Peranan Kepemimpinan dalam Pembangunan Derah : Studi Kasus Gorontalo
Vitri Nurmalasari, M. Syaikh Rohman*
Abstract Economic growth is important for each country. Generally, economic growth is derivated from production function, such as capital availability and labor. But the fact shown these two factors is not enough to describe the complexity of growth. Another factor has been believed become a catalyst of economic growth on endogeneous growth theory. Based on Robert J. Stimson’s research (2005) who introduce new concept of natural resources and leadership to change and create suitable institutional part, so this paper will focus to analyze how central position of a leader in economic growth in Gorontalo. This study use data of economic growth in Gorontalo after decentralization with qualitative concept. The result show these three variables is significant to influence the economic growth in Gorontalo, and has been success make an incredible province. Key Word : regional economic growth, leadership, institution, Gorontalo.
* Mahasiswa Ilmu Ekonomi , Fakultas Ekonomi UNAIR Surabaya.
1. Pendahuluan
Sebagai negara kepulauan yang memiliki 33 provinsi, pemerintah pusat dituntut untuk melakukan pembangunan agar nantinya tercipta kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Namun pada kenyataannya pembangunan yang dilakukan terpusat pada daerah-daerah tertentu sehingga menimbulkan ketimpangan kesejahteraan di beberapa wilayah seperti yang terlihat jelas pada wilayah Indonesia bagian Timur dan Barat. Irian Jaya misalnya, daerah tersebut akan akan sumber daya mineral, namun kondisi kesejahteraan masyarakatnya masih sangat rendah. Berbeda dengan pulau Jawa yang dianggap sebagai pusat pembangunan di Indonesia. Untuk meminimalkan hal tersebut, desentralisasi menjadi salah satu konsep penting untuk mencapai efisiensi dan efektifitas provinsi dalam menyediakan pelayanan jasa dan infrastruktur. Hal tersebut didasarkan pada terbatasnya kemampuan pemerintah pusat Indonesia untuk memberikan pelayanan pada setiap daerah. Apalagi tidak jarang apa yang diberikan oleh pemerintah pusat tidak sesuai dengan keinginan pemerintah daerah (Rondinelli, 1990). Sehingga misi otonomi daerah yang diatur dalam Undang-Undang nomer 22 tahun 1999 dan UU no. 25 tahun 1999 bukan hanya keinginan untuk melimpahkan kewenangan dan pembiayaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, tetapi yang lebih penting adalah keinginan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya keuangan, kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat. Namun dalam kenyataannya misi otonomi daerah tersebut belum dapat dijalankan dengan baik. Terbukti dengan banyaknya kasus korupsi yang melibatkan pejabat daerah, pelayanan publik yang belum maksimal, dan tingkat kesejahteraan masyarakat belum menunjukkan peningkatan. Tetapi tidak semua daerah mengalami hal tersebut. Gorontalo menjadi salah satu provinsi yang sukses menerapkan misi otonomi daerah. Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa Gorontalo mampu merubah kondisinya dari yang semula hanya memiliki sedikit dumber daya alam, bahkan kondisi infrastruktur dan kualitas SDM yang rendah, hingga akhirnya kini menjadi provinsi yang mengalami percepatan dalam pertumbuhan ekonomi. Bahkan Jones (2003) dalam sebuah tulisan ilmiahnya menyatakan otonomi daerah hanya akan membawa cahaya pada provinsi Sulawesi Utara bukan Gorontalo. Keputusan untuk menjadikan Gorontalo sebuah provinsi dikatakan kurang tepat karena banyaknya penduduk miskin yang ada disana. Dengan adanya desentralisasi ini Gorontalo seakan dilepas begitu saja untuk menentukan nasibnya sendiri. Apalagi Gorontalo harus berkompetisi dengan Sulawesi Utara dan provinsi lainnya yang lokasinya lebih strategis pada pasar dunia, dengan adanya Bandara Samratulangi dan bandara Bitung. Dia menyebutkan bahwa Manado adalah pusat dari aktifitas ekonomi tidak hanya bagi Sulawesi Utara tetapi juga Gorontalo. Gorontalo hanya bisa berharap mendapatkan keuntungan ekonomi dari posisinya saat ini yang menjadi provinsi baru. Ternyata kini Gorontalo tidak hanya berharap mendapatkan keuntungan ekonomi. Tetapi lebih dari itu Gorontalo mampu membuktikan menjadi provinsi dengan pertumbuhan ekonomi yang baik. Sebuah keajaiban yang diragukan oleh banyak pihak sebelumnya. Dalam paper ini akan dibahas mengenai bagaimana usaha yang dilakukan oleh Gorontalo dalam mengubah kondisinya hingga menjadi provinsi yang patut diperhitungkan.
2. Konsep dan Kerangka Kerja Stimson (2003) menyatakan siklus pembangunan daarah ditentukan oleh pola kepemimpinan efektif yang dapat mengubah dan menyesuaikan model kelembagaan supaya mampu beradabtasi dengan struktur, proses, dan infrastruktur dalam ekonomi regional. Hal tersebut secara ringkas dijelaskan secara ringkas dalam sebuah kerangka kerja berikut ini. Siklus Pembangunan Daerah yang Berkelanjutan Kepemimpinan yang proaktif
Penggunaan potensi yang tepat
Ketersediaan Sumber Daya
Pembangunan mandiri
Kondisi pasar
Visi pembangunan ke depan
Strategi, rencana, dan proses
Perubahan institusional
Mekanisme penggunaan Kelembagaan yang efektif dan infrastruktur regional
Sumber : Robert J. Stimson, 2005
Model di atas menjelaskan bagaimana peran penting sebuah kepemimpinan dalam mewujudkan pembangunan mandiri (sustainable development). Dengan visi, strategi, dan perencanaan yang tepat akan mengubah pola kelembagaan pada daerah tersebut. Pola yang diharapkan adalah efektifitas kelembagaan yang mendukung proses pembangunan daerah. Kelembagaan ini juga yang mengatur bagaimana meknisme penggunaan sumber daya yang ada dan ketersesuaiannya dengan kondisi pasar. Dengan penggunaan potensi yang tepat pada akhirnya mampu mewujudkan seuatu pembangunan daerah yang mandiri. Jadi secara umum peranan kepemimpinan sangat penting untuk menentukan bagaimana model kelembagaan yang diinginkan untuk mendukung terlaksananya pembangunan daerah yang bervisi kedepan untuk mewujudkan pembangunan yang mandiri.
3. Pembahasan 3.1 Kepemimpinan (Leadership) Menurut James A.F. Stoner (1985) dalam bukunya mengenai manajemen, Leadership adalah proses secara langsung oleh seseorang dalam mempengaruhi aktivitas suatu kelompok. Implikasi penting dari pernyataan tersebut adalah : 1. Kepemimpinan harus melibatkan orang lain anggota 2. Sebuah kepemimpinan mengakibatkan adanya distribusi kekuatan yang seimbang antara pemimpin dan pengikutnya 3. Seorang pemimpin dapat memberikan pengaruh. Namun dalam pandangan ekonomi regional, leadership tidak hanya didefinisikan sebagai “seseorang” tetapi lebih kepada tindakan bersama (collaborative action). Apalagi dengan kondisi ekonomi seperti sekarang ini dimana ketergantungan semakin meningkat dan perubahan/perkembangan tekhnologi yang semakin cepat kebersamaan bukan hanya dibutuhkan, tetapi ini sudah menjadi hal yang sangat krusial/penting. Bila sebelumnya leadership lebih didasarkan pada otoritas hirarki tradisional yang membatasi hubungan antara pemimpin (leader) dan pengikut (follower), namun saat ini kekuatan (power), pengaruh (influence) dan pengambilan keputusan (decision making) lebih menyebar antara keduanya dengan misi yang sama yaitu untuk mencapai tujuan bersama (Hennan dan Bennis,1999). Sehingga konsep leadership dalam pembangunan ekonomi regional tidak akan berdasarkan pada hubungan layaknya hirarki tradisional, namun konsep ini dinyatakan sebagai hubungan bersama antara pelaku institusional yang meliputi pemerintah, swasta, dan sektor umum lainnya. Dan hubungan tersebut akan didasarkan pada saling percaya dan kerjasama (Stimson et al.,2002:279). Stimson juga memberikan beberapa catatan penting mengenai leadership dalam pembangunan ekonomi regional. Diantaranya adalah: 1. Mengakui dan mengantisipasi masalah, khususnya sesuatu yang diperkirakan memberi ancaman dalam skala besar. 2. Memberikan pengawalan terhadap strategi pembangunan. 3. Berpartisipasi dalam pelaksaaan strategi. 4. Mengawasi pelaksanaan implementasi kebijakan untuk menilai progress kerjanya.
3.2 Pola Kepemimpinan Proaktif Sebagai seorang pemimpin kecepatan dan ketepatan sikap diperlukan dalam menentukan kebijakan-kebijakan yang akan ditempuh. Pola kepemimpinan yang proaktif menjelaskan bagaimana seorang pemimpin tidak hanya menunggu tetapi mencari atau bahkan mengejar peluang yang mampu mendukung pertumbuhan di daerahnya. Dalam kasus Gorontalo sikap ini cukup jelas dimiliki oleh Gubernurnya, yaitu Fadel Muhammad. Hal ini dapat ditinjau dari beberapa tindakan yang diambil oleh fadel dalam upaya memajukan pertumbuhan ekonomi Gorontalo, seperti beberapa contoh berikut ini. 3.2.1 Kerjasama Birokrasi Sebagai seorang yang berlatar belakang pengusaha, Fadel menjalankan perekonomian Gorontalo dengan sistem pengusaha. Dalam
rangka menetapkan komoditas unggulan yang nantinya menjadi sektor unggulan perekonomian di Gorontalo, Fadel mengumpulkan segenap birokratnya, kemudian mereka diajak berdiskusi mengenai apa yang harus dikerjakan untuk membangun Gorontalo. Hingga pada akhirnya dipilihlah jagung sebagai komoditas utama pertanian. 3.2.2 Penyediaan Infrastruktur Sikap fokus dalam pembangunan menjadi salah satu aspek yang cukup berpengaruh dalam perkembangan Gorontalo. Hal ini dapat dilihat pada satu kondisi dimana Gorontalo saat itu ingin memproduksi jagung satu juta ton. Untuk pelaksanaan proyek tersebut pemerintah perlu membangun infrastruktur pendukung seperti akses jalan dan irigasi. Pembangunan tersebut tentu membutuhkan biaya. Dengan kondisi keuangan yang tidak mencukupi Fadel meminta bantuan kepada Menteri PU dan Menteri Pertanian. Mereka setuju karena parameternya jelas. Dengan dana bantuan itu Fadel mengembangkan pemerintahan agropolitan, pertanian, perikanan, dan sumber daya manusia. Sehingga dengan target yang jelas, arah kebijakan lebih terarah dan kebutuhan investasi juga jelas. Kelemahan daerah lain dalam proses pembangunan adalah sering tidak fokus. Terlalu banyak rencana kerja yang disusun, akibatnya malah tidak tercapai. 3.3 Visi Pembangunan ke Depan Satu hal penting yang patut diperhatikan adalah bagaimana tindakan/kebijakan yang diambil oleh seorang gubernur didasarkan pada visi pembangunan ke depan. Fadel telah menetapkan visi yang dirangkum sebuah kalimat yang jelas, yakni ”Membangun masyarakat Gorontalo yang mandiri, berbudaya entrepreneur yang bersandar pada moralitas agama.” Kemandirian diukur dengan kemampuan mempertahankan otonomi Provinsi Gorontalo agar tidak kembali ke provinsi induk. Sedangkan budaya entrepreneur diukur dengan kemampuan masyarakat dalam melakukan pembaruan, pengorganisasian, penciptaan sesuatu yang ditujukan untuk mencapai kemakmuran disertai penghitungan risiko. Sementara moralitas agama, adalah suatu keyakinan terhadap nilai-nilai kebenaran dan kebaikan yang bersumber dari ajaran agama. Guna mendukung visinya tersebut, Fadel membuat paradigma 'daerah membangun' bukan 'membangun daerah' di samping mempunyai program yang fokus, yakni SDM, perikanan dan pertanian. Sehubungan dengan dua fokus yang disebut terakhir ini, jagung dan ikan adalah dua komoditas yang dalam empat tahun ini dilambung-lambungkan sebagai brandingnya Provinsi Gorontalo.
3.4 Strategi, Rencana, dan Proses Dalam menjalankan visi pembangunan daerah, mutlak diperlukan rencana dan strategi mengenai langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mencapai pembangunan yang diinginkan. Sebagai seorang gubernur, Fadel menjalankan beberapa strategi yang terarah untuk mewujudkan pembangunan ekonomi yang lebih baik.
3.4.1
Komunikasi Politik Beberapa langkah dilakukan Fadel berkenaan dengan posisinya sebagai Gubernur. Salah satu cara yang dilakukan adalah membangun 'komunikasi politik' dengan rakyatnya dengan mengumumkan nomor handphone pribadinya kepada seluruh rakyat Gorontalo. Sehingga setiap saat semua rakyatnya bisa menyampaikan berita maupun keluhannya dengan SMS. Fadel juga satu-satunya gubernur yang mau berdialog secara langsung dengan rakyatnya melalui live talk di RRI Gorontalo setiap Minggu pagi. Dampaknya bisa ditebak. Bukan hanya ide yang terlontar tapi juga kritik yang memerahkan telinga. Meski demikian, komunikasi politik itu punya efek yang luar biasa, antara Fadel dan rakyat terbina kedekatan yang sulit ditandingi oleh kepala pemerintahan mana pun di tanah air ini. Karena kedekatan ini pula, Fadel tidak sampai hati menutup pintu rumah dinasnya untuk rakyat Gorontalo, Rakyat juga merasa belum tenang jika masalahnya belum diadukan kepada gubernurnya.
3.4.2
Ketegasan Sikap Salah satu kendala terberat yang dihadapi Fadel adalah mengubah mindset (pola pikir) birokrat. Pada awal pemerintahan, jajaran pemerintah daerah selalu bekerja dengan menunggu petunjuk. Mereka menunggu sistem dan prosedur. Hal ini berlangsung pada tahun pertama pemerintahan. Dengan background sebagai seorang pengusaha, Fadel merasakan ketidakpuasan terhadap birokrasi yang begitu lambat, tidak efisien, dan tidak efektif. Sangat berbeda dengan swasta, yang lancar dan efektif. Hal tersebut yang kemudian memotivasinya untuk mengubah budaya birokrasi tersebut. Untuk merubah kebiasaan bahkan pola piker bukan menjadi hal yang mudah. Demi mencapai kultur birokrasi yang cekatan dan aktif, Fadel menerapkan model pemerintahan yang semiotoriter, yaitu dengan metode tangan besi untuk memaksakan perubahan yang diyakini kebenarannya. Banyak leader (dalam hal ini pemimpin daerah) yang tidak terlalu berani memakai tangan besi untuk memaksakan kehendak yang baik. Tetapi Fadel percaya bahwa tindakan yang dilakukannya bertujuan membangun pemerintahan ke arah yang lebih baik.
3.4.3
Transparansi Informasi Dalam hubungannya dengan kelembagaan, Gorontalo telah menerapkan e-government (yaitu media komunikasi antara pemerintah dengan masyarakatnya melalui instrument teknologi informasi) untuk mendukung demokratisasi informasi dan komunikasi. Walaupun dibuat dengan tampilan website yang sederhana, namun informasi mengenai pelayanan publik tersedia dengan cukup baik. Hal ini membuktikan adanya kemauan dan penanganan yang serius dari pemerintah lokal untuk mengabarkan informasi yang ada kepada masyarakatnya. Hingga saat ini Gorontalo adalah satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan Regulasi Pemerintah Daerah No.3, tahun 2000 mengenai transparansi dalam organisasi pemerintah daerah.
Regulasi ini menjadi legitimasi untuk mewujudkan demokratisasi informasi dan komunikasi melalui media, termasuk website. Regulasi ini juga menjelaskan bagaimana pemerintah lokal menginformasikan segala aktifitas pemerintahan yang terjadi kepada masyarakatnya, seperti proses kebijakan umum, hasil pembangunan, belanja dan pendapatan pemerintah lokal, rencana kerja, audit, dan struktur serta fungsi lembaga-lembaga umum. Regulasi ini juga memungkinkan bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi yang sebenarnya dan mengawasi kinerja pemerintah. Meithya Rose (2004) menyatakan bahwa tindakan (pelaksanaan regulasi dan e-government) yang diambil oleh pemerintah Gorontalo ini adalah sebuah keputusan yang berani. Sebagaimana yang diketahui bahwa kondisi pembangunan di Indonesia saat ini dipengaruhi oleh keputusan politik. Sehingga hanya beberapa daerah saja yang bersedia membangun kehidupan yang demokratis dalam institusinya dengan serius, disaat daerah-daerah lainnya tidak ingin menyediakan informasi yang jelas kepada masyarakatnya. 3.4.4
Kapasitas Manajemen Selain itu juga terjadi reformasi pemerintah dalam kapasitas manajemen. Ada beberapa hal yang dilakukan, pertama mengenai kemampuan pengelolaan keuangan daerah. Hal tersebut sangat penting karena jika ditangani dengan tidak baik maka akan menjadi sumber fitnah dan sumber korupsi. Yang kedua, sumber daya aparatur. Dan yang ketiga adalah penguasaan informasi dan teknologi. Ketiganya dilakukan sesuai dengan perencanaan yang tepat. Karena dengan pengaturan yang baik, maka pemda otomatis bagus. Inilah kapasitas manajemen kewirausahaan. Dalam buku-buku teori, ini disebut new public management.
3.4.5
Menetapkan komoditas Unggulan Pertanian merupakan salah satu bidang yang akan dikembangkan mengingat potensi pertanian di Gorontalo sangatlah besar. Namun, pertanian mencakup bidang yang sangat luas, sehingga perlu lebih difokuskan lagi. Akhirnya dipilih jagung sebagai komoditas andalan karena dirasa pas dengan alam Gorontalo yang kering. Selain itu, menanam jagung tidak memerlukan waktu lama sehingga dalam waktu singkat dapat meningkatkan penghasilan masyarakat yang sebagian besar miskin. Untuk mendukung programnya ini, Fadel membuat program Agropolitan yang dicanangkan pada 8 Maret 2002. Industri jagung dari hulu ke hilir diperhitungkan secara cermat, adanya jaminanan ketersediaan benih unggul dan pupuk dengan harga terjangkau petani, prasarana dan jalan ke sentra jagung dibangun, demikian pula kebijakan perbankan di Gorontalo dibangun Fadel untuk mendukung agropolitan jagung ini. Para petani dan Camat dibawa Fadel ke Jawa hingga Thailand untuk belajar memproduksi pertanian yang baik. Hasilnya, spektakuler. Petani Gorontalo mampu menciptakan benih jagung unggul bernama
3.4.6
Lamuru FM. Dan sejak tahun 2002, Gorontalo telah mengekspor jagung ke Malaysia dan Korea Selatan langsung dari Pelabuhan Gorontalo. Rencana selanjutnya, Gorontalo bercita-cita akan mengekspor jagung hingga satu juta ton. Klimaksnya, Presiden RI menunjuk Provinsi Gorontalo sebagai satu dari tujuh provinsi penyangga pangan jagung nasional. Sistem pendidikan dan Pemerintahan Pendidikan disusun berbasis kawasan, sehingga pelajar dan mahasiswa belajar tentang potensi dan pengembangan Gorontalo. Tidak perlu belajar tentang hal-hal yang tidak dimiliki Gorontalo atau Sulawesi. Kepada rakyat miskin, Fadel menciptakan sebuah program unik sehingga mereka bisa berobat dan bersekolah secara gratis. Staf dan pegawai Pemprov Gorontalo tampak berubah, mulai aktif, semakin bergairah dan bergerak semakin cepat. Bahkan istilah-istilah efisiensi, efektif, kreatif, dan inovatif yang sebelumnya populer di dunia perusahaan kini menjadi bahasa sehari-hari di kalangan staf Pemprov Gorontalo. Fadel juga tidak segan memberikan penghargaan (reward) kepada pegawainya yang berprestasi. Hal lain yang menarik dari Gorontalo, mulai tahun 2004 telah disetujui sistem penyusunan APBD yang berbasis kinerja. Dalam sistem ini pelaksanaan pekerjaan terhindar dari sistem proyek. Semua staf bertanggung jawab dan oleh karena itu berhak atas insentif. Dari eselon tertinggi hingga terendah berhak atas dana insentif yang terendah berkisar Rp 750,000 untuk pangkat golongan I. Fadel menunjuk model manajemen entrepreneurial government (pemerintahan bervisi wiraswasta) dan masyarakat yang mandiri. Model manajemen ini berisi prinsip kerja keras, bergerak efektif, tidak statis dan hanya menunggu seperti yang biasa melekat dalam manajemen birokrasi pemerintah selama ini. 'Manajemen wirausaha' ini juga sangat efisien dan berani membuat perubahan yang disesuaikan dengan tuntutan dan kebutuhan.
3.5 Perubahan Institusional Dalam ekonomi regional diperlukan pengaturan/sistem kelembagaan yang cocok untuk mengatur dan membiayai strategi kerja pemerintah lokal dan menjamin terlaksananya rencana kerja tersebut sehingga menimbulkan tindakan (Simmie, 1997). Jadi institusi atau kelembagaan mencakup sistem nilai yang terlembagakan dalam hukum/UU/peraturan yang memberi batasan bagi aktor ekonomi untuk menentukan pilihan-pilihan ekonomi. Dengan pola kepemimpinannya, Fadel mampu menciptakan budaya birokrasi yang baik. Dalam hal ini, membangun budaya birokrasi dengan bersandarkan pada tiga pilar, yakni inovasi, bekerja kelompok atau teamwork, dan bekerja untuk membangun kepercayaan rakyat dan bukannya takut kepada gubernur, bupati ataupun camat. Birokrasi yang tertata dengan baik mempermudah terjadinya aktifitas-aktifitas ekonomi tidak hanya bagi pemerintah tapi juga masyarakat.
3.6 Pembangunan Mandiri (Sustainable Develpoment) Pada awal pembentukannya, banyak yang pesimis Gorontalo bisa mandiri, Bahkan tidak sedikit yang memprediksikan dalam tiga tahun Gorontalo akan dikembalikan ke provinsi induknya yaitu Sulawesi Utara. Anggapan itu mungkin ada benarnya, karena pada awalnya PAD Gorontalo hanya Rp 7,5 miliar dengan pendapatan per kapita masyarakatnya berkisar Rp 2 juta per tahun atau sekitar Rp 6.000 per hari per jiwa. Infrastruktur yang ada jauh dari memadai, jalan-jalan ke sentra-sentra produksi cukup sulit, mutu SDM terbatas, dan perekonomian masyarakat belum bisa dikatakan sejahtera. Di sisi lain, dana pusat yang diharapkan menjadi alternatif andalan sulit diharapkan akibat belum pulihnya perekonomian nasional. Kondisi itu makin diperparah oleh pola kerja dan kinerja birokrat yang masih lemah, statis dan bersifat menunggu. Bahkan birokrasi pemerintahan provinsi (pemprov) masih didominasi pola kerja penguasa, bukan birokrasi yang melayani seperti halnya harapan rakyat (Kabar Indonesia, 2007). Berdasarkan data di Bappeda provinsi Gorontalo (2007) ada beberapa masalah di- derah tersebut seperti : 1. Lemahnya akses yang diakibatkan oleh keterbatasan sarana dan prasarana (Jaringan jalan& jembatan, listrik, irigasi, air bersih, pasar, kesehatan, pendidikan dan infrastruktur dasar lainnya). 2. Rendahnya kualitas SDM (pendidikan, pengetahuan, teknologi dan keterampilan relatif rendah). 3. Lokasi (geografi) yang sulit dijangkau (perbukitan/pegunungan, pedalaman, kepulauan, pesisir dan pulau-pulau terpencil) Masalah-masalah tersebut mengindikasikan sulitnya pembangunan yang akan dilakukan di Gorontalo. Apalagi sebagai provinsi baru kecil kemungkinan bagi Gorontalo mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih baik. Karena permasalahan yang ada tidak hanya pada masyarakatnya tatapi juga sampai dikalangan pemerintah daerahnya. Namun kini Gorontalo berhasil merubah kondisinya dari yang dulunya minus kini malah mencapai pertumbuhan ekonomi 7-8 persen. Itu jauh di atas pertumbuhan nasional. Bahkan 2008 ini mencapai angka 8,4 persen. Angka kemiskinan menurun dari 72 persen menjadi 33 persen. Fakta-fakta lain yang membuktikan kebehasilan provinsi ini adalah grafik pertumbuhan ekonomi Gorontalo saat ini naik signifikan, bahkan tertinggi setiap tahun naik. Dari 5,1% pada tahun 2001, lalu 2002 sebesar 6%, di tahun 2003 menjadi 6,7%. Tahun 2004 naik lagi menjadi 7,3 persen. Pendapatan perkapita rakyat juga naik dari Rp 2 juta menjadi rata rata Rp 4 juta. Satu lagi bukti keberhasilan Fadel adalah menaikkan kekuatan APBD hingga lebih dari 60 persen. Yakni, dari Rp. 262,81 milliar (2005) menjadi Rp. 439,84 miliar (2006). Terakhir, sebagai Gubernur Gorontalo Fadel berhasil mendapat predikat belanja publik terbaik dari Bank Dunia dengan angka 72 persen.
4. Kesimpulan Dalam pelaksanaan proses pembangunan daerah selain memperhatikan masalah ketersediaan modal dan tenaga kerja, ada hal lain yang juga perlu diperhatikan dalam upaya mendukung pertumbuhan ekonomi daerah. Pola kepemimpinan yang baik (dinyatakan Strong Proactive Leadership) mampu menata bahkan merubah model kelembagaan/birokrasi yang ada sehingga dapat mendukung program-program pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Dengan model kelembagaan yang tepat pada akhirnya mampu membuat daerah mencapai kemandirian pembangunan. Study kasus di provinsi Gorontalo menjadi salah satu bukti bagaimana ketiga variabel tersebut berperan dalam proses pembanguna ekonomi. Meskipun pada awalnya kondisi infrastruktur, ekonomi, dan SDM yang ada sangat tidak mendukung, namun dengan pola kepemimpinan yang tegas dan tepat, serta agendaagenda kerja yang terarah, membuat kebijakan yang dimabil semakin fokus pada tujuan pembangunan daerah. Sehingga dengan segala kemampuan dan kerja keras itu Gorontalo kini menjadi provinsi yang cukup maju.
Daftar Pustaka Alm, J., Aten, R. H.and Bahl, R. (2001): Can Indonesia Decentralize Successfully? Plans, Problemsand Prospects. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 37(1), pp. 83–102. Bappeda Provinsi Gorontalo (2007), pp.2/21. Firman, Tommy. (2003): Potential Impacts of Indonesia’s Fiscal Decentralisation Reform on Urban and Regional Development: Towards a New pattern of Spatial Disperity. London: Space and Polity, 7:3, 247-271 Immanudin, Syahrir (2007): Fadel Muhammad: Gubernur Rakyat. Indonesia: Kabar Indonesia. Jawa Pos (2007). Fadel Muhammad-Kepala Daerah sekaligus Entrepreneur, 11 November. Diambil dari www.jawapos.co.id Jones, G. and Lucky, S. (2003): An Economic Survey of Sulawesi: Turning Weakness into Streights under Regional Autonomy. London: Bulletin of Indonesian Economic Studies, 39:3, 273-302. Radar Bali (2008). Gubernur jagung Bagi Tips Sukses di Radar, 26 Juni. Diambil dari www.jawapos.co.id Rondinelli, D. A. (1990): Decentralizing Urban Development Programs: a Framework for Analyzing Policy. Office of Housing and Urban Programs, US Agency for International Development, Washington, DC. Rose, M. (2004): Democratizing Information and Communication by Implementing egovernment in Indonesian Regional Government. Indonesia: Elsevier. Simmie, J. (1997):
, in Simmie, J.(ed.): Innovation, Network and Learning Regions,pp. 1-23. London:Jessica Kingsley. Stimson, R.J.; Stough, R.R. and Roberts, B.H.(eds.) (2002): Regional Economic Development. Berlin: Springer, pp. Stimson, R.J.; Stough, R.R. and Salazar, M. (2005): Leadership and Institutional Factors in Endogeneous Regional Economic Development,pp.23-52. Meksiko.