PERAN PERBENIHAN DALAM PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN PENGHASIL ENERGI DAN OBAT-OBATAN DI PROPINSI LAMPUNG Oleh : Kurniawati P. Putri, Dida Syamsuwida, Rina Kurniaty, Eliya Suita dan Dharmawati FD Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan Jl. Pakuan Ciheuleut PO Box. 105 Bogor 16001, Telp/Fax:(0251)8327768 Email :
[email protected]
ABSTRAK Salah satu peranan hutan dari sektor hasil hutan bukan kayu adalah sumber bahan baku energi nabati dan obat. Selain bermanfaat untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, pembangunan hutan tanaman atau hutan rakyat sebagai sumber bahan baku energi dan obat juga bermanfaat dalam percepatan rehabilitasi lahan terdegradasi dan konservasi. Ketersediaan benih bermutu merupakan salah satu faktor pembatas belum optimalnya pembangunan dan produktivitas hutan tanaman dan hutan rakyat berbasis energi dan obat. Benih bermutu merupakan hasil dari serangkaian kegiatan mulai dari waktu pengunduhan, penanganan benih dan pembibitan. Ketepatan waktu pengunduhan, teknik penanganan benih yang sesuai dengan karakter masing-masing benih serta pembibitan yang tepat dan berasal dari sumber benih yang berkualitas akan meningkatkan perolehan hasil baik terhadap perkecambahan, pembibitan maupun kualitas tegakan. Teknik perbenihan untuk beberapa jenis tanaman potensial penghasil energi dan obat telah dihasilkan oleh Balai Penelitian Teknologi Perbenihan, yang selanjutnya diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam pengembangan dan peningkatan produktivitas hutan tanaman dan hutan rakyat berbasis energi dan obat khususnya yang ada di Propinsi Lampung. Kata kunci : Hasil hutan bukan kayu, energi, obat-obatan, perbenihan, hutan rakyat.
I.
PENDAHULUAN
Dewasa ini terdapat kecenderungan perubahan paradigma peran dan manfaat hutan yaitu hutan tidak hanya sebagai penghasil kayu tetapi juga bukan kayu. Perubahan itulah yang selanjutnya mempengaruhi pola pemanfaatan sumber daya hutan. Saat ini kebijakan pemerintah diantaranya di Provinsi Lampung adalah peningkatan hasil hutan bukan kayu demi tercapainya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Hasil hutan bukan kayu potensial di Propinsi Lampung adalah arang kayu
disamping damar mata kucing, gaharu dan rotan. Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Provinsi Lampung mencatat produksi arang kayu dari 1
hutan di wilayah Propinsi Lampung pada tahun 2006 mencapai 30.347 ton. Arang kayu merupakan bahan bakar berbasis biomassa yang sangat berarti dalam mengatasi permasalahan krisis energi nasional di masa mendatang. Selain sumber bahan bakar biomassa, hutan juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan baku energi nabati lainnya yaitu biodiesel. Sasaran pemanfaatan bahan bakar nabati periode 2015-2019 adalah produksi biodiesel sebesar 4,3 – 10 Juta KL (RPJMN 2015-2019, 2015). Pemanfaatan jenis-jenis tanaman hutan sebagai bahan bakar campuran bahan bakar minyak dalam biodiesel merupakan salah satu bentuk diversifikasi energi untuk mencegah terjadinya ketergantungan impor energi serta meningkatkan ketahanan energi nasional. Kondisi tersebut disebabkan keterbatasan sumber daya energi fosil yang bersifat tidak dapat diperbaharui (unrenewable). Beberapa jenis tanaman hutan potensial sebagai bahan baku biomassa dan biodiesel antara lain kaliandra, lamtoro, weru, pilang, akor, turi, malapari dan nyamplung. Hutan alam tropika Indonesia sangat kaya dengan keanekaragaman hayati tumbuhan obat. Dewasa ini demand biofarmaka local cukup meningkat pesat yang disebabkan semakin berkembangnya industri obat-obatan, jamu dan kosmetika. Kondisi tersebut merupakan peluang bagi Indonesia untuk ikut berperan karena cukup banyak jenis tanaman hutan yang berpotensi sebagai sumber bahan baku untuk biofarmaka. Zuhud (2008) melaporkan bahwa sampai tahun 2001 terdapat sedikitnya 2.039 spesies tumbuhan obat yang berasal dari berbagai tipe ekosistem hutan tropika di Indonesia. Jenis tanaman hutan potensial dan berpeluang untuk dikembangkan secara ekspor diantaranya adalah kilemo (Litsea cubeba). Tanaman obat potensial lainnya adalah pulai (Alstonia scholaris) yang saat ini sudah tergolong langka khususnya yang berada di kawasan hutan Dipterocarpaceae di daerah Krui Lampung Barat (Wardah, 2005). Komoditas hasil hutan bukan kayu memegang peranan sangat strategis untuk ketahanan energi, sumber bahan baku obat-obatan bahkan sumber pemasukan negara. Namun sampai saat ini pemanfaatan sumber daya hutan berbasis energi dan obat dirasakan masih belum dapat berkembang secara optimal.
Keadaan tersebut
disebabkan pemanenan yang dilakukan masih mengandalkan tegakan alam, sehingga tidak ada kesinambungan bahan baku. Langkah yang paling strategis adalah perencanaan pembangunan hutan tanaman atau hutan rakyat berbasis energi dan obat. Keberhasilan program tersebut tentunya harus didukung ketersediaan benih bermutu. 2
Benih bermutu merupakan hasil dari serangkaian proses kegiatan mulai dari pengunduhan, penangaan benih dan pembibitan yang tepat dan berasal dari sumber benih yang berkualitas. Teknik penanganan benih yang tepat akan meningkatkan perolehan hasil baik terhadap perkecambahan, pembibitan maupun kualitas tegakan. Dalam rangka mendukung terwujudnya pembangunan hutan tanaman dan hutan rakyat sebagai sumber bahan baku energi dan obat dengan produktivitas tinggi, maka disusun makalah yang berisikan informasi hasil-hasil penelitian perbenihan beberapa jenis tanaman hutan penghasil energi yaitu akor (Acacia auriculiformis), kaliandra (Calliandra calothyrsus), lamtoro (Leucaena leucocephala), pilang (Acacia leucophloea), turi
(Sesbania grandiflora),weru (Albizia procera), malapari
(Pongamia pinnata), nyamplung (Callophylum inophyllum) dan penghasil obat yaitu pulai (Alstonia scholaris), kilemo (Litsea cubeba) dan kemenyan (Styrax benzoin).
II.
POTENSI JENIS -JENIS TANAMAN PENGHASIL ENERGI DAN OBAT
Banyak jenis tanaman hutan yang dapat dimanfaatkan untuk sumber bahan kayu energi biomassa. Tingkat keberhasilan pengembangan sumber energi biomassa sangat ditentukan oleh ketepatan pemilihan jenis pohon yang sesuai dengan tempat tumbuh dan karakteristik pohon itu sendiri. Kondisi tempat tumbuh yang perlu dipertimbangkan adalah ketinggian tempat tumbuh, jenis tanah dan iklim, sedangkan karakterisik pohon yang penting untuk diperhatikan adalah sifat pertumbuhan dan rotasi tebang, riap, sistem regenerasi dan nilai kalor (Rostiwati et al., 2006). Berdasarkan pertimbangan sifat pertumbuhan yang cepat, riap yang tinggi, dapat tumbuh dengan baik pada kondisi marjinal, menghasilkan terubusan yang banyak, nilai kalor tinggi serta tidak mengeluarkan asap atau gas beracun, maka Ditjen Listrik dan Energi Baru telah merekomendasikan 70 jenis tanamanan hutan yang potensial untuk sumber energi biomassa (Rostiwati et al., 2006). Beberapa jenis tanaman hutan tersebut diantaranya adalah akor (A. auriculiformis), pilang (A. leucophloea), weru (A. procera), kaliandra (C.callothyrsus), Turi (S. grandiflora) dan lamtoro (L.leucocephala). Kondisi tempat tumbuh dan karakteristik pohon dari keenam jenis tanaman tersebut disajikan pada Tabel 1. 3
Kaliandra dan lamtoro merupakan jenis tumbuhan potensial untuk bahan bakar dengan daya trubusan dan nilai kalornya yang tinggi. Jenis tanaman hutan tersebut juga
banyak
digunakan
untuk
kegiatan
rehabilitasi
dan
reboisasi
karena
kemampuannya untuk dapat tumbuh di tempat-tempat kritis dan marjinal. Alternatif lainnya adalah pohon turi dengan nilai kalor (4.610 cal/g) yang relatif lebih tinggi dibanding lamtoro (4.464 cal/g), namun kemampuan trubusnya yang rendah. Berdasarkan nilai kalor yang dihasilkannya, akor, pilang dan weru cukup potensial sebagai sumber bahan energi untuk tujuan komersial. Hal ini didasarkan bahwa nilai kalor yang dikehendaki untuk tujuan komersial adalah lebih dari 4.500 cal/g (Hendarti et al., 2014). Secara umum kisaran nilai kalor dari keenam jenis tanaman tersebut 4.464 cal/g–5.218 cal/g.
Untuk meningkatkan nilai komersialnya, kayu bakar dirubah
dalam bentuk arang kayu dengan nilai kalor yang dihasilkan berkisar 7.271 cal/g7.510 cal/g. Arang kayu adalah residu yang sebagian besar komponennya adalah karbon karena terjadi penguraian kayu akibat perlakuan panas (Rostiwati et al, 2006).
Tabel 1. Karakteristik enam jenis tanaman hutan penghasil kayu energi biomassa. Jenis tanaman
Ketinggian Curah tempat hujan 1) (m dpl) (mm/th) 1)
Riap (m3/ha /th ) 1)
Densitas (BJ) 1)
Nilai kalor (cal/g)
Sifat arang : Produksi Nilai kalor Energi (cal/g) (GJ/ha/th) 1)
Akor (A. auriculiformis)
0-500
1.3001.700
17.0
0,70
4.907 4)
7.322 3)
235,6
Pilang (A. leucophloea)
1.6002.400
1.0003.000
20.5
0,70
5.218 4)
7.262 3)
258,3
Weru (A. procera)
0-1.700
1.0004.500
25.0
0,67
4.870 4)
7.382 3)
301,5
Kaliandra (C. callothyrsus)
0-1.000
1.3001.550
32,0
0,67
4.617 4)
7.510 2)
385,9
Turi (S. grandiflora)
0-700
300-1.000
15.0
0.46
4.610 4)
7.4712)
124,2
0-1.700
0-3.500
21.0
0,82
4.464 4)
7.271 2)
310,0
Lamtorogung (L. leucocephala)
Sumber : 1) Dirjen Listrik dan Energi Baru (1991); 2) Syachri (1982); 3) Hartoyo dan Nurhayati (1976); 4) Alrasyid (1981).
4
Kebutuhan solar dalam negeri pada tahun 2011 tercatat sebesar 21,2 juta kilo liter, sedangkan produksi solar domestik hanya mencapai 18,34 juta kilo liter (Ika, 2012).
Data tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan energi nasional jenis solar
hanya sebagian saja yang dapat terpenuhi oleh produksi solar dalam negeri, sedangkan selebihnya masih tergantung pada pasokan solar dari luar negeri (import). Berkaitan dengan permasalahan tersebut, maka salah satu kebijakan ekonomi pemerintah saat ini (Peraturan Menteri ESDM No 25 tahun 2013) adalah pengurangan import bahan bakar minyak (BBM) jenis solar diantaranya dengan peningkatan pemanfaatan biodiesel dalam solar (FAME) dari semula 2,5 % menjadi 10 % untuk transportasi dan industry, serta 20 % untuk pembangkit listrik (Kompas, 2013). Sumber bahan baku untuk energi nabati dewasa ini masih didominasi produk pertanian seperti singkong, tebu dan sawit. Pemanfaatan sumber bahan baku energi nabati yang bersumber dari pertanian umumnya bersaing dengan konsumsi seharihari, sehingga dikhawatirkan apabila terjadi krisis pangan maka secara langsung akan berdampak terhadap sumber bahan baku energi nabati (sustainability). Potensi hutan non kayu sebagai sumber biodiesel perlu dipertimbangkan sebagai sumber bahan baku biodiesel yang bersifat terbarukan dan tidak digunakan sebagai konsumsi pangan. Bahan baku alternatif energi berbasis bahan bakar nabati/ biofuel diantaranya adalah nyamplung (C. inophyllum) dan malapari (P. pinnata). Kondisi tempat tumbuh dan karakteristik pohon kedua jenis tanaman tersebut disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Karakteristik jenis tanaman hutan penghasil bioenergi. Jenis tanaman
Ketinggian tempat (m dpl)
Curah hujan (mm/th)
Malapari (P. pinnata)
0-200
500-2500
Nyamplung (C. inophyllum)
0-200
1000-3000
Musim kering (bulan) 2-6 4-5
Rendemen minyak (%) 27 - 40 30-74
Biji P. pinnata dapat menghasilkan minyak yang dapat digunakan sebagai pelumas dan bahan baku bio-diesel serta bahan pembuatan sabun (Mukta dan Sreevalli, 2010). Selain potensinya sebagai sumber bahan bakar nabati, jenis tanaman ini juga penyedia sumber energi lain yaitu kayunya sebagai bahan bakar yang memiliki kalor bakar kayu sebesar 19,2 MJ/kg (Soerawidjaja, 2007a; Soerawidjaja, 2007b). Malapari tumbuh secara alami di dataran rendah pada tanah berkapur dan 5
batu karang di pantai, sepanjang tepi hutan bakau, sepanjang aliran dan sungai pasang surut (Heyne, 1987).
Pertumbuhan yang paling bagus dijumpai pada tanah liat
berpasir, tetapi akan tumbuh juga pada tanah berpasir dan tanah liat yang bergumpalgumpal. Sangat toleran pada kondisi masin dan alkalinitas. Cukup toleran terhadap naungan, setidaknya ketika muda. Nyamplung (C. inophyllum L.) dapat digunakan sebagai bahan substitusi minyak tanah (biokerosene) dan substitusi minyak solar (biodiesel) dengan memanfaatkan bijinya (Sopamena, 2007). Keunggulan nyamplung lainnya antara lain mampu tumbuh dan tersebar merata secara alami di Indonesia; relatif mudah dibudidayakan dan cocok di daerah iklim kering; permudaan alami banyak dan berbuah sepanjang tahun; hampir seluruh bagian tanaman nyamplung berdayaguna dan menghasilkan bermacam produk yang memiliki nilai ekonomi (Departemen Kehutanan, 2008).
Saat ini tanaman nyamplung sudah mulai dibudidayakan di
Indonesia sebagai tanaman wind breaker yang ditanam di daerah marginal di tepi pantai atau lahan-lahan kritis lainnya. Hutan juga berperan sebagai sumber bahan baku obat-obatan (biofarmaka) dan atsiri. Kilemo (Litsea cubeba) merupakan salah satu jenis tanaman hutan penghasil bahan baku obat dan minyak atsiri potensial. Kilemo dimanfaatkan sebagai bahan kosmetik (aromaterapi), sabun, minyak wangi, pembersih kulit, obat jerawat, serta memiliki unsur karsinostatic (zat anti kanker). Buah kilemo mengandung sitral (70 – 85%), sedangkan pada kulit batang dan daunnya terkandung saponin, plafonoid dan tanin (Lin, 1983). Kilemo tumbuh di dataran tinggi dengan ketinggian diatas 700 m dpl. Pulai merupakan salah satu jenis pohon yang tersebar di seluruh Indonesia. Bagian-bagian dari pohon ini dapat digunakan mulai getah hingga kayunya. Kulit batang, daun dan bunga dapat dimanfaatkan sebagai obat-obatan. Kayunya dapat dimanfaatkan untuk bahan baku barang, kerajinan, pensil, papan tulis, lemari, dan lain-lain (Pratiwi, 2000). Kulitnya telah lama dikenal sebagai obat tradisional untuk anti hipertensi. Menurut Dalimartha (2001), kulit kayu pulai berfungsi sebagai obat penyakit desentri,malaria peluruh dahak, peluruh haid, stomakik, antipiretik, pereda kejang, menurunkan gula darah (hipoglikemik), tonik dan antiseptic. Selain itu getah pulai mengandung alkaloid. 6
III. PERBENIHAN A.
Periode pembungaan-pembuahan Pembungaan dan pembuahan tumbuhan berkaitan dengan suatu proses
perubahan struktur atau organ reproduksi dalam satu periode waktu tertentu yang dikenal dengan fenologi. Fenologi adalah ilmu tentang periode fase-fase yang terjadi secara alami pada tumbuhan. Berlangsungnya fase-fase tersebut baik fase vegetatif maupun generatif
sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitar, seperti
lamanya penyinaran, suhu dan kelembaban udara (Fewless, 2006). Fenologi pembungaan suatu jenis tumbuhan adalah salah satu karakter penting dalam siklus hidup tumbuhan karena pada fase itu terjadi proses awal bagi suatu tumbuhan untuk berkembang biak. Suatu tumbuhan akan memiliki perilaku yang berbeda-beda pada pola pembungaan dan pembuahannya, akan tetapi pada umumnya diawali dengan pemunculan kuncup bunga dan diakhiri dengan pematangan buah (Tabla dan Vargas, 2004). Sensitifitas fenologi terhadap perubahan lingkungan adalah merupakan indikator yang sangat baik untuk melihat penampilan tumbuhan, khususnya dalam kondisi iklim panas (Cleland et al. 2012). Pola pembungaan pada jenis tanaman tropis sangat kuat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, yang menyebabkan tanaman sangat sensitif terhadap perubahan iklim sekecil apapun. Hal ini dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung pengaruh penyinaran matahari pada tanaman tropis akan merangsang pembentukan bunga. Secara tidak langsung perubahan iklim yang kecil misalnya akan mempengaruhi perilaku polinator, sehingga penyerbukan terganggu dan akibatnya pembentukan buah atau biji berkurang yang menyebabkan produksi benih menurun. Periode pembungaan dan pembuahan untuk setiap jenis berbeda. Misalnya, Akor memunculkan tunas generatif pada bulan Februari dan mekar pada bulan MaretApril, akhirnya menjadi buah muda, dewasa dan masak pada bulan Mei-Juli/Agustus (Syamsuwida et al. 2011). Sehingga diketahui bahwa siklus perkembangan pembungaan hingga pembuahan akor tejadi selama 6-7 bulan yang diamati pada satu tegakan di Desa Sawangan dan Jingkang (Banyumas Barat). Sementara itu kaliandra, lamtoro dan turi memiliki periode pembungaan-pembuahan yang lebih pendek yaitu berkisar antara 3-4 bulan. Rangkuman periode pembungaan dan pembuahan beberapa jenis tanaman kayu penghasil energi dan obat-obatan disajikan pada Tabel 2. 7
Tabel 2. Periode pembungaan dan pembuahan beberapa jenis tanaman hutan penghasil energi dan obat-obatan. No 1 2
3
4 5
6
7
8
9
10
11
Jenis
Periode musim
Pembungaan Akor (Acacia 1-2 bulan auriculiformis) Kaliandra 1 bulan (Calliandra calothyrsus) Lamtoro 1 bulan (Leuccaena leucocephala) Turi (Sesbania 1 bulan grandiflora) Weru/kihiang 2 bulan (Albizia procera) Pilang (Acacia 1 bulan leucophloea)
Pembuahan 4-5 bulan
Kemenyan (Styrax benzoin) Nyamplung (Callophylum inophyllum) Malapari (Pongamia pinnata) Kilemo (Litsea cubeba)
Ganitri (Elaeocarpus ganitrus)
Waktu musim
Lokasi
2-3 bulan
Pembungaan FebruariMaret/April April
Pembuahan Mei/JuliAgustus Mei/JuniJuli/Agustus
3-4 bulan
April
Mei/JuniJuli/Agustus
Bogor
2-3 bulan
April
Bogor
6-7 bulan
Februari-April
Mei/JuniJuli/Agustus SeptemberOktober
4-5 bulan
April/Mei
AgustusSeptember
2 bulan
7-8 bulan
Juni/JuliAgustus
FebruariMaret
1 bulan
3-5 bulan
April
Juli-Agustus
2 bulan
6-7 bulan
Maret/AprilMei
OktoberNopember
Taman Nasional Bali Barat Aek NauliSumatera Utara PurworejoJawa Tengah BatukarasCiamis
1 bulan
2-3 bulan
1 bulan
2-3 bulan
2 bulan
7 bulan
Februari-Maret April-Juni OktoberNopember JanuariFebruari Juni-Juli Juli/AgustusNopember/ Desember
Banyumas Barat Bogor, Cianjur
Majalengka , Sumedang
Aek Nauli (Sumut) Ciwidey (Jabar) CisaruaBogor
Tahapan awal dari satu rangkaian perkembangan pembungaan-pembuahan adalah inisiasi bunga. Akan tetapi, proses ini hanya dapat dilihat secara mikroskopis dengan mengidentifikasi adanya perubahan jaringan dari meristem vegetatif menjadi apikal reproduktif (primordia bunga) pada organ tunas (Owens & Blake 1985). Inisiasi bunga weru terjadi lebih dari 2 bulan yang teramati mulai bulan Januari. Sedangkan pada kaliandra, inisiasi terjadi sepanjang tahun yang diindikasikan dari munculnya bunga sepanjang tahun. Walaupun lamtoro dan turi belum teridentifikasi, namun dapat diduga inisiasi juga terjadi sepanjang tahun. 8
B. Keberhasilan reproduksi Potensi keberhasilan proses pembentukan bunga menjadi buah dinilai dari besarnya nilai keberhasilan reproduksi. Penilaian besaran Keberhasilan Reproduksi (KR) diperoleh dari hasil pengukuran parameter reproduksi yaitu jumlah bunga per malai, jumlah buah per malai, jumlah ovul per bunga, jumlah biji per buah, fruit set (Bg/bh) dan seed set (Bj/Ov). Tabel 3. Hasil pengukuran parameter reproduksi beberapa jenis tanaman penghasil biomassa dan bioenergi. Weru
∑ bunga/ malai 41,8±15,8
∑ buah/ malai 16,4±6,2
∑ ovul/ bunga 12,62±0,6
∑ biji/ buah 10,82±0,7
Fruit set Seed set (Bh/bg) (Bj/Ov) 0,40±0,08 0,85±0,02
0,35±0,09
Pilang
279,1±80,1
109,6±63,8
12,37±0,9
6,09±0,3
0,40±0,1
0,43±0,02
0,19±0,06
5,1±1,75
31,12±9,9
4,9±1,93
0,06±0,02
0,16±0,06
0,01±0,005
19,8±10,6
5,64±0,6
8,04±0,8
0,21±0,08
0,72±0,08
0,16±0,06
1,90±0,98
1,38±0,27
1±0,00
0,13±0,04
0,75±0,13
0,09±0,04
1,52±0,78
1,325±0,2
1±0,00
0,10±0,06
0,77±0,13
0,08±0,05
-
-
0,63± 0,25
-
-
-
-
0,66±0,23
-
-
Jenis
85,4±29,04
Akor Kaliandra
98,6±42,8 16,34±5,0 B 2 17,14±4,8 T 5
Kemenyan
B 54,6± 1,72 Malapari T B Nyamplung
T
33,1± 7,97
KR
54,41± 2,45
36,01± 5,85
7,1±0,43
2,58±0,2
1±0,00
1±0,00
0,36 ± 0,02
1,0 ± 0,0
0,36 ± 0,02
7,28±0,41
2,7±0,21
1±0,00
1±0,00
0,38 ± 0,02
1,0 ± 0,0
0,38 ± 0,02
Catatan: B: Barat, T: Timur Keberhasilan reproduksi merupakan parameter untuk mengetahui potensi reproduksi yang dimiliki tanaman. Dengan mengalikan nilai jumlah bunga yang menjadi buah (fruit set) dan jumlah ovul yang menjadi biji (seed set) dapat diketahui nilai KR (Wiens et al 1987). Weru memiliki nilai fruit set dan seed set yang relatif tinggi yaitu masing-masing 0,40±0,08 dan 0,85±0,02 sehingga menghasilkan nilai KR yang relatif tinggi pula yaitu 0,35±0,09 atau antara 26% - 44% (Tabel 3). Sementara itu nilai terendah dimiliki oleh jenis akor. Ratio pembentukan buah menjadi bunga rata-rata 4% - 8% dan pembentukan ovul menjadi biji rata-rata 10% - 22% dan keberhasilan reproduksi (KR) rata-rata 0,5 – 1,5% (Tabel 3). Dengan demikian, 9
proporsi ovul yang berhasil dibuahi dan berkembang menjadi biji yang viabel bagi tanaman weru adalah rata-rata adalah sebesar 35% dan bagi tanaman akor rata-rata 1%. Nilai KR pilang, kaliandra dan kemenyan masing-masing berkisar antara 1323%, 10-22% dan 8-9% atau rata-rata 19%, 16% dan 8,5%. Sementara untuk jenis malapari keberhasilan reproduksi belum terdeteksi. Namun demikian, pembentukan bunga menjadi buah (fruit set) cukup tinggi yaitu masing-masing untuk dahan bagian barat dan timur mencapai 63% dan 66%. C.
Potensi produksi buah/benih Benih/buah untuk program pembangunan hutan tanaman atau hutan rakyat
penghasil hasil hutan bukan kayu dituntut ketersediaannya dalam jumlah dan kualitas yang memadai secara terus menerus, terutama yang memanfaatkan buah sebagai bahan baku produksinya seperti malapari, nyamplung dan kilemo. Informasi potensi produkai buah/benih merupakan salah satu data dasar untuk mengetahui berapa besar produksi buah yang dapat dihasilkan guna kebutuhan perbanyakan tanaman maupun untuk kebutuhan penyediaan bahan baku dalam proses produksi yang berkelanjutan. Potensi produksi buah/biji beberapa jenis tanaman hutan penghasil energi dan obatobatan disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Potensi produksi buah/biji jenis tanaman hutan penghasil energi dan obat Jenis
Akor (A. auriculiformis) Pilang (A. leucophloea) Weru (A. procera) Kaliandra (C. callothyrsus) Turi (S. grandiflora) Lamtoro (L. leucocephala) Malapari (P. pinnata) Nyamplung (C. inophyllum) Kilemo (L.cubeba) Pulai (A.Scholaris) Kemenyan (S. benzoin)
Sumber :
Jumlah benih/kg (butir)
Potensi produksi/pohon
55.556 - 76.923 43.346 2) 32.258 -38.462 1) 17.857 -22.727 1)
buah/pohon 19,2 kg - 50 kg 2) 166,7 gr 2)
Benih/pohon 80,7 gr ~ 575 butir 2) 1716,2 gr 2) -
17.241 -30.303 1) 16.667 -20.000 1)
6,8 buah 2) 409,08 buah 2)
231,45 butir 2) -
493-663 2) 286 - 357
-
0,10 – 5,52 kg 40-150 kg 4)
9.445 5) 312,500 - 833,3331) 417 -625 1)
0,25-9,8 kg 5) 2,8 kg
-
1)
1)
SNI 5006.12:2014; 2) Syamsuwida et al 2011; 4) Dephut, 2008; 5) Putri et al 2011 10
Potensi produksi benih/buah suatu jenis tanaman pada satu tegakan akan bervariasi tergantung faktor ketersediaan hara dan luas kanopi (tajuk) yang erat hubungannya dengan fisiologis kemampuan daun dalam menghasilkan energi untuk mendukung produksi buah (Nambiar dan Brown, 1997).
Untuk itu pengukuran
potensi produksi benih/buah perlu dikaitkan dengan kondisi geografis, umur dan penampilan pertumbuhan pohon (Schmidt 2000). Sebagai contoh potensi produksi buah kilemo dari Aek Na Uli cenderung meningkat dengan bertambahnya ukuran diameter batang pohon. Produksi benih kilemo dari pohon berdiameter 4 cm-14,7 cm berkisar 0,12 kg-2,4 kg, sedangkan dari pohon berdiameter 14,8 cm-25,3 cm berkisar 0,25-9,8 kg (Putri et al. 2011). Selain itu berat benih kilemo yang dihasilkan tegakan yang tumbuh pada ketinggian di atas 700 m dpl seperti di lokasi Aek Na Uli Sumatera Utara adalah 0,106 gram/butir, yang sangat berbeda dengan yang diproduksi dari tegakan di dataran rendah sebagaimana Ngernyuang et al. (2007) melaporkan bahwa rata-rata berat benih kilemo yang berasal dari hutan tropikal dataran rendah di Thailand adalah 0,080 gram.
Umur tegakan
juga mempengaruhi produktivitas. Produksi biji malapari yang dihasilkan dari tegakan umur 20 tahun yang terdapat di Desa Batu Karas, Pangandaran, Jawa Barat berkisar 0,10 – 5,52 kg/pohon, sedangkan Soerawidjaya (2005) menyebutkan bahwa produksi biji dalam satu pohon malapari dihasilkan 9 – 90 kg biji. Potensi produksi buah/benih dari beberapa jenis tanaman hutan dapat ditingkatkan dengan teknik silvikultur antara lain dengan pengaturan jarak tanam atau pemupukan. Pengaturan jarak tanam dapat memaksimalkan ukuran volume tajuk dan lebar tajuk, karena umumnya keduanya berkorelasi positif dengan produksi buah. Selain dengan teknik silvikultur, upaya memaksimalkan potensi produksi benih juga dapat melalui kegiatan pemuliaan pohon (Tree improvement). Sebagaimana pada tanaman akor, yangmana dihasilkan tanaman akor dengan kandungan atau proporsi proporsi kayu teras meningkat sebanyak 3 kali lipat pada umur 3,5 tahun. Kayu keras merupakan bagian kayu yang erat kaitannya dengan kualitas energi yang dihasilkan (Susanto et al., 2008). Teknik pemulian lainnya adalah seperti yang telah dilakukan pada tanaman malaparidi Australia yang sudah menggunakan benih hasil pemuliaan yaitu benih genetik unggul dengan berat biji 2,5 gram/butir dan kandungan minyak sebesar 60 % (Milletia plantations, 2006). Hal ini disebabkan ukuran berat biji sangat tergantung pada cadangan makanan yang bersifat diturunkan (genetik), disamping 11
juga dipengaruhi oleh ketersediaan hara pada saat proses pembentukan benih serta faktor lingkungan (Johansen et al., 1989). Namun demikian, panen buah yang besar bukan jaminan untuk mendapatkan kualitas benih yang besar pula. Hal ini disebabkan buah yang berat dan besar tidak selalu mempunyai biji yang berat dan besar, bahkan juga tidak selalu menghasilkan rendemen minyak dan sifat fisiko-kimia yang lebih baik seperti yang sudah dibuktikan pada jenis nyamplung. Bahkan kemungkinan dapat berbanding terbalik bila tidak hati-hati dalam melakukan seleksi provenan/ras lahan untuk mendapatkan rendemen dan sifat fisiko-kimia minyak terbaik. Khususnya untuk jenis nyamplung, seleksi harus dilakukan terhadap rendemen dan sifat fisiko-kimia dari provenan/ras lahan, dan tidak dapat dilakukan berdasarkan ukuran buah dan biji nyamplung (Leksono et al., 2013). D.
Penanganan benih Penanganan benih merupakan salah satu kegiatan penting dalam penyediaan
bahan tanaman bermutu yang dimulai dari buah dan benih diterima sampai benih tersebut siap untuk ditanam. Penanganan benih yang tidak dilakukan dengan benar akan menurunkan mutu fisik dan fisiologis benih yang pada akhirnya akan berdampak berkurangnya jumlah tanaman yang dapat diperbanyak melalui benih. Penanganan benih berapa jenis tanaman penghasil kayu energi dan obat disajikan pada Tabel 5.
12
Tabel 5. Penanganan benih penghasil kayu energi dan obat-obatan Jenis
Akor (A. auriculiformis)
Pilang * (A. leucophloea) Weru (A. procera)
Kaliandra (C. callothyrsus)
Turi (S. grandiflora)
Lamtorogung (L. leucocephala) Malapari ** (P. pinnata)
Nyamplung (C. inophyllum)
Indikator kemasakan buah Buah/polong berwarna coklat kulit buah berwarna hijau kecolatan Buah/polong berwarna coklat tua Buah/polong berwarna coklat Buah/polong berwarna coklat Buah/polong berwarna coklat Buah/polong berwarna hijau kekuningan sampai coklat Kulit buah berwarna kuning hingga merah
Pulai (A.Scholaris)
Buah/polong berwarna hijau kecoklatan sampai coklat
Kemenyan (S. benzoin)
Kulit buah berwarna coklat
Ekstraksi benih
Pengemasakan dan penyimpanan benih Jemur selama - Wadah kedap 3-4 hari - Di ruang AC atau sampai DCS merekah Jemur sampai - Wadah kedap merekah - Di ruang AC atau DCS Jemur selama - Wadah kedap 3-4 hari - Di ruang AC atau sampai refrigator merekah Jemur selama - Wadah kedap 3-4 hari - Di ruang refrigator sampai merekah Jemur selama - Wadah kedap 3-4 hari - Di ruang AC atau sampai DCS merekah Jemur sampai - Wadah kedap merekah - Di ruang kamar atau AC Buah dibelah - Wadah plastik secara manual dengan media arang sekam - Di ruang kamar Buah - Wadah kedap direndam ± 2 - Di ruang AC hari lalu cuci dengan air mengalir hingga bersih Jemur 1-2 - Wadah kedap hari atau - Di ruang DCS dengan seed atau refrigator drier pada suhu 38 42°C selama 20 jam Buah dibelah - Wadah kedap secara manual - Di ruang AC dan refrigator
Perlakuan pendahuluan Rendam air panas (90°C) sampai dingin 24 jam direndam dengan H2SO4 selama 20 menit Rendam air panas (90°C) sampai dingin 24 jam Rendam air panas (90°C) sampai dingin 24 jam Rendam air panas (90°C) sampai dingin 24 jam Rendam air panas (90°C) sampai dingin 24 jam Rendam air selama 24 jam
Kulit benih diretakkan dengan cara menekan benih dgn kayu ringan hingga kulit benih pecah Tanpa perlakuan
Rendam jemur selama 3 hari sampai kulit benih retak
Sumber : SNI 5006.12:2014; *Suita dan Bustomi (2014); **Suita et al (2014) Ketepatan waktu pengunduhan merupakan awal diperolehnya
benih
berkualitas. Warna buah merupakan indikasi tingkat kemasakan benih yang sangat 13
mudah dilakukan sehingga sering dijadikan sebagai dasar untuk waktu pengunduhan. Kemasakan buah untuk jenis tanaman yang termasuk anggota family Leguminosae yang umumnya berbentuk polong, (weru, pilang, kaliandra, akor, turi dan lamtoro) ditandai dengan polong (buah) berwarna coklat. Sedangkan untuk jenis kilemo, buah masak ditandai dengan kulit buah berwarna hitam kemerahan, dan untuk jenis nyamplung buah kulit buah berwarna kuning hingga merah. Buah masak hasil pengunduhan selanjutnya diekstraksi baik dengan cara ekstaksi kering atau ekstaksi basah.
Ekstraksi biji adalah pengeluaran biji dari
buah/polongnya. Ekstraksi diperlukan karena biasanya benih tidak dipanen secara langsung. Buah yang berbentuk polong seperti umumnya jenis-jenis leguminosae diekstraksi kering dengan cara menjemur di bawah sinar matahari selama 3 – 4 hari hingga polong merekah.
Bila penyimpanan sementara harus dilakukan, seperti
misalnya menunggu transportasi, maka kerusakan terhadap benih harus diupayakan sekecil mungkin dengan menjaga buah tetap kering dan dingin. Ini dapat dilakukan dengan menempatkan buah yang sudah dikemas di bawah naungan yang berventilasi baik. Periode pengumpulan dan ekstraksi harus sesingkat mungkin dan infeksi dari lingkungan sekeliling harus dihindarkan. Perlakuan pendahuluan adalah istilah yang digunakan untuk proses atau kondisi
yang diberikan untuk mematahkan dormansi benih (mempercepat
perkecambahan benih). Perlakuan yang diberikan tergantung jenis dormansi. Jenisjenis legumonsae memiliki dormansi fisik dengan kulit benihnya yang keras, sehingga perlakuan pendahuluan adalah dengan perendaman dalam air
selama 24 jam.
Sedangkan perlakuan pendahuluan untuk benih kilemo dengan cara direndam dalam larutan Asam giberelin (GA3) konsentrasi 200 ppm selama 48 jam.
Teknik ini
berhasil meningkatkan persentase perkecambahan sebesar 81% dan mulai berkecambah pada hari ke 21. Sementara perendaman benih dalam air selama 24 jam hanya mampu menghasilkan persen berkecambah sebesar 25,7% dan benih baru mulai berkecambah pada hari ke 38 (Ali, Rostiwati 2011). Kemenyan dengan cara rendam jemur secara bergantian selama 3 hari hingga kulit benih retak. Kandungan air pada buah dan benih merupakan faktor penentu untuk viabilitas benih. Benih yang baru diekstraksi masih mengandung kadar air yang cukup tinggi sehingga tidak baik untuk disimpan. Sebelum disimpan benih harus dikeringkan. Pada kenyataannya tidak semua benih dapat dikeringkan. Ada benih yang dapat 14
dikeringkan sampai kadar air rendah (kurang dari 10%) sehingga dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama. Benih seperti ini disebut benih ortodoks. Sebelum diproses atau disimpan benih ortodok harus dikeringkan sampai dengan kadar airnya mencukupi. Benih ortodoks yang dikeringkan akan bersifat dorman (tidur), dan akan berkecambah bila diberi kondisi yang baik untuk berkecambah. Sebaliknya ada benih yang tidak dapat dikeringkan dan sehingga tidak bisa disimpan lama (kadar air awal benih 20-50%) dan tidak dapat disimpan pada suhu rendah, sehingga tidak mampu disimpan lama (Bonner, et.al. 1994). Adapun benih intermediate hanya memerlukan pengeringan kulit. Untuk lebih jelasnya sifat fisik dan fisiologis benih disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Mutu fisik dan fisiologis jenis-jenis benih penghasil kayu energi dan obat Jenis Akor (A. auriculiformis) Pilang (A. leucophloea)*** Weru (A. procera) Kaliandra (C. callothyrsus) Turi (S. grandiflora) Lamtorogung (L. leucocephala) Malapari (P. pinnata)** Nyamplung (C. inophyllum) Kilemo (L. cubeba)* Pulai (A.Scholaris) Kemenyan (S. benzoin)
Sumber : SNI 7627:2014;
E.
Berat 1000 butir benih (g) 13-18 18-27 26-31 44-56 33-58 50-60 1.507-2.027 2.800-3.500 21-28 1,2-3,2 1.600-2.400
KA (%) ≤7 ≤ 10 ≤ 10 ≤ 10 6-7 ≤9 57-63 20-40 13-15 ≤ 12 25-50
Daya Berkecambah (%) ≥ 80 ≤ 50 ≥ 80 ≥ 90 ≥ 85 ≥ 70 100 ≥ 70 ≤ 81 ≥ 80 ≥ 80
*Ali dan Rostiwati (2011) dan Suita et (al.2013) **Suita et al (2014) *** Suita et al (2012)
Pembibitan Tingkat keberhasilan penanaman di lapangan sangat ditentukan oleh
penggunaan bibit berkualitas. Keberadaan bibit berkualitas tersebut tentunya tidak terlepas dari teknik pembibitannya yang tepat. Teknik pembibitan beberapa jenis tanaman penghasil kayu energi dan obat secara rinci tersaji pada Tabel 7. Kualitas bibit antara lain dipengaruhi secara langsung oleh kondisi media tempat tumbuhnya. Media tumbuh di persemaian sangat berperan dalam pemenuhan berbagai keperluan kebutuhan hidup bibit antara lain tempat berjangkarnya akar, 15
penyedia air dan unsur hara, penyedia oksigen bagi berlangsungnya proses fisiologi akar serta kehidupan dan aktivitas mikroba tanah. Saat ini penggunaan top soil sebagai media pembibitan semakin berkurang yang disebabkan beberapa kelemahan antara lain mudah memadat, mengandung sedikit bahan organik sehingga aerasi tanah kurang baik, serta yang terpenting adalah kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat pengambilan lapisan top soil. Bahanbahan organik seperti serbuk sabut kelapa, arang sekam padi, serbuk gergaji dan gambut dapat dimanfaatkan sebagai media pengganti atau media campuran top soil. Bahan-bahan organik tersebut terbukti mampu menghasilkan bibit berkualitas, misalnya arang sekam padi yang dapat digunakan sebagai media tambahan top soil pada media sapih kilemo. Persentase hidup bibit kilemo yang dihasilkannya sebesar 93 % dengan pertumbuhan tinggi dan diameter masing-masing mencapai 12,5 cm dan 1,35 cm (Tabel 7). Campuran dari beberapa bahan organik sebagai media tumbuh pengganti top soil di persemaian juga terbukti cukup efektif, yangmana masingmasing bahan organic dapat saling melengkapi satu sama lain. Seperti contohnya adalah campuran kompos dan arang sekam padi yang cukup potensial sebagai media pembibitan jenis pilang (Tabel 7). Tabel 7. Teknik pembibitan jenis tanaman penghasil kayu energi dan obat. Pertumbuhan Jenis Akor (A.auliculiformis) Pilang (A.leucophloea) Weru (A. procera) Kaliandra (C. callothyrsus) Malapari (P. pinnata) Kilemo (L. cubeba) Kemenyan (S. benzoin)
Media
Rhizobium (ml)
tanah sub soil
-
kompos + arang sekam padi kompos + arang sekam padi
Mikoriza (g) 2,5
NPK (g)
Persen hidup (%)
Tinggi (cm)
Diameter (mm)
-
92,59
7,5
0,79
-
-
-
96,67
11,7
1,84
-
-
-
94,89
16,7
1,23
tanah sub soil
2
2
-
94,20
32,0
2,68
tanah sub soil
-
5
-
77,28
17,0
3,30
tanah + arang sekam padi (3 : 1)
-
-
-
93,00
12,5
1,35
tanah sub soil
-
5
0,5
90,00
13,0
2,05
16
Selain bahan organik, media pengganti top soil yang juga dapat digunakan adalah lapisan tanah sub soil.
Penggunaan sub soil sebagai media tumbuh diketahui
cukup baik khususnya untuk jenis tanaman akor, kaliandra, malapari dan kemenyan dengan persentase keberhasilan hidup yang relatif tinggi (Tabel 7). Namun media tanah tersebut umumnya miskin hara, sehingga membutuhkan mikoriza, rhizobium atau pupuk untuk membantu meningkatkan pertumbuhan bibit di persemaian. Mikoriza sangat berperan dalam meningkatkan kemampuan penyerapan unsur hara P oleh tanaman disamping peran penting lainnya yaitu meningkatkan ketahanan bibit terhadap kekeringan dan ketahanan dari serangan patogen akar. Peningkatan serapan unsur hara P sangat dibutuhkan dalam pertumbuhan bibit di persemaian karena unsur hara tersebut berperan penting dalam pembelahan sel terutama pada perkembangan jaringan meristem, yang selanjutnya dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman (Ulfa, 2010).
Inokulasi fungi mikoriza 2,5 g pada bibit kilemo
terbukti cukup efektif meningkatkan serapan unsur P sebesar 102,14 % dibanding control. Untuk lebih meningkatkan hasil tanaman melalui peningkatan serapan P, dapat juga dilakukan kombinasi antara inokulasi cendawan mikoriza dan pemberian pupuk NPK (Setiawati et al., 2000). Seperti contohnya pemberian mikoriza 5 gram dan NPK 0,5 gram pada bibit kaliandra secara bersamaan menghasilkan nilai kolonisasi akar (84.96%) (Syamsuwida et al., 2014). Selain kombinasi mikoriza dan pupuk NPK, upaya meningkatkan kualitas bibit juga dapat dilakukan dengan mengkombinasikan bakteri rhizobium dan cendawan mikoriza seperti yang telah dilakukan pada bibit kaliandra. Perlakuan kombinasi Rhizobium dan mikoriza pada bibit kaliandra menghasilkan pertumbuhan tercepat dengan rata-rata tinggi 32,0 cm dan diameter 2,68 cm (Tabel 7). Bakteri rhizobium pada bibit berperan untuk mengikat nitrogen di udara melalui bintil (nodul) akar yang dibentuknya. Hal ini disebabkan kekurangan unsur hara terutama unsur hara N dalam media pembibitan menjadi salah satu faktor pembatas pertumbuhan bibit di persemaian.
Namun demikian perlu diketahui strain Rhizobium yang paling
tepat agar dihasilkan bintil akar yang lebih efektif dalam mengikat nitrogen (Narendra, 2010). Teknik pembibitan jenis-jenis tanaman hutan sangat mempertimbangkan kondisi naungan yang dibutuhkan. Naungan tersebut diperlukan untuk mengurangi penguapan (transpirasi) tanaman dan mempertahankan kelembaban di persemaian 17
sehingga tanaman dapat terus tumbuh. Hal tersebut erat kaitannya dengan proses fotosintesis yang dilakukan oleh tumbuhan. Untuk beberapa jenis tanaman hutan seperti kilemo, weru dan kemenyan memerlukan naungan dengan intensintas naungan 25 %. Namun untuk beberapa jenis tanaman seperti jenis ganitri, akor, pilang dan malapari justru tidak membutuhkan naungan selama di persemaian. F.
Perbanyakan vegetative stek Perbanyakan vegetatif merupakan solusi perbanyakan untuk jenis tanaman
hutan yang benihnya tidak dapat disimpan karena berwatak rekalsitran.
Teknik
perbanyakan ini juga sangat bermanfaat dalam rangka perbanyakan klon-klon unggul antara lain klon penghasil sumber kalor yang tinggi atau klon yang memiliki produktivitas minyak tinggi dengan kualitas maksimal. Selain itu hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan di tempat di mana produksi benih terbatas, dengan memanfaatkan tunas-tunas yang masih
umur muda yang memiliki kandungan auksin maksimal
sebagai bahan stek pucuk. Pembentukan akar pada stek (akar adventif) merupakan proses yang kompleks yang dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain latar belakang genetik, fisiologi dan perkembangan pohon induk serta hormon dan metabolisme tanaman (Geiss et al., 2009). Untuk itu salah satu factor penting yang harus diperhatikan adalah pemilihan bahan stek. Bahan stek terbaik adalah dari bagian tanaman yang bersifat juvenil. Tunas juvenil dibangun oleh jaringan-jaringan muda, sehingga sangat mudah untuk merangsang keluarnya akar. Untuk meningkatkan keberhasilan perbanyakan stek dari tunas pohon dewasa dapat dilakukan rejuvenasi. Kegiatan rejuvenasi atau permudaan tersebut bertujuan untuk mendapatkan bahan vegetatif yang secara fisiologis bersifat juvenil/muda serta memiliki kemampuan berakar yang baik, misalnya dengan cara memotong cabang atau pembengkokan batang atau pembengkokan batang pada kebun pangkasan. Beberapa jenis tanaman membutuhkan tambahan zat pengatur tumbuh sebagai hormon tambahan untuk meningkatkan kualitas perakaran stek.
Namun
banyak pula jenis-jenis tanaman hutan yang tidak memerlukan tambahan zat pengatur tumbuh. Untuk meningkatkan keberhasilan penyetekan, penting memperhatikan media perakaran stek dan kondisi lingkungan. Media perakaran stek yang dapat digunakan antara lain pasir atau media campuran kokopit dan sekam padi (2:1/v/v) maupun 18
media campuran kokopit dan arang sekam padi (2:1; v/v). Kondisi ruang perakaran stek terbaik adalah pada suhu udara < 300 C dan kelembaban udara > 90 %. Beberapa teknik perbanyakan vegetatif stek disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Teknik perbanyakan vegetative jenis tanaman penghasil kayu energi dan obat Zat pengatur tumbuh IBA 250 ppm IBA 200 ppm IBA 200 ppm
Jenis Akor (A. auriculiformis) Pilang (A. leucophloea) Weru (A. procera) Kaliandra (C. callothyrsus) Malapari (P. pinnata) Kilemo (L. cubeba) Kemenyan (S. benzoin)
IBA 500 ppm IBA 1000 ppm -
IV.
Persen berakar (%)
Pertumbuhan Jumlah akar (helai)
≥ 90
5,98
-
46,66
6,46
5,3
11, 66
5,10
8,2
88,76
5,00
3,0
96,05
4,26
9,5
52,78
18,00
-
83,54
14,7
-
Panjang akar (cm)
PROSPEK DAN PENGEMBANGAN
Kebutuhan energi dan harga bahan bakar fosil yang terus meningkat dari waktu ke waktu mendorong masyarakat dan banyak industri untuk mulai mencari bahan bakar nabati sebagai alternatif sumber energi yang bersifat renewable. Pengembangan bahan bakar nabati (bioenergi) dari hutan cukup besar mengingat kemudahan jenis-jenis tanaman sumber bioenergi untuk tumbuh pada lahan-lahan yang kurang subur, tidak membutuhkan pemeliharaan yang banyak serta tahan terhadap hama dan penyakit. Peluang investasi bioenergi dari hutan cukup terbuka khususnya untuk arang kayu dan wood pellet. Arang dan wood pellet merupakan hasil konversi biomassa sebagai suatu pilihan bijak pemanfaatan energi yang efektif dan efisien serta bersifat ramah lingkungan. Kebutuhan wood pellet di Eropa sampai tahun 2013 mencapai 15 juta ton. Demikian juga dengan peluang investasi dibidang biofarmaka yang juga masih terbuka lebar.
Peluang pasar internasional akan produk kilemo cukup
menjanjikan, mengingat masih sedikitnya eksportir kilemo sedangkan kebutuhan pasar internasional cukup tinggi (500 ton per tahun). 19
Selanjutnya diperlukan kebijakan pemerintah yang komprehensif dan terintegrasi dengan sektor terkait guna merangsang iklim investasi pengembangan usaha berbaisis energi dan obat yang kondusif dan kompetitif. Pengembangan usaha kehutanan tersebut juga sebaiknya harus dirancang sedemikian rupa sehingga berefek positif terhadap pembangunan sosial ekonomi masyarakat dan di pihak lain juga tidak berdampak negatif terhadap lingkungan.
PENUTUP Teknologi perbenihan yang tepat merupakan tahapan proses kegiatan penting untuk mendukung pengembangan usaha kehutanan berbasis bioenergi dan biofarmaka. Pemilihan jenis tanaman sebagai sumber bahan baku energi dan obat selain pertimbangan potensi, kesesuaian tempat tumbuh dan produktivitas, juga harus mempertimbangkan aspek sosial ekonomi masyarakat serta aspek konservasi dan deforestasi yang merupakan upaya perbaikan hutan dan lingkungan regional. Diharapkan bioenergi dari hutan dapat menggantikan sebagian keberadaan batu bara, minyak tanah dan solar yang selama ini digunakan. Demikian juga biofarmaka dari hutan yang diharapkan dapat menjadi salah satu sumber devisa negara potensial.
DAFTAR PUSTAKA Ali, C dan T. Rostiwati. 2011. Pengaruh hormon pertumbuhan dan senyawa nitrogen serta waktu perendaman terhadap perkecambahan benih lemo. Prosiding Seminar Hasil-hasil Penelitian. Teknologi Perbenihan Untuk Meningkatkan Produktivitas Hutan Rakyat Di Propinsi Jawa Tengah. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan Bogor. Badan Litbang Kehutanan. Kementerian Kehutanan. BSN. 2014. Mutu fisik dan fisiologis benih tanaman hutan. SNI 7627:2014 BSN. 2014. Tanaman Kehutanan-Bagian 12:Penanganan benih generative tanaman hutan. SNI 5006.12:2014 Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Provinsi Lampung. Potensi daerah Propinsi Lampung. http://www.investasi.lampungprov.go.id. Bonner, F.T., Vozzo, J.A., Elam, W.W., and S.B. Land. 1994. Instructor’s manual; Tree seed technology training course. United Stated Departement of Agriculture. New Orleans. Louisiana. Cleland, EE, JM Allen, TM Crimmins, JA Dunne, S Pau, SE Travers, ES Zavaleta and EM Wolkovich. 2012. Phenological tracking enables positive species responses to climate change. Ecology 93(8):1765–1771. 20
Ellis RH, Hong TD. 1990. An Intermediate Category Of Seeds Storage Behaviour I. Coffee. Journal of Experimental Botany 41: 1167-1174 Fewless, G. 2006. Phenology. http://www.uwgb.edu/biodiversity/phenology /index.htm. (Diakses 26 Juni 2006). Hendarti, R.L., S.H. Nurrohmah, S. Susilawati dan S Budi. 2014. Budidaya acacia uriculiformis (Acacia auriculiformis) untuk kayu energi. IPB Press. Bogor. Heryati. Y., N. Mindawati, dan A.S. Kosasih. 2009. Prospek Pengembangan Lemo (Litsea cubeba L. Persoon) di Indonesia. Tekno Hutan Tanaman Vol 2 (1). Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutahan. Kementerian Kehutanan. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Serbaguna III. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Departemen Kehutanan. Jakarta. Ika.
2012. Produksi Biodiesel Indonesia kurang 820 ribu kilo liter. Website http://ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=4654. Diakses tanggal 7 Desember 2013.
ISTA. 2010. International rules for seed testing: Edition 2010. The International Seed Testing Association. Bassersdorf. Switzerland. Kompas. 2013. Kompas. 2013. Bahan Bakar Nabati : Wajib Pakai Produksi Biodiesel Dalam Negeri. Terbit Sabtu, 31 Agustus 2013. Lovelless, D. Marylin, Grogan and James. Flowering Phenology, Flowering Neighborhood, and Fruiting in Swietenia macrophylla, Big-Leaf Mahagony, in SouthernPara,Brazil. http://www.2006.botanyconference.org/engine/search/index.php?func=detai& aid=442, 2006 Mukta, N. dan Y. Sreevalli. 2010. Propagation Techniques, Evaluation and Improvement of The Biodiesel Plant Pongamia pinnata (L) Pierre – A Review. Industrial Crops and Product 31 : 1 – 12. Millettia Plantations. 2010. Millettia pinnata: the sustainable biofuel crop of the future. http://www.millettiaplantations.com. Diakses pada tanggal 27 November 2012. Owens JN and Blake MD. 1985. Forest Tree Seed Production. A review of literature and recommendation for the future research. Canadian Forestry Service. Inf. Ref. PI-X-53, 161 p. Pusat Pengelolaan Ekorgion Sumatera Kementerian Lingkungan Hidup. 2014. Status Kualitas Lingkungan Propinsi Lampung. Data dan Informasi Lingkungan Hidup Sumatera. http://ppesumatera.menlh.go.id). Putri , KP., N. Siregar, M. Sanusi dan Abay. 2011. Kuantifikasi Produksi Buah Tanaman Hutan Jenis Ganitri (Elaecarpus ganitrusi) dan Kilemo (Litsea cubeba). [Laporan Hasil Penelitian]. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan. Badan Litbang Kehutanan, Bogor. [Indonesia].
21
Rostiwati T., Y. Heryati, S. Bustomi. 2006. Review hasil Litbang kayu energi dan turunannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor Schmidt L. 2000. Pedoman penanganan benih tanaman hutan tropis dan sub tropis. Departemen Kehutanan dan Indonesia Forest Seed Project. Jakarta. Soerawidjaja, T.H. 2007a. Mabai atau Malapari atau Kranji (Pongamia pinnata). Pusat Penelitian Energi Berkelanjutan (Center for Research on Sustainable Energi). Institut Teknologi Bandung. Bandung. Tidak dipublikasikan. Soerawidjaja, T. H. 2007b. An Overview on Biofuels : The 3rd MRPTNI – CUPT Conference, Chiang Mai, Thailand, 15 December 2007 Sri-Ngernyuang K, Kanzaki M, Itoh A. 2007. Seed production and dispersal of four Lauraceae species in a tropical lower montane forest, Northern Thailand. Mj. Int. J. Sci. Tech 01: 73 -87. Sugiyono A, Anindhita, Boedoyo MS, Adiarso. 2014. 2014. Outlook energi Indonesia 2014 : Pengembangan energi untuk mendukung program subsitusi BBM. Pusat Teknologi Pengembangan Sumberdaya Energi BPPT. Jakarta. Suita E, Suharti T, Hidayat AR, Suherman. 2014. Pengujian Mutu Fisik Fisiologis dan Penyimpanan Benih Jenis Lamtoro (Leucaena leucocephala) dan Kilemo (Litsea cubeba). [Laporan Hasil Penelitian]. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan, Bogor. [Indonesia]. Suita, E. dan S. Bustomi. 2014. Teknik Peningkatan Daya Dan Kecepatan Berkecambah Benih Pilang. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol. 11 No. 1, Maret 2014: 45-52 Suita, E., T. Suharti, D. Haryadi dan Abay. 2012. Pengujian Mutu Fisik, Fisiologis Dan Pendugaan Umur Simpan Benih Jenis Weru (Albizia Procera Benth) Dan Pilang (Acacia Leucophloea). Laporan Hasil Penelitian (tidak diterbitkan) Suita, E., D. Syamsuwida, Suherman, A.H. Setiawan. 2014. Pengujian Mutu Fisik, Fisiologis Dan Penyimpanan Benih Jenis Malapari (Pongamia Pinnata Merril) Dan Turi (Sesbania Grandiflora). Laporan Hasil Penelitian (tidak diterbitkan) Sukandar. 2014. Pengembangan appedakaltim. com
Energi
Biomassa
Indonesia.
http://www.
Syamsuwida, D dan Kurniawati P.P. 2012. Prosiding Seminar Hasil-hasil Penelitian ”Teknologi Perbenihan Jenis-jenis Potensial untuk Rehabilitasi Lahan Bekas Tambang di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. BPTPTH dan Dinas Kehutanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Syamsuwida, D, A. Aminah dan A. Muharam. 2011. Fenologi dan Potensi Produksi Benih Tanaman Penghasil Kayu Energi Jenis Weru (Albizia procera), pilang (Acacia leucophloea), akor (Acacia auriculiformis) dan kaliandra (Caliandra callothyrsus). Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan. Bogor . Tidak diterbitkan.
22
Tabla, V.P and C.F Vargas. 2004. Phenology and phenotypic natural selection on the flowering time of a deceit-pollinated tropical orchid, Myrmecophila christinae. Annals of Botany, 94(2): 243-250. http://aob.oxfordjournals.org Wiens D, Calvin CL, Wilson CA, Davern CI, Frank D, Seavey SR. 1987. Reproductive success, spontaneous embryo abortion and genetic load in flowering plants, Oecologia 71:501-509 Wardah. 2005. Keanekaragaman jenis tumbuhan di kawasan hutan Krui, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Lampung Barat. J.Tek.Ling. P3TL-BPPT 6(3) : 477-484. Zuhud EAM. 2008. Potensi hutan tropika indonesia sebagai penyangga bahan obat alam untuk kesehatan bangsa. http://www.academia.edu/5650004
23