PERIODISASI SEJARAH, KEBUDAYAAN SANGIHE, KEBUDAYAAN PHILLHIPHINESS TUA OLEH ALFFIAN WALUKOW Perjalanan sejarah peradaban Sangihe berjalan bersamaan dengan peradaban kebudayaan Indonesia secara umum. Istilah sangihe berdasarkan banyak pemahaman berasal dari Kata Sangi yang berarti tangisan. Kata Sangiang juga berarti Putri raja. Kata sangi dapat juga ditemukan sebagai nama sebuah daerah di pulau lapu-lapu kepulauan Philliphinss,Afrika dan India. Sangihe adalah sebuah kebudayaan. Sejak lama Sangihe sudah menggunakan bintang sebagai penentu arah dalam pelayaran laut. Nenek moyang sangihe pernah mengarungi laut dengan perahu layar sampai ke Australia. Memiliki pengetahuan tentang arah angin dan mata angin yang melebihi jumlah mata angin yang ada saat ini. Memiliki pengetahuan tentang penanggalan 13 bulan dilangit. Memiliki nada musik sendiri yang disebut musik Lide, terdiri dari 4 dan 5 nada. Memiliki system pemerintahan kerajaan tua sebelum dipengaruhi oleh kebudayaan Islam dan Eropa. Sangihe adalah bagian terpenting dari keberadaan Indonesia digerbang utara Indonesia. Tetapi karena alasan berada dikepulauan, maka miskin, terpencil, terisolir adalah nama dekat Sangihe diantara daerah lain di Indonesia. Sangihe adalah anak kandung Indonesia ditinjau dari kepentingan Integrasi bangsa tetapi menjadi anak tiri dari sisi kemajuan. Jangan melihat Sangihe dari indahnya “Ulu Siau” dan tuanya Tahuna. Masih banyak komunitas masyarakat sangihe yang sengaja hidup terisolir, jauh dari keramaian,memisahkan diri dari kelompok masyarakat perkampungan.Ini bukan budaya tapi keterpurukan sosial yang terabaikan. Masih ada komunitas hidup masyarakat sangihe yang tidak tersentuh keberadaban selayaknya kehidupan saat ini. Ada kampung yang tidak memiliki jalan untuk dilewati ataupun dimasuki kendaraan roda empat. Pala dan kopra hanyalah nama, tetapi bukan kekayaan. Dengan gampang dapat dihitung, berapa banyak penduduk asli Sangihe yang membuka usaha pertokoan di pusat kota Tahuna. Kebanyakan penduduk asli hanya sebagai pengusaha Sagu. Para Taguang sakaeng (pemilik kapal) kebanyakan adalah warga keturunan tionghoa, yang seharusnya adalah penduduk asli karena mata pencaharian penduduk asli adalah nelayan. Nelayan tradisional Sangihe tidak mampu mebuat perahu pajeko yang besar karena anggaran untuk membuat perahu pajeko sangat tinggi. Nelayan-nelayan kecil hanya mengambil sisa ikan yang di tangkap kapal pajeko, karena mereka hanya mengandalkan panggayung dan layar. Penyelundupan barang - barang dari Philliphina seperti tidak terlihat aparat. Pertokoan yang menjual barang dari Phillhipin semakin menjamur di Kepulauan Sangihe. Dibalik semua itu, sepantasnyalah orang sangihe harus berterima kasih karena tanpa mereka Sangihe tidak akan seperti saat ini. Sebagai daerah terdepan yang berbatasan langsung dengan Philliphina,mungkinkah Sangihe menjadi seperti Batam ? Berbicara soal nilai kejuangan sangihe di Indonesia dan peran sangihe terhadap Sulawesi Utara. Sangihe memiliki tokoh pejuang Santiago, perjuangannya sejajar dengan perjuangan Sultan Hasanuddin,Sultan-sultan di Ternate dan diTidore. sangihe memiliki Pejuang Wanita bernama Sapelah yang berperang melawan VOC seperti Christina Martha Tiahahu. Ada juga sastrawan J.E. Tatengkeng yang ikut merintis berdirinya Universitas Hassanudin juga sebagai Sastrawan Indonesia angkatan pujangga baru. A.A. Baramuli sebagai Gubernur Sulutteng ad intern pertama,Jhon Rahasia yang merelakan ratusan armada kapalnya tenggelam dalam perjuangan membebaskan Irian Barat. Kita juga mengenal seniman dan sastrawan seperti Johanis Saul, Enoch Saul,Jhon Semuel,Leonard Axel Galatang, Iverdikson Tinungki, Sovyan Lawendatu, Karel Takumangsang, dll. Yang menjadi permasalahan akankah Jiwa – jiwa mereka terpanggil untuk melihat betapa dekatnya jarak antara Sangihe dan Manado atau mungkin lebih dekat ke General Santos. Pada masa kejayaan kerajaan Majapahit, kepulauan Sangihe dan Talaud adalah garis terdepan ekspansi Majapahit kedaerah Indo China. 600 – 700 tahun silam Wilayah Kepulauan Sangihe adalah bagian terpenting dari tercapainya cita-cita Patih Gajah Madah untuk mempersatukan Nusantara. Ketika prajurit Majapahit kembali dari Kepulauan Sangihe dan Talaud, mereka membawa seorang anak laki-laki sebagai oleh-oleh kepada raja yang mungkin akan dijadikan budak dikerajaan Majapahit. Yang terjadi adalah, seorang peramal kerajaan meramalkan bahwa suatu hari klak anak tersebut akan menjadi orang besar di kerajaan Majapahit. Berdasarkan Artikel yang pernah ditulis di harian Manado Post tahun 90-an mengatakan bahwa di utara Indonesia pernah ada kerajaan yang bernama Kerajaan Udah Makat Raya (bahasa
sansekerta) yang berarti Payung dari Utara. Kerajaan ini adalah perpanjangan tangan dari kerajaan Majapahit. Hal ini membuktikan betapa pentingnya Kepulauan Sangihe di masa itu. Berdasarkan Legenda, asal mula penduduk Sangihe dari daerah Philliphina bagian Selatan. Sangiang Mengkila dan Sangiang Medellu adalah manusia pertama dalam Legenda Sangihe. Sejak berada di Kepulauan Sangihe mereka mewariskan kerajaan pertama,tertua dan terbesar dalam sejarah kerajaan Sangihe yaitu kerajaan Tampungang Lawo kepada Gumansalangi. Secara umum, ditinjau dari persebaran dan warna kulit,karakter wajah dan bentuk tubuh, penduduk asli Sangihe termasuk Dalam Ras Malayan Mongoloid ras umum Indonesia. Secara spesifik termasuk dalam ras negroid atau negritoide sama dengan penduduk asli Philliphine, sebagian dari penduduk asli sangihe kemungkinan masih termasuk ras Wedoid atau Veddoide, seperti penduduk asli Toraja. Ada juga yang mengatakan bahwa penduduk asli Sangihe berasal dari Molibagu. Masyarakat sangihe dimasa lalu bukanlah masyarakat Animisme yang menyembah roh, batu dan pohon besar. Masyarakat Sangihe dimasa lalu memiliki agama sendiri dengan kekuatan yang disembah yaitu Genggonalangi sebagai penguasa langit, penguasa Aditinggi dan Mawendo sebagai penguasa tertinggi Tagaroa (Lautan luas) Didaerah lain di Kawasan Pasifik mulai dari Madagaskar sampai pulau Paskah, Tagaroa atau Tanghaloa adalah Dewa Penguasa Laut. Periodisasi perkembangan kerajaan Sangihe dimulai sejak Masa Kedatuan Tua, kedatuan berasal dari kata “datu” yang berarti Raja. Setiap kedatuan memiliki Kraton atau Lingkungan Istana (kraton dalam bahasa Sangihe Kararatuang atau Karatung ) Kedatuan Tua ini sudah ada sebelum masuknya bangsa Eropa di Kepulauan Sangihe. Kedatuan tua adalah bentuk kerajaan yang dipengaruhi oleh bentuk kerajaan-kerajaan Hindu. Hal ini dibuktikan dengan penggunaan kata Paghulu sebagai nama kampung dipusat kerajaan Manganitu baru. Kata Paghulu diadaptasi dari kata “Penghulu Bendahari” adalah pejabat tinggi kerajaan yang membantu tugas-tugas raja, kedudukannya setara dengan bendahara(mangkubumi),temenggung dan para menteri. Kata paghulu juga dapat berarti penghulu (pengaruh islam) Sebelum ada Kedatuan/kerajaan, kelompok masyarakat Sangihe dipimpin oleh seorang Kulano (jabatan setingkat kepala desa / atau tonaas dalam bahasa Tountembouan). Dikesultanan Ternate mengenal Kulano sebagai Raja. Kedatuan tua Sangihe yang pernah ada yaitu : 1. Kedatuan Bowontehu – Manarow ( Manado Tua ) Didirikan oleh Datu Mokodolugu pada abad ke X.Diperkirakan nama kota Manado adalah adaptasi dari kata bahasa Sangihe “Manarow” yang berarti sangat jauh, kemungkinan nama Manado lahir sesudah penggunaan nama Wenang. Secara Geografis kedatuan Tua Sangihe yang paling Jauh dari pusat peradaban sangihe yaitu kedatuan Manarow. Pusat kedatuan Tua Manarow terletak di Pulau Manado Tua. 2. Kedatuan Tampungang Lawo yang berpusat di Salurang. Didirikan oleh Gumansalangi abad XIII. 3. Kedatuan Mongsohowang (dikaki Gunung Awu) berpusat di Kolongan. 4. Kedatuan Karangetang didirikan oleh Pangeran Kedatuan Bowontehu – Manarow bernama Lokongbanua pada tahun 1510 – 1540. Pusat pemerintahan di Katutungan – Paseng Siau Barat. Putra Lokombanua bernama Posuma memimpin kerajaan Siau Baru dengan pusat pemerintahan di Ondong sedangkan adik dari Posumah memimpin kerajaan Siau Baru dengan pusat pemerintahan di Ulu. Paseng berasal dari kata Pesa atau Paskah nama ini diberikan oleh missionaris Portugis yang pertama kali tiba di Siau. Setelah VOC menguasai kerajaan Siau sampai berakhirnya kolonialisme, kerajaan Siau pernah dipimpin oleh seorang raja yang diangkat dari Keresidenan Manado bernam Raja Parengkuan. Raja ini berjasa membangun jalan antara Ulu sampai ke Talawid Siau barat selatan. Menjelang berakhirnya kedatuan Tua Sangihe, ada beberapa raja yang beragama Islam diantaranya Raja Syam Syah Alam dari kerajaan Wulaeng kerajaan tua Kendahe, dan beberapa raja dari kerajaan Tabukan seperti Raja Gama. Berdasarkan Legenda, pada masa pemerintahan raja Syam Syah Alam – raja Kendahe (ada raja Syam Syah Alam dikesultanan Mindanao dan di kesultanan Ternate Tidore), Kerajaan Kendahe mencapai puncak kejayaan. Istana kerajaan di Tanjung Maselihe dibangun dengan sangat megahnya. Semua perlengkapan Istanah terbuat dari emas termasuk Singgasana Raja. Suatu saat Raja Syam Syah Alam melakukan perbuatan yang melanggar adat istiadat. Seminggu sebelum
istana ditenggelamkan, Imam Masade seorang pemimpin Agama Islam Tua Sangihe, pernah memberikan nasehat dengan mengatakan bahwa, Jika Syam Syah Alam tidak menyadari perbuatannya yang melanggar adat maka akan datang bencana. Raja tidak menghiraukan nasehat tersebut, dan terjadilah bencana itu. Angin puting beliung,gemuruh dari langit dan letusan Gunung Awu menghancurkan kerajaan Wulaeng sehingga Tanjung yang panjangnya kira-kira 5 km, putus dan tenggelam kedasar laut. Sampai sat ini masih diyakini oleh sebagian masyarakat terutama masyarakat nelayan bahwa tempat itu dijaga oleh ratusan Ikan Hiu. Pengaruh Islam terhadap Kerajaan –kerajaan Sangihe dilakukan oleh orang-orang China pada tahun 1279 mulai dari kesultanan Bayan,kesultanan Sulu dan Kesultanan Mindanao di Philliphina bagian selatan. Tahun 1521-1523 kapal – kapal Spanyol dibawah pimpinan Magellhaes dan Marthin Inques Carquizano pernah berlabuh di Kepulauan Sangihe dan Talaud. Salah satu kapal Spanyol bernama Santa Maria de Paral pernah karam di Pantai Lesa dekat teluk Tahuna. Armada Spanyol dibawah pimpinan Ruy Lopez de Villadebes tiba di perairan kepulauan Sangihe dan Talaud,kemudian disusul oleh bangsa Portugis. Pada saat itu Raja – raja dan sebagian besar penduduk sangihe sudah menganut agam Kristen Khatolik sampai datang VOC, Raja dan pedudukpun beralih agama menjadi agama Kristen Protestan. Kedatangan VOC juga menjadi awal berkembangnya injil protestan di Kepulauan Sangihe. Pendeta Steller yang dikirim oleh Badan Penginjilan Belanda adalah orang yang paling berjasa meletakkan dasar injil dan pendidikan modern di Sangihe. Meskipun pada era sebelum kedatangan VOC, Raja Santiagho sempat kuliah di Universitas St. Thomas Philliphin, penginjilan dan persekolahan sudah dirintis oleh Spanyol dan Portugis. Hal ini dibuktikan dengan kedatangan Pdt Steller sudah disambut dengan nyanyian gereja oleh anak-anak sekolah minggu di Kerajaan Manganitu atas inisiatif Raja Nonde. (Raja Nonde dimakamkan dibawah mimbar gereja Petra Manganitu) Keberadaan agama Islam dikepulauan Sangihe sudah ada jauh sebelum masuknya pengaruh kekristenan Eropa. Agama Islam mula-mula dipengaruhi oleh dua aliran Islami yaitu : Ajaran Syiah dari Phillhipin dan Sunni dari daerah Ternate Tidore. Agama Islam telah meletakan dasar bagi Agama baru di kepulauan sangihe terutama di pesisir pantai Tabukan Utara dan di Daerah pelabuhan Tahuna. Sebelum agama Islam meletakan dasar agama yang monotheisme sudah ada agama Islam Tua. Agama ini adalah salah satu agama yang ada di Sangihe saat ini disamping agama Islam dan Kristen. Agama Islam Tua ini mula-mula diajarkan oleh Seorang Imam yang bernama Massade. Yang unik dari Ajaran ini adalah Agama Islam Tua bukanlah Agama Islam. Pengaruh Islam Suni dimulai sejak ada hubungan antara kerajaan Sangihe dan Ternate – Tidore. Berdasarkan buku Mr. M. Yamin, wilayah kepulauan sangihe berada dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Ternate sejak tahun 1677 – 1824. Pada masa itu kerajaan-kerajan Sangihe adalah bagian dari kekuasaan Kesultanan Ternate tetapi tidak takluk kepada kesultanan Ternate. Pengaruh kekuasaan Kerajaan Ternate dan Tidore yang merupakan kerajaan Islam dapat dilihat dari struktur pemerintahan kerajaan yang hampir sama dengan Kesultanan Ternate-Tidore. Pada masa itu juga terjadi inkulturasi kebudayaan antar kedua kerajaan dari perkawinan keluarga raja dan melalui proses perdagangan. Sebuah peninggalan Inkulturasi kebudayaan yaitu terdapat komunitas perkampungan Tidore di kota Tahuna. Kerajaan –kerajaan yang pernah takluk kepada kesultanan Ternate diwakilkan dengan dikirimnya Tombak kerajaan dari setiap Raja yang takluk ke Keraton Sultan Ternate. Ada 5 buah tombak tanda takluk di kesultanan Ternate diantaranya adalah 1 tombak milik kesultanan Johor, Malaisya. Diantara 5 Tombak tersebut tidak ada satupun tombak milik kerajaan Sangihe. Yang ada hanyalah sebuah Batok kelapa kembar yang dihadiahkan kerajaan Sangihe kepada sultan Ternate sebagai symbol persahabatan. Disamping pemberian seperti itu, Ada satu Sultan Ternate yang memperistri puteri raja Tabukan bernama Maimuna. Maimuna akhirnya kembali kekerajaan Siau dan menjadi isteri dari Raja Batahi (sahabat dekat Santiago) Disisi lain, Tamako yang tunduk pada kerajaan Siau pernah membantu pengiriman minyak kelapa sebagai upeti kepada kesultanan Ternate. Kerajaan Siau Juga pernah mengirimkan Bantuan 3000 pasukan untuk membantu Portugis malawan VOC ketika terjadi perang Antara Kesultanan Ternate dan Tidore. Kerajaan Siau juga pernah mengirim 1500 pasukan untuk membantu Portugis mempertahankan Benteng Moraya di Tondano ketika terjadi perebutan wilayah kekuasaan antara Portugis dan VOC.
Untuk sampai di pesir pantai Tondano tepatnya di daerah Kora-kora dan Kayuroya Pasukan dari kerajaan Siau menggunakan kapal kora-kora atau kapal Bininta. Bininta adalah perahu tradisional Sangihe yang khusus digunakan Raja dalam kunjungan kedaerah bawahan juga sebagai perahu perang yang khusus digunakan oleh panglima perang. Perahu kora-kora juga pernah digunakan sebagai angkutan laut oleh VOC dalam pelayaran Hongi Tokten. Diperairan Laut Maluku. Bentuk perahu ini mirip dengan perahu naga China, dengan konstruksi haluan berbentuk Mulut Buaya dan buritan berbentuk ekor buaya. Panjang perahu ini 12 sampai 16 meter. Dan ditumpangi oleh 30 – 60 pasukan perang, satu penabuh Tagonggong ( gendang adat sangihe) satu tua adat dan seorang panglima perang. Istilah panglima perang laut kemudian dikenal sebagai Kapitan Laut. Istilah Kapiten Laut kemudian berubah lagi menjadi Kapitalaung ( kepala desa) Sistem Monarki pada kerajaan-kerajaan Sangihe berakhir sejak dimulainya Pemerintahan Kolonial Belanda, pengangkatan raja dilakukan tidak lagi berdasarkan garis keturunan waris raja kepada anak laki-laki tertua tetapi diangkat berdasarkan kepentingan Belanda. Kerajaan Sangihe sejak masuknya Bangsa Eropa terdiri dari : 1. Kerajaan Tahuna ( Malahasa) 2. Kerajaan Manganitu ( Maubungang ) 3. Kerajaan Siau ( Karangetang ) 4. Kerajaan Taghulandang (Mandolokang) 5. Kerajaan Tabukan ( Rimpulaeng ) 6. Kerajaan Kendahe ( Wulaeng ) Pada masa kolonial Belanda, satu orang raja dapat memimpin sekaligus tiga kerajaan seperti yang dilakukan Belanda pada Raja Manganitu Willem Manuel Pandensolang Mokodompis, menjadi raja atas kerajaan bawahan Kerajaan Manganitu Tamako yang berpusat di Tamako, kerajaan Manganitu yang berpusat di Kampung Karatung soa, dan Kerajaan Tahuna yang berpusat di Kota Tahuna. Kepulauan Sangihe dan Talaud merupakan salah satu daerah yang pertama kali dimasuki Jepang disamping Tarakan dan Sumatera bagian utara. Pada masa pendudukan Jepang, semua yang berhubungan dengan Belanda dimusnahkan oleh Bala tentara Jepang, termasuk membunuh orang-orang yang dianggap kaki tangan Belanda tanpa proses peradilan. Jepang memberlakukan hukum pancung kepada orang-orang yang dianggap mata-mata Belanda. Pada masa itu pernah dilakukan eksekusi masal oleh tentara Jepang. Eksekusi yang dilakukan secara rahasia oleh tentara Jepang ternyata sempat disaksikan oleh seorang pemanjat kelapa yang berada tidak jauh dari tempat eksekusi, berdasarkan petunjuk dari orang tersebut akhirnya kuburan dapat ditemukan dan dipasangi batu pusara. Mereka yang dipancung dalam satu hari adalah : W.M.P. Mokodompis -Raja Manganitu C. Bastian -Raja Kendar L.I.P. Macpal -Raja Tabukan Ch. N. Pontoh -Raja Kendahe Tahuna S. Anthonie -Jogugu Kendahe M. Makahekung -Jogugu Manganitu K.P. Macpal -Jogugu Tabukan selatan P.H. Taidi -Jogugu Tamako F. Mandalika -Gunchoo Kendahe Amandus Aer -Panitera Pengadilan K. Kantohe -Juru tulis Kantor Distrik Manganitu F. Mandalika -Sunchoo Kolongan Akembawi M. Suenaung -Kepala Kampung Marore S. Barahama -Hukum Mayoor Marore A. Suku -Kepala kampung Kawaluso/Lipaeng S. Pangumpia -Juru Tulis Kampung Kawio M. Karimela -Kepala Kampung Tidore H. Mendome -Penatua di Marore A. Dalentang -Diaken di Marore Ny. Csesskho -Istri dari Kepala Rumah Sakit Zending Tahuna. Asal Hongaria. G. Tatengkeng - Pengawas sekolah
Limangbiang
-Kepala Kampung Manumpitaeng Thomas Bawoel -Imam di Lipaeng Setelah kemerdekaan, ada beberapa warga Sangihe yang tinggal di Makasar merasa terpanggil untuk mendukung kemerdekaan Indonesia. Kisah perjuangan mereka menjadi bagian dari peristiwa Merah putih di Sangihe meskipun tidak terdaftar dalam catatan perjuangan rakyat Sulawesi utara. Para pejuang membawah bendera Merah Putih dari Makasar secara estafet dengan sangat rahasia melalui laut hingga sampai di Tahuna dan berakhir di kecamatan Kendahe. Sejak kemerdekan RI, tidak ada lagi kerajaan di Kepulauan Sangihe. Istana raja yang pernah ada, dihancurkan dimasa orde baru termasuk istana kerajaan Manganitu – Tamako, Istana kerajaan Taghulandang, Istana kerajaan Tabukan di Enemawira. Salah satu dan satu-satunya yang masih bertahan adalah Istana kerajaan Manganitu. Sangihe memiliki system kekeluargaan Madani yang berbeda dengan daerah lain di Sulawesi utara. Setiap keluarga memiliki susunan empat orang anak yang disebut Akang (anak pertama atau Sulung), Ara (anak kedua), Ari (anak ketiga), Hembo (anak keempat terakhir atau bungsu) Jika satu rumah tangga hanya memiliki satu anak maka anak tersebut disebut Mbau. Sitem gotong royong telah dikembankan sejak lama dengan istilah palose ( atau mapalus dalam bahasa tountemboan) Kemajuan kehidupan bermasyarakat didukung dengan filosofi “Somahe kai kehage”
Pananaru, Desember 2007 Penulis : Alffian Walukow Guru di SMP 4 Tamako
Kue adat Sangihe “ Tamo” Adalah satu bentuk kebudayaan yang dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa.
Tugu Wenang Pusat kota Manado 1934 Latar belakang Gedung Kopa
Pelataran depan Istana kerajaan Manganitu Arsitekturnya meniru Istana Sultan Ternate
Pelataran depan Istana Kesultanan ternate
Gereja GMIST Petra Manganitu Geraja tertua di Sangihe Dibangun berdasarkan arsitektur Gereja Khatolik (Bagian depan gereja mirip dengan gereja Khatolik yang dibangun Columbus di Cuba juga Gereja tua Khatolik Cebu Phillhipines)
PROFIL PENULIS Nama
: Alffian Walukow
Pekerjaan
: Guru di SMP Negeri 3 Manganitu
Alamat
:
SMP Negeri 3 Manganitu Kampung Karatung II Kab. Kepl. Sangihe Kode Pos. 95853 HP. 081340422006
Beberapa pekerjaan seni yang pernah dikerjakan adalah : Tahun 1996 sampai 1998 : - Menjadi Salah satu penata Ruang pertemuan di Aula Kantor Wali Kota Manado dan acaraacara Dharma wanita / PKK Kotamadya Manado Dibawah pengawasan Ny.V.Rorong Raung.
-
-
Merancang Pohon Natal Tertinggi Indonesia ( tinggi 16 meter ) dan Patung Santa Claus ( tinggi 5 meter ) pada acara Ibadah Natal Bersama Propinsi Sulawesi Utara yang dilaksanakan dilapangan Tikala. Membuat Lampion Artistik Natal dan Idul Fitri di tempat-tempat strategis Kota Manado.
Tahun 2004 : - Merancang Kue Ulang Tahun Tradisional Minahasa Selatan dengan 10 ribu buah kue tradisional ( tinggi 4,5 meter ) - Merancang pembuatan Dodol Raksasa ( panjang 10 meter – garis tengah 50 cm ) pada peringatan Hari Ulang Tahun Pertama Minsel. Tahun 2006 bulan January ( MENCIPTAKAN REKOR BARU MURI ) Merancang Pembuatan Kue adat Sangihe sebagai Kue adat terbesar sepanjang Sejarah Indonesia dan tercatat dalam Buku Recor Indonesia di Museum Record Indonesia. Dokumentasi kue adapt ini sudah di pajang Di Candi Borobudur sebagai Rekor terbaru dan paling lain pada jenisnya.