BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Keadaan Umum Tempat Penelitian
4.1.1
Letak Geografis Kecamatan Pasekan merupakan salah satu dari 31 kecamatan yang ada di
Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Kecamatan ini termasuk salah satu Kecamatan yang baru berdiri, yaitu sekitar awal tahun 2006. Pembentukan Kecamatan Pasekan berdasarkan Perda No. 1 Tahun 2005 yang terdiri dari 6 Desa, yaitu Pagirikan, Pasekan, Brondong, Pabeanilir, Totoran dan Karanganyar dengan batas-batas wilayah sebagai berikut : Sebelah Barat
: Kecamatan Cantigi
Sebelah Timur
: Laut Jawa
Sebelah Selatan
: Kecamatan Sindang dan Kecamatan Indramayu
Sebelah Utara
: Laut Jawa
Kondisi geografis Kecamatan Pasekan berada pada ketinggian ± 2 m di atas permukaan laut. Curah hujan mencapai 2.000 mm/tahun dan jumlah hari dengan curah hujan terbanyak mencapai 45 hari. Suhu berkisar antara 21ºC-30ºC. Tipologi Kecamatan Pasekan pada umumnya merupakan daerah pesisir/pantai dengan bentuk wilayah datar berombak (Pasekan dalam angka 2012).
4.1.2
Kependudukan Jumlah penduduk di Kecamatan Pasekan pada tahun 2011 adalah 27.453
jiwa dengan 7.991 kepala keluarga. Jumlah penduduk berdasarkan jenis dapat dilihat pada Tabel 5 berikut: Tabel 5. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin Di Kecamatan Pasekan. Jenis Kelamin Jumlah (Orang) 13.933 Laki-laki 13.520 Perempuan 27.453 Total Sumber : Pasekan dalam angka 2012.
33
34
Masyarakat di Kecamatan pasekan sebagian besar memiliki mata pencaharian sebagai petani yaitu sebanyak 1.846 jiwa, petani yang dimaksud tersebut adalah orang yang bekerja bercocok tanam padi dan orang yang bekerja mengelola perikanan (pembudidaya). Luas wilayah kecamatan ini adalah 73km2 pada tahun 2012 dimana sebagian besar pemanfaatan lahan tersebut digunakan untuk budidaya perikanan (Tabel 6). Tabel 6. Pemanfaatan Lahan Dalam Sektor Perikanan di Kecamatan Pasekan. Komoditas Luas Lahan Hasil per Ha Produksi (Ha) (Kw/Ha) (Kw) 3.000 10 30.000 Bandeng 1.315 3 3.945 Udang Windu 3.000 0,5 1.500 Mujaer 10 40 400 Ikan Mas Sumber : Pasekan dalam angka 2012.
4.2
Karakteristik Pembudidaya Pembudidaya di Kecamatan Pasekan terbagi atas kelompok-kelompok
budidaya, dimana dalam satu kelompok tersebut terdapat ketua, sekretaris dan anggota yang berjumlah 10 hingga 30 orang pembudidaya, namun ada pula pembudidaya yang tidak memiliki kelompok. Keuntungan dari pembentukan kelompok ini adalah apabila pemeritah Kabupaten Indramayu mendapatkan bantuan dalam bidang perikanan, maka kelompok-kelompok tersebut yang akan diberikan bantuan secara langsung melaui ketua anggota dan bagi yang tidak memiliki kelompok tidak mendapatkan bantuan. Nama dari kelompok budidaya bandeng di Kecamatan Pasekan adalah Timbul jaya, Makmur lestari, Udang jaya, Sayun jaya, Mina pancer, dan Mina Langgeng.
4.2.1
Karakteristik Tingkat Umur Struktur umur menurut analisis demografi penduduk dibedakan menjadi
tiga kelompok, yaitu (a) kelompok umur muda, dibawah 15 tahun; (b) kelompok umur produktif, usia 15 – 64 tahun; dan (c) kelompok umur tua, usia 65 tahun ke atas. Struktur umur penduduk dikatakan muda apabila proporsi penduduk umur
35
muda sebanyak 40% atau lebih sementara kelompok umur tua kurang atau sama dengan 5%. Sebaliknya suatu struktur umur penduduk dikatakan tua apabila kelompok umur mudanya sebanyak 30% atau kurang sementara kelompok umur tuanya lebih besar atau sama dengan 10% (Tjiptoherijanto 2001). Tingkatan umur pembudidaya di Kecamatan Pasekan rata rata 39,52 tahun dengan kisaran antara 25 sampai 60 tahun (Gambar 3), usia tersebut tergolong dalam usia produktif untuk melakukan suatu kegiatan usaha. Usia produktif dalam hal ini berarti fase dimana seseorang telah telah mampu melaksanakan produksi dari segi ekonomi guna memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri maupun orang lain. 70 Responden (Orang)
60 50 40 30 20 10 0 25-34
35-44
45-54
55-64
Umur (Tahun)
Gambar 3. Karakteristik tingkat umur responden.
Presentase karakteristik tingkat umur pembudidaya bandeng Kecamataan Pasekan pada Gambar 3, menunjukkan bahwa sebagian besar tingkatan umur pembudidaya bandeng berada pada kisaran 35-44 tahun yaitu sebanyak 63%, Sedangkan kisaran umur terendah adalah 55-64 tahun dengan presentase 3%. Rendahnya responden pada kisaran umur 55-64 tahun disebabkan karena pada usia ini para pembudiya memiliki kondisi fisik yang kurang memadai untuk melakukan kegiatan budidaya, seperti halnya gampang terserang penyakit dan keterbatasan tenaga, sehingga kegiatan budidaya tersebut biasaya akan dilanjutkan oleh anak-anaknya yang lebih muda.
36
4.2.2
Karakteristik Tingkat Pendidikan Salah satu indikator penting dalam pertumbuhan ekonomi adalah tingkat
pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu modal dasar manusia yang harus dipenuhi untuk mencapai pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Sektor pendidikan memainkan peran utama untuk membentuk kemampuan sebuah negara berkembang untuk menyerap teknologi modern dan mengembangkan kapasitas produksi agar tercipta pertumbuhan serta pembangunan yang berkelanjutan (Todaro 2006). Pendidikan merupakan suatu proses yang dipakai individu untuk memperoleh pengetahuan atau wawasan, dan mengembangkan sikap ataupun ketrampilan. Pendidikan juga berarti segala perbuatan yang etis, kreatif, sistematis, dan intensional, dibantu oleh metode dan teknik ilmiah, diarahkan pada pencapaian tujuan pendidikan tertentu (Kartono 1977). Pendidikan diyakini sangat berpengaruh terhadap kecakapan, tingkah laku dan sikap seseorang, dan hal ini semestinya terkait dengan tingkat pandapatan seseorang. Artinya secara rata-rata makin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka makin memungkinkan orang tersebut memperoleh pendapatan yang lebih tinggi. Selain itu pendidikan juga berpengaruh terhadap sikap dan perilaku sehingga terkait dengan kehidupan sehari-hari. Orang yang memiliki pendidikan lebih tinggi lebih bermanfaat karena baik dengan sengaja maupun tidak sengaja menyebarluaskan pengetahuannya sewaktu mereka bergaul dalam masyarakat dan juga lebih mudah memahami sikap orang lain sehingga lebih menciptakan kerukunan di dalam kehidupan bermasyarakat (Taringan 2006). Tingkat pendidikan yang pernah dialami oleh pembudidaya bandeng di Kecamatan Pasekan tergolong masih sangat rendah, hal ini dapat dilihat dari dominasi jumlah responden yang hanya lulusan sekolah dasar (SD) (Gambar 4). Jumlah pembudidaya bandeng berpendidikan SD sebanyak 66% dari total pembudidaya, sementara SMP dan SMA masing-masing hanya 14 dan 17%.
37
1% 2%
17% SD SMP
14%
SMA 66%
D3 S1
Gambar 4. Karakteristik tingkat pendidikan responden.
Presentase karakteristik tingkat pendidikan pembudidaya bandeng Kecamatan Pasekan pada Gambar 4 menunjukkan bahwa 66% tingkat pendidikan adalah sekolah dasar (SD). Tingginya Presentase pada tingkat pendidikan tersebut disebabkan karena keterbatasan biaya untuk pendidikan serta kurangnya kesadaran akan pentingnya pendidikan yang akan berpengaruh terhadap cara berfikir serta kemampuan konseptual dalam usaha budidaya pembesaran bandeng. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Atmanti (2005) yang menyatakan bahwa pendidikan merupakan salah satu investasi non fisik dimana tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan dapat menjamin perbaikan yang terus berlangsung dalam tingkat teknologi yang digunakan masyarakat, serta pendidikan merupakan bagian dari modal insani (human capital) yang berperan dalam peningkatan produktivitas seseorang.
4.2.3
Karakteristik Lama Pengalaman Budidaya Bandeng Pengalaman adalah sebagai suatu ukuran tentang lama waktu atau masa
kerjanya yang telah ditempuh seseorang dalam memahami tugas–tugas suatu pekerjaan dan telah melaksanakannya dengan baik (Foster 2001). Pengalaman kerja berkaitan dengan kemampuan dan kecakapan dalam melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya. Pengalaman tidak hanya ditinjau dari keterampilan,
38
keahlian, dan kemampuan yang dimiliki saja, akan tetapi dapat dilihat dari pengalaman seseorang yang telah bekerja atau lamanya bekerja pada suatu bidang pekerjaan. Semakin banyak pengalaman yang dimiliki akan semakin terampil dalam menjalankan pekerjaannya. Faktor- faktor yang dapat mempengaruhi pengalaman kerja seseorang adalah waktu, frekuensi, jenis, tugas, penerapan, dan hasil (Djauzak 2004). Kegiatan usaha budidaya ikan bandeng yang dilakukan oleh masyarakat di Kecamatan Pasekan telah dimulai lebih dari 30 tahun yang lalu. Hal ini terlihat dari salah satu responden yang telah melakukan budidaya lebih dari 30 tahun lamanya. Rata-rata lama pengalaman budidaya dari keseluruhan responden adalah 9,36 tahun. Adapun presentase tingkat lama pengalaman budidaya bandeng di Kecamatan Pasekan dapat dilihat pada Gambar 5. 1%
4%
4% 2-6 41%
21%
7-11 12-16 17-21
29%
22-26 27-31
Gambar 5. Karakteristik lama pengalaman budidaya.
Presentase pengalaman budidaya bandeng di Kecamatan Pasekan pada Gambar 5 diatas menunjukkan bahwa presentase tertinggi pembudidaya dengan kisaran pengalaman 2-6 tahun, ini berarti bahwa pembudidaya di Kecamatan Pasekan sebagian besar baru mulai menjalankan usaha budidaya bandeng. Hal ini dikarenakan bandeng merupakan komoditas yang paling digemari di Jawa sehingga permintaan ikan bandeng semakin meningkat (Mansyur et al. 2000) yang menyebabkan sebagian masyarakat tertarik dan mulai menggeluti usaha budidaya bandeng.
39
4.3
Keadaan Umum Usaha Budidaya Bandeng
4.3.1
Luas Lahan Luas lahan budidaya bandeng di Kecamatan Pasekan berkisar antara 1
hingga 15 Ha (Tabel 7). Luas lahan yang dimiliki pembudidaya seluruhnya adalah milik pribadi, sehingga tidak ada biaya yang dikeluarkan untuk sewa lahan. Tabel 7. Jumlah responden menurut luas lahan. No.
Luas Tambak (Ha)
1 2 3
1-5 6-10 11-15 Total
Jumlah (Responden) 74 17 4 95
Presentase (%) 78 18 4 100
Mayoritas pembudidaya bandeng memiliki luas tambak 1–5 Ha, dimana jumlah reponden pada kisaran ini adalah sebanyak 74 orang. Peringkat terendah adalah pada kisaran luas tambak 11 – 15 Ha. Minimnya jumlah responden pada kisaran 11-15 Ha dikarenakan hanya sebagian kecil masyarakat yang memiliki modal besar untuk mengelola tambak, dimana semakin luas tambak yang dimiliki, maka semakin tinggi biaya produksi yang dikeluarkan. Zulmi (2011) menyatakan bahwa semakin tinggi luas lahan maka produksi yang dihasilkan semakin tinggi, sebaliknya semakin rendah luas lahan maka produksi yang dihasilkan semakin rendah.
4.3.2
Benih
1.
Padat Tebar Padat penebaran benih pada budidaya pembesaran bandeng di Kecamatan
Pasekan berkisar antara 1.000 sampai 10.000 ekor tiap hektarnya, hal ini disesuaikan dengan modal yang dimiliki serta luas lahan yang dimiliki pembudidaya. Adapun jumlah serta presentase padat tebar dapat dilihat pada Tabel 8 di bawah ini.
40
Tabel 8. Jumlah Responden Menurut Padat Tebar. No. 1 2
Padat Tebar (Ekor/Ha) < 5.000 > 5.000 Total
Jumlah (Orang) 33 62 95
Tabel 8 diatas menunjukkan bahwa sebagian besar pembudidaya menerapkan padat tebar dengan kisaran > 5.000ekor/Ha, hal ini menunjukkan bahwa budidaya pembesaran bandeng di Kecamatan Pasekan adalah sistem intensif. Hal ini sesuai dengan SNI 7309;2009 tentang produksi bandeng ukuran konsumsi secara intensif ditambak dimana padat penebaranya adalah 5-10ekor/m2 (5.000-100.000ekor/Ha), namun pada kenyataannya mayoritas pembudidaya masih bergantung pada pakan alami, sehingga dapat dikatakan budidaya masih bersifat semi intensif. Hal ini didukung oleh pernyataan Kadarini (2012) yang menyatakan bahwa budidaya semi intensif ditandai dengan padat tebar rendah dan masih mengandalkan pakan di lingkungannya (pakan alami) yang dilakukan di tambak karena biasanya akan tumbuh plankton sebagai pakan alami untuk ikan. Pada padat tebar rendah peluang ikan untuk mendapatkan pakan lebih banyak tetapi dalam usaha budidaya kurang efisien karena ada tempat yang terpakai sehingga tidak optimal. Sebaliknya padat tebar tinggi membutuhkan pakan lebih banyak yang dapat mempengaruhi kualitas air yang akhirnya mempengaruhi pertumbuhan dan kelangsungan hidup (sintasan).
2.
Sumber Benih Sumber benih dalam kegiatan budidaya bandeng di Kecamatan Pasekan
berasal dari lokasi setempat yaitu dari Pasekan (Gambar 6), dan ada pula yang berasal dari luar yaitu dari Pulau Bali. Pembudidaya di Kecamatan Pasekan telah mampu melakukan pembenihan sendiri, akan tetapi benih yang dihasilkan masih berkualitas rendah serta harga yang lebih tinggi yaitu Rp.60,-/ekor sampai Rp.80,/ekor dibandingkan dengan benih yang berasal dari Bali yaitu Rp.27,-/ekor sampai Rp.50,-/ekor (Tabel 9). Selain itu benih yang dihasilkan dari Kecamatan Pasekan belum mampu memenuhi jumlah permintaan benih di Kecamatan tersebut. Hal ini
41
dikarenakan minimnya pembudidaya yang berkecimpung di bidang pembenihan dan mayoritas lebih memilih bidang pembesaran, karena pembudaya tersebut berasumsi bahwa usaha pembenihan memiliki resiko tinggi, dibutuhkan tingkat kontrol yang tinggi dan kurang menguntungkan dibandingkan usaha pembesaran. .
Gambar 6. Benih bandeng dalam kemasan.
Responden yang menggunakan benih dari Bali adalah sebnayak 54 orang, dan responden yang menggunakan benih yang berasal dari Pasekan sebanyak 41 orang. Banyaknya responden yang menggunakan benih dari Bali dikarenakan kualitas benih lebih bagus serta harganya lebih murah. Adapun jumlah responden menurut harga benih per ekor dapat dilihat pada Tabel 9 berikut ini. Tabel 9. Jumlah Responden Menurut Harga Benih Per ekor. No. 1 2 3 4 5
Harga Benih (Rp/ekor) 27,50,60,70,80,Total
Jumlah (Orang) 25 29 1 10 30 95
Presentase (%) 26 30 1 11 32 100
Tabel 9 diatas menunjukkan adanya keragaman harga benih. Keragaman harga tersebut disebabkan oleh : (1) perbedaan waktu pembelian, misalnya pembudaya A membeli benih pada bulan Januari dengan harga Rp.50,-/ekor, pembudidaya B membeli benih pada bulan Juli dengan harga Rp.80,-/ekor, harga tersebut disesuaikan dengan elastisitas modal yang dikeluarkan pada waktu
42
tersebut; (2) perbedaan tempat pembelian benih; (3) perbedaan sumber benih (Pasekan dan Bali).
3.
Biaya Transportasi Benih Benih yang akan digunakan dalam budidaya bandeng didatangkan
langsung oleh suplayer benih ke pembudidaya. Biaya yang dikeluarkan untuk mendatangkan benih atau biaya transportasi benih berkisar antara Rp.0,- hingga Rp.20.000,- (Tabel 10). Tabel 10. Jumlah Responden Menurut Biaya Transportasi Benih. No. Biaya Transportasi Benih (Rp) 0,1 10.000,2 20.000,3 Total
Jumlah (Orang) 64 15 16 95
Presentase (%) 67 16 17 100
Biaya transportasi benih pada Tabel 10 di atas menunjukan bahwa sebagian besar responden tidak mengeluarkan biaya (Rp.0,-). Pada dasarnya biaya transportasi benih dari suplayer ke pembudidaya tidak ada patokan biaya, namun para pembudidaya memberikan upah sukarela kepada suplayer benih tersebut yaitu sebesar Rp.10.000,- dan Rp.20.000,- sebagai pengganti uang makan ataupun uang bensin.
4.3.3
Pakan
1.
Jenis Pakan Pakan yang digunakan pada budidaya bandeng dibagi menjadi 2 yaitu
pakan pemula dan pakan lanjutan. Pakan pemula adalah pakan yang diberikan pada saat benih berukuran 0,5-5cm atau berumur sekitar 1 sampai 3 bulan. Sebagian responden hanya mengandalkan pakan alami yang berupa lumut atau klekap sebagai pakan pemula, dan sebagian lainnya menggunakan pakan buatan. Penggunaan pakan buatan pada saat benih ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi benih karena persediaan pakan alami yang ada tidak mencukupi, sehingga benih tersebut dapat tumbuh optimal serta terhindar dari kematian.
43
Pakan lanjutan adalah pakan yang diberikan pada saat benih telah mencapai umur lebih dari 3 bulan. Jenis pakan yang digunakan oleh tiap responden dalam budidaya bandeng tidak hanya satu merk saja, seorang responden dalam melakukan budidaya bandeng bisa menggunakan minimal dua merk pakan sampai tiga merk pakan, hal ini disesuaikan dengan umur ikan. Pada fase benih yaitu berumur 0 sampai 3 bulan, ikan diberi pakan pemula yaitu pakan buatan berupa pelet serbuk yang disesuaikan dengan bukaan mulut ikan. Pada fase ikan berumur lebih dari 3 bulan, ikan diberi pakan berupa pelet yang berukuran lebih besar.
2.
Harga Pakan Harga pakan pemula untuk 1 Kg pakan berkisar antara Rp. 0,- sampai
dengan Rp. 9.000,- (Tabel 11). Harga pakan pemula Rp. 0,-/kg maksudnya adalah responden tersebut tidak menggunakan pakan pemula hanya mengandalkan pakan alami, sehingga tidak ada biaya yang dikeluarkan untuk pakan pemula. Tabel 11. Jumlah Responden Menurut Harga Pakan Pemula. No. Harga pakan Pemula (Rp/Kg) Jumlah (Orang) 0,32 1 5.000,29 2 7.000,10 3 9.000,24 4 Total 95
Presentase (%) 34 30 11 25 100
Jumlah responden menurut harga pakan pemula pada Tabel 11 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar responden tidak menggunakan pakan pemula, hal ini disebabkan oleh asusmsi pembudidaya bahwa penggunaan pakan alami berupa plankton dan klekap sudah mampu memenuhi kebutuhan nutrisi benih bandeng. Selain itu penggunaan pakan buatan dapat meningkatkan biaya produksi. Dhean (2012) menyatakan bahwa penggunaan pakan alami memiliki beberapa keunggulan yaitu kualitas air terjaga karena apabila pakan alami tidak termakan maka tidak menyebabkan tumpukan bahan organik didasar perairan, tidak mudah rusak akibat pengaruh lingkungan karena wujudnya berupa organisme hidup yang
44
mampu beradaptasi dengan lingkungan dan mudah dicerna oleh ikan terutama plankton, karena memeiliki dinding sel yang tipis. Harga pakan lanjutan berkisar antara Rp.6.000,-/kg sampai dengan Rp. 9.000,-/kg. Rata-rata dari harga pakan seluruh responden adalah Rp.7.526,31/kg. Adapun jumlah responden menurut harga pakan lanjutan adalah tertuang pada Tabel 12 dibawah ini. Tabel 12. Jumlah Responden Menurut Harga Pakan Lanjutan. No. 1 2 3 4
Haga pakan lanjutan (Rp/kg) 6000,7000,8000,9000,Total
Jumlah (Orang) 29 12 29 25 95
Presentase (%) 30 13 31 26 100
Harga pakan lanjutan pada Tabel 12 diatas menunjukkan adanya keragaman harga. Keragaman harga tersebut disebabkan oleh perbedaan waktu pembelian dan perbedaan tempat pembelian pakan. Harga pakan dapat berubahubah mengikuti harga bahan baku dalam pembuatan pakan.
3.
Biaya Transportasi Pakan Pakan yang akan digunakan oleh responden baik pakan pemula maupun
pakan lanjutan didistribusikan atau dikirimkan langsung dari suplayer ke pembudidaya bandeng. Biaya untuk transportasi pakan pada dasarnya tidak ada patokan biaya (gratis), namun ada beberapa pembudidaya yang memberikan bayaran sukarela kepada kurir dari suplayer pakaan tersebut. Biaya sukarela yang dikeluarkan pembudidaya ini berkisar antara Rp.0,- sampai dengan Rp.50.000,(Tabel 13). Rata-rata biaya yang dikeluarkan oleh responden untuk transportasi pakan adalah Rp. 8.736,84.
45
Tabel 13. Jumlah Responden Menurut Biaya Transportasi Pakan. No. 1 2 3 4 5
Biaya Transportasi Pakan (Rp) 0,10.000,15.000,20.000,Rp.50.000,Total
Jumlah (Orang) 40 25 10 19 1 95
Presentase (%) 42 26 11 20 1 100
Tabel 13 diatas menunjukkan bahwa sebagian besar responden tidak mengeluarkan biaya transportasi. Pada dasarnya biaya transportasi benih dari suplayer ke pembudidaya tidak ada patokan biaya, namun para pembudidaya memberikan upah sukarela kepada suplayer benih tersebut yaitu sebesar Rp.10.000,-, Rp.15.000,- dan Rp.20.000,- sebagai pengganti uang makan ataupun uang bensin.
4.3.4
Pupuk Pemupukan merupakan salah satu bentuk masukan energi yang
dimanfaatkan ikan secara tidak langsung. Pupuk dibagi menjadi dua yaitu pupuk organik dan pupuk anorganik. Pupuk organik merupakan sumber hara yang lengkap bagi pakan alami juga dapat memperbaiki struktur tanah. Pupuk anorganik merupakan pelengkap yang dapat menyediakan zat hara secara cepat untuk kebutuhan pakan alami. Pakan alami yang bisa ditumbuhkan di tambak sebagai pakan utama ikan bandeng adalah kelekap, yaitu kumpulan berbagai jenis jasad dasar yang komponen utamanya terdiri dari alga biru (Cyanophyceae) dan diatom (Bacillariophyceae) (Yulham et al. 2000). Marsono dan Lingga (2001) menjelaskan lebih terperinci tentang maanfaat dari pemupukan yaitu : A.
Manfaaat pupuk yang berkaitan dengan sifat fisika Tanah :
Memperbaiki struktur tanah dari padat menjadi gembur.
Mengurangi erosi pada permukaan tanah
Sebagai penutup tanah dan dapat memperbaiki struktur tanah dibagian permukaan.
46
B.
Manfaat pupuk yang berkaitan dengan sifat kimia tanah
Menyediakan unsur hara yang diperlukan bagian tanaman.
Membantu mencegah kehilangan unsur hara yang cepat hilang seperti nitrogen, fosfor dan kalium.
Memperbaiki keasaman tanah.
Pupuk yang digunakan dalam budidaya pembesaran bandeng di Kecamatan Pasekan adalah pupuk TSP dan Urea (Gambar 7). Pemberian kedua jenis pupuk ini dimaksudkan untuk menumbuhkan pakan alami (klekap).
Gambar 7. Campuran dari pupuk Urea dan pupuk TSP.
Harga pupuk TSP berkisar antara Rp. 2.000,-/Kg sampai dengan Rp. 13.000,-/Kg, dan harga pupuk urea berkisar antara Rp. 1.000,-/Kg sampai dengan Rp. 13.000/Kg. Rata-rata biaya pupuk yang dikeluarkan oleh responden adalah Rp. 2.846.757,9. Adapun biaya pupuk yang dikeluarkan oleh responden dalam budidaya bandeng dapat dilihat pada Tabel 14 di bawah ini. Tabel 14. Jumlah Responden Menurut Biaya Pemupukan No.
Biaya pupuk (Rp/Ha/Siklus)
Jumlah (orang)
Presentase (%)
1 2 3 4
tidak menggunakan pupuk ≤ 400.000,≤ 800.000,≤ 1.200.000,total
24 7 31 33 95
25 7 33 35 100
47
Biaya pemupukan per Ha pada tabel 14 diatas menunjukan bahwa 33 responden berada pada kisaran ≤
Rp.1.200.000,-/Ha/siklus. Besarnya biaya
pemupukan disesuaikan dengan kondisi tambak pasca panen, apabila kondisi pada dasar tambak dianggap masih layak maka tidak perlu dilakukan pemupukan. Pemupukan dianggap perlu dilakukan apabila pembudidaya tidak menggunakan pakan pemula, sehingga dari pemupukan ini diharapkan dapat menumbuhkan pakan alami.
4.3.5
Probiotik Probiotik yang digunakan oleh pembudidaya bandeng di Kecamatan
Pasekan adalah Raja Bandeng (Gambar 8). Probiotik ini digunakan sebagian besar responden untuk meningkatkan sistem imunitas dari bandeng. Apabila ikan dalam keadaan sehat maka pertumbuhan bandeng semakin cepat, hal ini dikarenakan energi yang diperoleh dari pakan digunakan untuk tumbuh, dan apabila sistem imunitas bandeng rendah maka akan mudah terserang penyakit sehingga energi dari pakan yang seharusnya digunakan untuk tumbuh akan beralih fungsi untuk menyembuhkan penyakit, hal ini berakibat pada pertumbuhan dari bandeng tersebut lambat. Hal ini didukung oleh pernyataan Haetami (2008) bahwa penggunaan probiotik secara langsung akan meningkatkan efektivitas mikroba usus yang pada gilirannya meningkatkan pertumbuhan.
Gambar 8. Probiotik Raja Bandeng. Biaya yang dikeluarkan oleh responden untuk probiotik berkisar anatara Rp. 25.000,- sampai dengan Rp. 430.000,-. Dimana rata-rata dari biaya prebiotik yang dikeluarkan responden adalah Rp. 631.747,4. Adapun jumlah responden berdasarkan biaya prebiotik tertuang pada tabel 15 berikut ini.
48
Tabel 15. Jumlah Responden Menurut Biaya Probiotik. No.
Biaya Probiotik Rp/Ha/Siklus
Jumlah (Orang)
Presentase (%)
1 2 3
Tidak menggunakan pupuk ≤ 230.000,≤ 430.000,Total
1 84 10 95
1 88 11 100
Tabel 15 diatas menunjukkan bahwa sebagian besar pembudidaya berada pada kisaran biaya probiotik ≤ Rp.230.000,-/Ha/Siklus. Besarnya biaya untuk probiotik ini tergantung dari luas lahan dan banyaknya jumlah benih yang diterbar. Selain itu ada pula beberapa responden yang memilih tidak menggunakan probiotik, hal ini karena responden tersebut beranggapan bahwa menggunakan probiotik atau tidak hasilnya akan tetap sama, selain itu juga karena keterbatasan biaya dari responden tersebut.
4.3.6
Produksi Produksi atau hasil panen dari budidaya pembesaran bandeng di
Kecamatan Pasekan berkisar antara 900 kg/Ha/siklus sampai dengan 3.000 kg/Ha/siklus (Tabel 16), dimana dalam satu tahun hanya satu siklus panen dengan lama pemeliharaan 8 hingga 12 bulan. Banyak sedikitnya produksi tersebut tergantung dari luas lahan serta jumlah benih yang di tebar. Rata-rata produksi dari responden adalah 5.589,579 kg/th. Tabel 16. Jumlah Responden Menurut Produksi. No.
Produksi (Kg/Ha/Siklus)
Jumlah (Orang)
Presentase (%)
1 2 3
≤ 1.000 ≤ 2.000 ≤ 3.000 Total
80 5 10 95
84 5 11 100
Tabel 18 di atas menunjukan bahwa sebagian besar pembudiaya memiliki produksi dengan kisaran ≤ 1.000 kg/Ha/siklus, dimana mayoritas padat penebaran benih adalah pada kisaran > 5.000 ekor/Ha/siklus. Yakob dan Ahmad (1997)
49
menyatakan bahwa budidaya bandeng konsumsi dengan lama pemeliharaan 4 bulan dengan padat tebar ditingkatkan sampai 50.000 nener/ha/musim, maka akan dapat dihasilkan bandeng konsumsi 5.000 kg (perbandingan nener dan panen=1:10). Maka dapat disimpulkan bahwa produksi bandeng di Kecamatan Pasekan masih rendah (pebandingan nener dan panen=1:5).
4.3.7
Harga Jual Bandeng Harga jual bandeng dari pembudidaya bandeng ke tengkulak adalah
Rp.17.500,-/kg dan harga jual bandeng dari tengkulak ke konsumen adalah Rp.21.000,-/kg terhitung pada bulan Maret sampai April 2013. Dari harga jual tersebut jumlah ikan dalam 1 kg yaitu 1-5ekor (Size 5). Pujianto (2012) menyebutkan bahwa harga bandeng dari pekerja tambak di Kabupaten Rembang Jawa Tengah pada bulan Januari 2013 lalu adalah Rp.13.000,-/kg dengan size 5-6 ekor. Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
harga jual
bandeng di Kecamatan Pasekan tergolong masih tinggi, hal ini terlihat dari harga jual bandeng per kg adalah Rp. 17.000 - 21.000,- dengan size 1-5ekor.
4.3.8
Tenaga Kerja Tenaga kerja yang digunakan dalam budidaya bandeng di Kecamatan
Pasekan dibagi menjadi 3 yaitu (1) tenaga kerja yang diperlukan untuk persiapan lahan adalah 2-3 orang/Ha, dimana upah yang diberikan kepada masing-masing tenaga kerja dalah Rp.50.000,-/hari; (2) tenaga kerja yang diperlukan selama masa pemeliharaan adalah 1 orang untuk 2-6Ha tambak, dimana upah yang diberikan menggunakan sistem bagi hasil yaitu 60% untuk pemilik tambak dan 40% untuk pekerja tambak (upah diberikan pasca panen). Mayoritas pembudidaya di Kecamatan Pasekan tidak menggunakan tenaga kerja untuk persiapan lahan dan lebih memilih menggunakan tenaga sendiri; (3) tenaga kerja yang diperlukan untuk pemanenan adalah 2-4 orang/Ha. Upah yang diberikan kepada pekerja disesuaikan dengan hasil produksi yaitu Rp. 250,-/Kg, apabila produksi yang dihasilkan cukup tinggi maka upah yang diberikan semakin tinggi.
50
4.4
Teknik Budidaya
4.4.1
Komoditas Budidaya Teknik budidaya ikan yang diterapkan oleh kelompok budidaya bandeng
di Kecamatan Pasekan merupakan kegiatan budidaya dengan memelihara dua komoditas dalam satu petak tambak dalam waktu yang berbeda, dimana komoditas dalam budidaya ini dibagi menjadi 2 yaitu budidaya udang windu dan bandeng. Budidaya udang windu dilakukan pada saat musim penghujan, hal ini dikarenakan salinitas air tidak terlalu tinggi. Tingginya salinitas pada musim kemarau akan berakibat pada pertumbuhan udang menjadi lambat karena energi dari pakan digunakan untuk berdaptasi dengan lingkungan dan sulitnya molting. (2) Budidaya bandeng dilakukan pada saat memasuki musim kemarau, hal ini dikarenakan bendeng lebih toleran terhadap salinitas (Euryhaline) hingga 158ppt (Burhanuddin et al. 1994).
4.4.2
Pengelolaan Tambak
1.
Persiapan Tambak Petak tambak dikuras airnya kemudian tanah dasar atau caren diangkat
lumpurnya dan di “teplok” pada sisi-sisi tanggul. Hal ini dilakukan untuk menutup kemungkinan adanya lubang-lubang perembesan sekaligus untuk memperbaiki tanggul. Setelah lumpur diangkat, tanah dasar tambak dan pelataran tambak diratakan dan digemburkan dengan menggunakan cangkul. Setelah itu, lahan tambak dijemur selama ± 1 minggu. Setelah tanah mengering, pupuk urea dan TSP ditebarkan ke dalam tambak. Pupuk berfungsi untuk menambahkan pakan alami. Setelah itu, air dimasukkan ke dalam tambak setinggi ± 40 cm melalui pintu air, paralon, atau dengan bantuan pompa air. Air yang dimasukkan ke dalam tambak disaring untuk mencegah masuknya hama dan penggangu. Sebelum nener ditebar, lahan tambak yang sudah terisi air didiamkan selama 2-5 hari.
2.
Penebaran nener Sebelum benih bandeng ditebar, air tambak dimasukkan dalam kemasan
kantung plastik yang berisi nener dengan perbandingan 1:1, artinya jika di dalam
51
kantung plastik terdapat 1 ml air maka air tambak yang dimasukkan juga sebanyak 1 ml. Proses ini disebut aklimatisasi yaitu penyesuaian terhadap keadaan lingkungan berbeda yang berguna untuk mencegah terjadinya stress pada benur. Selama proses aklimatisasi, nener di dalam kemasan kantung plastik didiamkan selama 10-15 menit sebelum akhirnya di tebar ke dalam tambak.
3.
Pemeliharaan Masa pemeliharaan bandeng berkisar antara 6-12 bulan, hal tersebut
disesuaikan dengan ukuran bandeng yang dikehendaki pembudidaya. Pemberian pakan pemula berupa pelet bubuk dilakukan pada saat benih berumur 0-3 bulan, dalam hal ini sebagian besar pembudidaya bandeng di Kecamatan Pasekan tidak menggunakan pakan pemula, mereka berasumsi bahwa pakan alami sudah cukup untuk pemenuhan nutrisi benih dan untuk menghemat biaya produksi. Pemberian pakan lanjutan dilakukan setelah masa pemeliharaan sekitar 3 bulan. Frekuensi pemberian pakan dilakukan sebanyak dua kali sehari (pagi dan sore) dengan jumlah pakan yang diberikan per hari 5% dari berat badannya. Pemberian probiotik selama pemeliharaan dilakukan oleh pembudidaya jika memang diperlukan. Probiotik yang digunakan adalah raja bandeng. Pengontrolan kualitas air dilakukan dengan mengisi tambak dengan air dari saluran sekunder. Penggantian air dilakukan rata-rata setiap 1 minggu sekali dengan menggunakan bantuan pompa air.
4.
Pemanenan Pemanenan bandeng dilakukan setelah 6-12 bulan. Kegiatan panen
dilakukan dengan cara membuang air tambak melalui paralon dengan bantuan pompa air. Di sekitar paralon di pasang waring/wadong sehingga bandeng yang ikut terbawa arus air akan masuk ke dalam waring/wadong tersebut. Setelah air surut biasanya dilakukan pendorongan ke arah waring/wadong dengan menggunakan bantuan karung yang berisi rumput. Jika masih ada sisa bandeng yang tidak terbawa dilakukan mengambilan langsung dengan tangan. Peralatan panen biasanya disediakan oleh buruh panen. Kegiatan panen dilakukan oleh
52
buruh dengan jumlah rata-rata sebanyak 2-4 orang/hektar/penen, upah yang diberikan kepada buruh disesuaikan dengan hasil penen. Semakin besar hasil panen maka upah akan semakin besar. Upah tersebut belum termasuk biaya makan. Konsumsi buruh selama kegiatan panen ditanggung oleh pemilik tambak.
4.4.3
Permasalahan Budidaya bandeng Permasalahan yang dihadapi dalam budidaya bandeng adalah mahalnya
harga pakan tidak sebanding dengan kualitas pakan, dimana kualitas pakan sekarang lebih rendah dibandingkan jaman dahulu (sebelum tahun 2000). Kualitas pakan yang rendah tersebut berakibat pada lambatnya pertumbuhan ikan. Permasalahan selanjutnya adalah pasokan air sulit didapat pada saat musim kemarau. Masalah ini dihadapi oleh pembudidaya yang memiliki lahan budidaya jauh dari laut, sehingga saluran sekunder yang biasanya sebagai sumber air, tidak dapat menyalurkan air seperti pada musim penghujan, biasanya pembudidaya memperoleh pasokan air dengan cara memompa air dari laut.
4.5
Analisis Faktor-Faktor Produktivitas Faktor-faktor produktivitas dianalisis dengan menggunakan Regresi Linear
Berganda dengan menggunakan alat uji SSPS versi 20 dengan tingkat kepercayaan 95%. Pengujian model statistik tersebut meliputi : (1) Persamaan regresi linear berganda; (2) evaluasi kriteria ekonomi yang terdiri dari : uji tingkat kebaikan model (R square atau R2), Uji pengaruh parameter secara serentak (uji F) dan uji parameter secara individu (uji T). (3) Evaluasi kriteria ekonometrik yang terdiri dari : uji asumsi normalitas, uji asumsi autokorelasi, uji asumsi multikolinearitas, dan uji asumsi heteroskedastisitas.
4.5.1
Produktivitas Berdasarkan Biaya Nilai
koefesien
regresi
menunjukkan
perubahan
rata-rata
hasil
produktivitas bagi setiap perubahan satuan masing-masing produktivitas (Tabel 17). Arah perubahan tergantung pada tanda nilai koefesien regresi masing-masing faktor produktivitas tersebut. Nilai koefesien regresi bertanda positif menunjukan
53
perubahan faktor produktivitas akan searah dengan perubahan hasil produktivitas, sebaliknya bila nilai koefesien bertanda negatif menunjukkan perubahan faktor produktivitas akan mengurangi hasil produktivitas. Tabel 17. Hasil Analisis Faktor-Faktor Produktivitas. Variabel
Koefesien Regresi 31.253,354 Konstanta -13,224 Kualitas benih (X1) -11.138,101 Konversi pakan (X2) -0,002 Luas lahan (X3) -95,045 Lama pengalaman budidaya (X4) -5,058 Pendidikan (X5) 187,199 Umur (X6) 0,869 R2 2,203 F-tabel 1,66 T-tabel 1,403 Durbin-Watson Keterangan : * : Berpengaruh nyata terhadap produktivitas. 1.
thitung 38,128 -20,812* -14,748* -0,295 -2,733* -0,028 1,444
Fhitung
97,252
Persamaan Regresi Linear Berganda Nilai koefesien regresi menujukan nilai B dari masing-masing variabel,
maka diperoleh persamaan regresi sebagai berikut : Y = 31.253,354 - 13,224X1 - 11.138,101X2 - 0,002X3 - 95,045X4 - 5,058X5 + 187,199X6 Keterangan : Y
: Produktivitas (Rp/Kg)
X1
: Kualitas benih (Kg)
X2
: Konversi pakan (Kg)
X3
: Luas Lahan (m2)
X4
: Lama pengalaman (Tahun).
X5
: Pendidikan
X6
: Umur (Tahun)
54
Interpretasi :
Variabel yang memiliki tanda koefesien positif adalah variabel X6 (umur), hal ini dikarenakan keseluruhan pembudiaya di Kecamatan Pasekan berada pada kisaran umur produktif yaitu 15-64 tahun (Tjiptoherijanto 2001)
Variabel dengan tanda koefesien negatif terdapat pada variabel X1 (kualitas benih), X2 (konversi pakan), X3 (luas lahan), X4 (lama pengalaman) dan X5 (pendidikan), hal ini berarti bahwa jika variabel X1, X2, X3, X4, dan X5 meningkat satu satuan maka produktivitas akan menurun sebesar satu satuan tersebut.
Variabel yang berpengaruh besar terhadap produktivitas berdasarkan biaya adalah variabel X2 atau konversi pakan. Juarno et al. (2011) menyatakan bahwa pakan merupakan salah satu kendala dalam budidaya dimana ditinjau dari mahalnya harga pakan Indonesia yaitu 40% lebih tinggi dibandingkan
China
karena
belum
efesiennya
pemasaran
dan
terkonsentrasinya pabrik pakan, selain itu penggunaan pakan berlebih berpotensi mencemari lingkungan dan meningkatkan serangan penyakit.
2.
Evaluasi Kriteria Statistik Koefesien determinasi (R2) menunjukkan hasil sebesar 0,869. Hal ini
berarti variabel-variabel bebas yang digunakan dalam model dapat menjelaskan bahwa 86,9% variasi dari hasil produktivitas berdasarkan biaya dapat dijelaskan dari keenam variabel yang ada pada model regresi linear yaitu kelangsungan hidup benih, konversi pakan, luas lahan, lama pengalaman budidaya, pendidikan dan umur. sedangkan sisanya 13,1% dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang tidak disebutkan dalam model analisis. Uji F dilakukan untuk menggambarkan pengaruh variabel independen secara serempak terhadap variabel dependen (Setyorini et al. 2009). Uji f dilakukan dengan cara membandingkan Fhitung dengan F-tabel. Hasil model regresi linear diperoleh nilai Fhitung lebih besar dari F-tabel yang berarti bahwa secara keseluruhan faktor produktivitas yaitu kualitas benih, konversi pakan, luas lahan,
55
lama pengalaman budidaya, pendidikan dan umur berpengaruh terhadap produktivitas berdasarkan biaya. Uji t dilakukan untuk melihat nyata atau tidaknya pengaruh dari variabel terhadap produktifitas budidaya bandeng di Kecamatan Pasekan. Apabila nilai Thitung lebih besar dari T-tabel maka variabel tersebut signifikan, demikian sebaliknya (Purnamasari 2008). Hasil dari model regresi menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh terhadap produktivitas berdasarkan biaya adalah variabel X1, X2, dan X4, hal ini ditunjukkan dengan nilai Thitung pada ketiga variabel tersebut lebih besar dari nilai T-tabel (1,66).
3.
Evaluasi Kriteria Ekonometrika Uji asumsi normalitas dilakukan untuk menguji apakah dalam model
regresi, variabel pengganggu atau residual mempunya distribusi normal. Uji asumsi normalitas dilakukan dengan menggunakan grafik normal probability plot. Asumsi normalitas pada suatu model regresi dapat terpenuhi apabila nilai Y berdistribusi normal terhadap nilai X. Hasil model regresi diperoleh grafik normal probability plot (Gambar 9), yaitu penyebaran titik pada sumbu diagonal dari grafik.
Gambar 9. Grafik normal probability plot.
56
Grafik normal probability plot pada Gambar 9 terlihat bahwa nilai Y menyebar di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis tersebut, sehingga model regresi tersebut memenuhi standar normalitas. Janie (2012) menyatakan bahwa model regresi dikatakan memenuhi asumsi normalitas apabila data menyebar disekitar garis diagonal. Uji asumsi autokolerasi bertujuan untuk menguji apakah dalam suatu model regresi linear terdapat korelasi antar residual pada satu pengamatan dengan pengamatan
lainnya.
Uji
asumsi
autokorelasi
dapat
dideteksi
dengan
menggunakan uji Durbin-Watson. Kaidah yang digunakan yaitu jika nilai DurbinWatson diatara -2 sampai 2 maka tidak terjadi autokorelasi (Santoso 2001). Nilai Durbin-Watson pada model linear (Tabel 17), menunjukkan bahwa tidak terjadi masalah autokorelasi karena nilai Durbin-Watson berada antara -2 sampai 2. Uji multikolinearitas dimaksudkan untuk menunjukkan adanya derajat korelasi yang tinggi diatara variabel-variabel bebas dan dapat dilihat dari nilai Variance Inlation Factor (VIF) untuk masing-masing variabel bebas. Semakin tinggi nilai VIF, maka masalah multikolinearitas semakin serius. Kaidah yang digunakan yaitu apabila nilai VIF lebih kecil dari 10 artinya tidak terjadi masalah multikolinearitas yang tinggi (Sarwoko 2005). Adapun nilai VIF pada tiap variabel independen dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Nilai VIF Model Regresi Linear Variabel Kualitas benih (X1) Konversi pakan (X2) Luas lahan (X3) Lama pengalaman budidaya (X4) Pendidikan (X5) Umur (X6)
VIF 1.324 1.188 1.359 1.721 1.282 1.593
Tabel 18 diatas menunjukkan bahwa semua variabel memiliki nilai VIF yang lebih kecil dari 10, yang berarti dari keenam variabel tersebut tidak terjadi multikolinearitas yang tinggi. Uji asumsi heteroskedastis dapat dilihat pada grafik Scatterplot (Gambar 10). Titik-titik pada grafik Scatterplot tersebar secara acak dan tidak membentuk
57
pola tertentu, sehingga pada model regresi linear tidak terjadi masalah heteroskedastis (Purnamasari 2008)
Gambar 10. Grafik Scatterplot. 4.5.2
Produktivitas Berdasarkan Luas Nilai
koefesien
regresi
menunjukkan
perubahan
rata-rata
hasil
produktivitas bagi setiap perubahan satuan masing-masing produktivitas (Tabel 19). Arah perubahan tergantung pada tanda nilai koefesien regresi masing-masing faktor produktivitas tersebut. Nilai koefesien regresi bertanda positif menunjukan perubahan faktor produktivitas akan searah dengan perubahan hasil produktivitas, sebaliknya bila nilai koefesien bertanda negatif menunjukkan perubahan faktor produktivitas akan mengurangi hasil produktivitas.
58
Tabel 19. Hasil Analisis Faktor-Faktor Produktivitas. Variabel
Koefesien Regresi 0,051 Konstanta -6,999 Kualitas benih (X1) 0,015 Konversi pakan (X2) -8,013 Luas lahan (X3) 0,005 Lama pengalaman budidaya (X4) 0,021 Pendidikan (X5) -0,001 Umur (X6) 0,286 R2 2,203 F-tabel 1,66 T-tabel 0,412 Durbin-Watson Keterangan : * : Berpengaruh nyata terhadap produktivitas.
1.
thitung
Fhitung
1.619 -2.873* .508 -.326 3.830* 2.945* -.273
5,865
Persamaan Regresi Linear Berganda Nilai koefesien regresi menujukan nilai B dari masing-masing variabel,
maka diperoleh persamaan regresi sebagai berikut : Y = 0,051 – 6,999X1 + 0,015X2 – 8,013X3 + 0,005X4 + 0,021X5 – 0,001X6 Keterangan : Y
: Produktivitas (kg/th/m2)
X1
: Kualitas benih (Kg)
X2
: Konversi pakan (Kg)
X3
: Luas Lahan (m2)
X4
: Lama pengalaman (Tahun).
X5
: Pendidikan
X6
: Umur (Tahun)
Interpretasi :
Variabel yang memiliki tanda koefesien positif adalah variabel X2 (konversi pakan), X4 (lama pengalaman) dan X5 (Pendidikan), hal ini berarti bahwa jika pakan, lama pengalaman budidaya serta pendidikan pembudidaya
meningkat
satu
satuan
produktivitas sebesar satu satuan tersebut.
maka
akan
meningkatkan
59
Variabel dengan tanda koefesien negatif terdapat pada variabel X1 (kualitas benih), X3 (luas lahan), dan X6 (umur), hal ini berarti bahwa jika variabel X1, X3, dan X6 mengalami peningkatan sebesar satu satuan, maka produktivitas cenderung mengalami penurunan.
Variabel yang berpengaruh besar terhadap produktivitas berdasarkan luas adalah variabel X3 atau luas lahan, hal ini sesuai dengan pernyataan Purnamasari (2011) bahwa semakin tinggi luas lahan maka produktivitas semakin tinggi. Juarno (2011) menyatakan bahwa semakin tinggi luas lahan, maka usaha budidaya lebih bersifat ekstensif dan semakin sedikit buruh per area yang dibutuhkan, sehingga biaya yang dikeluarkan cenderung lebih rendah. Hasil studi Gunaratne (1996) menyatakan bahwa luas tambak berkorelasi negatif pada sistem budidaya ekstensif dan semi intensif, namun berkorelasi positif pada sistem budidaya intensif.
2.
Evaluasi Kriteria Statistik Koefesien determinasi (R2) menunjukkan hasil sebesar 0,286. Hal ini
berarti variabel-variabel bebas yang digunakan dalam model dapat menjelaskan bahwa 28,6% variasi dari hasil produktivitas berdasarkan biaya dapat dijelaskan dari keenam variabel yang ada pada model regresi linear yaitu kelangsungan hidup benih, konversi pakan, luas lahan, lama pengalaman budidaya, pendidikan dan umur. sedangkan sisanya 71,4% dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang tidak disebutkan dalam model analisis. Uji F dilakukan untuk menggambarkan pengaruh variabel independen secara serempak terhadap variabel dependen (Setyorini et al. 2009). Uji f dilakukan dengan cara membandingkan Fhitung dengan F-tabel. Hasil model regresi linear diperoleh nilai Fhitung lebih besar dari F-tabel yang berarti bahwa secara keseluruhan faktor produktivitas yaitu kualitas benih, konversi pakan, luas lahan, lama pengalaman budidaya, pendidikan dan umur berpengaruh terhadap produktivitas berdasarkan luas. Uji t dilakukan untuk melihat nyata atau tidaknya pengaruh dari variabel terhadap produktifitas budidaya bandeng di Kecamatan Pasekan. Apabila nilai
60
Thitung lebih besar dari T-tabel maka variabel tersebut signifikan, demikian sebaliknya (Purnamasari 2008). Hasil dari model regresi menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh terhadap produktivitas berdasarkan luas adalah variabel X1, X4, dan X5, hal ini ditunjukkan dengan nilai Thitung pada ketiga variabel tersebut lebih besar dari nilai T-tabel (1,66).
3.
Evaluasi Kriteria Ekonometrika Uji asumsi normalitas dilakukan untuk menguji apakah dalam model
regresi, variabel pengganggu atau residual mempunya distribusi normal. Uji asumsi normalitas dilakukan dengan menggunakan grafik normal probability plot. Asumsi normalitas pada suatu model regresi dapat terpenuhi apabila nilai Y berdistribusi normal terhadap nilai X. Hasil model regresi diperoleh grafik normal probability plot (Gambar 11), yaitu penyebaran titik pada sumbu diagonal dari grafik.
Gambar 11. Grafik normal probability plot.
61
Grafik normal probability plot pada Gambar 9 terlihat bahwa nilai Y menyebar di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis tersebut, sehingga model regresi tersebut memenuhi standar normalitas. Janie (2012) menyatakan bahwa model regresi dikatakan memenuhi asumsi normalitas apabila data menyebar disekitar garis diagonal. Uji asumsi autokolerasi bertujuan untuk menguji apakah dalam suatu model regresi linear terdapat korelasi antar residual pada satu pengamatan dengan pengamatan
lainnya.
Uji
asumsi
autokorelasi
dapat
dideteksi
dengan
menggunakan uji Durbin-Watson. Kaidah yang digunakan yaitu jika nilai DurbinWatson diatara -2 sampai 2 maka tidak terjadi autokorelasi (Santoso 2001). Nilai Durbin-Watson pada model linear (Tabel 19), menunjukkan bahwa tidak terjadi masalah autokorelasi karena nilai Durbin-Watson berada antara -2 sampai 2. Uji multikolinearitas dimaksudkan untuk menunjukkan adanya derajat korelasi yang tinggi diatara variabel-variabel bebas dan dapat dilihat dari nilai Variance Inlation Factor (VIF) untuk masing-masing variabel bebas. Semakin tinggi nilai VIF, maka masalah multikolinearitas semakin serius. Kaidah yang digunakan yaitu apabila nilai VIF lebih kecil dari 10 artinya tidak terjadi masalah multikolinearitas yang tinggi (Sarwoko 2005). Adapun nilai VIF pada tiap variabel independen dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20. Nilai VIF Model Regresi Linear Variabel Kualitas benih (X1) Konversi pakan (X2) Luas lahan (X3) Lama pengalaman budidaya (X4) Pendidikan (X5) Umur (X6)
VIF 1.324 1.188 1.359 1.721 1.282 1.593
Tabel 18 diatas menunjukkan bahwa semua variabel memiliki nilai VIF yang lebih kecil dari 10, yang berarti dari keenam variabel tersebut tidak terjadi multikolinearitas yang tinggi.
62
Uji asumsi heteroskedastis dapat dilihat pada grafik Scatterplot (Gambar 12). Titik-titik pada grafik Scatterplot tersebar secara acak dan tidak membentuk pola tertentu, sehingga pada model regresi linear tidak terjadi masalah heteroskedastis (Purnamasari 2008)
Gambar 12. Grafik Scatterplot.
4.6
Tingkat produktivitas
4.6.1
Produktivitas Berdasrkan Biaya Penghitungan produktivitas biaya sesuai dengan motede penelitian pada
bab 3 maka diperoleh hasil sebagai berikut :
Produktivitas (Rp/kg)
= = = Rp. 17.333,50/kg
63
Berdasarkan hasil penghitungan dari rumus produktivitas berdasarkan biaya diatas maka diketahui nilai dari produktivitasnya adalah sebesar Rp. 17.333,50/kg, hal ini berarti bahwa biaya yang dikeluarkan oleh pembudidaya untuk menghasilkan 1kg ikan adalah sebesar Rp.17.333,-, dimana harga jual dari pembudidaya ke tengkulak adalah sebesar Rp.17.500,-. Hal ini berarti bahwa dari setiap 1kg ikan, pembudidaya memperoleh untung sebesar 0,95%, dengan asumsi bahwa semakin rendah biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi 1kg ikan berarti semakin tinggi produktivitasnya, sebaliknya semakin tinggi biaya yang dikeluarkan
untuk
memeproduksi
1kg
ikan
berarti
semakin
rendah
produktivitasnya. Adapun kisaran produktivitas per satuan biaya tiap responden dapat dilihat pada Tabel 21 dibawah ini : Tabel 21. Kisaran Produktivitas Berdasaran Biaya. No. 1
Produktivitas (Rp/Kg) ≤ 17.500,-
Jumlah (responden) 41
Presentase (%) 42
2
≥ 17.500,Total
54 95
58 100
Tabel 21 diatas menunjukkan bahwa mayoritas pembudidaya berada pada kisaran ≥ Rp.17.500,-/kg, yang berarti bahwa biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi 1kg ikan adalah ≥ Rp.17.500,-/kg. Maka dapat disimpulkan bahwa produktivitas berdasarkan biaya di Kecamatan Pasekan tergolong kedalam tingkat produktivitas rendah. Kisaran produktivitas ≤ Rp.17.500,-/kg atau produktivitas tinggi adalah pada kelompok budidaya Mina Pancer (Lampiran 5). Tingginya produktivitas pada kelompok budidaya tersebut dikarenakan pada variabel X1 atau kualitas benih memiliki volume tertinggi dan pada variabel X2 atau konversi pakan memiliki nilai volume terendah dibandingkan kelompok budidaya lain. Hal ini berarti bahwa pada kelompok budidaya ini mampu mengoptimalkan volume pakan seminimal mungkin dengan volume penebaran benih yang tinggi. Prabowo (2013) menyatakan bahwa jumlah pakan dalam pemeliharaan bandeng adalah 57% dari bobot tubuhnya dengan kadar protein 25-28% maka bandeng tersebut akan tumbuh optimal.
64
4.6.2
Produktivitas Berdasarkan Luas Penghitungan produktivitas luas sesuai dengan motede penelitian pada bab
3 maka diperoleh hasil sebagai berikut : Produktivitas (kg/m2/th)
=
= = 0,12027 kg/m2/th Berdasarkan hasil perhitungan dari rumus produktivitas luas diatas maka diketahui nilai dari produktivitas adalah sebesar 0,12kg/m2. Hal ini berarti bahwa dari 1m2 luas lahan yang dimiliki keseluruhan pembudidaya menghasilkan produksi sebesar 0,12kg/m2, dimana semakin tinggi produksi yang dihasilkan dari 1m2 luas lahan maka produktivitas semakin tinggi, sebaliknya semakin rendah produksi yang dihasilkan dari 1m2 luas lahan maka produktivitas semakin rendah. Budidaya pembesaran bandeng di Kecamatan Pasekan tergolong kedalam sistem semi intensif hal ini terlihat dari teknologi yang digunakan masih minim serta masih bergantung pada pakan alami dan didukung oleh pakan buatan. Crespi dan Coche (2008) menyatakan bahwa Produksi yang dihasilkan dari sistem semi intensif
adalah
2.000-20.000kg/ha/th
(0,2-2kg/m2/th).
Adapun
kisaran
produktivitas berdasarkan biaya dari tiap responden dapat dilihat pada Tabel 22 dibawah ini : Tabel 22. Kisaran Produktivitas Berdasaran Luas. No. 1 2
Produktivitas (kg/m2/th) ≤ 0,2 ≥ 0,2 Total
Jumlah (responden) 85 10 95
Presentase (%) 89 11 100
Tabel 22 diatas menunjukkan bahwa mayoritas pembudidaya berada pada kisaran ≤ 0,2 kg/m2/th, yang berarti bahwa dari luas lahan 1m2 menghasilkan produktivitas ≤ 0,2 kg/m2/th. Hal ini menunjukkan bahwa produktivitas berdasarkan luas di Kecamatan Pasekan tergolong rendah. Kisaran produktivitas
65
≥ 0,2 kg/m2/th adalah pada kelompok budidaya Makmur Lestari (Lampiran 5), hal ini disebabkan oleh keseluruhan pembudiya pada kelompok ini menggunakan probiotik dan obat-obatan yaitu ursal dan raja bandeng, dimana biaya yang dikeluarkan dalam 1siklus adalah sebesar Rp. 1.200.000 – 4.800.000 disesuaikan dengan banyaknya benih yang ditebar serta luar lahan yang dimiliki. Biaya probiotik dan obat-obatan tersebut merupakan biaya paling tinggi dibandingkan dengan kelompok lain. Produktivitas berdasarkan luas di Kecamatan Pasekan dapat ditingkatkan memalui sistem intensif. Crespi dan Coche (2008) menyatakan bahwa sistem intensif adalah sistem budidaya dengan tingkat kontrol, teknologi dan biaya awal yang tinggi, sehingga dapat menghasilkan produksi sebesar 20.000-200.000 kg/ha/th.
4.7
Analisis Finansial Sapto (2011) menyatakan bahwa analisa usaha perikanan budidaya
bertujuan untuk mengetahui gambaran penerimaan dan keuntungan yang diperoleh serta beberapa lama kemungkinan modal investasi tersebut dapat dikembalikan.
Modal
merupakan
sesuatu
atau
sejumlah
uang
yang
dikeluarakan/dikorbankan guna mencapai suatu tujuan. Tujuan tersebut dapat diartikan sebagai pengorbanan barang atau jasa. Adapun dilihat secara khusus biaya tersebut dapat dibagi menjadi 2 (dua) investasi yaitu biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel (variable cost). 1.
Biaya Tetap merupakan biaya yang besarnya tidak akan dipengaruhi oleh tingkat operasi pada periode waktu tertentu. Biaya ini harus dikeluarkan sesuai dengan kebutuhan teknis meskipun tidak operasional (sedang tidak operasional). Biaya ini selalu dihubungkan dengan usia teknis sarana atau prasarana yang dipakai serta umur pakai yang berlaku lebih dari satu tahun penggunaannya. Adapun biaya tetap dalam kaitan dengan pemeliharaan udang dan ikan ditambak adalah semua biaya yang dikeluarkan untuk penyediaan peralatan-peralatan yang akan dipergunakan untuk operasional budidaya tersebut, misalnya : sewa tambak, pompa air, perbaikan
66
konstruksi tambak, pembuatan pintu air, mekanisasi lainnya (kincir), peralatan laboratorium, peralatan sampling, peralatan panen dll. 2.
Biaya Variabel merupakan biaya yang besarnya bervariasi mengikuti secara proposional dengan jumlah produk yang dihasilkan, biaya variabel akan nol/tidak ada apabila produksinya nol atau tidak dilakukan kegiatan usaha. Biaya variabel ini adalah biaya yang habis dalam satu periode pemeliharaan. Pembiayaan tergantung dari tingkat produksi yang akan dihasilkan serta tingkat teknologi yang diterapkan (tradisionil, teknologi madya serta teknologi intensif).
Adapun analisis usaha dari kegiatan budidaya bandeng di Kecamatan Pasekan dapat dilihat pada Tabel 23 dibawah ini : Tabel 23. Total Cost, Total Revenue, dan Revenue Cost Ratio. Biaya Tetap (Rp/Siklus)
Komponen Biaya Persiapan Tambak
Biaya Variabel (Rp/Siklus)
A. Total Cost Penerimaan B. Total Revenue C. Revenue cost ratio (TR/TC)
biaya pakan biaya benih Biaya pupuk biaya transportasi pakan Biaya transportasi benih biaya prebiotik Biaya pemanenan biaya pemeliharaan tambak biaya pemeliharaan sumber air biaya lain yang belum disebutkan Produksi (Q) Harga Jual (P)
Jumlah 3.987.368,42 84.506.894,74 2.077.736,84 21.870,91 8.736,84 4.947,36 631.747,36 1.476.210,52 1.031.578,94 278.947,36 36.052,63 94.062.091,97 5.589,579 Kg/th Rp. 17.500,Rp. 97.817.632,5 1.039926176
67
TC (Total Cost) merupakan keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk budidaya bandeng dihitung dengan menggunakan persamanaan TC = TFC + TVC, dimana TFC merupakan biaya tetap yaitu rata-rata dari biaya persiapan tambak dari keseluruhan responden. TVC merupakan rata-rata dari biaya variabel seluruh responden atau biaya tidak tetap yang habis dalam satu kali siklus produksi. Hasil dari perhitungan biaya total pada Tabel 25, diperoleh nilai TC sebesar Rp. 94.062.091,97/siklus artinya rata-rata biaya yang dikeluarkan responden dalam satu kali siklus produksi adalah sebesar Rp. 94.062.091,97/siklus TR (Total Revenue) merupakan total dari penerimaan atau total keuntungan yang diperol dari budidaya bandeng dalam satu kali siklus produksi. Total keuntungan dapat dihitung dengan persamaan TR = Q x P dimana Q merupakan nilai dari rata-rata produksi/th/siklus dan P merupakan harga jual ikan bandeng pada saat itu. Hasil dari perhitungan Total Revenue pada Tabel 25, diketahui bahwa nilai TR sebesar Rp. 97.817.632,5 artinya rata-rata dari keuntungan
yang
diperoleh
dari
tiap
responden
adalah
sebesar
Rp.
97.817.632,5/siklus/th. Nilai TC dan dan nilai TR pada nomor 1 dan 2 diatas, maka diperoleh nilai R/C (Revenue cost ratio). Berdasarkan perhitungan pada Tabel 25 diatas menunjukkan bahwa nilai R/C adalah 1,039, hal ini berarti bahwa usaha pembesaran budidaya bandeng di kecamatan pasekan layak karena nilai R/C > 1.