Executive Summary Masalah tingkat kesejahteraan masyarakat dan faktor penyebabnya di sekitar perusahaan BP menjadi isu yang krusial. Keberadaan BP Indonesia di Kawasan Teluk Bintuni selama satu dekade melalui program sosial yang dilaksanakan telah membawa perubahan-perubahan positif yang sistematis dan terstruktur pada kondisi fisik, sosial, dan ekonomi, infrastruktur, sarana dan prasarana di wilayah sekitar. Perubahan positif telah terlihat pada tiga hal pokok, yaitu perubahan pendapatan kampung ke arah lebih baik yang didukung melalui data terbaru secara periodik. Kedua, terjadi dinamika , pekerjaan utama dan aktivitas kehidupan penduduk dan ketiga, perubahan status kesejahteraan penduduk kampung yang lebih baik. Terjadi peningkatan jumlah penduduk pada tahun 20092012 di tiap kampung (kecuali Kampung Rejosari) menurut data hasil proyeksi. Namun demikian, jumlah penduduk Kampung Rejosari pada tahun 2009-2012 justru mengalami penurunan salah satunya disebabkan karena adanya bencana kebakaran yang cukup besar melanda kampung. Rasio jenis kelamin penduduk menurut data hasil survey tahun 2012 adalah sebesar 110,8 yang menunjukkan bahwa jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penduduk perempuan. Apabila dilihat berdasarkan wilayah kajian, jumlah penduduk laki-laki wilayah NonDAV’s lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penduduk perempuan yang ditunjukkan dengan angka rasio jenis kelamin sebesar 122,9. Sementara itu, jumlah penduduk
perempuan di wilayah Babo lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penduduk laki-laki yang ditunjukkan dengan angka rasio jenis kelamin sebesar 103,4. Banyaknya migran masuk laki-laki ke wilayah Non-DAV’s menjadi salah satu penyebabnya. Dari segi penguasaan tempat tinggal, penduduk indigenous dan non indigenous mayoritas rumahnya berstatus milik sendiri. Terdapat penduduk yang sewa/ kontrak, tinggal di rumah saudara/famili maupun orang tua terutama penduduk non indigenous dan pada umumnya mereka adalah migran. Wilayah Babo menduduki posisi tertinggi dalam hal jumlah pendatang yang ditunjukkan dengan status kepemilikan rumah sewa atau kontrak sebesar 17,6 persen, lebih banyak dibandingkan dengan wilayah yang lain. Sebanyak 29,4 persen rumah yang ditempati merupakan rumah dinas atau rumah milik kampung. Akibat keterjangkauan listrik PLN yang masih rendah, sumber penerangan mayoritas rumah tangga, baik penduduk indigenous maupun non indigenous di wilayah Babo dan Non DAV’s adalah lentera/pelita. Sementara itu, di DAV’s wilayah Selatan dan DAV’s wilayah Utara, mayoritas menggunakan sumber penerangan generator kampung. Terdapat 93,3 persen penduduk indigenous di wilayah Selatan yang menggunakan generator kampung sebagai sumber penerangan. Selain aspek konsumsi energi untuk penerangan, perhatian pola konsumsi energi untuk memasak penting dilakukan. Dalam wilayah kajian, kayu bakar masih merupakan pilihan sumber bahan bakar memasak. Terdapat 90,7 persen rumah tangga masyarakat menggunakan kayu sebagai bahan bakar untuk memasak. Penggunaan kayu bakar ini didukung oleh ketersediaan sumber daya alam yang ada.
Rata-rata tahun sekolah (Mean Years of Schooling/ MYRS) yang menunjukkan lamanya penduduk berada di bangku sekolah yang dinyatakan dalam tahun masih relatif rendah, di bawah angka nasional 5,8 tahun. Sebagai referensi, angka di Yogyakarta tahun 2012 sebesar 8,8 tahun. Ratarata tahun sekolah indigenous people adalah 5,01 dan non indigenous 6,01. Rata-rata lama sekolah penduduk masih dibawah 6 tahun atau berarti belum semua penduduk usia sekolah terentaskan pendidikan dasar yaitu sekolah dasar. Rata-rata lama sekolah penduduk indigenous 5,01 sedangkan penduduk non indigenous 6,01. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan penduduk indigenous lebih rendah dibandingkan dengan pendidikan non indigenous. Hal tersebut mengingat para pendatang pada umumnya telah menamatkan pendidikan dasar di daerah asal. Gambaran pendidikan dilihat dari angka partisipasi sekolah (APS) menunjukkan bahwa Angka Partisipasi Sekolah (APS) anak usia 7-12 tahun (SD) di wilayah kajian pada tahun 2012 persentase anak usia 7-12 tahun yang tidak sekolah pada tahun 2012 lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2011. Rendahnya partisipasi sekolah terkait dengan keberadaan tenaga pendidikan yang tidak optimal disekolah. Beberapa pendidik sering absen dalam waktu yang cukup lama, sehingga kesempatan belajar siswa menjadi hilang. Kemampuan membaca dan menulis secara berturutturut di Wilayah Babo sebesar 90,9 persen, Wilayah Non DAV’s adalah 91,0 persen, Wilayah Utara 79,5 persen dan Wilayah Selatan 80,8 persen. Kondisi ini didasarkan pada pengakuan kemampuan membaca dan menulis. Beberapa penduduk yang mengaku memiliki kemampuan membaca, ketika dilakukan test tidak secara lancar membaca soal yang diberikan. Beberapa anak yang sedang menempuh pendidikan sekolah dasar kelas 4 belum memiliki kemampuan membaca.
Jumlah penduduk usia kerja (15 tahun keatas) yang bekerja masih di bawah 40 persen. Sementara itu, jumlah penduduk non indigenous yang bekerja lebih banyak dibandingkan dengan indigenous. Migran di wilayah DAV’s Selatan dan DAV’s Utara banyak mengembangkan usaha perdagangan. Apabila penduduk pendatang bekerja pada sektor perdagangan dan jasa, maka penduduk indigenous pada umumnya bekerja sebagai nelayan, baik nelayan udang maupun nelayan ikan. Nelayan udang dari Taroy dan Weriagar, nelayan Kakap Merah dari Onar dan nelayan kepiting dari Babo. Mereka bekerja secara mandiri maupun bekerja dengan dibantu anggota keluarga yang lain. Pendapatan rata-rata selama tiga periode survei (2009, 2011 dan 2012) mengalami peningkatan. Pola yang sama juga terjadi untuk pendapatan perkapita. Pada tahun 20092011 terjadi peningkatan pendapatan rata-rata pada hampir seluruh jenis pekerjaan dan wilayah. Pada tahun 2011 pendapatan rata-rata dibagi dalam delapan sektor pekerjaan, yaitu perikanan, pertanian, pedagang/UKM, Karyawan LNG Tangguh, PNS/TNI/Polri/Jasa/Swasta, karyawan swasta. DAV’s Utara pendapatan rata-ratanya lebih tinggi dari DAV’s Selatan pada sektor pekerjaan perikanan, pertanian, dan pedagadang/UKM. Sedangkan DAV’s Selatan pendapatan rata-ratanya lebih tinggi dibandingkan Utara pada sektor pekerjaan sebagai karyawan LNG Tangguh, PNS/TNI/Polri/Jasa/Swasta, karyawan swasta dan buruh/ jasa. Selanjutnya, Pada tahun 2012 pendapatan rata-rata dibagi menjadi 16 sektor pekerjaan, dan dipisahkan antara indigenous dan non indigenous. Rata-rata pengeluaran rumah tangga masih didominasi oleh pengeluaran pangan. Hal ini terjadi baik untuk penduduk indigenous maupun non indigenous. Rumah tangga di DAV’s kawasan Selatan pengeluaran untuk pangan bagi penduduk
indigenous hampir tiga kali lipat pengeluaran non pangan, sementara untuk DAV’s wilayah Utara tidak sampai dua kali lipat. Perbedaan sarana fasilitas pendidikan dan berkembangnya sektor perdagangan di DAV’s wilayah Utara dapat digunakan sebagai salah satu penjelas kondisi tersebut. Rata-rata pengeluaran pangan untuk non indigenous lebih besar di bandingkan dengan penduduk indigenous, kecuali di wilayah Utara. Hampir semua kebutuhan pangan untuk pendatang diperoleh dengan cara membeli merupakan hal yang dapat digunakan untuk menjelaskan kondisi tersebut. Namun demikian mengapa penduduk asli di wilayah Utara memiliki pengeluaran makan yang lebih besar dibandingkan dengan penduduk pendatang. Hal ini disebabkan, konsep pengeluaran pangan yang dimaksud dalam kajian ini tidak hanya sebatas makan dan minum, melainkan semua yang dikonsumsi baik berupa makanan maupun minuman. Rata-rata pendapatan perkapita dari rumah tangga, tertinggi ada di wilayah Babo, diikuti dengan DAVs wilayah Utara, wilayah Non DAV’s dan DAV’s Selatan. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan secara umum masyarakat di Babo lebih tinggi dari yang lainnya.Terkait dengan perbedaan status indigenous dan non indigenous maka secara umum rumah tangga Non Indigenous memiliki tingkat pendapatan perkapita lebih tinggi daripada indigenous kecuali di wilayah Babo. Selisih antara pendapatan dengan pengeluaran, secara umum nilai selisih tersebut, di semua wilayah baik untuk indigenous dan non indigenous angkanya positif. Selisih pendapatan untuk wilayah Babo tertinggi pada angka 2,6 juta perbulan, diikuti dengan wilayah Utara sebesar 3,4 juta dan terkecil di wilayah Selatan 1,06 juta. Hal yang menarik adalah selisih pendapatan penduduk indigenous cenderung lebih tinggi dari penduduk non indigenous, padahal dari
sisi pendapatan perkapitanya berlaku kebalikan. Hal ini menjadi indikator bahwa pengeluaran indigenous lebih rendah dari pengeluaran non indigenous sehingga selisihnya lebih tinggi. Secara keseluruhan perkembangan ekonomi masyarakat di kawasan Teluk Bintuni secara signifikan meningkat dari tahun ke tahun. Baik dari sisi pendapatan perkapita, pengeluaran perkapita, maupun selisih antara pendapatan dengan pengeluaran cenderung meningkat sejak tahun 2009 sampai tahun 2012. Terjadi perubahan tingkat pendapatan perkapita yang nyata, yaitu sekitar 3,7 kali lipat, untuk rumah tangga di DAV’s kawasan Utara dari tahun 2009 sampai tahun 2012. Sementara untuk rumah tangga di DAV’s kawasan Selatan, perubahan pendapatan perkapita di DAV’s Selatan justru lebih tinggi, yaitu sekitar 4,3 kali lipat pada periode yang sama. Peningkatan kesejahteraan juga dapat dilihat secara nyata dari peningkatan tabungan (baca: selisih antara pendapatan dengan pengeluaran). Tabungan mengalami kenaikan yang nyata sejak tahun 2009 sampai tahun 2012 baik di kawasan Utara maupun Selatan dengan peningkatan yang lebih tinggi daripada angka peningkatan pendapatan perkapita. Tabungan di wilayah Utara meningkat 5,4 kali lipat pada periode 2009 – 2012 dan untuk wilayah Selatan 5,1 kali lipat. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan kesejahteraan secara umum pada masyarakat di kawasan Teluk Bintuni dengan keberadaan BP Indonesia di kawasan tersebut.