PERCEPATAN BERAHI PADA SAPI BALI DARA MELALUI PEMBERIAN KONSENTRAT DENGAN LEVEL PROTEIN YANG BERBEDA
SKRIPSI
TRIANTA TAHIR I 111 11 321
FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2016
PERCEPATAN BERAHI PADA SAPI BALI DARA MELALUI PEMBERIAN KONSENTRAT DENGAN LEVEL PROTEIN YANG BERBEDA
SKRIPSI
OLEH
TRIANTA TAHIR I 111 11 321
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin
FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2016
i
PERNYATAAN KEASLIAN
1. Bertanda tangan dibawah ini: Nama
: Trianta Tahir
NIM
: I 111 11 321
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa: a. Karya skripsi yang saya tulis adalah asli b. Apabila sebagian atau seluruhnya dari karya skripsi, terutama dalam Bab
”Hasil dan Pembahasan” tidak asli atau plagiasi maka bersedia
dibatalkan atau dikenakan sanksi akademik yang berlaku. 2. Demikian pernyataan keaslian ini dibuat untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
Makassar,
03 Maret 2016
Trianta Tahir
ii
iii
KATA PENGANTAR Assalamualaikum Wr. Wb., Puji syukur tak penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan kasih karunia dan pertolonganNya
sehingga
penulis
dapat
menyelesaikan
penelitian
yang
berjudul ”Percepatan Berahi Pada Sapi Bali Dara Melalui Pemberian Konsentrat dengan Level Protein yang Berbeda” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin.
Salam dan shalawat senantiasa terucap kepada Rasulullah
Muhammad. SAW. serta para sahabat sebagai teladan bagi umat manusia Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari adanya kerjasama dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu, perkenankanlah penulis menghaturkan hormat dan terima kasih atas segala kerjasama yang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Kedua orang tua penulis, Tahir dan Syamsiah, saudara-saudara penulis, Takdir, Nuhardin dan Dharmisah, telah memberikan dukungan dan semangat serta doa kepada penulis yang tak terhingga. 2. Bapak Prof. Dr. Ir. Herry Sonjaya, DEA. DES selaku pembimbing utama dan bapak Prof. Dr. Ir. Asmudin Natsir, M.Sc selaku pembimbing anggota yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan arahan, membimbing dan memberikan nasehat kepada penulis selama penelitian hingga penyusunan skripsi ini. 3. Bapak Prof. Dr. Ir. Sudirman Baco M.Sc, Prof. Dr. Ir. Djoni Prawira R, M.Sc dan Dr. Muhammad Yusuf S.Pt selaku tim penguji pada seminar proposal dan
iv
hasil yang telah memberikan kritik, saran dan masukan untuk kesempurnaan skripsi ini. 4.
Bapak Prof. Dr. Ir. Sjamsuddin Garantjang, M.Agr,Sc selaku penasehat akademik yang telah memberikan arahan.
5. Bapak Hasbi S.Pt, M.Si yang telah banyak membantu selama penelitian. 6. Bapak Yappi dan Zakaria selaku pembimbing lapangan selama penelitian yang telah banyak mambantu dan memberikan pengalaman kepada penulis. 7. Kakanda Muhammad Rachman Hakim S.Pt, M.P, Dariyatmo S.Pt, M.Si, Muhammad Azhar S.Pt dan Urfiana Sara S.Pt serta Junaedi S.Pt yang telah banyak membantu penulis. 8. Sahabat-sahabat terbaik : Mustabsyirah Usman S.Pt, Rajma Fastawa S.Pt, Andi Nurfaini S.Pt, Yuliana Padli S.Pt, Suarti S.Pt, Syamsul Mardi, Yusri S.Pt, Evy Harjuna Saad S.Pt, St. Nur Ramadhani S.Pt, Darussalam, Arditia, Muhammad yusuf, Muh. Adnan, Darwis, Jihadul Fajri, Yusmar, dan Muh. Ridwan S.Pt, serta adik-adik : Zulkifli, Nasrun, Auliyah Anggreni, Suriani, Tri Astuti, Makmur, Arisman, Abdan Baso, Ikram, Mustakim, Ehsan, La Ode dan temanteman SOLANDEVEN atas segala kebersamaan dan dukungannya kepada penulis. 9. Teman penelitian saya Erik Sander terima kasih telah menjadi partner selama penelitian dan semoga dimudahkan segala urusan. 10. Keluarga besar Lab. Kesehatan Ternak : Karmila, Nur Atika Pasang, Fatmawati,
Rahim, Erik, Awal Rezkiawan dan Irma.
v
11. Kepada para dosen, dan pegawai fakultas yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung, penulis mengucapkan terima kasih. 12. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari masih banyak kekurangan pada skripsi ini, baik penulisan maupun isi dari skripsi ini, kiranya dapat dimaklumi atas ketidaksempurnaan dan keterbatasan sebagai proses belajar dari penulis. Untuk itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari temanteman pembaca. Akhir kata, semoga Skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Makassar, 03 Maret 2016
Trianta Tahir
vi
RINGKASAN TRIANTA TAHIR (I 111 11 321). Percepatan berahi pada sapi Bali dara melalui pemberian Konsentrat dengan tingkat protein yang berbeda. Di bawah pengawasan oleh Herry Sonjaya sebagai pembimbing utama dan Asmuddin Natsir sebagai pembimbing kedua. Sebuah penelitian dilakukan untuk menilai efek dari pemberian konsentrat dengan tingkat protein berbeda terhadap kecepatan dan intensitas berahi pada sapi Bali dara. Tiga puluh ekor sapi Bali dara dengan usia rata-rata berusia 2 tahun dikelompokkan secara acak dalam mendapatkan satu dari tiga perlakuan sesuai dengan rancangan acak lengkap. Perlakuan adalah pemberian konsentrat dengan tingkat protein berbeda, yaitu P1 = Protein kasar (10%), P2 = Protein kasar (12%) dan P3 = Protein kasar (14%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa timbulnya berahi pada perlakuan P2 dan P3 nyata (P <0,01) lebih cepat dibandingkan dengan P1. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa intensitas berahi sapi pada perlakuan P3 nyata (P <0,01) lebih tinggi dibandingkan pemberian P1 dan P2. Timbulnya rata-rata berahi untuk setiap perlakuan adalah: P1 = 82 hari; P2 = 43 hari; P3 = 34 hari. Intensitas berahi ditentukan dengan menggunakan sistem penilaian berikut: skor 3 untuk intensitas tinggi, skor 2 untuk sedang dan skor 1 untuk rendah. Persentase rata-rata sapi Bali dara skor 3 pada perlakuan P1, P2 dan P3 adalah 0%, 34% dan 63%. Untuk skor 2 adalah 67%, 33% dan 37% untuk masing-masing P1, P2 dan P3. Untuk skor 1 adalah 34%, 33% dan 0% untuk masing-masing P1, P2 dan P3. Dapat disimpulkan bahwa, pemberian konsentrat dengan protein kasar 14% jauh lebih baik dalam mempercepat timbulnya berahi dan intensitas berahi pada sapi Bali dara dibandingkan dengan penggunaan konsentrat dengan kandungan protein kasar 10% atau 12%. Kata Kunci : Kecepatan berahi, Intensitas berahi, Protein kasar, Sapi Bali dara
vii
ABSTRACT TRIANTA TAHIR (I 111 11 321). Acceleration of oestrus in Bali heifers Given Concentrate with different protein levels. Under the supervision of Herry Sonjaya as the main supervisor and Asmuddin Natsir as the co-supervisor . A study was conducted to assess the effect of provision of concentrate containing different protein levels on the onset and intensity of oestrus in Bali heifers. Thirty heads of Bali heifers with average age of 2 years old were randomly assigned to one of three treatments according to completely randomized design. The treatments were provision of concentrates containing different levels of crude protein, namely P1 = Crude Protein (10%), P2 = Crude Protein (12%) and P3 = Crude Protein (14%). The results showed that the onset of oestrus for treatments P2 and P3 was significantly (P<0.05) faster than that of P1. The study also indicated that oestrus of cattle given P3 was for more intense (P<0,05) than those give P1 and P2. The average onset of oestrus for each treatment was : P1 = 82 days; P2 = 43 days; P3 = 34 days. The intensity of oestrus was determined using the following scoring system, score 3 for high, score 2 for medium and score 1 for low. The average precentage of heifers having score 3 for treatment P1, P2 and P3 was 0%,34% and 63%, respectively. For score 2 was 67%, 33% and 37% for P1,P2 and P3. For score 1 was 34%,33% dan 0% for P1,P2 and P3. In conclusion, provision of concentrate containing 14% crude protein was much better in accelerating the onset of oestrus and intensity of oestrus of Bali heifers compared with the use of concentrate with 10% or 12% crude protein. Keywords: Acceleration of oestrus, oestrus intensity, crude protein, Bali heifers
viii
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI..................................................................................................
viii
DAFTAR TABEL..........................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR.....................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN..................................................................................
xiii
PENDAHULUAN..........................................................................................
1
TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................
4
Tinjauan Umum Sapi Bali.......................................................................
4
Bahan Pakan Ternak................................................................................
6
Reproduksi Ternak Sapi Betina...............................................................
7
Berahi Pada Ternak Betina......................................................................
9
Mekanisme Yang Mengontrol Timbulnya Berahi..................................
10
Pengaruh Nutrisi Terhadap Perkembangan Reproduksi.........................
12
Hubungan Protein Terhadap Reproduksi Ternak....................................
14
METODE PENELITIAN...............................................................................
17
Waktu dan Tempat..................................................................................
17
Materi Penelitian.....................................................................................
17
Rancangan Penelitian..............................................................................
17
Prosedur Penelitian..................................................................................
17
Parameter Yang Diukur...........................................................................
19
Analisa Data............................................................................................
20
HASIL DAN PEMBAHASAN......................................................................
21
Kecepatan Berahi....................................................................................
21
Intensitas Berahi......................................................................................
24
KESIMPULAN..............................................................................................
28
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................
29
LAMPIRAN...................................................................................................
35
ix
DAFTAR TABEL No.
Uraian
Halaman
1. Penampian Produksi Sapi Bali Di Beberapa Provinsi...........................
6
2. Nilai Heritabilitas Reproduksi Pada Sapi Potong Dara.........................
11
3. Umur Dan Bobot Badan Saat Berahi Sapi Bali Dara Di Beberapa Provinsi .................................................................................................................
12
4. Komposii dan kandungan protein kasar ransum perlakuan...................
18
5. Tampilan Berahi dengan level protein yang berbeda............................
24
x
DAFTAR GAMBAR No.
Uraian
Halaman
1. Kecepatan berahi dengan level protein konsentrat yang berbeda..........
21
xi
DAFTAR LAMPIRAN No.
Uraian
Halaman
1. Analisis sidik ragam pengaruh protein kasarr...............................................
36
2. Dokumentasi Kegiatan Penelitian............................................................
38
xii
PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi Bali merupakan salah satu jenis sapi asli Indonesia dengan wilayah penyebaran yang luas dan memiliki persentase populasi paling tinggi (Handiwirawan & Subandrio 2004). Jumlah sapi Bali di Indonesia sekitar 30 persen dari populasi sapi yang ada (Talib, 2002). Namun demikian Jumlah tersebut belum mampu mengimbangi kebutuhan akan daging seiiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Salah satu program utama Direktorat Jendral Peternakan dalam masalah ketahanan pangan adalah Program Sentra Peternakan Rakyat (SPR), program tersebut merupakan program pengembangan peternakan khususnya dibidang sapi potong yang dititikberatkan kepada kesejahteraan peternak dalam menunjang peningkatan populasi dan swasembada daging. Dalam mewujudkan program swasembada daging, Provinsi Sulawesi Selatan memiliki peran yang sangat penting dalam pemenuhan daging dalam negeri. Hal ini dikarenakan Sulawesi Selatan memiliki potensi untuk pengembangan sapi potong sehingga menjadi salah satu lumbung ternak nasional. Permasalahan yang dihadapi dalam meningkatkan populasi ternak sapi Bali salah satunya mengenai reproduksi. Kemampuan reproduksi optimum dari ternak betina adalah faktor yang sangat penting karena menyangkut efisiensi waktu, tenaga dan modal. Salah satu kendala dalam reproduksi sapi Bali dara yaitu munculnya berahi yang lambat sehingga umur pertama ternak dikawinkan lambat dan menambah garis panjang sapi tidak bunting. Munculnya berahi
1
dipengaruhi oleh lingkungan fisik, umur, bangsa, temperatur, lingkungan, berat badan (BB) dan nutrisi (Rudolf, 2010). Menurut Prihatno (2006) pengamatan berahi merupakan salah satu faktor penting dalam manajemen reproduksi sapi. Kegagalan dalam deteksi berahi dapat menyebabkan kegagalan kebuntingan. Problem utama deteksi berahi pada sapi Bali dara umumnya dijumpai sapi-sapi yang subestrus atau silent heat. Silent heat adalah berahi yang tidak disertai munculnya gejala klinis yang nyata. Oleh karena itu, peternak mengalami kesulitan untuk mendeteksinya. Deteksi berahi yang tepat merupakan faktor yang penting dalam program perkawinan dan inseminasi agar fertilisasi dapat dilakukan pada saat yang tepat. Namun kenyataannya sering dijumpai ternak sapi dengan berahi yang tidak normal dan adanya ovulasi yang tidak disertai munculnya gejala visual. Berahi yang tidak normal mengindikasikan terjadi gangguan proses reproduksi yang menyertai proses reproduksi tersebut. Kekurangan nutrisi pada ternak betina yang sedang tumbuh adalah salah satu faktor gangguan reproduksi dan menekan berahi lebih kuat dari pada ternak yang telah dewasa. Kondisi peternakan rakyat menyebabkan ternak tidak terkontrol utamanya dalam manajemen pakan sehingga terjadi gangguan reproduksi dan memperlambat munculnya berahi pada sapi Bali dara. Upaya untuk mempercepat timbulnya berahi akibat kekurangan nutrisi dapat dilakukan dengan berbagai cara salah satunya dengan pemberian pakan berkualitas. Konsentrat sebagai pakan penguat dapat meningkatkan kecernaan karena konsentrat tersusun dari bahan pakan yang mudah dicerna oleh ternak. Sapi muda membutuhkan pakan yang mempunyai kandungan protein dan energi tinggi, karena digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan reproduksi. Sapi
2
Bali di peternak pada umumnya diberi pakan seadanya, berupa jerami dan atau rumput saja, tanpa penambahan konsentrat.
Tingkat nutrisi yang lebih baik
diharapkan mempercepat timbulnya berahi pada sapi Bali dara. Penelitian ini bertujuan
untuk
melihat sejauh mana pengaruh nutrisi
terhadap percepatan munculnya berahi dengan penambahan konsentrat dalam ransum sapi Bali dara dengan level protein yang berbeda. Selain itu penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi ilmiah bagi akademisi dan peneliti serta sumber pengetahuan bagi peternak tentang manajemen pemeliharaan utamanya manajemen reproduksi dan manajemen pakan pada sapi Bali dara.
3
TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum Sapi Bali Ternak sapi dapat digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu Bos indicus (zebu sapi berponok), Bos taurus yaitu bangsa sapi yang menurunkan bangsabangsa sapi potong dan perah di Eropa, Bos sondaicus (Bos bibos). Sapi Bali merupakan sapi asli Indonesia keturunan dari sapi liar yang disebut Banteng (Bos sondaicus) yang telah mengalami proses penjinakan (domestikasi) bertahun-tahun lamanya (Sugeng, 2000).
Sebagian ahli yakin bahwa domestikasi tersebut
berlangsung di Bali sehingga disebut sapi Bali (Guntoro, 2002). Williamson dan Payne (1993) menuliskan bahwa bangsa sapi Bali memiliki klasifikasi taksonomi sebagai berikut : Phylum
: Chordata
Sub-phylum
: Vertebrata
Class
: Mamalia
Ordo
: Artiodactyla
Sub-ordo
: Ruminantia
Family
: Bovidae
Genus
: Bos
Species
: Bos sondaicus
Wiliamson dan Payne (1993) menyatakan bahwa ciri fisik sapi Bali adalah berukuran sedang, berdada dalam dengan kaki yang bagus, warna bulu merah bata dan coklat tua. Bagian punggung memiliki garis hitam di sepanjang punggung yang disebut “garis belut”. Gumba pada sapi Bali nampak jelas dan berbentuk khas (Hardjosubroto, 1994). Ciri-ciri spesifik sapi Bali betina antara lain, warna
4
bulu badan merah bata kecuali kaki dan pantat, tanduk agak di bagian dalam dari kepala (mengarah latero-dorsal dan membelok dorso-medial), tubuh relatif lebih kecil dibandingkan dengan sapi jantan dan berat sapi dewasa 250 kg-350 kg (Guntoro, 2002). Abidin (2002) menyatakan keunggulan sapi Bali adalah mudah beradaptasi dengan lingkungan baru, sehingga sering disebut ternak perintis. Sapi Bali juga mudah dikendalikan, jinak, dapat hidup hanya dengan memanfaatkan hijauan yang kurang bergizi, tidak selektif terhadap makanan dan memiliki daya cerna terhadap makanan serat yang cukup baik (Batan, 2006). Payne dan Hodges (1997) menyatakan bahwa sapi Bali memiliki keunggulan dalam memanfaatkan hijauan pakan yang berserat tinggi, daya adaptasi iklim tropis dan fertilitas tinggi (83%) serta persentase karkas (56%) dan kualitas karkas yang baik. Kemampuan produksi sapi Bali dapat dilihat dari beberapa indikator sifat-sifat produksi seperti bobot lahir, bobot sapih, bobot dewasa, laju pertambahan bobot badan, dan sifat sifat karkas (persentase karkas dan kualitas karkas) (Handiwirawan dan Subandriyo, 2004). Penampilan produksi Sapi Bali di beberapa provinsi dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Penampilan produksi sapi Bali di beberapa propinsi Sifat Produksi (kg) Provinsi
Bobot
Bobot Dewasa
(1 Tahun)
(Induk)
79,2
100,3
221,5
12,7
83,9
129,7
241,9
Bali
16,8
82,9
127,5
303,3
Sulawesi Selatan
12,3
64,4
99,2
211,0
Bobot Lahir
Bobot Sapih
NTT
11,9
NTB
Sumber: Talib, et al. (2003)
5
Bahan Pakan Ternak Pakan adalah semua bahan yang biasa diberikan dan bermanfaaat bagi ternak serta tidak menimbulkan pengaruh negatif terhadap tubuh ternak. Menurut Sarwono dan Arianto (2003), pakan adalah makanan yang diberikan kepada ternak untuk kebutuhan hidup dan berproduksi.
Pakan yang diberikan harus
berkualitas tinggi yaitu mengandung zat-zat yang diperlukan oleh tubuh ternak seperti air, karbohidrat, lemak, protein dan mineral (Parakkasi, 1995). Pemberian pakan hijauan pada ternak sapi diberikan acuan 10% dari bobot badan dalam sehari serta kosentrat dapat diberikan sebanyak 2,5 - 3% dari bobot badan sapi (Bandini, 1999). Haryanto (1992) menyatakan bahwa ternak ruminansia memerlukan pakan hijauan serta pakan konsentrat. Jumlah pakan konsentrat yang diberikan tergantung pada tujuan usaha pemeliharaan ternak. Pada kondisi peternakan intensif, pakan konsentrat dapat digunakan dalam jumlah yang banyak. Pemberian konsentrat sebelum pakan hijauan berguna untuk meningkatkan kecernaan pakan secara keseluruhan. Menurut Siregar (1995), pemberian konsentrat 2 jam sebelum hijauan akan meningkatkan kecernaan bahan kering dan bahan organik ransum, yang pada gilirannya akan meningkatkan konsumsi bahan kering ransum. Berdasarkan kecepatan degradasi pakan dalam rumen, pakan konsentrat dibagi menjadi: konsentrat sumber energi yang terdegradasi lambat, konsentrat sumber energi terdegradasi cepat, konsentrat sumber protein yang terdegradasi lambat, dan konsentrat sumber protein terdegradasi cepat (Triyono, 2007). Klasifikasi ini penting untuk sinkronisasi keberadaan nutrien dalam rumen yang
6
digunakan untuk perkembangbiakan mikroba rumen. Mikroba dalam rumen dapat digunakan sebagai sumber protein bagi ternak inangnya. Kandungan protein mikroba rumen sekitar 65%, kecernaan antara 75-85%, nilai biologis sekitar 80% (Utomo, 2004). Devendra dan Burns (1994) menyatakan bahwa konsentrat yang lebih mudah dicerna akan memacu pertumbuhan mikroba dan meningkatkan proses fermentasi dalam rumen. Reproduksi Ternak Sapi Betina Alat-alat reproduksi betina terletak di dalam cavum pelvis (rongga pinggul). Cavum pelvis dibentuk oleh tulang-tulang sacrum, vertebra coccygea kesatu sampai ketiga dan oleh dua os coxae. Os coxae dibentuk oleh ilium, ischium dan pubis. Secara anatomi alat reproduksi betina dapat dibagi menjadi : ovarium, oviduct, uterus, cervix, vagina dan vulva (Destomo, 2014).
Proses
reproduksi yang normal bergantung pada fisiologis tubuh terutama fungsi organ serta mekanisme kerja hormon reproduksi.
Mekanisme hormon pada ternak
betina akan mempengaruhi tingkah laku reproduksi, siklus estrus, ovulasi, fertilisasi dan kemampuan memelihara kebuntingan hingga terjadinya kelahiran (Hafez dan Hafez, 2000). Reproduksi sapi betina adalah suatu proses yang kompleks melibatkan seluruh tubuh hewan itu. Sistem reproduksi akan berfungsi bila makhluk hidup khususnya ternak dalam hal ini sudah memasuki sexual maturity atau dewasa kelamin. Penentuan siklus estrus, lama periode estrus dan waktu inseminasi dapat diketahui berdasarkan pada perubahan tingkah laku (Mauget, et al., 2007). Efisiensi reproduksi sangat ditentukan oleh campur tangan manusia yang berperan sebagai pengatur berbagai unsur penunjang keberhasilan reproduksi seperti pakan,
7
pencatatan, kesehatan, serta fertilitas jantan dan betina. Pengaruh yang menonjol dari defisiensi pakan yaitu terganggunya aktivitas siklus reproduksi, seperti birahi tenang, kelainan ovulasi, kegagalan konsepsi, dan kematian embrio. Sapi dara paling sensitif terhadap kekurangan nutrisi pada tingkat akhir kebuntingan pertama jika mereka belum mencapai kematangan fisik. Hal ini diperlihatkan dengan keterlambatan birahi post partus dan angka konsepsi yang rendah pada servis pertama (Arthur et al., 1989). Kemampuan reproduksi sapi Bali betina sangat baik, sapi Bali betina dikawinkan pertama kali pada umur 27 – 30 bulan, di mana perkembangan tubuh dan organ reproduksinya sudah sempurna. Ternak betina muda yang baru mengalami dewasa kelamin membutuhkan lebih banyak makanan dan ternak akan menderita stress bila dikawinkan pada umur tersebut dibandingkan dengan hewan betina yang sudah mencapai dewasa tubuh (Toelihere, 1985). Penampilan produktivitas dan reproduktivitas sapi Bali sangat tinggi. Sapi Bali dilaporkan sebagai sapi yang paling superior dalam hal fertilitas dan angka konsepsi (Toelihere, 2002). Darmaja (1980) melaporkan bahwa angka fertilitas sapi Bali berkisar antara 83-86 %. Berahi pada Ternak Betina Berahi atau biasa disebut dengan estrus didefinisikan sebagai periode pada siklus reproduksi dimana ternak betina memperlihatkan tanda-tanda mau menerima pejantan untuk melakukan perkawinan. Siklus berahi atau estrus pada dasarnya dibagi menjadi 4 fase atau periode yaitu proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus (Marawali, et al, 2001). Proestrus adalah fase persiapan, fase ini biasanya pendek berlangsung selama 1 – 2 hari.
8
fase ini akan terlihat perubahan pada alat kelamin luar dan terjadi perubahanperubahan tingkah laku dimana hewan betina gelisah dan sering mengeluarkan suara-suara yang tidak biasa terdengar (Partodihardjo, 1987). Estrus (Standing Heat) adalah periode yang ditandai dengan penerimaan pejantan oleh hewan betinaadalah periode yang ditandai dengan penerimaan pejantan oleh hewan betina untuk berkopulasi. Pada umumnya memperlihatkan tanda-tanda gelisah, nafsu makan turun atau hilang sama sekali, menghampiri pejantan dan tidak lari bila pejantan menungganginya (Saoeni, 2007). Menurut Frandson (1992), Penerimaan pejantan disebabkan pengaruh estradiol yang menghasilkan tingkah laku kawin pada betina. Metestrus (pasca estrus) merupakan fase yang terjadi segera setelah fase estrus berakhir. Gejala tidak terlihat nyata, namun masih terlihat sisa-sisa gejala estrus, tetapi hewan menolak untuk kopulasi. Progesteron menghambat sekeresi FSH oleh pituitari anterior sehingga menghambat pertumbuhan folikel ovarium dan mencegah terjadinya estrus. Periode ini berlangsung selama 3-4 hari setelah estrus. Diestrus adalah periode terakhir dan terlama pada siklus estrus, CL menjadi matang dan pengaruh progesteron terhadap saluran reproduksi menjadi nyata (Marawali, et al, 2001). Apabila pada 17 atau 18 jam dari siklus berahi terjadi pembuahan maka CL tetap bertahan sampai terjadi kelahiran, bila tidak terjadi pembuahan CL akan beregresi. Mekanisme yang Mengontrol Timbulnya Berahi Timbulnya berahi pada hewan betina disebabkan oleh pelepasan hormon gonadotropin dari kalenjar adenohypophysa ke dalam saluran darah, sehingga siklus berahi tidak luput dari pengaruh faktor herediter dan lingkungan yang bekerja melalui organ-organ tersebut (Toelihere 1985) lingkungan (nutrisi, iklim
9
dan musim) serta pejantan atau biostimulation (Rekwort, et al., 2000; Getzewick 2005; Abdelgadir, et al., 2010). Mekanisme neurohumoral yang menyebabkan pelepasan gonadotropin dari kalenjar adenohypophysa berhubungan dengan timbulnya berahi (Marawali, et al., 2001). Faktor-faktor pelepas khusus untuk berbagai hormon hypophysa telah diisolir dari hypothalamus. Rangsangan-rangsangan neural menyebabkan hypothalamus menghasilkan atau melepaskan faktor pelepas yang sebaliknya menyebabkan pelepasan gonadotropin ke dalam aliran darah. Menurut Hopkins (1989), ovarium sapi dara saat prepubertas aktif dan mengandung folikel yang berkembang.
Proses perkembangan dan regresi folikel ini harus berlangsung
sampai pubertas. Mendekati pubertas LH meningkat diikuti oleh peningkatan progesteron (Feradis, 2010). Feradis (2010) menambahkan pada sapi betina, sejak dilahirkan sampai kira-kira umur 1 tahun terjadi pertumbuhan hypophysa yang cepat.
Selama periode ini pertumbuhan kelenjar tersebut lebih tinggi dan
berlangsung cepat. Akibat perkembangan hypophysa dan pengaruh hormon terhadap pertumbuhan dan aktivitas ovarium, terjadilah pertumbuhan uterus dan bagian lain dari saluran reproduksi. Perubahan ini menyebabkan saluran reproduksi sapi-sapi dara menjadi berfungsi dan masa pubertas telah tercapai yang diikuti timbulnya berahi. Faktor-faktor genetik yang mempengaruhi umur pubertas dicerminkan oleh perbedaan bangsa, strain, kelompok pejantan, dan persilangan inbreeding. Koots, et al. (1994) menyatakan, sifat umur pubertas pada sapi potong dara memiliki nilai heritabilitas yang tinggi dibandingkan sifat-sifat reproduksi
10
lainnya.Nilai heritabilitas reproduksi pada sapi potong dara dapat dilihat pada tabel 2. Tabel. 2. Nilai heritabilitas reproduksi pada sapi potong dara Sifat Reproduksi
Heritabilitas (h2)
Umur pubertas
0,47
Umur melahirkan pertama
0,05
Tingkat Konsepsi
0,06
calving Interval
0,06
Waktu melahirkan
0,08
Kemudahan melahirkan
0,10
Sumber : Koots et al. (1994) Berahi yang dicapai lebih awal menguntungkan karena dapat mempercepat masa kawin pada ternak. Menurut Feradis (2010), terjadinya berahi yang lebih awal akan menguntungkan karena : 1. Mengurangi masa tidak produktif dan tidak menguntungkan selama masa hidup ternak 2. Terjadinya peningkatan genetik lebih cepat karena interval generasi berkurang bila dilakukan seleksi dengan baik dan program seleksi yang efektif Umur dan berat badan pada ternak sewaktu timbulnya berahi awal berbeda-beda menurut spesies. Menurut Marawali et al. (2001) hewan betina tidak boleh
dikawinkan
sampai
pertumbuhan
badannya
memungkinkan
suatu
kebuntingan dan kelahiran normal. Pendapat para ahli menunjukkan adanya hubungan positif antara bobot badan dengan kondisi pubertas. Marawali et al. (2001) menambahkan, dengan makanan dan manajemen yang baik seekor sapi
11
dara dapat dikawinkan pada umur 10 sampai 15 bulan dan kuda pada umur 2 tahun. Rata-rata umur saat berahi pada kelompok sapi dara antara 10-12 bulan pada sapi perah dan antara 11-15 bulan pada sapi potong (Jainudeen dan Hafez, 1987) ; 5-20 bulan dengan rata-rata 9-11 bulan (Hopkins, 1989). Sapi Zebu dara mencapai pubertas pada umur 18-24 bulan. Musim dingin selama prepubertas akan memperlambat pubertas. Tabel 3. Umur dan Bobot saat Berahi pertama sapi Bali di beberapa provinsi Umur saat berahi pada betina Bobot saat berahi (Kg)b
Provinsi (bulan)a NTT
23
179,8
NTB
22
182,6
Bali
20,7
170,4
Sulawesi Selatan
24
225,2
BPTU Balic
23
-
Sumber : Pane (1991a), Talib, et al. (2003b), Siswanto, et al.c (2013) Pengaruh nutrisi terhadap perkembangan reproduksi Nutrisi
adalah
salah
satu
faktor
lingkungan
yang
perkembangan organ reproduksi utamanya di fase prepubertas.
menentukan Sapi
muda
biasanya lebih sensitif terhadap pengaruh pakan dibandingkan sapi dewasa, sebab sapi muda dalam masa pertumbuhan (Feradis, 2010). Kadarsih (2003) menyebutkan bahwa penampilan produksi dan reproduksi dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor genetik dengan perbandingan 60:40. Aspek lingkungan yang banyak dilaporkan adalah masalah pakan (Abdelgadir, et al., 2010; Noguiera,
12
2004; Son, et al,. 2001; Shehu, et al., 2008). Kelambatan timbulnya berahi karena kekurangan makanan mungkin disebabkan oleh rendanya kadar gonadotropin yang dihasilkan oleh kelenjer adenohypohysa, kurangnya respon ovaria atau mungkin karena kegagalan ovaria untuk menghasilkan sejumlah estrogen yang cukup (Toelihere, 1979). Day et al. (1986) menyatakan bahwa selama masa prapubertas, pada sapi dara yang mendapat pakan terbatas, kegagalan peningkatan sekresi LH yang menjadi faktor utama penyebab terjadinya kelambatan berahi. Menurut Getzewich (2005) pada umumnya pubertas dicapai ketika telah mencapai 40% dari bobot badan dewasa dan aspek pakan mempunyai pengaruh yang besar. Sapi-sapi dara sebaiknya dikawinkan menurut ukuran dan berat badan, bukan menurut umur (Feradis, 2010). Pemberian energi yang tidak cukup merupakan penyebab terbesar gangguan reproduksi pada ternak. Menurut Toelihere (1979) pada sapi potong, penurunan tingkatan makanan umumnya memperlambat timbulnya berahi sedangkan tingkatan makanan yang tinggi dapat mempercepat pubertas dan timbulnya berahi. Keadaan anestrus sering terjadi pada sapi yang kekurangan pakan. Tingkat energi yang rendah menyebabkan ovarium tidak aktif (Laing, 1970). Biasanya keadaan yang terakhir ditemukan pada sapi dara yang sudah cukup umur tetapi belum mencapai dewasa kelamin. Dalam hal ini ovariumnya masih dapat diharapkan tumbuh normal kembali dengan perbaikan pakan (Robert, 1971). Nutrisi
mempengaruhi
fungsional
tubuh
secara
menyeluruh,
perkembangan organ reproduksi sangat tergantung oleh kemampuan fungsi endokrin dalam memproduksi hormon-hormon reproduksi. Kadar kalsium yang
13
rendah dalam makanan dapat menyebabkan ternak lambat pubertas, begitu juga dengan defisiensi yodium dalam makanan ternak akan menyebabkan lahirnya foetus prematur pada sapi perah dan lambatnya dewasa kelamin pada sapi dara. (Yendraliza, 2013). Menurut Feradis (2010) tingkatan makanan tampaknya mempengaruhi sintesa maupun pelepasan hormon dari kelenjar-kelenjar endokrin, sehingga status nutrisi pada sapi mempengaruhi perkembangan folikel dan kapasitas ovulasi. Menurut Diskin, et al. (2003), efek nutrisi secara langsung memberikan pengaruh pada GnRH di hipotalamus atau sekresi gonadotrophin di pituitary dan secara tidak langsung mempengaruhi hormon reproduksi. Hubungan protein terhadap reproduksi ternak Protein merupakan salah satu unsur nutrisi yang dibutuhkan ternak untuk kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan dan produksi (Tillman, et al., 1991). Proses produksi protein mikroba diawali dengan proses hidrolisis seluruh protein dalam pakan oleh mikroba rumen. Proses hidrolisa protein menjadi asam amino diikuti oleh proses deaminasi untuk membentuk amonia, kemudian amonia yang dibebaskan akan digunakan untuk produksi protein mikroba bersama sumber energi (Arora, 1995). Menurut Puastuti (2013) protein asal mikroba rumen walaupun bernilai hayati tinggi namun jumlahnya tidak mampu untuk mencukupi seluruh kebutuhan protein untuk sapi dengan produksi susu tinggi, sehingga pasokan protein tahan degradasi (PTD) rumen perlu diberikan.
Pemenuhan kebutuhan protein pada
ruminansia perlu memperhitungkan jumlah protein pakan yang dapat didegradasi di dalam rumen.
Derajat ketahanan protein pakan terhadap degradasi oleh
mikroba di dalam rumen sangat beragam. Hvelplun dan Medsen (1985) telah
14
menguji sejumlah bahan pakan sumber protein pakan melaporkan bahwa degradasi protein bahan pakan bervariasi antara 12-90%. Kebutuhan protein hewan tergantung pada status fisiologi dan tingkat produksi. Peningkatan daya cerna protein kasar yang terjadi akibat penambahan jumlah pemberian konsentrat disebabkan karena konsentrat dapat menyediakan protein yang lebih banyak yang diperlukan dalam pertumbuhan mikroba rumen. Menurut Arora (1995) bahwa di dalam rumen protein akan dihidrolisa menjadi oligopeptida oleh enzim proteolitik yang dihasilkan mikroba, dan oligopeptida ini dihidrolisa menjadi asam - asam amino. Metabolisme protein tidak secara langsung terlibat dalam memproduksi energi, tetapi metabolisme protein terlibat dalam produksi enzim, hormon, komponen struktural dan protein darah dari selsel badan dan jaringan. Sintesis sel dari protein dipenuhi dengan memanfaatkan asam amino yang tersedia untuk pembentukan polipeptida (Frandson, 1996). Ternak membutuhkan protein dalam bentuk asam-asam amino. Asam amino yang dibutuhkan ternak ruminansia sebagian dipenuhi dari protein mikroba dan sebagian lagi dari protein pakan atau ransum yang lolos dari fermentasi di dalam rumen (Siregar, 1995). Protein pakan memiliki peran yang besar dalam mencukupi kebutuhan protein ternak, sehingga ternak membutuhkan pakan yang memiliki kandungan protein yang baik. Dalam keadaan tertentu, diperlukan pula protein bebas degradasi rumen guna memenuhi kebutuhan asam amino (Parakkasi, 1999) Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ternak yang diberi asupan pakan dengan kecukupan energi dan protein menyebabkan ternak cepat tumbuh dan memperlihatkan gejala berahi yang normal (Son et al. 2001; Romano et al. 2005).
15
Hal ini dibuktikan pada penelitian sapi di Nigeria Utara bahwa penambahan konsentrat kaya akan protein dan karbohidrat serta campuran mineral memperlihatkan masak kelamin dan kebuntingan lebih cepat dibandingkan sapi yang tidak mendapatkan tambahan energi (Yendraliza, 2013).
Defisiensi fosfor
dan protein dapat mengakibatkan ternak mengalami penundaan pubertas dan tanda- tanda berahi yang tidak normal. Defisiensi kombinasi protein dan fosfor pada anak sapi perah dara menunjukkan bahwa kombinasi tersebut dapat memperlambat dewasa kelamin dan menekan munculnya tanda-tanda berahi (Salisbury dan Vandemark, 1985). Pemberian makanan dengan level rendah pada sapi dara, akan menganggu pertumbuhan sapi dara dan mengalami kesulitan dalam melahirkan (Salisbury dan Vandemark, 1985). Pertumbuhan dan perkembangan organ reproduksi hewan betina dapat terhambat karna kekurangan makanan tanpa membedakan apakah karena tingkatan rendah energi, protein, mineral atau vitamin.
16
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober hingga Desember 2015, bertempat di Desa Lasiwala, Kecamatan Pitu Riawa, Kabupaten Sidenreng Rappang. Materi Penelitian Peralatan yang digunakan adalah kandang, alat pencampur pakan, parang, sabit, gerobak sorong, mesin leaf chopper, tempat pakan, tempat minum, timbangan, sepatu boot, sarung tangan, dan alat tulis menulis. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sapi Bali dara yang berumur rata-rata 2 tahun berjumlah 30 ekor milik peternakan rakyat yang dipelihara secara intensif.
Pakan sapi Bali dengan formulasi berbagai bahan
pakan (Konsentrat) yaitu Dedak Padi, Dedak Jagung, Bungkil Kelapa, Urea, Mineral, Garam, dan Cattle mix dengan level protein yang berbeda . Rancangan Penelitian Penelitian dilakukan secara experimen berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL) terdiri atas 3 perlakuan dan 10 kali ulangan sehingga total sapi Bali dara yang digunakan adalah 30 ekor. Perlakuan yang diterapkan adalah tiga model pemberian pakan yaitu : P1 = Jerami + Konsentrat 1 kg ( PK 10 %) P2 = Jerami + Konsentrat 1 kg (PK 12 %) P3 = Jerami + Konsentrat 1 kg (PK 14 %).
17
Prosedur Penelitian a. Sapi Bali dara sebanyak 30 ekor dengan umur rata-rata 2 tahun secara acak dibagi kedalam 3 kelompok perlakuan, setiap perlakuan menggunakan 10 ekor Sapi Bali Dara. b. Masa adaptasi pakan dilakukan selama 3 minggu dengan komposisi pakan yang sama. Perlakuan dibedakan menjadi 3 kelompok, kelompok A diberikan pakan konsentrat PK 10 %, kelompok B diberikan pakan konsentrat PK 12 % dan kelompok C diberikan konsentrat 14 %. Masing-masing perlakuan diberikan pakan berupa jerami dan rumput gajah sebelum pemberian pakan tambahan. Pemberian air dilakukan secara adlibitum. Kandungan bahan pakan perlakuan dapat dilihat pada tabel 4. Tabel. 4. Komposisi dan kandungan protein kasar ransum perlakuan Bahan Pakan Dedak Padi Dedak Jagung Bungkil Kelapa Urea Mineral NaCl Cattle Mix
Protein Kasar Bahan pakan (%) 10.1 8.7 21 277 0 0 0
P1 85 5.5. 4.5 0 1.5 3 0.5 100
Bahan Pakan Dedak Padi Dedak Jagung Bungkil Kelapa Urea Mineral NaCl Cattle Mix Total Protein Kasar
P1 8.6 0.5 0.9 0 0 0 0 10
Komposisi (%) P2 84.5 4.4 4.5 0.8 2.1 3 0.7 100 Protein Kasar (%) P2 8.5 0.4 0.9 2.2 0 0 0 12
P3 83 6 4.5 1.5 1.5 3 0.5 100
P3 8.4 0.5 0.9 4.2 0 0 0 14 18
Parameter yang Diukur 1. Kecepatan berahi/estrus (Hari) Kecepatan timbulnya estrus dihitung mulai dari pemberian pakan hingga timbulnya estrus pertama yang dinyatakan dalam hari. 2. Intensitas berahi Intensitas berahi diamati dengan metode Yusuf (1990) dengan melihat dan mengamati penampakan yang timbul pada saat sapi berahi, kemudian memberikan skor terhadap penampakanya. Kenampakan sapi yang diamati dengan cara sebagai berikut: Intensitas berahi skor 1 diberikan bagi ternak yang memperlihatkan gejala keluar lendir kurang (++), keadaan vulva (bengkak, basah dan merah) kurang jelas (+), nafsu makan tidak tampak menurun (+) dan kurang gelisah serta tidak terlihat gejala menaiki dan diam bila dinaiki oleh sesama ternak betina (-); sedangkan intensitas berahi skor 2 diberikan pada ternak yang memperlihatakan semua gejala berahi dengan simbol (++), termasuk gejala menaiki ternak betina lain bahkan terlihat adanya gejala diam bila dinaiki sesama betina lain dengan intensitas yang dapat mencapai tingkat sedang. Sementara intensitas dengan skor 3 (jelas) diberikan bagi ternak sapi betina yang memperlihatkan semua gejala berahi secara jelas (+++). Analisa Data 1. Data kecepatan berahi yang diperoleh pada penelitian ini akan diolah dengan menggunakan analisis ragam sesuai dengan rancangan acak lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan dan 10 kali ulangan. Model statistik yang digunakan adalah sebagai berikut :
19
Yij = µ + τi + εij i = 1, 2, 3, …i = perlakuan j = 1, 2, 3…j = ulangan Keterangan : Yij = variabel respon pengamatan µ = nilai rata – rata perlakuan τi = pengaruh level protein konsentrat ke-i (i= 1,2,3) εij = Pengaruh galat percobaan dari pemberian pakan ke-i dan ulangan ke-j (j=1,2.....10) 2. Data intensitas berahi yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif. Hasil pengamatan di lapangan dianalisis dan dibandingkan dengan hasil penelitian dan referensi pendukung.
20
HASIL DAN PEMBAHASAN Kecepatan Berahi Kecepatan timbulnya berahi (hari) yaitu selang waktu dari mulai pemberian pakan sampai timbulnya gejala berahi. Pengamatan kecepatan timbulnya berahi dilakukan setelah pemberian pakan yaitu pada saat timbulnya berahi dengan mengamati gejala berahi. Kecepatan timbulnya berahi pada berbagai perlakuan dengan pemberian konsentrat
level protein yang berbeda
dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 2. Kecepatan berahi dengan level protein konsentrat yang berbeda. Garis vertical mengindikasikan ± standar deviasi. a-b Superskrip berbeda menunjukkan perbedaan yang sangat nyata pada kecepatan birahi dan pemberian konsentrat level protein berbeda (P<0,01). Ket : P1 ( Protein kasar 10%) ; P2 ( Protein kasar 12%) ; P3 (Protein kasar 14%) Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian PK 12% sampai PK 14% memberikan memperlihatan timbulnya berahi lebih cepat dibandingkan pemberian PK 10% . Kecepatan berahi sapi Bali dara sangat dipengaruhi oleh ketersedian protein sebagai sumber nutrisi untuk kebutuhan fungsional reproduksi. Hal ini sejalan
dengan
pendapat
(Yendraliza,
2013)
yang
menyatakan
bahwa
perkembangan organ reproduksi sangat tergantung oleh kemampuan fungsi 21
endokrin dalam memproduksi hormon-hormon reproduksi sehingga ketersediaan nutrisi mempengaruhi fungsional tubuh secara menyeluruh. Protein sebagai sumber nutrisi mempengaruhi fungsi otak sebagai pusat rangsangan yang menjadi faktor pelepas hormon reproduksi. Hal ini sejalan dengan Diskin, et al. (2003), yang menyatakan bahwa efek nutrisi secara langsung memberikan pengaruh pada GnRH di hipotalamus atau sekresi gonadotrophin di pituitary . Sapi Bali dara membutuhkan nutrisi utamanya pada tahap prepubertas, karena pada tahap tersebut ovarium sapi dara mulai aktif dan berkembang sehingga diduga kekurangan nutrisi menghambat perkembangan folikel dan sapi memperlihatkan gejala berahi yang lambat.
Fakta di lapangan menunjukkan
bahwa sapi dara yang sudah cukup umur tetapi belum mencapai dewasa kelamin. Robert, (1971) menambahkan bahwa dengan nutrisi yang baik ovarium masih dapat diharapkan tumbuh normal kembali. Kekurangan protein dapat mengakibatkan ternak mengalami penundaan pubertas dan tanda- tanda berahi yang tidak normal. Defisiensi kombinasi protein pada anak sapi perah dara menunjukkan bahwa kombinasi tersebut dapat memperlambat dewasa kelamin dan menekan munculnya tanda-tanda berahi (Salisbury dan Vandemark, 1985). Menurut Son et al. (2001) dan Romano et al. (2005), ternak yang diberi asupan pakan dengan kecukupan energi dan protein menyebabkan ternak cepat tumbuh dan memperlihatkan gejala berahi yang normal. Menurut Yendraliza (2013), penambahan konsentrat kaya akan protein dan karbohidrat serta campuran mineral memperlihatkan masak kelamin lebih cepat dibandingkan sapi yang tidak mendapatkan tambahan energi. Menurut Feradis (2010) tingkatan makanan mempengaruhi sintesa maupun pelepasan hormon dari
22
kelenjar-kelenjar endokrin, sehingga status nutrisi pada sapi mempengaruhi perkembangan folikel dan kapasitas ovulasi. Hasil penelitian di atas juga menunjukkan bahwa pemberian PK 12% tidak berbeda nyata dengan pemberian PK14 %. Meskipun secara statistik tampak tidak terdapat perbedaan yang nyata namun secara rata-rata sapi Bali dara pada pemberian PK 14% memperlihatkan gejala berahi yang lebih cepat. Perbaikan nutrisi tidak selalu konsisten hasilnya, baik pada pituitary maupun pada fungsi ovarium. Beat et al. (1978) mendapatkan respons pada pituitary, tetapi Haresign (1981) tidak memperoleh respons tersebut. Demikian juga Wiltbank et al. (1962; 1964) mampu menunjukkan perbaikan fungsi ovarium akibat perbaikan nutrisi. Penambahan protein menyebabkan penambahan pertumbuhan pada sapi dara namun ada beberapa penelitian yang memperlihatkan bahwa sapi yang hidup dengan kadar protein rendah dan energi rendah masih memperlihatkan ciri-ciri berahi, bunting dan melahirkan (Borghese et al, 2005). Ketiadaan respons ini mungkin disebabkan oleh kecukupan cadangan energi tubuh ternak itu sendiri yang diberikan pakan hijauan secara adlibitum, sehingga perbaikan nutrisi tidak terlalu mempengaruhi. Pakan dengan level PK 14% juga sudah melebihi batas minimal standar yang telah ditetapkan untuk memenuhi kebutuhan minimal ternak. Beberapa rekomendasi pakan protein untuk memenuhi kebutuhan sapi potong selama ini disarankan sedikitnya 12% protein kasar (NRC, 1996).
23
Intensitas Berahi Tampilan gejala berahi dan intensitas berahi dari sapi-sapi betina yang diamati dalam penelitian ini, nampaknya sangat berbeda antar kelompok perlakuan (Tabel 5). Tidak semua ternak yang berahi dapat memperlihatkan semua gejala berahi dengan intensitas atau tingkatan yang sama. Untuk membandingkan tingkat intensitas berahi ini ditentukanlah skor intensitas berahi 1 s/d 3, yaknii skor 1 (berahi kurang jelas), skor 2 (berahi yang intensitasnya sedang) dan skor 3 (berahi dengan intensitas jelas) (Yusuf, 1990). Tabel 5. Tampilan berahi perlakuan dengan level protein berbeda Perlakuan P1 (PK 10 %)
Tampilan Berahi Intensitas (Skor) 3 2 1
Jumah Ternak Ekor % 0 0 6 67 3 33
2 34 3 2 33 2 2 33 1 3 5 63 P3 (PK 14%) 2 3 37 1 0 0 Keterangan : Skor 3 (Berahi dengan intensitas jelas); Skor 2 (Berahi dengan intensitas sedang); Skor 1 (Berahi dengan intensitas kurang jelas) P2 (PK12%)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat intensitas berahi pada ketiga perlakuan dengan intensitas berahi jelas (skor 3), yakni 0%, 34% dan
63%
masing-masing untuk perlakuan P1,P2 dan P3. Intensitas berahi yang sangat jelas pada P3 diduga karena terjadinya sekresi FSH konsentrasi tinggi sehingga folikulogenesis berlangsung baik. Secara fisiologis terdapat hubungan antara tingginya konsentrasi dan sekresi FSH dari pituitary anterior terhadap jumlah folikel yang berkembang hingga fase folikel de Graaf (Rusdin dan Ridwan, 2006). 24
Pada pengamatan berahi, tampak sapi Bali dara pada perlakuan P3 dengan PK14 % memperlihatkan tanda-tanda berahi sangat jelas yaitu bagian vulva terdapat lendir yang menggantung, transparan, ketika diraba terasa hangat dan bewarna kemerahan serta bengkak, ternak terlihat gelisah, menurunnya nafsu makan dan sering melenguh, tingkah laku terlihat jelas serta ternak saling menaiki sesama betina dan diam ketika dinaiki. Hal ini sesuai dengan pendapat Partodihardjo (1992), yang menyatakan ciri dari berahi adalah ternak menjadi gelisah, nafsu makan berkurang, vulva bengkak, keluar lendir dan vulva menjadi kemerahan. Intensitas berahi yang sangat jelas tersebut berkaitan erat dengan pertumbuhan dan perkembangan folikel yang dipengaruhi oleh tingkatan nutrisi. Pertumbuhan dan perkembangan folikel lebih dari satu hingga fase folikel de graaf sangat ditentukan oleh kadar FSH dalam darah (Ridwan, 2006). Perkembangan folikel lebih dari satu selama siklus dan menjadi folikel de graaf merupakan kinerja sinergis antara FSH, estradiol (estrogen) dan juga LH, hal ini menunjukkan terdapat hubungan antara tingkatan nutrisi dengan intensitas berahi. Hal ini didukung oleh pendapat Suharto (2003) menunjukkan bahwa pada ternak yang diberikan ransum dengan kualitas yang baik menunjukkan intensitas berahi yang lebih tinggi. Selanjutnya menurut Suharto (2003) pemberian ransum dengan kualitas yang baik dapat meningkatkan kejelasan penampilan estrus (kebengkakan labia vulva, suhu vagina, pH lendir serviks, warna mucosa vagina dan kelimpahan lendir). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tingkat intensitas berahi sedang (skor 2) berada pada kisaran 67%, 33%, dan 37% berturut-turut untuk perlakuan P1,P2 dan P3. Sedangkan tingkat intensitas berahi kurang jelas, yaitu 33%, 33%
25
dan 0 % berturut-turut untuk perlakuan P1,P2 dan P3. Rendahnya intensitas berahi bervariasi yang ditandai dengan vulva yang memerah tapi tidak membengkak, lendir
dengan konsistensi yang kurang kental dan jumlahnya
sedikit serta tingkah laku
ternak terlihat gelisah tetapi menolak dinaiki oleh
ternak lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Kune dan Solihati (2007) menyatakan bahwa berahi dengan intensitas kurang jelas atau sedang, lebih disebabkan oleh faktor individu yang mungkin lebih berhubungan dengan pola hormonal terutama level hormon estrogen yang berperan dalam merangsang berahi. Penampilan gejala berahi yang kurang jelas dikarenakan oleh asupan pakan yang kurang memenuhi kebutuhan sehingga mengganggu sintesa dan regulasi hormon-hormon reproduksi yang sangat berperan dalam penampilan gejala berahi. Sesuai dengan pendapat Partodihardjo (1980) bahwa karena intensitas berahi dipengaruhi oleh hormon-hormon reproduksi, maka secara tidak langsung angka intensitas berahi (AIB) juga sangat dipengaruhi oleh status nutrisi ternak itu sendiri. Keadaan anestrus sering terjadi pada sapi yang kekurangan pakan. Tingkat energi yang rendah menyebabkan ovarium tidak aktif (Laing, 1970). Intensitas berahi dipengaruhi oleh kadar estrogen dalam sirkulasi darah. Menurut Tagama (1995), sintesis hormon estrogen terjadi di dalam sel-sel theka dan sel-sel granulose ovarium, di mana kolesterol merupakan zat pembentuk dari hormon ini, yang pembentukannya melalui beberapa serangkaian reaksi enzimatik.. Terjadinya silentheat dan sub estrus pada sapi Bali daradapat disebabkan oleh faktor pemeliharaan yang kurang baik salah satunya yaitu defisiensi nutrisi (Nurhayati dkk., 2008). Pada kasus silent heat, proses ovulasi berjalan secara
26
normal dan bersifat subur, tetapi tidak disertai dengan gejala birahi atau tidak ada birahi sama sekali. Silent heat sering dijumpai pada hewan betina yang masih dara, hewan betina yang mendapat ransum dibawah kebutuhan normal. Nurhayati, dkk (2008) menambahkan pada kejadian silent heat dan sub estrus sebenarnya hormon LH mampu menumbuhkan folikel pada ovarium sehingga terjadi ovulasi, tetapi tidak cukup mampu dalam mendorong sintesa hormon estrogen oleh sel granulosa dari folikel de Graaf. Hal inilah yang menyebabkan tidak munculnya birahi. Penanganan kasus silent heat dan sub estrus dapat dilakukan dengan peningkatan kualitas pakan agar ternak mendapat nutrisi yang cukup sehingga mekanisme hormonal dalam tubuh dapat berjalan dengan baik.
27
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Pemberian pakan konsentrat dengan kadar Protein kasar 14% pada Sapi Bali Dara yang dipelihara intensif dengan jerami padi sebagai ransum basal nyata dapat mempercepat timbulnya gejala berahi dan meningkatkan intensitas berahi. Saran Untuk mempercepat timbulnya berahi dan meningkatkan intensitas berahi pada Sapi Bali Dara yang dipelihara secara intensif dengan jerami padi sebagai ransum basal, disarankan untuk memberi pakan tambahan berupa konsentrat dengan kandungan protein kasar sebanyak minimal 1 % dari bobot badan .
28
DAFTAR PUSTAKA Abdelgadir AM, Izeldin A, Babiker, Eltayeb AE. 2010. Effect of concentrate supplementation on growth and sexual development of dairy heifers. J Appl Sci Res. 6(3):212- 217. Abidin, Z. 2002. Penggemukan sapi potong. Agromedia pustaka. Jakarta. Arora, S.P. 1995. Pencernaan mikroba pada ruminansia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Arthur, M.B., Hall, D.T. and Lawrence, B.S. 1989. Handbook of career theory. Cambridge Univeristy Press. Bandini, Y. 1999. Sapi Bali. Penebar Swadaya, Jakarta. Batan, Iw. 2006. Sapi Bali dan penyakitnya. Fakultas kedokteran hewan Universitas Udayana. Denpasar Bali. Beat, W. E., R.E. Short, R.B. Staigmiler, R.A. Bellows, C.C. Kaltenbach, and T.G. Dunn. 1978. Influence of dietary on bovine pituitary and luteal function. J. Anim. Sci. 46: 181 Borghese, A. 2005. Buffalo cheese and milk industry. Buffalo production and research REU Technical. FAO Regional office for Europe. Darmadja, S.D.N.D. 1980. Setengah abad peternakan Sapi Tradisional dalam Ekosistem Pertanian di Bali. Disertasi Universitas Padjajaran, Bandung. Day, M.L and Maquivar, M. 1986. Nutritional regulation of precocious puberty in beef heifers. The Ohio State University. Destomo, A. 2014.Performan reproduksi sapi Bali betina pada fase adaptasi pakan. Jurusan ilmu peternakan Fakultas Pertanian dan Peternakan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim . Riau Pekan Baru. Devendra, C dan M. Burns. 1994. Produksi kambing di daerah tropis. Penerbit Institut Pertanian Bogor. Diskin, M.G., Mackey, Roche J.F. and Sreenan J.M. 2003. Effects of nutrition and metabolic status on circulating hormones and ovarian follicle development in cattle. Anim. Reprod. Sci. 78: 345 – 370. Feradis, M.P. 2010. Reproduksi Ternak. Penerbit Alfabeta. Bandung. Frandson, R.D. 1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
29
Frandson, R.D., 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gajah Mada UniversityPress. Yogyakarta. Getzewick, K. 2005. Hormonal regulation of the onset puberty in purebred and crossbred Holstein and Jersey heifers. Thesis. The Virginia Polytechnic Institute And State University. Guntoro, S., 2002. Membudidayakan sapi Bali. Penerbit Kanisius Yogyakarta. Hafez, E.S.E,. and Hafez, B. 2000. Reproduction in farm animals, 76 Ed. Lippincott. Williams and Wilkins, Philadelphia. Handiwirawan, E dan Subandriyo. 2004. Potensi dan keragaman sumberdaya genetik sapi Bali. Wartazoa 14(3):107-115. Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi pemuliabiakan ternak di lapangan. Jakarta: Pt Gramedia Widiasarana Indonesia. Haresign, W. 1981. The influence of nutrition on reproduction in the ewe. 1. Effects on ovulation rate, follicle development and luteinizing hormone release. Anim. Prod. 32: 197. Haryanto, B. 1992. Pakan domba dan kambing. Pros. Domba dan kambing Untuk kesejahteraan masyarakat. Ispi dan Hpdki Cabang Bogor. P 26-33. Hopkins, S. M. 1989. Reproductive patterns of cattle. In: Veterinary endocrinology and reproduction. 4th Ed. L. E. McDonald and M. H. Pineda (Ed.). Lea and Febriger, Philadelphia. Hvelplund, T. and Madsen, J. 1985. Amino acid passageto the small intestine in dairy cows compared with estimates of microbial protein and undegraded dietary protein from analysis on the feed. Acta. Agric. Scand. Suppl. 25: 21- 36. Jainudeen, M. R., and Hafez E. S. E. 1987. Gestation, prenatal physiologi and parturition. In : Reproduction in Farm Animals. 5 th Ed. E. S. E. Havez (Ed). Lea and Febiger, Philadelphia. Kadarsih, S. 2003. Peranan ukuran tubuh terhadap bobot badan sapi Bali di propinsi Bengkulu. Jurnal Penelitian Unib 9 (1): 45-48. Koots, K.R., J.P. Gibson, C. Smith and J.W. Wilton. 1994. Analyses of published genetic parameters estimates for beef production traits.1. Heritability. Anim. Breed. Abstr., 62: 309-338. Kune, P. & Solihati N. 2007. Tampilan Berahi dan Tingkat Kesuburan Sapi Bali Timor Yang Diinseminasi. Jurnal Ilmu Ternak 7(1): 1-5
30
Laing, J. A. 1970. Fertility and fertility In the domestic animal. 2nd Ed. Balilire Tindal and Cassel, London; 397-401. Marawali A, Hine T. M, Burhanuddin dan Belli H. L. L. 2001. Dasar-dasar ilmu reproduksi ternak. Departemen pendidikan nasional, Direktorat jenderal pendidikan tinggi, Badan kerjasama perguruan tinggi negeri Indonesia Timur. Mauget R, Mauget C, Dubost G, Charron F. 2007. Non-invasive assessment of reprodukctive status in Chinese water deer (hydropotes inermis): Correlation with sexual behaviour. Mamm. Biol. 72 (2007)1:14-26. Nogueira Gp. 2004. Puberty in south American Bos Indicus (Zebu) cattle. Animal reproduction Science. 82–83: 361–372. Nurhayati, I.S., Saptati Ra. dan Martindah E. 2008. Penanganan gangguan reproduksi guna mendukung pengembangan usaha sapi perah (Handling of Reproduction Disturbance for Supporting Dairy Cattle Farming Development). National Researc Council (NRC). 1996. Natinal Science Education Standars. Washington, DC: National Academy Press. Pane, I. 1991. Produktivitas dan breeding sapi Bali. Pros. Seminar Nasional Sapi Bali. 2-3 September 1991. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin. Makassar. Parakkasi, A. 1995. Ilmu nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. UI Press. Jakarta. Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. UI Press. Jakarta. Partodihardjo, S. 1980. Imu Reproduksi Hewan. Mutiara, Jakarta Partodihardjo S. 1992. Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara Sumber Widya. Jakarta. Partodihardjo, 1987. Ilmu Reproduksi Hewan. Fakultas kedokteran Veteriner Jurusan Reproduksi Institut Pertanian Bogor Payne, W. J. A. and J. Hodges. 1997. Tropical Cattle; Origin, Breeds, and Breeding Policies. Blackwell Sciences. Prihatno, 2006. Beternak Sapi Perah Secara Intensif. PT. Agromedia Puastuti, W. 2013. Protein pakan tahan degradasi rumenuntuk meningkatkan produksi susu. Semiloka nasional prospek industri sapi Perah menuju perdagangan bebas – 2020. Balai penelitian ternak. Bogor
31
Rekwort, P., D, Ogwu., E, Oyedipe., dan V, Sekoni. 2000. Effect of bull exposure and body growth on onset of puberty in Bunaji and Friesian Bunaji heifers. Reproduction Nutritional Dev. 40: 359-367. Ridwan, 2006. Fenomena estrus domba betina lokal Palu yang diberi perlakuan hormon FSH . J. Agroland. Vol.13 (3) : 294-298. Rusdin dan Ridwan, 2006. Pengaruh Induksi Cairan Folikel Sapi Terhadap Non Return Rate dan Angka Konsepsi Domba Ekor Gemuk (Ovis aries). J. Agroland. Vol. 13 (2) : 181-185. Robert, S. J. 1971. Veterinary Obstetries And Genital Disease. Ithaca, New York. Romano MA., Barnabe WH, Silva AEDF, Freitas, Romano. 2005. The effect of nutritional level on advancing age at puberty in Nelore heifers. Ambiencia Guarapuava PR. 1:157-167. Rudolf, F.O. 2010. Puberty in beef heifers: A review. Jurusan ilmu peternakan Universitas Negeri Papua. Manokwari Papua. Salisbury, G. W. Dan N. L. Vandemark. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Sapi. Terjemahan R. Djanuar. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Sarwono, B, Arianto H.B. 2003. Penggemukan sapi potong secara cepat. Penebar Swadaya. Jakarta. P 1-58. Shehu Dm, Oni Oo, Olorunju Sas, Adeyinka Ia. 2008. Genetic and phenotypic parameters for body weight of Sokoto Gudali (Bokoloji) cattle. Int Jor P App Scs. 2(2):64-67 Siregar, S.B. 1995. Pakan ternak ruminansia. Penebar Swadaya. Jakarta. Siswanto M., Patmawati N. W., Trinayani N. N.,Wandia I. N dan Puja I. K. 2013. Penampilan reproduksi sapi Bali pada peternakan intensif di instalasi pembibitan Pulukan. BPTU sapi Bali dan Fakultas kedokteran hewan Universitas Udayana. Denpasar Bali. Soeni, R. 2007. Efek Pemberian Prostaglandin secara Intra Vaginal Spon (IVS) dan Intra Muskuler (IM) terhadap peningkatan kinerja Reproduksi Domba. J. Animal Reproduction. 9 : 129-134 Son Ch, Kang Hg, Kim Sh. 2001. Application of progesterone measurement for age and body weight at puberty, and postpartum anestrus in Korean native cattle. J Vet Med Sci. 63(12):1287-1291. Sugeng Y. B., 2000. Sapi potong. Penebar Swadaya, Jakarta.
32
Suharto, K. 2003. Penampilan Potensi Reproduksi Sapi Perah Frisien Holstein Akibat Pemberian Kualitas Ransum Berbeda dan Infusi Larutan Iodium Povidon 1% Intra Uterin. Tesis. Program Studi Magister Ilmu Ternak Universitas Diponegoro. Semarang Tagama, T.R. 1995. Pengaruh Hormon Estrogen, Progesteron dan Prostaglandin F2 Alfa terhadap Aktivitas Berahi Sapi PO Dara. Jurnal Ilmiah penelitian ternak grati. 4(1): 7-11 Talib, C. 2002. Sapi Bali di daerah sumber bibit dan peluang pengembangannya. Wartazoa 12(3): 100-107. Talib, C. K. Entwistle, A. Siregar, S. Budiartiturner and D. Lindsay. 2003. Survey of population and poroduction dynamics of Bali cattle and existing breeding programs In Indonesia. In: Strategies to improve Bali cattle in eastren Indonesia. K. Entwistle and D.R. Lindsay (Eds). Aciar proceedings No. 110.Canberra. Tillman A.D., Hartadi H., Reksohadiprojo S., Prawirokusumo S., dan Lebdosoekojo S. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan ke-5. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Toelihere, M.R. 1979. Fisiologi Reproduksi pada ternak, Penerbit Angkasa, Bandung. Toelihere, M.R. 1985. Fisiologi Reproduksi pada ternak. Penerbit Angkasa. Bandung. Toelihere, M.R. 2002. Increasing the success rate and adoption of artificial insemination for genetic improvement of Bali cattle. Workshop on strategies to improve bali Cattle in Eastern Indonesia. Udayana eco lodge Denpasar Bali 4–7 February 2002. Triyono, 2007. Pengaruh tingkat protein ransum pada akhir masa kebuntingan pertama terhadap performan dan berat lahir pedet sapi Perah peranakan Friesian Holstein (PFH) Utomo, R., 2004. Review hasil-hasil penelitian Pakan Sapi Potong. Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 14 (3) : 13-14 Williamson, G dan Payne W. J. A. 1993. Pengantar peternakan di daerah tropis, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Wiltbank, J.N,. W.W. Rowden, J.E. ingalls, K.E Gregory, and R.M. Koch. 1962. Effect of energy on reproduvtive phenomena of mature Hereford cows. J. Anim. Sci. 21: 219-225
33
Wiltbank, J.N., W.W. Rowden, J.E. ingalls, and D.R. Zimmerann. 1964. Influence of post-partum energy level on reproductive performance of Hereford cows restricted in energy intake prior to calving. Anim. Sci. 23: 1.0491.056. Yendraliza. 2013. Pengaruh nutrisi dalam pengelolaan reproduksi ternak studi literatur. Fakultas Pertanian Peternakan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau. Yusuf. T. L. 1990. Pengaruh Prostaglandin F2 alfa Gonadotrophin Terhadap Aktivitas Estrus dan Super Ovulasi dalam Rangkaian Kegiatan Transfer Embrio pada Sapi FH, Bali dan PO. Disertasi. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor
34
LAMPIRAN
Lampiran 1 : Analisa sidik ragam pengaruh pengaruh perlakuan pemberian pakan terhadap kecepatan berahi pada sapi Bali dara
Descriptive Statistics Dependent Variable:Kecepatan berahi Std. Deviation
Perlakuan
Mean
N
Protein Pakan 10%
82.0000
17.84657
5
Protein Pakan 12%
43.7500
38.21322
4
Protein Pakan 14%
34.2000
.44721
5
Total
54.0000
30.32643
14
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Kecepatan berahi Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Corrected Model
6300.450a
2
3150.225
6.127
.016
Intercept
39360.004
1
39360.004
76.555
.000
Perlakuan
6300.450
2
3150.225
6.127
.016
Error
5655.550
11
514.141
Total
52780.000
14
Corrected Total
11956.000
13
a. R Squared = .527 (Adjusted R Squared = .441)
35
Kecepatan_Berahi Duncan Subset Perlakuan Protein Pakan 14% Protein Pakan 12% Protein Pakan 10% Sig.
N
1
2
5 34.2000 4 43.7500 5
82.0000 .535
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 514.141.
36
Lampiran 2. Dokumentasi Kegiatan 1. Persiapan Penelitian
1.a. Palpasi pemeriksaan kondisi Reproduksi
1.b. Cap Bakar/identitas ternak
1.c. Pengukuran Dimensi Tubuh dan berat badan
37
2. Pelaksanaan penelitian
2.a. Penimbangan pakan
2.b. Pengadukan pakan
2.c. Pemberian Pakan
38
3. Pengamatan Berahi
3.a. Mengamati kondisi Vulva
3.b. Mengamati Kondisi vulva
3.c. Mengamati kondisi Vulva
39
RIWAYAT HIDUP Trianta Tahir,
lahir pada 10 Juni 1991 di Desa
Mario ,Kecamatan Kulo, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan. Penulis merupakan anak tunggal dari pasangan Tahir dan Syamsiah. Pendidikan formal yang ditempuh penulis sejak 1999-2011 yaitu Madrasah Ibtidaiyah Sallomallori, SMP Negeri 2 Panca Rijang dan SPP Negeri Rappang Sidrap. Penulis diterima melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan menempuh pendidikan dengan Beasiswa Biaya Pendidikan Miskin Berprestasi (BIDIK MISI) di Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin. Pada Fakultas Peternakan penulis mendalami konsentrasi keilmuan pada bagian Sosial Ekonomi Peternakan dan melaksanakan penelitian tugas akhir pada bidang produksi unggas. Selama kuliah penulis aktif sebagai asisten laboratorium di Laboratorium Kesehatan Ternak sebagai Koordinator Asisten, juga aktif dalam kegiatan ekstrakurikuer penulisan karya tulis Ilmiah tingkat Universitas dan tingkat Nasional.
40