Peranan Keadilan Sebagai Pembinaan Karakter Dalam Pelaksanaan Solidaritas Eksternal Gereja Batak Karo Protestan (Gbkp) Jemaat Pontianak
Oleh NATASYA BR TARIGAN 712010050
TUGAS AKHIR Diajukan kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi disusun sebagai salah satu persyaratan mencapai gelar Sarjana Sains Teologi (S.Si, Teol)
Program Studi Teologi
Fakultas Teologi UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015
i
ii
iii
iv
v
Motto Manusia yang berkarakter tdk dihasilkan melalui proses yang mudah serta, ia mampu menciptakan usaha-usaha dalam setiap prosesnya.
Janganlah kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan Roma 12:11
vi
Ucapan Terimakasih Saya sangat bersyukur karena dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Banyak kesulitan yang saya hadapi, tetapi banyak pihak yang selalu mendukung dalam setiap proses yang saya hadapi. Kekuatan dan dukungan dari semua pihak memberi semangat kepada saya hingga penyelesaiannya. Tidak lupa juga dalam penyertaan dan perlindungan dari Tuhan Yesus Kristus menuntun saya untuk tetap teguh menyelesaikan studi, terkhusus dalam pengerjaan tugas akhir ini. 1. Saya berterimakasih untuk bapak Tigan dan Mamak Barus yang selalu mengingatkan saya untuk tetap melaksanakan tugas dan tanggung jawab saya sebagai mahasiswa, sebagai anak, sebagai kakak dan sebagainya. Bujur pak, mak ! 2. Saya juga berterimakasih kepada adik-adikku (kining dan ogon) yang selalu berbagai keceriaan sehingga membuat kakak bisa semangat belajar di tempat yang jauh. Bersyukur bisa menjadi teladan bagi kalian. Juga buat keluarga yang selalu mendoakan, buat biring, bulang barus(+), mama (tua, tengah, uda), bibik, bapa(tua, tengah, tua), kakak dan abang 3. Terimakasih juga buat teman-teman teologi 2010 yang selalu mendukung untuk tetap belajar dan bertumbuh menjadi seorang pelayan Tuhan. Terkhusus buat Puspita, Cerol, Desi, Eka, Dekson, lamhot, Nando, Bembeng dan yang lainnya. Mari menjadi pelayan Kristus yang setia di berbagai tempat!!! 4. Terimakasih buat para dosen beserta pegawai di fak.Teologi yang sudah membagi kekayaan ilmu bagi kami sehingga kami menjadi pribadi yang baru setelah keluar dari UKSW. 5. Terimakasih buat teman-teman permata dan IGMK yang sudah membagi pengalaman berorganisasi, bertemu saudara/i baru di Salatiga (berbagai tangis, tawa, amarah, gossip). Gak ada lo, gak rame jadinya nake !! Terimakasih untuk tetap saling mendukung dalam persekutuan, terkhusus buat Sembut, floren, mery, andryan tubi, mita, eka flo, Helen, lucy, Christine, dosi, olan, wahyu, mostow, ike, thea, Rachel, esa, sadrah, mesah, wiliam, karunia, faldi, rajes, boby, maya, santa, kk elsa, berma, yuda, boy, yana, bg dinan, bg josep, vitry, nando,andre, alan, eka, dll, maaf jika tidak bisa disebutkan satu-persatu. 6. Terimakasih juga buat teman-teman dalam perkumpulan batak, dimana melalui perkumpulan ini saya bisa lebih mengenal budaya, sifat dan perbedaan serta tetap memberi kesempatan bagi saya merasa dimiliki dan memiliki dalam persekutuan ini 7. Terimakasih juga buat teman-teman asrama yang telah memperkenalkan beragam budaya dalam kampus mini ini. Terimakasih atas kekeluargaan yang terjalin, ill not forget all of you, terkhusus buat sinta, vitha, sarah, ajeng, rani, desi, kk monik, kk ema, vembi, nona dll 8. Terimakasih juga buat gereja tempat saya berpraktek mulai dari ppl 1-V1, GKJ Sidomukti, GKJTU, GKJ Tuntang Barat, Panti Asuhan Sion dan GBKP Pontianak. Saya benar-benar terbantu dan terbangun menjadi seorang pelayan Tuhan. Terkhusus untuk GBKP Pontianak sekaligus memberi kesempatan untuk meneliti dalam Tugas Akhir.
vii
9. Terimakasih untuk BAJEM Ungaran-Salatiga-Ambarawa yang telah memberi kesempatan untuk berlatih dalam melayani baik sebagai pemusik, pengkotbah dan pelayanan lainnya. Terimakasih karena saya bisa menyalurkan talenta saya di pelayanan Bajem. Terkhusus kepada Pdt, Rosa Sinulingga, Pt. Irwan Sembiring, Pt J Kacaribu, Dk. Damen Ginting beserta jemaat.
Salatiga, 28 Mei 2015
Natasya Br Tarigan
viii
ABSTRAK Natasya Br Tarigan, 2014/2015, Peranan Keadilan Sebagai Pembinaan Karakter Dalam Pelaksanaan Solidaritas Eksternal Gereja Batak Karo Protestan (Gbkp) Jemaat Pontianak. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fungsi keadilan sebagai pembinaan karakter dalam solidaritas eksternal GBKP Pontianak. Penelitian ini dimotivasi karena fenomena gereja yang kurang menyikapi solidaritas eksternal di tengah masyarakat yang plural sehingga perlu meneliti bagaimana gereja membina karakter yang adil dalam bersolidaritas. Penelitian menggunakan metode deskriptif-analisis. Wawancara dan observasi adalah teknik pengumpulan data kualitatif. Direkomendasikan untuk mahasiswa teologi dan pembina gereja seperti pendeta, majelis gereja pengurus kategorial dan sektoral di jemaat GBKP sebagai sumbangan pikiran tentang pembinaan karakter jemaat dalam meningkatkan solidaritas eksternal. Direkomendasikan untuk menanbah perspektif baru tentang pembinaan karakter gereja yang adil dalam bersolidaritas. Penelitian lebih lanjut juga direkomendasikan bagi para peneliti di bidang ini untuk memperlengkapi pembinaan karakter. Kata kunci: keadilan, pembinaan karakter dan solidaritas eksternal (oikumene gereja/ agama, oikumene kemasyarakatan & oikumene lingkungan hidup)
ix
Daftar Isi Bagian 1Pendahuluan 1.1 Latar Belakang……………………………..……………………………………………...3 1.2 Rumusan Masala…………………………………………………………………………..7 1.3 Tujuan Penelitian………………………………..………………………………………...7 1.4 Manfaat Penelitian……………………………………..………………………………….7 1.5 Pemilihan Lokasi Penelitian…………………………………………..…………………..7 1.6 Metode Penelitian…………………………………………………………..……………..8 1.7 Sistematika Penulisan………………………………………………………………..……9 Bagian 2 Keadilan sebagai pembinaan karakter dalam pelaksanaan Solidaritas eksternal 2.1 Defenisi Karakter………………………………………………………………………...10 2.2 Keadilan sebagai pembinaan karakter ……………………………………………..……11 2.3 Solidaritas eksternal yang menyangkut oikumene gereja, keagamaan, masyarakat, dan lingkungan hidup………………..………………………………………………………..….16 Bagian 3 Deskripsi dan analisa peranan keadilan sebagai pembinaan karakter dalam pelaksanaan solidaritas eksternal GBKP Pontianak 3.1 Oikumene gereja dan Agama Lain……………………………………………………....19 3.2 Oikumene Kemasyarakatan………………………………………………………………23 3.3 Oikumene Lingkungan Hidup……………………………………………………………25 3.4 Pembinaan dalam solidaritas yang adil…………………………………………………..26 Bagian 4 Penutup 4.1 Kesimpulan…………………………………………………………………………………..31 4.1 Kontribusi dan rekomendasi lanjutan…………………………………………………….32 Daftar Pustaka
x
Peranan Keadilan Sebagai Pembinaan Karakter Dalam Pelaksanaan Solidaritas Eksternal Gereja Batak Karo Protestan (Gbkp) Jemaat Pontianak
Bagian 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Pada tahun 2013 GBKP memiliki prioritas dalam solidaritas eksternal yakni solidaritas yang berkaitan dengan oikumene gereja, oikumene kemasyarakatan dan oikumene lingkungan hidup. Pada kesempatan ini GBKP berusaha menghargai pluralisme, ikut ambil bagian dalam kebutuhan dan permasalahan yang sedang terjadi dalam masyarakat serta memperhatikan lingkungan hidup. Ketika ada kekacauan dalam masyarakat, GBKP mengambil sikap sebagai perekat sosial untuk menciptakan keharmonisan dalam masyarakat. Gereja tidak hanya berdiam melihat ketidakadilan yang ada dalam masyarakat tetapi menegakkan hak-hak kemanusiaan dalam masyarakat. Beberapa hal yang diprioritaskan dalam solidaritas eksternal tersebut yakni solidaritas antar gereja-gereja, agama-agama, kemasyarakatan dan lingkungan hidup1 Indonesia memiliki keberagaman suku, agama, dan budaya. Indonesia terbuka dengan perbedaan sehingga Indonesia harus mampu menghargai setiap keberagaman agama, suku dan budaya yang ada. Titaley mengatakan bahwa keberagaman ini sebenarnya bukan suatu penghalang untuk membangun bangsa ini, tetapi menjadi kekayaan bagi bangsa Indonesia. Jika keberagaman itu dihilangkan maka Indonesia tidak menjadi dirinya lagi karena bangsa ini juga dibentuk atas dasar keberagaman.2 Atas dasar inilah maka pendiri bangsa ini membuat salah satu isi dari dasar negara yakni persatuan Indonesia. Makna persatuan ini berarti keterbukaan dalam menghargai keberagaman bukan menghilangkan setiap perbedaan. Gereja merupakan bagian dari masyarakat juga harus menjunjung cita-cita bangsa. Salah satu wujud dukungan gereja menjunjung cita-cita bangsa Indonesia adalah dengan mengangkat thema gerejawi 2013 yaitu meningkatkan solidaritas eksternal. Setiap Periode baru (5 tahun sekali) GBKP menyusun thema tahunan. Pada tahun 2013 sinode GBKP menetapkan thema tahun gerejawi sebagai tahun peningkatan solidaritas eksternal, dimana gereja berperan sebagai bagian 1 2
Albert purba, Solidaritas internal-eksternal (Kabanjahe: Moderamen GBKP, 2012), 173-183. John A Titaley, Religiositas di Alinea Tiga (Salatiga: Satya Wacana Press, 2013) 54-60 & 153-154
1
dari civil society yang mampu bekerja sama dengan gereja-gereja lain serta institusi keagamaan lainnya. Hal tersebut dimaksud untuk menyikapi ketidakadilan yang dilakukan oleh siapa saja yang merusak nilai-nilai kemanusiaan dan keutuhan ciptaan Tuhan. Salah satu wujud kerja sama bisa dilakukan adalah program pelestarian lingkungan. Melalui program ini rasa dan semangat kebangsaan kembali terbina.3 Dari thema tersebut diharapkan GBKP dapat membangun karakter jemaat yang adil dalam bersolidaritas. Lickona mengatakan bahwa karakter adalah kualitas moral, kualitas moral itu terdiri dari pengetahuan moral (kognitif), perasaan moral (atitude) dan perilaku moral (behavior).4 Pendukung Aristoteles (Aristotelian) berpendapat bahwa karakter adalah nilai-nilai operatif dan nilai-nilai tindakan yang diandalkan untuk menanggapi situasi moral. Nilai-nilai tersebut adalah nilai-nilai yang diketahui dan dirasakan atau nilai yang sudah ditetapkan. 5 Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa karakter adalah sifat dasar manusia dari kualitas moral yang membentuk seseorang bersikap (kognitif dan atitude) dan bertindak (behavior) dalam melakukan sesuatu hal yang dianggap baik dan benar dalam masyarakat. Karakter memiliki dua puluh empat kekuatan, kekuatan karakter itu diklasifikasikan ke dalam enam kategori yaitu: (1) kebijaksanaan dan pengetahuan: kreativitas, rasa ingin tahu, penilaian, cinta belajar, pemahaman; (2) keberanian: keberanian, ketekunan, kejujuran, semangat; (3) kemanusiaan: cinta, kebaikan, kecerdasan sosial; (4) Justice: kepemimpinan, keadilan, kerja sama tim; (5) integritas (temperance): regulasi diri, kerendahan hati, pengampunan, kehati-hatian;(6) transendensi: spiritualitas, humor, harapan, rasa terima kasih, apresiasi keindahan & keunggulan.6 Dari kedua puluh empat kekuatan karakter diatas hanya dipilih salah satu kekuatan yakni keadilan. Alasan memilih keadilan adalah ingin meneliti keseimbangan solidaritas antara internal-eksternal khususnya di GBKP Pontianak. Gereja tampaknya banyak melakukan usaha 3
Matius P Barus, Garis Besar Pelayanan GBKP (Kabanjahe: Moderamen GBKP, 2010), 34-35 Thomas Lickona, Pendidikan karakter (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), 72, 89 5 Roslyn Braine. Leadership, Character, and Development: A Qualitative Exploration. Human Resource Management University of Johannesburg vol 5 (1), 1-10 (2007):2 6 Roslyn Braine. Leadership, Character, and Development: A Qualitative Exploration. Human Resource Management University of Johannesburg vol 5 (1), 1-10 (2007):3 9 SophieLeontopoulou. Explorations of subjectives wellbeing and characteristic strength among a greek university student stemple. International Journal of Wellbeing, vol 2(3), 251-270 (2012):251 4
2
meningkatkan solidaritas internal sehingga solidaritas eksternal di gereja juga harus diperhatikan. Salah satu tujuan dari solidaritas eksternal GBKP adalah menyikapi ketidakadilan yang dilakukan oleh siapa saja yang merusak nilai-nilai kemanusiaan dan keutuhan ciptaan Tuhan. Namun dalam bersolidaritas gereja tampaknya belum bersikap dan bertindak adil. Gereja perlu membina karakter yang bersikap adil terhadap solidaritas. Pembinaan karakter merupakan proses dimana karakter individu dibentuk dari kemungkinan dasar diri kemudian berkembang dalam kerangka faktor lingkungan atau budaya. Gereja seharusnya mampu menegakkan keadilan dalam gereja, agama-agama, masyarakat dan lingkungan hidup. Gereja tidak hanya memenuhi kebutuhan jemaat saja tapi memperhatikan kebutuhan eksternal gereja .Hal ini dapat terwujud jika gereja memiliki solidaritas yang tinggi. Keadilan adalah kekuatan karakter yang harus dibina oleh gereja, menurut Eysenc kekuatan karakter adalah salah satu cara manusia untuk survive karena kekuatan itu merupakan kualitas moral yang universal.7 Keadilan yang merupakan kekuatan karakter itu harus terwujud dalam pembinaan karakter karena gereja juga harus memiliki kekuatan seperti keadilan agar dapat survive dalam masyarakat. Gereja adalah kelompok kecil dalam masyarakat. Gereja akan menghormati, menguatkan dan peduli sebagai wujud adil dalam solidaritas, hanya jika gereja belajar mengenal setiap agama, masyarakat dan lingkungan hidup. Maka penulis akan melihat fenomena yang ada, apakah GBKP sudah adil dalam bersolidaritas. Hal ini tentu dapat dilihat dalam bidang koinonia. Gereja membangun masyarakat atas dasar persekutuan yang berdasarkan kebebasan, persamaan dan persaudaraan dimana tembok-tembok sosial diruntuhkan.8 Gereja juga memutuskan untuk terlibat dalam pergumulan masyarakat, tetapi konven GBKP dirumuskan solidaritas gereja yang bersifat internal melalui oikumene dengan persekutuan gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan non PGI. Dalam persekutuan GBKP terhadap PGI, gereja masih bersifat internal dimana hanya membahas mengenai pengakuan dan penerimaan keanggotaan sesama PGI; pelayanan firman yang dilayankan oleh pelayan gereja PGI; mengakui dan menerima pekabaran injil yang diselenggarakan oleh gereja PGI; mengenai pengakuan dua sakramen; mengerima pelayanan penggembalan oleh gereja-gereja PGI dan disiplin gereja.9 7
Sophie Leontopoulou, Explorations of subjectives wellbeing and characteristic strength among a greek university student stemple. International Journal of Wellbeing 2(3), 251-270 (2012): 251 8 Matius P Barus, Garis Besar Pelayanan GBKP (Kabanjahe: Moderamen GBKP, 2010), 27-28 9 J Perangin-angin, Koven GBKP 2005 & 2007(Kabanjahe: Moderamen GBKP, 2005), 37-40
3
Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa pelayanan oikumene gereja antara GBKP terhadap PGI masih bersifat internal karena pelayanan yang bersifat eksternal tidak dicantumkan dalam koven gereja. Oikumene gereja hanya bergerak didalam gereja-gereja sesame anggota pgi saja. Begitu juga yang terjadi di GBKP Pontianak gereja bersolidaritas sejauh kepentingan sesama gereja-gereja dalam PGI saja. Dalam oikumene kemasyarakatan, oikumene dirumuskan secara abstrak berbeda dengan yang dijelaskan dalam rumusan oikumene gereja. Lingkup oikumene kemasyarakatan adalah persatuan dan kesatuan bangsa. Konteks oikumene kemasyarakatan Indonesia berdasarkan pancasila, namun dalam buku ini dituliskan bahwa gereja harus peduli dengan kebutuhan masyarakat dalam membentuk masyarakat yang bermoral.10 Tampaknya GBKP Pontianak masih kurang berperan aktif dalam masyarakat. Gereja hanya sibuk dalam urusan anggota jemaat sehingga kurang berperan aktif apa yang bisa gereja tawarkan dalam masyarakat. Dari sisi lingkungan hidup penulis melihat GBKP Pontianak kurang berperan aktif dalam menjaga lingkungan hidup. Gereja hanya sekedar mengetahui keadaan lingkungan ini tanpa menindaklanjutinya, karena gereja pun masih jarang menyikapi keadaan hutan, kebersihan lingkungan dan sebagainya. Padahal GBKP menentang segala usaha yang merusak lingkungan hidup seperti eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan, penebangan hutan secara liar, pembuangan sampah dan limbah serta mengabaikan analisa dampak lingkungan.11 Fenomena-fenomena diatas sebenarnya menggambarkan bagaimana GBKP khusunya jemaat di Pontianak juga mengalami krisis keadilan terhadap solidaritas. Padahal solidaritas eksternal GBKP seharusnya tampak dalam oikumene gereja, oikumene keagamaan, oikumene kemasyarakatan dan oikumene lingkungan hidup. Namun solidaritas hanya tampak pada oikumene gereja, sedangkan oikumene lainnya belum terlaksana. Salah satu langkah menuju kesejahteraan bersama adalah menegakkan keadilan terhadap solidaritas eksternal. Tentunya penting untuk meneliti bagaimana keadilan berfungsi sebagai pembinaan karakter jemaat. Pembinaan yang dimaksud disini memiliki kemiripan dengan pendidikan, namun penulis lebih memilih kata pembinaan karena konteksnya ada di gereja dan bersifat informal. Penelitian akan dilakukan di salah satu gereja GBKP yaitu GBKP Pontianak karena fenomena gereja masih terlihat eksklusive. Penulis ingin meneliti apakah pembinaan yang dilakukan oleh gereja sudah 10 11
Ibid., 44 Ibid., 44-45
4
berbasis karakter dalam jemaat GBKP Pontianak, dimana sinode pun sudah menetapkan agar gereja dapat bersolidaritas eksternal. Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul peranan keadilan sebagai pembinaan karakter bagi solidaritas eksternal gereja batak karo protestan (GBKP) jemaat Pontianak 1.2 Rumusan Masalah . Dari latar belakang masalah diatas maka rumusan penelitian adalah sebagai berikut: a. Bagaimana keadilan sebagai pembinaan karakter berfungsi bagi solidaritas eksternal GBKP Pontianak. 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian masalah ini yakni: a. Mendeskripsikan dan Menganalisis fungsi keadilan sebagai pembinaan karakter dalam solidaritas eksternal GBKP Pontianak. 1.4 Manfaat Penelitian a. Teoritis: Menyumbangkan pikiran tentang keadilan sebagai pembinaan karakter jemaat dalam meningkatkan solidaritas eksternal kepada pembina gereja seperti pendeta, majelis gereja pengurus kategorial dan sektoral di jemaat GBKP. b. Praktis : Bermanfaat bagi calon-calon pendeta seperti mahasiswa teologi UKSW yang mengambil mata kuliah pengembangan karakter dan kepribadian
1.5 Pemilihan lokasi penelitian Fokus penelitian penulis dilaksanakan di GBKP jemaat Pontianak, penulis mengambil salah satu jemaat yang berada di wilayah perantauan. Alasan memilih gereja ini adalah untuk melihat apakah gereja sudah mampu meningkatkan solidaritas eksternal di tempat non-suku Karo atau ditengah suku-suku yang berbeda. Asumsi dasar penulis adalah solidaritas eksternal akan lebih kelihatan ditengah kepelbagaian suku, agama dan budaya bukan sebaliknya. Peningkatan solidaritas gereja GBKP yang ada di Kalimantan akan lebih kelihatan jika dibandingkan dengan gereja GBKP yang ada di Tanah Karo karena gereja bermayoritas suku karo saja dan gereja GBKP sudah mendominasi tempat itu, berbeda dengan Kalimantan yang didominasi oleh suku dayak dan juga GBKP masih sedikit jumlahnya. Itulah alasan penulis memilih tempat penelitian 5
tersebut yakni melihat bagaimana gereja sudah bersolidaritas di tengah keberagaman. Lalu bagaimana gereja membina jemaat dalam menyikapi fenomena-fenomena menyangkut keadilan dalam masyarakat. 1.6 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif-analisis. Deskriptif analisis adalah metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian desripsi analitif adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, fatual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antarfenomena yang diselidiki.12 Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian ilmiah yang bertujuan untuk memahami suatu fenomena dalam konteks sosial secara alamiah dengan mengedepankan proses interaksi komunikasi yang mendalam antara peneliti dengan fenomena yang diteliti. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan observasi.Wawancara adalah percakapan antara peneliti dan subjek peneliti yang bertujuan untuk mendapatkan dan menggali informasi. Wawancara dengan singkat dilakukan dalam bentuk semi terstruktur dimana pertanyaan yang diajukan bersifat terbuka, ada batasan thema dan alur pembicaraan; kecepatan wawancara dapat diprediksi, fleksibel, tetapi terkontrol; ada pedoman wawancara yang dijadikan patokan dalam alur dan urutan.13 Wawancara akan dilakukan kepada pendeta dan majelis yang membina karakter jemaat dalam bersolidaritas. Pendekatan melalui observasi adalah proses mencari data dengan cara mengamati secara sistematis dan memberikan suatu kesimpulan.14 Pengamatan atau observasi akan dilakukan terhadap kegiatan-kegiatan gereja yang bersifat peningkatan solidaritas eksternal. Kedua pendekatan ini dilakukan untuk mempertajam bagaimana keadilan sebagai pembinaan karakter bagi solidaritas eksternal
12 13 14
Nazir. Moh, Metode Penelitian,(Jakarta, Ghalia Indonesia, 1985), 63 Haris. Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif (Jakarta, Salemba Humanika, 2010) 118-123 Ibid., 131-133
6
1.7 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan tugas akhir ini terbagi atas empat bagian yakni: Bagian pertama meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, pemilihan lokasi penelitian, manfaat penelitian, dan metode penelitian dan sistematika penulisan. Bagian kedua tentang fungsi keadilan sebagai pembinaan karakter dalam pelaksanaan Solidaritas eksternal yang meliputi definisi karakter; keadilan; solidaritas eksternal yang menyangkut oikumene gereja, keagamaan, masyarakat, dan lingkungan hidup & konsep keadilan sebagai pembinaan karakter. Bagian ketiga tentang hasil penelitian dan pembahasan yang berisi deskripsi dan analisa peranan keadilan sebagai pembinaan karakter dalam pelaksanaan solidaritas eksternal GBKP Pontianak yang berhubungan dengan oikumene gereja & agama lain, masyarakat, dan lingkungan hidup. Bagian keempat tentang penutup yang meliputi kesimpulan yang berisi temuan-temuan hasil penelitian, pembahasan & analisis serta kontribusi dan rekomnendasi lanjutan.
7
Bagian 2 Keadilan sebagai pembinaan karakter dalam pelaksanaan Solidaritas eksternal 2.1 Defenisi Karakter Menurut kamus besar bahasa Indonesia karakter merupakan sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang membedakan dengan orang lain, dapat dikatakan juga sebagai nilai-nilai yang unik-baik yang terpatri dalam diri dan terejawantahkan dalam perilaku.15 Fromm mengatakan karakter adalah sistem yang relative permanen dari semua dorongan noninstingtif dimana melaluinya manusia menghubungkan dirinya dengan dunia manusia dan alam.16 Karakter dapat juga disebut sebagai sifat positif yang tercermin dari apa yang dipikirkan, dirasakan serta menjadi tingkah laku. Karakter ini dibentuk oleh seleksi moral, emosi dan tindakan yang nantinya akan menjadi pertimbangan moral.17 Karakter juga merupakan sifat pribadi yang relatif stabil pada diri individu yang menjadi landasan penampilan perilaku dalam standar nilai dan norma yang tinggi. Hal ini merupakan sikap dan kepribadian seseorang yang diyakininya baik dan berwujud dalam tingkah laku sebagai pribadi yang menjadikannya mempunyai reputasi sebagai orang baik.18 Karakter memproduksi ulang sifat-sifat bawaan dari kepribadian. Kata karakter memiliki banyak definisi menurut Kamus Webster yakni pertama, sifat yang membentuk perasaan, pikiran dan tingkah laku. Kedua adalah hal-hal yang menyangkut kualitas diri dan integritas, dan ketiga berkaitan dengan kepribadian.19 Menurut Lickona karakter memiliki tiga bagian yang saling berhubungan yakni: pengetahuan moral (kognitif), perasaan moral (atitude) dan perilaku moral (behavior). Pengetahuan moral (moral kognitif) meliputi kesadaran moral, pengetahuan nilai moral, penentuan perspektif, pemikiran moral, pengambilan keputusan, pengetahuan pribadi. Perasaan moral (moral atitude) meliputi hati nurani, harga diri, empati, mencintai hal yang baik, kendali diri dan kerendahan hati. Tindakan moral meliputi kompetensi, keinginan dan kebiasaan. Karakter yang baik terdiri atas mengetahui kebaikan, menginginkan kebaikan, dan melakukan kebaikan. Karakter ini merupakan nilai operatif dan nilai tindakan yang berproses dalam diri manusia. Nilai-nilai ini mengalami pertumbuhan yang membuat suatu nilai menjadi budi pekerti, sebuah watak batin 15
Muchlas Samani & Hariyanto, Konsep dan model pendidikan karakter (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), 42 Gregory Fest, Teori Kepribadian (Jakarta Selatan. Salemba Humanika 2010), Hal 237 17 SophieLeontopoulou. Explorations of subjectives wellbeing and characteristic strength among a greek university student stemple. International Journal of Wellbeing, vol 2(3), 251-270 (2012).252 18 Kadim masaong. Pendidikan karakter berbasis Multiple intelligence. Konaspi VII Universitas Negeri Yogyakarta (2012). 1 19 Mcneal Shirley. Narcissistic Personality disorder and ego state therapy. American Journal of Clinical Hypnosis vol 45:3 (2003), 233 16
8
yang dapat diandalkan dan digunakan untuk merespon berbagai situasi dengan cara yang bermoral.
20
Pendapat tersebut memiliki kesamaan dengan pendapat Aristotelian, Aristotelian
berpendapat bahwa karakter adalah nilai-nilai operatif dan nilai-nilai tindakan yang diandalkan untuk menanggapi situasi moral. Nilai-nilai yang dimaksud adalah nilai-nilai yang diketahui dan dirasakan atau nilai yang sudah ditetapkan.21 Dari pendapat diatas dapat dijelaskan bahwa nilai atau moral akan menjadi suatu tindakan jika nilai itu sudah diketahui/ disadari kemudian menjadi sikap dalam diri seseorang. Nilai ini akan menanggapi setiap situasi jika sudah menjadi sikap pribadi. Ketika nilai atau moral sudah diketahui, disadari serta dilakukan maka nilai yang positif itu sudah menjadi karakter seseorang. Keseimbangan antara ketiga hal tersebut mampu menanggapi situasi tertentu dalam mewujudkan kualitas moral. Karakter juga dianggap sebagai nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan dan perbuatan berdasarkan norma agama, hukum, tata-krama, budaya, adat-istiadat dan estetika.22 Jika karakter memiliki hubungan dengan Tuhan yang maha esa dan norma agama maka gereja juga termasuk lembaga yang membentuk karakter. Gereja mengajarkan tentang nilai-nilai Kristiani. Dalam konteks keadilan, gereja juga membina jemaat supaya memiliki karakter yang adil. Gereja tidak mengajarkan supaya eksklusive dengan relasi internal saja, tetapi membina relasi eksternal juga. Jadi gereja merupakan media pembentuk karakter.
2.2 Keadilan sebagai pembinaan karakter Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kata adil mengandung unsur tidak berat sebelah atau tidak memihak. Keadilan adalah sifat, perbuatan atau perlakuan yang adil. Kaitannya dalam bidang sosial, keadilan adalah suatu kerja sama untuk menghasilkan masyarakat yang bersatu secara organik sehingga setiap anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan nyata untuk bertumbuh dan belajar hidup. 23 Menurut penulis keadilan juga merupakan tanggung jawab 20
Thomas Lickona, Pendidikan karakter (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), 83-101 Roslyn Braine. Leadership, Character, and Development: A Qualitative Exploration. Human Resource Management University of Johannesburg 5 (1), 1-10 (2007): 2 22 Muchlas Samani & Hariyanto, Konsep dan model pendidikan karakter (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), 4142 23 Depdikbud, KBBI (Jakarta: balai pustaka), 6-7 21
9
memperlakukan orang dengan sama. Perlakuan itu tidak hanya menguntungkan salah satu pihak dan merugikan orang lain. Keadilan terwujud jika masyarakat saling bekerja sama mewujudkannya. Jika tidak ada kerja sama maka keadilan hanya dirasakan oleh beberapa orang saja. Keadilan adalah salah satu kekuatan karakter, sikap ini memperlakukan orang dengan sama atau memberi kesempatan adil bagi setiap orang yang sesuai dengan gagasan-gagasan terbuka dan adil seperti yang telah ditetapkan. Keadilan ini juga menjadi kekuatan agar masyarakat hidup sehat. Ada beberapa dimensi dalam klasifikasi kekuatan karakter yakni dimensi kognitif, dimensi emosional, dimensi spiritual dan dimensi sosial. Keadilan termasuk kekuatan dalam dimensi sosial.24Dapat disimpulkan bahwa masyarakat yang sejahtera, harmoni, rukun, akan terwujud jika masyarakat memiliki karakter yang adil. Keadilan adalah kekuatan karakter, dalam hal ini keadilan merupakan sikap moral yang harus dipupuk dalam masyarakat. Gereja yang merupakan bagian dari masyarakat (civil society) memiliki tanggung jawab dalam membentuk karakter yang adil agar gereja mampu bersikap adil sesuai dengan aturan yang berlaku. Rawls mengasumsikan kesejahteraan tidak berdasarkan kebahagiaan bagi orang-oramg dalam jumlah yang besar (utilitarianisme) tetapi keadilan sebagai fairness. Masyarakat itu memiliki konsepsi keadilan yang menentukan hak dan kewajibannya. Ia juga mengatakan bahwa subjek utama keadilan adalah struktur masyarakat atau lembaga-lembaga sosial yang mendistribusikan hak dan kewajiban fundamental dan menentukan pembagian keuntungan dari kerja sama sosial.25 Hal ini menjelaskan bahwa Indonesia yang memiliki masyarakat yang plural tidak bisa menegakkan kesejahteraan kelompok atau golongan tertentu saja. Alasannya adalah keadilan dalam konsep Indonesia berdasarkan kesejahteraan bersama. Gereja yang merupakan lembaga sosial seharusnya menjadi subjek dari keadilan yang mengarahkan hak dan kewajiban dirinya dan masyarakat dalam mencapai kesejahteraan bersama, serta memiliki kerja sama sosial dengan lembaga sosial lainnya. Dalam kaitannya dengan solidaritas yang adil, pendidikan nasional juga mengungkapkan bahwa karakter berlandaskan atas falsafah pancasila. Karakter yang adil juga disebutkan dalam landasan tersebut yakni, pertama mengenai karakter bangsa yang menjunjung kemanusiaan yang adil dan beradab. Hal ini diwujudkan dalam perilaku menghormati antar warga dalam 24
Roslyn Braine. Leadership, Character, and Development: A Qualitative Exploration. Human Resource Management University of Johannesburg vol 5 (1), 1-10 (2007): 3 25 John Rawls, Teori Keadilan, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar 2006) 1-7
10
masyarakat sehingga menimbulkan suasana kewargaan (citizenship) yang bertanggung jawab. Karakter kemanusiaan ini tercermin dalam pengakuan atas kesamaan derajat, hak & kewajiban, saling mengasihi, tenggang rasa, peduli, tidak semena-mena terhadap orang lain, gemar melakukan kegiatan kemanusiaan dan merasakan dirinya sebagai bagian dari seluruh warga bangsa dan umat manusia. Kedua adalah karakter yang mengedepankan persatuan dan kesatuan bangsa, dimana memiliki komitmen dan perilaku yang selalu mengutamakan persatuan dan kesatuan diatas kepentingan pribadi, kelompok dan golongan. Hal ini tercermin dalam sikap menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan pribadi atau golongan, suka bergotong-royong dengan saudara sebangsa, memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa dan lainlain.26 Istilah pembinaan dipakai oleh GBKP dalam usaha memperlengkapi warga jemaat bagi pekerjaan pelayanan dan pembangunan tubuh Kristus. Tujuan pembinaan adalah (1) memperlengkapi warga jemaat dalam rangka pendewasaan iman, (2) memperlengkapi, melatih, dan mengarahkan warga jemaat baik secara pribadi, tim, kelompok maupun secara bersamasama, agar mampu berperan aktif dalam pelayanan tengah-tengah gereja dan masyarakat. Perencanaan dan pelaksanaan pembinaan warga jemaat dilakukan secara terprogram dan kontinu (terus-menerus) dalam rangka pendewasaan iman.27 Pembinaan yang dimaksud dalam tulisan ini sama dengan pemberdayaan, pendidikan, pembelajaran dan lain-lain. Jika dikaitkan dengan pendidikan memang sedikit berbeda dengan pembinaan, pendidikan merupakan usaha yang sadar, sengaja, sistematis dan berkesinambungan. John Dewey mengatakan bahwa pendidikan adalah pembentukan kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional agar dapat menghayati, memahami, mengamalkan nilai-nilai atau norma-norma dengan cara mewariskan segala pengalaman pengetahuan, kemampuan yang melatarbelakangi nilai dan norma kehidupan. Dapat dikatakan bahwa pendidikan sebagai sarana pembudayaan dan penyaluran nilai (enkulturasi & sosialisasi), sehingga pendidikan karakter sering disebut sebagai pendidikan budi pekerti, sebagai pendidikan moralitas manusia yang disadari dan dilakukan dalam tindakan yang nyata.28 .
26
Muchlas Samani & Hariyanto, Konsep dan model pendidikan karakter (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), 2223 27 Moderamen GBKP, Tata Gereja GBKP (Kabanjahe: Moderamen GBKP 2005-2015, 2005), 50 28 Masnur Muslich, Pendidikan karakter menjawab tantangan krisis multidimensional (Jakarta: Bumi Aksara), 6770
11
Pembinaan ini adalah usaha gereja dalam memberdayakan jemaatnya agar dapat menghormati antar warga dalam masyarakat dalam pengakuan atas kesamaan derajat, mengedepankan persatuan dan kesatuan diatas kepentingan kelompok. Upaya yang dilakukan gereja ini merupakan usaha penyaluran nilai yang adil dalam bersolidaritas. Gereja menjadi media dalam membentuk karakter jemaat secara adil terhadap gereja, keagamaan, masyarakat dan lingkungan hidup. Gereja tidak hanya memenuhi kebutuhan jemaat saja tapi memperhatikan kebutuhan eksternal gereja. Jika pembinaan dilakukan dengan tepat maka jemaat akam memiliki karakter yang adil. Keadilan yang dimaksud adalah bentuk solidaritas gereja yang peduli terhadap internalnya dan peduli juga kepada solidaritas eksternal (oikumene gereja/agama, masyarakat dan lingkungan hidup). Ada beberapa pendekatan yang ditawarkan dalam membina karakter yang adil dalam bersolidaritas. Pertama, pendekatan psikologis seperti pola asuh, model peran positif yang memberi penguatan yang memfasilitasi prososialnya. Kedua adalah pendekatan budaya yang mengarahkan individu dalam kerangka kerja terhadap perkembangan moral berfokus pada pengembangan proses kognitif, terutama penalaran tentang hak-hak, kewajiban,dan keadilan. Ketiga adalah pendekatan filosofis yang mempengaruhi interaksi sosial dan lembaga politik yang baik serta membuat seseorang menjalankan perkembangan moral. Keempat adalah pendekatan filsafat dimana kebajikan membuat manusia menjalankan fungsinya dengan baik dan memperhatikan aspek emosional. Terakhir adalah pendekatan agama yang memasukkan aspek kepercayaan terhadap Tuhan dan bagaimana bersikap sesuai dengan kepercayaan.29 Pembinaan karakter akan melibatkan interaksi antara Pembina karakter seperti pendeta dan majelis dengan jemaat. Pembinaan karakter yang tepat menjadi kunci keberhasilan karakter jemaat. Pola asuh adalah salah satu sarana membina karakter jemaat. Baumrind bersama Hurlock, Hardy & Hayes membagi tiga kategori pola asuh, yakni: Pola asuh otoriter, demokratis dan permisif. Dalam pola asuh otoriter, pembina karakter memiliki kekuasaan dominan sedangkan orang yang dibina tidak dilihat sebagai subyek melainkan obyek yang dibina. Pola asuh demokratis memandang seseorang yang dibina adalah subyek sehingga memiliki kerja sama yang kuat antara pembina dan subyek yang dibina. Pengarahan dan bimbingan juga tidak bersifat kaku. Pola asuh permisif memiliki dominasi pada anak sehingga subyek memiliki kebebasan 29
Roslyn Braine. Leadership, Character, and Development: A Qualitative Exploration. Human Resource Management University of Johannesburg vol 5 (1), 1-10 (2007): 4
12
yang tinggi, namun perhatian dari pembina sangat kurang. Dari ketiga pola asuh ini, pola asuh demokratis memberikan lebih banyak dampak positif terhadap subyek yang dibina, dimana subyek cenderung lebih terbuka, betanggung jawab dan mandiri. 30 Lickona berpendapat bahwa seorang pembina karakter, dalam hal ini pendeta dan majelis sebagai pembina harus mampu memperlakukan dengan adil suatu fenomena yang sedang terjadi dalam membentuk karakter anak didik. Pembina tidak perlu banyak memberikan pandangan mereka yang bisa mengombang-ambing posisi dari jemaat sebagai peserta didik. Jemaat harus mampu memberikan sudut pandang mereka sendiri.31 Hal ini dapat dikatakan sebagai pola asuh demokratis dimana pembina karakter seperti pendeta dan majelis, terlebih dahulu dapat memperlakukan dengan adil suatu fenomena sehingga dapat menstimulasi jemaat untuk bersikap dan bertindak secara adil dalam bersolidaritas. Pembina karakter tidak harus memaksakan pandangan mereka tetapi memberi kesempatan bagi jemaat untuk memahaminya. Selain pendekatan diatas, ada juga lima tipologi pendekatan pendidikan nilai berdasarkan kepada berbagai literature bidang psikologi, sosiologi, filosofi dalam hubungannya dengan nilai yakni: (1) pendekatan penanaman nilai, pendekatan ini memberi penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial. Tujuannya adalah agar subyek yang dibina menerima nilai-nilai sosial serta adanya perubahan nilai diri sesuai dengan nilai sosial. Metode yang digunakan dalam pendekatan ini adalah keteladanan, penguatan positif dan negative, simulasi, roll play, dan lain-lain. (2) pendekatan moral kognitif, pendekatan ini menekankan aspek kognitif dan perkembangannya. Hal ini mendorong subyek yang dibina untuk berpikir aktif tentang masalah moral dan membuat keputusan moral, namun lebih fokus pada dilema moral pribadi. Ada dua tujuan dari pendekatan ini pertama yaitu, pertama agar mampu membuat pertimbangan moral yang lebih kompleks berdasarkan nilai yang lebih tinggi. Kedua adalah mendorong, subyek untuk mendiskusikan alasan memilih nilai dan posisi dalam suatu masalah moral. Metode yang yang digunakan adalah diskusi kelompok. Perkembangan moral ini dibagi kedalam tiga tahapan menurut Kohlberg, pertama tahap premoral/ preconventional dimana tingkah laku didorong oleh desakan fisikal misalnya seseorang memenuhi kepentingannya dan memperhatikan kepentingan orang lain juga. Kedua adalah tahap conventional dimana seseorang mulai menerima nilai dengan sedikit kritis berdasarkan kriteria kelompoknya. Ketiga adalah tahap autonomous dimana seseorang 30
Masnur Muslich, Pendidikan karakter menjawab tantangan krisis multidimensional. (Jakarta: Bumi Aksara), 100102 31 Thomas Lickona, Pendidikan karakter (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), 389-392
13
bertingkah laku sesuai dengan akal pikiran dan pertimbangan dirinya tanpa sepenuhnya menerima criteria kelompok. Namun pendekatan ini memiliki kelemahan yaitu menjunjung tinggi kebebasan pribadi sehingga tidak mementingkan benar-salah perbuatan karena lebih mementingkan alasan yang dikemukakan atau pertimbangan moralnya. (3) Pendekatan yang ketiga adalah pendekatan analisis nilai yang menekankan pada kemampuan untuk berpikir logis dengan cara menganalisa masalah yang berhubungan dengan nilai sosial. Tujuannya adalah mengasah kemampuan berpikir logis dalam menganalisa masalah sosial dan berfikir rasionalanalitik dalam merumuskan konsep nilai moral. Metode yang dipakai adalah pembelajaran secara individu atau kelompok dalam menganalisa masalah sosial yang memuat nilai moral. Menurut lickona Kelemahan dari pendekatan ini adalah mengabaikan aspek afektif dan perilaku serta kurang mementingkan nilai. (4) pendekatan klarifikasi nilai menekankan usaha membantu subyek yang dibina dalam mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri. Pendekatan ini memiliki tujuan, pertama menyadari dan mengidentifikasi nilai diri dan orang lain, kedua mampu berkomunikasi secara terbuka, jujur dan berhubungan dengan nilai sendiri. Ketiga adalah mampu berpikir rasional dan kesadaran emosional, memahami rasa, nilai-nilai dan tingkah laku. Pendekatan ini menggunakan metode dialog, menulis, diskusi kelompok kecil atau besar. Kelemahan dari pendekatan ini adalah kriteria dari benar-salah sangat relative karena mementingkan nilai perseorangan. (5) Pendekatan pembelajaran berbuat, pendekatan ini bertujuan untuk berlaku moral baik individu maupun secara bersama-sama dalam proses demokrasi agar mampu melihat dirinya dan orang lain berdasarkan nilai sendiri. Hal ini meningkatkan keterampilan pribadi yang aktif dalam masyarakat (civic competence). Kelemahan dari pendekatan ini adalah sulit dipraktikkan. 32 2.3 Solidaritas eksternal yang menyangkut oikumene gereja, keagamaan, masyarakat, dan lingkungan hidup. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, solid adalah kuat, kukuh dan berbobot. Sedangkan Solidaritas adalah Sifat satu rasa, senasib, sepenanggungan, perasaan setia kawan dan sebagainya.33 Dapat disimpulkan bahwa solidaritas adalah sifat satu rasa yang kuat. Oikumene berasal dari bahasa Yunani Oikeo yang berarti tinggal, berdiam, atau mendiami. Kata oikumene telah dipakai sebagai kata benda misalnya oleh gereja, kata oikumene berarti gereja yang 32 33
Ibid.,106-122 Depdikbud, KBBI (Jakarta: balai pustaka), 853
14
universal, yang meliputi seluruh gereja yang ada di kekaisaran Romawi. Pada dewasa sekarang gereja memahami oikumene sebagai seluruh umat manusia yang mendiami dunia (oikumene gereja, oikumene kemasyarakatan dan oikumene lingkungan hidup). 34 Solidaritas eksternal pada tahun 2013 dikaitkan dengan gereja GBKP beroikumene dengan gereja/agama lain, masyarakat dan lingkungan hidup.35 Menurut Durkheim solidaritas sosial manusia modern tidak hanya terjadi karena kesamaan antara orang-orang yang memiliki tujuan yang sama, tetapi solidaritas sosial juga dapat diikat oleh orang-orang yang berbeda. Perbedaan itu dapat menjadi sebuah ikatan yang erat jika orang– orang yang didalamnya mempertahankan saling ketergantungan. Kunci keberhasilan dari kesalingtergantungan itu ialah menciptakan relasi sosial yang seadil-adilnya.36 Gereja GBKP sedang berusaha meningkatkan solidaritas eksternal terhadap gereja-gereja bukan anggota PGI seperti gereja Roma Katholik, Adventist, Babtis, Pentakosta dan gereja Kharismatik dimana masih dalam proses saling belajar secara positif, realistis dan kritis. Hal ini terjadi karena belum menerima konsep teologi yang berbeda sehingga perlu diadakan dialog.37 GBKP telah merumuskan solidaritas eksternalnya terhadap gereja-gereja lain sebagai berikut, pertama oikumene terhadap gereja pentakosta dan gereja karismatik belum terdapat konsep teologia sebagai dasar saling mengakui dan saling menerima. GBKP dapat dan perlu terus mengadakan dialog dengan gereja atau kelompok tersebut dibidang teologi dan pekabaran injil. Secara terbatas dapat diadakan kerja sama dibidang sosial dengan gereja tersebut. Kedua, oikumene dengan Bala keselamatan bersolidaritas dalam penerimaan anggota dimana siapapun yang mau menjadi anggota GBKP harus lebih dahulu belajar tentang teologi baptisan menurut paham GBKP karena pembaptisan dilakukan oleh bala keselamatan adalah dengan pengibaran bendera. Ketiga, Adventist beribadah pada hari sabbat dan memantangkan makanan berdasarkan perjanjian lama. Jika jemaat advent ingin menjadi anggota GBKP, ia harus terlebih dahulu belajar tentang teologi GBKP mengenai hari sabbat dan yang berhubungan dengan makanan. Keempat, Roma Katholik ialah gereja yang mempercayai keilahian maria dan mempercayai bahwa perjamuan kudus/misa itu berkhasiat memberi keselamatan. GBKP menghormati maria sebagai perempuan yang saleh bukan ilahi. Orang katholik yang ingin menjadi anggota GBKP 34
Albert purba, Solidaritas internal-eksternal (Kabanjahe: Moderamen GBKP, 2012), 177 Matius P Barus, Garis Besar Pelayanan GBKP (Kabanjahe: Moderamen GBKP, 2010), 34-35 36 George ritzer, Teori Sosiologi (Bantul: kreasi wacana, cetakan keenam 2011), 95-96 35
37
J Perangin-angin, Koven GBKP 2005 & 2007(Kabanjahe: Moderamen GBKP, 2005), 37-44
15
harus terlebih dahulu belajar tentang teologi GBKP mengenai pokok-pokok tersebut.38 Kegiatan yang dapat dilakukan oleh gereja dalam beroikumene terhadap gereja/agama lain seperti melakukan ceramah; seminar; dialog pengalaman iman dalam komunitas lintas iman, dialog pergumulan teologis lintas iman dan dialog aksi; aksi damai antar agama.39 Dari paparan ini dapat disimpulkan bahwa GBKP beroikumene dengan gereja lain masih sebatas penerimaan anggota dan dialog tentang teologi masing-masing. Oikumene kemasyarakatan tidak terlepas dari oikumene gerejawi dengan kesatuan umat manusia atau oikumene kemasayarakatan. Ruang lingkup oikumene tersebut adalah persatuan dan kesatuan bangsa. Keesaan gereja bukan tujuan tetapi alat untuk menyalurkan kasih Tuhan kepada manusia. Untuk tujuan tersebut maka agama-agama di Indonesia perlu memposisikan dirinya sebagai sumber daya spiritual untuk membentuk masyarakat yang bermoral, adil dan sejahtera.40 Oikumene lingkungan hidup, GBKP menghargai lingkungan hidup sebagai sesama ciptaan Tuhan yang harus dikasihi. Karena itu GBKP menetang segala usaha yang merusak lingkungan hidup seperti eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan, penebangan hutan secara liar, pembuangan sampah dan limbah dengan sembarangan dan mengabaikan analisa dampak lingkungan. Tindakan merusak alam ciptaan Tuhan adalah tindakan melecehkan pekerjaan Tuhan. Dampak-dampak negative kemajuan teknologi di era modern ini seharusnya membuat manusia lebih bersikap adil dan arif terhadap alam ciptaan Tuhan, terlebih dalam pengelolaanya. Dengan kesadaran ini. GBKP akan ikut aktif dalam mendukung upaya untuk memperjuangkan kelestarian lingkungan hidup. 41
38
ibid, 37-44 Albert purba, Solidaritas internal-eksternal (Kabanjahe: Moderamen GBKP, 2012), 257-263 40 J Perangin-angin, Koven GBKP 2005 & 2007(Kabanjahe: Moderamen GBKP, 2005) 44 41 ibid., 44-45 39
16
Bagian 3 Deskripsi dan analisa peranan keadilan sebagai pembinaan karakter dalam pelaksanaan solidaritas eksternal GBKP Pontianak 3.1 Oikumene gereja dan Agama Lain Hasil wawancara dengan pak L.stp pada tanggal 18 Desember 2014 menjelaskan bahwa gereja melakukan kegiatan oikumene gereja atau agama lain yakni, (1) hubungan pertukaran pelayan firman dari luar gereja GBKP, misalnya dengan pendeta GKE. (2) Mengikuti kegiatan PGIW bagi kaum ibu seperti mengikuti PA yang berlangsung sebulan sekali, perlombaan olahraga dan seni antar gereja. (3) Solidaritas yang dilakukan oleh kategorial pemuda dan kaum bapa adalah olahraga bersama dengan gereja lain. GBKP Pontianak ikut beroikumene dengan gereja lain dan mau berpartisipasi dalam kegiatan PGIW Kalbar. Menurut penulis GBKP cukup mantap dalam oikumene gereja karena mau berelasi dengan PGIW Kalbar dan gereja-gereja setempat. Durkheim mengatakan bahwa solidaritas sosial tidak hanya terjadi karena kesamaan melainkan ikatan yang didalamnya mempertahankan saling ketergantungan.42 Dalam oikumene gereja, GBKP Pontianak tidak memiliki masalah karena gereja tetap mempertahankan relasi eksternalnya seperti mengikuti kegiatan PGIW dan bekerja sama dengan gereja sekitar. GBKP ini telah mampu bersolidaritas sosial karena mempertahankan ikatan dengan gereja lain bukan melalui kesamaan GBKP dengan gereja sekitarnya, melainkan saling bekerja-sama baik dengan gereja yang sama atau berbeda aliran. Pada tanggal 20 Desember J.S menjelaskan hubungan GBKP dengan agama lain seperti islam dan konghuchu yang ada di Pontianak belum pernah dilakukan, L.stp menjelaskan alasannya karena GBKP masih enggan menjalin hubungan dengan agama lain dan sebaliknya. Dalam koven GBKP 2005&2007 tentang oikumene kemasyarakatan dijelaskan bahwa agamaagama di Indonesia perlu bekerja-sama. Oikumene kemasyarakatan tidak terlepas dari oikumene gereja dengan oikumene kemasyarakatan. Ruang lingkup oikumene tersebut adalah persatuan dan kesatuan bangsa.43 Ini berarti bahwa GBKP sadar bahwa ia perlu memiliki hubungan yang erat dalam menyikapi masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat Indonesia. Tanpa adanya hubungan erat, maka tidak mungkin GBKP peduli atau berempati dengan agama lain apalagi membentuk masyarakat yang harmoni. Agama merupakan salah satu pembentuk moral dalam
42
George ritzer, Teori Sosiologi (Bantul: kreasi wacana, cetakan keenam 2011), 95-96
43
J Perangin-angin, Koven GBKP 2005 & 2007(Kabanjahe: Moderamen GBKP, 2005) 44
17
masyarakat. Kerja sama membuahkan kekuatan dalam membentuk masyarakat yang bermoral, adil dan sejahtera. GBKP Pontianak dan agama sekitarnya masih enggan dalam menjalin relasi maka mustahil agama-agama itu menjadi civil society sehingga belum bisa dikatakan sebagai pembentuk masyarakat yang bermoral, adil dan sejahtera. Kurangnya relasi antara GBKP Pontianak dengan agama lain memutuskan saling keterkaitan antara keduanya. Hal ini yang dimaksud oleh Durkheim dimana orang-orang yang memiliki tujuan yang berbeda tidak dapat saling terikat atau saling bergantung jika tidak menciptakan relasi yang adil.44Padahal perbedaan antara GBKP dengan agama lain bukan menjadi penghalang dalam mewujudkan keterikatan, jika keduanya mampu menciptakan relasi yang solid. Rawls mengatakan lembaga sosial memiliki tanggung jawab dalam mendistribusikan hak dan kewajiban.45 Gereja merupakan lembaga sosial di dalam masyarakat, ini berarti GBKP Pontianak juga harus mendistribusikan kewajiban jemaat untuk bersolidaritas eksternal dalam menyatakan solidaritas yang adil. Pada kenyataanya gereja memang sudah mendistribusikan kewajiban tersebut, tetapi belum memiliki wujud yang kongkrit dalam solidaritas yang adil khususnya menyangkut oikumene agama. Dari pendapat Rawls mengenai keadilan, maka GBKP Pontianak belum adil dalam bersolidaritas dalam lingkup oikumene agama karena belum berlaku sama terhadap agama lain. Antara Gereja dengan agama lain masih enggan dan masih eksklusif dalam bersolidaritas. A.Br juga mengatakan bahwa GBKP cukup enggan melakukan kegiatan yang bersifat ekstrem seperti dialog antar agama. Ada banyak kekhawatiran gereja dalam melaksanakan dialog, hal ini berhubungan dengan perbedaan dogma sehingga gereja lebih memilih mengurangi konflik yang mempertimbangkan penolakan dan perdebatan yang mungkin akan terjadi sehingga masih sulit melaksanakan dialog antar agama. Jika dihubungkan dengan proses belajar bersama antar agama akan sulit dilakukan karena GBKP sendiri juga belum memiliki konsep teologi sebagai dasar saling menerima dan mengakui.46 Menurut penulis inilah yang memicu tidak diberlangsungkan dialog agama dalam GBKP Pontianak, keengganan merupakan alasan yang tepat karena gereja juga sulit menemukan konsep teologi dalam saling menerima dan mengakui. Jika hanya sebatas penerimaan anggota, sepertinya GBKP belum memiliki hubungan yang erat dengan gereja/agama lain. Dimana sistem 44
George ritzer, Teori Sosiologi (Bantul: kreasi wacana, cetakan keenam 2011), 95-96
45
John Rawls, Teori Keadilan, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar 2006) 1-7
46
J Perangin-angin, Koven GBKP 2005 & 2007(Kabanjahe: Moderamen GBKP, 2005), 37-44
18
solidaritas memusat pada GBKP saja. Hal ini tampak ketika gereja/agama lain ingin menjadi bagian dari GBKP, bukan suatu usaha GBKP dalam membina hubungan yang erat dengan gereja lain. Dalam membangun solidaritas eksternal perlu membangun kualitas komunitas dengan cara saling mengenal. Lickona juga mengatakan bahwa komunitas yang bermoral yakni rasa hormat, saling menguatkan dan peduli akan tercipta jika masing-masing anggota saling mengenal.47 Gereja adalah kelompok kecil dalam masyarakat, gereja akan menghormati, menguatkan dan peduli sebagai wujud solidaritas, jika gereja belajar mengenal agama lain. Hal ini merupakan contoh pembinaan moralitas jemaat yang disebut pengetahuan moral oleh lickona. Salah satu media dalam mengembangkan kognisi jemaat yang menghasilkan jemaat yang bersolidaritas eksternal antar gereja dan agama adalah dengan melakukan dialog. Pengetahuan moral tentu tidak cukup, jadi harus ada keseimbangan antara pengetahuan moral, perasaan moral dan perilaku moral agar gereja terlatih dalam bersolidaritas yang adil sehingga dialog salah satu media dalam meningkatkan solidaritas dalam oikumene dengan agama lain Pada tanggal 10 januari Rsb menyampaikan bahwa gereja memang kurang memiliki kedekatan terhadap agama lain, namun sampai sekarang jemaat gereja sering berkunjung pada perayaan hari besar natal, tahun baru ,idul fitri, imlek dan sebaliknya. Hal ini terjadi karena gereja tidak lupa membina jemaat untuk bersolidaritas eksternal secara personal. Jemaat umumnya sudah memiliki karakter yang adil dalam bersolidaritas, ini dapat dilihat dari tanggapan jemaat yang positif mengenai relasi dengan orang-orang yang berbeda gereja atau agama lain. Mereka juga memiliki hubungan yang erat dengan teman sekerja dan teman dalam lingkungan tempat tinggal mereka. Dapat dikatakan bahwa gereja sudah memiliki kekuatan dalam dimensi sosial karena mampu memperlakukan orang lain secara sama.48 Penyaluran nilai positif dan memberi kesadaran moral kepada jemaat merupakan inti dari pedekatan yang dimaksud oleh Roslyne. Gereja telah memberikan pola asuh kepada jemaatnya sehingga mengetahui hak, kewajiban dan keadilan terhadap solidaritas eksternal. Gereja juga telah memakai ajaran Kristen dalam perkembangan moralitas jemaat.
47
Thomas Lickona, Pendidikan karakter. (Jakarta: Bumi Aksara 2012), 145-147 Roslyn Braine. Leadership, Character, and Development: A Qualitative Exploration. Human Resource Management University of Johannesburg vol 5 (1), 1-10 (2007): 3 48
19
Pada tanggal 12 Januari S.Bs menjelaskan bahwa gereja pernah melakukan solidaritas terhadap agama lain namun sebatas dalam suku karo saja, misalnya melakukan penghiburan kepada keluarga yang sedang berduka, atau ikut membantu keluarga yang terkena bencana seperti kecelakaan kepada sesama masyarakat karo yang tinggal di Pontianak. Terhadap gereja lain juga pernah dilakukan, misalnya penguburan orang yang meninggal karena status gereja tidak jelas. GBKP memang belum memiliki konsep teologia sebagai dasar saling mengakui dan saling menerima dengan gereja-gereja kharismatik, namun GBKP Pontianak mencoba menjalin solidaritas melalui kegiatan olahraga dan seni. Kasus Ini menandakan bahwa gereja sudah mencoba untuk membina solidaritas tanpa terus-menerus mempermasalahkan konsep teologi Hal ini merupakan tujuan dari pendidikan nasional yang mengungkapkan bahwa karakter berlandaskan atas falsafah pancasila dan mengenai karakter bangsa yang menjunjung kemanusiaan yang adil dan beradab. Pembinaan karakter itu juga mengutamakan persatuan dan kesatuan diatas kepentingan pribadi, kelompok dan golongan..49 kesatuan jemaat terhadap kelompok masyarakat yang berbeda sudah terbentuk sehingga dapat dikatakan bahwa kesamaderajatan sudah menjadi karater dari jemaat. Jemaat tidak hanya menyadari perbedaan itu tapi memupuknya dengan sikap kesatuan melalui membangun relasi terhadap gereja-gereja lain. Dari tindakan tersebut menyatakan bahwa jemaat menyadari pluralitas di Indonesia sehingga mampu bersolidaritas dengan agama lain. Tindakan GBKP Pontianak yang seperti ini sudah mencerminkan
bahwa
gereja
sudah
memiliki
tindakan
moralitas,
dimana
berusaha
menyeimbangkan solidaritas kepada saudara non seiman. Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan dan analisa disimpulkan bahwa pertama, keadilan sudah berperan dalam oikumene gereja berbeda dengan oikumene agama. Kedua, GBKP Pontianak belum berhasil menciptakan hubungan yang solid karena kerja sama belum terjalin dalam oikumene agama. Kebersamaan dan kedekatan melalui proses belajar hanya terjalin dalam oikumene gereja, sedangkan dalam oikumene agama masih enggan untuk memulainya. Ketiga, meskipun gereja belum berhasil memiliki hubungan yang solid dengan agama lain, tetapi jemaat secara pribadi memiliki solidaritas yang tinggi terhadap anggota jemaat gereja/agama lain.
49
Muchlas Samani & Hariyanto, Konsep dan model pendidikan karakter (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), 2223
20
3.2 Oikumene Kemasyarakatan. Sinode GBKP telah membuat sasaran sebagai tindakan moral (behavior). Sasaran/ target itu menjadi indikator peningkatan/ keberhasilan tahun peningkatan solidaritas eksternal yang bisa dijadikan alat evaluasi. Kegiatan yang dilakukan dapat berupa forum persiapan kader anggota GBKP dalam ekskutif, legislative, dan lembaga swadaya masyarakat; pengadaan CU; pengadaan PAUD/TK, pelayanan kesehatan seperti poliklinik/ rumah sakit; sumbangan kepedulian terhadap bencana seperti relawan; aksi damai seperti menyuarakan anti judi (sesuai kebutuhan masyarakat); tim PI, berkontribusi dalam acara doa di pemerintahan (kantor, sekolah, rumah sakit, penjara, dll),50 Hasil wawancara dengan E.slt Pada tanggal 20 Desember menjelaskan bahwa (1) Forum persiapan kader anggota GBKP dalam ekskutif, legislative dan LSM belum terlaksana karena jemaat jarang tertarik menjadi pemimpin dalam bidang itu sehingga tidak diprogramkan. (2) Pengadaan CU sudah dilaksanakan dan dipergunakan untuk anggota jemaat. L.stp menjelaskan bahwa CU tidak dibuka untuk masyarakat umum karena tidak memiliki badan hukum sehingga anggota CU dibatasi untuk anggota jemaat saja, Hal ini dimaksud dalam usaha menghindari masalah dengan anggota luar. (3) Gereja belum memiliki rencana untuk mendirikan PAUD dan pelayanan kesehatan jemaat karena gereja masih kurang memiliki modal dan SDM yang kuat dalam mengelola usaha ini. (4) Pada tanggal 7 januari J.tg & R.gt menjelaskan bahwa penyuluhan-penyuluhan kesehatan seperti HIV/Aids dan narkoba pernah dilakukan dalam gereja, namun belum pernah dilakukan secara khusus kepada masyarakat. Jika ada penyuluhan yang dilakukan oleh PGIW Kalbar, maka gereja ikut membantu. (5) I. Kbn menjelaskan bahwa sumbangan kepedulian terhadap bencana seperti relawan belum terlaksana karena jarang terjadi bencana di sekitar Pontianak. (6) Tim PI dibuat untuk pelayanan kepada anggota GBKP bakal jemaat di Parindu. (7) E.gtg menjelaskan Pendeta dan beberapa majelis juga pernah ikut berkontribusi dalam acara natal suatu instansi. Menurut Eysenc kekuatan karakter adalah salah satu cara manusia untuk survive karena kekuatan merupakan kualitas moral yang universal.51Sasaran-sasaran tersebut belum sepenuhnya 50
Albert purba, Solidaritas internal-eksternal (Kabanjahe: Moderamen GBKP, 2012), 256-264 Sophie Leontopoulou, Explorations of subjectives wellbeing and characteristic strength among a greek university student stemple. International Journal of Wellbeing 2(3), 251-270. (2012): 251 51
21
terlaksana sehingga gereja kurang memiliki kekuatan sebagai civil society. Gereja belum banyak memiliki peranan dalam masyarakat setempat. Secara institusi gereja sudah berusaha menjalankan CU, penyuluhan-penyuluhan atas kerja sama dengan PGIW Kalbar dan PI/ pelayanan pendeta dan majelis di luar gereja. Salah satu penyebab sasaran belum tercapai adalah program yang selama ini dipersiapkan kurang disesuaikan dengan thema tahun gerejawi, kesibukan majelis dalam pekerjaan dan masih kurangnya modal dan sumber daya yang diperlukan gereja. Gereja bukannya tidak mau melaksanakan sasaran-sasaran tersebut, tetapi gereja juga memiliki alasan sendiri seperti yang dijelaskan diatas. Tampaknya gereja masih berusaha memperbaiki internal gereja. Gereja secara institusi lebih banyak membuat program untuk internal gereja karena GBKP sangat membina sifat kekeluargaan yang kuat dalam masyarakat karo. Ini dapat dibuktikan karena gereja menjalin hubungan dengan masyarakat karo yang bukan kristen. Hal ini juga dipicu karena gereja Pontianak jauh dari lingkungan masyarakat karo sehingga perkumpulan dalam gereja menjadi salah satu media penawar rindu terhadap keluarga yang jauh. Dari sasaran ini jelas terlihat bahwa gereja masih sedikit berkontribusi dalam membangun masyarakat. Gereja lebih banyak melakukan pembinaan untuk meningkatkan solidaritas yang adil dalam jemaat kepada masyarakat daripada secara langsung membangun masyarakat itu. Gereja mengkhususkan diri dalam membentuk karakter jemaat, tetapi tidak melalui wujud nyata. Jika saja gereja mampu meningkatkan tindakan yang nyata maka pembinaan karakter dapat dicapai maksimal, karena menurut Lickona karakter tidak hanya meliputi kesadaran moral dalam solidaritas adil tetapi memiliki umpan balik atas kesadaran itu. Pada tanggal 10 Januari S.Kr menyebutkan bahwa gereja ternyata memiliki kegiatan diluar sasaran sinode sehubungan dengan oikumene kemasyarakatan yakni, pemuda gereja pernah melakukan natal bersama dengan anak panti asuhan di yayasan Abdi Agape; gereja juga rutin melakukan natal di Lembaga pemasyarakatan; kemudian gereja juga memberi bantuan kepada korban bencana gunung Sinabung di Tanah Karo. Berkaitan dengan sasaran sinode seperti penyuluhan dalam bidang-bidang kesehatan tidak dilakukan karena padatnya program kerja tahunan, program kerja baru yang sesuai dengan thema tahun gereja jarang terpikirkan atau dilakukan. Wawancara dengan beberapa jemaat menjelaskan bahwa program kerja dibuat setiap menjelang awal tahun, jika ada usulan kegiatan setelah program kerja maka sulit mempertimbangkan penyesuaian jadwal kegiatan yang sudah diprogramkan. Program kerja yang
22
kurang menyentuh thema tahun gereja menjadi hambatan dalam mencapai sasaran yang dibuat sinode. Karakter yang baik terdiri atas mengetahui kebaikan, menginginkan kebaikan, dan melakukan kebaikan. Nilai-nilai ini digunakan untuk merespon berbagai situasi dengan cara yang bermoral52 Dari realitas diatas permasalahan bukan terletak pada karakter jemaat gereja yang belum adil dalam bersolidaritas, tetapi kurangnya sosialisasi dari thema solidaritas eksternal. Menurut penulis kegiatan-kegiatan tersebut menandakan bahwa gereja telah peduli terhadap masyarakat. Ini merupkan wujud dari solidaritas adil karena tidak hanya bertindak untuk internal gereja saja namun peduli kepada masyarakat. Gereja kurang memahami sasaran yang telah dibuat oleh sinode sehingga mereka mencari kreatifitas dalam mengembangkan solidaritas eksternal khususnya dalam beroikumene kemasyarakatan. Jemaat memupuk persaudaraan yang solid terhadap masyarakat melalui kegiatan diatas. Berdasarkan teori lickona jemaat gereja sudah dapat dikatakan memiliki karakter yang adil dalam bersolidaritas. Memang mereka kurang paham tentang keadilan dalam konteks oikumene kemasyarakatan, tetapi mereka memiliki simpati terhadap kebutuhan masyarakat sekitar serta mampu mewujudkannya dalam tindakan. Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan dan analisa disimpulkan bahwa, (1) keadilan belum berperan dalam solidaritas eksternal dilihat dari sasaran yang telah dibuat oleh sinode. Faktor yang melatarbelakangi sasaran tidak tercapai karena thema tahun gerejawi kurang menjadi perhatian gereja. (2) Gereja memilih untuk mengkhususkan diri dalam membina karakter jemaat untuk bersolidaritas eksternal dengan menambah beberapa kegiatan gereja menyangkut peranan gereja dalam masyarakat. (3) Pembinaan karakter yang adil bersolidaritas itu berhasil dilihat dari sikap dan tindakan jemaat secara pribadi yang peduli terhadap masyarakat setempat. 3.3 Oikumene Lingkungan Hidup. Wawancara pada tanggal 6 januari dengan Rm.gt menjelaskan bahwa gereja sudah membina jemaat untuk menjaga lingkungan hidup misalnya menyuarakan ketidakadilan dalam eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan. Namun gereja belum pernah melakukan kegiatan dalam menentang usaha merusak lingkungan. Aksi kebersihan lingkungan atau kegiatan penanaman 52
Thomas Lickona, Pendidikan karakter (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), 83-101
23
pohon belum dilakukan oleh gereja. Hal ini terjadi karena fenomena terkait dengan kerusakan lingkugngan jarang terjadi. I.Gt mengungkapkan alasan lain bahwa gereja menganggap sudah ada lembaga yang mengusahakan perlindungan lingkungan. A.bsbr menjelaskan gereja pernah melakukan rencana pengumpulan botol aqua dan kaleng-kaleng bekas di seputar tempat tinggal masing-masing, tetapi tidak terealisasi karena tidak ada yang menindaklanjuti rencana tersebut. Secara umum masing-masing jemaat sudah merawat lingkungan dengan menjaga kebersihan lingkungan sekitarnya. Jemaat juga peduli terhadap gotong-royong dalam menjaga kebersihan lingkungan setempat. Kegiatan yang dilakukan berkaitan dengan oikumene lingkungan hidup dapat berupa penanaman pohon, aksi kebersihan, pengembangan pertanian seperti pembuatan kompos dan pengelolaan sampah organik/ nonorganic dll. 53 Kegiatan ini belum dilakukan oleh gereja. Gereja memang sadar akan pentingnya menjaga lingkungan hidup, namun tidak banyak yang bisa dilakukan oleh gereja terkait dengan pelestarian tersebut. Dari masalah tersebut gereja lebih memilih untuk membina jemaat secara personal dalam menjaga lingkungan setempat. Tentunya pembinaan ini tidak sia-sia karena jemaat memberi kontribusi masing-masing terhadap lingkungan mereka. Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan dan analisa disimpulkan bahwa, (1) gereja belum adil dalam bersolidaritas eksternal karena gereja hanya sekedar membina (moral knowing), tetapi belum memberi kontribusi (behavior) terhadap lingkungan hidup. (2) Dari sisi jemaat, mereka telah berkarakter adil karena peduli dengan lingkungan setempat. 3.4 Pembinaan dalam solidaritas yang adil Salah satu keberpihakan gereja terhadap keadilan adalah membuat salah satu tujuan pembinaan dalam GBKP yakni mengarahkan jemaat supaya berperan aktif dalam pelayanan kepada gereja dan masyarakat.54 Gereja memicu supaya berlaku sama atau adil terhadap kesejahteraan gereja dan masyarakat. Pembinaan ini memicu adanya pola kesamaan derajat kewargaan (citizenship) yang menjadi tujuan pendidikan nasional. Salah satu upaya yang dibuat oleh gereja dalam rangka mewujudkan karakter yang adil adalah dengan memberi pemahaman (moral knowing) tentang thema 2013 yaitu peningkatan solidaritas eksternal. Pelayan gereja 53 54
Albert purba, Solidaritas internal-eksternal (Kabanjahe: Moderamen GBKP, 2012), 257-264 Moderamen GBKP, Tata Gereja GBKP (Kabanjahe: Moderamen GBKP 2005-2015, 2005), 50
24
mampu menjelaskan tentang peningkatan solidaritas eksternal Upaya yang dilakukan oleh gereja untuk mewujudkan thema tersebut melalui penyampaian dalam PA kategorial, ibadah keluarga dan ibadah minggu. Kelemahan dalam pembinaan yang dilakukan oleh gereja adalah, gereja tidak membuat suatu kegiatan khusus untuk memperdalam pemahaman jemaat tentang thema. Thema solidaritas eksternal ini dibahas jika sesuai dengan topik dalam ibadah tertentu. Kurangnya sosialisasi thema ini dipengaruhi juga karena majelis memiliki kesibukan dalam pekerjaan mereka. Jemaat pun menyadari kurangnya sosialisasi thema tersebut, hal ini dapat dirasakan karena kurang menjadi perhatian bagi jemaat. Keadilan terhadap solidaritas eksternal kurang dipahami sehingga tindakan yang dilakukan juga minim. Pola asuh demokratis memandang jemaat sebagai subyek sehingga antara pembina dan subyek yang dibina memiliki kerja sama yang kuat.55 Pendeta dan majelis bertugas menjadi fasilitator dalam pengembangan karakter yang adil dalam bersolidaritas. Mereka juga berusaha menjadi teladan dalam gereja namun tidak bersikap otoriter dalam pembinaan. Dapat dikatakan bahwa Jemaat cenderung lebih terbuka, betanggung jawab dan mandiri dalam bersolidaritas yang adil. Pada tanggal 16 januari Y.S menjelaskan bahwa memang ada majelis yang kurang aktif dalam pembinaan, tetapi hal ini tidak menjadi masalah besar karena pendeta dan majelis lain mampu mengakomodir kekurangan. Hal ini membuktikan bahwa gereja memiliki kepemimpinan yang kuat. Y.S juga menjelaskan bahwa jemaat secara pribadi lebih banyak berkontribusi terhadap solidaritas eksternal dibandingkan dengan gereja karena gereja memusatkan diri kepada pembinaan jemaat. Hal ini menunjukkan bahwa gereja memakai pendekatan analisis nilai yang menekankan pada kemampuan untuk berpikir logis dengan cara menganalisa masalah yang berhubungan dengan nilai sosial. Tujuannya adalah mengasah kemampuan berpikir logis dalam menganalisa masalah sosial dan berfikir rasional-analitik dalam merumuskan konsep nilai moral.56 Penjelasan diatas menyatakan bahwa gereja lebih banyak memberi pembinaan menyangkut solidaritas 55
Masnur Muslich, Pendidikan karakter menjawab tantangan krisis multidimensional. (Jakarta: Bumi Aksara), 100102 56 Thomas Lickona, Pendidikan karakter (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), 389-392
25
eksternal kepada jemaat daripada kontribusi gereja terhadap solidaritas eksternal. Gereja berusaha menyalurkan dan mewariskan nilai-nilai yang positif terhadap solidaritas eksternal jemaat. Pembinaan dilakukan melalui PA kategorial dan ibadah keluarga. Metode yang sering dipakai adalah diskusi dan sharing. Cuma gereja memiliki kekurangan terhadap sosialisasi thema solidaritas eksternal secara umum (pengetahuan moral). Jemaat belum mencapai sasaran tentang oikumene gereja atau agama lain, oikumene kemasyarakatan dan oikumene lingkungan hidup. Kelemahan dari pendekatan analisis nilai ini adalah mengabaikan aspek afektif dan perilaku. Sepertinya gereja perlu memakai metode yang lebih varian dengan beberapa pendekatan yang berbeda supaya tidak terjebak dalam kekurangan pendekatan analisis nilai. Jemaat memaknai karakter sebagai sifat manusia, namun pemahaman tersebut diluruskan dalam wawancara bahwa karakter bukan sebatas sifat melainkan kualitas moral atau nilai tertinggi yang bersifat stabil dalam diri yang merespon situasi tertentu. Gereja sudah berusaha menjadi subyek yang adil dalam bersolidaritas selama ini. Buktinya gereja telah membina jemaat untuk bersolidaritas dengan gereja/agama lain, mampu membangun masyarakat dan menjaga lingkungan hidup. Walaupun gereja tidak membuat kegiatan secara khusus untuk membahas thema itu, gereja telah memberi kesadaran kepada jemaat untuk bersolidaritas eksternal. Bukan hanya gereja yang mempengaruhi cara bersolidaritas yang adil. Hasil wawancara menyatakan bahwa pembinaan solidaritas yang adil didapat juga melalui pendidikan, profesi, dan pengalaman hidup secara berpindah tempat. Mereka menyadari karakter yang adil dalam bersolidaritas didapat melalui pengalaman bersosialisasi dalam lingkungan pendidikan, organisasi dan bersosialisasi dengan masyarakat umum. Mereka juga menyadari bahwa gereja tidak hanya melayani di dalam gereja saja tetapi harus keluar (masyarakat dan lingkungan hidup). Rawls berpendapat bahwa subyek keadilan tidak hanya memperhitungkan kesejahteraan berdasarkan jumlah orang banyak melainkan fairness.57 Gereja masih sedikit melakukan kegiatan menyangkut solidaritas eksternal, namun pembinaan lebih banyak meningkatkan solidaritas internal. Karakter jemaat yang adil dalam bersolidaritas telah dipupuk. Gereja sebagai subyek keadilan juga melulu mengembangkan sifat kekeluargaan dalam gereja sehingga kesejahteraan 57
John Rawls, Teori Keadilan, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar 2006) 1-7
26
kepada masyarakat masih kurang terasa. Hal yang tampak bahwa gereja masih fokus terhadap kekeluargaan atau kesejahteraan internalnya. Metode yang dilaksanakan dalam PA dan ibadah keluarga bersifat diskusi dan sharing, jemaat nyaman dengan metode tersebut. Beberapa jemaat bosan dengan metode diskusi karena kadang tidak terarah atau keluar dari topik yang dibicarakan. Namun Pendeta dan majelis akan mengarahkan topic tersebut. Alasan lain yang menyebabkan mereka jenuh adalah karena mereka tidak pandai berbicara didepan umum. Secara umum gereja melakukan diskusi dengan menggunakan bahasa karo sehingga banyak juga jemaat yang kurang memahami apa yang didiskusikan. Pembinaan dilakukan cukup baik namun kegiatan yang berkaitan dengan usaha meningkatkan solidaritas eksternal tidak banyak. Secara personal, jemaat gereja sudah memiliki karakter yang bersolidaritas eksternal-internal yang seimbang. Gereja secara institusi belum memiliki hubungan solidaritas yang adil karena kurang memiliki partisipsi aktif dalam mempererat hubungan dengan gereja dan agama lain. Hal ini terjadi karena kesibukan pekerjaan majelis dan jemaat. Secara personal solidaritas eksternal yang adil sudah terjalin dimana jemaat memiliki hubungan yang dekat dengan jemaat gereja/ agama lain. Namun dalam oikumene kemasyarakatan, gereja belum banyak berperan aktif mengambil bagian dalam masyarakat setempat. Dalam hal oikumene lingkungan hidup, secara institusi gereja belum berperan aktif menjaga lingkungan hidup. Jemaat secara individu telah berusaha dalam menjaga dan merawat lingkungan sekitarnya. Pada tanggal 11 januari B.sby menjelaskan bahwa umumnya jemaat sudah membangun masyarakat secara personal, seperti memberi sumbangsih berupa dana kepada anak panti asuhan atau panti jompo. Ketika ada bencana di sekitar pontinak, jemaat membantu dana untuk mengurangi kerugian, misalya seperti kebakaran dan banjir yang pernah terjadi di Pontianak. Jemaat yang diwawancarai turut aktif dalam kegiatan kemasyarakatan setempat misalnya kegiatan RT/RW, amal kepada anggota masyarakat yang berduka dan aksi gotong royong. Jemaat pernah memberi penyuluhan narkoba, HIV/AIDS, dan lain-lain sesuai dengan kemampuan sebagai wujud kepedulian terhadap masyarakat. Ikut memberi kontribusi terhadap korban bencana alam gunung Sinabung. Penyuluhan dilakukan baik melalui perusahaan atau instansi tempat mereka bekerja ataupun dari jemaat itu sendiri.
27
Jemaat GBKP Pontianak juga berempati terhadap hal-hal yang terjadi dalam masyarakat, ini menandakan bahwa jemaat memiliki perasaan moral. Jemaat gereja sudah memiliki karakter yang adil dalam bersolidaritas, hal ini dapat dilihat dari relasi jemaat dengan anggota gereja/agama lain, mampu membangun masyarakat dan menjaga lingkungan hidup. Solidaritas ini tentu dipupuk dari pembinaan yang dilakukan dalam gereja sehingga menjadi karakter jemaat. Penulis berpendapat bahwa karakter memproduksi ulang sifat-sifat bawaan dari kepribadian. Setiap warisan atau bawaan lahir tersebut akan menciptakan kualitas moral jika tetap dikembangkan. Itulah sebabnya kepribadian harus tetap dikembangkan secara terusmenerus karena membentuk karakter. Dari beberapa defenisi yang disebutkan dalam teori, ada beberapa hal yang dapat disimpulkan yakni: karakter tidak terlepas dari standar nilai dan moral tinggi yang dianut dalam masyarakat sehingga memiliki reputasi yang baik. Nilai dan moral itu menyangkut pengetahuan, sikap dan tindakan seseorang. Karakter itu juga bersifat positif yang stabil-tidak relative dan terus-menerus dibentuk seumur hidup. Pendeta dan majelis sudah menjadi teladan dalam solidaritas, namun pembinaan yang dilakukan dalam gereja masih dalam ranah kognitif saja. Kelemahan dari pembinaan ini adalah gereja masih kurang dalam melakukan tindakan dalam bentuk kegiatan-kegiatan gereja yang membina solidaritas terhadap gereja/agama lain, masyarakat dan lingkungan hidup. Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan dan analisa disimpulkan bahwa Gereja Pontianak sudah berusaha semaksimal mungkin membina jemaat supaya memiliki karakter yang adil dalam bersolidaritas. Hal ini dapat dibuktikan dari pengetahuan jemaat mengenai tanggung jawab terhadap solidaritas eksternal, memiliki kesadaran untuk bersolidaritas eksternal (perasaan moral). Namun pembinaan melalui tindakan masih kurang. Karakter jemaat ternyata tidak ditanamkan oleh gereja saja namun banyak pihak yang mendukung dalam membangun karakter yang adil. Gereja secara institusi juga sudah berusaha membina jemaat supaya adil dalam bersolidaritas namun kegiatan atau tindakan gereja masih kurang dalam meningkatkan solidaritas eksternal (tindakan moral). Jika saja tindakan ini juga ditingkatkan, maka pembinaan akan semakin berhasil karena gereja telah menunjukkan keteladanan kepada jemaatnya
28
Bagian 4 Penutup 4.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan dan analisa maka peneliti menyimpulkan bahwa gereja berpihak terhadap keadilan melalui pembinaan karakter jemaat dengan alasan sebagai berikut: 1. Gereja mencanangkan thema tahun 2013 tentang solidaritas ekternal khususnya sebagai perwujudan keadilan dalam bersolidaritas. Dalam mendukung pembinaan ini gereja memakai pola asuh demokratis sehingga menghasilkan jemaat yang terbuka, bertanggungjawab dan mandiri dalam bersolidaritas yang adil. Kelemahan dalam pembinaan yang dilakukan pada tahun 2013 adalah thema tidak tersosialisasi dengan baik sehingga sasaran pada tahun itu kurang tercapai. 2. Kaitan dengan oikumene kemasyarakatan, jemaat sudah memiliki karakter yang adil dalam bersolidaritas. Hal ini terjadi karena jemaat banyak memiliki kontribusi kepada masyarakat, sedangkan gereja kurang memiliki kontribusi langsung kepada masyarakat sekitar karena
lebih mengutamakan pembinaan kepada jemaat. Begitu juga dengan
oikumene lingkungan hidup, gereja tidak lupa membina jemaat dalam menyuarakan ketidakadilan dalam eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan. Memang gereja belum membuat aksi pelestarian dan menentang kerusakan lingkungan, tetapi gereja telah berhasil memberi kesadaran moral kepada jemaat tentang kepedulian lingkungan. Walaupun demikian gereja tetap berusaha memberi kontribusi melalui beberapa kegiatan gereja. 3. Dalam oikumene gereja/ agama lain, gereja sudah ikut beroikumene dalam PGIW Kalbar. Namun gereja belum memiliki relasi yang kuat dengan agama yang berbeda karena faktor keengganan antara kedua belah pihak. Walaupun demikian gereja tetap membina jemaat supaya memiliki solidaritas terhadap anggota gereja dan agama lain. Keberhasilan gereja tampak pada solidaritas jemaat secara pribadi yang kuat terhadap anggota agama yang berbeda. Jemaat GBKP Pontianak memiliki solidaritas yang tinggi, hal ini tampak pada toleransi kepada agama lain. 4. Gereja menempatkan diri sebagai pembina karakter jemaat, dimana ia menyalurkan nilainilai positif sehingga memiliki kesadaran moral dan bersolidaritas secara adil. Gereja 29
memang tidak banyak membuat kegiatan dalam mewujudkan solidaritas yang adil, namun gereja telah berusaha
membina karakter jemaat. Jemaat telah mampu
bersolidaritas secara adil tanpa harus menunggu gereja berbuat sesuatu terlebih dahulu, namun lebih baiknya jika gereja juga mampu mewujudkan solidaritas yang adil terhadap gereja/agama lain, masyarakat dan lingkungan hidup sebagai teladan yang nyata dalam jemaat. Jadi secara institusi gereja belum seimbang bersolidaritas karena kegiatankegiatan solidaritas eksternal masih kurang mencapai sasaran, tetapi gereja telah berhasil membina pemahaman solidaritas yang adil, memiliki kesadaran moral dan mewujudkan solidaritas yang adil kepada jemaatnya. 4.1 Kontribusi dan rekomendasi lanjutan Penelitian lebih lanjut direkomendasikan bagi para peneliti di bidang ini untuk memperlengkapi tulisan ini. Berkaitan dengan hasil penelitian tentang peranan keadilan sebagai pembinaan karakter dalam pelaksanaan solidaritas eksternal, maka ada beberapa kontribusi dalam meningkatkan pembinaan jemaat sebagai berikut: a. Untuk gereja sebaiknya program kerja tahunan disesuaikan dengan thema tahun gerejawi. b. Gereja juga hendaknya meningkatkan kreativitas metode pembinaan dalam ibadah keluarga dan PA kategorial serta menyusun sistematika pembinaan yang sesuai dengan thema tahun gerejawi c. Agama-agama setempat juga sebaiknya mau berpartisipasi dalam meningkatkan solidaritas dengan GBKP Pontianak dan sebaliknya.
30
Daftar Pustaka Barus, Matius P. Tarigan, Simon. dkk. (2010). Garis Besar Pelayanan GBKP: Kabanjahe. Moderamen GBKP. De Braine, Roslyn. (2007). Leadership, Character, and Development: A Qualitative Exploration. Human Resource Management University of Johannesburg 5 (1), 1-10 Fest, Gregory. (2010). Teori Kepribadian: Jakarta Selatan. Salemba Humanika.
Herdiansyah, Haris. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif: Jakarta. Salemba Humanika
Leontopoulou, Sophie. Triliva, Sofia. (2012). Explorations of subjectives wellbeing and characteristic strength among a greek university student stemple. International Journal of Wellbeing. International Journal of Wellbeing 2(3), 251-270
Lickona, Thomas. (2012). Pendidikan karakter : Jakarta. Bumi Aksara
Mcneal, Shirley. (2003). A character in search of character: Narcissistic Personality disorder and ego state therapy California. The American Society of Clinical Hypnosis Muslich, Masnur. ()Pendidikan karakter menjawab tantangan krisis multidimensional: Jakarta. Bumi Aksara Nazir. Moh. (1985). Metode Penelitian. Jakarta. Ghalia Indonesia Perangin-Angin J, dkk. (2005). Koven GBKP 2005 & 2007: Kabanjahe. Moderamen GBKP Purba, Albert. dkk. (2012). Solidaritas GBKP (Internal-eksternal): Kabanjahe.Moderamen GBKP Rawls, John. (2006). Teori Keadilan: Yogyakarta. Pustaka Pelajar Ritzer, george. (2011). Teori sosiologi: Bantul. Kreasi wacana Samani, Muchlas. Hariyanto. (2012). Konsep dan model pendidikan karakter: Bandung. Remaja Rosdakarya Titaley, John A. (2013). Religiositas di Alinea Tiga: Salatiga. Satya Wacana Press 31