R. MARSUKI ISWANDI
PERENCANAAN DAN PENGEMBANGAN KOTA PESISIR BERWAWASAN LINGKUNGAN
Editor
MUHIDIN
Unhalu Press Kendari, 2015
PERENCANAAN DAN PENGEMBANGAN KOTA PESISIR BERWAWASAN LINGKUNGAN Penulis : R. MARSUKI ISWANDI Editor : MUHIDIN Desain Cover dan Tata Letak La Mudi & Firmansyah Labir Diterbitkan oleh Unhalu Press Kampus Hijau Bumi Tridharma Jalan H.E.A. Mokodompit, Kendari 93231 Email:
[email protected],
[email protected] Cetakan Pertama : Desember 2015
PERENCANAAN DAN PENGEMBANGAN BERWAWASAN LINGKUNGAN
KOTA
PESISIR
R. Marsuki Iswandi
xi + 121 hlm, 17.0 x 24.00 cm ISBN : 978-602-8161-83-1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2 1. Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pidana Pasal 72 1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
KATA PENGANTAR Assalamu’alaykum Wr. Wb. Alhamdulillah, berkat rahmat dan taufik-Nya buku ini dapat dirampungkan. Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki konsekuansi memiliki banyak kota pesisir yang selama ini tidak hanya menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dan perdagangan, namun juga pemukiman. Kota pesisir sejak sebelum kemerdekaan Indonesia telah memainkan peranan penting dalam peradaban nusantara. Sekarang ini, kota pesisir dihadapkan pada berbagai permasalahan yang mengancam eksistensi dari kota warisan peradaban tersebut. Ancaman serius antara lain naiknya permukaan air laut akibat pemanasan global, degradasi lingkungan, serta potensi bencana geologi seperti tsunami dan gempa bumi. Oleh karenanya, diperlukan upaya yang sistematik dan adaptif untuk menghadapi berbagai ancaman ini sehingga kota pesisir dapat terus tumbuh menjadi salah satu pusat perekonomian. Permasalahan tersebut, menjadikan tantangan bagi kita semua baik sebagai perencana kota, developer, pemerintah daerah, maupun akademisi untuk memahami guna mempertahankan eksistensi dari Kota Pesisir tersebut. Buku ini disusun terdiri atas enam Bab, didasari atas keyakinan pada praktek pembangunan selama ini yang cenderung bias dari eksistensi kota pesisir. Oleh karena itu, melalui pemahaman dari buku yang sederhana ini menjadi refleksi awal dalam mengintegrasikan pikiran unuk keberlanjutan kota pesisir. Bab I dan Bab II membahas tentang pengenalan serta dilematikan Kota Pesisir. Selanjutnya Bab III dan Bab IV, dengan materi tentang Pendekatan Kewilayahan dan Penataan Kota Pesisir diawali serta Bab V dan Bab VI, memuat tentang Rencana Strategis Pembangunan Pesisir menuju Kota Pesisr yang Berkelanjutan. Sebagai cacatan, tidak menutup kemungkinan masih terdapat kelemahan dan kekeliruan, semua itu merupakan tanggung jawab penulis. Kritik dan saran sangat diharapkan untuk menjadi bahan penyempurnaan penulisan selanjutnya. Semoga buku ini bermanfaat adanya. Wassalamu’alaykum Wr. Wb Kendari,
Desember 2015 Penulis R. Marsuki Iswandi
Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
i
UCAPAN TERIMA KASIH Buku ini tidak mungkin diselesaikan tanpa bantuan, dukungan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karenanya penulis menyampaikan terima kasih dan perhargaan yang setinggi-tingginya kepada: 1. Prof. Dr. Ir. H. Usman Rianse, M.S., sebagai Rektor Universitas Halu Oleo (UHO) yang telah memberikan motivasi dan bantuan kepada penulis; 2. Prof. Dr. Gusti Ray Sadimantara, M.Agr. sebagai Dekan Fakultas Pertanian UHO yang turut berperan dalam kelancaram proses penyusunan buku; 3. Dr. Ir. Muhidin, M.Si, yang telah membantu editing sampai proses penerbitan buku ini; 4. Teman-teman yang turut membantu dalam penulisan buku ini, yakni La Ode Alwi, La Ode Ramalan, La Ode Kasno Arif dan Hadi Sudarmo; 5. Unhalu Press yang telah bersedia menerbitkan buku ini; 6. Rekan-rekan sejawat khususnya di Jurusan Agribisnis, Fakultas Pertanian, UHO serta mahasiswa Program Pascasarjana UHO, khususnya pada Prodi Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (PPW) yang terus menanyakan ‘kapan buku ini diterbitkan’. 7. Keluarga di rumah, isteri tercinta Rr. Chairunizah, SE., juga ananda R. Akhmad Difa’ Azizi M., R. Muh. Raya Fahreza M., dan R. Muh. Dehyah Azmer M. atas pengertian kalian selama penyusunan buku ini. R. Marsuki Iswandi
Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................................... i DAFTAR ISI .............................................................................................................................. iii DAFTAR TABEL ....................................................................................................................... v DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................... vi BAB I. PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1 1.1. Mengenal Kota Pesisir .............................................................................................. 1 1.2. Pengertian Kota Pesisir ............................................................................................ 2 1.3. Komponen Kota Pesisir ............................................................................................ 6 1.4. Karakteristik Masyarakat Kota Pesisir ..................................................................... 9 1.5. Tipologi Kota Pesisir ............................................................................................... 13 BAB II. DILEMATIKA KOTA PESISIR ...................................................................................... 16 2.1. Perkembangan Kota Pesisir di Indonesia ................................................................ 16 2.2. Tantangan dan Hambatan Kota Pesisir ................................................................... 18 2.3. Tekanan dan Dampak terhadap Wilayah Kota Pesisir .............................................. 22 2.4. Pertimbangan dalam Menata Perkembangan Kota Pesisir ...................................... 26 BAB III. PENDEKATAN KEWILAYAHAN DALAM PERENCANAAN KOTA PESISIR ............... 34 3.1. Konsep Pembangunan Wilayah Kota Pesisir............................................................ 34 3.2. Pentingnya Pembangunan Wilayah Kota Pesisir ...................................................... 38 3.3. Tata Ruang dan Lingkungan Hidup ......................................................................... 37 3.4. Perencanaan Wilayah dan Daya Saing Kota Pesisir ................................................ 40 BAB IV. PENATAAN KOTA PESISIR SEBAGAI GREEN CITIES ............................................. 43 4.1. Defenisi Green City ................................................................................................. 43 4.2. Atribut Pembangunan Green City ............................................................................ 45 4.3. Kelebihan, Kekurangan dan Hambatan Pembangunan Green City di Kota Pesisir ... 55 4.4. Antisipasi Perubahan Iklim dengan Pengembangan Green City ............................... 59 BAB V. RENCANA STRATEGIS DALAM PEMBANGUNAN KOTA PESISIR ............................ 63 5.1. Sekilas Cikal Bakal Rencana Strategis .................................................................... 63 5.2. Pengertian Rencana Strategis ................................................................................ 65 5.3. Komponen dan Prinsip Rencana Strategis dalam Pembangunan Kota Pesisir ......... 70 5.4. Langkah-langkah dan Rumusan Rencana Strategis ................................................ 72 5.5. Rencana Strategis Dalam Pembangunan Kota Pesisir ............................................. 76 5.6. Isu-isu Strategis dalam Pembangunan Kota Pesisir ................................................. 78
Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
iii
5.7. Sasaran, Indikator dan Strategi .............................................................................. 83 BAB VI. MENUJU PERENCANAAN KOTA PESISIR YANG BERKELANJUTAN ...................... 86 6.1. Penerapan Integrated Coastal Management dalam Penataan Kota Pesisir .............. 90 6.2. Pengelolaan Pesisir yang Terinntegrasi ................................................................... 88 6.3. Penataan Ruang dan pengembangan Infrastruktur .................................................. 91 6.4. Penataan dalam Urbanisasi Kota Pesisir.................................................................. 93 6.5. Penataan dalam Kota Pesisir yang Nyaman ............................................................ 97 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................. 101 GLOSARIUM ............................................................................................................................ 107
Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 6.1. Indikator Pembangunan Berkelanjutan Wilayah Kota Pesisir ...................................... 87 Tabel 6.2. Beberapa perbedaan ciri penduduk perkotaan dan pedesaan .................................... 94
Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1. Ruang Terbuka Hijau Kota Kendari ....................................................................... 46 Gambar 4.2. Ancaman Sampah di Wilayah Pesisir .................................................................... 47 Gambar 4.3. Green Transportation di Kawasan Pemukiman ..................................................... 49 Gambar 4.4. Contoh Green Transportation di Perkotaan ........................................................... 50 Gambar 4.5. Peluang Pengembangan Listrik di Wilayah Pesisir ............................................... 51 Gambar 4.6. Bangunan dengan Konsep Green Community di Universitas Negeri Sebelas Maret ...................................................................................................................... 54 Gambar 6.2. Siklus Kebijakan Pengelolaan Pesisir .................................................................... 89
Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
vi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Mengenal Kota Pesisir Indonesia merupakan negara kepulauan atau negara maritim terbesar di dunia. Sebagai negara kepulauan, maka sebagian besar penduduknya bermukim di wilayah pesisir dengan memanfaatkan segala potensi yang ada. Kota pesisir memiliki banyak keunggulan dari aspek potensi sumberdaya alam. Di wilayah pesisir terutama daerah kabupaten, disamping memiliki potensi perikanan dan kelautan, juga masih bisa dikembangkan komoditas pertanian tanaman pangan, perkebunan dan hortikultura. Adanya dua aspek potensi ini menyebabkan masyarakat di wilayah pesisir memiliki sumber pencaharian ganda yakni sebagai nelayan dan petani. Akan tetapi, di wilayah pesisir yang telah terbentuk sebagai kota berkembang, maka aktivitas yang sangat menonjol adalah pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan serta jasa dan perdagangan. Kota pesisir memiliki tingkat kemajuan yang lebih cepat dibandingkan wilayah-wilayah
daratan.
Hal
ini
disebabkan
oleh
lancarnya
arus
perdagangan antar pulau dimana wilayah pesisir menjadi simpul-simpul kegiatan perdagangan tersebut. Dalam perkembangannya, kota pesisir lebih cenderung melakukan pembangunan infrastruktur wilayah berupa pelabuhan dan jalan dan sarana prasarana lainnya guna mendukung percepatan pembangunan wilayahnya. Disamping itu, dibangun pula pelabuhanpelabuhan Tempat Pendaratan Ikan (TPI) sehingga para nelayan tidak kesulitan untuk memasarkan ikan hasil tangkapannya. Wilayah pesisir memiliki potensi kepariwisataan yang cukup beragam, seperti wisata pantai, diving, snorkling, selancar, wisata pancing, dan sebagainya. Potensi-potensi ini telah banyak dijadikan oleh kota-kota pesisir sebagai sektor unggulan. Di Indonesia, salah satu kota pesisir yang gencar
Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
1
mengembangkan pariwisata lautnya adalah Bali. Setidaknya terdapat 10 pantai yakni pantai Nusa Dua Bali, Pantai Jimbaran, Pantai Kuta, Pantai Pandawa, Pantai Sanur, Pantai Karma Kandara, Pantai Tanah Lot, Pantai Virgin Karangasem, Pantai Dreamland, dan Pantai Menjangan. Daftar pantaipantai ini sangat ramai dikunjungi para wisatawan baik wisatawan lokal maupun mancanegara. Potensi sumberdaya alam yang terdapat di kota-kota pesisir dapat memberi manfaat bagi pembangunan kota pesisir manakala kota dan potensi tersebut dapat dikelola dengan baik. Kota-kota pesisir yang terus mengalami perkembangan dalam aspek ekonomi dan juga kepadatan penduduk akan mendesak pembangunan kota sehingga dapat terpenuhi tuntutan kebutuhan masyarakatnya. Untuk itu, kota pesisir ditata berdasarkan fungsi-fungsi tertentu sehingga dapat ditentukan berbagai kegiatan pada ruang yang tepat, sesuai dengan kapasitas dan kesesuaian lahan, sehingga tidak menimbulkan kerusakan lingkungan di kota pesisir. 1.2 Pengertian Kota Pesisir Dalam mendefinisikan kota pesisir tentunya perlu pemahaman tentang kedua suku kata antara kota dan pesisir. Kedua suku kata tersebut, memiliki karakter dan tipologi tersendiri. Oleh karenanya dalam memudahkan pemahaman tentang kota pesisir, terlebih dahulu perlu memahami masingmasing arti kedua suku kata tersebut. Mengenai definisi kota, terdapat perbedaan cara pandang antara orang awam dan para ahli. Orang awam dapat mendefinisikan kota sebagai wilayah padat dengan rumah, padat dengan angkutan, padat dengan penjual dan padat dengan pembeli, bahkan dengan tingkat keramaian yang cukup tinggi serta padat dengan sarana dan prasarana kota lainnya. Tetapi para ahli tidak berpandangan demikian, para ahli mendefiniskan kota berdasarkan karakter wilayah kota. Seperti halnya ada yang disebut kota sebagai pusat
Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
2
kerajaan dan kota sebagai pusat perekonomian, bahkan kota sebagai pusat pemerintahan. Kota-kota tersebut ada yang terdapat di pantai atau pesisir dan ada juga yang terletak di pedalaman. Setelah terbentuk pemahaman kota yang didasarkan karakter dan tipologinya tersebut, maka kota dapat didefnisikan. Kota adalah kawasan yang dibangun pada sebuah wilayah tertentu dengan
berbagai
fasilitas
publik
yang
saling
berdekatan.
Hal
ini
menggambarkan bahwa ciri sebuah kota yakni dengan konsentrasi bangunan sarana dan prasarana publik lebih besar atau lebih padat dibandingkan dengan wilayah lainnya yakni daerah perdesaan. Unsur yang harus dibangun pertama di kota adalah bangunan,setelah air dan makanan tersedia. Bangunan yang digunakan berbagai jenis sesuai dengan kegiatan manusia yang menghuninya. Ada beberapa kategori penggunaan bangunan di perkotaan yaitu meliputi permukiman, perdagangan, industri, pemerintahan, dan transportasi. Bila dipandang dari sisi sosial, kota menjelaskan sebuah komunitas yang tercipta pertama kali untuk meningkatkan produktifitas melalui konsentrasi dan spekulasi tenaga kerja, kebudayaan dan kegiatan rekreasi. Hal ini menggambarkan, kota adalah strata dari komunitas yang heterogen dan dapat dikelompokkan berdasarkan intelektualitas, kebudayaan, keahlian, kreatifitas
dan
kelompok-kelompok
yang
membutuhkan
ruang
untuk
berekreasi. Sisi spasial ini dianggap perlu oleh masyarakat perkotaan yang menjadi kebutuhan guna menghilangkan kejenuhan sehabis beraktifitas. Dipandang dari sisi ekonomi, fungsi kota adalah sebagai tempat mencari nafkah yang cukup melalui produksi barang dan jasa untuk mendukung kehidupan penduduknya dan untuk kelangsungan kota itu sendiri. Disini dapat diartikan adanya aktifitas perkotaan khususnya aktifitas ekonomi mengindikasikan dinamisasi masyarakat dalam aktifitas sehari-hari. Ekonomi perkotaan berkaitan erat dengan perkembangan kota, dimana
Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
3
ekonomi perkotaan yang sehat mampu menyediakan berbagai kebutuhan untuk
keperluan
pertumbuhan
perkotaan,
terutama
untuk
menerima
perkembangan baru yang disebabkan oleh kemajuan dibidang teknologi dan perubahan keadaan (Hendro, et al, 2001). Selanjutnya, sebelum menjawab atas pertanyaan : apa itu Kota Pesisir?, diperlukan pemikiran yang mendalam.
Oleh karena itu, untuk
mendapat sedikit pemahaman tentang Kota Pesisir, terlebih dahulu menjawab atas pertanyaan : Apa itu wilayah pesisir?. Terdapat beberapa definisi wilayah pesisir. Wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan antara darat dan lautan, dimana ke arah laut mencakup perairan laut sejauh 12 mil dari garis pantai pada saat surut terendah, dan ke arah darat meliputi seluruh atau sebagian wilayah desa yang berbatasan langsung dengan garis pantai. Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, ke arah darat meliputi daratan baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin. Ke arah laut mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan kegiatan manusia seperti pertanian dan pencemaran (Brahtz, 1972; Soegiarto, 1976; Beatly, 1994, dalam Direktoral Jendral Pesisir dan Pulau Kecil, 2003). Sementara Dahuri et al. (1996) mengartikan wilayah pesisir sebagai suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan, dimana batas ke arah darat adalah jarak secara arbiter dari rata-rata pasang tertinggi dan batas ke arah laut adalah yurisdiksi wilayah propinsi atau state di suatu negara. Berdasarkan berbagai definisi wilayah pesisir, dapat disimpulkan bahwa wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan antara daratan dan perairan laut. Secara fisiologi didefenisikan sebagai wilayah antara garis pantai hingga ke arah daratan yang masih dipengaruhi pasang surut air laut, dengan lebar yang ditentukan oleh kelandaian pantai dan dasar laut, serta
Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
4
dibentuk oleh endapan lempung hingga pasir yang bersifat lepas dan kadang materinya berupa kerikil.Wilayah pesisir memiliki potensi sumberdaya yang memadai termasuk ketersediaan lahan dan dikembangkan menjadi daerah perkotaan, kawasan pesisir memiliki potensi dalam membentuk wajah suatu kota dimana keberadaan kawasan pesisir pada suatu daerah perkotaan ternyata menambah suasana tersendiri bagi kota tersebut.
Setelah
memahami sekelumit tentang pengertian kota dan pesisir, maka dapat menjawab pertanyaan berikutnya, yakni apa itu Kota Pesisir ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka dengan mudah untuk menjawabnya, karena dengan hanya memahami karakter dan tipologi dimana letak kota itu sendiri. Rahmat (2010) mendefinisikan Kota Pesisir (Waterfront City) sebagai kawasan perkotaan yang berada di tepi air (laut, danau, atau sungai), yang memiliki karakteristik open access dan juga multi fungsi, namun sangat rentan terhadap kerusakan serta perusakan. Keberadaannya di tepi air tersebut membuat kota pesisir memiliki pengaruh langsung dan tidak langsung dari darat dan laut. Dengan demikian, keseimbangan kota pesisir akan sangat dipengaruhi oleh proses lingkungan pesisirnya sendiri. Kota pesisir (Waterfront City) dapat dibedakan menjadi dua macam aspek, yaitu berdasarkan pesisirnya dan berdasarkan populasinya (Rahmat, 2010). Berdasarkan pesisirnya, kota pesisir dibagi menjadi tiga jenis, yaitu kota pesisir laut, kota pesisir sungai, dan kota pesisir danau. Suatu kota berbatasan langsung dengan laut, sungai ataupun danau secara bersamaan, maka perairan yang memberikan fungsi yang dominan bagi kota pesisir tersebut, adalah perairan yang menjadi identitas dari kota pesisir tersebut. Sedangkan berdasarkan populasinya suatu kota pesisir dapat dibedakan kepada Kota Pesisir Mikro, Kota Pesisir Kecil, Kota Pesisir Sedang, dan Kota Pesisir Besar. Kota Pesisir Laut akan memiliki peluang dan ancaman yang
Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
5
berbeda dengan Kota Pesisir Sungai. Sedangkan Kota Pesisir Mikro akan memiliki potensi dan permasalahan yang berbeda dengan Kota Pesisir Besar. Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki lebih dari 150 kota pesisir yang berada di sepanjang garis pantai dan merupakan negara dengan garis pantai terpanjang ke dua di dunia. Intensitas kegiatan dan potensi kotakota pesisir yang tersebar diseluruh penjuru nusantara, memerlukan perhatian yang lebih, sehingga kota-kota pesisir yang indah dan mempesona tidak tergerus oleh abrasi, terintrusi oleh air laut dan tergenang banjir rob. Dengan demikian keberadaan kota pada wilayah pesisir yang disebut sebagai waterfront city mempunyai posisi strategis dan memiliki keunggulan komparatif
dan
keunggulan
kompetitif
sehingga
berpotensi
menjadi
penggerak ekonomi baik regional maupun nasional. Bahkan secara historis menunjukkan bahwa wilayah pesisir ini telah berfungsi sebagai pusat kegiatan masyarakat karena berbagai keunggulan fisik dan geografis yang dimilikinya. 1.3 Komponen Kota Pesisir Breen dan Rigby (1994) menjelaskan bahwa pengembangan kawasan kota pesisir dikatakan tergolong sukses apabila mempertimbangan berbagai macam komponen-komponen penting untuk mengatasi isu-isu umum kota dan
penduduknya.
Komponen-komponen
tersebut
dijelaskan
sebagai
berikut : 1. Lokasi dan Waktu Lokasi kawasan waterfront city yang terletak berdekatan dengan pusat bisnis perkotaan menjadi poin tersendiri dalam pengembangan kawasan, begitu
juga
dengan
waktu
pelaksanaan
pengembangan
dapat
mempengaruhi percepatan ekonomi dimana berhubungan dengan investasi perekonomian yang tersedia di kawasan waterfront city. Untuk menarik investor dan developer
pemerintah
Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
maupun swasta yang
6
menangani kawasan waterfront city seyogyanya memperhitungkan waktu pembangunan untuk mempercepat perputaran dalam sektor ekonomi. 2. Aksesibilitas masyarakat Kebebasan masyarakat untuk memiliki akses ke dalam kawasan waterfront
city
merupakan
aspek
yang
sangat
penting
dalam
pengembangan kawasan kota pesisir. Kebebasan ini merupakan hak bagi setiap orang dan menjadi tujuan utama pada setiap pembangunan waterfront city dimana termasuk didalamnya akses fisik dan sosial. Ini berarti bahwa ruang publik secara psikologi haruslah menggambarkan penyambutan kepada masyarakat. 3. Kewajiban dan tanggungjawab Kewajiban disini adalah menyangkut keselamatan bagi pengunjung kawasan waterfront city dengan semua fasilitas yang ada didalamnya (taman, tempat bermain, ruang publik, toilet umum, dll). Terkadang hal ini sering diabaikan oleh pihak pengelola atau pihak yang bertanggung jawab sehingga
membahayakan
pengunjung,
misalnya
tidak
disediakan
penghalang/pagar yang berbatasan dengan tepian air di dalam kawasan waterfront city. 4. Isu-isu Lingkungan Menjaga keseimbangan lingkungan dengan tetap konsisten dalam mematuhi ketentuan dan peraturan yang berlaku dalam pembangunan baik didalam kawasan maupun dekat dengan kawasan waterfront city. Industri yang berdekatan dengan kawasan yang menghasilkan zat-zat kimia berbahaya harus dipindahkan untuk mencegah dampak negatif yang ditimbulkan teristimewa konsekuensi yang merusak ekosistem waterfront city di masa yang akan datang. Isu-isu lain seperti banjir, angin topan dan tingginya air pasang harus diperhitungkan melalui solusi desain yang baik.
Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
7
5. Fasilitas kota pesisir Perkembangan teknologi mempengaruhi pengembangan waterfront city dengan meningkatnya kebutuhan terhadap berbagai fasilitas seperti pelabuhan, bangunan-bangunan di area waterfront city, IPAL, terminal air, gudang, dll. Kontrol dan
peraturan terhadap fasilitas-fasiltas tersebut
perlu dipertimbangan untuk menghindari kesalahan dalam pengelolaan lahan berdasarkan hak milik lahan di kawasan waterfront city. 6. Karakter kawasan kota pesisir Kawasan waterfront city harus memiliki karakter agar menarik untuk dikunjungi. Mix use (multi guna) di kawasan waterfront city sekarang ini banyak dilakukan teristimewa dalam pengembangan waterfront city. Hal ini tidak boleh menghilangkan karakter sesungguhnya yang ada pada kawasan waterfront city yang nantinya dapat menjadi tidak menarik lagi atau bahkan menjadi berkurang fasilitasnya bagi masyarakat. 7. Perancangan/desain kawasan kota pesisir Peran dari arsitek, perancang kota dan developer terkadang tidak mengobservasi kebutuhan dari area waterfront city itu sendiri karena terpaku pada standar bangunan yang sudah ditetapkan. Desain bangunan tidak lagi memperhitungkan view secara langsung ke air (laut, pantai, danau atau sungai). Penggunaan bangunan bersejarah yang ditinggalkan perlu juga diperhitungkan apabila masih bisa dipertahankan dengan melihat hubungan keterkaitan karakter kawasan. 8. Edukasi/interpretasi Area publik di kawasan waterfront city memberikan kesempatan untuk mengedukasi masyarakat
mengenai
sosial,
maritim,
budaya
dan
lingkungan. Waterfront city dengan ekologi, flora dan fauna, menjadi poin tersendiri
sebagai
edukasi
lingkungan.
Penyediaan
fasilitas
atau
bangunan yang menunjang edukasi lingkungan seperti museum seni,
Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
8
sains, atau maritim, aquarium, outdoor auditorium atau ampiteater, fasilitas konser, dll yang dapat dinikmati pengunjung dari segala usia, ras maupun suku. 9. Ruang Publik Ruang publik wajib disediakan di kawasan waterfront city karena pentingnya fungsi ruang publik bagi masyarakat. Mall, rumah toko, taman, tempat bermain anak, dan fasilitas-fasilitas lain yang berfungsi sebagai ruang publik merupakan hal yang vital disediakan sebagai aspek yang dapat meningkatkan kualitas kawasan dan mempengaruhi kualitas hidup masyarakat. Kota terbentuk karena adanya keterkaitan komponen-komponen lain, yaitu tempat tinggal dan tempat kerja. Antara keduanya terdapat jalan yang akhirnya membentuk struktur kota. Kota terdiri atas persilangan-persilangan. Makin kepusat, pencapaian makin mudah, nilainya makin tinggi, penggunaan lahan makin tinggi nilainya. Hal tersebut mempunyai dampak visual, yaitu makin tinggi skyline city (fungsi-fungsi ekonomi). Unsur-unsur fisik pembentuk suatu kota terdiri atas peruntukan lahan, tata bangunan, sirkulasi dan parkir, ruang terbuka, jalur pelestarian, aktivitas pendukung, tata informasi (signing system), preservasi dan konservasi 1.4 Karakteristik Masyarakat Kota Pesisir Pada umumnya masyarakat pesisir sudah menjadi bagian dari masyarakat yang pluraristikdan masih tetap memiliki jiwa kebersamaan. Artinya bahwa struktur masyarakat pesisir rata-rata merupakan gabungan karakteristik
masyarakat
perkotaan
dan
pedesaan,
karena
struktur
masyarakat pesisir sangat plural, sehingga mampu membentuk sistem dan nilai budaya yang merupakan akulturasi budaya dari masing-masing komponen yang membentuk struktur masyarakatnya.
Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
9
Masyarakat pesisir adalah sekelompok warga yang tinggal di wilayah pesisir yang hidup bersama dan memenuhi kebutuhan hidupnya dari sumberdaya di wilayah pesisir. Masyarakat yang hidup di kota-kota atau permukiman pesisir memiliki karakteristik secara sosial ekonomis sangat terkait dengan sumber perekonomian dari wilayah laut (Prianto, 2005). Demikian pula jenis mata pencaharian yang memanfaatkan sumber daya alam atau jasa-jasa lingkungan yang ada di wilayah pesisir seperti nelayan, penjual ikan keliling, pekerja industri maritim skala kecil dan menengah. Masyarakat pesisir yang di dominasi oleh usaha perikanan pada umumnya masih berada pada garis kemiskinan, mereka tidak mempunyai pilihan mata pencaharian, memiliki tingkat pendidikan yang rendah, tidak mengetahui dan menyadari kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan (Lewaherilla, 2002). Selanjutnya dari status legalitas lahan, karakteristik beberapa kawasan permukiman di wilayah pesisir umumnya tidak memiliki status hukum (legalitas), terutama area yang direklamasi secara swadaya oleh masyarakat (Suprijanto, 2006).Lingkunganalam sekitar akan membentuk sifat dan perilaku masyarakat. Lingkungan fisik dan biologi mempengaruhi interaksi sosial, distribusi peran sosial, karakteristik nilai, norma sosial, sikap serta persepsi yang melembaga dalam masyarakat. Dikatakannya pula perubahan lingkungan dapat merubah konsep keluarga. Nilai-nilai sosial yang berkembang dari hasil penafsiran atas manfaat dan fungsi lingkungan dapat memacu perubahan sosial (Usman, 2003). Masyarakat kota pesisir cenderung agresif, seperti dikemukakan oleh Suharti (2000) karena kondisi lingkungan pesisir yang panas dan terbuka, keluarga nelayan mudah diprovokasi, dan salah satu kebiasaan yang jamak di kalangan nelayan (masyarakat pesisir) adalah karena kemudahan mendapatkan uang menjadikan hidup mereka lebih konsumtif. Purba (2002) menyatakan bahwa berbagai persoalan sosial dalam pengelolaan lingkungan sosial pada masyarakat kota pesisir antara lain: berkembangnya konflik atau
Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
10
friksi sosial, ketidakmerataan akses sosial ekonomi, meningkatnya jumlah pengangguran, meningkatnya angka kemiskinan, meningkatnya kesenjangan sosial ekonomi, kesenjangan akses pengelolaan sumberdaya, meningkatnya gaya hidup (konsumtif), kurangnya perlindungan pada hak-hak masyarakat lokal/tradisional dan modal sosial, perubahan nilai, memudarnya masyarakat adat, lemahnya kontrol sosial, perubahan dinamika penduduk, masalah kesehatan dan kerusakan lingkungan. Masyarakat pesisir yang dimaksudkan dalam uraian ini adalah mereka yang hidup dan menetap di kawasan pesisir dan laut. Secara khusus masyarakat pesisir yang dimaksudkan adalah para nelayan tradisional yang oleh karena ketidakberdayaannya dalam segala aspek, baik materi, pengetahuan, maupun teknologi, menjadikan mereka miskin dan tertinggal (Suhartono, 2007). Kota-kota pesisir di Indonesia memiliki keragaman yang berbeda menghasilkanpola interaksi yang berbeda-beda antara manusia dengan alam sehingga pada akhirnya memunculkan karakteristik masyarakat yang beragam pula. Keragaman pola interaksi tersebut melahirkan berbagai bentuk interaksi sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang beragam pula antar daerah. Dalam perkembangannya, setiap kota pesisir akan menghadapi isu, masalah, maupun kebutuhan yang berbeda-beda dalam memenuhi tujuan pembangunannya. Dalam mewujudkan ruang kota pesisir yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan di seluruh diperlukan suatu pendekatan pembangunan yang peka terhadap keragaman karakteristik tersebut. Dari 94 kota otonom di Indonesia, 47 di antaranya memiliki karakteristik geografis berupa kawasan pesisir. Dominasi jumlah kota pesisir di Indonesia merupakan suatu hal yang sangat wajar mengingat morfologi NKRI yang berupa kepulauan dengan sekitar 17.480 pulau dan dengan 95.181 Km bentang garis pantai dari seluruh pulau tersebut. Keadaan ini tentunya perlu mempertimbangkan dinamika interaksi kegiatan maupun masyarakat dalam kota tersebut.
Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
11
Dinamika interaksi kegiatan dapat didekati dengan memahami proses pembentukan kota pesisir tersebut. Proses pembentukan kota-kota pesisir di Indonesia pada umumnya terjadi sejak awal perkembangan kerajaan tradisional di nusantara. Kegiatan utama berbagai kerajaan tersebut antara lain adalah perdagangan, jasa, dan pusat pemerintahan (militer). Beberapa kerajaan yang berkembang di kawasan pesisir antara lain adalah Kerajaan Salakanagara di Teluk Lada Banten (150 M), Kerajaan Tarumanagara dengan pelabuhan utama di Sunda Kelapa Jakarta (400 M), Kerajaan Sriwijaya dengan pelabuhan utama di Ligor Selat Malaka (700M), Kesultanan Tidore (1200 M), Kesultanan Ternate (1300 M), Samudera Pasai (1300 M), Aceh Darussalam (1600 M) (Tjandrasasmita, 2000). Keterikatan akan budaya masyarakat Indonesia yang dekat dengan kawasan pesisir dan bukan semata-mata dalam kegiatan primer berupa kegiatan pengumpulan hasil laut, namun juga mencakup kegiatan tersier berupa kegiatan perdagangan dan jasa seperti pelayanan kepelabuhanan, pusat transaksi ekonomi lintas wilayah bahkan lintas negara, serta sebagai pusat pemerintahan negara. Berdasar kenyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa sejak dulu kawasan pesisir merupakan beranda dari kegiatan masyarakat di Indonesia yang umumnya menjadi pusat aglomerasi ekonomi kawasan sekitarnya (hinterland) dalam bentuk pelabuhan sebagai pasar atau lokasi transaksi ekonomi Sebagai kota yang berada di tepi pantai, kota pesisir memiliki karakteristik unik yang berbeda dengan kota-kota yang berbasis pada wilayah daratan. Sumberdaya alam di waterfront city khususnya yang berada di wilayah pesisir dan lautnya bersifat dinamis serta sifat kepemilikan laut yang merupakan aset umum (common property). Hal-hal inilah yang menyebabkan kota pesisir ini dimanfaatkan untuk beragam aktivitas yang kemudian menciptakan fungsi yang beraneka ragam.
Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
12
1.5 Tipologi Kota Pesisir Tipologi kota pesisir menurut Muluk (1995) dapat diklasifikasikan berdasarkan mata pencaharian utamanya atau berdasarkan sifat mereka bermukim. Dengan kombinasi kedua kriteria itu, masyarakat kota pesisir dapat dibagi ke dalam masyarakat nelayan, masyarakat petani dan nelayan, masyarakat petani, masyarakat pengumpul atau penjarah (collector or forager), masyarakat perkotaan dan perindustrian, dan masyarakat tidak menetap/sementara atau pengembara (migratory). Keinginan manusia untuk berinteraksi dengan lingkungannya dan menguasai lingkungan bagi kepentingan hidupnya adalah merupakan faktor utama yang menimbulkan perilakunya terhadap lingkungan. Dalam konteks yang lebih spesifik keinginan tersebut mendorong untuk memilih mata pencaharian yang sesuai dengan lingkungan dan berbuat sesuatu dengan berbagai cara yang dapat ia lakukan (Rapoport, 1990). Kemiskinan masih menjadi ciri khas masyarakat di kawasan kota pesisir, hal ini disebabkan kondisi sosial ekonomi mereka yang selalu lemah dalam posisi tawar. Kurangnya
pengetahuan
dan
rendahnya
tingkat
pendidikan
formal
merupakan penyebab utama lemahnya kemampuan manajeman usaha berkaitan dengan wilayah kota pesisir. Komunitas dominan kehidupan
masyarakat kota pesisir selain
sebagai pedagang asongan, pekerja industri maritim skala kecil menengah, petani juga terdapat komunitas masyarakat nelayan. Menurut Yudohusodo (1991), pola kehidupan para nelayan tergantung pada usaha laut yang mengandung ikan. Sehari-hari sebagian besar waktunya digunakan untuk melaut mencari ikan sehingga waktu berkumpul untuk keluarga dan untuk kegiatan lainnya di rumah sangat terbatas. Karakteristik nelayan dengan petani sangatlah berbeda sehingga memiliki kekhasan tersendiri. Nelayan membutuhkan kemampuan fisik yang lebih besar dibandingkan dengan petani karena areal tangkapan yang sangat
Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
13
tergantung dengan keberadaan ikan sehingga nelayan melakukan aktivitas berhari-hari dilautan yang memberikan dampak pada modal yang dibutuhkan cukup besar seperti bahan bakar, makanan dan umpan. Jika nelayan hanya mempunyai sampan kecil dan jaring seadanya maka yang diperoleh hanya sedikit, sekedar untuk di konsumsi saja. Selain itu, konflik antar nelayan pun sering terjadi baik nelayan besar dengan nelayan kecil, nelayan besar dengan nelayan besar dan nelayan kecil dengan nelayan kecil. Hal ini pada umumnya diakibatkan oleh perebutan areal tangkapan. Berdasarkan tipologi kota pesisir (waterfront city) yakni berada di tepi perairan (laut, danau, atau sungai). Kawasan tersebut umumnya merupakan area pelabuhan, perdagangan, permukiman, atau pariwisata. Disisi lain kawasan kota pesisir memiliki fungsi-fungsi utama sebagai tempat rekreasi, permukiman, industri, atau pelabuhan yang berimplikasi pada dominasi pemandangan yang berorientasi ke arah perairan. Dengan melihat wilayah pesisir yang berfungsi sebagai kota, maka kepastian terjadinya multi konsekuensi, seperti: (a) mixed-used waterfront city yang di dalamnya terdapat perumahan, perkantoran, restoran, pasar, rumah sakit, dan sarana rekreasi; (b) recreational waterfront city yang menyediakan sarana rekreasi, seperti taman, arena bermain, tempat pemancingan, dan fasilitas kapal pesiar; (c) residential waterfront city yang berisi hunian seperti perumahan, apartemen, dan resort; (d) working waterfront city yang dilengkapi tempat penangkapan ikan komersial, reparasi kapal pesiar, industri berat, dan fungsifungsi pelabuhan. Dengan berbagai konsekuensi tersebut, mayarakat kota pesisir yang mempunyai keterbatasan kapasitas pasti akan tidak berdaya. Guna peningkatan kapasitas masyarakat kota pesisir khusunya yang bergelut dengan orientasi perikanan, maka upaya pembangunan kota pesisir yang berorientasi kemakmuran, yakni dengan cara: (i) konservasi : penataan waterfront city lama yang sampai saat ini masih dapat dinikmati; (ii)
Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
14
pembangunan kembali (redevelopment): upaya menghidupkan kembali fungsi-fungsi waterfront city lama dengan mengubah atau membangun kembali fasilitas yang ada; (iii) pengembangan (development), yakni menciptakan waterfront city baru yang memenuhi kebutuhan kota dengan cara mereklamasi pantai.
Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
15
BAB II DILEMATIKA KOTA PESISIR 2.1 Perkembangan Kota Pesisir di Indonesia Perkembangan
kota
pesisir
terus
mengalami
pertumbuhan
sebagaimana kota-kota lainnya. Kota pesisir tumbuh secara signifikan dan berakar dari faktor geografis dan sejarah. Khusus perkembangan kota pesisir di tanah air dominan berawal dari pelabuhan dan kawasan pesisir yang menjadi pusat kegiatan perdagangan dan pemerintahan kota. Kota pesisir telah menjadi bagian dari rute dan pintu gerbang perdagangan baik regional, nasional maupun internasional, pertukaran budaya bangsa, dan lambang kemakmuran bangsa serta kesejahteraan rakyat. Dengan demikian kota pesisir tersebut menjadi lokomotif ekonomi yang berperan penting dalam pembangunan sosial-budaya yang penting dalam perkembangan budaya nusantara. Indonesia sebagai negara bekas jajahan, maka perkembangan kota pesisir tidak terlepas dari pengaruh kolonial Belanda yang belangsung selama kurang lebih 3,5 abad. Kolonial belanda selama berkuasa di Indonesia banyak melakukan perecanaan ataupun penataan wilayah meskipun hal tersebut dilakukan atas dasar perluasan kekuasaan dengan memanfaatkan masyarakat Indonesia sebagai pekerjanya. Hingga saat ini, masih banyak kita jumpai peninggalan-peninggalan kolonial Belanda yang tersebar pada sejumlah wilayah pesisir di Indonesia seperti infrastruktur jalan dan pelabuhan yang memiliki andil cukup besar dalam pembentukan perkotaan pesisir di Indonesia. Tipe kota pesisir selalu berorientasi pada perdagangan yang lebih terbuka dan selalu enjadi simpul perdagangan antara kota dagang dan kotakota lainnya (Evers dan Korff, 2000). Hal ini terlihat dari sisi sejarah ketika Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
16
penjelajahan samudera oleh Bangsa Eropa semakin rutin dilakukan, maka wilayah-wilayah pesisir menjadi sasaran utama untuk penguasaan ekonomi global. Kondisi ini menyebabkan semakin berkurangnya pengaruh kekuasaan di wilayah pedalaman yang semakin terputus interaksi ekonomi maupun dukungan atas pajak dan pengaruh politik. Perpindahan penduduk ke pesisir sama sekali tidak diantisipasi sebelumnya, menyebabkan semakin kuatnya wilayah pesisir dalam aspek kependudukan dan perlahan-lahan menjadi simpul-simpul perdagangan antar wilayah. Perkembangan wilayah pesisir semakin menguat seiring dengan rutinnya aktifitas perdagangan dari berbagai bangsa. Interaksi perdagangan tersebut turut menciptakan struktur penduduk baru pada wilayah pesisir. Aktifitas perdangan yang berjalan secara kontinyu mempengaruhi laju perkembangan kota pada wilayah pesisir. Perkembangan wilayah dan struktur penduduk menuntut dibangunnya fasilitas-fasilitas yang menjadi kebutuhan utama untuk mendukung aktifitas masyarakat. Beberapa elemen penting seperti pelabuhan, infrastruktur jalan, bangunan peribadatan, dan pasar sebagai sarana vital bagi perekonomian masyarakat kemudian dibangun, meskipun pada masa itu belum dilakukan dengan perencanaan yang matang. Wilayah pesisir sebagai pusat-pusat perdagangan utama, kemudian dimasuki oleh penjajah kolonial. Persoalan yang dihadapi oleh pemerintah kolonial masa itu adalah pengaturan ruang kota yang membagi lahan-lahan di dalam kota. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menjaga kepentingan dalam menguasai perekonomian dan memperluas wilayah kekuasaan. Lahirnya kota-kota pesisir di Indonesia pada umumnya terjadi sejak awal perkembangan kerajaan tradisional di nusantara. Kegiatan utama berbagai kerajaan tersebut antara lain adalah perdagangan, jasa, dan pusat pemerintahan (militer). Beberapa kerajaan yang berkembang di Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
17
kawasan pesisir antara lain adalah Kerajaan Salakanagara di Teluk Lada – Banten (150 M), Kerajaan Tarumanagara dengan pelabuhan utama di Sunda Kelapa – Jakarta (400 M), Kerajaan Sriwijaya dengan pelabuhan utama di Ligor – Selat Malaka (700 M), Kesultanan Tidore (1200 M), Kesultanan Ternate (1300 M), Samudera Pasai (1300 M), Aceh Darussalam (1600 M), Kesultanan Gowa-Tallo Makassar (1700 M), dan berbagai kerajaan lainnya di Nusantara (Tjandrasasmita, 2000). Selain kota-kota pesisir yang tumbuh dan berkembang sejak masa kerajaan tersebut, saat ini telah banyak berkembang kota-kota pesisir lain, dan faktanya kota pesisirlah yang paling cepat mengalami perkembangan dan menjadi daerah-daerah paling cepat perkembangannya di Indonesia. Sampai saat ini, setidaknya telah terdapat sekitar 150 kota di Indonesia yang merupakan kota pesisir, dengan kategori mulai dari kota kecil, kota sedang, kota besar sampai kota metropolitan. Aktivitas di kawasan pesisir yang awalnya hanyalah terbatas pada pemanfaatan sumberdaya alam dan sebagai pusat-pusat perdagangan, kini telah banyak mengalami perkembangan. Perkembangan yang lebih dominan adalah semakin pesatnya perindustrian dan sektor jasa. Hal tersebut mengakibatkan aktivitas pengelolaan sumberdaya perikananpun telah berkurang, yakni terbatas pada orang-orang yang berdomisili pada pesisir pantai. Peralihan pusat-pusat kegiatan tersebut tidak lain adalah bagian dari tuntutan kemajuan dan perkembangan penduduk yang ada di kota pesisir. 2.2
Tantangan dan Hambatan Kota Pesisir Sejalan dengan berbagai tuntutan pembangunan ekonomi, sosial dan
budaya
kota pesisir sebagaimana kota pada umumnya juga mengalami
tantangan dan hambatan dalam mempertahankan eksistensinya. Upaya dalam menjawab berbagai tuntutan tersebut, mengakibatkan eksploitasi Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
18
sumberdaya alam yang berlebihan. Selain itu, diperparah dengan adanya distrosi,
bias
program
dan
bias
sasaran
yang
berimplikasi
pada
ketidakberlanjutan eksistensi kota pesisir. Sebagai akibatnya kota-kota pesisir mengalami kutukan (resource curse) yakni: banjir, abrasi pantai, intrusi air laut, limpasan air laut akibat kenaikan permukaan air laut, dan penurunan muka tanah. Hal ini diperparah oleh kerusakan habitat dan ekosistem kawasan pesisir, pencemaran oleh sampah dan limbah ke tepi pantai, eksploitasi sumber daya laut secara berlebihan, serta konversi kawasan lindung pantai untuk penggunaan lain. Adisasmita (2010) menyatakan tantangan pokok yang dihadapi dalam mengatasi permasalahan, khususnya permukiman di kota pesisir yakni : (i) menyediaan sistem sarana hunian yang sesuai bagi masyarakat; (ii) meningkatkan pembangunan, pelayanan sarana dan prasarana permukiman; dan (iii) menciptakan iklim usaha yang sehat, kompetitif dan dinamis dalam pembangunan kota pesisir. Disamping
tiga
tantangan
tersebut,
tantangan
lainnya
adalah:
(a) bagaimana meningkatkan partisipasi masyarakat dan swasta dalam kerjasama investasi pembangunan dan menajemen pelayanan prasarana dan sarana permukiman; (b) ketegasan dalam penerapan standar keselamatan bangunan dan keamanan bangunan, menegakkan hukum dalam penataan bangunan dan lingkungan; (c) penyelamatan dan memugar bangunan bersejarah dan permukiman kumuh. Permasalahan penting dalam pembangunan kota pesisir khususnya di Indonesia yakni minimnya infrastruktur dan rendahnya kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam mendukung pembangunan di kawasan pesisir. Infrastruktur menjadi tonggak utama dalam menopang berbagai sektor di kawasan pesisir
sehingga rendahnya infrastruktur akan diikuti oleh
lambannya kemajuan kota pesisir.
Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
19
Menyikapi berbagai permasalahan tersebut, langkah strategis untuk mengatasi munculnya tantangan ataupun hambatan pembangunan kota pesisir yakni; pertama; menjaga serta melestarikan ekosistem dan kawasan lindung kota pesisir. Upaya pelestarian yang dimaksud bukan hanya tanggungjawab
pemerintah
melainkan
dituntut
keterlibatan
semua
stakeholders suatu kawasan untuk turut berpartisipasi di dalamnya. Upaya pembangunan yang hanya bertumpu pada sepihak saja akan menyulitkan terwujudnya impian kota yang maju, sebaliknya jika pembangunan dilakukan dengan asas kebersamaan dan mengedepankan kualitas maka peluang pencapaian kota pesisir maju akan terwujud. Kedua; penetapan serta pemberlakuan sanksi pelanggaran. Selama ini banyak pihak yang sengaja maupun tidak sengaja melakukan tindakan pengrusakan di kawasan pesisir karena lemahnya aturan bahkan tidak adanya sanksi bagi pelaku pengrusakan. Akibatnya, aktifitas tersebut berjalan terus menerus tanpa menyadari dampak buruk yang kemudian akan muncul. Berkaitan dengan masalah ini, sangat dibutuhkan peran serta lembagalembaga sosial di komunitas pesisir untuk bisa mengendalikan aktivitas yang merugikan lingkungan tersebut. Kedudukan lembaga sosial di masyarakat pesisir harus diperkuat dan mampu bekerjasama dengan aparat pemerintah agar memudahkan pengawasan dan perlindungan kawasan pesisir. Ketiga; pengendalian eksploitasi sumberdaya kawasan pesisir secara berlebihan.
Eksploitasi
sumberdaya
yang
dimaksud
dapat
berupa
sumberdaya di permukaan maupun sumberdaya perikanan dan kelautan. Potensi sebagai penyokong utama kota pesisir adalah sumberdaya perikanan dan kelautan. Ekploitasi berlebihan yang berjalan secara terus-menerus dapat menyebabkan miskinnya sumberdaya kawasan pesisir dalam jangka panjang sehingga perlu upaya perbaikan ekstra untuk memulihkannya. Untuk menekan eksploitasi berlebihan tersebut maka kebijakan pengendalian dan Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
20
pengawasan oleh pemerintah sangat dibutuhkan sehingga dapat menjadi kontrol pengelolaan sumberdaya. Keempat; penataan bangunan pada kawasan kota pesisir. Penataan ruang dan bangunan di kawasan kota membutuhkan kebijakan dan ketegasan dari pihak pemerintah setempat. Seperti kasus yang banyak terjadi di wilayah kota-kota yang baru berkembang bahwa aktivitas pendirian bangunan yang tidak memperoleh izin sering menyulitkan pengaturan pola ruang kota itu sendiri. Dengan demikian, ketegasan pengaturan pola ruang melalui pemberian izin pendirian bangunan akan menjadikan kota lebih teatur dalam aspek penataan ruang. Kelima; pembangunan sarana dan prasarana secara memadai. Selain kekuatan sumberdaya perikanan dan kelautan pada kawasan pesisir, infrasktruktur yang memadai seperti jalan dan pelabuhan termasuk pelabuhan perikanan menjadi tema paling utama untuk menunjang percepatan pembangunan di kawasan pesisir. Pelabuhan atau dermaga dapat berfungsi sebagai sentral aktifitas perdagangan antar wilayah dan jasa-jasa. Pada faktanya, daerah-daerah pesisir dimana terdapat pelabuhan mengalami perkembangan wilayah yang lebih cepat. Demikian pula dengan ketersediaan pelabuhan perikanan akan membangun masyarakat pesisir guna peningkatan kesejahteraan khususnya nelayan. Hal ini bukan hal yang mustahil terjadi karena fungsi pelabuhan perikanan sebagai tempat pendaratan, penanganan, pengolahan, dan pemasaran ikan akan benar-benar dioptimalkan oleh masyarakat di kawasan pesisir. Jika hal ini bisa terwujud, maka akan diikuti oleh peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang akan mengantar kawasan pesisir yang lebih maju. Di sisi lain, penyediaan infrastruktur jalan sebagai jalur transportasi akan saling mendukung dengan berbagai sektor lainnya di kawasan pesisir.
Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
21
2.3 Tekanan dan Dampak Terhadap Kota Pesisir Secara
konsep,
semakin
potensial
suatu
wilayah
dari
aspek
sumberdaya dan ekonominya maka semakin besar pula daya tariknya terhadap publik untuk menjadikannya sebagai sasaran tempat mencari penghidupan yang layak. Terjadinya penduduk yang bermigrasi dari desa ke kota peisisir akan menambah padatnya penduduk di wilayah potensial tersebut. Di samping itu tersedianya lapangan pekerjaan terutama dalam sektor jasa menjadikan kota pesisir mengalami peningkatan jumlah penduduk. Meningkatnya jumlah penduduk di perkotaan akan berdampak pada tingginya kebutuhan dalam berbagai aspek terutama permukiman, pemenuhan pangan, persaingan pengelolaan sumberdaya dan memperoleh sumber-sumber ekonomi. Kondisi seperti ini telah banyak terjadi pada wilayah-wilayah potensial di Indonesia termasuk di kota pesisir. Untuk mengantisipasi permasalahan ini maka sangat diperlukan pengelolaan kota yang terstruktur sehingga tidak menimbulkan efek negatif bagi kota itu sendiri. Pemanfaatan sumberdaya pesisir secara intensif menunjukkan semakin tingginya kebutuhan manusia terhadap sumberdaya yang ada. Tuntutan kebutuhan tersebut mendorong pula terjadinya perkembangan kota berupa pembangunan
industri,
pembangunan
pelabuhan,
penyediaan
moda
transportasi baik di laut maupun di darat, penyediaan infrastruktur jalan, lahan budidaya di pesisir, pembangunan kawasan wisata, dan sebagainya. Beberapa aktifitas tersebut memberikan tekanan di kota pesisir sehingga permasalahan
yang
banyak
bermunculan
yaitu
adanya
eksploitasi
sumberdaya yang berlebihan dan terjadinya ketidakseimbangan lingkungan akibat lemahnya pengendalian bahan pencemar lingkungan dari aktifitas industri, sampah rumah tangga, dan tumpahan minyak kapal laut, serta sumber-sumber pencemaran lainnya. Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
22
Beberapa tekanan atau tuntutan pembangunan di kota pesisir yang berdampak besar terhadap perubahan lingkungan kota pesisir : a. Kebutuhan permukiman penduduk kota pesisir; penduduk kota pesisir lebih cenderung bermukim di tepi pantai dengan pertimbangan kemudahan
akses
sumberdaya.
Tingginya
angka
pertumbuhan
penduduk di kota pesisir akan berdampak pada menumpuknya sampah dan limbah rumah tangga yang terbuang di tepi pantai. Hal ini disebabkan karena sebagian besar permukiman tidak dilengkapi dengan penyediaan tempat pembuangan sampah yang memadai sehingga masyarakat yang kurang pemahamannya akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan, selalu membuang limbah atau sampah langsung di tepi pantai. Sampah atau limbah yang bermuatan bahan kimia dalam jumlah besar akan mengakibatkan kematian ekosistem laut seperti banyak kasus yang terjadi di wilayah-wilyah kota pesisir Indonesia. Kehidupan ekosistem laut yang semakin terdesak dan mengalami kematian menjadi faktor paling dominan terhadap potensi menipisnya sumberdaya perikanan di wilayah pesisir. b.
Pembangunan pelabuhan, jalan di areal tepi pantai, dan transportasi laut; tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan kota pesisir sangat ditunjang oleh adanya pelabuhan serta adanya industri perkapalan yang memanfaatkan pelabuhan tersebut. Akan tetapi berbagai permasalahan pun turut terjadi akibat adanya pelabuhan dan aktifitas kapal laut. Wilayah pesisir yang tersusun dari berbagai macam ekosistem itu satu sama lain saling terkait dan tidak berdiri sendiri. Perubahan atau kerusakan yang menimpa suatu ekosistem akan menimpa pula ekosistem lainnya. Adanya perubahan fungsi dan tata guna lahan seperti tergusurnya hutan mangrove untuk kawasan pelabuhan, penurunan kualitas udara akibat debu, peningkatan kebisingan dari kegiatan konstruksi dan kegiatan operasional di
Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
23
pelabuhan, dan gangguan terhadap biota laut merupakan rentetan masalah yang muncul akibat pembangunan pelabuhan. Demikian pula penurunan kualitas air laut karena banyaknya tumpahan minyak atau bahan bakar kapal yang secara langsung merusak kehidupan ekosistem laut baik ekosistem ikan maupun mangrove di wilayah pesisir. Rusaknya mangrove sangat mempengaruhi kelangkaan ekosistem laut lainnya karena hutan mangrove banyak dimanfaatkan ekosistem laut sebagai tempat hidup ataupun pemijahan. c.
Pembangunan sektor kepariwisataan; wisata bahari memiliki daya tarik tersendiri untuk memikat banyak perhatian masyarakat dan juga merupakan pilihan wisata yang paling ramai dikunjungi oleh wisatawan baik lokal, domestik, maupun mancanegara. Dengan demikian, kota-kota pesisir yang memiliki potensi pantai dengan struktur yang berpasir dan laut yang berkarang banyak dikelola sebagai kawasan wisata. Aktifitas pembangunan kawasan wisata
yang
tidak mementingkan aspek
lingkungan pada akhirnya menyebabkan hilangnya fungsi-fungsi alamiah ekosistem kawasan pantai. Misalnya, untuk menambah visualisasi kawasan pantai sering kali ditemukan adanya upaya penimbunan sebagian kawasan pantai yang kemudian difungsikan sebagai taman tambahan dari pantai tersebut. Tanpa disadari, kegiatan-kegiatan tersebut ternyata banyak memiliki dampak negatif terhadap ekosistem yang ada di kawasan pantai. Dengan demikian, penataan kawasan pariwisata dengan tidak menimbulkan efek terhadap hilangnya suatu ekosistem laut menjadi pertimbangan paling utama kedepannya. d.
Reklamasi pantai; dampak lingkungan hidup yang terjadi akibat kegiatan reklamasi
itu
adalah
kehancuran
ekosistem
berupa
hilangnya
keanekaragaman hayati. Keanekaragaman hayati yang diperkirakan akan punah akibat kegiatan reklamasi antara lain berupa hilangnya Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
24
berbagai spesies mangrove, punahnya spesies ikan, kerang, kepiting, burung
dan
berbagai
keanekaragaman
hayati
lainnya.
Dampak
lingkungan lainnya adalah meningkatkan potensi banjir. Hal itu dikarenakan
kegiatan
tersebut
dapat
mengubah
bentang
alam
(geomorfologi) dan aliran air (hidrologi) di kawasan reklamasi. Perubahan itu antara lain berupa tingkat kelandaian, pola pasang surut, pola arus laut sepanjang pantai dan merusak kawasan tata air. Potensi banjir akibat kegiatan reklamasi akan semakin meningkat bila dikaitkan dengan adanya kenaikan muka air laut yang disebabkan oleh pemanasan global. Dampak lain yang berhubungan langsung dengan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat pesisir khususnya nelayan kaitannya dengan reklamasi adalah hilangnya sumber-sumber kehidupan yang menjadi lahan ekonomi masyarakat. Hal ini terjadi karena suatu kawasan yang akan dibangun masyaratkat pantai sekitarnya bersih dari adanya fasilitas dan aktivitas perikanan tangkap dan budidaya maupun bentuk eksploitasi lainnya. Akibatnya, masyarakat nelayan yang awalnya menggunakan kawasan direklamasi sebagai kawasan penangkapan dan budidaya perikanan harus mencari areal baru untuk aktivitas sebagai nelayan. Akibat lainnya yakni terjadinya perubahan pola usaha masyarakat dari nelayan ke kegiatan usaha lainnya diluar pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan. e.
Pembangunan Industri; pembangunan industri di suatu kawasan pada dasarnya telah memiliki landasan keamanan lingkungan berdasarkan hasil analisis mengenai dampak lingkungan secara ilmiah. Namun bukan berarti bahwa hasil analisis tersebut benar-benar telah menyiasati segala kemungkinan yang akan terjadi pasca beroperasinya suatu industri. Dampak yang paling dominan adalah tercemarnya lingkungan akibat pengelolaan bahan sisa industri yang tidak teratur. Efek pembangunan
Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
25
industri tidak akan terasa besar dampaknya manakala industri tersebut berada jauh dari permukiman penduduk, akan tetapi industri yang letaknya di kawasan kepadatan penduduk dan wilayah pesisir akan sangat terasa dampaknya bagi kehidupan. Misalnya saja industri pertambangan yang berada di kawasan pesisir, keberadaannya akan sangat mengancam kelestarian sumberdaya pesisir akibat pembuangan bahan sisa ke laut, yang menyebabkan semakin langkanya sumberdaya pesisir sekitarnya. Dengan demikian, pembangunan industri harus benarbenar dipertimbangkan demi kelangsungan hidup masyarakat dan terbentuknya kota pesisir yang aman, nyaman dan lestari. 2.4 Pertimbangan dalam Menata Pembangunan Kawasan Kota Pesisir Menata pembangunan suatu kawasan kota pesisir harus berpedoman pada konsep ruang, dimana ruang itu sendiri mempunyai beberapa unsur yakni jarak, lokasi, bentuk, dan ukuran. Konsep ruang juga berkaitan dengan waktu, karena pemanfaatan bumi dan segala kekayaannya membutuhkan pengaturan ruang dan waktu. Unsur-unsur tersebut di atas secara bersamasama menyusun unit tataruang yang disebut wilayah (Budiharsono, 2001). Pelayanan kebutuhan bagi penduduk kota pesisir yang makin meningkat itu memerlukan penyediaan berbagai fasilitas kota pesisir (sarana dan prasarana) yang makin meningkat pula. Prasarana kota pesisir antara lain: drainase, sanitasi pengelolaan sampah, jalan dan lainnya. Pada perencanaan pembangunan seharusnya dipertimbangkan pula kemungkinan peningkatan kekuatan tumbuh dan berkembangnya kegiatan-kegiatan ekonomi pada kota yang bersangkutan. Selanjutnya pembangunan prasarana perkotaan dikaitkan pula dengan aspek kualitas pelayanan. Kebijakan perencanaan dan desain kota pesisir harus selaras dengan penataan dan pengelolaan bangunan terpadu dengan mobilitas yang ramah Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
26
lingkungan,
pengolahan
sampah,
kemitraan
pemerintahan
kota
dan
masyarakat, serta dukungan finansial yang kuat (Dahuri, 2003). Tanpa adanya beberapa hal tersebut maka akan menjadi sulit menciptakan kota pesisir lebih maju termasuk kesejahteraan masyarakat di dalamnya. Penataan pembangunan kota pesisir menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam menentukan skala prioritas pembangunan. Oleh karena itu diperlukan langkah strategis dalam mengimplementasikan pembangunan guna mewujudkan suatu kota pesisir yang bisa mempercepat pengembangan wilayah yang bukan hanya wilayah sasaran pembangunan tetapi bisa mendukung
percepatan
pengembangan
wilayah
sekitarnya.
Menurut
Adisasmita (2010), ada tiga pertimbangan yang kelihatan relevan dalam penyusunan rencana pembangunan regional. Pertama, seharusnya disusun rencana regional atas dasar sub-sub wilayah atau unit perencanaan dengan cirinya masing-masing yang ditandai oleh beberapa sumberdaya yang kurang dominan. Penetapan skala prioritas diantara kegiatan-kegiatan ekonomi dari setiap sub wilayah. Hal ini dimaksudkan untuk kepentingan pemanfaatan yang sebaik mungkin dari masing-masing kapasitas sumberdaya. Kedua, adanya keseimbangan antara pemanfaatan sumberdaya yang dikaitkan dengan sektor ekonomi tertentu dan pemanfaatan sumberdaya yang diperlukan untuk seluruh sektor. Ketiga, adanya prosedur optimasi dalam menentukan kapasitas sumberdaya tertentu untuk setiap kegiatan dan tingkat dari setiap kegiatan yang harus dikembangkan dan biaya investasi untuk mengatasi keterbatasan ambang batas tertentu. Fungsi yang harus dimaksimalkan adalah penghasilan yang diperoleh dari seluruh tingkat kegiatan yang dilakukan. Pembangunan kota pesisir diharapkan dapat dilakukan berdasarkan fungsi dan peranan yang sudah ditetapkan sehingga memungkinkan terciptanya
pola
pengembangan
kota
Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
pesisir
yang
lebih
seimbang. 27
Pembangunan kota pesisir sendiri merupakan manifestasi ruang dari pengembangan
ekonomi
secara
keseluruhan.
Harapan
besar
dari
pembangunan kota pesisir adalah terciptanya pusat-pusat pertumbuhan, memiliki dampak bagi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat serta terciptanya perubahan ataupun peningkatan aktivitas ekonomi masyarakat khususnya di kota pesisir. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan intervensi secara cermat yakni melalui pengembangan kawasan yang salah satunya adalah penciptaan kawasan basis dan tidak mengganggu fungsi ekologis kota pesisir. Penataan pembangunan kota pesisir tentu tidak terlepas dari daerah atau pulau-pulau kecil yang notabene memanfaatkan kota pesisir sebagai sumber utama bagi kehidupan masyarakatnya. Dengan demikian, penataan pembangunan kota pesisir selayaknya sinergis dan menjadi kebutuhan vital masyarakat kota pesisir. Pembangunan yang berbasis kebutuhan akan mengurangi pemubaziran sumberdaya karena sifatnya akan berjalan secara berkelanjutan. Hal inilah yang mendasari bahwa pembangunan kawasan harus
dilakukan
dengan
berbagai
pertimbangan
sesuai
dengan
permasalahan dan potensi faktual suatu kota. Upaya
pembangunan
kota
pesisir
juga
harus
memperhatikan
kemudahan bagi masyarakat terutama dalam aspek pelayanan di kota. Unit pelayanan tersebut merupakan unit-unit kegiatan yang melayani kepentingan umum, yakni kantor pemerintahan, pelayanan kesehatan, pelayanan pendidikan, dan pelayanan sosial kemasyarakatan lainnya. Wilayah setiap unit pelayanan tersebut harus direncanakan sematang mungkin sehingga seluruh wilayah dari sisi jumlah bisa proporsional, dari sisi jarak dapat terjangkau, dan dari sisi bentuk memiliki nilai estetis yang tinggi. Pembangunan kota pesisir perlu juga memperhatikan arahan kebijakan tata ruang suatu wilayah, kedudukan dan peran wilayah secara makro serta Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
28
potensi kawasan yang dapat mendukung pengembangannya. Secara lebih rinci, dasar pertimbangan penataan pembangunan kota pesisir dapat dirumuskan dalam empat aspek berikut: a. Keamanan dari bencana; kota pesisir merupakan kawasan dengan tingkat kerentanan tinggi terhadap bencana, karena wilayahnya yang berbatasan langsung dengan perairan. Akan tetapi pada faktanya justru kawasan pesisirlah yang paling banyak ditempati penduduk, dan kondisi ini bukan hanya terjadi di Indonesia melainkan pada sejumlah negara-negara di dunia. Kondisi ini terjadi karena kawasan pesisir memiliki potensi besar yang dapat dimanfaatkan baik dalam aspek potensi sumberdaya alam maupun pengembangan sektor jasa dan perdagangan antar wilayah. Di Indonesia sendiri setidaknya terdapat 41 kota pesisir dan 32 kota diantaranya berstatus sebagai kawasan yang rawan terhadap banjir, dan terdapat 29 kota yang rawan terhadap tsunami, serta 15 kota yang rawan terhadap gelombang pasang (BNPB, 2010). Tingginya tingkat kerentanan di kawasan pesisir ini merupakan ancaman yang sangat nyata bagi kotakota pesisir di Indonesia. Terdapat beberapa kawasan yang rawan terhadap bencana terutama di Sulawesi Tenggara, yang kesemuanya merupakan pulau-pulau kecil. Dua daerah di antaranya adalah Kabupaten Konawe Kepulauan dan Kabupaten Wakatobi. Dua daerah ini terletak pada wilayah perairan Laut Banda yang terkenal akan gelombang besar dan arusnya, serta berpotensi akan
terjadinya
gelombang
pasang.
Gelombang
pasang
sendiri
merupakan gelombang air laut yang melebihi batas normal dan dapat menimbulkan bahaya baik di lautan, maupun di darat terutama daerah pinggir pantai. Untuk menghindari resiko dari dampak gelombang besar, di wilayah Kabupaten Konawe Kepulauan wilayah timur yang berhadapan langsung dengan Laut Banda telah dibangun tanggul penahan ombak. Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
29
Namun pada kenyataannya tanggul-tanggul yang ada ternyata tidak bisa bertahan lama diakibatkan hempasan ombak besar yang berlangsung secara terus-menerus terutama saat musim angin timur. Kondisi ini menggambarkan betapa rawannya kawasan pesisir terhadap bencana sehingga dalam penataan kota pesisir sangat perlu memperhatikan tingkat keamanan dari bencana. Di wilayah Kabupaten Wakatobi yang gencar melakukan
pembangunan kepesisiran
dengan
bertitik fokus
pada
pengembangan sektor pariwisata juga perlu memperhatikan aspek keamanan terutama perlindungan keamanan bagi para pengunjung pariwisata. b. Kenyamanan dalam ruang kota pesisir; kenyamanan merupakan hal terpenting dalam suatu wilayah kota pesisir. Kawasan kota pesisir yang nyaman menjadikan kota tersebut lebih hidup serta menarik banyak perhatian orang. Misalnya jika suatu kota yang melaksanakan program pembangunan sektor pariwisata, maka kondisi yang nyaman akan menjadi aset karena melahirkan daya tariknya tersendiri. Kawasan kota pesisir yang nyaman tidak semata-mata hanya pada masalah keindahan pemandangan alam tetapi termasuk pula penataan ruang yang tertib dan terarah yang didalamnya adalah perumahan, infrastruktur jalan, maupun hubungan sosial dan keterikatan budaya suatu komunitas. c. Produktivitas kota pesisir; produktivitas kota pesisir yang dimaksud adalah tersedianya lapangan pekerjaan yang menjadi lahan ekonomi bagi masyarakat pesisir. Penataan pembangunan kawasan pesisir harus diarahkan pada penciptaan sarana dan prasarana yang mendukung usaha produktif masyarakat pesisir. Melalui upaya tersebut akan membuka lapangan kerja bagi masyarakat pesisir pada berbagai sektor, misalnya bidang kontruksi, sektor jasa, maupun perdagangan. Kawasan pesisir yang sangat indentik dengan sektor jasa dan perdagangan antar wilayah, Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
30
hanya akan dapat terwujud menjadi kota yang produktif apabila ada perwujudan pembangunan yang mendukung sektor-sektor produktif. Disamping itu, upaya pengembangan sumberdaya manusia di kawasan pesisir untuk bisa menjadi aktor utama dalam menciptakan produktivitas kota merupakan langkah yang sangat prinsip. Sumberdaya manusia harus berkompeten sehingga dapat diandalkan sebagai tenaga kerja ataupun penyedia
jasa
dan
pelaku
usaha
yang
menguasai
sektor-sektor
perdagangan. d. Kualitas lingkungan kota pesisir; pengelolaan lingkungan di kota pesisir mengalami tantangan dan hambatan yang sangat kompleks. Penurunan kualitas lingkungan kota pesisir adalah masalah klasik yang timbul akibat makin padatnya penduduk yang bermukim di kota pesisir. Kasus yang banyak terjadi pada wilayah-wilayah kota pesisir adalah kurangnya kepedulian penduduk terhadap kelestarian lingkungan, yakni dengan membuang sampah rumah tangga di tepi pantai. Dalam jangka panjang, sampah-sampah yang terbuang setiap harinya telah berdampak besar terhadap penurunan kualitas air laut. Mencermati polemik tersebut, pertanyaan yang harus dijawab adalah sudah seberapa besar peranan pemerintah untuk mengatasi pembuangan sampah pada tepi pantai tersebut ? Sampai saat ini, penyediaan fasilitas pembuangan sampah secara memadai belum terwujud pada banyak kawasan pesisir di Indonesia. Contoh konkrit adalah pada kawasan Tempat Pendaratan Ikan (TPI) yang mana limbah-limbah ikan banyak terbuang di laut akibat kurang memadainya fasilitas pembuangan sampah. e. Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa menurunya kualitas lingkungan kawasan pesisir terjadi karena kurangnya kesadaran dan respon multipihak dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Dengan demikian untuk mempertahankan kualitas lingkungan kota pesisir maka Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
31
sangat
diperlukan
bertanggungjawab bagaimana
kerjasama terhadap
pemerintah
semua
lingkungan.
setempat
pihak
untuk
Langkah
dapat
sama-sama
pertama
menyediakan
adalah fasilitas
pembuangan sampah, selanjutnya harus dibangun pemahaman dan tanggung jawab masyarakat dalam memelihara berkelanjutan lingkungan kota pesisir yakni melalui proses pendidikan yang rutin dan intensif dengan memberdayakan kolompok swadaya masyarakat yang memiliki kapasitas dan semangat yang baik dalam mewujudkan kelestarian lingkungan. f. Ketahanan terhadap perubahan iklim; Perubahan iklim merupakan fenomena alam yang terjadi akibat perubahan fungsi lingkungan yang juga merupakan efek dari tindakan manusia. Semakin banyak rekayasa dan pengrusakan fungsi alam, maka semakin besar pula peluang untuk terjadinya perubahan iklim secara global. Jika dipahami demikian, maka perubahan iklim dapat diantisipasi dengan tidak banyak melakukan perubahan fungsi-fungsi lingkungan. jika perubahan fungsi tersebut terjadi ataupun kerusakan, maka tindakan yang dapat dilakukan adalah melakukan langkah-lagkah secara partisipatif untuk dapat mengembalikan kondisi alam seperti sedia kala. Langkah ini membutuhkan kerjasama dan waktu yang panjang tetapi bukan mustahil untuk tidak dapat dilakukan. Dampak perubahan iklim yang mencakup ancaman angin siklon, kenaikan muka air laut, bajir, dan kekeringan perlu diantisipasi melalui pendekatan struktur maupun non- struktur dalam pengembangan perkotaan. Pendekatan struktur antara lain mencakup pembangunan prasarana dan sarana penahan gelombang laut, pengolahan air, waduk, bendungan dan sebagainya. Sementara upaya non-struktur mencakup di antaranya penataan ruang melalui pengaturan zonasi pesisir, pengalokasian kegiatan berdasar tingkat risiko bencana, penghutanan pantai dengan bakau, penghutanan Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
32
kawasan resapan air, serta pembentukan perilaku masyarakat yang ramah lingkungan dan adaptif terhadap perubahan iklim. Berbagai
pertimbangan,
dengan
pendekatan dalam
penyediaan
infrastruktur pada kota pesisir harus didasari konsep penataan ruang kota pesisir yang berkelanjutan. Hal ini mutlak karena “kualitas kehidupan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi yang baik tidak akan bertahan dalam lingkungan yang secara ekologis menurun” (Royal Commission on The Future of Toronto`s Waterfront dalam Laidley, 2005). Penempatan kualitas ekologis pada prioritas utama dalam pembangunan menuntut pergeseran pandangan dari perlunya pembangunan mega-infrastructure di kota pesisir menjadi penyediaan infrastruktur ramah lingkungan sesuai karakteristik ekologisnya. Pengembangan infrastruktur berkelanjutan berarti perlunya
mengedepankan
keseimbangan
dan
integrasi
aspek
fisik-
lingkungan, sosial- budaya, dan ekonomi (Madiasworo, 2011). Pembangunan Ruang Terbuka Hijau dangat dibutuhkan khususnya dipesisir pantai agar menjadi sarana pariwisata. Selain itu didukung oleh infrastruktur yang memadai sehingga menjadikan orang yang singgah menjadi nyaman berlama-lama ditempat tersebut. Jika hal tersebut terpenuhi dengan baik maka akan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Hal ini dikarenakan masyarakat dapat menyewakan fasilitasfasilitas yang belum tersedia termasuk makan dan minuman untuk para pengunjung sehingga menjadi salah satu aspek penguat perekonomian masyarakat wilayah pesisir.
Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
33
BAB III PENDEKATAN KEWILAYAHAAN DALAM PERENCANAAN KOTA PESISIR Dalam mempertahankan esksistensi kota pesisir, diperlukan upaya cermat yang berbasis konsep dan visi yang dapat dijalankan dalam perencanaan
pembangunan kota pesisir sebagai kota yang hijau, lestari,
sejahtera dan berkelanjutan. 3.1 Konsep Pembangunan Wilayah Kota Pesisir Pembangunan wilayah merupakan upaya sadar guna mewujudkan ekosistem wilayah yang dapat berperan penting dalam peningkatan kesejahteraan dengan mengedepankan peningkatan kualitas lingkungan dan sosial sebagai pendukung dalam mewujudkan masyarakat yang sejahtera, jaya dan perkasa. Oleh karena itu, perencanaan pembangunan wilayah khususnya kota pesisir, membutuhkan konsep dalam tata ruang kota pesisir. Pembangunan dalam bentuk apapun itu sangatlah membutuhkan pemikiran dasar sebagai pedoman dalam penjabaran ide atau gagasan. Konsep dibutuhkan agar terarah dan mencapai tujuan yang diinginkan. Begitu pula halnya dengan pembangunan wilayah kota pesisir yang membutuhkan konsep yang jelas sehingga pembangunan wilayah tersebut dapat terlaksana dengan baik. Hal ini dikarenakan letak kota pesisir (waterfront city) yang merupakan kota yang berada pada wilayah transisi atara lautan dan daratan yang sangat rentan terhadap perubahan lingkungan. Misalnya, jika suatu daerah terdapat sungai maka kota pesisir berada di hilir yang akan merasakan dampak pengrusakan lingkungan di daerah hulu sehingga dapat mempengaruhi perekonomian maupun ekosistem manggrove yang ada di wilayah tersebut. Konsep pengembangan wilayah di Indonesia lahir dari suatu proses iteratif yang menggabungkan dasar-dasar pemahaman teoritis dengan pengalaman-pengalaman praktis sebagai bentuk penerapannya yang bersifat Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
34
dinamis. Dengan kata lain, konsep pengembangan wilayah di Indonesia merupakan penggabungan dari berbagai teori dan model yang senantiasa berkembang yang telah diujiterapkan dan kemudian dirumuskan kembali menjadi suatu pendekatan yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan pembangunan di Indonesia (Dirjen Penataan Ruang Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah, 2003). Sebelum lebih jauh memahami tentang konsep pembangunan wilayah kota pesisir, terlebih dahulu harus memahami defenisi pembangunan. Pembangunan merupakan suatu orientasi dan kegiatan usaha tanpa akhir. Pembangunan memiliki unsur-unsur: (1) proses perubahan; (2) upaya terencana; (3) tujuan yang baik; (4) dengan nilai dan norma tertentu. Atau dengan kata lain, pembangunan adalah suatu proses perubahan
yang
direncanakan untuk mencapai tujuan yang lebih baik bagi masyarakat, dan dilakukan dengan norma-norma atau nilai-nilai tertentu (Hariyono, 2010). Dalam
sejarah
perkembangannya,
bongkar
pasang
konsep
pengembangan wilayah di Indonesia terdapat beberapa landasan teori yang turut mewarnai keberadaannya. Pertama adalah Walter Isard sebagai seorang pelopor ilmu wilayah yang mengkaji terjadinya hubungan sebab dan akibat dari faktor-faktor utama pembentuk ruang wilayah, yakni faktor fisik, sosial ekonomi, dan budaya. Kedua adalah Hirschmann (era 1950-an) yang memunculkan teori polarization effect dan trickling down effect dengan argumentasi bahwa perkembangan suatu wilayah tidak terjadi secara bersamaan (unbalanced development). Ketiga adalah Myrdal (era 1950-an) dengan teori yang menjelaskan hubungan antara wilayah maju dan wilayah belakangnya dengan menggunakan istilah backwash effect dan spreadwash effect. Keempat adalah Freadmann (era 1960-an) yang lebih menekankan pada pembentukan hirarki guna mempermudah pengembangan sistem pembangunan yang kemudian dikenal dengan teori pusat pertumbuhan. Kelima adalah Douglass (era 70-an) yang memperkenalkan lahirnya model Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
35
keterkaitan desa-kota (rural-urban linkages) dalam pengembangan wilayah (Hariyono dan Tukidi, 2007). Pembangunan kota sering lebih banyak dicerminkan oleh adanya perkembangan fisik kota berupa sarana dan prasarana. Lahan-lahan pertanian yang subur, ruang terbuka hijau banyak dialihfungsikan menjadi pertokoan, pemukiman, tempat rekreasi, industri dan lain-lain sehingga lingkungan terganggu. Oleh karena terganggunya kestabilan ekosistem perkotaan, maka alam menunjukkan reaksinya yang negatif berupa: meningkatnya
suhu
udara
perkotaan,
banjir/genangan,
meningkatnya
kebisingan, penurunan permukaan air tanah, pencemaran air berupa air minum yang berbau, pencemaran udara dan sebagainya (Sumarmi, 2010). Dalam pengembangan kota pesisir terdapat beberapa aturan yang menjadi dasarnya sebagai berikut: 1. Undang – Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil; 2. Undang - Undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran; 3. Undang – Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang; 4. Undang – Undang Nomor 28 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional; 5. Undang – Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah; 6. Undang – undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; 7. Keputusan Menteri Nomor 53 tahun 2002 tentang Pelabuhan; 8. Konvensi UNCLOS 1982 tentang Hukum Laut Internasional. Faktanya pembangunan atau perkembangan kota pesisir di laut dalam Indonesia lebih maju dibandingkan kota pesisir yang berhadapan dengan laut luar/depan Indonesia. Kota pesisir di laut dalam terdapat di Kota Medan, Tanjung Pinang, Pangkal Pinang dan Kota Lampung (di Pulau Sumatera 5 kota). Kota Serang, Jakarta, Semarang dan Kota Surabaya (di Pulau Jawa 4 Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
36
kota). Kota Mataram dan Kota Kupang (di Kepulauan Sunda Kecil 2 kota). Kota Ambon dan Ternate (di Maluku 2 kota). Kota Kendari, Mamuju, Palu dan Kota Makasar (di Pulau Sulawesi 4 kota). Kota Padang, Bengkulu, Denpasar, Jayapura, Manokwari, Manado dan Gorontalo dikategorikan langsung berhadapan dengan samudera/laut lepas. 3.2 Pentingnya Pembangunan Wilayah Kota Pesisir Peluang pembangunan sektor kelautan dan dampaknya terhadap pembangunan wilyah pesisir dan lautan pada masa mendatang cukup cerah. Hal ini terutama dipengaruhi oleh permintaan pasar dalam negeri maupun luar negeri. Seperti diketahui bahwa permintaan pasar merupakan fungsi dari tingkat pendapatan, jumlah penduduk, harga komoditi subsitusi, selera, mutu, dan citra dari produk kelautan yang di pasarkan (Budiharso, 2001). Indonesia sebagai negera kepulauan (archipelago state) yang memiliki ± 17.500 buah pulau-pulau yang terbentang luas dari sabang sampai merauke ditunjang dengan garis pantai mencapai ± 81.290 Km. Selain itu, potensi wisata pantai, pertanian dan perikanan yang mampu meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir. Kawasan pesisir dalam kenyataannya menampung sekitar 60% populasi dunia. Secara historis, kawasan pesisir telah menjadi hamparan konsentrasi berbagai kotakota pelabuhan dan pusat-pusat pertumbuhan global. Alasan itulah yang menjadikan pentingnya pembangunan wilayah pesisir. Meningkatnya jumlah penduduk maka akan berdampak pada peningkatan pemanfaatan lahan dan aktifitas ekonomi di daratan. Wilayah pesisir merupakan wilayah yang sangat unik, baik dari sisi kondisi fisik dan sumber daya alam yang dimilikinya, maupun dari sisi fungsi dan perannya di dalam ekosistem kehidupan daratan dan lautan. Hilang dan rusaknya kawasan tersebut dapat menimbulkan bencana besar, tidak saja terhadap
Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
37
kehidupan manusia di daratan, tetapi juga terhadap kehidupan dan keanekaragaman hayati di lautan. Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: Kep.10/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu, wilayah pesisir diartikan sebagai wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang saling berinteraksi, dimana kearah laut 12 mil dari garis pantai untuk provinsi dan sepertiga dari
wilayah laut
itu
kewenangan kabupaten/kota, kearah darat batas administrasi kabupaten/ kota. 3.3 Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Ruang merupakan hal yang sangat penting dalam pembangunan wilayah. Konsep ruang mempunyai beberapa unsur yaitu: (1) jarak; (2) lokasi; (3) bentuk; (4) ukuran. Konsep ruang sangat berkaitan erat dengan waktu, karena
pemanfaatan
bumi
dan
segala
kekayaannya
membutuhkan
organisasi/pengaturan ruang dan waktu. Unsur-unsur tersebut bersama-sama menyusun tata ruang yang disebut wilayah (Budiharsono, 2001). Peraturan pemanfaatan ruang berfungsi: 1. Sebagai alat pengendali kegiatan pemanfaatan zona/subzona; 2. Menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang dengan rencana zonasi; 3. Menjamin agar kegiatan pemanfaatan baru tidak mengganggu kegiatan pemanfaatan ruang yang telah berjalan dan sesuai dengan rencana alokasi ruang; dan 4. Mencegah dampak kegiatan pemanfaatan yang merugikan. Secara
spesifik
tujuan
penataan
ruang
adalah
tercapainya
pemanfaatan ruang yang berkualitas untuk: 1.
Mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas, berbudi luhur dan sejahtera.
Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
38
2.
Mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia.
3.
Meningkatkan sumberdaya alam dan buatan secara berdaya guna, berhasil guna dan tepat guna untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.
4.
Mewujudkan
perlindungan
fungsi
ruang
dan
mencegah
serta
menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan. 5.
Mewujudkan keseimbangan kepentingan kesejahteraan dan keamanan. Ruang kawasan pesisir merupakan ruang wilayah diantara ruang
daratan dan dengan ruang lautan yang saling berbatasan. Ruang daratan adalah ruang yang terletak di atas dan di bawah permukaan daratan termasuk perairan darat dan sisi darat dari garis laut terendah. Ruang lautan adalah ruang yang terletak di atas dan di bawah permukaan laut dimulai dari sisi laut pada garis laut terendah, termasuk dasar laut dan bagian bumi di bawahnya. Rais (1997) pengelolaan sumber daya alam dilakukan dengan mengembangkan tata ruang dalam satu kesatuan tata lingkungan yang dinamis serta tetap memelihara kelestarian kemampuan dan daya dukung lingkungan berdasarkan wawasan nusantara dan ketahanan nasional. Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil diselenggarakan untuk: menjaga kelestarian ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, melindungi alur migrasi ikan dan biota laut lain; melindungi habitat biota laut; dan melindungi situs budaya tradisional. Rehabilitasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil wajib dilakukan dengan memperhatikan keseimbangan ekosistem dan/atau keanekaragaman hayati setempat (Ali, 2015). Sistem pemanfaatan lahan yang berkelanjutan merupakan upaya ajakan moral untuk melestarikan lingkungan sumber daya alam dengan mempertimbangkan 3 aspek (Salikin, 2003) sebagai berikut : 1. Kesadaran
lingkungan;
Sistem
pemanfaatan
lahan
tidak
boleh
menyimpang dari peruntukan lahan dan ekologi lingkungan yang ada. Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
39
Keseimbangan adalah indikator adanya harmonisasi dari sistem ekologis yang mekanismenya dikendalikan oleh hukum alam. 2. Bernilai ekonomis; Sistem pemanfaatan lahan harus mengacu pada pertimbangan untung rugi, baik dari diri sendiri dan orang lain, untuk jangka pendek dan jangka panjang, serta organisme dalam sistem ekologi maupun di luar sistem ekologi. Motif ekonomi saja tidak cukup menjadi alasan pembenar (justifikasi) untuk mengeksploitasi sumberdaya lahan secara tidak bertanggung jawab. Namun dalam jangka panjang dampak ekonomis dan ekologi yang ditimbulkan sangat merugikan, terutama bagi generasi yang akan datang. 3. Berwatak sosial; Sistem pemanfaatan lahan pesisir harus selaras dengan norma sosial dan budaya yang dianut dan dijunjung tinggi oleh masyarakat sekitarnya. Sebagai contoh peternakkan itik di pekarangan rumah secara ekonomis menjanjikan keuntungan yang layak, namun ditinjau dari aspek sosial dapat memberikan dampak yang kurang baik, seperti pencemaran udara: bau/kotoran/ pencemaran lingkungan karena penggunaan obat-obatan pembersih kandang.
3.4 Perencanaan Wilayah dan Daya Saing Kota Pesisir Perencanaan kota sangat luas yang lebih diarahkan pada penyusunan rencana tata ruang yang meliputi rencana tata guna tanah perkotaan, rencana pengembangan jaringan dan sistem transportasi perkotaan, rencana pengembangan sarana dan prasarana perkotaan dan sebagainya. Program pembangunan kota terdiri atas program tata guna agraria meliputi aspek landreform, aspek pengurusan hak atas tanah, aspek pendaftaran tanah, serta aspek penelitian dan pengembangan hukum administrasi pertanahan (Adisasmita, 2008). Di era otonomi daerah yang telah bergulir sejak tahun 1999 memberikan wewenang yang sangat luas kepada pemerintah daerah untuk Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
40
mengatur sumberdaya yang dimiliki namun diawasi oleh legislatif sebagai kontrol bagi pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah daerah haruslah mempunyai perencanaan yang sistematis dan terukur sehingga dapat dievaluasi setiap tahunnya. Hal tersebut berdampak pada peningkatan daya saing terutama di daerah pesisir. Sumber pendapatan asli daerah (PAD) adalah potensi ekonomi yang dimiliki daerah, namun harus sejalan dengan pelestarian lingkungan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka prinsip pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut secara terpadu dapat difokuskan pada empat aspek yaitu: 1. Keterpaduan antara berbagai sektor dan swasta yang berasosiasi; 2. Keterpaduan antara berbagai level pemerintahan, mulai dari pusat; kabupaten/kota, kecamatan dan desa; 3. Integrasi antara pemanfaatan ekosistem darat dan laut; 4. Integrasi antara sains/teknologi dan manajemen. Dalam jangka panjang, pelaksanaan Co-management diyakini akan memberikan perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik yaitu: 1. Meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya sumberdaya pesisir dan laut dalam menunjang kehidupan; 2. Meningkatkan kemampuan masyarakat, sehingga mampu berperan serta dalam setiap tahapan pengelolaan secara terpadu; 3. Meningkatkan pemanfaatan
pendapatan yang
lestari
masyarakat dan
dengan
berkelanjutan
serta
bentuk-bentuk berwawasan
lingkungan. Menurut Mahkamah Konstitusi, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau pulau kecil dilakukan dengan tujuan untuk: 1.
melindungi,
mengonservasi,
merehabilitasi,
memanfaatkan,
dan
memperkaya sumber daya pesisir dan pulaupulau kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan;
Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
41
2.
menciptakan
keharmonisan
dan
sinergi
antara
Pemerintah
dan
Pemerintahan Daerah dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil; serta 3.
memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong inisiatif masyarakat dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan dan keberlanjutan. Undang-Undang
No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional pasal 33, yaitu: 1. Kepala
daerah
menyelenggarakan
dan
bertanggung
jawab
atas
perencanaan pembangunan di daerahnya; 2. Dalam menyelenggarakan perencanaan pembangunan, Kepala Daerah dibantu Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda); 3. Pimpinan
Satuan
Perencanaan
Kerja
Pembangunan
Perangkat Daerah
Daerah sesuai
menyelenggarakan dengan
tugas
dan
kewenangannya; 4. Gubernur menyelenggarakan koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan sinergi perencanaan antar Kabupaten/Kota.
Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
42
BAB IV PENATAAN KOTA PESISIR SEBAGAI GREEN CITIES
4.1 Definisi Green City Penataan kota yang selaras dengan alam merupakan agenda yang harus menjadi prioritas bagi praktisi penataan perkotaan. Alam diciptakan oleh Sang Maha Pencipta dalam kondisi yang sempurna tanpa kurang sedikitpun. Apabila kita mencermati lingkungan yang
belum ada campur
tangan manusia di dalamnya, maka kita akan merasakan situasi yang sangat nyaman. Kenyamanan tersebut dapat dirasakan melalui segarnya menghirup udara dan indahnya pandangan mata melihat hijaunya tumbuhan yang dilengkapi dengan berbagai macam ekosistem hewan. Tetapi apabila kita bandingkan dengan kondisi perkotaan di Indonesia pada umumnya, maka akan sangat dirasakan perbedaan suasana kenyamanannya. Maka penataan kota dengan konsep Green City menjadi agenda penting untuk diwujudkan. Green City berarti kota hijau. Apabila ditinjau dari suku katanya, kota adalah suatu wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi, yang sebagian besar lahannya terbangun dan perekonomiannya bersifat non pertanian. Sedangkan hijau bukan hanya dimaknai sebagai fungsi tumbuh-tumbuhan yang menghijaukan lingkungan akan tetapi pengelolaan pembangunan berwawasan lingkungan yang mencakup kelestarian tanah, air, udara, ekosistem hewan, dan seluruh makhluk hidup lainnya. Beberapa definisi kota hijau di Indonesia menurut panduan Kementerian Pekerjaan Umum (2011), yaitu: 1. Kota yang ramah lingkungan dengan memanfaatkan secara efektif dan efisien sumberdaya air dan energi, mengurangi limbah, menerapkan sistem
transportasi
terpadu,
menjamin
kesehatan
lingkungan,
mensinergikan lingkungan alami dan buatan, berdasarkan perencanaan
Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
43
dan perancangan kota yang berpihak pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. 2. Kota yang didesain dengan mempertimbangkan dampak terhadap lingkungan, dihuni oleh orang-orang yang memiliki kesadaran untuk meminimalisir (penghematan) penggunaan energi, air dan makanan serta meminimalisir buangan limbah, pencemaran udara dan pencemaran air. 3. Kota yang mengutamakan keseimbangan ekosistem hayati dengan lingkungan terbangun sehingga tercipta kenyamanan bagi penduduk kota yang tinggal didalamnya maupun bagi para pengunjung kota. 4. Kota yang dibangun dengan menjaga dan memupuk aset-aset kota wilayah seperti aset manusia dan warga yang terorganisasi, lingkungan terbangun, keunikan, dan kehidupan budaya, kreativitas dan intelektual, karunia sumber daya alam, serta lingkungan dan kualitas prasarana kota. Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa Green City atau kota hijau adalah pembangunan pada suatu wilayah pemukiman padat penduduk, serta infrastruktur sosial ekonomi yang penataannya mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan ekologis demi terwujudnya pembangunan berkelanjutan. Tujuan utama Green City adalah tercapainya pembangunan suatu kota yang berkelanjutan
dengan
menitikberatkan
pembangunan
berwawasan
lingkungan yakni penyelarasan strategi penataan ruang, strategi infrastruktur, dan strategi pembangunan sosial dan ekonomi. Pentaan kota pesisir sedapat mungkin ditata menjadi kota yang sehat dan nyaman untuk dihuni oleh penduduknya. Bagaimana kota yang sehat dan nyaman tersebut? sangat sedikit dari kita yang tidak mengetahui bahwa kota yang sehat salah satunya adalah kota yang memiliki banyak pepohonan, baik yang fungsinya sebagai penghijauan dan pelindung, pepohonan yang berupa tanaman produktif akan menghasilkan berbagai jenis buah yang dapat dikonsumsi. Pohon merupakan penyuplai oksigen yang menjadi kebutuhan utama manusia, sehingga semakin banyak tersedia pepohonan maka Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
44
ketersedian oksigen pun akan semakin banyak, dan akan menciptakan kondisi kenyaman wilayah sekitarnya. Namun demikian Green City bukanlah sebatas penghijauan kota atau yang umumnya dikenal dengan pembangunan Ruang Terbuka Hijau (RTH). RTH hanyalah salah satu dari beberapa atribut yang harus dipenuhi dalam pengembangan Green City. Upaya penting lain diantaranya adalah pelibatan dan peningkatan partisipasi serta pembentukan karakteristik masyarakat yang berwawasan lingkungan. Disamping itu, pengelolaan sampah, efisiensi penggunaan sumberdaya dan energi, penataan bangunan dan transportasi harus dilakukan berdasarkan prinsipprinsip keberlanjutan. Dengan demikian, penataan kota menjadi Green City untuk mempertahankan keseimbangan lingkungan perkotaan dari pesatnya pembangunan berbagai fasilitas sosial dan ekonomi sangat perlu untuk dilakukan. 4.2 Atribut Pembangunan Green City Penatanan mengingat
kota
karakter
pesisir
sebagaiGreen
masyarakatnya
sangat
City
sangatlah
beragam
dan
penting,
cenderung
berperilaku merugikan lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari tingginya volume sampah yang terbuang dilaut dan pengelolaan sumberdaya pesisir yang tidak ramah lingkungan. Suasana kota pesisir yang cenderung panas akibat meningkatnya suhu udara yang diantaranya disebabkan oleh semakin menipisnya pepohonan sekitar sehingga mengurangi kenyamanan hidup di wilayah kota pesisir. Penanganan berbagai permasalahan lingkungan di wilayah kota pesisir mendesak seluruh stakeholders agar menata kota pesisir menjadi Green City yang memiliki delapan atribut yakni, green planning and design, green open space, green waste, green tranportation, green water, green energy, green building, dan green community (Iswandi dan Alwi, 2013). Kedelapan atribut ini harus dipenuhi oleh kota-kota pesisir jika ingin
Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
45
dikembangkan menjadi kota hijau. Adapaun maksud dari atribut-atribut ini dapat dijelaskan seperti di bawah ini.
Pertama, green planning and design yakni adanya perencanaan dan rancangan tata ruang hijau yang berprinsip pada konsep pembangunan kota pesisir berkelanjutan. Green City menuntut perencanaan tataguna lahan dan tata bangunan yang ramah lingkungan serta penciptaan tata ruang yang atraktif dan memiliki nilai-nilai estetika. Perencanaan dan rancangan tata ruang kota pesisir yang berpedoman pada konsep Green City turut menentukan kenyamanan dalam kota. Proporsi penggunaan ruang untuk berbagai fungsi dengan perencanaan yang baik dan sesuai dengan peruntukan ruang akan menjadikan kota pesisir sebagai kota yang terencana hijau sekaligus menjadi aset yang dapat dipertahankan. Disisi lain, penataan ruang harus diperkuat dengan kebijakan pengelolaan oleh pemerintah kota sehingga
ruang yang telah ditetapkan dapat dimanfaatkan sesuai fungsi
masing-masing ruang. Kedua, Berdasarkan UU RI Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dijelaskan bahwa Ruang Terbuka Hijau (RTH) atau green open space Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
46
merupakan
area
memanjang/jalur
dan/atau
mengelompok,
yang
penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Lebih lanjut lagi ditegaskan bahwa suatu kota dikatakan sebagai kota hijau manakala telah dialokasikan minimal 30 persen dari luas wilayahnya untuk menjadi Ruang Terbuka Hijau. RTH pada kota pesisir memiliki fungsi yang penting diantaranya terkait dengan aspek sosial budaya, ekologi, dan estetika. Fungsi ekologi RTH yakni sebagai pengendali iklim wilayah kota pesisir, dimana pepohonan selain sebagai penghasil oksigen, juga bermanfaat sebagai peredam kebisingan dalam kota serta visual control yang menahan silau matahari. Perancangan RTH adalah sebagai taman terbuka yang sejuk dan terbuka pemanfataannya oleh publik, sehingga secara sosial budaya RTH berfungsi sebagai ruang interaksi sosial, rekreasi, olahraga, maupun sebagai sarana pendidikan bagi masyarakat kota. Agar RTH benar-benar dapat dinikmati oleh publik, maka penataannya harus memuat unsur estetika. RTH yang memiliki nilai estetika dapat meningkatkan kenyamanan, keindahan lingkungan kota, serta dapat menstimulasi kreativitas dan produktivitas warga kota. Faktor utama yang harus diperhatikan dalam perencanaan RTH adalah keterjangkauan wilayah, jaminan keamanan, serta kelengkapan sarana atau fasilitas publik di dalamnya.
Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
47
Ketiga, green waste merupakan pengelolaan sampah hijau yang berprinsip pada reduce (pengurangan), reuse (penggunaan ulang) dan recycle (daur ulang). Secara administratif, kurang lebih 42 daerah/kota dan 181 daerah kabupaten di Indonesia yang berada di wilayah pesisir. Pembuangan sampah pada sembarang tempat khususnya pada lahan kosong di sekitar wilayah pesisir dapat meningkatkan emisi CO2, oleh karena itu Arif (2008) menyatakan bahwa dalam rangka untuk mengantisipasi dan menanggulangi adanya musibah bencana alam yang akan terjadi di kawasan kota
pesisir,
perlu dilakukan upaya komprehensif meliputi pembuatan
prasarana, sarana pengendalian serta peraturan, dan pelaksanaannya harus melibatkan instansi terkait. Untuk kawasan pesisir yang rawan terhadap bencana alam gelombang pasang tsunami, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain membangun rumah di kawasan pantai yang aman dari jangkauan tsunami; mengembangkan perlindungan alami yaitu dengan cara penanaman mangrove untuk membuat green-belt; serta perlu dilakukan penyuluhan tentang bahaya gelombang pasang tsunami dan cara-cara penyelamatannya. Apabila daerah kabupaten/kota tidak mampu melakukan langkah antisipasi pengelolaan sampah, maka sangat berpeluang untuk terjadinya pencemaran wilayah pesisir dan akan mengganggu keberlanjutan ekosistem wilayah pesisir itu sendiri. Dengan demikian, untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya pencemaran lingkungan kota pesisir akibat sampah tersebut,
perlu
langkah
komprehensif
seperti
pembuatan
fasilitas
pembuangan sampah yang memadai, pengelolaan sampah secara terpadu, serta aturan atau kebijakan terkait pengelolaan sampah. Keempat, green tranportation yakni transportasi umum hijau yang fokus pada
pembangunan
transportasi
umum
yang
berkualitas.
Green
transportation diantaranya bertujuan untuk meningkatkan penggunaan transportasi umum sehingga penggunaan transportasi milik pribadi dapat berkurang. Untuk bisa mencapai tujuan tersebut maka perlu penyediaan Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
48
infrastruktur jalan yang mendukung perkembangan transportasi umum. Pengurangan penggunaan kendaraan terutama kendaraan mekanis, akan mengurangi gas atau emisi yang dihasilkan kendaraan sehingga tercipta lingkungan bebas polusi. Langkah lain yang harus dilakukan untuk dapat mencapai tujuan green transportation yakni pembangunan ruang jalan yang ramah bagi pejalan kaki dan pengguna sepeda. Pada umumnya, wilayahwilayah kota termasuk kota pesisir memfokuskan pembangunan jalan yang memadai untuk kendaraan roda empat. Akibatnya, terjadi peningkatan penggunaan kendaraan roda empat milik pribadi sehingga kemacetan dan polusi udara semakin sulit terhindarkan. Pembangunan jalan untuk pejalan kaki dan pengguna sepeda merupakan solusi untuk mewujudkan transportasi hijau yang berperan penting bagi penyelamatan lingkungan dan kesehatan manusia di wilayah kota.
Penyediaan fasilitas taman jalur khusus sepeda berfungsi untuk bersepeda, penyediaan stok O2 melalui ruang terbuka hijaunya, terjaganya keanekaragaman hayati, dan sebagainya. Fasilitas ini akan lebih efektif apabila memiliki rencana pengelolaan yang tertata dengan baik. Untuk mengetahui rencana pengelolaan yang baik untuk jalur khusus sepeda, maka Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
49
diperlukan riset mengenai jalur khusus sepeda ini yang tergolong baru. Meningkatnya minat masyarakat beraktifitas sepeda di Indonesia merupakan suatu peluang bagi pihak pemerintah kota pesisir. Peluang tersebut dapat diubah menjadi suatu keuntungan apabila pihak pemerintah kota pesisir mampu mengelola jalur khusus sepeda secara berkelanjutan.
Kota-kota di Indonesia sedang merencanakan pembangunan jalur khusus sepeda. Seperti Sentul City, merupakan daerah yang memiliki 65% daerah hijau. Sentul City memiliki kualitas lingkungan yang bersih dan sehat. Luas dari kawasan ini adalah 3.100 hektar. Kawasan ini memiliki konsep ecocity, yakni pembangunan kota untuk memastikan keselarasan dengan lokasi sekitarnya
dengan
konsep
Green
Property.
Salah
satu
kegiatan
pengembangan berkelanjutan (sustainable development) menuju eco-city adalah penyediaan taman jalur khusus sepeda. Kelima, green water merupakan Konsep yang bertujuan untuk mengefisiensi penggunaan air, penyediaan air, serta pengelolaan dan penciptaan air yang berkualitas. Permasalahan yang umumnya dirasakan oleh penduduk kota pesisir adalah ketersediaan sarana air bersih yang berkualitas. Secara geografis, kota pesisir umumnya relatif jauh dari sumber air bersih sehinga sangat membutuhkan prinsip-prinsip pengelolaan yang Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
50
hemat. Studi yang dilakukan oleh Rockstrom et al (2009) menjelaskan bahwa pengelolaan air dengan prinsip green water yang tepat akan menjadi basis baru bagi revolusi hijau, bahkan bisa menjadi basis terhadap ketahanan terhadap bencana yang disebabkan air, seperti banjir, kekeringan, dan musim kemarau yang kini menjadi sulit diprediksi akibat perubahan iklim (climate change). Terwujudnya green water juga akan menunjang keberlangsungan kegiatan masyarakat terutama pertanian. Air menduduki posisi penting pada sektor pertanian, yang mana kekurangan air akan menurunkan produktivitas pertanian sehingga berdampak pada pendapatan masyarakat disektor pertanian. Untuk mengatasi segala kemungkinan yang terjadi akibat permasalahan air serta dapat menunjang Green Water di kota pesisir maka perlu dipadukan dengan atribut Green Open Space dan Green Building. Atribut Green Open Space akan berperan sebagai media air dalam tanah yang dalam prosesnya akan menjadi faktor pendukung bagi terpenuhinya kebutuhan air dalam jangka panjang untuk berbagai kebutuhan baik kebutuhan manusia maupun untuk kebutuhan pengembangan sektor pertanian. Kondisi ini akan menjadi interaksi yang kuat antara wilayah perkotaan dan perdesaan sebagai sentral produksi pangan sektor pertanian. Dengan demikian, dapat membuka peluang untuk terciptanya integrasi pembangunan kota pesisir dengan daerah hinterlandnya.
Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
51
Keenam, green energy merupakan strategi kota hijau melalui penghematan energi dan penggunaan energi terbaharukan, seperti listrik tenaga surya, listrik tenaga angin, listrik tenaga air, dan potensi tenaga listrik pada wilayah pesisir yakni energi pasang surut (tidal energy), energi panas laut (ocean thermal energy conversion), energi gelombang laut (Wave Energy), dan energi ganggang laut. Peningkatan laju pertumbuhan penduduk seperti halnya terjadi pada kota-kota pesisir selalu sejalan dengan terjadinya peningkatan kebutuhan energi fosil. Sementara ketersediaan energi fosil semakin menipis, dan berjalannya waktu akan mejadi ancaman bila tidak diciptakan energi alternatif. Wilayah kota pesisir memiliki potensi besar dalam penyediaan energi, hanya saja perlu ada upaya pemanfaatan dengan pelibatan teknologi maju dan pengorbanan finansial yang cukup. Wilayah Indonesia yang berpotensi untuk pengembangan energi laut diataranya adalah Pantai Barat Pulau Sumatera bagian Selatan dan Pantai Selatan Pulau Jawa bagian Barat. Teknologi yang berpotensi diterapkan di pesisir pantai Selatan Pulau Jawa adalah teknologi Tapered Channel (Tapchan). Prinsip kerja teknologi tersebut yang gelombang laut yang datang disalurkan memasuki sebuah saluran runcing yang berujung pada sebuah bak penampung yang telah disiapkan dengan posisi ketinggian tertentu. Proses kembalinya air dalam bak ke laut akan memutar turbin yang dipasang sebagai penghantar arus listrik. Disamping itu, wilayah perairan yang memiliki gerakan gelombang laut yang cukup dapat pula dikembangkan energi lirtik tenaga gelombang laut. Laut dapat menghasilkan listrik melalui teknologi yang diberi nama Permanen Magnet Linear Buoy. Nama Buoy karena pada prinsip
dasarnya
teknologi
tersebut
dipasang
untuk
memanfaatkan
gelombang laut di permukaan. Prinsip kerja Buoy penghasil listrik, yaitu dengan mengapungkannya di permukaan laut. Gelombang laut yang terus mengalun dan berirama bolak-balik dalam Buoy akan diubah menjadi
Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
52
gerakan harmonis listrik. Dua contoh potensi energi ini hanyalah sebagian dari potensi energi yang berpeluang dikembangkan di perairan laut Indonesia. Ketujuh, green building merupakan atribut pengembangan Green City dengan konsep hunian hijau yakni strategi perancangan struktur bangunan yang ramah lingkungan dan bersifat efisien. Konsep hunian hijau merupakan salah satu alternatif pemecahan masalah isu pemanasan global, terutama yang disebabkan oleh efek rumah kaca. Struktur bangunan yang tertutup menyebabkan penggunaan energi listrik yang berlebihan karena listrik tetap menyala untuk menerangi bagian dalam rumah meskipun disiang hari. Aplikasi konsep Green Building yakni merancang bangunan atau rumah dengan ventilasi yang baik agar cahaya matahari mudah masuk dan menerangi bagian dalam rumah. Pencahayaan alami ini akan mengurangi penggunaan energi listrik sebagai sarana penerang dalam rumah terutama disiang hari. Disamping pencahayaan alami, efisiensi penggunaan energi dapat pula diterapkan dengan penghijauan sekitar halaman bangunan atau rumah. Pepohonan yang cukup akan berfungsi sebagai penyejuk lingkungan sekitar rumah dan cara ini akan mengurangi penggunaan Air Conditioning sebagai penyejuk ruangan dalam rumah. Kesadaran akan pentingya green building ini telah banyak ditunjukkan para arsitektur terutama pengembang hunian. Sejalan dengan itu, Kong Fanhua, et al (2010); Newell (2012); Young, Robert et al (2013) menyatakan bahwa gerakan hijau berkembang pesat tidak hanya melindungi sumberdaya alam, tetapi juga dalam implemetasinya dalam rangka efisiensi penggunaan energi dan meminimalisir kerusakan lingkungan. Untuk
menanamkan
pengelolaan
lingkungan
berkelanjutan
dalam
pengembangan green building maka penggunaan material yang tersedia di lingkungan sekitar dan memiliki sifat ramah lingkungan sangat penting untuk diperhatikan. Biaya yang dikorbankan pun harus disiapkan dalam jumlah yang lumayan menguras tabungan. Akan tetapi jika mengingat fungsinya
Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
53
terhadap penghematan energi kedepannya, maka hitungan biaya tersebut tidak akan menguras celengan secara berkepanjangan. Di Indonesia, green building telah dikembangkan oleh Institut Teknologi Bandung (ITB) yang mulai mencoba menerapkan konsep bangunan hijau di beberapa gedung-gedung di dalam kampus ITB. Salah satunya adalah Gedung Campus Center ITB sebagai konsep green campus. Gedung Campus Center ITB memang belum memenuhi standar green building yang dikeluarkan oleh Green Building Council Indonesia (GBCI), namun pembangunan gedung ini dinilai sebagai tahap inisiasi penerapan konsep green building. Dapat dilihat beberapa elemen-elemen arsitektur pada bangunan tersebut sudah mulai mencoba menerapkan beberapa konsep green building, meskipun untuk mendapatkan sertifikasi green building harus ada perbaikan-perbaikan yang mendukung.
Kedelapan,
green
community
adalah
strategi
pelibatan
semua
stakeholder yakni pemerintah, swasta dan masyarakat untuk berpartisipasi aktif
dalam
pembangunan
kota
hijau.
Green
community
bertujuan
menciptakan partisipasi nyata stakeholder dalam pembangunan Green City melalui pembentukan karakter dan kebiasaan berperilaku ramah lingkungan. Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
54
Mengubah perilaku masyarakat tidaklah semudah melakukan pembangunan fisik atau sarana dan prasarana wilayah. Masyarakat memiliki karakteristik yang
berbeda-beda
mempengaruhi
antara
perilakunya.
satu
dengan
Dalam
lainnya
keadaan
ini,
sehingga terkadang
turut pelaku
pembangunan menemui kesulitan untuk melakukan intervensi dalam masyarakat. Salah satu contoh yakni kebiasaan membuang sampah. Rendahnya partisipasi masyarakat dalam menjaga kebersihan lingkungan merupakan masalah klasik yang sering kita jumpai pada area pasar. Meskipun telah disiapkan fasilitas pembuangan sampah di area pasar akan tetapi sampah-sampah masih berserakan dimana-mana. Bagi masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir pantai atau teluk, maka pemandangan sampah yang hanyut bersama air menjadi tontonan rutin setiap harinya. Kondisi ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat masih rendah partisipasinya dalam menjaga kebersihan lingkungan. Untuk mengatasi permasalahan ini, maka pendekatan penyadaran masyarakat harus dilakukan sedini mungkin sehingga karakter yang terbentuk adalah karakter peduli lingkungan. Anakanak yang belajar di bangku sekolah mulai pada jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) ataupun SD sudah harus diberikan pemahaman dasar tentang perlunya melestarikan lingkungan dengan berpartisipasi menjaga kebersihaanya
maupun
segala
tindakan
yang
tidak
mendukung
pembangunan lingkungan berkelanjutan. Demikian pula masyarakat dewasa yang masih berperilaku tidak ramah lingkungan, perlu pembinaan khusus maupun peringkatan tegas bagi siapapun yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan. 4.3 Kelebihan, Kekurangan, dan Hambatan Pembangunan Green City di Kota Pesisir Green City memiliki banyak kelebihan terutama dalam mendukung pembangunan lingkungan berkelanjutan. Kelebihan tersebut telah dijelaskan melalui delapan atribut pembangunan Green City. Kelebihan yang paling Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
55
menonjol dan telah banyak diterapkan sejumlah kota di Indonesia adalah terpenuhinya kebutuhan keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di suatu kawasan. RTH dapat mengurangi serta memecahkan masalah lingkungan seperti polusi udara, banjir, kebisingan, ancaman kekeringan, maupun perubahan iklim secara global. Kelebihan lain dari pembangunan Green City adalah: (a) terbentuknya manajemen kota yang berkualitas, (b) terbentuknya peruntukan kawasan dalam kota berdasarkan fungsi kawasan, (c) melahirkan prinsip pemanfaatan sumberdaya dan energi berbasis lingkungan dan berkelanjutan, (d) terciptanya penggunaan dan pengelolaan fasilitas kota yang ramah lingkungan, dan (e) terbinanya masyarakat untuk berperilaku peka terhadap kelestarian lingkungan. Penerapan Green City di Kota Pesisir akan melahirkan tata ruang kota serta pengelolaan kota yang sinergis dengan perilaku masyarakat. Kota pesisir yang cenderung padat aktivitas dibidang perdagangan dan jasa sangat membutuhkan pola pengaturan ruang dan manajemen pengelolaan sumberdaya
di
dalamnya
sehingga
tetap
lestari
dan
berorientasi
sustainability. Misi kota hijau sebenarnya tidak hanya sekedar menghijaukan kota. Lebih dari itu, kota
hijau dengan visinya yang lebih luas dan
komprehensif, yaitu Kota Ramah Lingkungan, memiliki misi antara lain memanfaatkan secara efektif dan efisien sumberdaya air dan energi, mengurangi limbah, menerapkan sistem transportasi terpadu, menjamin kesehatan lingkungan, dan Mensinergikan lingkungan alami dan buatan, berdasarkan perencanaan dan perancangan kota yang berpihak pada prinsipprinsip pembangunan berkelanjutan baik secara lingkungan, sosial dan ekonomi secara seimbang. Selain berbagai kelebihan dari pengembangan Green City, juga terdapat kelemahannya. Penerapannya Green City pada kawasan yang berbeda tidak dapat digeneralisasi bahwa semuanya memiliki pendekatan dan pola penataan ruang yang sama. Perencanaan pengembangan Green Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
56
City sangat membutuhkan kajian teknis setidaknya untuk mengetahui karakteristik lokal, iklim makro, kondisi sosial budaya masyarakat, dan sebagainya. Misalnya, jika ingin menerapkan salah satu dari atribut Green City yakni Green Open Space atau RTH, maka sebelumnya harus dikaji kesesuaiannya sehingga penetapan peruntukan kawasan RTH tepat sasaran. Misalnya pada wilayah dataran tinggi, RTH difungsikan sebagai pencegah longsor dan erosi, di pantai difungsikan sebagai penahan bencana gelombang pasang atau tsunami, di kota besar difungsikan untuk mengurangi polusi udara, serta di kawasan pemukiman difungsikan sebagai peredam kebisingan terutama kendaraan. Jadi RTH di masing-masing kota memiliki fungsi ekologis yang berbeda. Disamping itu, penerapannya saat ini kebanyakan dilakukan dengan tidak terkonseptual, sehingga menimbulkan citra penghijauan asal jadi tanpa melihat siapa sebenarnya sasaran yang dapat mengambil manfaat positif dari pembukaan kawasan RTH. Hambatan dan tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan kota pesisir sebagai Green City di Indonesia dapat dicermati dalam beberapa aspek, yaitu aspek Turbinlakwas, ekonomi, sosial, lingkungan, tata kelola, dan spasial. Dalam aspek
Turbinlakwas, ada masalah pengaturan,
pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan yang harus diperhatikan. Di Indonesia, Pengaturan Program Pengembangan Kota Hijau sebenarnya sudah cukup lengkap, akan tetapi harus didukung lagi dengan peraturanperaturan turunan yang lebih detail lagi seperti juknis, agar lebih mudah dilaksanakan. Dalam hal pembinaan, pengembangan Green City di kota pesisir masih terkendala dengan lemahnya peran kelembagaan terkait dalam melaksanakan fungsinya sebagai pembina masyarakat untuk berperan aktif dalam mewujudkan kota pesisir menjadi Green City. Semua daerah/kota telah memiliki Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang didalamnya memuat pola penggunaan ruang berdasarkan fungsi kawasan/wilayah. Akan tetapi pada kondisi riil, masih banyak disaksikan daerah/kota yang dalam Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
57
pelaksanaan pembangunan wilayahnya seolah-olah RTRW tidak ada, sehingga
pembangunan
wilayah
kota
melenceng
dari
perencanaan-
perencanaan yang telah ditetapkan. Upaya lain yang masih lemah dalam upaya pengembangan Green City di perkotaan Ditinjau dari aspek ekonomi, pengembangan Green City di kota pesisir membutuhkan input berjumlah besar. Ini merupakan kendala sekaligus tantangan bagi kota pesisir untuk bisa menciptakan lingkungan yang terkelola secara berkelanjutan. Dalam aspek sosial, pengembangan Green City menghadapi kendala antara lain kecenderungan perilaku masyarakat yang kontraproduktif dan destruktif, serta kurangnya pemahaman masyarakat akan pentingnya
aspek
lingkungan
sehingga
peran
masyarakat
dalam
perwujudannya kota hijau rendah. Sementara dalam aspek lingkungan, terjadinya peningkatan jumlah penduduk perkotaan menyebabkan padatnya kebutuhan ruang untuk pemukimansehingga ketersediaan lahan ruang hijau semakin
berkurang.
Keadaan
yang
lebih
berpengaruh
lagi
adalah
pembangunan perkotaan yang cenderung berorientasi pada aspek ekonomi dan kurang memperhatikan aspek lingkungan, sehingga terjadi penurunan kualitas lingkungan seperti telah banyak terjadi pada sejumlah kota di Indonesia. Permasalahan
dalam
aspek
tata
kelola
pengembangan
kota
pesisirsebagai Green City diantaranya yakni lemahnya fungsi lembagalembaga dan penegakan hukum, izin yang tumpang tindih, konflik antar sektor, faktor politis dan ekonomi yang mengalahkan kepentingan lingkungan, keterbatasan dana untuk pengelolaan lingkungan, serta lemahnya kontrol masyarakat terhadap pengelolaan lingkungan oleh pemerintah. Kemudian yang terakhir, dalam aspek spasial, tantangan P2KH adalah perkembangan kawasan perkotaan yang cenderung bersifat ekspansif dan menunjukkan gejala urban sprawl yang tidak terkendali, alih fungsi kawasan pertanian subur di pinggiran kota dan meningkatnya ketergantungan pada kendaraan Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
58
bermotor, serta kurangnya lahan perkotaan yang dapat digunakan sebagai Ruang Terbuka Hijau. 4.4 Antisipasi Perubahan Iklim dengan Pengembangan Green City Perubahan iklim secara global terjadi kerena meningkatnya konsentrasi gas di atmosfer. Perkembangan ilmu dan teknologi seperti yang terjadi dimasa kini ternyata tidak selamanya membawa dampak positif. Sejak penemuan mesin uap oleh ilmuwan berkebangsaan Skotlandia yakni James Watt menjadi awal mula terjadinya revolusi industri yang gencar terjadi sekitar tahun 1760 -1832. Sejak saat itu, mulai banyak dibangun sumber energi yang berasal dari batu bara, minyak bumi, dan gas, yang membuang limbah gas di atmosfer, seperti Karbondioksida (CO2), Metana (CH4), dan Nitrous oksida (N2O). Matahari yang menyinari bumi juga menghasilkan radiasi panas yang ditangkap oleh atmosfer sehingga udara bersuhu nyaman bagi kehidupan manusia. Jika kemudian atmosfer bumi dijejali gas, terjadilah efek selimut seperti yang terjadi pada rumah kaca, yakni radiasi panas bumi yang lepas ke udara ditahan oleh selimut gas sehingga suhu mengalami kenaikan dan menjadi panas. Semakin banyak gas dilepas ke udara, semakin tebal selimut bumi, semakin panas pula suhu bumi. Menurut perkiraan dari sejumlah ilmuwan, saat ini bumi akan mengalami kenaikan pemanasan secara terus-menerus. Kenaikan tersebut akan menyebabkan mencairnya es kutub dan menghangatkan suhu lautan, maka kemungkinan yang terjadi adalah meningkatnya volume air laut sehingga permukaan air laut pun akan mengalami peningkatan. Bila hal ini terjadi, akan banyak pantai yang hilang karena air laut jauh masuk ke daratan, bahkan kemungkinan banyak pulau yang tenggelam terutama Pulaupulau kecil. Suatu daerah yang mempunyai iklim hangat akan menerima curah hujan yang tinggi, tetapi air hujan membuat tanah menjadi kering.
Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
59
Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki garis pantai sepanjang 95.180 km dan setidaknya 70 persen kota-kota di Indonesia terdapat di wilayah pesisir. Dampak perubahan iklim sudah jelas terlihat terutama di wilayah pesisir, yakni adanya kenaikan air laut yang menyebabkan abrasi di berbagai wilayah pesisir, banjir rob disaat air pasang, serta cuaca yang tidak menentu dan bersifat ekstrim sehingga menyebabkan badai dan tingginya gelombang air laut. Disamping itu, adanya perubahan pola menyebabkan banjir pada suatu wilayah dan kekeringan di wilayah lainnya. Permasalahan ini tentu sangat mempengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat pesisir di Indonesia. Faktor lain sebagai pemicu perubahan iklim di perkotaan adalah tingginya penggunaan bahan bakar fosil untuk kebutuhan listrik, transportasi, penggunaan energi pada bangunan gedung, dan pembakaran sampah yang tidak terkendali serta terjadinya kebakaran hutan menyebabkan tingginya emisi gas rumah kaca. Apabila keadaan ini dibiarkan berkepanjangan maka ancaman kerusakan lingkungan perkotaan akan semakin besar, dan berpengaruh negatif terhadap penduduk yang berdomisili di dalamnya. Pengembangan Green City merupakan salah satu upaya dalam mengantisipasi, adaptasi, dan mitigasi perubahan iklim secara global. Misalnya saja pengalokasian suatu kawasan untuk RTH di wilayah kota minimal 5.000 m2 akan menggantikan kerusakan hutan di wilayah pinggiran kota akibat penebangan liar, kebakaran hutan baik sengaja maupun tidak disengaja, konversi hutan untuk lahan perkebunan, maupun dibukanya lahanlahan untuk tujuan komersil lainnya. Penyediaan RTH dalam kota akan mempertahankan ketersediaan air dalam tanah serta terwujudnya kota yang nyaman dan asri. Pesatnya aktivitas diperkotaan menjadi faktor pemicu utama terjadinya perubahan iklim. Pembangunan industri di berbagai kawasan dalam kota merupakan faktor utama penyebab terjadinya polusi besar-besaran baik Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
60
polusi udara maupun pecemaran lain akibat pengelolaan limbah industri yang tidak bisa terkontrol dengan baik. Peran serta masyarakat untuk mengatasi perubahan iklim global merupakan hal yang sangat penting, mengingat perubahan lingkungan tidak terlepas dari aktivitas manusia. Sehingga kesadaran dan kebersamaan untuk mengelola lingkungan dengan prinsip keberlanjutan sangat mutlak dilakukan ditengah-tengah munculnya ancaman degradasi lingkungan seperti sekarang ini. Kesadaran yang dimaksudkan di atas adalah bagaimana pembangunan dalam kota selalu berpedoman pada pembangunan berbasis Green City sehingga
lingkungan
yang
telah
rusak
dapat
dikembalikan
fungsi
sesungguhnya dan sumberdaya alam yang mulai menipis dapat diperbaharui kembali. Ditengah-tengah kemajuan dan perkembangan model bangunan modern, maka bangunan yang baik untuk mendukung pengembangan Green City adalah bangunan dengan konsep Green Building. Masyarakat yang sadar akan pentingnya pendirian bangunan yang ramah lingkungan yakni merancang struktur bangunan sehingga tanpa harus menggunakan alat bantu Air Conditioning (AC) suasana dalam rumah tetap nyaman dan sejuk, karena penggunaan AC merupakan salah satu pemicu terjadinya pemanasan global. Salah satu upaya dalam pengembangan energi terbarukan yang biasa disebut dengan energi hijau (green energy) ini, perlu dikembangkan budaya pemanfaatan energi hijau meskipun secara sederhana. Pembangkit energi sederhana ini misalnya seperti : a. Budidaya tanaman jarak pagar (Jatropha Curcas) dan jarak kaliki (Ricinus Communis) yang bijinya berpotensi sebagai bahan bakar. Penelitian di Gujarat India menunjukkan bahwa 5 ton biji jarak bila digilas akan menghasilkan 1,6 ton minyak (rendemennya 32%), dengan 9.470 k.cal per kg (energi solar sekitar 10.1770 k.cal per kg). Jadi bila 10 kilogram biji jarak digilas, maka dapat menghasilkan 3,2 kilogram minyak. Minyak ini
Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
61
dapat diaplikasikan langsung pada mesin diesel yang biasa memakai bahan bakar solar. b. Pengolahan kotoran ternak menjadi biogas. c. Membudayakan hutan rakyat dengan penanaman tanaman keras sebagai kayu bakar di lahan-lahan kosong untuk membangun sumber penghasil energi.
Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
62
BAB V RENCANA STRATEGIS PEMBANGUNAN KOTA PESISIR 5.1 Sekilas Cikal Bakal Rencana Strategis Berbicara asal muasal strategi, kita banyak belajar dari strategi di kalangan
militer.
Strategi
tersebut
kemudian
banyak
diadopsi
dan
ditransformasi dalam dunia akademis yang sekarang banyak diterapkan dalam
bidang
manajemen
perusahaan,
termasuk
strategi-strategi
pengelolaan lingkungan dan penataan kota. Strategi sangat erat kaitannya dengan perumusan arah pengembangan masa depan untuk tercapainya sasaran-sasaran
tertentu
yang
ditetapkan
secara
personal
maupun
organisasional. Strategi yang awalnya hanya direncanakan dan diterapkan pada kalangan pimpinan militer, kini telah menjadi amunisi ampuh oleh multi pihak yang merencanakan pembangunan dalam berbagai sektor. Sumberdaya wilayah kota pesisir secara umum di Indonesia memiliki ketersediaan yang melimpah dan sejumlah ekosistem di dalamnya bernilai ekonomi tinggi. Akan tetapi, melimpahnya sumberdaya yang kita miliki saat ini tidak menutup kemungkinan bahwa pada masa mendatang akan hilang atau punah. Kondisi faktual saat ini, sumberdaya kota pesisir di Indonesia berangsur-angsur telah menipis. Hal ini dapat diketahui misalnya dari aktivitas nelayan yang hasil tangkapannya semakin menurun, dan wilayah tangkapan (fishing grounds) yang semakin jauh. Dari aspek demografi, kepadatan penduduk akan menjadikan suatu kota semakin tidak teratur manakala tidak dilakukan langkah-langkah perencanaan yang baik. Dengan demikian, pembangunan kota pesisir perlu menetapkan rencana strategis sehingga sumberdaya
yang
pemanfaatannya mengantisipasi
ketersediaannya
berdasarkan berbagai
prinsip
kemungkinan
Perencanaan Pengembangan Kota
terbatas
bisa
keberlanjutan, khususnya
dioptimalkan serta
berkaitan
dapat dengan 63
penataan ruang kawasan pesisir dengan adanya peningkatan kepadatan penduduk dan aktifitas masyarakat yang berpotensi menjadikan kota pesisir memiliki nilai rendah dari sisi pembangunan kewilayahan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka perencanaan mutlak dilakukan mengingat perencanaan itu sendiri dikuatkan oleh beberapa faktor (Tarigan, 2008): (a) banyak di antara potensi wilayah selain terbatas juga tidak mungkin lagi diperbanyak atau diperbaharui, (b) kemampuan teknologi dan cepatnya perubahan dalam kehidupan manusia, (c) kesalahan perencanaan yang sudah dieksekusi di lapangan sering tidak dapat diubah atau diperbaiki kembali, (d) lahan dibutuhkan oleh setiap manusia untuk menopang kehidupannya, (e) tatanan wilayah sekaligus menggambarkan keperibadian dari masyarakat di wilayah tersebut, dimana kedua hal tersebut adalah saling mempengaruhi, (f) potensi wilayah berupa pemberian alam maupun hasil karya manusia di masa lalu adalah aset yang harus dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam jangka panjang dan bersifat langgeng. Keenam faktor tersebut perlu disikapi dengan perencanaan yang lebih baik
sehingga
keberadaannya
bukan
merupakan
hambatan
dalam
pembangunan kota melainkan dapat menjadi kekuatan yang mengantar pada terciptanya kota yang tangguh. Rencana strategis dari ketersediaan lahan, dukungan teknologi, ketersediaan sumberdaya manusia, dan potensi sumberdaya perlu dirumuskan berdasarkan kekuatan-kekuatan maupun kelemahannya. Rencana strategis akan sangat menentukan kemajuan pembangunan kota yang akan menjawab tuntutan kehidupan di masa mendatang. Dengan demikian, untuk membuat perencanaan strategis harus mengaitkan empat unsur sekaligus, yaitu : data dan informasi yang kita miliki pada masa lalu (past time), kondisi sekarang (current/present time), perkiraan
Perencanaan Pengembangan Kota
64
ke depan (future/next time), serta perlunya sumber daya (resources) untuk mencapai tujuan yang diharapkan. 5.2 Pengertian Rencana Strategis Rencana strategis dalam pembangunan kota pesisir merupakan suatu kerangka dasar dalam pengembangan wilayah kota pesisir secara terpadu. Penyusunan rencana strategis merupakan kelanjutan dari proses, identifikasi proses dan permasalahan yang terjadi. Dengan demikian, rencana strategis pembangunan kota harus ditetapkan dengan mengacu pada kebijakankebijakan pembangunan di wilayah pemerintahan kota yang sekaligus merupakan penjabaran dari kebijakan pembangunan nasional. Pada aspek manajemen, perencanaan strategik banyak digunakan di kalangan perusahaan untuk pengembangan masa depannya. Dalam perkembangnnya, rencana strategis pun telah banyak diadopsi dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Hal ini diilhami oleh timbulnya sejumlah permasalahan khususnya faktor ketersediaan SDA dan penataan ruang, sehingga perlu adanya rencana strategis untuk mengembangkan dan mengatasi segala kemungkinan yang akan terjadi. Perencanaan kota pesisir terpadu sering pula disebut perencanaan komprehensif (comprehensive planning atau integrated planning). Maksud perencanaan ini adalah untuk menghindari perencanaan yang saling bertabrakan sata sama lain. Perencanaan ini dilakukan oleh antar instansi yang dilaksanakan atas kerjasama tim (team work). Dimaklumi bahwa tidak gampang untuk menyusun perencanaan komprehensif, karena adanya perbedaan kepentingan antar sektoral (instansi). Namun demikian, bila perbedaan
kepentingan
tersebut
dapat
dihindari
maka
perencanaan
komprehensif akan bermakna lebih baik (Adisasmita, 2010).
Perencanaan Pengembangan Kota
65
Perencanaan mempunyai arti luas, beberapa rumusan tentang pengertian perencanaan dapat dikemukakan sebagai berikut (Adisasmita, 2010) : a. Perencanaan adalah suatu proses mempersiapkan secara sistematis kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan untuk mencapai sesuatu tujuan tertentu. b. Perencanaan adalah suatu cara bagaimana mencapai tujuan sebaikbaiknya dengan menggunakan sumberdaya yang ada secara lebih efektif dan efisien. c. Perencanaan adalah penentuan tujuan yang akan dicapai, bagaimana, bilamana, dan oleh siapa. d. Perencanaan pembangunan adalah melihat ke masa depan dengan menentukan pilihan berbagai alternatif kegiatan untuk mencapai tujuan masa depan. e. Perencanaan pembangunan adalah suatu pengarahan penggunaan sumberdaya pembangunan yang terbatas untuk mencapai tujuan pembangunan (ekonomi dan sosial budaya) yang lebih baik secara efektif dan efisien. Rencana strategis merupakan rencana spesifik mengenai program dan kegiatan yang akan dilakukan saat ini hingga selanjutnya guna pencapaian suatu tujuan. Dalam pemahaman manajemen, Kerzner (2001) menjelaskan bahwa perencanaan strategis (strategic planning) adalah sebuah alat manajemen yang digunakan untuk mengelola kondisi saat ini untuk melakukan proyeksi kondisi pada masa depan, sehingga rencana strategis adalah sebuah petunjuk yang dapat digunakan organisasi dari kondisi saat ini untuk mereka bekerja menuju 5 sampai 10 tahun ke depan. Mintzberg, (1994) berpendapat bahwa perencanaan strategis merupakan cara yang melibatkan pemikiran melalui sebuah karya, penciptaan dari fungsi manajemen staf baru Perencanaan Pengembangan Kota
66
yaitu munculnya ahli perencanaan. Dimana sistem perencanaan ini merupakan strategi yang bagus sebagai suatu tahapan strategi yang akan diterapkan para pelaku bisnis, manajer perusahaan dan mengarahkan agar tidak membuat kekeliruan . Menurut Allison dan Kaye (2005) mendefinisikan strategis
adalah
proses
sistematik
yang
disepakati
perencanaan
organisasi
dan
membangun keterlibatan diantara stakeholder utama tentang prioritas yang hakiki bagi misinya dan tanggap terhadap lingkungan operasi. Perencanaan strategis khususnya digunakan untuk mempertajam fokus organisasi, agar semua sumber organisasi digunakan secara optimal untuk melayani misi organisasi itu. Perencanaan strategis menekankan pentingnya membuat keputusan-keputusan
yang
menempatkan
organisasi
untuk
berhasil
menanggapi perubahan lingkungan. Fokus perencanaan strategik adalah pada pengelolaan strategis, artinya penerapan pemikiran strategis pada tugas memimpin sebuah organisasi guna mencapai maksudnya. Rencana adalah hasil dari proses perencanaan dokumen-dokumen yang menunjukan berbagai detail konfigurasi ruang dan infrastruktur yang diinginkan dari perkembangan kota di masa depan. Rencana biasanya disajikan dalam bentuk peta/gambar yang disertai dengan teks yang menerangkan rasionalisasi rencana berdasarkan analisis terhadap kondisi yang ada pada saat ini dan analisis kecenderungan pada masa yang akan datang. Ada empat rencana pembangunan perkotaan khususnya kota pesisir yaitu: 1. Rencana Struktur (Structure Plan) Rencana struktur adalah dokumen rencana yang mencakup area geografis yang meliputi seluruh wilayah dan kota. Rencana ini memberikan indikasi yang lengkap tentang pertumbuhan ruang dan karakteristik penggunaan lahan pada masa depan secara detail; Perencanaan Pengembangan Kota
67
2. Rencana Induk (Master Plan); Rencana induk disusun untuk menetapkan penggunaan lahan secara administratif dalam konteks manajemen perkotaan, mengenai kategori penggunaan lahan, kepadatan dan tinggi bangunan, dan standar-standar lainnya dalam pembangunan perkotaan. Rencana induk berfungsi sebagai kerangka kontrol dalam peruntukan dan pemanfaatan lahan; 3. Rencana Teknis (Technical Plan) Rencana
teknis
merupakan
dokumen terinci
tentang
biaya
dan
pelaksanaan suatu proyek pembangunan. Rencana teknis atau rencana tahunan merupakan kerangka bagi pekerjaan aktual yang harus dilakukan dan memonitor kemajuan fisik dan finansial dari suatu proyek; 4. Rencana Tindak (Action Plan) Rencana tindak menjembatani rencana jangka panjang dan rencana teknis (rencana tahunan). Rencana tindak merupakan sekumpulan alternatif proyek jangka menengah (lima tahun) yang disiapkan untuk menjadi masukan bagi keputusan investasi, anggaran biaya, implikasi sumberdaya dan keterlibatan lembaga-lembaga dalam pelaksanaan. Rencana strategis merupakan sebuah rencana tertulis dalam waktu jangka panjang yang didalamnya menyatakan visi dan misi serta pernyataan tujuan perencanaan. Perencanaan strategis di dalamnya ada pedomanpedoman tertentu yang akan menjadi acuan dalam perumusan suatu rencana atau kegiatan. Hal ini dipertegas oleh Hopkins dan Hopkins (1997), yang menyatakan bahwa perencanaan strategi adalah sebagai proses penggunaan kriteria sistematis dan investigasi yang sangat teliti untuk merumuskan, menetapkan dan mengendalikan strategi serta mendokumentasikan harapanharapan organisasi secara formal. Perencanaan strategis menjadi pedoman sebuah organisasi untuk tanggap terhadap lingkungan yang dinamis dan sulit diramal.
Perencanaan
strategis
Perencanaan Pengembangan Kota
menekankan
pentingnya
membuat 68
keputusan-keputusan
yang
menempatkan
organisasi
untuk
berhasil
menanggapi perubahan lingkungan. Rencana strategis tidak mensyaratkan adanya standar baku, dan tahapan serta prosesnya pun memiliki variasi yang tidak terbatas. Tuntutan rencana strategis suatu kota adalah bagaimana variasi rencana tersebut bisa mengakomodir kebutuhan, situasi dan kondisi kota. Secara umum, proses perencanaan strategis memuat unsur-unsur berikut: (a) perumusan visi dan misi, (b) pegkajian lingkungan internal dan eksternal, (c) perumusan isu-isu strategis, (d) penyusunan strategi pengembangan (Djunaedi, 2000). Tahapan yang lebih utama dalam perumusan rencana strategis adalah penentuan visi dan misi, dimana dalam tahapan ini akan ditentukan arah dan tujuan rencana ke depannya. Visi merupakan gambaran universal yang hendak dicapai tentang apa yang direncanakan, selanjutnya dijabarkan langkah-langkah pelaksanaannya melalui misi. Misi yang telah dijabarkan selanjutnya akan dikaji pencapaiannya berdasarkan kondisi internal dan eksternal. Faktor lingkungan internal mencakup kekuatan dan kelemahan yang dimiliki, sedangkan faktor lingkungan eksternal mencakup peluang dan ancaman yang akan dihadapi pada masa mendatang. Meskipun pendapat para ahli tentang perencanaan strategis secara umum terkonsentrasi pada manajemen organisasi/perusahaan, akan tetapi dalam konteks rencana perkotaan dapat ditarik benang merah bahwa rencana
strategis
adalah
proses
perumusan
rencana
masa
depan
berdasarkan kondisi dan potensi faktual, serta menjelaskan bagaimana usaha-usaha dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu melalui penerapan strategi yang dipilih. Faktor lingkungan internal dalam pembangunan kota pesisir selalu terkait dengan tersedianya sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sarana dan prasarana, maupun dukungan kebijakan serta kelembagaan. Sedangkan faktor lingkungan eksternal berhubungan dengan Perencanaan Pengembangan Kota
69
degradasi habitat perairan, kerawanan bencana, kerusakan hutan dan cagar alam laut, pencemaran, dan sebagainya. Dengan dikajinya kondisi lingkungan internal dan eksternal maka akan diketahui isu-isu strategis yang akan dijadikan sebagai pedoman penyusunan rencana strategis. 5.3 Komponen dan Prinsip Rencana Strategis dalam Pembangunan Kota Pesisir Rencana strategis sebagai sebuah dokumen perencanaan mempunyai landasan
pikir
yang
berbeda
jika
dibandingkan
dengan
dokumen
perencanaan pendahulunya. Beberapa perbedaan tersebut antara lain, adalah : 1. Rencana strategis dikembangkan dengan pola pikir melihat ke masa depan (vision). Karena dalam perumusannya yang menjadi perhatian utama adalah di masa depan menjadi apa? dan dengan strategi bagaimana cita dan citra tersebut akan diwujudkan? 2. Salah satu kunci utama perumusan visi sampai dengan strategi pencapaian tujuan dan sasaran yaitu program dan kegiatan harus memperhatikan keselarasan. Dengan keselarasan dapat dijaga tingkat ketercapaian target yang tinggi. Karena tanpa keselarasan akan dihasilkan perencanaan yang tidak integral dan mengakibatkan kegiatan tidak terkait dengan program dan sasarannya. 3. Dalam merumuskan rencana strategis ada keharusan untuk penetapan indikator kinerja sasaran/program dan kegiatan serta membangun sistem pengumpulan data. Hal tersebut diperlukan agar pengukuran kinerjanya dapat dilakukan dengan baik. Komponen rencana strategis terdiri atas visi, misi, tujuan, sasaran, kebijakan, program dan kegiatan. Agar perumusan visi pembangunan kota pesisir dapat lebih tepat, sebagai langkah pertama diperlukan identifikasi Perencanaan Pengembangan Kota
70
kondisi tapak kota sehingga diperoleh gambaran umum yang dapat dijadikan sebagai dasar perumusan rencana strategis. Di samping itu perlu juga dilakukan environmental scanning untuk mengindentifikasi data internal dan eksternal yang berpengaruh terhadap aktivitas organisasi. Ini dibutuhkan agar visi yang dirumuskan dapat memenuhi kebutuhan dan harapan mereka. Sebab
eksistensi
organisasi
sangat
tergantung
dari
kebutuhan/ketergantungan pelanggan terhadap keberadaan organisasi. Sebab organisasi pemerintah harus menjadi organisasi yang berorientasi kepada pelanggan (customer driven organization). Hasil dari program dan kegiatan yang termuat dalam rencana strategis diharapkan dapat berdampak positif bagi kemajuan pembangunan kota pesisir, dan adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat penerima manfaatnya. Untuk bisa mewujudkan hal tersebut penyusunan rencana strategis harus didasarkan pada prinsip-prinsip: Pertama; mengacu pada kebijakan umum. Kebijakan dan program pembangunan suatu wilayah sebaiknya
mengacu
pada
kebijakan
daerah
terutama
Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) maupun kebijakan-kebijakan nasional yang terkait langsung dengan program yang direncanakan. Hal ini dimaksudkan agar program
pembangunan dapat
dapat
berjalan
beriringan
dan
saling
mendukung satu sama lain. Kedua; relevan dengan kondisi internal dan eksternal. Strategi, program, dan rencana kegiatan pembangunan disusun untuk menjawab isu-isu strategis yang lahir dari analisis lingkungan internal dan eksternal. Olehnya itu, relevansi diantara keduanya perlu ada sehingga program dan rencana kegiatan dapat berjalan secara efektif dan efisien. Ketiga; keterlibatan stakeholders. Program pembangunan harus dibangun dengan prinsip milik bersama. Artinya, upaya pembangunan bukan hanya tanggungjawab para perancang program tetapi merupakan tanggungjawab Perencanaan Pengembangan Kota
71
bersama seluruh stakeholders. Rasa tanggung jawab bersama tadi akan menguatkan semangat dalam mewujudkan program-program pembangunan. Keempat; ada fokus. Rencana strategis harus memiliki tujuan yang jelas dan terarah sehingga bisa fokus pada pencapaian suatu rencana. Kelima; bersifat strategis dan terukur. Program pembangunan hendaknya merupakan unsur yang berpotensi bisa dikembangkan di masa depan. Oleh sebab itu, perlu diperhatikan obyek dan subyek dalam pembangunan apakah memiliki posisi strategis dan dapat diukur sehingga berpeluang untuk menciptakan pengembangan wilayah dan kesejahteraan masyarakat. 5.4 Langkah-Langkah dan Rumusan Rencana Strategis Proses perumusan rencana strategis merupakan proses pengarahan usaha dalam rencana kegiatan atau program serta menjamin strategi terpilih dilaksanakan dengan baik sehingga tujuan yang direncanakan dapat tercapai. Untuk menghasilkan suatu rumusan rencana strategis dalam pembangunan kota, terdapat beberapa langkah yang dapat diterapkan. Langkah-langkah tersebut diuraikan sebagai berikut: 1. Memahami proses perencanaan pembangunan kota. Pembangunan adalah proses perubahan yang direncanakan untuk memperbaiki berbagai aspek kehidupan masyarakat. Pembangunan kota yang tidak melalui proses perencanaan yang matang hanya akan menjadikan sumberdaya sebagai input pembangunan tersebut menjadi sia-sia. Sebagai personal yang merumuskan rencana
strategis harus
benar-benar memahami paradigma pembangunan sesuai dengan tuntutan kemajuan saat ini. Di samping itu, dia juga harus cermat dalam menganalisis isu-isu strategis sebagai peluang maupun tantangan dalam pelaksanaan pembangunan wilayah. Perencanaan pembangunan dalam prosesnya bukan hanya menempatkan masyarakat sebagai penerima Perencanaan Pengembangan Kota
72
manfaat hasil pembangunan, melainkan harus dilibatkan dan dibutuhkan partisipasinya dalam perencanaan pembangunan. 2. Memahami konsep rencana strategis. Pihak-pihak yang terlibat dalam perumusan rencana strategis sedianya memiliki pemahaman mendalam mengenai rencana strategis itu sendiri. Output dari rencana strategis harus mampu menciptakan pembangunan yang
mensejahterakan
masyarakat.
Dengan
demikian,
penetapan
indikator-indikator dalam setiap tahapan rencana strategis menjadi penting untuk diperhatikan. Dalam rencana srategis perlu diterapkan pendekatanpendekatan sistematis sehingga program, kegiatan, dan strategi yang dirumuskan mampu menjawab isu-isu strategis dalam pembangunan. 3. Pemutakhiran profil wilayah. Profil wilayah berupa keberdaan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sarana dan prasarana, serta segala unsur penunjang dalam menyusun rencana strategis harus tersedia serta perlu adanya pemutakhiran data. Semakin tinggi tingkat keakurasian data atau profil wilayah maka rumusan rencana strategis akan semakin detail. Dengan demikian, kerjasama berbagai unsur dalam pemerintahan mutlak dibutuhkan untuk bisa samasama bertanggungjawab dalam pemutakhiran profil wilayah. 4. Perumusan isu-isu strategis. Isu strategis dapat diartikan sebagai suatu kondisi atau kejadian penting, yang apabila tidak diantisipasi, akan menimbulkan kerugian besar atau sebaliknya akan menghilangkan peluang apabila tidak dimanfaatkan. Analisis isu-isu strategis merupakan bagian terpenting dan sangat menentukan proses penyusunan rencana untuk melengkapi tahapantahapan yang telah dilakukan sebelumnya. Dalam menentukan data dan informasi
yang
akan
dijadikan
isu
strategis
dilakukan
dengan
memperhatikan kriteria yakni: (a) memiliki pengaruh yang besar atau Perencanaan Pengembangan Kota
73
signifikan terhadap pencapaian sasaran pembangunan, (b) luasnya dampak yang ditimbulkan terhadap publik, (c) memiliki daya ungkit untuk pembangunan, dan (d) kemungkinan atau kemudahannya untuk dikelola. 5. Menyusun rencana dan program strategis. Proses penyusunan rencana strategis akan bisa dilakukan apabila telah dilakukan pengamatan terhadap lingkungan baik lingkungan internal maupun ekternal. Analisis mengenai kondisi lingkungan akan melahirkan isu-isu strategis yang segera harus diantisipasi atau dikelola. Dengan demikian, strategi dan kebijakan akan dapat dirumuskan yang selanjutnya dikembangkan program-program strategis yang akan menjadi rencana tindakan. Untuk memastikan program dan rencana tindakan tersebut dapat berjalan sesuai rencana, maka harus ditetapkan sasaran, sumber-sumber yang diperlukan, serta pembagian peran dan tanggungjawab. 6. Menyusun rencana monitoring dan evaluasi. Monitoring dan evaluasi merupakan komponen perencanaan yang sangat penting, sebagai alat yang mengontrol kinerja perencanaan yang dilakukan di suatu wilayah tertentu. Suatu program ataupun proyek perencanaan pada dasarnya memiliki tujuan
umum
dan pengaturan
aktivitas yang sangat kompleks. Hal tersebut yang seharusnya dilakukan monitoring dan evaluasi, sehingga hasil yang didapatkan lebih maksimal. Monitoring dan evaluasi mengekstraksi informasi yang relevan dari masa lalu, aktivitas yang sedang dilakukan saat ini yang dapat dijadikan basis data untuk program dan orientasi perencanaan dimasa yang akan datang. Monitoring merupakan suatu kegiatan yang dilakukan selama proses perencanaan tersebut dilakukan. Monitoring merupakan suatu kegiatan pemantauan penyelesaian suatu proyek dimana didalamnya terdapat review terhadap keberhasian tujuan yang ingin dicapai dan yang digunakan sebagai dasar input kegiatan berikutnya. Sedangkan evaluasi Perencanaan Pengembangan Kota
74
merupakan kegiatan yang dilakukan di akhir proses perencanaan, dimana kegiatan yang dilakukan berupa review dari kegiatan tersebut dimana komponen yang sangat kesesuaian
tujuan
diperhatikan adalah output,
dengan
implementasi
outcome
dan
yang dilakukan oleh
perencana. 7. Merencanakan konsultasi publik. Konsultasi publik dalam penyusunan rencana strategis merupakan suatu kegiatan
tukar
pendapat,
ide,
tanggapan
konstruktif,
dan
saran
penyempurnaan sehingga draf rencana strategis yang dipersiapkan dapat semakin operasional di lapangan. Konsultasi publik melibatkan segenap unsur masyarakat (stakeholders) yang bertujuan untuk memperoleh legitimasi atas rencana strategis yang tersusun. Pelaksanaan konsultasi publik harus bersih dari adanya kepentingan-kepentingan sepihak yang kemudian merugikan kepentingan publik. Efektifitas konsultasi publik akan dapat
tercapai
kemampuan
dan
dengan
baik
pemikiran
manakala yang
para
konstruktif
pelaku agar
mempunyai
mampu
untuk
mendengarkan, memahami, mendampingi, dan melakukan tindakan yang diperlukan untuk melayani kepentingan masyarakat secara luas. 8. Mendokumentasikan dalam bentuk dokumen perencanaan. Rumusan rencana strategis yang telah melewati tahap konsultasi publik tentu memiliki perbaikan-perbaikan dari adanya tanggapan ataupun saransaran stakeholders. Apabila telah dilakukan revisi, maka rencana strategis tersebut harus dibuat dalam bentuk dokumen, agar lebih mudah dilihat kapanpun dibutuhkan terutama saat program dan kegiatannya telah berjalan. Beberapa tahapan penyusunan rencana strategis seperti apa yang telah diuraikan perlu diperhatikan dengan baik terutama oleh pihak yang terlibat dalam perumusan rencana strategis. Kegiatan awal mulai dari Perencanaan Pengembangan Kota
75
pemahaman dasar mengenai perencanaan strategis hingga pelaksanaan program dan rencana aksi yang tertuang dalam dokumen rencana strategis harus diaplikasikan berdasarkan rencana yang ditetapkan. Hal terpenting lainnya adalah terlaksananya monitoring dan evaluasi sehingga proses pelaksanaan program dan kegiatan dapat terkontrol dan terukur sehingga kegiatan berjalan dengan baik dan hasilnya bisa menjadi pedoman untuk pelaksanaan lebih lanjut. 5.5
Rencana Strategis dalam Pembangunan Kota Pesisir Semua kota memiliki ciri khas tersendiri yang ditentukan oleh fungsi
kota dalam ruang lingkup daerah. Masing-masing fungsi memberikan pengaruhnya tersendiri pada pengembangan kota. Oleh karena itu, hal pertama yang perlu diperhatikan adalah fungsi apa yang paling dominan dalam sebuah kota. Sifat serta fungsi kota inilah yang mempengaruhi proses pembangunan
kota tersebut. Setiap kota harus berkembang dengan
karakternya sendiri, dan yang lebih penting, bagaimana kota tersebut mampu menampung
perkembangannya
di
masa
mendatang
dengan
tetap
mempertahankan kawasan yang berfungsi melindungi kehidupan kota dan masyarakatnya. Cara-cara
pembangunan
kota
khususnya
kota
pesisir
harus
mengakomodasi perkembangan dan kecenderungan eksternal yang sangat pesat, oleh karena itu kota harus dipandang sebagai suatu entity (organisasi) yang mampu menghadapi tantangan dan mempengaruhi perkembangan lingkungan kota, maka diperlukan pendekatan baru dalam lingkungan pembangunan kota-kota tidak cukup hanya mempunyai strategi jangka panjang yang dituangkan dalam rencana induk, akan tetapi memerlukan penyesuaian-penyesuaian strategis yang sifatnya operasional terhdap perubahan-perubahan yang dihadapinya. Perencanaan Pengembangan Kota
76
Pertumbuhan kota pesisir dengan diiringi penduduk yang besar bagaimanapun akan membutuhkan area yang lebih besar, sehingga akan menimbulkan permasalahan dengan alam. Pembangunan kota harus memperhatikan alam dan lingkungan. Kota besar bukanlah tempat yang cocok untuk tempat tinggal jika persoalan lingkungan diabaikan (Salim, 1997). Alam merupakan unit terpenting bagi kelangsungan aktifitas kota dan manusia di dalamnya, sehingga keseimbangan alam dan lingkungan menjadi tanggung jawab bersama untuk sekarang dan sampai kapanpun. Pembangunan kota yang terencana bisa mengurangi timbulnya berbagai permasalahan seperti yang telah banyak terjadi di kota-kota pesisir Indonesia. Kurangnya antisipasi masyarakat khusunya penduduk yang bermukim di kota pesisir terhadap potensi penyebab kerusakan lingkungan menyebabkan wilayah pesisir semakin terusik dan jauh dari kenyamanan. Semua orang apalagi masyarakat kota tentu sangat mengidamkan kondisi kota yang nyaman, bersih, aman, indah, dan di bidang ekonomi memiliki kekuatan untuk mengangkat kesejahteraan masyarakat di wilayahnya. Guna mencapai hal tersebut, maka penataan dan perencanaan kota merupakan upaya pertama dan paling utama serta menerapkan prinsip pembangunan kota yang mampu menguatkan ekonomi wilayah. Sebagaimana telah dijelaskan pada sub-sub bahasan sebelumnya, bahwa perumusan rencana strategis suatu wilayah harus diawali dengan identifikasi lingkungan internal maupun lingkungan eksternal. Tujuannya yakni agar dapat diperoleh gambaran umum permasalahan yang sedang dihadapi ataupun
beberapa
daya
dukung
yang
menjadi
kekuatan
dalam
pengembangan kota pesisir. Identifikasi mengenai kondisi lingkungan akan melahirkan beberapa isu strategis yang mendesak untuk segera ditangani ataupun ditingkatkan.
Perencanaan Pengembangan Kota
77
Sebagai kota pesisir, tentu sumberdaya yang dapat diandalkan tidak lain adalah berupa potensi subsektor perikanan baik perikanan tangkap maupun
perikanan
budidaya
dan
perhubungan
laut.
Sementara
di
permukaan, potensi yang ada berupa industri, perdagangan, dan jasa-jasa. Beberapa potensi tersebut akan bermanfaat maksimal manakala ditunjang dengan sumberdaya manusia yang berkompeten. Beberapa potensi kota pesisir yang telah disebutkan tersebut dalam prakteknya sering dijumpai permasalahan-permasalahan
dan
membutuhkan
penanganan
serius
sehingga keberadaannya tidak mengancam kehidupan dalam berbagai aspek. 5.6 Isu-isu Strategis dalam Pembangunan Kota Pesisir Isu-isu strategis dalam pembangunan kota pesisir Indonesia secara umum di antaranya sebagai berkut: 1. Kualitas sumberdaya manusia relatif rendah. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia di wilayah pesisir secara umum tidak hanya terjadi pada masyarakat pesisir saja, akan tetapi termasuk pula stakeholders lainnya. Penyebab rendahnya kualitas sumberdaya manusia di wilayah pesisir sering dihubung-hubungkan dengan rendahnya tingkat pendidikan masyarakat. Umumnya masyarakat pesisir memiliki angka partisipasi yang rendah dalam pendidikan. Hal ini disebabkan karena selain keterbatasan fasilitas pendidikan, masyarakat pesisir juga sangat dimanjakan oleh
kelimpahan
sumberdaya
pesisir
dan
laut
sehingga
terkadang
mengabaikan pentingnya pendidikan. Akan tetapi semua pihak perlu meningkatkan
kepeduliannya
untuk
mengatasi
rendahnya
kualitas
sumberdaya manusia di kawasan pesisir. Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat juga merembes pada rendahnya tingkat kesehatan masyarakat. Kasusnya kurang lebih sama Perencanaan Pengembangan Kota
78
dengan faktor pendidikan, yakni minimnya fasilitas kesehatan yang dapat digunakan masyarakat. Kondisi seperti ini pada umumnya terjadi pada masyarakat pesisir di wilayah pulau-pulau kecil. Secara detail, rendahnya kualitas sumberdaya manusia yang sekaligus berdampak pada terhambatnya pembangunan kota pesisir di antaranya yakni; (a) rendahnya taraf pendidikan masyarakat, (b) terbatasnya sarana dan prasarana pendidikan, (c) kurangnya minat tenaga guru untuk membina generasi muda di wilayah pesisir terutama bagi kawasan yang masih terisolir, (d) rendahnya tingkat kesehatan lingkungan permukiman, (e) minimnya sarana dan prasarana kesehatan, termasuk kurangnya tenaga medis, (f) rendahnya tingkat pendapatan masyarakat, sehingga sangat sulit untuk bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, (g) kurangnya prioritas pemerintah untuk memacu peningkatan sumberdaya manusia masyarakat pesisir. Sebagai akibat dari beberapa kelemahan tersebut, menyebabkan tidak optimalnya pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah pesisir. Dampak lain yang paling dominan adalah pola pemanfaatan sumberdaya yang tidak memperhatikan
aspek-aspek
kelestarian
lingkungan
serta
rendahnya
partisipasi aktif masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir, seperti padatnya limbah rumah tangga yang mencemari pantai. Hal ini terjadi karena rendahnya pemahaman masyarakat akan pentingnya mengelola sumberdaya berdasarkan prinsip keberlanjutan. Sementara dari sisi adopsi inovasi, masyarakat sangat sulit menyesuaikan diri dengan adanya kemajuan teknologi
saat
ini.
Teknologi
yang
seharusnya
menjadi
input
bagi
pengembangan usaha subsektor perikanan malah menjadi tantangan bagi masyarakat pesisir. Lebih disayangkan lagi yaitu
rendahnya intervensi
pemerintah terkait pengelolaan wilayah pesisir, serta kegiatan yang diturunkan pada masyarakat terkesan kurang efektif dan efisien.
Perencanaan Pengembangan Kota
79
2. Lemahnya penegakan hukum Pengelolaan wilayah pesisir bisa berjalan sesuai kaidah-kaidah pengelolaan yang benar manakala ditunjang dengan pola pengaturan dan penegakan hukum oleh aparat pemerintah. Permasalahan yang umumnya terjadi di antaranya adalah aktivitas penangkapan dengan penggunaan bom dan racun/obat bius, kurangnya pengetahuan mengenai zonasi yang ditetapkan pemerintah (kurang sosialisasi), semakin berkurangnya luas mangrove akibat penebangan liar, adanya masyarakat yang terus melakukan penangkapan terhadap jenis-jenis ekosistem yang dilindungi. Sementara dari sisi penegakan hukum, aparat tidak bisa berbuat banyak karena kurangnya sarana dan prasarana patroli sehingga pengawasan tidak berjalan dengan maksimal. 3. Inkonsistensi dalam penerapan penataan ruang Selama ini perencanaan tata ruang lebih banyak berorientasi ke darat dan belum menyentuh wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil. Penataan ruang wilayah pesisir khususnya ruang baik untuk fungsi pemukiman, penangkapan dan budidaya perairan, kawasan industri (kecil dan menengah), perlu dibuat dan ditetapkan dalam bentuk aturan, sebab berkaitan erat dengan upaya meminimalkan pencemaran kawasan pesisir. Salah satu kesulitan penataan ruang di kawasan pesisir yakni banyaknya penduduk yang bermukim di areal pantai sehingga untuk mengaturnya akan terjadi konflik.
Pada saat ini,
jumlah orang yang ingin memanfaatkan sumberdaya pesisir semakin bertambah, sementara ketersediaan sumberdaya tersebut semakin menipis. Belum lagi adanya aktivitas pemanfaatan yang tidak ramah lingkungan. Untuk alasan inilah penataan ruang mutlak dilakukan sehingga pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir berjalan secara teratur dan berkelanjutan.
Perencanaan Pengembangan Kota
80
4. Degradasi ekosistem kota pesisir Ekosistem kota pesisir yang banyak mengalami penurunan kuantitas terutama adalah vegetasi mangrove dan terumbu karang, dan berimplikasi pada menurunnya populasi ikan. Aktivitas penebangan pohon mangrove oleh kebanyakan masyarakat yang bermukim di kawasan pesisir menyebabkan terjadinya abrasi pantai. Hutan mangrove yang ditebang masyarakat biasanya digunakan untuk kebutuhan rumah tangga (kayu bakar dan perabot rumah). Dengan lemahnya pengawasan, aktivitas semacam ini masih banyak dilakukan oleh masyarakat terutama di wilayah pulau-pulau kecil. Disamping itu, kegiatan lain yang menjadi penyumbang terjadinya degrasi ekosistem yang paling dominan adalah aktivitas pengeboman ikan ataupun penggunaan racun sianida. Kedua bentuk kegiatan ini banyak merusak kehidupan terumbu karang yang pada akhirnya karang sebagai tempat hidup ataupun pemijahan ikan tidak lagi berfungsi. Akibatnya, ikan pun menjauh untuk mencari tempat hidup lain. 5. Pencemaran lingkungan kota pesisir Pencemaran lingkungan kota pesisir terjadi melalui banyak sumber, diantaranya adalah aktivitas industri yang membuang bahan sisa industri pada sungai yang akhirnya bermuara ke laut, sampah rumah tangga yang bermukim di kawasan pesisir, aktivitas penangkapan ikan dengan racun, minyak kotor hasil buangan kapal laut, kawasan wisata pantai yang tidak dilengkapi dengan fasilitas pembuangan sampah, dan sebagainya. Sebagai akibatnya, kualitas perairan pesisir semakin menurun, timbulnya bau yang tidak menyenangkan dari tumpukan sampah di kawasan pantai, serta kegagalan produksi bagi masyarakat pembudidaya di kawasan pesisir.
Perencanaan Pengembangan Kota
81
6. Banyaknya potensi obyek wisata bahari yang belum dikembangkan Indonesia memiliki banyak potensi obyek wisata bahari akan tetapi kurang mendapat perhatian untuk dikembangkan menjadi sektor andalan. Hal ini terjadi karena adanya anggapan bahwa sektor pariwisata bahari sangat sulit untuk menjadi sektor andalan bagi daerah apalagi obyek wisata di pulaupulau kecil. Beberapa kelemahan dalam pengelolaan wisata bahari di antaranya adalah belum terpadunya pengembangan paket wisata bahari, kurang tersedianya fasilitas wisata menyebabkan kurangnya pengunjung, menurunnya kualitas pantai, perairan dan terumbu karang yang menjadi andalan utama untuk pengembangan wisata bahari, rendahnya respon masyarakat untuk menerima pengunjung atau wisatawan, kurangnya keterampilan masyarakat untuk menciptakan benda-benda cendramata yang dibutuhkan pengunjung wisata, dan sebagainya. 7. Belum optimalnya pengelolaan perikanan tangkap maupun budidaya Perikanan tangkap merupakan usaha andalan khususnya bagi masyarakat di wilayah kota pesisir Indonesia. Akan tetapi dalam usaha penangkapan ikan, para nelayan mengalami beberapa permasalahan di antaranya yaitu semakin jauhnya daerah tangkapan (fishing ground) sementara armada perahu yang digunakan sangat terbatas. Di samping itu, masyarakat sangat terkendala dengan pemasaran ikan hasil tangkapannya. Biasanya hasil tangkapan hanya dipasarkan di lingkungan nelayan sendiri, dan banyak pula yang menjual ikannya pada pedagang pengumpul (tengkulak). Harga yang diberlakukan pun jauh lebih rendah sehingga keuntungan yang diperoleh nelayan sangat sedikit. Kondisi ini merupakan akibat dari tidak tersedianya sarana penampungan dan pengolahan hasil tangkapan oleh para nelayan. Disamping itu, usaha perikanan budidaya belum banyak diminati oleh masyarakat nelayan. Hal ini disebabkan karena Perencanaan Pengembangan Kota
82
masa produksi yang relatif lama sementara kebutuhan hidup terus mengalami peningkatan dari hari ke hari. Usaha perikanan budidaya pada kebanyakan daerah pesisir hanyalah merupakan usaha sambilan, sehingga sehingga skala usaha cenderung lebih kecil. 5.7 Sasaran, Indikator dan Strategi Sasaran strategis disusun berdasarkan hasil identifikasi potensi dan permasalahan yang akan dihadapi saat sekarang dan di masa mendatang. Sasaran dalam penyusunan rencana strategis merupakan arahan kebijakan yang ditetapkan agar pengelolaan isu-isu strategis dapat lebih fokus dilakukan. Program dan kegiatan yang direncanakan harus relevan dengan sasaran. Olehnya itu, sasaran harus mencakup permasalahan umum sebagaimana teruraikan dalam isu-isu strategis. Pernyataan sasaran harus dilengkapi dengan indikator sebagai ukuran kinerjanya. Sasaran dilengkapi dengan target kinerja atau indikator sehingga menjadi ukuran keberhasilan dari pencapaian tujuan yang ditetapkan. Agar sasaran dalam penyusunan rencana strategis memiliki arah yang jelas, maka perlu diperhatikan beberapa kriteria penetapan sasaran yakni: (a) sasaran strategis yang ditetapkan harus berupa ukuran pencapaian dari tujuan, (b) sasaran strategis mencerminkan berfungsinya outcomes dari semua program, (c) sasaran strategis harus dirumuskan dengan jelas dan terukur, (d) sasaran strategis harus dilengkapi dengan target kinerja atau indikator. Berdasarkan kriteria-kriteria penetapan sasaran, dengan mengacu pada isu-isu strategis misalnya kualitas sumberdaya manusia masih relatif rendah maka dapat ditetapkan sasaran di antaranya adalah peningkatan taraf pendidikan bagi masyarakat pesisir. Apabila sasaran-sasaran tersebut diuraikan dalam taget kinerja atau indikator-indikator pencapaian, maka dapat dirumuskan sebagai berikut: (a) meningkatnya jumlah lulusan minimal pada Perencanaan Pengembangan Kota
83
Pendidikan Dasar sembilan tahun, (b) adanya kesimbangan jumlah guru dan siswa, (c) meningkatnya pendapatan dan taraf hidup masyarakat pesisir, (d) masuknya mata ajar pengelolaan sumberdaya kepesisiran dalam kurikulum, (e) terlaksananya program-program pendidikan luar sekolah (penyuluhan dan latihan). Kelima indikator tersebut secara konsisten menunjuk pada tercapainya sasaran seperti apa yang telah dirumuskan tersebut. Setelah menentukan indikator-indikator pencapaian sasaran, maka selanjutnya akan dirumuskan strategi atau rencana aksi untuk mewujudkan indikator yang ditentukan. Dengan demikian, apabila kita kembali pada sasaran dan indikator tersebut maka beberapa rencana aksi yang dapat diterapkan yakni: (a) meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan terutama fasilitas Pendidikan Dasar sembilan tahun, (b) memenuhi kebutuhan tenaga guru yang proporsional dengan jumlah siswa, (c) melakukan pembinaaan masyarakat pesisir agar bisa menerapkan usaha yang berorientasi agribisnis, (d) mengusulkan dan mengimplementasikan kurikulum pengelolaan sumberdaya pesisir, (e) mengembangkan program pelatihan serta
peningkatan
intensitas
penyuluhan
dalam
rangka
pembinaan
masyarakat pesisir. Perumusan sasaran, indikator, dan rencana aksi tersebut merupakan salah satu contoh dari sejumlah isu-isu strategis yang ada dan telah dijelaskan pada sub-sub bahasan sebelumnya. Pada hakekatnya, perumusan sasaran, indikator dan kegiatan/rencana aksi harus tetap relevan dan saling terkait satu sama lain, sehingga tujuan yang ditetapkan dalam rencana strategis dapat tercapai sesuai dengan target. Untuk perumusan sasaran, indikator dan rencana aksi pada beberapa isu strategis lainnya yang telah dibahas sebelumnya, dapat dirumuskan dengan berpedoman pada indikator dan rencana aksi untuk mencapai sasaran kualitas sumberdaya manusia. Perencanaan Pengembangan Kota
84
Menurut Adisasmita (2010), penataan sistem perkeotaan dilakukan dari dua segi yaitu keserasian antara suatu kota dengan kota yang lain, dan dapat pula dipandang pada masing-masing kota. Strategi pengembangan perkotaan untuk masing-masing meliputi beberapa upaya seperti: (a) memperbaiki alokasi sumberdaya (lahan) perkotaan, (b) memperbaiki kualitas sumberdaya manusia,
(c)
mengurangi
pengangguran,
(d)
pembangunan
fasilitas
pelayanan perkotaan dan meningkatkan mutu pelayanan, (e) meningkatkan peran
swasta
dalam
pelayanan
kota,
(f)
penyempurnaan
institusional/kelembagaan. Strategi pembangunan perkotaan pesisir dengan mengedepankan kualitas sumberdaya manusia adalah pendekatan paling utama. Kompetensi SDM yang handal akan menguatkan aspek-aspek lainnya dalam pembangunan perkotaan, seperti terkelolanya sumberdaya alam secara berimbang dan optimal, terpenuhinya kebutuhan tenaga kerja diperkotaan, dan adanya partisipasi aktif masyarakat sebagai bentuk kesadaran untuk mendukung pembangunan di kota. Perbaikan dalam alokasi sumberdaya lahan dapat dilaksanakan dengan mendasarkan pada penataan ruang kota/daerah yang disusun secara optimal. Dalam penataan ruang perlu memperlihatkan empat buah asas, yaitu: (a) menciptakan kemudahan yang proporsional untuk menikmati pelayanan fasilitas ekonomi dan sosial bagi segenap lapisan masyarakat; (b) kesesuaian pemanfaatan ruang, yaitu kesesuaian antara tuntutan kegiatan usaha di satu pihak dan kemampuan wilayah di lain pihak; (c) kelestarian lingkungan yang dimaksudkan untuk menjaga kelestarian kemampuan wilayah yang berarti pula menjamin jalannya kegiatan usaha; (d) kemampuan berkembang yang dimiliki masing-masing bagian wilayah yang diharapkan meningkat dengan adanya interaksi fungsional dengan bagian-bagian wilayah lainnya.
Perencanaan Pengembangan Kota
85
BAB VI MENUJU PERENCANAAN KOTA PESISIR BERKELANJUTAN 6.1 Penerapan Integrated Coastal Management dalam Penataan Kota Pesisir Pendekatan pengelolaan wilayah pesisir harus dilakukan secara terpadu (Integrated Coastal Management = ICM) yaitu keterpaduan perencanaan yang menyeimbangkan kepentingan ekonomi, sosial budaya dan kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup (Alikodra, 2006). ICM merupakan
pendekatan
pengelolaan
yang
memberikan
arah
bagi
pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut secara berkelanjutan dengan mengintegrasikan
berbagai
perencanaan
sektoral,
berbagai
tingkat
pemerintahan dan sekaligus mengintegrasikan komponen ekosistem darat dan komponen ekosistem laut, serta sains dan manajemen. Pembangunan berkelanjutan telah memasuki perbendaharaan kata para ahli serta masyarakat setelah diterbitkannya laporan mengenai pembangunan dan lingkungan serta sumberdaya alam. Laporan ini diterbitkan oleh Komisi Dunia untuk Lingkungan Hidup dan Pembangunan PBB (UN World Commission on Environment and Development - WCED) yang diketuai oleh Harlem Brundtland, dalam laporan tersebut didefinisikan istilah pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Indikator
pembangunan
berkelanjutan
dalam
pengelolaan
sumberdaya keanekaragaman hayati laut, yang minimal harus meliputi empat dimensi (Dahuri, 2003) yaitu: (1) ekonomi, (2) sosial, (3) ekologi, (4) pengaturan (governance). Lebih rinci ditampilkan pada Tabel 1. Pembangunan berkelanjutan diartikan sebagai : 1) Pembangunan
yang
menjaga
keberlanjutan
kehidupan
sosial
masyarakat; 2) Pembangunan yang menjaga peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat; Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
86
3) Pembangunan yang menjaga kualitas lingkungan hidup masyarakat yang didukung oleh tata kelola yang menjaga pelaksanaan pembangunan yang akan meningkatkan kualitas kehidupan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tabel 6.1. Indikator Pembangunan Berkelanjutan Wilayah Kota Pesisir Dimensi
Indikator a. Volume dan nilai produksi b. Volume dan nilai ekspor (diabandingkan dengan total ekspor nasional) c. Kontribusi sektor perikanan terhadap Produk Domestik Ekonomi Bruto d. Pendapatan Nelayan e. Nilai investasi dalam bentuk kapal ikan dan pabrik f. Pengolahan a. Penyerapan tenaga kerja b. Budaya kerja c. Tingkat pendidikan Sosial d. Tingkat kesehatan e. Distribusi jender dalam proses pengambilan keputusan (gender distribution in decision making) f. Kependudukan (demography). a. Komposisi hasil tangkap. b. Hasil tangkap per satuan upaya (CPUE). c. Kelimpahan relatif spesies target. d. Dampak langsung alat tangkap terhadap spesies non target. Ekologi e. Dampak tidak langsung penangkapan terhadap struktur tropik. f. Dampak langsung alat tangkap terhadap habitat. g. Perubahan luas area dan kualitas habitat penting h. perikanan. i. Hak kepemilikan (property rights). a. Ketaatan terhadap peraturan perundangan (compliance Governance regime). b. Transparansi dan partisipasi. Sumber: Dahuri, 2003 Salah
satu
sasaran
pembangunan
berkelanjutan
adalah
meningkatnya penerapan peduli alam dan lingkungan dalam pembangunan Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
87
sehingga dapat meningkatkan kualitas lingkungan hidup yang tercermin pada membaiknya Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH). Menurut Liu et. al., (2005), indikator pembangunan berkelanjutan untuk pembangunan kawasan pesisir terdiri dari empat aspek yaitu : 1) Aspek ekologi diukur dari kondisi sumberdaya perikanan, komoditas utama perikanan keberagaman sumberdaya perikanan, kualitas perairan, keragaman ekosistem, dan luas kawasan konservasi. 2) Aspek ekonomi dapat dinilai dari jumlah tangkapan, nilai tangkapan, penerimaan bersih, jumlah tenaga kerja, banyaknya usaha perikanan, kuantitas kegiatan perikanan, investasi dan subsidi pemerintahan di bidang perikanan. 3) Aspek sosial dalam pengelolaan kawasan pesisir meliputi statistik dasar kependudukan dan tingkat pendidikan. Statistik dasar kependudukan terdiri dari tingkat kepadatan penduduk, rasio jenis kelamin, tingkat ketergantungan, tingkat kelahiran, tingkat pertumbuhan penduduk. Tingkat pendidikan terdiri dari angka melek huruf penduduk usia di atas 5 tahun, tingkat partisipasi sekolah, angka kecukupan tenaga pengajar dengan jumlah murid 4) Aspek
kelembagaan
meliputi
beberapa
indikator
yaitu
efisiensi
pengelolaan, tingkat partisipasi masyarakat, pengembangan kapasitas masyarakat, keberlanjutan kelembagaan. 6.2
Pengelolaan Pesisir Yang Terintegrasi Dibandingkan dengan beberapa negara tetangga seperti Filipina,
Malaysia, dan Thailand, pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir di Indonesia tergolong masih sangat baru. Usaha-usaha pengelolaan sumberdaya pesisir masih
berkembang
secara
teoritis,
bersifat
sektoral,
dan
belum
terdokumentasikan dengan baik. Pengalaman mengelola sumberdaya wilayah pesisir tersebut juga belum cukup memberikan kontribusi yang berarti Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
88
sebagai pembelajaran untuk mendapatkan model pengelolaan sumberdaya pesisir yang ideal. Tulungen, et al., (2002) proses pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir mengikuti serangkaian tahap atau langkah yang berbentuk siklus kebijakan, yang dimulai dengan: (1) identifikasi isu, (2) persiapan program, (3) adopsi program atau persetujuan dan pendanaan, (4) implementasi atau pelaksanaan, dan (5) pemantauan (monitoring) dan evaluasi (lihat Gambar 6.2.). Masing-masing langkah dalam proses ini saling terkait dan mendukung, namun mekanisme proses dari satu lokasi dengan lokasi lainnya tergantung pada kebutuhan dan kondisi setempat. Satu siklus pengelolaan ini, yakni sampai pada tahapan pemantauan dan evaluasi, disebut sebagai satu generasi pengelolaan sumberdaya pesisir terpadu, yang dapat berlangsung selama 2 - 6 tahun. 3
3
4
2
4
2
5
1
5
1
Gambar 6.2. Siklus Kebijakan Pengelolaan Pesisir Sumber: Tulungen, et al., 2002
Daerah pesisir di Indonesia sebenarnya telah mendapat persetujuan dalam mengatur, mengelola, atau memberdayakan daerahnya masing masing, seperti dibahas pada Undang-Undang No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah memberikan kewenangan yang luas kepada Daerah Kabupaten
dan
Kota
untuk
mengatur
Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
dan
mengurus
kepentingan 89
masyarakatnya sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menyatakan kewenangan daerah di wilayah laut adalah : 1. Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut
sebatas wilayah laut tersebut; 2. Pengaturan kepentingan administratif; 3. Pengaturan ruang; 4. Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau
yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah 5. Bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 34 tahun 2014 tentang Perencanaan Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mencantumkan prinsip perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, yaitu: 1.
Merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan/atau komplemen dari sistem perencanaan pembangunan daerah;
2.
Mengintegrasikan kegiatan antara pemerintah dengan pemerintah daerah, antar sektor, antara pemerintahan, dunia usaha dan masyarakat, antara ekosistem darat dan ekosistem laut, dan antara ilmu pengetahuan dan prinsip-prinsip manajemen;
3.
Dilakukan sesuai dengan kondisi biogeofisik dan potensi yang dimiliki masing-masing daerah, serta dinamika perkembangan sosial budaya daerah dan nasional; dan
4.
Melibatkan
peran
serta
masyarakat
setempat
dan
pemangku
kepentingan lainnya. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menjelaskan bahwa rencana aksi Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
90
pengelolaan adalah tindak lanjut rencana pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang memuat tujuan, sasaran, anggaran, dan jadwal untuk satu atau beberapa tahun ke depan secara terkoordinasi untuk melaksanakan berbagai kegiatan yang diperlukan oleh instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah,
dan
pemangku
kepentingan
lainnya
guna
mencapai
hasil
pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil di setiap kawasan perencanaan. Tantangan masa depan kawasan pesisir sebagai lingkungan binaan (built
environment)
perlu
diarahkan
pada
penciptaan
ruang
yang
diorientasikan pada keseimbangan lima aspek yaitu: 1. Ekologi-keruangan, 2. Sosiologi, 3. Antropologi, 4. Kebudayaan dan 5. Ekonomi masyarakat di kawasan pesisir secara berkelanjutan. Model yang dikembangkan Jones dan Siva (1991) memfokuskan model integrasi komunitas dan lingkungan binaan
dalam konteks
pembangunan kawasan tepian laut/ pesisir perlu memperhatikan 6 (enam) hal yaitu : 1) Kemajuan (advancement); 2) Perbaikan(betterment); 3) Peningkatan kapasitas (capacity building); 4) Pemberdayaan (empowerment); 5) Peninggian capaian (enhancement); 6) Pendampingan (nurturing). 6.3 Penataan Ruang dan Pengembangan Infrastruktur Adapun aktor yang paling berpengaruh dalam penataan ruang dan pengembangan infrastruktur antara lain (1) pelaku industri: optimalisasi Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
91
pemasaran hasil produksi dan peningkatan mutu kualitas produksi, (2) aktivis lingkungan hidup: tersedianya ruang terbuka hijau untuk mencegah abrasi pantai,
(3)
pemerintah:
mewujudkan
pembangunan
berkelanjutan
(Suistainable Development), dan (4) masyarakat umum: tersedianya fasilitas rekreasi keluarga di wilayah pantai. Dari sekian banyak kebutuhan yang perlu mendapat perhatian khusus yaitu (1) pembangunan daerah perkotaan berkelanjutan (2) pembangunan masyarakat yang berkemampuan (3) pembangunan perumahan dan pemukiman
yang cukup, layak dan sehat, (4) perbaikan dan pengaturan
sistem transportasi perkotaan yang efektif dan efisien, (5) penyediaan rekreasi dan (6) pembangunan tata ruang perkotaan yang dinamis. Infrastruktur perkotaan meliputi berbagai jenis yaitu jalan, listrik, air minum,
drainase,
Pembangunan
sanitasi,
infrastruktur
manajemen perkotaan
persampahan
seharunya
dan
pasar.
dilakukan
secara
terintegrasi (integrated urban infrastructure development). Selain hal tersebut, khususnya pada daerah pesisir diperlukan pelabuhan laut agar memudahkan akses masyarakat dengan daerah pesisir lainnya. Infrastruktur tempat pendaratan ikan (TPI) juga tidak kalah pentingnya karena akan membantu antara lain pendaratan hasil tangkapan, pemasaran hasil tangkapan, pengisian perbekalan dan tambat labuh. Kepulauan Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng utama dunia yaitu lempeng Australia, Eurasia, dan Pasifik. Lempeng Eurasia dan Australia bertumbukan di lepas pantai barat Pulau Sumatera, lepas pantai selatan Pulau Jawa, lepas pantai Selatan kepulauan Nusa Tenggara, dan berbelok ke arah utara ke perairan Maluku sebelah selatan. Antara lempeng Australia dan Pasifik terjadi tumbukan di sekitar Pulau Papua. Sementara pertemuan antara ketiga lempeng itu terjadi di sekitar Sulawesi. Itulah sebabnya mengapa di pulau-pulau sekitar pertemuan tiga lempeng itu sering
Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
92
terjadi gempa bumi. Hal tersebut memberikan berpotensi menimbulkan tsunami. Dampak perekonomian (economic impact) yang diakibatkan oleh peristiwa tsunami, seperti : 1. Akibat rusaknya tanaman, masa penggarapan atau produksi (setelah peristiwa tsunami) terganggu, dimana pemulihannya butuh waktu cukup lama, khususnya untuk tanaman/pohon-pohon produksi berukuran besar. 2. Dampak ekonomi / roda ekonomi terganggu karena : a) Adanya kerusakan listrik, telpon dan b) Jaringan (lifelines) lainnya c) Adanya kerusakan jalan dan pasar d) Situasi trauma e) Dan lainnya Pengaruh tsunami akan dapat diminimalisir apabila lingkungan pesisir yang memanfaatkan tata ruang dengan baik. Pemanfaatan tata ruang tersebut seperti (1) ekosistem mangrove dan (2) terumbu karang. Hal ini dilakukan dengan melalui pemberdayaan masyarakat pesisir sehingga tidak terjadi perusakan ekosistem mangrove dan perusakan terumbu karang. Fungsi dari keduanya agar dapat menjadi pemecah gelombang laut yang menuju ke darat. Penataan pemukiman penting dilakukan agar tidak terjadi tumpang tindih antara pemukiman dan perkantoran. Selain itu juga, penataan jalan dan jembatan yang memudahkan mobilitas masyarakat pesisir yang berdampak pada kemajuan perekonomian daerah pesisir. 6.4 Penataan dalam Urbanisasi Kota Pesisir Di Indonesia, gejala urbanisasi mulai tampak menonjol sejak tahun 1970 -an, di saat pembangunan sedang digalakkan, terutama di kota-kota besar. Beberapa faktor disinyalir menjadi pendorong meningkatnya arus urbanisasi, diantaranya: (1) perbedaan pertumbuhan dan ketidakmerataan Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
93
fasilitas antara desa dengan kota dalam berbagai aspek kehidupan (Saefullah, 1994); (2) semakin meluas dan membaiknya sarana dan prasarana transportasi, (3) pertumbuhan industri di kota-kota besar yang banyak membuka peluang kerja, (4) pembangunan pertanian, khususnya melalui paket program revolusi hijau (Hugo, 1975). Tetapi pada umumnya faktor ekonomi dianggap sebagai faktor
utama menjadi pendorong arus
urbanisasi. Tabel 6.2. Beberapa perbedaan ciri penduduk perkotaan dan pedesaan (Adisasmita, 2008) No. 1.
Dimensi Ekonomi
2.
Struktur pekerjaan
3.
6.
Tingkat dan pelayanan pendidikan Aksesibilitas kepada jasa pelayanan Aksesibilitas pada informasi Demografi
7.
Politik
8. 9.
Etnik Tingkat migrasi
10.
Sikap terhadap perubahan
4. 5.
Perkotaan Didominasi oleh kegiatan sektor sekunder yang tersier. Industri pengolahan, konstruksi, administrasi dan jasa Lebih tinggi dari rata-rata nasional
Pedesaan Utamanya sektor primer dan kegiatan penunjangnya
Tinggi
Rendah
Tinggi
Tinggi
Tingkat kelahiran dan kematian rendah Lebih liberal dan radikal Beragam Tinggi dan umumnya net migrasi masuk Progresif, inovatif, dan modern
Tingkat kelahiran dan kematian tinggi
Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
Pertanian dan industri primer lainnya
Lebih rendah dari ratarata nasional
Konservatif dan menentang perubahan Lebih homogen Rendah dan umumnya net migrasi keluar Konservatif, bersifat status quo dan tradisional. 94
Perbedaaan dimensi antara desa dan kota menimbulkan terjadinya urbanisasi penduduk dari desa ke kota dengan harapan memperoleh kesejahteraan hidup yang lebih baik daripada di desa. Adanya urbanisasi dapat menimbulkan dampak yang bersifat positif yaitu sebagai berikut (Bintaro, 1983; Ischak, 2001): 1.
Struktur ekonomi menjadi lebih bervariasi. Timbul bermacam-macam usaha, antara lain: transportasi, perdagangan, bermacam usaha di bidang jasa dan lain-lain.
2.
Berkembangnya usaha di bidang wiraswasta, seperti peternakan ayam, burung puyuh, pariwisata dan lain-lain.
3.
Berkembangnya bidang pendidikan mulai Sekolah Dasar sampai Akademi/Perguruan Tinggi.
4.
Meluasnya kota kearah pinggiran kota sehingga transportasi menjadi lebih lancar.
5.
Meningkatkan harga tanah, baik di kota dan pinggiran kota.
6.
Berkembangnya industrialisasi, sebab tenaga kerja murah, pasaran meluas sehingga industri cenderung lebih berkembang. Selain dampak positif yang ditimbulkan urbanisasi namun juga
mempunyai dampak negatif terhadap lingkungan (Ischak: 2001): 1.
Berkurangnya ruang terbuka,
2.
Masalah pencemaran air, termasuk intrusi air laut pada daerah pantai,
3.
Masalah transportasi dan pencemaran udara,
4.
Pencemaran udara akibat industri,
5.
Masalah sampah,
6.
Pencemaran daerah pantai,
7.
Masalah pendidikan lingkungan. Dampak urbanisasi di negara maju berbeda bila dibandingkan dengan
negara berkembang. Bedanya adalah dinegara berkembang secara fisik kota akan tumbuh menjadi besar dan luas dengan tingkat teknologi dan kualitas Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
95
kehidupan kota yang kurang memadai, misalnya pemukiman miskin (squatter), sarana-prasarana yang kurang memadai. Sebaliknya di negara maju perubahan fisik kota berkembang dengan pemukiman elite di pinggiran kota yang ditunjang dengan teknologi maju (Suharso, 2014) Secara umum masalah perkotaan dapat dibagi dalam beberapa kelompok permasalahan yakni (Adisasmita, 1998; Adisasmita, 2008): 1.
Keadaan lingkungan fisik perkotaan (urban setting) kurang memadai, antara laju pertumbuhan penduduk yang cepat, sikap hidup dan perilaku penduduk pendatang baru yang belum banyak mengenal dengan tata kehidupan perkotaan, tersedianya lapangan kerja yang terbatas, kebutuhan sarana hunian (perumahan) meningkat terus sedangkan yang tersedia adalah terbatas, penentuan lokasi industri perkotaan yang tidak terarah, pemanfaatan lahan perkotaan yang tidak efektif dan terancana dengan baik, kurangnya prasarana dan sarana perkotaan yang terbatas, seperti transportasi umum perkotaan, aliran listrik, air minum dan sebagainya.
2.
Perencanaan dan program pembangunan perkotaan serta koordinasi pelaksanaannya masih mengalami berbagai kendala dan kelemahan. Disadari bahwa penyusunan rencana pembangunan perkotaan yang komprehensif dan berkelanjutan adalah tidak mudah, hal ini disebabkan karena kehidupan masyarakat perkotaan berkembang sangat cepat, selain dari itu sifat permasalahan pembangunan perkotaan yang dihadapi adalah
sangat
kompleks
dan
bersifat
multi
aspek,
sedangkan
kemampuan aparat perencana dan pengelola perkotaan masih lemah, di samping itu kemampuan keuangan daerah adalah terbatas dan lemah. 3.
Sarana penunjang
yang tersedia seringkali belum
dimanfaatkan
sepenuhnya, misalnya keahlian dan kepakaran yang berada di perguruan tinggi,
data dan informasi, pengalaman-pengalaman (baik daerah
setempat maupun dari daerah lain), potensi sumber pendanaan Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
96
pemerintah daerah dan pembiayaan pembangunan daerah dan lain sebagainya. 4.
Partisipasi
masyarakat
(social
participation)
dan
pemberdayaan
masyarakat (social empowerment) dari seluruh lapisan atas sampai lapisan bawah untuk menunjang pembangunan perkotaan belum dikembangkan dan diaktualisasikan secara luas dan intensif. 5.
Norma-norma tata tertib pergaulan sosial, tertib hukum (penegakan hukum), dan tata tertib kemasyarakatan ternyata sering tidak diindahkan dan bahkan dilanggar, disebabkan antara lain karena kondisi sosial ekonomi dari sebagian masyarakat perkotaan yang masih rendah dan terdapat
pihak-pihak
yang
sengaja
mengabaikan
peraturan
dan
perundangan yang berlaku, sehingga menimbulkan benturan dan ketidaktertiban dalam kehidupan masyarakat perkotaan. Kebijakan perencanaan wilayah kota pesisir sangat urgen untuk diaplikasikan pada 3 tipe kawasan pantai berikut ini : 1.
Daerah konservasi pantai yang
mempunyai pertimbangan nilai
konservasi ekosistem yang tinggi (high value natural conservation) dan memiliki nilai lansekap (bentang alam) yang indah (scenic landscape). 2.
Daerah yang sebagian dapat dikembangkan untuk kepentingan spesifik yang membutuhkan potensi pantai (misalnya, pelabuhan, fasilitas perikanan, pariwisata)
3.
Daerah
yang
perlu
dikendalikan
karena
proses
perkembangan
perkotaannya (urbanisasi). 6.5 Penataan Kota Pesisir yang Nyaman Perencanaan tata guna lahan pada kota posisir pesisir dapat dilandasi oleh (Mulyadi, 2005):
Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
97
1.
Rencana pembangunan nasional yang menempatkan pengembangan pesisir dalam rangka menunjang kepentingan peningkatan pendapatan nasional dan ketahanan nasional;
2.
Rencana pengembangan regional yaitu dalam kaitannya dengan pembangunan daerah guna meningkatkan pendapatan regional serta kelestarian lingkungan hidup;
3.
Rencana pengembangan lokal yaitu dalam kaitannya dengan usaha pengembangan pesisir sebagai gerbang bagi peningkatan peranan suatu kota atau desa pantai sebagai kegiatan jasa distribusi lokal dan regional. Beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam penataan kota pesisir
adalah sebagai berikut: 1.
Pembangunan perumahan rakyat dalam bentuk sederhana dan rumah sangat sederhana agar memenuhi kebutuhan rumah yang layak bagi masyarakat
pesisir
sehingga
dapat
membantu
peningkatan
kesejahteraan masyarakat. 2.
Perbaikan manajemen transportasi ditujukan untuk pengaturan lalu lintas daerah perkotaan dapat terselenggara secara lancar, tertib dan teratur, aman/selamat dan nyaman. Jika manajemen taransportasi berjalan dengan baik maka akan mengurangi tingkat stres masyarakat karena macet.
3.
Pembangunan obyek-obyek wisata dan tata ruang terbuka sangat penting
karena
memberikan
hiburan
kepada
masyarakat
dan
mengembalikan kesegaran jasmani setelah bekerja. Hal ini memudahkan masyarakat pesisir dalam mengakses termpat wisata sehingga tidak memerlukan waktu yang lama untuk memperoleh hiburan . Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, perencanaan tata ruang wilayah kota harus memuat rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau yang luas minimalnya sebesar 30% dari Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
98
luas wilayah kota. Target luas sebesar 30% dari luas wiayah kota dapat dicapai
secara
bertahap
melalui
pengalokasian
lahan
perkotaan.
Penyediaan dan pemanfaatan ruang tebuka hijau dimaksudkan untuk menjamin tersedianya ruang yang cukup bagi : 1.
Kawasan konservasi untuk kelestarian hidrologis;
2.
Kawasan pengendalian air larian denganmenyediakan kolam retensi;
3.
Area pengembangan keanekaragaman hayati;
4.
Area penciptaan iklim mikro dan pereduksi polutan di kawasan perkotaan;
5.
Tempat rekreasi dan olahraga masyarakat;
6.
Tempat pemakaman umum;
7.
pembatas perkembangan kota ke arah yang tidak diharapkan;
8.
pengamanan sumber daya baik alam, buatan maupun historis;
9.
penyediaan ruang tebuka hijau yang bersifat privat, melalui pembatasan kepadatan serta kriteria pemanfaatannya;
10. Area mitigasi/evakuasi bencana dan ruang penempatan pertandaan (signage) sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan tidak mengganggu fungsi utama RTH tersebut. Secara
konsepsional,
suatu
wilayah
tempat
pembangunan
dialokasikan terdiri atas tiga zona. Pertama, zona preservasi, yaitu suatu wilayah yang mengandung atribut biologis dan ekologis yang sangat vital bagi kelangsungan hidup ekosistem dan seluruh komponennya meliputi biota (organisme), termasuk kehidupan manusia, spesies langka atau endemik, tempat (habitat) pengasuhan dan pemijahan berbagai biota laut, alur (migratory routes) ikan dan biota laut lainnya, dan sumber air tawar. Di dalam zona
preservasi
tidak
diperkenankan
kegiatan
pemanfaatan
atau
pembangunan, kecuali untuk kepentingan penelitian dan pendidikan. Kedua,
zona
konservasi,
yakni
wilayah
yang
di
dalamnya
diperbolehkan adanya kegiatan pembangunan, tetapi dengan intensitas Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
99
(tingkat) yang terbatas dan sangat terkendali, misalnya wisata alam (ecotourism), perikanan tangkap dan budidaya yang ramah lingkungan (responsible fishheries), serta pengusahaan hutan bakau secara lestari. Zona konservasi bersama preservasi berfungsi memelihara berbagai proses penunjang kehidupan dan sumber keanekaragaman hayati, seperti siklus hidrologi dan unsur hara, dan membersihkan limbah secara alamiah. Luas zona preservasi dan konservasi yang optimal dalam suatu wilayah bergantung pada kondisi alamnya, biasanya berkisar antara 30 hingga 50 persen dari luas wilayah. Ketiga, zona pemanfaatan, yakni wilayah yang karena sifat biologis dan ekologisnya dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan pembangunan yang lebih intensif; antara lain industri, pertambangan, dan perkotaan dengan pemukiman padat. Namun, kegiatan pembangunan dalam zona pemanfaatan hendaknya harmonis mengikuti karakteristik ekologis. Misalnya, kegiatan budidaya tambak udang hendaknya tidak pada lahan pesisir bertekstur pasir atau sangat masam, atau berdekatan dengan wilayah industri.
Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
100
DAFTAR PUSTAKA Adisasmita, Raharjo dan S. A. Adisasmita. 2008. Teori Pertumbuhan Kota (Perkotaan). Universitas Hasanuddin. Makassar. Adisasmita, H.R. 2010. Pembangunan dan Tata Ruang. Graha Ilmu, Yogyakarta. Alikodra, Hadi S. 2006. Integrasi Konsep Pengelolaan SDAL Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah. Makalah Disampaikan Pada Diklat Perencanaan Daerah. Badan Diklat Depdagri. Jakarta. Ali,
Mukti. 2015. Pemanfaatan Ruang Kawasan Pesisir sebuah “Keniscayaan”?. Prosiding Temu Ilmiah Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia di Universitas Sam Ratulangi.
Allen, J. H. & Potiowsky, T. 2008. Portland„s Green Building cluster: Economic Trends and Impacts. Economic Development Quarterly 22(4), 303-315. Allison, M. dan Kaye, J. 2005. Strategic Planning for Non Profit Organizations: A Practical Guide and Workbook. John Wiley and Sons, Inc. New York. Arif F, Mary Selintung Dan Ria Wikantari, 2011. Settlement Rubbish Handling In The Coastal Regions Of Makassar City, Teknik Perencanaan Dan Pengembangan Wilayah Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar. Benedict, M. A., & McMahon, E. T. 2002. Green Infrastructure: Smart conservation for the 21st century. Renewable Resources, 20, 12–17. Birch, E.L. & Wachter, S.M. (ed). 2008. Growing Greener Cities : Urban Sustainability in the Twenty First Century, University of Pennsylvania Press, Philadelphia, 392p. Blank, Tarquin. 2005. Engineering Economy. New York: Mc Graw-Hill inc. BNPB 2010. Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2010-2014. Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Indonesia. Breen, Ann And Dick Rigby. 1994. Waterfronts, Cities Reclaim Their Edge. Newyork, USA: Mcgraw-Hill,Inc. Budiharsono, Sugeng. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. Chao, M. Parker,G. Mahon, D. & Kammerud, R. (1999). Recognition of Energy Costs and Energy Performance in Commercial Property Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
101
Valuation: Recommendations and Guidelines for Appraisers, February 1999. For the Pacific Gas & Electric Company and the U.S. Environmental Protection Agency. Retrieved June 29, 2009, from http://www.imt.org/ DF%20files/CA%20RGs%202-99.PDF Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Dahuri, R., Rais, R. J. Ginting, S. P. dan Sitepu, M. J. 1996. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta. Daniels, T. (2008), Taking the Initiative :Why Cities Are Greening Now, in ”Growing Greener Cities : Urban Sustainability in the Twenty First Century”, edited by Birch, E.L & Wachter, S.M, University of Pennsylvania Press, p ix – xii Dawkins, C, J. (2000). Transactions Cost and the Land Use Planning Process. Journal of Planning Literature 14(4), 507-518. De Roo, M. (2011), The Green City Guidelines: Techniques for A Healthy Liveable City, Vormerveer: Zwaan Print Media. Directorate General of Spatial Planning and Development, Ministry of Public Works (2010a), Ecological Footprint of Indonesia 2010, Jakarta: Directorate General of Spatial Planning and Development, Ministry of Public Works. Directorate General of Spatial Planning and Development, Ministry of Public Works (2011), Program Pengembangan Kota Hijau: Dari Rencana Menuju Aksi Nyata, Jakarta: Directorate General of Spatial Planning and Development, Ministry of Public Works. Proceeding. Directorate General of Spatial Planning and Development, Ministry of Public Works (2012a), Kajian Telapak Ekologis pada KSN Perkotaan, Jakarta: Directorate General of Spatial Planning and Development, Ministry of Public Works. Direktorat Jendral Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Departemen Perikanan dan Kelautan. 2003. Modul Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Terpadu. Direktorat Jendral Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Jakarta. Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah. 2003. Pengembangan Wilayah dan Penataan Ruang di Indonesia, Tinjauan Teoritis dan Praktis: Makalah Dipresentasikan dalam Studium Generale STTNAS. Yogyakarta. Djunaedi, Achmad. 2000. Keragaman Pilihan Corak Perencanaan (Planning Style) untuk Mendukung Kebijakan Otonomi Daerah: Makalah Dipresentasikan dalam Seminar dan Temu Alumni MPKD. Bali. Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
102
Duerksen, C. (2009). Saving the World through Zoning: Sustainable Community Development Code Reform Project. Presented at the Planning in the West conference, Boise, Idaho, June 17-18, 2009 Ernawi, I. S., (2010), The “Green Concept” Interfere the Urban Development Policy in Indonesia, 2nd International Seminar on Tropical EcoSettlements, 3 November 2010, Bali. Evers, Hans-Dieter and Ruediger Korff (2000) Southeast Asian Urbanism. Lit Verlag, Berlin. Falkenmark, M., and J. Rockstrom. 2006. The New Blue and Green Water Paradigm: Breaking New Ground for Water Resources Planning and Management. Journal of Water Resources Planning and Management 132, no. 3 (May 0): 129-132 Glaeser, E. L., Kahn, M. E. (2010) The greenness of cities: carbon dioxide emissions and urban development. Journal of Urban Economics, 67: 404–418. Graham, S. & Marvin, S. 2001. Splintering Urbanism: Networked Infrastructures, Technological Mobilities and the Urban Condition, London: Routledge. Haryono, Paulus. 2010. Perencanaan Pembangunan Kota dan Perubahan Paradigma. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Hariyono dan Tukidi. 2007. Konsep Pengembangan dan Penataan Ruang Indonesia di Era Otonomi Daerah. Jurnal Geografi, Vol.4 (1): 1-10. Hendro, R, Rudi P, Hari Tri, 2001. Dimensi Keruangan Kota. Universitas Indonesia, Jakarta Hopkins, W.E. dan Hopkins S.A. 1997. Strategic Planning-Financial Performance Relationship in Bank; A Causal Examination. Strategic Management Journal, Vol 18:8, hal:635-652. Hugo, G. 1986. Circular Migration in Indonesia dalam Population and Development Review, No. 8 (1). Ischak. 2001. Urbanisasi dan Dampak Lingkungan. Jurnal Humaniora Vol. 13 (3): 275-283. Iswandi, Marsuki., La Ode Alwi. 2013. Model “Green Cityes” Resolusi Tersembunya Dalam Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir Tropis. Makalah disampaikan dalam seminar Nasional, yang diselenggarakan oleh Asosiasi Perencana Indonesia (Aspi) di Manado Tanggal 13-14 September 2013. Manado. Kementrian Pekerjaan Umum. 2011. Program Pengembangan Kota Hijau (Panduan Pelaksanaan 2011). Percetakan Negara: Republik Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
103
Indonesia, Jakarta. Kerzner, Harold. 2001. Strategic Planning for Project Management Using a Project Maagement Maturity Model, John Willey & Sons, Inc. New York. Kirmanto j, Imam S. Ernawi, and Ruchyat Deni Djakapermana, 2012. Indonesia Green City Development Program: an Urban Reform. Ministry of Public Works, Indonesia. Kong Fanhua, Haiwei Yin, Nobukazu Nakagoshi and, Yueguang Zong, 2010 Urban green space network development for biodiversity conservation: Identification based on graph theory and gravity modeling. Journal : Landscape and Urban Planning, journal homepage: www.elsevier.com/locate/landurbplan. Laidley, Jennefer. 2005. Constructing a Foundation for Change: The Ecosystem Approach and the Global Imperative on Toronto‟s Central Waterfront. York University. Ontario. Lasut M.T. 2002. Environmental Management of Coastal Zone. Sam Ratulangi Universty. Manado. Lewaherilla, Niki Elistus. 2002 Pariwisata Bahari; Pemanfaatan Potensi Wilayah Pesisir dan Lautan. Makalah Falsafah Sains (PPs 702) Program PascaSarjana / S3Institut Pertanian Bogor. Liu, Pang-Lo, Wen-Chin Chen, & Chih-Hung Tsai. 2005. An Empirical Study on The Correlation between The Knowledge Mana-gement Method and New Product Develop-ment Strategy on Product Performance in Taiwan‟s Industries, Technovation. Madiasworo, Taufan. 2011. Penataan Ruang Sebagai Basis Pengembangan Infrastruktur Perkotaan Berkelanjutan. Jakarta: KIPRAH. Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah. 2003. Tinjauan Aspek Penataan Ruang Dalam Pengelolaan Wilayah Laut dan Pesisir. Surabaya Mintzberg, H. 1994. The Rise and Fall of Strategic Planning. NY: The Free Press. New York. Mulyadi. 2005. Ekonomi Kelautan. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Muluk. 1995. Masyarakat Pesisir dan Pegelolaan Wilayah Pesisir, Kumpulan Makalah Pelatihan Sistem Ekologi dan Sosial Wilayah Pesisir, Puslit LH Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor. Bogor. Newell J, Mona Seymour, Thomas Yee, Jennifer Renteria,, Travis Longcore, Jennifer R. Wolch, Anne Shishkovsky. 2012. Green Alley Programs: Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
104
Planning for a sustainable urban infrastructure?. journal homepage: www.elsevier.com/locate/cities. Cities xxx (2012) xxx–xxx Prianto, E. 2005. Proseding Fenomena Aktual Tema Doktoral Arsitektur dan Perkotaan. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. Purba. 2002. Pengelolaan Lingkungan Sosial. Kantor Menteri Lingkungan Hidup. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Negara
Rahmat, Adipati, 2010. Jakarta Waterfront City. adipatirahmat.wordpress. com Rais, J. 1997. Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Peisisir Terpadu (Integrated Coastal Zone Planning and Management). Universitas Diponegoro. Semarang. Robert Young, E. Gregory McPherson, 2013. Governing metropolitan green infrastructure in the United States, Journal : Landscape and Urban Planning rn al h om epa ge: www.elsevier.com/locate/landurbplan. Rapoport A, 1990. The Meaning of the Built Environment: A Nonverbal Communication Approach. Tucson: University of Arizona Press. Arizona Saefullah, Asep D. 1994. Mobilitas Penduduk dan Perubahan di Pedesaan. Prisma, No. 7, Tahun XXIII, 1994. Salikin, Karwan A. 2003. Sistem Pertanian Berkelanjutan. Kanisius. Yogyakarta. Salim, Emil, 1997. Pembangunan Berwawasan Lingkungan. LP3ES. Jakarta. Siswiyanti, Yayuk dan A. Jahi. 2006. Mengembangkan Kapasitas Masyarakat Pedesaan dalam Berswasembada Energi Melalui Pendidikan: Pengembangan energi hijau (green energy) sebagai energi alternatif. Jurnal Penyuluhan Institut Pertanian Bogor, Vol. 2, (2):77-82. Suharso, Yohanes. 2014. Proses dan Dampak Urbanisasi. Jurnal Majalah Ilmiah Pawiyatan, Vol. 11 (2): 114-125. Suharti. 2000. Potret Nelayan Kenjeran. Socialforum.hyoermart.net/_cusudi/ 00000007.html. Diakses pada tanggal 5 Februari 2016. Suhartono. 2007. Kehidupan Masyarakat Pesisir. [online]. http://coastalpoverty.blogspot.com/2008/02/gambaran-kehidupanmasyarakat-pesisir.html. Tanggal akses 25 Januari 2016 Sumarmi. 2007. Perilaku Masyarahat dalarn Pelestaian Jalur Hijau di Sempidan Sungai Brantas. Malang: Lembaga Penelitian. Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
105
Sumarmi. 2009. Sekolah Hijau sebagai Alternatif Pendidikan Lingkungan Hidup dengan Menggunakan Pendekatan Ko ntelcstual. lurnal llmu Pendidikan UM. Malang: Universitas Negeri Malang. Sumarmi. 2010. Upaya Peningkatan Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau (RTH): Dipresentasikan dalam Sidang Terbuka Senat Universitas Negeri Malang Sebagai Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Geografi Lingkungan Pada Fakultas Ilmu Sosial. Malang. Suprijanto, Iwan. 2006. Karakteristik Spesifik, Permasalahan dan Potensi Pengembangan Kawasan Kota Tepi laut/Pantai (Coastal City) di Indonesia“, Proceeding - Studi Dampak Timbal Balik Antar Pembangunan Kota dan Perumahan di Indonesia dan Lingkungan Global. Tarigan, Robinson. 2008. Perencanaan Pengembangan Wilayah. Bumi Aksara. Jakarta. Tjandrasasmita, U. 2000. Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia, Menara Kudus. Kudus. Tulungen. J, Bayer. T, Dimpudus. M, Kasmidi. M, Rotinsulu. C, Sukmara. A, Tangkilisan. N. 2002. Panduan Pembentukan dan Pengelolaan Daerah Perlindungan laut Berbasis Masyarakat. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. United Nations (2012), The Future We Want, at the Rio+20 Conference, Rio de Janeiro, Brazil, 20-22 June Usman, Sunyoto. 2003. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Veron, J. 2006, L‟urbanisation du Monde, Collection reperès, Paris: la Découverte. Wilson, E & Piper, J. 2010. Spatial Planning and Climate Change, Oxon: Routledge Woolley, Tom. 1997. Green Building Handbook Volume 1. New York:E & FN Spon. Wright, H. 2011. Understanding green infrastructure: the development of a contested concept in England. Local Environment, 16, 1003–1019. Yudohusodo, Siswono. 1991. Tumbuhnya Permukiman-Permukiman Liar di Kawasan Perkotaan. JIIS Nimor 1. Jakarta.
Perencanaan Pengembangan Kota Pesisir
106
GLOSARIUM A Adaptif
: Mudah menyesuaikan (diri) dengan keadaan
Abrasi
: Pengikisan batuan oleh air, es, atau angin yang mengandung dan mengangkut hancuran bahan
Administratif
: Sebuah wilayah administratif di Indonesia yang dipimpin oleh gubernur, bupat ataupun wali kota
Adopsi
: Penerimaan suatu usul
Aglomerasi
: Perkerumunan atau pengumpulan atau pemusatan dl lokasi atau kawasan tertentu
Angin Topan
: Angin puting beliung
Antropologi
: Ilmu tentang manusia, masa lalu dan kini, yang menggambarkan manusia melalui pengetahuan ilmu sosial dan ilmu hayati (alam), dan juga humaniora.
Areal
: Wilayah geografis yang digunakan untuk keperluan khusus
B Banjir
: Peristiwa terbenamnya daratan (yang biasanya kering) karena volume air yang meningkat
Basis
: Asas, dasar
Bermukim
: Bertempat tinggal
Biota
: Keseluruhan flora dan fauna yang terdapat di dl suatu daerah
Budaya
: Sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sudah sukar diubah
Budidaya Budidaya
: Usaha yang bermanfaat dan memberi hasil : Bentuk pemeliharaan dan penangkaran berbagai
Perencanaan Pengembangan Pesisir
107
Perairan
Bupati D Daerah
Daerah Pinggiran
macam hewan atau tumbuhan perairan yang menggunakan air sebagai komponen pokoknya. : Sebutan untuk kepala daerah tingkat kabupaten.
: Kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan menurut prakarsa sendiri Daerah yang terletak di pinggir kota;
Danau
: Genangan air yang amat luas, dikelilingi daratan; telaga dan tasik
Daratan
: Tanah yang luas (sebagai lawan laut atau pulau)
Dekade
: Masa 10 tahun
Demorgrafi
: Ilmu yang mempelajari dinamika kependudukan manusia
Desa
: Kesatuan wilayah yang dihuni oleh sejumlah keluarga yang mempunyai sistem pemerintahan sendiri (dikepalai oleh seorang kepala desa)
Dinamis
: Penuh semangat dan tenaga sehingga cepat bergerak dan mudah menyesuaikan diri dng keadaan
Disonansi
: Kombinasi didengar
Drainase
: Saluran air
E Edukasi
Ekologi
bunyi
yg
dianggap
kurang
enak
: Pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan sekelompok orang yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui pengajaran : Ilmu tentang hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan (kondisi) alam sekitarnya
Perencanaan Pengembangan Pesisir
108
(lingkungannya) Ekologis
: Bersifat ekologi: menjamurnya gerakan-gerakan yg bermakna -merupakan kendala bagi laju pertumbuhan ekonomi
Ekosistem
: Keadaan khusus tempat komunitas suatu organisme hidup dan komponen organisme tidak hidup dari suatu lingkungan yang saling berinteraksi
Eksploitasi
: Politik pemanfaatan wenang
Eksplorasi
: Tindakan mencari atau melakukan penjelajahan dengan tujuan menemukan sesuat
Elemen
: Bagian (yang penting, yang dibutuhkan) dari keseluruhan yang lebih besar
Eliminasi
: Penyingkiran; pengasingan
Elite
: Kelompok kecil berderajat tinggi
Emisi
: Pemancaran cahaya, panas, atau elektron dr suatu permukaan benda padat atau cair; pemancaran
Estetika
: Mempunyai penilaian terhadap keindahan
Etnik
: Suatu golongan manusia yang anggota-anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya
yang
orang-orang
secara
sewenang-
terpandang
atau
F Fauna
: Keseluruhan kehidupan hewan suatu daerah, atau strata geologi tertentu.
Finansial
: Mengenai (urusan) keuangan
Fisiologi
: Cabang biologi yang berkaitan dengan fungsi dan kegiatan kehidupan atau zat hidup
Flora
: Keseluruhan kehidupan jenis tumbuh-tumbuhan
Perencanaan Pengembangan Pesisir
habitat,
109
suatu habitat, daerah, atau strata geologi tertentu; alam tumbuh-tumbuhan Fosil
: Sisa tulang belulang binatang atau sisa tumbuhan zaman purba yang telah membatu dan tertanam di bawah lapisan tanah
Fundamental
: Bersifat dasar (pokok); mendasar
G Garis Pantai
Geografis Governance
Gubernur
: Garis yang memisahkan pantai dari daratan yang mencakup teluk, tetapi memotong lurus muara sungai dan teluk sempit; : Bersangkut-paut dng geografi : Gerakan penyatuan pelaku-pelaku politik lintas negara yang bertujuan mencari solusi bagi permasalahan yang dialami beberapa negara atau kawasan : Jabatan politik di Indonesia. Gubernur merupakan kepala daerah untuk wilayah provinsi.
H Habitat
: Tempat tinggal khas bagi seseorang atau kelompok masyarakat atau makhluk hidup lainnya.
Hakiki
: Sesungguhnya
Harmonisasi
: Pengharmonisan ; upaya mencari keselarasan
Hidrologi
: Cabang ilmu geografi yang mempelajari pergerakan, distribusi, dan kualitas air di seluruh bumi, termasuk siklus hidrologi dan sumber daya air
Hilir
: Daerah sepanjang bagian muara sungai (daerah pesisir) : Daerah hulu sungai; daerah pedalaman
Hulu Hunian
: Tempat tinggal; kediaman (yang dihuni): masyarakat mengharapkan perumahan yang nyaman dan amansebagai kawasan
Perencanaan Pengembangan Pesisir
110
I Iklim
: Kondisi rata-rata cuaca berdasarkan waktu yang panjang untuk suatu lokasi di bumi atau planet lain
Industri
: Kegiatan memproses atau mengolah barang dengan menggunakan sarana dan peralatan
Infrastruktur
: Prasarana
Inovatif
: Bersifat memperkenalkan sesuatu yang baru
Integrasi
: Pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat
Intelektualitas
: Totalitas pengertian atau kesadaran, terutama yang menyangkut pemikiran dan pemahaman
Intensif
: Secara sungguh-sungguh dan terus menerus dalam mengerjakan sesuatu hingga memperoleh hasil yang optimal
Investasi
: Pembelian (dan produksi) dari modal barang yang tidak dikonsumsi tetapi digunakan untuk produksi yang akan dating
Irigasi
: Upaya yang dilakukan manusia untuk mengairi lahan pertanian.
Islamisasi
: Pengislaman
J Jasa
: Aktivitas, kemudahan, manfaat, dan sebagainya yang dapat dijual kepada orang lain (konsumen) yang menggunakan atau menikmatinya;
K Kabupaten
: Pembagian wilayah administratif di Indonesia setelah provinsi, yang dipimpin oleh seorang bupati
Perencanaan Pengembangan Pesisir
111
Kawasan
: Daerah tertentu yang mempunyai ciri tertentu, seperti tempat tinggal, pertokoan, industri dan lainlain
Keahlian
: Kemahiran pekerjaan)
dalam
suatu
ilmu
(kepandaian,
Keanekaragaman : Hal atau keadaan beraneka ragam Kebudayaan
: Perubahan dalam unsur kebudayaan yang menyebabkan unsur itu dapat berfungsi lebih baik bagi manusia yang mendukungnya;
Kedaulatan
: Suatu hak eksklusif untuk menguasai suatu wilayah pemerintahan dan masyarakat
Kepulauan
: Rantai atau gugus kumpulan dari pulau-pulau
Kerentanan
: Menghasilkan akibat yg tidak dapat diduga
Kolonial
: Berhubungan dengan sifat jajahan
Kompetitif
: Berhubungan dng kompetisi (persaingan)
Komprehensif
: Bersifat mampu menangkap (menerima) dng baik
Komunitas
: Kelompok organism yang hidup dan saling berinteraksi di dalam daerah tertentu; masyarakat; paguyuban
Konservasi
: Pemeliharaan dan perlindungan sesuatu secara teratur untuk mencegah kerusakan dan kemusnahan dengan jalan mengawetkan; pengawetan; pelestarian;
Konstruktif
: Bersifat membina, memperbaiki, membangun, dan sebagainya
Kontemporer
: Pada waktu yang sama; semasa; sewaktu; pada masa kini
Kontinu
: Berkesinambungan ; berkelanjutan; terus-menerus
Perencanaan Pengembangan Pesisir
112
Konvensional
: Berdasarkan konvensi (kesepakatan) umum
Konversi
: Perubahan dari satu sistem pengetahuan ke sistem yang lain
Kota
: Kawasan pemukiman yang secara fisik ditunjukkan oleh kumpulan rumah-rumah yang mendominasi tata ruangnya dan memiliki berbagai fasilitas
Kreatifitas
: Proses mental yang melibatkan pemunculan gagasan atau anggitan (concept) baru, atau hubungan baru antara gagasan dan anggitan yang sudah ada.
Kumuh
: Cemar (tentang wilayah, kampung)
L Lahan
: Tanah terbuka; tanah garapan
Lamban
: Tidak cekatan
Laut
: Kumpulan air asin (dalam jumlah yang banyak dan luas) yang menggenangi dan membagi daratan atas benua atau pulau
Lautan
: Laut yang sangat luas ; samudra
Limbah
: Sisa proses produksi
Lingkungan
: Kombinasi antara kondisi fisik yang mencakup keadaan sumber daya alam
M Masyarakat
: Sekelompok orang sistem semi tertutup
Migrasi
: Perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat lain untuk menetap
Mobilitas
: Gerak perubahan yang terjadi di antara warga masyarakat, baik secara fisik maupun secara sosial
Perencanaan Pengembangan Pesisir
yang
membentuk
sebuah
113
Monitoring
: Pengawasan dan tindakan kebenaran operasi suatu program
memverifikasi
Muara
: Wilayah badan air tempat masuknya satu atau lebih sungai ke laut, samudra, danau, bendungan, atau bahkan sungai lain yang lebih besar
N Nelayan
: Istilah bagi orang-orang yang sehari-harinya bekerja menangkap ikan atau hewan laut lainnya yang hidup di dasar,maupun permukaan perairan.
Norma
: Patokan perilaku masyarakat tertentu.
dalam
suatu
kelompok
O Organisasi
: Kesatuan (susunan dan sebagainya) yang terdiri atas bagian-bagian (orang dan sebagainya) dalam perkumpulan dan sebagainya untuk tujuan tertentu
Otonomi
: Hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan
P Pantai
: Perbatasan daratan dengan laut atau massa air lainnya dan bagian yang dapat pengaruh dari air
Partisipasi
: Suatu keterlibatan mental dan emosi seseorang kepada pencapaian tujuan dan ikut bertanggung jawab di dalamnya
Pasang Surut
: Naik atau turunnya posisi permukaan perairan atau samudera yang disebabkan oleh pengaruh gaya gravitasi bulan dan matahari
Pasca
: Sesudah
Perencanaan Pengembangan Pesisir
114
Pedalaman
: Daerah terpencilyang terletak jauh dari kota dan kurang berhubungan dengan dunia luar
Pelabuhan
: Sebuah fasilitas di ujung samudera, sungai, atau danau untuk menerima kapal dan memindahkan barang kargo maupun penumpang ke dalamnya.
Pemerintah
: Organisasi yang memiliki kekuasaan untuk membuat dan menerapkan hukum serta undangundang di wilayah tertentu
Pemukiman
: Bagian kota wilayah besar yang khusus digunakan untuk tempat tinggal penduduk;
Penataan
: Proses, cara, perbuatan menata; pengaturan; penyusunan
Pencemaran
: Produksi yang tidak dinginkkan
Penduduk
: Orang yang secara hukum berhak tinggal di daerah tersebut
Penimbunan
: Proses, cara, perbuatan menimbun; pengumpulan
Penjelajahan
: Proses, cara, perbuatan menjelajahi
Perairan
: Suatu kumpulan massa air pada suatu wilayah tertentu, baik yang bersifat dinamis (bergerak atau mengalir) seperti laut dan sungai maupun statis (tergenang)
Perbatasan
: Daerah di sepanjang batas dua negara;
Perdagangan
: Kegiatan tukar menukar barang atau jasa atau keduanya yang berdasarkan kesepakatan bersama bukan pemaksaan
Perikanan
: Kegiatan manusia yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hayati perairan.
Perikanan Budidaya
: Salah satu bentuk budi daya perairan yang khusus membudidayakan ikan di tangki atau ruang tertutup
Perencanaan Pengembangan Pesisir
115
Perikanan Tangkap
: Usaha penangkapan ikan dan organisme air lainnya di alam liar
Periodisasi
: Pembagian menurut zamannya
Perkotaan
: Wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman
Permukiman
: Bagian wilayah besar yang khusus digunakan untuk tempat tinggal penduduk;
Pertanian
: Daerah yang digunakan untuk bercocok tanam dengan atau tanpa pengairan
Perubahan Sosial : Perubahan - perubahan yang terjadi pada lembagalembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat yang memengaruhi sistem sosialnya, Pesisir
: Daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut
Petani
: Seseorang yang bergerak di bidang pertanian
Polemik
: Perdebatan mengenai suatu masalah dikemukakan secara terbuka dl media massa
Politik
: Proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan
Populasi
: Kumpulan individu sejenis yang berada pada wilayah tertentu dan pada waktu yang tertentu pula
Postulat
: Asumsi yang menjadi pangkal dalil yg dianggap benar tanpa perlu membuktikannya;
Potensi
: Kemampuan yang mempunyai kemungkinan untuk dikembangkan; kekuatan; kesanggupan; daya;
Perencanaan Pengembangan Pesisir
yg
116
Preservasi
: Konservasi Lingkungan Hidup
Prioritas
: Diutamakan daripada yang lain
Produksi
: Suatu kegiatan yang dikerjakan untuk menambah nilai guna suatu benda atau menciptakan benda baru sehingga lebih bermanfaat dalam memenuhi kebutuhan
Provinsi
: Suatu satuan teritorial, seringnya dijadikan nama sebuah wilayah administratif pemerintahan di bawah wilayah negara atau negara bagian
R Reklamasi
: Usaha memperluas tanah (pertanian) dengan memanfaatkan daerah yang semula tidak berguna
Relevan
: Berguna secara langsung
Rentetan
: Rangkaian
Ruang Terbuka Hijau
: Suatu bentuk pemanfaatan lahan pada satu kawasan yang diperuntukan untuk penghijauan tanaman
S Sampah
: Material sisa yang tidak berakhirnya suatu proses
Sanitasi
: Usaha untuk membina dan menciptakan suatu keadaan yang baik di bidang kesehatan, terutama kesehatan masyarakat
Sektoral
: Terbagi dalam sektor
Sempadan
: Tanda batas
Sinergis
: Berkenaan dengan sinergi
Sosiologi
: Ilmu pengetahuan tentang masyarakat.
Stakeholders
: Pemangku kepentingan
Perencanaan Pengembangan Pesisir
diinginkan
setelah
117
sumber Daya
: Suatu nilai potensi yang dimiliki oleh suatu materi atau unsur tertentu dalam kehidupan
Sungai
: Aliran air yang besar dan memanjang yang mengalir secara terus-menerus dari hulu (sumber) menuju hilir (muara).
T Tata Informasi
: Pesan (ucapan atau ekspresi) atau kumpulan pesan yang terdiri dari order sekuens dari simbol, atau makna yang dapat ditafsirkan dari pesan atau kumpulan pesan
Teknologi
: Keseluruhan sarana untuk menyediakan barangbarang yang diperlukan bagi kelangsungan, dan kenyamanan hidup manusia.
Teluk
: Tubuh perairan yang menjorok ke daratan dan dibatasi oleh daratan pada ketiga sisinya.
Tenaga Kerja
: Setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat
Topografi
: Keadaan muka bumi pada suatu kawasan atau daerah
Transmigrasi
: Suatu program yang dibuat oleh pemerintah Indonesia untuk memindahkan penduduk dari suatu daerah yang padat penduduk (kota) ke daerah lain (desa) di dalam wilayah Indonesia
Transportasi
: Perpindahan manusia atau barang dari satu tempat ke tempat lainnya dengan menggunakan sebuah kendaraan yang digerakkan oleh manusia atau mesin.
U Urbanisasi
: Perpindahan penduduk dari desa ke kota.
Perencanaan Pengembangan Pesisir
118
V Visualisasi
: Pengungkapan suatu gagasan atau perasaan dengan menggunakan bentuk gambar, tulisan (kata dan angka), peta, grafik, dan sebagainya
W Waduk
: Danau alam atau danau buatan, kolam penyimpan atau pembendungan sungai yang bertujuan untuk menyimpan air
Walikota
: Merujuk kepada seorang politikus yang bertindak sebagai pemimpin sebuah kota.
Wilayah
Wilayah Pesisir
Sebuah daerah yang dikuasai teritorial dari sebuah kedaulatan
atau
menjadi
: Wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang saling berinteraksi, di mana ke arah laut 12 mil dari garis pantai untuk provinsi
Z Zonasi
: Pembagian atau pemecahan suatu areal menjadi beberapa bagian, sesuai dengan fungsi dan tujuan pengelolaan
Perencanaan Pengembangan Pesisir
119