jalan, Peristiwa, dan Kelanjutannya, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1984), h. 257 dan 342. Sementara itu, Peristiwa Cianjur Sukabumi adalah suatu peristiwa yang terjadi sekitar tahun 1885, di mana pemerintah Hindia Belanda merasa gelisah adanya aktivitas organisasi tarekat Naqsyabandiyah di Jawa Barat, karena jumlah anggota tarekat ini dari waktu ke waktu semakin meningkat, sehingga kegelisahan yang dialami oleh kalangan masyarakat Belanda yaitu mengira bahwa tarekat Naqsyabandiyah akan melawan pemerintah Belanda. K.F. Holle dan Raden H. Muhammad Musa seorang Penghulu Kab. Garut memandang pengikut tarekat Naqsyabandiyah yang berpusat di Cianjur itu “fanatik” sehingga dianggap membahayakan keamanan dan ketertiban. Sedangkan Peristiwa Garut 1919 merupakan peristiwa pertempuran tokoh agama yang di pimpin oleh H. Hasan melawan Belanda. Hal ini terjadi karena pemerintah Belanda terus memaksa masyarakat untuk menjual hasil panen padinya kepada pemerintah Belanda dengan harga yang sangat murah. Jika masyarakat tidak menaati maka padinya akan disita, bahkan akan mendatangkan serdadu untuk mengajarkan ketaatan rakyat kepada pemerintah Belanda. Bahkan H. Hasan dipaksa untuk memusnahkan semua tanamannya dan mengganikannya dengan padi, namun H. Hasan merasa keberatan terhadap ketentuan tersebut, bukan bukan karena harga, akan tetapi karena kebenciannya terhadap orang Belanda. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 64-65, dan 70-71. 20 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia. h. 271.
6
Khulafaur Al-Rasyiddin dan para sahabatnya, kemudian diikuti dengan nama Ahmad Rifa’i dan Abdul Qadir Al-Jaelani dan kelompok nama yang terakhir adalah nama-nama yang paling menarik karena mereka adalah orang-orang Banten. Seperti Maulana Hasanuddin, Syekh Abdullah Bin Abdul Qahar, Sultan Abu Nasr Muhammad al-Arif Zainal Asyiqin, dan Sultan Abu al-Mufakhir Aliyuddin. Dari nama-nama tersebut dapat memberikan indikasi mengenai tarekat Rifa’iyah mulai tersebar di Banten.21 “Masyarakat yang mengamalkan tarekat Rifa’iyah ini akan mendapat pengaruh yang dirasakan yaitu, merasa lebih dekat dengan Allah, keagamaannya semakin meningkat, dan ilmunya bertambah. Sementara yang mengikuti tarekat ini bebas dari kalangan mana saja, baik dia sebagai kiyai, pejabat, pengusaha, pelajar, petani. semuanya bisa melakukannya yang penting mereka ingin mengikutinya.”22
B. Batasan dan Rumusan Masalah Setelah menjelaskan tentang tarekat tersebut, untuk kasus Banten nampak sekali bahwa tarekat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap masyarakat Banten sehingga membentuk pola dan corak pemahaman keagamaan yang khas, bahkan kemudian berkembang budaya-budaya khas Banten yang disebabkan oleh pengamalan tarekat tersebut. Menarik untuk diketahui lebih jauh, bagaimana relasi antara pengamalan tarekat dengan pola keagamaan di Banten. Berdasarkan permasalahan di atas, maka muncul pertanyaan besar bagaimana pengaruh tarekat Rifa’iyah terhadap keagamaan di Banten Abad ke-19?
21
Ibid., h. 273. Wawancara pribadi dengan Ustadz Maheri salah seorang tokoh Debus Banten, Serang, 22 Maret 2015, Pukul 11:38 WIB. 22
7
Adapun secara rinci rumusan masalah dibagi menjadi beberapa pertanyaan yaitu: 1. Bagaimana Sejarah Perkembangan Tarekat Rifa’iyah di Banten Abad ke19? 2. Bagaimana Ajaran-Ajaran Tarekat Rifa’iyah di Banten? 3. Bagaimana Pengaruh Tarekat Rifa’iyah dalam Keagamaan di Banten Abad ke-19?
C. Tujuan Penelitian Adapun Tujuan penulisan ini yaitu : 1. Ingin Menjelaskan Sejarah Perkembangan Tarekat Rifa’iyah di Banten Abad ke-19. 2. Ingin Memaparkan Ajaran-Ajaran yang Terdapat dalam Tarekat Rifa’iyah di Banten. 3. Ingin Mengetahui Pengaruh Tarekat Rifa’iyah dalam Keagamaan di Banten abad ke-19.
D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penulisan ini adalah: 1. Dalam studi ini menjadikan pelajaran untuk generasi yang akan datang bahwa tarekat Rifa’iyah mempunyai pengaruh di Banten di lihat dari dzikir dan bacaan-bacaannya. 2. Memberikan pengetahuan bahwa Tarekat Rifa’iyah di Banten digunakan sebagai keberanian untuk menentang penjajah.
8
E. Tinjauan Pustaka Banyak karya ilmiah yang sudah ditulis terkait dengan tarekat Rifa’iyah antara lain: Tesis Nauval Syamsu, Debus Sebuah Fenomena Keagamaan (Studi Kultural Debus Banten).23 Isinya meliputi: Islam dan Tarekat di Banten, Perkembangan Debus di Banten dan Debus Sebuah Fenomena Keberagamaan. Dalam tesis ini, Nauval Syamsu meneliti hubungan Debus dengan tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah, tetapi tidak menjelaskan kaitan tarekat Rifa’iyah dengan debus di Banten. Tesis ini juga menjelaskan bahwa keberagamaan umat Islam merupakan gambaran pemahaman seorang muslim terhadap ajaran dan doktrin-doktrin agama, sehingga terjadi perbedaan paham-paham keagamaan. Salah satu bentuk perbedaan pemahaman terhadap doktrin agama adalah lahirnya tarekat-tarekat. Nauval Syamsu, menyimpulkan bahwa debus sebagai salah satu warisan budaya di Banten, yang pernah digunakan untuk melawan penjajahan dan sekarang menjadi kesenian rakyat Banten. Skripsi Makmun Muzzaki, Tarekat dan Debus Rifa’iyah di Banten, yang diajukan pada Fakultas Sastra, Universitas Indonesia.24 Skripsi ini menjelaskan tentang debus dan tarekat Rifa’iyah dilihat dari kajian antropologi. Makmun Muzaki menyimpulkan tarekat Rifa’iyah adalah suatu aliran yang pernah berkembang dan memiliki ciri khasnya sendiri dan sedikit berbeda dibandingkan dengan tarekat-tarekat sufi lainnya. Namun dalam skripsi ini penulis tidak menemukan pengaruh tarekat Rifai’iyah pada Keagamaan di Banten.
23
Nauval Syamsu, Debus Sebuah Fenomena Keagamaan (Studi Kultural Debus Banten), (Tesis S2 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta). 24 Makmun Muzzaki. Tarekat dan Debus Rifa’iyah di Banten. (Skripsi Fakultas Sastra. Universitas Indonesia, 1990).
9
Nina H. Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara.25 Memberikan informasi tentang Banten dari masa prasejarah hingga lahirnya provinsi Banten. Buku ini menjelaskan tentang Arti Banten, SultanSultan Banten, kondisi Sosial, ekonomi dan budaya Banten, bahkan menjelaskan konflik-konflik yang terjadi di Banten. Akan tetapi buku ini tidak menjelaskan kehidupan keagamaan di Banten yang terkait dengan tarekat. Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat TradisiTradisi
Islam
di
Indonesia.26
Menjelaskan
tentang tarekat-tarekat
dan
perkembangannya di Indonesia dan sedikit menjelaskan bahwa tarekat Rifa’iyah di Banten biasanya digunakan untuk permainan debus. Namun buku ini tidak menjelaskan secara spesifik tentang tarekat Rifa’iyah. Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat,27 buku ini memberikan gambaran tentang tarekat-tarekat, sejarah pekembangannya. Buku ini juga tidak hanya mengenalkan tentang tarekat Qadariyah, Naqsyabandiyah, Rifa’iyah, Khalwatiyah,
Ghazaliyah,
Sanusiyah,
Syattariyah,
Tjaniyah,
dari
segi
perkembangannya saja, tetapi memperkenalkan ajaran-ajaran tarekat, mengenai kedudukannya dalam tasawuf, mengenai wirid ataupun do’a, dan menjelaskan kedudukan guru dan murid. Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam,28 buku ini merupakan kumpulan dari cerama-ceramah dan kuliah-kuliah yang diberikan di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 1970, yang disampaikan kepada kelompok
25
Nina H Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara, (Jakarta: Pustaka LP3ES, Indonesia, 2003). 26 Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1996). 27 Aboebakar Atjeh. Pengantar Ilmu Tarekat, Cet. XI, (Solo: Ramadhani, 1995). 28 Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1999).
10
diskusi tentang Agama Islam. Yang terkandung dalam buku ini hanyalah tentang Filsafat dan mistisisme dalam islam. Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam,29 Membahas beberapa segi penting dalam tasawuf dan merupakan telaah dan uraian yang menyeluruh mengenai dimensi mistik dalam Islam. Buku ini juga secara terperinci diuraikan konsep tentang tasawuf, sejarah tasawuf klasik dan tarekat. Di samping itu ditelaah juga wali-wali terpenting serta pemikiran mereka mengenai hubungan antara manusia dan Tuhan. Namun dalam buku ini belum menjelaskan secara rinci mengenai tarekat Rifa’iyah yang berada di Indoneia khususnya Banten. Sejarah
Nasional
Indonesia
Jilid
III,
Zaman
Pertumbuhan
dan
Perkembangan Keraaan-Kerajaan Islam di Indonesia.30 Menguraikan peristiwaperistiwa sejarah dari masa kedatangan Islam, serta pertumbuhan dan perkembangan kerajaan yang bercorak Islam di kepulauan Indonesia. Buku ini juga sedikit menjelaskan aliran-aliran Islam dan pengaruhnya, yang di dalamnya terdapat tentang tasawuf dan tarekat. Salah satu tarekat yang mendapat pengaruh ialah tarekat Rifa’iyah. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda.31 Menjelaskan bahwa Pemerintah Belanda tidak ingin bersikap netral di Bidang Agama. Agama Kristen diberikan dukungan di daerah dan bidang tertentu dengan alasan untuk mengusir orang Islam dari daerah tersebut. Dalam buku ini juga sedikit dijelaskan adanya tarekat yang melatarbelakangi gerakan dan pemberontakan Cilegon di Banten
29
Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, Terj. Sapardi Djoko Damono, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986). 30 Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan KerajaanKerajaan Islam di Indonesia, Ed. Marwati Djoened Poesponegoro Nugroho Notosusanto, (Jakarta: Balai Pustaka, 1977). 31 Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985).
11
1888, Peristiwa Cianjur Sukabumi tahun 1885 dan Peristiwa Garut 1919. Kolonial Belanda menganggap gerakan tarekat merupakan gerakan pemberontakan yang bersifat fanatik. Artikel Rohman, The Result of a Holy Alliance: Debus and Tariqah in Banten Province.32 Artikel ini mendeskripsikan praktik debus dan fungsinya, bagi masyarakat Banten dewasa ini. Debus berkembang sebagai pertunjukkan kekebalan, Artikel ini juga menunjukkan praktik debus yang dikombinasikan dengan aspek-aspek tarekat.
F. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode historis dengan pendekatan sejarah. Metode ini merupakan proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau.33 Metode ini dapat membantu untuk mengetahui fakta dan sejarah masa lampau dan dilakukan melalui 4 tahapan, yaitu Heuristik, Kritik sumber, Interpretasi, dan Historiografi.34 Tahap pertama penulis melakukan kegiatan heuristik yaitu dengan mencari informasi data-data, mengumpulkannya, membaca dan mengkaji buku-buku yang berhubungan dengan tema skripsi ini. Kemudian penulis menghimpun sumbersumber tertulis baik yang bersifat primer maupun sekunder. Untuk sumber primer penulis menggunakan naskah Ratib al-Rifa’i,35 yang terdapat di Perpusatakaan
32
Artikel Rohman, The Result of a Holy Alliance: Debus and Tariqah in Banten Province, IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten. 33 Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, Terj. Nugroho Notosusanto, (Jakarta: UI Press, 1983), h. 3. 34 Dudung Abdurahman, Metode Penelitian Sejarah, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu), 1999, h. 54-55. 35 Naskah ratib al-Rifa’i nomor A 218, Naskah ini terdiri dari dua jilid yaitu Naskah Ratib Rifa’i A 218 A, dan Naskah Ratib Rifa’i A 218 B.
12
Nasional Republik Indonesia. Sementara sumber lisan diperoleh melalui interview (wawancara). Adapun yang menjadi narasumber yaitu bapak Maheri, ia sebagai tokoh Debus yang menganut tarekat Rifa’iyah, Abah yadi, ia sebagai tokoh Budaya, Bapak Tubagus Najib Al-Bantani ia peneliti di museum Arkeologi Nasional, Bapak Hudaeri dosen IAIN Maulana Hasanuddin Serang dan kepada Sekertaris MUI yang juga pernah meneliti tentang debus. Melalui wawancara ini bertujuan untuk mendapatkan informasi terkait masalah.36 Sedangkan untuk sumber sekunder, penulis mendapatkan sumber-sumber tertulis berupa buku, ensiklopedia, jurnal, artikel dan sebagainya. Pengumpulan tersebut dilakukan di beberapa tempat yaitu di Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Adab dan Humaniora, Perpustakaan Nasional RI, Perpustakaan Universitas Indonesia, Perpustakaan IAIN Sultan Hasanuddin Serang, Perpustakaan Umum Islam Iman Jama, Arsip Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Direkorat Jenderal Kebudayaan Balai Pelestarian Cagar Budaya Serang, dan Perpustakaan Arsip Daerah Provinsi Banten. Selain itu penulis juga mendapatkan beberapa sumber sekunder berupa buku di perpustakaan pribadi milik bapak Drs. Saidun Derani, MA. Setelah sumber-sumber terkumpul, penulis melakukan kritik sumber agar diperoleh data yang absah, setelah melalui fase kritik, dimana penulis sudah menemukan korelasi dan pemahaman yang baru mengenai tema yang akan di bahas. Setelah itu penulis melakukan interpretasi, dimana penulis melakukan penafsiran terhadap sumber-sumber yang telah diseleksi untuk kemudian 36
Dudung Abdurahman, Pengantar Metodologi Penelitian Dan Penulisan Karya Ilmiah (Yogyakarta: IKFA Press, 1998), h. 74.
13
dilakukan tahap selanjutnya yaitu historiografi dengan melakukan penulisan dalam satu urutan yang sistematik yang telah ditentukan dalam pedoman penulisan skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
G. Sistematika Penulisan Dalam penulisan ini, penulis membagi ke dalam lima bab, berikut dituliskan secara singkat bab I sampai bab V beserta sub-babya masing-masing. Bab I
Pendahuluan, yang terdiri dari: Latar Belakang, Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Tinjauan Pustaka, Metode Penulisan, dan Sistematika Penulisan.
Bab II
Kondisi Umum Masyarakat Banten yang meliputi: Geografi dan Struktur Masyarakat Banten, Perkembangan Kesultanan Banten, Kondisi Masyarakat Banten Secara Umum dan Perkembangan Tarekat di Banten.
Bab III
Sejarah dan Perkembangan Tarekat Rifa’iyah di Banten abad ke-19 yang meliputi: Tarekat Rifa’iyah di Banten (Profil Sosial Historis), Tarekat Rifa’iyah dalam Budaya Banten, Ajaran-Ajaran Tarekat Rifa’iyah, Wirid dan Amalan Tarekat Rifa’iyah, Wirid Sebagai Pengobatan.
Bab IV
Pengaruh Tarekat Rifa’iyah Terhadap Keagamaan di Banten Abad ke-19, yang meliputi: Kiyai, Jawara, Pesantren, dan Tradisi Lokal (Tradisi Debus di Banten, Ritual Permainan Debus).
Bab V
Penutup yang berisi Kesimpulan dan Saran.
BAB II KONDISI UMUM MASYARAKAT BANTEN
A. Geografi dan Struktur Masyarakat Banten Banten1 adalah salah satu Provinsi di Indonesia Ujung Barat Pulau Jawa. Dulu Banten merupakan Keresidenan di Jawa Barat yang meliputi Kabupaten Lebak, Pandeglang, Serang dan Tangerang. Provinsi ini berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah Utara, dengan Selat Sunda di Barat, di Selatan dengan Samudera Hindia dan di sebelah Timur dengan Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat.2 Terdapat beberapa Pulau di Provinsi ini, antara lain pulau Panaitan, pulau Sertung, pulau Panjang, Rakata (Krakatau), Pulau dua, Pulau Deli dan Pulau Tinjil.3 Luas Banten sekitar 114 mil2. Menurut data statistik resmi, pada tahun 1892 penduduk Banten berjumlah 568.935 Jiwa. Daerah yang paling padat penduduknya adalah distrik Cilegon. Daerah Banten dapat dibagi menjadi dua bagian yang secara umum berbeda satu sama lain. Bagian Selatan yang merupakan daerah pegunungan dan sangat jarang penduduknya, jarang menjadi
1
Asal-usul istilah Banten dikaitkan dengan dua kata, yaitu Wahanten nama kota lama yang terletak agak kepedalaman dan Bantahan berarti suka membantah, memberontak, kiranya dikaitkan dengan sejarah daerah ini sejak akhir abad ke-17 yang selalu melawan atau memberontak tehadap kaum penjajah (Belanda). Ajip Rosidi, Ensiklopedi Sunda, Alam, Manusia, dan Budaya Termasuk Budaya Cirebon dan Betawi, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 2000), h. 100. Adapun Menurut salah seorang pengurus Makam Sultan Hasanuddin, Asal nama Banten ada tiga versi yaitu Katiban Inten, Bantahan, dan Sasajen. Disebut Katiban Inten karena pada waktu itu dengan datangnya Islam , masyarakat Banten sangat bangga, saking bangganya merasa dirinya kejatuhan intan dari atas langit, Bantahan diartikan bahwa suku yang membantah, memberontak terhadap penjajah (Belanda), sedangkan Sasajen adalah sebuah tempat kecil yang di dalamnya terdapat makanan, bunga-bunga, dan sebagainya. Wawancara dengan bapak Abbas, pengurus makam Sultan Hasanuddin, Tanggal, 12 April 2014, Pukul 12:10 WIB. 2 Statistik Gender dan Analisi Provinsi Banten, (Jakarta: Badan Pusat Statistika, tth), h. 13. 3 Halwany Michrob dan Mudjahid Chudori, Catatan Masa Lalu Banten, (Serang: Saudara, 2011), h. 19.
14
15
ajang peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah Banten, sedangkan bagian Utara penduduknya jauh lebih padat.4 Sebagian besar penduduk Banten berbahasa Sunda.5 Mereka berdiam di Banten Selatan, yang meliputi Kabupaten Pandeglang dan Lebak. Sedangkan penduduk bagian Utara meliputi Kabupaten Serang dan Tangerang, merupakan keturunan orang Jawa yang datang dari Demak dan Cirebon. Seiring berjalannya waktu, mereka berbaur dengan orang-orang Sunda, Melayu, Bugis dan Lampung. Selain perbedaan dalam hal bahasa dan adat istiadat, dalam hal penampilan fisik dan watak orang Banten Utara menunjukkan perbedaan yang nyata dengan orang Sunda dan orang Jawa dari Jawa Tengah dan Jawa Timur.6 Di kalangan orangorang Belanda, orang Banten Utara terkenal fanatik dalam hal agama, agresif dan suka memberontak. Perbedaan-perbedaan yang nyata antara Banten Utara dan Banten Selatan disebabkan dari perbedaan lingkungan alam, faktor ekologis dan juga perbedaan-perbedaan yang bersifat sosio-kultural atau historis.7 Sebagian masyarakat Banten dikenal keras dalam gaya bicara, bahasa dan tindakannya. Hal itu menimbulkan image bahwa tindakan kekerasan seolah-olah telah melekat dalam kehidupan masyarakat Banten. Untuk memahami kondisi
4
Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Kondisi, Jalan, Peristiwa, dan Kelanjutannya, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1984), h. 53. 5 Bahasa Sunda di pakai secara luas dalam masyarakat di Jawa Barat. Dalam pemakaian bahasa Sunda, dikenal pembagian atas tiga tingkatan, yaitu bahasa sunda lemes, sedang dan kasar. Bahasa Sunda yang dianggap kurang halus ialah bahasa sunda di dekat pantai Utara, yaitu di Banten Selatan. Harjoso, “Kebudayaan Sunda”, dalam Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Djambatan: 1971), h. 300-301. 6 Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Kondisi, Jalan, Peristiwa, dan Kelanjutannya, h. 54. 7 Ibid., h. 54.
16
tersebut dapat dilihat dari aspek historis dimana peristiwa-peristiwa kekerasan telah terstruktur pada masa awal berdirinya Kesultanan Banten.8 Pada awal abad ke-16 di Banten terdapat kota pelabuhan yang teletak di muara sungai Citarum, yang kemudian menarik para pedagang untuk singgah dan juga menyebarkan agama Islam. Dari situlah terjadi proses Islamisasi Banten yang sebelumnya merupakan bagian wilayah Kerajaan Sunda. Ketika berubah menjadi kerajaan Islam merupakan kota pelabuhan yang lokasinya agak kepedalaman dan disebut dengan Wahanten Girang.9 Dengan kedatangan para pedagang yang menggunakan jalur pelayaran, maka daerah-daerah pesisir berkembang menjadi kota, tidak heran jika proses islamisasi kebanyakan bermula di pesisir-pesisir. Banten sendiri juga terletak di daerah pesisir. Dengan melalui proses Islamisasi inilah akhirnya terbentuk kota bercorak Islam.10 Banten mempunyai posisi yang sangat strategis di pesisir Utara bagian Barat pulau Jawa dekat Selat Sunda, yang dinamakan dengan “Jalan Sutra”. 11 Sehingga menjadi tempat persinggahan para pedagang internasional. Banten juga telah mengembangkan pertanian. Sejak Sultan Abdul Mufakhir Muhammad Abdul Kadir, pertanian telah dikembangkan dengan dibangunnya sistem irigasi oleh Sultan Ageng Tirtayasa, sehingga pertanian di Banten maju pesat. Teknologi
8
Fahmi Irfani, Jawara Banten, Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya, (Jakarta: YPM: Young Progressive Muslim, 2011), h. 29-30. 9 Ajip Rosidi, Ensiklopedi Sunda, Alam, Manusia, dan Budaya Termasuk Budaya Cirebon dan Bewtawi, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 2000), h. 100. 10 Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia Dari Abad XIII sampai XVIII masehi, (Kudus: Menara Kudus, 2000), h. 36. 11 Sebutan “Jalan Sutra” berasal dari terjemahan “Silk Roads” yang pertama kali di kemukakan oleh Baron Ferdinand Von Riohhofen, pada abad ke-19 untuk menyebutkan jalanjalan kuno yang menghubungkan negeri-negeri di Asia dan Barat, yang kecuali timbulnya hubungan-hubungan perdagangan juga terjadinya kontak-kontak kebudayaan. Uka Tjandrasasmita, Banten Abad XV-XXI Pencapaian Gemilang Penorehan Menjelang, Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2011), h. 81.
17
industri gerabah yang berkembang di kota Banten juga memberi gambaran pesatnya kemajuan industri ini.12 Kini Banten bukan lagi keresidenan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2000, Banten yang semula bagian dari Provinsi Jawa Barat, berubah menjadi Provinsi Banten. Dengan luas wilayah 8.800,83 km², Banten berada pada batas geografis 105°’11’’-106°7’12’’ Bujur Timur dan 5°7’50’’-71’1’’ Lintang Selatan. Banten terdiri dari empat Kabupaten yaitu Kabupaten Pandeglang, Lebak, Serang, Tangerang dan empat Kotamadya, yaitu Tangerang, Cilegon, Serang dan Tangerang Selatan.13 Beberapa kota yang berperan sebagai pusat pertumbuhan perekonomian adalah Serang, Pontang, Tirtayasa, Cikande, Labuan, Pandeglang, Saketi, Rangkasbitung, Leuwidamar dan Banjarsari.14 Secara topografi wilayah provinsi Banten berkisar pada ketinggian 0-1.000 m dpl. Secara umum kondisi topografi wilayah provinsi Banten dataran rendah yang berkisar antara 0-200 m dpl yang terletak di wilayah kota Cilegon, kota Tangerang, Kabupaten Pandeglang dan sebagian besar Kabupaten Serang. Adapun wilayah bagian Lebak Tengah dan sebagian kecil Kabupaten Pandeglang memiliki ketinggian 201-2.000 m dpl. Sedangkan wilayah Lebak Timur memiliki ketinggian ketinggian 501-2.000 m dpl yang terdapat di Puncak Gunung Sanggabuana dan Gunung Halimun.15
12
“Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 3”, (Jakarta: PT Delta Pamungkas, 2004), h.
160. 13
Statistik Gender dan Analisis Provinsi Banten, (Jakarta: Badan Pusat Statistika, tth), h.
13. 14
“Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 3”, h. 158. http://www.bpkp.go.id/dki2/konten/1092/GEOGRAFIS. Akses Tanggal: 27 April 2015, Pukul 10:40 WIB. 15
18
B. Perkembangan Kesultanan Banten Kesultanan Banten merupakan kerajaan yang berlandaskan Islam, namun asas kerukunan, toleransi dan pluralisme beragama terbuka bagi masyarakat, berbagai etnis dan agama. Buktinya terdapat kelenteng Tionghoa yang didirikan pada masa Sunan Gunung jati dan sampai saat ini masih terawat dengan baik dan menjadi situs cagar budaya nasional.16 Pada akhir abad ke-16 Banten mengalami zaman kejayaan. Kota Banten banyak didatangi para saudagar dari dalam dan luar Nusantara, sehingga berfungsi sebagai pusat perdagangan internasional. Tidak sedikit dari para pedagang yang akhirnya bermukim dan menetap di daerah Banten.17 Sebagai pusat perdagangan, Banten dikenal luas sebagai tempat jual beli rempah-rempah. Rempah-rempah yang diperdagangkan ialah lada yang dihasilkan di Lampung maupun di Banten sendiri dan cengkeh serta pala dihasilkan di Maluku.18 Kejayaan Kesultanan Banten tersebut tetap bertahan setelah Sultan Maulana Hasanuddin wafat. Adapun para Sultan yang menggantikan beliau adalah Maulana Yusuf, Maulana Muhammad dan Sultan Ageng Tirtayasa. Mereka tidak hanya berhasil mempertahankan kejayaan tapi juga terus berusaha memperluas wilayah teritorial Kesultanan Islam Banten.19 Hasanuddin wafat pada tahun 1570 M dan dimakamkan di samping Masjid Agung Banten. Hasanuddin dijuluki oleh rakyat Banten sebagai Pangeran Surosowan dan Panembahan Seda Kingkin. Julukan ini mengandung maksud 16
Fahmi Irfani, Jawara Banten, Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya, (Jakarta: YPM: Young Progressive Muslim, 2011), h.32. 17 Heriyanti Ongkodharma Untoro, Kebesaran dan Tragedi Kota Banten, (Jakarta: Yayasan Kota Kita, 2006), h. 1. 18 Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3, (Yogyakarta: Kanisius, 1973), h. 58. 19 Fahmi Irfani, Jawara Banten, Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya, h. 32.
19
bahwa Maulana Hasanuddin adalah pendiri Keraton Surosowan serta dengan meninggalnya beliau, rakyat Banten berduka cita dan merasa rindu akan kebijaksanaannya.20 Setelah Maulana Hasanuddin wafat, ia digantikan oleh putranya, Maulana Yusuf atau dikenal sebagai Panembahan Yusuf. Ia giat memperluas daerahnya dengan berusaha melenyapkan kerajaan yang belum Islam yaitu Padjajaran.21 Pada masa pemerintahannya, Maulana Yusuf lebih menitikberatkan pada pengembangan kota, keamanan wilayah, perdagangan dan pertanian. Pada tahun 1579, pasukan Banten menyerang Pakuan, Ibu kota Padjajaran sehingga kerajaan Sunda akhirnya runtuh.22 Penyerangan ini dilandasi oleh tekadnya untuk menyebarkan agama Islam ke pedalaman Banten.23 Selain itu, Maulana Yusuf memperluas perekonomian rakyat dengan pembukaan daerah persawahan di sepanjang pesisir Banten dan daerah perkebunan lada di Lampung dan Bengkulu untuk meningkatkan produksi pertanian yang sangat penting guna menunjang perniagaaan, serta untuk konsumsi dalam negeri.24 Pada masa pemerintahannya, perdagangan sudah sangat maju sehingga Banten merupakan tempat penimbunan barang-barang dari berbagai wilayah yang kemudian diperdagangkan ke seluruh kerajaan di Nusantara.25
20
Ajip Rosidi, Ensiklopedi Sunda, Alam, Manusia, dan Budaya Termasuk Budaya Cirebon dan Betawi, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 2000), h. 408. 21 Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3, (Yogyakarta: Kanisius, 1973), h. 58. 22 Atja, Carita Purwaka Caruban Nagari: Karya Sastra Sebagai Sumber Pengetahuan Sejarah, (Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barta, 1986), h. 189. 23 Heriyanti Ongkodharma. Untoro, Kebesaran dan Tragedi Kota Banten, h. 73. 24 Nina H. Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara, h. 36. 25 Buku Halwany Michrob dan Mudjahid Chudori, Catatan Masa Lalu Banten, h. 89.
20
Pada Masa Pemerintahan Maulana Yusuf, Banten telah menjadi tempat persinggahan dan transaksi perdagangan internasional.26 Sehingga situasi perdagangan di Karangantu sangat ramai. Pedagang-pedagang dari Cina membawa barang dagangan berupa porselen sutra, beludru, benang emas, kain sulaman, jarum, sisir, payung, selop, kipas, kertas dan sebaginya. Pulangnya mereka membawa lada, nila, kayu cendana, cengkeh, buah pala, kulit penyu dan gading gajah. Orang Arab dan Persia membawa permata dan obat-obatan. Orang Gujarat menjual kain dari kapas dan sutra, kain putih dari Coromandel. Pulangnya mereka membeli rempah-rempah. Sedangkan orang Portugis membawa kain-kain dari Eropa dan India.27 Pada tahun 1580 Maulana Yusuf wafat dan dimakamkan di Pekalangan Gede dekat Kampung Kasunyatan, sehingga setelah meninggal ia lebih dikenal sebagai pangeran Panembahan Pekalangan Gede atau Pangeran Pasarean.28 Sebagai penggantinya atau yang berhak naik takhta adalah putranya, Maulana Muhammad, tetapi ketika itu ia baru berusia 9 tahun. Pamannya, Pangeran Aria Jepara hendak menggeser takhta Maulana Muhammad, karena menganggap Maulana Muhammad usianya masih terlalu muda. Akan tetapi kadhi (hakim agung) dan para wali tidak setuju dengan keinginan Pangeran Jepara, sehingga Maulana Muhammad tetap dijadikan sebagai Sultan Banten dengan gelar Kangjěng Ratu Bantěn Surosowan.29
26
“Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 3”, (Jakarta: PT Delta Pamungkas, 2004), h.
159. 27
Halwany Michrob dan Mudjahid Chudori, Catatan Masa Lalu Banten, h. 89. Nina H. Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara, h. 39. 29 Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten, (Jakarta: Djambatan, 1983), h. 41 dan 163. 28
21
Pada masa pemerintahannya Maulana Muhammad dikenal sebagai seorang sultan yang amat soleh. Cara yang dilakukan dalam menyebarkan agam Islam yaitu dengan menulis kitab-kitab agama Islam yang kemudian dibagikan kepada masyarakat dan membangun masjid-masjid sampai ke pelosok. Ia juga yang memperindah dan memperbaiki masjid Agung.30 Setelah dewasa Maulana Muhammad mengadakan berbagai usaha untuk memajukkan negerinya dan melakukan ekspansi31 ke Palembang. Dalam ekspedisi tersebut, Pangeran Muhammad berkeinginan untuk memerangi orang-orang kafir.32 Dengan 200 kapal perang, berangkatlah pasukan Banten di bawah pimpinan Sultan Maulana Muhammad yang didampingi oleh Mangkubumi dan Pangeran Mas. Tiba di Palembang terjadilah pertempuran yang sangat dahsyat, bahkan Maulana Muhammad yang memimpim pasukan terbunuh dalam peperangan tersebut, sehingga ekspedisi ini pulang dengan kekalahan. Setelah wafat, Maulana Muhammad dimakamkan di serambi mesjid Agung. Setelah itu ia dikenal sebagai Pangeran Seda ing Palembang atau Pangeran Seda ing Rana.33 Maulana Muhammad meninggal pada usia yang masih muda, kurang lebih 25 tahun dengan meninggalkan seorang putera yang berusia 5 bulan dari permaisuri Ratu Wanagiri, putri dari Mangkubumi. Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir anak Maulana Muhammad menggantikan ayahnya. Namun sehubungan dengan usianya yang masih muda, maka untuk menjalankan
30
Nina H. Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara, h. 40. Ekspansi ialah perluasan suatu wilayah dengan menduduki sebagaian atau seluruh wilayahnya. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 32 Heriyanti Ongodharma Untoro, Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten 15221684, Kajian Arkeologi-Ekonomi, (Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, 2007), h. 34. 33 Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten. h. 164-169. 31
22
pemerintahan,
ditunjuklah
Mangkubumi
Jayanegara,34
sebagai
walinya.
Hingga ia meninggal dunia pada tahun 1602 yang kemudian digantikan oleh adiknya. Akan tetapi pada tanggal 17 November 1602, adiknya itu dipecat dari jabatannya karena kelakuannya tidak baik.35 Setelah Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir sudah dewasa, maka barulah ia menjadi pemimpin pemerintahan di Banten dengan gelar Abu alMafakhir Mahmud Abdul Kadir. Masa pemerintahannya penuh dengan perselisihan antara Banten dan Belanda. Banyak terjadi pertempuran kecil antara kedua wilayah tersebut. Pada tanggal 10 Maret 1651, Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir meninggal dunia dan dimakamkan di Kenari.36 Pengganti Selanjutnya adalah Sultan Ageng Tirtayasa yang memerintah tahun (1651-1682), ia adalah Sultan Banten yang anti Belanda. Semangat memerangi Belanda merupakan salah satu tekad untuk mengalahkan kolonial Belanda. Upaya yang dilakukannya antara lain mengadakan gerilya besar-besaran di wilayah kompeni, merusak kebun-kebun tebu, mencegat serdadu Belanda, serta membakar
markas
kompeni
Belanda.37
Masyarakat
Banten
melakukan
Penyerbuan kecil-kecilan terhadap Belanda, atau perampasan kapal-kapal Belanda dan merusak perkebunan tebu milik kompeni yang terdapat di daerah Banten. Akibat serangan Banten terhadap Belanda, maka Belanda langsung mengirim
34
Mangkubumi Jayanegara adalah seorang yang lemah lembut dan luas pengalamannya dalam pemerintahan. Setiap akan mengambil keputusan yang dianggap penting, ia selalu bermusyawarah dengan para pembesar lainnya terutama dengan seorang wanita tua bijaksana yang ditunjuk sebagai pengasuh sultan muda yang bernama Nyai Embah Rangkun. (Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten. h. 169 35 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten. h. 170 36 Jurnal, Planesa Volume 3, Nomor 1 Mei 2012, Budi Sulistyo dan Gita Vemilya Many, Revitalisasi Kawasan Banten Lama Sebagai Wisata Ziarah .h. 8. 37 Heriyanti Ongodharma Untoro, Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten 15221684, Kajian Arkeologi-Ekonomi, h. 39.
23
empat sampai lima kapal dan mengadakan blokade38 terhadap pelabuhan Banten.39 Peristiwa ini sangat merugikan perdagangan Banten, kemudian Sultan mengadakan perundingan dengan pihak kompeni. Sehingga Sultan menjadikan Kesultanan Banten berkembang pesat dan maju di bidang perdagangan.40 Pada Masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa usaha yang dilakukan untuk kemakmuran negerinya yaitu membuat saluran air dari sungai Untung Jawa hingga Pontang dan Tanahara. Saluran ini dibuat untuk kepentingan irigasi dan memudahkan transformasi dalam peperangan. Selain itu juga untuk meningkatkan produksi pertanian, mengairi sawah-sawah sehingga tumbuh menjadi daerah penghasil pangan. Upaya yang dilakukannya tersebut tidak sia-sia, banyak kapal dagang asing yang berlabuh, sehingga perdagangan di Pelabuhan Banten sangat ramai.41 Selain itu juga salah satu kunci kemakmuran Banten, dengan pelabuhannya yang indah serta aman dan baik waktu itu, maka Banten sudah mencapai taraf internasional.42 Sultan Ageng Tirtayasa telah membawa Banten ke puncak kemajuan. Selain memajukan pertanian dengan sistem irigasi, ia juga berhasil menyusun kekuatan angkatan perangnya, memperluas hubungan diplomatik dan meningkatkan perniagaan Banten sehingga menjadi aktif dalam dunia perdagangan internasional di Asia.43
38
Blokade ialah pengepungan (penutupan) suatu wilayah sehingga orang, barang, kapal, dan sebagainya tidak dapat keluar masuk dengan bebas. Kamus Besar Bahasa Indonesia 39 “Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 3”, h. 161. 40 Heryanti Ongkodharma Untoro, Kebesaran dan Tragedi Kota Banten, h. 75. 41 Heriyanti Ongodharma Untoro, Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten 15221684, Kajian Arkeologi-Ekonomi, h.40. 42 Uka Tjandrasasmita, Musuh Besar Kompeni Belanda (Jakarta: Yayasan Kebudayaan Nusalarang, 1967), hal.7. 43 Nina Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara. h. 50
24
C. Kondisi Masyarakat Banten Secara Umum Banten sebagai sebuah kesultanan yang otonom mengalami suatu perkembangan yang pesat, baik dalam bidang sosial, ekonomi, budaya dan agama. Sehingga kehidupan masyarakat Banten memiliki latar belakang yang berkembang dalam pelayaran, perdagangan dan pertanian. Masyarakat Banten memiliki jiwa bebas dan lebih bersifat terbuka, dengan demikian mereka dapat berbaur dengan pedagang-pedagang dari berbagai bangsa lain. Para pedagang tersebut
menetap
dan
mendirikan
perkampungan
di
Banten.
Seperti
perkampungan Pekojan (perkampungan orang Arab), Pecinan (perkampungan orang Cina), Kampung Melayu, Kampung Jawa dan sebagainya.44
1. Sosial Kehidupan sosial rakyat Banten didasarkan pada ajaran-ajaran yang berlaku dalam Agama Islam.45 Pemerintahan Banten menggunakan aturan dan hukum Islam, sehingga kehidupan masyarakatnya hidup secara teratur. Di Pelabuhan Banten terdapat berbagai etnis pendatang antara lain: Eropa, Cina dan Arab. Orang Eropa merupakan komunitas yang mendiami daerah perkotaan, sementara orang Cina mendiami daerah atau pusat-pusat perekonomian, sedangkan orangorang Arab tinggal di Banten memberi dampak penyebaran agama Islam di daerah ini.46 Dalam struktur sosial masyarakat Banten, terdapat 4 golongan yaitu golongan para sultan dan keluarganya, golongan elit, golongan nonelit, dan 44
http://KehidupanSosialdan20Ekonomi%20Masyarakat%20Kerajaan%20Banten%20_% 20Perpustakaan%20Cyber.htm. 45 Fahmi Irfani, Jawara Banten, Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya, (Jakarta: YPM: Young Progressive Muslim, 2011), h. 1. 46 Nina H. Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara, h. 82.
25
golongan budak. Sultan dan keluarganya merupakan kelompok masyarakat yang menempati lapisan sosial paling tinggi. Golongan kedua (elit) dikategorikan dalam pejabat-pejabat tinggi kerajaan seperti Menteri, Mangkubumi, Kadhi, Syahbandar, dan lain-lain.47 Golongan yang ketiga yaitu golongan nonelit yang merupakan mayoritas rakyat Banten, yang termasuk dalam kelas ini adalah rakyat pribumi yang berdiam disana. Mereka terdiri dari petani, buruh, pekerja ahli (tukang), nelayan dan pedagang asing yang bertempat tinggal di Banten.48 Sedangkan lapisan terbawah yang merupakan golongan budak, pada umumnya kehidupan mereka penuh pengabdian pada majikan, sehingga dapat diduga bahwa sangat besar ketergantungan pada kebijaksanaan tuannya.49 Pada abad ke-19 Masyarakat Banten, mengalami penderitaan khususnya sejak dihapuskannya kesultanan Banten oleh Daendells pada tahun 1808.50 Pasca dihapuskannya pemerintahan kesultanan Banten, tekanan pemerintah Hindia Belanda terhadap masyarakat pribumi semakin besar sehingga memunculkan konflik di masyarakat.51 Keadaan rakyat Banten di tandai adanya bencana fisik yang silih berganti. Pada tahun 1879 terdapat wabah penyakit pes sehingga banyak penduduk yang meninggal, tahun 1883 terjadi letusan Gunung Krakatau, dan pada tahun 1888 terjadi perlawanan petani di Keresidenan Banten.52 Akan tetapi rakyat Banten lambat laun bisa memulihkan kehidupannya menuju ke arah normal. Musibah 47
Heriyanti Ongkodharma Untoro, Kebesaran dan Tragedi Kota Banten, (Jakarta: Yayasan Kota Kita, 2006), h. 78. 48 Nina Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara, h. 83. 49 Heriyanti Ongkodharma Untoro, Kebesaran dan Tragedi Kota Banten, h. 83. 50 Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Kondisi, Jalan, Peristiwa, dan Kelanjutannya, (Jakata: PT Dunia Pustaka Jaya, 1984), hlm. 53 51 Fahmi Irfani, Jawara Banten, Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya, h. 7. 52 Halwany Michrob, Catatan Sejarah dan Arkeologi: Eksport-Import di Zaman Kesultanan Banten, (Serang: Kamar Dagang dan Industri Daerah (KADINDA), 1993), h. 14.
26
yang bertubi-tubi menimpa rakyat Banten dengan sendirinya membawa dampak luas, di bidang sosial ekonomi, sehingga meski kehidupan sosial ekonomi dapat dipulihkan pada tahun-tahun berikutnya, suasana di kalangan rakyat penuh kegelisahan dan keresahan.53
2. Agama Pada awal abad ke-16 kehidupan keagamaan dan kepercayaan masyarakat Banten mengalami pergeseran yang mendasar. Pergeseran ini disebabkan oleh masuk dan berkembangnya agama Islam. Pada tahun 1579 puncak penyebaran agama Islam terjadi beriringan dengan runtuhnya Kerajaan Sunda akibat dari serangan Banten di bawah Pimpinan Maulana Yusuf. Sejak saat itu, kehidupan keagamaan dan kepercayaan masyarakat di Banten didominasi oleh Islam.54 Ada sebagian kecil masyarakat Banten yang menganut kepercayaan praIslam, yakni masyarakat Baduy.55 Masyarakat Baduy berdiam di daerah Kenekes dan mereka tinggal di tiga kampung yakni, Cibeo, Cikeusik dan Cikartawarna. Kehidupan masyarakat tersebut sampai kini masih bercocok tanam dan berpakaian khasnya sendiri. Perkampungan di daerah Kenekes begitu terpencil sehingga tidak terpengaruh dengan perkembangan kehidupan sosial budaya masyarakat di luarnya.56
53
Halwany Michrob dan Mudjahid Chudori, Catatan Masa Lalu Banten, (Serang: Saudara Serang, 2011), h. 15-16. 54 Nina H. Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara, (Jakarta : Pustaka LP3ES. Indonesia, 2003), h. 84. 55 Fahmi Irfani, Jawara Banten, Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya, (Jakarta: YPM: Young Progressive Muslim, 2011), h. 1. 56 “Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 3”, (Jakarta: PT Delta Pamungkas, 2004), h. 159.
27
Meskipun Islam sudah diterima secara luas, namun bukan berarti kehidupan keagamaan dan kepercayaan masyarakat sepenuhnya bercorak Islam. Dalam kenyataannya, praktik-praktik animistis masih dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Sinkretisme menjadi sebuah kenyataan yang masih mewarnai kehidupan masyarakat Banten.57 Praktik animisme lambat laun mulai menghilang dengan kedatangan para pemuka agama. Setelah kedatangan Syarif Hidayatullah dan putranya yang membawa dan mengajarkan agama Islam di Banten, masyarakat Banten sebagian besar menganut agama Islam, dan dikenal dengan salah satu daerah berbasis Islam tradisionalis dan fanatik.58 Banten dikenal dengan daerah yang sering melakukan pemberontakan. Salah satunya ialah pemberontakan Petani Banten 1888. Pemberontakan tersebut dipandang sebagai gerakan protes terhadap penjajahan Barat dan menggunakan agama sebagai simbol. Pemimpin agama dengan demikian muncul sebagai pemimpin gerakan rakyat. Oleh karena itu, gerakan pemberontakan yang mereka lancarkan dianggap sebagai gerakan keagamaan.59 Kaum elit agama mempunyai kebebasan dalam melaksanakan fungsi-fungsi mereka, seperti menyelenggarakan kegiatan-kegiatan agama, mendirikan pesantren, bahkan mendirikan tarekat-tarekat yang digunakan sebagai pemberontkan dan kekuatan bagi masyarakat Banten.60
57
Fahmi Irfani, Jawara Banten, Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya, h. 84. Ibid., h. 29-30. 59 Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Kondisi, Jalan, Peristiwa, dan Kelanjutannya, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1984), h. 15. 60 Ibid., h. 135. 58
28
3. Ekonomi Ekonomi merupakan faktor penting dalam mendukung perkembangan Banten. Ia merupakan sumber dana untuk keberlangsungan Kesultanan Banten. Maju atau mundurnya suatu kesultanan, tergantung bagaimana kemampuan kesultanan dalam mengendalikan perekonomiannya.61 Pemegang hak monopoli perdagangan yang terdapat dalam kerajaan-kerajaan tradisional di Indonesia adalah raja.62Artinya raja atau Sultan memegang peranan dalam mengendalikan suatu perekonomian. Perekonomian Banten bersifat agraris, sehingga mata pencaharaian mereka sebagian kecil adalah petani, baik sebagai pemilik tanah atau sebagai penggarap bagi hasil. Namun demikian, sebagian besar mata pencaharian mereka juga ialah bekerja sebagai pedagang dan nelayan.63 Karena Banten sebagai kerajaan pesisir yang bercorak Maritim, kehidupannya menitikberatkan pada bidang perdagangan dan pelayaran, maka baik kekuasaan politik maupun ekonomi dipegang oleh kaum ningrat yang mendominasi perdagangan sebagai pemberi modal. Tome Pires menyebutkan bahwa Banten telah menjadi pelabuhan kedua tepenting setelah Kalapa. Sebagai pelabuhan kedua, Banten telah menjadi pengekspor beras dan lada.64 Pusat penjualan lada terdapat di pasar dekat pelabuhan Banten. Orang-orang berdatangan ke tempat tersebut untuk melakukan transaksi jual beli lada dan
61
Tubagus Najib Al-Bantani, “Biografi K.Wasid Karya-Karya dan Perlawanan Terhadap Kolonial di Banten”, (Skripsi Universitas Indonesia, 1991), h. 7. 62 Burger dan Prayudi, Sejarah Ekonomi Sosiologis Indonesia, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1962), Jilid 1. h. 23-25. 63 Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Kondisi, Jalan, Peristiwa, dan Kelanjutannya, h. 57. 64 Halwany Michrob, Catatan Sejarah dan Arkeologi: Eksport-Import di Zaman Kesultanan Banten, (Serang: Kamar Dagang dan Industri Daerah (KADINDA), 1993), h. 14.
29
berbagai aktifitas, sehingga menjadikan kota Banten dikenal sebagai pusat perdagangan,65 yang ramai dan disinggahi oleh kapal-kapal dagang Cina, India dan Eropa.66 Perkembangan ekonomi tersebut kemungkinan besar terjadi ketika membaur dengan perdagangan Cina.67 Pada abad ke-19 Banten mulai mengalami kemunduran sejak kedatangan kolonial Belanda.68 Belanda masuk ke Banten karena Banten merupakan daerah yang strategis dan mengalami kemajuan di bidang perdagangan. Sehingga Belanda ingin menguasai wilayah Banten dan memonopoli perdagangan di pelabuhan yang strategis tersebut dan ingin membuat rakyat Banten sengsara.69 Kehidupan ekonomi Rakyat Banten memburuk seiring menguatnya kekuasaan Belanda. Rakyat Banten yang semula umumnya adalah pedagang di laut, beralih profesi menjadi petani lada dan pemerintah kolonial campur tangan sampai ke urusan desa.70 Pada abad tersebut Banten sangat prihatin dan tidak setuju dengan cara yang diterapkan Belanda di Kesultanan Banten. Muncullah perlawannan yang dipimpin para tokoh Banten. Bermarkas di hutan-hutan Selatan, mereka selalu siap menghadang tentara Belanda yang menuju Batavia untuk mengangkat rempahrempah dan barang-barang pedagang lainnya di Banten. Belanda membalasnya dengan melakukan penyiksaan tehadap masyarakat Banten seperti kerja rodi dan
65
Heriyanti Ongkodharma Untoro, Kebesaran dan Tragedi Kota Banten, (Jakarta: Yayasan Kota Kita, 2006), h. 3. 66 H.J.De Graaf dan TH. Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, h. 137. 67 Claude Guillot, Banten Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2011), h. 26. 68 Uka Tjandrasasmita, Banten Abad XV-XXI Pencapaian Gemilang Penorehan Menjelang, (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2011), h. 75. 69 Nina H. Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara, (Jakarta : Pustaka LP3ES. Indonesia, 200), h. 70. 70 Ibid., h. 97-98.
30
tanam paksa.71 Sistem tanam paksa yang dilakukan oleh Belanda merupakan eksploitasi penjajahan di tanah koloni. Eksploitasi ini telah menciptakan kemiskinan petani Jawa.72
4. Budaya Banten juga dikenal karena budaya masyarakat lokal yang unik dan berbeda dari daerah lainnya, walaupun setiap suku masyarakat yang mendiami daerahdaerah lain di Indonesia memiliki kultur budaya mereka tersendiri.73 Budaya lokal berintegrasi dan berinteraksi dengan konsep-konsep Islam, seperti tampak pada adanya dua jenis pintu gerbang Bantar dan paduraksa sebagai ambang masuk masjid di Keraton Kaibon. Namun sebaliknya “wajah asing” pun tampak sangat jelas di komplek Masjid Agung Banten, yakni melalui pendirian bangunan Tiamah dan Menara Mesjid.74 Dalam kehidupan sosial budaya, bahasa memegang peranan sangat penting. Dengan bahasa, orang bisa berkomunikasi dengan para pedagang dalam maupun luar negeri. Berdasarkan sumber sejarah yang yang ditemukan dapat diketahui bahwa kurun waktu tahun 1500-1800 M masyarakat Banten terdiri dari beragam etnis yang ada di Nusantara, antara lain: Sunda, Jawa, Bugis, Makasar dan Bali. Beragam suku tersebut memberi pengaruh terhadap perkembangan budaya
71
Uka Tjandrasasmita, Banten Abad XV-XXI Pencapaian Gemilang Penorehan Menjelang, h. 32. 72 Robert Van Niel, Sistem Tanam Paksa di Jawa.(Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2003), h. ix. 73 Fahmi Irfani, Jawara Banten, Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya, (Jakarta: YPM: Young Progressive Muslim, 2011), h. 28-29. 74 Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban Arkeologi dan Islam di Indonesia, (Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 1998), h. 209.
31
Banten. Dari sekian banyak bahasa yang dikenal dan digunakan oleh masyarakat Banten hanya tiga bahasa yaitu Sunda, Jawa, dan Melayu.75 Bahasa Sunda adalah bahasa yang digunakan oleh sebagain besar masyarakat Banten bagian Selatan, sementara masyarakat Banten bagian Utara menggunakan bahasa Jawa.76 Sedangkan bahasa melayu banyak digunakan di pelabuhan karena kedudukannya sebagai lingua franca (bahasa perantara atau bahasa penghubung).77 Masyarakat dan kebudayaan Banten memiliki keunikan dan kekhasan tersendiri. Keunikan tersebut menjadi eksisitensi budaya Banten untuk dapat diperkenalkan kepada masyarakat umum. Keunikan budaya Banten dapat dilihat dari berbagai macam kesenina tradisional seperti, debus, rudat,78 dsb. Debus merupakan kesenian tradisional khas Banten yang tumbuh bersamaan dengan perkembangan agama Islam di Banten dan sebagai warisan budaya lokal masyarakat Banten dan diakulturasikan dengan nilai-nilai Islam.79
D. Perkembangan Tarekat di Banten Sejalan dengan berkembangnya Kesultanan Banten, perkembangan ajaranajaran Islam terus berjalan dengan pesat. Salah satu yang berkembang di Banten adalah tarekat. Pemerintah Belanda menganggap tarekat sebagai pemberontakan 75
Nina H. Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara, (Jakarta : Pustaka LP3ES. Indonesia, 2003), h. 84-85. 76 “Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 3”, (Jakarta: PT Delta pamungkas, 2004),h. 159. 77 Nina Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara, h. 85. Apabila ada oarang asing yang datang ke Banten, maka bahasa melayu lah yang digunakan. 78 Rudat ialah suatu pertunjukkan yang dilakukan oleh beberapa orang. Cara melakukannya ialah duduk sambil memukul alat-alat bunyian, berupa genjring sebanyak lima sampai tujuh buah dan disertai ebuah kecrek. Sejarah Seni Budaya Jawa Barat 1, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977), h. 87. 79 Noviyanti Widyasari, Peranan Debus Dalam Pembinaan Budaya Kewarganegaraan (Civil Culture) Pada Masyarakat Banten. Universitas Pendidikan Indonesia, 2014. h. 1
32
yang dipimpin oleh tokoh-tokoh Agama.80 Pada abad ke-19 di Pulau Jawa ada tiga tarekat yang sangat penting yaitu Qadiriyah, Naqsyabandiyah, dan Satariyah. Akan tetapi terdapat pula kelompok-kelompok tarekat Rahmaniyah dan Rifa’iyah walupun tidak banyak pengikutnya. Di Pulau Jawa secara keseluruhan tarekat Naqsyabandiyah yang paling banyak pengikutnya.81 Sedangkan di Banten tarekat yang populer dan berafiliasi di kalangan jawara Banten ialah Tarekat Qadiriyah, Rifa’iyah, dan Sammaniyah.82 Guru tarekat yang pertama kali datang ke Banten ialah Syekh Yusuf Al-Makasari, tetapi tidak ada bukti tentang penyebarluasan suatu tarekat di kalangan masyarakat Banten. Tarekat yang diajarkannya yaitu tarekat Khalwatiyah. Penyebarannya masih terbatas diberikan kepada kelompok etnisnya saja. Sehingga para pengikut yang diangkatnya hanyalah terdiri dari orang-orang Makasar saja. Sementara tidak ada masyarakat Banten yang meneruskan tarekat syekh Yusuf ini. Namun telah ditemukan beberapa tarekat terutama tarekat Naqsyabandiyah dan Syatariyah, diajarkan di Banten yang di bawa oleh Abdullah bin Abdul Qahar.83 Pada abad ke-19, tarekat di Indonesia memperoleh semangat dan dukungan dari masyarakat. Hal ini disebabkan kedatangan para pengikut Syekh Khatib Sambas dari Mekkah. Khatib Sambas ialah seorang pemimpin tarekat Qadiriyah di Mekkah. Ia seorang Kiyai yang oleh murid-muridnya dianggap sebagai seorang 80
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 64. Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Kondisi, Jalan, Peristiwa, dan Kelanjutannya, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1984), hlm. 225. 82 Fahmi Irfani, Jawara Banten, Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya, (Jakarta: YPM: Young Progressive Muslim, 2011), h. 20. 83 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia. (Bandung: Mizan, 1995), h. 268-269. Dan hasil Wawancara Tokoh Budaya juga mengatakan bahwa Abdullah bin abdul Qahar juga mengajarkan Sanusiyah, Awaliyah, Syadziliyah, Rifa’iyah. 81
33
alim yang menguasai berbagai pengetahuan Islam. Khatib Sambas juga dikenal sebagai pendiri suatu tarekat baru yaitu tarekat Qadariyah wa Naqsyabandiyah. 84 Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah merupakan tarekat yang baru dan berdiri sendiri, yang di dalamnya terdapat unsur-unsur pilihan dari Qadiriyah dan juga Naqsyabandiyah yang telah dipadukan menjadi sesuatu yang baru. Khatib Sambas mempunyai banyak murid yang datang dari setiap penjuru Nusantara: dari Malaya, Sumatera, Jawa, Bali dan Lombok. Setelah ia wafat hanya seorang dari mereka yang diakui sebagai pemimpin utama dari tarekat tersebut, dia adalah Syeikh Ahmad Abdul Karim dari Banten.85 Sebelum didirikannya tarekat tersebut, para kiyai di Banten tidak melakukan kerja sama satu sama lain. Setiap kiyai mendirikan pesantrennya sendiri dengan caranya sendiri, dan bersaing dengan kiayi-kiyai lainnya untuk mendapat nama sebagai ulama yang pandai.86 Dengan kedatangan Syekh Abdul Karim, tarekat Qadiriyah wa Naqsyabndiyah menjadi populer di kalangan masyarakat Banten. Tarekat tersebut dikatakan sebagai pendorong pemberontakan petani yang terjadi di Banten pada tahun 1888. Banten kemudian dikenal sebagai daerah yang sering memberontak, dan dipelopori oleh tokoh-tokoh agama.87 Pengaruh para kiyai terhadap masyarakat sangat kuat. Kesetiaan para santri kepada kiyai juga sangat tinggi, karena kiyai dianggap mempunyai kesaktian.
84
Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Pandangan Hidup Kiyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2011), h. 219. 85 Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survei historis, geografis, dan sosiologis, h. 89-92. 86 Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Kondisi, Jalan, Peristiwa, dan Kelanjutannya, h. 230. 87 Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, h. 27.
34
Pada umumnya para kiyai sangat dicintai dan dihormati oleh rakyat karena mereka menganggapnya sebagai lambang kejujuran dan keluhuran budi.88
88
Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, h. 230.
BAB III SEJARAH DAN PERKEMBANGAN TAREKAT RIFA’IYAH DI BANTEN ABAD KE-19
A. Tarekat Rifa’iyah di Banten (Profil, Sosial Historis) Tarekat Rifa‟iyah pertama kali muncul dan berkembang di wilayah Irak bagian Selatan. Pendirinya adalah Syekh Abu Al-Abbas Ahmad ibn Ali Al-Rifa‟i. Ia lahir di Qaryah Hasan, dekat Basrah. Tahun kelahirannya diperkirakan pada 1106 M dan wafat pada tahun 1182 M.1 Tarekat ini kemudian berkembang di beberapa wilayah, seperti Mesir, Suriah dan Indonesia. Tarekat Rifa‟iyah masuk ke Indonesia dari salah satu ulama yang berasal dari India yakni Nuruddin alRaniri.2 Ia ditunjuk oleh Syekh Ba Syaiban sebagai khalifah dalam tarekat Rifa‟iyah,
dan
karenanya
ia
bertanggungjawab
untuk
membawa
dan
menyebarkannya ke beberapa wilayah Indonesia.3 Pertama kali ia menyebarkan ke wilayah Aceh,4 sehinggga kini pengaruhnya sampai ke Minangkabau, Cirebon, Maluku, dan Banten.5
1
Abu Bakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat, Cet. XI, (Solo: Ramadhani, 1995), h. 355 dan
357. 2
Sri Mulyati, Mengenal & Memahami Tarekat-Tarekat Muktabaroh di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 15. 3 M. Solihin, Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 38. Sebelumnya penganut tarekat ini ialah Syekh Muhammad Al-Aidarus (kakek rohani dari Nurudin al-Raniri). Melaui Syeh Al-Aidarus ini Ba Syaiban diterima masuk dalam tarekat Rifa‟iyah kemudian ia menggantikannya dan menerima kedatangan murid-murid baru. Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka, Cet. ke-1, (Kencana: Prenada Media Group, 2006), h. 88. 4 Nurudin al-Raniri pertama kali menyebarkan tarekat Rifa‟iyah di wilayah Aceh, karena ia telah menjabat Syekh al-Islam atau mufti di Kerajaan Aceh pada zaman Sultan Iskandar Tsani dan Sultanah Shafiatu al-Din. Ia tinggal di Aceh selama 7 tahun. Sri Mulyati, Mengenal & Memahami Tarekat-Tarekat Muktabaroh di Indonesia, h. 15. 5 Badri Yatim, “Tarekat dan Perkembangannya”, Indonesia Dalam Arus Sejarah Jilid 3: Kedatangan dan Peradaban Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2011), h. 369.
35
36
Tarekat Rifa‟iyah diperkirakan pertama kali masuk dan berkembang di Banten pada masa Sultan Abu Al-Mufakhir Aliyuddin (1777-1802).6 Tarekat ini pertama kali menyebar dari kalangan istana dan elit kota, kemudian menyebar ke kalangan penduduk yang luas bahkan ke kalangan masyarakat awam. 7 Tarekat Rifa‟iyah yang berkembang di Banten merupakan tarekat yang berkaitan dengan permainan debus,8 meski dalam perkembangannya tidak ada guru-guru terkemuka yang memberi dorongan baru. Akan tetapi ada salah seorang Kiyai Abdul Qadir seorang guru keturunan Banten yang bermukim di desa Cibaregbeg, Cianjur. Ia dikenal sebagai Guru Tarekat Rifa‟iyah terakhir di Banten yang diakui secara luas.9 Keberadaan tarekat Rifa‟iyah di Banten juga di dukung dengan adanya naskah tentang Ratib tarekat Rifa‟i. Di dalam naskah tersebut, sering menyebutkan nama pendiri tarekat Rifa‟iyah yaitu Syekh Ahmad al-Kabir alRifa‟i. Penyebutan nama ini juga menunjukkan perkembangan tarekat Rifa‟iyah di Banten.10 Di dalam isi naskah Ratib Rifa‟i juga terdapat nama-nama orang yang dianggap penting dan memiliki hubungan dengan sejarah tarekat Rifa‟iyah di Banten antara lain: 1. Syekh Ahmad al-Kabir al-Rifa‟i 2. Syekh „Abd al-Qadir al-Jaelani 3. Syekh Safi ad-Din Ahmad ibn „Alwan
6
Riwayat Sultan Abu Al-Mufakhir belum ada yang mengungkapkan dan masa pemerintahnnya juga belum ada sejarahnya, yang ada hanya tahun pemerintahannya saja. 7 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia. (Bandung: Mizan, 1995), h. 273. 8 C. Snouck Hurgronje, De Atjehers Jilid II, (Leiden: E.J. Brill, 1894), h. 256. 9 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, h. 271. 10 Ibid., h. 271.
37
4. Syekh Ahmad Badawi al-Rifa‟i 5. Syekh Ibrahim Ahmad ad-Dasuqi 6. Syekh Abu Bakar „Abdullah al-Aydarus 7. Syekh Musa ibn Sayyid „Abdullah al-Qadir al-Rifa‟i 8. Sultan Maulana Hasan ad-Din (Hasanuddin) ibn Maulana Mahdum 9. Sultan Muhammad al-Arif Zain al-„Asyiqin 10. Sultan Abu Mufakhir Muhammad „Aliyuddin.11 Syekh Ahmad al-Kabir al-Rifa‟i adalah Pendiri tarekat Rifa‟iyah, sedangkan yang nomor dua Syekh Abd al-Qadir al-Jaelani, ia adalah tokoh utama tarekat Qadiriyah.12 Tiga tokoh berikutnya adalah murid-murid Ahmad Rifa‟i yaitu Syekh Safi ad-Din Ahmad ibn Alwan (w.1266 M), Syekh Ahmad Badawi al-Rifa‟i (w.1276 M), Syekh Ibrahim Ahmad ad-Dasuqi (w.1288 M). 13 Tokoh yang keenam Syekh Abu Bakar „Abdullah al-Aydarus adalah salah seorang syekh tarekat Rifa‟iyah yang namanya tercantum dalam silsilah Nuruddin al-Raniri. Dalam silsilah tersebut tertulis nama lengkapnya Syekh Fakhir ad-Din Abu Bakr Abdullah al-Aydarus al-Adani. Ulama ini selain mengajarkan tarekat Rifa‟iyah, juga mengajarkan tarekat Qadiriyah. Al-Aydarus adalah kakek Nuruddin al-Raniri dalam tarekat Rifa‟iyah. Nuruddin al-Raniri masuk dalam tarekat Rifaiyah melalui Syekh Said Abu Hafs Umar bin Abdullah Ba Syaiban
11
Nur Karim, “Ratib Ar-Rifa‟i Terjemahan Naskah dan Pengungkapan Isi”, (Skripsi Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1991), h. 158. 12 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, h. 207. 13 J. Spencer Trimingham, The Sufi Orders In Islam, (New York: Oxford University Press, 1971). h. 40 dan 281.
38
dari Tarim. Sementara Ba Syaiban sendiri masuk tarekat Rifa‟iyah melalui Syekh Abu Bakar Abdullah al-Aydarus.14 Tokoh nomor tujuh, dalam hadiah al-fatihah hanya disebutkan nama singkatnya saja yaitu Sayyid Musa. Sedangkan dalam munajat Rifa‟i namanya disebutkan secara lengkap sebagai Sayyid Syekh Musa ibn Sayyid Abd al-Qadir al-Rifa‟i. Dalam naskah sering disebut sebagai petunjuk jalan, pengikut, dan perantara kepada Allah SWT. Ia juga merupakan salah seorang syekh dalam tarekat Rifa‟iyah, karena nama belakangnya Rifa‟i sehingga memperkuat dugaan tersebut.15 Tiga tokoh selanjutnya yaitu, Sultan Maulana Hasanuddin ibn Maulana Mahdum, Sultan Muhammad al-Arif Zain al-Asyiqin, dan Sultan Abu Mufakhir Muhammad Aliyuddin, tiga orang sultan tersebut yang pernah memerintah di Kesultanan Banten. Maulana Hasanuddin Sultan pertama Banten pada tahun (1552-1570). Penyebutan nama Maulana Hasanuddin dalam naskah ditunjukkan untuk lebih menghormatinya sebagai tokoh yang mengislamkan Banten dan daerah sekitarnya. Muhammad al-Arif Zain al-„Asyiqin dengan nama lengkap Abu al-Nasr Muhammad al-„Arif Zain al-Asyiqin, diganti oleh putranya pada tahun 1777 M dengan gelar Sultan Abu Mufakhir Muhammad Aliyuddin16 yang wafat pada tahun 1802 M.17 Dalam naskah tersebut menambahkan gelar khalifah18 kepada Sultan Abu Mufakhir Muhammad Aliyuddin. 14
Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka, Cet. ke-1, (Kencana: Prenada Media Group, 2006), h. 88. 15 Nur Karim, “Ratib Ar-Rifa‟i Terjemahan Naskah dan Pengungkapan Isi”, h. 159. 16 Mengenai Sultan Muhammad al-Arif Zain al-„Asyiqin, dan Sultan Abu Mufakhir Muhammad Aliyuddin. Belum menemukan catatan yang mengungkapkan riwayat hidupnya, bahkan masa pemerintahannyapun belum ditemukannya juga, yang bisa di temukan hanya sekedar Nama dan tahun pemerintahannya saja 17 Sanusi Pane, Sejarah Indonesia Jilid II, (Jakarta: Perpustakaan Perguruan Kementrian, 1956), h. 14.
39
B. Tarekat Rifaiyah Dalam Budaya Banten Tarekat Rifa‟iyah selain fungsi utamanya dalam mendekatkan diri kepada Tuhan, akan tetapi di Banten digunakan sebagai alat untuk memobilisir rakyat untuk melakukan perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Faktor-faktor yang menyebabkan pemberontakan yaitu tejadinya keresahan sosial yang kompleks dan beraneka ragam, seperti disintegrasi19 tatanan tradisional, semakin memburuknya sistem politik dan tumbuhnya kebencian religius terhadap penguasa asing.20 Tarekat berfungsi sebagai pelekat diantara mereka sekaligus menjadi penguat dalam melakukan pemberontakan. Di Banten sendiri terdapat beberapa tarekat yang berkembang, antara lain: Tarekat Awaliyah, Syatariyah, Sanusiyah, Sadziliyah, Samaniyah, Qadiriyah dan Rifa‟iyah. Meski yang lebih berperan dalam pemberontakan Banten 1888 adalah tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Tetapi tarekat-tarekat lainnya juga ikut terlibat, dan saling membantu. Sehingga tarekat yang terdapat di Banten saling mendukung satu sama lain. Tarekat-tarekat di Banten selain digunakan untuk berjuang melawan kolonial, juga dimanfaatkan untuk membangun simpatik di ranah kebudayaan atau seni. Tarekat Syadziliyah, misalnya dikenal dengan seni pembacaan dalalil al-
18
Istilah khalifah sebenarnya dapat memiliki berbagai makna dan ternyata telah digunakan dalam bentuk gabungan kata Khalifatullah “wakil Allah”, sebagai gelar seorang raja di beberapa kerajaan muslim di Indonesia. Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, h, 273. 19 Disintegrasi adalah keadaan tidak bersatu padu, keadaan terpecah belah, hilangnya keutuhan atau persatuan, perpecahan. 20 Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Kondisi, Jalan, Peristiwa, dan Kelanjutannya, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1984), h. 157.
40
khoirot, Samaniyah dengan dzikir saman, Qadiriyah dengan wawacan seh Abdul Qadir Jaelani, dan Rifa‟iyah dengan kekebalan atau debusnya.21 Dalam peristiwa pemberontakan di Banten, tarekat Rifa'iyah diyakini telah memberi kekebalan kepada rakyat Banten yang belum memiliki persenjataan modern, seperti pistol dan senapan. Alat yang digunakan adalah senjata tradisional, seperti keris, golok, dan bambu runcing. Para ulama dan tokoh agama biasanya memberi bekal yang mendorong keberanian rakyat dan pemuda Banten untuk menghadapi tentara penjajah.22 Bekal yang diberikan dapat berupa dzikir dan wirid serta do‟a-do‟a yang ada dalam tarekat, semangat juang dan juga keyakinan akan kekebalan terhadap senjata tajam. Pengajaran dari sebagian amalan tarekat yang bertujuan untuk mendapatkan kekebalan ini kemudian berkembang menjadi suatu bentuk permainan yang kini lebih dikenal sebagai debus.23 Debus merupakan suatu fenomena khas Indonesia yang terdapat di berbagai daerah, selain di Banten juga berkembang di Aceh dan Sumatera Barat. di Aceh debus dikenal dengan rafa‟i, dabuih24 dan di Minangkabau dinamakan dengan madaboih. Di Banten debus sudah berkembang pada masa kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa. Karena peran pentingnya dalam membangkitkan moral pasukan melawan VOC, debus sering diasosiasikan dengan masyarakat Banten dari pada lainnya.25 21
Wawancara Pribadi dengan Abah Yadi salah seorang tokoh Budaya Banten, Serang, 13 April 2015, Pukul, 11.00 WIB. 22 Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Kondisi, Jalan, Peristiwa, dan Kelanjutannya, h. 226. 23 Isman Pratama Nasution, “Debus, Islam dan Kiai: Studi Kasus di Desa Tegal Sari, Kecamatan Walantaka, Kabupaten Serang, Jawa Barat”, (Tesis, FISIP, Universitas Indonesia, 1995), h. 5 24 C. Snouck Hurgronje, De Atjehers Deel II, (Leiden: Brill, 1894), h. 258 25 J.Vredenbregt, Dabus in West Java, h. 33.
41
Mengenai asal usul kata debus ini terdapat perbedaan. Sebagian orang mengatakan bahwa debus berasal dari bahasa Sunda yang artinya “tembus”. Hal ini dikaitkan dengan alat yang digunakan dalam permainannya adalah benda tajam yang apabila ditusukkan ke dalam tubuh, dapat tembus. Namun kondisi badan tidak terluka sama sekali.26 Permainan Debus yang dilakukan oleh masyarakat Banten, jika dicermati secara mendalam didalamnya terkandung nilai yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan bersama. Nilai religius tercermin dalam do‟a yang dipanjatkan oleh para pemain. Do‟a tersebut bertujuan agar para pemain selalu di lindungi dan selalu mendapatkan keselamatan dari Allah SWT selama menyelenggarakan permainan Debus.27
C. Ajaran-Ajaran Tarekat Rifa’iyah 1. Keanggotaan Tarekat Rifa‟iyah adalah sebuah jemaat yang memiliki ajaran-ajaran tertentu. Sebelum di bai‟at menjadi anggota tarekat Rifa‟iyah setiap orang atau kelompok harus bisa menyelesaikan ujian yang diberikan oleh Guru, yaitu ujian yang bersifat fisik, mental dan batin. Ketiga macam ujian itu dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan dengan melakukan puasa selama tiga hari.28 Bahkan menurut salah seorang pengikut tarekat Rifa‟iyah, puasa dilaksanakan selama 40 hari. Selama puasa ada beberapa tindakan yang harus dilakukan, seperti tidak
26
Isman Pratama Nasution, Debus Walantaka: Fenomena Budaya Banten, Universitas Indonesia, journal.ui.ac.id/index.php/jai/article/download/.../2607. Akses tanggal 21 april 2015. h. 32 27 http://wisnunatural.blogspot.com/2012/04/laporan-penelitian-kesenian-debus.html. 28 Makmun Muzakki, “Tarekat dan Debus Rifa‟iyah di Banten”, (Skripsi Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, 1990), h. 66.
42
boleh bertemu dengan perempuan, ketika berbuka puasa hanya diperbolehkan memakan sekepal nasi putih, sedikit garam dan beberapa buah cabe rawit. Selama menjalankan puasa, seorang murid juga diwajibkan untuk mandi setiap malam hari dan membersihkan diri dari perbuatan dosa. Setelah mandi tidak diperbolehkan tidur.29 Ia harus melaksanakan beberapa kewajiban yang lain antara lain: a. Shalat Istikharah enam rakaat, tiga kali salam. Dan masing-masing surat di baca 11 kali setiap rakaat. Adapun cara melaksanakan shalat sebanyak enam rakaat tersebut yaitu, untuk shalat dua rakaat pertama, surat yang dibaca yaitu al-Qadar dan surat ad-Duha. Sementara untuk dua rakaat yang kedua, membaca surat ad-Duha dan surat al-Insyiroh. Sedangkan untuk dua rakaat yang ketiga membaca surat al-Kafirun dan surat al-Ikhlas. b. Membaca istigfar sebanyak 100 kali c. Membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW, 100 kali d. Membaca Dzikir 100 kali e. Membaca al-Qur‟an surat al-Fatihah dan al-Ikhlas sebanyak 100 kali, serta membaca surat al-Falaq dan an-Nas masing-masing sekali.30 Di dalam tarekat terdapat hubungan anatara guru dan murid yang sangat erat. Guru dalam tarekat di sebut Mursyid atau kiyai. Mursyid inilah orang yang memberikan ilmunya kepada orang yang ingin belajar. Sedangkan orang yang mau menerima ilmu mereka akan menjadi murid.31 Oleh karena itu untuk menjadi
29
Mohammad Hudaeri, Debus: Dalam Tradisi Masyarakat Banten, (Serang: FUD Press, 2009), h. 67. 30 Makmun Muzakki, “Tarekat dan Debus Rifa‟iyah di Banten”, h. 67-68. 31 Abu Bakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat, h. 74.
43
pengikut tarekat Rifa‟iyah, seseorang harus menjalankan beberapa perintah dari seorang mursyid atau kiayi.
2. Kewajiban Anggota Anggota tarekat Rifa‟iyah mempunyai beberapa kewajiban, antara lain: tidak boleh meninggalkan shalat lima waktu, harus meninggalkan perbuatan yang melanggar agama, dan membiasakan membaca wirid atau amalan yang telah diberikan. Selain itu, murid juga diwajibkan untuk mengikuti dua kali tawajjuh (tatap muka), yakni hari Jum‟at pertama saat ia dilantik dan Jum‟at terakhir. Di dalam Tawajjuh ini, murid memperoleh nasehat-nasehat keagamaan, juga pelajaran moral dalam kehidupan sehari-hari. Diajarkan pula teknik-teknik dzikir tertentu (Dzikir dzahri yang bersuara keras dan Kahfi yang lembut dan halus). Adapun tawajjuh dilaksanakan sebagai berikut: Mursyid memimpin shalat duha 4 rakaat dengan 2 kali salam. Setelah itu diteruskan dengan membaca dzikir yang dibaca hanya 10 kali. Setelah wirid selesai dibaca bersama, Mursyid memerintahkan para murid untuk duduk bersila setengah lingkaran menghadap Mursyid.32 Calon murid duduk dengan posisi kepala tegak, dan pandangan mata menatap lurus ke depan. Lengan terletak di atas lutut atau paha yang sedang bersila. Upacara tawajjuh kemudian dimulai dengan membaca surat al-Fatihah satu kali, kemudian diteruskan dengan: Membaca surat an-Nas, al-Falaq, dan al-Ikhlas, masing-masing tiga kali Membaca shalawat dan Syahadat
32
Makmun Muzakki, “Tarekat dan Debus Rifa‟iyah di Banten”, h. 70-71.
44
Membaca dzikir nafi waitsbat33sebanyak 165 kali Istighasah kepada Abd Qadir Jaelani x٣
. اغثنا بإذن اهلل.حمبوب اهلل غوث اهلل يا سيّد شيج حمي ال ّدين عبدالقادر جيالىن ّ
Artinya: “Wahai Sayyid Syekh Abd al-Qadir al-Jaelani, Mahbub dan Gauts Allah, tolonglah kami dengan izin Allah”.
Berikutnya Kepada Syekh 8Amad al-Kabir al-Rifa‟i x٣
.الرفاعى أغثنا بإذن اهلل ّ الرفاعى معشوق اهلل ّ يا سيد شيخ أمحد الكبري
Artinya: “Wahai Sayyid Syekh Ahmad al-Kabir al-Rifa‟i, Ma‟shuq Allah al-Rifa‟i, tolonglah kami dengan izin Allah”. Kemudian Membaca bagian dari wirid atau ratib Rifa‟i, pertama diawali dengan membaca: a. Bismillah yakni:
بسم اهلل تعظيمااهلل
“Dengan nama Allah, segala keagungan bagi Allah”.34
بسم اهلل توحيد اهلل “Dengan nama Allah, Esa bagi Allah”
b. Pujian atas keesaan Allah
فردالصمد يا وحد نيّة يا ّ
“Wahai yang maha tunggal, satu-satunya tempat bergantung”.35 33
Dzikir Nafi wa itsbat yakni mengucapkan lafadz laa ilaha illa „llah dengan gerakangerakan tertentu. Dzikir tersebut dilakukan dengan suara yang keras dan dilakukan dengan bersama-sama. Sehingga menimbulkan suara yang dapat didengarkan oleh pihak lain. Mohammad Hudaeri, Debus: Dalam Tradisi Masyarakat Banten, h. 35. 34 Naskah Ratib Rifa‟i A 218 B, h. 59. 35 Naskah Ratib Rifa‟i A 218 B, h. 59.
45
c. Dzikir nafi itsbat dan pengakuan Nabi Muhammad sebagai Rasulallah
الرسوالاهلل ّ الالو إّال اهلل ّ حممد
“Tiada Tuhan selain Allah, Muhammad adalah utusan Allah”.36
d. Shalawat Nabi
صل عليو وسلّم ّ صل على سيّدنا ّ ّحممد الل ّ ّالل ّ هم ّ هم
“Wahai Allah anugerahkanlah salawat bagi junjungan kami Muhammad. Ya Allah, anugerahkan shalawat dan salam baginya”.37
e. Membaca dzikir dengan variasi sifatnya, diantaranya:
ال معبود ّاالاهلل.ال موجود ّاالاهلل ال مطلوب ّاالاهلل.ال مقصود ّاالاهلل “Tidak ada yang Maujud selain Allah. Tidak ada yang Ma‟bud selain Allah. Tidak ada yang Maqsud selain Allah. Tidak ada yang Matlub selain Allah”.38
“Allah “Allah Maha Hidup” “Dialah yang Maha Hidup” “Maha Hidup dan Maha Kekal” “Allah Baka, yang lain fana” “Maha Hidup, Maha Abadi”
36
Naskah Ratib Rifa‟i A 218 B, h. 60. Naskah Ratib Rifa‟i A 218 B, h. 59-60. 38 Naskah Ratib Rifa‟i A 218 B, h. 60-61. 37
اهلل حي ّ اهلل ىواهلل حي حي دائم ّ كل فان ّ اهلل باق و ياحي ياقيّوم ّ
46
“Allah Maha Hidup, Allah Maha Abadi”
39
.حي اهلل قيّوم اهلل ّ
f. Doa Taubat
"اهلى يااهلى توبة قبل املمت “Ilahi, Wahai Ilahi Ampuni dosa sebelum wafat” g. Pujian Bagi Syekh Ahmad Rifa’i dengan menyebut belaiu sebagai orang yang amat perkasa, raja para laki-laki x٣
.الرجل ّ رفاعى يارفاعى ابوصاحل سلطان
“Rifa‟i wahai Rifa‟i, Abu Saleh, Rajanya lelaki”.40
Semua bacaan di atas masing-masing dibaca sebanyak 100 kali oleh jamaah, yang dipimpin oleh mursyid. Ratib tersebut dibaca dengan irama tertentu dan suara yang agak keras. Bacaan itu kemudian diikuti dengan membaca dzikir Allah sebanyak 4 kali dan membaca istigasah kembali sebanyak 3 kali. Setelah proses tersebut sudah dilaksanakan semua, dan murid sudah dinyatakan lulus atau mendapat ijazah dari sang guru, maka proses selanjutnya yang harus diikuti oleh seorang murid adalah mengamalkan sejumlah wirid, doa, dan munajat yang diberikan oleh guru. Ia juga harus mengikuti latihan fisik yaitu dibuktikan dengan debus.41
D. Wirid dan Amalan Tarekat Rifa’iyah Wirid berasal dari bahasa Arab, wird atau aurod. Wirid merupakan doa-doa pendek untuk memohon kepada Allah atau kepada Nabi Muhammad SAW, dan 39
Naskah Ratib Rifa‟i A 218 B, h. 60-61. Naskah Ratib Rifa‟i A 218 B, h. 61. 41 Mohammad Hudaeri, Debus: Dalam Tradisi Masyarakat Banten, (Serang: FUD Press, 2009), h . 69. 40
47
membacanya pada waktu-waktu yang telah ditentukan.42 Dalam tradisi tarekat pembacaan wirid bukanlah suatu yang wajib diamalkan dan yang menjadi keharusan. Akan tetapi dzikir yang berulang-ulang yang wajib dilaksanakan yaitu dengan mengingat nama Allah ataupun mengucapkan kalimat la ilaha illallah. Tujuan latihan ini adalah untuk mencapai kesadaran akan Tuhan.43 Oleh karena itu, setiap tarekat memiliki amalan zikir atau wirid. Sebagai amalan pokok yang harus dilaksanakan oleh setiap anggotanya, wirid dan dzikir antara satu tarekat dengan tarekat lainnya berbeda-beda. Dalam tarekat Rifa‟iyah perbedaannya terletak pada dzikirnya. Dzikir kaum Rifa‟iyah ini jenis dzkir yang lantang yang disebut “Darwis Menangis atau melolong”, karena dilakukan bersama-sama dan diiringi oleh suara gendang yang bertalu-talu. Dzikir tersebut dilakukan sampai mencapai keadaan. Seperti berjalan di atas api yang menyala, tahan terhadap senjata tajam, dan lain-lain.44 Wirid dan amalan Rifa‟iyah pada dasarnya terdiri dari: Hadiah al-Fatihah (doa syekh),45 Wirid al-Qur‟an dan do‟a, Munajat Rifa‟i, serta Salawat Nabi.46
a. Hadiah al-Fatihah Hadiah al-Fatihah di sebut juga Wasilah47 secara etimologis bermakna perantara atau menyambungkan kepada sesuatu dengan hati. Sedangkan secara terminologi wasilah adalah perbuatan atau amal yang dikerjakan dan 42
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), h. 21. Mohammad Hudaeri, Islam Tantangan Modernitas, h. 225. 44 Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, Terj. Sapardi Djoko Damono (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), h. 223. 45 Al-Fatihah dihadiahkan kepada Nabi Muhammad SAW, dan beberapa tokoh penting tarekat rifaiyah. 46 Makmun Muzakki, “Tarekat dan Debus Rifa‟iyah di Banten”, h. 79. 47 Tawasul adalah memohon atau berdoa kpd Allah Swt. dng perantaraan nama seseorang yg dianggap suci dan dekat kpd Tuhan. 43
48
diamalkan oleh orang mukmin karena mengharapkan sesuatu dengan cara membuat perantara sehingga ia memperoleh apa yang diharapkannya.48 Semua aliran tarekat mengenal istilah wasilah, mediasi melalui seorang pembimbing spiritual (mursyid) sebagai sesuatu yang sangat diperlukan demi kemajuan spiritual. Dalam tarekat Rifa‟iyah pembacaan al-fatehah di lakukan 17 kali sesuai dengan jumlah orang yang dianggap paling patut untuk dibacakan alfatihah. Hadiah al-Fatihah ditujukan kepada para syekh merupakan hal penting dalam mendapatkan ilmu debus, karenanya menjadi kegiatan rutin yang harus diamalkan dalam setiap shalat lima waktu.49 Adapun hadiah al-Fatihah diberikan kepada: 1. Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya 2. Khulafa al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman, Ali), dan para sahabat: Zubeir, Said, Abd al-Rahman bin Auf, juga Hasan Husein bin Ali. Fatimah al-Zahra dan Khadijah al-Kubra, serta tabi‟i al-tabi‟in. 3. Sayyid Syeikh Ahmad al-Kabir al-Rifa‟i 4. Syeikh Abd al-Qadir al-Jaelani 5. Syeikh Safi al-Din Ahmad ibn Alwan 6. Syeikh Ahmad al-Badawi al-Rafa‟i 7. Syeikh Ibrahim Al-ahmad al-Dasuqi 8. Syeikh Abu Bakar ibn Abdullah al-Aydarus 9. Sultan Maulana Hasanuddin bin Maulana Mahdzum 10. Syekh Musa ibn Sayyid Abdullah al-Qadir al-Rifa‟i 48
Mohammmad Hudaeri, Debus: Dalam Tradisi Masyarakat Banten, h. 113. Ibid., h. 70.
49
49
11. Syekh Abdullah al-Sabur 12. Sultan Arifin Zayn al-Asyiqin atau Muhammad Arif Zayn al-Asyiqin alBantani al-Tsan 13. Sultan Abu al-Mafakhir Muhammad Aliyuddin. Sultan Banten ke 15 (1773-1799) 14. Syeikh Abdullah ibn Abd al-Qahar 15. Haji Zaid ibn Kamal al-Din 16. Arwah kedua orang tua kami dan kamu serta orang-orang yang telah meninggal. 17. Di tutup dengan keagungan Ruh Nabi Mustafa.50
b. Wirid Al-Qur’an dan Do’a Setelah hadiah al-Fatihah dibacakan, maka dilanjutkan dengan wirid alQur‟an. Surat-surat yang diwiridkan adalah membaca surat Al-Ikhlas, AlFalaq, dan An-Nas, setiap surat masing-masing di baca 3 kali. Selanjutnya membaca do‟a yang berisi tentang permohonan masuk surga dan terhindar dari azab neraka.51
اللهم انّا نسئلك رضاك واجلنّة ونعودبك من سختك والنّار Artinya: “Ya Allah, Kami mohon kepada-Mu Ridha-Mu dan Surga-Mu dan kami berlindung kepada Engkau dari azab kemurkaan-Mu dan neraka-Mu”. Adapun kutipan ayat-ayat Al-Qur‟an dalam teks naskah berisi: 1. Do’a dan Dzikir
50
Naskah Ratib Rifa‟i A 218 A, h. 4-8. Mohammad Hudaeri, Debus: Dalam Tradisi Masyarakat Banten, h. 73.
51
50
فاّن قريب اجيب دعوةال ّداع اذادعان فليستجيبوايل وليؤمنوايب ّ عّن ّ واذاسالك عبادي )١۸٦( لعلّهم يرشدون Artinya: “Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran”.(Q.S AlBaqarah: ayat 186).
فاذا قضيتم ّمناسككم فاذكروااهلل كذكركم اباءكم اواش ّد ذكرا فمن النّاس من يّقول ربّنا اتنا ىف ال ّدنيا ومالو ىف االخرة من خالق ومنهم من يّقول ربّنا اتناىف ال ّدنيا حسنة ّوىف )٢٠٠-٢٠١( االخرةحسنة ّوقنا عذاب النّار Artinya: “Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka berzikirlah kepada Allah, sebagaiman kamu menyebut-nyebut nenek moyang kamu, bahkan berzikirlah lebih dari itu. Maka diantara manusia ada orang yang berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia”, dan di akhirat dia tidak memperoleh bagian apapun, dan lindungilah kami kami dari azab neraka”. (Q.S. Al-Baqarah: ayat 200-201).
)١٥٢( فذ كروّن اذكركم واشكروا يل وال تكفرون Artinya: “Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku”.(Q.S. Al-Baqarah: ayat 152).
)٤٣( فسئلوا اىل ال ّذكر ان كنتم ال تعلمون Artinya: Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui” (Q.S. An-Nahl: ayat 43).
51
2. Tauhid
)١١٥( فثم وجو اهلل ا ّن اهلل واسع عليم ّ وهلل املشرق واملغرب فاينما تولّوا Artinya: “Dan milik Allah timur dan barat. Kemanapun kamu menghadap di sanalah wajah Allah. Sungguh Allah maha luas, lagi maha mengetahui”. (Q.S. AlBaqarah: ayat 115).
)١٥٣( لصربين ّ الصلوة ا ّن اهلل مع ا ّ بالصرب و ّ يا يّها الّذين امنوا استعينوا Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan shalat. Sungguh Allah beserta orang-orang yang sabar”. (Q.S. Al-Baqarah: ayat 153).
)٤٤( لسماء الو ّوىف االرض الو وىواحلكيم العليم ّ وىوالّذي ىف ا Artinya: “Dan Dialah Tuhan (yang disembah) di langit dan Tuhan (yang disembah) di bumi, dan Dialah yang Maha bijaksana lagi Maha mengetahui”. (Q.S. AlZukhruf: ayat 84).
Dijelaskan pada Surat Al-Baqarah, ayat 186 dan ayat 115, dan surat AlZukhruf ayat 84 dijadikan dalil yang menyatakan bahwa Allah SWT adalah hakekat segala sesuatu.
c. Munajat al-Rifa’i Setelah selesai wirid al-Qur‟an dan berdo‟a dilanjutkan membaca do‟a munajat al-Rifa‟i. Pembacaan do‟a ini dimaksudkan untuk menghadirkan para wali dan Nabi yang diminta “pertolongannya”. Kehadiran dan pertolongan mereka sangat dibutuhkan dalam pertunjukkan debus. Karena keramat dari para walidan mu‟zijat dari Nabi Muhammad SAW akan menyebabkan
52
pertunjukkan debus dapat berjalan lancar. Di dalam do‟a munajat Rifa‟i, sering diucapkan kata-kata al-madad.52 Perkataan munajat banyak digunakan oleh orang-orang sufi dalam menentukan salah satu bentuk do‟anya.53 Munajat dapat diartikan sebagai pembicaraan akrab antara manusia dan Tuhan, secara tidak langsung mencurahkan perasaan.54 Namun munajat Ratib al-Rifa‟i bukan lagi bentuk harapan, rintihan, dan keluhan jiwa kepada Allah, melainkan permohonan pertolongan yang dikenal dengan istigasah dan dengan berperantara (tawassul) kepada Nabi SAW. Munajat yang ditunjukkan kepada orang-orang suci dengan bermaksud untuk mendapatkan syafaat dari orang-orang suci tersebut, karena kedudukan mereka di sisi Allah.55 Adapun Munajat Rifa‟iyah ditunjukkan kepada: 1. Rasulullah 2. Syekh Ahmad al-Kabir al-Rifa‟i 3. Syeikh Abd al-Qadir al-Jaelani 4. Syeikh Safi al-Din Ahmad ibn Alwan 5. Syeikh Ahmad al-Badawi al-Rafa‟i 6. Syeikh Ibrahim Aa-ahmad al-Dasuqi 7. Syeikh Abu Bakar ibn „Abdullah al-Aydarus 8. Aba Salih, Aba Ali, Aba Rajab, Aba Mahdi, Aba Yusuf, Aba Muhammad 9. Syekh Musa ibn Sayyid Abdullah al-Qadir al-Rifa‟i
52
al-madad berarti memohon pertolongan, bantuan maupun dukungan. Skripsi Makmun Muzaki, h. 107. 53 Abu Bakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat,Cet. XI, (Solo: Ramadhani, 1995),h. 259 54 Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, h. 160. 55 Syeh Ja‟far Subhani Tawassul, Tabbaruk, Ziarah Kubur, Karomah Wali, Termasuk Ajaran Islam, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1989), h. 145.
53
10. Sultan Muhammad Arif Zayn al-Asyiqin 11. Sultan Abu al-Mafakhir Muhammad „Aliyuddin 12. Sultan Maulana Hasanuddin 13. Maulana Mahdum.56 Munajat Rifa‟i dimulai dengan nama Rasulullah SAW:
املدادشيء اهلل يارسوالهلل ّ
“Wahai Rasulullah, al-Madad, segala sesuatu untuk Allah”
املدادشيءاهلل ياحبيب اهلل ّ
“Wahai kekasih Allah, al-Madad, segala sesuatu milik Allah”
اهلل, اهلل,ياشفيع املذنبني املدادشيءهلل “Wahai pemilik syafaat, al-Madad, segala sesuatu milik Allah, Allah, Allah”
املدادشيءهلل ياسيّدالثّقلني ّ
“Wahai Penguasa dua alam Jin dan manusia, al-madad, segala sesuatu milik Allah”
شيءهلل ّ ياج ّداحلسني املداد
“Wahai kakek Husein, al-Madad, segala sesuatu milik Allah”
شيءهلل ّ ياساكن احلرمني املداد
“Wahai pemukim dua tempat suci, al-Madad, segala sesuatu milik Allah”
املدادشيءهلل يااولياءاهلل ّ
“Wahai Aulia Allah, al-Madad, segala sesuatu milik Allah”
املدادشيءهلل حنن جبماهلم ّ
“Wahai orang yang bersama kami, dengan keagungan mereka, al-Madad, segala sesuatu milik Allah”.57 56
Nur Karim, “Ratib Ar-Rifa‟i Terjemahan Naskah dan Pengungkapan Isi”, (Skripsi Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1991), h. 137. 57 Naskah Ratib al-Rifa‟i A 218 A, h. 8. Lebih lengkap lihat naskah h. 8-12.
54
d. Shalawat Nabi Salawat dan doa untuk Rasulullah merupakan bagian dari pada persyaratan ritual dan dianggap sebagai do‟a yang harus diulang beberapa kali pada setiap peristiwa.58 Abu Bakar Atjeh menjelaskan bahwa yang dimaksud shalawat ialah membaca shalawat dan salam kepada Rasulullah, yang tersimpan dalam lafadz-lafadz tertentu. Karena salawat kepada Nabi termasuk salah satu amal ibadah yang diberi pahala dan ganjaran oleh Tuhan kepada mereka yang mengerjakannya.59 Setiap orang yang beriman wajib memerikan ucapan salawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana Allah SWT telah menyerukan dalam firman-Nya:
)٥٦( يب يا ايّهاالّذين امنوا صلّوا عليو وسلّمو تسليما ّ ّا ّن اهلل وملئكتو يصلّون على الن Artinya: “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman! Bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya”. (Q.S. Al-Ahzab: Ayat 56). Dan Nabi SAW bersabda: 60
احب اليو من ولده ووالده والنّاس امجعني ّ ال يؤمن احدكم ّ حق اكون Artinya: “Tidak sempurna iman seorang dari kamu hingga aku lebih dicintai olehnya dari pada ia mencintai anaknya, orang tuanya dan manusia seluruhnya”.
ط عنو عشرخطيئات ورغع لو ّ وح,من صلّى على واحدة صلّى اهلل عليو عشرصلوات .عشر درجات 58
Annemarie Schimel, Dimensi Mistik Dalam Islam, h. 165. Abu Bakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat, h. 267. 60 Nur Karim, h. 139. 59
55
Artinya: “Siapa yang bersalawat kepadaku satu kali, maka Allah bersalawat kepadanya sepuluh kali dan Allah menghapus sepuluh kesalahan dan mengangkat sepuluh derajat kepadanya”. Dalam Naskah Ratib al-Rifa‟i, salawat kepada Nabi disebutkan sepuluh kali, diawali dengan kalimat pujian kepada Allah, “Syayyilla indallah” sebanyak dua kali.61 Adapun lafadz-lafadz Shalwat Nabi dalam wirid Ratib Rifa‟iyah antara lain:
يارب صلّى عليو وسلّم ّ حممد ّ اللهم صلّى على ّ
“Ya Allah anugerahkanlah shalawat atas Muhammad, wahai Tuhan anugerahkanlah shalawat dan salam kepadanya”
يارب صلّى عليو وسلّم ّ اللهم صلّى على نبيّك ّ
“Ya Allah anugerahkanlah shalawat atas Nabi-Mu, wahai Tuhan anugerahkanlah shalawat dan salam kepadanya”
يارب صلّى عليو وسلّم ّ اللهم صلّى على حبيبك ّ
“Ya Allah anugerahkanlah shalawat atas kekasih-Mu, wahai Tuhan anugerahkanlah shalawat dan salam kepadanya”
يارب صلّى عليو وسلّم ّ اللهم صلّى على صفيّك ّ
“Ya Allah anugerahkanlah shalawat atas sahabat-Mu, wahai Tuhan anugerahkanlah shalawat dan salam kepadanya”
يارب صلّى عليو وسلّم ّ اللهم صلّى على خليلك ّ
“Ya Allah anugerahkanlah shalawat atas kekasih-Mu, wahai Tuhan anugerahkanlah shalawat dan salam kepadanya”
يارب صلّى عليو وسلّم ّ اللهم صلّى على املش ّفع ّ
“Ya Allah anugerahkanlah shalawat atas pemberi syafaat, wahai Tuhan anugerahkanlah shalawat dan salam kepadanya”
يارب صلّى عليو وسلّم ّ اللهم اجعلن زيارم ّ 61
Naskah Ratib Rifa‟i A 218 A, h. 14-15.
56
“Ya Allah anugerahkanlah shalawat atas mereka yang mengunjungi makan NabiMu, , wahai Tuhan anugerahkanlah shalawat dan salam kepadanya”
حممد منجى احلال ئتو من جحنّم ّ اللهم وارمحناوالدنا ّ يارب ورمحنامجيع يف احلشر شفعنا ّ
“Ya Allah sayangilah kedua orang tua kami, wahai Tuhan sayangilah kami semuanya dalam himpunan penolong kami, Muhammad penyelamat dari neraka jahanam.62
E. Wirid Sebagai Pengobatan Di dalam tarekat Rifa‟iyah ada beberapa jenis wirid yang diamalkan oleh para murid. Seperti wirid pengobatan, kekebalan dari benda tajam dan tidak terbakar oleh api.63 1. Wirid Pengobatan Wrid Pengobatan adalah wirid atau amalan yang dimaksudkan sebagai pengobatan berbagai penyakit. Namun pada dasarnya penggunaan utama dari pengobatan tersebut adalah untuk menutup luka akibat senjata tajam atau benda-benda yang melukai badan. Sebenarnya amalan ini merupakan bagian dari wirid atau amalan Rifa‟i yang telah dijelaskan di atas. Namun wirid ini dapat juga dipisahkan sebagai bagian tersendiri. Pemisahan ini dilakukan bagi mereka atau para murid yang tertarik untuk mengkhususkan diri dalam bidang ilmu penyembuhan atau pengobatan. Bila sebelumnya wirid al-Rifa‟i diamalkan secara keseluruhan, untuk pengobatan hanya sebagiannya saja.64 Adapun amalan pengobatan adalah sebagai berikut: a. Niat
62
Naskah Ratib al-Rifa‟i A 218 A h. 14-15. Mohammad Hudaeri, Debus: Dalam Tradisi Masyarakat Banten, h. 78. 64 Makmun Muzakki, “Tarekat dan Debus Rifa‟iyah di Banten”, h. 79-80. 63
57
الص ّحة خالصا حملصا لوجو اهلل ّ السالمة والعافية و ّ نويت بأعمال ّ الرفاعى إبتغاء رضااهلل و الكرمي هلل تعاىل Artinya: “Sengaja aku mengamalkan Rifa‟iyah agar dicukupkan Allah SWT dengan keselamatan dan sehat wal afiyat, ikhlas, sunnah, karena Allah”.
b. Hadiah Al-Fatihah dan Doa
الشيخ أمحد الكبري الّرفاعى صاحب االجازة والكرامة نفعنا ّ يا سلطان العا شقني يا سيّد حممد صلّى اهلل ّ اهلل يدينو أمجعني ثّ حتتم جبالل روح النّىب صلّى اهلل املصطفى رسول اهلل x٣
مداد.x٣ أثاب كم اهلل تعاىل ىو- الفاحتة-عليو وسلّم
-x٤ حضر-كل األولياء صا حب العاملني ىف ال ّدنيا واألخرة ويوم القيامة ّ يا سلطان الشيخ عبدالقادر اجليالىن ويقال ّ الرفاعى وسيّد ّ حبق من قال سيّد ّ ّ الشيخ أمحد الكبري الشيخ أمحد الكببري ّ شاف من مجيع أمراض وشم واألمل وغريىا كريقى وحبق سيّد x٣
.الشيخ عبدالقادر اجليالىن مداد ّ ا ّلرفاعى وسيّد
Artinya: “Wahai Sultan orang yang „asyiq, wahai Sayyid Syekh Ahmad al-Kabir al-Rifa‟i pemilik ijazah dan karamah. Semoga Allah memberikan kesempatan kepada kita semua dengan agamanya. Kemudian kita akhiri dengan kebesaran jiwa (ruh) Nabi yang mulia, Rasul Tuhan Muhammad SAW. Semoga Allah memberi pahala kepada Anda. Al-fatihah, hua (Allah) 3x, al-madad 3x.” “Wahai Raja para wali, penguasa Alam semesta di dunia dan akhirat serta hari kiamat, hadir 4x. “Dan dengan haq orang yang mengatakan: Wahai Sayyid Syekh Ahmad al-Kabir al-Rifa‟i dan Sayyid Syekh Abdul Qadir Jailani. Dikatakan: Sembuh dari segala penyakit dari sejenisnya. Dengan haq Sayyid Syekh Abdul Qadir al-Jaelani, al-madad 3x”.65
65
Ibid., h. 80-81.
58
2. Wirid Kekebalan dari Benda tajam (Debus) Wirid imi merupakan bagian dari wirid yang biasa dipergunakan dalam permainan debus. Adapun wirid yang biasa dipakai adalah:
الضارب االت احلدياد ّ الرقياق املرياد عان ّ اللّه ّام احفا جلاد. وألناا لاو احلدياد:حبق من قاال الضارب احلدياد واالت كلهاا ّ كل شيئ حفي عقد تاك عان ّ وال تضرونو شيئا إ ّن ّ رب على الرفااعى قا ّدس اهلل س ّاره العزياز وحب ّاق سايد ّ بإذن امللك القدير وحبق سايّد شايخ أمحاد الكباري وحباق سايد شايخ. x٣ مادادx٣ .الشيخ أمحد بن علوان سيدينا ابن علوان باا علاواىن أماني x٣ مداد. x٣.أمني
الرفاعى ّ أمحد الكبري
Artinya: “Dengan haq mereka yang mengatakan: “Dan kami tunduklah baginya besi. Wahai Tuhan lindungilah kulit yang lembut (halus) dari pukulan alat besi dan tiada sesuatu yang membahayakannya. Sesungguhnya Tuhanku berkuasa atas segala sesuatu (memelihara). Sata ikat anda dari pukulan besi dan alat-alat sejenisnya dengan izin Allah, Raja Yang Maha Kuasa. Dengan haq Sayyid Syekh Ahmad al-Kabir al-Rifa‟i (semoga Allah mensucikan rahasia nya yang mulia). Dan dengan haq Sayyid Syekh Ahsmad ibn Alwan, Sayyid ibn Alwan Ba Alawi Amin 3x. al-madad 3x.
3. Wirid Tahan Dari Api Wirid ini hanya hadiah al-fatihah bagi syekh-syekh tarekat:
الرفاعى ّ الشيخ حمىي ال ّدين عبدالقادر جيالىن وسيّد ّ وإىل أرواح سيّد ّ الشيخ أمحد الكبري وسيّد- الفاحتة- الرفعى وعبداهلل أبوبكر العيدروس ّ وأمحد ال ّدسقى وأمحد البدوى الفاحتةx٣ مدادx٣ إىل اخر امني...لشيخ ّ ا Artinya:
59
“Untuk arwah Sayyid Syekh Muhyiddin Abd al-Qadir al-Jailani dan Syekh Ahmad al-Kabir al-Rifa‟i dan Ahmad Dasuqi dan Sayyid Ahmad Badawi al-Rifa‟i dan Abdullah al-Aydarus (Abu Bakar) al-Fatihah Amin 3x. al-madad 3x”.66
66
Mohammad Hudaeri, Debus: Dalam Tradisi Masyarakat Banten, h. 80. Lihat juga skripsi Makmun Muzaki “Tarekat dan Debus Rifa‟iyah di Banten”.
BAB IV ANALISA PENGARUH TAREKAT RIFAIYAH TERHADAP KEAGAMAAN DI BANTEN ABAD KE-19
Pada Bab III, penulis sudah menjelaskan tentang sejarah tarekat Rifa’iyah di Banten beserta ajaran-ajarannya. Adapun pembahasan selanjutnya yaitu mengenai pengaruh tarekat Rifa’iyah terhadap keagamaan di Banten abad ke-19. Ada empat pengaruh tarekat Rifa’iyah yang dibahas yaitu; kiyai, jawara, pesantren dan tradisi debus. Adapun dari empat pengaruh tersebut dikategorikan menjadi tiga bagian: pertama, munculnya pemimpin muslim yang diwakilkan oleh kiyai dan jawara. Dimana kiyai ini memberikan suatu corak baru di Banten, ditandai dengan adanya kiyai hikmah dan guru tarekat. Sedangkan Jawara sebagai sebuah transformasi tradisional dapat memunculkan kepemimpinan tradisional debus. kedua, kategori institusi yakni pesantren yang mana mengajarkan suatu tarekat. Dan ketiga, yaitu tradisi sendiri dijadikan sebagai ritual lokal debus.
A. Kiyai Kiyai merupakan satu dari lima elemen utama dalam sistem pesantren di Indonesia.1 Kiyai juga sering dianggap sebagai ulama masyarakat Jawa. Sekitar abad ke-19 kiyai sudah menempati kedudukan yang signifikan di masyarakat Banten. Dalam masyarakat Banten kiyai tidak hanya dipandang sebagai tokoh
1
Adapun empat elemen lainnya dalam sistem pesantren yaitu pondok, masjid, santri, dan kitab Islam klasik. Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Pandangan Hidup Kiyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2011), h. 93.
60
61
agama, tetapi juga sebagai seorang pemimpin masyarakat yang kharismatik.2 Penampilan kiyai yang khas merupakan simbol-simbol keshalehan. Misalnya, bertutur kata lembut, berperilaku sopan, berpakaian rapih dan sederhana. Berdasarkan peranannya, kiyai di Banten sering disebut sebagai “kiyai kitab” yang banyak mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam,3 khususnya kitab kuning,4 seperti; tafsir hadist, fiqih, ushul fiqih, akidah akhlaq, serta gramatika Bahasa Arab.5 Kedudukan kiyai dalam hal ini akan mengerucut pada pembagian peranannya yang dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu: guru ngaji, guru kitab dan mubaligh. Pertama, Guru Ngaji. Dimana peran kiyai yang paling awal yaitu mengajarkan baca al-Qur’an dengan baik kepada santrinya. Pengajarannya mulai dari cara pembacaan huruf Hijaiyyah dan kaidah-kaidahnya dengan benar yang dikenal dengan ilmu tajwid. Selain itu kiyai juga mengajarkan beberapa metode pembacaan ayat-ayat al-Qur’an dengan suara yang indah, yakni untuk para Qari dan Qari’ah yang memiliki bakat suara yang baik.6 Meskipun kegiatan mengaji ini tidak bersifat formal, akan tetapi dalam pengajarannya apabila murid sudah dianggap baik membaca al-Qur’annya maka diadakan “hataman atau tammatan”.7
2
Fahmi Irfani, Jawara Banten, Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya, (Jakarta: YPM: Young Progressive Muslim, 2011), h. 4. 3 Martin Van Bruinessen, Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia. (Bandung: Mizan, 1995), h. 279. 4 Kitab kuning adalah sebutan untuk buku atau kitab tentang ajaran agama Islam atau tata bahasa Arab yang dipelajari di pondok pesantren yang ditulis atau dikarang oleh para ulama pada abad pertengahan. Buku-buku tersebut dinamakan dengan kitab kuning karena biasanya dicetak dalam kertas buram (koran) yang berwarna agak kekuning-kuningan. Mohammad Hudaeri, Islam Tantangan Modernitas dan Kearifan Budaya Lokal Banten, (Serang: Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Press, tth), h. 135. 5 www.embun pagi_Banten,antara Pengaruh Kyai dan Jawara.html. Akses Tanggal 07 Mei 2015, Pukul 16:37 WIB. 6 Mohammad Hudaeri, Islam Tantangan Modernitas dan Kearifan Budaya Lokal Banten, h. 138. 7 Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1984), h. 152.
62
Guru ngaji biasanya tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu baca al-Qur’an, tetapi juga tentang dasar-dasar ajaran Islam, seperti rukun Islam, rukun Iman, praktek sholat, wudhu, nama-nama malaikat, nama-nama Nabi dan rasul serta sifat-sifatnya. Diajarkan pula cara beretika dan berakhlak dalam kehidupan sehari-hari. Kiyai juga biasanya mengadakan pengajian setiap seminggu sekali, yang dihadiri oleh orang tua (bapak-bapak atau ibu-ibu), para remaja, atau anak-anak. Pengajian ini dilaksanakan di masjid atau mushola.8 Kedua, Guru Kitab. Seorang santri yang telah lancar membaca al-Qur’an maka ia akan diperkenalkan tentang kitab-kitab klasik. Setiap santri diharapkan memiliki kemampuan dalam memahami kitab-kitab Islam klasik, terutama karangan-karangan ulama fiqih yang bermazhab Syafi’i. Kitab-kitab klasik yang diajarkan dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok yaitu: Nahwu dan Shorof, fiqih, ushul fiqih, hadits, tafsir, tauhid, tasawuf dan etika, tarikh
dan
balaghah.9
Kemasyhuran
seorang
kiyai
ditentukan
dari
kemampuannya dalam memahami isi dan memberikan pengajaran tentang kitab-kitab klasik tersebut.10 Ketiga, Mubaligh. Kiyai juga disebut sebagai mubaligh yaitu orang yang menyampaikan pesan agama Islam. Oleh karena itu seorang kiyai tidak hanya tinggal diam di pesantren mengajarkan kitab-kitab klasik kepada para santrinya atau menetap di suatu tempat atau menerima orang yang datang untuk minta
8
Mohammad Hudaeri, Islam Tantangan Modernitas, h. 139. Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Pandangan Hidup Kiyai dan Visinya, h.
9
87. 10
Mohammad Hudaeri, Islam Tantangan Modernitas, h. 140.
63
nasehat, do’a dan kebutuhan praktis lainnya. Kiyai juga aktif melakukan ceramah Agama kepada masyarakat luas.11 Dengan adanya perkembangan tarekat Rifa’iyah di Banten ini, memberikan gambaran baru bahwa kiyai tidak hanya sebagai guru ngaji, guru kitab dan mubaligh. Tetapi juga seorang kiyai dapat di kategorikan menjadi dua yaitu kiyai hikmah dan guru tarekat. Dua kategori ini menambah gambaran umum adanya pengaruh tarekat Rifa’iyah di Banten. Pertama, Kiyai hikmah adalah kiyai yang dipandang sebagai sosok yang paling dekat dengan pusat kekuatan supranatural dan dipercaya memiliki kekuatan magis dan mistis.12 Kyai ini mempraktekkan ilmu-ilmu magis Islam seperti permainan debus, pengobatan, kesaktian dan kewibawaan. Dengan amalan yang digunakan yaitu membaca wirid, zikir dan ratib.13 Sebagian kiyai yang mempunyai kemampuan tersebut adalah pengamal tarekat Rifa’iyah. Ilmu hikmah yang dimiliki para kiyai biasanya berasal dari bacaan atau tulisan-tulisan yang berbahasa Arab, yang bersumber dari al-Qur’an, yang berupa dzikir dan wirid. Karena itu mereka yang menggunakan ilmu hikmah merasa yakin bahwa ilmu yang dimilikinya berasal dari Allah SWT.14 Di Banten sendiri, hingga kini ilmu hikmah memiliki reputasi yang cukup dikenal sebagai daerah tempat diajarkannya ilmu-ilmu gaib (ilmu hikmah), sehingga tidak sedikit orang Banten yang memanfaatkan reputasi ini
11
Ibid., h. 143. Hikmah makna dasarnya adalah kebijaksanaan. Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa ”orang-orang yang telah diberi hikmah oleh Allah adalah orang-orang yang telah diberi nikmat yang banyak. Namun dalam tradisi sufi atau tarekat kata hikmah lebih berarti kemampuan seseorang untuk mengetahui hal-hal yang akan terjadi di masa yang akan datang. 13 www.embun pagi_Banten,antara Pengaruh Kyai dan Jawara.html. Akses Tanggal 07 Mei 2015, Pukul 16:37 WIB. 14 Mohammad Hudaeri, Islam Tantangan Modernitas, h. 143. 12
64
dengan bertindak sebagai juru ramal, pengusir setan, pengendali roh, pemulih patah tulang, tukang pijat, tabib, pelancar usaha.15 Tetapi banyak juga guru agama yang berpendapat bahwa praktek-praktek tersebut tidak sesuai dengan ajaran Islam.16 Para kiyai yang menjadi mursyid suatu tarekat tidak hanya dikenal sebagai pemimpin atau guru tarekat saja, tetapi juga dikenal sebagai guru ilmu hikmah. Kedua, Guru Tarekat. Pada abad ke-19 banyak guru pesantren yang mengajarkan tarekat, yang dalam pengajarannya berbeda dengan pengajaran kitab. Anggota tarekat rata-rata usianya lebih tua dari santri.17 Mereka membentuk kelompok spiritual yang dapat menyesuaikan diri satu sama lainnya.18 Penggunaan tarekat sebagai jaringan sosial untuk sumber kesaktian dan ilmu kedigjayaan juga sangat menonjol pada saat melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda.19 Para penggerak perlawanan tersebut adalah para tokoh agama, yakni para kiyai dan guru-guru tarekat yang sering menganjurkan kepada para muridnya untuk melakukan dzikir dan membaca do’a-do’a tertentu, dengan tujuan untuk mendapatkan kesaktian atau ilmu kedigjayaan agar kebal terhadap senjata, tidak terlihat oleh musuh, dan sebagainya.20 Para kiyai yang terdiri dari para Sayyid atau Syekh tarekat berkeliling dari satu tempat ke tempat lain untuk berkhotbah kepada masyarakat. Oleh karena itu pemerintah kolonial menjadi khawatir terhadap orang-orang yang 15
Mohammad Hudaeri, Islam Tantangan Modernitas, h. 142. Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, h. 153. 17 Mohammad Hudaeri, Islam Tantangan Modernitas, h. 153. 18 Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, h. 153. 19 Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Kondisi, Jalan, Peristiwa, dan Kelanjutannya, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1984), h. 257. 20 Mohammad Hudaeri , Islam Tantangan Modernitas, h. 202. 16
65
menyebarkan semangat keagamaannya dan beranggapan bahwa mereka mengajarkan permusuhan terhadap kekuasaan orang Eropa dengan maksud menimbulkan kebencian dan semangat memberotak.21 Dalam hal ini sebagian mereka berasal dari tarekat Rifa’iyah. Tarekat Rifa’iyah ini memiiki kekhasan dalam cara berdzikirnya yang memperlihatkan kesaktian berupa kekebalan diri tehadap senjata tajam.22 Di dalam suatu tarekat terdapat mursyid atau syekh, yaitu guru yang memberi petunjuk mengenai riyadhah atau laitihan-latihan dalam melakukan dzikir atau wirid. Syeh atau mursyid yang mengajarkannya harus mempunyai silsilah, rangkaian pengambilan sesuatu tarekat sampai kepada dirinya dan kepada Nabi Muhammad, serta harus mempunyai syarat-syarat tertentu.23 Perkembangan
tarekat
Rifa’iyah
berhubungan
dengan
munculnya
fenomena debus di Banten.24 Dalam hubungan ini, tarekat Rifa’iyah dan debus merupakan dua hal yang saling berkaitan. Salah satu peranan Kiyai dalam ilmu magis yaitu mengembangkan kesenian debus. Sedangkan debus menjadi suatu sarana bagi kiyai untuk melegitimasi diri sebagai tokoh yang memiliki kemampuan luar biasa atau “karomah”.25
21
Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, h. 236. Isman Pratama Nasution “Debus, Islam dan Kiyai studi Kasus di Desa Tegal Sari, Kecamatan Walantaka, Kabupaten Serang, Jawa Barat.” (Tesis FISIP, Universitas Indonesia, 1995), h. 36. 23 Ibid., h. 35. 24 J. Vredenbregt, Dabus in West Java, (BKI, 1973), h. 302. 25 Isman Pratama Nasution Debus, “Islam dan Kiyai studi Kasus di Desa Tegal Sari, Kecamatan Walantaka, Kabupaten Serang, Jawa Barat, h. iv. 22
66
B. Jawara Selain golongan agama (Kiyai), Jawara juga yang mempunyai andil di masyarakat Banten pada abad ke-19.26 Jawara adalah salah satu murid dari seorang kiyai. Ada dua pengklasifikasian dalam struktur kelompok jawara yaitu jawara yang beraliran hitam dan jawara yang beraliran putih. Jawara yang beraliran hitam adalah mereka yang mempergunakan sumber-sumber kesaktian dari tradisi praIslam. Adapun do’a yang mereka gunakan sebagai sumber magis dan kesaktian berasal dari kepercayaan animisme dan dinamisme yang disebut dengan Jangjawokan.27 Karena para jawara hitam ini tidak bisa mentransformasikan tradisi Islam dengan kegiatan ritualnya, sehingga dikatakan jawara aliran hitam ini beubah menjadi jawara aliran putih. Sedangkan jawara yang beraliran putih adalah mereka yang memiliki kesaktian yang berasal dari sumber-sumber agama Islam, biasanya mereka yang mendalami ilmu tarekat Rifa’iyah, Jawara beraliran putih ini dipandang dekat dengan kiyai, karena memang amalannya tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam.28 Beberapa ritual yang terlihat dalam jawara yang beraliran putih ialah amalan dan puasa. Kedua ritual ini memiliki pengaruh yang sangat besar. Puasa merupakan latihan pengendalian diri menahan hawa nafsu. Puasa dalam ritual ini bukan seperti puasa Ramadhan yang dilaksanakan umat Muslim biasanya, tapi dalam ritual ini merupakan upaya pengolahan batin agar selalu mengingat Allah
26
Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, h. 57. Jangjawokan adalah pembacaan mantra yang bukan bersumber dari ajaran Islam. 28 Mohammad Hudaeri, Islam Tantangan Modernitas dan Karifan Budaya Lokal Banten, 27
h. 152.
67
SWT. Jumlah puasa yang dilakukannya yaitu selama 3-7 hari bahkan ada yang sampai 40 hari. Sementara amalan merupakan kegiatan dzikir. Dzikir tersebut biasanya terdapat dalam al-Qur’an. Bentuk dzikir ini biasanya membaca tahmid, atau takbir dan pembacaan ayat kursi atau beberapa dzikir khusus yang dimiliki beberapa kelompok tertentu. Jumlahnya beragam ada yang dibaca 3 kali bahkan ada yang dibaca 30 kali. Ritual ini biasanya dilakukan setelah shalat wajib atau tahajud.29 Puasa dan dzikir tersebut bertujuan untuk memperoleh kesaktian. Peranan Jawara yang masih dekat dengan kesaktian adalah permainan debus, yang dianggap sudah memiliki kesaktian yang cukup. Di Banten sendiri ada beberapa macam debus, yakni debus al-madad, surosowan dan langitan.30 Dinamakan debus al-madad.31 Karena setiap kali melakukan aksinya para pemain selalu mengucapkan kata-kata al-madad, yang menggambarkan bahwa tindakan tersebut didasarkan atas pertolongan dari Allah SWT. Debus al-madad ini merupakan debus yang dalam permainannya harus melakukan amalam yang sangat panjang. Amalan-amalan debus ini diambil dari tarekat Rifa’iyah.32 Hal ini dapat dilihat dari silsilah, ritual, hizib dan bacaan-bacaan wirid atau dzikir yang
29
Fahmi Irfani, Jawara Banten, Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya, h. 19. Debus Surosowan adalah permainan debus yang tidak memerlukan kemampuan yang tinggi. Karena itu permainan debus ini bisa dilakukan oleh para remaja. Melihat namanya “Surosowan” bahwa debus ini berkaitan dengan nama istana Kesultanan Banten. Semenjak awal debus ini hanya sebagai pertunjukkan di istana Surosowan bukan untuk mendapatkan kesaktian. Sedangkan Debus Langitan adalah pertunjukkan debus yang mempergunakan anak-anak remaja yang dijadikan obyek sasaran benda-benda tajam yang bersangkutan merasa sakit atau menderita luka-luka. Permainan debus ini nampaknya ditunjukkan hanya untuk permainan belaka, bukan untuk mendapatkan kekebalan tubuh atau kesaktian. Ibid., h. 154. 31 Al-maddad berasal dari bahasa Arab (Madadun) yang berarti pertolongan. Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab Indonesia (Jakarta: Hidayakarya Agung, 1989), h. 414. 32 Mohammad Hudaeri, Islam Tantangan Modernitas, h. 153-154. 30
68
dibacakan pada setiap pertunjukkan dan tata cara mempelajari kesenian debus Banten.33 Hubungan tarekat dengan debus ini dilihat dari pertunjukkan yang selalu dimulai dengan membaca shalawat-shalawat Nabi, do’a-do’a dan dzikir yang memohon perlindungan dari Allah SWT serta diikuti dengan ritual tertentu, yang ternyata ritual tersebut sama juga dilakukan oleh beberapa tarekat. Permainan debus tidak bisa dipraktekkan oleh sembarang orang. Sebab yang dapat melakukan praktek debus hanya orang yang sudah taat betul dengan ajaranajaran agama. Apabila orang yang melakukan debus belum taat dalam mengamalkan ajaran agama, maka senjata tajam yang digunkan tersebut bisa melukai tubuhnya sendiri.34
C. Pesantren Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan tradisional Islam untuk memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat seharihari.35 Dipesantren tidak hanya diajarkan ilmu-ilmu agama, akan tetapi juga biasanya para guru mengajarakan ilmu tarekat. Di Banten sendiri, penulis belum menemukan pesantren yang mengajarkan tarekat Rifa’iyah. Namun didaerah lain, penulis menemukan ada salah satu pesantren yang menganut tarekat Rifa’iyah ialah pesantren yang berada di desa Cibaregbeg, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Cianjur, yang didirikan oleh Kiyai Haji Abdul 33
Jurnal, Kiki Muhamad Hakiki, Debus Banten: Pergeseran Otentisitas dan Negoisasi Islam-Budaya Lokal, h. 4. 34 Ibid., h. 5. didukung juga dari hasil wawancara dengan Abah Yadi salah seorang tokoh Budaya, Serang, 13 April 2015, Pukul 11:29 WIB. 35 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren (Jakarta: Seri INIS XX, 1994), h. 6.
69
Jalil ibn Musa al-Rifa’i. Secara fisik pesantren ini hanya sebuah bangunan yang berfungsi ganda yaitu sebagai tempat belajar para santri dan sebagai langgar tempat orang bersembahyang. Namun pesantren ini mempunyai banyak murid, salah satu diantaranya adalah Kiyai Haji Mukri, salah seorang pemimpin pemberontakan rakyat Banten 1926. Kiyai Haji Abdul Jalil adalah seorang Kiyai (Mursyid) dari beberapa cabang tarekat antara lain Syatariyyah, Sammaniyah, Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, dan Rifa’iyah. Dari namanya, Abdul Jalil ibn Musa al-Rifa’i tampaknya lebih mengidentifikasikan diri sebagai tokoh tarekat Rifa’iyah. Ia berguru dan mempelajari tarekat Rifa’iyah kepada ayahnya. Selain belajar kepada ayahnya, ia juga belajar kepada Sayyid Salim al-Mu’ali di Mekkah selama beberapa tahun. Setelah ia mempelajari tarekat Rifa’iyah, ia kembali memimpin di pesantren Cibaregbeg tersebut, sekaligus mengajarkan tarekat Rifa’iyah kepada muridmuridnya.36 Kemudian para murid meyakini amalan tarekat yang diajarkan oleh seorang guru dapat dianggap sah bila dilakukan di bawah bimbingan seorang guru. Para guru tarekat dijadikan perantara bagi para muridnya yang ingin berhubungan dengan Tuhan dan memiliki otoritas mutlak atas murid-muridnya, baik dalam persoalan kehidupan spiritual maupun material.37 Dalam lingkungan pesantren tarekat memiliki makna sebagai kepatuhan terhadap peraturan-peraturan syariah Islam dan mengamalkannya dengan cara yang sebaik-baiknya, yakni baik yang bersifat ritual maupun sosial. Seperti
36
Makmun Muzakki, “Tarekat dan Debus Rifa’iyah di Banten”, (Skripsi Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, 1990), h. 60 dan 62 37 Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Pandangan Hidup Kiyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2011), h. 214.
70
praktek Wira’i38 dan Riyadhah.39 Kiyai lah yang mengajarkan amalan-amalan dzikir kepada santrinya dan dibacanya bersama-sama. Bentuk dzikir dan amalanamalan tersebut tidak jauh berbeda dengan yang dipraktekkan oleh anggotaanggota tarekat yang dianggap sah oleh Kiyainya.40 Dari pemaparan tersebut dapatlah disimpulkan bahwa pesantren adalah tempat pengajaran dan praktek tarekat Rifa’iyah dengan kiyai sebagai gurunya41
D. Tradisi Lokal 1. Tradisi Debus Di Banten Debus berasal dari bahasa sunda yang artinya tembus, hal ini dikaitkan dengan alat yang digunakan dalam permainan tersebut merupakan alat yang tajam yang apabila ditusukkan ke bagian tubuh akan tembus.42 Debus mempunyai beberapa pengertian. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia debus atau dabbus ialah suatu permainan (pertunjukan) kekebalan terhadap senjata tajam atau api (dengan menusuk, menyayat, atau membakar bagian tubuh).43 Pengertian ini semakna dengan yang dikatakann oleh Vredenbregh bahwa debus adalah sebuah pertunjukkan yang mana memberikan fungsi yang nyata terhadap kekebalan
38
Wira’i ialah cara hidup yang suci dimana para pengamalnya selalu berusaha menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan yang haram dan makruh dan banyak mengerjakan amalan yang dianggap sunnah dan wajib. 39 Riyadhah ialah berprihatin antara puasa, menahan diri dari makan dan berpakaian sekadar kebutuhannya. Cara melaksanakan Riyadhah ialah seorang santri harus mempunyai niat yang kuat, dan selama berpuasa diwajibkan untuk mandi pada malam hari. Biasanya santri yang sedang berpuasa menempati salah satu ruangan di dalam rumah seorang Kiyainya atau di dalam masjid. Mohammad Hudaeri, Debus Dalam Tradisi Masyarakat Banten, (Serang: FUD Press, 2009), h. 67. 40 Ibid, h. 214. 41 Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Pandangan Hidup Kiyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, h. 213. 42 K. Hadiningrat, Kesenian Tradisional Debus, (Jakarta: Proyek Media Kebudayaan Jakarta Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 9182), h. 2. 43 Kamus Besar Bahasa Indonesia.
71
tubuh.44 Sedangkan menurut Abu Bakar Atjeh Debus berasal dari bahasa Arab Dabbus yaitu sepotong besi yang tajam. Dalam permainan debus ini, orang-orang yang menganut tarekat Rifa’iyah berdzikir di tengah-tengah suara rebana yang gemuruh.45 Dengan demikian debus adalah suatu permainan yang menikam diri dengan benda tajam yang disertai dengan dzikir-dzikir dari tarekat Rifa’iyah. Para pelaku debus adalah syekh debus atau pemimpin kelompok debus dan sejumlah pemain debus. Peralatan yang digunakan untuk permainan debus adalah belati penusuk, kayu dan paku besi yang ujungnya tajam.46 Dalam pengertian tersebut, kata debus mengandung dua makna yaitu “sebagai suatu bentuk permainan kekebalan yang menggunakan alat debus dan sebagai nama alat yang digunakan untuk permainan kekebalan”.47 Dalam sejarahnya, Debus Banten merupakan tradisi yang berkembang sejak masa kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa di Banten dengan tujuan membangkitkan moral pasukan Banten melawan VOC.48 Kesenian Debus ini tidak hanya di jumpai Banten, tetapi juga berkembang di Aceh dikenal dengan Rapa’i. Di Bugis, Makasar, Sulawesi, permainan ini dikenal dengan nama Daboso dan Minangkabau Rapa’i, deboih dan Madaboih.49 Jadi permainan debus di beberapa daerah memiliki nama yang berbeda, namun dalam unsur permainannya memiliki
44
J. Vredenbregt, Dabus in West Java, (BKI, 1973), h. 302. Abu Bakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat, Cet. XI, (Solo: Ramadhani, 1995), h. 357. 46 J. Vredenbregt, Dabus In West Java, 302. 47 Isman Pratama Nasution, “Fungsi Debus Dalam Sistem Budaya Masyarakat Banten”, (Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budayalaporan, 1998), h. 10. 48 Vredenbregt, Dabus in West Java, h. 33. 49 C. Snouck Hurgronje, The Achehnese Vol II, (Leiden: Briill, 1906), h. 351. 45
72
kesamaan yaitu suatu permainan kekebalan dengan menggunakan alat yang tajam ditusukkan ke bagian tubuh.50 2. Ritual Permainan Debus Ritual permainan debus adalah suatu proses upacara permainan debus, yang mempertunjukkan permainan kekebalan yang dilakukan oleh anggota debus, dalam rangka syi’ar Islam yang bernafaskan ritual keagamaan.51 Dalam tahap ini ada tiga kegiatan yang harus dilakukan, yaitu: a). Pembukaan; b). Pembacaan wirid dan amalan; c). Permainan debus. a. Pembukaan Pada tahap ini, ketua debus, pemain, pemusik dan penonton biasanya menempati posisi tertentu dan melakukan peranan sesuai yang telah ditentukan. Ketua biasanya menjadi pemimpin acara atau MC yang berada ditengah-tengah pemain, atau antara pemain dan penonton. Sementara pemain debus dan para pemain musik membentuk setengah lingkaran atau sejajar, berhadapan degan penonton. Sedangkan penonton biasanya mengelilingi arena pertunjukkan.52 b. Pembacaan Wirid dan Amalan Semua bacaan yang terdiri dari hadiah al-Fatihah kepada syekh, wirid AlQur’an dan do’anya, Munajat Rifa’i dan Shalawat Nabi dibaca bersama-sama oleh semua pemain yang dipimpin oleh syekhnya.53 Namun praktek seperti itu sekarang jarang sekali dilakukan karena akan memakan waktu yang lama, oleh karena itu pembacaan dilakukan di rumah sebelum datang ke tempat
50
A. Hasyimy, Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah, (Jakarta: Beuna, 1983), h. 269-274. Isman Pratama Nasution, “Fungsi Debus Dalam Sistem Budaya Masyarakat Banten”,
51
h. 22. 52
Ibid., h. 22. Untuk melihat hadiah al-Fatihah kepada syekh, wirid Al-Qur’an dan do’anya, munajat Rifai, dan shalawat Nabi lihat BAB III. 53
73
pertunjukkan. Kegiatan dzikir dan shalawat dilagukan dengan nada yang tinggi dan rendah, dan diiringi dengan suara yang timbul dari alat musik. Atas izin khalifahnya, para pemain kemudian mengambil peralatan musik yang telah dipersiapkan dan mereka bersama-sama menabuhnya. Bersamaan dengan itu syair segera dinyanyikan. Syair dan musik suaranya saling menyesuaikan.54 c. Pertunjukkan Debus Pada pertunjukkan debus, perlengkapan yang harus disediakan antara lain: Perlengkapan upacara, peralatan permainan dan busana permainan. Perlengkapan upacara terdiri dari beberapa benda upacara seperti: pendupaan yang dinyalakan ketika acara akan berlangsung. Menyediakan Minyak kelapa, selain itu juga disediakan air yang ditempatkan di botol atau gelas, kemudian wajan atau tempat yang berukuran sedang. Dalam pertunjukkan debus, minyak kelapa digunakan untuk mengobati orang apabila terkena bacokan dalam pertunjukkan debus. Sementara air yang diletakkan dalam botol atau gelas, disebut sebagai air munajat. Para pemain debus percaya bahwa air tersebut (berkat doa-doa yang dibaca saat debus akan dimainkan) membawa berkah yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan pengobatan, termasuk pengobatan kesurupan. Sedangkan wajan/tempat yang berukuran sedang, dimanfaatkan untuk mengumpulkan uang dari para pengunjung. Ketika pertunjukkan berakhir uang yang telah terkumpul dibagibagikan kepada para pemain.55
54
Mohammad Hudaeri, Debus: Dalam Tradisi Masyarakat Banten, (Serang: FUD Press, 2009), h. 87-88. 55 Makmun Muzakki, “Tarekat dan Debus Rifa’iyah di Banten”, (Skripsi Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, 1990), h. 118-120.
74
Peralatan yang digunakan terdiri dari rebana yang berdiameter 25 cm yang digunakan oleh oleh Syekh debus, sedangkan yang 30 cm digunakan oleh pemain debus biasa. Selain rebana alat utama yang digunakan yakni besi yang ujungnya runcing dengan ukuran 60 cm.56 Busana yang dikenakan oleh para pemain debus, biasanya berwarna hitam-hitam atau putuh-hitam. Baik yang dipakai oleh pemain atau pelaku dan pedzikir semuanya sama tidak ada perbedaan. Model bajunya berupa potongan baju tanpa krah dengan dua buah kantong di bawah pada bagian kiri dan kanan baju, yang bertangan panjang. Sedangkan model celananya dibuat sedemikian rupa tanpa kantong dan tanpa tempat ikat pinggang. Ukuran bagian kaki cukup lebar untuk memudahkan bergerak dalam bermain.57 Setelah perlengkapan sudah lengka semua, maka tahap selanjutnya yaitu sang mursyid memohon izin kepada khalayak ramai. Permohonan izin ini dianggap penting dilakukan sebelum upacara dimulai agar pertunjukkan bisa berlangsung dengan baik tanpa adanya gangguan. Selain itu juga, permohonan izin tesebut merupakan kode etik bagi setiap pertunjukkan dalam kesenian debus. Dalam tahap ini, barulah mulai dipertunjukkan permainan kekebalan, dilakukan oleh pemain debus secara berurutan dan bergantian. Kemudian dua orang pemain maju ke arena yang telah dipersiapkan. Seorang membawa gada debus dan yang lainnya membawa palu besar. Para pemain debus, mengucapkan dzikr dan shalawat yang dalam pengucapannya dilagukan dengan nada yang naik dan turun. Dzikir dan shalawat ini diiringi dengan suara 56
J. Vredenbreght, Dabus in West Java, h. 305. Isman Nasution Debus, “Islam dan Kiyai studi Kasus di Desa Tegal Sari, Kecamatan Walantaka, Kabupaten Serang, Jawa Barat”, h. 109. 57
75
dari terbang gede dan kendang atau gong.58 Keduanya mulai menari dari jarak yang satu dengan yang lainnya agak berjauhan. Mereka terus menari menyesuaikan diri dengan irama musik pengiring dan dzikir yang dinyanyikan. Selama pertunjukkan berlangsung dzikir dan shalawat serta musik masih terus terdengar dan pada saat-saat tertentu dzikirnya merendah dan kadang kala tinggi atau melengking, kedua pemain debus tersebut bergerak sambil mendekat. Pada saat suara itu mencapai titik tertentu (puncak), maka kedua pemain saling berdekatan. Salah seorang memegang gada debus dan meletakkan bagian yang runcing di dada sebelah kanan pemain debus, kemudian salah seorang yang memegang menghantamkan palu tersebut ke kepala gada dengan keras sambil berteriak “al-madad”. Yang memegang gada pula menyambut “illa Allah”. Pukulan tersebut diulangi sampai tiga kali dengan ucapaan tersebut dalam jumlah yang sama. Beberapa saat kemudian irama musik dan syair berubah semakin lama semakin tinggi. Kedua pemain kembali bergerak saling mendekat satu dengan yang lainnya. Pada irama puncak, seperti yang sudah dijelaskan tadi, mereka saling mendekat yang kemudian diikuti gerakan yang satu memukul dan yang lainnya menerima pukulan, kali ini bagian yang dipukul berbeda, yaitu dada sebelah kiri. Hal semacam ini terus berulang kembali hanya sasarannya yang berubah, bisa dada kiri, perut, atau anggota tubuh yang lainnya. Permaianan ini diteruskan dan berakhir sampai syair yang dibaca habis. Maka itulah pertunjukkan debus al-madad.59
58
Isman Pratama Nasution, “Debus, Islam, dan Kiyai, Studi Kasus di Desa Tegal Sari”, h.
89. 59
Mohammad Hudaeri, Islam Tantangan Modernitas dan Karifan Budaya Lokal Banten, h. 269-270.
76
Oleh karena itu, tujuan dari pertunjukkan debus adalah untuk membuktikan kekebalan dan para pemain harus mempunyai sikap yakin.60 Tanpa adanya sikap yakin, pemain tidak dapat melakukannya. Jadi debus adalah bertujuan untuk meningkatkan keyakinan dengan cara membuktikan kekebalannya dengan senjata tajam dan keyakinan akan keberadaan Allah yang memberi kekebalan.61
60
J. Vredenbregt, Dabus in West Java, (BKI, 1973), h. 317. Wawancara Pribadi dengan Abah Yadi, Tokoh Budaya, Serang, 13 April 2015, Pukul 11:29 WIB. 61
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari hasil penelitian yang dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa; Tarekat Rifa’iyah ialah salah satu tarekat yang mulai berkembang di Banten pada masa Sultan Abu Mufakhir Muhammad Aliyuddin. Penyebaran tarekat ini berawal dari kalangan elit kota, sampai pada kalangan masyarakat awam. Keberadaan dan Perkembangan tarekat Rifa’iyah di Banten juga dibuktikan dengan adanya Naskah Ratib al-Rifa’i yang di dalamnya disebutkan nama pendiri tarekat Rifa’iyah dan nama-nama menganut tarekat Rifa’iyah. Nama-nama yang sering disebut dalam hadiah al-fatihah dan munajat Rifa’i ialah Ahmad al-Kabir al-Rifa’i, Sultan Maulana Hasanuddin, Sultan Abu Nasr Muhammad al-Arif Zainal Asyiqin, dan Sultan Abu al-Mufakhir Aliyuddin. Tarekat Rifa’iyah pada abad ke-19 ialah digunakan sebagai alat untuk melawan penjajah Belanda, karena tarekat Rifa’iyah ini memiliki keistimewaan yakni membuat pengamalnya kebal dari senjata tajam yang kemudian dikenal dengan debus. Sebelum para pengikut memainkan debus, mereka harus menjadi anggota terlebih dahulu, yaitu dengan cara melaksanakan puasa dan mengamalkan dzikir dan doa-doa yang terdapat dalam tarekat Rifa’iyah. Akan tetapi, permainan debus sekarang ini kebanyakan dalam amalannya tidak menggunakan tarekat Rifa’iyah lagi. Amalan yang mereka digunakan yaitu Jangjawokan (membaca mantra).
77
78
Adapun ajaran/amalan yang terdapat dalam Tarekat Rifa’iyah yaitu dzikir dan amalan berupa Hadiah al-fatihah, Wirid al-Qur’an dan doa, Munajat Rifa’i, serta Salawat. Pada bagian munajat Rifa’i, terdapat doa-doa yang sering menggunakan kata al-madad yang artinya meminta pertolongan. Selain digunakan untuk permainan debus, dzikir dan amalannya juga digunakan sebagai pengobatan. Pengobatan tersebut digunakan untuk menutupi luka akibat bacokan dalam permainan debus. Sementara pengaruh keagamaan dari tarekat Rifa’iyah terbagi menjadi tiga kategori yaitu pertama; munculnya pemimpin muslim yang diwakilkan oleh kiyai. Dimana kiyai ini memberikan suatu corak baru di Banten, ditandai dengan adanya kiyai hikmah dan guru tarekat; kedua, Jawara sebagai sebuah transformasi tradisional dapat memunculkan kepemimpinan tradisional debus dan ketiga, kategori institusi yakni pesantren yang mana mengajarkan sebauh tarekat. Sedangkan untuk tradisi sendiri dijadikan sebagai ritual lokal debus. B. Saran Penulis memahami betul dalam tulisan ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna, maka dari itu kritik dan saran sangat dibutuhkan demi baiknya tulisan/karya ini. Untuk generasi selanjutnya akan lebih bagus lagi jika mengkaji lebih mendalam dan memunculkan ide-ide yang cemerlang untuk menggali tulisan khusus Banten seperti: Sejarah para pendiri Tarekat Rifai’iyah di Banten, Pengajaran pesantren yang menganut tarekat Rifa’iyah, Konflik Ulama Tarekat Rifa’iyah di Banten, Sejarah kesenian-kesenian yang ada di Banten dan lain sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Primer Naskah Ratib Rifa’i A 218 A. Naskah Ratib Rifa’i A 218 B.
Buku-Buku Abdurahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta : Logos Wacana Ilmu. 1999. __________________ Pengantar Metodologi Penelitian Dan Penulisan Karya Ilmiah. Yogyakarta: IKFA Press. 1998. Ambary, Hasan Muarif. Menemukan Peradaban Arkeologi dan Islam di Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. 1998. Atja, Carita Purwaka Caruban Nagari: Karya Sastra Sebagai Sumber Pengetahuan Sejarah. Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barta. 1986. Atjeh, Aboebakar. Pengantar Ilmu Tarekat. Cet. XI. Solo: Ramadhani. 1995. Bruinessen, Martin Van. Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan. 1995. ____________________ Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survei Historis, Geografis, dan Sosiologis. Bandung: Mizan. 1992. Burger dan Prayudi. Sejarah Ekonomi Sosiologis Indonesia. Jilid 1. Jakarta: Pradnya Paramita. 1962. De Graaf, H. J. dan TH. Pigeaud. Kerajaan Islam Pertama di Jawa Tinjauan sejarah Politik Abad XV dan XVI. Cet.I. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti. 1985. Dhofier, Zamaksyari. Tradisi Pesantren Studi Pandangan Hidup Kiyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia. Jakarta: LP3ES. 2011. Djajadiningrat, Hoesein. Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten. Jakarta: Djambatan. 1983. 79
80
Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah. Terj. Nugroho Notosusanto. Jakarta: UI Press. 1983. Guillot, Claude. Banten Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 2011. Hadiningrat, K. Kesenian Tradisional Debus. Jakarta: Proyek Media Kebudayaan Jakarta Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1981/9182. Harjoso. “Kebudayaan Sunda”. dalam Koentjaraningrat. Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan: 1971.
Manusia
dan
Hasyimy, A. Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah. Jakarta: Beuna. 1983. Hudaeri, Mohammad. Debus: Dalam Tradisi Masyarakat Banten. Serang: FUD Press. 2009. __________________ Islam Tantangan Modernitas dan Kearifan Budaya Lokal Banten. Serang: Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Press. tth. Hurgronje, C. Snouck. De Atjehers Vol II. Leiden: E.J. Brill. 1894. Hurgronje, C. Snouck. The Achehnese Vol II. Leiden: E.J. Briill. 1906. Irfani, Fahmi. Jawara Banten, Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya. Jakarta: YPM: Young Progressive Muslim. 2011. Kartodirdjo, Sartono. Pemberontakan Petani Banten 1888, Kondisi, Jalan, Peristiwa, dan Kelanjutannya. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya. 1984. Lubis, Nina H. Banten Dalam Pergumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia. 2003. Michrob, Halwany dan Mudjahid Chudori, Catatan Masa Lalu Banten. Serang: Saudara. 2011. Mulyati, Sri. Mengenal & Memahami Tarekat-Tarekat Muktabaroh di Indonesia. Jakarta: Kencana. 2005. __________ Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka, Cet. ke-1. Kencana: Prenada Media Group. 2006. Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam. Jakarta: PT Bulan Bintang. 1999. Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2012.
81
Niel, Robert Van. Sistem Tanam Paksa di Jawa. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia. 2003. Pane, Sanusi. Sedjarah Indonesia Jilid II. Jakarta: Perpustakaan Perguruan Kementrian. 1956. Said, Fuad. Hakikat Tarekat Naqsyabandiyah. Jakarta: Al-Husna Zikra. 1996. Saifullah. Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2010. Schimmel, Annemarie. Dimensi Mistik Dalam Islam. Terj. Sapardi Djoko Damono. Jakarta: Pustaka Firdaus. 1986. Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia. Ed. Marwati Djoened Poesponegoro Nugroho Notosusanto. Jakarta: Balai Pustaka. 1977. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3. Yogyakarta: Kanisius. 1973. Solihin, M. Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia. Bandung: Pustaka Setia. 2001. Statistik Gender dan Analisi Provinsi Banten. Jakarta: Badan Pusat Statistika. tth. Steenbrink, Karel A. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19. Jakarta: PT Bulan Bintang. 1984. Suminto, Aqib. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta: LP3ES. 1985. Tjandrasasmita, Uka. Musuh Besar Kompeni Belanda. Jakarta: Yayasan Kebudayaan Nusalarang. 1967. __________________ Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia Dari Abad XIII sampai XVIII Masehi. Kudus: Menara Kudus. 2000. __________________ Banten Abad XV-XXI Pencapaian Gemilang Penorehan Menjelang. Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI. 2011. Trimingham, J. Spencer. Mazhab Sufi. Bandung: Pustaka. 1999. ___________________ The Sufi Orders In Islam. New York: Oxford University Press. 1971. Untoro, Heriyanti Ongkodharma. Kebesaran dan Tragedi Kota Banten. Jakarta: Yayasan Kota Kita. 2006.
82
___________________________ Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten 1522-1684, Kajian Arkeologi-Ekonomi. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. 2007. Vredenbregt, J. Dabus in Wast Java. BKI. 1973. Yatim, Badri. “Tarekat dan Perkembangannya”. Indonesia Dalam Arus Sejarah Jilid 3: Kedatangan dan Peradaban Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve. 2011. Yunus, Mahmud. Kamus Bahasa Arab Indonesia. Jakarta: Hidayakarya Agung. 1989. Sejarah Seni Budaya Jawa Barat 1. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1977. Jurnal Isman Pratama Nasution, “Debus Walantaka: Fenomena Budaya Banten”, Universitas Indonesia, journal.ui.ac.id/index.php/jai/article/download/.../2607. Akses tanggal 21 april 2015. Jurnal, Kiki Muhamad Hakiki, “Debus Banten: Pergeseran Otentisitas dan Negoisasi Islam-Budaya Lokal”. Jurnal, Planesa Volume 3, Nomor 1 Mei 2012, Budi Sulistyo dan Gita Vemilya Many, Revitalisasi Kawasan Banten Lama Sebagai Wisata Ziarah . Ensiklopedi “Ensiklopedi Islam”. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve. 1997. “Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 3”. Jakarta: PT Delta Pamungkas. 2004. Esposito, John L. Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern Jilid 1. Bandung: Mizan. 2001. Rosidi, Ajip. “Ensiklopedi Sunda, Alam, Manusia, dan Budaya Termasuk Budaya Cirebon dan Betawi”. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya. 2000. Wawancara Wawancara Pribadi dengan Bapak Abbas, Pengurus Makam Sultan Hasanuddin, Serang, 12 April 2014, pukul 12:10 WIB. Wawancara Pribadi dengan Ustadz Maheri salah seorang tokoh Debus Banten, Serang, 22 Maret 2015, Pukul 11:38 WIB. Wawancara Pribadi dengan Abah Yadi, Tokoh Budaya, Serang, 13 April 2015, Pukul 11:29 WIB.
83
Wawancara Pribadi dengan Sekertaris MUI, Serang, 15 April 2015, Pukul 10:18 WIB. Skripsi Makmun Muzakki, “Tarekat dan Debus Rifa’iyah di Banten”. Skripsi SI Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. 1990. Nur Karim, “Ratib Ar-Rifa’i Terjemahan Naskah dan Pengungkapan Isi”. Skripsi SI Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. 1991. Tubagus Najib Al-Bantani, “Biografi K.Wasid Karya-Karya dan Perlawanan Terhadap Kolonial di Banten”. Skripsi SI Universitas Indonesia, 1991. Tesis Isman Pratama Nasution, “Debus, Islam dan Kiai: Studi Kasus di Desa Tegal Sari, Kecamatan Walantaka, Kabupaten Serang, Jawa Barat”. Tesis, FISIP, Universitas Indonesia. 1995. Syamsu Nauval, “Debus Sebuah Fenomena Keagamaan: Studi Kultural Debus Banten”, Tesis S2 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tihami, “Kiyai dan Jawara di Banten: Studi Tentang Agama, Magi, dan Kepemimpinan di Desa Pesanggrahan Serang-Banten”. Tesis Universitas Indonesia, Jakarta, 1992. Artikel Rohman, “The Result of a Holy Alliance: Debus and Tariqah in Banten Province”, IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten. Artikel diakses pada tanggal 21 april 2015. http://journal.umy.ac.id/index.php/afkaruna/article/view/27/30. vol 9, no 1 (2013).
Kumpulan Tulisan Al-Bantani, Tubagus Najib. Kebangkitan Kembali Banten Dari Masa ke Masa: Berdasarkan Naskah Kuna dan Tinggalan Arkeologi. Serang: Yayasan SengPho Banten. 2011. Isman Pratama Nasution, “Fungsi Debus Dalam Sistem Budaya Masyarakat Banten”, Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budayalaporan, 1998. Noviyanti Widyasari. “Peranan Debus Dalam Pembinaan Budaya Kewarganegaraan (Civil Culture) Pada Masyarakat Banten”. Universitas Pendidikan Indonesia. 2014.
Internet
84
http://www.bpkp.go.id/dki2/konten/1092/GEOGRAFIS. Akses Tanggal: 27 April 2015, Pukul 10:40 WIB. http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/269-sultan-maulana-hasanuddin# Akses Tanggal 27 April 2015, Pukul 14:38 WIB. http://Kehidupan%20Sosial%20dan%20Ekonomi%20Masyarakat%20Kerajaan% 20Banten%20_%20Perpustakaan%20Cyber.htm. Akses Tanggal 28 April 2015, Pukul 11:20 WIB. www.embun pagi_Banten,antara Pengaruh Kyai dan Jawara.html. Akses Tanggal 07 Mei 2015, Pukul 16:37 WIB.
Lampiran 1.1
Hasil Wawancara
Narasumber
: Ustadz Maheri
Tempat
: Kp. Sandiang Rt/Rw 007/003, Kel. Cipete, Kec. Curug, SerangBanten
Jabatan
: Ketua Debus
Hari/Tanggal : Minggu, 22 Maret 2015
No. Pertanyaan 1. Tanya Jawab
2.
Tanya Jawab
3.
Tanya Jawab
4.
Tanya Jawab
5.
Tanya Jawab
Jawaban Tarekat apa saja yang terdapat di Banten? Tarekat Babeluk, al-madad, Qadariyah, dan Naqsyabandiyah. Tarekat Babeluk adalah tarekat yang bacaannya digunakan untuk pemberangkatan orang yang pegi haji dan untuk memperlihatkan budaya Banten. Tarekat Babeluk ini hanya terdapat di Banten. Al-madad ialah tarekat sebagai pengisian dari debus. Sementara Qadariyah wa Naqsyabandiyah adalah tarekat yang digunakan untuk melawan musuh pada masa penjajahan. Semua tarekat yang terdapat di Banten digunakan sebagai pertolongan dan alat yang digunakan yaitu bambu runcing karena pada waktu itu belum ada senjata tajam, seperti pistol, senapan dan lain-lain. Apakah benar tarekat Rifa’iyah ada kaitannya dengan debus, khususnya di Banten? Benar ada, karena amalan tarekat Rifa’iyah digunakan sebagai suatu pengisian yang dibuktikan dengan debus. Selain digunakan untuk debus, digunakan untuk apa saja tarekat Rifa’iyah tersebut? Tarekat Rifa’iyah selain digunakan amalan debus, amalannya juga digunakan untuk riungan, pengobatan. Kalo debus hanya sebagai suatu permainan aja, misalnya ingin kebal terhadap senjata tajam, sementara tarekat hanya sebagai pengisiannya saja agar kuat dari senjata tajam. Fungsinya untuk menutup luka, mengisi kekuatan yang diambil dari amalan tarekat debus. Menurut Bapak apa tarekat Rifa’iyah itu sendiri? Tarekat Rifa’iyah adalah tarekat untuk kekebalan, dan untuk menguatkan ukhuwah islamiyah pada masyarakat Banten. Dari mana bapak mengetahui dan mengenal tarekat Rifa’iyah? Dari guru-guru terdahulu, yang pada awalnya saya hanya 85
86
6.
Tanya Jawab
7.
Tanya jawab
8.
Tanya Jawab
9.
Tanya Jawab
10.
Tanya
Jawab
11. 12.
13.
Tanya Jawab Tanya Jawab Tanya Jawab
sebagai santrinya saja, kemudian diajarkan tentang berbagai macam tarekat, khususnya tarekat Rifa’iyah, dan sekarang saya dijadikan sebagai penerusnya untuk mengajarkan tarekat Rifa’iyah di Banten. Kapan tarekat Rifa’iyah masuk ke Banten? Tarekat Rifa’iyah ada di Banten, awal mula ada pada bulan Maulid, sehingga sekarang setiap bulan maulid semua penganut tarekat bekumpul. Siapa yang membawa Tarekat Rifaiyah ke Banten? Pada awalnya yang membawa tarekat Rifa’iyah ke Banten yaitu Sultan Hasanuddin, karena beliau yang mengislamkan masyarakat Banten, ia mengumpulkan para wali, qadhi. dikumpulkan disuatu tempat kemudian masing-masing diutus untuk mengajarkan tarekat yang terdapat di Banten. Bagaimana tarekat Rifa’iyah bisa berada di Banten? Karena asal usul Syarif hidayatullah dan anaknya Sultan Hasanuddin, yang dalam cerita ia adalah pendiri suatu tarekat. Digunakan untuk apa saja tarekat Rifa’iyah? Selain amalannya digunakan untuk debus, amalannya juga digunakan untuk megobati orang kesurupan, santet, teluh, untuk mengobati orang yang sakit tidak sewajarnya, menyelususri rumah angker, pengobatannya tersebut diambil dari hizib-hizib Rifa’iyah, dan digabungkan dari tarekat Qadariyah, Rifa’iyah, al-madad, Naqsyabadndiyah, digabungkan hizib-hizibnya. Biasanya tarekat-tarekat lain mendirikan suatu pesantren, apakah ada pesantren yang khusus mengamalkan tarekat rifaiyah? Memang ada, namun tidak secara khusus mengamalkan tarekat Rifa’iyah, namun untuk pesantren yang khusus mengamalkan Rifa’iyah di Banten belum ada. Akan tetapi ada sebagian yang lain mengamalkan tarekat-tarekat mereka mengamalkan dzikirnya dan hizib-hizib dari suatu tarekat tersebut. Apas aja ajaran-ajaran dari tarekat Rifa’iyah? Doa kepada Syekh, baca yasin, ayat kursi, puasa. Kapan dan dimana dilaksanakannya? Setiap malam Jumat, biasanya mereka terlebih dahulu berkumpul di masjid Agung Banten. Butuh berapa lama untuk menjadi tarekat Rifa’iyah? Kira-kira 3 bulan, itupun khusus mengamalkan tarekat Rifa’iyah yang digunakan untuk permainan debus. Sementara jika digunakan untuk pengobatan tidak membutuhkan waktu yang lama. Yang penting murid sudah diajarkan amalan-amalannya.
87
14.
Tanya Jawab
15.
Tanya Jawab
16.
Tanya Jawab
17.
Tanya Jawab
18.
Tanya Jawab
19. 20.
Tanya Jawab Tanya Jawab
21.
Tanya Jawab
Dari kalangan mana saja yang menganut tarekat Rifa’iyah? Semua kalangan bisa mengikuti tarekat ini, tetapi biasanya yang lebih diutamakan yaitu laki-laki. Apakah setelah mengikuti tarekat Rifaiyah, perilaku keagamaannya berubah? Iya pasti, karena dalam tarekat sudah diajarkan, amalanamalan dan dan dalam tarekat tidak boleh melakukan perbuatan yang dilarang Agama, seperti mencuri, mabok, maling dan lain-lain. Setelah megikuti tarekat Rifa’iyah, bagaimana pandangan bapak? Nyaman, karena dengan ilmu yang didapat, bisa digunakan untuk menolong orang yang sakit dan sebagian masyarakat Banten memandang hebat jika memiliki ilmu kekebalan dan dengan ilmu yang di dapat, bisa dikenal banyak orang. Bagaimana pengaruhnya setelah mengikuti tarekat Rifa’iyah? lebi dekat dengan Allah, karena setiap kita melakukan kesalahan sekecil apapun pasti akan terasa. Apakah ada masyarakat yang memandang tidak suka dengan tarekat Rifa’iyah? Ada, karena tidak semua orang menilai baik. Dan apabila ada orang yang menganggap buruk kita hanya bisa mendoakan saja. Kapan tarekat Rifa’iyah diamalkan? Biasanya setelah shalat. Apakah tarekat Rifa’iyah berpengaruh terhadap agama, sosial, ekonomi? Kalo hubungan Agama, merasa ilmu yang di dapat sangat bermanfaat sekali, karena adanya kehebatan Allah. Sementara dari segi ekonomi lebih mengangkat, karena dengan ilmu tersebut bisa di bawa orang untuk acara pertunujukkan debus, dari dalam sampai ke luar negeri, dari sosialnya bisa dipandang lebih baik oleh masyarakat. Ada berapa orang dalam sekolompoknya Tarekat Rifa’iyah dalam debus? Ada 25. Mereka sebagai penabuh, gendang dan pemain.
Lampiran 2.1 Hasil Wawancara
Narasumber
: Abah Yadi
Tempat
: Bantenologi, IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten
Jabatan
: Tokoh Budaya
Hari/Tanggal : Senin, 13 April 2015
No 1.
2.
Pertanyaan Jawaban Tanya Tarekat apa saja yang berkembang di Banten? Jawab Awaliyah, Syatariyah, Sanusiyah, Syadziliyah, Samaniyah, Rifa’iyah dan Qadiriyah. Tanya Apakah tarekat Rifa’iyah salah satu tarekat yang berkembang di Banten? Jawab Iya, dan 7 tarekat yang tadi disebutkan itu, tarekat Rifa’iyah adalah salah satu tarekat lebih menonjol pada debusnya, Para penganut tarekat Rifa’iyah setelah mengamalkan ajarannya maka akan di tes keyakinan, kepercayaan kepada Tuhannya atau kekebalan tubuh. Karena di Banten berbeda dengan di daerah lain, misal, di Bogor Syatariyah yang berkembang, di Aceh Samaniyah, di Palembang Syadziliyah, sedangkan di Banten semuanya digabungkan menjadi satu. Oleh karena itu tarekat yang terdapat di Banten tidak menjelekkan satu sama lainnya, malahan tarekat di Banten saling mendukung. Walaupun pada abad ke-19 tarekat yang paling berkembang yaitu Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, karena pada zaman kolonial tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah lebih banyak pengikutnya, namun bukan berarti tarekat yang lain tidak ada pengikutnya, Rifa’iyah juga ikut berperan dalam pemberontakan, bahkan Abdullah bin Abdul Qahhar yang mengajarkan tarekat Sanusiyah, Awaliyah, Syadziliyah, Rifa’iyah. Dan beliau juga salah satu penganut tarekat Rifa’iyah yang dibuktikan dengan salah satu naskah yang di dalamnya terdapat nalam pendiri tarekat Rifa’iyah, Oleh karena itu, secara tidak langsung ia mengamalkan tarekat Rifa’iyah. Dan ia menjelaskan tidak ada perbedaan antara satu tarekat dengan tarekat yang lainnya, yang membedakan hanya leading sektornya saja, siapa yang paling kuat ia yang paling berperan. Tarekat hanya sebagai kelompok untuk melakukan perlawanan. Jadi semua tarekat yang berada di Banten semuanya ikut berperan dalam perjuangan melawan kolonial Belanda. Di samping itu juga, tarekat dijadikan untuk melakukan simpatik di ranah kebudayaan atau seni pertunjukkan untuk mengenalkan kebudayaan. Misalnya Syadziliyah dengan dalail khoirot, Samaniyah dengan dzikir saman, Rifa’iyah dengan debus, awaliyah juga dengan debusnya, Qadiriyah dengan wawacan seh. 88
89
3.
Tanya Jawab
4.
Tanya Jawab
5.
Tanya Jawab
6.
Tanya Jawab
7.
Tanya Jawab
Itu semua bukti pernah ada kekuatan besar satu sama lainnya. Namun kesenian tersebut dilakukan hanya pada momen-momen tertentu saja. Bagaimana peranan tarekat Rifaiyah di Banten? Peranan tarekat Rifa’iyah di Banten lebih pada debus, dan ajarannya lebih kepada wahdatul wujud, keyakinan yang sempurna, bahkan di tarekat Rifa’iyah itu dijelaskan beda dengan tarekat yang lainnya tarekat Qadiriyah ada bagannya. Jika kata orang sekarang namdalang, yaitu dalam jasad manusia biasanya 9 tapi dalam tarekat rifaiyah biasanya 12 tingkatannya. Artinya, mereka yang kurang-kurang itu masuk ke dalam tarekat Rifa’iyah dan dijadikan keyakinan tingkatan spiritual yang tinggi di bandingkan yang 7 tarekat tadi di sebutkan itu, untuk masyarakat Banten. Kapan tarekat Rifa’iyah mulai masuk dan berkembang di Banten? Jika dilihat dari naskah dan ajaran, sebelum adanya kesultananpun tarekat sudah ada, hanya memang tokoh-tokoh pendiri khusus di Banten yang benar-benar belum ditemukan/belum terlacak dengan baik, yang kedua bukti tentang keberadaan tarekat Rifa’iyah ini karena memang wahdatul wujud, kalawan gusti keyakinan yang cukup tinggi. Sehingga hampir semua masyarakat mengenal tarekat Rifa’iyah lebih pada ilmu hikmah untuk dijadikan kekuatan, di samping tarekat-tarekat yang lain, Rifa’iyah ini yang paling menonjol untuk ilmu kanuragan, ilmu spiritualnya, yang kuat di bacok, yang dipraktekkan dengan debus, dan ketika zaman kesultanan, Rifa’iyah berkembang, khalwatiyah juga berkembang, Siapa yang membawa tarekat-tarekat itu ke Banten? Salah satu tokoh yang membawa tarekat ke Banten yakni Abdullah bin Abdul Qahar tokoh sekaligus penulis kitabnya berjudul Fathul Al-Mulk, yang menulis, membawa dan mengajarkan tentang tarekat tersebut, sekitar tahun 1760-an. Dan Abdullah bin Abdul Qahar ini sebenarnya penasehat Sultan dan dijadikan sebagai keluarga Sultan. Dari mana asal mula tarekat mucul? Sebenarnya tarekat ialah, para penganut yang memiliki keyakinan, merasa keyakinannya benar. Biasanya dari tarekat berawal dari nama-nama tokoh seperti Syadzili, ia orang yang mendirikan tarekat Syadziliyah, Rifa’iyah Syekh Rifa’i, yang dipercayai oleh masyarakat memiliki kekuatan magis, sehingga banyak masyarakat yang mengikuti. Kebanyakan tarekat muncul di Syiria, Turki, Iran, dan tarekat Rifa’iyah memiliki banyak cabang misalnya di Jawa, dikenal dengan Ronggowarsito pemikiran tarekatnya dituangkan dalam bahasa sastra dituliskan dengan bahsa lokal, sedangkan Abdullah bin Abdul Qahhar dengan bahasa Arab. Mengapa tarekat Rifa’iyah terdapat di Banten? Karena Banten sebagai multikultur. Banten welcome terhadap
90
8.
Tanya Jawab
9.
Tanya Jawab
10.
Tanya Jawab
semua ajaran, karena Banten adalah kota maritim, siapapun yang datang dan menguntungkan untuk Kerajaan Banten ia pasti akan diterima. Salah satu wasiat dari Abdullah bin Abdul Qahhar “wong banten kudu ngagagurat, udan guru banjar elmu wong salah malah kaprah”. Dalam salah satu babad Banten disebutkan pada masa Sultan Abdul Mufakhir, ia mendatangkan guru-guru agama dari Timur Tengah, ratusan bahkan ribuan jumlah untuk mengajarkan ilmu agama dan dari Eropa untuk mengajarkan ilmu tekhnik pertanian, dsb. Semua didatangkan ke Banten dan tujuannya untuk mengembangkan Banten. Karena banyaknya guru-guru yang berbeda idiologi atau pemahaman, sehingga ajaranpun bermacam-macam dan menjadi berkembang. Dan untuk menghindarkan konflik internal, maka sultan memberikan pemahaman. Sultan Abdul Qadir yang memberikan pemahaman kepada masyarakat dan kemudian dilanjutkan oleh cucunya, Sultan Ageng Tirtayasa, sehingga perkembangan Banten lebih meluas. Bagaimana proses masuknya tarekat Rifa’iyah ke Banten? Kalo dulu setiap guru mengajarkan kepada murinya, dan ajaran itu diikuti oleh murid-muridnya, karena guru sebagi panutan murid sehingga apapun yang dilakukan oleh guru maka akan ditiru, misalnya meniru tingkah lakunya dan pemikirannya. Biasanya tarekat-tarekat lain mendirikan suatu pesantren, apakah ada pesantren yang khusus mengamalkan tarekat Rifa’iyah? Sebenarnya tidak semua tarekat mendirikan pesantren, kita harus bisa membedakan ulama tarekat dengan ulama akademis, ulama tarekat lebih banyak mempelajari ilmu hikmah. belajarnya masih menggunakan kitab kuning. Jadi tarekat Rifa’iyah tidak mendirikan pesantren khusus, dan jika ada yang ingin belajar, silahkan datang kepada gurunya, paling lama belajarnya 3 bulan, dan melaksanakan puasa. Beda dengan pesantren yang dikategorikan pesantren akademis, belajarnya sudah modern. dan jarang yang mempelajari kitab kuning, walaupun memang ada, paling hanya sedikit presentasenya lebih banyak untuk mengamalkan puasa dan amalan tarekatnya. Kalo sekarnag biasanya bulan maulid semuanya melaksanakan puasa dan ritualritual tarekat. Digunakan untuk apa saja tarekat Rifa’iyah? Jika di lihat dari isinya tarekat Rifa’iyah mengkondisikan diri sebagai mahluk Tuhan, maksudnya kita bergerak, semuanya adalah tingkah laku kita, sekecil apapun yang kita lakukan dari ucapan dari tingkahlakunya. karena mereka taruhannya nyawa, karena setelah mengamalkan ritual, ajaran-ajarannya akan dicoba dengan golok, senjata tajam, ular berbisa, al-madad. dan apabila dia tidak yakin dan tidak pasrah ia akan mati. debus merupakan seni uji keyakinan untuk tarekat Rifa’iyah, jika seorang sudah yakin maka diuji coba keyakinannya dengan debus tersebut, uji tes kelulusan para pnganut tarekat Rifa’iyah. Sehingga kemudian debus dijadikan seni kebudayaan untuk tes kelulusan dari tarekat
91
11.
Tanya
Jawab
12.
Tanya Jawab
13.
Tanya Jawab Tanya
14.
Jawab
15.
Tanya Jawab
16.
Tanya Jawab
17.
Tanya
Rifa’iyah. untuk pengobatan biasanya semua tarekat, awal mula debus ialah sebagai ritual upacara kelulusan pengikut tarekat rifaiyah, kemudian pada tahun 1952 debus dijadikan sebagai seni pertunjukkan, karena presiden soekarno pada waktu itu ingin melihat permainan debus. mulai dari situ debus dijadikan sebagai alat kesenian. dulu debus sebagai ritual. Apakah sekarang masih ada hubungannya debus dengan tarekat Rifa’iyah? walupun sekarag debus sudah dijadikan sebagai seni budaya? Sebenarmnya tarekat Rifa’iyah tidak diizinkan bahwa debus dijadikan sebagai alat kesenian, namun jika orang yang benarbenar menganut ajaran tarekat dia tidak mau, ada juga debus dijadikan sebagai seni kebudayaan. debus dipertontonkan Kegiatan apa saja yang dilakukan oleh pengikut tarekat? Kegiatannya hampir sama dengan tarekat yang lain, mengamalkannya setiap 5 waktu, sholawat, yang membedakan hanya isi do’a-do’anya, isi ritualnya, dari mulai hadorot sampai pengamalannya tergantung pada gurunya, kalo sekarang karena orang sudah tidak lagi dan orang yang ingin belajar tarekat hanya segelintir orang saja, sekarang hanya sisa-sisanya penerusnya saja. biasanya dalam hadorot tokoh pendirinya selalu disebutkan. bentuknya ilmu hikmah. dan sekarang juga masih ada yang menganut tarekat tarekat Rifa’iyah walupun tidak banyak. Bagaimana ajaran-ajarannya? Kalo bacaannya bisa dilihat di kitabnya saja Bagaimana pengaruh tarekat Rifa’iyah terhadap masyarakat Banten? Kalo pengaruhnya dengan debus, karena debus berasal dari tarekat Rifa’iyah. Dan dalam tarekat Rifa’iyah tidak boleh melakukan hal-hal yang dilarang (mabok, maling, madon) karena yang menganut tarekat tarekat baisanya tidak boleh melakukan hal-hal yang melanggar sekceil apapun. Orang yang menganut tarekat tidak boleh melanggar kesalahan sekecil apapun, karena untuk mendapatkannya lagi itu harus melaksanakan puasa yang sangat panjang. Prosesnya lebih panjang lagi. karena kalo hal itu dibiarkan terus, orang akan terus melakukan kesalahan, tidak bisa dikontrol, kalo orang dulu takut akan kekuasaan Allah. Butuh waktu berapa lama untuk mengenal dan mempelajari tarekat Rifa’iyah? Biasanya 3 tahun, dilaksanakan secara bertahap, biasanya melaksakan puasa beberapa hari terlebih dahulu, setelah dianggap lulus, ia melanjutkan lagi dan mengamalkannya. Dari kalangan mana saja yang ikut tarekt Rifa’iyah? Yang menganut tarekat Rifa’iyah, bebas dari berbagai kalangan, dan 90% laki-laki, kiyai dan ulama. pada awalnya anak-anak muda belajar kepada kiyai atau ulama. Apakah ada sekelompok kiyai yang menganut tarekt Rifa’iyah?
92
Jawab
18.
Tanya Jawab
19.
Tanya Jawab
20.
Tanya Jawab
21.
Tanya Jawab
Ada, namun sekarang agak berkurang, karena dianggap tujuannya sesaat, tidak seperti orang-orang dulu yang benar-benar ingin menguasai ilmunya. Sejauh mana perkembangan tarekat Rifa’iyah di Banten? Perkembnagnnya dari dulu smapi tahun 1900-an, dari 1900 kesini sudah agak menurun sejak zaman kemerdekaan, penurunannya sekarang karena lebih banyak pesantren moderen, yang mengajarkan pelajarannnya dan kitab-kitab yang modern tidak seperti pesantren salafi yang masih memmakai kitab kuning. biasanya dalam penulisan bersifat subjektif, tarekat itu-itu saja yang diangakat, sementara tarekat lain hanya sedikit yang diangkat padahal perannya sama. Bagaimana perilaku keagamaan masyarakat Banten setelah mengikuti tarekat Rifa’iyah? Kalo di Banten, baik yang sudah mengikuti atau belum mengikuti, tidak terlihat perbedaannya, hanya sedikit perbedaannya, dari kebiasaan. orang yang sudah menikuti tarekat biasanya ia akan menjaga diri dari pembicaraannya, karena orag Banten emosinya tinggi. kalo salah ngomong maka semnuanya kacau. Dan kalo sudah mengikuti tarekat, maka tidak melarang kepada orang lain untuk mengikuti tarekat namun ia menghargai antar tarekat. Bagaimana bapak bisa mengetahui tentang tarekat? Karena banyak temen-teman yang berguru dalam tarekat, dan saya sebagai pelacak naskah dan kebetulan terkadang naskahnya tentang tarekat. di naskah-naskah kuno yang beredar di Banten. Selain hubungan dengan keberagamaan, adakah hubungannya dengan sosial, ekonomi, politik? Semuanya berhubungan. Lahirnya tarekat karena kepentingan politik, untuk melawan kekejaman para penjajah, dan dikemas melalui ritual-ritual keagamaan.
Lampiran 3.1
Hasil Wawancara
Nara Sumber : Bapak Tubagus Najib al-Bantani Tempat
: Museum Arkeologi Nasional
Jabatan
: Peneliti
Hari/Tanggal : Kamis, 26 Maret 2015 No Pertanyaan 1. Tanya Jawab
2.
Tanya Jawab
3.
Tanya Jawab
Jawaban Digunakan untuk apa tarekat di Banten? Tarekat penting digunakan untuk melawan kolonial, karena semenjak koloni sudah ada tarekat berubah lagi menjadi seni hiburan. Karena tarekat Rifa’iyah berhubungan dengan debus. oleh karena itu tarekat sebagai debus di bagi menjadi tiga fase yaitu tarekat dijadikan sebagai dakwah, bela diri dan seni hiburan. Kapan debus berfungsi sebagai dakwah, bela diri dan seni hiburan? Debus sebagai dakwah ialah sebelum adanya kolonial atau mulai dari Sultan Hasanuddin sampai Sultan Maulana Muhammad. Sementara sebagai bela diri ialah pada masa Sultan Abdul Mufakhir sampai runtuhnya keraton Banten, karena kolonial sudah masuk sekitar tahun 1506. Intinya kolonial terus yang dikenal, ini berakhir sampai Sultan Haji. Kolonial menggunakan berbagai cara bagaimana untuk mengalihkan suatu debus yang tadinya dijadikan kekuatan, dibuatlah debus sebagai suatu hiburan, nah disini lah mulai masa kolonial sekitar tahun 1690 sampai sekarang ini debus sebagai suatu hiburan atau seni. Karena kolonial tidak suka jika debus dijadikan sebagai bentuk perlawanan sehingga dialihkan (menguraikan fungsi). sedangkan sebagai seni hiburan ialah pada masa akhir kolonial hingga sekarang. Debus sebagai seni (yang sekarang) yaitu yang terdapat di beberapa daerah di Banten, itu semua dijadikan sebuah seni. Apakah betul debus di Banten ini merupakan pengaruh tarekat Rifa’iyah? Betul, memang debus di Banten ada pengaruhnya dari tarekat Rifa’iyah yang belum mendapat pengaruh. Ada Rifaiyah yang mendapat pengaruh dan yang tidak mendapat pengaruh. Tarekat Rifa’iyah mendapat pengaruh dari tarekat Qadiriyah sehingga amalannya dibuktikan dengan kekuatan debus. Oleh karena itu debus mendapat pengaruh dari tarekat Rifa’iyah. 93
94
Tarekat Rifa’iyah berasal dari tradisi Islam, untuk menjaga tradisi debus agar tidak hilang, debus tidak lagi sebagai dakwah namun sebagai seni. MUI sudah membolehkan debus sebagai suatu kesenian. Perjalanan islam masuk ke persia, Islam masuk, debus dari tarekat sementara tarekatdari islam. Jadi urutannya debustarekat-islam. Islam yang tidak langsung, debus yang di jawa debus dengan di persia. Debus dalam rangka memperingati ali hasan husen. Debus digunakan untuk melukai dirinya sendiri kemudian debus dijadikan sebagai hiburan pada masa keruntuhan Banten pada masa Sultan haji. Pada masa Sultan Haji Banten mengalami keuntuhan karena, sultan haji ditetapkan oleh Belanda sebagai kadhi. Belanda juga mengambil seni debus dari Banten.
Lampiran 4.1
Hasil Wawancara
Nara Sumber : Sekertaris MUI Tempat
: Kantor MUI Provinsi Banten
Hari/Tanggal : Rabu, 15 April 2015 No. Pertanyaan 1. Tanya Jawab
2.
Tanya Jawab
3.
Tanya Jawab
Jawaban Apakah debus berasal dari tarekat Rifa’iyah? Debus ada yang bersifat teknis, tidak menggunakan mantra, ada juga yang murni namun dalam aspek tentunya dibarengi, umpamanya pertunjukkan memakan kelelawar kalau untuk bisa tidak bergerak itu mungkin ada kekuatan magic, tapi saat disimpannya sudah termasuk teknik. karena kelelawar di simpan di mulut itu teknik, untuk bergerak sehingga bisa terbang, ketika ia akan menampilkan hal seperti itu ia tidak bisa tanpa ajaran-ajaran, misal harus puasa. dan kelelawarnya juga harus dicari terlebih dahulu, karena debus tidak bisa langsung, harus mempersiapkannya Bagaimana debus kaitannya dengan Agama? debus bisa di lihat dari dua sisi, yaitu debus sebagai budaya tradisional yang kita lihat dari budayanya karena terlihat ada suatu seninya, adanya musik tabuhan rebana karena di daerah lain tidak ada. Tetapi ketika bicara secara megic, megic yang bersumber dari tarekat sekalipun untuk mengetahui tarekat dikalangan umat Islam memang masih ada yang membolehkan ada yang tidak. yang membolehkan berarti praktek-praktek itu tidak bisa terlepas dari pada tawasul, sementara ada sebagian kelompok Islam yang tidak menggunakan tawasul. Tawasul ini juga tidak ada unsur aspek yang sepertinya hanya sebagai mediasi saja untuk memohon kepada Tuhan, tapi ada yang benar-benar menjadi sumber keyakinan yang kekuatan di luar tuhan masih dominan, maka dalam tawasul ini ada yang membolehkan tetapi ada persayaratnnya. Jadi memang dari aspek peninjauan mantra yang di pakai itu tidak jauh berbeda dari pemahaman umat Islam melihat tarekat dari sudut yang membenarkan adanya tawasul dan tidak adanya adanya tawasul, sehingga MUI provinsi Banten pernah mendiskusikan hal seperti ini dari hasil penelitian pertama bahwa MUI Provinsi Banten itu ingin mengembalikan agar budaya-budaya Banten tetap ada, dan harus dikembangkan, tetapi harus dihindari unsur-unsur yang menurut akidah tidak dibenarkan. Apakah ada hubungannya tarekat dengan debus? iya memang ada, tetapi sudah terkontaminasi dengan 95
96
4.
Tanya Jawab
5.
Tanya Jawab
sumber-sumber wirid yang lain. Apakah MUI membolehkan adanya debus? Boleh tetapi dilihat dari budayanya, bahwa debus di Banten itu suatu budaya dan budayanya itu harus dikembangkan tetapi karena terlihat ada indikasi seperti itu maka diberikan peringatan bahwa budaya yang harus dikembangkan harus dihindari unsur-unsur yang magis Apakah debus dijadikan sebagai dakwah? MUI hanya sebatas baru memberikan peringatan seperti bahwa debus yang diterima itu debus sebagai budaya. Jadi pengajarannya yang harus dihindari, karena ini juga akan terkait dengan program sosial, jadi ternyata kita melihat adanya kekuatan-kekuatan yang sangat mukholafatul adat orang yang di bacok tidak terluka itu saya kira mukholafatul adat, yaitu mantra-mantra yang sumbesumbernya berasal dari tarekat, itu memang ada semacam keyakinan yang penuh. jadi terbukti kalo dulu dengan cara tarekat ada kemampuan orang untuk mukholafatul adat, mungkin pada awalnya untuk bela diri, tidak untuk dipertontonkan tatapi ternyata setelah dicoba untuk dipadukan dengan cara-craa yang tidak bersumber dari tarekat, tapi dari Jangjawokan ternyata bisa, jadi artinya kekuatan yang membuat orang menjadi super, menjadi luar biasa itu adalah dari imajinasi yang kuat, dari keyakinan yang kuat, apakah dengan memakai wirid-wirid yang sumbernya dari tarekat/islam tetapi itu ada keyakinan. tetapi kalo tidak yakin maka tidak akan bisa. Buktinya orang beralih dari cara tarekat ke cara jangjawokan, ia yakin kalo ia yakin pasti bisa, karena jika ada keraguan maka ia tidak bisa. Ternyata ada yang menggunakan wirid-wirid yang bersumber dari tarekat dan ada pula wirid-wirid yang bersumber dari non tarekat, akan tetapi hasilnya sama bisa melakukan hal-hal yang seperti: kebal terhadap sejata tajam, dll. Proses tersebut dilakukan dengan cara puasa, nah di situ yang dominan ada aspek keyakinan oleh karena itu ketika orang mengamalkan Rifa’iyah ini harus yakin pasti berhasil. Oleh karena itu wajar MUI provinsi Banten mengatakan budayanya tidak boleh hilang karena salah satu ciri khas Banten, tetapi aspek akidahnya harus dibenarkan, jika ada hal yang begitu, tentu cara-cara mantranya tidak menggunakan mantra yang diluar, atau tidak menyimpang debus dijadikan sebagai proses islamisasi dan dijadikan perlawanan kolonial. ya itu wajar, karena pendekatannya dengan budaya dan kekuatan-kekuatan magic bukan hanya dalam Islam, tetapi ada di Cina, Konghucu, mereka memperoleh kekuatan itu ada yoga, ada semedi dan agama Hindu juga ada seperti itu. Tuhan itu ternyata bukan satu, orang Islam mempunyai Allah.
97
6.
Tanya Jawab
7.
Tanya Jawab
Apakah kekuatan seprti kebal terhadap senjata tajam bersumber dari Tuhan yang asli? wawloh hu a’lam, makannya di situ pendekatan agama lebih mendalam. Allah paling praktis, Allah akan memberikan sesuatu sesuai dengan sunatullah. Kalo dia tidak sesuai dengan sunatullah berarti ia tidak percaya adanya Tuhan. intinya percaya, tidak perlu minta bisa terbang, tidak perlu mempan di bacok, karena allah menciptakan ini yang sebenarnya berdarah. Karena hal seperti itu yang melakukan bukan saja orang Islam. Di daerah mana saja yang masih kental dengan unsur tarekatnya? di Walantaka masih menggunakan unsur tarekat sementara di Anyer memakai unsur jangjowokan, namun pada waktu prakteknya hasilnya sama, hanya saja harus ada keyakinan yang kuat.
Naskah
Lampiran 5.1 Hadiah al-Fatihah kepada orang-orang suci.1
1
Naskah Ratib Al-Rifa’i A 218 A, h. 4-8.
Lampiran 5.2 Munajat ini selalu menyebutkan kata-kata al-madad.2
2
Naskah Ratib Rifa’i A 218 A, h. 8-12
Lamiran 5.3 Shalawat Nabi disebutkan sepuluh kali, dengan kalimat pujian kepada Allah, “Syayyilla indallah”.3
3
Naskah Ratib al-Rifa’i, A 218 A, h. 14-15.
Lampiran 5.4 Wirid atau Ratib Rifa’i ini berisi: Pembacaan Bismillah, pujian atau keesaan Allah, Dzikir nafi itsbat dan pengakuan Nabi Muhammad sebagai Rasulallah, shalawat atas Nabi, membaca dzikir atas variasi sifanya, dan pujian bagi syekh Ahmad al-Rifa’i.4
4
Naskah Ratib al-Rifa’i, A 218 B, h. 60-61.
Peralatan dan Pertunjukkan Debus
Lampiran 6.1 Alat yang dikatakan Debus yaitu sepotong besi yang ujungnya runcing dan pada ujung lainnya diberi kayu berbentuk bundar serta diberi rantai sebanyak
Lampiran 6.2 Kelompok kesenian debus di Banten
Lampiran 6.3 Syekh Debus5
Lampiran 6.4 Pertunjukkan Debus6 5
J. Vredenbregt, Dabus in West Jawa, (BKI, 1973), h. 306.
Lampiran 6.5 Pertunjukkan debus
Lampiran 6.6 Atraksi menggoreng telur dan kerupuk di atas kepala seorang pemain debus. Sedangkan salah seorang lagi sedang membalikkan telur hanya dengan menggunakan tangan tanpa alas, tetapi tidak mengalami luka h. 29. 6
Ibid., h. 307.